PEMBUKA CERITA
Pertama kali aku melihat
rumah itu. perhatianku sudah
tertarik. Letaknya di pinggir
kota. berbatasan dengan daerah
kabupaten yang berhawa sejuk
dan nyaman. Rumah-rumah di
sana berjauhan satu sama lain.
Tetapi setiap orang mengenal
dan merasa dekat kepada
tetangga-tetangganya. Karena
bukan Jalur ekonomi, maka lalu
lintas tidak begitu ramai
sehingga tidak terasa
mengganggu biar pun rumah itu
berada di pinggir jalan.
Halaman depannya agak
sempit. memang
Tetapi tidak menyesakkan.
Karena di situ tumbuh sebuah
pohon cemara, dikelilingi oleh
rerumputan yang tumbuh Subur
dan tanaman bunga yang segar
serta teratur manis. Konon
selain penghuni-penghuni
sebelumnya masih ada tangan
lain yang dengan penuh kasih
sayang merawat taman kecil itu
dengan telaten. Mungkin ada
benarnya. Karena rumah mungil
itu lebih sering kosong daripada
diisi. Dalam keadaan kosong itu,
hampir tidak ada orang yang
berani mendekati rumah bahkan
pekarangan. apalagi untuk
memasukinya.
Rumah itu berhantu, kata
orang.
Sayang sekali. Padahal
halaman samping nya
senantiasa bersiram matahari
pagi yang hangat, dengan
pemandangan sawah menghijau
bagai beledru di bagian
belakang, sebuah anak Sungai
nun jauh di bawah serta
pegunungan yang kelabu di tepi
langit. Belum lagi rumah itu
sendiri. Meski kecil namun di
bangun menurut selera yang up
to date. Tembok depan diberi
ukiran. berkaca lembut. satu
pandang yang lebar dengan
plafon berlapis mozaik imitasi
berwarna merah hati. kontras
dengan dinding yang dicat
dengan warna cream.
Semua itulah yang membuatku
terkesan
Hawa yang sejuk. Suasana
yang tenang sangat serasi untuk
orang seperti aku yang mau
bekerja tanpa diganggu oleh
orang lain atau riuh rendahnya
lalu lintas di jalan.
Tetapi. sungguhkah
ketenteraman ada di rumah itu "
***
SATU
Aku turun dari bus menjelang
senja. dengan langit yang
kemerah merahan. Barang
bawaanku tidak banyak. Hanya
sebuah koper pakaian, sebuah
tas plastik besar berisi
perlengkapan sehari hari. Dan
tentu saja, sebuah mesm tik
portable yang menunjang
kehidupanku selama ini. Mesin
tik yang tuts-nya hanya bersedia
menari-nan apabila suasana
sepi dan menyenangkan.
Beberapa orang tetangga telah
melihat aku turun dan bus
Bawaanku yang tidak
seberapa mereka angkat tanpa
menghiraukan protesku sama
sekali, karena jumlah yang tidak
banyak itu toh dapat
kuselesaikan sendiri. Setelah
menumpukkan barang barang
itu di salah satu pojok mereka
meriungiku di ruang tamu.
sementara seorang gadis kecil
pergi ke dapur untuk
menghidangkan teh.
Kami berbincang-bincang
sampai bedug Magrib bertalu
dari masjid.
Kebanyakan yang kami
percakapkan adalah tentang
pekerjaan atau tempat-tempat di
mana aku tinggal sebelumnya,
sedangkan mereka menceritakan
segala sesuatu yang perlu
kuketahui di daerah tempat
tinggalku yang baru. Ramah dan
menyenangkan sekali sambutan
mereka. Aku berani mengatakan
begitu karena. tidak seorang pun
di antara panitia penyambut itu
yang mau
menyinggung-nyinggung
persoalan yang buruk mereka
maupun aku sendiri. tidak suka
untuk membicarakannya.
Padahal, sebelum ini, mereka
begitu gencar menyerangku
dengan pertanyaan yang
bertubi-tubi:
'Apa" Rumah itu" Anda ingin
menyewa nya?"
Pertanyaan-pertanyaan yang
jelas tidak memerlukan jawab.
Disertai geleng-geteng kepala.
"Sudahkah Anda dengar
kisah-kisah aneh di seputar
rumah itu" Bahwa ada penunggu
nya" Bahwa orang tidak pernah
betah berlama-lama
menempatinya, bahkan ada yang
jatuh sakit dan hilang ingatan
ketika meninggalkannya"'
Pembeli rumah yang terakhir.
telah menceritakan semua
kisah-kisah yang mendirikan
bulu roma itu kepadaku, ia
sebenarnya mau menjual dengan
harga yang cukup murah bahkan
menurut dia bisa rugi. Akan
tetapi ia cukup puas ketika
kujelaskan bahwa aku hanya
punya kesanggupan untuk
mengontrak dua
tahun.
"Biarlah." Ujarnya "Daripada
dibiarkan kosong berlama-lama.
Perabotan di dalamnya boleh
Anda manfaatkan. Lengkap
semua Cuma-cuma. Dan tentang
rumah ini.... Yah! Siapa tahu.
suatu ketika kelak, Anda bisa
membelinya. Tentu saja dengan
catatan. kalau Anda betah
tinggal di sini'"
Yah. mudah-mudahan aku
betah. Karena begitu aku
melihat rumah ini, aku telah
merasa terkesan. Mereka
tentunya tidak bermaksud untuk
menakut-nakuti aku. Semua itu
didorong oleh itikad baik. agar
aku tidak merasa tertipu atau
menjadi korban seperti yang
lain. Mereka adalah
orang-orang yang ramah dan
ingin bersahabat baik kepada
setiap orang. Dan itu telah
mereka buktikan hari ini. ketika
mereka menyambutku dengan
ramah tamah pada saat pertama
kali kuinjakkan kaki di rumah ini
sebagai penetap yang sah.
Alangkah baik hatinya
tetangga-tetanggaku itu.
Senja ini.
Karena setelah aku bersikeras
untuk tinggal di sini dan kini
barang barangku telah mereka
bawa masuk. tetangga
tetanggaku itu memperlihatkan
wajah yang cerah selama
bercakap cakap.
'Kami senang punya tetangga
baru." kata mereka. "Semoga
betah. Kalau perlu apa apa.
beritahulah kami. Tidak usah
segan-segan.
Anggap kami semua
keluargamu sendiri "'
Tentu saja aku sangat
berterimakasih
Dan tetap tersenyum manis.
ketika mereka akhirnya pergi
untuk kembali ke rumah masing
masing. Meski waktu pamit,
mereka tidak dapat
menyembunyikan wajah wajah
cemas dan mata menyinarkan
kekhawatiran.
Sepi menyentak, setelah aku
tinggal sendirian
Selama beberapa saat aku
duduk tercenung. memandangi
suasana di sekelilingku
Rumah itu bertingkat.
Bagian bawah. di mana aku
duduk sekarang. merupakan
ruangan serba guna. Luas nya
tiga kali empat meter, berlantai
jubin warna cream. sama
dengan warna cat dinding.
Selain barang-barang bawaanku
yang tertumpuk di pojok dekat
tangga ke atas. terletak
seperangkat kursi dan meja
tamu tak jauh dari pintu keluar
masuk. Di tengah tengah, meja
makan ukuran sedang, tegak
dengan diam dikelilingi oleh
empat buah kursi yang diberi
jok.
Sebuah lemari makan dengan
perabotan lengkap diletakkan di
pojok kanan. Di seberangnya.
sebuah Sice keCil di atas mana
ada sebuah jambangan yang ..
Aku terkesiap.
Aneh. Siapa yang telah
memetik bunga dari halaman
depan dan menyusunnya dengan
indah pada jambangan itu"
Ketika kutinggalkan rumah ini
setelah menandatangani surat
kontrak, jambangan itu kosong.
Hem. Mungkin anak gadis
tanggung yang tadi
menghidangkan teh ketika aku
serta orangtua dan tetangganya
yang lain bercakap cakap.
Tetapi, ah. Nanti dulu!
Seingatku. anak itu hanya masuk
dapur. Dan baru keluar rumah
ketika yang lainnya juga pamit.
Apakah telah ada seseorang
yang memasuki rumah setelah
aku pergi" Tidak. Tidak
mungkin. Karena pintu keluar
masuk satu-satunya ke rumah
itu, kutinggalkan dalam keadaan
terkunci. Lagipula menurut
desas desus, jangankan untuk
masuk. Untuk berkeliaran di
sekitar rumah ini pun orang
tidak berani,
Aku berprkir keras.
Namun tak melihat gambaran
yang jelas. Siapa yang telah
menaruh bunga di jambangan
itu. Bunga-bunga yang masih
segar, enak dipandang.
menambah seri ruang di mana
aku duduk. tetapi yang
perlahan-lahan membuatku
sadar akan sesuatu.
Naluriku mengatakan.
seseorang telah memetik
kemudian menempatkan
bunga-bunga itu di jambangan.
Dan orang itu. tengah
mengawasiku diam diam!
Aku menarik nafas.
Lalu bangkit perlahan lahan.
Percuma saja aku
memperhatikan kesana ke mari.
karena tidak ada seorang
manusia pun di dalam rumah
kecuali aku sendiri. Dan tidak
pula ada yang mengintip di balik
kaca jendela. Waktu masih
berada di dalam bus.
selangkanganku sudah terasa
menggigit. Tetapi ketika
tetangga tetangga itu muncul
lalu menyambutku dengan
ramah tamah. hal itu telah
kulupakan. Kini terasa kembali
menyentak-nyentak.
Aku berjalan ke sebuah pintu
tertutup yang bersebelahan
dengan dapur. Entah mengapa,
aku sempat tertegun di depan
pintu selama beberapa detik.
Tetapi ketika akhirnya pintu itu
kubuka, aku tidak melihat ada
orang di dalam. Yang ada
hanyalah bak mandi yang penuh
air, gantungan untuk handuk
dan pakaian ganti, sebuah
gayung, sebuah ember plastik
dan kakus yang lubangnya
menganga diam.
"Jadah!" aku memaki diri
sendiri. "Dasar tukang
mengkhayal!"
Lantas. aku membuka
resluiting celana. Karena malas
untuk melepaskannya aku tidak
berminat untuk jongkok. Seraya
berdiri aku mengangkangi
lubang kakus dan. .
seeeeerrrrrr! Air kencingku
mengalir deras. setelah sekian
lama terpaksa dibendung.
Bunyinya keras dan
mengejutkan. sehingga aku
tersentak. kemudian
tersenyum-senyum. Malu pada
diri sendiri.
Aku masih tersenyum-senyum.
ketika keluar dari kamar mandi.
Kubetulkan letak celana
seraya berjalan ke arah tangga,
dibawah mana tadi
tetangga-tetangga meletakkan
barang bawaanku. Tenang
tenang saja aku melangkah,
sambil bersenandung dengan
suara di hidung. Lalu,
mendadak, aku tertegun
Barang barang itu tidak ada di
tempatnya'
Aku mengernyitkan dahi.
Bingung! Bukankah tadi mereka
meletakkannya di sini" Dan
belum sempat memindahkan
ketika pamit" Dengan heran, aku
menatap ke seantero ruangan,
Lalu kembali aku tertegun. Pintu
depan terbuka. Lebar. Udara
yang dingin menusuk tulang.
merembes masuk ke dalam
dengan leluasa. Aku menggigil.
Baik koper. tas, kotak mesin tik
dan lain lainnya, sudah
berpindah tempat ke teras
Terkejut aku segera bergegas
ke pintu.
Kupandangi barang barang
bawaanku itu dengan teliti.
Tidak ada yang terbuka atau
kurang salah satu bagiannya.
Diletakkan di sana begitu saja,
seolah bukan barang berharga
apa apa. Dengan seksama aku
memandang ke sekitar. Sepi
Tidak ada siapa Siapa. baik
yang bersembunyi maupun yang
lewat di jalan. Cahaya temaram
menyentuh bumi, membuat jalan
raya tampak hitam legam.
Malam sudah mulai merambat.
"Aneh." gumamku. sendirian.
"Apakah mereka meletakkannya
di sini, bukan di bawah tangga?"
***
DUA
Angin pegunungan yang segar
menyeruak ke kamar ketika
jendela kamar kubuka. Lembah
hijau menyegarkan mata.
Rumah rumah penduduk
berserakan di sebelah sana, di
antara pepohonan rimbun
menghadap anak sungai. Kalau
saja bagian bawah rumah ini
tidak ada tembok batu yang
kukuh. tentulah aku segan untuk
tidur di kamar atas. Lumut hijau
coklat serta tanaman rambat
menyemaki tembok batu itu dan
di sana sini sudah terlihat rekah
rekah menganga. Pemilik rumah
mengatakan tahun depan ia
punya rencana melapisi tembok
batu itu dengan yang lebih baru
dan kuat.
"Tetapi percayalah.
Penahanan itu masih sanggup
berdiri untuk selama paling
sedikit enam tahun.' katanya
meyakinkan. Aku percaya Saja.
karena ia adalah orang yang
baik dengan menceritakan desas
desus mengenai rumahnya. serta
memberikan perabotan lengkap
untuk kumanfaatkan secara
cuma cuma
Selesai sarapan pagi aku
mengunci rumah. Dengan
sebuah map berisi berkas-berkas
aku menemui er-te kemudian
er-we untuk memenuhi
formalitas sebagai pendatang
baru. Mereka sangat ramah dan
menyenangkan. Dan mereka
punya pertanyaan yang sama.
begitu kami bertemu:
"Tidur nyenyak tadi malam,
Nak Doli'?"
"Sangat nyenyak." aku
mengakui. 'Habis, letihnya
enggak kepalang dalam
perjalanan ke mari.'
"Syukurlah," ucap mereka
dengan tulus. Namun jelas bisa
kutangkap sinar mata mereka
yang keheran-heranan. Aku
tidak bertanya mengapa. Selain
tidak pantas menanyakan
sesuatu yang tidak terucap, juga
karena aku sudah tahu apa
kira-kira yang akan mereka
utarakan. Tidur nyenyak! Tak
mungkin! Tanpa terganggu!
Aneh! Padahal orang orang
sebelum ini"!
Setelah urusanku selesai di
kedua pimpinan daerah itu aku
kemudian naik bus ke pusat kota.
Tidak banyak tempo yang
kubutuhkan karena ini adalah
sebuah kota kecil. Setelah
menjatuhkan sepucuk surat
untuk sebuah penerbit di
ibukota. aku menemui Parlan
untuk meminta kembali tape
deck serta cassettenya.
Bukannya membayar sewa
pinjam barang, ia malah
menawarkan sepasang speaker
bekas karena ia bermaksud
membeli speaker baru yang
lebih bagus. Karena harganya
sangat jauh di bawah harga
pasaran. dengan senang hati aku
membelinya.
Aku masih menyempatkan diri
berbelanja kebutuhan sehari
hari di sebuah toko. kemudian
pulang ke rumah.
Aku tiba menjelang sore. dan
menemukan sebuah meja berlaci
yang meski bersih dan
mengkilap namun jelas meja
bekas, sudah ada di teras.
Alangkah gembira hatiku karena
aku tidak melihat satu melainkan
dua buah kursi. Ah. jadi aku tak
perlu memindahkan salah satu
kursi meja makan ke kamar atas.
TIGA
Hari berikutnya. boleh dikata
tiada gangguan yang berarti.
Mengikuti kebiasaan. aku
bangun pagi-pagi benar. Selama
beberapa saat kurasakan
suasana asing di kamarku. Aku
termangu-mangu. Bingung.
Kemudian kusadari bahwa ini
bukan kamar tidurku yang lama.
Kamar tidurku sebelumnya
lumayan luas, berperabotan
serba lengkap. Kamar mandinya
bersatu pula. Kloset dan bak
mandinya terbuat dari porselen.
serta dilengkapi mesin listrik
pemanas air. Sayang, paviliun
yang kutempati berhadapan
langsung dengan gang satu
satunya yang memotong dua
buah jalan raya satu jalur. Gang
itu tidak pernah diam. sehingga
aku baru dapat bekerja tekun
setelah malam mulai larut
Begitu kudengar tentang
rumah kecil di pinggir kota.
maka kuputuskan untuk pindah.
Karena tahu. uang sewa kontrak
paviliun tahun berikutnya.
seperti biasa akan melonjak
kembali. Sang pemilik tahu
benar kalau honorariumku dari
tahun ke tahun makin melangit
saja.
ia seorang pedagang tulen.
Tidak memiliki jiwa seni sama
sekali. Kecuali. seni menghitung
ledakan penduduk yang
mengakibatkan kebutuhan
semakin meningkat. Sialnya. dia
tahu pula mengimbanginya.
Makanan yang dihidangkan tiga
kali satu hari. selalu bervariasi
dan tetap saja terasa enak di
lidah. Boleh ke luar masuk
paviliun kapan aku suka. Boleh
bawa kawan satu rombongan
untuk berpesta pora .. asal biaya
keluar dari kantongku sendiri.
Penghuni rumah induk tidak
pula terusik bunyi mesin tikku
yang ribut di tengah malam buta
***
EMPAT
Selama beberapa hari
berikutnya. aku terus saja
diganggu.
Ada-ada saja yang "dia"
(untuk seterusnya. tanda kutip
kubuang saja') perbuat, untuk_
mengusik ketenanganku.
Kembali sibuk kehilangan
gayung. berlari-lari sekeliling
rumah atau menggedor-gedor
pintu. Kursi meja yang
berpindah pindah bukan sekali
dua kualami. Atau perabotan
dapur yang centang perentang.
Isi lemari makan
dihambur-hamburkan ke lantai
ruangan bawah. Kadang-kadang
lantai itu sudah penuh air kotor
dan ember terhumbalang kian
kemari. Aku benar-benar dibuat
sibuk membersihkan dan
membereskan rumah
"Sabar. Usahakan tetap
sabar," teringat pesan guru. aku
selalu berusaha menahan diri.
Percaya serta yakin apa yang
guru katakan "Akan tiba
waktunya. lawanmu yang
kehabisan sabar. hilang akal
dan putus asa. Barulah. kau
mulai menembak...."
Aku maSih sabar.
Hanya sekali aku menyenggak:
"Kau membuat onar! Kalau
tetangga pada tahu, apa kau
tidak malu"!"
Tiba-tiba kusadari. rumah itu
letaknya jauh dengan rumah
tetangga. Mana ada yang
mendengar dia bikin ribut" Dan
kalau malam hari. tidak pula
ada penduduk berani
berkeliaran di dekat-dekat
rumah yang kutempati.
Memang ada sekali dua tamu
berkunjung, tetapi selama ada
orang lain. dia membuatku
dongkol. dengan berdiam diri
tidak bertingkah apa apa.
Padahal betapa aku ingin
memperlihatkan pada
orang-orang bahwa dia" tidak
perlu dicemaskan. karena apa
yang bisa ia perbuat, hanyalah
keributan semata.
Tetapi ketika aku menerima
lagi beberapa pucuk surat,
kesabaranku mulai habis. Semua
isi surat itu tidak ada yang
manis. Semua menuntut naskah.
Bahkan ada yang menghina.
karena honor sudah kuterima
jauh sebelumnya. aku tidak mau
bertanggung jawab lagi.
"Sialan!" aku memaki. seraya
kurobek robek surat itu. "Semua
ini gara gara kau!" aku
membentak. seraya memandang
ke sekelilingku. Kepada meja,
kepada kurSi, kepada jendela.
kepada pintu, ke lantai. ke
beranda. ke tangga. Tetapi tidak
ada siapa-Siapa di sana, pada
siapa amarah itu kutujukan.
Namun diam diam kusadari,
makhluk bagaimana yang
menunggui rumah itu.
Karena selain vas bunga. ia
tidak merusak perabotan dapur
pertanda ia sayang
memecahkannya. Ia pun tidak
pernah memindah mindahkan
benda-benda berat seperti
lemari atau tempat tidur.
pertanda ia tidak kuat
melakukannya. Bila
kudengarkan dengan seksama,
nyatalah langkah-langkah
kakinya agak pendek pendek,
serta halus iramanya bila ia
berjalan tidak sedang berlari
atau melonjak lonjak.
Teringat pada taman bunga
yang selalu terawat baik di
pekarangan. serta bunga segar
dalam jambangan pada hari
pertama aku menetap di rumah
ini, maka aku menyimpulkan:
tentulah ia seorang perempuan.
Cantikkah dia" Masih muda"
Atau buruk rupa. mengerikan.
serta tua renta" Ataukah seperti"
Ah. Gadis dalam impian. Sukar
mengenalinya. karena
munculnya selalu samar-samar.
tidak lama dan cepat
menghilang ke tabir kabut
seputih salju. kalau aku
berusaha biar pun hanya
menggapai saja.
Perhatianku benar-benar tidak
terpusat pada pekerjaan.
Siang hari. aku selalu sibuk
akibat tingkahnya. juga letih.
Mana tamu suka berkunjung.
Meski jarang, tetapi toh
kehadiran mereka menyita
waktuku yang terSisa. Aku tak
mungkin mengusir mereka.
karena mereka adalah
tetangga-tetanggaku yang baik.
Terpaksa aku berbohong bahwa
aku menyukai kesibukan tiap
kali mereka melihatku sedang
bekerja membereskan
sesuatunya yang telah dicentang
perentangkan oleh si dia.
Mereka tidak menuduh lewat
kata kata, tetapi lewat mata.
Paling-paling mereka hanya
berani mengatakan ini:
"Kau kelihatan agak pucat.
Sakit?"
Aku angkat bahu, seraya
tersenyum. Kecut.
"Apakah benar tidak perlu
kami bantu?"
"Terimakasih."
Pada akhirnya. sang
Pemimpin Redaksi yang pernah
kulihat marah-marah dalam
impianku itu, muncul dengan
wajah ramah. tetapi mata yang
dingin. Ia bertamu tak lebih dan
lima menit. hanya untuk
menanyakan keadaanku
sekedarnya. dan menuntut:
"Mana lanjutan naskahnya?"
Kujanjikan. akan kukirim
segera.
"Kapan?" Ia mendesak. tak
sabar. bahkan tak percaya.
Aku memutuskan:
"Besok. Kalau perlu. tunggui
aku mengetik di .sini."
Ia tidak bersedia
menungguiku, tentu. Tetapi
untuk menjaga hubungan baik.
kuputuskan pada malam ini aku
harus menyelesaikan paling
sedikit dua atau tiga kali
penerbitan lanjutan cerita
bersambungku yang dimuat oleh
majalahnya
Dan. malam itu. pintu dibuka
dan ditutup dengan suara
berdentam dentam.
Aku mematikan tape dengan
jengkel.
Dengan langkah langkah
panjang. aku keluar dari kamar.
Tegak di beranda. berkacak
pinggang. seraya memandang ke
ruangan bawah di mana kulihat
daun pintu kamar mandi masih
berayun ayun. Aku benar benar
naik pitam.
"Cukup" aku berteriak.
lantang.
Darahku naik ke kepala.
Kukira. wajahku merah padam.
mungkin sudah kehitam hitaman.
Kosong. Sepi.
Aku merasa tegang. dan
gemetar.
Lama aku menunggu. namun
tidak ada suatu reaksi sama
sekali. Dengan bimbang. aku
berkata lagi. Tetapi volume
suara kutekan
serendah mungkin:
"Aku sudah pernah
mengajakmu bersahabat....
Ajakanku itu masih berlaku.
Kecuali. kau tidak sudi....'
Sepi Sepi sekali
Aku tidak putus asa. Ujarku:
?"Mungkin aku salah.... Tidak
memperkenalkan diri. ketika aku
memasuki rumah yang.... Yang
kau huni ini. Baik. Anggaplah
aku sebagai tamu. Dan sebagai
tamu, akan kuperkenalkan Siapa
aku...."
Kutatap ke lantai bawah,
rasa-rasa ada langkah-langkah
kaki di sana.
Langkah-langkah kecil. yang
tertegun.
Aku menelan ludah
Dan dengan suara gemetar.
memperkenalkan diri:
'Namaku Doli. Bukan
Ooh-pet," aku tersenyum. 'Doli
saja. Aku maSih bujangan.
Tetapi sudah karatan. Umurku
tigapuluh dua. Pekerjaanku"
Mengarang. Tahu kau apa itu
mengarang..."'"
Tentu saja. tidak ada sahutan.
Dan tentu saja. aku harus
menerangkannya:
"Mengarang itu jual kecap.
Nomor satu, tentu saja. Kecap
itu kutuangkan ke mesin tik.
mengalir pada helai demi helai
kertas. Barangkali kau pernah
melihat aku mengerjakannya....
Tentu saja kau ngintip. Kalau
terang-terangan, aku bisa
melihatmu. Nah.... Hasil ketikan
itu kujual ke surat-kabar atau
majalah. Uang hasil penjualan
itulah kupakai untuk makan
dan.... Dan untuk mengontrak
rumah yang kau huni ini."
Kembali aku menghela napas.
letih oleh penjelasan sepihak
yang panjang lebar itu Terkutuk.
Mengapa ia tidak mengawab.
Masih adakah dia di sana" Atau
sudah pergi" Ke mana" ~
"Kau pernah membaca cerita
ceritaku?" 'aku bertanya, iseng.
Tak ada jawaban
Tetapi tak ada salahnya
sesekali beronani. Anggap saja
promosi, pikirku, lalu
memutuskan:
'Aku adalah pengarang terbaik
di muka bumi. Dan tak usah
malu-malu mengakuinya. Kau
seorang penggemarku. bukan?"
Seraya menyeringai lebar, aku
masuk ke kamar.
Pintu kututupkan rapat-rapat.
Beberapa saat. aku masih diam
Menunggu. Sepi di bawah. Sepi
di atas Sepi di kamarku. Kuputar
tape, dengan volume rendah.
Kuambil sebatang rokok. Lalu.
Siap dihadapan mesin tik ..
Beberapa kali. kertas
kusentakkan dari mesin karena
hasil ketikanku yang jelek.
Biarpun sudah dibayar dan pasti
dimuat. aku berprinsip harus
tetap mempertahankan mutu
cerita. Kureguk kopi yang sudah
dingin. Lalu menghisap rokok
dalam-dalam. Lewat asap
asapnya yang mengepul ke
langit-langit, aku mencari cari
lanjutan ceritaku yang sempat
hilang.
Aku menemukannya tidak lama
kemudian.
Ketak ketik bunyi mesin tik
segera memenuhi kesepian
rumah. Heran. Mesin tikku
berjalan lancar. Seolah segala
sesuatunya telah lekat di
kesepuluh jari jemariku. tinggal
ketukan ke huruf-huruf. Lembar
demi lembar mengalir keluar
dari ban mesin tik, hampir tidak
berhenti henti.
Menjelang pagi, aku
mendengar suara berisik di
bawah.
Dan mencium bau yang khas.
pasti dari arah dapur. Tentu dia
lagi. Entah apa yang ia tengah
lakukan. aku tidak tahu. Dan aku
tidak ingin melihatnya. Karena,
mesin tikku tidak mau
ditinggalkan.
Waktu terus berjalan.
Dan ketika pagi itu aku turun
ke bawah. mataku terbelalak.
Sebuah jambangan baru sudah
ada di atas meja. Bunga-bunga
yang segar dan harum
semerbak, disusun manis di
dalamnya. Dan yang membuat
aku semakin takjub. adalah ini:
segelas kopi kental panas
tersedia di meja yang sama.
dengan piring berisi dua butir
telur rebus yang sudah
dikelupas.
Sarapan pagi kesenanganku!
***
LIMA
Aku benar-benar tidak percaya
dengan mataku. Tetapi aku telah
mengerjap beberapa kali. Paha
telah kucubit. Gigi sudah
kugemeletukkan. Namun tetap
saja apa yang kulihat
sesungguh-sungguhnya ada di
atas meja. Jembangan dengan
bunga, baiklah. Tetapi kopi
dengan telur rebus. .
Lama aku terpesona.
Baru teringat. untuk
memandang berkeliling.
Perabotan di ruang bawah itu,
tidak ada yang berpindah
tempat. Lantai bersih dan licin.
meski ketika ditinggalkan
tamuku yang terakhir,
keadaannya masih kotor. Pintu
depan masih tertutup. Rapat.
Tirai jendela telah terbuka
gordenn Naco telah diangkat.
Gugup. aku memeriksa pintu.
Masih terkunci. Bahkan anak
kuncinya melekat di lubang
sebelah dalam. Aku mendekati
meja kembali. Berharap.
jambangan bunga, terutama
kopi dan telur itu sudah tidak
ada di sana. Harapan yang Sia
sia, dan membuat aku semakin
takjub oleh peristiwa ganjil yang
baru pertama kali kualami
seumur hidup itu.
Tidak ada gerakan atau suara
apa pun di sekitarku.
Hawa segar menerobos lewat
kaca naco. Apakah ia ada di
dekatku. sekarang"
Dengan penuh kebimbangan
aku masuk ke kamar mandi,
untuk cuci muka. Kembali aku
terpesona Dalam ember, terisi
air yang berkepul kepul. Panas!
Kugaruk kepala yang tidak
gatal. Dan tanpa bisa kutahan.
tubuhku gemetar. Aku
dihinggapi perasaan takut .
Semula aku akan membiarkan
ember berisi air panas itu.
Tetapi setelah
kutimbang-timbang, apa
salahnya mencoba" Lantas
seraya membaca jampi-jampi
yang pernah didiktekan oleh
guru kebathinanku, aku campur
air di ember itu dengan air
dingin dari bak. Maksudku
membasuh muka. kurubah.
Mandi saja sekalian karena air
tersedia cukup banyak.
Pada guyuran air hangat yang
pertama. aku masih gemetar
Namun kurasakan, air itu tidak
memberi pengaruh asing. Biasa
saja. seperti air hangat yang kau
sediakan setiap pagi untuk kau
pakai mandi. Mungkinkah
karena do'a yang kubaca" Atau
karena air itu memang tidak ada
apaapanya"
Keluar dari kamar mandi.
diam-diam aku mengintai ke
atas meja.
Masih Masih di sana. KOPI
dan telur rebus itu'
Dengan gelisah aku naik ke
atas untuk
berganti pakaian. Jendela kamar
kubuka, agar udara segar masuk
ke dalam. Lembah hijau, atap
atap rumah. pepohonan yang
rimbun. anak surgai, gunung
yang kelabu serta langit yang
biru. Masih tetap pemandangan
yang sama. Tetapi di lantai
bawah, di atas meja...
mungkinkah"
Lama aku tercenung di tempat
tdur, setelah bersalin pakaian.
Tetapi kemudian aku berpikir.
kalau air hangat itu tidak
memberi pengaruh apa-apa.
mengapa tidak pula dengan kopi
serta telur rebus" Lagi pula,
perutku ingin kehangatan. dan
lidahku sudah gatal untuk
menelan telur rebus. Kutetapkan
hati. lalu turun ke lantai bawah
Duduk menghadapi meja
makan, aku berdo'a
sebagaimana biasa
Tentu saja. dengan mata
terpejam. Ketika mata kubuka
kembali. setengah mengintip
rasanya. kulihat semuanya ada
di sana Ah.... Aku menoleh ke
samping kiri. ke samping kanan,
ke seberang meja. Berharap ada
salah sebuah kursi yang
bergeser, atau suara suara asing
namun sudah kukenal dengan
baik. Tetapi tidak ada gerakan
apa-apa. Tidak ada suara
Aku tidak yakin pada diriku
sendiri.
Dan setelah batuk-batuk kecil
untuk mengendurkan ketegangan
yang menghantui diriku. aku
berujar. kau baik sekali."
Suaraku
gemetar. Dan kaku. Agak
sumbang terdengar. Tetapi aku
tidak perduli. Aku terus
berbicara:
"Jadi. kita telah bersahabat,
bukan?"
Aku tersenyum. Sukar juga
untuk melakukannya. tetapi
kukira aku memang seorang
pemain sandiwara yang baik.
"Baiklah! Terimakasih untuk
hidangan pagi ini. Tetapi ...' aku
kembali memandang tanpa
tujuan' 'Tidakkah lebih baik
kalau kita makan bersama?"
Tidak ada sahutan.
Aku sudah menduganya.
Dan setelah berpikir bahwa
hantu tidak makan sebagaimana
manusia makan, aku memulai
sarapan pagiku. Mula-mula
kureguk kopi. Kental, okey.
Hanya agak sedikit manis.
"Lain kali . jangan terlalu
banyak gula." aku bergumam
sendirian. "Tidak baik untuk
kesehatanku.'
Aku menghabiskan kopi, dua
butir telur rebus itu, tanpa
reaksi apa-apa dalam tubuhku.
kecuali perasaan senang dan
puas. sebagaimana lazimnya
setelah aku melakukan hal yang
sama. Selesai sarapan. aku
bermaksud membereskan
perabotan bekas makan.
Tetapi...
Sebuah tangan yang dingin,
menyentuh lenganku.
Kontak kami yang pertama!
Aku dapat merasakan jari
jemari yang halus, lembut tetapi
dingin, memegang tanganku
yang sudah siap membereskan
meja. Aku tertegun. kaget, dan
kukira sedikit pucat. Tibatiba
timbul keinginanku untuk balas
memegang tangan itu. dan kalau
bisa menyentuh bagian-bagian
tubuhnya yang lain. Namun se
telah didahului terpaan nafas
yang dingin di tengkukku.
tangan itu kemudian hilang rasa.
Hampa.
Dengan jantung dak-dik-duk.
kuperhatikan apa yang terjadi
berikutnya. Perabotan bekas
sarapan pagi, terangkat ke
udara. melayang seperti kapas
yang ringan. Gelas berdenting
bunyinya ketika diletakkan ke
atas piring demikian juga
tatakannya. Dengan jarak kira
kira setinggi perutku. benda
benda nyata itu melayang
layang secara gaib langsung
menuju dapur. Sebentar
kemudian terdengar Suara gelas
dan piring menyentuh bak cuci,
disusul suara air mengucur
perlahan.
Dan, di balik bajuku.
mengucurlah peluh yang dingin.
Hasrat untuk mengintip ke
dapur, kutekan sekuat mungkin.
Aku justru berjalan ke arah
yang sebaliknya. Mula mula
pelan, kemudian makin cepat.
Dan aku melompati anak tangga
dua sampai tiga sekaligus.
berlari sepanjang beranda
merenggut pintu kamar dengan
keras dan sekaligus
menutupkannya setelah aku
berada di
dalam.
Kusandarkan tubuh ke daun
pintu.
Napasku terengah engah.
Lama aku dalam keadaan
setengah sadar setengah tidak
ingat diri, sampai kemudian
mataku terpantul kepada amplop
besar berisi naskah yang kuketik
malam harinya. Wajah
Pemimpin Redaksi yang kesal
mendorongku untuk berpikir
secara sehat.
Baiklah. Yang tidak mungkin.
sudah terjadi.
Biarlah dia di bawah sana
melakukan apa saja yang ia
kehendaki. Yang penting. ia
telah memperlihatkan
tanda-tanda ingin bersahabat
malah membantuku
mengerjakan sesuatu yang akan
menghabiskan waktu dan tenaga
kalau aku sendiri yang
melakukannya. Aku masih punya
pekerjaan lain.
Kukenakan sepatu, memeriksa
uang di dompet. mengambil map
besar kemudian keluar dari
kamar. Haruskah kukunci" Ah.
lewat celah yang sebesar semut
pun. toh roh itu bisa masuk.
Mungkin juga ia bisa masuk
langsung lewat dinding. tak
ubahnya benda empat dimensi.
Aku berdiri sebentar di depan
pintu, mendengarkan.
Sepi di lantai bawah.
Sepi di dapur.
Aku menuruni tangga.
Berjalan setengah
berjingkat-jingkat ke pintu, dan
hampir menjerit kaget.ketika
pintu dapur dibantingkan. Aku
mengurut dada yang seakan mau
pecah, terengah-engah sebentar
seraya berpikir apa yang terjadi.
***
ENAM
Semula. aku tidak
mengetahuinya.
Turun dari Oplet mataku berat
karena masih mengantuk.
Kubuka pintu depan dan
menemui rumah yang sunyi
lengang, berselimut kabut
misteri. Ruang tamu tampak
rapih bersinarkan lampu pojok
yang temaram. Lantai utama
gelap tetapi samar-samar dapat
kulihat tangga ke lantai atas.
Karena tidak ada suara atau
gerakan yang kutemui maka kaki
langsung saja kulangkahkan ke
tangga itu
Lantai beranda atas yang
terbuat dari papan jati itu,
berkeriut begitu kuinjak. Aku
tersentak sejenak. kaget.
Kemudian meneruskan langkah
menuru kamar tidur. Terlelap di
bioskop dengan hiruk pikuk
suara dari layar, tidak
mencukupi kebutuhan phisikku
untuk beristirahat. Demikian
pula di oplet yang sering
terguncang karena jalanan jelek.
Saat ini. yang kupikirkan adalah
langsung terbang ke alam
mimpi.
Namun aku segera tertegun.
Kamar tidurku terang
benderang
Seseorang telah menghidupkan
lampu
yang telah kupadamkan sebelum
pergi. Andaikata kamar itu acak
acakan dan ada barang yang
hilang pasti aku menduga itu
perbuatan seorang tamu yang
tidak diundang. Tetapi apa yang
kusaksikan dengan mata
kepalaku sendiri, tentulah
perbuatan dia. Tempat tidur
kecil kelihatan rapih dan resik.
Sprei telah diganti. demikian
pula sarung bantal, Selimut
terlipat apik. masih bekas
kupakai sebelumnya. Maklum.
cuma satu satunya selimut yang
kumiliki.
Lemari tertutup rapat. Dan di
atas meja, tersusun rapih map
map serta kertas-kertas yang
ketika kutinggalkan maSih
berserakan. Mesm tik bersih dan
berkilat bekas dilap. Tak ada
sampah dilantai. begitu pula di
keranjang sampah. Memang ada
yang hilang, atau tepatnya tidak
ada di kamar itu.
Pakaian-pakaian kotor tidak lagi
tergantung di kapstok. Entah
kemana perginya. Begitu pun
aku yakin pakaian itu tidak di
curi.
Lama aku termangu.
Menyadari kamar itu Siap
pakai. Untuk bekerja Atau
langsung terbang ke alam
mimpi.
Mataku mencari cari. Kalau
aku menemukan dia atau melihat
sesuatu yang menunjukan dia
ada di situ. Setelah kusadari
kamar tidurku hangat. maka aku
tahu ia tidak ada di dalam.
Penasaran aku keluar dan
bertelekan pada tiang
penyangga beranda. Kucari dia
dalam kegelapan lantai bawah.
Tetap sepi, lengang dan gelap
karena cahaya lampu pojok
ruang tamu tidak sampai ke situ.
Sssst....
Desah halus dan tajam
membuatku tersentak.
Aku tidak sedang menyiangi
kuburan. Aku tengah
terperangkap dalam
kesendirianku, di sebuah kamar
kecil berperabotan seadanya.
Kaset telah habis. Kesunyian
menganga di sekitar. Dan di
tengah kesunyian yang
menganga itu. sesuatu yang
membeku dingin mengusap
pergelangan tanganku yang
tengah kutangkupkan ke wajah.
Aku tertegun. kaku.
"Siapa?" kemudian kusadari
lekukan di ranjang tidurku
sudah tinggal sisa yang kian
menipis. "Kaukah yang barusan
berbiSik."' tanyaku.
tersendat-sendat. 'Apa... apa
yang kau... bisikkan?"
Desah lirih dan tajam. dingin
menusuk itu menyapu telinga
kembali. Lamat-lamat aku
mendengar kata demi kata
dalam susunan yang samar dan
Sukar kutangkap.
"Tulislah!' aku hampir
menjerit. "Tulislah apa yang kau
ucapkan....!'
Ia tidak menulis. Ia berbisik
semakin nyata: 'Mengapa
menangis sayangku" Aku ada di
dekatmu."
Sayangku'
Ia menyebut: Sayangku!
Sesuatu yang dingin pada
pergelangan tangan kanan,
kugenggam dengan tangan kiri.
Lengan yang halus lembut dan
terasa bergetar. Aku menarik
lengan yang tak kelihatan itu ke
bibirku, mengecup kebekuan
yang dingin di udara dan
berbiSik setengah menangis:
"Ulangi lagi. Ulangi lagi."'
Lengan dingin tak berWUjud
itu. mendadak membeku.
Diam.
Kembali aku tersentak. Marah
dan tersinggungkah dia"
"Hei".." mulutku baru saja
terbuka untuk mengatakan
sesuatu. manakala jari yang
dingin menyentuh bibir.
Menyentuh. lalu menekan. Ia
menyuruhku diam.
Reflek, aku merasakan
ketegangan di sekitarku
Ada sesuatu, di rumah itu.
Sesuatu yang lain. Sesuatu
yang bukan
dia.
***
TUJUH
Angin yang setajam sembilu
merembes dari ventiLaSi
jendela. menyertai suara hingar
bingar air hujan yang turun
entah sejak kapan. Sesuatu yang
terdengar jatuh, jelas bukan
bunyi genting pecah. Mengikuti
gerak kacau tangan dingin
dalam genggamanku. pelan
pelan aku bersijingkat ke pintu.
Lampu kamar kupadamkan.
Menempelkan telinga ke daun
pintu. kucoba mendengarkan
sesuatu yang tadi berisik di
lantai bawah. Terpaan hujan di
atas dan dinding luar masih
mengganggu, sehingga aku tidak
dapat mendengar apa apa. Pintu
kubuka hati-hati. Dan tubuh
dingin menempel dengan cara
mengejutkan ke tubuhku.
Lengan-lengan sebeku salju
melingkari salah satu lenganku.
disertai desis terengah engah
ketakutan.
Kontak yang semakin nyata
itu, tidak membuatku gembira.
Kutepuk halus apa yang
kuperkirakan bahu milik dia.
Lantas berbisik dekat dengan
apa yang kuperkirakan telinga
dia; 'Kau diamlah di sini.
Jangan bersuara!"
Ia bersuara" Memekik'"
Aku hampir tertawa. Dan
meninjau ke bawah. Lantai
utama masih terang benderang.
Namun aku belum melihat
apa-apa, kecuali perabotan yang
tidak berpindah tempat. apa lagi
ada yang hilang. Kurang puas.
aku bersijingkat ke tepi beranda.
***
DELAPAN
Kontak kami yang berikutnya,
terjadi ketika aku demam karena
kehujanan waktu pulang dari
kantor pos. Ia meraba dahiku
yang panas. mengelus lenganku
yang menggigil dengan
tangannya yang dingin tetapi
lembut itu. Terasa kasih sayang
yang tersembunyi dikedinginan
jari jemari atau telapak
tangannya.
Ketika ia menyuapkan bubur
ke mulutku. aku tahu ia duduk di
pinggir tempat tidur. Karena.
dapat kulihat kasur di bagian
yang ia duduki. membuat
cembungan dalam. Benda lunak
dan dingin. menyentuh
pinggangku. Mungkin pahanya.
Entah pakaian apa yang ia
kenakan.
Ingin aku menyentuh udara
hampa itu.
Tetapi aku sadar, kalau itu
kulakukan. ia akan segera
menghindar. Karena itu kutekan
keinginanku, dan aku menurut
dengan patuh terhadap segala
yang ia lakukan atas diriku.
Termasuk ketika ia melap
tubuhku dengan handuk yang
dibasahi air hangat. karena aku
tak mampu untuk turun ke kamar
mandi. .
Sendok bubur tertegun di
udara. ketika
aku berujar:
"Kau seorang wanita yang
baik dan patut dikasihi."
Ketika ia melap tubuhku
dengan tidak melepas celana
dalamku. aku mengatakan hal
yang lebih menjurus.
"Baru kau seoranglah yang
pernah menjamah tubuhku
dalam keadaan begini rupa"."
Gerak lap tertegun lebih lama.
***
SEMBILAN
Meski merasa seram
mengingat kemungkinan adanya
sesosok mayat tertanam di salah
satu bagian rumah. aku
berusaha sedapatnya
memperlihatkan sikap
biasa-biasa. seolah tidak tahu
apa-apa. Menyapa suasana
temaram di dalam: "Hai. Sedang
apa?" kemudian menekuni
pekerjaanku dan pada
waktu-waktu senggang ngobrol
secara rutin dengannya.
Dia seorang pendengar yang
baik dan setia. ' '
Dan paling senang kalau aku
ceritakan suasana kehidupan di
luar rumah kami, atau keadaan
para tetangga; Pak Sulaeman
akan menikahkan anak gadisnya
yang sulung". Ibu Endah
bertengkar dengan ibu Rukman
karena soal kucing... si Dudung
ketahuan menghamili anak pak
lurah dan kini buron entah ke
mana. Bung Lee yang bekerja
jadi kuli bangunan di Arab
Saudi tadi siang mengirim uang
banyak sekali pada orang
tuanya.... Pak Barli cerai
dengan isterinya karena
panenan sawah tahun ini gagal
lagi." Dan banyak kisah-kisah
lain. Sebagian menurut apa yang
kudengar dan kuketahui, tetapi
kebanyakan dari celoteh Bi
Saodah. tukang sayur yang rutin
datang ke rumah tiap pagi
menawarkan dagangannya. '
Kalau aku sedang malas ngetik
dan dia hilang dalam kesunyian
rumah. kusempatkan sesekali
memeriksa lantai. memeriksa
tembok sampai tempat
pembuangan sampah. Bahkan
sudut sudut pekarangan di
sekeliling rumah iuga kuteliti.
Siapa tahu ada tembok yang di
bangun tidak semestinya:
kelewat tebal, atau bentuknya
tidak wajar. Adakah lantai yang
bekas dibongkar dan ditutup
lagi" Atau rerumputan, ilalang.
kembang yang tumbuhnya lebih
muda dari bagian lain, pada
bekas galian lanah" Barangkali
juga: tulang kaki tersembul di
antara tumpukan sampah!
Rupanya diam diam ia
perhatikan juga apa yang
kulakukan.
Suatu hari, selesai
membersihkan diri untuk
membuang kuman-kuman
sampah, di meja kerjaku
terhampar sehelai kertas yang
ditulis kata kata: "Sibuk benar.
Cari apa sih?"
Tulisan dia!
Aku menatap sekeliling kamar,
dan setelah kurasakan
kehadirannya, aku menyeringai:
"Ada deh. Mau tahu saja!"
Sebuah ungkapan kuno, namun
ternyata tidak membuatnya
senang karena kertas yang tadi
ia tulisi dirampas dari tanganku
lantas dirobek berkeping-keping.
***
SEPULUH
Tak ubahnya manusia hidup
dan berperasaan normal.
ternyata dia dapat juga marah.
Kemarahan yang sungguh luar
biasa. Aku sampai kalang kabut
dia buat. Bingung memikirkan
bagaimana cara mengatasi
tingkah lakunya yang serba
diluar dugaan itu.
Pagi pagi. aku bangun.
Sekujur tubuhku letih lesu.
Aku bangkit dan seketika
tersentak mengetahui di bawah
selimut. tubuhku dalam keadaan
bugil. Sprei acak-acakan. Salah
satu bantal terguling di lantai.
Baik piyama maupun pakaian
dalamku. tidak kutemukan dalam
kamar. Baru kemudian aku tahu
piyama dan celana dalam telah
dia cuci dan dijemur di luar
rumah. Perlahan-lahan aku
ingat apa yang terjadi tadi
malam.
Dan, aku menggigil
Kucari tanda tanda kalau ia
ada di kamar. Nihil Aku
membuka pintu, menjenguk ke
luar. Rupanya ia sedang sibuk di
dapur, karena aku mencium bau
masakan dan suara perabotan
yang samar-samar. Berkerudung
selimut, aku
turun ke lantai bawah. Terus ke
dapur.
Di pintu dapur aku berhenti.
Penggilingan melayang di
udara. Rempah rempah yang
telah digiling lumat bercucuran
jatuh ke katel beriSi minyak
mentega. dengan bantuan
sendok besar. Penggilingan
kemudian hinggap sendiri di
meja. Sendok maSih melayang
layang, mengaduk sendiri
adonan di katel. Sebutir telur
rekah, kemudian belah. Bagian
dalamnya masuk ke mangkok
kecil dan sebuah sendok lagi
lantas mengaduknya. Beberapa
hari belakangan ini ia memang
suka mengganti menu sarapan
pagiku. Kopi tetap tersedia.
tetapi telur rebus telah ditukar
dengan telur dadar dan nasi
goreng .
Aku terbatuk menCium bau
sengit dari katel
Gerakan di sekitar kompor
terhenti. cuma sesaat Kemudian
segala sesuatunya kembali
'memasak sendiri". Sambil
menyeringai. aku bergumam:
"Kau membuatku lapar... "
Tak ada sahutan.
Perabotan terus saja bekerja.
NaSi goreng terus saja diaduk di
katel. Kutunggui dengan asyik.
Sebuah serbet mengudara pula
hinggap di kuping kiri kanan
panci. Ternyata ada air
mendidih, yang dalam sekejap
telah berpindah tempat ke dalam
ember yang sudah tersedia.
Pegangan plastik ember itu
terangkat, ember bergerak dan
berhenti di depan kakiku.
Pegangannya jatuh lagi. Dan
uap panas menyelinap nakal
lewat celah selimut. merayap
sampai di kelangkanganku.
"Hem. Jadi aku harus mandi
dulu. Habis itu. baru ngobrol?"
aku nyeletuk. Daun pintu dapur
bergerak tiba tiba. Sebelum
menghantam batang hidung.
cepat aku menyingkir mundur.
Untung ember berada di luar
dapur. kalau tidak tentulah
isinya tumpah mengenai kakiku.
Sambil geleng-geleng kepala
memikirkan pernyataan
kesalnya. aku membawa ember
itu ke kamar mandi.
Bersenandung sumbang, karena
pikiranku masih tercurah pada
kejadian malam tadi. Aku masih
bersenandung ketika menaiki
tangga, dan baru menghentikan
suaraku yang memang tidak
enak didengar, setelah kaleng
panci berbunyi ribut dari dapur.
dipukuli sendok sebagai musik
pengiring bernada mengejek.
"Sialan!' aku memaki pelan.
masuk ke kamar. Ganti pakaian.
Pagi itu. seperti biasa aku
sarapan sendiri. Ia, seperti biasa
pula. duduk di seberang meja
dan kadang-kadang berdiri
untuk menuangkan teh atau
beranjak ke dapur waktu aku
ingin kecap. Selesai aku makan,
dia beberes. Sembari
memandangi perabotan bekas
makan pada mengudara, aku
bergumam tak tahan: "Hei,?"
Piring tergantung di
permukaan meja.
Ia tengah menatapku. aku
yakin.
"Mau duduk sebentar" Ada
yang mau kuperbincangkan....'
Piring itu mendarat dengan
halus. seperti benda dari
angkasa luar saja layaknya.
Kursi di seberang meja
bergeser. la duduk. seraya
mengisi gelasku yang kosong
dengan air teh panas.
"TerimakaSih." ujarku. tulus.
Teko mendarat pula di tempat
semula. Mulus. Setelah itu.
kesepian tergantung di
langit-langit. Agak lama. baru
aku dapat menemukan kalimat
yang kuanggap paling baik:
"Kau sadar apa yang telah kita
lakukan tadi malam, bukan?"
Diam.
Dia diam.
"Aku menyukainya." "aku lagi.
terus terang Apakah ia juga
menyukainya" Apakah ia malu"
Apakah ia tersipu-sipu" Apakah
kulit mukanya bersemu merah.
lantas merunduk atau berpaling
menyembunyikan isi hati"
Sungguh malang. aku tidak akan
pernah tahu. Karena itu
kulanjutkan saja: "Mungkin
yang kita perbuat itu tidak punya
arti apa-apa buatmu.?"
Kalimatku terputus oleh
gerakan taplak meja yang
setengah tertarik ke seberang,
melipat dan menekan ke arah
bawah. Ia telah
mencengkeramnya.
"Kuharap. seperti aku maka
kau juga menyukai dan bahagia
dengan apa yang telah kita
perbuat,' kataku. memperbaiki
kalimat sebelumnya. Lipatan
dan tekanan di ujung meja.
pelan-pelan mengendur.
"Kuulangi sekali,lagi.
Aku menyukainya... dan,
menikmatinya. Belum pernah
aku... sebahagia tadi malam."
Tersenyumkah dia'"
Atau, mencibir"
'Hei .. kau masih di Situ?"
Ada detakan-detakan kaki
lembut di bawah meja_ dan
taplak yang dilurus luruskan di
depan.
'Aku masih di sini." tentu itu
yang dia maksudkan.
Aku meneguk tehku. Masih
ragu ragu. kujilati pula bibir
sebentar. Baru kemudian; .
begini.. Setelah apa yang terjadi
tadi malam, antara kita berdua ..
yah. kita semakin intim dan
semakin dekat satu sama lain
Itulah yang kumaksud. Dan. . '
Dan. taplak meja terlipat-lipat
lagi.
Dia tak sabar.
"Untuk tidak berbelit." kataku
cepat cepat. "Kau telah tahu
Siapa aku. Aku tak mendengar
kau memanggilku. tetapi kukira.
dari duniamu kau sudah sering
memanggil namaku. Nah. Apa
salahnya. kalau aku juga
mengetahui namamu" Jadi aku
tak usah berhei hei lagi
Semenjak ini. aku dapat
memanggilmu Misalnya Tien.
Lies, atau Neneng"." kutunggu
reaksi dari seberang meja Sepi.
Diam.
Demikianlah yang terjadi.
Tanpa dapat dikendalikan. aku
telah menembak. Menembak
tanpa berpikir panjang, lewat
mulutku yang tergetar karena
sudah
lama penasaran ingin
mengatakannya: 'Aku... kau
lebih suka kupanggil Maria"
Itulah namamu yang benar.
bukan" Maria Magdalena.
sebuah nama yang "'
Taplak meja
sekonyong-konyong tertarik ke
depan. Tidak pelan. tidak pula
sedikit. Taplak meja itu tertarik
seluruhnya. Perabotan bekas
makan terhumbalang kian
kemari. Baskom berisi sisa nasi
terlempar ke lantai. Teko
terguling membentur salah
sebuah kursi. lalu pecah terderai
setiba di lantai. Menyusul
sebagian perabotan bekas aku
makan. Sebagian, kubilang.
Karena sebagian lagi punya
tugas tersendiri
Mula mula gelas
Sebelum gelas itu jatuh. dia
telah menyambarnya dan
melemparkannya ke arahku.
Reflek. aku mengelaka Namun
toh sisi kepalaku terserempet
juga. Sendok garpu kemudian
terbang bagaikan senjata masa
datang yang ditembakkan dari
lubang kanon. Meluncur cepat
sekali. Kursi yang kududuki
terbanting setelah aku berguling
guling untuk menghindari
ceceran peluru peluru ajaib itu.
Sendok berdentang menghantam
rak di dekat tembok. Garpu
menghunjam dalam ke tembok di
atasnya.
Aku tercekat.
Pucat pasi. Andaikata garpu
itu menghantam jidatku."
Selagi bersiap menunggu
serangan berikutnya. .mataku
liar mengawasi ke depan. ke kiri.
ke kanan karena aku tidak tahu
di mana ia saat itu ambil ancang
ancang. Yang penting kulakukan
hanyalah merapat ke tembok
dan siap menunggu serangan tak
terduga.
Lalu krompyang, taak! Baskom
nasi terhumbalang di lantai.
Tunggang langgang. Kukira ia
telah menyepaknya sambil
berjalan pergi ke... ya. kemana"
Atau pura-pura pergi, me
nunggu aku lengah dan ia
melakukan serbuan dadakan"
Sepi bagai di kuburan.
Setelah hingar bingar yang
hanya beberapa detik itu. benar
benar terasa sangat sepi seperti
di kuburan. Dan ah... apakah
rumah itu bukan merupakan
kuburannya" Tingkah laku dia
jelas menunjukkan aku benar.
Dia adalah Maria Magdalena.
Maria yang dibunuh oleh laki
laki yang mencintai dan
memeliharanya sebagai isteri
muda, lama berselang. Di rumah
ini.
Pak Jayusman bilang, Maria
telah pergi. Minggat
meninggalkan rumah ini. Rahib
tanpa kabar berita. Tetapi Pak
Jayusman bilang, timbul juga
desas desus Maria telah mati. la
dibunuh. Di rumah ini" Mungkin
juga di tempat lain. Lalu
arwahnya kembali ke rumah ini,
karena ia mencintai rumah ini.
Kalau saja aku tahu di mana
mayatnya ditanam....
Sepanjang hari, pintu
berdentam-dentam.
Ya pintu dapur, ya pintu kamar
mandi, ya pintu-pintu kamar
tidur. Isi rak berhamburan di
lantai bawah. Tetapi tidak ada
lagi serangan
yang ditujukan ke arahku.
setelah suatu saat aku berteriak
melawan kesunyian yang
menakutkan di sekelilingku:
"Mengapa harus marah" Apa
salahnya aku mengetahui
namamu" Aku menyukainya!
Aku juga menyukaimu! Tak usah
malu mengenai masa lalu! Kau
tetap adalah kau yang kukenal
selama ini. Tak akan aku
berubah pikir!"
Tak ada reaksi untuk beberapa
jam.
Apakah karena apa yang
kuucapkan" Atau, yah... apalagi
kalau bukan! Ada tamu tibatiba
muncul di rumah. Bi Ijah. tukang
sayur. Sambil meninjau ke
dalam. ia bertanya: "Lagi
berteriak pada siapa?"
'Berteriak"' sahutku. malu.
"Apakah tadi aku berteriak?"
"He-eh. Kudengar kau
mengucapkan?"
'Oh. Oh. Rupanya aku terlalu
larut dalam lamunanku."
'Lamunan?"
'Ya. Aku hidup dari melamun,
bukan?"
Bi Ijah bingung sebentar.
kemudian tertawa bergelak.
Katanya: "Kau orang beruntung,
Nak. Orang lain akan pusing
kepala dan bisa gila kalau
terus-terusan melamun. Sedang
kau, justru dapat duit!"
Sebelum pergi, ia dengan
sengaja mengantarkan barang
belanjaanku ke dapur. Dan
mengeluh heran: "Kok
berantakan begini" Apakah
kalau kau melamun. seisi rumah
kau hancurkan?" Bukan
pengarang namanya. kalau aku
tak segera menemukan jawab:
"Tadi ada tikus naik ke meja
makan, Bi. Lima ekor,
bayangkan' entah dari mana
datangnya. Aku begitu marah,
sampai taplak meja kurenggut
sekaligus dalam usahaku
meringkus binatang-binatang
menjijikkan itu. Tetapi aku kalah
pengalaman Kalah cepat...." aku
tersenyum. Bi Ijah ikut pula
tersenyum. "Seekor hampir
tertangkap olehku. tapi keburu
lolos. Habis. terganggu ketukan
Bi Ijah di pintu!"
'Maaf. Nak Doli. Bibi sungguh
engga tahu. Tetapi ya... kukira
bukan hanya lima ek0r. Mungkin
ratusan ekor tikus di rumah ini.
Maklum. sudah lama kosong tak
berpenghuni dan kalau sedang
kosong, bukan sekali dua
kudengar suara berisik di
dalam"."
"Oh ya?"
Seorang tetangga berseru
dikejauhan. "Bi" Bi Ijah" Kau
bawa ayam potong?"
Bi Ijah berlalu.
Dan, pintu demi pintu
berdentam dentam lagi. Aku
sibuk beberes segala perabotan
yang bergelimpang di bawah.
Menyapu, mengepel. Namun
segera berantakan lagi. Karena
begitu kususun atau kuletakkan
di tempat semestinya. dia sudah
mengacak-acaknya lagi.
Karena jengkel. akhirnya
kubiarkan!
Aku mengenakan sepatu dan
jaketku, beranjak ke pintu
depan. Di Situ. aku mengawasi
ke dalam dan berkata:
"Puaskanlah kemarahanmu.
Aku akan pergi.
Bersenang-senang di luar!"
Sebuah buku besar terangkat
dari rak. melayang di udara.
Buru buru pintu kututup di
belakangku. Buku besar itu
menghantam deras di balik
pintu. Aku geleng kepala, tak
habis pikir. Kemudian
benar-benar mencari
kesenangan di kota. Minum
sampai mabuk di rumah seorang
rekan dan hampir jadi bercumbu
di kamar seorang pelacur kelas
menengah.
Kukatakan hampir, sebab
begitu aku mulai menggeluti
pelacur itu. pikiranku terbayang
pada Maria. Kutahan
gelutan-gelutan bernafsu si
pelacur. Membayar uang lelah
yang semestinya kemudian
meninggalkannya tanpa
menjelaskan mengapa pikiranku
berubah. Rekanku masih asyik di
kamar lain. Jadi ia
kutinggalkan.
Aku langsung naik ke
kendaraan umum, pulang
Tiba di rumah. kutemui
kesunyian yang merasuk dalam
sampai ke sanubari. Suasana
tidak lagi berantakan. Semua
telah bersih.Rapi dan licin habis
disapu. Tetapi dia tidak
memperlihatkan diri. Tidak pula
terhidang makan sore, atau kopi
dan penganan ringan waktu aku
duduk di belakang meja,
menghadapi mesin tik.
Satu setengah bungkus rokok
telah kuhabiskan dengan hasil
paru-paruku gersang, beberapa
kali aku batuk-batuk, dan entah
sudah berapa puluh lembar
kertas yang kurobek karena
gagal menemukan ilham.
Benakku hanya diisi oleh dia.
dia dan dia lagi.
Tengah malam, aku tegak
diberanda.
Menatap ke lantai bawah.
Entah mengapa, setiap kali dia
kucari, aku selalu berbuat sama:
menatap ke lantai bawah.
Apakah itu suatu magnit atas
kehadirannya" Barangkali bisa
juga berarti: mayat Maria
Magdalena ditanam di lantai
bawah. Atau di sekitar lantai
bawah. Entah di dapur. entah di
ruang tamu. entah di kamar
mandi.
Gelisah
menghubung-hubungkan
kemungkinannya. aku berdesah
lirih: "Maria?"
Lengang.
Dingin menusuk.
"Maria. Dengarkan," aku
mengeraskan suara, karena tak
juga ada reaksi. "Kutahu. kau
ada di situ. Jadi. dengarkan. Aku
meminta maaf, karena telah
berusaha mengorek masa lalumu
dari orang lain...." Teringat
semuanya sudah rapih ia
bereskan, aku menambahkan:
"Kutahu pula, kau telah
memaafkan aku. Jadi. Mengapa
kita tidak kembali pada keadaan
semula" Aku merindukan
kehadiranmu. Dengar" Aku
merindukan kehadiranmu. tak
perduli siapapun kau adanya.'
Diam.
Membeku.
'Hei!' aku setengah berteriak.
'Hei. Perlihatkanlah dirimu
barang sejenak!"
Maria memperlihatkannya.
Tidak di lantai bawah. Tidak
ketika aku sedang sadar
sepenuhnya. Ia baru muncul.
setelah aku memutuskan untuk
tidut saja; apapun yang terjadi.
terjadilah! Mataku sudah berat
menahan kantuk. Tetapi aku
belum pulas benar. manakala
dia muncul.
Maria datang menembus daun
pintu.
Langkahnya pelan. Bimbang.
Ia masih tetap mengenakan gaun
putih yang sama. Hanya kini.
gaun putih itu berubah warna di
beberapa tempat. Ada
noda-noda merah. Darah. Aku
juga melihat genangan darah di
sisi kepala dan telinga
kanannya. Kemudian aku
melihatnya. Melihat luka
menganga di atas telinga, dan
barut-barut bengkak membiru
melingkari lehernya.
Mimpi buruk itu membuat
napasku sesak.
Lalu kudengar dia berkata.
getir: 'Kau ingin tahu siapa aku,
bukan" Nah. inilah diriku yang
sebenarnya....' suara Maria
terus bergaung: sebenarnya...
sebenarnyaaaa."
Mataku terpejam.
Rapat bercampur ngeri. Waktu
kubuka lagi. bayangan tubuh
mengerikan itu mulai mengabur.
Suaranya pun makin sayup: "...
apakah kau masih tetap akan
menganggapku sebagai "hei'mu
yang cantik" "Hei'mu yang tidak
bernoda" Masihkah kau akan
tetap menyayangiku...
menyayangiku...
menyayangikuuuu....'
Gaung suaranya semakin jauh
dan jauh.
Kemudian lenyap. tak
berbekas.
Seperti juga bayangan
tubuhnya. Sirna, tak berbekas.
Aku terlonjak bangun. Tak
sadar, berteriak: "Maria.. !'
Dan hujan, terhempas-hempas
jatuh di atas rumah.
Aku mengerang: "Maria,
Maria. Maria... aku bermaksud
menolongmu. Aku ingin
membuat rohmu hidup tenteram"
Meski. itu berarti... kita mungkin
harus berpisah."
HUjan kian menderas.
Gigiku bergemeletukan, tak
kuat menahan udara dingin yang
melesat bersama uap hujan dari
ventilasi jendela. Dalam gigilku,
aku merintih: 'Aku sayang
padamu, Maria.'
Angin dan uap hujan berhenti
merembes. Waktu aku melirik,
ternyata sehelai kain tebal telah
digumpal-gumpalkan pada celah
celah ventilasi. Udara berubah
hangat. tetapi masih tetap dingin
di satu arah. Tak ada yang
bergerak. Tak ada yang
bersuara.
Tahu-tahu saja. pundakku
sudah dielus.
Aku terpaku. Tenggelam dalam
keharubiruan, hampir menangis
karena tidak tahu bagaimana
caranya mengungkapkan
perasaanku.
Lalu, dia mencium bibirku.
Lembut. bergetar.
***
SEBELAS
Bukan sekali itu saja dia
marah besar.
Pernah aku mengetik dua hari
tiga malam nonstop. Lupa
makan lupa tidur, saking
keranjingan cerita yang tengah
kukerjakan. Kertas yang sedang
kuketik. tanpa pemberitahuan
mendadak sontak disentak dari
depanku. Mesin tik
melayang-layang ke langit dan
hampir terbang menuju mukaku.
Aku baru mau mengelak. mesin
tik sudah mundur sendiri lantas
terhempas jatuh dengan suara
ribut di meja.
Selagi aku ternganga-nganga
kaget. terdengar suara menepuk
nepuk di kasur dan bantal. Dia
menyuruhku tidur. Tetapi baru
juga aku mau rebah. kembali
tubuhku diseret ke lantai bawah.
Langsung didudukkan di
belakang meja makan,
sementara dia sibuk ke luar
masuk dapur. Habis makan, aku
buang hajat di kamar mandi.
Rupanya aku tertidur di kloset
duduk.
la menggedor gedor pintu
dengan marah. Pintu bukan
sekali dua dia gedor. Suatu hari,
aku sedang mengetuk-ngetuk
tembok dan lantai untuk mencari
bunyi hampa udara. kalau-
kalau di sebaliknya kutemukan
tempat mayat Maria ditanam.
Pintu ia gedor. ia
hempas-hempaskan. Kertas tik
berhamburan di kamar tidur.
dan pada ban mesin tik terjepit
sehelai kertas yang sudah diketik
olehnya, dengan umpatan kesal:
"Kau ingin cepat berpisah
dengan aku. ya?"
Aku terpaksa sibuk membujuk
agar dia tidak sakit hati: "Bukan
begitu Maria. Kuingin, kau
hidup aman dan damai. Di
manapun kau juga adanya.
Apakah itu salah?"
Jawabnya: "Kalau toh kita
harus berpisah, biarlah waktu
yang menghendaki. Kecuali. kau
sudah bosan"."
"Bosan?" aku memeluknya
mesra. 'Lebih Suka aku
kehilangan ilham. ketimbang
kehilangan dirimu.'
Lalu aku berhenti ngetik
selama beberapa hari.
Kuisi waktu itu dengan
bercumbu dan main
kucing-kucingan bersama
Maria. Tentu saja seisi rumah
jadi porak poranda, karena aku
tidak dapat melihat dia yang
kukejar atau ingin kutangkap,
sedang ia dengan mudahnya
mempermainkan dan tentulah,
mentertawakan diriku. Lututku
sampai bengkak karena
terbentur kaki meja. la
mengoleskannya dengan minyak
gosok. dan mengajaknya naik ke
ranjang.
"Lututku masih nyeri." Ujarku.
berlagak.
Ia tetap menyeretku ke
ranjang.
"Aduh, sakit!' aku berteriak.
Tetap saja. aku ditindihnya.
Ditindih udara dingin. hampa
tak berwujud tetapi lembut,
penuh gairah itu.
***
***
DUA BELAS
Gadis bergaun putih itu
menari-nari di depanku. Menari
nari liar. Tak beda dengan
orang kesurupan, ia menceracau
kacau. berteriak-teriak histeris.
Pekak telingaku dibuatnya. Tak
tahu apa yang ia ucapkan. Tak
tahu apa yang ia teriakkan.
Dalam kebingunganku. kulihat
gadis itu menunjuk nunjuk. Aku
diam saja. Ia melonjak-lonjak,
terus menghempas hempas
marah. Karena aku tetap diam,
ia mulai menangis. Putus asa.
Aku menggeliat. Resah.
Mata tetap berat. Hasrat tidur
masih juga menggebu-gebu.
Tetapi dia terus mengganggu
Muncul sekali lagi. Kali ini. ia
tidak menari. Dia berjalan
lemah gemulai ke tempat
tidurku. Pinggulnya bergoyang,
menimbulkan gairah. Susah
payah. mata kubuka. Ia semakin
dekat. semakin nyata. Tiba di
tepi tempatku tidur. ia
membungkuk tiba tiba. Matanya
melotot hampir ke luar. mulut
menyeringai seram. Dari luka
menganga di kepalanya darah
mengucur deras. Lehernya yang
bengkak membiru pelan pelan
rekah. berdarah.
Sambil menyeringai, ia terus
membungkuk.
Mau menciumku.
'Jangaaaann...!" aku berteriak
nyaring. Dan tenaga seketika
Sekujur tubuhku banjir keringat.
Kantuk masih terasa. menggoda
Tetapi rasa takut menyerbu lebih
kejam. Liar mataku mencari
cari. Tetapi aku tidak
menemukan gadis bergaun putih
di kamarku.
Yang ada, cuma udara dingin.
Menyergap. menghentak
hentak kacau. bagaikan orang
yang dilanda panik. Kemudian
aku mendengarnya. Suara
berisik di ruang bawah. Apakah
pencuri itu tetah datang lagi"
Apa yang menarik hatinya di
rumah kosong ini" Aku toh tidak
punya sesuatu yang berharga.
Berjingkat-jingkat aku
mendekati pintu.
Lantai bawah gelap gulita.
Begitu pula ruang tamu. Dapur
sunyi sepi. Tetapi pintu kamar
mandi terbuka. Lampu menyala
di dalam. seseorang sedang
sibuk mengungkit tegel kamar
mandi dengan sebuah linggis
kecil. Ada bungkusan kecil
tergeletak dekat kakinya. Dialah
pencuri yang dulu itu. Dan
waktu aku berjingkat jingkat
menuruni tangga, ia mendengar
dan berpaling. dia kukenali
sebagai... wah. tamuku. Tamu
asing yang begitu gampang
diajak menginap di rumahku!
"Lagi apa?" tanyaku. heran
Si tamu meloncat berdiri
'Menyingkirlah" ia berbisik.
Kemudian menggeram.
"Menyingkirlah!"
'Apa"' lampu kunyalakan.
Lantai bawah terang benderang
seketika. Lantas seraya
menuruni anak tangga demi
anak tangga, aku berkata
mengejek; "Kau suruh aku
menyingkir" Biar kau seorang
yang mengangkangi harta karun
itu?"
"Tak ada harta karun di sini!"
ia berjalan ke luar dari kamar
mandi. 'Begini....' katanya. pas
ketika aku sudah tegak di
depannya.
"Duk."
Sebuah pukulan keras dan jitu
menghantam tengkuk. Aku
sempat berkelit. Toh pukulan itu
mendarat iuga, tetapi tidak
telak. Sakit bukan main Mataku
berkunang-kunang. "Aku sudah
menyuruh kau supaya pergi"." ia
mendengus dan menyerbu ke
depan. Aku melompat mundur.
Sambil mundur tanganku
menangkis datangnya pukulan.
Malang. terpegang olehnya.
Tubuhku dibetot. Kutendang
kakinya. la menjerit pelan. tetapi
tidak terjatuh. Malah dengan
buas ia mencengkeram
pinggangku.
Tanganku menggapai apa
saja.
Terpegang pahanya. Kujepit
dengan kedua lengan. Dalam
posusi yang tanpa aturan itu.
kami berdua jatuh bergulingan
di lantai. Ganti berganti di
bawah, di atas. memukul dan
dipukul.
"Kau memasukkan obat bius
ke cangkir kopiku!" aku
berteriak marah. setelah dapat
memahami Situasi.
"Dan kau. terkutuk! Kau
ternyata cukup kuat melawan
pengaruh pel itu.. ia balas
berteriak sambil menjepit
leherku dengan kuat
Bukan. Bukan karena aku
mampu melawan pengaruh obat
itu.
Tetapi dia telah
membangunkan aku. Dia
memperingatkan aku. Dia'
Maria.
Tersengal sengal kehabisan
napas. aku mengeluh: " .. kau...
kau mau mencekik aku pula...
seperti kau... mencekik Maria?"
Itu suatu dugaan dan tuduhan
yang membabi buta.
Namun herhasil mengurangi
jepitan tangannya yang kekar
pada leherku. Kaki kugerakkan
dengan cepat. la terguling.
tetapi tidak melepaskan jepitan
mautnya, Karena kondisiku
belum pulih benar-benar.
dengan mudah ia menjatuhkan
dan menekan tubuhku di bawah
tubuhnya.
Tidak seorang pun boleh tahu
itulah syaratnya!" ia mendengus
dengan mata berputar putar liar.
"Kau dengar" Itulah syaratnya!
tidak seorang pun boleh tahu.
Kalau tidak. aku terpaksa
membunuh sekali lagi!"
Aku menjerit waktu
selangkanganku ia hantam
dengan lututnya.
Sekujur tubuhku lemah lunglai.
Jepitan pada leherku membuatku
sesak napas. pusing! Mata
semakin berkunang kunang.
Tibalah saatku pikirku. Ya
Tuhan.. !
Lalu terdengar suara
perempuan menjerit.
Suara yang datang dari alam
baka. Samar samar. aku melihat
sebatang linggis yang tadi
dipergunakan musuhku
mengungkit tegel kamar mandi,
meluncur ke tempat kami
berkutet. Meluncur deras bagai
panah dilepas dari busur.
"Hei .. apaa .!" laki-laki di
atas tubuhku. tertegun
Heran. bercampur takut.
Lalu Duk! Ujung linggis
menghantam lehernya. Untung
bagian yang tumpul. Namun toh
meninggalkan barut dan sakit
yang luar biasa, karena korban
serbuan linggis itu tercengkat.
mundur menjauhi tubuhku.
Mundur, terus mundur dengan
linggis terus pula mengejar.
memukul-mukul kacau tanpa
terlihat ada tangan
mengendalikannya.
Laki-laki itu tiba di pintu
Berkelit dari linggis
menghantam jendela. Kaca nako
pecah berderai-derai. Tamu
yang bingung dan ketakutan itu
kukira telah berlari memasuki
mobilnya. karena kudengar
suara mesin mobil
bergerung-gerung. Ban berdecit
ribut ketika dimundurkan ke
jalan raya, berdeCit lagi waktu
kabur meninggalkan tempat itu.
Namun sebelum ia sempat
kabur. masih kudengar Suara
kaca pecah hingar bingar dan
bunyi linggis jatuh di ialan
aspal. Mobil itu tentulah hancur
berantakan. setiba di kota .
Aku bangkit sempoyongan.
Sekujur tubuhku tersiksa azab
sengsara yang menyakitkan.
Beberapa kali aku terjatuh.
bangkit lagi. mengeluh.
mengerang. merintih. Sampai
tangan-tangan yang halus tetapi
dingin itu mencengkeram
lengan-lenganku. Dia
membantuku berdiri Dan
memapahku ke arah tangga.
Dekat dengan telingaku, aku
dengar suara menangis yang
sayup-sayup sampai.
Lalu.
"Wah. Apa yang terjadi...
aduh. Nak Doli! Mengapa kau
?" seseorang berlarian masuk.
Tangan tangan gaib yang
menuntunku tadi, hilang lenyap
seketika. Karena tanpa
pemberitahuan. aku
terhumbalang jatuh. Syukurlah,
seseorang segera menangkap
tubuhku. Lamat lamat kukenali
dia sebagai Darius, kepala
keamanan di daerah kami. "Ya
Allah. Siapa yang berbuat
sejahat ini padamu, Nak Doli"
Ayo, tahanlah. Biar kubantu kau
naik ke atas..."
Ia merebahkan aku di
pembaringan.
"Tadi kulihat seseorang."
katanya seraya memeriksa leher
dan kepalaku kalau kalau ada
yang terluka. "Waktu kudekati.
ia sudah kabur dengan mobil.
Apakah dia.?"
"Pencuri!" aku mengeluh.
sakit.
"Dia" Tetapi Nak Doli.
Mobilnya sejak tadi malam ...
"Ia pura pura kemalaman.
Minta menginap. Lalu... haram
jadah, Apa dia kira aku punya
berkilo kilo emas di rumah ini?"
"Sudah. Istirahatlah. Sebentar
kupanggilkan Pak Daeng ." ia
berlari-lari turun dan tak
sampai seperempat jam ia telah
kembali pula dengan orang yang
ia maksud. Pak Daeng kukenal
sebagai menteri kesehatan di
puskesmas setempat dan sering
menggantikan tugas dokter
kalau dokter sedang
berhalangan datang
'Hanya luka memar. Tak
berbahaya.?" kata Pak Daeng
setelah memeriksa di sana sini
"Wouw. pasti luar biasa ketika
selangkanganmu kena ya" Aku
juga pernah menerimanya. Dari
isteriku." ia tersenyum. "Tak
usah kuatir. Aku punya
obatnya.?"
Aku juga tersenyum.
Bukan kepada Pak Daeng atau
Pak Darius. Tetapi pada
seseorang yang berdiri di pojok
ruangan. Seorang yang begitu
putih, samar dan kabur. Dia
menatapku dengan mata kuatir
dan butir-butir air bening
melelehi pipi Pipi yang lembut
lunak halus, rambut yang
bergelombang indah, kepala
yang mulus tanpa luka leher
jenjang tanpa noda, gaun putih
yang tanpa bercak darah .
'Minumlah ini," Pak Daeng
menyodorkan gelas. Setelah aku
melahap minuman sangat pahit
dan bau pesing itu, ia
meletakkan dua ples kecil di
meja. "Obat gosok," ia
menerangkan "Oleskan di leher
dan... itumu,' ia tertawa ringan.
"Sekali lagi. sekali waktu mau
tidur."
Pak Darius yang sempat
menghilang se
bentar muncul di pintu.
'Kaca depan berantakan.
Besok akan kupanggilkan
seseorang untuk
memperbaikinya_' ia berkata
Lalu meletakkan sebuah
bungkusan kecil di meja.
Bungkusan itu belum terbuka,
tetapi bayangan putih samar di
pojok menghilang seketika.
"Aku juga menemukan ini. Di
kamar mandi," kata Pak Darius.
"Kau punya"'
"... ya. Ya itu aku punya."
sahutku, setelah bimbang
sejenak.
"Hem. Buat apa semua ini?"
Pak Darius membiarkan kain
pembungkus terbuka. Di situ
campur aduk berbagai rempah
rempah. Bawang putih, beras
putih, kemiri, dan akar-akaran.
Juga sebutir telur ayam
kampung. sekuntum bunga
kamboja dan sebonggol garam.
Aku meram melek sebentar.
Baru menjawab, seenaknya:
'Obat sakit perut, Pak Darius!"
"Oh ya. Mengapa ada di
kamar mandi?"
"Tadinya mau dicuci" '
"Lantas?"
"Ya, dimasak. Putih telur
dibuang, ambil merahnya.
Bawang putih, kemiri, kembang.
dan garam ditumbuk sampai
lumat. Beras di... he. disangrai.
ditumbuk lumat pula. Masukkan
panci. Jerang di atas kompor.
Jangan lupa, pakar air...." aku
tertawa. Merasa geli dengan
leluconku.
"Kukira aku harus
memperhatikan resep
itu," Pak Daeng berpikir-pikir.
"Obat kampung memang
kadang-kadang lebih mujarab
dari obat keluaran pabrik. Sakit
perut, hem. Mules" Melilit'"
Atau kembung?"
"Aku baru mau mencoba.
Seorang rekan yang
memberitahu," potongku. kuatir
manteri kesehatan itu
menganggap serius.
"Tegel kamar mandimu
rusak"." Pak Darius memotong,
dengan mata curiga.
Pak Daeng yang mewakiliku
memprotes: "lni interogasi apa,
heh?"
"Aku kepala keamanan di
sini." jawab yang ditanya,
tandas.
"Kalau begitu. tangkaplah si
pencuri. Bukan korbannya.
Kikuk, Pak Darius mengeluh:
'Maksudku... kalau ia merasa
perlu bantuan untuk
membongkar lantai kamar
mandi, aku sih setuju saja.
Kapan?"
"Nantilah. Setelah aku
sembuh." jawabku. "Lagi pula.
uangnya belum terkumpul...."
"Mau diapain lagi. Nak Doli?"
TIGA BELAS
Semenjak malam itu dia tidak
lekang-lekang lagi dari sisiku.
Karena dia, aku jadi malas ke
luar rumah. Dan karena aku. dia
enggan kembali ke tempat
peristirahatannya yang tak
pernah kuketahui letaknya itu.
Dia akan Sibuk di dapur selagi
aku mandi. Menyetrika selagi
aku membaca surat kabar atau
majalah. Aku tidak membaca
dalam hati. Atas permintaannya.
aku membaca sedikit keras. Jadi
dia dapat mengikuti kemajuan
pesawat ulak alik Amerika di
angkasa luar, perang di Timur
Tengah yang seolah tanpa akhir;
efek letusan Gunung
Galunggung yang sempat
menarik perhatian PBB;
meningkatnya perampokan
bersenjata di dalam negeri
meski KOpkamtib telah turun
tangan; perkembangan harga
logam mulia sampai ke harga
kebutuhan pokok seperti beras.
gula, cabai; munculnya kembali
bintang layar putih tempo
doeloe; timbulnya gejala baru di
kalangan artis kita... ya aktor, ya
penyanyi, ya wartawan, ya
pengusaha kursi antik. Aku baru
membaca dalam hati (dan dia
sangat setuju) kalau kebetulan
yang kubaca
mengenai berita pembunuhan.
Dia tetap melayani
keperluanku. Tetap menemaniku
ngobrol dengan setia. Dia akan
ikut menyelinap kalau aku
masuk kamar, Duduk atau
rebahan selagi aku tekun
mengetik. Terkadang, kertas
hasil ketikanku mengudara tidak
menentu. lalu hinggap kembali
di meja dalam susunan yang
sudah rapih menurut
angka-angka di sudut atas
halaman. Kapan saja aku mau.
dia sudah siap melayaniku di
tempat tidur. Seringkali inisiatif
datang dari dia. Terutama kalau
ia lihat aku sedang buntu
inspirasi. Kalau aku tidur, ia
akan rebah di sebelahku.
Bangun pagi. ia maSih di
sampingku. Pernah kusarankan
agar kami tidur di kamar
sebelah saja. karena ranjangnya
lebih besar. Jawabnya "Makin
sempit. makin hangat" Dan tentu
saja makin sering kami
terangsang untuk bercumbu!
Apabila ada tamu, dia tetap
hadir.
Entah di pojok, entah di
tengah ruangan. entah di salah
satu kursi yang kosong. Asal
tempat itu temaram, gelap. atau
lembab. ia tidak hanya hadir
dalam bentuk udara dingin
menusuk, ia makin sering hadir
dalam wujud samar samar. Si
gadis bergaun putih. Selama aku
melayani tamuku. ia berdiri atau
duduk diam diam. Matanya terus
menatapku. Tanpa berkedip.
Seolah. kalau ia berkedip, aku
akan minggat tanpa setahunya.
Sinar matanya ketika
menatap-ku membuatku
terenyuh: rindu, takut
kehilangan.
Pak Darius merupakan tamu
tetapku. lantai kamar mandi
itu,ia menuntut. 'Tak jadi
kuperbaiki," jawabku.
Lain hari: "Tebing terjal di
belakang kamar mandi itu mulai
retak." Ujarnya lagi .
Jawabku: "Pak Hadiman
bilang. masih kuat bertahan
enam tahun lagi."
Suatu ketika: "Ini menyangkut
pembunuhan!" katanya gigih.
Aku mengelak: "Sudah punya
bukti, Pak" Sudah ada petunjuk
kuat" Membongkar bekas sumur.
bukan pekerjaan mudah. Banyak
resikonya. Aku sudah berniat
membeli rumah ini. Karena aku
menyukainya. sebagaimana
adanya. Suatu perubahan
mungkin saja membuatku tidak
terkesan...."
"Pikirkanlah lagi, Nak."
"Akan saya pikirkan, Pak."
"Beritahu aku, kalau kau
sudah mengambil keputusan.'
"Oke. Eh. Mari. diminum
airnya".'
Alex pernah pula muncul.
"Kudengar kau sudah punya
sekretaris pribadi "
"Mona yang bilang ya?"
ejekku. "Jadi dia menikah?"
'Ditunda."
'Lho Mengapa?"
'Mona keburu bertemu
seorang pemuda Arab."
"Wah! King-size. pasti!"
ujarku. dan kami tertawa
bergelak gelak.
Bi Ijah makin sering pula
melongok ke dalam rumah.
Semua rapi. semua bersih. dan
ia mengangkat pikulannya
seraya geleng-geleng kepala,
melanjutkan pergi ke rumah
tetangga. Ibu Jayusman
kemudian memberitahu: "Bi Ijah
bilang, kau rupanya hidup tanpa
didampingi perempuan.'
"Ah. masa iya. Emangnya aku
impoten. Bu?"
Sudah berapa lama berlalu.
entahlah Aku tidak teringat
menghitung waktu. Pada suatu
hari. dia terus menempel di
SiSiku Lekat bagai lintah. Ia
tidak menyediakan sarapan
pagi. tidak pula makan sore. Ia
ikut kalau aku mandi, dan marah
kalau aku mulai memegang
mesin tika Sekujur'tubuhku terus
saja diraba. Semula kukira
rabaan birahi. Tetapi kemudian
kuketahui, rabaan kasih sayang.
Ia memintaku ngobrol apa saja.
dan memohon agar dia
kubiarkan terus meraba raba
setiap inci tubuhku.
menciuminga sesekali. memeluk.
merangkul, mengajakku rebah di
tempat tidur tanpa sekalipun dia
melepaskan aku dari
rangkulannya.
Hari itu hujan badai jatuh
menggempur bumi
Mungkin ia takut dan
kedinginan, pikirku dan
berusaha mengobrol apa saja
seriang mungkin, membalas
Ciumannya. membalas
rangkulannya. Entah berapa kali
kami bercumbu sepanjang siang
dan malam hari itu, tidak
kuhitung. Anehnya, dia tidak
pernah merasa
letih, dan aku sendiri seakan
memperoleh kekuatan luar biasa
yang Casanova pun pasti tidak
mampu melakukannya. Namun,
diantara curah hujan di luar
rumah sempat kudengar isak
tangis sayup-sayup sampai.
"Apa yang kau tangisi,
Maria?" tanyaku.
Dia malah memelukku semakin
kuat. Sayup sayup terdengar
Suaranya: kekasihku. Kekasihku.
Sayangku. sayangku...!"
Dan tanpa dapat kutahan. aku
pun ikut menangis bersamanya.
Aku merasa sesuatu akan
terjadi. Sesuatu yang sangat ia
takutkan, sesuatu yang tidak ia
ingini terjadi. Diam-diam.
naluriku berbisik; apakah telah
tiba waktunya untuk berpisah"
Menjelang subuh, aku
tersentak bangun. oleh
goncangan yang hebat di dalam
kamar. Aku segera melompat
turun dari tempat tidur dan
kaget waktu menyadari bahwa
aku telanjang. Pakaian yang
kukenakan sebelumnya.
tertumpuk di pojok ranjang.
Aku memperhatikan ke
sekitarku. ketika goncangan itu
mereda. Kemudian aku
melihatnya. Bukan dia.
Melainkan pakaianku yang
melayang di udara. kemudian
didesak desakkan ke tanganku
yang gemetar.
Seolah ia ingin berkata:
"Pakailah! Pakailah!
Pakailah...!"
Masih dalam keadaan takjub
oleh kontak kami yang mesra
sepanjang malam itu, kuterima
pakaianku dan segera
mengenakannya. Aku mendengar
bunyi srek-srek yang halus,
mungkin suara pakaianku
sendiri. Tetapi mungkin juga
suara gaun tidurnya. ketika ia
mengenakannya.
Musik telah lama berhenti.
Tetapi angin di luar rumah,
tidak! Justru semakin keras.
semakin kencang. Hwan deras
kembali membadai. Butir-butir
air menerpa kaca jendela
menimbulkan suara
tersentak-semak yang
menyeramkan. Rumah
bergoncang lagi. Lantai
tempatku berpijak, terasa
goyang.
"Hai!" aku berseru. panik.
Kupandang berkeliling,
mengharap ia memberitahu aku
apa yang tengah ia lakukan.
Tiba tiba aku sadar, semua itu
bukan berasal dari dirinya.
Karena di luar rumah aku
mendengar suara yang lebih
hiruk pikuk. Seolah ada gunung
yang belah dikejauhan...
Aku berdiri membeku.
Sadar dengan apa yang
terjadi, tetapi tidak cukup sadar
untuk berbuat sesuatu. Tempat
tidur bergeser ke sudut. Meja
menjadi miring, dan mesin tik
membentur dinding. Suara
berderak membuat aku
berpaling. Ternyata sice
terbalik, dan tape deck
menghambur jatuh ke lantai
Aku beranjak mau
mengangkatnya, ketika
cengkeraman tangan yang kuat
dan dingin.
membelit pergelangan tangan
kiriku. Aku rertarik ke arah
pintu. setengah dipaksa.
Meskipun masih bingung dan
panik, aku menurut juga
diseretnya. keluar dari kamar
kemudian berlari lari menuruni
tangga. Di tengah-tengah
tangga. aku tertegun. Dia juga.
rupanya
Dengan mata mengecil
kusaksikan bagaimana suasana
dapur berantakan. Lampu utama
di langit-langit telah lepas, dan
jatuh berderai ke lantai. Seketika
suasana menjadi gelap gulita.
Namun sebelum kegelapan yang
luar biasa itu menyerap bumi
aku masih sempat melihat lantai
ruang bawah itu telah rekah di
sana sini
Aku disentak tangan yang
dingin itu lagi.
Kemudian didorong ke arah
pintu keluar. Maklum peristiwa
apa yang tengah berlangsung.
aku segera menghambur ke
pintu. Di sana, pegangannya
lepas. Aku berusaha
meraba-raba
memanggil-manggil dalam
kegelapan.
"Hei! Di mana kau! Hei!"
Sebuah tangan mendorongku
keluar lewat pintu yang terbuka.
Aku terdesak mundur sampai
ke teras. Naluriku membisikkan
sesuatu yang membuat
jantungku sangat kecut. Kembali
aku merabaraba seraya
berteriak-teriak:
'Kesinilah' Mari keluar
bersamaku!'
Kembali tangan itu mendesak
desak.
Aku menyambar
pergelangannya. Ia tersentak
berusaha menarik mundur
tangannya yang kupegang. Aku
berusaha memeluknya, tetapi
dengan segera memukul dan
mencakar dengan tangannya
yang lain. sehingga aku merasa
sakit di dada dan wajahku.
Hujan menderas, menyapu
teras.
Aku basah kuyup seketika.
Merasa kedinginan yang amat
sangat. Angin yang sudah gila
menghempas-hempaskan daun
pintu dan jendela dengan
liarnya. membuat kaca kacanya
berpecahan. Tetapi aku tidak
memperdulikannya. Aku
memusatkan perhatianku pada
dia, yang meronta sekuat tenaga
untuk melepaskan diri
Perlahan lahan aku sadar
akan satu hal.
Gerakannya menunjukkan
bahwa ia hanya menghendaki
aku sendiri yang lari
menyelamatkan diri.
'Pergi' Pergi! Pergi" Suara
sayup sayup seorang
perempuan. menyentuh
telingaku.
Benarkah"
Aku tertegun. Mendengarkan.
"Pergilah! Selamatkan
dirimu." suara itu terdengar
lengking dan jauh, seolah Suara
angin. "Tinggalkan aku di sini.
Tempatku di rumah ini ., Pergi'
Pergilah. kumohon .."
Lalu, hentakan keras yang
tiba-tiba, membuat tubuhnya
terlepas dari pelukanku. Sebuah
tangan mendorongku. sehmgga
aku terhumbalang melampaui
teras,jatuh di atas rerumputan
dengan kepala hampir
membentur
batang pohon cemara.
"Tunggu!" aku berseru lantang
***
PENUTUP CERITA
Pak Darius tidak menunggu
waktu terbuang Sia-sia
Ia langsung melapor ke pihak
berwajib, dan bersama sama
mereka mendatangi alamat
rumah Tuan Subarja. yang
melapor pada lurah dengan
nama kecil, Gilang. Tuan
Subarja meninggalkan sepucuk
surat yang dialamatkan atas
namaku.
Dalam suratnya ia minta maaf
atas perlakuannya terhadapku.
Ia begitu putus asa, sudah lupa
diri tetapi ia mengaku tidak
punya niatan membunuhku ..
seperti ia juga tidak pernah
terlintas pikiran untuk
membunuh Maria
Maria gadis yang baik. Tuan
Subarja menulis dalam suratnya.
"Ia tidak banyak menuntut.
Materi. bukan tujuan hidupnya.
Apa yang diinginkan Maria tak
lebih dari ini. Perhatian.!
Sungguh malang. justru itulah
yang tidak mungkin kupenuhi.
Padahal begitu sederhana.
bukan" Maria ingin
diperhatikan. itu saja.
Tetapi bisnisku benar benar
Sibuk. Aku punya isteri yang
setia tetapi mulai reot dimakan
usia dan kesibukannya mengurus
rumah dan
anak-anak. Aku punya tiga
orang anak yang juga
membutuhkan perhatian. Aku
tidak mungkin memperhatikan
Maria seorang.
Kemudian, dia mulai
menyeleweng. Aku kecewa.
tetapi masih dapat menahan diri.
Dengan segala cara kucoba
mengendalikan tingkah laku
Maria. Hasilnya, ia justru
semakin menjauhiku. Maria
tidak sudi dikekang. Lalu kami
bertengkar. Bertengkar dan
bertengkar lagi. Ketika
pertengkaran itu memuncak.
terjadilah apa yang semestinya
terjadi. sebagai imbalan dosa
dosaku selama ini.
Aku sayang pada Maria. Jadi
aku tidak bersungguh-sungguh
ketika mencekik lehernya. Tetapi
ia malah menantang "Mengapa
ragu ragu" Ayo teruskan!
Teruskan! Biarlah segalanya
berakhir'" Dan ia meludahi
mukaku. Aku terhina. Sangat
terhina. Tidak mampu lagi
mengendalikan diri. Cekikan di
leher Maria makin
kukencangkan.
Baru setelah matanya terbalik
dan perlawanannya melemah.
akal sehatku timbul Menyesal.
cekikan kulepas. Maria mundur.
Sempoyongan. Tetapi ia terjatuh
ke lantai kamar mandi. Setelah
kepalanya lebih dulu membentur
bibir sumur.
Mengerikan. Bung Doli.
Aku panik. Aku putus asa.
Tetapi aku Juga belum mau
mati. Aku harus kembali pada
pekerjaanku. pada isteriku. pada
anak anakku. Banyak bekas
bahan bahan bangunan
tertumpuk di belakang rumah.
Pipa ledeng sudah masuk. Apa
boleh buat. mayat Maria
kucemplungkan dalam sumur.
Tembok atas sumur kubongkar
sendiri. dan kuruntuhkan ke
sebelah dalam. Kutambah
dengan sejumlah bahan
bangunan. Ketika kuli pekerja
bangunan datang keesokan
harinya. mayat Maria Sudah
lenyap. Tidak meninggalkan
bekas, tidak menimbulkan bau.
Bersama mereka. sumur kami
timbun lalu diratakan. Di bekas
sumur itu. dibuat bak mandi...
(maafkan Bung Doli, karena
kubiarkan kau mandi di atas
kuburan Maria).
Waktu terus berlalu
Aku ternyata aman dari
kecurigaan. (itulah yang selalu
kuyakini, sampai mereka datang
menemuiku) Bisnisku terus maju.
Rumah kecil mungil di pinggir
kota itu kemudian kujual dengan
harga pantas. Belakangan
kudengar, penghuninya selalu
berganti. Kudengar pula,
penghuni-penghuninya itu
tertimpa Sial, bahkan ada yang
mati di atas kuburan Maria .
Ya, bisnisku maju pesat.
Sebaliknya, kehidupan pribadiku
menurun drastis. Aku konflik
hebat dengan ibu anak anakku,
lalu cerai. Kutuk lain datang
susul menyusul. Toni. si sulung
mendadak lumpuh setengah
badan sepulang piknik ke
gunung. Lusiana ditabrak mobil
dan mati dalam perjalanan ke
rumah sakit. Nina jatuh dari
tangga. Kepalanya berderak
ketika tiba di lantai. Meninggal
saat itu juga. Lalu Tonton, si
bungsu yang kuperoleh dan
pernikahan dengan perempuan
lain tak lama setelah cerai dari
istriku pertama; lahir gagu.
Gagunya Tonton membuatku
selalu ribut dengan isteri
baruku. Cerai lagi. Kali ketiga
aku kawin, aku sempat
berbahagia beberapa bulan.
Kemudian, isteriku yang ketiga
itu mendadak pula sakit sarap
dan terpaksa dirawat di rumah
sakit jiwa. Masih banyak kutuk
lain menimpaku. Antara lain,
seorang pelacur memerasku
habis-habisan. kemudian
membuatku malu dengan
menuduh aku tidak pernah
membayarnya. Daripada sampai
ribut ke pengadilan, terpaksa ia
kubelikan sebuah rumah, sebuah
mobil dan membiayai
pernikahannya dengan salah
seorang bawahan
kepercayaanku.
Kau tahu ke mana aku jadinya
pergi. Bung Doli.
Dukun. Dan dukun bilang:
bawa rempah rempah ini. Sudah
kuisi jampe-jampe. Tanam di
tempat mayat perempuan itu
berkubang. Ingat, tak seorang
pun boleh tahu ketika kau
melakukannya, seperti tak
seorang pun tahu ketika kau
membiarkan perempuan itu
mati. Kalau ada yang tahu.
terpaksa kau harus membunuh
lagi Bukan untuk menghilangkan
jejak. Tetapi memang demikian
syaratnya'
Seperti kau tahu, Bung Doli.
aku gagal bukan" '
Dan kau hampir terbunuh.
Entahlah, kau memaafkan aku
atau tidak. Tetapi aku tetap
mengharapkannya. demi
meringankan azab sengsara
yang harus kutanggung kelak di
akhirat. Tempat di mana, kukira
aku akan bertemu dia lagi.
Maria, yang tidak menyayangiku
seperti dulu. Marialah yang
nanti ganti mencekik aku.
Kau tahu rasanya dicekik,
Bung Doli"
Menyakitkan. Namun tidak
seberapa menyakitkan,
dibandingkan saat-saat aku
melihat tubuh Mariaku
tersayang. jatuh terkulai di
lantai dengan kepala berlumur
darah. Dan gaun putihnya itu.
Bung Doli. Gaun putihnya yang
paling Ia senangi itu. ternoda?"
Menyesali gaun putih itu
sudah ternoda, Tuan Subarja
mengakui terus terang semua
perbuatannya Ia kemudian minta
diijinkan bersalin pakaian di
kamarnya. Petugas yang
menjemput bersama Pak Darius,
memperkenankan dengan pesan.
jangan berlama lama. Memang,
tidak lama. Sebuah tembakan
tetah menggema di dalam kamar
itu. Tuan Subarja telah
menembak jidatnya sendiri.
Menembak kehormatan yang
ingin tetap ia jaga.
Pelayannyalah yang
memberikan Surat itu 'Tuan
menulisnya beberapa hari yang
lalu. Tuan berpesan. agar
disampaikan pada seseorang
bernama Doli. pengarang." kata
si pelayan.
Surat itu kini tergantung di
tanganku.
Kusulut dengan sebatang
korek api. Terbakar Hangus
Lalu jatuh berupa puing-puing
hitam. ke tanah kuburan Maria
yang masih baru. Berbaur
dengan bunga rampai yang
dengan setia selalu kutaburkan
di makamnya.
Dia telah pergi dari sisiku.
Tak pernah kembali.
Aku merasa kehilangan. tetapi
juga pasrah dan berbahagia
dengan akhir yang tragis itu.
"Tidak ada pertemuan tanpa
perpisahan. Bukan begitu,
Maria?" aku berbisik di
kuburannya. Sebuah ungkapan
kuno, tetapi kuharap dia
mengangguk setuju. "Pergilah
dengan damai."
Udara dingin menyergap
kulitku.
Aku menggigil.
Dan gerimis jatuh. Satu satu.
Ebook dipersembahan oleh
Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1
394177657302863
dan
Situs Baca Online Cerita Silat
dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.
com
Sampai jumpa di lain kisah ya
!!!
Situbondo,22 Juli 2018
Terimakasih
TAMAT
(KOLEKTOR E-BOOK)