Anda di halaman 1dari 406

:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 1

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 2

Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit)


Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Mao-Mao-San (Gunung Mao-mao) menjulang tinggi sekitar empat meter dan puncaknya menembus
awan. Gunung ini terletak di sebelah dalam Tembok Besar, di dekat perbatasan sebelah utara Propinsi
Gan-su dan Mongo-lia Dalam. Biarpun pegunungan ini terletak di perbatasan, namun pegunungan ini
tidak sepi benar. Kota Tian-ju dan Gu-lang terletak di kakinya sebelah barat dan utara, sedangkan dl kaki
bagian timur terdapat kota Jing-tai. Pegunungan Inl mempunyal tanah yang subur, maka di kaki
pegunungan dan di lereng-lereng bagian bawah terdapat banyak dusun pertanian di mana rakyat petani
hidup cukup makmur, dalam arti kata tidak pernah kekurangan makan. Akan tetapl di bagian lereng
sebelah atas sampal ke puncak, Mao-mao-san jarang dikunjungi orang karena daerah ini penuh dengan
hutan belantara yang dihuni banyak binatang buas. Para pemburu binatangpun hanya berani mencari
untung sampai di lereng pertengahan saja. Cerita tahyul beredar di kalangan rakyat petani bahwa di
dekat puncak Mao-mao-san terdapat seekor naga siluman yang amat jahat. Kabarnya banyak pemburu
yang beranl naik lebih tinggi, lenyap tanpa menlnggalkan jejak dan dikabarkan menjadi mangsa naga
slluman. Semenjak cerlta Itu tersiar, tidak ada seorangpun pemburu berani nalk mendaki lereng yang
berada dl pertengahan gunung.

Pagi itu hari dimulai dengan cuaca yang amat cerah. Matahari pagi bebas memuntahkan cahayanya,
membangunkan segala sesuatu yang malas terblus malam dingin. Embun pagi membubung dari hutan-
hutan kemudian lenyap dibakar sinar matahari yang mulal terasa hangat. Burung-burung mulal sibuk,
berkicau sallng memberi salam, berloncatan darl dahan ke dahan, merontokkan embun yang tadinya
tergantung di ujung-ujung daun-daunan. Mereka ttu dengan riang gembira menyambut sinar matahari
dan bersiap-siap melakukan pekerjaan mereka mencari makan. Binatang-binatang hutan juga mulai
meninggalkan sarang mereka untuk mencari makan bagl dlri sendirl dan bagl anak-anak mereka. Bunga-
bunga bermekaran. Kupu-kupu beterbangan. Awan putih tipis berbagai bentuk berarak di angkasa.
Semua bekerja! Matahari, awan, pohon-pohon, bunga, embun, burung, kupu-kupu dan semua binatang
hutan. Mereka semua mulai sibuk bekerja mencari makan, Memang sesungguhnya lah. Hidup adalah
gerak dan gerak yang pallng balk dan bermanfaat adalah bekerja. Seluruh alam dan Isinya tiada henti -
hentinya bekerja. Kekuasaan Tuhan selalu bekerja, tak pernah berhenti sedetikpun juga. Kalau berhenti
sedetik saja, akan kiamatlah dunia ini.

Dari lereng dekat puncak, masih di bawah awan, kita dapat melihat panorama yang teramat indah.
Sukar dllukiskan kebesaran dan kelndahan alam. Sawah ladang terbentang luas dibawah kaki kita. Di
sana-sini tampak air berkilauan memantulkan sinar matahari seperti cermin-cermin. Mata dapat
menikmati pemandangan yang amat indah. Telinga juga dapat menikmati suara-suara merdu, kicau
burung, desah angin di puncak-puncak pohon, gemercik air. Hidung juga dapat menikmati aroma yang
amat segar, sedap dan alami. Bau hutan, bunga, tanah basah, semua itu demikian dekat dan dikenal
penciuman kita. Udara demikian sejuk segar, mengalir deras memenuhi paru-paru, membawa kesehatan
dan kenyamanan perasaan. Indah dan nikmatnya hidup ini!

Di lereng bawah puncak yang amat sunyi itu dan yang hampir tidak pernah dikunjungi orang, pada pagi
hari itu terjadl hal yang tldak seperti biasanya. Terdapat seorang laki -laki berjalan seorang diri menuruni
puncak! Laki-laki itu melangkah seperti di luar kesadaran nya. Dia seolah bersatu dengan alam di
sekitarnya, matanya melahap semua yang tampak, mata yang bersinar penuh bahagia, mulutnya
tersenyum. Pada saat seperti Itu, dia seperti kehilangan jati dirlnya karena sudah bersatu dengan alam.
Dia adalah bagian dari pohon-pohon Itu, bagian dari ratusan burung yang terbang di angkasa, bagian
dari sekumpulan kupu-kupu yang mencari madu diantara bunga-bunga, sebagian dari embun yang

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 3

masih bergantung di ujung-ujung daun. Dia ber hentl melangkah. Di depannya terdapat sebuah jurang
ternganga. Di bawah kaki nya, sinar matahari membentuk bayang-bayang memberi gairah kehidupan
kepada segala sesuatu. Orang itu agaknya baru sadar akan dirinya dan dlapun menghirup napas dalam-
dalam sehingga dada dan perutnya mengembang. Seperti dengan sendirinya dia berdongak ke langit,
dan mulutnya berbisik.

“Terpujilah nama Yang Maha Kasih, yang menciptakan semua ini.”

Dia lalu melangkah lagi, perlahan-lahan, dengan santai. Dia seorang laki-laki berusia kurang lebih lima
puluh tahun. Rambutnya yang panjang digelung ke atas masih hitam semua. Wajahnya halus belum ada
kerut tuanya. Sepasang matanya mencorong tajam namun lembut sekali. Hidungnya mancung dan
mulutnya selalu tersenyum ramah dan penuh kesa-baran dan pengertian. Wajahnya berbentuk bulat
dengan dagu meruncing. Tubuhnya sedang saja, tampak lemah. Pakaiannya sederhana sekali, hanya
sehelai kain panjang kuning yang dilibat-libatkan tubuhnya. Dia memakai sepatu kain tebal yang
bawahnya dilapisi besi sehingga awet sekali. Di punggungnya tergendong sebuah buntalan kuning yang
besar dan tampaknya berat.

Pria itu di waktu mudanya bernama Tiong Lee, seorang ahli sastra yang mendalami tentang pelajaran
Khong-hu-cu, Lo-cu dan yang terakhir pelajaran Agama Buddha. Seperti telah menjadi kebudayaan Cina
di waktu abad ke sebelas, ketlga agama ini berbaur dan filsafat tiga agama ini dipilih yang cocok untuk
menjadl dasar kehidupan Cina. Semenjak usia dua puluh lima tahun, Tiong Lee yang tertarik untuk
mendalaml pelajaran Agama Buddha, melakukan perjalanan ke Indi a seperti pernah dilakukan oleh
pendeta Hsuan Tsang pada abad ke tujuh. Di negara pusat Agama Buddha itu Tiong Lee mempelajari
Agama Buddha secara mendalam, dan selaln itu, dia mempelajari pula tentang ilmu Yoga dan
pembangkitan kekuatan sakti dalam tubuh yang disebut Kundalini Yoga. Juga dari para pertapa Hindu
yang memiliki kesaktian yang luar biasa, dia mempelajari banyak ilmu sihir bersih yang berlawanan
dengan ilmu “sihir hitam yang biasanya dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Biarpun dia telah
menjadi seorang ahli dalani Agama Buddha, Tiong Lee tidak mencukur rambutnya, tidak menjadi hwesio
(bhikkhu). Hanya pakaiannya saja sederhana seperti pakaian para pendeta. Rarnbutnya digelung dan
diikat dengan pita kuning. Karena ke manapun dia pergi, dia mengajarkan tentang kehidupan yang benar
dan baik, maka dia selanjutnya, setelah berusia lima puluh tahun, mendapat sebutan Tiong Lee Cin -jin.
Setelah berusia lima puluh tahun dan sudah dua puluh lima tahun merantau ke India dan Tibet, akhirnya

Tiong Lee Cin-jin melakukan perjalanan ke timur untuk pulang ke Cina. Dia membawa banyak kitab-kitab
suci, baik darl Agama Buddha maupun Agama Hindu, dengan maksud untuk dibawa pulang ke negerinya
dan diterjemahkannya agar dapat dipelajari banyak orang di negerinya.

Pada pagi hari itu, perjalanannya dari dunia barat tiba di pegunungan Mao-mao. Tertarik oleh keadaan
gunung itu, dia mendaki sampai ke puncak dan tinggal semalam di puncak. Pagi itu dia menuruni puncak
dan menikmati keindahan alam. Dalam pesona kebesaran alam seperti itu, teringatlah dia akan kalimat
bijaksana yang sukar dimengerti akan tetapi mudah dirasakan dalam keadaan seperti keadaannya di saat
itu. Kalimat itu berbunyi: “Tidak memiliki apapun berarti memiliki segalanya!”

Kata memiliki yang pertama berarti kemelekatan kepada sesuatu yang dipunyai, dan kemelekatan
kepada sesuatu, baik sesuatu itu orang, barang ataupun nama dan kedudukan, pasti menda-tangkan
sengsora kehilangann. Adapun kata memlliki yang kedua berarti manunggal, bersatu dengan segalanya.
Kita da-pat menikmati merdunya kicau burung di pohon dan indah harumnya bunga tanpa takut
kehilangan. Akan tetapi sekali kita memiliki burung itu dan mengurungnya dalam sangkar, atau memilikl

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 4

tanaman bunga itu dan mengelilinginya dengan pagar, sekali waktu kita akan menderita kalau burung
Itu hilang atau bunga itu dipetik orang.

Tiong Lee Cln-jin tersenyum dan menundukkan mukanya seolah menghitung langkahnya satu-satu.
Mempunyai akan tetapi tldak memiliki, itulah seninya kehidupan. Mempunyai hanya secara lahiriah saja.
Batin tidak memiliki dan tidak melekat sehingga tidak merasa takut atau duka kalau kehilangan apa yang
dipunyainya. Hanya Yang Maha Kuasa yang berwenang memiliki segala apa yang ada. Kita tidak memiiiki
apa-apa. Semua yang ada pada kita hanyalah pinjaman belaka. Bahkan badan inipun bukan milik kita.
Kita tidak kuasa atasnya. Bahkan kita tldak kuasa untuk menghentikan tumbuhnya kuku atau sehelai
rambut. ADA yang menumbuhkan. Itulah Tao. Itulah kekuasaan Tuhan yang tidak pernah berhenti
bekerja walau sedetikpun.

Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tampak dua bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan
Tiong Lee Cin-jin berdiri dua orang pria tua. Ke munculan mereka yang seperti pandai menghilang atau
terbang Itu menyadarkan Tiong Lee Cin-jin bahwa dia berhadapan dengan dua orang yang memlliki ilmu
kesaktian tinggi. Melihat dua orang itu, dia memandang penuh perhatian.

Orang pertama adalah seorang laki-laki yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. Kumisnya
yang putih itu pendek saja, akan tetap! jenggotnya yang juga su'dah putih itu tumbuh dari bawah tellnga
kiri sampa! ke bawah telinga kanan, lebat sekali. Rambut dan alls nya yang tebal Juga sudah putih
semua. Akan tetapl kulit mukanya yang banyak kerutan ttu maslh nampak kemerahan dan scgar. Dla
mengenakan sebuah topl dari bulu blnatang yang bentuknya seperti peci sederhana. Dari potongan baju
dan celananya yang juga sederhana, Tiong Lee Cin-jln yang sudah banyak pengalaman itu tahu bahwa
pria itu ada lah seorang bersuku bangsa Uigur. Orang kedua adalah seorang laki-laki yang lebih tua lagl.
Usianya tentu sekitar tujuh puluh tahun dilihat dari mukanya yang penuh keriput. Matanya sipit,
kumisnya tipis saja, akan tetapi jenggotnya lebih tebal daripada jenggot orang pertama, dan berwarna
kelabu. Kepalanya memakai kain kepala berwarna putih yang dibelitkan seperti sorban. Dilihat dari cara
dia berpakalan Tiong Lee Cin-jin menduga bahwa kakek kedua ini tentu bersuku , bangsa Hui, yang
sebetulnya adalah bangsa Han juga, akan tetapi yang sudah berabad-abad tinggal di Mongolia Dalam.
Dllihat dari sorban di kepalanya, dapat diduga bahwa kakek Hul Ini beragama Islam. Memang suku
bangsa Hul sebagian besar adalah Muslim.

Mellhat dua orang yang leblh tua darlnya dan mereka berdua itu agaknya sengaja menghadang dl
depannya, Tiong Lee Cin-jin cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada, lalu
membungkuk dan berkata dalam bahasa Han dengan ramah sambil tersenyum.

“Selamat berjumpa, seudara tua yang baik! Semoga Yang Maha Kuasa selalu memberkahi kalian
berdua.”

Kakek suku bangsa Uigur itu terkekeh dan dia menggerak-gerakkan tongkatnya yang ternyata adalah
seekor ular cobra yang dlkeringkan ke atas lalu menjawab. “Selamat bertemu, sobat!” katanya dalam
bahasa Han.

Kakek suku bangsa Hul memukui-mukulkan tongkatnya yang terbuat darl se macam bambu yang disebut
Bambu Sislk Naga ke atas tanah lalu berkata lantang. “Mualaikum salaam, semoga Allah memberkahi
anda! Bukankah anda yang ber nama Tiong Lee Cin-jin?” kata pula kakek suku bangsa Hui itu dengan
bahasa Han yang lancar pula.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 5

Tiong Lee Cin-jin tersenyum. Dia ttdak merasa heran kalau kedua orang ini mengenal namanya, Bagi dia,
tidak ada yang aneh di dunia ini karena segala sesuatu itu pasti ada alasan dan sebabnya. “Benar sekali,
saya adalah Tiong Lee Cin-jin. Sebaliknya, siapakah ji-wi (anda berdua), datang darl mana hendak ke
mana?”

“Aku bernama Ouw Kan datang dari Sin-kiang barat.” Kakek suku Uigur yang memegang tongkat ular
berkata.

“Dan aku adalah Ali Ahmed dari pedalaman Mongol. Kami berdua memang sengaja datang hendak
bertemu denganmu, Tiong Lee Cin-jin. Kami mendengar bahwa engkau baru pulang dari india dan akan
lewat di daerah ini, maka, karni sengaja datang menghadangmu,” kata kakek suku Hui.

Kembali Tiong Lee Cin-jin memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depari dada lalu berkata
sambil tersenyum. “Sungguh merupakan penghormatan besar sekali bagiku. Setelah sekarang kita
berjumpa di sini, apakah kiranya yang dapat saya bantu dan lakukan untuk ji -wi?”

“Heh-heh-heh, bagus sekali. Kiranya nama besar Tiong Lee Cin-Jin sebagai seorang yang baik hati dan
pemurah bukanlah kabar kosong belaka!” kata Ouw Kan sambil menggerak-gerakkan tongkat ular
cobranya.

“Anda memang dapat membantu kami, Tiong Lee Cin-jin, yaitu berikan dan tinggalkan buntalan yang
kau gendong itu untuk kami.”

Tiong Lee Cin-jin mengerutkan alis-nya. “Sahabat berdua, isi buntalan ini hanya beberapa potong
pakaian pengganti dan kitab-kitab yang saya bawa dari India. Kalau ji-wi menghendaki, silakan
mengambil pakaian dan sedikit bekal uang emas yang berada di buntalan, ke -mudian membiarkan saya
melanjutkan perjalanan saya.” Suaranya masih tetap lembut; dan ramah karena baginya, kehilangan
pakaian dan uang emas tidak menimbulkan masalah.

“Heh, Tiong Lee Cin-jin! Jangan bicara seenaknya saja kamu! Apa kau kira kami berdua ini hanya
sebangsa perampok hina?” bentak Ouw Kan marah sam-bil menudingkan tongkat ular cobranya ke arah
dada Tiong Lee Cin-jin.

“Lalu apa yang kau kehendaki, saudara Ouw Kan?” tanya Tiong Lee Cin-jin.

“Tiong Lee Cin-jin, kami tidak menginginkan harta benda milikmu. Haram bagiku untuk mengambil harta
orang lain. Kami hanya menghendaki agar engkau meninggalkan kitab-kitab itu kepada kami!” kata Ali
Ahmed sambil menunjukkan telunjuknya ke arah buntalan yang berada di punggung Tiong Lee Cin-jin.

“Aneh sekali permintaanmu itu, Saudara Ali Ahmed. Kitab-kitab yang kubawa dari India ini adalah kitab-
kitab Agama Buddha dan Hindu sedangkari engkau adalah seorang Muslim. Apa gunanya kitab -kitab ini
bagimu?” tanya Ttong i Lee Cln-jin.

“Kami tidak Ingln mempelajari agama, akan tetapi kami tahu bahwa banyak i kitab suci yang kaubawa itu
mengandung pelajaran tentang ilmu silat tinggi dan itmu sihir. Bahkan ada sebuah kitab peninggalan
Sang Budhi Dharma menge-nai pelajaran silat yang sakti. Aku Sangat membutuhkan kitab 'itu.” kata Ouw
Kan garang.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 6

“Kitab peninggalan Tat Mo Couwsu (Boddhi Dharma) itu menurut surat wasiat guru besar itu
diperuntukkan biara Siauw-lim di Gunung Sung-san. Para hwesio Siauw-lim-pai yang berhak atas kitab
itu dan aku harus menyerahkannya kepada mereka. Amat tidak baik mengambil hak milik orang lain.”

“Tidak perduli. Tinggalkan buntalan itu!” bentak Ouw Kan dan Ali Ahmed ! berbareng.

Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan ,menghela napas panjang. Kemudian, perlahan-lahan dia melepaskan
ujung kain buntalan yang diikatkan di depan dadanya, melepaskan gendongannya. Kemudian di -
turunkan gendongan itu dan diletakkan di atas tanah, di depannya.

Melihat ini, dua orang itu berpencar, melangkah maju menghampiri dari kanan kirl. Tiba-tiba Ali Ahmed
menudingkan tongkat bambunya ke arah buntalan kain kuning sambil berseru, “Terbanglah ke Sini!”

Tiba-tiba saja buntalan kain kuning itu melayang ke atas seperti ada tangan tak tampak yang
mengangkatnya. Buntalan itu melayang perlahan ke arah Ali Ahmed.

Pada saat itu, Ouw Kan juga meng angkat togkat ular cobranya dan. ber-teriak “Kembali kepadaku!”
Tongkapya ditudingkan ke arah buntalan yang sedang melayang ke arah Ali Ahmed dan tlba-tiba saja
buntalan itu beralih arah, kini melayang ke arah Ouw Kan.

Ali Ahmed mengeluarkan suara menggeram. Tongkat bambu di tangan kanannya tetap menuding ke
arah buntalan dan kini tongkat itu bergetar keras.

“Ke sini!” bentaknya . dari buntalan kain kuning ini kembalt beral ih arah, membalik ke arah kakek
bersuku bangsa Hui itu.

“Ke sini!” berrtaky Ouw Kan dan tongkat ular cobranya juga tergetar hebat. Kini buntalan itu bergerak ke
kanan kirl seolah-olah terbetot oleh dua kekuatandahsyat yang memperebutkannya.

Tiong Lee Cin-jin yang menonton adu kekuatan sihir ini tersenyum.

“Sungguh sayang sekali!” katanya lirih akan tetapi suaranya mengandung ke kuatan sehingga dapat
terdengar jelas oleh dua orang yang sedang memperebutkan buntalan kain kuning dengan mengadu
tenaga sihir itu. “Kalian telah bersusah payah membuang waktu bertahun-tahun untuk menghimpun
tenaga sakti. Ternyata hari ini tenaga sakti itu hanya ka lian pergunakan untuk menuruti nafsu Setan!
Tidak sadarkah kalian bahwa begitu kalian menuruti keinginan, berarti kal ian telah membiarkan diri
dicengkerarn nafsu setan dan akan menjadi permainannya? Sadarlah, wahai kedua orang saudaraku,
sebelum terlambat terjebak bujukan iblis yang akan menyeret kalian ke dalam dosa dan kesengsaraan!”

Mendengar ucapan Tiong Lee Cin-jin itu, kedua orang seperti melepaskan bun-talan yang mereka
perebutkan sehingga buntalan itu meluncur ke bawah dan jatuh ke atas tanah di depan Tiong Lee Cin -jin
yang sudah duduk bersila di atas rumput.

“Tiong Lee Cin-jin, kata-katamu menyesatkan. Aku ingin mendapatkan kitab-i^ kitab untuk menemukan
cara menyempurnakan diri mencapai penerangan dan kebahagiaan sejati!” kata Ouw Kan.

“Aku juga ingin mendapatkan ilmu agar kelak aku dapat masuk sorga!” kata Ali Ahmed.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 7

“Aih, saudara-saudaraku yang baik!

Insaflah akan kesesatan kalian. Sadarilah bahwa semua pelajaran dalam agama apapun juga pada
dasarnya sama, yaitu membiarkan jiwa yang rindu kepada sumbernya seperti air rindu kepada
samudera, melalui pikiran, ucapan dan perbuatan yang baik dan benar, yang sifatnya membangun tidak
meruntuhkan, menjaga tidak merusak, membahagiakan dan tidak menyengsarakan sesama hidup. Kita
mempersiapkan diri setiap saat untuk menjadi alat yang membantu pekerjaan Kuasa Yang Maha Mulia
pencipta alam semesta dan semua isinya. Bagaimana kita dapat melaksanakan semua ini? Melalui hati
akal pikiran? Tidak niungkin. Hati akal pikiran telah dijadikan sarang nafsu setan yang selalu ingih
mendapatkan sesuatu. Apakah itu harta, atau nama besar, atau juga yang diinginkannya itu yang
dinamakan kesempurnaan, sorga dan sebagainya lagi, semua itu sama saja. Yang diinginkan hati akal
pikiran itu adalah yang diinginkan nafsu setan, yaitu kesenangan! Baik itu dinamakan kesempurnaan
atau kebahagiaan atau sorga, kalau sudah diinginkan, dicari, maka se -mua itu tiada lain hanyalah
kesenangan. Kita membayangkan kesenangan dalam s6rga atau kesempurnaan itu. Kesenangan itul.ah
yang menarik kita untuk mengejar dan memperolehnya dan ini merupakan keinginan nafsu daya
rendah. Menuruti keinginan nafsu daya rendah ini menyeret kita ke dalam kesesatan karena demi
mencapai apa yang kita inginkan kita akan melakukan apapun juga tanpa mempertimbangkan apakah
cara yang kita pakai itu baik atau sesat.”

“Heh-heh, Tiong Lee Cin-jin, penda-patmu itu bahkan menyesatkan! Kalau kita tidak mempergunakan
hati akal pikiran, mengisinya dengan pengertian, ba-gaimana mungkln kita dapat membedakan antara
yang benar dan yang salah? Tanpa pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk, bagaimana kita akan
mam-pu melawan daya pengaruh nafsu?” kata Ouw Kan.

“Hati akal pikiran memang merupakan anugerah khusus bagi manUsia karena tan. pa itu klta akan hidup
tiada bedanya dengan hewan. Hati akal pikiran memang perlu dipergunakan untuk menimba ilmu
pengetahuan lewat pengalaman dan pelajaran karena kehidupan manusia di dunia ini secara lahlriah
membutuhkan ilmu pengetahuan. Akan tetapi kalau ilmu pe-ngetahuan atau kalau hati akal pikiran kita
pergunakan untuk melawan daya pe-ngaruh nafsu, kita akan kecelik! Coba kumpulkan seluruh maling di
dunia ini , dan tanya, apakah ada seorang saja di antara mereka yang tidak tahu atau tidak mengerti
bahwa perbuatan mencuri itu adalah perbuatan jahat dan tidak baik? Semua, tidak terkecuali, tentu
mengertl melalui hati akal plkirannya. Akan tetapi, pengetahuan dan pengertian melalui hati akal pikiran
itu tidak dapat menghentikan perbuatan mencuri itu! Sebaliknya malah. Hati akal pikiran yang sudah
menjadi sarang bagi nafsu daya rendah itu bahkan menjadi pem-bela perbuatan mencuri itu dengan
membisikkan berbagai alasan. Aku terpaksa melakukan ini, demi keluargaku, orang lain juga melakukan
malah lebih besar daripada aku. Demikian hati akal pikir-an membisiki sehingga semua maling ti-dak
merasa menyesal, tidak bertobat malah semakin menjadi-jadi.”

“Hemm, agaknya engkau sama sekali tidak memberi jalan kepada orang yang berbuat dosa untuk
bertaubat. Kalau begitu, apakah yang harus dilakukan nianusia untuk tidak melakukan kesesatan?” Ouw
Kan mengejar.

“Apapun yang diusahakan untuk mengu bah, semua usaha itu masih dalam lingkungan hati akal pikiran,
masih dalam lingkaran kekuasaan nafsu daya rendah yang selalu menginginkan sesuatu yang lebih baik!
Pamrih-pamrih ini yang menje bak kita sehingga terjadi lingkaran setan. Ingin lebih baik, iogin lebih
menyenangkan, ingin ini ingin itu yang akhirnya menyeret kita ke dalam kesesatan-kesesatan baru yang
lain lagi. Tidak ada usaha hati akal pikiran yang akan berhasil.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 8

Hanya ada satu saja kekuatan yang akan mampu menundukkan nafsu daya rendah. Kekuatan itu bukan
lain adalah Kekuasa-an Yang Maha Kasih. Dengan kekuasaan inilah kita akan dapat menalukkan natsu
setan yang bagaimana licik dan jahat-pun! Kekuasaan ini akan memberi kekuatan kepada kita, akan
menuntun kita. Kekuatan ini muncul kalau kita menyerah kepada Yang Maha Kuasa secara mutlak. Kalau
hati sanubari kita kosong dan terbuka, Kekuasaan Mutlak itu akan masuk, membangkitkan jiwa kita,
memberinya kekuatan dan nafsu-nafsu daya rendah akan kembali menduduki tugasnya semula, yaitu
menjadi pelayan kita, menjadi hamba kita, bukan menjadi majikan kita.”

“Semua uraianmu itu terdengar muluk-muluk dan indah. Akan tetapi aku merasa tidak setuju ketika
engkau menyebutkan bahwa mencari sorga sama dengan mencari harta. Semua orang, dari agama apa-
pun juga, merindukan sorga. Kenapa eng-kau berani merendahkan sorga sedemikian rupa sehingga
kausamakan dengan harta benda?” Ali Ahmed bertanya sambil rnengerutkan alisnya yang tebal.

“Saudaraku yang baik. Sorga atau har-ta benda memang tidak ada bedanya ka-lau keduanya itu
dibayangkan sebagai se suatu yang akan mendatangkan kesenang-an lalu dikejar-kejar. Yang mengingin-
kan kesenangan dan mengejar-ngejarnya adalah nafsu daya rendah. Memang sifat nafsu itu demikian,
mencari kesenangan. Coba kita bertanya kepada diri sendiri. Andaikata sorga itu dibayangkan sebagai
sesuatu tempat yang tidak enak, tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan, apakah kita masih akan
mengejarnya? Kurasa tidak akan ada seorangpun manusia mengejarnya! Kalau kita membayangkan
kesenangan, apapun bentuknya, jelas bah-wa itu ulah, nafsu duniawi dan kedagingan, karena segala
macam bentuk kesenangan adalah bentuk keenakan yang dapat dirasakan 'jasmani selagi berada di
dunia. Dan selama ada kesenangan, disitu pasti ada pula kesusahan, saudara kembarnya yang tak
terpisahkan.”

“Wah, Tiong Lee Cin-jin ini serigaja banyak bicara untuk mengalihkan perhatian kita dari buntalan kitab-
kitab itu, Ali Ajimed. Jangan dengarkan dia lagi!” kata Ouw Kan dengan marah dan dia su dah bersiap
dengan tongkat ular cobranya.

Ali Ahmed juga melompat ke bela-kang dan mengerutkan alisnya. “Benar, dia bahkan ingin
mempengaruhi, kita de ngan ajaran-ajaran sesat! Tiong Lee Cin-jin kauserahkan atau tidak kitab-kitab
itu? Ataukah kami harus menggunakan kekerasan?” Orang bersuku bangsa Hui itu mengancam den gan
tongkat bambunya, yang diacungkan ke atas.

Tiong Lee Cin-jin yang masih duduk bersila itu tersenyum dan melambaikan tangan kanannya ke arah
buntalan yang terletak di atas tanah di depannya. “Sudah sejak tadi kulepaskan dari gendongan. Di
antara kalian berdua, entah siapa yang berjodoh memiliki kitab-kitab itu.”

“Aku yang berjodoh!” tiba-tiba Ouw Kan berseru dan dia menggerakkan tangan kanan yang memegang
tongkat ular cobra. Dengan tongkatnya itu dia hen dak mengambil buntalan kitab. Akan te tapi tongk at
bambu di tangan Ali Ah-med juga meluncur dan menangkis tong kat ular cobra.

“Tidak, . aku yang berjodoh!” Orang Hui itu berseru.

“Trakkk!” Tongkat mereka bertemu dan sungguh hebat sekali. Tongkat ular cobra kering dan tongkat
bambu itu keti-ka saling bertemu, terdengar suara nyaring dan tampak bunga api berpijar seo-lah-olah
yang bertemu itu adalah benda yang terbuat daripada baja murni. Dari kenyataan ini saja sudah dapat
diketahui bahwa dua orang Itu adalah orang-orang yang memilikl kesaktian. Ouw Kan me nyerang
dengan gerakan silat yang aneh bagi Tiong Lee Cin-jin. Gerakan Ouw Kan yang bertubuh sedang dan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 9

tegap ini meliuk-liuk seperti gerakan seekor ular, cocok sekali dengan senjatanya, yaitu sebatang tongkat
ular cobra kering. Hebatnya, gerakannya yang cepat dengan serangan yang tidak terduga-duga
datangnya itu diseling dengan suara mendesis-desis yang keluar dari mulutnya yang diruncingkan, presis
seekor ular yang menyemburkan uap beracun. Namun, lawannya, Ali Ahmed ternyata juga memiliki
gerakan silat yang hebat. Gerakan ke-dua kakinya jelas dipengaruhi oleh ilmu Siauw-lim-pai Utara.
Tongkat bambunya menyambar-nyambar, diseling kedua kakinya silih berganti yang tidak kalah
bahayanya bagi lawan dibanding tongkainya. Mereka bergerak cepat dan tangkas, tong kat ular cobra
dan tongkat bambu itu lenyap bentuknya berybah menjadi gulungan sinar hitam dan hijau. Hanya
kadang-kadang kedua sinar Itu bertemu dan meledaklah bunga api berpljar menyilaukan mata.'

Tlong Lee Cin-Jin masih tetap duduk bersila. Buntalan kain kuningnya yaog kini diperebutkan orang itu
masih terletak di atas tanah, di depannya, Sejak tadi Tiong Lee Cin-jfn menonton pertandingan itu dan
diam-diam dia harus mengakui bahwa tingkat kepandaian silat dya orang itu sudah tinggi. Pantasnya
iriereka itu datuk-datuk persilatan di darah mereka sendiri. Dia tidak merasa heran bahwa ada orang-
orang dunia per silatan mengetahui bahwa dia pulang ke Cina membawa kitab-kitab pusaka. Orang
orang dunia persilatan itu selalu haus akan pusaka-pusaka yang sekiranya da-pat membuat mereka
menjadi semakin llhai, seperti senjata-senjata ampuh atau kitab-kitab pelajaran ilmu yang tinggi.

Perkelahian antara Ouw Kan dan Ali Ahmed itu menjadi semakin seru. Kini keduanya tidak hanya
mengandalkan ilmu silat untuk saling serang, akan tetapi juga mempergunakan ilmu sihir. Ketika Ouw
Kan mengeluarkan teriakan aneh, dari mulut ular cobra kering yang menja-di tongkatnya itu menyambar
uap hitam yang berbau amis ke arah lawan! AU Ahmed tidak ingnjadi gugup. Tangan kirinya terb uka
mendorong ke depan dan keluarlah uap putih dari telapak tangannya yang menyambut uap hitam.
Keduanya terdorong ke belakang dan terhuyung. Akan tetapi mereka sudah dapat mengatur
keseimbangan tubuh mereka kembali dan sudah siap untuk saling gempur, melanjutkan pertandingan
tadi. Akan tetapi tiba-tiba keduanya tersentak kaget ketika mendengar suara tawa bergelak yang
datangnya seolah dari atas kepala mereka. Suara tawa bergelak itu datang berge lombang, makin lama
makin kuat mengan dung daya serangan yang amat kuat menerobos telinga mereka dan menjalar ke
arah jantung! Dua orang kakek itu kini berdiri, bersedakap, memejamkan kedua mata mereka dan
mengerahkan seluruh tenaga sakti mereka untuk melindungi diri mereka dari serangan suara tawa yang
amat kuat itu. Suara tawa seperti itu yang mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat, dapat merusak
jantung atau setidaknya akan dapat mengacau jaringan syaraf di otak sehingga dapat membuat orang
menjadi gila!
Tlong Lee Cin-jin juga merasakan kehebatan pengaruh suara tawa itu. Na-mun dengan wajah tetap sabar
dan te-nang, dengan bibir masih tersungging se nyuman lembut, dia memejamkan kedua matanya dan
tenggelam ke dalam alam semesta. Suara tawa itu sama sekali tidak mengganggunya karena dia seolah
telah bersatu dengan suara itu, hanyut bersama suara itu, sedikitpun tidak menentang sehingga suara
itu sama sekali tidak mengganggu bahkan dia dapat mera sakan keindahan dalam suara tawa yang
bergelak-gelak dan bergema itu. Inilah keadaan yang dinamakan “melebur dan membaur dengan
segala” sehingga tidak terjadi pertentangan, seperti sebatang pohon liu (cemara) yang tidak menentang
datangnya badai sehingga meliuk-liuk menurutkan dorongan angin dan sama sekali tidak patah
dahannya, tidak rontok daunnya, dan tetap utuh sampai badai berlalu. Tidak seperti pohon siong yang
kokoh menyambut badai dengan mengandalkan kekuatannya dan akhirnya tumbang dan roboh oleh
hantaman badai yang jauh lebih kuat daripada dirinya!

Tak lama kemudian, muncullah seorang kakek lain. Kemunculannya aneh. Mula-mula tampak asap putih
bergulung-gulung, kemudian ketika asap membubung dan menghilang, tampak kakek itu. Dia seorang
kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun. Jubahnya seperti jubah seorang hwesio, dari kain kuning

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 10

ber-kotak-kotak merah. Kepalanya memakai sebuah peci kuning pula, menutupi kepala nya yang gundul.
Tubuhnya tinggi besar, perutnya gendut dan kancing jubahnya bagian dada terbuka sehingga tampak
dadanya yang gempal dan bidang dan di atas ulu hatinya tumbuh rambut hitam keriting. Kepala gundul
yang tertutup peci kuning itu besar dan bulat. Mukanya bundar dan segala anggauta tubuh pendeta ini
serba bundar. Sepasang matanya lebar dan bulat, hidungnya juga besar, demikiap pula mulutnya, lebar
dan selalu menyeringai. Kedua daun telinganya panjang dah lebar. Melihat pakaian kuning berkotak-
kotak merah dan tongkat panjang berkepala naga itu, Tiong Lee Cin-jin tahu bahwa pendeta itu adalah
seorang pendeta Lama dari Tibet.

Setelah memperlihatkan diri, pendeta itu berdiri tegak, tangan kirinya me me-gang tongkat kepala naga
yang tingginya sama dengan tinggi tubuhnya, dan dia masih tertawa bergelak, akan tetapi tawanya
wajar, tidak lagi mengandung khi-kang yang memiliki daya serang dahsyat seperti tadi.

“Hua-ha-ha-ha, kiranya ada dua ekor anjing dari Sin-kiang dan Mongol yang saling berebutan tulang di
sini! Kalian ini orang Uigur dan Hui, bukan?”

“Setan jahanam!” Ali Ahmed memaki marah karena dikatakan anjing oleh pendeta itu. “Aku memang
benar datang dari Mongolia Dalam, namaku Ali Ahmed. Siapakah engkau, manusia sombong?”

“Dan aku adalah Ouw Kan dari Sin-kiang. Engkau ini, pendeta Lama harap jangan mencampuri urusan
kami,” bentak Ouw Kan.

“Ha-ha-ha, aku Jit Kong Lama nie'-mang suka mencampuri urusan orang lain kalau urusan itu
menyangkut diriku. Ketahuilah kalian, kitab-kitab dari Barat itu hanya aku yang berhak memiliki dan
tidak boleh diambil siapapun juga. Kali-an berdua lebih baik segera mengelinding pergi dari sini sebeluni
kepala kalian yang meiiggelinding terpisah dari tubuh kalian!” kata pendeta yang bernama Jit Kong Lama
itu. Namanya sungguh besar karena Jit Kong berarti Sinar Matahari.

Ouw Kan dan An Ahmed yang tadi saling serang itu marah sekali. Mereka untuk sementara melupakan
permusuhun di antara mereka dan bagaikan mondapat komando, keduanya membanting tongkat
mereka ke alas tanah. Terdengar dua kali ledakan, asap mengepul, tongkat lenyap dan berubah menjadi
dua ekor bina tang yang menyeramkan. tongkat ular cobra milik Ouw Kan kini telah menjadi seekor ular
cobra yang besar dan panjang, yang mengangkat kepala dan lehernya ke atas sehingga tegak,
moncongnya agak terbuka, rnendesis-desis dan ada uap hitam tersembur keluar dari moncongnya,
lidahnya keluar masuk adan sepasang matanya seperti berapi. Ular cobra ini bergerak maju hendak
menyerang Jit Kong Lama. Adapun tongkat bambu milik Ali Ahmed berubah menjadi seekor kelabang
yang juga besarnya hampir sa ma ular cobra itu, kulitnya berwarna merah darah, kakinya yang amat
banyak itu bergerak-gerak, sungutnya meraba-raba dan moncongnya juga siap untuk mehggigit. Banyak
kaki yang bergerak-gerak itu membawa tubuh yang besar itu maju dengan cepat ke arah Jit Kong Lama.

Melihat dua orang lawannya menyihir tongkat mereka menjadi ular dan kelabang yang akan
menyerangnya, Jit Kong Lama roenyeringat dan memandang rendah.

“Ha-ha-ha, permainan kanak-kanak seperti itu kalian pamerkan kepadaku?” katanya dan sekali dla
melempar tongkat kepala naga itu ke atas, tampak asap mengepul dan tongkat Itu sudah ber ubah
menjadi seekor burung rajawali besar. Burung itu dengan ganas dan buas nya sudah menyambar ke
bawah dan menyerang ular cobra dan kelabang itu dengan patuk dan cakarnya. Ular cobra dan kelabang
itu melawan mati-matian. Akan tetapi segera mereka menjadi kewalahan karena burung rajawali itu

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 11

menyambar nyambar dari udara sehingga sukar bagi mereka untuk menyerangnya, sebaliknya burung
itu dapat menyerang kedua lawan-nya dengan leluasa dari atas.

Tiong Lee Cin-jin tahu siapa Kong Lama itu. Ketika meninggalkan dia dan kembali ke Cina, dia singgah di
Tibet dan mengadakan pertemuan dengan para pendeta Lama, bahkan selama satu jam dia diberi
kesempatan untuk mengha-dap Dalai Lama. Dari para tokoh pende ta Lairia di Tibet, dia mendengar
bahwa ada beberapa orang pendeta Lama di Ti-bet yang melakukan penyelewengan. Mengumpulkan
harta benda dari rakyat untuk kepentingan dlri sendiri dan melakukan pelanggaran pantangan
berdekatan dengan wanlta. Jit Kong Lama merupakan seorang di antara para pendeta La-ma yang
melakukan penyelewengan itu bahkan dia merupakan seorang tokoh besarnya, Melihat adu kekuatan
sihir antara pendeta Lama Itu melawan datuk darl suku bangsa Uigur dan Hul, tahulah dia bahwa Jit
Kong Lama jauh lebih kuat daripada dua orang lawannya.

Dugaannya memang benar. Ketika Ouw Kan dan Ali Ahmed melihat ular dan kelabang jadi-jadian milik
mereka itu kewalahan menghadapi serangan gen-car burung rajawali, keduanya lalu meng-angkat
tangan kanan ke atas dan mengerahkan tenaga sihir mereka. Ular dan kelabang itu tiba-tiba terbang ke
bela-kang dan setelah tiba di tangan mereka, berubah kembali menjadi tongkat ular cobra dan tongkat
bambu yang sudah lecet-lecet.
Sambil tertawa Jit Kong Lama ju-ga memanggil burung rajawali jadi-jadian itu. Burung itu terbang ke
tangannya dan berubah pula menjadi tongkat pan-jang berkepala naga.
“Kalian masih juga belum minggat darl sini?” tegurnya dengan nada meman-dang rendah kepada dua
orang lawannya itu'
Akan tetapi Ouw Kan dan Ali Ahmed adalah dua orang yang di daerah tempat tinggalnya terkenal
sebagai datuk-datuk yang sukar dicari tandingannya. Maka tentu saja mereka tidak mudah nie nyerah
kalah. Biarpun tadi dalam adu kekuatan sihir mereka harus mengakui keunggulan Lama dari Tibet itu,
namun mereka masih beluin mau mundur. Setelah saling bertukar pandang, seperti menyatukan
keinginan untuk menandingi pendeta Lama yang hendak menghalangi mereka mengambil kitab-kitab
pusaka, dua orang itu serentak bergerak maju, cepat sekali mereka menerjang dan menyerang Jit Kong
Lama. Serangan mereka ini bukan sekedar serangan dengan mempergu-nakan ilmusilat, namun
serangan yang diperkuat dengan ilmu sihir. Tubuh mere ka lenyap dan hanya tongkat ular cobra dan
tongkat bambu itu saja yang tampak menyerang dan seperti terbang ke arah tubuh Jit Kong Lama!

Namu pendeta dari Tibet itu tidak menjadi gentar. Dia sendiri adalah seo-rang ahl! silat dan ahli sihir
yang sudah mencapai tingkat tinggi, maka diapun mengeluarkan suara membaca mantram dan tiba-tiba
tubuhnya juga lenyap dan yang tampak hanya tongkat panjang berkepala naga itu yang bergerak cepat
me-nyambut serangan dua batang tongkat yang mengeroyoknya itu.

Kalau saja di situ terdapat orang biasa yang menyaksikan pertandingan itu, tentu akan bengong
terlongong saking herannya melihat ada dua batang tongkat pendek “berkelahi” mengeroyok seba-tang
tongkat panjang! Namun, Tiong Lee Cin-jin adalah seorang yang telah mendapatkan gemblengan
bermacam ilmu selama dua puluh lima tahun merantau ke daerah barat, yaitu ke daerah Bhutan, India,
Nepal, Tibet dan bertahun-tahun merantau ke daerah Himalaya dan berte-mu dengan banyak pertapa-
pertapa sakti, mempelajari banyak macam ilmu. Oleh karena itu, biarpun tiga orang itu mempergunakan
ilmu sihir dan menghi-lang, dia masih dapat melihat mereka ketika mereka bertanding mempergunakan
tongkat mereka. Dia melihat dengan jelas pertandingan itu. Ouw Kan dan Ali Ahmed memainkan
tongkat, pendek mereka seperti seorang bermain pedang, sedangkan Jit Kong Lama memainkan
tongkatnya yang panjang seperti orang bermain silai tongkat dengan kedua ta-ngan. Pertandingan itii
seru dan dahsyat sekali. Ternyata ketiganya merupakan ahli-ahli silat tingkat i tinggi. Terutama sekali Jit

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 12

Kong Lama. Ilmu silatnya dahsyat sekali. Ketika dengan kedua tangan dia memainkan tongkat kepala
naganya, tiada ubahnya dia bagaikan seekor naga yang melayang-layang dan setiap gerakan tongkatnya
mendatangkan angin yang menyambar kuat!

Dua orang yang mengeroyok itupun memiliki ilmu silat yang tinggi. Gerakan mereka lincah dan tangkas,
serangan mereka cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Namun, setiap kali tongkat ular
cobra atau tongkat bambu bertemu tongkat panjang berkepala naga, dua tongkat yang lebih pendek itu
terpental kuat.

Tiong Lee Cin-jin mengikuti jalannya pertandingan dengan penuh perhatian.

Lambat laun, kedua orang pengeroyok itu mulai terdesak hebat. Kini tiga tongkat itupun sudah lenyap
bentuknya. Yang tampak hanya dua gulungan sinar pendek mengeroyok segulung sinar panjang. Namun
tentu saja pandang mata Tiong Lee Cin-jin yang tajam terlatih itu dapat mengikuti jalannya pertandingan
dengan baik. Suatu saat dia melihat tongkat ular cobra menyambar dengan tusukan atau totokan ke
arah leher Jit Kong Lama. Tusukan itu berbahaya sekali kare-na ujung tongkat yang menyerupai mu lut
ular cobra yang terpentang itu mengandung racun ular cobra yang amat ampuh. Tergores sedikit saja,
racun akan memasuki tubuh lewat luka goresan dan kalau racun sudah mencapai jantung, matilah orang
itu! Pada detik-detik berikut nya, tongkat bambu di tangan Ali Ahmed juga sudah menyambar dan
melakukan totokan ke arah jalan darah di lambung Jit Kong Lama! Inipun merupakan serangan maut,
karena kalau jalan darah itu sampai terkena totokan tongkat yang dialiri sinkang (tenaga sakti) itu maka
pendeta Lama itu tentu akan roboh dan tewas seketika.

Tiong Lee Cin-jin maklum betapa pendeta Lama itu berada dalam ancaman maut. Akan tetapi pendeta
gendut itu masih menyeringai. Tiba-tiba, secara tidak terduga dan cepat sekali, tangan kirinya
menangkap ujung tongkat ular cobra dan kaki kirinya mencuat dalam teii dangan kilat ke arah lengan
tangan kanan Ouw Kan yang memegang tongkat. Begitu cepatnya tendangan itu sehingga terpaksa Ouw
Kan menarik tangarinya dan pada saat itu Jit Kong Lama mengerahkan tenaga membetot tongkat ular
cobra sehingga terlepas dari pegangan Ouw Kan. Pada saat itu, tongkat bambu datang meluncur ke arah
lambung. jit Kong Lama tidak sempat menangkis atau mengelak. Akan tetapi dia sedikit memutar
tubuhnya sehingga tongkat yang tadlnya meluncur dan menyerang lambung, kini menusuk ke arah perut
yang gendut itu!

“Cappp.....!” Tongkat bambu itu me-nancap di perut Jit Kong Lama yang gendut. Ali Ahmed sudati
rnengeluarkan seruan gembira karena mengira tongkatnya telah memasuki perut lawan. Akan tetapi
Tiong Lee Cin-jin berpendapat lain.

Jit Kong Lama menyeringai lebar, tangan kirinya melontarkan tongkat ular cobra ke arah Ouw Kan.
Tongkat meluncur seperti anak panah menyambar, ke arah dada pemiliknya. Ouw Kan terkejut dan
cepat mengelak, akan tetapi tetap saja ujung tongkat menyerempet pundaknya.

“Aduh.....!” Ouw Kan terhuyung. Pada saat itu, Jit Kong Lama berseru nyaring, “Pergilah!” Tiba-tiba
perutnya bergerak mengembung dan tongkat bambu yang masih dipegang oleh Ali Ahmed Itu sepertl
dldorong keras. Tubuh orang suku Hui itu Ikut terdorong sehingga ia roboh terjengkang. Cepat dia
bangkit dan mukanya menjadi pucat, di ujung bibirnya tampak darah sehingga mudah diketahul bahwa
Ali Ahmed telah menderita luka dalam. Sementara itu, Ouw Kan cepat menelan pil obat penawar racun
tongkat ular cobranya sendiri yang telah melukai pundak dan meracuninya. Dua orang itu kini maklum

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 13

mereka tidak mungkin akan mampu menandingi Jit Kong Lama, maka keduanya tanpa berunding lagi
sudah berloncatan jauh meninggalkan lereng itu!

“Hua-ha-ha-ha-ha! Cacing-cacing tanah seperti itu berani menjual lagak hendak memiliki kitab-kitab
pusaka yang suci ! Jit Kong Lama tertawa dan setelah berkata demikian, dia memutar tubuhnya dan
menghampiri Tiong Lee Cin-Jin. Setelah mengamati pria yang masih duduk bersila itu sesaat lamanya,
kemudi-an dia memandang ke arah buntalan kain kuning di depan orang itu, Jit Kong Lama bertanya,
“Engkaukah yang bernama Tiong Lee Cin-jin dan yang telah berhasil mengumpulkan banyak kitab pusaka
penting untuk kaubawa ke Tiong-Goan (Cina)?”

Tiong Lee Cin-jin perlahan-lahan bangkit berdiri. mengebutkan kain yang membalut tubuhnya bagian
bawah yang kotor terkena debu, kemudian mengangkat kedua tangan kedepan dada menyembah
sebagai salam.

“Selamat berjumpa, Jit Kong tLama, semoga Yang Maha Kasih memberkatimu!”

“Hua-ha-ha! Tentu saja Yang Maha Kasih selalu memberkati aku. Buktinya baru saja aku dapat
mengalahkan dap mengusir dua orang jahat itu!”

“Bukan, sayang sekali bukan kekuasaan Yang Maha Kasih yang tadi menibantumu mengalahkan Ouw
Kan dan Ali Ahmed, Jit Kong Lama. Yang membantumu adalah ilmu-ilmumu sendiri yang, didorong oleh
nafsu setan yang menguasai dirimu,” kata Tiong Lee Cin-jin dengani sikap tenang dan suaranya
terdengar lem-butpenuh kesabaran.

Sepasang mata yang besar bulat itu mencorong, alis yang tebal itu berkerut, lubang hidung yang lebar
itu kembang kempis. “Apa kaubilang? Apa maksudmu mengatakan bahwa kemenanganku tadi didorong
nafsu setan? Jangan seenaknya engkau bicara, Tiong Lee Cin-jin!”

“Tindakan dua orang tadi yang hendak menggunakan kekerasan untuk merampas kitab-kitabku jelas
terdorbng nafsu setan, ingin memiliki barang yang sama sekali bukan hak mereka. Lalu engkau muncul
dan engkau menentang mereka, bertanding dan mengalahkan mereka. Bukankah perbuatanmu itupun
terdorong nafsu yang sama, ingin memiliki kitab-kitab-ku seperti yang kaukatakan kepada mereka tadi?”

Jit Kong Lama tertawa bergelak se-hingga perutnya yang gendut itu bergo-yang-goyang. “Hua-ha-ha-ha!
Engkau keliru, Tiong Lee Cin-jin. Aku memang menginginkan beberapa buah kitab, akan tetapi bukan
dengan cara merampok atau merampas, melainkan sebagai imbalan. Aku telah menyelamatkan engkau
dari perampokan yang dilakukan dua orang tadi, maka tentu saja aku berhak mem-peroleh imbalan
darimu. Aku tidak minta imbalan apa-apa kecuali beberapa buah kitab yang akan kupilih di antara ki-tab-
kitabmu, Tiong Lee Cin-jin. Ha-ha-ha-ha!'

“Menolong dengan pamrih memperoleh imbalan itu bukan pertolongan namanya, melainkan
pemerasan,” kata Tiong Lee Cin-jin lembut, seperti memberl nasihat kepada muridnya.

“Ha-ha-he! Sebaliknya ditolong akan tetapi tidak mau memberi keuntungan kepada si penolong, itu
namanya tidak mengenal budi! Sudahlah, aku akan me-nulih sendiri kitab-kitab mana yang akan kuambil
sebagai imbalan pertolonganku tadi, Tiong Lee Cin-jin.”
Tiong Lee Cin-jin melangkah maju dan dengan tangan kanannya dia mengusap buntalan kain kuning
berisi kitab-kitabnya. “Semua kitabku berada di dalam buntalan ini, Jit Kong Lama,” katanya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 14

“Akan kupilih, yang mana kusukai akan kuambil!” kata -Jit Kong Lama. Dia menancapkan tongkat kepala
naganya di atas tanah lalu berjongkok untuk mern buka empat ujung kain kuning yang disimpulkan di
atas tumpukan kitab itu. Akan tetapi terjadi keanehan. Jari-jari kedua tangannya yang kuat sekali itu
tidak mampu membuka ikatan keempat ujung kain kuning yang disimpulkan secara sederhana itu!
Betapapun dia rnengerahkan tenaga mencobanya, tetap saja jari -jari tangannya tidak mampu
membukanya, seolah-olah semua jari tangannya kehilangan tenaganya dan menjadi kaku atau lumpuli!
Jit Kong Lama menjadi heran lalu penasaran dan marah sekali. Dia mengerJlikan sin-kang (tenaga sakti)
sekuatnya, namun tetap saja jari-jarinya seperti mogok, tidak dapat membuka simpul Kemudian dia
mengerahkan ke-kuatan sihirnya. Sama saja. Jari-jari kedua tangannya seolah-olah memang tidak mau
membuka simpul itu.

“Keparat!” Dia melompat bangun, ber-diri menghadapi Tiong Lee Cin-jin. “Eng-kau mempergunakan
ilmu siluman mencegah aku membuka buntalan kain ini!” bentaknya marah, matanya melotot dan
mukanya berubah merah.

“Jit Kong Lama, aku sama sekali tidak mempergunakan .ilmu apa-apa. Aku hanya menyesuaikan diri,
menerima keadaan dengan penyerahan kepada Yang Maha Kuasa. Kalau Yang Maha Kuasa tidak
menghendaki engkau membuka buntalan itu, biar engkau mempergunakan kekuatan apapun yang ada
di dunla engkau tidak akan mampu membukanya,” kata Tiong Lee Cin-jin dengan tenang dan penuh
kesabaran.

“Tiong Lee Cin-Jin, engkau menantang aku, Jit Kong Lama? Apakah aku harus mempergunakan
kekerasan terhadapmu untuk memiliki kitab-kitab ini”.

“Tidak ada yang menantangmu selain nafsumu sendiri, Jit Kong Lama. Orang hanya memetik hasil yang
ditanamnya. Menanam kekerasan akan memetik sendirl akibatnya.”

“Sombong! Lihat naga hitamku menerkammu!” Setelah membentak demikian Jit Kong Lama
melontarkan tongkat kepala naga itu ke atas. Terdengar bunyi ledakan. Tongkat itu berubah menjadi
asap hltam dan dari asap hitam itu mun-cul seekor naga yang menyeramkan. Ma-tanya berkilat,
moncongnya terbnka me nyemburkan api, kedua lubang hidungnya mendengus mengeluarkan asap,
cakar kedua kaki depannya siap inenerkam dan naga itu meluncur turun menerjang Tiong Lee Cin -jin
dengan buas itu serta masih ditambah suara gemuruh yang keluar dari mulut naga itu sehingga dapat
menggetarkan dan menakutkan hati orang yang paling tabah sekalipun.

Namun Tiong Lee Cin-jin adalah seorang yang sudah mencapai tingkat kejiwaan yang amat tinggi. Dalam
keadaan bagaimanapun dia sudah menyerah total kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Penyerahan
sedemikian mutlak sehingga meniadakan akunya, mengesampingkan nafsu-nafsunya dan yang bekerja
pada dirinya pada saat itu bukan lagi hati akal pikirannya melainkan sepenuhnya diisi oleh Kekuasaan
Tuhan yang mengalir masuk ke dalam jiwa raganya. Kalau sudah demikian, maka bukan lagi dia se bagai
manusia dengan hati akal pikiran-nya, melainkan Roh Kekuasaan Tuhan yang bekerja menanggulangi
apa saja yang datang menimpa dirinya.

Tiong Lee Cin-jin yang diserang oleh naga hitam jadi-jadian itu membungkuk, tangan kanannya
mengambil segenggam tanah lalu melontarkan tanah itu kepada naga hitam yang hendak
menerkamnya, mulutnya berkota lembut namun penuh wibawa yang menggetarkan, “Berasal dari tanah
keinbali kepada tanah!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 15

Segenggarn tanah itu meluncur tepat mengenai kepala naga yang sedang menerkam itu.

“Blarrrr......!” Terdengar ledakan disusul asap hitam bergulung-gulung. Naga', itu terjatuh ke atas tanah
dan begitu tiba di atas tanah naga hitam itu telah berubah kembali menjadi' tongkat berkepala naga
milik Jit Kong Lama.

Pendeta Lama itu terkejut dan marah bukan main. Diarnbilnya tongkatnya dan ditancapkan tongkatnya
itu ke atas tanah lalu dia membentak, “Tiong Lee Cin-jin, apa engkau menghendaki ? aku membunuh mu
dengan tanganku ini? Lihat, apakah kepalamu lebih kuat daripada batu ini?” Dia menggosok-gosok
kedua telapak tangannya. Uap putih mengepul dari kedua tangannya yang kini, menjadi keme -rahan
seperti bara api. Dia lalu meng hampiri sebuah batu sebesar kerbau yang terletak tak jauh dari situ. Dia
mengangkat kedua tanganhya, berganti menghantam ke arah batu.

“Darr-darrr!” Batu sebesar kerbau itu hancur berkeping-keping terkena hantam-an kedua tangannya.
Sungguh sebuah kekuatan yang amat dahsyat!

“Nah, Tiong Lee Cin-jin! Kauserahkan baik-baik semua kitab itu kepadaku atau aku harus
menghancurkan dulu kepalamu dengan tanganku?” bentaknya sambil mengharnpiri Tiong Lee Cin -jin.

“Aku tidak menghalangi engkau mengambil kitab, namun kuperingatkan bahwa kitab-kitab ini bukan hak
milikmu dan kalau engkau hendak nekad mengambilnya, hal itu sama saja dengan perampasan dan
tentu saja hal itu amat tidak baik dan tidak patut dilakukan seorang pendeta sepertimu, Jit Kong Lama.
Sepuluh ribu ayat kitab suci engkau hafalkan, namun satu saja tidak kaulaksanakan, apakah artinya
semua jerih payahmu itu?”

“Manusia sombong, engkau patut dihajar!” bentak Jit Kong Lama dan dia lalu mengayun tangan
kanannya, yang merah seperti bara api, menampar ke arah muka Tiong Lee Cin-jin. Dapat dibayangkan
betapa kepala itu akan hancur lebur dihantam tangan yang telah membuat batu besar pecah berkeping-
keping ketika dipukul tadi! Namun, Tiong Lee Cin-jin sedikitpun tidak membuat gerakan mengelak atau
menangkis, melainkan diam saja, hanya matanya meman-dang dengan sinar lernbut tajam kepada
penyerangnya.

“Wuuuutttt.....!” Terjadi keanehan yang luar biasa. Tangan itu menyambar ke arah pelipis kiri kepala
Tiong Lee Cin-jin. Rambut kepala Tiong Lee Cin-jin sudah berkibar tertiup angin pukulan dahsyat itu.
Akan tetapi ketika tangan itu sudah mendekati kepala, tinggal sejengkal lagi, tiba-tiba saja tangan itu
luncurannya menyimpang dan membelok tidak mengenai sasarannya! Jit Kong Lama terkejut dan heran.
Dia merasa seolah tangannya itu tertolak atau tertangkis oleh 'hawa yang lunak namun berat dan kuat
bukan main, merasa seolah tangannya digerakkan dalam air. Dia menjadi penasaran dan tangan kiirinya
menyusul, kini tangan kiri itu menyodok atau menusuk dengan jari -jari terbuka ke arah dada lawan.

“Wuuuuttt....!” Kembali yang dlserang diam saja, hanya memandang dengan senyumnya yang lembut.

Untuk kedua kalinya tangan Jit Kong Lama tidak mengenai sasaran. Tusukan tangan itupun seolah
meleset karena tertepis hawa yang lunak berat dan kuat.

Jit Kong Lama melangkah mundur, matanya yang sudah besar itu dilebarkan terbelalak. Dia adalah
seorang yang sudah mempelaj'ari banyak ilmu dan sudah mempunyai banyak pengalaman ber tanding

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 16

melawan orang-orang sakti. Akan tetapi belum pernah dia mengalami hal seperti ini! Kalau Tiong Lee
Cin-jin mem buat gerakan mengerahkan tenaga sakti untuk menangkis serangannya, bahkan kalau Tiong
Lee Cin-jin, menggunakan ilmu kekebalan untuk menerima serangan-nya, hal itu tidak akan
mengherankannya. Akan tetapi lawannya ini tidak membuat gerakan apapun, juga tidak melakukan
sihlr, tidak membaca mantera, bahkan sama sekali tidak mengeluarkan tanda-tanda melawan
serangannya. Akan tetapi, dua kali pukulannya yang dia tahu amat ampuh itu tidak dapat menyentuh
tubuh lawan. Dia merasa seperti ada dinding hawa yang aneh menyelimuti tubuh Tiong Lee Cin -jin, atau
seolah tangannya yang tidak mau memukul orang itu!

“Keparat! Lawanlah aku dengah ilmumu, jangan menggunakan ilmu siluman!” bentaknya marah.

Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan menjawab dengan suara yang halus.

“Jit Kong Lama, semua ilmu menjadi ilmu siluman yang jahat kalau dipergunakan untuk berbuat
sewenang-wenang, menyerang untuk menyakiti atau membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah.
Renungkanlah itu dan sadarlah. Mari kita berpisah sebagai saudara, bukan sebagal musuh.”
Akan tetapi bagi Jit Kong Lama yang belum pernah dikalahkan orang, belum pernah pula mengalah
terhadap orang lain, ucapan Tiong Lee Cin-jin dianggap sebagai ejekan yang merendahkan atau
mengliinanya. Orang yang menganggap' diri sendiri terlalu tinggl dan terlalu penting selalu mudah
tersinggung. Dia menyambar tongkat kepala naga yang tadi ditancapkan di atas tanah dan membentak.

“Kita berpisah sebagai saudara kalau engkau menyerahkan kitab-kitab itu ke-padaku! Kalau tidak, kita
tetap akan berpisah sebagai musuh dan sebelum berpisah, aku akan menghancurkan dulu ke-palamu!”
ucapan ini ditutup oleh sambar an tongkat kepala naga itu. Terdengar bunyi desir angin mengiuk dan
ujung tongkat menyambar ke arah kepala Tiong Lee Cin-jin.

Seperti tadi Tiong Lee Cin-ji” tidak menangkis maupun mengelak melainkan diam saja, hanya
memandang dengan sorot rnatanya yang lembut dan mulutnya fersenyum penuh kesabaran. Tongkat
menyambar dan tampaknya sekali ini ujung tongkat akan mengenai sasaran. Akan tetapi setelah
hantaman tongkat itu tiba dekat kepala, hanya beberapa senti meter lagi jaraknya, tiba-tlba tongkat itu
membalik seolah bertemu dengan benda tak tampak yang amat keras dan kuat. Tongkat itu membalik
dengan kekuatan yang sama dan memukul ke arah kepala Jit Kong Lama sendiri?' Jit Kong Lama terkejut
dan cepat menggerakkan tongkat sehingga luput menghantam kepalanya sendiri.

“Segala sesuatu kembali ke asalnya semula. Kekerasanpun kembali kepada kekerasan. Lupakah engkau
akan kenyataan itu, Jit Kong Lama?”

Jlt Kong Lama berdiri terbelalak. Mukanya berubah pucat. Kini terbukatah matanya. Yang melindungi
Tiong Lee Cin-Jin Itu bukanlah semacam ilmu yang dapat dlpelaJarl manusia. Teringatlah dia akan
dongeng yang pernah didengarnya tentang kesaktian Sang Budhi Dharma atau yang dikenal sebagai Tat
Mo Couwsu. Menurut dongeng, Sang Budhi Dharma juga memiliki kesaktian seperti yang dthadapinya
sekarang ini. Tanpa bergerak menangkis atau mengelak, Sang ,Budhi Dharma dapat terhindar dari segala
macam serangan berupa kekerasan yang datang dari luar dirinya. Ada sesuatu yang melindunginya
sehingga se-mua . serangan tidak dapat menyentuh dirinya. Menurut dongeng, sikap Sang Budhi
Dharma itu disebut “Menyatu de-ngan Alam”. Dengan tidak mengadakan perlawanan, maka dia
terlindung oleh KEKUATAN GAIB yang menggerakkan seluruh alam maya pada ini. Kekuatan yang
menumbuhkan segala sesuatu, ke-kuatan yang mengguncang air samudera, kekuatan yang
menggerakkan awan-awan, kekuatan yang mengatur segala sesuatu yang tampak maupun yang tidak

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 17

tampak. Kalau Kekuatan seperti itu melindungi seseorang, maka kekuasaan apakah yang akan mampu
menyentuh orang itu?

Teringat akan ini, Jit Kong Lama mengerutkan alisnya, memandang kepada pria setengah tua yang
berdiri dengan senyum lembutnya itu dengan gentar. Kemudian, dengan tangan kanan meme -gang
tongkat kepala naga, dan tangan kiri dimi'ringkan ke depan dada, dia ber-kata, “Tiong Lee Cin-jin, biarlah
sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi ingat, aku adalah seorang yapg tidak dapat begitu saja
menerima kekalahan. Tunggulah saatnya aku menemuimu atau muridmu untuk membalas kekalahan
hari ini!” Setelah berkata demikian, tanpa menantl jawaban, tubuhnya melompat dan terdengar bunyi
ledakan. Asap mengepul tebal dan ketika asap membuyar, pendeta Lama itu sudah tidak tampak lagi
bayangannya!

Tlong Lee Cin-jin menghela napas panjang, mengambil buntalan kain kuning dan menggendongnya
kembali dengan sikap tenang dan tidak tergesa-gesa. Kemudian dia menghela napas panjang lagl dan
berkata seorang diri, lirih. “Sayang, orang-orang yang telah menguasai banyak ilmu setinggi itu tidak
mempergunakan ilmunya untuk menyebar benih kebaikan di dunia. Sungguh sayang.....!' Dia lalu
melangkah menurum lereng seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Ketika melangkah ini, kcpalanya
bergoyang-goyang perlahan, matanya menerawang jauh dan dia sendiri mendengar detak jantungnya
berbisik “Tuhan Tuhan Tuhan ......” tiada henti-hentinya.

**********

Anak-anak laki-laki itu berusia sekitar sepuluh tahun. Dia duduk di atas punggung seekor kerbau betina
dengan santai sambil meniup sebatang suling bambu. Lagunya lagu kanak-kanak dusun yang sederhana.
Namun karena ditiup di lereng pegunungan yang sunyi itu, terdengar mengalun indah. Di tempat yang
sunyi hening seperti itu, suara anjing menggonggong di kejauhanpun terdengar menyenangkan hati .
Bahkan suara daun di puncak pohon bergoyang-goyang me-nlmbulkan desah gemerisikpun terdengar
merdu menenangkan hati.

Tubuh anak itu sedang saja, kulitnya yang tampak pada tubuh bagian atas yang telanjang itu karena dia
hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut, tampak kecoklatan terbakar terik matahari. Rambutnya
dipotong pendek. Kepalanya dilindungi sebuah caping lebar sehingga mukanya teftutup bayangan
caping. Wa-jah anak itu tampan dan cerah, berben-tuk bulat telur dengan dagu agak meruncing.
Sepasnng alis matanya hitam tebal melindungi sepasang mata yang bersinar terang dan yang
memandang dunia ini dengan berseri, sepasang mata yang putihnya jernih dan hitamnya legam. Hidung
nya mancung dan mulutnya membayangkan kemauan yang kuat. Seperti kebanyakan anak dusun, anak
inipun membayangkan kejujuran dan keterbukaan sehingga tampak bodoh.

Dia meniup suling dan tenggelam dalarn suara sulingnya sendiri sehingga dia seperti lupa akan keadaan
dirinya, membiarkan kerbau yang ditungganginya itu berjalan sendiri. Anak kerbau di belakangnya
mengikuti induk kerbau sambil terkadang berloncatan dan mencoba segala macam rumput dan daun -
daun yang ditemui di jalan.

Tiba-tiba anak itu menghentikan tiupan sulingnya. Kerbau induk itu berhenti dari makan rumput yang
amat subur dan gemuk yang tumbuh di situ. Anak ltu terbelalak memandang ke kanan kiri. Baru dia
menyadari bahwa dia dlbawa kerbaunya sampai ke tepi hutan! Hutan yang ditakuti semua penduduk
dusun di kaki pegunungan. Hutan terlarang dan yang kabarnya dihuni oleh para siluman. Pimpinannya
adalah seekor naga siluman yang amat jahat!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 18

“Belang, cepat klta turun, kita kembali!” Anak Itu menendang-nendang dengan kakinya ke perut kerbau.
Akan tetapi dia melihat anak kerbau itu berloncatan dan berlari memasuki hutan.

“Heii, Kecil! Cepat kembali, jangan masuk ke sana!” teriaknya dan dia melompat turun dari punggung
kerbaunya dan berlari mengejar anak kerbau yang berloncatan dan berlari masuk ke dalam hutan
seperti anak kecil yang manja dan nakal.

Tiba-tiba anak yang mengejar kerbaunya itu terbelalak dan tersentak, berhenti dari larinya, memandang
dengan wajah pucat ke depan. Tangan kirinya masih menggapai ke depan untuk memanggil kerbaunya
dan tangan kanannya menutup mulut agar tidak mengeluarkan teriakan. Apa yang dilih atnya
mendatangkan kengerian hebat dalam hatinya.

Selagi anak kerbau itu berloncatan, tiba-tiba dari atas pohon besar yang tumbuh di situ, meluncur kepala
seekor ular yang luar biasa besarnya. Ular itu tergantung pada dahan pohon, tubuhnya yang besar itu
terjulur ke bawah dan moncongnya yang terbuka lebar itu menyambar dan menggigit leher anak kerbau
yang mengeluarkan suara parau penuh kesakitan dan ketakutan. Ular yang menggigit anak kerbau itu
menariknya ke atas dan anak kerbau itu meronta ronta lemah dengan keempat kakinya.

Anak itu hampir berhenti bernapas. Ular itu besar sekali. Panjangnya belasan meter dan tubuhnya
sebesar pohon siong. Setelah anak kerbau itu dibawa sampal ke atas dahan, tubuh ular itu segera
melingkarinya dan menghimpitnya dengan kuat. Agaknya anak kerbau Itu tewas seketika oleh tekanan
himpitan yang kuat itu dan tidak bersuara lagi, hanya ada dua kaki belakangnya yang masih tampak itu
berkelojotan dalam sekarat.

Anak itu menangis dan berlari keluar dari hutan, naik ke atas punggung induk kerbau dan turun lagi
seperti yane kebingungan, lalu menarik tanduk kerbau itu dan diajaknya beriari cepat memnggalkan tepi
hutan menuruni lereng sambil menangis sesenggukan.

Setelah menuruni sebuah lereng, anak itu melihat seorang laki-laki setengah tua berdiri di tengah jalan
setapak sambil memandangnya. Melihat ada orang dewasa, anak itu menghentikan lari kerbaunya,
menghampiri orang itu dan berkat dengan suara bercamlpur tangls.

“Paman, tolonglah saya, paman .... tolonglah anak kerbau saya...;”

Laki-laki itu adalah Tiong Lee Cin-Jin. Dia baru saja turun dari lereng bagian atas setelah ditinggal pergl Jit
Kong Lama. Mellhat seorang anak laki-laki berlari-lari menuntun kerbaunya sambil menangis, dia cepat
menghadang. Mendengar ucapan anak itu yang minta tolong, dia menjulurkan tangan, mengelus kepala
anak itu dan bertanya dengan suara lembut.

“Tenanglah, anak yang baik. Apa yang terjadi dengan anak kerbaumu?”

“Anak itu menengok ke belakang lalu menuding ke arah hutan yang berada di lereng sebelas atasnya.
“Ada naga jahat ..... naga itu menangkap anak kerbau saya...... di sana, di hutan itu.....!”

“Naga,..?” Tlong Lee Cln-Jln mengulang sambil tersenyum. Mana mungkin ada naga di hutan itu atau di
mana saja? Sepanjang pengetahuannya, naga hanya terdapat dalam dongeng jaman dahulu, beribu
tahun yang lalu. Lalu dia menduga. “Maksudmu ular?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 19

“Bukan, bukan ular, akan tetapi naga. Mana ada ular yang besarnya seperti itu? Paman, tolonglah saya.
Kalau saya tidak membawa pulang anak kerbau itu, tentu majikan akan membunuh saya....”

“Hemm, mari kita lihat ke sana. Tambatkan saja kerbaumu di slnl,” kata Tiong Lee Cin-jin, Karena tidak
ingin kehilangan Induk kerbaunya, anak itu lalu mengikat kerbau itu kepada sebatang pohon. Setelah Itu,
bersama Tiong Lee Cin-jin dia mendaki lereng menuju ke hutan tadi.

Ular itu masih berada dl atas dahan pohon. Moncongnya terbuka lebar-lebar seperti akan robek dalam
usahanya me nelan badan anak kerbau yang terlampau besar untuk moncongnya Itu. Tubuh kerbau itu
sudah tertelan setengahnya dan. sedikit demi sedikit badan anak kerbau itu tergeser masuk. Agaknya
akan makan waktu lama sebelum anak kerbau itu dapat masuk seluruhnya ke dalam perut ular. Tampak
lehernya, di mana bagian badan anak kerbau itu masuk, menggembung besar.

Anak itu menudingkan 'telunjuknya ke atas. “Itu dia! Naga jahat itu mulai menelan anak kerbauku!
Tolonglah anak kerbauku, paman!”

Tiong Lee Cin-Jln memandang dan dia merasa kagum. Ular itu memang besar sekali, jarang dia melihat
ular sebesar itu dan gambar dan warna kulitnya indah.

“Itu bukan naga, itu seekor ular kembang,” katanya.

Rasa ngeri lenyap dari hati anak itu ketika mendengar bahwa binatang yang makan anak kerbaunya itu
bukan naga melainkan ular. Pada masa itu, naga merupakan mahluk keramat bagi rakyat, mahluk yang
dihormati dan ditakuti, maka ketika tadi anak itu menduga bahwa anak kerbaunya dimakan naga, dia
menjadi ketakutan setengah mati. Sekarang setelah dia mendengar bahwa yang makan anak kerbaunya
itu hanya seekor ular, walaupun besar sekali, dia menjadi berani dan marah.

“Ular? Ular keparat, ular jahat, lepaskan anak kerbauku! Kubunuh engkau!” Dia mengambil sebuah batu
sebesar kepalan tangannya dan menyambitkan batu itu ke atas, mengarah ular yang tampak nya sama
sekall tidak bergerak Itu, Sambitan itu luput dan anak itu sudah mengambll sebuah batu lagi. Akan tetapi
Tiong Lee Cln-jin memegang lengannya.

“Sabarlah, anak baik. Jangan ganggu dia! Lihat, dia sedang menikmati makannya, mengapa diganggu?
Andaikata engkau sedang makan masakan daging ayam lalu datang seekor ular mengganggumu,
bagaimana?”

Anak itu tercengang mendengar ucapan yang dianggapnya aneh ini. Dia segera membantah. “Akan
tetapi, paman. Ular itu jahat sekali! Dia makan anak kerbauku, dia kejam buas dan jahat!”

Tiong Lee Cin-jin tersenyum. “Bagaimana kalau ular itu mengatakan kepadamu ketika engkau sedang
makan daging ayam, Manusia itu jahat, kejam dan buas sekali. Dia menyembelih ayam dan memasak
lalu makan dagingnya!' Nah, bagaimana jawabmu?”

“Akan tetapi, paman. Ayam memang makanan manusia!”

“Begitukah? Dengar, anak baik. Hewan-hewan kecil seperti anak kerbau, kijang, kelinci dan yang lain-lain
itu memang makanan ular itu. Kalau dia. tidak mendapatkan makanan itu, dia akan mati kelaparan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 20

karena dia tidak dapat makan rumput atau buah atau daun-daunan. Dia makan anak kerbaumu bukan
karena buas, kejam, rakus atau jahat. Sama sekali tidak, melainkan dia makan anak kerbaumu itu karena
memang itulah jenis makanannya dan dia makan itu agar dia tidak mati kelaparan. Ular, singa, harimau
dan sejenisnya hidup karena makan binatang lain yang lebih lemah dan kecil. Lembu, kerbau, gajah dan
sejenisnya makan rumput dan sayur-sayuran. Kera, tupai dan sejenisnya makan buah-buahan. 'Sudah
demikian kehendak Yang Menciptakannya. Kalau tidak mendapatkan makanan khas mereka, mereka
akan mati kelaparan. Coba ingat baik-baik, hanya manusia yang rakus, karena hampir semua tumbuh-
tumbuhan, semua buah-buahan, semua binatang yang ada di dunia ini menjadi makanannya, baik yang
berada di darat, di udara, maupun di laut. Siapa yang lebih buas dan kejam?”

Anak itu menjadi bengong dan sejenak lupa akan anak kerbaunya. Dia menatap wajah Tiong Lee Cin -jin
dengan pandang mata polos dan penuh keheranan. “Akan tetapi..... engkau sendiri makan apa, paman?”

Tiong Lee Cin-jin tertawa. Suara tawanya lembut dan sopan, tidak terbahak. “He-he-he, anak baik. Aku
juga seorang manusia, tentu saja makananku sama dengan manusia-manusia lainnya.”
,
“Kalau begitu mengapa paman mencela makanan manusia?”

“Aku tidak bermaksud mencela, hanya ingin mengingatkan engkau agar tidak menganggap ular itu jahat
dan buas karena dia sudah makan apa yang semestinya dia makan. Dia tidak akan suka makan bakmi
atau cap-cai!”

“Akan tetapi dia mengambil anak kerbau milik saya! Bukankah itu berarti dia telah merampas dan
merampok?”

“Dia tidak mengenal istilah hak milik, anak baik. Semua hewan yang berada di hutan, yang dapat
menjadi mangsanya, bukan milik siapa-siapa. Dia tentu menganggap anak kerbau itu bukan milik siapa-
siapa dan sudah Sewajarnya kalau menjadi mangsanya untuk mencegah dia kelaparan.” Jadi
sesungguhnya kesalahanmu sendiri mengapa engkau menggembalakan kerbau di hutan ini, anak baik.
Tempat inl penuh binatang liar, bukan tempat untuk menggembala ternak.”

Anak itu termanggu, lalu mengerutkan alisnya dan dia menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah, tampak
bingung dan sedih.

Tiong Lee Cin-jin juga ikut duduk di atas sebuah batu tidak jauh dari anak itu. Diam-diam dia
memperhatikan. Seorang bocah yang berwajah tampan, membayangkan watak yang jujur dan bersih,
seperti sebuah batu mulia aseli yang belum digosok. Sinar mata dan lekukan mulut itu menandakan
bahwa anak ini mempunyai dasar watak yang baik. Tubuhnya juga membayangkan tubuh yang sehat,
berdarah bersih. Perawakannya tegak lurus, dadanya bidang dan pundaknya rata.

“Akan tetapi, paman. Biarpun sekarang saya dapat mengerti bahwa ular itu ! memang sudah sewajarnya
makan anak kerbau saya dan dia tidak dapat dipersalahkan, bahwa hal ini terjadi karena kesalahan saya
sendiri, akan tetapi perbuatannya itu menimbulkan korban. Korbannya adalah diri saya sendiri. Karena
dia menjadlkan anak kerbau itu sebagai mangsanya, maka sayalah yang akan menanggung akibatnya,
kalau tidak mati saya sedikitnya akan mengalami dan siksaan. Bahkan mungkin sekali lebih daripada itu.
Akibatnya dapat pula menyengsarakan kehidupan nenek saya yang sudah tua itu.”

“Bagaimana bisa begitu?” tanya Tiong Lee Cin-jjn.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 21

“Saya hanya bekerja sebagai penggembala kerbau milik kepala dusun kami, paman. Kalau nanti saya
pulang tidak membawa anak kerbau itu, majikan saya tentu akan marah sekali. Dia seorang yang amat
galak dan keras, mempunyai banyak tukang pukul. Saya tentu akan disiksa dan mungkin dibunuh. Nenek
saya juga bekerja sebagai tukang cuci di rumah majikan saya itu tentu akan menanggung akibatnya pula.
takut untuk pulang, paman.” Anak tidak menangis lagi, akan tetapi menggunakan punggung tangan
kirinya untuk mengusap beberapa tetes air mata yang mengalir keluar dari pelupuk matanya.

Hemm, dan ayah ibumu?”

“Mereka sudah tiada, paman. Ayah dan ibu telah meninggal sejak saya berusia lima tahun dan sejak itu
saya hanya hidup berdua dengan nenek saya.”

Tiong Lee Cin-jin menghela napas panjang. Betapa banyaknya manusia yang hidup menderita karena
kemiskinan di dunia ini, disamping hanya beberapa gelintir orang yang hidup berlebihan. Padahal,
manusia diciptakan hidup di dunia ini seharusnya dapat mengisi hidupnya dengan saling mengasihi,
saling membantu, menjadi alat dari Kekuasaan Tuhan agar bermanfaat bagi orang-orang lain. Yang
pandai rhembantu yang bodoh dengan pemikiran, yang kuat membantu yang lemah dengan kekuatan,
sedangkan yang kaya membantu yang miskln dengan hartanya. Akan tetapi apa yang dilihatnya sejak
dari India ke Cina? Yang pintar menipu yang bodoh, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya
memperbudak yang miskin.

“Sekarang bagalmana? Engkau harus pulang, setidaknya untuk mengembalikan kerbau ini kepada
pemiliknya.”

“Memang seharusnya begitu, paman. Akan tetapi saya tidak berani pulang karena saya pasti akan
dipukuli, mungkin dibunuh oleh para tukang pukul Lurah Coa, bahkan nenekku tentu tidak akan luput
dari hukuman pula.”

“Jangan khawatir. Mari kuantar kau piilang darr aku yang akan menjadi saksi bahwa anak kerbau itu
dimakan ular. Hayolah!”

Biarpun masih takut, mendengar ucapan dan melihat sikap Tiong Lee Cin-jin yang meyakinkan hatinya
itu, dia menganggyk dan mengikuti orang tua itu keluar dari hutan. Beberapa kali dia menenggok dan
memandang ke arah ular besar yang berusaha dengan tenahg untuk menelan anak kerbau yang terlalu
be-sar untuk moncongnya itu.

Setelah tiba di lereng di mana tadi mereka berjumpa, anak itu melepaskan ikatan kerbaunya dan
menuntunnya menuruni lereng bersama Tiong Lee Cin-jin. Pemandangan di bawah sana masih tetap
indah mempesona, Sawah ladang yang luas hijau menguning terbentang di bawah sana dan dari atas itu
tampak rumah-rumah dusun sederhana di antara pohon-pohonan.

Tiong Lee Cin-jin memandang ke a-tas dan dia tersenyum, matanya bersinar, wajahnya berseri. Dia
melihat awan putih yang membentuk seekor naga sedang terbang melayang, seperti seekor Naga Langit
yang perkasa.

“Anak baik, siapa namamu?” tanya-nya sambil berjalan di samping anak itu nieniti jalan setapak
menuruni lereng.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 22

“Marga saya Souw dan nama saya Thian Liong, paman.”

Pria setengah tua itu melebarkan matanya dan berdongak ke atas memandang awan yang berbentuk
naga itu. “Thian Liong (Naga Langit)? Souw Thian Liong....?” Betapa kebetulan. Dia melihat Naga Langit
di angkasa yang dibentuk oleh awan dan nama anak ini berarti Naga Langit pula!

“Ya benar, paman. Dan paman sendiri, siapa nama paman?” tanya Thian Liong.

“Orang menyebutku Tiong Lee Cin-jin. Kulihat engkau mempunyai sebatang suling yang terselip di ikat
pinggangmu.

Maukah engkau meniupnya dan memainkan sebuah lagu untukku, Thian Liong?”

Anak itu memandang ke arah suling di pinggangnya dengan sedih, lalu berdongak memandang laki -laki
itu dan berkata, “Paman, bagaimana aku dapat rneniup suling kalau hatiku sedih dan dihimpit perasaan
takut seperti ini?”

Tiong Lee Cin-jin mengelus kepala Thian Liong. “Jangan bersedih dan jangan takut, anak baik. Segala
urusan yang tidak mampu kau atasi, serahkan saja sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan. Kekuasaan
Tuhan yang akan mengaturnya dan tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang dapat mengubah apa
yang telah diatur dan ditentukan oleh Tuhan'“

“Tuhan? Siapakah itu Tuhan, paman?” Mereka sallng pandang dan slnar mata Tlong Lee Cln-jln bertemu
dengan sinar mata yang demikian polos dan jernih. Dia tersenyum. Ketidak-tahuan yang murni dan suci.
Seperti seorang bayi. Manusia lahir tanpa disertai pengetahuan, bahkan tidak mengenal Tuhan. Setelah
pikirannya bekerja, mulailah dia bertanya-tanya dan jalan plkirannya dlpengaruhi dari pemberitahuan
dari luar.

“Tuhan adalah Yang Maha Kuasa, yang telah menciptakan bumi, langit, angin, tumbuh-tumbuhan,
mahluk hidup, bulan, matahari dan bintang. Segala yang ada, segala yang tampak dan tidak tam-pak,
semua ini adalah ciptaan Tuhan. Bahkan engk'au dan aku inipun ciptaan-Nya, Thian Liong. Mengertikah
engkau?”
Thian Liong menggaruk kepalahya dan mengerutkan alisnya, meniandang heran. “Akan tetapi orang-
orang bercerita kepada saya bahwa semua itu ada dewa yang menjaganya, paman. Ada dewa mataharl,
dewa bulan, dewa bintang, dewa gunung, dewa sungal dan seterusnya, demikian yang saya dengar.

Tiong Lee Cln-jln mengangguk-angguk. Dia harus memberi jawaban yang sesuai dengan apa yang telah
didengar dan dipercaya anak ini, agar tidak membingungkan hatinya. “Katakanlah bahwa ada para dewa
dan para malaekat yang menjaga semua itu, akan tetapi mereka itu adalah pelaksana dari kekuasaan
Tuhan, Thian Liong. Mereka adalah hulubalang, pembantu dan hamba Tuhan.”

“Ah, paman. Kalau begitu Tuhan itu seperti Rajanya dan para dewa itu para perajuritnya!”

Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan mengangguk. Biarlah, anak yang masih polos ini menganggopnya begitu
agar pikirannya tjdak menjadi bingung.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 23

“Ya, begitulah kira-kira. Tuhan adalah. Raja dari segala raja, penguasa langit dan bumi serta sekalian
isinya.”

Mereka tiba di dusun dan mulailah Thian Liong merasa takut lagi. Wajahnya pucat dan dia tampak
kebingungan. Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin berhenti di depan dusun itu dan bertanya, “Thian Liong,
takutkah engkau akan ancaman majikanmu?”

“Paman, aku tidak perduli akan keadaan diriku sendiri. Biarlah kalau dia mau merighukum aku, menyiksa
atau membunuh sekalipun. Akan tetapi aku khawatir kalau nenek yang sudah tua i -tu akan dihukumnya
pula. Aku kasihan .kepada nenekku, satu-satunya orang yang kumiliki?”

Tiong Lee Cin-jin mengelus kepala anak itu. “Jangan takut, Thian Liong. Ingatkah engkau akan Raja di
atas segala raja tadi?”

“Maksud paman.... Tuhan?”

“Benar. Serahkan segalanya kepada Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Adil Maha Kasih dan Maha Murah.
Dia yang akan melindungi engkau dan nenekmu kalau engkau mau berserah kepadaNya.”
“Benarkah itu, paman?”
“Tentu saja benar dan aku yang akan menanggung bahwa hal itu benar adanya. Kalau engkau percaya
dan berserah diri, Tuhan tentu akan mengutus para dewa itu untuk melindungimu dari gangguan orang
jahat.”

Wajah anak itu tampak lega dan sinar matanya tidak ketakutan lagi.

“Kalau begitu, aku akan berserah di-ri kepadanya, paman.”

“Engkau tidak takut lagi?”

“Tidak, bukankah paman ada bersamaku? Dan para Dewa diutus Tuhan untuk melindungi aku dan
nenek. Aku tidak takut lagi’.

“Kalau begitu mari kita masuk dan menemui majikanmu.” Mereka memasuki dusun. Thian Liong
menuntun kerbaunya berjalan di depan sebagai penunjuk jalan.

Majikan anak itu adalah Lurah Coa Lun, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun. Lurah Coa ini seolah
menjadi seorang raja k6cil di dusunnya, merupakan orang paling kaya di situ. Semua orang di dusun itu
takut kepadanya, bahkan kehidupari mereka bergantung kepada lurah ini. Hal itu karena semua
penduduk telah terikat hutang kepada lurah Coa. Ketika tiba musim kemarau panjang, para petani itu
terpaksa berhutang kepada Lurah Coa untuk dapat menyambung hidup dan sejak itu, hutang mere -ka
tidak pernah dapat terlunasi karena bunganya yang tinggi. Pencicilan hutang dan bunganya berkejaran.
Karena itu, semua penghuni dusun itu seolah-olah telahy berada dalam cengkeraman tangan Lurah Coa
dan karena itu mereka semua mera-sa takut dan hanya dapat menaati semua perintah sang lurah. Selain
itu, Lurah Coa juga memperkuat kedudukannya dengan memelihara dua belas orang jagoan tukang
pukul sehingga tidak ada yang berani mencoba untuk menentangnya.

Lurah Coa mempunyai tiga orang isteri. Akan tetapi tiga orang isteri ini agaknya masih belum mampu
memuaskan nafsunya. Dia seorang mata keran-jang yang gila akan wanita muda dan cantik. Karena itu,

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 24

kehidupan para wanita muda yang memiliki wajah cantik di dusun itu, baik ia masih gadis maupun sudah
menjadi isteri orang, tidak aman. Siapa yang diincar dan dikehendaki sang lurah, pasti akan menjadi
mangsanya. Secara halus maupun kasar, lurah bejat moral itu pasti akan mendapatkan wanita itu untuk
beberapa lama sampai dia merasa bosan dan melepaskannya kembali. Karena itu, banyak suami yang
merasa memiliki isteri muda dan manis, diam-diam pergi mengungsi, pindah dari dusun itu. Juga banyak
keluarga yang memiliki anak gadis cantik, mengungsikan gadis itu keluar dusun.

Hampir semua sawah ladang yang berada di dusun itu dan sekitarnya, sudah menjadi milik Lurah Coa.
Mereka yang dibebani hutang yang semakin membengkak, terpaksa merelakan tanahnya disita oleh
sang lurah dan mereka hanya menjadi buruh tani sang lurah saja sehingga kehidupan mereka semakin
bergantung kepada sang lurah.

Ayah Souw Thian Liongbernama Souw Ki sudah meninggal dunia sejak Thian Liong berusia lima tahun.
Juga ibu anak itu sudah meninggal dunia. Kedua orang suami Isteri itu meninggal dalam keadaan miskln
dan terserang penyaklt perut yang waktu itu menjadl wabah di dusun-dusun sekltar daerah pegunungan
itu. Mereka terserang penyakit dan meninggal dunia secara berturut-turut. Yang selamat hanya' Thlan
Liong dan neneknya, yaitu Nenek Souw ibu dari mendiang Souw Ki. Sejak itu, dalam usia lima tahun,
Thian Liong hidup bersama neneknya. Nenek Souw yang sudah amat itu bekerja keras untuk dimakan
berdua dengan cucunya. Ia bekerja sebagai tukang cuci pakaian di rumah keluarga Lurah Coa, dan
setelah Thian Liong berusia delapan tahun, Nenek Souw mintakan pekerjaan untuk cucunya itu kepada
sang lurah. Kebetulan lurah itu baru menyita seekor kerbau dari seorang warga dusun yang tidak
mampu membayar hutangnya, maka Thian Liong diberi pekerjaan menggembala kerbau itu.
Sebelumnya, Lurah Coa tidak memelihara kerbau karena dia telah iriempunyai banyak buruh tani yang
bekerja di sawah dan tidak memerlukan kerbau lagi.

Kerbau itu dipelihara dengan baik oleh Thian Liong, gemuk dan sehat. Thian Liong amat menyayang
kerbau itu dan lebih-lebih lagi ketika kerbau itu melahirkan seorang anak kerbau. Karena Itu, dapat
dlbayangkan betapa sedlh dan juga takut rasa hati Thlan Llong menghadapi kemarahan Lurah Coa ketika
kerbaunya yang kecil dimakan ular raksasa. Dia amat mengkhawatirkan nasib neneknya. Apalagi kalau
neneknya sampai dihukum, bahkan baru dipecat saja kehidupan mereka berdua akan terancam bahaya
kelaparan!

Lurah Coa menjadi marah sekali ketika dia dilapori bahwa Thian Liong pulang tanpa anak kerbaunya. Dia
segera melangkah keluar dan matanya terbuka lebar, mukanya menjadi kemerahan ketika dia melihat
Thian Liong berdiri di halaman rumah sambil menuntun induk kerbau tanpa anak kerbau dan ditemani
seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti seorang pendeta, menggendong sebuah buntalan
besar.

“Thian Liong, mana anak kerbaunya?” tanya sang lurah dengan suara bentakan dan matanya melotot.
Lurah itu bertubuh tinggi kurus, matanya sipit, daun telinganya kecil seperti telinga tikus, hidungnya
pesek dan mulutnya lebar, dihias kumis kecil panjang menggantung di kanan kiri mulut dan jenggotnya
hanya beberapa helai saja.

Karena setiap kali diharuskan memberi penghormatan yang berlebihan terhadap Lurah Coa, maka Thian
Liong lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap sang lurah. “Ampunkan saya, tai -jin (tuan besar), anak
kerbau itu dimakan ular di hutan....”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 25

“Apaa,? Dimakan ular di hutan? Gila kamu! Mana bisa anak kerbau dimakan ular ..di hutan. Memangnya
kamu menggembala kerbau di dalam hutan?”

“Ampun, taijin. Anak kerbau itu berlompatan dan berlari memasuki hutan. Ketika saya mengejarnya,
tahu-tahu ada ular menangkapnya dan memakannya.”

“Bohong! Mana ada ular bisa makan anak kerbau yang begitu besar? Tentu engkau sudah menjual anak
kerbau itu atau kausembunyikan! Hayo mengaku saja atau dicambuki lebih dulu agar mau mengaku?”

Pada saat itu, dari dalam rumah tampak berlari keluar seorang nenek yang sudah tua. Rambutnya sudah
putih semua, tubuhnya kurus kering seperti je-rangkong, pakaiannya tua dan lusuh. Usianya tentu sudah
hampir delapan puluh tahun. la lari menghampiri Thian Liong yang berlutut dan menubruk anak itu
sambil menangis.

“Adub cucuku Thian Liong....! Apa yang telah terjadl? Orang bllang anak kerbau yang kaugembalakan
hilang dimakan ular? Betulkah itu, cucuku....?”

“Benar, nek,” kata Thian Liong mengangguk sambil memandang wajah neneknya yang sudah basah air
mata itu dengan sedih.

“Aduh celaka, Thian Liong....!” Ia lalu berlutut di dekat kaki Lurah Coa dan berkata dengan suara
gemetar. “Taijin.... ampunkan hambamu ini.... ampunkan cu-cu hamba Thlan Liong....! Dia maslh kecll,
dia masih bodoh..., ampunkan dia taljin....”

“Minggir kau! Thian Liong harus mengembalikan anak kerbau itu atau aku akan mencambukinya sampai
dia mengaku di mana dia menyembunyikan anak kerbau itu!” hardlk Lurah Coa dengan geram.

“Thian Liong....!” Nenek Souw menjerit dan menubruk cucunya. Akan tetapi ia bergulingan dan roboh.
Thian Liong cepat merangkul neneknya.

“Nenek....!” Anak itu berseru bingung melihat neneknya megap-megap seperti ikan dilempar di daratan.

“Thian Liong.... jaga.... dirimu.... baik..,. baik....” lapun terkulai lemas da-lam rangkulan cucunya.

“Nenek...,?” Thian Liong berteriak.

Tiong Lee Cin-jin mendekati anak itu, berjongkok dan dia meraba leher,Nenek Souw. “Thian Liong,
nenekmu meninggal....” katanya terharu.

“Me....ninggal....?” Thian Llong me-mandang wajah Tiong Lee Cin-jin terbelalak.

Tiong Lee Cin-jin mengangguk. “la meninggal karena jantungnya lemah. la mati karena memang ia sudah
tua dan lemah, Thian Liong.”

“Nenek....! Ahh, nenek....!!” Thian Liong menubruk dan menanglsi neneknya, meratap -ratap.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 26

Lurah Coa mengerutkan alisnya dan menjadi semakin marah. Kematian nenek itu saja amat
merugikannya! Selain kehilangan tenaga kerja, diapun terpaksa harus mengeluarkan uang untuk
mengubur Jenazah nenek itu. Semua ini gara-gara Thian Liong yang melenyapkan anak kerbaunya!

“Beri hukuman anak keparat ini dengan dua puluh kali cambukan!” bentaknya kepada dua belas orang
tukang pukulnya yang sudah berkumpul di situ. Dua orang di antara mereka melangkah maju. Mereka
adalah dua orang algojo yang sudah biasa melaksanakan perintah untuk mencambuki orang. Mereka
berdua menyeringai dan masing-masing memegang sebatang cambuk yang besar. Melihat ini, Tiong Lee
Cin-jin melangkah maju.

“Nanti dulu!” tegurnya dengan suara yang lembut namun penuh wibawa. “Coa-chung-cu (Lurah Coa),
anak kerbau itu memang benar dimakan seekor Coa (ular), kenapa anak ini yang dipersalahkan dan
hendak dicambuk? Dicambuk dua puluh kali dia akan mati. Sepatutnya engkau sendiri yang dicambuk!”

“Apa kaubilang? Keparat, berani engkau menghinaku?” Lurah itu merasa di sindir seolah-olah orang
berpakaian pendeta itu mengatakan bahwa dia yang telah memakan anak kerbaunya. Nama marganya
Coa memang berbunyi sepertl huruf ular. “Kalau begitu, biar engkau yang menanggung setengahnya.
Hayo, kalian hukum cambuk mereka berdua, masing-masing sepuluh kali cambukan yang kuat agar
pecah-pecah kulit punggung mereka, biar tahu rasa!”

Dua orang algojo itu mengangkat cambuk mereka, siap untuk memukul Thian Liong dan Tiong Lee Cin -
Jin dengan cambuk mereka.

“Tar-tarrr!!” Dua batang cambuk me-ledak di udara lalu turun menyambar dengan cepat ke arah....
Lurah Coa!

“Pratt! Pratt!! Aduh.... aduhh, gila kalian! Kenapa aku yang dicambuk?” Lurah Coa mengaduh dan
berloncatan, akan tetapi cambuk-cambuk itu terus melecutinya dan dua orang algojo itu melecut penuh
semangat!

“Aduh-aduh.... bunuh mereka! Bunuh mereka!” Lurah Coa memerintahkan sepuluh orang jagoannya
yang lain untuk bertindak sambil dia menggeliat-geliat kesakitan.

Sepuluh orang tukang pukul itupun merasa terheran-heran melihat dua orang rekan mereka malah
mencambuki majikan mereka. Mendengar perintah itu, mereka menjadi bingung. Ada yang menganggap
perintah itu untuk membunuh dua orang rekan mereka, ada pula yang menganggap perintah itu untuk
membunuh Thian Liong dan Tiong Lee Cln-jin. Mereka, sepuluh orang, serentak bergerak. Mereka
menganggap bahwa dengan tangan kosong saja mereka akan mampu membereskan orang-orang yang
harus dibunuhnya. Sepuluh orang itu serentak menerjang maju akan tetapi kembali terjadi keanehan
luar biasa yang disaksikan oleh orang-orang yang sudah mulai berkumpul di halaman rumah Lurah Coa
meli-hat keributan itu. Sepuluh orang itu sama sekali tidak menyerang Thian Liong dan Tiong Lee Cin -jin,
juga tidak menyerang dua orang algojo yang masih mencambuki Lurah Coa, melainkan mereka itu saling
gebuk dan saling tendang di antara mereka sendiri! Terdengar suara bak-bik-buk dan teriakan-teriakan
kesakitan dan kemarahan menjadi satu, hiruk pikuk dan para penonton terbelalak keheranan.
Sementara itu, dua orang algojo masih asyik menggerakkan cambuknya ke arah tubuh Lurah Coa sambil
menghitung.

“Tarr-tarrr! Ke enam! Tar-tarrr! Ke tujuh! Tar-tarrr!! Ke delapan....!!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 27

Pemandangan itu sungguh luar biasa sekali. Thian Liong masih merangkul dan menangisi neneknya.
Tiong Lee Cin-jin masih berjongkok dekat anak-anak itu dan menoleh memandang orang-orang yang
sedang sibuk sendiri itu. Lurah Coa masih mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat, bajunya robek-robek
dan punggung-nya beriepotan darah karena kulit punggungnya pecah-pecah oleh cambukan.
Teriakannya sudah melemah dan kini dia mengaduh sambil menangis. Sedangkan sepuluh orang itu
saling genjot, saling tonjok dan saling tendang. Ramai sekali keadaannya, ramai dan kacau.

“Tarr-tarrr! Ke sembilan! Tarr-tarrr!! Ke sepuluh....!!” Setelah dua orang algojo itu masing-masing
memukul sepuluh kali, merekapun menghentikan cambukan mereka. Kini mereka berdlri memandang
kepada Lurah Coa dengan mata terbelalak seolah tldak percaya kepada pandangan mata mereka sendlrl,
Lurah Coa Itu bergulingan di atas tanah dengan tubuh berkelopotan darah dan agaknya mereka berdua
baru menyadari dengan kaget sekali bercampur heran dan bingung bahwa mereka tadi telah
mencambuki Lurah Coa!

Sementara Itu, sepuluh orang yang sallng gebuk itu kinipun sudah lemas. Muka mereka benjol-benjol
dan matang biru, tidak ada seorangpun yang masih utuh karena tadi mereka saling gebuk tanpa memilih
kawan maupun lawan. Siapa saja yang berada dl dekatnya diserang. Dengan sendirinya mereka semua
kebagian pukulan atau tendangan. Dan anehnya, berbareng dengan berhentinya dua orang tukang
cambuk tadi, sepuluh orang itupun berhenti saling serang dan mereka mengerang kesakitan dengan
mata terbelalak keheranan karena baru sekarang mereka menyadari bahwa mereka tadi telah sallng
pukul antara rekan sendiri!

Lurah Coa sekarang telah bangun. Melihat dua orang yang tadi mencambukinya berdiri dengan
menundukkan muka dan tampak ketakutan, kemarahannya memuncak. Biarpun seluruh tubuhnya
nyerh dan pedlh perih, dia lalu merampas sebatang cambuk di tangan seorang di antara dua algojo itu
dan dia lalu mengayun cambuk, mencambuki mereka berdua sekuat tenaganya!

“Tar-tar-tarrr....!!” Dia terus mencambuki sekuat tenaga, mencambuki dua orang tukang pukulnya itu
sekenanya, muka, kepala, dada sehingga dua orang itu menggeliat-geliat dan melindungl muka mereka
dengan kedua tangan. Baju mereka berdua cabik-cabik dan kulit mereka pecah-pecah, darah mulai
mewarnai baju mereka.

“Ampun, taijin.... ampun....!” Mereks berdua meratap-ratap akan tetap Lurahj Coa mencambuki terus
sampai dla kehabisan tenaga dan napasnya hampir putus barulah dia berhenti karena tidak kuat lagi. Dia
melempar cambuknya dah dengan tubuh lunglai dia menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah kursi.

Kini dia menyadari keadaan sepenuhnya. Biarpun masih tiada habis herannya melihat peristiwa yang
telah menimpa dirinya dan dua belas orang jagoannya, namun kini dia mencurahkan seluruh
perhatiannya kepada Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin. Dia masih belum menyadari bahwa kehadiran
pendeta asing itulah yang menimbulkan peristiwa aneh tadi.

“Thian Liong! Engkau telah membikin hilang anak kerbauku, untuk itu engkau akan dihukum! Dan
engkau pendeta asing, engkau inemasuki dusun kami dan membuat onar di sini, membela anak yang
bersalah ini. Mungkin engkau telah bersekongkol dengan dia untuk mencuri anak kerbauku. Karena itu
engkaupun akan dihukum!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 28

“Lurah Coa, engkau masih belum menyadari sikapmu yang sewenang-wenang itu? Perbuatanmu yang
suka menyiksa orang kini berbalik menimpa dirimu sendiri dan engkau masih juga belum jera?” kata
Tiong Lee Cin-jin kepada kepala dusun itu.

Akan tetapi kepala dusun yang sudah terlanjur merasa seperti seorang raja kecil di dusunnya dan tidak
pernah ada orang berani menentangnya, menudingkan telunjuknya kepada Tiong Le e Cin-jin dan Thian
Liong, lalu berseru kepada anak buahnya.

“Hayo kalian tangkap dua orang ini! Cepat!!”

Akan tetapi dua belas orang tukang pukul yang masih belum hilang kaget mereka dan masih merasa
nyeri-nyeri seluruh tubuh mereka itu, hanya memandang dan tidak ada yang berani bergerak. Mereka
adalah orang-orang yang sedikit banyak sudah mempunyai pengalaman di dunia kang-ouw dan mereka
kini sudah dapat menduga bahwa orang berpakaian seperti pendeta itu tentu seorang sakti maka terjadi
peristiwa aneh-aneh seperti yang tadi mereka alami. Maka, mendengar perlntah majlkan mereka itu,
tidak ada seorangpun dl antara mereka yang berani bergerak.

“Hayo tangkap dua orang inl! Apakah kalian semua sudah tuli?” bentak lagi lurah yang masih menggigit
bibir menahan rasa nyeri yang terasa di seluruh tubuhnya.

Mendengar perintah ulangan ini, dua belas orang tukang pukul tidak berani membangkang lagi dan
mereka sudah meraba gagang golok yang tergantung di pinggang.

Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin memandang kepada mereka dan berkata, “Kalian ini sebetulnya adalah
penjaga keamanan dusun, menjaga keamanan semua penduduk dusun, bukan melaksanakan perintah
Lurah Coa untuk memukul dan menyiksa orang. Apakah kalian masih belum mau bertaubat dan hendak
melanjutkan perkelahian di antara kalian sendiri menggunakan golok?”

Mendengar ucapan Tiong Lee Cin-jin itu, dua belas orang tukang pukul klni yakln bahwa tadi mereka
bergontok-gontokan sendiri adalah karena dlpengaruhi pendeta ini. Mereka menjadi jerih, menggeleng
kepala dan otomatis melepaskan lagl gagang golok mereka. Mereka membayangkan betapa ngerinya
kalau mereka saling serang seperti tadi, kini mempergunakan golok. Tentu akan banyak di antara
mereka yang luka parah atau bahkan tewas.

“Kalian masih belum turun tangan?” bentak pula Lurah Coa.

“Lurah Coa, engkau sudah mendengar pengakuan kami bahwa anak kerbau itu dimakan ular dan engkau
masih belum mau percaya. Sekarang lihatlah sendiri, juga kalian para tukang pukul! Ular raksasa itu kini
datang memperlihatkan diri kepada kalian agar kalian dapat percaya!”

Tiong Lee Cin-jin menggapai dengan tangannya dan Lurah Coa bersama dua belas orang tukang
pukulnya terbelalak, muka mereka pucat dan tubuh mereka menggigil. Mereka melihat ada seekor ular
yang besar sekali, sebesar batang pohon siong, merayap datang menghampiri mereka! Para penduduk
dusun yang berkumpul di situ tldak melihat ular ini. Mereka menjadi terheran-heran melihat dua belas
orang tukang pukul itu menggigil ketakutan menghampiri Lurah Coa lalu berdiri di belakangny a. Lurah
itupun menggigil ketakutan. Mereka mundur-mundur dan akhirnya menjatuhkan diri berlutut,

“Ampun.... ampunkan saya....” Lurah Coa meratap.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 29

“Ampunkan kami.... kami tldak berani lagl....” Dua belas orang Itupun berseru ketakutan, menghadap ka
arah Tiong Lee Cin-jln.

Tlong Lee Cin-jln mengibaskan tangannya dan ular itupun lenyap. Dla lalu bertanya kepada Lurah Coa
dan anak buahnya. “Benarkah kalian semua telah bertobat dan tidak akan mengulangi lagi sikap dan
perbuatan kalian yang menindas rakyat dusun ini?”

“Saya tidak berani ....”. ratap lurah Coa.

“Kami bertobat....” Dua belas orang tukang pukul itu serempak berseru ketakutan.

“Bagus. Bertaubat berarti membuka pintu yang menuju jalan kebenaran. Namun bertobat tidak ada
artinya sama sekall kalau hanya dlucapkan dengan mulut, melainkan harus menerima dalam hati
sanubari dan tercermin dalam perbuatan. Tanpa pelaksanaan dalam perbuatan, bertobat hanya
merupakan pemanis bibir dan palsu belaka. Lurah Coa, seorang lurah bukan seorang pembesar yang
hanya memperbesar perut sendiri, juga bukan seorang penguasa yang mempergunakan kekuasaannya
untuk menindas orang lain dan mencari enaknya dan benarnya sendiri. Seorang lurah adalah seorang
pemimpin rakyat yang berkewajiban iintuk membimbing rakyatnya ke arah pembangunan dusun demi
kesejahteraan rakyatnya, menjadi seorang bapak yang selalu memberi teladan kepada rakyat, kalau
berdiri di depan memberi teladan, kalau berdiri di tengah bekerja sama dengan rakyat, kalau di belakang
mengawasi dan memberi pengarahan. Ingat, engkau bisa menjadi lurah karena ada rakyat dusun, tanpa
mereka engkau bukan apa-apa. Mulai sekarang, jadilah pemimpin rakyat yang baik. Kembalikan sawah
ladang mereka. Bebaskan hutang-hutang mereka. Ulurkan tangan dan bantulah kalau ada rakyat yang
kekurangan. Kalau sudah begitu, seluruh rakyat di dusun akan cinta dan taat kepadamu, bukan taat
karena terpaksa dan takut. Sanggupkah engkau membuktikan rasa bertobatmu dengan semua anjuran
itu?”

“Saya sanggup,” jawab Lurah Coa sambil menundukkan kepalanya. Entah mengapa, mendengar ucapan
yang lembut namun penuh wibawa dan menggores hatinya itu, Lurah Coa terlngat akan semua
tindakannya yang lalu, sadar akan semua perbuatannya yang sewenang-wenang dan diam-diam dia
menangis.

“Dan kalian, orang-orang gagah yang tadinya dianggap sebagai tukang-tukang pukul anak buah Lurah
Coa. Kalian adalah orang-orang yang sudah mempelajari ilmu silat, orang-orang yang memiliki tenaga
yang kuat. Akan tetapi sayang, kalian meinpergunakan kelebihan itu untuk mendukung kese wenang-
wenangan Lurah Coa. Kalian menakut-nakuti rakyat dusun, kalian bahkan tidak segan untuk memukuli
dan menyiksa mereka. Kalau benar-benar kallan sudah bertaubat, mulai sekarang jadilah pembantu
lurah yang baik. Menjadi penjaga keamanan dusun, keamanan rakyat dusun sehingga kehidupan di sini
menjadi aman tenteram tidak ada perbuatan kejahatan. Dengan demikian kalian akan menjadi sahabat
bahkan saudara dari rakyat dan mereka akan me-rasa sayang dan segan kepada kalian, bukan takut lagi.
Mereka tidak akan mellhat lagi kalian sebagai iblis-iblis mengganggu, melainkan sebagai malaikat-
malaikat pelindung. Nah, sanggupkah kalian menjadi pelindung rakyat?”

“Kami sanggup!” seru dua belas orang itu serentak.

“Bagus, senang dan suka sekali hatiku mendengar kesanggupan kalian semua. Sekarang aku hendak
bertanya kepadamu, Lurah Coa. Engkau tahu bahwa Thian Liong hanya hidup berdua dengan neneknya

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 30

dan keadaan mereka miskin sekali. Mereka mengandalkan makan sehari -hari dari hasil bekerja mereka
di rumahmu. Sekarang Nenek Souw telah meninggal dunia, apa yang akan kaulakukan?”

Lurah Coa mengangkat mukanya dan Tiong Lee Cin-jin melihat berapa muka yang masih ada bilur-bilur
bekas cambukanitu kini tampak cerah dan tidak tertutup hawa gelap seperti tadi.

“Sebelum saya menjawab, bolehkah kami semua mengetahui lebih dulu siapa sebenarnya saudara
pendeta ini?”

“Orang menyebutku Tiong Lee Cin Jin seorang perantau yang kebetulan lewat di sini.”

Lurah Coa merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat lalu bangkit berdiri. “Kiranya Cin-jin
seorang pendeta yang sakti dan bijaksana. Maafkan kami sekalian yang telah bersikap kurang hormat
dan telah berani bertindak jahat. Saya sudah bertaubat dan menyadari dosa-dosa saya, Cin-jin. Saya
akan mengurus penguburan jenazah Nenek Souw sebaik-baiknya. Adapun mengenai Thian Liong, saya
akan memberinya pekerjaan dan menganggap seperti anak angkat saya.”

Tlong Lee Cin-jln mengangguk-ang-guk. “Bagus, terima kasih atas kebaikanmu, Lurah Coa. Kalau untuk
selanjutnya engkau bersikap dan berbuat seperti ini aku percaya bahwa engkau akan dapat mencuci
kotoran yang timbul dari perbuatanmu yang sudah-sudah dengan perbuatan baikmu yang akan datang.
Nah, selamat tinggal, aku harus melanjutkan perjalananku.” Setelah berkata demillian Tiong Lee Cin -jin
membahkan tubuhnya dan melangkah keluar dari pekarangan rumah Lurah Coa.

Akan tetapi tiba-tiba Thian Liong lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tiong
Lee Cin-jin. “Suhu, perkenankanlah saya ikut suhu!” katanya sambil membentur-benturkan dahinya di
atas tanah.

“Thian Liong, jenazah nenekmu masih belum dikebumikan,” kata Tiong Lee Cin-jin.

“Sudah ada Lurah Coa yang menyanggupi untuk mengurusnya, suhu. Biarkan saya ikut suhu.”

“Akan tetapi aku hanyalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Engkau akan lebih
senang tinggal di sini” kata pula Tiong Lee Cin-jin.

“Benar Thian Liohg. engkau tinggallah di sini bersama kaml. Aku akan menganggapmu sebagai anak
angkatku,” kata Lurah Coa.

“Tidak, suhu. Satu-satunya orang yahg kumiliki di dunia ini hanyalah nenekku. Sekarang ia sudah
meninggal dunia. Suhu telah menyelamatkan saya, maka sekarang saya ingin ikut dan melayani suhu
untuk selamanya. Saya bersedia hidup melarat bersama suhu.” Anak itu meratap.

Tiong Lee Cln-jin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah merasa bahwa anak ini berjodoh
dengannya dan amat baik kalau menjadi muridnya.

“Baiklah, engkau boleh ikut denganku, Thian Liong.”

“Terima kasih, suhu!” Thian Liong lalu bangkit dan lari menghampiri jenazah Nenek Souw dan berlutut di
sampingnya. “Nenek, perkenankan aku ikut dengan suhu Tiong Lee Cln-jin. Jangan khawatir, nek,

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 31

jenazahmu akan diurus sebaiknya oleh Lurah Coa. Selamat tinggal, nek.” Setelah mencium muka
neneknya, dia lalu bangktt dan berlarl mengejar Tiong Lee Cln-jin yang sudah berjalan meninggalkan
pekarangan itu.

Lurah Coa mengikuti mereka dengan pandang matanya sampai dua orang itu tak tampak lagi. Dia lalu
inemerintahkan orang-orangnya untuk mengurus jenazah Nenek Souw baik-baik dan dia masuk ke
dalam rumah untuk mengobati luka-luka lecutan di tubuhnya. Semenjak hari itu, Lurah Coa berubah
sama sekali. Dla berubah menjadi seorang lurah yang baik dan kehidupan rakyat di dusun itu menjadi
benar-benar sejahtera dan berbahagia. Dua belas orang jagoan itu kini menjadi sahabat rakyat, menjadi
penjaga keamanan dalam arti yang sebenarnya. Setelah mengubah sama sekali jalan hidup mereka, kini
mereka mendambakan suatu kebahagiaan yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya. Mereka
merasa aman tenteram dalam hidup mereka, sikap dan pandang mata semua penduduk terhadap
mereka demikian ramah tulus dan hormat yang tidafc dibuat-buat. Baru sekarang mereka merasakan
betapa membikin senang orang lain jauh lebih menyenangkan daripada membikin susah orang lain.

* **
Setelah berpuluh tahun berada dalam kekacauan dan pertentangan karena Cina dikuasai Lima Dinasti
yang saling berperang dan berebutan kekuasaan, akhirnya pada tahun 960 M lahirlah Dinasti Sung yang
berhasil mempersatukan Cina kembali. Pendiri Dinasti Sung adalah seorang panglima dari satu di antara
dinasti-dinasti yang pada jaman Lima Dinasti berkuasa di Cina, yaitu Dinasti Chou. Panglima ini bernama
Chao Kuang Yin. Panglima Chao Kuan Yin ini menjadi kaisar yang mendirikan Dinasti Sung dengan cara
yang unik, aneh dan lucu. Pada masa itu, Dinasti CHou membutuhkan seorang yang tepat untuk menjadi
kaisar karena kaisarnya yang sudah tua berada dalam keadaan sakit payah. Yang ditunjuk sebagai
penggantinya adalah se-orang pangeran yang masih kecil, seorang anak-anak! Hal ini mendatangkan
rasa penasaran dan tidak puas dalam hati para perwira, Mereka lalu diam-diam mengadakan
perundingan dan mengadakan pemilihan siapa kiranya yang pantas ditunjuk untuk menjadi kaisar baru.
Mereka dengan suara bulat memilih Panglima Chao Kuang Yin yang mereka kenal sebagai seorang
panglima besar ahli perang yang pandai dan yang juga bijaksana dalam pergaulannya dengan para
pembesar lainnya.

Pada suatu malam, selagi Panglima Chao Kuang Yin masih tidur, para perwira bawahannya dan para
pejabat tinggi memasuki kamarnya dan membangunkannya.

Panglima itu terbangun dan merasa kaget dan heran sekali melihat para perwira dan pembesar
mengerumuninya.

“Heii, apa-apaan ini? Apakah terjadi. Mau apa kalian menggugah ku??” tanya Panglima Chao Kuang Yin
yang lalu duduk di atas kursi, memandang kepada mereka semua. Ternyata mereka telah menyalakan
lampu sehingga kamar itu menjadi terang. Dengan heran dia melihat bahwa semua perwlra tinggi yang
menjadi pembantunya berada di situ, juga para pejabat tinggi yang berkedudukan penting di
pemerintahan.

Seorang perwira yang paling tinggl kedudukannya di antara semua perwira, yaitu Perwira Ciang yang
menjadi pembantu utama Pangllma Chao Kuang Yin, mengeluarkan sebuah jubah dan mengembangkan
jubah itu hendak menyelimutl kedua pundak Panglima Chao Kuang Yin. Ketika melihat bahwa jubah itu
adalah pakaian kebesaran Kaisar, panglima itu cepat bangkit berdiri dan menolak.

“Apa artinya ini? Apa maksud kalian?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 32

“Panglima Chao Kuang Yin, atas kesepakatan kami semua, malam ini juga kami mengangkat paduka
menjadi kaisar kami yang baru!” kata Perwira Ciang Sui.

Panglima Chao Kuang Yin membela-akkan matanya dan alisnya berkerut, wajahnya berubah merah.
“Apa kalian semua sudah menjadi gila? Aku adalah seorang panglima Kerajaan Chao yang setia kepada
Kaisar! Aku tidak ingin menjadi pengkhianat!”

“Panglima Chao, tenanglah dan pikirkan baik-baik, justru karena paduka adalah seorang patriot sejati,
seorang yang setia kepada kerajaan, maka paduka harus menolong dan melindungi kerajaan kita. Kaisar
yang baru diangkat adalah seorang kanak-kanak, mana mungkin dia dapat memerintah dengan baik dan
semestinya? Kalau dibiarkan saja keadaan ini, kerajaan kita pasti akan ambruk dan siapa lagi yang dapat
menyelamatkan kerajaan ini kecuali paduka?”

“Tidak, aku tetap tidak mau!” bantah Panglima Chao Kuang Yin.

Seorang perwira tinggi lain berseru, “Kalau Panglima Chao Kuang Yin tidak mau, berarti dia. ingin
melihat kerajaan ini hancur dan ini berarti dia seorang pengkhianat yang harus dlhukum mati!” Dia
mencabut pedangnya dan belasan orang perwira itu semua mencabut pedang, termasuk para pejabat
tinggi. Mereka menodongkan pedang mereka kepada Panglima Chao Kuang Yin yang terbelalak
keheranan.

Seorang pejabat tinggi bagian Sastra dan Budaya yang bernama Can Siong Tek berkata dengan suara
yang lembut, Panglima Chao Kuang Yin, harap paduka suka memperhatikannya baik -baik. Keadaan
kerajaan dalam bahaya. Kaisar yang diangkat masih kanak-kanak dan tentu dia akan dipengaruhi dan
terjatuh ke dalam tangan para menteri korup dan para thai-kam (laki-laki kebiri) penjilat sehingga
pemerintahan jatuh ke tangan mereka. Dapat dipastikan kerajaan ini akan ambruk. Sekarang paduka
tinggal pillh. Mau menjadi kaisar untuk menyelamatkan negara dan rakyat, atau kalau paduka menolak
terpaksa kami bunuh karena paduka berarti menentang keputusan kami.”

Chao Kuang Yin berdiam sampai lama, mempertimbangkan dan berpikir-pikir. Dia tahu benar bahwa
kalau dia menolak dan melawan, dia pasti akan tewas di tangan mereka ini. Bukan dia takut mati, akan
tetapi apa artinya kematiannya? Hal itu tidak akan menolong keadaan kerajaan. Sebaliknya kalau dia
hidup dan mau menerima kedudukan kaisar, dia dapat berusaha untuk mempersatukan seluruh negeri
dan menyudahi perang saudara yang tiada henti-hentinya menghantui dan menyengsarakan rakyat
jelata.

Akhirnya dia berkata, “Baiklah. Akan tetapi kalian harus berjanji untuk membantu aku memperkuat
kerajaan dan mempersatukan semua kekuatan yang tadinya saling bertentangan.”

“Hidup Kaisar!” Serentak mereka berseru dan mengenakan jubah kaisar pada tubuh Panglima Chao
Kuang Yin.

Demikianlah, Panglima Chao Kuang Yin menjadi kaisar dan dia mendirikan Dinasti Sung. Dia
menggunakan nama Kaisar Sung Thai Cu (960-976 M) dan menjadi pendiri Dinasti Sung sebagai kaisar
pertama. Mulai saat itulah Dinasti Sung berdiri sampai tlga abad lebih (960-1279 M).

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 33

Ternyata kemudian bahwa pilihan para perwira tinggi dan pejabat tinggi itu tidak keliru. Panglima Chao
Kuang Yin yang kini menjadi Kaisar Sung Thai Cu ternyata adalah seorang Kaisar yang amat cerdik pandai
dalam persoalan politik, seorang yang bijaksana, tidak kejam dan tidak sewenang-wenang. Pula, dia
adalah seorang bangsa Han. Hal ini ditambah sikap dan sepak terjangnya yang bijaksana membuat para
kerajaan dan pemerintahan lain tunduk kepadanya. Apalagi rakyat sudah bosan dengan peperangan
yang tiada hentinya selama puluhan tahun, bosan dengan pengaruh kekuasaan suku -suku bangsa liar
yang berebutan kekuasaan. Para penguasa daerah yang tadinya, di masa ke kuasaan Lima Dinasti herdin
sendiri sebagai kerajaan-kerajaan kecil, ini satu demi satu menyatakan takluk dan berdiri di bawah panji
kerajaan Sung yang dipimpin oleh Kaisar Sung Thai Cu. Kaisar Sung tetap memberi kedudukan kepada
para penguasa itu sebagai pejabat tinggi dari Kerajaan Sung, Sebagai semacam gubernur. Ada beberapa
daerah yang tidak mau tunduk. Mereka ini dengan mudah diserang dan dltaklukkan. Akan tetapi, bahkan
kepada mereka yang menentang inipun Kaisar Sung Thai Cu bermurah hati. Para pemimp innya tidak
dihukum, bahkan setelah daerah itu ditaklukkan, mereka tetap diangkat menjadi pejabat. Demikianlah,
dalam waktu beberapa tahun saja, seluruh Cina telah dapat dipersatukan, dan sebagian besar dari
mereka ditundukkan dengan cara halus. Hanya beberapa daerah saja yang terpaksa ditaklukkan dengan
kekuatan pasukan tentara.

Semenjak Dinasti Sung berdiri dengan kokohnya, gangguan dari bangsa yang oleh rakyat Cina dlsebut
“bangsa liar” banyak berkurang. Gangguan yang masih ada hanya datang dari bahgsa Tartar yang
mendirikan Liao (sekarang Mancuria), dan juga dari bangsa Hsia Hsia di Barat Laut.

Kebesaran Dinasti Sung yang dapat mempersatukan seluruh Cina itu hanya bertahan satu setengah abad
lamanya. Kemakmuran dan gangguan keamanan, yang hanya sedikit itu membuat Kaisar Hui Tsung
lengah. Jerih payah yang dilakukan Kaisar Sung Thai Cu itu akhirnya kandas dalam tahun 1121. Kaisar Hui
Tsung lengah, tidak begitu memperhatikan ketika tetangganya yang berada di utara, yaltu kerajaan Liao,
telah diserbu dan dikuasai oleh bangsa Kin yang kuat. Setelah Bangsa Kin menguasai kerajaan Liao
(Mancuria), mereka menghimpun kekuatan besar sekali dan menyerbu kerajaan Sung. Bala tentara Sung
mengadakan perlawanan hebat, namun akhirnya mereka dikalahkan dan seluruh wilayah Sung bagian
utara telah dikuasai bangsa Kin. Kaisar Hui Tsung bahkan ditawan oleh pasukan Kin.

Pemerintah Sung lalu melarikan diri ke selatan dan kota raja pindah ke Lin-an (sekarang Hang-chow).
Karena kepindahan ini, maka Dinasti ini juga disebut Sung Selatan.

Wilayah Dinasti Sung Selatan ini berada di sebelah selatan Sungai Yang-ce dan karena tanah di daerah
selatan ini jauh lebih subur dibandingkan tanah di utara, maka kerajaan Sung Selatan ini tidaklah dapat
dikatakan mundur dalam hal kesejahteraan.

Kisah ini terjadi pada jaman Dinasti Sung Selatan dan yang menjadi kaisarpun pada waktu itu adalah
Kaisar Kao Tsung, seorang keponakan dari Kaisar Hui Tsung yang ditawan oleh suku bangsa Khitan dari
Kerajaan Kin. Kaisar Kao Tsung bertekad untuk membalas dendam dan melakukan perang terhadap
Bangsa Tartar Khitan yang telah menguasai daerah utara Sungai Yang-ce. Kaisar Kao Tsung menghimpun
kekuatan, mengumumkan dan mengundang para muda untuk masuk menjadi tentara dan ikut berjuang
mengusir bangsa liar yang menguasai tanah air bagian utara itu.

Demikianlah sekilas tentang keadaan Dinasti Sung Selatan. Jatuhnya daerah utara dan kota raja yang
tadinya menja-di pusat kerajaan Sung, yaitu kota raja Tiang-an atau Kaifeng, terjadi dalam tahun 1121
M.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 34

* **

Di lembah Sungai Yang-ce sebelah selatan, terdapat sebuah kota kecil Cin-koan. Kota kecil ini cukup
ramai karena merupakan persinggahan para pedagang yang mengangkut barang dagangan mereka
melalui Sungai Yang-ce. Daerah itu terkenal dengan rempa-rempanya. Banyak pedagang datang ke kota
Cin-koan untuk membeli rempa-rempa dan ada pula yang datang membawa dagangan ke kota itu
berupa bahan pakaian dan segala macam keperluan lagi. Tidak mengherankan kalau kota Cin -koan
berkembang rnenjadi kota yang ramai dan mulailah rumah penginapan dan rumah makan bermunculan
untuk menampung para pendatang dan pedagang yang setiap hari memenuhi kota Cin-koan. Dan tidak
aneh pula kalau bermunculan pula tempat-tempat hiburan seperti rurnah perjudian dan rumah
pelacuran. Para pedagang yang berada jauh darl rumah dan yang memperoleh banyak keuntungan itu
haus akan pelesiran dan mereka biasa membuang uang secara royal.

Rumah pelesir Bunga Seruni merupakan tempat pelesir yang terkenal di kota Cin-koan. Rumah pelesir ini
dikelola oleh seorang mucikari yang biasa dipanggil Lu-ma, seorang wanita gemuk berusia lima puluhan
tahun. Pagi hari itu Lu ma sudah bangun dan setelah melakukan pemeriksaan terhadap belasan orang
anak buahnya, yaitu gadis-gadis penghibur yang muda dan cantik, menyuruh mere ka agar tidak
bermalas-malasan, cepat maridi dan mengenakan pakaian bersih dan indah, ia lalu memasuki sebuah
kamar yang terpisah dan berada di bagian belakang. Hari itu merupakan hari istimewa karena ada
serombongan pedagang dari kota raja datang. Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan ini
merupakan rejeki besar karena tentu di antara mereka ada yang akan berpelesir di rumah Bunga Seruni
yang terkenal mempunyai banyak gadis penghibur yang cantik itu. Lu-ma memasuki kamar di belakang
itu dan seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun menyambutnya. Gadis itu cukup cantik
dan pakaiannya sederhana, berbeda dengan para gadis penghibur. Gadis itu adalah seorang gadis yatim
piatu, maslh terhitung keponakan Lu-ma dan sudah setahun lamanya ia tlngga! di rumah Lu-ma. Lu-ma
amat menyayang gadis yang datang darl dusun ini karena ia rajin dan pandai membawa diri. Saking
sayangnya, Lu-ma tidak memeras tenaga gadis itu dan hanya kepada pria-pria pilihan saja ia menyuruh
gadis itu melayani mereka. Pria yang lembut dan royal, bukan sebangsa pria kasar. Karena itu, biarpun ia
menjadI seorang gadis penghibur atau pelacur, gadis itu tidak merasa terlalu tersiksa. la jarang
diharuskan menerima tamu, hanya beberapa hari sekali kalau kebetulan ada pria yang menuru t Lu-ma
pantas untuk dilayani keponakannya saja. Karena tidak ingin rnemamerkan diri, maka gadis itu
berdandan secara sederhana saja walaupun hal itu tidak menyembunyikan kecantikannya. Gadis itu
bernama Liang Hong Yi, baru setahun tinggal di situ dan baru beberapa bulan ia melayani laki-laki pilihan
bibinya.

“Bibi,. sepagi ini sudah bangun?” Liang Hong Yi menyambut bibinya sambil tersenyum. Gadis ini juga
sayang dan menghormati bibinya. Walaupun bibinya menjadikan ia seorang pelacur, hal yang tidak
mungktn terelakkan lagi mengingat akan pekerjaan bibinya sebagai mucikari, namun ia tahu bahwa
bibinya sayang kepadanya. la tidak diperas dan tidak harus melayani sembarang pria, tidak harus
melayani sebanyak mungkin pria seperti para gadis penghibur itu.

“Duduklah, Hong Yi. Ada hal penting yang ingin kubicarakan kepadamu,” kata Lu-ma. Hong Yi yang baru
berusia delapan belas tahun itu berwajah bulat telur, dagunya runcing dan sepasang mata yang indah
jeli seperti mata burung dara itu dilindungi sepasang alis yang hitam kecil panjang melengkung.
Hidungnya kecil mancung dan mulutnya manis sekali dengan blbir yang selalu merah basah segar
menantang. Setitik tahi lalat kecil hitam di dagunya menambah manis wajahnya yang berkulit putih
kemerahan dan mulus. Rambutnya juga hitam lebat, dengan anak rambut halus berjuntai di sekitar dahi
dan pelipisnya. Tubuhnya ramping, akan tetapi tidak terlalu kurus, bahkan padat dan sintal.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 35

“Ada apakah, bibi?” tanya Hong Yi sambil duduk di atas kursl berhadapan dengan bibinya, terhalang
sebuah meja kecil.

“Hong Yi, semalam aku bermimpi melihat engkau terbang dan menari -nari di antara bintang-bintang!”

Hong Yi tertawa dan menutupi mulutnya dengan lengan bajunya. “Hi -hik, bibi ini aneh-aneh saja,
mungkin bibi semalam keenakan tidur karena hawa udara memang dlngin malam tadi.”

“Tidak, Hong Yi. Pagi tadi setelah terbangun, aku segera mengadakan perhitungan meramal dengan
mencocokan hari tanggal lahirmu dan aku mendapat kenyataan bahwa engkau kelak akan hidup sebagai
orang besar!”

“Aih, bibi. Orang macam aku bagal-mana dapat menjadi orang besar?” Tanpa disengaja, ucapan yang
keluar dari bibir mungil itu bernada sedih.

Begitu mendengar ucapan keponakan-nya itu, Lu-ma lalu meraih tangan Hong Yl yang terletak di atas
meja. “Maafkan bibimu, Hong Yi. Mulai sekarang aku berjanji tldak akan menyuruhmu melayani pria
lagl.”

Wajah yang manis itu memandang pada Lu-ma dengan mata terbelalak dan suaranya terdengar,
gembira. “Benarkah itu, bibi?”

“Percayalah.. Aku bersumpah, akan tetapi kalau engkau sudah menjadi orang besar, jangan kau lupakan
aku, Hong Yi.”

“Aku tidak pernah menyalahkan engkau karena aku menjadi seorang pelacur di sini, bibi. Engkau amat
baik kepadaku dan aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu itu.”

“Nah sekarang engkau berdandanlah.”

“Sepagi ini harus melayani seorang pria, bibi?” Mata yang indah itu menjadi agak muram.

“Anak bodoh! Bukankah aku tadi sudah bersumpah tidak akan menyuruhmu melayani pria lagi? Tidak,
bukan melayani pria. Akan tetapi aku menghendaki engkau pergi ke kuil Kwan-im-bio di tepi kota untuk
bersembahyang dan mohon ramalan peruntunganmu.”

Hong Yi tidak pernah membantah perintah bibinya, maka iapun mengangguk.

“Baiklah, bibi. Aku segera akan berdandan dan berangkat.” Pada saat itu, seorang pelayan wanita berdiri
di ambang pintu kamar itu dan berkata kepada Lu-ma bahwa ada tamu yang hendak bertemu.
“Engkau cepat berdandan dan berangkat, Hong Yi,” kata Lu-ma yang lalu meninggalkan gadis itu.
Hong Yi segera berganti pakajan yang lebih baik walaupun masih tetap bersahaja, tidak memakai terlalu
banyak perhiasan. Baru saja ia selesai berdandan, ia mendengar suara ribut-ribut dari depan, suara laki-
laki yang terdengar marah-marah. Ia cepat melangkah keluar, berpapasan dengan pelayan yang
ketakutan.

“Ada apa?” tanyanya kepada pelayan itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 36

“Wah, celaka, nona Liang,” kata pelayan itu. “Ada dua orang tamu marah-marah!”

Terdengar hiruk pikuk seperti barang-barang dibanting. Hong Yi cepat menuju ke ruangan depan.
Dilihatnya Lu-ma berdiri di sudut ruangan dengan muka pucat ketakutan. Dua orang laki-laki berusia
antara tiga puluh sampai empat puluh tahun sedang mengamuk membantingi kursi dan bangku
sehingga kaki kursi dan bangku itu patah-patah.

“Hentikan itu!” bentak Hong Yi lantang. “Apa yang kalian lakukan Itu?”
“Hong Yi, jangan masuk. Pergilah dari sini!” Lu-ma berseru sambil memberl tanda dengan tangannya
agar Hong Yl pergi. Akan tetapl Hong Yi malah memasukl ruangan itu.”

Dua orang laki-laki itu berhenti mengamuk dan kini keduanya memandang kepada Hong Yl dengan
penuh perhatian dan keduanya menyeringai. Seorang di antara mereka yang kepalanya botak dan
hidungnya besar melangkah maju dan berkata, “Aha, kiranya ini yang bernama Hong Yi? Pantas, cantik
dan manis. Akhirnya engkau mau keluar juga, sayang, untuk melayani kami berdua!”

Orang kedua yang tubuhnya tinggi be-sar, matanya lebar dan di dahinya terdapat codet bekas luka
memanjang tertawa. “Ha-ha, nenek ini hendak menjual mahal. Kami berdua adalah kepala pengawal
dari kota raja, dan sudah lama mendengar bahwa kembang dari rumah pelesir Bunga Seruni, bahkan
juga kembang dari kota Cin-koan, bernama Hong Yi. Nah, kami ingin dilayanl olehmu dan berapapun
bayarannya akan kami penuhi!”

“Aku adalah Hong Yi, dan kalau bibi Lu-ma mengatakan tidak kepada tamu, biar dibayar berapapun aku
tidak akan mau melayaninya. Blbl Lu-ma sudah tidak membolehkan kalian mengajak aku, maka kalian
tidak boleh memaksa. Mengapa kalian mengamuk seperti orang-orang gila dan merusak prabotan di
sini? Hayo cepat ganti kerusakan ini! Coba kuhitung.... kalian ganti lima puluh tail perak. Cepat bayar dan
pergilah dari sini dan jangan sekali-kali berani datang lagi!” Ucapan Hong Yi itu bernada memerintah dan
mengancam! Lu-ma membelalakkan matanya, heran dan terkejut, juga khawatir melihat sikap dan
mendengar ucapan Hong Yi itu. Anak ini mencari penyakit, pikirnya.

“Ha-ha-ha, cantik manis dan galak! Aku senang semangat itu. Engkau seperti seekor kuda betina liar dan
aku suka menundukkan kuda betina liar. Kami akan membayar gantl rugi setelah engkau melayani dan
menghibur kami berdua selama tiga hari tiga malam. Marilah, manis, mari kita bersenang-senang!” kata
si kepala botak hidung besar yang tubuhnya pendek gendut. Berkata demikian dia sudah melangkah
lebar menghampiri Hong Yi dan kedua lengannya dikembangkan siap untuk merangkul tubuh yang
denok itu.

Akan tetapi dengan gerakan yang gesit sekali Hong Yi miringkan tubuh ke samping sehingga rangkulan
itu luput dan dari samping tangannya menyambar dengan tamparan keras ke arah kepala si botak.

“Plak'“ Keras sekali tamparan itu dan tubuh si botak itu terpelanting roboh. Lu-ma terbelalak dan kedua
tangan menutupi mulutnya yang ternganga agar ia tidak mengeluarkan suara. la merasa seperti sedang
mimpi! Bagaimana mungkin keponakannya yang biasanya lemah le mbut dan tampak lemah itu dapat
membuat si gemuk pendek itu terpelanting roboh?

Si codet yang tinggi besaritu marah sekali melihat kawannya ditampar sehingga roboh. “Berani engkau
memukul temanku!” bentaknya dan tangan kanannya meluncur cepat. Lengan yang panjang itu penuh

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 37

dengan tenaga raksasa dan tangan dengan Jari-Jari panjang itu mencengkeram ke arah pundak kiri Hong
Yi. Akan tetapi Hong Yi memutar tubuh mengelak sehingga cengkeraman itu luput, kemudian tangan
kirinya menangkap pergelangan tangan lawan Itu dan sekali memutar tubuh sambil mengerahkan
tenaga menyentak, tubuh si Codet yang tinggi besar Itu melayang dengan kaki di atas melalui atas
pundak Hong Yi kemudian terbanting ke atas lantai sampai terdengar bunyi berdebuk!

Dua orang kepala pengawal yang biasanya menjadi jagoan itu tentu saja merasa penasaran bukan main.
Mereka yang blasanya ditakuti orang itu kini roboh dalam segebrakan saja oleh seorang pelacur muda!
Karena penasaran dan malu, mereka menjadi marah. Setelah bangkit berdiri, keduanya lalu mencabut
pedang yang tadlnya tergantung di punggung mereka. Dengan pedang terhunus yang berkilauan mereka
berdua menghadapi Hong Yi.

“Hong Yi, larilah....!” Lu-ma menjerit dengan tubuh menggigil. la merasa ngeri sekali dan tidak ingin
melihat keponakannya yang disayangnya itu terbunuh secara mengerikan.

Hong Yi menoleh ke arah Lu-ma sam-bil tersenyum tenang. la girang melihat betapa bibinya itu
mengkhawatirkannya. “jangan takut, bibi. Dua ekor anjing busuk ini memang sudah sepatutnya dihajar”.

Mendengar mereka dimaki sebagai anjing busuk, dua orang itu menjadi mata gelap saking marahnya.

“Mampus kau!” bentak si codet dan dia sudah menyerang dengan pedangnya yang menyambar dan
membacok ke arah leher yang berkulit putih mulus itu. Sementara si botak gendut juga sudah
menggerakkan pedangnya menusuk ke arah dada. Agaknya dua orang ini sudah menjadi mata gelap dan
bernafsu sekali untuk membunuh gadls yang molek Itu.

Namun Hong Yi, di luar persangkaan Lu-ma dan para gadis penghibur yang mengintai dan menonton
keributan itu, dengan tenang namun cepat sekali seperti gerakan seekor burung walet, melangkah ke
sana-sini. Langkah-langkahnya aneh namun nyatanya dua pedang itu tidak mampu menyentuhnya! Dua
orang penyerangnya menjadi semakin penasaran dan mereka mengamuk, menyerang secara membabi
buta. Dua batang pedang perkelebatan menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata. Namun tetap
saja dua batang pedang itu tidak mampu menyentuh tubuh Hong Yi yang seolah telah berubah menjadi
bayangan yang tidak mungkin dapat dibacok atau ditusuk pedang! Semua mata yang menonton
pertandingan itu, yang mula-mula memandang ngeri membayangkan tubuh yang padat ramping itu
akan roboh mandi darah, sekarang memandang dengan takjub dan kagum.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring suara Hong Yi. “Lepaskan pedang!” Kedua tangannya menyambar
dengan tangan terbuka miring, seperti golok membacok hampir berbareng ke arah dua pergelangan
tangan.

“Dukk!! Dukk”“ Dua batang pedang terlepaa dari pegangan dan dua orang pengeroyok itu menarik
tangan kanan me-reka karena merasa seolah tulang pergelangan tangan itu patah-patah.

Hong Yi tidak berhenti sampai di situ. Kedua kakinya yang kecil panjang itu mencuat bergantian, yang kiri
menyambar ke arah kepala si pendek gendut disusul kaki kanan menyambar ke arah dada si tinggi besar.

“Dess....! Dess....!” Dua orang itu terjengkang dan terbanting keras ke atas lantai. Sejenak mereka
merintih, lalu bangkit duduk. Si pendek botak memejamkan mata karena kepalanya puyeng dan segala

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 38

tampak berputaran. Si tinggi besar memegangi dadanya dan menekan dengan kedua tangan karena
dadanya terasa sesak bernapas!

Dengan kaki kirinya Hong Yi mencukil sebatang pedang yang terlepas tadi. Pedang melayang ke atas
disambar dengan tangan kanannya. Kemudian ia mencukil pedang kedua yang disambar tangan kirinya.
Dengan sepasang pedang di tangan ia menghampiri dua orang yang masih duduk berdekatan itu dan
ujung pedang itu menodong leher mereka, Ujung pedang yang runcing menekan kulit leher mereka.

“Bersiaplah kalian untuk mampus!” bentak Hong Yi yang kini dari seorang gadis yang lemah lembut
berubah menjadi seorang gadis yang tampak gagah perkasa.

Dua orang jagoan itu menggigil ketakutan. “Ampun.... ampunkan kami....” mereka bermohon dengan
suara meratap, si botak masih puyeng dan si codet masih terengah-engah.

“Kalau begitu hayo cepat keluarkan lima puluh tail perak untuk mengganti prabotan yang rusak
kemudian cepat minggat dari sini.” bentak Hong Yi.

Biarpun napasnya masih terasa sesak, si tinggi besar dengan jari -jari tangan gemetar mengambil
kantung uangnya dan mengeluarkan lima puluh tail perak. Uang ku diletakkannya di atas lantai di
depannya.

“Sekarang pergilah dan jangan berani muncul lagi di sini. Kalau lain kali muncul lagi, kedua tangan kalian
akan kubuntungi!” hardik Hong Yi sambil menendang dua kali. Tubuh dua orang jagoan itu terpental dan
terguling keluar dari pintu ruangan depan. Mereka segera bangkit, si codet tinggi besar masih menekan
dadanya dan si botak pendek gendut masih memegangi kepalanya. Kemudian me reka lari pontang-
panting meninggalkan rumah pelesir itu.

“Hong Yi....!” Lu-ma menghampiri gadis itu dan merangkulnya. Hong Yi melempar sepasang pedang ke
atas lantai dan menghibur Lu-ma yang menangis.

“Sudahlah, bibi. Bahaya sudah lewat dan aku yakin dua orang jahat itu tidak akan berani datang
mengacau lagi.”

“Hong Yi, mari.... aku mau bicara....” kata Lu-ma. Ia memberi Isarat kepada seorang gadis anak buahnya
untuk menyimpan uang lima puluh tail perak itu dan ia lalu menggandeng tangan Hong Yi memasuk i
kamarnya. Setelah menutupkan daun pintu ia mengajak Hong Yi duduk berhadapan.

“Hong Yi, engkau sungguh mengherankan dan mengejutkan hatiku. Bagaimana engkau mampu
mengalahkan dua orang jahat tadi? Bagaimana engkau yang biasanya lemah ini mendadak dapat
berubah menjadi seorang pendekar wanita?”

Hong Yi tersenyum. “Aku bukan seorang pendekar wanita, bibi. Aku hanya pernah belajar ilmu silat dari
seorang nikouw (bikkhuni) perantau yang dahulu tinggal di dusun kami selama tujuh tahun.”

“Akan tetapi engkau tidak pernah mengatakan hal itu kepadaku dan engkau juga belum pernah
memperlihatkan kepandaian silatmu sama sekali.”

“Ilmu silat bukan untuk pamer, bibi, melainkan untuk membela diri kalau terancam bahaya.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 39

“Akan tetapi engkau.... ahh, betapa menyesal aku.... kenapa engkau menurut saja ketika aku.......
menyuruhmu melayani para pria itu? Kenapa tidak kau tolak? Ahh...... aku sungguh menyesal sekali.......”

“Sudahlah, bibi. Engkau telah menolongku. Engkau telah mengurus pemakaman orang tuaku dan engkau
mau menampung diriku yang yatim piatu dan sebatang kara. Kalau tidak ada engkau tentu aku akan
menjadi seorang gadis yang terlantar dan entah bagaimana nasibku. Engkau amat baik kepadaku, maka
tentu saja aku menurut akan segala perintahmu. Aku tahu engkau menyayangku.. dan tidak ingin
menjadikan aku seperti para gadis penghibur yang lain. Engkau memilih pria-pria terbaik untukku. Dan
memang mereka itu bersikap lembut, menghormati dan menghargaiku. Aku tidak menyesal, bibi.”

“Engkau seorang gadis yang luar biasa, Hong Yi. Aku agak terhibur mengingat bahwa aku telah
bersumpah untuk tidak menyuruh engkau melayani pria lagi. Sekarang, pergilah ke kuil itu, Hong Yi dan
bersembahyanglah. Mintalah berkah dari Kwan Im Posat dan mintalah petunjuk dan ramalan. Apakah
engkau perlu ditemani?”

“Tidak usah, bibi. Aku akan pergi sendiri, aku dapat menjaga diri.”

Dengan membawa perlengkapan sembahyang seperti hioswa (dupa biting), lilin dan sebagainya, Hong Yi
lalu berangkat ke Kwan-im-bio yang berada di ujung kota Cin-koan sebelah selatan. Seorang nikouw tua
lalu menyambutnya dan Hong Yi lalu bersembahyang. Kemudian ia minta ramalan dan setelah
mengocok tabung tempat nomor ramalan dan sebuah nomor keluar, nlkouw pelayan mengambllkan
ramalan tertulis itu dan memperlihatkannya. Biarpun Hong Yi seorang gadis kelahiran dusun, namun
mendiang ayahnya adalah seorang terpelajar miskin dan ayahnya dahulu mengajarinya ilmu membaca
dan menulis. Bahkan ketika menjadi murid Bian Hui Nikouw selama tujuh tahun, ia selain dilatih ilmu
silat, juga menerima pelajaran membaca kitab-kitab agama oleh gurunya itu. Maka gadis inipun pandai
membaca dan menulis. la membaca ramalan tertulis itu.

“Harimau Putih bukan untuk ditakuti seyogyanya menjadi teman sejati temuilah seorang bermarga Han
bersamanya berjaya di Lin-an.”

Biarpun dapat membaca sajak ramaian itu Hong Yi tidak mengerti apa maksudnya. la tidak tahu apa
yang dimaksud-kan dengan Harimau Putih dan siapa pula orang bermarga Han yang harus diajaknya
pergi ke kota raja itu. Akan tetapi karena kepergiannya ke kuil minta ramalan itu bukanlah kehendak
yang timbul dari hatinya sendiri melainkan untuk memenuhi permintaan Lu-ma, maka iapun tidak
mengambil pusing lagi lalu berpamit dari nikouw pelayan dan menuju pulang. Kuil Kwan -im-bio itu
terletak di ujung kota yang sepi dan sebelum ti-ba di perumahan kota ia harus melewati sebuah ladang
yang cukup luas dan bagian pinggir kota di situ sepi tak banyak dilewati orang.

Selagi ia berjalan di bawah sinar matahari yang mulai tinggi, tiba-tiba ia terkejut bukan main karena di
atas jalan raya itu tampak seekor binatang menghadang perjalanannya. Ketika ia memandang penuh
perhatian, ia makin heran dan terkejut karena binatang Itu adalah seekor harimau yang bulunya
berwarna putih Sebagal seorang yang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh dan penuh kepercayaan
kepada diri sendiri dalam menghadapi bahaya, Hong Yi cepat membungkuk dan mengambil dua buah
batu sebesar kepalan tangannya. la tidak memegang senjata dan maklum bahwa harimau adalah
sebangsa binatang buas yang amat kuat dan berbahaya. Dua buah batu itu cukup lumayan untuk dipakal
membela diri. Otomatis ia teringat akan isi ramalan dari kuil Kwan-im-bio tadi. Ramalan itu
menyebutkan tentang harimau putih! Apa katanya tadi? “Harimau putih bukan untuk ditak uti!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 40

Tidak, ia tidak takut. la teringat bahwa anjing yang galakpun biasanya takut kalau disabit batu, terutama
kalau sambitan itu mengenai tubuhnya. Mungkin harimau inipun akan ketakutan kalau ia sambit dengan
batu, pikirnya. Setelah berpikir demlklan, Hong Yi mengambil ancang-ancang, membidik ke arah sasaran
lalu dilontarkan sepotong batu ke arah tubuh harimau itu.

“Wuuuttt.... dukkk!” Sambitan itu tepat mengenai perut harimau putih. Blnatang langka itu terkejut lalu
melompat dan melarikan diri ke kiri. Hong Yi yang masih mempunyai sepotong batu lagi, mengejar dan
menyambitkan batu kedua. Harimau itu melompat ke balik semak-semak dan menghilang. Hong Yi
menghampiri semak-semak setelah memungut sepotong batu lagi dari jalan. Berindap-indap ia
menghampiri semak-semak dan... ia tertegun. la tidak melihat harimau atau binatang apapun juga, akan
tetapi di balik semak-semak itu, di atas rumput hiJau yang tebal, ia melihat seorang pria muda bangkit
dari tidurnya, duduk dan menggeliat seperti seekor harimau. Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh
lima tahun, bertubuh jangkung dan tegap, ketika menggeliat itu tampak kedua lengannya yang berotot.
Wajahnya juga membayangkan kegagahan dan kejantanan. Di dekatnya terdapat sebuah buntalan kain
kuning. Rambutnya yang hitam panjang itu ditekuk ke atas dan diikat dengan sehelai kain biru.

Tentu saja Hong Yi merasa kikuk dan tidak enak. la khawatir akan disangka mengintai orang tidur. Maka
iapun melangkah mundur dan karena pemuda itu tidak langsung menghadapinya, maka ia dapat
mundur tanpa terlihat.

Ketika ia telah tiba di jalan raya lagi, ia mendengar suara orang dari depan. Ia memandang dan melihat
tujuh orang datang dengan cepat ke arahnya. Ia tidak menyangka buruk dan mengira mereka itu adalah
orang-orang. yang hendak pergi ke kuil. Ia tidak menaruh perhatian, apalagi karena ia masih merasa
heran akan peristiwa tadi. Ke manakah perginya harimau putih yang aneh tadi? Dan orang itu! Mengapa
harimau putih itu tidak mengganggu orang itu? Padahal ia melihat betul betapa harimau itu lenyap di
balik semak-semak dan orang laki-laki itupun tidurnya di belakang semak-semak. Ketika harimau putih
tadi melompat ke balik semak-semak, sepantasnya menimpa tubuh laki-laki yang se-dang tidur itu.
Apakah laki-laki itu terbangun karena terinjak harimau?

Rombongan orang itu sudah tiba di depannya dan ia mendengar suara orang, “Inilah gadis siluman itu!
Inilah pelacur laknat itu!”

Hong Yi terkejut dan rnemperhatikan. la segera mengenal si muka codet yang s bertubuh tinggi besar
tadi dan si botak yang bertubuh pendek gendut. Dua orang yang pagi tadi mengamuk di rumah pelesir
Bunga Seruni dan yang telah dirobohkan dan diusirnya. Dan dua orang itu kini datang bersama tujuh
orang lain, entah hendak melakukan apa. Akan tetapi melihat sikap mereka ia dapat menduga bahwa
mereka tentu tidak berniat baik terhadap dirinya. Ia pura-pura tidak mengenal mereka dan
menggerakkan kaki untuk pergi dari situ.

“Hei, berhenti dulu! Jangan pura-pura tidak mengenal kami. Bukankah engkau pelacur Hong Yi yang pagi
tadi melawan kami di rumah pelesir Bunga Seruni?” tanya si botak gendut dengan sikap beringas.

Hong Yi masih bersikap tenang walaupun ia maklum bahwa dua; orang itu jelas mencarinya untuk
membalas dendam dengan mengerahkan teman-temannya. “Benar, aku Liang Hong Yi. Aku telah
menghajar kalian berdua yang telah membikin ribut dan mengacau di rumah hiburan Bunga Seruni!.
Sekarang kalian berdua mau apa?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 41

Si muka codet tinggi besar itu berkata kepada seorang di ancara mereka, “Twako kakak terbesar, inilah
gadis siluman itu! Harap twako memberi hajaran kepadanya agar ia tidak menjadi sombong!”

Orang itu mengangguk-angguk, lalu melangkah maju menghadapi Hong Yi.

“Nona engkau masih muda dan cantik dan kabarnya engkau seorang pelacur yang biasa melayani dan
menghibur kaum pria. Akan tetapi kenapa engkau mengandalkan sedikit ilmu silatmu memukul dua
orang rekanku ini?” tanya orang itu.

Hong Yi memandang orang itu penuh perhatiah. Dia seprang laki -laki berusia kurang lebih lima puluh
tahun. Tubuhnya jangkung kurus dan pakaiannya mewah, sikapnya halus akan tetapi sepasang matanya
bersinar tajam, muka berwarna agak kuning. Biarpun Hong Yi belum banyak pengalamannya di dunia
persilatan, akan tetapi ia pernah digembleng seorang, guru yang baik yang banyak menceritakan
keadaannya tentang ciri-ciri orang kang-ouw maka melihat orang tinggi kurus itu, iapun dapat menduga
bahwa orang ini tentu seorang ahli Lwee-kang(tenaga dalam) yang tangguh. Maka ia bersikap waspada.

“Orang-orang seperti mereka berdua itu tidak pernah akan mengakui kesalahannya sendiri, melainkan
menjatuhkan kesalahan kepada orang lain dan membenarkan diri mereka sendiri. Engkau mau tahu
kenapa aku memukul dua orang itu? Mereka telah membuat kekacauan di Rumah Pelesir Bunga Seruni
dan hendak memaksa aku melayani mereka. Ketika ditolak mereka mengamuk dan merusak prabot
rumah itu. Aku hanya minta agar mereka membayar ganti rugi, akan tetapi mereka malah
mengeroyokku. Tidakkah itu sudah pantas kalau aku memberi sedikit pelajaran kepada mereka?”

“Hemm, akan tetapi bukankah engkau seorang pelacur yang harus melayani setiap orang laki -laki yang
menginginimu dan mampu membayarmu?”

Hong Yi mengerutkan alisnya dan kulit kedua pipinya menjadi merah..

“Pelacur juga seorang manusia! Ia memang penjual jasa, akan tetapi secara suka rela dan tanpa ada
paksaan. la berhak memilih dan menolak orang yang disukainya atau untuk dilayaninya!”

Si jangkung kurus itu mengerutkan alisnya. “Hemm, engkau memang seorang perempuan yang
sombong. Akan tetapi mengingat bahwa engkau hanya seorang perempuan, aku akan mengampunimu
kalau engkau suka berlutut dan minta ampun kepada dua orang rekanku ini. Kalau tidak, terpaksa aku
Tiat-jiauw-eng (Garuda Cakar Besi) Ban Hok akan memberi hajaran keras kepadamu!”

Hong Yi tahu dari julukan orang itu bahwa dia tentulah seorang ahli silatS bertenaga dalam yang
mengandalkan keampuhan jari-jari tangannya yang membentuk cakar. Otomatis pandang matanya
tertuju kepada tangan orang itu dan ia melihat bahwa ujung jari-jari tangan itu tampak menghitam Akan
tetapi ia teringat akan pesan gurunya, Bian Hui Ni-kouw, dahulu. “Jangan blarkan rasa takut dan
sombong menguasai hatimu kalau engkau berhadapan dengan seorang lawan. Rasa takut melemahkan
dan kesombongan membuatmu memandang rendah lawan dan engkau akan me njadi lengah. Hadapi
kekerasan dengan kelembutan. Hindarkan perkelahian, kecuali kalau engkau terpaksa karena diserang.”

“Paman Ban Hok, kalau aku memang bersalah, kepada seorang anak kecil sekalipun akU bersedia untuk
minta maaf. Akan tetapi terhadap kedua orang ini, aku sama sekali tidak bersalah. Merekalah yang
menyerangku. Tidak mungkin aku minta maaf. Kepadamupun aku tidak ingin bermusuhan, tidak ingin
berkelahl , dan harap engkau sebagai seorang tokoh kang-ouw suka mengerti dan memaafkan aku”.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 42

Mendengar ucapan ini, Tiat-jiaw-eng Ban Hok tampak meragu. Ia adalah seorang piauw-su (pengawal
barang kiriman) yang terkenal dl kota raja dan dia diangkat sebagal sesepuh oleh para piauwsu yang
mengawal barang ke kota Cin-koan ini. Tldak enak rasanya kalau sebagai seorang tokoh kang-ouw dia
harus mendesak seorang wanita yang masih begitu muda lagi. Dia menoleh kepada dua orang kawannya
itu dan berkata, “Sudahlah, kurasa tidak ada gunanya urusan ini diperpanjang. la hanya seorang wanita
muda dan seorang gadis penghibur pula. Alasannya memang masuk akai. Kalian tidak berhak memaksa
seorang gadis penghibur melayani kalian kalau ia tidak suka. Jual beli memang dasarnya suka rela. Kalau
si penjual tidak mau menjual barang dagangannya, si pembeli tidak boleh memaksa. Sebaliknya kalau si
pembeli tidak mau membeli, si penjualpun tidak boleh memaksanya. Sudahlah, habiskan saja urusan ini;

“Akan tetapi, Ban-twako! Kami telah dihina oleh perempuan hina ini! Apakah twako sebagai sesepuh
kami tidak hendak membela kami?” teriak si codet tinggi besar. '

'“Ya, apa artinya kami mempunyai seorang sesepuh kalau tidak mau bertindak melihat kami diperhina
orang? Ataukah Ban-twako merasa takut melawan gadis hina ini?” teriak pula Si gendut pendek.

Mendengar ucapan dua orang itu, Ban Hok merasa panas hatinya juga.

“Baiklah, aku akan membalaskan kekalahan kalian. Akan tetapi aku tidak mau mencederai seorang
perempuan. Nona, mari kita main-main sebentar. Hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!” Se -
telah berkata demikian, Ban Hok melangkah maju menghampiri Hong Yi dan memasang kuda-kuda
dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan membentuk cakar dan bergerak-gerak menyilang.
Jari-jari tangannya yang membentuk cakar itu mengeluarkan bunyi krek-krek!

Hong Yi waspada. Ia maklum bahwa sekali ini ia menghadapi seorang lawan tangguh. lapun memasang
kuda-kuda miring, tangan kanannya di pinggang, tangan kiri seperti menyembah di depan dada. Inilah
pembukaan jurus yang disebut Menyembah Kwan Im Dengan Satu tangan'.

“Aku tidak ingin berkelahi, akan tetapi kalau diserang, terpaksa aku membela diri,” katanya tenang.

Tiat-jiauw-eng Ban Hok maklum bahwa gadis itu tidak mau mulai menyerang lebih dahulu, maka diapun
berseru, “Lihat seranganku!” dan diapun menerjang maju, cakar kirinya mencengke ram ke arah pundak
kanan gadis itu. Namun dengan cekatan sekali Hong Yi mengelak, miringkan tubuh dan cengkeraman
itupun luput. Akan tetapi dengan amat cepatnya, cakar kanan Ban Hok menyusul, mencengkeram ke
arah kepala!

Kembali Hong Yi mengelak dan iapun t membalas dengan tendangan dari samping ke arah lambung
lawan.

“Wuuuttt....!” Ban Hok menangkis dengan lengan kirinya dan Hong Yi merasa betapa kakinya terpental
dan tergetar. Benar dugaannya. Orang tinggi kurus itu adalah seorang ahli tenaga dalam yang amat kuat.
la tahu bahwa kalau mengadu tenaga, ia akan kalah, maka iapun mempergunakan kelebihannya yang
dapat diandalkan, yaitu ginkang (ilmu mering-ankan tubuh). Dari gurunya, ia memang mendapatkan
ilmu ginkang yang cukup hebat sehingga ia mampu bergerak dengan' amat cepatnya seperti seekor
burung walet.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 43

Terjadilah pertandlngan yang seru. Ban Hok yang tadinya agak memandang rendah kepada gadis pelacur
itu, merasa kecelik dan menjadi penasaran sekali. Tadinya dia mengira bahwa dalam beberapa jurus saja
dia akan mampu mengalahkan Hong Yi. Dia hanya ingin merobohkan gadis itu tanpa melukainya, hanya
ingin mengalahkan untuk menebus kekalahan kedua orang rekannya. Tidak tahunya, telah lewat dua
puluh jurus dan sama sekali serangannya belum ada yang mampu menyentuh tubuh gadis itu, bahkan
diapun harus berhati-hati sekali karena serangan balasan gadis itu cukup berbahaya.

Kini saking penasaran dia menjadi marah dan tidak ragu-ragu lagi untuk menyerang dengan pengerahan
seluruh tenaganya. Kalau perlu dia harus merobohkan dan melukai gadis ini untuk memperoleh
kemenangan'

Tiba-tiba si codet dan si botak, diikuti pula oleh enam orang teman mereka, semua berjumlah delapan
orang telah mcnyerbu dan mengeroyok Hong Yl, bahkan mereka mempergunakan golok dan pedang
untuk menyerang gadis itu!

'“Jangan keroyok! Mundur!” teriak Tiat-jiauw-eng Ban Hok. Akan tetapi delapan orang kawannya itu
tidak mau mundur bahkan menyerang membabi buta kepada Hong Yi yang terpaksa harus mengerahkan
gin-kangnya untuk berkelebat dan menghindarkan diri dari hujan serangan pedang dan golok! Kini Hong
Yi berada dalam bahaya maut!

Pada saat itu, terdengar suara lantang dan terdengar seperti gerengan harimau. “Pengecut-pengecut
hina! Dengan mengandalkan banyak orang mengeroyok seorang gadis! Tak tahu malu dan patut
dihajar!” Sesosok bayangan berkelebat dan orang itu menggerakkan tangan kakinya. Terdengar
teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang pengeroyok terpelanting roboh terkena tendangan dan
tamparan orang yang datang membantu Hong Yi itu! Hong Yi merasa girang dan iapun bergerak cepat.
merobohkan dua orang pengeroyok dengan tendangannya. Pada saat itu, orang ke tujuh dan delapan
juga roboh terpelanting oleh tamparan tangan penolongnya. Kini tinggal Tiat-jiauw-eng . Bah Hok sendiri
yang masih belum roboh dan tokoh ini menjadi marah sekali melihat delapan orang rekannya sudah
terpelanting dan agakhya menderita luka pukulan yang cukup parah sehingga mereka tidak dapat segera
bangkit.

“Mundurlah, nona. Biar kuhadapi orang ini.” Laki-laki yang menolong Hong Yi itu berkata tanpa menoleh
kepada gadis itu. Hong Yi melompat ke belakang, berjaga-jaga agar delapan orang yang sudah roboh itu
tidak melakukan pengeroyokan. Ketika.ia memandang dengan penuh perhatian, ia tertegun heran. la
mengenal wajah itu! Dia pemuda yang tadi terbangun dari tidurnya di balik semak-semak, pemuda yang
disangkanya terbangun dari tidur karena terijak harimau putih yang dikejarnya!

“Orang muda yang lancang, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami?” bentak Ban Hok
yang merasa penasaran dan marah sekali.

Pemuda itu menggeram. Suaranya dalam dan menggetarkan jantung. “Kalau urusan kalian itu patut, aku
Han Si Tiong tidak akan sudi mencampuri. Akan tetapi kalian ini pengecut-pengecut hina mengeroyok
seorang gadis. Tentu saja aku mencampurinya!”

“Manusia sombong! Engkau belum mengenal kelihaian Tiat-jiauw-eng Ban Hok! Sambut seranganku!”
Ban Hok sudah menyerang dengan ganas sekali karena sekali ini dia marah dan ingin merobohkan
pemuda yang telah membuat teman-temannya berpelantingan. Pemuda yang bernama Han Si Tiong itu

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 44

mengelak dan membalas dengan tidak kalah cepat dan kuatnya. Terjadi pertandingan yang lebih hebat
lagi.

Mendengar pemuda itu menyebut namanya Han Si Tiong, Hong Yi kembali tertegun. la teringat akan
ramalan di kuil Kwan-im-bio tadi. Dalam sajak ramalan itupun disebut-sebut tentang seorang bermarga
Han! Ia mengingat bunyi sajak itu.

“Harimau putih bukan untuk ditakuti seyogianya menjadi teman sejati temuilah seorang bermarga Han
bersamanya berjaya di Lin-an.”

Hong Yi menonton pertandingan itu dengan bengong. Mengapa begitu kebetulan? Pada hari itu juga ia
melihat seekor harimau putih dan bertemu dengan seorang bermarga Han, cocok sekali dengan bunyi
ramalan tadi! la memperhatikan pemuda yang menolongnya itu. Dia seorang pemuda bertubuh tinggi
tegap, berkulit agak gelap karena banyak tersorot sinar matahari. Wajahnya tidak terlalu tampan namun
membayangkan kejantanan dan tampak gagah sekali. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Pakaiannya
dari kain kasar dan sederhana sekali, sudah agak lapuk pula menandakan bahwa pemuda itu adalah
seorang miskin. Punggungnya menggendong sebuah buntalan dari kain kuning. Ini menunjukkan bahwa
pemuda itu seorang yang sedang melakukan perjalanan jauh, seorang perantau.

Hong Yi memperhatikan gerakan silat pemuda itu. Walaupun dia bertangan kosong menghadapi
lawannya yang memiliki sepasang tangan membentuk cakar yang menggiriskan, namun dia sama sekali
tidak terdesak. Hong Yi mengenal gerakan yang kokoh dari pemuda itu sebagai ilmu silat Siauw-lim-si.
Ilmu silat yang ia pelajari dari Bian Hui Nikouw juga bersumber dari ilmu silat Siauw -lim-pai walaupun
sudah bercampur dengan ilmu silat lainnya.

Perkelahian itu berlangsung semakin seru. Hong Yi melihat betapa pemuda itu berani menangkis
cengkeraman cakar tangan Ban Hok yang mengandung tenaga dalam amat kuat itu, dan setiap kali
lengan mereka beradu, ia melihat betapa lengan Ban Hok terpental. Ini menunjukkan bahwa pemuda
itupun memiliki tenaga dalam yang amat kuat, bahkan mungkin lebih kuat daripada tenaga dalam yang
dimiliki lawannya. Sudah tiga puluh Jurus mereka bertanding dan Tiat-jiauw-eng Ban Hok mulai terdesak
oleh tendangan-tendangan dahsyat pemuda itu yang menjadi ciri khas dari ilmu silat Siauw -lim-pai
Utara.

“Haiiiitt....!'.” Tiba-tiba Ban Hok menyerang lagi dengan kedua tangannya yang membentuk cakar elang,
pemuda yang bernama Han Si Tiong itu memutar tubuh mengelak, kemudian dengan putar-an tubuhnya
yang dilakukan dengan cepat, kakinya mencuat dan terayun cepat sekali menyambar ke arah kepala
lawan. Cepat bukan main kaki kanan itu menyambar dengan posisi membalik. Inilah jurus Sin-liong-pai-
bwe (Naga Sakti Melecutkan Ekornya). Ban Hok terkejut dari mencoba untuk mengelak dengan menarik
kepalanya ke belakang.

“Bukk!” tendangan kilat itu tidak mengenai kepalanya akan tetapi masih mengenai pundaknya sehingga
dia terpelanting roboh. Dia bangkit lagi dengan meringis kesakitan, kemudian melihat betapa teman -
temannya sudah menjauhkan diri, diapun maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan pemuda
itu.

Sebagai seorang piauwsu terkenal Ban Hok juga memiliki pengetahuao tentang sopan santun dunla
persilatan. Dia mengangkat kedua. tangan depan dada memberi hormat kepada Han Si Tiong dan
berkata,

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 45

“Engkau lihai sekali, sobat. Aku mengaku kalah dan maafkan kelancangan teman-temanku yang tadi
mengeroyok nona ini, hal itu terjadi bukan atas kehendakku.” Setelah berkata demikian, dia lalu
membalikkan tubuhnya dan pergi. Setelah bertemu dengan rekannya, Tiat-jiauw-eng Ban Hok memaki
mereka habis-habisan. Bagi seorang kang-ouw, kalah menang dalam sebuah pertandingan adalah hal
biasa, akan tetapi para rekannya itu telah membuat dia malu karena mereka tadi melakukan
pengeroyokan, apa lagi yang dikeroyok adalah seorang gadis muda! Sudah kalah, mendapat malu dan
nama buruk pula!

Sementara itu, melihat betapa pemuda itu telah dapat mengusir pergi orang-orang yang tadi
mengganggunya, Liang Hong Yi segera maju menghampiri dan memberi hormat.

“Tai-hiap (pendekar besar), saya Liang Hong Yi mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan tai-
hiap. Tanpa ban-tuan tai-hiap, entah bagaimana nasibku tadi.”

Han Si Tiong memandang Hong Yi dan dia merasa kagum sekali, tak disangkanya bahwa gadis yang
dikeroyok banyak laki-laki tadi, yang melakukan perlawanan dengan gigih dan cukup tangkas, ternyata
seorang gadis yang begini cantik jelita!

“Nona Liang Hong Yi, harap jangan sebut aku tai-hiap. Aku seorang pemuda dusun biasa yang sedang
merantau, namaku Han Si Tiong. Sebut saja namaku tanpa taihiap, nona membuat aku menjadi malu
dengan sebutan itu.”

Hong Yi tersenyum manis, hatinya tertark sekali. Pemuda ini gagah perkasa, biarpun tutur sapanya
sederhana dan bahkan agak kasar, namun seluruh sikap dan pribadinya membayangkan keterbukaan,
kejujuran dan kesederhanaan. Alangkah jauh bedanya dengan para pemuda yang dikenalnya atau yang
diperkenalkan Lu-ma kepadanya, bahkan yang telah dilayaninya. Mereka itu pada umumnya pemuda
yang tampan, kaya raya, pesolek, berlagak dan pura-pura. lapun dapat menerima sikap jujur itu dengan
gembira dan berkata sambil tersenyum manis.

“Baiklah, aku akan menyebutmu koko (kakak) Han Si Tiong. Akan tetapi, Tiong-ko (kakak Tiong),
engkaupun harap jangan menyebutku nona. Akupun hanya seorang.... gadis biasa saja yang tidak pantas
menerima penghormatan dari seorang gagah sepertimu.”

“Aku akan menyebutmu adik. Yi-moi (adik Yi), bagaimana engkau seorang gadis berada di sini seorang
diri dan dikeroyok oleh segerombolan orang jahat tadi?”

“Aku.... aku.... diganggu mereka dan karena tidak mau melayani, mereka lalu mengeroyokku. Tiong-ko,
banyak terima kasih atas pertolonganmu tadi.” Tentu saja saja Hong Yi merasa rikuh sekali untuk
mengaku terus terang apa yang menjadi sebab perkelahiannya dengan orang-orang tadi. Kalau
menceritakan dengan terus terang, ia akan terpaksa harus menceritakan bahwa la adalah seorang
pelacur!

“Ah. Yi-moi, tidak perlu dibicarakan lagi hal itu. Kalau seorang laki-laki melihat wanita dikeroyok banyak
laki-iaki tanpa turun tangan menolong, dia adaiah seorang pengecut dan aku tidak mau disebut seorang
pengecut. Sekarang, mari kuantar engkau pulang. Di manakah rumahmu?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 46

Hong Yi menuding ke depan di mana sudah tampak tembok kota Cin-koan. “Rumahku di kota Cin-koan
itu, akan tetapi terima kasih, Tiong-ko, engkau tidak perlu menyusahkan diri mengantar aku pulang.”

“Sama sekali tidak menyusahkan diri, Yi-moi, Aku mengantarmu sampai ke rumah dengan selamat. Aku
khawatir kalau orang-orang jahat tadi akan kembali menghadang dan mengganggumu. Aku harus
mengantar dan mengawalmu, Yi-moi,” kata Han Si Tiong dengan suara tegas.

Hong Yi menghela napas panjang. la merasa kasihan kepada pemuda gagah itu kalau sampai ketahuan
orang bahwa pemuda itu mengantar ia, seorang pelacur pulang. Untuk membuat pemuda itu mundur,
terpaksa ia harus mengaku siapa dirinya.

“Tiong-ko, ketahuilah bahwa aku.... aku.... tidak sepantasnya engkau antarkan pulang. Aku tidak
berharga untuk kaukawal, Tiong-ko. Hal itu hanya akan merendahkan namamu dan mencemarkan
kehormatanmu.”

Han Si Tiong terbelalak, lalu mengerutkan alisnya yang hitam tebal. “Eh, apa maksudmu kata-katamu itu,
Yi-moi? Apa artinya itu?”

“Tiong-ko, ketahuilah, aku sama sekali bukan seorang gadis terhormat seperti yang kausangka. Aku....
aku.... hanya seorang gadis pelacur....! Dua orang di antara mereka tadi hendak memaksaku melayani
mereka dan aku menolak, maka mereka menjadi marah dan hendak mengeroyokku... nah, engkau tahu
sekarang siapa diriku, karena itu tidak sepantasnya engkau mengantar aku.... selamat tinggal Hong Yi
lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat meninggalkan Si Tiong menuju ke kota Cin-koan.

Akan tetapi ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Hong Yi menengok dan ternyata pemuda itu
berjalan mengikutinya tanpa bicara.

“Eh, Tiong-ko, mengapa engkau mengikuti aku?”

“Aku harus mengawalmu pulang,” jawab pemuda itu singkat.

“Akan tetapi aku.... aku....”

“Engkau juga seorang manusia, bukan? Selama engkau seorang manusia, engkau tidak ada bedanya
dengan aku.”

Hong Yi menghela napas dan melanjutkan langkahnya, tetap diikuti oleh Si Tiong. “Akan tetapi,
pekerjaanku....”

“Aku tidak menilai manusia dari pekerjaannya, kedudukannya, atau keadaan harta dan kepintarannya,
melainkan dari sikap dan perbuatannya. Dan aku melihat sikap dan tindakanmu terhadap orang-orang
jahat tadi cukup baik dan mengagumkan, Yi-moi.”

“Tiong-ko....” Hong Yi berkata lirih lalu diam dan melanjutkan langkahnya, diikuti oleh Si Tiong. Mereka
tidak bercakap-cakap lagi tenggelam dalam lamunan masing-masing. Han Si Tiong yang sudah berusia
dua puluh lima tahun itu belum pernah bergaul dan berdekatan dengan wanita, bahkan belum pernah
merasa tertarik kepada wanita. Akan tetapi sekali ini dia merasa tertarik dan kagum sekali kepada Hong
Yi. Bukan saja tertarik dan kagum akan kecantikan gadis itu dan kegagahannya berani melawan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 47

pengeroyokan banyak laki-laki, akan tetapi juga kagum mendengar pengakuan gadis itu bahwa ia
seorang pelaCur. Pengakuan ini saja membuktikan bahwa gadis ini berwatak jujur dan tidak
menyembunyikan keadaan dirinya agar dianggap terhormat. Dan dia melihat dan merasakan bahwa
biarpun gadis ini mengaku dirinya sebagai pelacur, namun sikapnya sama sekali tidak membayangkan
sebagai seorang wanita yang tidak mengenal kesusilaan. Kenyataan ini membuat hati Si Tiong menjadi
penasaran dan dia ingin sekali mengetahui mengapa seorang gadis seperti Liang Hong Yi ini sampai
menjadi seorang wanita penghibur pria.

Hong Yi juga; melamun dan jantungnya merasa berdebar-debar. la sendiri belum pernah jatuh cinta
kepada seorang pria. Biarpun ia terpaksa menyerahkan diri untuk melayani pria, namun hal itu hanya
dilakukan tubuhnya saja. Perasaan hatinya tidak pernah tersentuh oleh cinta nafsu. Sekarang, setelah ia
mengetahui isi ramalan dari Kwan-im-bio ten-tang pertemuannya dengan harimau putih dan seorang
laki-laki bermarga Han yang kemudian menjadi kenyataan, hatinya terguncang. la merasa seolah-olah
kemunculan pemuda ini mempunyai arti yang penting sekali dalam kehidupannya, seolah -olah pemuda
ini akan mendatangkan perubahan besar dalam hidupnya. Ia sendiri tidak tahu apakah ia jatuh cinta,
akan tetapi yang jelas, ia merasa kagum dan berhutang budi kepada si Han Tiong yang kini mengawalnya
dengan Jangkah tegap di belakangnya.

Baru saja Hong Yi tiba di depan pintu rumah pelesir Bunga Seruni, Lu-ma sudah menyambut dengan
wajah berseri dan mata mengandung penuh pertanyaan dan harapan. Saking tegangnya, ia hanya
memperhatikan Hong Yi dan seolah tidak melihat bahwa gadis itu datang bersama. Han Si Tong.

“Bagaimana, Hong Yi, ramalan apa yang kaudapatkan?” tanyanya penuh keinginan tahu.

Hong Yi tersenyum dan menoleh kepada Si Tiong lalu memperkenalkan pemuda itu. “Bibi, taihiap
(pendekar besar) ini adalah Han Si Tiong yang telah menyelamatkan aku ketika para piauwsu tadi
mengeroyokku di jalan bersama teman-temannya. Tiong-ko, ini adalah bibiku Lu-ma.”

Barulah Lu-ma memperhatikan pemuda itu dan mendengar bahwa pemuda itu telah menyelamatkan
Hong Yi dari pengeroyokan banyak orang, ia bersikap ramah dan hormat walaupun alisnya berkerut
melihat pemuda itu berpakaian kain kasar sederhana karena biasanya para pria yang berkunjung ke situ
semua berpakaian mewah dan indah.

“Ah, Han-taihiap, silakan masuk dan silakan duduk.” la mempersilakan pemuda itu masuk ke ruangan
tamu. Mereka bertiga memasuki ruangan tamu dan ketika Si Tiong melihat beberapa orang gadis muda
dan cantik berpakaian indah duduk di ruangan itu, dia menjadi ragu dan memandang kepada Hong Yi.

“Yi-moi, maafkan aku. Karena engkau sudah sampai di rumah dengan selamat, maka aku mohon pamit,
hendak melanjutkan perjalananku.” Dia dapat menduga bahwa empat orang gadis cantik yang
tersenyum-senyum manis itu tentulah para gadis penghibur. Walaupun dia sendiri belum pernah
berkunjung ke rumah hiburan, namun dia pernah mendengar tentang rumah pelacur semacam itu.

Hong Yi terkejut mendengar inl. “Nanti dulu, Tiong-ko. Harap engkau suka duduk dulu....” Hong Yi
melihat betapa pemuda itu melirik ke arah para gadis penghibur dengan alis berkerut dan tahulah ia
mengapa pemuda itu tergesa-gesa hendak pergi. Ia membei isarat kepada empat orang gadis itu untuk
meninggalkan ruangan tamu. Empat orang gadis itu mengerti dan sambil tersenyum sinis mereka lalu
meninggalkan ruangan tamu dan memasuki ruangan dalam.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 48

“Silakan, Tiong-ko. Silakan duduk dulu, Aku akan bicara dengan Bibi Lu-ma sebentar.” Hong Yi bertepuk
tangan dan muncullah seorang pelayan wanita setengah tua. “Bibi, hidangkan minuman dan makanan
kering untuk tamu!” Setelah mengangguk lagi kepada Si Tiong, Hong Yi lalu menarik tangan Lu -ma,
diajak masuk ke dalam kamarnya.

“Bibi, telah terjadi hal yang aneh dan luar biasa sekali padaku!” kata Hong Yi sambil duduk di atas kursi
dalam kamarnya dan Lu-ma duduk di sebelahnya.

“Apa yang telah terjadi? Engkau tampak begini tegang dan gembira,” tanya Lu-ma yang memang sudah
ingin sekali mendengar apa yang dialami Hong Yi ketika pergl ke kuil Kwan-im-bio.

“Aku telah sembahyang di kuil dan minta ramalan dan inilah hasil ramalan itu.” la mengeluarkan sehelai
kertas lalu membacanya dengan lirih agar jangan sampai terdengar dari luar kamar.

“Harimau Putih bukan untuk ditakuti seyogianya menjadi teman sejati temuilah seorang bermarga Han
bersamanya berjaya di Lin-an.

“Wah, menarik sekali. Tapi, apanya yang luar biasa dan aneh?”

“Begini, bibi. Ketika aku pulang dan berada di jalan sunyi, tiba-tiba aku melihat seekor harimau putih
yang besar.

“Ehh? Lalu bagaimana?” Lu-ma semakin tertarik.

“Karena takut kalau-kalau hanimau putih itu menyerangku, aku lalu menyambitnya dengan batu. Dia lari
ke belakang semak-semak dan ketika aku mengejarnya, dia lenyap dan di belakang semak semak itu aku
melihat seorang pemuda terbangun dari tidurnya. Kukira dia terinjak harimau itu, akan tetapi
harimaunya lenyap”.

“Hemmm, mungkin harimau putih itu semangatnya yang keluar ketika dia ter tidur kata Lu-ma.
“Kemudian bagaimana?”.

“Aku lalu melanjutkan perjalanan dan tiba-tiba muncul delapan orang, di antaranya dua orang piauw-su
(pengawal barang) yang kuhajar di sini, dan mereka mengeroyokku. Aku tentu celaka kalau saja tidak
ditolong orang. Dan engkau tahu, bibi, siapa penolong itu? Dia bukan lain adalah pemuda yang kulihat
terbangun dari tidur di belakang semak-semak di mana harimau putih itu lenyap! Dan yang lebih aneh
lagi, namanya Han Si Tiong, dia bermarga Han seperti yang dikatakan ramalan Kwan-im-bio itu! Dan dia
itulah orangnya!” Hong Yi menudingkan telunjuknya ke arah luar di mana si Han Si Tiong duduk di
ruangan tamu.

Lu-ma terbelalak. “Wah.... cocok benar, coba, bagaimana bunyi ramalan itu tadi? Harimau putih bukan
untuk ditakuti seyogianya menjadi teman sejati, temuilah seorang bermarga Han, bersamanya berjaya di
Lin-an. Hemm, sungguh cocok pula dengan mimpiku. Hong Yi, tidak salah lagi, dialah jodohmu dan
engkau akan menjadi orang besar kelak bersamanya kalau kalian berdua pergi ke Lin-an!.

“Tapi, bibl....” terkejut juga hati Hong Yi mendengar ucapan itu karena sebelumnya lak pernah
sedikitpun terpikir, olehnya tentang kemungkinan perjodohan dengan seorang laki -laki yang baru saja
dijumpainya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 49

“Tapi apa lagl, Hong Yi? Biarpun aku baru melihat sekejap, dia masih muda bertubuh tegap dan
wajahnya tidak buruk apalagi dia adalah seorang pendekar yang telah menolongmu. Apakah engkau
tidak mau menjadi isterinya?”

Hong Yl menghela 'napas panjang. “Entahlah, bibi, akan tetapi yang perlu dipertany akan, apakah dia
mau menjadl suamiku?”

“Kalau begitu, berarti engkau mau menjadl isterinya, bukan? Biarkan aku bertanya kepadanya sekarang
juga. Hong Yi, firasatku mengatakan bahwa kelak engkau akan dapat hidup mulia bersamanya. Semua
cocok dengan mimpiku dan cocok pula dengan ramalan Kwan-im-bio” Tanpa menanti jawaban Hong Yi
wanita itu lalu melangkah keluar dari kamar Hong Yi menuju ke ruangan tamu. Hong Yi tidak mencegah.
la hanya pasrah. Bukankah jauh lebih baik menjadi isteri seorang pendekar budiman yang gagah perkasa
daripada menjadi seorang pelacur hina? Pelacur hina? Hong Yi tercenung dan melamun. Pertanyaan ini
selalu menggores kalbunya. Pelacur dianggap oleh umum sebagai wanita yang kotor, rendah, dan hina,
bahkan nyaris tidak dipandang sebagai manusia lagi, melainkan sebagai sampah masyarakat yang selalu
dikutuk dan dimaki. Orang tidak perduli dan tidak mau tahu lagi tentang. alasan mengapa para wanita
itu menjadi pelacur. la sendiri yang langsung terjun, ke dalam dunia pelacuran, walaupun belum lama
dan hanya jarang saja ia diharuskan melayani pria, ia mengenal kehidupan mereka dan tahu mengapa
mereka itu terpaksa menjadi pelacur. Sebagian besar dari mereka adalah korban kemelaratan, korban
kelemahan mereka dan korban laki-laki! Seperti Siu Lin itu, la anak keluarga miskin di dusun yang sudah
tenggelam dalam hutang sampai ke leher mereka. Ayahnya terpaksa mentegakan hati menjual anak
perempuannya itu ke rumah hiburan yang dikelola Lu-ma. Hasil penjualan gadisnya itu untuk melunasi
hutang-hutangnya, menebus sepetak sawah yang digadaikan sehingga keluarga itu dapat lagi bercocok
tanam dan menghidupi semua anggauta keluarga. Penghasilan inipun masih tidak mencukupi kebutuhan
perut suami isteri dengan sisa lima orang anak itu sehingga Siu Lin harus membantu keluarga orang
tuanya, menyisihkan sebagian hasil pekerjaannya menjual diri untuk memungkinkan adik-adiknya makan
setiap hari.

Gadis penghibur yang bernama Si Hu itu tidak lebih baik nasibnya daripada Siu Lin. Kalau Siu Lin menjadi
korban kemelaratan orang tuanya, Si Hu menjadi korban kejahatan dan kekejaman laki -laki. Iapun dari
keluarga melarat dan ketika ia berusia tujuh belas tahun, pada suatu hari yang naas baginya ia diperkosa
oleh seorang penjahat. Penjahat itu kemudian melarikan diri meninggalkan Si Hu yang bukan hanya
kehilangan kehormatannya melainkan juga kehilangan nama baik. Peristiwa itu membuat ia
dicemoohkan dan dipandang rendah orang karena ia sudah bukan perawan lagi. Kaum wanita
mencibirkan bibir kepadanya, dan kaum pria bersikap kurang ajar dan berusaha untuk menggoda dan
mengganggunya, menganggap ia seorang wanita murahan! Dalam keadaan seperti itu, para pemuda
yang tadinya menaruh perhatian untuk mempersuntingnya sebagai isteri, satu demi satu mengundurkan
diri dan mereka itu tidak lagi berhasrat untuk memperisteri Si Hu, melainkan Untuk menjinai dan
mempermainkannya. Lebih menghancurkan hatinya lagi, orang. tuanya merasa malu dan akhirnya
iapun, meninggalkan dusunnya dan ditampung oleh Lu-ma untuk menjadi gadis penghibur atau pelacur.

Kui Nio lain lagi. la sudah bertunangan. Akan tetapi ketika tunangannya merayunya, ia jatuh dan
menyerahkan dirinya digauli tunangannya sebelum mereka menikah. Kemudian, bagaikan seekor
kumbang yang telah menghisap sari madu setangkai bunga, tunangannya itu meninggalkannya begitu
saja! Karena keadaannya yang sudah tidak perawan lagi itu tidak memungkinkan ia untuk dapat
memperoleh suami lagi, ia melarikan diri dari dusunnya untuk menghindarkan aib dan malu dan
akhirnya karena ia butuh sandang pangan dan tidak dapat bekerja lain, tidak bermodal uang, terpaksa ia

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 50

. menjadi pelacur bermodalkan tubuhnya yang masih muda dan segar dan wajahnya yang cukup manis.
Kui Nio inipun menjadi pelacur akibat kejahatan laki-laki.

Siok Li dan Ceng Nio keduanya adalah janda muda beranak satu yang diceraikan suami mereka. Sebagai
janda dengan anak satu mereka harus mencukupi kebutuhan anak dan diri mereka sendiri. Merekapun
tidak dapat bekerja lain kecuali memperdagangkan dirinya. Kembali kedua orang inipun menjadi korban
pria yang tidak bertanggung jawab.

Memang ada beberapa orang gadis penghibur, tidak banyak jumlahnya, yang terjun ke dunia pelacuran
karena ingin hidup kecukupan, ingin mencari uang dengan mudah. Ada pula, dan yang ini hanya sedikit
sekali jumlahnya, yang menjadi pelacur selain mencari uang mudah, juga untuk mencari kesenangan dan
kepuasan diri.

Akan tetapi, apapun alasannya orang tidak mau mengerti dan tetap saja pelacur selalu dipandang
rendah dan hina. Sedangkan, anehnya, para laki-laki yang datang melacur, sama sekali tidak dipandang
rendah atau hina! Padahal, dalam pandangan Hong Yi, para pria yang datang untuk melacur itu jauh
lebih rendah dan hina ketimbang pelacurnya! Sejahat-jahat dan sejelek-jeleknya pekerjaan seorang
pelacur, ia masih mempunyai mengandung banyak jasa. la menghibur hati pria yang sedang kesepian, ia
menjadi tempat penampungan dan pelarian bagi pria yang sedang berduka atau patah hati, iapun
menjadi tempat penyaluran nafsu yang kalau tidak tersalur dapat saja menimbulkan adanya pe rkosaan
atau perjinaan. Betapapun rendahnya dipandang orang, apa yang ia lakukan adalah sebuah pekerjaan,
sumber nafkah, dan dalam melakukan pekerjaan itu ia tidak mengkhianati siapa-siapa, iapun tidak
memaksa orang untuk membeli tubuhnya. Semua terjadi dengan suka rela dan senang hati. Sebaliknya,
para pria yang datang melacur tetap dihormati orang. Padahal apa yang mereka lakukan? Pria melacur
karena iseng dan semata-mata untuk mencari kesenangan dan melampiaskan nafsunya. Dan yang lebih
jahat lagi, dia mengkhianati tunangannya atau isterinya yang setia menunggunya di rumah!

Hong Yi menghela napas panjahg. la menyadari sepenuhnya bahwa melacur adalah pekerjaan yang
rendah dan hina. Akan tetapi apa daya seorang wanita? la sendiri seorang yatim piatu yang sudah tidak
mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. la tidak tahu bagaimana harus mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pada waktu itu, lapangan kerja untuk wanita amatlah sempit dan sulit.
Paling bisa seorang gadis akan diterima sebagai pembantu rumah tangga, pelayan. Dan bukan rahasia
lagi bahwa pembantu wanita yang muda, apalagi cantik, pasti akan menjadi permainan majikan prianya!
Akibatnya lebih payah lagi Seorang pelacur setidaknya masih dapat memilih pria mana yang akan
dilayaninya. Akan tetapi seorang pelayan rumah tangga? la tiada ubahnya seorang budak belian.

Kembali Hong Yi menghela napas panjang. Apapun alasannya, seorang pelacur tetap saja dipandang
rendah oleh umum. la sendiri seorag pelacur, walaupun keadaannya jauh le bih baik dibandingkan para
gadis pelacur lainnya karena Lu-ma sayang kepadanya, namun tetap saja ia seorang pelacur. Laki-laki
hanya sayang dan suka kepadanya sebagai mainan yang menyenangkan, yang menghibur, akan tetapi
tentu saja tidak akan ada laki-laki yang menghormatinya dan mau menerimanya sebagai seorang isteri!
Dan sekarang Lu-ma, bibinya itu, hendak menjodohkan ia dengan Han Si Tiong! Mana mungkin pemuda
itu sudi menerimanya sebagai seorang isteri? Biarpun pemuda itu tampak miskin, namun ia seorang
pemuda gagah perkasa, seorang pendekar! Kalau tadi Han Si Tiong tidak memandang rendah kepadanya
dan mau mengantarnya pulang walaupun la sudah/Hg mengaku bahwa ia seorang pelacur, hal itu tentu
hanya terdorong oleh kependekarannya yang ingin menolong seorang wanita yang diganggu orang-
orang jahat. Akan tetapi menjadi suaminya? Ah, rasanya tidak mungkin!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 51

Pada saat itu, di ruangan tamu, Han Si Tiong memandang wajah Lu-ma dengan kedua mata terbelalak
dan hampir tidak dapat percaya akan apa yang didengarnya.

“Bibl Lu, tak salahkah apa yang kudengar darimu tadi? Coba ulangi lagi apa yang kauusulkan tadi, bibi.
Aku khawatir kalau aku salah mendengar'.” kata pemuda itu sambil menatap wajah wanita itu penuh
selidik.

“Engkau tidak salah dengar, Han-tai-hiap. Ketahuilah, Liang Hong Yi adalah keponakanku yang kusayangi
seperti anak kandungku sendiri. Sudah lama aku mengiginkan agar ia dapat berjodoh denganseorang
pemuda yang baik, yang akan dapat melindunginya. Setelah bertemu deganmu, kami yakin bahwa
engkaulah orangnya yang kami tungu-tunggu, engkaulah jodoh yang terbaik untuk Hong Yi, taihiap.”

Karena sudah mendengar untuk kedua kalinya, Si Tiong tidak terkejut lagi, akan tetapi tetap saja masih
merasa heran dan ragu. Usul ini terlalu tiba-tiba datang-nya dan sama sekali tidak tersangka-sangka.

“Akan tetapi....”

Lu-ma mengira bahwa keraguan Si Tiong itu karena mengingat akan pekerjaan Hong Yi, maka iapun
cepat memotong, “Han-taihiap, Hong Yi adalah keponakanku sendiri dan aku amat sayang kepadanya.
Karena itu, biarpun ia pernah melayani pria, akan tetapi selalu kupilihkan pria yang terbaik untuknya dan
itupun Jarang sekali terjadl. Ia bukan seperti para gadis penghibur lalnnya, taihiap”.

“Bukan Itu maksudku bibi. Akan tetapi.... ketahuilah bahwa aku adalah seorang pemuda yang tidak
memiliki apa-apa, rumah tiada, uang tiada, bahkan kerjaanpun sedang kucari. Baru saja aku ditinggal
mati ibuku dan ayahku.... sejak aku berusia sepuluh tahun telah meninggalkan ibuku dan aku. Aku
seorang yang hidup sebatang kara, miskin dan papa, bibi. Bagaimana aku dapat berjodoh dengan adik
Hong Yi? Bagaimana aku dapat menikah dengan keadaanku seperti ini?”

Lega rasa hati Lu-ma mendengar ucapan pemuda itu. Tadinya ia khawatir pemuda itu menolak karena
Hong Yi adalah seorang pelacur, akan tetapi ternyata tidak. Bahkan pemuda itu merasa dirinya tidak
berharga karena yatim piatu dan miskin.

“Oooh, kalau soal itu, taihiap tidak usah khawatir dan tidak perlu repot repot kami mengharapkan jodoh
Hong Yi seo-rang pria yang baik dan bertangung jawab. Kami tidak men'cari pria yang kaya. jangan
khawatir, Han tai-hiap, kami tidak mengharapkan emas kawin sekepingpun darimu, bahkan untuk
semua keperluan perayaan, termasuk pakaian untuk sepasang mempelai, kami sendiri yang akan
membeayainya. Hanya satu yang ingin kami ketahui, taihiap. Sebetulnya engkau sedang menuju ke
manakah dalam perantauanmu ini?”

“Aku hendak mencari pekerjaan ke kota Lin-an (Hang-chow) di selatan bibi.” Lu-ma hampir bersorak.
Cocok sekali dengan ramalan Kwan-im-bio itu.

“Bagus! Aku yakin bahwa bersama Hong Yi, engkau akan dapat memperoleh kedudukan yang baik dan
tepat di Lin-an. Kita rayakan pernikahan kalian di sini, kemudian kalian berdua berangkat ke Lin-an!”

Ketika Hong Yi mendengar dari Lu-ma bahwa Han Si Tiong sudah menyetujui perjodohan itu, diam-diam
merasa girang sekali. Akan tetapi ia adalah seorang gadis yang bijaksana dan ia tidak puas dengan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 52

keterangan Lu-ma begitu saja. Setelah mendengar dari Lu-ma bahwa Si Tiong sudah setuju, ia langsung
menemui pemuda itu yang masih duduk di ruangan tamu.

Biarpun merasa rikuh dan canggung karena malu, Hong Yi duduk di depan pemuda itu, terhalang meja
dan sejenak mereka saling pandang. Kemudian Hong Yi, setelah menatap pemuda itu penuh selidik
seolah hendak menjenguk ke dalam dadanya, berkata lirih.

“Tiong-ko, sudah bulatkah keputusanmu bahwa engkau sudi menerimaku sebagai isterimu? Sudah
kaupikirkan masak-masak dan engkau tidak akan menyesal di kemudian hari? Ingat, Tiong-ko, aku
adalah seorang...,

“....huussshhh...., Yi-moi, aku tidak mau dengar itu. Bagiku, engkau seorang gadis yang baik dan halus
budi,” potong Si Tiong.

“Akan tetapi, engkau seorang pendekar gagah perkasa, sedangkan aku... “

“Engkaupun seorang gadis yang gagah perkasa, Yi-moi. Begitu bertemu denganmu, aku merasa kagum
dan suka. Maka, ketika bibi Lu mengusulkan tentang perjodohan denganmu, aku merasa seolah -olah
kejatuhan rembulan! Aku hanya masih meragu apakah kelak engkau tidak akan menyesal menjadi
isteriku, Yi-moi. Aku seorang yang hidup sebatangkara, tidak mempunyai apa-apa, tidak ada keluarga,
tidak ada rumah, bahkan belum mempunyai pekerjaan! Bagaimana engkau dapat hidup berbahagia
menjadi isteri seorang pengangguran seperti aku?”

“Akan tetapi tidak selamanya engkau menganggur, Tiong-ko. Kata bibi Lu-ma, engkau akan pergi ke Lin-
an untuk mencari pekerjaan.”

“Benar, Yi-moi. Setelah melangsungkan pernikahan, aku akan berangkat ke Lin-an untuk mencari
pekerjaan. Aku mendengar pemerintah kerajaan membutuhkan perajurit.”

“Bagus aku akan ikut denganmu, Tiong-ko. Aku akan membantumu sekuat tenaga dan aku akan
berusaha menjadi isterimu yang baik.”

“Aku senang Yi-moi. Mudah-mudahan engkaupun tidak akan kecewa memilih aku sebagai suamimu.”

Tidak ada janji muluk-muluk di antara mereka, tidak ada ucapan pernyataan cinta, namun pandang mata
mereka menyinarkan hasrat untuk saling membahagiakan. Hasrat ini sudah cukup kuat sebagai pengikat
batin bagi .dua orang yang akan hidup bersama selamanya, jauh lebih kuat dari pada ikatan cinta yang
hanya didasari nafsu tertarik oleh keindahan rupa atau berkilaunya kedudukan atau harta benda.

Upacara dan perayaan pernikahan itu diadakan secara sederhana namun cukup meriah. Lu -ma
mengundang para langganan yang baik dan sopan saja. Memang aneh bahwa sebuah rumah hiburan
menjadi tempat perayaan pernikahan sepasang pengantin, apa lagi yang mempunyai kerja adalah sang
mucikari sendirl dan yang dlnikahkan adalah Liang Hong Yi yang bagl beberapa orang laki -laki tertentu,
kebanyakan para bangsawan yang mengagumi Hong Yi, merupakan seorang gadis yang arnat menawan
hati. Seorang di antara para bangsawan yang pernah dilayani Hong Yi adalah Ciang Kongcu (Tuanmuda
Ciang). Dia merasa gembira dan terharu mendengar Hong Yi menikah. Dia memerlukan datang
menghadiri perayaan dan ketika mendengar bahwa suami Hong Yi adalah seorang pendekar yang

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 53

hendak mencari pekerjaan ke kota raja Lin-an, dia lalu menulis sesampul surat dan menyerahkannya
kepada Hong Yi dan Tiong yang duduk di pelaminan.

“Aku hanya dapat memberi ini sebagai sumbangan, mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kalian.
Selamat menempuh hidup baru di kota raja!” kata pemuda bangsawan itu.

“Terima kasih, Kongcu.” kata Hong Yi dan Si Tiong juga mengucapkan terima-kasih.

Surat itu untuk Ciang Goanswe (Jenderal Ciang), dia pamanku dan mungkin dia akan dapat membantu.”
kata pula Ciang Kongcu lalu dia kembali ke tempat duduknya.'

Setelah menikah, kedua mempelai itu membuat persiapan untuk melakukan perjalanan ke Lin -an.
Mereka tinggal di rumah pelesir Bunga Seruni dalam kamar Hong Yi selama sepe kan. Keduanya merasa
berbahagia sekali karena setelah menikah mereka berdua merasa cocok satu sama lain, merasa betapa
masing-masing dihargai dan dihormati, dilayani dan diperlakukan dengan penuh kelembutan dan
kemesraan sehingga dari penghormatan dan kemesraan ini bertunaslah cinta kasih yang mendalam. Lu-
ma ikut sibuk membuat persiapan. Wanita yang amat menyayang Hong Yi itu mempersiapkan segala
macam perbekalan. Dengan hati tulus ia menguras uangnya untuk membelikan pakaian secukupnya
untuk sepasang suami isteri itu. Bahkan untuk melakukan perJalanan yang cukup Jauh itu ia menyewa
sebuah kereta yang tentu saJa cukup mahal. Pada hari terakhir keberangkatan mereka, tiada hentinya
Lu-ma menyusut air matanya.

Setelah selesai berkemas dan barang-barang yang hendak dibawa sudah dimasukkan kereta yang
dikusiri seorang laki-laki setengah tua, Lu-ma merangkul dan menciumi pipi Hong Yi yang juga basah air
mata. Gadis ini pun terharu sekali menlnggalkan blblnya yang amat menyayanginya.

“Hong Yi, dan engkau juga Si Tiong, kuingatkan lagi pesanku kepada kalian. Kalau kalian sudah tiba di Lin-
an, jangan lupa memberi kabar kepadaku. Ceritakan bagaimana keadaanmu dan apakah sudah
memperoleh pekerjaan. Si Tiong, jaga baik-baik isterimu, dan Hong Yi, kalau kalian sudah mapan di Lin-
an, jemputlah aku. Engkaulah satu-satunya orang yang kumiliki, engkau satu-satunya keponakan, juga
anakku. Aku ingin melihat mimpiku menjadi kenyataan dan hidup bersamamu, mengasuh anak -
anakmu.” Lu-ma menangis dan menciumi Hong Yi. Sembilan orang gadis penghibur juga keluar untuk
mengucapkan selamat jalan dan hampir semua dari mereka menangis terharu. Mereka semua merasa
nelangsa, merasa kesepian dan merasa betapa sengsara hidup mereka dan diam-diam mereka merasa iri
terhadap Hong Yi yang memperoleh kebahagiaan di samping seorang suami.

Setelah puas mengucapkan selamat tinggal dan berpelukan dengan mereka semua, akhirnya Hong Yi
dan Si Tiong memasuki kereta yang segera bergerak meninggalkan Rumah Hiburan Bunga Seruni, diiringi
tangis Lu-ma dan lambaian tangan para gadis penghibur. Kereta terus meluncur keluar dari kota Cin-
koan menuju ke kota raja Lin-an.

* **

Seperti telah disinggung sedikit di bagian depan kisah ini, Kerajaan Sung yang didirikan oleh Panglima
Chao Kuang Yin yang kemudian menjadi kaisar pertama dari Kerajaan Sung berjuluk Kaisar Sung Thai Cu,
yang dengan susah payah telah mempersatukan kembali daratan Cina pada tahun 960, seratus enam
puluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1126, terpaksa harus berantakan dan kehilangan hampir
separuh wilayahnya sebelah utara.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 54

Mula-mula, bangsa yang dianggap bangsa liar, yaitu bangsa Nunchen atau juga dikenal sebagai bangsa
Kin atau Kim (Emas) yang tinggal di lembah Sungai Sungari di Mancuria, menghimpun kekuatan besar
yang dahsyat dan mereka menyerang Kerajaan Liao, yaitu bangsa Khitan. Setelah melalui perang sengit,
akhirnya Bangsa Kin berhasil menalukkan kerajaan bangsa Khitan yaitu Kerajaan Liao. Peristiwa ini
terjadi dalam tahun 1124 dan sisa bangsa Khitan yang tidak tewas melarikan diri ke barat dan mengungsi
ke Turkestan Barat. Di sana bangsa Khitan tinggal di Lembah Ili dan kemudian mereka dikenal sebagai
orang Kerait, Karakitan, Kitai atau Catai. Mereka mendirikan kerajaan kecil yang bertahan sampai
akhirnya musna karena kebangkitan bangsa Mongol kelak.

Pada waktu itu yang menjadi kaisar dalam Kerajaan Sung adalah Kaisar Hui Chung. Kaisar ini berwatak
lemah dan banyak menggantungkan keputusannya kepada perdana menterinya, yaitu Cai Ching. Kaisar
Hui Chung dan para penasehatnya bersikap tidak acuh terhadap peristiwa penalukan Kerajaan Liao oleh
bangsa Kin itu.

Ketika Kerajaan Liao sudah hampir dikuasai seluruhnya oleh bangsa Kin, Gubernur Ping Chou sebagai
pertahanan Kerajaan Liao terakhir, tidak mau tunduk kepada bangsa Kin, melainkan meny erahkan
daerah itu kepada Kaisar Hui Cung. Tanpa berpikir panjang Kalsar Hui Cung mengikuti nasihat Perdana
Menteri Cai Ching, menerima pengoperan kekuasaan atas daerah Ping Chou dan mengirim pasukan
untuk menjaga daerah yang dimasukkan ke wilayah Kerajaan Sung itu. Hal ini membuat bangsa Kin
marah sekali dan mereka lalu menyerbu ke selatan. Gelombang pasukan yang besar dan amat kuat,
penuh dengan semangat berkobar menyerbu kerajaan Sung sampai ke kota raja! Kembali Kaisar Hui
Cung yang lemah itu mengikuti nasihat Perdana Menteri Cai Ching dan memberi upeti dalam jumlah
besar kepada pimpinan pasukan Kin. Tanda taluk ini memuaskan bangsa Kin yang menarik kembali
pasukannya, kembali ke utara.

Para menteri protes kepada Kaisar Hui Cung tentang tindakan atau nasihat Perdana Menterl Cai Ching
yang mendatangkan kerugian besar kepada kerajaan. Atas desakan para menterl, Perdana Menteri Cal
Ching lalu dlhukum buang karena dla dianggap yang bertanggung Jawab atas malapetaka yang menimpa
kerajaan Sung. Akan tetapl Kalsar Hul Cung yang tidak memlllkl pendirian tegas Itu kembal! melakukan
kesalahan yang besar sekali. Dia kembali mengikuti nasihat para pejabat tinggi yang menggantikan
kedudukan Perdana Menterl Cai Ching. Para menterl Itu menasihatkan bahwa Kaisar Hul Cung tidak
seharusnya mengalah kepada bangsa Kln yang liar. Membayar upeti kepada mereka berarti menerima
penghinaan maka sudah sepatutnya kalau mengirim pasukan mengejar dan menyerang mereka untuk
membalas penghinaan dan mempertahankan kehormatan kerajaan Sung. Kaisar Hui Cung tanpa berpikir
panjang menerima nasihat ini dan mengirim pasukan melakukan pengejaran terhadap pasukan Kin yang
ditarik mundur lalu menyerangnya. Tentu saja bangsai Kin menjadi marah sekali. Mereka menghimpun
kekuatan besar dan kembali lagi ke selatan. Terjadi perang besar-besaran dan akibatnya kota raja Kai
Feng jatuh ke tangan bangsa Kin dan Kaisar Hui Cung bersama kurang lebih tiga ribu orang pembesar
kerajaan Sung dibawa sebagai tawanan perang! Sisa keluarga istana bersama pasukan Sung yang kalah
perang melarikan diri ke selatan, terus dikejar oleh pasukan Kin sampai menyeberangi Sungai Yang-ce
dan tiba di kota Hang-chou dan Ning-po. Mulai saat itulah Kerajaan Sung kehilangan wllayah yang luas
sekali di bagian utara. Peristiwa ini terjadi mulal tahun 1126 sampai 1129. Mulai waktu itulah Kerajaan
Sung mendapat sebutan Sung Selatan dan kota rajanya bernama Lin-an (Hang-chouw).

Kaisar Kao Tsung (1127-1162) berusaha keras untuk melawan kekuasaan bangsa Kin. Dia mengumumkan
panggilan terhadap para patriot yang gagah perkasa untuk berbakti kepada negara dan bangsa, untuk
memperkuat barisan kerajaan.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 55

Pada suatu hari, sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda memasuki pintu gerbang utara kota raja Lin -
an. Melihat dua ekor kuda yang tampak kelelahan dan kereta yang kotor berdebu, mudah diduga ,
bahwa kereta itu tentu telah melakukan perjalanan yang jauh. Setelah tiba di tengah kota, kereta itu
berhenti dan kusirnya turun lalu memegangi kendali kuda.

“Sicu, kita sudah masuk kota raja dan berada di tengah kota. Hanya sampai di sini saya mengantar sicu
berdua.” Kata kusir itu kepada penumpangnya. Penumpang kereta itu bukan lain adalah Han Si Tiong
dan isterinya, Liang Hong Yi. Si Tiong membuka tirai kereta dan memandang keluar. Kereta itu berhenti
di depan sederetan pertokoan,

“Paman, bawalah kami ke sebuah rumah penginapan agar tidak susah lagi kami mengangkut barang-
barang bawaan kami.” kata Si Tiong kepada kusir.

Kusir itu naik kembali dan mehjalankan kereta. Sudah beberapa kali dia berkunjung k e kota raja Lian-an
sehingga dia tahu di mana adanya rurnah penginapan. Setelah tiba di pekarangan sebuah rumah
penginapan, si Tiong dan Hong Yi menurunkan barang-barang bawaan mereka dari kereta. Setelah
menerima uang pembayaran sewa kereta, kusir lalu menjalankan keretanya keluar dari pekarangan
rumah penginapan itu. Si Tiong dan Hong Yi mengangkuti barang-barang mereka, dibantu seorang
pelayan rumah penginapan. Setelah mendapatkan sebuah kamar, mereka membawa barang-barang itu
masuk kamar mereka.

Setetah mandi, bertukar pakaiari bersih dan sarapan di dalam rumah makan yang menjadi bagian dari
rumah penginapan itu juga, suami isteri itu keluar dari rumah penginapan itu. Di jalan raya depan rumah
penginapan itu amat ramai orang berlalu lalang dan banyak di antara mereka adalah pemuda-pemuda
yang bersikap gagah. Mereka adalah orang-orang yang datang ke kota raja karena tertarik oleh
pengunguman pemerintah yang membutuhkan orang-orang gagah untuk menjadi perajurit pasukan
kerajaan.

“Yi-moi, keluarkan surat itu. Sebaiknya kita mencari alamat Ciang-goanswe itu.” kata Si Tiong kepada
isterinya yang menyimpan surat pemberian Ciang Kong-cu yang menjadi tamu dalam perayaan
pernikahan mereka tempo hari.

“Apakah tidak lebih baik kita berjalan jalan dan melihat-lihat lebih dulu. Tiong-ko?”
“Tidak, Yi-moi. Kita harus dapat menemukan alamat itu dan menghadap Jenderal Ciang lebih dulu.” kata
Si Tiong dengan suara tegas sambil menatap tajam wajah isterinya. Tatapan mata yang mengandung
penuh kasih sayang, namun juga mengandung keteguhan kemauan keras. Hong Yi tersenyum.

“Kenapa begini tergesa-gesa, Tiong-ko?”

“Tidak tergesa-gesa, Yi-moi. Akan tetapi kita harus lebih mementingkan pekerJaan daripada kesenangan.
Kalau urusan kita telah selesai dan kita berhasil memperoleh pekerjaan, masih banyak sekali waktu bagi
kita untuk bersenang-senang dan berpelesir di kota raja ini. Bukankah engkau pikir juga begitu?”

Mendengar ucapan yang beralasan kuat dan tidak dapat dibantah namun diucapkan dengan lembut dan
dengan senyum membayang di mulut dan mata suaminya, Hong Yi hanya dapat mengangguk angguk
dan tersenyum. la merasa senang sekali menemukan suatu sisi lain yang mengagumkan hatinya dari laki-
laki yang menjadi suaminya ini, yaitu sikap tegas dan kemauan yang teguh.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 56

“Baiklah, suamiku. Isterimu ini selalu siap untuk melaksanakan semua kehendakmu” katanya gembira.

“Nanti dulu, isteriku yang bijak! Aku tidak ingin melihat isteriku tercinta seperti seekor domba yang
menurut ke mana saja engkau digiring. Engkau harus mempunyai pandangan dan pendirian sendiri dan
dapat membantu dan mengingatkan aku kalau aku mengambil keputusan yang keliru. Kalau engkau
hanya mengekor, bagaimana kalau keputusanku keliru? Tentu kita berdua akan keliru pula.”

Hong Yi memperlebar senyumnya. la merasa semakin bangga dan kagum.

“Jangan khawatir, suamiku. Aku akan membantumu sekuat kemampuanku. Kita bekerja sama, bahu
membahu, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, senang sama dinikmati, susah sama ditanggung.”

“Bagus! Aku merasa bahagia sekali, Yi-moi, karena aku semakin yakin bahwa aku tidak salah memilih
isteri, Nah sekarang kita lihat, alamat Jenderal Ciang itu”.

Hong Yi mengeluarkan sesampul surat pemberian, Ciang Kongcu. Jenderal Ciang Sun Bo, seperti yang
tertulis pada sampul surat itu, tlnggal di baglan barat kota raja. Mereka lalu segera menuju ke sana
setelah bertanya kepada penduduk di mana rumah jenderal Itu. Ketika mereka berdua berjalan ke arah
barat, mereka melihat banyak laki-laki muda juga berjalan menuju ke arah itu.

Setelah tiba dekat gedung besar dikelilingi pagar tembok tinggi itu mereka berdua mendapat kenyataan
bahwa para orang muda itupun mempunyai tujuan yang sama dengan mereka, yaitu mendaftarkan diri
masuk menjadi perajurit.

Mereka semua memasuki pintu gerbang yang dijaga oleh seregu perajurit. Berbondong-bondong para
pemuda itu masuk dan berantri dalam ruangan depan di mana terdapat seorang petugas yang
mendaftar nama mereka satu demi satu. Yang sudah didaftar namanya lalu dipersilakan masuk ke dalam
ruangan lain untuk menjalani pemeriksaan badan, riwayat dan lain-lain. Ketika Si Tiong dan Hong Yi ikut
antri di ruangan depan, tentu saja Hong Yi menjadi perhatian semua orang. Bukan hanya karena ia
seorang wanita yang cantik, melainkan terutama sekali karena semua pendaftar adal ah kaum pria, tldak
pernah ada seorang wanita yang ikut mendaftarkan diri menjadi seorang calon perajurit. Hong Yi
merupakan wanita satu-satunya, maka tentu saja ia menimbulkan keheranah akan tetapi juga
kegembiraan bagi para pria muda yang berada di situ.

Kaisar Kao Tsung memang bersemangat sekali untuk menyerang Kerajaan Kin di utara. Hal ini adalah
karena dia merasa sakit hati, bukan hanya mendendam karena bangsa Kin sudah merebut wilayah utara
yang luas sekali sehingga dia terpaksa harus melarikan diri sampai ke Hang-couw, akan tetapi terutama
sekali karena ayahnya, Kaisar Hui Cung, ditawan oleh mereka sehingga meninggal dunia dalam tawanan.
Kaisar Kao Cung (Kao Tsung) ingin merebut kembali wilayah utara atau setidaknya ingin menyerang dan
membalas dendam atas kekalahan Kerajaan Sung. Karena itu dia sendiri membuat pengumuman
mengundang para muda untuk menjadi perajurit, bahkan memerintahkan panglimanya yang paling
setia, yaitu Jenderal Gak Hui, untuk menyusun pasukan istimewa yang dipimpin oleh para pen dekar
yang berkepandalan tinggi. Beberapa orang panglima mendapat tugas menerima dan menampung para
pemuda yang datang mendaftarkan diri, dan mereka yang ditugaskan itu, diantaranya adalah Jenderal
Ciang Sun Bo.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 57

Ketika Si Tiong dan Hong Yi tiba gilirannya mendaftar, petugas memandang mereka dengan alis
berkerut. “Kalian maju berdua, siapa yang hendak mendaftarkan diri?” tanyanya sambil menatap wajah
Hong Yi yang cantik dengan kagum.

“Yang mendaftarkan diri adalah kami berdua.” Jawab Si Tiong dengan tenang.

Petugas itu menatap wajah Si Tiong, lalu kembali dia memandang Hong Yi.

“Siapakah ia ini? Adikmu?'

“la adalah isteriku.”

Petugas itu mengerutkan alisnya “Kami belum pernah menerima seorang wanita menjadi peraJurit. Juga
kami tidak dapat menerima seorang perajurit yang membawa serta isterinya! Engkau ini hendak
berperang ataukah hendak ber bulan madu?”

Ucapan itu memancing tawa riuh rendah dari para calon perajurit yang berada di ruangan itu. Mendapat
sambutan tawa, petugas itu merasa dirinya lucu dan menjadi pusat perhatian, maka dia menjadi
semakin berani dan berkata lagi, “Kalau untuk mendaftarkan diri saja engkau takut dan minta ditemani
dan diantar isteri, apalagi kalau berperang. Lebih baik engkau pulang saja dan sembunyi dalam kamar
bersama isterimu, lebih enak dan asyik!” Kembali ucapannya disambut tawa. Wajah Si Tiong sudah
berubah kemerahan, akan tetapi Hong Yi menyentuh lengannya memberi isyarat agar suaminya
bersabar. la mengeluarkan sampul surat dari Ciang Kongcu dan menyodorkannya kepada petugas itu.

“Leluconmu itu akan kusampaikan nanti kepada Jenderal Ciang. Hendak kulihat apa yang akan dia
lakukan setelah mendengar kelakarmu yang tidak lucu kepada kami itu!” kata Hong Yi dengan suara
dibuat bernada mengancam. Petugas menerima sampul surat itu dan setelah dia membaca tulisan di
sampul, dia terbelalak dan wajahnya menjadi pucat. Surat itu ditujukan kepada atasannya, Jenderal
Ciang, datang dari keponakan jenderal itu yang tinggal di kota Cin-koan. Dia cepat bangkit berdiri dari
tempat duduknya dan merangkapkan kedua tangan dl depan dada, memberi hormat terbongkok -
bongkok kepada Hong Yi dan Si Tiong dan suaranya agak gemetar ketika dla bicara.
“Maafkan,.... eh, ampunkan saya.... karena tidak tahu bahwa jiwi (anda ber-dua) adalah kerabat dari
Ciang-goanswe, maka saya telah berani kurang ajar dan berkelakar, Ampunkan saya..... mulut ini patut
ditampar....” Petugas itu lalu menampari kedua pipinya dengan kedua tangan sehingga terdengar suara
plak-plik-plok. Semua orang tertawa melihat ulah petugas yang ketakutan itu. Hong Yi ju-ga tersenyum
geli dan merasa kasihan kepada petugas itu.

“Sudahlah, kami memaafkanmu.”

Petugas itu berhenti menampari muka sendiri, kedua pipinya menjadi merah karena tamparan itu dan
dengan suara memohon dia berkata, “Akan tetapi saya mohon agar ji-wi tidak melaporkan perbuatan
saya tadi kepada Ciang-goan-swe....”

“Kami berjanji tidak akan melaporkan, akan tetapi cepat sekarang bawa kami menghadap beliau.” kata
pula Hong Yi yang mendahului suaminya karena ia takut kalau-kalau suaminya tidak sesabar ia dan akan
marah kepada petugas itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 58

“Baik, silakan tunggu sebentar, silakan duduk di sini, saya akan melaporkan dulu kepada Ciang-ciangkun
(Panglima Ciang).” kata petugas itu sambil membungkuk-bungkuk. Hong Yi duduk di atas kursi petugas
tadi dan Si Tiong hanya berdiri saja karena memang tidak ada tempat duduk lain. Semua pemuda yang
berada di situ kini memandang ke arah mereka, terutama kepada Hong Yi. Wanita ini duduk dengan
tenang sambil tersenymn-senyum. Para pemuda itu memandang kagum, akan tetapi mereka tidak
berani mengeluarkan kata-kata setelah tadi mendengar bahwa suami isteri itu masih kerabat sang
jenderal'!

Tak lama kemudian petugas tadi sudah muncul kembali dan wajahnya tersenyum cerah ketika dia
menghampiri Si Tiong dan Hong Yi. “Jiwi dipersilakan menghadap Ciang-goanswe. Mari, silakan
mengikuti saya.”

Petugas itu sendiri lalu mengantar suami isteri itu masuk ke sebelah dalam gedung besar itu. Dalam
perjalanan ke dalam ini dia sempat berbisik, “Harap ji-wi tidak melupakan janji jiwi dan tidak
melaporkan perbuatan saya tadi kepada Jenderal Ciang.”

Si Tiong berkata dengan tegas sambil mengerutkan alisnya. “Jangan ulangi lagi urusan itu. Kami sudah
berjanji dan seorang gagah akan selalu memegang janjinya!”

Setelah tiba di dalam sebuah ruangan yang luas dan tampak sunyi, petugas itu masuk seorang diri
meninggalkan SUarrii isteri itu di niar pintu. Si Tiong dan Hong Yi mendengar percakapan pendek mereka
yang berada di dalam ruangan. “Lapor, tai-ciangkun. Suami isteri yang
membawa suyat sudah tiba di sini.” kata petugas itu.

“Suruh mereka masuk!” terdengar suara yang keras dan memerintah.

Petugas itu keluar dan mempersilakan suami isteri itu masuk, lalu dia pergi keluar lagi. Si Tiong dan Hong
Yi masuk ke dalam ruangan itu dan melihat bahwa yang berada di dalam ruangan itu hanya seorang laki -
laki saja. Dia seorang laki-laki tinggi besar, berkulit agak kehitaman dan gagah, berusia sekitar lima puluh
tahun. Dengan pakaian panglima yang mentereng, pria itu tampak gagah sekali dan berwibawa.
Matanya yang lebar itu segera menyambut Hong Yi dengan pandang mata yang membuat Hong Yi
merasa tidak enak hati. Biarpun belum lama ia menjadi gadis penghibur dan tidak sangat banyak
melayani pria, namun ia sudah hafal akan pandang mata pria seperti mata panglima itu. Pandang mata
yang mengandung nafsu berahi besar. Seorang pria mata keranjang! Melihat betapa mata yang lebar itu
memandang kepadanya penuh kagum tanpa disembunyikan, Hong Yi menundukkan pandang matanya
Si Tiong juga melihat pandang mata panglima itu, akan tetapi kini dia sudah mulai terbiasa. Di sepanjang
perjalanannya dari kota Cin-koan ke kota raja, hampir semua pria memandang isterinya seperti itu. Dia
tahu benar bahwa isterinya memang cantik menarik, maka dia tidak dapat terlalu menyalahkan pandang
mafa para pria itu, bahkan kini ada perasaan bangga timbul dalam hatinya kalau ada pria memandang
isterinya dengan kagum. Tadinya di ruangan pendaftaran dia diam-diam menikmati rasa bangganya
melihat semua pemuda memandang Hong Yi dengah kagum. Hatinya berbisik bangga “Wanita inl
isteriku! Milikku sendiri!”

Si Tiong dan Hong Yi kini sudah berdiri di depan Jenderal Ciang dan mereka mengangkat tangan depan
dada memberi hormat. Panglima itu membalas dengan lambaian tangan sambil lalu seperti biasa sikap
kebanyakan pembesar terhadap orang-orang yang dianggapnya jauh berada di bawahnya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 59

“Duduklah kalian!” katanya sambil menunjuk ke arah kursi-kursi yang berjajar di depannya. Si Tiong dan
Hong Yi , mengucapkan terima kasih lalu duduk berjajar di depan panglima itu. Kembali panglima itu
memandang kepada Hong Yi penuh perhatian, kemudian meman-dang kepada Si Tiong dengan sinar
mata penuh selidik.

“Siapakah namamu?” tanyanya, sambil memandang kepada Si Tiong,

“Nama saya Han Si Tiong, ciangkun.” Jawab Si Tiong dengan sikap tenang.

“Dan engkau siapa, nona?” panglima itu bertanya, kini memandang kepada Hong yi, mata dan mulutnya
tersenyum ramah, dan suaranya leblh lembut.

Mendengar ia disebut nona, Hong Yi lalu menjawab, “Nama saya Liang Hong Yi, isterinya, ciangkun.”

“Hemm, menurut petugas tadl, kalian datang membawa surat dari Ciang Kongcu di Cin-koan, benarkah
itu? Mana suratnya?”

Hong Yi yang membawa surat itu lalu mengeluarkannya dan ia bangkit ber-dlri dari kursinya,
menghampiri panglima itu dan menyerahkan suratnya. Ketika menerima surat itu, jari -jari tangan
panglima itu menyentuh jari tangan Hong Yi dan ia tahu bahwa sentuhan itu sama sekali bukan
kebetulan melainkan dilakukan dengan sengaja. Panglima itu agaknya mempergunakan kesempatan ttu
untuk menyentuhnya dan hal inl saja sudah membuktikan bahwa laki -laki itu adalah seorang mata
keranjang.

Panglima Ciang membuka sampul. Itu dan membaca suratnya. Surat itu mengatakan bahwa Ciang
Kongcu mengenal baik Liang Hong Yi dan dia mengharapkan agar pamannya, Panglima Ciang Sun Bo
suka membantu Hong Yi dan suaminya yang hendak bekerja menjadi perajurit di kota raja. Juga dalam
surat itu Ciang Kongcu memberitahu pamannya bahwa suami Hong Yi adalah seorang pendekar.

Setelah membaca surat itu, Panglima Ciang mengangguk-angguk. Pertanyaan pertama yang keluar dari
mulutnya membuat Hong Yi terkejut.

“Nona Liang Hong Yi, bagaimana Ciang Kongcu dapat mengenalmu dengan baik?”

Hong Yi sempat tertegun. Tentu saja ia tidak mungkin dapat menjawab bahwa ia pernah melayani
kongcu itu sebagai seorang wanita penghibur! Akan tetapi hanya sejenak ia tertegun, lalu dengan
tenang ia menjawab.

“Ciang Kongcu terkenal di kota Cin-koan kami sebagai seorang kongcu yang budiman dan hampir semua
orang mengenalnya, ciangkun. Ketika kami merayakan hari pernikahan kami, Ciang Kongcu hadir pula
sebagai tamu undangan dan ketika dia mendengar bahwa kami berdua akan pergi mencari pekerjaan,
Ciang Kongcu lalu memberi surat ini kepada kami.”

Ciang Goanswe mengangguk-angguk lagi dan mengerutkan alisnya. Pertanyaannya yang kedua juga
membuat kedua orang suami isteri itu tertegun.

“Han Si Tiong, benarkah engkau seorang pendekar yang pandai ilmu silat”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 60

Si Tiong agak tersipu. “Ciangkun, saya hanyalah seorang biasa saja akan tetapi saya akan selalu berada di
pihak yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan.”

“Ilmu silat aliran manakah yang kau pelajari?”

“Ilmu silat Siauw-lim-pai aliran utara, ciangkun.”

“Dan engkau ingin menjadi seorang perajurit? Kalau benar, apa alasanmu ingin menjadi perajurit?”

“Saya ingin menjadi perajurit untuk membantu kerajaan menghadapi bangsa Kin yang biadab, untuk
membela bangsa dan tanah air.” kata Si Tiong dengan gagah dan penuh semangat.

“Bagus, engkau dapat diterima sebagai perajurit. Hal itu dapat kami atur. Dan engkau, nona, mengapa
engkau ikut pula mencari pekerjaan? Apakah engkau Juga ingin menjadi perajurit?” Panglima itu
tersenyum sinis. “Sayang sekali, kami belum membentuk sebuah pasukan wanita”

Hemm, sudah tahu ia isteri orang, masih saja memanggil nona, pikir Hong Yi. Akan tetapi ia tidak perduli
dan menjawab, “Saya juga ingin berjuang membela negara dan bangsa membantu suami saya,
ciangkun.”

“Ehh? Apakah engkau juga pandai ilmu silat?” ,


“Saya pernah belajar dari subo (ibu guru) Bian Hui Nikouw selama beberapa tahun.”

“Bagus kalau begitu! Nah, Han Si Tiong, engkau sekarang pergilah ke ruangan depan tadi untuk
melengkapi pendaftaran kalian dengan data-data lengkap., Kalian dapat kami terima. Akan tetapi Liang
Hong Yi biar di sini dulu, aku masih ingin memeriksanya. Nah, pergilah!” Panglima tinggi besar itu
menuding ke arah pintu. Si Tiong terpaksa bangkit dan keluar dari ruangan itu. Biarpun dia me -rasa
heran mengapa isterinya ditahan, dia tidak merasa khawatir karena dia percaya bahwa isterinya cukup
mampu untuk membela diri.

Setelah ditinggal suaminya, Hong Yi duduk sambil menundukkan mukanya. Sikapnya tenang saja
walaupun sesungguhnya hatinya mulai merasa curiga dan khawatir.

“Nona Liang Hong Yi, kenapa engkau menundukkan muka saja? Apakah engkau merasa malu kepadaku?
Seorang calon perajurit tidak boleh malu-malu!” kata Ciang-goanswe.

Hong Yi mengangkat muka memandang wajah pangljma itu. la melihat jelas sekali dari sinar mata laki -
laki itu bahwa panglima itu memang mempunyai niat tidak sopan terhadap dirinya.

“Saya tidak malu, ciangkun. Akan tetapi mengapa ciangkun menahan saya disini? Apa lagi yang hendak
ciangkun tanyakan?”

“Aku harus mengujimu lebih dulu sebelum menerimamu sebagai perajurit, nona. A ku harus yakin dulu
bahwa engkau benar-benar memiliki kepandaian silat yang memadai untuk ikut bertempur. Kalau
engkau ternyata seorang wanita lemah, tentu saja aku tidak boleh menerimamu karena hal itu berarti
mengantarmu untuk dibantai musuh. Nah, aku hendak menguji ilmu silatmu. Bersediakah engkau?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 61

Hong Yi bangkit berdiri. “Tentu saja saya siap, ciangkun!” katanya dengan lega karena kalau hanya diuji
ilmu silatnya, tentu saja ia siap dan ia penuh kepercayaan kepada diri sendlri bahwa kepandaiannya
akan cukup memadai karena selania bertahun-tahun Bian Hui Nikouw menggemblengnya dengan
sungguh-sungguh dan ia juga berlatih dengan tekun.

Ciang-ciangkun bangkit berdiri sambil tersenyum, lalu melangkah ke tengah ruangan. “Ke sinilah, nona.
Kalau engkau dapat menahan sepuluh Jurus seranganku berarti engkau lulus dan sudah pantas untuk
menjadi komandan regu.”

Hong Yi menghampiri panglima itu, berdiri di depannya dan memasang kuda-kuda dengan kedua kaki
ditekuk sehingga tubuhnya merendah, kedua lengannya disilangkan di depan dengan jari-jari tangan
terbuka. Itulah pembukaan jurus Garuda Mengatupkan Sepasang Sayapnya.

“Saya sudah siap, ciangkun.” katanya.

Ciang Sun Bo adalah seorang laki-laki yang sejak muda sudah berkecim-pung dalam dunia kemiliteran.
Sejak di utara dia sudah menjadi seorang koman-dan, ikut pula berperang ketika Kerajaan Sung dlserang
oleh bangsa Kin. Dia ikut pula mengundurkan dan melarikan diri ke selatan dan karena kesetiaannya dia
diangkat menjadi seorang jenderal. Akan tetapi diapun terkenal sebagai seorang lakl-laki mata
keranjang. Maka, begitu melihat Hong Yi yang cantik manis, hatinya tertarik untuk mempermainkannya.
Ciang Sun Bo adalah seorang ahli silat yang bertenaga besar. Dengan tenaga raksasanya, dalam
pertempuran dia amat menggiriskan musuh-musuhnya. Golok besarnya yang berat itu berkelebatan tak
tertahankan lawan saking kuatnya senjata itu digerakkan.

Setelah berdiri berhadapan dengan Hong Yi, Ciang-ciangkun lalu berseru, 'Lihat seranganku!” Tangan
kanannya yang besar dan berlengan panjang itu meluncur ke arah pundak Hong Yi. Gerakannya
mencengkeram pundak itu mendatangkan angin yang menyambar kuat Hong Yi cepat mengelak ke
kanan sehingga pundak kirinya terhindar dari cengkeraman. Akan tetapi tangan kiri, panglima itu sudah
meluncur ke arah perutnya! kembali Hong Yi menghindarkan diri dengan elakan ke belakang.

“Bagus! Sambutlah serangan jurus kedua!” kata panglima itu dengan gembira dan kini kedua lengannya
berkembang dan dia melakukan gerakan menubruk seperti seekor biruang menerkam mangsanya. Hong
Yi kembali mengelak dengan loncatan ke belakang.

Panglima atau Jenderal Ciang menjadi kagum dan dia melanjutkan serangannya yang menjadi semakin
dahsyat. Hong Yi mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan selalu mengelak dengan amat
cepatnya, bagaikan gerakan seekor burung walet sehingga sertua serangan itu tak pernah menyentuh
tubuhnya. Setelah menyerang sebanyak tujuh jurus, Panglima Ciang berhenti dan berkata.

“Nona, kalau seorang peraJurit dalam pertempuran selalu mengelak, akhirnya dia akan mati terkena
serangan musuh. Sebagai seorang perajurit yang bertempur, engkau harus membalas, jangan hanya
mengelak saja!”

Mendengar ini, Hong Yi lalu bergerak menyerang. Akan tetapi karena yang diserangnya itu adalah
seorang panglima yang mengujinya dan pertandingan itu hanya merupakan ujian terhadap
kemampuannya, maka tentu saja gerakan serangannya itu tidak didukung tenaga sepenuhnya dan
dilakukan lambat saja. Tangan kanannya, dengan jari terbuka, menampar ke arah dada panglima Ciang.
Akan tetapi, tiba-tiba panglima itu bergerak cepat menyambut serangan tangan Hong Yi dengan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 62

sambaran tangan kanan yang menangkap pergelangan tangan kanan Hong Yi dan dengan sentakan
tenaga raksasa yang amat kuat dia sudah memuntir lengan kanan wanita itu dan terus menelikung
lengan Hong Yi ke belakang tubuh. Tubuh Hong Yi berputar dan kini panglima itu mendekap tubuhnya
dari belakang dan jari-jari tangan kiri panglima itu dari belakang menggerayangi dan meremas buah
dadanya!

Hong Yi terkejut dan marah sekali. la tadi memang mengalah karena tentu saja tidak mau menyerang
benar-benar agar jangan sampai serangannya mengenai tubuh Ciang-ciangkun, apa lagi sampai
mengalahkannya. Akan tetapi ternyata sikapnya yang mengalah itu bahkan disalah gunakan panglima itu
yang berbuat kurang ajar kepadanya. Karena terkejut merasa betapa buah dadanya diremas, Hong Yi
mengerahkan tenaganya, mernutar tubuh ke kiri dengan tiba-tiba dan dengan hentakan keras la
menggerakkan siku lengan kirinya ke belakang menghantam dada panglima itu.

“Dukkk....!!” Keras sekali siku kiri Hong Yi itu, menghantam dada Panglima Ciang sehingga tubuh
panglima itu terjengkang, mulutnya mengeluarkan keluhan mengaduh. Hortg Yi sudah tidak mau
memperdulikannya lagi dan wanita ini lalu berlari keluar ruangan itu menuju ke ruangan depan ke mana
suaminya pergi.

“He, tunggu, keparat!” Panglima Ciang memaki marah dan mengejar. Ketika Hong Yi memasuki ruangan
depan, ia mellhat suaminya sedang berdiri di depan petugas yang agaknya menanyakan segala macam
data tentang diri mereka. Hong Yi berlari masuk, mengejutkan sernua orang,

“Yi-moi, ada apakah?' Si Tiong bertanya heran. Akan tetapl Hong Yi sudah , menyambar tangannya dan
menarlknya.

“Mari, Tiong-ko, klta pergi saja dari tempat ini!” Hong Yl menarik tangan suaminya yang terpaksa
mengikutlnya. Mereka berlari keluar dari ruangan itu dan tiba di pekarangan gedung. Akan tetapi pada
saat itu, Panglima Ciang keiuar pula dari ruangan itu dan berteriak kepada para perajurit penjaga di luar
yang berjumlah lima belas orang.

“Tahan mereka! Tangkap mereka!” Lima belas orang perajurit itu mendengar aba-aba panglima atasan
mereka, serentak bergerak dan mereka sudah mengepung Si Tiong dan Hong Yi. Suami isteri itu
terkepung dan mereka siap membela diri dan berdlri saling membelakangi.

“Ciangkun, apa kesalahan kami? Mengapa kami hendak ditangkap?” Si Tiong berteriak kepada panglima
itu dengan penasaran.

“Tiong-ko, kita tidak bersalah apapun. Aku tidak melakukan kesalahan, percayalah kepadaku!” kata
Hong Yi lirih kepada suaminya.

“Tangkap mereka, jebloskan mereka dalam penjara!” teriak Panglima Ciang dengan marah. Lima belas
orang peraju-rit itu serentak menyerbu dan tangan-tangan mereka berserabutan hendak me-nangkap Si
Tiong dan Hong Yi. Suami isteri itu tentu saja tidak membiarkan dirinya ditangkap. Mereka mengelak,
menangkis bahkan menarnpar dan menendangi mereka sehingga para perajurit itu berpelantingan.

Melihat ini, Panglima Ciang menjadi semakin marah. “Pergunakan senjata, kalau perlu bunuh mereka!”
Dia sendiri sudah mencabut golok besar yang berai dan berkilauan. Para perajurit yang mendengar
perlntah ini segera mencabut senjata tajam masing-masing.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 63

Pada saat itu terdengar suara bentak-an menggeledek, “Tahan! Jangan bergerak semua!”

Semua orang menengok dan terkejutlah Panglima Ciang ketika melihat siapa yang mengeluarkan
bentakan itu. Si Tiong dan Hong Yi juga cepat menengok dan mereka melihat seorang pria bertubuh
tinggi tegap berusia sekitar lima puluh tahun, wajahnya gagah dan berwibawa, pakaiannya menunjukkan
bahwa dia seorang panglima berkedudukan tinggi. Di belakang panglima ini berdiri tujuh orang perwira
tinggi lainnya.

Panglima Ciang Sun Bo tergopoh-gopoh menyambut panglima itu dan memberi hormat sambil
menyebut, “Gak Tai-clangkun (Panglima Besar Gak)!”

Mendengar sebutan ini, Si Tiong dan Hong Yi memandang kagum. Biarpun belum pernah bertemu,
namun kedua suami isteri itu pernah mendengar nama Pangllma Gak Hui yang terkenal di seluruh negeri
sebagai seorang panglima yang gagah perkasa, bijaksana dan arnat setia kepada negara, setia kepada
Kerajaan Sung.

“Panglima Ciang, apa yang terjadi di sini? Mengapa engkau dan para perajurit mengeroyok dua orang
muda ini?” Dia memandang ke arah Si Tiong dan Hong Yi.

Panglima Ciang tampak gugup. “.... anu, Tai-ciangkun, ia.... wanita ini melawan dan suaminya itu
menibantu..”

Pangllma Gak Hui memandang kepada Si Tiong, lalu kepada Hong Yi dan diam-diam merasa heran
mengapa ada wanita cantik dalam kantor penerimaan calon perajurit itu.

“Siapa nama kalian?”. tanya panglima Gak Hui.

Si Tiong dan Hong Yi melangkah maju dan memberi hormat kepada panglima yang terkenal itu. “Saya
bernama Han Si Tiong dan ini adalah isteri saya bernama Liang Hong Yi, tai -ciangkun.”

“Hemm, Nyonya, benarkah melawan Ciang-ciangkun? Kalau benar mengapa?”

Hong Yi sudah pernah bergaul dengan pria-pria bangsawan, maka ia tidak malu-malu berhadapan
dengan seorang panglima besar. “Maafkan saya, tai-ciangkun. Saya tidak bersalah. Saya dan suami saya
datang ke sini untuk mendaftarkan diri menjadi perajurit. Kami ingin berjuang untuk membela nusa dan
bangsa, menentang bangsa Kin yang menjajah tanah air kita. Kami diterima Panglima Ciang, akan tetapi
dia hendak menguji ilmu silat saya dan dia.... dia bersikap tidak wajar dan melanggar susila, maka
terpaksa saya melawannya, tai-ciangkun.”

Jenderal Gak Hui mengerling ke arah Panglima Ciang. Dia sudah lama mendengar tentang watak
rekannya ini yang terkenal mata keranjang, maka dia sudah dapat membayangkan apa yang kiranya
terjadi. Dari sepak terjang suami isteri muda ketika dikeroyok tadi, dia melihat bahwa mereka berdua,
terutama si suami, memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Tentu Pariglima Ciang bersikap tidak sopan
terhadap wanita cantik itu akan tetapi dia bertemu dengan batu, wanita itu menolak dan melawan.

“Apa yang kaulakukan, Ciang-ciang-kun?” tegurnya dengan suara tegas.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 64

Panglima Ciang menjadi merah mukanya. Biarpun Jenderal Gak Hui termasuk rekannya, namun Jenderal
Gak Hui lebih besar kekuasaannya dibandingkan dia dan Juga jenderal itu menjadi kepercayaan kaisar.

“Saya.... saya telah menerima mereka, Gak-ciangkun. Saya.... saya hanya ingin menguji wanita itu, baik
ilmu silatnya maupun mentalnya karena tidak biasa ada wanita mau menjadi perajurit.”

“Hemm, sudahlah. Aku sendiri yang akan menerima Han Si Tiong dan isterinya ini, menjadi pembantu-
pembantuku.”

Bukan main girangnya hati Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Mereka tentu saja merasa bangga bukan
main dapat menjadi pembantu-pembantu Jenderal Gak Hui yang amat terkenal dan dipuja rakyat Jelata
itu. Jenderal ini sudah terkenal sebagai pelindung rakyat Jelata yang diganggu oleh para penjahat dan
para perajurit Kerajaan Kin di perbatasan. Jenderal Gak Hui melarang keras pasukannya mengganggu
rakyat, bahkan dia memerintahkan pasukannya untuk membantu rakyat dalam membangun dusun
mereka yang rusak oleh perang, dan menolong mereka apabila mereka membutuhkan pertolongan.

“Banyak terima kasih, Gak tai-ciangkun!” Suami isteri itui berseru sambil memberi hormat.

Setelah menyelesaikan kunjungannya untuk memeriksa pelaksanaan penerimaan calon-calon perajurit,


Jenderal Gak Hui meninggalkan gedung Panglima Ciang dan Si Tiong bersama isterinya diajak serta.

Jenderal Gak Hui mengajak mereka ke markasnya dan setelah melihat, mereka mendemonstrasikan
permainan silat mereka, Jenderal Gak Hui lalu mengangkat suami isteri itu menjadi perwira-perwira.
Hong Yi tidak dipisahkan dan suaminya, bahkan diangkat menjadi pembantu perwira yang selalu
mendampingi suaminya dalam memimpin pasukan. Tentu saja suami isteri ini menjadi girang bukan
main dan berterima kasih sekali kepada keputusan Jenderal Gak Hui yang bijaksana.

Sewaktu mereka bertugas di kota raja, pekerjaan mereka adalah melatih ilmu silat kepada para
perajurit. Tugas ini mereka lakukan dengan penuh kesungguhan dan tekun sehingga para perajurit
dalam pasukan pimpinan mereka memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat dan olah keperajuritan.
Tentu saja Jenderal Gak Hui merasa puas dan girang bahwa dia tidak salah pilih ketika mengangkat
suami isteri itu menjadi, pembantunya. Dalam waktu singkat Han Si Tiong mendapatkan kenaikan
pangkat sehingga dia dan isterinya dipercaya untuk memimpin pasukannya yang berjumlah ribuan
orang.

Setahun kemudian Hong Yi melahirkan seorang anak perempuan. Tentu saja hal ini menambah
kebahagiaan mereka. Anak itu diberi nama Han Bi Lan dan mereka, lalu mengirim utusan untuk
menjemput Lu-ma karena Hong Yi membutuhkan bantuan bibinya itu untuk merawat dan mengasuh Bi
Lan. Pula ia merasa kasihan kepada bibinya yang dulu memang menginginkan untuk ikut dengannya
kalau mimpinya sudah terujud, yaitu kalau ia dan suaminya telah memperoleh kedudukan dan
kemuliaan di kota raja Lin-an. Lu-ma datang dan ia merasa berbahagia sekali. Biarpun di Cin-koan ia
dapat hidup berkecukupan sebagai pengelola rumah hiburan, namun ia tidak pernah merasa
berbahagia, apa lagi setelah di tinggal pergi Hong Yi. la mencinta Hong Yi seperti anak kandung sendiri
dan kini ia hidup serumah dengan Hong Yi dan suaminya, apa lagi ia kini mempunyai momongan seorang
cucu yang mungil! Ia mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah dirasakannya ketika ia tinggal di Cin-
koan.

* **

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 65

Kaisar Kao Tsung mengumpulkan para menteri dan panglimanya untuk mengadakan sidang dan
membicarakan usul yang diajukan oleh Jenderal Gak Hui kepada Kaisar. Persidangan itu dihadiri oleh
semua pejabat tinggi, sipil dan militer. Tentu saja Perdana Menferi yang menjadi pembantu kaisar
terpenting, hadir pula. Perdana Menteri itu adalah Chin Kui. Menteri Chin Kui adalah seorang laki -laki
tinggi kurus berusia sekitar lima puluh tahun. Mulutnya selalu condong tersenyum sinis, mukanya dan
sepasang telinganya yang kecil membuat wajah itu mirip wajah tikus dengan kumisnya yang jarang dan
menjuntai di kanan kiri mulutnya. Akan tetapi sepasang mata yang kecil itu se lalu bergerak,
membayangkan kecerdikan dan dia pandai membawa diri, pandai mengambil hati. Dia pandai bicara dan
dapat mengambil hati Kaisar Kao Tsung sehingga dla amat dipercaya.

Setelah persidangan dibuka menyambut munculnya Kaisar Kao Tsung, dengan penghormatan kepada
kaisar, Kaisar Kao Tsung lalu berkata dengan suaranya yang lembut. “Persidangan ini kami adakan untuk
membicarakan usul yang disampaikan Jenderal Gak Hui kepada kami. Kami harap kalian dapat
menyumbang pemikiran bagaimana jalan terbaik yang harus diambil. Jenderal Gak, harap engkau suka
kemukakan usulmu itu agar para menteri dan panglima dapat mendengarkan lalu ikut membantu
memikirkan.”

Jenderal Gak Hui memberi hormat kepada kaisar, mengucapkan terima kasih atas kesempatan bicara
yang diberikan, lalu dia bangkit dan menghadap ke arah para menteri dan panglima. “Saudara-saudara,
para menteri dan panglima yang saya hormati. Saya telah menghaturkan usul kepada Sribaginda Kaisar
agar saya diperkenankan menghimpun dan memimpin barisan untuk menyerang bangsa Kin dan
mengusirnya dari tanah air kita. Sekaranglah saat yang terbaik untuk bergerak dan mengusir mereka.”

Kaisar Kao Tsung mengangkat tangan memberi isarat sehingga Jenderal Gak Hui menghentikan
ucapannya dan memberi hormat kepada kaisar lalu duduk kembali.

“Jenderal Gak Hui, kami ingin sekali mendengar alasanmu, mengapa engkau sekarang ini saat terbaik
untuk bergerak dan menyerang pasukan bangsa Kin”.

“Sribaginda Kaisar Yang Mulia, anggapan hamba ini berdasarkan alasan-alasan yang amat kuat dan
hamba tidak akan berani mengajukan usul kepada paduka kalau hamba tidak merasa yakin benar
pertama dari para mata-mata dan penyelidik yang hamba kirim ke utara, hamba mendapat keterangan
bahwa keadaan bangsa Kin yang menduduki daerah utara kini tidak terlalu kuat. Banyak kekacauan
terjadi karena rakyat memusuhi mereka dan rakyat tidak mau membantu ransum mereka secara suka
rela. Dan kecuali itu, terjadi pertikaian dan perebutan kekuasaan di antara para komandan yang
menguasai daerah jajahan mereka itu. Adapun alasan yang kedua, hamba telah mempersiapkah
pasukan dengan baik sehingga terkumpul barisan yang berjumlah cukup banyak. Selain itu, hamba juga
membentuk pasukan-pasukan inti yang dilatih ilmu silat dengan baik, bahkan didukung para pendekar
yang berjiwa patriot. Karena itu, harhba yakin bahwa kalau hamba membawa barisan bergerak
sekarang, hamba tentu akan berhasil membinasakan dan memukui mundur mereka.”

Kaisar Kao Tsung mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Bagus sekali, Jenderal Gak Hui. Kami merasa
setuju sekali karena kamipun. sudah lama sekall menanti-nanti saatnya untuk melihat bangsa Kin yang
biadab itu dihancurkan agar segala dendam sakit hati ini dapat terbalas. Akan tetapi kami ingin
mendengar pendapat kalian. Kemukakanlah pendapat kali an agar kita dapat memikirkan dan
merundingkan bersama.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 66

Sebagian besar para menteri dan panglima dengan singkat namun tegas menyatakan mendukung usul
dan pendapat Jenderal Gak Hui. Ketika tiba-tiba giliran Panglima Ciang Sun Bo untuk menyatakan
pendapatnya, dia memberi hormat kepada kaisar dan berkata, “Hamba mohon ampun, Sri baginda Yang
Mulia. Bukan sekali-kali hamba hendak menentang usul pendapat Jenderal Gak Hui, akan tetapi hamba
hanya mengingatkan agar paduka berhati-hati sekali dalam mengambil keputusan untuk menyerang
bangsa Kin. Hamba mendengar dan agaknya semua orang juga mengetahui bahwa balatentara Kin
amatlah kuatnya sehingga hamba khawatir kalau-kalau barisan kita tidak akan mampu mengalahkan
mereka.”

Jenderal Gak Hui mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Panglima Ciang Sun Bo. “Ciang-ciangkun,
kalau engkau takut, Jangan ikut maju berperang!”

“Jenderal Gak Hui, biarkanlah semua orang mengajukah pendapat mereka masing-masing.” kata Kaisar
Kao Tsung.

“Ampunkan hamba, Yang Mulia.” kata Jenderal Gak Hui sambil mengerutkan alisnya dan menundukkan
mukanya. Dia tahu bahwa Panglima Ciang Sun Bo sengaja menentangnya karena memang ada perasaan
tidak suka antara dia dan Panglima Ciang, apa lagi setelah kejadian beberapa tahun yang lalu, yaitu
ketika terjadi keributan di gedung panglima itu karena dia hendak berbuat tidak sopan terhadap Liang
Hong Yi yang kini bersama suami wanita itu telah menjadi pembantunya yang boleh diandalkan. Karena
jasa Han Si Tiong dan Liang Hong Yi itulah maka kini dapat dibentuk pasukan khusus yang kuat sehingga
membesarkan hatinya untuk menyerang bangsa Kin di utara.

Tiba-tiba Perdana Menteri Chin Kui yang sejak tadi hanya diam mendengarkan saja, berkata dengan
suaranya yang halus namun cukup lantang.

“Yang Mulia, hamba kira apa yang dikatakan Panglima Ciang Sun Bo tadi sama sekali tidak keliru dan
patut untuk diperhatikan dan direnungkan. Semua orang tahu betapa kuatnya balatentara Kin. Tentu
paduka tidak lupa bahwa kejatuhan Sung di utara justeru karena pasukan-pasukan kita yang lebih dulu
menyerang balatentara Kin. Hal itu yang menyababkan bangsa Kin menyerang terus sampai ke selatan.
Tentu paduka tidak lupa akan kesalahan taktik yang diusulkan Perdana Meoteri Cai Ching ketika itu. Dia
mengusulkan kepada mendiang Kaisar Hui Tsung untuk mengejar dan menyerang barisan Kin di utara
sehingga para pimpinan Kin menjadi marah lalu berbalik menyerang kita sampai terpaksa kerajaan
diungsikan ke sini. Yang Mulia, sebaiknya jangan mengganggu harimau yang sedang tidur. Saat ini
bangsa Kin tenang-tenang saja tidak mengganggu kita, mengapa kita mendahului menyerang mereka?”

Kaisar Kao Tsung mengerutkan alisnya dan memandang kepada Perdana Menterinya itu dengan heran.
“Perdana Menteri Chin Kui, bagaimana engkau dapat berkata begitu? Apakah kalau menurut engkau,
kami tidak usah memusuhi bangsa Kin, tidak usah membalas dendam atas kematian ayahanda kami,
tidak berusaha untuk merebut kembali wilayah Sung yang telah dirampasnya? Begitukah?” Dalam suara
Kaisar Kao Tsung terkandung kemarahan.

“Ampun, Yang Mulia. Sama sekali tidak demikian maksud hamba. Akan tetapi, kita tidak bisa selalu
mengandalkan kekuatan tenaga. Kekuatan tenaga kasar tanpa dibantu pemikiran yang mendalam dan
cerdik dapat menggagalkan semua usaha. Kalau kita hendak menyerang Bangsa Kin, kita harus
mempergunakan perhitungan yang tepat, tidak sembrono. Mohon Paduka bayangkan, kalau sembrono
lalu serangan itu gagal sama sekali, bahkan mengakibatkan balatentara menyerbu ke selatan dan
menguasai seluruh negeri, bukankah hal itu akari merupakan suatu malapetaka yang mengerikan?

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 67

Hamba sekarang hendak bertanya kepada Jenderal Gak Hui. Dia yang mengusulkan penyerangan ke
utara ini. Kalau sampai penyerangan gagal dan akibatnya seperti yang hamba khawatirkan itu, lalu siapa
yang akan bertanggung jawab?”

Mendengar ucapan itu, Kaisar Kao Tsung menoleh kepada Jenderal Gak Hul. Wajah Jenderal Gak Hul
menjadi merah dan hatlnya yang keras dan penuh kesetiaan kepada Kerajaan Sung menjadi panas.

“Hamba tidak akan gagal, Yang Mulia!” katanya kepada kaisar yang memandang kepadanya.

“Akan tetapi tidak ada yang pasti di dunia ini, Gak Ciangkun. Hidup kitapun tidak bisa dipastikan kapan
berhentinya. Bagaimana kalau engkau gagal, kalah dalam perang melawan balatentara Kin? Bagaimana
pertanggungan jawabmu terhadap Yang Mulia, terhadap bangsa dan terhadap kerajaan?” Suara
Perdana Menteri Chin Kui mengandung tantangan dan ejekan. Jenderal Gak Hui merasa dadanya seolah
hendak meletus saking marahnya. Akan tetapi di depan kaisar dia tidak berani memperlihatkan
kemarahan dan menahan perasaannya. Apa yang hendak dia lakukan adalah demi kepentingan kerajaan
dan bangsa, akan tetapi kegagalannya akan ditimpakan kepada dia seorang!

“Kalau saya gagal, saya bersedia untuk dipecat dan dijatuhi hukuman yang pallng b erat, Chin-taijin
(Pembesar Chln)l” katanya sambll memandang wajah Perdana Menterl itu dengan sinar mata tegas dan
keras.

“Bagus! Tentu saja kalau gagal engkau tidak cukup mengucapkan maaf lalu lepas tangan. Engkau
mempermainkan nasib kerajaan dan bangsa dalam usulmu ini, Ciang-kun!”

“Sudahlah, Perdana Menteri Chin Kui!” kata Kaisar Kao Tsung.

“Jenderal Gak Hui sudah menyatakan pendapat dan kesanggupan pertanggungan jawabnya dan kami
mengenal dia sebagai seorang gagah yang selalu memegang teguh kata-katanya. Kami juga percaya
bahwa dia tentu akan berhasil. Karena itu, kami memutuskan menerima usulmu, Jenderal Gak Hul.
Laksanakanlah seperti yang kaurencanakan itu!”

“Terima kasih atas kepercayaan paduka dan hamba siap melaksanakan perintah, Yang Mulia!” Kata
Jenderal Gak Hui dengan suara tegas yang mengandung kegembiraan. Persidangan dibubarkan dan
Jenderal Gak Hui cepat kembali ke markasnya. Dia segera memanggll semua pembantunya, yaltu para
perwira yang menjadi komandan dari pasukan-pasukannya. Setelah mereka berkumpul, di antara
mereka terdapat Han Si Tiong dan isterinya, Liang Hong Yi, Jenderal Gak menceritakan tentang
persetujuan kaisar yang menerima usulnya untuk melakukan penyerbuan ke utara, mengusir penjajah
Kin.

“Aku peringatkan kepada kalian bahwa kita semua adalah pengemban-pengemban tugas yang mulia,
yaitu membela bangsa dan tanah air dengan taruhan nyawa. Hidup yang sempurna berarti
melaksanakan tugas dengan baik karena hidup ini sendiri berarti memikul tugas-tugas. Untuk dapat
menjadi seorang manusia seutuhnya kita, harus dapat melaksanakan semua tugas itu dengan sebaik-
baiknya. Tugas pertama dan utama adalah tugas seorang manusia terhadap Tuhannya, yaitu menaati
semua perintah Tuhan melalui kitab agama masing-ma-sing yang tentu bersumber kepada kebaikan dan
hidup bermanfaat bagi manusia dan dunia. Dalam tugas utama ini tercakup tugas-tugas lain yang banyak
macamnya, misalnya tugas kewajiban sebagai orang tua terhadap anak-anaknya, sebagai anak terhadap
orang tuanya, sebagai suami terhadap isterinya dan sebaliknya, sebagai anggauta keluarga terhadap

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 68

sanak keluarganya, sebagai guru terhadap muridnya dan sebaliknya, sebagai anggaUta masyarakat,
sebagai sahabat, sebagai warga negara terhadap negaranya dan sebagainya lagi. Termasuk tugas yang
sekarang kalian emban, yaitu tugas seorang perajurit terhadap atasan dan pasukannya, sebagai seorang
patriot terhadap bangsa dan tanah airnya. Kalau hendak menjadi seorang manusia seutuhnya, maka,
semua tugas itu harus dilaksanakan dengan baik. Satu saja tugas itu diabaikan, tentu dia tidak dapat
menjadi manusia baik yang seutuhnya! Biarpun semua tugas yang kusebutkan tadi telah kalian
laksanakan dengan baik, namun kalau kalian tidak memenuhi tugas kalian sebagai seorang perajurit dan
patriot, maka kalian tetap akan menjadi orang yang tercela. Apa lagi kalau ada di antara kalian yang
mengkhianati perjuangan, nama seorang pengkhianat akan dikutuk rakyat selama hidupnya. Aku
percaya bahwa kalian adalah patriot-patriot yang gagah perkasa, yang siap mempertaruhkan nyawa
demi keselamatan bangsa dan tanah air, demi kehormatan Kerajaan Sung.”

Setelah memberi peringatan kepada para perwira itu, Jenderal Gak lalu membagi -bagi tugas kepada
mereka. Setelah pertemuan itu dibubarkan, Jenderal Gak memanggil Han Si Tiong dan Liang Hong Yi ke
dalam kantornya.

“Kalian telah berjasa besar dalam menggembleng Pasukan Halilintar sehingga pasukan yang kalian
pimpin dapat dijadikan pasukan inti yang akan mempelopori dan memberi dorongan semangat kepada
seluruh barisan. Akan tetapi jasa kalian itu belum terbukti manfaatnya bagi kerajaan. Sekarang tiba
saatnya kalian membuktikan bahwa kalian dan pasukan kalian benar-benar boleh diandalkan dan
menjadi tulang punggung seluruh barisan. Apakah kalian berdua sudah siap lahir batin untuk
melaksanakan tugas yang amat penting akan tetapi juga amat berbahaya ini?”

Dengan sikap tegak dan suara tegas suami isteri itu menjawab serentak, “Kami siap melaksanakan tugas,
Tai-ciangkun!”

Gak Hui memandang suami isteri itu dengan kagum dan bangga. Tidak salah penilaiannya terhadap
suami isteri ini ketika pertama kali dia melihat mereka dalam rumah Panglima Ciang Sun Bo. Han Si Tiong
kini telah menjadi seorang pria gagah perkasa berusia tiga puluh tiga tahun, sedangkan Liang Hong Yi
yang juga berpakaian sebagai seorang perwira Itu tampak gagah dan cantik manis dalam usianya yang
dua puluh enam tahun.

“Sekarang kalian pulanglah dan membuat persiapan. Seperti telah kita rencanakan tadi, besok pagi -pagi
benar sebelum fajar menyingsing, kita akan berangkat”

“Baik, tai-ciangkun!” kedua orang suami isteri itu memberi hormat lalu bergegas pulang ke rumah
mereka. Sebagal perwira, mereka telah mendapatkan rumah tinggal sendiri di mana mereka tinggal
bersama anak tunggal mereka, Han Bi Lan yang kini sudah berusia tujuh tahun dan Lu-ma yang kini
tampak selalu gembira dan tubuhnya menjadi gemuk. Lu-ma inilah yang mengasuh Bi Lan dengan penuh
kasih sayang seorang nenek apabila ayah ibu anak itu meninggalkan rumah untuk bertugas.

Ketika Si Tiong dan Hong Yi melangkah masuk melalui pintu depan, Bi Lan, anak perempuan berusia
tujuh tahun yang mungil dan manis itu, tiba-tiba menyambut ayah ibunya dengan bentakan nyaring,
“Ayah ibu awas seranganku!” Dan anak itu dengan gerakan yang gesit sekali telah menyerang ayah
ibunya dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan. Mulutnya yang kecil mungil berseru
berulang-ulang, “Haiiittt.... yaaattt?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 69

Si Tiong dan Hong Yi mengelak dan membiarkan anak mereka melakukan serangan bertubi -tubi sampai
tujuh jurus. Kemudian Si Tiong menangkap lengan Bi Lan dan mengangkat tubuh anak itu dan
dipondongnya,

“Bagus, Bi Lan. Akan tetapi engkau harus berlatih lebih tekun lagi.” kata Si Tiong sambil mencium pipi
anaknya.

“Akan tetapi engkau juga tidak boleh melalaikan pelajaranmu membaca dan menulis, Bi Lan.” kata Hong
Yi.

Lu-ma muncul dari dalam. Badannya gemuk dan sehat dan wajahnya penuh senyum. “Mana berani ia
melalaikan pelajarannya? Selama ada aku di sisinya, ia tidak akan berani bermalas-malasan!” Bi Lan
cemberut dan melapor kepada ibunya. “Ibu, nenek Lu galak dan kejam! Kalau aku tidak menurut, ia
tidak mau melanjutkan dongengnya!”

“Bukan galak dan kejam, melainkan itu karena ia sayang sekali kepadamu, Bi Lan. Nenek ingin engkau
menjadi seorang yang pandai dan berguna bagi manusia dan dunia ke lak.” kata Hong Yi.

“Baiklah, nenekmu yang galak dan kejam ini malam nanti akan melanjutkan dongengnya tentang nenek
sihir yang jahat itu.” kata Lu-ma sambil tersenyum.

Bi Lan turun dari pondongan ayah-nya dan lari menghampiri Lu-ma lalu memeluknya.”Nenek Lu tidak
galak dan kejam, melainkan baik hati sekali! Aku sayang padamu, nek. Malam nanti lanjutkan
donggengnya, ya?”

Mereka semua tertawa menyaksikan kemanjaan anak itu. Si Tiong dan Hong Yi lalu berkemas dan
setelah makan malam mereka mengatakan kepada Lu-ma dan Bi Lan bahwa besok pagi-pagi sekali
sebelum fajar menyingsing mereka akan berangkat bertugas dan sekali ini mereka akan pergi untuk
waktu yang lama dan belum dapat ditentukan berapa lamanya.

“Kalian akan pergi ke mana dan melakukan tugas apakah maka membutuhkan waktu lama?” tanya Lu-
ma.

“Kami akan memimpin pasukan menuju ke utara untuk berperang mengusir bangsa Kin.” kata Hong Yi.
Lu-ma melompat bangkit dari duduk-nya. “Berperang....? Ahhh....!” Mata nenek itu terbelalak dan
alisnya berkerut, wajahnya membayangkan kekhawatiran besar.

“Engkau kenapakah nek? Ayah dan ibu adalah prajurit-prarajurit patriot yang gagah perkasa, tentu saja
mereka pergi berperang untuk mengusir penjajah”, kata Bi Lan yang memang sejak kecil telah diberi
pengertian oleh ayah ibunya tentang kependekaran dan kepahlawanan. “kita sepatutnya merasa
bangga, nek”.

Lu-ma masih tampak gelisah. “Akan tetapi.... bertempur....??”

“Bibi ucapan Bi Lan. tadi benar sekali. Kami harus bertempur membela bangsa dan tanah air. Karena itu
kami titip Bi Lan agar kau amati ia baik-baik selama kami pergi.”

“Ibu, aku ingin ikut berperang melawan Bangsa Kin !” tiba-tiba Bi Lan berkata lantang.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 70

Si Tiong tersenyum bangga. “Engkau masih terlalu kecil. Bi Lan. Engkau harus belajar dan berlatih
dengan giat agar menJadi kuat dan mampu melawan musuh. sekarang belum waktunya karena di pihak
musuhpun tidak ada anak kecilnya.”

Kalau sudah besar aku boleh ikut bertempur, ayah?”

“Tentu saja! Engkau akan menjadi seorang pahlawan yang gagah perkasa dan ditakuti musuh.”

Setelah Bi Lan tidur, malam itu Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bicara lebih serius kepada Lu-ma. “Kalau
terjadi apa-apa dengan kami, andaikata kami gugur dalam perang, rawatlah Bi Lan baik-baik bibi. Di
almari itu kami tinggalkan seluruh harta milik kami, dapat engkau pergunakan untuk membesarkan Bi
Lan. Jangan lupa untuk mengundang guru silat dan guru sastra untuk mendidiknya.” pesan Liang Hong
Yi.

Lu-ma mengangguk-angguk sambil mengusap air matanya. la tidak dapat menyembunyikan kegelisahan
hatinya. Ia amat sayang kepada Hong Yi, menganggap wanita itu seperti anak kandungnya sendiri.
Membayangkan Hong Yi bertempur dalam perang, terluka atau bahkan tewas, hatinya merasa gelisah
bukan main. Melihat nenek itu menahan isak dan mengusap air mata, Hong Yi merangkulnya”

“Tenanglah dan jangan khawatir, bibi. Kami akan menjaga diri dengan hati -hati dan percayalah, Jenderal
Gak Hui akan membawa kami mencapai kemenangan yang gemilang.” kata Si Tiong dengan nada
menghibur dan membesarkan hati.

“Benar, bi. Jangan khawatir dan jangan memperlihatkan kesedihan kepada Bi Lan agar anak itu tidak ikut
khawatir dan bersedih. Kami berdua pasti akan pulang dengan selamat.” kata Hong Yi.

Akhirnya Lu-ma dapat menenangkan hatinya. Akan tetapi malam itu ia tidak mau berpisah dari Bi Lan
dan menemani anak itu tidur di kamar Bi Lan

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali suami isteri itu sudah selesai berkemas. Ketika saatnya
keberangkatan tiba, mereka memasuki kamar Bi Lan dan ternyata Lu-ma juga sudah bangun sejak tadi.
Mereka menggugah anak itu. Anak itu malam tadi sudah memesan dengan sangat kepada ayah ibunya
agar dia digugah kalau mereka hendak berangkat.

Bi Lan terbangun. Hong Yi merangkul anaknya. “Anakku Bi Lan, engkau baik-baik menjaga dirimu di
rumah. Taati semua petunjuk nenekmu dan jangan lupa untuk belajar dengan tekun, baik sastra maupun
silat.”

“Jangan khawatir, Ibu.” Dan ketika ia melihat Lu-ma mengusap air matanya, Bi Lan menegur. “Eh, nenek
kenapa menangis? Jangan cengeng, nek dan Jangan khawatir. Selama ayah dan ibu pergi, akulah yang
akan menjagamu!”

Si Tiong juga merangkul anaknya. “Bi Lan, ingat, selama ayah dan ibu tidak berada di rumah, engkau
jangan nakal. Jangan suka berkelahi dengan anak-anak lain.”

“Ayah, ibu, kalau pulang jangan lupa membawa oleh-oleh!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 71

Hong Yi tersenyum. “Baik, akan tetapi oleh-oleh apa yang kau inginkan, Bi Lan?”

“Aku ingin ayah dan ibu pulang membawa oleh-oleh sebatang pedang bengkok milik seorang panglima
Bangsa Kin!”

Han Si Tiong saling bertukar pandang dengan Liang Hong Yi. Keduanya mengangguk. “Baiklah, Bi Lan,
aku akan mengusahakan agar dapat merobohkan seorang panglima Kin dan merampas pedangnya
untukmu.”

Suaml isterl Itu lalu meninggalkan rumah, diantar sampai keluar pekarangan oleh Bi Lan dan Lu-ma. Bi
Lan mengantar ayah ibunya dengan wajah cerah dan pandang mata bangga, tidak sepertl Lu -ma yang
niengusap air matanya yang selalu mengalir keluar dari sepasang matanya.

Setelah suami isteri yang sering nengok dan melambaikan tangan menghilang di tikungan jal an, Bi Lan
menggandeng tangan neneknya dan mengomel. “Aih, nenek ini cengeng benar sih! Sudah tua menangis!
Ayah dan ibu kan pergi berjuang, sepatutnya bergembira dan berbangga, bukan menangis.”

Lu-ma menyusut air matanya dan tersenyum, mengelus rambut kepala cucunya yang amat disayangnya.
“Aku juga gembira dan bangga, Bi Lan.”

“Lalu kenapa nenek menangis?”

“Hemm, karena cengeng itulah!”

“Ehh....,?”. Bi Lan.tldak mengerti bingung.

“Sudahlah, mari kita masuk ke rumah, mandi yang segar, berganti pakaian lalu sarapan.” Lu-ma lalu
menggandeng tangan cucunya dan mereka memasuki rumah yang bagi Lu-ma tiba-tiba terasa sepi itu.

* **

Sepasang suami isteri itu memang tampak gagah sekali ketika mereka menunggang kuda memimpin
Pasukan Halilintar yang mereka bentuk. Terutama sekali Liang Hong Yi tampak cantik dan juga gagah
perkasa. Dengan pakaian perang wanita yang baru berusia dua puluh enam tahun ini tampak gagah dan
melihat isteri komandan mereka ini ikut memimpin pasukan di samping suaminya, para perajurit
anggauta Pasukan Halilintar menjadi gembira dan bersemangat sekali!

Balatentara Kerajaan Sung itu dipimpin sendiri oleh Jenderal Gak Hui. Setelah barisan keluar dari kota
raja, Jenderal Gak Hui lalu membagi barisan besar itu menjadi lima pasukan, di antaranya Pasukan
Halilintar yang bertugas sebagal pendobrak di garis terdepan. Pasukan-pasukan itu berpencar dan
dimaksudkan untuk menyerang benteng pertahanan tentara Kin di utara dari beberapa jurusan. Siasat
inl dilakukan untuk memecah perhatian musuh, membuyarkan pemusatan kekuatan musuh dan
menimbulkan kesan seolah-olah yang melakukan penyerbuan ke utara itu jauh lebih besar jumlahnya
dari pada yang sebenarnya.

Penyerbuan besar-besaran yang dilakukan barisan yang dipimpin Jenderal Gak Hui Ini mengejutkan
barisan Kin. Apa lagi karena serbuan itu dilakukan dari berbagai jurusan. Mereka melakukan perlawanan
mati-matian dan terjadilah pertempuran di mana-mana, pertempuran yang dahsyat

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 72

Han Si Tiong memperlihatkan kegagahannya. Pasukan Halilintar yang dipimpinnya merupakan pasukan
yang membuat pihak musuh berantakan dan terpaksa mendatangkan bala bantuan lebih besar untuk
menghadapi pasukan istimewa yang dipimpin Han Si Tiong dan isterinya. Liang Hong Yi bertempur di
samping suaminya, di setiap pertempuran wanita muda ini mengamuk dengan pedangnya. Gelung
rambutnya terlepas dan rambutnya riap-riapan ketika ia mengamuk dan merobohkan banyak lawan.

Ketika pertempuran sedang memuncak, tiba-tiba Hong Yi melihat suaminya bertanding melawan
seorang lawan yang bertubuh tinggi besar dan melihat pakaiannya dapat diketahui bahwa dia seorang
panglima. Panglima Kin ini memainkan sebatang pedang bengkok dan dia lihai bukan main. Han Si Tiong
sendiri sampai kewalahan menghadapi lawan yang amat tangguh ini. Dan sepak terjang panglima Kin ini
agaknya mendatangkan semangat yang berkobar di pihak pasukan Kin. Apa lagi datang pasukan lain
yang membantu sehingga selain jumlah pasukan Kin lebih besar, juga kedudukan mereka jauh lebih
kuat. Pada saat itu, Pasukan Halilintar berada di lereng sebuah bukit dan mereka terkepung ketat oleh
pasukan musuh. Mereka terdesak hebat dan melihat ini, Han Si Tiong bermaksud untuk mencari jalan
terobosan agar pasukannya dapat diselamatkan dan untuk sementara mundur dulu dari kepungan dari
pada pasukannya hancur dibinasakan pihak lawan yang amat kuat. Juga dia melihat betapa pasukannya
sudah tampak kelelahan dan semangat mereka sudah mulai lemah. Karena perhatiannya terpecah,
hampir saja lehernya terkena sabetan pedang panglima musuh yang dilawannya. Dia cepat melompat ke
belakang dan memutar pedangnya sehingga tubuhnya terlindung dan terpaksa dia mencurahkan seluruh
perhatiannya lagi menghadapi lawan yang tangguh itu. Karena desakan ini, maka Han Si Tiong belum
mendapat kesempatan untuk memerintahkan pasukannya mundur.

Liang Hong Yi juga melihat keadaan Pasukan Halilintar yang sudah terjepit dan terdesak itu. la merasa
khawatir sekali melihat pasukan yang tampak kelelahan dan kehilangan semangat. la tahu bahwa hanya
ada satu cara untuk menyelamatkan diri dan memenangkan pertempuran berat sebelah itu, ialah
dengan meningkatkan semangat pasukannya sehingga berapi -api. Maka, ia lalu cepat berlari ke arah
para perajurit yang bertugas membawa bendera Pasukan Halilintar. Setelah tiba dekat, ia berseru,
“Berikan bendera dan genderang itu!” la merampas begitu saja bendera pasukan dan sebuah genderang
perang, lalu berlari ke arah puncak bukit kecil tak jauh dari situ. Setelah tiba di puncak, la menancapkan
tihang bendera di puncak, kemudian ia memukul gendereng dengan sekuat tenaga, mengisyaratkan
penyerbuan. Bunyi genderang bertalu-talu, nyaring sekali, mengejutkan Pasukan Halilintar sendiri dan
juga pihak lawan. Ketika pasukan Kin melihat bahwa yang memukul genderang itu seorang wanita yang
rambutnya riap-riapan dan berpakaian sebagai perwira, mereka menghujankan anak panah ke arah
Liang Hong Yi. Namun, Hong Yi mempergunakan pedang di tangan kanan untuk menangkisi semua anak
panah yang menyambar ke arah tubuhnya sedangkan tangan kirinya tetap memukuli genderang.

Melihat kegagahan Hong Yi, para perajurit Pasukan Halilintar menjadi kagum dan bangga. Semangat
mereka terbakar berkobar-kobar dan mulut mereka mengeluarkan teriakan-teriakan nyaring, kemudian
bagaikan kesetanan mereka mengamuk! Hebat bukan main sepak terjang para perajurit Pasukan
Halilintar ini, bagaikan halilintar menyambar-nyambar dan para perajurit Kin roboh bergelimpangan!
Biarpun Hong Yi sudah menghentikan pemukulan genderang, namun bunyi genderang masih bertalu -
talu karena ada perajurit penabuh genderang yang menggantikannya. Hong Yi sendiri lalu berlari
menuruni bukit kecil itu. la melihat betapa suaminya masih bertanding seru melawan panglima Kin dan
kini suaminya mulai terdesak dan keadaannya berbahaya sekali. Maka, dengan pedang di tangan Hong Yi
melompat dan menerjang, membantu suaminya menyerang panglima itu. Panglima itu terkejut karena
gerakan pedang Hong Yi cukup dahsyat. Dia mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua ilmu

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 73

pedangnya, namun menghadapi pengeroyokan suami isteri itu, akhirnya dia roboh terkena tusukan
pedang di tangan Han Si Tiong. Tusukan itu mengenai dadanya dan diapun roboh dan tewas.

“Pangeran Cusi gugur....lt” terdengar seruan beberapa orang perajurit Kin yang bertempur tdak jauh dari
situ. Berita ini terus menjalar dan robohnya panglima Kin yang ternyata seorang pangeran ini membuat
pasukan Kin menjadi kacau dan panik.

Han Si Tiong teringat akan pesan puterinya. Dia lalu mengambil pedang bengkok milik panglima atau
pangeran yang tewas. itu. Sebatang pedang yang indah sekali, bergagang emas! Setelah membuka
sarung pedang yang tergantung di pinggang pangeran itu dan menggantung pedang itu di pinggangnya
sendiri, bersama Hong Yi dia lalu terus memimpin pasukannya untuk mendesak pihak lawan yang sudah
menjadi panik Itu. Akhirnya pasukan Kin mundur melarikan diri, meninggalkan banyak kawan yang
tewas. Pasukan Halilintar yang mula-mula mengejar, berhenti atas perintah Han Si Tiong. Mengejar
terus di daerah lawan, selain membuat pasukannya yang sudah lelah sekali itu kehabisan tenaga, juga
ada bahayanya mereka akan terjebak, Pasukan Halilintar bersorak menggegap-gempita sebagai
pernyataan kegembiraan mereka. Hong Yi yang telah berhasil meningkatkan semangat pasukannya
dengan cara yang gagah berani itu menjadl bahan percakapan pasukan yang merasa kagum dan bangga
sekali.

Kemenangan demi kemenangan diperoleh barisan yang dipimpin Jenderal Gak Hui dan Pasukan
Halilintar memegang peran penting dalam pertempuran yang berhasil ini. Tentu saja Jenderal Gak Hui
mencatat semua jasa Han Si Tiong dan juga Liang Hong Yi.

Akan tetapi, selagi Jenderal Gak Hui mulai berhasil dengan gerakan serangannya ke arah utara yang
dikuasai kerajaan Kin, tiba-tlba saja datang utusan Kaisar Sung Kao Tsu yang membawa surat perintah
kaisar untuk Jenderal Gak HUl. Alangkah terkejut rasa hatl Jenderal Gak Hul ketika membaca surat
perintah Itu. Kalsar memerintahkan agar dia menghentikan serangannya dan segera menarlk barisannya
kembali ke selatan. Rasa kaget, heran, penasaran dan marah memenuhi hati jenderal inl. Dia sudah
mulai menyerang dan mendapatkan banyak kemenangan dan kemajuan. Kalau dia diberi kesempatan,
bukan mustahil dia akan mampu mengusir penjajah Kin keluar dari seluruh daerah Sung yang
dirampasnya karena di sepanjang daerah yang dapat direbutnya, seluruh rakyat menyambutnya dengan
hangat dan siap membantunya! Dia dapat memperbesar dan memperkuat barisannya sambil berperang.
Akan tetapi, tlba-tiba tanpa alasan apapun, Kaisar merintahkan agar dia menghentikan gerakannya dan
menarik kembali pasukan-pasukannya ke selatan! Biarpun hatinya penuh penyesalan, namun Gak Hui
adalah seorang panglima yang amat setia kepada Kerajaan Sung. Berarti dia harus setia kepada Kaisar!
Apapun perintah kaisar harus dia taati, bahkan dia siap memberikan nyawanya kalau hal itu di kehendaki
oleh kaisar! Demikianlah kesetiaan Jenderal Gak Hui yang disanjung dan dipuji rakyat jelata. Jenderal
Gak Hui sempat menitikkan air mata ketika dia berada seorang diri dalam kamarnya pada saat dia
memerintahkan para perwiranya untuk menarik kembali pasukan-pasukan di bawah komandonya.

Apakah yang terjadi di kota raja, terutama di istana Kaisar? Mengapa Kaisar Sung Kao Tsu
memerlntahkan Jenderal Gak Hul untuk menghentikan gerakan penyerbuannya mengusir penjajah Kin
yang sudah mulai tampak hasilnya?

Semua ini adalah hasll persekutuan antara Raja Kin dan Perdana Menteri Chin Kui yang sudah dijalin
selama bertahun-tahun. Perdana Menteri Chin Kui yang sudah bersahabat dengan Raja Kin Ini selalu
berusaha untuk mencegah Kaisar Kao Tsu memerangi kerajaan Kin di Sung Utara. Akan tetapi sekali ini

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 74

dia tldak berhasil sehingga Kaisar Kao Tsu mengijinkan Jenderal Gak Hui untuk mengadakan gerakan
penyerbuan ke utara seperti yang diusulkan Jenderal Gak itu.

Serangan mendadak itu mengejutkan Raja Kin. Apa lagi ketika seorang pangeran tewas dalam
pertempuran itu. Dia menjadi marah sekali dan segera dia memerintahkan seorang menterinya untuk
memanggil seorang datuk yang tinggal dl Sln-kiang, Datuk ini bukan lain adalah Ouw Kan, peranakan
Uigur-Cina yang berilmu tinggi dan datuk ini memang sudah seringkali dimintai bantuan untuk
melaksanakan tugas yang berat dengan imbalan besar. Pada bagian awal kisah ini kita sudah mengenal
Ouw Kan datuk darl Sin-kiang ini yang mencoba untuk merampas kitab-kitab yang dibawa Tiong Lee Cin-
jin dari hegara India.

Tak lama kemudian Ouw Kan sudah datang menghadap Raja Kin. Usianya sekitar enam puluh dua tahun.
Rambut kumis dan jenggotnya sudah berwarna putih. Tubuhnya sedang saja namun masih tegak dan
tegap seperti tubuh seorang muda. Tangannya selalu membawa sebatang tongkat dari ular cobra kering.
Wajahnya tidak buruk, akan tetapi menyeramkan dan sepasang matanya yang lebar itu bergerak liar.
Raja Kin menyambutnya dengan girang dan datuk ini dihormati, diperbolehkan menghadap raja samb il
duduk di atas kursi, menghadap Raja Kin.

“Apakah yang dapat saya lakukan untuk paduka?” tanya Ouw Kan tanpa banyak upacara lagi. Memang
sikap datuk ini terhadap Raja Kin berbeda derigan sikap para pembesar pada umumnya. Dia tidak
pernah memberl hormat secara berlebihan kepada siapapun juga dan hal inipun dlmaklumi oleh Raja
Kin.

Kami membutuhkan bantuanmu, Ouw-sicu (orang gagah Ouw), untuk urusan yang teramat penting.
Engkau akan kami beri surat kuasa dan pergilah ke Selatan ke kota raja Hang-couw dan jumpal Perdana
Menteri Chin Kui. Atas nama kami tegurlah dia mengapa balatentara Sung Selatan yang dlpimpin
Jenderal Gak Hui sampal menyerang ke utara. Katakan bahwa dla harus dapat membujuk kaisar
menghentlkan serangan itu, kalau tldak kami akan memutuskan hubungan dan akan menyerang ke
selatan.”

“Tugas itu mudah sekali, Sribaginda. Kenapa untuk tugas sesederhana itu harus saya yang
melakukannya? Paduka dapat mengutus sembarang orang.” kata Ouw Kan yang merasa betapa tugas itu
terlalu kecil tak berarti bagi dirlnya yang biasa melakukan tugas-tugas yang lebih besar dan sukar.

“Itu baru tugas pertama, Ouw-sicu. Ada tugas ke dua yang amat penting dan berat. Kami kira hanya
engkau yang akan dapat melaksanakan dengan baik, Ouw-sicu.” kata Raja Kin.

“Nah itu yang saya sukai, Sribaginda. Apakah tugas ke dua itu?”

“Ketahuilah bahwa dalam penyerbuan barisan Kerajaan Sung Selatan, putera kami telah gugur dalam
pertempuran. Dia tewas di tangan perwira yang bernama Han Si Tiong bersama isterinya yang bernama
Liang Hong Yi. Nah, engkau carilah mereka dan engkau tentu tahu apa yang harus kaulakukan terhadap
mereka untuk membalas sakit hatlku karena kematian puteraku di tangan mereka.”

Ouw Kan mengangguk-angguk. Wajah-nya berseri dan mulutnya yang dikelilingi kumis dan jenggot itu
tersenyum, hati-nya gembira. “Baik, Sribaginda. Harap paduka tidak khawatir. Dua tugas Itu pasti akan
dapat saya laksanakan dengan baik. Kapan saya harus berangkat?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 75

“Sekarang juga berangkatlah. Pilihlah kuda terbaik dan di sepanjang perjalanan sampai ke tapal batas,
setiap orang pejabat tentu akan mengganti kudamu dengan yang baru asal engkau tunjukkan surat
kuasa dari kami. Akan tetapi, Ouw sicu, jangan engkau melibatkan diri dalam pertempuran karena hal itu
akan menghambat terlaksananya tugasmu yang penting. Berangkatlah dan hadiah besar menantimu
setelah engkau menyelesaikan tugas itu dengan baik.”

Ouw Kan menerima surat kuasa dari Raja Kin dan berangkatlah dia menunggang seekor kuda pilihan
yang baik. Demikianlah, selagi di perbatasan masih terjadi pertempuran, Ouw Kan memasuki kota raja
Hang-couw dan tidak sukar baginya untuk menemukan gedung istana tempat tinggal Perdana Menteri
Chin Kui.

Perdana Menteri Chin Kui tergopoh-gopoh menerima utusan Raja Kin itu dan mengajaknya bercakap-
cakap dalam ruangan rahasia yang tertutup rapat. Dia pernah bertemu dengan Ouw Kan sebagai utusan
Raja Kin, apa lagi ketika Ouw Kan memperlihatkan surat kuasanya, Chin Kui percaya sepenuhnya kepada
datuk itu. Dia menyambut tamunya dengan jamuan makan. Setelah mereka makan minum, Perdana
Menteri Chin Kui lalu menanyakan maksud kunjungan Ouw Kan.

“Saya datang diutus oleh Sribaginda Kerajaan Kin yang marah sekali karena barisan Sung telah
menyerang daerah Kin dan saya diutus untuk menegur dan me -nanyakan kepada Chin-taijin (Pembesar
Chin) mengapa hal seperti itu dapat ter-jadi. Sribaginda minta agar saya menyampaikan kepada Chin-
taijin bahwa kalau taijin tidak segera membujuk Kaisar Sung agar cepat menghentikan serangan dan
menarik kembali pasukan dari daerah Kerajaan Kin, maka Sribaginda akan memutuskan hubungan
dengan taijin dan akan menyerang dan membasmi Sung Selatan!”

Wajah Chin Kui agak berubah pucat dan dia menelan ludah beberapa kali sebelum menjawab. “Ouw -
slcu, harap sampalkan kepada Sribaginda. Saya mohon maaf sebesar-besarnya atas penyerangan Itu.
Percayalah, saya sudah berusaha sekuatnya untuk mencegah penyerangan itu, akan tetapi semua ini
gara-gara si kepala batu Jenderal Gak Hui. Dia dapat mempengaruhi Kaisar sehingga Kaisar menyetujui
penyerbuan itu. Akan tetapi, saya akan berusaha mati-matian untuk membujuk Kaisar agar barisan itu
ditarik kembali. Tunggu dan lihatlah saja, saya yakin pasti akan berhasil.”

“Hemm, saya harap saja janjimu ini akan dapat dipenuhi dengan cepat, Chin-taijin. Karena kalau tidak,
tentu Sribaginda akan menganggap bahwa taijin mengkhianati persahabatan. Nah, sekarang setelah
saya menyampaikan pesan Sribaginda, saya mohon dirl akan melak-sanakan tugas lain. Saya minta
tolong kepada taijin agar suka memberitahu dl mana adanya rumah seorang perwira yang bernama Han
Sl Tiong, seorang perwira dalam barisan yang tkut menyerbu ke utara.”

“Han Sl Tiong? Ah, aku Ingat. Dia adalah perwira baru yang ditugaskan membentuk Pasukan Halilintar.
Rumahnya berada dl sebelah barat Jembatan Rembulan, di ujung selatan kota, Ouw-sicu.”

“Terima kasih, taijin dan saya mohon pamit.” Ouw Kan bangkit berdiri dan merangkap kedua tangan
depan dada sebagai penghormatan.

“Sebentar, sicu!” Perdana Menteri Chin Kui mengambil sebuah kantung kain yang sejak tad i telah
dipersiapkan dan memberikan kantung itu kepada tamunya. “Ini ada sedikit hadiah dari kami iintuk
sicu.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 76

Hadiah atau bingkisan seperti ini sudah biasa diterima Ouw Kan, maka diapun tidak sungkan lagi,
menerima kantung kain yang cukup berat itu, lalu membungkuk dan keluar dari gedung besar itu.

Tak lama kemudian Ouw Kan sudah tiba di depan rumah Han Si Tiong. Dia menambatkan kudanya di
sebatang pohon, kemudian dia memasuki pekarangan rumah itu. Seorang lakl -lakl setengah tua yang
bekerja di pekarangan Itu sebagai tukang kebun menghampirinya. Melihat seorang kakek menggendong
buntalan kain kuning dan kepalanya memakai topi bulu, tukang kebun itu segera bertanya dengan sikap
hormat.

“Tuan mencari siapakah?”

Ouw Kan memandang tukang kebun jg itu lalu menjawab, “Aku mencari tuan rumah, ada urusan penting
sekali.”
-
“Wah, sayang sekali, tuan. Majikan, saya bersama isterinya sedang pergi memimpin pasukan untuk
berperang mengusir penjajah Kin!” kata tukang kebun itu dengan nada bangga.

Ouw Kan mengerutkan alisnya. “Hemm, mereka pergi dan belum pulang? Kalau begltu, siapa saja yang
tinggal di rumah?”

“Tinggal nyonya tua dan nona kecil.

“Tolong panggll mereka keluar. Aku dapat menyampaikan urusan penting ini kepada mereka saja.”

Mellhat tamu itu sudah tua dan agaknya mempunyai urusan penting, tukang kebun tidak curlga.
“Baiklah, tuan. Slla-kan duduk menunggu dl ruang tamu, sa-ya akan melaporkan kepada nyonya tua.”

Tukang kebun mengantar Ouw Kan fcgiemasuki ruangan tamu yang berada di bagian luar rumah itu ,
kemudian dia masuk ke dalam untuk melaporkan kedatangan tamu itu kepada Lu-ma. Ketika itu, Lu-ma
sedang bereda di dapur membantu pelayan wanita setengah tua yang menjadi pelayan dalam keluarga
itu. Bi Lan juga membantu. Anak berusia tujuh tahun ini memang ingin membantu segala pekerjaan yang
dilakukan neneknya. Mereka mempersiapkan masakan untuk makan siang nanti. Ketika tukang kebun
melaporkan bahwa di ruang tamu menunggu seorang tamu lakl -laki tua yang mengatakan ada urusan
sangat penting untuk dlsampaikan kepada Lu-ma, nenek ini lalu mencuci tangannya.

“Slapakah, nek?”

“Tidak tahu siapa, mungkin tamu kenalan ayahmu.” kata Lu-ma, lalu ia melangkah keluar dari dapur
menuju ke ruangan tamu di depan. Bi Lan tidak mau ketinggalan, menggandeng tangan nenekn ya, ikut
pergi ke ruangan tamu.

Setelah Lu-ma dan Bi Lan memasuki ruangan tamu, mereRa1 meiihat seorang laki -laki tua duduk di atas
kursi dan memandang kepada mereka dengan sinar mata penuh selldlk. Ouw Kan bangklt berdlrl. dan
segera bertanya. “Aku ingin bertemu dengan Han Si Tlong dan laterl-nya. Dl mana mereka?”

Lu-ma menduga bahwa tentu kakete Inl kenalan balk Haa Si Tiong, maka ia-pun menjawab, “Han Si
Tlong dan isteri-nya tldak ada di rumah, mereka pergl perang dan belum pulang.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 77

“Dan siapakah kalian ini?”

“Saya Lu-ma, bibi mereka dan ini Han Bi Lan, anak tunggal mereka.”

Ouw Kan memandang anak perempuan, Itu. Sungguh seorang anak perempuani yang manis dan mungil
sekali. Kalau dia membunuh anak ini, hal Itu sudah merupakan pembalasan hebat yang ak an
menghancurkan hati Han Sl Tiong dan isterinya. Akan tetapi dia meragu. Mungkin Sribaginda Raja Kin
mempunyai rencana lain dengan anak musuh-musuhnya ini. Mungkin juga dapat dipergunakan untuk
memaksa suaml isteri itu datang! Sebaiknya dia cullk dan bawa saja anak ini dan diserahkan kepada
Sribaginda Raja Kln. Setelah berpikir demikian, tiba-tiba dia menjulurkan tangan kanannya hendak
menangkap lengan Bi Lan.

“Eh....?” Ouw Kan terbelalak, kaget dan heran. Anak perempuan kecil itu dapat mengelak sehingga
tangkapannya luput.

“Mau apa engkau?” bentak Bi Lan dan ia sudah memasang kuda-kuda, siap untuk berkelahi! “Nek, dia ini
orang jahat, nek. Hati-hati, dia orang jahat!”

Ouw Kan merasa kagum juga. Hebat anak ini, pikirnya. Selain memiliki ba-kat gerakan yang amat gesit,
juga tam-paknya cerdik bukan main. Maka dia lalu melangkah maju dan RembaH tangannya
menyambar. Bl Lan mengelak, akan teta-pi apa artinya kegesitan seorang anak perempuan berusia tujuh
tahun terhadap datuk yang sakti itu? Sekali jari tangan Ouw Kan menyambar, Bi Lan sudah tertotok dan.
terkulai. Akan tetapi Ouw Kan menangkapnya sehingga anak itu tidak sampal roboh dan sekali angkat, Bl
Lan sudah berada dalam pondongan lengan kinnya, terkulai lemas, tak mampu bergerak atau bersuara!

Melihat ini, Lu-ma terbelalak dan ia marah sekali. Tadi ketika cucunya berteriak mengatakan bahwa laki -
laki itu jahat, ia tentu saja tidak percaya. Akan tetapi sekarang ia marah sekali. Bagaikan seekor singa
betina direbut anaknya, ia menyerbu dengan kedua tangan mem-bentuk cakar ke arah Ouw Kan.

“Mau apa engkau dengan cucuku? Le-paskan ia! Lepaskan Bi Lan, engkau penjahat!”

Akan tetapi tangan kanan Ouw Kan yang memegang tongkat ular cobra kering bergerak dan robohlah
Lu-ma tanpa dapat bersuara lagi karena totokan tongkat itu mengenai ulu hatinya dan ia tewas seketika.
Biarpun tidak mampu bergerak dan bersuara, Bi Lan masih sadar dan ia melihat dengan mata terbelalak
betapa neneknya roboh dan tak bergerak lagl. la tidak dapat mengeluarkan suara tangis, akan tetapl dari
kedua matanya bercucuran air mata.

Pembantu wanita yang tadl dlpesan oleh Lu-ma untuk mengeluarkan minuman untuk tamu, muncul di
pintu. la terbelalak melihat Lu-ma menggeletak di atas tanah dan Bi Lan dipondong seorang kakek yang
memegang sebatang tongkat u-lar, dan anak itu menangis tanpa suara. Po-ci dan cawan minuman yang
dibawanya di atas baki terlepas dari tangannya dan jatuh tnengeluarkan bunyi berkerontang-an. Melihat
ini, sebelum pembantu vyani-ta jitu melarikan diri, Ouw Kan kembali menggerakkan tongkatnya yang
menyambar dan mengenai leher wanita itu. Tanpa mengeluarkan suara lagi wanita itupun roboh dan
tewas seketika.

Setelah membunuh dua orang wanita lemah itu, Ouw Kan lalu melangkah ke -luar sambil memondong Bi
Lan yang ma-kln deras tangisnya setelah melihat Lu-ma dan pembantu rumah tangga itu di-bunuh kakek
yang menculiknya» Karena khawatir kalau-kalau ada yang melihat-nya dan menjadi curiga melihat anak

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 78

yang dipondongnya itu mencucurkan air mata dan wajahnya Jelas menunjukkan tangls walau pun tldak
ada suara keluar dari mulutnya, Ouw Kan menepuk tengkuk Bi Lan ddn anak perempuan itu terkulai dan
pingsan, seperti tidur. Ouw Kan menyimpan tongkatnya, diselipkan di ikat pinggangnya, kemudian
dengan langkah lebar hendak keluar dari pekarangan itu.

Akan tetapi, tukang kebun yang tadi pertama kali menyambutnya, melihat dia tergesa-gesa keluar
sambil memondong Bi Lan. Tukang kebun itu tentu saja menjadi curiga. Dia mengejar dan rnenghadang
di depan kakek itu.

“Heii! Mau kaubawa ke mana Nona'i Bi Lan itu? Lepaskan!” Tukang kebun itu menerjang untuk
merampas Bi Lan dari tangan Ouw Kan. Datuk ini melihat bahwa gerakan tukang kebun itu cukup» kuat,
menunjukkan bahwa dia pandai bermain silat. Akan tetapi tentu saja tingkat kepandaian tukang kebun
itu tidak ada artinya dibandingkan tingkat Ouw Kan. Menghadapi terjangan tukang kebun itu, Ouw Kan
menyambutnya dengan ten-dangan kaki kanannya. Cepat dan kuat sekali tendangan itu. Biarpun tukang
kebun itu sudah berusaha mengelak, tetap saja ujung sepatu Ouw Kan masih menyambar iganya.

“Krekk....!” Tukang kebun itu terpelanting keras dan roboh tak dapat bergerak lagi. Tulang-tulang iganya
patah-patah dihantam tendangan kaki Ouw Kan! Karena khawatir kalau banyak orang akan rnelihatnya,
dan merasa yakin bahwa tukang kebun itu juga tewas, Ouw Kan lalu cepat keluar dari pekarangan itu.
Dengan cepat dia menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah utara. Melihat seorang kakek
menggendong seorang anak perempuan yang agaknya sakit atau tertidur dipondong dengan sikap
penuh kasih sayang, tentu saja tidak ada orang yang mencurigainya dan Ouw Kan dapat keluar dari kota
raja dengan aman.

Sementara itu, sepergi Ouw Kan, Perdana Menteri Chin Kui lalu berusaha keras untuk membujuk Kaisar
Sung Kao Tsu, memperingatkan kaisar bahwa gerakan penyerbuan yang dilakukan Jenderal Gak Hui itu
sesungguhnya salah sama sekali. Bangsa Kin yang berada di utara selama ini tidak pernah mengganggu
daerah Sung di selatan sehingga kita berada dalam keadaan tenteram penuh damal, dapat bekerja
membangun kembali kerajaan di daerah yang tanahnya lebih subur. Mengapa sekarang mencari
permusuhan? Kalau nanti Kerajaan Kin membalas dan menyerbu ke selatan, bukankah hal itu i akan
mendatangkan kesengsaraan?

“Hamba yang akan mengusahakan minta maaf dan hamba berani menanggung bahwa Sribaginda Raja
Kin tidak akan melakukan balas dendam terhadap penyerbuan itu, asalkan paduka segera
memerintahkan Jenderal Gak Hui agar menghentikan penyerbuan dan menarlk kembali balatentara.”
Demikian Pefdana Menterl Chln Kul mengakhlri bujukannya. Kalsar Kao Tsu menurut, apa lagi ketika
para menteri lain juga mendukung usul Perdana Menteri Chin Kui. Juga pada dasarnya Kaisar Kao Tsu
mernang seorang yang tidak suka perang. Maka, diapun segera mengambil keputusan dan dikirimlah
utusan dengan perintahnya kepada Jenderal Gak Hui untuk menghenti -kan penyerbuan ke utara dan
menarik kembali barisannya ke daerah selatan.

Jenderal Gak Hui merasa kecewa, marah dan menyesal sekall. Dla telah memenangkan pertempuran dl
banyak tempat dan sudah menguasal daerah yang luas. Akan tetapi karena kesetiaannya, terpaksa dla
menlnggalkan daerah yang telah dlkuasainya itu dan kemball ke se -latan, diiringi tangis kecewa
penduduk daerah yang ditinggalkannya. Akan tetapi dia masih ragu untuk pulang ke kot a ra-Ja dan
mendirikan perkemahan di dae-rah tapal batas. Dia hanya mengutus pa-ra perwiranya kembali ke kota
ra|a dan mengantar laporan tertulis yang dltujukan kepada Kaisar Kao Tsu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 79

Karena sudah tldak ada pertempuran lagi, Han Si Tiong dan Liang Hong Yl Juga Ikut pulang dengan
sebagian darl pasukan dan para perwlranya. Kalau di sepanjang perjalanan, pasukan yang pulang ke kota
raja membawa kemenang” an ini disambut oleh rakyat dengan gem-bira, setelah memasuki kota raja,
dari ( pihak pemerintah malah tidak ada pe-nyambutan dan suasananya dingin saja. Hal ini adalah
karena perintah dan pengaruh Perdana Menterl Chtn Kul yang menganggap barlsan yang menang
perang itu bahkan meruglkan kerajaan!

Betapapun juga, ketika menerima para perwira yang pulang dan menghadapnya, Kaisar Kao Tsu
menerima mereka dengan baik. Bahkan dla lalu memberi anugerah pangkat kepada para perwira yang
namanya disebut dalam daftar Jasa yang dikirlm Jenderal Gak Hui. Karena Han Sl Tiong dan Isterinya
dipuji-puji oleh Jenderal Gak Hul, maka Kaisar Kao Tsu memberl anugerah keduduk-an pangllma muda
kepada Han Si Tiong dan isterlnya dan keduanya diangkat menjadi bangsawan! Suaml isteri inl ialu
pulang ke rumah mereka. Tadl bersama para perwira lain, begitu masuk kota raja mereka langsung
menghadap kaisar. Ini merupakan peraturan datt tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga. Tentu saja
mereka merasa gembira sekali, teruta-ma sekali Hong Yi. Kalau diingat bahwa tadinya ia hidup dalam
rumah pelesir asuhan Lu-ma dan walaupun ia tidak diperas, namun tetap saja ia pernah menjadi seorang
pelacur! Dan sekarang, ia memperoleh seorang suami yang baik dan yang mencintainya, tidak
memandang rendah walaupun suaminya tahu bahwa ia seorang bekas pelacur! Dan ia telah mempunyai
seorang anak yang manis pula. Sekarang ditambah lagi anugerah dari Kaisar yang mengangkat ia dan
suaminya menjadi bangsawan! Bangsawan yang ber-kedudukan terhormat sebagai panglima muda!
Semua ini sungguh cocok sekali dengan ramalan yang ia dapatkan dari Kwan Im Bio, kuil dari Sang Dew i
Welas Asih itu. Dengan hati dipenuhi kebanggaan dan kebahagiaan, bersama suaminya ia pulang
membawa hadiah pedang bengkok bergagang emas untuk anak mereka.

Akan tetapi, alangkah heran rasa hatl mereka ketika mereka tiba di depan rumah mereka. Keadaan
tempat tinggal mereka itu hampir tak dapat mereka kenali lagi. Pekarangannya tak terawat, penuh
dengan rumput liar dan daun-daun, kering. Agaknya sudah lama sekali tidak' pernah disapu dan
dibersihkan. Dinding rumah itupun kotor dan semua pintu dan jendela di depan tertutup. Rumah itu
tampak sunyi sekali. Sungguh aneh. Seluruh penduduk kota raja sudah mendengar bahwa sebagian
pasukan yang pergi ber-perang sudah pulang. Mustahil kalau Lu-ma, pelayan wanita, tukang kebun dan
Bi Lan belum mendengar akan kepulangan rnereka. Mereka tidak ada yang menyambut?

Dengan hati merasa heran dan tidak enak suami isteri itu berlari memasuki pekarangan. Setelah hampir
tiba di pin-tu depan, tiba-tiba muncul seorang perajurit dari pintu samping. Melihat Han Si Tiong dan
Liang Hong Yi, perajurit itu memberi hormat. Tentu saja suami isteri ini bertambah heran melihat adanya
seorang perajurit di situ.

Han Si Tiong cepat melompat ke depan perajurit itu. “Hei, siapa engkau dan mengapa berada di sini?”

“Han-ciangkun, saya memang hari ini bertugas menjaga rumah ciangkun ini.” jawab perajurit itu.

“Menjaga rumah kami? Kenapa? Dan di mana puteri kami? Di mana Lu-ma dan para pembancu?” tanya
Sl Tiong sambil mengerutkan alisnya.

Perajurit itu tampak bingung. Dia mengerti bahwa suami isteri perwira ini belum tahu akan malapetaka
yang menimpa keluarga mereka dan agaknya d»a| menjadi orang pertama yang harus rneo -j
ceritakannya! Dia merasa tidak enak sekali harus menyampaikan berita yang menyedihkan itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 80

“Tidak ada siapa-siapa di rumah ini, ciangkun. Hanya ada saya yang bertugas jaga hari ini. Kwe-ciangkun
atasan saya yang memerintahkan kami inelakukan penjagaan di sini secara bergantian dan hari ini tiba
giliran saya.”

“Akan tetapi kenapa? Apa yang telah terjadi? Ke mana perginya semua pe ng-hunl rumah Ini? Di mana
anakku?” Liang Hong Yl yang sudah tldak sabar lagt bertanya, suaranya mengandung kegelisahan.

Perajurlt itu menelan ludah beberapaj kali sebelum menjawab, kemudian memberanikan diri menjawab,
“Ciangkun dan hujin, telah terjadi hal yang menyedihkan di rumah ini, kurang lebih sebulan yang lalu....”

Han Si Tiong menangkap lengan perajurit itu dan mengguncangnya. “Apa yang telah terjadi? Hayo cepat
ceritakan!”

Perajurit itu mengangguk - angguk. “Kurang lebih sebulan yang lalu, di ru-mah ini telah ditemukan Lu-ma
dan pelayan wanita telah tewas, dan tukang kebun terluka parah....”

“Dan anakku? Puteriku Bl Lan....??” teriak Hong Yi wajahnya menjadi pucat sekali.

“Ia.... ia.... hilang. Tidak ada yang tahu ke mana....”

“Aihhh....!” Hong Yi sudah melompat ke serambi depan dan mendorong dauh plntu depan. Pintu itu
terpalang dari dalam, akan tetapl dorongari kedua tangan Hong Yl yang disertal tenaga saktl itu
membuat palang pintu jebol dan daun pintunya terbuka. Hong Yi berlari -lart memerlksa semua bagian
dalam rumah. Kosong! Benar-benar telah kosong, tidak ada seorangpun di situ. Anakoya tidak ada di
rumah itu!

“BiLan....! Bi Lan....!! Bibi Lu-ma...!!” la menjerit-jerit mernanggil sambil ber-lari ke sana-sini mencari-
cari, akan te-tapi tidak ada yang menjawab. Tiba-tiba Si Tiong merangkulnya dan melihat su-aminya,
Hong Yi merangkul dan menangis.

“Tiong-ko.... di mana Bi Lan? Dan BiBi Lu-ma? Apa yang terjadi dengan me-reka?” la menangis tersedu-
sedu di atas dada suaminya.

Han Si Tiong mendekap kepala iste-rinya. “Yi-moi, tenangkanlah hatimu, Yi-moi. Dalam keadaan seperti
ini kita harus menguatkan perasaan hati. Ingat sepak terjangmu dalam pertempuran. Engkau seorang
wanita gagah perkasa, harus mampu dan kuat menghadapi apapun juga. Tenangkanlah hatimu.”

Hong Yi menumpahkan kegelisahan-nya melalui tangis. Setelah tangisnya mereda dan ia mampu
menguatkan hati-nya, ia melepaskan rangkulannya. Dengan wajah pucat dan sepasang mata merah, ia
bertanya kepada suaminya. “Tiong-ko, bagaimana dengan Bi Lan? Apa yang terjadi dengan anak kita
itu?”

“Tenangkan hatimu, Yi-moi. Aku sudah mendengar cerita perajurlt itu. Bi-bi Lu-ma dan pelayan wanita
telah dibunuh orang. Tukang kebun kita terluka parah akan tetapi kata perajurit itu, sebelum tukang
kebun tewas, dia sempat dibawa oleh Kwee-ciangkun. Dan anak kita agaknya dibawa lari pembunuh
itu.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 81

“Ahh....! Siapakah yang melakukan ini? Aku bersumpah akan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Bi
Lan, anak kita.... bagaimana nasibnya....?”

“Tenangkan hatimu. Setidaknya, aku yakin Bi Lan masih hidup. Kalau penculik itu berniat membunuhnya,
tentu sudah dilakukannya seperti ketika dia membunuh yang lain. Kalau dia menculik anak kita, itu
berarti dia menginginkan anak kita hidup-hidup dan selama Bi Lan masih hidup, ada harapan bagi kita
untuk dapat berjumpa lagi dengannya.”
,
“Akan tetapi, siapakah yang melakukan kekejian ini? Siapa yang memusuhi kita seperti ini?”

“Kita tunggu saja. Aku sudah memerintahkan perajurit tadi untuk mengundang Kwee -clangkun ke sini.
Engkau tahu, Kwee-ciangkun adalah sahabat kita yang baik. Tentu dia mengetahui lebih banyak dari
tukang kebun kita itu.”

Tak lama kemudiari muncullah Kwee-clangkun. Perwira Kwee ini tldak ikut pergi berperang karena dia
bertugas sebagal perwira pasukan penjaga kota raja. Dia bersahabat balk dengan Han Si Tiong dan
biarpun dia tldak termasuk anak buah Jenderal Gak Hul seperti halnya Sl Tlong, akan tetapl Perwlra
Kwee Inl-pun seorang yang tidak suka kepada Perdana Menterl Chin Kui.

Begitu diterima oleh Si Tlong dan Hong Yi, Kwee-ciangkun merangkul sahabatnya itu.. “Han-ciangkun,
aku merasa ikut prihatin atas malapetaka yang menimpa keluargamu selagi kalian pergi berjuang
melawan penjajah Kin.” katanya terharu.

“Terima kasih, Kwee-fciangkuit. Duduklah dan ceritakanlah sejelasnya kepa-da kami apa yang telah
terjadi dalam rumah kami ini ketika kami pergi bertempur.” kata Han Si Tiong.

Moreka bertlga duduk bertiadapan. Mirang lebih sebulan yang lalu, tepat-nya mungktn srdah tiga puluh
lima hari, padu suatu pagi aku mendengar laporan dari anak buahku yang melakukan peron-dten bahwa
telah terjadi pernbunuhan di rumahmu ini. Mula-mula yang mengetahuinya adalah seorang tetanggamu
yang melihat tukang kebunmu menggeletak di pekarangan. Mendengar bahwa pembunuhan itu te rjadi
di rumahmu, aku sendiri lalu bergegas datang melakukan pemeriksaan. Ternyata bukan hanya tukang
kebun yang menggeletak dalam Keadaan terluka parah, melainkan juga Lu-ma, bibi kallan Itu, dan
wanita pembantu rutnah tangga kallan telah menggeletak tewas di kamar tamu.”

“Kwe-ciaogkun, siapa yang melakukan pembunuhan keji ini? Dan apa yang terjadi dengan anakku Bi
Lan?” Hong Yi bertanya tak sabar.

“Tenanglah. Yl-mol. Biarkan Kwee-ciangkun melanluthan ceritanya.” suaminya menenangkannya

Kwee-ciangkun yang bernama Kwee Gi itu, seorang pria tinggi besar gagah berusia kurang lebih empat
puluh tahun, menghela napas panjang. dan memandang dengan sinar mata penuh iba kepada Hong Yi.
“Pada saat itu, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Bi Lan yang tidak berada di rumah. Akan tetapi
aku meli-hat tukang kebun itu masih hidup, maka aku lalu menyuruh orang memanggil tabib dan
merawatnya. Setelah dia siuman dari pingsannya, aku segera bertanya ke -padanya apa yang telah
terjadi. .Sebelum dla tewas karena luka parah, semua tulang iganya patah-patah, dia bercerita
kepadaku. Katanya pagi hari itu datang seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih, rambut, kumis
dan jeriggotnya le-bat dan sudah putih semua, mengenakan topl aslng sepertt yang biasa dipakal suku-
suku asing di utara dan barat, memegang sebatang tongkat ular kobra kering, wajahnya menyeramkan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 82

dengan mata lebar dan liar, tubuhnya sedang dan tegap. Tamu itu datang mencari kalian berdua. Ketika
dijawab bahwa kalian pergi, dia minta bertemu dengan siapa saja yang berada di rumah. Tukang kebun
itu lalu memberitahu Lu-ma dan tukang kebun itu kembali ke pekarangan depan, tldak tahu lagi apa
yang terjadi di dalam. Akan tetapi, tak lama kemudian dia me-lihat laki-laki tua itu keluar dari dalam
rumah sambil memondong Bi Lan yang tampak lemas dan anak itu me sangis tanpa suara. Tukang kebun
berusaha untuk merebut kembali anak itu, akan tetapi penculik itu lihai sekali. Sebuah tendangan yang
amat kuat mematahkan tulang-tulang iga tukang kebun itu sehing-ga dia roboh pingsan. Nah,
demikianlah ceritanya. Setelah menceritakan semua itu, diapun menghembuskan napas terakhlr. Ketika
aku memeriksa Jenazah Lu-ma dan pelayan Itu, mereka berdua tewas dengan luka di ulu hati dan di
leher. Luka itu kecil saja, agaknya tertusuk benda tumpul, akan tetapi di sekitar luka itu berwarna
menghitam. Tentu mereka keracunan hebat sekali dan tewas seketika. Dari kenyataan itu, jelas bahwa
laki-laki tua itu seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.”

Sunyi sekali setelah Kwee-ciangkun menyelesaikan ceritanya. Suami isteri itu saling berpandangan dan
perlahan-lahan dari kedua mata Hong Yi kemba-li menetes-netes air mata.

“Tiong-ko, kenalkah engkau dengan jahanam itu?” tanya Hong Yi sanrbil menahan isak tangisnya.

Sambil mengerutkan alisrtya, Han Si Tiong menggeleng kepala. “Aku tidak mengenalnya, tidak pernah
melihatnya, mendengarpun belum. Kenapa orang yang tidak dikenal reelakukan semua kekejaman ini?”

“Akupun tidak mengenal orang dengan gambaran seperti itu. Akan tetapi kenapa dia menculik anakku?”
Hong Yi mengepal kedua tangannya, kegelisahan, kedukaan dan kemarahan memenuhi hatinya.

Kwee-clangkun menghela napas panjang. “Kiranya tldak salah lagi kalau aku mengira bahwa perbuatan
orang yang keji ini tentu merupakan suatu balas dendam”

“Akan tetapi kami berdua tidak mengenal orang macam itu! Bagaimana dia dapat membalas dendam
kalau kita mengenalnyapun tidak? Ada urusan apa antara orang itu dengan kami?” kata Hong Yi
penasaran sekali.

“Tidak selamanya orang yang menden-g dam kepada kita turun tangan sendiri. Bisa saja dia menyuruh
orang lain yang lihai untuk melaksanakan balas dendamnya itu. Mungkin saja orang yang membunuh
bibi kalian dan menculik puteri kalian adalah orang suruhan, seorang pembunuh bayaran.” kata Kwee Gi.

Han Si Tiong mengangguk-angguk “Apa yang dikatakan Kwee-ciangkun itu benar sekali, Yi-moi. Tentu
ada orang yang sakit hati kepada kita, yang secara pengecut membalas dendam kepada keluarga kita.
Betapapun Juga, masih ada harapan bagl kita bahwa mereka tidak akan mengganggu Bi Lan yang tidak
bersalah apapun kepada mereka.”

“Perkiraanmu itu kurasa benar sekali Han-ciangkun. Kalau pembunuh itu menginginkan kematian
anakmu, tentu hal itu telah dilakukannya di sini, tidak perlu bersusah payah menculik anak itu keluar
dari kota raja yang tentu saja mengandung resiko ketahuan.”

“Aku bersumpah akan mencari penculik itu, membunuhnya dan merampas kembali anakku' Aku tidak
akan berhenti sebelum dapat menemukannya!” Hong Yi berkata dengan tegas dan penuh kemarahan.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 83

Si Tiong menghela napas panjang. “Tentu hal itu akan kita lakukan, Yi-moi, akan tetapi harus dengan
persiapan matang dan sebagai seorang yang memegang kewajiban, kita harus mengembalikan dulu
kedudukan yang dianugerahkan kepada kita. Ahh, sungguh bertubi -tubi malapeta-ka menimpa diri kami,
Kwee-ciangkun. Pertama, kami harus ikut berduka dan prihatin karena Jenderal Gak dipaksa
menghentikan gerakannya dan menarik mundur pasukannya yang sudah mulai memperoleh
kemenangan. Kemudian setelah kami pulang dengan hati berat, kami bahkan dihadapkan dengan.
peristlwa pembunuhan bibi daa dua orang pembantu kami dan penculikan anak kami.” Han Si Tiong
menarik napas panjang lagi dengan wajah diliputi kedukaan.

“Aku mengerti, Han-ciangkun. Biar-pun engkau dan isterimu mendapat anu-gerah pangkat panglima
muda dan men-jadi bangsawan, namun hati kalian diliputi kedukaan. Aku juga mengerti akan keputusan
Sribaginda Kaisar yang mengejutkan itu, yang memerintahkan Jenderal Gak menghentikan gerakan
penyerbuan ke utara dan menarik mundur tentara-nya. Semua ini gara-gara bujukan perdana Meteri
Chin Kui dan antek-anteknya sehingga Sri Baginda Kaisar mengambil keputusan seperti itu. Djam-diam
aku sendi-ri sudah mengirim orang yang dapat ku-percaya untuk mengabarkan tentang per-j buatan
Perdana Menteri Chin Kui ini kepada Jenderal Gak Hul.” kata Perwira Kwee Gi.

“Hemm, begitukah?” Han 'Sl Tiong mengepal tinjunya. “Kasihan Jenderal Gak yang gagah perkasa dan
budiman. Kasihan rakyat yang tinggal di sekitar perbatasan sebelah utara yang tadinya sudah
dibebaskan oleh pasukan kita. Mereka mengantar penarikan mundur pasu-kan di bawah pimpinan
Jenderal Gak de-ngan ratap tangis. Kalau begitu, untuk apa kami lebih lama lagi bertugas sebagai
perwira? Kwee-ciangkun, kami berdua akan mengundurkan diri, kami akan pergi mencari puteri kami
sampai dapat kami temukan.”

Kwee-ciangkun dapat memaklumi ke-adaan sahabatnya. Demikianlah, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi
lalu mohon ijin untuk mengundurkan diri dan berhenti dari jabatan mereka dengan alasan harus
mencari puteri mereka yang hilang diculik orang. Permohonan berhenti Ini hanya sampai di tangan
Jenderal Ciang Sun Bo yang berhak menangani urusan Ini. Seperti kita ketahui, Jenderal Ciang itil adalah
anak buah Perdana Menteri Chin Kui dan dia pernah bentrok dengan Si Tiong dan Liang Hong Yi karena
dia tertarik oleh kecantikan Hong Yi. Dlu tidak berani mengganggu, suumi isteri itu karena mereka
menjadl para pembantu Jenderal Gak Hul, Oleh karena itu membaca permohonan suami isteri itu untuk
berhenti dari pekerjaan mereka, tentu saja dia segera menyetujui.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yl la-lu berkemas, menjuali harta miliknya lalu meninggalkan kpta raja.
Mereka berdua merantau, mencari-cari puteri mereka. Akan tetapi penculik itu sama sekali ti -dak
meninggalkan jejak sehingga mereka tidak tahu harus mencari ke mana. Dari ciri-ciri penculik itu seperti
yang diceritakan oleh tukang kebun mereka kepada Kwee-clangkun, mereka mendengar keterangan dari
orang-orang kang-ouw (su-ngai telaga, dunia persilatan) bahwa yang dimaksud itu mungkin seorang
datuk yang bernama Ouw Kan dan berjuluk Toat-beng Coa-ong (Raja Lllar Pencabut Nyawa). Akan tetapl
selama bertahun-tahun Inl datuk Itu hanya dlkenal ssbagai seorang yang datang darl Sln-klang dan
riamanya amat terkenal dl utara, dl daerah yang klni dtduduki Kerajaan Kln. Karena itu Si Tiong dan Hong
Yi pergl merantau ke utara, lalu ke Sin-kiang. Sampai hampir dua tahun mereka merantau dan mencarl-
carl, akan tetapi semua usaha mereka sla-sia. Mereka tldak dapat me-nemukan datuk yang mereka
curigai Itu, bahkan akhirnya di daerah Sin-kiang mereka mendengar bahwa datuk itu mung-kin sekali
sudah tewas, walaupun tak se-orangpun dapat memastikan akan hal itu dan tidak ada pula yang tahu di
mana kuburnya. Juga tidak ada orang yang da-pat mengatakan di mana adanya Bi Lan yang diculik itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 84

Akhirnya setelah semua usaha mereka sia-sia, Si Tiong dan Hong Yi meng-hentikan usaha mereka
mencari puterl mereka. Dengan kecewa dan duka mere-ka lalu membeli sebidang tanah di dekat See-
ouw (Telaga Barat) dan hldup sebagai petani, mengasingkan diri dari dunla ramai. Mereka hidup
sederhana. Sang Waktu akhirnya mengobati sakit hati dan kedukaan mereka. Mereka menerima nasib
dan hidup sebagai petani, mendapatkan ketenterartian dan kedamaian di tempat yang sunyi dan indah
itu. Penduduk sekitar telaga yang indah itu kadang melihat sepasang suami isteri ini menunggartg
keledai mereka di sepanjang tepi telaga sambil menikmati pemandangan yang indah sekali dari 'tempat
itu. Mereka hidup terasing dan jauh dari dusun, seperti dua orang pertapa. Bah-kan para penduduk
dusun di sekitar tela-ga tidak pernah tahu bahwa sepasang suami isteri itu adalah bekas panglima dan
telah memperoleh gelar bangsawan darl Kaisar Sung Kao Tsu!

* **

Apa yang terjadi dengan Bi Lan? Mari kita ikuti perjalanan Ouw Kan datukr yang dikenal dengan julukan
Toat-beng Coa-ong itu, yang berhasil membawa Bi Lan yang ditotok pingsan dan dipondongnya itu
keluar pintu gerbang kota raja sebelah utara. Orang-orang yang melihatnya tentu menduga bahwa
kakek itu memondong cucunya yang sedang tldur.

Setelah tiba jauh darl kota raja, Ouw Kan menurunkan Bi Lan dan membebaskan totokannya. Bi Lan
yarig merasa tubuhnya kaku dan lemah, jatuh terduduk. Kini ia terbebas dari totokan, mampu bergerak
dan mengeluarkan suara. Begitu ia dapat menggerakkan tangan kakinya, tanpa memperdulikan
tubuhnya yang masih terasa lemah, ia sudah meloncat bangun.

“Kakek jahat, engkau telah membu-nuh nenek, pelayan dan tukang kebun ka-n»i! Aku harus
niembalaskan kernattan mereka!” Setelah mengeluarkan suara bentakan ini, ia lalu menerjang dan
menyerang kakek itu kalang kabut!

Akan tetapi apa artinya serangan se-orang anak berusia tujuh tahun? Biarpun Bi Lan sejak kecil telah
digembleng dasar-dasar ilmu silat oleh ayah ibunya, na-mun tentu saja inenghadapi seorang datuk
seperti Ouw Kan, kepandaiannya itu sama sekali tidak ada artinya. Sekali tangan kiri kakek itu
menyambar, anak itu telah terpelanting dan terbanting roboh.

“Hemm, anak bandel! Kalau engkau tidak mau menaatiku dan berjalan sendiri dengan baik-baik, aku
akan membuatmu tidak dapat bergerak seperti tadi kemudian aku akan menyeretmu!”

Bi Lan adalah seorang anak yang memiliki keberanian besar. Mendengar ancaman itu ia sama sekali
tidak merasa takut, bahkan kini ia sudah bangkit dan dengan nekat ia inenyerang lagi! Ouw Kan
menangkap lengan Bi Lan, akan tetapi anak itu cepat mendekatkan mukanya dan menggigit tangan
kakek itu!

“Uhh'“ Ouw Kan yang tidak mengira tergigit tangannya. Karena merasa nyeri dia lalu mengibaskan
tangannya dan kembali Bi Lan terpelanting. Akan tetapi ia bangkit lagi, mukanya merah karena marah
dan ia sama sekali tidak menangis,

“Kakek iblis! Kubunuh engkau!” teriaknya dan kembali ia menerjang.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 85

Ouw Kan diam-diam merasa kagum akan kenekatan dan keberanian anak itu akan tetapi dia juga merasa
terganggu. Kini dia menggerakkan tangan dan sekali jari tangannya menotok, Bi Lan roboh dengan tubuh
lemas dan kaki tangan lumpuh. Akan tetapi ia masih dapat mengeluarkan suara dan lapun memaki maki.

“Kakek Jahat! Kakek Iblls! Muka jelek, hatimu lebih jelek lagi!”

“Hemm, engkau memang bandel dan keras kepala. Engkau mencari sakit sendiri. Disuruh berjalan
sendiri baik-baik tidak mau, rasakan sekarang aku akan menyeretmu!”
Ouw Kan melepaskan pita rambut Bi Lan sehingga rambut yang panjang itu terurai lepas. Kemudian
kakek itu menjambak rambut Bi Lan yang lebat dan hitam, lalu menyeret tubuh yang telentang itu di
belakang.

Tentu saja Bi Lan merasa tersiksa sekali. Belakang kedua lengan dan kakinya, juga punggung dan
pinggulnya, terasa sakit-sakit karena terseret dan terantuk batu-batu di jalan. Tubuh bagian belakang itu
lecet-lecet, pakaiannya bagian belakang juga pecah-pecah. Rasa pe-dih menusuk tulang. Akan tetapi ia
mengeraskan hatinya, tidak mau berteriak, tidak mengeluh. Hanya matanya yang menjadi basah dan alr
mata turun ke atas kedua pipinya.

Setelah berjalan agak jauh, Ouw Kati merasa kesal juga harus menyeret tubuh anak itu. Sama tldak
enaknya dengan memondong. Dia berhenti dan menoleh. Dilihatnya anak itu sama sekali tidak
mengeluh, melainkan mengertakkan gigi dan kedua matanya mengeluarkan air mata namun sedikitpun
tidak terdengar tangisnya. Anak yang luar biasa, pikirnya kagum. Bagian belakang tubuh anak itu sudah
lecet-lecet berdarah, akan tetapl la tldak pernah mengeluh, dan sepasang mata yang jeli itu memandang
ke-padanya penuh kemarahan!

“Nah, tidak enak bukan kalau kuseret? Apa sekarang engkau masih keras kepala dan tidak mau berjalan
sendiri?”

Bi Lan adalah seorang anak yang pemberani dan keras hati, akan tetapi di samping itu ia juga seorang
anak yang cerdlk bukan main. Pikirannya berjalan cepat. la sudah melihat untung ruginya. Kalau la
berkeras tidak menaati perintah penculikya, ia akan tersiksa, terluka dan mungkin akan tewas. Kalau
begitu, tentu ia tldak beri kesempatan lagi untuk membalas semua kejahatan yang telah dilakukan kakek
itu. Sebaliknya kalau ia menaati, selain penyiksaan yang menghina itu tidak perlu ia rasakan, juga masih
terbuka kesempatan baginya untuk membalas dan kalau mungkin membunuh kakek ini. Setelah pikiran
secepat kllat ini bekerja, ia lalu mengatakan keputusan hatinya.

“Baik, aku akan berjalan sendiri.” Ouw Kan tersenyum, merasa menang dan dia lalu membebaskan
totokannya sehingga Bi Lan mampu bergerak kembali. Bi Lan maklum bahwa menyerang lagi dengan
nekat akan sia-sia belaka. la harus menekan kemarahannya dan mena-han kesabarannya, menanti
terbukanya kesempatan yang baik untuk membalas dendam. la bangkit dan merasa betapa bagian
belakang tubuhnya nyerl sekall, panas dan pedih sehingga tak tertahankan lagi la menyeringai kesakltan.

Melihat inl, Ouw Kan yang merasa kagum dan suka mellhat anak perempuan yang pemberanl dan tahan
uji itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari sakunya. “Menghadaplah ke sana, akan kuobati lecet-lecet
itu!”'

Bi Lan tidak membantah, lalu berdirl membelakangi kakek itu. Ouw Kan membuka bungkusan yang terisi
obat bubuk berwarna kuning. Dia menaburkan bubuk kuning itu pada luka-luka di bagian be-lakang

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 86

tubuh Bi Lan. Anak itu merasa betapa panas dan pedih di tubuhnya se-gera hUang terganti rasa dingin
dan nyaman.

“Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita.” kata Ouw Kan. Dia melangkah dan Bi Lan berjalan di
sampingnya. Setelah berjalan tanpa bicara beberapa lamanya, Bi Lan lalu bertanya, mengatur agar
kemarahan tidak muncul dalam suaranya.

“Engkau ini siapakah, Kek?”

Ouw Kan tersenyum dan mengelus jenggot putihnya yang lebat. Dari suaranya, anak ini sama sekali tidak
menunjukkan rasa takut. Sungguh seorang anak yang luar biasa!

“Hemm, mau tahu slapa aku? Aku bukan orang biasa saja. Namaku Ouw Kan, akan tetapi dunia
persilatan mengenal aku sebagai Toat-beng Coa-ong!”

“Pantas tongkatmu ular kering!” kata Bl Lan sambll memandang ke arah tongkat yang kinl dipegang
tangan kanan kakek itu.

“Ha-ha, engkau cerdlk. Siapa nama-mu?”

“Namaku Han Bi Lan, kek.”

“Han Bi Lan? Nama yang bagus.” Ouw Kan mengangguk-angguk. Datuk Ini adalah seorang yang berwatak
aneh dan terkenal kejam sekali. Dia dapat membunuhi orang tanpa berkedipi Akan tetapi, betapapun
jahatnya, ada juga saatnya dia bersikap seperti seorang manusia biasa yang dapat tertarik dan merasa
suka kepada seseorang seperti sekarang dia merasa suka sekali kepatfa anak perempuan yang dlcullknya
ini. Sikap Bl Lan yang pemberanl Itu membuat dia kagum dan suka.

“Akan tetapi, kek. Engkau yang tidak mengenal aku, kenapa sekarang menculikku? Dan nenek Lu-ma,
pembantu rumah tangga dan tukang kebun kami, apa kesalahan mereka terhadapmu? Kenapa mereka
kau bunuh?”

Dihujani pertanyaan ini, Ouw Kan tertawa. Dia adalah seorang manusia yang tak pernah menyadari akan
kesalahannya. Dia percaya bahwa segala yang dia lakukan adalah benar, tidak jahat, karena semua
perbuatannya itu ada alasannya! Nafsu daya rendah memang menjadlkan hati akal pikiran sebagai
sarang-nya dan melalui hati akal pikiran inilah nafsu setan membisikkan alasan-alasan untuk
membenarkan segala perbuatannya yang menyimpang dari kebenaran. Setan itu cerdik bukan main. Dia
niembela se-mua perbuatan sesat dengan alasan-alas-an yang tampaknya masuk akal dan benar!

“Hemm, engkau ingin tahu mengapa aku melakukan penculikan dan pembunuhan itu, Bl Lan? Semua Itu
untuk menghukum dosa yang dllakukan ayah ibumu? Mereka telah membunuh Pangeran Cu Sl dalam
pertempuran, maka Sribaginda Raja Kin lalu menyuruh aku untuk membalas dend am kematian
puteranya.”

“Akan tetapi, kenapa aku yang kau culik dan mereka yang kau bunuh? Kami tidak mempunyai kesalahan
apapun!” Bi Lan membantah.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 87

“Kalau ayah ibumu berada di rumah, tentu mereka yang akan kubunuh. Akan tetapi mereka tidak berada
di rumah. Yang ada hanya engkau puteri mereka dan orang-orang itu. Maka engkau yang kuculik dan
mereka kubunuh sebagai pembalasan atas kematian Pangeran Cu Si.”

Pada saat itu terdengar suara derap kaki kuda datang dari belakang. Ouw Kan berhenti melangkah dan
menengok. Bi Lan juga memutar tubuh. Mereka melihat seorang laki -laki menunggang kuda datang dari
arah belakang. Ouw Kan lalu berdiri di tengah jalan menghadang dan mengangkat tangan kiri ke atas
sebagai tanda menghentikan penunggang kuda itu. Kuda dihentikan, debu mengepul dan laki-laki itu
melompat turun dari atas punggung kudanya. Dia seorang laki-laki kurang lebih empat puluh tahun dan
me-lihat sebatang golok yang terselip di punggungnya dapat diduga bahwa dia se -orang yang siap
menghadapi gangguan dengan kekerasan. Seorang tokoh kang-ouw yang mengandalkan ilmu silatnya
untuk membela diri. Mukanya bulat, tubuhnya kokoh dan sinar matanya mencorong.

Alisnya berkerut ketika ia memandang kakek yang menghentikannya di tengah jalan itu. “Paman tua,
ada keperluan apakah engkau menghadang perjalananku?” tanya laki-laki itu sambil memandang
kepada Bi Lan yang berdiri di tepi jalan. “Apakah ada sesuatu yang perlu kubantu?”

“He-he, memang ada yang perlu Kau-bantu, sobat. Aku sudah tua dan cucuku ini masih kecil. Kami
membutuhkan kudamu untuk melanjutkan perjalanan kami. Maka, engkau lanjutkan perjatanan dengan
jalan kaki dan tinggalkan kudamu untuk kami pakai.” kata Ouw Kan dengan senyum.

“Dia bohong! Aku bukan cucunya. Dia bukan kakekku, dia menculikku!” tiba-tiba Bi Lan berteriak. la
melihat sikap gagah laki-laki itu dan mengharapkan pertolongan darinya.

Laki-laki itu mengerutkan alisnya semakin dalam dan memandang kepada Ouw Kan dengan tajam penuh
selidik. “Ehh? Benarkah itu, paman tua?”

Sikap lembut Ouw Kan lenyap, ter-ganti pandang mata mencorong dan sua-ranya juga ketus. “Jangan
mencampuri urusanku. Berikan saja kudamu itu kepadaku!”

“Hemm, engkau sudah menculik seorang anak perempuan dan kini hendak merampas kudaku? Orang
tua, jangan engkau berani main-main di depanku! Engkau tidak tahu siapa aku? Aku adalah orang yang
disebut Hui-liong Sin-to (Go-lok Sakti Naga Terbang)! Minggirlah dan jangan ganggu. aku lagi dan biarkan
aku mengantarkan anak ini kembali ke orang tuanya. Barulah aku mau mengampunimu!”

“Heh-heh-heh, kalau begitu terpaksa gku harus membunuhmu!” kata Ouw Kan tertawa sambil
menggerakkan tongkat ularnya. Tongkat itu meluncur ke arah dada laki-laki itu. Akan tetapi orang yang
mengaku berjuluk Hui-liong Sin-to itu dengan tangkas dan gesitnya mengelak ke belakang dan sekali
tangan kanannya meraba punggung, tampak sinar berkelebat dan sebatang golok yang amat tajam telah
berada dl tangan kanannya.

Ouw Kan tidak perduli. Serangan pertamanya yang dapat dihindarkan lawan itu membuatnya penasaran
dan diapun menyerang lagi. Kini tongkat ular kobra itu membuat gerakan melayang dan melingkar-
lingkar menyerang ke arah titik-titik jalan darah maut di bagian tubuh lawannya. Hui-llong Sin-to
terkeJut bukan main, mengenal serangan yang amat berbahaya. Dia cepat memutar goloknya
menangkis sambil mengerahkan tenaga dengan maksud untuk mematahkan tongkat ular kobra kering
itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 88

“Tranggg.....!!'' Tampak bunga apl berpijar dan bukan tongkat ular itu yang patah, melainkan golok itu
terpental dan hampir saja terlepas dari tangan pemegangnya. Laki-laki itu terkejut bukan main. Dia
adalah seorang ahli silat yang kenamaan dan tergolong jagoan sehingga memperoleh julukan Golok Sakti
Naga Terbang. Goloknya amat terkenal dan jarang menemukan tanding. Akan tetapi sekali ini
berhadapan dengan seorang kakek, tongkat ular kering kakek itu dapat membuat goloknya terpental!
Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan sakti. Akan tetapi dia tidak mendapat
kesempatan untuk berpikir karena tongkat yang sudah berubah menjadi gulungan sinar hitam itu sudah
menyambar lagi ke arahnya.

Hui-Liong Sin-To terpaksa menangkis lagi sambil terhuyung ke belakang. Ouw Kan menggerakkan tangan
kirinya, dengan telapak tangannya dia mendorong ke arah dada lawan.

“Robohlah!” bentaknya.

Serangkum tenaga dahsyat menyambar dan tubuh orang itu terpental ke belakang dan terbanting
roboh. Goloknya terlepas darl tangannya dan tubuh itu terkulal lemas. Matanya terbelalak memandang
Ouw Kan yang berdiri sambil tersenyum mengejek. Telunjuk tangan kanannya diangkat menuding dan
mulutnya yang mengeluarkan darah segar bertanya, “Siapa.... siapa..... engkau.....?”

“Toat-beng Coa-ong Ouw Kan namaku!” kata Ouw Kan. Orang Itu tampak terkejut sekali. , “Toat-beng
Coa-ong.....? Ahhhh .... mati aku.....!” Dia terkulai lagi dan diam tak bergerak, tewas seketika karena
pukulan Ouw Kan tadi mengandung hawa beracun yang amat dahsyat.

Bi Lan menonton dengan mata terbelalak dan hati merasa ngeri. Kini sadarlah anak ini bahwa
penculiknya adalah seorang yang sakti dan berbahaya sekali. Tahulah ia bahwa ia tidak mungkin akan
dapat terlepas darl cengkeraman kakek ini mempergunakan kekerasan. la menahan kebenciannya yang
makin mendalam melihat betapa kakek itu demikian mudahnya membunuh orang, hanya untuk
merampas kudanya.

Ouw Kan menghampiri Bi Lan dan tersenyum, lalu berkata dengan nada bangga. “Hah, orang macam itu
berani melawan aku! Mencari mampus sendiri. Hayo, Bi Lan, kita melanjutkan perjalanan dengan
menunggang kuda.”

Bi Lan tldak membantah ketika ia diangkat dan didudukkan di atas punggung kuda. Kemudian kakek itu
melompat dan duduk di belakangnya. Kuda dilarikan meninggalkan tempat itu. Bi Lan menoleh
memandang ke arah pemilik kuda yang menggeletak tanpa nyawa di atas tanah dan ia mulai merasa
ngeri.

“Bi Lan, kalau engkau bertemu orang mengatakan bahwa aku menculikmu lalu orang itu menantangku,
dia tentu akan mati di tanganku dan engkaulah yang menyebabkan kematiannya itu,” kata Ouw Kan.

Bl Lan merasa ngerl, Kakek inl lihal bukan maln dan ia tahu bahwa ucapen kakek itu bukan sekedar
gertak kosong belaka.

“Habls, apa yang harua kukatakan kepada orang? Engkau memang menculikku.” Jawabnya. “Engkau
akan membawaku ke mana, kek? Apa yang akan kaulakukan denganku? Kalau engkau hendak
membunuhku, kenapa tldak kaulakukan sekarang?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 89

“Heh-heh, aku suka melihatmu dan sayang kalau engkau dibunuh, Bl Lan. Aku akan membawamu ke
utara dan menyerahkanmu kepada Sribaginda Raja Kin yang kematian puteranya. Terserah kepadanya
apa yang akan dilakukannya terhadap dirimu.”

Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa khawatir sekali. Raja Kin itu mendedam sakit hati kepada
ayah ibunya yang telah membunuh puteranya dalam perang. Kalau ia terjatuh ke tangan raja itu, tentu
akan celaka hidupnya. Raja itu tentu akan melampiaskan dendamnya. Mungkin ia akan dibunuh, atau
disiksa. Atau la akan disandera dan dijadikan umpan untuk memancing datangnya ayah ibunya! Ah,
gawat sekali kalau begitu. Akan tetapi ia diam saja.

Siang hari itu panasnya bukan main. Ouw Kan menghentikan kudanya dan mereka turu n dari atas
punggung kuda. Setelah menambatkan kudanya pada sebatang pohon, Ouw Kan mengajak Bl Lan duduk
dl bawah pohon yang teduh. Jalan pegunungan itu sunyi sekali.

“Perutku lapar, kita makan dulu.” katanya dan dia mengeluarkan ssebuah bungkusan yang b erisi roti
kering dan daging kering. “Kita makan seadanya dan minum anggur ini.” Ternyata kakek itu membawa
seguci anggur.

“Aku tidak suka minum anggur. Di sana ada alr, aku ingln minum air.” kata Bi Lan, menunjuk ke arah alr
yang mengucur darl celah-celah batu padas.

Karena ia tidak Ingin kelaparan dan, kehabisan tenaga, Bl Lan makan rotl dan daglng kerlng, dan mlnum
alr yang ditampung dengan kedua tangannya. Ouw Kan §endlrl makan rotl dan daging kerlng lalu la
minum anggur sampai habls setengah guci.

Dalam. keadaan hampir mabuk dia lalu merebahkan diri di atas rumput dl bawah pohon Itu dan
sebentar saja dia sudah tldur mendengkur!

Bi Lan duduk dl rumput dan memandang kakek Itu dengan Jantung berdebar. Inilah aaatnya, piklrnya.
Saat yang memberl kesempatan kepadanya untuk meloloskan diri, untuk melarlkan diri! la menanti
sampai dengkur kakek itu terdengar teratur dan panjang-panjang, tanda bahwa tidurnya sudah pulas
benar. la bangkit berdirl, perlahan-lahan sambil terus mengamati kakek itu. Tidak ada tanda-tanda
bahwa kakek itu memperhatikannya. la memutar tubuhnya, kemu-dian berjingkat rnelangkah
meninggalkan tempat itu. Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, tiba-tiba tubuhnya seperti
ditarik oleh kekuatan yang taktam-pak sehingga ia terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk di
tempatnya yang tadi! la memutar tubuh melihat betapa kakek itu masih mendengkur! Bi Lan menjadi
penasaran sekali. Kembali ia bangkit berdiri dengan hati -hati dan kini ia melangkah meninggalkan
tempat itu sambil mundur, matanya tetap memandang ke arah kakek yang masih tidur mendengkur.

Setelah mundur belasan langkah, la melihat kakek yang masih mendengkur itu tlba-tiba menggerakkan
tangan ke arahnya dan .... kembali ada tenaga yang amat kuat menariknya ke depan. Betapapun ia
berusaha untuk bertahan, tetap saja tubuhnya tertarlk kembali ke depan dan ia jatuh terduduk di
tempatnya yang tadi, tak jauh dari tubuh kakek yang rebah telentang dan tidur mendengkur itu!

Hati Bi Lan menjadi gemas sekali. Mengertilah ia bahwa kakek sakti itulah yang membuat tubuhnya
selalu tertarik kembali. Entah bagaimana, dalam keadaan tidur mendengkur kakek itu mampu
mencegahnya melarikan diri! Kemarahan membakar hatinya. Sekaranglah kesempatan itu terbuka
baginya. Makin lama ia akan semakin jauh di daerah utara dan akan makin kecilah harapan untuk dapat

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 90

meloloskan diri. Kalau kakeK ini, biarpun dalam tidur, dapat menghalanginya melarikan diri, satu -
satunya jalan harus membunuhnya lebih dulu! Bi Lan menjadi nekat. Di dekatnya terdapat seborgkah
batu sebesar kepalanya. la mengambil. batu itu dan mengangkatnya dengan ke -dua tangannya. Lalu ia
menghampiri Ouw Kan. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya ia membanting batu itu,
menimpakannya ke arah muka Ouw Kan yang tidur telentang di atas rumput!

“Wuuuttt.... bukkkk!” sungguh aneh. Dia masih mendengkur, akan tetapi ketika batu itu menlmpa,
kepalanya bergerak ke samping sehingga batu itu menghantam tanah, tidak mengenai mukanya! Bi Lan
menjadi penasaran sekali. Diambilnya lagi batu itu dan ditimpakan lagi ke arah muka. Namun, sampai
tiga kali ia mengulang, tetap saja hantamannya itu tidak pernah mengenai muka kakek itu. Bi Lan
menjadi penasaran sekali dan untuk ke empat kalinya ia menimpakan batu itu sekuat tenaga ke atas
dada Ouw Kan! Sekali ini kakek itu tidak dapat mengelak dan batu itu tepat menehantam dadanya.

“Bukkk....!!” Bi Lan terpental sampai tiga meter, seperti dilontarkan tenaga yang amat kuat dan batu itu
terlepas dan kedua tangannya, terpental lebih jauh lagi. Tubuh Bi Lan terbanting keras ke atas tanah
sehingga pinggulnya terasa nyeri.

Ouw Kan bangkit duduk, menggosok-gosok kedua matanya seperti orang baru bangun tidur,
memandang kepada Bi Lan. lalu bangkit berdiri. Bi Lan juga bangkit berdin walaupun pinggulnya terasa
nyeri. la maklum bahwa ia tidak mungkin dapat terbebas dari kakek ini. Kesempatan baik tadi telah ia
pergunakan, akan tetapi ternyata kakek itu seorang yang amat sakti. Sedang dalam keadaan tidur saja
kakek itu dapat menggagalkan usahanya menyferang untuk membebaskan diri, apalagi dalam keadaan
sadar. Dan ia dapat membayangkan betapa ngeri nasibnya kalau terjatuh ke dalam tangan Raja Kin yang
mendendam kepada ayah ibunya.

“Tidak! Aku tidak mau kaubawa lagi! Biar kaubunuh aku, aku tetap tidak mau ikut denganmu!” teriak Bi
Lan dengan nekat.

Ouw Kan tertawa bergelak. Dia merasa semakin suka kepada anak yang pemberani, nekat dan tidak
takut mati ini. “Ha-ha-ha, Bi Lan. Apa kaukira engkau akan dapat menolak kalau aku membawamu
pergi?” Dia lalu berkemak-kemik membaca mantera dan mengerahkan kekuatan sihirnya, lalu berkata
dengan suara yang lembut namun mengandung wibawa yang kuat sekali. “Bi Lan, anak baik! Ke sinilah,
engkau harus patuh dan ikut denganku, ke manapun kubawa engkau pergi!”

Ada sesuatu yang teramat kuat mendorong Bi Lan, baik mendorong hatinya dan kedua kakinya sehingga
ia melangkah maju, menghampiri kakek itu. Akan tetapi baru tiga langkah ia berjalan, tiba-tiba terdengar
suara tawa yang nyaring dan tiba-tiba saja kekuatan yang mendorong Bi Lan itu lenyap.

“Tidak, tidak!” Bi Lari berhenti dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak sudi ikut denganmu. Engkau kakek
jahat, telah membunuh nenek, pelayan dan tukang kebun kami. Aku benci padamut”

Ouw Kan merasa terkejut sekali melihat betapa pengaruh sihirnya atas diri anak itu punah . Dia tahu
bahwa suara tawa tadilah yang memunahkan kekuatan sihirnya. Dia merasakan getaran hebat
terkandung dalam suara tawa itu.

“Omitohud! Toat-beng Coa-ong Ouw Kan di mana-mana mendatangkan kekacauan belaka. Anak sekecil
inipun hendak dipaksanya. Uih, sungguh mernalukan sekali seorang datuk besar sampai dimakl -maki
anak kecil!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 91

Ouw Kan cepat memutar tubuh ke kanan dan dia melihat kakek itu! Seo-rang kakek yang berusia sekitar
enam puluh tahun, berjubah kuning dengan kotak kotak merah, kepalanya gundu l mengenakan peci
kain kuning. Tubuhnya tinggi besar berperut gendut dan bajunya tidak terkancing sehingga dadanya
tampak. Mukanya bulat dan semua anggauta tu-buh kakek ini tampak kebulat-bulatan. Di tangan
kanannya terdapat sebatang tongkat panjang berkepala naga. Tentu saja Ouw Kan menjadi terkejut dan
juga marah sekali. Baru beberapa bulan dia bertemu dengan kakek ini yang bukan lain adalah Jit Kong
Lama, pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti itu. Pernah dia dan Ali Ahmed datuk suku Hui itu
berhadapan dengan Jit Kong Lama dan memperebutkan kitab-kitab yang dibawa Tlong Lee Cin-jin dan
dia bersama Ali Ahmed kalah melawan kakek gundul dari Tibet Inl.

“Jit Kong Lama!” Ouw Kan membentak marah. “Tidak malukah engkau sebagai seorang datuk besar
hendak mencampuri urusan orang lain? Urusanku dengan anak ini sama sekali tidak ada sangkui
pautnya dengan dirimu, karena itu pergilah dan jangan mengganggu kami!”

“Ha-ha-ha! Ouw Kan, pinceng (aku) tidak sudi mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi pinceng ingin
inencampuri urusan anak ini. Kalau ia memang suka kaubawa pergi, pinceng tidak akan peduli. Akan
tetapi kalau ia tidak mau kau bawa pergi, setelah ada pinceng di sini, engkau tidak boleh memaksanya.”

Mendengar ucapan hwesio gundul berjubah aneh itu, Bi Lan ce pat berkata dengan lantang. “Losuhu
yang baik, dia itu orang jahat sekali!” Telunjuknya menuding ke arah muka Ouw Kan. “Aku tidak sudi ikut
dengan dial” .
Jit Kong Lama tertawa lagi. “Ha-ha-ha, Ouw Kan, engkau sudah mendengar sendiri dengan jelas! Anak Ini
tidak mau ikut denganmu, maka pergilah tinggalkan ia dan jangan menggunakan paksaan

Ouw Kan menjadi marah bukan main. la amat membutuhkan diri Bi Lan untuk dijadikan bukti
keberhasilan tugasnya kepada Raja Kin. Dia tidak berhasil membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi,
sekarang harus gagal lagi menculik anak mereka. Membunuhi nenek dan dua pela-yan itu, tentu saja
tidak ada artinya bagi pembalasan dendam kematian Pangeran Cu Si. Akan tetapi diapun bukan seorang
bodoh. Baru beberapa bulan yang lalu, bersama Ali Ahmed sekalipun mere-ka tidak mampu menandingi
Jit Kong Lama. Apalagi sekarang harus melawan seorang diri! Dia tidak sebodoh itu untuk mencari
penyakit melawan orang yang jauh lebih, kuat dari padanya.

“Anak ini aku yang membawanya sampai di sirai. Kalau ia tidak mau ikut, biar ia mampus saja!” Setelah
berkata demikian, tiba-tiba dengan gerakan cepat sekali tubuhnya sudah melompat ke arah Bi Lan dan
tongkat ular kobra itu meluncur ke arah kepala anak perempuan itu.

“Trakkk!” tongkat itu bertemU ujung tongkat naga di tangan Jit Kong Lama sehingga terpental dan tubuh
Ouw Kan agak terhuyung ketika ia terdorong ke belakang.

“Omitohud! Apa kaukira pinceng ini patung? Anak ini tidak sudi kau bawa, apalagi kaubunuh! Karena ia
tidak mau, pinccng harus membelanya!” Jit Kong Lama melintangkan tongkat kepala naga di depan
dadanya.

Ouw Kan memandang dengan mata berapi, akan tetapi dia menahan diri dan tidak berani menyerang.
“Jit Kong Lama, sekali ini aku mengalah kepadamu. Akan tetapi ingatlah bahwa aku bertugas sebagai
utusan Sribaginda Raja Kin dan campur tanganmu ini berarti engkau telah berdosa terhadap KeraJaan
Kin!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 92

“Ha-ha-ha, ancamanmu itu tidak ada artinya bagi pinceng. Pinceng bukan warga negara Kin, maka
pinceng tidak berdosa kepada kerajaan manapun!”

Setelah melotot kepada pendeta Lama dan Bi Lan, Ouw Kan lalu memutar tubuhnya, berlari ke arah
kuda yang dltam-batkan pada batang pohon, melepas kendali kuda lalu melompat ke atas punggung
binatang itu dan cepat meninggalkan tempat itu.

Kini pendeta Lama itu berdiri berhadapan dengan Bi Lan. Mereka saling pandang dan memperhatikan.
Sebagai anak Cerdik Bi Lan tahu bahwa kakek gundul ini telah menolongnya dan ia harus berterima kasih
kepadanya. Maka iapun maju menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Jit Kong Lama.
“Losuhu telah menolong saya dan membebaskan saya dari tangan pembunuh dan penculik itu. Saya
mengucapkan banyak terima kasih kepada losuhu.”

Jit Kong Hwesio membungkuk dan menggunakan tangan kirinya untuk meraba-raba dan menekan-nekan
kepala, kedua pundak dan punggung Bi Lan. Anak itu merasa heran dan tidak enak diraba-raba seperti
ku, akan tetsipi ia diam saja.

“Bangkitlah, anak baik. Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?”

Bi Lan bangkit berdiri. “Saya bernama Han Bi Lan dan tempat tinggal saya dl kota raja Hang-chou.”

“Omitohud! Begitu jauhnya dia membawamu? Dari Hang-chou ke sini? Wah, perjalanan dari sini ke
Hang-chou dengan berjalan kaki akan makan waktu puluhan hari! Bagaimana engkau akan dapat pulang
sendiri, Bi Lan? Di dalam perjalanan sejauh itu, engkau tentu akan bertemu banyak orang jahat. Engkau
mungil dan cantik, tentu banyak orang jahat tidak akan melepaskanmu begitu saja.”

Mendengar ini, kembali Bi Lan menjatuhkap dirinya berlutut. “Lo-suhu, mohon losuhu jangan kepalang
menolong saya. Kalau losuhu sudi menolong saya mengantarkan saya pulang ke Hang-chou, pasti saya
akan sampai di rumah dengan selamat dan kedua orang tua saya tentu akan berterima kasih sekali
kepada losuhu.” Bi Lan belum mau menyebutkan nama ayah dan ibunya, karena la beluin mengenal
slapa sebenarnya kakek Inl dan la tldak tahu apakah kakek ini tidak memusuhl ayah Ibunya.

“Omltohud...... untuk melindungimu engkau harus menjadi muridku dan pinceng melihat engkau
bertulang baik, pantas menjadi muridku.....”

“Teecu suka menjadi murid suhu!” Cepat Bi Lan menyambar tawaran ini.

“Omitohud! Tidak ringan syaratnya untuk menjadi muridku, Bi Lan. Sampai hari ini pinceng belum
pernah menerinia murid dan kalau engkau memang berjodoh menjadi muridku, engkau harus
memenuhi syarat itu.”

“Apakah syarat itu, suhu? Teecu (murid) tentu akan bersedia untuk memenuhl-nya!” kata Bi Lan dengan
penuh semangat.

“Ada dua syarat yang harus kaupenuhi. Pertama, engkau harus mengikuti aku selama sepuluh tahun dan
selama itu engkau tidak boleh pergi ke manapun juga, tidak boleh pulang ke rumah orang tuamu. Dan
syarat ke dua, setelah sepuluh tahun menjadi muridku, engkau boleh pergi dan pulang kepada orang

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 93

tuamu, akan tetapi engkau harus mencari sampai ketemu dan membunuh seorang musuh besarku yang
bernama Tiong Lee Cin jin. Nah, sanggupkah engkau memenuhi. kedua syarat itu?”

Bi Lan yang masih berlutut itu tertegun. Syarat ke dua itu tidak perlu ia ragukan lagi. Siapapun musuh
gurunya, sudah menjadi kewajibannya untuk menentang musuh besar gurunya. Akan tetapi syarat
pertama itulah yang berat. la tadi mau menjadi murid Lama itu agar ia dapat cepat diantar pulang. Akan
tetapi syarat itu menghendaki agar selama sepuluh tahun ia tidak boleh pulang ke rumah orang tuanya!
la mempertimbangkan syarat itu. Kalau ia menolak, ia harus pulang sendiri, padahal Hang-chou begitu
jauh, perjalanan begitu lama dan hampir dapat dipastikan ia akan celaka di tangan orang-orang jahat di
sepanjang perjalanan jauh itu. Kalau ia menerinna, biarpun selama sepuluh tahun ia berpisah dari orang
tuanya, akan tetapi setelah sepuluh tahun lewat, ia akan dapat bertemu kembali dengan mereka. Selain
itu, ia akan mendapatkan ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya.

“Hei, bagaimana ini? Kenapa diam saja? Kalau tidak mau, sudahlah, pinceng inau pergi.”

“Mau, suhu, teecu mau dan sanggup!” teriak Bi Lan cepat

“Benarkati engkau sanggup? Kalau begitu, bersumpahlah, disaksikan Langit dan Bumi!”

Sejak kecil Bi Lan sudah diajar sastra oleh kedua. orang tuanya, maka ia pernah membaca tentang orang
bersumpah. Sambil masih berlutut ia merangkap kedua tangan dan mengangkatnya ke atas, lalu
bersumpah dengan suara lantang, “Disaksikan Langit dan Bumi, saya Han Bi Lan bersumpah akan
menjadi murid dari suhu ..... Jit Kong Lama....” Sampai di sini Bi Lan menoleh kepada kakek itu dan Jit
Kong Lama menganggukkan kepala membenarkan. “.....saya akan menaati semua perintahnya, selama
sepuluh tahun tidak akan meninggalkannya dan setelah tamat belajar saya akan pergl mencarl dan
membunuh musuh besar suhu yang bernama Tiong Lee Cin-jin!”

Jlt Kong Lama tertawa dan mengangguk-angguk dengan gambira sekali. Tadi dia telah meraba dan
menekan kepala dan tubuh anak itu dan dia mendapat kenyataan bahwa Bi Lan adalah seorang anak
perempuan yang bertulang baik dan berbakat sekali. la akan menjadi seorang murld yang baik sekali.
Watak datuk ini memang aneh. Dia tidak ingin tahu siapakah orang tua anak itu. Dia tidak peduli. Yang
penting baginya adalah anak itu, bukan orang tuanya. Maka diapun tidak bertanya l agi siapa ayah ibu
anak itu dan Bi Lan juga diam saja.

“Mari kita pergi, Bi Lan.” Jit Kong Lama menggandeng tangan anak itu dan dia berlari cepat sambil
menggandeng. Bi Lan terkejut sekali. la merasa tubuh-nya seperti melayang karena kedua kakinya
kadang tidak menginjak tanah. Saking cepatnya mereka meluncur, Bi Lan memejamkan kedua matanya,
apa lagi kalau kakek itu membawanya melompatl jurang yang lebar dan dalam.

Jit Kong Lama tldak berani kembali ke Tlbet dan dia membawa Bi Lan ke sebuah di antara puncak-puncak
yang terpencll di Pegunungan Kun-lun-san. Dusun-dusun kecil di sekitar tempat itu dihuni sedikit
penduduk yang bekerja sebagai petani dan mereka menganggap Jit Kong Lama sebagai seorang pendeta
yang bertapa di puncak itu, ditemani seorang murid perempuan. Jit Kong Lama dan Bi Lan hidup secara
sederhana di puncak itu dan mulai hari itu dia menggembleng muridnya dengan tekun. Bi Lan juga
berlatih dengan rajin sekali. Anak perempuan kecil itu sudah mempunyai cita-cita untuk menjadi
seorang pendekar wanita agar kelak, selain dapat membalas dendam gurunya terhadap musuh
besarnya, juga ia ingin mencari Ouw Kan untuk membalaskan kematian neneknya, juga pelayan dan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 94

tukang kebun mereka. Cita-cita inilah yang membuat anak itu bertahan dan belajar dengan penuh
semangat walaupun terkadang ia merasa rindu sekali kepada ayah ibunya,

* **

Kalau tidak diperhatikan tidak dlrasakan, sang waktu melesat dengan amat cepatnya, lebih cepat
daripada apapun Juga. Tanpa terasa, bertahun-tahun lewat seolah baru beberapa hari saja. Seorang tua
yang mengenang masa kanak-kanaknya, merasa seolah masa itu baru iewat beberapa hari saja, padahal
sudah puluhan tahun berlalu. Sebaliknya kalau diperhatikan dan dirasakan, sang waktu merayap lebih
lambat daripada siput sehingga sehari rasanya seperti sebulan. Menanti? sesuatu atau seseorang yang
terlambat satu jam saja rasanya seperti sudah terlambat sehari!

Demikianlah, tanpa terasa sepuluh tahun telah lewat sejak Souw Thian Liong mengikuti Tiong Lee Cin -jin
sebagai murid pertapa yang sudah berkelana itu. Tiong Lee Cln-jin mengajak Thlan Liong pergi ke Puncak
Pelangi, sebuah di antara banyak puncak di Pegunungan Gobi. Di puncak yang indah namun sunyi ini
Tiong Lee Cln-Jin membangun sebuah pondok dari kayu dan barnbu yang sederhana namun kokoh kuat.
Dlbantu Thlan Liong, dia membersihkan pondok itu dan bekerja mencangkul dengan tekun setiap hari
sehingga beberapa bulan kemudian di depan dan kanan kiri pondok terdapat taman yang penuh
tanaman bunga beraneka warna dan belakang pondok terdapat sebuah kebun yang luas. Dia menanam
segala macam sayuran, pohon-pohon buah dan juga tanaman obat-obatan.

Tiga empat tahun kemudian, karena kebiasaan dan kesukaan Tiong Lee Cin-jin menolong dan mengobati
penduduk dusun sekitar puncak itu yang menderita sakit, dan pengobatannya itu selalu berhasil
menyembuhkan, maka dla dikenal sebagai Tabib Dewa! Kemudian berdatanganlah para penduduk
membawa orang sakit ke Puncak Pelangi untuk minta obat kepada Tabib Dewa. Setelah dibutuhkan
banyak orang, Tiong Lee Cin-jin menanam lebih banyak lagi tumbuh-tumbuhan yang mengandung ,obat.

Thian Liong digembleng ilmu silat setiap hari. Anak ini memang rajln sekali, bukan hanya rajin berlatih
silat, melainkan juga rajin membantu suhunya sehingga diapun hafal akan semua jenis tanaman obat.
Akhirnya Thian Liong juga mempelajari ilmu pengobatan dan suhunya yang bijaksana juga mengajarkan
ilmu sastra kepadanya.

Demikianlah, setelah lewat sepuluh tahun, Thian Liong telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia
dua puluh tahun. Bentuk tubuhnya sedang dan tegap, kulitnya putih karena sejak kecil tinggi di puncak
bukit. Rambutnya hitam panjang dan lebat, alisnya berbentuk golok, matanya tajam mencorong namun
bersinar lembut, hidungnya mancung dan mulut-nya selalu membayangkan senyum penuh pengertian
dan kesabaran. Mukanya agak bulat namun dagunya runcing. Lang kahnya tenang dengan tubuh tegak.
Pa-kaian dan sikapnya yang bersahaja dan rendah hati itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa
pemuda ini seorang yang telah memiliki ilmu yang tinggi, yang membuat dia menjadi seorang sakti yang
lihai sekall. Kerendahan hatinya itu wajar, sudah lahlr batin dan mendarah daglng, karena sudah
meresap benar ke dalam Jiwanya nasihat gurunya yang beru-lang kali sejak dia pertama kali menjadi
muridnya.

“Ingat selalu, Thian Liong. Kita manusia ini hanya merupakan seonggok darah daging dan tulang yang
lemah dan tidak bisa apa-apa kalau tidak ada Kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam diri kita. Karena itu
ingatlah selalu bahwa apapun yang dapat kita lakukan dalam hidup ini, baik melalui pikiran, kata-kata
dan perbuatan, semua itu hanya mungkin kare-na Kemurahan Tuhan. Tuhanlah yang Maha Kuasa, Maha
Pintar, Maha Bisa, Maha Ada, dan Maha Segalanya sejak dahulu, sekarang, kelak dan selama-lamanya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 95

Kita ini hanya menjadi alatNya. Maka ingatlah selalu agar engkau menjadi alat Tuhan yang baik, karena
kalau tidak, besar bahayanya onggokan darah daging dan tulang ini akan diperalat oleh Iblis.”

Nasihat ini sudah meresap dalam jiwa dan hati sanubari Thian Liong, maka dia selalu merasa bahwa
dirinya tidak bisa apa-apa dan kalaupun ada yang dapat dia lakukan, hal itu dapat terjadi karena
Kekuasaan Tuhan yang membimbingnya.

Thian Liong mendapat kemajuan pesat dalam ilmu, sastra karena gurunya memiliki banyak kitab kuno
yang harus dibacanya sampai habis. Kitab pelajaran filsafat dan agama telah dibacanya semua dan sering
kali Tiong Lee Cin-jin mengajak dia merenungkan dan mempelajari inti pelajaran kitab-kitab itu. Thian
Liong tahu bahwa gurunya itu condong kepada To-kauw (Agama To) dan pandangan hidupnya banyak
dipengaruhi filsafat dalam Kitab To-tek-keng. Akan tetapi gurunya juga tidak mengesampingkari ajaran-
ajaran dari semua agama lain. Diambilnya ajaran-ajaran yang seirama, dan ini banyak sekali, dari agama-
agama itu dan dikesampingkannya sedikit perbedaan yang ada mengenai sejarah, kepercayaan, dan
upacara.

“Ketahuilah Thian Liong. Yang kita sebut Thian, Tuhan Yang Maha Kuasa itu mutlak Maha Ada dan Maha
Benar. Kalau orang-oraog saling membicarakan dan mempertentangkan maka akan timbul bentrokan
dan perselisihan. Hal ini terjadi karena mempertentangkan itu adalah hati akal pikiran kita yang sudah
diperalat nafsu. Hati akal pikiran kita terlalu kecil sekali untuk dapat mengukur Keberadaan, Kebesaran,
dan KebenaranNya. Hati-akal-pikiran hanya akan membentuk aku yang selalu minta dibenarkan, aku
yang selalu merasa pintar, selalu merasa benar sendiri, paling mengerti. Si -aku yang sesungguhnya
bukan lain adalah nafsu, kuasa iblis. Bagaimana mungkin kebenaran hendak diperebutkan?
Memperebutkan kebenaran itu sendiri sudah jelas tidak benar! Semua agama mengajarkan manusia
untuk hidup baik dan bermanfaat bagi dunia dan manusia dan semua agama itu benar adanya karena
merupakan wahyu dari Tuhan untuk membimbing manusia agar tidak tersesatdan agar tidak melakukan
kejahatan. Tentu saja ketika wahyu dlturunkan, manusia menerimanya disesualkan dengan jamannya,
kebudayaan bangsanya pada waktu itu, dengan tradisinya dan segalanya. Hal ini tentu akan membuat
wahyu-wahyu itu tampak berbeda pada lahirnya. Pakaiannya saja yang berbeda, bahasanya, dan setelah
lewat ratusan atau ribuan tahun mungkin pula terjadi perubahan-perubahan dalam bahasa dan
penafsirannya. Kenapa mesti dicari perbedaannya? Kenapa mesti dipertentangkan? Kenapa mesti
membenarkan agama sendiri dan menyalahkan agama yang lain? Tuhan hanya satu. Bahkan satu dl
antara jutaan ciptaanNya, yaitu matahari, manfaatnya untuk semua manusia di permukaan bumi,
apalagt Tuhan sendiri! Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan semua manusia, tak perdul i berbangsa atau
beragama apapun, bahkan Tuhan semua mahluk, yang tampak maupun yang tidak tampak, yang
bergerak maupun yang tidak bergerak! Lihatlah sebintik lumut. Begitu kecil tak berarti, namun
Kekuasaan Tuhan berada dalam dirinya, karena itu ia hidup!”

“Suhu, semua itu telah dapat teecu mengerti. Yang membuat teecu masih belum jelas adalah ucapan
suhu dahulu bahwa kita tidak akan dapat merasakan bekerjanya Kekuasaan Tuhan dengan jelas, tidak
akan dapat mengerti kalau ? menggunakan hati akal pikiran ki ta. Lalu untuk mengerti kita harus
bagaimana?”

“Hati akal pikiran itu hanya merupakan gudang penyimpan segala macam pengalaman. la hanya akan
mengetahui dan rnengerti apa yang tersimpan dalam ingatannya saja. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa.
Coba kau cari seorang yang belum pernah kau kenal, tidak kau ketahui namanya, tidak kauketahui di
mana tinggalnya, dapatkah engkau? Tidak mungkin, bukan? Itu baru mencari seorang manu-sia! Apalagi
mencari Tuhan dan KekuasaanNya! Bagaimana hati akal pikiran akan dapat menemukannya? Nah,

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 96

karena itu hentikanlah mencari dengan hati akal pikiran, biarkan hening dan rohmu yang akan dapat
berhubungan dengan Tuhan. Tuhan itu ROH adanya, bukan mahluk. Melihat kekuasaannya? Buka saja
panca inderamu dan perhatikan sekelilingmu. Dl mana-mana di luar dirimu dan di dalam dirlmu,
Kekuasaan itu tak pernah berhenti bekerja! Berkah itu terus mengalir tiada hentinya. Lihatlah betapa
sebentar saja Kekuasaan itu, atau yang disebut To (Jalan) itu berhenti, akan musnalah alam semesta ini!
Matamu dapat melihat, hidungmu dapat mencium, telingamu dapat mendengar, jantungmu berdetik,
rambutmu tumbuh dan segalanya itu, pekerjaan siapakah? Dapatkah engkau menghentikan tumbuhnya
sehelai saja dari rambut di tubuhmu?”

Percakapan seperti inilah yang membuat Thian Liong menjadi rendah hati menghadap Tuhan dan
menyerahkan diri sepenuhnya dalam bimbingan KekuasaanNya.

Pada pagi hari itu, setelah melayani gurunya makan pagi dan telah selesai mencucl peralatan makan,
Tiong Lee Cin jin memanggilnya. Suhunya sudah duduk di serambi depan pondok mereka, duduk di atas
sebuah bangku bambu Tiong Lee Cin-Jin tampak termenung. Thian Liong menghampiri gurunya dan
duduk dl atas bangku di depan kakek itu sambil memandang gurunya. Gurunya sekarang tampak segar
dan sehat walaupun usia-nya sudah enam puluh tahun. Sepahang matanya tajam bersinar penuh
wibawa, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya. Rambutnya sudah, dlhiasi uban, diikat dengan
pita kuning. Pakaian-nya sederhana sekali, hanya kain kuning yang dilibatkan di tubuhnya. Wajah itu
tampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Thian Liong tahu bahwa ini adalah hasil dari ketenangan
batin yang tak pernah dilanda permasalahan hidup. Bukan berarti bahwa gurunya tidak pernah
menghadapi kesukaran-kesukaran hldup. Sama sekali bukan. Seperti ucapan guru-nya. Manusia hidup
tak mungkin terbebas daripada masalah susah senang selama dia masih mempergunakan pikiran !
karena susah senang ini memang permainan pikiran. Apabila hati akal pikiran tidak bekerja, misalnya di
waktu tidur, maka manusia tidak akan lagi merasakan susah atau senang. Gurunya sudah memiliki batin
yang kokoh kuat, tenang dan seperti gunung karang, tidak tergoyahkan oleh hantaman gelombang suka
dan duka. Gurunya menghadapi semua peristiwa yang menimpa dirinya sebagai suatu hal yang wajar
saja sehingga da-pat menerimanya sambil tersenyum, tidak mempengaruhi perasaan batinnya. Tidak
ada lagi rugi untung bagi Tiong Lee Cin-jin. Bahkan tidak ada lagi susah senang yang mengikuti batinnya.
Semua keadaan diterima dengan tenang dan seperti gunung karang menerima gelombang, susah senang
lewat begitu saja tanpa bekas.

“Suhu memanggil teccu?'“ tanya Thian Liong.'

Tiong Lee Cin-jin memandang muridnya dengan sinar mata penuh sayang dan tersenyum. Ada
kebanggaan sedikit memancar dari sinar matanya. Bagaimanapun juga, tentu saja kebanggaan dalam
hati kakek itu. Selama sepuluh tahun dia menggembleng murid tunggalnya ini dan dia melihat kemajuan
yang luar biasa pada diri muridnya ini. Harus dia akui bahwa dia sendiri di waktu muda tidak memiliki
bakat sehebat muridnya ini. Dalam sepuluh tahun, Thian Liong hampir dapat menguasal semua ilmu
yang diajarkannya dengan baik. Bukan hanya ilmu silat lahiriah, melainkan juga batiniah. Pemuda itu
dapat menghimpun tenaga sakti yang amat kuat. Selain itu, juga batinnya kuat, pengetahuannya men-
dalam mengenai soal kerohanian. Bagaimanapun juga, kebanggaan ini hanya terdorong oleh kepuasan
hatinya melihat kemajuan muridnya, sama sekali tidak membuat dia menjadi sombong atau tinggi hati,
lebih tepat sebagai perasaan bangga dan puas dari seseorang yang melihat hasil pekerjaannya berbuah
baik dan memuaskan.

“Thian Liong, engkau tentu sudah dapat menduga apa maksudku memanggilmu. Kalau engkau lupa
menghitung, aku ingatkan engkau bahwa telah sepuluh tahun engkau mempelajari ilmu dariku.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 97

Thian Liong menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar. Tentu saja dia mengerti dan
masih ingat akan ucapan gurunya dahulu bahwa gurunya akan membimbingnya mempelajari ilmu
selama sepuluh tahun.

“Apakah suhu maksudkan bahwa waktunya telah tiba bagi teecu untuk berpisah dari suhu?” tanyanya
dengan suara tenang dan sikap biasa saja.

Gurunya mengangguk-angguk. “Benar, Thian Liong. Seperti pepatah dahulu mengatakan bahwa ada
waktu berkumpul pasti akan tiba waktu berpisah. Tiada yang abadi di dunia ini dan perubahan memang
perlu bagi kehidupan ini. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk saling berpisah, Thian Liong. Erigkau
perlu untuk turun gunung dan mempraktekkan semua teori pelajaran yang pernah engkau terima
dariku. Tanpa diamalkan, apa gunanya semua ilmu yang kaukuasai itu? Dan tanpa diamalkan, sia-sia
sajalah engkau bersusah payah selama sepuluh tahun mempelajarinya, Selain itu, aku juga akan
memberi beberapa tugas untuk itu.”

“Teecu akan senantiasa menaati semua perintah suhu dan teecu akati selalu ingat akan semua nasehat
suhu dan akan melaksanakannya dalam langkah kehidupan teecu. Tugas apakah yang hendak suhu
berikan kepada teecu?”

“Tentu engkau masih ingat akan tugas hidupmu setelah engkau menguasai ilmu yang seiama sepuluh
tahun ini kau pelajari dengan tekun di sini. Tugas seorang pendekar yang membela kebenaran dan
keadilan, membela mereka yang lemah tertindas dan menentang mereka yang kuat kuasa dan
sewenang-wenang. Terutama sekali engkau jangan lupa untuk berbakti kepada bangsa dan kerajaan
Sung, membantu kerajaan menghadapi kemurkaan bangsa Kin. Itu merupakan tugas umum bagimu yang
dapat kaulaku-kan sepanjang hidupmu. Aku masih mem-punyai dua buah tugas untukmu. Pertama, ada
beberapa bingkisan kitab yang harus kauserahkan kepada Ketua Kuil Siauw-lim-pai, Ketua Partai Kun-
lun-pai, dan ketua partai Bu-tong-pai. Kitab-kitab itu ada hubungannya dengan ilmu silat mereka, untuk
memperdalam dan mematangkan ilmu mereka. Kemudian, sisa kitab-kitab agama dan filsafat agar kau
haturkan kepada Sribaginda Kaisar Sung Kao Tsu. Dan yang terakhir, dan ini penting sekali, engkau harus
berusaha untuk menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh buruk Perdana Menteri Chin Kui”.

“Apakah kesalahan Perdana Menterl Chin Kui maka teecu harus menentangnya, suhu?”

“Aku belum menceritakan kepadamu tentang Jenderal Gak Hui, patriot dan pahlawan sejati itu, Thian
Liong. Ketahuilah, Jenderal Gak Hui berhasil membujuk Sribaginda Kaisar untuk memberi ijin kepadanya
melakukan penyerbuan ke utara untuk merampas kembali daerah Sung yang telah dikuasai bangsa Kin.
Sribaginda telah memberi ijinnya, dan Jenderal Gak Hui telah berhasil menyerbu ke utara dan menang
dalam banyak pertempuran. Akan tetapi apa yang terjadi? Perdana Menteri Chi n Kui membujuk Kaisar
untuk memerintahkan Jenderal Gak Hui agar menghentikan serbuan ke utara dan menarik mundur
pasukannya!”

“Akan tetapi mengapa begitu, suhu?”

“Menurut berita rahasia yang sempat kudengar, agaknya antara Perdana Menteri Chin Kui dan Ke rajaan
Kin terdapat persekutuan rahasia. Karena itulah maka perdana menteri yang khianat itu membujuk
kaisar dan karena dia memiliki pengaruh yang amat besar maka kaisar berhasil dibujuknya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 98

“Akan tetapi apakah Jenderal Gak Hui mau menarik mundur pasukannya?” tanya Thian Liong penasaran.

“Jenderal Gak Hui adalah seorang pang lima yang amat setia dan jujur, maka apapun yang diperintahkan
kaisar dia pasti tidak mau menolaknya. Dia mematuhi perintah kaisar dan menarik mundur pasukannya
walaupun ditangisi rakyat yang tadinya daerahnya dibebaskan dari cengkeraman bangsa Kin. Tentu saja
hal itu menghancurkan hati Jenderal Gak Hui sehingga dia tidak segera membawa kembali sebagian dari
barisannya ke selatan, melainkan membuat perkemahan di perbatasan.”

“Kasihan sekali rakyat yang ditinggalkan dan kasihan Jenderal Gak Hui.” kata Thian Liong sambil menarik
napas panjang. “Kemudian apa yang terjadi selanjutnya, suhu?”

“Kisah selanjutnya sungguh membuat hati menjadi terharu, Thian Liong. Setelah pasukan Jenderal Gak
Hui ditarik mundur, pasukan kerajaan Kin melampiaskan dendamnya kepada rakyat yang tadinya
menyambut pasukan Sung dengan gembira. Mereka dianggap membantu pasukan Sung dan setelah
mereka ditinggalkan, pasukan Kin menghukum rakyat daerah yang telah dibebaskan kemudian
ditinggalkan itu dengan kejam dan sewenang-wenang. Banyak rakyat tidak berdosa dibunuh. Para
serdadu Kin mendapat kesempatan untuk melampiaskan nafsu mereka dengan alasan mereka
menghajar musuh. Mereka merampok, memperkosa dan tidak ada kekejaman yang pantang mereka
lakukan.”

“Hemm, begitukah kiranya kalau nafsu sudah menguasai manusia, mengubah manusia menjadi lebih
kejam daripada binatang buas yang tidak mempunyai akal pikiran.”

“Benar, Thlan Liong. Ketika Jenderal Gak Hui mendengar laporan ini dia tidak dapat menahan
kemarahan hatinya. ia lupa diri bahkan berani melupakan perintah kaisar yang melarangnya menyerbu
ke utara. Dia sendiri memimpin pasukannya dan mengamuk, membasmi dan membunuh banyak sekali
pasukan Kerajaan Kin.”

“Sungguh seorang panglima yang mencinta bangsanya dan gagah perkasa.” Thian Liong memuji dengan
kagum.

“Memang begitulah. Akan tetapi akibatnya menyedihkan sekali, Thian Liong. Perdana Menteri Chin Kui
menjadl marah sekali dan siap menghasut kaisar, mengatakan bahwa Jenderal Gak Hui telah menentang
perintah kaisar, berarti telah memberontak dan pantas dihukum mati.”

“Ah, suhu! Akan tetapi Jenderal Gak Hui yang gagah perkasa itu tentu tidak mudah ditangkap. Selain
gagah perkasa, diapun memiliki pasukan yang amat kuat dan setia, Juga didukung rakyat yang
mencintanya.” kata Thian Liong penuh harapan,

Gurunya menggeleng kepala dan meng hela napas panjang. “Kenyataannya tidak demikian, Thlan Liong.
Jenderal Gak Hui di waktu mudanya pernah disumpah oleh ibunya untuk berseti a sampai mati, kalau
perlu berkorban nyawa. Karena itu, ketika Kaisar menjatuhkan hukuman mati kepada Jenderal Gak Hui,
dia menerinianya dengan hati-rela dan menyerahkan diri walaupun para pendukungnya berusaha keras
untuk mencegahnya. Bahkan kawan-kawannya terdekat yang bertekad hendak menyelamatkannya dari
hukuman mati, bahkan dibentak dan dimarahi oleh Jenderal Gak Hui sebagai orang- orang yang tidak
setia kepada kaisar! Demikianlah, panglima besar yang setia dan patriotik itu, panglima yang benar-
benar seorang pahlawan, telah menemui kematiannya secara menyedihkan, menjadi korban kelicikan
Perdana Menteri Chin Kui.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 99

Thian Liong menghela napas panjang. “Ahh, sekarang teecu mengerti mengapa suhu menugaskan teecu
untuk menentang pembesar lalim itu dan menyelamatkan kerajaan dari tangannya yang kotor. Teecu
akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan tugas yang suhu berikan kepada teecu.”

“Sekarang kauambillah peti dari kolong pembaringanku dan bawa peti itu ke sini.” kata Tiong Lee Cin -jin.
Thian Liong mengangguk lalu memasuki kamar gurunya dan membawa sebuah peti hitam diletakkan
peti itu di depan gurunya.

Tiong Lee Cin-jin membuka peti kayu hitam itu. Ternyata peti itu berisi banyak kitab yang sudah tua. Dia
mengeluarkan tiga buah kitab.

“Ini adalah sebuah kitab Sam-jong Cin keng berisi pelajaran dari Ji-lai-hud. Kitab ini harus kauserahkan
kepada Ketua Siauw-lim-pai karena Kuil Siauw-lim yang berhak memiliki dan merawatnya, juga
mempelajari isinya. Yang ke dua ini kitab Kiauw-ta Sin-na dan pelajaran ini sealiran dengan ilmu
cengkeraman dari Bu-tong-pai, maka harus kauserahkan Ketua Bu-tong-pai. Yang ke tiga ini adalah kitab
inti ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, agar kauserahkan Ketua Kun-lun-pai. Dan ini,” kakek itu
mengeluarkan sebatang pedang dan belasan buah kltab. “Belasan kitab agama dan fllsafat ini harap kau
haturkan kepada Sribaginda Kaisar untuk menambah pelajaran akhlak para pejabat, sedangkan pedang
ini, lihat nama pedang itu yang terukir di pangkalnya.”

Thian Liong mencabut pedang itu. Pedang itu ternyata tumpul, tidak tajam dan tidak runcing! Terbuat
dari baja yang berwarna putih gelap seperti kapur. Dia melihat tiga huruf yang terukir pada pangkal
pedang itu dan memba-ca tiga huruf itu, mata Thian Liong terbelalak lebar karena keheranan. Dia
membaca namanya sendiri di situ. Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit)! Mengapa pedang itu
bernama presis seperti namanya? Dia menyarungkan pedang itu kembali dan memandang kepada
gurunya dengan sinar mata mengandung pertanyaan.

Tiong Lee Cin-jin tersenyum, “Begitulah aku dahulu ketika untuk pertama kali mendengar engkau
menyebutkan namamu. Seperti juga engkau sekarang ini, aku terheran-heran. Apalagl ketika itu, ketika
kita pertama kali bertemu, aku memandang ke angkasa mellhat awan-awan membentuk seekor naga
yang sedang melayang di angkasa. Sungguh sua-tu kebetuian yang menakjubkan. Aku telah menemukan
pedang yang namanya Thian-liong-kiam, kemudian aku mendengar namamu juga Thian Liong dan
melihat Thian-liong (Naga Langit) terbang di angkasa. Karena itu, maka aku mengambil keputusan untuk
memberikan pedang ini kepadamu.”

“Akan tetapi, untuk apakah pedang ini, suhu? Suhu selalu mengajarkan bah-wa semua anggauta tubuh
kita dapat dimanfaatkan untuk melindungi diri, dan benda apapun juga yang tampak dapat kita
pergunakan untuk rnembantu dan menjadi senjata kita.”

“Benar sekali dan kenyataannya memang masih seperti itu, Thian Liong. Akan tetapi, pedang ini sudah
kutemukan dan benda ini buatan orang sakti, merupakan benda pusaka yang langka. Juga, melihat
pedang ini tumpul, tidak taJam dan tidak runcing, aku yakin pembuatnya dahulu tidak mempunyai
maksud agar pedang ini dipergunakan untuk melukai atau membunuh orang. Ambillah dan engkau
dapat mernanfaatkamiya bila perlu. Ketahuilah, bahwa selain pedang ini terbuat dari batu bintang yang
lebih kuat daripada baja, juga air rendamannya dapat menawarkan segala macam racun.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 100

“Terima kasih, suhu. Kapah teecu ha-rus berangkat, suhu?” Dalam pertanyaan ini terkandung keharuan
karena mengi-ngatkan dia bahwa sebentar lagi dia akan berpisah dari orang yang selarna ini bukan saja
menjadi gurunya, akan tetapi Juga menjadi pengganti orang tuanya, menjadi satu-satunya orang yang
menyayang dan disayangnya di dunia ini. Selain merasa berat untuk berpisah dari orang yang dihormati
dan disayangnya itu, dengan siapa selama sepuluh tahun dan hidup bersama, juga ada perasaan iba
mepyelubungi hatinya mengingat bah-wa gurunya yang sudah tua itu akan dia tinggalkan dan hidup
seorang diri, tidak akan ada yang membantu bekerja di kebun, tidak ada yang melayaninya lagl. Akan
tetapi dengan batinnya yang telah menjadi kokoh kuat Thlan Liong dapat menguasai perasaannya
sehingga perasaan haru itu tidak tampak pada wajahnya dan tidak terdengar pada suaranya.

“Berkemaslah karena engkau harus berangkat hari ini juga. Hari ini cerah, indah dan baik sekali untuk
memulai perjalananmu. Bungkus semua kitab ini dalam buntalan kain agar mudah kau gendong. Jangan
lupa bawa semua pakaianmu, juga semua uang hasil penjualan hasil kebun dan sumbangan orang-orang
yang berobat itu boleh kaubawa sebagai bekal dalam perjalanan.”

“Baik, suhu.” Thian Liong segera ber-kemas, mengumpulkan semua kitab dan pakaiannya menjadi satu
buntalan kain kuning. Juga pedang Thian-liong-kiam yang bergagang dan bersarung sederhana itu dia
masukkan dalam buntalan, demi-kian pula uang pemberian suhunya. Sete-lah selesai, dia menggendong
buntalan kain kuning di pungungnya dan menjatuhkan dirinya berlutut lagi di depan kaki suhunya.

“Suhu, haruskah teecu berangkat sekarang?”

“Berangkatlah sekarang juga, Thian Liong.”

“Suhu, teecu mohon pamit.”

“Mendekatlah, Thian Liong. Blarkan aku memelukmu.”

Pemuda itu mendekat dan Tiong Lee Cin-Jin lalu merangkulnya. Thian Liong balas merangkul. Dalam
rangkulan itu guru dan murid ini merasakan betapa kasih sayang mereka menggetar menjalar dl seluruh
tubuh mereka, membuat tubuh mereka gemetar.

“Berhati-hatilah dalam perantauanmu, Thian Liong. Ingatlah selalu kepada Tuhan dan dasari semua
tindakanmu dengan penyerahan sepenuhnya atas Kekuasaan Tuhan, waspadalah selalu gerak-gerik la-
hir batinmu sendiri.”

“Akan teecu Ingat semua itu, suhu. Harap suhu menjaga diri baik-baik. Selamat tinggal, suhu.”

“Selamat jalan, muridku.”

Thian Liong bangkit dan melangkah keluar, diikuti pandang mata gurunya. Di a melangkah terus, keluar
dari pekarangan, beberapa kali menengok dan melihat gurunya berdiri di ambang plntu depan. Thian
Liong melihat gurunya tersenyum. Diapun tersenyum dan seketika rasa sedih dari haru karena
perpisahan itu larut dalam senyum. Dla melangkah lebar dan dengan cepat meninggalkan Puncak
Pelangi.

Tiong Lee Cin-jin memandang bayangan muridnya sampai lenyap ditelan pohon-pohon. Dia masih
tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah. Dia berkejap sehingga ada dua titik alr mata turun di atas

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 101

kedua pipinya. Diusapnya air mata itu dengah tangan kanan, kemudi -an dipandangnya tangan yang
basah terkena air mata dan Tlong Lee Cln-jin tiba-tiba tertawa bergelak. Dia mentertawakan ulah nafsu
yang mendatangkan iba diri dan mentertawakan kelemahan itu. Ke mudian sambil masih tertawa dla
masuk lagi ke dalam rumah dan duduk bersila di atas pembaringan, lalu bernyanyi dengan suara lantang.

“Setelah mengenal keindahan


dengan sendirinya mengenal keburukan,
setelah Cahu akan kebaikan
dengan sendirinya tahu pula akan keJahatan.

Sesungguhnya
ada dan tlada saling melahlrkan
sukar dan mudah saling melengkapi
panjang dan pendek saling mengadakan

tinggi dan rendah saling menunjang sunyi


dan suara saling mengisi dahulu dan kemudian saling menyusul.

Itulah sebabnya para bijaksana


bekerja tanpa pamrih mengajar tanpa bicara.

Segala terjadi tanpa dia mendorongnya tumbuh tanpa dia ingin memilikinya
berbuat tanpa dia menjadi sandarannya.

Walau berjasa dia tidak menuntut


Justeru tidak menuntut maka takkan musna”.

Suara nyanyian Tiorig Lee Cin-jin yang mengambil ayat-ayat dari kitab To-tek-keng ini perlahan saja, akan
tetapi karena suara itu didorong tenaga khi-kang yang amat kuat, maka suara itu mengandung getaran
kuat dan terdengar pula oleh Thian Liong yang sedang melangkah cepat menuruni Puncak Pelangi.
Mendengar nyanyian yang sudah dikenalnya itu Thian Liong tersenyum dan dia mempercepat
langkahnya menuruni puncak.

* **

Untuk memenuhi tugas dari gurunya, Thian Liong lalu melakukan perjalanan ke Kun-lun-san. Tempat ini
yang paling jauh di antara yang lain, maka dia lebih dulu hendak pergi ke Kun -lun-pai untuk
menyerahkan Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang berada dalam buntalan kain kuning di
punggungnya. Setelah itu, baru dia akan pergi ke Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai. Kemudian yang dia
akan pergi ke kota raja Hang-chou, menghadap Kaisar Sung Kao Tsu dan menyerahkan tiga belas buah
kitab. Setelah semua kitab dapat dia serahkan ke-pada mereka yang berhak menerimanya, baru dia akan
menyelidiki tentang Perdana Menteri Chin Kui dan kalau ternyata pembesar itu masih merupakan
pembesar lalim yang mengancam keselamatan kerajaan, dia akan menentangnya sekuat tenaganya.

Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh dan melelahkan, melalui gurun dan pegunungan, akhirnya
pada suatu hari dia tiba di kaki pegunungan Kun-lun. Ada sebuah jalan raya yang cukup lebar menuju ke
barat dan jalan ini yang biasa dipergunakan para rombongan peda-gang yang membawa barang
dagangan mereka dari dan ke daerah barat, menuju Tibet, terus ke selatan ke Kerajaan Bhutan Nepal,

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 102

dan India. Jalan itu seringkali sunyi, baru ramai kalau musim panas tiba dan para pedagang banyak yang
rnelakukan perjalanan dalam rombongan yang dikawal dengan kuat. Pada hari -hari biasa, yang melewati
jalan itu hanyalah penduduk dusun-dusun sekltarnya, para petani, pemburu, dan pencari hasil hutan.

Pagi harl itu Thian Liong berjalan diatas jalan besar, menanti-nantl kalau ada orang yang dapat dia tanyal
tentang Kun-lun-pai. Dia sudah kehabisan bekal. Uangnya yang dia dapat dari gurunya tidak berapa
banyak dan sudah habis untuk membeli makanan dalam. perjalanan selama ini. Gurunya pernah ber-
pesan kepadanya untuk kebutuhan hidupnya dia harus mencarl uang dengan bekerja. Bekerja apa saja
asalkan tidak merugikan orang. Tentu saja dengan mempergunakan ilmu kepandaiannya, dengan mudah
dia akan dapat mengambil uang milik orang tain, akan tetapi hal itu berarti merugikan orang lain dan
tentu saja dia tidak akan sudi melakukan perampokan atau pencurian. Akan tetapi pagi ini uangnya
sudah habis sama sekali, maka dia tidak dapat membeli bekal makanan ketika melewatl sebuah dusun
pagi tadi.

Ketika dia tlba dl sebuah Jalan yang terletak di tempat tinggi, dia melihat jauh di depan ada debu
mengepul dan terlihat gerakan banyak orang sedang bertempur. Mellhat adanya beberapa buah
gerobak berdlrl tak Jauh dari tempat pertempuran itu, Thian Liong dapat menduga bahwa sepihak dari
mereka yang bertempur itu tentu rombongan pedagang. Teringatlah dia akan cerita gurunya bahwa
para pedagang jarak jauh itu biasanya dlkawal oleh orang-orang yang pandal ilmu silat karena banyak
penJahat yang berusaha untuk merampok barahg dagangan yang berharga mahal itu. Thian Llong lalu
berlari cepat menurunl lereng Itu dan sebentar saja dia sudah tiba dl tempat pertempuran. Dia melihat
lima orang yang berpakalan sebagai saudagar berdiri ketakutan dekat lima buah kereta penuh barang,
bersama lima orang kusir kereta yang juga menon-ton perkelahian dengan sikap ketakutan.

Thlan Liong memandang ke arah mereka yang berkelahi. Ternyata yang berkelahi hanya dua orang laki-
laki yang dikeroyok oleh belasan orang yang berpakaian sebagai pengawal. Akan tetapi dua orang yang
bersilat pedang itu lihai bukan main. Dikeroyok belasan orang, mereka sama sekali tidak terdesak,
bahkan para pengeroyok yang kocar-kacir dan sudah ada iima orang di antara mereka roboh mandi
darah.

Karena tidak tahu persoalannya, Thian Liong merasa ragu untuk bertindak. Dia tidak tahu slapa yang
berada di pihak yang jahat sehingga dia meragu siapa yang harus di belanya. Thian Llong lalu
menghampiri lima orang saudagar yang bersama lima orang sais berdiri diekat kereta.

“Sobat-sobat, apakah yang terjadi?” dia bertanya. Para saudagar yang tadinya takut melihat Thlan Liong
mendekati mereka karena mengira karena pemuda itu kawan para perampok, menjadi lega mendengar
pertanyaan itu. Akan tetapi karena pemuda itu tampak hanya seperti seorang pemuda dusun yang
bersahaja dan lemah, merekapun tldak dapat mengharapkan bantuan darlnya.

“Orang muda, pergilah cepat. Dua orang itu adalah perampok yang hendak merampas barang kami dan
belasan orang itu adalah para piauwsu (pengawal barang) yang melindungi kami.” jawab seorang kusir
yang berdiri paling dekat dengan Thian Liong.

Mendengar ini, Thian Liong tldak ragu lagi pihak mana yang harus dia bantu» Dia memandang ke arah
perkelahian. Dua orang itu memang lihai sekali. Para piauwsu yang juga mempergunakan pedang
sebagai senjata, sudah kewalahan dan terdesak ke belakang. Dua orang itu berusia kurang lebih einpat
puluh tahun, orang pertama bertubuh tinggi kurus dengan muka berbentuk meruncing seperti muka
tikus dan orang ke dua bertubuh pendek gendut namun gerakannya tidak kalah cepat dibandingkan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 103

kawannya. Kedua orang itu mengenakan pakaian yang sama, seluruhoya berwarna hitam dari sutera
halus dan di bagian dada ada, gambar seekor burung rajawali putih.

Thian Liong lari menghampiri pertempuran itu dan mengerahkan tenaga sakti lalu berseru, “Hentikan
pertempuran dan tahan senjata!”

Seruannya ini mengandung kekuatan yang memaksa mereka yang sedang bertempur itu masing-masing
menahan gerakan dan berlompatan mundur sehingga otomatis pertempuran itu terhenti. Dan orang
berpakaian hitam itupun berlompatan ke belakang dengan wajah terheran-heran. Mereka semua kini
memutar tubuh menghadapi Thian Liong dengan sinar mata heran dan juga penasaran.

Seorang di antara dua orang perampok itu, yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka tikus membawa
sebuah kantung kain biru yang diikatkan di punggungnya. Dia yang kini membentak kepada Thian Liong,

“Heh, orang muda! Mau apa engkau menghentikan perkelahian kami?”


Thian Liong berkata dengan sabar, “Sobat, aku mendengar bahwa kalian berdua merampok para
saudagar ini sehingga di antara kalian semua terjadl perkelahian yang mengaklbatkan luka bahkan
mungkln kematian. Kenapa kalian berdua melakukan kejahatan ini? Kalau memang kalian
rnembutuhkan sumbangan, saya kira kalian dapat memlntanya darl para saudagar ini dan mereka tentu
tldak akan menolak kalian untuk memberi sumbangan.”

Dua orang perampok itu terbelalak keheranan, keduanya saling pandang kemudian mereka tertawa geli
melihat ulah pemuda yang mereka anggap tolol itu. “Hei, bocah tolol! Menggelindinglah pergi dan
jangan mencampuri urusan kami. Kami adalah orang-orang Pek tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali
Putih) dan kami akan membunuhmu pula kalau engkau tidak cepat pergi dari sini!”

Setelah berkata demikian, dua orang itu audah menerjang lagi, menyerang pa-ra piauwsu yang tinggal
berjumlah tiga belas orang itu. Para piauwsu juga menggerakkan pedang mereka dan kembali mereka
berkelahi. Suara pedang bertemu pedang berdentlngan dan dua orang yang mengaku sebagal orang -
orang Pek-tiauw-pang itu mengamuk.

Thian Liong tertegun, kecewa bahwa dua orang itu Udak mendengar nasihat-nya. Akan tetapi sebelum
dia turun tangan, tiba-tiba tampak bayangan merah muda berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri
seorang gadis yang mengenakan pakaian serba merah muda. Gadis itu berusia kurang lebih tujuh belas
tahun, cantik jelita seperti dewi, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan mata itu jeli
dan tajam bukan main. la berdiri disitu, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang
sebatang ranting pohon yang masih ada daunnya, lalu terdengar suaranya melengking.

“Sudah lama kudengar akan kejahatan Pek-tiauw-pang! Sekarang aku melihat sendiri dua orang Pek-
tiauw-pang merampok. Nonamu ini tidak akan mengampuni kalian!” Setelah berkata demikian,
tubuhnya bergerak cepat sekali seperti seekor burung terbang dan ia sudah melayang dan menyerang
dengan ranting pohon itu ke arah si pendek gendut! Biarpun ranting itu hanya sebesar ibu Jari kaki, dan
panjangnya hanya satu meter, akan tetapi ketika menyambar ke arah kepala perampok pendek gendut,
terdengar suara bercuitan dan ranting itu berubah menjadi slnar kehijauan yang menyambar ke arah
jalan darah di leher si pendek gendut. Jagoan Pek-tiauw-pang ini terkejut bukan main karena dia dapat,
merasakan, sambaran angin serangan yang dahsyat mengarah lehernya. Itu merupakan serangan maut'
Cepat' dia mengelak dan melompat ke belakang, akan tetapi ada sehelai daun yang terlepas dari ran-ting
itu dan terbang menampar pipinya,

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 104

“Plakk!” Biarpun hanya sehelai daun basah yang mengehai pipinya, akan tetapi terasa cukup nyeri,
panas dan pedih. Si pendek gendut menjadi marah sekali. Dia mengeluarkan gerengan dan memu-tar
pedangnya, menyerang ke arah gadis berpakaian merah muda itu. Pedangnya menjadi stnar putih
bergulung-gulung yang menyerbu ke arah gadis itu. Akan tetapi dengan indahnya gadis itu beriompatan
menghindar dan terdengar ia mengeluarkan suara tawa merdu yang mengejek. “Hi-hik, manusia macam
katak buduk beranl melawan nonamu? Engkau sudah boaen hldup!” Rantlng dl tangan pdii itu
membalaa, rnenyambar-nyambar, akan tetapl si pendek gendut Itupun lihai. Dia dapat menangkls
dengan pedang dan ba-las menyerang. TerJadi perkelahian seru di antara mereka.

Sementara itu, tiga belas orang piauwsu yang melihat betapa si pendek gendut sudah berkelahi
melawan gadis baju merah muda yang membantu mereka, kini menyerbu dan mengeroyok si muka
tikus!

Perampok tinggi kurus bermuka tikus ini mengerutkan alisnya, memutar pedang melindungi dirinya. Dia
tahu bahwa ka-lau dia seorang diri harus menghadapi pengeroyokan tiga belas orang piauwsu itu,
dirinya dapat terancam bahaya. Dia melirik ke arah temannya dan mendapat kenyataan bahwa gadis
muda itu llhai sekali, bahkan dengafl sepotong rantlng agaknya dapat membuat kawannya repot sekali.
Tiba-tiba sl tingg! kurus melompat Jauh ke belakang dan melarikan diri!

Terdengar teriakan yang keluar dari kelompok saudagar itu. “Tolong! Dia membawa semua uang kami
dalam kantung biru itu! Kejar dia.....!!”

Para piauwsu mengejar, akan tetapi ternyata orang tinggi kurus itu larinya cepat sekali. Melihat dan
mendengar ini, Thian Liong lalu melompat ke depan dan melakukan pengejaran. Para piauwsu
menghentikan pengejaran mereka karena mereka teringat akan keselamatan lima orang saudagar yang
harus mereka lindungi. Mereka kembali ke tempat itu dan melihat gadis berpakaian merah muda itu
masih bertanding melawan perampok gendut pendek, mereka menonton sambil bersiap-siap. Sebagian
dari mereka merawat lima orang kawan yang terluka.

Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu berlari cepat yang nsenibuat tubuhnya meluncur seperti
terbang ketika melakukan pengejaran, sebentar saja Thian Liong sudah dapat menyusul perampok tinggi
kurus bermuka tikus yang melarikan diri itu.

“Perlahan dulu, sobat!”

Si tinggi kurus itu terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan dia melihat bayangan orang
berkelebat, tahu-tahu di depannya telah berdiri pemuda yang tadi mencela dia dan temannya karena
melakukan perampokan! Tadinya dia terkejut mengira bahwa yang dapat menyusulnya adalah gadis
yang amat lihai itu. Akan tetapi ketlka mendapat kenyataan bahwa pengejarnya hanyalah pemuda tadi
yang tampak biasa saja, dia menjadi marah sekali.

“Mampuslah” Bentaknya dan dia sudah menyerang dengan bacokan pedangnya ke arah leher Thian
Liong. Orang itu sudah membacok dengan sekuat tenaga dan sudah merasa cepat sekali. Namun bagi
mata dan telinga Thian Liong yang terlatih baik, bacokan itu datangnya lambat dan lemah saja. Maka
dengan mudah dia mengelak dengan miringkan tubuhnya sehingga bacokan meluncur lewat mengenai
tempat kosong.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 105

“Sobat, aku tidak mau berkelahi denganmu. Aku hanya menghendaki agar engkau menyerahkan
buntalan biru itu. kata Thian Liong tenang.

Si tinggi kurus itu menghentikan gerakannya. “Apa? Engkau juga menghendaki uang ini? Kalau begitu,
kita adalah rekan segolongan, mengapa engkau menggangguku? Kalau engkau minta bagian, katakan
saja dan aku pastl akan memberimu.”

Thlan Liong menggeleng kepalanya. “Tldak, aku tldak menginginkan uang itu Akan tetapi uang itu harus
dlkemballkan kepada pemlliknya yang merasa kehllangan. Serahkan buntalan itu kepadaku dan aku
tidak akan menahanmu lagi.”

“Engkau minta ini? Nah, terimalah!” Si muka tikus membentak akan tetapl bukan buntalan itu yang dia
berikan, melainkan pedangnya sudah menyambar lagi dengan cepat karena dia mengerahkan seluruh
tenaganya. Akan tetapi dengan tenang namun jauh lebih cepat Thian Liong miringkan tubuhnya,
membuat langkah ke depan mengitari tubuh lawan, tangan kirinya menepis tangan lawan yang
memegang pedang sedangkan tangan kanannya meraih ke arah punggung perampok muka tikus itu.

“Dukk.....! Aduhh..... brettt'!” Tubuh perampok itu terhuyung dan buntalan yang tadinya tergantung di
punggungnya telah berpindah ke tangan Thian Liong.

Perampok itu marah sekali. Tentu saja dia tidak rela buntalan biru berisi uang emas dan perak itu
direbut begitu saja. Biarpun tangan kanannya terasa ngilu ditepis tangan Thlan Llong tadi, namun
kemarahan membuat dla tldak merasakan Ini dan dla sudah menerjang lagi seperti kesetanan.

“Kembalikan bungkusan itu!” terlaknya.

“Benda ini bukan milikmu.” kata Thian Liong dan tubuhnya berge rak cepat mengelak dari sinar pedang
yang menyambar-nyambar. Sampai belasan kali pedang itu menyambar namun tak pernah dapat
menyentuh ujung baju Thian Liong. Melihat kenekatan orang itu, Thian Liong menyadari bahwa penjahat
seperti ini sukar untuk diharapkar kesadarannya tanpa memberi hajaran kepadanya.

“Slnggg....!” Pedang menyambar lagl membabat ke arah pinggang kiri Thian Liong. Pemuda Itu
menggerakkan kaki kirinya yang mencuat ke depan menyambut serangan itu. Ujung kakinya menendang
pergelangan tangan yang memegang pedang. Pedang terlepas dan terpental jauh dan sebelum si muka
tikus hilang kagetnya, kaki kanan Thian Liong mencuat.

“Dukkk!” Kaki itu menyambar dada dan tubuh perampok bermuka tikus itu terjengkang dan terbanting
roboh. Sambil meringis kesakitan dia merangkak bangun. Kini maklumlah dia bahwa pemuda ini lihai
sekali dan kalau dia melawan terus, berarti dia mencari penyakit. Maka setelah dapat bangkit berdiri
dan kepeningan kepala serta kesesakan napasnya mereda, dia lalu melarikan diri meni nggalkan Thian
Liong yang masih berdiri dengan sikap tenang. Setelah melihat penjahat itu pergi, diapun lalu
meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat di mana terjadi perampokan tadi.

Sementara itu, Bi Lan masih bertanding seru melawan perampok yang bertu-buh gendut. Dia termasuk
seorang tokoh Pek-tiauw-pang dan tingkat kepandaianya sudah cukup tinggi. Ilmu pedangnyapun lihai.
Pedangnya berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Namun, dia merasa penasaran sekali karena
betapapun cepatnya dia memutar pedangnya, sama sekall tidak pernah dapat menyentuh ujung baju
gadls remaja yang menjadl lawannya. Tentu saja dia menjadi penasaran sekali. Bagaimana mungkln dia,

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 106

seorang jagoan darl perkumpulan Pek-tiauw-pang, kini tidak mampu mengalahkan seorang gadis yang
usianya baru kurang lebih tujuh belas tahun dan yang hanya menghadapi pedangnya dengan sebatang
ranting kecil? Dia sama sekali tidak tahu bahwa gadis remaja itu adalah murid manusia saktl Jit Kong
Lama» pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti dan yang telah menggembleng murid perempuannya itu
selama sepuluh tahunl Kalau Bi Lan menghendakl, dalam satu dua jurus saja ia tentu mampu
merobohkan lawannya. Akan tetapi dasar ia memiliki watak yang llncah gemblra, jenaka dan nakal, di
samping galak dan cerdik, gadis itu sengaja hendak mempermainkan lawannya.

“Singg....!” Pedang sl gendut menyambar ke arah lehernya. Bi Lan denganmudah mengelak ke belakang
dan ujung rantingnya menyambar.

“Brettt....!!” ujung ranting itu menebas dari atas ke bawah dan rontoklah semua kancing baju si gendut
sehingga baju itu seketika terbuka memperlihat-kan dada dan perutnya yang gendut se-kali dan berkulit
putih.

“Hiiih, seperti babi kamu!” Bi Lan berkata mengejek dan belasan orang piauwsu yang menonton
perkelahian itu tak dapat menahan tawa mereka. Si gendut menjadi marah bukan main. la merasa
dipermainkan, dihina dan dijadikan buah tertawaan semua orang itu.
“Bocah jahanam, mampus kau!” bentaknya dan kembali pedangnya menyambar dahsyat, kini menusuk
ke arah ulu hati gadis itu. Bi Lan menekuk lutut, merendahkan tubuhnya dan ketika pedang meluncur
lewat atas kepalanya, dari bawah ranting di tangannya meluncur ke depan.

“Bret....!” Kini tali celana si gendut itu yang putus semua dan tak dapat dicegah lagi, celana itu lepas dari
perut yang gendut dan melorot turun!

“Hihhh! Menjijikkanl” Bi Lan memejamkan mata dan memutar tubuh membelakangi lawannya yang kini
telanjang sambil menutupl mukanya dengan tangan kiri. Suara tawa meledak bahkan ada yang
terpingkal-pingkal mellhat Si gendut kedodoran dan repot mengangkat celananya ke atas.

Muka Si gendut menjadl merah sekali seperti kepiting direbus. Akan tetepi ketika dia melihat Bi Lan
berdiri membelakanginya, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan balk untuk membalas penghinaan
yang luar biasa itu, Cepat sekali dengan tangan kiri menahan celananya agar jangan merosot turun,
tangan kanannya menggerakkan pedangnya hendek memenggal leher gadis itu dari belakang.

“Wuuutt...,. crott!!” Tubuh si gendut terkulai roboh dan darah bercucuran muncrat dari dadanya yang
berlubang tertusuk ujung ranting yang tadi secepat kilat ditusukkan Bi Lan sambil membalikkan tubuh,
tepat memasuki dada si gendut selagi pedangnya masih terangkat ke atas. Gerakan Bi Lan cepat bukan
main sehingga lawannya tidak sempat mengelak atau menangkis tagi. Karena ranting itu telah
menembus jantungnya, maka begitu terkulai roboh si gendut segera tewas tanpa dapat mengeluh lagi.
Bi Lan membuang rantingnya yang berlumur darah dan sama sekali tidak melirik lagi ke arah lawan yang
telah tewas itu.

Lima orang pedagang yang usianya sudah setengah tua kini berani keluar dari dalam kereta dan mereka
menghampiri Bi Lan dengan sikap hormat. Pada saat itu Thian Liong datang berlari cepat dan dia
membawa sebuah kantung kain berwarna biru yang tampaknya berat. Thian Liong menghampiri lima o-
rang pedagang itu. Dia dapat menduga bahwa tentu lima orang itu yang memiliki barang-barang yang
dikawal karena pakaiannya berbeda jauh dari para piauwsu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 107

“Ini rnlllk kalian yang tadi dilarikan perampok, Terimalahl” Lima orang pedagang itu tampak girang
sekall. Seorang dari mereka menerima kantung biru itu dan mereka berlima segera memberi hormat
kepada Thian Liong dan Bi Lan. Mereka semua menyangka bahwa pemuda dan gadis itu tentu
merupakan pasangan karena mereka datang pada saat yang sama dan keduanya merupakan orang-
orang lihai yang telah menolong mereka.

Seorang dari lima orang saudagar itu mewakili ternan-temannya dan berkata kepada sepasang muda
mydi itu dengan sikap hormat. “Tai-hiap (pendekar besar) dan li-hiap (pendekar wanita) berdua telah
menyelamatkan nyawa dan harta kami. Untuk itu kami semua mengucapkan banyak terima kasih dan
kami harap tai-hiap berdua sudi menerima sedikit sumbangan dari kami ini sebagai tanda terima kasih
kami.” Saudagar yang berjenggot panjang itu membuka kantung blru dan mengeluarkan segenggam
uang emaa, dlserahkan kepada Thian Liongl

Thian Liong mengerutkan alisnya dan menggoyang tangan kanan menolak. “Tidak, apa yang kami
lakukan sudah merupakan kewajiban kami, kami tidak mengharapkan upah!”

Akan tetapi Bi Lan sudah melangkah maju dan sekali tangannya bergerak, ia. sudah menampar tangan
yang menggenggam uang emas itu sehingga saudagar itu berteriak kesakitan dan uang emasnya
berhamburan di atas tanah.

“Engkau ini sungguh seorang yang sama sekali tidak mengenal budi, sudah ditolong malah balas
menghina dengan menyerahkan segenggam uang! Lupakah kalian bahwa kami berdua bukan hanya
telah menyelamatkan harta bendamu akan tetapi juga nyawa kalian berlima dan belasan orang
pengawal kalian? Apakah nyawa kalian semua harganya hanya segenggam uang emas ini? Betapa
murahnya nyawa kalian!”

Lima orang saudagar itu terkejut sekali dan menjadi ketakutan. Si Jenggot panjang yang agaknya
menjadl pemimpln mereka, cepat membungkuk-bungkuk kepada Bi Lan, memberl hormat dan berkata
dengan suara mengandung penuh penyesalan.

“Ampunkan kami, li-hiap. Kami memang bersalah. Sekarang katakanlah apa yang li-hiap kehendaki dan
kami pasti akan memenuhi permintaan li-hiap untuk niembalas budi li-hiap.”

“Sebetulnya kami tidak mengharapkan apa-apa seperti dikatakan tai-hiap ini. Kami bukan pengawal
kalian yang kalian gaji. Kami membunuh dan mengusir penjahat, menyelamatkan kalian hanya karena
hal itu sudah merupakan kewajiban para pendekar! Akan tetapi mengingat bahwa nyawa kalian telah
diselamatkan, apakah tidak sepantasnya kalau nyawa kalian dihargai sedikitnya. Separuh dari isi kantung
uang itu?”

Mendengar ini, Thian Liong mengerutkan alisnya akan tetapi dia tidak dapat berkata apa-apa.
Sementara itu, lima orang saudagar itu membungkuk-bungkuk dan si jenggot panjang cepat berkata,
“Tentu saja, li-hiap! Tuntutan itu lebih darl pada pantasl” Dia lalu mengambil sebuah kantong kosong
lalu memindahkan sebaglan isi kantung biru ke kantung yang kosong, bahk an dla sengaja memlllh
emasnya saja. Setelah emas separuh kantung biru itu dlpindahkan, dia lalu meletakkan kantung yang
teriri emas itu ke atas tanah di depan Bi Lan sambil berkata, “Silakan, li -hlap. Bingkisan yang tldak
seberapa ini kaml berikan kepada jl-wl (kallan berdua) dengan hati rela dan ikhlas. Sekarang kami mohon
dlri hendak melanjutkan perjaianan kami.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 108

Tergesa-gesa lima orang saudagar yang ketakutan melihat Bi Lan marah tadi lalu memberi isarat kepada
para piauwsu dan tak lama kemudian kereta mereka bergerak meninggalkan tempat itu.

Thian Liong masih berdiri berhadapan dengan Bi Lan. Kantung berisi uang emas itu masih tergeletak di
atas tanah, di antara mereka. Mereka saling padang dan baru sekarang Thian Liong dapat mengamati
Wajah gadis berpakaian serba merah muda itu. Dan dia menjadi kagum dalam hatinya walaupun
kekaguman itu tidak tampak pada wajahnya yang tetap tenang. Siapa yang tidak kagum melihat gadis
remaja yang jelita itu?

Usianya paling banyak baru tujuh belas tahun, akan tetapl ilmu silatnya sungguh hebat! Pakaian sutera
serba merah muda itu sesuai sekali dengan tubuhnya yang ramping dan kulitnya yang putlh mulus itu
tampak semakin bersih dan lembut dlpadu dengan sutera merah yang membungkusnya. Rambut di
kepalanya hitam lebat dan panjang, digelung dengan indahnya dan dihias tusuk sanggul dari emas
berbentuk burung kecil bermata merah. Sinom (anak rambut) lembut halus melingkar-lingkir di dahi dan
pelipisnya. Sepasang telinga yang Indah bentuknya itu terhias anting-anting membuatnya tampak lucu
dan kekanak-kanakan. Dahi yang halus putlh itu tampak semakin mulus karena sepasang alisnya amat
hitam, menjelirit kecil melengkung, melindungi sepasang mata yang seperti bintang kejora,
pandangannya tajam dan penuh gairah hidup, penuh semangat. Hidungnya yang mancung serasi sekali
dengan mulutnya yang menggairahkan, dengan bibir yang indah dan kemerahan tanpa glncu, dihias pula
sepasang lesung pipit di kanan kiri. Dagunya meruncing. Kulitnya putih mulus dan tubuh yang mulai
dewasa itu seperti bunga se-dang mekar atau buah sedang ranum, dengan lekuk lengkung yang
menggiurkan. Pendeknya, seorang gadis remaja yang cantik jelita! Akan tetapi pandang mata Thian
Liong tampak tak senang ketika dia melirik ke arah kantung uang. Sungguh sayang, gadis secantik itu ter-
nyata mata duitan!

“Memalukan,” katanya lirih namun penuh teguran, “Menerima upah untuk menolong orang. Seperti
tukang pukul saja.”

Gadis itu membelalakan matanya dan kini matanya tampak lebar sekali, membuat wajahnya tampak
lucu. Akan tetapi setelah melebarkan mata, ia lalu menge-rutkan alisnya dan matanya mencorong,
bibirnya cemberut. Jelas sekali tampak bahwa ia marah!

“Apa kau bilang? Memalukan? Engkau munafik!” la memaki.

“Munafik? Aku?” Thian Ltong melongo heran dan kaget dimaki munafik.

“Ya engkau munafik. Coba Jawab, apakah engkau memillki banyak uang?”

Thlan Liong menggeleng kepalanya. 'Tldak sama sekali.”

“Jawab lagi, Apakah engkau tldak membutuhkan makan, pakaian, dan tempat tinggal untuk melewatkan
malam?”

“Tentu saja aku membutuhkan.”

“Jawab lagi. Kalau engkau lapar, apakah engkau mengemis makanan ataukah mencuri makanan? Kalau
pakaianmu rusak, kulihat sepatumu itu sudah butut sekali dan perlu diganti, dari mana engkau akan
mendapatkan semua itu? Mencuri? Dan kalau engkau menginap dl rumah penglnapan, apakah setelah

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 109

bermalam paglnya engkau lalu minggat tanpa membayar? Hayo jawab! Untuk semua itu engkau
membutuhkan uang ataukah tidak?”

Diberondong begitu dan melihat sikap gadis itu membusungkan dadanya seperti menantang, Thian
Uong gelagapan dan menelan ludah sebelum menjawab

“Ya.... eh, tentu saja untuk semua itu aku membutuhkan uang.”

“Bagus, ya? Engkau butuh uang pada hal engkau tidak punya uang, dan seka-rang ada orang yang
memberimu uang, engkau pura-pura menolak dan berani mengatakan i-nemalukan. Apa lagi nama-nya
itu kalau bukan inunafik?”

“Akan tetapi aku menolong mereka bukan untuk mendapatkan bayaran uang!” Thian Liong membantah.

“Berlagak suci! Kita tidak rninta uang. Mereka yang memberikan kepada kita karena mereka hendak
membalas jasa. Uang ini sudah sepantasnya menjadi milik kita. Apa artinya uang sebegini dibandingkan
dengan harta kekayaan dan nyawa mereka berlima itu? Ini adalah uang halal, sama sekali tidak haram,
tahu?” Bi Lan lalu membuka kantung1 itu, menuangkan isinya ke atas tanah la-lu membagi potongan-
potongan emas itu menjadi dua. Yang setengah bagian ia masukkan ke dalam buntalan kuning berisi
pakaiannya, dan yang setengahnya lagi ia masukkan kembali ke dalam kantung biru.

“Nah, yang itu bagianmu. Ambillah!” katanya sambil menudingkan telunjuk kirinya yang kecil mungil ke
arah kantung biru itu. Akan tetapi Thian Liong tidak mengacuhkan kantung itu, melainkan menghampiri
mayat perampok gendut yang tewas oleh ranting di tangan Bi Lan tadi. Dia membungkuk untuk
memungut pedang milik perampok gendut yang tewas itu dan mulailah dia menggunakan pedang itu
untuk menggali tanah.

Melihat pemuda itu tidak mengacuhkannya dan malah menggali lubang di tanah, Bi Lan menjadi
penasaran. la menghampiri pemuda itu dan menegur, “Hei, apa-apaan yang kaulakukan ini?”

Thian Liong yang sejak tadi menahan kedongkolan hatinya terhadap gadis Itu, menghentikan
pekerjaannya dan dia berdiri menghadapi Bi Lan, memandang dengan slnar mata tajam mengaridung
marah dan berkata, suaranya maslh lirih dan lembut, namun mengandung nada suara teguran keras.

“Nona, engkau masih amat muda namun telah memillkl llmu kepandalan tlnggi. Sungguh sayang sekali
bahwa engkau terlalu kejam!”

Kini gadis itu yang terbelalak, ka”et dan heran, lalu alisnya berkerut dan la, inenjadi marah. “Aku
kejam?”

“Ya, engkau kejam! Engkau telah memburiuh orang ini padahal tanpa membunuhnyapun, dengan
mudah engkau akan dapat mengalahkannya!” kata Thian Uong penasaran, lalu melanjutkan
pekerjaannya menggali lubang kuburan.

“Kalau engkau bilang aku kejam, maka aku katakan engkau ini tolol! Tolol, bodoh, munafik!” Gadis itu
memaki-maki karena ia menganggap pemuda itu memakinya kejam. “Aku membunuhnya kau katakan
kejam? Apa kaukira dia itu orang lemah-lembut dan baik hati? Ketahuilah, tolol, bahwa diapun berusaha

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 110

membunuh para piauwsu dan saudagar itu dan kalau tidak ada aku, tentu semua orang itu celah
dlbunuhnya! Dia itu pembunuh kejaml”

Thlan Llong menunda penggaliannya dan manoleh kepada gadis itu, klni suaranya terdengar tegas. “Dia
pembunuh orang dan jahat? Akan tetapi engkau juga membunuhnya. Apa bedanya antara kalian
berdua? Apa kau ingin kusamakan dengan perampok yang kau bunuh ini?”

“Jelas beda! Tolol dan bodoh sekali kalau tidak melihat bedanya! Dia menyerang dan membunuh orang-
orang yang tidak bersalah, dia menggunakan kepandaiannya untuk melakukan kekerasan dan
mencelakai1 orang! Sedangkan aku, aku menggunakan kepandaian untuk menentang kejahatan, aku
membunuh orang yang jahat berbahaya bagi orang-orang lain yang tidak berdosa! Dia penjahat dan aku
pendekar, itulah perbedaannya!” Bi Lan membentak marah dan ia mem-banting-banting kaki saking
jengkelnya disamakan dengan perampok jahat!

Akan tetapi Thiah Liong juga sudati' merasa jengkel dan tidak mau mengalah. “Engkau dapat berbuat
lebih baik dari itu, nona. Engkau akan benar-benar ber-Jasa besar kalau engkau hanya mengha-Jar
penjahat ini, 'membuatnya jera dan berhasil menasehatlnya agar dia kembali ke jalan benar. Akan tetapl
membunuhnya? Engkau tldak mampu memberi hidup, maka juga tldak berhak mematikan.

Setelah berkata demikian, Thian Liong melanjutkan pekerjaannya menggali iubang kuburan. Bi Lan
membantlng-banting kaki dengan gemas, kedua tangannya terkepal akan tetapi tidak menyerang karena
ia melihat pemuda itu sibuk bekerja. “Engkau.... cerewet dan bawel! Huh, aku muak dan benci
melihatmu!!”

Thian Liong tertawa dan kembali menunda pekerjaannya, lalu menoleh ke arah gadis itu. “Akan tetapl
aku suka dan kasihan padamu.”

Bl Lan mendengus dan memutar tubuhnya, terus melangkah pergi, diikuti suara tawa Thian Liong yang
dapat menguasai perasaannya dan kini melihat betapa lucu keadaan mereka. Baru bertemu, bekerja
sama menolong rombongan saudagar menentang penjahat, lalu bercekcok! Padahal mereka belum
saling memperkenalkan dlri, namanyapun tidak tahu. Setelah gadls itu pergi, baru dia teringat betapa
jelita dan menariknya gadis itu dan betapa lihai ilmu silatnya. Berwatak pendekar pula, atau setidak -nya
merasa menjadi pendekar. Sayang, galaknya bukan kepalang, seperti seekor harimau betina! Dia masih
tersenyum-senyum ketika melanjutkan pekerjaannya. Setelah lubang itu cukup dalam, dia lalu
mengubur jenazah penjahat gendut itu, menimbuni jenazah dalam lubang, menancapkan pedang itu di
atas gun-dukan tanah kuburan, baru dia membersihkan kedua tangannya, mengambil bun-talannya yang
tadi dia letakkan di bawah pohon tak jauh dari situ. Dia tidak menengok ke arah kantung biru yang berisi
setengah jumlah uang emas yang ditinggalkan gadis itu. Ketika membungkuk hend ak mengambil
buntalan pakaian dan kitab-kitabnya, dia melihat buntalannya itu menonjol dan tampak lebih besar dari
biasanya. Dia merasa heran lalu membuka ujung kain buntalan yang tadi -nya diikat. Ternyata buntalan
atau kan-tung biru berisi uang emas itu telah berada dalam buntalannya! Cepat dia menoleh ke arah
tempat; di inana kantung biru tadi ditinggalkan gadis itu dafi kantung itu telah lenyap. Kiranya diam -
diam kantung itu telah dimasukkan ke dalam buntalannya oleh gadis itu! Bukti bahwa gadis itu dapat
melakukan inl . tanpa diketahuinya, agaknya ketika dial?, sedang asik menggali lubang, menunjuk - te kan
bahwa gadis itu memang lihai sekali. Sejenaki Thian Liong termangu dan ragu-ragu apakah akan
menerima uang itu ataukah tidak. Kalau dia tidak meneri-manya dan meninggalkan di tempat itu,y apa
gunanya? Jangan-jangan malah dlte-iK mukan orang-orang Jahat, karena yang berkeliaran dalam tempat
liar dan sunyl sepertl itu biasanya hanyalah orang-orangSs sesat. Kalau diterimanya dan menjadi

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 111

miliknya, apa salahnya? Gadis itu benar juga. Harus diakui bahwa dia membutuhkan uang untuk
membeayai perjalanannya. Dia butuh uang untuk membeli pengganti pakaian, untuk membeli makan
setiap hari, dan untuk membayar sewa kamar untuk bermalam. Dan uang itu memang bukan uang
haram, melainkan pemberian para saudagar yang memberinya dengan rela dan senang hati. Dla
menghela nepas panjang lalu menglkat-kan ujung buntalannye kemball, kemudian menggendong
buntalan itu dan mulai mendaki sebuah puncak yang menurut keterangan penduduk di lereng bawah,
adalah tempat tinggal Kun-lun-pai.

Tiba-tiba dia menahan langkahnya. Dia hendak ke Kun-lun-pal, kemudian ke Bu-tong-pai dan ke Siauw-
lim-pai untuk menyerahkan kitab-kitab atas perintah gurunya. Kitab-kitab itu menurut gurunya amat
penting bagi ketiga partai persilatan itu. Kitab-kitab itu dia simpan da-lam buntalan pakaiannya dan tadi
bun-talan pakaiannya telah dibuka oleh gadls itu! Ah, siapa tahu? Banyak tokoh persi -latan yang
menginginkan kitab-kitab itu. demikian gurunya berpesan dan agar dia berhati-hati menjaganya karena
bukan tidak mungkin akan ada tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai akan mencoba merampasnya kalau
mereka mengetahui bahwa dia membawa kitab-kitab itul Ah gadis itu! Siapa tahu?

Dengan jantung berdebar dan perasaannya tegang Thian Liong lalu menurunkan buntalannya dan
membukanya. Dia cepat memeriksa isinya dan. Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat ketika melihat bahwa
yang berada dalam buntalannya kini hanya ada dua buah kitab, yaitu Kitab Sam-jong Cin-keng untuk
diberikan kepada ketua Siauw-lim-pai dan Kitab Kiauw-ta Sin-na untuk Bu-tong-pai. Kitab ke tiga, yaitu
Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat untuk Kun-lun-pai telah lenyap! Dia mencari-cari, membolak-balik
pakaiannya, namun tetap saja kitab kuno itu tidak dapat ditemukan! Dia teringat bahwa tadinya kitab itu
berada paling atas di antara tiga buah kitab itu karena memang kitab itu tadinya akan dia serahkan
paling dulu kepada Kun-lun-pai!

“Celaka!” Dia berseru dan mengepal tinju. Siapa lagi kalau bukan gadis galak itu yang me ngambilnya?
Agaknya ketika membuka buntalan dan memasukkan kantung uang, ia melihat kitab itu berada paling
atas dan gadis itu lalu mengambilnya dan membawanya pergi.

“Bocah liar! Kalau bertemu, akan kutampari pinggulnya sedikitnya sepuluh kali!” kata Thi an Liong
gemas. Akan tetapi dia lalu tertegun. Bagaimana mungkin bisa bertemu? Ke mana dia harus mencari?
Gadis itu asing sama sekali. Dia tidak mengetahui namanya, apalagi tempat tinggalnya! Sialan! Tiga tugas
pertama telah gagal satu! Apa yang akan dikatakan kepada gurunya? Ah, dia merasa kecewa dan malu.
Akan tetapi dia harus bertanggung jawab! Dia harus mencari gadis itu dan merampas kembali kitab
untuk Kun-lun-pai, tidak lupa menghukum gadis itu dengan sepuluh kali tamparan pada pinggulnya!
Sekarang, tugas utamanya, dia harus menemui Ketua Kun-lun-pai dan melaporkan tentang kehilangan
kitab itu. Dia harus bertanggung jawab dan siap menerima celaan dan teguran dari ketua Kun-lun-pai.
Dia memang bersalah, tidak hati-hati dan lengah sehingga kitab yang amat penting dan berharga itu
dapat dicuri orang. Dia mengikatkan kembali buntalannya, menggendongnya dan mengerahkan tenaga
mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga larinya seperti terbang mendaki puncak menuju ke
kompleks kuil dan bangunan Kun-lun-pai yang berada di puncak itu.

Karena Thian Liong menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk berlari cepat mendaki
puncak sebentar saja dia sudah tiba di puncak dan dia melihat sekumpulan bangunan besar yang luas,
dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi dan kokoh. Dia lalu berlari ke depan, di mana terdapat sebuah
pintu gerbang yang besar. Baru saja dia berhenti berlari, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring di
belakangnya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 112

“Siapa kau? Mau apa kau berkeliaran di sini?”

Thian Liong terkejut. Dia tidak mendengar ada orang datang. Ini membuktikan bahwa orang itu tentu
memiliki ginkang hebat. Cepat dia memutar tubuh dan berhadapan dengan seorang wanita berusia
kurang lebih lima puluh tahun. Rambutnya sudah bercampur uban dan digelung ke atas diikat kain
kumng yang lebar hampir menutupi seluruh kepalanya. Pakaiannya sederhana seperti pakaian seorang
pertapa atau pendeta. Juga pakaiannya terbuat dari kain kuning yang kasar dan murah. Sebatang
pedang tergantung di punggungnya, pedang dengan ronce-ronce berwarna putih.

Thian Liong yang selain menerima pendidikan ilmu silat tinggi juga menerima pendidikan kerohanian
yang mendalam disertai tata susila tinggi, cepat memberi hormat karena dia maklum bahwa dia
berhadapan dengan seorang wanita sakti.

“Locianpwe (orang tua gagah), maafkan saya. Saya sengaja datang berkunjung untuk menghadap Ketua
Kun-lun-pai.” Dia merangkap kedua tangan depan dada sambil membungkuk hormat.

Akan tetapi wanita itu, yang wajahnya membayangkan kegalakan dan sinar matanya mencorong masih
mengerutkan alisnya. “Huh, kamu seorang laki-laki berani mendatangi bagian asrama wanita, tentu
mengandung niat kurang sopan. Kamu mengandalkan kepandaianmu untuk berlaku kurang ajar, ya?'

“Ah, tldak lama sekali, locianpwe!” seru Thian Liong dengan kaget.

“Saya tldak tahu bahwa ini asrama wanlta....!”

“Bohong! Hendak kulihat sampai dl mana kelihaianmu maka kamu berani muncul di depan asrama kami!
Sambutlah!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu sudah menyerang dengan tamparan
tangan kirinya. Tamparan tangan terbuka itu cepat sekali dan membawa angin pukulan yang kuat,
mengarah pelipis Thian Liong sehingga merupakan serangan berbahaya yang dapat mendatangkan
maut!

Diam-diam Thian Liong merasa heran dan juga penasaran. Bagaimana seorang wani ta yang berpakatan
seperti pertapa atau pendeta, tabiatnya demikian keras, berprasangka buruk dan menyerang orang tak
bersalah dengan serangan maut? diapun cepat mengelak mundur sehingga tamparan itu luput.

“Locianpwe, saya bukan musuh dan tldak berniat buruk.” Thian Liong mencoba untuk mengingatkan
wanita itu.

“sambut ini....!!” Wanita itu bahkan menyerangnya lagi, kini menggunakan pukulan yang mengandung
sin-kang (tenaga aakti). Pukulan jarak Jauh ini cukup dahsyat. Angin menyambar dan hawa pukul -an
yang kuat menerpa ke arah Thian Liong. Melihat bahaya ini, terpaksa pe -muda itu mengerahkan tenaga
dan mendorong ke depan untuk menyambut se-rangan lawan.

“Syuuuuttt.... dessss....!!” Dua tenaga yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, tubuh pendeta wanita
itu terdorong ke belakang dan la terhuyung-huyung, sedangkan Thian Llong maslh berdlri tegak.

Wanita Itu terkejut. la adalah tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga, kepandaiannya hanya di bawah tingkat
ketua dan wakil ketua. Akan tetapi dalam adu tenaga sakti melawan seorang pemuda, ia terdorong dan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 113

terhuyung! la terkenal berwatak, keras, maka kekalahan dalam adu tenaga ini bahkan membuatnya
penasaran dan semakin marah.

“Sratt .....” tampak sinar putih berkelebat menyilaukan mata dan sebatang pedang mengkilat tel ah
berada di tangan kanan wanita itu. Cara ia mencabut pedang dari punggung sedemikian cepatnya,
menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli pedang yang pandai.

“Cabut pedang atau senjatamu yang lain! Mari kita mengadu kemahiran memainkan senjata!” kata
wanita itu dengan ketus.

“Locianpwe, sekali lagi saya harap jlocianpwe tidak salah sangka. Saya bukan musuh Kun-lun-pai. Kalau
locianpwe masih berkeras hendak menyerang dan membunuh orang tidak bersalah, silakan!”

Setelah berkata demikian, Thian Liong berdiri tegak, memejamkan mata, menenggelamkan segala
kegiatan jasmani ke dalam kehampaan, hati akal pikirannya tidak bekerja, lahir batin menyerah kepada
Kekuasaan Tuhan seperti yang telah dilatihnya bertahun-tahun di bawah bimbingan Tiong Lee Cin-jin.

“Engkau menantang maut? Apa kau kira aku tldak berani membunuh orang luar yang melanggar
pantangan, mengunjungi asrama murid-murid wanita Kun lun-pai? Sambut ini! Nenek itu menerjang
maju dan pedangnya berkelebat ke arah leher Thlan Llong.

“Slnggg....!” saklng kuatnya pedang dlgerakkan, terdengar suara berdesing ketika senjata Itu menyambar
ke arah leher Thian Llong.

“Wuuutt....!” Wanita itu terkejut bu-kan main karena ketika pedangnya me-nyambar ke arah leher
pemuda itu, tiba-tiba pedangnya terpental sepertl tertolak tenaga tak tampak yang lentur dan kuat
sehingga tenaganya yang mendorong pedangnya itu memballk! Pemuda itu masih berdiri sambll
menundukkan muka dan kedua matanya terpejam, mulutnya tersenyum dan wajahnya tampak
demiklan tenang dan tenteram, seperti wajah orang yang sedang tidur pulaa. la merasa penasaran sekali
dan mepyerang lagi dengan pedangnya. Namun setiap kali membacok atau menusuk, pedangnya selalu
terpental. Makiri kuat ia menyerang, semakin kuat lagi tenaga yang membuatnya terpental karena
tenaga membalik.

Tiba-tiba terdengar seruan lembut. “Ngo-sumoi (adik seperguruan ke lima), hentikan itu!”

Mendengar seruan im, nenek itu melompat mundur, napasnya terengah dan wajahnya merah sekali.
Thian Liong membuka matanya memandang dan dia melihat seorang pendeta wanita berpakalan serba
putih berdlri di depannya. Wanita ini usianya sudah enam puluh lebih, namun wajahnya masih tampak
segar dan slnar matanya lembut. Begitu bertemu pandang, Thian Liong merasa tunduk dan tahulah dia
bahwa dia berhadapan dengan seorang nenek yang sakti dan yang telah mampu mengendalikan nafsu-
nafsunya sendirl. Maka dia cepat memberi hormat, mengangkat kedua tangan ke depan dada.

“Loclanpwe, saya mohon maaf sebanyaknya kalau kunjungan saya kesini hanya mendatangkan
keributan dan gangguan.”

Pendeta wanita itu tersenyum dan wajahnya tampak jauh leblh muda ketl” ka la tersenyum. “Ah, slcu
(orang muda gagah), kamilah yang sepatutnya mlnta maaf atas slkap sumol Biauw In yang keras

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 114

terhadapmu tadi. Akan tetapi siapakah engkau, sicu? Dan ada keperluan apakah engkau datang ke
tempat kaml ini?”

“Nama saya Souw Thian Liong dan kedatangan saya ini untuk memenuhl perintah guru saya.”

“Hemm, kaml melihat tadl bahwa engkau telah mencapal tingkat tertinggl dari tenaga sakti. Siapakah
gurumu?”

“Suhu disebut Tiong Lee Cin-jin.”

“Sian-cai (damai)....!” Nenek itu berseru dan wajahnya tampak terkejut dan berseri. “Kiranya Tiong Lee
Cin-jin yang bijaksana yang mengutus muridnya datang berkunjung?” Nenek itu menoleh kepada
sumoinya yang galak tadi. “Biauw In Sumoi, lihat apa yang telah kau lakukan tadi? Engkau menyerang
murid Tiong Lee Cin-jin'“

Wanita galak itu tampak kaget dan wajahnya menjadi agak pucat.

“Aku.... aku tidak tahu....”

“Loclanpwe, kejadian tadi harap dilupakan saja, Sayalah yang bersalah dan mlnta maaf.” kata Thlan
Liong yang merasa tldak enak mendengar teguran itu.

“Souw-sicu, sikapmu ini menunjukkan bahwa engkau pantas menjadi murid Tiong Lee Cin -jin yang
bijaksana. Katakanlah, tugas apa yang diberikan gurumu kepadamu sehingga engkau datang ke slni?”

“Maaf, loclanpwe. Sesual dengan perintah suhu, saya hanya dapat membicarakan urusan itu kepada
para pimpinan Kun-lun-pai, yaitu Kui Beng Thai-su atau Hui In Slan-kouw saja.”

Nenek itu tersenyum. “Kui Beng Thai-su adalah ketua umum Kun-lun-pai dan Hui In Siankouw adalah
sumoinya yang memimpin para murid wanita. Akulah Hui In Siankouw dan ia ini seorang sumoiku
bernama Biauw In Suthai.”

“Ah, kiranya locianpwe adalah Hui In Sian-kouw. Terimalah hormat saya.” Thian Liong memberi hormat
lagi,

Hul ln Sian-kouw tersenyum dan berkata. “Souw-sicu, harap kelak sampaikan maaf kami kepada suhumu
dan jangan menertawakan kami. Kami rnempunyai peraturan bahwa laki -laki tidak boleh memasuki
asrama para murid wanita Kun-lun-pai. Oleh karena itu, terpaksa kami tidak dapat mempersilakan
engkau memasuki asrama dan hanya dapat menyambutmu di sini saja.”

“Tidak mengapa, locianpwe. Saya menghormati peraturan itu.”

“Kalau begitu, mari kita duduk dan bercakap-cakap di sana.” Hui In Sian-kouw menunjuk ke arah kiri di
mana terdapat sekumpulan batu yang putih bersih. Agaknya batu-batu itu memang dira-wat dan
dijadikan tempat untuk duduk bersantai. Thian Liong mengikuti dua orang pendeta wanita itu dan
mereka lalu duduk di atas batu sallng berhadapan.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 115

“Nah, sekarang sampaikan pesan Tiong Lee Cln-Jln itu kepadaku, Souw-sicu. Aku yang akan
menyampaikan kepada suheng (kakak seperguruan) Kui Beng Thaisu.”

Thian Llong menghela napas panjang “Sungguh! sayang sekali. Saya yang semestinya membawa kabar
gembira untuk locianpwe, karena kelalaian saya, telah membuat kabar itu berubah menjadi tldak
menyenangkan.”

Hul In Slankouw tetap tersentum. “Apapun yang terjadl, terjadilah, Souw-slcu. Tidak ada kejadian baik
atau buruk, sebelum pikiran kita menilai didasari kepentingan pribadi. Ceritakanlah tanpa ragu. Kaml
siap menerima yang ,dianggap paling buruk sekallpun.”'

Thian Libng mengangguk kagum. Tak salah penilaiannya tentang pendeta wani -ta ini. Seorang yang arlf
bijaksana. Maka diapun bercerita dengan lapang dada. “Saya dlutus suhu untuk mengantarkan sebuah
kltab untuk Kun-lun-pal yeng harus saya serahkan sendlri kepada Kui Beng Thai -su atau kepada Hui In
Slan-kouw dan kebetulan sekall kini saya berhadapan dengan locianpwe sendiri.”

“Ah, sebuah kltab dari Tiong Lee Cin-Jin untuk Kun-lun-pai? Souw-sicu, apakah nama kitab itu?” Tiba-tiba
Biauw In Suthai bertanya dengan nada suara gembira. Agaknya ia tetah melupakan kemarahannya tadi
dan kini merasa gembira sekali mendengar bahwa Kun-lun-pai akan mendapatkan sebuah kitab dari
Tiong Lee Cin-jin yang namanya terkenal di antara semua tokoh besar dunia persilatan itu.

“Nama kitab Itu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat.” kata Thian Liong.

“Alhh! Itu kitab pelajaran ilmu silat tinggi yang khusus diciptakan untuk murid wanita dan kitab itu
lenyap ratusan tahun yang lalu, kabarnya dicuri seorang pertapa sakti yang jahat!” seru Hui In Sian -kouw
kagum. “Dan sekarang Tiong Lee Cin-jin dapat menemukannya kembali dan hendak mengembalikan
kepada Kun-lun-pai? Betapa bijaksananya Tiong Lee Cin-jin.”

“Souw-sicu, cepat keluarkan kitab itu dan berikan kepada Hui In Suci (kakak perempuan seperguruan Hui
In)!” kata Biauw In Suthai tidak sabar lagi karena ingin segera melihat kitab pusaka Kun luni -pai itu.

“Bersabarlah, sumoi. Berilah waktu kepada Souw-sicu, agaknya dia masih hendak bercerita.” kata Hui In
Sian-kouw dengan tenang dan sabar.

“Sesungguhnya banyak yang harus saya ceritakan, locianpwe. Akan tetapi yang terpenting unluk saya
beritahukan adalah bahwa kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu, ketika saya berada dl lereng bawah
pegunungan Kun-lun-san ini lenyap dicurl orang.”

“Apa....??” Biauw In Suthal melompat berdiri. “Tidak mungkin!” Tentu engkau bohong dan ingin
menguasai kitab itu untukmu sendiri!”

“Sumoi, Jangan sembarangan bicara!” Hui In Sian-kouw menegur adik seperguruannya.

“Suci, semua laki-laki di dunia ini mana ada yang dapat dipercaya? Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi,
mana mungkin kitab itu dicuri orang? Coba kuperiksa buntalannya!” Biauw In Suthai melompat ke arah
buntalan pakalan Thian Liong yang tadi diturunkan pemuda itu ketlka hendak duduk di atas batu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 116

Melihat ini, Thian Liong membiarkan saja. Hui In Sian-kouw juga tidak keburu melarang sumolnya yang
sudah membuka buntalan pakaian itu.

“Suci ini ada dua buah kitab!” seru Biuaw In Suthai sambil memperlihatkan dua buah kitab tua yang
diambilnya dari buntalan itu.
“Itu adalah Kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dan kitab Kiauw-ta Sin-na milik Bu-tong-pai.
Kedua kitab itu harus saya serahkan kepada pemilik masing-masing, seperti juga kitab milik Kun-lun-pai
yang hilang.”

“Sumoi, kembalikan dua buah kitab itu. Kita tidak berhak menyentuhnya.” perintah Hui In Sian -kouw
dan Blauw In Suthai mengembalikan dua buah kitab itu. Akan tetapi ia terus mencari dan membu ka
kantung biru.

“Hei, lihat, suci! Banyak emas di sini, Tentu dia telah menjual kitab klta itu dan mendapatkan banyak
emas. Hayo kau mengaku saja! Kepada siapa kltab kami itu kau jual!” Biauw In Suthai sudah mencabut
lagi pedangnya dan mengancam Thian Liong.

“Sumoi, sirnpan pedangmu dan mundur!” Hui In Sian-kouw menegur sumoinya dan Biauw In Suthai
menyarungkan lagi pedangnya dan melangkah mudur dengan mulut cemberut dan matanya mencorong
galak memandang Thian Liong. Hui In Sian-kouw memandang pemuda Itu. “Souw-sicu, apakah
penjelasanmu tentang ini semua?”

Thian Liong menghela napas panjang. “Saya tadi belum selesai bercerita, loclanpwe. Tadi ketika saya
melakukan perjalanan dan tiba di jalan raya di lereng bukit sebelah bawah, saya melihat serombongan
lima orang saudagar dlkawal belasan orang piauwsu sedang diganggu dua orang perampok. Dua orang
perampok ttu lihai dan para piauwsu agaknya akan kalah dan terbunuh semua. Saya lalu membela
mereka yang dlrampok dan pada saat itu muncul pula ae-or.ang gadls yang llhai, la Juga membantu para
piauwsu dan menewaskan seorang di antara dua perampok itu. Perampok ke dua melarikan sekantung
emas dan saya mengejarnya dan berhasil mengambil kembali kantung yang dibawanya lari. Ketika saya
mengembalikan kantung emas itu kepada para saudagar, mereka lalu menyerahkan setengah isi
kantung itu kepada kami berdua, yaitu saya dan nona itu. Setelah para saudagar dan rombongannya
meninggalkan tempat itu, saya lalu mengubur mayat perampok yang terbunuh oleh gadis itu. Di antara
kami terjadi perselisihan paham karena saya mencelanya yang telah membunuh perampok itu. la
marah-marah dan pergl membawa separuh uang yang ditinggalkan saudagar, yang separuh lagi ia
berikan kepada saya. Nah, ketika saya sibuk menggali lubang untuk mengubur jenazah itulah, saya
lengah. Tahu-tahu kantung uang emas yang tadinya saya tolak itu telah berada dalam buntalan pakaian
inl dan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang berada di tumpukan paling atas, telah lenyap.”

“Gadis Itu tentu cantik jelita, bukan?” Tiba-tiba Biauw In Suthai bertanya, nadanya mengejek.

“Memang ia cantik jelita dan usianya kurang lebih tujuh belas tahun,” kata Thian Liong sejujurnya.

“Nah Itulah, laki-laki semua mata keranjang! Tentu mellhat gadis cantlk itu, dia tergila-gila dan untuk
menyenangkan hatinya, dia memberikan kitab itu kepadanya. Suci, pemuda ini harus bertanggung
jawab, dia harus mengembalikan kitab itu kepada kita!”

“Sumoi, tidak malukah engkau berkata seperti itu? Kitab itu memang millk Kun-lun-pai, akan tetapi telah
ratusan tahun hilang dan kita tldak dapat menemukannya kembali. Tlong Lee Cin -jin berhasil

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 117

mendapatkannya kembali dan hendak menyerahkan kepada kita. Souw-alcu kehilangan kitab itu, dlcuri
oleh orang laln. Bagalmana kita dapat menimpakan tanggung jawab kepadanya untuk mengemballkan
kitab itu kepada kita? Sudahlah, aku melarangmu bicara lagi”

Mendengar teguran keras dari Hui In Siankouw, Biauw In Suthai mengerutkan alishya dan mukanya
menjadi buruk sekali karena ia cemberut. “Suci terlalu membela laki -laki ini. Biar aku melapor kepada
toa-suheng (kakak seperguruan pria tertua)!” Setelah berkata demikian, pendeta wanita yang galak itu
lalu meninggalkan tempat itu untuk pergi ke asrama baglan putera di balik bukit.

Hui In Siarikouw menghela napas panjang. “Souw-sicu, maafkan sikap sumoi Biauw In Suthai. la memang
keras hati. Sungguh aku merasa tidak enak kepadamu, sicu.”

“Tidak mengapa, locianpwe. Memang sudah sewajarnya kalau ia marah karena saya memang bersalah.
Saya telah le-ngah sehingga kitab itu lenyap dicuri orang. Sudah semestinyalah kalau saya bertanggung
jawab. Saya berjanji akan mencari kitab itu sampal dapat dan setelah saya temukan, tentu akan saya
serahkan kepada locianpwe di slni.”

Pendeta wanita itu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Dari sikapmu sebagai murid, kami dapat
menilai betapa bijaksananya Tlong Lee Clnjln, Souw-sicu, Siapakah nama gadis yang mencuri kiiab itu?”

“Saya tidak tahu namanya, locianpwe, kaml tidak sempat berkenalan. Akan tetapi sayapun tidak berani
mengatakan bahwa ia yang mencuri kitab itu karena tldak ada buktlnya. Bagaimanapun juga, saya akan
berusaha sekuat kemampuan saya untuk mencari kitab itu.”

“Kami percaya bahwa engkau akan berhasil, sicu, dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih atas
usahamu mencari kitab itu. Tldak lupa, sampaikan terima kasih Kun-lun-pai yang sebesar-besarnya
kepada gurumu Tiong Lee Cin-Jln yang sudah menemukan kitab kaml yang hilang itu dan berusaha
mengembalikannya kepada kami. Sampaikan hormat ku kepada beliau.”

“Baik, loclanpwe, akan saya sampaikan kalau saya sudah menyelesaikan tugas-tugas saya dan bertemu
lagi dengan suhu. Sekarang, saya mohon pamit dan terima kaslh atas pengertlan locianpwe yang sudah
memberl maaf atas kelengahan saya sehingga kltab untuk locianpwe itu sampai hilang.”

“Selamat jalan, sicu, dan berhati-hatilah dalam perjalanan. Semua prang mengetahui bahwa para datuk
dan tokoh kang-ouw ingin sekali merampas kitab-kitab yang didapatkan oleh Tiong Lee i! Cin-jin dari
dunia barat. Sicu yang masih membawa dua kitab, tentu tidak akan terlepas dari incaran mereka.”

“Terima kaslh, loclanpwe, atas nasihat itu. Selamat tinggal.”

Thian Liong menggendong buntalan-nya» memberi hormat lalu pergi menuruni puncak itu. Akan tetapi,
ketika dia tiba di lereng gunung ke dua dari'puh-cak, dia melihat Biauw In Suthai meng-hadang
perjalananh^a dan pendeta wanita itu ditemani dua orang gadis yang berpa-kaian serba kuning. Dua
orang gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun, keduanya bertubuh rarnping berkulit pu -tih
mulus dan keduanya cantik manis. Hanya bedanya, yang seorang lebih jang-kung dengan wajah bulat
dan yang kedua agak lebih pendek dan lebih muda dengan wajah bulat telur. Rambut mereka di gelung
ke atas dengan kain berwarna kuning yang lebar. Di panggung mereka tergantung sebatang pedang.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 118

Blarpun Blauw In Suthal tadl berslkap galak kepadanya, Thian Liong tidak mendendam dan mellhat
nenek Itu berdirl menghadang perjalanan bersama dua orang gadis itu, dla cepat menghampirl dan
memberi hormat.

“Locianpwe, saya mohbn diri hendak meninggalkan Kun-lun-san, harap locianpwe suka memberi jalan.”

Akan tetapl Biauw In Suthal bertolak pinggang dan memandang pemuda itu dengan marah. “Souw Thian
Liong, engkau sudah tahu akan kesalahanmu! Engkau sebagai seorang laki -laki telah berani lancang
datang ke asrama puteri Kun lun-pai. Karena itu sebelum kami menguji kepandaianmu, kami tidak akan
membiarkanmu pergi. Tadi kami melihat sebatang pedang dalam buntalanmu. Hayo keluarkan
pedangmu. Kami menantangmu untuk mengadu silat pedang!” Nenek itu menantang.

Thian Liong mengerutkah alisnya. “Akan tetapi, loclanpwe, saya tidak ingin bertanding dengan siapapun,
saya tidak ingin bermusuhan dengan siapapun.”

“Enak saja! Engkau melanggar daerah terlarang bagi prla, dan engkau telah membikin lenyap kttab
pusaka Kun-lun-pai Engkau harus menerima tantangan kaml ini. Aku tldak ingln dlanggap sebagai orang
tua yang menghina anak muda. Karena itu, muridku inl akan mewaklll aku mengujl llmu pedangmu. Kim
Lan, bersiaplah engkau!”

Gadis yang lebih tinggi bermuka bulat itu tiba-tiba menjadi merah wajahnya dan ia tampak semakin
cantik. Ia mengangguk menerima perintah gurunya dan sekali tangan kanannya bergerak, tampak sinar
berkelebat dan Thian Liong segera mengenal pedang itu sebagai pedang bersinar putih yan g tadi
dipergunakan Biauw In Suthai. Dengan gerakan indah dan gagah gadis cantik bernama Kim Lan ini
menggerakkan pedangnya menunjuk ke atas, lalu pedangnya berkelebat seperti kitat menyambar,
menjadi sinar menyilaukan dan ia sudah rnemasang kuda-kuda dengan pedang bersenibu-nyi di bawah
lengan kanan, tangan kiri melingkar depan dada. Gayanya indah dan gagah sekali.

“Sicu, silakan!” kata Kim Lan, suaranya merdu namun mengandung tanteng-an dan kekerasan hati, sinar
matanya tajam menyambar ke arah wajah Thian Liong. Tentu saja pemuda itu menjadi ragu. Dia tidak
ingin berkelahi, apa lagi melawan seorang gadis yang tidak dike -nalnya sama sekali, yang tidak
mempunyai urusan apapun juga dengan dirinya. Melihat keraguan ini, Biauw In Suthai segera berkata
nyaring.

“Souw Thian Liong, engkau mengaku murid Tiong Lee Cin-jin yang terkenal, akan tetapi engkau pengecut
kalau tidak berani menghadapi tantangan muridku Klm Lan. Ambil pedangmu dan coba kita sama
mellhat apakah engkau mampu menandingi Tian-lui-kiam-sut , (Ilmu Pe-dang Kilat Guntur)! Kalau
engkau dapat menang melawan Kim Lan, berarti engkau pantas berkunjung ke markas puteri Kun -lun-
pai karena engkau menjadi keluarga sendiri. Akan tetapi kalau engkau kalah, kami akan membiarkan
engkau pergi dan ternyata nama besar Tiong Lee Cin-jin hanya kosong belaka!”

Wajah Thian Liong berubah agak merah. Terlalu sekali nenek ini, pikirnya! Dia dipaksa untuk melawan
karena kalau tidak, dia akan dianggap sebagai pe-ngecut dan berarti dia akan merendahkan nama besar
gurunya yang amat dihormat di dunia kang-ouw. Dia terpaksa, mau tidak mau, harus melayani
tantangan itu. Dia merasa serba salah. Dilayani, dia merasa tidak semestinya karena dia tidak
mempunyai permusuhan dengan mereka dan tidak ingin menghina Kun-lun-pai dengan
mengalahkannya. Kalau tidak dllayani, dia dianggap pengecut dan na-ma besar gurunya terseret turun.
Selain itu, dia juga ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan Ilmu Pedang Kilat Guntur itu. Dia

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 119

pernah mendengar dari gurunya bahwa ilmu pedang Itu merupakan llmu puiaka dan andalan Kun-lun-
pai dan bahwa hanya murld-murld tertinggl saja yang berhak menguasal llmu pedang itu. Gadis ini masih
amat muda paling banyak sembilan belas tahun usianya, akan tetapi sudah menguasai Tian-lui-kiam-sut,
berarti ia seorang murid Kun-lun-pai yang sudah tinggi tingkatnya. Timbul keinginannya untuk menguji
kehebatan ilmu pedang itu!

Setelah menghela napas panjang, Thian Liong melepaskan gendongannya ke atas tanah, membuka
buntalan, mengambil pedangnya dan mengikatkan lagi buntalan itu dengan teliti karena dia tidak mau
lagi kehilangan dua buah kitab untuk Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai itu, kemudian ia mencabut
pedangnya, melempar sarung pedang di atas buntalan pakaian dan menghampiri Kim Lan dengan
pedang di tangan. Pedang Thian-liong-kiam itu adalah sebatang pedang kuno, berbentuk seekor naga
gagangnya merupakan ekornya. Dia berdiri santai, pedang di tangan kanan itu tergantung ke bawah.
Sama sekall dla tldak membu-at pasangan kuda-kuda,

“Baiklah, kalau locianpwe memaksa. Sllakan, nona, saya sudah slap melayani nona.” katanya.

Biauw In Suthai dan gadis ke dua melangkah mundur dan menonton di pinggir. Melihat Thian Liong
sudah mencabut pedang dan mengatakan siap wa-laupun sikapnya masih santai, Kim Lan lalu
membentak dengan suara nyaring.

“Lihat serangan pedangku!” Setelah memberi peringatan, barulah ia bergerak. Dan serangannya
memang hebat sekali. Begitu ia menerjang maju, pedangnya berkelebatan menyambar-nyambar seperti
kilat dan ia telah menghujani Thian Liong dengan serangkai serangan kilat yang dahsyat! Thian Liong
merasa kagum. Cepat dia menggunakan ginkang untuk berkelebatan mengelak dari semua serangan.
Timbul kegembiraan hatinya. Ilmu pedang yang dimainkan gadis bernama Kim Lan itu memang hebat
sekali dan gadls Itu benar-benar telah menguasai llmu pedangnya dengan baik. Pedang kilat itu seolah
telah menyatu dengan dirlnya.

Sampai belasan jurus Thlan Liong menghindarkan dirl dari sambaran pedang dengan elakan -elakan
cepat. Namun dia tahu bahwa dla tidak mungkin meng-andalkan elakan saja untuk menghindarkan diri
dari serangan yang bertubi-subi datangnya Itu. Maka, ketlka dla terdesak, mulallah dla menggerakkan
Thian-Liong-kiam di tangan kanannya. Akan tetapi tentu saja dla membataal tenaganya karena dia tidak
ingin membikin rusak pedang lawan, juga tidak ingin membikin malu gadis itu dengan tolakan tenaga
saktinya. Dia menangkls dengan tenaga terbatas.

“Tranggg....!” Dua pedang bertemu dan tampak bunga api berpijar menyilaukan mata. Gadls itu cepat
memeriksa pedangnya. la merasa lega melihat pedangnya tidak rusak, juga lega karena merasa betapa
tenaganya seimbang dengan tenaga lawan. Pertandingan dilanjutkan dan kini Thian Liong terkadang
membalas dengan serangan pedangnya. Pertandingan itu tampak ramai dan seimbang. Hal ini terjadi
tentu saja karena Thian Liong banyak mengalah. Dia tidak ingin membikin malu gadis itu maka sengaja
membuat pertandingan itu tampak seru dan ramai seolah kepandalan mereka seimbang. Tentu saja
dlapun tldak mau kalau sampai dia kalah, karena hal iu akan merendahkan nama besar gurunya. Tldak,
dia harus menang, akan tetapl kemenangan melalul pertandlngan yang seimbang dan ramai.

“Hailiiittt....!!” Tlba-tiba Kim Lan merendahkan tubuhnya setengah berjong-kok dan pedangnya
menyambar-nyambar ke arah kedua kaki Thian Liong. Pedang itu diputar-putar merupakan gulungan
sinar putlh yang mengancam kedua kaki lawan. Thlan Liong berloncatan untuk menghindarkan diri dari
serangan ke arah kedua kakinya itu. Untuk menghentikan desakan lawan, dia menyerangkan pe dang nya

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 120

dari atas dan pedang Thian-liong-kiam berkelebat. Ujung kain pengikat ke-pala Kim Lan terbabat putus
dan sehelai kain kuning melayang ke bawah. Gadis itu terkejut dan mengubah serangannya. Kini ia
berdiri lagi dan pedangnya menyambar-nyambar ke arah leher lawan.

“Trang-trang-tranggg..., tiga, kali berturut turut kedua pedang bertemu dl udara dan keduanya
melompat ke belakang. Lima puluh jurus telah lewat dan Thlan Llong merasa bahwa sudah cukup lama
dla mengalah. Ketika pedang kilat itu meuncur menyambar dengan tusukan ke arah dadanya, dia hanya
sedikit miringkan tubuhnya dan mengangkat lengan kirinya. Pedang itu meluncur dekat sekali dengan
iga kirinya dan pada saat itu, lengan kirinya turun mengempit pedang lawan! Kim Lan terkejut dan
mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya yang tampaknya seolah menancap di dada lawan itu.
Akan tetapi tiba-tiba Thian Liong mengetuk siku kanannya. Seketika lengan kanannya kehilangan tenaga
dan sebelum gadis itu dapat mengatasi keadaannya tangan Thian Liong yang memegang pedang itu
telah mendorong pundak kiri Kim Lan sehingga tubuh gadis itu terhuyung ke belakang dan pedangnya
tertinggal, dikempit oleh lengan kiri pemuda itu!

Keadaan ini jelas membuktikan bahwa Kim Lan telah kalah. Thian Liong cepat mengambtl pe dang gadis
itu, memegang ujungnya dan menyodorkan gagangnya kepada Kim Lan.

“Terimalah pedangmu dan maafkan aku, nona.” ucapannya itu dikeluarkan dengan tulus. Kim Lan
menerima pedang itu dan tiba-tiba ia menjatuhkan diri bersimpuh di atas tanah dan menangis tentu saja
Thian Liong menjadi bengong melihat hal ini.

Anehnya, Biauw In Suthai menghampirinya. Thian Liong sudah bersiap siaga untuk melindungi dirinya
kalau diserang tiba-tiba oleh pendeta wanita yang galak ini. Akan tetapi anehnya, Biauw In Suthai
tersenyum dan berkata dengan suara girang.

“Souw Thian Liong, kiong-hi (selamat)! Kami mengucapkan selamat!”

“Selamat? Untuk apa?” Thian Liong bertanya, tidak mengerti.

“Selamat karena engkau telah membuktikan bahwa engkau murid yang mengagumkan dari Tlong Lee
Cln-jln, engkau telah menang dalam pertandingan ini dan engkau telah memperoleh seorang isteri yang
baik dan cocok sekali bagimu.”

Thian Liong terbelalak semakin heran. “Isteri? Apa.... apa maksud locianpwe?” Nenek itu menunjuk Kim
Lan yang masih bersimpuh dan menangis menutupi muka dengan kedua tangannya. “Lihat itu, calon
isterimu menangis karena haru dan bahagia!”

“Locianpwe, apa maksudmu? Saya.... saya tidak....” dia bingung harus berkata apa.

Biauw In Suthai tertawa dan melihat nenek itu tertawa Thian Liong merasa aneh sekali. Nenek yang
galak dan keras seperti batu karang itu dapat terta-wa, akan tetapi hanya mulutnya yang menyeririgai
tertawa, matanya sama sekali tldak ikut tertawa. Mata itu tetap memandang dengan sinar yang keras.

“Heh-heh-hl-hl-hlk. Makaudku....? Itu urusan orang muda. Engkau boleh bicara sendtrl dengan Klm Lan!”
Setelah berkata demikian, pendeta wanita itu melangkah pergi meninggalkan Thian Liong yang masih
berdiri bengong.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 121

Setelah nenek itu pergi, Thiar Liong memandang kepada gadis yang masih duduk bersimpuh dan
menangis tanpa suara itu. Kemudian dia memandang kepada gadis ke dua yang berdiri di dekat gadis
yang menangis dan kebetulan gadis itu juga sedang memandang kepadanya Gadis yang bermuka bulat
telur dan bertubuh mungil ini wajahnya sama cantik dengan gadis pertama. Bedanya, gadis yang lebih
pendek ini wajahnya tidak membayangkan kekerasan seperti yang lain. la bahkan memandang kepada
Thian Liong dengan sinar mata kagum dan lembut, dan bibirnya mengembangkan senyum. Melihat sikap
ini, Thian Liong yang tidak berani bertanya kepada gadis yang menangis, lalu bertanya kepada gadis ke
dua itu.

“Nona, apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh loclanpwe tadi? Sungguh mati saya tldak mengertl
sama sekali”

Gadis itu menoleh kepada gadls yang masih duduk bersimpuh dan biarpun sudah tidak menangs lagi
namun masih menutupi mukanya dengan kedua tangan seperti orang yang merasa malu. “Sucl (kakak
seperguruan, bolehkah aku mewakilimu menceritakan apa artinya semua ini kepada Souw -sicu?”

Gadis yang bernama Kim Lan mengangguk. Gadis mungil itu lalu melahgkah maju rnenghampiri Thian
Liong dan la berkata dengan suara merdu. “Kami berdua adalah murid Kun-lun-paii di bawah asuhan
guru karni Biauw In Suthai. Inl adalah enci Kim Lan dan aku bernama Ai Yin. Ketahuilah, sicu, kami
berdua telah disumpah oleh guru kami ketika kami menerima pelajaran ilmu pedang Tian-lui-kiam-sut
(Ilmu Pedang Kilat Gun-tur) bahwa kami hanya boleh menikah kalau....”

“Sumoi....!” Kim Lan menegur sumoinya dan ia kini bangkit berdiri, akan tetapi tidak berani menatap
wajah Thian Liong, melainkan memandang wajah sumoinya.

“Suci, kalau aku tldak menceritakan semuanya, bagaimana Souw-sicu akan dapat mengertl
persoalannya? Karena dia merupakan orang yang tersangkut, tiada salahnya dia mengetahui rahasia
kita.”

Sejenak Kim Lan termangu-mangu, lalu melirik malu-malu ke arah Thian Liong, kemudlan mengangguk
dan berkata lirih, “Balk, teruskanlah.”

Thian Llong merasa tidak enak. “Nona, kalau kalian mempunyai rahasia, tidak perlu kalian ceritakan
padaku. Akupun tidak ingin mendengar tentang rahasia orang lain.”

“Souw-slcu, rahasia kami ini sekarang telah melibatkan dirimu, maka engkau harus mendengarnya.”

“Hemm, kalau engkau dengan suka rela hendak menceritakan kepadaku, silakan.” kata Thian Liong yang
sebetulnya ingin sekali tahu akan sikap 8iauw In Suthai tadi.

“Seperti kukatakan tadi, kami berdua telah disumpah oleh guru kami. Kami tidak boleh berhubungan
dengan pria, bahkan tldak boleh berdekatan. Subo (ibu guru) mungkin akan rnembunuh kami kalau
melihat kami akrab dengan pria. Kami disumpah bahwa kami hanya boleh menikah kalau ada pria yang
dapat mengalahkan Ilmu Pedang Kilat Guntur kami. Pria yang dapat mengalahkan kami harus menjadi
suami kami. Karena itu, ketika engkau mengalahkan suci Kim Lan, berarti engkau menjadi jodoh atau
calon suami suci Kim Lan, Souw-sicu.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 122

Thlan Liong terbelalak, terkejut dan heran. “Akan tetapi....., bagaimana mungkin ada aturan seperti itu?
Pernikahan tidak dapat dipaksakan oleh satu pihak, harus ada persetujuan kedua pihak. Sedangkan
aku.... aku sama sekali belum mempunyai keinginan bahkan belurn pernah berpikir untuk menikah!”

“Akan tetapi engkau harus menerima suci Kim Lan menjadi isterimu, sicu. Harus!” kata Ai Yin. Kata
terakhir itu mengandung tekanan kuat sekali.

“Harus?” Thian Liong mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang Ai Yin dengan sinar mata
mengandung rasa penasaran. “Siapa yang mengharuskan?”

“Sumpah , kami yang mengharuskan. Tidak ada pllihan lain bagi suci Kim Lan. Menurut sumpah kaml,
kami harus menikah dengan lakl-lakl yang mampu mengalahkan llmu pedang kami!”

“Aturan gila! Sumpah macam apa itu? Bagaimana kalau laki-laki yang mengalahkan kalian itu sudah tua
dan sudah beristeri?”

“Itu merupakan kekecualian. Sumpah kami hanya menyangkut pria yang belum berkeluarga, tua muda
tidak masuk hitungan. Dan kami percaya bahwa eng-kau belum berkeluarga, sicu.”

“Hemm, aneh. Bagaimana kalau pria yang mengalahkan kalian Itu tidak bersedia menikah dengan
kalian?”

“Menurut sumpah kaml, kalau begltu masalahnya, kaml harus membunuh pria itu! Jadi tldak ada pilihan
laln bagl suci Kim Lan. la harus menlkah denganmu atau kalau sicu menolak, la harus mem-bunuhmu!”
kata Ai Yln.

Thian Llong terkejut sekall. “Gila be-narl Belum pernah aku mendengar aturan yang leblh gila darl pada
Inl. Aku sama sekall tldak ada kelnglnan untuk menlkah, bagalmana mungkln aku dlpaksanya? Tentu aaja
aku menolak untuk memenuhl aturan glla-gilaan Ini. Aku tldak mau menlkah dengan siapapun!”

Tlba-tlba Klm Lan memandangnya dan berkata, suaranya mengandung kekerasan. “Kalau engkau
menolak, Souw Thian Liong, berartl penghinaan yang tlada taranya bagiku. Aku akan membunuhmu atau
engkau harus membunuhku karena engkau telah menodai dan mencemarkan nama dan
kehormatankul”

Thian Llong membelalakkan matanya. “Aih! Apa pula ini? Aku tidak pernah menyentuhmu, bagalmana
engkau dapat mengatakan bahwa aku menodal dan mencemarkan kehormatanmu?”

“Ini sudah menjadl sumpahku. Tidak ada plllhan lain baglku. Aku harus menjadl isterimu atau terpaksa
aku akan mengadu nyawa denganmu!” Setelah berkata demikian Kim Lan mencabut pedangnya.

“Wah. ini gllal Nona Klm Lan. engkau tldak aan memang melawan aku, dan aku dapat lari
meninggalkanmu dengan mudah. Engkau tldak akan dapat mengejar atau membunuhku.”

“Aku akan terus mencarlmu, memperdalam llmuku dan selalu berusaha untuk membunuhmu!” kata Kim
Lan.

“Dan aku akan membantu suci untuk membunuhmul” kata pula Ai Yin sambil inencabut pedangnya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 123

“Wah-wah, kalian inl sudah tidal waras lagl. Nona-nona, kalian adalah, orang-orang muda, bagaimana
berpendirian begini kolot? Perjodohan hanya ditentukan oleh cinta atau kesepakatan kedua pihak, sama
sekali tidak boleh main paksa.”

“Kita diikat oleh sumpah!” jawab kedua orang gadis cantik itu berbareng.

“Kalau engkau tetap gagal dalam usahamu untuk membunuhku, bagaimana, nona Kim Lan?” Thian Liong
bertanya.

“Kalau selalu tetap gagal, tidak ada jalan lain bagiku kecuali membunuh diri atau dibunuh guruku.”

“Gila....! Thian Liong berteriak. “Kalian gadis-gadis muda sudah menjadi korban keganasan seorang
nenek gila!”

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Biauw In Suthai sudah berada di depan Thlan Llong. “Bocah
she Souw! Engkau berani memaki aku nenek glla? Murld-muridku memenuhi sumpahnya, berarti
mereka adalah orang-orang gagah sejatl yang setia kepada gurunya. Akulah yang akan membantu Kim
Lan membunuhmu kalau engkau menolak menjadi suaminya!”

“Dunia sudah miring! Kalian orang-orang tidak waras!” Thian Liong berseru sambil menyambar buntalan
pakaiannya dengan tangan kiri dan siap membela dlri dengan pedang Thlan-llong-klam di tangan kanan.

“Bunuh Jahanam ini” Biauw In Suthai berteriak dan tlga orang wanlta itu menggerakkan pedang di
tangan mereka. Tampak tiga sinar kilat menyambar dengan dahsyat ke arah Thian Liong. Demikian cepat
seperti kilat menyambarnya tiga pedang itu sehingga Thian Liong terpaksa membuang diri ke belakang
lalu bergulingan menjauh dan cepat dia melompat bangkit kembali. Melihat tiga orang wanita Itu sudah
hendak menerjangnya lagi dengan pedang diputar di atas kepala, Thian Liong cepat menyimpan
pedangnya dan mengerahkan tenaga sakti, mendorong ke arah mereka dengan kedua telapak tangan.

“Wuuutttt....!!” Angin yang kuat sekali menerpa tiga orang wanita itu. Mereka merasa terkejut sekali
dan berusaha menahan, namun mereka tidak kuat dan tetap saja tubuh mereka terdorong angin dan
terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan Ai Yin yang agaknya paling lemah dl antara mereka bertiga,
terguling roboh. Walaupun mereka tldak terluka, namun mereka terkejut sekali dan ketlka mereka
memahdang ke depan, ternyata pemuda itu telah menghilang dari sltu.

Melihat itu, Kim Lan menjatuhkan diri berlutut dl depan kaki subonya dan menangis. “Subo, teecu
(murid) dltolak seorang iaki-laki dan teecu tidak mampu membunuhnya. Sllakan subo menghukum dan
membunuh teecu, teecu pasrah....”

Blauw In Su-thai menghela napaa panjang. tangan kanan maslh memegang pedangnya. Pada saat itu, Ai
Yin yang mencinta suclnya Juga ikut berlutut di depan kaki Biauw In Suthai dan berkata, “Subo, sucl tidak
bersalah. Ia sudah berusaha membunuh Souw Thlan Liong, bahkan teecu dan subo sendirl juga sudah
membantunya. Namun, orang itu terlalu tangguh.”

“Hemm, menurut sumpahmu sendlri, laki-lakl itu adalah jodohmu dan kalau dla menolak, engkau
berusaha untuk membunuhnya. Pergilah dan usahakanlah agar engkau dapat membunuh dia, dan
jangan sekali-kali engkau berani kembali menghadapku di sini sebelum engkau mampu membunuhnya!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 124

kata nenek itu, kemudian sambil mendengus marah, ia memutar tubuhnya dan menlnggalkan tempat
itu.

Kim Lan masih terisak dan mengha-pus air matanya. Mukanya menjadi pucat dan ia memandang wajah
sumoinya de-ngan sedih. “Sumoi, selamat tinggal, aku hendak pergi dan berusaha memenuhi sumpahku,
sampai aku berhasil atau mati.” Setelah berkata demikian, Klm Lan memballkkan tubuhnya dan berlart
cepat meninggalkan sumolnya.

“Sucl, tunggu....ll” Ai Yln melompat dan melakukan pengejaran.

Klm Lan berhentl. Mereka berdlri berhadapan. “Ada apakah, sumoi?”

“Sucl, aku Ikut pergl denganmu.”

Kim Lan membelalakkan matanya, kemudian mengerutkan allsnya yang Indah bentuknya. “Ah, sumol!
Engkau tidak boleh! Subo akan marah sekali kepadamu'“

“Biarlah, suci. Aku tidak tahan lagi dihantui sumpah kita itu, apalagi setelah melihat aki batnya
kepadamu! Aku tidak mau kelak sepertimu, suci. Dan ingat, yang disumpah subo hanyalah kita berdua,
karena itu aku harus membantu-mu dan membelamu. Bukankah engkau akan membelaku juga kalau
aku tertimpa masalah seperti engkau sekarang ini? Suci, kita berdua sudah yatim piatu, tidak
mempunyai siapa-siapa lagi. Kita berdua sudah seperti saudara sendiri, sejak kecil hidup bersama. Ah,
kalau aku tahu akan begini jadinya, dahulu aku tidak akan mau bersumpah, biar tidak menguasai Tian -
lui-kiam-sut juga tidak mengapa.”

“Sumoi....!” Kedua orang gadis itu berangkulan dan menangis. Tak lama kemudian, dua orang gadis Itu
sudah menuruni lereng pegunungan Kun-lun-san. Ai Yin ikut pergi bersama sucinya untuk. membantu
sucinya mencari Thian Liong, untuk membunuh pemuda itu atau kalau: gagal mereka yang akan dibunuh
guru mereka! Tentu saja, kecuali kalau pemuda itu mau menikahinya.

Sementara itu, dl balik sebuah batu besar, Biauw In Suthai berdiri dan dengan punggung tangan kirinya
ia mengusap kedua matanya untuk menghapus beberapa butir air mata yang membasahi pelupuk
matanya. Nenek yang keras hati seperti baja itu menangis, walaupun tak bersuara dan hanya beberapa
butir air mata membasahi pelupuk matanya! Kalau saja ada murid Kun-lun-pai melihatnya, pasti mereka
akan menjadi gempar dan terheran-heran. Hati Biauw In Suthai terkenal keras dan kaku, bahkan ketika
ia kematian gurunyapun tak sebu-tir alr mata keluar dari matanya yang selalu bersinar keras. Akan tetapi
pada saat itu, di mana tidak ada orang lain menyaksikannya, ia merasa hatinya se-perti ditusuk-tusuk
pedang dan ia tidak dapat menahan ketika beberapa butir air mata membasahi kedua matanya. Itupun
cepat-cepat butir-butir air mata itu dihapusnya. Kemudlan dengan tubuh terasa lemah lunglal ia
menjatuhkan dlrl duduk dl atas tanah berumput dan berslla. Plklrannya melayang-layang ke masa la-lu.

Ia pernah muda. Lama sebelum menjadi pendeta dan tokoh besar tingkat tiga Kun-lun-pal. la pernah
Jatuh clnta. Bahkan tlga kali la jatuh clnta! Namun ke tiga kallnya gagal. Selalu saja la dlsila-siakan,
ditinggal pergi suaminya yang menikah dengan wanlta lain. la merasa seakan bunga layu yang dibuang
setelah sarl madunya dihlsap habis. la tldak pernah mempunyai anak darl tlga kali menjadi isteri orang.
Mulailah la merasa bencl kepada laki-laki. Demiklan mendalam rasa sakit hatinya sehingga la
memperdalam ilmu silatnya dan setelah menjadi seorang ahli silat yang pandai, ia mencari ketiga orang
laki-lakl bekas suaminya yang menyia-nyiakan dan membunuh mereka! Kemudian sebagai seorang

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 125

pendekar wanita, ia melanglang-buana dan selalu membunuh penjahat tanpa ampun. Akan tetapi yang
dibunuhnya selalu prial Prla yang menjadl penjahat, terutama sekall la selalu memburu para jai -hwa-cat
(penjahat pametik bunga atau pemerkosa wanlta) dan tanpa ampun membunuhnya dengan sadis!

la baru menghentikan kebiasaannya yang menggemparkan dunla perailatan itu setelah ta bertemu
dengan Kut Beng Thalsu yang sekarang menjadl Ketua Umum Kun-lun-pal. la dlkalahkan dengan mudah
oleh pendeta Kun-lun-pal itu, bahkan lalu menerlma bimblngan dalam llmu silat dan juga tentang
kerohanlan. Akhirnya, karena ia maJu sekali, bukan saja dalam llmu sllat, melainkan juga dalam soal
kerohanian sehlngga la tldak lagi menjadl ganas dan kejam, bahkan pantang untuk sembaran gan
membunuh, Kui Beng Thaisu yang melihat bakat baik darl wanlta ini untuk menjadl pelatlh llmu sllat, alu
mengangkatnya sebagai pimpinan bagian murid Kun-lun-pai wanita, menjadi pembantu Hui In Siarikouw
yang menjadi ketua bagian murld wanita.

Kemudian Biauw In Suthai memilih dua orang gadis yatlm piatu menjadi murid pribadinya, yaitu Kim Lan
dan Ai Yin. Selama hampir sepuluh tahun ia mendidik dua orang gadis ini, bahkan menurunkan ilmu
pedang Tian-lui-kiam-sut yang tidak dapat diajarkan kepada sembarang murid. Untuk itu, ia
mengharuskan dua orang murid ini melakukan sumpah seperti yang telah kita ketahui. Sumpah itu
menunjukkan betapa benci ia kepada kaum pria dan sesungguhnya ia tidak rela kalau dua orang murid
yang disayangnya seperti anak-anaknya sendiri itu menjadi isteri orang hanya dengan bahaya kelak akan
mengalami nasib seperti dirinya, yaitu disia-siakah suami dan ditinggal pergi! Kalau ada pria yang
mampu mengalahkan Thian-lui-kiam-sut, berarti pria itu sakti dan hal ini dapat menguntungkan ia atau
pihak Kun-lun-pai. Pria yang menjadi suami muridnya itu dapat mengajarkan ilmu-ilmunya yang sudah
dapat mengalahkan Tian-lui-kiam-sut sehingga mutu ilmu silat Kun-lun-pai dapat meningkat. Akan tetapi
kalau pria itu menolak mengawini murid yang dikalahkannya, muridwa harus membunuh laki-laki itu.
Inilah merupakan jalan baginya untuk membalas dendamnya kepada kaum pria yang dibencinya! Juga
untuk menguji kesetiaan dua orang murid yang dikasihinya itu. Semua ilmunya telah ia berikan dan ia
menuntut agar dua orang muridnya itu berbakti dan setia kepadanya.

Akan tetapi, ketika diam-diam ia mengintai dan melihat betapa dua orang muridnya itu pergi
meninggalkannya untuk berusaha mengejar dan membunuh Souw Thian Liong. hati pendeta wanita itu
merasa sedih sekali.

Dendam sakit hati merupakan racun jahat yang akan merusak batin sendiri. Dendam sakit hati
menimbulkan kebencian dan nafsu kebencian membuahkan kekejaman, menghilangkan prikemanusiaan
karena kebencian bagaikan api baru dapat dipadamkan oleh tindakan buas untuk menda-tangkan
siksaan bahkan pembunuhan ter~ hadap orang yang dibenci. Namun yang diderita oleh Biauw In Suthai
bukan ha-nya dendam kebenclan karena disia-siakan pria selama tlga kali saja, terutama sekali dendam
ini dikobarkan karena pada terakhir kalinya, yaitu ketika ia bertemu dengan pria ke empat dan ia jatuh
cinta secara mendalam, pria itu tidak membalas cintanya karena medgetahui bahwa ia telah menjadi
janda tiga kali! Kekecewaan ini merupakan puncak pen-deritaannya karena harus diakuinya bah-wa
pada pria ke empat ini ia benar-be-nar jatuh cinta.

Selagi Biauw In Suthai tenggelam ke dalam kesedihan, tiba-tiba ia mendengar teguran suara yang
lembut.

“Biauw In, ada apakah dengan engkau ?”.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 126

Nenek itu terkejut bukan maln. Orang datang begitu dekat dl belakangnya dan ia tldak mengetahuinya!
Hal Ini menunjukkan betapa hebat gin-kang (ilmu merlngankan tubuh) orang Itu. Akan tetapi ketlka ia
bangkit dan memutar tubuh, la melihat bahwa dl situ telah berdiri seorang kekek yang Jangkung kurus,
berJenggot panjang, berambut putlh, yang bukan lain adalah Kul Beng Thaisu sendirl, Ketua Umum Kun -
lun-pai, penolong dan juga pembimbingnya. la maklum bahwa kepada kakek ini ia tidak dapat
menyembunyikan sesuatu. Kakek iitu andah berada di situ, tentu telah mengetahui akan kepergian dua
orang muridnya tadi, bahkan mungkin sudah mengetahui pula tentang Souw Thian Liong! Maka, iapun
segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, menahan tangisnya. Saking sedihnya, ia tidak dapat
mengeluarkan kata-kata.

“Sumoi, tenangkan batlnmu dan ceritakanlah kepadaku, apa yang telah cerja-di sehingga engkau
tenggelam dalam kesedlhan?” Kul iBeng Thalsu adalah orang yang menyadarkan nenek itu yang dahulu
maalh seorang wanlta muda berusla tlga puluh tahun bernama Blauw In. Juga dla yang memberl
pendidlkan dan blm-blngan kepadanya. Akan tetapl karena pada waktu Itu gurunya maslh hldup dan
Blauw In diterima sebagal murld Kun-lun-pai, mellhat tlngkat kepandaiannya sudah tinggl, maka dia
menyebut sumol (adik perempuan seperguruan) kepada Blauw In Suthai dan nenek inl menyebutnya
suheng (kakak laki-laki seperguruan). Dan setelah guru mereka meninggal, Kui Beng Thaisu
menggantikan kedudukan ketua dan dia mengangkat Biauw In Suthai menjadi wakil ketua bagian murid
wanita.

Biauw In Suthai menenangkan hatinya dan beberapa kali menghirup napas panjang sambil
mengheningkan cipta. Se-telah merasa hatinya tenang, ia bangkit berdiri dengan perlahan.

“Mari duduk di sana dan engkau ke-luarkanlah semua masalah yang merlsau-kan hatimu, sumoi,” kata
kakek itu. Biauw In Suthai mengangguk dan kedua-nya lalu menghampiri sekumpulan batu tak jauh dari
situ lalu masing-masing du-duk di atas sebuah batu.

“Maafkan kelemahanku, suheng. Semua itu terjadi demikiah cepatnya dan dalam waktu singkat terjadi
demikian banyak perubahan. Mula-mula aku melihat munculnya seorang pemuda di depan asrama
puteri para murid Kun-lun-pai. Tentu saja aku curiga kepadanya dan selain menergurnya aku juga
menguji ilmu kepandaiannya karena kulihat dia memiliki ilmu berlari cepat yang hebat.”

“Sian-cai (damai)..... Kenapa engkau masih juga belum dapat melunakkan hatimu yang keras itu,
sumoi?”

“Aku berniat mengujinya saja, suheng. Ternyata dia memang lihai sekali. Suci Hui In Siankouw datang
dan melerai. Atas pertanyaan suci, pemuda itu mengaku bernama Souw Thian Liong dan dia murid Tiong
Lee Cin-jin.”

“Murid Tiong Lee Cin-jin? Ahh, tidak aneh kalau dia lihai sekali. Akan tetapi apa keperluan murid Tiong
Lee Cin-jin datang berkunjung?”

“Tadinya dia memang hendak menghadap suheng, akan tetapi dia tersesat ke asrama bagian puteri. Suci
Hui In mewakili suheng dan dia bercerita kepada suci, bahwa dia diutus Tiong Lee Cin -jin untuk
menyerahkan sebuah kitab kepada suheng. Kitab itu bukan lain adalah Kitab Ngo-heng Llan-hoan Kun-
hoat,”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 127

“Siancai....!” Kui Beng Thaisu berseru kagum. “Jadi Tiong Lee Cin-jin telah berhasil menemukan kitab
pusaka kita yang telah hilang ratusan tahun yang lalu itu dan mengembelikan kepade klta? Bukan malnl
Sungguh beliau seorang yang sakti den bljakaana sekali!”

“Akan tetapl kelanjutan ceritaku tidak begltu menyenangkan, suheng. Pemuda she Souw itu
mengatakan bahwa baru saja kitab pusaka kita itu dicuri orang.”

“Sian-cai;...! Slapa yang mencurinya?”

“Itulah, suheng, Dla sendiri tidak tahu slapa yang mencurinya. Aku menganggap dia berbohong dan
hendak menyembunylkan kitab itu. Aku hendak menyerangnya dan memaksanya mengaku dl mana
kitab itu, akan tetapi sucl Hui In melarangku.”

“Sucimu benar, sumoi. Pemuda Itu tidak mungkin menyembunyikannya. Dia sudah berani datang
menceritakan tentang kehilangan kitab itu, berarti dia jujur. Apakah dia tidak mengatakan
pertanggungan-jawabnya atas kehilangan itu?”

“'Dia mengatakan bahwa dia akan mencari kitab itu sampai dapat.”

“Nah, Itu sudah cukup. Kltab pusaka Itu sudah ratusan tahun lenyap. Tlba-tlba saja ditemukan Tlong Lee
Cin-Jln yang mengutus murldnya untuk mengembalikan kepada klta. Kalau kltab itu dlcurl orang, hal itu
merupakan sebuah kecelakaan. Tiong Lee Cln-Jin adalah seorang yang sakti dan bijak, tentu murid-nya
juga seorartg yang gagah perkasa. Lalu, apa yang menyebabkan engkau bersedih?”

Biauw In Suthai menduga bahwa suhengnya tentu sudah tahu akan kepergian dua orang muridnya,
bahkan mungkin tahu pula akan pertandingan tadl.

“Ketika Souw Thian Llong turun dari puncak, aku bersama Kim Lan dan Ai, Yin sengaja menghadangnya,
suheng.”

“Hemm, apa lagi yang kaulakukan bersama dua orang muridrnu itu, sumoi?”

“Aku menantang pemuda itu untuk bertanding pedang melawan muridku Kim Lan. Muridku itu sudali
dewasa, sudah berusia sembilan belas tahun, dan pemu-da murid Tiong Lee Cin-jtn itu memiliki ilmu
kepandaian tlnggi, suheng. Aku yakin bahwa pemuda itu pasti dapat meng-alahkan Kim Lan dan aku
ingin dia menjadi jodoh Kim Lan.”

Kui Beng Thaisu mengerutkan alisnya yang putih. Dia memandang sumoinya dengan sinar mata lembut
namun penuh keheranan.

“Hemm, kalau hendak menjodohkan muridmu, kenapa harus mengadu 'mereka? Apakah maksudmu
sebenarnya, sumoi?”

Nenek itu menundukkan mukanya. Terpaksa ia harus menceritakan rahasia-nya dengan dua orang
muridnya itu. Suaranya lirih ketika ia menjawab, “Ketika dua orang muridku berlatih Tian-lui-kiam-sut
mereka telah bersumpah bahwa mereka hanya mau menikah dengan pria yang mampu mengalahkan
ilmu pedang mereka itu.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 128

“Hemm, bagaimana engkau dapat menyuruh mereka bersumpah seperti itu? Bagaimana kalau pria yang
mengalahkan mereka itu tidak mau menikah dengan mereka?”

Suara Biauw In Suthai semakin lirih ketika menjawab, “Kalau pria yang mengalahkan mereka tldak mau
memperistri mereka, maka mereka harus membalas penghinaan itu dengan membunuhnya!”

“Siancai....!” Kui Beng Thaisu berseru dan alisnya berkerut. “Kemudlan bagaimana?”

“Kim Lan bertanding dengan Souw Thian Liong dan la kalah. Karena pemuda itu menolak untuk berjodoh
dengannya, Kim Lan, menyerangnya dan hendak membunuhnya memenuhi sumpahnya, akan tetapi
pemuda itu melarikan diri. Kini Kim Lan dan Ai Yin...., mereka.... pergi untuk mencari dan membunuh
pemuda itu....”

Kui Beng Thaisu terkejut dan menggeleng-geleng kepalanya sambil mengelus jenggotnya yang putih
panjang. Kemudian dia mengangguk-angguk.

“Hemm, tidak kusangka bahwa penyakit dendammu terhadap kaum pria ternyata telah berakar dalam
batinmu sehingga diam-diam telah meracunimu. Racun itu pada akhirnya akan merusak dirimu sendiri.
Buktinya sekarang telah mengorbankan kedua muridmu yang kau-sayang seperti anak-anakmu sendiri.
Ah, Biauw In sumoi, kiranya semua pelajaran yang tclah kuberikan kepadamu sela-ma puluhan tahun ini,
hanya mampu menghilangkan kebuasanmu saja, akan tetapi tidak pernah dapat melenyapkan
dendanimu terhadap pria. Alangkah sayangnya. Aku, aingguh merasa kecewa sekali, sumoi. Engkau tega
mengorbankan muridmu sendiri untuk melamplas-kan dendam hatlmu terhadap prla.”

Mendengar ucapan suhengnya yang sudah dlanggapnya sebagal gurunya sendlri, penolongnya dan
orang yang selama kurang teblh dua puluh tahun memblm-blngnya, yang cllkeluarkan dengan nada ledlh
Itu, Biauw In Suthai menundukkan mukanya yang menjadi pucat dari la menguatkan perasaannya agar
jangan sampal menangis.

“Maafkan aku, suheng. Maafkan aku. Setelah kedua orang muridku pergl, baru aku menyadarl bahwa
aku telah membuat mereka menderital Aku telah membuat dua orang yang kusayang seperti anak -
anakku sendiri itu hidup merana. Sesungguhnya, selama ini aku sudah berusaha untuk menekan nafsu
dendam kebencianku. Aku menyumpah kedua orang muridku itu hanya untuk menjaga agar mereka
berdua memperoleh suami yang berilmu tinggi, yang lebih tangguh daripada mereka. Aku ingin mereka
mendapatkan suami seorang pendekar. Akan tetapi setelah aku mendengar bahwa Souw Thian Liong itu
murid Tiong Lee Cin-jin.... ah, aku menjadi lupa diri, terbakar oleh perasaan sakit hatiku....”

“Eh? Apa hubungan sakit hatimu dengan Tiong Lee Cin-jin?” tanya ketua Kun-lun-pai itu dengan heran.

Biauw In Suthai tetap menundukkan mukanya dan menjawab dengan lirih. “Tiong Lee .... Bu Tiong Lee....
dialah laki-laki terakhir dalam hidupku, dialah yang mengobarkan sakit hatiku terhadap tiga orang
suamiku yang terdahulu seperti yang pernah kucerltakan kepada suheng....”

“Siancai....! Jadl Tlong Lee Cin-jin di waktu beliau masih muda itukah pria yang pernah membuat engkau
jatuh cinta, kemudian engkau kecewa dan patah hati karena dia tidak membalas cintamu, bahkan
meninggalkanmu begitu saja? Biauw In, Biauw In! Sungguh engkau telah tersesat jauh. Bagaimana
mungkin engkau dapat mengharapkan seorang pemuda arif bijaksana sepertl Tiong Lee Cin -lin untuk
jatuh cinta padamu? Beliau adafah seorang yang menyerahkan seluruh kehidupannya untuk

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 129

mengembangkan pelajaran tentang agama, tentang rohaniah, dan beliau adalah seorang manusia yang
telah mampu menundukkan semua nafsu daya rendah dalam dirinya. Jadi, engkau ingin murid -muridmu
dapat membunuh Souw Thian Liong karena dia itu murid Tiong Lee Cin-jin, untuk melampiaskan sakit
hati dan kekecewaanmu?”

“Maafkan aku, suheng. Sesungguhnya, bukan itu satu-satunya tujuanku. Andaikata pemuda itu
menerima dan mau menJadi suami KlmLan, berartl aku ber-besan murid dengan Tiong ! Lee Cin-jin dan
Kun-lun-pal menjadi bertambah kuat karena mendapat tambaha'n tlmu mela-lui suami Kim Lan,j Akan
tetapi pemuda itu menolak sehingga Kim Lan pergi hendak mencari dan membunuhnya, dan Ai Yin ikut
sucinya untuk membantu.”

“Hemm, dorongan nafsu dendam kebencianmu telah membuat engkau men-jadi seorang wanita yang
tidak berperasaan dan tidak berperikemanusiaan lagi, membuat engkau tega untuk mengorban -kan
murid-murid sendiri, tega pula un-tuk menyuruh murid-muridmu membunuh orang-orang tidak
berdosa. Sekarang nafsu jahatmu telah terlaksana, engkau membuat murid-muridmu bermusuhan
dengan murid Tiong Lee Cin-jin. Seharusnya engkau merasa puas dan setan dalam dirimu bersorak-sorai
kegirangan, mengapa engkau malah menjadi sedih dan menangis?”

Biauw In Suthal tidak kuat bertahan lagi. la turun dari atas batu dan menja-tuhkan diri berlutut di depan
batu yang diduduki Kui Beng Thaisu sambil menangis. Kini tangisnya adalah tangis aseli, tangis wajar
seorang wanita tua yang merasa sedih dan penuh penyesalan diri, terisak-isak dan alr mata bercucuran
darl kedua matanya, mengallr di sepanjang pipinya yang pucat. Seolah-olah bendungan yang dibentuk
oleh kekerasan hatl se-jak bertahun-tahun dan menjadi bepdung-an baja yang amat kuat itu tiba-tiba
pe-cah dan wanita itu menangis sampai se-senggukan. Beberapa lamanya Kui Beng Taisu hanya
memandang sambil mengelus jeriggotnya yang putih panjang, meng-angguk-angguk sendiri karena
diam-diam dia maklum bahwa akhirnya dia berhasil mencairkan hati yang mengeras seperti baja itu. Dia
maklum bahwa tangislah merupakan obat yang amat manjur bagi penyakit yang diderita sumoi -nya itu.
Kalau tidak dapat menangis, terdapat ancaman bahaya besar bagi kesehatan wanita itu. Kehancuran
perasaan sehe-bat itu dapat membuat ia jatuh sakit berat atau bahkan mendatangkan gun-cangan dan
tekanan batin yang dapat membuat ia menjadi gila.

Blauw In Suthal sepuasnya menumpah-kan semua penyesalan dan kesedihan hatlnya mclalul tanglsnya.
Satelah hatlnya terasa rlngan dan tangianyra meredo, la. mengusap mukanya yang basah Itu de ngan
ujung lengan bajunya yang sudah basah pula, kemudian ia berkata llrih.

“Suheng, anipunkan aku, suheng....”

“Engkau tahu, sumoi bahwa engkau tidak bersalah kepadaku. Engkau bersalah kepada Thian (Tuhan)
dan kepadanyalah engkau harus minta ampun. Akan tetapl minta ampun saja tidak ada gunanya, sumoi.
Permohonan arnpun kepada Tuhan haruslah disertai pertaubatan dan taubat yang sesungguhnya bukan
hanya timbul dalam hati dan pikiran, bukan hanya terucapkan oleh mulut, melainkan harus dibuktikan
dalam tindakan, dalam perbu-atan. Hati dan pikiranmu haruslah dicucl bersih dari dendam saklt hati itu
dan pertaubatanmu harus terbukti dengan tidak mengulangi lagi plkiran dan perbuatan yang telah
kaulakukan itu. Inipun belum cukup. Kesadaranmu dan penyesalang hati mu harus dibuktikan dengan
relanya engkau menerlma hukuman atas segala kesalahanmu Itu dalam bentuk keprihatinan. Kalau
tidak, maka semua penyesalanmu itu tidak ada gunanya karena akar kebencian masih tetap hidup daiarn
batinmu dan sewaktu-waktu dapat menumbuhkan tunas baru.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 130

“Aku mengerti, suheng, dan aku siap menerima hukuman apapun yang suhertg berikan kepadaku.”

“Bagus kalau begitu. Mulai hari ini engkau harus tinggal dalam pondok peng-asingan selama tiga tahun!”

Biauw In Suthai menundukkan muka-nya. “Aku menerima hukuman itu dengari rela, suheng.”

“Sukurlah kalau begitu. Nah» pergilah ke pondok pengasingan' kita dan sampai gbertemu kembali tiga
tahun kemudian.”

Biauw In Suthai memberi hormat lalu berjalan pergi mendaki puncak sambil iinenundukkan m ukanya.
Tentu saja ia mengenal pondok pengasingan itu. Merupakan sebuah pondok terpencil agak jauh di
belakang kompleks bangunan Kun-lun-pai, sebuah pondok sederhana dan kosong di mana seorang
murid yang terhukum harus melewatkan hari-harinya dengan berprihatin dan bersamadhi, tldak
diperkenankan meninggalkan pondok yang sunyi itu sebelum masa huk'umannya ha-bis. Menyepi
sendiri dan untuk makanan-nya yang sederhana, setiap pagi seorang murid bertingkat paling rendah
mengantarkan makanan itu dan menaruhnya di depan pintu.

Kui Beng Thaisu merigikuti bayangan sumoinya dengan pandang mata, kemu-dian dia mengelus
jenggotnya dan menghela napas panjang.

“Sian-cai...., semoga Thian menolongnya dan membebaskannya dari tekanan nafsu kebencian.”

Thian Liong tiba di daerah Pegunungan Bu-tong-san. Karena senja telah tiba, ketika dia memasuki
sebuah dusun yang cukup besar dan di sltu terdapat sebuah rumah pengihapan sederhana, dia
memasuki rumah penginapan merangkap rumah makan Itu. Tadinya dia mengira bahwa tempat Itu
hanya merupakan rumah ma kan dan dia hanya ingin makan dan bertanya-tanya di mana dia bisa
mendapat-kan tempat untuk bermalam. Pelayan yang menyambutnya tersenyum mendengar
pertanyaannya.

“Tuan mencari tempat untuk menginap? Di sinilah tempatnya. Kami mem-punyai beberapa buah kamar
yang kartii sewakan kepada para tamu dari luar dusun. Selain di sini tidak ada tempat lain yang
menyewakan kamar!”
Thian Liong menjadi girang. Dia tidak jadi memcuri makanan karena hendak mandi lebih dulu, dan dia
minta diantar ke sebuah kamar yang akan disewanya untuk malam itu. Ternyata kamar itu walaupun
kecil namun, bersih dan tempat tidurnya yang sederhana Juga cukup bersih. Ada pula karriar mandi di
situ dan Thian Liong segera mandi dan ber-ganti pakaian bersih. Dia bersiap-siap untuk keluar dari
kamar menuju ke rumah makan yang berada di ruangan depan. Dia harus membawa kantung uang emas
dan pedangnya, karena kalau ditinggalkan di dalam kamar, ada kemungkinan barang-barang berharga
itu akan dicuri orang. Dia mengikatkan pedang di belakang punggungnya dan mengikatkan kantung
emas di pinggangnya, meninggalkan buntalan pakaiannya dl atas meja dalam kamar. Pada saat itu dia
mendengar suara merdu wanita di luar kamarnya, bicara dengan suara pelayan yang telah menerimanya
tadi.

Berdebar rasa jantung Thian Liong. Segera dla teringat akan gadis yang dijumpainya di Kun -lun-san
dahulu Itu, maka cepat dia membuka daun pintu kamarnya dan melangkah keluar. Hampir saja dia
bertabrakan dengan seorang gadis berpakaian serba hljau. Namun dengan gerakan ringan dan gesit
sekall gadis Itu inengelak dan mencondongkan tubuh ke klri sehlngga tidak terjadl tabrakan. Thian Llong
menclum bau harum bunga mawar ketlka gadls Itu membuat gerakan menghindar.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 131

“Ah, maafkan aku, nona!” katanya dan dia melihat bahwa gadls ini bukan gadis yang dljumpalnya dl Kun-
lun-san dahulu itu. Memang keduanya sebaya, kurang lebih delapan belas tahun, sama-sama cantik
jelita, wajahnya agak bulat, me-miliki daya tarik yang kuat, terutam.a sekali sepasang matanya yang
indah dengan kerling tajam memikat dan bibirnya yang menggairahkan dengan senyumnya yang
semanis madu.

Gadis itu memandang wajah Thian Liong yang tampan dan ia tersenyum. Manis sekali! Thian Liong
memandang, dalam hatinya merasa kagum dan juga heran bagaimana dalam sebuah dusun di kaki
pegunungan itu dia dapat bertemu dengan seorang gadis seperti itu. Jelas bukan seorang gadis dusun
yang sederhana. Rambut yang hitam lebat itu digelung indah ke atas dan dihias setangkai bunga mawar
merah. Kalung, anting-anting dan gelang emas bertabur permata meng-hias tubuhnya yang padat
langsing. Di punggungnya, di bawah sebuah buntalan pakaian dari kain kuning, tampak ga-gang
sepasang pedang.

“Tidak mengapa,” kata gadis itu dengan suara merdu dan senyumnya meng-hias bibir yang merah
basah, “masih un-, tung kita tidak bertabrakan!”

“Maafkan,” kata lagi Thian Liong dan dia melanjutkan langkahnya menuju ke depan. Dia mendengar
pelayan itu berkata kepada gadis tadi.

“Inilah kamar nona,” kata pelayan itu.

“Sunyi benar rumah penginapan ini” kata gadis itu.

“Hari ini memang sepi, nona. Tamunya hanya nona dan tuan tadi, yang hampir bertabrakan dengan
nona. Biasanya ramai, sampai sepuluh buah karnar kami penuh semua.”

“Sudah, tinggalkanlah aku.”

“Baik, nona. Kalau nona hendak makan, silakan pergi ke rumah makan kami, di bagian depan bangunan
ini.” kata pelayan itu yang segera pergi.

Thian Liong tidak memperdulikan mereka lagi dan memasuki rumah makan sederhana itu. Dia duduk
menghadapi meja dan memesan nasi dan dua macam masakan sayur dan daging ayam. Untuk
mlnumnya dia memesan alr teh.

Ketika dia duduk termenung menanti datangnya makanan yang dipesannya, ti -ba-tiba terdengar suara
merdu di belakangnya. “Wah, agaknya tamunya hanya klta berdua! Bagaimana kalau aku juga makan di
meja ini? Agar ada teman bercakap-cakap.”

Thian Liong menoleh dan bangkit ber-dlri ketika melihat bahwa yang bicara adalah gadis tadi.
Buntalannya sudah ti-ak ada, tentu ditinggalkan di dalam kamar seperti yang dia lakukan. Siang-kiam
(sepasang pedang) itu kini tergantung di pungungnya dan di pinggangnya tergantung beberapa buah
kantung kain. Pakaiannya yang serba hijau itu bersih dan terbuat dari sutera yang halus. Bunga mawar
merah di rambutnya ,serasi sekali dengan pakaiannya yang hijau.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 132

Thian Liong tercengang keheranan mendengar gadis itu ingin duduk semeja dengan nya untuk makan
dan bercakap-cakap. Darl sikap yang berani dan tidak malu-malu ini dia dapat mengambil kesimpulan
bahwa gadis ini seorang gadis yang biasa melakukan perjalanan di dunia per-silatan dan seorang gadis
yang sikapnya terbuka dan tidak terikat oleh segala macam peraturan dan peradatan.

“Oh, silakan, nona. Silakan!”

Gadis itu tampak gembira sekali dan ia lalu menarik sebuah kursi dan duduk berhadapan dengan Thian
Liong, terha-lang meja yang tldak berapa besar se” hingga mereka saling berhadapan dalam jarak dekat,
hanya satu meter lebih. Berdebar juga rasa jantung dalam dada Thian Liong. Gadis itu demikian dekat
dengannya dan kembali hidungnya tnenang-kap keharuman bunga mawar. Bagaima-na mungkin
setangkai bunga mawar yang menghias kepala gadis itu dapat mena-burkan keharuman demikian
semerbak? Gadis itu menggapaikan tangan memang-gil pelayan yapg segera datang meng-hampiri.

“Aku memesan makanan yang sama dengan yang dipesan tuan ini. Dan ja-ngan lupa, sediakan seguci
kecil anggur yang paling baik.”

Pelayan itu mengangguk dan pergi meninggalkan mereka. “Akan tetapi aku hanya memesan minuman
air teh, nona.”

Gadis itu mengerling dengan matanya yang indah. Kerling tajam memikat disertai senyum manis, alisnya
bergerak tanda heran. “Akan tetapi mengapa? Hawanya begini dingin, sebaiknya minum arak atau
anggur yang dapat mengha-ngatkan badan.”

“Aku.... aku tidak pernah minum arak.”

Sepasang alis itu kini bergerak naik bersama kedua matanya yang terbelalak lebar. “Sungguh aneh! Baru
sekarang aku mendengar seorang laki-laki tidak pernah minum arak! Padahal melihat engkau membawa
sebatang pedang di punggungmu, mestinya engkau seorang kang-ouw (dunia persilatan) yang tidak
asing dengan arak atau anggur.”

Thian Liong tersenyum. “Arak dapat membuat orang mabok dan mabok membuat orang kehilangan akal
dan pertimbangan sehingga dia dapat melakukan hal-hal yang tidak baik.”

“Hi-hi-hik!” Gadis itu tertawa, tawanya lepas sehlngga kedua biblr Itu merekah, tampaklah deretan gigi
yang rapl dan putih bersih. “Orang minum arak harus dapat menyesuaikan dengan kekuatan minumnya
sehingga tidak dapat sampai mabok; Aku sendiri selama hidupku bekum pernah mabok, beberapa
banyakpun anggur atau arak yang kuminum!”

“Silakan nona kalau hendak minum anggur, bagiku cukup air teh hangat saja!” kata Thian Liong yang
tidak ingin mencela kebiasaan minum arak gadis itu.

Beberapa lamanya mereka hanya duduk, menanti datangnya makanan yang dlpesan, tidak bicara
apapun, Gadis itu mengamati wajah Thian Liong dengan penuh perhatian. la melakukan itu tanpa pura-
pura dan dengan terang-terangan. Dl lain pihak, Thian Liong yang tahu bahwa gadis itu memandangnya
penuh perhatian, menjadi salah tlngkah. Dia selalu mengelak untuk beradu pandang dan diam-diam dia
memperhatikan bajunya, apakah ada yang tidak beres dengan pakaiannya. Dia merasa rikuh, canggung

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 133

dan tidak enak diamati seperti itu. Maka, dla menghela napas lega ketika pelayan datang membawa
pesanan nasi dan masakan untuk mereka.

Melihat bahwa yang dipesan pemuda Itu hanyalah nasi dan dua macam masakan sayur dan daging
ayam, gadis itu mengerutkan alisnya.

“Hanya ini?” .tegurnya kepada pelayan.

“Itulah yang dipesan oleh tuan Inl, nona.” kata pelayan.

“Hayo cepat tambah masakan Ikan sirip kuning saus tomat, goreng burung dara, udang masak jamur,
kepiting goreng telur. Cepat, berapapun akan kubayar!”

Pelayan Itu memandang bodoh. ““Wah, pesanan nona terlalu mewah. Mana di dusun ada udang dah
keplting? Ikan slrlp kunlngpun tidak ada, yang ada hanya ikan lee-hl biasa. Burung dara juga tldak ada,
adanya ayam atau bebek.”

“Wah, brengsek! Ya sudah, cepat sediakan segala macam masakan yang ada di sini! Ikan lee -hi, ayam
dan bebek, apa saja. Cepat!”

“Baik, nona.” Pelayan itu cepat mengundurkan dirl untuk menyampaikan pesan itu kepada tukang
masak.

Melihat semua itu, Thian Liong tersenyum, kemudian berkata, “Mari, nona, Silakan makan, selagi
sayurnya masih panas.”

“Ya, akan tetapi makannya perlahan-lahan saja sambil menunggu masakan lain yang kupesan.”

“Bagiku ini saja sudah cukup.” katag Thian Liong sambil mengambil sepasang sumpit bambu yang
disediakan di atas meja. Gadis itupun memilih sepasang sumpit dengan hati -hati, mencari yang bersih,
kemudian dia berkata.

“Tapi aku sudah memesan masakan-masakan laln untuk kita berdua!”

Thlan Llong tldak menjawab, akan tetapl diam-diam dla merasa tldak enak juga kalau tldak ikut makan
begltu banyak maaakan yang telah dipesan oleh gadis itu. Agar jangan mengecewakan hati gadis itu
yang agaknya hendak menjamunya, diapun makan perlahan dan sedikit-sedikit untuk menanti masakan-
masakan baru yang dipesan. Gadis itu minum anggur dengan lahap, menuangkan anggur ke dalam
cawannya dan minum minuman keras itu seperti minum air saja. Beberapa kali ia menawarkan kepada
Thian Liong, namun pemuda itu selalu menolak. dengan lembut dan mengucapkan terima kasih. Bau
anggur yang harum sedap itu memang merangsang seleranya, akan tetapi dla tidak mau mencoba-coba.
Gurunya, Tiong Lee Cln-jin, pernah mengatakan bahwa minuman keras itu amat berbahaya karena dapat
membuat orang ketagihan dan menjadi pemabok. Seolah dapat mendengar suara hatinya, tiba-tiba
gadls itu berkata.

“Anggur inl merupakan minuman yang menyehatkan, asal saja peminumnya mengenal batas
kekuatannya. Kalau melampauhi batas kekuatannya, memang dapat menjadi racun. Bahkan semua obat

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 134

yang menyembuhkan sekallpun, kalau terlalu banyak dimlnum dapat menjadl racun yang
membahayakan kesehatan!”

Masakan-masakan yang dipesan diantar datang dan gadis itu mempersilakan Thian Liong makan
masakan baru itu. Setelah menghabiskan setengah guci anggur gadis itu menjadi semakin akrab dan
hangat,

la kembali niinum anggur dari cawannya sambil menatap wajah pemuda yang duduk di depannya.
Kemudian ia berkata setelah mengusap bibirnya dengan sehelai saputangan.

“Sungguh aneh sekali keadaan kita berdua ini. Tinggal di bawah satu atap, bahkan makan bersama di
satu meja, dan kita belum mengenal nama masing-masing! Bukankah ini aneh sekali? Kalau ada orang
melihat kita dan mendengar bahwa kita tidak saling mengenal, pasti dia tidak percaya!”

Thian Liong menghablskan makanan terakhir dalam mulutnya lalu minum air tehnya dan mengusap
bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Dla maklum akan apa yang terkandung dalam ucapan gadis itu,
maka dia lalu memperkenalkan namanya.

“Namaku Souw Thian Liong, seorang yatlm piatu yang sedang mengembara.”

“Souw Thian Liong? Namamu gagah sekall, segagah orangnya! Engkau tentu lebih tua beberapa tahun
dari aku, maka aku akan menyebutmu Llong-ko (ka-kak Liong). Engkau tidak berkeberatan, bukan?”

Thian Liong tersenyum. “tentu saja tldak.”

“Engkau datang darl mana, Liong-ko? Dl mana tempat tlnggalmu dan kalau engkau yatlm piatu, siapa
saja keluargamu? Engkau sudah berkeluarga beristeri dan mempunyal anak, bukan? Dan sekarang
hendak pergi ke mana?”

Dlberondong pertanyaan itu, Thlan Llong tersenyum. Gadis ini lincah, mengingatkan dia akan gadis yang
dijumpatnya di Kun-lun-san. Akan tetapi gadis berpa” kaian serba merah muda itu galaknya bukan alang
kepalang, sedangkan gadis berpakaian serba hijau dengan setangkai bunga mawar di kepalanya inl
tampaknya leblh ramah dan tldak galak.

“Wah, harus satu demi satu aku menjawab hujan pertanyaanmu itu. Tentang keluarga, aku sudah tidak
mempunyai sanak keluarga lagi. Aku hldup sebatang kara, tentu saja belum mempunyai isteri atau anak.
Tempat tlnggalku? Aku tidak mempunyal tempat tinggal yang tetap. Dunta inl tempat tlnggalku, langit
atap rumahku dan bumi lantalnya! Darl mana aku datang dan ke mana hendak pergi? Yah, katakanlah
datang dari belakang dan hendak pergi ke depan.”

“Hl-hlk engkau lucu, Llong-ko! Burung mempunyal sarang, ular mempunyal lubang, harlmau mempunyal
guha, semua mahluk memlllkl tempat tinggal. Maaa engkau aeorang manusia tidak? Dan hari inl engkau
berada dl kaki pegunungan Bu-tong-aan, tentu mempunyai tuuan hendak ke mana?”

Thian Liong terlngat akan gadis yang dia duga telah mengambil kitab pusaka milik Kun-lun-pal. Dia harus
berhati-hati. Dia belum mengenal siapa sebenarnya gadls ini. Siapa tahu diam-diam gadis ini berniat
untuk merampas dua buah kitab yang masih berada dalam kantung emas yang tergantung di
pinggangnya. Maka dia tidak menjawab dan mengalihkan perhatian.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 135

“Ah, engkau tidak adil, nona. Engkau telah menghujaniku dengan pertanyaan dan aku memperkenalkan
diriku. Akan tetapi engkau belum memperkenalkan dirimu sehingga namamupun aku belum tahu.”

“Hemm, engkau ingin mengenal nama-ku? Aku bernama Thio Siang In dan karena aku menyebutmu
Liong-ko, maka engkau boleh menyebutku In-moi (adik ln).”

“Thio Siang In? Wah, namamu indah, seindah.... orangnya!” Thian Liong sengaja membalas, untuk
menyenangkan hati gadis itu dan untuk menyimpangkan per” hatian agar gadis itu tidak banyak ber-
tanya tentang dirinya.

Gadis itu tersenyum dan matanya yang indah mengerling tajam. “Ah, kiranya engkau seorang yang
pandai pula merayu, Liong-ko.”

“Tidak, In-moi. Aku hanya bicara sejujurnya. Lalu, di mana tempat tinggalmu dan siapa keluargamu?
Ceritakanlah selengkapnya tentang dirimu.”

“Engkau benar hendak mendengar dan mengetahuinya?”

“Benar-benar, In-moi. Bukankah kita telah berkenalan dan menjadi sahabat?”

“Baiklah. Aku berusla delapan belas tahun.... dan engkau ...”

“Aku berusia dua puluh tahun.” sambung Thian Liong.

“Tepat seperti dugaanku. Engkau tentu leblh tua dariku. Aku tinggal di sebuah dusun di Sln-klang.
Bersama Ibu kandungku, seorang puterl Kepala Suku Ul -gur. Ayahku.... ayahku.... entahlah, kata Ibu
ayahku telah lama pergi ketika aku masih dalam kandungan.... ah, heran sekali!” Tlba-tiba gadls Itu
bangkit berdiri dan memandang kepada Thlan Liong dengan mata terbelalak.

“He, kenapa?” Thian Llong bertanya heran.

“Heran sekall! Kenapa beginl aneh? Ibu memesan agar aku merahasiakan tentang ayahku, akan tetapi
tiba-tiba saja aku menceritakannyai kepadamu!”

“Kalau tidak kauceritakan juga tidak mengapa. Bagaimanapun juga, aku tidak suka mendengar seorang
suami meninggalkan isterinya begitu saja selagi anak-nya berada dalam kandungan!”

“Tidak! Engkau salah sangka! Ayah kandungku itu pergi karena dia terpaksa. Menurut cerita ibuku, kalau
ayahku tidak pergi melarikan diri, dia dan ibuku tentu akan mati.”

“Eh! Kenapa begitu?”

Siang In menghela napas panjang dan 'memandang wajah Thian Liong dengan heran. “Sungguh mati, tak
tahu aku mengapa aku harus menceritakan semua rahasia ini kepadamu yang baru saja kukenal? Liong-
ko, tak perlu kau tahu segalanya, cukup kalau kau ketahul bahwa ibuku adalah seorang puteri bangsa
Ulgur den ayahku seorang Han. Nah, aku tlnggal dengan Ibuku dan aku menjadi murid dari paman tua
(uwa), kakak ibu sendirl. Akan tetapi biarpun aku maslh mempunyai seorang ibu pada saat inl aku juga

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 136

sebatang kara karena aku sudah pergi merantau meninggalkan kampung halam-an di Sin-kiang setahun
yang lalu. Jadi, kita ini ada persamaan, sama-sama perantau, beratap langit berlantai bumi.” Gadi ini
tertawa lepas dan mau tidak mau Thian Liong ikut pula tertawa karena tawa yang wajar terbuka dan
mengandung getaran gembira seperti itu amat menular!

Tiba-tiba ada sinar menyambar ke arah mereka. Thian Liong dapat melihat dengan jelas bahwa benda
berkilat itu meluncur dan menyambar ke arah meja di depan mereka. Dia yakin benar bahwa benda
yang ternyata sebatang hui-to (pisau terbang) kecil itu tidak mengarah tubuh mereka, melainkan
menuju ke arah meja. Akan tetapi Thio Slang In sudah menggunakan sepasang sumpit di tangan
kanannya untuk menjepit pisau terbang itu! Gerakannya demikian cepat sehingga Thian Liong merasa
kagum bukan main. Gadis peranakan Uigur ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan
memiliki tenaga dalam yang amat kuat. Kalau tidak demikian, tidak munglkin ia mampu menangkap
pisau terbang itu hanya dengan jepitan sepasang sumpitnya.

Dengan tenang Siang In mengambil sehelai kertas yang tertancap pisau itu, lalu melempar pisau itu
dengan gerakan tangan kiri ke atas. Matanya hanya mengerling sebentar ketika ia menggerakkan tangan
kiri.

“Wuuuttt.... capppp!” Pisau kecil itu terbang meluncur ke atas dan menancap di tiang kayu, tepat
mengenai perut sebuah cecak yang sedang merayap di Uang itu. Tubuh cecak itu terpaku pada tiang!

Thian Liong memejamkan matanya, merasa ngeri melihat perut cecak itu tertusuk pisau dan terpantek
pada tiang. Walaupun yang terbunuh itu hanya seekor cecak, namun dia merasa ngeri dan betapa
kejamnya gadis cantik ini mem-bunuh seekor cecak yang tidak bersalah apa-apa.

Ketika Thian Liong membuka mata-nya memandang kepada Siang In gadis itu tampak terseyuffl
Jnepgejek dan melempapkan kertas itu ke atas meja.

'Hemm, orang-orang Bu-tong-pai som-bong! Dikiranya aku gentar menghadapi Thai-kek Sin-kiam
mereka?” Ketika ia melihat Thian Liong memandang ke arah kertas di atas meja itu, Siang In berkata.
“Bacalah, tidak ada rahasia. Bahkan kalau engkau mau, engkau boleh ikut dan menjadi saksiku.”

Biarpun kejadian itu amat menarik hati Thian Liong, dia tidak akan berani membaca surat yang dikirim
secara isti-mewa itu, tidak mau mencampuri urus-an prbadi orang kalau saJ'a gadis itu ti-dak
menyuruhnya membaca. Dia mengam-bil kertas putih itu dan membaca tulisan yang bergaya gagah itu.
Dia dapat men-duga bahwa penulis surat itu sengaja memamerkan tenaga dalamnya melalui tulisannya
sehingga gaya tulisannya amat kuat, coretan-coretan itu tajam dan run-cing sehingga tarnpak indah dan
gagah.

Ang-hwa Sian-li, kami tidak ingln membuat keributan di tempat umum. Kalau engkau berani, datanglah
besok pagi-pagi di hutan cemara sebelah utara dusun ini dan kita mengadu kepandaian. Kalau engkau
tidak datang, berarti engkau hanya seorang pengecut!

Bu-tong-pai

Setelah membaca surat itu, Thian Liong memandang wajah Slang !n dan bertanya, “In-moi, siapakah itu
Ang-hwa Sian-li?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 137

Siang In tersenyum dan tnenggunakan tangan kirinya untuk menyentuh bunga mawar merah di
kepalanya. Thian Liong memandang ke arah bunga itu dan mengertilah dia mengapa Siang In
mempunyai julukan Ang-hwa Sian-li (Dewl Bunga Merah). Memang gadis itu cantik jelita seperti gambar
dewi dan agaknya selalu menghias rambutnya dengan se-tangkai bunga mawar merah.

“Akulah yang dimaksudkan. Karena aku Jarang memperkenalkan namaku yang sesungguhnya, dan
selama inl baru kepadamulah aku memberltahukan namaku, maka orang-orang yang pernah berurusan
denganku menyebutku Ang-hwa Sian-li.”

Thian Liong mengambil kesimpulan. “In-moi, kalau orang-orang menyebutmu Dewi Bunga Merah, hal itu
tentu karena engkau telah melakukan perbuatan-perbuatan yang baik untuk menolong orang. Sebutan
Dewi itu merupakan pujian. Ka-lau orang suka melakukan kejahatan, tentu akan diberi julukan Iblis atau
Silu-man.”

Gadis itu tersenyum. “Terima kasih kalau engkau berpendapat begitu, Liong-ko. Aku tidak tahu apakah
aku ini jahat atau baik. Yang jelas, kalau ada orang lemah tertindas membutuhkan pertolongan, tentu
aku akan menolongnya. Sebaliknya kalau ada orang mengandalkan ke -kuatannya untuk menindas orang
lain, pasti aku akan menentangnya dan tidak akan segan untuk membunuh dan inem-basmi mereka!”

Thian Liong dapat menduga bahwa Ang-hwa Sian-li ini tentulah seorarig ga-dis yang berwatak pendekar.
“Akan tetapi, tnengapa pihak Bu-tong-pai meniusuhi dan menantangmu? Menurut apa yang kudengar,
Bu-tong-pai adalah perguruan silat kaum pendekar. Padahal engkau sendiri, menurut perkiraanku,
adalah seorang pendekar wanita.”

“Aku tidak tahu apakah aku ini seorang pendekar atau bukan dan akupun tidak perduli apakah Bu -tong-
pai itu perguruan silat kaum pendekar atau bukan Akan tetapi yang kutahu, ada orang-orang Bu-tong-
pai yang sombong dan karenanya aku menentang mereka. Setelah aku mengalahkan mereka, agaknya
mereka merasa penasaran dan mengirim surat tantangan ini. Huh, tak tahu malu!” Gadis itu mengambil
cawannya yang diisli penuh anggur lalu meminumnya.

Thian Liong berpikir sejenak. Memang, tidak semua pendekar bersikap baik. Tentu ada pula yang kasar
dan ada pula yang tinggl hatl dan sombong. Dia ter-Ingat akan slkap Biauw In Suthai, tokoh Kun-lun-pai
itu. Kun-lun-pal, seperti juga Bu-tong-pai, dikenal sebagai sebuah perguruan silat kaum pendekar Karena
itu mungkin, maka gurunya mau bersusah payah mendapatkan kembali kitab-kitab mereka dan
mengembalikannya ke-pada mereka. Ternyata Biauw In Suthai juga tidak bersikap baik, melainkan ga-lak
dan angkuh bukan main.

“In-moi, maukah engkau menceritakan kepadaku sebab-sebab pertentangan itu? Apakah yang telah
terjadi?”

Gadis itu meletakkan cawan yang te-lah kosong ke atas meja. Kedua pipinya kemerahan, tanda bahwa
minuman itu telah mulai mempengaruhinya. “Sungguh aku merasa heran sekali, mengapa terhadapmu
aku seakan tidak dapat meraha-siakan sesuatu. Aku bahkan ingin menceritakan segalanya kepadamu.
Terjadinya siang tadi di sebuah lereng.” Siang In lalu menceritakan pengalamannya.

Pada siang hari itu Thio Siang In yang melakukan perjalanan perantauan-nya dari Sin-kiang menuju ke
timur, tiba di luar sebuah dusun di sebuah lereng pegunungan Bu-tong-san, Telah setahun lebih ia
meninggalkan rumah ibunya di Sin-kiang untuk merantau dan di sepanjang jalan ia selalu membela yang

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 138

lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang. Karena kelihaiannya, sepak terjangnya
menggegerkan dunia kang-ouw di sebelah barat dan segera orang-orang yang tidak pernah mendengar
ia memperkenalkan nama, memberi julukan Ang-hwa Sian-li kepadanya kare-na gadis jelita dan gagah
perkasa ini selalu memakai setangkai bunga merah pa-da rambutnya. Setelah mendengar julukan ini,
Siang In menerimanya, bahkan ia lalu memperkenalkan dirl kalau hal ini diperlukan, sebagai Ang-hwa
Sian-li!

Selagi ia berjalan santai di lereng itu, dan tiba di luar sebuah dusun, ia melihat seorang laki -laki berusia
sekitar empat puluh tahun, berlutut dan me-nangis minta-minta ampun kepada dua orang pemuda yang
berusia kurang leblh dua puluh lima tahun dan tampak gagah perkasa.

“Ampun, tai-hlap (pendekar besar).... Ampunkan saya....! Semua ini saya laku-kan karena terpaksa....
saya harus membeayai, anak yang sedang sakit parah....”

“Alasan! Dasar pencuri hina!” bentak seorang di antara dua pemuda itu yang bertubuh tinggi besar, lalu
sekali kakinya menendang, orang yang berlutut itu terpental dan bergulingan.

“Aduh”“ ampun....,- biarlah saya kem-ballkan semua ini....” Orang itu mengeluarkan beberapa buah
benda terbuat da-n perak, yaitu cawan piring dan alat-alat sembahyang. “Saya kembalikan semua inidan
ampunilah saya....” kembali orang itu berlutut, merintih dan mulutnya mengeluarkan darah.

Pemuda ke dua yang tubuhnya tinggi kurus melangkah maju menghampiri. Pencuri busuk! Tidak
mengenal budi! betelah bertahun-tahun kami beri makan dan upah, masih juga mencuri dan mencoba
minggat! Orang seperti engkau ini harus dihajar!” Dia sudah mengangkat tangan kanannya untuk
memukul.

Siarig In yang melihat semua ini mem-bentak nyaring, “Tahan! Jangan pukull”

Pemuda tinggi kurus itu menahan pukulannya dan memutar tubuhnya. Demi -kian pula pemuda tinggi
besar itu juga menoleh. Keduanya memandang dan ter-cengang melihat seorang gadis cantik sekali
berdiri di situ. Siang In adalah seorang gadis yang cantik jelita, maka ti -dak aneh kedua orang pemuda itu
terpe-sona dan sikap mereka berubah sama se-kali. Kalau tadi mereka kelihatan galak, kini keduanya
tersenyum dan menghampiri Siang In.

Siang In memandang kepada dua o-rang pemuda yang menghampirinya itu dengan alis berkerut. Setelah
dua orang itu berhadapan dengannya, Siang In menegur dengan ketus.

“Lagak kalian ini seperti orang-orang gagah, membawa pedang dan berpakaian seperti pendekar! Akan
tetapi yang kuli-hat ternyata kalian hanya orang-orang yang suka mempergunakan kekuatan un-tuk
menindas dan menghina yang lemah!”

Pemuda tinggi besar itu segera meng-angkat kedua tangan depan dada memberi hormat, diturut oleh
pemuda tinggi kurus. “Maaf, nona. Agaknya engkau salah paham. Kami berdua adalah pendekar-
pendekar yang selalu menentang penjahat. Orang ini adalah seorang maling jahat, seorang yang tidak
mengenal budi. Selama beberapa tahun dia menjadi tukang kebun perguruan kami, diberi upah dan
makan, akan tetapi apa yang dia lakukan? Dia minggat dan membawa lari alat-alat sembahyajng yang
terbuat dari perak. Karena itu, kami menghajarnya!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 139

Siang In mencibirkan bibirnya yang merah. “Huh, pendekar macam apa itu? Memukuli orang yang
lemah! Aku mendengar sendiri bahwa dia melakukan pencurian itu karena terpaksa, karena ingin
membeayai pengobatan anaknya yang sakit. Sepantasnya sebagai pendekar, kalian menolongnya, bukan
memukulinya. Tak tahu malu!”

“Nona!” Pemuda tinggi kurus memprotes. “Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai'“

“Aku tidak perduli kalian Inl murld-murid Bu-tong-pai atau murid perguruan apapun juga. Kalau jahat
dan sewenang-wenang tentu akan kutentang!”

“Nona, dia itu pencuri! Apa engkau hendak membela pencuri?” tanya yang tinggi besar, mulai m arah.
Kehormatannya tersinggung karena gadis itu tidak menghargai Bu-tong-pai dan kekagumannya akan
kecantikan gadis itu mulai memudar, terusir oleh kemarahan.

“Bagiku dia orang lemah tertindas dan kaiian orang-orang kuat yang sewenang-wenangl Aku pasti
membelanya dan menentang kalian!”

“Nona, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami murid-murid Bu-tong-pai?” bentak yang
tmggi kurus.

Siang In terseyum mengejek. “Orang menyebutku Ang-hwa Sian-li, dan kalian cepatlah pergi dari sini,
tinggalkan orang itu kalau kalian tidak ingin kuhajar!”

“Engkau gadis usil, suka mencampuri urusan orang lain dan sombong! Kalau aku memukuli pencuri itu,
engkau mau apa?” bentak pula si tinggi kurus dan dia sudah melompat ke depan dan tal! ngannya
terayun memukul ke arah tukang kebun itu.

“Dukk!” Lengannya tertangkis oleh lengan Siang In. Lengan yang mungil berkulit halus dari gadis itu
ternyata mengandung tenaga sinkang kuat sehlngga pemuda tinggi kurus merasa tulang lengannya
seperti patah dan terasa nyeri sekali. Dia menj'adi marah.

“Berani engkau melawan aku'?” “Kenapa tidak?” Siang In mengejek.

“Biar ada sepuluh orang macaniengkau, aku tidak akan takut!”

“Kami orang-orang Bu-tong-pai bukan pengecut yang suka main keroyok! Sambut seranganku!” Pemuda
tinggi kurus itu membentak dan dia menyerang dengan dahsyat, kedua tangannya bergerak hampir
berbareng, susul menyusul, yang klri menyambar ke pelipis kanan Siang In dan yang kanan menonjok ke
arah perutnya! Serangan ini dahsyat sekali, datangnya cepat dan mendatangkan angin pukulan kuat.

Namun Siang In tenang saja menghadapi serangan dua tangan lawan itu. Dengan tangan kirinya dia
menangkis tonjokan ke arah perutnya, dan tangan kanannya menyambar ke atas dengan jari terbuka,
menyambut tangan kiri pemuda Itu dengan tebasan dari bawah ke arah pergelangan tangan. Pemuda itu
terkejut sekali. Tangan kanannya yang menonjok ke perut kembali bertemu lengan yang terasa keras
seperti baja, dan kini lengan kirinya yang menyerang pelipis bahkar terancam tebasan tangan lawan.
Cepat dia menarik kembali tangan kirinya dan kaki kanarinya menendang. Kaki itu dengan kecepatan
kilat mencuat ke arah dada Siang In. Gadis itu miringkan lalu memutar tubuh dan ketika kaki menyambar
lewat, didorongnya tunut kaki itu dengan tangan kirinya. Demikian kuat do-rongan itu sehingga pemuda

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 140

itu tidak mampu menahan. dirlnya. Terbawa oleh tenaga tendangannya sendlri ditambah tenaga
dorongan Siang In, tubuhnya melayang ke depan. Untung dia masih dapat melakukan gerakan pok -sai
(salto) sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting. Setelah dua kali lengannya tertangkis sehingga terasa
nyeri sekali dar hamplr saja tadl dla roboh terbanting, pemuda tlnggl kurus itu mulai. terbuka matanya
bahwa gadis cantlk Itu llhal bukan main. Temannya, pemuda tinggi besar, agaknya juga dapat melihat
hal ini maka diapun melompat ke depan dana berseru kepada pemuda tinggi kurus.

“Sute (adik seperguruan), mundurlah dan biar aku yang menghadapi perempuan sombong ini!” Melihat
suhengnya maju, pemuda tinggi kurus lalu melangkah mundur.

Si Pemuda tlnggl besar melangkah maju dan mencabut pedangnya. Tampak sinar berkilat ketika pedang
dicabut dan pemuda tlnggi besar itu berkata, “Nona, suteku telah kalah bertanding tangan kosong
denganmu. Sekarang aku menantangmu untuk mengadu ilmu pedang, tentu saja kalau engkau berani.”

Siang In mencibirkan bibirnya. “Bocah Bu-tong-pai sombongl Aku pernah mendengar bahwa Bu-tong-pal
terkenal dengan ilmu pedangnya Thal-kek Sin kiam! Akan tetapi aku tidak takut'“ Setelah berkata
demikian, dua tangan gadis Itu bergerak ke arah belakang punggung dan tampak dua sinar pedang
berkelebat ketika la sudah mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di punggungnya, tertindih
buntalan pakaian. Sepasang pedang itu kecil dan panjang, tampak ringan sekali, akan tetapi ketika
dicabutnya terdengar bunyi berdesing nyaring.

Mellhat gadis Itu sudah siap dengan siang-kiam (sepasang pedang) di kedua tangannya, pemuda tlnggl
besar itu membentak, “Sambut pedangku!” dan dia sudah menyerang dengan cepat dan dahsyat, Slang
In menangkis pedang yang menyambar ke arah lehernya itu.

“Crlnggg....!” Tampak bunga api berpijar dan pemuda itu segera memutar pedangnya untuk mendesak
lawan dengan serangkaian serangannya, pedang dl tangannya berubah menjadl slnar bergulung gulung.
Akan tetapl dengan tenang sekali Siang In menyambut serangan Itu dengan gerakan kedua pedangnya
yang membentuk dua lingkaran sinar yang dapat menghadang dan menangkis semua serangan lawan.
Gadis itu telah memainkan Toat-beng Siang-kiam (Pedang Pasangan Pencabut Nyawa) yang amat hebat.
Dari dua lingkaran sinar kuning itu terkadang tampak sinar kilat mencuat dan menyambar-nyambar.
Melihat ini, pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main dan sebentar saja, dalam belasan jurus
kemudlan, dia telah terdesak hebat sehlngga kini hanya dapat memutar pedang melindungl dlrlnya dan
tldak mampu balas menyerang.

“Haiiiittt....!l” Tiba-tiba gadis membentak, dua lingkaran slnar pedangnya itu membuat gerakan
mengguntlng.
“Tranggg.... trakkkl” Pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main karena pedangnya telah digunting oleh
sepasang pedang lawan dan patah menjadi dua potong! Sebelum hilang rasa kagetnya, kaki Siang In
mencuat dan menendang dadanya.

“Dess...l” Tubuh pemuda tinggi besar itu terjengkang roboh!

Sutenya segera membantunya untuk bangkit berdirl dan mereka memandang gadls itu dengan sinar
mata marah dan penasaran. Siang In mencibirkan blbirnya dan sekall dua tangannya bergerak ke
belakang punggung, sepasang pedangnya sudah tersimpan kemball.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 141

“Hemm, sepertl itu sajakah Thal-kek Sin-kiam yang digembar-gemborkan oleh Bu-tong-pai?” ia
mengejek.

“Ang-hwa Sian-li! Tingkat kami masih terlampau rendah untuk mempelajari Thai-kek Sin-kiam. Tunggu
sajalah. Sekali Thai-kek Sin-kiam dimainkan, engkau akan dihajar dan semua kesombonganmu akan
terhapus!” Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu menarik tangan sutenya dan diajak pergl.

Laki-lakl yang tadl dihajar dua orang murld Bu-tong-pai itu lalu menghamplrl Siang In dan memberl
hormat. “Terima kaslh atas pertolongan Lihlap. Nama Ang-hwa Sian-Li takkan saya lupakan selamanya.
Akan tetapi saya memang bersalah, Lihiap (pendekar wanita). Saya kinl menyadarl bahwa sebetulnya
saya tldak perlu mencurl. Kalau saya berterus terang mlnta bantuan, tentu para plmpinan Bu-tong-pai
akan menolong saya. Saya harus mengembalikan semua Ini kepada BU-tong-pai!” Setelah berkata
demikian, orang itu membungkus kembali barang-barang itu dalam kain dan hendak pergi meninggalkan
Siang In.

“Tunggu dulu, paman!”' Siang In ambil sepotong emas dari kantung uangnya dan memberikan kepada
orang itu.

“Ini, pergunakan emas ini untuk membiayai pengobatan anakmu.”

Orang itu menerima pemberian itu dengan terharu dan berulang kall dia memberl hormat dan
membungkuk-bung-kuk. “Terima kasih, lihiap, terima kasih.” Lalu dla pergl untuk mengembalikan
barang-barang yang dicurinya itu kepada Bu-tong-pai.

Siang In menghentikan ceritanya dan mlnum anggur terakhir darl gucinya yang kinl telah kosong.
“Demlklanlah, Liong-ko. Aku melanjutkan perjalanan dan tiba di dusun ini , kebetulan bertemu
denganmu dan tadl tentu mereka yang melontarkan surat dengan pisau Itu.”

Sejak tadi Thian Llong mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia dapat menarlk kesimpulan
bahwa dua orang rnurid Bu-tong-pai itu bukan orang-orang jahat, hanya sikap mereka terhadap tukang
kebun yang mencuri benda-benda perak itu terlalu keras. Dia khawatir kalau kesalah-pahaman inl
menjadi permusuhan yang meruncing, maka dia lalu berkata, “In-moi, kukira semua itu hanya
merupakan kesalah-pahaman saja. Sikap dua orang murid Bu-tong-pai itu memang terlalu keras dan
mereka patut ditegur. Akan tetapi urusan sekecil itu tldak semestlnya kalau dijadikan sebab permusuhan
antara engkau dengan mereka. Kebetulan sekali akupun ada urusan untuk menemul para plmplnan Bu -
tong-pai, maka biarlah besok pagl aku menemanimu dan aku akan menjadi penengah untuk
mendamaikan kallan.”

“Akan tetapi aku ditantang, Liong-ko, dan aku tldak takut melawan mereka!” kata Slang In penasaran.
“Kalau engkau mendamaikan kaml, jangan-jangan mereka menglra bahwa aku takut!”

Thlan Liong tersenyum. “Tldak, In-moi. Aku tldak akan mendatangkan kesan seolah-olah engkau takut.”

“Sudahlah, kita llhat saja besok. Aku Ingln berlstlrahat, ingin mandl yang segar kemudian tidur yang
nyenyak, tldak memikirkan apa-apa lagi. Soal besok bagalmana besok sajalah. la menggapal pelayan.

“In-mol, blarkan aku yang membayarnya.” kata Thian Liong.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 142

“Ah, aku tahu bahwa engkau mempunyal banyak emas dalam kantungmu itu, Llong-ko. Akan tetapi
masakan ini sebagian besar aku yang memakan, maka harus aku yang membayarnya.”

Pelayan datang. Siang In membayar harga makanan dan mlnuman, lalu mereka masuk ke dalam dan
menuju ke kamar masing-masing. Thian Liong duduk dalam kamarnya dan termenung. Dalam waktu
singkat, secara berturut-turut dia bertemu dengan wanita-wanita yang terlibat urusan dengan dirinya.
Baru saja tamat belajar dan turun gunung melaksanakan tugas yang diberikan gurunya, dia mengalami
hal-hal aneh dan serius dengan tiga orang wanita! Pertama, dengan gadis berpakalan merah muda di
kaki Pegunungan Kun-lun-san itu, gadis yang dta hampir yakin tentu yang telah mengambil kitab Ngo-
heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya dia serahkah kepada pimpinan Kun-lun-pai. Gadis yang tldak
dia ketahui namanya, namun yang harus dia cari untuk minta kembali kitab itu sebagai pertanggungan
jawabnya terhadap Kun-lun-pai. Kemudian, pertemuannya dengan Biauw In Suthai yang kemudian
melibatkan diri gadis ke dua, Kim Lan, dengannya karena oleh pendeta wanita itu, Kim Lan diharuskan
menjadi isterinya dan kalau dia menolak, gadis itu harus membunuhnya! Dan ketiga, pertemuannya
dengan Thio Siang In yang berjuluk Ang-hwa Sian-li ini. Pertemuan inl agaknya Juga melibatkan dlrlnya
karena gadis itu hendak bertandlng dengan pihak Bu-tong-pal dan dia tldak mungkin tinggal diam saja!
Alangkah anehnya semua pengalaman Itu.

Malam Itu Thian Llong hanya duduk borsamadhi. Dengan demlkian, sungguh pun tubuhnya mengaso
seluruhnya, namun kesadaran dan kewaspadaannya selalu siap. Dia khawatir kalau-kalau terjadl sesuatu
yang tidak baik atas dlrl gadls yang tidur dl kamar sebelah.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi Thian Liong sudah membuka pintu kamarnya. Dia melihat Siang In
sudah bangun. Ketika dia keluar dari kamar, dia mehhat gadis itu duduk di atas bangku depan kamar dan
ternyata gadis itu sudah tampak segar. Sudah mandi dan bertukar pakaian, rambutnya disisir rapi dan
setangkai bunga mawar merah segar menghias rambutnya. Bunga itu baru mekar setengahnya dan
masih segar sekali, tampaknya baru saja dipetiknya.

la mengangguk dan tersenyum kepadanya. “Baru bangun, Liong-ko? Cepatlah mandi, aku menantimu
untuk sarapan pagi. Aku sudah memesan kepada pelayan agar dipersiapkan bubur ayam panas dan
lezat!”

Diam-diam Thian Llong merasa kagum. Gadis itu sama sekali tidak tampak tegang, bahkan santai saja
seperti orang menghadapi hari yang penuh suka cita, Padahal ia menghadapi tantangan yang berat dari
Bu-tong-pai! Dla mengangguk lalu pergi ke kamar mandi membawa pakaian pehgganti.

Tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk santai di dalam ruangan depan.” yang biasanya
dipergunakan untuk nnpah makan. Akan tetapi hari masih terlalu pagi. Ruangan itu bahkan bagian
depannya masih ditutup dan belum ada yang bekerja. Hanya rnereka berdua ,yang duduk di situ dan
pelayan tua yang tadi terpaksa memasakkan bubur ayam berada di dapur setelah menghidangkan ma-
kanan itu di atas meja mereka. Mereka berdua makan tanpa banyak cakap.

Sehabis makan, baru Siang In berkata. “Nah, sekarang aku berangkat. Apakah engkau jadi ikut?”
Pertanyaannya datar saja, seolah tidak ada bedanya baginya apakah Thian Liong hendak menemaninya
ataukah tidak,

“Tentu saja aku ikut karena tanpa ada urusanmupun pagi ini aku harus berkunjung ke Bu -tong-pai untuk
sebuah urusan penting.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 143

“Urusan penting?” Siang In mengamatl wajah pemuda itu penuh selldik. Ketika pandang matanya
bertemu dengan sinar mata Thian Liong, ia berkata, “Sudahlahl Kalau itu merupakan rahasia tidak perlu
diberitahukan kepadaku. Mari kita berangkat!”

Seperti halnya Siang Iri, Thian Llong juga membawa semua barangnya, dimasukkan dalam buntalan
pakaian lalu menggendongnya dan kembali gadis itu memaksa untuk membayar harga bubur dan sewa
kamar mereka. Thian Liong tidak dapat membantah. Mereka lalu meninggalkan dusun itu, menuju ke
Bukit Cemara yahg sudah tampak dari luar dusun itu, di sebelah utara, Di bukit itu tampak sebuah hutan
cemara yang sunyi. Bukit itu sudah termasuk daerah Bu-tong-pai.

Baru saja kedua orang muda itu memasuki hutan cemara, tampak dua orang pemuda, seorang tinggi
besar dan seorang lagi tinggi kurus, sudah berada di situ. Melihat dua orang pemuda itu, Siang In cepat
menghampiri dan setelah ia berdlri di depan mereka, ia tertawa mengejek

“Kallan berdua masih berani muncul? Apakah kalian yang hendak maju menandinigi aku, dan sekarang
kalian hendak maju mengeroyokku? Hemm, kalian berdua belajarlah dengan tekun selama sepuluh
tahun lagi baru agak pantas untuk menandingiku!” Thian Liong mengerutkan alisnya. Siang In terlalu
memandang rendah dua orang pemuda itu dan sikap seperti itu amat tidak baik.

Pemuda tinggi besar itu menjawab dengan ketus. “Perempuan sombong! Kami bukan golongan
pengecut yang suka main keroyok! Engkau kemarin memandang rendah ilmu pedang Thai -kek Sin-kiam
dari perguruan kami. Sekarang kami mendatangkan orang yang telah mem-pelajari ilmu pedang itu
untuk menghadapimu.” Pemuda Itu lalu memutar tubuhnya dan berseru nyaring. “Supek (uwa guru)!
Harap supek datang ke sinl. Gadis sombong itu telah datang!”

Tiba-tiba tampak bayangan putlh berkelebat dan tahu-tahu di sltu telah berdiri seorang laki-laki berusia
kurang leblh enam puluh tahun. Alis, kumis dan jenggotnya yang panjang masih hitam, akan tetapi
rambut di kepalanya sudah putih semua! Pakalannya darl kain katun sederhana seperti pakaian pertapa.
Di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce kuning. Melihat cara orang ini muncul,
Thian Liong maklum bahwa, dia memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi dan tentu orang
ini lihai sekali. Tubuhnya sedang namun tegap dan wajah yang berbentuk pe rsegi dengan jenggot
panjang itu juga tampak berwibawa. Akan tetapi Siang In tetap tersenyum dan memandang ringan.

“Apakah nona yang berjuluk Ang-hwa Slan-li dan yang memandang rendah ilmu pedang Thal-kek Sln-
klam kaml?” Orang berambut dan berpakalan serba putih itu bertanya, sikapnya tenang dan agaknya dia
seorang penyabar.

“Benar, akulah yang disebut Ang-hwa Slan-11. Dan engkau inl slapakah? Apakah engkau ketua Bu-tong-
pai dan siapa namamu?” tanya Siang In, slkapnya blasa saja seolah ia berhadapan dan b icara dengan
.orang seusia dan setingkat dengan nya.

“Locianpwe, saya Thian Liong hendak menjadi penengah dan mendamalkan.

“Liong-ko! Biarkan aku menyelesaikan dulu urusanku dan jangan engkau mencampuri. Setelah aku
aelesai, baru engkau boleh berurusan dengan mereka!” Siang In berseru keras sehingga kata-kata Thian
Liong terpotong.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 144

“Siancai, nona yang berwatak keras!” kata tokoh Bu-tong-pai itu dengan senyum sabar. “Aku bukan
Ketua Bu-tong-pai, aku hanyalah pembantunya yang nomor tiga saja dan aku hanya ingat nama
julukanku, yaitu Pek Mau San-jin (Orang Gunung Berambut Putih). Aku baru berhasil menguasai ilmu
pedang Thai-kek Sin-kiam sepertiga baglan saja, akan tetapi aku ingin mencoba kehebatan Sepasang
pedangmu yang menurut murid keponakanku ini hebat sekali.” Setelah berkata demikian, Pek Mau San-
jin mencabut pedang beronce merah dari punggungnya. Slnar berkilat ketika pedarig itu tercabut. Dia
berdiri tegak dan pedang itu dipegang oleh tangan kirinya, gagang di bawah dan ujung pedang
menempel pundak kirinya. Kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas berbareng menurunkan
kedua tangan kakl kiri melangkah ke depan, pedang di tangan kiri tetap di bawah lengan, telunjuk dan
jari tangan kanan menunjuk ke depan. Inilah gerakan pembukaan yang dinamakan Sian-jin Ci-lu (Dewa
Menunjuk Jalan) kemudian dia melangkah dengan kaki kanan ke depan memutar tubuh ke kanan
pienghadapi Siarig In, kedua lengan dikembangkan lalu kaki kilri ditekuk berlutut, kedua tangan tetap
dikembangkan.

“Ang-hwa Sian-Li, aku sudah, silap menandingi ilmu sepasang pedangmut” kata Pek Mau San-jin tenang.

Melihat pembukaan yang sederhana ini, Siang ln tersenyum mengejek. Kedua tangannya meraih ke
belakang dan tampak dua sinar kllat ketlka siang-kiam (sepasang pedang) itu telah berada dl kedua
tangannya. la memasang kuda-kuda yang kokoh, kedua kaki menyilang, pedang kiri diangkat ke atas
belakang kepala, pedang kanan mellntang depan dada. Slkapnya gagah dan indah.

Akupun telah siap. Perlihatkan ilmu pedangmu, Pek Mau San jlnl” Slang In menantang,

“Engkau adalah tamu. Persilakan menyerang leblh dulu!” kata Pek Mau San-lin, kini bergerak berdiri,
kedua tangan bertemu di depan leher dan gagang pedang itu dari tangan kiri sudah berpindah ke tangan
kanan. Thian Liong memperhatikan semua gerakan tosu itu dan dia merasa kagum. Biarpun gerakan
pembukaan tadi hanya sederhana, namun gerakan itu dennkian lembut dan lentur, sambung
menyambung seperti gelombang lautan, isi mengisi dan dia tahu bahwa dl dalam kelembutan itu
terkandung kekuatan yang amat dahsyat! Dia mengkhawatirkan Siang In. Sekali ini, gadis ini benar-benar
berhadapan dengan seorang ahli silat tingkat tinggi dan yang paling berbahaya adalah bahwa agaknya
gadis itu tidak mengetahui akan hal itu sehingga memandang ringan. Diapun membayangkan ilmu
pedang yang hebat itu. Kalau tosu yang baru memiliki sepertiga bagian saja sudah mampu bergerak
seperti itu, apalagi yang telah menguasai sepenuhnya!

“Baiklah! Sambut serangan pedangku!” Siang In membentak dan sepasang pedangnya berubah menjadi
dua gulungan sinar yang menyambar-nyambar.

Serangan gadis itu memang hebat dan hal ini sudah diduga sejak semula oleh Thian Liong. Gadis itu
agaknya telah digembleng oleh seorang guru yang sakti. Akan tetapi yang membuat dia heran, kagum
dan terkejut adalah ketika melihat sambutan tosu itu atas semua serangan gadis itu. Tosu itu bergerak
begitu lembut bahkan tampak lambat, matanya seperti setengah terpejam, namun gerakan pedangnya
itu mendatangkan hawa dahsyat dan kuat sehingga semua serangan sepasang pedang Si ang In selalu
tertangkis dan terpental. Dia melihat betapa gerakan seluruh tubuh tosu itu seperti otomatis, seperti
tidak dikendalikan lagi oleh pikiran, seolah-olah seluruh bagian tubuhnya menjadi peka sekali seperti
memillki mata di mana-mana. Gerakan-nyapun sambung-menyambung dengan lembut dan lenturnya.
seperti orang menari saja, menari di angkasa, di antara awan. tampaknya sama sekali tidak
mempergunakan tenaga kasar. Seolah-olah -gerakan tubuh tosu itu digerakkan oleh tenaga yang amat
lembut namun amat dahsyat. Dan diapun mengerti! Tosu itu seperti bersilat dalam keadaan samadhi,

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 145

atau bersamadhi dalam silat! Hati akal pikiran tidak berulah dan gerakannya dipimpln oleh kekuasaan
gaib, seperti kalau dia berada dalam puncak penyerahannya kepada Tuhan, seperti yang diajarkan oleh
Tiong Lee Cin-jin! Ilmu yang amat hebat, pikirnya.

Thian Liong mengikuti seiriua gerakan perkelahian itu dengan seksama. Pertandingan yang hebat dan
seru. Gadis itupun ternyata seorang yang memillkl llmu pedang pasangan yang lihai sekall, berbahaya
dan ganas sehingga setlap sambaran pedangnya merupakan cengkeraman maut. Dan tosu Itu ternyata
tidak berbohong ketlka mengatakan bahwa dia hanya menguasai sepertlga saja darl ilmu pedang Thai -
kek Sin-kiam. Jurusnya tidak banyak dan diulang-ulam, akan tetapi anehnya, dengan jurus yang tidak
banyak itu dia sudah mampu menahan semua serangan Siang In. Dan karena gerakannya seperti
gelombang lautan, begitu lentur lembut dan otomatis seolah tidak mengeluarkan tenaga, setelah lewat
lima puluh jurus, Siang In mulai berkeringat dan lelah, sebaliknya lawannya yang jauh lebih tua itu masih
bergerak dengan tenang seperti pada permulaannya.

Tahulah Thian Liong bahwa kalau pertandingan itu dilanjutkan, akhirnya Siang In tentu akan kalah. Dia
lapat membayangkan betapa marah dan penasaran hati gadis yang keras ini kajau sampai kalah.
Mungkin ia akan menjadi nekat dan mengadu nyawa!

Tiba-tlba Slang In yang mulai kelelahan itu mengebutkan sehelai saputangan merah yang tergantung dl
gagang pedangnya dan slnar-sinar kecil hitam meluncur ke arah lawannya. Thian Mong yang sejak tadi
memperhatikan pertandingan itu, terkejut dan cepat dia menggerakkan tangannya mendorong ke arah
sinar-sinar hitam itu.

Pek Mau San-jin juga terkejut dan dia sudah secara otomatis merribuang diri ke belakang. Narnun, dia
akan tetap menjadi korban jarum beracun kalau saja tidak ada sambaran angin yang kuat dari samping
yang meruntuhkan semua jarum halus itu. Thian Liong yang telah menyelamatkan tOsu itu segera
melompat di tengah, antara niereka dan berseru nyaring dan penuh wibawa, “Tahan, hentikan
perkelahian!”

Dalam suara Thian Liong terkandung wibawa yang amat kuat sehinga Siang In yang biasanya keras hati
dan tidak dapat menurut kemauan sembarang orang itu, entah bagaimana, menghentikan gerakannya
dan bahkan mundur lima langkah ke belakang. Demikian pula, Pek Mau San-jin yang maklum bahwa
hampir saja dia menjadi korban senjata rahasia, melompat ke belakang.

Thian Liong menghampiri dan berhadapan dengan Pek Mau San-jin, lalu memberl hormat dan berkata,
“Totiang (bapak pendeta), apa gunanya semua pertikaian ini? Saya klra di antara Bu-tong-pai dan Ang-
hwa Sian-li hanya terdapat kesalah-pahaman belaka.”

Pek Mau San-jin mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu penuh selidik. Dia tidak mcngenal
pemuda itu dan tidak tahu apakah pemuda itu kawan atau lawan. Karena pemuda itu muncul bersama
Ang-hwa Sian-li, maka dia tentu saja menaruh curiga.

“Orang muda, siapakah engkau dan mengapa mencampuri urusan kami dan Ang-hwa Sian-li?”

“Saya bernama Souw Thian Liong dan saya diutus suhu untuk menghadap Ketua Bu -tong-pai untuk
urusan yang amat penting.”

“Siapa gurumu yang mengutusmu kesini?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 146

Biarpun dl situ ada Siang In, terpaksa dia memperkenalkan gurunya.

“Suhu adalah Tiong Lee Cln-jin....”

“Wah, Liong-ko! Suhumu Tiong Lee Cin-jin yang amat terkenal itu? Kenapa tldak kau katakan
kepadaku?” seru Siang In dengan heran. Dalarn perantauannya yang baru setahun itu, sejak dari Sin -
kiang, ia sudah mendengar banyak tentang Tlong Lee Cin-jin yang disebut-sebut sebagai seorang yang
sakti dan bijaksana, bahkan ada yang mengatakan bahwa dia adalah seorang manusia dewa!

Juga Pek Mau San-jin terbelalak. “Murid Tiong Lee Cin-jin? Ah, kalau begitu kata-katamu patut didengar,
Souw-sicu. Akan tetapi engkau tadi mengatakan bahwa antara kami dan Ang-hwa Slan-li hanya terjadi
kesalah-pahaman. Kami tidak menganggapnya demikian karena gadis ini telah memandang rendah ilmu
pedang Thai-kek Sin-kiam kami.”

“Siapa bilang aku memandang rendah? Mellhatpun baru sekarang ketika engkau memalnkannya.
Bagaimana aku bisa memandang rendah ilmu pedang yang belum pernah kulihat? Setelah kulihat tadi,
biarpun engkau baru menguasai sepertiganya, harus kuakui bahwa Thai -kek Sin-kiam memang hebat
seperti yang pernah kudengar.” kata Siang In. Pek Mau San-jin menoleh ke arah dua orang murid
keponakannya yang berdiri sambil menundukkan muka mereka. Kemudian dia memandang kepada
Siang In dan berkata, “Akan tetapi engkau telah rnenantang Bu-tong-pai untuk mengadu ilmu pedang!”

Siang In melangkah maju mendekat dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Pek Mau San-jin. “Hei,
Pek San-jin, jangan engkau sembarangan menuduh tanpa bukti. Itu namanya fitnah, tahu?”

Thian Liong berkata kepada tosu itu. “Ang-hwa Sian-li berkata benar, totiang. la tidak menantang,
melainkan dltantang. Inllah buktinya.” Setelah berkata demikian, Thlan Llong mengeluarkan pisau
terbang dan surat tantangan Itu, diberikan kepada Pek Mau San-jin. Siang In sendiri memandang heran,
tldak tahu bahwa pemuda itu ternyata telah mengambil surat dan pisau yang sudah ia buang. Pisaunya
ia lempar menancap di tiang membunuh seekor cecak dan surat itu ia buang begitu saja. Kiranya Thian
Liong mengambil dan menyimpannya, dan sekarang dapat dijadikan bukti kebenaran omongannya!

Pek Mau San-jin menerima surat dan pisau itu, alisnya berkerut dan dia lalu memutar tubuh
menghadapi dua orang murid keponakannya yang berdiri di belakangnya.

“Kalian berdua, ke sinilah dan berlutut!” perintahnya. Suaranya masih lembut akan tetapi sekarang
mengandung nada yang penuh penyesalan dan teguran. Dua orang murid itu melangkah maju dan
menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Mau San-jin, wajah mereka pucat dan mereka rnenundukkan
muka.

Pek Mau San-jin menghadapi Ang-hwa Sian-li dan Thian Liong, lalu berkata, “Maafkan pinto yang mudah
terbujuk dan salah sangka, nona. Sekarang harap ceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan dua
orang murid keponakan kaml Inl.”

Siang In tersenyum mengejek. “Cerita mereka tentu lain lagi Dengarkan baik-baik, Pek Mau San-jin.
Ketika aku sedang berjalan, aku mellhat seorang laki-laki lemah dipukuli oleh dua orang ini. Aku lalu
maju melerainya, akan tetapi mereka marah dan mengatakan aku membela pencuri. Aku bukan
membela pencuri, hanya membela orang lemah yang dipukuli orang-orang yang mengandalkan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 147

kekuatan mereka. Kami lalu bertanding dan aku mengalahkan mereka berdua. Tukang kebun yang
mencuri barang-barang perak untuk membiayai anaknya yang sakit itu menyatakan penyesalannya dan
berjanji hendak mengembalikan barang-barangnya yang dicurinya. Aku lalu pergi dan bermalaml di
dusun sebelah selatan itu. Akan tetapi malah tadi ada yang melempar pisau dan surat itu ke atas meja
makanku. Nah, itulah yang terjadi, Pek Mau San-jin.”

Pek Mau San-jin kembali menghadapi dua orang murid keponakan yang masih berlutut di depannya itu.
“Hemm, murid Bu-tong-pai rnacam apa kalian ini? Kalian bertindak kejam memukuli tukang kebun yang
terpaksa mencuri barang-barang perak itu! Tahukah kalian? sebelum aku datang ke sini, pangcu (ketua)
memberitahukan bahwa semalam tukang kebun itu datang menghadap dan mengembalikan barang-
barang yang dicurinya sambil mohon ampun! Apakah kalian dapat mengembalikan dan menebus apa
yang telah kalian lakukan kepada dia? Memukuli dan menyiksanya? Itu kesalahanmu yang pertama!”

“Ampun, supek, teecu (murid) berdua terburu nafsu, terdorong kemarahan karena dia telah melakukan
pencurian.” kata murid yang bertubuh tinggi kurus.

“Hemmm, kapan para gurumu di Bu-tong-pai mengajar kalian untuk bertindak kejam? Apa lagi terhadap
seorang pembantu yang miskin, yang terpaksa melakukan pencurian untuk membeayai pengobatan
anaknya! Dan kesalahanmu yang ke dua. Kalian melapor kepadaku bahwa Ang-hwa Sian-Li telah
menghina Bu-tohg-pal dan memandang rendah ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam, padahal ia tidak
melakukan hal itu. Kalian berani membohongiku!”

“Supek, teecu berdua melakukan itu agar supek mau membela teecu berdua dan membalas kekalahan
kami.” Kata pemuda tinggi besar.

“Huh, kalian mengaku mund Bu-tong-pai yang gagah perkasa, akan tetapi setelah kalah kalian tidak mau
secara jantan mengakui kekalahan kalian. Sebaliknya berbohong untuk memanaskan hatiku dan
sekarang kalian hanya membikin malu kepadaku! Dan yang ketiga, lebih membuat aku malu lagi. Kalian
telah mengirim tantangan kepada Ang Hwa Sian-li. akan tetapi kepadaku kalian melapor bahwa pagi ini
Ang-hwa Sian Li yang menantangku! Murid macam apa kalian ini”.

Dua orang itu sambil berlutut memberi hormat dan dengan suara berbareng mereka berkata,
“Ampunkan teecu, supek ...”.

Thian Liong berkata kepada Pek Mau San Jin, “Sudahlah, locianpwe, saya harap urusan ini dianggap tidak
ada saja. Bagaimanapun, locianpwe maupun Ang hwa Sian Li tidak terluka. Harap locianpwe
mengampuni dua orang saudara inl....”'

“Apa” Siang In membentak dengan suara nyaring. “Kesalahan mereka bertumpuk tiga lapis dan engkau
mintakan ampun? Sebagai guru yang baik, sudah sepantasnya menghukum murid-murid yang bersalah.
Kalau tidak, bagaimana sang guru aktin mempunyai wibawa terhadap murid-muridnya? Dia akan
dicemooh dan para murid akan menjadi semakin berani dan kurang ajar!”

Pek Mau bun-jin tersenyum akan tetapi kedua pipinya menjadi agak merah. Dia merasa malu sekali.
“Kalian cepat kembali dan masuklah ke ruangan hukuman menanti keputusan Pang-cu (Ketua) dan
jangan keluar dari ruangan itu sebelum diperintah!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 148

“Baik, supek.” kata dua orang pemuda itu dan mereka lalu memberi hormat, berdiri dan pergi dari situ
dengan kepala ditundukkan. Pek Mau San-jin lalu mengangkat kedua tangan depan dada, berkata
kepada Siang In.

“Ang-hwa Sian-li, engkau masih muda akan tetapi sudah memiliki kepandaian tinggi dan juga
berpemandangan jauh.

Ucapanmu tentang dua murid kami itu memang benar, dan kami minta maaf atas kesalahan mereka
terhadapmu.”

Biarpun wataknya keras dan liar, namun puteri cucu kepala Suku Uigur ini selain ilmu Silat, juga
mendapat pendidikan kebudayaan yang cukup dari ibunya. la, pandai membawa diri dan kalau orang
bersikap baik dan lembut kepadanya iapun tidak kalah lembut akan tetapi kalau ada yang mengasarinya,
ia pandal juga bermain kasar dan keras. Siang In membalas penghormatan tokoh Bu-tong-pai itu dan
berkata sambil tersenyum manis..

“Totiang terlalu memuji. Saya yang muda mendapat pelajaran dan pengalaman yang baik sekall dengan
bertanding melawan totlang. Yang bersalah sudah dihukum, itu sudah cukup bagi saya, tidak ada yang
perlu dimaafkan, totiang.”

“Akan tetapi, kaml mengundang Souw Sicu sebagal murid Tiong Lee Cin-jin untuk bertemu dengan ketua
kami, dan kami juga mengundang engkau, nona.”

“Akan tetapl, aku tidak mempunyai urusan dengan Ketua Bu-tong-pai seperti halnya saudara Souw Thian
Liong ini!” kata Siang In, dan ucapan ini hanya untuk pemanis bibir saja karena sebetulnya di dalam
hatinya ia ingin sekali ikut Thian Liong menemui ketua Bu-tong-pai untuk mengetahui keperluan apa
yarig membawa pemuda itu menemuinya. Biarpun baru menduga, Siang In yakin bahwa pemuda itu
memiliki ilmu silat yang? tinggi. Hal ini terbukti ketika pemuda itu memukul runtuh jarum -jarum
beracunnya sehingga menyelamatkan Pek Mau San-jin. Hanya orang yang memiliki sin-kang (tenaga
sakti) amat kuat saja yang mampu memukul runtuh jarum-jarumnya dari jauh, menggunakan sambaran
hawa pukulan.

“Kami sungguh mengundangmu, Ang-hwa Sian-li. Kalau ketua kami mendengar akan perbuatan tak
terpuji dari dua orang murid kami kepadamu, lalu aku tidak mengundangmu, tentu beliau akan marah
dan menegurku sebagai tidak mengenal sopan santun. Karena itu, deml menjaga agar aku tldak
mendapat teguran dari ketua kaml, kuharap engkau suka menerima undanganku untuk bersama Souw-
sicu menemui Pangcu kami.”

Siang In menoleh kepada Thian Liong dan tersenyum, seolah hendak mengatakan melalui pandang mata
dan senyumnya bahwa ia “terpaksa” ikut berkunjung ke Bu-tong-pal! “Wah, kalau begitu, baiklah,
totiang. Kalau aku tidak menerima undanganmu, berarti aku yang tidak mengenal sopan santun.”

Tosu itu tertawa dan mereka bertiga lalu berjalan mendaki lereng menuju ke sebuah puncak bukit di
maha perkampungan Bu-tong-pai berada.

Pada waktu itu. yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun yang
biasa disebut Ciang Losu. (Guru Tua Ciang). Nama lengkapnya adalah Ciang Sun dan hanya dia
seoranglah yang menguasai Thai-kek Sin-kiam sebanyak delapan bagian. Sebe-lum dia juga tidak ada

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 149

yang dapat menguasai Thai-kek Sin-kiam secara lengkap karena kitab pusaka pedang itu hilang tak tentu
rlmbanya hampir seratus tahun yang lalu. Namun akhir-akhlr ini kesehatan Ciang Losu amat mundur.
Kekuatan tubuhnya dlgerogotl usia sehingga dia lebih banyak bersamadhi dari pada melakukan kegiatan
mengurus perguruan Bu-tong-pai. Untuk itu dia menugaskan para sutenya, di antaranya Pek Mau San-jin
yang merupakan sutenya yang paling muda. Maka tidak aneh kalau Pek Mau San-jin hanya mencapai
tingkat ke tiga saja di perguruan itu.

Ketika Ciang Losu yang tua itu mendengar bahwa murid Tiong Lee Cin-jin diutus gurunya untuk
mengunjunginya, dia merasa gembira dan segera keluar menyambut. Sudah lama dia merasa kagum
sekali mendengar nama Tiong Lee Cin-jin dan biarpun yang datang sekarang hanya seorang muda, akan
tetapi karena dia menjadi murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin yang sengaja datang berkunjung, dia
merasa girang sekali.

Thian Liong dan Siang In yang mengikuti Pek Mau San-jin memasuki bangun-an induk dari
perkqinpungan Bu-tong-pai melihat munculnya seorang kakek tinggl kurus, rambut dan jenggotnya yang
panjang sudah berwarna putih seperti benang perak, pandang matanya lembut dan mulutnya terhias
senyum sabar, segera memberi hormat. Mereka menduga bahwa kakek ini tentu ketua Bu-tong-pai dan
dugaan mereka benar. Pek Mau San-jin yang tadi menyuruh seorang murid yang dijumpainya di pintu
gerbang. untuk melapor kepada Ciang Losu akan kunjungan murid Tiong Lee Cin -jin, segera
memperkenalkan.

“Toa-suheng (kakak seperguruan tertua), ini adalah sicu (orang gagah) Souw Thian Liong murid dan
utusan Tiong Lee Cin-jin, dan yang ini adalah Ang-hwa Sian-li. Souw-sicu dan Ang-hwa Sian-li, inilah
ketua Bu-tong-pai kami, suheng Ciang Losu.”

“Harap 'loclanpwe (orang tua gagah) sudi memaafkan kalau kedatangan kami mengganggu ketenangan
toclanpwe.” kata Thian Liong dengan slkap hormat.

“Sian-cai, sikap Souw-sicu saja cukup menjadi bukti betapa bijaksananya Tiong-Lee Cin-jin yang kami
hormati. Mari, orang-orang muda gagah, silakan masuk, kita bicara di dalam.” 'kata Ciang Losu dengan
wajah ceria.

Mereka berempat masuk dan duduk di ruangan dalam yang tertutup. Seorang murid menyuguhkan air
teh lalu keluar lagi.

“Nah sekarang kita dapat bicara de-ngan leluasa di sini. Ceritakanlah, apa yang membawa kalian berdua
orang-orang muda gagah datang berkunjung ke Bu-tong-pai dan menemui pinto (saya).”

“Saya tidak mempunyai keperluan apa-apa, locianpwe. Saya datang untuk memenuhi udangan Pek Mau
San-jin.” kata Siang In sambil memandang kepada pembantu ketua Bu-tong-pai itu.

Pek Mau San-jin segera menerangkan kepada suhengnya. “Suheng, Souw-sicu datang dan minta
menghadap suheng karena dia diutus oleh gurunya untuk memblcarakan sesuatu yang penting dengan
suheng. Adapun nona Ini, ada sesuatu terjadi antara Ang-hwa Sian-li ini dan dua orang murid kita yang
membuat merasa tidak enak dan mengundangnya.” Dengan singkat Pek Mau San-jin lalu menceritakan
tentang peristiwa yang di alami Siang In dan dua orang murid Bu-tong-pai yang menjadi gara-gara
bentrokan antara Pek Mau San-jin dan gadis perkasa itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 150

“Saya telah menyuruh dua orang murid itu menanti di ruangan hukuman, menanti keputusan suheng.”
Pek Mau San-jin mengakhiri ceritanya.

Ciang Losu mengangguk-angguk. Wajah yang penuh kesabaran itu sama sekali tidak memperlihatkan
kemarahan hatinya. “Anak-anak itu harus dihukum. Laksanakan hukuman itu sekarang juga, sute.
Mereka harus melakukan samadhi selama tiga bulan. hanya berhenti seharl sekali untuk makan. Dengan
demikian kita harapkan mereka akan dapat menghilangkan kekejaman dari hati mereka.

“Baik, suheng, akan saya laksanakan sekarang juga.” Pek Mau San-jin memberl hormat lalu
menlnggalkan ruangan itu.

Setelah sutenya pergi, Ciang Losu berkata kepada Slang In dan Thian Liong

“Kalian lihat, betapa sulitnya mengalahkan musuh utama dalam hidup ini. Musuh utama itu adalah
dirinya sendiri, nafsu-nafsunya sendiri. Ang-hwa Sian-li....”

“Locianpwe, nama saya adalah Thio Siang In, saya merasa malu kalau lo-cianpwe yang menyebut saya
dengan julukan kosong itu.” kata Siang In.

Ciang Losu tersenyum lebar memperlihatkan rongga mulut yang sudah tidak ada giginya lagi. “Nona Thio
Siang In, pinto lihat bahwa di balik kekerasan hatimu terdapat kerendahan hati dan kejujuran.
Maafkanlah ulah kedua orang mu-rid Bu-tong-pai kami.”

“Tidak mengapa, locianpwe. Mereka sudah dihukum dan kalau mereka dapat mengubah sikap, saya ikut
merasa girang.”

“Sekarang, pinto ingin mendengar darimu, Souw-slcu. Tiong Lee Cin-Jln mengutus engkau datang
menemul plnto, sebetulnya membawa keperluan apakah?”

“Locianpwe, saya diutus suhu untuk menyerahkan sebuah kitab kepada lecianpwe, karena menurut
suhu, kitab itu adalah hak milik Bu-tong-pal.” Setelah berkata demikian, Thian Llong menurunkan
buntalan pakalannya dari punggung dan membuka buntalan itu.

“Ah, bukan main! Tiong Lee Cin-jin menemukan kitab kami dan mengembalikan kepada kami? Sungguh
mulia, sungguh bljaksana!” kata Ciang Losu dengan wajah berseri, tampaknya gembira sekali.

Thian Liong mengambll Kitab Kiauw-ta Sin-na dari dalam buntalan. Kitab ini agak tebal dan sudah tua
sekali.

“Inilah kitab itu, locianpwe, harap sudi menerimanya.”

“Terima kasih....!” Kakek itu menerima kltab, lalu dibuka. Setelah melihat islnya, dia berkata, “Sian-cai.....
Kiranya Kitab Kiauw-ta Sin-na yang hilang lima puluh tahun yang lalu!”

“Loclanpwe telah menerima kembali kltab yang telah lama hilang, kenapa malah tampak kecewa?” tiba-
tiba Siang In bertanya.
“Eh.... ahh....? Nona Thio Siang In sungguh memiliki penglihatan yang amat tajam!” seru Clang Losu
sambil tersenyum dan memandang kagum. “Sesungguhnyalah, pinto merasa kecewa melihat bahwa

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 151

yang dikirim oleh Tiong Lee Cin-jin adalah Kitab Kiauw-ta Sin-na, bukan Kitab Thal-kek Sin-kiam yang
hilang seratus tahun yang lalu sepertl yang tadi kusangka dan harapkan.”

“Suhu pernah bercerita kepada saya, locianpwe, bahwa dalam perjalanannya, suhu jUga berusaha
mendapatkan kembali kitab pusaka milik Bu-tong-pai itu, akan tetapi menurut suhu, tidak ada
seorangpun di dunia barat yang tahu tentang Kitab Thai-kek Sin-kiam itu.” Kata Thian Liong.

“Ah, tidak mengapa, Souw-sicu. Kitab Kiauw-ta Sin-na ini juga merupakan kitab pusaka kami yang
penting. Harap sampaikan ucapan terima kasih dan seluruh anggauta dan pipipinan Bu-tong-pai.”

“Baik, locianpwe, akan saya sampaikan kepada suhu pesan locianpwe.” Kata Thian Liong.

“Bu-tong-pai tidak dapat membalas apa-apa atas kemuliaan hati dan kebijaksanaan Tiong Lee Cin-jin.
Kami hanya dapat mendoakan semoga Tiong Lee Cin jin berusia panjang dan hidup penu h kebahagiaan.”
kata pula kakek itu.

“Terima kasih, lo-cian-pwe.” Dua orang muda itu laki berpamlt dari Ketua Bu-tong-pai yang sudah tua
itu. Di pintu depan mereka disambut oleh Pek Mau San-jin yang mengantar mereka sampai keluar pintu
gerbang Bu-tong-pai. Setelah mengucapkan terima kasih atas sambutan Bu-tong-pai yang baik, Thian
Liong dan Siang In lalu meninggalkan perguruan silat yang terkenal itu dah menuruni puncak bukit.

Setelah tiba di kaki bukit, Siang In mengajak pemuda itu berhenti dan la bertanya. “Liong-ko, urusan di
Bu-tong pai sudah beres. Sekarang, engkau hendak pergi ke manakah?”

“Aku sekarang akan pergl ke Siauw-Lim-pal.” jawab Thian Liong sejujurnya.

“Wah? Bukankah kuil Siauw-Lim-pai itu jauh sekali dari sini? Mau apakah engkau pergi ke perguruan-
pergurUan silat? Tadl ke Bu-tong-pai dan sekarang hendak ke Siauw-lim-pi. Apakah juga engkau ke sana
untuk menyerahkan kitab pusaka Siauw-lim-pai?”

Thian Liong mengangguk. “Tldak salah dugaanmu, In-moi. Aku memang sedang melaksanakan perlntah
suhu untuk menyerahkan kltab-kitab pusaka kepada pemiliknya yang berhak.”

“Suhumu Tiong Lee Cin-jin ttu aneh sekali! Aku sudah mendengar bahwa dla merantau ke dunia barat
selama puluhan tahun dan berhasil mendapatkan banyak kitab penting. Kenapa sekarang k itab-kitab itu
dibagi-bagikan?”

“Bukan begitu, In-moi. Dalam perantauannya ke barat untuk memperdalam ilmu, suhu menemukan
kitab-kitab para perguruan silat yang dulu dicuri orang. Suhu berhasil merampasnya kembali dan karena
kitab-kitab itu ada yang berhak memiliki, maka suhu mengutus aku untuk mengembalikan kitab-kitab itu
kepada yang berhak. Bukankah hal itu sudah wajar dan semestinya?”

“Sama sekali tidak wajar. Kalau suhumu yang menemukan dan merampasnya kembali, semestinya kitab-
kitab itu menjadi hak milik suhumu! Enak saja para ketua perguruan silat itu menerima kembali kitab
mereka tanpa merasa bersusah payah! Ah, sudahlah, memang aku sudah mendengar bahwa Tiong Lee
Ctn-jin itu orangnya aneh luar biasa. Tapi kulihat engkau ini orang biasa saja, seperti juga aku. ngomong-
omong, berapa banyak sih kitab yang harus kau kembalikan kepada para ketua perguruan silat itu,
Liong-ko?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 152

“Hanya tiga buah kitab, In-moi. Sebuah untuk diserahkan kepada Ketua Kun-lun-pai, sebuah untuk Ketua
Bu-tong-pai dan yang sebuah lagi harus kuserahkan kepada Ketua Siauw-lim pai.”

“Hemm, baglan Bu-tong-pal gudah kauserahken. Apakah kiinb untuk Kun-lun-pal juga sudah kauberikan
kepada ketuanya?” Thian Llong menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Itulah yang
merisaukan hatiku, In-mol. Kltab untuk Kun-lun-pai Itu dicuri orang dalam perjalananku.”

“Waah...! Dicuri orang? Apa namanya kitab pusaka Kun-lun-pai itu, Liong-ko? Siapa tahu aku dapat
membantumu mencarinya.”

“Kitab itu berjudul Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat.”

“Dan siapa pencurinya?” “Itulah yang memusingkan. Pencurinya seorang gadis, aku akan dapat
mengenal wajahnya, akan tetapi sayang, aku tidak tahu namanya.”
“Hemm, bagaimana seorang gadis mampu mencuri kitab pusaka itu darimu? Coba gambarkan
bagaimana gadis itu. Siapa tahu aku akan dapat bertemu dengannya dan dapat merampas kitab yang
dicurinya itu!” kata Siang In penuh semangat.

“la masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Pakaiannya serba merah muda. la lincah
jenaka, bengal, galak dan cerdik.”

“Wajahnya, bagaimana rupanya?” '

“Hemm, wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang, kalau tertawa timbul lesung pipit di kedua
pipinya....”

“la cantik?”

“Cantik sekali, pinggangnya ramping, dagunya meruncing, kulitnya putih.......”

“Hemm, cantik mana kalaU dibandingkan....... aku?”

Thian Liong menatap wajah di depannya. “Wah..... sukar menilai, In-moi. Engkau juga cantik sekali, sukar
rnengatakan siapa di antara kalian yang lebih cantlk. Usia kalian juga sebaya dan ilmu silat kalian juga
sama lihainya.”

“Tentu Kun-lun-pai marah sekali mendengar kitab pusaka mereka dicuri orang. Apakah mereka sudah
tahu?”

“Memang mereka tadinya marah sekali. Akan tetapi akhirnya Kui Beng Thaisu, ketua Kun-lun-pai dapat
menerima kenyataan dan akupun sudah berjanji kepadanya untuk berusaha mencari dan menemukan
kembali kitab pusaka, Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu.”

“Kitab pusaka Bu-tong-pai tadi adalah Kitab Kiauw-ta Sin-na. Lalu sekarang tinggal sebuah, yaitu kitab
pusaka yang akan kauserahkan kepada Siauw-lim-pai. Apakah nama kitab itu, Liong-ko?” Sepasang mata
bintang itu memandang ke arah buntalan pakaian di punggung Thian liong.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 153

“Namanya Kitab Sam-jong Cin-keng.”

Menurut keterangan suhu, kitab ini mengandung ilmu yang diciptakan sendiri oleh Dewa Ji -lai-hud!”

“Wah, aku ingin sekali melihatnya! Liong-ko yang baik, tolong perlihatkan kitab itu padaku, sebentar
saja!” Gadis itu mendekat

“Wah, tidak boleh, In-moi!”

“Aih! Masa hanya melihat saja tidak boleh?”

“Suhu memesan agar aku jangan memberikan kitab-kitab itu kepada siapa saja kecuali kepada para
ketua yang berhak menerimanya.”

“Akan tetapl aku hanya ingin pinjam sebentar, melihat-lihat lainnya untuk menambah pengetahuan dan
pengalamanku. Sebentar saja, nantl kukemballkan,”

“Maaf, In-mol, aku tidak dapat memenuhl permlntaanmu. Suhu berpesan agar aku menjaga kitab-kitab
Itu dengan taruhan nyawaku.”

Walah gadis Itu berubah merah, matanya bersinar-sinar mengandung kemarahan. “Hemm, buktlnya
sebuah di antara tiga buah kitab itu hilang!”

“Hal itu terjadl karena aku lengah dan gadis Itu mencurlnya.”

“Benarkah? Apakah tidak karena engkau tergila-gila oleh kecantikannya dan engkau meminjamkan kltab
itu kepadanya lalu ia melarlkan diri membawa kitab itu?”

“Sama sekali tidak, In-mol. Engkau, juga cantik, akan tetapi tetap saja aku tidak berani meminjamkan
kitab ini padamu. Maafkan saja.”

“Bagaimana kalau ada orang menggunakan kekerasan untuki merampas kitab”

“Tentu saja akan kulawan dan kupertahankan.”

“Kalau begitu karena engkau tidak mau meminjamkannya, aku akan merampasnya dengan kekerasan.
Lawanlah aku!” Setelah berkata demikian, dengan cepat sekall Siang In sudah menerjang pemuda itu
dan tangan kirinya menotok ke arah dada sedangkan tangan kanahnya mencengkeram ke arah buntalan
yang tergantung di punggung Thlan Liong.

Thian Liong terkejut sekali dan cepat dia mengelak dengan loncatan ke belakang. Dia merasa kecewa
dan marah. Kenapa setiap kali bertemu dengan gadis cantik, selalu dia menghadapi kesulitan dan
persoalan? Pertama bertemu gadis Jelita berpakaian merah muda itu yang kemudian mencuri kitab
pusaka Kun-lun-,pai dari buntalan pakaiannya sehingga dia mengalami kesulitan. Kemudian dfa bertemu
dengan Kim Lan, murid Kun-lun-pai yang cantik itu, yang hendak memaksanya agar dia menjadl suami
gadis itu! Dan sekarang ini, dia menghadapi Ang-hwa Sian-Ii Thlo Siang In yang ayu manls, dan lagi-lagi
dla menghadapi kesulitan karena gadis inl hendak memaksanya meminjamkan kitab pusaka StauW-lim-
pai!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 154

“In-moi, jangan begitu! Kitab ini bukan milik klta. Kita tidak berhak......”.

“Cukup! Berikan kepadaku atau aku terpaksa akan merampasnya dengan kekerasan!”
.
“Tidak boleh, In-moi!” kata Thian Liong yang mulai merasa panas juga perutnya.

Hyaaaattt....” Slang In menerjang dengan cepat. Serangannya kuat bukan main dan kedua l engannya
dikembangkan dan menyerang secara tiba-ttba dari samping, sepertl sepasang sayap, kedua kakinya
berjingkat dan berloncatan, sepertl gerakan seekor burung. Memang gadis ini telah menyerang dengan
memainkan ilmu silat Kong-ciak Sin-kun, (Silat Sakti Burung Merak). Gerakannya indah dan aneh, akan
tetapl berbahaya sekali karena kedua tangan dan kedua kaki itu menyerang secara bergantian secara
tiba-tiba dan tak tersangka-sangka!

Thian Llong berslkap hati-hatl. Gerakan serangan gadis ini dahsyat juga walaupun ketika diam-diam dia
membandingkan, belumlah sedahsyat tingkat kepandaian gadis baju merah yang mencuri kitab pusaka
Kun-lun-pai Itu. Dia mengerahkan ilmu meringankan diri dan mengelak dari semua serangan. Tubuhnya
berkelebatan, berubah menjadi bayangan yang tidak mungkin dapat dilanda pukulan atau tendangan.
Siang In terkejut. Belum pernah la melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehebat ini. Kedua
matanya sampai menjadi kabur saking cepatnya bayangan Thian Llong bergerak.

Siang In menjadi periasaran. Tiba-tiba ia sudah mencabut saputangan merah dan sekali mengebut
dengan saputangan, belasan batang jarum kecil lembut menyambar ke arah tubuh Thlan Liong.

“Haiiit!”

“Ahhh!” Thian. Liong mendorong dengan telapak tangannya dan Jarum-jarum itupun runtuh semua.
Akan tetapi kini gadis itu telah menyerangnya dengan cepat dan sekali ini kedua tangannya melakukan
totokan-totokan ke arah jalan darah maut di seluruh tubuh Thian Liong. Itulah ilmu totok Im-yang Tiam-
hoat, yang dtpergunakan Siang In setelah Ban-tok-ciam (Jarum Selaksa Racun) yang dikebutkan dengan
saputangan merah tadi gagal.

“Hemm....!” Thian Liong menghadapi serangan baru ini dengan kagum. Gadis tni memang lihai, memiliki
beberapa macam ilmu silat yang ampuh. Akan tetapi, seperti juga jarum-jarum beracunnya, ilmu totok
inipun bersikap kejam karena setiap serangan merupakan serangan maut. Dia mengelak dan terkadang
menangkis dengan membatasi tenaganya sehingga Siang In hanya merasa betapa lengannya tergetar
hebat kalau tertangkis lengan pemuda, akan tetapi ia tidak sampai cidera patah tulang. Setelah setnua
serangannya gagal sama. sekali dan pemuda itu belum juga satu kali membalas serangahriya, tahulah
Siang In bahwa tingkat kepandaiannya kalah jauh. Semua serangannya tadi gagal dan sampai s ekilan
lamanya Thian Liong tidak pernah membalas. Hal ini berarti pemuda itu mengalah terhadapnya. Akan
tetapi ia memang keras hati, tidak mau mengaku kalah begitu saja.

“Srat-sing....!” Dua sinar berkelebat dan gadis itu sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) yang
tergantung di punggungnya. Dua batang pedang yang Berkilauan berada di kedua tangannya.

Akan tetapi ia tidak segera menyerang.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 155

“Hayo, cabut pedangmu! Hendak kulihat apakah engkau mampu menandingi sepasang pedangku!”
tantang Siang In sambil mengerutkan alisnya karena ia masih marah oleh penolakan Thian Liong yang
tldak mau meminjamkan kitab pusaka Siauw-lim-pai untuk dilihatnya.

“Sudahlah, In-moi, mengapa engkau berkeras menantangku bertanding? Kita Inl bukan musuh,
melalnkan sahabat, bukan? Aku girang dan berterilma kaslh sekall atas semua slkapmu kepadaku yang
amat balk dan bersahabat selama ini. maka, kuminta kepadamu, hentikanlah pertandlngan inl.”

“Hemm, Souw Thtan Llongl Engkau mengaku bahwa aku bersikap balk dan. bersahabat, akan te tapi
seballknya, bagaimana sikapmu? Engkau pelit dan tldak percaya kepadaku seliingga memperlihatkan
kitab pusaka itu engkau tolak? apakah artinya persahabatan bagimu?”

“In-moi, kitab ini bukan milikku dan aku harus mentaati pesan dan perintah suhu. (Bagaimana aku dapat
disebut seorang berbakti kalau aku melanggar pesan, suhu yang tidak boleh memperlihatkan kitab ini
kepada orang lain kecuali kepada Ketua Siauw-lim-pai? In-moi, maafkan aku. Engkau boleh minta yang
lain, akan tetapi jangan minta aku melanggar larangan suhu.”

“Cukup. Aku tetap ingin menguji kepandaianmu dan engkau coba bandingkan, siapa di antara aku dan
gadls yang mencurl kitab pusaka Kun-lun-pai yang lebih lihai Pergunakan pedangmu. Aku tldak sudi
bertanding dengan orang yang bertangan kosong melawan sepasang pedangkul”

Thian Liong menghela napas panjang. Gadis Inl sama keras hatinya dengan gadis baju merah yang
mencurl kltab pusaka Kun-lun-pal itu. Kalau tldak dlturutl tantangannya, la tentu akan mendesak terus.
Diapun mencabut Thian-liong-kiam dan melintangkan pedang itu di depan dadanya.

Kalau demikian kukuh kehendakmu, baiklah, In-moi. Akan kulayani permainan pedangmu.” kata Thian
Liong dengan sikap tenang.

“Lihat , seranganku. Haaaiiiit” Dua batang pedang di kedua tangan Siang In itu berubah menjadi dua
gulungan sinar yang menyambar ke arah Thian Llong. Pemuda ini cepat melangkah mundur dan
mengelebatkan pedangnya, membentuk sebuah lingkaran, sinar yang melindunginya. Dia melihat
betapa gerakan pedang di kedua tangan gadis itupun ganas sekali. Sepasang pedang itu menyambar-
nyambar bagaikan dua ekor ular cobra yang liar dan ganas. Setiap tusukan atau bacokan mengarah
bagian tubuh berbahaya sehingga setiap serangan merupakan ancaman maut bagl lawan. Inilah Toat-
beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa), ilmu pedang yang amat dahsyat dan ganas.

Akan tetapi Thian Liong menghadapi serangkaian serangan gadis itu dengan tenang. Gerakannya tenang
dan mantap dan setiap kali sinar pedangnya bertemu dengan dua gulungan sinar pedang lawan
sepasang pedang di tangan Siang In terpental. Akan tetapi hal ini bahkan membuat Siang In menjadi
semakin penasaran dan ia mengamuk terus, menyerang dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan
semua jurus ilmu pedangnya.

Seperti tadi ketika mereka bertanding dengah tangan kosong, kini Thian Liong juga selalu mengalah,
hanya mengelak dan menangkis saja. Tiga puluh jurus telah lewat dan selalu Siang In yang menyerang
sedangkan Thian Liong hanya melindungi dirinya. Hal ini membuat Siang In menjadl semakin penasaran.
la merasa dipandang rendah dan hal ini menyinggung harga dirinya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 156

“Hayo balas, pertandingan macam apa ini kalau engkau hanya mengelak dan menangkis saja?”
bentaknya dan darl suaranya terdengar bahwa ia marah dan penasaran sekali.

Thian Llong merasa serba, salah. Untuk menyerang tentu saJa dia tidak tega, akan tetapl kalau dia tldak
menyerang, dia tahu bahwa gadis Itu menjadi penasaran dan merasa dipandang rendah. “In-moi, jaga
seranganku!” Thian Liong berseru dan gulungan sinar pedangnya menjadi lebar se kali. Angin mendesir-
desir dan pedang Thian-liong-kiam, mengeluarkan suara berdesing-desing, bagaikan gelombang
samudera dalam badai menerjang ke arah Siang In. Gadis itu terkejut bukan main dan cepat Ia
mengerahkan tenaga dan memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya dari hantaman
gelombang sinar pedang yang amat dahsyat itu.

Akan tetapi begltu kedua pedangnya bertemu dengan gulungan sinar pedang yang menerjangnya,
hampir Siang In menjerit karena kedua pedangnya terasa seperti tergutung gelombang sinar, dlputar
dan dlrenggut dari kedua tanganhya, la mempertahankan dengan pengerahan tenaga, namun tetap saja
kedua pedangnya terenggut lepas dari kedua tangannya. Tentu saja ia terkejut dan cepat melompat ke
belakarig dan ia melihat Thian Llong yang memutar pedangnya itu tlba-tlba menggerakkannya ke bawah
dan....... cappp! Dua batang pedangnya meluncur dan menancap di atas tanah, dl depan kakinya!

“Ilmu silat sepasang pedangmu hebat, In-moi, membuat aku cukup kerepotan.” kata Thlan Llong
sejujurnya tanpa bermaksud mengejek karena memang dia menganggap ilmu pedang tadi berbahaya
sekali.

Akan tetapi Stang In tidak menjawab, melainkan cepat la mengambil sepasang pedangnya dengan kedua
tangan, kemudian ia meloncat dan berlari pergi meninggalkan Thlan Llong. Pemuda itu hanya dapat
mengikutl bayangan gadls Itu dengan pandang matanya dan dia mendengar isak tertahan. Gadls itu
meninggalkannya sambll menangls! Thian Liong menyimpan pedangnya dan dla berdlrl termenung. Dla
merasa heran dan tldak mengertl, Dua kall dia bertemu dangan dua orang gadis yang cantlk jelita dan
berkepandalan tinggi dan kaduanya rnemiliki watak yang aneh.

Keduanya keras hati, ganas dan kejam, akan tetapi keduanya Juga menentang kejahatan seperti
pendekar-pendekar wanita! Sungguh sukar menyelami watak kedua orang gadis itu. Akan tetapi dla-pun
harus mengakui dalam hati bahwa bflru sekarang secara berturut-turut dla rnerasa tertarik kepada
wanlta. Wajah gadis baju merah dan wajah Slang In silih berganti membayang di depan matanya. Dia
mengheia napas dan melanjut” kan perjalanannya» menuju ke Siauw-lim”

Siauw-lim-pai merupakan perguruan silat yang terkenal sekali, bukan saja sebagai sebuah perguruan
silat yang dipimpin orang-orang saktl, akan tetapi juga sebagai pusat perkembangan Agama Buddha
yang dlpimpin para hwesio (pendeta) yang beribadat. Biarpun para murld yang sudah lulus dan tldak
tinggal lagi di perumahan Siauw-llm-si (Kuil Siauw-lim) yang biasa. Itu tidak diharuskan jadi pendeta,
namun semua murid yang masih belajar ilmu silat dl Kuil Siauw-lim dlharuskan hidup sebagai murid
Buddha yang patuh dan baik. Selagi mereka belajar dalam kuil besar yang merupakann kornpleks
perumahan luas itu, para murid harus merelakan kepala mereka digunduli seperti para pendeta dan
hldup sederhana, pantang raakanan berjiwa dan minuman keras.

Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-llin-pai adalah Hui Sian Hwesio yang usianya sudah enam
puluh lima tahun. Hwesio ini bertubuh tinggi besar dan gemuk, berkulit putih dengan muka bulat dan
alisnya tebal. Sikapnya lemah lembut dan walaupun dla merupakan orang nomor satu di Slauw-Lim-pai
namun dia jarang ikut membimblng para murld dalam hal llmu sllat. Dla leblh mengutamakan pelajaran

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 157

Agama Buddha dan lebih sering duduk bersamadhi seorang dlri. Adapun yang sibuk mewakilinya
mengurus persoalan Slauw-lim-pal dan mengawasi para murid kepala adik-adik seperguruannya melatlh
llmu silat kepada para murid, adalah Cu Slan Hweslo. Dia menjadi wakll ketua dan adlk seperguruan Hul
Slan Hweslo. Cu Slan Hwealo yang berusla enam puluh tahun ini berkullt agak hitam, hldungnya
mancung dan bentuk waJahnya leblh mlr(p orang India. Memang dla merupakan seorang peranakan
India, bahkan lama dia memperdalam pengetahuan agamanya di India. Tubuhnya tinggi kurus dan
walaupun dia merupakan sute (adik seperguruan) Hut Slan Hwesto dan tingkat kepandaian silatnya
masih di bawah tingkat sang ketua, namun Cu Slan Hwesip terkenal sebagai seorang hwesio yang
tangguh dan lihai sekall ilmu sllatnya.

Pada auatu pagi, seperti blasa, sudah terjadl keslbukan dalam kompleks perumahan Slauw-llm-pal yang
luas itu. Para murld yang tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya, seJak pagi sudah mengerjakan
kewajlban masing-maslng. Mereka bekerja secara bergiliran. Yang mendapat tugas mengangkut alr darl
sumber alr ke dapur dan tempat mandi sudah bekerja keras memikul air rnenggunakan tong-tong alr.
Ada pula yang membelah batang pohon menjadi potongan kayu-kayu bakar. Ada pula yang bertugas
mencarl kayu di hutan sebelah. Ada yang bekerja di ladang di mana mereka menanam sayur-sayuran,
Ada pula yang bertugas membersihkan seluruh komplteks, ada yang menyapu, ada yang membersihkan
jendela-jendela dan pintu-pintu. Pendeknya, sejak pagi tidak ada murldnya yang menganggur. juga di
dapur terdapat keslbukan dari mereka yang bertugas memasak makanan. Ada pula rombongan yang
pagi Itu bertugas untuk mempelajari kltab-kitab agama dan menghafalkan doa-doa, dan ada pula
rombongan yang bertugas untuk berlatih silat di lian-bu-thla (ruangan berlatih silat), sebuah ruangan
yang luas di mana puluhan murld dapat berlatih secara berbareng. Dari ruangan ini terdengar suara-
suara bentakan mereka. Akan tetapl dalam ruangan laln, agak jauh darl ruangan berlatlh silat, terdapat
sebuah ruangan yang khusus untuk berlatlh samadhi dan ruangan ini tenang sekali.

Setelah matahari naik agak tlnggl, Ilma orang murld Slauw-lim-pal yang bertugas Jaga di plntu gapura
kompleks perumahan Siauw-llm-sl menerima kunjungan seorang tamu. Lima orang murld yang berusia
antara dua puluh sampal tiga puluhi tahun itu menyambut datangnya tamu tak dikenal ini dengan slkap
hormat dan ramah, sikap yang diajarkan oleh para pimpinan mereka. Orang-orang muda dengan kepala
gundul dan pakaian sederhana kini bangkit dari duduknya di dalam gardu penjagaan dan melangkah
keluar gardu menyambut tamu itu. Tamu itu adalah seorang pria berusia kurang lebih lima puluh tahun.
Tubuhnya sedang namun tampak kokoh kuat. Wajahnya. yang dihias kumls tipis Itu gagah perkasa, sinar
matanya mencorong. Pakaiannya rlngkas, sepertl yang blaaa dlpakai kaum persllatan. Sebatang padang
beronce biru tergantung dl punggunnya sehihgga mudah sekali diduga bahwa pria Itu tentulah seorang
ahll silat atau sebutan umumnya orang kang-ouw (sungal telaga) atau orang bu-lim (rimba persilatan).
Seorang murid tertua darl llma orang Itu, berusia tiga puluh tahun, cepat mengangkat kedua tangan di
depan dada sebagai penghormatan dan dia bertanya.

“Slapakah saudara yang datang berkunjung dan keperluan apakah yang membawa saudara datang ke
Siauw-Lim-Si?”

Akan tetapi pria Itu tidak membalas penghormatan murid Siauw-lim-pal itu, bahkan dia memandang
dengan alls berkerut, tanda bahwa hatinya tidak merasa senang.'

“Kalian berlima tentu murid-murid Siauw-lim-pai, benarkah?” Suaranya juga terdengar tidak ramah,
bahkan agak ketus.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 158

“Benar, kami adalah murid-murld Siauw-llm-pal.” jawab lima orang muda itu, mulal merasa penasaran
melihat sikap tamu yang tidak ramah Itu.

“Nah, cepat panggil Ketua Siauw-Lim-pai ke sini untuk menemul aku! Aku ingin bicara dengan dial”

Lima orang murld, Siauw-lim-pai Itu tentu saja mengerutkan alis dan merasa tidak senang. Tamu ini
sungguh lancang dan tidak sopanl Masa berani mengeluarkan perintah memanggil ketua mereka begitu
saja? Memangnya siapa sih dia. Akan tetapi, murld tertua mewakili teman-temannya karena dialah yang
bertugas sebagai kepala jaga. Dia masih dapat bersikap sabar.

“Sungguh tidak mudah untuk menghadap ketua kami. Seorang tamu harus memberitahu nama dan
alamat, apa keperluannya agar kami dapat melapor ke dalam, kemudian tergantung keputusan ketua
kami apakah beliau dapat menerima tamu itu menghadap atau tidak.”

“Aku bukan tamu!” Pria itu membentak marah. “Tidak perlu menghadap ketua kalian. Dialah yang harus
keluar menemui aku karena aku hendak menuntut dia! Hayo, kalian beritahukan ketua kalian agar
keluar menemui aku. Ketua kalian Hui Sian Hwesio, bukan?” Murid-murid Siauw-lim-pai itu rnulai
marah. Orang ini sudah keterlaluan.

“Tidak bisa! Kami tidak blsa memenuhi permintaanmu yang melanggar peraturan kami itu!” kata kepal a
jaga dengan suara mulai ketus.

“Kalian tidak blsa memanggil ketua kalian keluar? Kalau begitu, aku akan memanggilnya sendiri!”
Setelah berkata demikian, pria itu memasuki pintu gapura dan melangkah memasuki pekarangan kuil
yang luas itu. Akan tetapi dengan tangkas lima orang murid penjaga itu melompat dan menghadang
didepannya.

“Maaf, sobat. Sesual dengan peraturan kami, tak seorangpun orang luar boleh memasukl pekarangan
sebelum memperoleh persetujuan. Dan kaml tldak dapat menyetujui engkau menyelinap masuk begltu
saja tanpa memperkenalkan dlrl dan tanpa memberi tahu keperluanmu!”

“Hemm, kalian berani melarangku? Coba hendak kulihat bagaimana kalian dapat menghalangiku. Murld
Slauw-llm-pai sekarang memang sudah menjadi orang-orang jahat yang patut dihajar!” Setelah berkata
demlkian, orang itu melangkah maju terus tanpa menghiraukan mereka berlima yang menghadangnya.

Tentu saja lima orang murid Siauw-lim-pai itu menjadi marah sekali, Mereka menggerakkan tangan
untuk mencegah dan menangkap orang yang tidak tahu aturan itu. Akan tetapi orang itu menggerakkan
kaki tangannya dengan cepat dan.... lima orang murid Siauw-llm-pal itu berpelantingan roboh ke kanan
kiri, Cepat sekall gerakan kaki tangan orang Itu yang sudah membagi -bagi tamparan dan tendangan
sehingga tidak dapat dihindarkan oleh lima orang murid Slauw-lim-pai itu. Setelah merobohkan lima
orang murid Slanw-llm-pal, dia melangkah terus menuju ke anak tangga yang merupakan bagian
terdepan dari kuil besar.

Setelah tlba dl bawah kuil, dia berhenti dan mendengar teriakan-teriakan para murid yang tadl
dirobohkan. Dia tidak perduli berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangannya bertolak
plnggang dan dia berteriak. Suaranya terdengar nyaring sekali karena dla mengerahkan khi -kang yang
membuat| suaranya melengklng.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 159

“Hui Sian Hwesio, keluarlah untuk berbicara!!”

Keadaan menjadl gempar, Para murid Siauw-lim-pai meninggalkan pekerjaan masing-masing dan
berbondong mereka menuju ke pekarangan kuil. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan dan
hanya berdiri menanti perintah dari pimpinan mereka. Tidak kurang dari empat puluh orang murid telah
berkumpul di anak tangga serambi depan dan di pekarangan. Namun pria itu tidak tampak takut, bahkan
tersenyum mengejek dan mengulang teriakannya tadi.

Tiba-tiba muncul seorang hwesio berusia kurang lebih lima puluh tahun dl serambi depan dan dengan
langkah lebar hwesio itu menuruni anak tangga. Para murid Siauw-lim-pai merasa lega karena hwesio
pendek gendut yang muncul ini adalah pelatih mereka dalam ilmu silat. Hwesio ini bernama Ki Sian
Hwesio, merupakan sute (adik seperguruan) termuda dl antara para plmplnan Slauw-llm-si, akan tetapl
karena ilmu silatnya tangguh, maka dia dipilih oleh Hui Sian Hwesio sebagai pelatih, membantu Cu Slan
Hwe-sio. Mellhat ribut-ribut Ki Sian Hweslo cepat keluar dan klnl berhadapan dengan pria itu. Lima
orang murid yang tadi berjaga dan dirobohkan tamu aneh itu, segera mendekati Ki Sian Hwesio dan
kepala Jaga itu melapor.

“Suhu tamu ini tidak memperkenalkan dirinya, memaksa masuk untuk menemui ketua dan telah
merobohkan teecu (murid) berlima.”

Ki Slan Hwesio mengerutkan alisnya menatap wajah pria yang masih tampak marah itu. “Sobat, seorang
tamu sepatut-nya tunduk terhadap tata tertib pihak tuan rumah, bukan memaksa masuk dan berterlak-
teriak di sini. Siapakah engkau dan ada keperluan apa engkau berkunjung ke Siauw -lim-pai?”

“Aku Ingin bertemu dan bicara sendiri dengan Ketua Siauw-lim-pai! Apakah engkau ini wakil dari ketua?”
orang itu bertanya.

Ki Sian Hwesio menggeleng kepalanya. “Bukan, akan tetapi....”

“Kalau begltu pergilah dan panggil ketua atau wakil ketua kalian untuk bicara denganku!” potong prla itu
ketus.

“Pinceng (aku) memang bukan ketua atau wakll ketua, akan tetapi plnceng berhak dan berkewajiban
untuk atas nama Siauw-lim-pai mengusir orang tidak tahu aturan yang berani lancang mengacau dl sini!”

Sinar mata tamu itu mencorong ketika dia mendengar ucapan ini. Dia menatap wajah hwesio yang
pendek gendut itu dan berkata, “Hemm, ingin kulihat bagaimana engkau akan mampu mengusir aku dari
tempat ini!”

Karena sudah jelas bahwa tamu ini melanggar peraturan Siauw-lim-pal, bahkan telah merobohkan lima
orang murid, Kl Slan Hwesio tidak ragu-ragu lagl untuk bertlndak.

“Manusia sombong, sambutlah serangan pinceng ini!” bentak hweslo gendut pendek Itu dan dla sudah
menyerang dengan dahsyatnya. Blarpun tubuhnya pendek gendut, Ki Stan Hwesio dapat bergerak
dengan cepat sekali dan pukulannya mengandung tenaga besar. Hwesio ini lebih suka melatlh ilmu sllat
Siauw-lim-pai aliran utara yang mengutamakan kecepatan dan kekuatan, maka serangannya itu cepat
namun dahsyat sekali. Sambaran kepalan tangannya mendatangkan angin bersuitan.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 160

Akan tetapi agaknya tamu yang belum juga memperkenalkan namanya itu memiliki ilmu kepandaian
silat tinggi. Pantas kalau dia berani bersikap demikian kasar dan berkunjung ke Siauw -lim-pai yang
menjadi pusat para pendekar silat. Menghadapi serangan Ki Sian Hwesio itu, dengan tenang namun
Hncah sekali dia mengelak ke samping dan se-lagi tangan hwesio itu meluncur luput, dia sudah
membalas dengan tamparan tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala Ki Sian Hwesio yang jauh lebih
pendek itu.

“Wuuuttt....... dukk!” Kl Sian Hwesio menangkis ke atas dan dua lengan ber-temu dengan kuatnya.
Aklbat benturan kedua lengan ini, dua orang itupun terhuyung ke belakang. Hal ini menunjukkan bahwa
tenaga mereka seimbang.

Ki Slan Hwesio menjadi penasaran dan diapun melakukan serangan dengan gencar dan bertubi -tubi,
memainkan ilmu silat Slauw-lim-pai yang kokoh kuat. Akan tetapi ternyata lawannya juga lihai sekali,
mampu menandinginya, bukan saja mampu menghindarkan kakinya dari tangkapan, akan tetapi
lawannya bergulingan dan ketika kakinya turun kembali, tak dapat dihindarkan lagi kakinya dapat
dicengkeram! Sebelum dia sempat meronta, de-ngan gerakan yang aneh namun kuat sekali lawannya
menggeliat, kedua- ta-ngannya disentakkan dan tubuh Ki Sian Hwesio terlempar beberapa meter dan
jatuh (erbanting di atas tanah. Demikian kuat bantingan itu sehingga tulang pundak kirinya patah! Itu
adalah ilmu gulat dari bangsa Mancu! Melihat betapa pelatih mereka terbanting keras dan hanya dapat
bangkit duduk sambil mengeluh, para murid Siauw-lim-pai menjadi marah dan mereka sudah siap untuk
mengeroyok tamu itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara nyaring berwibawa.

“Semua murid mundur!”

Ternyata yang membentak Inl adalah Cu Sian Hwesio yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka hitam.
Mendengar ini, para murld tidak jadl mengepung dan melangkah mundur, memberi ruangan ke -pada
wakil ketua SiauW-lim-pal. Cu Sian Hwesio melangkah maju turun dari anak tangga dan berdiri
berhadapan dengan tamu itu.

“Omitohud!” kata Cu Sian Hwesio sambil merangkap kedua tangan di depan dada memberi salam
sembah. “Pinceng melihat ada gerakan silat Kong-thong-pai dalam permainan sicu (orang gagah).
Selama ini tidak pernah ada permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Kong-thong-pai, kenapa sicu datang
membikin ribut di sini?”,

“Ini adalah urusan pribadiku dengan orang Siauw-lim-pai, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
perguruan silat manapun!” kata pria itu ketus.

“Omitohud, agaknya sicu marah sekali! Siapakah nama sicu yang terhormat, dan ada urusan apakah
antara sicu dengan Siauw-lim-pai?” tanya Cu Sian Hwesio, suaranya tetap tenang dan sabar.

“Engkau siapa?” tanya orang itu, suaranya masih mengandung kemarahan. “Aku hanya Ingin bicara
dengan Ketua Siauw-lim-pai!”

“Ketua Siauw-llm-pat sedang bersamadhi, tidak boleh diganggu. Pinceng adalah Cu Sian Hwesio, Wakil
Ketua Siauw-lim-pai dan semua urusan dengan Siauw-lim-pai dapat diselesaikan dengan pinceng.
Suheng Hui Sian Hwesio selaku Ketua Siauw-lim-pai telah menugaskan pinceng untuk menangani semua
urusan mengenai Siauw-lim-pai.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 161

Sikap orang itu agak berubah. Dia kini mengangkat kedua tangan membalas salam Cu Sian Hwesio dan
berkata, tidak seketus tadi. “Bagus, kalau begitu, aku boleh berurusan denganmu. Namaku Kwee Bun To
dan baru beberapa bulan tinggal di dusun kaki bukit ini untuk mengundurkan diri dari keramaian kota
dan hidup tenteram dengan anak tunggalku, seorang gadis. Kami memilih tinggal di kaki bukit ini karena
mengira bahwa dekat dengan Siauw-lim-pai, tentu kehidupan di sini aman dan tenteram. Siapa kira
justeru Siauw-lim-pai yang telah menghancurkan kebahagiaan hidup kami dan menghancurkan
kehidupan anak kami yang telah dewasa!” Orang yang mengaku bernama Kwee Bun To Ini mengepal
tinju dan mengamang-amangkan ke atas “Aku bersumpah untuk menangkap murid Siauw-Lim-pai itu,
membelah dadanya mengeluarkan jantungnya dan menginjak-injak kepalanya sampai hancur lebur!”

Para murid Siauw-lim-pai bergidik mendengar sumpah yang mengerikan itu. Akan tetapi Cu Sian Hwesio
tetap tenang dan dia tersenyum sabar.

“Omitohud! Agaknya Kwee-sicu menderita dendam saklt hati yang teramat besar. Akan tetapi, apakah
sebenarnya yang telah terjadi dan apa hubungannya dengan murid Siauw-lim-pai?”

“Hemm, agaknya para pimpinan Siauw-lim-pai hanya dapat mengajarkan siiat dan doa-doa saja, akan
tetapi tidak mampu mengawasi kelakuan para muridnya. Nah, dengarlah kalian semua, orang-orang
Siauw-lim-pai! Malam tadi, seorang laki-laki telah menyelinap masuk kamar anak perempuanku,
menotoknya kemudian memperkosanya! Dan jahanam keparat busuk itu adalah seorang murid Siauw -
lim-pai!”

Semua orang terkejut. “Omitohud!” seru Cu Sian Hwesio. “Nanti dulu, Kwee-sicu. Bagaimana engkau
dapat mengatakan bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai?”

“Kebetulan aku terbangun malam tadi dan aku mendengar gerakan orang dalam rumah. Aku keluar dari
kamarku dan sempat melihat sesosok bayangan berkelebat keluar dari kamar anakku. Aku mengejarnya
dan setelah tiba di luar, aku menyerangnya. Kami berkelahi dan dia dapat melarikan diri Keparat!”

“Bagaimana sicu dapat mengetahui bahwa dia murid Siauw-lim-pai? Apakah slcu dapat mengenal
mukanya?”

“Tidak, cuaca terlalu gelap, aku hanya dapat menduga bahwa dia tentu seorang lakl -laki yang masih
muda.”

“Akan tetapl bagaimana sicu mengetahul bahwa orang itu telah..... menodai anakmu?”

“Aku kemudian mendapatkan anakku dalam keadaan tertotok dan menjadi korban perkosaan. Ah , aku
harus dapat menemukan jahanam terkutuk itu!”

“Nanti dulu, Kwee-sicu. Engkau tadi menceritakan hahwa keadaan cuaca gelap sehingga engkau tidak
dapat mengenal mukanya. Akan tetapi bagaimana engkau dapat begitu yakin bahwa pemerkosa itu
adalah murid Siauw-lim-pai?”

“Buktinya sudah jelas! Ketika aku berkelahi dengan dia, aku mengenal jurus -jurusnya. Jelas dia
mempergunakan Jurus sllat Lo-han-kun (Silat Orang Tua Gagah) dari Slauw-lim-pai. Tidak salah lagi! Aku
berani bersumpah!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 162

“Omitohud, urusan ini menjadl amat ruwet dan sulit. Kalau engkau tldak mengenal mukanya, lalu
bagaimana pinceng dapat menerima tuduhanmu bahwa dia itu murid Siauw-lim-pai? Bukti ilmu silat itu
sama sekali tidak kuat, sicu. Semua orang, biarpun bukan murid resmi Siauw -lim-pai, dapat saJa
mempelajarinya.”

“Tidak, aku yakin dia murid di sini. Pertama, jurus silatnya tadi. Ke dua, bukankah Siauw -lim-si yang
paling dekat dengan dusun kami? Karena itu, aku sengaja datang ke sini untuk menuntut kepada ketua
atau kepadamu sebagai wakil ketua, untuk menangkap dan menyerahkan muridmu yang Jahanam itu
kepadaku!

“Akan tetapi bagaimana plnceng dapat menangkap orangnya kalau pinceng tidak tahu siapa orang itu?
Rasanya tidak mungkin menangkapnya karena engkau tidak memberi tanda-tanda tertentu dari orang
itu. Kami tidak dapat memenuhi permintaanmu itu, Kwee-sicu. Permintaanmu itu tidak masuk akal.
Kami tak mungkin melakukan penangkapan atau tuduhan kepada murid-murid kami sendiri tanpa
adanya bukti yang nyata.”

“Hemm, kalau begitu, terpaksa aku akan melakukan pembalasan dengan cara-ku sendiri. Sebulan sekali
aku akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pai dan aku baru berhenti kalau Siauw-lim-pai sudah
menyerahkan jahanam keparat ter-kutuk itu kepadakui”

“Omitohud! Engkau saitta sekall tidak boleh melakukan hal itu, sicu! Itu kejam dan tidak adil namanya
dan pinceng pasti akan mencegahya!” seru Cu Sian Hwe-sio.

“Bagus engkau hendak melindungi dan membela Jahanam busuk itui' Jangan dikira aku takut kepadamu,
Cu Sian Hwe-sio!” Kwee Bun To bersikap siap untuk bertandlng.

Pada saat itu, seorang pemuda menghampiri Cu Sian Hwesio dan memberi hormat kepada hwesio
bermuka hltam tinggi kurus itu.
“Susiok!”

Cu Sian Hwesio memandang. Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, wajahnya bulat
dengan kulit muka putih bersih, alisnya tebal hitann. Seorang pemuda bertubuh sedang tegap yang
berslkap lembut dan wajahnya tampan gagah. Sepasang matanya tajam dan mulutnya selalu dihias
senyum ramah.

“Ah, kiranya engkau, Cia Song!” seru Cu Sian Hwesio gembira. Cia Song adalah seorang murid Siauw-lim-
pai yang berbakat dan yang dulu dilatih oleh Hul Sian Hwesio sendiri sehingga tingkat kepandaiannya
lebih tinggi daripada murid-murid lain. “Tunggulah dulu, pinceng hendak menyelesaikan urusan dengan
Kwee-sicu ini.”

“Teecu (murid) sudah mendengar semua yang dipertengkarkan tadi, susiok (paman guru).
Perkenankanlah teecu mewakili susiok dan Siauw-lim-pai untuk menghadapi Kwee-kauwsu (guru silat
Kwee) ini.

Cu Sian mengangguk. Dia memang segan untuk berurusan dengan seorang yang sedang dimabok
dendam dan kemarahan itu dan dia mengenal Cia Song sebagai seorang pemuda yang pandai dan
bijaksana sehingga suhengnya, yaitu Ketua Siauw-lim-pai Hui Sian Hwesio sering memuji-muji muridnya
itu. Dia mengangguk-angguk lalu mundur beberapa langkah, membiarkan Cia Song mewakilinya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 163

Pemuda itu kini dengan tenang talu berdiri menghadapi Kwee Bun To, ditonton oleh semua murid
Siauw-lim-pai yang mengenal pemuda yang mereka kagumi sebagal seorang jagoan muda Siauw-lim-pal
itu. Kwee Bun To juga memandang penuh perhatian. Pemuda Itu tampan gagah, slkapnya tenang dan
lembut, wajahnya ramah, pakaiannya tidak terlalu mewah namun bersih sekali dan rapi, sepatunya dari
kulit hitam mengkilap dan dipunggungnya tergantung pedang beronce merah.

Cia Song memberl hormat dengan merangkap tangan di depan dada. “Kwee -kauwsu, saya harap engkau
suka bersikap tenang dan sabar, karena hanya dengan sikap seperti itu persoalan dapat diselesaikan
dengan baik.”

Kwee Bun To mengerutkah alisnya. Baru beberapa bulan dia pindah ke dusun di kaki bukit, dusun yang
menjadi tempat asalnya. Tadinya dia memang seorang guru silat yang cukup terkenal di wilayah utara.
Akan tetapi, ketika wilayah Cina Utara dikuasai oleh bangsa Yucen yang mendirikan Kerajaan Kin,
sedangkan Kerajaan Sung terpaksa pindah ke sebelah selatan Sungal Yang-ce, guru silat Kwe Bun To
terpaksa membubarkan perguruannya. Dia tldak mau tunduk kepada bangsa Yucen dan melarlkan diri.
Dalam pelarlan yang dilakukan bersama isteri dan anak tunggalnya itu, isterinya meninggal dunia karena
menderita kaget dan sakit berat. Akhlrnya dia tinggal di dusun di kaki bukit itu, berdua dengan Bi Hwa,
puterinya yang sudah berusla tujuh belas tahun. Tak pernah dia memperkenalkan diri sebagai guru silat,
akan tetapi bagaimana pemuda ini dapat menyebutnya kauw-su (guru silat)?

“Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah seorang guru silat? Siapakah engkau, orang muda?” tanya
Kwee Bun To sambil memandang tajam penuh selidik.

Cia Song tersenyum ramah. “Nama saya Cia Song dan sebagai seorang murid Siauw-lim-pai, saya merasa
berkewajiban untuk mewakill suhu, susiok dan semua saudara di Siauw -lim-pai untuk membereskan
persoalan ini denganmu, Kwee-kauwsu. Selama ini saya merantau ke wilayah utara dan mendengar
banyak hal, juga tentang Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) yang anda pimpin di kota raja
akan tetapi terpaksa dibubarkan setelah bangsa Yucen menguasai daerah utara.”

“Hemm, engkau mengetahui banyak hal. Akan tetapi, apa yang dapat kau lakukan mengenai
persoalanku ini, sedangkan para plmpinan Slauw-lim-pai sendiri agaknya tidak mampu
memecahkannya? Keluargaku telah tertimpa malapetaka dan aku hanya menghendaki agar Siauw -Lim-
pai menyerahkan jahanam terkutuk itu. Kalau hal itu tidak dapat dilakukan terpaksa aku akan melakukan
pembalasan dengan caraku sendiri, yaitu setiap bulan aku akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pal
untuk melampiaskan dendam keluargaku!”

“Kwee-kauwsu, saya harap anda da-pat menyabarhan dan menenangkan hati, tidak menuruti nafsu
amarah karena dendam yang membakar hati. Jalan yang anda tempuh itu hanya akan memperbebar
dendam mendendam dan permusuhan yarig tldak akan menguntungkan kedua pihak. Ketahuilah, Kwee-
kauwsu, para murid Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang digembleng lahir batinnya, kiranya tidak
mungkin melakukan hal serendah itu. Lebih besar lagi kemungkinannya bahwa pelakunya adalah orang
yang memusuhi Siauw-lim-pai. Dia telah nrempelajari Lo-han-kun dan mengunakan itu untuk mengadu
domba antara Siauw-lim-pal dan anda, Juga untuk merusak nama baik Siauw-lim-pai. Karena itu, saya
mempunyai usul yang jauh lebih baik daripada apa yang hendak anda lakukan sebagai balas dendam
itu.,”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 164

Sikap sopan dan ucapan yang ramah lembut itu agak mendinginkan hati Kwee Bun To yang dibakar api
keirtarahan. “Hemm, orang muda, usul apakah yang hendak kauaampalkan kepadaku?”

“Begini, Kwee-kauwsu. Aku berjanji akan mencari pemerkosa itu sampai dapat kubekuk batang
lehernya! Kalau aku berjanji untuk menangkap dan menyeret orang itu kepadamu, maukah engkau
membatalkan ancamanmu untuk membunuhi para murid Siauw-lim-pai itu?”

“Hemm, Cia Song, jawabanmu ini ja-E uh lebih baik daripada jawaban mereka tadi. Setidaknya engkau
berjanji untuk menangkap jahanam itu, tidak perduli itu murid Siauw-lim-pai atau bukan. Baik, aku
memberi waktu satu bulan kepadamu. Kalau dalam waktu sebulan engkau belum mampu menyerahkan
jahanam itu, terpaksa aku menggunakan caraku sendiri untuk mernbalas dendaml”

“Baik, Kwee-kauwau. Akan tetapi untuk mencari pemerkosa itu, saya harus bisa mendapatkan
keterangan dan penjelasan dari puterimu tentang orang itu setidaknya ciri -ciri yang dapal diceritakan
puterimu agar mudah bagiku untuk mencari orangnya.”

“Baik, hal itu mudah diilakukan. Akan tetapi aku masih belum yakin engkau akan mampu me nangkap
jahanam itu sebelum menguji kemampuanmu. Karena itu, terimalah seranganku sekali saja. Kalau
engkau mampu menahan, baru aku dapat menerima usulmu. Beranikah engkau menyambut
seranganku?”

Cia Song tersenyum. “Kalau itu yang anda kehendaki, silakan, Kwee-kauwsu. Saya siap menyambut
pukulannlu.”

“Cia Song berhati-hatilaht” Seru Cu Sian Hwesio khawatir. Akan tetapi murid keponakannya itu menoleh
sambil tersenyum kepadanya.

“Susiok, teecu hendak membantu Kwee-kauwsu, tentu dia tidak ingin mencelakai teecu.”'

“Cia Song, bersiaplah dari sambut seranganku ini!” Kwee Bun To membentak nyaring. Cia Song cepat
menghadapinya dan melihat guru silat itu, menyerangnye dengan dorongan kedua telapak tangan,
diapun cepat menekuk kedua lututnya dan membuat gerakan serupa, yaitu rnendorongkan kedua
telapak tangannya ke depan untuk menyambut serangan jarak jauh yang mengandung hawa pukulan
dahsyat itu.

“Wuuuuttt.... blarr'r....!” Dua hawa pukulan yang dahsyat dan kuat bertemu di antara mereka dan Kwee
Bun To terdorong mundur sampai tiga langkah! Dia terkejut sekali. Biarpun dla tadl tidak ingin
membunuh pemuda yang bermaksud membantunya itu, namun dia telah mengerahkan tiga perempat
bagian tenaganya, dan ternyata pemuda itu mampu mendorongnya sampai tiga langkah. Hal i ni saja
sudah membuktikan bahwa tenaga saktl pemuda itu lebih kuat darlpada tenaga Ki Sian Hweslo yang tadi
bertanding melawannya. Hal ini menimbulkan kepercayaan dalam hatinya. Siapa tahu, mungkin pemuda
ini yang akan mampu menangkap jahanam yang telah memperkosa puterinya.

“Cia Song, aku menanti kunjunganmu untuk mendengar keterangan dari anakku. Cu Sian H.vesio,
sampaikan pernyataan maafku kepada Ketua Siauw-lim-pai atas gangguanku yang terpaksa kulakukan
ini.” Setelah berkata begitu, guru silat yang menderita pukulan batin hebat itu lalu memutar tubuhnya
dan meninggalkan tempat itu dengan cepat.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 165

“Omitohud!” Cu Sian Hwesio berseru. “Orang yang sedang penuh duka dan kemarahan, ditekan dendam
sakit hati yang hebat seperti dia, menggelapkan semua pertimbangan dan dia dapat menjadi orang yang
berbahaya sekali! Untung engkau dapat meredakan kemarahannya dan menanamkan kepercayaan
dalam hatinya. Cia Song. Mari, mari kuhadapkan engkau kepada suheng Hui Sian Hwesio.”

“Baik.'susiok.”

Akan tetapi baru saja kedua orangitu melangkah hendak memasuki kuil, dua orang rnurid Siauw-Iim-pai
yang tadi melakukan penjagaan di pintu gerbang, datang berlari-lari dan melapor kepada Cu Sian Hwesio
bahwa ada seorang tamu hendak menghadap Ketua Siauw-lim-pai.

“Ehh? Siapa lagi yang akan menghadap ketua?” tanya Cu Sian Hwesio dengan heran.

“Tamu yang ini mematuhi aturan, suhu. Dia masih muda, mengaku bernama Souw Thian Liong dan dia
adalah murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin mohon menghadap ketua karena membawa pesan penting
dari Tiong Lee Cin-jin.”

Wajah yang berkulit hitam itu berseri dan sepasang rnata itu bersinar-sinar. “Tiong Lee Cin-jin?
Omitohud....! Kalau dia murid manusia bijaksana itu, tentu saja suheng Hui Sian Hwesio mau
menerimanya! Persilakan dia masuk dan sekalian akan pinceng hadapkan suheng bersama Cia Song.”

Dua orang murid itu berlari menuju ke luar dan tak lama kemudian mereka mengantar Thian Liong ke
depan Cu Sian Hwesio. WakUketuaini mengamat?” orang muda yang datang dan memberi hormat
kepadanya. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun, bertubuh sedang dan
berwajah tampan dengan kulit putih bersih. Mata pemuda itu mencorong namun bersinar lembut,
hidungnya mancung, mulutnya selalu menyungging senyum. Pakaiannya sederhana dan dia
menggendong sebuah buntalan pakaian. Pemuda ini mirip Cia Song, pikir Cu Sian Hwesio, hanya lebih
muda.

“Locianpwe, mohon maaf sebesarnya kalau kedatangan saya mengganggu ketenteraman di sini. Kalau
tidak membawa perintah suhu, sungguh saya tidak berani mengganggu tempat suci ini.”

Cu Sian Hwesio merangkap kedua tangan di depan dada dan tersenyum. “Omi tohud!” Dia berseru.
Pinceng merasa berbahagia sekali. Siauw-lim-pai telah mendapat kehormatan besar menerima
kunjungan murid atau utusan yang mulia Tiong Lee Cin-jin! Mari, Souw-taihiap (pendekar besar Souw),
mari pinceng antarkan engkau menghadap suheng Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai.”

“Mari, Souw-siauwte (Saudara Muda Souw), kita menghadap suhu. Kebetulan sekali saya iuga hendak
menghadap beliau dan kita dapat bersama-sama menghadap suhu. Perkenalkan, saudara Souw Thian
Liong, saya bernama Cia Song, seorang di antara murid-murid Suhu Hui Sian Hwesio.”

Sikap yang ramah terbuka itu menye-hangkan hati Thian Liong dan dia merangkap kedua tangan di
depan dada dengan hormat. Pemuda itu menyebutnya saudara muda, dan memang pemuda tampan
gagah murid ketua Siauw-lim-pai itu! tentu beberapa tahun lebih tua darinya.

“Saya senang sekali dapat berkenalanj denganmu Cia-twako (kakak Cia), dan saya merasa terhormat
sekali akan dapat menghadap locianpwe Hui Sian Hwesio.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 166

“Marilah, Souw-taihiap dan Cia Song. Biarpun suheng Hui Sian Hwesio jarang sekali mau bertemu
dengan orang lain, akan tetapi pinceng yakin bahya sekali ini dia akan suka sekali untuk bertemu dengan
kalian.” kata Cu Sian Hwesio. Mereka bertiga memasuki kompleks bangunan Siauw-Lim-pai yang luas
dan setelah tiba di sebuah ruangan tertutup yang sunyi, di mana tidak tampak seorangpun hwesio, Cu
Sian Hwesio merangkap kedua tangan di depan dada, berdiri agak mem-bungkuk dengan hormat di luar
pintu ia-lu berkata dengan nada suara lembut.

“Suheng yang mulia, perkenankanlah pinceng menghadapkan murid Cia Song dan talhiap Souw Thlan
Liong murid atau utusan yang mulia Tiong Lee Cin-jin kepada suheng!”

Sunyi menyambut ucapan Cu Sian Hwesio itu. Kemudian terdengar jawaban suara yang lembut sekali
dari dalam, namun suara lembut Itu terdengar oleh Thlan Liong seolah ada orang berblsik di dekat
telinganya. Dengan kagum dia mengerti bahwa suara itu dibawa tenaga dalam yang amat kuat,
menembus segala apa yang menghalang di depan.

“Omltohud! Mimpi apa plnceng semalam sehingga yang mulia Tiong Lee Cin-Jin mengutus murldnya
datang ke slni?”

Belum habis kalimat itu terucapkan, daun pintu itupun bergerak sepertl terbuka dari dalam. Akan tetapi
Thian Liong tldak melihat adanya orang yang membuka daun pintu itu dan hembusan angin lembut
namun kiiat terasa olehnya. Tahulah dla bahwa pintu itu dibuka dengan dorongan angin itu dari jauh.
Dan ketika dia memandang ke dalam ruangan itu, jauh di tehgah ruangan yang luas itu tampak duduk
seorang hWesio. Usianya sekitar enam puluh tahun lebih, sedikitnya enam puluh lima tahun, tubuhnya
gemuk tinggi besar seperti tubuh Arca Ji-lai-hud, mukanya bulat penuh senyum cerah dan alisnya tebal,
matanya bersinar lembut. Hwesio itu duduk bersi-la di atas dipan kayu. Agaknya hwesio itu tadi
membuka daun pintu dengan dorongan tangan yang menimbulkan angin lembut yang kuat. Hal ini saja
membuktikan betapa tinggi ilmu kepandaian hwe-sio itu yang sudah mampu mengatur tenaga saktinya
sedemikian rupa seolah tenaga saktinya itu merupakan sebagian anggota tubuhnya yang dapat
melakukan apa-apa dari jarak jauh.

“Silakan masuk, Souw-taihiap dan kalian juga, Cia Song dan Cu Sian Hwe-sio.” kata hwesio tua itu sambil
menggapai dengan tangan kanannya.

Tiba-tiba Thian Liong menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah hwesio tua yang dia yakin tentu Hui
Sian Hwe-sio adanya. Tadi ketika Cu Sian Hwesio menyebutnya taihiap (pendekar besar), walaupun
hatinya merasa tak enak, dia menerima saja. Akan tetapi ketika ketua Siauw-lim-pai menyebutnya
demikian, dia merasa berat sekali untuk menerimanya, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut.

“Harap iocianpwe sudi memaafkan teecu (murid). Sungguh teecu tidak berani menerima sebutan taihiap
dari locianpwe. Nama teecu Souw Thian Liong dan teecu akan merasa senang sekali kalau locianpwe
menyebut naroa teecu begitu saja.

Hwesio tua itu tertawa lembut dan mengelus jenggotnya yang menutupi le -hernya. Dia tidak berkumis
dan gundul, akan tetapi jenggotnya yang sudah, berwarna dua itu cukup panjang.

“Omitohud! Yang mulia Tlong Lee Cin-jin telah memberi bimbingan luar dalam kepadamu, membuat
pinceng merasa kagum sekali. Bangkit dan masuklah Thian Lioug dan jangan banyak sungkan. Sebagai
murid yang mulia Tiong Lee Cin-jin, engkau patut kami anggap sebagai golongan sendiri.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 167

“Terima kasih, locianpwe.” kata Thian Liong dan diapun mengikuti Cu Sian Hwe -sio dan Cia Song
memasuki ruangan itu. Setelah berhadapan dengan hwesio itu, Hwesio berdiri di pinggiran sedangkan
dua orang muda itu langsung berlutut di depan Hui Sian Hwesio.

Hul Slan Hweslp memandang kepada dua orang pemuda yang berlutut sambll menundukkan muka
mereka Itu dan mengangguk-angguk sambil tersenyuin dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.

“Cia Song coba angkat mukamu dan pandang pinceng! perintahnya dengan suara lembut. Cia Song
menurut, mengangkat mukanya dan menatap wajah suhunya, bertemu pandang mata sejenak lalu dia
menunduk kembali.

“Omitohud! Bagus sekali, engkau telah mendapatkan banyak sekali kemajuan, hanya saja engkau harus
banyak mengurangi kekerasan hatimu dengan banyak melakukan latihan siu-lian (samadhi) dan
pengendalian nafsu.”

“Baik, suhu. Teecu menaati perintah? suhu.” jawab Cia Song lirih.

“Sudah bertahun-tahun engkau pergi berkelana. Sekarang datang ke Siauw-lim-si (kuil Siauw-lim)
membawa keperluan penting apakah?”

“Teecu merasa rindu kepada Siauw-lim-si, kepada suhu, para su-siok (paman guru) dan semua saudara,
maka teecu sengaja datang berkunjung, suhu.” jawab Cia Song dengan hormat.

“Maaf, suheng. Pinceng ingin menyampaikan laporan tentang jasa murid Cia Song yang telah
menyelamatkan Siauw-lim-pai dari keributan yang baru saja terjadi.” kata Cu Sian Hwesio.

“Keributan? Apakah yang telah terjadi, sute (adik seperguruan)?”

“Baru saja kita kedatangan seorang guru silat dari Pek-eng Bu-koan bernama Kwee Bun To. Dia marah-
marah dan menuntut agar kita menyerahkan seorang murid Siauw-lim-pai yang katanya telah
memperkosa seorang puterinya.”

“Omitohud! Semoga Tuhan mengampuni kita! Siapakah murid Siauw-lim-pai yang melakukan perbuatan
hina itu, sute?”

“Kauwsu (guru silat) Kwee Bun To itu tidak mengetahui siapa orangnya.”
“Hemm, kalau begitu bagaimana dla dapat mengatakan bahwa pelakunya adalah murid Siauw -lim?”

“Menurut ceritanya, malam itu puterinya diperkosa orang dan dia bertemu dengan pelakunya. Di malam
gelap itu dia menyerang dan orang muda yang melakukannya itu melawannya dengan menggunakan
ilmu silat Lo-han-kun yang dikenalnya. Maka dia mengatakan dengan pasti bahwa pelakunya adalah
murid Siiauw-lim-pai.”

“Omitohud! Bagaimana dapat terjadi hal seperti ini? Lalu bagaimana sute?”

“Dia menuntut agar kita menyerahkan pelaku itu, kalau tidak dia akan membunuhi murid Siauw -lim-pai
satu demi satu. Hampir saja pinceng sendiri bertanding dengan dia, akan tetapi lalu muncul murid Cia

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 168

Song yang melerai dan menyabarkan Kwee Bun To. Cia Song menjanjikan kepadanya bahwa dia akan
menangkap pelaku perkosaan itu dalam waktu satu bulan. Kwee Bun To menerima janji itu dan
mengundurkan diri sehingga Siauw-lim-pai terhindar dari keributan.”

Hui Sian Hwesio mengangguk-angguk dan memandang kepada muridnya. “Cia Song, engkau berjanji
kepada Kwee-kauwsu untuk menangkap pelaku itu dalam sebulan, apakah engkau mengetahui siapa
pelakunya?”

“Teecu belum mengetahuinya, suhu.”

“Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau berani berjanji hendak menangkapnya?”

“Akan teecu selidiki sampai teecu berhasil menangkapnya.”

“Apakah engkau percaya bahwa pelakunya adalali seorang murid Siauw-lim-pai?”

“Teecu tidak percaya. Mungkin saja orang lain yang sengaja menggunakan ilmu silat Lo-han-kun untuk
menyembunyikan diri dan menjatuhkan kesalahan kepada Siauw-lim-pai. Teecu akan menyelidikinya,
suhu.”

“Omitohud! Sikapmu itu memang baik sekali dan telah menyelamatkan Siauw-lim-si dari keributan dan
permusuhan. Akan tetapi juga merupakan tindakan yang gegabah! Seorang laki -laki sekali berJanJi harus
dipenuhi dan engkau su-dah berjanji akan menangkap pelaku itu, maka janji itu harus kau penuhi! Bagai-
mana kalau sampai sebulan engkau be-lum dapat menemukan pelaku kejahatan itu?”

“Kalau sampai teecu gagal, teecu akan mempertanggung-jawabkan kepada kauwsu Kwe Bun To, suhu.”

“Bagus, bagus sekali! Seorang laki-laki harus memenuhi janjinya dan harus berani mempertanggung-
jawabkan semua .tindakannya! Engkau pantas menjadi seorang murid Slauw-lini-pai.” Hui Sla Hwesio
niemuji, mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, lalu memandang kepada Thian Liong. Diam-
diam dia merasa bangga dan girang karena utusan Tiong Lee Cin-jin mendengarkan semua
percakapannya depgan Cia Song. Sungguh membanggakan hati kalau Tiong Lee Cin-jin mendengar akan
kegagahan murid Siauw-lim-pai!

“Souw Thian Liong, sekarang pinceng beralih kepadamu. Engkau sebagai murid Tiong Lee Cin -jin diutus
berkunjung ke Siauw-lim-si membawa berita penting apakah? Ada petunjuk apakah dari guru?”

Thlan Liong memberl Hormat sambll berlutut. “Loclnpwe, teecu diutus oleh suhu untuk pertama-tama
menyampaikan salam hormat suhu kepada locianpwe.”

“Omitohud! Tiong Lee Cin-jin yang terhormat sungguh biJaksana dan baik hati. Salamnya pinceng terima
dengan rasa bahagia dan kelak kalau engkau bertemu dengan beliau, sampaikan salam dan hormat
plnceng yang mendalam untuk beliau.”

“Teecu akan menyampaikan pesan lo-cianpwe. Dan tugas teecu yang kedua adalah untuk menyerahkan
sebuah kitab yang ditemukan suhu di dalam perjalanannya ke barat yang menurut suhu kitab itu adalah
hak milik Siauw-lim-pai.” Setelah berkata demikian, Thian Liong mengeluarkan kitab Sam-jong Cin-keng
yang tua itu dan dengan kedua tangan dia menyerahkannya kepada Hui Sian Hwesio.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 169

Hwesio tua itu menerima kitab itu, membuka-buka lembarannya dan membelalakkan matanya seolah
tidak percaya akan apa yang dilihatnya, lalu meletakkan kitab di atas pahanya dan di a merangkap kedua
tangan depan dada. “Omitohud....! Seperti dalam mimpi saja rasanya saat ini pinceng dapat memegang
kitab Sam-jong Cin-keng yang sudah hilang puluhan tahun ini! Sungguh luar biasa sekali kebijaksanaan
yang mulia Tiong Lee Cin-jin. Setelah menemukan kitab ini, dia masih bersusah payah mengutus
muridnya untuk mengembalikannya kepada kami! Bukan main! Mana mungkin di dunia ini ada seorang
yang demikian jujur dan mulia seperti dta? Tidak, ini tidak mungkin! Dia yang menemukan setelah
puluhan tahun Siauw-lim-pai hilang harapan dan tidak mencari lagi, maka dialah yang berhak atas kitab
ini!”

“Akan tetapi, suheng! Kitab Sam-jong-cih-keng adalah sebuah kitab pusaka Siauw-lim-pai, menjadi hak
milik kita sepenuhnya!” seru Cu Sian Hwesio.

“Maafkan teecu, suhu. Teecu kira sudah sepatutnya kalau yang mulia Tiong Lee Cin-jin mengembalikan
kitab Sam-jong-cin-keng, itu kepada Siauw-lim-pai. Kalau teecu sendiri menemukan kitab milik
perguruan lain, tentu juga akan teecu kembalikan kepada perguruan yang berhak. Teecu yakin bahwa
kalau suhu memberlkan kitab Sam-jong-cin-keng itu kepada yang mulia Tlong Lee Cin-jin, sudah pasti
beliau akan menolaknya.”

Biarpun sute dan muridnya mengemukakan pendirian mereka yang pantas dan kuat, namun Hui Sian
Hwesio tetap mengambll kltab Itu dan menyerahkan kepada Thian Liong sambil berkata.

“Souw Thlan Llong, terimalah kitab inl dan katakan kepada gurumu bahwa pinceng memberikan kitab ini
kepadanya, karena plnceng menganggap dlalah yang berhak memlllkinya.”

Thian Liong tidak berani menerimanya, cepat memberi hormat dan berkata, “Maafkan teecu, locianpwe.
Teecu pikir apa yang dikatakan locianpwe Cu Sian Hwe-sio dan twako Cia Song tadi benar dan tepat,
Kitab ini dahulu adalah milik Siauw-lim-pai dan sampai sekarangpun menjadi hal millk Slauw-lim-pai,
maka teecu harap sudllah klranya locianpwe suka menerimanya.”

“Omitohud, pinceng selalu bertindak menurutkan naluri hati nurani. Sekarang begini saja, Souw Thian
Liong. Pinceng melihat kenyataan bahwa engkau seorang murid yang amat baik dari Tiong Lee Cin-jin.
Kita ambil jalan tengah saja. Pinceng mau menerima kitab ini sebagal hadiah dari Tiong Lee Cin -jin, akan
tetapi karena Tiong Lee Cin-jin sebagai penemunya juga berhak maka pinceng akan mengajarkan ilmu
yang terkandung dalam kitab ini kepadamu sebagai ganti murid Tiong Lee Cin-jin. Kalau begitu, barulah
enak rasa, hati pinceng terhadap Tiong Lee Cin-jin.”

Thian Liong terkejut sekali. “Akan tetapi.... teecu tidak berhak dan tidak berani menerimanya,
locianpwe....”

“Hemm, kalau engkau tidak mau menerima pelajaran ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng ini, terpaksa
pinceng juga tidak mau menerimanya dan bawalah kembali kitab ini kepada gurumu. Pinceng tidak ingin
disebut orang yang mau enaknya sendiri, tidak mengeluarkan setetespun keringat namun menikmati
hasilnya. Nah, bawalah kitab itu dan pergilah!”

Thian Liong menjadi bingung. Dia masih belum menerima kitab itu. “Aduh, locianpwe, teecu menjadi
bingung dan tldak tahu harus berbuat apa. Kalau teecu harus membawa kembali kitab ini tentu suhu

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 170

merasa tldak senang. Seballknya kalau teeeu menerima usul locianpwe, sungguh teecu merasa tidak
enak kepada semua murid Siauw-lim-pai.”

“Omitohud, engkau terlalu halus budi dan sungkan, Thian Liong. Tidak ada perasaan tidak enak kalau
engkau sudah pinceng terima sebagai muridku! Siapa yang akan menyalahkanmu kalau sebagai murid
pinceng engkau mempelajari ilmu yang menjadi pusaka Siauw-lim-pai? Ataukah.... engkau menganggap
pinceng tidak pantas menj'adi gurumu ke dua se-telah gurumu Tiong Lee Cin-jin?”

Diam-diam Thian Liong? merasa girang sekali. Dari gurunya dia sudah mendengar bahwa ketua Siauw -
lim-pai ini adalah seorang yang memiliki kesaktian, maka alangkah beruntungnya kalau dia diterima
menjadi murid dan akan diberi pelajaran dari kitab pusaka Sam-jong-cin-keng ttu. Akan tetapi yang
membu-at dia meragu adalah kalau-kalau dia a-kan dlharuskan tlnggal terlalu lama dl Kull Siauw Lim.

“Terima kasih atas kemurahan hati suhu,” katanya, tanpa ragu-ragu menyebut suhu kepada hwesio tua
itu. “Akan tetapi, teecu telah mendapatkan tugas dari suhu Tiong Lee Cin-jin untuk membela Kerajaan
Sung dan menentang kekuasaan menteri jahat yang mengacaukan negara. Kalau teecu harus menjadi
murid dan tinggal lama di Siauw-lim-si, bagaimana teecu akan dapat melaksanakan tugas itu?”

“Omitohud! Jalan pikiran Tiong Lee Cin-jin ternyata tidak berbeda dengan jalan pikiran pinceng. Yang dia
maksudkan tentu agar engkau menentang kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui, bukan? Jangan
khawatir, Thian Liong. Pinceng berjanji hanya akan mengajarkan isi kitab yang ditemukan kembali oleh
gurumu pertama ini dan mengingat bahwa, engkau tentu telah memiliki dasar yang amat kuat, maka
pinceng yakin bahwa dalam beberapa bulan saja engkau tentu akan mampu menguasainya dengan
baik.”

Demikianlah, mulai hari itu Thian Liong tlnggal dl kull Siauw-lim dan dl bawah blmbingan Hui Sian
Hwesio sendiri dia mempelajarl dan berlatlh ilmu silat berdasarkan kltab pusaka San-jong Cin-keng yang
menurut dongeng diciptakan sendiri oleh Ji-lai-hud! Sementara itu, Cia Song yang memiliki tugas berat
untuk rnenangkap pemerkosa puteri Kwee Bun To seperti yang sudah dia janjikan, juga meninggalkan
kuil untuk melaksanakan tugasnya.

Sebulan lewat dengan cepatnya dan Thian Liong mendapat kenyataan yang iuar biasa dan
menyenangkan hatinya. Setelah berlatih siu-lian (bersamadhi) dan pernapasan menurut ilmu yang
diajarkan Hui Sian Hwesio menurut Kitab Sam-jong Cin-keng, dia merasa bahwa tenaga dalam yang
sudah dikuasainya dan berpusat di bawah pusar itu kini menjadi bertambah kuat. Ilmu silat yang
terkandung dalam kitab itu hanya ada delapan jurus pokok. Akan tetapi delapan Jurus pokok ini
mengandung tenaga saktl yang amat dahsyat dan juga memungklnkan perkembangan menurut bakat
yang menguasai.

Pada suatu malam, Thlan Llong rebah di etas pembaringan dalam kamarnya dl kuil itu. Seperti biasa,
waktu malam Itu dia membaca Kltab Sam-jong- Cln-keng dan melatlh siu-lian karena dl waktu siang dia
berlatlh gerakan silat di bawah bimbingan Hui Sian Hweslo. Setelah merasa lelah dan mengantuk, dla
menyimpan kitab itu dalam sebuah almarl yang terdapat di sudut kamarnya dan diapun merebahkan
dlrlnya ke atas pembaringan untuk tidur.

Menjelang tengah malam keadaan kull itu sunyl sekali. Semua hweslo sudah tldur. Sesosok bayangan
hltam yang gerakannya llncah dan ringan sekali dengan mudahnya karena dia menggunakan tenaga sin-
kang yang amat kuat, membuka jendela kamar Thian Liong tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Dia

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 171

melompat ke dalam kamar melalui jendela yang terbuka itu dan gerakannya benar-benar ringan seperti
seekor kucing melompat sehingga ketlka kedua kakinya hlnggap di atas lantai kamar yang gelap itu, tidak
terdengar suara sedlkitpun. Dia lalu bergerak ke depan, perlahan-lahan dan hati-hati sekali, dalam
kegelapan itu dia menghampiri almari dan membukanya. Dengan meraba-raba dia dapat menemukan
Kitab Sam-jong Cin-keng dan cepat meninggalkan kamar melalui jendela yang terbuka. Akan tetapi
karena tergesa-gesa kakinya melanggar kaki meja sehingga terdengar sedikit suara berderit. Secepat
burung terbang, tubuhnya sudah melayang melalui jendela.

Sedikit suara itu cukup untuk membangunkan Thian Liong. Nalurinya yang kuat dan peka membuat
Thian Liong menyadari bahwa ada hal tidak wajar terjadi dalam kamarnya. Dia menengok dan melihat
bayangan berkelebat keluar dari jendela yang terbuka. Otomatis seluruh syaraf dalam tubuh Thian Liong
bekerja. Seketika dia tahu bahwa ada orang memasuki kamarnya dan diapun segera dapat menduga
bahwa orang itu tentu mencuri Kitab Sam-jong Cln-keng. Kalau bukan kitab itu yang dlcuri, apa lagi? dia
segera menyambar Thian-liong-kiam yang diselipkan di bawah bantal, lalu sekali melompat tubuhnya
sudah melayang keluar jendela melakukan pengejaran sambil menyelipkan pedang di ikat pinggangnya.

Dalam keremangan sinar lembut jutaan bintang di langit hitam Thian Liong melihat sosok bayangan itu
di atas genteng kuil besar. Diapun melompat dan mengejar. Dia mengerahkan seluruh gin-kangnya (ilmu
meringankan tubuhnya) dan berhasil mendahului dan menghadang orang yang berpakaian serba hitam
dan mukanya memakai kedok hitam itu. Hanya sepasang matanya saja yang tampak melalui lubang pada
kedok, sepasang niata yang bersinar tajam. Diapun melihat bahwa pencuri berkedok hitam itu
membawa sebuah kitab di tangan kirinya. Biarpun cuaca remang-remang Thian Liong tehu benar bahwa
kitab itu bukan laln adalah Kltab Sam-jong Cln-keng yang sedang dipelajarlnya di bawah plmpinan Hul
Sian Hwesio.

“Pencuri! Kembalikan kitab itu!” Thian Liong membentak, suaranya melengking menembus malam
sunyi.

Pencuri itu agaknya terkejut melihat Thian Liong dapat bergerak sedemiklan cepatnya dan tahu -tahu
telah menghadang di depannya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju, kepalan kanannya
menyambar ke arah dada Thian Liong. Pukulannya cepat sekali dan juga mengandung tenaga yang amat
kuat. Thian Liong mengenal pukulan ampuh, maka dia miringkan tubuh sambil menangkis dari samping.

“Dukk!” Keduanya terguncang oleh pertemuan kedua lengan itu dan pencuri itu mengeluarkan seruan
kaget, namun dengan kecepatan yang luar blaaa kaki klrlnya meneuat dalam tendangan yang
menyambar ke arah lambung Thlan Liong.

Thlan Uong maklum bahwa pencurl itu adalah aeorang yang memlllkl ilmu kepandaian silat tinggi. Dla
sudah waspada dan begltu kaki lawan menyambar, dlapun sudah menghlndar ke kiri. Pencurl itu
memballkkan tubuh untuk melarikan diri.

“Hendak lari ke mana kau? Kembalikan kitab itu!” Thian Liong mengerahkan gin-kangnya dan dia
melompat tinggi mengejar. Ketika berada di atas pen-curi itu, tangannya menyambar ke bawah, yang
kiri mencengkeram ke arah kepala pencuri itu dan yang kanan menyambar untuk merampas kitab dari
tangan kiri lawan.

“Uhh....!” Pencuri itu makin terkejut dan cepat merendahkan diri mengelak sambii melompat ke
samping sehingga serangan Thian Liong luput walaupun hampir saja kitab itu dapat direbutnya. Pencuri

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 172

itu agaknya menjadi marah sekali karena hampir saja kitab itu teram-pas oleh Thian Liong. Mereka kini
berhadapan dalam jarak kurang lebih empat meter. Tiba-tiba pencuri itu menggunakan tangan
kanannya untuk diputar-pu-tar dan tubuhnya merendah, kedue lutut ditekuk hamplr berjongkok dan
tiba-tiba tangan kanannya itu didorongkan ke arah Thlan Liong sambil membentak keras.

“Haaiiiilittt....!” Dari tangan kanan yang didorongkan itu keluar uap hiiam!

Thlan Liong terkejut. Orang itu menyerangnya dengan tenaga sakti yang amat dahsyat dan melihat uap
hitam itu sangat boleh jadi tenaga dorongan itu mengandung hawa beracun yang berbahaya. Thian
Liong segera mengerahkan tenaganya pada lengan kirinya dan miringkan tangan kiri ke depan dada, lalu
mendorong ke depan rnenyambut serangan lawan.

“Wuuuuttt.... bressss....!!” Dua tenaga bertemu dan uap hitam itu membuyar, tubuh pencuri itu
terhuyung ke belakatig. Thian Liong tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Tubuhnya sudah berkelebat
ke depan dan sekali sambar dia sudah berhasil merampas Kitab Sam-jong Cin-keng itu dari tangan si
pencuri. Akan tetapi, sungguh tak disangka sama sekali tubuh pencuri itu bergulingan dan tahu -tahu
kitab itu dapat dirampas kembali! Thian Liong terkejut karena tidak menyangka pencuri itu memiliki
kegesitan yang demikian luar biasa, dan tubuh yang bergulingan itu amat cepatnya. Dia segera terlngat
akan hasil llmu yang dilatihnya dari kitab Sam-jong Cln-keng, maka untuk merampas kembali kitab itu,
dia mengerahkan tenaga dan menggunakan tangan kirinya untuk menyerang, mencengkeram ke arah
leher lawan. Pencuri itu agaknya maklum akan kelihaian Thian Liong, maka dia bermaksud mengelak dan
melarikan diri. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia mengelak, lengan Thian Liong itu dapat mulur
(memanjang) seperti karet dan tahu-tahu telah merampas lagi kitab dari tangannya! Thian Liong merasa
gembira karena ternyata ilmu mengulur tangan sehingga memanjang satu meter lebih itu telah berhasil
dia kuasai dan kini telah memperlihatkan hasilnya!

Pencuri itu marah sekali. Dia sudah bersiap untuk menyerang lagi, akan tetapi pada saat itu terdengar
terlakan beberapa suara, “Tangkap penjahat....!”

Mendengar teriakan-teriakan itu, si pencurl terkejut dan dia melompat Jauh dengan gerakan cepat
sekall dan menghilang dalam kegelapan yang remang-remang. Thian Liong tldak mengejar karena kitab
yang dlcuri itu telah dapat dirampasnya kembali. Dia segera melompat turun dari atas genteng kuil besar
dan di bawah sudah berkumpul banyak hwesio, di antaranya terdapat Ki Sian Hwesio.

“Souw-sicu, apakah yahg terjadl? Kenapa tadi ada murid-murid yang berteriak tangkap penjahat?” tanya
Kl Sian Hwesio, pelatih para murid Siauw-lim-pai itu.

“Suhu, tadi ada orang berpakaian serba hitam di atas genteng, bertandlng dengan Souw-sicu, maka kaml
berteriak-teriak.” kata seorang murid Siauw-lim-pai.

Tlba-tlba muncul Cu Slan Hwesio, wakil Ketua Slauw-lim-pal dan dia segera berkata, “Souw-sicu, tadi
pinceng mendengar suara ribut-ribut dan segera mengejar naik ke atas atap. Akan tetapi penjahat itu
telah melarikan diri dengan cepat dan kebetulan pinceng bertemu dengan Cla Song, maka pinceng
menyuruh dia untuk melakukan pengejaran. Apa yang telah dilakukan penjahat itu?”

“Dia memasuki kamar teecu dan mencuri Kitab Sam-jong Cin-keng, Susiok (paman guru). Teecu
terbangun dan segera mengejarnya. Kami bertanding di atas atap dan teecu beruntung dapat merampas

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 173

kembali kitab ini, akan tetapi dia mendengar suara ribut-ribut dan melarikan diri.” kata Thian Liong
sambil memperlihatkan kitab yang telah dapat dirampasnya kembali,

“Omitohud! Untung engkau dapat merampasnya kembali. Sekarang lebih baik jangan ribut-ribut dan
jangan mengagetkan ketua, kita tunggu saja di ruangan ini sampai Cia Song kembali dari
pengejarannya.” kata wakil ketua itu dan mereka semua duduk di ruangan itu. Thian Liong menceritakan
lagi peristiwa pencurian dalam kamarnya itu.

Tak lama kemudian, tiba-tiba tampak sosok bayangan orang berkelebat. Semua orang menole h dan
memandang dan ternyata yang datang itu, adalah Cia Song. Cu Sian segera bangkit berdlri, menyambut
pemuda tampan dan gagah itu dengan pertanyaan, “Bagaimana, Cia Song, berhasilkah engkau
menangkap penjahat itu

Cia Song mengerutkan alisnya dan memandang kepada Thian Liong dengan menyesal. Kemudian dia
berkata kepada sang wakil ketua. “Sayang sekali, susiok, teecu tidak berhasil menangkapnya. Teecu
memang dapat menyusulnya dan kami bertanding mati-matian. Ternyata penjahat itu lihai bukan main.
Dengan mengerahkan seluruh kemampuan, teecu hanya berhasil merenggut topeng kain hitam yang
menutupi wajahnya, akan tetapi dia melompat jauh dan menghilang dalam kegelapan pohon-pohon di
luar kuil kita.” Pemuda itu mengambil sehelai kain hitam dari saku bajunya dan menyerahkan kain itu
kepada Cu Slan Hwesio.

Pendeta itu menerima kain hitam yang tldak terlalu lebar itu dan mengamatlnya. Hanya kaln blasa yang
dlpergunakan untuk menutup muka dan kepala dengan dua lubang di bagian mata. “Kalau begitu,
engkau tentu telah melihat dan mengenal muka penjahat itu!” kata Cu Slan Hwesio girang.

Cia Song mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Sayang sekali tidak, susiok. Teecu dapat
mgnyusulnya setelah berada di luar kull dan kaml bertandlng dl kegelapan bayang-bayang, pohon, lebih
mengandalkan pendengaran daripada penglihatan. Ketika teecu berhasil merenggut lepas topengnya,
teecu tidak dapat melihat mukanya dalam kegelapan dan dia cepat melarikan diri.”

“Cia-twako, apakah dia seorang wanita?” tanya Thian Liong.

“Souw-sute (adik seperguruan Souw), kenapa engkau masih menyebut twako (kakak) kepadaku?
Bukankah aku ini sekarang termasuk menjadi suhengmu?”

“Maafkan, suheng. Apakah pencuri tadi seorang wanita?” Pertanyaan ini diajukan Thian Liong karena dla
teringat akan dua orang gadis, yaitu gadis berpakaian merah yang telah mencurl Kitab Ngo-heng Lian-
hoan Kun-hoat millk Kun-lun-pai yang belum dia ketahui namanya dan yang seorang lagi Ang-hwa Sian-li
Thio Siang In yang juga berminat untuk pinjam Kitab Sam-jong Cin-keng.

Mendengar perkataan ini, Cia Song dan juga Hui Sian Hwesio memandang heran.

“Sudah kukatakan bahwa aku tldak dapat melihai mukanya di tempat gelap Souw -sute. Melihat
kelincahan gerakannya, mungkin saja ia seorang wahita. Aku tidak tahu jelas. Bagaimana pendapatmu?
Bukankah engkau juga sudah bertanding melawannya?”

Thian Liong menggeleng kepala dengan ragu. Dia Juga tidak dapat menentukan. Pencuri itu jelas lihai
sekali, akan tetapi gerakannya dalam bersilat tidak sama dengan gerakan Siang In.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 174

“Mengapa engkau menduga bahwa pencuri itu seorang wanita, Souw-sicu?” Hwesio itu masih menyebut
Thian Liong dengan sebutkan itu karena dia merasa sungkan mengingat bahwa Thian Liong adalah murid
dan juga utusan Tiong Lee Cinjin yang amat dihormatinya.

“Teecu hanya nienduga saja, susiok. Bolehkah teecu meminjam sebentar kain topeng itu?”

“Ini, slmpanlah. Engkau yang digapg-gu pencuri, blar engkau yang menyimpan topeng ini. Siapa tahu dari
topeng ini kelak engkau akan dapat menemukan pencurinya.” kata Cu Sian Hwesio sambil tersenyum
dan menyerahkan kain itu kepada Thian Liong. Thian Liong menerirnanya dan tak lama kemudian Cu
Sian Hwesio menyerukan kepada semua orang untuk kembali ke kamar masing-masing. Akan tetapi dia
juga memerintahkan para murid untuk malam itu melakukan penjagaan dan perondaan secara bergilir.

Setelah para murid pergi dan di situ hanya tinggal Thian Liong, Cia Song dan Cu Sian Hwesio bertiga,
pendeta itu bertanya kepada Cia Song. “Cia Song, bagaimana hasilnya dengan usahamu mencari
pemerkosa puteri Kwee-kauwsu itu? Sekarang sudah tiba waktu yang dijanjikan. Kalau pinceng tidak
salah meng-hitung, pada hari esok tentu guru silat itu akan datang menagih janji.”

“Ah, jangan-jangan....” Thian Liong menahan kata-katanya.


“Apa maksudmu, Souw-sicu?” “Maksud teecu, jangan-jangan pemerkosa dan pencuri itu sama
orangnya!”

“Hemm, benar juga! Susiok, harap jangan khawatir. Teecu sudah melakukan penyelidikan dan sudah
dapat menemukan jejak pemerkosa itu. Mungkin juga dia pencuri kitab tadi. Teecu pasti akan dapat
menghadapkannya ke depan Kwee-kauwsu pada besok pagl. Sekarang juga teecu akan melanjutkan
penyelidikan dan menangkap orangnya agar besok dapat teecu hadapkan kepada Kwee -kauwsu.” kata
Cia Song dengan suara mantap.

“Omitohud! Sukurlah kalau begitu. Akan tetapi.... dia.... dia bukan murid Siauw-lim-pai?” tanya pendeta
itu agak khawatir.

“Bukan, susiok. Dia bukan murid Siauw-lim-pai, hanya saja dia agaknya dapat mencuri ilmu Lo-han-kun
dan menggunakannya sehingga Kwee-kauwsu menyangka bahwa dia murid perguruan kita.”

“Sukurlah. Pinceng dapat tidur nye-nyak malam ini.” kata Cu Sian Hwesio dan mereka lalu berpisah.
Hwesio itu dan Thlan Liong kembali ke kamar masing-masing sedangkan Cia Song keluar dari kuil untuk
melacak pemerkosa yang d carinya.

Pagi hari itu keadaan, di Siauw-lim-si seperti biasa. Matahari pagi bersinar lembut dan hangat,
mepghidupkan sega-la yang tampak. Para hwesio murid Siauw-iim-si juga sibuk dengan tugas pekerjaan
mereka sehari-hari. Akan tetapi biar keadaan sama dengan pagi-pagi yang lalu, namun suasananya
sungguh berbeda. Dalam hati para hwesio itu terda-pat kegelisahan. Semua orang tahu bahwa hari ini
adalah hari yang dijanjikan bagi guru silat Kwee Bun To. Tiga puluh hari telah berlalu dan agaknya Cia
Song, murid andalan Siauw-lim-pai itu agaknya belum juga dapat menangkap penjahat perperkosa
puteri Kwee Bun To itu. Dan kafau sampai hari ini Cia Song belum juga dapat menyerahkan pemerkosa
itu, tentu guru silat Kwee Bun To akan mengamuk dan membunuhl murld-murid Slauw-llm-pal! Karena
itu, suaeana amat menegangkan hati dan blarpun para hwe-sio itu melaksanakan tugas mereka masing-

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 175

masing dan tidak ada yang menyebut-nyebut urusan dengan Kwee Bun To namun diam-diam mereka
sudah bersiap-siap menghadapi kalau-kalau guru silat itu akan mengamuk.

Matahari telah naik tinggi dan Cla Song yang diharap-harapkan kedatangannya tnasih belum juga
tampak batang hi-dungnya. Cu Sian Hwesio dan pembantu-nya, Ki Sian Hweslo yang biasarya tenang itu
kini juga mulal menjadi gelisah. Mereka sudah menanti di pendopo kuil besar, duduk menunggu
kemunculan Cla Song.

“Kenapa Cia Song belum juga datang, suheng?” tanya Ki Slan Hweslo.

Cu Sian Hwesio menghela napas “Pinceng juga merasa heran. Malam tadi dia mengatakan bahwa pagi
ini dia pastl akan datang membawa penjahat itu.''

“Bagaimana kalau Kwee-kauwsu datang dan menuntut?”

“Tenanglah, sute. Kita melihat bagaimaria nanti saja. Apapun yang terjadi akan pinceng hadapi.” kata Ci
Sian Hwesio. “Mari kita menanti di dalam saja sambil bersamadhi menenangkan hati agar nanti kuat
menghadapi apapun juga. Mereka berdua lalu masuk ke dalam kuil.

Tak lama kemudian suasana menjadi semakin menegangkan ketika terdengar orang berteriak dengan
suara lantang sekali dan gemanya berkumandang di seluruh kompleks bangunan kuil Si auw lim.

“Heii! Para pimpinan Siauw-lim-pai! Hayo serahkan penjahat laknat itu kepadaku atau mulai hari ini aku
akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pai setiap hari!”

Pada saat itu Thian Liong sedang menerima petunjuk dari Hui Sian Hwesio mengenai jurus ke lima dalam
kitab Sam-jong Cin-keng. Selama satu bulan ini dia baru berhasll menguasai empat jurus saja. Ketlka
suara lantang itu berkumandang sampai ke dalam ruangan yang menjadi kamar sang ketua, Hul Sian
Hwesio menunda pelajaran itu dan berkata kepada Thian Liong. “Thian Liong, keluarlah dan llhat apa
yang terjadi. Bantulah Siauw-lim-pai kalau terancam, akan tetapi jangan menggunakan kekerasan agar
tldak menimbulkan permusuhan.”

“Balk, suhu,” Thian Liong lalu keluar darl ruangan itu dan menuju ke pendopo. Ketika tlba dl pendopo,
dla melihat semua murld Siauw-Lim-pal sudah berkumpul dl sltu dan mereka semua tampak tegang. Cu
Slan Hweslo dan Ki Sian Hweesio juga sudah berdirl dl pendopo.

Di bawah anak tangga pendopo Itu berdlrl seorang lakl-lakl beruala sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya
sedang saja, namun tegap dan tampak kokoh dan gagah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang
beronce biru. Dia tampak marah. Kumisnya yang tipis itu bergerak-gerak, matanya mencorong tajam
ketika dla menyapu tempat itu dengan ge|andang matanya, mencarl-carl.

“Di mana dia, Cia Song yang telah berjanji sebulan yang lalu untuk menghadapkan keparat yang
memperkosa puteriku itu? Hayo cepat suruh dla keluar menemuiku untuk mempertanggung-jawabkan
janjinya kepadaku!”

Cu Sian Hwesio melangkah maju menuruni anak tangga dan berhadapan dengan Kwe Bun To. Dia
merangkap tangan dl depan dada dan berkata dengan suara lembut, “Omltohud, selamat datang, Kwee-
kauwsu. Hendaknya dlketahuil bahwa sejak malam tadi Cia Song teleh pergl untuk menangkap. penjahat

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 176

itu,. Menurut katanya, pagi ini dia akan menghadapkan penjahat itu kepadamu di slni. Harap kauwsu
bersabar dan menanti kedatangannya.”

“Hemm, sudah sebulan aku bersabar. Malam itu Cia Song sudah datang berkunjung dan mendengar
keterangan anakku tentang peristiwa terkutuk itu dan dla mengulang janjinya dalam waktu sebulan dia
akan menangkap penjahatnya dan menyerahkannya kepadaku. Apakah dla hanya pendusta besar?”
Guru silat itu tampak marah sekall. Thian Liong menghampiri dan berdiri di dekat Ki Sian Hweslo, siap
untuk membantu kalau guru silat itu mengamuk.

“Omitohud, tidak ada murid Siauw-lim-pai yang melakukan kejahatan, apa lagi memperkosa wanita dan
tidak ada yang menjadi pendusta, Kwee Kauwsu. Pinceng harap engkau suka bersabar dan menunggu
sejenak.” kata Cu Sian Hwesio.

“Aku tidak mau bersabar lagi! Aku tidak mau menunggu lagi!” Guru silat itu membentak marah.

Pada saat itu terdengar teriakan dari luar kuil, “Kwee-kauwsu, aku datang!” Para hwesio girang
mengenal suara ini, suara Cia Song! Tak lama kemudian tampak pemuda itu berlari datang sambil
menggandeng tangan seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun. Pemuda itu bertubuh
sedang, wajahnya bersih tidak berkumis atau berjenggot akan tetapl wajah itu tak dapat dl sebut
tampan. Hldungnya pesek dan blblrnya tebal, matanya sipit sepertl terpejam. Setelah berlarl
menggandeng tangan o” rang itu dan tiba di depan Kwee Bun To, Cia Song mendorong pemuda itu ke
depan sehlngga orang itu jatuh berlutut di depan guru silat yang mengamatinya dengan sinar mata
tajam.

“Inilah orang yang engkau cari itu, Kwee-kauwsu.” kata Cia Song tegas. “Terbuktilah sekarang bahwa
pelakunya bukan murid Siauw-lim-pai!”

Orang itu berlutut dan tampak ketakutan sekali. Matanya yang sipit dia coba untuk dibelalakkan, dan
tubuhnya gemetaran. Setelah mengamati beberapa lamanya, Kwee Bun To mengerutkan alisnya dan
bertanya, “Orang macam ini ....??” Lalu dia berkata kepada orang itu membentak, “Siapa namamu?”

Akan tetapi orang itu tidak menjawab hanya memberi hormat dengan mengangguk-anggukan
kepalanya.

“Hemm, dia gagu?” tanya Kwee Bun To.

“Tidak, Kwee-kauwsu, aku telah menotoknya!” Setelah berkata demikian, Cia Song lalu menotok
tengkuknya dan orang , Itu terbatuk-batuk.

“Hei, siapa namamu?” kemball Kauw-su (guru silat) Kwe Bun To membentak.

“Na.... nama saya.... Giam Ti....” kata orang itu dengan suara gemetar.

“Dia mempunyai alias Hui-houw-ong (Raja Macan Terbang) dan menjadi kepala gerombolan di Bukit
Angsa, Kwe-kauwsu.” Cia Song menjelaskan. Kwee Bun To mengerutkan alisnya. Engkau sudah
beristeri?” tanya guru silat itu ketus.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 177

Orang yang bernama Giam Ti dan berjuluk keren itu diam saja, hanya mendekam seperti macan
kelaparan.

“Plak!” Cla Song menampar pundaknya. “Hayo jawab sejujurnya!”

Glam Ti meringis, agaknya tamparan itu terasa nyeri dan diapun mengangguk-angguk. “Su....dah,...
saya.... sudah beristerl....”

“jahanam busuk! Engkau sudah beristerl dan engkau berani memasuki kamar anakku, menotoknya lalu
memperkosanya? Hayo jawab!” Kwee Bun To menghardlk.

“Saya.... saya....”

Cia Song menekan pundak orang itu. “Hayo,mengaku, atau engkau ingin kusiksa lebth dulu?” Tekanan
pundak itu mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa. Rasa jantung orang itu sepertl dltusuk ratusan
batang jarum sehingga dia merintih lemah.

“Ya.... ya.... saya.... saya yang melakukan...perkosaan... itu....!”

“Keparat terkutuk!” Kwee Bun To menampar.

“Plakkkk!” tangan yang kokoh tegang itu menampar pipi. Giam Ti terpelanting dari tempat dia berlutut
dan bibirnya yang tebal pecah berdarah. Dia mengaduh dan mencoba bangkit, akan tetapi Kwee Bun To
kembali mengayun kaki menendang, mengenai dadanya.

“Dessss....!” Tubuh Glam Tl terjengkang dan dla muntah darah. Akan tetapl Thian Liong merasa heran
mengapa guru sllat itu membatasl pukulan dan tendangannya. Kalau guru silat yang lihai itu
menghendaki, sekali tampar saja kepala orang itu pasti akan pecah. Akan tetapi ternyata tamparan dan
tendangan itu tidak membuat Giam Ti tewas dan ini merupakan bukti bagi Thian Liong bahwa guru s ilat
itu sengaja tidak membunuh orang itu. Atau pemerkosa itu yang memiliki slnkang yang cukup, tinggi
sehingga dia dapat melindungi dirinya dengan kekebalannya.

Tiba-tiba Thian Liong terkejut sekali ketika dia melihat Cia Song tiba-tiba menerjang maju dan mengayun
tangan terbuka memukul ke arah kepala Giam Ti.

“Wuuuttt.... prakkk!” Tangan itu menghantam kepala Giam Ti. Orang itu terpelanting roboh dan tidak
mampu bergerak lagi, tewas dengan kepala retak!

Kwee Bun To terbelalak. Agaknya dia juga terkejut sekali seperti Thian Liong. Juga Cu Sian Hwesio
mengerutkan alisnya.

“Omitohud....! Cia Song, mengapa engkau lakukan itu? tegurnya.

“Cia-sicu, kenapa engkau membunuhnya?” Kwee Bun To juga menegur.

Cia Song menghela napas panjang.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 178

“Susiok, maafkan teecu karena teecu tak dapat menahan amarah terhadap penjahat ini. Teecu merasa
sakit hati karena dia melakukan perbuatan keji dan melempar fitnah kepada murid Siauw-lim-pai. Kwee-
kauwsu, kenapa engkau menegur aku yang membunuhnya? Aku juga mendendam kepadanya dan
bukankah engkau juga sedang menyiksanya untuk membunuhnya? Aku tidak suka melihat orang disiksa,
kalau memang dia jahat dan hendak dihukum bunuh, segera lakukan saja dan tidak perlu menyiksanya.
Itu terlalu kejam bagiku.”

“Omitohud....! Bagaimanapun juga, ada benarnya pendapat Cia Song tadi. Menyiksa dulu sebelum
dibunuh amatlah kejamnya. Kwe-kauwsu, sekarang pelaku kekejian itu sudah tertangkap dan sudah
dihukum mati sehingga jelas bahwa di antara engkau dan kami tidak ada urus-an apapun. Harap engkau
suka meninggalkan biara kami dengan damai dan sebagai seorang sahabat.” kata Cu Sian Hwesio sambil
memberi hormat kepada guru silat itu. “Biarlah kami yang akan mengurus jenazah Giam Ti ini.”

Kwe Bun To mengerutkan alisnya dan memandang kepada mayat kepala gerombolan itu. “Memang
urusan antara kita sudah beres dan ternyata murid Siauw-lim-pai tidak bersalah. Maafkan slkapku tadi.
Akan tetapi, sungguh menyesal sekali bahwa Cia-sicu membunuh orang ini. Itu lancang dan tergesa-gesa
namanya”

Cia Song melangkah maju menghadap guru silat itu. “Maaf, Kwee-kauwsu. Bagaimana engkau dapat
mengatakan aku lancang dan tergesa-gesa? Aku tidak membunuh dia karena kesalahannya kepadamu,
melainkan aku membunuhnya karena dia melempar fitnah kepada Siauw-lim-pai! Dan aku tidak tergesa-
gesa, karena aku membunuhnya setelah melihat engkau juga sedang menyiksanya dan hendak
membunuhnya.

“Hemm, siapa bilang aku mau membunuhnya? Aku tadi hanya ingin menghajarnya, tidak
membunuhnya.”

“Akan tetapi mengapa? Bukankah dia .. dia telah menodai puterimu?”

“Justeru itulah! Kalau dia mati, lalu bagaimana dengan nasib anakku? Tadinya mauku agar dia
mempertanggung-jawabkan perbuatannya dan mengawini anakku!'“

“Omitohud! Kenapa tidak engkau katakan sejak semula, Kwee -kauwsu? Kalau Cia Song tahu, pinceng
yakin dia tidak akan membunuhnya'.” kata Cu Sian Hwesio.

“Benar sekali. Ah, maafkan aku, Kwee-kauwsu. Siapa yang dapat mengira bahwa engkau akan
mengambil dia sebagai mantu. Dia? Orang jahat terkutuk ini menjadi mantumu, menjadi suami nona
Kwee Bi Hwa? Sungguh tidak patut orang macam dia mendapat kehormatan seperti itu! Sungguh sama
sekali tidak pernah kusangka, maka maafkan aku, Kwee-kauwsu.”

Kwee Bun To menghela napas panjang. “Sudahlah, semua sudah terjadi. Agaknya memang nasib
keluarga kami yang buruk. Selamat tinggal!” Guru silat itu lalu melangkah pergl, langkahnya loyo
menunjukkan bahwa perasaan hatinya sedang gundah memikirkan nasib puterinya.

Setelah terjadinya peristiwa itu, Thian Liong masih tinggal di biara Siauw-lim selama dua bulan lagi.
Sedangkan Cia Song telah meninggalkan Siauw-lim-pai untuk merantau dan melakukan tugas sebagai
pendekar yang membela keadilan dan kebenaran, menentang yang jahat dan membela yang lemah.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 179

Thian Liong membutuhkan waktu tiga bulan untuk mempelajari ilmu dari Kitab Sam-jong Cin-keng.
Setelah melihat bahwa Thian Liong benar-benar sudah menguasai ilmu itu, Hui Sian Hwesio
memanggilnya menghadap dan hwesio itu berkata, “Souw Thian Liong, pelajaranmu telah selesai. Lega
hati pinceng bahwa murid Tiong Lee Cin-jin telah menguasai ilmu dari kitab yang dia temukan. Dengan
begini, selain dapat membalas budi kebaikan Tiong Lee Cin-jin yang telah mengembalikan kitab pusaka
Siauw-lim-pai, juga Siauw-lim-pai telah membuktikan bahwa kami bukanlah partai yang serakah dan
tidak pelit untuk membagi ilmu kepada sahabat baik.”

“Akan tetapi sekarang teecu bukan orang luar, suhu, melainkan juga murid Siauw-lim-pai.”

“Ha-ha, omitohud. Bagus sekali kalau engkau merasa demikian, Thian Liong, Memang, pinceng sudah
mengakui engkau menjadi murid pinceng dan selanjutnya dalam sepak terjangmu, jangan lupa bahwa
engkau selain murid Tiong Lee Cin-jin, juga murid Siauw-lim-pai. Kalau kelak engkau mempergunakan
ilmu dari Sam-jong Cin-keng untuk melakukan perbuatan jahat, terpaksa pinceng sendiri yang akan
mencari dan menghukummu.'“

“Peringatan dan nasihat suhu akan selalu teecu ingat dan laksanakan dengan baik.”

“Pinceng yakln dan percaya kepadamu. Nah, sekarang, berangkatlah engkau melanjutkan perjalananmu
dan sempatkan salam hormat pinceng kepada yang mulia Tiong Lee Cin-jin. Engkau pernah bercerita
bahwa kitab pusaka Kun-lun-pai yang ditemukan gurumu dan yang harus kaukembalikan kepada Kun-
lun-pai telah dicuri orang dari tanganmu. Pinceng anjurkan agar engkau cari kitab itu samp ai dapat,
Thian Liong. Karena itu merupakan tanggung Jawabmu dan agar jangan mengurangi arti kebaikan yang
ditunjukkan oleh yang mulia Tiong Lee Cin-jin.”

“Baik, suhu. Memang teecu sudah mengambil keputusan untuk mencari kitab itu sampai dapat dan tidak
akan kembali kepada suhu Tiong Lee Cln-jin sebelum kitab Itu dapat teecu temukan, dan teecu serahkan
kepada Kun-lun-pai.”

Thian Liong lalu betpamit dari semua . Hwesio di biara itu dan meninggalkan Siauw -lim-si, berjalan kaki
dan menggendong buntalannya.

**

Kakek Itu telah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun. Tubuhnya besar gendut dan tinggi. Biarpun
usianya. sudah lanjut, tubuhnya masih sehat dan subur, juga wajahnya yang bundar gemuk itu belum
dihias keriput. Kepalanya yang gundul itu memakai sebuah peci berwarna kuning dan jubahnya kunlng
dengan kotak-kotak tnerah. Dari pakaiannya inl mudah diketahui bahwa dia adalah seo-rang pendeta
Lama, yaitu pendeta Bud-dhis dari Tibet. Mengherankan sekaH melihat seorang pendeta Tibet berada di
sebuah di antara puncak-puncak pegunungan Kun-lun. Bahkan sudah kurang lebih sepuluh tahun
pendeta Lama itu bersem-bunyi di puncak Kun-lun-san. Pendeta Lama ini bukan laln adalah Jlt Kong
Lama.

Sepertl sudah dlcerltakan di baglah depan kisah inl, Jit Kong Lama adalah seorang pendeta pelarlan darl
Tibet. Karena melakukan penyelewengan, hidup bersenang-senang menuruti nafsu, dia terancam
hukuman dari Dalai Lama dan terpaksa dia melarikan diri dar tidak berani kembali ke Tibet: Dia juga
gagal untuk merebut kitab-kitab pusaka dari tangan Tiong Lee Cin-jin. Kemudian dia menyelamatkan
Han Bi Lan yang berusia tujuh tahun dari tangan penculik anak itu, yaitu Ouw Kan, tokoh atau dukun dari

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 180

Suku Uigur. Kemudian, dia mengambil Bi Lan sebagai muridnya dan sudah sepuluh tahun gadis itu
menjadi rnuridnya. Dalam usianya yang sudah tua, Jit Kong Hwesio yang dulu hidup malang melintang
mengandalkan kesaktiannya dan banyak mengalami suka duka dan pertentangan, merasa berubah
hidupnya ketika bersama Bi Lian bersembunyi di puncak Kun-lun-san. Dia merasa tenteram dan damai,
dan dia merasa amat sayang kepada Bi Lan.

Matahari telah condong ke barat. Burung-burung beterbangan pulang sarang Jit Kong Lama duduk di
depan pondok kayu dan menatap ke depan, termenung. Hatinya merasa tidak enak sekali. Su dah tiga
hari Bi Lan pergi meninggalkan pondok. Pamitnya hanya untuk bermaln-main di sekitar pegunungan
Kun-lun-san. Dia merasa yakin bahwa muridnya itu tidak akan meninggalkannya tanpa memberita-hu.
Karena itulah dia merasa tidak enak khawatir kalau-kalau muridnya itu meng-alami halangan. Memang,
dia sudah menggembleng Bi Lan selama hampir sepuluh tahun. Dia telah mengajarkan semua ilmunya
yang terampuh dan gadis yang kini berusia tujuh belas tahun itu kini telah menjadi seorang yang
tangguh dan tidak sembarangan orang akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi dia tahu bahwa
betapapun lihainya, Bi Lan hanyalah seorang gadis muda yang kurang pengalaman, walaupun dia tahu
bahwa muridnya itu memiliki kecerdikan yang luar biasa.

“Suhu.....! Aku datang.......'!” Tiba-tiba terdengar suara melengking dari jauh dan Jit Kong Lama
tersenyum mengenal suara muridnya. Gadis itu telah menjadi begitu manja kepadanya, bahkan begitu
akrabnya sehingga berani beraku dan berengkau kepadanya! Diapun menganggap gadis itu seperti
anaknya sendiri yang tidak pernah dipunyainya.

Segera tampak Bi Lan berlarian seperti terbang mendaki lereng-lereng puncak terakhlr. Tak lama
kemudian la sudah berdlrl di depan Jlt Kong Lama dengan senyumnya yang cerah dan manis. jit Kong
Lama mendadak melihat segala, sesuatu menjadl cerah dan indah.

“Bi Lan, ke mana saja engkau selama tiga hari ini? Engkau membikin aku gelisah saja!” kakek itu
menegur, akan tetapi sambil tersenyum lebar.

“Aih, suhu. Mengapa mengkhawatirkan aku? Aku bukan anak kecil lagi. Dan pula, tidak percuma selama
ini aku berguru kepadamu! Aku dapat menjaga diri. Aku membawa kabar gembira, suhu. Aku
menemukan sebuah kitab pusaka pelejaran silat yang langka, kuno dan ampuh sekali! Akan tetapi
setelah kupenksa isinya, aku menjadi bingung. Bahasanya kuno banyak huruf yang tidak kumengerti.
Karena itu, aku harap suhu suka membimbingku mempelajari ilmu silati itu.”

“Eh? Kitab pusaka? Coba perlihatkan padaku!” kata Jit Kong Lama sambil ter-senyum dan mengira
muridnya bicara berlebihan. Bi Lan mengambil kitab dari buntalannya dan menyerahkannya kepada
gurunya.

Jlt Kong Lama menerima kitab itu dan membuka-buka lembarannya. Bi Lan berdiri memandang dan
merasa glrang dan bangga melihat kakek itu membelalakkan mata dan tampak terkejut dan heran sekali.

“Omitohud....!” Saking kaget dan herannya, Jit Kong Lama mengucapkan pujian ini yang selama sepuluh
tahun ini hampir terlupa olehnya. “Ini adalah Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, kitab pusaka milik
Kun-lun-pai! Dari mana engkau mendapatkan kitab ini, Bi Lan? Engkau tidak mencurinya dari Kun-lun-
pai, bukan?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 181

Bi Lan memandang gurunya dengan bibir cemberut manja. “Aih, suhu. Aku tidak mencurinya, hanya
meminjaiTi. Kalau aku sudah selesai mempelajarinya, pasti kukembalikan kepada Kun -luri-pai kalau
memang kitab ini milik Kun-lun-pai.”

“Kitab pusaka ini memang merupakan puaaka Kun-lun-pai yang amat lang-ka!” Kakek itu mengahgguk-
angguk dan membalik-balikkan lembaran kitab itu. “Sungguh pelajaran silat yang hebatl Sayang aku
sudah terlalui tua untuk mempelajarinya.”

“Aku mendapatkannya bukan untukmu, suhu, akan tetapi untuk aku sendiri. Asal suhu mau
membimbingku dan memberi penjelasan, aku tentu akan dapat menguasai ilmu itu.”

“Baiklah. Akan tetapi setelah selesai harus kau kembalikan. Kalau sampai Kun-lun-pai mengetahui bahwa
engkau mengambil kitab pusaka mereka, engkau tentu akan dimusuhi dan.... wah, berat sekali kalau
harus bermusuhan dengan sebuah partai persilatan sebesar Kun-lun-pai yang mempunyai banyak sekali
orang-orang sakti!”

“Aku pasti akan mengembalikannya kelak, suhu. Sekarang, ajarilah aku!” .

Setelah menyimpan buntalan pakaiannya dalam kamar, mulailah Bi Lan dilatih oleh Jit Kong Lama
menurut kitab itu. Mula-mula dia memberi petunjuk seperti yang tertulis di halaman pertama.

“Kitab ini mengandung ilmu silat tangan kosong yang disebut Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat atau
singkatnya Ilmu Silat Berantai Lima Unsur utama, yaitu, air, api, logam dan kayu. Lima unsur inl
mempunyai hubungan erat satu sama lain dan hubungan ini mengatur keseimbangan. Tanah
mengalahkan air, air mengalahkan api, api mengalahkan logam, logam mengalahkan kayu dan kayu
mengalahkah tanah. Juga kebalikannya, mereka saling menunjang. Kelimanya saling melengkapi
sehingga mengatur keseimbangan dan kesempurnaan keadaan di bumi. Tanah berkedudukan di tengah,
logam di utara, kayu di selatan, air di bawah dan api di timur. Tubuh kita merupakan alam kecil yang
juga terikat pada hukum gerakan kelima unsur itu” Demikianlah, semalam suntuk Jit Kong Lama
menjelaskan tentang Ngo-heng (Lima Unsur Pokok) kepada muridnya. Kemudian pada hari -hari
selanjutnya dia mulai membimbing Bi Lan berlatih ilinu silat yang luar biasa dan yang menjadi pusaka
perguruan Kun-lun-pai. Pada waktu itu, jarang ada murid Kun-lun-pai yang mengenal ilmu silat Ngo-heng
Lian-hoan Kun-hoat karena kitab itu telah hilang seratus tahun lebih. yang lalu. Bahkan ketua Kun-lun-
pai saat itu, Kui Beng Thaisu yang berusia tujuh puluh tahun, hanya menguasai tidak lebih dari tujuh
bagian saja dari ilmu itu.

Demikianlah dengan amat tekun dan tldak mengenal lelah Bi Lan mempelajari ilmu silat dari kitab
pusaka itu. Saking tekunnya, setiap hari ia berlatih tanpa mengenal waktu sehingga waktu meluncur
dengan cepat tanpa ia sadari dan tahu-tahu setahun sudah berlalu sejak ia mempelajari ilmu silat itu.
Setelah setahun berlatih keras, barulah. Ia berhasil menguasal. seluruh ilmu silat itu.

Pagi hari itu Jlt Kong Lama sudah bangun dan mandi sehingga dia tampak segar. Namun ada sesuatu
dalam sinar matanya yang mengandung kemuraman. Wajah bulat gemuk yang biasanya selalu dihias
senyum itu pagi ini tampak lesu. Dia duduk menanti Bi Lan yang pagi -pagi sekali tadi sudah mandi dan
sekarang sedang sibuk di bagian belakang pondok kayu itu menyiapkan minuman pagi untuknya.
Akhirnya Bi Lan memasuki ruangan depan dan meletakkan sebuah poci air teh dan cawannya ke atas
meja sambil berkata, “Minumlah, suhu, selagi air teh ini masih panas.” Dara itu kemndian hendak
kembali ke belakang.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 182

“Bi Lan, duduklah, aku ingin bicara denganmu.” kata jit Kong Lama.

Bi Lan menahan langkahnya, lalu kembali dan duduk di seberang meja. la memandang wajah gurunya
dan baru melihat wajah yang muram dan kehilangan kecerahannya itu.

“Eh? Ada apakah, suhu? Suhu tampaknya sedang memikirkan sesuatu dan merasa tidak gembira.”
tegurnya.

“Bi Lan, engkau telah berhasil menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, rnaka stidah sepahtasnya dan
tiba saatnya bagimu untuk mengemballkan kitab pusaka itu kepada Kun-lun-pai.”

“Ah, tentu saja, suhu! Memang akupun sedang memikirkan hal itu dan besok atau lusa aku akan
mengembalikarinya ke sana. Akan tetapi hal itu tidak perlu disedihkan, bukan? Kitab pusaka itu memang
hak milik mereka dan akukan sudah menguasai seluruhnya?”

“Aku tidak menyedihkan hal itu, Bi Lan, Akan tietapi tahukah engkau babwa engkau sudah sebelas tahun
mempelajari ilmu dariku?”

Bi Lan mengangguk. “Aku tahu, suhu. Setahun yang lalu, ketika aku belum menemukan kitab Ngo -heng
Lian-hoan Kun-hoat, aku sudah sepuluh tahun berada di sini bersamamu dan sudah selesai belajar.”

“Kau tahu apa artinya itu? Apakah engkau lupa akan janjiku kepadamu dulu?”

“Aku tidak lupa, suhu. Suhu akan mengajarku selama sepuluh tahun. Karena itulah, setahun yang lalu
aku sengaja turun dari sini dan selama tiga hari bermain-main di sekitar Kun-lun-san. Kemudian aku
mendapatkan kitab itu dan ingin sekali mempelajarinya sehingga aku tinggal setahun lagi di sini. Berarti
aku sudah sebelas tahun tinggal bersama suhu. Aku tahu bahwa sudah tiba saatnya aku harus turun
gunung, mencari orang tuaku, membalaskan kematian Nenek Lu-ma yang dibunuh oleh tokoh Uigur
yang bernama Ouw Kan seperti yang suhu pernah ceritakan, dan juga tidak lupa mencari musuh suhu
yang bernama Tiong Lee Cin-jin untuk membunuhnya. Akan tetapi, mengingat bahwa suhu sekarang
telah begini tua, bagaimana aku tega untuk meninggalkanmu hidup seorang diri disini?”

Wajah yang bulat itu kini berseri kembali, mulutnya tersenyum dan Jit Kong Lama menjulurkan kedua
tangannya di atas meja, menangkap tangan Bi Lan dan menggenggamnya.

“Terima kasih, Bi Lan. Tidak percuma aku dahulu menyelamatkanmu, tidak sia-sia aku mendidikmu
selama sebelas tahun. Aku telah mendapatkan hadiah yang teramat besar dan tak ternilai harganya,
hadiah yang mendatangkan kebahagiaan yang tak pernah kurasakan selama, hidupku, yaitu kasih
sayangmu, Bl Lan. Selama ini engkau menyayangku seperti ayahmu sendiri, memasak, mencuci pakaian
untukku. Engkau begitu manis, seperti matahari dalam hidupku. Ah, terima kasih Bi Lan.” Sepasang mata
kakek itu menjadi basah.

Bi Lan tersenyum. “Aih, suhu ini, ada-ada saja! Sudah tentu saja aku sayang kepada suhu! Suhu bukan
hanya menjadi guruku, juga menjadi pengganti orang tuaku, suhu mendidikku dengan penuh kasih
sayang, tentu saja aku sayang kepada suhu. Karena itu pula aku tidak tega meninggalkanmu, suhu.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 183

“Tidak, Bi Lan. Aku selama sebelas tahun ini juga belajar dengan tekun, belajar untuk menguasai nafsu -
nafsu keinginanku sendiri, keinginan yang mengejar kesenangan hati bagiku sendiri. Nafsu keinginan
untuk menang sendiri inilah yang dulu menyeretku ke dalam kesesatan sehingga terpaksa aku harus
meninggalkan Tibet. Dan sekarang aku juga telah tamat belajar seperti engkau, Bi Lan. Aku menemukan
jawabannya bahwa hanya dengan kasih sayang murni terhadap segala sesuatu yang tampak dalam
dunia ini, terutama terhadap sesama manusia, maka aku akan mampu menundukkan nafsu-nafsuku
sendiri. Dengan mengesampingkan kepentingan pribadi dan mendahulukan kepentingan orang lain,
maka nafsu dalam diriku akan menjadi jinak.

Aku tidak mau menuruti keinginan hati sendiri dengan menahanmu di sampingku. Tidak, engkau harus
turun gunung engkau harus mencari orang tuamu dan menentang si jahat Ouw Kan. Dan engkau tidak
perlu lagi mencari Tiong Lee Cin-jin karena akulah yang bersalah terhadap dia. Pergilah, Bi Lan, pergilah
tinggalkan aku dan doa restuku selalu menyertaimu.” Kakek itu melambaikan tangan ke arah luar pintu
pondok.

“Akan tetapi, bagaimana aku akan tega meninggalkanmu seorang diri di sini, suhu? Suhu sudah tua,
siapa yang akan membuatkan air teh? Siapa yang akan memasakkan makanan? Siapa yang akan
mencucikan pakaian suhu dan siapa yang akan merawat dan membersihkan isi rumah dan halaman?”

Kakek itu tersenyum. “Jangan khawatir, aku dapat melakukannya sendiri. Dahulu, sebelum engkau
menjadi muridku, akupun hidup seorang diri.”

“Akan tetapi suhu sekarang sudah tua sekali. Ah, begini saja baiknya, suhu.. Mari suhu ikut bersama aku
pergi ke Lin-an. Di kota raja itu orang tuaku memiliki rumah yang cukup besar. Suhu dapat tinggal
bersama kami di sana!”

Jit Kong Lama menggeleng kepala sambil tersenyum. “Tidak, Bi Lan. Aku harus kembali ke tempat
asalku.”

“Apa? Ke Tibet? Akan tetapi suhu akan dimusuhi di sana!” kata Bi Lan yang sudah pernah mendengar
cerita gurunya bahwa gurunya seorang pelarian dari Tibet.

Jit Kong Hwesio tersenyum lebar. “Sekarang aku mengerti bahwa aku tidak akan dapat melarikan diri
dari jangkauan karma. Aku tahu bagaimana untuk menghadapi para pendeta Lama di Tibet, yaitu
dengan kasih sayang! Aku sudah tua, kalau mereka ingin membunuhku, silakan. Akan tetapi aku tetap
akan menghidupkan kasih sayang di dalam hatiku. Sudahlah, Bi Lan. Keputusanku sudah tetap. Engkau
harus turun gunung dan jangan meinikirkan aku lagi. Tugasmu di masa depan masih banyak sekali dan
jauh lebih penting daripada memikirkan tentang diriku.”

Bl Lan tidak dapat membantah lagi. la lalu membungkus semua pakalannya dalam sebuah buntalan. la
tidak membawa senjata karena memang tidak memiliki senjata. Gurunya mengajarkan ilmu-ilmu silat
tinggi sehingga benda apapun di tangannya dapat dipergunakannya sebagai senjata, terutama sekali
sepotong kayu yang menjadi senjata tongkat. Setelah siap berkemas, ia menghampiri gurunya. Mereka
berdirl berhadapan di depan pintu pondok karena kakek itu mengantar muridnya sampai di depan pintu.
Mereka saling berhadapan.

Bi Lan memandang wajah yang bulat dan yang tersenyum itu, namun ia melihat mata Itu demikian sayu.
“Selamat tinggal, suhu.” katanya lirih.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 184

“Selamat jalan, Bi Lan. Semoga hidupmu selalu bahagia, muridku.... anakku....” Bi Lan mengeraskan
hatinya namun tidak dapat menahan keharuan hatinya.

“Suhu....!” la berseru dan merangkul kakek itu. Jit Kong Lairta juga merangkul Bi Lan dan mengelus
kepala gadis itu dengan tangannya.

“Berangkatlah, anakku, jangan memperlihatkan kelemahan hati seperti ini.” katanya menghibur. Bi Lan
menangis sejenak, terisak di dada gurunya. Kemudian ia menguatkan hatinya dan tiba-tiba ia teringat
betapa selama ini ia bersikap akrab dan tidak menghomati gurunya, maka ia lalu menjatuhkan dirinya
berlutut di depan kaki gurunya.

“Suhu....” ia merangkul kedua kaki gurunya.

Jit Kong Lama mengejap-ngejapkan mata untuk mengusir dua titik air mata , dari pelupuk matanya.
Kemudian dia membungkuk, memegang kedua pundak gadis itu dan menariknya berdiri. Kakek Itu
menepuk-nepuk pundak Bi Lan dan tersenyum lebar. “Aih, engkau membikin aku malu saja mempunyal
murid yang cengeng! Hei Bi Lan, sama-sama menggerakkan mulut dan mengeluarkan suara, mengapa
tidak tertawa saja daripada menangis? Tertawa lebih enak dilihat dan didengar, ha-ha-ha-ha”

Bi Lan segera tersenyum. Biasanya, setiap hari, gurunya ini memang selalu berkelakar dan tertawa.
Kedua orang Itu tertawa dan aneh sekall melihat mereka tertawa dengan kedua mata basah.

“Selamat tinggal, suhu, selamat berpisah. Aku sayang kepadamu, suhu!”

“Selamat jalan, selamat berpisah. akupun sayang kepadamu, Bi Lan!”

Bi Lan lalu melompat pergi. Pada sebuah tikungan, ia menoleh dan melambaikan tangan dibalas oleh
gurunya vang masih tertawa!

Setelah Bi Lan pergi meninggalkahi pondok kayu di sebuah di antara puncak-puncak Kun-lun-san, Jit
Kong Lama juga meninggalkan pondok itu. Kakek ini tidak membawa apa-apa kecuali tongkat panjang
berkepala naga. Dia menurunt puncak dan menuju ke barat karersa dia inengambil keputusan untuk
kembali ke Tibet, siap menyambut apapun yang akan menimpa dirinya.

Pada sore harinya setelah Jit Kong Lama pergi, muncul seorang laki -lakl berusia kurang lebih empat
puluh tahun, berkepala gundul dan memakai peci kuning, berjubah pendeta Lama dan membawa
sebatang pedang di pungungnya. Pendeta Lama ini bertubuh kekar, wajahnya penuhbrewokj ,dan
matanya menyeramkan, mencorong seperti mata harimau. Mulut dan matanya menibayahgkan keke -
rasan hati. Dia menendang daun pintu pondok sampai jebol, lalu masuk dan memeriks a ke dalam
pondok itu. Tak lama kemudian dia keluar lagi, bersungut-sungut karena tidak menemukan seorangpun
di sana. Dia lalu mengamuk. Kedua kakinya menendangi pondok kayu itu. Terdengar suara hiruk pikuk
dan pondok kayu itupun ambruk. Tihang-tihang kayunya patah-patah. Atapnya ambruk dan rata dengan
tanah. Setelah melampias-kan kemarahannya kepada pondok kosong itu, diapun segera memutar tubuh
me-ninggalkan pondok lalu menggunakan ilmunya berlari cepat sekali menuju ke markas. Kun -lun-pai.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 185

Sementara itu» menjelarig tengah hari, para murld Kun-lun-pai laki maupun wanita, sedang sibuk
bekerja. Ada yang bekerja dalam kompleks perkampungan Kun-lun-pai, ada pula yang bekerja di ladang.
Seperti biasa, lima orang murid laki-laki duduk di gardu penjagaan di pintu gerbang Kun-lun-pai.

Pada siang hari itu, Hui In Sian-kouw, Ketua Kun-lun-pai bagian wanita datang berkunjung ke kuil induk
dan mengadakan percakapan dengan Kui Beng Thaisu, Ketua umum Kun-lun-pai yang menjadi
suhengnya. Hui In Sian-kouw se-perti biasa melaporkan keadaan para mu-rid wanita, dan menceritakan
bahwa sumoinya (adik perempuan seperguruannya.) Biauw In Suthai yang menjalani hukuman prihatin
di pondok pengasingan tekun bersamadhi. Sudah setahun leblh Biauw In Suthai dan menurut
hukumannya, ia masih harus berprihatin di pondok pengasingan itu selama dua tahun lagi.

“Biarlah, Biauw In sumoi memang membutuhkan itu untuk dapat melunakkan kekerasan hatinya yang
luar biasa.

Mudah-mudahan saja sekali ini usahanya berhasil.” kata Kui Beng Thaisu sambi l mengelus jenggotnya
yang panjang dan putih. “Akan tetapi, apakah kedua orang muridnya itu belum juga pulang?”

Hui In Siankouw menghela napas dan menggeleng kepalanya. “Kasihan Kim Lan dan Ai Yin. Sudah
setahun lebih Kim Lan pergi mencari Souw Thian Liong. Bagaimana mungkin ia akan mampu membunuh
Thian Liong, biar ia dibantu Ai Yin sekalipun? Tingkat kepandaian Thian Liong jauh lebih tinggi.”

“Ya, memang kasihan mereka itu menjadi korban kekerasan hati guru mereka. Akan tetapi yang pinto
(aku) herankan, mengapa sampai sekarang Thian Liong belurn JugaJ datang ke sini menyerahkan kitab
pusaka kita? Apakah dia belum berhasil menemukan kitab yang 'katanya dicuri orang itu?”

“Pinni (aku) juga heran, suheng. Menurut penglihatanku, murid Tiong Lee Cin-jin itu bijaksana dan dapat
dipercaya sepenuhnya. Akan tetapi sampai kini dla belum juga datang. Mungkin pencuri kitab itu lihai
sekali sehingga dia belum dapat menemukannya, suheng.”

Pada saat itu, tiba-tiba seorang murid Kun-lun-pai memasuki ruangan itu dan melihat bahwa Kui Beng
Thaisu dan Hui In Sian-kouw sedang duduk bercakap-cakap, dia segera berlutut.

“Mohon ampun, losuhu, lo-suthai, kalau teecu mengganggu....” katanya gagap. Wajah murid berusia tiga
puluhan tahun ini tampak pucat.

“Tenanglah dan bicara dengan jelas, Apa yang terjadi maka engkau segelisah ini?” tanya Kui Beng Thaisu.

“Di luar pintu gerbang datang seorang pendeta Lama yang berkeras ingin masuk untuk bertemu dengan
pimpinan Kun-lun-pai. Teecu berlima melarangnya dan ingin melapor lebih dulu ke dalam, akan tetapi
dia memaksa dan merobohkan teecu berlima. Dia memaksa masuk dan kini dia dihadapi ketiga suhu di
pekarangan depan.”

“Hemm, seorang pendeta Lama? Mengapa seorang pendeta Lama datang membawa kekerasan? Aneh
sekali! Mari, sumoi, kita melihat ke sana!”

Hui In Sian-kouw mengangguk dan keduanya segera keluar diikuti murid yang melapor tadi. Setelah tiba
di depan beranda, mereka melihat seorang yang ber-kepala gundul dan berpakaian seperti pendeta
Lama berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya kekar mukanya brewokan dan kulitnya coklat gelap

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 186

seperti kulit orang India, sedang dikeroyok oleh tiga orang tosu (pendeta To) yang menjadi guru -guru
pelatih para murid Kun-Lun-pai bagian pria. Tiga orang sute termuda dari Kui Beng Thaisu yang berusia
kurang lebih lima puluh tahun itu masing-masing menggunakan sebatang pe-dang dan ketiganya
menyerang pendeta -Lama itu dengan Ilmu pedang Kun-lun-pal yang dahsyat, yaitu Tian-lui Kiam-sut
(Ilmu Pedang Kilat Guntur). Akan tetapi, pendeta Lama itu hanya menggunakan kedua ujung bajunya
yang longgar dan panjang uhtuk melawan. Kedua ujung bajunya itu menyambar-nyambar dan
ftiendatangkan angtn dahsyat yang kuat sekall sehingga terdengar suara berdesir-desir.

Ketika pendeta Lama itu melihat munculnya Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw, dia secara tiba-tiba
mengebutkan kedua ujung lengan bajunya ke arah tiga orang pengeroyoknya. Tiga orang tosu itu cepat
menyambut dengan pedang mereka.

“Wuuuuttt.... plak-plak-plak....!” Ttga orang tosu itu terjengkang dan terhuyung ke belakang ketika
pedang mereka bertemu dengan ujung lengan baju.

!”Siancai.....i Kalian berttga mundur-, lah, sute. Sungguh tidak patut menyam-but kunjungan rekan dari
Tibet dengan pedang di tangan!” kata Kui Beng Thai-su yang berdlrl di atas tangga bersnda itu. Tiga
orang sutenya segera 'mundur dan berdiri dt bawah tangga, menantl perintah.

Pendeta Lama ttu tersenyum mengejek memandang kepada Kui Beng Thaisu dan Hui In” Siankouw.
“Kami bukan rekan kalian!”

Kui Beng Thaisu berkata hormat namun tegas, “Sobat. klta sama-sama bertugas untuk mengajarkan
kebaikan dan menunjukkan jalan kebenaran kepada manusia, maka kita adalah rekan. Mengapa engkau
mengatakan bahwa engkau bukan rekan kami?”

“Hemm, dengan siapakah aku berhadapan? Apakah kalian berdua ini yang menjadi pirnpinan Kun-lun-
pai?” tanya pendeta Lama itu.

“Perkenalkan. Pinto adalah Kui Beng Thaisu, ketua umum Kun-lun-pai dan ini adalah sumoi Hui In Sian-
kouw, ketua bagian wanita. Siapakah engkau, sobat?”

“Aku berjuluk Gwat Kong Lama dari Tibet,! utusan istimewa dari Yang Mulia Dalai Lama di Lhasa.”

“Siancai....! Kiranya engkau adalah utusan istimewa dari Dalai Lama! Kami merasa terhormat sekali
menerima kunjunganmu.” kata Kui Beng Thaisu.

“Hemm, Kui Beng Thaisu, kalian mengaku mengajarkan kebaikan dan menunjukkan jalan kebenaran
kfepada manusia, akan tetapi apa yang kalian ajarkan' itu tidak cocok dengan perbuatan kalian sebagai
pimpinan Kun-lun-pai!”

“Gwat Kong Lama!” bentak Hul In Sian-kouw, kehilangan kesabaran. “Kalau kedatanganmu ini
bermaksud baik, tidak semestinya engkau mengeluarkan kata-kata celaan tanpa bukti itu! Pergilah dari
sini, Kami tidak suka berurusan dengan orang kasar sepertimu!”

“Hemm, kalian menyangkal? Kalau telah menyembunyikan seorang pendeta Lama yang telah bertahun-
tahun menjadi buruggn kami. Yang Mulia Dalai Sama mengutas aku untuk menangkap buruan itu dan
menurut penyelidikanku, dia bersembunyi di Kun-lun-sah. Kemarin sore aku menelusuri pondoknya di

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 187

sebuah puncak pegunungan Kun-lun ini, akan tetapit dla telah kabur. Bukankah itu berarti bahwa Kun-
lun-pai sengaja melindungi buronan kami? Hayo cepat akui di mana adanya Jit Kong Lama, buruan kami
Itu!”

“Sial ....!” seru Kui Beng Thaisu. “Kami tidak mengenal Jit Kong Lama, tidak tahu bahwa dia tinggal di
daerah Kun-lun-san. Kami juga tidak tahu sekarang dia berada di mana.”

“Gwat Kong Lama, tuduhanmu sungguh kasar. Kami memang tidak tahu, akan tetapi andaikata kami
tahu juga, tidak akan kami beritahukan kepadamu yang bersikap sekasar ini!” kata Hui In Sian -kouw
dengan hada suara marah.

Mendengar ini, Gwat Korig Lama memandang dengan mata mencorong kepada Hui In Sian -kouw.
“Bagus, kalau begi-tu aku akan menggeledah seluruh peru-mahan Kun-lun-pai dan akan, mencarl sendiri.
Aku yakin dia kalian sembunyikan di sini!” Setelah berkata demikian, Gwat Kong Lama melangkah lebar
hendak memasuki kuil besar. Akan tetapi cepat tubuh Hui In Sian-kouw berkelebat dan wanita berusia
enam puluh satu tahun ini telah menghadang di depan pendeta Lama itu.

“Berhentl!” bentaknya. “Siapapun tidak boleh memasuki perkampungan kami tanpa ijin'“

“Ho-hp, bagus sekali! Aku memang ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandalan para
pimpinan Kun-lun-pai. Cabut senjatamu Hui In Sian-kouw dan mari kita bertanding untuk menentukan
siapa di antara kita yang lebih unggul. Kalau aku nienang, aku akan menggeledah perkampungan Kun -
lun-pal inl. Sebaliknya kalau aku kalah, aku akan pergi tanpa banyak cakap lagi.”

“Gwat Kong Lama, kami tidak pernah bermusuhan dengan para pendeta Lama di Tibet, karena itu pinni
tidak ingin rnenggunakan senjata untuk bertanding. Cukup dengan tangan kosong saja untuk
membuktikan siapa di antara kita yaog lebih benar.”

“Bagus! Engkau hendak mengandalkan kun-hoat (ilmu silat) dari Kun-lun-pai? Mari, kita lihat siapa yang
lebih tangguh. Pendeta Lama berkulit' kehitaman Itu memasang kuda-kuda dengan berdirl dengan
kedua kaki berdiri di atas ujung jari dan kedua tangan menyembah di depan dada.

Hui In Siankouw juga memasang ku-da-kuda ilmu silat Kun-lun-pai dengati mengembangkan sedikit
kedua kaki dan kedua tangannya dikembangkan lebar dl depan dan belakang tubuhnya.

“Hui In Siankouw, aku telah siap. Mulailah!” tantang Gwat Kong Lama.

“Engkau adalah tamu, silakanf mulai dulu!” kata Hui In Siankouw.

“Baik, lihat seranganku!” Lama itu berseru dan tiba-tiba dia sudah menerjang maju, kedua tarigannya
bergerak cepat melakukan serangan beruntun dari kanan kiri. Hui In Sian-kouw adalah ketua Kun-lun-pai
bagian wanita, tehtu sa-ja ilmu silatnya sudah matang dan tinggi. Dengan gerakan cepat ia Wengelak ke
belakang dan memutar- tub.(A untuk balas menyerang. Akan tetapi pendeta Lama itu telah
menyusulkan tendangan bertubi-tubi dengan kedua kakinya. Kem-bali Hui In Sian-kouw bergerak lincah
untuk mengelak. Setelah mendapat kesempatan melepaskan diri dari kurungan serangan beruntun
lawannya, ia membalas dengan serangan tangan kirinya yang menusuk ke arah lambung dengan jari -jari,
tangan terbuka.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 188

“Syuuuttt .. plakk!” Tubuh Hui In Sian-kouw terdorong ke belakang ketikal serangannya itu ditangkis oleh
lawan. Tahulah ia bahwa lawannya memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Terdengar pendeta Lama
itu tertawa mengejek danj kini dia menerjang dengari dahsyat dan ganas sekali. Pukulan dan tendangan
bertubi-tubi mendesak Hul In Sian-kouw sehingga ia tidak mampu membalas. Akan cetapi, wanita ini
mengerahkan ginkangnya (ilmu meringankan tubuhnya) dan tubuhnya berkelebatan menjadi bayang-
bayang yang dengan cepat dapat menghindarkan dlri dari semua serangan Gwat Kong Lama. Dengan
sendirinya Hui In Sian-kouw terdesak terus oleh lawannyal yang sering tertawa mengejek. Akan tetapi
karena Hui In Sian-kouw memilikl ginkang yang istimewa, piaka betapa gencar dia mendesaknya, belum
juga ada pukulan atau tendangan yang dapat mengenai sasaran. Gwat Kong Lama merasa seolah-olah
dia menyerang sebuah bayang-bayang saja! Dia menjadi marah dan penasaran. Dia mulai memperhati-
kan gerakan Hui In Sian-kouw yang demikian ringan dan tahulah dia ilmu silat apa yang mendasari
gerakan pendeta wanita itu. Maka tiba-tiba Gwat Kong La-ma mengubah gerakannya dan dia mein-^
bentak nyaring.

“Sambutlah ini!”

Hui In Sian-kouw terkejut sekali ketika menghadapi serangan yang seperti menyambung gerakannya
sendiri, dan pada dasarnya menutup semua gerakannya. Serangan dahsyat menyambar dan ketika dia
menghindar dengan elakan cepat tahu-tahu tangan pendeta Lama itu telah mengancam pelipis kirinya.'

Kui Beng Thaisii, ketua Kun-lun-pai yang sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun terkejut. Sejak tadi
dia menonton pertandingan itu hatinya merasa lega karena dia merasa yakin bahwa gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) sumoinya cukup tangguh untuk dapat menghindarkan diri dari ancaman serangan
pendeta Lama itu. Akan tetapi dla terkejut ketika melihat perubahan gerakan Gwat Kong Lama. Biarpun
hanya tinggal lima atau enam bagian saja dari ilmu silat pusaka Kun-lun-pai itu yang masih diingatnya,
namun dia tahu bahwa pendeta Lama itu kini menyerang sumoinya dengan ilmu silat Ngo-heng Lian-
hoan Kun-hoat! Pa-dahal kitab itu sudah lama hilang dari Kun-lun-pai dan setahun yang lalu, murid Tiong
Lee Cin-jin yang bernama Souw Thian Liong itu datang dan mengatakan bahwa sebetulnya dia diutus
suhunya untuk mengembalikan kitab yang hi-lang itu dan yang ditemukan Tiong Lee Cin-jin dalam
perjalanannya ke barat, akan tetapi bahwa kitab itu hilang, ada yang mencurinya. Kini tiba-tiba muncul
seorang pendeta Lama yang menyerang sumoinya dengan menggunakan jurus ilmu silat Ngo-heng Lian-
hoan Kun-hoat! Tentu saja Hui In Sian-kouw terdesak karena ilmu itu merupakan dasar dari ilmu-ilmu
perguruan Kun-lun-pai sehingga seolah dasar gerakan pendeta wanita itu tertutup atau mendapatkan
imbangan dari gerakan pendeta Lama bermuka brewok itu.

“Pergilah!” tiba-tiba Goat Kong Lama membentak, tangan kanannya mendorong dan biarpun Hui In Sian-
kouw sudah cepat mengelak, namun tetap saja pundak kirlnya terkena dorongan itu dan tubuh pendeta
wanita ini terhuyung ke belakang dan untung saja mempunyai gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang
hebat sehingga sebelum roboh terjengkang ia sudah dapat berjungkir balik tiga kali ke belakang
sehingga tidak sampai jatuh. Wajahnya menjadi pucat dan dengan jujur ia merangkap kedua tangan
depan dada dan berkata lirih.

“Siancai....! Aku mengaku kalah.” Kui Beng Thaisu menghampiri pendeta Lama itu.

“Goat Kong Lama, engkau suqgguh keterlaluan. Tidak malu melawan kami dengan llmu kami sendlri
yang kitabnya hilang.”'

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 189

“Tidak perlu banyak blcara lagi, Kul Beng Thaisu. Aku hanya akan menggeledah dan mencari kalau -kalau
kalian menyembunyikan orang yang kucari itu dl dalam kuilmu.

“Hemm, jangan harap engkau akan dapat menghina pergunlan Kun-lun-pai selama pinto (aku) masih
berada di sini!” Kui Beng Thaisu yang biasanya penyabar itu kini berkata dengan muka merah karena
pendeta Lama ini agaknya sama sekali tidak percaya kepadanya dan h^n-dak memasuki kuil tanpa ijin
yang ber-arti suatu pelanggaran dan penghinaan.

“Kalau begitu, terpaksa akupun harus merobohkanmu, Kui Beng Thaisu!” kata pendeta Lama itu dan
kedua orang pendeta itu sudah siap untuk saling se rang. Akan tetapi pada saat itu terdengar su-ara
lembut namun nyaring berwibawa.

“Tahan! locianpwe Kui Beng Thaisu, silakan locianpwe (orang tua gagah) mundur. Akulah lawan pendeta
asing ini!” Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik berpakaian merah muda
telah berdiri di depan Goat Kong Lama.

Melihat bahwa yang datang hanyalah seorang gadis yang masih muda, paling banyak delapan belas
tahun usianya, tentu saja Kui Beng Thaisu tidak percaya bahwa gadis semuda ini akan mampu
menandlngi Goat Kong Lama yang selain memillkl tingkat kepandaian tinggi, juga mcmiliki banyak
pengalaman. Bahkan sumoinya saja tidak mampu menandinginya, apa lagi gadis semuda ini. Selain itu,
dia tidak mengenal gadis asing ttu, bagaimana dia dapat membiarkan gadi s itu mencampuri urusan Kun-
lun pai dengan pendeta Lama itu.

“Nona, terima kasih atas pembelaanmu. Akan tetapi, harap engkau murdur dan jangan mencampuri
urusan Kun-lun-pai yang membela diri terhadap desakan Gwat Kong Lama Inl. Kaml sungguh akan
merasa amat menyesal kalau sampal engkau sebagai orang luar terluka atau cldera karena membela
Kun-lun-pai.” kata pendeta ketua Kun-lun-pai itu deingan suara lembut.

“Loclanpwe, maafkan aku. Sesungguhnya masih terhltung cucu murid locianpwe sendirl. Aku sengaja
datang untuk menghadap loclanpwe dan memperkenalkan dirl. Akan tetapi aku tadl melihat pendeta
Lama inl menyerang Kun-lun-pai, karena itu aku harus menandinglnya. Locianpwe saksikan saja, aku
pasti akan mempergunakan ilmu silat Kun-lun-pai dan tidak berani mempergunakan ilmu silat lain.”
Gadis itu berkata lantang. Gadis ini bukan lain adalah Han Bi Lan. (Seperti kita ketahui, Bi Lan berpisah
dari gurunya dan oleh gurunya ia diharuskan merigembalikan kitab puSaka Kun-lun-pai, yaitu Ngo-heng
Lian-hoan Kun-hoat yang dulu, setahun yang lalu dicurinya dari buntalan pakaian Thian Liong. Kini la
telah mempelajari dan menguasal ilmu itu sepenuhnya. Ketika tadi ia datang ke Kun-lun-pai ia sempat
menyaksikan kunjungan Goat Kong Lama. Melihat Gwat Kong Lama mengalahkan Hui In Sian-kouw
dengan menggunakan jurus-jurus dari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, ia merasa penasaran sekali. la
merasa bersalah. Karena ia mencuri kitab itu, maka pendeta wanita itu tidak dapat menguasai ilmu itu
dan dikalahkan pendeta Lama itu justru menggunakan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. la ingin menebus
kesalahannya, maka cepat ia menawarkan diri untuk menandingi pendeta Lama itu.

Mendengar gadis itu mengaku sebagai murid Kun-lun-pai, Kui Beng Thai-!u menoleh kepada Hui In Sian-
kouw yang juga memandangi kepada Bi Lan dengan heran. “Sumoi, apakah engkau mengenal nona ini
sebagai murid Kun-Lin pai. Hui In Sian-kouw menggeleng kepalanya tanpa menjawab karena ia merasa
heran dan juga kagum sekali akan keberariian gadis muda itu. Gadis itu tadi tentu melihat ia dikalahkan
pendeta Lama itu, mengapa ia masih nekat hendak menandingi Goat Kong Lama dan berjanji akan
melawan pendeta itu dengan ilmu silat Kun-lun-pai? Ilmu silat Kun-lun-pai yang mana mampu

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 190

menandingi Goat Kong Lama, kecuali Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat selengkapnya atau ilmu simpanan
yang masih dirahasiakan suhengnya sebagai ketua Kun-lun-pai?

Sementara itu, Goat Kong Lama sudah tidak sabar lagi. Melihat sikap ngotot para pimpinan Kun-lun-pai
yang-melarang dia melakukan penggeledahan ke dalam bangunan-bangunan Kun-lun-pal, semakin besar
kecurigaannya bahwa yang dicarinya, Jit Kong Lama, pasti bersembunyi di dalam kuil itu.

“Hei, bocah!” tegurnya kepada Bi Lan. “Engkau anak-anak jangan turut campur. Aku hanya akan
menggeledah kuil ini untuk mencari seseorang yang kuduga tentu bersembunyi di sini, akan tetapi para
pimpinan Kun-liln-pai ini menghalangi aku. Minggirlah dan jangan mencari penyakit!”

Tiba-tiba Bi Lan mengerutkan alisnya. Pendeta ini adalah seorahg pendeta Lama, seperti suhunya. Juga
namanya Goat Kong Lama, mirip nama suhunya Jit Kong Lama! Jangan-jangan yang dicari pendeta Lama
ini adalah suhunya? Apakah ada hubunganantara gurunya dan pendeta Lama ini? Akan tetapi usia
mereka jauh berbeda. Pendeta Lanta ini berusia sekitar empat puluh dua tahun, sedangkan suhunya
sudah berusia tujuh puluh satu tahun!

“Heh, Goat Kong Lamal Engkau sendlrl belum begitu tua, jangan berlagak seperti seorang kakek -kakek!
Apakah yang kaucari itu bernama Jit Kong Lama?

Goat Kong Lama memandang Bi Lan dengan mata terbelalak.

“Omitohud! Bagaimana engkau bisa tahu?”

“Tak penting bagaimana aku bisa tahu, akan tetapi kiranya hanya akulah satu-satunya orang yang tahu
di mana adanya orang yang kaucari itu. Beliau tidak berada di dalam kuil ini!”

“Hah? Engkau tahu? Katakan, nona, di mana dia?” tanya Goat Kong Lama dengan penuh semangat dan
harapan. “Aku melakukan perjalanan ribuan Li jauhnya hanya untuk mencari dia'.”

“Katakan dulu, apamukah Jit Kong Lama itu?”

“Dia adalah supekku (uwa guruku). Bi Lan teringat akan pengakuan suhunya bahwa dulu suhunya adalah
seorang yang sesat dan berdosa. Pantas memilikl murid keponakan sekasar ini!

“Hemm, kiranya dia itu uwa gurumu? Lalu mau apa engkau mencarinya Bi Lan mendeaak, ingin tahu
apakah orang ini kawan ataukah lawan gurunya karena gurunya pernah mencerltakan bahwa gurunya
merupakan seorang pelarian dari Tibet dari dimusuhi para pendeta Lama di sana.

“Ih, engkau ini bocah perempuan cerewet amaT sih? Hayo katakan di mana adanya Jit Kong Lama!”
bentak Goat Kong Lama kehabisan kesabaran.

“Tidak akan kukatakan kalau engkau belum menjawab pertanyaanku. ini. Mau apa engkau mencarinya?”

Goat Kong Lama menjadi merah mukanya. Dia marah sekali, akan t6tapi merasa tidak mampu menang
berbantahan dengan gadis yang lincah dan pandai blcara itu, maka diapun menjawab dengan nada kasar
dan keras. “Aku akan menangkap pengkhianat itu, menyeretnya kembali ke Tibet hidup atau mati!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 191

Tentu saja Bi Lan marah sekali mendengar orang ini hendak menyeret suhunya. Akan tetapi ia menahan
perasaannya dan tersenyum mengejek.

“Hemm, begitukah? Kurasa engkau tidak akan becus melakukan itu!”

“Bocah! Jangan mempermalnkan aku! Hayo katakan dl mana adanya Jtt Kong Lama!” bentak Goat Kong
Lama sambll melangkah maju mendekat.

“Sekarang begini saja, Goat Kong Lama. Engkau lancang berani menyerbu Kun-lun-pai, maka aku sebagai
murid Kun-lun-pai menantangmu bertanding, mewakili para pemimpin Kun-lun-pai. Kalau engkau dapat
mengalahkan aku, barulah aku akan memberi tahu kepadamu di mana adanya Jit Kong Lama. Akan
tetapi kalau engkau yang kalah engkau Harus mohon maaf kepada locianpwe Kui Beng Thaisu. Beranikah
engkau menerima tantanganku ini?”

Kui Beng Ttiaisu, Hui In Sian-kouw dan para murid Kun-lun-pai yang sekarang telah berkumpul di
pekarangan itu, terkejut dan heran melihat keberanian gadis muda itu yang seolah mempermainkan
pendeta Lama yang amat lihai itu. Mendengar bahwa gadis itu mengetahui di mana adanya orang yang
dicari Goat Long Lama, maka ini berarti bahwa gadis itu mempunyai urusan langsung dengan pendeta
Lama itu, bukan sekedar mencampuri urusan Kun-lun-pai. Karena itu Kui Beng Thaisu tidak mempunyai
alasan untuk melarang gadis itu menandingi Goat Kong Lama. Pendeta Lama itu sendiri mendengar
tantangan Bi Lan, tersenyum mengejek.

“Heh-heh, baik, kuterima tantaniganmu. Katakan dulu siapa namamu, agar aku mengetahul dengan
siapa aku bertandlng.”

“Namaku Han Bi Lan. Nah, bersiaplah engkau untuk mohon maaf kepada pimpinan Kun-lun-pai!”

“Nanti dulu! Taruhannya harus ditambah. Kalau engkau yang kalah, selain engkau mengatakan di mana
adanya Jit Kong Lama, juga engkau harus menjadi penunjukan jalan dan mengantar aku sampai aku
dapat menemukan orang itu!” Sambil berkata demikian, pendeta Lama itu tersenyum, senyum yang
mengandung ejekan yang kurang ajar. Semua orang dapat merasakan bahwa ucapan pendeta Lama itu
mengandung arti bahwa kalau ia kalah Bi Lan harus menemaninya, tentu saja dengan maksud yang tidak
senonoh terbukti dari senym dan panjdangan mata itu.

Wajah Bi Lan menjiadi merah. Akan tetapi dasar ia seorang gadis yang lincah, nakal, cerdik dan pandai
bermain kata-kata, maka la berkata, Akupun menambah taruhan Ini. Kalau engkau yang kalah, engkau
harus mohon maaf kepada locianpwe Kui Beng Thaisu dengan berlututl”

Goat Kong Lama yang memandang rendah kepada Bi Lan dan merasa yakin bahwa dia pastl akan
mampu mengalahkan gadls muda Itu, mengangguk. “Balk, janji taruhan ini disaksikan orang banyak dan
harus dipenuhi!”

Bi Lan juga tersenyum, lalu ia menanggalkan pakaiannya dan meletakkan dl atas lantai , dekat tempat Kul
Beng Thalsu dan Hui In Slan-kouw berdiri. Kemudlan ia menghadapl pendeta Lama itu dan berkata,
“Nah, aku sudah slap, Goat Kong Lama. Mulailah karena engkau yang mendatangkan keributan ini!”

Goat Kong Lama ingin cepat menye-lesaikan pertandingan itu, maka dia sudah cepat menyerang dan dia
langsung menggunakan jurus Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat mengingat tadi dia mengalahkan Hui In

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 192

Sian-kouw dengan ilmu silat ini. Dia yakin bahwa dengan ilmu pusaka Kun-lun-pai sendiri ini yang telah
lama hilang dari perguruan Kun-lun-pai, akan mudah sekali baginya untuk mengalahkan Bi Lan sebagai
murid muda Kun-lun-pai.

“Hiiyyeeehhh!” bentaknya dan lengannya yang kekar panjang itu sudah menyambar ke arah dada gadis
itu dengan cengkeraman. Sebuah serangan berbahaya dan juga tidak sopan! Kui Beng Thaisu yang
mengenal jurus ilmu silat pusaka itu memandang dengan penuh perhatian dan sepasang alisnya
berkerut. Bagaimana mungkin gadis muda itu akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu silat
Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu? Dia sendiripun hanya sempat mem-pelajari ilmu itu sebanyak lima
atau enam bagian saja dan melihat gerakan pendeta Lama itu, biarpun agaknya dia juga belum
menguasai ilmu itu sepenuhnya, namun setidaknya sudah menguasai lima bagian dan hal ini saja sudah
cukup membuat dia lihai sekali. Bahkan Hui In Sian-kouw juga tadi tidak mampu menandinginya.

“Heiiittt....!!” Bi Lan berteriak melengking dan tubuhnya sudah mengelak dengap cepat dan mudah.
Tentu saja mudah baginya karena ia sudah menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat sepenuhnya, maka
jurus serangan yang amat dikenalnya itu tentu saja dengan mudah dapat dihindarkannya. la tahu ke
mana lawan akan nienyerang dan bagaimana perkembangan serangan selanjutnya. Serangan dari ilmu
silat ini memang beratai dan di sinilah terletak kehebatannya. Begitu cengkeraman tangan kiri Goat
Kong Lama tadi luput, tangan kanannya sudah menyambung dengan tamparan ke arah leher dan ini
diikuti pula dengan tendangan kedua kaki secara bergantian! Hebat serangan beruntun ini, akan tetapi
karena sudah hafal maka Bi Lan mudah saja menghindarkan diri. la juga bergerak dengan ilmu silat yang
sama dan gerakantiya juga berantal. Begitu menghindarkan diri dari tendangan bertubl Itu, ia
menyambung elakannya dengan serangan balik. Tiba-tiba saja tangan kirinya membuat gerakan
memotong dengan tangan miring seperti orang menggunakan golok menebang pohon ke arah kaki yang
meluncur lewat samping tubuhnya!

Goat Kong Lama terkejut sekali. Cepat dia menarik kembali kakinya, akan tetapi Bi Lan sudah
menyambung serangannya dengan totokan ke arah dada dan serangan inipun dlsambung dengan
tendangan kaklnya yang menyambar ke arah pusar. Goat Kong Lama menjadi heran dan bingung dan
terpaksa dia menibuang tubuh ke belakang dan bergulingan dl atas tanah karena hanya itu satu-satunya
cara untuk mematahkan rangkaian serangan gadls Itu. Dla melompat bangun dan berdlrl dengan mata
terbelalak memandang lawannya Itu. Dalam segebrakan saja dia hampir kalah oleh gadis yang Juga
mempergunakan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat!

Sementara itu, Kui Peng Thaisu dan Hui In Sian-kouw saling pandang dengan terheran-heran. Gadis itu
memainkan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dengan gerakan yang sempurna Akan tetapi mereka tahu
benar bahwa tidak ada murid Kun-lun-pai, apa lagi yang begitu muda, yang menguasai ilmu pusaka yang
telah lama hilang itu. Bahkan Kui Beng Thalsu sendlrl hanya menguasai paling banyak enam bagian dan
Hui In Sian-kouw paling banyak tiga baglan saja. Biauw In Su-thal bahkan tidak pernah mempelajarinya.
Akan tetapi Goat Kong Lama menguasai ilmu itu dengan baik dan kini gadis muda itu bahkan
menguasainya lebih baik lagi!

Setelah tahu bahwa gadis muda yang dipandang rendah itu ternyata dapat bersilat dengan ilmu Ngo -
heng Lian-hoan Kun-hoat secara sempurna, Goat Kong Lama maklum bahwa dia tidak akan menang
kalau menggunakan ilmu itu. Kalau ingin menang, dia harus mempergunakan ilmunya sendiri dan dia
ingin mempermalukan gadis itu dengan menggunakan ilmu sihirnya. Maka, mulutnya berkemak -kemik
dan sepasang matanya seperti mencorong menatap wajah Bi Lan. Gadis Itu mendengar mantram yang
dlucapkan lirih oleh Goat Kong Lama. la tersenyum. Tentu saja ia mengenal baik penggunaan sihir

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 193

melalui pandang mata dan suara itu. lapun diam-diam mengerah kan tenaga batin seperti diajarkan
gurunya, dengan berani membalas tatapan mata Goat Kong Lama. Diam-diam pendeta Lama itu terkejut
melihat betapa sinar mata gadis itu juga mencorong dan berani menyambut sinar matanya yang penuh
kekuatan sihir, Bahkan sambil tersenyum!

Goat Kong Lama lalu mengembangkan kedua lengannya, dan perlahan-lahan kedua tangannya bergerak
ke atas kepala dalam bentuk sembah, kemudian didorongkan ke depan dan mulutnya mengeluarkan
dengungan aneh. Tiba-tiba ada angin menyambar ke depan. Angin itu berpusing dan menerjang Bi Lan.
Akan tetapi Bi Lan merangkap kedua tangan depan dada seperti sembah, kedua matanya terpejam. la
membiarkan angin itu berpusing di sekitar tubuhnya. Angln berpusing kuat dan membawa tanah dan
debu ke atas, akan tetapi tidak kuat mengangkat tubuh Bi Lan. Kini perlahan-lahan Bi Lan
mengembangkan kedua tangannya dan mendorong ke depan. Angin berpusing itu kini meninggalkannya
dan membalik menyerang Goat Kong Lama! Pendeta Lama itu terkejut. Tubuhnya hamplr terpelanting
oleh putaran angln dan cepat dla menghentlkan sihirnya. Angin berhentl dan wajah pendeta Lama Itu
menjadl pucat.

Goat Kong Lama mengerahkan tenaganya dan membentak dengan auara menggetar penuh wibawa.
“Han Bi Lan, berlututlah engkau”

Bi Lan juga mengerahkan tenaga batin dalam suaranya ketika ia berkata, “Siapa yang berlutut? Aku
ataukah engkau? Yang pasti engkau, Goat Kong Lama. Hayo, berilah contoh!”

Goat Kong Lama terkejut karena tiba-tiba tanpa dapat ditolaknya lagi, kedua lututnya menjadi lemas dan
dia jatuh berlutut. Akan tetapi dia segera menyadari keadaan yang tidak wajar ini dan cepat meloncat
berdiri lagi. Terdengar suara tawa dari para murid Kun-lun-pai yang merasa senang melihat pendeta
Lama itu dipermainkan. Sementara itu, Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw menjadi semakin heran.
Mereka tahu bahwa dua orang itu tadi mengadu kekuatan sihir. Siapakah gadis muda yang selain
menguasal Ngo-heng Llan-hoan Kun-hoat juga memiliki llmu slhlr yang demikian kuat ini?

Goat Kong Lama maklum bahwa dengan sihirpun dia tldak akan mampu mengalahkan gadls aneh ini.
Maka sambil mengeluarkan gerengan dahsyat, dia segera menerjang ke depan dan menyerang gadis itu
dengan cepat. Semua serangan dilakukan dengan kedua tangan terbuka dan miring, seringkali
gerakannya seperti orang menyembah dan gerakan silatnya lemah lembut, namun setiap sambaran
tangan yang menerjang mengandung tenaga yang kuat. Bi Lan segera mengenal ilmu silat Kwan Im Sin-
caang (Tangan Sakti Dewi Kwan Im) itu. Untuk menyenangkan hati para pimpinan Kun-lun-pai, ia tetap
memainkan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Terjadilah pertandingan hebat dan seru. Tentu saja
pihak Bi Lan lebih untung. la mengenal dan hafal sekali ilmu silat Kwan Im Sin-ciang yang diajarkan Jlt
Kong Lama kepadanya. Maka menghadapi serangan dengan ilmu silat ini tentu saja ia sudah mengenal
lika-liku dan perkembangannya sehingga mudah menghindarkan diri. Sebaliknya, Goat Kong Lama yang
tidak menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat sepenuhnya, hanya menguasai setengahnya saja,
menjadi repot menghadapi desakan Bi Lan.

Beberapa kali kaki atau tangan gadis itu mengenai sasaran, akan tetapi Goat Kong Lama melindungi
dirinya dengan ilmu kebal yang kuat sehingga dia tidak sampai roboh. Selain itu, juga Bi Lan tidak
menggunakan tenaga sepenuhnya karena bagaimanapun juga, gadis ini tahu bahwa lawannya adalah
murid keponakan suhunya sehingga masih terhitung saudara seperguruan sendiri.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 194

Akan tetapi mellhat Goat Kong. Lattia belum juga mau mengaku kalah walau-pun sudah beberapa kali
terkena tendangan atau tamparannya, Bi Lan menjadi marah juga. Orang ini tak tahu diri, pikirnya dan
perlu diberi hajaran yang leblh keras.

“Haiiittt.... Ia menyerang dengan serangkaian serangan dari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang
sambung menyambung. Goat Kong Lama berusaha untuk mempertahankan diri dengan tangkisan dan
elakan, akan tetapi karena Jurus yang dipergunakan Bi Lan int meru-; pakan jurus-jurus llmu sllat yang
belum pernah dipelajarinya, maka dia menjadi bingung tidak mengenal perkembangannya dan tidak
dapat menghindarkan diri lagt ketika kaki kiri gadis itu mencuat dengan cepat dan kuat ke arah dada
kanannya. Sekali ini Bi Lan mengerahkan tenaga sln-kangnya.

“Desss,...!” Biarpun Goat Kong ama telah mellndungi dirlnya dengan ilmu kebalan, namun tendangan itu
terlalu kuat menembus kekebalannya dan diapun terjengkiing dan terbantlng jatuh. Dia merasa dada
kanannya nyeri dan ketika dirabanya, tahulah dia bahwa sebuah tulang iganya patah.

Goat Kang Lama terkejut dan merasa penasaran sekall. Menang kalah merupakan hal blasa dalam
pertandingan silat, akan tetapi dia merasa dipermalukan dl depan semua anggauta Kun -lun-pai yang
berkumpul di situ dan yang kini semua tersenyum gembira melihat kemenangan Bi Lan. Dia meraba
punggung-nya dan sratt...! Tangan kanannya telah mencabut pedang.

Pada saat itu, Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw melompat ke depan. “Siancai....! Goat Kong Lama,
pertandingan ini bukan permusuhan, mengapa menggunakan senjata? Kalau engkau menggunakan
senjata, terpaksa kami akan rnengusirmu dengan kekerasan! Engkau jelas telah dikalahkan seorang
murid Kun-lun-pai, mengapa masih nekat? Han Bi Lan, sebagai murid Kun-lun-pai, engkau kami minta
untuk menceritakan di mana adanya pendeta Lama yang dicari Goat Kong Lama Itu agar tidak ada
urusan lagi antara Kun-lun-pal dan dla.”

Bl Lan menghadapi Goat Kong Lama yang terpaksa menyarungkan kemball pe -dangnya karena kalau
sampai para pimpinan Kun-lun-pai marah dan turun tangan, tak mungkin dia akan dapat lolos. Baru
melawan gadis itu saja sudah berat sekali.

“Goat Kong Lama. Kalau engkau merasa sebagai orang gagah kenapa tldak memenuhi, Janjlmu tadl?
Engkau telah kalah dan engkau harus mohon ampun kepada pimplnan Kun-lun-pal. Setelah itu baru akan
dapat kuberitahu dimana adanya Jit Kong Lama.

Goat Kong Lama tidak dapat menyangkal lagl akan kekalahannya tadi, maka dengan muka merah dia lala
menjatuhkan dirl berlutut menghadap Kui Beng Thaisu dan berkata, “Kui Beng Thaisu, pinceng (aku)
bersalah dan minta maaf.”

“Sudahlah, Goat Kong Lama. Kami tidak dapat menerima penghormatah seperti ini. Semua itu hanya
kesalahpahaman belaka. Yang sudah biarlah berlalu. Bangkitlahl” Ketua Kun-lun-pai itu menggerakkan
tangan kanannya ke depan dan Goat Kong Lama merasa ada angln amat kuat menyambar dan seolah
mengangkatnya sehlngga dia terpaksa bangklt berdiri. Dia terkejut sekali dan menyesal bahwa tadl dia
terlalu memandang rendah orang. Ternyata ketua Kun-lun pai yang sudah tua inl memillkl tenaga sakti
yang luar biasa!

“Han Bl Lan, sekarang katakan dl mana adanya Jit Kong Lama.” katanya kepada Bi Lan, kini lenyaplah
sikapnya yang angkuh tadi.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 195

“Dia sudah pergi ke barat, hendak kembali ke Tibet dan menyerahkan diri kepada para pimpinan Lama di
sana.” kata Bl Lan dan dalam suaranya terkandung kesedihan mengenang gurunya yang disayangnya itu.

Pendeta Lama itu memandang kepadanya dengan alis berkerut dan sinar matanya membayangkan
ketidak-percayaannya. “Bagaimana aku dapat mempercayai keterangan itu?”

“Engkau harus percaya karena aku adalah muridnya!” kata Bi Lan.

“Engkau.... engkau.... muridnya?” kata Goat Kong Lama dengan mata ter-belalak. “Tapi.... engkau tadl
melawanku dengan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat....!”

“Benar. Aku juga murid Kun-lun-pal. Akan tetapi Jit Kong Lama juga guruku. Kau lihat ini!” kata gadl? itu
dan ia segera membuat gerakan silat dengan kedua tangan miring seperti orang memuja.

“Kwan Im Sin-ciang (Tangari Sakti Dewi Kwan Im)....!” seru Goat Kong Lama.

“Dan lihat ini!” Bi Lan memungut sebatang ranting kayu lalu bersilat beberapa jurus dengan ranting kayu
itu.

“Kim Bhok Sin-tung-hoat (Ilmu Tongkat Sakti Kayu Emas)'.” kembali Goat Kong Lama berseru. “Kau....
.kau benar muridnya!”

“Nah, percayakah engkau sekarang?'“

Suhu Jit Kong Lama sudah pularig ke Tibet untuk menyerahkan diri, bertaubat dan menebus semua
dosanya. Pergilah!”

Goat Kong Lama mengangguk-angguk, mengangkat kedua tangan depan dada, menghadapi pimpinan
Kun-lun-pai, membungkuk lalu berkata “Omitohud! Pinceng mohon maaf dan mohon diri!” Setelah
berkata demikian, pendeta Lama itu memutar tubuhnya lalu berlari cepat seperti terbang meninggalkan
tempat itu.

Kini Bi Lan menghadapi Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw. Dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu
menatap wajah Bi Lan dengan penuh keheranan. Mereka merasa penasaran sekali. Murid pendeta Lama
Tibet dan sekaligus juga murid Kun-lun-pai yang dibuktikannya dengan kemahiran ilmu silat pusaka Kun-
lun-pai! Banyak pertanyaan yang memenuhi hati Kui Beng Thaisu. Betapapun Juga, gadis ini telah
membela nama Kun-lun-pai dengan mengalahkan Goat Kong Lama tadi. Dan untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi hatinya, dia merasa tidak leluasa karena di sltu berkumpul
semua murid Kun-lun-pai. “Nona Han Bi Lan, engkau tadi me-ngatakan bahwa engkau datang ini untuk
menghadap kami?” tanya ketua Kun-lun-pai itu.

“Benar, locianpwe.” jawab Bi Lan sambil menghampiri buntalan pakaiannya.

“Kalau begitu, mari kita masuk dan bicara di dalam.” ajak ketua Kun-lun-pai itu. Bi Lan mengangguk dan
ia mengikuti Kui Beng Thaisu dan Hu in Sian-kouw memasuki kuil.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 196

Setelah mereka duduk dalam ruangan tengah yang tertutup, Bi Lan meletakkan buntalan pakatannya di
atas meja. “Nah, sekarang janganlah membuat kami terlalu lama keheranan dan menduga-duga, nona
Han Bi Lan. CeritaKanlah mengapa engkau datang ke Kun-lun-pai dan hendak bertemu dengan kami?”
tanya Kui Beng Thaisu.

“Dan bagaimana pula engkau mengaku sebagai murid Kun-lun-pai dan menguasai, Ngo-heng Lian-hoan
Kun-hoat?” tanya pula. Hui In Sian-kouw.

Bi Lan tersenyum, akan tetapi menghela napas panjang. “Panjang ceritanya dau sebelumnya saya harap
locianpwe pimpinan Kun-lun-pai suka memaafkan saya. Saya sudah sebelas tahun lamanya ikut suhu Jit
Kong Lama yang mengasingkan diri di sebuah puncak Kun-lun-san, mempelajari ilmu-ilmu dari suhu.
Beberapa hari yang lalu, saya berpisah dari sUhu yang ingin kembali ke Tibet, Tugas saya yang pertama
adalah berkunjung ke Kun-lun-pai, menghadap para pimplnan Kun-lun-pai. Akan tetapi baru saja tiba di
pekarangan kuil saya melihat Goat Kong Lama, mendengar pembicaraannya dan melihat betapa dia
menantang bertanding kepada para pimpinan Kun-lun-pai. Karena itulah maka saya memberanikan diri
menghadapinya untuk membela Kun-lun-pai karena saya merasa sebagai kewajiban saya membe-la Kun-
lun-pai.”

“Tapi..,. engkau menguasai ilmu si-lat pusaka kami....” kata Hui In Sian-kouw.

Bi Lan tersenyum. “Terjadinya kurang lebih setahun yang lalu. Pada suatu hari saya bertemu dengan
seorang pemuda sombong. Ketika melihat bahwa dia membawa kitab-kitab kuno dalam buntalan
pakaiannya, saya lalu meminjam sebuah kitab tanpa dia ketahui.”

“Siancai! Itu namanya mencuri!” se-ru Hui In Sian-kouw.

Bi Lan tersenyum manis memandang wajah pendeta wanita itu dan matanya. bersinar-sinar nakal. “Saya
hanya ingin memberi pelajaran padanya agar dla ti-dak sombong. Biar tahu rasa dia! Ketika saya melihat
bahwa kitab itu berisi pelajaran ilmu silat, saya tertarik sekall dan saya mendengar darl suhu bahwa
kltab Itu adalah kltab pusaka mlllk Kun-lun-pal. Saya mengambll keputusan untuk memlnjam kitab itu
dan di bawah bimbingan dan petunjuk suhu, saya mempelajari dan melatihnye selama setahun. Karena
saya memang merasa pinjam, maka setelah selesai saya pelajari dan saya kuasai, begitu berpisah dari
suhu, saya langsung tnenghadap pimpinan Kun-lun-pai untuk mehgembalikan Kitab Ngo-heng Lian-hoan
Kun-hoat ini.” la membuka buntalan pakaiannya mengambil kitab itu dan menyerahkannya kepada Kui
Beng Thaisu.

Kui Beng Thaisu menerima kitab itu memeriksanya sebentar dan dia mengangguk-angguk, “Sian-cai....!
Memang inilah kitab kaml yang hilang puluhan tahun yang lalu itu. Nona Han Bi Lan, pemuda yang
kaumaksudkan itu adalah murid dari Tiong Lee Cin-jin yang bermaksud mengembalikan kitab itu kepada
kami. Dia melaporkan bahwa kitab itu hilang dalam perjalanan. Kiranya engkau yang mengambllnya.”

“Saya memlnjamnya, locianpwe, dan harl Inl saya kembalikan. Harap Locian-pwe suka memaafkan
saya.”

“Kaml memaafkanmu, nona. Bagaimanapun juga, engkau sudah berani membela Kun-lun-pai dengan
taruhan nyawa dan mengaku sebagai murid Kun-lun-pai. Kalau engkau murid Kun-lun-pai, maka
mempelajari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat tentu tidak bersalah karena tingkat kepandaianmu juga
sudah memadai. Karena itu, engkau baru sah kami terima sebagai murid Kun-lun-pai kalau engkau

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 197

mengakui pinto (aku) sebagai guru dan. ini adalah Hui In Sian-kouw, sumoiku yang menjadi ketua kun-
lun-pai bagian wanita, jadi ia juga gurumu.”

Bi Lan mengerti apa yang dirnaksudkan kakek itu, maka iapun segera berlutut memberi hormat kepada
kedua orang tua itu, memberi hormat kepada Kui Beng Thaisu dan menyebut “suhu” lalu kepada Hui In
Sian-kouw dengan menyebut “subo (ibu guru)”. Hui In Sian-kouw menyentuh kedua pundak Bi Lan dan
pienyuruhnya bangkit dan duduk kembali.

Setelah kedua orang ketua Kun-lun-pai ini menerima Bi Lan sebagai murid Kun-lun-pai, gadis itu lalu
diperkenalKan kepada semua murid Kun-lun-pai. Semua murid merasa girang dan kagum mempunyai
saudara seperguruan yang demikian lihai. Hui In Sian-kouw tidak lupa untuk rnemperkenalkan Bi Lan
kepada Biauw In Suthai yang masih menjalani hukuman dalam Pondok Pengasingan. Pendeta wanita ini
ketika diberitahu tentang Han Bi Lan yang telah membela Kun-lun-pai dan kini diakui sebagai murid yang
sah dari Kun-lun-pai, mau menerima Bl Lan berkunjung kepadanya di Pondok Pengasingan.

Bi Lan memasuki pondok yang sepi itu dan segera berlutut menghadap pendeta wanlta yang juga duduk
dl atas lantai sambil bersila itu. Bi Lah sudah mendengar tentang Biauw In Su -thal yang menjalani
hukuman dan ia merasa kasihan kepada pendeta wanlta yang masih tampak berwajah manls itu. Baru
mengaslngkan dlrl selama setahun saja wajah Biauw In Suthai sudah berubah, tidak ada garis -garls yang
menunjukkan kekerasan hatlnya lagl pada wajahnya.

“Bibi guru.,.,.1” Bi Lan menegur ragu.

Blauw In Suthal membuka mata, memandang kepada Bi Lan dan ia tersenyum kagum. “Ah, engkau
cantik jelita dan lincah sekali! Engkau yang bernama Han Bi Lan dan yang telah membela Kun -lun-pai
dan mengalahkan pendeta Lama yang amat lihai? Setelah berkunjung ke sini dan mengembalikan kitab
engkau lalu hendak pergl ke mana, Bi Lan?”

“Saya akan melanjutkan perjalanan saya, bibi guru. Saya akan kembali ke rumah orang tua saya di Liang-
an (Hang-chouw).”

“Ah, ke kota raja kerajaan Lam Sung (Sung Selatan)? Jauh sekali. Bi Lan, engkau adalah murid Kun -lun-pai
yang telah menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, berarti tlngkat kepandaianmu sudah tinggi sekali.
Aku ingin minta bantuanmu, maukah engkau menolongku, Bi Lan?”

Bi Lan merasa heran sekali. Bantuan apa yang dibutuhkan pendeta wanita ini? la hanya mendapat
keterangan dari para murid Kun-lun-pai dan juga dari Hui In Sian-kouw bahwa Biauw In Suthai ini sedang
merijalani hukuman dan diharuskan tinggal di Pondok Pengasingan untuk bersamadhi dan bertaubat.
Kini wanita yang sudah menjalani hukuman selama setahun itu ingin minta pertolongannya!'

“Bibi guru, tentu saja saya suka me-nolongmu, asal saja tidak melanggar peraturan Kun-lun-pai dan tidak
berlawanan dengan hati nurani saya sendiri.” jawabnya hati-hati.

Biauw In Suthai mengangguk-angguk.

“Bagus sekali. Memang demikianlah seharusnya seorang pendekar dan murid Kun-lun-pai yang baik.
Tidak seperti aku dahulu yang hanya menurutkan gejolak perasaan hati sendiri. Kekerasan hatiku
membuat dua orang murid yang kusayangi sekarang Ini, pergi mencarl seseorang untuk membunuhnya

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 198

dan aku mlnta bantuanmu, yaitu apabila dalam perjalananmu engkau menjumpai mereka, sampaikanlah
pesanku bahwa peraturan pernikahan itu sekarang sudah kubatalkan dan katakan agar mereka berdua
tidak lagi berusaha membunuh laki-laki itu”

Bl Lan mendengarkan dengan heran. “Bibi guru, apakah bibi guru tldak mau memberi penjelasan kepada
saya agar saya mengerti duduknya perkara? Siapakah kedua orang murid bibi guru itu dan siapa pula
laki-laki yang hendak mereka bunuh itu? Mengapa pula hendak mereka bunuh?”

Biauw In Suthai menghela napas panjang. “Baiklah, akan kujelaskan, Bi Lan. Setahun yang lalu, muridku
Kim Lan dalam pertandingan silat dikalahkan seorang pemuda. Sudah 'menjadi peraturanku ketika itu
bahwa muridku yapg kalah oleh seorang pria harus menjadi isterinya. Kalau pria itu menolaknya, maka
muridku harus membunuh prla itu. Kiiri Lan kalah dan pria itu menolak menjadi .suaminya, maka Kim
Lan lalu pergi untuk mencari pemuda itu dan membunuhnya. Ai Yin, muridku yang kedua, ikut pergi
bersama sucinya (kakak seperguruannya). Pemuda itu bernama Souw Thian Liong, murid Tiong Lee Cin -
jin.”

“Murid Tiong Lee Cin-jin? Bibi maksudkan, peniuda itu yang tadinya membawa kitab untuk diserahkan
kepada pimpinan Kun-lun-pai?” Bi Lan teringat akan Souw Thian Liong yang tadinya belum ia ketahui
namanya.

“Benar, Bi Lan. Dialah orangnya yang telah mengalahkan Kim Lan akan tetapi tidak mau menjadi
suaminya.”

“Tapi..... tapi, bibi! Bagaimarta ada aturan seperti itu? Kalau kalah harus menjadi isteri orang yang
mengatahkan dan kalau pria itu menolak atau dibunuh? Aneh sekali peraturan itu bibi. Maafkan saya,
akan tetapi bagaimana mungkin perjodohan dapat dipaksakan sepertl Itu?” kata Bi Lan sambil menahan
tawa karena hatinya merasa geli. Peraturan itu dianggapnya konyol.

Biauw In Suthai menghela napas panjang. “Sekarang akupun dapat melihat betapa bodohnya peraturan
yang kubuat menurutkan perasaan hari itu. Karena itu, suheng menegurku dan menyuruhku bertaubat
di sini selama tiga tahun. Aku menyesal, maka tolonglah aku, Bi Lan. Kalau engkau bertemu dengan Kim
Lan dan Ai Yin, cegah mereka membunuh Souw Thian Liong dan katakan bahwa peraturanku itu sudah
kucabut.”

Bi Lan mengangguk. “Baiklah, bibi. Mudah-mudahan saya akan dapat bertemu dengan mereka.”

Setelah meninggalkan Pondok Penga-singan itu, Bi Lan tak dapat menahan rasa geli hatinya dan ia
tertawa sendiri. Peraturan yang aneh! Dalam pertanding-an sudah dikalahkan pemuda itu, bagai-^inana
dapat membunuhnya? Hemm, jadi pemuda itu bernama Souw Thian Liong, .murid Tiong Lee Cin-jin?
Ilmu silatnya memang hebat dan ia sudah menyaksi-kannya sendiri ketika pemuda itu meno-. long para
saudagar yang diganggu 'pe-rampok-perampok llhai.

Setelah tinggal dl Kun-lun-pai selama dua harl, Bi Lan lalu berpamlt untuk melanjutkan perjalanannya. la
Ingin menjenguk ayah Ibunya dl kota raja dan hatinya berbahagia sekali membayangkan ia akan
bertemu dan berkumpul kenbali dengan orang tuanya. Tentu selama ini orang tuanya amat
mengkhawatirkan keselamatannya. la membayangkan betapa akan gembiranya hati ayah ibunya kalau
bertemu dengannya. Dan iapun akad mencari Ouw Kan yang telah membunuh Lu Ma, pelayan tua yang
setia dan yang menurut ibunya masih bibi ibunya sendirl dan yang amat mencintanya. la rnasih ingat

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 199

bahwa ayah ibunya adalah orang-orang gagah yang memimpin pasukan dan ketlka menlnggalkannya,
mereka berangkat untuk perang membantu pasukan besar Jenderal Gak Hui. lapun ter-ingat bahwa ia
pesan kepada ayahnya untuk membawa oleh-oleh sebatang pedang bengkok yang biasa dipakai perwira
Kerajaan Kin. Bi Lan tersenyum kalau ingat akan hal ini. Apakah kini ayahnya sudah membawakan oleh -
oleh itu dan maslh menyimpannya?

* **

“Tidak, ayah....... tidak...... aku tidak percaya!” Gadis itu menangis sesenggukan. la adalah Kwee Bi Hwa,
berusia kurang lebih sembilan belas tahun. Gadis ini memiliki wajah yang manis sekali, kecantikan yang
khas, tidak seperti perempuan bangsa Han lainnya. KeJelitaannya terasa asing. Memang sesungguhnya,
ada kecantikan suku Mancu dalam dirinya. “Ayahnya, Kwee Buh To, adalah seorang peranakan Mancu
yang menjadi guru silat dari perguruan silat Pek-eng Bukoan (Perguruan Silat Garuda Putih) dan tlnggal
d! daerah utara. Isteri Kwee Bun To Juga seorang wanita Mancu, maka tldak mengherankan kalau
kecantikan yang dimiliki Kwee B Hwa adalah kecantlkan peranakan Han dan Mancu. Ketlka bangsa Yu-
cen nenguasai daerah utara dan mendirikan dinasti Kin, Kwee Bun To melarikan diri, membawa istri dan
seorang anaknya. Akan tetapi isterinya mati dalam perjalanan dan akhirnya dia tlnggal dl pegunungan
dekat Siauw-Lim-pai.

Seperti telah dlceritakan di bagian depan, pada suatu malam seseorang me” tnasuki kamar Bi Hwa,
menotoknya dan memperkosanya. Kwee Bun To marah sekall dan menyerbu Siauw-lim-sl karena merasa
yakin bahwa pelakunya adalah murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa pelakunya
yang berhasil ditangkap Cia Song, murid Siauw-lini-pai yang llhai itu, adalah seorang kepala perampok
dan pemerkosa itu kemudian dibunuh Cia Song. Dengan hati sedih Kwee Bun To pulan g dan
menceritakan hal itu kepada puterinya. Bi Hwa menyambut cerita ayahnya itu dengan tangis.

Kwee Bun To memandang puterinya dan menghela napas panjang. Dia merasa iba sekali kepada
puterinya yang tersayang. Puterlnya adalah satu-satunya orang yang dia miliki di dunla ini, satu-satunya
orang yang paling dekat dengan hatinya. Dla mau berkorban apa saja, kalau perlu nyawanya, untuk
puterinya.

“Bi Hwa, percayalah, akupun menyesal bukan main. Tadinya aku bermaksud minta pertanggungan lawab
Giam Ti dan ia harus menikahimu untuk mencucl aib. Akan tetapi murid Siauw-lim-pai Itu terlanjur turun
tangan membunuhnya.

Bl Hwa sudah menguatkan hatlnya dan menghentlkan tanglsnya, la meng-angkat mukanya yang agak
pucat dan sepaaang matanya yang merah karena? tangls. “Ayah, aku sukar dapat percaya bahwa
pelakunya adalah seorang kepala perampok. Bagaimana dia beranl mengganggu keluarga ayah?”

“Anakku, bagaimana aku tldak akan mempercayanya? Ketika dia ditangkap Cia Song murid Siauw -lim-pai
itu dan dihadapkan padaku, penjahat itu telah mengaku sendlri. Dan Ingat, dia bukan kepala perampok
biasa. Dia menJadl kepala gerombolan yang bersarang di Buklt Angsa tak jauh dari sini. Julukannyai Hui -
houw-ong (Raja Harimau Terbang) sedikitnya menunjukkan bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi
juga.”

“Aku masih merasa penasaran, ayah. Orang itu sangat lihai. Ketika memasuki kamarku, sama sekali aku
tidak mendengar apa-apa. Hal inl menunjukkan dia tentu memiliki gin-kang (ilmu me-ringankan tubuh)
yang sempurna. Paria hal, aku biasanya peka sekali, sedikit saja suara mencurigakan sudah cukup untuk

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 200

membangunkan aku. Dan totokannya itu! Benar-benar melumpuhkan seluruh tubuhku. Bukan main
lihainya'.”

“Sudahlah, Bi Hwa. Tidak perlu penasaran lagi. Bagaimanapun juga, pelakunya sudah mengaku dan
sudah terhukum mati. Aku merasa lelah sekali lahir batin, periu mengaso.” kata Kwee Bun To sambil
memasuki kamarnya.

Bi Hwa. masih duduk termenung. Ia merasa menyesal sekali, dan kecewa mendengar bahwa yang
memperkosanya dahulu adalah seorang kepala perampok, seorang penjahat. Kalau saja pelakunya itu
seotang murid Siauw-lim-pai, seorang pendekar seperti yang disangkanya semula, tentu ia tidak akan
merasa sehina itu. Akan tetapi seorang kepala perampok? Andaikata penjahat Itu tertangkap hldup -
hldup pun ia tidak akan sudi menjadl isteri seorang kepala perampoki Akan tetapi hatinya masih belum
puas.

la masih penasaran sekali. la masih ingat benar. Pria yang memperkosanya malam itu, walaupun dalam
keadaan gelap dan ia sama sekali tidak dapat melihat wajahnya, namun tidak mungkin laki-laki Itu
seorang penjahat yang kasar dan kejam. Biarpun tidak mengucapkan sepatahpun kata, biarpun la tldak
dapat melihat orangnya, namun lakl-lakl itu demlkian lemah lembut! Tidak mungkin dia seorang kepala
perampok, seorang penjahat yang kasar dan kejam!

la harus menyelidikinya sendiri! Ayahnya kadang terlalu keras, lebih banyak penggunakan tenaga
daripada akal. Timbullah semangat Bi Hwa dan pada keesokan harinya, Kwee Bun To mendapatkan
kamar anakpya kosong dan hanya menemukan sepucuk surat tulisan tangan anaknya yang ditujukan
kepadanya.

Ayah,

Saya pergi merantau untuk menghibur hati yang gundah. Harap ayah Jangan mencari saya karena saya
tidak akan pulang sebelum kedukaan ini lenyap.

Kalau sudah tiba saatnya saya pasti pulang;

Anak:
Kwee Bi Hwa.

Pada saat Itu muncul keinginan Kwee Bun To untuk mengejar anaknya, dan mencegahnya pergi. Dia
sudah melompat keluar kamar dan hendak lari mengejar keluar rumah, Akan tetapi setibanya di luar
rumah, dia berhenti dan sekali lagi dibacanya surat anaknya. Dia menggeleng kepalanya dan menghela
napas panjang, lalu menyimpan surat itu dan masuk kembali ke dalam rumah. Tidak dia tidak akan
melakukan pengejaran. Dia mengenal baik puterinya itu. Di balik kelembutannya, anak itu mempun yai
hati yang keras, tekad yang bulat seperti yang dimiliki kaum wanita suku Mancui pada umumnya.
Anaknya sudah mengambil keputusan untuk pergi merantau dan ia tidak akan mau dicegah, tidak akan
dapat dilarang ataupun dibujuk. Apa lagi anaknya itu bukan se orang wanita lemah. Sejak kecil sudah
belajar dan berlatih silat dengan baik dan termasuk seorang yang berbakat. Anaknya tidak akan mudah
diganggu orang jahat. la pandai menjaga dan membela diri. Hal itu tidak perlu dia khawatirkan. Dia ha-
nya merasa sedih harus berpisah dari puterinya. Akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia menghalangi
niat puterinya, hal itu akan membuat Bi Hwa marah dan berduka. Maka, dengan hati berat ayah ini
mengambil keput.usan untuk rnenanti saja di situ sampai puterinya pulang.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 201

Pada keesokan harinya, Kwee Bi Hwa berjalan seorang diri mendaki lereng dekat puncak Bukit Angsa.
Tidak sukar ba-ginya untuk menemukan bukit ini yang tidak berada terlalu jauh dari tempat tinggalnya
yang berada di bukit lain dari pegunungan itu. Bukit Angsa itu dard jauh sudah tampak. Blarpun
tlngginya ti-dak banyak bedanya dengan buklt-buklt lain yang memenuhl daerah pegunungan iltu,
namun Bukit Angsa mempunyai cirl yang khas, yaitu bentuk puncaknya. Puncak bukit dengan pohon -
pohon besar itu, tampak dari jauh membentuk seekor angsa!

Setelah Bl Hwa tiba dl dekat puncak tlba-tlba berkelebatan bayangan belasan orang dan dia sudah dik-
epung oleh orang-orang yang tampak bengis menyeramkan. Mereka aemua membawa sebaiang golok
dengan tangan kanan. Dl baju mereka baglan dada terdapat luklsan seekor harimau terbang! Tahulah Bi
Hwa ia berhadapan dengan gerombolan yang dipimpin oleh Hui -houw-ong Giam Ti, pemlmpin
Gerombolan Harimau Terbang. Seorang di antara mereka, yang agaknya menjadl pemimpin, ketika
melihat sebatang ipedang tergantung dl punggung gadis manis itu. bersikap hati-hati dan dia melangkah
maju menghadapi Bi Hwa dan bertanya.

“Nona, siapakah engkau dan apa kehendakmu datang dan melanggar daerah kekuasaan kami?”

“Tidak perlu kalian tahu siapa aku. Aku sengaja datang ke sini hendak mencari keterangan tentang
seorang yang bernama Hui-houw-ong Giam Tl.” kata Bi Hwa.

Mendengar jawaban ini, orang-orang itu tampak terkejut dan marah. Mereka mengepung ketat dan siap
dengan golok mereka.

“la mata-mata musuhi”

“Bunuh ia untuk menyembahyangi arwah Giam Toa-ko!”

Lima belas orang itu serentak menyerbu. Bi Hwa dari segala jurusan. Bi Hwa menggerakkan tangan
kanannya dan tampak sinar berkilat ketika ia mencabut pedang. Kemudian sinar pedangnya bergulung-
gulung ketlka ia menyambut serangan,mereka. Sinar pedang itu menyambar-nyambar . dilkuti tamparan
tangan kirl dan tendangan kaklnya. Terdengar terlakan para pengeroyok dan merekapun roboh
berpelantingan, terkena tamparan atau tendangan, sedangkan golok mereka patah dan terpental ketika
bertemu sinar pedang. Lima belas orang itu terkejut bukan main dah mereka menjadi ketakutan lalu
melarikan diri pontang panttng ke arah puncak.

Bi Hwa melakukan pengejaran ke puncak Bukit Angsa. Di puncak la menemukan sarang gerombolan
yang merupakan sebuah perkampungan dengan rumah-rumah kayu sederhana.' Ketika ia memasuki
perkampungan itu, di situ tampak sepi. Semua-pondok tertutup pintu dan jendelanya. Akan tetapi ia
maklum bahwa para anggauta gerombolan itu masih berada di situ, bersembuyi dalam rumah-rumah
yang tertutup.

Bi Hwa mellhat sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lain. la menghampiri rumah
besar itu, berdirl di depannya lalu berseru sambll mengerahkan sin-kangnya sehlngga suaranya
terdengar melengklng nyarlng dan menggetar dl seluruh perkampungan itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 202

“Hel, semua anggauta gerombolan Macan Terbang, keluarlah Aku tidak Ingin mencelakai kalian.
Kedatanganku hanya ingin minta keterangan dari kalian! Hayo keluar, kalau tidak aku akan marah dan
akan kubakar seluruh perkampungan ini!”

Gertakannya berhasil. Rumah-rumah mulai membuka pintunya dan bermunculanlah para anggauta
gerombolan yang tadi mengeroyoknya dan bersama mereka keluar pula wanita-wanita dan kanak-
kanak, yaitu keluarga mereka. Setelah pemimpin mereka me njatuhkan diri berlutut, semuanya lalu
berlutut bersama keluarga mereka. Jumlah para anggauta gerombolan itu sebanyak dua puluh orang
lebih dan keluarga mereka lebih banyak lagi.

“Li-hiap (pendekar wantta), ampunkan kami....” kata pemimpin gerombolarr itu. Bi Hwa memperhatikan
seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh llma tahun yang menuntun seorang anak
perempuan berusia sekitar empat tahun keluar dari rumah besar, diikuti beberapa orang wanita
berpakaian. pelayan. Wanita inipun mengajak anaknya menjatuhkan diri berlutut.

“Aku tidak akan mencelakai kalian asalkan kalian mau memberitahu padaku dengan sejujurnya tentang
Hui-houw-ong Giam Ti. Siapa di antara kalian yang dapat memberi keterangan yang lengkap tentang
dia?

“Saya dapat, lihiap. Saya Giam Kui, adik kandung kakak Giam Ti.” kata laki-laki berusia dua puluh tujuh
tahun yang tadi bersikap sebagai pimpinan gerombolan itu.

“Saya juga bisa, lihiap. Saya adalah isteri Hui-houw-ong Giam Ti.” kata wanita cantik tadi dengan suara
lembut.

“Baik, kalian berdua boleh menjawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya. Dan yang lain bubarlah,
lakukan pekerjaan kalian masing-masing.”

Semua anggauta gerombolan tampak lega dan mereka lalu bubaran. Isteri Giam Ti bangkit dan berkata,
“Li-hiap, mari silakan masuk rumah agar kita lebih leluasa bicara.”

Bl Hwa mengangguk dan ia laiu diiringkan Nyonya Giam Ti yang memondong anaknya, dan Giam Kui.
Para pelayan terus masuk ke belakang untuk mempersiapkan minuman, sedangkan Bi Hwa dipersilakan
duduk di ruangan depan.

“Sekarang katakan, di mana adanya Hui-houw-ong Giam Ti?” tanya Bi Hwa sebagai pancingan.

Isteri dan adik mendiang Giam Ti itu tampak terkejut dan saling pandang dengan heran.

“Akan tetapi...., lihiap.... dia sudah mati....” kata Nyonya Giam Ti dengan suara terisak.

“Apa yang telah terjadi dengan dia? Coba ceritakan dengan sejelasnya Jangan berbohong!”

Nyonya Giarii Ti menoleh kepada adik iparnya dan berkata, “Adik Giam Kui, engkau yang lebih tahu
duduk persoalannya. Engkau ceritakanlah kepada lihiap.” Giam Kui mengangguk lalu berkata.

“Kejadian itu baru beberapa hari yang , lalu, lihiap. Seorang pemuda yang amat lihai datang ke
perkampungan kami ini dan dia mengamuk, merobohkan kami semua, termasuk kakak saya Giam Ti.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 203

Kemudian dia memaksa kakak saya untuk ikUt dengannya dan melaksanakan semua perintahnya dengan
ancaman bahwa kalau kakak saya tidak mau menurut, dia bukan saja akan membunuh kakak Giam Ti,
akan tetapi dia juga akan menyiksa dan membunuh kakak ipar ini dan anaknya. Karena tidak mampu
melawan dan takut akan ancaman itu, kakak Giam Ti pergi dengan dia.” Giam Kui menghentikan
ceritanya dan memandang wajah Bi Hwa seolah dia sebetulnya tidak perlu bercerita karena gadis
perkasa di depannya itu tentu telah mengetahui semua peritiwa itu.

“Hemm, begitukah? Tahukah engkau siapa nama pemuda itu?” tanya Bi Hwa.
Dua orang itu saling pandang lagi dan menggeleng kepala.

“Kami semua tidak ada yang tahu siapa dia, li-hiap. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah sikap
dan gerak geriknya halus, akan tetapi dia lihai bukan main. Usianya sekitar dua putuh. lima tahun.” kata
Giam Kui.

“Lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Bi Hwa.

“Kakak saya tidak pulang malam itu dan pada keesokan harinya, ada utusan dari Siauw -lim-si yang
mengabarkan bahwa kakak saya telah tewas dan kami disuruh mengambil jenazahnya yang telar berada
di luar kuil.” kata Giam Kui dan kakak iparnya menangis terisak.

“Sekarang katakan, bagaimanakah tingkat ilmu silat Giam Ti itu? Apakah dia lihai sekali? Apakah
tingkatnya jauh lebih tinggi dibandingkan tingkatmu?” tanya Bi Hwa kepada Giarn Kui.

“Li-hiap, dia adalah kakak saya dan juga kakak seperguruan saya. Memang tingkat kepandaiannya lebih
tinggi dari pada tingkat saya, akan tetapi tidak jauh selisihnya.”

Mendengar ini Bi Bwa mengerutkan alisnya. Tingkat ilmu silat Giam Kui ini tidak berapa tinggi, dalam
dua tiga gebrakan saja roboh olehnya. Kalau tingkat kepandaian Giam Ti hanya sedikit lebih tinggi dari
adiknya ini, tidak mungkin di malam itu mampu memasuki kamarnya tanpa terdengar dan dapat
menotoknya.

“Jawablah sejujurnya, apakah lebih sebulan yang lalu dia pernah menyerbu rumah Kwee Bun To yang
berada di puncak bukit sana itu? Pada malam hari dia melakukan penyerbuan itu?”

Giam Kui mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. “Ah, tidak sama sekali, lihiap. Terus terang
saja, walaupun kami suka melakukan pekerjaan merampok, namun kami tidak pernah menggapggu
penduduk sekitar pegunungan ini. Kami takut kepada Siauw-lim-pai dan kami hanya minta sumbangan
dari orang-orang luar yang kebetulan lewat di daerah ini.”

“Hemm,! pertanyaan terakhir dan kuharap kallan menjawab dengan terus terang karena Jawaban ini
penting bagi penyelidikanku. Apakah Glam Tl seorang laki -laki yang mata keranjang dan suka
mengganggu wanlta?”

“Ah, sama sekall tidak” Nyonya Glam Ti tiba-tiba berterlak. “Mendiang suamlku adalah seorang suaml
yang baik. Dia amat mencinta saya dan mencinta anak kami!”

Bi Hwa merasa sudah cukup mendapatkan keterangan yang memuaskan hatinya. la bangkit berdiri dan
berkata kepada Giam Kui. “Nah, cukuplah keterangan kalian. Terima kasih dan aku berpesan kepada

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 204

semua ahggauta gerombol-an ini untuk mengubah cara hidup dan cara kerja kalian. Hentikanlah
pekerjaan kalian merampok itu. Giam Kui, engkau pimpinlah anak buahmu untuk bekerja se bagai petani
dengan rajin. Kulihat bukit ini memiliki tanah yang amat subur. Kalau kalian rajin dan tekun, bertani di
sini tentu akan mendatangkan hasil yang cukup baik. Juga terdapat banyak binatang buruan dalam
hutan-hutan di pegunungan ini. Kalian dapat juga menjadi pemburu binatang. Kulit dan daglngnya dapat
kalian jual. Jangan melakukan kejahatan lagi karena kalau kalian masih tidak mau mengubah jalan hidup
kalian, pada suatu hari tentu akan muncul pendekar yang membasmi kalian. Bahkan aku sendlrl kalau
kelak mendapatkan kalian masih menjadi gerombolan perampok, tentu takkan tlnggal diam dan takkan
memberi ampun.”

“Baik, lihlap, kami akan mentaati pesan lihiap.” kata Giam Kui yang memang sudah merasa jerih melihat
kematian kakaknya.

Bi Hwa meninggalkan Buklt Angsa dengan hatl puas. Yakinlah kini hatinya bahwa yang memperkosanya
dahulu Itu jelas bukan Hul-houw Giam Tl.

Sambil berjalan menuruni bukit itu Bi Hwa termenung. Akan tetapi mengapa Giam Ti mengaku di depan
ayahnya bahwa dia yang melakukan pemerkosaan itu? pan mengapa murid Siauw-lim-pai itu
menangkapnya? Kemudian malah membunuhnya? Tidak salah lagi, pikirnya. Pasti ada rahasia di balik
peristiwa ini dan satu-satunya orang yang patut dicurigainya adalah murid Siauw-lim-pai itu. la sudah
melihat pemuda itu. Pemuda yang tampan dan halus budinya. Dan menurut ayahnya, pemuda itu yang
bernarna Cia Song, memiliki tingkat ilmu silat amat tinggi!

Bi Hwa mengepal kedua tangannya. Tak salah lagi! Tentu Cia Song itulah pelakunya! Ketika ayahnya
menuntut ke Siauw-lim-pai, Cia Song berjanji kepada ayahnya untuk dalam waktu sebulan menangkap
pelaku pemerkosaan itu. Cia Song juga datang ke rumahnya untuk mendengar sendiri keterangan dari
mulutnya. Semua itu hanya untuk mengelabuhi ayahnya saja. Tentu pemuda itu menangkap Giam Ti dan
memaksa kepala gerombolan itu untuk mengaku bahwa dialah pelakunya. Agaknya Giam Ti terpaksa
membuat pengakuan palsu karena takut kalau-kalau isteri dan anaknya dibunuh seperti yang
diancamkan Cia Song ketika datang dan menangkapnya. Setelah Giam Ti terpaksa mengakui
perbuatannya yang sebenarnya tidak dilakukan-nya untuk melindungi isteri dan anaknya, Cia Song lalu
membunuhnya agar rahasianya tidak ada yang rnengetahui dan membocorkannya.

“Pasti begitulah yang telah terjadi'“ desis mulut Bi Hwa dan ia. mengepal lagi tangan kanannya. “Cia
Sohg, engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu. Aku akan mencarimu dan sampai mati
aku tidak akan berhenti mencarimu sampai aku dapat bertemu dengan-mu!”
Setelahimengambilkeputusan ini dalam hatinya, Bi Hwa lalu melanjutkannya berlari cepat, dan kedua
matanya menjadi basah.

* **

Bi Lan memasuki kota raja Lin-an yang merupakan ibu kota Kerajaan Sung Selatan dengan berjalan
perlahan-lahan. la tidak mengacuhkan pandang mata pa-ra pria di jalanan yang ditujukan kepadanya
karena hal itu sudah biasa baginya. Semenjak berpisah dari Jit Kong Lama dan turun gunung, di setiap
kota dan dusun yang dilewatinya, ia selalu melihat mata para pria yang memandang kepadanya dengan
kagum.- Ia tidak memperdulikan lagi pandang mata mereka itu karena ia sendiri sedang asik terkagum-
kagum melihat bangunan-bangunan besa? di kota raja Lin-an. Ketika ia menlnggalkan kota raja, dilarikan
oleh kakek Ouw Kan yang menculiknya, ia baru berusia tujuh tahun. Selama lebih dari sebelas tahun la

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 205

meninggalkan kota ini, dan sekarang ia memasuki kota ini dengan rasa kagum brkan main. Segalanya
sudah berubah. Bangunan-bangunan besar dan indah. Taman-taman yang luas. Toko-toko penuh
bermacam-macam barang. rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah makan. la menjadi bingung dan
tidak mengenal jalan. la sudah lupa di mana letak rumah orang tuanya! “

Kemudian ia teringat. Rumah orang tuanya berada di sebelah barat istana raja. Tidak begitu jauh dari
istana, sekitar satu kilometer saja jauhnya. Teringat akan ini, ia lalu mencari istana kaisar. Dengan
bertanya-tanya, mudah saja.! ia menemukan bangunan-bangunan megah istana itu. Dari sini diambilnya
jalan yang menuju ke barat. Setelah berjalan sekitar satu kilometer, ia menjadi bingung lagi karen a
rumah-rumah di situ sudah banyak berubah ia tak dapat mengenal lagi yang mana rumah orang tuanya.
Hatinya yang tadinya semakin tegang setelah ia mengambil jalan inl, berubah menjadi bingung. Yang
mana rumah orang tuanya?

la berhenti di depan sebuah rumah besar yang tampaknya baru. Pekarangan rumah itu mirip dengan
pekarangan rumah orang tuanya dahulu. Dan bentuk rumahnya juga sama, hanya yang ini tampak baru.
Ah, tak salah lagi. Inilah ru-mah orang tuanya. Pohon tua di sebelah kiri itu, di mana ia sering bermain,
masih ada.

Dengan hati gembira penuh harapan Bi Lan memasuki pekarangan itu. Karena hatinya tegang dan
pandang matanya ditujukan penuh perhatian ke arah bangunan, ia tidak tahu bahwa sejak tadi beberapa
pasang mata menatap dan mengikuti gerak-geriknya dari sebuah gardu penjagaan yang terdapati di
peka-rangan itu.

Bi Lan melangkah masuk. “Hei, nona! Berhenti!” terdengar bentakan dan tiba-tiba dari sebelah
kanannya muncul litna orang berpakaian perajurit yarig membawa tombak, langsung mereka itu berdiri
.menghadang di depannya, memandang dengan sikap keren akan tetapi mulut mereka menyeringai
secara kurang ajar.

Bi Lan memandang mereka dengan heran. Dahulu, rumah orang tuanya tidak dijaga oleh perajurit, maka
ia menjadi ragu lagi apakah ia memasuki pekarangan rumah, yang kellru.

Seorang perajurit jangkung dan agak-pya menjadi kepala penjaga, mengamati wajah dan tubuh Bi Lan
dengan pandang mata “lapar”, kemudian bertanya dengan suara keren. “Nona manis, engkau tidak
boleh memasuki pekarangan ini begitu saja tanpa ijln dari kami! Engkau siapakah dan apa kehendakmu
memasuki pekarangan ini?”

Melihat sikap yang ceriwis itu, Bi Lan tldak mau memperkenalkan namanya. Langsung saja ia bertanya.

“Bukankah ini rumah Perwira Han Si Tiong?”

Si jangkung itu memandang kepada Bl Lan dengan mata terbuka lebar karena heran, lalu menoleh
kepada teman-temannya dan tertawa, diikuti suara tawa teman-temannya. Mereka adalah perajurit-
perajurit yang berusia antara dua puluh dua dan dua puluh lima tahun,

Tentu saja mereka tidak mengenal nama itu karena pada waktu Perwira Han Si Tiong tinggal di situ,
belasan tahun yang lalu, mereka masih kecil dan belum menjadi perajurit.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 206

“Ha-ha-ha, nona manis, apakah engkau bermimpi?” kata si jangkung sambil menengok ke arah rumah
yang ditunjuk oleh Bi Lan. “Gedung ini adalah milik dan tempat tinggal Ciang Kongcu (Tuan Muda Ciang)
dan kami tidak mengenal Siapa itu Perwira Han Si Tiong!”

Bi Lan mengerutkan alisnya. Setelah klni melihat keadaan pekarangan dan ru-mah gedung itu, walaupun
terdapat banyak perubahan, namun ia merasa yakin bahwa inilah rumah orang tuanya. la memandang
lima orang perajurit dan maklum bahwa mungkin mereka inl tidak tahu apa yang terjadi sebelas tahiin
lebih yang lalu karena pada waktu itu mereka ini tentu belum menjadl perajurlt. Akan tetapl, penghunl
baru rumah inl tentu tahu di mana adanya orang tuanya. Mungkin saja orang tuanya sudah plndah
tempat atau dltugaskan di kota lain.

“Kalau begitu aku akan bertemu dengan Ciang Kongcu.” kata Bl Lan.

Mendengar Ini, lima orang perajurit itu menyerinyai semakin lebar. “Wah, ini namanya domba muda
gemuk menghampiri harimau yang sedang lapar! Engkau akan ditelannya bulat-bulat!” kata seorang
perajurit.

Si jangkung tertawa, “Ha-ha, itu benar, nona. Engkau begini cantik, begini lembut. Daripada daglngmu
yang lembut dicabik-cabik harimau kelaparan, lebih baik engkau kujadikan isteriku. AKU ftasih perjaka
ting-ting dan sebentar lagi naik pangkat. Marl kita bicara di dalam gardu, biar lebih bebas, leluasa aan
asik.”

Si jangkung itu menjulurkan tangan-nya menangkap pergelangan tangan kanan gadis itu dan hendak
menarlknya untuk diajak memasuki gardu penjagaan, ditertawakan oleh empat orang temannya. Bi Lan
menjadi marah Sekali. Sekali menggerakkan tangan kanannya, ia sudah menusuk lambung orang itu
dengan jari-jari tangannya.

“Hukk....!” Tubiih si jangkung ditekuk ke depan karena perutnya terasa nyeri bukan main dan ketika dia
membungkuk itu, Bi Lan menangkap dan menjambak rambutnya sehingga topi seragamnya terlepas dan
rambutnya terurai. Bi Lan menjarnbak rambut dan menekan kepala itu sehingga si jangkung mengaduh-
aduh dan kepalanya tertekan ke bawah, tak dapat meronta karena dia masih menderita nyeri hebat
pada perutnya yang disodok tadi! Empat orang temannya terkejut dan cepat mereka itu menerjang
maju, hendak memukul dengan tombak mereka. Akan tetapi, Bi Lan menggerakkan tangan kiri dan kaki
kanait enipat kali. Empat orang perajurit itupun roboh terbariting dengan keras, tombak mereka.
terpental dan terlepas. Sekali sambar, Bi Lan telah merampas tombak dari tangan si jangkung, kemudian
melepaskan jambakan dan menggunakan kaki kiri menginjak kepala itu dari belakang sehingga muka si
jangkung tertekan dan mencium tanah!

Bi Lan menodongkan ujung toitibak runcing itu pada punggung si jangkung, menghardik. “Berani engkau
kurang ajar kepadaku?”

Si jangkung ketakutan dan tanpa terasa celananya menjadi basah.

“Ampun, nona, ampunkan saya.... saya tidak beranl lagi....”

Empat perajurit lain merangkak bangun dan merekapun tidak berani menye-rang melihat betapa nona
itu ternyata lihai bukan main dan kini mengancam komandan mereka dengan tombak.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 207

“Hayo cepat antar aku menewui penghuni rumah ini. Jangan banyak tingkah kalau engkau tldak ingin
tombakmu . Ini menembus dadamu!” Bi Lan menghardik sambil melepaskan tekanan kakinya pada
kepala orang Itu.

“Baik.... baik.;..nona....'“ Si jangkung merangkak dan bangkit berdiri sambil meringis dan memegangi
perutnya yang masih nyerl, Mukanya, terutama bibir dan hidungnya, berlepotan tanah.

“Hayo maju!” Bi Lan menodongkan tombaknya di punggung si jangkung Itu yang berjalan menuju ke
gedung dengan agak terpincang dan muka ditundukkan. Dia merasa takut sekali karena ujung tombak
yang runcing itu terasa benar menekan punggungnya.

Setelah mereka tiba di pendapa, tiba-tiba pintu depan rumah gedung itu terbuka dari dalam dan
muncullah empat orang laki-laki dari dalam. Bi Lan memandang penuh perhatian. Seorang dari mereka
adalah pria berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian gagah dan indah, pakaian seoran g panglima
perang, bertu-buh tinggi besar dan pandang matanya angkuh seperti pandang mata seorang yang sadar
dan bangga akan kedudukan dan kekuasaannya. Orang ke dua juga berpakaian seperti seorang
panglima, ha-nya tidak sementereng pakaian panglima tlnggi besar itu. Usia orang ke dua itu sekitar lima
puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus, mukanya begitu kurus mirtp muka tikus, akan tetapi matanya tajam
dan bergerak-gerak membayangkan kecerdikan. Orang ke tiga berpakaian seperti seorang tosu (pendeta
Agama To) tubuhnya pendek gendut, tampak lucu. Usianya sekitar enam puluh lima cahun, mukanya
berwarna kekuningan, muiutnya tersenyum mengejek dan pandang mata-nya agak memandang rendah
segala sesuatu. Adapun orang ke empat masih muda, sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar,
wajahnya tampan dan gagah dengan alisnya yang hitam tebal.

Dia berpakaian seperti seorang pemuda bangsawan, pakaiannya indah dan dia pesolek, rambutnya licin
berminyak, bahkan kulit mukanya ada tanda-tanda bekas bedak. Di pinggangnya tergantung sebatang
pedang yang sarungnya cerukir indah.

“Apakah aku berhadapan dengan pemilik dan penghuni rumah ini?” tanya Bi Lan sambil memandang
empat orang itu.

Orang muda bangsawan itu melangkah maju. “Nona, akulah pemilik rumah ini. Nona slapakah dan ada
keperluan apakah mencarl aku?”

Mendengar ini, Bi Lan mengayunkan kaki menendang dan perajurit jangkung itu terlempar dan jatuh
terbantihg bergulingan. Bi Lan melemparkan-tombak itu ke dekat orang itu sambil membentak,
“Pergilah!” Tombak itu menancap di atas tanah, dekat si jangkung yang terlempar keluar ke pekarangan.
Setelah itu Bi Lan menghadapi empat orang itu. Sikapnya tenang saja biar” pun ia berhadapan dengan
orang-orang yang melihat pakaiannya tentu merupakan orang-orang berkedudukan tinggi.

“Jadi engkaukah yang sekarang menempati rumah ini?” tanya Bi Lan sambil memandang kepada
pemuda tinggi besar itu. la sudah dapat menduga agaknya orang inl yang tadi oleh para perajurit
penjaga disebut sebagai Ciang Kongcu.

“Benar aekali, nona. Aku, Ciang Ban, yang menjadi penghuni rumah ini. Apakah yang dapat aku bantu
untukmu?” Ciang Ban, atau lebih dikenal sebagai Ciang Kongcu, berkata sambil tersenyum ramah
setelah dia melihat jelas betapa cantik jelitanya gadis itu. Diapun melihat betapa gadis itu li hai dan kuat

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 208

sekali, tidak hanya dapat memaksa kepala jaga mengantarnya, akan tetapi juga dari tendang-annya tadi
tahulah dia bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang tangguh.

“Aku ingin mengetahui tentang penghuni lama rumah ini, yaitu Perwira Han Si Tiong dan isterinya. Kalau
mereka tidak tinggal di sini lagi, di mantakah mereka sekarang berada?”'

Mendengar pertanyaan ini, Ciang Kongcu menoleh kepada tiga orang lain yang keluar bersamanya,
kemudian panglima yang tinggi besar dan berpakaian indah mewah i tu berkata, “Perwira Han Si Tiong?
Ah,, tentu saja kami mengenalnya dengan baik, nona. Dia adalah rekan dan sahabat kami. Akan tetapi,
siapakah engkau, nona?”

Mendengar bahwa panglima tua tinggi besar itu mengaku sebagai sahabat ayahnya dan hal ini
sewajarnya karena mereka sama-sama perwira kerajaan, Bi Lan segera menjawab, “Saya adalah Han Bi
Lan, dan saya ingin mengetahui di mana adanya ayah dan ibu saya.”

“Ahh! Kiranya engkau puteri Han ciangkun yang diculik penjahat ketlka masilh kecil? Senang sekall kami
mellhat engkau dalam keadaan selamat, nona Han. Akan tetapl marllah klta masuk dan bicara di dalam
tldak pantas kita bicara sambil berdiri di luar.”

“Terima kasih, kata Bi Lan dan ia mengikuti mereka masuk ke ruangan dalam yang luas. Begitu
memasuki rumah itu, Bi Lan merasa terharu karena rumah di mapa ia dilahtrkan dan dibesarkan sampai
berusia tujuh tahun. Setelah memasuki rumah itu, ia yakin benar bahwa ini rumah orang tuanya dahulu
walaupun prabot rumahnya telah diganti dengan barang-barang yang indah dan mahal.

Setelah mereka Han Bi Lan dan empat orang itu duduk, Ciang Ban atau Ciang Kongcu memperkenalkan
tiga, orang lainpya kepada gadis itu. “Han Siocla (Nona Han), perkenalkan. Ini adalah ayahku bernama
Ciang Sun Bo atau disebut Ciang Goan-swe (Jenderal Ciang), sekarang menduduki jabatan panglima
besar.” Bi Lan memandang kepada panglima yang tinggi besar itu. Ciang Goan-swe mengangguk dan
tersenyum kepadanya.

“Ha-ha, Han Siocia. Aku adalah sahabat baik ayahmu. Agaknya engkau telah lupa kepadaku, akan tetapi
aku masih ingat kepadamu yang ketika itu masih kecil. Engkau baru berusia tujuh tahun ketika engkau
dilarikan penculik. Kami telah mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencarimu, namun tidak
berhasil.”

“Dan ini adalah Lui Ciangkun (Perwira. Lui), pembantu ayahku.” Ciang Kongcu memperkenalkan perwira
tinggi kurus bermuka tikus itu.
“Nama lengkapnya Lui Wan

“Han Soicia, akupun mengenal baik ayahmu, Perwira Han Si Tiong yang gagah itu.” kata Lui Ciangkun
dengan pandang matanya yang cerdik. Bi Lan hanya mengangguk karena semua itu tidak ingin ia
ketahui. Yang ingin ia ketahui adalah di mana ia dapat bertemu dengan orang tuanya.

“Dan totiang (bapak pendeta) ini adalah Hwa Hwa Cin-jin. Dia adalah guruku, Han Siocia.” Clang Kongcu
memperkenalkan pendeta itu.

“Siancai! Han siocia adalah seorang gadis yang cantik dan gagah perkass sekali. Pinto (aku) senang dapat
bertemu denganmu.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 209

“Terima kasih atas perkenalan ini, Ciang Kongcu. Akan tetapi saya ingin sekali mengetahui di mana saya
dapat bertemu dengan ayah ibu saya.”

Ciang Kongcu tidak menjawah melainkan menoleh kepada ayahnya. Ciang Goanswe kini yang menjawab
pertanyaan Bi Lan, sedangkan Ciang Kongcu memberi isarat kepada tiga orang itu. Lul Ciangkun segera
bangkit dan berkata, “Saya akan menyampalkan perintah Ciang Kongcu.” Perwira tinggi kurus ini lalu
pergi ke belakang.

“Han Siocla,” kata Ciang' Goanswe. “Kiranya akulah yang lebih tahu akan keadaan orang tuamu daripada
sernua orang yang berada di sini karena ayahmu masih terhitung pembantuku. Kurang lebih sebelas
tahun yang lalu, Han-ciang-kun dan isterinya berangkat ke perbatasan utara untuk memimpin Pasukan
Halilintar berperang melawan musuh di utara.”

Bi Lan mengangguk tak sabar. “Saya masih ingat akan semua itu, Ciang Goanswe, Ketika ayah i bu pergi
berperang, datang si jahanam Ouw Kan yang berjuluk Toat-beng Coa-ong Itu ke rumah ini, membunuh
Luma dan tukang kebun yang tidak berdosa, lalu menculik saya.

Ciang Goan-swe mengangguk-angguk. “Benar, agaknya orang tuamu mempunyai musuh yang hendak
membalas dendam, akan tetapi karena orang tuamu tidak berada di rumah, maka musuh itu lalu
menculikmu. Kami telah mengerahkan pasukan untuk mencari, namun sia sia sehingga kami putus asa.
Maka, bukan main girang rasa hati kami ketika hari ini tiba-tiba engkau muncul dalam keadaan sehat
dan selamat, Han Siocia. kami sudah menganggap keluargamu seperti keluarga sendiri!”

“Tapi di manakah sekarang orang tua-ku, Ciang Goan-swe?” tanya Bi Lan tak sabar.

Jenderal Ciang menghela napas panjang. “Sesungguhnya, hal itu kami tidak mengetahuinya. Ketika
mereka pulang setelah menang dalam perang, mereka kami beritahu tentang peristiwa di rumah Ini,
bahwa engkau diculik penjahat tanpa kami ketahui siapa penculik itu. Ayah ibumu lalu pergi dari sini,
katanya hendak mencarimu dan ayahmu bahkan mengembalikan pangkatnya kepada Sribaginda Kaisar
karena dia akan pergi mencarimu. Dan sampai sekarang orang tua-mu itu tidak pernah kembali ke sini.
Kami prihatin sekali, Han Siocia, akan tetapi setelah kini engkau kembali dalam keadaan selamat kami
merasa girang bukan maln. Tentang orang tuamu, jangan khawatir, kami tentu akan menyebar
penyelidik ke seluruh penjuru untuk mencari mereka sampai dapat ditemukanl”

Bi Lan merasa girang dengan janji ini. Memang akan sukarlah baginya me ncari orang tuanya kalau ia
tidak tahu ke mana mereka pergi. Kalau Jenderal Ciang menyebar banyak penyelidik, tentu hasilnya akan
jauh lebih baik.

la bangkit berdiri dan merangkap ke-dua tangan depan dada. “Terima kaslh, Goan-swe.”

Jenderal Ciang melambaikan tangan menyuruh gadis itu duduk kembali. “Aih, nona, atau lebih baik
kusebut Bi Lan saja. Orang tuamu sudah seperti saudara denganku, maka engkau kuanggap sebagai
keponakanku sendiri. Jangan sebut aku Goanswe, cukup dengan Paman Ciang saja!”

Kalau begitu, aku adalah toa-ko (kakak) bagimu dan pngkau siauw-moi (adik perempuan) bagiku!” kata
Ciang Kongcu sambil tersenyum,

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 210

Pada saat itu, Kui Ciangkun memasuki ruangan itu diikuti beberapa orang pelayan wanita yang
membawa hidangan yang maslh mengepul,

Melihat ini, Bi Lan berkata, “Aih, Paman Ciang, tidak perlu repot-repot....” ,

“Sama sekali tidak repot, Bi Lan. Saking gembiranya hati kami, melihat engkau muncul dalam keadaan
selamat dan sehat seolah-olah kami melihat seorang keponakan yang telah mati hidup kembali, maka
kami ingin menyambutmu dengan pesta dan piakan bersama! Mari, jangan sungkan-sungkan!” kata
Jenderal Ciang dengan gembira sambil menuangkan anggur ke dalam cawan di depan Bk Lan.

Bi Lan bangkit berdiri. “Maafkan saya, paman. Saya.... saya ingin ke kamar mandi sebentar.”

Jenderal Ciang tersenyum dan mengangguk maklum. Tentu gadis itu ada keperluan ke kamar mandi,
mungkin hendak membuang air kecil. Maka dia menoleh kepada seorang pelayan wanita.

“Antarkan Nona Han ke kamar mandi”.

Pelayan itu lalu menghampiri Bi Lan yang bangkit berdiri dan mengikuti pelayan itu masuk ke bagian
dalam. Kamar mandi rumah gedung itu masih di tempat yahg dulu. Ada dua buah. Yang besar untuk
keluarga dan yang kecil untuk para pelayan. Bi Lan memasuki kamar mandi yang besar dan menutup
daun pintunya.

Setelah Bi Lan kembali ke ruangan tamu, hidangan sudah lengkap di atas meja. Uap yang sedap
memenuhi ruangan itu. Bau sedap masakan bercampur dengan bau harum minuman anggur dan arak.

“Mari kita minum untuk menyambut keponakanku Han Bi Lan dan imengucapkan selamat datang!” kata
Jenderal Ciang sambil mengangkat cawan araknya. Semua prang mengangkat cawan masing-masing dan
minum untuk kehormatan Bi Lan. Gadis ini merasa gembira juga mendapatkan penyambutan seramah
itu, Maka, iapun tidak sungkan-sungkan lagi ketika mereka mulai makan minum dengan gembira.

Makan minum bersama lima orang itu berlangsung gembira. Diam-diam Bi Lan merasa heran betapa
Hwa Hwa Cin-jin makan daging dan minum arak dengan lahapnya! Akan tetapi ia teringat akan gurunya
sendiri. Gurunya juga seorang pendeta Lhama yang lajimnya berpantang makan makanan berjiwa dan
minum-minuman keras, akan tetapi gurunya melanggar pantangan itu. Banyak pendeta yang melanggar
pantangan, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Agaknya Hwa Hwa Cin-jin ini seperti
gurunya, melanggar pantangan secara terbuka dan seenaknya saja. Sambil makan minum, Jenderal
Ciang bertanya kepada Bi Lan.

“Kami ingin sekali mengetahui pengalamanmu, Bi Lan. Kami tadinya sudah putus asa mendengar engkau
dilarikan penculik dan kami tidak berhasil mencarimu. Tahu-tahu setelah sebelas tahun engkau hilang,
hari ini engkau muncul dalam keadaan selamat dan sehat. Apakah yang terjadi denganmu?”

Melihat keramahan dan kebaikan sikap tuan rumah, Bi Lan tidak keberatan untuk menceritakan
pengalamannya. “Saya dilarikan penculik itu dengan cepat keluar kota raja.”

“Apa engkau tahu siapa penculik itu dan mengapa pula dia menculikmu?” tanya Jenderal Ciang.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 211

Bi Lan mengangguk. “Dia mengaku terus terang bahwa dia adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan dia
diutus oleh Raja Kin untuk membunuh ayah dan ibu sebagai balas dendam karena ayah telah
menewaskan Pangeran Cu Si, putera Raja Kin, dalam perang. Karena ayah dan ibu tidak ada, maka Ouw
Kan lalu menculikku dengan niat untuk menyerahkan saya kepada Raja Kin.”

“Hemm, jahat......, jahat……!” kata Jenderal Ciang. “Kemudian bagaimana Bi Lan?”

“Dalam perjalanan itu, saya ditolong oleh Suhu Jit Kong Lhama yang mengalahkan Ouw Kan dan
selanjutnya saya ikut suhu untuk mempelajari ilmu silat sampai sebelas tahun lamanya. Setelah selesai
belajar, saya lalu berpisah dari suhu dan datang ke ibu kota Lin-an ini untuk mencari ayah ibu.”

“Hemm, jadi engkau selama ini menjadi murid Jit Kong Lhama? Ke mana saja engkau di bawanya?”

“Suhu mengajak saya mengasingkan diri di sebuah bukit di pegunungan Kun-lun-san.”

“Ah, begitu jauh? Pantas saja usaha kami mencarimu tidak berhasil. Dan di mana sekarang adanya Jit
Kong Lhama?”

“Suhu sudah kembali ke Tibet.”

“Siancai......! Kiranya nona menjadi murid Jit Kong Lhama!” kata Hwa Hwa Cin-jin. “Pantas nona amat
lihai pinto (saya) sudah mendengar akan nama besar gurumu itu, nona!”

Akhirnya perjamuan makan itu selesai. Bi Lan makan sampai kenyang dan ia sudah minum cukup banyak
anggur, minuman yang tidak biasa memasuki perutnya. Tiba-tiba gadis itu mengangkat tangan kiri
menutupi mulutnya yang menguap. Tak dapat ia menahan untuk tidak menguap. Rasa kantuk yang kuat
sekali menguasainya. Ia bangkit akan tetapi terkulai dan jatuh terduduk kembali. Kantuknya tak
tertahankan dan akhirnya gadis itu merebahkan kepalanya di atas meja, berbantal lengannya sendiri dan
dari pernapasannya yang lembut mudah diketahui bahwa ia telah tertidur!

Jenderal Ciang bertepuk tangan, lalu dia menjulurkan tangannya dan mengguncang pundak gadis itu.
Namun Bi Lan tetap tidur pulas, agaknya tidurnya nyenyak sekali.

“Ha-ha-ha, bagus sekali, Cin-jin. Pekerjaanmu berhasil baik sekali!” dia memuji sambil memandang
kepada Hwa Hwa Cin-jin karena dia tahu bahwa tosu itulah yang menaburkan bubuk putih ke dalam
cawan anggur gadis itu ketika tadi Bi Lan pergi ke kamar mandi.

“Ha-ha, racun pembius pinto tidak akan ada yang mampu menahannya, Ciang-goanswe. Biar seekor
gajah sekali pun akan tertidur pulas kalau menelan racun pembius buatan pinto,” kata Hwa Hwa Cin-jin
dengan bangga.

“Goanswe, saya kira gadis ini sebaiknya cepat dibunuh saja. Ia puteri Han Si Tiong dan ini berbahaya
sekali. Kalau sampai ia mengetahui bahwa Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu ada hubungannya dengan
kita dan bahwa kita memusuhi Han Si Tiong, tentu ia hanya akan menimbulkan kesulitan bagi kita,” kata
Lui To.

Jenderal Ciang mengangguk-angguk. “Ya, engkau benar, Lui-ciangkun. Sejak dulu Han Si Tiong
menentangku, bahkan dia menjadi pembantu setia dari mendiang Jenderal Gak Hui. Tadinya aku

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 212

mengira dia sudah mati atau menjadi tawanan Raja Kin, karena Toat-beng Coa ong Ouw Kan tidak
pernah memberi kabar. Kiranya gadis ini ditolong dan menjadi murid Jit Kong Lhama! Ia lihai sekali
berbahaya, memang sebaiknya kalau dibunuh saja.”

“Tapi, ayah, di manakah sebetulnya ayah ibu gadis ini?” tanya Ciang Ban, matanya memandang gadis
yang tertidur itu dengan mata lahap.

“Siapa tahu mereka di mana? Mereka mengembalikan pangkat kepada Sribaginda Kaisar,
mengundurkan diri dan sampai sekarang tidak ada yang tahu mereka berada di mana. Kalau saja kita
tahu, tentu aku telah mencari jalan untuk membasmi mereka. Perdana Menteri Chin Kui sendiri pernah
membicarakan mereka dan beliau juga menghendaki agar para pengikut mendiang Jenderal Gak yang
setia itu dibasmi semua karena hanya akan mendatangkan kesulitan saja.”

“Goanswe, tak perlu repot-repot membunuh gadis ini. Sekali menggerakkan tangan saja ia akan mati.
Biarlah pinto membunuhnya sekarang juga selagi ia masih tidur pul as,” kata Hwa Hwa Cin-jin sambil
bangkit berdiri dan dia sudah mengangkat tangan kanan ke atas, siap untuk menotok jalan darah maut
di tubuh Bi Lan.

“Nanti dulu, suhu!” tiba-tiba Ciang-kongcu bangkit dan menjulurkan tangan mencegah niat gurunya.
“Ayah, aku merasa sayang sekali kalau gadis sejelita ini, dibunuh begitu saja. Berikan ia kepadaku, ayah.
Setelah aku merasa puas dengannya, tentu akan kubunuh!”

Jenderal Ciang memandang puteranya dan mengelus jenggotnya sambil tersenyum. Dia ingat kepada
putera tunggalnya ini dan dia tahu bahwa puteranya itu memiliki kesukaan yang tiada bedanya dengan
kesukaannya sendiri di waktu muda. “Akan tetapi hati-hatilah, Ciang Ban. Gadis ini adalah murid Jit Kong
Lhama dan ia lihai dan berbahaya sekali!”

Ciang-kongcu menyeringai lebar. “Ha-ha, ayah. Aku mempunyai banyak cara untuk dia membuat ia tak
berdaya dan tunduk kepadaku. Dengan totokan, dengan mengikat tangannya, atau dengan memberinya
obat perangsang......”

“Hemm, sesukamulah. Hanya jangan engkau lengah. Nah, bawalah ia pergi ke kamarmu!” kata Jenderal
yang mewariskan watak jahatnya kepada anak tunggalnya itu.

Ciang Ban yang sudah terlalu banyak minum arak sehingga mukanya merah itu tersenyum senang. Dia
bangkit dan menghampiri Bi Lan yang masih tidur.

“Marilah, manisku. Mari kita bersenang-senang!” kata Ciang Ban dan tanpa malu-malu kepada ayahnya,
Lui-ciangkun dan gurunya, pemuda ini hendak merangkul gadis itu, memondongnya dan membawanya
ke kamar tidurnya yang berada tidak jauh dari ruangan itu. Dia mendorong daun pintu terbuka lalu
masuk dan mendorong daun pintu kamar itu tertutup kembali dari dalam tanpa menguncinya.

Tubuh Bi Lan terasa lunak, kenyal, hangat dan menyebarkan keharuman dari pakaian dan rambutnya
yang membuat Ciang Ban merasa semakin terbakar dan berkobar oleh nafsu berahinya. Melihat ulah
puteranya itu, Jenderal Ciang malah tertawa geli.

Lui-ciangkun atau Lui To yang memang berwatak penjilat itu ikut tertawa bergelak dan Hwa Hwa Cin-jin
yang memang berwatak cabul dan mata keranjang diam-diam merasa iri kepada Ciang-kongcu atau

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 213

Ciang Ban. Tentu kalau bisa, ingin sekali dia menggantikan pemuda itu, mempermainkan gadis muda
belia itu sepuasnya-puasnya dulu sebelum dibunuh!

Dengan muka kemerahan dan napas terengah-engah terbakar nafsu, Ciang Ban melempar tubuh Bi Lan
ke atas pembaringan, kemudian bagaikan seekor singa kelaparan menerkam seekor domba, dia
melompat dan menubruk ke arah gadis yang terlentang di atas pembaringan itu.

“Wuuuuttt...... desss……!!” Ciang Ban mengaduh ketika perutnya disambut tendangan sebatang kaki
yang mungil namun yang kekuatannya seperti sepotong baja. Tubuhnya terlempar ke belakang dan
jatuh berdebuk ke atas lantai kamar! Kiranya Bi Lan sama sekali tidak pingsan atau mabok seperti yang
mereka semua kira.

Han Bi Lan adalah murid Jit Kong Lhama yang amat disayang datuk ini. Maka, selain ilmu-ilmu silat tinggi
ia juga telah mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu sesat dari datuk itu, termasuk ilmu tentang
penolakan segala macam racun yang biasa dipergunakan oleh golongan sesat untuk menjatuhkan lawan
secara licik. Ilmu sihirpun dikuasai oleh gadis ini. Dan iapun seorang gadis yang amat cerdik. Maka, ketika
ia diterima dengan amat ramah oleh Ciang Ban dan Jenderal Ciang, juga melihat wajah Lui To dan
terutama Hwa Hwa Cin-jin yang sinar matanya penuh kelicikan dan kepalsuan, ia sudah merasa curiga.

Diam-diam ia merasakan dan menyelidiki dengan lidahnya sebelum ia makan minum dan ia mendapat
kenyataan bahwa makanan dan minuman itu tidak mengandung racun. Bagaimanapun juga, ia tetap
berhati-hati, maka ketika ia permisi ke kamar mandi, di sana ia menelan sebutir pel merah, yaitu obat
penolak racun untuk berjaga-jaga. Maka ketika ia minum lagi dan lidahnya merasakan sesuatu yang
tidak wajar pada minumannya itu, ia menelannya saja seolah-olah tidak tahu apa-apa.

Setelah yakin bahwa minumannya mengandung obat pembius, Bi Lan pura-pura tertidur atau pingsan. Ia
ingin tahu apa yang akan mereka lakukan dan apa yang akan mereka bicarakan. Setelah ia pura-pura
pingsan, barulah ia mendengar pembicaraan mereka dan dengan kemarahan yang ditahan-tahan ia
mengetahui bahwa mereka semua adalah orang-orang yang memusuhi ayahnya, bahkan mereka
mempunyai hubungan dengan Ouw Kan, datuk suku Uigur yang dulu membunuh neneknya dan
menculiknya.

Baru setelah tahu apa yang hendak dilakukan Ciang Ban terhadap dirinya, ketika pemuda bangsawan itu
menerkam dirinya, Bi Lan menyambut dengan tendangan kakinya yang tepat mengenai perut pemuda
itu. Ciang Ban mengaduh dan terjengkang lalu terbanting ke atas lantai. Akan tetapi pemuda ini bukan
seorang lemah. Dia adalah murid dari Hwa Hwa Cin-jin, maka biarpun dia merasa perutnya mulas, dia
memaksa diri melompat bangun sambil mencabut pedangnya yang belum keburu dia tanggalkan saking
nafsunya sudah memuncak tadi.

Bi Lan sudah melompat turun dari atas pembaringan. Ciang Ban berteriak memberi isyarat kepada
mereka yang berada di luar kamar, lalu dia membentak dan menyerang gadis itu dengan pedangnya. Dia
menusukkan pedangnya lurus ke depan mengarah dada gadis itu dengan jurus serangan Tit-ci-thian-lam
(Tudingkan Telunjuk ke Arah Selatan). Pedangnya meluncur cepat sekali dan seolah sudah pasti akan
menembus dada Bi Lan. Namun Bi Lan merendahkan diri sehingga pedang itu meluncur ke atas
kepalanya dan dari bawah, kedua tangannya bergerak cepat seperti dua ekor ular menyambar ke atas.
Tangan kanannya memukul ulu hati lawan dan tangan kirinya merampas pedang.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 214

“Ngekk….. uhhh…..!” Betapapun lihainya Ciang Ban, namun sekali ini dia bertemu lawan yang jauh lebih
tinggi tingkat ilmu silatnya. Dia merasa ulu hatinya seperti ditotok toya baja, membuat dia tak dapat
bernapas dan tiba-tiba saja pedang di tangan kanannya sudah direnggut lepas dari tangannya. Totokan
pada ulu hatinya itu mendatangkan rasa nyeri yang hebat sehingga tubuhnya terhuyung ke arah pintu.

Bi Lan melompat ke depan, pedang rampasannya menyambar, disusul tendangan kakinya.

“Crakk...... desss......!”

Jenderal Ciang, Lui-ciangkun, dan Hwa Hwa Cin-jin, ketiganya adalah orang-orang yang tangguh,
terutama sekali Hwa Hwa Cin-jin, terkejut mendengar teriakan Ciang Ban tadi. Mereka bertiga lari
menuju ke pintu kamar itu. Akan tetapi tiba-tiba pintu kamar tertabrak sesuatu dan terbuka…. Dan
tubuh Ciang Ban melayang dan roboh di depan kaki tiga orang itu, disusul mel ayangnya kepala pemuda
itu yang sudah terlepas dari lehernya. Darah membanjiri lantai dan tiga orang itu terbelalak.

Dapat dibayangkan betapa marah hati Jenderal Ciang melihat puteranya sudah menggeletak menjadi
mayat dengan kepala terpisah. Demikian pula dengan Hwa Hwa Cin-jin dan Lui To. Otomatis mereka
bertiga mencabut pedang masing-masing dan hendak menyerbu ke dalam kamar.

Akan tetapi pada saat itu, Bi Lan yang tidak ingin dikeroyok dalam sebuah kamar sempit, sudah
melayang keluar dari dalam kamar. Tanpa banyak cakap saking marahnya, Jenderal Ciang sudah
menerjangnya dengan pedangnya yang panjang dan tebal.

Bi Lan dengan mudahnya mengelak, akan tetapi pada saat itu Hwa Hwa Cin-jin sudah menyerang pula
dan serangan tosu sesat ini jauh lebih berbahaya dibandingkan serangan Jenderal Ciang Sun Bo bahkan
lebih berbahaya daripada gerakan Lui To yang juga mulai menyerang Bi Lan. Namun, setelah
mempelajari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai, kitab yang dicurinya dari tangan Thian
Liong itu, Bi Lan memiliki gerakan kaki yang aneh dan gesit luar biasa. Dengan beberapa lingkaran
gerakan kaki saja ia sudah dapat menghindarkan diri dari serangan pedang tiga orang pengeroyoknya.

Kini, gadis yang tidak pernah memegang senjata, akan tetapi yang pandai mempe rgunakan senjata apa
saja itu, telah merampas pedang milik Ciang Ban yang dibunuhnya. Kini ia memainkan pedang rampasan
itu dengan Kwan Im Sin-kiam (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im). Ilmu ini walaupun disebut ilmu pedang,
namun Bi Lan dapat mempergunakan senjata apa saja, misalnya sebatang ranting kayu, untuk mainkan
ilmu silat itu. Juga ia mahir ilmu Kim-bhok Sin-tung-hoat atau Ilmu Tongkat Sakti, akan tetapi ia pun
dapat mempergunakan segala macam benda untuk memainkan ilmu silat ini.

Setelah pedangnya bergulung-gulung dalam permainan Kwan Im Sin-kiam, tiga orang pengeroyoknya
terkejut. Bayangan gadis itu lenyap dan yang tampak hanya gulungan sinar pedang yang seperti
gelombang samudera menggulung ke arah mereka.

Hwa Hwa Cin-jin masih dapat melindungi dirinya dengan putaran pedangnya sambil terus mundur, akan
tetapi tidak demikian dengan Ciang Sun Bo atau jenderal Ciang. Dia menjerit ketika pedang puteranya
yang dipegang Bi Lan itu menusuk ke dalam dadanya yang mengakibatkan dia roboh dan tewas seketika.
Robohnya jenderal ini disusul robohnya Lui To atau Lui-ciangkun yang tersabet lehernya dan roboh
mandi darah, tewas pula. Melihat ini, Hwa Hwa Cin-jin berteriak-teriak sambil melompat jauh melarikan
diri.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 215

Bi Lan melihat banyak perajurit pengawal berlarian datang, maka iapun lalu melompat ke ruangan
samping yang terbuka, lalu tubuhnya melayang ke atas genteng. Para perajurit melakukan pengejaran,
namun sebentar saja Bi Lan sudah lenyap dari tempat itu.

Namun di dalam gedung Jenderal Ciang terjadi kegemparan dan karena yang terbunuh adalah Jenderal
Ciang, Perwira Lui, dan Ciang-kongcu, tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan tak lama
kemudian, kota raja penuh dengan perajurit yang melakukan pencarian dan pengejaran. Setiap Iorong
jalan dijaga, sehingga Bi Lan menjadi bingung, tak ada jalan sama sekali untuk keluar dari kota raja.

Karena rumah gedung bekas tempat tinggal ayahnya yang kini ditempati Jenderal Ciang itu tidak jauh
dari istana, maka ketika ia dihadang di sana-sini, terpaksa ia menyelinap ke sebuah lorong yang
menembus ke arah istana. Di lorong ini tidak ada perajurit mencari atau berjaga karena siapa mengira
bahwa si pengacau yang melakukan pembunuhan besar-besaran di rumah Jenderal Ciang akan berani
melarikan diri ke daerah istana?

Sejak tadi udara diliputi mendung dan pada saat Bi Lan memasuki lorong itu, masih bingung bagaimana
ia akan dapat melarikan diri keluar kota raja, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Hal ini agak
menolongnya karena para perajurit penjaga keamanan kota yang dikerahkan untuk mengejar dan
menangkap pembunuh, banyak yang berteduh di emper-emper rumah dan menghentikan pencarian
mereka. Akan tetapi Bi Lan harus bergerak hati-hati, sambil sembunyi-sembunyi karena ia tahu bahwa
biarpun mereka tidak mencari dan berlalu lalang di jalan, mata para perajurit itu tentu dengan penuh
perhatian melihat ke arah orang-orang yang berani menempuh hujan di jalan.

Tiba-tiba saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang laki-laki berusia hampir enampuluh tahun yang
berpakaian sebagai seorang panglima. Inilah jalan satu-satunya untuk dapat lolos dari kota raja, pikir Bi
Lan. Ia masih memegang pedang rampasan dari tangan Ciang-kongcu tadi. Bagaikan seekor burung ia
melompat keluar dan tahu-tahu ia sudah berada di depan panglima itu dan ujung pe dangnya sudah
menempel di tenggorokan orang itu. Sang panglima terkejut bukan main, terbelalak memandang, akan
tetapi setelah melihat wajah gadis itu, wajahnya berseri-seri penuh harapan.

“Bi Lan......, engkau tentu Han Bi Lan puteri Han Si Tiong, bukan? Engkau yang telah mengamuk di rumah
Jenderal Ciang?”

Tentu saja Bi Lan terkejut dan heran bukan main. “Eh......, bagaimana engkau bisa tahu......?”

“Bi Lan, lupakah engkau kepadaku? Aku Kwee Gi, Panglima Kwee Gi, sahabat baik Han Si Tiong. Mari,
mari cepat ikut aku, engkau harus bersembunyi, nanti saja kita bicara. Cepat pakai ini!” Panglima itu
melepaskan mantelnya yang lebar lalu menyerahkannya kepada Bi Lan.

Gadis itu menutupi kepala dan badannya dengan mantel yang lebar ini, kemudian tanpa banyak cak ap
lagi ia membiarkan dirinya digandeng panglima itu melewati lorong-lorong yang sepi, kemudian
memasuki rumah gedung dari pintu belakang.

Kini ia teringat akan Panglima Kwee Gi yang dulu seringkali datang bertamu ke rumah orang tuanya,
bahkan sudah beberapa kali ia diajak ibunya berkunjung ke rumah sahabat ayahnya itu. Setelah teringat,
tentu saja ia percaya sepenuhnya kepada panglima yang ia tahu merupakan sahabat baik ayahnya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 216

Setibanya di ruangan dalam, seorang pemuda tinggi besar muncul dan dia memandang heran melihat
ayahnya bersama seorang gadis memasuki ruangan dalam itu.

“Ayah, siapa nona ini, dan mengapa……!”

“Cun Ki, ini adalah Bi Lan, puterinya pamanmu Han Si Tiong pemimpin Pasukan Halilintar yang terkenal
itu. Ingat? Bi Lan, ini adalah Kwe Cun Gi, anak kami. Kalian sudah bersahabat dulu ketika masih kecil.”

“Oh......! Kau Bi Lan...... yang dulu nakal dan manja itu?” seru pemuda tinggi besar berwajah tampan
yang usianya sekitar duapuluh tahun itu.

“Dan engkau...... kakak Cun Ki yang dulu suka menggodaku. Engkau yang nakal sekali!” kata pula Bi Lan.

“Akan tetapi kabarnya engkau hilang diculik dan......”

“Cun Ki, tahan dulu bicaranya. Keadaan genting sekali. Bi Lan sedang dikejar-kejar seluruh perajurit
penjaga keamanan di kota raja. Cepat kau keluar dan jaga agar jangan ada orang memasuki rumah kita.
Atur para pengawal untuk berjaga ketat dan kalau ada yang mencariku, katakan aku sibuk memimpin
pasukan di luar untuk mencari pembunuh.”

Cun Ki membelalakkan matanya. “Ah, aku mendengar tentang i tu...... jadi….. engkaukah yang telah
mengamuk dan melakukan pembunuhan terhadap Jenderal Ciang, Ciang Ban, dan Perwira Lui To itu?”

“Cun Ki, jangan banyak cakap! Cepat laksanakan perintahku! Nanti saja kalau mau bicara!”

“Baik, ayah.” Pemuda itu lalu dengan gerakan yang gesit keluar dari ruangan dalam.

Panglima Kwee Gi membawa Bi Lan memasuki sebuah kamar, lalu berkata.

“Engkau tinggallah di sini sebentar, aku akan memanggil bibimu.”

Bi Lan mengangguk. Ia tahu bahwa keadaannya berbahaya sekali. Kalau tidak ada Panglima Kwee yang
melindunginya, kiranya akan sukar lolos dari kota raja yang kini semua pintu gapuranya pasti sudah
terjaga ketat.

Tak lama kemudian, nyonya Kwee bersama suaminya muncul. Bi Lan segera mengenal wanita setengah
tua yang masih tampak cantik itu. Nyonya Kwee juga mengenalnya dan mereka berangkulan.

“Aih, Bi Lan. Engkau lenyap begitu saja sebelas tahun yang lalu dan kini muncul secara mengejutkan
pula.” Nyonya itu lalu mengajak Bi Lan duduk di atas kursi dan daun pintu kamar itu di tutup rapat-rapat.

“B Lan, mulai hari ini engkau bersembunyi dulu di sini. Kepada para pelayan, kami akan memberitahukan
bahwa engkau adalah seorang keponakan kami bernama Kwee Ciok Li. Ayahmu adalah adikku yang
tinggal jauh di dusun sebelah selatan. Engkau tidak usah keluar dari rumah agar tidak berjumpa orang
lain. Nanti kalau keadaan sudah aman, kita mencari jalan agar engkau dapat keluar dari kota raja.”

“Ah, Paman Kwee, sungguh beruntung sekali aku bertemu dengan paman dan bibi. Paman telah
menolong dan menyelamatkan nyawaku.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 217

“Hemm, jangan berkata begitu. Tadi, begitu mendengar berita bahwa jenderal Ciang dan puteranya,
juga Perwira Lui mati terbunuh seorang gadis cantik, aku segera dapat menduga bahwa agaknya
engkaulah orangnya. Karena itu, ketika mendapat perintah untuk mengerahkan pasukan melakukan
pencarian, aku sendiri lalu memisahkan diri dan mencarimu. Beruntung aku menemukan engkau
sebelum yang lain menemukanmu. Sekarang, ceritakanlah siapa yang dulu membunuh nenekmu dan
melukai tukang kebun dan apa yang terjadi selanjutnya denganmu?”

“Maaf, paman. Sebelum aku menceritakan pengalamanku, aku ingin lebih dulu mendengar tentang ayah
ibuku. Untuk itulah aku datang ke kota raja, untuk mencari orang tuaku.”

Pada saat itu Kwee Cun Ki melangkah masuk dan dengan singkat melaporkan bahwa penjagaan telah
diatur sebaik mungkin. Setelah itu dia mengambil tempat duduk untuk ikut mendengarkan.

Panglima Kwee Gi menghela napas ketika, mendengar pertanyaan gadis itu tentang orang tuanya. Dia
menggeleng kepala dan berkata.

“Bi Lan, ketika ayah dan ibumu pulang dari perang mereka mendapatkan engkau telah hilang diculik
orang. Mereka lalu berusaha mencarimu. Bahkan akhirnya ayahmu, Han Si Tiong mengembalikan
pangkatnya kepada pemerintah dan bersama isterinya lalu meninggalkan kota raja. Kepadaku mereka
hanya mengatakan bahwa mereka hendak mencarimu sampai dapat. Sungguh menyesal sekali, Bi Lan,
aku sendiri tidak dapat mengatakan di mana mereka berada karena sudah bertahun-tahun mereka tidak
memberi kabar kepadaku.”

Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya kecewa akan tetapi ia tidak dapat menyalahkan panglima yang
menjadi sahabat ayahnya itu.

“Biarlah aku akan membantumu mencari mereka, Lan-moi,” kata Cun Ki.

“Terima kasih, Ki-ko (kakak Ki),” kata Bi Lan.

“Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi dengan dirimu, Bi Lan. Kami semua ingin sekali
mengetahuinya.”

“Ketika itu, aku diculik dan dilarikan oleh datuk sesat Ouw Kan. Dia menculikku untuk membalas dendam
atas perintah Raja Kin karena ayah telah membunuh puteranya, Pangeran Cu Si, dalam perang. Ouw Kan
hendak menyerahkan aku kepada Raja Kin. Di tengah jalan kami bertemu dengan Jit Kong Lhama dan
pendeta Lhama itu berhasil mengalahkan Ouw Kan dan sejak itu aku menjadi murid Jit Kong Lhama.”

“Pantas engkau menjadi lihai sekali, Lan-moi!” Cun Ki memuji, padahal dia belum melihat sampai di
mana kelihaian gadis itu.

“Aku juga menjadi murid Kun-lun-pai,” kata Bi Lan cepat agar diketahui bahwa ia bukan hanya menjadi
murid datuk sesat itu, namun juga murid partai Ku-lun-pai yang terkenal! “Setelah tamat belajar, aku
lalu cepat pergi ke kota raja untuk pulang ke rumah orang tuaku. Akan tetapi ternyata yang tinggal di
sana adalah keluarga Jenderal Ciang Sun Bo. Bersama puteranya yang bernama Ciang Ban, dan seorang
perwira bernama Lui To dan seorang pendeta tosu guru Ciang Ban bernama Hwa Hwa Cin-jin. Jenderal
Ciang menyambutku dengan ramah. Dia mengatakan bahwa dia adalah sahabat baik ayah, maka dia

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 218

menerimaku dengan baik, bahkan lalu mengadakan perjamuan makan untuk menyambut kedatanganku.
Kami makan minum dan minumanku dicampuri obat bius.”

“Jahat sekali!” Kwee Cun Ki berseru marah.

“Aku sudah menaruh kecurigaan maka diam-diam aku telah menjaga diri dan minum obat penawar
racun. Aku lalu pura-pura pingsan terbius. Dalam keadaan itulah aku mendengar mereka bicara dan aku
tahu bahwa mereka itu sebetulnya bersekutu dengan datuk jahat Ouw Kan yang dulu menculikku,
berarti bersekutu dengan Raja Kin dan mereka adalah orang-orang yang memusuhi ayahku. Mereka
hendak membunuhku, akan tetapi Ciang Ban yang terkutuk itu lalu memondongku ke dalam kamar
dengan maksud kotor dan hina. Aku tidak dapat menahan kemarahanku lagi dan kubunuh pemuda itu.
Jenderal Ciang, Perwira Lui To dan Pendeta Hwa Hwa Cin-jin menyerangku. Aku berhasil membunuh
jenderal Ciang dan Perwira Lui, akan tetapi Hwa Hwa Cin-jin dapat melarikan diri. Karena banyak
perajurit pengawal bermunculan, aku lalu melarikan diri.”

Kwee Gi mengangguk-angguk. “Hemm, akhirnya mereka menerima hukuman juga dan tewas di
tanganmu, Bi Lan. Jenderal Ciang itu memang merupakan antek Perdana Menteri Chin Kui.”

“Siapa itu Perdana Menteri Chin Kui, paman?”

“Dialah yang menjadi biang keladi semua ketidak-amanan dan kekacauan. Dia berhasil mempengaruhi
kaisar dan perdana menteri itu bersekongkol dengan bangsa Kin di utara. Bahkan dia pula yang telah
melakukan fitnah kepada jenderal Gak Hui pahlawan besar yang amat dihormati dan dibantu ayahmu.
Han Si Tiong dan isterinya mengundurkan diri dari jabatannya, bukan hanya karena kehilangan e ngkau,
akan tetapi terutama sekali karena kecewa melihat jenderal Gak Hui difitnah dan Kaisar berpihak kepada
pengkhianat macam Chin Kui.”

“Pantas Ouw Kan diutus raja Kin untuk mencelakakan ayahku, kiranya juga dikarenakan ayah menjadi
pembantu setia Jenderal Gak Hui,” kata Bi Lan gemas.

“Begitulah. Kita semua mengetahui bahwa Chin Kui seorang pengkhianat yang bersekongkol dengan
penjajah Kin yang menguasai daerah utara Sungai Yang-ce. Bangsa Kin menguasai daerah itu dan Chin
Kui telah membujuk kaisar agar tidak melawan, bahkan berbaik dengan penjajah mengirim upeti setiap
tahun. Semua itu tentu ada imbalannya dan semua orang tahu betapa kaya rayanya Perdana Menteri
Chin Kui itu.”

“Hemm, kenapa ada pengkhianat macam itu di kerajaan tidak ada yang menentang? Kenapa kaisar
begitu bodoh? Apa tidak ada pejabat tinggi yang setia kepada negara dan berusaha menentang perdana
menteri jahat itu?” tanya Bi Lan penasaran.

Kwee-ciangkun menghela napas panjang. “Apa yang dapat kami lakukan? Dia memiliki kekuasaan yang
besar, bahkan kaisar sendiri selalu menuruti kata-katanya. Menentang dia, bisa berarti menentang
pemerintah, menentang kaisar sendiri, dan akan berhadapan dengan pasukan pemerintah.”

“Kalau begitu, sebaiknya orang seperti itu dibinasakan saja! Aku sanggup melakukannya, paman!” kata
Bi Lan penuh semangat.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 219

Panglima Kwee tersenyum dan mengangguk-angguk. “Engkau memang pantas menjadi puteri Han Si
Tiong dan Liang Hong Yi, Bi Lan! Semangatmu besar dan keberanianmu menakjubkan. Akan tetapi aku
harus melarangmu. Entah sudah berapa banyak orang-orang gagah melakukan usaha itu, namun semua
gagal dan bahkan mereka yang tewas. Perdana Menteri Chin Kui menjaga dirinya dengan ketat. Pasukan
pengawal khusus yang terdiri dari jagoan-jagoan, di antaranya didatangkan dari utara, selalu
melindunginya siang malam. Betapapun tinggi kepandaian silatmu, tidak mungkin menembus
pertahanan yang amat kuat itu.”

“Hemm, kalau begitu, apakah orang macam itu dibiarkan saja mengkhianati tanah air dan bangsa?” Bi
Lan penasaran.

“Tidak, Bi Lan. Kami, orang-orang setia kepada Kerajaan Sung, tidak tinggal diam. Kami sudah menyusun
kekuatan dan kami sedang berusaha untuk mendapatkan bukti -bukti penyelewengannya, baik
penyelewengannya dalam korupsi uang negara, pemerasan terhadap para bangsawan dan hartawan,
pajak-pajak gelap yang dilakukannya, yang hasilnya masuk kantungnya sendiri, juga kami sedang
mengumpulkan bukti penyelewengannya tentang persekongkolannya dengan Bangsa Kin. Bukti bahwa
dia menerima banyak hadiah dari Bangsa Kin. Semua itu, kalau sudah dapat dikumpulkan, akan kami
haturkan kepada Sribaginda Kaisar. Dengan demikian maka kaisar yang akan bertindak. Kecuali dengan
jalan itu, amat sukar untuk mengalahkan Chin Kui yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar sekali.
Satu-satunya orang yang akan mampu menundukkan hanyalah kaisar sendiri.”

Bi Lan mengangguk-angguk. “Ah, begitukah, paman? Kalau begitu, dalam hal ini aku tidak dapat
membantu. Aku ingin segera keluar dari kota raja, paman, untuk mencari ayah dan ibuku.”

“Tentu saja, akan tetapi bersabarlah. Sekarang sedang hangat-hangatnya pasukan mencarimu. Perdana
Menteri Chin Kui sendiri tentu marah dan merasa kehilangan karena Jenderal Ciang dan Perwira Lui
merupakan pembantu-pembantunya yang setia. Tunggu sampai beberapa hari, kalau suasananya sudah
dingin dan mereka semua mengira bahwa engkau pasti sudah lolos dari kota raja, barulah aku akan
mengatur agar supaya engkau dapat keluar dari kota raja.”

“Baiklah paman. Akan tetapi, apakah paman dapat memberi petunjuk kepadaku, di manakah kiranya
orang tuaku sekarang?”

Panglima Kwe menggeleng kepala dan menghela napas. “Aku sudah berusaha menyebar orang-orangku
untuk mencari, namun tidak berhasil menemukan jejak mereka. Aku hanya mempunyai satu perkiraan,
yaitu besar sekali kemungkinannya mereka pergi ke utara untuk mencari Ouw Kan karena mendengar
akan ciri-ciri penculik itu dari tukang kebun yang belum terbunuh mati, kami sudah dapat menduga
bahwa pelakunya adalah Ouw Kan yang berjuluk Toat-beng Coa ong. Dia adalah seorang suku bangsa
Hui dan berasal dari Sin-kiang. Kini dia membantu pemerintah bangsa Kin di utara. Karena itu besar
kemungkinan ayah ibumu mencarinya ke utara, atau ke Sin-kiang.”

Sampai seminggu lamanya Bi Lan bersembunyi di dalam rumah Panglima Kwee dan dalam waktu
seminggu itu, hubungannya dengan keluarga itu menjadi akrab. Terutama sekali Kwee Cun Ki. Pemuda
itu nampak benar-benar tertarik kepada Bi Lan, bahkan berulang kali dia mengatakan kepada gadis itu
bahwa dia ingin menemani gadis itu mencari orang tuanya di utara dan Sin-kiang.

Ketika pada hari kedelapan Panglima Kwee mengatakan kepada Bi Lan bahwa waktunya sudah tiba bagi
Bi Lan untuk diselundupkan keluar kota raja, Cun Ki mengulangi keinginannya itu kepada Bi Lan, di

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 220

depan ayah ibunya. “Lan-moi, sekali lagi aku minta agar engkau suka kutemani untuk mencari orang
tuamu. Melakukan perjalanan seorang diri di daerah musuh itu sungguh amat berbahaya bagimu.”

Panglima Kwee dan isterinya sudah maklum bahwa putera tunggal mereka itu jatuh cinta kepada Bi Lan.
Di dalam hati, mereka setuju sekali kalau Bi Lan menjadi mantu mereka. Kwee Gi segera berkata, “Kami
setuju kalau Cun Ki menemanimu, Bi Lan. Dengan bantuannya, tentu akan lebih mudah menemukan
orang tuamu.”

“Benar, Bi Lan,” kata Nyonya Kwee. “Dengan adanya Cun Ki yang menemanimu, hati kami tidak akan
merasa gelisah seperti kalau engkau pergi seorang diri. Seorang gadis merantau seorang diri tanpa
kawan di tempat yang jauh itu, apalagi di daerah musuh, sungguh hatiku akan merasa gelisah selalu.
Engkau sudah kuanggap seperti anak sendiri, Bi Lan.”

Ucapan nyonya ini sebetulnya sudah merupakan isyarat yang jelas bahwa ia ingin Bi Lan menjadi anak
mantunya. Akan tetapi Bi Lan tidak mengerti dan ia cepat menjawab.

“Terima kasih atas kebaikan hati paman, bibi dan juga Ki-twako. Kalian telah menolongku dan bersikap
baik sekali kepadaku. Untuk itu aku mengucapkan banyak terima kasih. Akan tetapi, aku ingin
melakukan perjalanan seorang diri. Terima kasih atas penawaranmu untuk menemaniku, Ki -twako.
Ketahuilah bahwa aku masih mempunyai tugas pribadi yang harus kuselesaikan. Kelak, kalau semua
tugas dan urusanku sudah selesai, aku pasti akan datang berkunjung untuk mengucapkan terima
kasihku.”

Karena Bi Lan bersikeras menolak, maka Cun Ki tidak berani memaksa, hanya dia merasa kecewa bukan
main. Dia tadinya mengharapkan bahwa kalau melakukan perjalanan bersama, gadis yang membuatnya
tergila-gila itu akan tergerak hatinya dan akan membalas cintanya. Akan tetapi melihat Bi Lan berkeras
tidak mau ditemani, tentu saja dia tidak berani memaksa yang akan membuat gadis itu marah.

Usaha membawa Bi Lan keluar kota raja dipersiapkan. Sebuah kereta berhenti di depan gedung keluarga
panglima Kwee. Kusirnya seorang laki-laki yang masih muda, berwajah tampan. Tak lama kemudian,
Panglima Kwee masuk ke dalam kereta dan di belakang kereta terdapat belasan orang perajurit
pengawal menunggang kuda. Rombongan kecil ini lalu berangkat dan keluar dari pintu gerbang kota raja
sebelah utara.

Para perajurit yang menjaga di pintu gerbang segera memberi hormat ketika melihat bahwa penumpang
kereta itu adalah Panglima Kwee Gi dan isterinya.

Pada hari-hari kemarin, tentu ada perwira anak buah Perdana Menteri Chin Kui yang ikut menjaga dan
mengawasi. Kalau ada mereka, biarpun yang lewat itu Panglima Kwee, tentu mereka akan melakukan
pemeriksaan yang teliti. Akan tetapi, pencarian pembunuh itu kini sudah tidak ketat 1agi. Seminggu
telah lewat dan pembunuh itu tidak ditemukan jejaknya. Dianggap sudah kabur dari kota raja, maka kini
di pintu gerbang hanya dijaga para perajurit keamanan biasa.

Panglima Kwee adalah komandan pasukan keamanan, maka tentu saja para perajurit percaya
kepadanya dan setelah memberi hormat, para penjaga itu membiarkan kereta dan pengawalnya lewat
keluar dari pintu gerbang.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 221

Belasan orang perajurit itu adalah orang-orang kepercayaan Panglima Kwee. Setelah rombongan tiba
jauh dari pintu gerbang, di jalan yang sunyi, rombongan berhenti. Seorang pengawal muda turun dari
atas kudanya, menanggalkan pakaian luarnya dan kini mengenakan pakaian yang sama dengan yang
dipakai kusir, lalu menggantikan kedudukan kusir. Kusir itu bukan lain adalah Bi Lan yang menyamar
sebagai kusir. Semua perlengkapannya telah dibungkus dalam buntalan pakaian yang disembunyikan
dalam kereta. Dalam buntalan itu, selain pakaiannya, juga ada sekantung uang emas sebagai bekal,
merupakan hadiah dari Panglima Kwee.

Setelah mengucapkan terima kasih dan memberi hormat kepada Panglima Kwee Gi dan isterinya, Bi Lan
lalu menunggangi kuda yang tadi ditunggangi pengawal yang kini menjadi kusir, dan gadis itupun
membedal kudanya, membalap ke arah utara, diikuti pandang mata Panglima Kwee Gi dan isterinya.
Kekecewaan dan keharuan membayang dalam pandang mata suami isteri itu. Mereka lebih senang
melihat gadis itu berada di rumah mereka, sebagai anak mantu mereka! Kini gadis itu telah pergi,
menuju ke seberang utara yang dikuasai bangsa Kin, tempat berbahaya sekali dan entah mereka akan
dapat bertemu lagi dengan gadis itu ataukah tidak.

Thian Liong menuruni lereng bukit itu sambil melamun. Dia merasa kecewa dan menyesal sekali karena
sebuah di antara tugas yang diberikan kepadanya oleh gurunya telah gagal. Dia telah berhasil
menyerahkan kitab Sam-jong Cin-keng kepada Cu Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, bahkan telah
beruntung diberi kesempatan mempelajari ilmu dari kitab itu oleh ketua Siauw-lim-pai sehingga dia
memperoleh kemajuan besar dalam ilmu silatnya. Kemudian dia juga telah menyerahkan kitab Kiauw -ta
Sin-na kepada Ciang Losu ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi kitab yang ketiga, yaitu Ngo-heng Lian-hoan
Kun-hoat yang seharusnya dia berikan atau kembalikan kepada Kun-lun-pai seperti yang diperintahkan
gurunya, telah lenyap dicuri gadis liar berpakaian merah muda itu.

Dia harus bertanggung jawab. Dia harus dapat merebut kembali kitab itu dan menyerahkannya kepada
yang berhak, yaitu kepada Kun-lun-pai. Akan tetapi dia tidak mengenal siapa gadis itu, siapa namanya
dan ke mana harus mencarinya!

Kalau dia tidak dapat menemukan gadis maling itu dan mengembalikan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-
hoat kepada Kun-lun-pai, dia belum mau sudah karena dia mengabaikan perintah gurunya dan dia
merasa “berhutang” kepada Kun-lun-pai. Wah, gadis berpakaian merah muda itu! Gemas sekali dia!
Awas kau, kalau dapat kutemukan, bukan saja kitab itu kurampas darimu, juga engkau patut diberi
hajaran. Akan kupukul pantatmu sampai sepuluh kali, seperti yang dia seorang bapak memukul pantat
anaknya yang nakal ketika dia berkunjung ke dusun kaki bukit dulu. Biar tahu rasa kau! Demikian gemas
rasa hati Thian Liong sehingga dia bersungut-sungut sendiri. Gadis liar! Rampok, maling! Kurang ajar
betul.

Tiba-tiba wajah gadis berpakaian merah muda yang tadinya dia membayangkan sebagai wajah setan,
berubah dan tampaklah wajah lain. Wajah seorang gadis lain yang berpakaian serba hijau dan memakai
bunga mawar merah di rambutnya. Wajah Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sianli! Gadis yang satu
ini sama liarnya, juga sama lihainya, sama kurang ajarnya. Masa ingin pinjam kitab Sam-jong Cin-keng
milik Siauw-lim-pai dan pinjamnya pakai memaksa lagi!

Hemm, bagaimanapun juga dia telah menghajar gadis itu dengan mengalahkannya sehingga ia pergi
dengan marah marah. Tidak sekurang ajar gadis baju merah muda yang mencuri kitab milik Kun-lun-pai!
Ah, kenapa nasibnya begini? Bertemu dengan dua orang gadis liar yang sama-sama membikin dia pusing
dan marah. Tiba-tiba terbayang wajah seorang gadis lain! Nah, yang ini lagi! Tiada hujan tiada angin,

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 222

menyerangnya mati-matian dan setelah dia berhasil mengalahkannya, dia harus mengawininya! Gila!
Kalau dia menolak, gadis bernama Kim Lan itu harus membunuhnya dan kalau gagal, harus membunuh
diri sendiri atau akan dibunuh gurunya! Aturan mana ini? Si nenek yang menjadi guru Kim Lan dan
sumoinya yang bernama Ai Yin itu boleh jadi sudah gila, mengadakan peraturan seperti itu kepada
murid-murid wanitanya. Gila! Apakah para wanita itu sudah gila semua?

Setelah meninggalkan Siauw-lim-si, Thian Liong mengambil keputusan untuk melaksanakan dua
kewajiban yang dipesan oleh gurunya. Pertama, dia harus merebut kembali kitab pusaka milik Kun-1un-
pai itu. Dan kedua, gurunya pesan agar dia membantu Kerajaan Sung menghadapi musuh-musuhnya.
Dia mengingat-ingat. Suhunya pernah menyebut nama Perdana Menteri Chin Kui sebagai orang jahat
dan berkhianat dan yang telah mempengaruhi kaisar. Dia diberi tugas untuk menyelamatkan Kerajaan
Sung dari pengaruh para pembesar yang jahat. Akan tetapi, yang lebih dulu harus dia kerjakan adalah
mencari gadis setan berbaju merah itu untuk merampas kembali kitab pusaka Kun-lun-pai!

Dia mengenang kembali pertemuannya dengan gadis berpakaian merah itu. Hemm, cantik jelita dan
lincah jenaka memang. Tapi galaknya minta ampun. Dan kejam. Begitu saja membunuh orang, biarpun
yang dibunuhnya itu seorang penjahat. Akan tetapi ilmu silatnya amat hebat. Hanya dengan sebatang
ranting, ia mampu mempermainkan si gendut, perampok lihai itu, bahkan membunuhnya. Permainan
rantingnya mirip ilmu pedang.

Thian Liong menghentikan langkahnya, memejamkan matanya untuk membayangkan kembali gerakan
gadis baju merah itu ketika bertanding melawan perampok gendut. Dia banyak tahu akan aliran ilmu
silat dari gurunya. Gurunya pernah membeberkan rahasia dasar gerakan silat perguruan -perguruan
besar, bahkan ilmu silat dari aliran luar pedalaman Cina seperti ilmu silat yang berdasar pada aliran
Tibet, Gobi, Mancu, Mongol dan lain-lain.

Sekarang dia teringat benar. Gerakan kedua kaki gadis baju merah itu ketika bergeser, dengan berjingkat
dan berputar. Itu adalah gerakan dasar ilmu silat aliran Tibet yang diajarkan pendeta Lhama di Tibet.
Gurunya, Tiong Lee Cin-jin sudah pernah bertahun-tahun tinggal di Tibet dan mempelajari ilmu silat dari
suku bangsa itu.

Ah, tidak salah lagi. Dia ingat benar. Gadis yang mencuri kitab Ngo-heng Loan-hoan Kun-hoat milik Kun-
lun-pai itu ada1ah seorang ahli silat aliran Tibet. Mungkin ia murid seorang tokoh pendeta Lhama yang
sakti. Karena itu, dia harus mencari ke daerah utara, daerah yang diduduki bangsa Kin karena besar
kemungkinan gadis maling itu melarikan diri ke sana. Pula, dalam perj alanan dia mendengar betapa
bangsa Kin di utara itu melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyat pribumi Han. Agaknya di
sanalah dia akan lebih banyak dibutuhkan rakyat yang terjajah daripada di selatan.

Demikianlah, dia melakukan perjalanan ke utara, ke daerah yang dikuasai pemerintah bangsa Kin.
Sesungguhnya, kerajaan Kin tidaklah begitu kuat. Andaikata Kaisar Kao Tsung yang kini bertahta di kota
raja baru Nan-king mengerahkan para panglimanya seperti mendiang Gak Hui untuk menyerbu ke utara
dan melakukan perlawanan, besar kemungkinan mereka akan mampu mengusir bangsa Kin dari tanah
air. Akan tetapi, Kaisar Kao Tsung terlalu lemah dan terlalu dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui dan
antek-anteknya yang menakut-nakuti kaisar, yang mengatakan bahwa bangsa Kin terlalu kuat dan
sebagainya, maka Kaisar Kao Tsung mengalah dan tidak pernah melakukan perlawanan. Dia hanya puas
dengan daerah di sebelah selatan Sungai Yang-ce yang dikuasainya. Memang daerah selatan ini jauh
lebih subur dibandingkan daerah utara, namun kekalahan Dinasti Sung dari bangsa Kin ini menyuramkan
kebesaran Kerajaan Sung yang pernah berjaya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 223

Benar saja seperti yang telah didengar dalam perjalanannya, ketika memasuki daerah jajahan itu, Thian
Liong melihat keadaan rakyat yang hidup menyedihkan. Bukan hanya banjir besar di musim hujan dan
kekeringan di musim panas yang membuat mereka hidup dalam keadaan miskin, hanya cukup untuk
makan secara hemat sekali, akan tetapi yang, lebih daripada itu adalah tekanan dari para pembesar yang
membuat mereka dicekam rasa ketakutan. Di kota kota, para pedagang ditekan dengan pajak yang luar
biasa besarnya, yang memaksa banyak pedagang kecil menjadi bangkrut. Hanya pedagang yang besar
dan mampu menyogok para pembesar saja yang dapat hidup.

Kehidupan rakyat di pedusunan tidak lebih baik. Hampir setiap orang kepala dusun, sikapnya seolah
menjadi raja kecil yang menentukan mati hidupnya tiap warga dusun! Sang kepala dusun berhak
menentukan apa saja. Keputusan pribadinya menjadi hukum tak tertu1is yang harus dipatuhi. Tidak ada
satupun yang salah pada dirinya. Semua harus dianggap benar dan harus ditaati setiap warga dusun. Dia
bisa merampok terang-terangan yang disebut menyita barang mereka yang berdosa, bisa memperkosa
anak gadis orang yang disebutnya menikahinya sebagai selir. Tak seorangpun berani menentang
kehendaknya kalau orang itu masih ingin hidup. Kalau kepala dusunnya seperti itu, kaki tangannya lebih
mengerikan lagi!

Melihat keadaan seperti ini, jiwa kependekaran Thian Liong bangkit dan di mana saj a dia berada, dia
tentu turun tangan memberi hajaran kepada mereka yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan
kekuasaan dan kekerasan, dan menolong mereka yang tertindas dan lemah tak berdaya. Dia tidak
pernah menyembunyikan namanya dan mengaku bernama Thian Liong setiap kali perbuatan gagahnya
menggegerkan sebuah dusun atau kota. Sebentar saja dia dianggap sebagai Si Naga Langit (Thian Liong)
seolah-olah mahluk yang menjadi lambang kebesaran dan kesaktian itu turun dari langit untuk membela
dan menolong rakyat yang menderita!

Dalam perjalanan ini, tidak lupa Thian Liong bertanya-tanya, mencari keterangan tentang seorang gadis
yang cantik jelita dan yang pakaiannya serba merah muda. Akan tetapi sampai hari ini, ketika dia
menuruni lereng bukit di kaki Pegunungan Thai-san, tidak ada orang yang dapat memberi keterangan
kepadanya tentang gadis itu.

Ketika dia melihat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai di kaki bukit, Thian Liong segera
memasukinya. Dusun itu tampak cukup ramai dan tidak seperti yang dia l ihat di dusun-dusun yang
pernah dilaluinya, dusun ini kelihatan tenang. Penduduknya tidak tampak begitu dicekam ketakutan
seperti dusun-dusun lain sebelah selatan. Mungkin semakin dekat tempat itu dengan pemerintah pusat
di Peking, semakin baiklah pembesarnya karena takut kepada atasan yang sewaktu-waktu dapat
melakukan pemeriksaan, tidak seperti dusun-dusun yang jauh, yang tak pernah dilalui pejabat pejabat
yang memeriksa keadaan di dusun-dusun.

Dusun Leng-ciu dapat juga disebut kota karena tampak ramai, banyak toko dan bahkan ada rumah
makan dan rumah penginapan, walaupun sederhana. Dia mendapat harapan untuk mendengar berita
tentang gadis baju merah di tempat ini. Hari sudah siang dan Thian Liong merasa perutnya lapar karena
sejak kemarin malam dia belum makan. Pagi tadi tidak sempat makan karena dia melakukan perjalanan
naik turun bukit dan tidak melewati dusun. Melihat sebuah rumah makan yang kosong, tidak ada
tamunya, dia lalu masuk.

Seorang pelayan setengah tua, berusia kurang lebih empatpuluh tahun, menyambutnya dengan senyum
ramah.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 224

“Siauw-ko (saudara muda) hendak makan apa? Dan minum?”

“Hidangkan nasi dan masakan sayur, minumnya air teh saja.”

“Air teh? Ah, siauwko, kami mempunyai arak yang lezat!” pelayan itu menawarkan.

“Terima kasih, paman. Aku...... eh, aku tidak biasa minum arak, takut mabok,” jawab Thian Liong sambil
tersenyum.

“Bagus! Bagus! Aku sendiri juga hampir tidak pernah minum arak, lebih baik teh, menyehatkan. Sebal
sekali anakku laki-laki itu, setiap hari mabok. Ayaaa…… bikin jengkel orang tua saja!” Pelayan itu
menggeleng-geleng kepala lalu pergi untuk menyediakan makanan yang dipesan Thian Liong.

Pemuda ini tersenyum sendiri, akan tetapi juga timbul niatnya untuk mengajak pelayan yang suka bicara
itu untuk bercakap-cakap. Siapa tahu dia tahu tentang gadis yang dicarinya. Apalagi saat itu, rumah
makan sepi tidak tampak tamu lain.

Ketika pelayan itu mengantar nasi dan semangkuk sayur, sepoci teh dengan cawannya, Thian Liong
mengajaknya bicara sambil makan.

“Duduklah, paman dan mari temani aku minum teh. Nanti kalau ada tamu boleh paman tinggalkan aku.”

Pelayan itu menerima undangan itu dengan senang dan setelah minum teh secawan, Thian Liong
bertanya, “Paman, aku ingin sekali bertanya. Apakah paman pernah melihat seorang gadis cantik
berpakaian serba merah muda, punya lesung pipit di kanan kiri bibirnya dan...... gadis itu pandai ilmu
silat?”

Pelayan itu mengerutkan alisnya. “Gadis cantik jelita dan pandai ilmu silat? Wah, ada, benar tentu ia
yang kau maksudkan itu! Masih muda belia, senyumnya semanis madu, kerling matanya seperti kilat
menyambar, kalau tertawa semua bunga bermekaran, matahari bersinar semakin terang!”

“Betul, betul dara itu yang kumaksudkan! Di mana ia, paman?”

“Tapi pakaiannya bukan serba merah muda, melainkan putih, sutera putih halus dengan perhiasan
gemerlapan. Memang ada yang merah, akan tetapi bukan pakaiannya melainkan sabuknya, sabuk sutera
merah. Pakaiannya serba putih, elok anggun seperti burung Hong, karena itu semua orang menyebutnya
Pek hong Niocu (Nona Burung Hong Putih)!”

Tiba-tiba ada serombongan orang memasuki rumah makan dan pelayan itu cepat bangkit. “Maaf, siauw -
ko, ada tamu!” Bergegas dia menyambut rombongan terdiri dari empat orang itu. Seorang laki -laki muda
berusia duapuluh lima tahun, seorang gadis cantik berusia sekitar duapuluh tahun, dan suami isteri
setengah tua sekitar limapuluh tahun.

Pelayan itu segera mempersilakan mereka duduk menghadapi sebuah meja sebelah dalam, terhalang
tiga meja dari tempat Thian Liong makan. Thian Liong tidak memperhatikan mereka yang tampaknya
seperti penduduk biasa. Dia sedang melamun, merenungkn cerita pelayan tadi.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 225

Tidak mungkin nona yang disebut Nona Burung Hong Putih itu gadis maling yang mencuri kitab pusaka
Kun-lun-pai. Walaupun sama cantik dan sama pandai silat, namun pakaiannya jauh berlainan. Maling
wanita itu berpakaian serba merah muda, kalau yang diceritakan pelayan itu pakaiannya serba putih.
Pula, maling wanita itu tidak memegang senjata, ketika membunuh perampok, hanya mempergunakan
sebatang ranting. Akan tetapi Burung Hong Putih ini menggunakan sehelai sabuk sutera merah!

Tentu bukan gadis yang dicarinya. Betapapun juga, ia merasa tertarik. Siapa tahu gadis maling itu
berganti warna pakaiannya? Atau, setidaknya, mungkin sebagai sama-sama wanita pandai ilmu silat,
Burung Hong Putih ini mengenal gadis berpakaian merah muda.

Tiba-tiba dua orang laki-laki muda berusia antara duapuluh lima sampai duapuluh tujuh tahun
memasuki rumah makan itu. Melihat betapa mereka berdua berjalan terhuyung sambil menyeringai dan
tertawa-tawa, mudah diduga bahwa keduanya sudah mabok.

“Kita baru saja minum, masa mau minum lagi......?” kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi
kurus.

“Ha-ha-ha, di sini tempatnya mi bakso yang paling enak di dunia……! Ha-ha, heii, pelayan, hidangkan mi
bakso komplit dua porsi! Cepat......!!” Dua orang itu lalu mengambil tempat duduk di meja yang
berdekatan dengan meja rombongan pertama. Pelayan setengah tua itu agaknya mengenal mereka
karena dia bergegas menghampiri meja itu dan menggunakan kain lap untuk membersihkan meja itu.

“Oh, Bouw-kongcu (Tuan Muda Bouw) dan Ban-kongcu (Tuan Muda Ban). Silakan duduk, silakan
duduk......” kata pelayan itu dengan sikap hormat.

“Cerewet!” bentak si tinggi kurus yang disebut Bouw-kongcu. “Hayo cepat sediakan bakmi bakso dua
mangkok, bodoh!” bentak Ban-kongcu yang tubuhnya tinggi besar dan sikapnya kasar.

“Baik, baik, ji-wi kongcu (tuan muda berdua)......” pelayan itu ialu cepat-cepat mengambilkan pesanan
dua orang muda itu. Ketika dia lewat di dekat Thian Liong, dia berbisik, “hemm...... mereka putera
kepala Dusun Bouw dan Kepala Keamanan Ban......”

Thian Liong melirik ke arah dua orang itu. Mereka mengeluarkan sebuah guci yang tadi dibawa Ban -
kongcu dan bergantian minum lagi sambil tertawa-tawa.

“Ehh? Manis sekali!” Tiba-tiba Bouw-kongcu yang tinggi kurus itu memandang kepada gadis cantik yang
duduk bersama rombongan pertama tadi. Gadis itu menundukkan mukanya.

“Heh-heh, kalau engkau suka, biar ia menemani kita makan minum,” kata Ban-kongcu sambil bangkit
berdiri.

“Ya, heh-heh, tentu saja. Ajak ia ke sini...... si manis itu...... heh-heh.”

Orang muda she Ban yang bertubuh tinggi besar itu lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja
rombongan empat orang itu. Dia langsung menghampiri nona tadi dan berkata.

“Nona manis, Bouw-kongcu mengundang engkau makan minum bersama kami. Hayo, manis!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 226

Gadis itu tampak ketakutan dan menggeleng-geteng kepala.

Pemuda itupun bangkit berdiri, diikuti laki-laki setengah tua.

“Sobat, apa artinya ini? Kami tidak mengenal anda, jangan paksa adik saya untuk makan bersama, itu
tidak sopan namanya!” kata pemuda itu dengan sikap marah. Juga laki -laki setengah tua itu marah.

“Jangan ganggu anakku!” bentaknya.

Ban Gu, demikian nama putera kepala keamanan dusun itu, membelalakkan matanya yang sudah lebar,
memandang kepada ayah dan puteranya itu berganti-ganti. “Ha-ha, kalian berani menentangku, ya?
Kalian belum mengenal siapa aku dan siapa Bouw-kongcu itu?”

“Sabarlah, sobat,” ayah pemuda itu mencoba untuk menyabarkan Ban Gu. “Kami sekeluarga baru saja
tiba di kota Leng-ciu ini, kami tidak mengenal siapa kalian berdua dan kamipun tidak melakukan
kesalahan apapun. Karena itu, harap jangan ganggu puteri saya, jangan ganggu kami yang hanya ingin
makan di sini.”

“Bodoh! Aku Ban Gu adalah putera Kepala Pasukan Keamanan di sini dan Bouw -kongcu adalah putera
kepala daerah yang berkuasa di sini, tahu? Hayo! nona ini harus menemani kami makan minum dan
siapapun tidak boleh menghalangi!” Setelah berkata demikian, Ban Gu me nangkap pergelangan tangan
gadis itu dan menariknya berdiri.

Pemuda yang menjadi kakak gadis itu marah. “Engkau kurang ajar, hendak menghina adikku?” Dia maju
dan hendak menangkap pundak Ban Gu untuk ditariknya agar terlepas dari adiknya. Akan tetapi agak nya
Ban Gu seorang yang pandai ilmu silat. Sekali dia melayangkan tinjunya, pemuda itu terpelanting roboh.

Ayah pemuda itu maju hendak mencegah Ban Gu menarik puterinya, akan tetapi sekali lagi Ban Gu
mengayun tangan dan laki-laki setengah tua itupun terpelanting menabrak kursi. Sambil terbahak Ban
Gu menangkap lagi tangan gadis itu dan menyeretnya menuju ke meja di mana Bouw-kongcu menunggu
sambil menyeringai senang.

“Ting-yi......!” Ibu itu memburu, akan tetapi sebuah tendangan dari Ban Gu membuat nyony a itu
terjengkang. Gadis itu menjerit, akan tetapi dengan mudah Ban Gu mengangkatnya dan memaksanya
duduk di atas kursi di samping Bouw-kongcu.

Pada saat itu, Thian Liong sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi dia menahan
diri karena terdengar derap kaki kuda di luar rumah makan dan seorang gadis berpakaian serba putih
berkilau melompat turun dari punggung kuda. Thian Liong yang tadinya sudah bangkit berdiri untuk
menghajar dua orang pemuda berandalan itu duduk kembali saking heran dan kagumnya. Gadis ini
benar-benar mengingatkan dia akan gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai. Bentuk tubuh
yang denok semampai itu sama, wajahnya memang agak beda, akan tetapi keduanya sama cantik dan
sepasang mata itupun sama-sama mencorong, bibirnya tersenyum nakal dan gerakannya gesit sekali.
Tanpa disadarinya, Thian Liong mengamati dengan penuh perhatian.

Gadis itu berusia sekitar sembilanbelas tahun, pakaiannya dari sutera putih bersih berkilauan, pinggang
ramping itu dililit sabuk merah. Rambutnya dikuncir tebal panjang diberi pita merah dan di atas
kepalanya terhias sebuah perhiasan berbentuk burung Hong putih dari perak bermata mirah yang indah

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 227

sekali. Agaknya gadis itu sengaja membuat perhiasan yang sesuai dengan julukan yang diberikan orang,
atau orang-orang memberi julukan kepadanya karena di antaranya melihat perhiasan itu.

Wajahnya manis sekali, kulitnya putih bersih, seperti biasa kulit wanita dari utara. Matanya mencorong
seperti bintang dan senyumnya yang manis itu mengandung kenakalan. Tubuhnya yang ramping padat
itu amat menggairahkan, dengan lekuk lengkung yang sempurna. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia
seorang wanita bangsawan bangsa Kin, dengan hiasan bulu indah pada leher dan pada sepatunya yang
terbuat dari kulit berwarna hitam mengkilat berbentuk sepatu tinggi membungkus betis (sepatu boot).
Gadis itu melompat turun dan berlari memasuki rumah makan dan tangan kanannya masih memegang
sebatang pecut kuda.

“Aku mendengar ada keributan di sini! Siapa yang membikin ribut?” suaranya nyaring dan merdu dan
biarpun ia bicara dalam bahasa pribumi Han, namun terdengar lucu karena aksennya asing suku bangsa
Kin.

Suami isteri setengah tua dan putera mereka sudah bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan, dan
mereka bertiga yang melihat wanita itu datang dengan sikap demikian anggun dan berwibawa, mereka
bertiga hanya dapat menuding ke arah gadis yang masih duduk ketakutan, apalagi dua orang pemuda
yang duduk di kanan kirinya itu dengan kurang ajar menowel -nowel dan meraba-raba dengan tangan
mereka.

Gadis baju putih itu melihat ke arah yang ditunjuk tiga orang itu dan kini alisnya berkerut melihat gadis
yang duduk di antara dua orang pemuda yang jelas sedang berbuat tidak sopan kepadanya, meraba-
raba dada dan menowel dagu dan pipi.

“Hemm, kiranya kalian ini dua ekor buaya darat yang membikin ribut di sini?” bentak gadis itu sambil
menghampiri meja di mana Bouw Kui, putera kepala daerah, dan Ban Gu, putera kepala pasukan
keamanan kota Leng-ciu itu duduk mengapit gadis itu.

Dua orang pemuda itu terkejut mendengar ada suara wanita memaki mereka sebagai buaya darat.
Cepat mereka bangkit dan memutar tubuh menoleh dan memandang. Keduanya terbelalak kagum.

“Huihhh! Alangkah cantiknya!” kata Bouw Kui sambil menyeringai kagum.

“Hebat! Seperti bidadari! Toako, engkau sudah punya yang itu, yang ini untukku!” kata Ban Gu.

“Ah, tidak, Gu-te (adik Gu). Biar gadis pemalu dan penakut itu untukmu, aku memilih yang baru datang
dan pemberani ini!” kata Bouw Kui.

Pelayan setengah tua itu tahu-tahu sudah berada di dekat meja Thian Liong.

“Uhh, mereka mencari penyakit. Mereka pasti akan celaka……!” bisiknya dan Thian Liong menonton
dengan ingin tahu sekali.

“Hei, kalian katak buduk! Hayo cepat kalian menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun seratus kali ,
atau, aku akan menyiksa kalian sampai mampus!” bentak gadis itu sambil bertolak pinggang.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 228

Ban Gu yang merasa dimaki-maki itu menjadi marah juga. “Heh, jaga mulutmu, perempuan liar! Tahukah
engkau siapa kami? Toako, ini adalah Bouw-kongcu, putera kepala daerah Bouw! Dan aku adalah Ban
Gu, putera kepala pasukan keamanan kota ini. Berani engkau memaki kami? Kau bisa kutangkap dan
kumasukkan penjara!”

“Memaki kalian? Menyiksa dan membunuh kalian pun aku berani,” kata gadis itu dan tiba-tiba cambuk
kuda di tangannya menyambar ke depan. Cepat sekali ujung cambuk itu menyambar, seperti kilat
menyambar.

“Tar-tarrr......!!” dua kali cambuk itu menyambar dan dua orang pemuda itu mengaduh, kedua tangan
mendekap muka mereka yang tampak ada balur memanjang merah dan berdarah! Tentu saja mereka
marah sekali. Mereka berdua pernah belajar silat, apalagi Ban Gu yang memiliki ilmu silat yang cukup
tangguh dan dia terkenal sebagai pemuda ugal-ugalan yang suka mengandalkan kekuatannya dan
terutama kedudukan ayahnya.

“Perempuan gila......!!” Dia membentak dan tangan kanannya sudah mencabut sebatang. golok, lalu dia
melompat ke depan dan menyerang dengan goloknya.

Bouw Kui juga tidak tinggal diam. Diapun sudah mencabut goloknya dan menerjang ke depan pula.
Gadis yang ketakutan itu segera berlari menghampiri orang tuanya dan mereka berempat segera pergi
dari situ, keluar dari rumah makan tanpa pamit karena merekapun belum makan apa-apa. Mereka
merasa lebih cepat mereka meninggalkan Leng-ciu lebih baik.

“Tar-tar-tar-tarrrr......!” Pecut itu meledak-ledak.

Thian Liong memandang kagum. Bukan main gadis itu. Gerakan perutnya itu bukan gerakan
sembarangan, melainkan gerakan tangan yang memiliki tenaga sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat
sehingga pecut yang hanya terbuat dari bambu itu kini berubah menjadi senjata yang kuat menangkis
sambaran golok tanpa menjadi rusak!

“Trang-tranggg......! Dua kali pecut itu meledak lagi, tepat mengenai pergelangan tangan kedua orang
pemuda yang memegang golok. Golok itu terlepas dan jatuh berke rontangan di atas lantai. Kini pecut itu
menari-nari, meledak-ledak dan tubuh dua orang pemuda menjadi bulan-bulanan pecut.

Dua orang kongcu itu meloncat-loncat seperti dua ekor monyet menari karena tubuh mereka dihujani
lecutan cambuk yang merobek-robek pakaian dan kulit tubuh mereka sehingga tubuh mereka itu kini
mandi darah! Mereka merasa betapa tubuh mereka nyeri semua perih-perih dan panas, sakit sampai
menusuk ke dalam tulang sumsum. Mereka jatuh terguling dan tanpa malu-malu lagi mereka berlutut
dan menyembah-nyembah sambil mengangguk-anggukkan kepala seperti dua ekor ayam makan padi
sambil merintih-rintih.

“Aduh...... ampun...... ampun….. jangan bunuh......!!” Keduanya minta-minta ampun.

Gadis itulah yang oleh banyak orang di banyak tempat dijuluki Pek Hong Nio-cu atau Nona Burung Hong
Putih! Ia menghentikan cambukannya, hidungnya mendengus dan ia segera berkata kepada Ban Gu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 229

“He, kamu tikus she Ban! Cepat engkau panggil Kepala Daerah Bouw dan Kepala Pasukan Keamanan
datang ke sini. Cepat dan tikus she Bouw ini biar berlutut terus di sini sampai kamu kembali bersama
dua tikus yang kupanggil itu!”

Mendengar ini, Ban Gu diam-diam merasa girang sekali, akan memanggil ayahnya dan Bouw-taijin, baru
tahu rasa engkau, perempuan iblis, pikirya. Dia mengangguk, lalu bangkit berdiri dan berlari dengan
terhuyung-huyung karena tubuhnya terasa nyeri semua, seperti disayat-sayat rasa seluruh tubuhnya.

Banyak orang kini menonton peristiwa itu. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani mendekat, hanya
menonton dari jarak agak jauh sehingga rumah makan itu tampak sepi ditinggalkan orang. Bahkan
mereka yang melalui jalan di depan rumah makan itu tidak berani lewat.

Semua orang berbisik-bisik dan merasa tegang karena kalau sang pembesar yang merupakan raja dan
panglimanya itu muncul bersama pasukannya, tentu gadis itu akan celaka. Akan tetapi mereka yang
sudah pernah melihat sepak terjang Burung Hong Putih, diam-diam merasa gembira sekali dan tahu
bahwa mereka akan memperoleh tontonan yang menyegarkan hati mereka yang selama ini banyak
mengalami penindasan itu.

Tak Iama kemudian, datanglah rombongan dua orang pembesar itu. Agaknya karena tergesa-gesa dan
agar mereka cepat tiba di tempat itu, kedua orang pembesar itu naik sebuah kereta dan di belakang
kereta terdapat duapuluh orang lebih perajurit penjaga keamanan yang biasanya suka dipergunakan
untuk melakukan “pembersihan” kepada rakyat jelata untuk memaksa mereka membayar pajak atau
melakukan apa saja yang dikehendaki kepala daerah atau komandan pasukan itu.

Begitu kereta berhenti di depan rumah makan, Ban Gu yang tidak sempat berganti pakaian, masih
berpakaian koyak-koyak dan tubuh berlumuran darah, turun diikuti oleh ayahnya yang bertubuh tinggi
besar berperut gendut sekali, berpakaian sebagai seorang perwira yang serba gemerlapan dan gagah.
Wajah Ban Ho Tung, kepala pasukan keamanan ini, penuh brewok sehingga tampak menyeramkan, dan
wajah itu sudah membayangkan bahwa dia biasa bersikap keras dan galak. Orang kedua, usianya sebaya
dengan Ban Ho Tung, adalah Bouw Ti, kepala daerah Leng-ciu yang berpakaian sebagai seorang
bangsawan, tubuhnya tinggi kurus, kumisnya seperti tikus dan sikapnya angkuh dan sombong sekali,
jalannya saja dibuat-buat segagah mungkin, namun malah tampak lucu karena tubuhnya yang
kerempeng seperti seorang pemadat berat itu.

“Mana ia perempuan iblis, penjahat dan pemberontak itu?” tanya Ban-ciangkun (Perwira Ban) kepada
puteranya, sikapnya petentang-petenteng (membusungkan dada menantang).

“Ia tadi berada di dalam rumah makan ini, ayah,” kata Ban Gu sambil menuding ke dalam.

“Siapa mencari aku?” terdengar bentakan nyaring merdu dan dari dalam rumah makan itu melangkah
keluar gadis berpakaian putih itu. Tangan kanannya memegang pecut dan ujung pecut melingkar di
leher Bouw Kui yang diseret sehingga pemuda itu berjalan dengan kaki tangannya seperti seekor anjing.

“Tikus kecil Ban, kamu ke sini. Berlutut!” Gadis itu membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya
kepada Ban Gu.

Pemuda ini memang merasa sakit hati dan marah sekali. Dia kini tidak merasa takut lagi. Bukankah ada
ayahnya dan ada Bouw-taijin beserta duapuluh lebih perajurit di belakangnya?

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 230

“Perempuan iblis, engkau akan tahu rasa nanti……”

“Wuuuttt...... tarrrr......!!” Pecut itu sudah melayang dan tepat membelit kaki Ban Gu, kemudian sekali
tarik tubuh Ban Gu terseret ke depan kaki gadis itu dalam keadaan berlutut! Ban Gu menjadi pucat dan
dia berteriak-teriak.

“Tolooonggg......, ayah, toloonggg......!”

“Hemm, kalian ini dua orang pemuda brengsek, mengandalkan kedudukan orang tua untuk menghina
wanita-wanita. Kalian sudah sepantasnya dihajar!” Setelah berkata demikian, kembali ia menggerakkan
cambuknya dua kali.

“Tarrrr!! Tarrr!!”

Dua orang itu menjerit dan tangan mereka mendekap pinggir kepala yang berdarah-darah karena daun
telinga kanan mereka telah putus terpenggal ujung cambuk dan kini dua potong daun telinga itu
menggeletak di atas tanah! Keduanya lalu merangkak melarikan diri ke arah orang tua mereka.

“Perempuan jahat! Berani engkau menyiksa dan menghina putera kami? Kami adalah kepala daerah di
Leng-ciu ini!”

“Keparat! Dan aku adalah kepala pasukan keamanan di Leng-ciu. Engkau telah berani menghina kami,
berarti engkau sudah bosan hidup!” bentak pula Ban Ho Tung sambil mencabut pedangnya lalu dia
memberi isyarat kepada duapuluh empat orang anak buahnya untuk menangkap atau mengeroyok gadis
berpakaian putih itu. Para perajurit yang sudah turun dari kuda masing-masing maju mengepung.

Gadis itu mengeluarkan suara melengking seperti suara burung dan tiba-tiba tangannya sudah melolos
ikat pinggang, yang berupa sabuk sutera merah. Ketika para perajurit menyerbu, ia bergerak bagaikan
seekor burung cepatnya. Tubuhnya melesat dan seolah lenyap, merupakan bayangan yang berkelebatan
di antara gulungan sinar merah yang menyambar-nyambar. Terdengarlah teriakan-teriakan mengaduh
dan para perajurit itu roboh berpelantingan ketika mereka disambar sinar merah dari sabuk sutera
merah yang digerakkan secara amat lihai itu. Diam-diam Thian Liong yang keluar dan ikut nonton
perkelahian itu merasa kagum sekali. Tingkat kepandaian silat gadis ini, biarpun gerakannya aneh dan
asing, namun dibandingkan tingkat ilmu silat yang dimiliki gadis maling berpakaian merah muda atau
tingkat Ang Hwa Sian-li Thio Siang In, agaknya tidak kalah atau sukar ditentukan siapa yang paling lihai di
antara mereka!

Setelah merobohkan duapuluh empat orang perajurit itu, Si Burung Hong Putih melihat betapa dua
orang pembesar itu ketakutan dan hendak melarikan diri. Akan tetapi ia melompat mengejar, dan sinar
merah sabuk suteranya meluncur ke depan. Tahu-tahu leher kedua orang itu telah terbelit ujung sabuk
yang ternyata menjadi panjang sekali dan sekali tarik, dua orang itu roboh terguling-guling ke arah
kakinya!

Dua orang itu bangkit berdiri dengan leher masih terbelit ujung sabuk merah. Pembesar Bouw yang
berwatak angkuh dan sombong, biarpun ketakutan setengah mati melihat puteranya terpotong daun
telinga kanannya dan semua perajurit pengawalnya dihajar sampai berjatuhan, namun masih mencoba
untuk menggertak gadis itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 231

“Nona, engkau telah berdosa besar sekali! Pasukan kerajaan akan datang, menangkapmu sebagai
seorang pemberontak yang jahat!”

“Srattt......!” Gadis itu menggerakkan tangan kirinya dan ia telah mencabut sebatang pedang bengkok
diukir gambar seekor naga, mengkilap saking tajamnya dan ukiran naga itu terbuat dari emas!

“Kalian ingin kupenggal leher kalian dengan ini?”

Ketika Bouw Ti dan Ban Ho Tung melihat pedang bengkok yang diukir gambar naga dari emas itu,
seketika mata mereka terbelalak dan wajah mereka menjadi pucat, tubuh mereka gemetar dan kedua
kaki menggigil. Mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu, membentur-benturkan dahi di
tanah sambil berkata dengan suara penuh ketakutan.

“Ampun beribu ampun, hamba sama sekali tidak tahu bahwa paduka yang mulia adalah......”

“Tidak perduli aku siapa! Apakah kalian berdua mengakui dosa-dosa kalian?” bentak gadis itu sambil
mengancam dengan pedang bengkoknya dan melepaskan sabuk sutera merahnya dari leher mereka.

“Hamba...... hamba...... tidak tahu kesalahan dan dosa apakah yang telah hamba perbuat, yang
mulia......” Bouw Ti meratap dan melihat sikap dua orang pejabat itu yang berlutut lalu menyebut yang
mulia kepada nona itu, Bouw Kui dan Ban Gu yang masih kesakitan terkejut dan ketakutan, lalu ik ut
berlutut mendekam di atas tanah, tidak berani bergerak, bahkan menahan napas agar tubuh mereka
tidak membuat gerakan.

Demikian pula para perajurit pengawal, mereka juga ketakutan dan berlutut di atas tanah. Ada pula di
antara mereka yang sudah lama menjadi perajurit mengenal pedang bengkok dengan ukiran naga emas
itu. Itu adalah pedang tanda kekuasaan yang diberikan oleh Sribaginda Kaisar sendiri. Pemegang pedang
itu boleh menghukum dan membunuh pembesar mana saja tanpa lebih dulu minta ijin dari Kaisar!

“Hemm, orang she Bouw dan orang she Ban. Kalian berdua adalah orang-orang pribumi yang dipercaya
oleh Sribaginda, diberi kedudukan dan kekuasaan untuk mengatur rakyat di daerah kalian, menjaga
keamanan dan mengusahakan kesejahteraan dan ketenteraman bagi rakyat. Akan tetapi ternyata kalian
menindas rakyat, bangsamu sendiri, dan membiarkan anak-anak kalian menjadi pemuda berandalan
yang jahat dan kejam. Dan sekarang kalian masih bertanya dosa apa yang kalian lakukan? Hayo jawab!”

Dua orang pembesar itu menjadi semakin ketakutan. “Hamba layak dihukum...... akan tetapi hamba
mohon beribu ampun dan hamba berdua berjanji tidak akan melakukan penindasan lagi, akan
melaksanakan tugas kewajiban hamba sebaik-baiknya.”

“Hemm, benarkah itu? Kalian akan berusaha agar kehidupan rakyat di daerah ini menjadi sejahtera dan
makmur? Kalian akan bertindak seadil-adilnya?”

“Hamba bersumpah!” Dua orang pembesar itu menjawab dengan berbareng.

“Baik, sekarang disaksikan oleh semua orang yang melihat kejadian ini dari jauh itu,” ia menuding ke
arah banyak orang yang berdiri di kejauhan, “biarlah sekarang aku memberi hukuman ringan kepada
kalian!” Berkata demikian, secepat kilat sinar pedang berkelebat dan dua orang pembesar itu mengaduh

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 232

dan memegangi tangan kiri mereka yang sudah kehilangan jari kelingking masing-masing, terbabat putus
oleh pedang yang amat tajam itu. “Sekarang hanya jari kelingking kiri kalian yang kuambil, lain kali kalau
aku masih mendengar atau melihat kalian berlaku sewenang-wenang kepada rakyat, kalian akan
kutangkap dan kuseret ke pengadilan kota raja, atau kalau aku tidak sabar, akan kupenggal leher kalian
di sini juga!”

“Ampunkan hamba……!” Dua orang itu menyembah-nyembah. Dua orang putera mereka juga
menyembah-nyembah ketakutan.

Gadis itu menyarungkan lagi pedangnya dan melibatkan sabuk sutera merah di pinggangnya, lalu
menghampiri kudanya, melompat ke punggung kuda dan menjalankan kudanya meninggalkan tempat
itu. Ketika ia melewati orang-orang yang berkerumun nonton dari kejauhan, ada yang berseru, “Hidup
Pek Hong Nio-cu….!”

Serentak semua mulut, seperti dikomando, berseru, “Hidup Pek Hong Nio-cu……!!”

Akan tetapi, gadis itu hanya tersenyum dan membedal kudanya meninggalkan kota Leng-ciu. Ia tidak
tahu bahwa ada bayangan orang berkelebat dan mengikutinya keluar dari pintu gerbang kota sebelah
utara.

Yang dijuluki Pek Hong Nio-cu itu sebetulnya adalah seorang puteri kaisar yang lahir dari seorang selir
kaisar yang cantik. Selir ini adalah seorang pribumi (bangsa China aseli yang menyebut dirinya bangsa
Han). Biarpun ia hanya puteri seorang selir, namun karena selir itu menjadi kesayangan kaisar Dinasti
Kin, maka tentu saja anak perempuan ini juga amat disayang dan dimanja kaisar.

Ia diberi nama Moguhai dan sejak kecil ia memiliki watak yang begal dan l incah seperti seorang anak
laki-laki. Dalam usia lima tahun saja, ia sudah berani menunggang kuda dan membalapnya, berlumba
dengan para putera bangsawan, bahkan yang usianya lebih tua dari padanya. Ia suka pula bermain
panah-panahan sehingga sejak kecil dapat melepaskan anak panah dengan jitu.

Ketika para putera bangsawan yang sudah berusia sepuluh tahun ke atas mulai berlatih ilmu silat, Puteri
Moguhai yang berusia enam tahun juga tidak mau ketinggalan, ikut-ikutan berlatih ilmu silat. Tentu saja
guru silatnya tidak berani melarang karena ia puteri kaisar, pula ketika guru-guru silat melihat betapa
bocah perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa, mereka bahkan bersemangat untuk mengajarkan
ilmu silat kepadanya. Maka tidak mengherankan apabila Puteri Moguhai memperoleh kemajuan pesat
dan setelah berusia sepuluh tahun, dalam latihan, ia dapat mengalahkan murid-murid pria yang usianya
lebih beberapa tahun dari padanya! Para gurunya tentu saja menjadi girang dan bangga dan mereka
seolah berlumba untuk menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada sang puteri, bukan hanya
karena senang mempunyai murid demikian cerdiknya, melainkan tentu saja ada pamrih untuk
menyenangkan hati sang kaisar!

Ketika Puteri Moguhai berusia sepuluh tahun, pada suatu hari, ketika itu senja telah tiba, ia berjalan-
jalan ke dalam taman istana yang luas. Cuaca remang-remang, akan tetapi ia masih dapat menikmati
bunga-bunga yang bermekaran karena waktu itu musim semi telah tiba. Ketika ia mendekati sebuah
pondok yang berada di tengah taman itu, pondok kecil tempat peristirahatan keluarga kaisar, ia dari
jauh melihat ibunya memasuki pondok itu bersama seorang laki -laki. Jelas tampak olehnya bahwa laki-
laki itu bukan kaisar, bukan ayahnya!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 233

Puteri Moguhai baru berusia sepuluh tahun dan belum dapat menduga apa-apa yang melanggar susila.
Ia hanya merasa heran sekali, akan tetapi tidak berani mendekati pondok, hanya merunduk -runduk
lebih dekat lalu bersembunyi di balik semak-semak di samping pondok untuk mengintai ke arah pintu
dengan maksud agar dapat melihat siapa laki-laki itu, kalau nanti keluar dari pondok. Di atas pondok itu
tergantung sebuah lampu sehingga ia akan dapat melihat wajah laki -laki itu nanti. Ia mendekam di situ,
hati-hati sekali tidak berani banyak bergerak, bahkan ketika ada nyamuk menggigitnya, ia hanya
mengusir nyamuk itu, tidak berani menamparnya.

Sementara itu, yang memasuki pondok itu memang Ibu Puteri Moguhai yang dulu adalah seorang
wanita pribumi bernama Tan Siang Lin. Kini ia adalah seorang selir terkasih dari Kaisar Kin. Usianya
sekitar duapuluh delapan tahun namun masih tampak cantik jelita dan gerak-geriknya lembut, seperti
seorang gadis muda.

Selir kaisar itu memasuki pondok yang diterangi lampu gantung itu bersama seorang pria. Laki -laki itu
berpakaian sederhana, tubuhnya sedang namun tegap, wajahnya bersih, tampan dan senyumnya
menawan, sikapnya juga lembut dan sinar matanya mencorong. Begitu memasuki pondok dan daun
pintunya ditutup, selir kaisar itu lalu mengeluh.

“Sie-koko (Kanda Sie)……!” Dan ia sudah menubruk hendak merangkul pria itu. Akan tetapi pria itu
menyambut dengan memegang dan menahan kedua pundak wanita itu, lalu berkata dengan suara halus
namun penuh wibawa.

“Tidak, Lin-moi. Jangan lakukan itu. Ingat, engkau adalah isteri seorang pria bahkan seorang kaisar! Aku
tidak ingin melihat engkau menjadi seorang isteri yang melakukan hal tidak pantas dan mengkhianati
suami. Mari, duduklah, kita bicara baik-baik dan pantas.” Dia mendorong wanita itu duduk di atas buah
kursi, sedangkan dia duduk di kursi depan wanita itu. Tan Siang Lin atau yang kini menjadi selir kaisar itu
menggigit bibir dan mengusap beberapa butir air mata yang menetes di atas kedua pipinya.

“Akan tetapi, Sie-ko, aku...... aku rindu padamu...... apakah engkau tidak cinta lagi padaku, koko?” Dalam
suara itu terkandung kesedihan yang ditahan-tahan.

Laki-laki itu menghela napas panjang. “Lin-moi, justeru karena aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku,
maka aku tidak ingin melihat engkau menyimpang dari kebenaran. Aku ingin melihat engkau bahagia
sebagai seorang isteri kaisar yang dimuliakan, dihormati, dan bersih dari pada noda.”

“Lalu, kenapa engkau datang berkunjung ke taman ini, koko? Pada hal kunjunganmu ini berbahaya
sekali, kalau sampai ketahuan, pasti nyawamu taruh-annya. Apa maksudmu berkunjung ini, kalau bukan
karena…… rindu padaku seperti juga aku merindukanmu?”

Laki-laki itu tersenyum. “Aku hanya ingin menyaksikan sendiri bahwa engkau hidup bahagia di sini, Lin -
moi. Aku mendengar dan kini melihat sendiri bahwa engkau menjadi seorang selir yang dikasihi kaisar,
dihormati dan dimuliakan orang, walaupun engkau seorang pribumi Han. Juga aku mendengar
tentang...... siapa lagi nama anak itu……?”

“Puteri Moguhai……”

“Ya, nama yang indah, walaupun agak asing terdengarnya. Aku mendengar pula tentang anak itu.
Kabarnya ia cerdik sekali dan berbakat baik dalam ilmu silat. Karena itu, kedatanganku ini untuk

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 234

menyerahkan kitab-kitab ini kepadamu. Kelak, setelah anak itu berusia empatbelas tahun dan sudah
memiliki dasar ilmu silat yang baik, kau berikan kitabkitab ini dan suruh ia melatih sendiri. Sudah kuberi
petunjuk-petunjuk jelas dalam kitab-kitab ini. Hanya ini yang dapat kuberikan kepadanya, Lin-moi, dan
ini, suruh ia kelak selalu memakai ini dan semoga Tuhan selalu melindunginya.”

Selir kaisar itu menerima tiga buah kitab dan sebuah perhiasan rambut berbentuk burung Hong dari
perak dengan mata mirah. Ia menerimanya dengan terharu sekali.

“Sekarang aku harus pergi, Lin-moi. Hati-hatilah engkau menjaga diri dan hati-hati pula mendidik dan
menjaga puterimu.” Pria itu bangkit berdiri dan hendak melangkah ke pintu.

“Nanti dulu, koko. Masih ada satu hal yang ingin kuceritakan padamu...... ini...... merupakan rahasia
pribadiku...... dan hanya engkau saja yang boleh mendengarnya.”

Pria itu duduk kembali dan menatap wajah Tan Siang Lin dengan sinar mata mencorong. “Apakah itu,
Lin-moi?”

“Ketika aku melahirkan...... sebetulnya anakku itu terlahir kembar, keduanya perempuan......”

Pria itu membelalakkan kedua matanya. “Kembar? Dan...... yang seorang l agi……?”

“Ketika aku melahirkan, yang membantu adalah seorang wanita tua yang menjadi bidan, dan ditemani
seorang sahabat baikku. Ia seorang janda pangeran, suaminya sudah mati dan ia tidak mau menikah lagi,
pada hal ia masih muda, sebaya dengan aku. Kami menjadi sahabat yang akrab sekali, bahkan telah
bersumpah mengangkat saudara. Ia seorang puteri kepala suku bangsa Uigur, namanya Miyana. Ketika
melihat aku melahirkan bayi perempuan kembar, Miyana menangis dan mengatakan kepadaku bahwa
kaisar adalah seorang yang percaya bahwa anak kembar wanita akan membawa malapetaka maka besar
kemungkinan anak kembarku akan dibunuh! Maka, atas usul Miyana, anak yang satunya lagi ia
selundupkan keluar dari kamarku sehingga aku dianggap melahirkan seorang anak perempuan saja,
yaitu Moguhai itulah. Bidan tua itupun dipesan menyimpan rahasia, akan tetapi beberapa hari kemudian
ia mati karena sakit mendadak. Aku menduga bahwa itu perbuatan Miyana yang takut kalau-kalau bidan
itu membuka rahasia.”

Pria itu mengangguk-angguk. “Hemm, lalu...... anak yang satunya lagi itu?”

“Tak lama kemudian Miyana yang sudah janda, pulang kepada orang tuanya, kepada ayahnya yang
menjadi kepala suku Uigur. Tentu saja anak itu diam-diam dibawanya dan sampai sekarang aku tidak
pernah lagi, mendengar tentang ia dan anak itu. Nah, itu, koko, dan hanya engkau seorang yang
mengetahui.”

Pria itu menghela napas panjang. “Aih, sungguh nasib mempermainkan keturunan kita, Lin-moi. Inikah
hukuman akibat dosa kita herdua? Nah, terima kasih atas semua ceritamu, Lin-moi dan jangan lupa
berikan kitab-kitab itu kepada Moguhai. Sekarang aku pergi.”

Pria itu melangkah keluar, diikuti oleh selir kaisar itu. Moguhai yang mengintai di luar melihat mereka
keluar dan ia menatap wajah pria itu dengan penuh perhatian. Ia melihat mereka berdiri berhadapan di
luar pintu, lalu pria itu memegang pundak ibunya dan berkata dengan suara lirih, “Nah, selamat tinggal,
Lin-moi, semoga engkau hidup berbahagia. Selamat tinggal!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 235

“Selamat jalan, Sie-koko...... jaga dirimu baik-baik!” kata ibunya dengan suara mengandung isak.

Tiba-tiba pria itu mengerakkan kedua kakinya, sekali berkelebat dia telah lenyap dari situ. Moguhai
terbelalak! Setankah yang dilihatnya tadi? Kalau manusia, mana mungkin menghilang begitu saja?
Ibunya bergaul dengan setan yang disebutnya Sie-koko?

Saking tidak dapat menahan keheranannya, gadis cilik itu lalu lari menghampri ibunya.

“Ibu……!”

“Eh, engkau Moguhai? Dari mana engkau......?” Ibunya bertanya kaget, sama sekali tidak mengira
anaknya muncul begitu tiba-tiba. Jangan-jangan anak itu telah melihat......

“Ibu, apakah ibu mempunyai sahabat setan?”

“Ehh? Setan......?”

“Aku tadi melihat ibu dengan seorang laki-laki yang ibu sebut Sie-koko, akan tetapi dia menghilang
seperti setan!”

Siang Lin segera merangkul anaknya dan diajaknya masuk ke dalam pondok itu. Dia memeluk dan
berkata dengan nada suara serius.

“Anakku, dia itu bukan setan, melainkan seorang pendekar yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dia
seorang sakti, Moguhai dan dia...... dia itu dahulu menjadi sahabat baik ibumu. Lihat, dia meninggalkan
kitab-kitab dan perhiasan rambut ini untukmu. Kalau kelak engkau mempelajari tiga buah kitab ini,
berarti dia itu juga gurumu, Moguhai. Akan tetapi ingat, anakku, jangan katakan tentang dia itu kepada
siapapun juga. Kalau sampai diketahui Kaisar, ibumu ini tentu akan dihukum mati, dan mungkin engkau
juga tidak akan terluput dari hukuman.”

“Akan tetapi kenapa, ibu? Ayahanda Kaisar tentu tidak akan marah mendengar aku mendapatkan
seorang guru yang sakti.”

“Engkau tidak mengerti, anakku. Dia itu seorang pendekar bangsa Han, tentu ayahmu akan menaruh
curiga dan mengira dia itu mata-mata dari kerajaan Sung yang akan menyelidiki istana. Karena itu, demi
keselamatan kita sendiri, jangan katakan kepada siapapun juga. Engkau berjanji?”

Moguhai mengangguk-angguk. “Baik, ibu.”

Demikianlah, Moguhai hanya tahu dari ibunya bahwa laki-laki, yang memberi kitab kepadanya itu adalah
“Paman Sie” dan ia tidak pernah bertemu lagi dengannya. Tiga kitab itu merupakan kitab-kitab pelajaran
ilmu silat yang ampuh dan tinggi. Yang pertama mengajarkan cara berlatih untuk menghimpun sin-kang
(tenaga sakti) sehingga ia selain memiliki tenaga dalam yang hebat, juga dapat mengerahkan tenaga
sakti, untuk membuat dirinya ringan dan dapat bergerak cepat seperti terbang. Kitab kedua berisi
pelajaran ilmu silat yang menggunakan senjata sabuk dan ilmu ini dilatih Moguhai dengan sehelai sabuk
sutera panjang merah.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 236

Adapun kitab ketiga berisi pelajaran ilmu pedang yang aneh akan tetapi hebat sekali. Itulah ilmu pedang
Sin-coa-kiamsut (Ilmu Pedang Ular Sakti) yang dimainkan dengan pedang bengkoknya, pedang khas
bangsa Kin sehingga kini, setelah berusia sembilanbelas tahun, Moguhai menjadi seorang gadis yang
lihai bukan main sehingga ia mendapat julukan Pek Hong Nio-cu atau Nona Burung Hong Putih karena
perhiasan rambutnya juga berupa burung Hong perak bermata mirah!

Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai meninggalkan kota Leng-ciu menunggang kudanya. Biarpun ia
puteri Kaisar, namun ia berjiwa pendekar. Hal ini berkat ibunya yang sering menceritakan tentang sepak
terjang para pendekar persilatan yang selalu berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran,
selalu menentang kejahatan, melawan para penindas dan membela rakyat kecil yang tertindas. Karena
itulah, ia seringkali meninggalkan istana dan merantau ke daerah-daerah. Setiap bertemu kejahatan, ia
pasti menantang yang jahat dan memberi hajaran keras. Banyak pembesar yang korup menerima
hajaran keras darinya dan banyak gerombolan penjahat dibasminya. Kaisar yang mendengar akan sepak
terjang puterinya ini, merasa kagum dan bangga, maka lalu menghadiahkan pedang bengkok berukir
naga emas yang menjadi tanda kuasaan besar. Semua pembesar maklum bahwa pemilik pedang naga
emas itu berkuasa seperti kaisar sendiri, boleh menghukum atau membunuh siapa saja tanpa ijin kaisar!

Ketika Pek Hong Nio-cu menjalankan kudanya dengan santai keluar kota Leng-ciu, tiba-tiba ada
bayangan berkelebat dari belakangnya dan tahu-tahu di tengah jalan berdiri seorang pemuda. Jalan itu
sepi, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Pemuda itu berdiri tegak di tengah jalan, jelas
menghadang perjalanan kudanya.

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. Ia memperhatikan seorang pemuda biasa saja, menggendong
buntalan seperti orang-orang yang melakukan perjalanan jauh, pakaiannya sederhana dan wajah
pemuda itupun biasa saja walaupun dapat dibilang tampan namun tidak ada yang terlalu menonjol atau
mencolok. Seorang pemuda dusun biasa!

“Hei, minggir kamu! Apa tidak melihat kudaku hendak lewat? Apa ingin tertubruk kuda!” tegurnya.

Pemuda itu adalah Thian Liong. Dengan tenang dia lalu mengangkat kedua tangannya ke depan dada
sambil membungkuk sedikit sebagai penghormatan.

“Maafkan aku, Pek Hong Nio-cu......”

“Eh! Dari mana engkau mengenal nama julukanku?” Pek Hong Nio-cu menegur, agak kesal karena
perjalanannya terganggu.

“Aku mendengar dari orang-orang yang menyaksikan engkau menghajar orang pembesar brengsek di
kota Leng-ciu tadi! Sungguh hebat sekali perbuatanmu tadi, nona. Aku merasa kagum sekali kepadamu!”

“Hemm, aku tidak butuh pujianmu!” bentak Pek Hong Nio-cu karena sudah sering ia mendengar laki-laki
memujinya yang sebetulnya hanya merupakan rayuan untuk menyenangkan hatinya. Ia sudah
mendapatkan kenyataan bahwa semua adalah perayu-perayu gombal kalau sudah berhadapan dengan
wanita cantik!

“Aku tidak memuji kosong, nona, melainkan bicara sebenarnya!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 237

“Sudahlah, aku tidak mau mendengar ocehanmu. Apa maksudmu menghadang perjalananku? Minggir,
atau kutabrak engkau!”

“Maaf, Pek Hong Nio-cu. Tadi, ketika melihat engkau beraksi, aku mengira bahwa engkau adalah
seorang gadis yang pernah kukenal, gadis yang mencuri pusakaku.”

“Tikus busuk!” Pek Hong Nio-cu yang pada dasarnya berwatak keras dan galak itu sudah melompat
turun dari punggung kudanya. Agar kuda itu tidak melarikan diri, ia mengikatkan kendali kuda pada
sebatang pohon di tepi jalan dan cepat ia kini berdiri menghadapi Thian Liong dengan sikap menantang.
“Kurang ajar, berani engkau mengira aku sebagai pencuri?”

Thian Liong kini memandang dengan mata terbelalak. Bukan, gadis ini bukanlah gadis berpakaian merah,
pencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu. Hanya bentuk tubuhnya saja yang
sama, juga sama-sama cantik jelita.

Setelah Pek Hong Nio-cu turun dari kuda dan Thian Liong memandang wajahnya dengan penuh
perhatian, dia terbelalak. Wajah yang bulat itu, pandang mata tajam dan senyum mengejek itu, dan
terutama tahi lalat di ujung bibir kanan itu! Tak salah lagi! Siapa, lagi kalau bukan Ang Hwa Sian-li Thio
Siang In? Memang benar, Ang Hwa Sian-li berpakaian serba hijau, akan tetapi pakaian mudah saja
diganti, dari yang berwarna hijau kini menjadi yang berwarna putih. Tahi lalat itu, tak salah lagi! Thian
Liong tertawa dan melangkah maju lalu menudingkan telunjuknya ke arah hidung gadis itu.

“Hei! Bukankah engkau Thio Siang In?”

“Ngawur! Siapa itu Thio Siang In?” Pek Hong Nio-cu membentak kehilangan kesabaran karena
menganggap pemuda itu main-main.

“Aih, In-moi (adik In), masa engkau sudah lupa kepadaku? Atau pura-pura lupa? Aku Souw Thian Liong!
Jangan marah kepadaku dan lupakanlah hal yang lalu. Kitab itu sudah kukembalikan yang berhak, yaitu
Siauw-lim-pai yang menjadi pemilik sah. Maafkan kalau dulu aku tidak dapat meminjamkannya
kepadamu, In-moi.”

“Ngaco! jangan kira engkau dapat main-main dan kurang ajar kepadaku. Sambut ini!” Bentak Pek Hong
Nio-cu ia sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah ulu hati Thian Liong.

Melihat pukulan yang cepat dan kuat sekali itu, Thian Liong cepat mengelak mundur. “I n-moi, aku tidak
main-main, dan aku tidak ingin berkelahi denganmu.”

Akan tetapi Pek Hong Nio-cu, malah menyerang semakin ganas dan gencar. Serangan-serangan gadis itu
sungguh tak boleh dipandang ringan karena pukulannya mengandung tenaga sakti yang amat kuat.

Thian Liong menjadi terkejut dan timbul kegembiraannya untuk menguji kembali kepandaian gadis ini
yang dulu pernah dia kalahkan. Siapa tahu Siang In sudah mempelajari ilmu-ilmu baru yang lebih lihai.
Maka dia cepat mengelak dan membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparannya yang kuat.

Pek Hong Nio-cu yang kini merasa terkejut dan heran. Pemuda yang disangkanya pemuda dusun biasa
itu ternyata bukan main. Tidak saja dapat menghindarkan serangannya yang cepat dan bertubi, bahkan
mampu membalas dengan tamparan yang mengandung tenaga sakti yang kuat. Pek Hong Nio-cu

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 238

menjadi penasaran sekali lalu mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan menyerang dengan
dorongan telapak tangannya. Thian Liong ingin mengukur tenaga gadis itu maka diapun menyambut
dengan tangkisan sambil mengerahkan sinkangnya pula.

“Wuuuttt...... dukkk!” Tubuh Pek Hong Nio-cu terdorong ke belakang sampai lima langkah! Ia terbelalak
dan menjadi marah karena melihat pemuda itu hanya mundur selangkah saja. Dalam adu tenaga sakti
ini jelas bahwa ia kalah kuat.

“Srettt......!!” Tampak gulungan sinar merah berkelebat dan setelah sinar itu bergulung-gulung, lalu sinar
itu mencuat dan menyambar ke arah kepala Thian Liong. Itulah senjata sabuk merah yang telah
diloloskan Pek Hong Nio-cu dari pinggangnya.

“Hyaattt……!” Sinar merah itu menyambar cepat sekali, akan tetapi Thian Liong yang maklum akan
berbahayanya senjata sabuk sutera merah itu, sudah cepat merendahkan dirinya sehingga sabuk itu
lewat di atas kepalanya. Begitu sinar itu lewat di atas kepala, tangan Thian Liong menyambar dan ujung
sabuk sudah dapat dipegangnya!

Pek Hong Nio-cu terkejut. Ia mencoba untuk menarik sabuknya, namun tetap saja ujung sabuk berada di
tangan Thian Liong, tak dapat terlepas dari pegangannya. Pek Hong Nio-cu marah sekali cepat ia maju
dan mengirim tendangan berantai ke arah tubuh Thian Liong. Pemuda ini menggunakan tangan
kanannya yang bebas untuk menangkis tendangan-tendangan itu sehingga gadis itu merasa kakinya
nyeri bertemu dengan tangan Thian Liong. Ia membetot sekuat tenaga.

Thian Liong khawatir kalau-kalau sabuk sutera merah itu putus. Dia tidak mau merusak senjata lawan,
maka tiba-tiba dia melepaskan pegangannya dan otomatis tubuh Pek Hong Nio-cu terjengkang ke
belakang. Thian Liong terkejut karena gadis itu tentu akan terbanting jatuh. Akan tetapi ternyata tidak.
Tubuh yang padat langsing itu membuat pok-sai (jungkir balik) ke belakang sampai lima kali dengan
indahnya dan tidak terbanting sama sekali, dan kembali berdiri dengan tegak, bahkan sabuk sute ra itu
telah dilibatkan kembali ke pinggangnya. Agaknya sambil berjungkir balik tadi ia masih sempat
menyimpan kembali sabuknya.

“Hebat!” Thian Liong memuji kagum.

Gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang bagus. Akan tetapi yang dia puji malah
semakin marah. Pek Hong Nio-cu menganggap pujian Thian Liong itu sebagai ejekan dan kini begitu
tangan kanannya bergerak, ia sudah mengeluarkan pedang bengkoknya yang mengeluarkan cahaya
berkilauan saking tajamnya!

“Manusia sombong!” bentak gadis itu, kemarahannya memuncak karena dua kali ia telah kalah, pertama
dalam ilmu silat tangan kosong, bahkan kedua kalinya, ia yang bersenjatakan sabuk sutera merah tidak
mampu mengalahkan pemuda yang bertangan kosong itu. “Kalau memang engkau gagah, cabut
pedangmu dan lawan pedangku ini!”

Thian Liong mulai menyesal mengapa dia jadi menimbulkan permusuhan yang berlarut-larut dengan
gadis yang galak, lihai dan jelas berjiwa pendekar yang tadi menentang pembesar-pembesar jahat
sewenang-wenang itu. Dan diapun mulai curiga. Dia sama sekali tidak merasa salah lihat. Gadis ini jelas
Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li yang rambutnya dihias mawar merah dan pakaiannya serba
hijau. Akan tetapi selain tanda-tanda itu, juga Ang Hwa Sian-li bersenjata sepasang pedang.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 239

Akan tetapi gadis ini, yang wajahnya serupa benar, pakaiannya serba putih, bersenjata sabuk sutera
merah, dan pedangnya bukan sepasang pedang melainkan sebatang pedang bengkok! Selain itu, ketika
tadi bertanding, dia melihat ilmu silat mereka juga sama sekali berbeda. Ilmu silat yang dimainkan Thio
Siang itu memiliki dasar ilmu silat dari daerah barat, bahkan ganas dan keji seperti yang biasa
dipergunakan orang-orang golongan sesat. Akan tetapi sebaliknya ilmu silat yang dimainkan Pek Hong
Nio-cu ini memiliki dasar yang bersih. Ternyata ilmu silat antara kedua orang gadis itu sama sekali
berbeda, walaupun tingkatnya kira-kira hampir sama.

Setelah mempertimbangkan semua ini, dia lalu menjura dengan hormat. “Maafkan aku, nona, kalau aku
telah salah mengenal orang. Biarpun nona serupa benar, bahkan persis, seorang gadis bernama Thio
Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, namun senjata dan ilmu silat nona sama sekali berlainan. Karena
itu aku mulai yakin bahwa aku telah salah mengenal orang. Karena itu, harap engkau suka maafkan aku
karena aku tidak bermaksud buruk terhadap dirimu.”

Pek Hong Nio-cu memandang dengan sinar mata mencorong. Mulutnya merengut dan kembali jantung
Thian Liong berdebar. Kalau cemberut marah seperti itu, sungguh persis sekali gadis ini dengan Thio
Siang In. Ang Hwa Sian-li, Thio Siang In dulu juga cemberut seperti ini ketika dia marah kepadanya!

“Engkau sudah memamerkan kepandaian mengalahkan aku dua kali dan masih bilang tidak berniat
buruk terhadap aku? Hayo cabut pedangmu dan jangan kepalang kalau hendak mengujiku. Sebelum
engkau dapat mengalahkan pedangku ini, aku masih belum mengaku kalah!”

“Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Aku Souw Thian Liong mengaku bersalah dan
mohon maaf,” kembali pemuda itu berkata.

“Hemm, aku tahu, engkau tentu Si Naga Langit yang selama ini disohorkan orang maka engkau menjadi
begini sombong! Kalau engkau tidak mau mencabut pedangmu, terpaksa aku akan menyerangmu juga!
Lihat pedang!” Pek Hong Nio-cu sudah menerjang dengan pedang bengkoknya dan begitu menyerang, ia
sudah mengeluarkan jurus yang lihai dari ilmu pedang Sin-coa Kiamsut, yaitu jurus Sin-coa-jut-thong
(Ular Sakti Keluar Guha) dan pedangnya berubah menjadi sinar terang meluncur ke arah dada Thian
Liong!

Thian Liong terkejut. Tadi, serangan tangan kosong dan sabuk sutera merah gadis itu baginya masih
belum merupakan serangan terlalu berbahaya. Akan tetapi serangan pedang bengkok ini sama sekali
tidak boleh dipandang ringan. Maka, dia cepat melompat ke belakang sambil mencabut Thian-liong-
kiam.

Melihat pemuda itu sudah mencabut pedangnya, Pek Hong Nio-cu menyerang lagi, lebih ganas dari pada
tadi. Pedangnya membuat gerakan seperti seekor ular dan tahu-tahu pedang itu “mematuk” dari
samping. Serangannya tak terduga-duga dan gerakannya selain cepat juga aneh. Beberapa kali Thian
Liong mengandalkan gin-kang untuk mengelak dan berlompatan ke sana-sini. Akan tetapi bayangan
tubuhnya dikejar terus oleh gulungan sinar mengkilat pedang bengkok itu. Ketika pedang bengkok itu
menyambar ke arah lehernya dengan bacokan dari samping, terpaksa Thian Liong menangkis dengan
pedangnya.

“Tranggggg……!” Bunga api berpijar terang ketika dua batang pedang bertemu. Thian-liong-kiam adalah
sebatang pusaka ampuh, akan tetapi ternyata pedang bengkok pemberian kaisar itupun ampuh sekali

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 240

sehingga tidak menjadi rusak. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu merasa betapa tangannya yang memegang
pedang gemetar dan terguncang hebat.

Kembali ia terkejut dan diam-diam ia harus mengakui bahwa lawannya yang berjuluk Si Naga Langit itu
benar-benar lihai sekali. Akan tetapi dasar ia seorang gadis yang keras kepala, ia tidak mau mengaku
kalah dan menyerang terus dengan mengeluarkan semua kemampuannya.

Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang
gadis itu benar-benar merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang hebat sekali. Hanya sayang, agaknya
gadis ini belum menguasai benar ilmu pedang itu, belum matang permainannya. Andaikata gadis itu
sudah menguasai sepenuhnya, Thian Liong maklum bahwa pedangnya itu akan merupakan bahaya besar
bagi lawannya.

Memang sesungguhnya demikian. Pek Hong Nio-cu atau yang nama aselinya Puteri Moguhai ini
menerima ilmu pedang itu dari “pamannya”, yaitu yang oleh ibunya disebut sahabat she Sie, yang
memberikan tiga kitab ilmu silat kepadanya, juga hiasan rambut burung Hong Perak. Sayang ia hendak
menyembunyikan ilmu pemberian “Paman Sie” itu dari orang lain, terpaksa melatihnya sendiri secara
diam-diam, tidak di bawah pimpinan seorang ahli sehingga ia tidak dapat menguasai ilmu itu
sepenuhnya.

Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia tidak ingin membuat gadis itu sakit hati, tidak
mau mengalahkan secara mutlak, apa lagi melukainya. Maka setelah bertanding ramai selama tigapuluh
jurus, tiba-tiba Thian Liong mengerahkan sin-kangnya, membuat pedang lawan melekat pada
pedangnya. Pek Hong Nio-cu terkejut dan mencoba membetot lepas pedangnya, namun tanpa hasil, dan
tiba-tiba Thian Liong membentak.

“Lepas!” Dia menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan Pek Hong Nio-cu tidak dapat
mempertahankan pedangnya lagi. Pedang itu seperti direnggut lepas dari tangannya, lalu melayang ke
atas. Akan tetapi Thian Liong sengaja melompat ke belakang sehingga ketika pedang meluncur turun,
Pek Hong Nio-cu dapat menangkapnya dengan tangan kanannya. Wajahnya berubah merah sekali dan ia
menyimpan lagi pedangnya di sarung pedangnya.

Thian Liong cepat menghampiri dan dia menjura dengan kedua tangan dirangkap di depan dada dan
membungkuk hormat.

“Harap engkau suka maafkan aku, nona. Sesungguhnya aku tidak bermaksud untuk bertanding
denganmu dan aku tadi tidak berbohong ketika mengatakan bahwa engkau sungguh serupa benar
dengan seorang pendekar wanita bernama Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian -li, karena itu,
maafkan kesalahanku mengenal orang, nona.”

Sikap yang sopan dari Thian Liong sedikitnya menurunkan kadar kemarahan dan rasa penasaran di hati
Pek Hong Nio-cu. Ia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian, diam-diam merasa kagum karena
pemuda itu benar-benar telah mengalahkannya. Begitu sederhana dan rendah hati, akan tetapi
sesungguhnya memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
“Hemm, engkau tentu hendak mengatakan bahwa ilmu kepandaian gadis pendekar sahabatmu itu jauh
lebih tinggi daripada kepandaianku, bukan?” kata Pek Hong Nio-cu dengan suara mengandung
kepahitan.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 241

“Ah, tidak sama sekali, nona! Tingkat kepandaian kalian berimbang, bahkan, aku mau berterus terang,
kalau ilmu pedangmu tadi sudah kaukuasai sepenuhnya dan kaulatih dengan sempurna, jangankan Ang
Hwa Sian-li, bahkan aku sendiri belum tentu dapat menang melawanmu.”

Pek Hong Nio-cu mulai tertarik, selama beberapa bulan ini ia sudah mendengar akan ketenaran nama Si
Naga Langit yang disohorkan sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi
biasanya, begitu yang ia dengar, para pendekar itu selain menjadi pembela kebenaran dan keadilan, juga
bersikap memusuhi pemerintahan Kerajaan Kin. Sebagai seorang yang berjiwa pendekar, Pek Hong Nio -
cu tentu saja merasa cocok dengan sepak terjang para pendekar itu yang selalu menentang kejahatan.
Akan tetapi sebagai seorang puteri Kaisar Kerajaan Kin, sebagai bangsa Nuchen yang mendirikan wangsa
Kin, tentu saja ia merasa tidak senang kalau para pendekar menentang dan memusuhi pemerintah
bangsanya! Memang, iapun tahu bahwa ibunya adalah seorang pribumi, seorang wanita berbangsa Han,
akan tetapi ayahnya adalah Kaisar berbangsa Nuchen, Kaisar Kerajaan Kin!

“Souw Thian Liong, benarkah engkau yang disohorkan orang dengan sebutan Si Naga Langit?” Pek Ni o-
cu bertanya sambil menatap tajam wajah pemuda itu.

Wajah Thian Liong berubah kemerahan. Dia merasa rikuh juga dengan namanya yang disohorkan orang
itu. Semua sepak terjangnya hanya didorong sebagai kewajibannya semata, sama sekali bukan untuk
mencari ketenaran nama. “Yah, begitulah orang-orang menyebut saya, padahal itu adalah nama aseli
saya,” katanya malu-malu.

“Jadi engkau seorang pendekar yang malang melintang di dunia kang-ouw, menentang kejahatan dan
membela kebenaran dan keadilan?”

“Akan kuusahakan semampuku untuk membela kebenaran dan keadilan yang sudah menjadi
kewajibanku, Pek Hong Nio-cu. Memang untuk itulah aku dengan susah payah mempelajari ilmu silat.”

“Dan sebagai seorang Han, engkau berkewajiban pula untuk menentang dan memusuhi pemerin tah
Kerajaan Kin?” gadis itu mendesakkan pertanyaan ini.

Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memandang heran ketika pemuda itu menggeleng kepalanya lalu
menghela napas. “Kerajaan Sung Utara telah kalah dan kekalahan itu harus diakui. Urusan negara
diselesaikan oleh negara melalui perang. Apa artinya bagi perorangan untuk melawan balatentara
negara? Tidak, Pek Hong Nio-cu, aku tidak mencampuri urusan negara. Mungkin kalau negaraku
berperang, bisa saja aku membantu dan menjadi perajurit. Akan tetapi di luar itu, aku tidak
mencampuri. Aku menentang bangsa apa saja yang bertindak sewenang-wenang dan jahat. Biar
bangsaku sendiri, kalau dia melakukan kejahatan tentu akan kutentang dan biar bangsa apapun kalau
dia berada di pihak benar dan tertindas, akan kubela. Aku setuju sekali dengan tindakanmu di kota Leng-
ciu tadi, Pek Hong Nio-cu.”

“Tindakan yang mana?” tanya gadis itu, semakin tertarik.

“Engkau telah membela seorang gadis pribumi dengan keluarganya ketika diganggu pemuda-pemuda
putera pembesar, bahkan menghajar para pengawal mereka, kemudian engkau memberi hajaran keras
kepada dua orang pembesar Kerajaan Kin. Tindakanmu itu membuktikan bahwa engkau berjiwa
pendekar dan bertindak membela kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu sehingga para

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 242

pembesarmu sendiri, kalau-kalau mereka bersalah, kauhukum berat! Karena itulah aku merasa kagum
sekali kepadamu, Pek Hong Nio-cu.”

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. “Pembesarku? Apa maksudmu dengan kata itu, Souw Thian
Liong?”

'Thian Liong tersenyum. “Engkau tidak perlu bersembunyi lagi, Pek Hong Nio-cu. Aku sekarang dapat
menduga siapa engkau sebenarnya.”

“Hemm, begitukah? Coba katakan, siapa aku?” kata gadis itu dengan kepala ditegakkan, anggun
menantang.

“Engkau tentu seorang puteri bangsawan yang berkedudukan tinggi sekali, dan kalau aku tidak keliru
menduga, engkau tentu puteri dari istana, puteri Kaisar Kerajaan Kin sendiri.”

Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu berkilat, dan hati Pek Hong Nio -cu semakin tertarik.
Selama ini tidak ada orang yang tahu bahwa ia adalah puteri kaisar. Ketika ia memperlihatkan pedang
bengkok, dua orang pembesar itupun hanya tahu bahwa ia mempunyai kekuasaan dari kaisar untuk
menghukum siapa saja yang bersalah akan tetapi merekapun tidak tahu sama sekali bahwa ia
sesungguhnya adalah puteri kaisar.

“Bagaimana engkau dapat menduga begitu, Souw Thian Liong?” tanyanya.

“Mudah saja. Sikapmu, begitu anggun dan agung dan sikap seperti ini jelas menunjukkan bahwa engkau
seorang puteri bangsawan tinggi. Kemudian, setelah engkau memperlihatkan pedang bengkok itu
kepada dua orang pembesar brengsek, mereka berlutut ketakutan. Berarti pedang itu menjadi tanda
kekuasaanmu yang amat tinggi. Setelah engkau mencabut pedang itu dan kita bertanding, aku melihat
ukiran naga emas pada pedang bengkok itu dan ternyata pedang itu juga merupakan pedang pusaka
yang mampu beradu dengan pedangku. Ukiran naga emas hanyalah patut dimiliki seorang kaisar, maka
mudah menduga bahwa tentu engkau mendapatkan pedang itu dari Kaisar sendiri. Demikianlah, aku
dapat menduga bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kerajaan Kin, melihat bahwa pakaianmu adalah
pakaian seorang puteri bangsa Kin, Pek Hong Nio-cu.”

Pek Hong Nio-cu kini memandang kagum kepada pemuda itu. Harus ia akui bahwa dalam hal ilmu silat,
ia masih kalah jauh dibandingkan pemuda itu dan ternyata pemuda itu juga cerdik sekali sehingga dapat
menduga bahwa ia adalah puteri kaisar sendiri.

“Hemm, kiranya engkau selain lihai ilmu silatmu, juga mempunyai pikiran yang amat cerdik, Souw Thian
Liong. Aku girang dapat berkenalan dengan seorang pandai sepertimu, apa lagi aku sudah mendengar
bahwa engkau adalah seorang pendekar penentang kejahatan yang dikenal sebagai Si Naga Langit!”

Puteri itu kini memandangnya dengan senyum manis. Hilang kini kesan angkuh dan galak dan wajah itu
menjadi cantik jelita dan manis sekali. Kembali Thian Liong terheran-heran karena dia ingat benar bahwa
gadis di depannya itu adalah wajah Ang Hwa Sian-li Thio Siang In! Pandang mata penuh keheranan dan
penasaran dari mata pemuda itu agaknya dapat terlihat oleh sang puteri.

“Hei, Souw Thian Liong! Kenapa engkau memandangku seperti itu?” ia menegur, alisnya berkerut.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 243

Thian Liong menyadari keadaannya dan ia cepat menjura dengan hormat. “Maafkan saya, tuan
puteri......!”

“Hushh......, jangan sebut aku seperti itu. Biarpun engkau sudah mengetahui siapa aku sebenarnya,
jangan sebut-sebut itu dan anggap saja engkau berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar
wanita biasa, bukan seorang puteri kaisar!”

Thian Liong tersenyum maklum. “Baiklah, Pek Hong Nio-cu, dan maafkan aku tadi yang memandangmu
dengan penuh perasaan heran dan juga penasaran. Sesungguhnyalah, wajahmu, gerak -gerikmu, tiada
bedanya sedikitpun dengan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Kalau engkau mengaku bahwa engkau adalah
Thio Siang In yang menyamar, aku tentu percaya sepenuhnya.”

Pek Hong Nio-cu memandang penuh selidik dan tampaknya ia tertarik sekali. “Hemm, coba perhatikan
dengan seksama. Sama benarkah aku dengan gadis bernama Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu?”

“Sungguh mati, sama sekali tidak ada bedanya. Bahkan tahi lalat di ujung bibir itu sama benar! Wajah
dan bentuk tubuh serupa, sedikitpun tiada bedanya. Yang beda hanyalah pakaian dan ilmu silat berikut
senjatanya, juga gaya bahasanya.”

“Bagaimana perbedaannya?”

“Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu berpakaian serba hijau dan rambutnya terhias bunga mawar merah.
Senjatanya juga sebatang pedang dan gerakan silatnya sungguh berbeda dengan gerakanmu, ilmu
silatnya bersifat keji seperti biasa dimiliki golongan sesat. Akan tetapi ia sendiri bukan seorang gadis
jahat yang sesat. Bukan, ia juga berjiwa pendekar, hanya agak keras dan galak dan gaya bicaranya
seperti logat orang-orang dari daerah barat.”

“Ia itu seorang...... sahabat baikmu?” tanya Pek Hong Nio-cu yang kini duduk di atas sebuah batu di tepi
jalan. Thian Liong juga duduk di atas sebatang akar pohon yang menonjol di atas tanah.

“Tidak juga, secara kebetulan saja kami saling jumpa ketika aku berkunjung ke Bu-tong-pai dan melerai
perkelahian antara ia dan pihak Bu-tong-pai karena salah paham.” Dengan singkat dia lalu menceritakan
tentang perjumpaannya dengan Ang Hwa Sian-li di Bu-tong-pai di mana gadis itu berselisih dengan
orang-orang Bu-tong-pai karena kesalahpahaman mereka.

“Hemm, kalau begitu gadis itu jelas bukan aku karena aku belum pernah pergi berkunjung ke Bu-tong-
pai,” kata Pek Hong Nio-cu. “Akan tetapi tadi engkau mengira aku seorang gadis yang mencuri kitab
pusakamu. Apa artinya itu? Apakah Thio Siang In itu mencuri kitab pusakamu?”

“Bukan, bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In yang mencuri kitab itu. Akan tetapi seorang gadis cantik
lain. Tadinya aku mengira engkau adalah ia karena perawakan kalian mirip. Gadis itu berpakaian serba
merah muda, juga cantik jelita, cerdik, galak. Gerakan ilmu silatnya seperti berdasarkan ilmu silat Tibet.
Ia lihai sekali dan ia telah mencuri kitab pusaka Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, kitab pusaka yang
seharusnya kuserahkan kepada pemiliknya yang sah, yaitu Kun-lun-pai. Akan tetapi kitab itu dicurinya
dan aku sekarang sedang mencari gadis itu untuk merampas kitab itu kembali.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 244

“Wah, Souw Thian Liong! Agaknya di mana-mana engkau selalu bentrok dengan gadis-gadis cantik yang
lihai! Tadi engkau juga mengatakan bahwa engkau bentrok dengan Thio Siang In itu karena ia juga ingin
pinjam kitab!”

Thian Liong menghela napas panjang. “Memang nasibku yang buruk. Thio Siang In hendak memaksa
pinjam kitab Sam-jong Cin-keng yang harus kuserahkan kepada Siauw-lim-pai. Maka kami bertanding
dan aku menyesal sekali kenapa aku harus selalu bertanding dengan gadis cantik yang lihai. Dan
sekarang di sini aku harus bertanding pula melawan engkau, Pek Hong Nio-cu. Aahhh, agaknya sudah
nasibku harus dibenci semua gadis cantik yang lihai.”

“Akan tetapi aku tidak benci padamu, Souw Thian Liong. Aku bahkan kagum padamu. Akan tetapi untuk
apa sih engkau membagi-bagikan kitab? Kepada Bu-tong-pai dan kepada Siauw-lim-pai, mungkin kepada
partai persilatan lain? Kenapa engkau membagi-bagikan kitab kepada mereka?”

Mendengar kata-kata itu, Thian Liong tersenyum dan hatinya merasa girang. Gadis baju merah itu telah
mencuri kitab milik Kun-lun-pai sehingga dia kini harus bersusah payah mencarinya, pada hal dia tidak
tahu siapa nama gadis itu dan di mana tempat tinggalnya. Dan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In juga hendak
memaksa pinjam kitab yang bukan miliknya sehingga terpaksa mereka harus bertanding dan gadis itu
pergi dengan menangis dan benci kepadanya. Akan tetapi gadis ini, puteri kaisar Kerajaan Kin tidak benci
kepadanya bahkan mengatakan kagum!

“Terima kasih, Pek Hong Nio-cu. Senang hatiku mendengar bahwa engkau tidak benci kepadaku. Baiklah
kuceritakan mengapa aku membagi-bagi kitab kepada para pimpinan partai persilatan. Semua itu adalah
atas perintah guruku. Ketika aku turun gunung, suhu menyerahkan tiga buah k itab kepadaku untuk
diberikan kepada pemiliknya, masing- masing, yaitu kitab Sam-jong Cin-keng kepada Siauw-lim-pai, kitab
Kiauw-ta Sin-na kepada Bu-tong-pai, dan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat kepada Kun-lun-pai. Tiga
buah kitab itu tadinya dicuri orang dari pemiliknya masing-masing dan kebetulan suhu yang dapat
menemukannya kembali dan menyuruh aku mengembalikannya kepada yang berhak. Akan tetapi di
tengah jalan, gadis baju merah yang tidak kukenal itu telah mencuri Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik
Kun-lun-pai. Kitab Sam-jong Cin-keng sudah kuserahkan kepada Siauw-lim-pai dan demikian pula kitab
Kiauw-ta Sin-na kukembalikan kepada Bu-tong-pai. Tadinya Ang Hwa Sian-li Thio Siang In hendak pinjam
kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dengan paksa kepadaku, akan tetapi kutolak sehingga kami
bertanding dan ia pergi dengan meninggalkan kebencian kepadaku. Sekarang, terpaksa aku harus
mencari gadis baju merah untuk minta kembali kitab milik Kun-lun-pai itu.”

“Hemm, siapakah gurumu itu, Thian Liong?”

“Guruku dikenal sebagai Yok-sian (Tabib Dewa) bernama Tiong Lee Cin-jin.”

“Ahh, manusia sakti yang dikabarkan setengah dewa itu? Aku sudah mendengar akan nama besarnya!
Pantas engkau begini lihai, kiranya engkau murid Si Tabib Dewa itu. Kau tahu, Thian Lio ng, ketika di
istana ayahku berjangkit penyakit yang amat berbahaya sehingga banyak yang sakit pagi sorenya mati
dan sakit sore paginya mati, Si Tabib Dewa itu melayang di atas kota raja dan membagi -bagikan obat
penawar penyakit. Tak seorangpun melihatnya dengan jelas, hanya melihat bayangannya saja
berkelebat ketika dia meninggalkan obat itu.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 245

Thian Liong mengangguk-angguk. Dia percaya cerita itu karena memang gurunya sering melakukan hal -
hal yang aneh dan dia tahu bahwa bagi gurunya, semua manusia itu, bangsa apapun juga, sama saja dan
siap menjulurkan tangan menolong.

“Suhu memang selalu siap menolong siapapun juga,” katanya pendek.

“Wah, melihat engkau membagi-bagikan ilmu silat, aku jadi teringat kepada Paman Sie!”

Thian Liong memandang wajah yang cantik jelita itu dan bertanya, “Paman Sie? Siapakah dia?”

Pek Hong Nio-cu menggeleng kepala dan tersenyum. “Entahlah, kata Ibuku, dia sahabat baik ibuku
dahulu dan dia juga guruku karena seperti juga engkau, dia membagi tiga buah kitab kepadaku. Akan
tetapi dia jauh lebih tua daripada engkau, Thian Liong.”

“Nio-cu, setelah aku mengetahui bahwa engkau sesungguhnya puteri kaisar Kerajaan Kin, bolehkah aku
mengetehui siapa namamu?”

“Namaku adalah Puteri Moguhai.”

“Dan gurumu?”

“Sudah kukatakan, guruku terakhir adalah Paman Sie yang memberi tiga buah kitab kepadaku dan aku
melatih sendiri ilmu-ilmu dari tiga kitab itu. Guru-guruku yang pertama, yang mengajarkan ilmu silat
dasar kepadaku adalah jagoan-jagoan istana.”

Thian Liong mengangguk-angguk. “Pemanmu itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Terus terang saja,
Pek Hong Nio-cu, kalau ilmu sabuk dan ilmu pedangmu itu kau latih di bawah bimbingan seorang guru
pandai, tentu engkau akan menguasainya dengan baik dan kurasa dengan itu akan sukar dicari orang
yang akan mampu menandingimu. Ilmu-ilmumu itu kulihat tadi amat hebat, dahsyat dan sulit sekali
diduga perubahannya, hanya sayang engkau belum menguasainya secara matang.

“Tepat,sekali dugaanmu, Thian Liong. Aku merasa girang bertemu denganmu dan kuharap eagkau dapat
memberi petunjuk kepadaku.”

“Ah mana mungkin, Nio-cu? Yang dapat memberi petunjuk tentu hanya pamanmu itu yang tentu sudah
menguasai tiga kitab yang diberikan kepadamu.”

“Sekarang, engkau hendak pergi ke mana, Thian Liong?”

“Sudah kukatakan tadi, aku haruslah mencari gadis baju merah yang telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-
hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai. Dan mengingat ilmu silatnya berdasar aliran Tibet, aku akan mencari
ke barat.”

“Ah, kebetulan sekali, Thian Liong. Akupun akan melakukan perjalanan ke sana. Di dekat perbatasan Sin-
kiang terdapat seorang pamanku, Pangeran Kuang yang memimpin pasukan yang berjaga di perbatasan.
Aku akan menemui dia untuk suatu keperluan penting sekali dan mungkin saja dia yang mempunyai
banyak pengalaman akan dapat memberi petunjuk kepadamu tentang gadis baju merah yang mencuri
kitab itu. Kita dapat melakukan perjalanan bersama.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 246

Dalam hati Thian Liong timbul perasaan rikuh. Melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang
demikian cantik jelita, puteri kaisar pula?

''Akan tetapi…..” dia meragu.

“Hemm, apakah engkau tidak suka melakukan perjalanan bersama seorang puteri kerajaan bangsa
Nuchen yang memusuhi bangsa Han? Katakan saja terus terang!” kata Nio-cu sambil memandang tajam.

Thian Liong menggeleng kepalanya. “Tidak, Nio-cu. Permusuhan antara kerajaan tidak berarti
permusuhan perorangan. Aku tidak memusuhimu, akan tetapi…… apa akan kata orang kalau aku,
seorang pemuda, melakukan perjalanan berdua dengan engkau, seorang gadis......?” Dia menahan
mulutnya tidak mengatakan cantik jelita.

“Apa salahnya? Yang penting kita bersahabat dan tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas. Kalau ada
mulut usil bicara sembarangan, biar kupukul hancur mulut itu!”

Thian Liong menghela napas. Bagaimana dia dapat mencari alasan untuk menolaknya? Dia tidak berdaya
menghadapi gadis yang berhati keras namun tidak dapat dibantah karena ucapannya memang benar itu.

“Baiklah kalau engkau memang menghendaki demikian. Akan tetapi kuperingatkan, melakukan
perjalanan bersama aku tidak akan menyenangkan karena aku seorang yang miskin dan biasa hidup
sederhana, terkadang harus melewatkan malam di tempat terbuka, di kuil -kuil kosong, di guha-guha,
bahkan di bawah pohon. Mana mungkin engkau dapat melakukan perjalanan seperti itu?”

Pek Hong Nio-cu tertawa, suara tawanya mengingatkan Thian Liong kepada Ang Hwa Sian-li. Alangkah
miripnya. Sama-sama begitu bebas kalau tertawa, tidak ditutup-tutupi atau malu-malu seperti gadis Han
pada umumnya. Bebas membuka mulut sehingga tampak deretan gigi yang putih rapi seperti mutiara,
bagian dalam mulut yang merah dan lidah yang merah muda.

“Tentu saja aku tidak sudi tidur di tempat-tempat kotor seperti itu!” katanya setelah tawanya reda.
“Akan tetapi akupun tidak perlu harus sengsara seperti itu. Kau tahu, aku membawa cukup banyak emas
untuk membeli segala keperluan kita di dalam perjalanan, dan pedangku ini dapat membuat semua
pembesar di daerah bertekuk lutut dun melayani segala keperluanku. Maka, kalau kita melakukan
perjalanan bersama, perlu apa kita harus bersusah payah seperti yang kaugambarkan tadi? Mari kita
berangkat. Tak jauh dari sini, di depan sana terdapat sebuah dusun dan kita dapat membeli seekor kuda
untukmu.”

Thian Liong merasa rikuh kalau selalu dibiayai gadis itu, akan tetapi dia tidak dapat membantah.
Bagaimanapun juga, gadis itu adalah puteri kaisar, tentu saja kaya raya dan memiliki kekuasaan tinggi.
Diapun lalu berjalan cepat di samping kuda yang ditunggangi Pek Hong Nio-cu.

Dua orang gadis itu melewati perbatasan kerajaan Sung Selatan dan memasuki daerah Kerajaan Kin
utara. Keduanya berjalan kaki dan melihat langkah mereka yang tegap dan gesit, apalagi melihat pedang
yang tergantung di punggung mereka, mudah diduga bahwa mereka berdua adalah gadis-gadis kang-
ouw yang pandai ilmu silat. Yang seorang berusia duapuluh tahun, bermuka bulat dan cantik, bertubuh
tinggi ramping. Yang kedua lebih pendek, juga cantik dengan wajahnya yang berbentuk bulat telur,
usianya sekitar sembilanbelas tahun. Keduanya memiliki wajah cantik dan bentuk tubuhn ya yang

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 247

menggiurkan sehingga di dalam perjalanan mereka, banyak mata pria mencuri pandang dengan kagum.
Namun jarang ada yang berani mengganggu mereka, melihat pedang yang tergantung di pungung
mereka.

Mereka memang bukan gadis sembarangan, melainkan dua orang murid Kun-lun-pai yang pandai ilmu
silat, terutama lihai ilmu pedang mereka. Yang pertama adalah Kim Lan dan yang kedua adalah su -
moinya (adik seperguruannya) Ai Yin.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena dikalahkan oleh Thian Liong, sesuai dengan sumpah
yang diharuskan oleh guru mereka, Biauw In Su-thai, Kim Lan harus menjadi isteri Thian Liong dan kalau
Thian Liong menolak, Kim Lan harus membunuhnya! Sakit hati karena cintanya ditolak pria, membuat
Biauw In Su-thai mengambil sumpah para murid wanitanya seperti itu. Kemudian ia menyesal ketika
ditegur Kui Beng Thaisu ketua Kun-lun-pai dan ia dihukum harus bertapa di pondok pengasingan. Akan
tetapi Kim Lan sudah terlanjur pergi untuk mencari dan membunuh Thian Liong yang menolak menjadi
suaminya. Ai Yin yang amat mencinta sucinya (kakak seperguruannya) ikut pergi bersama Kim Lan.

Demikianlah, setelah melakukan perjalanan selama hampir dua bulan Kim Lan belum juga dapat
menemukan Thian Liong. Ia lalu mengajak su-moinya untuk pergi mengunjungi bibinya yang tinggal di
dusun Lui-touw di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Ai Yin menurut saja kepada sucinya.

“Suci, kalau sekiranya tinggal di dusun tempat tinggal bibimu itu enak, lebih baik kita tinggal saja di sana
dan tidak usah ke Kun-lun-pai, tidak perlu bersusah payah mencari Souw Thian Liong. Mencari seseorang
yang tidak diketahui ke mana perginya, mana mungkin? Ke mana kita harus mencarinya? Kita hidup di
dusun saja bertani, suci,” kata Ai Yin.

Mereka melepaskan lelah di bawah pohon besar di pinggir sebuah hutan. Siang itu hawa udara amat
panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan sejak pagi tadi.

Kim Lan menyusut keringat dari lehernya, memandang wajah su-moinya dengan alis berkerut dan
pandang mata sedih. Lalu ia menghela napas panjang. “Aih, mana bisa begitu, su-moi? Kita berdua
sudah yatim piatu dan sejak kecil kita dirawat dan dididik oleh subo Biauw In Su -thai penuh kasih
sayang. Subo menganggap kita seperti anaknya sendiri ia menjadi pengganti orang tua kita. Bagaimana
kita dapat menjadi murid murtad? Apa lagi kita sudah bersumpah dan sungguh memalukan seorang
gagah mengingkari sumpahnya sendiri!”

Tiba-tiba tampak debu mengepul tinggi dan terdengar derap kaki banyak kuda mendatangi dari utara.
Setelah dekat ternyata mereka adalah sepasukan perajurit terdiri dari duapuluh empat orang, dipimpin
oleh dua orang perwira. Dari pakaian seragam mereka mudah diketahui bahwa mereka adalah pasukan
Kerajaan Kin yang menguasai daerah sebelah utara Sungai Yang-ce. Ketika dua orang perwira itu melihat
dua orang gadis yang duduk di tepi hutan pinggir jalan itu, mereka segera mengangkat tangan memberi
isyarat agar pasukannya berhenti. Semua kuda berhenti dan tentu saja hal ini menimbulkan debu
mengepul tinggi di siang hari terik itu.

“Menyebalkan!” kata Kim Lan yang pemarah dan ia bangkit berdiri sambil menutupi hidung dan
mulutnya dengan sehelai saputangan. Ai Yin juga menutupi hidung dan mulut, dan bangkit berdiri pula.

Dua orang perwira dan anak buah mereka itu telah melihat bahwa dua orang gadis itu cantik dan hanya
berdua saja, maka timbul keisengan mereka. Dua orang perwira itu segera saling bicara, kemudian

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 248

sambil tertawa keduanya melompat turun dari atas kuda masing-masing dan melangkah dengan gagah
menghampiri Kim Lan dan Ai Yin. Dua losin perajurit itupun berlompatan dari atas kuda mereka,
tertawa-tawa melihat tingkah kedua orang pimpinan mereka yang mereka anggap lucu. Sudah berbulan-
bulan mereka meronda di perbatasan dan haus akan hiburan maka peristiwa ini mereka anggap sebagai
hiburan yang menarik.

Kim Lan berbisik kepada su-moinya. “Su-moi, hati-hati, mereka itu agaknya mencari perkara.”

Dua orang gadis itu memandang penuh perhatian. Dua orang perwira itu berusia empatpuluh tahun
lebih, yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka merah halus, sedangkan yang kedua bertubuh lebih
pendek gempal dengan muka penuh brewok. Dengan langah gagah dibuat-buat kedua orang perwira itu
menghampiri dua orang gadis itu. Kini Kim Lan dan Ai Yin sudah melepaskan tangan dari muka mereka
sehingga tampaklah wajah mereka yang cantik. Dua orang perwira itu memandang penuh gairah dan
menyeringai lebar.

Setelah mereka berhadapan, dua orang perwira itu cengar-cengir memandang kepada dua orang gadis
itu dan yang tinggi besar itu bertanya kepada Kim Lan.

“Nona berdua siapakah dan mengapa berada di sini?”

Kim Lan mengerutkan alisnya dan memang pada dasarnya Kim Lan berwatak galak dan angkuh, maka ia
menjawab dengan sikap galak dan suara ketus. “Kami berada di tempat umum dan tidak ada sangkut
pautnya dengan kalian. Ada urusan apa engkau bertanya-tanya?”

“Ha-ha-ha!” Perwira tinggi besar itu tertawa dan menoleh kepada temannya yang brewokan. “Lihat,
betapa galaknya nona ini! Wah, aku suka yang galak-galak begini, makin liar semakin menyenangkan.
Ha-ha-ha! Biarlah engkau mendapat yang satunya itu, Koan-te (adik Koan)!”

“Ha-ha-ha!” Yang brewokan juga tertawa senang. “Aku lebih suka yang sikapnya halus ini!”

“Nona, jangan galak-galak. Marilah kalian ikut dengan kami, bersenang-senang daripada kesepian di
sini!” Setelah berkata demikian, perwira tinggi besar menjulurkan tangannya hendak mengusap pipi Kim
Lan.

Bukan main marahnya Kim Lan. “Wwuutt...... plak!” Tiba-tiba Kim Lan sudah maju menampar dengan
tangannya, mengenai pipi si perwira tinggi besar sehingga orang itu terhuyung ke belakang. Agaknya
perwira itu memiliki tubuh yang kuat maka tamparan itu hanya membuatnya terhuyung.

“Jahanam, engkau bosan hidup!” Kim Lan membentak dan sekali tangannya bergerak, ia sudah
mencabut pedangnya. Ai Yin juga sudah mencabut pedangnya dan kedua orang gadis itu sudah siap
memasang kuda-kuda dengan gagahnya!

Dua orang perwira itu marah sekali. Terutama si tinggi besar yang kena ditampar pipinya. Dia juga
mencabut golok yang tergantung di pinggangnya, diikuti perwira yang brewok. “Berani kalian melawan
kami! Kalian tentu mata-mata dari pemberontak di Kerajaan Sung Selatan!” kata si perwira tinggi besar.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 249

“Kalau kami laporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui, kalian tentu akan ditangkap dan dihukum
berat!” kata pula perwira brewokan dan mereka berdua memberi isyarat kepada para anak buahnya.
Dua losin perajurit itu sudah bergerak maju mengepung dengan senjata tajam di tangan.

“Hayo kalian dua orang gadis Han cepat membuang pedang kalian dan menyerah, atau kalian akan mati
dengan tubuh hancur!” bentak pula perwira tinggi besar.

“Jahanam busuk, kalian semua yang akan mampus oleh pedang kami!” bentak Kim Lan dan iapun sudah
menerjang maju dengan gerakan pedangnya, menyerang Perwira tinggi besar.

Ai Yin tidak tinggal diam, iapun menggunakan pedangnya Menyerang perwira brewokan. Gerakan
pedang dua orang gadis murid Kun-lun-pai ini hebat bukan main, cepat dan dahsyat karena mereka
mainkan Tian-lui-kiamsut (ilmu Pedang Kilat Guntur). Dua orang perwira itu cepat menggerakkan golok
mereka menangkis sambil berlompatan ke belakang, terkejut menghadapi serangan kilat yang dahsyat
itu. Perajurit-perajurit lalu bergerak mengeroyok dan dua orang gadis itu menghadapi pengeroyokan
duapuluh empat orang perajurit yang dipimpin dua orang perwira itu.

Dengan memainkan pedang mereka menggunakan ilmu pedang andalan mereka, yaitu Tian-lui-kiamsut,
Kim Lan dan Ai Yin mengamuk bagaikan dua ekor singa betina yang haus darah. Para murid wanita Kun -
lun-pai yang langsung di bawah bimbingan Biauw In Su-thai memang sudah terbiasa dengan sifat galak
dan keras guru mereka itu sehingga mereka sendiri rata-rata memiliki sifat yang keras. Berbeda dengan
para murid wanita yang langsung ditangani Hui In Sian-kouw yang berwatak lembut, merekapun rata-
rata berwatak lembut.

Kim Lan dan Ai Yin sebagai murid-murid kesayangan Biauw In Su-thai berwatak keras walaupun Ai Yin
lebih lembut dibandingkan Kim Lan yang galak. Mereka berdua mengamuk dengan pedang mereka dan
sebentar saja sudah ada empat orang perajurit terjungkal mandi darah dan pedang kedua orang gadis
itu sudah mulai berlumuran darah. Akan tetapi, dua orang perwira itu kiranya bukan orang-orang lemah.
Mereka berdua merupakan lawan yang lumayan tangguhnya dan dibantu oleh banyak perajurit cukup
merepotkan Kim Lan dan Ai Yin yang mulai terdesak karena hujan serangan para pengeroyoknya yang
jauh lebih banyak itu.

Biarpun mereka dapat merobohkan dua orang perajurit lagi, namun Kim Lan dan Ai Yin kini merasa lelah
sekali. Mereka terpaksa harus saling membelakangi agar tidak dapat diserang dari belakang dan mereka
hanya dapat mempertahankan diri, memutar pedang untuk menghalau semua senjata yang datang
menyerang seperti hujan itu.

Kim Lan dan Ai Yin mulai merasa lelah sekali Mereka kehabisan tenaga. Untuk melarikan diri, mereka
tidak mempunyai kesempatan lagi. Pula, andaikata mereka dapat melarikan diri, pasukan itu dapat
mengejar mereka dengan naik kuda. Tidak ada jalan lain, mereka harus melawan terus
mempertahankan diri sampai akhir.

Akan tetapi dua orang perwira itu agaknya tidak menghendaki mereka berdua mati begitu saja. “Kepung
terus, jangan bunuh mereka. Tangkap hidup-hidup!” teriak dua orang perwira itu.

Inilah yang ditakuti dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu. Membayangkan tertawan hidup-hidup oleh
segerombolan orang ini, mereka berdua menjadi ngeri. Lebih baik mati daripada tertawan hidup-hidup,
pikir mereka sambil mengamuk terus.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 250

Pada saat yang amat gawat bagi kedua orang gadis itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Ji-wi Li-
hiap (Dua Nona Pendekar) jangan khawatir, mari kita basmi tikus-tikus busuk ini!”

Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu beberapa orang perajurit Kin terpelanting, diterjang
seorang pemuda yang gerakannya amat dahsyat. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh enam tahun,
berkulit putih, wajahnya bundar dan tampan dengan alis tebal dan sepasang mata tajam, sikapnya
gagah. Tubuhnya sedang dan tegap dan pakaiannya bersih rapi. Dia memegang sebatang pedang dengan
ronce merah. Begitu dia menerjang dengan pedangnya, empat orang perajuri t berpelantingan.

Para pengeroyoknya terkejut sekali, apalagi ketika pemuda itu dengan gerakan pedangnya yang amat
dahsyat kini menerjang kepada dua orang perwira dan dalam beberapa jurus saja dua orang perwira itu
terjungkal mandi darah dan tewas! Tentu saja para perajurit menjadi terkejut dan gentar. Sebaliknya,
Kim Lan dan Ai Yin menjadi girang dan bersemangat. Mereka berdua mengamuk dan sudah merobohkan
empat orang pengeroyok lagi.

Akhirnya, sisa pasukan itu ketakutan dan mereka lalu melarikan diri, berloncatan ke atas punggung kuda
mereka dan membalapkan kuda meninggalkan tempat yang berbahaya itu, meninggalkan mayat-mayat
dua orang perwira dan kawan-kawan mereka.

Kim Lan dan Ai Yin kini berhadapan dengan pemuda yang telah menyelamatkan mereka dari ancaman
bahaya yang bagi mereka lebih mengerikan dari pada maut itu.

Kim Lan merangkap kedua tangan ke depan dada memberi hormat kepada pemuda itu, diturut oleh Ai
Yin. “Terima kasih atas bantuan tai-hiap (pendekar besar) yang telah menyelamatkan kami berdua dari
pengeroyokan pasukan itu.”

Pemuda itu membalas penghormatan mereka lalu dengan sikap halus dan senyum ramah dia menjawab,
“Harap ji-wi lihiap (pendekar wanita berdua) tidak bersikap sungkan. Sudah menjadi kewajiban kita
untuk saling bantu menentang kejahatan. Mari kita bicara di tempat lain. Tempat ini tidak nyaman untuk
bicara, pula kalau sisa pasukan tadi datang membawa bala bantuan yang besar jumlahnya, kita bisa
repot.”

Setelah berkata demikian, pemuda itu dengan sikapnya yang hormat mengajak kedua orang gadis
meninggalkan tempat itu dan memasuki hutan. Kim Lan dan Ai Yin mengerti bahwa ucapan pemuda itu
memang benar, maka merekapun mengikuti pemuda itu dan sebentar saja mereka bertiga yang
mempergunakan ilmu berlari cepat sudah meninggalkan tempat di mana mayat-mayat para perajurit
bergelimpangan itu. Mereka berhenti di bagian terbuka dalam hutan itu.

“Nah, di sini kita dapat bicara dengan lebih nyaman,” kata pemuda itu. “Perkenalkan, nona berdua,
namaku Cia Song, seorang murid Siauw-lim-pai. Kalau aku tidak salah lihat, permainan pedang kalian
tadi adalah dari Kun-lun-pai. Benarkah?”

“Tidak salah dugaanmu, Cia-taihiap (pendekar besar Cia)......”

“Aih, nona. Harap jangan sebut tai-hiap padaku. Kita murid-murid dua partai persilatan besar yang
segolongan, jadi seperti saudara saja. Kalian seperti adik-adikku seperguruan sendiri.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 251

“Ah, engkau baik sekali, Cia-twako (kakak Cia)!” kata Ai Yin kagum.

“Baiklah, Cia-twako. Perkenalkan, aku bernama Kim Lan dan ini su-moiku (adik seperguruanku) bernama
Ai Yin, murid-murid Kun-lun-pai.”

“Hemm, Lan-moi dan Yin-moi, senang sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian di sini. Akan
tetapi, bagaimana sampai kalian berdua dikeroyok tikus-tikus tadi?” tanya Cia Song, murid Siauw-lim-pai
yang pernah kita kenal.

Dia adalah murid Hui Sian Hwesio yang pernah bertemu dengan Thian Liong ketika Thian Liong
berkunjung ke Siauw-lim-pai untuk menyerahkan kitab Sam-jong Cin-keng kepada Hui Sian Hwesio. Cia
Song inilah yang dulu menangkap kemudian membunuh Hui -houw-ong Giam Ti yang dituduh sebagai
pemerkosa Kwee Bi Hwa, puteri Kwee Bun To.

“Kami berdua sedang melakukan perjalanan dan tiba di sini ketika rombongan pasukan itu muncul dan
mereka hendak ganggu kami, maka kami melawan dan dikeroyok,” kata Ai Yin. Gadi s ini diam-diam
kagum kepada Cia Song yang tampan dan gagah, dan yang telah menyelamatkan ia dan sucinya itu.

“Akan tetapi, kalian berdua jauh-jauh datang ke sini, ada urusan apakah, kalau aku boleh bertanya?
Siapa tahu, aku dapat membantu kalian,” kata Cia Song dengan sikapnya yang lemah lembut dan ramah.

Kim Lan dan Ai Yin saling berpandangan dan mereka setuju untuk berterus terang kepada pemuda yang
menarik hati dan menyenangkan itu. Siapa tahu dia dapat membantu dan menemukan orang yang
mereka cari-cari.

“Cia-twako sesungguhnya aku sedang mencari seseorang dan su-moi ini ikut denganku. Susahnya, aku
tidak tahu ke mana harus mencari seseorang itu,” kata Kim Lan.

“Hemm, siapakah orang yang kaucari itu, Lan-moi? Barangkali saja aku mengenalnya,” tanya Cia Song
sambil lalu karena sesungguhnya dia tidak tertarik kepada orang yang dicari kedua orang gadis cantik ini.

Akan tetapi jawaban Kim Lan sungguh tak disangka-sangka dan amat mengejutkan hatinya. “Cia-twako,
engkau tentu tidak mengenalnya. Dia adalah seorang pemuda yang bernama Souw Thian Liong.”

“Souw Thian Liong......?” tanya Cia Song, tertarik sekali.

“Apakah engkau mengenal dia, Cia-twako?” Tanya Ai Yin.

“Hemm, bukankah yang kalian maksudkan itu, Souw Thian Liong murid dari Tiong Lee Cin-jin?”

“Benar sekali, twako!” seru Kim Lan girang. “Apakah engkau tahu di mana dia?”

Cia Song mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu di mana Thian Liong berada! Di Siauw -lim-si dia sudah
bergaul akrab dengan Thian Liong dan ia mendengar bahwa sebuah di antara kitab-kitab pelajaran ilmu
silat, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang merupakan kitab pusaka Kun-lun-pai, yang seharusnya
oleh Thian Liong dikembalikan kepada Kun-lun-pai, telah dicuri seorang gadis berpakaian merah yang
tidak diketahui siapa nama dan di mana tempat tinggalnya. Dia tahu pula bahwa setelah pergi dari

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 252

Siauw-lim-si, Thian Liong tentu akan mencari gadis pencuri kitab itu sampai dapat ditemukan untuk
merampas kembali kitab pusaka Kun-lun-pai.

Diam-diam tanpa diketahui Thian Liong, Cia Song membayangi pemuda itu karena timbul keinginannya
untuk menguasai kitab pusaka Kun-lun-pai itu! Dia tahu bahwa Thian Liong berada di kota Kiang-cu, tak
jauh dari tempat itu dan Thian Liong dilihatnya telah menyewa sebuah kamar di rumah penginapan.
Karena memang niatnya hendak mendahului Thian Liong menemukan gadis yang mencuri kitab pusaka
Kun-lun-pai, maka selagi Thian Liong berada di kota itu, dia sengaja keluar kota untuk menyelidiki kalau -
kalau gadis berpakaian merah itu berada di sekitar daerah itu dan kebetulan dia melihat Kim Lan dan Ai
Yin yang dikeroyok perajurit Kin.

“Mungkin aku dapat membantu kalian mendapatkan Souw Thian Liong. Akan tetapi aku juga ingin sekali
mengetahui, mengapa kalian mencari dia?”

“Suci Kim Lan yang mencarinya, twako. Dia adalah calon suami suci!” kata Ai Yin.

Cia Song terkejut dan memandang wajah Kim Lan yang berubah kemerahan. “Ah, jadi engkau telah
bertunangan dengan Souw Thian Liong, Lan-moi? Sungguh tidak kusangka! Kalau begitu, kiong-hi
(selamat)!” Cia Song memberi selamat dengan menjura. “Akan tetapi, kenapa sekarang engkau mencari
dia sampai ke sini? Apakah dia pergi tanpa pamit dan ada urusan yang amat penting? Katakanlah terus
terang karena aku adalah kenalan baiknya dan aku pasti akan dapat menemukan untukmu.”

Dengan muka masih kemerahan, Kim Lan berkata, “Sebetulnya, dia...... memang melarikan diri dan aku
ingin bertemu dengan dia untuk minta keputusannya apakah dia mau menjadi suamiku atau kalau
tidak......”

“Hemm, kalau tidak bagaimana?” kejar Cia Song yang menjadi semakin heran.

“Kalau tidak aku...... aku harus membunuhnya!”

Cia Song terbelalak heran. “Bagaimana pula ini?” tanyanya dengan heran. “Apa yang terjadi, Lan-moi?”

“Pendeknya, bagiku hanya ada dua pilihan. Dia mau menjadi suamiku atau kalau dia menolak, aku harus
membunuhnya!” kata pula Kim Lan.

Cia Song mengerutkan alisnya, lalu dia mengangguk-angguk. “Hemm, begitukah? Jadi dia dan engkau......
hemm, dia telah......”

“Tidak, tidak begitu, Cia-twako!” bantah Ai Yin yang tahu apa yang diduga pemuda itu. “Tidak pernah
ada hubungan apapun antara Souw Thian Liong dan suci. Akan tetapi suci harus melakukan itu untuk
memenuhi sumpahnya, sumpah kami.”

“Sumpah? Aku tidak mengerti......” kata Cia Song, semakin heran.

Kim Lan menghela napas panjang lalu berkata, “Begini, Cia-twako. Karena engkau bersikap baik kepada
kami, biarlah kami anggap saudara sendiri dan engkau boleh mengetahui persoalannya. Kami, murid -
murid subo, sudah disumpah oleh subo bahwa kami tidak boleh menikah dengan pria kecuali kalau ada
pria yang mengalahkan kami dalam pertandingan dan kalau pria itu menolak, kami harus

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 253

membunuhnya. Kebetulan Souw Thian Liong mengalahkan aku dalam pertandingan, akan tetapi dia
menolak untuk menjadi suamiku, bahkan lalu melarikan diri. Karena itu aku harus mencarinya dan minta
kepastian darinya.”

Cia Song mengangguk-angguk, diam-diam dalam hatinya dia tertawa mendengar tentang sumpah yang
aneh itu. “Hemm, begitukah? Apakah semua murid wanita Kun-lun-pai harus bersumpah seperti itu?”

“Tidak, twako,” kata Ai Yin. “Hanya subo Biauw In Su-thai yang mempunyai peraturan seperti itu dan
kami sebagai murid-muridnya harus memenuhi sumpah kami.”

“Hemm, aku pernah mendengar bahwa Souw Thian Liong datang ke Kun-lun-pai untuk menyerahkan
sebuah kitab pusaka. Benarkah begitu?” tanya Cia Song.

“Ah, engkau tahu juga akan hal itu, Cia-twako?” kata Kim Lan. “Memang benar, akan tetapi menurut
pengakuannya, kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu telah dicuri orang.”

“Hemm, itu menurut pengakuannya, ya? Aku sudah curiga kepadanya, aku sudah menduga bahwa Souw
Thian Liong sebetulnya bukan orang baik-baik. Kitab pusaka Kun-lun-pai itu tentu ingin dia kuasai sendiri
dan dia berbohong mengatakan bahwa kitab itu dicuri orang agar mendapat kesempatan untuk
mempelajarinya sendiri. Dan kalau dia memang seorang gagah, tentu dia menghormati sumpahmu, Lan-
moi. Bukankah mengalahkanmu lalu meninggalkan pergi, membiarkan engkau kebingungan dengan
sumpahmu. Dan sementara ini, apa kalian tahu apa yang sedang ia lakukan? Hemm, aku melihat dia
berhubungan dengan seorang puteri bangsawan Nuchen.”

“Apa? maksudmu, seorang puteri bangsawan kerajaan Kin?” tanya Ai Yin penasaran.

“Ya, aku melihatnya sendiri. Dia sekarang berada di kota Kiang-cu, tak jauh dari sini dan dia telah
menyewa kamar di sebuah penginapan bersama puteri bangsawan Kerajaan Kin itu.”

“Tak tahu malu!” kata Ai Yin, hatinya ikut panas mendengar betapa pemuda yang telah mengalahkan
sucinya dan menolak menikah dengan Kim Lan itu kini bergaul dengan seorang wanita Kin, bahkan
bersama-sama menginap di sebuah rumah penginapan.

“Cia-twako, tolonglah tunjukkan tempatnya. Aku harus menemuinya untuk memenuhi sumpahku!” kata
Kim Lan dengan muka berubah kemerahan karena hatinya juga mulai merasa panas.

Cia Song memang tidak berbohong. Dia melihat betapa Thian Liong berkenalan dengan Pek Hong Nio-cu.
Biarpun dia sendiri tidak mengenal Pek Hong Nio-cu, akan tetapi dari pakaiannya dan dari keterangan
orang di jalan yang dia tanyai, tahulah dia bahwa Pek Hong Nio-cu adalah seorang puteri bangsawan
yang selain lihai silatnya, juga memiliki kekuasaan besar sehingga ditakuti dua orang pembesar di kota
Leng-ciu itu.

Diam-diam dia membayangi dan melihat Thian Liong bergaul akrab dengan Pek Hong Nio-cu. Diam-diam
dia sendiri juga kagum kepada gadis cantik jelita yang lihai itu. Pula, kedatangannya di daerah yang
diduduki Kerajaan Kin juga bukan semata-mata hendak membayangi Thian Liong dan kalau mungkin
dapat menguasai kitab pusaka Kun-lun-pai yang katanya dicuri seorang gadis baju merah itu. Akan tetapi
dia memiliki tugas pribadi yang teramat penting.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 254

“Baiklah, aku akan mengantarkan kalian ke sana, akan tetapi kalian harus menaati petunjukku karena
kalau tidak, keadaannya malah tidak menguntungkan, bahkan berbahaya sekali untuk kita semua.
Ketahuilah, Souw Thian Liong seperti kalian sudah mengetahui, adalah seorang yang lihai sekali. Biarpun
aku kiranya dapat dan mampu menandinginya, akan tetapi temannya itu, gadis bangsawan Kin itu, ia
juga seorang yang lihai bukan main. Ia berjuluk Pek Hong Nio-cu dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.”

“Kami tidak takut!” kata Kim Lan.

“Biar kami hajar sekalian gadis kerajaan musuh itu!” kata pula Ai Yin.

“Wah, kalian ini agaknya sudah lupa berada di mana!” kata Cia Song sambil tersenyum. “Kita berada di
daerah yang dikuasai Kerajaan Kin, hal ini harus kalian ingat benar. Di mana-mana terdapat pasukan Kin.
Kalau kita bentrok begitu saja melawan puteri bengsawan Kin itu, kemudian ia mendatangkan pasukan
yang besar jumlahnya, celakalah kita!”

Dua orang gadis itu saling pandang dan baru menyadari kesalahan mereka. “Habis, lalu apa yang harus
kita lakukan, twako?” tanya Kim Lan, bingung.

“Nah, karena itu kukatakan tadi bahwa kalian harus menaati petunjukku. Kalian jangan tergesa-gesa
turun tangan. Nanti kita memasuki kota Kiang-cu, kita menyewa kamar rumah penginapan, lalu aku akan
menemui Thian Liong yang sudah kukenal baik. Aku akan membujuk dia agar dia mau menerimamu
sebagai isterinya sehingga engkau tidak akan melanggar sumpahmu, Lan-moi. Kalau dia dapat kubujuk,
maka segalanya menjadi beres. Kalau dia menolak, aku akan mencoba memancingnya keluar kota dan di
tempat sunyi, tanpa ditemani Pek Hong Nio-cu, kita dapat memaksa dan menyerang dia.”

“Kita?” Kim Lan bertanya.

“Ya, aku akan membantumu, Lan-moi. Kalau tidak, bagaimana kalian akan mampu mengalahkannya?”

Diam-diam Kim Lan berterima kasih sekali kepada Cia Song dan Ai Yin menjadi semakin kagum
kepadanya. Mereka bertiga lalu meninggalkan hutan itu dan menuju kota Kiang-cu yang jaraknya hanya
belasan lie (mil) dari situ.

“Souw-sute (adik seperguruan Souw)…..!”

Mendengar seruan itu, Thian Liong yang bersama Pek Hong Nio-cu berjalan keluar dari rumah
penginapan itu terkejut dan menengok.

“Eh, suheng (kakak seperguruan) Cia Song......!” Dia berseru heran sekali ketika mengenal Cia Song. Sejak
dia diberi pelajaran ilmu silat dari kitab Sam-jong Cin-keng oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai,
Thian Liong diakui sebagai murid Siauw-lim-pai dan karena itu Cia Song menyebutnya sute (adik
seperguruan) dan dia menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Cia Song.

Cia Song melangkah cepat menghampiri Thian Liong yang berdiri di samping Pek Hong Nio -cu. Gadis
inipun memandang dengan sinar mata penuh selidik kepada pemuda tampan gagah yang menegur
Thian Liong sebagai sutenya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 255

“Aih, Souw-sute, senang sekali kejutan ini bagiku, bertemu denganmu di tempat ini!” kata Cia Song,
kemudian seolah baru melihat Pek Hong Nio-cu yang berdiri di samping Thian Liong, dia menyambung
ragu, “dan...... maaf, kalau boleh aku mengetahui, siapakah nona yang terhormat ini?”

Melihat di ruangan depan rumah penginapan itu terdapat tamu-tamu yang mulai memperhatikan
mereka, Thian Liong segera berkata, “Suheng, marilah kita bicara di dalam. Marilah Nio-cu.” Ajaknya
kepada Pek Hong Nio-cu. Mereka bertiga lalu memasuki rumah penginapan dan tak lama kemudian
mereka bertiga memasuki kamar Thian Liong dan duduk berhadapan terhalang meja.

“Cia-suheng, lebih dulu perkenalkan. Ini adalah Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita yang
terkenal di daerah ini. Nio-cu, ini adalah suheng Cia Song, murid suhu Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-
pai.”

Dengan sikap lembut dan hormat Cia Song bangkit berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu yang
dibalas oleh Pek Hong Nio-cu dengan sikap anggun dan angkuh. Melihat sikap wanita itu, makin yakinlah
hati Cia Song bahwa Pek Hong Nio-cu tentulah puteri seorang pembesar tinggi kedudukannya.

“Souw-sute, tidak kusangka akan dapat bertemu denganmu di sini. Engkau...... eh, kalau boleh aku
bertanya, engkau dan nona Pek Hong Nio-cu hendak pergi ke manakah?”

“Saudara Cia Song tidak usah sungkan, sebut saja aku Nio-cu,” kata gadis itu dengan sikap wajar.
Kembali Cia Song mendapat kenyataan betapa dalam ucapannya itu gadis ini memiliki wibawa dan
keanggunan yang amat kuat.

“Ah, terima kasih, Nio-cu,” katanya.

“Cia-suheng, tentu engkau masih ingat bahwa kitab pusaka milik Kun-lun-pai dicuri orang…….”

“Ah, pencuri wanita baju merah yang tidak kaukenal siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya
itu?” sambung Cia Song.

“Benar, suheng. Aku hanya ingat bahwa gerakan silatnya memiliki dasar ilmu silat Tibet. Karena itu, aku
hendak mencari ke daerah barat dan kebetulan Pek Hong Nio-cu ini juga hendak melakukan perjalanan
ke perbatasan Sin-kiang, maka kami melakukan perjalanan bersama. Dan engkau sendiri, hendak pergi
ke manakah suheng?”

“Ah, aku...... aku hanya hendak melihat-lihat keadaan di utara ini saja. Akan tetapi tiba-tiba aku
mendapatkan suatu urusan yang teramat penting, yang menyangkut pribadimu. Aku….. hem, agaknya
urusan ini hanya dapat kaudengarkan sendiri saja, sute......”

Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Pek Hong Nio-cu bangkit berdiri dan berkata kepada Thian Liong, “Thian
Liong, engkau bicarakanlah urusan pribadimu dengan saudara Cia Song. Aku hendak keluar sebentar.
Nanti kita bertemu lagi!”

“Maafkan aku, Nio-cu,” kata Cia Song.

“Ah, tidak mengapa!” kata Pek Hong Nio-cu dan gadis ini segera melangkah keluar dari kamar itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 256

Thian Liong mengerutkan alisnya, merasa tidak enak karena dia maklum bagaimana perasaan Pek Hong
Nio-cu mendengar kata-kata Cia Song yang jelas hendak membicarakan sesuatu yang dirahasiakan bagi
orang lain itu.

“Cia-suheng, sebetulnya ada apakah maka engkau bicara seperti ada rahasia besar?” tanya Thian Liong.
“Tentu saja Nio-cu menjadi tidak enak dan pergi meninggalkan kita.”

“Maafkan aku, Souw-sute. Akan tetapi aku tidak mengada-ada. Memang ada hal yang harus
kuberitahukan kepadamu seorang diri saja dan amat tidak enak kalau sampai terdengar orang lain, apa
lagi oleh seorang gadis seperti Nio-cu tadi.”

“Akan tetapi ada urusan apakah, suheng? Aku tidak merasa mempunyai urusan pribadi yang harus
disembunyikan dari orang lain!” kata Thian Liong penasaran.

“Hemm, Souw-te, ingatkah engkau akan nama Kim Lan dan Ai Yin?”

“Kim Lan dan Ai Yin?” Thian Liong mengingat-ingat. Tentu saja mudah baginya mengingat dua nama
gadis itu yang membuatnya penasaran setengah mati. Kim Lan dan Ai Yin pernah mengeroyoknya,
bahkan dibantu guru mereka, Biauw In Su-thai, dan hendak memaksanya untuk menikah dengan Kim
Lan! Sumpah aneh dan gila itu!

“Maksudmu...... dua orang murid wanita dari Biauw In Su-thai, tokoh Kun-lun-pai itu?”

“Hemm, ternyata engkau masih ingat dengan baik. Ya, mereka itu mencarimu dan ingin memaksamu
menikah dengan Kim Lan dan kalau engkau tidak mau menjadi suaminya, mereka berdua hendak
membunuhmu!”

“Hemm, sumpah gila itu? Aku sudah tahu, suheng, dan aku tidak perduli. Salah mereka sendiri kenapa
mereka mau membuat sumpah gila itu? Aku tidak ingin menjadi suaminya Kim Lan atau suami siapapun
juga. Biarkan saja mereka mengancam akan membunuhku. Bagaimanapun mereka berada jauh di Kun-
lun-pai!”

Cia Song tersenyum. “Siapa bilang mereka berada jauh di Kun-lun-pai? Mereka berada dekat sekali, sute.
Mereka berada di sini, di kota ini!”

Thian Liong terkejut. Berita ini benar-benar mengejutkan, tidak pernah disangkanya. “Di sini? Di mana
mereka? Biar kutemui mereka dan akan kujelaskan, kusadarkan mereka bahwa sumpah mereka itu
benar gila dan tidak ada artinya!”

“Sssttt, tenanglah, Souw-sute. Aku telah bertemu secara kebetulan dengan mereka. Mereka dikeroyok
segerombolan penjahat dan aku kebetulan lewat dan membantu mereka. Mereka lalu menceritakan
semuanya tentang urusan Kim Lan denganmu dan Kim Lan sudah mengambil keputusan nekad, yaitu
mengajak engkau menikah dan kalau engkau tidak mau, ia dan Ai Yin akan mengeroyokmu dan
membunuhmu!”

“Aku tidak takut, Cia-suheng. Engkau bantulah aku menyadarkan mereka dari sumpah gila itu. Kalau
mereka hendak mengeroyokku, aku dapat mengatasi mereka.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 257

“Hemm, mudah saja kau bicara. Dan apa yang dapat kaulakukan kalau mereka membunuh diri?”

Thian Ltong terbelalak, “Membunuh diri……?”

“Nah, ini agaknya yang kau tidak ketahui, Souw-sute. Kim Lan mengatakan kepadaku bahwa kalau
engkau menolak. Ia dan Ai Yin akan mengeroyokmu. Kalau mereka kalah, mereka akan membunuh diri
di depanmu, karena kalau tidak, mereka juga akan dibunuh oleh guru mereka.”

“Gila betul…..!!”

“Gila atau tidak, apa yang dapat kaulakukan kalau mereka membunuh diri? Berarti mereka mati karena
engkau, sute. Sama saja dengan engkau yang membunuh mereka.”

“Wah-wah, cialat (celaka) kalau begitu!” Thian Liong bingung. “Lalu apa yang harus kulakukan, suheng?”

“Apa lagi? Ya harus menjadi suami Kim Lan, itu jalan yang paling aman.”

“Aih, mana bisa begitu, Cia-suheng. Kalau setiap ada gadis mengancam bunuh diri kalau tidak dinikahi,
bisa repot! Tolonglah, suheng, berikan aku nasihat, bagaimana sebaiknya yang harus kulakukan. Apakah
tidak baik kalau kutemui mereka dan kubujuk dan nasihati agar mereka tidak usah memenuh i sumpah
mereka yang gila-gilaan itu?” tanya Thian Liong yang benar-benar merasa bingung sekali.

Cia Song meraba-raba dagunya dan berpikir-pikir. “Kukira itu tidak baik, sute. Engkaulah orang yang
mereka cari. Kalau engkau yang menemui mereka dan menasihati, jelas mereka menganggap engkau
terang-terangan menolak dan hal itu akan membuat mereka menjadi sakit hati dan lebih marah lagi.
Soal membujuk dan menasihati mereka, kurasa aku akan lebih berhasil. Pertama, bukan aku orang yang
mereka kejar, kedua kalinya, bagaimanapun juga mereka berhutang budi padaku.”

“Dan aku? Bagaimana dengan aku? Apa yang harus kulakukan?”

“Hemm, tidak ada jalan lain, sute. Sebaiknya engkau cepat pergi meninggalkan kota ini. Jangan sampai
mereka mengetahui bahwa engkau berada di sini. Jangan sampai mereka melihatmu! Lebih cepat
engkau lari lebih baik, lebih jauh dari mereka lebih baik!”

“Begitukah, suheng? Hemm, agaknya memang sebaiknya begitu. Terima kasih, Cia-suheng, engkau telah
menolongku!” kata Thian Liong dengan girang.

“Sudahlah, Souw-sute. Sekarang aku mau cepat menghampiri mereka dan akan kujaga agar mereka
jangan meninggalkan rumah penginapan sehingga tidak akan bertemu denganmu. Akan tetapi, sore ini
juga engkau harus meninggalkan kota ini.”

“Baik, akan kuusahakan, suheng. Terima kasih!”

Cia Song segera meninggalkan rumah penginapan itu dan bergegas dia pergi ke rumah penginapan di
mana dia dan kedua orang murid wanita Kun-lun-pai menyewa dua buah kamar, untuk dia dan untuk
mereka berdua. Rumah penginapan itu berada di sudut kota Kiang-cu, jauh dari rumah penginapan di
mana Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu bermalam.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 258

Tak lama setelah Cia Song pergi, muncullah Pek Hong Nio-cu. Ternyata gadis itu tidak pergi jauh, hanya
duduk di rumah makan yang berada di depan rumah penginapan itu. Setelah ia melihat Cia Song pergi,
cepat ia menemui Thian Liong.

“Thian Liong, biarpun Cia Song itu suhengmu, akan tetapi terus terang saja aku tidak suka padanya,”
kata Pek Hong Nio-cu sejujurnya.

“Eh, Nio-cu. Kenapa begitu? Dia memang bukan suhengku secara langsung, hanya karena kebetulan Hui
Sian Hwesio melatih sebuah ilmu kepadaku, maka aku lalu dianggap sebagai sutenya. Akan tetapi, dia
orang baik, Nio-cu, bahkan baru saja dia telah menolong aku keluar dari keadaan yang amat menyulitkan
diriku.”

“Hemm, kalau engkau juga hendak merahasiakan urusan besar dan penting pribadimu itu, tidak perlu
kaubicarakan denganku!” kata Pek Hong Nio-cu ketus. “Pendeknya aku tidak suka padanya, mungkin
kata-katanya yang terlalu manis, sikapnya yang terlalu manis, sikapnya yang terlalu sopan, dan pandang
matanya yang terkadang aneh. Aku tidak percaya orang itu, Thian Liong.”

“Maafkan dia kalau tadi dia merahasiakan urusan itu, Nio-cu. Akan tetapi aku tidak perlu
merahasiakannya kepadamu karena urusan itu aneh dan lucu dan juga terpaksa aku harus mengajak
engkau untuk meninggalkan kota ini sekarang juga.”

“Hemm, kenapa begitu?” Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya.

“Nio-cu, mari kita bicara di dalam agar jangan terdengar orang lain.” Thian Liong mengajak dan Pek
Hong Nio-cu tanpa rikuh-rikuh lagi lalu mengikuti Thian Liong masuk kamar pemuda itu dan membiarkan
daun pintu kamar terbuka sehingga mereka akan dapat melihat kalau ada orang mendekati kamar itu.
Setelah mereka duduk, Thian Liong lalu menceritakan te ntang sumpah Kim Lan pada subonya dan
betapa sekarang Kim Lan, dibantu su-moinya yang bernama Ai Yin, mencarinya sampai ke kota Kiang-cu
itu dan hendak memaksa dia mengawininya, kalau dia menolak, mereka akan mengeroyok dan
membunuhnya!

“Hemm, dan engkau tidak mau menjadi suami Kim Lan itu?” tanya Nio-cu.

“Tentu saja aku tidak mau. Aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikatkan diriku dengan
sebuah perjodohan. Kalau aku mau tentu aku tidak akan melarikan diri dari mereka.”

“Dan engkau takut menghadapi pengeroyokan dua orang gadis itu? Apakah mereka lihai sekali?”

“Tidak, aku tidak takut. Kurasa aku dapat mengatasi mereka, Nio-cu,” kata Thian Liong sejujurnya.

“Hemm, kalau begitu mengapa engkau harus cepat-cepat melarikan diri? Kalau mereka menyerangmu,
lawan saja dan hajar perempuan-perempuan tidak tahu malu itu!”

“Ah, engkau tidak tahu, Nio-cu. Masalahnya tidak sesederhana itu. Tadi suheng Cia Song memberi tahu
bahwa Kim Lan sudah mengatakan kepadanya bahwa kalau ia dan su-moinya tidak dapat membunuhku,
mereka akan membunuh diri di depanku.”

“Perempuan-perempuan gila!” desis Pek Hong Nio-cu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 259

“Mereka itu terpaksa, Nio-cu. Mereka sudah bersumpah kepada guru mereka dan andaikata mereka
tidak membunuh diri, merekapun akan dibunuh guru mereka se ndiri.”

“Huh, orang-orang gila! Mengapa engkau perduli amat? Kalau mereka mau bunuh diri, biarkan saja,
bukan urusanmu!”

“Ah, bagaimana aku dapat membiarkan hal itu terjadi, Nio-cu? Kalau mereka membunuh diri karena
tidak dapat mengalahkan aku, berarti mereka mati karena aku. Sama saja dengan aku yang membunuh
mereka.”

“Huh, habis apakah selama hidupmu engkau akan terus berlari-larian menjadi buruan mereka? Gila!”

“Tidak, Nio-cu. Suheng Cia Song sudah berjanji bahwa dia akan membujuk mereka untuk tidak
melanjutkan pelaksanaan sumpah mereka itu.”

“Perempuan dari manakah mereka itu? Begitu tidak tahu malu!”

“Mereka bukan perempuan sembarangan, Nio-cu. Mereka adalah murid-murid Kun-lun-pai dan subo
merekalah yang gila, menyuruh mereka bersumpah seperti itu.”

“Tidak perduli mereka itu murid partai mana, kelakuan mereka itu memalukan! Jadi engkau tetap akan
melarikan diri meninggalkan kota ini sekarang?”

“Benar, Nio-cu. Terpaksa, maafkan aku.”

“Tidak, aku tidak mau pergi sekarang!” kata wanita itu dengan suara tegas.

“Nio-cu, sekali ini harap engkau suka mengalah,” pinta Thian Liong.

“Tidak, aku baru mau berangkat besok pagi-pagi. Kalau engkau takut bertemu mereka, malam ini tinggal
saja di kamar, jangan keluar-keluar. Aku ingin sekali melihat orang-orang macam apa sih murid-murid
Kun-lun-pai itu!”

“Aih, Nio-cu, harap jangan membuat gara-gara dengan mereka. Urusanku dengan mereka sudah cukup
membuat aku pusing.”

“Siapa mau cari gara-gara dengan mereka? Aku hanya ingin melihat macam apa mereka itu dan aku
hanya mau pergi besok pagi-pagi. Terserah kalau engkau mau pergi sekarang!” Setelah berkata
demikian, dengan sikap marah Pek Hong Nio-cu meninggalkan kamar itu.

Thian Liong menghela napas dan menutup daun pintu kamarnya, lalu merebahkan tubuhnya di atas
pembaringan. Pikirannya pusing! Para wanita itu, selalu membikin pusing saja!

Mula-mula gadis baju merah. Lalu Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Kemudian Kim Lan dan sekarang diapun
pusing melihat sikap keras Pek Hong Nio-cu! Mengapa mereka semua keras kepala? Terpaksa dia
mengalah kepada Pek Hong Nio-cu. Malam ini dia tidak akan keluar kamar. Dia akan bersembunyi saja di
dalam kamarnya dan besok pagi-pagi berangkat meninggalkan kota Kiang-cu itu bersama Pek Hong Nio-

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 260

cu. Puteri itu telah membeli seekor kuda untuknya dan dua ekor kuda mereka berada di kandang rumah
penginapan.

Terpaksa dia juga tidak keluar untuk makan malam. Akan tetapi malam itu daun pintu kamarnya diketuk
pelayan yang mengantarkan makanan dan minuman untuknya. “Nio-cu yang memerintahkan untuk
mengantar ini kepada sicu (tuan),” kata pelayan itu.

Thian Liong tersenyum dan kejengkelannya terhadap Pek Hong Nio-cu mereda. Puteri itu ternyata
memperhatikan kebutuhan makannya juga. Akan tetapi malam itu dia tidak mau keluar kamar, khawatir
kalau-kalau sampai ketahuan oleh Kim Lan dan Ai Yin.

Kembalinya Cia Song ke rumah penginapan disambut oleh dua orang gadis murid Kun-lun-pai dengan
hati ingin tahu sekali. Apa lagi Kim Lan, ia segera menyongsong kedatangan Cia Song dengan pertanyaan
yang dilakukan dengan hati berdebar tegang.

“Bagaimana, Cia-twako? Apakah engkau berhasil bertemu dia?”

Cia Song tersenyum dan mengangguk. “Beres! Aku sudah bertemu dengan Souw Thian Liong dan setelah
aku membujuk dan berbantahan dengan dia, akhirnya dia menyatakan bersedia bertemu denganmu,
Lan-moi.”

“Ah, dia mau menikah dengan suci, twako?” tanya Ai Yin girang.

“Dia tidak mengatakan begitu, akan tetapi dia bersedia mengadakan pertemuan dengan kalian untuk
membicarakan hal itu baik-baik. Aku yakin akhirnya dia akan mau menerimanya juga.”

“Mana dia sekarang, Cia-twako? Kenapa tidak datang bersamamu?” tanya Kim Lan tidak sabar karena ia
ingin segera mendapat keputusan akan masa depannya.

“Dia tidak dapat datang sekarang seperti kukatakan kepada kalian, dia bersama puteri bangsawan Kin
itu. Akan tetapi dia bilang bahwa malam ini dia pasti datang mengunjungi kalian. Karena itu, kalian siap
saja menerima kunjungannya malam ini. Setelah berkata demikian, Cia Song mengajak dua orang gadis
yang sudah mandi dan berganti pakaian itu untuk makan malam.

“Mari kita makan minum untuk merayakan keberhasilanku membujuk Souw Thian Liong!” katanya dan
mereka memasuki rumah makan.

Pemuda itu memesan bermacam masakan dan arak wangi. Untuk menyenangkan hati Cia Song yang
mereka anggap sudah menolongnya dengan sungguh-sungguh itu, Kim Lan dan Ai Yin memaksa diri ikut
merayakan keberhasilan itu. Bahkan mereka tidak dapat menolak ketika beberapa kali Cia Song
mengajak mereka minum arak sehingga setelah perjamuan makan itu selesai, dua orang gadis itu
merasa agak pening karena pengaruh arak yang cukup keras. Wajah mereka menjadi kemerahan dan
keadaan setengah mabok membuat mereka gembira dan mudah terkekeh senang. Dengan langkah agak
tidak tetap kedua orang gadis itu lalu diajak kembali ke rumah penginapan oleh Cia Song.

“Sekarang kalian tunggu saja dalam kamar. Nanti kalau keadaan sudah agak sepi, tentu dia akan datang
berkunjung. Sebaiknya pintu kamar kalian ditutup saja, jangan dipalang dari dalam sehingga kalau dia

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 261

datang, aku mudah memberitahu kalian tanpa harus menggedor daun pintu. Maklum, Souw Thian Liong
menghendaki agar orang lain tidak ada yang tahu akan persoalan dia dan kalian.”

Dua orang gadis itu mengangguk, kemudian mereka memasuki kamar dan menutupkan daun pintu
kamar tanpa memalangnya dari dalam. Pengaruh arak membuat mereka agak pening dan mengantuk.
Mereka lalu merebahkan diri di atas pembaringan tanpa mematikan lilin besar yang bernyala menerangi
kamar itu, dan tanpa membuka sepatu. Karena merasa yakin bahwa Cia Song tidak berbohong dan
bahwa pemuda itu tentu menunggu kedatangan Souw Thian Liong dan akan memberitahu mereka,
maka dua orang gadis itu berbaring dengan santai dan akhirnya tak kuasa menahan kantuk dan tertidur.

Cia Song memang tidak tidur. Dia duduk di dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar dua orang
gadis itu.

Dia menelan sebutir obat pulung berwarna merah. Obat ini adalah obat penawar minuman keras
sehingga minuman beberapa cawan arak di rumah makan tadi tidak mempengaruhinya dan dia tetap
sadar. Tiba-tiba pendengarannya yang terlatih dapat menangkap suara lembut yang datangnya dari atas
genteng. Dia terkejut dan menduga-duga. Benar-benarkah Thian Liong datang berkunjung? Kalau benar,
gila orang itu. Bukankah dia sudah memesan agar Thian Liong segera melarikan diri meninggalkan kota
Kiang-cu?

Dia tetap waspada dan segera menyelinap keluar lalu melompat ke atas genteng melalui bagian
belakang. Dia akhirnya dapat melihat sesosok bayangan mendekam di atas kamar Kim Lan dan Ai Yin.
Jantung Cia Song berdebar tegang. Benarkah Thian Liong datang berkunjung? Dan kalau benar dia yang
datang, kenapa caranya seperti itu, mengintai dari atas dan membuka genteng seperti kelakuan seorang
pencuri?

Dia hendak menegur dengan bentakan, akan tetapi ditahannya karena setelah dapat melihat lebih jelas,
dia mendapatkan bahwa orang itu berpakaian serba putih dan ketika berjongkok, pinggulnya berbentuk
bulat indah dan pinggangnya ramping. Seorang wanita! Ah, dia teringat sekarang. Bayangan itu tentulah
Pek Hong Nio-cu, gadis bangsawan Kin itu! Mau apa dara itu datang seperti pencuri? Karena cuaca
memang gelap, dia tidak melihat betapa Pek Hong Nio-cu melemparkan sesuatu ke dalam kamar dari
lubang genteng yang dibuatnya.

Cia Song bergerak mendekati. Gerakannya itu agaknya terdengar oleh Pek Hong Nio-cu. Gadis ini cepat
menutupkan kembali genteng yang dibukanya dan tubuhnya berkelebat cepat menghilang dari tempat
itu.

Cia Song kagum melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dari gadis itu. Akan tetapi dia
tidak melakukan pengejaran. Untuk apa? Dia mempunyai rencananya sendiri dan kemunculan orang tadi
bahkan membantu rencananya. Tak lama kemudian, menjelang tengah malam setelah keadaan menjadi
sunyi sekali dan dia yakin bahwa dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu tertidur dalam penantian
mereka, dia menghampiri kamar itu, mendorong daun pintu terbuka, menggunakan sin-kang (tenaga
sakti) dari jauh meniup padam lilin di atas meja, menutupkan daun pintu, memalangnya dari dalam, lalu
berjingkat menghampiri pembaringan.

Kim Lan dan Ai Yin terbangun dan terkejut. Mereka hendak meronta, akan tetapi mereka hanya dapat
menggerakkan kaki tangan dengan lemah sekali, tanpa tenaga. Jalan darah mereka telah tertotok secara
lihai sekali sehingga mereka tidak mampu mengerahkan tenaga dan tubuh mereka menjadi lemas!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 262

Mereka hendak berteriak, akan tetapi dengan kaget mendapat kenyataan bahwa leher mereka telah
tertotok sehingga mereka tidak mampu mengeluarkan suara! Keadaan kamar dan sedikit cahaya yang
menerobos melalui celah-celah di atas jendela, yang datangnya dari sinar lampu di luar, hanya membuat
keadaan dalam kamar itu remang-remang, namun terlalu gelap untuk melihat jelas.

Kemudian, dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati kedua orang gadis Kun-lun-pai itu ketika
mereka berdua melihat bayangan seorang laki-laki dalam kamar mereka. Biarpun mereka tidak dapat
melihat jelas wajah dan bentuk tubuh orang itu, namun mereka dapat melihat garis bayangan seorang
laki-laki. Kemudian, bayangan itu mendekati mereka. Mereka hendak melompat dan meronta, namun
hanya mampu menggerakkan tangan dan kaki dengan lemah saja, tanpa tenaga.

Dan ketika laki-laki itu menyentuh mereka, dunia bagaikan kiamat bagi dua orang gadis itu! Mereka
tidak dapat melawan, tidak dapat menggunakan tenaga. Mereka hanya mampu menangis tanpa dapat
mengeluarkan suara, hanya air mata yang bercucuran dan akhirnya mereka jatuh pingsan. Terlalu ngeri
malapetaka yang menimpa diri mereka sehingga tak tertahankan lagi. Sebelum ketidak -sadaran
menyelimuti mereka, kedua orang gadis itu mendengar suara laki-laki itu berbisik sinis.

“Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong?” Suara itu disusul tawa lirih laki -laki itu dan selanjutnya
mereka tidak mendengar apa-apa lagi karena keduanya jatuh pingsan.

Kalau keadaan sudah terbalik, yaitu kalau manusia yang sesungguhnya menjadi majikan dari nafsu-
nafsunya sendiri yang menjadi hamba atau pelayannya itu malah menjadi hamba dari nafsu-nafsunya
maka segala macam perbuatan keji dan terkutuk dapat saja dilakukan manusia itu! Manusia te rlahir di
dunia memang sudah disertai nafsu-nafsunya sebagai pelayan, sebagai penggerak hidupnya, pendorong
semangat dan memberi kemungkinan manusia menikmati kehidupannya di dunia.

Kita tidak mungkin dapat hidup wajar tanpa disertai nafsu-nafsu kita, alat-alat hidup atau hamba-hamba
kita yang amat penting ini. Akan tetapi, kita sama sekali tidak boleh lengah. Iblis mengetahui bahwa kita
tidak dapat hidup tanpa nafsu, karena itu iblis mempergunakan nafsu-nafsu ini untuk menyeret kita ke
dalam lembah dosa. Dengan umpan kesenangan-kesenangan duniawi, yang serba enak dan nikmat,
maka nafsu-nafsu manusia berkobar dan dari keadaan sebagai hamba, nafsu berbalik menjadi majikan.

Manusia menjadi hamba, hidupnya sepenuhnya bergantung kepada ulah nafsu sehingga untu k
mendapatkan kesenangan dan kenikmatan seperti yang dipamerkan dan dibisikkan iblis melalui nafsu
akal pikiran, manusia tidak segan-segan melakukan apa saja. Rusaklah semua pertimbangan, patahlah
semua ukuran manusiawi, dan manusia tiada ubahnya sebagai binatang yang hanya bergerak dalam
hidup sebagai abdi nafsu-nafsunya sendiri.

Seperti juga nafsu lain, nafsu berahi merupakan nafsu alami yang murni, bahkan suci karena nafsu
berahi selain menjadi puncak pernyataan rasa kasih sayang yang paling dalam, juga menjadi sarana
perkembang-biakan segala mahluk hidup termasuk manusia. Tidak ada yang buruk atau kotor dalam
nafsu ini. Akan tetapi ia akan menjadi buruk, kotor, busuk dan keji apabila ia telah menjadi alat iblis
untuk menguasai manusia. Yang tadinya bersih murni seperti malaikat berubah menjadi kotor dan jahat
seperti iblis! Kalau manusia yang diperhamba nafsu berahi, iblis menang dan si manusia melakukan
segala hal yang amat keji seperti perjinahan, pelacuran, bahkan perkosaan!

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, begitu mereka dapat mempergunakan tenaga, kedua orang
gadis murid Kun-lun-pai itu berloncatan turun dari pembaringan. Air mata mereka sudah terkuras habis

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 263

sepanjang malam setelah mereka siuman dari pingsan. Tangis tanpa suara, bercucuran seperti hujan.
Setelah dapat menggunakan tenaga dan dapat bersuara lagi, keduanya sambil terisak cepat
membereskan pakaian mereka, kemudian sambil menahan jerit mereka saling berangkulan. Saling
bertangisan dan menangisi nasib diri sendiri yang terkutuk!

“Jahanam Souw Thian Liong…..!” Ai Yin menangis tersedu-sedu namun menjaga agar supaya tangisnya
jangan sampai terdengar orang.

“Lebih baik aku mati saja......!” Kim Lan tiba-tiba melompat ke dekat meja, mencabut pedangnya yang
terletak di atas meja dan berniat menghabisi nyawanya sendiri.

Akan tetapi Ai Yin melompat dan merangkulnya, memegangi lengan yang memegang pedang. “Tunggu
suci. Kenapa engkau begitu bodoh? Kita harus membalas dendam ini! Kita harus membunuh iblis itu,
baru boleh membunuh diri. Mari kita selidiki!”

Kim Lan teringat dan ia meletakkan pedangnya di atas meja. Wajahnya pucat sekali dan ia mengepal
tinju. “Engkau benar, su-moi. Aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum membunuh iblis busuk Souw
Thian Liong!”

Ai Yin sudah berdiri dekat jendela. “Lihat, suci. Jendela ini dipaksa terbuka dari luar, kaitannya putus.
Jahanam itu tentu masuk dan keluar dari jendela.” Ia membuka daun jendela sehingga cahaya lampu
kini menyinar ke dalam.

“Lihat, ini ada surat!” kata Kim Lan.

Ai Yin menghampiri. Kini setelah kamar agak terang oleh sinar lampu dari luar jendela, mereka melihat
sehelai kertas bersurat di atas meja, tertancap sebilah pisau runcing. Keduanya lalu membaca kertas itu.

“Murid-murid perempuan Kun-lun-pai tak tahu malu! Memaksa seorang menjadi suaminya. Begitukah
pelajaran yang kalian dapatkan dari Kun-lun-pai?”

Demikian bunyi surat itu, tanpa tanda tangan. Kim Lan hendak meremas surat itu, akan tetapi Ai Yin
berkata, “Jangan merusak surat itu, suci. Itu dapat kita jadikan bukti dan kita perlihatkan kepada para
suhu dan subo di Kun-lun-pai!”

Kim Lan lalu melipat dan menyimpan surat itu. “Sekarang mari kita cari Cia-twako! Barangkali dia
mengetahui sesuatu tentang jahanam itu!” kata Kim Lan.

“Benar juga,” kata Ai Yin. “Kenapa Cia-twako tidak memberi tahu kita tentang kedatangan jahanam itu?”

“Mungkin dia tidak tahu. Bukankah jahanam itu datang masuk dan keluar melalui jendela? Mari kita
tanya Cia-twako!” Dua orang gadis itu setelah membereskan pakaian mereka lalu bergegas keluar dan
mengetuk daun pintu kamar Cia Song.

Karena dua orang gadis itu mengetuk pintu dengan gencar, Cia Song terkejut dan ketika dia membuka
pintu, dua orang gadis itu melihat wajah yang pucat dan rambut pemuda itupun kusut.

“Eh, Lan-moi dan Yin-moi, ada apakah......?” tanyanya dengan kaget.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 264

“Cia-twako, apakah engkau melihat dia?” tanya Kim Lan yang matanya masih merah dan bengkak,
seperti juga mata Ai Yin karena keduanya terlalu banyak menangis.

“Ah, maksudmu Souw Thian Liong? Hemm, keparat itu tidak memegang janji . Dia tidak jadi datang,
bukan? Semalam aku sempat melihat dia.”

“Di mana? Di mana engkau melihat dia, twako?” tanya Ai Yin.

“Semalam aku mendengar suara di atas genteng. Aku naik ke atas dan melihat sesosok bayangan di atas
genteng, tepat di atas kamar kalian. Akan tetapi begitu melihatku, dia menutup kembali genteng lalu
pergi menghilang dalam gelap. Dia tidak jadi berkunjung kepada kalian, bukan?”

Dua orang gadis itu saling pandang dan keduanya merasa yakin bahwa yang dilihat Cia Song itu pastilah
Souw Thian Liong yang kemudian berhasil memasuki kamar mereka, menotok mereka sehingga mereka
tidak berdaya lalu melakukan kekejian terkutuk terhadap mereka.

“Eh, kenapa kalian....... heran, kalian begini pucat dan....... mata kalian itu. Kalian habis menang is?
Apakah yang telah terjadi, Lan-moi dan Yin-moi?”

Melihat dua orang gadis itu tampak kebingungan dan seperti hendak menangis lagi, Cia Song berkata,
“Mari, kita masuk saja dan bicara di dalam.” Dua orang gadis yang juga khawatir kalau ada orang lain
melihat keadaan mereka itupun tidak membantah dan memasuki kamar Cia Song. Mereka duduk di
sekeliling meja dan kembali Cia Song bertanya.

“Sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Kalian tampak begitu pucat, bingung dan menangis. Ada
apakah?”

Dua orang gadis itu kini tidak dapat menahan lagi tangis mereka. Mereka menangis sesenggukan dan
menahan agar tidak bersuara. Kim Lan mengeluarkan lipatan kertas dan menyerahkannya kepada Cia
Song tanpa berkata-kata.

Cia Song membaca tulisan di surat itu dan alisnya berkerut.

“Jahanam busuk! Berani dia menghina kalian dengan mengirimkan surat ini kepada kalian?” kata Cia
Song dengan nada suara marah sekali.

“Bukan hanya itu, twako,” Ai Yin berkata sambil menangis. “Lebih celaka lagi......”

“Apa maksudmu, Yin-moi? Apa yang terjadi?” tanya Cia Song.

“Dia...... dia memasuki kamar kami dari jendela….. dan....... dan dia telah memperkosa kami.......”

Cia Song melompat bangun. “Apa?? Dan kalian tidak melawan?”

“Bagaimana kami dapat melawan? Dia telah lebih dulu menotok kami sehingga kami tidak mampu
melawan, tidak mampu berteriak……” kata Kim Lan.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 265

“Dan surat ini?” tanya Cia Song.

“Dia tinggalkan surat di atas meja, ditusuk dengan pisau ini,” kata Kim Lan, mengeluarkan pisau runcing
yang disimpannya. Cia Song mengamati pisau itu.

“Hemm, kalian melihat dia?”

“Lilin dipadamkan, keadaan dalam kamar gelap, hanya remang-remang kami melihatnya.” kata Ai Yin.

“Begaimana kalian dapat yakin bahwa dia adalah Souw Thian Liong?” desak Cia Song.

“Kami yakin dia itu jahanam Souw Thian Liong. Dia bahkan mengaku sendiri,” kata Kim Lan gemas.

“Mengaku? Bagaimana dia mengaku?” kejar Cia Song.

“Dia berbisik ‘Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong?’ begitulah bisiknya lalu dia tertawa. Iblis
jahanam terkutuk itu. Aku harus membunuhnya!” kata pula Kim Lan penuh dendam.

“Keparat busuk! Betapa keji dan jahatnya dia! Ah, kalau saja aku tahu dia begitu jahat! Lalu, apa yang
akan kalian lakukan sekarang?” tanya Cia Song.

“Kami akan laporkan penghinaan ini kepada suhu dan subo di Kun-lun-pai. Penghinaan ini bukan hanya
urusan pribadi, melainkan sudah menghina pula Kun--lun-pai!” kata Ai Yin.

“Benar sekali itu! Aku juga akan melaporkan kejahatan Souw Thian Liong ini kepada suhu di Siauw -lim-
pai. Bagaimanapun dia sudah diakui sebagai murid Siauw-lim-pai, maka berarti dia telah mencemarkan
nama baik Siauw-lim-pai. Jangan khawatir, kelak aku yang akan menjadi saksi tentang kejahatannya itu,
Lan-moi dan Yin-moi!” kata Cia Song penuh semangat.

“Terima kaslh, Cia-twako. Dengan bukti surat ini, kesaksian kami berdua dibantu kesaksianmu, semua
orang tentu percaya. Jahanam busuk itu harus membayar kejahatannya!” kata Kim Lan.

“Kelau begitu, sekarang klta saling berpisah, Lan-moi dan Yin-moi. Aku akan pergi melaporkan kejahatan
Souw Thian Liong ke Siauw-lim-pai, sedangkan kalian kembali ke Kun-lun-pai untuk melaporkan kepada
para guru kalian,” kata Cia Song.

Dua orang gadis itu menerima baik usul ini dan pada pagi hari itu juga, mereka saling berpisah. Kim Lan
dan Ai Yin melakukan perjalanan ke Kun-lun-pai. Mereka menanggung derita batin yang hebat, dan
gairah hldup mereka hanya terdorong oleh keinginan membalas dendam kepada Souw Thian Liong.

Cia Song memasuki kota Ceng-goan yang merupakan kota besar kedua setelah kota raja Peking di
sebelah utaranya. Tanpa ragu-ragu dia memasuki halaman sebuah gedung besar yang berada di ujung
barat kota. Dua orang perajurit Kin keluar dari gardu penjagaan dan menghadangnya. Cia Song
tersenyum, mengeluarkan sebuah kartu merah dari saku bajunya dan memperlihatkan kepada mereka.
Dua orang perajurit itu memberi hormat dan mempersilakan Cia Song masuk ke ruangan depan gedung
besar itu. Seorang perajurit lain menyambutnya dan setelah melihat kartu merah yang diperlihatkan Cia
Song, perajurit itu lalu mengantarkan Cia Song memasuki sebuah ruangan tamu di sebelah kanan depan
gedung itu. Kemudian perajurit itu melaporkan ke dalam.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 266

Cia Song memasuki ruangan tamu yang luas dan mewah sekali. Dia memandang kagum kepada hiasan
dinding berupa lukisan-lukisan dan tulisan bersajak. Tak lama kemudian dua orang muncul dari pintu
sebelah dalam. Cia Song cepat memutar tubuh dan setelah berhadapan dengan mereka, dia cepat
memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam dan merangkap kedua tangan di depan dada
kepada seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian sebagai seorang bangsawan tinggi bangsa
Kin.

“Hamba mohon beribu ampun kalau berani datang menghadap tanpa paduka panggil sehingga
mengganggu waktu paduka yang amat berharga, Pangeran.”

Laki-laki berpakaian bangsawan tinggi itu bertubuh tinggi kurus dan pakaiannya mewah, usianya sekitar
limapuluh tahun, wajahnya tampan namun tampak licik dan cerdik pada pandang mata dan senyumnya
yang khas. Jenggotnya panjang dan kumisnya dicukur pendek. Jari -jari tangannya berkuku panjang
terpelihara. Dia adalah Pangeran Hiu Kit Bong, kakak dari kaisar Kerajaan Kin yang berkedudukan tinggi
karena sebagai kakak tiri kaisar yang terlahir dari ibu selir, dia diangkat menjadi Menteri Kebudayaan
dan juga Penasihat kaisar.

Gedung di kota Ceng-goan merupakan rumah peristirahatannya dan sering kali Pangeran Hiu Kit Bong ini
beristirahat di gedungnya itu, meninggalkan kota raja yang bising di mana dia sibuk dengan tugas -
tugasnya. Adapun orang kedua yang muncul bersamanya berpakaian sebagai seorang panglima peran g,
usianya sekitar empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, tampak bertubuh kuat.

“Ah, Cia-sicu (orang gagah Cia), selamat datang. Kami girang menerima kunjunganmu. Silakan duduk,
sicu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong dengan ramah. Mereka bertiga lalu duduk mengelilingi sebuah meja
besar.

“Cia-sicu lebih dulu perkenalkan. Ini adalah panglima Kiat Kon seperti yang pernah kuceritakan
kepadamu. Dan Kiat-ciangkun, inilah sicu Cia Song, orang kepercayaan yang menjadi utusan rahasia
Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung Selatan.” Pangeran itu memperkenalkan.

Cia Song cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada panglima tinggi besar itu. “Terimalah
hormat saya, ciangkun. Sudah lama saya mendengar dan mengagumi nama besar ciangkun!”

Jenderal tinggi besar itu tersenyum, senang melihat sikap Cia Song yang demikian ramah. “Ha-ha, terima
kasih, Cia-sicu. Akupun sudah banyak mendengar tentang jasamu. Silakan duduk!”

Cia Song duduk kembali. Seorang pelayan masuk membawa minuman sehingga percakapan mereka
terhenti. Setelah pelayan pergi, Pangeran Hiu Kit Bong bertanya kepada Cia Song.

“Cia-sicu, kabar apa yang kaubawa dari selatan? Kalau engkau datang barkunjung secara tiba-tiba begini,
tentu engkau membawa berita penting sekali.”

Cia Song yang menjadi murid yang disayang oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, yang dikenal
sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai itu, ternyata memiliki peran ganda dalam hidupnya. Di satu
pihak, umum mengenalnya sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai yang suka membela kebenaran dan
keadilan, sebagai murid Hui Sian Hwesio. Akan tetapi di lain pihak, secara rahasia dan sama sekali tidak

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 267

diketahui, bahkan tidak pernah disangka oleh para golongan bersih, diam-diam Cia Song telah berguru
kepada Ali Ahmed, seorang datuk bangsa Hui yang berasal dari Mongolia Dalam.

Dengan ilmu-ilmu yang dlpelajarinya dari datuk bangsa Hui itu, yaitu ilmu silat dan sihir, Cia Song
menjadi semakin lihai. Akan tetapi dia amat cerdik dan tidak pernah dia menonjolkan atau
memperlihatkan ilmu-ilmu asing itu. Hanya dia pandai memasukkan tenaga-tenaga yang dahsyat dari
ilmu barunya ke dalam ilmu silat Siauw-lim-pai yang dikuasainya, pandai menggabung ilmu-ilmu dari Ali
Ahmed dengan ilmu silatnya sendiri sehingga tidak kentara bahwa dia mempergunakan ilmu yang asing.
Dan mulailah dia dikenalkan oleh Ali Ahmed kepada Pangeran Hiu Kit Bong.

Pergaulan dengan orang-orang yang menjadi hamba nafsu, orang-orang yang selalu hanya mengejar
kenikmatan dan kesenangan daging dan dunia, menyeret Cia Song ke lembah hitam. Dia sudah
mengesampingkan pelajaran tentang ke-bajikan yang dulu dia pelajari dari Hui Sian Hwesio dan mulailah
dia menjadi hamba nafsunya, sering melakukan perbuatan-perbuatan yang sesat.

Bahkan dia kemudian oleh pergaulan itu diperkenalkan kepada Perdana Menteri Chin Kui yang
bersekutu dengan Kerajaan Kin, yang telah mempengaruhi Kaisar Sung agar berbaik dengan Kerajaan
Kin, bahkan tidak segan-segan Kaisar Sung mengirim upeti sebagai tanda damai dengan Kerajaan
penjajah itu! Sebentar saja Cia Song telah menjadi orang kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dan
menjadi utusan rahasia. Tidak ada yang tahu kecuali para sekutunya bahwa Cia Song telah menjadi
antek perdana menteri korup yang telah mempengaruhi dan menguasai kaisar Sung itu!

Mendapat pertanyaan dari Pangeran Hiu Kit Bong, Cia Song mengangguk-angguk. Kini terjadi perubahan
besar dalam hubungan gelap antara Perdana Menteri Chin Kui dan Kaisar Kerajaan Kin. Karena Kaisar
Kerajaan Kin mulai tidak percaya kepada Perdana Menteri Chin Kui, maka diam-diam timbul
kerenggangan. Dalam keadaan seperti itu, terjalinlah persekutuan antara Perdana Menteri Chin Kui
dengan Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran ini sudah lama merencanakan hendak menggulingkan Kaisar
Kin, yaitu adik tirinya dan menduduki tahta kerajaan Kin sendiri! Untuk itu, dia sudah menghimpun
tenaga di kota raja Peking, bersekutu dengan beberapa orang perwira yang dipimpin oleh Jenderal Kiat
Kon.

Jenderal ini hanya memperoleh kedudukan yang paling rendah di antara jajaran para panglima. Karen a
inilah maka dia tergiur oleh bujukan Pangeran Hiu Kit Bong yang menjanjikan kedudukan Panglima
tertinggi kepadanya kalau usaha mereka merebut tahta kerajaan berhasil. Bahkan Pangeran Hiu Kit Bong
mengadakan persekutuan gelap dengan Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung Selatan melalui
Cia Song yang lebih dulu mengenal Pangeran Hiu Kit Bong.

“Berita dari selatan yang hamba bawa kurang begitu menggembirakan, Pangeran. Saat ini banyak para
pendekar mulai memperlihatkan sikap menentang Perdana Menteri Chin Kui secara berterang. Semua
ini sesungguhnya disebabkan kekeliruan Perdana Menteri sendiri yang dulu tergesa-gesa mengusahakan
pembunuhan terhadap Jenderal Gak Hui. Akibatnya, para pendekar dan juga banyak pejabat tinggi yang
menghormati dan kagum kepada Jenderal Gak Hui, merasa sakit hati kepada Perdana Menteri Chin Kui.
Hal ini bukan saja menyurutkan pengaruhnya, bahkan juga Sribaginda mulai berubah sikapnya terhadap
Perdana Menteri.”

Mendengar laporan ini, Panglima Kiat Kon berkata dengan suaranya yang besar parau. “Ah, mudah saja
itu! Kenapa pusing-pusing? Bukankah Perdana Menteri Chin Kui mempunyai banyak jagoan yang lihai?
Suruh saja para jagoannya itu bertindak dan membunuhi mereka yang menentangnya. Habis perkara!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 268

“Hemm, tidak begitu mudah, ciangkun. Di antara para pendekar itu terdapat banyak orang yang lihai,”
kata Cia Song.

“Ah, memang repot menghadapi ahli-ahli silat petualang itu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong. “Kami sendiri
di sini pusing oleh seorang puteri yang pandai ilmu silat. Ilmu silatnya tinggi dan puteri itu benar-benar
merupakan batu sandungan bagi kami. Kalau ia berada dekat dengan ayahnya, yaitu Sribaginda, akan
sukarlah untuk mengganggu Sribaginda.”

Diam-diam Cia Song menjadi heran. Seorang puteri raja Kin memiliki ilmu silat tinggi?

“Siapakah puteri itu, Pangeran? Hamba tertarik sekali mendengar bahwa ada puteri Sribaginda Raja Kin
amat lihai ilmu silatnya.”

“Namanya Puteri Moguhai. Akan tetapi kami kira nama itu tidak ada artinya dan tidak terkenal bagimu.
Akan tetapi ada julukannya yang lain dan mungkin saja engkau pernah mendengar nama julukan itu.
Puteri Moguhai adalah Pek Hong Nio-cu. Pernahkah engkau mendengar nama itu?”

“Ohhh……!” Cia Song terkejut. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Pek Hong Nio -cu yang
pernah dilihatnya itu adalah Puteri Moguhai, puteri Raja Kin! “Jadi Pek Hong Niocu itu Puteri Moguhai,
puteri Sribaginda Kerajaan Kin?”

“Nah, engkau mengenalnya, Cia-sicu. Gadis itu sungguh membuat kami pusing. Ia bahkan pernah
menghajar beberapa orang pejabat yang menjadi pembantu--pembantuku. Ia tidak takut siapapun dan
ini tidak aneh karena ia memegang pe-dang emas dari Kaisar sebagai tanda kekuasaan. Tidak ada
pejabat yang berani menentangnya karena sebagai pemilik pedang emas, ia mewakili kehadiran kaisar
sendiri. Dan beberapa kali ia memperlihatkan sikap tidak suka dan menentangku. Kalau gadis itu tidak
dibinasakan, kelak ia akan menjadi penghalang besar bagi gerakan kita bersama.”

“Ah, hamba tahu di mana adanya Pek Hong Nio-cu, Pangeran! Belum lama ini hamba bertemu
dengannya. Ia sedang melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang hamba kenal. Mereka
sedang menuju ke barat, hamba bertemu dengan mereka di kota Kiang-cu.”

“Hemm, menuju ke barat. Ah, tidak salah lagi. Puteri Moguhai tentu akan berkunjung ke perbatasan Sin-
kiang di mana adik tiriku, Pangeran Kuang, menjadi komandan pasukan yang menjaga di tapal batas
barat. Wah, harus dicegah! Moguhai tentu mempunyai maksud tertentu hendak menghubungi Pangeran
Kuang dan ini berbahaya. Pangeran Kuang merupakan orang yang amat setia kepada Sribaginda. Cia-
sicu, maukah engkau membantu kami?”

“Tentu saja, Pangeran. Bukankah selama ini hamba membantu paduka dan Perdana Menteri Chin Kui?”

“Ya, kami menghargai semua bantuanmu, Cia-sicu. Akan tetapi permintaan bantuan kami kali ini
istimewa, penting dan juga berat. Yaitu maukah engkau mengejar dan membunuh Puteri Moguhai yang
berarti akan melancarkan jalannya semua rencana kami?”

Cia Song terkejut bukan main. Kalau dia disuruh membunuh orang lain, tentu akan segera dia sanggupi
dan baginya merupakan pekerjaan yang tidak terlalu sukar dilaksanakan. Akan tetapi Pek Hong Nio -cu?
Dia belum tahu sampai di mana kelihaian gadis yang kecantikannya pernah membuat dia tergila-gila

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 269

begitu melihatnya itu. Akan tetapi ketika Pek Hong Nio-cu berada di atas genteng penginapan, ketika
gadis itu melemparkan surat dan pisau ke atas meja Kim Lan dan Ai Yin, dia melihat gerakan Pek Hong
Nio-cu ketika melarikan diri begitu cepat dan ringan. Harus diakui bahwa gadis bangsawan itu memil iki
gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dan mungkin saja ilmu silatnya juga lihai sekali.

“Bagaimana, Cia-sicu? Sanggupkah engkau?” Pangeran Hiu Kit Bong mendesak.

Cia Song menghela napas panjang lalu menjawab, “Tugas itu berat sekali, pangeran.”

“Hemm, engkau hendak mengatakan bahwa engkau merasa jerih kepada Puteri Moguhai?” tanya
pangeran itu.

“Sama sekali tidak, Pangeran. Mungkin ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi hamba tidak takut
kepadanya. Akan tetapi, hamba melihat bahwa Pek Hong Nio-cu melakukan perjalanan bersama seorang
pemuda, dan pemuda inilah yang merupakan lawan yang amat berat karena hamba sudah mengenalnya
dan tahu betapa tangguhnya dia.”

“Hemm, siapakah pemuda itu?” tanya Pangeran Hiu Kit Bong dengan alis dikerutkan.

“Namanya Souw Thian Liong, Pangeran. Dia adalah murid Tiong Lee Cin jin.”

“Cia-sicu jangan takut. Kami tidak ingin engkau turun tangan seorang diri. Kami selalu ingin keyakinan
bahwa kami pasti berhasil sebelum melakukan sesuatu. Kami akan mempersiapkan sebuah pasukan
khusus, pasukan istimewa terdiri dari dua losin orang yang dipimpin oleh lima orang jagoan kami yang
lihai dan boleh diandalkan kemampuannya. Mereka bukan saja pandai ilmu silat dan amat tangguh, akan
tetapi juga merupakan ahli-ahli mengatur siasat pertempuran. Dengan bantuan mereka, engkau tidak
perlu ragu dan khawatir. Pasti rencana kita berjalan dengan baik dan lancar.”

Cia Song sudah tahu benar betapa tinggi ilmu kepandaian Thian Liong. Bahkan pemuda itu masih
menerima pelajaran ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng dari Hui Sian Hwesio, hal yang membuat dia
merasa iri hati sekali. Dan walaupun dia belum mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Pek Hong
Nio-cu, dia dapat menduga bahwa gadis itu pasti bukan lawan yang mudah dikalahkan. Karena itu, untuk
memperoleh keyakinan, dia harus menguji dulu sampai di mana kelihaian lima orang jagoan yang
hendak diperbantukan padanya itu. Sedikitnya lima orang pembantu itu harus mampu menandinginya,
barulah bantuan mereka dan dua losin perajurit pilihan akan ada artinya.

“Maaf, pangeran. Akan tetapi siapakah lima orang jagoan yang akan diperbantukan kepada hamba itu?
Hamba tetap merasa ragu sebelum menguji sampai di mana kemampuan mereka.”

Pangeran Hiu Kit Bong tidak marah, malah tersenyum. Kehati-hatian Cia Song itu menyenangkan dia
karena ini berarti bahwa pemuda itu seorang yang teliti dan boleh diandalkan akan berhasil dalam
melaksanakan tugasnya.

“Mereka adalah bekas pengawal-pengawal pribadi Sribaginda sendiri. Karena melakukan pelanggaran
kesusilaan di istana, mereka diusir dari istana. Kami menampung mereka dan mereka memang
mempunyai perasaan dendam kepada Sribaginda, maka dapat merupakan pembantu-pembantu yang
setia. Mereka adalah jagoan-jagoan yang telah menguasai banyak ilmu, bukan saja ilmu silat aliran utara,
akan tetapi juga menguasai ilmu gulat dari Mongolia dan ilmu silat dari Jepang. Dan mudah saja untuk

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 270

menguji mereka karena dapat segera dipanggil ke sini.” Setelah berkata demikian, Pangeran Hiu Kit Bong
mengutus seorang perajurit untuk memanggil lima orang jagoannya itu. Sambil menanti datangnya lima
orang jagoan itu, mereka bertiga bercakap-cakap dan mengatur siasat selanjutnya, bukan hanya untuk
membunuh Pek Hong Nio-cu, melainkan juga untuk gerakan pemberontakan dan menggulingkan
kedudukan Kaisar Kin.

Cia Song yang teringat akan kecantikan Pek Hong Nio-cu yang membuat dia tergila-gila dan bangkit
gairahnya, mengajukan usul kepada Pangeran Hiu Kit Bong. “Pangeran, menurut pendapat hamba, akan
lebih baik apabila Puteri Moguhai itu tidak dibunuh, melainkan ditawan saja.”

“Eh? Kenapa begitu? Ia akan menjadi batu sandungan bagiku, mengganggu kelancaran rencanaku. Tidak,
ia harus dibunuh, Cia-sicu. Untuk membunuh puteri itulah kami minta bantuanmu!”

“Harap paduka pertimbangkan dulu usul hamba. Kalau puteri itu dibunuh paduka hanya mendapatkan
satu keuntungan yang tidak begitu berharga. Akan tetapi kalau ia ditawan, berarti paduka memperoleh
dua keuntungan, seperti sebatang pedang yang tajam kedua sisinya, satu kali bergerak mendapatkan
dua yang amat baik.”
“Hemm, apa maksudmu, sicu?”

“Begini, Pangeran. Hamba akan menawan Puteri Moguhai itu dan dengan tawanan yang amat penting
itu, paduka dapat menjadikan ia sebagai sandera dan paduka dapat mengancam agar Sribaginda suka
menyerahkan tahta kepada paduka untuk ditukar dengan nyawa puteri Sribaginda. Dengan demikian,
paduka akan dapat mengambil alih singasana tanpa banyak kesukaran lagi.”

Mendengar usul ini, Pangeran Hiu Kit Bong tertegun dan saling pandang dengan Panglima Kiat Kon yang
menjadi sekutu utamanya dalam ambisinya merebut kekuasaan kerajaan Kin. Keduanya saling pandang
lalu mengangguk-angguk.

“Siasat itu sungguh hebat dan baik sekali, Pangeran!” kata Panglima Kiat Kon.

Pangeran Hiu Kit Bong juga mengangguk-angguk dan tersenyum kepada Cia Song. “Bagus, Cia-sicu,
gagasanmu itu cemerlang sekali! Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu? Ha-ha-ha, tidak percuma Perdana
Menteri Chin Kui mengangkatmu menjadi penghubung antara kami! Baik, siasatmu itu baik dan harus
dilaksanakan begitu. Puteri Moguhai, keponakan tiriku itu, si cantik yang liar itu, jangan dibunuh,
melainkan ditangkap dan dijadikan sandera! Bagus sekali!”

“Akan tetapi, Pangeran. Biarpun gagasan itu bagus dan sudah sepatutnya dilaksanakan, akan tetapi
tetap saja kita harus menyusun kekuatan pasukan yang besar. Siapa tahu Sribaginda akan nekat dan
tidak mau menyerahkan mahkota sehingga kita terpaksa harus menggunakan kekerasan, menyerbu
istana dan untuk itu kita memerlukan pasukan yang amat kuat,” kata Panglima Kiat Kon.

Pangeran Hiu Kit Bong mengangguk-angguk setuju. Mereka lalu bercakap cakap dan berunding, mencari
siasat-siasat terbaik. Ada dua tujuan terpenting yang hendak dicapai oleh persekutuan antara Pangeran
Hiu Kit Bong dan Perdana Menteri Chin Kui. Pertama, mahkota kerajaan Kin harus terjatuh ke tangan
Pangeran Hiu Kit Bong dan kedua, kedudukan Perdana Menteri Chin Kui harus diperkuat dengan
disingkirkannya mereka yang menentang kekuasaannya sehingga dia dapat makin kuat mencengkeram
Kaisar Sung dalam kekuasaannya. Dengan demikian, maka Kerajaan Kin akan dapat tetap bersahabat
dengan Kerajaan Sung Selatan.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 271

Percakapan mereka terhenti ketika muncul lima orang memasuki ruangan itu. Mereka segera memberi
hormat kepada Pangeran Hiu Kit Bong dengan membungkuk dalam-dalam.

Pangeran Hiu Kit Bong tersenyum gembira menyambut mereka. “Ah, kalian telah datang? Duduklah!”
Dia mempersilakan mereka duduk dan lima orang itu lalu duduk di atas kursi -kursi yang sudah tersedia
di depan pangeran itu. Cia Song memandang mereka dengan penuh perhatian.

Pangeran Hiu Kit Bong lalu memperkenalkan Cia Song kepada mereka. “Nah, kalian berlima kenalkanlah.
Ini adalah pendekar besar Cia Song yang menjadi orang kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dari
Kerajaan Sung!”

Lima orang itu agaknya sudah pernah mendengar nama Cia Song, maka mereka lalu bangkit dan
memberi hormat kepada Cia Song, juga dengan membungkuk dalam-dalam. Cia Song membalas dengan
merangkap kedua tangan depan dada. Dia pernah melihat cara penghormatan membungkuk seperti itu,
yakni kebiasaan orang-orang Jepang. Agaknya lima orang ini pernah berguru kepada orang Jepang,
pikirnya dan perkiraan ini agaknya tidak salah karena diapun melihat betapa di pinggang mereka berlima
itu tergantung sebatang pedang samurai, yaitu pedang bangsa Jepang yang bentuknya agak
melengkung, gagangnya agak panjang sehingga dapat dipegang kedua tangan dan hanya bermata
sebelah seperti golok.

Pangeran Hiu Kit Bong memperkenalkan lima orang jagoannya kepada Cia Song. Cia Song
memperhatikan mereka. Orang pertama bernama Con Gu, berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh
tinggi kurus, mukanya panjang dan berwarna kuning sekali. Orang kedua bernama Koi Cu, usianya
empatpuluh tiga tahun, bertubuh pendek gendut dan kepalanya botak. Orang ketiga bernama Jiu Hon,
berusia empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok menyeramkan. Orang
keempat bernama Kian Su, usianya tigapuluh lima tahun, tubuhnya sedang dan wajahnya bersih
tampan. Adapun orang kelima bernama Hayasi, berusia tigapuluh tahun, tubuhnya pendek de ngan kaki
tangan pendek akan tetapi kokoh berotot.

Mereka berlima itu memiliki mata yang tampak cerdik, bersinar tajam dan dari sikap mereka mudah
diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh. Mereka berlima memiliki sebatang pedang
samurai. Koi Cu dan Hayasi yang bertubuh pendek membawa pedang samurai mereka di punggung,
akan tetapi tiga orang yang lain menggantung pedang samurai mereka di pinggang.

“Paduka memanggil kami menghadap, ada tugas apakah yang harus kami laksanakan, Pangeran?” tanya
Con Gu, orang tertua yang agaknya juga menjadi juru bicara mereka berlima.

“Ada tugas penting sekali untuk kalian berlima. Tugas itu sebetulnya sudah kami serahkan kepada Cia-
sicu, akan tetapi karena tugas itu berbahaya dan akan menghadapi lawan yang amat kuat, maka kami
membutuhkan bantuanmu yang akan memimpin dua losin perajurit pilihan untuk membantu tugas Cia-
sicu,” kata Pangeran Hiu Kit Bong.

“Bolehkah kami mengetahui, tugas apa yang harus kami lakukan, Pangeran?” tanya Con Gu.

“Kalian berlima dan pasukan yang kalian pimpin harus membantu Cia-sicu untuk menangkap
seseorang.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 272

“Menangkap seorang saja mengapa harus memakai begitu banyak orang?” Hayasi bertanya dan logat
bicaranya jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang berbangsa Jepang.

“Yang harus ditangkap adalah Puteri Moguhai yang di luar istana terkenal sebagai Pek Hong Nio-cu!”
kata Pangeran Hiu Kit Bong.

Lima orang itu terkejut sekali. “Oh......! Sang Puteri Moguhai.......?” kata Con Gu, lalu dia mengangguk -
angguk. “Pangeran, kami tahu bahwa Puteri Moguhai memang memiliki kepandaian tinggi dan lihai
sekali. Memang harus hamba akui kalau kami berlima maju satu-satu, agaknya masih akan sukarlah
menangkapnya. Akan tetapi kalau kami berlima maju, agaknya sudah pasti kami dapat menangkapnya.
Mengapa harus menyusahkan Cia-sicu dan bahkan ditambah dua losin perajurit lagi?”

“Wah, tidak semudah itu, Con Gu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong. “Ketahuilah bahwa selain Puteri
Moguhai sendiri seorang yang tangguh, ia ditemani oleh seorang pemuda yang namanya..... .. eh, siapa
tadi namanya, Cia-sicu?”

“Namanya Souw Thian Liong, Pangeran.”

“Ya, temannya itu bernama Souw Thian Liong dan menurut keterangan Cia-sicu, pemuda itu lihai sekali
karena dia adalah murid Tiong Lee Cin-jin.”

Lima orang jagoan itu saling pandang dan dari sinar mata mereka Cia Song tahu bahwa mereka terkejut
dan gentar mendengar nama Tiong Lee Cin-jin yang dikenal sebagai seorang manusia setengah dewa itu!

“Kami akan membantu Cia-sicu sekuat tenaga kami!” kata Con Gu.

“Karena menghadapi pekerjaan penting, Cia-sicu masih ragu apakah bantuan kalian berlima berikut dua
losin perajurit pilihan sudah cukup. Oleh karena itu, untuk menyakinkan hatinya, dia minta agar
diperbolehkan menguji ketangguhan kalian berlima.”

Mendengar ucapan pangeran itu, kelima orang jagoan mernandang kepada Cia Song dengan sinar mata
tajam.

“Bagaimana, sobat-sobat? Apakah kalian tidak keberatan kalau aku hendak menguji ilmu silat kalian?”
tanya Cia Song.

Lima orang itu menggeleng kepala dan Con Gu berkata sambil tersenyum.

“Tentu saja tidak, Cia-sicu. Kami siap untuk diuji sewaktu-waktu.”

Pangeran Hiu Kit Bong tertawa. “Ha-ha, bagus. Waktunya sekarang saja dan ruangan ini kiranya cukup
luas untuk dipakai sebagai tempat ujian bertanding. Bagaimana pendapatmu, Cia-sicu?”

Cia Song bangkit berdiri. “Memang cukup luas, Pangeran. Marilah, sobat-sobat, kita mulai saja.” Dia lalu
melangkah ke tengah ruangan yang luas.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 273

Con Gu juga bangkit dan setelah membungkuk di depan sang pangeran, diapun melangkah lebar
menghampiri Cia Song, setelah berhadapan lalu berkata, “Cia-sicu, kami telah siap. Biarlah saya yang
maju pertama untuk menerima ujian.”

“Bukan satu-satu, maksudku kalian berlima maju berbareng. Aku ingin melihat apakah kalau kalian maju
berbareng cukup kuat untuk melawan musuh yang tangguh.”

“Kami berlima maju berbareng? Mengeroyokmu, sicu? Ah, jangan bergurau!” kata Con Gu sambil
tertawa dan empat orang rekannya juga tertawa lirih karena mereka berada di depan Pangeran.

“Aku sama sekali tidak bergurau. Ketahuilah bahwa lawan-lawan yang akan kita hadapi sungguh tangguh
dan lihai sekali, maka aku harus yakin bahwa kalian cukup kuat untuk menandingi seorang di antara
mereka. Nah, marilah, kalian berlima maju berbareng dan jangan sungkan mengeroyok aku, keluarkan
semua kemampuan kalian agar aku dapat merasa yakin sehingga tugas kita akan dapat terlaksana
dengan hasil baik.”

“Hayolah, kalian berlima jangan ragu. Turuti perintah Cia-sicu. Dalam tugas dia adalah pemimpin kalian!”
kata Pangeran Hiu Kit Bong.

Mendengar perintah pangeran, tentu saja lima orang itu tidak berani membantah lagi dan empat orang
jagoan yang lain segera bangkit berdiri dan menghampiri Cia Song. Mereka berlima berdiri berjajar
menghadapi Cia Song dengan sikap masih ragu-ragu. Mereka adalah jagoan-jagoan pilihan, bahkan
pernah menjadi pengawal pribadi Raja Kin yang jarang menemui tanding. Bagaimana sekarang mereka
berlima disuruh mengeroyok seorang lawan saja? Bagi mereka, hal ini memalukan sekali. Andaikata
mereka menang sekalipun, tidak dapat dibanggakan. Akan tetapi karena pangeran yang memerintah dan
Cia Song juga hanya bermaksud untuk menguji, maka mereka berlima siap.

Melihat mereka berdiri berjajar, bukan mengepung seperti lima orang yang hendak mengeroyok, Cia
Song maklum bahwa mereka masih merasa sungkan. Dan dia maklum akan perasaan mereka. Mereka
adalah jagoan-jagoan istana Kin dan usia mereka juga lebih tua daripada dia, maka tentu saja mereka
sungkan untuk melakukan pengeroyokan.

“Sekarang begini saja,” katanya, “agar kalian tidak merasa sungkan, biarlah kalau sampai robek sedikit
pakaianku terkena ujung pedang kalian, kuanggap kalian sudah lulus ujian dan dapat mengalahkan aku.
Nah, sekarang aku hendak bertanya dan kuharap kalian menjawab sejujurnya. Aku ingin agar kalian
mengeluarkan ilmu kalian yang paling ampuh. Kalau kalian maju berlima, kalian hendak
mempergunakan ilmu pedang apakah yang kalian anggap paling ampuh?”

“Sesungguhnya, Cia-sicu. Kami berlima malu untuk maju berbareng dan mengeroyokmu. Akan tetapi
karena Pangeran telah memerintahkan dan sicu hanya ingin menguji, maka apa boleh buat, kami akan
menaati perintah. Kami masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri, akan tetapi kalau kami maju
bersama, kami telah menciptakan permainan pedang gabungan yang kami namakan Ngo heng Kiam-tin
(Barisan Pedang Lima Unsur). Dengan memainkan Ngo-heng Kiam tin, kami berlima belum pernah
terkalahkan.”

“Bagus! Aku menghendaki agar kalian berlima mengeroyok aku dengan Ngo heng Kiam -tin itu dan
jangan sungkan. Serang aku sekuat kalian dan kalahkan aku secepat mungkin. Aku percaya bahwa ahli-
ahli pedang seperti kalian tentu tidak akan salah tangan, tidak akan melukai tubuhku, cukup dengan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 274

merobek pakaianku saja.” Cia Song bicara sambil tersenyum ramah, sama sekali tidak terkandung nada
atau sikap mengejek.

“Baiklah, Cia-sicu. Maafkan kami.” Con Gu memandang kepada empat orang rekannya dan mereka
berlima lalu menggerakkan tangan kanan. Tampak kilatan lima sinar ketika mereka telah mencabut
pedang samurai mereka masing masing. Lima batang pedang panjang yang agak melengkung itu
berkilauan dan ini menunjukkan bahwa pedang-pedang itu amat tajam. Ketika dicabut dengan amat
cepatnya, terdengar suara berdesing yang menandakan bahwa lima orang itu memiliki tenaga yang kuat.
Setelah mencabut pedang samurai masing-masing, lima orang itu lalu mulai melangkah dengan geseran-
geseran kaki dan mereka telah mengepung Cia Song dari lima penjuru.

“Bersiaplah, Cia-sicu!” kata Con Gu yang memberi kesempatan kepada Cia Song untuk mengeluarkan
senjatanya.

Dari gerakan mereka saja Cia Song maklum bahwa akan sukar menandingi mereka berlima kalau dia
bertangan kosong. Maka diapun segera mencabut pedang yang berada di punggungnya, sebatang
pedang beronce merah. Dia mencabutnya dengan perlahan lalu melintangkan pedangnya di depan
dada. Biarpun dia tidak memasang kuda-kuda secara khusus, namun Cia Song bersikap hati-hati dan
waspada karena dia maklum bahwa lima orang lawannya ini benar-benar tangguh. Dia harus menjaga
agar dia jangan sampai kalah atau kalau dikalahkan juga dia harus dapat melakukan perlawanan yang
cukup kuat dan seimbang.

Setelah melihat Cia Song mencabut pedang, Con Gu mewakili rekan-rekannya bertanya, “Cia-sicu,
apakah kami sudah boleh mulai menyerang?”

“Boleh, silakan, aku sudah siap!” kata Cia Song.

“Sambut serangan Unsur Swee (Air)!” bentak Con Gu dan dia menyerang dari depan Cia Song. Pedang
samurainya menyambar dan gerakannya bergelombang seperti ombak sehingga cocok sekali kalau Con
Gu memperkenalkan dirinya sebagai pemain Unsur Air dalam Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima
Unsur) itu. Cia Song sengaja menggunakan pedangnya menangkis dengan pengerahan tenaga karena dia
hendak mengukur tenaga Con Gu melalui serangan pedang samurainya itu.

“Tranggg!!” Pedang samurai itu tergetar dan Con Gu melangkah ke belakang lima kali. Cia Song juga
merasakan pedangnya tergetar dan tahulah dia bahwa tenaga Con Gu cukup kuat walaupun masih jauh
kalau dibandingkan dengan sin kang (tenaga sakti) yang dikuasainya.

“Cia-sicu, sambut serangan Unsur Hwe (Api)!” teriak Koi Cu yang berkepala botak dan bertubuh pendek
gendut dari sebelah kanan Cia Song. Pedang Samurai yang terlalu panjang bagi tubuh yang pendek itu
menyambar lurus, dari bawah ke atas seperti berkobarnya api dan gerakannya dahsyat sekali. Cia Song
sudah mengukur kekuatan Con Gu dan dia menduga bahwa tentu tenaga orang pertama itu yang paling
kuat di antara mereka berlima. Maka dia menghadapi serangan Unsur Api ini dengan mengandalkan
kecepatan gerakan tubuhnya. Dia mengelak sehingga pedang Koi Cu menyambar di samping tubuhnya.

“Sambut serangan Unsur Bhok (Kayu)!” teriak Jiu Hon yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh
brewok. Orang ketiga ini menyerang dari belakang, maka Cia Song memutar tubuhnya, menggeser
kakinya dan melihat pedang samurai Jiu Hon menusuk ke arah lambungnya. Cia Song memiringkan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 275

tubuhnya dan menggunakan pedangnya untuk menangkis dari samping sehingga serangan Jiu Hon gagal,
pedang samurainya terpental.

“Awas serangan Unsur Kim (Emas, logam)!” bentak Kian Su, orang keempat yang berwajah tampan.
Pedangnya meluncur dan menyerang dari sebelah kiri tubuh Cia Song. Kembali Cia Song mengelak
dengan mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi tingkatnya.

“Sambut serangan Unsur Tho (Tanah)!” bentak Hayasi. Orang yang paling pendek ini me nyerang dan
pedangnya berputar menyerang ke arah kedua kaki Cia Song. Serangannya tidak kalah dahsyat
dibandingkan empat orang rekannya. Cia Song dengan tenang namun cepat meloncat untuk
menghindarkan serangan itu.

Setelah lima orang itu masing-masing mengeluarkan jurus serangannya secara bergiliran dan semua
serangan itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Cia Song mereka berlima maklum bahwa Cia Song
benar-benar lihai, maka mereka tidak merasa ragu lagi untuk mengeroyok. Con Gu memberi isyarat
kepada empat orang rekannya dan mulailah mereka berlima menyerang dari lima penjuru dengan
berbareng! Serangan mereka datang bergelombang dan bertubi-tubi, dan hebatnya serangan mereka itu
saling menunjang, saling melengkapi sesuai dengan watak ngo-heng (lima unsur) sehingga serangan
beruntun yang saling menunjang dan saling melengkapi akan tetapi yang sifatnya juga saling berlawanan
itu menjadi membingungkan, aneh dan dahsyat sekali!

Diam-diam Cia Song terkejut. Dia tahu bahwa kalau mereka itu maju satu demi satu, tidak begitu sukar
baginya untuk mengalahkan mereka. Akan tetapi, dengan maju bersama membentuk Barisan Pedang
Lima Unsur, mereka sungguh merupakan lawan yang tangguh dan amat berbahaya. Untuk dapat
melakukan perlawanan yang kuat, Cia Song segera memainkan ilmu silat gabungan, yaitu pada dasarnya
merupakan ilmu silat pedang aliran Siauw-lim-pai, akan tetapi dia memasukkan unsur ilmu yang
dipelajarinya dari Ali Ahmed, datuk suku bangsa Hui itu. Ilmu pedang menjadi aneh namun kuat sekali.
Tubuh Cia Song lenyap dibungkus sinar pedangnya yang bergulung-gulung dan berkelebatan, bukan
hanya sinar pedang itu menangkis lima batang pedang samurai yang mengancamnya dari lima jurusan
yang kadang berputaran, namun juga mengirim serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya!

Pangeran Hiu Kit Bong yang hanya menguasai ilmu silat yang rendah, tidak dapat mengikuti jalannya
pertandingan. Gerakan enam orang itu terlampau cepat baginya sehingga pandang matanya menjadi
kabur. Kilatan sinar pedang yang mencuat ke sana-sini, kadang bergulung gulung, diseling suara
berdentangan nyaring membuat dia hanya dapat memandang kagum.

“Bagaimana pendapatmu, ciangkun?”

Dia bertanya kepada Panglima Kiat Kon yang juga menonton pertandingan itu dengan tertarik sekali.
Tingkat kepandaian silat panglima ini juga sudah cukup tinggi, seimbang dibandingkan tingkat masing-
masing anggauta Ngo-heng Kiam-tin itu, maka dia dapat mengikuti pertandingan itu dan menjadi amat
kagum melihat betapa Cia Song dapat mempertahankan diri bahkan mengimbangi serangan gabungan
yang dahsyat itu. Dia sendiri akan kalah dalam waktu pendek kalau harus menandingi pengeroyokan
Ngo-heng Kiam-tin itu.

“Hebat, Pangeran. Ngo-heng Kiam-tin memang dahsyat sekali, akan tetapi kepandaian Cia-sicu juga luar
biasa sehingga dia mampu mengimbangi pengeroyokan itu,” katanya sambil mengangguk angguk
dengan hati kagum.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 276

Pertandingan itu memang hebat bukan main. Semua serangan dari barisan pedang lima orang itu dapat
dihindarkan dengan baik oleh Cia Song, biarpun serangan itu datang bergel ombang dan bertubi-tubi.
Akan tetapi serangan balasan dari Cia Song juga selalu dapat ditangkis. Kalau Cia Song hendak
mengandalkan kelebihan tenaganya, diapun gagal karena yang menangkis pedangnya tentu sedikitnya
dua orang, bahkan kadang tiga-empat pedang samurai sekaligus menyambut pedangnya sehingga
kelebihan tenaganya diimbangi tenaga gabungan para pengeroyok. Sampai seratus jurus mereka
bertanding dan belum tampak siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

Cia Song merasa sudah cukup menguji jagoan itu dan dia merasa girang. Ternyata Ngo-heng Kiam-tin
memang tangguh dan boleh diandalkan. Dibantu lima orang seperti ini, apalagi yang memimpin dua
losin perajurit pilihan, dia akan merasa kuat menghadapi Pek Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong. Maka
dia ingin menyudahi ujian itu. Akan tetapi dasar dia memiliki watak yang sombong, walaupun
disembunyikan di balik sikapnya yang halus dan sopan, maka dia tidak akan merasa puas kalau tidak
lebih dulu mengalahkan mereka agar dia memperoleh kesan yang baik dan agar li ma orang itu tunduk
kepadanya sehingga dapat menjadi pembantu-pembantu yang taat kepadanya.

Diam-diam Cia Song mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan ilmu pukulan jarak jauh
bercampur kekuatan sihir yang dipelajarinya dari Ali Ahmed.

“Hyaaaattt....... ahhhh!” Tangan kirinya mendorong ke depan dan tubuhnya berputar sehingga sasaran
pukulan jarak jauh itu diarahkan kepada lima orang pengeroyok yang mengepungnya. Dari telapak
tangan kirinya keluar asap hitam yang menyambar ke arah lima orang itu. Terdengar teriakan-teriakan
kaget dan lima orang itu satu demi satu terhuyung ke belakang. Cia Song bergerak cepat sekali.
Pedangnya menyambar-nyambar dan ketika dia melompat agak ke belakang menjauhi mereka, lima
orang itu melihat betapa ujung baju mereka telah terbabat putus oleh sinar pedang Cia Song selagi
mereka terhuyung tadi!

Lima orang itu membungkuk sampai dalam dan Con Gu mewakili para rekanrrya berkata, “ilmu pedang
Cia-sicu hebat bukan main! Kami mengaku kalah!”

Cia Song menyimpan kembali pedangnya dan berkata, “Ngo-heng Kiam-tin amat tangguh. Aku girang
sekali mendapatkan pembantu seperti kalian berlima!”

Mendengar ini, Pangeran Hiu Kit Bong dan Panglima Kiat Kon bertepuk tangan.

“Kami girang sekali bahwa mereka berlima lulus ujian, Cia-sicu. Bagaimana pendapat sicu? Apakah
ditemani mereka yang akan memimpin dua losin perajurit pilihan dianggap cukup kuat?”

“Lebih dari cukup, Pangeran. Dengan bantuan mereka dan dua losin perajurit pilihan, hamba yakin kami
dapat menangkap Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong.”

“Bagus! Duduklah kalian berenam!” kata Pangeran Hiu Kit Bong. “Akan tetapi kalau Puteri Moguhai
jangan dibunuh, sebaliknya pemuda lihai yang menjadi temannya itu harus dibunuh karena dia
membahayakan kita.”

“Tidak, Pangeran. Souw Thian Liong juga akan hamba tangkap karena dia harus memperhitungkan dosa-
dosanya kepada Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Dia harus menerima hukumannya,” kata Cia Song.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 277

“Hemm, apa sih yang dilakukannya? Ah, sudahlah, bukan urusan kami. Terserah kepadamu kalau engkau
hendak menangkap pemuda itu, Cia-sicu. Yang terpenting bagi kami adalah menawan Puteri Moguhai
untuk dijadikan sandera,” kata Pangeran Hiu Kit Bong.

Setelah mengadakan perundingan matang dan membuat persiapan, berangkatlah Cia Song bersama
kelima Ngo-heng Kiam-tin, memimpin dua losin perajurit yang terlatih baik dan rata-rata pandai ilmu
silat melakukan pengejaran kepada Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong yang menuju ke barat.
Mereka menunggang kuda-kuda pilihan sehingga dapat melakukan perjalanan cepat.

Souw Thian Liong mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Setelah melakukan
perjalanan dengan Pek Hong Nio-cu selama hampir sebulan lamanya, dia mendapat kenyataan betapa
amat menggembirakan perjalanan itu.

Pek Hong Nio-cu ternyata merupakan teman seperjalanan yang amat baik. Wataknya gembira, pandai
bicara dan di mana saja pendekar wanita yang sesungguhnya puteri raja ini memperlihatkan watak
aselinya yang mengagumkan. Ia ramah terhadap rakyat jelata, murah hati dan siap menolong rakyat
yang hidup sengsara. Ringan tangan menghajar orang orang yang mengandalkan kekerasan dan
kekuasaan untuk menindas rakyat. Terutama sekali ia amat keras terhadap para pembesar kecil yang
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Dan di mana saja, para pembesar itu selalu mati kutu dan
ketakutan setelah memperlihatkan pedang bengkok dari emas yang menjadi lambang kekuasaan Kaisar
kerajaan Kin. Puteri raja ini selain cantik jelita dan menarik hati, juga gagah perkasa dan memiliki watak
yang budiman.

Di lain pihak, diam-diam Pek Hong Nio-cu juga kagum bukan main kepada Thian Liong. Pemuda itu selalu
sopan dan penuh perhatian. Tidak pernah sedikitpun mernperlihatkan watak mata keranjang, tidak
pernah mencoba untuk merayunya seperti yang banyak ditemui pada diri para pria kalau bertemu
dengannya. Sungguh seorang pemuda yang hebat, berjiwa pendekar dan juga pandai bicara dan suka
berkelakar dengan sopan.

Seperti kita ketahui, ketika mereka berdua tiba di kota Kiang-cu dan bermalam di sebuah rumah
penginapan, Cia Song menemui Thian Liong dan membujuk agar Thian Liong segera meninggalkan kota
itu karena Kim Lan dan Ai Yin mencarinya untuk memaksa Thian Liong menikahi Kim Lan atau kalau tidak
mau, dua orang gadis itu hendak membunuhnya.

Setelah Cia Song pergi, Pek Hong Nio-cu mendengar dari Thian Liong tentang gadis murid Kun-lun-pai
yang hendak memaksa dia mengawini dengan alasan bahwa gadis itu sudah bersumpah akan berjodoh
dengan pria yang dapat mengalahkannya. Kalau dia tidak mau, Thian Liong akan dibunuhnya!
Mendengar ini, Pek Hong Nio-cu marah sekali.

Malam itu, tanpa setahu Thian Liong, Pek Hong Nio-cu pergi mengunjungi rumah penginapan di mana
Kim Lan dan Ai Yin bermalam. Ia melemparkan surat celaannya yang disambitkan ke atas meja dengan
sebuah pisau lalu meninggalkan atap rumah penginapan itu karena ia melihat bayangan orang. Dan pada
keesokan harinya, Thian Liong mengajaknya segera pergi meninggalkan kota Kiang-cu.

Pemuda ini ingin menghindarkan diri dari kejaran dua orang gadis Kun-lun-pai itu. Pek Hong Nio-cu juga
tidak pernah bicara tentang dua orang gadis itu juga tidak pernah menceritakan tentang perbuatannya

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 278

mengirim surat teguran yang isinya rnencela murid wanita Kun-lun-pai sebagai wanita yang tidak tahu
malu hendak memaksa seorang pria menjadi suaminya!

Matahari telah naik tinggi dan udara lumayan panasnya. Mereka berdua menjalankan kuda mereka
perlahan-lahan, menyusuri sepanjang tepi Sungai Han, yaitu sungai yang menjadi cabang Sungai Yang-ce
yang besar. Pemandangan alamnya di lembah sungai itu amat indah. Daerah ini termasuk daerah yang
kecil jumlah penduduknya sehingga tempat yang mereka lalui itu sunyi. Thian Liong menjalankan
kudanya di sebelah kiri kuda yang ditunggangi Pek Hong Nio-cu. Dua ekor kuda itu berjalan seenaknya
karena dua orang penunggangnya tidak ingin memaksa binatang yang juga sudah tampak kelelahan itu.
Thian Liong melamun.

Dia melamun tentang keadaan dirinya. Sungguh tak pernah disangkanya sama sekali bahwa dia akan
melakukan perjalanan berdua saja dengan puteri Raja Kin! Dan perjal anan bersama itu sudah dilakukan
selama kurang lebih satu bulan! Sungguh amat mengherankan dan tentu banyak yang tidak percaya
kalau dia bercerita kepada orang lain. Dia disambut oleh pejabat-pejabat pemerintah Kin di sepanjang
jalan dengan sikap hormat sekali karena dia diperkenalkan oleh Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu
sebagai sahabatnya. Dan puteri itu begitu manis, begitu ramah dan akrab dengan dia. Akan tetapi yang
menunggang kuda di sisinya ini adalah seorang puteri bangsawan tinggi, Puteri Raja Kin sedangkan dia
apa? Seorang pemuda yatim piatu yang bodoh dan miskin, rumahpun tidak punya! Akan tetapi Thian
Liong tidak merasa rendah diri. Mengapa rendah diri?

Dia tidak mempunyai pamrih apapun dalam persahabatannya dengan Pek Hong Nio-cu. Memang harus
dia akui bahwa dia amat tertarik, kagum dan suka sekali kepada gadis bangsawan ini. Sungguh jauh
bedanya gadis ini dibandingkan gadis-gadis yang pernah dia jumpai. Berpikir sampai di sini, terbayang
olehnya wajah seorang gadis yang manis. Wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang dengan anak
rambut melingkar di dahi dan pelipis. Dahinya halus dan putih sekali, dengan alis hitam kecil panjang
dan tebal, matanya seperti sepasang bintang, bersinar tajam dan penuh gairah hidup, hidungnya
mancung dan mulutnya amat menggairahkan, dengan bibir merah basah dan lesung pipit menghias
kanan kiri mulut itu. Dagunya runcing dan kulitnya putih mulus. Tubuhnya padat ranum dengan
pinggang ramping.

Gadis yang lincah dan liar, galak penuh semangat, berpakaian merah muda. Gadis yang telah mencuri
kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun hoat dari buntalan pakaiannya, kitab yang seharusnya dia serahkan
kepada para ketua Kun-lun-pai seperti yang dipesan gurunya. Gadis cantik jelita dan juga gagah perkasa.
Akan tetapi sayang, ia mencuri kitab, dan lebih sayang lagi, dia tidak tahu siapa nama gadis itu dan di
mana tempat tinggalnya. Perjalanannya ke barat inipun untuk mencari gadis pencuri itu. Dia hanya
menduga bahwa gadis itu tentu berada di daerah barat mengingat bahwa ilmu silatnya seperti ilmu silat
aliran Tibet.

Kalau dibuat perbandingan antara gadis baju merah itu dengan Pek Hon g Nio-cu, alangkah jauh
bedanya. Memang mereka berdua sama sama cantik menarik, sama-sama gagah perkasa, bahkan sama-
sama lincah, agak liar dan galak bersemangat. Akan tetapi gadis baju merah yang liar itu adalah seorang
gadis kang-ouw tulen dan seorang pencuri, sebaliknya Pek Hong Nio-cu adalah seorang puteri raja yang
baik hati. Akan tetapi aneh, dia sukar dapat melupakan gadis baju merah itu dan kalau teringat padanya,
jantungnya berdebar dan wajahnya berseri. Padahal, dia berjanji kalau dapat menemukan gadis baju
merah itu, akan direbahkan gadis itu menelungkup di atas kedua pahanya lalu akan ditamparnya pinggul
gadis itu seputuh kali seperti orang mengajar anaknya yang nakal!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 279

Kemudian, bayangan wajah gadis baju merah yang mencuri kitab milik Kun-lun pai itu terganti wajah
seorang gadis lain. Wajah yang setelah kini terbayang olehnya, makin tampak betapa wajah itu tidak ada
bedanya dengan wajah Pek Hong Nio-cu! Dia mencoba untuk mencari perbedaan antara dua wajah itu.
Namun, seingatnya, tidak ada bedanya sama sekali! Wajah Thio Siang In yang berjuluk Ang-hwa Sian-li,
gadis yang suka memakai pakaian serba hijau itu.

Ada bunga mawar merah di rambutnya. Cantik jelita dan cerdik sekali. Juga amat lihai ilmu silatnya.
Hebatnya, seingatnya Thio Siang In juga mempunyai setitik tahi lalat di dekat mulutnya, di ujung bibir,
sama dengan Puteri Moguhai! Kedua wajah itu serupa benar. Kalau ada perbedaan yang sangat
mencolok adalah warna dan bentuk pakaian mereka. Pek Hong Nio-cu berpakaian serba putih dan Ang-
hwa Sian-li berpakalan serba hijau. Akan tetapi, walaupun tidak sampai mencuri seperti yang dilakukan
gadis baju merah, Thio Siang In itupun seorang gadis yang ugal-ugalan. Hendak meminjam kitab Sam-
jong-cin-keng milik Siauw-lim-pai dengan paksa! Ketika dia tidak mau menyerahkan kitab itu, Ang-hwa
Sian-li Thio Siang In marah dan mengajak bertanding! Sayang sekali, padahal gadis itu gagah perkasa dan
tadinya sudah menjadi teman akrab dengannya. Seperti juga bayangan gadis baju merah, bayangan Ang-
hwa Sian-li ini selalu muncul dalam ingatannya.

Kemudian teringat dia akan wajah Kim Lan, murid Kun-lun-pai itu, bersama su-moinya (adik
seperguruannya) yang bernama Ai Yin. Mereka juga gadis-gadis manis, cantik menarik, gagah perkasa
dan sebagai murid-murid Kun-lun-pai, tentu saja kepandaian mereka tinggi dan watak mereka seperti
pendekar. Akan tetapi sayang, terutama sekali Kim Lan, gadis cantik itu diikat sumpah yang an eh
sehingga ketika kalah bertanding melawannya, kini mengejarnya untuk memaksa dia mengawininya dan
kalau dia menolak, dia akan dibunuhnya!

Thian Liong menghela napas panjang. Aneh-aneh saja pengalamannya dengan gadis-gadis itu! Dan
biarpun mereka, yang tiga orang itu, gadis baju merah, Ang-hwa Sian-li, dan Kim Lan tidak dapat
disamakan dengan Pek Hong Nio-cu yang anggun, bangsawan tinggi dan tidak ada kesalahan kepadanya,
namun tetap saja ada rasa suka pula dalam hatinya terhadap mereka. Dan wajah mereka selalu
bermunculan dalam kenangannya.

“Souw Thian Liong, kenapa engkau menghela napas panjang setelah sejak tadi melamun seorang diri?”
tiba-tiba suara Pek Hong Nio-cu menyadarkan dan seolah menyeret dia kembali ke alam sadar.

“Eh? Apa maksud paduka, Puteri?” tanya Thian Liong gagap, seperti orang baru bangun tidur.

“Hushh! Berapa kali aku memperingatkan agar engkau jangan menyebut aku paduka dan puteri, kecuali
kalau berhadapan dengan para pembesar dan dalam suasana resmi!” tegur Pek Hong Nio-cu dengan alis
berkerut. “Dalam percakapan pribadi, aku ini bukan lain adalah Pek Hong Nio-cu, seorang sahabat yang
sederajat denganmu.”

“Ah, maafkan, Nio-cu. Aku memang pelupa, akan tetapi apa yang kau maksudkan dengan pertanyaanmu
tadi?”

“Hemm, bagaimana sih pertanyaanku tadi, Thian Liong?”

Thian Liong menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, tidak ingat lagi.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 280

“Nah, itu tandanya bahwa engkau tenggelam ke dalam lamunanmu,” kata Pek Hong Nio -cu sambil
menahan dan menghentikan kudanya. Melihat ini, Thian Liong juga menghentikan kudanya. “Thian
Liong, sejak tadi aku melihat engkau melamun dengan pandang mata kosong, kadang tersenyum -
senyum dan kemudian engkau menghela napas panjang. Nah, tadi aku bertanya mengapa engkau
melamun terus dan menghela napas panjang?”

Ah, itukah yang kautanyakan? Nio-cu, marilah kita mengaso dan berteduh di bawah pohon itu,” kata
Thian Liong.

“Baiklah, memang sinar matahari panas bukan main dan kuda kita juga sudah lelah,” kata Pek Hong Nio -
cu.

Mereka menuju ke sebuah pohon besar yang tumbuh di tepi Sungai Han, turun dari kuda dan
menambatkan kuda di batang pohon kecil tak jauh dari situ. “Kota Yun-sian berada tidak jauh lagi di
depan. Sebelum sore kita sudah dapat memasuki kota itu.”

“Nio-cu, agaknya engkau mengenal betul daerah ini,” kata Thian Liong.

“Tentu saja, sudah beberapa kali aku mengunjungi Paman Kuang yang memimpin pasukan menjaga
perbatasan. Tapi, engkau belum menjawab pertanyaan tadi, Thian Liong.”

Pemuda itu duduk di atas batu di bawah pohon yang teduh itu dan Pek Hong Ni o-cu juga duduk di atas
batu di depannya. Pemandangan di situ amat indah. Di dekat mereka, hanya empat meter jauhnya,
tampak Sungai Han mengalirkan airnya yang masih jernih dengan tenang.

Di tepi sungai, kanan kiri, tumbuh subur segala macam pohon dan semak. Sebuah perahu terapung di
tepi sungai tak jauh dari tempat mereka duduk. Seorang pengail duduk di atas perahu itu, duduk seperti
patung, memegangi tangkai pancingnya, bahkan menengokpun tidak ketika Thian Liong dan Pek Hong
Nio-cu berhenti di bawah pohon. Dia tenggelam ke dalam keasyikan memancing ikan.

Pengail itu memakai caping lebar akan tetapi sedikit bagian mukanya kelihatan dan ternyata dia adalah
seorang laki laki yang sudah tua. Thian Liong, dan Pek Hong Nio-cu tidak memperdulikan kakek itu yang
dari bentuk capingnya dapat diduga bahwa dia tentu seorang bersuku bangsa Hui.

“Aku harus menjawab bagaimana, Pek Hong Nio-cu? Aku tadi memang sedang melamun. Panasnya sinar
matahari dan kuda kita yang berjalan perlahan membuat aku mengantuk lalu melamun.”

“Hemm, melamun sambil cengar-cengir, tersenyum dan menghela napas. Apa saja sih yang
kaulamunkan?”

Tentu saja Thian Liong merasa malu untuk menceritakan bahwa tadi dia melamun, membayangkan
gadis-gadis yang pernah berurusan dengannya! “Ah, aku melamun tentang masa laluku sampai saat ini.”

“Kenapa senyum-senyum dan menghela napas segala? Seperti orang bergembira kemudian bersedih!”
desak puteri itu.

“Aku bergembira ketika teringat ketika aku masih kanak-kanak lalu bersedih kalau mengingat keadaanku
sekarang, mengejar pencuri kitab yang tidak kuketahui namanya dan kuketahui tempat tinggalnya. Kitab

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 281

itu harus kudapatkan kembali untuk kuserahkan kepada yang berhak di Kun-lun-pai, kalau tidak berarti
aku gagal melaksanakan perintah suhu.”

Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu penuh perhatian. Agaknya hatinya tertarik sekali. “Souw
Thian Liong, maukah engkau menceritakan rlwayatmu ketika engkau masih kecil, tentang orang tuamu,
tentang gurumu? Aku sudah lama mendengar tentang Tiong Lee Cin-jin yang sangat terkenal sebagai
seorang yang sakti berilmu tinggi, juga yang dikenal sebagai Tabib Dewa, suka menolong siapa saja
tanpa pilih bulu. Bahkan semua keluarga ayahku di istana mengenal nama itu dan merasa kagum.”

“Tidak ada apa-apa yang menarik tentang diriku, Nio-cu. Aku seorang anak desa yang tlnggal di sebuah
dusun kecil di lereng Mao-mao-san. Ketika berusia lima tahun, ayah ibuku meninggal dunia karena
wabah penyakit perut yang mengamuk di dusun kami.”

“Aduh, kasihan sekali engkau, Thian Liong. Dalam usia lima tahun sudah piatu, ditinggal mati ayah ibu,”
kata Pek Hong Nio-cu sambil memandang wajah Thian Liong dengan iba.

“Aku hidup berdua dengan nenekku dan setelah berusia sepuluh tahun aku bekerja kepada Lurah Coa di
dusun kami. Pekerjaanku menggembala kerbau.”

Pek Hong Nio-cu tersenyum lebar. “Ah, aku teringat akan dongeng Ibuku. Ketika aku masih kecil ibu
mendongeng tentang seorang pemuda penggembala kerbau yang dengan tiupan sulingnya menarik
perhatian seorang bidadari sehingga bidadari turun dari langit kemudian menjadi isteri si penggembala
kerbau.”

Thian Liong tertawa. “Ha-ha, kalau meniup suling akupun bisa, akan tetapi mana mungkin ada bidadari
memperhatikan aku?”

“Hemm, siapa tahu? Engkau juga seorang penggembala kerbau yang istimewa, Thian Liong. Lanjutkan
ceritamu yang menarik sekali itu.”

Thian. Liong merasa heran. Bagaimana kisah tentang seorang penggembala kerbau saja menarik hati
gadis ini? Akan tetapi segera dia teringat bahwa gadis ini adalah seorang puteri raja, tentu saja tertarik
mendengar akan kehidupan seorang penggembala seperti juga seorang penggembala akan tertarik
mendengar akan kehidupan seorang puteri raja. Setiap orang selalu tertarik akan hal yang baru, akan hal
yang tak pernah dialaminya atau keadaan yang berlawanan dengan keadaannya sendiri.

“Ketika aku berusia sepuluh tahun, pada suatu hari aku menggembala kerbau dan kebetulan aku
bertemu dengan suhu Tiong Lee Cin-jin. Nenekku yang sudah berusia delapanpuluh tahun, meninggal
dunia dan aku lalu ikut dan menjadi murid suhu. Selama sepuluh tahun aku mempelajari ilmu dari suhu.
Kemudian, setahun lebih yang lalu, suhu menyuruh aku turun gunung dan aku diberi tugas untuk
menyerahkan kitab-kitab kepada Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Sayang sekali, kitab untuk
Kun-lun-pai itu dicuri gadis baju merah yang kini sedang kucari itu. Nah, itulah riwayatku, Nio -cu.
Sekarang akupun ingin mendengar riwayat seorang puteri raja, kalau saja engkau tidak keberatan untuk
menceritakan kepada seorang penggembala kerbau.”

Pek Hong Nio-cu tertawa. “Heh-heh, engkau membalas atau menagih? Riwayatku ketika masih kecil
lebih tidak menarik lagi. Aku hidup di dalam istana, serba tertutup, tidak bebas seperti engkau. Ke mana-
mana dikawal, sungguh menyebalkan. Akan tetapi untung bagiku, ayahku memberi kebebasan kepadaku

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 282

setelah aku remaja, bahkan mengijinkan aku mempelajari segala macam ketangkasan. Menunggang
kuda sudah bisa kulakukan sejak aku berusia lima tahun. Akan tetapi masih kalah olehmu. Engkau berani
menunggang kerbau sejak kecil, sedangkan aku, sampai sekarangpun nanti dulu kalau disuruh
menunggang kerbau!”

“Siapakah yang mengajarimu ilmu silat sehingga engkau kini memiliki kepandaian yang tinggi?”

“Guruku banyak sekali. Jagoan istana yang mana saja tentu akan mengajarkan ilmu sil atnya kepadaku
kalau aku memberitahu ayah. Ayah yang memerintahkan mereka untuk mengajariku dengan baik.”

“Wah, agaknya engkau seorang anak yang manja dan nakal!” kata Thian Liong sambil tertawa.

Pek Hong Nio-cu juga tertawa dan bukan main manisnya kalau puteri ini tertawa. Tawanya bebas
sehingga tampak deretan giginya yang putih rapi seperti mutiara dan lidahnya yang kecil merah sehat.

“Memang aku dimanja olah ayahku akan tetapi aku tidak nakal!” katanya. “Dan guruku yang terakhir
malah belum pernah berhadapan muka dan belum pernah bicara dengan aku, sungguhpun aku pernah
melihatnya satu kali.”

“Lho, bagaimana mungkin? Lalu bagaimana dia kauanggap sebagai gurumu dan bagaimana pula caramu
mempelajari ilmunya?” tanya Thian Liong heran.

“Begini ceritanya. Pada suatu waktu, aku melihat ibu....... bicara dengan seorang laki -laki dalam taman.
Aku tidak berani mengganggu dan ketika aku bertanya kepada ibu, ibu hanya menceritakan bahwa laki -
laki itu adalah seorang sahabat lama dan aku disuruh menyebutnya paman Sie. Paman Sie itu menurut
ibuku, menjadi guruku juga karena dia telah memberikan tiga buah kitab pelajaran silat seperti yang
pernah kuperlihatkan padamu dan sebuah perhiasan rambut yang kupakai ini.” Pek Hong Nio -cu meraba
perhiasan rambut berbentuk burung Hong yang berada di kepalanya.

“Hemm, jadi karena engkau memakai perhiasan itu maka engkau mendapat julukan Pek Hong Nio -cu
(Nona Burung Hong Putih?”

“Kira-kira begitulah, akan tetapi ibuku memesan agar aku merahasiakan dari siapa juga tentang
kunjungan Paman Sie itu. Bahkan kepada ayahpun aku tidak menceritakannya.”

“Akan tetapi kenapa kepadaku engkau menceritakan?”

“Ah, entahlah. Aku percaya padamu, Thian Liong. Dan pula, aku kira ibuku melarang aku bercerita
karena ibuku adalah seorang wanita berbangsa Han dan agaknya Paman Sie itu juga berbangsa Han. Aku
tidak menceritakan kepada seorangpun dari bangsa Nuchen (Kin) dan aku hanya bercerita kepadamu
karena engkau adalah seorang pemuda Han juga dan aku percaya sepenuhnya kepadamu.”

“Terima kasih, Nio-cu. Apakah semenjak itu engkau tidak pernah bertemu atau melihat Paman Sie itu?”

“Tidak pernah. Aku amat berterima kasih kepadanya karena setelah aku mempelajari ilmu -ilmu dari
kitabnya, aku memperoleh kemajuan pesat. Aku ingin sekali bertemu dan menghaturkan terima kasih
kepadanya, akan tetapi aku tidak tahu di mana dia. Bahkan ketika aku bertanya kepada ibu, Ibu juga
tidak mengetahuinya dan hanya mengatakan bahwa Paman Sie adalah seorang perantau besar.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 283

“Tiga buah kitab pelajaran ilmu silat itu memang mengandung pelajaran ilmu silat yang amat hebat, Nio-
cu. Paman Sie itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Oya, kalau Ibumu seorang wanita Han, siapakah
namanya?”

“Namanya Tan Siang Lin. Nama yang bagus, bukan? Dan engkau nanti setelah berhasil menemukan gadis
pencuri kitab dan merampasnya lalu mengembalikan kepada Kun-lun-pai, lalu apa selanjutnya yang akan
kaulakukan, Thian Liong?”

“Suhuku masih memberi sebuah tugas lain yang tidak kalah pentingnya. Aku harus membantu para
pendekar yang berusaha menyelamatkan Kerajaan Sung dari cengkeraman kekuasaan Perdana Menteri
Chin Kui.”

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. “Ah, aku tahu siapa itu Perdana Menteri Chin Kui. Dia banyak
membantu Kerajaan Kin, akan tetapi ibuku seringkali bilang bahwa Perdana Menteri Chin Kui dari
Kerajaan Sung itu adalah seorang pengkhianat besar dan seorang jahat. Bahkan akhir-akhir ini ayahku,
Raja Kerajaan Kin, juga mengecamnya dan pernah bilang kepadaku bahwa Chin Kui adalah seekor ular
kepala dua yang berbahaya dan tidak boleh dipercaya. Sebagai perantara hubungan Kerajaan Kin dan
Kerajaan Sung, Chin Kui itu sering kali menjegal dan telah ketahuan bahwa dia juga mencuri sebagian
dari hadiah-hadiah yang dikirimkan oleh Raja Sung untuk Raja Kin. Maka, sekarang ayahku mulai tidak
percaya dan merenggangkan hubungannya dengan pembesar Chin Kui itu.”

“Wah, agaknya engkau mengerti banyak tentang keadaan politik kerajaan Kin, Nio-cu!” kata Thian Liong
sambil memandang kagum. Ternyata gadis ini memiliki banyak kemampuan dan pengetahuan yan g
mengejutkan. Biasanya wanita jarang ada yang mau tahu tentang pemerintahan.

“Tentu saja, Thian Liong. Akupun bertanggung jawab atas keselamatan pemerintahan Kerajaan Kin yang
dipimpin ayah, bukan? Malah diam-diam akupun melakukan penyelidikan dan selalu menentang dan
memberantas para pembesar Kin yang lalim, tidak jujur dan tidak setia. Aku tahu pula bahwa diam -diam
ada persekutuan di kota raja dan aku mendengar bahwa persekutuan untuk memberontak itu dibantu
pula oleh pembesar Chin Kui dari Kerajaan Sung.”

“Ah, begitukah?”

“Karena itulah aku sekarang pergi ke barat untuk mengunjungi Paman Pangeran Kuang yang menjadi
panglima yang memimpin bala tentara yang menjaga perbatasan. Aku akan menceritakan semua itu
kepada Paman Pangeran Kuang karena dia adalah seorang ahli yang setia kepada ayah dan menjadi
komandan pasukan besar dan kuat. Dia tentu akan datang ke kota raja membawa pasukannya untuk
menghancurkan komplotan pemberontak itu.”

“Siapakah yang memimpin persekutuan untuk memberontak, Nio-cu?” Thian Liong merasa heran.
Ternyata Kerajaan Kin yang merupakan kerajaan bangsa Nu-chen yang menjajah dan terkenal kuat
itupun keadaannya sama saja dengan kerajaan Sung yang karena penyerangan bangsa Nuchen terpaksa
pindah ke sebelah selatan Sungai Yang-ce, yaitu ada saja orang-orang yang berkhianat. “Atau, barangkali
aku tidak boleh mengetahui?”

“Ah, aku percaya padamu, Thian Liong. Engkaupun tadi sudah bicara blak blakan tentang Perdana
Menteri Chin Kui kepadaku. Penggerak persekutuan pemberontak itu adalah seorang pangeran juga, jadi

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 284

masih pamanku sendiri, paman tiri. Dia bernama Pangeran Hiu Kit Bong. Akan tetapi karena belum
mendapatkan bukti bahwa dia akan memberontak dan menyusun kekuatan secara diam-diam, bahkan
mungkin sekali mengadakan persekutuan dengan Chin Kui, maka aku tidak dapat berbuat sesuatu.
Melapor kepada ayahpun pasti tidak akan dipercaya kalau tidak ada buktinya. Karena itu, jalan satu -
satunya adalah menceritakan kepada Paman Pangeran Kuang yang tentu akan dapat membasmi para
pemberontak.”

“Hemm, kalau ada kesempatan, aku siap untuk membantumu, Nio-cu,” kata Thian Liong.

Pek Hong Nio-cu menatap wajah Thian Liong, seolah ingin menjenguk isi hati pemuda itu. “Akan tetapi,
Thian Liong, engkau seorang pemuda berbangsa Han!”

“Hemm, kalau begitu, kenapa Nio-cu?”

“Bagaimana engkau akan membela kepentingan kerajaan Kin? Bukankah kerajaan Kin telah
menyebabkan kerajaan Sung mengungsi ke selatan? Apakah engkau tidak mendendam kepada bangsa
Nuchen yang mendirikan kerajaan Kin yang menjajah tanah airmu?”

Thian Liong merasa heran. Bagaimana puteri raja Kin dapat berkata begitu ke -padanya? Ini tentu
pengaruh ibu puteri itu, yang juga seorang wanita berbangsa pribumi Han.

“Suhu mengajarkan kepadaku agar aku tidak mencampuri urusan antara kerajaan Kin dan kerajaan Sung.
Menurut suhu, yang terpenting adalah menyejahterakan kehidupan rakyat, melenyapkan kejahatan dan
kebodohan. Karena kalau rakyat hidup sejahtera dan kejahatan dapat dlbasmi atau setidaknya dikurangi,
maka negara akan menjadi kuat. Kalau para pejabat melakukan tugasnya dengan jujur dan setia,
mementingkan kebutuhan rakyat jelata, maka rakyat pasti akan mendukung pemerintah dan
pemerintah menjadi kuat. Kalau terjadi sebaliknya, yaitu kalau para pejabat saling berebutan kekuasaan
dan harta benda, tanpa memperdulikan rakyat bahkan menindas rakyat, pasti pemerintah yang tidak
didukung rakyat akan menjadi lemah dan mudah dikalahkan musuh, seperti halnya kerajaan Sung
dahulu. Mengingat akan ajaran suhu itu, aku tidak mau mendendam kepada kerajaan Kin, bahkan aku
siap membantu selama kerajaan Kin mempunyai pemeritahan yang baik dan yang memperhatikan
kepentingan rakyat jelata.”

“Bagus! Akupun berpendirian seperti engkau, Thian Liong. Apalagi aku mempunyai darah campuran,
ayahku orang Nuchen dan ibuku orang Han. Kalau engkau mau membantu aku menentang pemberontak
di kerajaan Kin, kelak aku pasti akan membantumu untuk menentang kekuasaan Chin Kui yang
berkhianat terhadap kerajaan Sung.”

Tiba-tiba terdengar suara derap kaki banyak kuda. Thian Liong dan Pe k Hong Nio-cu duduk dengan tetap
tenang dan memandang ke arah rombongan berkuda yang mengakibatkan debu mengepul itu. Akan
tetapi ketika rombongan itu tiba di dekat mereka, terdengar seruan nyaring.

“Berhenti......!!”

Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong masih duduk dengan tenang walaupun kini mereka memandang
kepada rombongan itu dengan penuh perhatian. Mereka melihat bahwa mereka semua terdiri dari
sekitar tigapuluh orang akan tetapi tidak dapat dilihat jelas wajah mereka karena debu mengepul dan
banyak di antara mereka yang wajahnya tertutup debu seperti dibedaki.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 285

Akan tetapi melihat pakaian seragam pasukan itu, Pek Hong Nio-cu mengenal mereka sebagai pasukan
kerajaan Kin. Maka ia cepat bangkit dan melangkah maju menghadapi mereka.

Kembali terdengar aba-aba dan semua perajurit berlompatan turun dari atas kuda mereka. Beberapa
orang di antara mereka yang bertugas mengatur kuda segera mengumpulkan kuda-kuda itu agak
menjauh dan menambatkannya pada pohon pohon.

Lima orang jagoan yang memimpin pasukan itu cepat maju dan berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu.
Tentu saja puteri ini segera mengenal mereka karena dahulu, ketika ia masih remaja dan lima orang itu
masih menjadi pengawal-pengawal pribadi Raja Kin, ia pernah juga menerima pelajaran silat dari
mereka. Akan tetapi kemudian lima orang ini melakukan pelanggaran dan dikeluarkan dari istana. Maka,
tentu saja Pek Hong Nio-cu tidak lagi menganggap mereka sebagai guru, bahkan memandang mereka
sebagai orang-orang yang jahat dan khianat.

Dengan alis berkerut Pek Hong Nio-cu memandang lima orang yang berdiri dengan sikap sungkan itu,
lalu ia menegur mereka. “Mau apa kalian datang ke sini? Hayo pergi dan jangan mengganggu aku!”

Bagaimanapun juga, Puteri Moguhai amat terkenal dan disegani segenap orang di kerajaan Kin. Ia
memiliki wibawa yang amat kuat sehingga ketika puteri itu membentak mereka, lima orang jagoan itu
menjadi gentar dan mereka saling pandang, menjadi salah tingkah.

Con Gu mewakili rekan-rekannya berkata kepada Pek Hong Nio-cu setelah membungkuk dalam-dalam.
“Harap paduka maafkan kami kalau kami mengganggu. Kami melaksanakan perintah Sri baginda Kaisar
untuk mengajak paduka pulang ke kotaraja.”

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. “Kenapa aku harus pulang? Apa yang terjadi di istana?”
terkandung kekhawatiran dalam suaranya.

“Kami tidak tahu, tugas kami hanya mengajak paduka segera kembali ke kota raja,” kata Con Gu.

Pek Hong Nio-cu adalah seorang gadis yang cerdik. Ia berpikir, kalau ayahnya memanggilnya puIang,
tidak mungkin ayahnya mengutus lima orang ini. Apa lagi pasukan itu bukan pasukan pengawal istana
karena ia tidak mengenal mereka. Ada sesuatu yang ganjil di sini, sesuatu yang agaknya tidak beres.

“Kalau Sribaginda memanggil aku pulang dan memerintahkan kalian menjemputku, perlihatkan padaku
surat perintahnya!” katanya sambil menatap tajam wajah Con Gu.

Con Gu menjadi salah tingkah dan kembali dia saling pandang dengan empat orang rekannya dan
tampak bingung. “Akan tetapi......” Dia berkata gagap.

“Tidak ada tapi, cepat keluarkan surat perintah Sribaginda Kaisar!” bentak Pek Hong Nio-cu sambil
menghunus pedang bengkok dari emas yang menjadi tanda kekuasaannya sebagai wakil Kaisar itu.

Con Gu menjadi semakin bingung. Akan tetapi tiba-tiba Koi Cu, orang kedua dari lima jagoan itu, yang
lebih tabah, berkata, “Surat perintahnya berada di tangan Pangeran Hiu Kit Bong dan kami menerima
perintah dari beliau. Harap paduka menurut dan ikut saja dengan kami!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 286

Wajah Pek Hong Nio-cu yang putih itu kini berubah kemerahan, sinar matanya menyambar penuh
kemarahan. “Keparat! Kalian tidak melihat pedang kekuasaan ini? Aku tidak mau pulang bersama kalian,
habis kalian mau apa?”

Melihat keberanian Koi Cu tadi, kini Con Gu pulih kembali ketabahannya dan dia berkata, “Kalau paduka
menolak, terpaksa kami menggunakan kekerasan.”

“Berani kalian melawan aku yang membawa pedang kekuasaan ini? Berarti kalian berani melawan
Sribaginda Kaisar, berarti kalian pengkhianat dan pemberontak!”

“Kami hanya melaksanakan perintah Pangeran Hiu Kit Bong!” kata Con Gu.

“Kalau begitu paman Pangeran Hiu Kit Bong itu yang hendak memberontak! Aku tetap tidak mau ikut
kalian pulang. Hendak kulihat kalian dapat berbuat apa terhadapku!” Pek Hong Nio -cu membentak
marah.

“Kalau begitu, terpaksa kami akan menangkap paduka!” Con Gu berkata dan dia memberi isyarat.

Dua losin perajurit itu lalu bergerak mengepung kanan kiri dan depan Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong
yang masih duduk. Di belakang kedua orang muda ini adalah sungai sehingga mereka tidak
mendapatkan jalan keluar, sudah terkepung rapat. Thian Liong lalu melompat dan berdiri di sisi Pek
Hong Nio-cu. Tadi dia diam saja karena tidak ingin mencampuri Pek Hong Nio-cu yang bicara dengan
pimpinan pasukan kerajaan Kin dan dia merupakan orang luar. Akan tetapi melihat perkembangannya,
mau tidak mau harus mencampurinya.

“Hei, apakah kalian berlima ini tidak malu? Yang hendak kalian lawan ini adalah puteri Sri Baginda Kaisar
kerajaan Kin, junjungan kalian sendiri! Berarti kalian ini terang-terangan menjadi pengkhianat dan
pemberontak!” kata Thian Liong sambil memandang tajam mereka berlima.

Tiba-tiba dari belakang pasukan itu menerobos seorang pemuda yang pakaiannya menunjukkan bahwa
dia bukan anggauta pasukan.

“Souw Thian Liong, engkau harus kutangkap untuk menerima pengadilan di depan para k etua Siauw-lim-
pai dan Kun-lun-pai!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Song yang tadi memang
bersembunyi di belakang pasukan.

Melihat pemuda itu, Thian Liong terbelalak kaget dan heran bukan main.

“Cia-suheng (kakak seperguruan Cia)! Engkau di sini, bersama pasukan pengkhianat ini? Apa artinya ini,
suheng?”

“Tak usah engkau mengurus hal itu. Menyerahlah engkau untuk kubawa menghadap para ketua Siauw -
lim-pai dan Kun lun-pai untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!”

“Perbuatan apakah itu, Cia-suheng?” Thian Liong bertanya, heran dan penasaran.
“Jangan pura-pura bertanya! Menyerah saja dan engkau akan diadili!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 287

Pek Hong Nio-cu berseru keras, “Ah, sekarang aku tahu, Thian Liong. Orang yang kausebut suhengmu ini
tentulah utusan Perdana Menteri Chin Kui untuk menghubungi pengkhianat Pangeran Hiu Kit Bong itu!”

Thian Liong terbelalak memandang kepada Cia Song. “Ah! Benarkah engkau menjadi anak buah Perdana
Menteri Chin Kui dan bersekutu dengan pangeran yang memberontak di kerajaan Kin? Cia-suheng,
bagaimana engkau bisa.......”

“Tangkap mereka! Keroyok pemuda itu, biar aku yang menangkap Pek Hong Nio-cu!” kata Cia Song dan
dia sudah menerjang maju, menyerang Pek Hong Nio-cu dengan pedang beronce merah yang dia cabut
dari punggungnya.

“Tranggg......!” Pek Hong Nio-cu menangkis dan keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar,
menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga sin-kang yang tidak berselisih jauh kekuatannya.

Sementara itu, lima orang jagoan Kin itu sudah membentuk Ngo-heng Kiam-tin mengeroyok Thian Liong.
Melihat hebatnya barisan pedang itu, yang masing masing anggautanya menggerakkan pedang samurai
dengan dahsyat sekali, Thian Liong juga mencabut Thian-liong-kiam dan memutar pedangnya untuk
melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya bertubi-tubi dari lima jurusan itu.

Thian Liong maklum bahwa dia menghadapi orang-orangnya para pengkhianat, baik pengkhianat
kerajaan Sung maupun pengkhianat kerajaan Kin dan pasti mereka itu tidak mempunyai niat baik
terhadap Pek Hong Nio-cu. Akan tetapi dia merasa heran sekali mengapa Cia Song yang sama sekali
tidak diduganya telah menjadi antek Chin Kui dan bersekongkol dangan pengkhianat kerajaan Kin kini
hendak menangkapnya untuk dihadapkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk
diadili! Apa yang terjadi? Dia tidak melakukan sesuatu kesalahan terhadap dua perkumpulan besar itu!
Karena merasa penasaran, Thian Liong lalu mengamuk.

Thian-liong-kiam di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung sehingga Ngo-heng Kiam tin
itupun tidak mampu mendesaknya dan serangan mereka selalu terpental apabila bertemu dengan sinar
pedang itu. Akan tetapi Thian Liong juga mendapat kenyataan bahwa barisan pedang yang terdiri dari
lima orang itu tak boleh dipandang ringan. Kerja sama mereka rapi sekal i, saling melindungi dan saling
memperkuat daya serang sehingga dia harus berhati-hati.

Sementara itu, Pek Hong Nio-cu menjadi marah sekali ketika Cia Song berkata dengan suara merayu,
“Ah, puteri jelita, sebaiknya engkau menyerah saja daripada kulitmu yang putih mulus itu menjadi lecet.
Sayang kalau engkau sampai terluka, manis.”

“Singgg......!” Itulah jawaban Pek Hong Nio-cu. Pedangnya menyambar dahsyat sehingga Cia Song
menjadi terkejut sekali dan dia harus cepat mengelak sambil menggerakkan pedangnya menangkis.

“Cringgg......!” Akan tetapi begitu tertangkis, pedang di tangan Pek Hong Nio cu itu telah menyambar
lagi, sekali ini dengan babatan seperti kilat menyambar ke arah leher lawan!

Cia Song kembali harus melompat ke belakang untuk menghindarkan diri, kemudian mau tidak mau dia
membalas dengan serangannya karena tak mungkin melawan gadis ini hanya dengan bertahan saja. Pek
Hong Nio-cu terlalu tangguh untuk dilawan dengan seenaknya. Dia harus mengerahkan seluruh tenaga
dan mengeluarkan semua ilmunya untuk dapat mengimbangi gadis bangsawan itu. Bahkan ketika dia
mencoba untuk mempergunakan ilmu sihirnya, mengeluarkan bentakan dengan suara yang

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 288

mengandung sihir dan dayanya melumpuhkan, Pek Hong Nio-cu sama sekali tidak terpengaruh. Hal ini
adalah karena dara itu juga telah menghimpun tenaga sakti yang kuat sehingga dapat menolak pengaruh
sihir lawan.

Melihat betapa tidak mudah baginya untuk mengalahkan Pek Hong Nio-cu, apalagi menangkapnya, dan
melihat pula sekelebatan betapa keadaan Ngo-heng Kiam-tin juga tidak lebih baik karena mereka itu
agaknya bahkan kewalahan menghadapi gulungan sinar pedang Thian Liong, Cia Song lalu berseru
kepada pasukan yang terdiri dari dua losin perajurit itu.

“Pasukan bergerak, serbu......!!”

Dua losin perajurit itu bergerak, terpecah menjadi dua bagian. Selosin perajurit mengeroyok Thian Liong
dan yang selosin lagi mengeroyok Pek Hong Nio-cu.

Pek Hong Nio-cu yang mendapatkan lawan seimbang, bahkan merasa betapa Cia Song merupakan lawan
yang amat tangguh, menjadi marah sekali ketika selosin orang perajurit itu membantu Cia Song
mengeroyoknya. Ia berseru melengking dan pedangnya yang membentuk sinar keemasan itu
menyambar-nyambar.

Dua orang perajurit mengaduh dan terpelanting roboh. Melihat ini, Cia Song memperhebat desakannya
dan para perajurit yang mengeroyok mulai khawatir. Mereka adalah perajurit pilihan, namun dalam
beberapa jurus saja gadis itu telah mampu merobohkan dua orang!

Thian Liong juga mempercepat gerakan pedangnya setelah selosin orang perajurit ikut mengeroyok.
Menghadapi Ngo heng Kiam-tin dia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi sebelum dapat
merobohkan lima orang samurai itu, kini maju selosin perajurit mengeroyoknya. Maka dia segera
menerjang dan tiga orang perajurit roboh oleh sambaran sinar pedangnya.

Tiba-tiba Cia Song mengeluarkan aba aba. Memang dialah sebenarnya yang menjadi pemimpin pasukan
itu dan Ngo heng Kiam-tin hanya menjadi pembantu-pembantunya. Setelah dia mengeluarkan aba-aba,
sisa perajurit yang masih sembilanbelas orang itu segera mengeluarkan jaring yang memang sudah
dlpersiapkan dan mereka adalah perajurit-perajurit yang terlatih menggunakan senjata istimewa ini.
Begitu mereka menyerang maka jaring-jaring ditebarkan ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu! Dua
orang muda itu mengelak ke sana-sini dan menggunakan pedang untuk menangkis dan merobek jaring
yang menyambar. Akan tetapi mereka terkejut karena ternyata jaring-jaring itu terbuat dari tali
istimewa yang tidak mudah dirusak senjata tajam!

Akhirnya tubuh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu tertangkap jaring! Thian Liong mengerahkan tenaga
saktinya, meronta dan menggerakkan pedangnya. Dua orang yang berhasil menangkapnya dengan jaring
dan memegangi tali jaring itu, disambar sinar pedangnya yang mencuat keluar dari jaring. Dua orang ftu
terpelanting roboh. Thian Liong meronta keluar dari selimutan jaring-jaring itu.

Dia melihat betapa Pek Hong Nio-cu juga tertangkap oleh dua jaring dan dara itu meronta-ronta,
mengamuk dengan pedangnya namun tidak dapat melepaskan dirinya. Melihat ini, Thian Liong
mengeluarkan pekik melengking dan getaran suara pekik yang amat lantang ini membuat pengeroyok
mundur beberapa langkah. Dia lalu melompat mendekati Pek Hong Nio-cu. Pedangnya digerakkan
menangkis sambaran pedang Cia Song.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 289

'Tranggg......!” Bunga api berpijar dan Cia Song terpental mundur beberapa langkah. Biarpun tubuhnya
sudah diselimuti jaring, namun Pek Hong Nio-cu masih dapat melindungi dirinya dengan pedangnya
yang dapat keluar dari sela-sela tali jaring. Thian Liong mendesak maju dan begitu pedangnya
berkelebat, dua orang perejurit yang menangkap Pek Hong Nio-cu dengan jaring mereka terpelanting
roboh. Thian Liong cepat membuka tali jaring dan menyambar tangan Pek Hong Nio-cu. Keadaannya
terlalu berbahaya setelah para perajurit mempergunakan senjata jaring itu.

“Kita pergi!” katanya dan dia mengajak Pek Hong Niocu melompat ke tepi sungai lalu sekali
menggerakkan kaki, mereka berdua melompat ke atas perahu di mana kakek tadi masih memegang
tangkai pancingnya dengan tenang seolah tidak mendengar atau melihat adanya pertandingan di dekat
sungai. Dengan ginkangnya yang tinggi, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu dapat hinggap di atas perahu
pengail ikan itu tanpa mengakibatkan perahu itu oleng terlalu kuat.

“Maafkan, paman. Kami menumpang di perahumu......” kata Thian Liong.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pengail ikan yang tua itu tiba-tiba saja menggerakkan kedua
tangannya mendorong ke depan, ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Dorongan itu mendatangkan
angin yang dahsyat. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berusaha menangkis, namun karena mereka
berdiri di atas perahu yang kecil, maka tak dapat dihindarkan lagi tubuh mereka terdorong dan
keduanya terjengkang dan terjatuh ke dalam air!

Mereka memang tidak sampai terluka oleh serangan pukulan jarak jauh, akan tetapi mereka terjatuh ke
dalam air yang dalam. Keduanya hanya dapat berenang sekadar tidak tenggelam saja. Akan tetapi ketika
mereka berusaha berenang, para perajurit berloncatan ke dalam air dan tak lama kemudian, Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu merasa betapa kaki mereka dipegang orang dari bawah dan tubuh mereka diseret
ke dalam air!

Tentu saja mereka terkejut bukan main dan berusaha melepaskan kaki mereka yang dipegang orang.
Akan tetapi, kini yang memegangi kaki mereka bertambah banyak. Di darat boleh jadi mereka
merupakan orang-orang yang amat lihai. Akan tetapi dalam air, mereka tak mampu berbuat banyak
karena melawan air agar tidak tenggelam saja sudah membutuhkan sebagian besar tenaga mereka.
Karena itu, ketika kaki mereka dipegang banyak orang yang memang merupakan pakar dalam air,
mereka tidak berdaya. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berusaha untuk menahan napas, namun
mereka menjadi lemas dan akhirnya tak dapat meronta lagi dan mereka berdua dibelit-belit tali yang
kuat lalu dinaikkan ke darat dalam keadaan setengah pingsan!

Karena Cia Song tidak menghendaki mereka mati, maka dia lalu memerintahkan para perajurit yang ahli
dalam menolong orang yang hanyut dalam air untuk menyelamatkan dua orang tawanan itu. Tubuh
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu ditelungkupkan dan banyak air yang tertelan dapat dikeluarkan melalui
mulut. Akhirnya kedua orang tawanan itu sadar betul.

Thian Liong melihat bahwa dia dan Pek Hong Nio-cu sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan
tubuh mereka tidak dapat digerakkan karena agaknya telah ditotok secara lihai sekali. Dia menduga
bahwa yang menotok jalan darah mereka tentulah Cia Song. Dia tidak berkata apa-apa hanya
memandang mereka yang berdiri menghadapinya. Dia melihat lima orang yang membentuk N go-heng
Kilam-tin yang tadi mengeroyoknya dan di samping mereka berdiri Cia Song yang memandang kepada
Pek Hong Nio-cu dengan mulut menyeringai.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 290

Dan di sebelah murid Siauw-lim-pai yang menjadi antek Chin Kui dan bersekongkol dengan para
pengkhianat kerajaan Kin itu berdiri seorang kakek yang bukan lain adalah tukang pancing tadi! Kiranya
kakek tukang pancing itu merupakan seorang di antara mereka, bahkan yang mengejutkan hati Thian
Liong adalah ketika Cia Song bicara kepada kakek itu dan menyebutnya suhu. Jadi, di samping menjadi
murid Siauw-lim-pai, diam-diam Cia Song telah berguru kepada kakek ini yang belum dia ketahui siapa
orangnya.

“Suhu, sungguh kebetulan sekali suhu berada di sini. Teecu (murid) tadi sama sekali tidak mengenal
suhu yang teecu kira seorang pemancing ikan biasa. Maafkan teecu dan terima kasih atas bantuan suhu
sehingga mereka berdua ini dapat ditangkap,” kata Cia Song yang membuat Thian Liong keheranan dan
kini dia mengamati kakek itu.

Kakek yang memakai caping lebar itu sudah tua, kurang lebih delapanpuluh tahun usianya. Tubuhnya
tinggi kurus dan sikapnya lemah lembut. Dia memegang sebatang tongkat bambu.

Kakek itu tertawa lirih. “Heh-heh, memang akhir-akhir ini aku sedang suka hidup di atas perahu dan
setiap hari memancing ikan. Cia Song, aku dengar tadi semua pembicaraan. Jadi Pek Hong Nio-cu yang
namanya terkenal itu adalah puteri Kaisar kerajaan Kin? Bukan main! Dan pemuda ini, ilmu silatnya
hebat sekali. Murid siapakah dia?”

“Suhu, dia itu Souw Thian Liong murid Tiong Lee Cin-jin,” jawab Cia Song.

“Eh? Murid Tiong Lee Cin-jin? Kalau begitu mengapa tidak kau bunuh saja dia? Kalau dibiarkan hidup,
kelak akan menjadi bahaya besar bagimu. Ilmu kepandaiannya lihai sekali, engkau tidak akan menang
melawannya. Kalau tidak dibantu air sungai ini, mustahil engkau dapat menangkapnya.” Kakek itu
menggunakan tangan kiri mengelus jenggotnya yang tebal dan sudah berwarna putih.

“Tidak, suhu. Teecu akan membawanya menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang
akan mengadili dan menghukumnya.”

“Lalu apa yang hendak kaulakukan dengan puteri ini?” tanya pula kakek itu.

“Ia akan kami bawa kepada Pangeran Hiu Kit Bong untuk dijadikan sandera. Suhu, kalau suhu tidak ada
urusan sesuatu, marilah suhu ikut dengan teecu. Sebaiknya kalau suhu membantu Pangeran Hiu Kit
Bong agar kelak di hari tua suhu akan mendapatkan kemuliaan dan kehormatan.”

“Ha-ha, baiklah, Cia Song. Akupun sudah mulai bosan memancing ikan setiap hari. Aku ikut denganmu,”
kata kakek itu lalu dia membuang pancing dan capingnya. Ternyata di bawah capingnya itu dia memakai
sebuah sorban berwarna putih.

Pada saat itu Pek Hong Nio-cu baru sadar betul dan begitu ia sadar, ia lalu mencaci maki. “Jahanam
keparat kalian para pengkhianat! Kalau Sribaginda mendengar, kalian tentu akan mendapatkan
hukuman siksa sampai mati! Dan kamu, tua bangka keparat, aku tahu siapa kamu! Kamu adalah Ali
Ahmed, datuk bangsa Hui yang sudah terkenal jahat dan kejam. Engkau manusia terkutuk, sudah tua
bangka mau mati masih tidak mencari jalan terang. Matimu tentu akan tersiksa dan engkau akan masuk
neraka jahanam!”

Cia Song memerintah anak buahnya. “Bawa kereta itu ke sini!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 291

Ternyata rombongan itu sudah mempersiapkan sebuah kereta untuk mengangkut kedua tawanan
mereka. Setelah kereta yang ditarik dua ekor kuda itu datang, Cia Song berkata kepada Con Gu. “Paman
Con Gu, kau angkat Thian Liong dan aku yang mengangkat sang puteri, kita masukkan mereka dalam
kereta. Dan suhu, teecu harap suka duduk dalam kereta agar tidak lelah dalam perjalanan dan sekali an
suhu menjaga dua orang tawanan ini agar tidak sampai lolos.”

“Hu-hu-ha-ha, baik, baik. Aku senang naik kereta,” kata kakek itu yang bukan lain adalah Ali Ahmed yang
sepuluh tahun lebih yang lalu pernah mencoba untuk merampok kitab-kitab dari Tiong Lee Cin-jin. Dia
memang menjadi guru dari Cia Song selama beberapa tahun.

Thian Liong diangkut oleh Con Gu, dibantu oleh Koi Cu, dan memasukkan pemuda itu ke dalam kereta.
Cia Song sendiri memondong tubuh Pek Hong Nio-cu dan dia sengaja mendekap tubuh yang lunak
hangat itu kuat-kuat ke dadanya, membuat jantungnya berdebar keras dibakar gairah berahinya.

Pek Hong Nio-cu tidak dapat meronta karena seluruh tubuhnya, dari kaki sampai ke dada, dibelit tali dan
kaki tangannya diborgol kuat-kuat. Hanya matanya yang memandang kepada Cia Song dengan
kebencian yang meluap-luap. Melihat sinar mata ini, kuncup juga hati Cia Song dan dia mencoba
mengambil hati.

“Pek Hong Nio-cu, kalau engkau bersikap manis kepadaku, aku jamin engkau akan diperlakukan dengan
baik dan tidak akan ada yang berani mengganggumu.”

“Siapa sudi mendengar ocehanmu!” kata sang puteri dengan marah.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu didudukan di dalam kereta, berdampingan menghadap ke belakang
sedangkan Ali Ahmed duduk di bangku di depan mereka. Begitu duduk dan bersandar, kakek tua renta
itu segera tertidur sambil memegang tongkat bambunya. Akan tetapi baik Thian Liong maupun Pek Hong
Nio cu maklum bahwa kakek itu tidak kehilangan kewaspadaannya dan selalu memperhatikan gerak
gerik mereka berdua.

“Nio-cu aku menyesal sekali bahwa engkau sampai menjadi tawanan seperti ini. Semua ini gara-gara
orang yang selama ini kuanggap sebagai suhengku (kakak seperguruanku). Tidak tahunya dia seorang
murid Siauw-lim-pai yang berkhianat, tidak saja terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi bahkan terhadap
bangsa dan negara.”

“Tidak usah menyesal, Thian Liong. Kalau ada yang menyesal, maka akulah orangnya. Kalau engkau tidak
melakukan perjalanan bersama aku, engkau tentu tidak akan mengalami seperti sekarang ini.”

“Hemm, aku masih tidak mengerti mengapa jahanam itu menangkap aku. Engkau...... tidak takut, Nio-
cu?”

Dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan tidak berdaya seperti puteri yang gagah perkasa itu
masih dapat tersenyum manis sekali. “Takut? Bukankah engkau pernah rnengatakan bahwa hidup atau
matinya seseorang itu berada di tangan Yang Maha Kuasa? Mengapa mesti takut? Kalau Yang Maha
Kuasa menghendaki kita mati, siapa yang akan mampu mencegahnya, dan kalau Dia menghendaki kita
hidup, siapa yang akan mampu membunuh kita?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 292

“Bagus! Engkau benar, Nio-cu. Akan tetapi, apakah engkau tidak putus harapan?”

“Mengapa putus harapan? Selama masih hidup, kita masih dapat berusaha untuk mengatasinya. Putus
harapan berarti sudah menyerah sebelum berusaha. Aku tidak akan pernah putus harapan selagi masih
hidup.”

Thian Liong merasa kagum akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir bukan main. Bukan khawatir
kalau puteri itu akan dibunuh, melainkan khawatir akan bahaya yang lebih mengerikan daripada
kematian itu sendiri. Cara Cia Song memandang sang puteri tadi, cara dia memondong dan
mendekapnya yang sempat dilihatnya, membuat dia merasa khawatir sekali. Dia dapat merasakan
betapa pemuda sesat itu memandang Pek Hong Nio-cu seperti seekor serigala memandang seekor
kelinci!

Setelah rombongan itu berjalan sekitar dua jam mereka memasuki sebuah hutan yang cukup lebat. Akan
tetapi terdapat sebuah jalan yang cukup lebar dalam hutan itu, jalan yang dibuat oleh pasukan kerajaan
Kin untuk membuat hubungan dari daerah perbatasan sampai ke kota raja menjadi lancar. Juga para
pedagang yang suka melakukan perjalanan dalam rombongan besar, yaitu dalam kafilah, membawa
barang-barang dagangan dari timur ke barat dan sebaliknya, amat memerlukan jalan raya ini sehingga
merekapun turun tangan mengeluarkan biaya untuk memperbaiki jalan itu sehingga kini jalan itu
merupakan jalan yang cukup lebar dan nyaman.

Akan tetapi, baru kurang lebih satu lie (mil) rombongan pasukan yang dipimpin Cia Song itu memasuki
hutan, tiba tiba saja terdengar suara berisik di depan dan mereka segera menahan kuda masing-masing.
Kereta yang berada di tengah-tengah rombongan itupun dihentikan karena mereka semua melihat
sebatang pohon besar tumbang menimbulkan suara berisik dan jatuh berdembum melintang dan
menghalangi jalan!

Semua orang merasa heran dan mendekati pohon yang tumbang itu. Pohon itu besar dan cabangnya
malang melintang memenuhi jalan. Bagi kuda-kuda tentu dapat mengambil jalan melalui pohon-pohon
di tepi jalan, akan tetapi karena pohon-pohon itu berdekatan dan lebat sekali, juga banyak semak
belukar, maka tidak mungkin bagi kereta untuk mendapatkan jalan lain kecuali jalan yang terhalang
pohon roboh itu,

“Cepat singkirkan pohon itu!” Cia Song memberi perintah.

Para perajurit segera turun tangan dan beramai-ramai mereka memotongi batang pohon dan
menariknya ke tepi jalan. Pekerjaan itu memakan waktu satu jam lebih, barulah kereta dapat lewat.
Akan tetapi, baru saja kereta bergerak, belum ada duapuluh tombak jauhnya, kembali sebatang pohon
di depan mereka roboh melintang di jalan!

Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin mulai curiga. Robohnya pohon pertama mereka anggap
sebagai hal yang kebetulan saja karena mungkin batang pohon itu sudah keropos. Akan tetapi robohnya
pohon kedua ini tak mungkin hanya kebetulan saja. Mereka berenam, juga para perajurit, memandang
ke sekeliling. Akan tetapi tidak tampak bayangan seorangpun manusia lain di sekitar tempat itu.

Karena tidak dapat ditemukan orang lain yang mungkin menjadi penyebab tumbangnya pohon itu,
terpaksa Cia Song kembali memerintahkan para perajurit untuk menyingkirkan pohon kedua yang roboh
itu. Dia kini melihat hal yang membuat dia bergidik dan merasa seram. Kalau pohon pertama itu

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 293

tumbang dan patah batangnya, pohon kedua ini tumbang dan jebol berikut akar-akarnya! Tenaga apa
yang mampu merobohkan pohon sebesar itu sampai jebol berikut akarnya? Seekor gajahpun belum
tentu mampu melakukannya!

Kembali waktu lebih dari satu jam dipergunakan untuk menyingkirkan pohon kedua. Akan tetapi baru
saja pohon itu disingkirkan, terdengar lagi bunyi berisik dan pohon berikutnya di depan yang lebih besar
lagi tumbang melintang di pinggir jalan!

Sekali ini Cia Song tidak merasa ragu lagi. Pasti ada yang merobohkan pohon pohon itu! Akan tetapi,
kiranya tidak mungkin ada manusia yang sanggup merobohkannya. Dia cepat menghampiri kereta di
mana gurunya masih duduk dan agaknya Ali Ahmed tidak begitu perduli akan robohnya dua batang
pohon tadi.

Sementara itu, Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu dan pemuda itu tersenyum, juga
sang puteri tersenyum karena mereka berdua merasa yakin bahwa robohnya pohon -pohon secara
berturut-turut itu bukan hal kebetulan dan jelas merupakan halangan bagi pasukan itu. Halangan bagi
pasukan yang menawan mereka berarti harapan pertolongan bagi mereka.

“Suhu, pasti ada yang merobohkan pohon-pohon itu! Harap suhu suka keluar dan melakukan
pemeriksaan,” katanya.

Ali Ahmed yang tua lalu turun dan keluar dari kereta sambil ditopang oleh tongkat bambunya. Dia
menggeleng kepalanya yang bersorban lalu berkata, “Memang aneh. Kiranya sukar mencari orang yang
kuat merobohkan pohon-pohon itu, dengan tenaga lahir maupun batin, kecuali.......”

“Kecuali siapa, suhu?”

“Hemm, kecuali setan itu.”

Mendengar ucapan datuk Hui ini, Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin merinding. Mereka adalah
orang-orang yang percaya sekali akan setan-setan dan ketahyulan semacam itu seperti hampir semua
orang pada umumnya di jaman itu. Mendengar ini, Cia Song segera menghadap ke arah depan, ke arah
pohon yang tumbang lalu menjatuhkan diri berlutut.

“Paduka yang menjaga dan menguasai hutan, harap maafkan kami kalau melanggar wilayah paduka.
Hamba berjanji akan mengirim orang untuk membakar dupa dan bersembahyang di sini kelak. Ijinkanlah
kami melewati jalan ini!”

Lima orang Ngo-heng Kiam-tin, bahkan semua perajurit yang juga tahyul ikut pula berlutut di belakang
Cia Song. Juga kusir kereta sudah turun dan berlutut menghadap ke arah pohon ke tiga yang tumbang.
Hanya Ali Ahmed yang tidak berlutut. Dia berdiri, bertopang pada tongkat bambunya dan sepasang
matanya yang masih tajam itu mencari-cari ke depan, kanan dan kiri. Ketika menyebut setan tadi, dia
sama sekali tidak maksudkan hantu. Akan tetapi dia membiarkan saja muridnya dan para perajurit itu
keliru menafsirkannya dan menyangka bahwa yang menumbangkan pohon-pohon benar-benar setan
atau mahluk halus.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 294

Setelah berlutut dan mengucapkan kata-kata minta maaf dan berjanji akan mengirim orang untuk
menghormati “penguasa hutan” itu, Cia Song kembali menyuruh orang-orangnya untuk menyingkirkan
pohon ketiga itu.

Akan tetapi tiba-tiba saja, mereka terkejut mendengar suara Pek Hong Nio-cu.

“Pengkhianat-pengkhianat jahanam!”

Cia Song dan teman-temannya memutar tubuh mereka dan alangkah kaget dan heran hati mereka
melihat Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu sudah berdiri di atas tanah dan telah bebas dari semua
belenggu. Bahkan yang membuat Cia Song terkejut sekali adalah ketika melihat betapa dua orang
tawanan itu sudah memegang pedang masing-masing! Padahal, dia sudah merampas kedua pedang
mereka itu dan menaruhnya di atas punggung kudanya, menyelipkan di sela kuda. Otomatis dia
menoleh ke arah kudanya yang ditambatkan di tepi jalan dan melihat betapa pedang-pedang itu sudah
tidak berada di sela kudanya!

Bukan hanya Cia Song dan semua temannya yang merasa heran. Bahkan Thian Liong dan Pek Hong Nio-
cu sendiri merasa terheran-heran. Tadi, ketika Ali Ahmed turun dari kereta, tiba-tiba saja mereka
melihat sinar berkelebat menyambar ke dalam kereta dan tahu-tahu ikatan tangan mereka telah putus
dan pedang mereka dilempar ke atas pangkuan mereka! Tentu saja dengan tangan bebas dan pedang di
pangkuan mereka, dengan mudah mereka lalu membikin putus semua tali yang mengikat tubuh dan kaki
mereka. Kemudian mereka turun dari kereta dengan pedang masing-masing di tangan, lalu Pek Hong
Nio-cu mengeluarkan bentakan marah itu.

Dapat dibayangkan kagetnya hati Cia Song melihat betapa dua orang tawanan itu telah lolos bahkan
telah memegang pedang mereka kembali. Dia segera berkata dengan gurunya. “Suhu, harap suhu cepat
robohkan mereka!”

Tadi ketika semua orang memutar tubuh, kakek itupun ikut memutar tubuh dan diapun merasa terkejut
melihat dua orang tawanan itu sudah bebas dari belenggu. Diam-diam dia merasa gentar juga karena
sejak pohon pertama tadi dia sudah mempunyai dugaan yang membuat hatinya merasa jerih. Kini,
mendengar permintaan muridnya, dan juga untuk menyelamatkan diri sendiri mengandalkan bantuan
banyak orang, dia lalu menudingkan tongkatnya ke arah dua orang muda itu. Tongkatnya terbuat dari
Bambu Sisik Naga, semacam bambu yang bentuk kulitnya mirip sisik ikan atau naga. Mulutnya
berkemak-kemik membaca mantra dan dia mengerahkan ilmu sihirnya.

“Bummm......!” Tampak asap hitam mengepul dan tiba-tiba saja tongkat itu terlepas dari tangannya, dan
dalam pandangan semua orang, tongkat itu telah berubah menjadi seekor naga yang terbang melayang
ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Mengerikan sekali naga jadi-jadian itu. Matanya mencorong
dan moncongnya terbuka lebar, lidahnya terjulur keluar dan mahluk itu menyemburkan api!

Akan tetapi tiba-tiba dari arah kiri, meluncur sebuah bola api sebesar tangan. Bola api itu tepat
menghantam kepala naga jadi-jadian itu.

“Darrr……!” Naga itu terpental dan asap hitam mengepul tebal. Naga lenyap dan tongkat bambu sisik
naga itu terlempar ke dekat Ali Ahmed.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 295

Semua orang menengok ke kiri dan tampaklah seorang laki -laki berusia enampuluh tahun lebih,
tubuhnya sedang, mengenakan pakaian yang hanya terdiri dari kain kuning dilibatkan di tubuhnya,
memakai sepatu dari kain yang berlapis besi dan rambutnya diikat pita kuning. Matanya tajam, hidung
mancung dan mulut penuh kesabaran. Wajah yang masih tampak tampan itu bulat telur dengan dagu
agak runcing, bersih tanpa kumis atau jenggot.

Melihat laki-laki ini, Ali Ahmed marah sekali. Dia lalu berkemak-kemik membaca mantra lalu kedua
tangannya didorongkan ke depan. Asap hitam bergulung-gulung menyambar ke arah laki laki itu,
membawa angin pukulan yang dahsyat sekali dan berhawa panas.

“Siancai......!” Laki-laki itu berkata lirih dan tangan kirinya didorongkan seperti hendak menahan
serangan jarak jauh yang dahsyat dan berbahaya dari Ali Ahmed.

“Blarrrr......!” Hawa pukulan berasap hitam yang dahsyat itu seolah bertemu perisai yang amat kuat dan
membalik. Tubuh Ali Ahmed terjengkang roboh dan dia tidak bergerak lagi.

Cia Song melompat, menghampiri gurunya dan alangkah kagetnya melihat gurunya telah tewas!
Agaknya kakek yang sudah delapanpuluh lebih usianya itu dan sudah lemah daya tahannya, tidak kuat
menerima tenaganya sendiri yang membalik.

“Suhu......!” Thian Long berseru ketika melihat laki-laki berpakaian kuning itu.

“Paman Sie......!” Pek Hong Nio-cu juga berseru.

Laki-laki yang bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin itu memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong Nio-
cu, lalu mengangguk dan tersenyum lebar, tampaknya bahagia sekali, kemudian sekali berkelebat dia
sudah lenyap dari sana.

Melihat dua orang tawanan itu lolos, Ngo-heng Kiam-tin segera mengerahkan semua perajurit untuk
menerjang dan mengeroyok. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mengamuk dengan pedang mereka.

Lima orang jagoan dari Pangeran Hiu Kit Bong itu mencari-cari, akan tetapi Cia Song sudah tidak tampak
batang hidungnya lagi. Diam-diam pemuda ini sudah melarikan diri ketika melihat gurunya tewas dan
Thian Liong menyebut “suhu” kepada laki-laki setengah tua yang tadi merobohkan gurunya. Tahulah dia
bahwa kakek yang amat lihai itu tentulah Tiong Lee Cin-jin dan dia menjadi ketakutan, diam-diam terus
kabur dari situ!

Demikianlah memang watak seorang yang berbudi rendah. Paling penting menyelamatkan diri sendiri
dan tidak perduli kepada orang-orang yang menjadi sahabat, rekan dan sekutunya. Bahkan dia tidak
perduli kepada gurunya yang tewas!

Setelah tahu bahwa Cia Song yang mereka andalkan, bahkan yang menjadi pemimpin mereka itu tidak
muncul dan jelas sudah melarikan diri, lima orang Ngo-heng Kiam-tin menjadi panik dan gentar. Tentu
saja mereka menjadi “makanan lunak” bagi Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong, walaupun lima orang itu
dibantu sembilanbelas orang perajurit berikut seorang perajurit yang tadi menjadi kusir kereta.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 296

“Jangan bunuh mereka, Nio-cu. Kita tawan mereka hidup-hidup untuk dijadikan saksi akan
pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong!” Tentu saja Thian Liong berseru begini terutama sekali unt uk
mencegah puteri itu menyebar maut.

Pek Hong Nio-cu dapat memaklumi kebenaran ucapan Thian Liong, maka ketika ia mengamuk,
pedangnya merobohkan para pengeroyok tanpa membunuhnya. Thian Liong juga merobohkan banyak
orang dan tak lama kemudian, Ngo-heng Kiam-tin dan duapuluh orang perajurit itu roboh semua oleh
tamparan, tendangan, atau terluka oleh pedang.

Thian Liong mempergunakan tali-tali yang dibawa oleh pasukan itu untuk mengikat kedua tangan
mereka semua di belakang tubuh. Mereka menurut saja karena sudah terluka dan merasa sudah tidak
mungkin dapat melawan dua orang muda sakti itu. Terutama terhadap Pek Hong Nio-cu mereka merasa
takut sekali. Dari sikap puteri itu mereka maklum bahwa kalau tidak dicegah Thian Liong, mereka semua
pasti akan dibunuh oleh Puteri Moguhai yang amat marah dan benci kepada mereka yang menjadi kaki
tangan pemberontak.

Setelah tangan mereka semua diikat, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu membawa mereka ke markas
pasukan penjaga tapal batas yang dipimpin oleh Pangeran Kuang se bagai komandannya. Benteng
pasukan itu tidak berapa jauh lagi dari situ sehingga setelah melakukan perjalanan cepat, pada sore
harinya mereka tiba di benteng itu.

“Thian Liong, benarkah penolong kita tadi itu suhumu?” tanya Pek Hong Nio -cu dalam perjalanan
menggiring para tawanan itu menuju markas pasukan penjaga perbatasan.

“Tidak salah lagi, Nio-cu. Masa aku dapat lupa kepada guruku sendiri? Akan tetapi, mengapa engkau
menyebutnya paman Sie? Benarkah itu Paman Sie seperti yang pernah keuceritakan kepadaku itu?”

“Benar, Thian Liong. Biarpun dulu ketika aku melihatnya dia berpakaian biasa, akan tetapi aku tidak
melupakan wajahnya. Dialah orangnya yang oleh ibu diakui sebagai sahabat baik dan yang disebut
Paman Sie. Dia yang memberi perhiasan kepala yang kupakai ini dan memberi tiga buah kitab pelajaran
ilmu silat. Akan tetapi mengapa setelah menolong kita, dia pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan
kepada kita untuk bertemu dan bicara dengannya?”

“Entahlah, Nio-cu. Akan tetapi, suhu adalah seorang yang arif bijaksana. Mungkin belum saatnya kita
dapat berbicara dengan beliau. Kita tunggu saja, kalau sudah tiba saatnya, tentu aku dapat bertemu
dengan guruku dan engkau dapat bertemu dengan pamanmu itu. Akan tetapi sungguh aku heran,
bagaimana guruku itu menjadi sahabat ibumu dan dikenal sebagai Paman Sie? Sungguh aku tidak
mengerti.”

“Apakah engkau tidak mengetahui she (Marga) gurumu itu?” tanya Pek Hong Nio-cu.

Thian Liong menggeleng kepalanya.

“Suhu tidak pernah memperkenalkan nama aselinya. Yang aku tahu, beliau disebut Tiong Lee Cin-jin dan
berjuluk Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa). Beliau juga tidak pernah menceritakan tentang masa
lalunya.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 297

“Akan kutanyakan nanti kepada ibuku. Aku merasa heran sekali, bagaimana gurumu yang namanya juga
sudah sering kudengar itu, Tong Lee Cin-jin, ternyata adalah seorang yang oleh ibuku diaku sebagai
sahabatnya dan mengharuskan aku memanggilnya Paman Sie yang juga menjadi guruku.”

“Sudahlah Nio-cu. Kalau tiba saatnya, Suhu pasti akan mau menceritakan tentang hal itu. Sekarang,
engkau hendak membawa orang-orang ini ke mana?”

“Akan kuserahkan kepada Paman Kuang yang bentengnya tidak jauh lagi dari sini. Engkau benar, orang-
orang ini dapat menjadi saksi penting bagi pengkhianatan Pangeran Hiu Kit Bong yang membero ntak.
Aku akan minta Paman Kuang secepatnya kembali ke kota raja membawa pasukannya untuk menumpas
para pemberontak.”

Setelah mereka tiba di benteng, Pangeran Kuang yang menjadi komandan pasukan penjaga tapal batas
menyambut mereka dengan gembira akan tetapi juga heran.

“Moguhai. Lagi-lagi engkau, melakukan perjalanan begitu jauh! Dan sekarang engkau membawa
tawanan begini banyak! Apa artinya ini dan siapa pula…… pemuda ini?” Pangeran Kuang yang berusia
empatpuluh tahun lebih, berpakaian sebagai seorang panglima dan berwajah tampan, bertubuh tinggi
besar.

Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Paman, apakah paman tidak menyuruh kami duduk
dulu dan memerintahkan orang-orangmu menahan orang orang yang kutawan itu? Kami lelah sekali,
paman.”

Pangeran Kuang baru menyadari kelalaiannya. “Ah, sampai lupa aku karena kunjunganmu yang tiba-tiba
ini sungguh mengejutkan aku. Mari, silakan duduk di dalam dan engkau juga, orang muda.” Dia
menyuruh para pengawal untuk mengurus tawanan.

Mereka lalu memasuki ruangan dan duduk berhadapan. Pek Hong Nio-cu segera bercerita karena ia tahu
bahwa waktunya mendesak sekali.

“Paman, orang yang kutawan itu...... oya, aku lupa, ini adalah Souw Thian Liong, sahabat baikku yang
membantuku menghadapi para pengkhianat itu! Ketahuilah, paman. Orang-orang yang kami tawan itu
adalah anak buah Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang berkhianat dan merencanakan pemberontakan!”

Pangeran Kuang membelalakkan matanya. “Apa? Kanda Pangeran Hiu Kit Bong memberontak?”

“Benar, paman. Hal ini memang sudah kucurigai dan kuduga. Akan tetapi sekarang sudah terbukti.
Mereka ini diutus oleh Pangeran Hiu Kit Bong untuk menangkap aku, untuk dijadikan sandera dan
memaksa sri baginda untuk menyerahkan tahta kepadanya. Orang-orang ini dapat dijadikan saksi. Kalau
tidak ada bantuan Souw Thian Liong ini, tentu aku telah tertawan oleh mereka. Cepat, paman. Hanya
Paman Kuang saja yang dapat menyelamatkan kerajaan dan membasmi para pemberontak. Cepat
paman kerahkan pasukan dan kembali ke kota raja bersama kami. Aku khawatir kalau-kalau kita
terlambat. Aku khawatir akan keselamatan ayah.”

Mendengar ini, Pangeran Kuang terkejut dan marah bukan main. Pangeran Hiu Kit Bong adalah kakak
tirinya, seayah berlainan ibu. Dia diangkat menjadi panglima oleh kaisar, juga kakak tirinya, sesuai
dengan kepandaiannya, juga Pangeran Hiu Kit Bong sudah diberi kedudukan sebagai Menteri

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 298

Kebudayaan merangkap penasihat kaisar. Kalau sekarang Pangeran Hiu Kit Bong hendak memberontak,
sungguh dia merupakan seorang yang tidak tahu diri, tidak mengenal budi, angkara murka dan
pengkhianat!

“Hemm, sungguh tidak disangka Kanda Pangeran Hiu Kit Bong akan melakukan tindakan terkutuk seperti
itu!” kata Pangeran Kuang. “Baiklah, aku akan mempersiapkan pasukan dan kita berangkat sekarang
juga!”

Demikianlah, Pangeran Kuang lalu mempersiapkan sebagian dari pasukannya berjumlah limaribu orang
dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia memimpin pasukan itu berangkat menuju ke Kota raja.
Pek Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong mendahului pasukan, membalapkan kuda pilihan yang diberikan
Pangeran Kuang kepada mereka berdua.

Cia Song berhasil melarikan diri sebelum Thian Liong dan Pek Hong Niocu mengamuk. Nyalinya sudah
terbang begitu dia melihat munculnya kakek sakti yang membuat gurunya tewas terpukul tenaganya
sendiri yang membalik. Datuk Hui itu saja yang menjadi gurunya, sekali menyerang Tiong Lee Cin -jin
roboh sendiri. Apalagi dia. Baru menghadapi Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu saja dia akan sukar
mendapatkan kemenangan, apalagi di sana ada manusia setengah dewa yang sakti itu!

Cia Song berlari cepat menuju ke kota raja kerajaan Kin dan menghadap Pangeran Hiu Kit Bong. Melihat
malam-malam Cia Song datang menghadapnya dengan muka pucat dan basah keringat, Pengeran Hiu
Kit Bong menjadi kaget dan heran. Lalu dia menggebrak meja dengan marah sekali.

“Sialan! Ternyata kepercayaanku kepadamu salah tempat, Cia-sicu! Melakukan tugas begitu saja engkau
gagal sama sekali, malah semua anak buahmu terancam bencana. Celaka!”

“Akan tetapi saya sama sekali tidak menduga bahwa di sana akan muncul Tiong Lee Cin-jin, Pangeran!
Tadinya kami sudah berhasil menangkap Souw Thian Liong dun Puteri Moguhai, sudah kami belenggu
dan hendak kami bawa pulang ke sini. Siapa kira di tengah jalan muncul Tiong Lee Cin-jin yang memiliki
ilmu kepandaian seperti dewa. Bahkan Ali Ahmed, guru saya sendiri, tewas ketika menyerangnya!

Pangeran Hiu Kit Bong berteriak memanggil pengawal dan memerintahkan pengawal mengundang para
panglima sekutunya untuk malam itu juga datang berkumpul. Mereka itu datang satu demi satu. Setelah
semua berkumpul lengkap, Pangeran Hiu Kit Bong berkata.

“Saudara-saudara semua, Puteri Moguhai telah pergi ke perbatasan barat mengunjungi Pangeran Kuang.
Tentu ia bermaksud mengadu dan minta bantuan pasukan yang berjaga di perbatasan. Karena itu, kita
tidak boleh tinggal diam. Malam ini juga kita mempersiapkan pasukan dan besok pagi -pagi kita serbu
istana, kita tangkap Kaisar. Jangan sampai kita terlambat. Kalau kaisar sudah kita sandera, biarpun
Pangeran Kuang datang bersama pasukannya, dia tidak akan dapat berbuat apa-apa demi keselamatan
Kaisar.”

Pangeran Hiu Kit Bong tidak menceritakan kegagalan orang-orangnya menangkap Puteri Moguhai
karena hal itu akan membuat sekutunya gentar dan patah semangat.

Setelah berunding bagaimana caranya melakukan pengepungan terhadap istana, para Panglima yang
dipimpin Panglima Kiat Kon itu lalu meninggalkan gedung Pangeran Hiu Kit Bong untuk mempersiapkan
pasukan masing-masing. Mereka terdiri dari empat orang perwira, dikepalai Panglima Kiat Kon.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 299

Sementara itu, Cia Song sendiri bertugas sebagai pengawal pribadi Pangeran Hiu Kit Bong. Sebetulnya
Cia Song segan menjadi pengawal pribadi pangeran itu dan dia sudah ingin pulang saja ke selatan untuk
melapor kepada Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi dia merasa sungkan juga karena dia telah gagal
menangkap Puteri Moguhai, malah semua anak buahnya mungkin tertawan dan hal itu tentu saja
membahayakan karena rahasia Pangeran Hiu Kit Bong akan terbongkar. Karena itulah maka Pangeran
Hiu Kit Bong hendak melakukan serangan mendadak sebelum terlambat.

Akan tetapi, ketika persekutuan pemberontak itu mengumpulkan pasukan mereka, ada perajurit yang
diam-diam masih setia kepada Kaisar dan malam itu juga dia meloloskan diri dari kesatuannya dan pergi
melaporkan persiapan pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong itu kepada Panglima Muda Ceng yang
setia kepada Kaisar kerajaan Kin.

Panglima Muda Ceng terkejut sekali dan malam hari itu juga dia mengumpulkan teman-teman yang
masih setia kepada Kaisar lalu mengerahkan pasukan seadanya untuk ditarik menjaga istana! Juga diam-
diam Panglima Muda Ceng melaporkan kepada kaisar yang tentu saja menjadi terkejut, khawatir dan
marah sekali.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang tinggal di kota raja menjadi geger. Banyak sekali
tentara mengepung istana kaisar. Akan tetapi, dari tembok istana muncul pasukan lain yang
menghadang. Terjadilah pertempuran hebat di sekeliling luar istana. Pangeran Hiu Kit Bong terkejut dan
marah sekali melihat betapa istana dijaga banyak perajurit. Dia memerintahkan pasukannya bergerak
dan menyerbu. Pertempuran hebat terjadi dan rakyat yang menjadi penduduk kota raja berserabutan
melarikan diri mengungsi keluar dari kota raja!

Karena merasa penasaran, Pangeran Hiu Kit Bong keluar dan memimpin sendiri pasukannya, yang
dipimpin Panglima Kiat Kon dan para perwira sekutunya. Cia Song yang ingin menebus kegagalannya
memperlihatkan kepandaiannya. Di depan mata Pangeran Hiu Kit Bong dia mengamuk dengan
pedangnya dan banyak tentara pihak pasukan pembela kaisar roboh dan tewas di tangannya.

Biarpun jumlah pasukan pemberontak dua kali lebih banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar,
namun pasukan yang dipimpin Panglima Muda Ceng dan rekan-rekannya itu melakukan perlawanan
mati-matian! Maka, setelah pertempuran berlangsung sampai satu hari lamanya, pasukan pemberontak
belum juga dapat menduduki istana.

Pasukan pembela kaisar menutup pintu benteng istana dan biarpun banyak perajurit mereka yang
tewas, semangat mereka masih besar dan mereka memperkuat benteng istana dengan balok-balok yang
kokoh. Malam itu mereka melakukan penjagaan ketat dengan bergiliran, memberi kesempatan kepada
pasukan untuk beristirahat dan merawat luka-luka mereka.

Kaisar dan keluarganya sudah merasa khawatir sekali. Mereka tahu bahwa pasukan yang melindungi
mereka kalah besar jumlahnya dibandingkan pasukan para pemberontak. Mereka mendengar pula
bahwa kalau siang tadi pertempuran masih terjadi di luar istana, maka sekarang semua perajurit
pembela kaisar sudah mundur memasuki benteng istana dan pintu gerbang sudah ditutup. Mereka
hanya akan mempertahankan benteng istana. Kalau sampai benteng istana bobol, berarti pasukan
pembela kaisar kalah dan pasukan pemberontak tentu akan menyerbu istana!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 300

Malam itu gelap sekali, bahkan bintang-bintang di langit juga tak tampak, tertutup mendung tebal. Hawa
udaranya dingin. Pasukan kedua pihak mempergunakan kesempatan itu untuk melepas lelah setelah
sehari tadi bertempur mati matian. Benteng istana dijaga ketat oleh pasukan pembel a kaisar. Ronda
berjalan sepanjang malam dan para penjaga itu bergiliran.

Akan tetapi di malam yang gelap dan dingin itu, tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali. Ilmu
meringankan tubuh mereka sungguh amat hebat karena saking cepatnya mereka bergerak, tidak ada
penjaga dalam benteng yang sempat melihat mereka. Tubuh kedua bayangan itu melayang ke atas
tembok benteng lalu meluncur turun ke sebelah dalam. Mereka menyelinap di antara kegelapan yang
pekat dan tak lama kemudian tubuh mereka sudah melayang naik ke atas wuwungan istana!

Dua orang itu adalah Cia Song dan Panglima Kiat Kon sendiri! Mereka berdua menerima tugas istimewa
dari Pangeran Hiu Kit Bong.

Melihat betapa pasukan pembela kaisar melawan mati matian, Pangeran Hiu Kit Bong menjadi tidak
sabar. Dia memanggil Cia Song dan mengingatkan pemuda ini akan kegagalannya menangkap Puteri
Moguhai.

“Aku mempunyai tugas penting dan kuharap sekali ini engkau akan melaksanakan dengan baik dan
berhasil, Cia-sicu, untuk menebus kegagalanmu menangkap Puteri Moguhai,” kata Pangeran itu.

Diam-diam Cia Song mendongkol. Siang tadi dia sudah memperlihatkan jasanya dengan merobohkan
banyak perajurit pembela kaisar, namun tetap saja pangeran ini masih penasaran karena kegagalannya
menangkap Puteri Moguhai.

“Tugas apa yang harus saya lakukan, pangeran?”

“Malam ini mereka tentu sedang beristirahat dan lengah. Karena itu, aku perintahkan engkau dan
Panglima Kiat Kon untuk menggunakan kepandaian kalian, menyusup masuk istana dan menawan Sri
Baginda dan membawanya ke sini. Kalau kalian berhasil, berarti kita tidak perlu bertempur lagi besok.
Juga kalau pasukan Pangeran Kuang datang mereka juga tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani
menyerang kita yang sudah menyandera Sri Baginda Kaisar.”

“Saya siap melaksanakan perintah itu, pangeran!” kata Panglima Kiat Kon dengan tegas. “Kalau Cia-sicu
menemani saya, tugas itu pasti akan dapat kami lakukan dengan berhasil baik!”

“Bagaimana dengan engkau, Cia-sicu?” tanya Pangeran Hiu Kit Bong sambil menatap wajah pemuda itu
dengan tajam.

Biarpun di dalam hatinya dia mendongkol sekali, akan tetapi Cia Song tidak dapat menolak. Dia
mengangguk dan menjawab, “Saya sanggup, hanya tidak berani memastikan hasilnya karena di istana
tentu diadakan penjagaan kuat.”

Demikianlah, malam gelap dingin itu ditempuh Cia Song dan Panglima Kiat Kon. Dengan gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) mereka yang tinggi, mereka berhasil melompati benteng tanpa diketahui perajurit
pembela kaisar dan mereka berdua berhasil tiba di wuwungan istana!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 301

Akan tetapi selagi mereka berdua, dengan petunjuk Panglima Kiat Kon yang mengenal daerah itu,
meneliti di mana kiranya kamar kaisar berada, tiba-tiba begitu mereka melangkah, kaki mereka
terpeleset genteng wuwungan istana yang agaknya bergerak sendiri! Mereka terkejut dan merasa aneh.
Akan tetapi ketika mereka memandang ke sekeliling yang gelap, mereka tidak mendengar apapun.

Mereka melangkah lagi. Akan tetapi baru beberapa langkah, kembali genteng yang mereka injak
bergerak dan mereka terpeleset, hampir jatuh. Mereka masih mampu bertahan agar tidak terjatuh.

“Eh, apa ini, sicu?”

Cia Song merasa bulu tengkuknya meremang. “Entahlah, ciang-kun, mungkin kebetulan saja…...”

Akan tetapi mereka berdua merasa betapa ada benda kecil menyambar ke arah mereka. Mereka cepat
mengelak, akan tetapi sungguh luar biasa, benda kecil itu tetap saja mengenai pundak mereka seolah
benda hidup yang terbang mengejar ketika mereka mengelak.

Mereka menahan seruan kaget karena pundak yang terkena benda itu terasa nyeri dan lengan di pundak
itu untuk beberapa detik lamanya menjadi kesemutan dan lumpuh. Ketika dua buah benda kecil itu
terjatuh ke atas genteng, terdengar suara berketikan seperti batu kerikil yang jatuh ke atas genteng.
Mereka terkejut bukan main. Penyambit batu kerikil itu pasti memiliki kesaktian yang luar biasa
sehingga mereka tidak mampu mengelak. Maklumlah keduanya bahwa ada orang sakti yang sengaja
mengganggu mereka dan kalau tadi dua kali kaki mereka terpeleset, tentu juga akibat ulah orang yang
mengganggu mereka itu.

“Ciang-kun, kita pergi. Cepat!” kata Cia Song yang menjadi ketakutan. Kalau sampai orang sakti itu
muncul dan mereka berdua ketahuan lalu dikepung ribuan orang perajurit, akan celakalah mereka!
Keduanya lalu cepat meninggalkan wuwungan istana dan dengan gin-kang mereka yang tinggi, mereka
berlompatan dan keluar dari benteng istana itu. Akan tetapi setibanya di luar benteng, dalam kegelapan
malam itu Panglima Kiat kon tidak dapat menemukan Cia Song.

Dia memanggil-manggil, akan tetapi Cia Song tidak menjawab. Tahulah panglima itu bahwa Cia Song
diam-diam telah meninggalkannya. Dia merasa dongkol sekali. Tentu Cia Song takut bertemu Pangeran
Hiu Kit Bong karena lagi-lagi gagal melaksanakan tugasnya malam ini.

Kiat Kon kembali kepada Pangeran Hiu Kit Bong, menceritakan tentang kegagalannya. “Entah siapa yang
mengganggu kami berdua, akan tetapi jelas bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
sekali. Terpaksa kami tidak dapat melanjutkan rencana itu, Pangeran, karena dengan adanya orang yang
demikian saktinya, tentu usaha kami akan gagal, bahkan tidak mustahil kalau kami akan tertangkap atau
terbunuh. Maka kami segera meninggalkan wuwungan istana.”

Pangeran Hiu Kit Bong mengepal tinju. “Sialan, gagal lagi! Mana orang she Cia itu?”

“Ketika saya melompat keluar dari benteng istana, Cia-sicu tidak ada, Pangeran. Saya kira dia sengaja
pergi meninggalkan kota raja karena tidak berani bertemu dengan paduka.”

Pangeran Hiu Kit Bong marah sekali, lalu memerintahkan sekutunya untuk mempersiapkan pasukan dan
besok pagi pagi melakukan penyerangan besar-besaran. Dia berpendapat bahwa besok benteng istana

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 302

harus dapat dibobolkan dan kaisar harus dapat ditangkap. Kalau tidak, dia khawatir pasukan Pangeran
Kuang keburu datang dan menyerang mereka.

Akan tetapi Pangeran Hiu Kit Bong masih punya rencana jahat lain yang belum dilaksanakan, akan tetapi
yang besar sekali harapannya akan lebih berhasil daripada tugas yang gagal dilaksanakan oleh Cia Song
dan Kiat Kon tadi. Diam-diam pangeran yang licik ini telah berhasil memperalat dua orang pengawal
pribadi kaisar. Dengan menyandera keluarga dua orang pengawal pribadi kaisar dan mengancam akan
membunuh isteri dan anak-anak mereka, pangeran itu memerintahkan mereka untuk membunuh kaisar
malam itu. Kalau hal ini tidak dilakukan, seluruh keluarga mereka yang disandera akan dibunuh!

Malam itu, Kaisar kerajaan Kin berkumpul dengan semua isteri dan anak anaknya di ruangan dalam.
Mereka tidak berani tidur di kamar sendiri-sendiri seperti biasa. Mereka semua duduk di dalam ruangan
itu dengan wajah membayangkan ketakutan, bahkan di antara para isteri dan puteri istana ada yang
terisak perlahan. Mereka semua maklum bahwa kalau pasukan yang melindungi mereka kalah, mereka
akan terjatuh ke tangan pemberontak.

Kaisar sendiri berdiri dengan tegar dan sama sekali tidak tampak ketakutan. Hanya penasaran dan
kemarahan yang tampak membayang di wajahnya yang gagah dan keren. Dia merasa penasaran sekali
mendengar bahwa Pangeran Hiu Kit Bong, kakak tirinya, orang yang telah diberikan kedudukan tin ggi,
memimpin pemberontakan itu. Sama sekali tidak pernah disangkanya. Dia kini merasa menyesal
mengapa dia tidak mendengarkan peringatan Moguhai, puterinya yang kini tidak berada di istana.

Puteri Moguhai pernah memperingatkan agar dia berhati-hati terhadap kakak tirinya itu dan jangan
terlalu percaya kepadanya. Akan tetapi dia malah menertawakan puterinya itu yang dia anggap terlalu
berprasangka buruk. Sekarang, peringatan puterinya itu menjadi kenyataan! Dia menghela napas
panjang dan ketika dia melayangkan pandang matanya kepada belasan orang selir-selirnya, dia melihat
Tan Siang Lin, ibu kandung Moguhai, duduk tak jauh darinya dan hanya selir keturunan pribumi Han ini
sajalah yang kelihatan tabah dan tidak membayangkan ketakutan. Ia tetap tenang dan anggun sehingga
kaisar teringat kembali kepada puteri mereka.

“Dinda Siang Lin, sayang sekali Moguhai tidak berada di sini. Tahukah engkau ke mana ia pergi?” tanya
kaisar dengan suara lembut kepada selirnya tercinta ini.

Tan Siang Lin memandang kepada kaisar. Sejak tadi wanita ini seringkali menengok dan memandang
kepada suaminya. Dalam hati ia merasa kagum dan juga bangga melihat pria yang menjadi suaminya itu
sama sekali tidak tampak khawatir atau takut menghadapi keadaan yang amat gawat dan berbahaya itu.

“Hamba tidak tahu, Sri Baginda. Paduka mengetahui sendiri betapa puteri kita itu suka sekali berkelana.”

Kaisar mengangguk-angguk. “Aku percaya bahwa Moguhai pasti mendengar akan peristiwa di kota raja
ini dan ia pasti akan datang untuk menyelamatkan kita semua.”

“Semoga saja demikian, Sri Baginda,” kata Tan Siang Lin.

Dalam ruangan yang luas itu terdapat belasan orang perajurit pengawal pribadi kaisar yang melindungi
keluarga istana itu. Mereka berdiri dengan pedang di tangan, menjaga di pintu dan je ndela jendela yang
terbuka. Wajah mereka ini rata-rata tegang, karena mereka maklum bahwa kalau pertahanan pasukan
pembela kaisar bobol, mereka harus melindungi keluarga kaisar dengan taruhan nyawa.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 303

Tiba-tiba, dua orang perajurit pengawal pribadi itu, yang berdiri menjaga di sebelah belakang kaisar,
dalam jarak lima meter, bergerak maju sambil mengangkat pedang menyerbu ke arah Kaisar!

“Ampunkan hamba, Sri Baginda!” seru yang seorang.

“Ampunkan hamba, hamba...... terpaksa membunuh paduka!” seru orang kedua.

Semua orang terkejut dan tertegun. Para perajurit pengawal lainnya juga terpukau, tidak sempat
mencegah karena dua orang itu sudah menyerang kaisar.

Seorang membacokkan pedang dari atas, orang kedua menusukkan pedangnya. Akan tetapi, tiba-tiba
dua sinar hijau kecil meluncur dari arah jendela dan dua sinar hijau ini menyambar ke arah tangan dua
orang perajurit pengawal yang memegang pedang. Mereka berdua berteriak mengaduh dan pedang
mereka terlepas dari pegangan, jatuh berdenting ke atas lantai dan de ngan tangan kiri mereka
memegangi lengan kanan masing masing di mana menancap sehelai daun hijau! Para perajurit segera
berlompatan dan meringkus dua orang perajurit pengawal yang tiba-tiba menyerang kaisar itu.

Tan Siang Lin bangkit berdiri dari kursinya, memandang ke arah jendela dari mana sinar hijau tadi
meluncur masuk. Wajahnya berseri, kedua matanya bersinar dan ia berseru girang.

“Sie-ko (kanda Sie)......!” Akan tetapi ia sadar dan menahan seruannya sehingga tidak terdengar jelas.

“Jangan bunuh. Seret mereka ke depanku!” kata kaisar dengan tegas, sama sekali tidak menjadi panik
oleh peristiwa itu. Dua orang itu lalu didorong berlutut di depan kaisar di mana mereka menyembah -
nyembah dan menangis!

“Ampun, Yang Mulia…..! Ampunkan hamba berdua yang terpaksa......” mereka mengeluh dalam tangisan
mereka.

“Hemm, siapa yang memaksa kalian melakukan pengkhianatan hendak membunuh kami?” bentak
kaisar.

Seorang dari mereka menyembah dan berkata ketakutan, “Hamba berdua terpaksa melaksanakan
perintah Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh paduka karena kalau hamba tidak mau, seluruh
keluarga hamba berdua yang sudah disandera akan dibunuh.”

Kaisar dan semua orang melihat jelas betapa sehelai daun menancap di pergelangan kedua orang itu
dan lengan mereka berdarah. Semua orang merasa takjub. Bagaimana mungkin sehelai daun dapat
menancap pada lengan tangan dua orang itu sehingga mereka gagal membunuh kaisar? Pada hal daun
hijau basah itu lunak dan lentur!

“Jebloskan mereka dalam tahanan, jangan bunuh,” kata kaisar kepada para pengawalnya.

Dua orang itu membentur-benturkan dahi di lantai menghaturkan terima kasih kepada kaisar. Akan
tetapi dua orang perajurit memegang lengan mereka dan menarik mereka keluar dari ruangan itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 304

Kaisar menoleh kepada Tan Siang Lin, “Dinda Siang Lin, tadi engkau memandang ke arah jendela dan
memanggil seseorang. Siapakah yang kau panggil itu? Apakah engkau melihat seseorang?”

Wajah Siang Lin berubah kemerahan. “Hamba tidak melihat seseorang, Sri Baginda, akan tetapi hamba
dapat menduga siapa yang telah menyelamatkan paduka. Dia pasti guru puteri kita Moguhai, karena
hanya dialah kiranya yang mampu melukai dua orang tadi hanya dengan menggunakan sehelai daun.”

“Luar biasa! Siapakah nama guru Moguhai itu?” tanya kaisar dan sedikit banyak kehadiran seorang
manusia sesakti itu membesarkan hatinya dan dia merasa terlindung oleh suatu kekuatan yang hebat.

Jantung dalam dada Siang Lin berdebar. Ia merasa serba salah, akan tetapi harus menjawab pertanyaan
kaisar yang menjadi suaminya itu.

“Hamba hanya mendengar bahwa guru Moguhai itu bermarga Sie, Sri baginda.”

“Hemm, mengapa dia melindungiku secara diam-diam? Kalau saja dia mau muncul, mungkin dia dapat
memberi tahu kami di mana adanya Moguhai sekarang ini.”

Tiba-tiba tampak benda putih melayang masuk dari jendela. Seorang perajurit pengawal cepat
menangkapnya dan ternyata benda itu sehelai kertas putih.

“Apa itu?” tanya kaisar.

“Sehelai kertas putih tertulis, Yang Mulia,” kata pengawal itu.

“Cepat bawa ke sini!” perintah Sri Baginda dan perajurit itu segera menyerahkan kertas itu kepada
kaisar.

Kaisar membacanya dan seketika wajahnya berseri. Dia menengok ke arah jendela dan berkata dengan
suara lantang.

“Siapapun adanya engkau, orang gagah, kami berterima kasih sekali padamu!”

Dengan wajah berseri Kaisar lalu menyerahkan surat itu kepada Siang Lin yang segera membacanya.
Sepasang mata selir kaisar ini menjadi basah saking bahagia dan terharunya membaca isi kertas bertulis
itu.

“Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja dengan pasukannya. Pertahankan istana
sampai mereka datang.”

Surat itu lalu berpindah-pindah tangan, mula-mula Siang Lin memberikannya kepada permaisuri yang
setelah membacanya menyerahkan kepada para selir. Mereka bergantian membaca dan semua wajah
menjadi berseri gembira. Timbul harapan dalam hati mereka. Pasukan penolong yang dipimpin
pangeran Kuang dan Pureri Moguhai akan menolong mereka!

“Biar aku sendiri yang memimpin pertahanan istana!” Kaisar timbul semangatnya dan diapun keluar dari
ruangan itu menemui para perwira yang setia kepadanya untuk mengawasi sendiri pasukan yang
mempertahankan istana. Dengan munculnya kaisar sendiri ke tengah-tengah mereka, para perajurit

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 305

yang membela kaisar bersorak gembira dan semangat mereka berkobar, apalagi ketika merek a
mendengar bahwa bala bantuan segera datang!

Pada keesokan harinya, diiringi sorak yang gegap gempita dan bunyi terompet, tambur dan canang,
pasukan pemberontak menyerbu dan berusaha mendobrak pintu gerbang tebal yang terbuat dari baja
itu. Ada pula yang mempergunakan tangga untuk naik ke atas tembok benteng istana. Pasukan pembela
kaisar menyambut dari dalam dan terjadilah pertempuran yang seru dan mati -matian.

Anak panah meluncur dari luar dan dari dalam seperti hujan. Bunyi denting beradunya senjata
bercampur sorak-sorai dan teriakan-teriakan marah, jerit-jerit kesakitan membubung bersama debu
yang mengepul tebal. Darah mulai berceceran membasahi bumi. Perang! Puncak ulah nafsu yang
menguasai hati dan pikiran manusia, membuat manusia bahkan lebih ganas daripada binatang.

Karena jumlah pasukan pemberontak hampir tiga kali lebih banyak dibandingkan pasukan pembela
kaisar, maka tentu saja pihak pembela kaisar mulai kewalahan dan terdesak hebat. Bahkan pihak
penyerang sudah banyak yang dapat naik ke atas tembok benteng dan di sana sudah terjadi
pertempuran seru. Pintu gerbang mulai didekati pasukan pemberontak dan mereka mempergunakan
kayu balok besar yang digotong beramai-ramai untuk mendobrak pintu gerbang baja. Suaranya nyaring
menggelegar setiap kali ujung balok itu menghantam pintu gerbang.

Para perajurit pembela kaisar menggunakan segala daya untuk mempertahankan pintu gerbang itu
dengan mengandalkan benda-benda berat. Namun, mereka kalah kuat karena kalah banyak dan
akhirnya, pintu gerbang yang tebal dan besar itu jebol dan roboh ke dalam mengeluarkan suara hiruk-
pikuk dan belasan orang perajurit di sebelah dalam yang tadi mempertahankan pintu itu, tertimpa pintu
besi yang amat berat itu sehingga tewas terhimpit.

Para perajurit pemberontak menyerbu melalui pintu gerbang yang sudah terbuka itu bagaikan air bah
mengamuk. Perajurit pembela kaisar yang berada di sebelah dalam menyambut dan terjadilah
pertempuran seru. Karena lubang pintu itu tidak terlalu besar, hanya sekitar tiga tombak lebarnya, maka
para penyerbu itu tidak dapat masuk terlalu banyak dan hal ini membuat pertahanan sebelah dalam
masih kuat. Puluhan orang perajurit penyerbu yang berhasil masuk disambut oleh ratusan orang
perajurit pembela kaisar dan yang di luar terhalang oleh yang berada di depan.

Karena itu untuk sementara pertahanan masih kuat. Betapapun juga keadaan sudah sangat gawat
karena dapat diramalkan bahwa tidak lama lagi pasti pasukan pemberontak akan dapat menyerbu ke
dalam bangunan istana.

Kaisar memimpin sendiri para perajurit yang setia kepadanya. Dia memberi komando. Ada yang
menyambut serbuan lewat pintu gapura atau gerbang yang sudah roboh daun pintunya, ada yang
diperintahkan tetap menjaga di atas tembok benteng untuk menghalau musuh yang memasuki benteng
lewat tembok.

Pada saat yang amat gawat itu, tiba tiba terdengar sorak-sorai bercampur suara terompet, genderang
dan canang. Para perajurit pemberontak terkejut sekali dan tiba-tiba mereka menjadi kacau-balau ketika
diserang oleh pasukan yang baru datang, pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Kuang dan Puteri
Moguhai bersama Thian Liong!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 306

Puteri Moguhai didampingi Thian Liong mengamuk, membuka jalan berdarah memasuki kerumunan
perajurit-perajurit pemberontak, merobohkan siapa saja yang menghalangi mereka. Melihat betapa
pintu gerbang yang sudah terbuka itu penuh orang, mereka berdua lalu melompat ke atas tembok
benteng.

Para perajurit pembela kaisar yang bertempur di atas tembok benteng melihat datangnya pasukan
penolong itu. Ketika mereka melihat dua orang melompat ke atas benteng dan mengenal seorang di
antara mereka adalah Puteri Moguhai, mereka bersorak dan semangat mereka berkobar. Apalagi ketika
Puteri Moguhai dan Thian Liong mengamuk, merobohkan banyak perajurit pemberontak yang berhasil
naik ke atas benteng, mereka pun bersorak sambil mengamuk.

Puteri Moguhai dan Thian Liong segera melompat ke dalam dan Thian Liong mengikuti Pek Hong Nio -cu
atau Moguhai itu memasuki istana. Para perajurit pengawal kaisar yang melihat sang puteri, juga
bersorak gembira. Mereka semua telah mendengar bahwa pasukan Pangeran Kuang sudah berada di
luar dan sedang menyerang pasukan pemberontak.

Moguhai dan Thian Liong memasuki ruangan di mana keluarga istana berkumpul. Melihat puterinya, Tan
Siang Lin lari menyambut.

“Moguhai……!”

“Ibu......!” Mereka berangkulan. “Semua keluarga selamat, bukan?”

Tan Siang Lin mengangguk dan tersenyum, gembira sekali melihat puterinya datang bersama pasukan
Pangeran Kuang. Ternyata isi surat yang melayang masuk tadi benar. Dan ia tahu siapa yang menulis
surat itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang tadi merobohkan dua orang penyerang suaminya dengan
sambitan daun?

“Di mana Sri Baginda?” tanya Moguhai ketika tidak melihat ayahnya, di antara mereka.

Permaisuri yang juga menghampiri dan merangkul Moguhai karena lega dan gembira hatinya, berkata,
“Moguhai, ayahmu sedang memimpin sendiri pasukan melawan serbuan pemberontak.”

“Ah, mari ikut aku keluar, Thian Liong!” kata Puteri Moguhai kepada pemuda itu.

Mereka berdua lalu cepat keluar dan benar saja, gadis itu melihat kaisar sendiri sedang memberi
perintah kepada para perwira pasukan yang mempertahankan benteng. Serbuan Pasukan yang datang
membuat kaum pemberontak panik dan yang sedang menyerbu ke dalam juga sudah mendengar akan
datangnya pasukan Pangeran Kuang itu. Hal ini melemahkan semangat mereka dan mereka didesak
keluar oleh pasukan yang berada di dalam benteng istana.

“Sri Baginda......!” seru Puteri Moguhai dengan hati bangga melihat betapa ayahnya sendiri maju
memberi dorongan semangat kepada para perajurit.

Kaisar menengok dan wajahnya yang berkeringat itu berseri melihat puterinya. “Ah, Moguhai!
Kedatanganmu bersama Pangeran Kuang membawa pasukan sungguh tepat pada waktunya! Kami
semua merasa gembira sekali!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 307

“Biarlah pasukan Paman Pangeran Kuang menghancurkan pasukan pemberontak, tidak. perlu paduka
sendiri bersusah payah. Harap paduka mengaso dan saya bersama sahabat saya Souw Thian Liong ini
yang akan membantu pasukan menyerbu keluar!”

Kaisar mengangguk-angguk ketika Thian Liong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan
depan dada dan membungkuk sampai dalam.

“Baiklah, kukira kini bahaya sudah lewat,” kata Kaisar dan dia lalu kembali ke dalam istana, diikuti lima
orang pengawal pribadi yang sejak tadi tidak pernah meninggalkannya dan selalu mengikuti dari jarak
dekat ke manapun kaisar pergi.

Puteri Moguhai dan Thian Liong lalu membantu pasukan dan dengan mudah mereka mendesak para
pemberontak keluar dari benteng. Kini para pemberontak dihimpit dari dalam dan luar. Mereka menjadi
panik dan banyak di antara mereka terluka atau tewas.

Panglima Kiat Kon yang tinggi besar, gagah dan mukanya penuh brewok itu mengamuk seperti seekor
harimau terluka. Dia sudah merasa kepalang tanggung. Ambisinya adalah umntuk menjadi panglima
besar kalau Pangeran Hiu Kit Bong berhasil menduduki singgasana. Tadi penyerbuan mereka sudah
hampir berhasil. Akan tetapi tiba-tiba muncul pasukan yang dipimpin Pangeran Kuang sehingga kini
pasukannya terjepit antara pasukan dari luar dan dalam. Dia sendiri mengamuk di tengah -tengah
pertempuran dekat benteng istana, tidak mungkin keluar dari pertempuran. Juga dia tidak ingin
melarikan diri. Sudah kepalang karena andaikata dia dapat melarikan diri, keluarganya tentu tidak luput
dari hukuman. Maka dia mengamuk dengan pedangnya yang besar dan berat dan sudah banyak
perajurit pembela kaisar yang roboh dan tewas terkena babatan pedangnya.

Tiba-tiba pedangnya tertangkis ketika dia membabatkan ke arah seorang perajurit musuh berikutnya.

“Trangggg......!” bunga api berpijar dan Kiat Kon merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat.
Telapak tangannya yang memegang pedang terasa panas sekali sehingga hampir dia melepaskan
pedangnya. Akan tetapi dia masih sempat mempertahankan pedangnya dan cepat memandang ke
kanan untuk melihat siapa yang menangkis pedangnya itu. Ketika dia melihat siapa orang yang
memegang pedang bengkok menangkis serangannya, mukanya berubah pucat. Kiranya Puteri Moguhai
yang berdiri di depannya dengan mata bersinar penuh kemarahan.

“Puteri...... Moguhai…..!” dia berseru gagap.

“Panglima Kiat Kon, pengkhianat tak mengenal budi!” bentak Pek Hong Nio-cu atau puteri Moguhai. “Sri
Baginda telah memberi kedudukan tinggi kepadamu, akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah menjadi
pengkhianat dan pembantu pemberontak! Aku tidak dapat mengampunimu lagi?” Setelah berkata
demikian, Pek Hong Nio-cu lalu menerjang dengan dahsyat.

Panglima Kiat Kon sudah tahu akan kelihaian puteri ini, maka dia menjadi gugup dan gentar. Akan tetapi
tidak ada jalan keluar lagi baginya. Pasukan pembela kaisar sudah berada di mana-mana dan kiranya
tidak mungkin melarikan diri dari Puteri Moguhai. Puteri itu memang pernah belajar ilmu silat dari dia
sendiri. Akan tetapi itu dulu ketika Puteri Moguhai masih remaja. Sekarang ia telah memiliki ilmu silat
yang jauh lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaiannya sendiri. Maka Kiat Kon lalu melawan mati -
matian.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 308

Sementara itu, Thian Liong melihat betapa tak jauh dari situ, seorang laki -laki berusia sekitar limapuluh
tahun yang bertubuh tinggi kurus, berjenggot panjang dan berkumis pendek, pakaiannya menunjukkan
bahwa dia seorang bangsawan tinggi, sedang berdiri dengan pedang di tangan. Lima orang pengawal
melindunginya, melawan para perajurit istana yang mengepung bangsawan tinggi itu. ternyata lima
orang pengawal itu cukup lihai dan banyak perajurit istana yang roboh oleh amukan lima orang yang
memegang golok besar itu.

Ketika melihat bangsawan itu, Thian Liong teringat akan Pangeran Hiu Kit Bong seperti yang pernah
digambarkan oleh Pek Hong Nio-cu. Tinggi kurus berjenggot panjang berkumis pendek. Tentu inilah
pangeran yang menjadi biang keladi pemberontakan itu. Dia cepat melompat ke arah orang itu. Dua
orang pengawal menyambutnya dengan golok mereka. Akan tetapi dua kali tangan Thian Liong
menampar dan dua orang itu terpelanting roboh. Kemudian Thian Liong menerjang ke depan. Pangeran
Hiu Kit Bong mencoba untuk membacoknya dengan pedangnya. Akan tetapi sekali menampar dengan
tangan kirinya, pedang itu terlepas dari pegangan sang pangeran dan secepat kitat Thian Li ong
menotoknya sehingga Pangeran Hiu Kit Bong tidak mampu bergerak lagi. Thian Liong lalu membawa
tubuh Pangeran itu melompat ke atas tembok benteng dan dari tempat tinggi itu dia berseru sambil
mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar lantang sampai jauh.

“Haiii! Para perajurit pemberontak! Lihatlah ke sini! Pemimpin kalian sudah ditawan, kalian yang tidak
ingin mati cepat lempar senjata dan menyerah!!”

Suara itu lantang sekali dan terdengar oleh semua orang. Akan tetapi karena semua perajurit
pemberontak tidak mengenal pemuda di atas tembok benteng yang menawan Pangeran Hiu Kit Bong,
maka mereka menjadi ragu. Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat, melompat ke atas tembok
benteng dan ternyata ia adalah Pek Hong Nio-cu. Puteri ini telah berhasil merobohkan Panglima Kiat Kon
dengan sebuah tusukan yang menewaskan panglima pemberontak itu. Setelah berdiri di dekat Thian
Liong, yang merangkul Pangeran Hiu Kit Bong yang sudah tidak mampu bergerak, puteri itu berteriak
melengking.

“Semua perajurit pengikut Pangeran Hiu Kit Bong, lepaskan senjata kalian dan menyerahlah. Kalau tidak,
kalian akan dibasmi habis! Lihat pemimpin pemberontak telah kami tawan dan Panglima Kiat Kon juga
sudah tewas!”

Semua perajurit pemberontak tentu saja mengenal Puteri Moguhai dan melihat betapa Pangeran Hiu Kit
Bong benar-benar telah ditawan, mereka menjadi putus asa. Tanpa ragu lagi mereka membuang senjata
mereka dan menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah.

Melalui para perwira pembantunya, Pangeran Kuang lalu menyerukan agar para perajurit pemberontak
tidak dibunuh. Mereka lalu ditawan dan digiring ke benteng pasukan yang tadi membela kaisar.

Pertempuran berhenti. Para tawanan dibawa ke dalam benteng. Para perajurit melakukan
penangkapan-penangkapan teradap mereka yang menjadi kaki tangan Pangeran Hiu Kit Bong, di bawah
pimpinan para panglima yang setia kepada kaisar. Ada pula yang bertugas membersihkan benteng
istana, merawat yang terluka dan mengurus penguburan mereka yang tewas.

Pangeran Hiu Kit Bong dan beberapa orang pembesar yang menjadi anak buah dan sekutunya, dengan
kedua tangan diborgol, dihadapkan kepada kaisar, diikuti oleh Pangeran Kuang, Puteri Moguhai dan
Thian Liong. Semula Thian Liong tidak ingin menghadap kaisar karena dia tidak mengharapkan imbalan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 309

jasa untuk bantuannya. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memaksanya. Sambil menarik tangan Thian Liong
Puteri Moguhai berkata.

“Hayolah, Thian Liong. Kau ikut denganku menghadap ayahku. Engkau telah membantu kami, sudah
sepantasnya kalau ayah bertemu dan mengenalmu. Pula, sekali ini engkau yang membantu aku, nanti
aku akan membantumu mencari gadis berpakaian merah yang telah mencuri kitab itu. Marilah!”

Thian Liong merasa tidak enak kalau menolak, maka diapun ikut Puteri Moguhai dan Pangeran Kuang
menggiring tawanan yang jumlahnya tujuh orang itu menghadap kaisar kerajaan Kin. Dia merasa janggal.
Dia memasuki istana Kaisar Kin yang merupakan kerajaan yang telah mengusir Kerajaan Sung, menjajah
tanah air bangsanya. Akan tetapi Thian Liong tidak merasa bersalah. Dia pasti tidak akan membantu
Kerajaan Kin sekiranya kerajaan ini berperang melawan kerajaan Sung. Kalau sekarang dia membantu
kerajaan Kin adalah karena dia memihak yang benar dan menentang para pemberontak yang tentu saja
merupakan pihak yang tidak benar karena memberontak. Apalagi kalau diingat bahwa, Pangeran Hiu Kit
Bong, pengkhianat dan pemberontak itu bersekongkol dengan Perdana Menteri Chin Kui yang harus
ditentangnya karena pembesar itu hendak menguasai dan menanamkan pengaruh buruk kepada Kaisar
kerajaan Sung.

Ketika mereka semua memasuki ruangan di mana Kaisar menerima mereka, Puteri Moguhai lalu berlari
menghampiri ibunya dan duduk di dekat ibunya. Pangeran Kuang memberi hormat kepada kakak tirinya
dengan sikap gagah sebagai seorang panglima. Para tawanan segera didorong dan menjatuhkan diri
berlutut di depan kaisar.

Thian Liong meragu. Kalau berhadapan dengan kaisar bangsanya sendiri, kaisar kerajaan Sung, dia tidak
akan ragu-ragu untuk menjatuhkan diri berlutut sebagai penghorrmatan. Akan tetapi dia berhadapan
dengan kaisar kerajaan Kin, kerajaan bangsa Nuchen yang menjajah. Maka dia hanya mengangkat kedua
tangan depan dada sambil membungkuk sebagai penghormatan. Moguhai sudah mendekati kaisar dan
berkata lirih.

“Sri Baginda, pemuda itu adalah Souw Thian Liong yang membantu kita dan dia pula yang menangkap
Pangeran Hiu Kit Bong sehingga perlawanan pasukan pemberontak dapat dihentikan.”

Kaisar telah mendengar akan bantuan seorang pendekar bangsa Han itu. Dia tersenyum dan
memandang kepada Thian Liong lalu mengangguk-angguk. “Souw sicu, silakan duduk di kursi itu. Engkau
juga, Pangeran Kuang!”

Kemudian Kaisar menjatuhkan hukuman kepada para pimpinan pemberontak. Kaisar kerajaan Kin ini
setelah mengambil Tan Siang Lin sebagai selir terkasih banyak mengalami perubahan. Kalau dahulu dia
terkenal keras, kini dia berubah menjadi lebih lunak. Banyak nasihat dia terima dari Tan Siang Lin
sehingga dia menjadi seorang penguasa yang bijaksana tidak lalim. Semua orang tentu mengira bahwa
kaisar akan menghukum mati pimpinan pemberontak itu

Akan tetapi kenyataannya tidak. Seperti yang diharapkan Siang Lin, Pangeran Hiu Kit Bong dan para
sekutunya tidak dijatuhi hukuman mati, melainkan dihukum buang bersama keluarga mereka di daerah
utara, hidup dalam pengasingan dengan suku-suku yang masih terbelakang di sana sehingga tidak ada
kemungkinan bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 310

Setelah tawanan itu dibawa pergi, Pangeran Kuang melaporkan gerakannya menumpas pemberontak,
dimulai dari kunjungan Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong yang membawa tawanan, yaitu Ngo-heng
Kiam-tin dan belasan orang perajurit yang diutus Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh Moguhai,
sampai pengerahan pasukan yang dia pimpin ke kota raja dan berhasil membasmi para pemberont ak
pada saat yang tepat.

Setelah Pangeran Kuang selesai bercerita, tiba giliran Puteri Moguhai untuk menceritakan
pengalamannya bersama Souw Thian Liong. Cerita Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai menarik
perhatian semua keluarga istana yang hadir di situ. Mereka merasa kagum sekali. Setelah mendengar
betapa Souw Thian Liong, seorang pemuda pribumi Han menolong kerajaan Kin dan berjasa besar,
Kaisar segera berkata sambil memandang kepada Thian Liong dengan senyum ramah.

“Souw-sicu, jasamu besar sekali dan kami mengucapkan banyak terima kasih kepadamu. Katakan, apa
yang kau inginkan dari kami? Permintaanmu pasti akan kami penuhi demi membalas budi dan jasamu.”

Thian Liong cepat memberi hormat. “Maafkan hamba, Sri Baginda. Harap Paduka tidak salah paham.
Hamba sama sekali tidak menginginkan sesuatu. Apa yang hamba lakukan itu sama sekali bukan
perbuatan jasa atau pelepasan budi, apalagi berpamrih mendapatkan imbalan, melainkan sudah
menjadi kewajiban hamba untuk melakukannya. Bukan sekali -kali hamba menolak anugerah dari
Paduka, hanya hamba tidak mengharapkan imbalan apa pun.”

“Sri Baginda harap jangan menghadiahkan apa-apa kepada Souw Thian Liong. Dia seorang pendekar
sejati, dan memberi hadiah kepadanya sama saja dengan merendahkan, bahkan menghinanya. Hamba
mempunyai cara yang terbaik untuk membalas budinya. Dia sedang mencari seorang gadis berpakaian
merah yang telah mencuri sebuah kitab darinya, dan dia juga bertugas untuk menentang Perdana
Menteri Chin Kui di kerajaan Sung. Untuk kedua hal itu, hamba akan membantunya, dengan demikian
hamba dapat membalas budi kebaikannya,” kata Puteri Moguhai kepada kaisar.

Kaisar mengerutkan alisnya mendengar nama Perdana Menteri Chin Kui dlisebut. Bagaimanapun juga,
Chin Kui dahulu merupakan orang yang berjasa bagi kerajaan Kin. Chin Kui yang mencegah balatentara
Sung yang dipimpin Jenderal Gak Hui, jenderal yang amat pandai dan ditakuti kerajaan Kin, melanjutkan
gerakannya menyerang ke utara untuk menghalau kerajaan Kin yang menguasai setengah dari daratan
Cina bagian utara. Chin Kui yang berhasil membujuk Kaisar Sung untuk berdamai dengan kerajaan Kin,
bahkan kerajaan Sung mengirim upeti tahunan kepada kerajaan Kin. Akan tetapi akhir-akhir ini dia
melihat kecurangan Perdana Menteri Chin Kui yang mengurangi sebagian dari upeti kerajaan Sung itu
untuk dirinya sendiri. Hal ini membuat hubungan mereka merenggang.

“Kenapa Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung hendak ditentang?” tanyanya sambil memandang
kepada puterinya.

Puteri Moguhai mengerti jalan pikiran ayahnya. “Sri Baginda, Souw Thian Liong hendak menentangnya
karena Chin Kui terkenal sebagai seorang pembesar yang korup dan khianat terhadap kerajaan Sung.
Selain itu, ternyata dia juga menjadi sekutu Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak kepada
paduka.”

Kaisar mengerutkan alisnya. “Bersekutu dengan pemberontak?” Dia memandang puterinya dengan sinar
mata penuh keheranan. “Apa buktinya kalau dia bersekutu dengan pemberontak?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 311

“Buktinya sudah jelas, Sri Baginda,” kata Puteri Moguhai. “Cin Kui memang diam-diam menjalin
persekutuan dengan Pangeran Hiu Kit Bong dan yang paling jelas buktinya, dia mengirim seorang utusan
yang bernama Cia Song untuk menangkap hamba. Hamba hendak ditangkap dan dijadikan sandera
untuk memaksa paduka menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Hiu Kit Bong.”

Kaisar mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Hemm, aku memang sudah tahu bahwa Chin Kui
adalah seorang yang licik dan curang, sama sekali tidak boleh dipercaya. Pernah dia minta kepada kami
agar kami mengirim pasukan untuk membantu dan merebut tahta kerajaan Sung dari tangan Kaisar Kao
Tsu, akan tetapi aku tidak mau mengkhianati perdamaian yang sudah diadakan antara kerajaan Kin dan
kerajaan Sung.”

“Kakanda Kaisar, bagaimana kalau hamba membawa pasukan untuk menghukum Chin Kui yang
bersekongkol dengan pemberontak itu?” tiba-tiba Pangeran Kuang mengusulkan.

Kaisar menggeleng kepala. “Tidak boleh, adinda pangeran. Kalau engkau membawa pasukan ke selatan,
hal itu akan dapat menimbulkan salah paham dengan kerajaan Sung. Kalau di sana Chin Kui hendak
mengadakan pemberontakan, biarlah Kaisar Sung Kao Tsu sendiri menghadapinya. Itu adalah urusan
dalam negeri kerajaan Sung dan kita tidak berhak mencampurinya.”

“Benar sekali, Sri Baginda. Akan tetapi kalau hamba seorang diri yang pergi membantu Souw Thian
Liong, hamba tidak mewakili kerajaan kita, melainkan sebagai tindakan pribadi hamba. Hamba ingin
membalas budi kebaikan Souw Thian Liong dan harap paduka tidak melarang hamba.”

“Ha-ha-ha, siapakah yang dapat melarangmu, Moguhai? Apakah ayahmu ini pernah melarangmu selama
ini? Engkau merantau ke sana sini sehingga mendapat julukan Pek Hong Nio-cu, dan aku tidak pernah
melarangnya. Baiklah, engkau pergilah membantu Souw-sicu, akan tetapi jangan lupa untuk segera
pulang. Engkau harus ingat bahwa engkau kini sudah dewasa, usiamu sudah hampir duapuluh tahun dan
sudah tiba masanya bagimu untuk menikah!”

“Aihh…… paduka…..! Hamba….. belum ingin menikah,” kata Pek Hong Nio-cu tersipu dan tergagap
sehingga ditertawakan semua anggauta keluarga istana.

Atas permintaan Pek Hong Nio-cu, Souw Thian Liong terpaksa tinggal di istana selama beberapa hari
karena gadis itu ingin melepaskan kerinduannya kepada keluarganya lebih dulu sebelum meninggalkan
mereka untuk melakukan perjalanan dengan Souw Thian Liong menuju ke selatan.

Pada malam hari itu, Puteri Moguhai bercakap-cakap dengan ibunya di dalam kamarnya. Ibunya, Tan
Siang Lin, merasa berat dan khawatir mendengar puterinya akan pergi ke selatan membantu Thian Liong
menentang Perdana Menteri Chin Kui.

“Moguhai, anakku, aku benar-benar merasa gelisah sekali mendengar engkau akan pergi ke selatan.
Kalau orang-orang kerajaan Sung mendengar bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kin, tentu engkau akan
dimusuhi dan amatlah berbahaya bagimu.”

Moguhai merangkul ibunya. “Jangan khawatir, ibu. Di dalam istana ini, aku adalah Puteri Moguhai. Akan
tetapi di luar sana, aku dikenal sebagai Pek Hong Nio-cu. Di selatan nanti orang-orang akan mengenal
aku sebagai Pek Hong Nio-cu dan tak seorangpun akan mengetahui bahwa aku adalah Puteri Moguhai.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 312

“Akan tetapi pemuda she Souw itu mengetahuinya. Bagaimana kalau dia memberitahukan kepada
orang-orang lain?”

“Tidak mungkin, ibu. Dia seorang sahabat yang baik dan setia. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah
tertimpa malapetaka. Dia boleh dipercaya, ibu.”

Tan Siang Lin menghela napas panjang. “Bagaimana pun juga, aku tetap merasa khawatir. Biarpun
engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan tangguh, namun di selatan sana banyak terdapat
penjahat yang sakti.”

Moguhai tersenyum. “Ibu tidak perlu khawatir. Selain aku sendiri mampu membela dan menjaga diri,
juga ada Souw Thian Liong yang memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dariku. Dia lihai sekali, ibu.
Lihai dan bijaksana. Dan tahukah ibu siapa gurunya? Gurunya adalah seorang sakti yang amat terkenal,
yaitu bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin!”

Wajah Tan Siang Lin berubah. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan seruan, “Ahh......!” ketika
ia mendengar disebutnya nama itu. Akan tetapi ia lalu menundukkan mukanya dan diam saja.

Moguhai memperhatikan sikap ibunya. “Ibu, ada satu hal yang merupakan kejutan besar.”

“Hemm, apakah itu, anakku?”

“Aku telah bertemu dengan paman Sie!”

“Eh? Benarkah? Bagaimana engkau mengetahui bahwa yang kautemukan itu Paman Sie?”

“Aku tidak lupa akan wajahnya, ibu. Aku pernah melihat dia ketika dia datang menemui ibu di taman
beberapa tahun yang lalu itu. Dia benar-benar paman Sie yang telah memberi kitab-kitab dan perhiasan
rambut ini kepadaku melalui ibu. Dan dialah yang menyelamatkan kami ketika aku dan Thian Liong
tertawan kaki tangan pemberontak.”

“Ah......!” Selir kaisar itu memandang wajah puterinya. “Dan dia menemuimu, bicara denganmu?”

“Sayang sekali tidak, ibu. Aku hanya melihat dia di kejahuan, lalu dia menghilang setelah menolong aku
dan Thian Liong.” Kini gadis itu memandang wajah ibunya dengan tajam. “Dan ada satu lagi kejutan
besar, ibu.”

Tan Siang Lin agaknya telah dapat menguasai perasaannya. Ia memandang puterinya sambil tersenyum
dan berkata, “Ah, engkau ini penuh dengan kejutan. Apa lagi yang hendak kauceritakan, Moguhai?”

“Paman Sie itu ternyata adalah Tiong Lee Cin-jin, guru Souw Thian Liong!”

Moguhai melihat betapa kini tidak ada perubahan pada wajah ibunya. Ia tahu bahwa hal ini jelas
menunjukkan bahwa ibunya pasti telah tahu bahwa paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin. Dan Tan Siang
Lin masih tersenyum ketika bertanya kepada puterinya.

“Bagaimana engkau dapat memastikan bahwa paman Sie itu Tiong Lee Cin-jin?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 313

“Ketika dia muncul setelah menyelamatkan Thian Liong dan aku, Thian Liong berseru memanggilnya
dengan sebutan suhu. Suhunya adalah Tiong Lee Cin-jin, maka jelaslah bahwa paman Sie adalah Tiong
Lee Cin-jin. Benarkah itu, ibu? Ibu tentu lebih mengenal dan mengetahui, bukan?”

Tan Siang Lin menghela napas dan diam saja tidak menjawab dan hanya menundukkan mukanya,
kemudian malah melamun dan kedua matanya menjadi basah! Puteri Moguhai merangkul ibunya. Ia
biasanya manja kepada ibunya, akan tetapi melihat ibunya seperti orang yang berduka, ia merasa
gelisah dan ingin sekali menghiburnya. Ia amat menyayang ibunya.

“Ibu, ada apakah, ibu? Ibu agaknya menyimpan rahasia! Ceritakanlah kepadaku, ibu.”

Tan Siang Lin menggeleng kepalanya. “Tidak, tidak ada apa-apa, anakku. Hanya aku merasa terharu
mendengar sahabat baikku itu, Paman Sie itu, telah menyelamatkan engkau. Diapun sudah
menyelamatkan ayahmu ketika ayahmu terancam oleh dua orang pengawal yang agaknya menjadi kaki
tangan Pangeran Hiu Kit Bong.”

“Ah, benarkah ibu? Kenapa Sri Baginda tidak bercerita tentang hal i tu!” kata Moguhai, ikut gembira
karena bagaimanapun juga, ia merasa dekat dengan “Paman Sie” yang telah memberi tiga kitab
pelajaran ilmu silat tinggi dan perhiasan rambut, dan menganggap dia sebagai gurunya walaupun ia
belum pernah bertemu dan bercakap-cakap.

“Mungkin ayahmu belum sempat bercerita karena masih banyak persoalan yang harus diurus ayahmu
berhubung dengan pemberontakan itu.”

“Ibu saja yang bercerita! Bagaimana terjadinya peristiwa itu, Ibu?”

“Malam kemarin, ketika kami berkumpul di ruangan dalam, dalam keadaan tegang karena pada siang
harinya terjadi pertempuran dan pasukan kita terdesak mundur sehingga hanya menjaga di dalam
benteng istana dan pintu gerbang ditutup rapat. Malam itu tidak terjadi pertempuran akan tetapi kami
semua dapat menduga bahwa besok paginya para pemberontak tentu akan menyerang lagi.

Tiba-tiba dua orang pengawal pribadi ayahmu, dengan golok di tangan, menyerang ayahmu. Mereka
telah menjadi antek Pangeran Hiu Kit Bong. Karena serangan itu dilakukan tiba-tiba maka agaknya tidak
ada yang akan dapat menyelamatkan ayahmu, akan tetapi tiba tiba dari luar jendela ada dua sinar hijau
meluncur masuk dan mengenai dua orang penyerang itu yang senjata mereka terlepas dan mereka
sendiri lalu terpelanting. Mereka ditangkap para pengawal lainnya dan ternyata yang menancap di
tangan mereka hanyalah dua helai daun hijau!”

Moguhai memandang ibunya dengan sinar mata kagum. “Hebat! Bukan main! Daun basah dapat
dipergunakan sebagai senjata rahasia! Alangkah saktinya!”

“Aku tahu bahwa hanya paman Sie saja yang mampu melakukan hal itu. Aku memandang keluar jendela
dan aku yakin melihat bayangannya berkelebat di luar jendela. Kemudian, selagi ayahmu bertanya-tanya
di mana adanya engkau, tiba-tiba dari luar jendela melayang sehelai kertas bersurat.” Tan Siang Lin lalu
mengambil sebuah lipatan kertas dari ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Moguhai. “Inilah
suratnya, masih kusimpan.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 314

Moguhai yang sudah merasa kagum sekali cepat menerima surat itu dan membuka lipatan lalu
membacanya.

“Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja dengan pasukannya. Pertahankan istana
sampai mereka datang.”

“Ibu yakin bahwa surat inipun dilayangkan oleh Paman Sie?” tanya puteri itu.

Ibunya mengangguk. “Aku yakin sekaIi. Aku mengenal tulisannya yang indah itu.”

Diam-diam Moguhai menduga bahwa tentu hubungan antara ibunya dan Paman Sie amat akrab, kalau
tidak begitu tentu ibunya tidak akan dapat mengenal tulisan Paman Sie! Apakah mereka itu pernah
saling bersurat-suratan? Moguhai tidak berani menanyakan ini karena takut menyinggung perasaan
ibunya dengan dugaan yang terlalu jauh itu.

“Ibu menurut cerita Thian Liong, Tiong Lee Cin-jin itu melakukan perantauan jauh ke barat sampai
belasan tahun dan ketika dia kembali, dia membawa banyak kitab milik aliran-aliran persilatan yang
dulunya hilang. Dia mengembaIikan kitab-kitab itu kepada pemilik aselinya. Paman Sie juga telah
memberi tiga jilid kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi kepadaku. Juga ilmu kepandaian mereka berdua
itu amat tinggi. Aku kira mereka berdua itu hanya satu orang saja. Benarkah bahwa paman Sie itu adalah
Tiong Lee Cin-jin?”

Tan Siang Lin menghela napas. “Mungkin sekali demikian, Moguhai. Dia tidak pernah mengatakan
kepadaku bahwa dia juga disebut Tiong Lee Cin-jin walaupun…… eh, dia juga telah pergi selama belasan
tahun lamanya dan kami tidak pernah saling berjumpa.”

“Hemm, dan ibu baru berjumpa padanya di taman itu setelah belasan tahun saling berpisah?”

Tan Siang Lin mengangguk dan kembali menghela napas. “Sudahlah, Moguhai. Jan gan banyak
membicarakan dia, tidak enak kalau didengar orang lain, disangkanya nanti ada apa-apa…...”

“Jangan khawatir, ibu. Aku selalu merahasiakan Paman Sie seperti yang ibu pesan dulu.”

“Baik sekali kalau begitu, anakku. Ingat saja bahwa Paman Sie itu adalah gurumu dan dulu, dulu sekali
dia adalah sahabat baik ibumu.”

Moguhai amat menyayang ibunya. Setelah ibunya berkata demikian iapun membelokkan percakapan
tentang hal lain dan tidak menyinggung nama Paman Sie lagi. Setelah melepaskan kerinduannya ke pada
keluarga istana selama tiga hari, Moguhai lalu ikut Thian Liong melakukan perjalanan ke Selatan.

Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu, lebih tepat kita sebut Pek Hong Nio-cu karena selama melakukan
perjalanan bersama Thian Liong ia tidak pernah mengaku sebagai Puteri Moguhai, menunggang kuda di
sebelah Thian Liong. Mereka telah melakukan perjalanan jauh dan kini sudah mulai memasuki wilayah
kerajaan Sung setelah kemarin mereka menyeberangi Sungat Yang-ce.

Selama perjalanan mereka di wilayah kerajaan Kin, yaitu di seberang utara Sungai Yang-ce, mereka tidak
menemui banyak kesulitan. Pek Hong Nio-cu selalu disambut dengan penuh kehormatan setelah para
pembesar setempat mengetahui, dari pedang kekuasaannya, bahwa ia adalah puteri kaisar. Dan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 315

perjalanan itu dipergunakan pula oleh Pek Hong Nio-cu menyelidiki para pembesar. Kalau menemukan
pembesar yang sewenang-wenang terhadap rakyat, jahat dan korup, seperti raja kecil yang lalim, ia
segera turun tangan memberi hajaran dan memperingatkan mereka dengan keras.

Pada suatu pagi mereka memasuki Kota Ciu-siang, kota pertama wilayah kerajaan Sung yang berada di
daerah barat. Mereka tidak langsung memasuki wilayah Kerajaan Sung dari timur yang sebetulnya lebih
dekat dan mereka dapat langsung tiba di Lin-an (Hang-chouw) yaitu kota raja Sung karena daerah timur
itu merupakan tempat yang gawat, perbatasan dijaga kedua pihak sehingga melakukan perjalanan lewat
daerah itu akan mengalami banyak gangguan dan bahaya.

Karena malam tadi mereka berdua melakukan perjalanan setengah malam di bawah sinar bulan
purnama, mereka dan juga kuda mereka telah lelah. Pek Hong Nio-cu mengajak Thian Liong yang kini
menjadi penunjuk jalan di daerah Sung yang lebih dikenalnya, untuk mencari rumah penginapan agar
mereka dapat beristirahat. Sebelum memasuki daerah kerajaan Sung, atas nasihat Thian Liong, Pek
Hong Nio-cu mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai para gadis pribumi Han. Hal ini
amat penting karena kalau ia mengenakan pakaian gadis bangsawan bangsa Nu chen (Yuchen), h al itu
akan menimbulkan banyak masalah dan mungkin saja ia akan dimusuhi oleh rakyat pribumi.

Pek Hong Nio-cu yang memang sudah mempersiapkan pakaian pengganti, memakai pakaian gadis Han,
akan tetapi tetap saja pakaian itu dari sutera putih dan perhiasan burung Hong di kepalanya masih
dipakainya, hanya gelung rambutnya disesuaikan dengan bentuk gelung rambut gadis pribumi Han.
Penampilannya tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali karena wajah puteri itu memang lebih mirip
gadis pribumi Han daripada bangsa Nuchen. Hanya saja, karena ia memang amat cantik jelita, maka di
mana saja, orang-orang, terutama para pria, yang melihatnya akan memandang dengan kagum.

Mereka berdua turun dari atas punggung kuda mereka di pelataran sebuah rumah penginapan. Seorang
pelayan segera menyambut dan mengurus kuda mereka. Mereka lalu berjalan memasuki ruangan depan
rumah penginapan itu dan minta kamar kepada pengurus penginapan yang duduk di belakang meja
penerima tamu.

Agaknya memang menjadi peraturan di kota dekat perbatasan itu bahwa para tamu harus
memperkenalkan namanya. Ketika ditanya, Thian Liong menjawab tenang. “Namaku Souw Thian Liong
dan nona ini adalah adikku, Souw-siocia (Nona Souw). Kami hendak pergi ke kota raja.

Mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Mereka lalu memasuki kamar masing-masing
untuk tidur karena merasa lelah dan mengantuk. Setelah matahari naik tinggi, keduanya terbangun
dengan tubuh terasa segar kembali. Setelah mandi dan menukar pakaian, mereka berdua pergi ke
rumah makan yang berada di samping rumah penginapan dan memesan makanan.

Se!agi mereka minum air teh sehabis makan, tiba-tiba mereka dan semua orang yang sedang makan
dalam rumah makan itu dikejutkan oleh masuknya serombongan orang yang ternyata adalah perajurit-
perajurit berpakaian seragam dan jumlah mereka ada belasan orang, dipimpin oleh seorang perwira
yang bertubuh tinggi besar.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu bersikap tenang dan memandang kepada perwira yang memimpin
pasukan kecil itu. Mereka melihat pula pengurus rumah penginapan yang juga tampak memasuki rumah
makan dan orang ini mendekati sang perwira dan menudingkan telunjuknya ke arah Thian Liong dan Pek

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 316

Hong Nio-cu. Mengikuti petunjuk pengurus rumah penginapan, perwira itu segera melangkah lebar
menghampiri Thian Liong, diikuti belasan orang anak buahnya.

Para tamu rumah makan menjadi ketakutan dan mereka bergegas meninggalkan rumah makan itu
setelah cepat-oepat menghentikan makan mereka dan membayar harga makanan di meja pengurus
rumah makan. Berdasarkan pengalaman, kalau pasukan datang, tentu terjadi keributan dan mereka
tidak ingin tersangkut.

Tak lama kemudian, hanya tinggal Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu yang masih tinggal di rumah makan
itu. Para pelayan rumah makan juga sudah keluar dan berkumpul di pelataran, menonton dari kejauhan.

Biarpun maklum bahwa perwira yang diikuti serombongan perajurit itu menghampiri meja mereka,
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu masih tenang saja. Bahkan Pek Hong Nio-cu dengan sikap acuh
mengangkat cangkir air tehnya dan minum.

Setelah tiba dekat meja, Thian Liong, perwira yang berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tinggi besar
dan mukanya brewok, matanya lebar itu memandang kepada Thian Liong lalu bertanya dengan suara
parau dan sikapnya kasar.

“Hei, apakah kamu yang bernama Souw Thian Liong?”

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnys dan merasa tak senang, akan tetapi Thian Liong memberi isyarat
kepadanya agar diam, lalu dia sendiri dengan sikap tenang menjawab. “Benar, aku bernama Souw Thian
Liong. Ada apakah, ciang-kun (perwira)?”

“Bagus!” Perwira itu mencabut pedangnya, diikuti belasan orang anak buahnya yang juga mencabut
golok mereka.

“Souw Thian Liong, menyerahlah, kami harus menangkapmu. Jangan melawan agar kami tidak perlu
menggunakan kekerasan!”

Thian Liong masih tetap duduk tenang. Pek Hong Nio-cu bahkan lebih tenang lagi. Tanpa memperdulikan
pasukan kecil itu yang mengepung dan semua mata ditujukan kepadanya dengan mata penuh marah
dan mulut menyeringai kurang ajar, ia menuangkan air teh dari poci memenuhi cangkirnya.

“Aku tidak mempunyai kesalahan apapun, ciangkun. Kenapa engkau hendak menangkap aku? Katakan
dulu apa kesalahanku, kalau aku memang bersalah, tentu aku menyerah dengan senang hati untuk
kautangkap,” kata Thian Liong, tidak menunjukkan rasa penasaran di hatinya dalam ucapan atau
sikapnya.

Perwira tinggi besar itu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau masih pura-pura bertanya? Engkau adalah seorang
buruan pemerintah. Engkau seorang pengkhianat yang menjadi antek kerajaan Kin, tentu engkau
hendak memata-matai daerah ini, bukan? Nah, menyerahlah kutangkap dan kuhadapkan kepada jaksa!
Dan Nona inipun akan kami tangkap karena ia berada bersamamu, apalagi engkau mengaku bahwa ia
adikmu, tentu tersangkut dengan pengkhianatan dan kejahatanmu!” Perwira itu lalu menoleh kepada
anak buahnya. “Belenggu kedua tangan pengkhianat ini!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 317

Akan tetapi pada saat itu, Pek Hong Nio-cu sudah menggerakkan cangkir tehnya dan air . teh dari cangkir
itu menyiram muka si perwira dengan cepat sekali.

“Ah...... aduh......!” Perwira itu meraba mukanya yang terasa perih seperti ditusuki jarum dan matanya
pedas tersiram air teh yang masih panas! “Serang mereka!” bentaknya sambil menggosok -gosok
matanya yang belum dapat dibuka.

Belasan orang perajurit itu lalu menerjang maju dan menggerakkan golok mereka menyerang Thian
Liong dan Pek Hong Nio-cu!

“Nio-cu, jangan bunuh orang!” Thian Liong berseru kepada gadis itu.

Pek Hong Nio-cu menendang meja di depannya. Meja melayang dan menimpa para perajurit sehingga
empat orang kena hantam meja dan roboh. Dua orang muda itu lalu melompat dan kaki tangan mereka
bergerak cepat. Terdengar teriakan teriakan mengaduh disusul golok beterbangan lepas dari tangan
para perajurit dan tubuh mereka berpelantingan menabrak meja kursi dalam ruangan rumah makan itu!

Si perwira yang belum sempat dapat membuka matanya, disambar sebuah kaki mungil Pek Hong Nio-cu.

Tendangan itu mengenai perutnya, terdengar suara berdebuk dan tubuh perwira itu terjengkang dan
terbanting ke atas lantai. Dia mengaduh dan memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa mulas melilit-
lilit. Mungkin usus buntunya kena tendang Pek Hong Nio-cu. Dua orang muda itu mengamuk dan dengan
tamparan dan tendangan, dalam waktu pendek saja belasan orang perajurit itupun sudah dapat mereka
robohkan.

“Kita pergi!” kata Thian Liong dan mereka berdua cepat meninggalkan rumah makan, kembali ke rumah
penginapan, bermaksud mengambil buntalan pakaian mereka. Akan tetapi ternyata buntalan pakaian itu
sudah tidak ada lagi!

Mereka cepat keluar dan Thian Liong sudah menangkap leher baj u pengurus rumah penginapan dan
membentak, “Katakan di mana buntalan pakaian kami!” Dia mengguncang orang itu yang menjadi
ketakutan.

“Maaf...... kami...... kami tidak berdaya...... buntalan-buntalan itu telah disita perajurit......!”

“Keparat!” Pek Hong Nio-cu berseru marah.

“Sudahlah, kita pergi, ambil kuda!”

Mereka berlari ke kandang kuda. Untung bahwa pedang dan bekal perhiasan Pek Hong Nio -cu tadi
dibawa ketika makan sehingga yang tersita hanya pakaian saja. Setelah tiba di kandang kuda, mereka
melihat empat orang perajurit seclang menuntun kuda mereka. Mereka menjadi marah dan melompat
ke depan, merobohkan empat orang perajurit itu dengan mudah lalu keduanya melompat ke atas
punggung kuda dan membalapkan kuda mereka keluar dari kota Ciu-siang.

Setelah jauh meninggalkan kota Ciu-siang ke arah timur, menyusuri sungai Yang-ce tiba di kota Ki-bun.
Mereka berhenti di tempat yang sepi di luar kota yang sudah tampak tak jauh di depan, lalu melompat

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 318

turun dari kuda dan duduk di atas batu di tepi jalan. Mereka tadi telah membalapkan kuda selama
beberapa jam. Matahari mulai condong ke barat.

Pek Hong Nio-cu menghapus keringat dari dahi dan lehernya, menggunakan sehelai saputangan.

“Ah, aku merasa tidak enak kepadamu, Thian Liong. Agaknya pemerintah Kerajaan Sung telah
menganggap engkau menjadi pengkhianat dan menjadi mata mata Kerajaan Kin. Ini tentu akibat engkau
membantu kami di sana.”

“Tidak perlu merasa begitu, Nio-cu. Aku membantu kerajaan ayahmu untuk menentang pemberontakan
di sana, bukan untuk memusuhi kerajaan Sung. Ini tentu fitnah belaka. Akan tetapi sungguh heran,
bagaimana mereka bisa tahu?”

Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Aku tahu, Thian Liong. Pasti suhengmu yang jahat itu yang menyebarkan
fitnah ini sehingga engkau dicap sebagai buronan pemerintah kerajaan Sung.”

“Hemm, kalau benar-benar demikian, sungguh jahat sekali Cia Song. Dia memutar-balikkan kenyataan.
Dialah sesungguhnya pengkhianat yang sangat jahat, antek Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi, aku
masih sangsi. Jangan-jangan hanya pembesar di kota Ciu-siang saja yang entah bagaimana memang
membenciku.”

“Mari kita mencoba lagi. Kita memasuki kota di depan itu, sekalian kita membeli pakaian pengganti
karena pakaian kita telah habis disita di kota Ciu-siang.”

“Baik, mari kita memasuki kota di depan itu. Kalau tidak salah, itu adalah kota Ki-bun.”

“Akan tetapi sebaiknya kalau kuda kita ditinggal di luar kota, Thian Liong. Kalau benar dugaanku bahwa
namamu sudah dicap sebagai buronan pemerintah sehingga di kota Ki -bun engkau juga akan dikejar-
kejar, kita lebih mudah untuk melarikan diri,” kata Pek Hong Nio-cu.

Thian Liong menyetujui usul ini dan mereka menemukan sebuah rumah petani di luar kota. Mereka lalu
menitipkan kuda dan pedang mereka kepada nenek petani pemilik rumah itu, kemudian mereka berdua
berjalan memasuki kota Ki bun. Mereka meninggalkan pedang agar tidak menarik perhatian orang.

Benar saja, mereka memasuki kota Ki-bun dengan aman dan Pek Hong Nio cu mengajak Thian Liong
berbelanja pakaian di toko. Setelah membungkus pakaian mereka dalam buntalan dan mereka gendong
di punggung, Thian Liong mengajak Pek Hong Nio-cu pergi ke sebuah rumah penginapan dan dengan
sengaja Thian Liong memperkenalkan nama lengkapnya kepada pengurus rumah penginapan. Mereka
lalu makan di rumah makan dan kembali ke rumah penginapan untuk melewatkan malam dalam dua
buah kamar yang mereka sewa.

Malam itu, mereka tidur dalam keadaan siap siaga. Buntalan pakaian sudah dipersiapkan di atas meja
dan mereka merebahkan diri dengan pakaian lengkap berikut sepatu agar kalau ada apa-apa mereka
dapat cepat melarikan diri membawa buntalan pakaian yang baru mereka beli sore itu. Mereka
menunggu dengan tenang-tenang saja dan dapat tidur pulas walaupun mereka tetap waspada sehingga
biarpun tertidur, mereka peka sekali.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 319

Ternyata mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Seperti yang mereka duga, umpan pancingan Thian
Liong berhasil. Pengurus rumah penginapan itu memang sudah mencatat nama Souw Thian Liong
sebagai buronan pemerintah, seperti juga para pengurus semua penginapan. Begitu mengetahui bahwa
tamunya bernama Souw Thian Liong, pengurus penginapan segera melaporkan kepada komandan
pasukan keamanan setempat. Komandan itu segera membawa tigapuluh orang anak buahnya dan
pasukan ini mengepung dua kamar di mana Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berada.

Komandan pasukan lalu menggedor daun pintu kamar Thian Liong.

“Tok-tok-tok! Souw Thian Liong, keluar dan menyerahlah!”

Mendengar gedoran pintu dan teriakan ini, Thian Liong segera menyambar buntalan pakaian dan
digendongnya. Demikian pula yang dilakukan Pek Hong Nio-cu. Mereka berdua, hampir bersamaan
membuka daun pintu dan menerjang keluar.

“Tangkap! Serang mereka!” Komandan pasukan itu memberi aba-aba.

Tigapuluh orang anak buahnya bergerak dengan golok di tangan. Akan te tapi, seperti sudah mereka
sepakati, Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong tidak melayani mereka berkelahi. Dua orang itu menerjang
keluar, merobohkan siapa saja yang menghadang dengan tamparan atau tendangan. Mereka yang
berani menghadang roboh terpelanting dan dua orang muda itu bagaikan dua ekor burung saja lalu
melompat jauh ke depan, keluar dari rumah penginapan itu. Komandan pasukan berteriak -teriak,
memberi aba-aba pengejaran dan mereka semua mengejar keluar. Akan tetapi Thian Liong dan Pek
Hong Nio-cu mempergunakan ilmu berlari cepat dan sebentar saja mereka sudah menghilang dalam
kegelapan malam karena bulan belum muncul. Para pengejar kehilangan jejak dan arah. Dengan ngawur
mereka menggeledahi rumah-rumah sehingga penduduk kota Ki-bun menjadi geger.

Yang dikejar dan dicari sudah berada di luar kota. Pek Hong Nio-cu memberi hadiah dua potong perak
kepada nenek petani itu yang menerimanya dengan gembira sekali. Dua potong itu baginya merupakan
jumlah yang amat banyak.

Nenek janda ini berulang-ulang mengucapkan terima kasih dan merasa heran akan tetapi tidak berani
bertanya ketika dua orang tamunya itu malam-malam begitu melanjutkan perjalanan mereka.

Sekarang yakinlah mereka berdua bahwa nama Souw Thian Liong memang sudah disiarkan di semua
kota sebagai buruan pemerintah, sebagai pengkhianat yang jahat dan berbahaya!

“Heran sekali! Kalau benar Cia Song yang melakukan fitnah ini, bagaimana dia dapat menyiarkan fitnah
itu ke semua kota, dan bagaimana pula para pembesar setempat percaya akan keterangan pals unya
itu?” kata Thian Liong ketika mereka berdua melanjutkan perjalanan setelah meninggalkan kota Ki -bun.

“Kenapa heran, Thian Liong? Tentu saja Cia Song tidak menyiarkan fitnah itu oleh dia sendiri. Lupakah
bahwa dia adalah antek dari Perdana Menteri Chin Kui yang berkuasa? Tentu dia melaporkan segala hal
yang terjadi di kerajaan kami itu kepada Chin Kui dan Chin Kui yang menyebarluaskan fitnah itu melalui
para pembesar. Dengan kekuasaan dan pengaruhnya yang besar, tentu saja dia dapat memerintahkan
para pembesar untuk menangkapmu. Mungkin juga dia sudah membujuk Kaisar Sung Kao Tsu dengan
meyakinkan hati kaisar itu bahwa engkau benar-benar seorang pengkhianat sehingga kaisar sendiri yang
mengeluarkan perintah penangkapan atas dirimu.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 320

Thian Liong mengerutkan alisnya dan mengepal tinjunya. “Ah, alangkah jahatnya Cia Song dan Perdana
Menteri Chin Kui!”

“Karena itu, kita harus berhati-hati, Thian Liong. Menurut pendapatku, sebaiknya engkau jangan ke kota
raja lebih dulu karena kalau sampai engkau ketahuan memasuki kota raja dan pasukan bergerak untuk
menangkapmu, tentu akan berbahaya sekali bagimu. Bagaimana engkau, dibantu olehku sekalipun, akan
dapat melawan pasukan besar kota raja, apalagi di sana terdapat banyak jagoan jagoan yang tinggi
ilmunya?”

“Hemm, agaknya pendapatmu itu ada benarnya, Nio-cu. Akan tetapi kalau aku tidak pergi ke kota raja,
lalu bagaimana aku dapat melakukan tugasku menentang Perdana Menteri Chin Kui? Dan akupun harus
mencari Cia Song. Orang itu ternyata jahat dan palsu. Dia adalah seorang pengkhianat Siauw-lim-pai
dengan menjadi murid Ali Ahmed datuk sesat itu dan juga telah mengkhianati kerajaan Sung. Malah dia
juga membantu pemberontakan di kerajaan Kin. Aku harus menangkapnya dan membawanya ke Siauw -
lim-pai agar dia mendapatkan keputusan peradilan di Siauw-lim-pai.”

“Akan tetapi, ketika dahulu kita akan ditangkap itu, Cia Song mengatakan bahwa engkau akan ditawan
dan dibawa ke Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk menerima hukuman. Apa artinya kata-kata itu?”

“Hemm, aku sendiri juga tidak tahu apa yang dia maksudkan. Aku tidak merasa melakukan kesalahan
apapun terhadap Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Akan tetapi aku masih bingung, karena sekarang aku
dinyatakan buronan oleh pembesar Kerajaan Sung, lalu bagaimana aku dapat pergi ke kota raja?”

“Kita mencari jalan nanti, Thian Liong. Yang penting, sekarang kita harus menghindari kota-kota besar.
Tidak mungkin pejabat kecil di desa sudah mendengar bahwa engkau dinyatakan buron oleh
pemerintah. Kita melewati desa-desa saja, dan kita mencoba untuk mencari gadis baju merah yang telah
mencuri kitabmu. Nanti kita mencari jalan untuk melakukan penyelidikan di kota raja tentang Chin Kui
dan Cia Song. Kurasa untuk menentang Perdana Menteri itu tidak mungkin kaulakukan seorang diri saja.
Dia tentu mempunyai banyak pendukung dan pasukan.”

Thian Liong mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum kepada puteri ini. Ternyata selain lihai ilmu
silatnya dan baik budinya, Pek Hong Nio-cu juga berpandangan luas dan agaknya dapat membuat
perhitungan dengan teliti. Masih begitu muda namun agaknya pengertiannya tentang seluk beluk
pemerintahan dan lawan-lawannya cukup luas.

“Ah, Nio-cu. Kalau tidak ada engkau yang membantuku, entah apa yang akan kulakukan. Aku sendiri
menjadi bingung melihat pemerintah menganggap aku seorang pengkhianat yang harus ditangkap.”

“Tenanglah, Thian Liong. Bukankah engkau sendiri yang pernah menasihatiku bahwa orang yang benar
dilindungi Tuhan? Setidaknya kita berdua tahu benar bahwa engkau bukan pengkhianat, bukan mata-
mata kerajaan Kin, engkau tidak bersalah. Ini semua hanya fitnah yang dilakukan seorang yang jahat,
yaitu Cia Song yang dibantu oleh seorang pembesar lalim seperti Chin Kui. Kita akan lawan mereka dan
kita harus yakin bahwa akhirnya kita akan dapat mengalahkan mereka.”

Bagaimanapun juga keadaan dirinya yang menjadi orang buruan pemerintah tanpa melakukan
kesalahan apapun itu membuat Thian Liong menjadi murung. Dia berhutang budi kepada gurunya dan
dia selalu menaati perintah gurunya. Tiong Lee Cin-jin menyuruh dia menyerahkan kitab-kitab kepada

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 321

mereka yang berhak. Perintah pertama ini belum dilaksanakan semua, bahkan mengalami kegagalan
karena sebuah kitab milik Kun lun-pai dicuri gadis baju merah dan sampai sekarang dia belum dapat
menemukannya kembali untuk diserahkan kepada Kun-lun-pai. Kemudian, perintah kedua agar dia
membela kerajaan dan menentang Perdana Menteri Chin Kui, belum dia laksanakan malah sekarang dia
dianggap pengkhianat oleh kerajaan Sung dan menjadi orang buruan yang dikejar-kejar dan hendak
ditangkap pemerintah.

Hal ini membuat dia murung dan kecewa kepada diri sendiri. Dia merasa malu kepada gurunya yang
demikian baiknya. Bahkan ketika dia dan Pek Hong Nio-cu terancam bahaya dan tertawan oleh
pemberontak kerajaan Kin, gurunya itu muncul dan menyelamatkannya! Dia yakin bahwa gurunya yang
berilmu tinggi itu pasti sudah tahu akan semua kegagalannya dan hal ini membuat dia merasa malu
sekali.

Melihat wajah Thian Liong yang muram dan tidak bahagia, Pek Hong Nio-cu merasa iba.

“Thian Liong, sudah lama sekali, ketika masih kanak-kanak, ibuku bercerita kepadaku tentang keindahan
sebuah telaga yang disebutnya See-ouw (Telaga Barat). Aku ingin sekali melihat keindahan telaga itu.
Maukah engkau mengajak aku ke sana?”

Ucapan itu dikeluarkan dengan nada suara yang manis dan membujuk sehingga Thian Liong merasa
tidak tega untuk menolak. Maka, mereka mengurungkan perjalanan mereka menuju Lin-an, kota raja
Kerajaan Sung Selatan, melainkan membalik, menuju ke arah Telaga Barat.

Sepasang suami isteri yang menunggang kuda, menjalankan kudanya perlahan-lahan menyusuri
sepanjang tepi See ouw (Telaga Barat) yang cukup luas itu.

Pagi itu matahari yang baru muncul dari balik bukit, tampak berseri dan cahaya yang masih lembut itu
menghangatkan tubuh dan hati kedua orang suami isteri yang menunggang kuda dengan santai itu.
Mereka menikmati keindahan alam pagi hari itu, tidak pernah merasa bosan walaupun sudah bertahun -
tahun mereka seringkali melakukan perjalanan seperti itu.

Yang pria berusia sekitar empatpuluh lima tahun, akan tetapi dia tampak lebih tua daripada umurnya.
Rambut di atas kedua telinganya sudah memutih dan ada garis-garis duka pada wajahnya. Wajahnya
biasa saja, tidak terlalu tampan namun tidak pula jelek, akan tetapi pada mata dan mulut itu, juga pada
sikap tubuh dan penampilannya, membayangkan kejantanan dan kegagahan. Sebatang pedang yang
berada di pungungnya menambah kegagahannya. Dia memang seorang yang gagah perkasa, bahkan
pernah menjadi komandan Pasukan Halilintar, sebuah pasukan dalam barisan yang dipi mpin mendiang
Jenderal Gak Hui yang amat terkenal itu. Pria ini bukan lain adalah Han Si Tiong yang sudah kita kenal
dalam bagian awal kisah ini.

Adapun isterinya, yang menunggang kuda di sampingnya, adalah Liang Hong Yi, berusia sekitar tigapuluh
delapan tahun. Wajahnya cantik manis, berbentuk bulat telur, terutama sekali bibirnya yang membuat ia
tampak menarik sekali, apa lagi ada tahi lalat di dagu yang menambah kemanisannya. Juga wanita ini
membawa pedang di punggungnya.

Pada awal kisah ini diceritakan betapa Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, duabelas tahun yang lalu, ikut
berjuang sebagai bawahan mendiang Jenderal Gak Hui, melawan pasukan-pasukan Kin di perbatasan.
Suami isteri ini dengan Pasukan Halilintarnya membuat kemenangan dan jasa, akan tetapi ti ba-tiba saja

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 322

mendiang Jenderal Gak Hui menerima perintah dari kaisar untuk menarik mundur pasukannya. Ini
adalah akibat dari bujukan Perdana Menteri Chin Kui kepada Kaisar yang menghentikan perang terhadap
kerajaan penjajah Kin. Bahkan kemudian Perdana Menteri Chin Kui berhasil membujuk Kaisar dan
menjatuhkan fitnah kepada Jenderal Gak Hui sehingga panglima yang gagah perkasa dan setia ini
dihukum mati.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi dalam sebuah pertempuran berhasil menewaskan Pangeran Cu Si,
pangeran Kerajaan Kin. Mereka mengambil pedang bengkok pangeran Kin ini untuk oleh-oleh puterinya,
Han Bi Lan, yang ketika itu berusia kurang lebih tujuh tahun dan yang memang memesan kepada
ayahnya agar dioleh-olehi pedang bengkok itu. Akan tetapi ketika mereka berdua pulang ke Lin-an,
mereka mendapatkan bahwa Lu-ma, pengasuh Bi Lan, tewas terbunuh orang dan puteri mereka itu
lenyap diculik pembunuh itu!

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merantau untuk mencari puteri mereka yang hilang. Namun semua
usaha bertahun-tahun mereka sia-sia. Dan mereka mendengar betapa Jenderal Gak Hui telah dijatuhi
hukuman mati. Hal ini membuat mereka berduka sekali dan mereka tidak mau kembali ke kota raja,
tidak mau mengabdi kepada Kaisar. Setelah bertahun-tahun mencari puterinya dengan sia-sia, akhirnya
mereka tinggal di sebuah dusun Kian-cung dekat Telaga Barat. Mereka membeli tanah, mendirikan
rumah sederhana dan menjadi petani.

Seringkali suami isteri ini menunggang kuda berjalan-jalan di waktu pagi menyusuri tepi telaga. Tidak
ada seorangpun penduduk daerah telaga itu yang mengetahui bahwa Han Si Tiong, yang mereka sebut
Han-sicu dan Liang Hong Yi yang mereka sebut Han-toanio adalah suami isteri yang dulu pernah
memimpm Pasukan Halilintar yang terkenal. Para penduduk hanya mengenal mere ka sebagai seorang
gagah yang memberantas kejahatan di telaga sehingga daerah itu menjadi aman dan tidak ada lagi
perampok yang suka mengganggu penduduk pedusunan. Mereka dihormati semua orang yang tinggal
sekitar Telaga Barat.

Pagi itu, seperti biasa, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi berjalan-jalan menunggang kuda di tepi telaga.
Ketika mereka tiba di bagian yang sepi karena daerah itu berhutan yang panjangnya sekitar dua lie (mil)
di tepi telaga dan melewati sebuah pohon besar, tiba-tiba kedua ekor kuda tunggangan mereka
meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas dengan ketakutan.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi cepat melompat turun agar tidak sampai terjatuh dan mereka memegang
kendali kuda, berusaha menenangkan kuda mereka. Akan tetapi pada saat i tu, seekor ular kobra
melompat dari depan dan dengan cepat sekali, seperti anak panah menyambar, ular itu menggigit kaki
kedua ekor kuda itu. Kuda-kuda itu meringkik keras, meronta sehingga kendali yang dipegang Han Si
Tiong dan Liang Hong Yi putus. Dua ekor kuda itu melompat, akan tetapi baru beberapa tombak jauhnya
mereka Iari, mereka lalu roboh terguling dan tewas seketika!

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi marah sekali melihat kuda mereka tewas digigit ular kobra. Mereka
mencabut pedang dan bermaksud membunuh ular kobra itu. Akan tetapi tiba-tiba ular kobra itu
melayang ke bawah pohon besar.

Suami isteri itu memandang dan mereka terbelalak kaget dan heran melihat betapa ular kobra itu
ditangkap seorang kakek dan setelah berada di tangan kakek itu ular kobra yang tadi menggigit mati dua
ekor kuda mereka, kini berubah menjadi sebatang tongkat ular kobra kering! Suami isteri itu, dengan
pedang masih di tangan, memandang kepada kakek itu dengan penuh perhatian.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 323

Kakek itu sudah tua, tentu sudah lebih dari tujuhpuluh tahun usianya. Rambut, kumis dan jenggotnya
yang lebat sudah putih semua. Kepalanya yang berambut putih itu ditutupi sebuah topi yang biasa
dipakai oleh suku bangsa Uigur. Tubuhnya sedang, agak kurus namun masih membayangkan ketegapan
dan kekuatan. Wajah yang berkumis dan berjenggot lebat itu tampak menyeramkan, terutama karena
sepasang matanya liar, bergerak gerak ke kanan kiri dan bersinar tajam dan mengandung kekuatan dan
wibawa.

Kakek yang tadinya duduk bersandar batang pohon besar itu kini terkekeh aneh dan bangkit berdiri,
bertopang pada tongkatnya yang ternyata merupakan seekor ular kobra kering yang tentu saja sudah
mati dan kaku keras. Sepasang suami isteri itu menatap ke arah tongkat itu dan hati mereka merasa
ngeri.

Bagaimana mungkin seekor ular kobra yang sudah mati, kaku dan kering, tiba tiba dapat hidup kembali
dan menggigit dua ekor kuda mereka sampai mati keracunan? Mereka berdua adalah ahli -ahli silat yang
pandai, akan tetapi menghadapi peristiwa tadi, mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan
seorang ahli sihir yang berbahaya. Hanya dengan kekuatan sihir saja ular yang mati dapat menyerang
seperti ular hidup! Han Si Tiong maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka diapun
mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan, diturut oleh isterinya.

“Lo-cianpwe, kami suami isteri merasa heran dan tidak mengerti mengapa lo-cianpwe membunuh dua
ekor kuda kami? Apakah kesalahan kami?” tanya Han Si Tiong, menahan kemarahannya.

Kakek itu terkekeh dan menudingkan tongkatnya ke arah Han Si Tiong lalu memukul-mukulkan tongkat
itu ke atas tanah. “He-he-he! Dia bertanya apa kesalahannya? Kalian adalah Han Si Tiong dan Liang Hong
Yi yang duabelas tahun lalu memimpin Pasukan Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui, bukan?”

Karena kakek itu sudah mengetahui hal itu, Han Si Tiong tidak menyangkal lagi. “Benar, kalau begitu,
kenapa?”

Wajah yang tadinya tertawa itu tiba tiba berubah cemberut dan tambah menyeramkan. Sepasang mata
itu semakin lebar melotot dan sinarnya berapi-api.

“Han Si Tiong! Engkau dan isterimu membuat hidupku merana selama belasan tahun ini. Engkau
mempermalukan aku, membuat aku tampak rendah di mata dunia kang-ouw dan terutama di dalam
pandangan Kaisar Kerajaan Kin sehingga aku tidak berani menemuinya. Selama belasan tahun ini kerjaku
hanya merantau untuk mencari kalian berdua dan membalas dendam! Hari ini aku dapat bertemu kalian
dan memang aku sengaja menghadangmu di tempat sepi ini. Sekarang tiba saatnya bagiku untuk
membalas dendam. Kalian harus mati di tanganku!”

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi adalah suami isteri gagah perkasa yang pernah maju perang, bahkan
menjadi pemimpin dari Pasukan Halilintar, pasukan yang terkenal gagah berani sebagai bagian dari bala
tentara yang dulu dipimpin Jenderal Gak Hui. Mereka berdua sering terancam maut dalam perang
melawan pasukan Kin. Tentu saja mendengar ancaman itu mereka sama sekali tidak merasa gentar. Bagi
bekas pejuang seperti mereka, mati dalam pertempuran bukan hal aneh yang perlu ditakuti. Akan tetapi
mereka merasa penasaran sekali karena mereka sama sekali tidak tahu mengapa kakek ini mendendam
kepada mereka, dan mengancam akan membunuh mereka. Padahal, mereka sama sekali tidak pernah
mengenalnya!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 324

“Nanti dulu, lo-cianpwe. Sebetulnya siapakah lo-cianpwe ini dan apa sebabnya maka lo-cianpwe
mendendam kepada kami suami isteri, padahal kami sama sekali tidak kenal dengan lo-cianpwe? Apa
artinya ketika lo-cianpwe mengatakan bahwa kami membuat hidup lo-cianpwe merana selama belasan
tahun? Kami sungguh tidak mengerti dan tidak pernah merasa bermusuhan dengan lo-cianpwe,” kata
Han Si Tiong dengan suara dan sikap masih menghormat.

“Ha-ha-ha, baik! Kalian memang berhak mengetahui agar jangan mati menjadi setan-setan penasaran.
Aku adalah Ouw Kan datuk dari Uigur yang lebih dikenal dengan julukan Toat-beng Coa ong (Raja Ular
Pencabut Nyawa)! Aku adalah orang yang dekat dengan Kaisar Kerajaan Kin dan dihormati olehnya.
Belasan tahun yang lalu, ketika kalian memimpin Pasukan Halilintar dalam perang di perbatasan, dalam
sebuah pertempuran kalian telah membunuh Pangeran Cu Si, putera Kaisar Kerajaan Kin. Nah, Kaisar Kin
minta kepadaku untuk mencari kalian yang sudah kembali ke selatan dan membunuh kalian untuk
membalas dendam atas kematian Pangeran Cu Si yang kalian bunuh dalam pertempuran.”

“Akan tetapi peristiwa itu terjadi dalam perang. Kami tidak membunuh orang karena urusan pribadi.
Dalam perang, semua orang hanya melaksanakan tugasnya sebagai perajurit dan pertempuran dalam
perang berarti membunuh atau dibunuh. Bagaimana kematian dalam perang bisa mendatangkan
dendam pribadi?” bantah Han Si Tiong.

“Hemm, yang kalian bunuh itu bukan perajurit biasa, melainkan pangeran, putera Kaisar Kin! Kaisar Kin
lalu memanggil aku dan minta kepadaku agar aku membunuh kalian. Akan tetapi ketika aku tiba di
rumah kalian, di Lin-an (Hang chouw) kota raja Kerajaan Sung, kalian tidak berada di rumah dan belum
kembali dari perbatasan. Yang ada hanyalah puteri kalian, maka aku lalu menculik puteri kalian itu.”

“Kakek jahat! Kiranya engkau yang menculik anak kami dan membunuh Lu-ma! Hayo katakan, di mana
sekarang Bi Lan anakku!” Liang Hong Yi berseru marah sekali.

“Aku menculiknya untuk menyerahkan anak itu kepada Kaisar Kin agar dia puas dan boleh melakukan
apa saja terhadap anak dari suami isteri yang telah membunuh puteranya. Akan tetapi di tengah
perjalanan, anak itu lolos dari tanganku. Hal ini membuat aku merasa malu sekali kepada Kaisar Kin. Aku
cepat kembali ke Lin-an, akan tetapi kalian sudah pergi. Peristiwa itu membuat aku merasa mal u untuk
bertemu Kaisar Kin. Aku selama bertahun-tahun ini merantau ke mana-mana, hanya untuk dapat
menemukan kalian dan membunuh kalian agar aku ada muka untuk bertemu dengan Kaisar Kin yang
sudah mempercayaiku dan baru hari ini dapat menemukan kalian. Karena itu, bersiaplah kalian umtuk
mampus di tanganku!”

“Nanti dulu, Toat-beng Coa-ong!” kata Han Si Tiong. “Sebelum engkau menyerang kami, katakan dulu di
mana adanya anak kami itu sekarang!”

Tentu saja datuk itu merasa malu untuk menceritakan bahwa Jit Kong Lhama telah merampas anak itu
dari tangannya setelah dia kalah melawan pendeta Lhama dari Tibet yang lihai itu.

“Sudah kukatakan bahwa ia lolos dari tanganku dan aku tidak tahu di mana ia berada. Sambutlah ini!
Hyaaaattt......!!”

Toat-beng Coa-ong sudah menyerang dengan tongkat ular kobra kering. Gerakannya cepat dan kuat
bukan main sehingga tongkat itu mengeluarkan suara bersuitan ketika menyambar ke arah Han Si Tiong.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 325

Pendekar ini melompat ke belakang dan mencabut pedangnya. Liang Hong Yi juga sudah mencabut
pedangnya. Melihat suaminya diserang, ia lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang datuk Uigur
itu dari samping. Pedangnya berkelebat membacok ke arah kepala Ouw Kan. Datuk ini menggerakkan
tongkat ularnya dari bawah untuk menangkis sambil mengerahkan senjatanya.

“Singg...... tranggg......!!” Pedang itu terpental dan Liang Hong Yi melompat ke belakang dengan kaget
sekali. Hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan karena ketika pedangnya tertangkis tongkat ular,
telapak tangannya terasa panas dan pedih sekali. Tahulah ia bahwa kakek itu merupakan lawan yang
amat lihai.

Melihat isterinya melompat ke belakang dengan wajah menunjukkan kekagetan, Han Si Tiong cepat
melompat ke depan dan menusukkan pedangnya ke arah lambung Ouw Kan. Namun, datuk itu memutar
tubuh ke kanan menghadapi Han Si Tiong. Tongkat ular kobra itu diputar cepat membentuk gulungan
sinar hitam yang menangkis pedang Han Si Tiong yang menyerangnya.

“Cringgg......!” Kembali terdengar dentingan nyaring ketika dua senjata bertemu dan Han Si Tiong juga
merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Diapun maklum bahwa kakek itu sungguh lihai dan
dalam adu senjata tadi dia mendapat kenyataan bahwa dia kalah kuat dalam hal tenaga sakti.

Maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh dibandingkan Ouw Kan, Liang Hong Yi terpaksa tidak berani
mendekat, hanya membantu saja suaminya dengan sekali-kali menyerang lawan dari belakang atau
samping. Yang menghadapi Ouw Kan dari depan adalah Han Si Tiong. Suami isteri itu maklum bahwa
mereka berdua tidak akan mampu mengalahkan lawan, akan tetapi mereka tidak mempunyai pilihan
lain kecuali melawan dan membela diri mati-matian. Tidak mungkin melarikan diri dari lawan yang amat
tangguh itu.

Han Si Tiong mengeluarkan segala kemampuannya, dibantu oleh Liang Hong Yi, namun setelah lewat
limapuluh jurus, perlahan-lahan suami isteri itu terdesak hebat dan agaknya kematian mereka hanya
menunggu beberapa saat lagi saja. Mereka sudah kewalahan dan hanya dapat melindungi diri dengan
memutar pedang, sama sekali tidak mampu menyerang lagi. Keadaan mereka gawat sekali.

Melihat suaminya terdesak hebat, Liang Hong Yi menjadi nekat dan ia menyerang dengan pedangnya,
menusuk ke arah lambung Ouw Kan sambil membentak nyaring.

“Haiiiittt......!” Pedangnya meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya. Ouw Kan miringkan
tubuhnya, tongkatnya menangkis dengan gerakan memutar sehingga pedang itu terpental dan terlepas
dari tangan Liang Hong Yi. Tiba-tiba kaki kiri Ouw Kan mencuat dan menendang ke arah perut wanita itu.
Liang Hong Yi miringkan tubuh mengelak, akan tetapi ujung tongkat Toat-beng Coa-ong Ouw Kan
menyerempet pahanya dan wanita itu terpelanting jatuh.

Ouw Kan maju menghantamkan tongkat ularnya.

“Trang......!!” Pedang di tangan Han Si Tiong menangkis untuk menyelamatkan nyawa isterinya. Akan
tetapi pertemuan dua senjata itu membuat Han Si Tiong terpaksa melepaskan pula pedangnya karena
tangannya terasa panas sekali.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 326

Kembali tongkat itu berkelebat untuk membunuh Liang Hong Yi yang masih duduk di atas tanah karena
pahanya yang terkena tongkat ular itu terasa panas dan nyeri bukan main. Melihat berkelebatnya sinar
hitam ke arah dadanya, wanita itu tak dapat mengelak lagi dan sudah siap menerima datangnya maut.

“Singgg...... tranggg......!” Toat-beng Coa ong Ouw Kan terkejut bukan main.

Tangkisan pada tongkatnya itu membuat tongkatnya terpental dan dia melompat jauh ke belakang.
Ketika dia memandang, di sana telah berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang dan
agaknya pemuda itu yang tadi menangkis tongkatnya dengan pedang yang dipegangnya. Di samping
pemuda itu berdiri seorang gadis yang cantik jelita, yang memandang kepadanya dengan penuh
perhatian. Juga gadis itu membawa sebatang pedang di punggungnya.

Puteri Moguhai memang sengaja menyamar sebagai seorang gadis Han dan karena pedang bengkok
sebagai tanda kekuasaan pemberian kaisar itu tidak akan ada gunanya bagi orang-orang di Negeri Sung,
maka ia tidak membawanya dan sebagai gantinya ia membawa sebatang pedang biasa untuk
melengkapi penyamarannya.

Melihat kakek itu, Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu segera mengenalnya. Walaupun sudah sepuluh
tahun lebih tidak pernah berjumpa, akan tetapi ia masih ingat. Ketika itu ia baru berusia kurang lebih
delapan tahun dan ia sering melihat kakek itu datang berkunjung menghadap ayahnya. Iapun masih
ingat bahwa kakek bangsa Hui itu adalah seorang datuk persilatan yang lihai dan bernama Ouw Kan.
Akan tetapi tentu saja ia tidak mau memperkenalkan diri karena ia sedang menyamar sebagai seorang
gadis Han dan pula urusan datuk itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya. Ketika tadi ia
dan Thian Liong datang ke tempat itu dan melihat seorang wanita terancam bahaya maut, Thian Liong
segera melompat dan menyelamatkannya dengan menangkis tongkat ular maut itu.

Toat Beng Coa-ong Ouw Kan marah bukan main. Dengan tongkat ular kobranya, dia menuding ke arah
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu lalu membentak marah.

“Hemm, bocah-bocah lancang! Berani betul kalian hendak menentang aku, Toat-beng Coa-ong?” Kakek
itu hendak menggertak dengan nama julukannya yang terdengar menyeramkan dan sudah amat
terkenal di dunia kang-ouw itu.

Thian Liong menjawab dengan sikap tenang. “Lo-cianpwe, kami sama sehali tidak menentangmu.”

“Tidak menentang? Engkau sudah mencampuri urusanku dan berani menangkis tongkatku dan
kaubilang tidak menentang?”

“Maaf, lo-cianpwe. Maksudku bukan menentang, hanya karena melihat ada seorang wanita hendak
dibunuh dengan kejam, maka kami tidak mungkin membiarkan saja hal itu terjadi tanpa turun tangan
mencegahnya.”

“Heh! Berarti kalian berani mencampuri urusanku, menghalangi tindakanku dan itu sama saja dengan
menentangku. Karena itu, kalian juga akan mampus bersama mereka berdua, akan tetapi sebelum mati,
beritahukan dulu nama kalian agar jangan mati tanpa meninggal kan nama!” Ouw Kan membentak
dengan sikap galak!
Pek Hong Nio-cu tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia hanya tahu bahwa Ouw Kan suka menjadi
tamu ayahnya dan hubungan mereka tampak akrab, akan tetapi ketika itu ia masih kecil dan tidak tahu

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 327

orang macam apa adanya Ouw Kan. Akan tetapi melihat sikapnya sekarang, ia dapat menduga bahwa
Ouw Kan seorang yang berwatak kejam dan sombong. Maka ia lalu maju dan berkata dengan nyaring.

“Hei, tua bangka sombong! Kamu sudah tua hampir mati tidak mencari jalan yang terang, malah kejam
dan sombongnya setengah mati. Apa kaukira nama Raja Ular Pencabut Nyawa itu membikin kami
merasa takut ? Bukalah mata dan telingamu lebar-lebar dan dengarkan. Aku bernama Sie Pek Hong dan
dia ini bernama Souw Thian Liong. Lebih baik kamu cepat pergi dari sini dan jangan ganggu paman dan
bibi ini kalau kamu tidak ingin lebih cepat mampus!”

Thian l.iong sendiri terkejut mendengar kata-kata Pek Hong Nio-cu yang demikian pedas dan menusuk
perasaan. Dia mengenal gadis itu sebagai seorang yang keras hati dan tak mengenal takut, akan tetapi
sekali ini, ucapannya sungguh membuat orang menjadi marah sekali dan dia tahu bahwa kakek ini bukan
lawan sembarangan melainkan seorang yang sakti. Akan tetapi karena ucapan itu sudah dikeluarkan, dia
diam saja dan hanya dapat menunggu dan melihat reaksi kakek itu. Juga dia merasa heran mengapa
tiba-tiba Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai itu menggunakan nama Sie Pek Hong.

Ouw Kan kini memandang kepada Pek Hong Nio-cu dan bertanya dengan pandang mata penuh selidik.
“Kamu bukan orang selatan. Kamu tentu dari kerajaan Kin di utara! Siapa kamu sebenarnya?”

Pek Hong Nio-cu tersenyum mengejek.

“Tidak perduli aku datang dari mana, dari utara, selatan, barat maupun timur, yang jelas aku benci
kepada orang kejam dan sombong macam kamu!”

Ouw Kan yang sudah marah itu kini menjadi semakin geram. Kemarahannya memuncak karena dia
dihina oleh gadis muda itu. Maka dia cepat mengerahkan kekuatan sihirnya, menudingkan tongkat ular
itu ke arah Pek Hong Nio-cu dan terdengar suaranya membentak nyaring penuh wibawa.

“Pek Hong! Aku adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, junjunganmu! Hayo cepat berlutut dan
menyembah kepadaku!”

Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat dan Pek Hong Nio-cu tidak mampu bertahan
lagi. Semua perlawanan dalam batinnya seperti lumpuh dan kedua kakinya seperti dipaksa untuk
berlutut. Akan tetapi sebelum ia berlutut di atas tanah, baru bergetar dan bergoyang tubuhnya,
terdengar suara Thian Liong memasuki telinganya dan menembus ke dalam batinnya bagaikan secercah
sinar memasuki ruangan batinnya yang mendadak gelap tadi.

“Nio-cu, bangkit dan mundurlah!”

Pek Hong Nio-cu sadar kembali dan ia cepat melangkah mundur karena menyadari betapa
berbahayanya lawan yang selain tinggi ilmu silatnya, juga memiliki ilmu sihir yang amat kuat itu. Thian
Liong melangkah maju menghadapi Ouw Kan dan mereka berdua saling pandang. Biarpun mereka
berdua hanya berdiri saling berhadapan dan saling berpandangan, namun sesungguhnya terjadi adu
kekuatan batin antara kedua orang ini. Ouw Kan mencoba untuk mempengaruhi pemuda itu melalui
pandang matanya, dan Thian Liong melawannya dengar kekuatan batinnya.

Akhirnya Ouw Kan merasa pemuda itu tidak dapat dikuasainya dengan ilmu sihirnya, bahkan tadi
pemuda itu telah berhasil melumpuhkan serangan sihirnya yang ditujukan kepada gadis itu. Karena itu,

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 328

dia lalu mengerahkan lagi kekuatan batinnya, lalu melemparkan tongkatnya ke atas dan dia berseru
kepada Thian Liong.
“Sambut seranganku!” Tongkat itu melayang ke atas, lalu menuki k dan seolah ular kobra itu hidup
kembali, meluncur ke arah Thian Liong. Tadi, dengan ilmu ini tongkat itu telah membunuh dua ekor kuda
sebelum “terbang” kembali ke tangan Ouw Kan. Serangannya yang masih menggunakan ilmu sihir ini
memang berbahaya sekali. Tadi Ouw Kan tidak mempergunakan ilmu ini menghadapi Han Si Tiong dan
Liang Hong Yi karena dia merasa yakin bahwa dua orang itu bukan lawannya dan lebih memuaskan
baginya kalau dia membunuh mereka dengan tangannya sendiri, tidak melalui sihir. Akan tetapi
lawannya sekarang, pemuda itu adalah lawan yang tangguh sekali, maka dia hendak mencoba
menyerangnya dengan keampuhan tongkat ularnya didorong kekuatan sihirnya.

Thian Liong maklum bahwa serangan tongkat ular itu bukan serangan yang wajar, melainkan
mengandung kekuatan sihir. Oleh karena itu dia maklum bahwa kalau mempergunakan kekerasan dia
akan terancam bahaya. Maka dia lalu mengerahkan tenaga saktinya, dikumpulkan di kedua tangannya
lalu dia mendorong ke depan, menyambut luncuran tongkat ular itu sambil berseru nyaring.

“Hyaaaatt...... blarrr......!!” Tongkat yang berubah menjadi ular hidup itu diterjang gelombang hawa
pukulan dahsyat dan terpental ke atas, lalu terjatuh kembali ke tangan Ouw Kan dalam bentuk semula,
yaitu seekor ular kobra kering yang menjadi tongkat!

“Keparat busuk, mampuslah!” Ouw Kan kini yang sudah marah sekali melompat dan menerjang ke arah
Thian Liong dengan serangan tongkatnya.

“Tranggg......!” Kini pedang Pek Hong Nio-cu yang menangkis tongkat itu dan Ouw Kan juga mendapat
kenyataan bahwa gadis muda itupun memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan dapat mengimbangi
tenaganya sendiri! Begitu menangkis tongkat, pedang di tangan Pek Hong Nio-cu sudah membalik ke
bawah menusuk ke arah perut lawan. Ouw Kan terkejut dan cepat memutar tongkat ularnya ke bawah
sehingga kembali pedang dan tongkat beradu sehingga mengeluarkan suara berdencing nyaring.

Ouw Kan kini menyerang dengan tongkatnya, menyambar ke arah kepala gadis itu, dan tangan kirinya
juga memukul dengan dorongan ke arah Thian Liong.

Thian Liong menyambut pukulan jarak jauh itu dengan dorongan tangannya sendiri, sedangkan Pek
Hong Nio-cu kembali menangkis dengan pedangnya.

“Tranggg......!” Tubuh Ouw Kan terhuyung oleh dorongan tangan Thian Liong yang menyambut
serangannya tadi. Tentu saja dia kalah kuat, apalagi karena pada saat itu, dia membagi tenaganya, yang
kanan memegang tongkat menyerang Pek Hong Nio-cu sedangkan yang kiri menyerang Thian Liong
dengan pukulan jarak jauh.

Toat-beng Coa-ong Ouw Kan kini maklum benar bahwa kalau dia nekat melawan dua orang muda
remaja ini, dia akan kalah, belum lagi diperhitungkan kalau Han Si T'iong dan Liang Hong Yi membantu
dan mengeroyoknya. Maka, begitu terhuyung, dia sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan. Tangan
kirinya mencengkeram tanah dan pasir lalu dia menyambitkan pasir itu ke arah dua orang lawannya.
Thian Liong berseru kepada Pek Hong Nio-cu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 329

“Nio-cu, awas......!” Gadis itupun cepat mengelak ketika ada sinar lembut hitam menyambar. Thian Liong
menduga bahwa kakek yang julukannya Raja Ular itu tentu ahli racun dan bukan mustahil kalau pasir
yang disambitkannya itu mengandung racun pula.

Ketika dua orang muda yang lihai itu mengelak dengan meloncat ke samping, Ouw Kan lalu meloncat
berdiri dan lari secepatya meninggalkan tempat itu.

Pek Hong Nio-cu yang marah kepada kakek itu hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar
suara wanita mengaduh dan Thian Liong tidak jadi mengejar.

“Nio-cu, tidak perlu dikejar, orang itu curang dan licik sekali, berbahaya kalau engkau mengejar seorang
diri.”

Pek Hong Nio-cu tidak jadi mengejar dan ketika dara ini menengok ia melihat Thian Liong sudah
berjongkok di dekat laki laki setengah tua yang merangkul wanita yang mengaduh-aduh itu. Ternyata
sedikit luka di paha Liang Hong Yi itu kini membuat pahanya menghitam dan membengkak dan terasa
nyeri dan panas bukan main.

Melihat ini, Thian Liong segera berkata kepada laki-laki itu. “Paman, biarkan aku mencoba untuk
mengobatinya. Luka ini mengandung racun ular yang berbahaya!”

Han Si Tiong mengangguk dan Thian Liong sudah mencabut lagi Thian-liong-kiam lalu berkata kepada
Han Si Tiong.

“Harap paman robek saja celana itu di bagian yang terluka.”

Dalam keadaan seperti itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak memperdulikan tentang kesopanan lagi.
Keadaan yang membahayakan nyawa Liang Hong Yi itu merupakan keadaan darurat, maka Han Si Tiong
lalu merobek celana di bagian paha yang terluka. Lukanya sebetulnya tidak besar, bahkan hanya
tergores dan pecah kulitnya sehingga berdarah. Akan tetapi racun pada tongkat ular kobra itu membuat
kulit pahanya berubah menghitam dan membengkak.

Souw Thian Liong lalu mempergunakan pedang Thian-liong-kiam seperti yang diajarkan gurunya. Dia
menggores luka kecil itu sehingga melebar dan mengeluarkan darah menghitam. Lalu pedang itu
ditempelkan pada luka yang berdarah.

Pedang itu memang merupakan benda pusaka yang mengandung daya sedot terhadap racun. Perlahan -
lahan, pedang yang putih bersih itu mulai berubah hitam dan paha itupun perlahan-lahan berubah putih
mulus seperti semula. Ini berarti bahwa hawa beracun itu telah dihisap oleh Thian-liong-kiam (Pedang
Naga Langit) yang kini berubah hitam. Setelah paha yang terluka itu tidak ada tanda hitam lagi, Thian
Liong menghentikan pengobatannya. Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa girang sekali.

“Ini aku mempunyai obat luka yang manjur sekali. Pakailah ini, bibi,” kata Pek Hong Nio -cu sambil
membuka sebuah bungkusan obat bubuk putih. Ketika bubuk putih itu ditaburkan di atas kulit paha yang
robek oleh ujung Thian-liong-kiam tadi, Liang Hong Yi merasa betapa luka itu kini sejuk dan rasa nyerinya
lenyap sama sekali. Setelah pengobatan selesai, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mengucapkan terima
kasih kepada Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 330

“Kalau kalian berdua orang-orang muda yang berkepandaian tinggi tidak muncul, tentu sekarang kami
berdua sudah menjadi mayat, terbunuh oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu. Kami berterima kasih
sekali kepada kalian yang sudah menyelamatkan nyawa kami.” kata Han Si Tiong. “Perkenalkan, Souw-
sicu dan Pek-siocia, aku bernama Han Si Tiong dan ini adalah isteriku bernama Liang Hong Yi. Kami
tinggal di dusun Kian cung, tak jauh dari telaga ini. Mari, kami mengundang kalian berdua untuk singgah
di rumah kami. Di sana kita dapat bicara dengan leluasa.”

Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu dan pemuda itu melihat kawannya mengangguk.

“Baiklah, paman Han. Kamipun ingin sekali mengetahui akan peristiwa tadi,” kata Thian Liong dan dia
bersama Pek Hong Nio-cu lalu mengikuti kedua orang suami isteri itu.

Pondok tempat tinggal suami isteri itu berada di tengah dusun Kian-cung dan merupakan pondok yang
cukup mungil, dengan taman bunga di sebelah kiri rumah yang terpelihara baik. Han Si Tiong memberi
tahu seorang pembantunya, laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun, agar mengajak beberapa orang
tetangga untuk mengubur dua ekor kuda mereka yang mati di dekat telaga. Kemudian dia dan isterinya
mempersilakan dua orang tamu muda itu memasuki ruangan dalam dan mereka duduk mengelilingi
meja bundar dari marmer. Liang Hong Yi lalu menghidangkan arak, akan tetapi karena Thian Liong tidak
biasa minum arak, nyonya rumah itu atas permintaan Thian Liong lalu menghidangkan air teh.

“Nah, paman dan bibi, sekarang ceritakanlah tentang penyerangan yang dilakukan Toat-beng Coa-ong
Ouw Kan tadi. Mengapa dia hendak membunuh paman dan bibi? Kami ingin sekali mengetahui
sebabnya,” kata Pek Hong Nio-cu setelah minum secawan arak.

Han Si Tiong menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kami sendiri tadinya juga merasa heran.
Ketika kami berdua menunggang kuda, berjalan-jalan di sekeliling telaga, tiba-tiba dua ekor kuda kami
diserang ular dan roboh mati.

Ular itu kembali ke tangan kakek itu dan berubah menjadi tongkat. Kami baru tahu setelah dia
memperkenalkan dirinya dan menceritakan mengapa dia hendak membunuh kami. Sebelumnya kami
sama sekali tidak pernah mengenalnya dan belum pernah berjumpa dengannya.”

“Toat-beng Coa-ong itu adalah seorang datuk suku bangsa Hui yang tinggal jauh di utara, bagaimana dia
dapat mendendam kepada paman dan bibi?” tanya Pek Hong Nio-cu.

“Peristiwa itu sebenarnya terjadi kurang lebih sebelas tahun lebih yang lalu, Ketika itu kami berdua ikut
berjuang memimpin Pasukan Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui. Pasukan kami bertempur
melawan pasukan Kin di perbatasan dan dalam sebuah pertempuran, kami berhasil menewaskan
seorang pangeran Kin yang bernama Pangeran Cu Si.”

“Hemm, begitukah?” kata Pek Hong Nio-cu. Ia masih ingat. Ketika itu ia berusia kurang lebih delapan
tahun. Pada suatu hari, pasukan membawa pulang jenazah Pangeran Cu Si, kakak tirinya yang tewas
dalam perang melawan pasukan Sung. Seluruh keluarga istana berkabung.

Thian Liong merasa tidak enak mendengar cerita itu karena dia dapat menduga bahwa Pangeran Cu Si
itu pasti masih ada hubungan keluarga dengan Pek Hong Nio-cu!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 331

Akan tetapi karena perasaan kedua orang muda itu tidak mengubah sikap dan air muka mereka, Han Si
Tiong melanjutkan ceritanya.

“Kami sama sekati tidak mengira bahwa kematian pangeran itu dalam perang telah membuat Raja Kin
mendendam kepada kami. Dia menyuruh Ouw Kan tadi untuk mencari kami di Lin-an dan membunuh
kami. Akan tetapi ketika dia mendatangi rumah kami, kami masih belum kembali dari perbatasan. Dia
lalu menculik anak tunggal kami yang bernama Han Bi Lan, ketika itu ia berusia tujuh tahun, dan
membunuh pengasuhnya. Ketika kami pulang, kami terkejut dan sejak itu kami lalu meninggalkan Lin-an,
meninggalkan pekerjaan kami sebagai perwira dan kami pergi merantau untuk mencari anak kami yang
diculik. Akan tetapi semua usaha kami sia-sia dan akhirnya kami menetap di sini untuk hidup dengan
tenang di tempat sunyi ini.”

Kembali Han Si Tiong menghentikan ceritanya, karena terkenang kepada puterinya, dia merasa berduka.
Melihat suaminya menundukkan muka dengan sedih, Liang Hong Yi lalu melanjutkan cerita suaminya
itu.

“Tadi ketika kami berjalan-jalan, kuda kami dibunuh Ouw Kan dan dia memperkenalkan dirinya. Dia
bercerita bahwa setelah menculik anak kami itu, di dalam perjalanan anak kami itu lol os dari tangannya.
Dia tidak mau menceritakan bagaimana lolosnya dan di mana anak kami sekarang. Dia hanya bilang
bahwa karena gagal membunuh kami dan gagal pula membawa anak kami, dia merasa malu kepada Raja
Kin dan selama sebelas tahun ini dia mencari-cari kami tanpa hasil. Akhirnya dia menemukan juga
tempat ini dan sengaja datang untuk membunuh kami. Begitulah ceritanya.”

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mendengarkan penuh perhatian. Setelah suami isteri itu selesai
bercerita, Thian Liong diam saja karena dia masih merasa tidak enak terhadap Pek Hong Nio cu. Gadis
itupun sejenak diam saja, lalu berkata, suaranya wajar dan lantang.

“Gugurnya seseorang dalam perang tidak semestinya mendatangkan dendam pribadi! Paman dan bibi
hanya menjalankan tugas sebagai perwira dalam perang dan kematian Pangeran Cu Si itu adalah hal
yang wajar dan dapat terjadi kepada siapa saja yang maju perang. Tidak perlu disesalkan, apalagi
dijadikan dendam pribadi. Dalam hal ini, Raja Kin tidak benar kalau merasa sakit hati dan hend ak
membalas dendam. Apalagi Ouw Kan itu, dia yang telah menculik puteri paman dan bibi malah kini
hendak membunuh, sungguh jahat dan kejam dia!”

Thian Liong merasa lega dan senang sekali hatinya mendengar ucapan Pek Hong Nio -cu. Sungguh
seorang gadis yang berwatak adil dan membela kebenaran dan keadilan! Setelah mendengar pendapat
gadis itu, baru dia berani bicara.

“Paman Han Si Tiong berdua, karena sekarang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan sudah mengetahui bahwa
paman tinggal di sini, maka keselamatan paman berdua tentu terancam. Bagaimana kalau dia sewaktu-
waktu datang lagi dan menyerang paman berdua? Lebih baik paman berdua meninggalkan tempat ini
dan pindah ke tempat lain.”

Han Si Tiong menghela napas panjang. “Berpindah-pindah dan selalu bersembunyi ketakutan? Tidak,
Souw-sicu. Kami bukan pengecut yang melarikan diri ketakutan dikejar-kejar orang jahat. Kalau dia
datang lagi dan menyerang, akan kami hadapi dan lawan mati-matian! Kami sudah menderita sebelas
tahun lebih karena kehilangan anak tunggal kami. Kami tidak takut mati!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 332

“Benar sekali ucapan suamiku. Bi Lan anak kami sudah hilang belasan tahun lamanya, entah masih hidup
ataukah sudah mati. Kematian bukan hal menakutkan bagi kami. Akupun tidak mau menjadi pelarian,
bersembunyi ketakutan dikejar-kejar iblis itu,” kata Liang Hong Yi dengan sikap gagah.

Pek Hong Nio-cu merasa kagum bukan main. Jelaslah bahwa suami isteri ini benar-benar orang gagah
perkasa, pendekar sejati. Ia lalu pinjam alat tulis dan kain putih kepada Liang Hong Yi, kemudian ia
membuat tulisan corat-coret di atas kain putih dan melipat kain itu, menyerahkannya kepada Liang
Hong Yi.

“Bibi dan paman memang orang-orang gagah perkasa, membuat aku merasa kagum sekali. Kain bertulis
ini harap diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong kalau dia berani mengganggu lagi. Mudah mudahan
melihat kain putih ini, dia takkan berani mengganggu lagi kepada paman berdua.”

Suami isteri itu tentu saja merasa heran dan tidak mengerti, akan tetapi mereka merasa tidak enak kalau
menolak pemberian penolong mereka. Mereka berdua hanya memandang saja kepada Pek Hong Nio-cu
dengan sinar mata penuh pertanyaan yang tidak berani mereka keluarkan dengan ucapan. Melihat ini,
Thian Liong berkata kepada mereka.

“Paman Han Si Tiong berdua, harap paman terima saja dan simpan pemberian Pek Hong itu. Percayalah
kain putih bersurat itu kelak akan berguna sekali dan besar kemungkinannya akan menyelamatkan
paman berdua dari ancaman Toat-beng Coa-ong.”

Mendengar ucapan pemuda yang amat lihai itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi ti dak ragu lagi.

“Nona Pek Hong, banyak terima kasih atas segala kebaikanmu.”

Pek Hong Nio-cu tersenyum manis. “Tidak perlu berterima kasih, bibi. Sudah sewajarnya, bukan, kalau
kita saling tolong menolong?”

Liang Hong Yi mengamati wajah gadis itu dan menghela napas panjang lalu berkata, “Aahhh...... kalau
saja kami dapat menemukan Bi Lan anak kami, tentu sudah sebesar engkau inilah……”

“Bibi, kami akan membantu mendengar-dengar dalam perjalanan kami, siapa tahu kami akan bertemu
dengan puteri bibi dan akan kami beritahukan kepadanya bahwa bibi dan paman tinggal di dusun Kian-
cung ini,” kata Thian Liong yang merasa iba kepada wanita itu.

Han Si Tiong adalah seorang yang berwatak jujur dan kejujurannya ini menyebabkan dia terkadang
bersikap begitu terbuka sehingga dapat mendatangkan kesan kasar. Sejak kemunculan dua orang muda
penolongnya itu, dia merasa heran sekali terhadap gadis itu. Biarpun wajahnya memang wajah gadis
Han yang amat cantik, akan tetapi nada bicaranya asing, jelas menunjukkan bahwa gadis i tu datang dari
utara. Selain sikapnya juga begitu pemberani dan berwibawa, juga apa yang diberikannya tadi, sehelai
kain bersurat yang katanya dapat mencegah Ouw Kan mengganggu mereka, benar-benar mendatangkan
kecurigaan kepadanya. Bukan merupakan prasangka buruk karena sudah jelas gadis itu menolongnya,
akan tetapi kejanggalan itulah yang membuat dia penasaran.

“Terima kasih atas kebaikan sicu (tuan muda gagah) Souw Thian Liong dan siocia (nona) Sie Pek Hong.
Setelah kami menceritakan semua riwayat kami, maka kami harap kalian, terutama Nona Sie Pek Hong,
suka menceritakan siapa sebetulnya nona ini. Nona Sie, siapakah sebenarnya nona?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 333

Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Aku adalah Sie Pek Hong, lalu engkau kira aku ini siapa, Paman Han Si
Tiong?” Gadis ini memang suka bergurau dan menggoda orang.

“Han-koko, kenapa engkau mendesak Nona Sie? Apakah engkau mencurigainya? Itu tidak pantas sekali!”
Liang Hong Yi mencela suaminya.

“Aku tidak berprasangka buruk,” bantah Han Si Tiong, lalu dia memandang wajah Pek Hong Nio-cu. “Aku
curiga melihat penampilanmu, bicaramu, dan lebih-lebih setelah engkau memberi kain bersurat itu
kepada kami untuk diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong.”

“Hemm, lalu menurut paman, siapakah aku ini? Katakan saja, paman, aku juga suka kejujuran dan
keterbukaan dan aku tidak akan marah.”

“Logat bicaramu jelas menunjukkan bahwa engkau datang dari utara, nona. Penampilanmu, gerak gerik
dan cara bicaramu menunjukkan bahwa nona adalah seorang bangsawan. Dan Ouw Kan menurut
pengakuannya adalah seorang kepercayaan Kaisar Kin yang tentu saja memiliki kekuasaan besar di
kerajaan Kin. Kini, nona meninggalkan tulisan yang akan dapat mencegah Ouw Kan mengganggu kami.
Itu berarti bahwa dari tulisan itu Ouw Kan akan mengenal nona dan kalau dia menaati surat nona,
berarti nona memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada dia. Semua kenyataan ini membuat aku
mengambil kesimpulan bahwa nona tentu seorang puteri bangsawan tinggi sekali, bahkan aku tidak
akan heran kalau nona ini seorang puteri kaisar......”

Liang Hong Yi terkejut dan berseru, “Ia puteri Kaisar Kin? Kalau begitu...... ia...... ia saudara dari Pangeran
Cu Si? Kalau begitu celaka......”

Pek Hong Nio-cu tertawa. “Hi-hik, jangan khawatir, bibi. Aku tahu siapa yang bersalah dan siapa yang
benar. Thian Liong, Paman Han Si Tiong ini hebat sekali. Kupikir tidak perlu merahasiakan diriku di depan
mereka. Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, biarlah aku mengaku terus terang sebagai
pernyataan kagumku terhadap kecerdikan Paman Han Si Tiong. Semua dugaan paman tadi memang
benar. Aku adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar Kerajaan Kin di utara, akan tetapi di luar istana aku
terkenal dengan sebutan Pek Hong Nio-cu.”

“Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami bersikap kurang hormat terhadap Tuan Puteri......” Liang Hong Yi
berseru sambil memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali. Han Si Tiong juga memberi hormat,
lalu berkata ragu.

“Kalau begitu, paduka adalah saudara dari mendiang Pangeran Cu Si!”

“Akan tetapi aku tidak berpikir sepicik orang lain. Biar ayahku sendiri, aku menganggap beliau itu keliru.
Pangeran Cu Si memang kakakku, berlainan ibu. Aku menganggap dia gugur dalam perang membela
negara. Dia tewas sebagai seorang patriot. Aku tidak perduli siapa yang membuatnya tewas dalam
perang. Tidak ada alasan untuk mempunyai dendam pribadi. Adapun tentang Ouw Kan, aku memang
sudah tahu bahwa dia orang yang licik dan kejam. Karena itu, dalam urusannya dengan paman dan bibi,
tentu saja aku berpihak kepada paman berdua. Nah, aku sudah bicara secara jujur. Harap paman dan
bibi sekarang menganggap aku sebagai Sie Pek Hong sahabat Souw Thian Liong dan tidak menyebut
nyebut lagi tentang Puteri Kerajaan Kin.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 334

Han Si Tiong mengangguk-angguk. “Baiklah, nona Sie, kami akan memenuhi permintaanmu.” Dia lalu
menoleh kepada Thian Liong. “Akan tetapi, Souw-sicu, bagaimana engkau mengajak...... nona Sie ini ke
daerah ini? Hal itu tentu saja berbahaya sekali baginya.”

“Hemm, bahaya tidak mengancamnya, paman. Bahkan sebaliknya, aku yang terancam bahaya di mana-
mana. Aku sekarang menjadi orang buruan pemerintah kita.”

“Eh, kenapa begitu sicu?” tanya Liang Hong Yi heran.

“Semua ini tentu akal muslihat si jahanam Chin Kui, perdana menteri busuk itu!” kata Pek Hong Nio -cu
gemas.

“Wah, agaknya kalian dimusuhi oleh Chin Kui? Kalau begitu kita berada di pihak yang sama. Kami juga
tidak suka kepada perdana menteri jahat yang telah menyebabkan kematian Jenderal Gak Hui. Kami
juga menentang Chin Kui. Akan tetapi bagaimana engkau juga bermusuhan dengan dia, nona?”

“Panjang ceritanya, paman,” kata Thian Liong.

Kemudian dia menceritakan tentang pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong di Kerajaan Kin. Dia sedang
berada di sana dan terlibat dalam pembelaan Kerajaan Kin dari usaha pemberontakan Pangeran Hiu Kit
Bong. Pangeran pemberontak itu bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui yang diwakili oleh Cia
Song. Akhirnya pemberontakan itu dapat dihancurkan.

“Akan tetapi Cia Song dapat melarikan diri dan dia tentu melaporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui
bahwa saya telah berkhianat kepada Kerajaan Sung dan menjadi kaki tangan Kerajaan Kin. Melihat
betapa para pejabat dan perajurit berusaha menangkap saya, maka mudah diduga bahwa Perdana
Menteri Chin Kui tentu berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan perintah agar saya dijadikan
orang buruan dan ditangkap, mati atau hidup. Padahal, saya membantu Kerajaan Kin hanya dalam
menghadapi pemberontak yang bersekutu dengan Chin Kui. Demikianlah ceritanya. Kaisar Kerajaan Kin
menganggap saya berjasa, maka ketika saya meninggalkan utara untuk menentang Chin Kui, dan Puteri
Moguhai atau Pek Hong Nio-cu menyatakan hendak membantu saya, Raja Kin menyetujui. Nah, itulah
sebabnya puteri...... eh, Pek Hong Nio-cu ini sekarang berada di sini. Kami tidak jadi memasuki kota raja
setelah beberapa kali kami diserang pasukan kerajaan yang hendak menangkap kami.”

“Aih…..! Penasaran sekali! Ini semua tentu gara-gara fitnah yang disebarkan si jahanam Chin Kui,
pengkhianat itu! Jangan khawatir, Souw-sicu. Aku akan membantumu. Aku mempunyai banyak kawan
seperjuangan di kota raja dan kami semua menentang Chin Kui. Akan kami beberkan semua rahasia
jahatnya, bersekongkol dengan pemberontak di Kerajaan Kin dan sekiranya pemberontakan itu berhasil,
tentu dia akan mempunyai rencana jahat lainnya.

“Terima kasih, paman. Akan tetapi kami harap paman tidak merepotkan diri karena berarti paman juga
terjun ke dalam bahaya,” kata Thian Liong.

“Kita sama lihat saja nanti. Yang jelas, kita bersatu hati menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh
Chin Kui yang amat jahat!” kata pula Han Si Tiong.

Setelah menginap satu malam di rumah bekas pemimpin pasukan Halilintar itu, pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu meninggalkan dusun Kian-cung. Setelah matahari naik

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 335

tinggi, mereka sudah jauh meninggalkan Telaga Barat dan mereka berhenti di bawah pohon tepi jalan
yang sepi itu. Mereka melepaskan lelah, juga memberi kesempatan kepada dua ekor kuda mereka untuk
mengaso dan makan rumput. Ketika berada di rumah Han Si Tiong, pendekar yang memelihara belasan
ekor kuda itu memberi mereka dua ekor kuda yang baik sekali sebagai pengganti dua ekor kuda mereka
yang sudah kelelahan karena melakukan perjalanan jauh.

“Thian Liong, sekarang kita akan ke mana?” tanya Pek Hong Nio-cu sambil menatap wajah Thian Liong
yang agak suram.

“Aku sedang memikirkan hal itu baik-baik, Nio-cu. Tugasku sekarang adalah mencari gadis pencuri kitab
milik Kun-lun-pai dan membantu Kerajaan Sung agar terlepas dari cengkeraman si jahat Chin Kui.
Kiranya akan sukar sekali mencari gadis pakaian merah itu karena kita tidak tahu di mana tempat
tinggalnya dan ke mana ia pergi. Maka, tinggal tugas kedua yang paling penting itu, ialah menentang
Chin Kui. Untuk itu, aku harus pergi ke kota raja!”

“Akan tetapi engkau menjadi buruan pemerintah, Thian Liong dan kalau engkau ke kota raja, bukankah
hal itu sama saja dengan mencari penyakit?”

“Ucapanmu itu memang benar, Nio-cu......”

“Thian Liong, jangan sebut aku Nio-cu di sini. Orang akan menjadi curiga. Sebut saja Pek Hong. Namaku
Sie Pek Hong, kau ingat?”

Thian Liong tersenyum. “Hemm, aku heran bagaimana engkau tiba-tiba memakai she Sie!”

“Ketika memperkenalkan diri kepada Paman Han, aku teringat bahwa aku harus mempunyai she
(marga), aku lalu ingat Paman Sie yang amat baik dan yang kuanggap sebagai guruku, maka aku lalu
menggunakan nama marganya. Dan aku menggunakan nama julukanku sebagai nama, menjadi Sie Pek
Hong. Bagus, bukan?”

“Hemm, bagus sekali nama itu, Nio-cu......”

“Heitt! Lupa, lagi!”

“O ya, biar kusebut kau Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?”

“Ah, aku senang sekali. Dan aku menyebut engkau Liong-ko, bukankah kita menjadi seperti kakak dan
adik?”

“Kakak dan adik seperguruan? Ah, aku masih heran dan bingung memikirkan, Nio...... eh, Hong -moi.
Ketika suhu muncul menolong kita, engkau menyebutnya Paman Sie. Siapakah yang salah lihat? Engkau
atau aku? Menurut penglihatanku, itu suhu. Jelas sekali. Aku tidak mungkin salah lihat!”

“Dan akupun tidak mungkin salah lihat, Liong-ko. Dia itu jelas Paman Sie yang pernah kulihat di taman
istana ketika bertemu dengan ibuku. Dia jelas Paman Sie yang memberi tiga buah kitab dan hiasan
rambut ini kepadaku!” gadis itu berkata kukuh.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 336

“Hemm, apakah mungkin Paman Sie itu adalah guruku, Tiong Lee Cin-jin yang dijuluki Yok-sian (Tabib
Dewa)? Akan tetapi kalau memang keduanya itu satu orang, kenapa ilmu silatmu berbeda dengan ilmu
silatku?”

“Liong-ko, engkau sendiri bercerita padaku bahwa gurumu itu menyuruh engkau membagi -bagikan kitab
pelajaran ilmu silat kepada partai-partai persilatan......”

“Bukan membagi-bagi, Hong-moi, melainkan kitab-kitab itu yang memang menjadi hak milik partai-
partai itu yang kehilangan kitab mereka puluhan tahun yang lalu.”

“Itu berarti bahwa gurumu memiliki banyak kitab pelajaran ilmu silat, maka apa anehnya kalau dia juga
memberi aku tiga kitab pelajaran ilmu silat yang lain daripada yang diajarkan padamu? Aku hampir yakin
bahwa Paman Sie itu juga Tiong Lee Cin-jin gurumu itu!”

“Kemungkinan itu ada saja, Hong-moi, atau ada dua orang yang mirip satu sama lain. Sekarang kita
bicara tentang perjalanan kita, Hong-moi. Seperti kukatakan tadi, aku harus pergi ke kota raja. Kalau
tidak, bagaimana aku dapat membantu kerajaan agar terbebas dari pengaruh kekuasaan Chin Kui?”

“Akan tetapi engkau sedang dikejar-kejar, Liong-ko! Tentu sebelum engkau dapat memasuki kota raja,
engkau sudah dikepung dan ditangkap pasukan pemerintah!”

“Aku dapat menyamar, Hong-moi. Dengan memasang jenggot dan kumis palsu, aku dapat memasuki
kota raja. Bagaimanapun juga, hanya namaku yang menjadi buruan pemerintah. Wajahku tidak ada yang
mengenal, kecuali tentu saja Cia Song. Mungkin para perwira pasukan hanya mendengar gambaran
tentang diriku, maka kalau aku mengubah sedikit wajahku, tentu tidak ada yang mengenalku.”

“Hei, kebetulan sekali, Liong-ko. Aku dulu pernah mempelajari merias wajah para pemain panggung. Aku
dapat memasang jenggot dan kumis palsu pada wajahmu dan ditanggung tidak dapat dilepas kecuali
memakai obatku karena rambut-rambut itu menempel kuat di wajahmu! Akan tetapi kalau kita sudah
dapat memasuki kota raja, lalu apa yang akan kaulakukan?”

“Hal itu bagaimana nanti saja kalau kita sudah berhasil memasuki kota raja, Hong-moi.”

Mereka lalu memasuki hutan di depan dan di tempat tersembunyi itu Pek Hong merias wajah Thian
Liong dengan kumis dan jenggot palsu yang diambil dari ram-but pemuda itu sendiri.

Tak lama kemudian mereka melanjutkan perjalanan dan kini Thian Liong telah berubah menjadi seorang
yang berkumis dan berjenggot, membuat dia tampak lebih tua daripada biasanya. Mereka menunggang
kuda menuju ke arah kota raja Lin-an.

“Engkau harus mengganti namamu, Liong-ko.”

“Benar sekali, Hong-moi. Mulai sekarang aku bernama San Lam dengan nama marga Mou.”

Pek Hong tersenyum. “Mou San Lam berarti Putera Gunung Mou? Kenapa memakai nama begitu, Liong-
ko?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 337

“Eh, jangan sebut Liong-ko lagi. Sebut Lam-ko agar tidak terbuka rahasiaku. Ketahuilah, di waktu kecil
aku tinggal di lereng Mao-mao-san (Gunung Mao-mao), jadi tepat kalau aku memakai nama Putera
Gunung Mou, bukan?”

Pek- Hong tertawa. “Heh-heh, engkau pandai mencari nama yang tepat, Liong…… eh, Lam-ko. Mari kita
cepat melanjutkan perjalanan.”

Mereka lalu membalapkan kuda mereka dan benar saja, setelah Thian Liong mengubah mukanya dan
menggunakan nama Mou San Lam, tidak ada yang men-curigainya sampai akhirnya mereka tiba juga di
Lin-an, kota raja Kerajaan Sung.

Dua hari setelah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu pergi meninggalkan rumah mereka, Han Si Tiong dan
isterinya, Liang Hong Yi, segera berkemas, membawa bekal pakaian dan uang, lalu keduanya
menunggang kuda berangkat menuju ke Lin-an. Telah hampir duabelas tahun mereka meninggalkan
kota raja, maka perjalanan menuju ke Lin-an merupakan perjalanan yang membangkitkan kenangan
masa lalu. Mereka masih, mengenal jalan raya menuju kota raja dengan baik dan diam-diam merasa
sedih melihat betapa dusun-dusun bukan saja tidak ada kemajuan.

Rumah-rumah rakyat sama sekali tidak tampak mendapat perbaikan, bahkan di mana-mana mereka
mendengar rakyat berkeluh kesah, wajah-wajah para petani yang muram dan hampir setiap orang yang
mereka tanyai mengeluh tentang beratnya pajak yang harus mereka bayar. Hampir setiap kepala dusun
menekan dan memeras penduduknya dan kalau Han Si Tiong dan isterinya menyelidiki kepala dusun itu,
mereka mendapat kenyataan bahwa kepala dusun itupun ditekan dan diperas oleh atasannya dengan
ancaman dicopot kedudukannya kalau mereka itu tidak dapat menyetorkan hasil yang sudah ditentukan
banyaknya.

Han Si Tiong maklum bahwa semua ini akibat pemerasan yang dilakukan Perdana Menteri Chin Kui d an
para pembesar yang menjadi kaki tangannya. Dia merasa sedih sekali karena agaknya Kaisar sudah tidak
mempunyai wibawa lagi, sehingga semua rakyat membenci Kaisar yang dianggap menindas rakyat
dengan peraturan-peraturan yang menekan itu. Padahal, Han Si Tiong dan isterinya tahu betul bahwa
semua peraturan yang menindas rakyat ini adalah buatan Perdana Menteri Chin Kui dan kaki tangannya.
Pajak yang ditentukan oleh Kaisar, yang cukup adil bagi rakyat yang berpenghasilan besar, ditambah
sedemiklan rupa oleh Chin Kui, bahkan mereka yang berpenghasilan kurang sekalipun tetap saja
dikenakan pajak, dan semua kelebihan yang ditambahkan itu tentu saja masuk kantong Chin Kui dan
para pembesar yang menjadi kaki tangannya.

Setelah memasuki kota raja, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bermalam di sebuah rumah penginapan.
Mereka tidak mencari bekas rumah mereka karena mereka tahu bahwa bekas rumah pemberian
pemerintah itu kini tentu ditinggali perwira lain. Juga mereka belum berkunjung kepada sahabat baik
mereka, Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) yang menjadi komandan penjaga keamanan kota raja. Mereka
hendak melihat keadaan dulu, baru akan berkunjung ke rumah sahabat baik mereka itu.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa aman. Sebetulnya mereka berdua sama sekali tidak mempunyai
musuh, kecuali tentu saja Chin Kui. Mereka mendengar bahwa perdana menteri itu amat membenci
mendiang Jenderal Gak Hui dan kabarnya malah selalu berusaha untuk membasmi semua pengikut setia
jenderal besar itu. Han Si Tiong merasa sudah berjasa terhadap Kerajaan Sung, maka tidak semestinya
kalau dia dan isterinya takut berada di kota raja. Apa lagi mereka sudah hampir duabelas tahun
meninggalkan kota raja.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 338

Dahulu ketika mereka masih memimpin Pasukan Halilintar, maka mereka terkenal dan hampir semua
perajurit kerajaan mengenal mereka. Akan tetapi sekarang siapa yang mengenal mereka? Wajah mereka
telah menjadi lebih tua. Kalau dulu, duabelas tahun yang lalu wajah Han Si Tiong bersih tanpa kumis
atau jenggot, sekarang dia berkumis dan berjenggot. Juga Liang Hong Yi lebih tua dan sekarang wanita
itu agak kurus karena selama bertahun-tahun prihatin memikirkan puterinya yang hilang.

Selama dua hari Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mencari keterangan dan mereka mendengar bahwa
sahabat baik mereka, Panglima Kwee Gi masih menduduki jabatannya yang lama, yaitu komandan
pasukan penjaga keamanan kota raja. Biarpun di dalam hatinya Kwee -ciangkun ini tidak suka, bahkan
membenci Chin Kui seperti banyak pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar lainnya, namun dia tidak
memperlihatkan sikap tidak suka ini secara berterang sehingga Chin Kui tidak menyangka bahwa Kwee -
ciangkun membencinya. Chin Kui tidak mengganggunya, apa lagi Kwee -ciangkun merupakan panglima
yang dipercaya Kaisar karena jasanya sudah banyak sekali.

Setelah mendengar keterangan tentang sahabatnya itu, Han Si Tiong lalu mengajak isterinya untuk pergi
mengunjungi sahabatnya itu. Pada hari ketiga, pagi-pagi mereka keluar dari rumah penginapan dengan
jalan kaki, hendak mengunjungi Kwee-ciangkun.

Han Si Tiong dan isterinya sama sekali tidak menyangka bahwa semenjak mereka memasuki kota raja,
beberapa pasang mata telah memperhatikan mereka dan beberapa orang telah membayangi dan
mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Empat orang ini adalah kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui
yang memang disebar di seluruh kota raja untuk menyelidiki setiap orang yang memasuki kota raja!
Maka, tidak mengherankan apa bila dalam waktu satu hari saja, Chin Kui sudah mengetahui Han Si Tiong
dan Liang Hong Yi, bekas pimpinan Pasukan Halilintar yang terkenal setia kepada mendiang Jenderal Gak
Hui itu kini telah kembali ke kota raja. Tentu saja dia tidak tinggal diam dan cepat memerintahkan tiga
orang jagoannya yang dapat diandalkan, yaitu Hwa Hwa Cin-jin, bekas jagoan guru mendiang Ciang Bun
putera mendiang Ciang Sun Bo atau Jenderal Ciang.

Seperti kita ketahui, Jenderal Ciang dan puteranya itu tewas di tangan Han Bi Lan dan Hwa Hwa Cin -jin
berhasil lolos. Lalu tosu sesat ini ditampung oleh Chin Kui. Selain Hwa Hwa Cin-jin, ada lagi orang kakak
adik seperguruan yang menjadi jagoan andalan Perdana Menteri Chin Kui. Mereka adalah Bu -tek Mo-ko
(Iblis Jantan Tanpa Tanding) Teng Sui yang bertubuh tinggi kurus berusia sekitar limapuluh tahun, dan
Bu-eng Mo-ko (Iblis jantan Tanpa Bayangan) Gui Kong yang bertubuh pendek gendut.

Mereka bertiga itu mendapat tugas untuk membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Karena Chin Kui
juga sudah tahu akan kemampuan ilmu silat suami isteri itu, maka dia merasa yakin bahwa tiga orang
jagoannya itu pasti akan dapat membina-sakan mereka. Dia tidak mau mengirim banyak pasukan,
karena hal itu akan me-nimbulkan kegemparan. Suami isteri itu telah dikenal rakyat dan dahulu nama
mereka banyak dipuji-puji, bahkan Kaisar sendiri pernah menyatakan kekaguman-nya kepada suami
isteri pimpinan Pasukan Halilintar itu. Kalau mereka berdua itu dikeroyok pasukan, tentu akan
menimbulkan kegemparan.

Suami isteri itu berjalan santai menuju ke rumah gedung tempat tinggal Panglima Kwee Gi. Ketika
mereka tiba di bagian jalan yang sunyi, tiba-tiba mereka melihat tiga orang berdiri menghadang di
tengah jalan. Suami isteri itu memperhatikan dan merasa belum pernah mengenal mereka. Yang
seorang berpakaian seperti seorang tosu. Jenggotnya panjang dan tubuhnya agak pendek dengan perut
gendut. Mukanya berwarna kekuningan dan mulutnya tersenyum mengejek. Di punggungnya

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 339

tergantung sebatang pedang. Orang kedua bertubuh jangkung kurus, mukanya seperti tengkorak dan
diapun mempunyai sebatang pedang yang digantung di pinggang. Orang ketiga bertubuh pendek gendut
dan membawa golok yang digantung di punggung. Kakek pertama itu berusia sekitar enampuluh lima
tahun sedangkan orang terakhir berusia antara limapuluh dan empatpuluh delapan tahun.

Mereka itu adalah Hwa Hwa Cin-jin, Bu-tek Mo-ko, dan Bu-eng Mo-ko yang sengaja menghadang di jalan
sepi itu.

Setelah suami isteri itu melangkah dan tiba di depan mereka, Hwa Hwa Cin-jin menegur sambil
tersenyum mengejek dan memandang rendah.

“Bukankah kalian berdua ini suami isteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi?”

Karena tidak menduga buruk, dan memang dia seorang yang jujur, Han Si Tiong menjawab. “Benar
sekali. Totiang (bapak pendeta) siapakah dan ada keperluan apakah sam-wi (anda bertiga) menghadang
perjalanan kami?”

Begitu mendengar jawaban itu, tiga orang yang ditugaskan membunuh suami isteri itu segera mencabut
senjata mereka dan Hwa Hwa Cin-jin berseru, “Kalian harus mati di tangan kami!” Tiga orang itu sudah
menyerang dengan cepat dan ganas sekali. Suami isteri itupun cepat mencabut pedang mereka dan
sambil melompat ke belakang mereka menangkis serangan itu.

Liang Hong Yi menangkis pedang Hwa Hwa Cin-jin yang menyambar ke arah lehernya sedangkan Han Si
Tiong memutar pedangnya untuk menangkis sambaran pedang dan golok dua orang jagoan yang di
dunia kang-ouw dikenal sebagai Siang Mo-ko (Sepasang lblis Jantan).

“Tranggg......! Trangggg!!” Bunga api berpijar dan suami isteri itu terhuyung ke belakang. Terutama
sekali Liang Hong Yi. Pertemuan pedang itu hampir saja membuat pedangnya terlepas dan ia merasa
betapa telapak tangannya menjadi panas dan pedih sekali. Hampir saja wanita itu terjengkang, akan
tetapi Han Si Tiong yang juga kalah kuat dan terhuyung dan menyambar tangannya dan mencegah
isterinya terjatuh.

Tiga orang jagoan itu tertawa senang. Tadinya mereka khawatir kalau-kalau suami isteri itu memiliki
kepandaian yang terlalu kuat bagi mereka sehingga sukar dibunuh. Akan tetapi ternyata dalam
segebrakan saja, suami isteri itu telah terhuyung dan hampir roboh! Mereka bertiga tertawa dan
mendesak lagi. Suami isteri itu repot sekali berloncatan ke sana-sini menghindarkan diri dan terkadang
mereka terpaksa menggunakan pedang menangkis.

Liang Hong Yi jelas bukan lawan Hwa Hwa Cin-jin. Tingkatnya kalah jauh sehingga ia repot sekali harus
menghindarkan diri dari desakan pedang Hwa Hwa Cin-jin yang seolah hendak mempermainkan calon
korbannya. Sementara itu, kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Han Si Tiong seimbang
dengan Bu-tek Mo-ko atau Bu-eng Mo-ko.

Kalau bertanding melawan seorang dari mereka tentu akan ramai sekali dan belum tentu dia kalah. Akan
tetapi dikeroyok dua, dia menjadi kerepotan dan seperti isterinya, diapun hanya mampu mengelak dan
menangkis.

“Cringgg...... trak......! Trakk......!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 340

Suami isteri itu melompat ke belakang dengan wajah berubah pucat. Tiga orang itu tertawa-tawa
melihat betapa pedang suami isteri itu telah patah. Mereka siap untuk mengirim serangan maut.

“Tahan!” bentak Han Si Tiong. “Kami bukan orang-orang yang takut mati. Akan tetapi katakan dulu,
siapa kalian dan mengapa kalian hendak membunuh kami?”

Tiga orang pembunuh itu saling pandang lalu tertawa bergelak. Mereka memang dipesan agar jangan
memberitahukan hal itu, khawatir kalau didengar orang lain dan mereka yang kagum terhadap suami
isteri itu tentu akan merasa tidak senang kalau mendengar bahwa suami isteri itu dibunuh atas perintah
Perdana Menteri Chin Kui. Maka, tiga orang itu hanya tertawa lalu mereka menerjang ke depan untuk
mengirim serangan maut dengan senjata mereka kepada suami isteri yang sudah tidak berdaya i tu.

Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawa suami isteri itu, tiba tiba tampak dua sosok
bayangan berkelebat bagaikan dua ekor burung garuda menyambar.

“Tranggg......! Cringgg…… !!”

Hwa Hwa Cin-jin terkejut bukan main ketika pedangnya terpental karena ditangkis sebatang pedang lain
yang gerakannya amat cepat dan kuat sekali. Dia cepat memandang dan ternyata yang menangkisnya
adalah seorang gadis yang cantik jelita dan kini gadis itu berdiri di depannya dengan pedang di tangan
kanan. Sementara itu, Siang Mo-ko juga terkejut bukan main karena senjata mereka bertemu dengan
pedang yang demikian kuat dan tajam sehingga ketika mereka melihat, ujung pedang Bu-tek Mo ko dan
ujung golok Bu-eng Mo-ko telah rompal!

Sementara itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi girang bukan main ketika pada saat kematian sudah di
depan mata, ada dua orang penolong muncul dan menangkis serangan maut tiga orang lawan mereka
itu. Mereka berdua segera mengenal gadis yang mengaku bernama Sie Pek Hong namun sesungguhnya
puteri Kaisar Kin itu, yang muncul bersama seorang laki-laki berkumis dan berjenggot tebal. Akan tetapi
ketika mereka melihat dengan penuh perhatian, mereka segera mengenal bahwa orang berkumis dan
berjenggot itu bukan lain adalah Thian Liong. Tentu saja mereka menj adi girang sekali, akan tetapi
melihat betapa pemuda itu menyamar, mereka tidak mau memanggil namanya.

Sementara itu, Pek Hong Nio-cu yang sudah marah sekali, tanpa banyak cakap lagi sudah bergerak ke
depan, menerjang Hwa Hwa Cin-jin dengan serangan pedangnya. Juga Thian Liong sudah memutar
pedangnya menyerang dua orang Siang Mo-ko. Serangan Thian Liong demikian hebatnya sehingga
terdengar suara berdencing nyaring ketika dua orang itu menangkis pedang Thian-liong-kiam.

“Cringggg......!” Dua orang itu terhuyung dan kini pedang dan golok mereka patah di bagian tengahnya.
Dua kali Thian Liong menendang dan dua orang kakak beradik seperguruan itu tak mampu
menghindarkan diri lagi sehingga mereka terguling roboh. Mereka merangkak bangun dan melihat
betapa Hwa Hwa Cin jin juga repot menghadapi serangan gadis cantik itu, mereka berdua segera
berseru.

“Cin-jin, lari! Kita mencari bantuan!”

Mendengar ini. Hwa Hwa Cin-jin maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali, maka diapun melarikan
diri bersama dua orang Siang Mo-ko untuk mencari bantuan.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 341

Melihat tiga orang itu melarikan diri dan berteriak bahwa mereka akan mencari bala bantuan, Han Si
Tiong berbisik kepada isterinya. “Cepat ajak mereka lari ke rumah Kwee -ciangkun!”

Liang Hong Yi maklum akan maksud suaminya. Mereka lari menghampiri dua orang muda itu dan Han Si
Tiong memegang tangan Tian Liong sedangkan Liang Hong Yi memegang tangan Pek Hong, lalu menarik
mereka untuk cepat berlari memasuki lorong kecil.

“Cepat lari bersama kami sebelum mereka kembali membawa pasukan!”

Thian Liong dan Pek Hong maklum akan maksud mereka dan menurut saja. Tak lama kemudian mereka
memasuki sebuah pintu kecil yang merupakan pintu belakang gedung tempat tinggal Panglima Kwee Gi.
Pintu kecil ini merupakan pintu untuk para pelayan kalau hendak bepergian ke luar gedung untuk suatu
keperluan.

Han Si Tiong dan isterinya masih hapal akan keadaan rumah ini, maka tanpa ragu-ragu mereka
memasuki pintu kecil itu dan menutupkannya kembali. Dua orang pelayan wanita yang berada di bagian
belakang rumah itu terkejut sekali melihat masuknya empat orang dari pintu itu.

Mereka hendak menjerit, akan tetapi cepat sekali Pek Hong dan Liang Hong Yi menangkap dan menutup
mulut mereka dengan tangan.

“Jangan berteriak! Kami bukan orang jahat. Kami adalah sahabat Kwee-ciangkun yang membutuhkan
perlindungan karena dikejar orang-orangnya Perdana Menteri Chin Kui. Cepat bawa kami ke dalam
bertemu dengan Kwee-ciangkun atau Kwee-hujin (Nyonya Kwee}!” kata Liang Hong Yi.

Dua orang pembantu itu masih ketakutan. Pada saat itu dari dalam muncul seorang pemuda yang tinggi
besar dan tampan, berusia sekitar duapuluh tahun.

“He, ada apa ini? Siapa kalian berempat?” Pemuda yang bukan lain adalah Kwee Cun Ki itu membentak
dan meraba gagang pedangnya.

“Kwee-kongcu...... mereka ini menerobos masuk...... mengaku sahabat Thai -ciangkun (panglima
besar)......” seorang di antara dua pelayan itu berkata gagap.

Mendengar ini Han Si Tiong cepat berkata. “Ah, Kwee-kongcu? Engkau ini tentu Kwee Cun Ki, bukan?”

Liang Hong Yi juga berseru girang, “Benar, dia pasti Cun Ki! Cun Ki, lupakah engkau kepada kami? Ini
adalah pamanmu Han Si Tiong dan aku……”

“Ah, engkau bibi Liang Hong Yi! Paman Han, bagaimana saya dapat mengenal paman kalau sekarang
berjenggot dan berkumis seperti ini?” Cun Ki berseru girang, lalu memandang kepada Thian Liong dan
Pek Hong. “Dan mereka ini siapa, paman?”

“Cun Ki, nanti saja kita bicara dan kuperkenalkan. Sekarang cepat ajak kami menemui ayah ibumu. Kami
dikejar-kejar kaki tangan Chin Kui!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 342

“Ah, marilah, paman!” kata pemuda itu dan dia mendahului mereka memasuki gedung meninggalkan
para pembantu rumah tangga yang merasa lega bahwa tuan muda mereka mengenal baik para
pendatang itu.

Kebetulan sekali Panglima Kwee Gi dan isterinya berada di rumah. Mereka sedang duduk di ruangan
dalam ketika tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan putera mereka, Kwee Cun Ki menerobos masuk diikuti
empat orang asing. Kwee-ciangkun bangkit berdiri dengan terkejut dan heran. Dia tidak segera
mengenal sahabat baiknya itu.

“Ayah, ibu, lihat siapa yang datang berkunjung! Paman Han Si Tiong dan bibi Liang Hong Yi!”

Barulah suami isteri itu mengenali suami isteri yang menjadi sahabat baik mereka dan yang sudah
belasan tahun tidak pernah mereka temui dan tidak mereka ketahui di mana tempat tinggalnya itu.

“Han-siauwte (adik Han)......!”

“Kwee-twako (kakak Kwee)......!”

Dua orang sahabat itu saling menghampiri dan mereka segera berangkulan. Juga Liang Hong Yi
berangkulan dengan nyonya Kwee. Setelah menumpahkan rasa rindu dan girang hati mereka, empat
orang tamu itu dipersilakan duduk.

“Han-siauwte, siapakah orang muda dan nona ini?” tanya Kwee-ciangkun sambil memandang kepada
Thian Liong dan Pek Hong.

“Nanti dulu, Kwee-twako. Sebelumnya ketahuilah bahwa kami berempat tadi diserang oleh orang-
orangnya Chin Kui. Mereka lari memanggil bala bantuan dan kami cepat melarikan diri ke sini! Mungkin
mereka akan mengejar dan mencari sampai ke sini!”

Kwee-ciangkun mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Jangan khawatir, Han-siauwte. Kalian


bersembunyilah dalam ruangan rahasia, biar diantar oleh isteriku. Aku akan keluar untuk menemui
mereka!”

Kwee-hujin (Nyonya Kwee) lalu mengajak empat orang itu ke ruangan belakang. Di dekat dapur, nyonya
itu menggerakkan sebuah patung yang berada di atas meja dan dinding ruangan itu tiba-tiba terangkat
naik dan mereka lalu memasuki pintu rahasia itu. Setelah tiba di dalam, dinding itu menutup kembali.

Ternyata ruangan di balik dinding ini cukup luas dan Kwee-hujin mempersilakan empat orang itu duduk
mengelilingi sebuah meja besar dan iapun bercakap-cakap dengan Liang Hong Yi.

Sementara itu Kwee-ciangkun keluar dari gedung dan dia bertemu dengan pasukan yang dipimpin Hwa
Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko. Dia mengenal tiga orang ini sebagai jagoan-jagoan Perdana Menteri Chin
Kui.

“Eh, Totiang hendak ke manakah membawa pasukan ini?” tanya Kwee -ciangkun.

Para jagoan Perdana Menteri Chin Kui itu mempunyai tugas rahasia dan tentu saja mereka tidak ingin
tugas itu diketahui oleh orang lain, apalagi diketahui seorang pangl ima kerajaan.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 343

“Kami diutus Chin-taijin (Pembesar Chin) untuk mencari penjahat-penjahat. Mereka merupakan dua
pasang lelaki perempuan yang masih muda dan setengah tua. Kalau anak buah Kwee -ciangkun ada yang
melihatnya, harap cepat memberitahukan kami,” jawab Hwa Hwa Cin-jin.

“Ah, begitukah? Baik totiang, akan kupesan kepada anak buahku!”

Mereka berpisah. Pasukan itu melanjutkan pencarian mereka dan Kwee-ciangkun kembali ke rumahnya.
Setelah tiba di rumah, cepat dia memasuki ruangan rahasia itu di mana isteri dan empat orang tamunya
telah menunggu.

“Benar saja, Han-siauwte. Tiga orang jagoan kaki tangan Chin Kui itu membawa tiga losin orang perajurit
mencari kalian berempat. Sebaiknya kalian berdiam di sini dan jangan keluar sampai keadaan di luar
aman.”

Setelah Kwee-ciangkun duduk menghadapi meja, Han Si Tiong memperkenalkan. “Twako perkenalkan.
Pemuda ini bernama Souw Thian Liong dan nona ini bernama...... Sie Pek Hong. Mereka berdua sehaluan
dengan kita, menentang kelaliman Chin Kui. Tadi kami berdua di serang oleh tiga orang jagoan kaki
tangan Chin Kui itu. Kami nyaris celaka. Untung muncul mereka berdua ini sehingga para penyerang itu
melarikan diri. Sebelum mereka kembali membawa pasukan, aku mengajak mereka lari ke sini.” Setelah
berkata demikian, Han Si Tiong menoleh kepada Thian Liong dan Pek Hong.

“Souw-sicu dan Sie-siocia, perkenalkan. Tuan rumah kita ini adalah Panglima Kwee Gi dan Nyonya Kwee,
dan pemuda gagah ini adalah putera mereka, Kwee Cun Ki.”
Thian Liong mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diikuti oleh Pek Hong.
“Maafkan kalau kami berdua mengganggu ketenteraman keluarga ciang-kun,” kata Thian Liong dengan
sikap hormat.

“Ah, sama sekali tidak mengganggu, Souw-sicu,” kata Kwee-ciangkun yang lalu memandang kepada Han
Si Tiong.

“Han-siauwte, bagaimana asal mulanya maka engkau dan isterimu, setelah menghilang selama belasan
tahun, tiba-tiba muncul di kota raja dan diserang oleh kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui?”

“Ceritanya panjang, twako,” Han Si Tiong mulai bercerita. “Twako berdua tentu tahu bahwa semenjak
pulang dari perbatasan dan mendapat kenyataan betapa bibi Lu-ma terbunuh dan anak kami diculik
orang, kami meletakkan jabatan dan meninggalkan kota raja. Selama bertahun-tahun kami mencoba
untuk mencari anak kami, namun semua usaha kami sia-sia sehingga akhirnya kami tinggal di tempat
sunyi, di sebuah dusun dekat See-ouw (Telaga Barat). Kami sudah putus asa untuk dapat menemukan Bi
Lan, anak kami yang hilang itu……”

“Kami tidak tahu apakah anak kami itu masih hidup ataukah......” sambung Liang Hong Yi dengan suara
gemetar karena sedihnya.

“Paman dan bibi! Adik Han Bi Lan masih hidup!” tiba-tiba Cun Ki berseru, nada suaranya gembira.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 344

Dua pasang mata itu terbelalak. Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bangkit berdiri dengan wajah berubah
merah. Air mata bercucuran dari kedua mata Liang Hong Yi dan sepasang mata Han Si Tiong juga
menjadi basah.

“Cun Ki, apa...... apa...... maksudmu......?” tanya Han Si Tiong gagap, seolah tidak percaya akan apa yang
didengarnya tadi.

“Cun Ki berkata benar, siauw-te. Bi Lan masih hidup, sehat bahkan kini ia menjadi seorang gadis yang
lihai sekali!” kata Kwee-ciangkun.

Han Si Tiong melompat dan memegang kedua lengan sahabatnya dengan erat, sedangkan Liang Hong Yi
sudah menubruk dan merangkul Nyonya Kwee sambil menangis sesenggukan. Rasa bahagia yang terlalu
besar memukul perasaan mereka, mendatangkan keharuan yang mendalam.

“Ceritakan, twako, ceritakan tentang Bi Lan!”

“Tolong, Kwee-twako...... cepat katakan ...... di mana anakku Bi Lan sekarang......?” kata pula Liang Hong
Yi di antara tangisnya.

Pek Hong bangkit dan menghampiri Liang Hong Yi yang masih merangkul nyonya Kwee sambil menangis.
Dengan lembut ia menarik pundak wanita yang menangis itu, “Tenangkanlah hatimu, bibi.”

“Benar, paman Han dan bibi, harap tenang dan duduklah. Tentu Kwee -ciangkun akan segera
menceritakan tentang puteri paman dan bibi itu,” kata pula Thian Liong.

Suami isteri itu menyadari keadaan mereka. Mereka duduk kembali dan Han Si Tiong berkata, “Twako
dan so-so (isteri kakak), maafkanlah kelemahan kami.”

Kwee Gi tersenyum. “Tidak mengapa, siauw-te, kami dapat memaklumi perasaan kalian yang dilanda
kegirangan dan keharuan. Kurang lebih dua bulan yang lalu, puteri kalian Han Bi Lan memang datang di
kota raja ini dan ia sempat membikin geger kota raja.”

“Apa yang telah dilakukan anakku, Kwee-twako?” tanya Liang Hong Yi.

“Ia datang ke kota raja untuk mencari kalian di rumah kalian yang dulu. Akan tetapi rumah itu kini telah
menjadi tempat kediaman Jenderal Ciang Sun Bo dan ketika Bi Lan datang berkunjung, Jenderal Ciang
mengaku sebagai sahabat kalian dan menerima Bi Lan dengan ramah.”

“Huh, mana mungkin Jenderal Ciang yang jahat itu menjadi sahabat kami? Dia bohong!” kata Liang Hong
Yi gemas.

“Memang dia berbohong, akan tetapi tentu saja Bi Lan tidak tahu akan hal itu, maka dia menerima
dengan senang hati ketika keluarga Ciang itu menjamunya dengan pesta makan. Ketika makan minum,
mereka menaruh racun ke dalam anggurnya untuk membuat Bi Lan terbius dan pingsan...... ”

“Jahanam! Kubunuh itu Jenderal Ciang keparat!” Liang Hong Yi membentak dan mengepal tinju.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 345

Pek Hong tersenyum geli. Nyonya itu wataknya seperti ia, paling benci melihat kelicikan orang. “Harap
bibi tenang karena melihat wajah Kwee-ciangkun, kukira akhir ceritanya tidak begitu mengkhawatirkan.”

Kwee Gi tersenyum. “Penglihatan Nona Sie tajam sekali. Memang benar, harap Han-siauwte berdua
tidak menjadi gelisah dulu. Bi Lan tidak akan dapat bertemu dengan kami kalau dia sampai celaka di
tangan mereka. Ia memang jatuh pingsan dan ia sempat dipondong oleh Ciang Ban ke dalam kamarnya.
Akan tetapi Bi Lan ternyata cerdik bukan main. Ia telah merasa curiga, maka ia hanya pura-pura saja
pingsan. Ia murid seorang ahli racun, maka ia tentu saja tidak mudah diracuni orang. Setelah tiba di
kamar, melihat Ciang Ban bermaksud keji kepadanya, ia lalu membunuh Ciang Ban. Jenderal Ciang Sun
Bo dan Lui-ciangkun, pembantunya yang mengeroyok Bi Lan, dibunuh pula oleh puteri kalian itu, dan
Hwa Hwa Cin-jin berhasil lolos.”

“Hebat! Bagus sekali. Ah, Bi Lan anakku......!” Liang Hong Yi berseru dan ia menangis lagi, penuh
kegembiraan dan kebanggaan! Juga Han Si Tiong meneteskan air mata karena girang dan bangga.

Sama sekali tak pernah dibayangkan bahwa puteri mereka, anak tunggal mereka yang hilang itu, kini
masih hidup dan menjadi seorang pendekar wanita yang amat lihai!

“Bi Lan lalu dikepung banyak perajurit. Ia mengamuk dan merobohkan banyak perajurit dan lolos dari
rumah Jenderal Ciang. Ia dikejar banyak perajurit dan sebentar saja pasukan dikerahkan untuk
mengejarnya. Aku mendengar dari para penyelidikku bahwa yang membunuh Jenderal Ciang dan
puteranya, juga membunuh Perwira Lui To dan banyak perajurit, adalah Han Bi Lan, puteri kalian.
Mendengar ini, aku terkejut dan cepat aku keluar. Beruntung sekali aku bertemu dengan Bi Lan di lorong
sepi dan aku segera memperkenalkan diri dan mengajaknya sembunyi di rumah kami ini.”

“Ah, lagi-lagi engkau yang telah menolong, twako. Pertama engkau menyelamatkan Bi Lan dan hari ini
engkau menyelamatkan kami!” kata Han Si Tiong terharu.

“Hemm, itulah gunanya persahabatan, siauwte. Kalau bukan sahabat yang saling menolong, lalu siapa?
Biar kulanjutkan ceritaku tentang Bi Lan. Ia bersembunyi di sini selama seminggu dan selama itu ia
menceritakan semua pengalamannya sejak ia diculik oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan. Ouw Kan datang
ke rumah kalian di sini lalu membunuh Lu-ma dan menculik Bi Lan. Di tengah perjalanannya melarikan Bi
Lan, Ouw Kan bertemu dengan Jit Kong Lhama, datuk persilatan dari Tibet dan pendeta Lhama ini
merampas Bi Lan setelah mengalahkan Ouw Kan. Sejak saat itu, Bi Lan menjadi murid Jit Kong Lhama
sampai sebelas tahun lamanya. Ia mempelajari ilmu-ilmu silat, sihir dan juga tentang racun dari Jit Kong
Lhama sehingga menjadi lihai sekali. Ia tinggal selama itu di sebuah puncak dari pegunungan Kun-lun-
san dan katanya akhir-akhir ini iapun menjadi murid Kun-lun-pai.”

“Ahh, anak kita menjadi seorang yang lihai! Terima kasih kepada Thian (Tuhan) ......!” kata Liang Hong Yi.

“Akan tetapi ke manakah Bi Lan pergi setelah meninggalkan rumahmu ini, twako?” tanya Han Si Tiong.

Kwee Gi menghela napas panjang.

“Kami tidak tahu, siauw-te. Kami menyelundupkan ia keluar kota raja setelah tinggal di sini selama satu
minggu. Ia tidak mengatakan ke mana akan pergi. Sebetulnya kami bermaksud menahannya di sini
karena kami mempunyai niat untuk...... menjodohkan Bi Lan dengan putera kami Cun Ki ini.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 346

“Ohhh...... kami akan senang sekali dan setuju sekali!” seru Liang Hong Yi.

“Ya, tentu saja kalau Bi Lan juga menyetujui,” sambung Han Si Tiong sambil memandang kepada Kwee
Cun Ki.

Pemuda ini tampan dan tampak gagah perkasa, cukup membanggakan kalau dapat menjadi mantu.
Mendengar percakapan tentang perjodohannya dengan Bi Lan, gadis yang dikaguminya dan yang
membangkitkan rasa cintanya itu, Cun Ki hanya tersenyum, dalam hatinya merasa girang mendengar
betapa ayah ibu Bi Lan tidak keberatan kalau dia berjodoh dengan Bi Lan. Bahkan ibu gadis itu
menyetujui.

“Nah, sekarang ceritakan kepada kami tentang perjalananmu sampai ke sini, Han-siauwte,” tanya Kwee
Gi.

Han Si Tiong memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong, lalu menjawab. “Kwee -twako, sebetulnya
kedetangan kami berdua di kota raja ini erat hubungannya dengan dua orang muda, Souw Thian Liong
dan Sie Pek Hong ini. Belum lama ini, tempat tinggal kami diketahui oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan,
datuk yang membunuh Bibi Lu-ma dan menculik Bi Lan itu. Karena dia gagal membunuh kami, bahkan
gagal pula menculik Bi Lan, dia malu bertemu dengan Kaisar Kin yang mengutusnya membunuh kami.
Kaisar Kin merasa sakit hati mendengar betapa puteranya, Pangeran Cu Si, tewas oleh kami dalam
pertempuran di perbatasan dahulu. Maka, Ouw Kan selama ini terus mencari kami dan akhirnya dia
menemukan kami di dekat Telaga Barat. Kami nyaris tewas oleh datuk yang amat sakti itu, akan tetapi
kebetulan Souw-sicu dan Sie-siocia ini muncul dan menolong kami, mengusir Ouw Kan yang melarikan
diri. Kemudian kami saling bercerita dan kami berdua mendengar bahwa Souw-sicu sedang dikejar-kejar
pasukan kerajaan yang harus menangkap atau membunuhnya karena dia dituduh sebagai seorang
pengkhianat yang menjadi kaki tangan Kerajaan Kin. Padahal dia sama sekali tidak berkhianat, bahkan
dia hendak menentang Perdana Menteri Chin Kui. Tentu Chin Kui yang melempar fitnah dan membujuk
Sri Baginda agar mengeluarkan perintah menangkap Souw-sicu dengan tuduhan pengkhianat. Nah,
karena kami yakin bahwa dia bukan pengkhianat, maka kami sengaja datang ke sini untuk minta
bantuan twako mencari jalan untuk menyakinkan Sri Baginda bahwa Souw Thian Liong bukan
pengkhianat dan tidak menjadi kaki tangan Kerajaan Kin seperti yang dituduhkan.”

Panglima Kwee Gi kini memandang kepada Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong bergantian dengan sinar
mata penuh selidik.

“Souw-sicu dan Sie-siocia, kami tidak mengenal kalian, akan tetapi setelah mendengar cerita Han-
siauwte kami percaya sepenuhnya kepada kalian berdua. Kalau sekiranya kami dapat membantumu agar
terlepas dari tuduhan itu, kami akan senang sekali membantu. Akan tetapi tentu saja kami harus
mendengar penjelasan darimu apa yang sebenarnya telah terjadi sehingga kalian dituduh sebagai
pengkhianat dan kaki tangan Kerajaan Kin.”

Thian Liong mengerutkan alisnya. Diapun belum mengenal orang macam apa adanya Kwee Gi ini, maka
dia menoleh dan memandang kepada Han Si Tiong dengan sinar mata bertanya. Han Si Tiong dapat
memaklumi perasaan pemuda itu, maka diapun berkata.

“Souw-sicu, engkau dan nona Sie telah mempercayai kami suami isteri dan kalau kalian kini
mempercayai Panglima Kwee Gi, kami yang menanggung bahwa kepercayaanmu itu tidak keliru.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 347

Mendengar ucapan Han Si Tiong itu, Thian Liong kini memandang kepada Sie Pek Hong. Gadis ini
tersenyum dan berkata.

“Liong-ko, aku juga dapat melihat dan merasa bahwa Paman Kwee Gi adalah seorang yang baik dan
bijaksana, aku tidak keberatan kalau engkau menceritakan segalanya kepadanya.”

Lega hati Thian Liong mendengar ini. Dia lalu memandang kepada Panglima Kwee dan berkata, “Kwee -
ciangkun......”

“Nanti dulu, tadi nona ini sudah memberi contoh baik, menyebut Paman Kwee kepadaku. Sebaiknya
engkaupun menyebut kami paman dan bibi saja, Souw Thian Liong.”

Senang hati Thian Liong melihat sikap dan mendengar ucapan yang ramah itu.

“Baiklah, Paman Kwee. Saya akan berterus terang kepada paman dan bibi, seperti kami juga telah
berterus terang kepada Paman dan Bibi Han. Semula, saya melakukan perjalanan ke utara untuk ......”
Dia berhenti karena dia tidak tahu atau belum ingin menceritakan bahwa dia mencari gadis pencuri kitab
yang kini dia ketahui adalah Han Bi Lan, puteri Han Si Tiong. Tidak enak rasanya terhadap suami isteri
Han itu kalau dia menceritakan bahwa anak gadis mereka adalah seorang pencuri!

“Maksud saya...... saya melakukan perjalanan merantau ke utara untuk meluaskan pengalaman dan
dalam perjalanan itu saya berkenalan dengan ia ini yang menghajar para pembesar Kerajaan Kin yang
menindas rakyat. Saya mengenalnya sebagai Pek Hong Nio-cu, yaitu nama julukannya sebagai seorang
pendekar wanita pembela kebenaran dan keadilan. Kemudian saya baru mengetahui bahwa Pek Hong
Nio-cu yang sekarang menggunakan nama Han yaitu Sie Pek Hong ini bukan lain adalah Puteri Moguhai,
puteri Kaisar Kerajaan Kin.”

“Ahh......!” Panglima Kwee dan isterinya berseru kaget. Siapa orangnya yang tidak akan kaget
mendengar bahwa gadis yang kini berada di rumah mereka itu ternyata adalah puteri Kaisar Kin?
Mereka berdua kini memandang kepada “puteri” itu dengan heran bercampur kagum.

Akan tetapi Pek Hong Nio-cu yang menjadi perhatian hanya tersenyum manis! Melihat betapa pandang
mata, suami isteri itu kini agak berbeda, pandang mata yang menghormat, ia lalu berkata ramah.

“Paman dan Bibi Kwee. Keadaan diriku ini harap paman berdua rahasiakan. Anggap saja aku ini gadis
Han bernama Sie Pek Hong dan sebut saja namaku Pek Hong. Dengan demikian paman berdua telah
membantu penyamaranku dan aku berterima kasih sekali kepadamu.”

Suami isteri itu saling pandang lalu pecah ketawa Panglima Kwee. “Ha-ha-ha, luar biasa sekali! Seperti
dongeng saja! Hebat, engkau hebat sekali dan kami sungguh merasa kagum sekali padamu, Pek Hong!”

“Dan kepadamu juga aku minta hal yang sama, koko Kwee Cun Ki,” kata Pek Hong kepada pemuda tinggi
besar itu. Cun Ki tersipu dan diapun mengangguk.

“Baik, percayalah kepadaku. Aku bukan seseorang yang suka panjang mulut, Hong-moi.”

Thian Liong tersenyum. “Nah, Hong-moi, agaknya kita berada di antara keluarga yang bijaksana dan
patut dihormati.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 348

Pek Hong mengangguk dan Han Si Tiong tertawa pula. “Ha-ha-ha! Kepercayaan kalian berdua tidak sia-
sia. Aku jamin bahwa kalian akan aman berada di dalam rumah Kwee-toako.”

Kwee Gi tersenyum. “Sudahlah, cukup semua pujian itu. Sekarang, lanjutkan ceritamu, Thian Liong!”

“Setelah kami berdua berkenalan, kami sempat tertawan oleh orang-orang yang sedang hendak
memberontak kepada Kerajaan Kin. Untung kami dapat lolos.” Dia tidak menceritakan tentang
pertotongan yang dilakukan suhunya yang menurut Pek Hong adalah Paman Sie.

“Kami mengetahui rahasia pemberontakan itu yang diatur oleh Pangeran Hiu Kit Bong yang
bersekongkol dengan Perdana Menteri Chin Kui yang diwakili oleh seorang pemuda bernama Cia Song.
Kami berdua menentang pemberontakan itu dan berhasil mengundang pasukan yang berjaga di barat
sehingga akhirnya pemberontakan itu dapat ditumpas. Sayang bahwa Cia Song, utusan Perdana Menteri
Chin Kui itu dapat lolos dan agaknya dia yang melapor kepada Chin Kui dan mereka melempar fitnah
kepada diriku sehingga aku dijadikan orang buronan pemerintah Sung. Aku memang membantu
pemerintah Kerajaan Kin, akan tetapi membantu dari ancaman pemberontak yang bersekutu dengan
Perdana Menteri Chin Kui.”

“Hemm, aku mulai mengerti duduknya perkara. Dan Pek Hong, kenapa engkau meninggalkan...... istana
dan ikut Thian Liong ke sini, padahal di sini bahaya mengancammu?”

Pek Hong tersenyum. “Liong-ko telah membantuku menyelamatkan kerajaan ayah, karena itu, aku ingin
membalas budinya dan ingin membantu dia menyelamatkan Kerajaan Sung dari tangan Chin Kui yang
kotor. Mengingat bahwa Chin Kui bersekutu dengan pemberontak di Kerajaan Kin, berarti dia juga
musuhku, bukan? Dan ayahku, Raja Kin, juga menyetujui kepergianku ikut Liong-ko ke selatan.”

“Kalau begitu kita harus berbuat sesuatu untuk membersihkan namamu, Thian Liong. Kalau tidak,
engkau akan menjadi buronan pemerintah dan hidupmu tidak akan aman lagi.”

“Akan tetapi bagaimana caranya, Kwee-toako? Kalau hanya Chin Kui yang mengerahkan orang-orangnya
untuk menangkap atau membunuh Thian Liong, hal itu tidak terlalu berbahaya dan juga tentu saja dapat
dilawan. Akan tetapi kalau pengejaran itu atas perintah Sri Baginda, tentu seluruh negeri akan
mengawasi Thian Liong dan kalau dia melawan pasukan pemerintah, tentu dia akan dituduh sebagai
pemberontak,” kata Han Si Tiong.

“Tidak ada jalan lain kiranya kecuali satu, ialah membunuh si jahat Chin Kui!” kata Pek Hong.

Liang Hong Yi berseru, “Tepat! Memang jahanam itu harus dibunuh karena dialah biang keladi semua
kekacauan ini!”

Panglima Kwee Gi menggeleng kepala sambil tersenyum melihat dua orang wanita yang bersikap galak
seperti harimau betina itu.

“Tidak begitu mudah membunuh perdana menteri itu. Selain dia selalu dikawal oleh banyak jagoan yang
tangguh, juga dia mempunyai pasukan pengawal khusus yang jumlahnya sampai seratus orang dan ke
manapun dia pergi selalu terlindung. Selain itu, aku mendengar bahhwa di dalam gedungnya yang

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 349

seperti istana itu dipasangi banyak alat rahasia sehingga tidak mudah mencari tempat
persembunyiannya.”

“Kalau begitu kita tunggu sampai dia keluar dari gedungnya dan kita menyergapnya!” kata pula Pek
Hong. “Kalau dia dilindungi seratus orang pengawal, kukira Paman Kwee tentu dapat mengerahkan
pasukan yang lebih besar, mengingat paman menjadi komandan pasukan keamanan kota raja!”

Kembali Panglima Kwee tersenyum dan menggeleng kepala walaupun dia kagum akan semangat yang
demikian hebat dari puteri Raja Kin itu. “Hal itu tidak mungkin dilakukan, Pek Hong. Waktu ini, pengaruh
Chin Kui terhadap Kaisar amat besar dan dia dipercaya penuh sehingga kalau kita mengerahkan pasukan
dan membunuhnya, jelas kita akan dianggap sebagai pemberontak terhadap kerajaan. Hal ini bahkan
akan membuat keadaan menjadi semakin buruk dan merugikan bagi kita.”

Kwee Cun Ki yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, kini ikut merasa penasaran dan bertanya, “Wah,
kalau begitu, apa yang dapat kita lakukan, ayah?”

“Ya, apa yang harus kami lakukan sekarang, Kwee-twako?” tanya pula Han Si Tiong. Semua orang
memandang kepada Kwee Gi, menanti jawabannya karena semua orang bingung dan tidak tahu apa
yang harus mereka lakukan, kalau jalan jang diusulkan Pek Hong tadi sama sekali tidak boleh dilakukan.

Panglima Kwee mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian setelah berpikir sejenak, dia berkata. “Kupikir
sekaranglah saatnya yang tepat untuk bertindak. Aku sudah mengumpulkan semua rekan pejabat yang
sehaluan untuk menentang Chin Kui, dan semua panglima yang sehaluan sudah pula mempersiapkan
pasukan masing-masing untuk melawan kalau kalau Chin Kui mempergunakan kekerasan dan
mengerahkan pasukan yang mendukungnya.”

“Dan apa yang dapat kami berempat lakukan untuk membantu?” tanya pula Thian Liong.

“Dua hari lagi akan ada persidangan dan pada waktu mana para pejabat tinggi dan panglima datang
menghadap Kaisar. Selama dua hari ini, aku akan dapat mematangkan persiapan kami, akan kuajak
semua rekan untuk berunding. Kemudian, setelah saatnya menghadap Kaisar tiba, kalian berempat,
Han-siauwte dan isterimu, Thian Liong, dan Pek Hong ikut bersamaku menghadap Kaisar.”

“Heh?? Ini sama saja dengan menyerahkan diri! Liong-ko sedang diburu pemerintah, kalau dia ikut
menghadap Kaisar, bukankah itu berarti dia menyerahkan diri dan akan ditangkap?” seru Pek Hong
terkejut.

“Memang, dan menyerahkan diri itu menunjukkan bahwa Thian Liong bukan pengkhianat yang hendak
memberontak. Di depan Kaisar nanti aku yang akan menjelaskan persoalannya ketika dia membantu
Kaisar Kin menghadapi pemberontakan yang bersekutu dengan Chin Kui. Justru fitnah terhadap Thian
Liong itu akan kupergunakan untuk membongkar persekutuan Chin Kui dengan Pangeran Hiu Kit Bong
yang memberontak kepada Kaisar Kin. Dan semua rekan sehaluan yang hadir akan mendukung
laporanku kepada Kaisar.”

“Akan tetapi Perdana Menteri Chin Kui akan membantah dan memutar-balikkan fakta, dan di antara
para pejabat yang menghadap tentu banyak pula kaki tangannya yang akan mendukung semua
laporannya,” kata Liang Hong Yi.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 350

“Benar sekali, hal itu sudah kami perhitungkan.”

“Akan tetapi kalau Kaisar lebih mempercayai Chin Kui yang sudah menguasainya, tentu Kaisar akan
membenarkan perdana menteri itu dan Liong-ko akan ditangkap dan dihukum!” protes Pek Hong.

“Kami sudah memperhitungkan demikian. Kalau benar seperti yang kaukhawatirkan, Pek Hong, mungkin
Thian Liong dan engkau hanya akan ditahan dulu di penjara istana. Aku mengenal watak Kaisar.
Sesungguhnya beliau seorang bijaksana, hanya dipengaruhi Chin Kui. Kalau terjadi pertentangan
pendapat di antara para pejabat tinggi tentu dia tidak akan tergesa-gesa menghukum kalian, melainkan
menahan dulu untuk dipertimbangkan lagi dan diselidiki oleh Kaisar. Dan untuk sementara, ti dak ada
tempat yang lebih aman bagi kalian berdua, atau mungkin berempat dengan Han-siauwte dan isterinya
kalau omongan Chin Kui herhasil dipercaya Kaisar. Setidaknya di sana kalian tidak akan dikejar-kejar
lagi.”

“Akan tetapi, kalau kami dipenjara, tentu mudah bagi Chin Kui untuk membinasakan kami!” lagi-lagi Pek
Hong memprotes.

“Jangan khawatir, Pek Hong. Kami sudah memperhitungkan segala kemungkinan itu. Ketahuilah bahwa
kepala penjara istana adalah orang kita sendiri, sehaluan dengan kita, menentang Chin Kui. Maka kalau
kalian ditahan di dalam penjara istana, aku yakin kalian akan diperlakukan dengan baik dan keselamatan
kalian terjamin.”

“Lalu, kalau hal itu terjadi dan kami berempat ditahan dalam penjara, kemudian selanjutnya bagaimana,
Kwee-twako?” tanya Han Si Tiong.

“Aku berpendapat bahwa engkau dan isterimu tidak akan dapat difitnah Chin Kui, Hian-te. Kalian hanya
dimusuhi Chin Kui karena sebagai bekas bawahan mendiang Jenderal Gak Hui kalian dianggap
berbahaya. Akan tetapi kalian tidak dipersalahkan pemerintah, bahkan kalian sudah berjasa ketika
balatentara Sung melawan pasukan Kin di perbatasan. Kalian ikut kuhadirkan di depan Kaisar hanya
untuk menjadi saksi betapa Chin Kui berniat jahat, hendak membunuh kalian yang telah berjasa kepada
negara. Setelah, andaikata, benar-benar Thian Liong ditahan, tidak usah khawatir. Selain kepala penjara
istana merupakan orang kita sendiri, juga kami akan berusaha menyadarkan Kaisar dan siap bertindak
kalau Chin Kui mempergunakan kekerasan. Pendeknya, sekarang saatnya bagi kita untuk melakukan
perlawanan habis-habisan terhadap Perdana Menteri Chin Kui.”

“Baiklah, Paman Kwee. Saya siap paman bawa menghadap Kaisar!” kata Thian Liong penuh semangat.
Dia teringat akan pesan gurunya agar dia membela Kerajaan Sung dari pengaruh dan kekuasaan Perdana
Menteri Chin Kui.

“Akupun siap!” kata Pek Hong penuh semangat.

Empat orang yang dicari dam diburu kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui itu tinggal di ruangan rahasia
gedung Panglima Kwee sampai dua hari. Selama itu Kwee-ciangkun mengadakan persiapan yang matang
dengan para rekannya. Mereka semua mempersiapkan laporan dalam usaha mereka menjatuhkan
Perdana Menteri Chin Kui di depan Kaisar.

Ruangan persidangan dalam istana Kaisar Sung Kao Tsung itu luas sekali. Biarpun puluhan orang yang
menduduki jabatan tinggi dan merupakan orang-orang penting di Kerajaan Sung pada pagi hari itu

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 351

berdiri menanti munculnya Kaisar Sung Kao Tsung, namun ruangan itu masih tampak lega karena
ruangan itu akan mampu menampung ratusan orang! Para pejabat militer dan sipil sudah berdiri
menanti dan mereka tidak berani berisik, berdiri diam menanti dengan sabar. Di sekeliling ruangan itu
tampak para perajurit pengawal istana berjaga, ada dua losin pasukan tombak dan dua losin pasukan
golok. Sebagian besar berjaga di luar ruangan.

Panglima Kwee berdiri di depan dan di samping kirinya berdiri Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian
Liong, dan Sie Pek Hong. Pek Hong memandang ke kanan kiri, memperhatikan ruangan sidang itu,
agaknya membandingkan dengan ruangan sidang di istana ayahnya. Para pejabat tinggi yang menjadi
rekan Panglima Kwee, tidak merasa heran melihat kehadiran empat orang pengikut Panglima Kwee ini.
Akan tetapi mereka yang menjadi sekutu Perdana Menteri Chin Kui, memandang dengan curiga d an
mereka itu saling berbisik-bisik lirih.

Tak lama kemudian suara pelapor terdengar lantang memenuhi ruangan itu.

“Yang Mulia Kaisar telah tiba......!!”

Suara itu seolah merupakan komando karena semua orang yang berdiri di ruangan itu, menghadap
singasana, segera menjatuhkan diri berlutut dengan khidmat. Pek Kong juga ikut berlutut karena ia
sudah biasa dengan adegan macam ini. Hanya biasanya, ia berdiri di samping ayahnya, tidak ikut
menghadap dan berlutut seperti ini.

Rombongan kecil itupun melangkah perlahan, masuk ke ruangan dari pintu besar di samping singasana.
Kaisar Sung Kao Tsung berjalan perlahan dengan pakaian gemerlapan, sikapnya anggun dan dia
tersenyum melihat para pejabat berlutut. Di belakangnya berjalan seorang laki -laki berusia sekitar
enampuluh dua tahun, akan tetapi tampak jauh lebih tua daripada usianya. Wajahnya penuh keriput dan
rambutnya sudah putih semua. Aan tetapi pakaiannya mewah sekali, tidak kalah oleh pakaian yang
dikenakan kaisar dan dan pandang mata maupun senyum di wajahnya yang kurus itu tampak jelas
keangkuhannya dan kelicikannya.

Itulah Perdana Menteri Chin Kui yang seperti biasanya dalam persidangan, selalu menghadap Kaisar
lebih dulu dengan alasan memberi laporan lengkap lebih dulu sebelum kaisar dihadap semua pejab at
tinggi. Di belakang Perdana Menteri Chin Kui tampak beberapa orang thai -kam (orang kebiri atau sida-
sida) yang menjadi pelayan pribadi kaisar dan paling belakang berjalan selosin orang perajurit pengawal
pribadi kaisar. Begitu kaisar duduk di atas singasana, semua pejabat tinggi yang menghadap segera
berseru dengan suara berbareng.

“Ban-swe...... ban-ban-swe......! (Panjang umur selaksa tahun!)''

Kaisar Sung Kao Tsung memberi isyarat dengan tangan kanannya, dan seorang thai -kam pelayan pribadi
yang bertugas mengumumkan isyarat kaisar lalu berseru lantang.

“Para pejabat dipersilakan duduk!”

Dalam persidangan umum, Para pejabat tetap berdiri, akan tetapi kalau yang bersidang itu para pejabat
tinggi, maka disediakan tempat duduk untuk mereka. Peraturan ini ditentukan kaisar mengingat bahwa
dalam persidangan para pembantu utamanya itu terkadang makan waktu lama sehingga mereka akan
kelelahan kalau harus berdiri terus.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 352

Para penghadap itu lalu mengambil tempat duduk masing-masing, dan tempat duduk mereka itu sudah
ditentukan. Maka, Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian Liong, dan Sie Pek Hong tentu saja tidak
kebagian tempat duduk dan mereka lalu berlutut di dekat tempat duduk Panglima Kwee. Karena semua
orang duduk dan hanya empat orang itu berlutut, maka mereka menjadi pusat perhatian.

Baru sekarang Perdana Menteri Chin Kui melihat mereka. Dia tidak mengenal Souw Thian Liong dan Sie
Pek Hong, akan tetapi dia mengenal Han Si Tiong dan isterinya, walaupun bekas perwira itu kini
memelihara kumis dan jenggot.

Tentu saja perdana menteri itu terkejut dan marah bukan main, juga heran, akan tetapi dia tidak berani
membuat ribut di situ karena yang memusuhi suami isteri itu adalah dia sendiri, dan kaisar bahkan tidak
tahu tentang suami isteri bekas pembantu mendiang Jenderal Gak Hui itu.

Kaisar Sung Kao Tsung juga segera melihat empat orang yang berlutut itu maka diapun merasa heran.
Melihat betapa empat orang yang berlutut dekat dengan Kwee Gi, maka kaisar lalu bertanya kepadanya.

“Kwee-ciangkun, siapa empat orang yang berlutut itu?”

“Ampunkan hamba, Sri Baginda Yang Mulia, hamba telah berani menghadapkan mereka berempat
kepada paduka di luar perintah paduka. Suami isteri ini adalah Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang pada
duabelas tahun yang lalu pernah menjadi pimpinan Pasukan Halilintar yang telah berjasa memerangi
balatentara Kin di perbatasan.”

Kaisar Sung Kao Tsung mengangguk-angguk dan tersenyum. “Hemm, rasanya pernah kami mendengar
tentang pasukan Halilintar yang gagah berani itu. Dan dua orang muda ini , siapakah mereka?”

“Sri Baginda Yang Mulia, pemuda dan gadis ini bernama Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong......”

“Wah, celaka!” tiba-tiba Perdana Menteri Chin Kui memotong. “Sri Baginda, pemuda inilah pengkhianat
itu, antek Kerajaan Kin yang sudah hamba laporkan kepada paduka. Inilah orang buruan kita, berani
benar memasuki ruangan ini, tentu berniat jahat terhadap paduka. Pengawal, tangkap pemuda itu!”
Kwee-ciang-kun cepat berlutut dan berkata, “Ampun Yang Mulia, hamba yang menanggung bahwa Souw
Thian Liong tidak akan berbuat jahat di sini.”

“Wah, ini jelas komplotan!” Chin Kui berteriak-teriak. “Yang Mulia, mohon paduka berhati-hati, agaknya
Kwee-ciangkun sudah bersekongkol dengan pengkhianat ini dan dengan suami isteri bekas anak buah
Jenderal Gak Hui, tentu dengan niat untuk menjatuhkan Paduka dan merebut kedudukan mahkota
raja!” Chin Kui menudingkan tangannya kepada Kwee Gi dan empat orang yang berlutut. “Para
pengawal cepat tangkap lima orang itu sebelum mereka menyerang Sri Baginda!”

Akan tetapi pada saat itu, lima orang panglima dan lima orang pembesar sipil turun dari kursi mereka
dan maju lalu berlutut menghadap kaisar.

“Sri Baginda Yang Mulia,” kata seorang pembesar sipil, Menteri Kebudayaan, yang sudah tua dan
dihormati kaisar, berkata mewakili sembilan orang rekannya. “Hamba para abdi setia paduka
bertanggung jawab kalau Kwee-ciangkun mempunyai niat jahat atau memberontak. Mohon paduka sudi
mendengarkan dulu semua penjelasan sebelum menjatuhkan perintah menangkap mereka. Hamba

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 353

semua hanya merupakan abdi paduka yang setia dan yang selalu menjaga keselamatan paduka dan
Kerajaan Sung.”

“Wah, ini pengkhianatan besar! Mereka semua merupakan persekutuan pemberontak! Sri Baginda,
sebelum terlambat, mereka harus ditangkap dari dihukum gantung!” teri ak Perdana Menteri Chin Kui.

Akan tetapi Kaisar Sung Kao Tsu, biarpun amat percaya dan sudah berada dalam pengaruh perdana
menterinya yang dia anggap amat setia dan pandai, meragukan ucapan itu sekali ini.

“Kami kira mereka tidak akan memberontak. Bukan begini sikap orang-orang yang hendak
memberontak. Biar kami memeriksa mereka.”

Mendengar ucapan kaisar, itu, Kwee-ciangkun dan rekan-rekannya tampak bergembira, akan tetapi
Perdana Menteri Chin Kui mengerutkan alisnya dan wajahnya tampak muram dan penasaran sekali.
Akan tetapi dia tidak takut karena merasa betapa kaisar tentu lebih percaya kepadanya daripada kepada
yang lain, apa lagi mengingat betapa kuat kedudukannya.

Kaisar Sung Kao Tsu memandang Thian Liong dengan tajam lalu berkata, suaranya membentak. “Hei,
orang muda. Kami mendengar bahwa engkau telah berkhianat kepada Kerajaan Sung dengan membantu
Kerajaan Kin. Kamu menjadi mata-mata Kerajaan Kin untuk menyelidiki kerajaan kami, benarkah itu?”

Souw Thian Liong menjawab dengan hormat. “Berita itu hanya fitnah, Sri Baginda Yang Mulia. Hamba
memang berada di utara, daerah Kerajaan Kin, dalam perjalanan hamba mencari seorang maling yang
mencuri sebuah kitab pusaka dari hamba. Di sana hamba melihat usaha pemberontakan terhadap Kaisar
Kin. Pemberontaknya adalah Pangeran Hiu Kit Bong dan melihat ini hamba lalu membantu Kaisar Kin
untuk menghancurkan pemberontak. Hamba memang telah membantu Kaisar Kerajaan Kin, akan tetapi
bantuan itu hanya untuk melawan pemberontakan di sana. Sama sekali hamba tidak menjad i kaki
tangan Kerajaan Kin, apalagi untuk menjadi mata mata di sini.”

“Dia bohong, Sri Baginda! Hamba mendengar jelas bahwa Souw Thian Liong ini telah menjadi kaki
tangan Kerajaan Kin, bahkan hamba mendengar keterangan dari penyelidik hamba bahwa Souw Thi an
Liong bergaul akrab dengan puteri Kaisar Kin!”

“Hei, Perdana Menteri Chin Kui! Siapa penyelidikmu itu? Tentu dia bernama Cia Song, penjahat busuk
itu, bukan? Cia Song itu utusanmu dalam persekutuanmu dengan pemberontak Pangeran Hiu Kit Bong,
bukan?” Pek Hong berteriak.

“Perempuan jahat! Jaga mulut busukmu! Sri Baginda, perempuan ini telah menghina hamba, berarti
merendahkan paduka. Berani ia berteriak-teriak di depan paduka. Tentu ia ini jahat sekali dan tentu dia
tokoh di utara yang menjadi mata-mata, teman baik pengkhianat Souw Thian Liong.”

Kaisar Sung Kao Tsu mengerutkan alisnya. Sudah biasa dia mempercaya semua omongan perdana
menterinya, dan diapun merasa agak tersinggung dan tidak senang melihat sikap Pek Hong yang begitu
berani seolah tidak perduli bahwa ia sedang berada di tengah persidangan dalam istana, bukan dalam
pasar atau di jalan umuml Akan tetapi kaisar itu juga terkejut mendengar ucapan gadis itu yang
menuduh Perdana Menteri Chin Kui bersekongkol dengan Pangeran Hiu Kit Bong yang membe rontak
terhadap Kaisar Kin.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 354

“Sri Baginda Yang Mulia, apakah paduka lebih percaya obrolan kosong gadis berlidah utara ini, mata-
mata Kin ini, daripada keterangan hamba yang selalu setia kepada paduka? Hamba bersumpah tidak
pernah berhubungan dengan pangeran manapun juga dari kerajaan Kin, apalagi dengan pemberontak.
Untuk apa hamba bersekutu dengan pemberontak? Apa keuntungan hamba? Harap paduka memberi
hukuman kepada perempuan yang menjatuhkan fitnah dan amat jahat ini, juga kepada Souw Thian
Liong ini!”

Melihat kaisar bimbang, Panglima Kwee cepat berkata, “Mohon ampun Sri Baginda Yang Mulia. Kalau
memang kedua orang muda ini mempunyai niat jahat, untuk apa mereka berdua berani datang
menghadap paduka? Hamba yang bertanggung jawab. Harap paduka suka mempertimbangkan dan
tidak tergesa gesa menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang tidak berdosa. Kalau paduka masih
meragukan kebersihan Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, hamba usulkan agar mereka berdua ini
untuk sementara ditahan dulu dalam penjara istana, kemudian paduka selidiki siapa yang bersalah dan
siapa yang benar, baru paduka menjatuhkan keputusan hukuman kepada yang bersalah. Harap paduka
ampunkan hamba yang berani mengajukan saran, akan tetapi semua ini hamba lakukan demi
mempertahankan kebijaksanaan dan keadilan paduka.”

Menteri Kebudayaan Pui yang tua itu mewakili teman-temannya yang kesemuanya masih berlutut
bersama Panglima Kwee segera berkata, “Hamba semua abdi paduka yang setia mendukung saran dari
Kwee-ciangkun, Yang Mulia.”

“Wah, kalian semua pengkhianat dan pemberontak! Berani sekali kalian bersikap kurang ajar kepada Sri
Baginda Yang Mulia? Sejak kapan pejabat-pejabat macam kalian boleh memberi perintah kepada Sri
Baginda Yang Mulia? Ini penghinaan namanya! Aku akan membasmi para pengkhianat dan
pemberontak! Para pengawal, tangkap mereka para pengkhianat ini!” Perdana Menteri Chin Kui
berteriak-teriak dengan marah sekali, kemarahan yang timbul dari rasa gelisah melihat betapa orang-
orang itu berani hendak membongkar rahasia dan kesalahannya di depan Sri Baginda Kaisar.

Sebagian dari para perajurit pengawal itu ada yang telah dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui dan
menerima sogokan, akan tetapi karena Kaisar tidak memberi tanda untuk bergerak menangkap, tentu
saja mereka tidak berani bergerak, menanti tanda dari Kaisar.

“Hentikan semua perdebatan ini! Memusingkan kami saja!” kata Kaisar Sung Kao Tsu sambil
mengerutkan alisnya. “Pengawal, tangkap Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong ini dan tahan mereka
dalam penjara! Kami akan mengambil keputusan kelak!”

Empat orang pengawal memberi hormat, lalu mereka maju menghampiri Souw Thian Liong dan Sie Pek
Hong dan dengan tertib mereka berempat menyuruh kedua orang muda itu berdiri dan mengawal
mereka berdua keluar dari ruangan itu. Karena memang sebelumnya sudah direncanakan oleh Kwee-
ciangkun, maka Thian Liong dan Pek Hong tenang-tenang saja ketika dikawal menuju ke penjara istana
yang terletak di bagian belakang bangunan istana yang luas itu. Bahkan ketika meninggalkan ruangan
itu, Pek Hong cengingisan, senyum-senyum dan ketika melihat Perdana Menteri Chin Kui memandang
kepadanya, ia melotot dan menjulurkan lidahnya kepada perdana menteri itu. Chin Kui yang merasa
diejek di depan para pejabat tinggi, sukar sekali menahan kemarahannya dan dia mengaman gkan
tinjunya ke arah Pek Hong yang dibalas oleh gadis ini dengan meruncingkan bibirnya ke arah Chin Kui.

Semua orang melihat hal ini dan diam diam mereka heran akan keberanian gadis itu. Hanya Kwee Gi,
Han Si Tiong, dan Liang Hong Yi saja yang tidak merasa heran karena mereka maklum bahwa gadis itu

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 355

adalah puteri Kaisar Kin, tentu saja tidak merasa rendah diri atau takut menghadap semua penghuni
istana termasuk kaisarnya sendiri!

Biarpun belum ada keputusan hukuman Kaisar, namun hati Chin Kui sudah merasa lega bahwa dua
orang itu telah ditahan dalam penjara. Untuk sementara dia aman dan bukan merupakan pekerjaan
sukar baginya untuk membunuh dua orang muda berbahaya itu setelah mereka berada dalam penjara.

Kini Kaisar Sung Kao Tsu memandang kepada Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, lalu bertanya. “Kalian
suami isteri yang dulu menjadi pimpinan Pasukan Halilintar, kami ingat bahwa setelah perang berhenti,
kalian mengundurkan diri dari jabatan. Sekarang apa kehendak kalian, berani ikut Kwee -ciangkun
menghadap dalam persidangan ini tanpa kami panggil?”

“Ampunkan hamba berdua, Sri Baginda Yang Mulia. Duabelas tahun yang lalu, hamba berdua
mengundurkan diri karena hamba berdua hendak mencari puteri hamba yang diculik orang. Kemudian,
karena merasa rindu kepada para sahabat hamba di kota raja, hamba berdua kembali ke sini untuk
berkunjung kepada para sahabat, terutama kepada Kwee-ciangkun yang sudah hamba anggap sebagai
saudara sendiri. Akan tetapi dalam perjalanan, tiba-tiba saja hamba berdua diserang hendak dibunuh
oleh tiga orang jagoan yang diutus oleh Perdana Menteri Chin Kui. Hamba berdua tidak melakukan
kesalahan apapun terhadap dia, akan tetapi kemudian hamba mengetahui bahwa Perdana Menteri Chin
Kui memang hendak membasmi semua orang yang pernah berjuang membela negara di bawah
pimpinan mendiang Jenderal Gak Hui.”

“Bohong, itu fitnah! Sri Baginda, harap jangan percaya fitnah itu. Hei, orang she Han, apa buktinya
bahwa aku menyuruh orang untuk membunuh kalian? Mana buktinya? Hayo tunjukkan buktinya, jangan
bicara bohong dan menyebar fitnah!” bentak Chin Kui.

“Buktinya memang tidak ada, akan tetapi saksinya banyak. Pertama, saksinya adalah Souw Thian Liong
dan Sie Pek Hong tadi karena dua orang muda itulah yang menyelamatkan kami berdua dan membuat
para pembunuh melarikan diri. Kemudian, ada lagi saksinya, yaitu Kwee-ciangkun yang bertemu dengan
tiga orang pembunuh itu, yang bukan lain adalah Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo ko, jagoan-jagoan yang
engkau kirim untuk membunuh kami!” kata Liang Hong Yi dengan berani.

“Bohong! Semua saksi itu adalah komplotan kalian yang sengaja mengatur muslihat untuk menjatuhkan
aku! Sri Baginda Yang Mulia, Han Si Tiong dan isterinya ini adalah dua orang yang jahat sekali. Paduka
tentu sudah mendengar bahwa Jenderal Ciang Sun Bo dan puteranya, Ciang Ban, telah dibunuh orang.
Paduka tahu siapa yang membunuh mereka? Bukan lain pembunuhnya adalah seorang gadis bernama
Han Bi Lan, puteri dari suami isteri jahat ini!”

Kaisar Sung Kao Tsu terkejut juga mendengar ucapan Perdana Menteri Chin Kui ini. Dia memandang
kepada suami isteri itu dan bertanya, “Han Si Tiong, benarkah puterimu membunuh Jenderal Ciang dan
puteranya?”

“Benar, Yang Mulia. Jenderal Ciang dan puteranya menipu puteri hamba. Mereka menjamu dan
meracuni puteri hamba, maka puteri hamba lalu membunuh mereka yang jahat itu,” jawab Han Si Tiong
dengan tenang.

“Nah, laporan hamba benar, Sri Baginda. Kalau puterinya pembunuh kejam, orang tuanya tentu bukan
orang baik baik dan mereka berdua ini harus dihukum!” teriak Perdana Menteri Chin Kui.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 356

Kaisar Sung Kao Tsu benar-benar menjadi bingung dan pusing. Baru sekali ini dalam persidangan terjadi
perbantahan dan percekcokan saling tuduh seperti itu.

“Ampun, Sri Baginda Yang Mulia. Hamba menjadi penanggung jawab akan kebenaran keterangan Han Si
Tiong. Mendiang Jenderal Ciang Sun Bo adalah anak buah Perdana Menteri Chin Kui, maka dia hendak
mencelakai puteri Han Si Tiong itu. Mohon kebijaksanaan paduka untuk menyelidiki kebenaran laporan
hamba ini,” kata Panglima Kwee dan sepuluh orang pe jabat tinggi itupun mengeluarkan pendapat
mereka melalui Menteri Kebudayaan Pui.

“Hamba semua mendukung kebenaran laporan Panglima Kwee Gi!”

Kaisar dengan pusing mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa semua orang harus diam, kemudian dia
berkata. “Kami akan menyelidiki siapa yang bersalah dan siapa yang benar dalam hal ini. Untuk
sementara, Han Si Tiong dan isterinya ditahan seperti dua orang muda tadi. Pengawal, tahan Han Si
Tiong dan Liang Hong Yi ke dalam penjara, pisahkan dari dua orang muda tadi!”

Empat orang pengawal maju dan suami isteri itu lalu digiring keluar dari ruangan itu menuju ke penjara
istana. Setelah Han Si Tiong dan Liang Hong Yi dibawa pergi para pengawal, mulailah para pejabat tinggi,
dipimpin oleh Panglima Kwee Gi, berganti-ganti dan bersambungan, membuat pelaporan kepada Sri
Baginda. Semua memberi laporan yang membongkar keburukan Perdana Menteri Chin Kui, ada yang
melaporkan tentang penindasan Chin Kui dan kaki tangannya terhadap rakyat jelata dengan tindakan
yang sewenang-wenang, pemerasan melalui pajak yang berlebihan, sogok menyogok, dan berbagai
korupsi. Semua laporan itu membongkar kenyataan yang sangat jauh bedanya dengan laporan Chin Kui
kepada Kaisar yang selalu baik-baik saja. Kwee-ciangkun sendiri melaporkan betapa kehidupan Chin Kui
amat berlebihan, istananya bahkan lebih mewah daripada istana kaisar sendiri, kekayaannya amat besar
dan semua itu adalah hasil korupsi dan pemerasan terhadap rakyat.

Tentu saja Perdana Menteri Chin Kui dengan kemarahan meluap-luap berteriak-teriak menyangkal
semua tuduhan itu.

“Sri Baginda Yang Mulia. Mereka semua ini, Kwee Gi dan konco-konconya, adalah orang-orang yang
tidak senang dengan kekuasaan paduka sebagai raja! Mereka tidak berani terang-terangan menyerang
paduka, maka mereka alihkan kepada hamba yang merupakan abdi paling setia dari paduka. Mereka
sengaja menjatuhkan fitnah-fitnah keji untuk mengadu domba antara paduka dengan hamba, semua itu
ditujukan untuk melemahkan kedudukan paduka. Kalau muslihat mereka berhasil menjatuhkan hamba,
barulah tiba giliran paduka karena hamba sudah tidak ada lagi untuk membela paduka. Mereka ini jelas
bermaksud untuk memberontak dan menggulingkan kekuasaan paduka, Sri Baginda!” Setelah Perdana
Menteri Chin Kui berteriak demikian, para sekutunya juga mendukung dan membenarkannya.

Sebaliknya, Kwee-ciangkun dan sepuluh orang rekannya membantah. Terjadi perbantahan dan masing-
masing bahkan sudah menjadi panas dan hampir terjadi perkelahian di depan Kaisar!

Kaisar Sung Kao Tsu bangkit berdiri, memegangi kepala dengan kedua tangan dan membentak. “Semua
diam! Apakah kalian semua sudah tidak menganggap aku sebagai junjungan kalian lagi? Di dalam
persidangan, di depanku, kalian berani membikin ribut seperti dalam pasar!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 357

Semua pejabat lalu menjatuhkan diri berlutut dan hampir berbareng mulut mereka, baik pihak Perdana
Menteri Chin Kui dan sekutunya, maupun pihak Kwee-ciangkun dan rekan-rekannya, berseru memohon
ampun kepada Sri Baginda Kaisar.

“Sudah, aku sudah cukup pusing! Persidangan ditunda sampai satu minggu, baru aku akan mengambil
keputusan!”

Setelah berkata demikian, Kaisar Sung Kao Tsung dengan kasar lalu bangkit dan melangkah keluar dari
ruangan sidang itu, diikuti para thaikam dan pengawal pribadi. Agaknya kaisar memerintahkan dari
sebelah dalam kepada para perwira pengawal pribadi karena setelah kaisar pergi, tak lama kemudian
semua perajurit pengawal berkumpul di ruangan sidang itu, melakukan penjagaan kalau -kalau para
pejabat tinggi itu membuat ribut lagi.

Kwee-ciangkun dan sepuluh orang rekannya cepat meninggalkan istana, demikian pula Perdana Menteri
Chin Kui keluar bersama kelompoknya yang terdiri dari beberapa panglima dan menteri, berjumlah
sekitar lima belas orang. Para pejabat lainnya yang tidak memihak, akan tetapi sebagaian besar adalah
pejabat yang setia kepada kaisar, juga bubaran.

Kedua pihak yang bertentangan itu masing-masing berunding dengan kelompoknya. Pihak yang
menentang Chin Kui, dipimpin Kwee-ciangkun, segera membuat persiapan dengan pasukan mereka,
berjaga-jaga kalau pihak lawan menggunakan kekerasan. Adapun Chin Kui yang penasaran dan marah
sekali, kemarahannya yang timbul dari kekhawatiran, segera berunding pula dengan sekutunya. Mereka
semua merasa terancam. Kalau para penentang itu berhasil, berarti kedudukan mereka goyah dan
penghasilan besar yang mengalir masuk secara berlimpahan ke kantung mereka tentu saja akan
berhenti atau terganggu. Tak seorangpun di antara mereka rela kehilangan kedudukan mereka yang
tinggi.

Kedudukan atau jabatan tinggi berarti kekuasaan, dan kekuasaan berarti melancarkan mengalirnya harta
yang memasuki kantung mereka. Kemuliaan, kemewahan, dan kekuasaan yang membuat mereka selalu
menang selalu benar itu menjadi sebab utama kemelekatan pinggul mereka kepada kursi kedudukan
sehingga mereka akan mempertahankan kursi kedudukan itu dengan cara apapun juga, kalau perlu
dengan kekerasan, bahkan dengan taruhan nyawa sekalipun!

Setelah berunding semalam suntuk, Chin Kui mengumpulkan saran-saran dari para sekutunya, kemudian
dia mengambil keputusan dengan suara tegas.

“Kita semua mengetahui bahwa kedudukan kita terancam bahaya dengan adanya tuduhan dari Souw
Thian Liong dan Sie Pek Hong, juga dari Han Si Tiong dan isterinya. Celakalah kita kalau sampai Kaisar
mendapat bukti akan keterlibatan kita dengan pemberontakan di Kerajaan Kin. Semua ini karena
keteledoran Cia Song sehingga mereka sampai mengetahui bahwa aku mengirim Cia Song ke utara.
Karena itu, jalan satu satunya untuk menyelamatkan diri adalah membunuh empat orang tahanan itu.
Setelah mereka berada dalam tahanan, tidak begitu sukar untuk membunuh mereka. Dan engkau, Cia
Song, engkau harus menebus keteledoranmu di utara itu. Engkau yang harus melakukan pembunuhan
terhadap mereka berempat. Engkau boleh membawa bantuan dan jangan sampai tugas itu gagal!”

Cia Song yang memang telah merasa betapa dia yang menyebabkan perdana menteri itu diketahui
mengadakan persekutuan dengan Pangeran Hiu Kit Bong yang mengadakan pemberontakan di Kerajaan
Kin, hanya dapat mengangguk menyanggupi.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 358

“Akan tetapi apa artinya kalau hanya membunuh empat orang itu saja? Tentu Kaisar sudah kehilangan
kepercayaan kepada anda, Chin-taijin (pembesar Chin)!” kata seorang panglima yang bertubuh tinggi
besar bermuka hitam.

“Anda benar, Lo-ciangkun. Sebagaimana diusulkan oleh beberapa orang saudara tadi, sekali ini kita tidak
boleh bekerja kepalang tanggung. Selain menugaskan Cia Song untuk membunuh empat orang tahanan
yang berbahaya bagiku itu, kita juga harus pada malam itu juga membunuh kaisar. Kalau usaha itu
berhasil baik, kita harus menggunakan pasukan yang telah dipersiapkan untuk menyerbu dan
menduduki istana. Kalau kaisar sudah tewas, tentu mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi
kalau usaha membunuh kaisar gagal kita harus bersabar, tidak boleh menyerbu istana dan mencari jalan
dan kesempatan lain yang lebih menguntungkan. Bagaimanapun juga, kurasa kaisar masih menaruh
kepercayaan kepadaku karena semua yang dituduhkan gerombolan pengacau itu belum dapat
dibuktikan.”

Setelah berunding dengan matang, para pemberontak ini bubaran untuk mempersiapkan diri dengan
tugas masing masing. Cia Song juga membuat persiapan. Karena dia ketahuan sebagai penghubung Chin
Kui dengan pemberontak di Kerajaan Kin dan perdana menteri itu menyangkal, maka dia tidak boleh
memperlihatkan diri kepada umum dan diharuskan bersembunyi di dalam ruangan rahasia dalam istana
Perdana Menteri Chin Kui.

Cia Song mengajak empat orang kaki tangan Chin Kui yang telah diselundupkan dan menjadi perajurit
dalam pasukan pengawal istana untuk menemaninya melaksanakan tugas pembunuhan terhadap empat
orang tahanan itu. Dia tidak mau mengajak jagoan-jagoan yang berada di rumah Chin Kui karena
kemungkinan ketahuan lebih besar. Kalau mengajak empat orang itu, tentu akan mudah menyusup ke
dalam penjara istana dan dia dapat menyamar sebagai seorang dari mereka.

Sementara itu, Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko yang ditugaskan untuk melakukan pembunuhan
terhadap kaisar! Tiga orang ini memang merupakan jagoan jagoan kepercayaan Chin Kui dan ilmu
kepandaian mereka cukup tinggi sehingga perdana menteri itu menganggap bahwa mereka cukup kuat
untuk melakukan tugas itu dengan berhasil baik.

Perdana Menteri Chin Kui adalah seorang yang licik dan cerdik sekali. Dia selalu mendahulukan
kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam setiap tugas yang diberikan kepada
kaki tangannya, dia selalu menjaga agar kalau tugas itu gagal, jangan sampai namanya tersangkut. Oleh
karena itu, ketika memberi tugas kepada Cia Song untuk membunuh empat orang tawanan di dalam
penjara istana, juga memberi tugas kepada Hwa Hwa Cin-jin dan kedua Siang Mo-ko untuk membunuh
kaisar dalam istana, diam-diam dia menugaskan orang-orangnya yang telah ditanam di istana sebagai
pengawal-pengawal, untuk membayangi mereka yang bertugas itu.

Dua orang diharuskan membayangi Cia Song dan dua orang pula membayangi Hwa Hwa Cin -jin dan
Siang Mo-ko dengan pesan bahwa kalau sampai para petugas itu gagal dan tidak mampu lolos dari
dalam istana, maka para petugas itu harus dibunuhnya. Tidak boleh sekal i-sekali ada yang tertangkap
sehingga akan mengaku bahwa mereka disuruh oleh Chin Kui!

Malam kedua setelah persidangan dalam istana yang kacau dan penuh perdebatan dan percekcokan
sehingga membuat kaisar menjadi pusing dan marah itu adalah malam yang sepi , gelap dan dingin.
Hujan baru saja berhenti setelah turun lebat sejak sore. Di luar rumah basah semua dan udara menjadi

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 359

bersih namun dingin bukan main sehingga orang orang segan keluar rumah dan membuat malam itu
terasa sepi. Dalam cuaca seperti itu, yang paling nyaman adalah tidur.

Di kompleks bangunan istana juga tampak sepi. Para penjaga yang merupakan pengawal istana bagian
luar berjaga di gardu masing-masing dan agak malas melakukan perondaan di malam yang dingin itu.
Pula, selama ini tidak pernah terjadi sesuatu di istana. Tidak mungkin ada pencuri berani memasuki
kompleks istana yang terjaga oleh tiga lapis pasukan. Pertama, pasukan pengawal luar istana, lalu ada
pasukan pengawal dalam istana dan pasukan pengawal keluarga kaisar. Masih ada lagi pasu kan
pengawal bagian keluarga wanita istana dan para perajurit di sini adalah para thai -kam (sida-sida,
kebiri).

Cia Song yang menyamar, berpakaian sebagai perajurit pengawal bagian dalam, bersama empat orang
perajurit pengawal yang menjadi kaki tangan Chin Kui, berhasil masuk dengan mudah. Dia lalu bersama
empat perajurit itu melakukan perondaan.

Sementara itu, Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko, yaitu Bu-tek Mo-ko dan Bu-eng Mo-ko, masuk secara
menggelap. Mereka sudah mendapat keterangan lengkap tentang jal an masuk ke taman istana melalui
pintu kecil di bagian belakang, setelah mereka dapat melewati pintu gerbang benteng istana yang dijaga
oleh para perajurit kaki tangan Chin Kui yang memang dipersiapkan malam itu bertugas jaga di situ.

Malam yang gelap dan sunyi amat membantu calon-calon pembunuh itu. Dengan mudah mereka dapat
mendekati sasaran masing-masing. Dengan jalan meronda, Cia Song dan empat orang perajurit
pengawal itu akhirnya mengambil jalan menuju ke belakang di mana terdapat sebuah bangunan yan g
menjadi tempat tahanan istana yang penting.

Tepat seperti yang dikatakan Panglima Kwee, empat orang yang ditahan di penjara istana itu mendapat
perlakuan baik sekali dari kepala penjara itu yang mendukung perjuangan Panglima Kwee dan rekan -
rekannya dalam menentang Perdana Menteri Chin Kui. Kepada anak buahnya kepala penjara itu
memperingatkan.

“Para tahanan ini adalah orang-orang gagah, pendekar-pendekar dan mereka hanya ditahan selama
urusan mereka masih dipertimbangkan oleh Sri Baginda Kaisar. Mereka belum dinyatakan bersalah,
belum dihukum. Maka kalau kalian memperlakukan mereka berempat secara kasar, aku tidak akan
mengampuni kalian karena tentu Sri Baginda akan menyalahkan aku. Aku yang bertanggung jawab di
sini. Mengerti?”

Tentu saja para anak buahnya takut untuk membantah. Bagaimanapun juga, ucapan kepala penjara itu
benar. Oleh karena itu, Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian Liong, dan Sie Pek Hong diperlakukan
dengan baik. Memang, kamar tahanan mereka itu kokoh sekali, terbuat dari baja tebal dengan jeruji
yang kokoh dan tidak mungkin dipatahkan begitu saja. Akan tetapi mereka diperlakukan dengan baik,
tidak ada yang berani mengejek atau menghina dan mereka tidak kekurangan makanan dan minuman.

Thian Liong dan Pek Hong berada dalam satu kamar tahanan dan Han Si Tiong berdua dengan isterinya.

Thian Liong merasa rikuh juga berada dalam satu kamar dengan Pek Hong. Akan tetapi gadis itu bersikap
biasa. Juga dalam setiap kamar terdapat dua bangku batu sebagai tempat tidur dan setiap kamar
dilengkapi dengan kamar mandi dan kakus lengkap. Biarpun para penjaga bersikap baik, namun para

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 360

tahanan itu tetap waspada dan di waktu malam, tidur merekapun tidak pulas benar. Sedikit suara saja
cukup membangunkan mereka.

Pada malam kedua yang sepi dan dingin itu, Thian Liong duduk di atas pembaringan batu, bersila dan
menenangkan hati dan pikiran, mengumpulkan hawa murni agar dia dapat selalu siap menghadapi
segala kemungkinan, baik ataupun buruk. Tiba-tiba dia mendengar Pek Hong bersenandung. Lirih saja,
akan tetapi suaranya merdu dan lagunya terdengar asing, akan tetapi indah. Thian Liong membuka mata
dan memandang.

Gadis itu duduk di atas pembaringan batunya yang berada di dekat dinding seberang, kedua kakinya
digantung dan wajahnya tampak tenang saja. Diam-diam dia merasa kagum. Gadis ini memang luar
biasa. Menjadi tahanan, dikeram dalam kamar penjara, sama sekali tidak tampak sedih atau khawatir,
malah bersenandung, seperti orang yang sedang santai dan gembira. Padahal, ia itu seorang puteri yang
biasa hidup di dalam istana yang indah dan mewah! Akan tetapi, Thian Liong segera teringat bahwa
Puteri Moguhai ini juga Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita yang tentu saja biasa merantau dan
hidup dalam keadaan seadanya, bahkan tentu pernah kekurangan makan dan tidur di mana saja,
mungkin di dalam hutan. Maka hilanglah rasa herannya walaupun dia tetap saja masih merasa kagum.

“Hong-moi kenapa engkau begini gembira?” tanya Thian Liong.

Gadis itu memandang kepadanya dengan senyum manis sekali. “Habis, apakah en gkau lebih suka
melihat aku menangis, Liong-ko?”

Mau tak mau Thian Liong tersenyum juga. 'Tentu saja tidak, Hong-moi. Akan tetapi aku merasa kagum
akan ketenanganmu, dalam keadaan terancam begini engkau masih dapat bersenandung dan
tersenyum!”

“Karena aku yakin bahwa keadaan ini pasti tidak akan selamanya dan hanya sementara saja.”

“Engkau yakin bahwa perjuangan Paman Kwee dan rekan-rekannya akan berhasil? Kulihat Chin Kui itu
benar-benar telah mempengaruhi Kaisar.”

“Aku percaya kepada Paman Kwee, akan tetapi bukan kepadanya dan para rekannya saja. Akupun yakin
bahwa ayahku tidak akan diam saja membiarkan aku terancam bahaya, Liong-ko.”

“Eh? maksudmu?”

“Ayah percaya akan kemampuanku, akan tetapi dia juga amat sayang kepadaku. Mengingat bahwa aku
pergi ke selatan, ke wilayah Kerajaan Sung, aku yakin bahwa ayah tentu tidak akan melepaskan aku
begitu saja dan diam-diam tentu mengirim orang-orang untuk mengawasi dan menjagaku sehingga
kalau aku mendapatkan kesulitan mereka akan dapat menolongku.”

“Hemm, kau pikir begitukah, Hong moi?”

“Bukan itu saja Liong-ko. Kau ingat ketika kita terancam bahaya sewaktu kita tertawan kaki tangan
pemberontak di utara itu? Paman Sie menolong kita......”

“Maksudmu, suhu Tiong Lee Cin-jin?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 361

“Bukan, maksudku Paman Sie, sahabat ibuku dan juga guruku! Aku yakin dia tidak akan membiarkan aku
celaka.”

Ucapan itu dikeluarkan dengan suara demikian penuh keyakinan sehingga Thian Liong terpengaruh dan
percaya juga. Diapun percaya bahwa gurunya adalah seorang sakti yang dapat melakukan hal hal yang
luar biasa. Dia tidak mau berdebat dengan Pek Hong tentang siapa penolong mereka dahulu itu, apakah
gurunya Tiong Lee Cin-jin ataukah paman gadis itu yang disebut Paman Sie, ataukah keduanya itu
memang sama orangnya. Maka, diapun diam saja tidak mau membantah dan keduanya kini duduk diam,
seolah tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Karena keduanya diam, maka terasa sunyi sekali.

Hawa dingin menembus dinding tebal dan menyusup ke dalam kamar tahanan itu. Thian Liong
memandang gadis itu. Gadis yang begitu cantik jelita, begitu lihai dan juga gagah perkasa dan
pemberani, seorang puteri kaisar lagi! Dan sekarang, gadis itu meringkuk dalam kamar tahanan duduk di
tempat tidur batu yang dingin! Semua ini karena gadis itu hendak membantunya un tuk membela
Kerajaan Sung menentang Chin Kui!

“Hong-moi, maafkan aku. Aku menyesal sekali, Hong-moi.” Setelah menghela napas berulang-ulang,
Thian Liong berkata lirih.

Gadis yang tadinya menundukkan mukanya itu, kini mengangkat muka memandang. “Apa maksudmu,
Liong-ko? Maaf? Menyesal?”

“Ya, aku merasa menyesal sekali dan minta maaf padamu karena sekarang engkau menderita dan
terancam bahaya hanya karena aku! Kalau engkau tidak ikut dan membantuku, tentu engkau sekarang
berada di kamarmu sendiri, di istana ayahmu yang indah.”

Sepasang alis hitam melengkung itu berkerut. Sepasang mata bintang itu bersinar marah. “Liong-ko,
apakah dahulu ketika engkau membantu aku menghadapi pemberontak di utara lalu kita tertawan dan
terancam maut, aku juga minta maaf dan menyatakan menyesal karena engkau membantuku? Kalau
begitu engkau merasa menyesal bahwa aku membantumu, berarti engkau menyesal pula dahulu pernah
membantu aku!”

“Wah, sama sekali tidak, Hong-moi! Bukan begitu maksudku......”

“Kalau tidak begitu, syukurlah dan jangan kita bicarakan lagi hal itu!” Pek Hong lalu memutar duduknya,
menghadap ke arah pintu baja di mana terdapat jeruji baja yang kokoh dan mereka dapat memandang
keluar pintu melalui celah celah jeruji.
Thian Liong tahu bahwa gadis itu marah. Diapun tidak berani lagi bicara dan merasa bahwa memang dia
tadi telah salah omong. Semestinya, penyesalan itu untuk diri sendiri saja, disimpan di hati tidak
dikeluarkan melalui omongan. Diapun memandang ke luar pintu.

Malam makin larut. Penjara istana itu dijaga ketat oleh lima orang secara bergiliran. Lima orang penjaga
yang baru saja mendapat giliran menggantikan lima orang perajurit yang berjaga sejak sore tadi, masih
tampak segar dan belum mengantuk. Melakukan tugas jaga di penjara itu, di waktu penjara ada
penghuninya, bukan merupakan pekerjaan berat.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 362

Penjara itu kokoh kuat. Orang yang ditahan dalam ruangan penjara itu tidak mungkin dapat membobol
pintu untuk melarikan diri. Juga teramat sukar bagi orang luar untuk dapat memasuki penjara ini guna
membebaskan mereka yang ditahan. Penjagaan dari pintu gerbang benteng istana sampai ke penjara itu
melalui penjagaan yang berlapis-lapis. Maka, lima orang perajurit pengawal yang melakukan penjagaan
inipun santai saja. Selama ini belum pernah terjadi ada tahanan dapat kabur meloloskan diri.

Apalagi sekarang penjara itu hampir kosong, hanya terdapat dua pasang tahanan. Itupun, menurut
kepala penjara, bukan merupakan orang tahanan berbahaya dan harus diperlakukan dengan sikap baik.
Jadi, lima orang itupun tidak mengkhawatirkan sesuatu. Empat orang dari mereka segera asyik bermain
kartu, sedangkan yang seorang duduk melakukan penjagaan kalau-kalau ada atasan mereka melakukan
pemeriksaan, agar dia dapat memperingatkan kawan-kawan yang sedang bermain kartu.

Cia Song dan empat orang perajurit pengawal itu berjalan dengan tenang menghampiri tempat
penjagaan di depan bangunan penjara. Perajurit yang melakukan penjagaan segera berbisik ke arah
teman-teman yang sedang berjudi.

“Ssstt...... ada yang datang!”

Empat orang itu segera menyembunyikan kartu dan mereka duduk seolah sedang melakukan penjagaan
ketat. Ketika perajurit yang menjadi kepala regu melihat bahwa yang datang adalah lima orang perajurit
pengawal, dia bertanya heran.

“He, kawan-kawan! Kami baru saja datang dan belum waktunya diganti!”

Cia Song yang berpakaian sebagai seorang perajurit pengawal mendekati kepala regu dan berkata
dengan ramah, “Kami hanya ditugaskan untuk melihat apakah keadaan di sini baik-baik dan aman saja.”

Empat orang perajurit pengawal yang menemani Cia Song, seperti telah diatur sebelumnya, juga
mendekati para penjaga itu dengan ramah bersahabat.

Lima orang penjaga itupun tidak merasa curiga dan mereka menjadi lengah. Tiba-tiba Cia Song
menggerakkan kedua tangannya dengan cepat sekali. Berturut turut dia menotok roboh tiga orang
penjaga tanpa mereka sempat berteriak karena mereka bertiga telah terkena totokan ampuh sehingga
mereka roboh dalam keadaan pingsan. Dua orang penjaga lainnya terkejut bukan main. Saking kagetnya,
mereka tidak mampu mengeluarkan suara dan pada saat itu, empat batang golok menyambar dan
merekapun roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak.

Empat orang perajurit itu lalu mengayun golok mereka, membunuh tiga orang perajurit penjaga yang
tadi roboh tertotok oleh Cia Song. Setelah yakin bahwa lima orang penjaga itu tewas, Cia Song lalu
memasuki lorong di luar kamar-kamar tahanan, diikuti oleh empat orang perajurit pengawal yang telah
mengeluarkan gendewa dan kantung penuh anak panah berukuran kecil.

Semua ini memang telah dipersiapkan dengan baik oleh Cia Song. Dia tahu betapa lihai Souw Thian
Liong dan Pek Hong Nio-cu. Dari keterangan Perdana Menteri Chin Kui bahwa Souw Thian Liong
ditemani seorang gadis cantik yang bicaranya seperti orang utara, dia seorang yang dapat menduga
bahwa gadis itu tentulah Puteri Kerajaan Kin yang juga mempunyai kepandaian tinggi dalam ilmu silat
itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 363

Dia sekali ini tidak mau gagal lagi, maka dia telah mempersiapkan diri dengan baik. Dia maklum biarpun
dua orang itu telah berada dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh dan tidak akan mampu keluar,
namun membunuh mereka bukan merupakan hal yang mudah. Karena itu, tahu bahwa empat orang
perajurit yang menemaninya itu pandai mempergunakan senjata panah, dia lalu membekali mereka
dengan gendewa kecil dan anak panah yang mengandung racun yang amat kuat.

Kalau dua orang yang berada dalam ruangan itu di berondong anak panah oleh empat orang perajurit
dan diapun membantu menyerang dari luar, mustahil bagi Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio -cu untuk
dapat menyelamatkan diri! Dia sudah memperhitungkannya dengan matang. Dia menduga bahwa dua
orang itu pasti tidak membawa senjata untuk melindungi diri mereka dari hujan anak panah dan di
dalam kamar penjara itupun tidak terdapat sesuatu yang dapat dijadikan perisai.

Sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi dia sudah memperhitungkan bahwa Souw Thian Liong sendiri tidak
akan dapat mengelak terus. Tidak mungkin menghindarkan diri dari serbuan anak -anak panah dan
sebatang saja mengenai tubuhnya, cukup untuk membunuhnya.

Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong yang kebetulan sedang menghadap dan memandang ke arah pintu
yang berjeruji, melihat munculnya lima orang yang berpakaian perajurit itu di depan pintu. Tadinya
mereka mengira bahwa mereka adalah para penjaga yang melakukan perondaan, akan tetapi ketika
mereka melihat Cia Song, keduanya terkejut bukan main.

“Ha-ha-ha!” Cia Song tertawa. “Bersiaplah kalian untuk mampus!”

“Jahanam busuk kau!” Pek Hong memaki.

Akan tetapi Cia Song sudah memberi isyarat kepada empat orang yang memang sudah mempersiapkan
anak panah mereka. Begitu mereka berempat bergerak, sinar-sinar hitam meluncur masuk ke dalam
ruangan tahanan itu dan menyambar ke arah tubuh Thian Liong dan Pek Hong yang masih duduk di atas
pembaringan batu masing-masing. Dua orang muda ini cepat melompat dan mengelak. Akan tetapi
empat orang perajurit yang memang sudah tahu akan kelebihan dua orang yang harus mereka bunuh,
melepas lagi anak panah secara bertubi-tubi. Thian Liong dan Pek Hong tidak dapat berbuat lain untuk
menghindarkan diri kecuali dengan mengelak.

Mereka berloncatan ke sana-sini dengan cekatan sekali. Dari bau anak panah hitam itu keduanya
maklum bahwa anak panah itu beracun, maka tentu saja mereka tidak ingin terluka oleh senjata kecil
beracun itu.

Melihat betapa dua orang itu dapat mengelak, Cia Song berseru.

“Arahkan kepada seorang saja!”

Empat orang perajurit itu mengerti. Kalau mereka berempat hanya menyerang seorang saja, maka akan
sukar sekali, bahkan tidak mungkin orang itu akan mampu menghindarkan diri dari hujan anak panah
mereka berempat.

Akan tetapi sebelum penyerangan kepada seorang saja ini dilakukan, tiba tiba ada angin menyambar
dari kanan. Angin itu demikian dahsyatnya sehingga empat orang perajurit itu tidak dapat bertahan dan
mereka roboh bergulingan.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 364

Cia Song sendiri juga terkejut, cepat menengok ke kanan dan melihat betapa ada seorang laki -laki
mendorongkan tangan kirinya ke arah para perajurit itu.

Dia cepat mengerahkan tenaga sin-kang dan menggunakan kedua tangan untuk mendorong ke arah
orang itu untuk menyambut pukulannya dan membuat orang itu roboh.

“Wuuuttt...... blarrr......!” Dua tenaga sinkang bertemu dan akibatnya, tubuh Cia Song terpental seperti
daun kering tertiup angin dan dia harus berjungkir balik sampai li ma kali agar tidak sampai terbanting
jatuh. Cia Song terkejut bukan main. Celaka, pikirnya, orang ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa,
jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri.

Dia melihat orang itu berkelebat seperti bayang-bayang saja cepatya, menghampiri empat orang
perajurit yang roboh dan yang kini sedang merangkak bangun. Cepat sekali bayangan itu bergerak di
antara mereka dan empat orang perajurit itu tertotok dan roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi.

“Suhu......!” Thian Liong berseru.

“Paman Sie......!” Pek Hong Nio-cu juga berseru.

Cia Song terkejut setengah mati mendengar Thian Liong menyebut suhu kepada orang itu. Jadi inikah
tokoh besar bernama Tiong Lee Cin-jin yang terkenal sebagai seorang manusia setengah dewa yang
dijuluki Yok-sian (Dewa Obat) itu? Pantas dia memiliki tenaga sakti sehebat itu. Cia Song menjadi
ketakutan dan dia segera melompat dan melarikan diri.

Bayangan yang ternyata seorang laki laki berpakaian kuning berusia sekitar enampuluh dua tahun itu
segera membuka pintu tahanan dengan sebuah kunci yang agaknya tadi dia ambil dari gardu penjaga
penjara. Daun pintu kamar tahanan itu terbuka dan Pek Hong Nio-cu melompat keluar dan berseru
penasaran.

“Mari kita kejar jahanam itu!”

Begitu keluar dari kamar tahanan, Thian Liong segera menjatuhkan diri di depan kaki Tiong Lee Cin-jin.

“Jangan kejar! Yang terpenting sekarang, cepat kalian ikut aku menyelamatkan kaisar!” kata Tiong Lee
Cin-jin dan dia sudah berkelebat dan berlari keluar dari rumah penjara, diikuti oleh Th ian Liong dan Pek
Hong Nio-cu.

Sebentar saja mereka sudah memasuki istana dan mendengar suara ribut ribut orang-orang berkelahi di
ruangan sebelah dalam. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu cepat berlari masuk dan setelah tiba di
ruangan dalam yang menjadi ruangan keluarga kaisar, mereka melihat terjadi perkelahian seru di
tempat itu. Tiga orang mengamuk, dilawan oleh belasan orang perajurit pengawal pribadi kaisar.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu segera mengenal tiga orang itu yang bukan lain adalah Hwa Hwa Cin-
jin, Bu tek Mo-ko Teng Sui dan Bu-eng Mo-ko Gui Kong atau yang dikenal sebagai Siang Mo-ko (Sepasang
Iblis). Tiga orang ini mengamuk dan sudah merobohkan beberapa orang perajurit pengawal dan sisanya
sudah terdesak hebat. Di sudut ruangan itu tampak kaisar berdiri dengan muka pucat dan agaknya tidak

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 365

ada jalan keluar lagi bagi kaisar yang hanya mengandalkan para perajurit pengawal untuk melindungi
dirinya.

Karena sisa perajurit pengawal sudah terdesak dan semakin mundur ke arah kaisar yang berdiri di su dut,
keadaan gawat sekali bagi keselamatan kaisar.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu cepat mengambil pedang para perajurit yang tewas, lalu mereka
berdua menyerbu ke depan dengan pedang mereka.

Tiga orang yang mengamuk dan yang bertugas membunuh kaisar itu terkejut bukan main ketika melihat
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu menyerang mereka.

Menurut keterangan Perdana Menteri Chin Kui, dua orang itu telah ditahan dalam penjara. Kenapa kini
tiba-tiba muncul di situ? Hwa Hwa Cin-jin yang merasa jerih terhadap Thian Liong, segera mendahului
dan maju menyerang dengan pedangnya sambil mencari kesempatan untuk dapat melarikan diri. Akan
tetapi Thian Liong sudah memutar pedang dan menutup semua jalan keluar. Sinar pedangnya
bergulung-gulung menghadang semua jalan keluar dan Hwa Hwa Cin-jin tidak dapat berbuat lain kecuali
melawan mati-matian.

Pek Hong Nio-cu yang marah melihat tiga orang itu mengancam keselamatan nyawa kaisar, segera
menerjang dan menyerang Bu-tek Mo-ko (lblis Tanpa Tanding) Teng Sui yang tinggi kurus dan yang
mengamuk dengan pedangnya. Melihat pedang menyambar cepat dan kuat, Bu-tek Mo-ko terkejut dan
menangkis.

“Tranggg......!” Bunga api berpijar dan orang pertama dari Siang Mo-ko itu terhuyung ke belakang. Dia
terkejut dan gentar, akan tetapi Pek Hong Nio-cu sudah menerjang dan mendesak dengan pedangnya.

Orang kedua dari Siang Mo-ko, yaitu Bu-eng Mo-ko (Iblis Tanpa Bayangan), tidak dapat membantu
kedua orang rekannya karena dia sendiri kini dikeroyok para perajurit pengawal yang masih bersisa
sembilan orang itu. Tadi, ketika mereka bertiga menghadapi para perajurit pengawal, mereka bertiga
menang di atas angin dan selain merobohkan enam orang perajurit pengawal, mereka juga mendesak
sembilan orang perajurit yang lain. Akan tetapi kini Bu-eng Mo-ko harus menghadapi sembilan orang
perajurit itu seorang diri saja, maka diapun terdesak hebat.

Pek Hong Nio-cu mengerahkan seluruh kepandaiannya. Gerakannya cepat sekali dan juga tenaga
saktinya masih lebih kuat dibandingkan Bu-tek Mo-ko Teng Sui sehingga Iblis Tanpa Tanding ini terus
mundur dan hanya mampu menangkis saja. Setiap kali menangkis, dia pasti terdorong dan terhuyung ke
belakang. Dia menjadi panik dan setelah mendapat kesempatan, dia melempar diri ke atas lantai dan
melompat untuk melarikan diri. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu membentak.

“Hendak lari ke mana kamu? Makanlah pedang ini!” Ia melontarkan pedang itu yang meluncur bagaikan
sebatang anak panah menuju sasarannya, yaitu punggung lawan.

“Singgg...... cappp!!” Pedang itu tepat mengenai punggung Bu-tek Mo-ko Teng Sui, begitu kuatnya
lontaran itu sehingga pedang menancap di punggung dan menembus ke dada! Tubuh Bu -tek Mo ko
terjungkal dan dia tewas seketika.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 366

Bu-eng Mo-ko juga mengalami nasib tidak lebih baik daripada rekannya. Dia sudah melawan mati-
matian, akan tetapi musuh terlalu banyak dan diapun semakin panik ketika rekannya roboh. Pada saat
itu, sebatang pedang membacok betisnya dan diapun mengaduh dan terpelanting roboh. Para perajurit
itu menghujaninya dengan pedang sehingga sebentar saja tubuh Bu-eng Mo-ko Gui Kong yang pendek
gendut itu tercabik-cabik dan diapun tewas dalam keadaan mengerikan!

Hwa Hwa Cin-jin menjadi semakin panik melihat dua orang rekannya roboh dan tewas. Karena merasa
tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi, dan tidak ingin tewas di tangan para perajurit yang tentu akan
mencabik-cabik tubuhnya, Hwa Hwa Cin-jin menggerakkan pedang di tangannya ke arah lehernya
sendiri. Diapun roboh mandi darah dengan leher hampir putus!

Melihat tiga orang pembunuh itu telah tewas, kaisar lalu menghampiri Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.
Dua orang muda ini memberi hormat dengan membungkuk.

“Kalian telah menyelamatkan kami. Kami tidak akan melupakan jasa kalian,” kata kaisar yang lalu
diungsikan ke ruangan lain oleh perajurit pengawal.

“Mari kita tangkap mereka yang hendak membunuh kita tadi untuk menjadi saksi!” kata Thian Liong
kepada Pek Hong Nio-cu, sambil mencari-cari dengan pandang matanya. Akan tetapi yang dicarinya,
yaitu Tiong Lee Cin-jin, sudah tidak tampak bayangannya lagi. Mereka berdua segera berlari, kembali ke
penjara untuk menangkap empat orang yang tadi membantu Cia Song menghujani mereka dengan anak
panah dan mereka dirobohkan oleh Tiong Lee Cin-jin. Akan tetapi ketika mereka tiba di sana, mereka
melihat betapa empat orang itu telah tewas terkena senjata rahasia pisau beracun yang menancap di
tubuh mereka.

“Hemm, tentu mereka ini dibunuh agar tidak membuka mulut,” kata Thian Liong dengan gemas.

Ternyata musuh amat licik. Mengirim empat orang pembunuh ini dan agaknya telah diikuti orang lain
yang bertugas membunuh mereka kalau pekerjaan itu gagal. Dengan demikian, tidak ada yang dapat
menjadi saksi untuk mengatakan siapa yang menyuruh mereka untuk membunuh tawanan. Juga sayang
sekali, tiga orang datuk yang berusaha membunuh kaisar juga sudah tewas sehingga dalang semua ini
tetap dalam gelap, tidak ada saksi yang dapat membongkar rahasianya.

“Ah, sayang sekali. Jahanam Cia Song dapat lolos dan tadi aku hendak menangkap Hwa Hwa Cin -jin,
maka aku sengaja tidak menurunkan serangan yang mematikan. Sayang sekali diapun membunuh diri,
tentu agar tidak dipaksa mengaku siapa dalangnya. Sungguh cerdik dan licik majikan mereka!” kata
Thian Liong.

“Kalau tidak licik dan cerdik, tidak mungkin dapat menjadi perdana menteri sampai se kian lamanya dan
dapat mempengaruhi kaisar,” kata Pek Hong Nio-cu.

“Kaupikir yang menjadi dalang adalah Chin Kui?”

“Siapa lagi kalau bukan tikus busuk itu!” kata Pek Hong Nio-cu, gemas dan benci kepada Perdana
Menteri Chin Kui yang telah bersekongkol dengan pemberontakan yang terjadi di kerajaan ayahnya.

Pada saat itu, terdengar suara gedobrakan dan cepat mereka menengok. Ternyata ada tubuh seseorang
agaknya dilempar dari luar pintu penjara. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu cepat melompat dan

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 367

mendekati orang itu. Ternyata dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun, berpakaian
serba hitam dan dia dalam keadaan tertotok sehingga, tidak mampu bergerak. Di baju bagian dadanya
terpasang sehelai kertas yang ada tulisannya.

Thian Liong cepat mengambil surat itu dan membacanya bersama Pek Hong Nio-cu.

“Hui-to-kui (Setan Pisau Terbang) inilah yang membunuh empat orang itu.”

“Suhu......!” Thian Liong cepat melompat keluar penjara, akan tetapi tidak melihat bayangan gurunya
yang dia tahu pasti yang menangkap penjahat berjuluk Setan Pisau Terbang ini.

Dia kembali ke dalam dan mengambil kunci dari gardu penjaga, lalu menyeret orang berpakaian hitam
itu dan bersama Pek Hong Nio-cu mereka menghampiri kamar tahanan di mana Han Si Tiong dan
isterinya dikeram. Pek Hong Nio-cu membuka kunci pintu penjara itu dan Thian Liong menyeret
tawanannya ke dalam kamar penjara, melemparnya ke sudut kamar.

“Ah, Thian Liong, sejak tadi kami merasa tegang dan khawatir melihat orang-orang menghujankan anak
panah ke kamar tahanan kalian. Apakah yang terjadi? Dan siapa orang ini?” tanya Han Si Tiong sambil
menunjuk ke arah orang yang berjuluk Hui-to-kui itu.

Dengan singkat Thian Liong menceritakan tentang serangan kepada mereka berdua oleh Cia Song dan
empat orang temannya. Lalu betapa mereka ditolong gurunya.

“Suhu merobohkan mereka dan menyelamatkan kami, paman.”

“Yang menyelamatkan kami adalah Paman Sie,” kata Pek Hong Nio-cu.

“Siapakah Paman Sie itu, tuan puteri...... eh, nona Pek Hong?” tanya Liang Hong Yi yang hamp ir lupa
bahwa Puteri Kaisar Kin itu sedang menyamar sebagai gadis Han bernama Pek Hong.

“Dia adalah suhu Tiong Lee Cin-jin!” kata Thian Liong.

Pek Hong Nio-cu menoleh dan memandang kepada Thian Liong yang juga sedang memandang kepada
gadis itu. Dua pasang sinar mata bertemu dan bertaut, akan tetapi keduanya lalu tersenyum dan untuk
sementara mereka berdua menerima saja dulu bahwa Paman Sie adalah Tiong Lee Cin -jin, jadi yang
berulang menolong mereka itu adalah Paman Sie alias Tiong Lee Cin-jin!

“LaIu bagaimana?” tanya Han Si Tiong dan isterinya.

“Kami diberi tahu bahwa kaisar sedang terancam bahaya. Kami lari ke sana dan melihat kaisar diancam
tiga orang tokoh sesat, yaitu Hwa Hwa Cin jin dan Siang Mo-ko yang sedang mengamuk dilawan belasan
orang perajurit pengawal pribadi kaisar. Kami segera turun tangan dan berhasil membunuh tiga orang
itu.”

“Ah, syukurlah, Sri Baginda selamat!” kata Han Si Tiong. “Akan tetapi siapakah yang mengirim para
pembunuh itu, yang hendak membunuh kalian berdua dan juga membunuh Sri Baginda?”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 368

“Kami menduga bahwa dalangnya tentu Chin Kui, akan tetapi tidak ada bukti dan saksinya. Empat orang
anak buah Cia Song yang ditotok roboh, tahu-tahu dibunuh orang, demikian pula tiga orang tokoh yang
hendak membunuh kaisar telah tewas. Akan tetapi untung sekali, kembali suhu Tiong Lee Cin-jin......
atau Paman Sie telah membantu kami, menangkap orang ini. Dia ini Hui -to-kui dan dialah yang
membunuh empat orang itu. Maka kami lalu membawanya ke sini agar paman berdua dapat
menjaganya agar dia tidak sampai lolos atau bunuh diri karena dia merupakan saksi yang penting sekali.”

Han Si Tiong mengangguk-angguk mengerti. “Baik, akan kami jaga baik-baik orang ini.”

Tiba-tiba seorang thai-kam (sida-sida) yang menjadi orang kepercayaan kaisar, seorang pelayan dalam,
datang dan menyampaikan perintah kaisar bahwa Souw Thian Liong dan Pek Hong malam itu juga
dipersilakan pindah ke sebuah kamar tamu di istana, dan besok pagi -pagi akan dijemput pelayan untuk
menghadap kaisar!

Thian Liong dan Pek Hong menghaturkan terima kasih dan Thian Liong memesan kepada Han Si Tiong
dan isterinya agar menjaga baik-baik tawanan itu. Suami isteri itu menerima tugas itu dengan gembira
dan mereka lalu mengikat kedua kaki tangan Hui-to-kui erat erat sehingga penjahat itu tidak mungkin
dapat meloloskan diri.

This Liong dan Pek Hong lalu mengikuti thai-kam itu. Mereka mendapatkan dua buah kamar yang
berdampingan dan tentu saja mereka dapat mengaso dan tidur dengan pulas dalam kamar yang indah
bersih itu.

Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar pakaian, yaitu pakaian yang oleh utusan kaisar
diambil dari rumah Kwee-ciangkun untuk dua orang muda itu, Thian Liong dan Pek Hong lalu mengikuti
thai-kam yang menjemput mereka untuk menghadap Sri Baginda.

Mereka memasuki ruangan rahasia yang merupakan kamar duduk pribadi kaisar dan dua orang muda itu
merasa heran akan tetapi juga girang bahwa selain kaisar yang duduk di atas kursi kebesarannya, di situ
terdapat pula Kwee-ciangkun yang sudah lebih dulu menghadap kaisar. Thian Liong dan Pek Hong lalu
memberi hormat dengan berlutut dan duduk di atas kursi yang lebih rendah, sejajar dengan Kwee -
ciangkun karena kaisar menghendaki mereka duduk di atas kursi.

“Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, kami panggil kalian berdua di sini untuk menceritakan dengan
sejujurnya apa yang telah terjadi tadi malam. Kwee-ciangkun sengaja kami panggil untuk menjadi saksi
mendengar keterangan kalian berdua,” kata Kaisar sambil memandang kepada dua orang muda itu
dengan wajah cerah karena dia ingat benar bahwa tanpa adanya dua orang itu yang membelanya,
mungkin dia sudah tewas di tangan tiga orang pembunuh lihai itu.

“Ijinkan hamba yang menjadi pembicara menceritakan apa yang telah terjadi semalam, Sri Baginda,”
kata Thian Liong karena dia khawatir kalau Pek Hong membuka suara, akan ketahuan bahwa ia bukan
seorang gadis Han.

“Baik, ceritakanlah,” kata kaisar.

“Malam tadi, muncul Cia Song, pembantu Perdana Menteri Chin Kui bersama empat orang anak
buahnya. Mereka menyerang hamba berdua dengan anak panah dari luar kamar penjara dan ternyata
mereka telah membunuh lima orang perajurit yang berjaga di penjara. Hamba berdua tidak dapat

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 369

melawan dan hanya menghindar dari serangan anak panah beracun yang menghujani hamba. Untung
dalam keadaan amat gawat itu, muncul suhu hamba yang merobohkan empat orang pemanah dan Cia
Song melarikan diri dan lolos. Suhu lalu membuka pintu penjara dan minta kepada hamba berdua untuk
cepat-cepat melindungi paduka yang terancam bahaya. Hamba berdua lalu lari memasuki istana dan
melihat betapa tiga orang jahat itu mengamuk. Hamba berdua lalu turun tangan sehingga tiga orang itu
dapat dibinasakan.”

“Tahukah engkau siapa tiga orang yang menyerang dan hendak membunuh kami itu?”

“Hamba dan Sie Pek Hong pernah bentrok dengan tiga orang i tu, Sri Baginda. Mereka itu adalah Hwa
Hwa Cin jin, Bu-tek Mo-ko, dan Bu-eng Mo-ko yang ketika itu hendak membunuh Paman Han Si Tiong
dan Bibi Liang Hong Yi.”

“Ampunkan hamba kalau hamba mohon diperkenankan menambah sedikit keterangan Souw Thian
Liong, yang mulia,” kata Kwee-ciangkun.

“Boleh, katakanlah, Kwee-ciangkun,” kata kaisar.

“Tiga orang itu memimpin pasukan melakukan pengejaran dan mencari empat orang pelarian, yaitu Han
Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian Liong, dan Sie Pek Hong yang bersembunyi di rumah hamba. Ketika
hamba keluar, tiga orang itu mengatakan bahwa mereka mencari empat orang penjahat atas perintah
Perdana Menteri Chin Kui.”

Kaisar mengangguk-angguk. Mulai goyah kepercayaannya terhadap perdana menteri yang selalu
dipercayanya itu.

“Baiklah, hal itu akan kami urus nanti. Sekarang, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian,
Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong. Untuk itu kalian berdua boleh minta, imbalan jasa apa yang ingin
kalian dapatkan dari kami.”

Sie Pek Hong menggeleng-geleng kepala menandakan bahwa ia tidak minta apa-apa, akan tetapi Thian
Liong berkata, “Sri Baginda yang mulia, sekiranya paduka berkenan, hamba mohon, demi keselamatan
paduka dan kerajaan paduka, agar Perdana Menteri Chin Kui diadili dan dijatuhi hukuman. ”

Kaisar menghela nepas panjang. Dia teringat, betapa beberapa tahun yang lalu, dia menjatuhkan
hukuman kepada tiga orang pejabat tinggi karena mereka berani mengajukan permintaan yang sama,
yaitu agar Perdana Menteri Chin Kui diadili! Pada waktu itu, kepercayaan terhadap Chin Kui demikian
besarnya sehingga dia menganggap mereka itu melempar fitnah keji! Akan tetapi sekarang, yang mohon
agar Chin Kui diadili adalah orang-orang muda yang baru saja menyelamatkan nyawanya dari serangan
orang orang yang menjadi anak buah Chin Kui sehingga kepercayaannya terhadap perdana menteri itu
goyah.

“Kita lihat saja nanti dalam persidangan,” katanya. “Akan tetapi lepas dari persoalan yang menyangkut
Perdana Menteri Chin Kui, kami ingin memberi hadiah kepada kalian berdua atas jasa kalian semalam.
Nah, apakah yang kalian minta?”

Karena Thian Liong tidak mengharapkan imbalan apapun, dia memberi isyarat dengan gerakan sikunya
kepada Pek Hong, barangkali gadis itu yang hendak mohon sesuatu. Pek Hong lalu berkata dengan suara

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 370

lantang sehingga dialek utara terdengar jelas. Akan tetapi karena ia seorang puteri kaisar, tentu saja
kata-katanya teratur baik sekali.

“Hamba berdua menghaturkan terima kasih yang tak terhingga atas kebijaksanaan paduka yang
berkenan hendak memberi hadiah kepada hamba berdua. Namun hamba juga mohon ampun beribu
ampun bahwa hamba berani menolak segala macam hadiah karena sesungguhnya, apa yang telah kami
lakukan itu sudah merupakan kewajiban hamba, yaitu membela yang benar dan menentang yang jahat,
Sri Baginda yang mulia.”

Kaisar tersenyum dan memandang kagum, akan tetapi lalu bertanya. “Sie Pek Hong, bicaramu
menunjukkan bahwa engkau orang dari daerah utara, benarkah?”

“Yang Mulia, hamba memang dilahirkan dan tumbuh dewasa di daerah Utara.

Kaisar mengangguk-angguk. Hatinya merasa gembira sekali dapat bicara leluasa dan akrab begini
dengan dua orang muda itu, suatu hal yang jarang sekali terjadi karena biasanya dia hanya bicara
dengan formal dengan orang-orang sehingga suasananya menjadi kaku. Dia memandang kepada dua
orang muda itu dan berkata dengan sikap ramah.

“Souw Thian Liong, tadi engkau bercerita bahwa kalian berdua diserang penjahat dan diselamatkan
gurumu dan gurumu pula yang membebaskan kalian dari kamar tahanan agar kalian dapat menolong
kami yang terancam bahaya. Kalau begitu, jasa gurumu itu bahkan lebih besar. Katakanlah, siapa
gurumu itu?”

Guru hamba seorang pertapa kelana yang bernama Tiong Lee Cin-jin yang mulia,” jawab Thian Liong.

Kaisar membelalakkan kedua matanya. “Tiong Lee Cin-jin? Kami pernah mendengar nama besarnya!
Bukankah dia yang dijuluki Yok-sian?”

“Benar, yang mulia?”

“Ah, pantas engkau yang masih begini muda berkepandaian tinggi dan berwatak bijaksana, Souw Thian
Liong! Kiranya engkau murid Dewa Obat itu! Dan bagaimana dengan engkau, Sie Pek Hong? Apakah
engkau juga murid Dewa Obat?”

“Guru hamba adalah Paman Sie, yang mulia.”

“Paman Sie? Siapa dia?”

“Paman Sie adalah orang yang telah membebaskan hamba berdua dari kamar tahanan dan
menyelamatken hamba dari serangan panah penjahat dan yang menyuruh hamba berdua cepat
menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya,” kata Pek Hong dengan lantang dan dia menengok
kepada Thian Liong dengan pandang mata menantang!

“Hei? Bagaimana ini? Bukankah tadi Souw Thian Liong mengatakan bahwa yang menolong kalian adalah
gurunya, yaitu Tiong Lee Cin-jin? Sekarang engkau mengatakan bahwa yang menolong kalian adalah
Paman Sie, guru Sie Pek Hong!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 371

“Ampun, yang mulia, hamba berdua tidak berbohong!” kata Thian Liong cepat-cepat. “Sesungguhnya,
ketika suhu Tiong Lee Cin-jin menurunkan ilmu kepada Sie Pek Hong, beliau memakai nama Paman Sie.”

“Ampun, Sri Baginda yang mulia. Keterangan Souw Thian Liong itu kurang tepat dan terbalik. Yang
benar, ketika Paman Sie mengejarkan ilmu kepada Souw Thian Liong, beliau memakai nama Tiong Lee
Cin-jin!” kata Sie Pek Hong dan kembali ia mengerling kepada Thian Liong dengan sinar mata menantang
dan tidak mau kalahl
Mendengar ucapan dua orang muda itu dan melihat betapa mereka saling berpandangan dengan sinar
mata tidak mau kalah, membuat kaisar tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, kalian ini dua orang muda yang lucu! Ingin sekali kami melihat bagaimana sikap guru
kalian itu kalau mendengar dirinya diperebutkan dengan dua nama, ha-ha-ha!”

Dalam kesempatan itu, kaisar tampak gembira dan dia menyuruh dua orang muda itu tinggal di kamar-
kamar tamu dan menjadi tamu istana sambil menanti datangnya saat persidangan dan menanti
panggilan. Ketika Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong mohon agar mereka diperkenankan membawa
senjata mereka yang kemarin dulu ditinggalkan dan disimpan di rumah Panglima Kwee, kaisar segera
mengijinkan. Setelah pertemuan itu selesai, Kwee-ciangkun pulang dan tak lama kemudian dia
mengutus pengawalnya menyerahkan pedang Thian-liong-kiam dan pedang bengkok kepada Thian Liong
dan Pek Hong.

Panglima Kwee Gi dan para panglima lain yang setia kepada kaisar dan yang menentang Perdana
Menteri Chin Kui, diam-diam telah mempersiapkan pasukan yang kuat untuk melindungi istana kalau-
kalau Chin Kui dan sekutunya mengadakan pemberontakan dengan menggunaken pasukan dari para
panglima yang bersekutu dengannya.

Hari dan saat yang ditunggu-tunggu oleh kedua pihak yang bersengketa itu akhirnya tiba. Kaisar Sung
Kao Tsu memerintahkan mereka yang bersengketa menghadap di persidangan. Tidak seperti biasa,
sekali ini ketika Perdana Menteri Chin Kui mohon menghadap sebelum persidangan dimulai, kaisar tidak
mau menerimanya dan memerintahkan agar Chin Kui langsung menghadap di ruang persidangan seperti
para pejabat tinggi lainnya. Hal ini tentu saja membuat Chin Kui curiga dan merupakan tanda bahaya
baginya. Maka diapun menghubungi sekutunya untuk bersiap siaga melaksanakan rencana mereka
kalau-kalau dia kalah dalam persidangan itu.

Semua pejabat tinggi sudah berkumpul di ruangan persidangan dan ketika kaisar muncul, semua orang
memberi hormat seperti biasa. Dengan sendirinya kedua pihak berikut sekutu mereka sudah mengambil
tempat yang berpisah, Kwee-ciangkun dan sekutunya berada di bagian kanan sedangkan Chin Kui dan
sekutunya berada di bagian kiri ruangan itu.

Kaisar membuka persidangan itu dengan mempersilakan Kwee -ciangkun yang bertindak sebegai
penuduh untuk bicara.

Kwee-ciangkun tetap dengan tuduhan semula, yaitu menuduh Perdana Menteri Chin Kui bersekutu
dengan para pemberontak di Kerajaan Kin untuk menggulingkan Kaisar Kin dengan pamrih agar kelak
kaisar yang baru Kerajaan Kin akan membantunya menggulingkan pemerintah Kerajaan Sung.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 372

“Apa yang hamba laporkan ini bukan merupakan tuduhan kosong, Sri Baginda yang mulia. Jelas bahwa
Perdana Menteri Chin Kui mengirim wakilnya yang bernama Cia Song untuk bersekongkol dengen
Pangeran Hiu Kit Bong untuk mengadakan pemberontakan di Kerajaan Kin.”

Setelah diberi kesempatan, Perdana Menteri Chin Kui kukuh membantah dengan sikap angkuh . “Semua
itu fitnah belaka, Yang Mulia. Hamba selalu setia kepada paduka, siap mengorbankan nyawa demi
paduka dan Kerajaan Sung. Bagaimana mungkin hamba berkhianat? Siapa itu Cia Song? Hamba tidak
mengenalnya. Kalau memang benar hamba mengirim orang bernama Cia Song ke utara, silakan paduka
memanggil orang itu untuk menjadi saksi! Panglima Kwee dan kawan-kawannya ini berani melempar
fitnah kepada hamba, hal itu berarti hendak mengadu domba dan jelas mereka hendak memberontak
terhadap paduka!”

Pada saat itu, seorang pengawal memasuki ruangan dan setelah memberi hormat kepada kaisar, dia
melaporkan bahwa telah datang seorang utusan dari Kaisar Kin yang mohon untuk menghadap kaisar.
Sebetulnya utusan ini adalah Pangeran Kuang, adik tiri Kaisar Kin dan kedatangannya sudah kemarin.
Akan tetapi telah diatur oleh kaisar sendiri agar utusan itu menghadap pada saat persidangan itu.

“Bawa dia masuk!” perintah kaisar kepada pengawal.

Tak lama kemudian, Pangeran Kuang sudah memberi hormat di depan kaisar, memperkenalk an diri
sebagai utusan Kaisar Kin dan menyerahkan segulung surat.
Surat diterima dan dibaca sendiri oleh kaisar. Kemudian kaisar menyerahkan gulungan surat itu kepada
seorang thai kam yang melayaninya dalam urusan surat menyurat dan memerintahkan thai kam itu
untuk membacanya kuat-kuat agar semua orang mendengarnya.

Dengan suara lantang thai-kam itu membacakan surat dari Kaisar Kin. Surat itu jelas menyatakan bahwa
Perdana Menteri Chin Kui telah bersekongkol dengan pemberontak di Kerajaan Kin dengan mengirim
seorang utusan bernama Cia Song. Dikatakan bahwa menurut pengakuan para pemberontak, Perdana
Menteri Chin Kui bersekongkol dangan para pemberontak dengan pamrih kalau pemberontakan itu
berhasil, kelak para pemberontak akan membantu Perdana Menteri Chin Kui merampas tahta Kerajaan
Sung!

Suasana menjadi sunyi sekali ketika thai-kam yang bersuara lantang itu membacakan surat itu sampai
habis. Kaisar Sung Kao Tsu lalu memandang kepada Chin Kui.

“Perdana Menteri Chin Kui, bagaimana tanggapanmu dengan surat dari Kaisar Kin ini?”

“Sri Baginda yang mulia! Semua ini adalah fitnah yang sudah direncanakan lebih dulu oleh Panglima
Kwee dan sekutunya. Jelaslah bahwa justeru Panglima Kwee yang bersekongkol dengan Kerajaan Kin
untuk menjatuhkan hamba sehingga Panglima Kwee dan Kaisar Kin kini mengeroyok hamba dengan
fitnah keji. Hamba dituduh bersekutu dengan pemberontak di Kerajaan Kin. Tidak masuk akal dan fitnah
belaka. Mengapa hamba harus membantu pemberontakan di sana? Apa untungnya bagi hamba?
Mereka melempar fitnah keji bahwa hamba mengutus wakil yang bernama Cia Song ke utara. Apa
buktinya? Kenapa tidak ditangkap saja itu Cia Song dan diseret ke sini agar dia dapat menceritakan hal
yang sebenarnya? Hamba tidak mengenalnya! Selama ini hamba selalu setia dan tidak pernah
berbohong kepada paduka, Sri Baginda. Hamba berani bersumpah bahwa hamba tetap setia dan jujur.
Mereka sengaja menjatuhkan fitnah!” Setelah Chin Kui selesai bicara, kaisar menoleh kepada Panglima
Kwee.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 373

“Kwee-ciangkun, sekarang giliranmu untuk memberi tanggapan.”

“Sri Baginda yang mulia, pembelaan diri Perdana Menteri Chin Kui itu hanya dibuat-buat. Telah terbukti
nyata bahwa dia adalah seorang pengkhianat yang berhati palsu, pada lahirnya bersikap baik dan setia
kepada paduka, akan tetapi dalam batinnya dia seorang pengkhianat besar. Hal ini telah dibuktikan
dengan peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu, terjadi di dalam istana. Perdana menteri yang
khianat ini telah mengirim orang-orang untuk membunuh Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, juga
mengirim pembunuh yang nyaris dapat membunuh Sri Baginda Kaisar!”

Semua orang yang mendengar tuduhan ini menjadi terkejut dan terbelalak. Tentu saja Kaisar tidak
terkejut karena sudah mengetahui akan peristiwa yang memang dirahasiakan itu.

“Penasaran!” Chin Kui berteriak. “Sri Baginda yang mulia, apakah paduka dapat menerima dan
mendiamkan saja fitnah-fitnah keji dan jahat yang mereka lontarkan kepada hamba? Hamba menolak
semua tuduhan itu karena hamba tidak merasa melakukannya! Apa buktinya, siapa sak sinya untuk
membenarkan semua fitnah keji itu? Orang she Kwee, berani benar engkau menyebar kebohongan keji
di depan Sri Baginda yang mulia!”

Chin Kui tidak merasa kalah karena dia merasa yakin bahwa orang-orang yang bertugas membunuh akan
tetapi telah gagal itu telah mati semua, kecuali Cia Song yang dapat meloloskan diri dan sekarang telah
pergi entah ke mana. Karena yakin bahwa tidak mungkin ada bukti dan saksinya, maka Chin Kui merasa
tenang dan menantang para penuduhnya.

Kwee-ciangkun berkata kepada kaisar, “Ampun, Sri Baginda yang mulia. Mohon perkenan paduka agar
hamba dapat mendatangkan Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong sebagai saksi.”

Kaisar mengangguk dan Panglima Kwee lalu memberi isyarat kepada pengawal. Pengawal mengiringkan
Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong memasuki ruangan dan kedua orang muda itu segera menghadap
kaisar dan memberi hormat.

Pangeran Kuang memandang dengan mata terbelalak kepada Sie Pek Hong dan tanpa disadari dia
berseru dengan girang.

“Puteri Moguhai……”

Pek Hong Nio-cu yang memakai nama Sie Pek Hong dan nama aselinya adalah Puteri Moguhai itu
tersenyum.

“Paman Pangeran Kuang!” katanya.

Kaisar Sung Kao Tsu memandang heran.

“Apa artinya ini?” tanyanya kepada Pangeran Kuang.

“Maafkan hamba, Sri Baginda. Gadis ini adalah keponakan hamba. Ia adalah Puteri Moguhai, puteri Sri
Baginda Kaisar Kerajaan Kin.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 374

“Ahh......! Puteri Moguhai, kenapa engkau menggunakan nama Sie Pek Hong dan tidak berterus terang
kepada kami bahwa engkau puteri Kaisar Kin?”

“Ampun, Sri Baginda, ceritanya agak panjang......” kata Pek Hong Nio-cu sambil tersenyum manis kepada
kaisar.

“Sri Baginda, sekarang jelas sudah! Souw Thian Liong ini datang bersama puteri Kaisar Kin, apa lagi
maksudnya kalau bukan hendak bersekongkol dengan Kerajaan Kin untuk menj atuhkan paduka? Mereka
sudah mengatur semuanya. Mula-mula menyerang hamba, untuk kemudian menjatuhkan paduka dan
merampas tahta!” teriak Chin Kui yang merasa mendapat kemenangan.

Kaisar mengangkat kedua tangan, memberi isyarat agar mereka semua diam dan tidak ribut. Setelah
suasana menjadi tenang, Kaisar menoleh kepada Panglima Kwee.

“Kwee-ciangkun, coba jelaskan dan ceritakan tentang laporanmu mengenai usaha pembunuhan di
istana tadi!”

Panglima Kwee dengan suara lantang, “Sri Baginda, yang lebih mengetahui dan mengalami sendiri
peristiwa itu adalah Souw Thian Liong dan...... eh, Puteri Moguhai ini, maka hamba rasa seyogianya
mereka yang menceritakan terjadinya peristiwa itu sebenarnya.”

Pek Hong Nio-cu tersenyum mendengar ini. Kaisar mengangguk-angguk dan berkata kepada puteri itu.
“Puteri Moguhai, sekarang ceritakanlah semuanya. Mengapa engkau terlibat dalam urusan ini dan apa
yang telah terjadi beberapa malam yang lalu di dalam istana.”

Pek Hong Nio-cu memberi hormat kepada Kaisar. “Hamba siap, Sri Baginda dan biarlah semua orang,
terutama Chin Kui si pengkhianat itu, mendengarkan baik-baik!” Suaranya lantang dan jelas biarpun
kata-katanya berdialek utara.

“Seperti telah dilaporkan dalam persidangan yang lalu, di Kerajaan Kin kami terjadi pemberontakan dan
di sana muncul orang yang bernama Cia Song yang menjadi utusan Chin Kui untuk berhubungan dengan
pemberontak dan membantu usaha pemberontakan itu. Saya, dibantu Souw Thian Liong berhasil
menghubungi Paman Pangeran Kuang yang mengerahkan pasukan dan menghancurkan pemberontak.
Sayang Cia Song dapat meloloskan diri. Mengingat akan bantuan Souw Thian Liong kepada kerajaan
kami, juga karena ingin menentang Chin Kui yang telah membantu pemberontakan di utara, saya
mengambil keputusan untuk membantu Souw Thian Liong. Karena itulah maka saya ikut dengan dia
datang ke Lin-an ini.”

“Bohong! Kami tidak mencampuri urusan pemberontakan di Kerajaan Kin!” teriak Chin Kui.

“Diam!” bentak kaisar yang marah melihat Chin Kui yang berulang kali bersikap lancang. “Lanjutkan,
Puteri Moguhai.”

“Sampai di sini kami dikejar-kejar anak buah Chin Kui dan kami bertemu Paman Han Si Tiong dan
isterinya, lalu kami berempat bersembunyi di rumah Paman Panglima Kwee. Setelah berunding, kami
memutuskan untuk menghadap Sri Baginda yang mulia untuk membongkar pengkhianatan, kecurangan
dan kejahatan Chin Kui. Beberapa malam yang lalu, Cia Song dan empat orang anak buahnya memasuki
penjara dan membunuh lima orang penjaga lalu menyerang kami berdua dengan anak panah beracun

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 375

yang dihujankan ke arah kami dari luar pintu kamar tahanan. Untung muncul Paman Sie......” sampai di
sini Pek Hong Nio-cu mengerling ke arah Thian Liong yang mengerutkan alisnya akan tetapi pemuda itu
diam saja. “Untung muncul Paman Sie yang merobohkan dan menotok empat pemanah itu. Sayang
kembali Cia Song dapat meloloskan diri. Manusia iblis yang licik itu memang lihai. Kami mendapat
petunjuk dari Paman Sie, guruku, untuk menyelamatkan Sri Baginda yang terancam bahaya. Setelah
kami berdua tiba di ruangan dalam, kami melihat tiga orang datuk sesat, yaitu Hwa Hwa Cin-jin dan
kedua orang Siang Mo-ko, mengamuk dan hendak membunuh Sri Baginda. Para perajurit pengawal
sudah banyak yang tewas dan mereka terdesak, Sri Baginda terancam. Kami berdua lalu melawan tiga
orang itu dan berhasil merobohkan mereka. Ketika kami hendak menawan Hwa Hwa Cin-jin, dia
membunuh diri. Tiga orang itu adalah orang-orangnya Chin Kui yang tadinya mengejar-ngejar kami
berempat sebelum kami bersembunyi di rumah Panglima Kwee. Kami lalu kembali ke penjara untuk
menangkap empat orang pemanah yang tadinya ditotok oleh guruku. Akan tetapi ternyata mereka telah
tewas, tentu terbunuh oleh orangnya Chin Kui agar mereka tidak dapat mengaku dan membocorkan
rahasia bahwa Chin Kui yang mendalangi semua usaha pembunuhan itu! Hemm, Chin Kui iblis tua yang
khianat, hayo sangkal kalau kamu bisa!” kata Puteri Moguhai kepada Perdana Menteri Chin Kui.

“Sri Baginda, semua yang diceritakan itu isapan jempol belaka. Andaikata benar ada pembunuh di
istana, jelas itu bukan hamba yang mendalanginya. Mungkin buatan mereka saja untuk menjatuhkan
hamba. Mana bukti dan saksinya? Hamba menyangkal semua itu. Hamba tidak tahu menahu dengan
usaha pembunuhan itu!”

Kini Kaisar Sung Kao Tsu sudah tidak sabar lagi mendengar bantahan dan penyangkalan Chin Kui yang
sudah jelas bersalah itu. Dia lalu bertepuk tangan tiga kali dan berseru kepada pengawal.

“Bawa masuk saksi terakhir itu!”

Semua orang menengok ke arah pintu memandang dua orang perajurit pengawal yang membawa
masuk seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan kedua lengan
orang itu dibelenggu ke belakang tubuhnya. Orang itu didorong dan jatuh berlutut di depan Sri Baginda
Kaisar. Melihat masuknya orang ini sebagai saksi, Perdana Menteri Chin Kui te rbelalak dan mukanya
seketika berubah pucat. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa jagoan yang diutus membunuh para
petugas pembunuhan itu kalau mereka gagal, ternyata tertawan! Dia mengira bahwa orang ini juga
sudah tewas ketika tidak datang melapor karena tidak ada berita dari para mata-matanya di istana
bahwa orang itu tertawan.

“Siapa namamu?” bentak kaisar.

“Nama hamba Lui Ki, Sri Baginda yang mulia,” kata orang tinggi kurus itu.

“Nah, ceritakan semua yang kau alami di istana, ceritakan sejujurnya dan jangan takut kepada ancaman
siapapun juga. Pengakuanmu yang sejujurnya akan meringankan hukumanmu, sebaliknya kalau engkau
berbohong, hukumanmu akan semakin berat!”

“Ampunkan hamba, Sri Baginda yang mulia. Pada malam hari itu, hamba mendapat tugas untuk
mengawasi mereka yang melakukan tugas pembunuhan atas diri dua orang tawanan, yaitu Souw Thian
Liong dan Sie Pek Hong. Tugas hamba adalah membunuh mereka kalau usaha pembunuhan itu gagal.
Hamba diselundupkan sebagai pengawal istana dan hamba dapat mengawasi lima orang pembunuh itu
dengan mudah. Ternyata mereka gagal membunuh dua orang tawanan yang ditotok roboh oleh seorang

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 376

kakek yang sakti. Ketika ditinggalkan, hamba melaksanakan tugas hamba membunuh empat orang
pemanah akan tetapi petugas utama yang bernama Cia Song telah lolos. Hamba tidak mungkin
membunuhnya karena ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari kemampuan hamba. Setelah
melakukan pembunuhan terhadap empat orang itu, sebelum hamba dapat melarikan diri, hamba roboh
oleh kakek sakti itu sehingga hamba tertawan. Demikianlah, Sri Baginda, keterangan hamba yang
sejujurnya dan hamba berani bersumpah bahwa semua keterangan hamba itu benar dan tidak bohong.”

“Hemm, engkau melupakan satu hal yang terpenting, Lui Ki. Engkau lupa menyebutkan, siapa yan g
mengutus engkau, siapa yang menjadi dalang semua rencana pembunuhan itu? Siapa yang menyuruh
tiga orang datuk itu mencoba untuk membunuh kami?”

Lui Ki menjadi pucat wajahnya, lalu dia memandang ke arah Chin Kui dan berkata, suaranya gemetar
namun cukup lantang dan jelas terdengar oleh semua yang hadir dalam ruangan persidangan itu.

“Yang menjadi dalang dan mengutus hamba semua adalah Perdana Menteri Chin Kui!”

Kini semua orang menoleh dan memandang kepada Perdana Menteri Chin Kui. Wajah Chin Kui berubah
pucat dan dia maklum bahwa kini tidak ada gunanya lagi menyangkal. Akan tetapi tiba tiba dia tertawa
bergelak.

“Ha-ha-ha-ha!” Dia bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling dengan gaya seorang kaisar yang
berkuasa. “Pasukan-pasukan pendukungku saat ini telah mengepung istana ini! Saya anjurkan Sri
Baginda dan semua pamong praja untuk menakluk dan menyerah agar kami tidak perlu menggunakan
kekerasan dan membantai kalian semua. Ha-ha-ha!”

Semua orang terkejut karena pada saat itu mereka mendengar suara hiruk pikuk dan gaduh di luar
istana, suara tambur dan genderang dipukul gencar menandakan bahwa di luar istana terdapat banyak
pasukan! Akan tetapi Panglima Kwee lalu memberi isyarat ke arah pintu dan tak lama kemudian para
perajurit menggiring masuk belasan orang panglima pendukung Chin Kui yang sudah tertawan dengan
kedua tangan terbelenggu! Kiranya Panglima Kwee dan rekan rekannya sudah lebih dulu mengadakan
pembersihan dan menangkapi panglima sekutu Chin Kui sebelum mereka sempat bergerak dengan
pemberontakan mereka!

Chin Kui terbelalak ketika melihat belasan orang panglima pendukungnya menjatuhkan diri berlutut di
depan kaisar. Peristiwa ini terlalu hebat baginya, mengguncang hatinya dengan hebat, memporak -
porandakan semua harapan dan cita-citanya dan dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang pecah dalam
kepalanya. Perasaan kaget, kecewa, marah, dan takut bercampur menjadi satu teraduk dalam otaknya
dan mengacaukan hatinya.

“Ha-ha-ha-ha......!” Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak sehingga mengejutkan semua orang yang
memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

“Hu-hu-hu-huuhh......!” Tiba-tiba tawanya yang bergelak itu berubah menjadi tangis tersedu-sedu.
Semua orang menarik napas panjang. Perdana menteri Chin Kui yang berambisi dan berkhianat itu telah
menjadi gila!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 377

Kaisar memerintahkan pengawal untuk menangkap Chin Kui. Bersama para panglima yang telah menjadi
tawanan, dia lalu dibawa ke penjara. Pada hari itu juga, kaisar memerintahkan kepada Panglima Kwee
untuk melakukan pembersihan, menangkapi mereka yang tadinya menjadi sekutu Chin Kui.

Souw Thian Liong dan Puteri Moguhai kembali mendapat tawaran dari kaisar untuk minta hadiah apa
yang mereka sukai, akan tetapi kedua orang muda itu menolak dengan hormat. Setelah semua selesai,
mereka berdua meninggalkan istana. Juga Han Si Tiong dan Liang Hong Yi meninggalkan istana. Suami
isteri ini berterima kasih sekali kepada Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, dan mereka mengulang
permintaan mereka kepada dua orang muda itu agar memberitahu kepada Han Bi Lan di mana mereka
tinggal kalau kebetulan dapat berjumpa clengan gadis itu.

Setelah itu, Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berpisah dari suami isteri yang akan kembali ke
dusun Kian cung di dekat Telaga Barat.

Mereka berdua keluar dari kota raja setelah berpamit dari Panglima Kwee. Begitu tiba di luar pintu
gerbang kota raja Lin-an, Thian Liong bertanya kepada Pek Hong Nio-cu, “Nio-cu, sekarang engkau
hendak pergi ke mana?”

Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu dan ia menghela napas panjang. Berat rasa hatinya untuk
berpisah dari pemuda ini. Akan tetapi ia seorang puteri kaisar. Tidak mungkin kalau ia harus terus
mengikuti Thian Liong yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu. Bahkan kemarin ketika Pangeran
Kuang, pamannya, mengajak ia pulang ke utara, ia menolak dan mengatakan bahwa ia akan pulang
sendiri. Penolakan itu ia lakukan karena ia merasa berat untuk berpisah dari Thian Liong yang
dianggapnya sebagai seorang sahabat yang baik sekali.

“Aku hendak pulang ke utara,” katanya dengan nada suara datar. “Dan engkau sendiri, hendak ke
manakah, Thian Liong?”

Thian Liong termenung. Dia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Tugas tugas yang diberikan gurunya
kepadanya masih belum dapat dia selesaikan dengan sempurna. Memang, dia sudah berhasil membantu
dan membela Kerajaan Sung sehingga terbebas dari pengaruh Chin Kui yang berkhianat. Akan tetapi
kitab kitab yang harus dia kembalikan kepada para pemiliknya, masih ada satu yang belum dapat dia
kembalikan, yaitu kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun lun-pai yang dicuri gadis baju merah itu.
Tugas utama sekarang adalah mencari gadis pencuri itu dan merampas kembali kitab untuk
dikembalikan kepada yang berhak, yaitu Kun-lun-pai.

“Hei, kenapa engkau tidak menjawab pertanyaanku?” Pek Hong Nio-cu berkata dengan suara keras.

Thian Liong terkejut dan baru ingat bahwa gadis itu tadi mengajukan pertanyaan kepadanya. “Apa? O
ya, aku hendak melanjutkan perantauanku, Nio-cu. Engkau tahu bahwa aku masih mempunyai sebuah
tugas penting, yaitu mencari gadis pakaian merah yang telah mencuri kitab kuno yang harus kuserahkan
kembali kepada Kun-lun-pai. Kalau aku belum dapat merampas kembali kitab itu dan
mengembalikannya kepada Kun-lun-pai yang berhak, berarti tugas yang diberikan suhu kepadaku belum
kulaksanakan dengan baik.”

“Hemm, gurumu itu agaknya tukang bagi-bagi kitab, ya? Engkau harus menyerahkan kitab ke Siauw-lim-
pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai!” kata Pek Hong Nio-cu berkelakar.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 378

“Hemm, dan juga membagikan sebagian kitabnya kepadamu, bukan?”

Pek Hong Nio-cu tersenyum akan tetapi matanya memandang wajah pemuda itu penuh selidik lalu
bertanya dengan nada serius. “Thian Liong, katakan sebenarnya, apakah betul bahwa Paman Sie yang
menjadi sahabat ibuku dan juga yang memberi kitab-kitab dan hiasan rambut padaku ini adalah gurumu
juga, Tiong Lee Cin-jin?”

“Betul tidaknya tentu saja aku tidak bisa memastikan karena aku belum pernah melihat pamanmu itu.
Akan tetapi, kita berdua sudah berhadapan dengan dia ketika dia membebaskan kita dari kamar
tahanan. Dia itu benar-benar suhuku Tiong Lee Cin-jin. Masa aku lupa kepada guruku sendiri yang telah
mendidik aku selama sepuluh tahun? Dia itu benar-benar guruku, dan buktinya dia menolongku dan
menyuruh aku menolong Kaisar.”

“Hemm, sama saja denganku kalau begitu. Walaupun baru satu kali aku melihat Paman Sie di taman itu
ketika dia bercakap-cakap dengan ibuku, aku tidak pernah dapat melupakan wajahnya. Yang menolong
kita di utara dulu dan di kamar tahanan istana itu jelas Paman Sie!”

“Wah, kalau begitu tidak salah lagi. Aku tidak berbohong dan aku yakin engkau juga tidak berbohong.
Kesimpulannya adalah bahwa Paman Sie itu adalah juga guruku, dan suhu Tiong Lee Cin -jin itu juga
pamanmu.”

“Nah, itu baru adil namanya. Jadi kalau begitu, engkau pasti adalah suhengku (kakak seperguruanku).”

“Dan engkau su-moiku (adik seperguruanku)!”

“Mulai sekarang aku akan menyebutmu suheng!”

“Dan aku akan menyebutmu sumoi!”

“Suheng, engkau hendak mencari pencuri kitab itu? Ke mana engkau hendak mencarinya?”

“Itulah yang menjengkelkan, su-moi. Aku tidak mengetahui siapa nama pencuri itu, hanya mengenal
mukanya dan aku tidak tahu sama sekali di mana ia berada.”

“Hemm, kalau begitu, ke mana engkau hendak mencarinya? Ah, aku ingat sekarang. Engkau pernah
bercerita kepadaku bahwa ilmu silat gadis pencuri itu mempunyai dasar ilmu silat para pendeta Lhama
di Tibet. Dan ia mencuri kitab itu ketika engkau berada di pegunungan Kun-lun-san. Maka, menurut
pendapatku, ia pasti tinggal di daerah barat, sekitar pegunungan Kun-lun-pai dan daerah Tibet. Kukira
engkau harus mencarinya ke sana, suheng!”

Thian Liong mengangguk-angguk. “Kurasa pendapatmu itu benar sekali. Baik, aku akan mencarinya di
daerah barat itu, su-moi.”

“Bagus, kalau begitu, aku akan pergi bersamamu!” kata Pek Hong Nio-cu dengan suara pasti dan wajah
berseri.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 379

“Ahh?” Thian Liong memandang gadis itu dengan heran. “Akan tetapi, bukankah engkau harus pulang ke
utara, su-moi? Orang tuamu tentu akan menanti nantimu. Pula, perjalananku mencari maling itu belum
pasti berapa lamanya!”

Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata tajam penuh selidik. “Suheng,
engkau merasa keberatan kalau aku ikut denganmu? Kalau keberatan katakan saja!”

Ditanya demikian itu, tentu saja Thian Liong menjadi tersudut dan serba salah. Tentu saja hatinya tidak
pernah merasa keberatan karena melakukan perjalanan dengan gadis yang baik budi, gagah perkasa dan
menyenangkan ini membuat perjalanannya tidak membosankan, bahkan menggembirakan. Akan tetapi
bagaimanapun juga, Pek Hong Nio-cu adalah seorang gadis, puteri Kerajaan Kin pula. Tentu saja hal ini
akan dipandang orang-orang sebagai hal yang tidak pantas!

“Hei, kenapa diam saja, suheng? Kalau engkau merasa keberatan katakan saja sejujurnya!” Pek Hong
Nio-cu membentak sehingga Thian Liong terkejut dan sadar dari lamunannya.

“Eh...... ohh...... tidak sama sekali, su-moi. Aku senang melakukan perjalanan bersamamu. Akan tetapi
engkau harus pulang dan......”

“Inipun merupakan perjalananku untuk pulang, hanya melalui daerah barat. Aku ingin membantum u
menemukan maling itu, suheng. Dari daerah itu kita dapat menemui Paman Kuang yang bentengnya
berada di sana dan kita minta bantuannya agar dia mengerahkan para penyelidik untuk disebar dan
mencari gadis pakaian serba merah yang telah mencuri kitabmu itu. Persoalannya sekarang hanya,
engkau memutuskan boleh atau tidak aku melakukan perjalanan bersamamu. Kalau tidak boleh,
sekarang juga kita berpisah dan aku kembali ke utara dan agaknya tidak mungkin kita akan saling
bertemu lagi......”

“Ah, tentu saja boleh sekali, su-moi!” potong Thian Liong.

“Kalau boleh, mari kita melanjutkan perjalanan kita. Menuju ke Kun-lun-san dan Tibet!” Suara Pek Hong
Nio-cu seperti bersorak dan wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga
Thian Liong terpesona karena gadis itu tampak cantik jelita sekali.

Setelah berkata demikian, Pek Hong Nio-cu melarikan kudanya dengan cepat. Thian Liong juga cepat
mengejar dan dua ekor kuda pemberian Kwee-ciangkun itu, kuda-kuda yang tinggi besar dan kuat, kini
seperti berlumba berlari cepat menuju ke barat laut.

Setelah melakukan perjalanan berkuda selama beberapa pekan, pada suatu pagi yang cerah Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu tiba di kaki pegunungan di Propinsi Shansi. Di bawah sinar matahari pagi yang
cerah mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang
indah di daerah pegunungan itu.

Ketika mereka tiba di lereng bukit di pegunungan Cin-ling-san itu, Pek Hong Nio-cu menahan kudanya
dan memandang ke bawah di mana terbentang pemandangan alam yang amat indahnya. Sinar matahari
yang putih kekuningan itu memandikan permukaan bumi di bawah sana. Thian Liong juga menghentikan
kudanya berdampingan dengan Pek Hong Nio cu dan melihat wajah gadis itu berseri, matanya berbinar
dan mulutnya tersenyum, tampak terpesona dan berbahagia, dia juga memandang ke arah yang
dipandang Pek Hong Nio-cu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 380

“Aahhh….....” gadis itu menarik napas panjang setelah tadi seolah ia menahan napasnya saking kagum
menyaksikan pemandangan indah itu. “Alangkah indahnya......, bukan main...... sungguh luar biasa,
suheng, lihat itu air danau kecil berkilauan, puncak pepohonan seperti berhiaskan emas, gundukan
bukit-bukit itu...... ah, semuanya seolah tersenyum, begitu hidup......”

Thian Liong tersenyum. “Su-moi, tahukah engkau di mana sesungguhnya keindahan itu terdapat?”

“Eh? Di bawah sana itu, pemandangan alam ini, sinar matahari, lihat burung-burung kecil
beterbangan...... ah, semua inilah tempat keindahan!”

“Bukan, su-moi. Keindahan itu terdapat di dalam hatimu!”

“Hemm, bagaimana maksudmu, suheng?”

“Begini, su-moi. Kalau hati sedang tenteram bahagia, tidak terganggu perasaan nafsu apapun, maka
segala sesuatu tampak indah bukan main. Bahkan di waktu hujan atau dalam keadaan apa dan
bagaimanapun, akan tampak indah karena segala sesuatu memiliki sifat dan ciri yang khas. Keindahan
itu pencerminan kebahagiaan. Kalau hatimu berbahagia, maka apapun akan tampak indah. Sebaliknya,
kalau hati tidak tenteram bahagia, terganggu ulah nafsu yang menimbulkan kecewa, marah, benci,
dengki, iri, khawatir, takut, bingung, sedih dan sebagainya, apapun yang kita hadapi akan tampak jelek
dan sama sekali tidak menyenangkan!”

Pek Hong Nio-cu tertegun, berpikir, merenungkan ucapan Thian Liong, kemudian berkata, “Hemm, aku
mulai dapat mengerti apa yang kaumaksudkan, suheng. Akan tetapi berilah contoh agar jelas!”

“Kalau hati kita tenteram bahagia, segala tampak indah, hujan atau panas, siang atau malam, apa saja,
tampak indah karena keadaan tenteram bahagia itu mendatangkan kasih. Kalau hati kita sedang
tenteram bahagia, semua orang, siapa saja, akan tampak seperti sahabat yang menyenangkan.
Sebaliknya kalau hati diusik nafsu menimbulkan segala macam perasaan tadi, hujan maupun panas
tampak mengganggu, siang maupun malam menjengkelkan dan kalau bertemu orang, siapa saja,
tampak menjengkelkan seperti musuh. Kalau hati kita tenteram bahagia, ada seekor kucing mendekat,
kita ingin membelainya dengan hati sayang, sebaliknya kalau kita kehilangan tenteram bahagia, ada
kucing mendekat, kita ingin menendangnya dengan benci.”

Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Wah, sekarang aku dapat merasakan kebenaran kata-katamu itu, suheng!
Akan tetapi, bagaimana caranya agar hati kita selalu tenteram bahagia agar segala sesuatu tampak indah
menyenangkan?”

“Tidak ada caranya, su-moi. Kita hanya membuka hati sanubari dan mohon kepada Thian (Tuhan) untuk
bersemayam dalam hati kita. Kalau sudah begitu, dalam keadaan apapun juga, sehat atau sakit, untung
atau rugi, hati kita akan selalu tenteram bahagia.”

“Wah, mungkinkah itu, suheng? Dalam keadaan sakit dan tertimpa malapetaka, bagaimana kita dapat
merasa tenteram bahagia?” gadis itu membantah.

“Kenapa tidak dapat, su-moi? Kebahagiaan bukanlah kesenangan badan dan pikiran. Dalam keadaan
apapun juga, kita akan merasa tenteram bahagia karena kita yakin bahwa Thian beserta kita,

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 381

kesengsaraan badan tidak akan mempengaruhi batin yang sudah menyerah sebulatnya berdasarkan
iman kepadaNya.”

“Hebat......! Dari mana engkau mendapatkan pengertian seperti itu, suheng?”

“Suhu Tiong Lee Cin-jin banyak memberi petunjuk, akan tetapi hanya Kekuasaan Thian yang
membimbing sehingga kita dapat mengerti. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang mustahil, tidak ada
yang sukar bagi Thian. Di dalam tanganNya, kita akan selalu merasa tenteram bahagi a, dalam keadaan
apa dan bagaimanapun juga.”

“Wah, sungguh engkau beruntung dapat menjadi murid Paman Sie dan langsung mendapatkan petunjuk
darinya! Kalau begitu, sekarang engkau adalah seorang yang selalu merasa tenteram bahagia, suheng?”

Thian Liong tersenyum dan menghela napas panjang. “Su-moi, kita adalah manusia, mahluk yang
bergelimang dosa. Thian selamanya tak pernah meninggalkan kita sedetikpun. KekuasaanNya bekerja
juga dalam diri kita. Sebentar saja kekuasaanNya meninggalkan kita dan tidak bekerja, kita akan mati.
Kita manusia lemah dan aku juga seorang manusia, su-moi dengan segala kelemahanku pula. Bukan
Thian yang menjauhkan diri dari kita, melainkan kita yang menjauhkan diri dari Thian kalau kita terseret
oleh nafsu nafsu yang menguasai diri kita lahir batin. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini,
sumoi. Yang Maha Sempurna hanya Thian. Segala ciptaanNya pada semula adalah sempurna, namun
kesempurnaan itu dicemari oleh dosa kita manusia sendiri. Kita harus belajar, su -moi, belajar dan
mengajar diri sendiri agar selalu mendekatkan diri dengan penyerahan yang tulus ikhlas kepada Tuhan
Yang Maha Kasih dan Maha Kuasa.”

Mereka turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kuda mereka makan rumput yang hijau segar.
Tempat mereka berhenti itu merupakan padang rumput yang cukup luas dan landai. Mereka ingin
menikmati keindahan itu lebih lama lagi dan mereka duduk di atas batu gunung.

Tiba-tiba Pek Hong Nio-cu berseru, “Hei, itu ada banyak orang mendaki ke sini, suheng!”

Thian Liong memandang ke arah itu dan benar saja, dia melihat belasan orang mendaki lereng bukit itu
ke arah mereka. Dan melihat betapa mereka itu berlari cepat mendaki bukit, dapat diketahui bahwa
mereka bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Setelah rombongan itu tiba cukup dekat sehingga wajah mereka tampak jelas, Thian Liong bangkit
berdiri dan berseru, “Hei, mereka adalah orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai!”

Pek Hong Nio-cu juga bangkit dan berseru, “Dan itu adalah si jahanam Cia Song dan dua orang gadis
Kun-lun-pai tak tahu malu itu!”

Thian Liong mengerutkan alisnya. Dia mengenal Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai, juga Kim Lan dan
Ai Yin di antara para tokoh Kun-lun-pai dan dengan kaget dia mengenal Hui Sian Hwesio, Cu Sian Hwesio,
dan juga Cia Song di antara para tokoh Siauw-lim-pai. Jumlah para tokoh Kun-lun-pai ada sembilan orang
dan para tokoh Siauw-lim-pai ada enam orang! Hemm, ada apa lagi ini, pikirnya.

Melihat sikap orang-orang itu, Pek Hong Nio-cu berbisik kepada Thian Liong.

“Hati-hati, suheng, agaknya si jahanam Cia Song membuat ulah lagi!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 382

Setelah tiba di depan Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, Ketua Siauw-lim-pai Hui Sian Hwesio, wakil
ketua Siauw-lim pai Cu Sian Hwesio berdiri dengan alis berkerut di depan kedua orang muda itu
sedangkan di samping pimpinan Siauw lim-pai ini berdiri pula Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai
yang dari wajahnya dapat diketahui bahwa mereka marah sekali. Cia Song berdiri di belakang pimpinan
Siauw-lim-pai sedangkan Kim Lan dan Ai Yin berdiri di belakang guru mereka. Delapan orang tokoh lain
sudah mengambil posisi mengepung Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.

Karena dia sudah diaku sebagai murid Siauw-lim-pai oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, maka
Thian I.iong mengangkat kedua tangan di depan dada sambil membungkuk kepada kakek itu.

“Suhu......,” katanya dengan hormat.

“Tidak perlu engkau menyebut suhu kepada suheng!” bentak Cu Sian Hwesio. “Engkau tidak pantas
menjadi murid Siauw-lim-pai dan mulai saat ini engkau bukan murid, melainkan musuh Siauw lim-pai.”

“Ji-suhu (Guru kedua), harap jelaskan, apa kesalahan teecu (murid) maka pimpinan Siauw -lim-pai begini
marah kepada teecu?” tanya Thian Liong, sikapnya masih tenang karena dia tidak merasa melakukan
kesalahan apapun terhadap Siauw-lim-pai.

“Engkau masih ada muka untuk bertanya apa kesalahanmu? Jangan pura pura tidak tahu, Souw Thian
Liong! Engkau telah menjadi seorang pengkhianat! Engkau telah begitu rendah menjadi kaki tangan
Kaisar Kin, kemudian engkau memberontak terhadap Kerajaan Sung! Itu semua masih ditambah lagi
dengan perbuatanmu yang keji terhadap Kun-lun pai! Sebagai bekas murid Siauw-lim-pai, dosamu tidak
dapat diampuni. Engkau mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai, maka, kami datang sendiri untuk
menghukummu!” kata Cu Sian Hwesio.

“Hemm, teecu siap menerima hukuman kalau memang teecu melakukan kesalahan. Akan tetapi semua
kabar yang suhu terima itu hanyalah fitnah belaka, dan apa pula yang teecu lakukan terhadap Kun -lun-
pai yang suhu anggap perbuatan keji itu?” Thian Liong masih bersikap tenang dan ia menggeleng kepala
terhadap Pek Hong Nio-cu yang sudah mengerutkan alis dan mukanya merah, sinar matanya berapi -api
karena marah.

“Keparat busuk kau!” tiba-tiba Biauw In Su-thai yang terkenal galak itu memaki sambil menudingkan
telunjuknya ke arah muka Thian Liong. “Engkau telah melakukan perbuatan keji terhadap dua orang
muridku ini dan kau masih bertanya-tanya lagi seolah tidak berdosa sama sekali? Perbuatan yang
terkutuk itu harus dihukum dan pin-ni (aku) sendiri yang akan menghukummu!”

Pek Hong Nio-cu tidak mampu menahan kobaran api kemarahan dalam hatinya. Ia maju selangkah,
memandang kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, lalu membentak lantang dengan
kata-kata tajam.

“Heh, kalian ini kakek-kakek Siauw lim-pai dan nenek-nenek Kun-lun-pai! Hanya sebeginikah kesusilaan
kalian sebagai para pimpinan dua perkumpulan yang terkenal besar itu? Kalian ini kakek -kakek dan
nenek-nenek ceroboh dan bodoh seperti anak-anak yang mudah dihasut begitu saja, juga sama sekali
tidak mempunyai keadilan sehingga menuduh berdasarkan fitnah tanpa menyelidiki terlebih dulu. Kalian
tidak pantas menjadi pimpinan partai-partai persilatan besar!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 383

Tentu saja para pimpinan Siauw-lim pai dan Kun-lun-pai terkejut dan marah sekali mendengar kata-kata
yang keras dan tajam menusuk perasaan itu.

“Suhu, perempuan itu adalah puteri Kaisar Kin,” bisik Cia Song kepada dua orang gurunya.

“Oo, jadi engkau ini puteri Kaisar Kin, nona?” tanya Cu Sian Hwesio. “Pantas saja Souw Thian Lion g mau
menjadi pengkhianat bangsa. Kiranya tergila-gila oleh kecantikanmu.”

“Tutup mulutmu kakek jahat! Aku Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tidak sudi menerima
penghinaan dari seorang hwesio tua yang berpura-pura alim seperti kamu!”

“Su-moi......!” Thian Liong mencegah dan menyentuh lengan kiri gadis itu, akan tetapi Pek Hong Nio-cu
mengibaskan lengannya dan tetap menghadapi Cu Sian Hwesio dengan marah. Cu Sian Hwesio berdiri
dalam jarak dua meter dari Pek Hong Nio-cu. Tentu saja dia juga marah mendengar omongan gadis itu.

“Kau anak perempuan jahat!” katanya dan tangan kirinya dijulurkan ke depan.

Lengan itu mulur seperti karet dan tahu tahu sudah dekat sekali, hendak menotok leher Pek Hong Nio -
cu. Gadis ini terkejut melihat lengan yang bisa mulur itu. Akan tetapi ia tidak gentar dan menangkis
tangan itu sambil mengerahkan tenaga sakti pada tangannya yang menangkis.

“Wuuuuttt...... plakkk!” Dua tangan bertemu dan dengan kaget Cu Sian Hwesio menarik kembali
tangannya yang mulur. Dia terkejut bukan main karena tangkisan gadis itu kuat sekali dan dapat
mengimbangi tenaganya. Sebelum dia bergerak lagi, Hui Sian Hwesio menegurnya.

“Sute, hentikan itu!”

Cu Sian Hwesio menahan serangannya dan berdiri dengan alis berkerut.

“Omitohud, nona Puteri Moguhai, bagaimana kami dapat yakin bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kin?”
tanya Hui Sian Hwesio, suaranya lembut.

Watak Puteri Moguhai adalah keras. Kalau ia dikasari, ia akan menjadi marah sekali, akan tetapi kalau
orang bersikap Iembut kepadanya, ia menjadi lemas.

Mendengar pertanyaan itu, ia mencabut pedang bengkoknya dari emas lalu berkata, suaranya juga
lembut.

“Ini adalah pedang tanda kekuasaan yang diberikan Ayahanda Kaisar kepadaku.” Setelah berkata
demikian, ia menyimpan kembali pedang bengkoknya.

“Apakah losuhu ini Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai?” Ia pernah mendengar cerita Thian Liong
tentang ketua ini.

“Benar, nona puteri. Engkau keliru kalau menganggap kami tidak adil. Kami tidak akan menghukum
seorang murid kami kalau tidak ada bukti dan saksi akan kesalahannya. Omitohud, kami akan menjadi
orang-orang berdosa kalau kami menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak bersalah.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 384

“Hemm, jadi losuhu sekalian ini hendak menghukum Souw Thian Liong karena sudah mempunyai bukti
dan saksi bahwa dia benar bersalah?”

“Su-moi, jangan menentang suhu Hui Sian Hwesio!” Thian Liong mencegah Puteri Moguhai.

“Puteri Moguhai, ada hak apakah engkau ikut mencampuri urusan kami dengan seorang murid kami?”
bentak Cu Sian Hwesio penasaran.

Moguhai atau Pek Hong Niocu menegakkan kepalanya dan membusungkan dadanya. “Tentu saja aku
mempunyai hak untuk membela dia, karena dia adalah suhengku. Suheng Souw Thian Liong murid Tiong
Lee Cin-jin, akupun murid Sang Dewa Obat!”

Semua orang terkejut dan Cu Sian Hwesio sekarang tidak merasa heran bahwa tadi puteri Kaisar Kin itu
kuat menolak serangannya.

“Omitohud, kiranya nona puteri adalah murid Tiong Lee Cin-jin. Nah, coba sekarang apa pembelaanmu
terhadap Souw Thian Liong mengenai tuduhan-tuduhan tadi,” kata Hui Sian Hwesio dengan sikap dan
suaranya yang lembut.

“Nah, dengarlah kalian semua! Aku, Puteri Moguhai adalah saksi hidup karena aku mengalami semua
peristiwa yang dituduhkan itu bersama suheng Souw Thian Liong. Suheng sama sekali bukan
pengkhianat seperti yang dituduhkan. Ketika berada di utara, dia membantu aku untuk menentang dan
menghancurkan persekutuan pemberontak yang hendak menggulingkan pemerintahan ayahanda kaisar.
Kami berhasil menghancurkan pemberontak. Jadi, suheng Souw Thian l.iong hanya membantu Kerajaan
Kin untuk menghancurkan pemberontak di sana. Apakah itu dapat diartikan bahwa dia mengkhianati
Kerajaan Sung? Selain itu, ada pula kenyataan yang tentu saja kalian belum mengetahui! Sekarang
dengarkan baik-baik. Para pemberontak di Kerajaan Kin itu bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui.
Kami berdua melihat dan bertemu sendiri dengan utusan Chin Kui yang dikirim ke utara untuk
mendukung pemberontakan itu. Dan kalian mau tahu siapa utusan Perdana Menteri Chin Kui itu?”
Puteri Moguhai berhenti sebentar lalu telunjuk kirinya menuding ke arah muka Cia Song yang berdiri di
belakang Hui Sian Hwesio.
“Dialah orangnya, Cia Song yang jahat itu!”

Tentu saja semua orang terkejut, terutama sekali para pimpinan Siauw-lim pai. Hui Sian Hwesio sampai
menoleh ke belakang, memandang Cia Song.

Cia Song sudah memperhitungkan bahwa tentu Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu ingin membela diri
dengan membongkar rahasia dirinya. Dia sudah siap siaga untuk itu, maka kini dia menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki Hui Sian Hwesio.

“Suhu, ternyata puteri Kaisar Kin ini keji, licik dan jahat sekali. Ia memutar balikkan fakta, bahkan
berbalik melempar fitnah kepada teecu. Tentu saja ia membela Thian Liong yang menjadi kekasihnya.
Teecu menyerahkan kepada kebijaksanaan suhu. Kalau suhu le bih percaya omongan puteri Kaisar Kin
dan hendak menghukum teecu, teecu pasrah dan menyerahkan nyawa teecu. Sejak kecil teecu menjadi
murid Siauw-lim-pai, telah berhutang budi dan akan setia kepada Siauw-lim-pai sampai mati.”

Hui Sian Hwesio menyentuh pundak Cia Song. “Bangunlah! Pinceng percaya kepadamu, Cia Song, dan
tidak akan ceroboh menjatuhkan hukuman begitu saja. Tentu pinceng (aku) lebih percaya kepadantu

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 385

yang sudah belasan tahun menjadi murid kami, sedangkan Thian Liong menjadi murid hanya dalam
beberapa bulan saja. Apalagi keterangan nona puteri dari utara ini, tentu membutuhkan penyelidikan
lebih lanjut.”

“Hemm…...!” Pek Hong Nio-cu mendengus dengan nada mengejek. “Aku sering mendengar bahwa orang
kalau sudah tua menjadi pikun, lemah dan bodoh. Agaknya para pimpinan Siauw-lim-pai juga menjadi
pikun sehingga mudah saja dipermainkan dan dibohongi iblis cilik seperti Cia Song itu!”

“Bocah kurang ajar! Berani menghina pimpinan Siauw-lim-pai?” Cu Sian Hwesio membentak dan ia
sudah menyerang lagi kepada Pek Hong Nio-cu.

“Perempuan jahat dari Kin dan pengkhianat harus mampus!” Cia Song juga sudah menerjang maju.

Pek Hong Nio-cu tidak gentar. Ketika Cu Sian Hwesio menyerangnya, ia cepat mengelak dan membalas
dengan tendangan kaki kiri yang juga dapat ditangkis Cu Sian Hwesio.

Serangan Cia Song kepada Pek Hong Nio-cu ditangkis Thian Liong dan kedua orang muda ini sudah saling
serang.

“Tahan…...!” Hui In Sian-kouw berseru dan suara wanita yang menjadi ketua Kun-lun-pai bagian murid
wanita ini demikian menggetarkan dan amat berwibawa. “Kami yang berhak menghukum Souw Thian
Liong!”

“Sute dan Cia Song, mundurlah!” Hui Sian Hwesio juga berseru. Dua orang penyerang itu terpaksa
mundur dan perkelahian berhenti.

Kini Biauw In Su-thai yang maju. Tokoh Kun-lun-pai yang berusia limapuluh tahun ini terkenal galak.

Seperti kita ketahui, Kui Beng Thaisu, ketua Kun-lun pai telah mengharuskan Biauw In Su-thai menyepi di
pondok pengasingan selama tiga tahun. Akan tetapi setelah Kim Lan dan Ai Yin pulang dan sambil
menangis melaporkan kepada para pimpinan Kun lun-pai bahwa mereka berdua telah diperkosa Souw
Thian Liong, Kui Beng Thaisu memberi ijin kepada Biauw In Su-thai untuk menemani Hui In Sian-kouw
turun gunung mencari pemuda itu dan menghukumnya.

Dalam perjalanan, rombongan Kun-lun-pai ini bertemu dengan rombongan Siauw-lim-pai yang bahkan
dipimpin sendiri oleh ketuanya, yaitu Hui Sian Hwesio yang juga mencari Souw Thian Liong untuk
menghukumnya karena pemuda yang sudah dianggap murid Siauw-lim-pai ini menjadi pengkhianat yang
berarti mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai seperti yang dilaporkan Cia Song kepada para pimpinan
Siauw-lim pai. Dua rombongan itu lalu bergabung dan akhirnya dapat berhadapan dengan Souw Thian
Liong dan Pek Hong Nio-cu.

“Souw Thian Liong! Engkau harus berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang terkutuk
terhadap dua orang murid kami!” Biauw In Su-thai berseru dan wanita galak ini sudah mencabut
pedangnya. “Perbuatanmu yang terkutuk itu harus ditebus dengan nyawamu!”

“Su-thai, apakah kesalahan saya terhadap dua orang murid Su-thai itu?” tanya Souw Thian Liong tenang
sambil memandang ke arah Kim Lan dan Ai Yin yang memandang kepadanya dengan alis berkerut dan
mata berapi-api karena marah.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 386

Kim Lan yang sejak tadi marah sekali, kemarahan yang bukan saja mengingat bahwa ia telah diperkosa
Souw Thian Liong, akan tetapi dikipasi oleh, anehnya, perasaan cemburu melihat betapa pemuda itu
demikian akrab dan dibela puteri cantik Kaisar Kin, melangkah maju dan mencabut pedangnya pula,
diikuti oleh Ai Yin.

“Keparat keji!” Kim Lan menudingkan pedangnya dengan sikap galak. “Engkau masih pura-pura
bertanya? Seolah lupa akan perbuatanmu yang terkutuk terhadap kami berdua!”

Thian Liong memandang heran. “Perbuatan terkutuk? Biadab? Apa yang kaumaksudkan, nona?”

“Engkau masih berpura-pura? Baiklah, kami berdua memang sudah tercemar aib. Biarlah semua orang
mengetahui betapa biadab dan terkutuk engkau, Souw Thian Liong! Di dalam penginapan di kota Kiang -
cu itu, engkau menotok kami berdua lalu...... lalu...... dengan biadab engkau memperkosa kami!” Setelah
berkata demikian, air mata mengalir dari mata Kim Lan, juga Ai Yin.

“Penasaran! Aku tidak melakukan perbuatan keji itu! Apa buktinya? Siapa saksinya?” kata Thian Liong
penasaran.

“Buktinya?” kata Kim Lan dengan suara parau karena bercampur tangis dan ia mengeluarkan sehelai
surat dari saku bajunya, melambaikan surat itu ke atas.

“Ini buktinya, suratmu yang kau tinggalkan di meja kamar penginapan. Engkau bukan saja telah
memperkosa, bahkan engkau juga meninggalkan surat menghina Kun-lun-pai!”

“Saksinya adalah aku!” Tiba-tiba Cia Song berkata lantang. “Aku yang menyaksikan bahwa pada waktu
dua orang nona murid Kun-lun-pai itu berada di Kota Kiang-cu, aku melihat Souw Thian Liong dan puteri
Kin itu juga berada di sana!”

Biauw In Su-thai berteriak, “Kim Lan! Ai Yin! Tak perlu banyak bicara lagi, kita bunuh jahanam ini!” Tokoh
Kun-lun pai ini menerjang, diikuti oleh Kim Lan dan Ai Yin sehingga Thian Liong diancam pengeroyokan
tiga orang wanita yang pandai mainkan Thian-lui-kiam-sut (llmu Pedang Kilat Guntur) itu.

Pek Hong Nio-cu juga mencabut pedang bengkoknya dan melompat ke depan Thian Liong untuk
melindungl pemuda yang masih berdiam tenang dan tidak mencabut pedangnya itu. Pek Hong Nio cu
bersiap melawan tiga orang wanita Kun-lun-pai itu. Melihat ini, tiga orang wanita itu menjadi semakin
marah.

“Bentuk Thian-lui-kiam-tin (Pasukan Pedang Kilat Guntur)!” kata Biauw In Su-thai. Mereka sudah
bergerak dan siap menyerang. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tampak sesosok bayangan
merah berkelebat.

“Tahan senjata!” Dan di dekat Pek Hong Nio-cu, berhadapan dengan tiga orang wanita Kun-lun-pai,
sudah berdiri seorang gadis berpakaian serba merah muda. Melihat gadis cantik jelita dengan sepasang
mata indah yang mencorong dan bentuk mulut yang menggairahkan, Thian Liong terkejut.

“Engkau......?” dia membentak karena segera dia mengenal gadis yang dulu mencuri kitab Ngo -heng
Lian-hoan Kun hoat dari tangannya!

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 387

Han Bi Lan, gadis itu, menoleh dan tersenyum kepada Thian Liong berkata, “Ya, aku! Aku pernah
bersalah kepudamu dan sekarang aku hendak menebus kesalahan itu dengan membelamu!”

Biauw In Su-thai membentak. “Apa yang kaulakukan ini? Souw Thian Liong itu musuh kita! Dia telah
menodai dua orang kakak seperguruanmu. Mari bantu kami bunuh dia!”

Mendengar ini Thian Liong menjadi terheran-heran. Jadi, gadis yang mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan
Kun-hoat itu adalah murid Kun-lun-pai? Kenapa mencuri sendiri kitab milik Kun-lun-pai dan kini berbalik
membelanya?

“Tidak, bibi guru. Saya tadi sudah mendengar semua dan saya yakin bahwa Souw Thian Liong bukanlah
seorang jahat. Tuduhan ini harus diselidiki lebih dulu kebenarannya!” Gadis baju merah itu membantah.

Hui In Sian-kouw berkata, suaranya lembut namun mengandung teguran. “Tuduhan itu sudah ada bukti
dan saksinya, bukan hanya fitnah belaka. Harap engkau tidak mengkhianati Kun-lun-pai dan menjadi
murid yang ikut mempertahankan dan menjaga kehormatan Kun-lun-pai.”

“Maaf, subo (ibu guru), teecu bukan hendak berkhianat. Malah teecu ingin menjaga agar pimpinan Kun-
lun-pai tidak bertindak salah menghukum orang yang tidak berdosa. Harap subo ingat bahwa Souw
Thian Liong adalah murid! Tiong Lee Cin-jin yang sudah berjasa mengembalikan kitab pusaka milik Kun-
lun-pai yang hilang, dan tidak sembarangan menjatuhkan hukuman kepadanya sebelum jelas bukti -
buktinya,” gadis itu membantah.

“Bagus!” Pek Hong Nio-cu bertepuk tangan memuji. “Suheng, sobat muda ini ternyata lebih u-ceng-li
(punya aturan) daripada para nenek Kun-lun-pai!” Lalu Pek Hong Nio-cu menghadapi Hui In Sian kauw.
“Apakah engkau pimpinan Kun-lun pai yang bertanggung jawab?”

“Benar, pin-ni (aku) adalah Hui In Sian-kouw, ketua bagian murid wanita Kun-lun-pai,” jawab pendeta
wanita itu.

“Bagus, kalau begitu aku mau bicara denganmu. Dengarlah, kalian semua, seperti juga tuduhan pihak
Siauw-lim-pai, tuduhan pihak Kun-lun-pai terhadap Souw Thian Liong juga palsu dan tidak benar sama
sekali. Bukti itu menunjukkan kebersihan suheng Souw Thian Liong karena surat itu adalah tulisanku
yang sengaja kulempar ke atas meja dalam kamar dua orang murid Kun-lun-pai itu. Sama sekali bukan
tulisan suheng Souw Thian Liong! Mau tahu bahwa aku tidak berbohong? Baik, akan kubacakan apa yang
kutulis itu karena aku masih ingat. Bunyinya tentu begini :

‘Murid-murid perempuan Kun-lun-pai tak tahu malu. Memaksa seorang la laki-laki menjadi suaminya.
Begitukah pelajaran yang kalian dapatkan dari Kun-lun-pai?’

Nah, coba baca surat itu, persis tidak dengan kata-kataku tadi? Kalau perlu aku akan menulis agar
diketahui bahwa surat itu aku yang menulis!”

“Perempuan keparat! Berani engkau menghina Kun-lun-pai!” bentak Biauw In Su-thai sambil
mengelebatkan pedangnya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 388

“Heh-heh, engkau yang bernama Biauw In Su-thai, bukan?” Pek Hong Nio-cu mendengar nama ini dari
cerita Thian Liong. “Jadi engkau ini guru dua orang murid perempuan itu, engkau yang memaksa mereka
untuk memaksa suheng Souw Thian Liong menjadi suami muridmu dan kalau suheng menolak harus
dibunuh? Oh, aturan mana itu?”

“Jahanam......!” Biauw In Su-thai hendak menyerang akan tetapi Hui In Sian-kauw mencegahnya.

“Tahan, su-moi. Puteri Moguhai, andaikata benar kesaksianmu tentang bukti itu, masih ada lagi
kesaksian murid Siauw-lim-pai Cia Song bahwa dia melihat engkau dan Souw Thian Liong berada di kota
Kiang-cu ketika peristiwa yang menimpa dua orang murid kami itu terjadi,” kata Hui In Sian-kauw.

“Memang benar bahwa kami berada di kota itu. Akan tetapi aku yang mendatangi kamar penginapan
mereka itu, dan aku menjadi saksi bahwa suheng Souw Thian Liong malam itu sama sekali tidak keluar
dari kamarnya, sesuai dengan anjuran si Cia Song itu agar suheng malam itu tidak keluar dari kamarnya.”

“Bohong, puteri Kaisar Kin itu bohong, sengaja memutarbalikkan kenyataan. Ia berbahaya sekali! Tidak
mungkin suhu dan para susiok lebih percaya ia dan Souw Thian Liong daripada teecu! Kita bunuh
mereka!” teriak Cia Song.

“Subo, teecu yakin Souw Thian Liong itu yang menodai teecu berdua. Teecu mendengar suaranya ketika
dia mengejek dengan kata-kata: “Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong”, lalu dia tertawa lirih,” kata
Kim Lan.

“Teecu juga mendengar suaranya itu!” kata pula Ai Yin.

Cia Song, Kim Lan, dan Ai Yin sudah menerjang Thian Liong dengan pedang mereka. Akan tetapi Pek
Hong Nio-cu menangkis serangan dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu dan Thian Liong mengelak dari
serangan Cia Song yang dahsyat. Thian Liong masih merasa ragu untuk menggunakan pedangnya karena
dia berhadapan dengan para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang dia hormati dan dia tahu
bahwa mereka itu hanya terkena hasutan Cia Song saja.

“Omitohud, menyerahlah Thian Liong. Kami hendak menangkapmu dan akan mengadili setelah meneliti
perkara ini! Tangkap saja dia, jangan bunuh!” kata Hui Sian Hwesio.

Akan tetapi hanya Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai dan Hui In Sian-kouw ketua Kun-lun-pai saja
yang tidak tergesa mengambil keputusan untuk membunuh Souw Thian Liong. Mereka yang lain sudah
terpengaruh kesaksian Cia Song dan pengakuan Kim Lan dan Ai Yin maka mereka menyerang dengan
dahsyat untuk membunuh Souw Thian Liong.

Dengan marah Pek Hong Nio-cu menggerakkan pedangnya untuk membela Thian Liong dari
pengeroyokan belasan orang yang semua memiliki tingkat kepandaian silat yang sudah tinggi itu.
Melihat betapa Thian Liong dikeroyok belasan orang dan dibantu oleh Pek Hong Nio-cu yang ia tadi
dengar adalah Puteri Moguhai dari Kerajaan Kin, Han Bi Lan tidak tinggal diam dan iapun cepat
mencabut pedangnya dan membela Thian Liong. Gerakan Han Bi Lan ini dahsyat bukan main dan ia
sengaja menerjang ke arah para pengeroyok dari Siauw-lim-pai karena untuk melawan orang-orang Kun-
lun-pai ia masih merasa sungkan.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 389

Biarpun tingkat kepandaian tiga orang muda ini, terutama sekali tingkat kepan-daian Souw Thian Liong
dan Han Bi Lan, sudah tinggi dan tangguh sekali, namun mereka menghadapi pengeroyokan tigabelas
orang yang rata-rata juga menguasai ilmu silat tingkat tinggi. Apalagi karena Thian Liong sendiri hanya
bertahan, tidak membalas kepada para pengeroyok lain kecuali kepada Cia Song, maka tentu saja tiga
orang muda ini terdesak hebat.

Tiba-tiba terdengar lengkingan nyaring dan tampak bayangan hijau berkelebat memasuki perkelahian
dan terdengar suara seorang wanita.

“Liong-ko (kakak Liong), jangan khawatir. Aku datang membantumu!” teriak seorang gadis berpakaian
serba hijau, dan ia sudah memegang Siang-kiam (sepasang pedang) dan mengamuk, membantu Thian
Liong menghadapi para pengeroyok!

“In-moi (adik In)!” Thian Liong berseru dan hatinya diliputi kebingungan karena dia telah membuat tiga
orang gadis, yaitu Pek Hong Nio-cu, Si baju merah, dan Thio Siang In, terlibat dalam urusannya dengan
Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, juga aneh sekali, pada saat terdesak dan terancam seperti itu, Thian
Liong teringat akan persamaan wajah antara, Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Dan
sekarang dia teringat bahwa wajah mereka berdua itu persis sama. Bedanya hanya warna pakaian.

Kalau Pek Hong Nio-cu berpakaian serba putih, Ang Hwa Sian-li berpakaian serba hijau. Selain pakaian,
juga cara menyanggul rambut mereka berbeda. Kalau rambut Pek Hong Nio-cu digelung model Puteri
Kin, rambut Ang Hwa Sian-li model gadis Han. Masih ada lagi perbedaan pada wajah yang dapat
membuat dia bisa mengenal mana yang satu dan mana yang yaitu pada letak tahi lalat kecil hitam. Tahi
lalat Pek Hong Nio-cu berada di pipi kanan, sedangkan tahi lalat Ang Hwa Sian-li berada di pipi kiri!

“Singgg...... tranggg! Brettt!” Thian Liong terkejut juga. Dia menangkis dua pedang akan tetapi sebatang
pedang lain hampir saja mengenai dadanya. Dia masih dapat mengelak dan bajunya yang terobek. Ini
akibat dia melamun dan membayangkan dua orang gadis yang berwajah mirip satu sama lain itu!

Biarpun kini dibantu lagi oleh Ang Hwa Sian-li dan tiga orang gadis jelita itu bersungguh-sungguh
melakukan pertawanan untuk membela Thian Liong, tetap saja mereka berempat terdesak hebat.
Apalagi setelah Hui Sian Hwesio maju pula menyerang Thian Liong. Pemuda itu tentu saja merasa
sungkan untuk melawan Hui Sian Hwesio dan hanya menghindarkan diri dengan tangkisan dan elakan.
Serangan para pengeroyok lain dengan senjata dia hadapi dengan tangkisan Thian-liong-kiam. Maka dia
terdesak hebat.

Han Bi Lan yang paling tangguh di antara tiga orang gadis yang membela Thian Liong, tiba-tiba harus
berhadapan dengan Hui In Sian-kouw yang menyerangnya dengan pedang. Sesungguhnya, tingkat
kepandaian Han Bi Lan pada saat itu masih tidak tertandingi oleh Hui In Sian-kouw, akan tetapi
menghadapi serangan ketua Kun-lun-pai bagian wanita ini, Han Bi Lan menjadi rikuh bukan main. Di
antara para pimpinan Kun-lun-pai, hanya dua orang yang dia hormati, yaitu Kui Beng Thaisu dan Hui In
Sian-kouw. Kini Hui In Sian-kouw menyerangnya, maka iapun hanya berani menangkis dan mengelak.
Padahal ia dikeroyok banyak orang. Maka seperti Thian Liong, Bi Lan juga hanya mampu bertahan dan
terdesak hebat.

Secara tidak disengaja, Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li bersatu, saling membelakangi menghadapi
pengeroyokan sepuluh orang sehingga mereka terlindung di bagian belakang atau saling melindu ngi.
Akan tetapi mereka berdua juga hanya mampu menangkis dan tidak dapat membalas.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 390

Dalam keadaan terancam bahaya, empat orang itu menjadi nekat. Pada saat itu, terdengar seruan
lembut, namun suara itu menggetar udara dan mengguncang jantung semua orang.

“Sian-cai (damai)......! Kekerasan sama sekali bukan cara terbaik untuk menye -lesaikan persoalan!”

Hui Sian Hwesio sendiri, seorang yang paling tinggi kedudukan dan tingkat ilmu kepandaiannya,
melompat ke belakang karena merasakan getaran yang amat kuat terkandung dalam suara itu. Juga
yang merasakan guncangan jantung dan mereka juga melompat ke belakang sambil menoleh dan
memandang kepada orang yang mengeluarkan kata-kata itu.

Orang itu berada dalam jarak belasan meter dari situ dan kini dia melangkah dan menghampiri mereka
dengan tenang dan bibirnya tersenyum penuh kesabaran dan pengertian. Pakaiannya hanya kain
berwarna kuning dilibat-libatkan ke tubuhnya. Rambut yang sudah berwarna dua diikat dengan pita
kuning pula. Walaupun pakaiannya amat sederhana, namun tampak bersih. Mukanya bulat dengan dagu
meruncing, matanya tajam mencorong namun lembut dan hidungnya mancung. Laki -laki berusia
enampuluh tahun lebih ini menunjukkan bekas ketampanan. Tubuhnya sedang namun masih tampak
kuat. Dengan senyum yang khas dia menghampiri mereka dan kata-katanya tenang lembut namun
terdengar jelas se-kali seolah dia bicara di dekat telinga semua orang.

“Betapa menyedihkan. Kejahatan dan ketidakadilan hampir selalu berada di atas angin tanpa disadari
oleh manusia yang bersangkutan!”

“Suhu......!” Thian Liong segera menjatuhkan diri berlutut menghadap laki -laki yang bukan Iain adalah
Tiong Lee Cin-jin itu.

“Paman Sie......!” Pek Hong Nio-cu juga berseru dan menghampiri orang itu, wa-jahnya berseri gembira.

“Bangunlah, Thian Liong. Dan engkau, Moguhai, mundurlah dulu, anak yang baik, biarkan aku
menghadapi mereka dan menyelesaikan persoalan ini,” kata Tiong Lee Cin-jin.

Pek Hong Nio-cu gembira sekali disebut anak yang baik! Ia dan Thian Liong berdiri di dekat Han Bi Lan
dan Ang Hwa Sian-li, dua orang gadis yang tadi membantu mereka.

“Terima kasih atas bantuan kalian berdua,” kata Pek Hong Nio-cu dengan ramah. Akan tetapi ketika ia
beradu pandang dengan Ang Hwa Sian-li, mereka berdua terkejut dan terbelalak karena mereka merasa
seolah-olah memandang dirinya sendiri dalam cermin. Keduanya menjadi salah tingkah, bingung dan
juga tegang, lalu mengalihkan perhatiannya memandang ke arah Tiong Lee Cin-jin. Sementara itu, Thian
Liong memandang kepada Bi Lan dengan alis berkerut dan sinar mata menegur, akan tetapi Bi Lan
menyambutnya dengan senyum mengejek!

“Omitohud!” kata Hui Sian Hwesio yang menghampiri dan berhadapan dengan Tiong Lee Cin -jin,
“Kelirukah pinceng kalau menduga bahwa yang datang ini adalah Tiong Lee Cin-jin?” Ketua Siauw-lim-pai
ini mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi salam dengan sembah.

“Tidak keliru, memang saya yang disebut orang Tiong Lee Cin-jin, Hui Sian Hwesio.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 391

“Omitohud! Pinceng mendapat kesempatan bertemu muka untuk mengucapkan terima kasih atas
pengembalian kitab Sam-jong-cin-keng!” kata ketua Siauw-lim-pai itu.

“Kami juga mengucapkan terima kasih atas pengembalian kitab kami Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, Cin-
jin,” kata Hui In Sian-kouw.

Tiong Lee Cin-jin menggoyang tangannya. “Tidak perlu berterima kasih kepada saya, karena sudah
sewajarnya dan seharusnya kalau kitab-kitab itu kembali kepada pemiliknya yang sah. Kita bicarakan
saja soal lain. Saya melihat tadi betapa para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai mengeroyok Souw
Thian Liong yang dibantu tiga orang gadis ini. Saya melihat betapa hal itu memalukan, dan tidak pantas.
Para pimpinan dua perkumpulan besar mengeroyok empat orang muda!”

Dengan wajah berubah kemerahan karena merasa malu, Hui Sian Hwesio berkata, “Omitohud! Urusan
kami dengan Souw Thian Liong merupakan urusan seorang murid dengan perguruannya, Cin-jin.”

Tiong Lee Cin-jin tersenyum, “Begitukah, Hui Sian Hwesio? Berapa lama Thian Liong diangkat menjadi
murid Siauw-lim-pai? Berapa bulan? Harap diingat bahwa Thian Liong menjadi murid saya selama
sepuluh tahun! Apakah kenyataan itu tidak membuat saya lebih berhak mengurus persoalan murid saya
ini dibandingkan Siauw-lim-pai?”

“Omitohud, ucapan Cin-jin memang tak dapat dibantah kebenarannya. Akan tetapi, Cin-jin, urusan ini
adalah urusan Thian Liong dengan Siauw-lim-pai. Dia telah mencemarkan nama Siauw-lim-pai karena dia
telah diaku sebagai murid dan untuk itu tidak mungkin kami mendiamkannya saja. Ada aturan dalam
perkumpulan kami bahwa murid yang melakukan perbuatan sesat se hingga mencemarkan nama Siauw-
lim-pai harus dihukum.”

“Saya tidak ingin menentang peraturan Siauw-lim-pai, akan tetapi ada peraturan yang menjadi hukum
alam semesta, bahwa hanya yang bersalah saja yang harus dihukum. Apakah Siauw -lim-pai hendak
melanggar hukum itu dan hendak menghukum orang yang tidak bersalah? Di mana letak keadilan yang
katanya se-lalu dijunjung tinggi oleh para pendekar Siauw-lim-pai?”

“Omitohud, Tiong Lee Cin-jin, selamanya Siauw-lim-pai tidak akan menyalahi hukum itu. Yang dihukum
hanya yang bersalah dan Souw Thian Liong jelas bersalah!”

Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar dan menudingkan telunjuknya kepada Cia Song yang bersembunyi di
balik punggung Hui Sian Hwesio.

“Yang melaporkan tentang semua kesalahan Thian Liong itu tentu muridmu yang kini bersembunyi di
belakang punggungmu itu, bukan? Hui Sian Hwesio dan semua yang hadir, dengarlah. Saya sendiri yang
menjadi saksi ketika Cia Song ini mewakili Perdana Menteri Chin Kui membantu para pemberontak di
utara, sedangkan Thian Liong hanya membantu Puteri Moguhai untuk menghancurkan pemberontakan!
Apakah perbuatan itu kalian anggap suatu pengkhianatan terhn-dap Kerajaan Sung dan mencemarkan
nama Siauw-lim-pai Bahkan Kaisar Sung Kao Tsu sendiri tidak menganggap Thian Liong sebagai
pengkhianat, bahkan telah menerima Thian Liong dan Puteri Moguhai sebagai tamu kehormatan yang
sudah berjasa!”

Mendengar ucapan ini, Hui Sian Hwesio, Cu Sian Hwesio dan para tokoh Siauw -lim-pai lainnya kini
memandang kepada Cia Song yang bersembunyi di belakang Hui Sian Hwesio.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 392

“Cia Song!” Hui Sian Hwesio berseru, suaranya masih lembut namun nadanya menegur. “Benarkah
semua yang pinceng dengar itu?”

Cia Song hanya menunduk dengan wajah merah. Pada saat itu Puteri Moguhai tertawa, suara tawanya
nyaring dan bebas.

“Heh-heh-heh, kalian para pimpinan Siauw-lim-pai memang seperti kanak-kanak yang mudah dibohongi,
seperti kataku tadi. Kalian hendak medengar cerita yang bagus tentang muridmu yang bernama Cia Song
itu lebih lanjut? Dengar baik-baik. Si jahanam itu telah menjadi kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui
dan ikut pula merencanakan pemberontakan! Dan siapa yang menghalangi niat busuknya itu sehingga
akhirnya Chin Kui dan antek-anteknya tertangkap dan dijatuhi hukuman? Yang membantu adalah
suheng Souw Thian Liong dan akulah yang membantunya. Bahkan semua usaha pembelaan kami
terhadap Kaisar itu tentu mengalami kegagalan dan mungkin Kaisar sudah terbunuh kalau saja Paman
Sie atau Tiong Lee Cin-jin, guru kami ini tidak menolong kami! Cia Song menjadi antek Chin Kui,
membantu pemberontakan di Kerajaan Kin, kemudian setelah gagal, dia membantu Chin Kui yang
mengadakan pemberontakan di Kerajaan Sung! Nah, sekarang si -apakah yang menjadi pengkhianat dan
pantas dihukum? Suheng Souw Thian Liong ataukah Cia Song?”

Hui Sian Hwesio sendiri sampai membelalakkan mata dan mukanya berubah pucat mendengar ucapan
Puteri Moguhai itu. Dia memutar tubuh menghadapi Cia Song yang kini menjadi pucat wajahnya.

“Cia Song, katakan, benarkah semua itu?” Hui Sian Hwesio membentak.

Pada saat itu Biauw In Su-thai berkata dengan suara nyaring dan galak. “Souw Thian Liong! Biarpun
mungkin engkau tidak bersalah terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi engkau harus mempertanggung-
jawabkan perbuatanmu yang terkutuk terhadap dua orang murid kami!”

“Su-moi, mari kita membalas dendam!” kata Kim Lan kepada Ai Yin.

“Mari, suci!” kata Ai Yin.

Dua orang gadis itu dengan penuh kebencian karena dendam sakit hati mereka, sudah menyerang ke
arah Thian Liong dengan pedang di tangan. Akan tetapi berkelebat bayangan hijau dan bayangan putih.
Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu seperti telah bersepakat saja tahu-tahu telah menyambut
serangan dua orang gadis Kun-lun-pai itu dengan pedang mereka. Terdengar suara gemerincing ketika
pedang-pedang mereka menangkis pedang dua orang murid Kun-lun-pai yang merasa tangan mereka
tergetar oleh tangkisan itu.

Thian Liong melompat ke depan. “Su-moi dan In-moi, tahan dan jangan berkelahi!” Mendengar suara
pemuda itu, Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu melangkah mundur.

Pada saat itu, Cia Song yang sudah tidak mendapatkan jalan untuk menghindarkan diri dari ancaman
karena rahasianya telah terbongkar itu, mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Melihat
Hui Sian Hwesio berdiri di depannya dia lalu mendorong dengan pukulan jarak jauh ke arah dada hwesio
tua itu. Dari kedua telapak tangannya menyambar asap hitam karena dia telah mempergunakan ilmu
Hek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Hitam) yang dipelajarinya dari Ali Ahmed, bangsa Hui yang sakti itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 393

Hui Sian Hwesio terkejut bukan main melihat serangan itu.

“Omitohud......!” Dia cepat menggerakkan tangan untuk menangkis. Akan tetapi karena tidak
menyangka akan diserang muridnya dari jarak dekat dan meng-gunakan ilmu pukulan asing pula, maka
tangkisannya kurang cepat dan asap hitam itu hanya sebagian saja tertangkis, sebagian masih
menyambar ke arah dadanya.

“Omitohud......!” Tubuh ketua Siauw-lim-pai yang gemuk tinggi besar itu terhuyung dan dia lalu duduk
bersila dan mengerahkan tenaga sakti untuk menahan gempuran hawa beracun yang memasuki
dadanya!

Setelah memukul Hui Sian Hwesio, Cia Song melompat hendak melarikan diri. Akan tetapi tubuh Thian
Liong juga meluncur cepat dan dia sudah menghadang Cia Song.

“Manusia jahat hendak lari ke mana engkau!” kata Thian Liong.

Kedua orang muda ini saling berhadapan dengan mata mencorong. Muka Cia Song menjadi merah sekali
karena dia merasa benci sekali kepada Thian Liong. Orang inilah yang mencelakakan aku, pikirnya.

Cu Sian Hwesio, Ki Sian Hwesio dan para tokoh Siauw-lim-pai marah bukan main melihat Cia Song tadi
menyerang Hui Sian Hwesio dan mereka kini menyadari betul bahwa ternyata Cia Song yang menjadi
pengkhianat dan melemparkan fitnah kepada Souw Thian Liong, lalu bergerak hendak maju mengeroyok
Cia Song. Akan tetapi Tiong Lee Cin-jin mengembangkan kedua lengannya dan berkata.

“Biarkan mereka berdua menyelesaikan sendiri masalah mereka. Tidak baik kalau kita orang-orang tua
mengeroyok orang muda.”

Ucapan ini membuat para pimpinan Siauw-lim-pai terpaksa menahan amarah mereka terhadap Cia
Song. Mereka hanya menonton perkelahian yang akan terjadi antara Cia Song dan Souw Thian Liong.

Sementara itu, melihat betapa Kim Lan, Ai Yin, Biauw In Su-thai merasa penasaran dan tampak sekali
mereka itu siap mengeroyok Thian Liong, Han Bi Lan lalu berkata dengan suara membujuk kepada
mereka.

“Saya kira sebaiknya Kun-lun-pai membiarkan saja Souw Thian Liong me-nyelesaikan urusannya dengan
Siauw-lim-pai. Nanti masih ada waktu bagi kita un-tuk menuntutnya, apabila benar-benar ternyata dia
bersalah.”

Para pimpinan Kun-lun-pai dapat menerima usul ini karena bagaimanapun juga, mereka merasa lebih
kuat kalau Han Bi Lan berdiri di pihak mereka, kalau-kalau terjadi pertentangan dan perkelahian.

Kini semua orang menujukan pandangan mata mereka kepada dua orang muda yang saling berhadapan.
Mereka menonton dengan hati tegang, terutama mereka yang sudah mengetahui bahwa Cia Song
adalah murid terpandai dari Siauw-lim-pai dan agaknya dia memiliki ilmu lain yang bukan dari Siauw-lim-
pai sebagai-mana terbukti ketika dia menyerang Hui Sian Hwesio tadi, pukulan jarak jauh dengan kedua
telapak tangan mengeluarkan asap hitam! Yang tampak tenang-tenang saja hanyalah Tiong Lee Cin-jin,
Pek Hong Nio-cu, Han Bi Lan, dan Hui Sian Hwesio karena mereka tahu akan kemampuan Thian Liong
yang mereka yakin pasti akan mampu mengalahkan Cia Song.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 394

Cia Song sendiri sudah putus harapan untuk dapat meloloskan diri dari situ. Semua tokoh Siauw -lim-pai
kini memusuhinya, dan di situ masih ada tiga orang gadis lihai yang membela Thian Liong, juga ada Tiong
Lee Cin-jin yang sakti sekali. Keputus-asaan ini membuat dia menjadi nekat dan ingin mengadu nyawa
dengan Souw Thian Liong yang dibencinya.

“Sratt!” Tampak sinar berkilauan ketika Cia Song mencabut pedangnya yang beronce merah.

“Mampuslah engkau, keparat!” Cia Song tidak memberi kesempatan kepada Thian Liong dan sudah
menerjang maju dengan gerakan cepat dan dahsyat. Thian Liong mengelak ke kiri dengan gerakan ringan
dan tidak kalah cepatnya. Namun Cia Song membalik ke kanan dan kembali pedangnya menyambar ke
arah leher Thian Liong.

“Tranggg......!!” Bunga api berpijar ketika Thian-liong-kiam yang dia cabut ketika mengelak dari serangan
pertama tadi. Setelah menangkis, Thian Liong membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Kembali terdengar bunyi berdentang nyaring dan bunga api berpijar ketika Cia Song menangkis serangan
itu.

Bertandinglah dua orang muda yang sama tangkas dan sama lihainya itu. Mereka saling serang dengan
dahsyat sehingga hawa serangan mereka menyambar-nyambar sampai terasa oleh mereka yang
menonton, padahal jarak antara kedua pemuda yang bertanding ini dan para penonton ada belasan
meter jauhnya.

Cia Song yang sudah nekat seperti harimau tersudut itu mengamuk, mengeluarkan jurus -jurus paling
ampuh dari ilmu pedang Siauw-lim-pai yang sudah dia gabungkan dengan ilmu pedang yang dia pelajari
dari Ali Ahmed sehingga gerakan pedangnya penuh jurus aneh yang mengandung tipu muslihat
berbahaya. Namun Thian Liong menghadapi serangan itu dengan tenang dan membalas dengan ilmu
pedang Thian-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Langit).

Saking cepatnya mereka bergerak, tubuh mereka seolah berubah menjadi dua bayangan yang
berkelebatan, diselimuti gulungan sinar pedang. Hanya suara berdentang dan muncratnya bunga api itu
saja yang menunjukkan bahwa ada dua orang sedang bertanding hebat sekali. Para penonton menahan
napas dan Tiong Lee Cin-jin mengangguk puas melihat kemajuan muridnya yang telah mematangkan
semua ilmu itu dengan pengalaman bertanding melawan orang-orang yang tinggi ilmunya.

Dua orang muda yang bertanding mati-matian itu sama gagahnya, sama muda dan kuatnya dan sama-
sama telah menguasai banyak ilmu yang tinggi. Kalau dibuat perbandingan, Thian Liong yang sudah
menerima ilmu-ilmu dari Tiong Lee Cin-jin ditambah lagi mempelajari ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng
di bawah bimbingan Hui Sian Hwesio, memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat yang dimiliki Cia
Song. Akan tetapi dalam keadaan nekat seperti itu, Cia Song dapat mengimbangi lawannya, maka
pertandingan itu menjadi seru dan mati-matian.

Setelah mereka bertanding hampir seratus jurus dalam keadaan yang seru dan seolah berimbang, Thian
Liong tetap saja menjaga agar dia jangan sampai membunuh Cia Song, dapat melihat kelemahan lawan.
Maka, ketika dia melihat kesempatan baik, ketika pedang Cia Song menyambar dengan tusukan ke arah
lehernya, dia mengelak ke kanan, kemudian. secepat kilat tangan kirinya menyambar, menotok siku
kanan lawan.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 395

“Tukk! Aughh......!!” Tangan kanan Cia Song terus lumpuh sehingga pedangnya terlepas dari pegangan.
Dia terkejut sekali dan melompat ke belakang. Akan tetapi, Thian Liong tidak mengejar lawan yang
bertangan kosong itu dengan serangan pedangnya. Dia malah menyarungkan kembali Thian-liong-kiam!

“Ihh! Apa-apaan itu, suheng? Tusuk saja jantung pengkhianat itu dengan pedangmu!” seru Pek Hong
Nio-cu atau Puteri Moguhai penasaran melihat Thian Liong menyarungkan pedangnya.

“Hemm, kalau terlalu baik dan lemah, hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri!” kata pula Ang Hwa
Sian-li.

“Hi-hik, kalian tidak tahu, dengan tangan kosong Souw Thian Liong jauh lebih unggul!” kata Han Bi Lan
tertawa.

Sementara itu, semua tokoh dari Siauw-lim-pai maupun Kun-lun-pai diam diam kagum akan sikap Thian
Liong yang tidak mau menghadapi lawan yang bertangan kosong dengan pedangnya! Benar benar sikap
gagah seorang pendekar sejati yang tidak mau mempergunakan kesempatan untuk menang.

Melihat Thian Liong menyimpan pedangnya, Cia Song timbul lagi harapannya dan bagaikan seekor singa
kelaparan menubruk calon mangsanya, dia melompat dan menerjang ke arah Thian Liong dengan ganas.
Thian Liong mengelak dan membalas. Dua orang muda itu kembali bertanding, kini dengan tangan
kosong.

Saling tinju, saling tampar, dan saling tendang dengan gerakan cepat dan kuat sehingga kembali angin
pukulan menyambar-nyambar dan terasa oleh para penonton yang menonton dengan jantung berdebar
tegang saking hebatnya perkelahian itu.

Akan tetapi baru belasan jurus segera ternyata bahwa tingkat ilmu silat tangan kosong Thian Liong lebih
tinggi. Cia Song mulai terdesak terus dan akhirnya dia hanya mampu mengelak dan menangkis, jarang
mendapat kesempatan untuk membalas. Dia tahu benar bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia pasti
akan roboh dan kalah. Maka, dia lalu mengambil keputusan nekat, yaitu mengadu nyawa dengan orang
yang dibencinya ini. Tiba-tiba dia mengeluarkan gerengan kuat sambil melompat ke belakang, lalu kedua
lengannya bergerak dan dia sudah mendorong ke arah Thian Liong dari jarak dekat dengan ilmu Hek -in
Hoat-sut. Asap hitam menyambar dari kedua telapak tangannya.

Karena jaraknya dekat dan dia tidak dapat mengelak tanpa membahayakan dirinya sendiri, maka Thian
Liong lalu menyambut dorongan kedua telapak tangan berasap hitam itu dengan kedua telapak
tangannya sendiri.

“Plakk......!!” Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan keduanya mengerahkan tenaga sakti
untuk saling dorong dan saling mengalahkan!

Ketegangan memuncak di antara penonton menyaksikan adu tenaga sakti itu. Mereka semua maklum
bahwa biarpun tampaknya kedua orang itu diam saja, tubuh tidak bergerak dan kedua telapak tangan
saling menempel, mengeluarkan asap hitam, namun sebenarnya mereka itu sedang bertanding mati -
matian dan adu tenaga itu dapat mengakibatkan kematian kepada yang kalah kuat!

Melihat betapa kedua telapak tangan Cia Song mengeluarkan asap hitam dan khawatir kalau-kalau Thian
Liong tidak mampu menahan panas yang membakar kedua telapak tangannya, Pek Hong Nio -cu

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 396

bergerak hendak mendekat dan membantu. Akan tetapi Tiong Lee Cin-Jin mencegah dan
menghadangnya sambil berkata lembut namun berwibawa.

“Moguhai, kita tidak boleh membantu, tidak boleh curang!”

“Paman Sie...... suheng...... dia......”

“Jangan khawatir, dia mampu mengatasinya,” kata Tiong Lee Cin-jin sambil tersenyum.

Pek Hong Nio-cu tidak berani membantah dan ia mundur lagi dan Ang Hwa Sian-li menarik tangannya
sehingga kembali dua orang gadis itu berdiri berdekatan. Entah mengapa, seolah ada daya yang saling
menarik antara dua orang gadis itu untuk berdekatan! Mereka berdua sama-sama merasa cemas
menyaksikan Thian Liong mati-matian mengadu tenaga sakti melawan Cia Song.

Pertandingan adu tenaga sakti itu semakin hebat. Sebetulnya, Cia Song masih kalah setingkat dalam hal
kekuatan tenaga sakti melawan Thian Liong. Akan tetapi karena dia tahu benar bahwa inilah saat mati
hidupnya setelah semua rahasia busuknya terbongkar, maka Cia Song mengerahkan seluruh tenaga sakti
dan tiba-tiba terdengar bunyi kain robek. Saking hebatnya tenaga yang dikerahkan Cia Song, bajunya
terobek, koyak-koyak dan dadanya tampak karena bajunya terbuka.

Tiba-tiba terdengar Ai Yin menjerit, lalu menutupi mulutnya dengan tangan dan matanya terbelalak
memandang ke arah dada Cia Song yang telanjang. Jelas tampak ada daging tumbuh sebesar telur ayam
menonjol di tengah-tengah dada yang lebar itu.

Jerit Ai Yin itu seolah-olah menambah daya dorong kedua tangan Thian Liong karena tiba-tiba tubuh Cia
Song terlempar ke belakang dan roboh terbanting. Dia rebah dengan telentang, lemas dan dari ujung
mulutnya keluar darah, tanda bahwa dia terluka dalam tubuhnya.

“Suci Kim Lan, dialah orangnya! Lihat benjolan di dadanya seperti kuceritakan kepadamu. Jahanam
kaparat ini yang telah memperkosa kita!” teriak Ai Yin dan bersama Kim Lan ia lari menghampiri Cia
Song yang masih rebah tak berdaya.

Pada saat itu, tampak Kwee Bi Hwa berlari menghampiri dan dara ini berteriak, “Keparat Cia Song!
Engkau yang telah berbuat keji kepadaku!”

Tiga orang gadis itu, Ai Yin, Kim Lan, dan Kwee Bi Hwa bagaikan kesetanan lalu membacoki tubuh Cia
Song yang sudah tidak berdaya itu dengan pedang mereka! Tidak ada orang yang sempat mencegah hal
ini terjadi. Darah muncrat dan sebentar saja tubuh Cia Song sudah tercacah-cacah menjadi onggokan
daging berdarah-darah! Tiga orang gadis itu membacoki sambil menangis dan air mata mereka
bercucuran, darah korban memercik ke pakaian mereka.

Kemudian bagaikan di bawah satu komando, tiga orang dara cantik itu menggerakkan pedang untuk
menggorok leher sendiri, berusaha membunuh diri!

Biauw In Su-thai dan Hui In Sian-kouw yang sejak tadi sudah waspada, cepat berkelebat dan merampas
pedang dari tangan Ai Yin dan Kim Lan. Pada saat itu, berkelebat sesosok bayangan yang merampas
pedang dari tangan Kwee Bi Hwa, pada saat yang amat tepat. Orang itu ternyata adal ah Kwee Bun To,
ayah Bi Hwa.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 397

Tiga orang gadis yang gagal membunuh diri itu kini menangis dalam rangkulan tiga orang yang
mencegah mereka membunuh diri. Biauw In Su-thai, Hui In Sian-kouw dan Kwee Bun To menghibur dan
menasihati tiga orang gadis itu sehingga mereka menyadari bahwa membunuh diri bukan perbuatan
yang patut dilakukan orang-orang gagah. Seorang pendekar bukan saja harus menentang kejahatan,
akan tetapi juga harus berani menghadapi segala penderitaan hidupnya. Membunuh diri hanya
dilakukan para pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup sehingga ingin mengakhiri
hidupnya.

Setelah ketegangan itu mereda, Hui Sian Hwesio menghadapi Thian Liong dan Tiong Lee Cin -jin dan
merangkap kedua tangan di depan dada, wajahnya agak kemerahan karena malu dan pandang matanya
sayu karena penyesalan. “Omitohud......! Pinceng telah bertindak picik dan bodoh sehingga secara tidak
adil telah mempercayai fitnah yang dijatuhkan atas diri Souw Thian Liong. Tian Liong dan Cin -jin yang
mulia, harap maafkan pinceng sekalian.”

'Siancai (damai)......! Manusia berbuat kesalahan, itu biasa, akan tetapi manusia menyesali kesalahannya
dan berhasil menemukan hikmat dari kesalahan itu dan bertaubat, itu adalah bijaksana!” kata Tiong Lee
Cin-jin lirih seperti orang membaca sajak.

“Teeeu (murid) tidak menyalahkan suhu karena suhu sekalian hanya tertipu,” kata Thian Liong
sederhana.

Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai juga maju menghampiri Tiong Lee Cin-jin dan Thian Liong.

“Souw Thian Liong, maafkan kami, maafkan kedua orang muridku!” kata Biauw In Su-thai. Kim Lan dan
Ai Yin juga mendekat dan sambil menangis mereka juga minta maaf.

“Souw-taihiap...... maafkan kami......” isak mereka.

“Sudahlah, Su-thai dan nona berdua, tidak ada yang perlu dimaafkan karena kalian tidak bersalah.”

“Tidak bersalah apa?” tiba-tiba Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu berteriak. “Mereka mengadakan
aturan gila memaksa orang menjadi suami, apakah itu tidak bersalah?”

Wajah Biauw In Su-thai menjadi pucat lalu berubah merah sekali. “Untuk itu akulah yang bersalah dan
aku telah dihukum oleh ketua kami. Kim Lan dan Ai Yin tidak bersalah karena mereka hanya menaati
perintahku. Akulah yang bersalah......”

Tiong Lee mengerutkan alisnya kepada Puteri Moguhai sambil menggeleng kepalanya. Melihat in i, Pek
Hong Nio-cu menundukkan muka sambil cemberut, tidak berani membantah akan tetapi juga merasa
penasaran.

Hui In Sian-kouw memberi hormat kepada Tong Lee Cin-jin.

“Tiong Lee Cin-jin engkau telah berbuat baik sekali kepada kami dengan mengembalikan kitab Kun-lun-
pai, akan tetapi kami membalasnya dengan fitnah kepada muridmu. Sungguh kami merasa malu dan
menyesal sekali, dan mengharap maaf sebesarnya darimu.”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 398

Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar.

“Aku tidak merasa berbuat baik, hanya melakukan kewajibanku. Kita semua, juga pihak Kun-lun-pai dan
Siauw-lim-pai, adalah korban-korban kelicikan manusia yang dikuasai setan, tidak ada yang patut
disalahkan, tidak ada yang perlu dimaafkan.”

Karena merasa tidak enak hati mereka diliputi rasa sesal dan malu, Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-
thai segera mengajak Kim Lan, Ai Yin dan lima tokoh lain pergi dari situ, kembali ke Kun-lun-pai. Kwee
Bun To juga mengajak puterinya, Kwee Bi Hwa yang masih menangis pergi dari situ. Demikian pula Hui
Sian Hwesio dan Cu Sian Hwesio mengajak tiga orang tokoh Siauw-lim-pai yang lain pergi setelah mereka
membawa jenazah Cia Song yang sudah hancur itu dalam sebuah kain lebar untuk diperabukan di
tempat yang layak.

Sementara itu sejak tadi Ang Hwa Sian-li Thio Siang In berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu atau Puteri
Moguhai, saling pandang dengan penuh perhatian dan keheranan. Setelah urusan di situ, selesai dan
rombongan Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai pergi, baru mereka mendapat kesempatan untuk saling
pandang dengan penuh selidik. Mereka saling pandang dengan hati tertarik dan semakin menyadari
betapa mereka itu mirip sekali satu sama lain. Mereka merasa seolah memandang bayangan sendiri
dalam cermin, hanya bayangan itu mengenakan pakaian yang berbeda!

“Hei, engkau ini siapakah?” Ang Hwa Sian-li akhirnya bertanya lebih dulu.

Pek Hong Nio-cu, yang sebagai seorang puteri raja tentu saja memiliki derajat yang terkadang membuat
ia bersikap agak angkuh, menjawab.

“Kenapa tidak kauperkenalkan lebih dulu dirimu kepadaku?”

Ang Hwa Sian-li juga memiliki keangkuhan, maka dua orang gadis itu kini berdiri berhadapan dan saling
pandang dengan sinar mata tidak mau mengalah.

Pada saat itu Tiong Lee Cin-jin menghampiri mereka berdua dan melihat dia mendekat, Pek Hong Nio-cu
segera menyambutnya dengan wajah berseri, “Paman Sie! Engkau benar Paman Sie yang pernah kulihat
bicara dengan ibuku di taman itu, bukan?”

Tiong Lee Cin-jin tersenyum memandang kepada mereka berdua. Senyum dan pandang matanya
mengandung kasih sayang yang terasa benar oleh dua orang gadis itu.

“Kalian berdua agaknya merasa heran setelah saling bertemu. Marilah ikut denganku ke hutan itu dan
aku akan menceritakan keadaan sebenarnya agar kalian berdua tidak akan merasa bingung dan heran
lagi. Adalah merupakan kewajibanku untuk menceritakan semua hal kepada kalian berdua.”

Setelah berkata demikian, Tiong Lee Cin-jin berjalan meninggalkan mereka ke arah sebuah gerombolan
hutan yang tidak jauh dari situ.

Dua orang gadis itu saling pandang lalu tanpa berkata apa-apa mereka segera mengikuti Tiong Lee Cin-
jin. Pek Hong Nio-cu menaati karena ia merasa bahwa orang itu adalah Paman Sie seperti yang
diceritakan ibunya, sedangkan Ang Hwa Sian-li yang sudah lama mendengar akan nama besar Tiong Lee
Cin-jin, juga ingin sekali mendengar apa yang akan diceritakan orang sakti itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 399

Thian Liong kini tinggal bersama Han Bi Lan. Dia berhadapan dalam jarak sekitar tiga meter dengan gadis
itu dan mereka saling pandang. Bi Lan tersenyum, hatinya girang bahwa ia tadi membantu pemuda itu
dan pertempuran itu berakhir dengan kemenangan pemuda itu, karena dengan bantuan itu berarti ia
telah “membayar” kesalahannya mencuri kitab itu dahulu!

“Hei, kita berjumpa lagi!” katanya sambil tersenyum manis. Akan tetapi ia merasa heran melihat
pemuda itu memandangnya dengan alis berkerut dan mulut cemberut. Dan tidak menjawab ucapan
yang gembira tadi.

“Eh, engkau ini kenapa sih? Diajak bicara dengan gembira malah mukamu cemberut seperti itu! Jelek ah
mukamu kalau bersungut-sungut seperti monyet kehilangan ekornya itu!”

Thian Liong semakin panas hatinya. Gadis inilah yang dulu mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat,
membuat dia setengah mati mencarinya ke mana-mana. Teringat dia akan janjinya dalam hati bahwa
kalau dia bertemu dengan gadis ini, selain akan dimintanya kitab yang dicurinya itu, juga gadis itu akan
dia pukul pantatnya sepuluh kali seperti kalau orang tua menghajar anaknya yang bengal!

“Gadis jahat!” dia menegur. “Engkau telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang harus
kuserahkan kepada Kun-lun-pai! KembaIikan kitab itu kepadaku!”

Melihat Thian Liong membentak-bentak, Bi Lan tersenyum dan mengerling manja. “Aih, masih
marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku? Kitab itu sudah kukembalikan
kepada para pimpinan Kun-lun pai......”

“Engkau bohong! Engkau maling, penipu, pembohong pula!” bentak Thian Liong.

Bi Lan mengerutkan alisnya, matanya bersinar-sinar dan ia membanting banting kaki kirinya. Ini
merupakan peluapan perasaannya kalau ia marah.

“Hemm, kaukira hanya engkau seorang saja yang baik dan jujur di dunia ini? Apakah orang seperti aku
tidak bisa jujur? Kitab itu sudah kukembalikan kepada ketua Kun-lun-pai, bahkan aku diakui sebagai
murid! Kau masih tidak percaya? Dan lagi, bukankah aku tadi bersusah payah membela dan
membantumu menghadapi mereka? Berarti aku sudah menebus kesalahanku kepadamu!”

Thian Liong teringat akan ucapan Hui In Sian-kouw kepada gurunya tadi. Ketua Kun-lun-pai itu
mengucapkan terima kasih kepada Tiong Lee Cin-jin. Ini berarti bahwa ketua Kun-lun-pai memang sudah
menerima kitab itu. Gadis ini mungkin sekali tidak berbohong dan sudah mengembalikan kitab itu, akan
tetapi biarpun demikian, kedongkolan hatinya masih belum hilang.

“Enak saja kau bicara! Hanya membantu begitu saja sudah menebus kesalahanmu? Tahukah engkau
kesengsaraan yang harus kualami karena engkau mencuri kitab itu dariku? Aku malu kepada para
pimpinan Kun-lun-pai, aku takut kepada guruku! Dan aku telah merantau sampai ribuan lie ke utara dan
barat untuk mencari maling kitab itu, yaitu engkau! Enak saja dosamu dianggap sudah hilang hanya
karena engkau membantuku tadi!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 400

Melihat pemuda itu membentak-bentak dan marah, Bi Lan juga menjadi tidak kalah marahnya! Sambil
membanting-banting kaki kiri, ia menudingkan telunjuknya ke arah muka Thian Liong den berseru
lantang. “Habis, kau mau apa? Hayo katakan, aku tidak takut padamu! Mau bunuh? Silakan!”

“Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa kalau aku dapat bertemu denganmu, engkau akan
kutelungkupkan di atas kedua pahaku lalu kupukul pantatmu sepuluh kali biar engkau tahu rasa!”

“Engkau berani?” Bi Lan menantang. “Coba, kalau engkau berani!!” Setelah berkata demikian, Bi Lan
sudah memasang kuda-kuda dengan sikap menantang sekali, kedua lengan menyilang di depan dada
dan jari tangannya memberi isyarat tantangan agar Thian Liong maju menyerangnya kalau berani!

Thian Liong menjadi semakin gemas. Bocah ini sungguh kurang ajar dan tidak tahu diri, pikirnya.

“Hemm, kaukira aku hanya menggertak sambal saja? Tentu saja aku berani, mengapa tid ak?
Heiiittt......!” Thian Liong sudah menerjang untuk menangkap gadis itu.

“Heeeeiiitt!” Bi Lan mengelak dan kakinya mencuat, menyambar dengan tendangan ke arah perut Thian
Liong!

Thian Liong terkejut karena dari sambaran tendangan itu, dia tahu bahwa serangan gadis itu sungguh-
sungguh dan amat berbahaya. Dia semakin marah. Bocah ini malah menyerangnya dengan serangan
maut!

“Kurang ajar!” katanya dan dia mengelak sambil berusaha menangkap kaki yang menendang itu.

“Engkau yang kurang ajar!” bentak Bi Lan yang cepat menarik kembali sehingga tidak dapat ditangkap
dan ia lalu menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Gadis ini sudah tahu bahwa lawannya adalah
seorang pemuda yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya, maka begitu menyerang ia langsung saja
memainkan ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang menjadi ilmu rahasia dan simpanan para pimpinan
Kun-lun-pai.

Thian Liong terkejut sekali. Ini bukan serangan main-mainan dan ilmu silat yang dimainkan gadis ini juga
bukan ilmu sembarangan! Cepat seperti kilat menyambar dan membawa tenaga sakti yang amat kuat!
Diapun cepat memainkan ilmu silat Sam-jong Cin-keng yang diajarkan Hui Sian Hwesio kepadanya.

Kalau dia menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari gurunya, yaitu Tiong Lee Cin-jin, dia akan pasrah
sedemikian rupa sehingga tidak ada serangan lawan yang akan mampu mencelakai dirinya. Aan tetapi
bagaimanapun juga, dia tidak mau melakukan ini dan hendak melawan ilmu silat gadis itu dengan ilmu
silat lain yang tidak kalah ampuhnya. Diam diam dia merasa kagum sekali ke pada gadis ini. Tingkat
kepandaiannya jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Pek Hong Nio-cu atau Ang Hwa Sian li!

“Duk-duk-dukkkk!!” tiga kali lengan mereka bertemu dan tubuh Bi Lan terhuyung ke belakang. Ia
semakin marah dan tiba-tiba ia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Thian Liong.

“Wuuuusshhhh!” Angin yang amat dahsyat dan mengandung hawa panas menyambar.

Thian Liong cepat menyambut dengan dorongan kedua tangannya. Terjadi adu tenaga sakti. Akan tetapi
Thian Liong tidak mau mencelakai gadis itu, maka dia menyambut dengan tenaga lunak sehingga

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 401

akibatnya, tenaga sakti Bi Lan seolah amblas ke dalam air dan hilang tanpa bekas dan tidak
menimbulkan kerusakan apapun!

Kembali Bi Lan terhuyung karena tenaganya yang bertemu kekosongan i tu membuat ia terdorong. Ia
semakin marah dan begitu ia berkemak-kemik, keluarlah asap hitam menyerang Thian Liong. Pemuda itu
mengibaskan lengan kirinya dan asap hitam itupun membuyar. Bi Lan lalu mengeluarkan pekik
melengking dan Thian Liong merasa betapa pekik itu mengandung getaran amat kuat yang membuat
jantungnya terguncang. Dia terkejut mendapat kenyataan bahwa Bi Lan bukan saja memiliki ilmu silat
yang tinggi, akan tetapi juga menguasai ilmu sihir. Akan tetapi dengan kekuatan batinnya, dia dapat
menenteramkan jantungnya, bahkan dia mendapat kesempatan untuk bergerak mendekat dan secepat
kilat tangannya berhasil nenotok jalan darah di pundak Bi Lan.

“Tukkk......!!” Tubuh Bi Lan terkulai dan tentu ia sudah roboh terguling kalau saja Thian Liong tidak cepat
menangkap lengannya. Pemuda itu lalu duduk dengan kedua kaki di julurkan dan melintangkan tubuh Bi
Lan menelungkup di atas kedua pahanya.

“Nah, bocah nakal, sekarang rasakan hukuman yang sudah kujanjikan!” kata Thian Liong, kemudian dia
menggunakan tangan kanannya untuk menampar sepasang bukit pinggul yang menonjol itu sebanyak
sepuluh kali, lima di kiri dan lima di kanan.

“Plak-plak-plak......”

“Setan kau! Monyet, anjing, babi, kuda, kucing, tikus busuk kau.:….!!” Bi Lan yang lemas tak mampu
meronta itu memaki-maki. Mungkin kedua bukit pinggulnya menjadi merah sekali seperti kedua pipinya
saat itu saking marahnya.

Setelah menampar sepuluh kali, Thian Liong melepaskan Bi Lan, bangkit berdiri dan menepuk pundak
gadis itu untuk membebaskannya dari totokan. Gadis itu bangkit berdiri dan memandang Thian Liong
dengan mata bersinar. Dari pelupuk mata itu turun dua tetes air mata.

“Souw Thian Liong…...!” katanya dengan suara mengandung dendam kemarahan. “Awas kau......! Aku
akan memperdalam ilmuku dan kautunggu saja pembalasan Han Bi Lan!” Setelah berkata demikian, ia
memutar tubuh dan melarikan diri.

Akan tetapi mendengar disebutnya nama ini, Thian Liong terkejut dan sekali tubuhnya berkelebat, dia
telah melewati Bi Lan dan berdiri menghadang di depan gadis itu. Melihat ini, Bi Lan semakin marah dan
berdiri dengan mata mencorong.

“Kau...... namamu...... Han Bi Lan??”

“Kalau benar kau mau apa?”

“Han Bi Lan, ayah ibumu, Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi mencari -carimu. Mereka tinggal di
dusun Kian-cung dekat See-ouw (Telaga Barat)......”

Belum habis Thian Liong bicara, Bi Lan sudah melompat dan berlari cepat meninggalkannya.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 402

Sejenak Thian Liong hanya bengong memandang ke arah larinya gadis itu. Hatinya mulai merasa
menyesal. Dia memang mendongkol dan gemas kepada gadis itu, akan tetapi andaikata dia tadi tahu
bahwa gadis itulah puteri Han Si Tiong, tentu dia tidak akan melaksanakan keinginannya menghajar
gadis itu dengan menampari pinggulnya sebanyak sepuluh kali! Akan tetapi semua itu telah terl anjur
dan dia merasa tidak enak sekali kepada Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Dia menghela napas panjang
lalu duduk di atas batu, menanti munculnya gurunya yang tadi mengajak Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa
Sian-li memasuki hutan di depan itu.

Kalau Pek Hong Nio-cu atau puteri Moguhai tidak merasa heran mendengar ajakan Tiong Lee Cin-jin
untuk mengikutinya masuk ke dalam hutan, Ang Hwa Sian-li merasa heran dan bingung. Akan tetapi
karena ia sudah mendengar akan kesaktian tokoh yang dijuluki orang Yok-sian (Tabib Dewa) itu, iapun
mengikutinya tanpa membantah.

Setelah menemukan tempat yang nyaman dalam hutan itu, atas ajakan Tiong Lee Cin-jin, mereka bertiga
duduk saling berhadapan di atas batu. Sejenak Tiong Lee Cin-jin memandang wajah kedua orang gadis
itu dan kedua matanya tampak basah. Dia menarik napas panjang beberapa kali seolah hendak
menenangkan guncangan hatinya.

Kemudian dia mulai berkata, “Aku mengajak kalian berdua untuk bicara di tempat ini agar jangan sampai
terdengar orang lain. Tadinya aku ingin menyimpan rahasia ini dari kalian, akan tetapi mengingat bahwa
kalian telah menjadi gadis-gadis dewasa yang telah memiliki ilmu kepandaian yang dapat kalian
andalkan, dan melihat kalian berdua tadi saling berpandangan dengan keheranan terbayang di wajah
kalian, aku tidak mungkin dapat menyimpan rahasia ini. Kalian berhak untuk mengetahuinya. Sebelum
aku melanjutkan, hendaknya kalian lebih dulu menceritakan siapa nama kalian yang sesungguhnya dan
sedikit tentang orang tua kalian. Pek Hong Nio-cu, engkau mulailah lebih dulu.”

Pek Hong Nio-cu yang menganggap Tiong Lee Cin-jin sebagai paman dan juga gurunya, segera
menjawab. “Paman, nama saya yang aseli adalah Moguhai. Ayah saya adalah Raja Kerajaan Kin dan ibu
saya seorang wanita Han bernama Tan Siang Lin.”

“Dan engkau?” tanya Tiong Lee Cin jin kepada Ang Hwa Sian-li.

“Nama saya adalah Thio Siang In. Ayah saya seorang pemburu bernama Thio Ki dan ibu says seorang
wanita Ui gur bernama Miyana. Menurut cerita ibu, ibu saya adalah seorang puteri kepala suku Uigu r.”

Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk. “Mungkin kalian akan lebih berbahagia kalau kalian tinggal
sebagai apa yang kalian ketahui sekarang, akan tetapi aku akan merasa bersalah kalau tidak
menceritakan kepada kalian. Kalian berhak mengetahui dan semoga Tuhan mengampuni aku dan
memberkati kalian. Dengarlah ceritaku ini, Siang In dan Moguhai!”

Dua orang gadis itu saling pandang, lalu mendengarkan dengan penuh perhatian dan keinginan tahu.

Dengan suara tenang dan lembut, Tiong Lee Cin-jin bercerita. “Kurang lebih duapuluh tahun yang lalu
ada sepasang orang muda yang saling jatuh cinta. Akan tetapi karena pemuda itu miskin sekali, kedua
orang tua gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Bahkan akhirnya gadis itu diminta oleh Raja
untuk menjadi selirnya.” Dia berhenti sebentar dan kembali menghela napas. Agaknya berat sekali rasa
hatinya untuk menceritakan apa yang dikatakan rahasia itu.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 403

“Akan tetapi, karena gadis itu amat mencinta si pemuda, maka sebelum ia dibawa ke istana raja, ia
menyerahkan diri kepada kekasihnya sehingga ketika akhirnya ia dibawa pergi ke istana untuk menjadi
selir raja, ia sudah mengandung.”

Dua orang gadis itu merasa terharu, akan tetapi kalau Moguhai merasa jantungnya berdebar tegang,
adalah Ang Hwa Sian-li yang merasa tidak mengerti, apa hubungannya cerita itu dengan dirinya.

“Nah, gadis itu menjadi selir terkasih dari raja. Ketika ia melahirkan, sang raja menganggap anak yang
dilahirkan itu anaknya sendiri. Akan tetapi dia tidak tahu akan sebuah rahasia lain lagi. Ketika gadi s itu
melahirkan, ia melahirkn sepasang anak kembar.”

Kini Ang Hwa Sian-li baru terkejut dan tegang, lalu kedua orang gadis itu saling pandang dengan seribu
pertanyaan dalam pandang mata mereka.

“Karena tahu bahwa Raja akan menganggap kelahiran kembar itu suatu malepetaka dan mungkin kedua
anak akan dibunuh, maka ibu muda itu lalu cepat menghubungi seorang sahabatnya terdekat, yaitu
seorang janda muda dan mereka berdua lalu membuat persekutuan. Seorang dari anak kembar itu
diserahkan kepada si sahabat yang membawanya lari keluar dari kota raja dan dilaporkan kepada Raja
bahwa selirnya hanya melahirkan seorang anak perempuan. Bidan yang membantu kelahiran ternyata
mati beberapa hari kemudian tanpa ada yang mengetahui apa sebabnya. Nah, Raja menganggap bahwa
selirnya melahirkan seorang anak perempuan. Dan janda muda yang melarikan anak kembar yang kedua
itu akhirnya menikah dengan seorang laki-laki yang nenganggap anak bayi bawaan isterinya itu sebagai
anaknya sendiri. Diapun tidak tahu akan rahasia anak kembar, hanya menganggap bahwa bayi
perempuan itu adalah bawaan janda yang kini menjadi isterinya.”

Tiong Lee Cin-jin memandang wajah kedua orang gadis itu yang kini tampak pucat. “Kalian berdua dapat
mengerti dan menebak siapa sesungguhnya mereka semua itu?”

Dengan wajah pucat dan suara gemetar Puteri Moguhai berkata. “...... gadis itu adalah ibu kandungku
dan raja itu adalah ayahku, Raja Kin! Akan tetapi dia ternyata hanya ayah tiriku, ayah kandungku adalah
kekasih ibuku itu…… dia…… dia adalah...... engkau!”

“Dan gadis kembar yang dibawa janda itu adalah aku, janda itu adalah ibuku yang kawin dengan ayahku.
Ternyata ibu dan ayahku bukan orang tuaku. Orang tuaku adalah selir raja itu dan...... engkau......!”

Dua orang gadis itu memandang kepada Tiong Lee Cin-jin dengan sinar mata mencorong penuh selidik
lalu keduanya bertanya dengan suara hampir berbareng.
“Benarkah itu??”

Kini dua tetes air mata jatuh ke pipi Tiong Lee Cin-jin, dan dia mengangguk angguk. “Benar, kalian adalah
anak-anakku.”

“Ayah......!” Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li, dua orang gadis gagah perkasa dan berilmu tinggi itu
mendadak kehilangan kegagahan mereka. Mereka menubruk dan merangkul Tiong Lee Cin jin dari kanan
dan kiri sambil menangis seperti dua orang gadis cengeng dan manja!

Dengan mata basah Tiong Lee Cin-jin merangkul dua orang gadis itu dan sejenak mereka bertiga
tenggelam ke dalam keharuan den kesedihan mengingat akan keadaan mereka yang terpisah-pisah.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 404

“Engkau...... adik atau kakakku......?” Ang Hwa Sian-li kini saling berpelukan dan berciuman dengan Pek
Hong Nio-cu.

“Siang In, engkau yang muda karena Moguhai lahir lebih dulu,” kata Tiong Lee Cin -jin. Mereka
tenggelam ke dalam keharuan dan kesedihan, akan tetapi juga pada dasarnya merasa bahagia.

“Sekarang bagaimana setelah kami mengetahui rahasia ini, ayah?” tanya Pek Hong Nio-cu sambil
memegangi tangan kanan Tiong Lee Cin-jin.

“Apakah kami harus membuka rahasia ini kepada ayah tiri kami?” sambung Ang Hwa Sian-li, memegangi
tangan kiri ayahnya.

“Untuk menjawab itu, aku ingin bertanya dulu kepada kalian yang harus dijawab sejujurnya. Moguhai,
apakah Raja Kin dan keluarga di istana menyayangmu?”

Pek Hong Nio-cu mengangguk. “Mereke semua menyayang saya, ayah. Bahkan Raja amat menyayang
saya.”

“Bagus! Dan bagaimana dengan engkau, Siang In. Apakah Thio Ki dan Miyana menyayangmu?”

“Mereka amat sayang kepadaku, ayah.”

“Nah, kalau begitu, biarkanlah keadaan seperti itu. Kalau kalian membuka rahasia ini, mungkin akan
timbul akibat-akibat yang tidak enak dan tidak baik. Kalian dapat berhubungan seperti sahabat, dapat
saling mengunjungi dan tentu saja kalau kalian saling mengunjungi, ibu kalian akan mengenal kalian
sebagai saudara kembar. Agar kesamaan kalian tidak terlalu menyolok, tetaplah kalian berpakaian
seperti ciri khas kalian sekarang. Rahasia ini hanya diketahui oleh ibu kalian masing-masing, dan oleh
kita bertiga. Jangan ada orang lain yang mengetahuinya.”

“Baik, ayah,” kata mereka berbareng.

“Dan jangan panggil ayah kepadaku. Panggil saja Paman Sie, karena namaku memang dahulu Sie Tiong
Lee. Akan tetapi dalam hati aku tetap ayah kalian dan kelak aku ingin menurunkan beberapa ilmu lagi
kepada kalian secara bergiliran. Sekarang, mari kita keluar dari hutan menemui Thian Liong. Dia tentu
sudah menunggu kita.”

Mereka semua bangkit berdiri. “Eh, nanti dulu!” kata Ang Hwa Sian-li sambil tertawa cekikikan dan
membuka buntalan pakaiannya mengeluarkan sepasang pakaian serba hijau persis seperti yang
dipakainya karena memang yang diambilnya itu pakaian penggantinya.

“Nah, kau pakai ini, Pek Hong,” kata Ang Hwa Sian-li.

“Untuk apa, Ang Hwa?” tanya Pek Hong Nio-cu.

“Ha-ha, bagus sekali itu!” tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin tertawa. “Bagus sekali kalau aku memberimu nama
baru, menggunakan nama julukan kalian. Moguhai kuberi nama Sie Pek Hong dan Thio Siang In kuberi
nama Sie Ang Hwa!”

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 405

Ketiganya tertawa senang.

“Ang Hwa, untuk apa aku harus memakai pakaian yang sama denganmu? Bukankah ayah...... eh, Paman
Sie tadi mengatakan agar kita memakai pakaian kita sendiri agar persamaan antara kita tidak sangat
menyolok?”

“Aku ingin menggoda Thian Liong dan melihat apakah dia dapat mengenal kita,” kata Ang Hwa.

Pek Hong tertawa cekikikan dan iapun setuju, lalu dipakainya pakaian itu. Gelung rambutnyapun diubah
dan dengan bantuan Ang Hwa, sebentar saja di situ ada dua Ang Hwa Sian-li!

Tiong Lee Cin-jin hanya menggeleng geleng kepala sambil tersenyum. Anak anaknya ini menjadi dua
orang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, juga lincah jenaka.

Souw Thian Liong masih duduk melamun ketika mereka bertiga menghampiri dari belakang. Mendengar
langkah mereka, dia bangkit berdiri, memutar tubuh dan...... menjadi bengong karena di depannya
berdiri dua orang Ang Hwa Sian-li. Wajahnya persis, pakaiannya sama, bentuk rambutpun serupa,
masing-masing memakai bunga mawar merah di rambutnya dan keduanya tersenyum manis
kepadanya! Dia menjadi bengong dan heran.

Tiong Lee Cin-jin tersenyum. “Thian Liong, kami hanya ingin mengujimu, apakah engkau dapat mengenal
yang mana Ang Hwa Sian-li yang aseli dan yang mana Pek Hong Nio-cu?”

Thian Liong tersenyum dan mnghampiri. Tentu saja dia tahu karena dia masih ingat. Yang mempunyai
tahi lalat di pipi kiri adalah Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu mempunyai tahi lalat di pipi kanan!
Akan tetapi dia tidak mau membuang kesukacitaan dalam hatinya karena dia mengenal rahasia
perbedaan mereka, yaitu pada tahi lalat mereka. Biarlah dia disangka tidak tahu. Dia lalu menunjuk
kepada Pek Hong Nio-cu dan berkata lantang.

“Engkaulah Ang Hwa Sian-li yang aseli! Benar, kan?”

Dua orang gadis itu tertawa girang akan tetapi tidak menjawab. Merekapun merasa senang karena tidak
dapat menebak dan ingin menyimpan rahasia mereka.

“Thian Liong, sekarang saatnya kita berpisah. Aku harap engkau memperoleh banyak pelajaran tentang
semua pengalamanmu yang lalu dan di masa mendatang akan berlaku hati-hati sekali karena di dunia ini
lebih banyak terdapat orang sesat daripada yang benar. Mereka berdua ini akan pergi bersamaku,
kembali ke utara. Selamat berpisah, Thian Liong.”

Thian Liong memberi hormat kepada gurunya. “Selamat jalan, suhu. Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-
cu, selamat jalan dan terima kasih atas bantuan dan semua kebaikan kalian selama ini kepadaku.”

Dua orang gadis itu tersenyum manis.

“Selamat tinggal, Souw Thian Liong!” kata mereka, lalu mereka mengikuti Tiong Lee Cin-jin menuju ke
utara.

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com


:: Kisah Si Naga Langit (Serial 01 - Kisah Si Naga Langit) 406

Thian Liong memandang ke arah mereka pergi, sampai bayangan mereka menghilang di balik pohon -
pohon. Tiba tiba dia merasa kehilangan, merasa kesepian dan sedih! Bayangan tiga raut wajah yan g
cantik jelita dan memiliki daya tarik khas masing-masing silih berganti muncul dalam ingatannya. Han Bi
Lan, Ang Hwa Sian-Ii, dan Pek Hong Nio-cu. Dan kini mereka semua telah pergi meninggalkannya. Betapa
dia sayang kepada mereka. Sekarang dia seorang diri, sebatang kara, kesepian.

“Huh! Cengeng!” Dia menepuk dahi sendiri lalu melangkah pergi, senyumnya muncul kembali dan
langkahnya tetap.

TAMAT

Diposting oleh : alysa


http://indozone.net/literatures/literature/1379
15 September 2013 jam 8:31am

:: CerSil KhoPingHoo : suhukecil.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai