Hai ayah,
Aku dan bunda sudah sampai di rumah bibi dengan
aman. Rumahnya sangat nyaman,
aku suka. Udara di sini berbeda dengan saat di kota.
Sangat segar sekali untuk dihirup.
Aku juga suka. Pemandangannya, seperti lukisan. Aku
akan menggambarnya lalu aku
kirimkan pada ayah. Ayah kapan menyusul ke sini? Aku
dan bunda menunggu.
Sudah dulu ya ayah, aku ingin berjalan-jalan dulu.
Jangan lupa jaga kesehatan!
-Henry
Henry memasukkan surat itu ke dalam amplop yang
sudah diberi ayahnya. Dia mengambil sweaternya lalu
turun ke bawah untuk mengirim surat.
“Kamu mau kemana nak?” Tanya bunda yang melihat
Henry turun dari tangga dengan menggunakan sweater.
“Mau mengirim surat.” Jawab Henry singkat.
“Bibi, dimanakah aku bisa mengirim surat pos?”
tanyanya. “Oh, kau bisa mengirim itu di warung dekat
pertigaan depan sana.” Jawab bibi sambil sibuk
memotong sayuran lalu menujuk kearah luar.
Henry menuju pintu untuk segera pergi. “Hati-hati
Henry!” kata bunda dengan sedikit berteriak karena
Henry sudah berjalan dengan cepat.
“Apakah anakku bisa berubah?” Tanya bunda kepada
bibi dengan suara yang sangat kecil hampir tak
terdengar. “Kenapa kau tidak percaya seperti itu? Aku
saja percaya Henry pasti bisa berubah. Dia itu butuh
waktu dan dukungan dari kita. Pelan-pelan pasti dia bisa
berubah. Percayalah padaku.” Bibi menjawab dengan
mengelus punggung bunda halus.
Langit sore mulai terlihat indah di atas sana. Udara
dingin mulai menerpa tubuh yang rapuh itu. Untungnya
Henry memakai sweater yang lumayan tebal . Sampailah
Henry di depan kotak pos surat yang berwarna abu. Dia
meletakkan surat itu secara perlahan. Namun saat ingin
pulang, Henry melihat ada dua ibu-ibu yang sedang
berjalan bersama dengan candaan. Henry yang takut
dengan keramaian pun mulai panik.
Nafasnya tercekat, tubuhnya mulai bergetar. Ibu-ibu itu
berjalan semakin dekat dengan Henry. Henry yang
panik mulai berlari dengan sangat cepat hingga hampir
menabrak dua ibu-ibu itu. Kedua ibu-ibu itu sangat
terkejut dengan apa yang mereka lihat, mereka
keheranan. Tetapi mereka tidak begitu menghiraukan
seorang anak yang berari dengan cepat itu, mereka
kembali berjalan dengan canda gurau yang tak luput dari
pembicaraan.
Henry berlari dengan tak tau arah. Dia memegang
dadanya yang mulai sesak. “Sakit...” rintihnya. Namun
hal itu tidak menghentikan Henry untuk berhenti berlari.
Dia menuruni tangga dengan sangat tergesa hingga
kakinya tergelincir, ia terjatuh dengan sangat keras
hingga ke dasar tangga, kemudian mulai terdengar
rintihan, setelahnya berubah menjadi suara tangisan
yang terdengar menyakitkan.
Dia menangis cukup lama hingga raganya mulai lelah.
Ia berdiri dan membersihkan kotoran yang menempel
pada tubuh dan pakainnya. Saat ia bersiap ingin pulang,
ia melihat ada sebuah rumah di seberang danau di
depannya. Rumah itu sangat besar walaupun terlihat
usang seperti ditinggal oleh pemiliknya, rumah itu
terlihat indah seperti rumah belanda jaman dahulu.
Henry langsung terpikat dibuatnya.
Saat ia ingin menyebrangi danau itu, rintikan hujan
mulai turun. Henry yang terekjut pun berjalan ke
rumahnya dengan sangat terburu. Pandangan matanya
tidak lepas dari rumah itu.
Pikiran Hendry berpusar dalam keindahan rumah tua
yang dia lihat tadi, masih mengaguimi hal tersebut.
Hendry terdiam memandangi langit melalui jendela
kamarnya dengan rintikan hujan dan langit yang
berwarna jingga, juga udara yang makin lama makin
dingin dia meminum segelas coklat panas.
“Aku ingin melukis rumah itu!”Ucapnya dalam hati.