Anda di halaman 1dari 30

Sama seperti hari-hari sebelumnya, kini Henry kembali

bersama dengan buku sketsa tercintanya. “Di dunia ini,


ada batas lingkaran yang tidak bisa dilihat oleh mata, ada
yang di bagian dalam dan di luar, orang-orang ini ada di
dalam dan aku ada di bagian luarnya tapi aku tak
peduli.” Ucapnya dalam hati.
Tangan terampilnya sembari mengabadikan apa yang ia
lihat di depannya, taman yang begitu ramai dengan
banyaknya kegiatan ataupun hanya sekedar duduk.
“Bagaimana gambarmu?” tanya guru yang berdiri tepat
di depannya. “Eh, anu... punya saya agak berantakan
pak.” Jawabnya bohong dengan menahan gugup. “Tak
apa, sini biar ku lihat dulu”. Saut guru itu.
Bruk. “WUAAAA......” terdengar suara tangisan itu
mengundang semua pengunjung untuk menghampiri
sumber suara, taman itu seketika menjadi lebih ramai
dari sebelumnya.
“Aku... benci diriku sendiri.” Ucap terakhirnya sebelum
sesak dan gelap menghampiri.
Henry, seorang remaja yang memiliki gangguan
kecemasan. Ia menutup dirinya dari semua orang yang
berada disekitarnya. dan mengidap penyakit asma, hal itu
membuat dia membatasi dirinya dalam bersosialisasi
dengan orang lain. sehingga dia tidak memiliki teman
satu pun.
“Bisa kita bicara di luar sebentar bu?” tanya dokter. “Oh,
tentu dok.”
“Bagaimana keadaan anak saya, dokter?” Tanya bunda.
“Begini ibu, sebelumnya saya minta maaf karena akan
memberikan kabar yang tidak mengenakan. Penyakit
anak ibu semakin parah. Boleh saya tahu apa ada yang
membuat Henry stress belakangan ini?” tanya dokter.
“Sejujurnya saya tidak tahu dokter, tetapi sekarang
Henry tidak pernah menunjukkan” ekspresi nya. Saya
tidak tahu dia sedang sedih atau bahagia. Dia berbeda
dari yang dulu.” Kata bunda dengan air mata yang
berlomba keluar dari kelopak matanya.
“Saya harus apa dokter?” jawab bunda dengan frustasi.
“Ibu, saya akan membantu sebisa saya. Coba ibu pergi
ke daerah yang jauh dari kota bersama Henry.
Contohnya seperti pedesaan mungkin. Di sana Henry
bisa mencoba bersosialisasi sedikit demi sedikit dengan
orang. Selain itu, udara di pedesaan dapat membantu
memulihkan asma anak ibu.” Jelas dokter itu. “Baik dok,
akan saya coba.”
Keesokan harinya, Bunda dan Henry memutuskan untuk
pindah ke desa, tempat tinggal kakak bunda henry yang
bernama Bibi Lisa mereka berangkat ke desa A
menggunakan kereta. Di kereta, Henry hanya terdiam
sambil merenung “Mengapa hidup ini begitu rumit.”
Batinnya dalam hati. Tanpa disadari, mereka pun sampai
di stasiun kereta api tujuan, Henry dan bundanya
menunggu untuk dijemput oleh bibi. ”Henry!!” terdengar
suara sapa dari ujung stasiun, itu adalah suara Bibi Lisa
yang lama tak berjumpa dengan Henry.
“bagaimana kabar mu kak?” tanya ibu Henry kepada
Bibi Lisa.
“Sangat baik dek, ehh Henry aduhhh ganteng banget
sekarang.” Jawab Bibi Lisa. Henry hanya menjawab
dengan senyum sederhana
“sudah semua? Tunggu apa lagi mari pulang.” Mereka
bertiga pun pergi ke rumah bibi Lisa yang berada di
Desa Jembrak, membutuhkan waktu sekitar 4 jam lagi
untuk bisa sampai ke desa tersebut. Setelah melalui
perjalanan yang panjang akhirnya mereka sampai.
Salama perjalanan itu Henry terdiam, hanya sesekali
menjawab pertanyaan bibi dan pamannya dengan
anggukan atau gelengan sederhana, atau suara deheman
samar.
Dengan jendela mobil yang dibuka sebagian, Henry
dapat merasakan sapuan angin lembut di pipinya.
Pemandangan asing yang teduh membuat Henry nyaman
untuk berlama-lama menatap keluar jendela . Hingga
pandangannya teralihkan pada lumbung di atas bukit,
bangunan itu terlihat tua dan usang sepertinya bangunan
yang dulunya digunakan untuk menyimpan pakan ternak
itu sudah lama tak dipakai, terlihat dari begitu banyak
burung berterbangan diatasnya atau hanya sekedar
hinggap dibangunan itu.
Henry menoleh menatap seseorang disampingnya, bunda
menggenggam tangannya dengan lembut dan tersenyum,
entah apa yang dimaksud dari senyum teduh bundanya
itu.
Setelah sampai dirumah tujuan, semua orang yang ada
didalam mobil bergegas turun dengan bibi dan paman
membantu membawa barang bawaan yang ibu dan aku
bawa. Rumah itu terasa asing. “Bagaimana? Bunda rasa
tempat ini baik untuk mu hen.” Ucap ibu dengan melihat
sekeliling lalu tersenyum menatap ku.
“Anak-anak kami sudah dewasa dan tidak disisni lagi,
anggap saja rumah sendiri ya. Buat diri kalian nyaman.”
Bilang bibi saat aku baru memasuki rumah. “permisi...”
ucap Henry. “Pasti kelihatannya ini rumah yang aneh,
ya?” Tanya bibi gurau. “Tidak, rumahnya kelihatan
nyaman.” Jawab Henry. “Hahahahaha... Tidak ussah
dipuji segala.” Saut bibi jenaka.
“Kamar kamu yang diatas, ya?” kata bibi. “baik bi..”
jawab Henry. “Ini dulu kamar putriku.” Tuturnya ketika
kami sudah berada didepan pintu kamar. “Sedih rasanya
kalau dirapikan, jaadi kubiarkan saja apa adanya seperti
dulu. Sekarang dia jadi guru yoga di IbuKota.”
Tambahnya lagi sambil menata lemari kamar.
Sruk..! amplop yang berisi surat-surat itu meleset jatuh
dari tangan Henry. “Tolong tuliskan kabarmu disana,
tentang apa saja. -Ayah.” Ucap Henry membaca surat
yang terlempar dari dalam amplop tersebut. “Ada-ada
saja, pakai kartu pos. Jangan lupa mengirimi surat
balasan ya.” Saut bibi dengan kekehan kecil.
Setelah selesai merapikan lemari, bibi pamit keluar dari
kamar. Henry mulai membuka barangnya satu persatu.
Ditata dengan sangat rapi tanpa merusak hiasan yang
ada. Berpuluh-puluh menit sudah terlewati, sekarang
waktunya Henry menulis surat untuk dikirimkan kepada
ayah. Dia menarik kursi dan kemudian mulai menulis
dengan tenang.

Hai ayah,
Aku dan bunda sudah sampai di rumah bibi dengan
aman. Rumahnya sangat nyaman,
aku suka. Udara di sini berbeda dengan saat di kota.
Sangat segar sekali untuk dihirup.
Aku juga suka. Pemandangannya, seperti lukisan. Aku
akan menggambarnya lalu aku
kirimkan pada ayah. Ayah kapan menyusul ke sini? Aku
dan bunda menunggu.
Sudah dulu ya ayah, aku ingin berjalan-jalan dulu.
Jangan lupa jaga kesehatan!
-Henry
Henry memasukkan surat itu ke dalam amplop yang
sudah diberi ayahnya. Dia mengambil sweaternya lalu
turun ke bawah untuk mengirim surat.
“Kamu mau kemana nak?” Tanya bunda yang melihat
Henry turun dari tangga dengan menggunakan sweater.
“Mau mengirim surat.” Jawab Henry singkat.
“Bibi, dimanakah aku bisa mengirim surat pos?”
tanyanya. “Oh, kau bisa mengirim itu di warung dekat
pertigaan depan sana.” Jawab bibi sambil sibuk
memotong sayuran lalu menujuk kearah luar.
Henry menuju pintu untuk segera pergi. “Hati-hati
Henry!” kata bunda dengan sedikit berteriak karena
Henry sudah berjalan dengan cepat.
“Apakah anakku bisa berubah?” Tanya bunda kepada
bibi dengan suara yang sangat kecil hampir tak
terdengar. “Kenapa kau tidak percaya seperti itu? Aku
saja percaya Henry pasti bisa berubah. Dia itu butuh
waktu dan dukungan dari kita. Pelan-pelan pasti dia bisa
berubah. Percayalah padaku.” Bibi menjawab dengan
mengelus punggung bunda halus.
Langit sore mulai terlihat indah di atas sana. Udara
dingin mulai menerpa tubuh yang rapuh itu. Untungnya
Henry memakai sweater yang lumayan tebal . Sampailah
Henry di depan kotak pos surat yang berwarna abu. Dia
meletakkan surat itu secara perlahan. Namun saat ingin
pulang, Henry melihat ada dua ibu-ibu yang sedang
berjalan bersama dengan candaan. Henry yang takut
dengan keramaian pun mulai panik.
Nafasnya tercekat, tubuhnya mulai bergetar. Ibu-ibu itu
berjalan semakin dekat dengan Henry. Henry yang
panik mulai berlari dengan sangat cepat hingga hampir
menabrak dua ibu-ibu itu. Kedua ibu-ibu itu sangat
terkejut dengan apa yang mereka lihat, mereka
keheranan. Tetapi mereka tidak begitu menghiraukan
seorang anak yang berari dengan cepat itu, mereka
kembali berjalan dengan canda gurau yang tak luput dari
pembicaraan.
Henry berlari dengan tak tau arah. Dia memegang
dadanya yang mulai sesak. “Sakit...” rintihnya. Namun
hal itu tidak menghentikan Henry untuk berhenti berlari.
Dia menuruni tangga dengan sangat tergesa hingga
kakinya tergelincir, ia terjatuh dengan sangat keras
hingga ke dasar tangga, kemudian mulai terdengar
rintihan, setelahnya berubah menjadi suara tangisan
yang terdengar menyakitkan.
Dia menangis cukup lama hingga raganya mulai lelah.
Ia berdiri dan membersihkan kotoran yang menempel
pada tubuh dan pakainnya. Saat ia bersiap ingin pulang,
ia melihat ada sebuah rumah di seberang danau di
depannya. Rumah itu sangat besar walaupun terlihat
usang seperti ditinggal oleh pemiliknya, rumah itu
terlihat indah seperti rumah belanda jaman dahulu.
Henry langsung terpikat dibuatnya.
Saat ia ingin menyebrangi danau itu, rintikan hujan
mulai turun. Henry yang terekjut pun berjalan ke
rumahnya dengan sangat terburu. Pandangan matanya
tidak lepas dari rumah itu.
Pikiran Hendry berpusar dalam keindahan rumah tua
yang dia lihat tadi, masih mengaguimi hal tersebut.
Hendry terdiam memandangi langit melalui jendela
kamarnya dengan rintikan hujan dan langit yang
berwarna jingga, juga udara yang makin lama makin
dingin dia meminum segelas coklat panas.
“Aku ingin melukis rumah itu!”Ucapnya dalam hati.

“Good morning…” Bisik bunda halus sambil mencium


kening Henry.
Dia tidak membalas. Hanya segurat senyuman yang
sama artinya dengan,
“Good morning Ibu”.
“Sarapan dulu ya, habis itu kamu harus berkeliling di
lingkungan sekitar rumah, kamu harus merasakan udara
segar pagi hari yang ada di desa Hen! Itu sangat
menyegarkan.” Kata Ibu sambil membuka tirai kamar
dan membuka jendela.
Setelah mandi dan sarapan, Henry bergegas keluar
membawa buku sketsa kesayangannya,dia duduk di
sebuah tempat duduk di pinggir danau, memulai
menggerakan tangannya ke atas dan ke bawah mengikuti
pola bentuk bangunan tersebut dengan sangat teliti
kemudian diaplikasikan ke dalam buku sketsanya.
Untaian tangan yang memegang sebuah pensil bergerak
tak beraturan di atas kertasnya,mata yang tak teralihkan
pandangannya ke sebuah bangunan tua. Hingga
pandangannya teralihkan oleh sesosok wanita yang
terlihat sekilas di salah satu jendela rumah tua tersebut di
ikuti dengan burung yang hinggap di jendela.
Kemudian, wanita itu menghilang.
Hendry bertanya-tanya di pikirannya,apakah rumah itu
bukan rumah kosong, melainkan rumah yang masih di
huni oleh pemiliknya,dan siapa wanita itu.
Hendry menghilangkan semua pertanyaan-pertanyaan di
pikirannya itu dan lanjut melukis rumah tua tersebut
hingga tak menyadari ada seorang nelayan yang
melihatnya dari tengah danau,nelayan tersebut
menghampirinya dan bertanya kepada Henry.
“Apa yang kau lakukan nak?”. Ucap nelayan tersebut
sambil menepikan perahunya ke pinggir danau.
“Saya lagi menggambar rumah itu pak.” Jawabnya
menunjuk rumah tua itu.
“Mau ikut bapak naik perahu ke tengah danau? disana
kamu bisa melihat dengan jelas rumah nya.” Ujar
nelayan tersebut.
“Bbboleh pak?” Ucap Henry gugup.
Nelayan itu pun menganggukkan kepalanya dan
menyilahkan Henry untuk naik ke perahunya.
“Kamu anak kota ya?” Tanya nelayan itu.
“Iya pak, saya dari kota,pindah ke desa untuk proses
penyembuhan asma saya.” Jawab henry sambil asik
menggambar.
“Rumah itu memang indah sekali ya, setiap hari saya
menangkap ikan di danau rumah itu selalu terlihat indah
walaupun sudah tua dan tidak terawatt.” Ucap Nelayan
tersebut.
“Iya, saat pertama kali saya lihat rumah itu, saya
langsung jatuh cinta. Omong-omong penghuni rumah itu
kemana pak? Kenapa tidak pernah kelihatan?” Seru
Henry kaku sambil memandangi rumah tersebut.
“Rumah itu kosong nak, sudah 15 tahun ditinggalkan
penghuninya, dulu ada satu keluarga yang tinggal di situ
tapi, karena suatu masalah yang saya tidak tau apa
masalahnya mereka memutuskan untuk pergi dari rumah
itu, seingat saya juga yang menempati rumah tersebut
adalah orang kaya, jadi ya agak tertutup kehidupannya
sama warga sekitar yang lain.” Jelas Nelayan itu.
aMendengar penjelasan nelayan tersebut Henry kaget,
dia menghentikan aktivitas menggambarnya. Pikirannya
bertanya-tanya siapa wanita yang dia lihat tadi jika
rumah itu telah kosong selama 15 tahun.Tanpa pikir
panjang Henry tidak memperduliakan hal tersebut dia
menganggap mungkin wanita yang dia lihat tadi adalah
tetangga atau anak-anak yang bermain di dalam rumah
itu,dia pun melanjutkan aktivitas menggambarnya.
Tak terasa Henry menggambar rumah tua tersebut hari
mulai sore, Henry dan nelayan tersebut memutuskan
untuk pulang.
“Pak terima kasih banyak ya”Ucap henry sambil
membungkuk kan kepala.
“Sama-sama, besok kalau mau melukis di danau lagi,
nanti pinjam perahuku aja, ini bawa ikan ini dan makan
bersama dengan keluargamu ya.” Ujar nelayan tersebut.
“Baik pak. Terima kasih banyak, kalau gitu saya pamit
duluan pulang ya.” Henry membungkukkan kepala untuk
kedua kalinya dan berlari kecil sampil membawa buku
sketsa dan sekantong ikan.
Sesampainya dirumah, Henry bertemu dengan bibinya
yang sedang berkebun, Bibinya pun menanyainya
“ Henry apa yang kamu bawa?” tanya bibi kepada
Henry.
“ Ikan, aku mendapatkannya dari seorang nelayan yang
sedang memancing di danau” Jelas Henry.
-
-
-
Henry terbangun ditepi danau, netranya terbuka dengan
pikiran bingung ia berdiri dengan keadaan kaki
telanjang, dan kabut yang menyelimuti nya. Ia melihat
cahaya lampu di rumah sebrang danau.
Dari kejauhan ia melihat seorang gadis yang sedang
duduk manis dengan tatapan sendu sambil berkaca.
Henry pun mendekat, dan lebih dekat dipenuhi rasa
penasaran, ia berlari kecil menuju kerumah itu.
Pandangannya tidak lepas dari apa yang ia lihat tersebut.
Gadis itu menoleh kearah Henry sehingga mereka berdua
bertatapan.
Ada perasaan aneh ditengah situasi itu, kakinya
membeku kaku ia pun tersungkur kedepan.

“Hah...” kata Henry terbangun kaget dari mimpinya


dengan napas tersendat dan badan bercucuran keringat.

Danau itu, lagi. Ya, Henry menghampiri danau itu lagi


dengan perasaan penasaran yang menggebu-nggebu.
“perahu” gumam Henry ketika melihat perahu ditepi
danau.
Perahu itu menemani Henry untuk menyebrang danau
hingga sampe dirumah lama tersebut. ”Rumah nya besar
sekali..” kaki jenjangnya membawa dirinya menyusuri
sudut demi sudut rumah itu dengan penasaran.
Ada sesuatu yang membuatnya penasaran sampai
mendatangi rumah itu. Jendela. Ia yakin pernah melihat
gadis yang duduk bersisir sambil melihat kaca waktu itu.
Ia menelusuri setiap ruangan satu per satu, hingga
akhirnya ia berhenti di satu ruangan yang mencuri
perhatiannya. Ruangan itu terasa sedikit lembab, terdapat
banyak barang yang sudah tidak terpakai walau masih
terlihat layak. Namun, saat ingin masuk ruangan itu lebih
dalam lagi, suara gemuruh terdengar di luar. Hujan
hampir tiba. Henry turun dengan terburu-buru sampai ia
keluar dari rumah tersebut.
Air danau mulai pasang hingga menutupi jalan yang tadi
ia lewati.
“Aduhh bagaimana aku bisa pulang jika seperti ini?”
Henry berbicara dengan dirinya sendiri.
Henry terduduk dengan rasa putus asa. Waktu berlalu
cukup lama. Saat dia termenung, ia melihat secercah
cahaya mendekatinya, itu adalah nelayan yang kemarin
memberi ikan.
“Hei nak, kamu sedang apa di situ?” Tanya nelayan itu
“Tadi aku sedang berjalan-jalan, tapi saat ingin pulang
air danau sudah pasang, jalannya hilang dan aku idak
bisa pulang.” kata Henry.
“Ayo sini naik, aku antar sampai di seberang.”
Henry secara perlahan naik ke perahu yang bergoyang
itu. Di sepanjang jalan, ia hanya terdiam dengan pikiran
yang kosong, hingga sampai di seberang danau.
“Terimakasih.” Kata Henry dengan singkat namun tulus
“Sama-sama nak. Hati-hati di jalan ya, jalanan sudah
mulai gelap.” pesan paman nelayan itu.
Henry hanya menjawab dengan anggukkan kepala yang
hampir tidak terlihat. Lampu malam menemani
sepanjang jalan pulang. Sesampainya di rumah, ia naik
ke kamar dan mulai membersihkan diri.
Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu
“Henry ayo makan dulu nak.” Ajak bunda
“Iya bunda.” Henry menjawab sambil berjalan
menghampiri bunda
Makan malam itu ditemani dengan suara hujan yang
terdengar hingga ke dalam rumah. Mereka semua makan
dengan tenang dan hanya diselingi dengan pembicaraan
yang singkat.
Henry kembali ke kamarnya untuk bersiap tidur, ia
menarik selimutnya. Namun saat ingin menutup mata,
Henry kembali turun menuju mejanya, ia mengambil
buku sketsa. Dia kembali naik ke atas kasur dan mencari
posisi yang nyaman, tidak lupa selimut yang menutupi
tubuhnya. Ia menatap gambar sketsa rumah yang dia
gambar kemarin, sampai matanya mengantuk. Henry
tidur dengan buku sketsa dipelukannya.
Keesokan harinya ia terbangun dan berniat kembali
kerumah itu lagi untuk menghilangkan rasa
penasarannya. Sampainya di danau ia melihat perahu
milik nelayan. Henry menggunakan perahu itu untuk
menyebrangi danau dan menuju rumah disebrang danau.
Sampainya di rumah tersebut ia lamgsung menuju ke
salah satu ruangan yang kemarin tidak sempat ia telusuri.
Henry melihat barang barang yang ada diruangan itu satu
per satu. Diruangan tersebut Ia menemukan sebuah buku
diary. Di diary tersebut tertulis sebuah memori indah
dari seorang gadis kecil, Diary itu berisi kenangan pahit
serta manis dari seorang gadis tersebut. Henry membuka
lembar demi lembar dengan ekspresi terpukau akan
sebuah tulisan tangan yang penuh makna itu. Itu menjadi
moment pertama henry ingin merasakan kehidupan yang
lebih dari sebelumnya. Ia mulai ingin lebih mengenal
serta mengetahui siapa dan bagaimana gadis tersebut
menjalani kehidupan yang penuh dengan momen-
momen luar biasa itu. Henry menutup diary tersebut
dengan perasaan serta emosi yang bercampur aduk dan
menunjukkan ekspresi yang terpukau. Dia keluar dari
ruangan tersebut sambil memeluk diary itu.
Saat Henry menutup ruanggan yang dia masuki tadi, ia
terkejut karena tiba-tiba dia merasa pundaknya disentuh
oleh seseorang. Henry menoleh dan dia terkejut, ada
seorang gadis yang ada dimimpinya yang sekarang
berada tepat didepan matanya.
“Haiiii…” Ucap gadis itu,dan mengulurkan
tangannya,dengan gerakan yang tanpa disadari Henry
membalas uluran tangan tersebut,
“Namaku Alice” Seru gadis itu sambil berputar dan
menunjukan senyum yang cantik.
Dunia Henry membeku, terpukau sangat dengan senyum
yang diberikan oleh gadis didepamnnya. Sangat sejuk
dipandang.
“Aku Henry” Ujar Henry gugup.
“Kamu orang sungguhan?” Tanya Henry agak ketakutan.
“Hah?” Kata gadis itu memiringkan kepalanya.
“Kamu mirip denga gadis di mimpiku.” Ucap Henry
memegang kapalanya.
“Mimpi?”Ujar Alice,dan dia berlari menuju tangga.
Henry mengejar Alice, mengikuti langkahnya dengan
tergesa-gesa sampai hampir terjatuh namun tangannya
segera digapai oleh Alice.
“Terima kasih.” Seru Henry.
“Sama-sama Hen.” Ucap Alice sambil menuntun Henry
duduk diatas loteng.
“Aku sudah lama ingin bertemu dan berkenalan
denganmu, kamu sangat mirip dengan gadis yang ada
dimimpiku.” Ucapnya dengan netra mata yang tak henti
memandangi sosok didepannya.
“benarkah seperti itu…” Ucap Alice gurau. “Lalu apa
yang akan kamu lakukan selanjutnya jika memang iya?”
lanjutnya dengan bertanya.
“Hm… entahlah.” Ucap Henry ragu.
“Aku jadi penasaran, apa yang kamu pikirkan saat
pertama kali melihatku.” Tanya Alice selanjutnya.
“Hm…” Renung Henry lama.
“Aku rasa… aku pernah melihatmu sebelumnnya, dan ku
rasa aku suka senyummu yang cantik itu.” Jawab Henry
bersemu.
“Oh ya? Aku sangat bersyukur jika memang begitu
terimakasih, Henry.” Ucap Alice.

“Kenapa kamu bisa dirumahku?, bagaimana kamu bisa


masuk?” Tanya Alice.“Aku penasaran dengan rumah ini.
Aku mencoba membukanya dan ternyata tidak terkunci”
Jawab Henry apa adanya.
“Lalu bagaimana sekarang.” Lanjut Alice. “Selanjutnya
bagaimana? Maksudya?” Tanya Henry. “Bagaimana
perasaan mu sekarang?” Tanya Alice
“Aku senang bisa bertemu denganmu. Rasa penasaranku
sudah sedikit terbayar.” Jawab Henry
“Apakah kamu mau berkeliling denganku?” Tanya Alice
“Apakah boleh?” jawab Henry dengan sedikit ragu
“Tentu, kenapa tidak?”
“Tapi kita mau berkeliling kemana, Alice?”
“Di sekitar sini saja. Ayo.” Kata Aklice sambil menarik
tangan Henry
Henry berjalan di sebelah Alice dengan langkah seirama.
Mereka keluar dari rumah, tidak lupa menutup kembali
pintu yang tadi terbuka. Genggaman tangan tidak Alice
lepas sedikit pun dari tangan Henry. Udara segar
menerpa mereka yang berjalan secara perlahan. Mereka
menikmati ini semua bersama-sama.
Ayunan di bawah pohon menjadi tujuan mereka setelah
berjalan-jalan. Tangan Henry terlepas dari genggaman
Alice, yang kemudian berpindah pada tali ayunan.
Gerakan ayunan yang perlahan menjadi awal mereka
berbincang.
“ Kenapa kau bisa datang ke rumahku?” Alice
mengawali percakapan sedikit canggung itu mungkin(?)
“Aku suka sekali dengan rumahmu, besar, sangat indah
di pandang dari seberang sana.” Kata Henry sambil
menunjuk ke arah depan.
“Berarti maksudmu, rumahku hanya indah saat
dipandang dari seberang sana?” Tanya Alice dengan
kepala menunduk dan tidak lupa dengan raut wajah
yang sengaja dibuat sedikit sedih.
“Tidak tidak, maksudku bukan seperti itu. Rumahmu
lebih indah jika dilihat secara dekat. Bahkan aku sampai
ingin memiliki rumah seperti rumahmu.” Jawab Henry
panik saatAlice berkata seperti itu.
“Hahahaha kau sangat lucu Henry”
Henry bingung melihat Alice yang tiba-tiba tertawa
keras seperti itu hingga memegangi perutnya.
“Aku hanya bercanda, Henry. Kenapa kau sangat serius
sekali?” Kata Alice setelah tawanya sedikit reda.
“Aku kira kau marah.” Henry menggaruk tenguknya dan
tidak lupa sedikit cengiran terlihat.
“Maafkan aku hehe.” “Ayo kita jadi teman, apakah kau
mau?” Tanya Alice
“Tentu aku mau Alice.”
Hening melingkupi mereka saat itu. Sebenarnya Henry
ingin bertanya kepada Alice, namun dia tidak yakin
bagaimana memulainya. Ia berperang dengan batinnya
cukup lama hingga akhirnya ia yakin.
“Alice, bolehkah aku bertanya sesuatu?” Tanya Henry
memulai percakapan
“Boleh, kau mau Tanya apa?” Alice menjawab dengan
tatapan mata tertuju pada Henry
“Kau tinggal di sini sendiri? Kenapa dari tadi aku hanya
melihat kau.”
Alice tersenyum “Tidak, sebenarnya aku tingal dengan
orang tua ku, namun mereka sedang pergi ke luar negeri
untuk bekerja. Aku di sini dengan pengasuhku, dia
sedang di dapur tadi. Dia sangat galak, aku tidak suka.
Oh iya dia juga melarangku bermain, aku selalu
dikurung di kamar, tidak boleh keluar.” Jawab Alice
dengan senyum yang manis namun terdapat kesedihan di
dalamnya.
“Apakah kau akan dimarahi jika aku bermain ke sini?”
Tanya Henry dengan sedikit takut
“Itu sudah pasti, tapi tidak apa. Aku mengajakmu keluar
agar tidak ketahuan sebenarnya hehe. Pasti dia sedang
mencari ku sekarang.”
“Kau pasti sangat kesepian.”
Lagi-lagi Alice hanya mengeluarkan senyumnya yang
manis itu. Alice berdiri dan mulai berjalan menjauhi
ayunan, Henry mengikutinya di belakang. Pinggir danau
sekarang menjadi tujuannya. Ia kembali duduk dengan
setengah kaki yang dimasukkan ke dalam air.
Gelombang kecil air mulai terlihat wujudnya, Alice
pelakunya. Ia menggoyangkan kakinya secara perlahan,
menikmati dinginnya air yang menyentuh kulit. Henry
duduk di sebelah Alice dengan kaki yang tercelup juga.
“Aku harus pulang sekarang, Alice. Nanti bundaku
mencari, aku sudah terlalu lama bermain.” Ucap Henry
sedih.
“Kau pulang naik apa?”
“Aku naik perahu itu.” Jawabnya sambil menunjuk
perahu yang terletak tak jauh dari mereka duduk. “Tadi
aku kesini naik itu, jadi aku pulang juga naik itu.”
“Baiklah, ayo aku antar kesana.” Kata Alice
Henry berdiri terlebih dulu dengan membersihkan
kotoran yang menempel pada belakang celananya,
kemudian ia mengulurkan tangannya untuk membantu
Alice berdiri. Alice meneima uluran tangan Henry
dengan senang hati. Mereka berjalan menuju perahu
dengan perlahan.
“Aku pulang dulu ya.” Henry berkata sambil naik ke
perahu yang bergoyang itu
“Hati- hati Henry.” Kata Alice melepas tali perahu yang
terikat.
Perahu menjadi saksi perpisahan mereka hari itu. Langit
mulai menggelap parasnya. Bulan mulai menampakkan
diri. Dan Henry yang kembali dengan kepuasan hati.
-
-
Kicauan burung mulai terdengar merdu masuk ke dalam
telinga. Henry terbangun dengan sinar matahari yang
menusuk mata. Ia menggeliat di kasur dengan selimut
yang masih membungkus dirinya.
“Henry. Ayo bangun nak.” Ucap bibi sambil sedikit
menggoyangkan tubuh Henry. “Kalau sudah bangun
turun ya, kita sarapan bersama, hari ini yang masak
bundamu.” Lanjut bibi
Henry hanya menjawab dengan anggukan kepala yang
hampir tak terlihat. Bibi turun ke bawah dengan tidak
lupa menutup kembali pintu kamar Henry yang tadi ia
buka. Henry terduduk dengan mata yang masih tertutup,
perlahan ia membuka matanya yang masih mengantuk
itu. Ia menikmati sinar matahari dengan penuh perasaan
senang. Ia mulai melipat selimut, menata bantal, guling,
dan tidak lupa mengembalikan buku sketsa yang selalu
dia bawa tidur. Setelah semua kegiatan dilakukan, Henry
turun menuju meja makan untuk menyantap makanan
bersama.
“Sini duduk di sebelah paman.” Kata paman menarik
kursi yang berada di sebelahnya.
Henry duduk di tempat yang tadi disediakan, ia
mengambil nasi dan beberapa lauk. Hari ini bunda
memasak sayur sop dengan daging ayam, tidak lupa tahu
dan tempe. Suara sendok terdengar cukup berisik.
Mereka sesekali berbicara diselingi candaan yang cukup
menghibur. Tentu saja dengan Henry yang hanya
menjawab dengan senyuman dan kata-kata seadanya.
“Henry, hari ini kita pulang ya. Kamu harus control
dengan dokter. Bunda ingin tau bagaimana
perkembangan mu selama kita berada di sini.” Kata
Bunda selesai makan.
“Iya bunda. Aku ke atas dulu ya paman, bibi, bunda.”
Pamit Henry dengan larian kecil menuju tangga
Suara gemercik air terdengar, itu pertanda sang empu
sedang membersihkan diri. Henry keluar hanya dengan
handuk yang dililitkan di pingang. Ia menuju lemari
untuk memilih baju yang mana cocok untuk ia pakai
pulang sampai di kota. Harum parfum tercium hingga
menusuk hidung.
TOK TOK TOK
Suara ketukan terdengar
“Iya.” Sahut Henry dari dalam
Ternya itu bunda. “ Henry, jangan lupa bawa baju ganti.
Kita akan tidur di rumah.”
“Memang kita mau di kota berapa hari, bun?” Tanya
Henry
“Sekitar 2 hari, besok kamis kita kembali ke sini lagi.”
Jelas buda
Henry mengeluarkan tasnya, pakaian mulai dimasukkan
ke dalamnya, tidak lupa dengan barang tercintanya.
Buku sketsa. Cukup lama Henry menyiapkan semuanya
hingga selesai. Kaca adalah tujuan terakhir saat ini
sebelum Henry meninggalkan kamarnya selama
beberapa hari mendatang.
Mobil menjadi transportasi menuju terminal. Di
perjalanan, Henry melewati jalanan dekat danau. Ia tidak
melepaskan pandangan dari Rumah Alice, rumah itu
kelihatan kecil dari jalan. Henry tidak akan bertemu
dengan Alice untuk beberapa hari ini. Henry belum
pamit.

“Hati-hati ya dek, jangan lupa beri aku kabar kalau


sudah sampai di sana.” Kata bibi pada bunda
“iya kak.” Jawab bunda
“Titip salam untuk ayahmu ya Hen, bilang ke ayahmu
kalau paman ini sudah rindu memancing bersama.” Ucap
paman pada Henry
“baik, paman.” Kata Henry
Lambaian tangan semakin jauh terlihat. Pemandangan
yang terlewati membuat mata sejuk memandang. Henry
duduk di dekat jendela dengan bunda di sebelahnya.
Tidur adalah yang Henry lakukan saat perjalanan mulai
jauh.

Suasana kota yang padat menyambut mereka. Saat ini


mereka pulang menuju rumah menggunakan taksi,
karena ayah sedang bekerja di luar kota. Kamar adalah
tujuan utama Henry saat sampai di rumah. Ia meletakkan
tasnya di kursi kemudian merebahkan dirinya di kasur
yang sudah cukup lama tidak ia jamah. Ia rindu dengan
kamarnya.
“Henry, hari ini kita istirahat saja ya di rumah. Besok
baru kita pergi bertemu dengan dokter.” Kata bunda saat
membuka pintu kamar yang tertutup tadi.
“Iya, bunda. Bunda juga jangan lupa istirahat.” Jawab
Henry tidak luput dengan pehatiannya.
Hari ini hanya dihabiskan Henry dan bunda untuk
istirahat. Mereka menyiapakan tenaga untuk hari esok
yang akan datang menyambut. Henry istirahat dengan
perasaan tenang, namun berbeda dengan bunda yang
istirahat dengan perasaan campur aduk. Bunda belum
siap menerima perkataan dokter yang besok akan ia
dengar. Bunda gelisah.

Hari telah berganti. Matahari muncul dengan sinarnya


yang sangat cantik. Pagi ini bunda dan Henry pergi
bertemu dokter.
“Selamat pagi, Henry. Sudah lama ya kita tidak
bertemu.” Sapa dokter
“Pagi dokter.” Bungkukan badan menjadi sapaan pagi
ini.
“Mari duduk.” Ajak dokter “kamu berlibur kemana
Henry?” lanjut dokter
“Ke desa A dokter.” Jawab Henry
“Apakah udaranya segar?”
“Iya, pemandangannya juga bagus sekali.”
“Apa yang kamu rasakan saat di sana? Apakah lega?”
Tanya dokter lagi
“Lega, saya bernafas dengan nyaman, tidak terlalu
banyak debu di sana. Di sana juga tidak terlalu padat
penduduk.”
“Apa yang kau rasakan saat bertemu dengan orang?”
“Aku masih cemas saat mereka terlalu berisik dan
ramai.”
“Ok, Henry, saya hanya akan bertanya sampai di sini.
Apakah kau bisa memberi ku waktu untuk berbicara
dengan ibumu?” dokter itu bertanya dengan sopan
sambil memberikan senyuman.
“Tentu. Terimakasih dokter” Henry beranjak pergi
keluar dari ruangan itu, ia duduk tidak terlalu jauh dari
ruangan dokter tadi. Henry tau pasti dokter ingin
berbicara mengenai hal penting bersama bundanya
tentang dirinya.
“Bagaimana perkembangan anak saya dokter?” Tanya
bunda saat Henry sudah keluar
“Anak ibu sudah lebih baik dari sebelumnya, sepertinya
tingal di sana membuat Henry menjadi lebih sedikit
terbuka. Ibu lihat tidak tadi? Saya bertanya dan dia
menjawab dengan jawaban yang cukup panjang.
Biasanya Henry hanya menjawab sepatah atau dua patah
kata saja. Saya cukup kaget tadi.” Jelas dokter panjang
lebar namun dapat dipahami oleh bunda
“Iya dokter tadi saya lihat.” Ucap bunda
“Lebih baik ibu tinggal di sana lebih lama lagi,
sepertinya Henry cukup nyaman saat berada di sana.”
“Baik dokter, akan saya ikuti saran dari dokter ini.” Kata
bunda “Terimakasih banyak ya dok, saya pamit pulang.”
“Iya ibu sama-sama.” Jawab dokter sambil menjabat
tangan bunda.
Bunda dan Henry melangkah keluar ruangan dokter itu.
Di hari itu juga bunda mulai memikirkan apa Langkah
yang harus ia ambil kedepanya, ia pun memutuskan
bicara 4 mata Bersama anak tercintanya itu di suatu
tempat. Bunda memutuskan pergi Bersama henry ke
sebuah caffe yang tak terlalu dipenuhi dengan keramaian
untuk membicarakan hal tersebut. Mereka pun sampai ke
tujuannya, disana ibu sudah menyiapkan kata kata yang
sedemikian rupa untuk anak emasnya itu.
“Nak bagaimana menurutmu jika kita tinggal didesa itu
lebih lama lagi?”
“Bunda hanya berharap kondisi henry berubah menjadi
lebih baik jika disana”.
Detik itu juga bunda sedikit takut menunggu respon
henry. Namun semua ketakutan itu berubah menjadi
kesenagan yang luar biasa di hati bunda. Henry memberi
senyuman dan menganggukan kepalanya yang mungil
itu pada bunda setelah mendengar ucapan bunda. Bunda
dan henry menghabiskan waktu berdua di caffe itu.
Keesokan harinya yaitu dimana menjadi hari terakhir
mereka dikota, Henry dan bunda memutuskan Kembali
ke desa untuk melanjutkan penyembuhan anak emasnya
itu. Di kereta raut muka henry sangat berbeda dari kala
pertama ia menuju ke desa itu, Wajahnya sangat
berantusias dengan kedua mata yang berbinar. Mereka
pun sampai menuju statiun dan disambut Kembali oleh
sang bibi. Perjalanan menuju desa tak terasa lama, Henry
merasakan Kembali hawa pedesaan dengan perasaan
yang berbeda dari sebelumnya. Di rumah bibi ia
melakukan beberapa kegiatan, Henry mulai bisa
berktivitas dari sebelumnya. Ia membantu bibinya
berkebun meski ia tak sengaja menendang beberapa
pohon tomat di kebun. Bibi yang sedang menyiram
tanaman hanya ketawa melihat perilaku henry yang
panik karna menjatuhkan beberapa pohon tomat. Selesai
berkebun bibi membuat makanan spesial yang pernah ia
jaul dulu, yaitu sup kacang merah. Sup kacang merah
bibi sangat terkenal di desa, Namun sekarang ia jarang
membuat menu tersebut karna kesibukannya akan kebun
tomatnya yang berada di dekat rumahnya itu. Saat henry
mencoba sup itu ia langsung kagum dengan rasanya
yang sangat enak dengan perpaduan gurih dan sedikit
manis dari kacang merah itu. Saat sedang makan, bibi
membuka pembicaraan dengan bertanya kepada henry
“apa yang membuat mu bersemangat henry,wajahmu
terlihat sangat bersemangat”
Henry hanya tersenyum namun iya juga bingung apa
yang membuat nya akhir akhir ini berubah.
Bibi yang melihat henry merespon nya dengan
senyuman sudah sangat bersyukur dengan
perkembangan tersebut.
Setelah makan ia kekamar untuk mengistirahatkan
tubuhnya, Ia berbaring sambal menatap jendela. Henry
merenung sambal memikirkan apa yang membuatnya
lebih bersemangat menjalani hari hari nya tersebut.
Teringat Kembali sosok gadis yang pernah membuatnya
memiliki rasa penasaran itu. Ia sangat ingin
menghampiri rumah di tepi danau itu, namun langit
berkata lain. Suara yang rintik yang semula hanya pelan
menjadi sangat keras, Hujan sore itu mengguyur seluruh
rumah di desa. Henry mengurungkan niatnya yang ingin
menuju rumah tepi danau itu, Ia melanjutkan berbaring
di Kasur ternyamannya itu. Kedua bola mata indah itu
seolah menutup sendiri seperti ada yang menggerakkan.
Ia tertidur pulas, Namun di tidurnya yang sangat
nyenyak itu ia bermimpi bertermu sang gading. Sang
gadis sedang berdiri dengan kaki telanjang di hadapan
Henry dan bertanya
“mengapa kau tidak kerumahku tadi siang”
Henry hanya terdiam, sosok gadis itu seolah memudar
seperti lukisan yang pudar. Henry terbangun dan ia
terlihat terkejut akan mimpinya yang terlihat sangat
nyata itu.

Anda mungkin juga menyukai