Anda di halaman 1dari 506

Kolektor E-Book

Misteri Gadis Bergaun Putih


Karya Abdullah Harahap
Pembuat Djvu : Zona Djadoel
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri
Situbondo
Selesai di edit : 22 Juli
2018,situbondo
Ebook di persembahkan oleh
Group Fb Kolektor E-Book
Selamat membaca ya !!!
***

PEMBUKA CERITA
Pertama kali aku melihat
rumah itu. perhatianku sudah
tertarik. Letaknya di pinggir
kota. berbatasan dengan daerah
kabupaten yang berhawa sejuk
dan nyaman. Rumah-rumah di
sana berjauhan satu sama lain.
Tetapi setiap orang mengenal
dan merasa dekat kepada
tetangga-tetangganya. Karena
bukan Jalur ekonomi, maka lalu
lintas tidak begitu ramai
sehingga tidak terasa
mengganggu biar pun rumah itu
berada di pinggir jalan.
Halaman depannya agak
sempit. memang
Tetapi tidak menyesakkan.
Karena di situ tumbuh sebuah
pohon cemara, dikelilingi oleh
rerumputan yang tumbuh Subur
dan tanaman bunga yang segar
serta teratur manis. Konon
selain penghuni-penghuni
sebelumnya masih ada tangan
lain yang dengan penuh kasih
sayang merawat taman kecil itu
dengan telaten. Mungkin ada
benarnya. Karena rumah mungil
itu lebih sering kosong daripada
diisi. Dalam keadaan kosong itu,
hampir tidak ada orang yang
berani mendekati rumah bahkan
pekarangan. apalagi untuk
memasukinya.
Rumah itu berhantu, kata
orang.
Sayang sekali. Padahal
halaman samping nya
senantiasa bersiram matahari
pagi yang hangat, dengan
pemandangan sawah menghijau
bagai beledru di bagian
belakang, sebuah anak Sungai
nun jauh di bawah serta
pegunungan yang kelabu di tepi
langit. Belum lagi rumah itu
sendiri. Meski kecil namun di
bangun menurut selera yang up
to date. Tembok depan diberi
ukiran. berkaca lembut. satu
pandang yang lebar dengan
plafon berlapis mozaik imitasi
berwarna merah hati. kontras
dengan dinding yang dicat
dengan warna cream.
Semua itulah yang membuatku
terkesan
Hawa yang sejuk. Suasana
yang tenang sangat serasi untuk
orang seperti aku yang mau
bekerja tanpa diganggu oleh
orang lain atau riuh rendahnya
lalu lintas di jalan.
Tetapi. sungguhkah
ketenteraman ada di rumah itu "
***
SATU
Aku turun dari bus menjelang
senja. dengan langit yang
kemerah merahan. Barang
bawaanku tidak banyak. Hanya
sebuah koper pakaian, sebuah
tas plastik besar berisi
perlengkapan sehari hari. Dan
tentu saja, sebuah mesm tik
portable yang menunjang
kehidupanku selama ini. Mesin
tik yang tuts-nya hanya bersedia
menari-nan apabila suasana
sepi dan menyenangkan.
Beberapa orang tetangga telah
melihat aku turun dan bus
Bawaanku yang tidak
seberapa mereka angkat tanpa
menghiraukan protesku sama
sekali, karena jumlah yang tidak
banyak itu toh dapat
kuselesaikan sendiri. Setelah
menumpukkan barang barang
itu di salah satu pojok mereka
meriungiku di ruang tamu.
sementara seorang gadis kecil
pergi ke dapur untuk
menghidangkan teh.
Kami berbincang-bincang
sampai bedug Magrib bertalu
dari masjid.
Kebanyakan yang kami
percakapkan adalah tentang
pekerjaan atau tempat-tempat di
mana aku tinggal sebelumnya,
sedangkan mereka menceritakan
segala sesuatu yang perlu
kuketahui di daerah tempat
tinggalku yang baru. Ramah dan
menyenangkan sekali sambutan
mereka. Aku berani mengatakan
begitu karena. tidak seorang pun
di antara panitia penyambut itu
yang mau
menyinggung-nyinggung
persoalan yang buruk mereka
maupun aku sendiri. tidak suka
untuk membicarakannya.
Padahal, sebelum ini, mereka
begitu gencar menyerangku
dengan pertanyaan yang
bertubi-tubi:
'Apa" Rumah itu" Anda ingin
menyewa nya?"
Pertanyaan-pertanyaan yang
jelas tidak memerlukan jawab.
Disertai geleng-geteng kepala.
"Sudahkah Anda dengar
kisah-kisah aneh di seputar
rumah itu" Bahwa ada penunggu
nya" Bahwa orang tidak pernah
betah berlama-lama
menempatinya, bahkan ada yang
jatuh sakit dan hilang ingatan
ketika meninggalkannya"'
Pembeli rumah yang terakhir.
telah menceritakan semua
kisah-kisah yang mendirikan
bulu roma itu kepadaku, ia
sebenarnya mau menjual dengan
harga yang cukup murah bahkan
menurut dia bisa rugi. Akan
tetapi ia cukup puas ketika
kujelaskan bahwa aku hanya
punya kesanggupan untuk
mengontrak dua
tahun.
"Biarlah." Ujarnya "Daripada
dibiarkan kosong berlama-lama.
Perabotan di dalamnya boleh
Anda manfaatkan. Lengkap
semua Cuma-cuma. Dan tentang
rumah ini.... Yah! Siapa tahu.
suatu ketika kelak, Anda bisa
membelinya. Tentu saja dengan
catatan. kalau Anda betah
tinggal di sini'"
Yah. mudah-mudahan aku
betah. Karena begitu aku
melihat rumah ini, aku telah
merasa terkesan. Mereka
tentunya tidak bermaksud untuk
menakut-nakuti aku. Semua itu
didorong oleh itikad baik. agar
aku tidak merasa tertipu atau
menjadi korban seperti yang
lain. Mereka adalah
orang-orang yang ramah dan
ingin bersahabat baik kepada
setiap orang. Dan itu telah
mereka buktikan hari ini. ketika
mereka menyambutku dengan
ramah tamah pada saat pertama
kali kuinjakkan kaki di rumah ini
sebagai penetap yang sah.
Alangkah baik hatinya
tetangga-tetanggaku itu.
Senja ini.
Karena setelah aku bersikeras
untuk tinggal di sini dan kini
barang barangku telah mereka
bawa masuk. tetangga
tetanggaku itu memperlihatkan
wajah yang cerah selama
bercakap cakap.
'Kami senang punya tetangga
baru." kata mereka. "Semoga
betah. Kalau perlu apa apa.
beritahulah kami. Tidak usah
segan-segan.
Anggap kami semua
keluargamu sendiri "'
Tentu saja aku sangat
berterimakasih
Dan tetap tersenyum manis.
ketika mereka akhirnya pergi
untuk kembali ke rumah masing
masing. Meski waktu pamit,
mereka tidak dapat
menyembunyikan wajah wajah
cemas dan mata menyinarkan
kekhawatiran.
Sepi menyentak, setelah aku
tinggal sendirian
Selama beberapa saat aku
duduk tercenung. memandangi
suasana di sekelilingku
Rumah itu bertingkat.
Bagian bawah. di mana aku
duduk sekarang. merupakan
ruangan serba guna. Luas nya
tiga kali empat meter, berlantai
jubin warna cream. sama
dengan warna cat dinding.
Selain barang-barang bawaanku
yang tertumpuk di pojok dekat
tangga ke atas. terletak
seperangkat kursi dan meja
tamu tak jauh dari pintu keluar
masuk. Di tengah tengah, meja
makan ukuran sedang, tegak
dengan diam dikelilingi oleh
empat buah kursi yang diberi
jok.
Sebuah lemari makan dengan
perabotan lengkap diletakkan di
pojok kanan. Di seberangnya.
sebuah Sice keCil di atas mana
ada sebuah jambangan yang ..
Aku terkesiap.
Aneh. Siapa yang telah
memetik bunga dari halaman
depan dan menyusunnya dengan
indah pada jambangan itu"
Ketika kutinggalkan rumah ini
setelah menandatangani surat
kontrak, jambangan itu kosong.
Hem. Mungkin anak gadis
tanggung yang tadi
menghidangkan teh ketika aku
serta orangtua dan tetangganya
yang lain bercakap cakap.
Tetapi, ah. Nanti dulu!
Seingatku. anak itu hanya masuk
dapur. Dan baru keluar rumah
ketika yang lainnya juga pamit.
Apakah telah ada seseorang
yang memasuki rumah setelah
aku pergi" Tidak. Tidak
mungkin. Karena pintu keluar
masuk satu-satunya ke rumah
itu, kutinggalkan dalam keadaan
terkunci. Lagipula menurut
desas desus, jangankan untuk
masuk. Untuk berkeliaran di
sekitar rumah ini pun orang
tidak berani,
Aku berprkir keras.
Namun tak melihat gambaran
yang jelas. Siapa yang telah
menaruh bunga di jambangan
itu. Bunga-bunga yang masih
segar, enak dipandang.
menambah seri ruang di mana
aku duduk. tetapi yang
perlahan-lahan membuatku
sadar akan sesuatu.
Naluriku mengatakan.
seseorang telah memetik
kemudian menempatkan
bunga-bunga itu di jambangan.
Dan orang itu. tengah
mengawasiku diam diam!
Aku menarik nafas.
Lalu bangkit perlahan lahan.
Percuma saja aku
memperhatikan kesana ke mari.
karena tidak ada seorang
manusia pun di dalam rumah
kecuali aku sendiri. Dan tidak
pula ada yang mengintip di balik
kaca jendela. Waktu masih
berada di dalam bus.
selangkanganku sudah terasa
menggigit. Tetapi ketika
tetangga tetangga itu muncul
lalu menyambutku dengan
ramah tamah. hal itu telah
kulupakan. Kini terasa kembali
menyentak-nyentak.
Aku berjalan ke sebuah pintu
tertutup yang bersebelahan
dengan dapur. Entah mengapa,
aku sempat tertegun di depan
pintu selama beberapa detik.
Tetapi ketika akhirnya pintu itu
kubuka, aku tidak melihat ada
orang di dalam. Yang ada
hanyalah bak mandi yang penuh
air, gantungan untuk handuk
dan pakaian ganti, sebuah
gayung, sebuah ember plastik
dan kakus yang lubangnya
menganga diam.
"Jadah!" aku memaki diri
sendiri. "Dasar tukang
mengkhayal!"
Lantas. aku membuka
resluiting celana. Karena malas
untuk melepaskannya aku tidak
berminat untuk jongkok. Seraya
berdiri aku mengangkangi
lubang kakus dan. .
seeeeerrrrrr! Air kencingku
mengalir deras. setelah sekian
lama terpaksa dibendung.
Bunyinya keras dan
mengejutkan. sehingga aku
tersentak. kemudian
tersenyum-senyum. Malu pada
diri sendiri.
Aku masih tersenyum-senyum.
ketika keluar dari kamar mandi.
Kubetulkan letak celana
seraya berjalan ke arah tangga,
dibawah mana tadi
tetangga-tetangga meletakkan
barang bawaanku. Tenang
tenang saja aku melangkah,
sambil bersenandung dengan
suara di hidung. Lalu,
mendadak, aku tertegun
Barang barang itu tidak ada di
tempatnya'
Aku mengernyitkan dahi.
Bingung! Bukankah tadi mereka
meletakkannya di sini" Dan
belum sempat memindahkan
ketika pamit" Dengan heran, aku
menatap ke seantero ruangan,
Lalu kembali aku tertegun. Pintu
depan terbuka. Lebar. Udara
yang dingin menusuk tulang.
merembes masuk ke dalam
dengan leluasa. Aku menggigil.
Baik koper. tas, kotak mesin tik
dan lain lainnya, sudah
berpindah tempat ke teras
Terkejut aku segera bergegas
ke pintu.
Kupandangi barang barang
bawaanku itu dengan teliti.
Tidak ada yang terbuka atau
kurang salah satu bagiannya.
Diletakkan di sana begitu saja,
seolah bukan barang berharga
apa apa. Dengan seksama aku
memandang ke sekitar. Sepi
Tidak ada siapa Siapa. baik
yang bersembunyi maupun yang
lewat di jalan. Cahaya temaram
menyentuh bumi, membuat jalan
raya tampak hitam legam.
Malam sudah mulai merambat.
"Aneh." gumamku. sendirian.
"Apakah mereka meletakkannya
di sini, bukan di bawah tangga?"

Seraya berpikir-pikir dengan


bingung, barang-barang itu
kumasukkan kembali ke dalam
rumah. Setelah itu pintu kututup.
Lalu kukunci. Dan tertegun lagi.
Waktu mereka pamit. apakah
pintu dalam keadaan terbuka.
atau tertutup"
Aku tegak dengan diam.
Dan merasa. betapa aku
diawasi seseorang. Orang yang
tidak kuketahui siapa. di mana.
mau apa, tetapi orang itu ada.
Tidak di luar rumah. demikian
aku membatin. Melainkan di
dalam sini!
Kuawasi sekeliling ruangan
bawah itu Meja dan kursi maSih
tetap di tempatnya semula.
Demikian pula lemari makan.
Sice kecil. jambangan dengan
bunga-bunga segar. Pintu dapur
terbuka Tampak seperangkat
perabotan terletak menurut
susunannya. Di sebelahnya.
pintu kamar mandi juga terbuka,
Dan dari tempatku berdiri.
hanya kelihatan sudut tepi bak
air, lalu sedikit temboknya yang
kelabu. Pintu ketiga, kamar
pembantu. tertutup.
Mataku bergerak ke tangga.
Memanjatinya satu persatu.
sampai ke atas, dan berharap
ada seseorang yang berdiri di
salah satu anak tangga. Tidak
ada siapasiapa. Kecuali anak
anak tangga yang terbuat dari
papan jati tebal dan tersikat
berSih. Pegangannya yang
coklat. tampak berkilat kilat
dalam jilatan lampu.
Anak tangga itu berakhir di
beranda atas. setelah menyiku di
bagian tengah. Pagar beranda
berdiri rapi dan rata. Tidak.
tidak pula ada seseorang yang
sedang berpegangan ke pagar
itu seraya memandang ke
bawah. Sedangkan dua buah
pintu untuk kamar tidur. tampak
tertutup rapat. Sepi. Dan
lengang. Aku menahan napas.
Alangkah memalukan. kalau
aku terpengaruh oleh semua itu.
"Bah!" rutukku. kering. Lalu
kuangkat koper dan kotak mesin
tik dan mulai menaiki anak
tangga demi anak tangga.
Berdetak detuk bunyi sepatuku,
memecahkan kesepian dan
kelengangan yang menegangkan
itu. Suara langkah langkahku.
Itu memberi ketenteraman
tersendiri dalam diriku. dan
mengatakan bahwa aku berada
di rumahku sendiri.
Kubuka pintu yang pertama.
Gelap. Tanganku meraba ke
tembok sebelah dalam. Setelah
menemukan stop kontak. lampu
kamar kunyalakan. Terkejap
sebentar oleh cahaya terang
benderang. aku mengawasi
ruangan. Pemilik rumah yang
lama tidak saja telah
menyediakan tempat tidur besar
dengan kasur yang tebal. tetapi
juga sprei dan sarung bantal
yang bersih. Ada sebuah toilet
berkaca tunggal. dengan lacilaci
yang aku tahu. dalam keadaan
kosong. Kecuali sebuah sisir
yang terletak di depan kaca.
Lemari letaknya sejajar dengan
tempat tidur. di antaranya
terdapat jendela.
Ketika dua hari yang lalu aku
melihat kamar ini, aku telah
memutuskan bahwa kamar itu
akan kusediakan untuk tamu
atau teman teman yang suka
berkunjung Barangkali. bila aku
telah punya cukup uang untuk
membeli rumah dan
perabotannya aku akan
menikah. Dan kamar ini akan
kutempati bersama istriku. Dan
untuk kamar kerja.. .
Aku berjalan ke pintu yang
lain, membuka dan menyalakan
lampu di dalam. Tempat kamar
kecil itu lebih sesuai untuk
seorang bujangan seperti aku.
Tidak ada t0ilet yang
mengganggu, dan pintu
lemarinya diberi kaca. Sebuah
meja keCil dapat ditempatkan
dekat jendela, sebuah keranjang
sampah di pojok, sebuah kursi
atau kalau perlu dua, karena
yang satunya lagi bisa
dipergunakan melonjorkan kaki
untuk mengendurkan otot otot
yang kejang karena duduk terus
menerus. Dengan perlengkapan
itu, kamar toh maSih berasa
lapang .
Merasa puas aku masuk ke
dalam
Kotak mesin tik kusimpan di
atas lemari. Pemilik rumah telah
menjanjikan sebuah meja berlaci
besok Siang untuk tempat mesin
tik dan aku bisa bekerja segera.
Seraya memuaskan diriku
dengan rasa kagum serta
terharu atas kebaikan pemilik
rumah. aku membuka koper dan
memindahkan semua isinya ke
dalam lemari. Tempat di situ
maSih cukup lapang, dan
untuk tidak membuat
pemandangan yang pepak maka
koper kusimpan saja di lemari.
Kemudian aku keluar dari
kamar.
Selama dua tiga detik, aku
tegak di beranda
Memandang ke bawah dan
berharap masih ada barang
barang yang telah berpindah
tempat. 'Ternyata tas plastik
beserta perlengkapan
seharihari. kardus beriSi kertas
kertas, map map dan
perlengkapan mengetik lainnya
maSih terletak dekat pintu.
Kuturuni tangga dengan detak
detuk sepatu yang memberi
irama musik menyenangkan di
tengah tengah kesepian rumah.
Hem, tape deck plus cassette
yang dipinjam si Parlan. harus
kuambil pada waktunya. Aku
memerlukan musik yanq
sesungguhnya. untuk menemani
kesendirian di rumah ini,
terutama kalau aku sudah mulai
bekerja.
Setelah menyimpan segala
sesuatu pada tempatnya. aku
memeriksa pintu dan jendela.
Habis itu mandi. Setelah
menghabiskan setengah gelas
teh dan membaca selembar surat
kabar yang sempat kubeli dalam
perjalanan. aku kemudian
terbang ke alam mimpi. Dan
segera aku mendapatkan tidurku
yang pulas tanpa ada yang
mengganggu sama. sekali,
Dalam tidurku aku bermimpi
melihat seorang gadis.
Aku tidak mengenalnya. tetapi
aku menyukai gaun malamnya
yang putih, rambut hitamnya
yang terurai panjang, raut
wajahnya yang menarik dengan
senyum serta tatapan mata yang
penuh rahasia. Rasanya ia
beberapa kali berusaha
mendekatiku, tetapi tiap kali aku
bergerak untuk
menyongsongnya. ia segera
menjauh dengan wajah
ketakutan, kemudian menghilang
di balik tabir kabut yang putih
seperti salju.
Tidak ada kesan yang kualami
dari impian itu sehingga aku
segera melupakannya begitu aku
terbangun keesokan paginya.
Toh hanya bunga bunga tidur,
yang tumbuh. berkembang, layu,
kemudian menyerap hilang ke
dalam tanah untuk kemudian
berpadu dan tumbuh dalam
bentuk yang lain.

***

DUA
Angin pegunungan yang segar
menyeruak ke kamar ketika
jendela kamar kubuka. Lembah
hijau menyegarkan mata.
Rumah rumah penduduk
berserakan di sebelah sana, di
antara pepohonan rimbun
menghadap anak sungai. Kalau
saja bagian bawah rumah ini
tidak ada tembok batu yang
kukuh. tentulah aku segan untuk
tidur di kamar atas. Lumut hijau
coklat serta tanaman rambat
menyemaki tembok batu itu dan
di sana sini sudah terlihat rekah
rekah menganga. Pemilik rumah
mengatakan tahun depan ia
punya rencana melapisi tembok
batu itu dengan yang lebih baru
dan kuat.
"Tetapi percayalah.
Penahanan itu masih sanggup
berdiri untuk selama paling
sedikit enam tahun.' katanya
meyakinkan. Aku percaya Saja.
karena ia adalah orang yang
baik dengan menceritakan desas
desus mengenai rumahnya. serta
memberikan perabotan lengkap
untuk kumanfaatkan secara
cuma cuma
Selesai sarapan pagi aku
mengunci rumah. Dengan
sebuah map berisi berkas-berkas
aku menemui er-te kemudian
er-we untuk memenuhi
formalitas sebagai pendatang
baru. Mereka sangat ramah dan
menyenangkan. Dan mereka
punya pertanyaan yang sama.
begitu kami bertemu:
"Tidur nyenyak tadi malam,
Nak Doli'?"
"Sangat nyenyak." aku
mengakui. 'Habis, letihnya
enggak kepalang dalam
perjalanan ke mari.'
"Syukurlah," ucap mereka
dengan tulus. Namun jelas bisa
kutangkap sinar mata mereka
yang keheran-heranan. Aku
tidak bertanya mengapa. Selain
tidak pantas menanyakan
sesuatu yang tidak terucap, juga
karena aku sudah tahu apa
kira-kira yang akan mereka
utarakan. Tidur nyenyak! Tak
mungkin! Tanpa terganggu!
Aneh! Padahal orang orang
sebelum ini"!
Setelah urusanku selesai di
kedua pimpinan daerah itu aku
kemudian naik bus ke pusat kota.
Tidak banyak tempo yang
kubutuhkan karena ini adalah
sebuah kota kecil. Setelah
menjatuhkan sepucuk surat
untuk sebuah penerbit di
ibukota. aku menemui Parlan
untuk meminta kembali tape
deck serta cassettenya.
Bukannya membayar sewa
pinjam barang, ia malah
menawarkan sepasang speaker
bekas karena ia bermaksud
membeli speaker baru yang
lebih bagus. Karena harganya
sangat jauh di bawah harga
pasaran. dengan senang hati aku
membelinya.
Aku masih menyempatkan diri
berbelanja kebutuhan sehari
hari di sebuah toko. kemudian
pulang ke rumah.
Aku tiba menjelang sore. dan
menemukan sebuah meja berlaci
yang meski bersih dan
mengkilap namun jelas meja
bekas, sudah ada di teras.
Alangkah gembira hatiku karena
aku tidak melihat satu melainkan
dua buah kursi. Ah. jadi aku tak
perlu memindahkan salah satu
kursi meja makan ke kamar atas.

Barang berharga itu ditunggui


oleh salah seorang pesuruh.
"Tuan meminta maaf.' kata
pesuruh itu seraya setengah
membungkuk memberi hormat.
'Beliau telah menunggu cukup
lama, tetapi Oom belum pulang
juga. Jadi, ia tinggalkan saya di
sini untuk menanti Oom
kembali."
Setelah berbasa basi sebentar
kami berdua mengangkat meja
itu ke kamar tidur merangkap
kamar kerja yang kutempati dan
menyuSunnya dengan rapih.
Meja sice di ruang bawah ikut
pindah ke kamar atas, untuk di
pakai tempat tape deck. Pesuruh
masih membantu memasangi
kabel-kabel. Karena tidak mau
membuat kamar itu jadi sesak
sehingga pikiranku bisa tumpul
nanti. maka kedua speaker untuk
sementara diletakkan di
beranda. Satu di pojok. satunya
lagi di sisi tembok yang
mengantarai kedua buah kamar.
Meski pintu tertutup. Suaranya
toh masih terdengar ke dalam.
Malah lebih sejuk, lebih sayup
sayup dan sangat renyah
menyentuh telinga
'Kirim salam pada Pak
Hadiman." aku berpesan pada si
pesuruh ketika ia pamit untuk
pulang. "Tolong sampaikan
terimakasihku "
ia manggut manggut. dan
kelihatan ragu ragu ketika aku
memberikan tip. Tetapi ia tidak
memprotes ketika uang itu
kuselipkan langsung ke kantong
kemejanya
Menjelang ISya. dua orang
tetangga datang menjenguk
"Senang melihatmu sehat
sejahtera " kata mereka tanpa
mengapa mereka harus senang
'Tidak ada seSuatu yang bisa
kami bantu?"
'Terimakasih, Pak. Hari ini
tidak entah besok "
"Kalau begitu. baiklah Kami
pergi dulu ya?"
'Eh. koq cepat cepat. Belum
minum ..."
'Ah. tak usah repot repot. Lagi
.kami nanti terlambat ke masjid '

Setelah mereka pergi. baru


aku menyesal. Tetapi hanya
sebentar. Tak mungkin rasanya
mengharapkan seorang
pembantu dari penduduk di
sekitar rumah ini. Menurut yang
kudengar, tidak ada pembantu
yang tahan diam di Sini lebih
dari dua tiga hari. Pernah ada
seorang dua pembantu yang
didatangkan dari kota atau
kampung yang jauh. NaSibnya
sama saja. Dengan muka getir.
minta pamit buruburu. dan
bersedia tidak diberi ongkos
atau
dibayar untuk pekerjaan
mereka sebelumnya. asal
diperkenankan pergi.
"Ahhhh." keluhku "Apa boleh
buat Mungkin dengan tinggal
sendirian aku merasa lebih enak.
Dan kesibukan sehari-hari bisa
mengurangi rasa sepi .. "
Aku telah makan di sebuah
restoran sehabis belanja di toko.
Karena itu aku hanya
membuatkan kopi kental di
dapur. menghangatkan dua
potong roti bakar lalu
membawanya ke atas. Ketika
akan menaiki tangga mataku
terpaut kepada jambangan
bunga. Karena Sice tempatnya
semula Sudah direbut oleh tape
deck, jambangan itu terpaksa
berpindah tempat ke atas mega
makan.
Trdak ada bunga bunga di
dalamnya
Apakah aku atau pesuruh tadi
telah membuangnya keluar.
tanpa sadar" Seraya memikirkan
hal itu dengan tak terlalu serius,
aku masuk ke dalam kamar
dengan maksud menyelesaikan
ketikanku yang tertunda sebelum
pindah ke rumah ini. Tetapi baru
saja aku meletakkan mesin tik
dan perlengkapannya di atas
meja, ketika terdengar suara
berdentam dentam di bawah.
Suara benda-benda berjatuhan
atau . dijatuh jatuhkan!
Kaget. aku menghambur
keluar kamar.
Sepi menyentak. 'Tinggal
suara gaung yang resah. Dalam
sinar lampu utama tampak
posisi meja sudah berubah.
Keempat buah kursinya
berhumbalangan tidak karuan.
tergeletak jauh satu sama lain
dengan posisi yang
berbeda-beda. Jambangan di
atas meja, lenyap tak berbekas.
Aku tidak melihatnya baik di
atas meja, maupun di lantai atau
di dekat dekat kursi
Aku maSih terpesona
menyaksikan pemandangan yang
ganjil itu pada saat terdengar
suara berdesis disampingku.
Angin dingin menerpa kudukku.
Secara naluriah aku berpaling
seraya menarik mundur tubuhku
dari pagar beranda.
Alhamdulillah, aku selamat.
Jambangan yang kucari.
melayang seperti meteor
melewati tempat dimana aku
berdiri sebelumnya. Setelah
melesat dengan suara bersuit.
jambangan gelas itu hinggap di
tembok dengan suara ribut.
kemudian jatuh ke lantai
beranda Pecah berderai. Air
yang ada di dalamnya. tumpah
menggenangi lantai kayu.
Menimbulkan warna lembab.
merembes ke celah celah lantai.
Dalam kesepian yang
mendadak. terdengar bunyi air
menetes jatuh ke lantai bawah.
Tes. . tesss... tes-tess... tessss!
Aku bergidik
Dan memandang ke ujung
beranda. ke arah tangga dari
mana jambangan itu datang
menyerang. Tidak. Tidak
seorang makhluk pun ada di
sana, kecuali kesepian yang
mencengkeram. dan udara yang
perlahan lahan berubah dari
dingin menusuk menjadi hampa.
kemudian hangat seperti biasa.
Tetapi...
Kutajamkan telinga.
Dan aku mendengarnya.
Mendengar langkah-langkah
kaki yang bergegas menuruni
anak tangga demi anak tangga.
Seperti langkah kaki orang
berlari karena marah.
hei'" aku berseru. tanpa sadar.

Langkah langkah kaki itu


lenyap seketika.
Sepi lagi Mencekam.
Aku membasahi bibir yang
kering.
Lalu:
"Siapa di Situ?"
Tak ada sahutan. Juga tidak
langkah langkah kaki. Aku
berusaha lebih diam agar
pendengaranku lebih tajam.
Tetapi tidak ada helaan helaan
napas lain, kecuali helaan
napasku sendiri.
Mereka benar!
Tetangga tetangga, pemilik
rumah, atau siapa saja yang
pernah menceritakan tentang
rumah ini kepadaku. benar. Aku
telah mendengar dan melihat
buktinya. Tetapi sebaliknya. aku
telah bertekad untuk menetap di
sini, berarti, aku pun telah siap.
"Siapa pun kau..." aku
bergumam. rendah namun cukup
keras terdengar di rumah itu.
Bergaung, panjang. "Aku tahu
kau ada di sini. Aku tak tahu
siapa kau, dan mengapa kau
mengangguku....' '
Kutunggu sebentar.
Tetapi tidak ada reaksi. Hanya
sepi semata.
"Dengarlah " aku berkata
lebih keras 'Kutahu. kau adalah
manusia juga seperti halnya
aku'" dan dalam hati aku
mendengus tentu saja, karena
kau akan marah kalau
kukatakan kau ini hantu. setan.
roh gentayangan, makhluk
jahanam' Dengan mengutuk
demikian dalam hati. aku
mendapatkan keterangan dan
kekuatan Semangatku yang
sempat terbang menjadi pulih
perlahan-lahan.
"Bedanya." aku lanjutkan
dengan hati hati. 'Kau dapat
melihatku. sedang aku tidak
dapat melihatmu itulah
kelebihanmu. Tetapi camkanlah.
Aku juga punya kelebihan." Aku
dapat bergaul dengan orang
orang di sekitar sini, tanpa
mereka merasa takut kepadaku.
Sedang kau, tidak"
Sepi Lengang.
Masihkah ia ada di sana, di
salah satu tempat dalam rumah
ini'"
Aku tak yakin. Tetapi aku
melanjutkan juga:
"Aku sendirian di rumah ini.
Kau juga. Atau kau punya teman
lainnya" Kukira tidak, karena
hanya langkahmu saja yang
kudengar" Jadi kau juga
sendirian seperti aku. Karena
itu, tidakkah kita lebih baik
menjalin hubungan sebagai dua
orang bersahabat?"
Bungkam. Tak ada jawaban.
Mungkin ia telah pergi Atau,
mungkin ia takjub akan diriku
Kalau saja ia berterus terang
menyatakannya. akan
kuterangkan kepadanya. Bahwa
aku pernah berguru kepada
seorang lakilaki tua bangka
yang hidup menyendiri di
daerah pedalaman. Orang tua
itu tidak saja tahu tentang
akhirat, tetapi juga la tahu
tentang dunia dan segala isinya,
Yang berwujud. atau yang gaib
Aku juga sudah beberapa kali
meneliti kebenaran dan ucapan
guruku itu. Baik ketika aku
melakukan perjalanan 'jauh
untuk mencari ilham, atau
menjaga kondisi pisik dengan
menyepi ke gunung dan
menyeruak hutan hutan
belantara, bahkan di tengah
kehiruk pikukan kota
metropolitan. Namun sejauh itu,
aku selalu mampu
menghadapinya dengan selamat.
Karena aku mempunyai patokan
yang sudah diperingatkan guru
"Hindarilah roh-roh jahat.
Tetapi kasihanilah roh roh yang
baik "!"
Sayang, sepi sekali rumah ini.
Tidak terdengar lagi apa apa.
kecuali langkah kakiku menuruni
tangga. suara Suara kaki meja
atau kursi yang bergeser ketika
kubereskan ke tempatnya semula
Dapur tidak berubah. Kamar
mandi pengap. Tetapi segala
sesuatunya tetap pada
tempatnya. Hati-hati aku
membuka pintu kamar
pembantu. Berderit nyaring. dan
membuat aku bergidik sesaat
Tak ada orang di dalam.
Isinya pun, kelihatannya bukan
untuk seorang pembantu. Meski
ada tempat tidur tetapi Sudah
terlipat, ada sebuah rak, tetapi
berdebu. Di kamar itu juga
ditumpukkan beberapa.
perabotan yang tidak terpakai.
Jadi, demikianlah. kamar ini
telah berubah jadi gudang
darurat. Sungguh lucu kalau
mengingat. letaknya justru di
ruangan bawah di mana tuan
rumah atau tamu duduk untuk
istirahat atau makan.
Aku kemudian naik ke atas
kembali.
Setelah memandang ke bawah,
berharap timbul reaksi dari
tindakanku namun sia Sia. aku
masuk ke kamar. Kuhidupkan
tape dan memutar sebuah
casette. Aku memilih musik
Fausto Papeti yang lembut
Volumenya sengaja kubuat
rendah. Di samping karena aku
maSih mengharapkan terjadinya
sesuatu. juga karena aku
teringat pesan guru
"Sebelum kau ketahUi roh
bagaimana yang
mengganggumu. pertama tama
hormatilah dulu kehadirannya.
Jangan berbuat sesuatu yang
bisa membuatnya marah...."
Aku telah memutar lima buah
casette. menghabiskan lebih dari
sebungkus rokok sehingga
kamarku pengap oleh asap
tembakau. dan kel0pak mataku
telah memberat. Toh siasia juga.
Hasratku mengetik telah pula
hilang dengan sendirinya.
Dengan malas aku rebah di
pembaringan dan segera tertidur

Ia muncul lagi Gadis bergaun


putih itu
Tetapi hanya sebentar.
Kemudian aku melihat pak er te.
tertawa membahak. Lalu wajah
guru yang kesal. Paling akhir
aku lihat adalah wajah
Pemimpin Redaksi sebuah
majalah terkemuka di ibukota. Ia
sedang marah marah pada
bagian tata usaha sambil
menyebut-nyebut namaku. Aku
tidak tahu mengapa ia marah.
Dan mengapa namaku
dibawa-bawa.
Mungkin karena aku menunda
lagi ketikanku. malam ini.
Padahal. aku sudah berjanji
akan mengirimkannya segera.
karena kata mereka naskah di
Redaksi sudah habis.
"Bah" aku bersungut sungut
dalam tidurku. "Honor yang kau
bayarkan untuk naskah ini. toh
sudah habis juga. Kupakai
ngontrak rumah!"
Dan aku tersenyum. ketika
melihat si Pemimpin Redaksi,
mendelikkan mata dengan
marahnya.
***

TIGA
Hari berikutnya. boleh dikata
tiada gangguan yang berarti.
Mengikuti kebiasaan. aku
bangun pagi-pagi benar. Selama
beberapa saat kurasakan
suasana asing di kamarku. Aku
termangu-mangu. Bingung.
Kemudian kusadari bahwa ini
bukan kamar tidurku yang lama.
Kamar tidurku sebelumnya
lumayan luas, berperabotan
serba lengkap. Kamar mandinya
bersatu pula. Kloset dan bak
mandinya terbuat dari porselen.
serta dilengkapi mesin listrik
pemanas air. Sayang, paviliun
yang kutempati berhadapan
langsung dengan gang satu
satunya yang memotong dua
buah jalan raya satu jalur. Gang
itu tidak pernah diam. sehingga
aku baru dapat bekerja tekun
setelah malam mulai larut
Begitu kudengar tentang
rumah kecil di pinggir kota.
maka kuputuskan untuk pindah.
Karena tahu. uang sewa kontrak
paviliun tahun berikutnya.
seperti biasa akan melonjak
kembali. Sang pemilik tahu
benar kalau honorariumku dari
tahun ke tahun makin melangit
saja.
ia seorang pedagang tulen.
Tidak memiliki jiwa seni sama
sekali. Kecuali. seni menghitung
ledakan penduduk yang
mengakibatkan kebutuhan
semakin meningkat. Sialnya. dia
tahu pula mengimbanginya.
Makanan yang dihidangkan tiga
kali satu hari. selalu bervariasi
dan tetap saja terasa enak di
lidah. Boleh ke luar masuk
paviliun kapan aku suka. Boleh
bawa kawan satu rombongan
untuk berpesta pora .. asal biaya
keluar dari kantongku sendiri.
Penghuni rumah induk tidak
pula terusik bunyi mesin tikku
yang ribut di tengah malam buta

Masih ada daya tarik lain.


Anak gadis tuan rumah. Mona
yang lembut. Mona yang perasa.
Ia merupakan salah seorang
penggemarku yang paling setia.
dan sekaligus beruntung.
Kukatakan beruntung karena ia
sudah membaca novel-novelku
jauh sebelum novel itu dikirim ke
percetakan. DI luar waktu
sekolah atau belajar, ia sengaja
mencari-cari alasan untuk
membaca novelku. Alasan
terbaik yang mustahil kutolak.
tentu saja' Mona bersedia
mengoreksi setiap lembar
naskah yang keluar dari mesin
tik.
Kudengar ayahnya pernah
protes. Kepada anak gadisnya
dia bilang: "Minta supaya kau ia
angkat sebagai sekretaris
pribadi."
Kalem, anaknya menjawab.
"Memang itulah yang kulakukan
'
"Dan?" tanya ayahnya
bernafsu: "Berapa
kau dia bayar?"
Tentu saja ayahnya
mencak-mencak setelah
mengetahui Mona tidak minta
bayaran. Dibolehkan membaca
naskahku yang "masih hangat"
saja dia sudah merasa bahagia.
Belum lagi kalau ia kubelikan
sesuatu sebagai hadiah. tiap kali
aku menerima honor. Semakin
besar honorarium yang
kuterima, semakin besar hadiah
yang kubelikan untuk Mona.
Lalu ayahnya mulai curiga.
"Jangan jangan kau dan dia
sudah..
"Usah kuatir, Papa," potong
Mona, sebagaimana kemudian
ia ceritakan padaku selagi
mengoreksi naskah. "Papa'kan
sudah mendidikku begitu keras.
Supaya jadi anak yang tahu
menjaga diri. Mana aku mau
membuat malu orangtua.?"
Sang ayah bangga Dan
percaya. Tidak tahu, kalau
anaknya sering naik ke tempat
tidurku. kalau kepalaku lagi
mumet. "Mari, biar kuringankan
beban otak Abang," katanya
penuh pengertian. Ia memang
sudah tidak perawan ketika
Mona kutiduri pertama kali,
"Aku mudah jatuh cinta "
katanya. Dan semudah itu pula.
Mona melepaskan cintanya.
Kalau tidak karena ditinggal
pacarnya ya karena ia sendiri
yang memutuskan angkat kaki.
Anehnya ia mampu berbuat
bagaimana caranya kalau putus
cinta, ia atau bekas pacarnya
tidak menyimpan sakit hati.
Malah kebanyakan mereka,
tetap ia gauli. tetapi cuma
sebagai sahabat
Aku termasuk salah seorang
yang ia anggap sahabat.
menikah dengan Abang?"
jawabnya tergelak. ketika suatu
hari kucoba mengusik isi
hatinya.
"Kelak kalau aku harus
menikah, suamiku mesti punya
pekerjaan tetap. Punya hari tua.
Ia juga kuharap seorang laki
laki tampan. bertubuh kuat
kekar. Tubuh yang akan
menghancurkan aku sampai
habis habisan sehingga tidak
punya kesempatan berpikir
kelaki-laki lain...".
Itulah Mona pikirku
Lembut dan perasa, sehingga
perpisahan yang terjadi selalu
berlangSUng dengan baik. Satu
satunya kekurangan Mona
hanyalah' tidak pernah puas di
atas ranjang. Aku telah
berusaha semampuku untuk
memberinya kepuasan yang ia
dambakan .Tetapi kutahu. aku
sering gagal. Karena ia pada
waktu waktu tertentu. akan pergi
menemui laki laki yang lain. Ia
berterus terang mengatakannya
padaku. Dengan suara wajar.
dengan wajah polos tak berdosa.
Suara dan wajah itu pulalah
yang membuat orangtuanya
tidak pernah menaruh curiga
atas perilaku Mona.
Kecuali padaku. Sebab hanya
aku seorang yang paling sering
dan paling rapat dengan anak
gadisnya. "Jangan kau mau dia
rayu!' begitu selalu induk
semangku menasehati Mona. "Ia
itu tidak punya apa apa. Bukan
tempat yang baik untuk
menggantungkan diri."
Aku tidak marah dicap serupa
itu.
Aku tahu siapa diriku. Tidak
betah kerja kantoran. apalagi
dengan gaji yang tidak
memadai. Aku sudah terbiasa
memegang uang banyak, hasil
novel-novelku. Terbiasa pula
menghabiskan sebanyak yang
kuterima. Seorang suami yang
punya hari tua, kata Mona. Itu
bukan aku. Seorang pengarang.
tidak punya pensiun.
Pensiun yang kuharapkan,
paling-paling mesin tikku tetap
berjalan. Tetapi sampai kapan"
Harapan terakhir tinggal pada
novel-novelku, yang semoga
kelak maSih laku dicetak ulang.
Sementara itu.
pengarang-pengarang baru
yang lebih berbakat, akan
semakin banyak mengorbit. Dan
pengarang pengarang tua. akan
semakin tenggelam. Tidak punya
gigi lagi untuk berlagak: "Bayar
sekian. atau naskah tidak
kukirim!"
Bunyi halus tetapi berisik,
menggugah lamunanku seketika.

Aku memandangi kamar


tidurku yang baru. Meja kerja
dengan mesin tik menunggu
dengan sabar di atasnya.
Keranjang sampah di p0jok.
Lemari berpintu satu, dan
wajahku yang tampak kusut
masai. Tidak ada sesuatu yang
bergerak di sekitarku. Tidak ada
bunyi apa
apa. keCUali keriut ranjang
ketika aku beranjak turun.
Tetapi tadi aku telah
mendengarnya.
Mendengar bunyi lembut.
Seperti mengaum. Atau seperti
mesin menderum yang terkedap.
Apakah "dia' mulai bertingkah
lagi" Bah! Rungutku malas.
"Dia" itu cuma mimpi!
Kudekati pintu. membukanya
Tak ada siapa-Siapa. Beranda
sempit di depan kamar, sepi
menyentak. Begitu pula lantai
bawah. Segala sesuatu terletak
di tempatnya semula. Meja dan
kursi kursi makan. perlengkapan
untuk menerima tamu
jambangan" Ah jambangan itu
Sudah tidak ada lagi. Melayang
tadi malam, dan jatu h berderai
di tempat aku kini berdiri.
Pecahannya telah
kubersihkan.
Namun satu dua serpihan kecil
maSih terlihat berkilat di bawah
kilauan lampu pada lantai
beranda. Genangan air sudah
mengering. Dari berharap
semua itu cuma mimpi belaka,
kini harapanku adalah: semoga
"dia" "belum bangun. Atau
kalau sudah bangun, sekarang
sibuk bersolek. Tidak teringat
untuk menterorku. Sementara!
Suara batuk tertahan.
membuatku terkerut lagi.
Astaga, siapa itu"
"Dia?" Batuk"
Menggigil karena dingin dan
sedikit seram, aku mendesah:
"Kau di situ..."' tanyaku seraya
mengawasi lantai bawah.
Sepi.
Lalu batuk tertahan itu
terdengar lagi. Datangnya dari
luar rumah. Aku lantas bergegas
menuruni tangga. Siapa tahu
ada tetangga menghendaki
sesuatu. Barangkali juga. tamu
jauh yang ingin berkunjung. Dia
atau mereka mengetuk pintu,
tetapi tidak kudengar...
Begitu pintu depan kubuka.
udara dingin menyergapku
seketika.
Aku sampai tersentak mundur
karena kaget. Terbiasa dengan
udara panas dan pengap di
tengah kota. udara dingin itu
membuat kulit mukaku bagai
tergigit. Setelah membiasakan
sejenak, kemudian aku
melangkah keluar rumah. Tidak
ada tamu.
Yang ada, sebuah mobil
berwarna gelap di seberang
jalan.
Kap depan mobil terbuka.
Waktu aku ke luar, seorang
laki-laki tampak sedang Sibuk
membetulkan sesuatu pada
mesin mobil. Rupanya bunyi
mesin mobil itulah yang tadi
kudengar. Tentunya tidak ada
orang lain bersama dia,
sehingga pengemudi mobil
terpaksa bekerja sendirian.
Cuaca subuh masih
remang-remang. Bukan waktu
yang baik untuk memperbaiki
mesin. Apalagi, tampaknya ia
tidak memakai senter.
Laki-laki itu menoleh ketika
mendengar langkahku melalui
pekarangan.
perlu bantuan?" aku bertanya.
Kap mobil ia hempaskan
tertutup.
"Tidak. Terimakasih," katanya.

Aku telah menyeberangi jalan.


Dan berdiri begitu dekat dengan
si lelaki. sampai aku dapat
mengukur tubuhnya kira kira
sama tinggi dengan tubuhku.
Hanya, ia lebih gemuk. Dan
samar-samar tampak wajahnya
berbeda usia sekitar sepuluh
tahun dengan aku sendiri. Wajah
itu gelisah. '
"Mau keluar kota?" tanyaku
ingin tahu. Mobil itu mengarah
ke daerah Kabupaten.
"He-eh."
"Apanya yang rusak?"
"Salah satu kabel busi rupanya
putus.?" katanya. seraya
mengawasiku dengan seksama.
"Tetapi sudah kuperbaiki
barusan. Oh ya... apakah Bung
penghuni baru di rumah itu?" ia
menuding ke rumah yang
kutempati.
"Benar."
"Hem..." ia tampak
berpikir-pikir.
'Kok tahu aku penghuni
baru?"
Laki-laki itu terkejut.
Kemudian tertawa. Parau
Jawabnya: 'Tak usah
berprasangka. Bung..."
"Oh tidak. Tidak. Mengapa
harus berprasangka?" aku ikut
tertawa. 'Pertanyaanku tadi...."
"Hem. ya. Ya. Begini Aku
sering lewat di Jalan ini. Rutin.
Sebagai perintang rasa bosan.
kuperhatikan apa saja yang
terlewat di kiri kananku. Jadi...
begitulah. aku merasa heran
rumah yang satu ini kok lama
sekali dibiarkan kosong tak
berpenghuni.' Ia tersenyum
sekarang. 'Boleh aku masuk?"
"Ke rumahku" Tentu saja. Aku
sendirian. dan senang sekali
kalau aku punya teman
ngobrol...."
"Bukan. Bukan," ia
menggelengkan kepala. "Bung
menghalangi jalanku."
Mengikuti lirikan matanya.
tahulah kalau aku telah berdiri
tepat di sisi pintu mobil. Segera
aku menyingkir. Membiarkan ia
membuka pintu mobil. masuk ke
dalam. kemudian menghidupkan
mesin. Tak seperti umumnya
mobil mogok, mesm hidup sekali
starter. Mesin mulus. pikirku
seraya menyimak mobil
berwarna gelap itu. Dari merk
dan bentuknya. tentu sebuah
mobil mahal rakitan terbaru
"PermiSi," ia pamit dengan
kaku.
"Benar benar tak ingin
singgah" Minum kopi?"
"Terimakasih. Aku harus
mengejar waktu."
Dan mobil melaju ke luar kota.
Lenyap di belokan meninggalkan
subuh yang menganga, lengang
dan dingin sampai ke sumsum.
Aku bergidik. Kembali masuk ke
rumah. Belasan meter dari
tempatku, tampak rumah
tetangga terdekat baru saja
hidup untuk menyambut
datangnya pagi.
Bak mandi lebih sejuk lagi.
Air. bagaikan es.
Karena itu aku pergi ke dapur.
Menjerang
sepanci besar air untuk mandi.
Setelah kumur kumur di
wastafel. aku menyedu segelas
kopi yang airnya kuambil dari
termos. Di kota, isi termos tadi
malam akan tetap panas sampai
malam berikutnya. Di Sini. Sial
betul. Isi termos tinggal hangat
hangat kuku. Kopi yang kusedu,
rasanya hambar. Tetapi
lumayanlah untuk 'nengurangi
kebekuan darah yang seolah
berhenti mengalir dalam tubuh.
Sambil menunggu air
mendidih, aku kembali ke kamar
tidur.
Tidak ada yang menahan
langkahku. Memang aku
berpikir tentang "dia". tetapi aku
"ga berpikir" bersikaplah wajar,
dan acuh tak acuh. Jangan
perlihatkan bahwa engkau
merasa takut!
Kubereskan saja. mesin tik dan
perlengkapan untuk bakerja.
Map kubongkar dengan
memperhatikan judul-judul pada
sampulnya. Setelah menemukan
judul yang kucari, map itu
kubuka .Isi ceritanya masih lekat
di kepala. Aku hanya membaca
halaman-halaman terakhir.
untuk dapat menyusun jalan
cerita lanjutannya selagi nanti
aku berendam di kamar mandi.
Turun ke bawah. air telah
mendidih
Kuangkat panci ke kamar
mandi. Kutuang kan ke sebuah
ember besar Kemudian siap
untuk mencampurnya dengar air
dingin dari dalam bak. Saat
itulah. gangguan pertama hari
itu kuterima.
Gayung lenyap!
Padahal belum seperempat
jam tadi aku masuk ke kamar
mandi. Kencing, dan menyiram
bekas kencingku dengan air
yang kusiuk pakai gayung di
bak. Gayung itu tadi
kucemplungkan begitu saja ke
dalam bak, dan kini Sudah tak
tampak lagi. Apakah telah
kujatuhkan"
Tidak.
Di lantai kamar mandi, tak
tampak gayung yang kucari.
Kusimak dasar bak. juga tak
ada. Karena tidak puas,
terpaksa tangan kujulurkan ke
dalam air. siapa tahu mataku
kurang awas. Aku sampai
meringis menahan sejuk
menuSuknya air itu pada
lenganku. Toh. sia-Sia. Gayung
itu tetap tidak kutemukan.
Hem. barangkali tadi aku
membawanya ke dapur waktu
mau menjerang air. Maka, aku
menuju tempat itu. Semua ada di
dapur. Perlengkapan, dan bahan
untuk kebutuhan sehari hari.
Termasuk bekas aku minum tadi
malam. yang belum sempat
kucuci. Kecuali. gayung.
Aku ke luar dari dapur dengan
muka merah.
Mengawasi ruangan di
depanku. mencari cari. Selain
takut, aku juga marah. Tanpa
berpikir panjang lagi. aku
mendengus: "Baiklah. Apa yang
kau inginkan?"
Tak ada sahutan.
Tak ada gerak atau
benda-benda bergeser
dari tempatnya!
"Hem," aku mendengus saking
kesal. "Kau pikir. tanpa gayung
aku tak dapat mandi ya" Oke.
Mari kita lihat..."
Entah pikiran sedang apa yang
mempengaruhi otakku. Seketika
itu juga aku telah berbuat
kurang waras. Sembari jalan
bergegas ke kamar mandi.
kutanggalkan piyamaku satu
persatu. dan kulemparkan
sekenaku di mana saja. Tinggal
celana dalam. Di bawah jilatan
lampu lantai bawah yang terang
benderang, celana dalam
perlahan lahan pula
kutanggalkan
Reaksi segera terdengar.
Langkah-langkah kaki berlari
lari kecil. sesekali tertegun,
kemudian berlari lagi semakin
jauh lalu hilang lenyap sama
sekali. Pas ketika itu aku telah
berada di ambang pintu kamar
mandi. bugil macam bayi. Dan
di bak, tampak gayung yang
kucari terapung apung di
permukaan air.
Hanya itu gangguan yang ia
perlihatkan hari itu.
Tetapi akibatnya.
konsentrasiku sudah keburu
buyar. 'Dia" lebih memenuhi
pikiranku, ketimbang lanjutan
naskah yang harus kuketik.
Entah sudah berapa puluh
lembar kertas kurobek saking
tak puas dengan cerita yang
kubuat. Semuanya terbang ke
tong sampah, sebagian tercecer
di lantai. Campur aduk dengan
abu dan puntung rokok. karena
asbak
sudah penuh. tiga gelas kopi
terbuang percuma ke perut yang
rasanya jadi kembung. Dua butir
telur rebus yang kumakan
sebagai sarapan pagi, tidak
dapat menolong.
Suntuk kepalaku baru
tertolong waktu siang harinya
dua orang tetangga datang
berkunjung. Mereka ngobrol
mengenai keadaanku setelah
menghuni rumah itu. Semua
kujawab. "Baik. tak kurang
suatu apa." sambil tak berhenti
mengunyah kueh dan pisang
yang mereka bawa sebagai oleh
oleh. Tertarik oleh caraku
mengunyah dan menelan. kedua
tamu kemudian ikut-ikutan
menghabiskan oleh oleh yang
mereka bawa. Sampai aku
menyindir 'Awas. nanti ditanduk
kerbau!"
Mereka cuma tertawa.
Namun jelas tidak puas.
karena jawabanku tetap sama:
semuanya beres, tak ada terjadi
apa apa. Dan sungguh sialan
benar: "dia. tidak bertingkah
sedikitpun sampai tamu tamuku
pamit pulang. Setelah
mengantar mereka ke pintu, aku
menghirup udara segar
beberapa lama di luar rumah.
Menyambut tegur sapa atau
anggukan tetangga yang lewat
di jalan. Menikmati sejenak
pemandangan sawah di
belakang rumah. menikmati
sungai yang mengalir tenang
nun jauh di bawah.
Lalu kembali menghadapi
mesin tik.
Dapat beberapa halaman. Dan
lonjakan lonjakan kaki yang riuh
rendah di lantai kayu beranda
kamar tidur. menghentikannya.
Aku
menghambur ke luar. dan
lonjakan-lonjakan kaki itu
berhenti dengan sendirinya.
Bukan karena aku berhenti
mengetik.
Melainkan. karena ada orang
mengetuk pintu depan.
Aku turun. membuka pintu dan
menyambut senyuman pengantar
pos yang menyerahkan sepucuk
surat kilat khusus yang
dialamatkan padaku.
Kutandatangani nota kirim.
memberikan tip sekedarnya
kemudian menutup pintu. Surat
pertama yang kuterima setelah
aku menempati rumah kecil di
pinggir kota itu datang dari
salah satu majalah yang memuat
cerita bersambung karanganku.
Bunyinya sudah dapat kutebak
selamat menempati rumah
baru," dan seperangkat kalimat
yang menyenangkan. diakhiri
dengan kalimat yang sangat
pahit: "Lanjutan cerber kami
tunggu. Paling lambat harus
sudah ada di meja redaksi. akhir
minggu ini!"
Dan. mereka telah membayar!
Aku termenung-menung.
membaca surat itu sekali lagi di
kamar. Berkecil hati, surat
kurobek dan kusatukan dengan
sampah di keranjang. Selama
setengah jam kuhabiskan dengan
duduk-duduk menunggu. Bukan
menunggu datangnya inspirasi.
Tetapi menunggu kehadiran
"dia'. Menelaah, siapa kiranya
"dia" Mengapa "dia" ada dan
menghuni rumah ini. Rumah
yang begitu manis.
menyenangkan dan suasananya
sangat serasi untuk orang
yang punya pekerjaan macam
aku ini. Kepada pemilik terakhir
malah aku sudah mengucapkan
tekad: 'Kuingin membeli. bukan
menyewa."
Masih kuingat apa jawab
pemilik rumah: 'Sebaiknya tunda
dulu pikiran untuk membeli.
Nak. Bukan kami tak butuh
uang. Melainkan, kami tak ingin
diumpat orang di belakangan
hari Nah. Sewa saja dulu. Mau
sebulan dua boleh" Mau
setahun. kami lebih gembira
lagi."
Tanpa berpikir panjang.
kubayar sewa untuk dua tahun.
Sebelum menerimanya. Pak
Hadiman mengingatkan: "...
salah seorang penghuni sebelum
kami, Nak; diketemukan mati di
kamar mandi. Kata dokter.
akibat serangan jantung. Tetapi
menurut banyak saksi mata,
wajah si mati bukan
memperlihatkan kesakitan.
Wajahnya memperlihatkan
ketakutan yang teramat sangat!"
Tetapi aku sudah jatuh cinta
pada rumah ini. pada pandang
pertama.
Dan soal-soal gaib. guru
kebathinanku sudah banyak
memberi petunjuk. Jadi aku
tidak panik lagi, ketika suatu
hari aku pernah ikut
memandikan jenasah yang
sekUjur tubuhnya ditumbuhi
sisik ular. Atau ketika menyepi
di sebuah desa, pernah ikut
memburu seekor babi hutan
yang berkeliaran masuk
kampung. Babi hutan itu baru
tertangkap setelah salah satu
kakinya ditebas putus oleh
seorang penduduk dan moncong
babi itu. terdengar teriak
kesakitan seorang manusia yang
memintaminta ampun. Dan
paginya, di bawah selimut kain
hitam. babi hutan menjelma jadi
manusia laki-laki setengah
umur. yang bercucuran air mata
saking tak kuat menanggung
penderitaan.
Cuma, roh tanpa bentuk. baru
sekarang ini kuhadapi
Ia bisa melihatku. dan dapat
berbuat semau dia tanpa aku
sempat melakukan seSUatu
untuk menghindari. Karena, aku
tak dapat melihat dia ataupun
gerak gerik yang akan dia
perbuat. Apa yang dapat
kulakukan, hanya mengisi jiwa
dengan getaran do'a do'a yang
pernah diajarkan oleh guruku.
Getaran yang dapat membuatku
tabah dan tidak angkat kaki,
menyerah begitu saja.
Sampai saat ini, aku berhasil.
Tetapi gagal meraih
getaran'getaran itu untuk
berkonsentrasi. Konsentrasi
bathin. mungkin dapat.
Celakanya. yang kubutuhkan
adalah konsentrasi pada cerita.
Aku tidak mungkin mengetik.
selama ada gangguan
berlangsung di sekelilingku.

***

EMPAT
Selama beberapa hari
berikutnya. aku terus saja
diganggu.
Ada-ada saja yang "dia"
(untuk seterusnya. tanda kutip
kubuang saja') perbuat, untuk_
mengusik ketenanganku.
Kembali sibuk kehilangan
gayung. berlari-lari sekeliling
rumah atau menggedor-gedor
pintu. Kursi meja yang
berpindah pindah bukan sekali
dua kualami. Atau perabotan
dapur yang centang perentang.
Isi lemari makan
dihambur-hamburkan ke lantai
ruangan bawah. Kadang-kadang
lantai itu sudah penuh air kotor
dan ember terhumbalang kian
kemari. Aku benar-benar dibuat
sibuk membersihkan dan
membereskan rumah
"Sabar. Usahakan tetap
sabar," teringat pesan guru. aku
selalu berusaha menahan diri.
Percaya serta yakin apa yang
guru katakan "Akan tiba
waktunya. lawanmu yang
kehabisan sabar. hilang akal
dan putus asa. Barulah. kau
mulai menembak...."
Aku maSih sabar.
Hanya sekali aku menyenggak:
"Kau membuat onar! Kalau
tetangga pada tahu, apa kau
tidak malu"!"
Tiba-tiba kusadari. rumah itu
letaknya jauh dengan rumah
tetangga. Mana ada yang
mendengar dia bikin ribut" Dan
kalau malam hari. tidak pula
ada penduduk berani
berkeliaran di dekat-dekat
rumah yang kutempati.
Memang ada sekali dua tamu
berkunjung, tetapi selama ada
orang lain. dia membuatku
dongkol. dengan berdiam diri
tidak bertingkah apa apa.
Padahal betapa aku ingin
memperlihatkan pada
orang-orang bahwa dia" tidak
perlu dicemaskan. karena apa
yang bisa ia perbuat, hanyalah
keributan semata.
Tetapi ketika aku menerima
lagi beberapa pucuk surat,
kesabaranku mulai habis. Semua
isi surat itu tidak ada yang
manis. Semua menuntut naskah.
Bahkan ada yang menghina.
karena honor sudah kuterima
jauh sebelumnya. aku tidak mau
bertanggung jawab lagi.
"Sialan!" aku memaki. seraya
kurobek robek surat itu. "Semua
ini gara gara kau!" aku
membentak. seraya memandang
ke sekelilingku. Kepada meja,
kepada kurSi, kepada jendela.
kepada pintu, ke lantai. ke
beranda. ke tangga. Tetapi tidak
ada siapa-Siapa di sana, pada
siapa amarah itu kutujukan.
Namun diam diam kusadari,
makhluk bagaimana yang
menunggui rumah itu.
Karena selain vas bunga. ia
tidak merusak perabotan dapur
pertanda ia sayang
memecahkannya. Ia pun tidak
pernah memindah mindahkan
benda-benda berat seperti
lemari atau tempat tidur.
pertanda ia tidak kuat
melakukannya. Bila
kudengarkan dengan seksama,
nyatalah langkah-langkah
kakinya agak pendek pendek,
serta halus iramanya bila ia
berjalan tidak sedang berlari
atau melonjak lonjak.
Teringat pada taman bunga
yang selalu terawat baik di
pekarangan. serta bunga segar
dalam jambangan pada hari
pertama aku menetap di rumah
ini, maka aku menyimpulkan:
tentulah ia seorang perempuan.
Cantikkah dia" Masih muda"
Atau buruk rupa. mengerikan.
serta tua renta" Ataukah seperti"
Ah. Gadis dalam impian. Sukar
mengenalinya. karena
munculnya selalu samar-samar.
tidak lama dan cepat
menghilang ke tabir kabut
seputih salju. kalau aku
berusaha biar pun hanya
menggapai saja.
Perhatianku benar-benar tidak
terpusat pada pekerjaan.
Siang hari. aku selalu sibuk
akibat tingkahnya. juga letih.
Mana tamu suka berkunjung.
Meski jarang, tetapi toh
kehadiran mereka menyita
waktuku yang terSisa. Aku tak
mungkin mengusir mereka.
karena mereka adalah
tetangga-tetanggaku yang baik.
Terpaksa aku berbohong bahwa
aku menyukai kesibukan tiap
kali mereka melihatku sedang
bekerja membereskan
sesuatunya yang telah dicentang
perentangkan oleh si dia.
Mereka tidak menuduh lewat
kata kata, tetapi lewat mata.
Paling-paling mereka hanya
berani mengatakan ini:
"Kau kelihatan agak pucat.
Sakit?"
Aku angkat bahu, seraya
tersenyum. Kecut.
"Apakah benar tidak perlu
kami bantu?"
"Terimakasih."
Pada akhirnya. sang
Pemimpin Redaksi yang pernah
kulihat marah-marah dalam
impianku itu, muncul dengan
wajah ramah. tetapi mata yang
dingin. Ia bertamu tak lebih dan
lima menit. hanya untuk
menanyakan keadaanku
sekedarnya. dan menuntut:
"Mana lanjutan naskahnya?"
Kujanjikan. akan kukirim
segera.
"Kapan?" Ia mendesak. tak
sabar. bahkan tak percaya.
Aku memutuskan:
"Besok. Kalau perlu. tunggui
aku mengetik di .sini."
Ia tidak bersedia
menungguiku, tentu. Tetapi
untuk menjaga hubungan baik.
kuputuskan pada malam ini aku
harus menyelesaikan paling
sedikit dua atau tiga kali
penerbitan lanjutan cerita
bersambungku yang dimuat oleh
majalahnya
Dan. malam itu. pintu dibuka
dan ditutup dengan suara
berdentam dentam.
Aku mematikan tape dengan
jengkel.
Dengan langkah langkah
panjang. aku keluar dari kamar.
Tegak di beranda. berkacak
pinggang. seraya memandang ke
ruangan bawah di mana kulihat
daun pintu kamar mandi masih
berayun ayun. Aku benar benar
naik pitam.
"Cukup" aku berteriak.
lantang.
Darahku naik ke kepala.
Kukira. wajahku merah padam.
mungkin sudah kehitam hitaman.

"Sekali lagi kau membuat


ribut. aku akan turun tangan!"
Turun tangan" Bagaimana aku
harus turun tangan kepada roh
halus itu" Hem. bisa saja. Yakin
bahwa ia seorang perempuan.
tidak berteman, dan barangkali
masih muda belia. aku
menggeram.
"Tahukah kau. aku sedang
mengetik naskah apa?"
Daun pintu kamar mandi
masih terayunayun. Padahal.
tidak ada angin bertiup. Dan
tampak jelas. tidak ada tangan
yang menggerakkannya. Daun
pintu itu dibuka semakin lebar.
dan tampaknya sudah siap
dihantamkan sampai tertutup
dengan keras.
Aku mendahului
"Dengar! Aku lagi
mengerjakan cerita horror!
Tahu kau" Horror! Tentang
mayat yang bangkit dari kubur!
Mayat yang ketika hidupnya
pernah ditabrak kereta api!
Mayat yang rusak dan
daging-dagingnya sudah busuk
itu
kupaksa keluar dari liang
kuburnya yang kotor. Kubiarkan
tulang belulangnya bersembulan
di antara daging-daging serta
darahnya yang membusuk.
Kupindahkan ia ke mesin tikku.
Tetapi....' aku menarik napas.
Dan mendengus:
"Mayat yang mengerikan itu.
bisa kurubah arahnya, langsung
ke tempatmu, untuk mengajak
kau bercumbu!"
Entah berhasil entah tidak
ancamanku itu. yang jelas. daun
pintu kamar mandi terhenti
tiba-tiba. Udara dingin
bergantung di dalam rumah. Tak
ada angin. Tak ada suara sama
sekali. Kemudian. daun pintu
tertutup. Perlehan sekali. Seolah
takut menimbulkan suara. Aku
tidak tahu, apakah ia
bersembunyi di dalam kamar
mandi, di belakang pintu
tertutup itu. Atau di depannya.
seraya memandangku dengan
kecut.
Tetapi naluriku membisikkan
sesuatu.
"la tidak berbuat jahat
kepadamu. Ia hanya
mengganggu. Kasuhanilah
dia...!"
Napasku seolah bunyi
lokomotip, ketika aku
membuangnya sebebas mungkin.
Udara di dalam rumah
semakin dingin. semakin hampa.

Kosong. Sepi.
Aku merasa tegang. dan
gemetar.
Lama aku menunggu. namun
tidak ada suatu reaksi sama
sekali. Dengan bimbang. aku
berkata lagi. Tetapi volume
suara kutekan
serendah mungkin:
"Aku sudah pernah
mengajakmu bersahabat....
Ajakanku itu masih berlaku.
Kecuali. kau tidak sudi....'
Sepi Sepi sekali
Aku tidak putus asa. Ujarku:
?"Mungkin aku salah.... Tidak
memperkenalkan diri. ketika aku
memasuki rumah yang.... Yang
kau huni ini. Baik. Anggaplah
aku sebagai tamu. Dan sebagai
tamu, akan kuperkenalkan Siapa
aku...."
Kutatap ke lantai bawah,
rasa-rasa ada langkah-langkah
kaki di sana.
Langkah-langkah kecil. yang
tertegun.
Aku menelan ludah
Dan dengan suara gemetar.
memperkenalkan diri:
'Namaku Doli. Bukan
Ooh-pet," aku tersenyum. 'Doli
saja. Aku maSih bujangan.
Tetapi sudah karatan. Umurku
tigapuluh dua. Pekerjaanku"
Mengarang. Tahu kau apa itu
mengarang..."'"
Tentu saja. tidak ada sahutan.
Dan tentu saja. aku harus
menerangkannya:
"Mengarang itu jual kecap.
Nomor satu, tentu saja. Kecap
itu kutuangkan ke mesin tik.
mengalir pada helai demi helai
kertas. Barangkali kau pernah
melihat aku mengerjakannya....
Tentu saja kau ngintip. Kalau
terang-terangan, aku bisa
melihatmu. Nah.... Hasil ketikan
itu kujual ke surat-kabar atau
majalah. Uang hasil penjualan
itulah kupakai untuk makan
dan.... Dan untuk mengontrak
rumah yang kau huni ini."
Kembali aku menghela napas.
letih oleh penjelasan sepihak
yang panjang lebar itu Terkutuk.
Mengapa ia tidak mengawab.
Masih adakah dia di sana" Atau
sudah pergi" Ke mana" ~
"Kau pernah membaca cerita
ceritaku?" 'aku bertanya, iseng.
Tak ada jawaban
Tetapi tak ada salahnya
sesekali beronani. Anggap saja
promosi, pikirku, lalu
memutuskan:
'Aku adalah pengarang terbaik
di muka bumi. Dan tak usah
malu-malu mengakuinya. Kau
seorang penggemarku. bukan?"
Seraya menyeringai lebar, aku
masuk ke kamar.
Pintu kututupkan rapat-rapat.
Beberapa saat. aku masih diam
Menunggu. Sepi di bawah. Sepi
di atas Sepi di kamarku. Kuputar
tape, dengan volume rendah.
Kuambil sebatang rokok. Lalu.
Siap dihadapan mesin tik ..
Beberapa kali. kertas
kusentakkan dari mesin karena
hasil ketikanku yang jelek.
Biarpun sudah dibayar dan pasti
dimuat. aku berprinsip harus
tetap mempertahankan mutu
cerita. Kureguk kopi yang sudah
dingin. Lalu menghisap rokok
dalam-dalam. Lewat asap
asapnya yang mengepul ke
langit-langit, aku mencari cari
lanjutan ceritaku yang sempat
hilang.
Aku menemukannya tidak lama
kemudian.
Ketak ketik bunyi mesin tik
segera memenuhi kesepian
rumah. Heran. Mesin tikku
berjalan lancar. Seolah segala
sesuatunya telah lekat di
kesepuluh jari jemariku. tinggal
ketukan ke huruf-huruf. Lembar
demi lembar mengalir keluar
dari ban mesin tik, hampir tidak
berhenti henti.
Menjelang pagi, aku
mendengar suara berisik di
bawah.
Dan mencium bau yang khas.
pasti dari arah dapur. Tentu dia
lagi. Entah apa yang ia tengah
lakukan. aku tidak tahu. Dan aku
tidak ingin melihatnya. Karena,
mesin tikku tidak mau
ditinggalkan.
Waktu terus berjalan.
Dan ketika pagi itu aku turun
ke bawah. mataku terbelalak.
Sebuah jambangan baru sudah
ada di atas meja. Bunga-bunga
yang segar dan harum
semerbak, disusun manis di
dalamnya. Dan yang membuat
aku semakin takjub. adalah ini:
segelas kopi kental panas
tersedia di meja yang sama.
dengan piring berisi dua butir
telur rebus yang sudah
dikelupas.
Sarapan pagi kesenanganku!

***
LIMA
Aku benar-benar tidak percaya
dengan mataku. Tetapi aku telah
mengerjap beberapa kali. Paha
telah kucubit. Gigi sudah
kugemeletukkan. Namun tetap
saja apa yang kulihat
sesungguh-sungguhnya ada di
atas meja. Jembangan dengan
bunga, baiklah. Tetapi kopi
dengan telur rebus. .
Lama aku terpesona.
Baru teringat. untuk
memandang berkeliling.
Perabotan di ruang bawah itu,
tidak ada yang berpindah
tempat. Lantai bersih dan licin.
meski ketika ditinggalkan
tamuku yang terakhir,
keadaannya masih kotor. Pintu
depan masih tertutup. Rapat.
Tirai jendela telah terbuka
gordenn Naco telah diangkat.
Gugup. aku memeriksa pintu.
Masih terkunci. Bahkan anak
kuncinya melekat di lubang
sebelah dalam. Aku mendekati
meja kembali. Berharap.
jambangan bunga, terutama
kopi dan telur itu sudah tidak
ada di sana. Harapan yang Sia
sia, dan membuat aku semakin
takjub oleh peristiwa ganjil yang
baru pertama kali kualami
seumur hidup itu.
Tidak ada gerakan atau suara
apa pun di sekitarku.
Hawa segar menerobos lewat
kaca naco. Apakah ia ada di
dekatku. sekarang"
Dengan penuh kebimbangan
aku masuk ke kamar mandi,
untuk cuci muka. Kembali aku
terpesona Dalam ember, terisi
air yang berkepul kepul. Panas!
Kugaruk kepala yang tidak
gatal. Dan tanpa bisa kutahan.
tubuhku gemetar. Aku
dihinggapi perasaan takut .
Semula aku akan membiarkan
ember berisi air panas itu.
Tetapi setelah
kutimbang-timbang, apa
salahnya mencoba" Lantas
seraya membaca jampi-jampi
yang pernah didiktekan oleh
guru kebathinanku, aku campur
air di ember itu dengan air
dingin dari bak. Maksudku
membasuh muka. kurubah.
Mandi saja sekalian karena air
tersedia cukup banyak.
Pada guyuran air hangat yang
pertama. aku masih gemetar
Namun kurasakan, air itu tidak
memberi pengaruh asing. Biasa
saja. seperti air hangat yang kau
sediakan setiap pagi untuk kau
pakai mandi. Mungkinkah
karena do'a yang kubaca" Atau
karena air itu memang tidak ada
apaapanya"
Keluar dari kamar mandi.
diam-diam aku mengintai ke
atas meja.
Masih Masih di sana. KOPI
dan telur rebus itu'
Dengan gelisah aku naik ke
atas untuk
berganti pakaian. Jendela kamar
kubuka, agar udara segar masuk
ke dalam. Lembah hijau, atap
atap rumah. pepohonan yang
rimbun. anak surgai, gunung
yang kelabu serta langit yang
biru. Masih tetap pemandangan
yang sama. Tetapi di lantai
bawah, di atas meja...
mungkinkah"
Lama aku tercenung di tempat
tdur, setelah bersalin pakaian.
Tetapi kemudian aku berpikir.
kalau air hangat itu tidak
memberi pengaruh apa-apa.
mengapa tidak pula dengan kopi
serta telur rebus" Lagi pula,
perutku ingin kehangatan. dan
lidahku sudah gatal untuk
menelan telur rebus. Kutetapkan
hati. lalu turun ke lantai bawah
Duduk menghadapi meja
makan, aku berdo'a
sebagaimana biasa
Tentu saja. dengan mata
terpejam. Ketika mata kubuka
kembali. setengah mengintip
rasanya. kulihat semuanya ada
di sana Ah.... Aku menoleh ke
samping kiri. ke samping kanan,
ke seberang meja. Berharap ada
salah sebuah kursi yang
bergeser, atau suara suara asing
namun sudah kukenal dengan
baik. Tetapi tidak ada gerakan
apa-apa. Tidak ada suara
Aku tidak yakin pada diriku
sendiri.
Dan setelah batuk-batuk kecil
untuk mengendurkan ketegangan
yang menghantui diriku. aku
berujar. kau baik sekali."
Suaraku
gemetar. Dan kaku. Agak
sumbang terdengar. Tetapi aku
tidak perduli. Aku terus
berbicara:
"Jadi. kita telah bersahabat,
bukan?"
Aku tersenyum. Sukar juga
untuk melakukannya. tetapi
kukira aku memang seorang
pemain sandiwara yang baik.
"Baiklah! Terimakasih untuk
hidangan pagi ini. Tetapi ...' aku
kembali memandang tanpa
tujuan' 'Tidakkah lebih baik
kalau kita makan bersama?"
Tidak ada sahutan.
Aku sudah menduganya.
Dan setelah berpikir bahwa
hantu tidak makan sebagaimana
manusia makan, aku memulai
sarapan pagiku. Mula-mula
kureguk kopi. Kental, okey.
Hanya agak sedikit manis.
"Lain kali . jangan terlalu
banyak gula." aku bergumam
sendirian. "Tidak baik untuk
kesehatanku.'
Aku menghabiskan kopi, dua
butir telur rebus itu, tanpa
reaksi apa-apa dalam tubuhku.
kecuali perasaan senang dan
puas. sebagaimana lazimnya
setelah aku melakukan hal yang
sama. Selesai sarapan. aku
bermaksud membereskan
perabotan bekas makan.
Tetapi...
Sebuah tangan yang dingin,
menyentuh lenganku.
Kontak kami yang pertama!
Aku dapat merasakan jari
jemari yang halus, lembut tetapi
dingin, memegang tanganku
yang sudah siap membereskan
meja. Aku tertegun. kaget, dan
kukira sedikit pucat. Tibatiba
timbul keinginanku untuk balas
memegang tangan itu. dan kalau
bisa menyentuh bagian-bagian
tubuhnya yang lain. Namun se
telah didahului terpaan nafas
yang dingin di tengkukku.
tangan itu kemudian hilang rasa.
Hampa.
Dengan jantung dak-dik-duk.
kuperhatikan apa yang terjadi
berikutnya. Perabotan bekas
sarapan pagi, terangkat ke
udara. melayang seperti kapas
yang ringan. Gelas berdenting
bunyinya ketika diletakkan ke
atas piring demikian juga
tatakannya. Dengan jarak kira
kira setinggi perutku. benda
benda nyata itu melayang
layang secara gaib langsung
menuju dapur. Sebentar
kemudian terdengar Suara gelas
dan piring menyentuh bak cuci,
disusul suara air mengucur
perlahan.
Dan, di balik bajuku.
mengucurlah peluh yang dingin.
Hasrat untuk mengintip ke
dapur, kutekan sekuat mungkin.
Aku justru berjalan ke arah
yang sebaliknya. Mula mula
pelan, kemudian makin cepat.
Dan aku melompati anak tangga
dua sampai tiga sekaligus.
berlari sepanjang beranda
merenggut pintu kamar dengan
keras dan sekaligus
menutupkannya setelah aku
berada di
dalam.
Kusandarkan tubuh ke daun
pintu.
Napasku terengah engah.
Lama aku dalam keadaan
setengah sadar setengah tidak
ingat diri, sampai kemudian
mataku terpantul kepada amplop
besar berisi naskah yang kuketik
malam harinya. Wajah
Pemimpin Redaksi yang kesal
mendorongku untuk berpikir
secara sehat.
Baiklah. Yang tidak mungkin.
sudah terjadi.
Biarlah dia di bawah sana
melakukan apa saja yang ia
kehendaki. Yang penting. ia
telah memperlihatkan
tanda-tanda ingin bersahabat
malah membantuku
mengerjakan sesuatu yang akan
menghabiskan waktu dan tenaga
kalau aku sendiri yang
melakukannya. Aku masih punya
pekerjaan lain.
Kukenakan sepatu, memeriksa
uang di dompet. mengambil map
besar kemudian keluar dari
kamar. Haruskah kukunci" Ah.
lewat celah yang sebesar semut
pun. toh roh itu bisa masuk.
Mungkin juga ia bisa masuk
langsung lewat dinding. tak
ubahnya benda empat dimensi.
Aku berdiri sebentar di depan
pintu, mendengarkan.
Sepi di lantai bawah.
Sepi di dapur.
Aku menuruni tangga.
Berjalan setengah
berjingkat-jingkat ke pintu, dan
hampir menjerit kaget.ketika
pintu dapur dibantingkan. Aku
mengurut dada yang seakan mau
pecah, terengah-engah sebentar
seraya berpikir apa yang terjadi.

Lantas. tiba-tiba aku teringat.


Hem. Aku tersenyum.
"Aku pergi dulu. okey" Nanti
aku kembali," Ujarku. pamit.
Pintu dapur terbuka. Berhenti
sampai setengahnya Dan tidak
tampak sesuatu apa pun kecuali
uap dingin yang menebar ke
seluruh ruangan. Aku menggigil,
kemudian bergegas ke pintu.
membukanya. keluar,
menutupkannya. lalu berusaha
agar tampak biasa biasa selagi
mengayun langkah ke jalan,
meskipun betapa inginnya aku
untuk berlari secepat cepatnya.
Dalam oplet. seseorang
menegur
"Eh. Nak Doli. Mau ke mana?"

Aku melihat Pak Jayusman.


salah seorang tetangga yang
ikut mengangkat barang
bawaanku ketika pertama kali
tiba di daerah ini. Kucoba
tersenyum, dan mengatakan
tujuanku. Ia membalas
senyumku dan bertanya apakah
aku sakit. Tentu melihat wajahku
pucat. Kukatakan aku sehat saja,
hanya agak pusing karena
bekerja sampai Subuh.
Kami berpisah di terminal.
Aku terus ke kantor pos, untuk
memposkan naskah. Kubeli
sebuah majalah dan duduk
menghabiskan waktu di taman
tak jauh letaknya di kantor pos.
Tetapi perhatianku tidak
tertuju kepada majalah itu.
Huruf-hurufnya menari-nari.
berubah jadi telur rebus. kopi.
air yang mengucur, piring
melayang-layang di udara.
"Ya Tuhan." aku mengeluh.
Kemudian berkeliling tidak
menentu, sampai akhirnya aku
ketemu seorang kenalan lama.
Kami bercakap-cakap dengan
riang gembira dan ia
mengajakku makan siang di
sebuah restoran. Bekas teman
sekolahku itu mengatakan ia kini
sudah punya pekerjaan di
sebuah perusahaan sebagai
sales, dan sedang tugas
memasarkan bahan bahan
produksi perusahaannya ke kota
ini. Ia kuajak Singgah. tetapi
katanya harus segera kembali.
'Isteriku akan curiga. kalau
aku terlambat pulang" katanya
ketika kami berpisah dengan
perasaan enggan.
Apakah dia yang dirumahku.
curiga kalau aku terlambat
pulang"
Tetapi. aku tidak ingin pulang
sekarang. Pikiranku belum tetap.
Pengalaman yang ganjil itu
terus menggodaku. Telah kubuat
ribuan analisa. tetapi tidak satu
pun yang berhasil. Suara-suara
gaib, lumrah. WUjud wujud
menyeramkan, ada. tetapi hanya
dalam cerita cerita yang
kudengar. kubaca. atau
kukarang karang sendiri.
Sentuhan-sentuhan sepihak,
bukan pula hal yang aneh.
Tetapi segelas kopi. telur
rebus. air panas...
Untuk melenyapkan
kegundahan itu aku masuk ke
sebuah gedung bioskop. Kubeli
karcis dan mencari kursi di
pojok (bioskop di kota kecil itu
tempat duduknya terbuat dari
bangku memanjang, tak diberi
nomor. Dan satu karcis bisa
dipergunakan untuk dua
pertunjukkan se kaligus).
Filmnya tidak menarik.
Bintang-bintangnya tidak
kukenal. Warnanya pucat.
Mungkin Itali.
Tetapi itu tidak penting
Yang kuperlukan hanyalah
sebuah tempat untuk membuang
pikiran susah.
Kalau mengetik. aku
membutuhkan suasana sepi dan
tempat yang tenang. Kalau untuk
tidur.... Dan aku segera jatuh
pulas. begitu pertunjukan
berjalan sekitar lima menit.
Malam sudah merangkak
ketika aku tiba di rumah.
Suasana di dalam sepi. Segala
seSUatu tampak bersih dan
rapih. Kamar tidurku sudah
disapu, selimut dan sprei sudah
dibereskan. Dan sebagai sebuah
surprise, di atas meja sudah
terhidang santapan untuk makan
malam!

***
ENAM
Semula. aku tidak
mengetahuinya.
Turun dari Oplet mataku berat
karena masih mengantuk.
Kubuka pintu depan dan
menemui rumah yang sunyi
lengang, berselimut kabut
misteri. Ruang tamu tampak
rapih bersinarkan lampu pojok
yang temaram. Lantai utama
gelap tetapi samar-samar dapat
kulihat tangga ke lantai atas.
Karena tidak ada suara atau
gerakan yang kutemui maka kaki
langsung saja kulangkahkan ke
tangga itu
Lantai beranda atas yang
terbuat dari papan jati itu,
berkeriut begitu kuinjak. Aku
tersentak sejenak. kaget.
Kemudian meneruskan langkah
menuru kamar tidur. Terlelap di
bioskop dengan hiruk pikuk
suara dari layar, tidak
mencukupi kebutuhan phisikku
untuk beristirahat. Demikian
pula di oplet yang sering
terguncang karena jalanan jelek.
Saat ini. yang kupikirkan adalah
langsung terbang ke alam
mimpi.
Namun aku segera tertegun.
Kamar tidurku terang
benderang
Seseorang telah menghidupkan
lampu
yang telah kupadamkan sebelum
pergi. Andaikata kamar itu acak
acakan dan ada barang yang
hilang pasti aku menduga itu
perbuatan seorang tamu yang
tidak diundang. Tetapi apa yang
kusaksikan dengan mata
kepalaku sendiri, tentulah
perbuatan dia. Tempat tidur
kecil kelihatan rapih dan resik.
Sprei telah diganti. demikian
pula sarung bantal, Selimut
terlipat apik. masih bekas
kupakai sebelumnya. Maklum.
cuma satu satunya selimut yang
kumiliki.
Lemari tertutup rapat. Dan di
atas meja, tersusun rapih map
map serta kertas-kertas yang
ketika kutinggalkan maSih
berserakan. Mesm tik bersih dan
berkilat bekas dilap. Tak ada
sampah dilantai. begitu pula di
keranjang sampah. Memang ada
yang hilang, atau tepatnya tidak
ada di kamar itu.
Pakaian-pakaian kotor tidak lagi
tergantung di kapstok. Entah
kemana perginya. Begitu pun
aku yakin pakaian itu tidak di
curi.
Lama aku termangu.
Menyadari kamar itu Siap
pakai. Untuk bekerja Atau
langsung terbang ke alam
mimpi.
Mataku mencari cari. Kalau
aku menemukan dia atau melihat
sesuatu yang menunjukan dia
ada di situ. Setelah kusadari
kamar tidurku hangat. maka aku
tahu ia tidak ada di dalam.
Penasaran aku keluar dan
bertelekan pada tiang
penyangga beranda. Kucari dia
dalam kegelapan lantai bawah.
Tetap sepi, lengang dan gelap
karena cahaya lampu pojok
ruang tamu tidak sampai ke situ.

Suaraku bergetar. ketika aku


menyeru: 'Hei...."
Tak ada sahutan. Tak ada
benda-benda bergerak. Tak ada
langkah kaki. konon pula helaan
napas. Apakah dia telah pergi
untuk tidur di kediamannya yang
abadi" Aku tak percaya. Sifat
nakalnya tentu berperan. Ia
sedang bersembunyi di suatu
tempat. Tegak diam. atau duduk
santai sambil
tersenyum-senyum... mungkin
juga harap-harap cemas,
menanti reakSiku.
Hati hati aku beringsut
sepanjang beranda. Pas di mulut
tangga, aku berhenti. Kuraba
tembok dan begitu bertemu,
shakelar lampu lantai utama
segera kuputar. Didahului suara
berdetak lembut, lampu antik
yang tergantung ke langit-langit.
seketika menyala terang
benderang. Lantai utama
bersiram cahaya yang sekejap
membuat mataku Silau. Rasanya
aku mendengar desah lembut.
desah mengejut. Diakah" Atau
desah yang keluar dari mulutku
sendiri"
Yang pertama tama
terpandang ketika mata kubuka,
adalah tentu saja meja makan.
Dan aku terkesiap. Bukan
karena tiba-tiba melihat dia.
Tetapi karena di atas meja
makan, tampaklah hidangan itu.
Nasi. lauk pauk, piring dan gelas
yang tengkurap, mangkok cuci
tangan dan lap. Teko teh
letaknya agak berjauhan dari
benda-benda tadi. Entah
mengapa Yang jelas. lenyaplah
kantukku seketika.
Kembali mataku mencari cari.
Kembali aku tak menemukan
di mana dia gerangan.
Beberapa saat aku bimbang.
Baru kemudian turun ke lantai
bawah. Masih tak percaya
dengan apa yang kusaksikan,
hidangan di atas meja kusimak
lebih seksama. Nasi masih
mengepulkan uap di panci. Lauk
pauk terdiri dari telur dadar,
dendeng daging, sambal dan
sayur asam. Hidangan
sederhana namun menggugah
selera. Aku lantas ingat. telah
lupa singgah di restoran
sekeluar dari bioskop
Aku tertegun, manakala terasa
udara di sekitar mega makan
mengalami perubahan.
Perlahan-lahan terasa mulai
dingin. Diam diam, aku
dihinggapi kesan seram. Betapa
tidak. Terperangkap sendirian di
rumah kecil dan sunyi sepi di
pinggir kota yang sama sunyi
sepinya. Tidak ada orang di
dalam. Dan kau tahu orang lain
tidak pernah masuk ke rumah itu
selama kau pergi. Dan ketika
pulang. kau temukan makan
malam terhidang di atas meja.
Meski malam yang masih
hangat, tetapi dengan udara
dingin di sekitarmu. Udara
dingin yang hanya punya satu
arti: hantu itu hadir di dekatmu.
Kurapalkan do'a doa yang
diajarkan guru. jauh di
sanubari.
Perlahan-lahan. kesan seram
itu menjauh. Kekuatan mentalku
menebal. Aku mulai tenang. dan
pasrah menghadapi keadaan.
'Luar biasa!' aku bergumam
tulus. "Masih serba hangat."
Kemudian aku menggeser
sebuah kursi. Duduk
menghadapi hidangan makan
malam yang ajaib itu. Ajaib:
Karena dimasak oleh
tangan-tangan dari alam gaib.
Aku tidak berpaling ke kiri
kanan. Karena aku tidak tahu. di
mana ia sedang berdiri atau
duduk memperhatikan. Di
sebelah kiri" Sebelah kanan" Di
seberang meja" Di belakangku"
Tengkuk tergetar. tanpa
kusadari. Beku. dingin.
jadi kau tak ikut bersantap."
ujarku tersenyum. seraya
membalikkan piring
satu-satunya yang tersedia di
meja itu. "Aku mengerti."
lanjutku pula. Mengerti, dia
tidak makan seperti aku makan.
Tersirat tanya dalam hati: apa
yang dia makan. bagaimana
caranya dia makan"
Nasi kusendokkan ke piring,
secukupnya. Menyusul sayur dan
sekerat dendeng, Kebiasaan
sebelum bersantap. aku harus
minum walau seteguk. Gelas
tengkurap itu kubalikkan. Dan
aku sudah siap bergerak untuk
menjangkau teko yang terletak
di sudut meja, manakala teko itu
sudah bergerak duluan.
Melayang di udara dalam posisi
tetap. kemudian turun sedikit
dalam posisi miring begitu tiba
di atas gelas. Cairan bening
kuning kecoklatan mengalir dari
mulut teko dengan suara yang
berdesir, mengisi gelas. Dua
pertiga terisi,
teko terhenti lalu melayang ke
tempat semula. Diletakkan di
pojok meja, tanpa suara
Kutatap teko itu.
Sadar ia ada di sekitarnya,
mata sedikit kunaikkan,
menatapnya". Senyum sedikit
lalu berkata: "Terimakasih'
Aku menghendaki jawaban.
Sia sia.
"Baiklah.' aku mengeluh.
"Mengapa harus berdiri di situ"
Duduklah di dekat ku....' Kursi di
sebelahku kugeser, lalu tangan
kujauhkan Menunggu. Tetapi
kursi lain bergeser pula. Di
seberang meja. Jadi, ia duduk
langsung di mukaku.
"Kau mau memperhatikan aku
makan, ya" Mau melihat berapa
banyak aku menyuap. berapa
kerat lauk yang kumakan. lalu
kau akan menyodorkan
rekening?" ujarku, berseloroh.
Kuharap dia tertawa.
Sepi yang ada.
Tidak ingin menyinggung
perasaan dia dengan
mengatakan kehadirannya di
mukaku akan membuat aku
makan segan. dengan halus aku
memohon dia menjauh. aku
tahu, kau tak mau dekat-dekat
karena tubuhku kotor dan bau
keringat. Baru sekali aku mandi.
Pagi tadi. Aku lupa mandi ketika
mengunjungi seorang teman di
kota. Teman pria!" aku
tersenyum, memperlihatkan
wajah jujur. karena itu, baiklah.
Nanti, sehabis, makan aku akan
segera mandi. Kukira aku akan
mandi pakai air
hangat lagi..." kulirik sebentar
ke seberang meja. kemudian
meneruskan: "Habis itu. kita
ngobrol lebih akrab Oke?"
Sepi Diam.
Sebentar cuma. Lalu kursi di
seberang meja bergeser. Ada
langkah langkah halus, tertegun
tegun. kemudian bergerak makin
cepat ke arah dapur. Jadi dia
mengerti apa yang kumaksud.
Hanya. dia agak ragu ragu
pantaskah aku memberi
perintah" Apa hakku" Dan
mengapa dia harus"
Toh. selagi aku makan
terdengar juga kesibukan di
dapur.
Apalagi kalau bukan, ia
sedang menjerang
Habis makan. aku mau
beberes. Tetapi aku tersentak
ketika seSUatu yang dingin
menekan pergelanganku, pas
aku mau mengangkat piring
kotor.
Kontak kami yang kedua.
Perabotan bekas makanku
melayang di udara dan dalam
susunan tertentu terbang ke
dapur. Aku duduk terdiam.
Bingung, mau berbuat apa"
malah mau berkata apa. Sampai
terdengar Suara berkretak
nyaring Sebuah ember melayang
keluar dari kamar mandi dan
rupanya membentur tepi meja di
depanku. Ah, ah, sebuah
sindiran"
'Biar olehku," Ujarku, cepat
cepat berdiri.
Ember itu terhenti diam di
lantai. Ragu ragu, aku
mengambilnya. Berharap ada
sentuhan antara kami. tabrakan
tak sengaja. Nihil, kecuali udara
dingin yang terasa menjauh
sedikit demi sedikit. Ember
kuambil dan pergi menuju
dapur. Air telah mendidih di
atas kompor. Kupindahkan ke
ember. Menatap sekitar dapur
sejenak. kalau kalau dia ada.
Segala sesuatunya diam tidak
bergerak. Udara di dapur
pengap, hangat dan berbau
bekas masakan.
Kecewa. aku menghilang di
kamar mandi
Tetapi sebelum membuka
pakaian. aku mengawasi dengan
kuatir sekitar kamar mandi yang
tertutup itu. lantas berkata
enggan: "Kau toh tidak ingin
melihatku berbugil"'
Sebagai jawabannya.
terdengar bunyi
berklentang-klentong_ tanda ia
sedang Sibuk bekerja di dapur.
Ada ember besar untuk mencuci
di kamar mandi itu Pakaianku
yang kotor kubuang ke ember
besar itu. Saat itulah kuketahui,
kalau pakaian kotorku yang di
kamar telah berpindah tempat ke
kamar mandi ini. Sudah malam
sekarang, biar besok saja
kucuci, pikirku.
Air hangat membuat badanku
segar bugar.
Berhanduk-handuk aku naik
tangga, terus ke kamar tidur.
Pintu kututup, dan tidak curiga
kalau ia ada di dalam karena
udara tetap hangat. Lekas-lekas
aku berganti pakaian. Tengah
aku menyisir rambut. ada
geseran lembut di pintu.
Kubuka.
Segelas kopi kental hangat
melayang di depan dadaku.
Udara di kamar sebaliknya
berubah dingin. Reflek aku
menyingkir memberi jalan dan
membiarkan dia meletakkan
minumanku di meja. Apakah dia
melakukan segala sesuatu
sebagai permintaan maaf akibat
tingkah lakunya yang
menjengkelkan sebelum ini"
Ia tahu, bahwa aku harus
sudah siap bekerja.
Tak boleh diganggu.
Hal itu kumaklumi. tatkala
udara dingin menjauh ke pintu.
Daun pintu perlahan lahan
menutup. Sebelum tertutup
seluruhnya, barulah kusadari
bahwa aku telah berlaku kurang
pantas.
"Dengan apa kubalas budi
baikmu?" aku mendesah lirih.
Gerakan daun pintu terhenti.
Dia menatapku, aku yakin!
"Sudah berapa lama kau hidup
sendirian di rumah ini?" aku
balas menatap. "Kau tentunya
kesepian. Dan... hem, kau kira,
aku juga tidak kesepian bukan"
Kau perlu teman. Aku. lebihlebih
lagi. Kita sama-sama kesepian
di rumah ini. Mengapa kita tidak
ngobrol barang sedikit. sebelum
masmg masing naik ke
peraduan?"
Daun pintu tetap membeku.
MaSih di situkah dia" Atau
telah pergi, tanpa pamit" Pamit,
wah!
"Duduklah, dimana kau Suka."
kataku, menguji kehadirannya,
dan Sekaligus mengajak. '
Pintu terbuka semakin lebar.
Kemudian menutup,
perlahan-lahan. Dia masuk, atau
dia pergi" Udara dingin
melewati tubuhku. Jadi. dia
masuk. Dan duduk di tepi tempat
tidurku. Terbukti sprei yang
menutupi kasur tampak melekuk
dalam di sudut tempat tidur.
Sudut yang paling dekat ke
pintu. Aku tersenyum. dia Siap
untuk kabur. kalau aku berbuat
sesuatu yang tidak ia sukai!
Setelah terpesona sesaat. aku
duduk di belakang meja kerja.
Berpikir sebentar. lalu:
"Sebenarnya aku ingin tahu
mengenai dirimu. Siapa kiranya
engkau ini, perasaan apa yang
saat ini bergejolak di dalam
hatimu. Apa yang kau sukai" apa
yang tidak kau sukai. Apa yang
kau ingini dan tidak ingini.
Tetapi . kau tidak pernah
berkata sepatah pun padaku.
Aku tahu... tak mungkin. Atau...
mengapa tidak kau tulis saja?"
Kuambil selembar kertas.
sebuah ballpoint dan
menyorongkannya ke pinggir
meja. dekat tempat ia duduk.
Karena tak disambut, benda
benda itu kuletakkan saja di
sana. Kemudian duduk
menunggu: "Tulislah, apa yang
ingin kau tulis." aku membujuk.
sembari mengurai senyum.
Tempat tidur bergerit. Lekukan
di sprei agak naik. Lalu ada
tekanan pada kertas. Ballpoint
bergerak-gerak. mengatur posisi
untuk menulis. Ia ragu ragu
sebentar. Kemudian ballpoint
menari-nari di permukaan
kertas. Sayang, tak lama. Baik
ballpoint maupun kertas
kemudian tergeletak diam. Aku
menarik kertas itu. Dan
membaca: "Panjang ceritanya.
Lebih panjang dari
novel-novelmu. Lain kali saja,
ya?"
Titik sampai di situ.
Tak ada tanda tangan. Tak ada
nama.
Betapa ingin aku bertanya.
Namun sadar ia tidak mau
memberitahu. maka hasrat itu
kutekan jauh ke dalam hati. Tak
baik memaksa dia. Lebih baik
kuperhatikan bentuk tulisan
tangannya. Tulisan yang teratur.
apik dan indah. Itu hanya umum
dimiliki oleh tangan seorang
perempuan. Perempuan yang
pernah bekerja sebagai seorang
sekretaris, paling tidak seorang
korespondensi.
Makin yakin aku: ia bukan
laki-laki.
Tinggal masih mudakah dia"
Atau"
Pertanyaan tolol, pikirku.
Pertanyaan bodoh dan
memalukan. Bukankah aku ingin
berteman, seperti dia" Mengapa
ribut soal usia" Seorang
laki-laki yang menanyakan usia
perempuan... atau sebaliknya,
maka pertanyaan itu
mengandung unsur seksuil. Biar
cuma setitik debu. tetap saja
tercium bau seksnya. Dan aku
tidak mau, dia mentertawakan
dan mencemoohku. berharap
aku dapat kencan dengan dia
Kencan di tempat tidur. wah....
Tetapi, mengapa tidak"
Tempat tidur berderit. Resah.
Aku tersadar. 'Maaf." kataku
cepat-cepat, mencegah ia pergi
saking dongkol aku bungkam
dari tadi. Kemudian membela
diri: "Soalnya, aku tidak tahu
bagaimana aku harus
memanggilmu." kuharap.
berkau-kau cukup wajar. Supaya
kau tahu. kau kuanggap seusia
denganku. atau tegasnya: kau
lebih muda dari aku"."
Bingung lagi. Tidak tahu. apa
yang akan kujadikan bahan
obrolan. Tanpa sadar,
kumasukkan sebuah kaset ke
tape deck. Volume kuputar
sedikit rendah. begitu pula
volume ampli. Musik lembut
tanpa lagu segera memenuhi
kamar tidur. Halus. mendayu
dayu. Francis Goya dengan
petikan gitarnya: O Sole MIO.
terpengaruh thema lagu itu,
aku tersandar di tempat duduk
dan berkata setengah terpejam:
'Sebenarnya aku bukan seorang
perjaka tulen, seperti pernah
kukatakan padamu.?"
Kuperhatikan lekukan di sprei.
ia masih belum beranjak. "Aku
pernah kawin!' tambahku.
Lekukan itu berubah.
Bukan hilang. Tetapi semakin
dalam. dan melebar ke arah
tembok. Ia juga menyandar.
kukira dan aku menyimpulkan
dia bermaksud menjelaskan:
'Teruskanlah. Aku sedia
mendengarkan."'
"Namanya Rosnah.' kumulai
ceritaku.
Rosnah masih saudara
sepupuku. Rapat lagi. Ia anak
gadis satu-satunya saudara
lakilaki ibu. Rosnah tidak saja
kesayangan orangtuanya,
Rosnah juga merupakan cibiran
tulang ibu, yang meski punya
tiga orang anak tetapi tidak satu
pun dikaruniai anak perempuan.
Dua saudaraku yang lain, semua
laki-laki. Tak heran. kalau
kadang kadang ibu tampak lebih
sayang pada Rosnah. ketimbang
kami anak anaknya. Apalagi
semenjak ditinggal mati oleh
ayah, sedang dua saudaraku
sudah menikah dan pindah
rumah dan aku sendiri kemudian
melanjutkan pendidikan ke
ibukota, Rosnahlah yang
senantiasa mendampingi ibu dan
merawatnya penuh kaSih
apabila ibu sedang sakit.
Ketika kuliahku gagal dan
dunia karang mengarang baru
saja kumasuki, ibu memanggilku
pulang. "Kau kawinlah..."
katanya. Dan tentu saja calon
ibu tak lain Rosnah sendiri.
Keinginan ibu didukung pula
oleh orang tua Rosnah. "Kami
akan memberimu modal
berusaha." berkata ayah
Rosnah, setelah tahu kalau aku
malas kerja kantoran.
Tidak ingin menyinggung hati
keluarga, aku kemudian setuju
menikahi Rosnah. Lagi pula
honorariumku sebagai novelis
pemula, tidak memadai untuk
hidupku. meski masih bujangan,
Sudah jumlahnya kecil. sering
dipermainkan pula. Kalau
menagih ke kantor redaksi
majalah atau surat kabar,
redaksi bilang: tata usaha
sedang pergi. Kalau tata usaha
ada, maka: harus ditanda
tangani Pemimpin Redaksi.
tetapi beliau sedang rapat.
Kadang-kadang dua-duanya
kebetulan hadir. dan
honorariumku dibayar. Namun
seringkali tertunda. dengan
dalih: pembayaran baru
dilakukan akhir minggu, atau
akhir bulan dan segala macam.
Setelah menikah aku dan
Rosnah membuka sebuah toko
kecil, tak jauh dari pusat pasar.
Tetapi Rosnah lebih senang
mempercantik diri. sedang aku
bukan seorang manajer yang
baik. Berhitung laba rugi saja
aku tak berbakat. Lebih banyak
menghabiskan waktu pada mesin
tik dan lamunan yang aduhai
mengenai pengarang-pengarang
besar sebelum aku, membuat
usaha kami bangkrut meski
beberapa kali dibimbing bahkan
ditambah modal oleh mertuaku.
Omelan dan gunjingan mulai
datang beruntun.
Karena tak tahan. kubawa
Rosnah pindah ke ibukota.
Dengan demikian aku terlepas
dari omelan keluarga dan lebih
mudah melakukan hubungan
dengan majalah atau surat
kabar yang memuat
novel-novelku, ibu tidak suka
meninggalkan kampung
halaman, jadi memilih tinggal
dengan salah seorang abangku.
Ia sangat marah kalau Rosnah
mengabari kami sedang ribut,
tetapi akan menangis bahagia
kalau kami
sedang rukun. Tetapi rukunnya
aku dengan Rosnah. baru terasa
setelah namaku mulai menanjak
dan tidak suka lagi menagih
honorarium. Malah sudah sering
dibayar di muka, itu pun dengan
harga yang terus meningkat.
sekedar menjaga agar aku tidak
kabur mengisi majalah-majalah
lain.
Sayang. peningkatan itu tidak
merubah kami berdua.
Aku tetap menekuni mesin tik
dan hobby yang mendarah
daging menulis cerita,
sementara Rosnah yang masih
muda belia dan baru pertama
kali jauh dari keluarga. makin
sering pula bertingkah. Sifat
manja dan serba ingin dilayani
ketika masih tinggal dengan
orang tuanya, makin lama makin
kuat hadir menjembatani
hubungan kita. Ia akan bermuka
manis kalau aku menerima
honorarium besar, karena itu
berarti ia makin leluasa
mempercantik diri. Keluar
masuk kap salon dan butik.
mengunjungi bekas-bekas teman
sekolahnya dan kadang-kadang
piknik bersama mereka ke luar
kota, tanpa seijinku.
Hal itu masih kubiarkan.
selama Rosnah tidak menodai
kesucian dirinya sebagai
seorang isteri yang setia. Yang
tidak dapat kubiarkan, adalah
ketidak-mengabdian Rosnah
sebagai isteri. "Kau egoist,"
seringkali ia menuduh. Dan aku
terpaksa harus bekerja. dengan
membuat kopi sendiri, atau
pagi-pagi sibuk di dapur. karena
tidak kuat menahan lapar.
sementara Rosnah masih
tertidur nyenyak. Kalaulah tidak
karena malamnya pulang
terlampau larut. pastilah ia
berdalih: "Suara mesin tikmu
membuatku tak bisa tidur!"
Dalih inilah yang menjadi
klimaks pertengkaran kami,
Gagal dibujuk semua
keluarga, Rosnah kuantar
pulang ke kampung. Langsung
kucerai, sehingga Ibu pingsan.
Aku dicaci maki. dan untuk
menghindari perkelahian pisik
aku buruburu kabur kembali ke
ibukota. Belakangan baru
kusadari tindakanku merupakan
salah besar yang tidak mungkin
diampuni.: Rosnah tengah
mengandung empat bulan, waktu
ia kucerai.
Aku tidak diberi ampun sama
sekali.
Setelah mendengar Rosnah
melahirkan anak kami. aku
pulang ke kampung untuk
menjenguk. Aku hanya menemui
ibu yang sakit-sakitan,
saudara-saudaraku yang marah
marah. Sedang Rosnah,
jauh-jauh hari sudah diungsikan
keluarganya entah ke mana.
Belakangan kudengar ia telah
dilamar seorang lakilaki lain
dan telah menikah syah satu
minggu sebelum anak kami
lahir. Hanya mereka tidak
bercampur sebagai suami isteri.
dan baru bercampur kelak
setelah anak Rosnah lahir.
Usaha apapun yang kulakukan
untuk melihat dan memomong
anakku walau sebentar, selalu
menemui jalan buntu. Sakit
ibuku makin hari semakin parah.
Ia kemudian meninggal.
disertai penyesalanku yang tak
kunjung habis. Malu dan
terhina, kampung halaman
kutinggalkan. Jangankan dengan
Rosnah dan anakku. Hubungan
dengan kedua saudaraku,
perlahan-lahan ikut pula putus
seperti titian reot yang dilanda
banjir.
Kerinduan pada anak,
membuatku terpukul selama dua
tiga tahun.
Untunglah ada seseorang yang
memberi saran untuk
meringankan bebanku. "Tulis
kerinduanmu dalam novel," ia
berkata. Dari kerinduan anak
itu, melahirkan sejumlah
buku-buku yang bervariasi dan
mengangkat nama dan masa
depanku kembali ke permukaan
Semenjak itu aku tidak berani
berumah tangga.
Rosnah mungkin benar. Aku
terlalu egoist. Mesin tik
merupakan isteri pertamaku.
Perempuan, baru yang kedua.
Kalau sedang tekun dan
keranjingan, aku melupakan
kewajibanku sebagai suami.
Sebaliknya aku menuntut terlalu
banyak; agar isteriku
menyediakan ini itu, agar dia
senantiasa tersenyum ramah
biar terganggu suara mesin tik
di tengah malam buta... agar dia
sabar kalau inspiraSiku sedang
kosong sehingga aku terpaksa
menandatangani surat hutang
naskah di sana sini. dan tidak
menghamburkan uang begitu
saja kalau datang rejeki
nomplok.
Semakin buntu keinginanku
untuk menikah. tiap kali aku
teringat pada anakku. Anak
itu tidak akan pernah kulihat
walau sekejap mata. Ia
meninggal semasih berusia
empat tahun. terserang kolera.
Biar ia meninggal karena
kolera. sampai kapan pun aku
beranggapan. anakku telah
dibunuh oleh ibu kandung dan
ayah tirinya. ia tidak akan sakit
kolera, kalau mereka
merawatnya dengan telaten.
"Mereka membunuhmu. Dan aku
membiarkannya," kukatakan itu
di kuburan anakku. Kuburan
yang lama sekali baru kuketahui
lokasinya itu pun setelah
mengancam akan bikin ribut di
rumah salah seorang abangku.
Kuburan itu ditumbuhi rumput
liar, semak belukar dan
nisannya yang satu tumbang,
satunya lagi miring
Air mataku habis tertumpah
ketika menyiangi rumput.
"Seperti siapa kau gerangan,
Nak" Seperti ibumu" Atau
seperti ayahmu" Aku bukan ayah
yang baik, tahukah kau'" Bahkan
kau tidak mau mengampuni aku.
bukan?"

Sssst....
Desah halus dan tajam
membuatku tersentak.
Aku tidak sedang menyiangi
kuburan. Aku tengah
terperangkap dalam
kesendirianku, di sebuah kamar
kecil berperabotan seadanya.
Kaset telah habis. Kesunyian
menganga di sekitar. Dan di
tengah kesunyian yang
menganga itu. sesuatu yang
membeku dingin mengusap
pergelangan tanganku yang
tengah kutangkupkan ke wajah.
Aku tertegun. kaku.
"Siapa?" kemudian kusadari
lekukan di ranjang tidurku
sudah tinggal sisa yang kian
menipis. "Kaukah yang barusan
berbiSik."' tanyaku.
tersendat-sendat. 'Apa... apa
yang kau... bisikkan?"
Desah lirih dan tajam. dingin
menusuk itu menyapu telinga
kembali. Lamat-lamat aku
mendengar kata demi kata
dalam susunan yang samar dan
Sukar kutangkap.
"Tulislah!' aku hampir
menjerit. "Tulislah apa yang kau
ucapkan....!'
Ia tidak menulis. Ia berbisik
semakin nyata: 'Mengapa
menangis sayangku" Aku ada di
dekatmu."
Sayangku'
Ia menyebut: Sayangku!
Sesuatu yang dingin pada
pergelangan tangan kanan,
kugenggam dengan tangan kiri.
Lengan yang halus lembut dan
terasa bergetar. Aku menarik
lengan yang tak kelihatan itu ke
bibirku, mengecup kebekuan
yang dingin di udara dan
berbiSik setengah menangis:
"Ulangi lagi. Ulangi lagi."'
Lengan dingin tak berWUjud
itu. mendadak membeku.
Diam.
Kembali aku tersentak. Marah
dan tersinggungkah dia"
"Hei".." mulutku baru saja
terbuka untuk mengatakan
sesuatu. manakala jari yang
dingin menyentuh bibir.
Menyentuh. lalu menekan. Ia
menyuruhku diam.
Reflek, aku merasakan
ketegangan di sekitarku
Ada sesuatu, di rumah itu.
Sesuatu yang lain. Sesuatu
yang bukan
dia.

***

TUJUH
Angin yang setajam sembilu
merembes dari ventiLaSi
jendela. menyertai suara hingar
bingar air hujan yang turun
entah sejak kapan. Sesuatu yang
terdengar jatuh, jelas bukan
bunyi genting pecah. Mengikuti
gerak kacau tangan dingin
dalam genggamanku. pelan
pelan aku bersijingkat ke pintu.
Lampu kamar kupadamkan.
Menempelkan telinga ke daun
pintu. kucoba mendengarkan
sesuatu yang tadi berisik di
lantai bawah. Terpaan hujan di
atas dan dinding luar masih
mengganggu, sehingga aku tidak
dapat mendengar apa apa. Pintu
kubuka hati-hati. Dan tubuh
dingin menempel dengan cara
mengejutkan ke tubuhku.
Lengan-lengan sebeku salju
melingkari salah satu lenganku.
disertai desis terengah engah
ketakutan.
Kontak yang semakin nyata
itu, tidak membuatku gembira.
Kutepuk halus apa yang
kuperkirakan bahu milik dia.
Lantas berbisik dekat dengan
apa yang kuperkirakan telinga
dia; 'Kau diamlah di sini.
Jangan bersuara!"
Ia bersuara" Memekik'"
Aku hampir tertawa. Dan
meninjau ke bawah. Lantai
utama masih terang benderang.
Namun aku belum melihat
apa-apa, kecuali perabotan yang
tidak berpindah tempat. apa lagi
ada yang hilang. Kurang puas.
aku bersijingkat ke tepi beranda.

Lalu aku melihatnya.


Melihat sesosok tubuh hitam
mengendap endap ke... aneh, ke
pintu kamar mandi. ia baru saja
memungut sesuatu yang tadi
jatuh dan menimbulkan bunyi
asing di rumah itu. Semacam
besi pengungkit... ya, ya aku
pasti itu besi pengungkit melihat
bentuknya yang panjang dan
tajam salah satu uiungnya.
Tajam, melekuk.
Aku bertindak mundur, ketika
tubuh hitam itu mendongak ke
atas.
Wajahnya tak dapat kukenali,
karena tertutup sehelai kain
hitam. sehitam kemeja, celana
maupun sepatunya. Ada
bungkusan di tangannya yang
lain. Bungkusan itu ia letakkan
hatihati di lantai. lantas bersiap
membuka pintu kamar mandi.
Sayang, aku punya sifat tak
sabaran menghadapi orang
orang asing yang tidak kukenal,
apalagi yang punya
maksud-maksud tak baik.
Mestinya aku menunggu, untuk
dapat mengetahui mau apa dia
di kamar mandi. Toh tak ada
barang-barang berharga di situ.
kecuali pakaian-pakaianku yang
kotor. Bak mandi dan kloset
memang terbuat dari marmer
dan kalau. dijual laku cukup
berarti. Tetapi buat apa ia
susah-Susah mencungkilnya.
Mengapa tidak barang lain saja
di rumah itu....
Tak sabar, aku membentak:
"Bangsat!"
Terdengar seruan kaget.
Tubuh hitam itu tak jadi
membuka pintu kamar mandi.
Tanpa berpaling ke beranda
atas tempatku berdiri. ia sambar
bungkusan kecil di lantai lantas
ambil langkah seribu menuju
pintu depan. Aku berlari-lari
menuruni anak tangga.
Mengejar.
'Berhenti!" aku berteriak.
Tetapi mana ada maling mau
berhenti, tatkala dipergoki. Ia
langsung kabur lewat pintu
depan yang ia buka dengan
mudah. Air hujan merembes
masuk ke dalam, membuat lantai
menjadi licin. Aku yang tidak
mengenakan alas kaki, terpeleset
ketika mencapai pintu.
Beruntung, tanganku sempat
menyambar daun pintu yang
dapat menahan agar aku tak
sampai terjerembab. Namun toh
sempat aku sempoyongan dan
susah payah untuk bangkit
kembali.
Waktu aku mengejar ke
halaman. sosok tubuh hitam itu
sudah lenyap ditelan kegelapan
subuh yang berselimut hUjan
badai. Selagi aku mencari-cari
bingung terdengar Suara mesin
mobil dihidupkan. Aku mengejar
ke jalan raya, bersiram hujan.
Yang kuperoleh hanya bayangan
samar lampu-lampu kecil merah
bagian belakang sebuah mobil
yang ngebut arah
ke luar kota, untuk kemudian
sirna tinggal cucuran air hujan
belaka.
"Sialan!" aku memaki. dan
bergegas masuk rumah.
Berhenti di pintu, aku meneliti
lubang kunci. Di situ menempel
anak kunci. Buatannya kasar.
tetapi itu tetap saja bernama
anak kunci dan telah berhasil
membuka pintu dari luar. Pintu
kututup. Anak kunci palsu itu
kutimang timang, setelah itu
membuangnya dengan marah ke
lubang kakus. "
Kuperhatikan kamar mandi.
Benar, tak ada apa-apa yang
menarik untuk dicuri. Ataukah
bangsat itu mendadak tak kuat
menanggung hajat dan ingin
santai sejenak di kamar mandi.
sebelum mulai beroperasi" Atau
ia telah beroperasi. Bukankah ia
bawa bungkusan" Bergegas aku
meneliti sekitar ruangan bawah.
meski sadar aku belum sempat
membeli atau membawa barang
barang mahal setelah menetap
di rumah ini.
Ia mungkin mengambil
perabotan dapur.
Tetapi selain itu, tak ada
sesuatu yang hilang
Aneh!
Namun keanehan yang satu itu
segera terlupa. ketika keanehan
lain muncul tiba-tiba. Ada
handuk melayang-layang
mendekat. Handuk kering itu
tentu dia sodorkan. Aku mau
mengambilnya, tetapi dia
rupanya tidak memaksudkan
agar aku melap sekujur tubuhku
yang basah dengan tanganku
sendiri.
Dia melap sekujur tubuhku.
Mengusap-usap di sana sini,
terutama pada kaki dan lutut.
Aku terpaksa berkata
menghibur: "Tenanglah. Aku
tidak cidera. kemudian memaki
marah: "Sungguh sialan. Entah
Siapa bangsat itu, dan mau apa
dia. Coba kalau aku dapat
membekuk..."
Sudahlah!
Mungkin itu yang dia
maksudkan, ketika menutup
mulutku dengan jari telunjuknya
yang dingin membeku.
Pakaianku maSih lembab.
melekat ke badan. Aku
menggigil, dan selagi aku
menggigil kedinginan... ia telah
merangkulku. Erat dan kuat.
Kontak itu kurasakan dengan
ta'jub.
Air hujan membuat pakaianku
dingin. Tetapi aku percaya.
tubuhku tetap hangat. Dia
memelukku, sedang tubuhnya
tentu saja terasa dingin. Namun
semakin ia merapat. semakin
terasa kehangatan di tubuhku
berpindah ke tubuhnya.
Sudahlah! Mungkin itulah
yang dia maksudkan.
Maka. aku balas memeluk.
"Maafkan. sayang. Aku telah
membuatmu panik. ya?" Lalu
aku tertawa. Tertawa, mengingat
akulah yang panik saat itu.
sampai tak sadar mengucapkan
kata "sayang'.
Tubuhnya tergetar, dalam
pelukanku.
Ada hembusan napas di
wajahku. la menatap, atau
tengadah. Sebelah tanganku
meraba ke atas. Menemukan
lengan lembut yang halus.
pundak yang sama lembut. leher
yang halus dan kemudian pipi
yang tergetar.
"Boleh aku menciummu?" aku
mengeluh. Resah. takut ia
menolak. "Kuingin
berterimakasih untuk apa yang
selama ini kau berikan padaku.
Demi Tuhan.
Bukan karena dorongan nafsu
seksuil, melainkan semata-mata
karena sudah lama aku
kebingungan mencari sesuatu
yang paling tepat untuk
mengucapkan terimakasih pada
dia.
Hembusan napas itu lebih
mendekat.
. Aku merunduk
Dan mencium bibirnya.
Dadanya memukul keras di
dadaku Kemudian terasa
hentakan-hentakan. lalu suara
isak tangis yang sayup-sayup
sampai. Aku menarik wajahku.
menatapnya... menatap udara
hampa di depanku, lantas
bertanya gelisah: "Menga...
mengapa menangis. sayangku'"
Pelukannya merenggang,
sebelum aku sadar apa yang ia
perbuat.
Kemudian terdengar langkah
kaki kecil berlari-lari, menjauh.
Kurasakan kehampaan beberapa
detik dalam dada, kemudian
perlahan-lahan kehampaan itu
berubah jadi keharuan yang
mendalam' telah berapa lama ia
tidak dicium seorang laki-laki"
Lama aku mencari-cari.
Kehilangan dia
Kucoba memanggil dengan
'he-hei' dan membujuk dengan
suara memelas, bahwa kalau
aku salah supaya ia memaafkan
dan mau memegang tanganku
sebagai pernyataan berdamai.
Karena tak ada sahutan atau
tanda-tanda. dengan pikiran
maSygul aku menaiki tangga
dan masuk ke kamar tidur.
Dia telah masuk ke situ.
Karena pintu lemari terbuka.
Dan pakaian ganti yang kering
dan hangat, terhampar di tempat
tidur untuk kupakai.
Tetapi dia tidak di situ, saat
aku bersalin pakaian. Karena,
dari kamar mandi kudengar
suara keributan kecil. Ember,
gayung dan air yang
dicurah-curahkan, suara
menggusruk gusruk. Aku baru
tahu kalau ia sibuk mencuci
pakaianku yang kotor, setelah
matahari terbit dan kulihat di
halaman samping terjemur
pakaian-pakaian itu dalam
keadaan sudah bersih berseri.
Keharuanku baru reda, setelah
hari itu aku dikunjungi beberapa
orang tamu. Pak Sulaeman dan
isterinya yang ingin mengetahui
apakah aku baik saia tak kurang
suatu apa .. dan mengapa aku
tidak sempat berkunjung ke
rumah mereka. Kujanjikan akan
menguniungi mereka, dan basa
basi lain sampai mereka pamit. .

Siang hari sampai sore,


tamu-tamu lain datang apa yang
mestinya mereka bawa. karena
kebetulan persediaanku sudah
mulai menipis. Dua orang
wartawan dari salah satu
majalah membawa sebuah
amplop berisi. "Bos minta kau
kirimkan naskah cerita
berikutnya. Bulan depan. naskah
yang sedang diterbitkan akan
habis pemuatannya,' kata Alex.
wakil Pemimpin Redaksi dengan
suara riang. Kemudian
menambahkan malu-malu: 'Tak
apa 'kan. isinya sudah tak utuh"'
Ia tidak memotong
honorariumku begitu saja.
Ia dan Toni yang datang
bersama-sama karena sekalian
akan meliput peristiwa longsor
besar tak jauh dari tempat
tinggalku, telah membeli
sekeranjang buah-buahan.
sekeranjang kueh dan berbotol
botol minuman keras untuk
dihabiskan bersama sama
beberapa rekan lain yang ikut
datang bersama mereka. Ia juga
memberitahu, bahwa cerita
bersambungku yang hampir
habis pemuatannya, akan
dibukukan seperti yang
sudah-sudah.
"Boss bilang, setiap saat kau
dapat datang mengambil
pembayaran buku itu!"
'Aku tak punya waktu,"
jawabku, jual mahal. Kalian
maSukkan saja uang itu ke
dalam rekening bankku!" Sambil
menenggak minuman sampai
hampir mabuk, tak habis-habis
mereka mencemoohku: 'Kau
rugi, tak kawin kawin!"
Selama mereka bertamu, dia
seperti biasa. ngumpet entah di
mana. Tak tahulah aku, apakah
dia akan bangkit dari kubur,
ketika salah
seorang tamuku meledek: 'Kau
tahu" Si Mona mencari-carimu.
Mengapa tidak kau tulis surat,
bahwa kau sudah melupakan
dia" Lalu aku akan menggaet si
montok yang pemalu tapi binal
itu!"
Kualihkan percakapan ke arah
lain: "Kalian tadi bicara soal
longsor. Begitu parahkah,
sampai kalian beramai-ramai?"
"Cukup parah." jawab salah
seorang tamuku. "Enam korban
meninggal. tujuh luka parah dan
tiga rumah lenyap ditelan bumi."

"Wah. Di mana itu?"


"Hanya sepuluh kilo dari sini,"
Alex yang menjawabkan. "Subuh
tadi kami terus saja ke sana.
melewati rumahmu... rumah ini
begitu sepi, kami kira kau lagi
pergi...."
Untung mereka tak singgah
pada waktu itu. Kuperkirakan.
dia lagi sibuk menyiapkan
sarapan pagiku. atau masih
mencuci di kamar mandi. "Apa
yang longsor. Lex?"
"Sebuah bukit!"
"Wouw!"
"Selain rumah dan kebun yang
hancur berantakan, juga ada
sebuah bus penuh penumpang
jatuh tertimpa?"
"Bus" Bukan mobil?" aku
teringat sosok hitam yang
terbang dengan mobil ke arah
yang mereka ceritakan.
"Bus. Bus antar kota, bukan
mobil.' Alex menguatkan.
"Mengapa rupanya?"
"Ah. tidak-tidak. Hem, jadi ada
yang celaka."'
'Hampir setengah dari
penumpang bus." Alex
bersungut-sungut setengah
berpikir. Lalu: "Nanti dulu.
Rasanya ada sebuah mobil...
tetapi tidak terperangkap tanah
longsor. Hubungan lalu lintas
putus. dan subuh tadi hanya bus
dan mobil itu saia yang kami
temukan di sana. Penumpang
mobil itu selamat dan ia
berjalan seiring dengan
rombongan kami. Sayang tak
mau diajak singgah. ketika kami
mampir di sini...."
"Hai," aku tertarik. "Warna
mobilnya" Pengemudinya?"
'Merah hati. Sebuah mobil
mahal. dan pengemudinya
kukira juga pemilik mobil itu
sendiri. Seorang pengusaha di
Jakarta. begitu yang kami
ketahui dalam pembicaraan
singkat."'
"Oom Subarja," tukas salah
satu tamuku. 'Ia kukenal baik.
Perusahaan ekspedisi muatan
kapal laut, itulah usahanya.
Sedang maju pesat. tetapi tidak
berbahagia dalam rumah
tangganya. Beberapa kali kawin
cerai" dan perceraian itu selalu
tak berusia lama. Belum lagi
anak-anaknya. Yang satu sakit
lumpuh. Dua yang lain mati
muda, dan yang bungsu. lahir
gagu...."
Aku merasa iba.
Dan berkata pada diri sendiri:
bukan orang macam pengusaha
terkenal itu yang mau memasuki
rumah orang pakai kunci palsu.
Siapa
pun orang yang subuh tadi
berhasil lolos dari rumahku.
tentulah telah menghilang di
suatu tempat. Barangkali juga,
ia bukan pakai mobil sedan...
mungkin kendaraan umum,
pik-up atau semacamnya. Aku
tak begitu yakin. Namun begitu.
tetap penasaran: apa yang mau
dia curi" Apa isi bungkusannya"
Mengapa dia harus ke kamar
mandi"
Coba kalau aku tak keburu
membentak pencuri itu!
Setelah tamu-tamuku pulang.
Suasana rumah kembali sunyi
sepi. Seorang anak tetangga
datang memberitahu, kalau hari
telah mulai senja dan cucianku
di jemuran belum diangkat. Aku
pergi ke samping rumah,
mengangkat kain jemuran dan
ngobrol sebentar dengan salah
seorang ibu-ibu yang katanya
tinggal di rumah petak sebelah
bawah. Sambil lalu ia
memberitahu, bahwa ada batu
yang runtuh ke kebunnya. Batu
itu berasal dari tebing penguat
rumah tempatku berdiri. Ketika
kuperiksa, memang kulihat ada
bagian yang retak pada tebing
batu penahan rumah itu. tetapi
tidak begitu mengkuatirkan.
Kuputuskan untuk melihat
lihat keadaan lebih dulu,
sebelum menemui pemilik rumah
untuk membicarakan kerusakan
itu. Cukup kuat untuk enam
tahun mendatang, pernah ia
meyakinkan, dan melihat
kokohnya tebing di bagian
belakang rumah, aku percaya
katakatanya.
Puas. aku masuk kembali ke
dalam rumah.
Dan. ta'jub melihat segala
sesuatunya telah bersih rapih.
Tidak ada lagi bekas pesta pora
yang ditinggalkan terlantar oleh
tamutamuku. Sampah bertumpuk
di sudut ruangan lantai bawah.
dan aku membuangnya lewat
jendela belakang
Lama aku menunggu di kamar.

Kalau-kalau dia datang, atau


memperlihatkan tanda tanda
untuk bercengkerama. Setelah
penungguanku Sia-Sia, aku
berpendapat ia ingin
membiarkan aku sendirian,
supaya aku dapat bekerja
dengan tenang. Barangkali, dia
juga mendengar. aku harus
membuat novel yang baru.
Tengah malam. selagi aku
tekun mengetik dan tenggelam
dalam kisah yang kutumpahkan
pada toets toets mesin tik.
segelas kopi kental dan sepiring
kueh sisa oleh-oleh rekanku tadi
siang, telah terhidang di sudut
meja. Aku hampir
menumpahkannya karena tidak
sadar kopi itu telah terhidang di
sana. Lagi lagi aku mencari.
lagi-lagi kuketahui bahwa dia
tidak ingin mengusik
keasyikanku.
Pagi-pagi benar, kudengar
kesibukan di dapur. Ia tengah
mempersiapkan sarapan .
Lama-kelamaan. aku merasa
benar-benar berada di rumahku
sendiri. dengan seorang teman
yang tidak terlihat tetapi baik
hati. rajin dan menyenangkan.
Banyak pekerjaan-pekerjaan
yang telah selesai dengan
sendirinya ketika aku bangun
pagi. atau ketika aku pulang
setelah pergi keluar untuk
berbagai keperluan.
Segalanya sudah terbiasa
bagiku.
Bantuannya yang diberikan
diam-diam. Protes yang ia
berikan melalui suara gaduh
kalau aku berbuat sesuatu hal
yang tidak sesuai dengan
keinginannya. serta semakin
banyaknya hal-hal ganjil yang
harus kualami. Misalnya, setrika
listrik yang bergerak sendiri.
dapur yang sibuk. kamar mandi
yang ramai. pakaian dan segala
macam benda yang melayang
layang di udara bebas.
Ia menghidangkan sarapan
pagi secara tetap.
Kopi. telur rebus dan diseling
dengan roti panggang. Aku
memang tidak biasa makan
siang, dan itu kuterangkan
padanya ketika suatu hari ia
menyediakannya kira-kira jam
sebelas pagi. Menu makanan
sore, selalu bervariasi. la
menyesuaikan diri dengan bahan
yang kubeli sendiri ke pasar
pada tempo-tempo tertentu.
Pakaianku dicuci jauh malam.
Ketika ayam berkokok. pakaian
pakaian itu sudah terjemur di
halaman samping yang sempit
itu. Tentu saja tidak lucu kalau
ada orang melihat
pakaian-pakaianku melayang
masuk rumah satu persatu, maka
ia membiarkan aku mengambil
pakaian itu setelah kering dan
membawanya masuk ke dalam
rumah. Di dalam, segala sesuatu
bebas melayang-layang tanpa
ada yang melarang.
Benda-benda terbang yang
mirip kejadian sehari-hari di
angkasa luar itu baru terhenti.
kalau ada tamu mengetuk pintu.
"Menyenangkan sekali
suasana rumah ini." tamu atau
tetangga-tetanggaku memuji
dengan suara yang tulus
bercampur heran.
"Biar aku betah." tak lupa aku
memuji diri.
Tetapi sesekali, ada juga
pertanyaan itu:
'Tidak ada yang menganggu."
"Orang luar" Tidak."
"Eh. makSudku... penunggu
rumah ini."
"Yang menunggu rumah ini.
hanya aku sendiri,' sahutku
tertawa lebar.
"Kalau begitu. mengapa tidak
mengajak seorang teman atau
mempekerjakan seorang
pembantu?"
"Oh. Aku lebih senang bekerja
sendiri. Lumayan. bisa
melenyapkan rasa sepi.?"
Dan kepada dia yang tidak
terlihat, aku bersungut setelah
tamu-tamuku pergi:
'Kau dengar" Aku sudah
bermulut besar!'

***
DELAPAN
Kontak kami yang berikutnya,
terjadi ketika aku demam karena
kehujanan waktu pulang dari
kantor pos. Ia meraba dahiku
yang panas. mengelus lenganku
yang menggigil dengan
tangannya yang dingin tetapi
lembut itu. Terasa kasih sayang
yang tersembunyi dikedinginan
jari jemari atau telapak
tangannya.
Ketika ia menyuapkan bubur
ke mulutku. aku tahu ia duduk di
pinggir tempat tidur. Karena.
dapat kulihat kasur di bagian
yang ia duduki. membuat
cembungan dalam. Benda lunak
dan dingin. menyentuh
pinggangku. Mungkin pahanya.
Entah pakaian apa yang ia
kenakan.
Ingin aku menyentuh udara
hampa itu.
Tetapi aku sadar, kalau itu
kulakukan. ia akan segera
menghindar. Karena itu kutekan
keinginanku, dan aku menurut
dengan patuh terhadap segala
yang ia lakukan atas diriku.
Termasuk ketika ia melap
tubuhku dengan handuk yang
dibasahi air hangat. karena aku
tak mampu untuk turun ke kamar
mandi. .
Sendok bubur tertegun di
udara. ketika
aku berujar:
"Kau seorang wanita yang
baik dan patut dikasihi."
Ketika ia melap tubuhku
dengan tidak melepas celana
dalamku. aku mengatakan hal
yang lebih menjurus.
"Baru kau seoranglah yang
pernah menjamah tubuhku
dalam keadaan begini rupa"."
Gerak lap tertegun lebih lama.

Entah terharu oleh ucapanku.


entah tahu kalau aku berbohong.
Tetapi handuk basah itu terus
bergerak. kadang kadang
setengah menekan, memijit-mijit
bagian-bagian uratku yang
kejang. Dan aku segera tertidur
begitu selesai mengganti
pakaianku.
Dalam tidurku. gadis yang
sama muncul.
Dengan gaun tidurnya yang
putih. rambutnya yang panjang.
Tetapi senyumnya tidak lagi
penuh rahasia, serta matanya
berkaca-kaca. Ia tidak minggat
ke balik kabut waktu aku
menggapai. Tiba-tiba saja kami
telah berpelukan. Tubuhnya
dingin. sedingin salju tempatnya
selalu lenyap. Ketika aku
menciumnya bibirnya juga
dingin.
Kaget. aku membuka mata.
Aku yakin kali ini aku tidak
bermimpi. Aku tidak melihat
gadis itu. Tetapi aku dapat
merasakannya. Tepi tempat tidur
lekuk ke dalam kemudian rata
kembali. Uap dingin menyapu
wajahku. Kemudian
langkah-langkah kaki menjauh
ke pintu. lalu lenyap.
Pada hari-hari senggang
kusempatkan bertamu ke
tetangga. memenuhi apa yang
selalu kujanjikan. Dan pada
suatu hari. aku bertamu khusus
di rumah Pak Jayusman, untuk
menanyakan apa yang
diam-diam mulai menggerogoti
benakku.
Dengan jujur kuakui aku baru
saja sembuh sakit. ketika ia
terkejut melihat wajahku yang
lebih pucat dari biasa. Setelah
marah marah karena aku tidak
memberitahu sehingga tidak ada
yang menolongku selama sakit...
menurut dia. tentu!." Pak
Jayusman bertanya:
"Tentu ada maksudmu datang
ke mari. Nak Doli. Dapat kulihat
dan sinar matamu...."
Aku memilih pokok
pembicaraan yang diplomatis.
"Tentang itu. Pak! Desas desus
mengenai rumah yang saya
tempati....'
Pak Jayusman memegang
tanganku. Kuat.
"Kau... kau telah bertemu
dengannya?" tanyanya,
bernafsu.
"Bertemu"' aku bingung.
'Maksudku. diganggunya.'
'Ah.... Tidak."
Duduknya kembali tegak
seperti semula. Matanya
memandang kecewa.
"Lalu?" dengusnya. lirih.
"Ingin tahu saja, Pak.
Maklum... saya hidup dari
kisah-kisah seram seperti yang
orang orang di sini ceritakan.
Siapa tahu, barangkali ada kisah
menarik yang bisa kuangkat ke
mesin tik."' Meskipun masih
kecewa, ia mau juga
menceritakan.
***

Rumah yang kutempati dibangun


oleh seorang laki-laki dari
ibukota. untuk isteri muda.
Laki-laki itu jarang berkunjung
menemui isterinya. Tak heran,
kalau isteri yang masih muda
belia itu tergelincir menempuh
jalan yang tidak terhormat,
Ia mulai main mata dengan
pemuda-pemuda setempat. Mula
mula diam diam, lama lama
terang-terangan. Belakangan,
suaminya mengetahui hal itu.
Terjadi pertengkaran sengit,
tentu saja. Hasilnya: si lelaki
lebih sering berkunjung dari
biasa. dan si wanita menolak
uluran cinta pemuda pemuda
yang selama ini mengisi
kesepian hatinya. Namun desas
desus iuga keluar. lewat
pembantu mereka yang mulutnya
tak pernah terkatup.
Suami isteri itu sering
bertengkar. Malah pernah
berkelahi. Rupanya yang
perempuan tidak cinta sama
sekali kepada yang lelaki. Ia
mau kawin dengan laki-laki itu,
karena desakan ekonomi
keluarganya yang morat marit
Sebaliknya. si suami
mencintainya. tetapi takut
menceraikan isteri pertama,
yang telah mengaruniai lakilaki
itu setengah lusin anak-anak.
Beberapa kali perempuan muda
itu minta cerai, tetapi tak pernah
dikabulkan.
Desas desus agak reda setelah
pembantu yang tak bisa
menyimpan rahasia itu
diberhentikan, dan diganti oleh
seorang pembantu yang jarang
keluar rumah. Beberapa hari
kemudian. isteri muda belia itu
tidak tampak lagi batang
hidungnya. Konon sang suami
sudah memberi ijin cerai, lantas
mengusirnya tengah malam
buta. Laki-laki itu masih
menetap di sana selama
berbulan-bulan serta membawa
isteri tua dan anak-anaknya
sesekali untuk berlibur di sana.
Tetapi sang isteri mengetahui
siapa yang tinggal di rumah itu
bersama suaminya, sehingga
mereka pun bertengkar. Cerai
tidak terelakkan lagi.
Rumah itu kemudian dijual.
dan sudah sering berpindah
tangan.
"Tetapi tak lama".' Pak
Jayusman mengakhiri ceritanya
yang ringkas itu. "Karena kata
orang. ada hantunya"."
"Hantu siapa?" desakku. ingin
tahu.
'Mana aku tahu?" Pak
Jayusman angkat bahu. "Tak
pernah ada yang melihatnya
secara nyata. Hanya terdengar
desas desus yang sukar
dipercaya kepastiannya..."
"Mengenai apa pula itu?"
'Sang isteri muda. Konon. ia
tidak diusir. Tetapi dibunuh!"
Aku menggigil, meski cerita itu
kuharap memang demikian pada
akhirnya.
"Tentu setelah mayatnya
diketemukan!"
aku memancing.
Pak Jayusman gelang kepala.
"Jangankan mayat. Kabar
beritanya pun tidak pernah
terdengar lagi," katanya,
setengah tertawa puas karena ia
dapat membalas kekecewaannya
dengan membuatku mengalami
hal yang sama. "Itu cuma kabar
burung belaka. Polisi sudah
pernah memeriksa ke sana.
tetapi hasilnya" Nihil. Nak. itu
cuma kabar burung. bukan?"
Ia yang memancing sekarang.
Dan aku mengkik balik dia
seketika.
'Tentu. Karena di rumah itu
tak ada hantu!"
Pak Jayusman mengantarku
sampai di pintu. dengan wajah
malu. Aku agak menyesal juga.
Tetapi yah... hantu itu memang
ada. Tetapi ia terlalu baik,
terlalu menyenangkan, terlalu
sayang untuk digubah jadi
dongeng yang bisa
menakut-nakuti anak-anak agar
segera masuk ke rumah. tidak
kelayapan malam di luar.

***

SEMBILAN
Meski merasa seram
mengingat kemungkinan adanya
sesosok mayat tertanam di salah
satu bagian rumah. aku
berusaha sedapatnya
memperlihatkan sikap
biasa-biasa. seolah tidak tahu
apa-apa. Menyapa suasana
temaram di dalam: "Hai. Sedang
apa?" kemudian menekuni
pekerjaanku dan pada
waktu-waktu senggang ngobrol
secara rutin dengannya.
Dia seorang pendengar yang
baik dan setia. ' '
Dan paling senang kalau aku
ceritakan suasana kehidupan di
luar rumah kami, atau keadaan
para tetangga; Pak Sulaeman
akan menikahkan anak gadisnya
yang sulung". Ibu Endah
bertengkar dengan ibu Rukman
karena soal kucing... si Dudung
ketahuan menghamili anak pak
lurah dan kini buron entah ke
mana. Bung Lee yang bekerja
jadi kuli bangunan di Arab
Saudi tadi siang mengirim uang
banyak sekali pada orang
tuanya.... Pak Barli cerai
dengan isterinya karena
panenan sawah tahun ini gagal
lagi." Dan banyak kisah-kisah
lain. Sebagian menurut apa yang
kudengar dan kuketahui, tetapi
kebanyakan dari celoteh Bi
Saodah. tukang sayur yang rutin
datang ke rumah tiap pagi
menawarkan dagangannya. '
Kalau aku sedang malas ngetik
dan dia hilang dalam kesunyian
rumah. kusempatkan sesekali
memeriksa lantai. memeriksa
tembok sampai tempat
pembuangan sampah. Bahkan
sudut sudut pekarangan di
sekeliling rumah iuga kuteliti.
Siapa tahu ada tembok yang di
bangun tidak semestinya:
kelewat tebal, atau bentuknya
tidak wajar. Adakah lantai yang
bekas dibongkar dan ditutup
lagi" Atau rerumputan, ilalang.
kembang yang tumbuhnya lebih
muda dari bagian lain, pada
bekas galian lanah" Barangkali
juga: tulang kaki tersembul di
antara tumpukan sampah!
Rupanya diam diam ia
perhatikan juga apa yang
kulakukan.
Suatu hari, selesai
membersihkan diri untuk
membuang kuman-kuman
sampah, di meja kerjaku
terhampar sehelai kertas yang
ditulis kata kata: "Sibuk benar.
Cari apa sih?"
Tulisan dia!
Aku menatap sekeliling kamar,
dan setelah kurasakan
kehadirannya, aku menyeringai:
"Ada deh. Mau tahu saja!"
Sebuah ungkapan kuno, namun
ternyata tidak membuatnya
senang karena kertas yang tadi
ia tulisi dirampas dari tanganku
lantas dirobek berkeping-keping.

"Tak usah curiga, manis," aku


cepat-cepat membujuk. "Kau
tahu,aku menyukai rumah ini...
dan kau juga!" kucoba
tersenyum, jujur. "Jadi tak ada
salahnya kalau semua sudut
kuperiksa dulu. agar kelak aku
tidak rugi atau tertipu. bukan?"
Sepi sejenak.
Lalu kepingan-kepingan kertas
yang berserakan. melayang satu
persatu ke ranjang sampah.
Menyusul segelas kopi panas
diletakkan di mejaku. lalu
usapan dingin tetapi lembut
menyenangkan di pipiku.
Kusentuh tangan yang halus
dingin itu. dan menunjuk ke
kertas kertas kosong serta
pulpen di mejaku. Berkata:
"Ayo. Tulislah. Sesuatu lagi. Aku
senang membacanya. Senang
pada tulisan tanganmu yang
cantik...."
Tangan itu menjauh.
Tetapi kertas-kertas di meja,
tetap kosong.
'Ayo dooong!" aku merajuk.
Pulpen bergerak. Lalu: 'Apa
yang harus kutulis?"
Aku langsung menembak
sasaran yang selama ini ingin
kubidik: "Tentang siapa kau
sabenarnya'"
Pulpen tertegun di permukaan
kertas. Meninggalkan titik biru.
lantas berdentang terkulai.
bergulir sebentar lalu berhenti
di tepi meja. Aku terjengah,
menyadari ia begitu gigih untuk
tidak memberitahu keterangan
mengenai pribadinya.
'Apa sih yang harus
disembunyikan?" rungutku,
dongkol. "Kau sudah banyak
tahu tentang aku. Malah, kukira
kau lebih banyak tahu dari pada
aku sendiri.... Sedang kau?"
Kuperlihatkan wajah tak senang.
Wajah kecewa yang teramat
sangat. Baru menambahkan
dengan tekanan; Ini namanya
sepihak. Kau mau menang
sendiri"
Sepi menyentak.
Dan... ah. pulpen itu bergerak,
bimbang. kemudian srat-sret. di
sehelai kertas ia menulis: "Aku
malu, sayang. Aku bukan
perempuan baik-baik.?"
"Teruskan." desakku, ketika
pulpen itu tertegun lagi.
Ragu-ragu, ia meneruskan:
"Ketika aku putuskan untuk
merobah tingkah lakuku.
semuanya sudah terlambat!"
"Apanya"' tanyaku, bernafsu.
"Apanya yang terlambat?"
Pulpen tertegak lagi. Kaku.
Beberapa detik yang
mencengkam berlalu. sebelum
pulpen itu akhirnya terjatuh di
permukaan meja. seolah tangan
yang memegangnya tidak sadar
kalau pulpen terjatuh.
Terdengar hentakan kaki samar
dalam kesunyian kamar. lalu
Suara sayup seperti mengisak.
Aku menggapai ke udara dingin
yang paling keras. Menemukan
tubuhnya. dan membawanya
dalam pelukanku. 'Sudahlah...."
aku membujuk.
Ia balas memelukku
Ada tekanan-tekanan keras di
dada. serta kedinginan yang
kian menajam. Oh. Dia
menangis di dadaku Rambutnya
kubelai, lembut. Berkata
menghibur: 'Tak usah kita
perpanjang lagi, okey. Dan kau
tak usah malu. Aku sendiri pun
bukan pemuda baik-baik. Aku
telah mengecewakan Sejumlah
orang. Membuat ibuku mati.
Menyebabkan anakku terkubur
tanpa aku.?"
Jari jemari yang dingin
menyentuh bibirku.
Artinya: 'Ssssttt....'
Tubuhnya pelan-pelan
menjauh. Pulpen melayang
sebentar, dan pada sehelai
kertas yang masih kosong, dia
menulis: "Tenteramkan
pikiranmu. Dan ingat. Siang tadi
ada surat yang menagih
naskah!"
Sebelum aku sempat berkata
apa-apa, sebuah ciuman dingin
hinggap di pipiku. Dorongan
aneh menggerakkan
lengan-lenganku untuk
memeluknya untuk memperoleh
lebih dari sekedar ciuman di
pipi. Namun udara dingin itu
telah menjauh. Pintu terbuka
lalu menutup lagi. Udara di
dalam kamar kembali hangat.
Tak lama. Udara berubah dingin
perlahan lahan. Bukan karena
dia hadir untuk menemaniku.
Tetapi, karena hujan tiba-tiba
jatuh di luar rumah.
Hujan deras terus menggebu
di luar rumah ketika malam itu
aku mengetik bagian-bagian
terakhir dari naskah yang akan
kukirimkan ke Redaksi. Topan
membadai dengan suara yang
nuh rendah. Butir-butir air
menghantam kaca jendela
dengan suara yang membuatku
khawatir kalau-kalau jendela itu
sampai pecah.
Kumatikan rokok ke asbak.
Lalu berjalan ke jendela.
menyingkapkan tirai. Tidak
tampak apa apa sama sekali di
luar, selain kegelapan yang
hitam pekat. Bagian luar jendela
dialiri air hujan yang deras
seolah ada sungai besar meluap
dari langit.
Ketika guntur menggelegar.
aku tergoncang mundur.
Darahku tersirap sebentar.
Benarkah guntur itu yang
membuatku tergoncang sebentar
tadi" Atau sesuatu yang lain.
pada tempatku berpijak" Aku
mundur kembali ke kursi,
mengnadapi mesin tik. Mungkin
hanya dugaan saja. atau tadi
aku terlalu letih karena
terus-terusan berdiri.
Di kejauhan, terdengar suara
pohon besar. berderak.
Tumbang.
Tanganku yang sedang
memaSukkan kertas tik ke ban
mesin, tertegun. Ada goncangan
halus lagi terasa di kakiku.
Hanya sekilas. kemudian tenang.
Di luar, hujan mulai reda.
Namun suara angin masih
terdengar ribut. berkecamuk.
Pintu terbuka tiba-tiba.
Angin dingin menerpa ke
dalam.
Aku menggigil, dan merasa
tenang kembali setelah melihat
sebuah baki melayang di udara.
setinggi dada. Di atas baki
tampak kopi tubruk kental.
beberapa potong singkong
goreng pada piring, yang
kesemuanya kemudian
diletakkan di atas meja tempatku
bekerja.
Napas yang dingin menyentuh
tengkukku sesaat.
"Terimakasih," aku bergumam.
seperti biasa.
Terdengar langkah-langkah
halus berjalan menjauh. Pintu
tertutup kembali. Selama
beberapa saat aku menunggu.
Setelah mengunyah sepotong
singkong dan mereguk kopi yang
panas, aku meneruskan
ketikanku yang tertunda. Baru
berjalan setengah lembar, ketika
napas yang dingin menyentuh
tengkukku lagi.
Berarti, ia tidak keluar.
Aku tertegun. Heran.
"Kau masih di Sini?" aku
bertanya.
Sebagai jawabannya,
kurasakan sentuhan. halus dan
dingin di pundak kananku.
"Sudah larut malam," lanjutku.
"Pergilah tidur. Istirahat. Kau
sudah lelah bekerja sepanjang
hari. Jangan merepotkan diri
lagi denganku.?"
Langkah-langkah kaki itu
berhenti.
Lalu. Sreeeekkkk!
Kertas di ban mesin, tertarik
sampai lepas, lalu reeetlt.
reeeett... sobek dua. melayang di
udara, jatuh ke lantai tak
berdaya.
Aku terkejut.
Langkah-langkah halus lagi,
tetapi terdengar gelisah.
Aku menggerakkan leher
sesuai dengan arah irama
langkah, dan bersungut. "Ada
apa dengan kau, manis?"
Diam.
DI luar, sisa sisa hujan
menerpa jendela.
"Kau tak mau tidur?"
Kuputar kursi, menghadap ke
arah pintu maSUk, karena
langkahnya yang terakhir aku
dengar di sana. Tetapi segera
berpindah lagi. ke arah tempat
tidur. Kuperhatikan kasur. Tidak
ada yang melekuk, sprei tidak
berubah bentuk. Jadi, ia tanya
berdiri saja disana.
Kucoba tersenyum.
"Aku tak tahu mengapa kau
gelisah Tetapi... adakah sesuatu
yang dapat kulakukan, untuk
menyenangkan hatimu?"
Sepi.
Sepi sekali.
Lalu. napas dingin,
langkah-langkah kaki yang
lembut. Tiba-tiba. kertas di
lantai melayang ke udara,
pindah dengan gerakan tetap ke
atas meja. Sobekannya
dirapatkan. seolaholah ia ingin
menyatukannya kembali dengan
perasaan menyesal.
"Tak usah dipikirkan, sayang,"
aku bergumam, terharu, 'Toh
jalan ceritanya masih kuingat.
Aku bisa mengetiknya
kembali".."
Kureguk kopi panas yang ia
hidangkan.
"Sungguh tak enak rasanya
minum sendirian, sementara
engkau kedinginan....' ujarku.
"Dan singkong ini." aku
mengunyah. "Bagaimana kau
menggorengnya" Gurih dan
enak sekali rasanya."
Lama. tidak ada reaksi.
Apakah ia telah keluar melalui
kemampuan empat dimensinya"
Barangkali ia ingin melihat
aku bekerja. Baiklah. Kuambil
sehelai kertas, memasukkannya
ke ban mesin. dan pelan-pelan
mengonsentrasikan diri. Tik-tak
tik-tak mesin tik mulai
memperdengarkan suara
kembali. Tetapi agak tertegun
tegun, karena kesadaran bahwa
dia masih ada di dalam kamar
sehingga konsentrasiku agak
terpecah.
Tiba-tiba, musik mengalun
lebih keras.
Tidak terlalu hingar, tetapi
ternyata sangat cocok untuk
mengatasi suara angin di luar
rumah. Tetapi barangkali buat
dia sendiri, mungkin punya
pengaruh lain. Karena tahu tahu
saja aku sudah merasakan
hembusan dingin di pundak,
disusul sepasang lengan yang
lembut melingkar ke depan dan
mendekap dadaku. Sesuatu yang
lunak menekan di punggung.
Sepasang bukit kembar yang
menonjol lembut, sayang betapa
dingin, namun aku tentu saja
sangat gugup dibuatnya.
"Kau... kau kedinginan?"
tanyaku, lirih
Sebagai jawaban. sebuah
kecupan bibir ' mendarat di pipi
kananku. Kecupan yang lama.
disertai geseran lidah yang
basah dan lunak. Kontak seperti
itu telah dua tiga kali kualami
semenjak ia menciumku di kala
aku tertidur waktu masih sakit.
Aku pun sudah dapat merasa
sedikit sedikit.
Ia masih muda, dengan lekak
lekuk tubuh yang apabila
terlihat mungkin akan membuat
hatiku tergetar. Dan aku sangat
yakin, bahwa ia mengenakan
gaun malam, yang meski
warnanya tidak dapat kulihat.
aku tahu tentulah berwarna
putih seperti yang sudah
beberapa kali kulihat dalam
mimpiku.
Rambutnya yang panjang,
menebarkan harum semerbak ke
hidungku.
"Baiklah,..." aku berbiSik,
parau. "Kalau kau tak ingin aku
mengetik...."
Aku memutar setengah
tubuhku di kursi, lalu menerima
ciuman yang lembut itu pada
bibirku. Ia menggigitnya sedikit.
penuh getaran. pertanda
kegemasannya. Bagaimanapun
aku membelalakkan mata toh
aku tidak akan dapat melihat
dia.
Karena itu kupejamkan mata.
Lantas aku memeluk, dan
membalas ciumannya dengan
hangat.
Tekanan wajahnya kemudian
terasa di dadaku. disertai
hendusan-hendusan napas
"Kau... kau kedinginan"'
tanyaku, lirih Sebagai jawaban.
sebuah kecupan bibir mendarat
di pipi kananku. Kecupan yang
lama,
disertai geseran lidah yang
basah dan lunak .Kontak seperti
itu telah dua tiga kali kualami
semenjak ia menciumku di kala
aku tertidur waktu masuh sakit.
Aku pun sudah dapat merasa
sedikit sedikit.
Ia masih muda, dengan lekak
lekuk tubuh yang apabila
terlihat mungkin akan membuat
hatiku tergetar. Dan aku sangat
yakin, bahwa ia mengenakan
gaun malam, yang meski
warnanya tidak dapat kulihat.
aku tahu tentulah berwarna
putih seperti yang sudah
beberapa kali kulihat dalam
mimpiku.
Rambutnya yang panjang,
menebarkan harum semerbak ke
hidungku.
'Baiklah."' aku berbisik, parau.
"Kalau kau tak ingin aku
mengetik.. ."
Aku memutar setengah
tubuhku di kursi, lalu menerima
ciuman yang lembut itu pada
bibirku. Ia menggigitnya sedikit.
penuh getaran. pertanda
kegemasannya. Bagaimanapun
aku membelalakkan mata toh
aku tidak akan dapat melihat
dia.
Karena itu kupejamkan mata.
Lantas aku memeluk, dan
membalas ciumannya dengan
hangat.
Tekanan wajahnya kemudian
terasa di dadaku, disertai
hendusan-hendusan nafas
yang terengah-engah.
Getaran ganjil mengaliri jalan
darahku. Aku seolah-olah
memeluk makhluk perempuan
yang lembut dan hangat, dengan
gairah yang minta dipenuhi.
Kubayangkan wujudnya yang
sering kulihat dalam mimpi.
semakin lama semakin jelas."
Tetapi ketika aku menariknya
ke tempat tidur.... Ah,
sesungguhnya. dialah yang
menarikku ke tempat tidur. aku
tidak melihat apaapa. selain
merasakan kehadiran dirinya.
sentuhan tangannya. desah
napasnya yang serba dingin.
Anehnya. gairahku
perlahan-lahan lepas dari
kendali. Aku mengikuti
gerakannya dengan
tertegun-tegun, setengah gugup,
setengah berhasrat, kemudian
kami telah berbaring di tempat
tidur.
Musik mengalun
mendayu-dayu, penuh goda.
Diluar, angin masih menderu.
Dingin sekali di sini.
Tetapi pakaianku sudah
dilepas oleh tangan-tangan gaib,
dan pada saat berikutnya
tubuhku telah menyentuh kulit
tubuh yang licin, halus dan
dingin. Sentuhan itu secara
lambat tetapi nyata mulai
berubah hangat. Barangkali
oleh kobaran api yang
bergejolak dalam darahku, dan
menebar dengan liar di seputar
kamar.
Dengan lampu tetap menyala.
kami bermain cinta.
Dan aku merasakan. betapa
hebat gejolak
birahinya, seorang telah
sekian lama terpendam, tanpa
menemukan pipa untuk
menyalurkannva keluar....

***
SEPULUH
Tak ubahnya manusia hidup
dan berperasaan normal.
ternyata dia dapat juga marah.
Kemarahan yang sungguh luar
biasa. Aku sampai kalang kabut
dia buat. Bingung memikirkan
bagaimana cara mengatasi
tingkah lakunya yang serba
diluar dugaan itu.
Pagi pagi. aku bangun.
Sekujur tubuhku letih lesu.
Aku bangkit dan seketika
tersentak mengetahui di bawah
selimut. tubuhku dalam keadaan
bugil. Sprei acak-acakan. Salah
satu bantal terguling di lantai.
Baik piyama maupun pakaian
dalamku. tidak kutemukan dalam
kamar. Baru kemudian aku tahu
piyama dan celana dalam telah
dia cuci dan dijemur di luar
rumah. Perlahan-lahan aku
ingat apa yang terjadi tadi
malam.
Dan, aku menggigil
Kucari tanda tanda kalau ia
ada di kamar. Nihil Aku
membuka pintu, menjenguk ke
luar. Rupanya ia sedang sibuk di
dapur, karena aku mencium bau
masakan dan suara perabotan
yang samar-samar. Berkerudung
selimut, aku
turun ke lantai bawah. Terus ke
dapur.
Di pintu dapur aku berhenti.
Penggilingan melayang di
udara. Rempah rempah yang
telah digiling lumat bercucuran
jatuh ke katel beriSi minyak
mentega. dengan bantuan
sendok besar. Penggilingan
kemudian hinggap sendiri di
meja. Sendok maSih melayang
layang, mengaduk sendiri
adonan di katel. Sebutir telur
rekah, kemudian belah. Bagian
dalamnya masuk ke mangkok
kecil dan sebuah sendok lagi
lantas mengaduknya. Beberapa
hari belakangan ini ia memang
suka mengganti menu sarapan
pagiku. Kopi tetap tersedia.
tetapi telur rebus telah ditukar
dengan telur dadar dan nasi
goreng .
Aku terbatuk menCium bau
sengit dari katel
Gerakan di sekitar kompor
terhenti. cuma sesaat Kemudian
segala sesuatunya kembali
'memasak sendiri". Sambil
menyeringai. aku bergumam:
"Kau membuatku lapar... "
Tak ada sahutan.
Perabotan terus saja bekerja.
NaSi goreng terus saja diaduk di
katel. Kutunggui dengan asyik.
Sebuah serbet mengudara pula
hinggap di kuping kiri kanan
panci. Ternyata ada air
mendidih, yang dalam sekejap
telah berpindah tempat ke dalam
ember yang sudah tersedia.
Pegangan plastik ember itu
terangkat, ember bergerak dan
berhenti di depan kakiku.
Pegangannya jatuh lagi. Dan
uap panas menyelinap nakal
lewat celah selimut. merayap
sampai di kelangkanganku.
"Hem. Jadi aku harus mandi
dulu. Habis itu. baru ngobrol?"
aku nyeletuk. Daun pintu dapur
bergerak tiba tiba. Sebelum
menghantam batang hidung.
cepat aku menyingkir mundur.
Untung ember berada di luar
dapur. kalau tidak tentulah
isinya tumpah mengenai kakiku.
Sambil geleng-geleng kepala
memikirkan pernyataan
kesalnya. aku membawa ember
itu ke kamar mandi.
Bersenandung sumbang, karena
pikiranku masih tercurah pada
kejadian malam tadi. Aku masih
bersenandung ketika menaiki
tangga, dan baru menghentikan
suaraku yang memang tidak
enak didengar, setelah kaleng
panci berbunyi ribut dari dapur.
dipukuli sendok sebagai musik
pengiring bernada mengejek.
"Sialan!' aku memaki pelan.
masuk ke kamar. Ganti pakaian.
Pagi itu. seperti biasa aku
sarapan sendiri. Ia, seperti biasa
pula. duduk di seberang meja
dan kadang-kadang berdiri
untuk menuangkan teh atau
beranjak ke dapur waktu aku
ingin kecap. Selesai aku makan,
dia beberes. Sembari
memandangi perabotan bekas
makan pada mengudara, aku
bergumam tak tahan: "Hei,?"
Piring tergantung di
permukaan meja.
Ia tengah menatapku. aku
yakin.
"Mau duduk sebentar" Ada
yang mau kuperbincangkan....'
Piring itu mendarat dengan
halus. seperti benda dari
angkasa luar saja layaknya.
Kursi di seberang meja
bergeser. la duduk. seraya
mengisi gelasku yang kosong
dengan air teh panas.
"TerimakaSih." ujarku. tulus.
Teko mendarat pula di tempat
semula. Mulus. Setelah itu.
kesepian tergantung di
langit-langit. Agak lama. baru
aku dapat menemukan kalimat
yang kuanggap paling baik:
"Kau sadar apa yang telah kita
lakukan tadi malam, bukan?"
Diam.
Dia diam.
"Aku menyukainya." "aku lagi.
terus terang Apakah ia juga
menyukainya" Apakah ia malu"
Apakah ia tersipu-sipu" Apakah
kulit mukanya bersemu merah.
lantas merunduk atau berpaling
menyembunyikan isi hati"
Sungguh malang. aku tidak akan
pernah tahu. Karena itu
kulanjutkan saja: "Mungkin
yang kita perbuat itu tidak punya
arti apa-apa buatmu.?"
Kalimatku terputus oleh
gerakan taplak meja yang
setengah tertarik ke seberang,
melipat dan menekan ke arah
bawah. Ia telah
mencengkeramnya.
"Kuharap. seperti aku maka
kau juga menyukai dan bahagia
dengan apa yang telah kita
perbuat,' kataku. memperbaiki
kalimat sebelumnya. Lipatan
dan tekanan di ujung meja.
pelan-pelan mengendur.
"Kuulangi sekali,lagi.
Aku menyukainya... dan,
menikmatinya. Belum pernah
aku... sebahagia tadi malam."
Tersenyumkah dia'"
Atau, mencibir"
'Hei .. kau masih di Situ?"
Ada detakan-detakan kaki
lembut di bawah meja_ dan
taplak yang dilurus luruskan di
depan.
'Aku masih di sini." tentu itu
yang dia maksudkan.
Aku meneguk tehku. Masih
ragu ragu. kujilati pula bibir
sebentar. Baru kemudian; .
begini.. Setelah apa yang terjadi
tadi malam, antara kita berdua ..
yah. kita semakin intim dan
semakin dekat satu sama lain
Itulah yang kumaksud. Dan. . '
Dan. taplak meja terlipat-lipat
lagi.
Dia tak sabar.
"Untuk tidak berbelit." kataku
cepat cepat. "Kau telah tahu
Siapa aku. Aku tak mendengar
kau memanggilku. tetapi kukira.
dari duniamu kau sudah sering
memanggil namaku. Nah. Apa
salahnya. kalau aku juga
mengetahui namamu" Jadi aku
tak usah berhei hei lagi
Semenjak ini. aku dapat
memanggilmu Misalnya Tien.
Lies, atau Neneng"." kutunggu
reaksi dari seberang meja Sepi.
Diam.
Demikianlah yang terjadi.
Tanpa dapat dikendalikan. aku
telah menembak. Menembak
tanpa berpikir panjang, lewat
mulutku yang tergetar karena
sudah
lama penasaran ingin
mengatakannya: 'Aku... kau
lebih suka kupanggil Maria"
Itulah namamu yang benar.
bukan" Maria Magdalena.
sebuah nama yang "'
Taplak meja
sekonyong-konyong tertarik ke
depan. Tidak pelan. tidak pula
sedikit. Taplak meja itu tertarik
seluruhnya. Perabotan bekas
makan terhumbalang kian
kemari. Baskom berisi sisa nasi
terlempar ke lantai. Teko
terguling membentur salah
sebuah kursi. lalu pecah terderai
setiba di lantai. Menyusul
sebagian perabotan bekas aku
makan. Sebagian, kubilang.
Karena sebagian lagi punya
tugas tersendiri
Mula mula gelas
Sebelum gelas itu jatuh. dia
telah menyambarnya dan
melemparkannya ke arahku.
Reflek. aku mengelaka Namun
toh sisi kepalaku terserempet
juga. Sendok garpu kemudian
terbang bagaikan senjata masa
datang yang ditembakkan dari
lubang kanon. Meluncur cepat
sekali. Kursi yang kududuki
terbanting setelah aku berguling
guling untuk menghindari
ceceran peluru peluru ajaib itu.
Sendok berdentang menghantam
rak di dekat tembok. Garpu
menghunjam dalam ke tembok di
atasnya.
Aku tercekat.
Pucat pasi. Andaikata garpu
itu menghantam jidatku."
Selagi bersiap menunggu
serangan berikutnya. .mataku
liar mengawasi ke depan. ke kiri.
ke kanan karena aku tidak tahu
di mana ia saat itu ambil ancang
ancang. Yang penting kulakukan
hanyalah merapat ke tembok
dan siap menunggu serangan tak
terduga.
Lalu krompyang, taak! Baskom
nasi terhumbalang di lantai.
Tunggang langgang. Kukira ia
telah menyepaknya sambil
berjalan pergi ke... ya. kemana"
Atau pura-pura pergi, me
nunggu aku lengah dan ia
melakukan serbuan dadakan"
Sepi bagai di kuburan.
Setelah hingar bingar yang
hanya beberapa detik itu. benar
benar terasa sangat sepi seperti
di kuburan. Dan ah... apakah
rumah itu bukan merupakan
kuburannya" Tingkah laku dia
jelas menunjukkan aku benar.
Dia adalah Maria Magdalena.
Maria yang dibunuh oleh laki
laki yang mencintai dan
memeliharanya sebagai isteri
muda, lama berselang. Di rumah
ini.
Pak Jayusman bilang, Maria
telah pergi. Minggat
meninggalkan rumah ini. Rahib
tanpa kabar berita. Tetapi Pak
Jayusman bilang, timbul juga
desas desus Maria telah mati. la
dibunuh. Di rumah ini" Mungkin
juga di tempat lain. Lalu
arwahnya kembali ke rumah ini,
karena ia mencintai rumah ini.
Kalau saja aku tahu di mana
mayatnya ditanam....
Sepanjang hari, pintu
berdentam-dentam.
Ya pintu dapur, ya pintu kamar
mandi, ya pintu-pintu kamar
tidur. Isi rak berhamburan di
lantai bawah. Tetapi tidak ada
lagi serangan
yang ditujukan ke arahku.
setelah suatu saat aku berteriak
melawan kesunyian yang
menakutkan di sekelilingku:
"Mengapa harus marah" Apa
salahnya aku mengetahui
namamu" Aku menyukainya!
Aku juga menyukaimu! Tak usah
malu mengenai masa lalu! Kau
tetap adalah kau yang kukenal
selama ini. Tak akan aku
berubah pikir!"
Tak ada reaksi untuk beberapa
jam.
Apakah karena apa yang
kuucapkan" Atau, yah... apalagi
kalau bukan! Ada tamu tibatiba
muncul di rumah. Bi Ijah. tukang
sayur. Sambil meninjau ke
dalam. ia bertanya: "Lagi
berteriak pada siapa?"
'Berteriak"' sahutku. malu.
"Apakah tadi aku berteriak?"
"He-eh. Kudengar kau
mengucapkan?"
'Oh. Oh. Rupanya aku terlalu
larut dalam lamunanku."
'Lamunan?"
'Ya. Aku hidup dari melamun,
bukan?"
Bi Ijah bingung sebentar.
kemudian tertawa bergelak.
Katanya: "Kau orang beruntung,
Nak. Orang lain akan pusing
kepala dan bisa gila kalau
terus-terusan melamun. Sedang
kau, justru dapat duit!"
Sebelum pergi, ia dengan
sengaja mengantarkan barang
belanjaanku ke dapur. Dan
mengeluh heran: "Kok
berantakan begini" Apakah
kalau kau melamun. seisi rumah
kau hancurkan?" Bukan
pengarang namanya. kalau aku
tak segera menemukan jawab:
"Tadi ada tikus naik ke meja
makan, Bi. Lima ekor,
bayangkan' entah dari mana
datangnya. Aku begitu marah,
sampai taplak meja kurenggut
sekaligus dalam usahaku
meringkus binatang-binatang
menjijikkan itu. Tetapi aku kalah
pengalaman Kalah cepat...." aku
tersenyum. Bi Ijah ikut pula
tersenyum. "Seekor hampir
tertangkap olehku. tapi keburu
lolos. Habis. terganggu ketukan
Bi Ijah di pintu!"
'Maaf. Nak Doli. Bibi sungguh
engga tahu. Tetapi ya... kukira
bukan hanya lima ek0r. Mungkin
ratusan ekor tikus di rumah ini.
Maklum. sudah lama kosong tak
berpenghuni dan kalau sedang
kosong, bukan sekali dua
kudengar suara berisik di
dalam"."
"Oh ya?"
Seorang tetangga berseru
dikejauhan. "Bi" Bi Ijah" Kau
bawa ayam potong?"
Bi Ijah berlalu.
Dan, pintu demi pintu
berdentam dentam lagi. Aku
sibuk beberes segala perabotan
yang bergelimpang di bawah.
Menyapu, mengepel. Namun
segera berantakan lagi. Karena
begitu kususun atau kuletakkan
di tempat semestinya. dia sudah
mengacak-acaknya lagi.
Karena jengkel. akhirnya
kubiarkan!
Aku mengenakan sepatu dan
jaketku, beranjak ke pintu
depan. Di Situ. aku mengawasi
ke dalam dan berkata:
"Puaskanlah kemarahanmu.
Aku akan pergi.
Bersenang-senang di luar!"
Sebuah buku besar terangkat
dari rak. melayang di udara.
Buru buru pintu kututup di
belakangku. Buku besar itu
menghantam deras di balik
pintu. Aku geleng kepala, tak
habis pikir. Kemudian
benar-benar mencari
kesenangan di kota. Minum
sampai mabuk di rumah seorang
rekan dan hampir jadi bercumbu
di kamar seorang pelacur kelas
menengah.
Kukatakan hampir, sebab
begitu aku mulai menggeluti
pelacur itu. pikiranku terbayang
pada Maria. Kutahan
gelutan-gelutan bernafsu si
pelacur. Membayar uang lelah
yang semestinya kemudian
meninggalkannya tanpa
menjelaskan mengapa pikiranku
berubah. Rekanku masih asyik di
kamar lain. Jadi ia
kutinggalkan.
Aku langsung naik ke
kendaraan umum, pulang
Tiba di rumah. kutemui
kesunyian yang merasuk dalam
sampai ke sanubari. Suasana
tidak lagi berantakan. Semua
telah bersih.Rapi dan licin habis
disapu. Tetapi dia tidak
memperlihatkan diri. Tidak pula
terhidang makan sore, atau kopi
dan penganan ringan waktu aku
duduk di belakang meja,
menghadapi mesin tik.
Satu setengah bungkus rokok
telah kuhabiskan dengan hasil
paru-paruku gersang, beberapa
kali aku batuk-batuk, dan entah
sudah berapa puluh lembar
kertas yang kurobek karena
gagal menemukan ilham.
Benakku hanya diisi oleh dia.
dia dan dia lagi.
Tengah malam, aku tegak
diberanda.
Menatap ke lantai bawah.
Entah mengapa, setiap kali dia
kucari, aku selalu berbuat sama:
menatap ke lantai bawah.
Apakah itu suatu magnit atas
kehadirannya" Barangkali bisa
juga berarti: mayat Maria
Magdalena ditanam di lantai
bawah. Atau di sekitar lantai
bawah. Entah di dapur. entah di
ruang tamu. entah di kamar
mandi.
Gelisah
menghubung-hubungkan
kemungkinannya. aku berdesah
lirih: "Maria?"
Lengang.
Dingin menusuk.
"Maria. Dengarkan," aku
mengeraskan suara, karena tak
juga ada reaksi. "Kutahu. kau
ada di situ. Jadi. dengarkan. Aku
meminta maaf, karena telah
berusaha mengorek masa lalumu
dari orang lain...." Teringat
semuanya sudah rapih ia
bereskan, aku menambahkan:
"Kutahu pula, kau telah
memaafkan aku. Jadi. Mengapa
kita tidak kembali pada keadaan
semula" Aku merindukan
kehadiranmu. Dengar" Aku
merindukan kehadiranmu. tak
perduli siapapun kau adanya.'
Diam.
Membeku.
'Hei!' aku setengah berteriak.
'Hei. Perlihatkanlah dirimu
barang sejenak!"
Maria memperlihatkannya.
Tidak di lantai bawah. Tidak
ketika aku sedang sadar
sepenuhnya. Ia baru muncul.
setelah aku memutuskan untuk
tidut saja; apapun yang terjadi.
terjadilah! Mataku sudah berat
menahan kantuk. Tetapi aku
belum pulas benar. manakala
dia muncul.
Maria datang menembus daun
pintu.
Langkahnya pelan. Bimbang.
Ia masih tetap mengenakan gaun
putih yang sama. Hanya kini.
gaun putih itu berubah warna di
beberapa tempat. Ada
noda-noda merah. Darah. Aku
juga melihat genangan darah di
sisi kepala dan telinga
kanannya. Kemudian aku
melihatnya. Melihat luka
menganga di atas telinga, dan
barut-barut bengkak membiru
melingkari lehernya.
Mimpi buruk itu membuat
napasku sesak.
Lalu kudengar dia berkata.
getir: 'Kau ingin tahu siapa aku,
bukan" Nah. inilah diriku yang
sebenarnya....' suara Maria
terus bergaung: sebenarnya...
sebenarnyaaaa."
Mataku terpejam.
Rapat bercampur ngeri. Waktu
kubuka lagi. bayangan tubuh
mengerikan itu mulai mengabur.
Suaranya pun makin sayup: "...
apakah kau masih tetap akan
menganggapku sebagai "hei'mu
yang cantik" "Hei'mu yang tidak
bernoda" Masihkah kau akan
tetap menyayangiku...
menyayangiku...
menyayangikuuuu....'
Gaung suaranya semakin jauh
dan jauh.
Kemudian lenyap. tak
berbekas.
Seperti juga bayangan
tubuhnya. Sirna, tak berbekas.
Aku terlonjak bangun. Tak
sadar, berteriak: "Maria.. !'
Dan hujan, terhempas-hempas
jatuh di atas rumah.
Aku mengerang: "Maria,
Maria. Maria... aku bermaksud
menolongmu. Aku ingin
membuat rohmu hidup tenteram"
Meski. itu berarti... kita mungkin
harus berpisah."
HUjan kian menderas.
Gigiku bergemeletukan, tak
kuat menahan udara dingin yang
melesat bersama uap hujan dari
ventilasi jendela. Dalam gigilku,
aku merintih: 'Aku sayang
padamu, Maria.'
Angin dan uap hujan berhenti
merembes. Waktu aku melirik,
ternyata sehelai kain tebal telah
digumpal-gumpalkan pada celah
celah ventilasi. Udara berubah
hangat. tetapi masih tetap dingin
di satu arah. Tak ada yang
bergerak. Tak ada yang
bersuara.
Tahu-tahu saja. pundakku
sudah dielus.
Aku terpaku. Tenggelam dalam
keharubiruan, hampir menangis
karena tidak tahu bagaimana
caranya mengungkapkan
perasaanku.
Lalu, dia mencium bibirku.
Lembut. bergetar.

***

SEBELAS
Bukan sekali itu saja dia
marah besar.
Pernah aku mengetik dua hari
tiga malam nonstop. Lupa
makan lupa tidur, saking
keranjingan cerita yang tengah
kukerjakan. Kertas yang sedang
kuketik. tanpa pemberitahuan
mendadak sontak disentak dari
depanku. Mesin tik
melayang-layang ke langit dan
hampir terbang menuju mukaku.
Aku baru mau mengelak. mesin
tik sudah mundur sendiri lantas
terhempas jatuh dengan suara
ribut di meja.
Selagi aku ternganga-nganga
kaget. terdengar suara menepuk
nepuk di kasur dan bantal. Dia
menyuruhku tidur. Tetapi baru
juga aku mau rebah. kembali
tubuhku diseret ke lantai bawah.
Langsung didudukkan di
belakang meja makan,
sementara dia sibuk ke luar
masuk dapur. Habis makan, aku
buang hajat di kamar mandi.
Rupanya aku tertidur di kloset
duduk.
la menggedor gedor pintu
dengan marah. Pintu bukan
sekali dua dia gedor. Suatu hari,
aku sedang mengetuk-ngetuk
tembok dan lantai untuk mencari
bunyi hampa udara. kalau-
kalau di sebaliknya kutemukan
tempat mayat Maria ditanam.
Pintu ia gedor. ia
hempas-hempaskan. Kertas tik
berhamburan di kamar tidur.
dan pada ban mesin tik terjepit
sehelai kertas yang sudah diketik
olehnya, dengan umpatan kesal:
"Kau ingin cepat berpisah
dengan aku. ya?"
Aku terpaksa sibuk membujuk
agar dia tidak sakit hati: "Bukan
begitu Maria. Kuingin, kau
hidup aman dan damai. Di
manapun kau juga adanya.
Apakah itu salah?"
Jawabnya: "Kalau toh kita
harus berpisah, biarlah waktu
yang menghendaki. Kecuali. kau
sudah bosan"."
"Bosan?" aku memeluknya
mesra. 'Lebih Suka aku
kehilangan ilham. ketimbang
kehilangan dirimu.'
Lalu aku berhenti ngetik
selama beberapa hari.
Kuisi waktu itu dengan
bercumbu dan main
kucing-kucingan bersama
Maria. Tentu saja seisi rumah
jadi porak poranda, karena aku
tidak dapat melihat dia yang
kukejar atau ingin kutangkap,
sedang ia dengan mudahnya
mempermainkan dan tentulah,
mentertawakan diriku. Lututku
sampai bengkak karena
terbentur kaki meja. la
mengoleskannya dengan minyak
gosok. dan mengajaknya naik ke
ranjang.
"Lututku masih nyeri." Ujarku.
berlagak.
Ia tetap menyeretku ke
ranjang.
"Aduh, sakit!' aku berteriak.
Tetap saja. aku ditindihnya.
Ditindih udara dingin. hampa
tak berwujud tetapi lembut,
penuh gairah itu.

***

Suatu hari. di luar dugaanku


Mona muncul di rumah.
Ia datang sendirian. Menyapa:
"Belum menikah?"
Aku terpana oleh
penampilannya. Ia makin
dewasa. makin mengundang
lewat tatap mata dan bibirnya.
'Dari mana kau tahu aku tinggal
di sini," tanyaku.
"Aku punya mulut untuk
bertanya. Dan telinga untuk
mendengar. Lalu. kaki untuk
mencari. ia tertawa "Tak senang
dengan kehadiranku, Bang
Doli?"
"Aku, oh... aku...." belingsatan
aku dibuatnya. Mataku liar
mengerling kian kemari. Apakah
dia melihat" Apakah dia
mendengar" Akibat apa yang
bakal dia pertunjukkan sebagai
imbalan kehadiran Mona"
'Menyembunyikan seseorang?"
tanya Mona, menyeringai.
"Eh. tidak."
"Kau tidak mengirimku
n0vel-novelmu yang baru.'
"Mau" Sebentar
kuambilkan...."
'Tak usah. Abang kelihatan
ribut benar. Kuatir ketahuan
seseorang ya" Baiklah
kuberitahu. Aku tak lama. Bang
Doli. Cuma mau memberitahu
dan sekalian mengundangmu....'
"Untuk?"
"Aku akan menikah. Minggu
depan."
"Kuucapkan selamat." dan
kuulurkan tangan sebagai
ucapan selamatku yang tulus
hati. Mona menyambutnya.
tetapi kemudian tidak
melepaskannya. Ia malah
menarik tanganku sehingga
tubuhku rapat dengan tubuhnya.
Katanya: 'Hanya sekedar uluran
tangan"
"Mona..."
"Ciumlah aku, Bang Doli."
"Uh?"
'Cium perpisahan Yang
berkesan. tentu saja Sebelum
aku dimiliki laki-laki yang bakal'
jadi suamiku, dan aku suatu
ketika merasa penasaran kalau
kebetulan membaca novelmu "
"Nggg. .."
"Ayo dong?" Mona menaikkan
tumit kaki nya mendongakkan
wajah. Mata setengah terpejam.
mulut terbuka mengundang.
Sempat kulihat lidahnya
menggapai. Merah. basah. Aku
gemetar. Merunduk tak sadar.
Moncium bibir merah hangat
itu, mengulum lidah lembut
basah itu.
Musik menghentak di kamar
tidurku yang terbuka.
Dia telah memasang tape,
menghidupkan ampli dan
memutar volume tinggi sehingga
seiSi rumah seakan mau pecah
berantakan. Tak sampai di situ.
'Blam! Blam! Blam! Pintu
kamar tidur dihempas tertutup
terbuka.
Mona mundur dengan kaget.
"Jadi kau sudah punya
sekretaris baru." katanya. 'Boleh
dong ya aku berkenalan '
Ia bergerak menuju tangga.
'Jangan!" aku berteriak
mencegah.
"Kenapa"'
"Dia.. dia galak. Sangat galak.
Kalau tak percaya.. .'
Mona terpaksa harus percaya
kata-kataku Karena botol
Tipp-Ex penghapus ketikan.
pulpen dan kotak perlengkapan
barang melayang lewat pintu.
lurus menerjang ke arah tempat
aku dan Mona berdiri. Gadis itu
ternganga sejenak. Kotak kayu
itu terbang ke arah mukanya.
Aku melesat maju, menahan
kotak itu sehingga lenganku
bagai terpotong oleh benda
keras dan Hem, dan kotak
terhumbalang ke lantai. Hancur
berantakan.
"Sekretaris macam apa dia
itu"' keluh Mona, pucat pasi
Ia merayap ke pintu depan.
Memandang tajam ke lantai
atas. mengawasiku dengan
bingung. kemudian: "Sampai
ketemu." ia mencoba tersenyum,
lantas terbang masuk ke dalam
mobilnya di depan rumah.
Setelah mobil meluncur pergi.
baru terasa lenganku yang sakit
alang kepalang.
Siku kananku. berdarah,
'Jadah." aku mengumpat.
Sebagai jawabannya,
perabotan di dapur
berkelentangan riuh rendah dan
baru berhenti ketika malam tiba.
Aku terpaksa masak sendiri sore
hari itu. Membuat kopi sendiri
malamnya, dan terbaring
kesakitan di tempat tidur karena
siku yang membengkak biru.
Kali ini ia tidak muncul untuk
mengobati lukaku.
Ia tidak pula hadir selama
beberapa hari berikutnya
Terpaksa aku sibuk melakukan
pekerjaan rumah yang selama
ini tidak ia perkenankan aku
kerjakan sendiri. Untungnya,
tidak pula dia mengganggu.
Semua kemudian tampak bersih
rapih. dan dari beranda aku
menatap ke lantai bawah. sedikit
mengangkat dagu.
Tak ada yang kuucapkan.
Tetapi kuharap ia tahu apa
yang kumaksud: "Tanpa kau,
akutoh dapat berdiri sendiri'"
Masih saja sepi.
Masih saja lengang.'seolah
rumah itu benar-benar tak
berpenghuni. Mendadak. aku
mulai ketakutan. Ketakutan yang
dialami setiap orang yang
pernah jatuh cinta begitu
mendalam, dan suatu ketika
menyadari Cinta itu telah
berakhir begitu kejam.
Aku takut. ya takut kehilangan
dia!
Lalu, suatu hari tamu asing itu
muncul di rumah.
Ia tegak di depan pintu yang
kubuka, dengan mobil mulus
berwarna gelap yang diparkir di
pekarangan, sebagai latar
belakang. Malam baru saja
jatuh, dan agak lama baru aku
dapat mengenali laki-laki itu
yang melempar seulas senyum
manis sebagai ganti kata
selamat bertemu.
"Mogok lagi?" aku
menyeringai.
"Syukur tidak.' jawabnya,
ramah. "Boleh masuk" Kau
pernah menawarkan segelas
minuman, kalau tak salah.'
"Tentu saja. Silakan,' kataku,
suka ria. Aku sedang tidak
bernafsu mengetik, dan sudah
lama aku tidak ngobrol dengan
dia yang telah menghilang
begitu saja ke alam gaib.
Tamuku masuk dan
meletakkan tas yang ia bawa
dekat kursi yang ia duduki.
"Aku baru pulang dari luar
kota. Biasa, tugas." katanya
menjelaskan. "Rupanya saking
gembira karena usahaku yang
menemUi sukses, aku tadi terlalu
banyak minum. Waktu
mengemudi mobil. baru tahu
kalau aku masih agak mabuk.
Tak ada hotel atau penginapan
di sekitar sini... jadi ketika aku
lihat lampumu masih menyala.
kuputuskan untuk singgah'
Kuamat-amati tamuku itu. Ia
sudah setengah baya. Masih
kekar, berotot.
Wajahnya yang subuh hari itu
hanya kelihatan samar-samar.
kini tampak jelas dalam
jilatan lampu ruang tamu.
Matanya tidak berseri. Mungkin.
ia memang masuh mabuk.
Lipatan pada dahi,'sudut sudut
mata dan bibir terpeta jelas.
Buatku lipatan-lipatan serupa
mengingatkan aku pada bekas
mertuaku dulu; ayah Rosnah
seorang pekerja keras, ulet.
Tetapi juga mengingatkan aku
pada lipatan-lipatan wajah
salah seorang rekanku sesama
pengarang' tidak pernah
bahagia pada saat terakhir
kariernya yang semakin
meluncur ke bawah.
"Secangkir kopi mungkin
membantu "' ujarku. lalu bangkit
dan menyedu dua cangkir kopi
di dapur.
Waktu aku kembali lagi ke
depan. tamuku nampak setengah
tertidur.
"Ngantuk?" aku bertanya.
"Kepalaku berat sekali
rasanya." ia mengangguk.
'Tetapi setelah minum kopi.
kukira aku akan segar
kembali....' Ia mengawasi
keadaan di sekitar kami.
Mendesah; "Masih tetap
sendirian?"
Ya
'Bung mestinya menikah '
"Aku ingin."
'Kau ditinggalkan" Atau kau
yang mengecewakan mereka?"
'Entahlah. Mungkin karena
belum ada yang cocok di hati."
aku tersenyum dan
mempersilahkan ia meneguk
minumannya. Bersamasama
kami mengangkat cangkir.
Berjilatan lampu ruang tamu.
Matanya tidak berseri. Mungkin.
ia memang masih mabuk.
Lipatan pada dahi,'sudut-sudut
mata dan bibir terpeta jelas
Buatku lipatan-lipatan serupa
mengingatkan aku pada bekas
mertuaku dulu; ayah Rosnah
seorang pekerja keras, ulet
Tetapi juga mengingatkan aku
pada lipatan-lipatan wajah
salah seorang rekanku sesama
pengarang' tidak pernah
bahagia pada saat terakhir
kariernya yang semakin
meluncur ke bawah.
"Secangkir kopi mungkin
membantu ...' ujarku. lalu
bangkit dan menyedu dua
cangkir kopi di dapur.
Waktu aku kembali lagi ke
depan. tamuku nampak setengah
tertidur.
'Ngantuk?" aku bertanya.
"Kepalaku berat sekali
rasanya." ia mengangguk.
'Tetapi setelah minum kopi.
kukira aku akan segar kembali."'
la mengawasi keadaan di sekitar
kami. Mendesah: "Masih tetap
sendirian?"
Ya !! '
'Bung mestinya menikah '
'Aku ingin."
"Kau ditinggalkan" Atau kau
yang mengecewakan mereka?"
'Entahlah. Mungkin karena
belum ada yang cocok di hati,'
aku tersenyum dan
mempersilahkan ia meneguk
minumannya. Bersama-sama
kami mengangkat cangkir.
Bersama-sama kami meneguk.
Dan sama pula lamunannya:
tegukan yang sedikit. Tegukan
tak berselera. Cangkir-cangkir
diletakkan kembali di meja.
maSih terisi penuh.
'Maaf " katanya. "Boleh minta
gula sedikit" Aku keranjingan
yang manis-manis belakangan
ini ,
Tamu yang terang-terangan
tetapi sopan. pikirku seraya
beranjak ke dapur. Aku kembali
lagi membawa sendok dan botol
kecil tempat gula. Tamuku
buru-buru menjauhkan tubuhnya
dari meja duduk. tampak sedikit
gugup. Selagi aku berpikir
mengapa ia gugup. tamuku
sudah berkata: "Ah. betapa
lancangnya aku." dan ia
menerima benda yang
kusodorkan menambahkan
setengah sendok gula ke cangkir
dan mengaduknya. 'Lebih enak
sekarang," katanya tersenyum
setelah meneguk isi cangkirnya.
Aku minum pula. untuk
menghormati tamuku.
Habis setengah cangkir. Tidak
kutambah gula. tetapi kopi di
cangkirku kok rasanya lebih
lezat, lebih harum dari biasa.
Sisa yang dicangkir habis pula
selagi kami ngobrol tentang
cuaca akhir-akhir ini dan
tentang damainya hidup di
pedesaan.
Mungkin karena obrolan itu
membosankan. aku mulai
mengantuk.
Begitu hebat keinginan untuk
tidur, namun aku tetap bertahan
agar terjaga karena tamuku
belum memperlihatkan
tanda-tanda mau pamit. Melihat
aku menguap. tamuku mengerti.
Katanya: "Wah, sudah larut
rupanya. Masih senang ngobrol,
tetapi?"
"Mengapa tidak tidur saja di
Sini?" aku mengundang.
Ia tampak ragu sebentar.
Kemudian: "Hem, bagaimana
ya. Besok memang aku harus
kembali ke luar kota. Ke tempat
yang sama. Tak begitu jauh dari
desa ini. Tetapi?"
"Cuma cuma." aku tersenyum.
sebagai tuan rumah yang baik
dan memahami kesulitan
tamunya. "Tak perlu segan."
"Aku senang sekali."
jawabnya.
"Mari kutunjukkan kamar
untuk Anda"." tasnya mau
kutolong bawakan.
"Biar olehku." katanya, dan
memegang tasnya kuat-kuat.
Barang berharga, pikirku.
Emangnya aku seorang pencuri.
pikirku lagi, agak sakit hati.
Namun sakit hati itu semakin
lenyap, bersamaan dengan
semakin merosotnya pula
kesadaranku. Begitu kamarnya
kutunjukkan. aku sudah tidak
kuat lagi berdiri tetap. Yakin
segala sesuatu siap pakai di
kamar tamu, aku meminta maaf:
"Tak apa saya terbang dulu ke
dunia impian?"
"Silahkan," ia tertawa. "Siapa
tahu. ketemu peri cantik."
Peri cantik itu memang ada di
rumah ini.
Ke mana dia gerangan"
Masuk ke kamar. aku langsung
rebah di
kasur empuk hangat. Sekilas
terlintas pertanyaan di benak:
siapa sih nama tamu tadi" Aku
lupa bertanya. Hanya
samar-samar dalam obrolan
kami kuketahui ia seorang
pengusaha di "Jakarta dan tak
jauh dari desa ini ia punya anak
perusahaan yang belum lama
diresmikan. Ah, namanya. Siapa
ya" Nama perusahaannya apa"
Beroperasi dalam bidang apa"
Di mana ia tinggal" Berapa
orang anaknya"
Aku pulas dengan segera.
Tak ingat apa-apa lagi. Hei.
suara apa itu.... Siapa yang
membuka pintu dan kemudian
menutupkannya lagi
perlahan-lahan"
Terpejam lagi mataku.
Kian rapat. Seolah kelopak
mataku direkat dengan plester.

***

DUA BELAS
Gadis bergaun putih itu
menari-nari di depanku. Menari
nari liar. Tak beda dengan
orang kesurupan, ia menceracau
kacau. berteriak-teriak histeris.
Pekak telingaku dibuatnya. Tak
tahu apa yang ia ucapkan. Tak
tahu apa yang ia teriakkan.
Dalam kebingunganku. kulihat
gadis itu menunjuk nunjuk. Aku
diam saja. Ia melonjak-lonjak,
terus menghempas hempas
marah. Karena aku tetap diam,
ia mulai menangis. Putus asa.
Aku menggeliat. Resah.
Mata tetap berat. Hasrat tidur
masih juga menggebu-gebu.
Tetapi dia terus mengganggu
Muncul sekali lagi. Kali ini. ia
tidak menari. Dia berjalan
lemah gemulai ke tempat
tidurku. Pinggulnya bergoyang,
menimbulkan gairah. Susah
payah. mata kubuka. Ia semakin
dekat. semakin nyata. Tiba di
tepi tempatku tidur. ia
membungkuk tiba tiba. Matanya
melotot hampir ke luar. mulut
menyeringai seram. Dari luka
menganga di kepalanya darah
mengucur deras. Lehernya yang
bengkak membiru pelan pelan
rekah. berdarah.
Sambil menyeringai, ia terus
membungkuk.
Mau menciumku.
'Jangaaaann...!" aku berteriak
nyaring. Dan tenaga seketika
Sekujur tubuhku banjir keringat.
Kantuk masih terasa. menggoda
Tetapi rasa takut menyerbu lebih
kejam. Liar mataku mencari
cari. Tetapi aku tidak
menemukan gadis bergaun putih
di kamarku.
Yang ada, cuma udara dingin.
Menyergap. menghentak
hentak kacau. bagaikan orang
yang dilanda panik. Kemudian
aku mendengarnya. Suara
berisik di ruang bawah. Apakah
pencuri itu tetah datang lagi"
Apa yang menarik hatinya di
rumah kosong ini" Aku toh tidak
punya sesuatu yang berharga.
Berjingkat-jingkat aku
mendekati pintu.
Lantai bawah gelap gulita.
Begitu pula ruang tamu. Dapur
sunyi sepi. Tetapi pintu kamar
mandi terbuka. Lampu menyala
di dalam. seseorang sedang
sibuk mengungkit tegel kamar
mandi dengan sebuah linggis
kecil. Ada bungkusan kecil
tergeletak dekat kakinya. Dialah
pencuri yang dulu itu. Dan
waktu aku berjingkat jingkat
menuruni tangga, ia mendengar
dan berpaling. dia kukenali
sebagai... wah. tamuku. Tamu
asing yang begitu gampang
diajak menginap di rumahku!
"Lagi apa?" tanyaku. heran
Si tamu meloncat berdiri
'Menyingkirlah" ia berbisik.
Kemudian menggeram.
"Menyingkirlah!"
'Apa"' lampu kunyalakan.
Lantai bawah terang benderang
seketika. Lantas seraya
menuruni anak tangga demi
anak tangga, aku berkata
mengejek; "Kau suruh aku
menyingkir" Biar kau seorang
yang mengangkangi harta karun
itu?"
"Tak ada harta karun di sini!"
ia berjalan ke luar dari kamar
mandi. 'Begini....' katanya. pas
ketika aku sudah tegak di
depannya.
"Duk."
Sebuah pukulan keras dan jitu
menghantam tengkuk. Aku
sempat berkelit. Toh pukulan itu
mendarat iuga, tetapi tidak
telak. Sakit bukan main Mataku
berkunang-kunang. "Aku sudah
menyuruh kau supaya pergi"." ia
mendengus dan menyerbu ke
depan. Aku melompat mundur.
Sambil mundur tanganku
menangkis datangnya pukulan.
Malang. terpegang olehnya.
Tubuhku dibetot. Kutendang
kakinya. la menjerit pelan. tetapi
tidak terjatuh. Malah dengan
buas ia mencengkeram
pinggangku.
Tanganku menggapai apa
saja.
Terpegang pahanya. Kujepit
dengan kedua lengan. Dalam
posusi yang tanpa aturan itu.
kami berdua jatuh bergulingan
di lantai. Ganti berganti di
bawah, di atas. memukul dan
dipukul.
"Kau memasukkan obat bius
ke cangkir kopiku!" aku
berteriak marah. setelah dapat
memahami Situasi.
"Dan kau. terkutuk! Kau
ternyata cukup kuat melawan
pengaruh pel itu.. ia balas
berteriak sambil menjepit
leherku dengan kuat
Bukan. Bukan karena aku
mampu melawan pengaruh obat
itu.
Tetapi dia telah
membangunkan aku. Dia
memperingatkan aku. Dia'
Maria.
Tersengal sengal kehabisan
napas. aku mengeluh: " .. kau...
kau mau mencekik aku pula...
seperti kau... mencekik Maria?"
Itu suatu dugaan dan tuduhan
yang membabi buta.
Namun herhasil mengurangi
jepitan tangannya yang kekar
pada leherku. Kaki kugerakkan
dengan cepat. la terguling.
tetapi tidak melepaskan jepitan
mautnya, Karena kondisiku
belum pulih benar-benar.
dengan mudah ia menjatuhkan
dan menekan tubuhku di bawah
tubuhnya.
Tidak seorang pun boleh tahu
itulah syaratnya!" ia mendengus
dengan mata berputar putar liar.
"Kau dengar" Itulah syaratnya!
tidak seorang pun boleh tahu.
Kalau tidak. aku terpaksa
membunuh sekali lagi!"
Aku menjerit waktu
selangkanganku ia hantam
dengan lututnya.
Sekujur tubuhku lemah lunglai.
Jepitan pada leherku membuatku
sesak napas. pusing! Mata
semakin berkunang kunang.
Tibalah saatku pikirku. Ya
Tuhan.. !
Lalu terdengar suara
perempuan menjerit.
Suara yang datang dari alam
baka. Samar samar. aku melihat
sebatang linggis yang tadi
dipergunakan musuhku
mengungkit tegel kamar mandi,
meluncur ke tempat kami
berkutet. Meluncur deras bagai
panah dilepas dari busur.
"Hei .. apaa .!" laki-laki di
atas tubuhku. tertegun
Heran. bercampur takut.
Lalu Duk! Ujung linggis
menghantam lehernya. Untung
bagian yang tumpul. Namun toh
meninggalkan barut dan sakit
yang luar biasa, karena korban
serbuan linggis itu tercengkat.
mundur menjauhi tubuhku.
Mundur, terus mundur dengan
linggis terus pula mengejar.
memukul-mukul kacau tanpa
terlihat ada tangan
mengendalikannya.
Laki-laki itu tiba di pintu
Berkelit dari linggis
menghantam jendela. Kaca nako
pecah berderai-derai. Tamu
yang bingung dan ketakutan itu
kukira telah berlari memasuki
mobilnya. karena kudengar
suara mesin mobil
bergerung-gerung. Ban berdecit
ribut ketika dimundurkan ke
jalan raya, berdeCit lagi waktu
kabur meninggalkan tempat itu.
Namun sebelum ia sempat
kabur. masih kudengar Suara
kaca pecah hingar bingar dan
bunyi linggis jatuh di ialan
aspal. Mobil itu tentulah hancur
berantakan. setiba di kota .
Aku bangkit sempoyongan.
Sekujur tubuhku tersiksa azab
sengsara yang menyakitkan.
Beberapa kali aku terjatuh.
bangkit lagi. mengeluh.
mengerang. merintih. Sampai
tangan-tangan yang halus tetapi
dingin itu mencengkeram
lengan-lenganku. Dia
membantuku berdiri Dan
memapahku ke arah tangga.
Dekat dengan telingaku, aku
dengar suara menangis yang
sayup-sayup sampai.
Lalu.
"Wah. Apa yang terjadi...
aduh. Nak Doli! Mengapa kau
?" seseorang berlarian masuk.
Tangan tangan gaib yang
menuntunku tadi, hilang lenyap
seketika. Karena tanpa
pemberitahuan. aku
terhumbalang jatuh. Syukurlah,
seseorang segera menangkap
tubuhku. Lamat lamat kukenali
dia sebagai Darius, kepala
keamanan di daerah kami. "Ya
Allah. Siapa yang berbuat
sejahat ini padamu, Nak Doli"
Ayo, tahanlah. Biar kubantu kau
naik ke atas..."
Ia merebahkan aku di
pembaringan.
"Tadi kulihat seseorang."
katanya seraya memeriksa leher
dan kepalaku kalau kalau ada
yang terluka. "Waktu kudekati.
ia sudah kabur dengan mobil.
Apakah dia.?"
"Pencuri!" aku mengeluh.
sakit.
"Dia" Tetapi Nak Doli.
Mobilnya sejak tadi malam ...
"Ia pura pura kemalaman.
Minta menginap. Lalu... haram
jadah, Apa dia kira aku punya
berkilo kilo emas di rumah ini?"
"Sudah. Istirahatlah. Sebentar
kupanggilkan Pak Daeng ." ia
berlari-lari turun dan tak
sampai seperempat jam ia telah
kembali pula dengan orang yang
ia maksud. Pak Daeng kukenal
sebagai menteri kesehatan di
puskesmas setempat dan sering
menggantikan tugas dokter
kalau dokter sedang
berhalangan datang
'Hanya luka memar. Tak
berbahaya.?" kata Pak Daeng
setelah memeriksa di sana sini
"Wouw. pasti luar biasa ketika
selangkanganmu kena ya" Aku
juga pernah menerimanya. Dari
isteriku." ia tersenyum. "Tak
usah kuatir. Aku punya
obatnya.?"
Aku juga tersenyum.
Bukan kepada Pak Daeng atau
Pak Darius. Tetapi pada
seseorang yang berdiri di pojok
ruangan. Seorang yang begitu
putih, samar dan kabur. Dia
menatapku dengan mata kuatir
dan butir-butir air bening
melelehi pipi Pipi yang lembut
lunak halus, rambut yang
bergelombang indah, kepala
yang mulus tanpa luka leher
jenjang tanpa noda, gaun putih
yang tanpa bercak darah .
'Minumlah ini," Pak Daeng
menyodorkan gelas. Setelah aku
melahap minuman sangat pahit
dan bau pesing itu, ia
meletakkan dua ples kecil di
meja. "Obat gosok," ia
menerangkan "Oleskan di leher
dan... itumu,' ia tertawa ringan.
"Sekali lagi. sekali waktu mau
tidur."
Pak Darius yang sempat
menghilang se
bentar muncul di pintu.
'Kaca depan berantakan.
Besok akan kupanggilkan
seseorang untuk
memperbaikinya_' ia berkata
Lalu meletakkan sebuah
bungkusan kecil di meja.
Bungkusan itu belum terbuka,
tetapi bayangan putih samar di
pojok menghilang seketika.
"Aku juga menemukan ini. Di
kamar mandi," kata Pak Darius.
"Kau punya"'
"... ya. Ya itu aku punya."
sahutku, setelah bimbang
sejenak.
"Hem. Buat apa semua ini?"
Pak Darius membiarkan kain
pembungkus terbuka. Di situ
campur aduk berbagai rempah
rempah. Bawang putih, beras
putih, kemiri, dan akar-akaran.
Juga sebutir telur ayam
kampung. sekuntum bunga
kamboja dan sebonggol garam.
Aku meram melek sebentar.
Baru menjawab, seenaknya:
'Obat sakit perut, Pak Darius!"
"Oh ya. Mengapa ada di
kamar mandi?"
"Tadinya mau dicuci" '
"Lantas?"
"Ya, dimasak. Putih telur
dibuang, ambil merahnya.
Bawang putih, kemiri, kembang.
dan garam ditumbuk sampai
lumat. Beras di... he. disangrai.
ditumbuk lumat pula. Masukkan
panci. Jerang di atas kompor.
Jangan lupa, pakar air...." aku
tertawa. Merasa geli dengan
leluconku.
"Kukira aku harus
memperhatikan resep
itu," Pak Daeng berpikir-pikir.
"Obat kampung memang
kadang-kadang lebih mujarab
dari obat keluaran pabrik. Sakit
perut, hem. Mules" Melilit'"
Atau kembung?"
"Aku baru mau mencoba.
Seorang rekan yang
memberitahu," potongku. kuatir
manteri kesehatan itu
menganggap serius.
"Tegel kamar mandimu
rusak"." Pak Darius memotong,
dengan mata curiga.
Pak Daeng yang mewakiliku
memprotes: "lni interogasi apa,
heh?"
"Aku kepala keamanan di
sini." jawab yang ditanya,
tandas.
"Kalau begitu. tangkaplah si
pencuri. Bukan korbannya.
Kikuk, Pak Darius mengeluh:
'Maksudku... kalau ia merasa
perlu bantuan untuk
membongkar lantai kamar
mandi, aku sih setuju saja.
Kapan?"
"Nantilah. Setelah aku
sembuh." jawabku. "Lagi pula.
uangnya belum terkumpul...."
"Mau diapain lagi. Nak Doli?"

"Tegel itu sudah pada licin


dan retak di sana sini. Aku mau
menggantinya dengan tegel baru
yang lebih bagus. Terbuat dari
karet sintetis. Pernah dengar?"
Kedua orang itu
menggelengkan kepala.
Kemudian pamit sambil
berjanji akan menjenguk lain
waktu. Begitu mereka pergi.
seraya meringis menahan sakit
aku menggapai bungkusan itu.
Kuamat amati sejenak, teringat
pada pelajaran yang pernah
diberikan guru kebathinanku. Isi
bungkusan itu jelas
dimakSudkan sebagai pembuang
sial. sekaligus pelepas kutuk.
Aku membuka daun jendela.
Membuang semua
rempah-rempah dan
pembungkusnya ke luar. Dan
apa yang kuperkirakan segera
terjadi. Dia tidak takut lagi. dan
pelan pelan masuk ke dalam
kamar. Tanpa wujud. Hanya
udara hampa yang dingin sejuk
itu saja sebagai pertanda.
Disusul usapan lembut di
rambut. kemudian di pipi lalu
bibirku.
Jari jemari yang dingin tetapi
tidak terlihat itu, kukecup.
Terasa sesuatu berjatuhan di
kain kemeja yang kupakai.
Sesuatu yang cair kukira, karena
ada lekukan kecil berupa
titik-titik halus yang semakin
melebar. seolah membuat
kemejaku lembab
"Sudahlah. Jangan menangis
lagi." aku berbisik. haru. "Kau
lihat. aku baik-baik saja
bukan?"
Ia kemudian pergi.
Lalu kembali lagi dengan
sebuah baskom berisi air
hangat, sehelai handuk kecil
yang dia celupkan ke air hangat
itu. Diperas sedikit. lalu
digosokkan ke dahi dan leherku.
Sementara itu. pahanya terasa
menyentuh pahaku. Aku
mengusap paha tanpa wujud itu.
berkata lembut. "Kau tahu
mengapa mereka kubiarkan
bingung Maria?"
la terus saja membasahi dahi
dan leherku.
Memberi kehangatan.
Mencurahkan kasih dan
sayang,
"Supaya mereka tidak
menemukanmu dengan segera,
Maria. Kalau kuceritakan hal
yang sebenarnya, mereka akan
ribut membongkar kamar mandi
itu. DiSitulah kau ditanam... eh,
maksudku. di tempat itulah kau
berbaring selama ini. bukan?"
Kain lap tertegun di leherku.
Naik lagi. mengudara. hingga
di dalam baskom. diperas dan
kembali mengusap-usap jidatku
yang berdenyut-denyut
menyakitkan. Peningku mulai
berkurang. Rabaan di pahanya
perlahan-lahan membangkitkan
gairahku. Apalagi setiap kali ia
membungkuk untuk melap
leherku yang sebelah dalam,
payudaranya beberapa kali
menekan dadaku
"Peluklah aku, Maria. Peluk
dan lepaskanlah rinduku
padamu.'
Kami berpelukan, berciuman
dengan mesra. Tetapi terpaksa
harus menahan birahi. karena
selangkanganku masih terasa
ngilu.
Pagi harinya aku belum dapat
bangkit.
Pak Jayusman datang
menjenguk bersama isterinya.
Sementara isterinya
menyibukkan diri di dapur untuk
membuatkan sarapan pagiku.
aku ngobrol berdua dengan
Jayusman. Maria telah pergi,
begitu pintu depan diketuk
orang.
'Pintumu tidak terkunci. Nak."
kata Pak
Jayusman.
'Aku tak sempat." jawabku,
senang dikunjungi. "Kukira
pencuri itu tak akan nongol
lagi.'
"Jadi kau sempat
melemparinya dengan linggis
ya" Kami temukan benda itu
dekat selokan."
"Untung cuma mengenai
mobilnya. Kalau kena orangnya,
wah .. aku paling ngeri
membayangkan hidup dibalik
jeruji besi." aku berkata seenak
perut.
"Benarkah lantai kamar mandi
akan kau ganti?"
"Oh, oh. MaSih rencana."'
'.Tak heran. Nak. Tanah di
bawah kamar mandi itu
kadang-kadang bergerak.
Kalaulah bukan tembok, pasti
lantai yang retak.
Penghuni-penghuni sebelum
kau. sudah sering
mengeluhkannya. Tiap
diperbaiki retak lagi. Pak
Hadiman, pada Siapa aku
menyewa rumah ini. malah
berniat untuk meruntuhkan
kamar mandi itu suatu ketika.
Tetapi rupanya ia melupakan
hal itu. setelah ia pindah.?"
"Tanah di bawah kamar mandi
pasti belum dikeraskan, Pak
Usman. Mestinya setelah di
keraskan."'
'Sekeras apapun. Nak.
Percuma saja. Habis. Bak mandi
yang kau pergunakan. dulunya
bekas sumur yang sangat dalam.
Ketika rumah ini dipermak, pipa
saluran air minum memasuki
daerah kita. Pendatang pertama
yang menempati rumah ini.
lantas menutup sumur dan keran
air ledeng menggantikan tugas
sumur itu...."
"Pendatang pertama?"
"He-eh. Dulunya di atas tanah
ini hanya ada gubuk bobrok.
Lalu dia membelinya. dibangun
untuk isteri mudanya."
'Dia...." kepalaku berdenging.
"Dia siapa?"
'Tuan Subarja."
"Tuan Subarja?" aku
mengeluh. Bingung. Dimanakah
aku pernah mendengar nama itu
disebut-sebut, dan oleh Siapa"
"Kau belum dengar rupanya
ya" Orang yang dulu
kuceritakan padamu itu.
terdaftar di kantor lurah dengan
nama Gilang Sb. Nama itulah
yang pernah kusebut padamu.
kalau tak lupa. Lalu.... setelah
sekian tahun. orang itu dilihat
beberapa orang anak sering
mundar mandir dengan
mobilnya di depan rumahmu.
Darius yang belum lupa kepada
Maria yang hilang misterius.
meniadi curiga. Ia biarkan
orang itu lalu lalang. dan
diam-diam menyelidiki
identitasnya dengan patokan
merk dan nomor plat mobil yang
ia pakai Ternyata Sb di belakang
Gilang, kepanjangan dari
Subarja. Gilang itu rupanya
panggilan nama keCil. Seorang
pengusaha ekspediSi muatan
kapal laut, dan
"Dia!" aku ingat sekarang.
seorang rekan pernah
menceritakan. "Pengusaha
dengan nama besar, tetapi
kehidupan rumah tangganya
murat marit. Kalau tak boleh
dikatakan:
buruk dan menggaibkan "
"Jadi... kau Sudah kenal dia
eh?"
"Bukankah dia menginap
semalam di rumahku?" aku
balas bertanya. "Katanya,
kangen. Ingin lihat-lihat
Nostalgia. bukan begitu Pak
Usman?" aku tersenyum.
Orangtua itu tidak tersenyum.
la menatapku dengan seksama.
lalu memberengut. "Jadi, ia
bukan mau mencuri apaapa di
rumah ini. Memang. sungguh tak
masuk di akal!"
'Kami cuma bertengkar," cepat
aku berkata "Ya. ampun. Aku
telah membuat Pak Darius
bingung. Nantilah aku minta
maaf. Dan memberitahu. kami
Cuma bertengkar.?"
'Apa yang kalian
pertengkarkan. Nak?"
"Apa?" aku angkat bahu.
Selancar aku menuangkan cerita
di mesin tik. selancar itu pula
aku menumpahkan dusta besar
ke telinga Pak Jayusman "Aku
ini buangan, Pak Usman. Tetapi
tak begitu lapuk. Beberapa kali
pacaran, sayang tak ada yang
sampai ke penghulu, Dan, hem.
Begitulah. Tuan Subarja
bertamu untuk bernostalgia. Aku
menerimanya dengan senang
hati. Ngalor ngidul, tentu saja.
Akhirnya. yah. Pembicaraan
sampai ke persoalan sesama
lelaki. Apalagi kalau bukan
tentang perempuan. Kami
menyebut nama nama. Dan,
terbentur pada satu nama.?"
"Siapa"' Pak Jayusman
bertanya. tertarik.
"Rahasra dong. Pak. Rahasra
lelaki." aku
menyeringai. "Pendeknya, nama
yang satu itu membuat kami
mulai tegang. Salah seorang
gendak Tuan Subarja. ternyata
kekasih yang sangat kucintai....'
dan, itu adalah pengakuanku
yang sesungguhnya benar seribu
persen. Aku mencintai Maria,
biar pun cuma arwahnya saja! '
"Pasti rame!" Pak Jayusman
tersenyum simpul.
'Bukan rame lagi. Dari tarik
urat leher. kami tarik otot. Pukul
memukul, dan yah... aku kepepet.
Linggis pun mulai main. Agak
curang memang. Tetapi lebih
baik begitu. daripada aku
dipecundangi dua kali. bukan?"
Pak Jayusman manggut.
setuju.
Isterinya memanggil dari
bawah: "Tolong bantu aku
mengangkat ini ke atas. Pak!"
Sarapan pagi bukan untuk satu
orang.
Pantas isteri Pak Jayusman
perlu bantuan. Sarapan pagi,
mungkin cukup untuk enam
orang. Tetapi kami bertiga dapat
meludaskannya. karena terus
ngobrol. tertawa mendengar
kicauan Nyonya Jayusman yang
ribut menggunjingkan salah
seorang tetangga yang ditipu
mentah-mentah oleh
menantunya.
Masih ada beberapa tamu hari
itu.
Malamnya, barulah Maria
mendapat tempat.
Ia masuk ke kamar tidur,
memelukku dengan penuh rindu,
menciumiku bertubi-tubi.
Pertanda betapa ia tidak sabar
sepanjang hari
karena tersisih oleh orang-orang
yang baik hati itu.
"Sayangku." aku berbisik, dan
menyeka pipinya yang basah.
"Aku kira. kondisiku lebih baik
malam ini."
Lalu kami bersenggama.
Dengan penuh rasa cinta.
***

TIGA BELAS
Semenjak malam itu dia tidak
lekang-lekang lagi dari sisiku.
Karena dia, aku jadi malas ke
luar rumah. Dan karena aku. dia
enggan kembali ke tempat
peristirahatannya yang tak
pernah kuketahui letaknya itu.
Dia akan Sibuk di dapur selagi
aku mandi. Menyetrika selagi
aku membaca surat kabar atau
majalah. Aku tidak membaca
dalam hati. Atas permintaannya.
aku membaca sedikit keras. Jadi
dia dapat mengikuti kemajuan
pesawat ulak alik Amerika di
angkasa luar, perang di Timur
Tengah yang seolah tanpa akhir;
efek letusan Gunung
Galunggung yang sempat
menarik perhatian PBB;
meningkatnya perampokan
bersenjata di dalam negeri
meski KOpkamtib telah turun
tangan; perkembangan harga
logam mulia sampai ke harga
kebutuhan pokok seperti beras.
gula, cabai; munculnya kembali
bintang layar putih tempo
doeloe; timbulnya gejala baru di
kalangan artis kita... ya aktor, ya
penyanyi, ya wartawan, ya
pengusaha kursi antik. Aku baru
membaca dalam hati (dan dia
sangat setuju) kalau kebetulan
yang kubaca
mengenai berita pembunuhan.
Dia tetap melayani
keperluanku. Tetap menemaniku
ngobrol dengan setia. Dia akan
ikut menyelinap kalau aku
masuk kamar, Duduk atau
rebahan selagi aku tekun
mengetik. Terkadang, kertas
hasil ketikanku mengudara tidak
menentu. lalu hinggap kembali
di meja dalam susunan yang
sudah rapih menurut
angka-angka di sudut atas
halaman. Kapan saja aku mau.
dia sudah siap melayaniku di
tempat tidur. Seringkali inisiatif
datang dari dia. Terutama kalau
ia lihat aku sedang buntu
inspirasi. Kalau aku tidur, ia
akan rebah di sebelahku.
Bangun pagi. ia maSih di
sampingku. Pernah kusarankan
agar kami tidur di kamar
sebelah saja. karena ranjangnya
lebih besar. Jawabnya "Makin
sempit. makin hangat" Dan tentu
saja makin sering kami
terangsang untuk bercumbu!
Apabila ada tamu, dia tetap
hadir.
Entah di pojok, entah di
tengah ruangan. entah di salah
satu kursi yang kosong. Asal
tempat itu temaram, gelap. atau
lembab. ia tidak hanya hadir
dalam bentuk udara dingin
menusuk, ia makin sering hadir
dalam wujud samar samar. Si
gadis bergaun putih. Selama aku
melayani tamuku. ia berdiri atau
duduk diam diam. Matanya terus
menatapku. Tanpa berkedip.
Seolah. kalau ia berkedip, aku
akan minggat tanpa setahunya.
Sinar matanya ketika
menatap-ku membuatku
terenyuh: rindu, takut
kehilangan.
Pak Darius merupakan tamu
tetapku. lantai kamar mandi
itu,ia menuntut. 'Tak jadi
kuperbaiki," jawabku.
Lain hari: "Tebing terjal di
belakang kamar mandi itu mulai
retak." Ujarnya lagi .
Jawabku: "Pak Hadiman
bilang. masih kuat bertahan
enam tahun lagi."
Suatu ketika: "Ini menyangkut
pembunuhan!" katanya gigih.
Aku mengelak: "Sudah punya
bukti, Pak" Sudah ada petunjuk
kuat" Membongkar bekas sumur.
bukan pekerjaan mudah. Banyak
resikonya. Aku sudah berniat
membeli rumah ini. Karena aku
menyukainya. sebagaimana
adanya. Suatu perubahan
mungkin saja membuatku tidak
terkesan...."
"Pikirkanlah lagi, Nak."
"Akan saya pikirkan, Pak."
"Beritahu aku, kalau kau
sudah mengambil keputusan.'
"Oke. Eh. Mari. diminum
airnya".'
Alex pernah pula muncul.
"Kudengar kau sudah punya
sekretaris pribadi "
"Mona yang bilang ya?"
ejekku. "Jadi dia menikah?"
'Ditunda."
'Lho Mengapa?"
'Mona keburu bertemu
seorang pemuda Arab."
"Wah! King-size. pasti!"
ujarku. dan kami tertawa
bergelak gelak.
Bi Ijah makin sering pula
melongok ke dalam rumah.
Semua rapi. semua bersih. dan
ia mengangkat pikulannya
seraya geleng-geleng kepala,
melanjutkan pergi ke rumah
tetangga. Ibu Jayusman
kemudian memberitahu: "Bi Ijah
bilang, kau rupanya hidup tanpa
didampingi perempuan.'
"Ah. masa iya. Emangnya aku
impoten. Bu?"
Sudah berapa lama berlalu.
entahlah Aku tidak teringat
menghitung waktu. Pada suatu
hari. dia terus menempel di
SiSiku Lekat bagai lintah. Ia
tidak menyediakan sarapan
pagi. tidak pula makan sore. Ia
ikut kalau aku mandi, dan marah
kalau aku mulai memegang
mesin tika Sekujur'tubuhku terus
saja diraba. Semula kukira
rabaan birahi. Tetapi kemudian
kuketahui, rabaan kasih sayang.
Ia memintaku ngobrol apa saja.
dan memohon agar dia
kubiarkan terus meraba raba
setiap inci tubuhku.
menciuminga sesekali. memeluk.
merangkul, mengajakku rebah di
tempat tidur tanpa sekalipun dia
melepaskan aku dari
rangkulannya.
Hari itu hujan badai jatuh
menggempur bumi
Mungkin ia takut dan
kedinginan, pikirku dan
berusaha mengobrol apa saja
seriang mungkin, membalas
Ciumannya. membalas
rangkulannya. Entah berapa kali
kami bercumbu sepanjang siang
dan malam hari itu, tidak
kuhitung. Anehnya, dia tidak
pernah merasa
letih, dan aku sendiri seakan
memperoleh kekuatan luar biasa
yang Casanova pun pasti tidak
mampu melakukannya. Namun,
diantara curah hujan di luar
rumah sempat kudengar isak
tangis sayup-sayup sampai.
"Apa yang kau tangisi,
Maria?" tanyaku.
Dia malah memelukku semakin
kuat. Sayup sayup terdengar
Suaranya: kekasihku. Kekasihku.
Sayangku. sayangku...!"
Dan tanpa dapat kutahan. aku
pun ikut menangis bersamanya.
Aku merasa sesuatu akan
terjadi. Sesuatu yang sangat ia
takutkan, sesuatu yang tidak ia
ingini terjadi. Diam-diam.
naluriku berbisik; apakah telah
tiba waktunya untuk berpisah"
Menjelang subuh, aku
tersentak bangun. oleh
goncangan yang hebat di dalam
kamar. Aku segera melompat
turun dari tempat tidur dan
kaget waktu menyadari bahwa
aku telanjang. Pakaian yang
kukenakan sebelumnya.
tertumpuk di pojok ranjang.
Aku memperhatikan ke
sekitarku. ketika goncangan itu
mereda. Kemudian aku
melihatnya. Bukan dia.
Melainkan pakaianku yang
melayang di udara. kemudian
didesak desakkan ke tanganku
yang gemetar.
Seolah ia ingin berkata:
"Pakailah! Pakailah!
Pakailah...!"
Masih dalam keadaan takjub
oleh kontak kami yang mesra
sepanjang malam itu, kuterima
pakaianku dan segera
mengenakannya. Aku mendengar
bunyi srek-srek yang halus,
mungkin suara pakaianku
sendiri. Tetapi mungkin juga
suara gaun tidurnya. ketika ia
mengenakannya.
Musik telah lama berhenti.
Tetapi angin di luar rumah,
tidak! Justru semakin keras.
semakin kencang. Hwan deras
kembali membadai. Butir-butir
air menerpa kaca jendela
menimbulkan suara
tersentak-semak yang
menyeramkan. Rumah
bergoncang lagi. Lantai
tempatku berpijak, terasa
goyang.
"Hai!" aku berseru. panik.
Kupandang berkeliling,
mengharap ia memberitahu aku
apa yang tengah ia lakukan.
Tiba tiba aku sadar, semua itu
bukan berasal dari dirinya.
Karena di luar rumah aku
mendengar suara yang lebih
hiruk pikuk. Seolah ada gunung
yang belah dikejauhan...
Aku berdiri membeku.
Sadar dengan apa yang
terjadi, tetapi tidak cukup sadar
untuk berbuat sesuatu. Tempat
tidur bergeser ke sudut. Meja
menjadi miring, dan mesin tik
membentur dinding. Suara
berderak membuat aku
berpaling. Ternyata sice
terbalik, dan tape deck
menghambur jatuh ke lantai
Aku beranjak mau
mengangkatnya, ketika
cengkeraman tangan yang kuat
dan dingin.
membelit pergelangan tangan
kiriku. Aku rertarik ke arah
pintu. setengah dipaksa.
Meskipun masih bingung dan
panik, aku menurut juga
diseretnya. keluar dari kamar
kemudian berlari lari menuruni
tangga. Di tengah-tengah
tangga. aku tertegun. Dia juga.
rupanya
Dengan mata mengecil
kusaksikan bagaimana suasana
dapur berantakan. Lampu utama
di langit-langit telah lepas, dan
jatuh berderai ke lantai. Seketika
suasana menjadi gelap gulita.
Namun sebelum kegelapan yang
luar biasa itu menyerap bumi
aku masih sempat melihat lantai
ruang bawah itu telah rekah di
sana sini
Aku disentak tangan yang
dingin itu lagi.
Kemudian didorong ke arah
pintu keluar. Maklum peristiwa
apa yang tengah berlangsung.
aku segera menghambur ke
pintu. Di sana, pegangannya
lepas. Aku berusaha
meraba-raba
memanggil-manggil dalam
kegelapan.
"Hei! Di mana kau! Hei!"
Sebuah tangan mendorongku
keluar lewat pintu yang terbuka.
Aku terdesak mundur sampai
ke teras. Naluriku membisikkan
sesuatu yang membuat
jantungku sangat kecut. Kembali
aku merabaraba seraya
berteriak-teriak:
'Kesinilah' Mari keluar
bersamaku!'
Kembali tangan itu mendesak
desak.
Aku menyambar
pergelangannya. Ia tersentak
berusaha menarik mundur
tangannya yang kupegang. Aku
berusaha memeluknya, tetapi
dengan segera memukul dan
mencakar dengan tangannya
yang lain. sehingga aku merasa
sakit di dada dan wajahku.
Hujan menderas, menyapu
teras.
Aku basah kuyup seketika.
Merasa kedinginan yang amat
sangat. Angin yang sudah gila
menghempas-hempaskan daun
pintu dan jendela dengan
liarnya. membuat kaca kacanya
berpecahan. Tetapi aku tidak
memperdulikannya. Aku
memusatkan perhatianku pada
dia, yang meronta sekuat tenaga
untuk melepaskan diri
Perlahan lahan aku sadar
akan satu hal.
Gerakannya menunjukkan
bahwa ia hanya menghendaki
aku sendiri yang lari
menyelamatkan diri.
'Pergi' Pergi! Pergi" Suara
sayup sayup seorang
perempuan. menyentuh
telingaku.
Benarkah"
Aku tertegun. Mendengarkan.
"Pergilah! Selamatkan
dirimu." suara itu terdengar
lengking dan jauh, seolah Suara
angin. "Tinggalkan aku di sini.
Tempatku di rumah ini ., Pergi'
Pergilah. kumohon .."
Lalu, hentakan keras yang
tiba-tiba, membuat tubuhnya
terlepas dari pelukanku. Sebuah
tangan mendorongku. sehmgga
aku terhumbalang melampaui
teras,jatuh di atas rerumputan
dengan kepala hampir
membentur
batang pohon cemara.
"Tunggu!" aku berseru lantang

Lalu menghambur berdiri.


Tetapi. 'Blam'
Pintu telah ditutpkan. disusul
"Klak
klak'" Dikunci dua kali
Hujan semakin deras, seolah
air bah dan langit
Tanah tempatku berpijak.
terasa bergetar. Angin badai
bertiup kencang membuatku
bingung.
Lalu dalam kegelapan. petir
menyambar.
Terang benderang Seketika.
Aku melihat atas rumah seperti
menghilang. Lalu tanah
tempatku berpijak bergetar lebih
hebat. Tanpa berpikir panjang
lagi. aku berlari ke jalan raya.
Di antara suara hUjan aku juga
mendengar suara-suara orang
orang berteriak teriak di semua
arah. Lalu aku melihat banyak
bayang bayang kehitaman
berlari lari." di sepanjang jalan.
Kalang kabut! Ribut !
Di bagian tanah yang keras, di
Seberang jalan aku berhenti.
Dan menatap ke depan. Melihat
bentuk samar-samar dari rumah
mungil itu yang perlahan lahan
mulai roboh dengan suara riuh
rendah. Sebuah papan terbang
ke arahku. Jatuh di jalan.
setengah meter dari ujung
kakiku yang telanjang. Berhenti
di situ. Diam.
Aku berdiri di seberang jalan
sampai huian reda dan angin
telah kehabisan tenaga. Dari
ufuk timur. matahari mulai
memancar. keluar dari sebelah
sana gunung yang kelabu,
Lembah sawah menghampar
hijau. Sungai meluap. Pohon
cemara itu masih berdiri. Tetapi
tegaknya sudah miring
Aku juga dapat melihat
rumput.
seonggok bunga. Tembok teras
setengah meter yang retak retak
dan runtuh sebagian. Lalu
bagian depan rumah yang
merupakan potongan sia sia,
lunglai tak berdaya.
Hanya itu'
Rumah mungil itu telah
lenyap. Aku sangat merasa
kehilangan. Kehilangan rumah
mungilku tersayang. Kehilangan
seseorang yang tidak kukenal.
tetapi telah memberiku limpahan
kasih sayang. Perasaannya
demikian halus. Sangat mudah
tersinggung. tetapi sama
mudahnya untuk memberi maaf.
Berdiri diam diseberang jalan.
bermandi matahari pagi yang
hangat aku mulai berpikir.
Bahwa ia bukan orang asing
bagiku. Bahwa ia bukan
makhluk yang tidak kukenal.
Aku mengenal dia seperti aku
mengenal diriku sendiri
Dan kini ia telah pergi
Aku merintih
Berharap ia muncul tiba tiba.
kembali ke pangkuanku. Meski
tanpa wujud yang nyata. Aku
menginginkan sentuhan
sentuhan tangannya, kecupan
bibirnya yang lembut, desah
napasnya yang menggetarkan.
suara bisikannya yang sayup
"Mengapa menangis,
sayangku" Aku ada di dekatmu"
Aku menoleh ke samping.
mengharap suara itu berasal
dari sebelah kiriku tetapi dengan
getir. aku sadari. suara itu
keluar dari sanubariku yang
memendam rindu
Aku melihat seseorang
mendekat
Bukan dia
Tapi Pak Jayusman. yang
berwajah kuyu. dan mata yang
putus asa
"Setelah sekian puluh tahun.
Nak. kini terjadi'lagi.... Longsor
yang mengerikan ini akan
membunuh kita semua perlahan
lahan _"
Tanpa menunggu komentarku.
ia kemudian berjalan pergi.
Langsung menuju di mana hari
sebelumnya. terletak rumah
tempat tinggal keluarganya,
yang kini hanya tinggal sisa
sisa.
Tanpa dasar, kakiku terayun
Satu satu.
Sesekali aku mengeluh. Sakit
Terdengar langkah langkah
kaki di sekitarku. Hilir mudik.
Seorang anak kecil berteriak.
Seorang ibu memanggil
manggil. Di belakangku. ada
suara suara bergumam. Suara
suara lelaki. Aku tak perduli.
Terus berjalan ke tempat di
mana rumah mungilku
meninggalkan kesia-Siaan yang
memedihkan.
Aku berdiri di bibir tebing
yang telah melebar sangat dekat
ke jalan raya. Tidak semua dari
rumah mungil itu terbawa
bersama tanah yang longsor
jauh ke bawah. Sebahagian
masih berada di tempatnya
semula. meski porak poranda
dan sesewaktu terancam akan
ikut longsor .
Seseorang di dekatku
mendesah.
"Mari kita lihat. Barangkali
masih ada yang bisa
diselamatkan.
Aku tidak tahu pada siapa ia
berbicara. Dan aku tidak suka
suaranya. Terlalu serak. Terlalu
menusuk. Sama sekali tidak
memberi harapan.
Ketika ia berjalan
mundar-mandir di antara puing
puing rumah. barulah aku
menyadari bahwa ia adalah
pemilik lama pada siapa aku
telah membayar uang kontrak,
dan dari siapa aku memperoleh
jaminan "Tembok ini masih
kukuh sekitar enam tahun lagi
Berapa lamakah aku telah
tinggal di rumah mungil itu"
telah berapa lamakah aku
kenal dan hidup bersama "dia"
(kukembalikan tanda kutip.
karena yang kusebut dia. kini
telah pergi).
Pak Hadiman tiba-tiba
tertegun.
Ia kemudian mengorek-ngorek
sesuatu dengan kakinya, ke
dalam rekahan tanah berlubang
di bagian mana seingatku
terletak kamar mandi.
Waktu ia berdiri lagi.
wajahnya pucat pasi
"Ke-marilah!" ia berseru.
Tersendat.
Kali ini aku tahu pada siapa ia
berseru. Maka aku mendekat,
ingin tahu.
Dan di bekas lantai itu, tempat
di mana aku terpaksa harus
mempel setelah oleh "dia"
diguyur seember air yang kotor
tampaklah tulang belulang
manusia yang berserakan.
Aku merintih lagi
Pak Hadiman bertanya. seolah
pada diri sendiri
"Tulang belulang Siapakah ini
gerangan"'
Ia menatap wajahku. dan
mendesis:
"Apakah kau tahu"''
Aku mengangguk.
Ia tercengang.
"Siapa?" tanyanya tidak
percaya.
"Dia." jawabku.
"Dia?"
Kuulang:
"Dia."
Lalu aku berbalik.
Meninggalkan Pak Hadiman
termangu-mangu.

***

PENUTUP CERITA
Pak Darius tidak menunggu
waktu terbuang Sia-sia
Ia langsung melapor ke pihak
berwajib, dan bersama sama
mereka mendatangi alamat
rumah Tuan Subarja. yang
melapor pada lurah dengan
nama kecil, Gilang. Tuan
Subarja meninggalkan sepucuk
surat yang dialamatkan atas
namaku.
Dalam suratnya ia minta maaf
atas perlakuannya terhadapku.
Ia begitu putus asa, sudah lupa
diri tetapi ia mengaku tidak
punya niatan membunuhku ..
seperti ia juga tidak pernah
terlintas pikiran untuk
membunuh Maria
Maria gadis yang baik. Tuan
Subarja menulis dalam suratnya.
"Ia tidak banyak menuntut.
Materi. bukan tujuan hidupnya.
Apa yang diinginkan Maria tak
lebih dari ini. Perhatian.!
Sungguh malang. justru itulah
yang tidak mungkin kupenuhi.
Padahal begitu sederhana.
bukan" Maria ingin
diperhatikan. itu saja.
Tetapi bisnisku benar benar
Sibuk. Aku punya isteri yang
setia tetapi mulai reot dimakan
usia dan kesibukannya mengurus
rumah dan
anak-anak. Aku punya tiga
orang anak yang juga
membutuhkan perhatian. Aku
tidak mungkin memperhatikan
Maria seorang.
Kemudian, dia mulai
menyeleweng. Aku kecewa.
tetapi masih dapat menahan diri.
Dengan segala cara kucoba
mengendalikan tingkah laku
Maria. Hasilnya, ia justru
semakin menjauhiku. Maria
tidak sudi dikekang. Lalu kami
bertengkar. Bertengkar dan
bertengkar lagi. Ketika
pertengkaran itu memuncak.
terjadilah apa yang semestinya
terjadi. sebagai imbalan dosa
dosaku selama ini.
Aku sayang pada Maria. Jadi
aku tidak bersungguh-sungguh
ketika mencekik lehernya. Tetapi
ia malah menantang "Mengapa
ragu ragu" Ayo teruskan!
Teruskan! Biarlah segalanya
berakhir'" Dan ia meludahi
mukaku. Aku terhina. Sangat
terhina. Tidak mampu lagi
mengendalikan diri. Cekikan di
leher Maria makin
kukencangkan.
Baru setelah matanya terbalik
dan perlawanannya melemah.
akal sehatku timbul Menyesal.
cekikan kulepas. Maria mundur.
Sempoyongan. Tetapi ia terjatuh
ke lantai kamar mandi. Setelah
kepalanya lebih dulu membentur
bibir sumur.
Mengerikan. Bung Doli.
Aku panik. Aku putus asa.
Tetapi aku Juga belum mau
mati. Aku harus kembali pada
pekerjaanku. pada isteriku. pada
anak anakku. Banyak bekas
bahan bahan bangunan
tertumpuk di belakang rumah.
Pipa ledeng sudah masuk. Apa
boleh buat. mayat Maria
kucemplungkan dalam sumur.
Tembok atas sumur kubongkar
sendiri. dan kuruntuhkan ke
sebelah dalam. Kutambah
dengan sejumlah bahan
bangunan. Ketika kuli pekerja
bangunan datang keesokan
harinya. mayat Maria Sudah
lenyap. Tidak meninggalkan
bekas, tidak menimbulkan bau.
Bersama mereka. sumur kami
timbun lalu diratakan. Di bekas
sumur itu. dibuat bak mandi...
(maafkan Bung Doli, karena
kubiarkan kau mandi di atas
kuburan Maria).
Waktu terus berlalu
Aku ternyata aman dari
kecurigaan. (itulah yang selalu
kuyakini, sampai mereka datang
menemuiku) Bisnisku terus maju.
Rumah kecil mungil di pinggir
kota itu kemudian kujual dengan
harga pantas. Belakangan
kudengar, penghuninya selalu
berganti. Kudengar pula,
penghuni-penghuninya itu
tertimpa Sial, bahkan ada yang
mati di atas kuburan Maria .
Ya, bisnisku maju pesat.
Sebaliknya, kehidupan pribadiku
menurun drastis. Aku konflik
hebat dengan ibu anak anakku,
lalu cerai. Kutuk lain datang
susul menyusul. Toni. si sulung
mendadak lumpuh setengah
badan sepulang piknik ke
gunung. Lusiana ditabrak mobil
dan mati dalam perjalanan ke
rumah sakit. Nina jatuh dari
tangga. Kepalanya berderak
ketika tiba di lantai. Meninggal
saat itu juga. Lalu Tonton, si
bungsu yang kuperoleh dan
pernikahan dengan perempuan
lain tak lama setelah cerai dari
istriku pertama; lahir gagu.
Gagunya Tonton membuatku
selalu ribut dengan isteri
baruku. Cerai lagi. Kali ketiga
aku kawin, aku sempat
berbahagia beberapa bulan.
Kemudian, isteriku yang ketiga
itu mendadak pula sakit sarap
dan terpaksa dirawat di rumah
sakit jiwa. Masih banyak kutuk
lain menimpaku. Antara lain,
seorang pelacur memerasku
habis-habisan. kemudian
membuatku malu dengan
menuduh aku tidak pernah
membayarnya. Daripada sampai
ribut ke pengadilan, terpaksa ia
kubelikan sebuah rumah, sebuah
mobil dan membiayai
pernikahannya dengan salah
seorang bawahan
kepercayaanku.
Kau tahu ke mana aku jadinya
pergi. Bung Doli.
Dukun. Dan dukun bilang:
bawa rempah rempah ini. Sudah
kuisi jampe-jampe. Tanam di
tempat mayat perempuan itu
berkubang. Ingat, tak seorang
pun boleh tahu ketika kau
melakukannya, seperti tak
seorang pun tahu ketika kau
membiarkan perempuan itu
mati. Kalau ada yang tahu.
terpaksa kau harus membunuh
lagi Bukan untuk menghilangkan
jejak. Tetapi memang demikian
syaratnya'
Seperti kau tahu, Bung Doli.
aku gagal bukan" '
Dan kau hampir terbunuh.
Entahlah, kau memaafkan aku
atau tidak. Tetapi aku tetap
mengharapkannya. demi
meringankan azab sengsara
yang harus kutanggung kelak di
akhirat. Tempat di mana, kukira
aku akan bertemu dia lagi.
Maria, yang tidak menyayangiku
seperti dulu. Marialah yang
nanti ganti mencekik aku.
Kau tahu rasanya dicekik,
Bung Doli"
Menyakitkan. Namun tidak
seberapa menyakitkan,
dibandingkan saat-saat aku
melihat tubuh Mariaku
tersayang. jatuh terkulai di
lantai dengan kepala berlumur
darah. Dan gaun putihnya itu.
Bung Doli. Gaun putihnya yang
paling Ia senangi itu. ternoda?"
Menyesali gaun putih itu
sudah ternoda, Tuan Subarja
mengakui terus terang semua
perbuatannya Ia kemudian minta
diijinkan bersalin pakaian di
kamarnya. Petugas yang
menjemput bersama Pak Darius,
memperkenankan dengan pesan.
jangan berlama lama. Memang,
tidak lama. Sebuah tembakan
tetah menggema di dalam kamar
itu. Tuan Subarja telah
menembak jidatnya sendiri.
Menembak kehormatan yang
ingin tetap ia jaga.
Pelayannyalah yang
memberikan Surat itu 'Tuan
menulisnya beberapa hari yang
lalu. Tuan berpesan. agar
disampaikan pada seseorang
bernama Doli. pengarang." kata
si pelayan.
Surat itu kini tergantung di
tanganku.
Kusulut dengan sebatang
korek api. Terbakar Hangus
Lalu jatuh berupa puing-puing
hitam. ke tanah kuburan Maria
yang masih baru. Berbaur
dengan bunga rampai yang
dengan setia selalu kutaburkan
di makamnya.
Dia telah pergi dari sisiku.
Tak pernah kembali.
Aku merasa kehilangan. tetapi
juga pasrah dan berbahagia
dengan akhir yang tragis itu.
"Tidak ada pertemuan tanpa
perpisahan. Bukan begitu,
Maria?" aku berbisik di
kuburannya. Sebuah ungkapan
kuno, tetapi kuharap dia
mengangguk setuju. "Pergilah
dengan damai."
Udara dingin menyergap
kulitku.
Aku menggigil.
Dan gerimis jatuh. Satu satu.
Ebook dipersembahan oleh
Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1
394177657302863
dan
Situs Baca Online Cerita Silat
dan Novel

http://cerita-silat-novel.blogspot.
com
Sampai jumpa di lain kisah ya
!!!
Situbondo,22 Juli 2018
Terimakasih

TAMAT
(KOLEKTOR E-BOOK)

Anda mungkin juga menyukai