Anda di halaman 1dari 4

IBU

Setibaku di rumah aku terus menanggalkan sepatu dan baju sekolahku.


Badanku terasa penat, lapar, dan haus. Perjalanan dari sekolah ke rumah yang
ku tempuh dalam jarak 6 km dibawah terik matahari, cukup meletihkan.
Aku ingin segera pergi ke dapur menikmati nasi dan lauknya yang
biasanya telah disiapkan untukku. Tapi sebelum aku melanhkah, terdengar suara
kak hardo memenggilku. Akupun lari mendapatinya. Kukira dia mau memberiku
sesuatu. Tapi, harapanku itu segera lenyap ketika melihat muka kak hardo yang
cemberut mmemandangku.
Aku ditatapnya dengan pandang yang tak enak kurasakan. Lalu dengan
isyarat anggukan kepala aku disuruh menggikutinya, aku dia ajak ke rumah bu
Kesi tetangga sebelahku.
kau mengaku saja Ar, jangan mungkir, Aku tak mengerti apa yang
dimaksudkannya. Hatiku mulai merasa tidak enak. Kalimatnya itu kurasakan
bakal terjadi sesuatu yang tidak ku inginkan. Dan ternyata itu benar, ketika kak
Hardo melanjutkan perkataannya : Bu Kesi lapor padaku bahwa kau mengambil
mangga didepan rumahnya, berkata begitulah kak Hardo sambil menunjuk ke
sebatang pohon mangga yang lebat buahnya, di muka rumah bu kesi.
Tidak ! jawabku.
Kau jangan bohong! Mengaku saja terus terang
Tidak, Kak, aku tidak pernah mencurinya, jawabku kesal.
Tiba-tiba Bu Kesi yang selama itu diam ikut bicara, Ya, kamu kemarin yang
merontoki mangga bu Kesi kan??, saya mengintip kamu dari lubang itu. Ia
menunjuk pada sebuah lubang dinding kayu rumahnya. Lalu ia melanjutkan
pembicaraannya,bukannya Bu kesi ini terlalu hemat, cuman masih terlalu muda
untuk diambili. Kalau emang kepingin, minta sajalah, pasti Bu kesi beri. Tidak
baik Nak, mencuri.
Aku makin merasa jengkel. Dlam hatiku aku memaki. Orang tua yang
mukanya royok dimakan usia dan matanya yang kabur itu tentu salah lihat.
Sekonyong-konyong orang tua dihadapanku itu berubah menjadi orang yang
amat kubenci didunia ini.
jadi, kau tidak mau mengakui perbuatanmu ?? bentak Kak Hardo
mengancamku. Aku sidah hampir menangis namun masih bisa menjawab, Betul
Kak, aku tidak mencuri.. sumpah !!. namun sehabis perkataanku itu tangisku
mulai meledak tak bisa kutahan lagi. Dan ketika telingaku mulai dijewer Kak
Hardo, aku menjerit kesakitan. Kemudian aku diseret Kak Hardo pulang.
Sesampai dirumah aku ditampar, dijewer dan dipukuli hingga babak belur.
Kemudian Kak Hardo mengammbil sebuah penggaris kayu lalu dipukulkan
kesekujur tubuhku. Karena aku tetap menyatakan tidak mengambil, akhirnya Kak
Hardo kelihatan ragu-ragu dan berkata, ya sudah, kalau tidak mengambil diam.

Tapi terdorong rasa jengkelku aku tidak bisa diam, tapi malah kukeraskan
tangisku. Sekali lagi sekujur tubuhku diteter pukulan-pukulan yang dikeraskan,
hingga akhirnya kayu penggaris itu patah menjadi dua.
kau tidak mau diam Ar ?? ancam Kak Hardo lagi. Ketika itu aku tak merasa
takut lagi oleh ancaman Kak Hardo.tidak!! Hatiku telah berontak. Aku tak mau
menurut perintahnya. Aku terlanjur dia sakiti.
Tiba-tiba saja rambutku dijambaknya. Aku diputar kekanan terus diempaskan.
Aku jjatuh tersungkur ditanah. Sakit rasanya, tapi rasa sakit hatiku lebih dari itu.
Akupun bangkit dan menantangnya dengan jeritan ku. Biar, biarlah semaunya
saja ia menghajar aku, aku terlanjur nekat. Entah karena kakHardo melihat
mulutku berdarah atau karena kedatangan mbak Sindi untuk menolongku, Kak
Hardo menjadi reda amarahnya. Kak sindi menghampiriku, terkejut melihatku.
gimana sih, ngajar anak sampe kayak gini ? Mbak sindi berkata demikian
sambil membersihkan mulutku yang penuh tanah dan debu.
kau mencuri Ar ??
tidak mbak
ya, mbak Sindi juga percaya kalau Ari tidak bakal mencuri. Ayo makan dulu, kau
belum makan to ??
Dengan muka masam mbak Sindi maninggalkan Kak Hardo tanpa berkata
sepatah katapun. Aku dibimbingnya ke dapur. Setibaku didapur kulihat ibu masih
membenahi alat-alat dapur yang berserakan. Yeah,, seperti itulah ibuku,
selamanya tidak pernah menghiraukan aku, begitu juga ketika mendengar sedusadanku yang masih ketinggalan ibu tidak berttanya apa-apa. Malah kulihat
mukanya yang masam.
Memang, ibu sangat berlainan dengan ayah. Ayah suka betanya tentang
diriku, tentang kesulitan-kesulitanku, atau tentang sekolahku. Ayah suka
tersenyum kepadaku. Setiap ayah datang dari bepergian, sering juga dibawakan
kue-kue, atau permen yang di bagikan kepada kami dengan jumlah yang sama.
Tapi kini ayah telah tiada. Satu-satunya orang yang dekat denganku hanyalah
Mbak Sindi.
Pernah sekali waktu Mbak Sindi bertanya kepadaku, kau sekarang tidur di
bawah ya Ar ??
Ya, mbak, ibu yang menyuruhku tidur dibawah.
Dulu seingatku aku tidur besama Mbak Sindi. Tapi lama-kelamaan setelah aku
bertambah besar, ibu menyuruhku tidur bersama Kak Hardo dan Dik Tato, adikku
si bungsu, disebuah ranjang berkelambu. Akhir-akhir ini ibu menyuruhku pindah
tidur di bawah. Katanya sih karena aku suka ngompol.
kau masih suka ngompol Ar? tanya Mbak Sindi lagi.

sekarang sudah tidak mbak. Dik Tato yang masih sering ngompol. Tapi kok dik
Tato tidak disuruh ibu tidur dibawah ya mbak ?? kenapa mbak?
dik Tato masih kecil, Ar. Nanti bisa masuk angin dia,kata mbak Sindi.
aku juga masih kecil, mbak, umurku baru delapan tahun. Bukankah hanya
selisih dua tahun ?
Mbak Sindi hanya diam menatapku dan aku melanjutkan bertanya,Dik Tato
kesayangan ibu ya Mbak??
Ari kan juga kesayangan ibu,
Ibu sering mencium Dik Tato, kenapa ibu tak pernah mencium aku Mbak ?
Mbak Sindi kembali diam menatapku. Di tatapnya mukaku dalam-dalam.
Kemudian tanganku diraihnya. Tiba-tiba aku didekap dan diciumnya. Terasa ada
air mata yang meleleh di pipiku. Dan ketika aku dilepaskan, kulihat muka mbak
Sindi basah.
Mbak, kenapa menangis?? Mbak Sindi sedih ya?
Tidak, Mbak Sindi gembira, Ar ! orang gembira juga bisa menangis
mengeluarkan air mata. Mbak Sindi gembira melihat raapormu yang bagus itu.
Mbak, aku masih punya ibukan, Mbak ?
Masih kok, emang kenapa Ar ?
Katanya Yono, temanku, ibu kita ini ibu tiri. Bukan ibu kandung.
Mbak Sindi kembali terdiam lagi. Sekarang ia kelihatan gelisah. Sementara
ia mengusap-usap kepalaku.
Mbak, potret yang dipasang di kamar mbak itu potret siapa ?
Di kamar Mbak Sindi tergantung sebuah foto seorang perempuan yang usianya
lebih kurang tiga puluh tahun, bersama seorang dara yang mukanya mirip Mbak
Sindi.
Ar, kau ingin tahu tentang siapa ibumu ?
Ya, Mbak
Mbak mau saja menceritakan semuanya, tapi kau harus berjanji kalau Mbak
nanti selesai cerita, Ari tidak boleh sedih ya. Kalau Ari sedih Mbak Sindi malaah
tambah sedih lagi
Ya, Mbak
Potret yang kau tanyakan itu ialah potret ibumu, ya ibu kita yang
sesungguhnya. Gadis cilik yang digendongnya itu gambar Mbak Sindi sendiri,
waktu Mbak Sindi masih berumur lima tahun. Ibumu telah lama meninggal, Ar.

Waktu melahirkan kau. Lalu ayah kawin dengan seorang perempuan yang juga
mempunyai seorang anak yaitu Kak Hardo. Kemudian lahirlah Dik Tato, adik kita.
Lalu ayah meninggal. Setelah Mbak Sindi menikah foto itu diiserahkan kepadaku.
Sering,bila aku merasa kesepian foto itu kuambil sekalipun aku tahu, potret itu
makin menambah kesepian dalam hatiku.

Anda mungkin juga menyukai