Anda di halaman 1dari 865

The Heike Story

Kisah Epik Jepang Abad ke-12


Penulis : Eiji Yoshikawa
Kiriman : Lenny (trims yeee)
Ebook : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.com
http://kang-zusi.info

Penerbit : Zahir Books (lini Redline Publishing)


Cetakan : Pertama, Juni 2010
Tebal buku: 750 halaman

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
Bab I PASAR
Bab II - PEREMPUAN GION
Bab III PACUAN KUDA
BAB IV-SEORANG WANITA YANG BERMANDIKAN
CAHAYA REMBULAN
Bab V RUMPUT YANG TERINJAK-INJAK
Bab VI - BOCAH LELAKI YANG MEMBAWA AYAM
SABUNGAN
Bab VII SALAM PERPISAHAN DARI SEORANG
SAMURAI
Bab VIII - BINTANG BEREKOR DI ATAS IBU KOTA
Bab IX PARA PRAJURIT BIKSU DARI GUNUNG
SUCI
Bab X DUSTA
Bab XI - SEKELUARGA RUBAH DAN SEBUAH
KECAPI
Bab XII -SABDA ALMARHUM
Bab XIII- ISTANA MATA AIR DEDALU
Bab XIV-PANJI-PANJI MERAH HEIKE
Bab XV- PANJI-PANJI PUTIH GENJI
Bab XVI-PEDANG DAN ANAK PANAH
Bab XVII-SUNGAI BERDARAH
Bab XVIII-ALUNAN SERULING
Bab XIX-SEBUAH KEDAI TEH DI EGUCHI
Bab XX-Perjalanan Ziarah ke Kumano
Bab XXI-Tuan Hidung Merah Sang Saudagar
Bab XXII-Jeruk Dari Selatan
Bab XXIII PENCULIKAN KAISAR
Bab XXIV-IRAMA GENDERANG
Bab-XXV BADAI SALJU

Bab XXVI BELAS KASIHAN


Bab XXVII SEBUAH KAPEL DI ATAS BUKIT
Bab XXVIII-SANG IBU
Bab XXIX-PENGASINGAN
Bab XXX-SAKURA
Bab XXXI-GAGAK
Bab XXXII-JALAN PEDAGANG SAPI
Bab XXXIII-SEKUNTUM PEONI PUTIH
Bab XXXIV-SEBUAH PATUNG PERAK
Bab XXXV-RIBUAN BATANG LILIN
Bab XXXVI-SI PENYAIR PENGEMBARA
Bab XXXVII-SEORANG SAUDAGAR DARI TIMUR
LAUT
Bab XXXVIII-TIGA BUAH MIMPI
Bab XXXIX-TABIB ASATORI
Bab XL-PERMATA LAUT
Bab XLI-WAFATNYA SEORANG KAISAR
Bab XLII-CAHAYA KEBENARAN
Bab XLIII-DUA ORANG GEISHA
Bab XLIV-HURU-HARA
Bab XLV-PEMBANGUNAN SEBUAH PELABUHAN
Bab XLVI-PENGASINGAN SEORANG BIKSU
Bab XLVII-GENJI AKAN BANGKIT KEMBALI
Bab XLVIII-IBLIS-IBLIS GUNUNG KURAMA
Bab XLIX-USHIWAKA MELARIKAN DIRI
Bab L-PERJALANAN KE TIMUR

o0odwkzo0o

Bab I PASAR
Dan kau, Heita, jangan lagi
berkeliaran
dan
menyianyiakan waktu di Shoikoji
dalam perjalananmu pulang!
Heita Kiyomori mendengar
ayahnya, Tadamori, berseru
memperingatkannya ketika dia
pergi
untuk
menjalankan
tugasnya. Dia merasakan suara
ayahnya
mengikutinya
bersama setiap langkahnya.
Kiyomori takut kepada
ayahnya; setiap kata yang
diucapkan oleh pria itu seolaholah
selalu
melekat
di
benaknya.
Dua
tahun
sebelumnya, pada 1135, untuk pertama kalinya Kiyomori
menemani ayahnya dan sejumlah prajurit bersenjata dalam
sebuah ekspedisi dari Kyoto ke Shikoku, dan kemudian
Kyushu untuk menumpas para perompak Laut Dalam.
Sejak bulan April pada musim semi hingga Agustus, mereka
memburu musuh mereka dan, dengan pemimpin
gerombolan perompak beserta ketiga puluh kaki tangannya
terbelenggu rantai, mereka kembali dengan penuh kejayaan
ke ibu kota, dalam sebuah pawai kemenangan yang meriah.
Ya, tidak diragukan lagi, ayahnya memang seorang
pahlawantanpa memedulikan segalanya!
Pendapat Kiyomori tentang ayahnya berubah sejak saat
itu, begitu pula ketakutannya. Sejak masih bocah, Kiyomori
yakin bahwa kemalasanlah yang menyebabkan ayahnya

menghindari pergaulan, bahwa dia kekurangan ambisi,


tidak memiliki keberanian untuk mengurus berbagai
masalah duniawi, dan terlalu keras kepala untuk keluar dari
jerat kemiskinan. Sosok itu, bagaimanapun, bukan ayah
yang tingkah lakunya diamati oleh Kiyomori sejak masa
kanak-kanak, namun gambaran yang dilekatkan di
benaknya oleh ibunya. Sejauh yang bisa diingatnya, rumah
mereka di Imadegawa, di wilayah pinggiran ibu kota,
adalah reruntuhan yang mengenaskan; atapnya yang bocor
tidak diperbaiki selama lebih dari sepuluh tahun; kebunnya
yang terbengkalai dipenuhi rumput liar, dan rumah reyot itu
menjadi latar belakang berbagai pertengkaran tanpa akhir
antara ayah dan ibunya. Kendatipun mereka selalu
berselisih, bayi demi bayi senantiasa lahirHeita
Kiyomori, si sulung; Tsunemori, anak lelaki kedua; lalu
anak lelaki ketiga, dan bahkan keempat. Tadamori, yang
membenci pekerjaannya sebagai samurai di Istana, tidak
mau repot-repot hadir ke tempat kerjanya kecuali jika
mendapatkan panggilan khusus. Penghasilan utamanya saat
ini berasal dari hasil pertanian dari tanahnya di Ise, dan
kecuali sumbangan dari Istana yang sesekali diterimanya,
dia tidak pernah mendapatkan gaji secara teratur.
Kiyomori mulai memahami alasan-alasan pertengkaran
tanpa henti kedua orangtuanya. Ibunya adalah seorang
wanita cerewetmenurut ayahnya, ibunya berbicara seperti
kertas minyak terbakaryang biasa mengeluhkan,
Setiap kali aku mengatakan sesuatu, kau selalu
memandangku dengan sinis. Kapankah aku pernah
melihatmu bertingkah layaknya suami yang baik? Aku tidak
pernah melihatmu bersikap seperti tuan rumah yang
terhormat Ada cukup banyak manusia lamban di dunia ini,
tapi hanya ada segelintir orang yang semalas dirimu di kota
ini! Seandainya kau anggota dewan kota atau pejabat
pemerintah, aku bisa mengerti. Tidak pernahkah terpikir

olehmu untuk mengeluarkan kita dari jerat kemiskinan ini?


Kalian para Heike lahir di kampung, tidak heran kalau kau
sudah biasa hidup miskin, tapi aku jarang meninggalkan ibu
kota, dan semua kerabatku berdarah bangsawan klan
Fujiwara!
Di sini, di bawah atap yang bocor ini, siang dan malam,
kemarin dan hari ini, aku lagi-lagi mengunyah makanan
basi. Aku tidak akan bisa berjalan-jalan melihat bulan dan
mengikuti jamuan-jamuan kekaisaran, atau ketika musim
semi tiba kembali, memakai kimono mahalku dan
menikmati keindahan bunga sakura di Istana. Aku tidak
tahu apakah aku ini seorang wanita atau musang karena
seperti inilah penampilanku setiap hari .Ah, sungguh
menyakitkan mata yang memandang diriku ini! Mana
pernah aku bermimpi bahwa nasibku akan seperti ini!
Itu hanyalah pembukaan dari aliran tanpa henti tuduhan
dan
keluhan
pedasnya,
jika
Tadamori
tidak
membungkamnya. Dan, sekalinya kertas minyak ini
terbakar, apakah yang paling disesalinya, ketika dia
menjerit-jerit ke langit dan meratap-ratap ke bumi untuk
menjadi saksinya? Bahkan Kiyomori sebagai anaknya
sudah muak mendengar berbagai keluhannya. Dia sudah
hafal semua isinya. Yang pertama adalah suaminya, si
pemalas yang tidak pernah mau bersusah payah
meningkatkan kesejahteraan mereka. Selama bertahuntahun, Tadamori hanya tinggal di rumah tanpa melakukan
apa punsuami yang tidak berguna! Keluhan keduanya,
akibat kemiskinan suaminya, dia harus melepaskan hak
untuk mengikuti berbagai acara keluarganya, klan Fujiwara;
dia tidak bisa lagi menghadiri tamasya kekaisaran atau
menerima undangan pesta di Istana. Dia yang terlahir di
tengah kejayaan dan kemewahan telah menikah dengan
seorang samurai Heike dari golongan kebanyakan dan

menghancurkan kehidupannya. Dan dia akan meratapratap, Ah, seandainya aku tak punya anak! Ucapan itu
membuat Kiyomori kecil luar biasa ketakutan, terhina, dan
sedih, sehingga ketika dia berumur enam belas atau tujuh
belas tahun, tatapan pilunya sering kali membingungkan
ibunya.
Kiyomori memikirkan apa yang mungkin akan
dilakukan oleh ibunya seandainya dia tidak punya anak.
Tetapi, yang jelas dia tahu: di atas segalanya, ibunya
menyesal karena telah menikah dengan ayahnya; ibunya
mungkin akan meninggalkan ayahnya dan menebus tahuntahun yang hilang darinya dengan kembali menjalani
kehidupan mewah. Dia ingin hidup seperti para kerabat
bangsawannya, mengendarai gerobak sapi, bermandikan
cahaya bulan dan bertabur bunga-bungaan; main mata
dengan kapten ini atau pejabat itu; saling bertukar puisi
cinta sembari menebarkan pesona, menjalani kehidupan
para wanita seperti dalam Hikayat Genji. Ibunya tidak bisa
mengakhiri kehidupan tanpa menunaikan takdirnya sebagai
seorang wanita.
Berulang kali, kertas minyak itu terbakar. Dan anakanak lelaki kecilnya, kesulitan meyakini bahwa wanita itu
adalah ibu mereka, menyaksikannya setiap hari dengan
tatapan pilu.
Kiyomori, sekarang berusia hampir dua puluh tahun,
kesal; jika anak-anaknya menjadi penghambat, mengapa
ibunya tidak meninggalkan mereka saja? Sedangkan
ayahnya, mengapa dia diam saja menghadapi istrinya?
Apakah sebaiknya Kiyomori saja yang balas membentak
wanita ini? Dasar wanita jalang! Siapa itu Fujiwara, para
Fujiwara yang dibangga-banggakannya tanpa memedulikan
perasaan suaminya? Dasar bodohayahnya, yang hanya
berani membentak anak-anaknya! Dasar pengecut! Lihatlah

bagaimana orang-orang meledek Si Mata Picing yang


menikahi seorang gadis cantik, hanya untuk mendapati
bahwa dia adalah seorang sundal!
Orang-orang sepertinya beranggapan bahwa anak-anak
selalu memihak ibu mereka, namun sebaliknyalah yang
terjadi di rumah ini. Si bungsu, yang belum lagi disapih,
dan kakak ketiganya masih terlalu kecil untuk memihak,
namun Tsunemori, yang sekarang sudah cukup besar untuk
memahami apa yang terjadi, kadang- kadang memandang
ibunya dengan penuh kebencian ketika wanita itu sedang
meradang. Pada saat seperti itu, mereka malu atas ayah
mereka. Diaseorang priayang sepertinya hidup hanya
untuk diperlakukan secara semena-mena oleh istrinya.
Ayahnya hanya duduk diam mendengarkan rentetan
cercaan wanita itu, kelopak matanya yang tercoreng bekas
luka setengah tertutup, terpekur menatap kedua tangannya
yang terkepal di atas pangkuannya.
Kiyomori harus mengakui bahwa ayahnya buruk rupa
wajah yang penuh bopeng dan sepasang mata yang
memberinya julukan, dia adalah pria berusia empat puluhan
yang sedang berada dalam masa kejayaannya Di sisi lain
adalah ibunya yang cantik, terlihat seolah-olah masih
berumur dua puluhan. Tidak heran jika setiap orang yang
melihatnya menolak untuk percaya bahwa dia adalah ibu
dari empat anak. Meskipun telah jatuh miskin, dia tetap
merawat diri dengan cermat. Dia tidak menunjukkan tandatanda bahwa dia tahu atau peduli ketika para pelayan, yang
tidak tahan melihat penderitaan mereka, dengan diam-diam
mencuri sesuatu agar bisa membarternya dengan makanan,
atau membelah-belah bambu yang telah membusuk dan
mencungkil bilah-bilah lantai untuk dijadikan kayu bakar,
atau jerit tangis anak- anak yang mengompoli pakaian
compang-camping mereka. Pada pagi hari, dia akan

berdandan di bilik riasnya, yang tidak boleh dimasuki oleh


suaminya sekalipun, lalu menata wadah-wadah sisir dan
cermin berlapis emasnya, dan pada malam hari, dia mandi
berendam untuk memoles kulitnya. Dia berulang kali
mengejutkan para tetangganya dengan keluar mengenakan
pakaian terindahnya, mengumumkan bahwa dia akan
mengunjungi salah satu kerabatnya, keluarga Nakamido,
lalu berjalan dengan gaya bangsawan sejati ke istal terdekat
untuk menyewa sebuah kereta dan pergi begitu saja.
Wanita serigala wanita serigala penyihir! para
pelayan berkasak-kusuk ketika dia berada jauh dari mereka.
Bahkan Mokunosuke yang telah uzur sekalipun, yang telah
bekerja untuk keluarga mereka sejak masih bocah, akan
berdiri bersama seorang anak yang menangis terisak-isak di
punggungnya sambil memandang dengan penuh damba
kepada ibunya yang baru saja pergi. Nantinya, dia akan
terdengar menyusuri jalan di sekeliling istal pada malam
hari, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk anak
majikannya. Tadamori, pada masa itu, biasanya akan
terlihat bersandar ke tiang di bawah naungan bayangan,
memejamkan mata, di tengah kesunyian, tenggelam dalam
pikirannya sendiri.
Tsunemori adalah seorang anak yang pandai; dia tidak
memedulikan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya dan
menghabiskan waktu dengan buku-bukunya. Dia dan
Kiyomori mulai belajar di Akademi Cina Klasik Kekaisaran
sejak usia dini. meskipun setelah beberapa waktu, Kiyomori
menolak untuk mengikuti pelajaran lagi. Walaupun
ayahnya senantiasa mendesaknya untuk melanjutkan
pendidikan, Kiyomori tidak merasakan manfaat dari
membaca Konfusius, yang ajarannya sepertinya tidak sesuai
dengan dunia yang dilihatnya atau kehidupan di dalam
rumahnya. Kiyomori biasanya menghabiskan waktu

dengan bermalas-malasan seperti ayahnya. Sering kali,


sembari berbaring di dekat kaki meja adiknya, Kiyomori
akan bercerita tentang pacuan kuda di Kamo atau berbagai
gosip para wanita di lingkungan mereka; jika Tsunemori
tidak berminat mendengarkannya, dia akan tetap berbaring
di tempat yang sama, melamun menatap langit-langit,
mengorek- ngorek hidungnya. Pada waktu yang lain, dia
akan bergegas ke arena panahan di belakang rumah untuk
berlatih memanah, atau melesat ke istal untuk kemudian
pulang dengan memacu seekor kuda, tubuhnya basah
kuyup oleh keringat. Sepertinya, dia bertindak sesuka
hatinya.
Kiyomori sering menganggap ibunya sebagai seorang
yang aneh; ayahnya pun sama saja; hanya Tsunemori yang
sepertinya berperangai normal layaknya orang biasa.
Bahkan dirinya sendiri, Kiyomori, putra sulung dan ahli
waris utama, adalah seorang yang aneh. Kesimpulannya,
mereka adalah orang-orang aneh yang tergabung di dalam
sebuah keluarga aneh. Tetap saja, keluarga Heike dari Is6
adalah salah satu dari beberapa keluarga samurai yang
berasal dari leluhur terhormat. Di ibu kota, yang
penduduknya mengetahui bahwa tradisi Heike telah
diturunkan hingga beberapa generasi, banyak orang
meramalkan bahwa akan ada banyak cabang dari pohon
keluarga ini yang mengembalikan kejayaan nama mereka.
Kendati begitu, Kiyomori tidak memedulikan desas-desus
semacam itu, hanya mengetahui bahwa dirinya masih
muda, merdeka, dan bahagia.
Dia menyadari beban tugas yang diembannya karena dia
telah membaca surat yang dipercayakan kepadanya.
Kiyomori hendak meminjam uang dari salah seorang
kerabatnya, pamannya. Ini sudah cukup sering terjadi, dan
dia akan menemui satu-satunya saudara ayahnya,

Tadamasa, seorang anggota Kesatuan Pengawal Kaisar,


yang telah sering dimintai bantuan oleh Tadamori.
Setelah perayaan Tahun Baru, ibu Kiyomori terserang
masuk angin; seperti biasanya, dia tanpa henti mencecar
suaminya dengan selera kelas atasnya, menuntut agar tabib
istana dipanggil untuk merawatnya, meminta obat yang
mahal, mengeluhkan baju tidurnya yang terasa berat di
badannya, dan mencela makanan yang tidak selayaknya
diberikan kepada seseorang yang sedang sakit
Kemiskinan yang berhasil diabaikan oleh Tadamori
menerpa mereka semua dalam semalam bagaikan angin
bersalju. Meskipun atas kemenangannya melawan para
perompak dua tahun sebelumnya dia dianugrahi emas dan
berbagai hadiah lainnya, yang berhasil melepaskannya dari
jerat kesulitan keuangan, rezeki nomplok itu mendorong
istrinya untuk lebih menghambur-hamburkan uang.
Tadamori percaya bahwa dia memiliki cukup banyak uang
untuk menghidupi keluarganya hingga setahun kemudian,
sampai penyakit istrinya meludeskan seluruh sisa harta
mereka hanya dalam waktu kurang dari tiga minggu,
sehingga mereka terpaksa harus menghirup bubur dari
remah-remah beras untuk sarapan dan makan malam.
Dengan hati pedih, sembari berusaha menulis surat
permohonan untuk saudaranya, Tadamori menoleh ke arah
putranya. Heita. maafkan aku karena harus menyuruhmu
menemui pamanmu lagi Ini adalah tugas yang harus
diselesaikan
oleh
Kiyomori.
Rasa
sakit
hati
membakarnyadiperingatkan untuk tidak berkeliaran dan
menghabiskan waktu di Shiokoji! Seorang bocah sekalipun
berhak untuk mengalihkan perhatian. Bukankah dia akan
berumur dua puluh tahun musim semi ini? Tetap saja,
dialah, seorang pemuda. sendiri, seraya berjalan

memikirkan bahwa tidak ada salahnya jika dia berusaha


mencari sedikit kesenangan.
Lagi-lagi, Heita, seru paman
menurunkan surat itu dengan muak.

Kiyomori

sambil

Ketika sang paman menyerahkan uang yang disebutkan


di dalam surat itu kepada keponakannya, istrinya muncul
dan mendamprat, Mengapa kalian tidak mengemis kepada
keluarga ibumu saja? Bukankah mereka semua anggota klan
bangsawan Fujiwara?yang termulia Nakamikadodarah
biru yang menyilaukan mata! Bukankah ibumu
menyombongkan mereka setiap waktu? Sana, katakan juga
ini kepada ayahmu!
Kemudian, dimulailah rentetan hinaan kepada orangtua
Kiyomori dari paman dan bibinya. Apakah yang lebih
memalukan daripada hal inimembiarkan orang lain
mencerca ayah dan ibunya? Butiran-butiran air mata
mengalir menuruni pipi Kiyomori.
Kiyomori tahu, bagaimanapun, bahwa kehidupan
pamannya tidaklah mudah. Meskipun sebuah sistem
Pengawal Kekaisaran telah diciptakan, dan ada semakin
banyak samurai yang dipekerjakan di Istana dan wilayahwilayah kekaisaran lainnya, para bangsawan Fujiwara
memperlakukan mereka layaknya budak. Mereka hanya
dihargai untuk keganasan merekat disamakan dengan
anjing-anjing Kishu dan Tosa, dan tidak dianggap setara
dengan para bangsawan yang berkeliaran di sekeliling
singgasana; imbalan mereka di kampung sebagian besar
hanyalah berupa tanah pegunungan gersang atau rawa-rawa
yang telah terbengkalai. Para samurai itu dibenci, dihina
dina seolah-olah mereka rakyat jelata; tanpa kehormatan
yang semestinya menjadi hak mereka, mereka
menggantungkan hidup pada hasil pertanian yang tidak
seberapa, dan kemiskinan pun tidak terelakkan lagi.

Angin ganas bulan Februari terkadang mendatangkan


Angin Timur Pertama, namun entah bagaimana, kerinduan
pada musim semi menjadikan udara yang dingin terasa
semakin menusuk tulang. Mungkin siksaan kelaparanlah
yang membuat Kiyomori gemetar. Baik paman maupun
bibinya tidak mengundangnya untuk makan malam
bersama mereka. Lebih baik begitu, pikir Kiyomori; satusatunya pikiran yang ada di benaknya adalah melarikan diri
dari rumah itu. Dia tidak akan pernah mau lagi
menjalankan tugas seperti ini. Bahkan kalaupun dia harus
mengemis. Sungguh mengesalkan menangis terisak-isak
seperti ini, sementara paman dan bibinya mungkin mengira
dia hanya berpura-pura menitikkan air mata demi uang.
Sungguh memalukan! Kelopak matanya masih bengkak,
dan Kiyomori bisa merasakan orang-orang yang berpapasan
dengannya memandangi wajahnya yang bernoda air mata.
Padahal, orang-orang memandangi Kiyomori bukan
karena itu, melainkan karena penampilannyakimono
kusut dan tunik dalam kumalnya. Pakaian penggembala
sapi dan pelayan rendahan sekalipun masih lebih hangat
daripada yang dikenakannya. Para gelandangan yang
berteduh di bawah Gerbang Roshomon pun tidak akan sudi
mengenakan pakaian seperti itu. Seandainya dia tidak
membawa pedang panjangnya, sebagai apakah orang-orang
akan memandang dirinyadengan sandal dan sarung kaki
kulitnya yang bernoda lumpur; topi runcingnya, yang
warnanya telah memudar dan lapisannya telah terkelupas,
terpasang miring di kepalanya; sosok gempal dan kumis
kakunya; kepalanya yang agak kebesaran untuk tubuhnya;
mata, telinga, dan hidungnya yang lebar; alisnyabagaikan
dua ekor ulat buluyang menaungi sepasang mata sipit
dengan sudut luar menurun, mata yang memberikan kesan
baik pada wajah garang atau bahkan bengisnyaseorang
pemuda berwajah janggal dan berkulit terang dan bertelinga

caplang kemerahan, yang menjadikan kemudaannya, entah


bagaimana, tampak menarik?
Orang-orang yang berpapasan dengannya bertanyatanya siapakah samurai muda ini, di manakah dia bertugas
sebagai Pengawalmengamati bagaimana dia berjalan
dengan tangan bersedekap. Kiyomori tahu bahwa sikap ini,
yang hanya ditunjukkannya di jalanantidak pernah di
hadapan ayahnya dipandang dengan sebelah mata oleh
Tadamori, yang menganggapnya sangat tidak layak
ditunjukkan oleh seseorang dari keluarga terhormat Tetapi,
Kiyomori telah terbiasa menampilkan sikap seperti ini
ketika berada di jalanandia mempelajarinya dari para pria
yang meramaikan Shiokoji. Mustahil baginya untuk pergi
ke sana hari ini; uang yang dipegangnyauang pinjaman
memalukan itu! Memikirkannya membuatnya gemetar.
Daya tarik Shoikoji menyedot seluruh kesadarannya.
Akibat kemauan yang lemah, dia merasa tidak akan pernah
bisa menahan diri dari pergi ke sana.
Setibanya di persimpangan jalan, Kiyomori menyerah.
Angin hangat dari Shiokoji yang menerpanya membawa
bau-bauan
yang
menggelitik
dan
mengolok-olok
keraguannya. Di sanalah mereka, di tempat yang sama,
seperti biasanyaseorang wanita tua menjajakan paha
burung kuau panggang dan burung-burung kecil panas
menggoda yang dirangkai di tusukan; di sebelah lapak
wanita itu, seorang pria memeluk seguci besar sake,
menyanyi dan tertawa terpingkal-pingkal layaknya seorang
pemabuk sambil melayani pembeli; di sana, di bagian pasar
yang teduh, seorang gadis penjual jeruk duduk seorang diri
sambil memangku dagangannya; dan ada pula sepasang
tukang sol, ayah dan anak. Di sanalah merekalebih dari
seratus lapak kecil, bersisi-sisian, memamerkan ikan asin,

baju bekas, dan berbagai macam tetek bengek penunjang


kehidupan para pedagang itu.
Bagi Kiyomori, setiap lapak, setiap jiwa yang ada di
sana, seolah- olah lahir di bawah beban dunia yang
menghimpit mereka; semua orang di sini adalah rumput
mengenaskan yang terinjak-injak gabungan kehidupan
manusia yang berakar di tanah becek ini, hidup dan
menghidupi dalam sebuah perjuangan untuk bertahan; dan
dia tergerak oleh keberanian besar dan menggetarkan yang
terpancar dari pemandangan ini. Uap dari masakan panas
dan asap dari daging bakar seolah-olah menjadi selubung
misterius yang menutupi setiap rahasia di tempat itu
segerombolan pejudi jalanan, senyum menggoda para
pelacur yang lalu lalang menembus kerumunan orang,
lengkingan tangis bayi, gebukan genderang para penyanyi
baladaseluruh perpaduan bau-bauan dan suara yang
mendatangkan gejolak di kepalanya. Tempat ini adalah
surga bagi kaum papa, setara dengan pesta para bangsawan,
ibu kota rakyat jelata. Mendatangi tempat itu sama dengan
merendahkan derajatnya, dan itulah alasan utama larangan
tegas Tadamori kepadanya.
Tetapi, Kiyomori menyukai tempat ini. Dia merasa
betah berada di tengah-tengah orang-orang itu. Pasar
Penadah sekalipun, yang lapak-lapaknya terkadang berdiri
di bawah pohon jelatang besar di sudut barat pasar, berhasil
memikatnya. Biar saja mereka disebut perampok dan
pencolengbukankah mereka cukup ramah jika perut
mereka kenyang? Ada sesuatu yang salah di dunia ini, yang
mendorong mereka untuk mencuri. Tidak ada penjahat di
sini mereka justru bisa ditemukan di antara gumpalan
awan menawan di Gunung Hiei, di Kuil Onjoji, dan
bahkan di Nara, tempat mereka menjadikan bangsal dan
menara kuil-kuil Buddha sebagai benteng para pemuka

agama Buddha berhati nista dalam balutan jubah brokat


dan emas mereka.
Dengan pikiran semacam itu berkelebatan di benaknya,
Kiyomori mendapati dirinya berada di tengah riuh rendah
kerumunan manusia; menengok ke sana, berhenti di situ,
dia berjalan tanpa arah tujuan, tidak merisaukan malam
yang mulai datang. Tidak seorang pun terlihat di bawah
pohon jelatang, namun di keremangan cahaya senja, dia
bisa melihat pendar lentera-lentera, buket-buket bunga, dan
mencium semerbak aroma dupa. Tidak lama kemudian,
gadis dan wanita jelata tampak berduyun-duyun menari,
satu demi satu kelompok, menghampiri pohon tersebut
untuk melakukan pemujaan.
Legenda menyebutkan bahwa pada zaman dahulu kala,
gundik dari seorang perompak termahsyur tinggal di tempat
yang sekarang ditumbuhi pohon jelatang itu. Seiring waktu,
para wanita yang memercayai takhayul meyakini bahwa
berdoa di sana akan menyebabkan pujaan hatinya
memimpikannya atau mendatangkan penyakit menjijikkan
pada saingan yang dibencinya. Kematian siperompak di
penjara pada 7 Februari 988 mengguncang masyarakat, dan
sejak saat itu, para begundal pasar dan wanita dari berbagai
latar belakang melestarikan kenangannya dengan
mempersembahkan dupa dan bunga-bungaan pada hari
ketujuh setiap bulan.
Lebih dari seratus tahun telah berlalu sejak tokoh
pembangkang ini, putra seorang bangsawan dari Golongan
Keempat, dengan liar membakar, menjarah, dan
membantai, namun dia tidak kunjung dilupakan oleh rakyat
jelata, karena namanya seolah-olah tercetak di dalam
kenangan mereka. Kejahatannya menjadi sensasi pada
kurun waktu yang menandai kejayaan dan kekuasaan klan
Fujiwara. Bagi rakyat jelata, pembangkangan si perompak

terhadap hukum yang berlaku merupakan ekspresi dari


kemarahan mereka yang tersimpan di dalam hati, sehingga
alih-alih menghujatnya, mereka justru mengidolakannya.
Bunga-bungaan dan dupa mungkin tidak akan berhenti
mengalir ke tempat itu selama masih ada seorang saja
Fujiwara yang bernapas di muka bumi ini; kemudian,
orang- orang yang tidak percaya pada takhayul pun turut
berdatangan untuk berdoa di sana.
Sesuatu yang ada di dalam diri si perompak itu juga
mengalir di darahku, pikir Kiyomori; pendar-pendar
cahaya di bawah pohon mulai tampak bagaikan api unggun
yang menunjukkan jalan ke masa depannya, dan dia tibatiba ketakutan. Dia membalikkan badan dan bersiap-siap
berlari.
Ah, Heita dari Ise! Mengapa kau berlama-lama
memandangi para gadis yang datang untuk berdoa di
bawah pohon jelatang itu?
Di tengah kegelapan, Kiyomori tidak bisa melihat siapa
yang memanggilnya. Sejenak kemudian, orang asing itu
melangkah maju dan menyambar bahu Kiyomori, lalu
mengguncang-guncangnya
dengan
keras
sehingga
kepalanya terangguk-angguk tanpa daya.
Ah, kamuMorito!
Siapa lagi jika bukan Morito sang samurai? Bagaimana
mungkin kau melupakanku! Apakah yang kaulakukan di
sini, dan mengapa kau menatap dengan bingung begitu?
Eh, bingung? Aku tidak menyadarinya. Apakah mataku
masih bengkak?
Ho, ho! Jadi, ada pertengkaran antara ibumu yang jelita
dan si Mata Picing, dan kau tidak tahan menghabiskan
waktu di rumah?

Tidak. Ibuku sakit


Morito tertawa dingin. Sakit?
Morito adalah teman sekolahnya di Akademi
Kekaisaran; meskipun berusia setahun lebih muda daripada
Kiyomori, dia selalu tampak lebih tua dan dewasa.
Kiyomori dan yang lainnya tertinggal jauh dari Morito
dalam hal pelajaran, dan para guru mereka telah
meramalkan karier yang brilian bagi murid kesayangan
mereka ini.
Lagi-lagi Morito tertawa, Aku tidak bermaksud
lancang, tapi si nyonya, percayalah padaku, sakit akibat
serangan cintanya kepada diri sendiri dan sikap anginanginannya. Kau tidak perlu khawatir, sobatku; daripada
bermuram durja, lebih baik kita pergi dari sini untuk
mencari sake.
Ehsake?
Tentu saja. Perempuan Gion adalah ibu dari banyak
anak lelaki, tapi dirinya tidak banyak berubah dari dahulu.
Ayolah, jangan heran begitu.
Morito, siapakah si Perempuan Gion ini? cecar
Kiyomori.
Apa kau tidak tahu tentang masa lalu ibumu yang
anggun itu?
Tidak. Memangnya kau tahu?
Hmmkalau kau mau, aku akan memberitahumu.
Ayo, ikudah denganku. Biarkan saja si Mata Picing
menjalani takdirnya. Ini adalah zaman susah, Heita.
Mengapa kau membiarkan semangatmu padam ketika
kemudaanmu sedang berkembang? Kupikir tidak ada yang

bisa menyusahkanmu. Berhentilah meratap-ratap dan


bertingkah seperti perempuan itu!
Maka, Morito pun sekali lagi mengguncang bahu
Kiyomori dengan kasar, kemudian berlalu menyongsong
kegelapan.
o0odwkzo0odwo0odwkzo0o
Ruangan itu tidak berdinding: sekat-sekat kayu tipis
memisahkannya dari ruangan di sebelahnya; sehelai kain
usang menggantikan tirai, dan selembar tikar jerami
tergantung di ambang pintu. Seorang tukang tidur sekalipun
tidak akan sanggup tidur nyenyak di tengah keributan di
ruangan sebelahtabuhan gendang, gemerincing tembikar,
dan nyanyian nyaring. Bunyi gedebuk seseorang yang jatuh
mendadak mengguncang seluruh rumah; gemuruh tawa
nyaring sejumlah pria dan wanita seketika menyusul.
Apa! Di manakah aku? Sialan, pukul berapa sekarang?
Kiyomori sekonyong-konyong terbangun dengan bingung.
Seorang wanita terlelap di sampingnya. Tidak salah lagi
ini adalah rumah bordil di Jalan Keenam. Morito telah
membawanya kemari. Kurang ajar! Dia harus segera
pulang.
Kebohongan apakah yang akan dikatakannya di rumah?
Dia bisa melihat tatapan marah ayahnya, mendengar
cecaran ibunya, dan rengekan kelaparan adik-adiknya.
Bagus! Setidaknya, dia masih memegang sisa uang yang
dipinjam dari pamannya. Dia akan pergi sekarang juga;
Kiyomori telah tersadar sepenuhnya. Di manakah Morito
masih bersenang-senang? Dia akan memeriksa keramaian di
ruangan sebelah.
Dia menginjak rambut hitam si wanita ketika
melompatinya untuk mengintip melalui celah di kayu, yang
memasukkan seberkas cahaya; beberapa buah lampu

minyak pinus menyala di ruangan tanpa perabot itu; tikar


jerami melapisi lantai kayunya, dan tampaklah tiga atau
empat orang pendeta berwajah bandit dengan tubuh
berbalut jubah kehormatan, menyandang pedang panjang,
memangku atau memeluk gadis-gadis penari yang ada di
sana. Beberapa buah botol anggur kosong berserakan di
lantai.
Jadi, Morito telah pergi, meninggalkannya sendirian di
sini!
Dikuasai kepanikan, Kiyomori memakai kimono
usangnya, menyandang pedangnya, dan bergegas merabaraba jalan menuju pintu. Di tengah kegelapan, kakinya yang
goyah menyandung peranti logam yang seketika berdentang
nyaring.
Mendengar suara itu, para pendeta berhamburan keluar
dari ruangan mereka, berseru, Berhenti, berhenti! Siapa
yang berani- beraninya menjatuhkan tombakku, lalu lari
begitu saja? Tunggu, dasar begundal, yang di sana!
Kiyomori sontak berhenti, ketakutan. Ketika dia
menoleh, dilihatnya kilatan dingin tombak di depan
matanya. Tidak diragukan lagi, pemegangnya adalah
tangan lihai salah seorang pendeta kekar dari Gunung Hiei
atau Kuil Oujoji. Tantangan itu datang secepat kibasan
tangan Dewa Kematian. Seketika itu juga, aroma anggur
lenyap bersama berbagai kenangan indah dan penyesalan,
dan Kiyomori, memalingkan wajah, dengan segenap
kekuatannya melesat menyongsong terpaan angin malam.
Ketika melihat rumahnya, hatinya seolah-olah melesak.
Dilihatnya pagar anyaman ranting berlapis lempung yang
telah retak dan tertutup rumput mati di sana-sini, juga atap
gerbang utama yang telah miring. Apakah yang akan
dilakukannya? Apakah yang akan dikatakannya? Malam

ini, Kiyomori bergidik hanya karena harus menemui


ibunya; lebih baik dia menghadapi semburan ayahnya.
Amarah mendidih di dalam diri Kiyomori; dia tidak akan
sanggup mendengarkan suara ibunya; di lain waktu, dia
akan meminta ibunya membujuk ayahnya, memohon
ampunannya, dan bahkan mendambakan belaiannya.
Adakah anak lain yang mengkhianati ibunya sendiri seperti
yang dilakukannya malam ini? Ketika menatap dinding
rumahnya, Kiyomori merasa muak dan terabaikan. Yakin
dan emosional, berbagai pikiran gila melanda benak
Kiyomori saat ini dan menjadikan kelopak mata dan
keningnya berkedut Seandainya dia tidak mendengar
tentang masa lalu ibunya! Seandainya dia tidak mendengar
omongan Morito!
Penyesalan menghampiri Kiyomoriingatannya akan
Morito, ketika dia bermesraan dengan para wanita itu.
Seluruh kejadian pada malam hari yang dihabiskan bersama
minuman keras itu sekonyong-konyong kembali ke dalam
ingatannya. Lebih jelas daripada semuanya, dia teringat
pada kamar di rumah bordil itu- rambut gelap yang kusut
dan tubuh lemas yang hangat. Apa bedanya jika wanita itu
cantik atau buruk rupa? Kiyomori berumur dua puluh tahun
dan untuk pertama kalinya mereguk rasa manis yang aneh
dan tidak terlupakan, yang kemudian membanjiri seluruh
indranya dengan kenikmatan. Pikirannya senantiasa
tersedot kembali ke kenangan yang membara di dalam
tubuhnya. Apakah aroma tubuh perempuan itu tertinggal di
tubuhnya? Pikiran itu sejenak meresahkannya; kemudian,
dengan satu lompatan besar, dia telah berada di sisi lain
pagar. Baru kali inilah dia mendarat di halaman rumahnya
dengan rasa bersalah yang mendalam. Kiyomori sudah
terbiasa pulang dengan cara ini setelah berkeliaran secara
diam- diam pada malam hari. Dia mendapati dirinya
mendarat di petak sayur di belakang istal.

Oh, Andakah itu. Tuan Muda Heita?


Hmmkaukah itu Tua Bangka? Kiyomori cepat-cepat
menegakkan badan, merapikan rambutnya yang acakacakan. Di hadapannya, berdirilah si pelayan tua,
Mokunosuke, yang kemampuannya untuk membuatnya
merasa bersalah nyaris menyamai ayahnya.
Lama sebelum Kiyomori lahir, Mokunosuk telah
menjadi pelayan di rumah ini; kedua gigi serinya sekarang
telah tanggal, dan meskipun orang-orang menggunjingkan
majikannya yang malas dan mengolok-olok kemiskinan
keluarga Heike, Mokunosuke yang setia seorang diri
mempertahankan
kehormatan
rumah
majikannya,
menjalankan berbagai ritual di dalamnya, dan tidak pernah
beristirahat dari berbagai tugas yang diembannya sebagai
pelayan seorang samurai.
Dan, Anda, Tuan Muda, apakah yang sedang Anda
sendiri lakukan? Tidak ada setitik pun cahaya di jalan pada
malam selarut ini, katanya, membungkuk untuk
memungut topi usang Kiyomori; sambil menyerahkan topi
itu, mata Mokunosuke menelanjangi majikannya,
hidungnya mencium sesuatu yang salah.
Apakah Anda beradu mulut dengan para biksu berisik
itu atau terlibat dalam pertikaian berdarah di persimpangan
jalan? Meskipun saya sudah memohon kepada Tuan untuk
tidur, beliau terus menolak. Ah, sudahlahselamat datang,
selamat datang.
Kelegaan memenuhi mata si pelayan yang terpicing,
namun Kiyomori menjadi gentar akibat tatapan penasaran
yang ditujukan kepadanya. Jadi, ayahnya masih terjaga!
Bagaimana dengan ibunya? Dia resah memikirkan apa yang
sedang menantinya. Mokunosuke, tanpa menunggu
majikannya bertanya, segera mengatakan, Berhentilah

berpikir, Tuan Muda, dan jangan membuat keributan.


Sekarang, tidurlah.
Tidak apa-apakah, Tua Bangka, jika aku tidak
mendatangi kamar ayahku sekarang?
Besok pagi saja. Biarkanlah si Tua Bangka ini
menemani Anda dan menguatkan alasan Anda.
Tapi, beliau tentu murka karena aku terlambat pulang.
Lebih daripada biasanya. Beliau memanggil saya ketika
senja tiba. Beliau sepertinya sangat cemas dan memerintah
saya untuk mencari si berandal itu di Shiokoji. Saya sebisa
mungkin melindungi Anda.
Ya, dan kebohongan apakah yang telah kaukatakan?
Ingatlah, Tuan Muda, berbohong kepada Tuan
menyakiti saya, namun saya mengatakan kepada beliau
bahwa saya bertemu dengan paman Anda, yang
mengabarkan bahwa Anda terpaksa beristirahat di rumah
beliau gara-gara sakit perut dan akan segera pulang setelah
pagi tiba.
Maafkan aku, Tua Bangka, maafkan aku.
Kuntum-kuntum bunga plum di dekat istal berkilauan di
tengah kegelapan malam. Aroma tajamnya sekonyongkonyong menyengat lubang hidung Kiyomori, dan seluruh
wajahnya berkedut. Air mata yang panas membasahi bahu
Mokunosuke ketika Kiyomori memeluk pria tua itu, yang
berdiri kaku. Di bawah lekukan-lekukan tulang rusuk
rentanya,
sebuah
gelombang
perasaan
tiba-tiba
membuncah. Kasih sayang seorang pria tua kolot yang
telah lama terpendam mendadak muncul untuk menyambut
ledakan emosi dahsyat Kiyomori. Berdua, mereka menangis
terisak-isak, saling berpelukan hingga keduanya jatuh ke
tanah.

Oh, Tuan Muda, apakahapakah Anda sejauh itu


mengandalkan saya?
Kau hangat. Dengar, Mokunosuke, hanya badan
rentamu itulah yang terasa hangat bagiku. Aku sendirian
seperti seekor burung gagak kesepian di tengah terpaan
angin musim dingin. Kau tahu sendiri seperti apa ibuku.
Ayahku bukan ayah kandungku Heike Tadamori bukan
ayahku!
Eh, siapakah yang mengatakan hal itu?
Untuk pertama kalinya, aku mendengar rahasia tentang
ayahku! Morito dari Kesatuan Pengawal yang
memberitahuku.
Ahsi Morito itu!
Ya, Morito. Dengar, katanya, Si Mata Picing bukan
ayah kandungmu. Ayah kandungmu adalah Kaisar
Shirakawa, dan kau, putra seorang kaisar, kelayapan
dengan perut kosong dalam balutan kimono usang dan
sandal aus. Betul-betul pemandangan hebat!
Cukup! Jangan katakan apa-apa lagi, Mokunosuke
menangis, mengibas-ngibaskan tangannya seolah-olah
untuk membungkam Kiyomori. Tetapi, Kiyomori
menyambar pergelangan tangannya dan memuntirnya
dengan kasar.
Masih ada lagidan kau, Tua Bangka, tahu lebih
banyak tentang hal ini! Mengapa kau selama ini
menyembunyikan semuanya dariku?
Kiyomori memelototi pelayan tua itu. Mokunosuke,
menahan rasa sakit di pergelangan tangannya, menunduk
ketakutan; kata-kata mengalir dari lehernya yang tercekat,
Nah, nah, tenangkanlah diri Anda. Jika memang begitu
adanya, maka Mokunosuke juga harus bicara, meskipun

saya tidak mengetahui apa yang telah dikatakan oleh


Morito dari Kesatuan Pengawal kepada Anda.
Dengar, inilah yang dikatakannya: Jika kau bukan
putra mendiang Kaisar Shirakawa, maka bisa dipastikan
bahwa kau adalah anak salah satu pendeta mesum dari
Gion. Entah kau putra kaisar atau keturunan pendeta
mesum,
aku
tidak
membuat
kesalahan
dalam
memberitahumu bahwa kau bukan anak kandung
Tadamori.
Tahu apa si bocah Morito itu? Ilmu pengetahuan telah
mengaduk-aduk kepalanya, dan sekarang dia menganggap
semua orang bodoh. Padahal, orang-orang menyebutnya
sok tahu. Anda gegabah karena memercayai pemuda
berotak dangkal itu, Tuan Muda.
Kalau begitu, Tua Bangka, bersumpahlah untuk
memberitahuku apakah aku anak kaisar atau pendeta nista.
Bicaralah! Aku menantangmu untuk memberitahuku!
Kiyomori bertekad untuk mengorek apa pun yang bisa
dikorek dari pria tua itu. Sesungguhnya, Mokunosuke
adalah satu-satunya pihak ketiga dalam rahasia ini, dan
wajah polosnya dengan jelas menunjukkan bahwa dia tahu.
--o0d-w0o--

Bab II - PEREMPUAN GION


Heiki Kiyomori lahir pada 1118. Ayahnya, Tadamori,
ketika itu berusia dua puluh tiga tahun. Meskipun sekarang
Tadamori dikenal dengan julukan si Mata Picing, diolokolok karena kemiskinannya, menjadi bahan tertawaan
rakyat jelata, dan dipandang rendah oleh para anggota klan
Heike yang lain, keadaannya tidak selalu seperti itu. Ayah

Tadamori telah mengabdi kepada tiga orang kaisar, menjadi


kesayangan dan pelayan setia mereka, dan Tadamori
tumbuh dewasa di tengah-tengah keindahan istana. Ketika
para samurai Heike dipanggil untuk bertugas di Kesatuan
Pengawal Kaisar, dan jumlahnya perlahan-lahan
melampaui samurai Genji, Tadamori dan ayahnya menjadi
sosok penting. Kaisar Shirakawa memilih mereka untuk
menyingkirkan para samurai Genji dari Istana; mengadu
ayah dan anak itu melawan pasukan biksu bersenjata yang
tangguh, dan menempatkan keduanya di Istana Kekaisaran
untuk mengawasi perkembangan pengaruh para bangsawan
Fujiwara.
Setelah turun tahta dan dikenal sebagai Mantan Kaisar
Shirakawa, penguasa uzur itu menjalani upacara
penahbisan dengan membotaki kepalanya untuk menjadi
seorang biksu dan menghabiskan masa tuanya di Istana
Kloister. Di sana, dia membentuk Pemerintah Kioister,
pemerintahan yang terpisah dari pemerintah pusat, sebuah
anomali yang tidak saja menjadikannya saingan bagi kaisar
yang sedang berkuasa, tetapi juga memperuncing konflik di
antara klan Genji dan Heike.
Setelah ayahnya meninggal, Tadamori menggantikan
posisinya, dan Mantan Kaisar meletakkan kepercayaan
lebih besar kepada Tadamori yang rendah hati dengan
menunjuknya sebagai pengawal pribadinya. Untuk
melakukan kunjungan dari istana di jalan Barat Ketiga ke
Gion, di sisi lain Sungai Kamo, Mantan Kaisar selalu
memanggil Tadamori dan pelayannya, Mokunosuke, untuk
mengawalnya. Mantan Kaisar melakukan kunjungan diamdiam ini pada malam hari untuk menemui gundiknya,
karena meskipun usianya telah enam puluhan,
kesehatannya masih prima, dan nafsu birahinya yang

menyala-nyala menyamai semangatnya dalam menjalankan


Pemerintah Kioister bentukannya.
Tidak ada yang aneh mengenai Mantan Kaisar yang
memiliki wanita simpanan; itu adalah kebiasaan di
kalangan bangsawan, mendatangi wanita yang berhasil
memikat hati mereka dan menjadikannya kekasih tanpa
ikatan. Kendati begitu, ada alasan mengapa Mantan Kaisar
merahasiakan identitas gundiknya, karena gadis itu adalah
seorang geisha, dan keadaan ini bisa mencegahnya diterima
untuk menjadi geisha di Istana. Tidak seorang pun tahu
kapan dan di mana Mantan Kaisar yang telah berusia uzur
itu pertama kali melihatnya, namun sempat terdengar
desas-desus bahwa gadis itu adalah putri seorang
bangsawan, Nakamikado. Hanya ada empat atau lima
orang bangsawan yang mengabdi kepada Mantan Kaisar
yang tahu bahwa sebuah rumah telah dibangun di Gion, di
dalam sebuah taman berpagar kayu cedar, dan bahwa
seorang wanita cantik, yang mereka sebut Perempuan
Gion, tinggal di sana; setahu mereka, bagaimanapun,
wanita itu adalah gundik seorang bangsawan istana yang
telah pensiun, dan tinggal di sana demi kesehatannya.
Perempuan Gion Inilah yang kemudian menjadi ibu
Kiyomori. Tidak diragukan lagi, Kiyomori lahir dari
rahimnya. Sedangkan ayahnya, hanya wanita itulah yang
tahu tentang rahasia itu, dan dia memilih untuk
menyimpannya
rapat-rapat,
membiarkan
putranya
menderita karenanya hingga dua puluh tahun kemudian.
Malam gelap gulita dan gemerisik dedaunan berbaur
dengan rintik gerimis musim gugur, menghasilkan percikanpercikan dingin di sepanjang jalanan becek, kali, dan
perbukitan yang rimbun. Di malam yang kelam ini, Mantan
Kaisar, dikawal oleh Tadamori dan pelayannya
Mokunosuke, berangkat ke Gion.

Dedaunan yang basah tiba-tiba memancarkan pendar


merah mengancam yang kemudian menyorot di antara
pepohonan. Mantan Kaisar berlutut, gemetar melihat
pemandangan itu.
Ha! Ada iblis!
Sesosok penampakan dengan kepala raksasa muncul di
antara pepohonan, memamerkan deretan gigi tajam.
Serang, Tadamori! Serang! Mantan Kaisar berseru
panik. Mokunosuke menjawab, namun Tadamori berlari
maju tanpa suara sambil mengacungkan tombaknya.
Ketiganya tertawa terbahak-bahak dan melanjutkan
perjalanan karena sosok yang mereka takuti itu ternyata
hanyalah seorang pendeta bertopi jerami besar yang baru
saja menyalakan lampu minyaknya sembari menuruni bukit
dari Gion.
Petualangan malam itu sepertinya sangat menyenangkan
hati Mantan Kaisar. Dia berulang kali menceritakan
kembali tentang pertemuannya dengan si pendeta kepada
para pelayannya, dan tidak pernah lupa memuji kesigapan
Tadamori dalam setiap ceritanya, karena seandainya
Tadamori bergerak lebih lamban, bukankah pendeta itu
akan mengembuskan napas terakhir di tangan mereka? Para
pejabat istananya, yang membanggakan kepandaian diri
mereka dalam memahami keadaan, saling menggeleng: sulit
bagi mereka untuk menerima begitu saja cerita Yang Mulia.
Bukankah sejak malam itu dia menghentikan kunjungannya
kepada Perempuan Gion? Dan yang lebih membingungkan
adalah bahwa beberapa saat kemudian, dia menyerahkan
wanita simpanannya kepada Tadamori untuk dijadikan
istri. Dan Tadamori, sejak menikah dengan wanita itu,
menjadi kehilangan semangat hidup. Terlebih lagi,
Tadamori tidak pernah sedikit pun menceritakan tentang
petualangannya malam itu. Apakah Mantan Kaisar hanya

mengada-ada? Ada lebih banyak ruang untuk menerkanerka ketika kurang dari sembilan bulan dari waktu ketika
Tadamori memboyong wanita itu ke Imadegawa, dia
melahirkan seorang bayi laki-laki. Jadi, kisah Yang Mulia
tentang pendeta pada malam yang basah itu entah
bagaimana berkesan sulit dipercaya, sebuah bualan,
mungkin .
Bahkan mereka yang paling penasaran sekalipun tidak
berani untuk mencari tahu lebih banyak mengenai kejadian
itu. Tindakan semacam itu tidak dipandang baik di
kalangan para bangsawan; terlebih lagi, mereka tahu bahwa
spekulasi seperti itu bisa menyebarkan isu-isu buruk, yang
lebih baik dihindari demi keselamatan mereka sendiri.
Mereka yang bijaksana hanya bisa tersenyum penuh arti.
Pada waktu itu, Mitsuto Endo, paman Morito, bekerja
sebagai Pengawal di Istana. Delapan belas tahun kemudian,
dia menceritakan kisah ini kepada keponakannya,
membukanya dengan perkataan, Bukankah putra sulung
Tadamori, Heita Kiyomori, adalah teman sekolahmu? Aku
penasaran apakah Tadamori masih percaya bahwa dia
mendapatkan kehormatan dari Mantan Kaisar ketika beliau
menyerahkan Perempuan Gion kesayangannya untuk
dijadikan istri olehnya, dan tak lama kemudian perempuan
itu melahirkan Kiyomori? Kalau memang begitu, berarti dia
pria bodoh yang malang! Kemarin, aku bertemu dengan
seorang teman yang mengenal dekat Perempuan Gion. Saat
ini, pria itu tentu sudah berumur lima puluhan dan tinggal
di salah satu kuil di dekat Gion, tempatnya dikenal sebagai
si pendeta mesum. Kakunen. Dia menyatakan bahwa
dirinya adalah ayah kandung Kiyomori.
Ehbenarkah itu?
Ketertarikan Morito tiba-tiba terpancing begitu
mendengar cerita tentang kawannya, karena dia sendiri

pernah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa


Kiyomori sesungguhnya adalah putra seorang kaisar.
Dengan penuh semangat, Morito bertanya, Kata Paman,
cerita ini berasal dari Kakunen. Jadi, apakah menurut
Paman dia mengatakan kebenaran?
Dia menceritakannya ketika kami minum-minum
anggur, ketika kami sedang menyombong tentang wanitawanita yang pernah kami taklukkan. Waktu itulah si
Kakunen ini membisikkan kepadaku bahwa dia tidak
pernah menceritakan tentang rahasia ini kepada siapa pun,
dan aku mendengarnya dengan telingaku sendiri.
Luar biasa!
Aku sendiri juga kaget. Pada awalnya aku tidak percaya
bahwa seorang pendeta yang hidup asal-asalan sekalipun
bisa berbohong seperti itu. Lagi pula, cerita ini sangat
meyakinkan
Kakunen akhirnya mengungkapkan kisah berikut kepada
paman Morito: Kakunen pernah mengintip Perempuan
Gion melalui sebuah celah di pagar kayu cedar dan terbakar
birahi. Karena perempuan itu adalah kesayangan Yang
Mulia, tidak ada jalan untuk mendekatinya, dan selama
beberapa waktu, dia berkeliaran di dekat rumahnya,
menguntit si Perempuan Gion setiap kali dia keluar pada
pagi dan malam hari, hingga pada suatu hari, Kakunen
mendapatkan kesempatan untuk menyergapnya.
Karena Mantan Kaisar yang telah uzur jarang datang,
dan Kakunen adalah seorang pendeta baru berwajah
tampan yang masih berumur tiga puluh tahun dan tinggal di
sebuah kuil yang hanya sepelemparan batu dari rumahnya,
Perempuan Gion, setelah selama waktu yang singkat
bertahan, segera menyerah terhadap bujuk rayu si pendeta
muda.

Pada malam musim gugur ketika hujan sedang turun,


saat Mantan Kaisar sepertinya tidak mungkin berkunjung,
Kakunen diam-diam keluar dari kuilnya untuk menemui
Perempuan Gion, dan dia nyaris berhadapan secara
langsung dengan Yang Mulia dan dibunuh oleh pengawal
pribadinya. Seandainya Kakunen tidak bisa dipercaya,
maka anak siapakah yang kemudian lahir di bawah atap
rumah Tadamori?
Mitsuto meminta keponakannya berjanji untuk tidak
menceritakan kembali kisah ini kepada siapa pun, dan
Morito pun menyimpannya rapat-rapat hingga dia tanpa
sengaja bertemu dengan Kiyomori yang berpakaian
compang-camping dan bertampang memelas di Shiokoji.
Dia pun tidak sanggup lagi menyimpan rahasia itu.
Sebagian didorong oleh hasrat untuk memancing
kemarahan Kiyomori, Morito mengundangnya untuk
minum-minum dan berbagi cerita.
Tua Bangka, aku sudah tahu semuanya sekarang. Tidak
ada gunanya lagi menyembunyikannya dariku. Matamu
sendiri menjadi saksi atas apa yang terjadi pada malam dua
puluh tahun yang lalu. Apakah Morito berbohong atau
berkata jujur? Tidak, aku memohon kepadamu, katakanlah
kepadaku, siapa ayahku yang sesungguhnya! Tua Bangka,
kumohon, katakanlah yang sesungguhnya kepadaku, agar
aku tahu darah siapa yang mengaliri nadi dan takdirku! Aku
memohon kepadamu aku memohon kepadamu!
Suara percakapan di bawah naungan bayangan istal
menghilang. Sesekali terdengar isak tangis. Mokunosuk&
tidak mengucapkan sepatah kata pun. Awan timur
membelah di atas pucuk pohon plum, dan dinginnya angin
dini hari terasa menusuk tulang.
o0odwkzo0odeo0odwkzo0o

Mokunosuke duduk diam, menunduk dalam-dalam


bagaikan sebentuk patung yang dipahat dari batu, dan
Kiyomori, yang bernapas dengan berat, tetap menatap
tajam pria tua itu. Hanya detak teratur jantung merekalah
yang sepertinya memecahkan keheningan menyiksa yang
menggantung di atas tanah beku pada pagi buta itu.
Mokunosuke mengerang panjang lantaran memikirkan
tentang kisah lama yang harus diungkapkannya.
Saya akan menceritakannya, karena Anda memerintah
saya, namun pertama-tama, tenangkanlah diri Anda
terlebih dahulu. Kemudian, dia pun memulai:
Dua puluh tahun yang lalu, tahun ketika Kiyomori lahir,
pada suatu malam gelap yang basah, Mokunosuke menjadi
saksi sebuah peristiwa. Dia bersama majikannya, Tadamori,
sedang mengawal Mantan Kaisar dan melihat apa yang
terjadi di bukit di dekat Gion. Tetap saja, siapakah yang
akan memercayai kebenaran cerita dari sebuah peristiwa
yang terjadi dua puluh tahun silam? Bahkan Mokunosuke
sendiri meragukan apakah Kiyomori akan memercayai
ceritanya, karena meskipun sebagian fakta telah terungkap
dari cerita Morito, begitu pula dari desas-desus yang telah
lama beredarmalam yang basah, si pendeta, kesigapan
Tadamori yang disampaikan oleh Mokunosuke ternyata
berbeda. Malam itu di Gion, Mokunosuke melihat seorang
pendeta tergesa-gesa melarikan diri dengan melompati
pagar yang mengelilingi rumah Perempuan Gion. Malam
itu pula dia menyadari bahwa ada masalah di antara
Mantan Kaisar dan gundik kesayangannya. Dia mendengar
isakan Perempuan Gion; Mantan Kaisar memanggil
Tadamori; Yang Mulia berbicara dengan nada marah dan
kembali ke Istana lama sebelum fajar merekah. Semua
kejanggalan tersebut mewarnai rangkaian peristiwa malam
itu. Desas-desus yang kemudian beredar, bahkan setelah

dicermati, tetap tidak menyiratkan kebenaran. Pada tahun


yang sama. Perempuan Gion menikah dengan Tadamori
dan melahirkan seorang bayi lelaki di rumahnya, sebuah
fakta yang tidak terbantahkan, meskipun tidak juga
memberikan petunjuk mengenai siapa ayah kandung bayi
itu. Tetapi, ketika si anak dengan putus asa memohon
kepadanya untuk mendengar cerita yang sesungguhnya,
Mokunosuke tetap berpegang teguh pada prinsipnya bahwa
dugaannya sendiri tidak boleh ditambahkan pada misteri
yang meliputi putra majikannya. Melakukan itu sama saja
mengkhianati kesetiaannya kepada majikan samurainya.
Layaknya seorang bocah yang telah ditenangkan namun
masih menangis terisak-isak, Kiyomori, dalam dekapan si
pelayan tua, membiarkan dirinya dibimbing ke kamarnya.
Sekarang, tidurlah, kata Mokunosuke. Biar saya saja
yang berbicara dengan Tuan pagi nanti; Mokunosuke akan
menjelaskan semuanya. Jangan khawatir. Seolah-olah
memperlakukan anaknya sendiri, Mokunosuke menata
bantal dan membentangkan selimut di atas tubuh Kiyomori.
Berlutut di dekat kepala Kiyomori, pelayan tua itu berkata,
Sekarang, biarkanlah seluruh masalah Anda larut dalam
mimpi. Siapa pun Anda, Anda adalah seorang pria.
Tegarlah, karena Anda gagah perkasa. Pikirkanlah tentang
langit dan bumi sebagai ibu Andaayah Anda. Tidakkah
pikiran itu menenangkan Anda?
Tua Bangka, jangan merecokiku. Biarkanlah aku tidur
dan melupakan semua ini.
Ah, baiklah, kalau begitu, hati renta ini juga sudah
tenang. Menoleh sekali lagi ke arah Kiyomori yang telah
tertidur, Mokunosuko membungkuk, menyibakkan tirai
penyekat yang menggantung di ambang pintu, dan
melangkah ke luar.

o0odwkzo0odwo0odwkzo0o
Kiyomori tidak menyadari seberapa lama dia terlelap.
Seseorang mengguncang tubuhnya dan memanggilmanggilnya. Dia berusaha membuka matanya yang berat.
Kerai pintu yang telah dinaikkan menunjukkan bahwa
waktu telah jauh melebihi tengah hari. Tsunemori berdiri di
dekat ranjangnya; kegugupan terpancar dari wajah
tampannya ketika dia membungkuk di atas kakaknya,
mengulangi perkataannya, Ayo kau harus ikut
denganku. Karena dirimulah Ayah dan Ibu
Apaaku? Ada apa denganku?
Mereka mulai bertengkar pagi tadi, hingga makan siang
pun mereka lupakan. Sepertinya pertengkaran kali ini tidak
akan berakhir.
Mereka lagi-lagi bertengkar? Apa hubungannya semua
itu denganku?
Kiyomori meregangkan kedua tangannya dan menguap
lebar-lebar, berkata dengan tegas. Kuulangi lagi. Apa
hubunganku dengan pertengkaran mereka?
Tsunemori menjawab dengan putus asa, Jangan
berkilah. Kaulah penyebab pertengkaran mereka.
Dengarkanlah adik-adik kita yang merengek-rengek dan
menangis kelaparan!
Di mana Mokunosuke?
Dia dipanggil ke bilik Ayah beberapa waktu yang lalu,
dan Ibu sepertinya memerintahnya melakukan sesuatu.
Baiklah, kalau begitu, aku akan ikut denganmu, jawab
Kiyomori, turun dari ranjang dan melontarkan tatapan
kesal ke arah adiknya yang penakut. Berikan kimonoku
kimonoku.

Kau sudah memakainya.


Oh, jadi aku tertidur dengan kimonoku, ya? kata
Kiyomori, mengeluarkan sisa uang semalam sebelumnya
dari balik ikat pinggangnya. Menyodorkan sebagian uang
itu kepada Tsunemori, dia berkata, Ini untuk membeli
makanan bagi adik-adik kita. Suruhlah Heiroku
melakukannya untukmu.
Tsunemori menolak. Kita tidak bisa melakukan itu. Itu
akan membuat ibu marah, lalu
Peduli amat. Aku akan melakukannya!
Tapi, kau sekalipun
Dasar bodoh! Bukankah aku anak sulung dan berhak
memberikan perintah?
Sambil melemparkan sejumlah uang ke pangkuan
adiknya, Kiyomori keluar dari kamarnya. Langkah kakinya
terdengar melintasi beranda. Di sumur dekat dapur, dia
menenggak air segar yang baru saja ditimba; setelah itu, dia
membasuh wajah, mengelapnya dengan lengan kimono
usangnya, lalu berjalan melintasi halaman.
Bilik Tadamori, yang terletak di sebuah sayap yang sama
bobroknya dengan rumah utama, berada di sisi lain
halaman dalam. Kiyomori naik ke beranda yang telah
reyot, merasakan jantungnya berdegup kencang. Dari balik
kerai yang terlipat dia berkata, Maafkan aku karena pulang
terlambat semalam. Aku sudah melaksanakan perintah
Ayah.
Segera setelah bayangannya melintasi ambang pintu,
keheningan menyambut Kiyomori, dan tiga pasang mata
serentak tertuju kepadanya. Mokunosuke langsung
menunduk; Kiyomori sendiri juga menghindari tatapan
pelayan tua itu; keduanya tidak sanggup saling menatap.

Memaksa dirinya untuk tetap tenang, Kiyomori


menghampiri kedua orangtuanya dengan sikap ceria, dan
tanpa basi- basi menyerahkan uang yang dibawanya kepada
mereka.
Ini uang pinjaman dari Pamannamun tidak
semuanya. Sebagian di antaranya kuhabiskan saat aku
bertemu dengan salah seorang temanku tadi malam, dan
sebagian lagi kuberikan kepada Tsunemori agar dia bisa
membeli makanan untuk adik-adik, yang saat ini sedang
menangis kelaparan. Ini sisanya
Sebelum
Kiyomori
menyelesaikan
ucapannya,
perubahan drastis telah tampak di air muka Tadamori,
seolah-olah rasa malu, sedih, dan marah bergejolak di
dalam dirinya. Dia melirik sejumlah kecil uang yang baru
saja diterimanya, dan bekas luka di kelopak matanya
tampak lebih buruk daripada biasanya, berkerut merut
dalam upaya menahan air mata.
Heita! Singkirkan uang itu! Apa maksudmu
melemparkannya begitu saja bahkan sebelum kau
menyalami kami? desis Yasuko, yang duduk tegak dan
tegang di samping suaminya, melirik tajam ke arah
Kiyomori. (jadi, inilah wanita yang dijuluki Perempuan
Gion. yang diberikan oleh Nakamikado kepada Tadamori
untuk dinikahi, seolah-olah dia adalah putrinya!)
Ketika menatap ibunya, Kiyomori merasakan sesuatu
terbakar di dalam dirinya dan membuatnya gemetar. Apa
kata Ibu? Jika kalian tidak membutuhkan uang itu,
mengapa Ibu menyuruhku meminjamnya seolah-olah aku
seorang pengemis?
Diam! Kapankah aku pernah menyuruhmu melakukan
itu? Itu adalah perbuatan ayahmu!

Tapi, bukankah uang itu akan dipakai untuk membayar


keperluan keluarga miskin ini? Apa Ibu tidak akan
menggunakannya?
Tidak, kata Yasuko, menggeleng dengan tegas, aku
tidak membutuhkan pertolongan mengenaskan seperti ini.
Amarah menjadikan wajahnya memerah, menunjukkan
usianya yang sudah tiga puluhan.
Daun telinga caplang Kiyomori memerah; sirat
mengancam tampak di matanya; tangan yang terkepal di
pangkuannya gemetar hebat seolah-olah dia telah siap
untuk bangkit dan memukul ibunya.
Kalau begitu, Ibu, apakah Ibu tidak membutuhkan
makanan sejak saat inibesok?
Tidak, Kiyomori, makanan biasa tidak akan
memuaskanku . Ah, jadi kau juga datang, Tsunemori?
Kalau begitu, dengarkanlah, kalian berdua. Aku minta maaf
kepada kalian, namun hari ini, akhirnya aku diizinkan
untuk meninggalkan Tadamori. Kami sudah bukan suami
dan istri lagi. Sesuai adat istiadat, anak-anak lelaki akan
tinggal bersama ayah mereka. Inilah terakhir kalinya kalian
bertemu denganku. Setelah tertawa renyah, dia
melanjutkan, Kesedihan kalian akan lenyap lebih cepat
daripada kabut. Kalian selalu memihak ayah kalian, yang
kalian yakini telah diperlakukan secara tidak adil.
Kiyomori terkejut. Dia menatap ibunya lekat-lekat.
Ibunya seharusnya sedang sakit, namun ternyata dia
berpakaian lengkap. Seperti kebiasaannya, Yasuko merias
wajahnya dengan cermat; rambutnya diperciki minyak
wangi; alisnya dipoles dengan rapi; kimono bermotif ceria
yang pantas dikenakan oleh seorang gadis berumur dua
puluhan membungkus erat tubuhnya. Ada apakah ini? Ini
bukan pertengkaran biasa. Ancaman yang paling kerap

dilontarkan oleh Yasuko adalah pergi meninggalkan


merekauntuk selamanyadan baik suami maupun anakanaknya telah terbiasa mendengarnya, namun baru kali
inilah dia mengucapkannya dalam balutan pakaian untuk
bepergian dan dengan sangat tenang.
Tadamori menerima keputusan itu dengan pasrah.
Kiyomori sangat resah. Dia membenci ibunya, namun
pikiran bahwa wanita itu adalah darah dagingnya sendiri
membuatnya gundah. Menoleh ke arah Tadamori, dia
berkata dengan bimbang:
Ayah, benarkah ituyang dikatakan oleh ibu?
Begitulah. Kalian semua telah terlalu lama terlibat
dalam masalah ini, namun ini benar, dan inilah yang
terbaik untuk kalian semua.
Kiyomori tercekat. Mengapatapi, mengapa? Dia
mendengar adiknya menahan isakan. Tapi, ini tidak boleh
terjadi, Ayah, dengan semua adik-adikku
Kesan kekanak-kanakan yang terdengar dalam suara
Kiyomori menghibur Tadamori, yang menyunggingkan
senyuman. Heita, ini tidak apa-apa dan untuk tujuan yang
terbaik.
Apanya yang tidak apa-apa? Apa yang akan terjadi
pada kita semua?
Yasuko akan berbahagia. Sedangkan kalian semua
sepertinya inilah yang terbaik. Tidak perlu meributkannya.
Jangan khawatir.
Tapi, kata Tsunemori, akulah penyebab semua ini. jika
ini memang salahku, biarkanlah aku memperbaikinya.
Menoleh ke arah ibunya, Kiyomori memohon, Bagaimana
dengan adik-adikku yang malang? Aku berjanji, Ibu, untuk

melakukan apa pun yang bisa menyenangkan hati Ibu.


Hanya saja, pikirkanlah hal ini sekali lagi!
Ketika berbicara, Kiyomori merasa bingung dan malu
akibat kekuatan perasaannya kepada ibunya. Mokunosuk
dan Tsunemori terisak-isak nyaring. Kiyomori yang gundah
juga tidak sanggup menahan tangis, meskipun Tsunemori
dan Yasuko tetap duduk di hadapan mereka dengan dingin
dan bergeming.
Tadamori tiba-tiba menukas tajam, Cukup, hentikan
tangisanmu! Hingga saat ini, aku bertahan demi anakanakku, namun sekarang aku telah terbangun dari mimpimimpiku. Aku memang bodoh! Selama dua puluh tahun
terakhir ini, aku, Heike Tadamori. membiarkan seorang
wanita
memerintah-merintahku
dan
menjalani
kehidupanku dengan perasaan tersiksa. Aku benar-benar
bodoh! Aku tidak bisa menyalahkanmu, Heita, untuk
kebodohanmu, dan dia pun tertawa pahit.
Menanggapi sindiran ini, Yasuko, yang duduk tegak
dengan sombong, membalas dengan wajah merah padam,
Mengapa kau tertawa? Kau menghinaku! Tertawa saja
sesukamu, sindir saja aku. Seandainya Yang Mulia masih
hidup saat ini, kau sekalipun tidak akan berani
mempermalukanku seperti ini! Ingatlah bahwa Yang Mulia
telah menunjuk Nakamikado untuk menjadi orangtua
angkatku!
Tawa Tadamori semakin hebat. Kapan-kapan, aku akan
berterima kasih kepada Nakamikado karena telah
memberikan kehormatan kepada Tadamori yang miskin
untuk menjadi suami perempuan ini selama bertahuntahun.
Yasuko melayangkan tatapan tajam ke arah Tadamori
dan, dengan kemarahan yang sengaja dikerahkannya agar

kata-katanya bisa melekat di ingatan suaminya, berkata,


Apa kau tidak melihat bahwa aku telah berkali-kali
melahirkan anak-anakmu? Adakah sehari saja yang
kauhabiskan untuk menyenangkan hatiku? Dua puluh
tahundan meskipun aku membencimu, cintaku kepada
anak-anakku menahanku di sini! Kedua orang iniHeita
dan Mokunosuke, tidakkah mereka menggunjingkanku
dengan jahat di dekat istal pada pagi buta? Dan tidakkah
mereka berbicara dengan seenaknya tentang almarhum
Yang Mulia, mengatakan bahwa Perempuan Gion memiliki
kekasih gelapseorang pendeta mesum? Dan si tua
Mokunosuke ini menyatakan bahwa dirinya melihat
semuanya, lalu mereka berdua memikirkan siapakah ayah
kandung Heita dari ketiga pria yang ada! Aku melihat dan
mendengar mereka bergunjing seperti orang gila, dan aku
memutuskan bahwa aku tidak akan menghabiskan sehari
pun lagi di rumah ini! Untuk apa aku tinggal di sini, jika
anakku sendiri telah berani melawanku?
Cukup, cukup! tukas Tadamori. Bukankah kita sudah
membicarakannya sepagian ini? Bukankah kau sudah
memanggil Mokunosuke kemari dan menghinanya sesuka
hatimu? Semua ini tidak ada gunanyahentikanlah!
Kalau begitu, bersaksilah untukku!
Tapi, bukankah aku tadi sudah mengatakan bahwa
Heita Kiyomori adalah anak kita?
Heita, kaudengar itu? kata Yasuko, mengalihkan
tatapan tajamnya ke arah Mokunosuke. Dan, kau juga
mendengarnya, kau dengan mulut skandalmu! Tidak ada
seorang pun yang bisa menyangkal bahwa aku adalah
kesayangan Yang Mulia, tapi bajingan manakah yang
sudah menceritakan kepadamu kabar angin basi dari dua
puluh tahun yang lalu? Tadamori sudah menyangkalnya,

dan si tua Mokunosuke pura-pura tidak tahu. Jadi, Heita,


kau tidak akan berbohong kepada ibumu, bukan?
Tidak, hanya aku sendirilah yang terlibat di dalam
masalah ini. Ibu .Aku harus mengetahui siapa ayah
kandungku.
Bukankah ayahmu
memberitahumu?

yang

baik

hati

baru

saja

Beliau melakukannya lantaran kasihan kepadaku.


Meskipun aku tahu siapa ayah kandungku, aku akan selalu
menganggap pria ini sebagai ayahku. Aku tidak akan
membiarkan Ibu pergi sebelum aku tahu semuanya,
Kiyomori menangis, menyambar lengan jubah Yasuko dan
menekankannya ke matanya yang sembap, lalu memohon,
Bicaralah, Ibu tahu! Anak siapakah aku?
Dia sudah gila, anak ini!
Aku mungkin memang gila, namun gara-gara dirimulah
pria ini, ayahku, telah menghabiskan dua puluh tahun yang
panjang dalam kesendirian, menyia-nyiakan masa
mudanya! Dasar kau wanita serigala mengerikan!
Apa maksudmu mengucapkan itukepada ibumu
sendiri?
Kau barangkali memang ibuku, tapi kau sudah
membuatku marah besar! Kau jahat dan nista, dan aku
membencimu!
Dan apa yang kauharap akan kulakukan sekarang ini?
Aku akan menghajarmu! Ayahku tidak akan melakukan
itudia tidak pernah berani memukulmu selama dua puluh
tahun ini!
Para dewa akan menghukummu, Heita!
Bagaimana mungkin?

Pada masa itu, aku adalah kesayangan Yang Mulia.


Seandainya aku tetap tinggal di Istana, aku mungkin akan
menjadi wanita terhormat, tapi aku merendahkan derajatku
sendiri dengan tinggal di rumah reyot ini! Dan memikirkan
bahwa kau berani menghajarku ini sama saja dengan
pengkhianatan kepada Yang Mulia! Aku tidak akan bisa
memaafkanmu, meskipun kau adalah anakku sendiri!
Pekikan nyaring Kiyomori memenuhi ruangan. Dasar
bodoh! Bagaimana jika Yang Mulialah orangnya! Dengan
seluruh tenaganya, ia menghantamkan tinju ke pipi ibunya
dan menyaksikan wanita itu jatuh terguling.
Tuan Muda telah kehilangan akal sehat!
Hoi, kau yang di sana! Kemarilah, Tuan Muda
kerasukan iblis!
Uhadah amukannya! lolong!
Cepatlah!
Dan keributan pun terdengar di seluruh penjuru rumah.
Meskipun sekarang telah terjerat kemiskinan, Tadamori
pernah menjalankan pemerintahan setingkat provinsi, dan
sebagai seorang Heike, dia memiliki jabatan di Kesatuan
Pengawal Kekaisaran di Istana Kioister. Meskipun
senantiasa hidup dalam keadaan nyaris kelaparan, dia
bersikeras untuk tetap mempertahankan lima atau enam
belas pelayannya, salah seorang di antaranya adalah anak
lelaki Mokunosuke, si pelayan, Heiroku.
Heiroku tahu bahwa ayahnya dipanggil ke bilik
majikannya pagi itu dan, mengkhawatirkan keselamatan
ayahnya, dia berlutut di balik semak-semak di dekat
halaman. Begitu mendengar jeritan dan hiruk pikuk di bilik
majikannya, dia langsung melompat dari tempat
persembunyiannya, memanggil para pelayan lainnya, lalu

melesat ke halaman dalam, menyadari sembari berlari


bahwa keributan itu hanya sejenak terdengar.
Yasuko berbaring menelungkup di tanah, seolah-olah
baru saja terjatuh dari beranda. Mantel ungu kemerahan,
juga jubah putih, hijau, dan beraneka warna yang
dikenakannya teronggok bersama rambutnya yang acakacakan, dan dia tidak berupaya bangkit. Kiyomori berdiri
membusungkan dada, sementara ayahnya mencengkeram
erat pergelangan tangannya. Tsunemori dan Mokunosuke,
dengan ekspresi lega sekaligus bingung, sepertinya tidak
tahu harus melakukan apa.
Mendengar derap-derap langkah yang semakin
mendekat, Yasuko, yang tergeletak lemas, mengangkat
kepalanya dan memekik, Kau yang di sana, panggilkan
kereta untukku! Kirimlah seorang kurir untuk menceritakan
tentang semua ini kepada orangtuaku! Oh, betapa
memalukannya
Seorang pelayan berlari untuk memanggil kereta dari
istal terdekat, dan seorang pelayan lainnya berlari ke
kediaman keluarga Nakamikado di Jalan Keenam.
Tadamori dengan malas menyaksikan seluruh keributan
ketika para pelayan tergesa-gesa menjalankan berbagai
perintah Yasuko.
Kereta telah datang, dan para pelayan menolong Yasuko
yang berjalan terhuyung-huyung ke gerbang. Selama
beberapa saat, lengkingan memilukannya berbaur dengan
isak tangis Tsunemori dan adik-adiknya. Tadamori berdiri
diam, seolah-olah menulikan telinganya dari suara-suara
itu.
Heita! Sambil berbicara, Tadamori melonggarkan
cengkeramannya di tangan putranya. Terbebas dari jepitan
besi itu, Kiyomori merasakan darah kembali mengaliri

pembuluhnya dan berangsur-angsur menyebar ke seluruh


tubuhnya. Urat-urat nadi di keningnya berdenyut-denyut,
dan dia membiarkan sedu sedannya pecah, tanpa tahu
malu, bagaikan seorang bocah yang diabaikan.
Tadamori menarik wajah yang basah oleh air mata itu ke
dadanya; seraya menggesekkan pipinya ke rambut kasar
putranya, dia berkata, Akhirnya aku menang! Aku
mendapatkan kemenangan dari wanita itu. Heita,
ampunilah aku. Sungguh pengecut diriku karena
membiarkanmu menghajarnya. Aku adalah ayah yang
gagal, namun aku tidak akan membiarkan kalian menderita
lagi. Kau akan melihatku mengharumkan kembali nama
Heike Tadamori. Jangan membuatku merasa bersalah
dengan air matamu. Hentikanlah tangisanmu.
Ayahaku memahami perasaanmu.
Kau masih mau memanggilku Ayah?
Ya. Biarkanlah aku memanggilmu Ayah, ayahku!
Bulan sabit berkilauan di langit. Menembus kabut ungu
yang mulai menebal, terdengarlah sayup-sayup suara
Mokunosuke menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur.
O0dw-kz---0O

Bab III PACUAN KUDA


Di tanah luas di Jalan Ketiga Timur di Kyoto, berdirilah
Istana Kioister, tempat para kaisar yang telah turun tahta
tinggal. Sejak masa Mantan Kaisar Shirakawa,
bagaimanapun, tempat peristirahatan kaisar ini telah
berubah menjadi pusat Pemerintahan Kioister, yang
kedudukannya menyaingi Delapan Kementrian dan Dua
Belas Bagian di Istana Kekaisaran sendiri. Itulah penyebab

ibu kota yang kecil digerakkan oleh dua pemerintahan.


Tetapi, ketika bulan Mei menghadirkan pupus-pupus hijau
pepohonan dedalu dan aroma tanah segar di Kyoto,
sebagian orang teringat bahwa kota ini adalah pusat
kehidupan politik Jepang karena perubahannya menjadi
metropolis kemeriahan, ibu kota penikmat mode, dan Kota
Cinta, tempat para bangsawan dan pejabat Istana Kioister
menyerahkan diri kepada musim semi, mengesampingkan
tugas-tugas mereka, dan mengabaikan diri mereka demi
kesenanganbukannya ini tidak terjadi di musim- musim
lain, namun ini lebih marak terjadi pada musim semi
karena bangsawan macam apakah yang mau dianggap hina
lantaran luput menuliskan beberapa bait puisi untuk
kehadiran musim semi?
Pada suatu pagi di akhir bulan April, setiap kerikil dan
batu di dasar Sungai Kamo berkilauan, terbasuh hujan
semalam, dan matahari, yang memancarkan sinarnya dari
antara Perbukitan Timur, mengabarkan datangnya
keranuman dan kekayaan musim semi.
Kereta Mantan Kaisar berjalan dengan agung melewati
Gerbang Sakura, di bawah kuntum-kuntum bunga sakura di
dahan- dahan pohon sakura yang menjuntai. Para pengawal
dan pelayan melaksanakan tugas mereka dengan penuh
semangat, menyamakan kecepatan dengan langkah lambat
sapi jantan yang menarik kereta kekaisaran.
Lihatlah, Yang Mulia gemar berjalan-jalan, komentar
seorang pejalan kaki. Karena bulan Mei hampir tiba,
beliau mungkin pergi ke Kamo untuk menonton latihan
pacuan bagi kuda-kuda yang baru saja tiba dari berbagai
daerah.
Seekor sapi, yang bertubuh putih dengan totol-totol
hitam, menarik kereta yang sarat hiasan itu. Satu-satunya
penumpang yang ada di dalam kereta itu adalah seorang

pria bangsawan berkulit kuning langsat yang masih berusia


tiga puluhan; berpipi rata, dengan mata mungil bersorot
tajam dan kesan pendiam yang diperdalam oleh bibir
tipisnya, pria itu adalah Mantan Kaisar Toba.
Para pria dan wanita yang melewati jalan berhenti untuk
mencuri pandang ke arahnya, sementara Mantan Kaisar
balas memandang dengan penuh minat, seolah-olah
pemandangan di jalan menarik hatinya.
Hanya tatapannya yang beredar ke sana kemari, dan
terkadang, seolah-olah untuk menunjukkan bahwa dia
menyukai apa yang dilihatnya, sudut matanya membentuk
setengah senyuman. Orang-orang mengikuti tatapannya
dan balas tersenyum kepadanya dengan penuh pengertian.
Di dekat lapangan di sebelah lintasan pacuan, rumpunrumpun sakura tampak memesona. Di bawah sinar
matahari siang itu, semerbak bunga-bunga itu berbaur
dengan aroma panas rerumputan segar dan beredar bersama
setiap tiupan angin.
Jadi, kau sudah melihat kuda hitam yang berumur
empat tahun itu? Dari empat atau lima puluhan kuda jantan
yang dikirim dari daerah, tidak ada satu pun yang bisa
menyainginya! Aku tak pernah puas melihatnya. Genji
Wataru, memusatkan pandangannya ke pagar lapangan, tak
henti-hentinya mengulang komentarnya. Sekelompok kuda
berkumpul di dekat pagar, tempat tali kekang mereka
ditambatkan.
Wataru melanjutkan berbicara, setengahnya kepada
dirinya sendiri, Aku rela memberikan segalanya untuk
mengendarainya. Aku tahu betul bagaimana rasanya duduk
di punggungnya. Cantik sekaligaris dari kaki ke perutnya
itu!

Kedua pemuda itu duduk di bawah pohon sakura besar


di dekat lapangan, memeluk lutut mereka. Salah seorang
dari mereka, Sato Yoshikiyo, tampak acuh tak acuh dan
hanya menanggapi dengan senyuman tipis.
Apa kau tidak berpendapat sama, Yoshikiyo? tanya
Wataru.
Bagaimanaapa maksudmu?
Pikirkanlah seperti apa rasanya mengendarai kuda juara
itu di Kamo yang cerah ini, melecut-lecutkan cambukmu
sementara para penonton bertepuk tangan!
Tidak pernah memikirkan itu.
Tidak pernah?
Tidak ada menariknya menjadi juara. Apa gunanya
kuda yang bagus jika pengendaranya asal-asalan?
Kau kedengaran seperti orang yang sedang berbohong
dan tidak berbicara dengan tulus. Tidak ada alasan
mengapa kau tidak bisa mengendarai kuda itubahkan,
kita berdua bisa, karena kita adalah anggota Kesatuan
Pengawal Istana.
Yoshikiyo tergelak. Kau sedang membicarakan hal lain,
Wataru.
Membicarakan apa?
Bukankah kau sedang memikirkan tentang pacuan kuda
Kamo pada bulan Meipacuan kuda yang itui
Wataru cepat-cepat menjawab, Terang saja, bukankah
semua kuda ini dipilih untuk mengikuti pacuan kuda itu?
Tapi,Yoshikiyo mengangkat bahuAku tidak
tertarik pada pacuan kuda. Mendampingi Yang Mulia
berkuda lain lagi.

Ya, tapi bagaimana jika kau harus terjun ke medan


pertempuran?
Aku hanya bisa berdoa agar hari itu tidak pernah
datang. Ada terlalu banyak hal yang lebih patut dirisaukan
oleh kita, para samurai, akhir-akhir ini.
Hmm Wataru merenung, menatap temannya
dengan bingung, Aku tidak pernah menyangka akan
mendengar ucapan seperti itu meluncur dari mulut
Yoshikiyo sang Pengawal yang termahsyur. Ada apa
denganmu, eh?
Tidak ada apa-apa, jawab Yoshikiyo.
Jatuh cinta?
Bukannya aku tidak punya beberapa kekasih gelap
tapi ini istriku, kata Yoshikiyo. Dia tidak memberiku
alasan untuk mengeluh, tapi aku harus memberitahumu
beberapa hari yang lalu, dia melahirkan seorang bayi yang
manis, dan aku pun menjadi ayah!
Itu wajar saja. Saat samurai seperti kita menikah, kita
membentuk keluarga, memiliki anak
Benar juga, banyak pula! Tapi, yang paling
merisaukanku adalah kita hanya punya sedikit belas
kasihan atau cinta pada orang yang mengandung anak-anak
kita.
Wataru tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan
temannya. Ada yang salah denganmu! katanya, sebelum
dia terdiam, memusatkan perhatian ke lapangan, tempatnya
melihat Heita Kiyomori dan Morito berlalu. Keduanya
sepertinya mengenali kedua orang pemuda yang duduk di
bawah pohon. Senyuman merekah di wajah merah
Kiyomori, memamerkan giginya yang putih dan rata.
Wataru mengangkat tangan dan melambai ke arah mereka,

mengetahui bahwa Kiyomori akan berbagi antusiasme yang


sama dengannya.
Langsung
meninggalkan
temannya,
Kiyomori
menghampiri dan menyapa mereka, dan segera duduk di
antara keduanya, yang pernah menjadi teman sekolahnya di
Akademi Kekaisaran. Wataru lebih tua lima tahun darinya,
sedangkan Yoshikiyo dua tahun. Morito, yang kali ini tidak
turut bergabung bersama mereka, juga bagian dari
kelompok yang akrab ini. Di antara keempat pemuda
berusia dua puluhan ini terdapat ikatan pertemanan yang
kuat, yang didasari oleh kesadaran bahwa masa depan ada
di tangan muda mereka yang kokoh, sebuah kesadaran
tentang harapan dan impian rahasia yang mereka bagi
bersama.
Akademi Kekaisaran didirikan khusus untuk pendidikan
klan bangsawan Fujiwara dan keturunannya, namun,
seiring waktu, putra para samurai di atas Golongan Kelima
diizinkan untuk mengikuti pendidikan di sana. Dalam
pelajaran, begitu pula perlakuan terhadap mereka,
diskriminasi di antara keturunan para bangsawan dan
samurai, bagaimanapun, menyebabkan banyak gesekan.
Para bangsawan muda mencibir kepada para putra samurai
beringas yang kesulitan memahami isi buku, sementara para
putra samurai diam- diam merencanakan pembalasan
dendam, dan perselisihan di antara mereka mencerminkan
konflik yang telah mendarah daging di antara orangtua
mereka.
Kiyomori termasuk dalam tipikal anak samurai yang
belum terpoles, haus perhatian, dan buta huruf, dan karena
itulah dia dibenci oleh para aristokrat muda. Kendati
begitu, dia disukai oleh para pemuda di kelasnya sendiri.
Mereka yang telah lulus dari akademi bisa melanjutkan
pendidikan di universitas, namun tidak untuk para putra

samurai karena sudah menjadi anggapan umum bahwa


masa depan mereka ada di bidang militer. Karena itulah
Kiyomori dan teman-temannya termasuk di antara para
pemuda yang, setelah lulus dari akademi, bergabung
dengan Kementrian Urusan Militer dan akhirnya
ditugaskan untuk menjadi pengawal di Istana Kioister.
Bagi Kiyomori, dengan ayah yang mengucilkan diri dari
masyarakat dan ibu yang mengabaikannya, menjadi
anggota Kesatuan Pengawal adalah pekerjaan yang mudah
dan cocok untuk kebiasaannya bermalas-malasan dan
melakukan sesuatu tanpa tujuan yang jelas. Temantemannya pun jarang melihatnya bertugas. Setelah Yasuko
pergi, bagaimanapun. Tadamori menjadi pria yang berbeda
dan bertekad untuk memulai kembali kehidupannya.
Kepada Kiyomori, dia mengatakan, Aku masih berumur
empat puluhan, kita harus membuat awal baru.
Maka, segera sesudahnya, Tadamori kembali bekerja di
Istana. Di mana Morito? Sepertinya aku tadi melihatnya
bersamamu.
Mengedarkan pandangannya, Kiyomori menjawab, Dia
ada di sekitar siniapa sebaiknya kupanggil saja dia?
Wataru cepat-cepat menyela, Tidak usah, jangan
ganggu dia. Dia sepertinya memang sengaja menghindariku
akhir-akhir ini. Tapi, Heita, sudahkah kau melihat kuda
yang berumur empat tahun itu? Apa pendapatmu
tentangnyacantik sekali, bukan?
Kiyomori mendengus, menurunkan kedua sudut
bibirnya, lalu perlahan-lahan menggeleng. Yang hitam itu?
Bukan yang ituia jelek.
Eh? Mengapakuda sebagus itu?

Tidak peduli sebagus apa ia, tanda putih di keempat


pergelangan kakinya mendatangkan nasib buruk.
Wataru tampak terkejut mendengar jawaban ini, dan
langsung mengamati tanda putih di keempat kaki kuda itu.
Entah dalam hai menunggangi atau menilai seekor kuda
berdasarkan penampilannya, Wataru selalu menganggap
dirinya seorang pakar. Empat tanda putih di bagian dalam
ataupun luar pergelangan kaki kuda selalu dianggap sebagai
pertanda buruk, dan itu luput dari pengamatan Wataru.
Meskipun bisa dengan cepat menutupi rasa malunya, dia
agak jengkel karena Kiyomori, yang lebih muda darinya,
memberinya pelajaran mendasar tentang kuda; dia juga
melihat bahwa Yoshikiyo, yang duduk di samping
Kiyomori, tersenyum lebar.
Wataru tertawa. Jadi, tanda putih itu bermakna
buruklalu, bagaimana dengan samurai yang bermata
juling, berwajah bopeng, dan berhidung merah, apakah
mereka juga bermakna buruk?
Kiyomori terusik. Hei, mengapa kau membandingkan
kuda dengan ayahku? Ini agak berlebihan
Tetapi, Wataru memotong ucapannya. Jadi, bahkan
dirimu pun percaya takhayul seperti para bangsawan pucat
pasi yang tinggal di kamar-kamar Istana yang pengap itu,
membicarakan tentang hal- hal yang mencemari, yang
tercemar, yang menjadi pertanda baik dan pertanda
burukselamanya ketakutan gara-gara alasan-alasan
konyol, sementara kita kaum muda yang tumbuh dari tanah
yang bermandikan sinar matahari tidak percaya pada
takhayul seperti itu! Pertanda burukpasti ada beberapa
bangsawan di masa lalu yang memiliki kuda seperti itu, lalu
dagu angkuh mereka digigit, atau mereka jatuh dan
mengalami patah tulang paha! Kejadian semacam itulah
yang mendasari takhayul ini.

Wataru melanjutkan dengan berapi-api, Aku akan


menceritakan kepadamu tentang Genji Tameyoshi, yang
pernah menjadi kepala Kepolisian pada 1130, ketika para
biksu di Gunung Hiei memberontak. Dia menertibkan
mereka dengan mengendarai seekor kuda cokelat yang
keempat kakinya bertanda putih, dan semua orang tahu
bahwa kuda itu adalah kesayangannya. Selain itu, aku
berani bersumpah bahwa dua tahun yang lalu, juara
balapan antara kuda-kuda Istana melawan kuda-kuda
Nyonya Taikenmon adalah seekor kuda hitam dengan
tanda putih di keempat kakinya.
Ya, ya, aku tahu. Dengan berkomentar soal kuda itu,
bukan berarti aku percaya takhayul, jawab Kiyomori.
Aku berharap namaku bisa dikenal dengan
menunggang kuda itu di pacuan kuda Kamo, Wataru
menjelaskan.
Jadi, karena itulah kau marah?
Aku tidak marah, aku hanya ingin mengolok-olok
takhayul. Lihat saja, takhayul semacam itu bahkan akan
menguntungkanku. Mungkin saja tidak akan ada orang lain
yang mau menungganginya.
Kiyomori tidak menjawab. Untuk seseorang yang ceria,
terkadang dia mudah terusik oleh pertengkaranpertengkaran kecil. Menyadari bahwa Kiyomori tidak
berminat untuk mengobrol lebih jauh tentang hal ini,
Wataru menoleh ke arah Yoshikiyo, yang ternyata sama
sekali tidak mengacuhkan percakapan mereka, larut
menyaksikan sekuntum bunga dipermainkan angin dan
jatuh ke tanah.
Ah, lihatlah kereta kekaisaran itu!

Oh, Yang Mulia memandang ke arah ini! Ketiganya


serentak berdiri dan berlari ke arah lapangan, tempat
banyak orang telah menanti untuk menyambut kedatangan
kereta itu.
^^dw^^
Berbeda dari semua masa yang mendahuluinya, masa ini
sangat marak dengan kemeriahan dan perjudian, turnamen
puisi, percampuran antara minyak wangi dan dupa, kontes
kecantikan, pantomim, permainan dadu, tamasya di
keempat musim untuk menikmati keindahan alam, sabung
ayam, dan pertandingan panahan. Pada masa yang lebih
lampau, kalangan istana menganggap kegiatan di luar untuk
menikmati pergantian musim dan pesta-pesta puisi sebagai
upaya untuk mendapatkan keseimbangan dalam kehidupan;
tetapi, baru pada masa inilah banyak orang menganggap
berbagai hal tersebut sebagai pelarian menyenangkan dari
berbagai masalah agama dan politiksemuanya, kecuali
perang. Ketika mendengar kata perang, kalangan atas
maupun bawah gemetar, karena bibit- bibit pertikaian telah
tersebar jauh dan luas: di antara para pemuka agama
bersenjata; di wilayah timur; di wilayah barat, tempat para
perompak di Laut Dalam secara teratur melakukan
penjarahan; dan yang terdekat adalah di ibu kota, tempat
perpecahan terjadi di tubuh Istana. Belakangan, ada kabar
burung yang mengatakan bahwa klan Genji dan Heike di
provinsi-provinsi yang jauh telah menggerakkan prajurit
mereka, dan badai pun siap bergejolak.
Orang-orang mulai gelisah. Sesuatu yang mengancam
dapat dirasakan di udara. Tetap saja, di tengah situasi yang
tidak menentu tersebut, kehausan terhadap kenikmatan
duniawi sepertinya melanda semua orang, dan salah satu
contohnya adalah pacuan kuda Kamo yang penuh sesak
oleh penonton. Menurut hikayat kuno, pacuan kuda

menjadi olah raga resmi kekaisaran sejak sekitar tahun 701,


diprakarsai oleh para Pengawal dan diselenggarakan di
halaman Istana Kekaisaran dalam Festival Mei. Kendati
demikian, di masa susah ini, pacuan kuda tidak lagi
diselenggarakan di Kamo pada bulan Mei, tetapi di tengahtengah kompleks kuil, di tanah-tanah milik para pejabat dan
bangsawan yang mendapat giliran menghibur Kaisar atau
Mantan Kaisar beserta para selir mereka, di ruas Jalan
Kedua yang luas, atau bahkan dipersiapkan secara
mendadak di tengah tamasya-tamasya kekaisaran. Karena
kegiatan tersebut dilakukan di lintasan yang lurus, yang
cukup lebar untuk mengadu kecepatan sepuluh ekor kuda,
jalan-jalan
utama
di
Kyoto
cocok
untuk
menyelenggarakannya.
Tercatat pula dalam sejarah, bahwa salah seorang
penguasa begitu larut dalam demamnya terhadap pacuan
kuda sehingga dia merelakan dua puluh bentang tanahnya
di daerah untuk membudidayakan kuda pacuan, dan
mendirikan sebuah istal mewah di ibu kota, lengkap dengan
sepasukan pelatih dan perawat, khusus untuk kudakudanya. Putranya yang telah mangkat, begitu pula
cucunya, Mantan Kaisar saat ini, menderita kecanduan
yang sama terhadap olah raga ini. Karena itulah kunjungan
kekaisaran ke Kamo hari ini bertujuan untuk memilih
seekor kuda, yang akan dipersiapkan untuk mengikuti
pacuan kuda pada bulan Mei, di antara semua kuda yang
dikirim dari sejumlah peternakan di berbagai daerah.
Apakah Tadamori ada di sini? tanya Mantan Kaisar,
mengabaikan para pejabat di sekelilingnya. Aku tidak
melihat banyak kuda istimewa hari ini. Bagaimana
menurutmu?

Tadamori yang berdiri cukup jauh dari Mantan Kaisar,


mengangkat kepala hanya untuk menjawab, Yang Mulia,
hanya ada satu.
Hanya satukuda
Shimotsuke?

hitam

dari

peternakan

di

Betul, Yang Mulia.


Aku sudah mengamatinya sejak lamasi hitam yang
ditambatkan ke palang itu? Tapi, semua pecinta kuda
memperingatkanku untuk mewaspadainya; kata mereka,
tanda putih di keempat pergelangan kakinya merupakan
pertanda buruk.
Itu pendapat umum. Yang Mulia, namun tidak layak
dipertimbangkan kata Tadamori, yang mulai menyesali
kebiasaannya berbicara terus terang. Dari semua kuda itu,
saya tidak melihat satu pun yang bisa menyaingi si hitam
itu; tengoklah kepalanya yang indah, matanya, dan sapuan
ekornya.
Mantan Kaisar ragu-ragu. Dia tidak sabar untuk
membawa kuda hitam itu ke istalnya dan melatihnya untuk
pacuan Mei, karena dia mengharapkan kuda itu akan bisa
menang melawan kuda-kuda Kaisar. Tetapi, seperti para
penasihatnya, dia juga percaya pada takhayul.
Jika Yang Mulia menghendakinya, saya akan
membawa kuda itu ke istal saya dan merawatnya hingga
hari pacuan tiba, Tadamori menawarkan diri, teringat
pada kata-kata spontannya dan dampaknya pada para
bangsawan yang berkumpul di sana.
Begitu pun boleh. Bawalah kuda itu dan pastikan ia
mendapatkan latihan yang cukup hingga hari pacuan tiba,
jawab Toba.

Cerita mengenai kuda hitam itu tersebar di seluruh Istana


Kioister, didengar oleh banyak pejabat istana yang
membenci Tadamori. Meskipun kedudukannya hanyalah
sebagai samurai biasa, dia diperkenankan berkeliaran di
dekat singgasana kaisar, satu-satunya samurai yang
mendapatkan kehormatan itu, dan para pejabat istana yang
dengki semakin membencinya. Mereka khawatir si Mata
Picing akan merebut hak-hak istimewa mereka, dan mereka
tidak memercayainya, yakin bahwa Tadamori mengetahui
rahasia untuk mengambil hati Mantan Kaisar. Meskipun
selama bertahun-tahun sebelumnya Tadamori menjauhkan
diri dari Istana dan menolak berbagai undangan perjamuan
dan tamasya, kesukaan Mantan Kaisar kepadanya tidak
sirna. Tadamori tidak hanya terus-menerus mendapatkan
berbagai hadiah dari Mantan Kaisar, namun rasa hormat
yang lebih mendalam juga ditunjukkan oleh Toba dengan
kesediaannya mendengar pendapat Tadamori. Penugasan
kembali Tadamori di Istana Kloister memancing kecurigaan
dan keraguan para pejabat istana.
Setibanya di rumah, Tadamori berdiri di dekat kuda
hitam itu dan mengelus-elus hidungnya, mengatakan, Ah,
dasar picik! Tidak ada yang berubah di kolam tua tempat
para pejabat itu berkuak- kuak.
Ayah, tidak ada cara lain untuk hidup di ibu kota ini
kecuali dengan mengabaikan omongan miring orang lain.
Tertawakan saja kebodohan mereka.
Heita! Kau sudah pulang?
Aku melihat Ayah meninggalkan Istana dan ikut
pulang, karena aku tidak bertugas malam ini.
Heita, jangan pernah tunjukkan kebencianmu.
Tidak, tapi aku menantikan saat untuk membalas
dendam, dan aku tidak melupakan perkataan Ayah tentang

memulai hidup baru. Kita benar-benar jauh lebih bahagia di


rumah saat ini.
Aku khawatir kau kesepian sejak ibumu pergi.
Ingatlah, Ayah, kita sudah berjanji untuk tidak
membicarakannya . Nah, tentang kuda itu
Hmmkuda yang bagus, la akan lebih bagus jika
dilatih setiap pagi dan malam.
Aku juga berpikir begitu. Sejujurnya, Genji Wataru,
temanku di Kesatuan Pengawal, ingin sekali melatih kuda
ini. Dia merengek- rengek kepadaku untuk meminta Ayah
memohon persetujuan dari Yang Mulia, karena dia ingin
menunggangi kuda ini dalam pacuan kuda Kamo.
Tadamori berpikir sejenak dan mengatakan, Wataru
tapi, apa kau sendiri tidak ingin menunggangi kuda ini?
Kau sendiri, daripada Wataru?
Keempat tanda putih itujika bukan karena itu
Kiyomori ragu-ragu, mengerutkan kedua alis tebalnya,
menunjukkan kegugupan yang mengejutkan ayahnya.
Tadamori terkejut saat mendapati bahwa putranya yang
ceroboh ini ternyata punya pertimbangan sendiri.
Aku yakin Wataru bisa dipercaya. Aku tidak bisa
mengatakan bagaimana pendapat Yang Mulia mengenai
hal ini, tapi aku akan menanyakannyatentunya jika kau
tetap tidak berminat menunggangi kuda itu sendiri, kata
Tadamori, agak kecewa. Dia memanggil beberapa orang
pelayan dan memberikan perintah kepada mereka untuk
memberi makan dan merawat kuda itu, dan sejenak
kemudian memasuki kamarnya, yang sekarang telah
terbebas dari istrinya dan kecerewetannya. Sembari
beristirahat di bawah cahaya lampion, dia memanggil anak-

anaknya yang masih kecil dan bermain bersama mereka,


sesuatu yang sekarang menjadi kebiasaannya.
Beberapa hari kemudian, Tadamori menyampaikan
sendiri persetujuan Mantan Kaisar kepada Wataru,
kemudian memerintahkan kepada Kiyomori untuk
membawa si kuda hitam ke rumah temannya itu. Menarik
tali kekang kuda itu, Kiyomori menyusuri Gang Bunga Iris
di Jalan Kesembilan. Para pejalan kaki yang berpapasan
dengannya menoleh dan berkomentar, Kuda yang luar
biasauntuk Istana Kekaisaran atau Istana Kioister?
Tetapi, Kiyomori tidak menjawab pertanyaan mereka, lega
karena bisa menyingkirkan kuda pembawa nasib buruk itu.
Wataru telah menantikan kedatangan Kiyomori dan
sedang membersihkan istal ketika temannya itu tiba.
Kegembiraan tampak jelas di wajahnya.
Sekarang sudah nyaris gelap. Maafkan aku karena
istriku belum pulang, tapi kau harus singgah di rumahku
dan minum bersamaku. Kita harus merayakan peristiwa ini.
Kita akan minum sake kekaisaran!
Kiyomori
menunggu
hingga
lampion-lampion
dinyalakan, dan sake yang diminumnya membuatnya
merasa digelitiki hingga ujung jarinya. Menatap ke
sekelilingnya, dia mendapati dirinya membandingbandingkan rumah Wataru dengan rumahnya sendiri, dan
menyadari bahwa perabot di rumah itu tidak begitu indah
namun luar biasa bersih. Permukaan kayu yang terpoles
mulus memunculkan pendar gelap; kenyamanan terasa di
udara; cahaya seolah-olah melapisi segalanyatidak
diragukan lagi, semua itu adalah hasil kerja keras wanita
muda yang dinikahi Wataru pada akhir tahun lalu.
Kiyomori iri. Dia mendengarkan Wataru memuji- muji
istrinya. Ketika Kiyomori pulang, Wataru mengantarnya ke
gerbangyang mirip dengan gerbang rumah para samurai

lainnya, dengan atap jerami dan dinding anyaman ranting


berlapis tanah liatdan di situlah Kiyomori bertatap muka
dengan istri Wataru. Melihat tamu yang hendak pergi, istri
Wataru cepat-cepat melepas mantel luarnya dan
membungkuk. Kiyomori bisa mencium aroma yang
menguar dari rambut dan lengan kimononya. Dengan
terbata- bata, dia mengucapkan salam ketika Wataru
memperkenalkan istrinya.
Kau pulang tepat waktu. Heita, ini istriku, Kesa-Gozen,
yang pernah menjadi dayang-dayang di Istana, kata
Wataru dengan penuh semangat, sebelum menceritakan
kepada istrinya tentang kuda hitam di istal.
Meskipun wanita itu adalah istri kawannya, Kiyomori
merasa malu dan canggung. Menyadari bahwa pipinya
memerah, dia berjalan dengan lunglai menyusuri Gang
Bunga Iris yang sekarang telah gelap gulita. Wajah KesaGozen menghantuinya. Mungkinkah wanita semanis itu
benar-benar ada? Bayangan mengenai Kesa-Gozen
berkelebatan di benaknya selama dia berjalan. Sebentuk
bintang baru bersinar khusus untuknya di langit musim
semi di atasnya Kemudian, sebentuk lengan tiba-tiba
terulur dan mencengkeramnya dalam keheningan. Seorang
perampok! Banyak orang pernah diserang di persimpangan
ini pada malam hari! Kiyomori berusaha menggapai gagang
pedangnya.
Jangan takut, Heita. Ikutlah bersamaku ke rumah yang
kita datangi waktu itu. Terdengarlah tawa bernada rendah
di telinga Kiyomori. Itu suara Morito. Kiyomori tidak bisa
memercayainya. Apakah yang sedang dilakukan oleh
Morito di bagian Kyoto yang terpencil ini, dengan wajah
tertutup layaknya penjahat?
Kau pasti mau ikut denganku ke rumah di Jalan
Keenam itu, bukan? Morito mendesaknya. Tawaran itu

membuat Kiyomori tergoda, namun mendadak timbullah


rasa tidak percaya kepada temannya ini, yang membuatnya
ragu-ragu.
Ayolah, aku melihatmu sedang berjalan ke rumah
Wataru sore tadi, dan aku membuntutimu, lanjut Morito
sambil berjalan di depan Kiyomori. Setelah kecurigaannya
mereda, Kiyomori mengikuti temannya, tersedot oleh daya
pikat Morito, dan segera merasa akan mendapatkan
keberuntungan.
Di sebuah rumah di dekat Istana Kloister, mereka
minum- minum dan bermesraan dengan wanita, seperti
yang pernah mereka lakukan. Ketika akhirnya dia ditinggal
berduaan bersama salah satu wanita, Kiyomori, yang
sedikit lebih tangguh daripada dalam kunjungan
terakhirnya, memberanikan diri untuk bertanya:
Di mana temanku? Di manakah dia tidur?
Wanita itu terkikik. Dia tidak pernah menginap di sini.
Apa dia sudah pulang?
Wanita itu sepertinya mengantuk dan terlalu lelah untuk
menjawab. Dia memang selalu begitu. Mana aku tahu apa
yang sedang dilakukannya? katanya, melingkarkan lengan
ke leher Kiyomori.
Kiyomori berusaha membebaskan diri. Aku juga mau
pulang! Si Morito itu rupanya mengerjaiku!
Kiyomori cepat-cepat meninggalkan rumah itu, namun
belaian lembut hantu di Gang Bunga Iris tidak lagi
mengikuti langkahnya.
Keesokan harinya, Morito tidak menjalankan tugasnya
sebagai Pengawal, dan dia tidak terlihat hingga beberapa
hari kemudian, sehingga Kiyomori semakin jengkel

kepadanya. Sekarang, setiap kali dia bertugas di Istana,


suami Kesa-Gozen, Watarulah yang selalu menyapanya
dengan ceria jika mereka berpapasan di koridor, dengan
tatapan yang menyiratkan kebahagiaan.
##dw##
Di gerbang pelayan kediaman Nakamikado di Jalan
Keenam,
sekelompok
wanita
pedagang,
yang
menyeimbangkan keranjang atau kotak berisi berbagai
macam benang sutra, bunga, dan kue di kepala mereka,
mengintip ke halaman rumah sambil tertawa-tawa dan
mengobrol dengan gaduh.
Kami tidak menginginkan apa-apa, tidak untuk hari ini,
dasar berisik!
Ayolah, belilah kue-kue ini untuk Festival Mei!
Kami terlalu sibuk bekerja untuk pesta malam ini. Kami
sudah pusing karenanya! Datanglah nanti malam, nanti
malam
Dasar bodoh! Dasar kalian budak mesum! cemooh
para pedagang.
Seorang pelayan tiba-tiba muncul di pintu, membentakbentak dan memelototi para pedagang itu dari balik
punggung para pelayan rendahan. Hei, hei! Jangan
tanggapi perempuan-perempuan itu! Siapa yang bertugas
mengurus bilik mandi hari ini? Nyonya sudah tidak sabar.
Uapnya kurang panas!
Mendengar gertakan itu, dua orang pelayan rendahan
segera memisahkan diri dan berlari ke sayap timur. Api
untuk memanaskan air mandi telah berubah menjadi abu.
Mereka buru-buru mengumpulkan ranting dan batu api
untuk menyalakan api.

Salah seorang dayang-dayang Yasuko keluar ke beranda;


mengernyitkan hidung dan mengerjap-ngerjapkan mata
untuk menghalau asap, lalu berseru, Hei, apa yang kalian
lakukan disana! Dasar budak-budak ceroboh, bagaimana
jika nyonyaku masuk angin?
Bilik mandi berlangit-langit rendah dan berlantai
anyaman itu cukup gelap. Tubuh telanjang dua orang
wanita tampak berkilauan di tengah gumpalan uap,
mengucurkan keringat.
Ruriko. payudara kecilmu sungguh manisseperti buah
ceri yang mungil!
Bibi membuatku malu. jangan memandangiku begitu.
Mau tidak mau aku memikirkan masa ketika kulitku
masih semulus kulitmu, lamun Yasuko.
Tapi, sekarang pun Bibi masih sangat cantik.
Ya? kata Yasuko sambil menatap payudaranya
sendiri.
Kata-kata Ruriko bukan sekadar sanjungan, namun
Yasuko segera meraup payudaranya sendiri, merasakan
kekencangannya yang telah hilang. Putting susunya gelap
bagaikan biji aprikot. Dia telah melahirkan empat orang
anak dan menyadari bahwa keranumannya telah
mengering. Dia mengamati bekas luka kecil berwarna putih
di salah satu payudaranya, yang didapatkannya ketika
Kiyomori, yang ketika itu berumur tiga tahun, mengamuk
dan menggigitnya.
Amarah seketika merebak di dalam diri Yasuko ketika
dia memikirkan Kiyomori, yang telah menghajarnya
dengan begitu kejamdi depan seorang pelayan pula!
Bukankah dia pernah menyusui anak itu dengan
payudaranya
ini?
Begitukah
cara
anakanak

memperlakukan ibu mereka? Jika memang begitu, sungguh


tidak sepadannya menjadi seorang ibu! Kiyomori sepertinya
berpikir bahwa dirinya tumbuh dewasa tanpa perawatan
dari ibunya! Kebencian bergejolak di dalam diri Yasuko
saat dia duduk tanpa bergerak, memegangi kedua
payudaranya dengan jemarinya.
Ruriko meninggalkan bilik mandi sejenak kemudian. Dia
adalah keponakan sang nyonya rumah. Sudah menjadi
tradisi bahwa gadis-gadis muda akan dinikahkan setelah
mereka berumur tiga belas atau empat belas tahun, namun
Ruriko, yang berpenampilan lebih dewasa daripada usianya
yang enam belas tahun, bahkan belum bertunangan. Desasdesus mengatakan bahwa ayahnya, Fujiwara Tamenari,
seorang gubernur di salah satu provinsi, terlalu sibuk
bekerja sehingga tidak sempat mengatur perjodohan.
Bagaimanapun, desas-desus yang lain mengatakan bahwa
sang gubernur telah berkali-kali membangkang dari
pemerintah pusat, dan berdasarkan permintaan Menteri
Sayap Kiri, seorang kerabat yang menganggap sepupu
jauhnya ini berbahaya, dia ditugaskan di tempat yang jauh.
Ruriko sendiri- sepertinya tidak merisaukan statusnya
yang masih lajang dan melalui hari-harinya dengan cukup
ceria. Sejak Yasuko tiba dan menempati flat di sayap timur,
Ruriko menghabiskan sebagian besar waktunya di sana,
mengabaikan kamarnya sendiri yang berada di sayap barat.
Dia kerap menginap di sayap timur atau mandi bersama
Yasuko, yang menghabiskan waktunya dengan bergunjing
bersama gadis itu, mengajarinya cara memakai berbagai
peralatan rias, mengutarakan pendapatnya tentang urusan
cinta, atau memberitahunya berbagai rahasia dalam
memuaskan pria. Ruriko segera mengagumi wanita yang
lebih tua darinya ini dan akrab dengannya.

Tuan rumah di sana adalah seorang pria bernama


lyenari, seorang bangsawan baik hati berumur lima
puluhan, yang, setelah pensiun dari jabatannya di
pemerintahan, menekuni kegemarannya menyabung ayam.
Karena tidak memiliki anak, dia mempertimbangkan untuk
mengangkat keponakan istrinya, Ruriko, sebagai anak,
namun situasi yang tidak pernah dibayangkannya terjadi
pada Februarikedatangan tidak terduga Yasuko. lyenari
telah menyindir-nyindirnya dengan menanyakan rencana
kepulangan Yasuko, namun Yasuko sepertinya tidak
berniat kembali ke Imadegawa. Dia menggelitik naluri
keibuan Yasuko dengan mengingatkannya kepada keempat
anaknya, namun Yasuko sepertinya tidak memedulikan
mereka. Untuk menggoyahkan kepercayaan dirinya, lyenari
menyiratkan dalam perkataannya bahwa meskipun masih
menawan di usianya yang ketiga puluh delapan, akan sulit
bagi Yasuko untuk menikah lagi. Tetapi, Yasuko menutup
telinga terhadap ucapan-ucapan miring seperti itu dan
bersikap seolah-olah dia akan selamanya tinggal di rumah
lyenari. Dia menempati kamar terbaik di rumah itu,
memerintahkan agar air mandi disiapkan setiap pagi,
menghabiskan berjam-jam di ruang dandannya setiap
malam, dan bersikap layaknya seorang wanita berdarah
biru.
Dia tidak pernah segan-segan menggunakan kereta
kapan pun dia mau, memerintah-merintah para pelayan
sesuka hatinya, sementara mereka bergosip dengan
panasnya tentang pria-pria asing yang mengunjungi flat
Yasuko di malam hari. Jika lyenari dengan gamblang
menyampaikan keberatannya mengenai tingkah Yasuko ini,
Yasuko langsung marah besar, memaksanya untuk menarik
kembali kata-katanya, dan terus bersikap layaknya seorang
putri, tidak sekali pun membiarkan lyenari melupakan
bahwa dia pernah menjadi kesayangan almarhum Mantan

Kaisar Shirakawa dan dengan pongah menyuruhnya


menutup mulut.
Jawaban Yasuko tersebut selalu berhasil menohok
lyenari. Dia berhenti mengingatkan Yasuko akan masa
lalunya, ketika dia masih seumur Ruriko dan lyenari
mengatur hubungan gelap antara dirinya dan Kaisar yang
bernafsu birahi besar, karena dia ingat betul bahwa sebagai
balasan, sang Kaisar telah menaikkan jabatan lyenari di
Istana, dan dengan murah hati menghadiahinya dengan
tambahan tanah seluas berhektar-hektar dan berbagai
macam kemewahan lainnya. Yasuko telah sejak lama
menganggap sebagaian kekayaan lyenari sebagai miliknya,
dan bahkan setelah menikah dengan Tadamori, dia masih
sering mendatangi kediaman Nakamikado untuk meminta
apa pun yang diinginkannya.
lyenari mengalami apa yang dinamakan senjata makan
tuan. Akhir-akhir ini, dia telah kehilangan minat untuk
bersenang-senang. Yasuko, sebaliknya, dengan penuh
keanggunan menerima arus tanpa henti para tamu yang
mengunjunginya di sayap timur, berlama- lama tinggal di
sana untuk bermain dadu, membakar dupa, dan
memainkan berbagai macam alat musik. Bahkan teman
lama lyenari, yang selama ini sering menyertainya bermain
sabung ayam, lebih memilih Yasuko daripada dirinya dan
sekarang menjadi salah seorang teman dekatnya.
Rumah lyenari, seperti layaknya kediaman para
bangsawan lainnya, adalah sebuah bangunan luas yang
memiliki sayap timur dan barat. Sebuah beranda panjang
dan tertutup terbentang di sepanjang rumah utama,
menghubungkan kedua sayap, dan berlanjut ke seruas jalan
beratap yang berasal dari sisi-sisi halaman dalam. Paviliunpaviliun tertutup yang bergaya elegan di ujung jalan

menghadapi sebuah taman dengan miniatur pulau, danau,


dan sungainya.
Pengaruh Yasuko terhadap Ruriko meresahkan lyenari,
karena gadis muda itu sekarang telah sepenuhnya menjadi
tawanan bagi pesona Yasuko dan menghabiskan seluruh
waktunya di sayap timuryang jaraknya cukup jauh dari
wilayah keluarga di sisi lain taman, lyenari tak hentihentinya
memperingatkan
Ruriko
untuk
tidak
menghabiskan terlalu banyak waktu di sana, menasihatinya
bahwa tidak ada kebaikan yang akan didapatkannya dari
kunjungan- kunjungannya ke sana. Tetapi, kehormatannya
di rumahnya sendiri telah ambruk. Dia memerintah para
pelayan untuk terus mengawasi Ruriko, namun sia-sia saja,
karena mereka lebih takut kepada Yasuko sekarang.
Ternyata, karena alasan inilah samurai setangguh
Tadamori sekalipun menjadi layu dalam masa mudanya,
pikir lyenari dengan gusar. Karena inilah Tadamori disebut
eksentrik; dan inilah harta meragukan yang dipercayakan
oleh almarhum Mantan Kaisar kepadanya, lyenari melihat
rambutnya yang semakin memutih hanya dalam dua bulan
terakhir, dan mengagumi Tadamori, yang telah memikul
beban itu selama dua puluh tahun.
Ruriko kembali menginap di sayap timur, dan lyenari
marah besar ketika mengetahuinya pagi itu. Dia baru saja
menata bunga iris di vas, meletakkan sebuah helm berhias
tumbuhan wisteria di dudukan helm, menyiapkan sake
manis dan mengeluarkan cangkir-cangkir yang akan
digunakan dalam perayaan Festival Mei. lalu menyuruh
seorang pelayan memanggil Ruriko, hanya untuk
mendengar bahwa gadis itu sedang berada di bilik mandi
bersama Yasukoselama beberapa waktu.
Dia menoleh dengan tatapan menuduh ke arah istrinya
dan mengeluh, Sekarang kaulihat sendiri apa yang cepat

atau lambat akan terjadi pada Ruriko! Kita akan


berhadapan dengan Yasuko yang lain, ingadah kata-kataku
ini! Tetapi, langit yang biru dan matahari yang bersinar
cerah segera membuatnya menyesali perkataannya. Ah,
mari kita lupakan semua ini, karena sekarang adalah hari
kelima bulan Mei! serunya. Keluarkanlah jubah
kebesaranku; sekaranglah saatnya aku pergi, katanya,
meskipun dia berdiri dengan lesu.
Hari ini adalah hari pacuan kuda Kamo. Pada saat ini,
lapangan di dekat lintasan pacuan tentu sudah dipenuhi
manusia, lyenari, seperti pada tahun-tahun sebelumnya,
adalah anggota panitia yang bertanggung jawab mengurus
kemeriahan yang menyertai pacuan kuda. Dia
mempertimbangkan gagasan untuk berpura-pura sakit,
namun cepat-cepat menyingkirkannya, lalu mengenakan
jubah kebesarannya dan memasang helm berhiasnya di
kepala. Sementara istrinya mengencangkan tali helm di
bawah dagunya yang terangkat, dia meneriakkan beberapa
perintah kepada seorang pelayan.
Siapkanlah keretayang baru!
Si pembawa pesan bergegas berlari ke ruang pelayan,
namun kembali sejenak kemudian dengan kabar bahwa
baru beberapa saat yang lalu, para wanita pergi membawa
kereta baru yang anggun itu!
Dasar pandir! sembur lyenari kepada si pembawa
pesan. Apa maksud mereka memakai kereta baru itu?
Tanpa mengatakan apa pun kepadanya! Ruriko seharusnya
bisa bersikap lebih baik! Bahkan gadis muda itu sepertinya
sudah tidak menghormati paman dan bibinya lagi!
Mungkinkah dia juga sudah terperangkap oleh kasih sayang
palsu Yasuko?

lyenari marah sekaligus mengasihani dirinya sendiri.


Tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang kecuali
memakai kereta lama. Dia menyembunyikan kekesalannya
di balik jendela ketika keretanya berderak melewati gerbang
utama.
Tidak lama kemudian, di kejauhan, di balik gumpalan
debu, tampaklah kerumunan penonton yang membanjiri
lintasan kuda Kamo. Di antara pupus-pupus tumbuhan
baru, lyenari melihat umbul-umbul merah dan biru, bendera
warna-warni, ranting- ranting dari pohon suci yang
diikatkan ke palang start; kemudian berangsur-angsur, jalan
masuk menuju lintasan pacuan pun terlihat, penuh dibanjiri
oleh manusia.
Kereta lyenari terjebak kemacetan. Siapa yang
menyangka bahwa akan ada sebanyak ini kereta? Dia tidak
pernah menyadari bahwa pemandangan semacam ini akan
terlihat di ibu kota. Luar biasa! Tiba-tiba, dia menegakkan
badan dan mengumpat-umpat. Di depan matanya,
keretanya sendiri, kereta barunya, baru saja melintas!
Terkutuklah kuda betina ituperempuan tua yang tidak
bisa ditunggangi oleh siapa pun!
D&&W
Upacara untuk mengumumkan kegiatan hari ini baru
saja berakhir. Di panggung kehormatan, tampaklah
Emperor Sutoku yang berumur sembilan belas tahun,
dengan penasihat Fujiwara di sisinya, menatap ke
sekelilingnya sambil tersenyum. Mantan Kaisar Toba juga
ada di sana, dikelilingi oleh para wanita bangsawan dan
para dayang- dayang mereka, yang berdiri selama upacara
pembukaan. Ketika mereka duduk, terdengarlah dengung
percakapan orang-orang yang mengomentari para joki dan
kuda yang akan dipertandingkan.

Entah berapa banyak tenda untuk mempersiapkan kuda


telah didirikan di tanah lapang itu, sementara para pemain
musik dan pelatih kuda beraksi.
Setiap helai daun di pepohonan di dekat Kuil Kamo
tampak berkilauan akibat tiupan angin sepoi-sepoi. Musik
dari kelompok orkestra mengalun terbawa angin di atas
kepala para penonton. Di atas hamparan rumput hijau di
dekat gerbang lapangan, tempat sebuah umbul-umbul
melambai-lambai, kuda-kuda pacuan yang gelisah
menyibukkan para perawat mereka. Sesekali, ringkikan
panjang terdengar ketika seekor kuda yang penuh semangat,
menggigit pengganjal di dalam mulutnya, menendang
perawatnya, atau seekor kuda lain, yang sedang diuji
langkahnya, berdiri kaku, lalu melepaskan diri di depan
paviliun kekaisaran. Di atas panggung kehormatan. Kaisar
dan Mantan Kaisar tersenyum senang, sementara gelak
tawa terdengar di antara deretan kursi berhias bunga yang
ditempati oleh para bangsawan. Di sini, oleh para
bangsawan dari berbagai tingkatan, kemewahan dan
keanggunan Istana Kekaisaran dan Istana Kloister
dipamerkan dalam beraneka ragam bentuk penghias kepala
dan warna kimono. Para bangsawan yang masih muda
mengenakan bedak tipis, menggambari alis, memerahkan
pipi, dan menebarkan aroma berbagai wewangian langka
dari lengan kimono mereka. Di salah satu paviliun, para
pejabat dengan helm berhias tumbuhan wisteria
memercikkan air berwarna ungu sehingga aroma bungabungaan memenuhi udara.
Ini adalah hari pacuan kuda Kamo; tidak kurang, ini
adalah ajang pertandingan di bidang gaya dan kemewahan
antara Istana Kekaisaran dan Istana Kloister. Dan di bawah
permukaan kemeriahan tersebut, ini adalah puncak
persaingan antara Kaisar dan Mantan Kaisar. Meskipun

menempati panggung yang sama, ayah dan anak itu hanya


sesekali bercakap-cakap. Mereka telah berselisih selama
bertahun-tahun, dan masalah di antara mereka semakin luas
seiring waktu. Di balik perselisihan mereka, tersebutlah
sebuah sejarah gelap.
Kaisar Sutoku adalah putra sulung Mantan Kaisar Toba
dengan permaisurinya, Fujiwara Shoko, yang menjadi
dayang-dayang di Istana Kloister ketika Shirakawa
menghabiskan hari tuanya di sana. Perhatian Mantan
Kaisar Shirakawa kepada Shoko sangat mencolok sehingga
desas-desus tersebar di kalangan para pejabat istana bahwa
penguasa yang gemar mengumbar cinta itu lebih dari
sekadar memberikan kasih sayang yang bersifat kebapakan.
Shoko, yang terpilih setelah beberapa tahun menjadi selir
Kaisar Toba, segera melejit menjadi Permaisuri. Enggan
mengakhiri hubungannya dengan Shoko, bahkan setelah
wanita itu menjadi istri putranya. Mantan Kaisar Shirakawa
diam-diam masih mengunjunginya. Kaisar Toba yang
masih remaja sama sekali tidak mengetahui tentang intrik
tersebut hingga Permaisuri melahirkan Putra Mahkota.
Baru ketika itulah tersebar rumor di Istana Kekaisaran
bahwa Kaisar, yang acuh tak acuh ketika mendengar
tangisan putra pertamanya, telah yakin bahwa bayi itu
bukan anaknya melainkan anak ayahnya.
Penyimpangan perilaku dan pengkhianatan Mantan
Kaisar telah meracuni masa muda Toba, meninggalkan
luka dalam yang tak kunjung sembuh, dan kebenciannya
kepada putranya, Sutoku, yang saat ini berkuasa,
menimbulkan kegetiran dan titik pangkal perselisihan di
antara kedua kepala pemerintahan itu. Kendati begitu, hari
ini di pacuan kuda Kamo, semua itu tersembunyi di balik
keanggunan dan semerbak wewangian. Siapa yang bisa
memercayai bahwa kedua petinggi yang duduk di antara

bunga- bungaan itu, kedua sosok penguasa lemah lembut


yang tenggelam dalam kemeriahan hari itu, adalah bahan
bakar bagi perang besar yang telah menanti mereka?
Lihatiah senyuman Yang Mulia!
Kaisar sekarang berdiri. Beliau menyaksikan balapan ini
dengan penuh perhatian!
Itulah komentar-komentar yang beredar di antara para
pejabat yang matanya tertuju ke lintasan balapan namun
perhatiannya ke kedua pemimpin itu, menyadari
sepenuhnya kebencian yang mendalam di hati keduanya.
Rangkaian kegiatan berlangsung hingga siang hari. Debu
mengepul tinggi di atas lintasan pacuan yang kering
kerontang.
Kau sepertinya bingung, Wataru. Ada apa? tanya
Kiyomori kepada kawannya, yang ditemukannya sedang
berdiam diri di saiah satu sisi paviliun samurai.
Kuda hitam berumur empat tahun dengan tanda putih di
keempat kakinya, yang menjadi ujung tombak Wataru,
tidak disebutkan dalam daftar peserta balapan. Kiyomori,
yang bertanya- tanya mengenai hal itu, telah menanti untuk
bisa berbicara dengan Wataru sejak balapan dimulai.
Wataru, yang semakin ciut karena pertanyaan temannya,
menjawab dengan murung:
Pagi ini, saat masih gelap, aku membuat kesalahan
dengan mengeluarkan kuda hitam itu dari istal dan
memacunya . Memang nasibkusedang tidak
beruntung.
Apa yang terjadi?
Para tukang kayu yang kemarin mendirikan panggung
di sini tentu tanpa sengaja telah mencecerkan paku, karena

kudaku menginjak salah satunya dengan kaki belakang


kanannya. Aku berharap aku saja yang terkena paku!
Hmm hanya itu yang bisa dikatakan oleh Kiyomori
ketika takhayul para joki terlintas di benaknya. Wataru
hanya akan mengolok-oloknya lagi. Tetapi, kata-kata
Kiyomori selanjutnya ternyata berhasil menenangkan
Wataru.
Jangan patah semangat, Wataru. Si hitam itu masih
bisa bertarung di balapan yang lain. Masih ada Ninna-ji
musim gugur nanti, la cukup tangguh untuk menang di
mana pun. Mengapa harus terburu-buru?
Hmm .Aku akan mendaftarkannya untuk mengikuti
balapan musim gugur nanti! seru Wataru. Kiyomori
terkekeh. Mengapa harus menyesal? Apa kau sudah
bertaruh besar-besaran untuk kuda ini?
Tidak, tidak ada yang memperbolehkanku. Semua
orang mengatakan bahwa kuda ini akan membawa sial.
Apa kau sudah menjalani ritual cambuk? tanya
Kiyomori. Ritual cambuk? Mana mungkin aku
memercayai omong kosong seperti itu. Itu takhayul!
Bagaimana mungkin para joki yang cambuknya dimantrai
oleh para pendeta itu berharap akan menang? Kupikir aku
akan membuka mata mereka.
Sementara Wataru mencerocos, Kiyomori mengedarkan
pandangan. Diiringi gebukan tambur, dua ekor kuda dan
penunggangnya melesat dari bilik start dalam kepulan debu,
namun dia tidak sedang menonton mereka. Dia
menyapukan tatapan ke deretan kepala di paviliun utama.
Di antara kerumunan pria dan wanita, sekilas dia melihat
ibunya. Di antara para wanita yang berpakaian anggun itu,
ibunya tampak mencolok dalam balutan kimono indahnya.

Tatapan para penonton tertuju ke lintasan balap, namun


tatapan ibunya tertuju kepadanya. Pandangan mereka
bertemu. Yasuko memanggil Kiyomori dengan sorot
matanya, namun Kiyomori balas menatapnya dengan
dingin. Yasuko terus tersenyum, membujuk dan memohon,
seolah-olah gemas melihat anaknya yang merajuk,
kemudian menoleh untuk berbicara dengan Ruriko, yang
berdiri di sampingnya. Pada saat yang sama, gemuruh
tepuk tangan para penonton menggetarkan udara. Gebukan
genderang yang terdengar dari bilik start, tempat sehelai
bendera merah berkibar untuk mengumumkan bahwa kudakuda Istana Kioister menjadi pemenang hari ini. Sorak sorai
para penonton meledak dalam sebuah nyanyian
kemenangan, yang terdengar gegap gempita di seluruh
paviliun Mantan Kaisar.
Wataru menggumamkan beberapa patah kata dan
berlalu. Kiyomori juga membalikkan badan. Dia mendesak
kerumunan penonton untuk menghampiri panggung utama.
Mata Yasuko seolah- olah memanggil-manggilnya untuk
mendekat. Ketika Kiyomori semakin dekat dengannya,
mata itu seolah-olah bertanya, Jadi kau datang juga,
setelah semua yang telah terjadi?
Kiyomori, yang menghampiri ibunya, hanya merasakan
kebencian di dadanya. Seluruh kebencian dan
kemarahannya
terpancar
dalam
tatapan
yang
dilontarkannya ke arah ibunya ketika dia berjalan
mendekati paviliun tempat wanita itu duduk. Ketika
menyadari keberadaan banyak wanita di sekeliling ibunya,
Kiyomori mendadak merasa rikuh dan malu, dan rona
merah langsung tampak di pipi dan telinga caplangnya.
Kau memang anak yang lucu, Yasuko tertawa ketika
melihat kecanggungan Kiyomori. Apa yang membuatmu
malu seperti itu? Bukankah aku ibumu? Ayo, kemarilah.

Kesan yang ada di dalam suaranya adalah kasih sayang,


yang hanya bisa diperdengarkan oleh seorang ibu. Tetapi,
bukan ibunya yang menyebabkan Kiyomori tersipu malu.
Baginya, Yasuko bukanlah seorang wanita melainkan
perwujudan dari kecantikankecantikan yang dibenci
sekaligus dikaguminya lebih daripada segalanya. Dengan
sensasi mendorong dirinya sendiri menembus sebuah
penghalang gaib, Kiyomori semakin dekat dengan ibunya.
Tidak ada kesan aneh maupun janggal ketika mereka
berdekatan,
pikirnya,
namun
dia
mengedarkan
pandangannya dengan lemas, seolah-olah mencari
perlindungan dari tatapan orang-orang yang tertuju
kepadanya.
Melihat kegelisahan Kiyomori, Yasuko segera
menyimpulkan bahwa Rurikolah penyebabnya. Dia melirik
gadis itu, lalu putranya dan, menoleh ke arah Ruriko, dia
berbisik, Ini anakku, Heita Kiyomori, yang kubicarakan
waktu itu.
Kepada Kiyomori, dia kemudian mengatakan, Waktu
kau berumur tiga atau empat tahun, kau pernah
mengunjungi kediaman Nakamikado, tempat Ruriko
sekarang tinggal.
Meskipun Yasuko berusaha membuatnya merasa santai,
Kiyomori tetap diam. Jantungnya yang berdegup kencang
menjadikan wajahnya semakin merah. Ruriko melihatnya
dan tersipu malu. Kelopak matanya bergetar dan terpejam,
seolah-olah untuk menghindar dari tatapan tajam, dan
desahan meluncur dari bibirnya.
Kiyomori merasakan sensasi memualkan, yang telah
diakrabinya, menghampirinya ketika dia berdiri di samping
ibunya. (Wanita yang sungguh cantik dan licin!) Dia
tergoda untuk sekali lagi bertanya kepada ibunya. Apakah
dia putra seorang kaisar atau seorang pendeta mesum?

Siapakah ayah kandungnya? Duka yang mendalam akibat


perilaku binal ibunya sepertinya mendorong Kiyomori
untuk terus berusaha mencari jawaban. Baginya, ibunya
saat ini tampak lebih nista daripada semua pelacur dan
penghibur di ibu kota.
Di masa remajanya, ketika dia merasa jijik terhadap
hubungan antar jenis kelamin, Kiyomori menyadari bahwa,
tanpa alasan tertentu, dia menghendaki ibunya bersikap
lebih bersahaja. Sebagai seorang anak, putra ibunya, dia
ingin memercayai bahwa ibunya adalah wanita tersuci,
teranggun, dan apa pun yang menjadi lambang kasih
sayang itu sendiri. Sejak bayi, ketika dia mengisap air susu
ibunya, Kiyomori telah mengagumi gambaran ideal ini
ibunya; selama masa remajanya, sosok itu tidak berubah,
hingga dia mendengar cerita Morito, yang mengubah
ibunya menjadi sekadar onggokan daging. Kiyomori yang
jijik menganggap kenistaan ibunya sebagai kenistaannya
juga; hingga waktu itu, dia masih bersyukur bahwa darah
Heik Tadamori dan seorang ibu yang suci mengaliri
tubuhnya, namun yang dirasakannya saat ini hanyalah
kebencian kepada diri sendiri.
Malam itu, ketika dia bertemu dengan Morito dan
mendengar tentang masa lalu ibunya, dalam kemarahan
dan keputusasaan, Kiyomori menyerahkan masa muda dan
kepolosannya kepada seorang pelacur. Sekarang, dia
merasakan kejijikan yang sama kepada dirinya sendiri. Dia
membenci darah dan dagingnya sendiri; satu-satunya hal
yang membuatnya bertahan dari memuaskan nafsu birahi
dan membuang-buang uang adalah Tadamori, pria yang
ternyata bukan ayah kandungnya, si Mata Picing yang kasih
sayang dan pengorbanannya tidak bisa dikhianatinya.
Hanya dengan cintanya, Tadamori mendorong Kiyomori

untuk bersumpah menjadi seorang anak berbakti yang akan


selalu menjaga nafsunya.
Melihat ibunya cukup untuk membuat Kiyomori
melupakan tekadnya. Dia berpikir apakah hanya darah
campur aduk ini yang didapatkannya dari wanita itu.
Yasuko kecewa dan kesal. Kiyomori tidak menunjukkan
sedikit pun tanda-tanda penyesalan. Dia mengharapkan
anak itu menghampirinya sambil berurai air mata. Dia juga
kesal karena alih-alih memedulikan Ruriko, Kiyomori
justru mengamati perhatian orang-orang di sekeliling
mereka.
Heita, apa yang membuatmu ragu-ragu? Apakah kau
takut Tadamori akan mendengar tentang pertemuan kita
ini? akhirnya Yasuko bertanya.
Yaayahku ada di sini, dan aku khawatir beliau akan
melihat kita.
Apa masalahnya? Meskipun aku dan Tadamori telah
berpisah, kau masih anakku, bukan? Aku memahami
betapa kau dan adik- adikmu kesepian dan merana tanpa
aku.
Tidak! Kiyomori cepat-cepat menyanggah. Adikadikku, kuda- kuda di istal, semuanya baik-baik saja dan
bahagia. Tidak seorang pun pernah membicarakanmu!
Yasuko buru-buru menutupi perubahan pada air
mukanya dengan tawa dan, untuk beberapa alasan yang
tidak bisa dijabarkan oleh Kiyomori, menyambar dan
memegang erat-erat pergelangan tangan putranya.
Dan kamuapa kau tidak pernah ingin menemuiku?

Kiyomori berusaha menarik tangannya. Izinkan aku


pergi. Ayahku sedang melihat kemari. Beliau melihat kita.
Izinkan aku pergi!
Heita! sergah Yasuko, tersenyum puas. Tadamori
bukan ayah kandungmu, meskipun aku ibu kandungmu.
Apa yang membuatmu begitu menyukainya? Kau harus
mengunjungiku, Heita, karena aku sering merindukanmu.
Dan Ruriko akan menjadi teman baikmu.
Sekali lagi, Kiyomori berusaha membebaskan diri, yakin
bahwa ayahnya telah melihatnya sekarang.
Di atas gegap gempita para penonton dan gumpalan
debu di atas lintasan pacu, matahari semakin pucat,
menandai akhir balapan dan hari itu. Kaisar dan Mantan
Kaisar meninggalkan paviliun mereka, disusul oleh para
pengikut mereka, dan melangkah menuju Kuil Kamo,
tempat para pendeta menampilkan ritual suci diiringi oleh
musik sakral. Kedua penguasa itu lagi-lagi berdampingan
ketika memasuki paviliun, untuk bersulang kepada para
juara dan menyaksikan para joki menerima penghargaan.
Secara resmi, penganugrahan tropi untuk para juara akan
dilakukan pada perjamuan musim gugur, ketika mereka
mendapatkan hasil taruhan merekatimbunan emas,
gulungan sutra, dan wewangian langka. Dalam pesta yang
berlangsung semalaman itu, para samurai dan bangsawan
diperkenankan untuk minum sake sepuasnya. Para juara
dan mereka yang kalah menari dan menyanyi bersamasama. Kemenangan adalah awal dari kekalahan, kekalahan
adalah awal dari kemenangan. Itu adalah hukum alam,
Roda Kehidupan Buddha yang akan selalu berjalan. Bagi
para bangsawan yang bermandikan sake, kehidupan adalah
kenikmatan, dan kenikmatan adalah kehidupan. Apakah
makna kemenangan, atau kekalahan? Bukankah Fujiwara
telah berkuasa selama tiga ratus tahun, dan bukankah

kesuksesan dan lebih banyak kesuksesan lagi selalu


menyertai mereka selama beberapa generasi?
Hari pacuan kuda Kamo ini hanyalah selingan dalam
perjalanan panjang untuk mengejar kenikmatan hidup. Di
atas pepohonan sakura yang sarat dedaunan tampaklah
bulan. Kereta terbuka Kaisar dan kereta tertutup Mantan
Kaisar berderak menjauhi lintasan, diikuti oleh keretakereta para bangsawan dan pejabat istana.
Tadamori meninggalkan Istana pada larut malam
dengan senang hati, karena Mantan Kaisar ceria sepanjang
hari itu. Mokunosuke biasanya menyambut majikannya,
membawakan kudanya, namun kali ini Tadamori
mendapati Kiyomori menunggunya di Pangkalan
Pengawal.
Di mana Mokunosuke? tanyanya.
Dia ada di sini tadi, tapi aku menyuruhnya pulang dan
mengatakan kepadanya bahwa akulah yang akan
menunggu Ayah, jawab Kiyomori.
Sambil memanjat pelana kudanya, Tadamori berkata,
jadi, kau menungguku. Kau tampak lelah, Heita.
Kiyomori memegang tali kekang erat-erat dan
mendongak, menatap ayahnya di bawah gemerlap cahaya
bintang. Haruskah dia memberi tahu ayahnya? Dia harus
bicara, meskipun ini akan menyakiti ayahnya. Kiyomori
telah menyuruh Mokunosuke pulang dan menantikan
kesempatan untuk bisa berbicara empat mata dengan
ayahnya. Jika Tadamori tidak melihatnya siang tadi, lebih
baik dia tutup mulut, pikirnya. Kendati demikian, dia yakin
bahwa ayahnya melihatnya dari kejauhan. Ayahnya tidak
akan mengungkit-ungkit hal itu, karena Tadamori selalu
menyimpan kesepian dan kesedihannya sendiri. Mengapa
dia menghendaki kegelapan menaungi ayahnya lagi?

Menimbang-nimbang hal itu di dalam hati, Kiyomori


mendapati bahwa kuda yang dituntunnya sudah hampir
membawa mereka tiba di Imadegawa, dan dia pun
memutuskan untuk berbicara kepada ayahnya.
Ayah, apakah Ayah melihat Ibu di pacuan kuda tadi?
Sepertinya begitu.
Sebenarnya aku tidak ingin menemuinya lagi, tapi dia
memanggilku sehingga kami akhirnya bertemu.
Begitukah? kata Tadamori, memicingkan mata dan
menatap putranya lekat-lekat. Melihat ayahnya sepertinya
tidak gusar, Kiyomori melanjutkan dengan sedikit nada
menyesal:
Dia kelihatan muda, seperti biasanya, tidak beda
dengan perawan kuil atau dayang-dayang. Tapi, aku tidak
meneteskan air mata untuknya. Aku tidak bisa merasakan
bahwa dia adalah ibuku.
Aku menyesal mendengarnya, Heita, jawab Tadamori
dengan tenang.
Mengapa begitu, Ayah?
Tidak ada yang lebih mengibakan daripada seorang
anak tanpa ibu, Heita. Bahwa kau menemuinya dan
memaksa dirimu untuk tidak mengakui ibumu sendiri
adalah hal terkeji yang pernah kudengar.
Aku adalah anakmu. Aku bisa hidup tanpa ibu! jawab
Kiyomori dengan garang.
Sosok di atas kuda itu menggeleng. Kau salah, Heita.
Jika ada yang mengeraskan hatimu, akulah yang patut
disalahkan, karena aku telah membiarkan anak-anakku
melihat pertengkaran tanpa henti kami di sebuah rumah
tanpa cinta. Akulah yang menjadikan ibumu tampak

rendah di matamu. Ini adalah kesalahanku. Tidak wajar


jika seorang anak bersikap sepertimu. Jujurlah, Heita, jika
kau memang ingin menemui ibumu, temuilah dia.
Bagaimana mungkin perempuan itu menjadi ibuku? Dia
telah mengkhianati suaminya dan tidak mencintai anakanaknya, dan yang ada di dalam pikirannya hanyalah
memuaskan nafsu sesatnya! Kiyomori menyanggah.
Kau tidak boleh membicarakan dia seperti aku, Heita.
Kau tidak punya alasan untuk mengatakan hal-hal
semacam itu tentang dia. Kau dan dia akan selamanya
menjadi anak dan ibu. Cinta yang bisa memaafkan
segalanya adalah cinta sejati, dan itulah yang pasti akan
menyatukan kalian kembali.
Kiyomori tidak menjawab. Sulit baginya untuk
memahami ayahnya. Apakah karena ayahnya terlalu
bijaksana, atau dia yang masih terlalu muda untuk
mengerti?
Ketika mereka tiba di rumah, Mokunosuke, Heiroku,
dan beberapa pelayan lain menyambut mereka di gerbang.
Cahaya berpendar di kebun yang tidak terawat dan kandang
kayu sederhana yang tersapu bersih. Kehidupan yang
sederhana, harmonis, dan teratur ini baru mulai mereka
rasakan tiga bulan yang lalu. Kiyomori memikirkan alasan
yang bisa membuatnya menyesali kepergian ibunya. Tidak
ada ruang untuk perasaan kesepian di hatinya sekarang,
namun mengapa ayahnya tidak bisa memercayainya?.
-0ood-e-oo0-

BAB IV-SEORANG WANITA YANG


BERMANDIKAN CAHAYA REMBULAN
Tahun itu. pada pertengahan bulan Agustus, Genji
Wataru mengundang sepuluh orang teman terdekatnya di
Kesatuan Pengawal untuk datang dan menikmati seguci
besar sake bersamanya sembari memandang bulan dari
kebunnya. Teman-temannya, bagaimanapun, mengetahui
bahwa ada alasan lain yang mendasari undangan ini. Pada
musim gugur. Kaisar dan Mantan Kaisar akan melakukan
perjalanan ziarah ke Kuil Ninna-ji. Mereka juga akan
menghadiri pacuan kuda yang diselenggarakan di kompleks
kuil. Tanggal resmi acara tersebut sudah diumumkan23
Septemberdan teman-teman Wataru tahu bahwa dia telah
menanti-nantikan dengan tidak sabar kesempatan untuk
membuktikan kemampuannya bersama si kuda hitam
dengan tanda putih di kaki-kakinya.
Ini adalah acara minum-minum untuk kesuksesannya,
teman-teman Wataru saling berkasak-kusuk. Salah seorang
dari mereka menambahkan dengan nada bercanda, Dia
khawatir dikatai pelit, karena sudah menjadi tradisi bagi
para penunggang kuda untuk mengadakan pesta besarbesaran bagi teman-teman dan kerabatnya setelah ritual
cambuk* dilakukan. Wataru membenci para pendeta. Dia
mencela-cela para Buddha suci itu, begitulah dia
menyebut mereka dan mengatakan bahwa dia tidak
membutuhkan
bantuan
mereka.
Maka,
alih-alih
mengadakan upacara dengan doa-doa dan mantra-mantra,
serta sebuah perjamuan besar, dia menyelenggarakan pesta
melihat bulan ini! Ucapan itu disambut dengan gelak tawa.
Salah seorang pengawal berkata, Dengar, kalian tahu
bagaimana perasaannya kepada istrinya, Kesa-Gozen, yang
pernah menjadi dayang di Istana Kekaisaran. Saking
terpesona kepada istrinya, saat dia bertugas jaga malam,

pikirannya selalu terbang ke rumahnya. Kami pernah


meminta untuk dipertemukan dengan istrinya, tapi dia
cuma tersenyum dan mengatakan bahwa cinta rahasianya
tidak untuk dipertontonkan, dan sebagainya. Kurasa dia
ingin mempertemukan kita dengan istrinya malam ini.
Masih sambil berkasak-kusuk dan bercanda, para
pengawal itu tiba di rumah Wataru, yang gerbangnya
terbuka lebar menyambut mereka dan tatanan batu di jalan
masuknya telah disiram dengan air. Berkumpul di ruang
tamu Wataru, para pemuda itu menutup mulut dan
bersikap kaku ketika berbaki-baki makanan disajikan. Baru
ketika sake dikeluarkan mereka kembali bersikap santai,
lalu meneruskan obrolan dan gurauan mereka.
Heita Kiyomori dan Sato Yoshiko juga hadir di sana.
Kiyomori tidak melihat Morito, dan hendak menanyakan
tentang hal ini, namun mengurungkan niatnya. Akhir-akhir
ini dia merasakan bahwa hubungan Wataru dan Morito
tidak sebaik dahulu. Yang lain sepertinya tidak
menyadarinya, namun Kiyomori sering memikirkan apakah
dia hanya membayangkan hal itu, karena dia menjaga jarak
dengan Morito sejak pemuda itu menceritakan kepadanya
rahasia aneh menyangkut kelahirannya. Perilaku Morito
merisaukan Kiyomori. Dia mengkhawatirkan Morito
karena dia tahu bahwa di dalam diri temannya itu, sifat baik
sedang berperang melawan hawa nafsu primitif yang ganas.
Selain itu, dia juga sering melihat tatapan culas yang
terpancar di mata Morito setiap kali Kiyomori
menghabiskan waktu bersama Wataru. Tatapan itu
berlawanan dengan pembawaan ceria Morito. Akhir-akhir
ini, Morito bahkan sering terlihat berkeliaran dengan mata
merah dan pipi kasar, sehingga Kiyomori menarik
kesimpulan bahwa dia kelelahan, entah karena belajar
terlalu keras atau terlalu banyak minum dan melakukan

pemborosan.
Dia
menyimpulkan
bermusuhan
dengan
Morito
mengundangnya.

bahwa
Wataru
sehingga
tidak

Sake diedarkan, dan para samurai muda itu menikmati


waktu mereka. Ayo, Tuan Rumah, seru mereka,
bukankah sekarang saatnya istrimu ditampilkan?
Berhentilah membuat kita penasaran!
Wataru menyodorkan sake kepada Yoshikiyo, yang
cangkirnya masih kosong.
Akhirnya mengangkat cangkirnya, Yoshikiyo berkata
kepada Wataru. Aku pernah menonton sebuah lomba
puisi di Istana KJotster. ketika seorang gadis bernama KesaGozen mendapatkan sambutan hangat berkat puisi yang
ditulisnya, jadi dia tidak sepenuhnya asing bagiku.
Sekarang, setelah dia menjadi nyonya rumah di sini, aku
ragu apakah dia masih sempat menulis puisi. Sayang sekali
jika bakat sebesar itu disia-siakan! Kau harus
mengizinkannya menghadiri pesta-pesta puisi, Wataru,
karena kita, para samurai brutal ini, tidak tahu apa-apa soal
dunia sastra dan, yang lebih parah lagi. membencinya
Bolehkah aku mengatakan, karenanya, bahwa samurai ini
dan istri pujangganya bagaikan sebuah lukisan indah
seperti pohon pinus dan bunga krisanpasangan yang
paling serasi? Mereka iri kepadamu. Bisakah kau
menyalahkan mereka karena kecemburuan mereka
kepadamu?
Yoshikiyo tertawa terbahak-bahak. Sake menjadikannya
lebih cerewet dan ceria daripada biasanya. Para tamu yang
lain berlomba-lomba menimpali ucapannya dengan riuh
rendah, Yoshikiyo, membicarakan puisi lagi? Setiap kali
orang ini membuka mulut, sake kita langsung dingin!

Ayo, ayo, tuan rumah yang baik, keluarkanlah


pertunjukan utamanya!
Cepat, bawa dia ke hadapan kamiteman-temanmu!
Dengan gaduh, mereka memohon dan menuntut agar
V^taru mengeluarkan istrinya, hingga akhirnya si tuan
rumah bertanya, Haruskah aku memanggil geisha untuk
menghibur kita di rumahku yang sederhana ini?
Tidak, tidak! Biarkanlah kami melihat sekilas istrimu
Kesa-Gozendia pasti lebih cantik dari semua geisha
terkenal di seluruh ibu kota ini!
Wataru, tergelak, memohon ampun, memprotes, Dia
pemalu dia tidak mau keluar dari dapur, tempat dia
sedang menghangatkan sake untuk tamu-tamuku dan sibuk
memuaskan mereka. Kurasa dia tidak akan mau keluar dan
membiarkan lampu-lampu ini tersorot kepadanya.
Kami lebih memilih melihat cahaya dapurmu daripada
cahaya bulan musim semi, para tamu bersorak-sorai. Salah
seorang dari mereka bangkit dan berjalan ke dapur, namun
Wataru cepat-cepat mengejarnya dan menyeretnya kembali
ke ruang tamu dengan janji akan membawa istrinya keluar.
Para tamu terus menuntut Wataru, yang belum terlalu
mabuk. Meyakinkan mereka bahwa dia akan menampilkan
istrinya seperti layaknya istri seorang samurai, Wataru
memohon kepada mereka untuk bersabar sedikit lebih lama
dan meninggalkan ruangan. Ketika muncul kembali, dia
duduk di beranda yang menghadap ke kebun, mengatakan:
Kuda hitam yang kalian ketahui menjadi tanggung
jawabku sekarang sudah menunjukkan tanda-tanda seekor
kuda jawara. Aku berharap ia bisa mengikuti pacuan kuda
Ninna-ji ketika Kaisar berziarah ke sana, dan malam ini,
aku ingin merayakan peristiwa ini bersama kalian.
Sekarang, katakanlah pendapat kalian tentang kuda itu.

Para tamu Wataru terdiam. Mereka tahu bahwa Wataru


telah melatih kuda itu habis-habisan, bahkan rela
mempertaruhkan reputasinya sendiri demi kuda itu. Tanpa
memprotes Wataru karena melanggar janji yang baru
diucapkannya beberapa waktu yang lalu, mereka serempak
berkata, Mari kita melihatnya!
Mengikuti Wataru, mereka duduk di beranda,
menghadap ke kebun dalam yang mungil. Rembulan
Agustus memancarkan cahaya yang cukup terang sehingga
mereka bisa melihat kuda itu. Wataru memandang kebun
dan memanggil seseorang.
Bunyi tak, tik, tuk terdengar semakin nyaring ketika
langkah kuda mendekat. Jangkrik berhenti mengerik.
Semak-semak di dekat pagar bambu bergemerisik; butiranbutiran embun menetes dari dedaunan dengan bunyi
menyerupai mutiara yang berhamburan. Gerbang kebun
terayun dan seorang wanita muncul, menarik tali kekang
seekor kuda hitam. Tanpa suara, dia melangkah memasuki
sorotan sinar bulan dan berhenti tepat di tengah-tengah
kebun.
Para tamu menahan napas dan diam seribu bahasa
terkejut, senang, dan terpesona.
Di sana. bermandikan cahaya bulan, berdirilah kuda itu.
Bulu hitam legamnya berkilauan bagaikan bulu gagak.
Seekor binatang anggun dengan kaki-kaki jenjang dan otot
yang kokoh. Dibandingkan dengan musim semi lalu.
penampilannya telah sangat jauh berubah. Ekornya yang
panjang nyaris menyentuh tanah, dan keempat tanda putih
di kakinya berkilauan seolah-olah ia menebarkan salju.
Para tamu, bagaimanapun, tidak memandang kuda itu,
tetapi sosok yang berdiri diam dan membungkuk di
hadapan mereka. Diakah Kesa-Gozen?

Wanita itu tidak tampak pemalu. Seulas senyum


tersungging di wajahnya ketika dia menoleh ke arah kuda di
dekatnya, menenangkannya hingga ia berdiri diam.
Efek cahaya bulankah yang menjadikan wanita itu
terlihat seperti Kannon di Bangsal Mimpi? Jemarinya
tampak putih bersih hingga ke ujung-ujungnya, dan rambut
panjangnya sama halusnya dengan bulu kuda.
Ah, Kiyomori mendesah, aku juga mau punya istri,
asalkan masih ada wanita seperti dia di dunia ini! Dia
menelan ludah dan tersipu malu gara-gara bunyi tegukan
yang terdengar dari tenggorokannya.
Malam demi malam yang bergelimang cahaya bulan
berlalu. Di perbukitan dan dataran, rusa-rusa bersetubuh
dan tupai-cupai berlompatan di antara sulur-sulur anggur
liar. Semua binatang sepertinya larut dalam keindahan
bulan.
Kiyomori, duduk di rumahnya, merasa gelisah. Dia
menyaksikan adiknya menekuni buku-bukunya dengan
bantuan sebuah lentera kecil yang terpasang di dekat meja
tua yang ditinggalkan oleh ibu mereka, dan tergoda untuk
mendampratnya. Lihatlah Tsunemori pemuda berumur
delapan belas tahunyang tidak pernah sedikit pun
memikirkan perempuan! Kiyomori menghela napas untuk
adiknya yang mengenaskan. Seluruh isi buku-buku anak
malang itu telah diketahuinya. Dia mengamati Tsunemori.
Adiknya itu telah hanyut, pikir Kiyomori, sepertinya sangat
banyak samurai muda akhir-akhir ini, dalam kegilaan
meminjam buku dari perpustakaan Akademi Kekaisaran
dan perguruan tinggikarya-karya klasik Konfusius yang
dikemas dalam jilidan Sung dari Cina, yang telah teronggok
begitu saja di rak-rak berdebu selama dua ratus tahun.
Apakah yang mungkin dianggap menarik oleh Tsunemori
dari Analek atau Kitab Yang Empat karya Konfusius?

Kiyomori
sendiri
tertidur
sambil
berpura-pura
mendengarkan ketika mengikuti pelajaran tentang
Konfusianisme. Ajaran Konfusius hanyalah ornamen,
ditujukan untuk meningkatkan ketertarikan kepada orangorang yang berkedudukan tinggi, dan mewajibkan kepada
para samurai dan rakyat jelata untuk mematuhi golongan di
atas mereka. Berdasarkan apakah Konfusius menjabarkan
berbagai aturan tentang perilaku manusia itu? Apakah yang
digemari Konfusius sepanjang kehidupannya, atau kebaikan
apakah yang pernah dilakukannya? Apakah karena
dirinyalah pertumpahan darah di Cina berakhir? Para
pencuri menjadi jujur? Para penipu bertobat? Ajaran paling
sakral sekalipun bisa dijelek-jelekkan dalam sebuah
perdebatan dengan seorang penjahat ulung sehingga
menjadi tidak berarti bagi manusia.
Adik tolol! Kiyomori akhirnya berkata. Mengapa
menjejali otak tumpulmu dengan omong kosong semacam
itu? Ada ruangan di Istana Kekaisaran yang seluruh
dindingnya tertutup oleh lukisan orang-orang bijak dan
ajaran-ajaran mereka; orang-orang percaya bahwa hanya
dengan duduk di ruangan itu. kebijaksanaan mereka akan
bertambah, jadi, kau juga memenuhi kepalamu dengan
ajaran seperti itu? Dasar tololi Kita bukan bangsawan!
Mereka sudah memberi kita makanan, dan jika mereka
memerintah kita, bukankah kita sudah seharusnya langsung
keluar dan membunuh orang-orang yang tidak
membahayakan kita sekalipun? Bukankah kepada mereka
kita mengabdi? Tinggalkan buku-buku ituabaikan
sekarang.
Kiyomori berbarang telentang di ambang pintu; setengah
bagian atas tubuhnya berada di kamar, dan kedua kakinya
menjuntai melewau teptan beranda. Dia memandang
Tsunemori yang sedang menekuni buku-bukunya,

sementara nyamuk-nyamuk berdengung di sekeliling


tubuhnya yang terlindung bayangan. Kiyomori sedang kesal
dan mudah meledak; ayahnya telah masuk ke biliknya sejak
lama. semua pelayan telah tidur, namun Tsunemori masih
terjaga hingga larut malam. Dengan menjengkelkan, dia
menolak untuk menemani Kiyomori berjalan-jalan malam.
Sungguh menyebalkan, adiknya ini, sungguh berbeda
perangainya dengan dirinya, meskipun mereka terlahir dari
rahim yang sama. Pikiran-pikiran buruk mulai menggelitik
benak Kiyomori, seperti tetesan air hujan di atap yang
bocor. Dia berpikir, apakah sifat mereka berbeda lantaran
ayah mereka berbeda. Pikiran ini membuatnya melupakan
ketakutannya kepada Tadamori dan kekesalan yang
dirasakannya kepada adiknya. Dia pun menguap lebar, laki
menggumam kepada dirinya sendiri. Ya sudah, aku akan
pergi sekarang. Bulan maian ini sangat cemerlang. Dia
tiba-tiba berdiri dan menyelipkan kakinya ke sepasang
sandal yang basah oleh embun di bawah beranda.Mau ke
mana?
Aku sedang
Kiyomori.

berusaha

memutuskannya,

jawab

Tapi, di malam selarut ini?


Beberapa pengawal berjanji untuk menemui Wataru
saat bulan bersinar terang, karena dia akan melatih
kudanya.
Tsunemori bertanya dengan heran. Apa? Melatih kuda
di malam selarut ini?
Wajar saja jika para penunggang kuda melatih kuda
mereka secara diam-diam sebelum mengikuti pacuan.
Kau berbohong!

Apa? tukas Kiyomori dengan marah, memandang


lingkaran cahaya terang di sekeliling lentera.
Tsunemori cepat-cepat meninggalkan mejanya untuk
menghampiri kakaknya dan berbisik, Sampaikan salamku
kepada Ibu. Maukah kau memberikan ini kepada beliau?
Kiyomori terenyak ketika merasakan surat yang
diselipkan oleh adiknya ke bagian depan kimononya.
Kau sudah mendapatkan izin untuk menemui beliau,
bukan? Aku juga ingin menemui beliau. Walaupun telah
meninggalkan Ayah, beliau masih ibu kita. Aku akan
menunggu hingga waktuku untuk menemui beliau tiba.
Sampaikanlah perkataanku ini kepada beliau Semua itu
sudah kutulis di dalam suratku.
Air mata mengalir di pipi Tsunemori. Kiyomori melihat
cahaya bulan terpantul di setiap tetesan air mata adiknya.
Konyol sekali! Untuk apa dia mengejar-ngejar ibunya?
Kiyomori tersentuh oleh air mata adiknya, lalu berkata
dengan lembut:
Kau salah, Tsunemori. Aku akan memenuhi janjiku
kepada Wataru.
Jangan coba-coba membohongiku, Tsunemori
bersikeras, ada tamu yang mengatakan kepada Ayah
bahwa mereka melihatmu berkeliaran di dekat kediaman
Nakamikado.
Tidak! Siapa yang menceritakan khayalan seperti itu
kepadamu?
Fujiwara Tokinobu. Beliau adalah salah seorang dari
beberapa pejabat istana yang dipercaya oleh Ayah, dan aku
tidak meragukan kata-katanya. jawab Tsunemori.

jadi, si kakek itu sering datang kemari akhir-akhir ini,


ya?
Ada hal-hal yang tidak bisa dibicarakan di Istana, dan
karena itulah beliau datang kemari.
Kiyomori menggaruk-garuk kepalanya. Tertangkap
basah! Kalau ada banyak orang yang tahu, sebaiknya aku
mengaku saja. Aku akan menyampaikan suratmu kepada
Ibu, Tsunemori. Aku juga akan memberitahumu bahwa
Ayah mengizinkanku menemuinya jika aku mau.
Kalau begitu, bawalah aku bersamamu! Tsunemori
memohon.
Dasar dungu! Kiyomori menyembur dengan kesal.
Apa kau tidak memikirkan Ayah? Jangan ceritakan kepada
beliau tentang jalan-jalan malamku, dan ingatlahtidak
sepatah kata pun kepada Mokunosuke!
Kiyomori melompati pagar. Wajah adiknya yang basah
oleh air mata seolah-olah melayang-layang di depannya,
namun dia segera melupakannya. Di atasnya, terbentanglah
Galaksi Bima Sakti. Angin malam mendinginkan suasana
hatinya yang panas. Ke manakah dia akan pergi? Dia tidak
tahu. Apakah yang menyebabkannya begitu gelisah malam
ini? Apa pun itu, itulah penyebab mimpi buruknya, pemicu
kegilaannya, air matanya, membuatnya tidak bisa tidur,
hingga dia merasa putus asa. Dia meyakini adanya Tuhan,
seperti halnya para penganut Buddha yang berdoa agar
kehidupan mereka sejahtera. Dia menyiksa dirinya dengan
memikirkan pria yang telah mewariskan darah liar
kepadanya. Apakah kegilaan ini diwariskan oleh ibunya
atau almarhum Kaisar? Jika begitu, siapakah yang
bertanggung jawab atas tindakannya? Dia tidak memiliki
keberanian untuk seorang diri mendatangi rumah bordil di
Jalan Keenam, namun seandainya Morito ada di sini

sekarang, dia akan langsung mendatangi wanita-wanita itu,


wanita yang mana pun, atau bahkan seekor rubah yang
menjelma menjadi wanita dibawah sinar rembulan. Apa
punsapa, pun yang bisa meredakan gejolak yang
membabi buta di dalam dirinya bagaikan binatang buas.
Ilusi apa pun yang bisa menenangkannya, menidurkannya
Menyentuh seorang wanita bertemu dengan seorang
wanita secara kebetulan.
Kiyomori seolah-olah berjalan dalam tidur. Dia tidak
tahu bagaimana dia bisa tiba di sana. namun dia telah
berdiri di luar pagar kediaman Nakamikado. Tidak ada
gunanyadia seorang pengecut! Pagar di sini jauh lebih
tinggi daripada di rumahnya. Dia tahu bahwa bilik ibunya
terletak di sayap timur. Dia masih mengingat perkataan
ibunya di pacuan kuda KamoDatanglah menemuiku
Ruriko akan menemanimu.Ruriko, yang terlampau
cantik dan berkelas untuk seorang pemuda samurai
pemimpi biasa. Tidak ada alasan, bagaimanapun, mengapa
dia tidak mencoba menemuinya sebagai alasan untuk
mengunjungi ibunya. Bukan kasih sayang yang mendorong
Kiyomori untuk mencari ibunya, melainkan mimpimimpinya.
Setiap kali dia tiba di sana, keberaniannya langsung
menguap. Dia menyalahkan sifat pemalunya dan merasa
tidak percaya diri akibat penampilannya. Berdiri di sana
dalam balutan kimono tua dan sandal usang, berbagai cerita
yang didengarnya setiap hari tentang para pejabat istana
berkelebatan di benaknya bangsawan yang bisa dengan
mudahnya menculik seorang putri, menggendongnya
melintasi padang rumput, tempat ilalang tinggi melambailambai dan bunga hagi bermekaran, menghabiskan malam
berdua hingga bulan memucat menandai tibanya pagi dan
tttesan embun berkilauan bagaikan permata di kelopak mata

sang putri, lalu menyusupkannya kembali ke rumahnya


tanpa dilihat oleh siapa pun. Kiyomori memikirkan para
pejabat istana yang bisa dengan santainya menjatuhkan
surat-surat cinta di aula-aula Istana, tempat dayang-dayang
berlalu lalang, dan menantikan datangnya malam untuk
menyentuh rambut yang lembut dan bibir yang panas .
Dia memikirkan mengapa takdir tidak menyodorkan hal-hal
semacam itu kepadanya Dia memang pengecut!
Seandainya saja dia bisa menyingkirkan sifat pemalunya!
Malam ini, dia bertekad untuk melawannya. Dia saat ini
berdiri di puncak pagar, namun lagi-lagi, keraguan
menghampirinya. Khayalan-khayalan liar bergejolak di
otaknya yang panas. Tunggu! Angin sejuk menerpa
tubuhnya yang berkeringat. Di tengah-tengah khayalan
liarnya, kata-kata Mokunosuke tiba-tiba terngiang-ngiang di
telinganya. Siapa pun Anda, Anda adalah seorang pria.
Anda bukan seorang pincang di balik tubuh perkasa itu.
Apakah dia anak seorang kaisar atau anak siapa pun,
bukankah dia tetap anak langit dan bumi? Yang sedang
dilawannya saat ini adalah hawa nafsunya sendiri!
Dia mendadak ingin menertawakan dirinya, bertengger
di pagar seperti itu. Dia mendongak untuk memandang
Galaksi Bima Sakti yang terbentang di langit. Tidak
buruktidak buruk sama sekali menghabiskan waktu
seorang diri di bawah langit musim gugur yang luas itu!
Apakah itu? Lagi-lagi!
Di kejauhan, lidah api tampak menjilat langit. Kiyomori
memandang ke arah sebentuk atap yang terletak di bagian
dalam tembok kota. Tidak ada yang anehhanya peristiwa
kebakaran biasa. Kebakaran sering terjadi akhir-akhir ini.
Ketika pendar merah menyebar, Kiyomori memikirkan
entah berapa banyak rakyat jelata, bergelung dalam tidur
yang gelisah sementara para bangsawan pongah

bergelimang kemewahan; kedua pemerintahan menyusun


rencana untuk saling melawan, dan para pendeta bersenjata
mengamuk. Api itu, yang berkobar dengan begitu ganasnya
ke langit, adalah lidah-lidah rakyat yang kelaparan, kaum
papa yang tidak memiliki apa-apa dan yang hanya bisa
memprotes dengan cara membakar objek kebencian
mereka. Dia teringat pada tindakan pembakaran yang barubaru ini terjadi: Gerbang Bifuku, Wilayah Barat, vila
Penasihat Tinggi. Lihatlah bagaimana kaum tertindas dan
para bajingan, yang keberadaannya sangat tergantung pada
kesejahteraan Fujiwara, berjaya di bawah hujan abu dan
perakan api pembumihangusan!
Kiyomori melompat turun dari tembokdi bagian
luardan berlari ke arah keributan yang sekarang terdengar
di jalanan.
^d^w^
Hujan musim dingin yang berkepanjangan dan tanpa
jeda menimbulkan banyak keluhan, namun Sungai Kamo
maupun Katsura tidak sampai meluap tahun ini. Dedaunan
di Perbukitan Utara mulai berubah warna.
Acara ziarah ke Kuil Ninna-ji akan berlangsung sepuluh
hari lagi, dan Kesatuan Pengawal Istana sibuk
mempersiapkan diri. Meskipun tetap larut dalam
kebimbangan, Kiyomori menyukai tugas barunya. Para
samurai dari Golongan Keenam telah mempertimbangkan
kedudukannya; dia sekarang ditugaskan menjadi pengawal
kereta kekaisaran, dan dia bertekad untuk menjalankan
tugasnya dengan sempurna. Dia tinggal di Istana hingga
larut malam dan pulang ke rumah dalam keadaan terlalu
lapar dan lelah untuk melamun.
Pada 14 September, sejenak setelah tengah malam, bunyi
langkah kaki terdengar bergegas menghampiri kamar

Kiyomori. Heiroku si pelayan muncul, menyampaikan


bahwa seorang kurir berkuda baru saja tiba dari Istana.
Sang tuan muda harus segera menyandang senjata dan
melapor.
Mengapa dia mendapatkan panggilan mendadak?
Kiyomori melompat bangkit dari kasurnya. Bagaimanapun,
dia tidak sepenuhnya terkejut Gigi Tsunemori
bergemeiutuk, dan kata-kata meluncur dari mulutnya,
Apakah iniperang?
Entahlah. Apa pun bisa terjadi saat ini.
Mungkinkah para biksu dari Gunung Hiei atau
Kofukuji telah menyerbu ibu kota bersama pasukan tentara
bayaran mereka untuk menuntut pemerintah lagi?
kesejahteraan Fujiwara, berjaya di bawah hujan abu dan
perakan api pembumihangusan!
Kiyomori melompat turun dari tembokdi bagian
luardan berlari ke arah keributan yang sekarang terdengar
di jalanan.
o0odwkzo0odwo0odwkzo0o
Hujan musim dingin yang berkepanjangan dan tanpa
jeda menimbulkan banyak keluhan, namun Sungai Kamo
maupun Katsura tidak sampai meluap tahun ini. Dedaunan
di Perbukitan Utara mulai berubah warna.
Acara ziarah ke Kuil Ninna-ji akan berlangsung sepuluh
hari lagi, dan Kesatuan Pengawal Istana sibuk
mempersiapkan diri. Meskipun tetap larut dalam
kebimbangan, Kiyomori menyukai tugas barunya. Para
samurai dari Golongan Keenam telah mempertimbangkan
kedudukannya; dia sekarang ditugaskan menjadi pengawal
kereta kekaisaran, dan dia bertekad untuk menjalankan
tugasnya dengan sempurna. Dia tinggal di Istana hingga

larut malam dan pulang ke rumah dalam keadaan terlalu


lapar dan lelah untuk melamun.
Pada 14 September, sejenak setelah tengah malam, bunyi
langkah kaki terdengar bergegas menghampiri kamar
Kiyomori. Heiroku si pelayan muncul, menyampaikan
bahwa seorang kurir berkuda baru saja tiba dari Istana.
Sang tuan muda harus segera menyandang senjata dan
melapor.
Mengapa dia mendapatkan panggilan mendadak?
Kiyomori melompat bangkit dari kasurnya. Bagaimanapun,
dia tidak sepenuhnya terkejut Gigi Tsunemori
bergemeiutuk, dan kata-kata meluncur dari mulutnya,
Apakah iniperang?
Entahlah. Apa pun bisa terjadi saat ini.
Mungkinkah para biksu dari Gunung Hiei atau
Kofukuji telah menyerbu ibu kota bersama pasukan tentara
bayaran mereka untuk menuntut pemerintah lagi?
mengelilingi istana, berharap bisa menangkap penjelasan
atas pemanggilan mendadak ini dari dengung percakapan
mereka.
Kau tidak pernah bisa menebak tingkah manusia. Baru
bulan lalu kami para pengawal berkumpul di rumah Wataru
di jalan Iris
Wajahwajahwajah. Tidak ada apa pun selain wajahwajah penasaran dan riuh rendah pembicaraan.
Ya, aku ada di sana malam itu. Kami mabuk dan
menuntut Wataru untuk memperlihatkan kepada kami
bulan di dapurnya alih-alih yang ada di kebunnya
Sangat Wataru, memperkenalkan istrinya dengan cara
seanggun itu.

Cahaya bulan sekalipun sepertinya terlalu terang


untuknya saat dia menoleh tanpa senyuman ke arah kami.
Dia begitu anggun, seperti sekuntum bunga peoni putih,
meskipun dia baru saja keluar dari dapur
Seperti bunga-bunga pir yang bermekaran di musim
semi?
Ah. mengenaskan sekali! Benar-benar mengenaskan!
Di antara curahan perasaan yang lebih banyak daripada
basanya di kalangan pengawal, salah seorang di antara
mereka berkata dengan sedih, Meskipun dia istri pria lain,
aku sependapat bahwa kecantikannya tidak bisa dilukiskan
dengan kata-kata. Dan si Kata-Gozen Itu telah dibunuh
Kiyomori tidak bisa memercayai pendengarannya KesaGozan meninggal? Dibunuh? Gambaran wanita itu di
hatinya begitu nyata sehingga dia menolak untuk
memercayai bahwa Kesa-Goxen telah meninggal. Kejadian
terburuk telah menimpanya. Kiyomori merasa lebih
menghargai kecantikan Kesa-Gozen daripada semua pria
yang ada di sana. Tetapi, Kesa-Gozen adalah istn orang
lain, dan Kiyomori yakin bahwa dirinya bersalah hanya
dengan memikirkannya. Sekarang, karena semua orang
nrwnbicarakannyak dia tidak takut lagi untuk mengakui
kepada dirinya sendin bahwa dia terpesona kepadanya.
Dengan kasar, da mendorong orang-orang yang
menghalangi langkahnya eolah-olah tijUejar oleh urusan
yang hanya melibatkan dirinya seorang,
Benarkah ini? Apakah sudah pasti? Pembunuhnyasiapakah pembunuhnya? Kiyomori menuntut penjelasan.
Seseorang berbicara kepadanya. Ayahmu memanggil.

Kiyomori berputar dan bergegas berlari ke gerbang


dalam, tempat ayahnya menanti. Dia tidak mengenali
ayahnya, yang sedang berbicara dengan lantang.
Berjaga-jagalah di ujung Jalan Kurama, di dekat Jalan
Pertama, perintah Tadamori. Periksalah semua orang
yang melewatinya. Anggap semua orang sebagai tersangka.
Jangan lepaskan siapa pun tanpa diperiksa terlebih dahulu.
Jangan sampai si pembunuh berhasil melarikan diri. Dia
mungkin menyamar, namun kau pasti akan |
mengenalinya.
Kiyomori tidak sanggup menunggu lebih lama.
Siapakah orang yang harus kita tangkap ini? selanya
sambil terengah-engah.
Seorang samurai, Endo Morito.
Apa! Morito membunuh Kesa-Gozen?
Ya, diaJah pelakunya, jawab Tadamori dengan berat
Dia telah mencoreng nama Kesatuan Pengawal Istana
dan, di atas segalanya, karena jatuh cinta kepada istri pria
lain.
Tepat ketika itu, paman Morito, Endo Mitsuto, bergegas
melewati gerbang dalam, mengalihkan tatapan dengan
wajah pucat pasi. Dia berlalu dengan cepat seolah-olah
berniat melarikan diri, namun semua mata mencermatinya
seolah-olah dirinya adalah kaki tangan si pembunuh.
Para pelayan bersenjata, selain pelayan-pelayannya
sendiri, sekarang berkumpul di sekeliling Tadamori. Dia
telah berdiskusi dengan penasihat Yang Mulia dan sekarang
sedang bersiap-siap menjelaskan tentang rangkaian
peristiwa malam itu kepada para anak buahnya.

Kesa-Gozen dibunuh pada malam hari tanggal 14 pada


sekitar jam Anjing (pukul delapan malam). Lokasi sendiri di
jalan Iris. Suaminya sedang pergi ketika itu.
Tidak ada yang mengetahui secara pasa kapan tepatnya
Mor&o, yang mengenal ibu Kesa-Gozen, sebelum putrinya
mentnggaffcan Istana untuk menikah atau segera setelah dia
menikah dengan Wataru, jatuh cinta setengah mati kepada
Kesa-Gozen.
Orang-orang percaya bahwa kepandaian luar biasa
Morito. yang sudah diketahui secara luas, akan
membawanya memenangi beasiswa kekaisaran dan
memungkinkannya melanjutkan pendidikan di perguruan
tinggi, tempat dia akan menjadi lulusan terbaik. Akhir-akhir
ini, bagaimanapun, teman-temannya sesama pelajar dan
pengawal mulai memandangnya dengan curiga dan
menghindarinya karena Morito telah selama beberapa
waktu bertingkah aneh.
Morito, yang berwatak asli giat dan pantang menyerah,
bukan hanya seorang pelajar yang pandai melainkan juga
pembicara yang fasih, pemberani, dan percaya diri,
sehingga semua temannya merasa rendah diri jika
berhadapan dengannya. Dalam urusan asmara, dia lebih
dari sekadar percaya diri, dan saat terhanyut oleh hasratnya,
fisik perkasanya menjadikannya pria yang tidak
tertaklukkanorang gila yang mengabaikan akal sehat
Cintanya yang bertepuk sebelah tangan kepada KesaGozen. gejolak asmara seorang pria yang tidak biasa
mendapatkan penolakan, adalah nasib buruk Kesa-Gozen.
Dengan gairah meledak-ledak, Morito menyudutkan KesaGozen sehingga dia ketakutan: menggertaknya dengan
mengatakan bahwa dia akan menghajar Wataru jika KesaGozen terus melawan, akhirnya ancaman itu menentukan
jalan yang akan diambil oleh Kesa-Gozen. Secara diam-

diam, Kesa-Gozen bertekad untuk mengadu tantangan


Morito dengan salah satu tantangannya.
Morito, putus asa dan setengah gila, menuntut jawaban
terakhir
darinya,
dan
Kesa-Gozen
telah
siap
memberikannya. Dia menyadari betul konsekuensi dari
janji yang akan diberikannya kepada Morito, dan inikah
yang dikatakannya:
Tidak ada pilihan lain bagiku sekarang. Sembunyikanlah
dirimu, pada malam hari tanggal 14, di kamar tidur
suamiku, pada jam Anjing. Malam itu, aku akan
mengawasinya ketika dia mandi dan mencuci rambut,
memabukkannya dengan sake, lalu menemaninya hingga
tertidur. Selama dia masih hidup, mustahil aku bisa
mengabulkan keinginanmu. Aku akan menantimu di bagian
lain rumahku setelah kau menghabisinya. Suamiku adalah
seorang pemain pedang, yang tangguh; karena itu,
mengendap-endapiah tanpa suara ke bantainya, rasakanlah
rambutnya yang basah, dan penggallah kepalanya dalam
satu tebasan. Kau harus membunuhnya hanya dalam sekali
gerakan.
Dengan gugup. Morito menerima tantangan itu. Pada
senja tanggal 14. da bertindak tepat seperti yang telah
diinstruksikan oleh Kesa-Gazen. Karena tidak mengalami
kesulitan apa pun, dia merasa tidak perlu memeriksa
pemilik kepala yang rambut basahnya telah berada dalam
cengkeramannya. Bagaimanapun, dia melangkah ke
beranda untuk melihat kepala itu di bawah cahaya
rembulan.
Dia menjerit. Terpaku. Kepala wanita yang dicintainya
menggantung dari tangannya.
Di dalam petakan memilukan yang berasal dari lubuk
hatinya yang terdalam, berbaurtah rasa malu, duka.

keputusasaan. dan siksaan luka abadi yang harus


ditanggungnya sendiri. Dia rubuh ke lantai Seketika itu
juga, kuda hitam di istal meringkik nyaring, menjejakjejakkan kakinya dengan liar, dan terus meringkik.
Morito akhirnya berdiri. Mengerang tanpa arti ke arah
kamar yang gelap, dia mengambil pedangnya yang dingin,
yang lengket oleh rambut basah dan darah segar, dan
mengempitnya di bawah lengannya, lalu melompat ke
kebun, menebas setiap rumpun tanaman dan semak-semak
yang menghalangi langkahnya, dan menghilang di
kegelapan malam bagaikan jin jahat.
Tadamori memaparkan fakta-fekta yang sejauh ini celah
dtaetahui tentang pembunuhan tersebut, menambahkan,
Kejahatan ini tidak hanya melibatkan seorang wanita dan
seorang samurai, Peristiwa ini menghadirkan bayangan
gelap di Istana dan mencorengkan noda ke kehormatan
para samurai Kesatuan Pengawai Istana. Kita akar lebih
malu jika si pembunuh diadHi oleh Pengadilan Kekaisaran
dan mendapatkan vonis dari para pejabat istana. Tanggung
jawab kitalah untuk menangkap si pembunuh itu.
Siapkanlah penjaga di kedua belas gerbang kota;
tempatkanlah pengintai di semua persimpangan jalan
Kesembilan, dan kita bisa dipastikan akan berhasil
menangkapnya.
Sosok-sosok yang berselimutkan bayangan gelap
mendengarkan dengan penuh perhatian dan menanggapi
perintah Tadamon dengan anggukan kepala. Kiyomori
mengangguk dan mengecap rasa asin air mata yang jatuh ke
bibirnya. Dia mendadak metihat cinta terpendamnya
kepada Kesa-Gozen dengan sudut pandang baru.
Seandainya dia tersedot ke jalan Iris seperti Morito, Ia pun
mungkin akan melakukan hal yang sama! Gila atau dungu,
yang manakah dainya? Yang manakah Morito? Hatinya

mencelus ketika dia memikirkan kemungkinan dirinya


menangkap Morito dengan tangan kosong, namun melihat
teman-temannya menghambur kekar dengan penuh
semangat dari gerbang pada pagi buta mengembalikan
keberaniannya, sehingga Kiyomori pun melaju menembus
kabut ke posnya di jalan Kurama, matanya nyalang dan
mengilatkan perasaannya.
*d*w*
Cerita tentang kematian Kesa-Gozen dengan cepat
menjangkau semua telinga di Kyoto. Di mana-mana, semua
orang membicarakannya. Orang-orang asing, begitu pula
orang-orang yang mengenalnya, dengan sedih meratapi
kepergiannya. mengecam Morito sebagai iblisorang gila
yang brutal. Mereka tidak bisa mengampuninya, kata
mereka, dan semakin membencinya karena dia pernah
sangat menjanjikan. Tetapi, lebih daripada rasa penasaran,
kematian Kesa-Gozen menimbulkan kengerian dan keibaan
yang kemudian menghadirkan kesadaran tentang betapa
rendahnya sebagian besar orang memandang kesetiaan
seorang wanita. Sebagian orang sama sekali tidak tergerak
dan bergidik ketika memikirkan tentang apa yang telah
dilakukan oleh Kesa-Gozen untuk mempertahankan
kesuciannya.
Rakyat jelata di Shiokoji berduka untuknya. Bahkan para
pelacur di Jalan Keenam, yang setiap malam menjajakan
tubuh untuk mencari penghidupan, menyeka air mata dari
wajah berdandanan tebal mereka untuk mengasihaninya,
dan tidak sedikit di antara mereka yang secara diam-diam
berbaur dengan massa yang menghadiri pemakaman KesaGozen untuk menyampaikan ucapan selamat jalan
kepadanya.
Para pejabat istana, dan para wanita dari golongan atas,
juga tersentuh oleh cerita Kesa-Gozen, meskipun banyak di

antara mereka yang menanggapinya dengan sinis, karena di


dalam kehidupan mereka yang bergelimang kemewahan,
apakah yang menentukan harga seorang wanita jika bukan
keanggunan, daya tarik, dan kepasrahannya untuk
memberikan pelayanan kepada pria? Apakah, kata mereka,
yang patut diagung-agungkan dari Kesa-Gozen, yang
menjadikan
nyawanya
sebagai
tameng
bagi
kehormatannya? Bukankah sifat pemalunya sebagai seorang
wanita yang mendorongnya untuk melakukan tindakan
seekstrem ini? Beberapa orang mengatakan sambil
mengangkat bahu bahwa dorongan yang dirasakan oleh
seorang wanita untuk mati menggantikan suaminya di
tangan seorang kekasih gila adalah pokok pembicaraan
panas di kalangan para pejabat istana, dan bahwa jika
perselingkuhan ini dianggap serius, maka ini adalah tandatanda kebobrokan Kesatuan Pengawal. Ada apa dengan
para pengawal akhir-akhir ini, para samurai yang bertugas
menjaga Istana atau dikirim sebagai pembawa pesan di
antara Istana Kekaisaran dan Istana Kloister? Jika ada
pengawal yang brengsek, jelas bukan Morito orangnya! Apa
lagi yang bisa diharapkan dari para samurai itu? Bukankah
beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Kesa-Gozen
dan para pengawal belum menangkap pembunuhnya? Ini
tidak bisa dimaafkan! Siapa yang bisa mengandalkan para
samurai itu pada masa-masa berbahaya jika menangkap
seorang pria gila saja mereka tidak sanggup?
Kasak-kusuk tak sedap segera menyebar, dan tuduhantuduhan kepada Tadamori dilayangkan oleh para pejabat
istana. Tanggung jawab atas kejahatan itu ada di
pundaknya. Apakah yang menyebabkan Yang Mulia begitu
memercayainya? Bukankah dia Kepala Pangkalan
Pengawal? Bukankah dia yang membujuk Yang Mulia
untuk memilih kuda pembawa sial dengan tanda putih di
kakinya itu? Dan, bukankah dia yang memberikan izin

kepada suami Kesa-Gozen untuk melatih kuda itu? Tidak


diragukan lagi, Tadamori adalah sumber dari segala
kemalangan ini! Bukankah mencemooh tabu adalah sebuah
kejahatan? Bukankah dia bersalah atas penghinaan terhadap
kepercayaan?
Para pejabat istana membicarakan tentang kesalahan
Tadamori, bahkan merencanakan untuk menyeretnya ke
pengadilan. Kekisruhan ini didengar oleh Mantan Kaisar.
Mantan Kaisar menyadari bahwa dirinyalah yang
seharusnya disalahkan atas ledakan kemarahan yang tidak
sepantasnya kepada Tadamori ini. Dia tidak hanya
menghormati Tadamori tetapi juga menyayangi dan
memercayainya jauh melampaui orang-orang lain.
Untuk menjawab tuntutan para pejabat istana. Mantan
Kaisar mengatakan, Beberapa hari lagi, kita berangkat ke
Kuil Ninna-ji . Mengenai penangkapan Moritokita
akan melanjutkan pembahasannya di lain waktu. Mengenai
tuduhan bahwa Tadamori bertanggung jawab karena
mengizinkan Wataru melatih kuda pembawa sial itu
karena akulah yang mengeluarkan izin tersebut, maka
kalian sebaiknya melayangkan tuduhan itu kepadaku.
Toba tertawa nyaring, berusaha meredakan kemarahan para
pejabat istana. yang berhenti memberikan tekanan kepada
Tadamori, meskipun hanya untuk sementara.
Tersebar kabar dari istana bahwa para penjaga di
berbagai persimpangan ke Ibu kota akan ditarik keesokan
harinya. Para penpwai yang telah bertugas selama tujuh
hari marah dan kecewa. Kemanakah Morito pergi
membawa kepala Kesa-Gozen? Apakah bymi telah terbelah
dan menelannya, atau dia telah menghabisi nyawanya
sendiri?
Sepertinya hanya keberadaan Montolah yang bisa
mengakhiri misteri ini. Sejak malam pembunuhan itu, tidak

seorang pun melihat dirinya mau sosok yang sedikit banyak


menyerupai dirinya. Kesatuan faksi mengirim pasukan
mereka untuk menyisir seluruh Kyoto, namun mereka tetap
tidak menemukan petunjuk tentang di mana dia bisa
ditemukan.
Malam ini adalah malam terakhir para penjaga bertugas
di persimpangan-persimpangan jalan di Kyoto.
Adi sesuatu yang mencurigakan tentang Istana di
bagian dalam Gerbang Barat Laut Tidak hanya karena
paman Morito bertugas di sana. tetapi dia tentu juga masih
memiliki beberapa teman lama disana.
Kiyomori. yang tanpa sengaja mendengar percakapan
itu, terkejut. Dia sedang bertugas menjaga jalan Pertama
bersama enam atau tujuh belas anggota pasukannya yang
lain, sebagian di antara mereka menyamar.
Betul juga! Tidak terpikir olehnya untuk memeriksa
lingkungan terdekatnya. padahal Morito pernah menjadi
pengawal di Gerbang barat Laut sebelum ditarik ke Istana
Kloister. Gerbang Barat Laut berjarak tidak terlalu jauh dari
Istana Kloister. Kebanggaan membuncah didada Kiyomori
ketika dia memikirkan kesuksesan yang akan dipegangnya.
Setelah memindahkan tombaknya ke tangannya yang lain,
dia melambai kepada Heiroku, yang berdiri jauh
dibelakangnya. dan berseru:
Panggillah Mokunosuke kemari. Aku akan pergi ke
Gerbang Barat Laut. Berjaga-jagalah di sini. Penjagaan
akan berakhir malam ini.
Mokunosuke datang. Ke Gerbang Barat Laut? Tuan
Muda, urusan apakah yang hendak Anda selesaikan di
sana?
Tua Bangka, aku mencium bau tikus di sana.

Mokunosuke, menautkan kedua alisnya, menggeleng


perlahan. Lebih baik jangan. Tidak akan ada gunanya bagi
Anda jika mereka mendengar bahwa Anda melakukan
pencarian ke wilayah keputrian.
Apa masalahnya? Aku tidak mencurigai Kesa-Gozen.
Lebih baik Anda menjaga tindakan Anda. Anda tahu
bahwa masalah kecil sekalipun bisa menghasilkan sesuatu
yang serius jika sudah menyangkut hubungan antara Istana
Kekaisaran dan Istana Kloister.
Aku tetap akan pergi, apa pun pendapatmu. Orangorang mengatakan bahwa para pengawal di Istana
Kekaisaran menertawakan kita dan bersumpah akan
mendahului kita mendapatkan pembunuh itu. Ini adalah
kesempatanku untuk menangkap Morito. Aku yakin Morito
selama ini berdoa agar jika ada yang berhasil
menangkapnya, akulah orangnya!
Dengan telinga merah padam akibat bayangan liar
tentang kesuksesan, Kiyomori melirik Mokunosuke dengan
sinis. Saat menyadari bahwa dirinya sudah tersudut,
Morito akan memikirkan aku. Aku bahkan bisa merasakan
dirinya menantikanku! Mokunosuke, jika ayahku datang,
katakanlah kepada beliau ke mana aku pergi.
Gerbang Barat Laut berada dekat dari jalan Pertama, dan
untuk menghalau kekhawatiran Mokunosuke, Kiyomori
berangkat ke sana dengan berjalan kaki. meninggalkan
tombaknya.
Istana Kekaisaran berdiri di wilayah utara pusat kota, di
dalam sebuah kompleks tertutup berbentuk persegi empat,
berukuran sekitar satu mil kali tiga per empat mil, dan
menampung setumiah besar bilik tempat tinggal, aula-aula
upacara, dan banyak badan pemerintahan. Tepat di luar
kompleks itu terdapat sejumlah istana kecil dan kediaman

para bangsawan, begitu pula perguruan tinggi, yang


terhubung dengan Gerbang Selatan. Kompleks tersebut
memiliki dua belas buah gerbang dan dua gerbang samping
tambahanGerbang Timur Laut dan Gerbang Barat Laut.
Gerbang Barat Laut merupakan jalan masuk menuju istama
tempat Kesa-Gozen pernah mengabdi.
Kiyomori merasakan adanya cukup alasan untuk
menyelidiki tempat itu. Barangkali si tersangka dan
penolongnya menganggap tempat ini akan terbebas dari
pencarian. Pikiran itu mendorong Kiyomori untuk
mempercepat langkahnya. Ketika memasuki ruas jalan yang
lebar dan bersih dan dipagari oleh pohon-pohon pinus,
Kiyomori mendengar teriakan-teriakan dan perintah
baginya untuk menghentikan langkah. Dengan ekspresi
kesal, Kiyomori menoleh.
Aku?
Dia baru menyadari bahwa para pengawal di sini juga
melakukan pengawasan. Dengan gagah, dia berjalan
menghampiri mereka.
Kembalilah! Keluar! sembur para pengawal
kepadanya, menghalangi langkahnya tanpa repot-repot
menanyakan namanya.
Kiyomori dengan keras kepala menjawab, Aku akan
masuk! Aku datang untuk menyelesaikan sebuah urusan
penting. Dia menaikkan alisnya. Kalian pasti tahu bahwa
aku mengabdi kepada Yang Mulia Mantan Kaisar Toba.
Untuk apa aku mengganggu Tuan Putri? semburnya,
wajahnya merah padam. Para pengawal Istana Kekaisaran
menganggapnya sebagai seorang pemuda yang beringas,
dan situasi itu dengan cepat memanas; Kiyomori sedang
berhadapan dengan enam atau tujuh belas pengawal, ketika
seorang samurai berusia setengah baya, mungkin seorang

perwira senior, muncul dan berdiri sejenak untuk


mengamati kekacauan itu. Kemudian, dia mendekati
Kiyomori dari belakang, menghantam pelindung dadanya
kene-kene, dan berbicara kepadanya seolah-olah kepada
seorang bocah.
Jadi, kaukah itu, Heita? Mengapi kau marah-marah
seperti itu? Apa yang kauributkan sehingga sikapmu
menjadi selancang itu?
Ah Kenangan tentang angin ganas di bulan
Februari, hari yang sangat menyedihkan, perut kosong yang
melilit, dan uang pinjaman bedebah tiba-tiba melintasi
benak Kiyomori. Andakah itu. Paman? Betul! Dan ini
pasukan Paman? Aku memang sudah merasa mengenali
beberapa pelayan Paman di antara mereka.
Lebih daripada merasa konyol karena penampilannya,
Kiyomori terbakar amarah karena memikirkan bahwa
orang-orang itu telah menghinanya dengan berpura-pura
tidak mengenalinya. Dia tidak pernah bisa memikirkan
pamannyabegitu
pula
bibinyatanpa
merasakan
matanya berkaca-kaca; entah sudah berapa kali dia
mendatangi rumah mereka di Horikawa untuk meminjam
uang; mendengarkan mereka mencaci maki orangtuanya;
menerima kritikan dan keluhan tanpa akhir mereka.
Dengan pahit, dia mengingat bagaimana dirinya selalu
terlihat seperti kambing melarat di hadapan pamannya.
Rupanya sudah menjadi takdirnya untuk selalu diremehkan
dan diabaikan sebagai seorang manusia.
Ayolah, Heita, apa maksudmu dengan mengatakan
betul? Kami sudah lama tidak melihatmu di Horikawa
bukannya kami akan menyambut gembira kunjunganmu
Penampilanmu yang mengenaskan, harus kukatakan,
memberikan hiburan bagiku

Kiyomori merasa lemas. Dia telah dengan pongah


bertindak atas nama Kesatuan Pengawal Istana Kloister,
dan sekarang siap merangkak memasuki lubang.
Menyingkirkan kehormatan dan kemarahannya, Kiyomori
dengan lirih menjawab: Apakah mungkin terjadi?
Pamannya, sementara Itu, meminta keterangan singkat
dari anak buahnya tentang apa yang telah terjadi dan
menduga apa yang sedang dicari oleh Kiyomori.
Mustahil! Tentu saja mustahil! Apa maksudmu
memaksa masuk kemari? Kau sama keras kepalanya dengan
ayahmu Mengapa kau harus mewarisi sifat-sifat buruk
ayahmu? Pulanglah sekarang Juga! sembur pamannya.
Tepat ketika itu, Tadamasa melihat kereta seorang
pejabat istana masuk melalui Gerbang Barat Laut dan
bergegas meninggalkan Kiyomori. tepat pada waktunya
untuk membungkuk memberi hormat ketika kereta
melewatinya.
Kiyomori membalikkan badan dan berjalan menjauh. Ini
tidak terhindarkan. Dia merasa mendengar para pengawal
menertawakannya di belakang punggungnya. Kemudian,
dia mulai memikirkan kereta siapa yang baru saja
dilihatnya. Ketika menatap ke sekelilingnya, dia melihat
seekor sapi mendekatinya. Matahari yang mulai tenggelam
memancarkan sinar menyilaukan ke badan dan gagang
penarik kereta indah yang bertatahkan hiasan perak dan
emas. Kerai bambu yang menutupi kereta itu setengah
terbuka. Itu bukan kereta Putri, namun penumpang di
dalamnya tidak terlihat oleh Kiyomori, kecuali seorang
bocah penarik sapi yang berjalan di samping kereta,
mengusir lalat yang beterbangan di sekelilingnya. Kiyomori
berhenti di bawah naungan pohon cedar dan menunggu
kereta itu melewatinya. Ketika kereta itu ada di depannya,
Kiyomori dengan berani memandangnya. Oh! r

Dia merasa mendengar sebuah suara. Seseorang


menggulung kerai ke atas dan memerintahkan kepada si
bocah penarik sapi untuk berhenti. Wanita itu
mencondongkan tubuh ke luar dari kereta dan memanggil
namanya.
Ibu! Kiyomori serta merta menjawab dan melompat
mendekati salah satu gagang penarik kereta. Inikah kereta
yang baru saja keluar dari Gerbang Barat Laut? Ibukah
yang ada di dalamnya?**
Mengapa, apa maksud pertanyaanmu itu? Kau tidak
pernah senang jika bertemu denganku, di mana pun
tempatnya.
Yasuko mengenakan kimono wanita bangsawan istana
dan, seperti biasanya, menunjukkan sikap anggun. Dalam
balutan kimonobernuansa cerianya, dia tampak lebih muda
dan eanflfc daripada yang pernah diingat oleh Kiyomori-
di rumah, di pacuan kuda Kamo.
Pamanmu, Tadamasa, ada di gerbang sesaat yang lalu,
menanti untuk memberi hormat kepadaku selagi aku lewat.
Dia tidak mengatakan apa pun tentangmu, tapi aku melihat
kalian berbicarabenarkah Itu?
Apakah pamanku akhir-akhir ini menghormati dan
bersikap lebih ramah kepada Ibu?
Yasuko tergelak. Kau menghiburku! Kau tidak pernah
menjawab pertanyaanku, dan yang selalu kaulakukan
hanyalah berusaha memeriksaku. Pamanmu telah banyak
berubah. Dia menghormatiku.
Pamandan
keburukan Ibu?

Bibiyang

biasa

membicarakan

Nah, Heita, apa kau sudah mengerti mengapa aku


membenci kemiskinan kita? Yang Mulia Tuan Putri

menyukaiku, dan aku secara teratur ikut menari di istana


beliau. Pamanmu sekarang bersikap layaknya seorang
pelayan kepadaku, karena dia tahu bahwa dia harus
menyenangkan hatiku jika menginginkan keberadaannya di
dunia ini diakui.
adi, begitulah! Kiyomori meludah ke kaki sapi. Betapa
rendahnya pamannya! Sedangkan mengenai kunjungan
ibunya ke istana di Gerbang Barat Lautdia mungkin
memanfaatkan pengaruh Nakamikado di Istana dan
bakatnya sebagai seorang geisha. Sama saja dengan
pamannya! Kapan pun Kiyomori berjumpa dengan ibunya,
dia merasa bahwa ayahnya, Tadamori, pria yang bukan
ayah kandungnya, lebih pantas untuk berbagi darah dan
daging dengan dirinya.
Kiyomori tiba-tiba merasa kecewa, getir, dan sedih.
Melihat ibunya membuatnya tersiksa. Lalat-lalat yang
beterbangan di sekitar sapi penarik kereta terus-menerus
hinggap di wajahnya dan memicu kejengkelannya, sehingga
dia pun langsung berlalu meninggalkan ibunya. Tetapi,
Yasuko memanggilnya dengan marah, dan sambil melotot
mengatakan:
Heita, bukankah ada hal lain yang ingin kautanyakan
kepadaku?
Kiyomori menoleh dengan kesal. Dia merasa melihat
sosok orang lain di dalam kereta, dan ketika menajamkan
matanya, dia melihat Ruriko.
Heita, tidak adakah hal bin yang ingin kaukatakan
kepadaku? tanya Yasuko. terkikik. Ruriko. katanya
kemudian, maukah kau memberikan ini kepada Heita?
Ruriko menarik diri dengan bingung, menyembunyikan
wajahnya di balik bahu Yasuko. Yasuko mengeluarkan
sekuntum anggrek krisan besar dan menyodorkannya

kepada Kiyomori, Yang Mulia, Tuan Putri, memberikan


ini kepada Ruriko, dan Ruriko berharap kau mau
memilikinya, Heita. Tulislah puisi tentang bunga ini dan
bawalah kepadaku di kediaman Nakamikadobeberapa
larik indah yang akan merebut hati Ruriko.
Kiyomori berdiri dengan bingung menyaksikan kereta
yang perlahan-lahan menghilang di kejauhan. Jadi, ibunya
sekarang merencanakan untuk membalas dendam kepada
Tadamori dengan memanfaatkan Ruriko untuk merayunya
sehingga berpaling dari ayahnya! Kiyomori mendapati
bahwa dirinya telah tanpa sengaja meremukkan bunga di
tangannya dengan mencabuti seluruh mahkota bunga indah
itu. Menggenggam tangkai yang tersisa, Kryomori berjalan
kembali ke posnya di persimpangan jalan.
Dua ekor kuda dan seorang pria menantinya di sana.
Kiyomori merasakan semangatnya anjlok. Mokunosuke,
yang telah dengan gelisah menunggunya, tampak resah.
Di manakah yang lainnya? Apakah mereka sudah
pulang? Kami sudah menerima perintah untuk
menghentikan pencarian malam ini. Bagaimana dengan
pencarian Tuan Muda di Gerbang Barat Laut.
Sia-sia saja. Aku seharusnya tidak usah ke sana. Di
manakah ayahku?
Mari kjta kembali saja. Silakan, Tuan Muda, naiklah ke
kuda Anda.
Mokunosuke menyaksikan Kiyomori menunggangi
kudanya, lalu melakukan hal yang sama dengan kudanya
sendiri.
Kembali ke Istana, Tua Bangka?
Tidak, pulang ke Imadegawa.

Kiyomori terkejut. Para pengawal semestinya berkumpul


malam ini di Pangkalan Pengawal, tempat ayahnya akan
berbicara kepada mereka. Tadamori juga akan memberikan
laporan kepada Yang Mulia dan penasihatnya untuk
kemudian menerima instruksi lebih lanjut.
Mokunosuke, apakah sesuatu terjadi pada ayahku?
Saya dengar beliau telah memutuskan
mengundurkan diri dari jabatannya di Istana.

untuk

Benarkah itu? Apakah itu berkaitan dengan kegagalan


kami menangkap Morito?
Beliau terlalu terhormat untuk membiarkan kritik
semacam itu memengaruhinya. Para pejabat istana
bersekutu untuk menjatuhkan beliau. Beliau tidak sanggup
lagi menghadapi berbagai tuduhan jahat dan tidak adil yang
mereka tujukan kepadanya . Saya tidak sampai hati untuk
bertanya lebih banyak kepada beliau.
Apakah ini berarti beliau akan mengucilkan diri lagi?
Kiyomori merasa seolah-olah sedang mengatakan,
Kemiskinan lagi! Senjatanya seakan-akan mendadak
membebaninya.
Mokunosuk menggumam, setengahnya kepada dirinya
sendiri, Oh, mengapa takdir begitu kejam kepada beliau?
Waktu yang salah, dunia yang jahat! Keberuntungan
pasti akan tersenyum kepada beliau suatu hari nanti!
Kiyomori tidak menyadari bahwa suaranya tiba-tiba
terdengar jernih dan menantang bagaikan pekikan perang:
Inilah aku, Tua Bangka! Bukankah kau pernah
mengatakan bahwa aku adalah putra langit dan bumi,
bahwa di balik tubuhku yang gagah, aku bukan seorang
yang cacat? Inilah akuakulah orangnya! Apalah artinya
takdir, sehingga kita harus takluk kepadanya?

o)ood^woo(o

Bab V RUMPUT YANG TERINJAK-INJAK


Disambut oleh adik-adiknya, Kiyomori melihat sosok
mereka di bawah gerbang yang nyaris ambruk ketika dia
turun dari kudanya. Tsunemori, yang di punggungnya
menggendong Norimori, adik mereka yang berumur tiga
tahun, berseru, Selamat datang di rumah, Kak! Ayah
sudah pulang.
Hmm . Karena kami pergi selama tujuh hari, adikadikku pasti merindukan kami.
Ya, aku kesulitan menenangkan Norimori, yang
menangis terus-menerus mencari Ibu, Tsunemori mulai
bercerita, namun langsung terdiam begitu melihat mimik di
wajah Kiyomori. Oh, ya, Ayah ingin menemuimu segera
setelah kau tiba di rumah.
Oh? Baiklah, aku akan menemui beliau kalau begitu.
Tua Bangka, bawa kudaku, kata Kiyomori. Setelah
menyerahkan tali kekang kudanya kepada Mokunosuke, dia
melintasi pekarangan menghampiri cahaya yang menyala di
bilik ayahnya.
Asap membubung dari tungku-tungku di dapur. Para
pelayan, yang telah kembali ke rumah beberapa waktu
sebelumnya dan masih menyandang senjata mereka, sedang
mempersiapkan makan malam untuk rumah tangga
berukuran besar itumenanak nasi, membelah-belah kayu
bakar, dan memasukkan kentang dan sayuran lainnya dari
kebun. Seperti di kebanyakan rumah tangga para samurai,
beberapa orang wanita bekerja di rumah mereka dan
kemiskinan menghalangi mereka untuk mempekerjakan
budak, sehingga majikan dan pelayan bersama-sama

bertani, merawat kuda-kuda, dan menyelesaikan pekerjaan


di dapur.
Ah, jadi kau sudah pulang, Heita! Aku berterima kasih
atas kerja kerasmu.
Ayah pasti lelah setelah bekerja selama seminggu
penuh, dan Ayah pasti merasa lebih lelah karena kita tidak
berhasil menangkap Morito.
Kita telah melakukan apa pun yang mungkin dilakukan
dan tidak ada yang perlu disesali. Morito tidak akan bisa
ditangkap dengan mudah.
Mungkinkah dia telah membunuh dirinya sendiri,
Ayah?
Aku
meragukannya.
Kejahatan
yang
telah
dilakukannya tidak ringan, dan aku tidak percaya dia bisa
merenggut nyawanya sendiri Dan, Heita, ada sesuatu
yang aku ingin kaulakukan.
Apakah ini mendesak?
Ya, bawalah salah satu kuda kita ke kota dan juallah ia
untuk berapa pun harga yang bisa kaudapatkan; kemudian,
belilah sebanyak mungkin sake dengan uang itu.
Salah satu kuda! Apakah Ayah serius?
Hmm Lihatlah seberapa banyak sake yang bisa
kaudapatkan.
Tetapi, Ayah, tiga hari pun tidak akan cukup untuk kita
semua menghabiskan sake itu! Ini terlalu memalukanaku
tidak bisa melakukannya! Apakah yang lebih memalukan
bagi seorang samurai daripada keterpaksaan menjual
kudanya?

Karena itulah aku menyuruhmu melakukannya.


Pergilah, dan tanggunglah rasa malu itu. Juallah kuda kita
dengan harga berapa punlebih cepat, lebih baik.
Kiyomori segera meninggalkan ayahnya dan memasuki
istal. Tiga dari tujuh ekor kuda yang ada di sana adalah
harta mereka yang paling berharga. Dia dengan cermat
memeriksa keempat kuda yang tersisa. Sebodoh apa pun
binatang-binatang itu, dia menyayangi semuanya!
Bukankah mereka telah menemaninya dan ayahnya dalam
operasi berbahaya di wilayah barat dua tahun silam,
bersama-sama menghadapi kematian? Entah sudah berapa
kali Kiyomori mengelus-elus mereka dengan penuh kasih
sayang!
Mengetahui bahwa pasar kuda kadang-kadang digelar di
dekat pasar, Kiyomori langsung mendatangi rumah seorang
pedagang kuda yang dikenalnya, menjual kudanya, dan
membeli sake. Tiga guci besar dinaikkan ke sebuah gerobak,
dan Kiyomori membantu si pedagang sake mendorong
gerobak tersebut ke Imadegawa.
Hidangan makan malam terlambat disajikan, namun
malam musim gugur itu cukup panjang untuk sebuah pesta
yang jarang terlihat di rumah seorang samurai. Setelah
mengundang semua pelayan ke ruangan luas di bangunan
utama rumah mereka, Tadamori membuka segel guci-guci
sake, memerintahkan agar ikan asin dan acaryang
biasanya
disimpan
untuk
keadaan
mendadak
dihidangkan, dan menyuruh semua pelayan minum.
Aku tahu bahwa kalian semua lelah setelah melakukan
penjagaan selama tujuh hari berturut-turut Sesuai dengan
hak kalian, seharusnya malam ini kalian sedang berpesta
sake di Istana, namun kegagalanku menghalangiku
menginjakkan kaki ke bagian dalam gerbang. Aku telah
mengundurkan diri dari jabatanku. Izinkanlah aku

memohon maaf kalian dengan cara ini. Pada suatu hari


nanti, kesetiaan kalian akan mendapatkan ganjaran. Sake
iniyang terbaik yang bisa kuberikan kepada kalian
adalah tanda terima kasihku kepada kalian, anak-anak
buahku. Ayo, minumlah sebanyak yang kalian mampu.
Mari kita minum-minum semalaman, dan menyanyi untuk
meneguhkan hati pejuang kita!
Lilin-lilin berkelipan tertiup angin malam sementara para
pelayan menunduk diam. Mereka tahu bahwa sake selalu
disajikan secara berlimpah ruah ditemani oleh alunan musik
pada malam-malam perjamuan di rumah bangsawan,
namun kesempatan ketika seorang pelayan bisa mencicipi
sake sangatlah jarang terjadi. Malam ini, indra-indra
mereka menggeliat berkat aroma sake, dan hati mereka
terasa penuh berkat pikiran bahwa Tadamori menghormati
mereka.
Dan Tadamori berkata, Betapa kebun ini sesuai dengan
kemiskinan kitakemewahan liar bunga-bungaan musim
gugur! Ayo, minumlah, kalian semua! Penuhi cangkirmu,
penuhi cangkirmu!
Para pria mengangkat cangkir-cangkir sake mereka
tinggi-tinggi. Di Istana, Tadamori menyandang reputasi
sebagai seorang peminum hebat, dan Kiyomori,
mengangkat cangkirnya, berseru:
Ayah, malam ini aku akan minum setidaknya setengah
minumanmu!
Bagus, bagus-yang penting, jauhilah rumah-rumah di
Jalan Keenam itu!
Jawaban Tadamori disambut oleh gelak tawa para
pelayan, yang diikutinya dengan keceriaan yang tidak biasa
ditunjukkannya. Wajah Kiyomori merah padam.
Bagaimana cerita itu bisa sampai di telinga ayahnya?

Siapakah di antara para pelayan-pelayan ini yang telah


memeriksa rumah-rumah bordil di Jalan Keenam?
Memprotes tidak ada gunanya, dan untuk mengalihkan
perhatian orang-orang dari dirinya, dia memanggil salah
seorang pelayan:
Heiroku, Heiroku, menyanyilah untuk kamsalah
satu balada yang sedang terkenal di ibu kota sekarang ini!
Anda saja yang menyanyi, Tuan Muda, salah satu lagu
yang sering dinyanyikan di Jalan Keenam!
Hentikan lelucon seperti itu!
Sebuah suara dari ujung ruangan mulai melantunkan
sebuah lagu balada populer; seorang demi seorang, para
pria di ruangan itu mengikutinya; mereka bertepuk tangan
pada waktu yang tepat; seseorang menggebuk-gebuk sebuah
guci sake untuk mengiringi nyanyian. Sebagian orang
berdiri dan menari-nari, sebagian lagi menyanyikan lagulagu yang lain. Mereka menyanyi dengan gaduh sambil
minum-minum, dan di tengah suasana yang semakin ribut,
beberapa orang mulai meracau:
Berulang kali, para pejabat istana itu bersekongkol
untuk melawan majikan kita, dan sekarang mereka
berusaha menghancurkan ikatan antara beliau dengan Yang
Mulia dengan mengatakan bahwa beliau gagal menangkap
Morito!
Apa? Tolol! Apakah mereka berhasil? Bukankah
majikan kita telah mengundurkan diri dari jabatannya?
Mengapa majikan kita harus disalahkan? Mengapa
beliau semuda itu mengundurkan diri? Ini berlebihan!
Para bangsawan itudarahku rasanya mendidih jika aku
memikirkan mereka! Apa pendapat Yang Mulia tentang
semua ini?

Jika Yang Mulia memang memercayai dan mencintai


majikan kita, mengapa beliau tidak menghentikan rencana
dan persekongkolan ini? Tidak bisakah beliau melihat
bahwa kedengkian para pejabat istana telah membunuh
majikan kita secara perlahan-lahan?
Ya, meskipun memegang tampuk kekuasaan, Yang
Mulia tidak berdaya dalam menghadapi para pejabat istana
yang ada di sekelilingnya, dan majikan kita menolak untuk
membiarkan Yang Mulia terusik karena beliau.
Mereka mengetahui kelemahan majikan kita, para
bangsawan itu!
Bukankah majikan kita sendiri mengakui bahwa
meskipun kedudukan beliau sejajar dengan para bangsawan
itu, namun mereka membencinya karena beliau adalah
seorang samurai?
Kalau begitu, mengapa Yang Mulia mendiamkannya?
Aku akan menanyakan sendiri tentang hal ini kepada Yang
Mulia! Aku akan menjeritkan pertanyaan ini di Istana
hingga telinga Yang Mulia mendengarnya!
Dasar orang-orang sinting! Dungu!
Para pelayan terdiam namun terus menggeleng-geleng
dengan marah. Berpura-pura tidak mendengar mereka,
Kiyomori mengamati mereka, dan akhirnya bangkit untuk
bergabung bersama mereka. Mengulurkan kedua
tangannya, dia merangkul kepala dua orang yang ada di
kedua sisinya.
Marikalian para pejuangmengapa berkeluh kesah
seperti ini? Apakah otak kalian lebih kecil daripada otak
katak atau ular? Waktu kita belum tiba. Apakah kalian
tidak punya kesabaran? Bukankah kita masih rumput yang

terinjak-injak? Belum tiba waktu bagi kita untuk


mendongakkan kepala. Haruskah kalian selalu mengeluh?
Aroma menyengat tubuh-tubuh yang kegerahan dan uap
sake memenuhi lubang hidung Kiyomori ketika dia
memeluk kedua pelayan itu erat-erat. Dia merasakan air
mata getir menetes ke lututnya. Seperti seekor induk burung
yang menyembunyikan anak-anaknya di bawah sayapnya,
Kiyomori merasakan kebanggaannya membuncah ketika
dia memeluk para pelayannya dan, meminta tambahan
sake, menenggak habis isi cangkirnya dalam satu tegukan.
^d0w^
Binatang yang telah lama terkurung akan langsung
kembali bersikap liar begitu dilepaskan di padang rumput
yang luas. Watak barbar yang tersimpan di dalam diri setiap
orang akan keluar lebih cepat, dan itulah yang terjadi pada
Morito, yang sepertinya telah berubah menjadi manusia liar
hanya dalam semalam.
Haruskah aku melanjutkan kehidupanku? Apakah aku
lebih baik mati saja? Apakah yang akan kulakukan kepada
diriku ini? Mereka masih mengejarkutidak memberiku
waktu untuk berpikir Aku harus beristirahat, namun
mereka terus memburuku. Aku berhenti untuk menarik
napas, dan mereka masih Akuakuaku, dia
mengulang-ulang kepada dirinya sendiri, tidak menyadari
bahwa diri yang yang dimaksudnya telah tiada.
Malam itu, ketika dia melarikan diri dari jalan Iris dan
secara misterius mengelabui para pengejarnya, Morito tidak
bisa mengingat ke mana kakinya membawanya. Dia
tertidur di alam terbuka, menyembunyikan diri di dalam
rongga pepohonan, dan menyantap apa pun yang bisa
ditemukannya di tengah pelariannya. Pakaiannya telah
robek di sana-sini, kakinya yang telanjang berlumuran

darah dan lumpur, dan matanya berkilat nyalang bagaikan


mata seekor binatang buas.
Ini adalah sosok seorang pria terpelajar, Morito yang
pintar, yang pernah menjadi tambatan harapan semua
orang. Siapakah yang bisa melihat Morito yang pandai dan
tinggi hati di dalam sosok ini? Siapakah yang bisa
memercayai bahwa pria ini biasa memandang temantemannya dengan tatapan meremehkan? Tetapi, sosok itu
masih bernapas, berjalan, dan bergerak. Dia yang bernyawa
masih ada di dunia.
Telinganya bisa membedakan setiap kicauan burung
sekarang, dan gerakan mendadak kelinci dan rusa tidak lagi
mengejutkannya. Dia merasa dirinya menyatu dengan
burung-burung dan binatang-binatang di tengah kesunyian
alam liar. Tetapi, bunyi-bunyian sesamar apa pun yang
menandakan keberadaan para pengejarnya mampu
membuat seluruh rambut di tubuhnya berdiri. Mereka ada
di sana menyusulnya! Mempererat pegangannya pada
benda bulat yang dibawanya, Morito akan berdiri terpaku
selama sesaat, memandang nyalang ke sana dan kemari
dengan mata merahnya.
Dia telah merobek salah satu lengan kimono luarnya
untuk membungkus benda yang dipeluknya erat-erat. Itu
adalah kepala Kesa-Gozen. Morito tidak pernah
meletakkannya sejenak pun sejak malam itu. Darah telah
terserap di kain pembungkusnya dan mengeras hingga,
tercampur dengan embun dan tanah, tampak seperti lapisan
vernis gelap. Telah lebih dari dua minggu berlalu sejak
Morito melarikan diri, dan kepala itu telah menguarkan bau
busuk ke mana-mana. Tetapi, dia tetap memeluknya
sepanjang siang dan malam, dan ketika dirinya jatuh
tertidur, dia seolah-olah melihat Kesa-Gozen hidup
kembali.

Tidak ada yang berubah dalam diri Kesa-Gozen. Morito


bisa mendengar gemerisik kimononya ketika wanita itu
menghampirinya dan berbisik kepadanya. Morito
menghirup aroma tubuhnya, merasakan kehangatannya
ketika Kesa-Gozen mencondongkan tubuh ke arahnya.
Laba-laba yang telah memintal sawang di sekeliling jamurjamur pucat yang telah tumbuh di seluruh kepala KesaGozen tampak tidak senyata khayalan-khayalan yang
menghampiri Morito di batas kesadarannya.
Sekali lagi, mereka masih bocah, berlarian ke sana
kemari bagaikan kupu-kupu di antara petak-petak bunga di
taman Istana. Kemudian, Morito melihat dirinya sebagai
pemuda mengenaskan, dimabuk cinta hingga menjadi
gilahingga mati. Dan, di dalam mimpinya, dia
mengerang, Oh Kesa-Gozen, mengapa kau tidak mau
menatapku? Tidak ada yang bisa membebaskanku dari
siksaan ini selain dirimu, oh wanita berhati batu! Mengapa
kau menikah dengan Wataru? Kasihanilah aku! Berikanlah
aku semalam saja di sampingmu. Izinkanlah aku sekali saja
mereguk cinta terlarang ini, kemudian biarkanlah dosa ini,
yang lebih berat daripada seluruh Sepuluh Dosa,
melemparkanku ke tempat terdalam dan terpanas di neraka,
karena siksaan apakah yang lebih berat daripada siksaan
yang sedang kujalani sekarang ini?
Dan, di dalam tidurnya yang gelisah, Morito melihat
mata Kesa-Gozen yang terpejam dan mencium bibirnya. Di
antara lipatan-lipatan kimono Kesa-Gozen, Morito melihat
kulitnya yang pucat dan lekukan payudaranya yang
telanjang, namun ketika Morito mengulurkan tangan untuk
memeluknya, Kesa-Gozen lenyap begitu saja, dan mimpi
itu memudar, meninggalkan dahaga gairah yang menyiksa.
Terjaga kembali, Morito akan menangis terisak-isak hingga

segala sesuatu di alam pada tengah malam buta itu seolahoiah berduka bersamanya.
Hari masih gelap ketika Morito, yang letih akibat
menangis dan semalaman bermimpi buruk, terjaga. Dia
bangkit berjalan terhuyung-huyung dan tersandung-sandung
dalam kegelapan, tanpa mengetahui di mana dirinya
berada, ketika seluruh indranya sontak tergelitik
menanggapi sebuah sensasi baru. Gelombang es seolah-olah
menerpa otaknya, dan gemuruh gaduh memenuhi
telinganya, bergema dan terus bergema di dalam kepalanya.
Jeram Naratukidi jalan menuju Takao yang dipagari
pepohonan mapel!
Fajar telah datang, dan bulan pucat menggantung di
langit. Morito memandang ke sekelilingnya, memuaskan
penglihatannya dengan warna merah dedaunan mapel di
seluruh sisi bukit. Baru kali inilah dia melihat cahaya pagi
sejernih ini. Akal sehatnya telah kembali. Kemudian,
rangkaian peristiwa pada malam 14 September itu kembali
diingatnya dengan jelas, seolah-olah dia kembali berada di
tempat kejadian. Gemuruh Jeram Naratuki dan gemericik
air mendadak terdengar bagaikan ratapan memilukan
seorang ibu yang putus asapekikan kebencian Wataru,
tawa menghina teman-temannya sesama pengawal, dan
tangisan marah masyarakat.
Menghadapi jeram itu, Morito menjerit seolah-olah
untuk menjawab, Biarkan aku mati! Aku tidak bisa
menghadapi dunia ini hidup-hidup!
Dengan tubuh gemetar, dia berpegangan ke sebongkah
batu besar dan menunduk menatap arus deras di bawahnya,
dan tiba-tiba dilihatnya sekelompok penebang kayu muncul
di seberang sungai, melompati batu demi batu dan

mendekat ke arahnya. Secepat kilat, Morito membalikkan


badan dan berlari, dengan sigap mendaki bukit
Setibanya di puncak bukit, dia meletakkan buntalan yang
dibawanya ke tanah, lalu jatuh berlutut bernapas tersengalsengal. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, dan dia
meraba dadanya yang berbulu, terengah-engah.
Dia harus mati, sekarang juga setelah dia tersadar
kembali, pikirnya.
Maafkan aku, Cintaku, dia menangis, mengangkat
kedua tangannya untuk berdoa. Satu per satu, dia
membisikkan nama orang-orang yang dikenalnya,
memohon ampunan mereka, lalu membuka buntalan berisi
kepala Kesa-Gozen.
Sekarang, lihatlah Morito, yang akan menebus dosa ini
dengan nyawanya sendiri, bisiknya. Lihatlah dunia sekali
lagi, karena aku pun akan segera melebur menjadi debu.
Dengan perasaan tumpul, dipandangnya kepala KesaGozen. Rambutnya lengket oleh darah hingga menempel
bagaikan lapisan kaku di pipi dan keningnya.
Ah, Cintaku, benarkan ini dirimu?
Kepala itu menyerupai bongkahan besar lempung. Di
bawah langit yang mulai terang, Morito melihat bahwa
daging di kepala itu telah mengerut di bawah jalinan rambut
lengket; tulang-tulangnya bertonjolan di sana-sini, dan
kulitnya bertotol-totol. Telinganya berkerut merut dan
menyerupai remis kering; matanya seolah-olah terukir dari
lilin biru yang bernoda putih. Tiada lagi wajah yang pernah
dikaguminya.
Dan Morito pun berdoa, Dai-nichi Nyorai, Dai-nichi
Nyorai! (Yang Maha Penerang!)

Dari topeng kematian di hadapannya, tatapannya


berpindah ke langit. Di hadapannya, matahari terbit
bagaikan bola api. Atap-atap bangunan di ibu kota.
Perbukitan Timur, dan puncak-puncak pagoda yang
berselimut kabur, dan yang bisa dilihatnya hanyalah
lingkaran cahaya terang benderang raksasa. Kemudian,
mendadak dia teringat
0dw0
Pertapaan ituatau lebih tepat disebut sebagai pondok
sederhana, tempat yang sering kali ditinggali oleh Kepala
Biara Kakuyuberdiri di salah satu kantong Perbukitan
Togano-o, di jalan menuju Takao, tepat di tempat Jeram
Narutaki bertemu dengan Jeram Kiyotaki. Meskipun
berkedudukan sebagai kepala biara di Kuil Togano-o,
Kakuyu lebih sering menghabiskan waktu di Toba. Dan
para penduduk di wilayah itu sudah terbiasa menyebutnya
Kepala Biara TobaToba Sojo. Dia pernah menjadi kepala
biara di Kuil Enryakuji di Gunung Hiei, namun pada masa
ini, ketika para biksu mengangkat senjata dan melakukan
pembakaran dan penjarahan, Toba Sojo sering terdengar
mengatakan bahwa dirinya tidak pantas menjadi seorang
biksu, karena dia tidak punya nyali untuk bertempur.
Kehidupan sang kepala biara sendiri tidak bisa dikatakan
wajar. Alih-alih tinggal bersama para biksu yang mengabdi
kepadanya di pondok, seorang prajurit muda dan tiga orang
pelayan bekerja untuknya, dan kepada orang-orang
penasaran yang dengan terkejut menanyainya tentang
apakah penghuni pondok itu seorang pendeta atau rakyat
biasa, Kakuyu dengan rendah hati menjelaskan bahwa
mereka bukan pelayannya melainkan pelayan seorang
pejabat tinggi dari Kyoto yang sedang mengunjunginya.
Sekarang berusia tujuh puluhan, sang kepala biara
adalah salah seorang dari banyak anak laki-laki seorang

pejabat istana yang L berkarier cemerlang, yang pada masa


kejayaannya dikenal sebagai K penulis sebuah kronik.
Kakuyu, meskipun mewarisi kekayaan r yang cukup besar,
memasuki biara dalam usia yang cukup muda, namun
segera mendapati bahwa kehidupan biara kurang sesuai
dengan minatnya. Seiring waktuuntuk mengabaikan
tugas-tugas
kependetaannyadia
mulai
menekuni
kegemarannya melukis. Gulungan demi gulungan lukisan
telah dihasilkan oleh kuasnya, kental oleh sindiran dan
ledekan. Tidak pernah ada lukisan yang menyerupai
karyanya, karena di matanya, yang selalu mengkritisi setiap
pemandangan merisaukan yang terjadi di hadapannya, dia
melihat manusia dalam wujud binatangmonyet dan
kelinci yang saling mengejar; musang berjubah pendeta;
kodok
bermahkotadan
kuasnya
menggambarkan
kejahatan para pemuka agama, kemewahan berlebihan para
bangsawan, kepercayaan mereka pada takhayul, perjuangan
untuk berebut kekuasaan, dan segala macam kedunguan
dan kejahatan manusia lainnya.
Toba Sojo sedang sibuk melukis pada suatu hari, ketika
pelayannya mengabarkan tentang kedatangan seorang tamu
kepadanya. Setelah menyingkirkan kuas dan tintanya, dia
membalikkan badan dan menerima tamunya, seorang
pengawal muda dari Istana Kloister, Sato Yoshikiyo.
Saya iri kepada Anda karena kehidupan Anda, Yang
Terhormat Setiap kali saya datang untuk mengunjungi
Anda,
saya
yakin
bahwa
manusia
semestinya
menghabiskan kehidupannya menyatu dengan alam.
Mengapa iri kepadaku? jawab Toba Sojo. Aku tidak
mengerti mengapa kau tidak memilih sendiri kehidupan
yang paling kauhendaki.

Tidak, Yang Terhormat, saya sedang berada di tengah


perjalanan menuju Kuil Ninna-ji untuk menyelesaikan
urusan yang berkaitan dengan ziarah kekaisaran.
Ya? Sungguh luar biasa bahwa Yang Mulia tidak
pernah bosan dengan pacuan kuda. Aku tidak akan terkejut
jika manusia berubah menjadi sekawanan kejahatan yang
saling berpacu, dan para pengawal menjadi sekawanan
kuda liar, beringas dan ganas. Pikiran yang sangat
mengerikan!
Toba Sojo tiba-tiba menoleh ke arah sebuah ruangan di
bagian belakang pondok. Nak, apa buah kesemek yang
kuminta sudah siap? Sajikanlah buah-buahan untuk tamu
kita ini.
Tidak ada jawaban, namun gumaman samar-samar
terdengar di bagian belakang pondok. Kemudian, seorang
pemuda muncul dari balik sudut pondok dan menghampiri
beranda. Beberapa orang penebang kayu yang tinggal di
dekat situ, katanya, telah datang dengan ketakutan untuk
melaporkan bahwa sejak pagi itu, mereka melihat seorang
pria aneh berpenampilan liar yang berkeliaran dengan kaki
telanjang di wilayah bukit; salah satu lengan kimononya
hilang. Mereka telah secara diam-diam mengawasi
gerakannya, membuntutinya, dan melihatnya menghilang
di tengah kerimbunan hutan di antara perbukitan,
tempatnya mengubur sebuah buntalan besar yang
sebelumnya dipuja-pujanya. Ketika melihat para penebang
kayu itu mendekat, dia melesat bagaikan seekor burung ke
kedalaman hutan Takao.
Apa lagi itu? seru sang kepala biara. Mengapa
menyusahkan diri dengan masalah sepele seperti itu? Apa
kau berpikir untuk mengejar pria itu?

Tidaktentunya tidak, namun para penebang kayu itu


bersemangat sekali untuk menangkapnya. Mereka
menduganya sebagai anggota komplotan bajing loncat.
Biarkan saja dia, biarkan
berat, dan seorang perampok
akan mendapatkan makanan
tapi bagaimana dengan istri
begitu, Yoshikiyo?

saja. Ini adalah masa yang


sekalipun harus hidup. Dia
jika dijebloskan ke penjara,
dan anak-anaknya? Bukan

Yoshikiyo tampak takjub mendengar cara berpikir itu,


dan dia memandang perbukitan Takao yang berselimut
awan dengan ekspresi bingung. Dia hendak menjawab,
namun mengurungkan niatnya. Dia meminta maaf karena
telah terlalu lama mengganggu sang kepala biara dan cepatcepat meninggalkan pondok.
Sebutir buah kesemek merah keemasan yang diabaikan
oleh burung-burung menggantung di bawah langit musim
gugur, dan gebukan kapak para penebang kayu menggema
dingin di antara gumpalan-gumpalan awan di puncak bukit.
0ooo-dw-ooo0

Bab VI - BOCAH LELAKI YANG


MEMBAWA AYAM SABUNGAN
Embun beku telah berjatuhan, dan pekikan burungburung kembali terdengar. Bunga-bunga krisan putih dan
kuning yang tumbuh subur di pinggir jalan mulai
mengering. Kemuraman mulai menggantung di udara.
Aneh. Wajarkah jika seorang bangsawan mau hidup
di pinggir kota, di tengah gubuk-gubuk yang dihuni oleh
rakyat jelata?

Hari di bulan Oktober itu cerah, sehangat musim semi,


dan Kiyomori sedang berkeliaran di sekitar Jalan keenam
membawa sepucuk surat yang ditujukan oleh ayahnya
kepada seorang pejabat pemerintah, Fujiwara Tokinobu.
Ayahnya telah mengirimnya ke Gudang Pangan Pusat,
tempat Tokinobu bekerja. Setibanya Kiyomori di sana,
seorang pegawai memberitahunya bahwa orang yang
dicarinya telah pergi sesaat sebelumnya ke Departemen
Pendidikan untuk memeriksa beberapa catatan lama.
Setelah mendapatkan saran untuk mencarinya di
perpustakaan, Kiyomori sekali lagi berjalan kaki, berangkat
ke Departemen Pendidikan yang berjarak hanya beberapa
langkah dari Akademi Kekaisaran dan Gudang Pangan
Pusat Bagaimanapun, sesampainya di Departemen
Pendidikan, dia diberi tahu bahwa orang yang dicarinya
sudah pulang, namun pegawai yang ditanyainya bersedia
memberikan alamat Tokinobu di Jalan keenam kepadanya,
sehingga Kiyomori pun langsung mengarahkan langkahnya
ke sana.
Kiyomori heran melihat jalan becek dan kejorokan
lingkungan tempatnya berada. Dia tidak melihat satu pun
bangunan yang menyerupai kediaman seorang bangsawan.
Tidak ada gerbang besar atau bangunan mewah, perpaduan
harmonis antara arsitektur bergaya Tang dan tradisional
yang biasa terlihat di bagian utama ibu kota dan selama
berabad-abad telah dihuni oleh para pejabat negara, istanaistana bangsawan, dan rumah-rumah mewah yang dihuni
oleh keluarga-keluarga terkenal. Wilayah di pinggiran ibu
kota ini dan pemukiman di sisi jalan raya tidak lebih dari
tanah terbuka dengan gubuk-gubuk yang berdiri di sanasini, tempat para tukang sol, tukang besi, tukang kertas,
tukang samak kulit, dan tukang celup mencari
penghidupan. Hujan akhir musim gugur mendatangkan
banjir yang menggenangi jalanan, dan bocah-bocah kecil

memasang perangkap untuk burung berkik atau memancing


ikan karper yang terjebak di antara sampah-sampah yang
menggunung di jalan.
Kiyomori berhenti untuk mengamati keadaan di
sekelilingnya, memikirkan apakah dia harus bertanya,
ketika dilihatnya sekelompok orang mengerumuni sesuatu
dengan penuh semangat.
Kotekan ribut terdengararena sabung ayam! Sebelum
menyadari tindakannya, Kiyomori telah mendapati dirinya
menjadi bagian dari kerumunan tersebut. Dari beranda
sebuah rumah yang ada di dekat situ, yang rupanya dihuni
oleh seorang pawang ayam sabungan, istri si pelatih,
seorang wanita tua, dan beberapa orang bocah menjulurkan
leher untuk melihat apa yang terjadi. Beberapa orang
pejalan kaki dipaksa untuk menjadi penonton oleh si pelatih
yang berwajah kaku, yang dikawal oleh asistennya, yang
berdiri di belakangnya sambil membawa sebuah keranjang
berisi ayam jago andalannya. Seorang remaja lelaki telah
menantang si pawang, yang berkoar-koar dengan nyaring
untuk mengumumkan jumlah taruhan.
Uang logamaku hanya menerima uang logam!
Taruhan kecil tidak akan cukup untuk mengobati luka-luka
ayamku! Aku akan bertarung habis-habisan untuk uang
kalian. Nak, apa kau membawa uang?
Yaaku sudah mempersiapkan uang, jawab bocah
itu, yang sepertinya baru berusia empat belas atau lima
belas tahun. Tubuhnya kecil, namun tatapan garang yang
diberikannya kepada si pawang tampak serasi dengan
penampilan ganas ayam sabungan yang dikempitnya;
lesung pipit terlihat ketika dia tersenyum, meskipun
matanya tetap menatap dengan tajam. Berapa banyak?
Berapa yang akan kaupertaruhkan?

Bagus! Bagaimana dengan ini? si pawang


menawarkan, meletakkan sejumlah uang logam ke dalam
sebuah keranjang kecil, dan si bocah mengikutinya,
meletakkan uang logam dengan jumlah yang sama.
Siap? Masih mengempit erat-erat ayam jago yang
meronta-ronta di bawah lengannya, bocah itu berjongkok,
mengukur jarak di antara dirinya dan ayam sabungan
lawannya.
Tunggu, tunggu! Beberapa orang masih ingin
memasang taruhan. Sabarlah sedikit, Nak. Si pawang
menoleh kepada para penonton dan mengamati mereka
seorang demi seorang, menantang mereka dengan nada
setengah bergurau, Ayolah, tidak ada serunya jika kalian
hanya menonton. Bagaimana dengan sedikit taruhan
sedikit saja?
Gemerincing uang logam segera terdengar. Tepat ketika
itulah seorang wasit dan bandar muncul. Ada cukup banyak
orang yang bertaruh untuk ayam si pawang, namun hanya
beberapa orang saja yang bersedia mengambil risiko untuk
ayam si bocah.
Ini, aku akan membayar sisa taruhan untuk bocah itu!
seru Kiyomori, yang terkejut mendengar suaranya sendiri.
Dia mengeluarkan sejumlah uang. Cukup sudah.
Siap? si wasit meneriakkan aba-aba. Mata semua
penonton langsung tertuju pada arena suram yang ada di
hadapan mereka.
Nak, siapa nama ayam jagomu?
Singa, Pawang. Siapa nama ayam jagomu?
Kau tidak tahu? Permata Hitammari kita mulai!
Tunggu! Wasitlah yang seharusnya memberi aba-aba.

Kurang ajar, kau sepertinya sudah berpengalaman!


Kedua ayam jago itu saling berhadapan dengan leher
terjulur. Si wasit memberi aba-aba, dan keduanya langung
saling menubruk Kerikil-kerikil kecil dan bulu-bulu yang
bernoda darah bertebaran ke segala penjuru. Pertarungan
telah dimulai.
Seorang pria tua justru mengamati wajah-wajah
penonton sabung ayam itu dengan puas, mengabaikan
pertarungan yang berlangsung di hadapannya. Dia
mengenakan jubah pendeta dan sandal jerami; seorang
pelayan muda menemani pendeta itu, yang berdiri
menopangkan dagu ke kepala tongkatnya.
Ah, Kepala biara Toba! Kiyomori cemas karena
sabung ayam adalah pelanggaran hukum dan Kepala biara
juga melarang judi jalanan; jangan sampai dirinya terlihat
oleh sang kepala biara, karena pria itu sering berkunjung ke
Istana. Tetapi Kiyomori, yang mengkhawatirkan uangnya,
enggan pergi dari sana dan lebih memilih untuk
bersembunyi di balik tubuh seorang pria yang ada di
dekatnya.
Teriakan wasit terdengar nyaring. Pertarungan itu telah
usai. Meraup uang kemenangannya dan memeluk erat-erat
ayam jagonya, si bocah berlari melewati Kiyomori dan
menghilang begitu saja.
Kiyomori sedang hendak melenggang pergi dengan sikap
lugu ketika seseorang mendadak menghentikannya. Anak
mudaHeike Kiyomorike manakah kau hendak pergi?
AhYang Terhormat!
Suara sang kepala biara tidak mencerminkan keberatan
apa pun. Bukankah ini sangat menyenangkan? Aku juga

yakin bahwa bocah itu akan menang, dan dia benar-benar


menang.
Kelegaan yang luar biasa mendatangkan kembali
keberanian Kiyomori. Dia berkata, Yang Terhormat,
apakah Anda bertaruh untuk bocah itu?
Sang kepala biara tertawa terbahak-bahak. Tidak, aku
miskin dalam urusan semacam itu.
Tapi, tebakan Anda benar, bukan?
Tidak, aku tidak pandai menilai ayam sabungan. Ayam
milik si pawang sudah tua sepertiku; ayam si bocah masih
muda sepertimu. Tidak diragukan lagi yang mana yang
akan menang, tapi kemenanganmu dibabat dengan curang
oleh sbandar, sepertinya itu sebutan yang biasa dipakai
oleh orang-orang untuknya.
Yang Terhormatlah penyebabnya. Seandainya Anda
tidak ada di sini, saya akan mendebat orang itu habishabisan.
Tidak, tidak, itu adalah sebuah kesalahan. Kau akan
tetap kalah; tidakkah kau melihat bahwa si bandar adalah
kaki tangan si pawang? Tidak, mungkin lebih baik jika kau
tidak mengerti apa yang terjadi. Dan omong-omong,
bagaimana kabar ayahmu? Kudengar dia telah
mengundurkan diri dari jabatannya dan sekarang sedang
menyepi.
Benar, Yang Terhormat. Beliau baik-baik saja. Beliau
tidak suka terlibat dalam masalah Istana.
Aku cukup memahami perasaannya. Sampaikanlah
pesanku
kepadanya
untuk
menjaga
baik-baik
kesehatannya.

Terima kasih, jawab Kiyomori, bersiap-siap pergi.


Oh, Yang Terhormat, tahukah Anda apakah Tokinobu
dari Gudang Pangan Pusat tinggal di lingkungan ini?
Maksudmu Tokinobu yang dahulu bertugas di
Departemen Angkatan Bersenjata, Nak? kata sang kepala
biara, menoleh kepada pelayannya, apa kau tahu? Si
pelayan mengiyakan dan memberi tahu Kiyomori untuk
menyusuri kanal di sepanjang Jalan Keenam menuju
sebuah tempat pemujaan tua untuk Dewa Kesehatan.
Kediaman Tokinobu ada di seberang rumpun bambu di
kompleks tempat pemujaan tersebut katanya, dengan suka
rela menambahkan berbagai macam detailbahwa
Tokinobu, karena kedekatannya dengan klan Heike, tidak
saja dianggap aneh tetapi juga berkedudukan lemah; selain
itu, dia juga seorang yang terpelajar sehingga dianggap
lembekyang tentunya menjadikannya tidak cocok untuk
ditempatkan di Departemen Angkatan Bersenjata. Bahkan
di Gudang Pangan Pusat pun dia masih dianggap eksentrik.
Kediamannya, Kiyomori menyimpulkan, pasti akan
menunjukkan sesuatu yang mengejutkan.
Hmm gumam sang kepala biara, seperti ayahmu
saja, kurasa. Jadi, ternyata ada bangsawan yang mirip
dengan ayahmu. Anak muda, katakan kepada ayahmu
bahwa perbukitan Togano-o sekarang ini terlalu dingin
untukku, sehingga aku akan menghabiskan musim dingin di
pertapaanku di Toba, tempatku akan menekuni
kegemaranku melukis. Katakanlah kepadanya untuk
mengunjungiku sesekali. Setelah mengatakan itu, sang
kepala biara membalikkan badan dan meninggalkan
Kiyomori.
Kiyomori berjalan melewati rumpun bambu di dekat
tempat pemujaan hingga mendapati dirinya berada di
bagian luar sebuah pagar anyaman ranting yang rupanya

menutupi seluruh blok. Kiyomori kaget ketika melihat


bahwa gerbang rumah itu jauh lebih reyot daripada gerbang
rumahnya sendiri. Dia nyaris takut berteriak untuk
meminta izin masuk karena tidak ingin gerbang itu ambruk
gara-gara dirinya, namun ternyata itu memang tidak perlu
dilakukannya karena dia melihat sebuah lubang yang cukup
besar
untuk
dirangkakinya.
Dia
memutuskan,
bagaimanapun, untuk mengumumkan kedatangannya
dengan cara biasa, yaitu meneriakkan sapaan beberapa kali.
Sejenak kemudian, dia mendengar langkah kaki. Pintu
gerbang
berderit
nyaring
seolah-olah
seseorang
membukanya dengan penuh kesulitan, dan wajah seorang
bocah lelaki tiba-tiba terlihat
Oh? Bocah itu memandang Kiyomori dengan mata
membulat
Senyum ramah merekah di wajah Kiyomori ketika dia
mengenali bocah itu. Mereka baru saja bertemu. Tetapi,
bocah itu langsung meninggalkannya di tempatnya berdiri,
berlari begitu saja, dan menghilang dari penglihatan
Kiyomori.
=odwo=
Sebuah mata air yang bergemericik di dalam kompleks
tempat pemujaan untuk Dewa Kesehatan mengalir di
sepanjang hamparan batu buatan di bagian dalam pagar dan
melintasi pekarangan. Bagaikan seutas pita sutra, aliran
sungai kecil itu berkelok-kelok di sepanjang taman,
melewati bagian sayap timur kediaman Tokinobu,
melingkari rumpun pepohonan dan menembus rumpun
bambu, hingga menghilang ke sisi luar pagar. Kediaman
Tokinobu sepertinya dahulu pernah digunakan sebagai
rumah peristirahatan kekaisaran dan tak kalah indahnya
dari keadaan di sekelilingnya. Tetapi, bangunan utama dan
sayap-sayapnya tampak bobrok bahkan jika berada di

wilayah luar ibu kota. Kendati begitu, tamannya terawat


dengan cermat sehingga memancarkan seluruh keanggunan
masa lalunya dan sepertinya mencerminkan budi pekerti
pemiliknya saat ini. Setiap jengkal taman tersebut tampak
rapi dan tersapu bersih.
Karena tidak melihat seorang budak pun, Kiyomori
mengintip melalui lubang dan melihat dua orang gadis
muda sedang mencuci baju di bagian sungai yang terletak di
ujung bawah taman. Lengan panjang kimono mereka
terayun-ayun ke depan dan belakang, dan ujung lapisan luar
kimono mereka tergulung, memamerkan pergelangan kaki
yang putih. Kiyomori yakin bahwa mereka adalah putri
sang pemilik rumah, dan dia tiba-tiba mensyukuri tugas
yang membawanya kemari.
Jika kedua gadis itu kakak beradik, maka bocah lelaki
yang dilihatnya tadi tentunya juga saudara mereka. Rambut
gadis yang lebih kecil masih disanggul dengan gaya kanakkanak; Kiyomori penasaran ingin mengatahui umur
kakaknya.
Mereka sedang mewarnai benang yang akan ditenun. Di
dekat mereka terdapat bejana berisi pewarna kain dan
helaian-helaian benang sutra panjang yang terentang di
antara tangkan rumah dan sebatang pohon mapel berdaun
merah. Kiyomori tidak yakin bagaimana harus menyapa
mereka, dan dia khawatir akan mengejutkan mereka,
namun gadis yang lebih kecil tiba-tiba mendongak dan
melihatnya. Dia membisikkan sesuatu kepada kakaknya;
keduanya langsung berdiri, meninggalkan pekerjaan mereka
begitu saja, dan berlari menuju salah satu sayap rumah.
Meskipun ditinggal seorang diri bersama unggas-unggas
yang sedang berenang-renang di kali, Kiyomori tidak
keberatan. Dia memutuskan bahwa sekaranglah saat yang

tepat baginya untuk membasuh tangannya di sungai dan


meluruskan topi di kepalanya.
Wah, Kiyomori, bagaimana kabarmu? Silakan masuk,
silakan masuk, sapa sebuah suara yang pernah berulang
kali didengar oleh Kiyomori di rumahnya sendiri. Kiyomori
membungkuk dalam-dalam ke arah sebuah galeri tempat
suara itu berasal.
Setelah Tokinobu mempersilakannya memasuki ruangan
yang longgar dan luar biasa bersih itu, Kiyomori langsung
menyerahkan surat dari ayahnya.
Ah, terima kasih, kata Tokinobu, menerimanya
dengan kesan telah mengetahui isi surat itu. Bukankah ini
pertama kalinya kau mengunjungi rumahku?
Kiyomori menjawab basa-basi singkat Tokinobu dengan
sensasi seperti menghadapi para pemeriksa di akademi.
Bukan sikap sok tahu Tokinobu melainkan rasa
penasarannya terhadap putri pria itulah yang membuat
Kiyomori tegang. Kiyomori tidak menyukai janggut
panjang dan hidung bengkok Tokinobu, namun pikirannya
sedang melayang ke tempat lain, sibuk dengan khayalannya
sendiri. Dia segera menyadari bahwa dirinya mendapatkan
sambutan yang lebih baik daripada yang semestinya
diterima oleh seorang kurir. Sake disajikan dan berbaki-baki
makanan terhidang di hadapannya. Walaupun sikapnya
belum terpoles, kesadaran Kiyomori bisa tergerak dalam
sekejap bagaikan senar harpa. Dia tidak mengetahui apa
yang ada di dalam pikiran ayahnya akhir-akhir ini ataupun
apa yang sedang dipikirkan oleh Tokinobu pada saat ini.
Kiyomori, yang pada awalnya tampak menjaga jarak,
bukan karena dia merasa perlu berhati-hati melainkan
karena sudah menjadi sifatnya untuk tidak terlalu cepat
memberikan penilaian, mendudukkan diri dengan nyaman
di atas bantal, memutuskan untuk menyingkirkan seluruh

keraguannya.
Dia
akan
minum
banyak-banyak,
memberikan kesempatan kepada sang tuan rumah untuk
mengamati tamu mudanya, sementara dia sendiri akan
mengamati apakah putri sang tuan rumah cantik atau tidak.
Gadis itu masuk beberapa kali, lalu keluar lagi dengan gaya
menggoda; akhirnya, dia masuk dan duduk di samping
ayahnya. Dia sudah dewasa dan, meskipun tidak cantik,
berkulit mulus dan berwajah oval; Kiyomori juga lega
ketika melihat bahwa hidungnya tidak bengkok seperti
hidung ayahnya. Jelas terlihat bahwa dia adalah putri
kesayangan ayahnya.
Ini Tokiko, yang tertua dari dua orang putriku yang
kaulihat di taman, kata Tokinobu, memperkenalkan
putrinya. Eh?adiknya, Shigeko, masih kanak-kanak, dan
aku ragu apakah dia mau masuk meskipun aku
memanggilnya kemari. Kendati tersenyum dengan tulus,
keletihan dan keuzuran terpancar dari mata Tokinobu, yang
berkaca-kaca karena efek sake. Dia mengenang ibu Tokiko
yang telah meninggal dunia dan menyebabkan dirinya,
seperti Tadamori, harus membesarkan anak-anaknya
seorang diri. Akibat sake yang melemaskan lidahnya,
Tokinobu mengakui dengan berurai air mata bahwa dia
tidak sanggup menghadapi dunia dan telah gagal
memberikan keceriaan yang layak kepada anak-anak
gadisnya. Seraya melirik Tokiko, dia menambahkan, Dia
berumur sembilan belas tahun, hampir dua puluh, dan dia
tetap tidak bisa mengucapkan apa-apa di hadapan tamutamuku.
Sembilan belas! Kiyomori kecewa. Dia sudah tua!
Tetapi, dia berpikir bahwa bukan salah Tokikolah jika dia
belum menikah, karena ayahnya sendiri, Tadamori, turut
bertanggung jawab dalam hai ini. Kiyomori memikirkan
ayahnya dan kejahatan semena-mena para pejabat istana.

Selama bertahun-tahun, mereka telah bersekongkol untuk


menjungkalkan
Tadamori
dari
posisinya,
hingga
kegagalannya dalam menangkap Morito menghadirkan
kesempatan yang telah lama mereka tunggu untuk
menendangnya secara tidak terhormat dari Istana.
Kiyomori teringat ketika baru-baru ini ayahnya bercerita
kepadanya tentang Tokinobu, dan dia merasa harus
mempertimbangkan kembali pendapatnya tentang Tokiko.
Tokinobu telah secara tidak langsung terlibat dalam
hubungan buruk Tadamori dengan para pejabat istana, dan
peran yang dipegangnya tersebut tidak menguntungkan bagi
dirinya dan putri-putrinya. Dalam banyak hal, masa kecil
mereka sama dengan masa kecil Kiyomori, dan sekarang
dia memahami betapa besarnya utang budi ayahnya kepada
Tokinobu.
=dow=
Untuk memahami situasi yang berujung pada
pengunduran diri Tadamori dari Istana, perlu dijelaskan
mengenai sebuah peristiwa pada Maret 1131, ketika
Kiyomori masih berusia lima belas tahun. Ketika itu, kuil
besar di Sanju-Sangen-Do yang memiliki seribu lukisan
Buddha telah selesai dibangun dan seluruh ibu kota larut
dalam upacara pembukaan besar-besarannya. Pada
kesempatan itu, Mantan Kaisar Toba tidak hanya
menghadiahi Tadamori dengan tambahan tanah tetapi juga
mengangkatnya menjadi pejabat istana, sebuah kehormatan
yang belum pernah diberikan kepada seorang samurai
sebelumnya. Para bangsawan yang terusik karenanya
sepakat untuk membunuh Tadamori pada malam
perjamuan Istana, ketika dia dijadwalkan hadir. Lebih
daripada kedengkian, rencana ini didasari oleh ketakutan.
Sebuah surat kaleng dilemparkan ke rumah Tadamori
pada malam perjamuan, berisi peringatan baginya

mengenai upaya pencabutan nyawanya. Menanggapi pesan


itu, Tadamori tersenyum santai, mengatakan bahwa dia
akan menghadapi tantangan itu sebagai seorang samurai,
dan pada malam perjamuan, dia hadir di Istana dengan
membawa pedangnya. Di sana, di bawah tatapan curiga
para pejabat istana, dia menghunus pedangnya untuk
menguji ketajamannya pada ikatan rambutnya. Bilah baja
itu, yang berkilauan bagaikan es di tengah kelap-kelip
cahaya lilin, menebarkan keraguan kepada para pejabat
istana yang waspada. Seorang menteri, yang ketika itu
sedang berjalan melewati salah satu galeri terbuka di Istana,
melihat dua sosok mencurigakan, yang bersenjata lengkap,
sedang berjongkok di salah satu sudut halaman dalam, lalu
meneriaki mereka; seorang perwira dari Golongan Keenam
segera muncul untuk menantang para penyusup itu dan
menerima jawaban, Kami adalah anak buah Heike
Tadamori. Kami telah mendapat peringatan tentang bahaya
yang
mengancam
majikan
kami.
Kami
siap
mempertaruhkan nyawa untuk beliau.
Para pejabat istana, yang segera mendengar tentang hal
ini, geram. Keesokan harinya, dipimpin oleh seorang
menteri, mereka menuntut agar Tadamori dihukum karena
hadir di Istana dengan membawa senjata dan ditemani oleh
prajurit Mantan Kaisar, yang gundah, memanggil Tadamori
untuk meminta penjelasan. Dengan wajah menyesal yang
sepantasnya, Tadamori perlahan-lahan menurunkan
pedangnya, menghunusnya, dan menunjukkan kepada
Mantan Kaisar bahwa pedang itu terbuat dari bambu yang
bercat perak. Kedua anak buahnya, kata Tadamori, hanya
bertindak seperti layaknya semua pelayan setia kepada
majikannya. Sang mantan kaisar memuji Tadamori untuk
kebijaksanaannya, namun musuh-musuhnya di Istana
semakin gelisah bersama setiap pemberian tanda
penghormatan oleh sang penguasa kepada Tadamori, dan

ketika mereka mendengar bahwa Tokinobulah yang telah


memberi peringatan kepada Tadamori tentang rencana nista
itu, mereka berusaha menyingkirkannya dari Istana.
Tokinobu, yang telah bertahun-tahun mengabdi di Istana,
segera mendapati bahwa seluruh jalannya untuk menduduki
jabatan yang lebih tinggi telah tertutup.
*dw*
Lihat, ada kubangan air lagi! bocah bernama Tokitada
itu berseru senang, mengayunkan obornya ke kaki
Kiyomori ketika mereka meraba-raba mencari jalan
menembus rumpun bambu.
Kiyomori mabuksepenuhnya ditaklukkan oleh sake.
Meskipun dia yakin dirinya bisa mencari jalan pulang,
Tokinobu meragukannya, dan atas desakan Tokiko,
menyuruh putranya untuk menemani Kiyomori hingga
Jalan Ketujuh.
Setelah Kiyomori menghabiskan waktu lama di
rumahnya, Tokiko sudah tidak bersikap malu-malu lagi; dia
banyak bicara dan tertawa, dan Kiyomori bisa merasakan
kehangatan tertentu dari cara gadis itu mencuri pandang ke
arahnya. Tetapi, astaga, gadis itu berumur sembilan belas
tahun! Ini mengganggu Kiyomori; dia seperti kakak
perempuan saja. Kiyomori berpikir apakah ini karena dia
membandingkan Tokiko dengan Ruriko. Apa pun itu, dia
memutuskan untuk mengatakan kepada ayahnya bahwa
penampilan dan kepandaian Tokiko begitu memikatnya.
Tetapi, yang benar-benar berhasil menarik minatnya adalah
adik lelaki Tokiko yang berumur enam belas tahun,
Tokitada.
Ho, Singa, Kiyomori menggodanya.

Sambil mengayun-ayunkan obornya ke depan dan


belakang dengan riang, Tokitada membalasnya, Apa,
dasar jongos!
Oh? Bukan jongos, aku adalah seorang samurai muda.
Seorang samurai muda sama saja dengan seorang
jongos tua!
Jadi, anak muda yang pemberani, tidakkah aku tadi
melihatmu menyabung ayam di jalan?
Dan kau berjudi! Kau juga bersalah! Jadi, apa kata
ayahku kepadamu?
Kiyomori tergelak. Ternyata ada juga orang yang sama
dengan aku. Kau memang kocak!
Apanya yang sama dengan kamu?
Kau juga katak muda.
Katak muda itu kecebong. Aku akan menyuruh si Singa
mematukmu.
Aku menyerah, aku menyerah, Kiyomori memprotes.
Ulurkan tanganmumari kita membuat kesepakatan
kita akan berteman seumur hidup!
Angin dingin dari Perbukitan Utara menyapu dedaunan
kering sebelum menerpa mereka tanpa ampun, mendorong
mereka memasuki wilayah pemukiman kumuh yang telah
dilihat oleh Kiyomori siang itu. Tertiup dan terdorong oleh
angin, Kiyomori menghilang dalam kegelapan malam,
sementara sosok mungil di Jalan Keenam melambai
kepadanya dengan obornya.
?=d-w=?
Sudah menjadi kebiasaan putra-putra Tadamori untuk
menghadap dan memberikan penghormatan resmi kepada

ayah mereka setiap pagi. Bahkan Norimori, si bungsu, juga


hadir untuk menerima ucapan selamat pagi yang
disampaikan dengan sangat khidmat. Dan sudah menjadi
kebiasaan Tadamori untuk menyampaikan beberapa patah
kata penyemangat untuk anak-anak piatunya, yang
menyambut ritual harian itu bersama terbitnya matahari.
Kiyomori menceritakan kejadian pada hari sebelumnya:
Yang Terhormat Tokinobu tidak memberikan jawaban
untuk surat Ayah. Karena tidak bertemu dengan beliau di
Gudang Pangan Pusat, aku mendatangi rumahnya.
Sebenarnya, aku mengalami sedikit kesulitan dalam
mencari alamatnya dan nyaris gagal menemui beliau.
Beliau sangat baik hati, dan aku pulang cukup larut malam.
Beliau juga mengirim salam untuk Ayah.
Kiyomori
kemudian
menceritakan
pertemuannya dengan Toba Sojo.

tentang

Jadi, Kepala Biara sepertinya puas dengan lukisannya


. Beliau berdarah biru, dan seandainya mau, beliau bisa
menonjol di kalangan para bangsawan, renung Tadamori,
seolah-olah secara diam-diam malu karena dirinya sekarang
menganggur.
Begitulah sifat beliau; seorang yang sangat eksentrik,
Kiyomori menjawab dengan singkat, merasa bahwa
komentar ayahnya telah menyimpang dari topik, karena dia
sepenuhnya mengira ayahnya akan bertanya tentang
Tokinobu dan putrinya Tokiko. Berlawanan dengan
perkiraan putranya, Tadamori bahkan tidak mengucapkan
sepatah kata pun yang berkaitan dengan hal itu. Alih-alih,
dia berkata, Dan, omong-omong, kudengar Yang Mulia
akan segera berangkat untuk melakukan perjalanan ziarah
ke Kuil Anrakuju-in.

Ya, Yang Mulia akan berangkat pada pagi hari tanggal


15 Oktober dan kepergian beliau akan dilepas di Aula
Besar. Kudengar beliau akan menginap selama dua atau
tiga malam di Istana Peristirahatan di Takeda, jawab
Kiyomori.
Kau pasti sibuk di Pangkalan Pengawal. Aku yakin kau
tidak sekali pun mengabaikan pekerjaanmu semenjak
kepergianku, dan kuharap kau mengabdikan diri
sepenuhnya kepada Yang Mulia.
Tentu saja, Ayah, namun para samurai kecewa. Mereka
sekarang menjadikan Ayah sebagai alasan untuk berkeluh
kesah. Mereka belum melupakan bagaimana Istana
memperlakukan Genji Yoshiiye, yang telah menghabiskan
beberapa tahun meredakan pemberontakan di wilayah
timur laut. Walaupun dia berhasil, kaisar yang berkuasa
ketika itu berpendapat bahwa dia menyelesaikan
pekerjaannya seorang diri dan menolak untuk memberinya
imbalan, sehingga Yoshiiy& terpaksa menjual rumah dan
tanahnya; kendati begitu, dia tetap tidak mampu membayar
para prajuritnya dengan layak. Dirimu sekalipun, Ayah,
mengetahui bahwa operasi terakhir kita ke wilayah barat
walaupun sukseshanya mendapatkan imbalan yang
sangat kecil sehingga nyaris tidak cukup untuk dibagikan ke
seluruh pasukan kita. Hasil akhirnya hanyalah ini
kemiskinan kita ini.
Begitulah nasib samurai.
Dan benarkah jika para bangsawan itu menahan semua
hak samurai untuk memastikan agar kita selalu
berkedudukan di bawah mereka? Kita tahu bahwa itulah
niat mereka, namun semua samurai gelisah memikirkan
masa depan.

Itu tidak masalah, karena kepada Yang Mulialah kita


mengabdi, bukan kepada mereka.
Tetapi, mereka memiliki kekuatan untuk menentukan
kehidupan atau kematian kita dan bisa bertindak atas nama
Istana, yang juga tempat mereka mengabdi. Kita tidak
memiliki hubungan langsung dengan Yang Mulia, jadi,
apakah yang bisa kita lakukan? Karena itulah para samurai
risau. Ayah harus kembali ke Istana.
Waktunya belum tiba. Untuk saat ini, mereka lebih baik
tanpa aku.
Dan ada desas-desus yang mengatakan bahwa Genji
Tameyoshi, yang namanya sudah selama beberapa waktu
tenggelam, akan dipanggil kembali ke Istana. Ada pula
kabar burung yang menyatakan bahwa Yorinaga, Menteri
Golongan Kiri, mencegahnya atas nama Yang Mulia.
Semua desas-desus itu sangat meresahkan.
Heita, kau akan terlambat Kau harus berangkat pagipagi. Dan ingadah, kau harus mempersiapkan perjalanan
ziarah Yang Mulia.
Maafkan aku jika aku telah menyinggung perasaan
Ayah, kata Kiyomori, merasa bahwa entah bagaimana, dia
telah menjengkelkan ayahnya, yang menurut perasaannya
tampak lebih tegas dan keras daripada sebelumnya.
=odwo=
Istana Peristirahatan di Takeda, sebuah wilayah di
sebelah selatan ibu kota, adalah tempat peristirahatan
favorit Mantan Kaisar Toba, yang menyukai pemandangan
di seberang Sungai Kamo dan Katsura, sehingga dia
memerintahkan agar Kuil Anrakuju-in didirikan di sana.
Ketika waktu persembahan semakin dekat, sang penguasa
itu menyampaikan keinginannya untuk membangun sebuah

pagoda bertingkat tiga di dalam kompleks kuil. Dia


mengundang Nakamikado lyenari, yang sekarang telah
pensiun dari kegiatannya di Istana Kekaisaran, untuk
mengikuti perjalanan ziarahnya dan memintanya
menggambar
rancangan
pagoda
dan
mengawasi
pembangunannya.
Berduyun-duyun, tibalah kereta para bangsawan, barisan
pendeta dalam balutan jubah kebesaran mereka, dan
rombongan para penonton dari seluruh penjuru desa,
semuanya menuju kuil, tempat para fakir miskin membanjir
bagaikan lalat untuk menerima sedekah. Tak terhitung
banyaknya pengawal ditempatkan di sepanjang rute yang
dilalui oleh Mantan Kaisar; dan di tepi kedua sungai, di
sekeliling wilayah Takeda, dan di mana pun mereka
mendirikan perkemahan, api unggun besar menerangi langit
malam.
Mantan Kaisar tinggal di sana selama dua hari.
Menjelang malam hari kedua, hujan deras turun dan
lingkungan Istana, yang sebelumnya ramai oleh
pengunjung, mendadak sunyi. Aula Besar terlihat mencolok
di tengah kegelapan layaknya sebuah ruangan dalam mimpi
berkat kerlap-kerlip cahaya lentera.
Para pengawal akhirnya beristirahat dan menyantap
makan malam mereka di tempat berteduh sementara. Jatah
sake kekaisaran telah dibagikan kepada mereka sehari
sebelumnya, namun mereka semua terlalu sibuk untuk
mencicipinya. Sebagian pengawal mengeringkan mantel
mereka di dekat api; sebagian yang lain telah mencopot
pakaian pelindung mereka, mengedarkan cangkir sake, dan
menyantap jatah makanan mereka.
Salah seorang pengawal berkata, Ini mungkin hanya
desas-desus, tapi Genji Wataru tidak akan datang saat
upacara persembahan.

Wataru? Oh, maksudmu


Bagaimana kabarnya?

suami

Kesa-Gozen.

Hmm tepat sebelum kita berangkat, dia mendadak


meminta izin untuk mengundurkan diri kepada Menteri
Golongan Kiri, yang, sepertinya, mendesaknya untuk
mempertimbangkan kembali keputusannya, namun Wataru
tetap menyampaikan permohonan pengunduran dirinya
pada penasihat Istana dan sejak saat itu tidak terlihat lagi di
ibu kota.
Oh, apa maksudnya melakukan itu?
Bisa dipastikan, karena terbakar oleh kebencian kepada
Morito, yang telah membunuh istrinya, dia pergi untuk
mencarinya dan membalas dendam. Dia pernah
mengatakan bahwa dia sudah tidak tahan menyandang
predikat sebagai suami dari seorang wanita korban
pembunuhan.
Tidak ada yang tahu di mana Morito akan ditemukan.
Wataru tidak bisa disalahkan jika merasa begitu.
Bagaimanapun, menurutku Morito sudah ditakdirkan untuk
melakukan dosa dan menjalani sisa kehidupannya dengan
siksaan rasa bersalah
Orang-orang mengatakan bahwa mereka pernah
melihatnya di wilayah perbukitan Takao atau di sekitar
Kumano. Faktanya, ada sangat banyak cerita semacam itu
yang terdengar di masyarakat, sehingga dia pasti masih
hidup.
Sementara para pengawal saling bertukar cerita, pendar
cahaya yang terlihat di antara pepohonan di ujung lain
Istana menunjukkan bahwa para pengiring Mantan
Kaisarpara pejabat istana, pendeta, dan dayang-dayang
mungkin sedang menghabiskan waktu dengan mengadakan
kontes puisi; dari bilik Mantan Kaisar, bagaimanapun, tidak

terdengar alunan musik; kegelapan menyelimuti tempat itu,


dan hanya gemericik air hujan yang sedikit menghidupkan
suasana.
Apakah Yoshikiyo ada di sini? Adakah di antara kalian
yang melihat Sato Yoshikiyo? wajah Kiyomori tiba-tiba
muncul di tengah kegelapan malam, membelalakkan mata
dan tampak cemas. Beberapa orang pengawal
memanggilnya, mendesaknya untuk bergabung dan berbagi
sake dengan mereka, namun Kiyomori menggeleng dan
menjelaskan dengan risau, Aku tidak punya waktu untuk
itu sekarang. Aku tidak begitu yakin tentang ini, tapi
kudengar salah seorang pelayan Yoshikiyo ditahan oleh
petugas dari kepolisian siang tadi. Dia terlibat perkelahian
di Gerbang Rashomon. Aku baru saja mendapatkan kabar
itu dan sepertinya Yoshikiyo belum mendengarnya. Aku
tidak menemukannya di mana-mana, tapi jika salah seorang
dari kalian tahu di mana dia, tolong sampaikan kabar ini
kepadanya.
Meskipun sikap santainya dipandang miring oleh semua
orang di Istana, ketulusan Kiyomori dalam memperlakukan
rekan-rekan sejawatnya menjadikannya populer di kalangan
para pengawal, dan pada saat seperti ini, mereka siap sedia
menolongnya.
Apa! Di Gerbang Rashomon? Berarti masalah sedang
menanti Yoshikiyo sekarang. Lebih cepat kita memberi
tahu dia, lebih baik.
Kecemasan Kiyomori menular, dan para pengawal serta
merta bangkit untuk membantunya. Empat atau lima orang
temannya bergegas berlari ke berbagai penjuru menembus
hujan deras.
o)-=dw=-(o

Bab VII SALAM PERPISAHAN DARI


SEORANG SAMURAI
Yoshikoyo tidak bisa ditemukan. Dia tidak ada di
Pangkalan Pengawal. Seseorang mengatakan bahwa dia
barangkali tergabung di dalam rombongan Tuan Tokudaiji,
terhambat oleh beberapa tugas yang tidak terduga, dan
mungkin sudah mendengar kabar buruk tentang
pelayannya. Salah seorang pengawal bertanya, Apakah dia
belum sampai juga? Entah apa yang menahannya.
Apa kau yakin bahwa Yoshikiyo sudah mendengar
tentang hal ini? Tentu saja, dia bukan pengecut yang akan
mengabaikan pelayannya yang sedang kesusahan?
Kita sebaiknya tetap mencoba menyampaikan kabar ini
kepadanya.
Para pengawal membahas masalah ini, cemas dan
gelisah, tidak menikmati sake mereka, dan kesal karena
Yoshikiyo tidak kunjung tiba. Mereka memiliki alasan
untuk khawatir.
Apa pun yang terjadi, orang-orang Tameyoshi tidak
akan melepaskan si pelayan dengan mudah . Apa
sebenarnya yang sedang dilakukan oleh Yoshikiyo?
Mereka sudah lelah, dan meskipun gelisah, sebagian dari
mereka telah tertidur; beberapa yang lain terkantuk-kantuk,
dan sisanya telah mabuk gara-gara sake.
Yoshikiyo akhirnya terlihat di luar salah satu tenda.
Selamat malam, kalian semua! Aku sudah menjerumuskan
kalian dalam masalah besar, tapi aku akan berangkat
sekarang. Aku akan kembali saat matahari terbit, selambatlambatnyatepat pada waktunya untuk bergabung dengan
kalian dalam perjalanan pulang. Jangan terlalu
mencemaskan aku. Yoshikiyo mengenakan mantel

berkuda dan menarik kudanya. Satu-satunya teman


perjalanannya adalah seorang bocah pembawa obor.
Para pengawal terperangah melihat ketenangan
Yoshikiyo. Seorang samuraiyang berbakat menulis
puisibersikap seperti ini di tengah situasi krisis;
kekaguman mereka pun semakin melambung.
Eh, jadi kau berharap bisa membawa pelayanmu pulang
sebelum pagi tiba, Yoshikiyo? Apa kau menyadari dengan
siapa kau berurusan?
Kiyomori sendiri memprotes kesembronoan Yoshikiyo.
Tidakkah dia menyadari, tanya Kiyomori, bahwa
Tameyoshi, mantan kepala Pengawal Genji, sama sekali
tidak menghargai samurai yang menggantikan anak
buahnya sendiri di Istana? Dia bisa dikatakan sebagai
musuh bebuyutan mereka, yang selalu mencari-cari
kesalahan Pengawal Heike. Yoshikiyo sebaiknya
memikirkan hal ini baik-baik. Niat buruk Tameyoshi sudah
tersebar luas, dan semua orang sudah menduga adanya batu
sandungan bagi Yoshikiyo. Sungguh berbahaya untuk pergi
ke sana seorang diri dan berusaha membuat kesepakatan
dengan Tameyoshi. Jika Yoshikiyo hendak pergi seorang
diri, mereka semua akan turut serta atas nama Kesatuan
Pengawal dan siap melawan kekerasan dengan kekerasan.
Mari, kalian semua, seru Kiyomori, kita semua akan
pergi bersama Yoshikiyo dan menyelamatkan pelayannya!
Beberapa orang berseru, Ini baru menyenangkan! dan
berbondong-bondong ke luar dengan gaduh, haus darah dan
menyambut gembira perubahan suasana. Sekitar dua puluh
orang prajurit mengelilingi Yoshikiyo sambil berteriakteriak, Mari kita berangkat! Mari kita berangkat!
Yoshikiyo bergeming, namun mengangkat tangan untuk
menghentikan mereka.

Tunggu, kalian bertingkah seperti anak-anak hanya


gara-gara masalah sepele ini. Ingatlah, kalian masingmasing memiliki tugas di sini dan kita tidak ingin
perjalanan ziarah ini terganggu. Karena pelayankulah yang
menimbulkan semua keributan ini, akulah yang akan pergi
dan membuat kesepakatan untuknya. Bersikaplah seolaholah tidak ada yang terjadi.
Setelah
berhasil
menenangkan
rekan-rekannya,
Yoshikiyo berpaling begitu saja dari Kiyomori, seolah-olah
kesal karena dialah yang menyebabkan kekisruhan ini.
Kemudian, memerintah bocah pelayannya untuk
mengangkat obornya tinggi-tinggi, dia memacu kudanya
menembus malam dan hujan.
=de=
Siang
itu,
Yoshikiyo
memerintah
pengawal
kepercayaannya, Gengo, untuk mengirim beberapa puisi
yang ditujukan kepada beberapa pengiring Nyonya
Taikenmon, ibunda Kaisar dan mantan permaisuri Mantan
Kaisar Toba. Nyonya Bifukumon, yang dipilih oleh Toba
untuk menggantikan Nyonya Taikenmon, menemani Toba
dalam perjalanan ziarahnya, dan Yoshikiyo, yang
tergabung dalam rombongan sang mantan kaisar, mau tidak
mau teringat betapa Nyonya Taikenmon tentu hidup
kesepian sekarang, hanya bersama beberapa teman yang
sesekali mengunjunginya. Karena itulah dia mengumpulkan
puisi-puisi yang ditulisnya sepanjang dua hari perjalanan,
menujukannya kepada beberapa pujangga wanita di
keputrian Nyonya Taikenmon. dan menyuruh Gengo untuk
mengirimnya ke ibu kota. Tidak penting bagi Yoshikiyo
apakah Gengo mendapatkan masalah dalam perjalanannya
menuju atau meninggalkan ibu kota, karena pikirannya saat
ini hanya tertuju pada kediaman Tameyoshi. Walaupun
tampak santai di hadapan Kiyomori dan para pengawal

lainnya, Yoshikiyo tahu betul reputasi pria yang akan


ditemuinya. Gengo, pelayan kesayangannya, sedang berada
dalam bahaya, dan jika diperlukan, Yoshikiyo siap
mempertaruhkan nyawa untuknya. Dia memacu kudanya,
berdoa agar tidak ada yang terjadi pada Gengo hingga dia
tiba.
Ketika itu hampir tengah malam dan hujan telah reda.
Bulan memancarkan sinar pucatnya dari balik awan dan
menerangi atap kediaman Tameyoshi dan gerbangnya yang
tampak mencekam. Tameyoshi, yang sedang bersiap-siap
beristirahat malam itu, mendengar ketukan nyaring di
gerbang dan jawaban galak si penjaga malam. Tameyoshi
sendiri keluar untuk melihat apa yang terjadi, menemui
Yoshikiyo, dan mengundangnya ke sebuah ruangan yang
menghadap ke halaman dalam. Di sana, di bawah cahaya
temaram sebuah lentera, dia mendengarkan penuturan
Yoshikiyo.
Yoshikiyo mendapati bahwa, berlawanan dengan rumor
yang sering didengarnya, Tameyoshi ternyata orang yang
lemah lembut. Situasilah yang memaksa Tameyoshi, cucu
seorang kepala klan termahsyur, menjadi kepala sebuah
rumah tangga samurai. Masih berusia awal empat puluhan,
Genji Tameyoshi berpembawaan menyenangkan dan
bersikap rasional.
Tentu saja, saya mengerti. Saya akan segera menangani
masalah ini. Akhir-akhir ini ada begitu banyak desas-desus
tentang pertikaian antara anak buah saya dan para
pengawal, jika pelayan Anda telah ditahan tanpa alasan,
maka dia harus sesegera mungkin dibebaskan. Ho,
kemarilah Yoshitomo! Tameyoshi memanggil seseorang
yang ada di ruangan lain. Yoshitomo, putra sulungnya,
segera memenuhi panggilannya dan berlutut di beranda,
dengan sopan menanyakan alasan ayahnya memanggilnya.

Yoshikiyo menatap pemuda itu dengan ramahseorang


anak yang berbakti.
Setelah bertukar beberapa patah kata dengan ayahnya,
Yoshitomo segera memanggil para penjaga rumah dan
pelayan untuk menanyai mereka; dalam waktu singkat, dia
muncul kembali dan berlutut di taman di luar.
Aku membawa pelayan Yang Terhormat Yoshikiyo dan
salah satu prajurit kita, yang telah menantang dia.
Wajah Gengo bengkak akibat dihajar habis-habisan. Dia
langsung menangis begitu melihat majikannya.
Siapa yang
penjelasan.

menahanmu?

Tameyoshi

menuntut

Putra Anda, Yang Terhormat Yoshikata.


Alasan penahananmu?
Yoshitomo menjawab pertanyaan itu untuk si tahanan,
menjelaskan tentang apa yang telah terjadi siang itu.
Gengo, katanya, berhenti di Gerbang Roshomon dan
diperiksa oleh orang-orang Yoshikaya karena membawa
sesuatu yang terlihat seperti sebuah dokumen resmi. Gengo
menolak untuk menyerahkan gulungan yang dibawanya,
bersikeras bahwa gulungan itu dikirim oleh beberapa wanita
di Istana untuk majikannya, dan menambahkan bahwa para
prajurit yang memeriksanya tidak boleh membaca isi
gulungan itu.
Dan kemudian?
Yoshitomo melanjutkan, Aku mendengar bahwa
Yuigoro merebut gulungan itu dari Gengo dan merobekrobeknya. Gengo yang marah menyerangnya, menangis
karena majikannya telah dihina. Para prajurit lain di

Gerbang Roshomon kemudian menghajar Gengo, mencaci


makinya, dan menjebloskannya ke penjara.
Baiklah. Panggillah Yoshikata, perintah Tameyoshi.
Seorang pemuda berusia dua puluhan segera datang.
Tameyoshi mendampratnya karena perilaku buruk para
prajurit yang menjadi tanggung jawabnya dan, setelah
selesai berbicara, tiba-tiba berdiri dan menendang putranya,
yang jatuh dari beranda ke taman. Berpaling kepada
Yoshikiyo, Tameyoshi berkata, Saya akan menyerahkan
kepada Anda untuk menindak putra saya dan prajuritnya
sesuai dengan keinginan Anda. Saya menyalahkan diri saya
sendiri atas apa yang telah terjadi dan akan mendatangi
istana Nyonya Taikonmen untuk meminta maaf. Saya
sangat menyesali apa yang telah terjadi pada pelayan Anda.
Ini sangat disayangkan, dan saya mohon agar Anda tidak
menyalahkan saya dan mau berusaha melupakan kejadian
ini.
Terkejut dan lega karena masalah ini bisa diselesaikan
dengan cara yang tidak diduganya, Yoshikiyo memohon
kepada Tameyoshi untuk bersikap lebih lunak kepada
Yoshikata dan prajuritnya. Setelah itu, dia dan Gengo
meninggalkan kediaman Tameyoshi, yang didatanginya
beberapa saat sebelumnya dengan pikiran terburuk.
Tidak bisa disangkal lagi bahwa Tameyoshi adalah
keturunan dari leluhur yang mulia, pikir Yoshikiyo dengan
penuh kekaguman, karena perangai seperti yang
ditunjukkannya jarang ditemui di kalangan samurai biasa.
Bagaimanapun, Yoshikiyo bisa merasakan kesuraman yang
tertahan. Tameyoshi sedang menunggu waktu yang tepat;
jelas terlihat bahwa dia tidak melupakan bagaimana
kakeknya telah dipermalukan seumur hidup oleh para
bangsawan, dan dia dengan sabar menantikan datangnya
kesempatan untuk membalas dendam.

Di sekeliling Yoshikiyo, ibu kota telah lelap. Bulan


bergeser dengan lembut di balik tirai awan. Dan, walaupun
telinganya tidak mendengar bunyi-bunyian yang merusak
kesunyian malam itu,
Yoshikiyo yakin bahwa ketenangan ini tidak akan
berlangsung lama.
==odwo==
Kiyomori dan Tokiko menikah pada bulan Desember
tahun itu. Jadi, apakah kau mau menikahi dia? tanya
Tadamori kepada Kiyomori, yang wajahnya mendadak
merah padam dan hanya sanggup menjawab, Oh Tidak
diperlukan lagi pembahasan lebih lanjut di antara ayah dan
anak yang saling mengenal dengan sangat baik itu.
Selama tiga malam berturut-turut, sesuai dengan adat
istiadat yang berlaku, Kiyomori secara diam-diam
mendatangi rumah di dekat tempat pemujaan bagi Dewa
Kesehatan untuk memikat calon istrinya. Dia melenggang
dengan gembira menembus udara malam yang menyelusup
ke dalam telinganya dan melewati jalanan kumuh. Rumah
yang didatanginya gelap dan sunyi, namun cahaya temaram
menerobos kerai dari jendela kamar Tokiko. Itu adalah
simbol cinta yang melambai-lambai kepadanya dari ujung
lain alam semesta, mendatangkan ke benak Kiyomori
bayangan-bayangan yang lebih menggoda daripada mimpimimpi terpanasnya. Dan bagi kedua sejoli itu, yang
berpisah sebelum fajar menyingsing, sesuatu yang lebih kuat
daripada gairah seakan-akan berhasil meleburkan kokok
ayam jantan dan tetesan embun ke dalam sebuah dunia
puitis.
Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, Tokiko
semestinya tinggal di rumah di Imadegawa sebagai
mempelai Kiyomori, namun pasangan muda itu lebih

memilih untuk tinggal di rumah Tokinobu yang lebih besar.


Teman-teman dari kedua keluarga sepakat bahwa
perjodohan antara keluarga samurai miskin dan bangsawan
papa ini sungguh serasi.
Sebagai sumbangan untuk pesta pernikahan kakaknya,
Tokitada menyembelih dan memasak ayam sabungannya,
yang telah lama disembunyikan dari ayahnya, dan
menghidangkannya kepada Kiyomori.
Apa! Kau menyembelih ayam sabunganmu yang
berharga untuk malam ini?
Tokitada hanya tersenyum lebar.
Kiyomori tidak sanggup berkata-kata. Dia hanya takut
kepada ayahnya, namun semangat membara bocah ini
membuatnya gentar Kedalaman seperti apakah yang akan
ditemuinya dalam diri kakak bocah ini, istri yang baru saja
dinikahinya?
?-dw-?
Pada musim semi 1138, Tokiko mengetahui bahwa
dirinya hamil dan memberi tahu suaminya. Kiyomori
mendengarnya tanpa berkata-kata, larut dalam kekecewaan.
Perasaan bersalah akibat kenangan menghabiskan semalam
di dalam pelukan seorang wanita di jalan Keenam
menerpanya, berbaur dengan kesadaran bahwa pada usia
yang kedua puluh satu, dia akan menjadi seorang ayah.
Apakah kau tidak senang?Tokiko ragu-ragu.
Tidak ingin menyakiti perasaan istrinya, Kiyomori cepatcepat menjawab, Bahagiaya, namun kita keluarga
samurai, jadi anak ini harus laki-laki. Seandainya dia
seorang bangsawan, dia mungkin akan berdoa agar anaknya
perempuan, yang akan tumbuh dengan kecantikan tak
tertandingi lalu diangkat menjadi selir kaisar, namun

pikiran semacam itu tidak ada di benaknya. Tidak ada


sedikit
pun
kasih
sayang
kebapakan
yang
menggerakkannya.
Musim dingin kembali datang. Pada suatu pagi di bulan
November, setelah hujan salju turun sepanjang malam,
ketika salju menumpuk di beranda, tangisan seorang bayi
terdengar. Para pelayan Tokiko bergegas menemui sang
ayah muda dan memberinya selamat atas kelahiran putra
sulungnya. Kiyomori yang lega hanya sanggup berjalan
mondar-mandir di ruangan antara beranda dan kamarnya.
Tua Bangkaambilkan kudaku, kudaku!
Mokunosuke, yang bersama beberapa pelayan lain dari
Imadegawa menemani Kiyomori di rumah barunya,
muncul. Tuan Muda, Anda pasti sangat bahagia!
Legaaku benar-benar lega!
Apakah Anda hendak pergi ke tempat pemujaan untuk
mempersembahkan tanda terima kasih?
Tidak, aku harus menemui ayahku di Imadegawa
sebelu melakukan yang lain. Tua Bangka, saljunya dalam
kau harus tetap di sini.
Kiyomori berkuda melewati gerbang. Ketika berada di
dekat rumpun bambu, dia mendengar seruan nyaring dari
belakangnya. Adik istrinya, Tokitada, memanggilnya, Aku
akan menyertaimu hingga setengah perjalananmu; bambubambu menghalangi jalan, katanya, menyusul kuda
Kiyomori. Terbebani oleh salju, bambu-bambu merunduk
ke tanah dan menghalangi jalan. Tokitada menebaskan
belatinya, membelah bambu yang tertimbun salju satu per
satu, melompat-lompat ke sana kemari bagaikan seekor
kelinci, sesekali menengok ke belakang dengan tatapan
sombong.

Terima kasih, sudah cukup, seru Kiyomori,


memandang kegesitan dan kelincahan bocah itu dengan
kagum. Pikirannya seketika kembali kepada anak yang lahir
pagi itu, dan sebuah kehangatan, kebangkitan naluri kasih
sayang kebapakan, membanjirinya. Bayi laki-laki itutidak
diragukan lagiadalah miliknya dan Tokiko!
Sejauh yang bisa dilihat oleh Kiyomori, atap-atap
bangunan di Kyoto, juga di Perbukitan Timur dan Barat
yang mengapit ibu kota, tertimbun salju tebal. Seorang diri,
Kiyomori memacu kudanya, sesekali mengejutkan para
pejalan kaki yang menatapnya dengan penasaran dan
waspada. Kiyomori tiba di depan gerbang Imadegawa dan
segera bertatap muka dengan ayahnya. Terengah-engah, dia
menyampaikan kabar gembira itu, Akhirnya dia lahir
bayi laki-laki!
Jadi, dia sudah lahir jawab Tadamori dengan air mata
berlinang.
Kiyomori nyaris tidak sanggup menahan air matanya
sendiri ketika memandang pria yang dihormatinya lebih
daripada ayah kandungnya sendiri itu. Jalan takdir yang
aneh telah mempersatukan mereka. Mereka berhadapan
dengan masa depan yang tidak pasti, karena tanda-tanda
kekacauan telah terlihat dengan jelas. Dalam tiga tahun
terakhir, telah banyak kediaman bangsawan yang
dibumihanguskan. Para biksu bersenjata saling melawan,
meluluhlantakkan kuil-kuil dan pagoda-pagoda, dan
berbaris ke ibu kota bersama para tentara bayaran untuk
menuntut kekuasaan. Sementara itu, kelahiran putra Kaisar
Sutoku, sang Putra Mahkota Utama, memperuncing
pertikaian antara Istana Kekaisaran dan Pemerintahan
Kloister, karena Mantan Kaisar Toba juga telah
mengumumkan bahwa putra sulungnya bersama Nyonya

Bifukumon adalah Putra Mahkota yang akan mewarisi


singgasananya.
Kerusuhan yang semakin sering terjadi di seluruh negeri
dan kegelisahan umum mendorong Toba untuk memanggil
Tadamori. membujuknya agar mau mengambil kembali
posisinya di Istana.
Dan Tadamori, setelah kelahiran cucunya, akhirnya
setuju untuk ditempatkan di Golongan Kelima dan
mendapatkan jabatan di Departemen Keadilan. Kiyomori
juga mendapatkan kenaikan jabatan dari Mantan Kaisar,
dan bintang keluarga Heike sepertinya bersinar terang.
Walaupun para pejabat istana yang iri tidak mencegah
pemanggilan
kembali
Tadamori,
mereka
segera
bersekongkol untuk menyingkirkannya. Terdengar desasdesus bahwa Tadamori telah secara diam-diam menjalin
hubungan asmara dengan putri seorang bangsawan
Fujiwara, Ariko, salah seorang dayang di Istana
Kekaisaran, yang kemudian menjadi ibu susuan bagi Putra
Mahkota Utama. Musuh-musuh Tadamori yakin bahwa
hubungan asmara dengan seseorang yang mengabdi kepada
saingan Toba akan berujung pada hukuman mati. Tetapi,
Mantan Kaisar sudah cukup lama mengetahui tentang
hubungan ini, dan, tanpa diketahui oleh para pejabat istana,
mendorong dan merestui pernikahan mereka, yang telah
memberikan dua anak laki-laki kepada Tadamori.
==d-w==
Toba Sojo, yang sepanjang hidupnya menertawakan
dunia melalui lukisan-lukisannya, wafat pada musim gugur
1140, di usia yang telah renta. Dalam keadaan meregang
nyawa, dia mengatakan, Kendati aku seorang biksu,
jangan lakukan ritual biara setelah aku meninggal. Aku
sudah hidup terlalu lama untuk mengolok-olok para kepala

biara, pembesar kuil, dan pendeta dengan ekor mengintip


dari balik jubah kebesaran mereka. Menguburku dengan
nyanyian khidmat dan doa-doa akan menjadi gurauan
terbesar.
Di bawah genting pertapaan, sang kepala biara sekarang
berbaring, tidak bisa lagi mendengar gemerisik daun yang
berguguran dan gumaman para pelayat, yang sedang
bertukar cerita tentang masa lalu dan keeksentrikannya.
Pemimpin pelayat, seorang pejabat istana berkedudukan
tinggi, heran ketika melihat bahwa pemakaman yang akan
dihadiri oleh deputi Kaisar dan Mantan Kaisar itu hanya
akan dilakukan dengan upacara sederhana. Para pejabat
istana, yang tiba dengan kereta mereka, harus berjalan kaki
bersama para penduduk desa di sekitar Toba menuju
pondok pertapaan di wilayah perbukitan.
Yang
terduga!

Terhormat

Yoshitomoini

sungguh

tidak

Sato Yoshikiyo meninggalkan temannya untuk menyapa


putra sulung Tameyoshi, Genji Yoshitomo, yang cepatcepat menepi dan membalas sapaannya dengan sopan,
Aku tidak yakin apakah yang kulihat benar-benar dirimu,
karena aku hanya pernah bertemu denganmu sekali pada
malam itu katanya.
Aku khawatir kedatanganku yang selarut itu untuk
menyelesaikan masalah pelayanku mengganggu kalian.
Aku tidak pernah lagi berjumpa dengan ayahmu sejak saat
itu, tapi aku ingin memperbaharui permintaan maafku
kepada beliau, jawab Yoshikiyo.
Tidak, kamilah yang bersalah dalam hal itu, walaupun
aku malu mengakuinya. Apakah kau datang kemari untuk
memberikan penghormatan kepada almarhum Kepala
Biara?

Hubungan kami tidak mendalam, namun jika masih


ada kesempatan untuk melihat beliau lagi, aku akan dengan
senang hati mengejarnya, kata Yoshikiyo. Teringat kepada
temannya, dia buru-buru memperkenalkan mereka. Ini
Heike Kiyomori. Apakah kalian pernah bertemu?
Ah? Barangkali pernah.
Yoshikiyo menyaksikan bagaimana kedua samurai muda
itu saling menyapa dengan gembira, dan tiba-tiba terpikir
olehnya bahwa pertemuan ini bisa dikatakan penting.
Seorang prajurit Heike dan seorang petugas Kepolisian
Seorang Heike dan seorang Genji!
Aku akan berangkat ke timur untuk tinggal di
Kamakura dalam waktu dekat inike daerahku, tempat
banyak keluargaku tinggal. Kalian harus mengunjungiku
jika kebetulan berada di dekat wilayah itu, kata Yoshitomo
ketika mereka berpisah.
Yoshikiyo, yang biasanya banyak bicara, tampak lebih
pendiam hari itu. Kiyomori tidak memerhatikan perubahan
sikap ini. Mereka berjalan dalam keheningan hingga tiba di
sebuah persimpangan, tempat Kiyomori berpamitan.
Yoshikiyo kemudian bertanya, Apakah kau akan pulang?
Ya, jalanan di distrik itu gelap gulita pada malam hari,
dan anak istriku sudah menantikan kedatanganku.
Kebahagiaan terbesarku akhir-akhir ini kudapatkan saat aku
berjumpa dengan anakku.
Berapakah umurnya?
Baru dua tahun.
Dia tentu sedang lucu-lucunya! Tidak ada cara yang
tepat untuk menjelaskan kasih sayang kita kepada seorang
anak . Kau harus buru-buru pulang sekarang.

Dan mereka pun berpisah di remang senja.


Sebulan kemudian, pada 15 Oktober, Yoshikiyo raib.
Kiyomori, yang tidak bisa memercayai hal ini, bertanya
kepada semua teman dan kenalan Yoshikiyo tentang apa
yang terjadi dan mendapatkan informasi bahwa pada hari
sebelum dia menghilang, Yoshikiyo meninggalkan
Pangkalan Pengawal bersama seorang sepupu yang berusia
sedikit lebih tua daripada dirinya. Keduanya pulang,
membahas tentang kehampaan keberadaan manusia, dan
berpisah dengan janji untuk bertemu kembali keesokan
paginya. Malam itu, si sepupu mendadak jatuh sakit dan
meninggal dunia, dan Yoshikiyo, yang pergi dengan niat
untuk memenuhi janji temu mereka keesokan paginya,
berdiri di luar rumah sepupunya dan mendengar tangis
memilukan sang istri yang masih muda, sang ibu yang telah
uzur, dan anak-anak yang masih kecil. Di sana, sekonyongkonyong, dia mengetahui bahwa dia tidak bisa turut
berduka bersama mereka, karena baru disadarinya bahwa
kematian, takdir yang tidak bisa dihindari oleh setiap
manusia, terjadi setiap hari dan sekali lagi terulang di depan
matanya. Yoshikiyo pun meninggalkan rumah sepupunya
dan menuju Istana. Di sana, dia mengundurkan diri dan
pulang tanpa mengatakan apa pun kepada rekan-rekannya
sesama pengawal. Kepergiannya yang begitu mendadak
membingungkan seisi Istana, padahal Yoshikiyo begitu
disukai oleh Mantan Kaisar karena bakatnya sebagai
penyair, dan bahkan telah beredar kabar bahwa dia akan
dipromosikan ke Kepolisian. Sepertinya tidak ada
penjelasan yang masuk akal bagi perilaku anehnya.
Selanjutnya, setibanya dia di rumah, Yoshikiyo tampak
resah, dan para pelayan dengan cemas mendengarkan isak
tangis istrinya di sebuah kamar, tempat Yoshikiyo
menahannya bersama dirinya selama beberapa waktu.

Ketika keluar kembali, Yoshikiyo menampilkan ketenangan


yang dipaksakan, namun ketika putri kesayangannya yang
berumur empat tahun berlari menyongsong dan
memeluknya, Yoshikiyo dengan kasar mendorong bocah
itu. Dia mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa dia
harus melupakan semua ikatan dengan manusia lain jika
ingin meninggalkan dunia fana dan memasuki biara.
Kemudian, dia mencabut belatinya, melakukan upacara
penahbisan
dengan
memotong
rambutnya
dan
melemparkannya
ke
altar
leluhur
di
tempat
persembahyangan keluarganya, lalu berlari keluar, diiringi
oleh isak tangis putus asa dari orang-orang di rumahnya.
Sepuluh hari kemudian, terdengar kabar bahwa
Yoshikiyo telah bersumpah untuk mengabdikan diri sebagai
pendeta dan mengganti namanya dengan nama Buddha,
yaitu Saigyo. Beberapa orang bahkan pernah melihatnya
berada di wilayah kuil di Perbukitan Timur.
Kiyomori semakin bingung ketika mendengar komentar
ayah mertuanya, Sulit untuk memercayai bahwa seseorang
yang semuda dan seberbakat itu bisa mengambil keputusan
berdasarkan dorongan mendadak semata. Mungkin
Yoshikiyo memang telah lama memilih untuk menjalani
cara hidup yang lebih positif dan mulia. Kiyomori berpikir
untuk meminta penjelasan yang lebih memuaskan dari
ayahnya, namun dia segera melupakannya karena yang
lebih mengganggu daripada raibnya Yoshikiyo adalah
rangkaian peristiwa yang satu demi satu melibatkan dirinya;
sekarang dia merasakan terpacunya kemampuan
berpikirnya yang luar biasa.
=o0dw0o=

Bab VIII - BINTANG BEREKOR DI ATAS


IBU KOTA
Pada Desember 1141, kendati tidak ada seorang pun
terkejut karenanya. Kaisar Sutoku yang berusia dua puluh
satu tahun mendadak digulingkan dari tahtanya, dan putra
Mantan Kaisar Toba bersama Nyonya Bifukumon yang
baru berusia tiga tahun dinyatakan sebagai penggantinya.
Pada pertengahan Januari, kurang dari sebulan
kemudian, seorang biksu muda berjalan seorang diri
melewati hutan tak berdaun di Perbukitan Timur,
mengumpulkan ranting-ranting yang patah akibat hujan
salju yang lebat. Beberapa orang tetap akan mengenalinya
sebagai Yoshikiyo sang pengawal, walaupun jubah biksu
melekat di tubuhnya.
Ah, Andakah itu?
Saigyo terdiam ketika mendengar suara seseorang
memanggilnya. KauGengo?
Anda tidak ada di pertapaan, dan orang-orang di kuil
juga tidak tahu di mana Anda berada. Saya pikir Anda
mungkin turun ke ibu kota, dan saya hendak menyusul ke
sana untuk mencari Anda. Apakah yang sedang Anda
lakukan?
Saigyo tersenyum ceria. Aku kemari untuk
mengumpulkan kayu bakar, tapi kesunyian lembah dan
pikiranku begitu menyibukkanku sehingga aku tidak
menyadari bahwa matahari telah tenggelam.
Kayu bakar?Astaga, mengumpulkan kayu bakar!
Perhatian Gengo langsung teralih pada seikat besar kayu
bakar yang dibawa oleh mantan majikannya. Dia cepatcepat menanyakan apakah Saigyo sedang berada dalam
perjalanan pulang ke pertapaan.

Apakah ada sesuatu yang mendesak yang membawamu


kemari, Gengo?
Gengo cepat-cepat menjawab, Seluruh keluarga Anda
baik-baik saja. Saya sudah mengurus rumah, para pelayan,
dan kuda-kuda Anda. Tanah Anda telah dijual.
Aku sangat bersyukur. Aku tidak bisa mengatakan
kepadamu betapa aku berterima kasih karena kau mau
melakukan semua itu.
Para kerabat Anda sepertinya juga sudah melepaskan
harapan bahwa Anda akan berubah pikiran, dan istri Anda
akan segera membawa putri Anda untuk tinggal bersama
orangtuanya.
Jadimereka akhirnya mengikhlaskanku? Itu sungguh
membahagiakanku.
Kerutan di kening Yoshikiyo mendadak lenyap ketika
dia mendengar kabar itu. Masalah yang masih
merisaukannya hingga saat ini adalah istri dan anaknya.
Mereka telah tiba di gubuk mengenaskan di belakang
kuil yang menjadi tempat tinggal Saigyo. Dia
mengumpulkan puisi-puisi yang berserakan di atas sebuah
meja kecil, menyingkirkan tintanya, dan menyalakan api,
sementara Gengo mencuci bahan makanan yang dibawanya
di sungai dan mempersiapkan sepanci bubur untuk dimasak
di atas perapian.
Kendati Saigyo telah berulang kali melarangnya, Gengo,
mantan pelayannya, senantiasa mengunjunginya, bersikeras
bahwa dia akan tetap datang kalaupun dirinya sedang
sekarat
Setelah makan malam mereka siap, Saigyo dan Gengo,
layaknya sesama biksu dan orang yang berkedudukan

setara, duduk berdampingan di dekat perapian. Walaupun


sedang makan, mereka tetap bercakap-cakap.
Segera setelah kepergian majikannya, Gengo secara
resmi mengumumkan niatnya sendiri untuk menjadi biksu,
dan meskipun belum melakukan upacara penahbisan, dia
telah memilih nama Buddhanya, Saiju, dan berharap untuk
bisa mengabdi kepada Saigyo di pertapaannya. Yoshikiyo,
bagaimanapun, tidak merestui sumpah Gengo dan, untuk
mengujinya, menasihatinya agar menunggu hingga satu
atau dua tahun lagi.
Saya nyaris melupakan ini, kata Gengo, meletakkan
segulung surat di hadapan Saigyo.
Surat itu, yang dikirim oleh kurir Nyonya Tainkenmon,
ditulis oleh tangan lembut seorang wanita dan sulit dibaca
karena banyaknya pesan dan puisi yang berjejalan di dalam
satu halaman. Saigyo mendekatkannya ke perapian,
mengerutkan kening dalam upaya untuk membacanya.
Seusai membaca surat itu, dia tidak mengatakan apa-apa,
namun menatap lekat-lekat api di perapian.
Beberapa orang teman pujangga wanitanya yang menjadi
pengiring Nyonya Taikenmon menyampaikan kabar
mereka dan majikan mereka kepadanya. Nyonya
Taikenmon, tulis salah seorang dari mereka, kesepian dan
telah beberapa kali menyampaikan niat tulusnya untuk
menjadi biarawati. Ini bisa dipahami, renung Saigyo. jalan
itu sepertinya tidak terhindarkan lagi. Putra Nyonya
Taikenmon, Sutoku, telah diturunkan dari tahtanya, dan
masa depan sang mantan permaisuri menjadi tidak pasti.
Saigyo memikirkan betapa Nyonya Taikenmon, yang
pernah dianggap sebagai salah seorang wanita tercantik
pada masanya, sekarang telah memasuki usia awal empat
puluhan. Selain mengasihaninya secara mendalam, Saigyo
juga memikirkan nasib teman-temannya yang menjadi

pengiring sang mantan permaisuri. Jika mereka tidak


mengikuti majikan mereka menjadi biarawati, ke manakah
mereka akan menemukan keselamatan dari kemelut yang
diramalkannya?
Gengo memecah kesunyian.
mendengar kabar Morito?

Sudahkah

Anda

Saigyo, yang sedang melamun menatap keindahan abu


putih dan bara api, serta merta mendongak. Morito?
tanyanya, seolah-olah berusaha mengingat kembali sebuah
kenangan lama.
Namanya dicabut dari daftar buronan Desember silam.
Seorang pengembara dari Kumanoi di Kisho baru-baru ini
memberi tahu saya bahwa Morito sekarang sudah menjadi
biksu. Morito yang sama, yang lima tahun yang lalu
membunuh Kesa-Gozen dan menghilang begitu saja. Dia
mengganti namanya menjadi Mongaku, dan pada musim
gugur yang lalu bersumpah untuk menebus dosanya dengan
seratus hari bertapa di bawah guyuran air suci dari Air
Terjun Nachi.
Ah, Morito! Tidak ada yang bisa menandingi Air
Terjun Nachi untuk menyucikan dirinya, dan tidak
mungkin dia bisa menebus dosanya kecuali dengan
senantiasa melakukan tindakan baik
Pengembara itu menceritakan kepada saya bahwa dia
mendatangi Air Terjun Nachi untuk melihat seperti apa
penampilan biksu gila ini dan mendapati Mongaku,
berpakaian putih dari ujung kepala hingga kaki, seutas tali
jerami kasar mengikat pinggangnya, berdoa dengan suara
parau sementara air terjun mengguyur tubuhnyasebuah
pemandangan yang akan membekukan darah siapa pun
yang melihatnya! Mongaku sepertinya beberapa kali
kehilangan kesadaran, dan akan tenggelam seandainya

tidak ada seseorang yang mengawasinya di sana. Saya


diberi tahu bahwa rambut dan janggutnya nyaris menutupi
wajah dan matanya yang cekung, dan dia tidak terlihat
seperti manusia.
Jadi, itulah yang terjadi padanya. Menarik sebatang
kayu yang membara dari perapian, Saigyo menuliskan
beberapa kata di hamparan abu.
Nada simpati terdengar dalam suara Gengo ketika dia
mengulangi kisah tentang penebusan dosa Morito. Gengo
termasuk di antara orang-orang yang paling keji mengecam
Morito, dan ketika mendengarkan cerita Gengo tanpa
ekspresi tertentu, Saigyo merasakan keengganan mantan
pelayannya itu untuk mengabdikan dirinya seumur hidup
pada biksu yang saat ini sedang menghangatkan diri di
dekat perapian. Bagaimana mungkin Gengo tahu, pikir
Saigyo, bahwa penampilan yang sama sekali tidak
mencerminkan keperkasaan ini merupakan siksaan yang
jauh lebih besar daripada guyuran Air Terjun Nachi yang
sedingin es dari ketinggian seribu kaki sekalipun?
Bagaimana mungkin Gengo menyadari bahwa semalam
pun Saigyo tidak bisa tidur dengan nyenyak sejak
pelariannya dari rumahnya ke Perbukitan Timur, bahwa
tidurnya selalu dihantui oleh tangisan putri kesayangannya
yang telah diabaikannya.
Siapa yang mengetahui bahwa pada siang hari, ketika dia
menyelesaikan tugasnya menimba air dan membelah-belah
kayu bakar sembari tetap menulis puisi, embusan angin
pada pucuk-pucuk pepohonan di lembah di bawahnya dan
pepohonan pinus di sekeliling kuil terdengar bagaikan
ratapan istrinya di telinganya, dan betapa malam-malamnya
senantiasa diliputi kegelisahan sehingga lelap tidak pernah
lagi mendatanginya? Saigyo tidak akan pernah lagi
menemukan kedamaian. Dia telah terenggut sepenuhnya

dari pohon kehidupannya. Penyesalan dan kasih sayang


bagi orang-orang yang dicintainya akan memburunya
hingga akhir hayatnya. Di bawah Air Terjun Nachi, Morito
membersihkan diri dari hasrat dan siksaan duniawi yang
merupakan beban alami manusia dan berharap bisa
memperbaharui dirinya dengan air suci. Mereka berdua
sama-sama sedang mencari kemerdekaan dari ambisi dan
hawa nafsu yang selamanya menyiksa manusia.
Di abu perapian, Saigyo berulang kali menulis kata
belas kasihan. Dia sedang belajar untuk menerima
kehidupan beserta seluruh kebaikan dan keburukannya,
untuk mencintai kehidupan beserta seluruh manifestasinya
dengan cara menyatu dengan alam. Dan untuk alasan ini,
dia telah mengabaikan rumah, istri, dan anaknya di kota
yang penuh gejolak konflik. Dia telah melarikan diri untuk
menyelamatkan kehidupannya sendiri, bukan untuk
mewujudkan impian agung menyelamatkan umat manusia;
dia pun tidak bersumpah untuk menjadi biksu atas dasar
niat merapalkan puja-puji kepada Buddha; dia bahkan tidak
bercita-cita untuk menjadi pemuka agama. Hanya dengan
menyerahkan diri kepada alamlah dia bisa menghargai
kehidupannya dengan cara terbaik, mempelajari bagaimana
manusia semestinya hidup, dan oleh karenanya
menemukan kedamaian. Dan jika ada pendeta yang
menuduhnya telah berikrar atas dasar cinta kepada diri
sendiri, bukan untuk menyucikan dunia dan berkorban
untuk umat manusia, Saigyo siap untuk mengakui bahwa
tuduhan itu benar sehingga dia layak untuk dicerca dan
dihina sebagai seorang pendeta gadungan. Tetapi, jika
diminta untuk membela diri, dia siap untuk menyatakan
bahwa seseorang yang tidak bisa mencintai kehidupannya
sendiri tidak akan bisa mencintai umat manusia, dan saat
ini dia sedang belajar untuk mencintai kehidupannya
sendiri. Dia tidak berbakat untuk menyebarkan ajaran

Buddha; yang diinginkannya hanyalah dibiarkan hidup


sebebas kupu-kupu dan burung.
Keesokan paginya19 JanuariSaigyo meninggalkan
pertapaannya untuk pergi ke Jalan Keempat di ibu kota.
Salju turun dan dia tergoda untuk kembali ke pertapaannya,
namun pikiran mengenai surat yang disampaikan oleh
Gengo mendorongnya untuk meneruskan langkah. Dia
telah cukup lama tidak berjumpa dengan teman-temannya,
dan siapa yang mengetahui perubahan yang telah terjadi
pada mereka? Dia menyeberangi sebuah jembatan yang
tertimbun salju tebal dan berbelok ke arah istana Nyonya
Taikenmon. Di salah satu persimpangan di ibu kota, dia
melihat orang-orang berkerumun tanpa memedulikan badai
salju yang menerpa mereka. Terdengarlah teriakan-teriakan,
Mereka sudah memberangkatkan orang-orang ke
pengasingan!
Beberapa orang tawanan!
Pasangan suami istri, siapakah mereka? Apakah
kejahatan mereka?
Saigyo mempertimbangkan untuk melewati jalan yang
lain, namun manusia dan kuda juga telah menjejali jalan
tersebut. Para petugas dari Kepolisian bersiaga untuk
meredakan amukan beberapa orang prajurit yang sepertinya
mengabdi kepada seseorang yang berjabatan tinggi.
Lihatlah, tidak ada pelana di kuda mereka! Kejam
sekali padahal mereka sangat lemah lembut! beberapa
orang wanita meratap, mengulurkan leher untuk melihat
lebih jelas, dan cepat-cepat mengusap air mata mereka
dengan lengan kimono.
Beberapa orang petugas rendahan bersenjata tongkat
bambu muncul dan dengan kasar menyodoki para
penonton, berseru, Mundur, mundur! Jangan menghalangi

jalan! Dengan berbagai perintah tegas, mereka mendorong


orang-orang mundur dari jalan. Dari gerbang sebuah
kediaman bangsawan, muncullah dua ekor kuda tanpa
pelana yang ditunggangi oleh seorang pria dan wanita yang
terikat satu sama lain. Seorang petugas memimpin prosesi
itu, membawa sebuah tanda bertuliskan, Genji Moriyoki
dan istrinya, Shimako, diperintahkan untuk diasingkan ke
Tosa karena atas perintah Nyonya Taikenmon telah
mengirimkan tulah mematikan kepada Permaisuri Yang
Mulia, Nyonya Bifukumon
Saigyo mengenal Moriyuki yang berambut putih dan
istrinya; keduanya adalah pengiring Nyonya Taikenmon
yang uzur dan tepercaya. Terkejut melihat apa yang terjadi
pada mereka, Saigyo tidak sanggup menahan lolongan
sedihnya. Suara itu mendorong orang-orang yang lain
untuk merangsek ke arah pasangan tersebut sembari
berteriak-teriak, Selamat jalan Yang Terhormat Moriyuku,
menyedihkan sekali perpisahan ini! Semoga kalian berdua
selalu dilimpahi kesehatan! Para penonton berusaha
mengejar kedua kuda yang ditunggangi oleh pasangan itu
seolah-olah tidak rela melepas kepergian mereka.
Kemudian, para petugas yang garang memukuli mereka
dengan tongkat bambu, membentak-bentak marah, Dasar
kalian rakyat jelata, jangan coba-coba mendekat!
Saigyo tidak semudah itu takluk pada gertakan; dengan
lihai, dia menghindari sodokan bambu dan membiarkan
dirinya hanyut oleh arus manusia, namun di tengah
keributan itu, dia terpeleset salju. Kaki seekor kuda milik
salah seorang petugas menginjaknya, dan dia kehilangan
kesadaran. Ketika siuman, dia mendapati dirinya tergeletak
di atas genangan lumpur bersalju. Tidak ada lagi
kerumunan manusia dan kuda. Yang ada di sekelilingnya
hanyalah keheningan malam dan salju, menghapus seluruh

jejak peristiwa beberapa waktu sebelumnya sehingga seolaholah hanya terjadi di dalam mimpi.
Saigyo tidak jadi mengunjungi Nyonya Taikenmon hari
itu.
Desas-desus menyebutkan bahwa tuduhan ilmu hitam
tersebut benar adanya, namun sebagian orang meyakini
bahwa tuduhan itu salah dan merupakan hasil
persekongkolan. Di permukaan, Kyoto tetaplah Ibu Kota
Kedamaian dan Ketenangan, walaupun gejolak kemelut
terasa begitu dahsyat di bagian dalamnya.
Tidak lama kemudian, Mantan Kaisar Toba membotaki
kepalanya
dan
permaisuri
pertamanya.
Nyonya
Taikenmon, menjadi biarawati di Kuil Ninna-ji. Saigyo
mendengar kabar ini dari pengiring sang mantan
permaisuri, yang menuliskan bahwa pada usianya yang
keempat puluh dua, Nyonya Taikenmon menjalani upacara
penahbisan dan berpamitan pada dunia fana.
Dari pertapaannya, Saigyo menyaksikan musim semi
datang bersama kicauan burung-burung di pagi hari.
0==dw==0
Jembatan besar di Gojo telah selesai dibangun; jembatan
itu membentang di atas Sungai Kamo, menghubungkan
wilayah timur ibu kota dengan kaki Perbukitan Timur.
Beberapa tahun sebelumnya, seorang biksu bernama
Kakuyo mencari dukungan dari masyarakat di sekitar
tempat itu, meminta mereka menyisihkan sebagian
penghasilan yang didapatkan dengan susah payah untuk
menyokong pembangunan jembatan itu; dia sendiri ambil
bagian dengan mengangkuti batu, membantu menggali
fondasi, dan tinggal di sebuah gubuk kecil di tepi sungai
hingga jembatan itu siap digunakan.

Mengenai dirinya, masyarakat berkata, Walaupun ada


banyak biksu dan pendeta yang berkeliaran dan membakari
kuil dan biara, Kakuyo, setidaknya, adalah seorang pria
suci.
Sebagai dampak pembangunan jembatan, wilayah ibu
kota meluas hingga ke bagian selatan Kyoto, sejauh bukit
tempat Kuil Kiyomizu berdiri. Daerah yang semula hanya
berupa padang ilalang dan hutan segera dibersihkan untuk
pembangunan sebuah rumah mewah. Ketika pembangunan
dilakukan, orang-orang penasaran ingin mengetahui siapa
pemilik rumah tersebut, namun sepertinya tidak ada yang
mengetahuinya.
Pada awal musim panas 1145, bahkan sebelum tembok
rumah mengering, tibalah sejumlah anggota keluarga dan
pelayan yang akan menghuni rumah itu, dan segera
diketahui bahwa sang pemilik adalah Heike Kiyomori,
kepala Kantor Pusat yang baru.
Menoleh kepada istrinya, Tokiko, Kiyomori bertanya
dengan bangga, Sekarang, katakanlah kepadaku
pendapatmu tentang rumah ini, walaupun tempat ini tidak
sebanding dengan kediaman ayahmu.
Tokiko, sekarang ibu dari tiga orang anak, bersama
suaminya memeriksa rumah baru mereka dengan gembira.
Bersama putra pertama mereka yang telah berumur tujuh
tahun, Shigemori, mereka mengelilingi rumah, memasuki
setiap ruangannya, menghirup aroma kayu segar, dan
menyusuri koridor-koridornya.
Ayahmu, lanjut Kiyomori, yang jauh lebih aneh
daripada ayahku, lebih meyukai rumah kunonya daripada
rumah ini dan menolak untuk tinggal bersama kita. Ah,
baiklah, jika beliau menyukai tempat tinggalnya sekarang,

lebih baik beliau tetap tinggal di sana. Aku harus menunggu


selama delapan tahun untuk rumah ini.
Delapan tahun telah berlalu sejak mereka menikah, dan
baik Kiyomori maupun Tokiko tidak pernah menyangka
bahwa mereka akan segera memiliki rumah mereka sendiri.
Mengingat kembali tahun-tahun yang telah berlalu,
Kiyomori kerap memikirkan bagaimana dia mendapatkan
semua ini. Betapa tahun-tahun yang dilaluinya dalam
kelaparan terasa singkat dan tidak nyata sekarang. Para
pelayan mereka, pria dan wanita, beserta budak-budak
mereka, telah berjumlah sepuluh kali lipat, dan ada belasan
ekor kuda di dalam istal.
Tadamori, ayahnya, juga semakin kaya dan menduduki
jabatan tinggi di Departemen Kehakiman; dia juga memiliki
kekayaan di provinsi Tajima, Bizen, dan Hasima.
Genji
Tameyoshi
juga
mendapatkan
kembali
kekayaannya. Kyoto dibanjiri oleh prajurit muda dari
wilayah timur, semuanya berasal dari wilayah kekuasaan
Tameyoshi di Bando. Putra-putranya, yang sekarang telah
berkedudukan tinggi, memiliki pasukan masing-masing, dan
kekuatan militer Genji meneguhkan reputasi mereka
sebagai salah satu keluarga terkuat di ibu kota.
Para
bangsawan,
bagaimanapun,
mengamati
pertumbuhan kekayaan dan kekuatan para samurai dengan
waspada. Tidak bisa disangkal lagi bahwa bahaya yang
mengancam orde penguasa saat inilah yang menjadikan
perubahan tersebut tidak terhindarkan, dan bahwa para
bangsawan harus meminta perlindungan kepada samurai,
karena tubuh kekaisaran sendiri sedang mendapatkan
rongrongan dari luar maupun dalam. Pengaruh perdamaian
terakhir antara Toba dan putranya, Sutoku, telah hilang
bersama kepergian Nyonya Taikenmon ke biara, dan
perseteruan antara kedua mantan kaisar tersebut semakin

terbuka. Kalangan Istana meramalkan adanya perebutan


kekuasaan. Sejumlah faksi telah memecah belah Istana, dan
berbagai persekongkolan dan intrik susul-menyusul dengan
cepat. Para pendeta bersenjata dari Gunung Hiei dan Nara
turut memperkeruh suasana dengan ancaman mereka untuk
meledakkan perang saudara jika tuntutan mereka pada
Istana tidak dikabulkan. Heike Tadamori dan Heike
Kiyomori, juga Genji Tameyoshi ditugaskan untuk
meredakan perlawanan para biksu dan mempertahankan
Istana.
Pada suatu malam musim panas yang gerah, Juli 1146,
wajah-wajah gelisah di seluruh ibu kota mendongak ke
langit, tempat sebuah penampakan terang benderang
memamerkan jejak panjang.
Sebuah bintang berekor! Setiap malam bintang itu
muncul
Di arah barat laut sanalihatlah komet besar itu!
Sesuatu akan terjadisesuatu yang buruk, jika dilihat
dari pertanda itu.
Penduduk ibu kota kini yakin bahwa penampakan di
langit tersebut adalah pertanda akan datangnya sebuah
bencana, karena pada masa itu terdengar banyak kabar
bahwa para biksu di Nara telah menghimpun sebuah
pasukan besar dan sedang bersiap-siap untuk menyatakan
perang kepada biara saingan mereka. Para kurir berkuda
mulai berdatangan sepanjang siang dan malam dari Nara,
dan Tameyoshi diperintahkan untuk berangkat ke Uji
bersama pasukannya.
Kecemasan merundung Istana. Para ahli nujum dan ahli
perbintangan dipanggil untuk mengatakan apakah tanda di
langit tersebut mencerminkan kebaikan atau keburukan.

Para pendeta melantunkan doa-doa dan mantra-mantra


untuk mengusir segala kemalangan.
Tidak lama kemudian, pada 25 Agustus, terdengarlah
kabar dari Kuil Ninna-ji bahwa Nyonya Taikenmon wafiat
pada usia empat puluh lima tahun.
Pada tahun berikutnya, para biksu Nara menantang biara
Gunung Hiei untuk berperang, dan Kuil Kiyomizu
dibumihanguskan. Pada tahun yang sama, 1147, di usianya
yang ketiga puluh, Heike Kiyomori dipromosikan ke
Golongan Keempat dan mendapat gelar Tuan Aki. Sebagai
gubernur sebuah provinsi, dia menerima segala macam
kehormatan dan tunjangan yang menyertai jabatannya.
Bagi Kiyomori, tibalah hari yang telah lama dinantinantikannya, yang akan menjadi ajang pembuktian bagi
impian-impian rahasianya.
0)--=dw=--(0

Bab IX PARA PRAJURIT BIKSU DARI


GUNUNG SUCI
Mereka menyebutnya Gunung Suci ... Gunung Hiei
yang menjulang tinggi di atas kaki perbukitan di hulu
Sungai Kama, terlihat sepanjang tahun dari setiap
persimpangan jalan di ibu kota. tidak terlalu jauh namun
juga tidak terlalu dekat. Sejak matahari terbit hingga
tenggelam, para penduduk kota bisa mengangkat mata letih
mereka dan berseru, Ah! Tidak akan ada penderitaan dan
kebencian sebesar yang menggerogoti kita di sini . Di sini,
tempat orang-orang saling menggeram dan menggigit,
menipu dan menjilat, dan beradu kekuatan, tidak ada yang
percaya bahwa gunung itu juga menjadi tempat tinggal
manusia, karena jika bukit penebusan dosa itu sama saja

dengan kota kejahatan ini, dimanakah manusia bisa


meletakkan keyakinan atau menemukan kedamaian?
Mereka bersikukuh, Ah tidak, hanya di sanalah cahaya
Kebenaran menyala setiap hari. Di kota ini, termakan oleh
hawa nafsu, orang-orang awam hanya bertanya apakah
mereka boleh melihat cahaya itu dan berpegang pada
keyakinan bahwa Buddha melihat segalanya ... menilai
manusia yang adil dengan adil, yang baik dengan baik.
Bulan baru menggantung di langit. Sosok yang terlihat
seperti seekor monyet berpinggang bengkok tertatih-tatih
menaiki tangga curam menuju Puncak Shimei. Pria tua
bijaksana itu bertopang ke tongkatnya. Dia akhirnya tiba di
atas sebuah tebing batu. Di bawahnya jurang gelap gulita
menganga dan di sekelilingnya langit malam yang luas. Dia
gemetar dan jatuh berlutut. Na ... namu
Air mata mengaliri pipinya ketika dia menyatukan kedua
tangannya untuk berdoa, lalu menaikkan nada suaranya
dan terisak-isak, berbicara kepada alam semesta.
Namu amida butsu (Mohon ampun, Amida Buddha)
namu Amida namu Amida ... bu ... erangnya.
Mohon ampun ampunilah hamba! Bersujud, dia
menjerit nyaring, Terbutakan oleh kebodohan, hamba
berusaha menyelamatkan umat manusia namun tidak
sanggup menyelamatkan diri hamba sendiri. Ke manakah
hamba harus berpaling? Ilmu pengetahuan hanya
membawakan kegelapan kepada hamba. Pembelajaran
telah menjauhkan hamba dari jalan kebenaran. Sia-sia saja
kehidupan hamba. Gunung Suci ini adalah singgasana
kejahatan. Hamba tidak berani hidup lebih lama lagi.
Hamba tidak berani lagi hidup di gunung ini. Buddha Yang
Maha Pengampun, jika janji-janji-Mu benar adanya,
tunjukkanlah kepada hamba bahwa surga itu ada, dan

bahwa manusia bisa tinggal di sana ... kemudian,


biarkanlah hamba mati.
Lama dia terisak-isak, berkeluh kesah dan meratap-ratap
dengan suara terbata-bata.
Pada masa mudanya, dia telah tenggelam dalam
kegetiran dan kepedihan dunia, dan, berharap dapat
menjadi seorang manusia suci untuk mengangkat
penderitaan manusia, dia mengabdikan diri untuk menjadi
biksu di Gunung Hiei. Selama lebih dari empat puluh
tahun, nyaris sepanjang kehidupan seorang manusia, dia
mengenakan pakaian yang diwajibkan, menjalankan
tindakan yang diharuskan, dan mengabaikan tubuhnya.
Selama tujuh tahun, bertelanjang kaki, dia berkeliling di
kuil-kuil yang ada di puncak gunung dan lembah sepanjang
siang hari hingga kakinya berdarah, dan bermeditasi
sepanjang malam. Kemudian, dia mengurung diri selama
bertahun-tahun di tengah kegelapan sebuah bilik untuk
menghafalkan ayat-ayat Buddha hingga kedua matanya
rabun. Kemudian, dia berkelana di seluruh negeri,
menantang para cendekiawan dari berbagai aliran dalam
debat-debat keagamaan hingga mendapatkan predikat
sebagai orang paling bijaksana di masanya. Pada hari
tuanya, dia diangkat menjadi kepala sebuah biara,
pemegang wewenang sekte Empat Doktrin Tendai di
Gunung Miei. Tetapi, tidak ada pengikut yang bersimpuh di
kakinya di biaranya di perbukitan karena kuil-kuil di
Gunung Hiei semakin cemerlang seiring berjalannya waktu;
cahaya terang benderang terpancar dari tempat-tempat
pemujaan terdalamnya sekalipun; lumbung-lumbungnya
dipenuhi oleh bahan makanan melimpah ruah yang
didatangkan dari berbagai provinsi, lebih dari cukup untuk
menghidupi puluhan ribu biksu, cendekiawan, pengikut,
pemula, dan budak yang tak terhitung banyaknya,

sementara kekayaan sekte Tendai hanya menambah


keputusasaannya.
Walaupun ayah pertama biara-biara ini, Saicho,
membanting tulang di sini hingga ajal menjemputnya,
pengetahuan hamba tidak memiliki makna apa pun, dan
hamba sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk hidup .
Hamba merana! Walaupun Buddha mendatangi hamba
setelah kematian, apakah gunanya? Kalian gagak-gagak di
seluruh perbukitan ini, ayo, jadikanlah dagingku sebagai
santapan kalian siang ini! Bersama kalimat itu, sang biksu
tua berjinjit, dan sedetik kemudian melompat ke jurang.
Pada pagi buta, lama sebelum ibadah pagi dimulai,
jeritan yang sepertinya menggema di antara gumpalangumpalan awan di atas Gunung Hiei membangunkan para
biksu dari tidur mereka.
Lonceng di Aula Ceramah berbunyi! Datanglah ke Aula
Ceramah!
Gelegar lonceng masih menyisakan getaran di udara
ketika para biksu bergegas mengenakan jubah pendeta di
atas baju zirah mereka, menyandang pedang panjang, dan
menyambar tombak mereka. Berduyun-duyun, mereka
mendaki dari biara-biara di perbukitan, bagaikan gumpalangumpalan awan yang membubung dari ngarai, para biksu
uzur bertopang pada tongkat mereka. Beberapa buah
bintang masih bersinar di langit bulan Juni itu. Menutupi
wajah dengan syal sutra atau lengan jubah mereka, para
pendeta tua dan muda itu, dengan kaki beralas sandal
jerami, terburu-buru mendaki. Mereka mencorongkan
kedua tangan dan berseru ke atap-atap biara dan asrama
yang gelap, Datanglah ke Aula Besar! Lonceng itu
menandakan pertemuan umum. Layaknya para samurai
yang berkumpul sebelum berperang, mereka dengan penuh
semangat saling menanyakan alasan pemanggilan mereka.

Seorang biksu mendadak berhenti di tengah hamparan


rumput di sebuah tebing di bawah Puncak Shimei. Ya, ya!
Sesosok mayat ... seorang pria tua! Dari biara manakah
pendeta itu berasal? Sesosok mayat bersimbah darah
tergeletak di antara bebatuan, wajahnya hancur sehingga
tidak mungkin dikenali lagi; beberapa orang biksu berdiri
dan menunduk di sekelilingnya, ketika salah seorang dari
mereka dengan sigap maju untuk memeriksa tasbih yang
melingkari pergelangan tangannya dan berseru, Ah!
Kepala Biara Jitsugyo, yang sudah lama menderita sakitsakitan di biaranya. Tidak salah lagi ... ini beliau.
Apa! Kakek tua bijaksana itu?
Tidak diragukan lagi. Lihatlah baik-baik.
Bagaimana beliau bisa terbunuh? Beliau pasti terpeleset
di Puncak Shimei.
Aku meragukannya. Beliau sudah lama sakit-sakitan,
dan mungkin rasa putus asa mendorong beliau untuk
menjemput ajalnya sendiri.
Itu tidak mungkin menjadi satu-satunya alasan. Siapa
pun yang berjumpa dengan beliau akhir-akhir ini
mengatakan bahwa beliau mencaci maki kebusukan dan
kebobrokan biara Tendai kita kepada siapa pun yang mau
mendengarnya.
Beliau tidak pernah puas ... seorang pria yang tidak
pernah tersenyum. Bertahun-tahun sakit-sakitan pasti
penyebab utamanya. Pria malang ... malang sekali!
Yah, apa yang bisa kita lakukan sekarang, karena
lonceng pertemuan masih berdentang memanggil kita?
Kematian cepat atau lambat akan mendatangi
seseorang yang sakit-sakitan. Sekarang beliau sudah
meninggal, dan ini bukan waktu yang tepat bagi kita untuk

mencemaskan sesosok mayat ...


pertemuan umum
mungkin akan mengharuskan kita turun gunung. Kita bisa
mengurus pemakaman beliau nanti. Kita harus mengikuti
pertemuan. Ayo, mari kita menuju Aula Ceramah!
Mengalihkan perhatian dari mayat itu, para biksu
bergegas melanjutkan perjalanan. Kelompok demi
kelompok pendeta bersenjata hanya melirik ketika melewati
mayat mengenaskan itu.
Fajar mulai menyingsing. Di dekat wajah mayat sang
biksu tua, sekuntum bunga berselimut embun bergetar
tertiup angin. Mulut sang biksu terbuka, menunjukkan
giginya yang tinggal sebuah, dan untuk pertama kalinya, dia
terlihat seolah-olah sedang tersenyum pada gunung.
Sebuah balok sepanjang tiga puluh tiga meter menyangga
beranda Aula Ceramah Besar. Di kaki ruas tangga lebar
menuju aula, seorang biksu berbadan kekar berjongkok di
atas sebongkah batu dan menghadapi rekan-rekannya. Di
atas zirah kasarnya, dia mengenakan jubah pendetanya.
Lengan panjang dari jubah panjangnya setengah menutupi
wajahnya, dan dia membawa sebuah tombak. Delapan atau
sembilan orang biksu, tua dan muda, berdiri di beranda di
atas dan menunduk menatap kepala-kepala di bawah
mereka.
Salah seorang pendeta sedang menyampaikan
kesimpulan dari sebuah pidato panjang dan berapi-api,
Ini mungkin terlihat seperti sebuah urusan sepele, namun
sesungguhnya ini adalah masalah serius, karena ini
mencerminkan kehormatan biara kita. Urusan ini tidak
hanya membuka mata kita terhadap akal bulus sekte
saingan kita, tetapi juga mengancam keberadaan kita di
Gunung Hiei sebagai pelindung wilayah ini. Saudarasaudaraku, apa pun pikiran kalian, silang pendapat kita
hanya berujung pada dua pilihan. Apakah kita akan

meledakkan unjuk rasa bersenjata atau tidak? Aku


memohon kepada kalian semua yang berkumpul di sini
untuk tanpa segan-segan menyampaikan pendapat kalian
mengenai hal ini
Pertemuan umum ini diadakan untuk mengumumkan
kepada para biksu tentang sebuah insiden yang terjadi
beberapa minggu sebelumnya di awal bulan Juni dalam
festival keagamaan tahunan di Gion. Di puncak perayaan
suci itu, sekelompok biksu terpancing dalam sebuah
pertikaian melawan dua orang prajurit. Para biksu itu
memang mabuk, begitu pula kedua samurai yang menjadi
lawan mereka, sehingga kedua pihak sama bersalahnya.
Kendati begitu, masalah ini tidak bisa diabaikan begitu saja,
katanya, karena para samurai itu tidak hanya menghajar
para pendeta dari Gion tetapi juga melukai beberapa biksu
lainnya yang berusaha melerai mereka, kemudian
melarikan diri. Banyak orang menyaksikan keributan itu,
dan darah telah tumpah ke tanah yang suci. Kaum pendeta
telah dihina secara terbuka. Apakah mereka harus
melupakan kejadian itu dan membiarkan kedua samurai
pemancing kerusuhan itu lolos tanpa mendapatkan
hukuman yang setimpal? Masalah ini telah dilimpahkan ke
Departemen Kehakiman dan Kepolisian, dan biang
keroknya berhasil dilacak dan diidentifikasi. Kedua samurai
tersebut ternyata mengabdi di Istana Kloister: yang pertama
adalah pelayan dari Kiyomori.Tuan Aki, dan yang kedua
adalah adik iparnya, Tokitada. Para pendeta Gion telah
berulang kali memohon agar kedua samurai itu diserahkan
kepada mereka, namun Tuan Aki hanya tertawa dan
mengabaikan permohonan tersebut. Perintah penangkapan
mereka telah didaftarkan ke Departemen Kehakiman,
namun kepala kantornya, Tadamori (ayah Kiyomori)
mengabaikannya. Pihak pendeta akhirnya mengirim sebuah
delegasi atas nama Gunung Hiei untuk menemui Mantan

Kaisar dan Perdana Menteri, memohon agar Tadamori dan


Kiyomori diturunkan dari jabatan mereka; bagaimanapun,
mereka hanya mendapatkan jawaban yang mengecewakan
... sebuah penghinaan pada Biara!
Ini adalah masalah yang merisaukan, dan para pendeta
telah kehilangan kesabaran. Baik Istana Kekaisaran
maupun Istana Kloister semakin menyepelekan wewenang
Gunung Hiei. Padahal, bukankah biara-biara di wilayah
utara ibu kota itu telah menjaga pintu masuk iblis dan
menghalau setiap pengaruh buruk yang hendak memasuki
ibu kota? Bukankah atas persetujuan Istana pulalah biara
Tendai didirikan di Gunung Hiei? Bukankah Kaisar sendiri
yang lebih dari tiga ratus tahun silam memerintahkan
pembangunan Komponchudo di gunung, agar api
kedamaian nan suci bisa menyala secara abadi di kuil
utamanya?
Haruskah Tadamori dan Kiyomori diperbolehkan
menginjak-injak kehormatan Biara Tendai? Haruskah
Mantan Kaisar dan Perdana Menteri tanpa tahu malu
melecehkan wewenang biara kita? Mereka menghina masa
lalu kita dan hanya menyimpan kebencian kepada kita!
Si pendeta mangacungkan tinju untuk mengakhiri pidato
berapi-apinya. Gejolak perasaan melanda semua pendeta
yang memenuhi Aula Besar; kemudian, sorak sorai lantang
meluncur dari bibir mereka:
Ke ibu kota! Mari kita turun ke ibu kota!
Unjuk rasa bersenjata! Unjuk rasa bersenjata! Keadilan
harus ditegakkan!
Sekali lagi, lonceng besar dibunyikan untuk menandai
keberangkatan para pendeta menuruni gunung. Terpanggul
di bahu para pendeta adalah Altar Sakral yang biasanya
diletakkan di depan Komponchudo, tempat para dewa

dipuja, dan sebuah deklarasi untuk berbaris ke ibu kota


dibacakan dengan khidmat di depan ribuan pendeta yang
memadati pekarangan kuil besar itu.
Berbagai gumaman marah terdengar, Sudah lama sejak
kita terakhir kali mengunjungi Istana Kloister dan Istana
Kekaisaran.
Sesekali mengunjungi mereka dengan membawa Altar
Sakral dan emblem suci kita adalah tindakan yang tepat
agar kita tidak disepelekan. Ini adalah kesempatan dari
langit untuk mengembuskan ketakutan ke dalam hati para
samurai itu.
Matahari bulan Juni tanpa ampun memancarkan sinar
panasnya; diiringi bunyi jangkrik dari segala penjuru, Altar
Sakral diarak menuruni gunung. Sepasukan besar pendeta
mengikutinya, bergerak tanpa henti bagaikan tanah longsor.
Unjuk rasa bersenjata dari para pendeta Gunung Hiei
tidak jarang terjadi, dan tuntutan yang disampaikan oleh
ribuan biksu yang berbaris ke Istana atau Kediaman
Perdana Menteri biasanya akan didengar, karena tidak
seorang pun berani memicu kemarahan para dewa dengan
menentang para pendeta. Di hadapan Altar Sakral, Kaisar
sekalipun akan turun dari singgasananya dan bersujud
dengan khidmat.
0)--=dw=--(0

Bab X DUSTA
Tadamori dan Kiyomori ... ayah dan anak itu ...
mungkin bukan orang penting, namun kedua samurai
Istana itu akhir-akhir ini menjadi orang kepercayaan Yang
Mulia. Sudah saatnya kita mencabut mereka sepera rumput,

atau mereka akan menimbulkan masalah di masa yang


akan datang.
Tidak, seluruh Istana Kloisterlah yang menyepelekan
kita.
Maksudmu, kericuhan di tanah Kagashirayama?
Itu dia. Kita tidak mendapatkan jawaban dari tuntutan
kita dalam masalah itu.
Tanah itu ada di wilayah hukum kita. Ketika biksu yang
menggarap tanah Kagashirayama meninggal. Istana
berpendapat bahwa tanah tersebut harus dikembalikan
kepada Yang Mulia.
Itu sama saja dengan upaya perampasan tanpa
memedulikan hukum
Istana Kloister adalah tujuan kita!
Kita harus lebih sering mendatangi tempat itu. jangan
sampai mereka membudayakan kebiasaan buruk mereka!
Saat malam tiba, beberapa ribu orang biksu bersenjata
berduyun-duyun menuruni gunung sambil memanggul
Altar Sakral dan bagaikan awan badai yang berarak dari
utara ke arah ibu kota, mengikut) aliran Sungai Kamo,
mereka bergerak menuju gerbang-gerbang kota. Ketika
kegelapan
telah
menyelimuti
kota,
merelai
mengumandangkan ayat-ayat suci, dan nyala obor-obor
mereka seolah-olah membakar tanah dan menyulut awan.
Di tetiap desa dan dusun yang dilalui oleh para biksu itu,
kengerian melanda para penduduk seolah-olah Dewa
Kejahatan sendirilah yang sedang melewati mereka; tidak
seorang pun terlihat Di dalam gubuk mereka, para ibu
memeluk anak-anak mereka erat-erat, menyembunyikan

wajah, dan menajamkan pendengaran mereka, menunggu


hingga para pendeta beringas itu pergi.
Di Gion, Altar Sakral diletakkan di depan tempat
pemujaan di kuil sementara para biksu mendirikan pos
penjagaan, dan sepanjang malam itu, nyala api mereka
menjadikan Perbukitan Timur tampak membara.
dw
Kebanggaan memiliki sebuah rumah baru. dan
ketertarikannya sendiri pada bangunan, mendatangkan
kenikmatan yang berkesinambungan dalam diri Kiyomori.
Sejak menetap di Rokuhara, dia tidak pernah puas meminta
para tukang kayu membuat perubahan dan penambahan di
rumahnya. Selarik anak air yang mengalir dari perbukitan
di belakang Kuil Kiyomizu dan melewati tanahnya
mengingatkan Kiyomori pada sungai yang mengalir
melewati pekarangan kediaman ayah mertuanya, dan
Kiyomori mendapatkan gagasan untuk membelokkan
sungai kecil tersebut ke tamannya. Dia membicarakan
tentang hal ini kepada istrinya, yang mengatakan:
Ya, jika kita punya sungai di taman kita, maka aku dan
adikku bisa mencelup benang di sana. Aku akan
mempekerjakan seorang gadis penenun dan merancang
pola-pola baru dengan warna-warna unik. sehingga kau dan
anak-anak akan memiliki pakaian yang sangat istimewa.
Tokiko tidak hanya seorang penenun anda), tetapi juga
pernah menjadi dayang di Istana Kekaisaran. Di sanalah
dia melihat dan menangani berbagai macam brokat dan
bordiran indah di lemari kekaisaran.
Bagus! Aku akan bisa melihatmu dan adikmu mencelup
benang, seperti yang kulakukan ketika kita pertama kali
bertemu.

Kiyomori memikirkan rencana tersebut dengan antusias


dan menyuruh para pekerja untuk mulai mewujudkannya.
Saat musim panas tiba, semuanya sudah selesai.
Nah, dengan adanya sungai yang mengalir di taman
kita, akan ada banyak kunang-kunang beterbangan di sana.
Aku harus mengundang ayahku untuk datang dan
melihatnya, kata Kiyomori.
Pada malam hari; ketika Tadamori dan Ariko, ibu tiri
Kiyomori, berkunjung ke Rokuhara; para biksu dari
Gunung Hiei tiba di ibu kota.
Ariko dan Tokiko, yang berusia sebaya dan nyaris bisa
disangka bersaudara, sepertinya bisa bergaul dengan sangat
akrab, dan melihat mereka bermain-main bersama ketiga
cucunya menyenangkan hati Tadamori, yang duduk dan
menyesap sakenya dengan penuh kedamaian. Dia
menikmati pikiran bahwa putranya yang dahulu santai dan
ceroboh sekarang tidak hanya menjadi seorang pegawai
istana tepercaya tetapi juga menjadi Tuan Aid, tuan rumah
sebuah kediaman baru yang indah. Bagi Kiyomori, yang
perasaannya sedang terhanyutkan oleh sake, kehidupannya
sepertinya sedang berada di masa yang paling ranum.
Seandainya Tsunemori datang bersama Ayah, dia tentu
akan memainkan serulingnya untuk kita, kata Kiyomori.
Apa kau menyukai alunan seruling? jawab Ariko.
Kalau kau punya seruling, aku bisa memainkan sesuatu
untukmu
Kiyomori menoleh kepada Tokiko dan memintanya
untuk mengeluarkan serulingnya.
Tadamori duduk dan menyaksikan kunang-kunang
beterbangan di atas permukaan sungai; sembari perlahanlahan menghirup sakenya, dia mendengarkan permainan

Ariko dan sejenak kemudian menyandarkan diri ke tiang,


terkantuk-kantuk. Tiba-tiba, Tadamori menegakkan badan,
terbangun; seseorang sedang berlari melewati gerbang
depan menuju halaman kosong di dekat istal. Sebuah
teriakan terdengar, dan dia juga bisa mendengar kegaduhan
para pelayan di ruangan mereka.
Mereka sudah datang!
Tokitada, adik lelaki Tokiko, masuk dengan ribut,
mengumumkan bahwa para biksu dari Gunung Hiei telah
tiba di ibu kota. Heiroku, pelayan Kiyomori, berjongkok di
belakangnya. Dari wajah keruh mereka, jelas bahwa
keduanya mengetahui tingkat keseriusan pengumuman
yang mereka sampaikan.
Ariko serta merta
memandang Tadamori.

menurunkan

serulingnya

dan

Sayang sekali peristiwa ini terjadi sekarang, gumam


Kiyomori kepada dirinya sendiri, sebelum menyunggingkan
senyuman kepada ayahnya. Jadi, akhirnya mereka datang
juga!
Sekarang terjaga sepenuhnya, Tadamori duduk tegak,
berkata dengan tenang, Jadi, akhirnya mereka datang juga,
bukan? Kita harus keluar dan menghadapi badai ini. Para
biksu dari Gunung Hiei itu sedahsyat badai petir pada
musim panas dan hujan es pada musim gugur. Rumah ini
bisa-bisa terbang begitu saja bagaikan dedaunan yang
terbawa pusaran angin.
Aku menyadarinya, jawab Kiyomori, dan aku hanya
akan tunduk pada takdir dari langit, tidak pada kemauan
mereka. Rumah baru selalu bisa kubangun di atas
reruntuhan rumah ini.

Jika kau sudah yakin, maka mustahil bagiku untuk


menasihatimu agar melakukan yang sebaliknya, Kiyomori,
namun jika kau sudah siap merelakan rumahmu, maka aku
pun siap merelakan putraku. Seandainya kau gugur dalam
pertempuran ini, aku masih memiliki anak lelaki yang lain,
Tsunemori, dan jika dia gugur, aku masih memiliki cucuku,
Shigemori.
Ayah, jangan cemas begitu. Aku berharap agar para
biksu itu datang kemari terlebih dahulu, karena aku
mengkhawatirkan apa yang akan terjadi jika mereka
memutuskan untuk langsung menyerbu Istana Kloister.
Yang Mulia telah diperingatkan untuk tidak memenuhi
tuntutan Gunung Hiei kali ini, karena itu hanya akan
mendorong mereka untuk semakin melecehkan beliau.
Yang Mulia telah menolak untuk menyerahkan tanah
Kagashirayama pada Gunung Hiei.
Tidak diragukan lagi, itulah alasan utama unjuk rasa
bersenjata ini, bukan peristiwa di Gion. Perkelahian
Tokitada dengan para biksu adalah sesuatu yang umum
terjadi dan bukan kejadian yang biasanya akan mereka
anggap serius.
Mendengar namanya disebut, Tokitada dan Heiroku,
yang telah mohon diri, muncul kembali.
Tidak, Kakak, memang benar bahwa aku telah
memukul beberapa orang biksu. Mereka menghajar
Heiroku hanya gara-gara kesalahan sepele, memerintahnya
untuk meminta maaf sambil bersujud kepada mereka,
menyuruhnya menyebutkan nama majikannya, dan
akhirnya menghina kami dengan bahasa yang tidak akan
bisa dibiarkan saja oleh seorang samurai pun, sehingga aku
membalas mereka. Jika Kakak mau menyerahkanku kepada
para biksu itu, tidak akan ada keributan. Biarkanlah aku

menyerahkan diri kepada orang-orang Gion itu. Ampunilah


aku atas perbuatanku.
Tunggu, tunggu, Tokitada, kau hendak ke mana? tanya
Kiyomori.
Akulah alasan utama para biksu itu mengamuk, seru
Tokitada.
Bukankah aku sudah menegaskan kepadamu untuk
menyerahkan masalah ini kepadaku? Apa kau sudah
kehilangan akal sehat? Bukankah aku sudah mengatakan
bahwa akulah yang akan menghadapi akibatnya? Dan kau
... Heiroku ... menyingkirlah, karena aku akan
menyelesaikan masalah ini sendirian. Jika aku
membutuhkan
pertolongan,
ayahku
akan
siap
memberikannya. Mengertilah, Heiroku, bahwa jika aku
berniat mengambinghitamkan dirimu, aku tidak perlu
berulang kali mengatakan bahwa aku siap menanggung
akibatnya. Aku merasa mendengar ribuan suara_suara
rakyat kecil di pasar ... mendorongku untuk maju dan
melakukan yang harus dilakukan Ada lebih banyak yang
dipertaruhkan saat ini daripada kehidupanku. Aku akan
menjadi jaminan bagi masa depan kaum samurai, jangan
memperpanjang perdebatan ini, karena aku tidak ingin
momen langka ini terlepas dari genggamanku.
Dalam keheningan menyesakkan yang menyusul,
mereka bisa mendengar para pelayan mempersenjatai diri
dan bersiap-siap menantikan perintah Kiyomori.
Apakah Ayah akan tinggal lebih lama?.
Melihat Tsunemori datang menunggang kuda. ditemani
oleh beberapa orang pelayan berkuda. Tadamori serta merta
berdiri.

Tidak, malam ini sungguh menyegarkan ... Dan,


Kiyomori, yang terburuk mungkin akan terjadi, seNngga
aku menyarankan agar kau memindahkan para wanita dan
anak-anak ke tempat yang aman sebelum pagi tiba.
Setelah menasihati putranya. Tadamori dengan santai
berjalan ke halaman dan menunggangi kudanya. Kiyomori
melihat Ariko memasuki tandunya. Kemudian, Kiyomori
menunggangi kudanya dan memberi tahu mereka bahwa
dia akan menyertai mereka hingga setengah perjalanan.
Bersama adiknya yang menunggang kuda di sampingnya,
Kiyomori perlahan-lahan memimpin rombongan itu keluar
dari gerbang.
Kunang-kunang beterbangan di dekat pelana mereka dan
tersangkut di lengan kimono mereka. Embusan angin
mengantarkan serangga-serangga mungil untuk terbang
menghampiri cahaya.
Ketika rombongan mereka tiba di jembatan Gojo.
Kiyomori menoleh ke belakang dan melihat panah-panah
api melesat ke langit Gion.
0)--=dw=--(0
Pagi tiba. Ibu kota tampak janggal. Semua rumah
terkunci rapat, tidak sesosok manusia pun terlihat
berkeliaran, jalanan yang lebar sunyi senyap seperti pada
malam buta. Sesekali, seorang samurai berpatroli. Sepuluh,
dua puluh ekor kuda berlalu; kemudian uga atau empat
ekor kuda, dituntun oleh para prajurit berjalan ke arah
Istana Kekaisaran; para pegawai bergegas ke Istana Kloister
uneek memulai pekerjaan mereka.
Saya ingin berbicara dengan Kiyomori, Tuan Aki. Saya
Heikt Tadamasa. Di manakah dia bertugas?

Kedelapan gerbang Istana Kloister dijaga ketat oleh para


samurai bersenjata lengkap. Tadamasa, paman Kiyomori,
menyelinap seorang diri dari Istana Kekaisaran untuk
mencari keponakannya.
Seorang samurai menghampirinya untuk menjawab,
Tuan Aki barangkali belum datang. Desas-desus
mengatakan bahwa para biksu akan menyerbu kediaman
beliau sebelum melanjutkan perjalanan entah ke Istana
Kekaisaran atau Istana Kloister.
Ah, begitu, dia lebih mengkhawatirkan keselamatan
rumahnya daripada Istana. Benar-benar sesuai dengan
sifatnya. Aku akan berangkat ke Rokuhara, kalau begitu.
Tadamasa membelokkan kudanya ke timur dan
memacunya menuju Jembatan Gojo. Ketika mendekati
jembatan itu, dia melihat seseorang menunggang kuda ke
arahnya. Kuda tunggangan orang itu berjalan pelan,
mengayun-ayunkan ekornya dengan santai.
Ho! Paman hendak ke mana? panggil Kiyomori ketika
Tadamasa melaju melewatinya.
Tadamasa sontak menarik tali kekang kudanya untuk
menghentikannya. Ketika Kiyomori menghampirinya,
Tadamasa menyemburnya dengan marah:
Ho, ternyata kamu, Kiyomori! Perhatikan omonganmu
itu! Apa maksudmu mengatakan Paman hendak ke mana?
Begitu mendengar bahwa dua ribu orang biksu dari Gunung
Hiei telah tiba, pikiranku langsung tertuju kepadamu.
Astaga, kataku, kau akhirnya bisa terentaskan dari
kemiskinan, mampu membangun rumah sendiri, namun
akhir keberuntunganmu mendekat begitu cepat Aku kasihan
kepadamu seperti layaknya seorang paman kepada
keponakannya. Aku yakin bisa menolongmu, dan aku
secepat mungkin mendatangimu.

Itu ... Paman baik sekali, kata Kiyomori sambil


tertawa terbahak-bahak, walaupun dengan sopan dia segera
menelengkan kepala, tapi, Paman, tidakkah Paman
menyadari siapa yang sedang kita hadapi? Tidak seorang
pun,Yang Mulia sekalipun, berani melawan para biksu yang
datang membawa emblem suci mereka. Tidak peduli
sebesar apa pun pertolongan yang Paman tawarkan, kita
tidak berdaya menghadapi para biksu dari Gunung Hiei itu.
Kecuali jika Paman datang kemari untuk melihat
reruntuhan rumah saya, kata-kata Paman tadi sungguh
menggelikan. Padahal saya tahu bahwa Paman bermaksud
baik.
Hmm ... sekarang aku mengerti. Aku bertemu dengan
ayahmu pada pagi buta tadi di Departemen Kehakiman,
dan dia sepertinya berpikiran sama denganmu. Bahkan,
kalian berdua sama saja .Jadi, tidak seorang pun dari
kalian memedulikan apa yang terjadi. Kalian sama sekali
tidak peduli.
Ayah saya berbicara untuk dirinya sendiri, dan saya
untuk diri saya sendiri. Tidak ada yang aneh dengan
bersikap santai. Sebaliknya, ada apa dengan Paman? Unjuk
rasa bersenjata seperti itu bukanlah sesuatu yang aneh.
Cukup. Semakin banyak aku mendengar kicauanmu,
semakin aku menyadari bahwa kau dan ayahmu sama-sama
pengecut.
Tadamasa, enggan mengakui bahwa keponakannya
sekarang telah dewasa, bersikeras mempertahankan
kebiasaannya menindas Kiyomori, seolah-olah dia adalah
pemuda mengenaskan dari sepuluh tahun silam. Kiyomori,
sebaliknya, membiarkan Tadamasa menghinanya hanya
karena pria itu adalah saudara ayahnya. Tidak ada orang
yang lebih dibencinya daripada Tadamasa. Akhir-akhir ini,
dia melihat perubahan besar pada sikap Tadamasa, dan dia

menduga bahwa kenaikan jabatan Tadamori di Departemen


Kehakiman, selain gelar dan golongan barunya, entah
bagaimana telah menggentarkan pamannya, walaupun
Tadamasa tidak memiliki alasan untuk iri kepada mereka
karena dia sendiri baru saja mendapatkan jabatan penting di
Istana Kekaisaran.
Ayolah, Kiyomori, turunlah dari
dengarlah apa yang akan kukatakan.

kudamu

dan

Tidak, aku sedang dalam perjalanan untuk mengawasi


pertahanan Istana Kloister, dan sekarang bukan saat yang
tepat untuk membuang-buang waktu.
Dan kau seharusnya menjadi orang pertama yang tiba
di Istana ... apa maksudmu bersantai-santai di waktu seperti
ini seolah-olah malas bekerja? tukas Tadamasa, cepatcepat turun dari kudanya dan menarik pijakan kaki
Kiyomori.
Apa mau Paman sebenarnya? tanya Kiyomori dengan
gusar, mau tidak mau turun dari kudanya. Dia melangkah
ke bawah salah satu pohon pinus di pinggir jalan dan duduk
di sana.
Sekarang, dengarkan aku. Kalau kau menolak untuk
mendengarkanku, ikatan darah di antara kita akan putus
sejak hari ini, kata Tadamasa.
Nah, apa maksud Paman sebenarnya?
Kau sudah dibutakan oleh cintamu kepada istrimu.
Tokiko mengendalikanmu.
Apa Paman sedang membicarakan istriku?
Siapa lagi kalau bukan Tokiko? Kau sudah membiarkan
dia menggiringmu ke dalam bencana ini, dasar suami
dungui Aku tidak pernah mengenal orang yang lebih dungu

daripada dirimu. Mengapa kau tidak menyerahkan


Tokitada ke pihak yang berwenang di Gunung Hiei?
Ah, sebentar, aku kurang mengerti. Apakah Paman
mengatakan bahwa karena Tokitada adalah adik istriku,
maka aku mendengarkan rengekan Tokiko, dan karena
itulah aku bertanggung jawab atas situasi serius ini?
Bisa jadi begitu. Aku tidak perlu bertanya kepadamu,
karena itu sudah jelas bagiku, pamanmu.
Jadi begitu, dan apa pendapat Paman tentang hal itu?
Btersumpahlah kepadaku di sini dan saat ini juga bahwa
kau akan menyerahkan Tokitada dan pelayanmu Heiroku
sementara kau sendiri bersedia untuk menjadi tahanan
rumah sembari menunggu keputusan pengadilan. Aku,
sementara itu, akan berangkat ke Gion sekarang juga dan
berbicara sendiri kepada para biksu itu. Mereka tidak akan
memiliki alasan untuk melanjutkan unjuk rasa, dan kita
akan kembali hidup tenang. Aku menolak. Apa!
Para biksu itu harus mematahkan tulangku satu per satu
sebelum aku mau menyerahkan mereka berdua.
Mengapa kau menolak? Apakah nilai kedua orang itu
sebanding dengan kedamaian pikiran kedua Yang Mulia?
Tokitada dan Heiroku tidak bersalah. Seandainya
nestapa menimpa Istana Kekaisaran, itu adalah akibat dari
penindasan yang terus-menerus terjadi. Seandainya Istana
Kloister yang diserang, itu adalah akibat dari kesalahan cara
memerintah. Bukan aku yang bertanggung jawab atas
dampaknya.
Apa kau gila, Kiyomori? Perkataanmu itu sungguh
memalukan!

Tidak lebih memalukan daripada perkataan Paman.


Istriku sangat menyayangiku, tapi dia tidak mengendalikan
pikiranku.
Baiklah,
baiklah
.
Sudah
cukup
yang
kukatakan.Terjadilah apa yang akan terjadi! Aku juga
mendengarmu mengatakan sesuatu yang tidak bisa
diabaikan begitu saja. Apa pun yang terjadi kepada kedua
Yang Mulia bukan urusanmu?
Memang itu yang kukatakan, tidak diragukan lagi.
Kau pengkhianat! Kau bangsat!
Betulkah?
Para dewa pasti akan menghujammu dengan hukuman
karena kepalamu yang bejat itu! Ternyata keponakanku
adalah seorang monster! Tidak, aku tidak akan
mempertaruhkan jabatanku di Istana demi kamu. Aku
angkat tangan, Kiyomori!
Mengapa Paman marah begitu!
Kau dan Tadamori ... kalian berdua ... menepiskan
uluran tanganku.Tunggu dan lihatlah, kalian akan
menyesalinya Tidak, aku tidak punya alasan untuk
mengkhawatirkan kalian lagi. Sampaikan pesanku kepada
ayahmu: sejak saat ini, aku, Tadamasa, memutuskan
seluruh ikatanku dengan klan Heik6.
Ketidakpastian, kematian yang mengancam ibu kota,
mendorong Tadamasa dalam momen kepanikannya untuk
memutuskan segala ikatan dengan klan Heik6. Kiyomori,
bagaimanapun,
mendengarkan
ledakan
kemarahan
pamannya sambil tersenyum, seolah-olah ini hanyalah
pertengkaran kecil sebelum sarapan.

Kiyomori menyaksikan Tadamasa dan kudanya


menghilang di balik kepulan debu di kejauhan, kemudian
berdiri dan kembali menunggangi kudanya sendiri; tepat
ketika dia duduk di pelananya, dua sosok melompat keluar
dari balik pepohonan dan menyambar tali kekangnya dari
dua sisi.
Ho, kalian ... Tokitada dan Heiroku? Kalian lama
sekali, jadi aku berangkat lebih dahulu. Apa lagi sekarang?
Bagaimana dengan Tokiko dan anak-anak?
Kami sudah melaksanakan perintahmu. Mereka aman
di Kuil Anryakuju-in, dan kau tidak perlu mengkhawatirkan
mereka.
Bagus! Asalkan keamanan para wanita dan anak-anak
sudah terjamin, Mokunosuk6 bisa menjaga rumah di
Rokuhara. Tidak ada yang kukhawatirkan lagi sekarang.
Kerja yang bagus!
Mendengar pujian itu, Tokitada dan Heiroku
menyembunyikan wajah di balik lengan mereka dan
menangis terisak-isak, memohon kepada Kiyomori agar
memaafkan mereka; mereka menangis karena tidak tahu
harus berbuat apa lagi untuk menebus kesalahan mereka;
tidak hanya telah memancing kemarahan Gunung Hiei,
kebodohan mereka juga telah menyebabkan perpecahan di
klan Heike, kata mereka.
Sudah, jangan meracau seperti itu, aku berangkat
sekarang ... i kata Kiyomori, memacu kudanya.
Terguncang, Tokitada dan Heiroku memandang
Kiyomori sementara debu menerpa wajah mereka,
kemudian keduanya bergegas berlari menyusulnya.
Tiga orang pendeta, pemimpin para biksu dari Gunung
Hiei, keluar dari Istana Kloister, terbakar amarah. Dari

tatapan garang mereka, jelas terlihat bahwa tuntutan


mereka telah ditolak. Mereka berhenti di pos penjagaan
untuk mengambil kembali tombak mereka, mengempitnya
dengan sigap dan berseru memanggil dua belas orang
bawahan mereka seraya keluar dari gerbang.
Para biksu sudah terbiasa mengirim utusan kepada
pemerintah untuk menyampaikan tuntutan mereka, dan jika
mendapatkan penolakan, mereka akan mengusung Altar
Sakral dan emblem suci ke ibu kota dan meneror pihak
yang berwenang hingga mendapatkan keinginan mereka,
karena kekuatan manusia sebesar apa pun tidak akan berani
melawan Altar.
Hari ini, Gunung Hiei menuntut agar adik ipar Tuan
Aki, Tokitada, dan pelayannya Heiroku diserahkan kepada
mereka. Dalam hubungannya dengan hal ini, para biksu
sekali lagi menekankan kepemilikan mereka atas tanah
Kagashirayama, namun Mantan Kaisar menolak tuntutan
mereka.
Gelombang kegembiraan melanda para samurai. Mereka
bersorak sorai, Inilah dia Tuan Aki, Heike Kiyomori!
Para pengawal menyambut hangat Kiyomori ketika dia
muncul dengan sikap santai yang sudah biasa
ditunjukkannya. Tersenyum lebar ke segala arah sembari
menunggang kudanya menembus kerumunan para prajurit,
Kiyomori merasakan semangat yang seketika bergejolak di
sekelilingnya. Keringat membasahi wajahnya, dan telinga
caplangnya gemetar. Di belakangnya, Tokitada dan
Heiroku menyusul dengan wajah muram, berlawanan
dengan sosok gagah di atas punggung kuda.
Para juru tulis, pegawai, dan pejabat Istana berjejalan
dengan wajah muram di depan singgasana, tempat Kaisar
Kloister menunggu Kiyomori.

Kiyomori berlutut. Yang Mulia, walaupun tuntutan


utama Gunung Hiei adalah tanah Kagashirayama, pelayan
sayalah yang memancing para biksu itu kemari. Saya
sendirilah yang bertanggung jawab atas semua ini. Oleh
karena itu, izinkanlah saya menghadapi Gunung Hiei
dengan cara saya.
Kaisar Kloister setuju; tidak ada protes dari para pejabat
istana yang ketakutan, tidak ada pertanyaan mengenai
bagaimana Kiyomori akan berhasil membujuk para biksu
itu untuk kembali ke Gunung Hiei. Kiyomori membungkuk
dan mohon diri.
Para prajuritnya mengawasinya dari kejauhan, saling
berkasak-kusuk. Kita tidak bisa mengharapkan apa pun
dari para pejabat istana berlutut lemah itu, tapi Tuan Aki
pasti punya rencana.
Hingga saat ini, seluruh gerakan Kiyomori diamati lekatlekat oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya, dan ada
banyak spekulasi mengenai langkah apa yang akan
diambilnya selanjutnya. Penolakannya untuk menyerahkan
Tokitada dan Heiroku kepada para biksu disambut hangat
oleh para prajuritnya, yang semakin menghormatinya.
Kiyomori adalah jenis pemimpin yang bisa diajak berbicara
empat mata oleh setiap anak buahnya. Tidak ada yang
membedakan Kiyomori dengan para samurai lainnya dalam
hal keberanian atau keahlian bersenjata, namun simpatinya
kepada kaum papa dan kaum tertindas, juga kesigapannya
dalam membela mereka menjadikannya populer di
kalangan anak buahnya; itu, dan keceriaan yang selalu
ditularkannya. Ke mana pun dia melangkah, wajahnya
yang mencolok ... alis yang mirip ulat, mata sipit, hidung
besar, bibir penuh, pipi merona dan dagu bulat seperti
bocah, serta hidung caplang yang bergetar setiap kali dia
tertawa ... menyebarkan kegembiraan.

Pemilik wajah itu keluar dari gerbang dalam dan berjalan


melintasi halaman Istana. Para samurai langsung
mengerumuninya dan mendesaknya dengan pertanyaan,
Heik6 Kiyomori, apa hasil pembicaraan tadi?
Apakah dekrit kekaisaran akan dikeluarkan?
Apa yang terjadi dan apa kata Yang Mulia
Pertanyaan demi pertanyaan dengan cepat ditujukan
kepadanya, Mengusap keningnya berpeluh, Kiyomori
menarik hekn yang tergantung di pumpmgnyt.
memasangnya di kepala, dan mengikat tali di bawah
dagunya.
Tidak da yeng perlu dikhaw atirkan lagi sekarang. Aku
akan langsung berangkat ke Gion untuk mencegah mereka
membawa Altar kemari.
Mencegah mereka?
Diamlah,
rencananya!

biarkan

saja

Tua

Aki

menjalankan

Tepi. tidak ada yang ditakuti oleh pera biksu itu; mereka
Ueflfmnap kita aeme remehn) a dengan debu yang mereka
injak, dan tadi malam mereka sudah menunjukkan bahwa
mereka haus darah. Seandainya Tuan Aki pergi ke sana.
entah apa yang akan mereka lakukan
Itu benar, tapi aku membawa Tokitada dan Hewoku
bersamaku Walaupun menyesalinya, aku tetap harus
menyerahkan mereka berdua dan berusaha membuat
kesepakatan dengan para biksu.
Eh? jadi, akhirnya kau akan menyerahkan mereka
kepada para biksu?
Aku tidak punya pilihan.

Sungguh berat tugas yang kauemban! Jadi. Yang Mulia


berharap kaum samurai mau menangung semuanya
Sudahlah, hentikanlah debat kusir ini. Tapi. ingatlah
bahwa aku sendiri yang menawarkan penyelesaian ini.,
bukan Yang Mulia. Sekerang, biarkan aku menghentikan
langkah mereka sebelum merake meninggalkan Gion. Jika
aku pulang dengan selamat, akan ada cerita untuk kailan
dengarkan. Sekarang, kembalilah ke pos kalian masing
masing.
Diikuti oleh Tokitada dan Heiroku, Kiyomori
menunggang kuda menentang sinar matahari yang
menyilaukan pucat kepanasan Setiap helai daun dan
rumput merunduk di bawah matahari yang terik. Para
pengawal memandang tanpa sanggup berkata kata ke arah
ketiga orang Itu, seolah-olah mereka adalah hantu yang
muncul di siang bolong.
Dari ruas tangga batu di salah satu kuil di Gion, ketiga
pemimpm biksu yang baru saja tiba dari Istana Kloister
berpidato di hadapan dua ribu orang biksu yang dipanggil
untuk mendengar tentang haril perundingan mereka.
Kami tidak melihat ketulusan Yang Mulia. Kedua
tuntutan kita ditolak mentah-mentah. Jangan harap
masalah tanah Kagashirayama itu akan diselesaikan. Tidak
ada yang tersisa bagi fifi kecuali menyerbu Istana Kloister
dengan membawa Altar Sakral agar Yang Mulia
tersadarkan.**
Para biksu menyambutnya dengan gegap gempita, Ke
Istana Kloister! Hukum mereka! Dan diiringi sorak sorai
itu, mereka mulai menghimpun senjata dan menghambur
ke ruang pemujaan, tempat Altar Sakral diletakkan di
antara lilin-lilin yang nyalinya k menyerupai gugusan
bintang dan asap dupa yang menyerupai gumpalan awan.

Diiringi oleh rapalan ayat-ayat suci. dentuman gon dan


gebukan genderang yang menggetarkan layaknya
peringatan perang, pasukan besar itu berangkat, dan udara
pun berdenyut-denyut seolah-olah tersengat oleh pengaruh
iblis. Akhirnya dipanggul oleh para pendeta berjubah putih,
dengan lapisan emas yang berkilau menyilaukan. Altar
Sakral periahan-khan dibawa menuruni bukit menuju jalan
raya. terayun-ayun perlahan.
Sesosok samurai tiba-tiba melompat ke hadapan barisan
pengangkut altar dan mengacungkan tangan. Tunggu, pera
pendeta bejat! Di kepalanya, dia mengenakan helm besi
hitam tanpa lambang apa pun; dia mengenakan baju zirah
hitam, sandal jerami, dan mengacungkan sebilah pedang
pantang. Tidak jauh di belakangnya, berdirilah Tokitada
dan Heiroku. tanpa senjata, wajah mereka kaku bagaikan
topeng
Aku. Tuan Aki, Heiki Kiyomori, menuntut agar kaitan
nendenprkan fienjelaiinku Di antara kalian semua para
pendata bejat tentunya ada setidaknya satu orang yang
memiliki akal sehat
Di mata musuhnya. Kiyomori terlihat seperti Asura.
sang Dewa Parang terbalut pakaian perang hitam legam,
dengan rahang ternganga yang mengeluarkan badai suara.
Terpens melihat kelancangan dan kata-katanya, pera
biksu berseru saru.Huu! Kiyomori! Kemudian, sebuah
suara lantang terdengar. Cacah-cacah saja tubuhnya untuk
festival darah!
Para pemimpin biksu yang berjalan di depan tidak
tampak terkejut. Mereka menghentikan barisan dan
meneriakkan perintah. Biarkan dia bicara. Jangan ada
yang menyentuh dia. Mari kita dengar terlebih dahulu apa
yang hendak dikatakannya.

Para pemanggul akar mendorong) rekan-rekan mereka


yang marah, berteriak. Tidak ada yang boleh mendekati
Akar dan mencamarkannya! Berhati-hatilah pada emblem
suci!
Kiyomori berdiri tegak, tetap berseru dengan suara
parau. Aku akan memenuhi tuntutan kalian, im adalah
Tokitada dan Heiroku terimalah mereka! Tetapi, ingatlah
bahwa mereka masih hidup!
Tatapan waspada di wajah para pemimpin biksu
tergantikan oleh senyum mengejek ketika mereka
mendengar kata-kaae Kiyomori Kiyomori menarik napas
dalam dan melanjutkan. Masalah di Gion berujung pada
hari ini. tandanglah aku. wahai para dewa! Den kau.
Buddha, jangan sumbat telingamu! Dengarlah apa yang
Hendak kukatakan. Kedua pihak dalam pertikaian itu
bersalah, karena bidankah keduanya mabuk? Tidakkah
selalu dikatakan bahwa kedua mm yang bertikai sama-sama
bersalah? Aku. Kiyomori. karenanya, menyerahkan dua
orang yang kucintai ini kepada Gunung Hiei. dan sebagai
balasannya, aku menuntut untuk mendengar suara benda
sakral itu, simbol dewa kalian!
Gemuruh tawa seketika menyambut
Kiyomori, Lihatlah dia, Kiyomori.Tuan
meracau! Dia gila!

perkataan
Aki! Dia

Tubuh Kiyomori gemetar dalam upayanya memancing


para Mau agar mau mendengarnya. Keringat mengalir di
pipi dan dagunya, juga dari balik telinganya, seperti
genangan air yang mendidih di atas besi panas
Gila atau waras, dengarlah lebih jauh perkataanku.
Biarkanlah dewa kalian turut mendengarku! Entah dia
dewa atau sang Buddha sendiri, dia adalah sebuah kutukan.
Musi. dan sumber penderitaan bagi manusia! Dia hanyalah

obyek sesembahan! Bukankah dia alah menipu manusia


selama berabad-abad dan kemudian mengabaikan mereka
begitu saja, api kebencian dari Gunung Hiei ini?, Tetapi.
Kiyomori tidak tertipu. Dengarlah aku. wahai dewa
terkutuk, dan waspadalah kepadaku!
Para biksu gusar ketika Kiyomori memasang sebuah
anak perah ke busurnya; senar busurnya berderit ketika dia
menariknya hingga menyerupai bulan purnama; kemudian,
dia membidik langsung ke arah Altar.
Salah seorang pemimpin biksu maju dan memekik.
Astaga! Terkutuklah engkau, penghina agama! Kau akan
muntah darah hingga mati!
Mati? Aku rela mati.
Senar busur melenting, anak panah berdesis dan melesat
tepat ke bagian tengah Akar. Dari dua ribu tenggorokan,
geraman marah keluar. Para pendeta berjubah putih
serentak maju, berteriak-teriak satu sama lain, dan udara
seketika dipenuhi oleh pekikan, lengking ganas, teriakan
putus asa, jeritan manusia setengah gila. erangan, dan
lolongan yang mirip binatang.
Baru kali Ini Altar dihina sedemikian rupa! Tidak pernah
ada seorang pun yang berani mengangkat tangan di
hadapannya, karena orang yang melakukannya akan serta
merta mati, mengeluarkan darah dari mulutnya. Namun,
Kiyomori tetap berdiri tegak, tanpa sedikit pun darah
mengalir dari mulutnya. Kehampaan mitos itu ditelanjangi
pada siang hari bolong, dan para pendeta seolah-olah
kehilangan pegangan. Para pemimpin biksu yang murka
segera membelokkan kebingungan anak-anak buahnya
menjadi keberingasan dengan mendorong mereka untuk
mengamuk.
jangan biarkan orang gila itu melarikan diri!

Amukan para biksu pun pecah. Kiyomori menghilang di


tengah kekacauan yang terdiri dari tebasan tombak,
gumpalan debu, dan ayunan tongkat Tidak terlalu jauh
darinya, Tokitada dan Heiroku segera tergulung gelombang
amukan dan hilang dari pandangan.
Senar busur Kiyomori melenting; dia menghantamkan
busurnya ke sana kemari, menjatuhkan tiga atau empat
orang lawannya, dan terus menggila seolah-olah kerasukan.
Tetapi, keadaan tidak mendukungnya, karena dia
kekurangan senjata.
Jangan bunuh dia! Tangkap dia hidup-hidup! Para
biksu memburunya seolah-olah dia babi hutan yang
terdesak. Ketiga pemimpin biksu menjerit-jerit parau.
Tangkap dia! Hajar dia! Kita akan menyeretnya hiduphidup ke Gunung Hiei!
Tangkap dia hidup-hidup! seru mereka. Mereka bisa
menjadikannya jaminan masa depan mereka dengan Istana
Kloister, atau menghukum pemberontak ini untuk
menunjukkan wewenang Gunung Hiei kepada semua
orang.
Para biksu bergerak dengan canggung, dan dalam
pertempuran satu-lawan-satu, Kiyomori berhasil merebut
sebuah tombak dari salah seorang lawannya. Dengan
tombak itu, dia menghantami lengan dan kaki lawanlawannya hingga darah mereka bercucuran, dan melihat
enam atau tujuh orang tergeletak cedera atau mati di tanah.
Dia melihat Tokitada dan Heiroku yang berada tidak jauh
darinya, mengelak dari serangan dalam upaya mereka
menghampirinya. Potongan-potongan pekikan cemas
mereka hinggap di telinganya, dan dia menjawab, Jangan
mundur! Jaga keberanian kalian! Matahari yang sama
menyinari kita semua!

Semua itu terjadi hanya dalam waktu yang singkat.


Sementara itu, pekikan perang dan kegaduhan yang terjadi
menarik perhatian orang-orang yang ada di sekitar arena
pertempuran itu. Dalam sesaat, kerumunan orang telah
berkumpul di sana. Salah seorang dari mereka memungut
sebongkah batu dan berseru, Jangan biarkan serigalaserigala Gunung Hiei memangsamu! Teriakan lain
terdengar, Dasar tentara bayaran bangsat! Dasar biksu
terkutuk! Sambutan dari masyarakat menggemuruh,
Habisi saja pendeta-pendeta jahat dan serakah itu!
sementara mereka memunguti batu-batu dan segera
melemparkannya kembali kepada para biksu. Mereka
melolong marah dan terus melemparkan batu. Tepat ketika
itu, asap hitam membubung dari tengah-tengah pepohonan
Gion. Satu lagi, lalu satu lagi, dan satu lagi. Melihat tanda
ini, para biksu gentar dan mulai menarik diri dengan
bingung. Memperingatkan rekan-rekan mereka bahwa
mereka telah tertipu, para biksu liar itu mundur
sepenuhnya. Di tengah kepanikan, mereka melupakan
ketentuan untuk senantiasa menghormati Altar. Simbol
keimanan yang mereka panggul itu nyaris terjungkal di
tengah kekacauan, turut hanyut dalam gelombang biksu
yang berlari tunggang langgang menuju Gion.
Kiyomori berdiri di atas sebuah gundukan tanah di
Perbukitan Timur dan memandang ke kejauhan, tertawa
terbahak-bahak. Mereka semua pergi! Menggelikan! Baju
zirah hitamnya tergeletak di tanah, dan dia berdiri
bertelanjang dada sambil menyeka keringat dari tubuhnya.
Konyol! Sekali lagi, tawanya meledak. Bukan dia,
melainkan kedua ribu orang pendeta itu yang mundur
terlebih dahulu! Dia berencana untuk kabur begitu anak
panahnya mengenai Altar dan telah memberikan perintah
tegas kepada Tokitada dan Heiroku untuk melakukan hal
yang sama, walaupun mereka tergoda untuk bertempur

hingga titik darah terakhir. (Kalian berdua tidak boleh


mati secara sia-sia. Jangan pedulikan aku, pergi saja.)
Mereka sepakat untuk bertemu di bukit di belakang Kuil
Kiyomizu.
Kiyomori kebingungan melihat para biksu itu mundur.
Tidak diragukan lagi, hujan batu mengejutkan mereka,
namun asap yang membubunglah yang tentunya telah
mendorong mereka untuk kabur. Dia memandang asap
yang menjadikan matahari tampak semerah darah, dan
sedang memikirkan penyebab kebakaran itu. ketika
dilihatnya Tokitada seorang diri mendaki bukit
Ah, kau selamat!
Nah, kau sudah sampai di sini, Tokitada, tapi di
manakah Heiroku?
Heiroku juga berhasil meloloskan diri dari para biksu
haus darah itu.
Apakah dia akan bergabung dengan kita di sini nanti?
Aku bertemu dengannya di Jembatan Todoroki.
Melihat asap yang membubung dari hutan di Gion, dia
mengatakan bahwa dia yakin ayahnyalah yang melakukan
pembakaran. Dia langsung berlari ke Gion. Dia pasti akan
datang nanti.
Jadi, ternyata begitu. Rupanya Mokunosuke tidak
sedang duduk santai di Rokuhara. Si Tua Bangka sudah
merencanakan sesuatu ... membakar pantat para biksu itu!
Tebakan Kiyomori benar. Mokunosuke, sebagai seorang
pelayan senior yang diminta untuk menjaga rumah di
Rokuhara bersama dua puluh orang pelayan muda, tidak
sanggup memikirkan kemungkinan Kiyomori akan
mempertaruhkan nyawa demi Heiroku, sehingga pada pagi
buta, setelah yakin bahwa nyonya rumah dan dayang-

dayangnya telah bersembunyi di tempat yang aman, dia


diam-diam menyusun rencana sendiri dan mengirim para
pelayan yang tersisa di rumah untuk bersembunyi di kaki
Perbukitan Timur. Dia tidak menyangka bahwa Kiyomori
akan mengambil langkah seberani itu. Rencana
Mokunosuke adalah membakar kuil-kuil dan tempat-tempat
pemujaan di Gion begitu para biksu berangkat ke Istana
atau menyerbu Rokuhara. Serangkaian peristiwa
menguntungkan ternyata mendukung rencananya.
Mokunosuke dan Heiroku akhirnya mendaki bukit untuk
mencari Kiyomori; bertemu kembali dalam keadaan
selamat, rasa syukur membuncah di dalam hati mereka.
Mereka mengangkat tangan ke arah matahari yang merah
untuk berdoa, dan air mata membasahi pipi Kiyomori.
Kepada dirinya sendiri, Kiyomori berbisik, Sesungguhnya
langit dan bumi ada di sini bersamaku, dan arwah para
leluhurku menjaga dan melindungi diriku yang lemah ini.
Masih bertelanjang dada, Kiyomori duduk di atas
sebongkah batu besar dan dengan ceria berkata, Sekarang,
kalian semua, masalah kita untuk hari ini telah berakhir;
setelah ini, esok hari akan datang, lusa. dan hari-hari yang
menyusul sesudahnya ... kemudian, datanglah hari
penebusan
Yang pasti akan datang, jawab Mokunosukg,
mengerutkan kening, dan tidak akan ada yang bisa kita
tertawakan lagi ketika hari itu tiba.
Ho, biarkan saja seratus hari seperti itu tiba, dan aku
akan tetap menang, karena aku punya dua sekutu.
Apa maksud Anda? tanya Mokunosuki.
Yang pertama adalah ayahku di Imadegawa, yang
kedua adalah mukjizat dari langit ... hujan batu. Tentu saja.
Tua Bangka, kau melihatnya ... orang-orang yang muncul

entah dari mana dan menghujani para biksu itu dengan


batu?
Suara orang-orang yang mendekat menyela Kiyomori.
Tokitada cepat-cepat mengintip dari balik sebongkah batu
ke jalan setapak di bawah mereka. Yang lain menyambar
baju zirah dan senjata mereka. Mengisyaratkan agar semua
orang diam, Mokunosuk6 meyakinkan Kiyomori bahwa
orang-orang yang datang mendekat itu adalah para pelayan
lain yang datang untuk menemui mereka. Para pelayan
Kiyomori segera tampak, dan dari mereka, Kiyomori
mendengar cerita tentang bagaimana mereka telah
mengendap-endap ke Gion dan mengejutkan lawan dengan
membakar pondok-pondok dan bangunan-bangunan kecil
di sana. Lega karena mendengar bahwa mereka menyisakan
kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan, Kiyomori memuji
Mokunosuk6 untuk tindakan cerdasnya.
Tua Bangka, kau tidak hanya tua tetapi juga bijaksana.
Seandainya aku menjadi dirimu, aku pasti juga akan
membumihanguskan seluruh kuil dan tempat pemujaan di
Gion. Mendengar pujian tuannya, si pelayan menggeleng.
Tidak, tidak. Ini saya pelajari dari tuan saya, Tadamori,
yang pada suatu malam perjamuan, ketika para pejabat
istana menantikan kesempatan untuk membunuh beliau,
datang membawa dan memamerkan sebuah pedang bambu
untuk membodohi musuh-musuhnya. Hari ini, yang saya
lakukan hanyalah upaya untuk meniru ayah Anda.
Kata-kata rendah hati si Tua Bangka mendatangkan si
Mata Piclng ke benak Kiyomori. Sejenak, dia duduk diam
dan menurunkan pandangan, seolah-olah sedang
memikirkan sesuatu; kemudian, mendongak, Kiyomori
berkata, Tua Bangka, mari kita turun ke Rokuhara
sekarang dan menantikan perintah dari Istana di sana. Aku
telah menyelesaikan tugasku. Hatiku terasa ringan

sekarang, dan aku sama sekali tidak menyesal. Sekarang,


aku akan pasrah menantikan keputusan Istana. Bagaimana
menurutmu. Tokitada?
Kiyomori berdiri dan mengenakan kembali baju zirah
kulitnya, dan bersama para pelayannya mengikuti aliran air
menuju Rokuhara.
*d*w*
Jadi, putra si Mata Picing, Kiyomori. yang melakukan
itu, ya? Betul-betul sebuah tindakan berani!
Pembangkangan Kiyomori kepada Gunung Hiei menjadi
buah bibir seluruh ibu kota, dan rasa puas sesaat berhasil
menyembunyikan kecemasan umum. Para pejabat istana
sekalipun kehabisan akal untuk meremehkan tindakan
Kiyomori, sementara biara-biara saingan mengolok-olok
Gunung Hiei. Ketika rasa syok telah mereda dan ketakutan
akan pembalasan dendam dari para biksu telah lenyap,
orang-orang mulai menduga-duga tentang bagaimana pihak
yang berwenang akan menangani Kiyomori.
Kaisar Kloister, Toba, menerima ancaman beruntun dari
Gunung Hiei, dan Perdana Menteri bersama para menteri
bertemu setiap hari untuk membahas tuntutan para pendeta.
Toba, pemegang kendali kekuasaan yang sesungguhnya,
tidak memberikan tanda-tanda bahwa dirinya pernah
memuji ataupun menentang tindakan Kiyomori, dan
mendengarkan baik-baik semua pendapat yang beredar. Oi
sepanjang pembahasan tersebut, Menteri Golongan Kiri,
Yorinaga, bersikeras agar Kiyomori dihukum mati,
berdasarkan pendapat bahwa tindakan Kiyomori telah
mencerabut rasa hormat masyarakat kepada para dewa dan
melecehkan wewenang Gunung Hiei.
Dengan penampilan terhormat beserta berbagai
kelebihan sebagai seorang pejabat istana, Yorinaga tidak

hanya seorang cendekiawan yang mendalami karya sastra


Cina klasik dan Buddha, tetapi juga seorang pembicara
yang
fasih,
yang
pendapatnya
sulit
disangkal.
Bagaimanapun, ketika amarahnya meledak, sikap beringas
dan arogannya menjadikan semua orang, termasuk rekanrekan sejawatnya, takut kepadanya, karena dia tidak akan
memedulikan lagi pangkat dan jabatan lawan bicaranya.
Memang benar, kata Yorinaga, bahwa ini bukan
pertama kalinya Gunung Hiei melakukan unjuk rasa
bersenjata, namun tindakan Tuan Aki tidak bisa dibenarkan
begitu saja. Yang dilakukannya adalah pelecehan terhadap
agama. Dia telah menghina para dewa dan berdosa kepada
Buddha. Mengabaikan tindakannya sama saja dengan
merestui perilaku kriminal dan mendukung perlawanan
kepada pihak yang berwenang. Saya yakin bahwa para
pendeta tidak akan menganggap ringan masalah ini. Tidak
ada seorang pun yang mau diremehkan, dan tindakan Tuan
Aki itu akan menimbulkan keresahan masyarakat. Maka,
demi
kebaikan
bersama,
saya
menolak
untuk
mendengarkan setiap permbelaan kepada Kiyomori.
Gumaman sanggahan terdengar dari beberapa orang
menteri, namun Yorinaga dengan sigap membungkam
mereka. Adakah yang menentang pendapat saya? Silakan
sampaikan pendapat kalian. Mari kita mendiskusikannya di
sini.
Sorot mata Kaisar Kloister, yang dengan cermat
mengamati wajah setiap pejabat istana, menunjukkan
kecemasan. Yang Mulia sekalipun tidak berani menyanggah
Yorinaga. Bagaimanapun, ada seorang pejabat istana yang
menyampaikan keberatan: Shinzei, seorang bangsawan
tinggi, keturunan seorang menteri Fujiwara yang
berpengaruh kuat dan anggota cabang selatan klan tersebut
Walaupun berdarah Fujiwara, dia tidak populer di kalangan

kerabatnya di Istana dan selama bertahun-tahun menduduki


jabatan yang kurang berarti. Baru setelah usianya
menginjak enam puluhan dia berhasil mendapatkan jabatan
penting di Istana Kloister, dan ini, menurut desas-desus
yang beredar di Istana, disebabkan oleh istrinya. Nyonya
Kii, salah seorang pengiring Nyonya Bifukumon. Sebagai
seorang penasihat negara, tugas Shinzei mencakup menulis
rancangan dan mengumumkan dekrit kekaisaran.
Keahliannya tidak bisa dipandang rendah karena dia
memiliki reputasi sebagai seorang cendekiawan, dan
Yorinaga sendiri pernah menjadi muridnya.
Pada akhir musyawarah kekaisaran itu, Shinzei berkata
kepada Yorinaga, Sungguh meyakinkan sekali pendapat
Anda itu! Tidakkah Anda sadar, Tuan, bahwa Anda sedang
membela Gunung Hiei? Tiga orang pemimpin ...
Shirakawa, Horikawa, dan Toba ... menyadari pentingnya
meredam keganasan para pendeta Gunung Hiei, namun
tidak seorang pun dari mereka berhasil. Kita tidak bisa
mengatakan bahwa Kiyomori berhasil. Tetapi, dia telah
membuka jalan untuk mengembalikan akal sehat mereka.
Bukankah dia telah menunjukkan kepada para pendeta
bahwa Istana tidak bisa diintimidasi oleh arogansi dan
pameran kekuatan mereka?
Shinzei berbicara dengan keyakinan seseorang yang
mengenal baik jalan pikiran Kaisar Kloister; dia juga
menyadari bahwa baik pihak penguasa maupun rakyat
jelata sesungguhnya tidak bersimpati kepada para biksu dan
mendukung Kiyomori. Kemudian, dia menyampaikan
pembelaan, Tindakan Kiyomori memang sepertinya tidak
terampuni, namun kita harus mengingat bahwa Yang Mulia
dan para pejabat istana telah memberikan kemerdekaan
sepenuhnya kepada Kiyomori untuk menyelesaikan
masalah ini dengan caranya sendiri, jika Kiyomori

melanggar batasan yang diberikan oleh pihak yang


berwenang dan harus dihukum, maka siapa pun yang
menyetujui permintaannya juga harus berbagi kesalahan
dengannya.
Memang benar bahwa Kiyomori telah melecehkan Altar
Sakral, namun apakah altar serapuh itu benar-benar
emblem sejati para dewa dan Buddha? Lebih tepat jika
dikatakan bahwa tindakan Kiyomori telah meniup awan
dusta dan menolong kita semua untuk memperbaharui
keimanan kita kepada hal-hal surgawi. Apakah serangan
pada emblem sakral itu telah menjatuhkan para dewa dan
Buddha ke bumi atau mendatangkan kegelapan ke seluruh
dunia?
Tawa lirih menyambut kata-kata Shinzei. Yorinaga
tersenyum pahit dan mengatupkan bibirnya ketika melihat
tatapan setuju sang Kaisar Kloister. Berakhirlah
perundingan tertutup ini. Sebuah proklamasi telah dibuat,
memerintahkan Kiyomori untuk membayar denda dalam
bentuk uang tembaga, dan kabar mengenai hukuman ringan
Kiyomori menyebar dengan cepat di seluruh ibu kota.
Rakyat jelata dan para tentara bayaran menyambut gembira
kabar itu bersama seluruh anggota klan Heik6. Para
samurai Genji mendengar kabar ini dengan gusar.
Kekesalan dan kekaguman menggerakkan para pemimpin
Gunung Hiei untuk secara diam-diam mengakui bahwa
mereka telah mendapatkan lawan yang sepadan.
Mendapatkan ancaman dari dalam berupa perpecahan di
tubuh biara mereka sendiri dan dari luar berupa serangan
dari biara sekte-sekte lain, para biksu Gunung Hiei
melayangkan beberapa ancaman terselubung kepada
pemerintah, dan kemarahan mereka mereda ketika
pemerintah menyerahkan tanah Kagashirayama kepada
mereka.

Genji Tameyoshi adalah samurai kesayangan Menteri


Golongan Kiri, Yorinaga, yang leluhurnya selalu berpihak
kepada klan Genji. Yorinaga mengundang Tameyoshi
untuk bercakap-cakap di rumahnya pada suatu malam.
Tameyoshi, minumlah yang banyak, kata Yorinaga.
Kita harus mengakui bahwa Penasihat Negara Shinzei
lebih unggul kali ini. Waktulah yang akan meniupkan angin
segar ke arah lata. Ini adalah kemunduran yang tidak
terhindarkan bagimu. Ini juga membuktikan bahwa Yang
Mulia memang selalu memihak kepada Kiyomori.
Yorinaga telah mabuk berat dan mulai kehilangan
harapan. Yang Mulia, sang Kaisar Kloister, terlalu
berpihak kepada Tadamori dan Herk6 Kiyomori.
Dibandingkan dengan mereka, kau tidak terlalu berhasil,
namun tunggu dulu, dalam waktu dekat ini, aku akan
melihat klan Genji bangkit kembali.
Yorinaga telah selama beberapa tahun meneguhkan janji
ini kepada Tameyoshi, dan dengan mendorong agar Heik6
Kiyomori dihukum, dia berharap bisa menyingkirkannya
dari peta kekuatan untuk selama-lamanya.
Tuan, kata Tameyoshi, mari kita lupakan semua ini.
Saya akan dengan ikhlas menerima penugasan di provinsi
yang jauh secepatnya, karena saya sudah tidak memiliki
ambisi lagi.
Ini bukan pertama kalinya Tameyoshi menolak tawaran
dukungan dari Yorinaga, karena selalu ada kerugian yang
terkandung di dalam pertolongan dari sang menteri.
Tameyoshi, di sisi lain, berharap untuk ditugaskan di
wilayah utara Jepang, tempat sebagian besar anggota klan
Genji menetap pada masa kejayaan kakeknya, namun
permohonannya terus-menerus ditolak
oleh para
bangsawan Fujiwara, yang tidak menginginkan Tameyoshi

berada jauh dari ibu kota dan senantiasa membujuknya agar


tetap tinggal di Tokyo, tempat mereka bisa selalu
mengawasinya.
0)--=dw=--(0

Bab XI - SEKELUARGA RUBAH DAN


SEBUAH KECAPI
Waktu menggantung berat di tangan Kiyomori. Setelah
membayar denda dalam bentuk uang tembaga, dia
dibebastugaskan selama setahun. Dalam masa istirahatnya,
sensasi yang diciptakannya telah padam. Pelanggarannya,
mau tidak mau juga memengaruhi orang-orang yang
memiliki hubungan dekat dengannya: ayah Kiyomori
dibebastugaskan selama seratus hari; sebagai anggota
keluarga Fujiwara, Tokinobu, ayah mertua Kiyomori,
hingga waktu yang tidak ditentukan dilarang menggunakan
nama dan mendapatkan perlindungan dari Fujiwara.
Kemarahan Kiyomori kerap kali meledak kepada adik
iparnya, Ini lebih baik. Kau dan ayahmu yang baik lebih
pantas menjadi anggota keluarga Heike. Fujiwara bukanlah
satu-satunya keluarga di negeri ini.
Walaupun bisa memberikan komentar yang jauh lebih
pedas, Kiyomori masih akan memiliki alasan untuk
mengeluh karena tindakan pencegahan yang dilakukan oleh
para bangsawan Fujiwara sepertinya terlalu berlebihan.
Mereka telah menunjukkan betapa pengecutnya mereka
dalam upaya melindungi diri sendiri. Mereka terlalu
penakut; mereka was-was bahwa seseorang yang
menyandang nama Fujiwara dan berhubungan dengan
orang sekasar aku akan membawa kemalangan bagi
mereka.
Tetapi,
mereka
diam-diam
mendukung

perbuatanku. Ini adalah penghinaan yang lebih


menyakitkan daripada hukuman yang mereka berikan
kepadaku. Tokitada, jangan pernah lupakan ini.
Keceriaan
Tokitada
mencerahkan
kemuraman
kehidupan sunyi Kiyomori; pemuda itu selalu siap sedia
mendengarkan berbagai keluh kesah Kiyomori; berbeda
dengan Kiyomori, dia juga gemar membaca; bermodalkan
ingatannya yang tajam, hasil pengamatan Tokitada sering
membuat Kiyomori tidak sanggup berkata-kata.
Kiyomori sedang berjalan santai menuju istal untuk
melihat kuda-kudanya ketika mendengar lentingan busur.
Dia langsung membelokkan langkah ke arena panahan.
Dengan sentakan tajam, sebuah anak panah melesat dan
menancap tepat di tengah sasaran.
Hebat! seru Kiyomori. Dua orang di depannya
berputar dan tersenyum ketik melihatnya: Shigemori,
putranya yang berumur sepuluh tahun, dan Tokitada, yang
sedang mengajarinya memanah.
Bagaimana
menurutmu
Shigemori? tanya Kiyomori.

kemampuan

memanah

Seperti yang kaulihat sendiri, dia sangat ahli, tapi ... dia
sepertinya tidak bisa memanah dengan lurus, atau belum
punya cukup kekuatan. Masalah temperamen, mungkin
Dia masih muda, Tokitada, dan busurnya kecil.
Itu tidak bisa disangkal. Watak seorang pria,
bagaimanapun, terlihat dari caranya memanah. Apa kau
pernah mendengar tentang putra bungsu Tameyoshi?
Kurasa pernah
Tameyoshi menganggap anak itu terlalu keras kepala ...
aku melihatnya di sebuah pertandingan memanah waktu

dia berumur sebelas tahun. Dia sudah memakai busur yang


kuat ketika itu, dan dia menembakkan anak panahnya
begitu dalam di sebuah gundukan tanah sehingga dua orang
pria dewasa sekalipun tidak
bisa menariknya. Memang benar, dia akhirnya menjadi
anak yang tidak bisa diatur dan memberikan banyak
masalah kepada ayahnya.
Kiyomori tergelak. Tokitada,
membicarakan dirimu sendiri.

kau

pasti

tengah

Aku? Tidak, tidak, aku sudah berhenti menyabung


ayam, dan aku tidak pernah terlibat perkelahian lagi sejak
peristiwa G ion itu. Aku bisa mengambil pelajaran.
Jangan menyerah secepat itu. Tokitada. Kudengar
biara-biara di Nara kembali membuat keributan, meskipun
Gunung Hlai sudah tidak pernah menyusahkan Idta lagi.
Aku khawatir bahwa satu anak panah tidaklah cukup untuk
menyembuhkan hasrat berperang mereka,
Dan itu mengingatkanku bahwa pada akhir Agustus
silam, Gcnji Tameyoshi membawa para prajuritnya kc Uji
dan berhaul mencegah kedatangan beberapa ribu orang
biksu bersenjata ke Ibu kota. Sejak saat itu, kudengar, dia
menjadi jauh lebih populer di Istana Kekaisaran.
Tatapan Iri Kiyomori mendorong Tokitada untuk
berbicara semakin banyak. Aku juga mendengar bahwa
Menteri Yortnags mendukung Genji dan berencana untuk
menunjuk Tameyoshi sebagai kepala Kesatuan Pengawal
sementara kau dan ayahmu masih bebas tugas hingga masa
hukuman kalian selesai.
Kerutan di kening Kiyomori sama sekali tidak
menunjukkan perasaannya, namun ketenangan hari-harinya
telah terganggu. Tepat ketika itu, Heiroku si pelayan

muncul untuk mengumumkan kedatangan Oshimaro si


perajin baju zirah, yang hendak menemui tuan rumah.
Kiyomori, yang menyambut gembira kedatangan setiap
tamu yang bisa mengusir kebosanannya, segera kembali ke
rumah.
Saya datang, Tuan, untuk membahas tentang baju zirah
yang Anda pesan, kata perajin baju zirah yang berusia
uzur dan berpunggung bungkuk itu dengan suara paraunya.
Tidak ada yang bisa menandingi baju zirah buatannya.
Setiap jahitan dan pemasangan lapisan logam diselesaikan
dengan keahlian tanpa tara. Kiyomori.
yang sudah tahu bahwa pria tua pemarah itu meminta
harga yang terlampau tinggi dan gemar merepotkan para
pelanggannya, memesan sebuah baju zirah dengan hiasan
bunga sakura. Pesanannya tersebut sudah hampir selesai
dibuat.
Kulitnya telah diwarnai sesuai dengan permintaan
Anda, Tuan, lapisan logamnya telah selesai dipasang ... talitalinya, pelindung lengan, dan pelindung kaki ... semuanya
telah siap, kecuali kulit rubah yang Anda janjikan kepada
saya. Sekarang, apa yang harus saya lakukan. Tuan?
Pria tua itu menggunakan kulit rubah yang baru saja
dibunuh untuk memperkuat bagian-bagian vital baju
zirahnya; Kiyomori, ketika mengajukan pesanan, telah
menjanjikan untuk memberikan kulit dua ekor rubah kapan
pun si perajin memintanya. Bulu rubah akan digunakan
untuk melapisi pelindung bahu, sambungan antara
pelindung dada dan punggung, dan pelindung ketiak. Ada
rahasia dalam merebus lem yang akan digunakan untuk
menempelkan lapisan kulit ke baju zirah; lem yang terbuat
dari batu ambar harus dilelehkan secara perlahan-lahan
selama lebih dari dua hari dan sesudahnya langsung

dioleskan ke kulit. Yang artinya, jika kulit rubah belum


tersedia, maka lem tersebut akan terbuang dengan sia-sia.
Saya tidak tahu berapa hari saya harus menunggu
kedatangan Anda, atau berapa kali saya harus membuang
lem, omel pria tua itu dengan nada menuduh, jika Anda
mau memakai kulit biasa, tentu itu akan memudahkan
pekerjaan saya. Jika baju zirah biasa seperti itu sudah
memuaskan Anda, ada banyak perajin yang bisa Anda
pakai, dan Anda lebih baik memesan baju zirah Anda di
tempat lain.
Tidak, tidak! Maafkan saya. jangan marah ... saya
mohon, jarjgan marah, Kiyomori membujuknya. Saya
sudah beberapa kali mengirim anak-anak buah saya untuk
berburu rubah, dan mereka selaki datang membawa musang
dan kelinci, tanpa pernah membawa rubah. Kali ini. saya
sendirilah yang akan pergi berburu. Sekarang ... man kita
lihat, bukankah kita lebih baik menetapkan hari r
Pan membiarkan saya sekali lagi menanti dengan siasia?
Hmm ... tidak, kali ini tidak.
Saya tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi Anda
harus mengerti bahwa saya tidak bisa menyerahkan
pekerjaan merebus lem kepada murid ataupun istri saya.
Ada rahasia untuk menjaga nyala api, mengaduk lem, dan
mengawasi lem saat mendidih di dalam kuali, dan saya
harus menghabiskan dua hari dan dua malam untuk
menyelesaikan pekerjaan itu, mengawasi kuali. Lalu ...
tidak ada kulit! Lem pun mengental dan harus dibuang.
Anda tentu mengerti mengapa saya marah.
Tidak, kali ini tidak akan ada kesalahan lagi.
Bagaimana dengan lusa? lepat ketika matahari tenggelam

dan lentera-lentera dinyalakan, saya akan datang sendiri ke


rumah Anda untuk mengantarkan kulit rubah itu.
Maksud
Anda,
melakukannya?

Anda

sendiri

yang

akan

Saya tidak akan menyuruh orang lain melakukannya.


Bagaimana jika Anda tidak menepati janji Anda ini?
Saya akan membayar denda dengan uang tembaga atau
apa pun yang Anda minta. Pak Tua.
Pria tua itu menggeleng-geleng sambil tertawa dan
menepuk pahanya. Bagus! Lagi pula. Anda adalah Tuan
Aki yang memanah Altar. Saya memegang kata-kata Anda.
Saya akan pulang dan langsung merebus lem, dan saya
akan menunggu Anda lusa, ketika matahari tenggelam
Keesokan harinya, Kiyomori mengeluarkan busur
kesayangannya dari dalam kotaknya, memasang talinya,
lalu keluar dari rumah untuk mencari istrinya. Seorang
pelayan mengatakan bahwa sang nyonya rumah sedang
sibuk di rumah-tenun dan menawarkan kepada Kiyomori
untuk menjemputnya, namun Kiyomori menolaknya, jika
dia sedang berada di rumah-tenun, jangan panggil dia.
Keluarkan saja pakaian berburuku.
Mengenakan celana berburu kulitnya, dengan sarung
anak panah tersandang di punggung dan busur di tangan,
Kiyomori singgah di rumah-tenun yang dibangun atas
permintaan istrinya. DI tempat itu
terdapat dua alat tenun, tempat untuk menyimpan
bejana-bejana berisi pewarna, dan sebuah meja bordir
Tokiko duduk di balik alat tenunnya sementara anakanaknya bermain dengan gembira di sekelilingnya. Dia
membanggakan hasil karyanya dan menikmati proses

membuat kain dengan desain unik untuk keluarganya.


Tokiko kerap mendapatkan pujian untuk keahliannya ini.
Mengapa ... mengapa mendadak sekali? tanyanya,
meninggalkan alat tenunnya. Siapa yang akan pergi
menyertaimu?
Aku akan pergi sendirian. Untuk saat ini, lebih sepi
lebih baik
Tentunya kau akan mengajak setidaknya seorang
pelayan.
Tidak, aku tidak akan berkeliaran ke wilayah
perbukitan, dan , aku akan pulang saat matahari tenggelam.
Bagaimana dengan kain I yang akan kauhadiahkan kepada
istri Shinzei?
Aku sudah mewarnainya, dan bordirannya pun telah
kuselesaikan. Apa kau mau melihatnya?
Tidak usah, itu tidak perlu, karena aku tidak berbakat
dalam menilai kain, jawab Kiyomori sebelum melangkah
ke gerbang belakang.
Kiyomori telah mendengar secara tidak langsung bahwa
Shinzei membelanya di hadapan Kaisar Kloister dan para
pejabat istana. Sejak saat itu, dia menganggap Shinzei
sebagai seorang sekutu dan keakraban pun terjalin di antara
mereka.
Ketika
Tokiko
menyarankan
untuk
menghadiahkan salah satu kain terbaiknya kepada istri
Shinzei, Nyonya Kii, Kiyomori langsung menyetujuinya.
Kiyomori sering mendengar bahwa rubah pernah terlihat
di dalam ibu kota begitu pula di luar gerbang kota, namun
ketika dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, yang
ada hanyalah bulu-bulu keperakan dari ilalang tinggi yang
tumbuh di ladang-ladang di tengah musim gugur. Dia
menghabiskan sepanjang hari untuk berkeliaran di ladang,

dan pulang pada malam harinya dengan kaki pegal dan


tangan hampa.
Gerimis turun keesokan harinya, namun langit kembali
cerah saat siang tiba. Tokitada, yang sudah mendengar
tentang kegagalan Kiyomori, mendesak kakak iparnya itu
untuk tetap tinggal di rumah dan bersiap-siap untuk pergi
bersama Heiroku.
Tetapi, Kiyomori memprotes, Oh tidak, waktu aku
melihatmu dan Shigemori berlatih memanah kemarin, aku
mendadak merindukan busurku- ... karena aku sudah
terlalu lama mendiamkannya, kurasa.
Segera setelah Tokitada dan Heiroku pergi, Kiyomori
pun berangkat. Kali ini, dia berburu di luar gerbang utara
ibu kota hingga matahari tenggelam. Dia berjalan
menembus padang ilalang yang basah sehingga celananya
basah kuyup dan kimononya lembap. Dia berkeliaran di
tanah yang becek, menerjang liang-liang yang penuh berisi
air, dan menembus bukit yang dipenuhi kuncup bunga hagi,
hingga kabut pucat mulai turun dan mengaburkan
pandangan. Matahari masih mengintip di ufuk barat, dan
sebersit bulan sabit menggantung di atas kepalanya.
Tidak seekor rubah pun terlihat ... hanya burung-burung
yang pulang ke sarang mereka ... dan orang-orang
mengatakan bahwa salakan rubah bisa didengar pada
malam-malam musim gugur, gumam Kiyomori.
Di kejauhan, dia melihat kilatan cahaya dari sebuah
pondok penjaga ladang. Dia membayangkan lem yang
mendidih di rumah si perajin baju zirah, dan pikiran akan
kembali mengecewakan Oshimaro membuatnya agak putus
asa. Dia menyesal karena tanpa berpikir panjang telah
berjanji untuk membawa dua ekor rubah hidup ke rumah si
perajin saat matahari tenggelam.

Ladang di sekelilingnya sekarang bermandikan nuansa


biru tua. Ketika berbalik untuk pulang, Kiyomori
merasakan sesuatu berkelebat di dekat kakinya di tengah
rumpun ilalang lebat; sesuatu melintasi jalannya dengan
cepat, lalu lenyap begitu saja. Kiyomori langsung
memasang anak panah ke busurnya ketika satu lagi
bayangan berkelebat di antara kedua kakinya dan
menghilang dengan bunyi gemerisik. Dia sontak mengejar
sebentuk ekor yang lenyap di depan matanya; mengikutinya
dari satu rumpun rumput ke rumpun yang lain, hingga dia
tiba-tiba berhadapan dengan seekor rubah yang sedang
berdiri diam di depan liangnya; kedua mata binatang itu
terpaku dengan heran pada anak panah Kiyomori. Dia
menarik tali busurnya. Geraman bernada rendah terdengar,
dan bau busuk memasuki lubang hidung Kiyomori. Dia
menajamkan mata dan melihat lebih dari seekor rubah; dua
ekor binatang berbulu berdesakan di dalam liang. Sepasang
mata tajam sekarang tertuju kepadanya. Seekor rubah tua
dengan ekor kecokelatan menggeram kepadanya. Rubah
betina itu, setengah tertutupi oleh tubuh pasangannya,
memamerkan cakarnya, menggeram menyaksikan tangan
yang memegang busur dengan tatapan ngeri. Binatang itu
lebih kurus daripada rubah kebanyakan, lebih menyerupai
serigala; tulang-tulang bahunya menonjol, bulunya kusam,
dan perutnya bergelambir. Kiyomori kembali menajamkan
pandangan dan melihat bagaimana binatang itu melindungi
anaknya di bawahnya. Mereka mungkin sudah berhasil
meloloskan diri jika bukan gara-gara rubah mungil itu, pikir
Kiyomori. Tiga ekor rubah ... sungguh beruntung dirinya!
Sejenak, dia mempertimbangkan rubah yang mana yang
akan dipanahnya terlebih dahulu. Busurnya berderak.
Pendar terang seolah-olah memancar dari pasangan rubah
yang telah terdesak itu, dan mereka mengeluarkan erangan
aneh. Si jantan menggeramkan ancaman, dengan

keberanian seekor binatang putus asa, sementara si betina


melengkungkan tubuhnya dan memeluk bayinya semakin
erat.
Lengan Kiyomori mendadak terasa kaku. Ah, kasihan
sekali kafcan, kasihan sekali! Keluarga yang cantik? jauh
lebih terhormat danpada manusia yang bodoh had
Kiyomori pedih.Apakah yang diakukannya di uni dengan
anak panahnya? Menyudutkan binatang-binatang mm? Baju
zirah baju zirah untuk dipamer-pamerkan! Menyelamatkan
harga dirinya di hadapan si perajin baju zirah hanya demi
sebuah janji? Bodoh bodoh! Tidak masalah jika pria tua
itu mengejeknya; baju zirah biasa sudah cukup baginya!
Baju zirah tidak mencerminkan kejantanan, apalagi
menambah keperkasaan.
Walaupun hanya binatang bodoh, kalian sungguh
menawan! Kesedihan, kasih sayang ... wujud kasih sayang
orangtua! Seandainya aku menjadi rubah tua itu ...
bagaimana jika Tokiko dan Shigemori tersudut seperti ini?
Binatang sekalipun bisa bersikap begitu terhormat ...
bisakah aku melakukannya?
Kiyomori menaikkan busurnya dan membiarkan anak
panahnya melesat ke arah satu-satunya bintang yang
bersinar di langit yang mulai gelap.
Sebuah gerakan yang menyerupai embusan angin
menggerakkan rerumputan di dekat kakinya, disusul oleh
kesunyian. Kiyomori menunduk; ketiga rubah itu telah
pergi.
Sebelum pulang, Kiyomori berhenti di luar pagar rumah
si perajin baju zirah. Dia berseru memanggil sosok bungkuk
yang berjalan melintasi pekarangan diterangi oleh cahaya
suram sebuah lentera kecil. Pak Tua, Pak Tua, aku tidak
memerlukan kulit rubah untuk baju zirahku! Gunakanlah

apa pun yang kau mau. Aku akan menjelaskannya di lain


waktu. Datanglah besok, dan aku akan membayar denda
dengan apa pun yang kauminta.
Bau tajam lem mendidih menguar di udara ketika sosok
bungkuk itu muncul di beranda dengan membawa sebuah
kuali yang mengepul-ngepul. Apa! Anda tidak
menginginkan baju zirah Anda? Bukankah Anda sudah
berjanji? Saya sudah mengatakan bahwa saya akan
bergadang selama dua hari dan dua malam seperti seorang
pandir untuk mendidihkan lem ini! jadi. Anda memanah
Altar hanya untuk bercanda, ya? jadi. saya salah sangka
tentang Tuan Aid! Apa menurut Anda saya mau membuat
baju zirah untuk seseorang yang telah menipu saya? Saya
menolak ... saya tidak mau lagi melakukan pekerjaan apa
pun untuk Anda! ... Ini. dasar anjing liar, kemari dan
makanlah lem tol!
Kuali berisi lem panas itu tiba-tiba melayang di udara
dan jatuh di dekat kaki Kiyomori. Tercekik oleh asap dan
bau tajam lem, Kiyomori membalikkan badan dan pulang
dengan bermuram durja.
November segera tiba, dan masa hukuman Kiyomori
selesai. Dia pun kembali menjalankan tugasnya di Istana.
Beberapa hari sebelum peristiwa ini terjadi, bagaimanapun,
seorang tamu tiba di gerbang pelayan di rumahnya,
memohon dengan air mata berlinangan untuk
dipertemukan dengan sang tuan rumah.
Aku tidak punya hak untuk meminta dipertemukan
dengan Tuan Aki, tapi
Tamu itu adalah Oshimaru, si perajin baju zirah.
Punggung bungkuknya tampak semakin bungkuk, dan dia
menolak untuk mengangkat pandangan. Tuan, saya
memohon agar Anda memaafkan kata-kata kasar saya

tempo hari ... itu hanyalah ocehan seorang perajin tua dan
bodoh ... Butiran-butiran keringat membasahi kening
keriput pria tua itu.
Apa masalahmu kali ini, Pak Tua? Kiyomori tertawa,
meminta penjelasan untuk kunjungan Oshimaru.
Karena terbakar amarah, saya melempar sekuali lem
kepada Anda, Tuan, dan memaki-maki Anda, namun saya
mendengar salah seorang pelayan Anda bercerita tentang
kegagalan perburuan Anda hari itu, dan saya malu ketika
mengetahui bahwa Anda memiliki belas kasihan untuk
binatang biasa. Sebagai seorang pakar baju zirah, saya
memohon agar Anda mengizinkan saya untuk membuat
baju zirah baru bagi Anda. Seorang samurai tidak hanya
harus ahli menggunakan busurnya, tetapi juga harus
memiliki hati yang penuh belas kasihan kepada semua
makhluk hidup, seperti Anda. Siapa pun yang membuat
baju zirah untuk samurai semacam itu mau tidak mau akan
mencurahkan seluruh jiwa dan raganya ke dalam
pekerjaannya. ... Sejujurnya, Tuan, saya membawa baju
zirah pesanan
Anda hari ini. Maukah Anda melihatnya dan
mengizinkan saya menghadiahkannya kepada Anda?
Tidak ada jejak kesombongan dalam sikap Oshimaro
sekarang; tidak ada kata-kata pujian untuk hasil karyanya
sendiri. Ekspresi puas di wajah Kiyomori sepertinya sudah
menjadi penghargaan yang cukup baginya, dan dia pun
segera berpamitan.
Kiyomori menikmati kembalinya kemerdekaannya. Pada
suatu malam, setibanya di rumah, dia memasuki kamar
istrinya dan menemukan sebuah kecapi yang belum pernah
dilihatnya. Tokiko menjelaskan bahwa kecapi itu adalah
hadiah dari Nyonya Kii, yang mengutus seorang pendeta

untuk mengirimnya siang itu. Tokiko menceritakan kepada


suaminya bahwa si pendeta singgah selama beberapa waktu
untuk bercakap-cakap dan berulang kali menyelamatinya
karena memiliki seorang suami yang hebat Tokiko
menyanggah dengan senyuman, namun rasa penasaran
mendorongnya untuk menanyakan alasan pendeta itu
menyanjung-nyanjung Tuan Ala. Dia berhasil mendesak
kurir Nyonya Ki untuk berbicara lebih banyak dan
mengetahui bahwa Oshimaro, si perajin baju zirah, telah
bercerita kepada semua orang tentang kisah Kiyomori dan
sekeluarga rubah. Kisah itu akhirnya didengar oleh Shinzei;
tergerak oleh kelembutan hati Kiyomori, Shinzei
mengeluarkan kecapi warisan ibunya dan meminta tolong
kepada kawan pendetanya untuk menyerahkannya kepada
Kiyomori sebagai tanda kehormatan darinya. Si pendeta
kemudian memberi tahu Tokiko bahwa rubah adalah kurir
Dewi Belas Kasfan dan Oma. dan dengan melepaskan
rubah-rubah
buruannya,
maka
Kiyomori
layak
mendapatkan tanda jasa. Shinzei. tambah si pendeta, juga
menyampaikan keyakinannya tentang kebaikan hati Tuan
Aki. Setebh berbicara panjang lebar, si pendeta berpamitan
dengan memberkati sang nyonya rumah dan suaminya.
Kiyomori mengambil kecapi tersebut, membolakbaliknya beberapa kali di atas pangkuannya untuk
memeriksanya.
Kecapi yang sangat bagus, akhirnya dia berkomentar.
Toklko menjawab. Pasti ada namanya di suatu tempat,
Di sini ...
Namanya Angin Ladang.
Kecapi itu berhias motif bunga-bunga liar bernuansa
keemasan, dan sebuah puisi karya Shinzei yang ditujukan
kepada mendiang ibunya diselipkan dengan tulisan indah.

Tokiko. bisakah kau memainkan alat musik ini?


Aku yakin bahwa Tokitada lebih pandai bermain musik
daripada aku.
Eh, aku baru tahu bahwa Tokitada berbakat di bidang
musik. Kalau begitu, biarkan aku memainkan sesuatu
untukmu. Penampilanku yang kusam mungkin tidak akan
membuatmu percaya, tapi saat berumur delapan tahun, aku
harus menyanyi dan menari dalam pementasan drama
sakral di Gion. Ibuku, sang Perempuan Gion, menggemari
pertunjukan semacam itu.
Ketika mengatakan itu, Kiyomori merasakan hatinya
tersengat Di manakah dia sekarang ... ibunya, si wanita
rubah, seseorang yang tidak sebandmg dengan rubah betina
bijaksana itu? Apakah da masih hidup dan sehat? Dia tentu
sudah tidak cantik lagi ... usianya saat ini pasti sudah empat
puluhan. Di manakah da sekarang? Apakah seorang pria
telah melukai hatinya dan meninggalkannya begitu saja di
salah satu sudut dunia? Kiyomori kehabisan kata-kata
untuk menetaskan tentang emosi yang membuncah dari
kedalaman yang tidak dikenalnya dan membanjiri seluruh
dirinya. Hatinya pedih. Seolah-olah untuk meredakan rasa
sakitnya, dia memangku kecapi jas dan bersenandung
dengan lembut, melarikan jarinya di keempat senar yang
berdenting bening.
Nah, lagu apa itu? Tokiko tergelak.
Oh. kau mungkin tidak pernah mendengarnya.
Judulnya Nyanyian Seorang Manusia dari drama berjudul
Manyoshu candanya dengan tenang, walaupun matanya
basah.
0)--=dw=--(0

Bab XII -SABDA ALMARHUM


Fujiwara Tsunemune, seorang pejabat istana dari
Golongan Ketiga, adalah seorang pria muda berprestasi.
Kendati dirinya seorang bangsawan, dia tidak sombong,
karena dia bukan hanya menjadi anggota kelompok politik
melainkan juga pusat kehidupan intelektual pada masanya,
dan di kalangan pejabat muda. dia sepertinya
berkonsentrasi pada cara-cara untuk tampil sebagai seorang
bangsawan yang baik. Terobsesi pada detail dan anggun
dalam penampilan, seperti halnya dalam bersikap dan
berbicara, Tsunemune memiliki selera seorang terpelajar
dan banyak membaca karya-karya klasik; sebagai seorang
penulis puoi berbakat, pakar permainan sepak bola
bangsawan, dan pemain musik ulung, dia memiliki
pemahaman menyeluruh terhadap naik turunnya arus
kehidupan di istana.
Pada hari ketika Tsunemune menerima undangan
kenegaraan untuk menghadiri pertandingan sepak bola. juru
tulis Perdana Menteri Tadamichi tiba di salah satu paviliun
kekaisaran dan secara diam-diam memberi tahu
Tsunemune bahwa sang perdana menteri ingin berbicara
dengannya. Tsunemune mengikuti si juru tulis ke sebuah
rumah-taman yang terletak di sebuah pulau buatan dan
dipenuhi oleh bunga teratai.
Ketika itu musim panas ... Juni 1149. Kaisar Kecil
Konoye akan segera merayakan ulang tahunnya yang
kesebelas, dan para penasihatnya sedang mempersiapkan
pelantikannya. Pertanyaan tentang permaisuri bagi dirinya
amat mendesak karena sudah sepanasnya seorang penguasa
muda menghadiri Pesat Syukuran Besar pada hari
pelantikannya bersama seorang calon permaisuri Kaisar
Kloister Toba tetah selama beberapa waktu memikirkan
semua secara serius; desas-desus telah menyebar tentang

kemana Toba akan menjatuhkan pilihan dan setiap cabang


klan Fujiwara yang memiliki putri terhanyut oleh harapan
bahwa sang penguasa tertinggi akan mendatangi mereka.
Pifihan harus dombil secara diam-diam dan dengan
mempertimbangkan pengaruh terhadap keseimbangan
politik yang rentan. Sejarah telah menunjukkan bahwa
pifihan yang salah dapat menjerumuskan istana ke dalam
persekongkolan dan bahkan memecahkan perang.
Tugas Perdana Menteri tidak pernah seberat ini. Selama
berbulan-bulan, sang perdana menteri telah memikirkan
masalah ini secara mendalam dan akhirnya berhasil
mengambil keputusan. Setelah mempertimbangkan segala
aspek yang ada, pilihannya yang jatuh kepada Tadako, putri
Menteri Golongan Kiri, sepertinya tidak terbantahkan;
walaupun baru berumur sebelas tahun ... masih kanakkanak ... sang perdana menteri meyakini bahwa bakat alami
dan kejelitaan sang putrilah yang mengarahkan takdirnya ke
kedudukan tinggi yang sedang dipersiapkan untuknya saat
ini. Satu-satunya kendala, bagaimanapun, adalah cara
untuk menyampaikan pilihan ini kepada ayah Tadako.
Tadako adalah putri angkat Yorinaga, adik sang perdana
menteri. Kedua saudara ini masih saling menyayangi
kendati memiliki watak yang bertolak belakang, dan
Tadamichi, tidak sanggup menelan harga dirinya, enggan
mengabarkan kepada Yorinaga mengenai pilihan yang telah
disetujui oleh Kaisar Kloister. Dia resah memikirkan reaksi
ganas Yorinaga saat menerima kabar yang telah lama
dinanti-nantikan Ini, dan di tengah kebingungannya,
terpikir olehnya untuk mengirim Tsunemune sebagai
utusannya. Kepandaian bertutur kata dan kesabaran sang
bangsawan mudi bea dperaya untuk memuluskan setiap
kecanggungan yang mungkin muncul. Pertandingan sepak
bola, oleh karenanya, memberikan kesempattan kepada

Tadamichi untuk menemui Tsunemune dan menjelaskan


rencananya.
Tsunemune mendengarkan penjelasan Perdana Hantari
dangm perasaan melambung. Tingkat kepentingan tugas ini
membuatnya senang. Tugas m juga penang untuk kemajuan
kariernya di Istana. Maka, setelah memasukan kapan dia
akan kembal dengan membawa jawaban Yorinaga.
Tsunemune pun berangkat
Pertemuan antara Tsunemune dan Yorinaga dimulai
dengan kaku. Sang mencen tidak memberikan komentar
apa pun kecuali jadi. Tadako diminta untuk menjadi
permaisuri?** yang diikuti oleh senyuman sinis. Setelah
beberapa waktu berbicara tanpa tujuan. Tsunemun^
memohon jawaban dari Yorinaga.
Akhirnya. Yorinaga bertanya. Apakah urusan ini
sedemikian
mendesaknya?
Apakah
saya
harus
menjawabnya sekarang juga?
Setelah diyakinkan bahwa ini adalah kehendak Kaisar
Kloister,
Yorinaga
mendesak
Tsunemun6
untuk
menjelaskan alasan yang mencegah sang perdana menteri
datang sendiri untuk menyampaikan kabar ini. Penjelasan
mengenai urusan kenegaraan yang menahan Tadamichi di
Istana tidak memuaskan Yorinaga, namun dia akhirnya
mengatakan, Saya tidak keberatan jika Tadako dijadikan
permaisuri, namun saya menuntut janji bahwa dia akan
ditetapkan sebagai permaisuri ketika Kaisar dilantik; saya
tidak akan mengizinkannya menjadi selir biasa di Istana.
Jika itu yang terjadi, saya harus menolak tawaran ini. Harus
ada jaminan resmi bahwa Tadako akan dijadikan
permaisuri.
Tsunemun6 menyampaikan tuntutan Yorinaga kepada
Kaisar Kloister dan Perdana Menteri, dan keduanya

menyanggupinya. Hanya dalam waktu singkat, Tadako


telah diterima di Istana. Baru
beberapa bulan kemudian, bagaimanapun. Perdana
Menteri kecewa ketika Kaisar Kloister memerintahkannya
untuk mengganti Tadako dengan gadis lain, Shimeko yang
berumur sembilan belas tahun, dayang kesayangan Nyonya
Bifukumon. Setelah selama beberapa tahun mengawasi
pendidikan dan pertumbuhan gadis ini. Nyonya Bifukumon
menyusun rencana agar dia, yang sudah dianggapnya
seperti anak sendiri, menjadi permaisuri Konoyt, putranya.
Ketika mengetahui bahwa Tadako telah dipilih tanpa
sepengetahuannya. Nyonya Bifukumon dengan gusar
memprotes suaminya. Kaisar Kloister, dan menuntutnya
untuk membatalkan keputusan tersebut
Tidak terlukiskan lagi betapa Yorinaga geram dan malu
ketika mendengar kabar ini. Dia melihat kesempatannya
untuk mendapatkan kekuasaan dan kehormatan berlalu
begitu saja. Bertekad untuk tidak tunduk kepada Kaisar
Kloister sekalipun, Yorinaga meminta dukungan kepada
ayahnya.
Fujiwara Tadazane, ayah Yorinaga, berusia tujuh puluh
dua tahun dan selama beberapa tahun telah menghabiskan
masa pensiun di rumah peristirahatannya di wilayah
Byodo-in di Uji. Sebagai bangsawan Fujiwara yang berusia
paling tua, dia masih memegang pengaruh yang tidak boleh
diremehkan, karena selain memiliki hubungan dengan
Istana dari pihak ibunya, salah seorang putrinya fugi pernah
menjadi permaisuri pertama Kaisar Kloister. Perjalanan
kariernya sungguh gemilang. Dia pernah mengabdi kepada
dua orang kaisar secara berturut-turut dan menduduki
jabatan-jabatan terpenting dalam pemerintahan. Bahkan di
masa pensiunnya, dia kerap sering menggelar berbagai
upacara sepera layaknya seorang bangsawan besar, dan

para pejabat dari ibu kota tak henti


mengunjunginya dirumah peristirahatannya.

hentinya

Walaupun Tadazane memiliki semua sifat yan


dibutuhkan untuk menjadi seorang pejabat istana yang
sukses, ada sebuah kelemahan yang berlawanan dengan
seluruh kebaikannya; dia sangat menyayangi putra
bungsunya, Yorinaga, walau apapun yang terjadi dan untuk
alasan yang tidak diketahui oleh orang lain, selalu bersikap
jahat kepada putra sulungnya, Tadamichi, sang perdana
menteri.
Kedatangan
mendadak
Yorinaga
di
rumah
peristirahatannya di Uji menyebabkan kelopak mata tipis
Tadazan& berkedut di bawah alis putihnya. Dia
mendengarkan penjelasan putranya tanpa berkata-kata.
Tetapi, penderitaan dan penghinaan yang dialami oleh
putranya mendorongnya untuk menegakkan tubuh
kurusnya, seolah-olah dengan mengerahkan seluruh
kekuatannya yang masih tersisa, dan akhirnya berkata,
Ayolah, jangan sampai masalah ini terlalu mengusikmu.
Aku belum terlalu tua untuk mewakilimu menyelesaikan
masalah ini dengan Yang Mulia. Aku akan pergi menemui
beliau dan meluruskan semuanya. Hari ini, aku akan
membuat perkecualian untuk masa pensiunku dan ikut
bersamamu ke ibu kota.
Masalah itu ternyata tidak sesepele yang disangka oleh
Tadazane. Dalam berbagai kesempatan, permohonannya
untuk menemui Kaisar Kloister ditolak; surat-suratnya
dikembalikan tanpa dijawab; dua minggu telah berlalu, dan
tidak ada sedikit pun kemajuan. Akhirnya, atas desakan
Tsunemune, Tadazane setuju untuk bertemu dengan
Perdana Menteri asalkan Tsunemunt berjanji untuk turut
hadir dalam pertemuan itu. tetap saja, sebulan berlalu tanpa
adanya tanda-tanda pertemuan yang telah dijanjikan;

hingga akhirnya, letih dan sakit hati Tadazane kembali ke


Uji,
Musim dingin datang. Akhir tahun telah hampir tiba
Hanya beberapa hari sebelun seluruh Istana mempersiapkan
perayaan untuk menyambut pergantian tahun. Yorinaga
sekali lagi kembali ke Ujii dalam keadaan gundah gulana.
Shimeko telah secara resm diterima di Istana dan
kesempatan terakhir untuk merebut hak Tadako katanya
telah melayang.
Tadazane membangunkan pelayanan nya pada pagi
buta. Napas sapi menggantung bagaikan asap putih
ditengah udara pagi ketika kereta Tadazane berderak
melewati jalan beku menuju Kyoto. Baru pada malam hari
dia tiba dihalaman Istana. Satu-satunya cahaya yang
menerangi tempat itu adalah api unggun para pengawal.
Perdkan air hujan memancar ke atas dari teritis yang lebar;
karai-karai digulung ke atas dan pintu-pintu dibuka untuk
menyambut TadazanA. Dia dipersilakan memasuki sebuah
ruang tunggu, dan di sana dia menanti hingga rasa putus
asa tercermin di setiap kerutan wajahnya. Dia datang ke
Istana dengan tekad untuk menunggu hingga kematian
menjemputnya. Waktu berjalan begitu lambat dalam
persaingan pahit antara berbagai latar belakang
tindakannya: harga diri, cinta, kesombongan, kegilaan
sesaat. Akhirnya. Yang Mulia Kaisar Kloister mengalah
dan menemuinya. Takluk oleh air mata dan desakan
Tadazant yang uzur, sang penguasa terpaksa mengalah.
Dalam perayaan Tahun Baru, Tadako diumumkan
sebagai Permaisuri terpilih, dan pada bulan Maret dia
berdiri mendampingi Kaisar-kecil.
Perdana Menteri, yang tidak sanggup menahan panas
bulan Juli, mengungsi ke rumah peristirahatannya di luar
Kyoto dan jarang terlihat di Istana. Yorinaga,

bagaimanapun, tanpa kenal lelah menyalurkan energinya


untuk mengurus hal-hal kecil di tempat kerjanya.
Kemunculan
mendadaknya
di
berbagai
bagian
pemerintahan mengembuskan teror ke hati para pejabat
kecil dan menjadikan para pejabat tinggi kelelahan dan
lebih sibuk daripada biasanya. Sebagai kerabat dekat sang
permaisuri muda, Yorinaga menyadari betul posisinya saat
ini, dan dia memanfaatkannya dengan sebaik mungkin,
meyakini sepenuhnya buah yang akan dikumpulkannya
sebagai hasil kerja kerasnya. Sebagai penasihat Kaisar-kecil,
dia telah menggantikan, meskipun tanpa mendapatkan
gelar, posisi kakaknya sebagai perdana menteri, dan sebuah
faksi terbentuk mengikuti langkahnya. Keberpihakannya
kepada Genji di Istana juga terlihat jelas. Baru-baru ini,
alih-alih menugaskan Kiyomori, dia memberangkatkan
Tameyoshi untuk membuat kesepakatan dengan para biksu
pemberontak di Nara ketika mereka mengancam untuk
menyerbu Ibu kota dongan pasukan bersenjiitii marak
yang berkekuatan ribuan orang
Tadazane, yang telah lama pensiun, sekail lagi aktif di
litani Dia sekarang menjabat sebagal seorang menteri
kehormatan, mengarahkan seluruh tenaganya untuk
memberikan dukungan kepada Yorinaga. Diam-diam
bertekad untuk tidak menyisakan matalah sedikit pun,
Tadazan* membisikkan kepada Kaisar Kloister bahwa
Tadamichi tidak memiliki kesehatan dan kemampuan yang
cukup untuk mengemban tugas sebagai perdana menteri.
Tetapi, ketika mendengar bahwa Tadamichi tidak mau
mengundurkan diri karena khawatir Yorinaga akan
menyebabkan konflik dan pertumpahan darah, Tadazan6
yang marah mendatangi bagian arsip di Akademi
Kekaisaran, tempat catatan keluarga dan segel keluarga
Fujlwara disimpan. Di sana, dia memindah namakan
seluruh
kepemilikannya
kepada
Yorinaga
untuk

menandakan bahwa dia tidak mengakui lagi putra


sulungnya, Tadamichi, sebagai keturunannya, dan
menunjuk Yorinaga sebagai satu-satunya pewaris dan
penerus namanya.
0)--=dw=--(0
Pada 1151, Kaisar-kecil Konoye berulang tahun ketiga
belas. Pada saat ini, dia mulai bermasalah dengan matanya,
yang selalu ditutupinya dengan selembar sutra merah.
Perdana Menteri Tadamichi, yang sangat disukai oleh
penguasa muda itu, menemukan seorang tabib berbakat
yang baru saja kembali dari Cina dan menugaskannya
untuk merawat Kaisar. Tadamichi tersentuh oleh
penderitaan sang kaisar yang seolah-olah tak pernah
berujung. Dia kerap mengunjungi Konoy6 dan memberikan
kata-kata penghiburan kepadanya. Penglihatan bocah
ringkih itu, yang sejak lahir telah terkurung di kamar-kamar
istana yang gelap, terpenjara oleh jabatannya, menjadi
korban dan biduk bagi persaingan ganas yang
melingkupinya, mendatangkan belas kasihan mendalam di
hati Tadamichi. Mau tidak mau. dia memikirkan
bagaimana kehidupan penguasa muda ini jauh dari
kebahagiaan. Terkekang oleh ritual-ritual
istana, apakah yang diketahuinya tentang kebebasan dan
kenikmatan masa muda? Kapankah dia pernah bermainmain dengan salju di tengah musim dingin; bersiul-siul di
tengah musim semi, ketika kuncup-kuncup bunga
bermunculan di pepohonan; berbasah-basah di sungai
seperti peri air di tengah musim panas; atau mendaki bukit
di tengah musim gugur dan menjerit-jerit dari puncaknya
hingga paru-parunya menggembung dan nyaris meledak?
Tetapi, Tadamichi sendiri barangkali tidak pernah

menyadari bahwa dia sendiri turut berperan dalam


menciptakan lambang kekuasaan yang rapuh ini.
Pada 24 Juli 1155, Kaisar Konoya wafat dalam usia
tujuh belas tahun. Masa kekuasaannya berlangsung selama
kurang dari lima tahun. Rakyat pun berduka. Ayahnya,
Kaisar Kloister, larut dalam kesedihan, dan tidak ada yang
bisa menenangkan Nyonya Bifukumon.
Segera setelah wafatnya
Kaisar-kecil, Nyonya
Bifukumon mendengar cerita aneh dari salah seorang
pengiringnya. Nyonya Kii, istri Penasihat Shinzei. Nyonya
Kii mendengar cerita mengerikan ini dari salah seorang
dayangnya, yang mendengarnya dari seorang biksu
pengembara. Kaisar Konoy6 telah meninggal secara tidak
wajar. Beberapa orang telah mengirim teluh kematian
kepadanya sehingga dia meninggal sebelum waktunya.
Sekitar setahun silam, kata si biksu, dia pernah
menyaksikan sendiri ritual-ritual jahat di sebuah tempat
pemujaan terpencil di Gunung Atago. Cerita Nyonya Kii
tersebut membuat Nyonya Bifukumon ketakutan dan risau.
Dia pun memerintahkan agar seorang cenayang ... Yasura
dari Tempat Pemujaan Shin-kumano ... segera dipanggil.
Si cenayang tiba dan untuk waktu yang lama bermeditasi
dengan khusuk. Tiba-tiba, tubuhnya gemetar hebat; wanita
itu menarik sanggulnya hingga rambutnya terurai ketika
arwah mendiang Kaisar merasukinya dan berbicara melalui
mulutnya, Teluh telah dikirimkan kepadaku. Paku-paku
telah ditancapkan ke gambar Iblis Tengu di Tempat
Pemujaan Gunung Atago. Aku buta karenanya. Merekalah
yang menyebabkan kematianku. Ah malangnya diriku!
Sesudah mengatakan itu, Yasura roboh ke lantai dan
tergeletak pingsan. Nyonya Bifukumon menjerit-jerit ngeri
dan mengamuk seraya menariki kimononya. Dayangdayangnya yang ketakutan dengan panik menyediakan air

dan obat penenang, secepatnya mengangkut majikan


mereka ke kamar tidurnya.
Sementara itu, si cenayang telah siuman dan bangkit
seolah-olah tidak mengalami sesuatu pun yang luar biasa,
memeluk erat-erat buntalan kain tempatnya menyimpan
pelbagai keperluan penunjang pekerjaannya dan beberapa
hadiah yang diberikan oleh Nyonya Kii kepadanya. Setelah
keluar dari ulah satu gerbang belakang, Yasura berhenti
untuk mengintip isi buntalannya dan dengan gembira
mengeluarkan sepotong daging yang menguarkan aroma
bebek panggang; dia sedang berjalan pulang sembari
menyantap makanan itu dengan lahap, mengunyah dengan
penuh selera, ketika melihat beberapa ekor anjing
membuntutinya. Dia berhenti untuk memungut segenggam
kerikil dan melemparkannya pada binatang-binatang itu.
Salah satu kerikilnya menghantam roda sebuah gerobak;
buruh muda yang menarik gerobak itu berhenti dan
menyapa Yasura dengan akrab.
Wah, Yasura. apakah kau hendak pulang?
Si cenayang menghampiri pemuda itu dengan ceria dan
berhenti sejenak untuk bercakap-cakap dengan nada rendah
dan membagikan sedikit isi buntaiannya. Setelah selesai
makan, si pemuda menolong Yasura untuk menaiki
gerobaknya, dan mereka pun melanjutkan perjalanan ke
arah Tempat Pemujaan Shin-kumano.
*d*z*
Dua tahun sebelumnya, pada Januari 1153 ayah
Kiyomori. Tadamori, meninggal secara mendadak setelah
menderita sakit selama beberapa minggu. Tadamori berusia
lima puluh delapan ketika mengembuskan napas terakhir.
Selama tahun-tahun terakhir kehidupannya, tidak banyak
prestasi yang dibukukan oleh Tadamori,

karena tahun-tahun itu juga menandai kebangkitan


kekuasaan Yorinaga dan keberpihakannya kepada Genji
Tameyoshi dan putra-putranya. Setiap anggota klan Heike
tidak akan lupa bahwa Yorinaga pernah menuntut
hukuman mati untuk Kiyomori dalam pengadilan setelah
peristiwa pelecehan terhadap Altar Sakral, dan atas alasan
itulah dia tidak akan memberikan jabatan apa pun kepada
anggota klan Heik6. Kendati begitu, Kiyomori tidak
menunjukkan tanda-tanda keberatan atas keberpihakan
Yorinaga kepada klan Genji. Di tengah rasa kesepian yang
melandanya, Kiyomori yang sedang berduka merasa bahwa
salah satu pilah kehidupannya telah ambruk. Dan, sebelum
sempat memulihkan diri dari duka, Kiyomori telah larut
dalam kesibukan baru. Dia tidak hanya harus memikirkan
anak-anaknya, tetapi juga harus menjadi wali bagi adik-adik
kandung dan tirinya. Sebagai seorang kepala keluarga
muda, banyak yang harus dipelajarinya, karena masa depan
keluarga Helki ada di tangannya.
Tidak lama setelah kematian Kaisar-kedl, Penasihat
Shinzei memanggil Kiyomori. Sepeninggal Tadamorl,
Kiyomori menjadikan Shlnzoi, yang berusia lebih tua dan
berkedudukan lebih tinggi darinya, sebagai kawan dan
tempat berpaling. Kiyomori tidak hanya menganggap
Shlnzoi sebagal patron karena utang nyawanya, tetapi juga
sebagal iatu-&tunya pelindung di tengah pertikaian klan
HeikA dan Yorinaga, sang Menteri Golongan Kiri.
Kiyomori yakin bahwa Yorinaga. yang Uap melakukan apa
pun untuk mencapai tujuannya, bukanlah tandingan sang
penasihat yang bijaksana, karena Shinzei sangat tepi dan
tidak membiarkan orang lain mengacaukan jalan pikirannya
Shinzei memiliki kedalaman yang tidak bisa diselami oleh
orang lain; selama bertahun-tahun, dia selalu menjalankan
tugas-tugasnya ... yang tidak bisa dianggap mudah oleh

sebagian besar orang ...dengan baik tanpa menuntut


perhatian.
Di balik perlindungan kantor Shinzei, Kiyomori
mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan sebuah misi
rahasia dan luar biasa.
Isu-isu sensitif terkait dalam misi ini. Ini penting.
Sedikit saja salah langkah, kau akan membangkitkan
kecurigaan Yorinaga dan
Genji Tameyoshi terhadap perbuatanmu. Tunggulah
hingga matahari tenggelam, lalu keluarkan anak buahmu
seorang demi seorang, kata Shinzei, mengulangi
peringatannya.
Malam itu, sebuah pasukan beranggotakan lima puluh
orang samurai berangkat dari ibu kota menuju perbukitan di
bagian barat laut Kyoto, jarak yang cukup jauh dari gerbang
kota. Mereka dengan cepat mendaki Gunung Atago, lalu
berhenti di salah satu tebing untuk membahas langkah yang
akan mereka ambil selanjutnya. Sejenak kemudian, mereka
kembali melanjutkan perjalanan untuk mencari Jomyo,
kepala pendeta Gunung Atago. Setibanya di depan gerbang
rumah Jomyo, mereka mengetuk gerbang dan memanggil
namanya dengan nyaring.
Kami datang dari Istana Kloister, prajurit Heike
Kiyomori, Tuan Aki. Kami mendapatkan laporan bahwa
seseorang telah bersekutu dengan Iblis Tengu di tempat
pemujaan utama di sini untuk mengirim teluh maut kepada
mendiang Kaisar. Kaisar Kloister memerintahkan Tuan Aki
untuk melakukan pencarian dan mengumpulkan barang
bukti. Antarkan kami ke tempat pemujaan Itu. Jika kau
menolak, kau akan dianggap bersalah karena menolak
perintah Kaisar!

Keributan terdengr dari dalam rumah kemudian, Jomyo


sendiri keluar dan berbicara denpn Kiyomori. Jika Anda
datang kemari untuk keperluan Yang Mulia, Anda tentu
membawa surat perintah resminya. Izinkan saya
melihatnya.
Ho, kau yang di sana, berlututlah!
Setelah Jomyo berlutut Kiyomori menyodorkan surat
perintah resmi kepadanya.
Tidak ada masalah dengan surat Ini ...saya tidak bisa
menolak. Pintu-pintu tempat pemujaan akan segera dibuka,
Lewa Ini Tuan Memerintahkan anak buahnya untuk
menyalakan lebih banyak obor, Jomyo menunjukkan jalan
menuju tempat pemujaan, Bayangannya tampak menjulang
tinggi di pintu-pintu tempat pemujaan itu, Sebuah kunci
diputar dengan kasar di dalam lubangnya Lidah-lidah api
seolah-olah saling menjilat dengan ganas di dinding-dinding
tempat pemujaan, dan di depan matanya, Kiyomori melihat
gambar Iblis Tengu menjulang tinggi, sebatang paku
tertancap di masing-masing matanya.
Astaga ... paku! Kiyomori terkesiap, begitu pula
Jomyo dan yang lainnya, yang melihat dari balik bahunya.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Kiyomori telah
melihat
sendiri
penyebab
penugasannya
kemari.
Pemandangan itu menyeramkan dan membuatnya
merinding. Dia selalu mencibir setiap kali mendengar
cerita-cerita tentang ilmu hitam, namun ini ... ! Hawa
dingin merambati tulang belakangnya.
Bagus. Ini harus dilaporkan sekarang juga. Kiyomori
membalikkan badan, terguncang oleh apa yang dilihatnya.
Pintu-pintu kembali dikunci, dan Kiyomori memasang
segelnya di sana. Setelah memberikan perintah kepada
sebagian besar prajuritnya untuk menjaga tempat itu,

Kiyomori kembali ke Kyoto dan menemui Shinzei pada


malam itu juga.
Sejenak, kedua bola mata Shinzei seolah-olah hendak
keluar dari rongganya ketika dia mendengar laporan
Kiyomori mengenai apa yang telah dilihatnya; kemudian
kembali ke pembawaannya yang santai dan berkata,
Seperti yang sudah kuduga .
Nyonya Bifukumon telah mendesak Kaisar Kloister
untuk mengirim Kiyomori dan para prajuritnya ke Gunung
Atago. Dia jugalah yang telah dengan hati-hati
menyampaikan keyakinannya bahwa Yorinaga dan
ayahnya telah menggunakan ilmu hitam untuk
menyebabkan kematian Kaisar. Nyonya Bifukomon
memperingatkan Kaisar Kloister untuk berhati-hati kepada
kedua orang tersebut, yang diyakininya sedang mengincar
tahta kekaisaran. Dua orang pertapa kemudian dipanggil ke
Istana untuk menjadi saksi, dan keduanya menggambarkan
tentang ritual jahat yang dilakukan oleh beberapa biksu
pengembara. Tidak ada yang mengetahui ke mana para
biksu pengembara itu pergi karena mereka lenyap begitu
saja
bagaikan awan musim panas, kata mereka. Dan tidak
lama kemudian, Yorinaga dan ayahnya dilarang memasuki
Istana Kloister.
Sementara itu, pertanyaan mengenai pemilihan kaisar
baru semakin mendesak, dan Yorinaga beserta ayahnya
kebingungan ketika mendapati bahwa diri mereka dilarang
mengikuti musyawarah dewan kekaisaran. Mereka segera
mengetahui alasan kejatuhan mereka. Mereka berusaha
untuk membela diri dengan pernyataan tidak bersalah
melalui surat yang dituju lean kepada Kaisar Kloister,
namun permohonan mereka dikembalikan tanpa jawaban

melalui kantor Penasihat Shinzei. Apa pun yang mereka


lakukan sepertinya tidak akan bisa melunakkan hati Toba.
Melalui sela-sela jeruji salah satu jendela Istana, seorang
pejabat memerhatikan ayah dan anak itu memasuki kereta
mereka dan bertolak dan Istana untuk terakhir kalinya.
Shinzei tersenyum sinis; seandainya mereka tahu, mereka
tentu akan mengambil langkah dengan lebih hati-hati;
Yorinaga tidak pernah menyangka bahwa sosok pendiam
ini, yang selama bertahun-tahun bekerja dengan tekun di
mejanya, adalah musuh terberatnya. Sang menteri juga
tidak tahu bahwa istri pria itu. Nyonya Kii, adalah orang
kepercayaan Nyonya Bifukumon.
Shinzei tertawa tanpa suara. Lihatlah, iblis-iblisku yang
baik ... sakit, bukan? Sebatang paku di mata kanan dan
sebatang lagi di mata kiri? Siapa yang tahu bahwa akulah,
Shinzei, pelakunya?
0)--=dw=--(0

Bab XIII- ISTANA MATA AIR DEDALU


Selama hampir empat belas tahun, keberadaan seorang
pria nyaris terlupakan. Dia adalah Mantan Kaisar Sutoku.
Yang, setelah dipaksa turun tahta saat berusia dua puluh
tiga tahun, menyepi di Istana Mata Air Dedalu hanya
bersama sejumlah kecil pengiring. Tahun-tahun itu
dijalaninya dengan mendalami berbagai macam praktik
peribadatan di ruang ibadah pribadinya, membaca, dan
menulis puisi. Dia juga sudah terbiasa untuk berjalan-jalan
seorang diri di taman Istana dan beristirahat di bawah
sebatang pohon dedalu raksasa yang tumbuh di dekat
sebuah mata air. Sejarah mengatakan bahwa mata air ini,
yang terkenal karena kemanisan dan kemurnian airnya,

telah ada bahkan sebelum Kyoto didirikan, dan pada waktu


yang telah lama terlupakan, sebatang pohon dedalu tumbuh
di sampingnya. Air dari Mata Air Dedalu, begitulah
namanya, hanya disajikan di meja Mantan Kaisar, dan
seorang juru kunci tinggal di sebuah pondok kecil di
dekatnya.
Pada suatu hari, ketika berdiri di bawah pohon dedalu
raksasa, Sutoku memanggil juru kund mata air, Aku haus
... ambilkan air untukku.
Si juru kunci dengan sigap menjalankan perintah,
membawa sebuah mangkuk tembikar yang baru saja
dibakar dan mengisinya dengan air yang jernih.
Manis sekali ... seperti embun dari surga, kata Mantan
Kaisar, mengembalikan wadah yang telah kosong dan
duduk di atas sebongkah batu yang dinaungi bayangan
pohon dedalu. Si juru kund mengeluarkan sehelai tikar
alang-alang yang baru saja dianyam dan menggelarnya
untuk tamunya.
Kemudian, Sutoku berkata, Hidupmu sepertinya
makmur, Juru Kunci. Sudah berapa lamakah kau tinggal di
sini?
Saya sudah menjaga mata air ini selama empat belas
tahun, Yang Mulia, karena saya ikut dalam rombongan
Anda ketika Anda pindah kemari.
Empat belas
sebelumnya?

tahun!

Dan

apakah

pekerjaanmu

Ayah saya adalah seorang pemain musik istana, dan


sejak kecil, saya telah diajari bermain seruling dan bangsi;
saat berusia sepuluh tahun, saya disekolahkan di Akademi
Musik Istana, dan saat berusia empat belas tahun, saya
untuk pertama kalinya tampil di hadapan Anda, Yang

Mulia. Itu adalah kehormatan yang tidak akan pernah saya


lupakan. Kemudian, Yang Mulia turun tahta pada akhir
tahun Itu.
Berarti, kau dan ayahmu bukan rakyat jelata, karena
hanya ada empat keluarga di ibu kota yang sesuai dengan
penjelasanmu itu.
Ayah saya adalah AM Torihiko. Pemain musik dari
Golongan Keenam.
Dan namamu?
Saya ... si juru kunci membungkuk dalam-dalam ...
saya bernama Asatori.
Sutoku dengan penasaran menatap sosok yang
membungkuk di hadapannya Apa yang menyebabkanmu
meninggalkan pekerjaanmu ... dan ayahmu ... untuk
menjadi juru kund biasa bagi mata air ini?
Asatori menyangkal ucapan Sutoku dengan gelengan.
Tidak, ini bukan tugas biasa. Tuan, karena air adalah
sumber kehidupan.
Dan menjaga mata air yang menghapus dahaga Yang
Mulia bukanlah pekerjaan biasa. Lama berselang, ayah saya
pernah mengajari Yang Mulia memainkan berbagai macam
alat musik dan menjadi pemain musik kesayangan Nyonya
Bifukumon. Walaupun pintar bermain musik, kami hidup
dalam kekurangan, sehingga ketika tiba waktunya untuk
merayakan kedewasaan saya, Anda memberikan beberapa
kimono bekas Anda sebagai hadiah untuk saya; saya
mengenakannya dalam upacara dan tampil seperti seorang
pria terhormat. Saya akan mengingat peristiwa itu seumur
hidup saya!
Oh, apakah peristiwa seperti itu pernah terjadi?

Yang Mulia mungkin sudah melupakan bantuan untuk


hambanya yang papa, namun ayah saya tidak pernah
melupakannya. Saya senantiasa teringat akan ucapan beliau
ketika Anda turun tahta: Asatori, mustahil bagiku untuk
ikut bersama Yang Mulia, namun kau hanyalah seorang
siswa di akademi dan karenanya bisa pergi ke mana pun
kau mau. Ikutlah bersama Yang Mulia dan mengabdilah
dengan setia kepada beliau, sesuai dengan suri tau ladan ku.
Aku masih memiliki anak-anak lelaki lain untuk mewarisi
nama dan pekerjaan kita. Beliau kemudian memberikan
serulingnya kepada saya sebagai hadiah perpisahan, dan
saya ikut bersama Anda kemari dan menjaga mata air ini
sejak saat itu.
Sutoku, yang selama ini mendengarkan baik-baik dengan
kepala tertunduk dan mata terpejam, mendongak dan
tersenyum tipis ketika Asatori mengakhiri ceritanya.
Serulingmu ... apakah kau membawanya sekarang?
Saya menyimpannya dengan baik di dalam sebuah
wadah yang terbuat dari salah satu lapisan kimono
pemberian Yang Muka. Benda itu adalah warisan dari ayah
sayaT
Warisan? Tetapi,, ayahmu pasti masih hidup.
Tidak, seruling ini menjadi kenang-kenangan sekarang.
Ayah saya sudah tidak ada di dunia ini dan karena
keinginan terakhr ayah adalah agar saya mengabdi kepada
Anda. Maka saya akan tetap tinggal disini hingga air ini
mengering.
Ah ... Sutoku mendesah panjang seraya berdiri.
Ibunya, Nyonya Taikenmon, juga telah wafat. Betapa
fananya manusia dan segala sesuatu di dunia ini,
renungnya. Suatu saat nanti, saat bulan purnama, kau
harus memainkan serulingmu untukku. Sungguh sejuk

udara di sini! Asatori, aku akan mengunjungimu lagi di lain


waktu.
Mata Asatori mengikuti Sutoku ketika mantan kaisar itu
menghilang di balik pepohonan. Kesempatan untuk bisa
bertemu dan bercakap-cakap dengan seseorang yang tidak
akan berani didekatinya pada waktu yang lain membuatnya
bahagia. Sepanjang malam musim panas, Asatori
menantikan kedatangan bulan purnama, mengingat janji
Sutoku untuk mendengarkan permainan serulingnya.
Pada selatar waktu ini, orang-orang yang melewati Mata
Air Dedalu mulai memerhatikan dengan penasaran
banyaknya tandu dan kereta yang mendatangi istana yang
telah lama terabaikan itu. Kabar burung mengatakan bahwa
Kaisar Konoyt sedang meregang nyawa, dan putra Mantan
Kaisar Sutoku, Pangeran Shigebito, cucu Kaisar Kloister
Toba, akan menduduki tahta kekaisaran. Di antara
sejumlah besar tamu yang mengunjungi Mantan Kaisar
terdapat Yorinaga dan ayahnya, Tadazant, yang baru
sekarang memedulikan keberadaan Sutoku. Mereka
berulang kali meyakinkan Sutoku bahwa ada banyak
kebaikan yang menantinya, dan bahwa putranya sudah
pasti akan diangkat menjadi kaisar. Prospek kembalinya
kejayaan dan kebangkitan harapan ini menyebabkan Sutoku
melupakan janjinya kepada juru kunci Mata Air Dedalu.
Asatori menatap dengan penuh damba pada bulan
purnama dan menantikan sang mantan kaisar, yang tidak
pernah datang. Dia melilai kedatangan dan kepergjan
tandu-tandu dan kereta-kereta, dan semakin gelisah, karena
Mata Air Dedalu telah kehiangan kemilaunya dan
bertambah kerai ... sebuah pertanda adanya pergolakan
alam atau ramalan akan sampainya bencana.
Masyarakat umum kecewa ketika pada bulan Oktober,
putra keempat Kaisar Kloister. Adk Sutoku, iBmrii whag

Kaisar dan mendapatkan gelar Gmhrafcawa. Sutoku


terpdoi Putranya yang berada di tempat teratas dalam daftar
pewaris tahta, diabaikan begitu saja. Nyonya Bifukumon,
dia yakin, memainkan peranan besar dalam memengaruhi
pilihan Kaisar Kloister, dan dirinya, Sutoku, tersisih akibat
kejahatan wanita itu. Bagaimanapun, dia mendapatkan
sedikit ketenangan dalam kata-kata Yorinaga, Sabar ... dan
teruslah bersabar Waktu Anda akan tiba.
Masa pemerintahan yang baru dimulai pada April 1156.
Pada musim panas tahun yang sama, masa kekuasaan
Pemerintahan Kloister, yang telah berlangsung tanpa
terputus selama dua puluh tujuh tahun, berakhir. Toba
wafat di Istana Peristirahatan di Kuil Anrakuju-in pada
malam tanggal 2 Juli. Kabar mengenai keadaannya yang
semakin buruk terdengar di ibu kota pada siang harinya,
menyebabkan terjadinya gelombang besar tandu dan kereta
ke arah Takeda, tempat kuil tersebut berdiri. Di tengah
keriuhan yang terdiri dari binatang-binatang yang saling
berdesakan dan orang-orang berkeringat yang saling
membentak, sebuah kereta menembus keramaian dan
melaju dengan cepat. Di balik kerai jendela keretanya,
Sutoku menutupi wajah berdukanya.
Kereta-kereta diparkir di dalam maupun luar gerbang
Istana. Tidak ada ruang yang tersisa di pelataran luas di
depan Istana sekalipun, karena tempat itu dijejali oleh
pelayan bersenjata, kusir, dan tandu. Keheningan
menyelimuti segalanya seperti kain penutup peti mati.
Tidak ada pengawal yang menyambut kereta Sutoku,
sehingga pelayannya harus berteriak sangat nyaring untuk
mengumumkan kedatangannya. Sutoku dengan geram
menaikkan kerai dan membentak pelayannya, Biarkan aku
turun, biarkan aku turun, kataku!

Ketika kereta Sutoku memasuki gerbang, dentangan


khidmat loncong-lonceng kuil dan pagoda sudah tidak
terdengar lagi. Yang didengarnya adalah napas-napas yang
tercekat dan gumaman, Mata Yang Mulia sudah terpejam
... Sutoku melihat orang-orang serentak berlutut,
mengangkat kedua tangan mereka untuk berdoa, dan rasa
duka serta merta menderanya. Bukan seorang penguasa
yang meninggal melainkan ayahnya sendiri! Tahun-tahun
panjang kegetiran itu ... ketika Toba tidak mau
mengakuinya lagi sebagai putranya ... satu kali pertemuan
terakhir akan cukup untuk menghapuskan semuanya.
Biarkan aku turun, kataku! Jangan bebal begitu! Buka
pintunya cepat!
Mendengar perintah yang disampaikan dengan nada
panik ini, para pelayan cepat-cepat memutar kereta dan
memaksakannya mendesak kendaraan-kendaraan lainnya.
Setibanya kereta di depan beranda, salah satu rodanya
menabrak sebuah tandu yang diletakkan di sana. Lalu
menggilasnya dengan bunyi nyaring. Mendengar keributan
ini, Genji Akanori dan beberapa orang samurai lainnya
yang bertugas menjaga pintu langsung maju dan memakimaki si kusir kereta.
Sutoku yang murka balas membentak mereka,
Minggirlah, orang-orang dungu! Tidakkah kalian tahu
siapa aku? Berani-beraninya kalian melarangku!
Akanori menghadapinya dengan sikap mengancam.
Sekarang, setelah mengetahui siapa Anda, saya punya
lebih banyak alasan untuk melarang Anda masuk. Saya
mendapatkan perintah untuk tidak menerima Anda.
Mundur! Mundur!
Terbakar amarah, Sutoku mengeluarkan badannya dari
kereta. Petugas bedebah! Aku kemari untuk menemui

Yang Mulia, ayahku, namun tidak ada seorang pun yang


keluar untuk menyambutku, dan mereka dengan
lancangnya mengirim prajurit untuk menjalankan perintah
mereka!
Saya menjalankan perintah dari Korekata. Panglima
Golongan Kanan, yang mengabdi kepada Yang Mula.
Seorang samurai harus menjalankan tugasnya. Anda tidak
boleh melangkah lebih jauh!
Aku tidak sudi berurusan dengan kalian, orang-orang
rendahan Gemetar oleh amarah. Sutoku bersiap-siap
untuk turun dari keretanya. Para pengawal serempak
mengepung keretanya dan mendorongnya mundur; para
pelayan Sutoku menubruk dan berusaha melawan para
prajurit; akibatnya, kereta terdorong mundur dan Sutoku.
Kendati telah mencengkeram kerai erat-erat torjerembap kc
tanah. Kerai yang digenggamnya ketika ter|atuh dengan
kerat menggores pipi Akanori, menyebabkan darah tiba-tiba
mengalir di wa|ah samurai Itu.
Orang-orang di dalam Istana segera mendengar kabar
bahwa Mantan Kaisar Sutoku baru saja mengamuk dan
melukai salah seorang pengawal, dan saat Ini tengah
menuju biliknya. Korekata, Panglima Golongan Kanan,
yang sedang duduk di samping Penasihat Shlnael ketika
kabar Itu disampaikan, bangkit dari kursinya dengan kaget
Jeritan ngeri salah seorang dayang mendorongnya untuk
segara berlari menyusuri koridor yang pajang Ketika
mendekati pintu masuk Istana, seberkas cahaya dari salah
satu ruang tunggu menerangi sebuah pilar di ruang depan,
dan di sanalah dia berhadapan langsung dongan Sutoku.
Wajah sang mantan kaisar pucat pasi; matanya nyalang;
lengan kimononya tercerabik. Dan rambutnya acak-acakan
di keningnya.

Sang panglima mengulurkan kedua tangannya untuk


mengisyaratkan larangan. Tuan ... Anda dilarang masuk,
serunya, menghalangi jalan. Anda tidak boleh terlihat
dalam keadaan seperti Ini. Saya mohon kepada Anda untuk
pergi dengan tenang.
Sutoku sepertinya tidak mengerti. Dia menepiskan
tangan Koretaka dongan kasar. Minggir! Aku harus
menemui beliau sekarang ... saat ini juga!
Tuan, tidakkah Anda mengerti bahwa Anda dilarang
menemui beliau?
Aku ... aku tidak mengerti ... Koretaka! Apa salahnya
jika aku ingin menemui ayahku yang sedang meregang
nyawa? Kau tidak berhak melarangku! Minggir ... jangan
halangi aku!
Koretaka menaikkan nada suaranya kepada Sutoku yang
kalap. Anda sudah gila! Apa pun alasan Anda, Anda
dilarang menemui beliau!
Amukan Sutoku sekonyong-konyong meledak dalam
isak tangis hebat ketika dia memberontak dari pegangan
Koretaka. Tanpa membuang-buang waktu, Koretaka
memerintah beberapa orang anak buahnya untuk menyeret
Sutoku, yang menangis dan meronta-ronta, dan
menaikkannya kembali tecara pakta ke keretanya.
Bagian dalam Kuil. Yang biasanya berkilauan Indah,
kuil Ini tenggelam oleh kepulan asap dupa; gong-gong
dipukul secara serempak dan khidmat; seribu orang pendeta
menunduk nunduk sementara arwah Toba beranjak pergi
dari dunia Ini.
Sebelum malam musim panaa yang pendek itu berakhir,
sebuah desas desus telah menerpa seluruh Istana di Takeda
bagaikan gelombang pasang. Bisikan menyebar dari telinga

ke telinga: Mantan Kaisar sedang membentuk sebuah


persekongkolan. Mengagetkan? Tanda-tandanya telah
terlihat sejak lama ... sebuah laporan dari Kesatuan
Pengowal menegaskannya, Rumah Peristirahatan Tanaka,
yang dipisahkan oleh sebuah sungai dari Istana
Peristirahatan, tempat Sutoku menginap, dicurigai menjadi
tempat dibentuknya persekongkolon tersebut. Sejak Jam
Babi Hutan (pukul sepuluh), sebuah pertemuan sepertinya
dilangsungkan di sana. Dari salah seorang sumber lainnya
di ibu kota, terdengar laporan bahwa pada siang
sebelumnya, kuda-kuda dan kereta-kereta yang mengangkut
persenjataan terlihat memasuki Istana Mata Air Dedalu.
Para saksi mata melaporkan telah melihat kelompokkelompok wanita dan anak-anak yang ketakutan,
mengangkut berbagai keperluan rumah tangga, bergegas
berangkat menuju Perbukitan Utara dan Timur pada siang
hari bolong. Jalanan ibu kota sunyi senyap seperti di sebuah
kota mati pada tengah malam buta .
Menghilangnya Yorinaga dari tengah-tengah ruang duka
semakin menegaskan kecurigaan. Bukan hanya dia yang
menghilang melainkan juga Tsunemun6, Tadazant, dan
tokoh-tokoh lainnya yang diketahui bersimpati kepada
Sutoku. Jelas sudah bahwa sebuah rencana sedang digodok
oleh mereka.
Hingga hari ketujuh masa perkabungan utama berakhir,
gerbang-gerbang Istana Peristirahatan dan Rumah
Peristirahatan Tanaka tertutup bagi semua pendatang, dan
tidak seorang pun tampak keluar dari sana. Ketika malam
tiba. Bagaimanapun, sosok-sosok dengan berbagai macam
penyamaran menyelinap keluar dari kedua tempat tersebut.
Pada hari kedua masa perkabungan utama, Yorinaga
meninggalkan para pejabat istana yang tengah berkumpul di
sekeliling keranda dengan dalih untuk menyelesaikan

urusan mendesak di Uji. Sambil berjalan ke keretanya, dia


menggerutu kesal, Mereka hanya duduk-duduk di sana,
menyebarkan fitnah tentang persekongkolan, menyeka air
mata sambil saling menatap curiga, menyembunyikan
kelicikan mereka dibalik nyanyian khidmat para pendeta!
Siapa yang tahan hanyut di tengah lautan air mata palsu
kuT
Terlindung oleh kegelapan malam, kereta Yorinaga
bergerak dari Istana Peristirahatan menuju Rumah
Peristirahatan Tanaka, tempatnya secara dom-dtam
menemui Mantan Kaisar Sutoku.
Baru kali ini saya mendengarnya ... seorang anak
dilarang menemui ayahnya yang sedang sekarat! Saya
memahami betul penderitaan Anda, Saya melihat sendiri
bagaimana Kaisar baru senantiasa dikelilingi oleh Nyonya
Bifukumon dan orang-orang jahat itu. Baru kali inilah
singgasana menjadi mangsa bagi para penasihat durjana,
kata Yorinaga, menatap mata Sutoku.
Mendengar kata-kata Yorinaga, sesuatu seketika
tergugah di mata sembap Sutoku. Yorinaga ... Yorinaga,
kaulah satu-satunya orang yang bisa ku percaya! isak sang
mantan kaisar. Dia membiarkan air mata membasahi
pipinya.
Aku ... putraku ... adalah pewaris tahta yang
sesungguhnya, namun kami diusir dengan semena-mena ...
dikubur hidup-hidup. Orang-orang mengharapkan aku naik
tahta kembali Yorinaga, bukankah itu benar?
Yorinaga memejamkan mata, seolah-olah tengah
berjuang
untuk
mencari
kata-kata
yang
tepat.
Sesungguhnya, dia telah menyiapkan sebuah jawaban. Dia
telah menyimpannya cukup lama di dalam hatinya. Lagi
pula. Siapakah yang akan memberi tahu Sutoku bahwa

kata-kata yang segera meluncur dari bibir Yorinaga adalah


sari pati dari ambisi pria itu?
Mendesah panjang, Yorinaga akhirnya berbicara. Ini
hanyalah masalah waktu. Pada saat Yang Mulia
memutuskan bahwa waktunya telah tiba, para dewa pun
akan memberikan dukungan. Menolak dukungan para
dewa sama saja dengan memancing amarah mereka. Ada
banyak mantan kaisar yang pernah merebut kembali tahta
mereka, jadi, adakah alasan untuk tetap ragu-ragu?
Yorinaga sangat yakin akan tindakannya. Dia tidak
hanya telah menghafal seluruh isi Kitab Siasat Perang,
tetapi juga percaya bahwa Genji Tameyoshi telah aman
dalam genggamannya.
Malam itu. Yorinaga memaparkan rencananya bagi
Sutoku untuk merebut kembali tahtanya. Dari Istana di
seberang sungai, para pejabat istana dan petugas yang telah
mendapatkan instruksi dari Yorinaga segera berdatangan.
Persekongkolan itu digodok sepincang malam itu hingga
keesokan harinya. Rencana pertempuran telah disusun, dan
untuk menghindari kecurigaan akibat pembentukan
pasukan di tempat yang sama, Yonnaga segera bertolak ke
Uji untuk mempersiapkan langkah selanjutnya dalam
rencananya.
Bersama terbitnya matahari, lonceng-lonceng besar di
kuil berdentang. Tujuh hari perkabungan utama telah
berakhir. Sejak pagi hingga matahari terbenam, loncenglonceng terus dibunyikan, dan seolah tanpa akhir, rapalan
ayat-ayat suci dari para pendeta terdengar berbaur dengan
ringkikan kuda. Gerbang-gerbang di Rumah Peristirahatan
Tanaka, bagaimanapun, tetap tertutup rapat Sutoku bahkan
tidak keluar ketika matahari tenggelam untuk mengikuti
ritual yang menandai berakhirnya masa perkabungan
utama, dan Penasihat Norinaga semakin gencar mendengar

bisikan-bisikan yang menyerang Sutoku. Mengkhawatirkan


kemungkinan kebenaran desas-desus tersebut. Norinaga
memacu kudanya untuk menemui kakaknya yang sedang
sakit-sakitan, seorang pejabat istana berkedudukan tinggi,
untuk memohon saran.
Dengan susah payah mengerahkan tenaganya, kakak
Norinaga berkata, Seperti yang bisa kaulihat sendiri,
kondisiku tidak memungkinkanku untuk menemui Mantan
Kaisar dan membujuk beliau. Aku ragu bahwa kalaupun
aku mampu, aku akan berhasil mencegah beliau. Sekarang
mungkin sudah terlambat, namun aku menasihatimu untuk
segera kembali dan mendesak Yang Mulia untuk langsung
menjalani upacara penahbisan menjadi biksu; itu setidaknya
akan menjamin keselamatan nyawa beliau. Kita sendiri
tidak akan bisa melarikan diri dari bencana ini.
Setibanya kembali di Rumah Peristirahatan Tanaka.
Norinaga waspada ketika mendapati Sutoku dan para
pengikutnya sedang dengan tergesa-gesa bersiap-siap untuk
berangkat ke Istana Shirakawa yang terletak dekat dari ibu
kota Saat Itu juga, dia berusaha untuk membujuk sang
mantan kaisar.
Yang Mulia, tidak selayaknya Anda pergi sebelum
keempat puluh sembilan hari masa perkabungan berakhir
Terlebih lagi, ada desas-desus yang mengatakan bahwa
Anda sedang bersekongkol untuk menggulingkan tahta
Kaisar, sehingga kepergian Anda sekarang hanya akan
membenarkan pergunjingan orang-orang .
Namun Sutoku hanya tersenyum dan menepiskan
bujukan Norinaga, mengatakan bahwa dia telah
mendapatkan peringatan rahasia mengenai ancaman bagi
keselamatannya. Sementara dia berbicara, sepasukan
samurai bersenjata aba untuk mengawalnya, dan Norinaga
diperintahkan untuk ikut bersama mereka. Pada tami

malam tak berbintang tanggal 9 Juli itu, dimulailah


pergerakan nnoar menuju Shirakawa. Tidak ada satu pun
obor yang dinyalakan untuk menerangi derit dan derak roda
kereta, juga dentangan senjata di tengah kegelapan pekat itu
Segera setelah Mantan Kaisar meninggalkan Istana Mata
Air Dedalu, sepasukan samurai bersenjata tiba dan
menduduki tempat itu. Asatori, sijuru kunci, mengamati
mereka dengan gundah.
Tapak-tapak kuda mereka telah menodai hamparan pasir
putih di halaman, dan para prajurit itu bertingkah
seenaknya di dalam Istana, menggeledahi ruanganruangannya dan menjarah gudang-gudang penyimpanan
untuk mencari makanan, bahkan menerobos keputrian
sehingga jeritan-jeritan ngeri para penghuninya terdengar.
Tetapi, ketika para prajurit itu dengan gaduh mencopot
kimono mereka untuk mandi di Mata Air Dedalu dan
meminum airnya langsung dari ember, Asatori tidak
sanggup lagi menahan diri.
Tuan-tuan ... saya mohon, jangan gunakan mata air
ini.
Apa-apaan ini? Apa maksudmu melarang kami,
Bangsat? balas para samurai itu, menganggap Asatori tidak
lebih dari sekadar sebuah orang-orangan sawah.
Siapa dirimu yang telah dengan lancang memerintah
kami?
Saya juru kunci Mata Air Dedalu.
Juru kunci? Oh, jadi kau bertugas menjaga mata air
ini?
Tugas saya adalah merawat mata air ini dan menjaga
agar airnya tetap jernih. Saya menjaga mata air ini dengan
nyawa saya.

Para prajurit tertawa terbahak-bahak ketika mendengar


jawaban Asatori.
Omong kosong. Jika hujan cukup sering turun di Ibu
kota, mata airmu akan penuh dengan sendirinya. Aku
berani bertaruh bahwa Yang Mulia tidak minum sebanyak
Naga Raksasa sehingga mata air Ini terancam kekeringan!
Kalian sungguh kasar. Siapakah kalian dan siapakah
yang mengizinkan kalian membuat kekacauan di sini?
Kekacauan? Siapa yang menimbulkan kekacauan?
Kami dikirim kemari untuk menjaga tempat ini. Menteri
Golongan Kanan yang memberikan perintah kepada kami
Semua, tanyakan sendiri kepada Menteri,
Apakah Yorinaga yang Anda maksud, sang Menteri?
Yorinaga atau siapa pun namanya, disana atau di sini,
bukan urusan kami. Lagi pula, jika perang sudah pecah
tidak akan ada lagi Istana atau Mata Air Dedalu.
Sekaranglah kesempatan bagi kami untuk memindahkan isi
gudang ke perut kami!
Kendati enggan. Asatori memilih untuk mundur. Sinar
matahari yang terpantul dari tombak-tombak dan pedangpedang mereka membuatnya gemetar. Ini bukan saat yang
tepat untuk membantah para prajurit garang ini, yang tidak
akan segan-segan menghabisinya. Tidak ada yang bisa
dilakukannya kecuali mengawasi mereka dari jauh. Sejenak
kemudian, dia melihat salah seorang prajurit memanjat
pohon dan mengangkat tangan untuk melindungi matanya,
menatap lekat-lekat halaman Istana Takamatsu, yang
berjarak cukup dekat dari sana. Sesuatu yang dilihatnya
menyebabkan si prajurit terburu-buru turun dan tiga orang
prajurit lain memacu kuda mereka.

Asatori menyandarkan punggungnya ke batang pohon


dedalu raksasa, dengan cemas memikirkan nasib
majikannya, sang mantan kaisar. Seandainya perang benarbenar pecah, bukankah dirinya, Asatori, si juru kunci, harus
siap membuktikan kesetiaannya ...
mengorbankan
nyawanya? Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali tetap
tinggal di Istana dan menjaga Mata Air Dedalu.
Angin musim panas bertiup sepoi-sepoi di antara sulursulur panjang pohon dedalu; seutas sulur hijau berayunayun lembut, membelai pipi Asatori.
O0odwkzo0o
Kita tidak punya cukup prajurit untuk melindungi Yang
Mulia, Penasihat Shinzei menegaskan kepada Perdana
Menteri.
Baru semalam sebelumnya, keributan besar terjadi ketika
dayang-dayang Nyonya Bifukumon melihat sosok yang
mirip burung hantu bertengger di atas sebatang pohon hazel
di luar jendela kamar mereka. Para pengawal bergegas
menghampiri sumber jeritan dan menembakkan panah
mereka kepada seorang bajingan malang ... seorang pendeta
muda yang mengaku tengah mengintip dayang-dayang di
kamar tidur mereka.
Kita harus mengambil tindakan, kata Shinzei. Di saat
seperti inilah para samurai biasanya menggodok
persekongkolan. Bukankah sudah tiba waktunya bagi kita
untuk menempatkan para panglima yang direkomendasikan
oleh mendiang Yang Mulia di sini, demi keamanan kita
sendiri?
Perdana Menteri tidak serta merta menjawab. Itu
mungkin diperlukan Dia tampak enggan karena
Yorinaga adiknya dikenal luas sebagai salah seorang
pendukung Sutoku, dan dia tahu bahwa dia sendiri harus

segera menentukan ke mana dia akan berpihak Kemudian,


Perdana Menteri melanjutkan, Penasihat Shinzei,
panglima yang manakah yang Anda sarankan harus
ditugaskan untuk melindungi Kaisar?
Itu ... itu sudah diputuskan sendiri oleh mendiang ftng
Mulia tidak lama sebelum beliau wafat. Sebuah daftar telah
disusun, dan beliau menyetujuinya.
Saya tidak tahu bahwa daftar seperti itu telah dibuat
Daftar itu ada.
Kapan daftar itu dibuat? Siapakah yang memegangnya
sekarang?
DI masa hidupnya, Yang Mulia menyerahkannya
kepada Panglima Pengawal Golongan Kiri dan Fujiwara
Mitsunaga. Setelah beliau wafat, dokumen tersebut
diserahkan kepada Koretaka, Panglima Golongan Kanan,
untuk disimpan. Saya berniat untuk menunjukkannya
kepada Nyonya Bifukumon setelah masa perkabungan
selesai. Kehendak Yang Mulia harus dilaksanakan.
Haruskah saya menyarankan pertemuan dengan Kaisar?
Tadamichl tidak keberatan. Seperti yang sudah saya
katakan sebelumnya, saya tidak memiliki keberatan apa
pun.
Panglima Koretaka akan segera diberi tahu, begitu pula
Nyonya Bifukumon.
Pada hari kelima setelah Kaisar Kloister wafat. Nyonya
Bifukumon dan para penasihat Kaisar bertemu untuk
membahas isi surat wasiat. Kendati begitu, pertemuan ini
dalam kenyataannya
adatats Nfeiofc ptnWniM perang. Menunaikan
kemungkinan para ww* memberontak setelah kemaoannya.

Toba mengambil tongkah pencegahan dengan menyusun


sebuah daftar berisi nama epuluh orang panglima Genji
dan Heik yang ditugaskan untuk mengawal Kaisar baru
dan Nyonya Bifukumon. Genji Yoshitomo. Putra
Tameyoshi, akan diangkat untuk menjadi pemimpin dari
kesepuluh panglima tersebut.
Satu nama, bagaimanapun, secara mencurigakan tidak
ditemukan di daftar itu.
Mengapa Tuan Aki, Heik6 Kiyomori, tidak ada di
dalam daftar ini? akhirnya Shinzei bertanya, menuntut
penjelasan dari Nyonya Bifukumon. Almarhum Heik
Tadamori adalah tokoh penting di Istana, jandanya, ibu tiri
Kiyomori, Nyonya Harima Ariko, saya dengar pernah
menjadi ibu susuan Putra Mahkota. Mendiang Yang Mulia,
saya yakin, tidak melupakan itu.
Kiyomori tidak sepenuhnya asmg bagi Nyonya
Bifukumon, yang telah sering mendengar Nyonya Kii
membicarakannya. Nyonya Bifukumon cepat-cepat
menjawab. Memang benar, aku mendampingi Yang Mulia
ketika beliau menyusun daftar ini. Beliau juga pernah
membahas masalah ini denganku di kesempatan yang bin,
dan Yang Mulia sepertinya merasa bahwa Kiyomori bisa
dipercaya,
namun
beliau
juga
mengkhawatirkan
kemungkinan ibu tiri Kiyomori akan menarik simpatinya
atas nama Pangeran Shigebito. Karena itulah nama
Kiyomori disingkirkan. Yang mulia juga mengatakan,
bagaimanapun, bahwa jika tidak ada tugas lain yang
mengikat Kiyomori, dia akan dipanggil jika keadaan
membutuhkannya. Yfc ... sekarang aku ingat dengan jelas
bahwa itulah tepatnya yang diucapkan oleh beliau
Shinzei mencoba menarik kesimpulan berdasarkan
penjelasan Nyonya Bifukumon, Kita tidak punya alasan
untuk meyakini bahwa kfyomon terikat oleh tugas lain. Kita

juga harus mengingat bahwa setelah pecmma Gmw


Yorinaga menjadikan Kiyomori sebagai musuh bebuj ucuwf
i. Ada pub berbagai fitnah yang peda suatu
masa pernah mendorong Yang Muka untuk merdukan
Kiyomori. Sungguh sayang jika sekarang kita sepenuhnya
mengabaikan Kiyomori. Dan Anda, Tuan? tanya Shinzei,
mengangguk kepada Tadamichi. Bagaimana pendapat
Anda?
Untuk saat ini, saya tidak memiliki keberatan apa pun
terhadap Tuan Aki. Saya tidak menghendaki keburukan
terjadi padanya, dan saya juga tidak ingin dia diabaikan.
Jika begitu, haruskah kita memasukkannya ... Kiyomori
... ke dalam daftar ini?
Sepertinya itu bijaksana.
Satu nama lagi ditambahkan ke dalam daftar pengawal
pribadi Kaisar Goshirakawa. Kesebelas panglima tersebut
adalah kepala keluarga-keluarga berpengaruh yang berhak
menarik pajak dari tanah kekuasaan mereka. Keesokan
paginya, pada 8 Juli, pasukan-pasukan mulai berdatangan
dalam jumlah besar di Kuil Anrakuju-in sehingga tempat itu
dijejali oleh prajurit Yang pertama tiba di sana adalah Genji
Yoshitomo beserta pasukannya, disusul oleh panglimapanglima lainnya beserta pasukan mereka masing-masing.
Yang terakhir tiba adalah seorang samurai muda yang
menunggang kuda beserta pasukannya yang terdiri dari dua
ratus orang penunggang kuda. Ketika mendaftarkan
pasukannya, dia memperkenalkan diri dengan suara jernih
dan nyaring:
Inilah saya ... putra kedua Tuan Aki, Heik6 Kiyomori
... Aki Motomori, samurai dari Golongan Keempat, tujuh
belas tahun. Setelah mendapatkan panggilan dari Istana,
ayah saya segera menghimpun pasukan dari seluruh

wilayah kami dan dari siapa pun yang memiliki ikatan


dengan keluarga kami. Beliau akan datang nanti beserta
pasukannya. Saya datang terlebih dahulu atas perintah
beliau.
Semua orang yang menoleh ke arahnya melhat seorang
pemuda bermata tajam dalam balutan baju arah kulit
berwarna biru tua dan berhias pola bunga kunyit Pemuda
itu menyandang sewadah penuh anak panah berbulu hitam
dan mengenakan penanda golongannya: sebuah helm
tersampir di punggungnya.
Pekikan terkejut terdengar dari beberapa orang samurai
uzur, Oh! Benarkah anak Kiyomori sudah sebesar itu?
Perawakan Motomori mengingatkan mereka bukan hanya
kepada Kiyomori sendiri, melainkan juga kepada sang
kakek. Tadamori, dan tahun-tahun yang berlalu dengan
sangat cepat.
o0odwkzo0o

Bab XIV-PANJI-PANJI MERAH HEIKE


Rokuhara, tempat tinggal Kiyomori sejak bertahun-tahun
silam, bukan lagi sebuah wilayah terpencil di pinggiran
Kyoto, melainkan telah menjadi sebuah kota kecil yang
dihuni oleh begitu banyak anggota klan Heike. Putra sulung
Kiyomori, Shigemori, yang tinggal di sana sejak masih
bocah, sekarang telah berusia delapan belas tahun. Lahan
kosong dan rawa-rawa di seberang tempat yang dahulu
sesekali digunakan untuk upacara pemakaman dan dilewati
oleh para pendeta dalam perjalanan menuju Toribeno dan
Kuil Kiyomizu, telah mengalami perubahan besar sejak
Jembatan Gojo didirikan. Rawa-rawa telah dikeringkan,
dan jalan sempit yang berkelok-kelok telah digantikan oleh

seruas jalan lurus yang diapit oleh deretan pepohonan.


Pagar-pagar anyaman ranting berdiri mengelilingi rumahrumah tinggal berukuran besar dengan atap-atap
lengkungnya; gerbang-gerbang besar terlihat di antara
rumah-rumah mungil yang jumlahnya semakin bertambah
seiring waktu. Bangunan-bangunan yang berukuran besar,
percabangan dari kediaman Kiyomori, dihuni oleh anggotaanggota keluarga Kiyomori beserta para pelayan mereka.
Sebuah gerbang bertingkat dua untuk menerima
penunggang kuda berada di depan kediaman baru Kiyomori
yang lebih luas, dengan tanahnya yang melandai menuju
Sungai Kam Bubungan-bubungan bertonjolan dari atap
utama hingga bangunan pusat tenggelam dalam labirin
atap.
Selama dua hari berturut-turut, para samurai data
menunggang kuda dari wilayah-wilayah kekuasaan
Kiyomori dan memenuhi kediamannya. Mereka yang baru
saja datang terpaksa ditampung di tempat terbuka, yaitu di
bawah pepohonan di sepanjang sungai, padahal pasukanpasukan lain masih terus berdatangan bagaikan gelombang.
Banyak di antara mereka yang telah berbaris atau
mengendarai kuda sepanjang siang dan malam
Dari Rokuhara, Motomori dan pasukannya terlihat
mengikuti aliran sungai ke arah selatan: sorak sorai
terdengar, sementara panji- panji merah Heike berkibar di
atasnya dan para penunggang kuda yang perlahan-lahan
menghilang dari pandangan.
Apa itu ... keributan itu? Kiyomori bertanya kepada
orang- orang di dekatnya.
Yang Terhormat Motomori sedang menyusuri seberang
sungai dalam perjalanan ke Uji.

Oh, begitu, jawab Kiyomori singkat. Tujuh orang


menyertainya: Tokitada, adik iparnya, yang sekarang
menjadi juru tulis di Istana; adiknya, Tsunemori; pelayan
tuanya, Mokunosuke, dan salah seorang putranya; dan tiga
orang anggota keluarga Heike dari Ise.
Seluruhnya enam ratus orang. Tokitada baru saja
selesai membaca daftar samurai yang telah tiba. Kurasa
akan ada lebih banyak lagi yang datang selambat-lambatnya
besok pagi, tapi sejauh ini, yang telah terdaftar adalah enam
ratus delapan puluh delapan orang.
Kiyomori meminta Tokitada untuk membaca daftar
sukarelawan itu sekali lagi. Ruangan besar tempat mereka
duduk memiliki koridor-koridor yang saling memotong di
keempat sisinya. Salah seorang gadis pelayan Tokiko masuk
dan tampak kikuk ketika melihat orang-orang yang ada di
dalamnya.
Tuan, akhirnya dia berkata, Nyonya menyuruh saya
kemari secepatnya ...
Apa maunya? tanya Kiyomori tanpa sabar.
Yang Terhormat Motomori sedang menyusuri tepi
sungai sekarang, dan Nyonya memohon kepada Anda
untuk mengawasi beliau.
Apa-apaan ini?
Nyonya
berharap
Anda
menyelesaikan misi pertamanya.

mengawasi

beliau

Aku tidak punya waktu untuk melakukan itu. Katakan


kepada nyonyamu bahwa Motomori tidak sedang berjalanjalan untuk melihat-lihat bunga sakura.
Baiklah, Tuan. ...

Katakan kepada nyonyamu bahwa dia harus bersiapsiap menangis dan meratap ketika mereka mengirimkan
kepalanya ke rumah.
Gadis pelayan itu berlari keluar seolah-olah baru saja
dimarahi, menahan tangisnya.
Kiyomori menatap gadis itu hingga menghilang dari
pandangannya dan berkomentar dengan nada datar,
Mereka, para wanita itu, tidak tahu betapa kejinya perang.
Mereka tidak pernah melihatnya. Pertempuran pecah
sepanjang waktu di wilayah barat dan timur, namun tidak
pernah terjadi di sini sejak berabad-abad silam. Tidak
seorang pun dari kalian mengetahui seperti apa perang yang
sesungguhnya. Kalian baru akan mencicipinya untuk
pertama kalinya, dan ini tidak akan mudah bagi siapa pun
yang ada di sini.
Keheningan mencekam mengikuti ucapan Kiyomori,
karena semua orang diam-diam sedang memikirkan
semangat membara yang mereka rasakan dalam
menyambut perang yang akan segera pecah, namun katakata Kiyomori mendadak mengingatkan mereka pada
kesuraman perang ... dentangan senjata, pertempuran,
pembakaran, keserakahan dalam memburu kemenangan.
Apakah makna semua itu kecuali impian hampa orangorang tolol? Akan lebih baik jika mereka memikirkan
kembali istri mereka, anak-anak mereka, dan penyesalan
sia-sia yang akan menghantui mereka.
Seorang bocah pelayan duduk di samping Kiyomori,
menggerakkan sebuah kipas besar dengan lembut. Kiyomori
duduk bersila di atas sebuah bantal duduk. Udara yang
panas mengesalkannya. Dia telah mencopot baju zirahnya
dan menggeletakkannya di hadapannya. Dia duduk dalam
balutan kimono dalam putihnya; bagian dadanya terbuka,

dan dari waktu ke waktu, dia mendekatkan dadanya yang


telanjang ke kipas yang menyejukkan.
Walaupun ada sebagian orang yang menganggap
kekasaran dan kegarangan Kiyomori sebagai wujud
kejantanannya, sebagian orang yang lain menganggapnya
menyebalkan ... dan Tokiko adalah salah seorang di
antaranya. Kiyomori nyaris bisa mendengar istrinya
berkata, Sungguh, itulah yang menyebabkan para pejabat
istana salah memahamimu. Itu pula yang menyebabkan
Genji Tameyoshi dan Yoshitomo menganggapmu lancang.
Karena semua putra kita bekerja di Istana sekarang, sudah
saatnya kau berhenti bersikap seperti Heita dari Is6 yang
berkeliaran di pasar! Hanya istri dan ibu tirinyalah yang
berani memprotesnya, dan Kiyomori, yang biasanya
memperlakukan mereka dengan sabar dan lemah lembut,
akan mendengarkan keluhan Tokiko dan berjanji untuk
memperbaiki sikapnya. Tetapi, patut diragukan bahwa
Kiyomori bersungguh- sungguh dengan janjinya, karena
segera setelah Tokiko menghilang dari pandangannya, dia
akan langsung melupakan janjinya, dan dia punya alasan
untuk melakukannya.
Kiyomori kini berusia tiga puluh sembilan tahun dan
sedang berada pada masa kejayaannya ... seorang samurai
tangguh dan berpengalaman ... sementara masa depan
masih terbentang luas di hadapannya. Apa yang
menantinya, dia tidak bisa menebaknya. Peran apa yang
akan dimainkannya pun belum jelas baginya. Yang
membakar semangatnya saat ini adalah hasrat membara
untuk bertindak. Samurai geram ini siap mempertaruhkan
segalanya demi satu-satunya kesempatan ini. Dia tahu betul
apa artinya ... kehidupan, istri, anak-anak, dan rumahnya.
Dan dia enggan bertindak gegabah hanya untuk memenuhi
panggilan Istana. Dia telah menanggapi perintah itu dengan

mengirim Motomori beserta dua ratus orang prajurit,


namun tetap tidak menunjukkan tanda bahwa dirinya
sendiri telah siap berangkat. Sekarang 10 Juli, dan dia
menyaksikan matahari perlahan-lahan tenggelam.
Bagi banyak orang, pertanyaan mengenai mengangkat
senjata untuk Kaisar Goshirakawa atau untuk mendukung
Sutoku menimbulkan sebuah dilema, namun bagi
Kiyomori, masalah itu jelas adanya. Dia tidak pernah
berniat untuk berdiri di pihak Sutoku. Sejak awal, dia telah
melihat bahwa gerakan untuk mendukung Mantan Kaisar
tidak lebih daripada sebuah persekongkolan yang didalangi
oleh Yorinaga. Seperti halnya Yorinaga yang tidak
mengharapkan bantuan darinya, Kiyomori juga tidak bisa
mengharapkan apa pun dengan berpihak kepada Yorinaga.
Mereka adalah musuh bebuyutan. Kiyomori juga
mendengar bahwa pamannya Tadamasa termasuk di antara
orang-orang yang sejak awal terlibat dalam persekongkolan
ini, namun keadaan ini tidak mendorong Kiyomori untuk
begitu saja berpihak kepada Kaisar. Dengan menyatakan
bahwa dirinya mendukung Goshirakawa, Kiyomori tahu
bahwa dia tidak hanya akan mempertaruhkan nyawa
keluarganya di Rokuhara tetapi juga semua Heik6 di
negerinya. Satu kali salah langkah pada saat ini akan
membahayakan nyawa entah berapa banyak wanita, anakanak, dan orang berusia lanjut Hal inilah yang membuat
Kiyomori berhati-hati. Dengan mengirim Motomori, dia
bisa dikatakan telah menjalankan perintah dan tinggal
menunggu saat yang tepat. Tetapi, suara hatinya dengan
dahsyat mendesak bahwa momen yang dinantikannya telah
tiba dan menggodanya untuk menepiskan seluruh
kekhawatirannya. Dia yakin bahwa kesempatan seperti ini
tidak akan mendatanginya kembali. Kesempatan ini adalah
kunci bagi masa depannya.

Sementara keraguan menyelimutinya, kenangan tentang


sebuah kejadian aneh terus-menerus mendatangi Kiyomori.
Peristiwa itu terjadi setahun setelah ayahnya meninggal,
ketika Kiyomori sedang berada dalam perjalanan menuju
Tempat Pemujaan Kumano. Dalam perjalanan air dari Is6
ke Kishu, seekor ikan besar melompat ke geladak, dan para
awak kapal berseru-seru riang, mengatakan bahwa ikan
tersebut adalah pertanda peruntungan baik bagi klan Heikd.
Mereka mengatakan kepada Kiyomori bahwa dewa yang
menjaga Tempat Pemujaan Kumano mengirimkan
pertanda untuk menghargai keimanannya. Kiyomori,
kendati selalu mencibir pada tahayul semacam itu, tidak
rela untuk menyanggah perkataan orang- orang kepadanya.
Dia senang saat memikirkan bahwa peristiwa ini terjadi
ketika dia sedang dalam perjalanan untuk mengirim doa
kepada ayahnya, walaupun kejadian selanjutnya sama
sekali tidak membuktikan pertanda itu, karena Yorinaga
segera merebut kekuasaan kembali.
Tetapi, Kiyomori sekarang mempertanyakan kepada
dirinya sendiri tentang apakah panggilan dari Kaisar adalah
kesempatan yang dimaksud oleh dewa penjaga Tempat
Pemujaan Kumano. Jelas baginya bahwa konflik antara
Kaisar dan Sutoku tidak lebih dari pertikaian antara
persekongkolan faksi-faksi, perbenturan antara ambisi yang
terlalu berlebihan, dan pada intinya adalah perebutan
kekuasaan.
Siapakah
dirinya
sehingga
rela
mengesampingkan keluarganya untuk menjadi bagian dari
perjuangan menegakkan angkara murka ini? Ambisi yang
dimilikinya, sebuah tujuan hidup, sebuah mimpi. Sebagai
kepala klan Heike, dia harus melihat bahwa keluarganya
telah semakin besar dan kaya, dan bahwa kaum samurai
telah mengakhiri dominasi para bangsawan Fujiwara.

Jelang senja, Tokitada mendapatkan pesan bahwa


Yorimori, adik tiri Kiyomori, telah tiba bersama enam
puluh orang prajurit Dia bergegas menyampaikan kabar ini
kepada Kiyomori, yang diketahuinya telah dengan gelisah
menantikan kabar ini sejak sehari sebelumnya. Kiyomori
sedang mulai makan malam, namun dia cepat- cepat
menyelesaikannya sembari meminta Tokitada menghadap n
Kiyomori kepadanya. Kiyomori ragu bahwa ibu tirinya,
Nyonya Ariko, akan mengirimkan putranya untuk
memperkuat pasukan Kiyomori, karena Yorimori masih
berusia dua puluh tahun dan belum terikat kewajiban untuk
memberikan bantuan kepada Kiyomori. Seandainya
Nyonya Ariko mendesak Yorimori untuk mendukung
Mantan Kaisar Sutoku, Kiyomori harus menganggapnya
dan adik tirinya sebagai musuh, dan pikiran itu menyakiti
hatinya.
Oh, kau hadir, Yorimori! Kerutan di kening Kiyomori
seketika lenyap; wajahnya berseri-seri karena kelegaan dan
kegembiraan yang tidak ditutup-tutupinya.
Yorimori, yang sepertinya khawatir telah memicu
kemarahan Kiyomori akibat keterlambatannya, buru-buru
memberikan penjelasan. Walaupun aku tiba jauh lebih
lambat daripada yang lainnya, kumohon kau tidak
menganggapku pengecut.
Omong kosong! Seperti yang bisa kaulihat sendiri, aku
juga belum berangkat. Mengesampingkan perasaan ibu
kita yang mulia, aku dengan gelisah menantikan
kehadiranmu. Katakanlah pesan beliau kepadamu.
Beliau tidak memberikan perintah apa pun, hanya
mengatakan bahwa aku harus mematuhimu.
Apakah beliau menyampaikan pendapatnya tentang
pihak yang akan menang?

Beliau menangis dan mengatakan keyakinannya bahwa


Mantan Kaisar tidak menghendaki masalah ini berujung
kemari.
Bagus! Seketika itu, Kiyomori mengambil keputusan.
Ibu tirinya, yang pernah menjadi bagian dari rumah tangga
Mantan Kaisar, meyakini bahwa ada sekelumit harapan
bagi Sutoku. Kiyomori berniat mengandalkan pendapat ibu
tirinya.
Tokitada, pastikan agar prajuritmu cukup makan dan
tidur. Kita akan berangkat besok pagi sekitar pukul dua atau
tiga.
Kiyomori segera tidur, namun menjelang tengah malam
dia terbangun dan memanggil ketiga adik dan putranya,
Shigemori, untuk mengikuti upacara minum sake yang
dipersiapkan oleh Tokiko. Tokiko memakaikan baju zirah
Kiyomori. Pedang warisan dari Tadamori tergantung di
samping tubuhnya. Yorimori memegang pedang warisan
keluarga Heik6 yang lain.
o0odwkzo0o
Cerita pun kembali bergulir ke kematian Tadamori, pada
15 Januari 1153, tiga tahun sebelumnya. Tadamori, berusia
lima puluh delapan tahun ketika itu, meninggalkan enam
orang putra ... Kiyomori, Tsunemori, Norimori, dan
lyemori dari istri pertamanya, sang Perempuan Gion, dan
Yorimori dan Tadashigg dari istri keduanya, Ariko. Dia
menjabat sebagai Kepala Departemen Kehakiman ketika itu
dan menikmati kekayaan yang baru dimilikinya. Bertahuntahun membesarkan anak-anaknya dalam kemiskinan telah
mengajarkannya untuk mengamankan harta keluarganya,
dan sudah menjadi rahasia umum bahwa Tadamori
memperoleh kekayaan besar melalui perdagangan dengan
para bajak laut dan penyelundup yang membawa barang-

barang berharga dari Cina ke pelabuhan Bingo, salah satu


wilayah kekuasaannya di bagian selatan.
Ketika penyakit masuk angin biasa Tadamori berubah
menjadi sesuatu yang serius dan harapan bagi
kesembuhannya semakin menipis, Tsunemori mendatangi
Kiyomori dengan air mata berlinang, memohon kepadanya,
Izinkanlah aku membawa Ibu kemari agar beliau bisa
menemui Ayah untuk terakhir kalinya.
Ibu? Apa maksudmu dengan Ibu?
Kiyomori berlagak pilon. Ariko, ibu tiri mereka,
senantiasa mendampingi dan merawat Tadamori selama
ini. Bukan Ariko yang dimaksud oleh Tsunemori melainkan
sang Perempuan Gion. Tsunemori, pikir Kiyomori dengan
gusar, tetap berhati lembut seperti pada masa mudanya
walaupun telah menjadi seorang pegawai di istana, telah
menikah dan memiliki anak. Mengingat ibunya memancing
kemarahan Kiyomori.
Kalaupun itu tindakan yang benar, kita tidak
mengetahui perasaan Ayah. Lupakanlah dia, lupakanlah
wanita itu, Tsunemori!
Air mata membasahi pipi Tsunemori. Aku tidak bisa
.Ayah tidak pernah melupakan beliau. Ketika ibu tiri kita
tidak ada di sampingnya, Ayah beberapa kali menanyakan
kabar Ibu.
Benarkah ini, Tsunemori?
Itu bisa dipahami, karena bagaimanapun, beliau adalah
ibu dari empat orang putra Ayah.
Mengikuti kehendak Ayah
kecanggungan dengan ibu tiri kita.

akan

menyebabkan

Beliau keluar setiap pagi buta untuk pergi ke kuil dan


berdoa bagi kesembuhan Ayah. Kita bisa membawa Ibu
kemari ketika itu.
Tahukah kamu di mana beliau dan apa yang
dilakukannya sekarang? Aku sudah tidak pernah
mendengar kabarnya sejak beliau meninggalkan kita ...
apakah beliau masih hidup atau sudah meninggal.
Jika kau mau berjanji untuk tidak memarahiku, aku
akan membawa beliau kemari dengan diam-diam besok
pagi, sebelum matahari terbit,
Jadi, kau tahu di mana beliau tinggal, dan kau sering
menemui beliau?
Tsunemori diam saja.
Hei, mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku?
Tahukah kau apakah beliau tinggal dekat atau jauh dari
sini?
Kiyomori membentak adiknya. Pikiran bahwa
Tsunemori terkadang menemui ibu yang sudah tidak
diakuinya lagi memberinya sengatan cemburu. Dia tergoda
untuk menghantam wajah
Tsunemori dengan tinjunya.
Tsunemori, menegakkan badannya, membalas, Aku
tidak akan
meminta apa pun lagi darimu!
Kiyomori menyemburnya, Lakukanlah saja sesukamu!
Aku tidak
punya urusan dengan ini. Semua ini tergantung pada
Ayah.

Semenjak kesehatan Tadamori memburuk, Ariko setiap


hari berangkat menggunakan tandu ke Kuil Kiyomizu
sebelum matahari terbit, tanpa memedulikan salju maupun
hujan. Pagi itu. Tsunemoni melihat tandu Ariko di jalan
yang bersalju, dan setelah ibu tiri itu menghilang dari
pandangannya, dia mengangkat tangan ke seseorang yang
berdiri di balik bayangan salah satu pintu mengantarkannya
ke kamar ayahnya. Kiyomori, yang tidur dikamar sebelah,
terbangun oleh suara-suara percakapan dan suara teredam.
n
Aku bahagia karena bisa bertemu kembali denganmu
Kau pun sudah mengalami banyak kesedihan. Putra-putra
kita telah dewasa. Aku tidak mencemaskan mereka, namun
aku risau memikirkanmu. Aku tidak memenuhi janjiku
kepada mendiang Yang Mulia jika aku mengabaikanmu
begitu saja. Inilah yang meresahkanku selama bertahuntahun ini. Seandainya aku bisa teryakinkan bahwa kau akan
hidup bahagia di masa yang akan datang
Kiyomori,
yang
mendengar
potongan-potongan
perkataan ayahnya, geram. Dia juga merasa tersakiti dan
terabaikan. Kendati tidak meragukan ketulusan ayahnya
yang sedang sekarat, dia memikirkan kebenaran bahwa
ayahnya telah selama bertahun- tahun bersedih karena
ibunya ... wanita sombong dan berhati batu yang tidak
pernah memberikan apa pun kepada Kiyomori kecuali
masalah, dan yang telah meninggalkan anak-anaknya.
Tidak lama kemudian, tibalah waktu kepulangan Ariko,
dan Tsunemori, merangkul bahu ibunya, mengantarkan
Perempuan Gion yang menangis terisak-isak ke gerbang
belakang. Begitu mendengar ibunya pergi, Kiyomori
langsung bangkit dari kasurnya. Dia berlari ke luar untuk
mengintip ibunya dari balik semak-semak, dan air matanya
seketika merebak. Ibunya yang dahulu cantik jelita sekarang

terlihat bagaikan bunga yang telah tersentuh es. Wajahnya


terpoles bedak tebal, namun Kiyomori dapat melihat
pipinya yang bergelambir dan rambutnya yang telah
kehilangan kemilaunya. Kiyomori menghitung dengan
cepat ... lima puluh. Ibunya telah berumur lima puluh
tahun! Seorang wanita berusia lima puluh tahun ... dan
entah apa mata pencahariannya. Mengingat kembali katakata ayahnya, Kiyomori mendadak mensyukuri kasih
sayang Tsunemori kepada ibu mereka.
Ayo, pakailah mantel Ibu. Ibu tidak boleh bersedih
seperti ini, karena ini akan membuat Ibu sakit. Aku akan
mengantar Ibu sampai gerbang. Pakailah mantel Ibu, dan
tutupilah wajah Ibu agar orang- orang tidak mengenali
kita.
Ketika keduanya telah pergi, Kiyomori memasuki kamar
ayahnya dan duduk di samping ranjangnya. Selama
beberapa waktu, dia mengamati wajah ayahnya, lalu
dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, berbisik,
Ayah, sudahkah Ayah puas sekarang?
Keheningan menyusul, kemudian kelopak mata
Tadamori perlahan-lahan terbuka. Kau, Kiyomori?
Tadamori kembali terdiam. Kotak itu ... di sana
akhirnya dia berkata. Dia menggapai kotak itu dengan
jemarinya dan berhasil mengeluarkan sebuah kipas, yang
diserahkannya kepada Kiyomori tanpa perkataan apa pun.
Setelah beberapa waktu, dia kembali berbicara, Yakinlah.
Kau adalah putra mendiang Kaisar. Beliau memberikan
kipas ini kepadaku dalam perjalanan terakhir yang kuikuti.
Kau berhak mewarisinya.
Hari itu, Tadamori, yang merasakan bahwa akhir
hidupnya telah tiba, memanggil putra-putranya dan
mewariskan sesuatu kepada masing-masing dari mereka.

Untuk Kiyomori, dia mewariskan baju zirah kulitnya ...


sebuah warisan turun-temurun ... dan salah satu pedang
termahsyur milik klan Heike. Untuk Yorimori, putra
sulungnya dari Ariko, dia juga mewariskan salah satu
pedang termahsyur klan Heike. Ini dilakukannya untuk
memberikan penghormatan kepada Ariko.
Beberapa saat setelah kematian Tadamori, seorang diri,
Kiyomori membuka kipas warisan ayahnya dan
menemukan sebuah puisi tertulis di sana. Baris
pembukanya ditulis oleh ayahnya, namun baris penutupnya
dibuat oleh tulisan tangan yang tidak dikenal namun
Mokunosuke kemudian meyakinkannya bahwa adalah
tulisan tangan Kaisar Shirakawa. Baris itu berbunyi.
Tadamor, harus merawatnya hingga ia tumbuh menjadi
pohon besar yang memberikan naungan. Maknanya jelas
bagi Kiyomori. Dia adalah putra Kaisar Shirakawa yang
diserahkan untuk diasuh oleh Tadamori. Teka-teki
kelahirannya telah terjawab namun tidak ada yang
dirasakan oleh Kiyomori kecuali penyesalan yang
mendalam karena dirinya bukan anak kandung Tadamori.
Tidak pernah lagi dilihatnya kipas itu, yang tersimpan
rapat-rapat di dalam kotaknya dan terlupakan.
o0odwkzo0o
Pada 11 Juli, Kiyomori dan pasukannya berangkat dari
Rokuhara menuju Istana Takamatsu pada dini hari dan tiba
di sana ketika matahari terbit. Setelah mendaftarkan diri,
mereka menempati beberapa pos. Kiyomori, mencermati
deretan nama yang telah terdaftar, mendapati bahwa Genji
Yoshitomo juga telah datang.
Panji-panji merah Heike kini berkibar di samping panjipanji putih Genji, dan saat malam tiba, kobaran api perang
mencapai ibu kota.

o0odwkzo0o

Bab XV- PANJI-PANJI PUTIH GENJI


Setiap
manusia
sepertinya
ditakdirkan
untuk
menghadapi setidaknya satu atau dua kemalangan besar
sepanjang masa hidupnya. Setidaknya, itulah pemahaman
Genji Tameyoshi, yang selama beberapa hari terakhir tidak
melakukan apa pun kecuali menghela napas panjang.
Matanya nyalang dan rambutnya tampak memutih. Dia
telah berumur enam puluh tahun dan dihadapkan pada
sebuah keputusan yang lebih menentukan daripada apa pun
yang pernah ditemuinya. Yorinaga, seseorang yang telah
berbuat banyak kebaikan kepada Tameyoshi, telah
mengirim sebuah pesan yang berisi perintah bagi
Tameyoshi untuk segera memberikan dukungan kepada
Kaisar Sutoku. Pesan serupa juga datang dari Tadazan6,
ayah Yorinaga. Tameyoshi tahu bahwa pemicu utama
upaya gegabah Yorinaga untuk merebut kembali tahta
Sutoku adalah kepercayaannya kepada klan Genji.
Yorinaga menggantungkan harapan kepada pasukan
Tameyoshi sebagai kekuatan utama, dibantu oleh para
biksu bersenjata dari Nara dan para petani bersenjata dari
wilayah-wilayah kekuasaannya. Ketika pesan dari Yorinaga
tiba, Tameyoshi juga telah mendapatkan panggilan dari
Kaisar, yang memerintahkan kepadanya agar segera
melaporkan diri bersama putranya Yoshitomo untuk
menghentikan pemberontakan.
Baru kali ini melihat ayah mereka segundah itu, keenam
putra Tameyoshi yang lain memohon kepadanya untuk
memercayai dirinya sendiri, bersumpah bahwa mereka akan
berdiri bersamanya untuk mendukung keputusan apa pun
yang diambilnya. Kesal kepada Yoshitomo, yang tidak

membahas keputusannya dengan seorang pun dari mereka,


mereka mengeluh dengan nada pahit:
Dia tidak mencintai darah dagingnya sendiri, apalagi
memedulikan klannya. Dia haus kekuasaan, siap
melakukan apa pun untuk melindungi jabatannya sebagai
kepala pengawal kekaisaran. Apakah dia peduli jika kita
bergabung dengannya atau tidak?
Ketegangan di antara Yoshitomo dan saudarasaudaranya bukanlah sesuatu yang aneh. Selain
kedudukannya di keluarga mereka yang hanya saudara tiri,
pada usianya yang kedua puluh tiga, Yoshitomo telah pergi
dari Kyoto ke wilayah timur Jepang untuk hidup bersama
para Genji di Kamakura. Pada saat itulah dia menyatakan
diri sebagai samurai dan seorang diri menegakkan
reputasinya sebagai panglima perang. Kedengkian
melandasi tuduhan saudara-saudaranya bahwa dia kurang
mengabdi kepada keluarganya. Kendati berutang budi
kepada Yorinaga atas pengangkatannya sebagai Kepala
Pengawal untuk menggantikan Kiyomori, dia tanpa raguragu memenuhi panggilan Kaisar.
Apakah keputusan Ayah?
Kita tidak bisa menunda-nunda lebih lama lagi.
Selama dua hari terakhir, prajurit kita telah berdatangan
dari seluruh penjuru negeri. Mereka memadati jalan dari
sini hingga Horikawa. Tidak ada cukup kamar di sini untuk
menampung mereka, padahal mereka terus berdatangan.
Mereka tidak sabar lagi menantikan keputusan Ayah, dan
ada desas-desus bahwa mereka akan mengambil keputusan
dan tindakan sendiri.
Mendapatkan tekanan dari putra-putranya, Tameyoshi
terpaksa menjawab, Bersabarlah, sebentar lagi saja.
Sejujurnya, gagasan untuk berdiri di pihak Mantan Kaisar

Sutoku tidak menarik minatku Aku pun tidak berminat


untuk memenuhi panggilan dari Istana. Itulah perasaanku
yang sesungguhnya saat ini. Tidak ada jalan yang terang di
mataku. Walaupun begitu, ingatlah ini: kita harus
melindungi para wanita dan anak-anak. Sampaikanlah ini
kepada para prajurit kita. Jika ada di antara mereka yang
ingin bertempur, biarkanlah mereka memilih sendiri pihak
mana yang akan mereka bela.
Ledakan amarah menyambut petuah Tameyoshi.
Apakah klan Genji hanya akan menjadi penonton dan
bahan tertawaan dalam perang ini. tanya putra-putranya.
Berkata lebih mudah daripada bertindak. Apakah anggota
klan Genji di seluruh negeri akan puas hanya dengan
bersikap netral? Mudah bagi Tameyoshi untuk mengatakan
bahwa dia tidak bersedia berpihak kepada siapa pun,
namun bagaimana mungkin dia berharap bisa meloloskan
diri dari jerat perang? Bisakah dia menjamin bahwa dia dan
hartanya akan selamat dari pembumihangusan? Akankah
para prajurit haus darah dari kedua pihak menghormati
posisi netral mereka? Bukankah kebencian terhadap sikap
pengecutnya justru akan menjadikannya sasaran empuk
bagi kedua belah pihak, dan bukankah para prajuritnya
sendiri akan menjadi korban perang?
Tameyoshi mendengarkan pendapat anak-anaknya,
merasa bahwa apa yang mereka sampaikan ada benarnya.
Matanya tidak terbutakan dari dampak tragis keputusannya,
dan kegundahan memperdalam kerutan-kerutan di kening
dan pipinya. Tepat seperti yang kalian katakan. Kita harus
mempertimbangkan, bagaimanapun ... jika kita berpihak
kepada Mantan Kaisar, maka Yoshitomo. putraku, akan
menjadi musuh kita. Jika kita mengangkat senjata untuk
Kaisar Goshirakawa, maka aku bersalah karena tidak tahu
berterima kasih kepada pelindung kita, Yorinaga. Pilihan

apa pun tidak akan menyelamatkan kita dari neraka itu ...
perang. Aku, Tameyoshi, yang menyandang kehormatan
klan Genji, terpaksa meletakkan senjataku. Selagi mungkin,
aku akan menjalani penahbisan dan bersembunyi .
Mari, mari kita menunggu hingga besok malam. Berilah
aku waktu semalam untuk mengambil keputusan.
Anak-anak Tameyoshi kecewa, namun mereka tidak
mendesak sang ayah karena jelas terlihat bahwa pria tua itu
tersiksa.
Ketika seorang lagi kurir Yorinaga tiba, Tameyoshi
menyampaikan balasan yang mengatakan bahwa dirinya
sedang sakit sehingga tidak mungkin hadir; sedangkan
kepada kurir yang mengantarkan surat dari putranya
Yoshitomo, dia dengan tegas mengatakan bahwa putranya
tidak perlu mengharapkan balasan. Ketika membaca
kembali surat dari putranya, bagaimanapun, mata
Tameyoshi berkaca-kaca.
Yoshitomo menulis, Mustahil sebuah negara dipegang
oleh dua orang penguasa. Apa pun pernyataan Mantan
Kaisar, tugasku adalah melindungi Kaisar. Tidak ada yang
bisa kulakukan kecuali menjaga kesetiaan kepada beliau.
Aku memohon kepadamu, Ayah, dan kepada saudarasaudaraku, untuk mengangkat senjata demi Kaisar dan
hadir di sini secepatnya. Aku memahami perasaan Ayah.
Aku tahu bahwa ada begitu banyak pertimbangan yang
menyulitkan Ayah untuk mengambil keputusan, namun
tidak ada pilihan lagi kecuali mendukung pihak kami.
Hatiku pedih ketika memikirkan bahwa kita, yang berasal
dari klan yang sama, terikat oleh darah, akan saling
mengangkat senjata. Seandainya pasukan Mantan Kaisar
datang untuk menghalangi kepergian Ayah, aku sendiri
akan menjemput dan mengawal Ayah. Anakmu yang tidak
tahu berterima kasih ini sangat mencemaskanmu, ayahku

yang telah berumur. Seberat apa pun, ambillah keputusan


ini sekarang, dan mari kita saksikan derajat Ayah
meningkat di samping mereka yang bertempur untuk
Kaisar. Putra-putra Ayah yang lain akan siap bersatu padu
untuk menolong Ayah melewati kesulitan ini.
Kebanggaan membuncah di dalam hati Tameyoshi.
Tidak diragukan lagi, putranyalah yang telah berbicara.
Keraguan kembali menderanya ketika Penasihat Norinaga
hadir lagi dengan membawa penawaran terakhir dari
Yorinaga. Tameyoshi menolaknya dengan halus,
Katakanlah kepada beliau bahwa Tameyoshi sudah tua
dan sakit-sakitan.
Tetapi, Norinaga bersikeras dan menolak untuk
menerima jawaban ini. Saya memahami betul perasaan
Anda. Mungkinkah, bagaimanapun, Genji Tameyoshi,
yang berutang budi sangat besar kepada Menteri, ternyata
tidak tahu berterima kasih? Apakah Genji Tameyoshi
menolak dan menyambut gembira kekalahan Mantan
Kaisar?
Sekali lagi, Tameyoshi memprotes, Walaupun mereka
mendesak saya, saya hanya bisa mengatakan bahwa saya
sudah terlalu renta untuk berperang.
Cukup bagi kami jika Anda menegaskan dukungan
Anda kepada kami. Pembahasan strategi perang tidak akan
dilakukan sebelum Anda datang. Mereka bersedia
menunggu kehadiran Anda.
Tameyoshi yang letih terdiam, menatap hampa kepada
Norinaga. Dia akhirnya berkata, Semalam, saya bermimpi
... mimpi buruk. Saya melihat delapan pasang baju zirah
Genji di dalam mimpi itu. Angin topan hebat tiba-tiba
muncul dan mencabik-cabiknya, dan saya terjaga. Sekarang
saya mengerti bahwa perang ini tidak akan berdampak baik

bagi klan kami. Bencana sedang menggelayuti klan


Genji. : v. I
Sungguh mengherankan saya bahwa seorang samurai
seperti Anda memercayai mimpi. Bagaimana mungkin saya
menyampaikan jawaban Anda ini? Saya tidak akan pergi
sebelum Anda memberikan jawaban yang pasti. Anda
menempatkan saya di dalam sebuah posisi yang sangat
sulit; saya akan menunggu di sini hingga matahari terbit
kembali.
Tameyoshi baru menyadari bahwa mereka berbicara
dalam kegelapan; seseorang terdengar mengatakan, Aku
membawa lilin, Ayah. Bolehkah aku masuk? Seorang
pemuda bertubuh jangkung dan kekar, berusia sekitar
delapan belas tahun, masuk membawa lilin-lilin yang telah
dinyalakan dan menatanya di tempat lilin. Ketika dia
hendak keluar, Tameyoshi menghentikannya. Sebentar,
Tametomo, tunggu! Menoleh kepada Norinaga,
Tameyoshi berkata, Anda mungkin pernah mendengar
tentang putra saya yang terkenal dengan keganasannya
bahkan ketika masih kanak-kanak. Dia adalah yang
termuda dari kedelapan putra saya, dan satu-satunya
petarung hebat. Anak-anak saya yang lain terlihat seperti
prajurit kikuk jika dibandingkan dengan dirinya, namun
Tametomo bisa mewakili saya jika diperbolehkan ... dan
jika dia setuju ... saya akan mengirimnya atas nama saya.
Apakah kau bersedia, Tametomo?
Pemuda itu dengan penuh semangat menjawab, Aku
akan pergi, jika Ayah menghendakinya.
o0odwkzo0o
Walaupun dayang kesayangan Nyonya Bifukumon,
Shimeko, tidak diangkat menjadi permaisuri, dia tetap
tinggal di Istana untuk merawat Kaisar-kecil Konoy6. Dia

masih menghuni Istana setelah Konoy* wafat, kendati


jumlah pelayan yang dipekerjakan untuknya banyak
berkurang. Termasuk di antara orang-orang yang dengan
teguh dipertahankannya adalah seorang dayang muda,
Tokiwa. Tokiwa terpilih ketika berusia lima belas tahun
dari ratusan gadis cantik yang menjadi calon dayangdayang Shimeko. Dia belum lama tinggal di Istana ketika
Genji Yoshitomo, terpikat oleh kemanisannya, secara diamdiam menjadikannya gundik. Maka, pada usianya yang
kedua puluh. Tokiwa telah memiliki dua orang putra dari
Yoshitomo. Atas dasar kasih sayang mendalam kepada
Tokiwa, Shimeko memaafkan hubungan gelap dayangnya,
sesuatu yang tentunya akan dikecam oleh Nyonya
Bifukumon. Dan, karena mustahil untuk memisahkan
Tokiwa dari anak-anaknya, Shimeko pun menawarkan
kepadanya dan ibunya yang renta untuk menempati sebuah
rumah kecil di dalam lingkungan Istana. Kendati begitu,
Nyonya Shimeko tahu bahwa akan tiba waktunya ketika
rahasia Tokiwa tidak bisa disembunyikan lagi, dan Tokiwa
harus memilih antara melepaskan Gen|i Yoshitomo,
samurai kesayangan Yorinaga, atau meninggalkan Istana.
Ketika hubungan antara Istana Kekaisaran dan Mantan
Kaisar meruncing dan perang sepertinya tidak terhindarkan
lagi, Yoshitomo tidak berani lagi mengunjungi Tokiwa.
Dalam salah satu kunjungan diam-diamnya, dia berpesan,
Hapuslah air matamu, Sayangku. Jangan khawatir, aku
masih akan mengenjungimu kalaupun perang pecah. Apa
kau mengira bahwa aku akan membiarkan kedua buah hati
kita menjadi musuhku? Tertawa lembut, Yoshitomo
membelai helaian rambut yang jatuh ke pipi basah Tokiwa
dan menyelipkannya ke balik telinga mungil wanita itu, lalu
berbisik, Jangan katakan hal ini kepada siapa pun, namun
jika perang pecah, aku dan pasukanku tidak akan ragu-ragu
untuk membela Kaisar. Utang budiku kepada Menteri,

Yorinaga, tidak akan berarti jika Yang Mulia memanggilku.


Aku bukan boneka Menteri. Tidak peduli pihak mana pun
yang akan dipilih oleh ayah dan saudara-saudaraku, aku
akan tetap mendampingi Yang Mulia. Jangan
mengkhawatirkan
kemarahan
Nyonya
Bifukumon
kepadamu gara-gara aku, karena mulai saat ini, kau bisa
dengan bangga mengatakan bahwa Yoshitomo, kekasihmu,
adalah salah seorang pendukung setia Kaisar.
Yoshitomo menangkupkan tangannya ke wajah Tokiwa,
merengkuh tubuh kekasihnya itu, dan mencium bibirnya,
yang merekah dalam sebuah senyuman. Tanpa
memedulikan bayi yang tertidur dalam pelukan Tokiwa,
Yoshitomo memeluknya erat-erat, membaurkan air mata
mereka.
Kepanikan melanda ibu kota ketika gembar-gembor
tentang perang tersebar. Para penduduk yang ketakutan,
mengangkut kerabat mereka yang sakit, mengungsi keluar
dari kota menuju perbukitan, membawa harta benda apa
pun yang bisa mereka bawa. Ketakutan dan kecemasan
Tokiwa, bagaimanapun, tampak sepele di samping kabar
bahwa Yoshitomo adalah orang pertama yang bergabung
dengan pasukan Kaisar. Hati Tokiwa melambung ketika
mengetahui bahwa kekasihnya bersungguh-sungguh, bahwa
panji-panji yang dibawa oleh Yoshitomo juga menjadi
pernyataan cinta mereka. Sekarang, dia bisa dengan bangga
mengumumkan kepada dunia bahwa dia adalah kekasih
Yoshitomo. Tidak sabar untuk menyampaikan kabar ini
kepada ibunya, Tokiwa bergegas menyelesaikan tugas
malamnya; kemudian, dia menyembunyikan wajahnya di
balik mantel musim panas, lalu menyelinap keluar. Dia
tanpa sengaja mempercepat langkah menuju gerbang rumah
karena merasa mendengar anak-anaknya menangis.

Kemudian ketika tangannya menyentuh gerbang, seseorang


tiba-tiba mengagetkan Apakah kamu Tokiwa?
Siapakah Anda? Tokiwa menjawab dengan waspada da
menoleh dengan cemas kepada seorang pria berbaju zirah.
Genji Yoshitomo mengirimku kemari
Aku membawa pesan untukmu. Pertempuran akan
pecah di ibu kota besok pagi. Kau harus segera
meninggalkan tempat ini
Ya, saya pulang untuk membicarakan soal itu dengan
ibu saya
Bagaimana kabar anak-anakmu?
Mereka berdua baik-baik saja.
Yang sulung tiga tahun; bayi saya baru berumur
beberapa bulan
Kalau begitu Pria itu bergumam. Nama mereka?
Imawaka, dan bayi saya ... Tokiwa, mendadak curiga,
menatap lekat-lekat pria itu, yang tiba-tiba berlari kencang
meninggalkannya. Sebelum pria itu menghilang dari
pandangannya, sepuluh orang pelayan Yoshitomo muncul,
mengatakan bahwa mereka dikirim untuk mengawal
Tokiwa, dan tanpa berbasa-basi memasuki rumah dan
mengemasi barang-barangnya. Dari mereka, Tokiwa tidak
berhasil mendapatkan keterangan apa pun mengenai
identitas pria asing yang baru saja menanyainya.
Menjelang tengah malam, pelayan Tameyoshi,
Magoroku, kembali untuk melaporkan bahwa Tokiwa
meninggalkan ibu kota pada malam itu juga bersama kedua
anaknya.
Apakah Anda juga hendak mengungsi, Tuan? Segera
setelah Anda menetapkan pikiran ...

Kegetiran menggelayuti wajah Tameyoshi dan lenyap di


balik kerutan dalam yang segera terwujud dalam senyuman.
Aku sudah menetapkan pikiran. Aku tidak boleh terusmenerus seperti ini, karena kaum muda tidak akan mau
mendengarkan alasan. Tidak ada yang benar maupun salah
bagi mereka karen mereka merasa harus menggerakkan
badan, dan aku menyuruh mereka melakukan apa pun
sesuka mereka. Tawa Tameyoshi tiba-tiba meledak.
Apakah mereka sendiri akan berpihak kepada Mantan
Kaisar Apakah yang mungkin kulakukan sendiri di sini
dengan tubuh rentaku ini? Apa kau percaya bahwa aku bisa
menolak untuk memberikan pertolongan kepadanya? Ini
adalah takdirku nasib seorang samurai. Kita tidak boleh
menunda-nunda lagiuntuk menjawab panggilannya, dan
aku sudah siap berangkat. Yoshitomo sudah mengambil
keputusan. Dia telah memercayakan nasibnya kepada
Kaisar, dan dia tidak bisa mengubah pikirannya lagi.
Sepertinya begitu.
Begitulah. Dia telah memilih jalan yang akan diikutinya
. Ambilkan baju zirahku, Magoroku.
Hari-hari keheningan dan kebimbangan telah berakhir.
Tameyoshi mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian
terberat dalam masa tuanya. Kepada Penasihat Norinaga,
yang masih menantinya, Tameyoshi akan memberikan
jawaban.
Delapan pasang baju zirah, harta warisan turun-temurun
klan Genji sejak bergenerasi-generasi silam, dibawa masuk.
Tameyoshi memberikan sepasang kepada masing-masing
putranya dan memerintahkan agar sepasang baju zirah
dikirimkan pada malam itu juga kepada Yoshitomo.

Pada pagi hari ketika Tameyoshi berangkat ke istana di


Shirakawa bersama putra-putra dan pasukannya untuk
bergabung dengan pihak Sutoku, Kiyomori melaporkan diri
ke Istana Kekaisaran.
Baru seminggu berlalu sejak Kaisar Kloister wafat.
Banyak di antara pejabat dan pegawai istana yang angkat
tangan, menolak untuk ambil bagian dalam pertikaian yang
semakin meruncing dan memilih untuk mengurung diri di
kediaman mereka masing-masing. Penasihat Norinaga,
setelah menyampaikan jawaban Tameyoshi kepada Mantan
Kaisar, bertolak dari Shirakawa menuju salah satu biara di
luar Kyoto dan memotong rambutnya. Fujiwara
Tsunemone yang menemani Yorinaga ke Uji, menghilang
tidak lama dan masih banyak pejabat istana lainnya yang
menolak menjawab panggilan dari Istana.
o0odwkzo0o
Motomori, Putera Kiyomori yang berangkat dari Kyoto
pada pagi hari tanggal 10 menempati posisinya di Jalan
Raya Oji pada siang hari.. Kegarangan para prajuritnya dan
kesan berkuasa dalam suara mereka menunjukkan bahwa
mereka mengetahui betapa pentingnya peran baru mereka.
Orang-orang yang hendak memasuki Kyoto dari luar kota,
yang belum mengetahui perkembangan yang terjadi di ibu
kota, diperintahkan untuk kembali. Para pejabat dan
pegawai istana yang berusaha melarikan diri dipaksa untuk
mengurungkan niat mereka.
Ya, ya! Siapa yang baru saja tiba? Seorang bangsawan
... mengendarai kereta. Berhati-hatilah, dia membawa
banyak rombongan bersamanya.
Sebuah kereta berdinding anyaman ranting mendekat,
diikuti oleh sebuah kereta berhias ukiran logam. Sekitar dua
puluh orang prajurit bersenjata memberikan kawalan.

Berhentilah kalian! seru para prajurit Motomori,


menghalangi jalan. Mereka telah mendengar bahwa
Yorinaga mungkin akan kembali ke Kyoto melewati rute
yang mereka jaga dan yakin bahwa ini adalah
rombongannya. Tetapi, penumpang kereta itu ternyata
terbukti sebagai dua orang pejabat istana yang membawa
dokumen yang mengesahkan bahwa mereka bepergian ke
Uji untuk menyelesaikan urusan pribadi. Yorinaga,
sementara itu, berhasil memasuki ibu kota menggunakan
sebuah tandu melewati rute lain dan telah tiba dengan
selamat di markas utamanya di Shirakawa.
Motomori dan pasukannya kecewa karena tidak berhasil
menangkap Menteri Yorinaga. Saat matahari telah
tenggelam; ketika mereka sedang mempersiapkan makan
malam; sepuluh orang dan menahan sisanya. Tetapi,
Chikaharu melawan sampai titik akhir, hingga tusukan
sebuah tombak berkait menjatuhkannya dari kudanya.
Kemudian. Motomori segera menggiring para tahanannya
ke ibu kota.
Ketika sedang bersiap-siap untuk kembali ke Jalan Raya
Uji dari Istana, Motomori tertahan oleh sebuah upacara
singkat, di mana para samurai dari golongan yang lebih
tinggi memberinya berbagai pertanyaan.
Keesokan paginya, saat Kiyomori akhirnya tiba di
Istana, dia disambut dengan ucapan selamat untuk
kesuksesan Motomori dalam menangkap Genji Chikaharu
hidup-hidup. Sambil tersenyum bangga, Kiyomori menyapa
rekan-rekannya sesama panglima untuk mengumumkan
kehadirannya dan meminta maaf atas keterlambatannya.
Orang yang terakhir disapanya adalah Yoshitomo.
Ah. Heik6 Kiyomori!
Dan kau, Genji Yoshitomo!

Tatapan mereka bertemu. Keheningan menyusul ketika


masing- masing mengingat pertemuan pertama mereka, di
pemakaman Toba Sojo, pada suatu siang musim gugur
bertahun-tahun
silam.
Yoshikiyo
Sato
yang
memperkenalkan mereka. Beberapa waktu kemudian,
Yoshikiyo kabur dari rumahnya, menjalani penahbisan, dan
mengubah namanya menjadi Saigyo, biksu penyair yang
berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Enam belas
tahun telah berlalu, walaupun peristiwa itu rasanya baru
terjadi kemarin. Banyak perubahan telah terjadi di ibu kota
sejak saat itu. Sebagian dari teman-teman masa muda
mereka telah meninggal atau pergi dari Kyoto. Keduanya
tidak pernah mengira akan bertemu kembali dalam keadaan
seperti ini-menjadi rekan sejawat dalam membela Kaisar.
Mereka juga bersaing-Genji dan Heik6-namun sebuah
tujuan bersama
mengikat mereka menjadi saudara seperjuangan.
Aku cemas memikirkanmu, kata Yoshitomo, banyak
desas-desus mengenai dirimu. Aku benar-benar lega eti
akhirnya kau datang dan bergabung bersama kami di sini.
Aku mengirim putraku beserta sebagian pasukanku
terlebih dahulu agar bisa mengerahkan lebih banyak
kekuatan. Aku minta maaf atas keterlambatanku.
Tapi, kau pasti senang ketika mengetahui bahwa
putramu telah berhasil membuat dirinya dikenal.
Kiyomori tertawa. Dan ternyata kemampuan para
pemuda itu melampaui para pendahulunya ... mencuri
kemenangan kita!
Aku iri kepadamu, kata Yoshitomo, karena
keluargamu tidak terpecah belah dan harus saling melawan
seperti keluargaku.

Senyum Kiyomori seketika lenyap. Di tengah buncahan


kebanggaannya kepada Motomori, tidak pernah terpikir
olehnya apa makna perang saudara ini bagi Yoshitomo.
Beban baju zirahnya semakin membuatnya gelisah; dia
mengorek-ngorek pikirannya untuk mencari ungkapan
simpati yang entah mengapa menolak untuk hadir, menatap
kikuk ke depan, lalu dengan salam perpisahan yang buruburu diucapkan, membalikkan badan dan meninggalkan
Yoshitomo.
Yoshitomo mengernyitkan kening ketika Kiyomori
mendadak menghadapkan punggung kokohnya kepadanya.
Pada hari yang sama, pihak Kaisar memindahkan Istana
Kekaisaran ke bagian utara pusat kota, tempat markas
utama pasukan Kaisar berada. Berdasarkan saran
Yoshitomo, diputuskan bahwa serangan pertama ke istana
di Shirakawa akan dilakukan secara mendadak pada malam
itu juga, karena pasukan Yorinaga diperkirakan baru akan
tiba keesokan harinya. Gerakan ini, Yoshitomo
menegaskan, akan mencegah terjadinya serangan tiga lapis
ke Istana Kekaisaran.
Sementara itu. Tameyoshi dan putra-putranya, beserta
pasukan berkuda dan berjalan kaki mereka, tiba di
Shirakawa, tempat mereka menemukan Mantan Kaisar dan
para penasihatnya menanti dengan penuh kecemasan.
Kabar mengenai penangkapan Chikaharu pada malam
sebelumnya menambah keresahan mereka akibat pasukan
Yorinaga dari provinsi-provinsi yang lain juga gagal datang.
Yonnaga mengharapkan tiga ribu orang prajurit berkuda
dan berjalan kaki akan tiba tepat waktu untuk melakukan
serangan besar-besaran ke ibu kota, namun hanya sekitar
seribu enam ratus atau seribu tujuh ratus orang yang telah
melaporkan diri. Para biksu bersenjeta dari Nara dan
Yoshino, yang telah menjanjikan bantuan, juga baru akan

datang keesokan harinya. Kerisauan semakin memuncak


malam itu ketika Yorinaga memandang ke seberang Sungai
Kamo dan melihat semburat matahari di ufuk barat tertutup
oleh gumpalan asap tebal. Beberapa saat kemudian,
datanglah kurir-kurir yang mengabarkan bahwa Istana
Mata Air Dedalu, yang dijadikan pangkalan oleh sebagian
pasukan Yorinaga, telah terbakar. Walaupun Yorinaga
memerintahkan agar bantuan dikirim ke sana, Genji
Tameyoshi dan Tadamasa (paman Kiyomori) berpendapat
lain, menekankan pentingnya memperkuat pertahanan di
Istana Shirakawa.
Tadamasa beserta ketiga ratus prajurit berkuda dan
berjalan kakinya, dibantu oleh seratus orang prajurit
Yorinaga, berjaga- jaga di gerbang timur Istana, menghadap
ke kaki Gunung Hiei. Di sisi lain Istana, di gerbang barat
yang menghadap ke Sungai Kamo, Tameyoshi berjaga-jaga
bersama pasukan terpilihnya. Putra bungsunya, Tametomo,
beserta pasukan berkekuatan seratus orang prajurit berkuda
dan berjalan kaki, menjaga gerbang yang lebih kecil di sisi
yang sama.
Yorinaga, ketika memeriksa pertahanan Istana, tidak
sanggup menyembunyikan kekecewaan akibat lemahnya
pertahanan mereka, meskipun bantuan dari Tameyoshi bisa
dikatakan hampir setara dengan penambahan sepuluh ribu
orang prajurit, namun semangat Yorinaga melambung
ketika dia melihat Tametomo dan dua puluh orang prajurit
berkudanya. Mereka telah menjalani pendidikan seni
perang di Kyushu, tempat popularitas Tametomo sebagai
seorang petarung melegenda. Yorinaga mengamati pemuda
itu dengan penasaran. Tametomo menjulang lebih jangkung
sekepala daripada orang-orang terjangkung di sekelilingnya.
Dia mengenakan baju zirah berat bertali-temali putih di atas
kimono biru tua dan membawa sebilah pedang panjang

bersarung kulit beruang. Salah seorang prajuritnya


membawakan helm besinya. Inilah Tametomo si beringas,
pemuda liar dan keras kepala yang telah memberikan
banyak masalah kepada ayahnya, dan akhirnya dikirim ke
Kyushu untuk diasuh oleh kerabatnya ketika berusia tiga
belas tahun. Di Kyushu, pada usia tujuh belas tahun,
Tametomo telah dikenal sebagai seorang samurai beringas
dan diangkat menjadi salah seorang panglima perang di
daerahnya.
Yorinaga menghampiri Tametomo untuk menanyakan
tentang pendapat pemuda itu mengenai strategi perang
mereka, dan mendapatkan jawaban, Kita tidak akan bisa
menang kecuali jika melakukan serangan pada malam hari.
Semestinya, malam inilah kesempatan kita. Saya agak
terkejut
melihat
keengganan
orang-orang
untuk
melakukannya.
Sebuah taktik yang akan terpikir oleh prajurit yang
paling tidak berpengalaman sekalipun ... Yorinaga
tersenyum ... dan kita sudah mempersiapkan diri untuk
itu.
Jika begitu, lanjut Tametomo, kita harus
melumpuhkan musuh di ibu kota dari kedua bagian
samping dan bagian belakang dengan api, lalu
mengerahkan pasukan kita untuk menyerbu dari depan.
Dengan begitu, kita bisa memerangkap musuh kita,
sekaligus mengambil manfaat sebesar mungkin dari jumlah
pasukan kita yang kecil.
Bagaimana jika kakakmu Yoshitomo menyerang lebih
dahulu?
Saya akan menembakkan anak panah menembus
helmnya dan memaksanya memindahkan dukungan.
Heik Kiyomori, kudengar, juga ada di sana.

Tidak ada yang lebih membanggakan daripada


menghabisi pasukannya, lalu menyerbu ke Istana dan
menahan Kaisar. Ini adalah waktu yang tepat untuk
menyerang. Sekarang ... sebelum matahari terbit.
Sebuah siasat menantang, menurutku, Yorinaga
tersenyum penuh arti, dan cukup bagus, kurasa, jika ini
adalah pertempuran kecil-kecilan yang melibatkan sepuluh
atau dua puluh orang prajurit berkudamu di Kyushu ...
tempat namamu cukup tersohor. Tapi kau harus menyadari
bahwa operasi kita di sini berskala jauh lebih besar.
Menurutku, Tametomo, pendapatmu tidak terlalu berarti
bagi kami di sini.
Dengan wajah kecut, Tametomo kembali ke posisinya
dan meletakkan tameng besarnya, lalu tidur hingga pagi
tiba.
o0odwkzo0o
Musuh telah menyerang! Musuh telah menyeberangi
sungai!
Teriakan dan pekikan perang terdengar sebelum fajar
menyingsing pada tanggal 12. Kepanikan melanda Istana,
diwarnai oleh dentangan senjata dan ringkikan kuda. Para
pemanah, yang berbaris di sepanjang tembok Istana
Shirakawa, telah membidikkan anak panah mereka ke
musuh yang mendekat.
Yoshitomo, yang memimpin lebih dari seribu orang
prajurit berkuda dan berjalan kaki. tiba di tepi Sungai Kamo
di seberang Istana Shirakawa, dan bersiap-siap untuk
menyerang ketika melihat fajar telah menyingsing di bahu
Gunung Hiei. Menyadari bahwa melakukan penyerangan
di bawah sinar matahari yang terang benderang tidak akan
menguntungkan bagi mereka, Yoshitomo menggiring
pasukannya perlahan-lahan ke utara hingga tiba di suatu

tempat yang mustahil dijangkau oleh anak panah lawan


mereka.
Genji Tameyoshi memerintahkan agar gerbang selatan
dan barat dibuka, dan hendak memimpin barisan ketika
Tametomo tiba-tiba memacu kudanya ke arahnya dan
berseru. Izinkan aku melakukan serangan pertama! Dia
segera disusul oleh Yorikata, kakaknya, yang memprotes
haknya untuk memimpin serangan pertama. Tametomo
mengabaikan kakaknya, dengan garang meneriakkan
bahwa dia tidak
peduli, dan melaju ke gerbang barat di tepi sungai.
Dalam temaram fajar, Yorikata memacu kudanya ke
arah daerah kekuasaan musuh dan menyerukan tantangan,
Siapa yang ada disana, Genji atau Heik6? Aku Yorikata,
putra keempat Genji Tameyoshi Genji!
Salah seorang prajurit Yoshitomo menjawab tantangan
itu, memberikan nama dan kedudukannya sebagai pelayan
Yoshitomo. Tuan Shimotsuk6. Menuntut jawaban dari sang
panglima
sendiri,
Yorikata
secara
berturut-turut
menembakkan dua buah anak panah ke dekat tempat
Yoshitomo menunggangi kudanya. Dia melihat dua orang
penunggang kuda roboh terkena anak panahnya, lalu
membalikkan badan, ketika sebuah anak panah mendadak
menyerempet helmnya. Tanpa menghiraukannya, Yorikata
memacu kembali kudanya ke arah rekan-rekannya yang
bersorak sorai menyambutnya.
Murka melihat dua orang prajuritnya terluka, Yoshitomo
mengejar Yorikata, bersumpah akan membalas saudaranya
itu atas kebengisannya, namun para prajuritnya dengan
susah payah menahannya.
Kiyomori, sementara itu, berkuda di sepanjang sisi kiri
sungai bersama lebih dari delapan ratus orang prajurit

berkuda menuju sebuah titik di sebelah utara Istana


Shirakawa dan menantikan Yoshitomo membuka serangan.
Ketika matahari terbit dan kabut tebal yang menyelimuti
sungai menipis, Kiyomori melihat bahwa pasukan
Yoshitomo telah siap siaga. Walaupun mereka berdua
sama- sama belum menunjukkan tanda-tanda pergerakan,
jantung Kiyomori mulai berdegup kencang. Pekikanpekikan perang semakin gencar terdengar dari kedua belah
pihak Dari balik kabut yang mulai lenyap, dia melihat
betapa jarak di antara pihak yang bermusuhan semakin
tipis. Tiba-tiba, lima puluh orang penunggang kuda
memisahkan diri dari pasukan Kiyomori dan menghampiri
tepi sungai di seberang gerbang yang dijaga oleh
Tametomo. Tiga orang samurai berkuda maju dan
menuntut nama panglima yang bertanggung jawab atas
gerbang itu, setelah sebelumnya memperkenalkan diri
sebagai pelayan Heike Kiyomori.
Sebuah suara nyaring terdengar melampaui gemuruh
arus sungai.
Aku Tametomo, putra Tameyoshi. Anak panahku tidak
pantas disia-siakan untuk prajurit rendahan seperti kalian.
Pemimpin kalian sekalipun, Heike Kiyomori, bukan lawan
yang sepadan untukku Kembalilah ke pasukanmu dan
katakan kepadanya untuk datang sendiri kemari.
Tiga buah anak panah seketika melesat ke arah
Tametomo Pemuda itu dengan sigap menghindar sembari
menembakkan anak panahnya, yang berdesing nyaring dan
menembus dada salah seorang prajurit Kiyomori, lalu
menancap di pelindung bahu prajurit lainnya. Kuda yang
telah kehilangan penunggangnya berdiri dengan kedua kaki
belakangnya dan meringkik liar; para penunggang kuda di
seberang sungai serempak maju, membidikkan anak panah
untuk melindungi kedua rekan mereka dan tunggangan

mereka yang menggila, sementara hujan anak panah datang


dari pihak musuh.
Tanah seolah-olah bergetar dan bergemuruh di bawah
kaki Kiyomori; kudanya, dengan lubang hidung kembang
kempis, mendadak bergerak-gerak gelisah dan mengibasngibaskan surainya. Ada apa? tanyanya dengan tegas.
Para prajurit berkuda di sekeliling Kiyomori sedang
mencegahnya menghela tali kekang kudanya, ketika
seorang samurai berkuda menghampirinya dan berseru:
Itoroku telah tumbang! Tamemoto memanahnya. Tuan,
Anda akan menjadi sasaran selanjutnya jika tidak menjauh
dari jarak tembak anak panahnya.
Apa, Itoroku telah tumbang? Mengapa kita harus takut
kepada anak bungsu Tameyoshi?
Tuan, lihatlah sendiri ... anak panah ini!
Dari pelindung bahunya, prajurit itu menarik sebatang
anak panah besar dan menyerahkannya kepada Kiyomori.
Anak panah itu terbuat dari bambu berumur tiga tahun
yang terpoles mulus, dengan ujung besi tajam di ujungnya
dan ekor burung kuau.
Aku mengerti ... anak panah yang jahat, cocok untuk
menumbangkan iblis. Pantas jika semua orang takut
kepadanya.
Kiyomon memeriksa anak panah itu dengan cermat lalu
tibatiba mengatakan. Tidak ada alasan bagi kita untuk
menyeran*
gerbang ini. Aku tidak mendapatkan perintah khusus dan
hanya

memilihnya secara acak. jika yang baru saja terjadi di


sini
menceluskan hati kita, sebaiknya kita mencoba Gerbang
Utara. Ke Gerbang Utara!
Mendengar perintah sang panglima, pasukan Kiyomori
segera bergerak ke utara, namun putra sulung Kiyomori.
Shigemori, yang juga mendengar perintah itu, berseru:
Sungguh konyol! Benar-benar konyol, memilih Gerbang
Utara hanya gara-gara anak panah Tametomo. Sungguh
memalukan bagi kita yang membela nama Kaisar!
Mengajak serta sekitar tiga puluh orang prajurit berkuda
yang ada di dekatnya, Shigemori serta merta menyongsong
musuhnya.
Hentikan dia! Bawa dia kemari! Kiyomori memerintah
orang-orang di sekelilingnya, hanya orang gila yang cukup
gegabah menghadapi anak panah itu dan mempertaruhkan
nyawanya!
Dari jarak jauh sekalipun Shigemori bisa menjadi sasaran
empuk bagi musuh-musuhnya, karena dia mengenakan
kimono merah di bawah baju zirahnya dan menyandang
sarung gemuk berisi dua puluh empat batang anak panah di
punggungnya. Para prajurit dengan susah payah
menahannya, karena Shigemori, yang memprotes sikap
pengecut ayahnya dengan lantang dan gusar, terus berusaha
untuk melepaskan diri, hingga salah seorang anak buahnya
berkata, Biarkanlah saya maju mewakili Anda dan
menghadapi Tametomo sendiri. Prajurit itu, Koreyuki,
telah melesat pergi sebelum teman-temannya bisa
melarangnya, diiringi oleh teriakan- teriakan Kembalilah,
kembalilah! Koreyuki menoleh dan menjawab, jangan
menyertaiku, apalagi menyusulku. Perhatikan saja!

Ditemani oleh dua orang prajurit berjalan kaki, Koreyuki


menyusuri sungai. Tametomo keluar untuk menemuinya,
tetapi, melihat bahwa prajurit itu ragu-ragu, dia memasuki
gerbang dan menutupnya. Setelah memasuki jarak tembak
dari gerbang. Koreyuki meneriakkan tantangannya kepada
Tametomo, yang akhi memacu kudanya keluar dan
menjawab dengan nada meremehkan Selamat datang,
prajurit kurang ajar! Aku Tametomo. Kau boleh
menembakkan anak panahmu lebih dahulu kepadaku.
Selanjutn adalah giliranku.
Bahkan sebelum Tametomo selesai berbicara, anak
panah Koreyuki telah menancap di pelindung paha kirinya.
Sementara Koreyuki terburu-buru memasang sebatang lagi
anak panah ke busurnya, Tametomo menembakkan anak
panahnya, yang langsung menembus paha Koreyuki dan
menancap di pelananya dalam sekejap mata memakunya.
Para prajurit Koreyuki dengan sigap menangkapnya ketika
dia limbung dan terjatuh dari kudanya Keduanya
memanggul Koreyuki dan kembali ke pasukan mereka
secepat kaki mereka bisa berlari.
Kuda yang telah kehilangan penunggangnya, bersimbah
darah, berlari liar di sepanjang tepi sungai ke arah hilir,
tempat pasukan Yoshitomo bersiaga. Beberapa orang
prajurit Yoshitomo berlari menyongsong si kuda gila karena
khawatir binatang itu akan mengamuk di tengah-tengah
pasukan mereka. Terdengar teriakan- teriakan Tangkap
kuda itu, tangkap kuda itu, tarik tali kekangnya! hingga
mereka akhirnya bisa menangkapnya; kemudian, mereka
menemukan sebuah pijakan kaki yang lengket oleh darah
dan sebuah mata panah besar yang tertancap di pelana.
Lihat, bukankah ini sebuah mata panah? Siapakah
pemilik panah sedahsyat ini?
Tentunya itu milik Genji Tametomo.

Salah seorang pelayan Yoshitomo membawa kuda itu


kepadanya dan berkata, Tuan, lihatlah ini! Saya sudah
pernah mendengar tentang anak panah semacam ini,
namun tidak pernah percaya akan melihatnya.
Yoshitomo, bagaimanapun, tidak tampak terkesan. Dia
tersenyum tipis, seolah-olah mengasihani Masakiyo atas
keluguannya. Ayolah, Tametomo masih remaja dan tidak
akan sanggup menarik busur
sekuat itu. Menurutku, ini adalah tipuan licik untuk
menakut-nakuti kita. Masakiyo, aku akan membagi
pasukan kita menjadi dua bagian dan salah satunya
bertugas menyerang gerbang Tametomo
Masakiyo, beserta dua ratus orang prajurit berjalan kaki
menuju sebuah gerbang di tembok barat Mengerahkan
seluruh keberaniannya untuk menantang Tametomo, yang
langsung meladeni panggilannya.
Ternyata kau Masakiyo, pelayan Tuan Yoshitomo. Apa
kau datang untuk menawarkan diri menjadi sasaran anak
panahku?
Sesaat, Masakiyo tampak gentar, namun dia berhasil
menghimpun ketenangan dan menjawab dengan gagah,
Saya adalah salah satu pengikut setia Kaisar. Tugas saya
adalah membunuh pengkhianat! Bersama kata-kata itu, dia
menembakkan anak panahnya, lalu cepat-cepat kembali ke
pasukannya. Anak panah itu menancap di pelindung leher
di helm Tametomo. Pemuda itu mencabutnya dan
membantingnya ke tanah, lalu berseru lantang, Jadi, kau
berani menghinaku, Masakiyo? Aku akan menangkapmu
dengan tangan kosong agar bisa memandang wajahmu dan
melihat siapa dirimu yang sesungguhnya.
Tametomo mengejar Masakiyo, yang memacu kudanya
sambil memekik-mekik ngeri. Tametomo, mengempit

busurnya dengan satu lengan dan melambai dengan


lengannya yang lain, terus memacu kudanya untuk
mengejar Masakiyo hingga teriakan panik para prajuritnya
mendorongnya untuk segera kembali ke posisinya.
Yoshitomo, yang mengamati kejadian itu dari kejauhan,
melihat adiknya mundur. Dia segera memerintahkan lima
orang anak buah terbaiknya untuk berkuda bersamanya ke
pos Tametomo, dengan mengatakan, Busur Tametomo
bagus untuk pertempuran di laut, namun kemampuan
berkudanya lebih lemah daripada kita.
Matahari telah tinggi di langit, dan nyanyian jangkrik
terdengar dari sela-sela pepohonan musim panas.
Tametomo berputar ketika mendengar seseorang berseru
di belakangnya dan menyongsong para penunggang kuda
yang menghampirinya. Seorang samurai yang menunggang
kuda hita dengan penampilan yang menunjukkan
kedudukannya sebagai panglima perang, menghadangnya.
Panglima itu mengenakan helm bertanduk dan baju zirah
klan Genji.
Aku Genji Yoshitomo, hadir atas nama Kaisar.
Siapakah dirimu yang telah berani mengangkat pedang
kepada penguasa yang sah? Jika kau berasal dari klan yang
sama denganku, turunkanlah senjatamu dan bubarkanlah
pasukanmu. Aku memperingatkanmu demi kepentinganmu
sendiri.
Tametomo menatap lekat-lekat wajah kakaknya dan
berseru Ketahuilah siapa diriku. Aku adalah putra Genji
Tameyoshi, yang siap sedia memenuhi panggilan
pengayomnya, dan aku tetap setia mengawal ayahku dalam
keadaan hidup dan mati. Aku bukan anak yang tak tahu
diuntung karena melupakan ayahnya demi kecintaan pada
ketenaran. Aku bukan bajingan, dan aku, Tametomo, akan

melawan setiap anjing atau siapa pun yang menyebut


dirinya musuhku.
Kau berani mengatakan itu kepadaku, Tametomo? Ya.
Mulutku telah berhari-hari gatal karena ingin mengatakan
itu kepadamu.
Apakah kau, adikku, berani melawanku? Apakah kau
menolak untuk mengakui kepemimpinan sah Kaisar? Jika
kau menghormati beliau dan menghargai jalan kebajikan,
turunkanlah busurmu dan bersujudlah di hadapanku.
Aku mungkin bersalah karena melawan kakakku
sendiri,
namun apakah sikapmu yang melawan ayahmu sendiri
itu bisa dibenarkan?
o0odwkzo0o
Jalan berlajur tiga di sepanjang tembok barat dan utara
Kuil Hoshogon-in di antara Shirakawa dan Kamo menjadi
medan sebuah pertempuran paling berdarah hari itu. Di
seberang jalan, seruas sungai berkelok-kelok melewati
sebentang tanah datar,
hanya dipotong oleh sebuah hutan kecil yang melingkari
atap- atap dan menara-menara Kuil Shichikatsu-ji, dengan
latar belakang kaki Gunung Hiei. Di sana, kedua belah
pihak bertempur hingo titik darah penghabisan, dan
pertempuran terus berlangsung bahkan hingga matahari
tenggelam. Di antara gumpalan debu yang mengaburkan
pandangan, Tametomo sesekali bisa melihat kakaknya,
Yoshitomo, yang tampak mencolok dalam balutan baju
zirah Genjinya, dan kerap tergoda untuk menembakkan
anak panahnya ke sosok tangguh itu. Walaupun
kedengarannya tidak masuk akal, Tametomo ingin
memercayai bahwa sebuah kesepakatan rahasia telah dibuat

oleh ayahnya dan Yoshitomo, dan siapa pun yang menang


akan mengampuni pihak yang kalah. Tametomo tidak
menggunakan busurnya kecuali jika ditantang, dan dia
menyadari bahwa kakaknya pun begitu. Tetapi, tidak gentar
pada panah mematikan Tametomo, para prajurit
Yoshitomo menyerang dengan membabi buta tanpa
memedulikan kawan maupun lawan.
Walaupun dua puluh tiga orang penunggang kuda
terbaik di pasukan Tametomo telah terbunuh dan sisanya
terluka, lima puluh tiga orang prajurit terbaik Yoshitomo
tewas dan sekitar delapan puluh orang lainnya terluka.
Mayat-mayat bersimbah darah bergelimpangan di medan
perang sementara pertempuran terus berlangsung. Yakin
bahwa nasib baik sedang menaunginya, Tametomo
memanggil anak buahnya:
Aku akan menggertak panglima mereka dengan anak
panahku, dan setelah mereka mulai mundur, kita akan
menyerbu dan mengobrak-abrik pasukan mereka.
Tametomo mengunci jemarinya di busur beratnya dan
menarik talinya.
Ah, apakah ini aman, Tuan? Bagaimana jika ...
Cukup mudah, lenganku masih ingat pada keahliannya.
Tametomo membidikkan anak panahnya ke bintang di
helm Yoshitomo. Gumpalan debu dan senjata-senjata yang
beradu mengaburkan pandangannya, namun dia tetap
menarik napas dalam-dalam dan melepaskan anak
panahnya. Dia menyaksikan a panah itu melesat ke sebuah
titik di helm Yoshitomo, menyerempe sasarannya, dan terus
melesat hingga menancap di salah satu pil^ di gerbang kuil.
Menanggapi tindakan adiknya, Yoshitomo menyair^ tali
kekang dan memacu kudanya dengan murka, berteriak
lantan kepada Tametomo, Benar-benar tembakan parah

dari seseorang yang tidak tertandingi keahliannya di


Kyushu!
Tidak, tidak, kau mungkin musuhku, namun hatiku
mengatakan bahwa kau adalah kakaku, dan aku hanya
membidik bintang di helmmu. Namun jika kau
menghendakinya, aku bisa melakukan yang lebih baik,
jawab Tametomo.
Terbakar amarah, Tametomo kembali memasang
sebatang anak panah ke busurnya, ketika salah seorang
pelayan Yoshitomo, yang mengkhawatirkan keselamatan
majikannya, tiba-tiba menghambur seraya mengacungkan
lembing ke kaki kudanya. Pekikan memilukan terdengar;
darah dan debu bercampur ketika prajurit itu roboh dengan
leher terkoyak oleh anak panah Tametomo.
Kedua belah pihak telah melebur dalam sebuah
pertempuran satu lawan satu hingga titik darah
penghabisan. Perwira Tametomo telah tumbang, dan hanya
ada beberapa orang prajurit yang dibawanya dari Kyushu
yang masih bertahan, karena keahlian Tametomo
menggunakan busurnya tidak terlalu berarti jika
dibandingkan
dengan
pasukan
Yoshitomo
yang
berkekuatan jauh lebih besar. Hari dengan cepat menjadi
gelap meskipun malam baru akan turun beberapa jam lagi,
dan di balik asap hitam yang menyelimuti mereka, matahari
dapat terlihat di langit barat bagaikan
sebuah cakram perunggu.
Beberapa saat sebelumnya, Yoshitomo telah mengirim
kurir ke Istana Kekaisaran dengan pesan, Melihat keadaan
saat ini, kita telah berada di atas angin. Saya tidak bisa
menjamin apa yang akan terjadi jika bantuan kekuatan di
pihak musuh tiba malam mi; pertempuran mungkin akan
meluas hingga ibu kota. Kita hanya a bisa menang dengan

membumihanguskan Istana Shirakawa. Kendati tidak


menghendaki pembakaran terhadap bangunan-bangunan
suci yang berada di dekat tempat ini dan menyaksikannya
hancur lebur menjadi abu, untuk menyelamatkan penduduk
ibu kota dari nasib serupa, saya menantikan perintah untuk
melanjutkan
tindakan.
Jika
diperintahkan
untuk
melanjutkan pertempuran, maka itulah yang akan kami
laksanakan.
Jawaban yang diterima oleh Yoshitomo menyatakan
bahwa dia harus mengambil tindakan terbaik menurutnya.
Maka, para prajuritnya memilih sebuah bangunan di dekat
Istana Shirakawa dan membakarnya. Hujan tidak turun
selama beberapa hari sehingga semuanya sekering kayu
bakar; angin barat yang bertiup kencang menyebarkan api
ke istal dan ruang pelayan di bagian selatan Istana, dan
dalam sekejap, bagian utara Istana juga telah berselimut
asap.
Mereka telah melakukannya! Pembakaran lebih
menakutkanku daripada pasukan Yoshitomo. Dia tahu
betul cara memperoleh kemenangan. Tametomo berdiri
terpaku di medan laga tempat para prajuritnya
bergelimpangan di sekelilingnya dan memandang api yang
menjangkau langit, tertawa putus asa. Dia memang tidak
mengenal rasa takut, namun aku mengkhawatirkan ayahku
yang renta. Kita harus mencari cara untuk mundur dengan
selamat
Mengumpulkan para prajuritnya yang masih bertahan,
Tametomo memacu kudanya meninggalkan medan laga di
tengah-tengah hujan anak panah.
Tameyoshi dan kelima putranya yang lain berhasil
mempertahankan tembok barat dan selatan Istana
sepanjang hari itu, namun Tadamasa, yang menjaga
tembok timur, harus meminta bantuan beberapa kali ketika

musuh berhasil mendobrak masuk. Dia telah kehilangan


hasrat untuk bertempur karena kekalahan sepertinya sudah
tidak terhindarkan lagi. Api melalap tembok Istana dan
menyebar tanpa kenal ampun dari pohon ke pohon,
mendekat dan melalapkan asap hitamnya ke Istana.
o0odwkzo0o

Bab XVI-PEDANG DAN ANAK PANAH


Pekikan-pekikan perang para prajurit dan desingan
panah menghampiri gerbang-gerbang Istana Shirakawa
bagaikan badai. Jeritan putus asa terdengar dari sejumlah
ruangan di dalam Istana, dan langkah-langkah kaki yang
sigap bergema di sepanjang lorong- lorongnya.
Selamatkan nyawamu ... selamatkan nyawamu ...
sekarang!
Yang Mulia! Beliau harus dilarikan.
Musuh telah tiba di gerbang! Jangan sampai kita
kehilangan waktu! Sekarang waktunya meloloskan diri,
atau kita akan terbakar hidup-hidup di sini!
lyehiro dan putranya menghambur memasuki deretan
ruangan tempat Mantan Kaisar Sutoku dan para
pengiringnya yang kebingungan duduk ketakutan.
Ke gerbang kecil di utara ... kita bisa keluar dari sana.
Sekarang juga
Yorinaga, tersadar dari keterpakuannya, memohon,
lyehiro, lyehiro, selamatkan kami!
Ujung sebuah langkan, yang melingkari bagian Istana
itu, tiba- tiba terlalap api. Sesaat kemudian, asap tebal yang
menyesakkan napas menggulung ke bawah, menelan bulat-

bulat semua orang dan kuda yang dilewatinya. Mantan


Kaisar Sutoku, yang bergegas menaiki kudanya,
berpegangan erat-erat ke pelananya, tidak berdaya dalam
menenangkan tunggangannya yang panik, hingga seorang
juru tulis muncul di belakangnya dan mendorong kudanya
menuju salah satu gerbang. Yorinaga menyusul bersama
seorang pejabat istana yang membonceng di belakangnya.
Api menggemuruh dan melalap labirin bangunan di bagian
utara Istana; menghanguskan pepohonan dan menimbulkan
hujan bara. Panas yang tidak tertahankan
mendatangkan angin puyuh yang melontar-lontarkan
manusia dan kuda ke sana kemari.
Ketika memacu kudanya melewati salah satu gerbang
kecil, Yorinaga mendadak mengeluarkan jeritan memilukan
dan
terjatuh
dari
pelananya,
menyeret
kawan
seperjalanannya bersamanya. Para penunggang kuda
lainnya berhenti untuk melihat apa yang terjadi dan
mendapati Yorinaga berkelojotan kesakitan, sebatang anak
panah menancap di lehernya; darah memancar dari
lukanya, dengan cepat membasahi seluruh kimono berburu
biru mudanya.
Cepat ... cabut anak panahnya! para pejabat istana
saling menyuruh, namun tidak seorang pun bertindak
hingga seorang ajudan menghampiri mereka.
Kita tidak punya banyak waktu! Jika musuh
menemukan kita, semuanya tamat, serunya. Kemudian,
pria itu berlutut dan mencabut anak panah yang menancap
di
leher
Yorinaga,
menyumbat
lukanya,
dan
memerintahkan dua orang pegawai istana untuk
memindahkan sang menteri ke sebuah gubuk petani di
dekat Istana dan meninggalkannya di sana.

Mantan Kaisar Sutoku, sementara itu, telah tiba di kaki


Perbukitan Timur, tempatnya meninggalkan kudanya dan,
ditemani oleh Genji Tameyoshi, Tadamasa, dan beberapa
orang pejabat istana, dengan susah payah berjalan kaki
menembus semak belukar. Letih dan pegal, Sutoku
mengeluh kehausan. Para pengikutnya yang masih
dirundung kepanikan, bagaimanapun, tidak berhasil
mendapatkan air di bagian bukit itu karena musim kemarau
panjang telah mengeringkan mata air yang ada di sana.
Tetapi, mereka tiba? tiba mendengar sebuah suara dari
belakang mereka.
Ini, ini air untuk Yang Mulia. Saya membawakan air
untuk Y Mulia.
Para pengiring Sutoku terkejut melihat seorang pria
dengan susah payah menembus semak belukar tebal dan
menghampiri mereka. Dia adalah Asatori, juru kunci Mata
Air Dedalu, yang segera bersujud di hadapan Sutoku.
Ini adalah air dari Mata Air Dedalu, Yang Mulia, kata
Asatori mengulurkan sebuah bumbung bambu hijau dengan
tangan gemetar
Sutoku menatap Asatori dengan takjub. Juru kunci
Mata Air Dedalu!
Asatori membungkuk dalam-dalam.
Asatori!
Yang Mulia, bumbung bambu ini mungkin mengubah
rasanya, namun air ini saya ambil dari mata air yang telah
menjadi sumber air minum Yang Mulia sejak empat belas
tahun terakhir ini
Tetapi, bagaimana ... apa alasanmu melakukan
perjalanan sejauh ini demi membawakan air untukku?

Semua ini terasa bagaikan mimpi sekarang, namun baru


kemarin lusa pasukan Kaisar menduduki Istana Mata Air
Dedalu, dan pertempuran pecah di sana. Kendati bertekad
untuk tetap tinggal di sana dan menjaga mata air, api
mengusir saya.
Asatori berbicara dengan terburu-buru karena melihat
para pengiring Mantan Kaisar sudah tidak sabar ingin
melanjutkan perjalanan.
Asatori, aku akan meminum air yang kaubawa dalam
kebaikan hatimu ini Mendekatkan bumbung bambu itu
ke bibirnya, Mantan Kaisar minum dengan nikmat Air ini
sungguh menyegarkan. Semanis embun surga! katanya,
mengembalikan bumbung yang belum sepenuhnya kosong
kepada Asatori. Simpanlah sisanya, karena air ini terlalu
berharga untuk dibuang.
Malam tiba, namun tidak ada waktu beristirahat bagi
buronan karena pasukan Kaisar telah menyebar di
perbukitan untuk mencari mereka. Terlalu lelah untuk
memedulkan apa yang tenjadi, Sutoku memohon kepada
para pengiringnya untuk menanggalkannya menyuruh
mereka menyelamatkan diri mereka masmg-masmg.
Namun
Tameyoshi,
dengan
mata
berkaca-kaca
menenangkannya Kami tidak bisa meninggalkan Anda
sendiri Yang Mulia. Anda harus berusaha bertahan hingga
beberan han ke depan. Sungguh pedih hati saya melihat
Yang Mulia har^ mengalami kesusahan seperti ini. Saya
yakin bahwa kita akan sesera menemukan jalan raya
menuju Omi. Setibanya di sana, kita bisa memutuskan apa
yang akan kita lakukan untuk menebus kekalahan
Sebelum mereka terdesak dan terpaksa mundur,
Tameyoshi telah membahas sebuah rencana bersama
Yorinaga. namun ketika itu, sang menten dengan yakin
menyanggahnya. Tameyoshi berencana untuk, seandainya

upaya kudeta mereka gagal, mencapai sisi timur Gunung


H,e. dan menyeberangi Danau Biwa menuju Omi, yang
terletak d. sisi lain danau. Di sana, Tameyoshi yakin bahwa
mereka akan mendapatkan perlindungan dari klan Genji.
Dia yakin bahwa mereka akan mendapatkan tambahan
kekuatan yang cukup untuk melakukan serangan balasan.
Jika rencana ini gagal, Tameyoshi berpikir untuk pergi lebih
jauh ke timur, ke Dataran Kanto di wilayah Sagami, daerah
yang dihuni oleh begitu banyak cabang klan Genji. Di sana,
dia akan menghimpun sebuah pasukan yang akhirnya akan
mengembalikan Sutoku ke singgasananya. Tameyoshi
menyampaikan seluruh rencana tersebut kepada Mantan
Kaisar, namun Sutoku mengaku bahwa dirinya telah putus
asa dan hanya berharap untuk ditinggalkan bersama dua
orang pengiring, sementara yang lain boleh melarikan diri
demi keselamatan mereka masing-masing.
Sepuluh orang pengiring Sutoku dalam pelariannya
menerima pembebasan tugas mereka. Dua orang pengiring
yang paling akhir meninggalkan Sutoku adalah Tameyoshi
dan Tadamasa, yang bertolak secara terpisah menuju
Gunung Hiei sebelum fajar merekah
Oleh kedua orang pegawai istana yang menemaninya.
Sutoku d,desak untuk mengejar keselamatannya dengan
masuk lebih dalam ke hutan, namun Mantan Kaisar yang
kelelahan menolak sara mereka. Bunyi gemerisik yang
mendadak terdengar dari semak belukar di dekat mereka
mengagetkan ketiganya. Sebuah suL terdengar:
Yang Mulia, izinkanlah saya menggendong Anda di
punggung saya dan menolong Anda dalam pelarian ini,
karena jalan di depan kita sangat gelap dan curam.
Asatori! Apa yang membawamu datang kemari lagi?
Mengapa kau tidak pergi menyelamatkan diri bersama yang
lain?

Saya juga harus mencari tempat persembunyian, namun


izinkanlah saya untuk menyertai Yang Mulia hingga
beberapa hari ke depan.
Asatori membungkuk dan menawarkan kepada Sutoku
agar naik ke punggungnya.
Kabut tebal menggelayuti puncak-puncak bukit, namun
di kejauhan, langit di atas Kota Kedamaian dan
Ketenteraman masih memendarkan cahaya merah dari api
yang melalap sebagian ibu kota. Menjelang fajar, ketika
Sutoku masih terlelap, Asatori menyelinap pergi. Dia
kembali beberapa waktu kemudian dengan membawa
bahan makanan yang didapatkannya dari seorang pertapa
yang tinggal di dekat tempat itu.
lyehiro, yang telah melakukan penjagaan sepanjang
malam, mengatakan, Mustahil untuk memasak sesuatu di
sini karena asapnya akan terlihat oleh musuh kita. Baru
beberapa saat yang lalu, kurasa aku mendengar suara-suara
prajurit di dekat kita. Yang Mulia rupanya berharap untuk
menjalani upacara penahbisan, namun tidak ada seorang
pun yang bisa membimbing beliau di sini. Bisakah kau
mencari sebuah tandu untuk membawa beliau hingga kita
menemukan seorang pendeta?
Bersama Mitsuhiro, Asatori pergi ke sebuah dusun dan
segera kembali membawa sebuah tandu reyot lyehiro dan
Mitsuhiro melepas baju zirah dan berbagai atribut mereka,
menggulung lengan dan mengangkat ujung kimono mereka
agar sebisa mungkin terlihat seperti pelayan. Hari itu juga,
mereka memanggul tandu Sutoku menuruni bukit menuju
ibu kota. Kabar bahwa pertempuran telah berakhir
mengundang para pengungsi untuk berduyun-duyun pulang
dari perbukitan dan dusun-dusun di sekitar ibu kota, dan
tandu Sutoku menyaru di tengah-tengah masyarakat tua
dan muda yang kembali ke ibu kota.

lyehiro dan Mitsuhiro, yang tidak terbiasa memanggul


tandu, tersaruk-saruk di jalan yang berdebu, tubuh mereka
basah kuyup oleh keringat untuk mencari kediaman
Nyonya Awa. Setibanya di kediaman bangsawan itu,
mereka mendapati gerbangnya terkunci rapat dan tidak ada
tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Dari sana, mereka
melanjutkan perjalanan menuju kediaman Penasihat
Norinaga dan mendapati bahwa bangunan itu terbengkalai,
karena Norinaga, kata seorang pejalan kaki yang
berpapasan dengan mereka, telah menjalani upacara
penahbisan sebelum perang pecah dan pergi ke tempat yang
tidak diketahui oleh siapa pun. Kemudian, mereka
mengetuk gerbang seorang wanita baik hati yang pernah
mengabdi kepada Sutoku, namun tidak seorang pun keluar
untuk menyambut mereka; yang terlihat oleh mereka
hanyalah seekor anak kucing yang tidur meringkuk di
bawah serumpun semak Dari timur ke barat mereka
menyusuri ibu kota, mencari tempat mengungsi, namun siasia saja. Berkali-kali, mereka melewati rumah-rumah besar
tempat sorak sorai kemenangan terdengar. Senja telah tiba
ketika lyehiro teringat pada sebuah kuil kecil yang mungkin
akan menerima mereka; sekali lagi, mereka memanggul
beban mereka dan meneruskan perjalanan. Mereka
menemui seorang pendeta tua, kerabat dari salah seorang
pelayan lyehiro, yang menyajikan semangkuk bubur
gandum kepada Sutoku dan kemudian mencukur kepalanya
di bawah temaram cahaya lentera.
Keesokan harinya, lyehiro dan Mitsuhiro membawa
Sutoku ke Kuil Ninna-ji, tempat adiknya menjadi kepala
biara. Sang kepala biara sedang pergi, dan para pelayannya
menolak untuk menerima mereka namun, atas desakan
Sutoku, mengizinkan mereka untuk berteduh di salah satu
pondok. Di sini, kedua pengiring Sutok akhirnya
meninggalkannya dan masing-masing bertolak ke tujuan

yang tidak mereka ketahui di sebuah provinsi yang berjarak


jauh dari ibu kota.
o0odwkzo0o
Pembumi hangusan Istana Shirakawa disusul oleh
pembakaran terhadap kediaman para bangsawan yang
berpihak kepada Mantan Kaisar. Selama empat hari dan
empat malam, udara di ibu kota sesak oleh asap. Tetapi,
gerimis turun pada malam kedua dan hujan deras melanda
ibu kota pada hari ketiga. Malam itu, sebuah perahu yang
penuh dengan muatan kayu bakar terlihat menyusuri
Sungai Katsura dan berhenti di mulut sungai untuk menanti
hujan dan angin mereda. Beberapa sosok gemetar, duduk
berselimut tikar di dasar perahu, berkerumun dalam
keadaan basah kuyup dan merana, dan sesekali terdengar
erangan dari seseorang yang terbaring telentang di atas
palang-palang perahu.
Apakah kita sudah sampai di Uji? Berapa lama
lagikah perjalanan ini? Yorinaga hanya sanggup
membisikkan pertanyaannya.
Harapan terakhir Yorinaga yang sedang sekarat adalah
menemui ayahnya di Uji.
Tidak ada yang mengganggu perjalanan lambat menuju
Uji itu selain tatapan tajam burung-burung pemakan ikan di
sepanjang sungai. Dari waktu ke waktu, Yorinaga
mengerang
ketika
seseorang
memeganginya
dan
menempelkan kayu obat membara pada luka di lehernya.
Sejauh
ini,
perawatan
itu
telah
menghentikan
perdarahannya dan mencegah belatung berkembang biak di
luka terbuka yang terpapar udara musim panas itu. Asap
dupa dan kayu
obat mengepul-ngepul di udara, sementara Yorinaga,
yang teria dari tidurnya, merintih-rintih kesakitan. ,aga

Ketika mereka akhirnya tiba di Uji, Tadazan* ternyata


telah melarikan diri ke Nara. Maka, Yorinaga pun memulai
perjalanan lambat dengan tandu kayu ke Kuil Kofukuji di
Nara, dan tiba di sana pada malam hari tanggal 14. Kabut
menyelimuti hutan kecil di sekeliling Tempat Pemujaan
Kasuga dan Kolam Sarusawa. Tidak seberkas cahaya pun
terlihat dari biara-biara di sekelilingnya.
Dua orang pejabat istana yang menyertai Yorinaga
mengetuk gerbang Kuil Kofukuji. Jawaban terdengar dari
dalam, dan beberapa orang samurai dan seorang pendeta,
yang bersenjata lengkap keluar. Setelah membisikkan
penjelasan. Toshinari dipersilakan masuk seorang diri.
Ayah Yorinaga masih terjaga dan segera keluar.
Toshinari segera menceritakan kepadanya tentang apa
yang telah terjadi dan bagaimana mereka membawa
Yorinaga kemari. Tetapi, laporan mengenai kekalahan
memalukan Yorinaga telah didengar oleh Tadazang.
Kecuali getaran singkat dagu berjanggut putihnya, tidak ada
emosi yang terlihat di wajahnya, tidak ada tanda-tanda
bahwa dia menyambut hangat kedatangan putra yang
dicintainya dengan begitu buta.
Akhirnya, dia berkata, Astaga, Toshinari, aku tak hentihentinya memikirkan mengapa majikanmu bisa berakhir
seperti ini! Tidak ada gunanya bertemu dalam keadaan
semenyedihkan ini. Toshimaru, aku berpesan kepadamu
untuk membawa Yorinaga ke suatu tempat di mana orang
lain tidak bisa melihat atau mendengarnya.
Setelah selesai berbicara, tubuh kurus Tadazane
terguncang- guncang dalam isakan. Dengan melindungi
putranya, dia akan menyeret istri, anak-anak, dan kerabat
Yorinaga ke dalam penahanan yang berujung pada
hukuman mati.

Toshinari keluar dengan kekecewaan mendalam. Tandu


masih berdiri berselimut kabut di tempat dia
meninggalkannya. Dia membungkuk di atas Yorinaga yang
sedang
merintih
kesakitan
dan
perlahan-lahan
menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Tadazane.
Apa! ... ayahku?
Tandu bergoyang ketika Yorinaga berjuang untuk duduk.
Beberapa patah kata diucapkannya dengan terbata-bata,
diakhiri oleh bunyi tercekik dari tenggorokannya. Tandu
kembali bergoyang, disusul oleh keheningan yang
mencekam. Toshinari dan kawannya memanggil- manggil
Yorinaga, namun tidak ada jawaban yang terdengar. Ketika
mereka memeriksanya, Yorinaga ternyata telah tewas. Dia
menggigit lidahnya sendiri hingga putus. Khawatir pihak
yang berwenang akan menangkap mereka, keduanya
memanggul tandu menuruni Bukit Nara selagi hari masih
gelap dan berhenti di sebuah tanah lapang. Di sana, mereka
menggali sebuah lubang dan menurunkan tandu beserta
Yorinaga di dalamnya ke sana. Sebelum menimbun
kuburan tersebut, Toshinari memotong ikatan rambutnya
dan melemparkannya ke mayat Yorinaga untuk
menandakan bahwa dia telah meninggalkan dunia.
Beberapa orang kawannya mengikuti tindakannya, sebelum
saling berpamitan dan bertolak ke arah yang berlainan.
o0odwkzo0o
Suasana ibu kota dengan cepat kembali normal,
walaupun perburuan besar-besaran terhadap para
pengkhianat terus berlanjut. Begitu masuk melalui salah
satu dari tujuh jalan utama menuju Kyoto, setiap
pelancong, yang tidak tahu-menahu tentang peristiwa yang
baru saja terjadi, waswas melihat batas kota yang dipenuhi
oleh petugas dan banyak peraturan baru diterapkan di kota.
Segera setelah terdengar kabar mengenai Sutoku yang telah

menjalani upacara penahbisan dan Yorinaga yang tewas


karena lukanya, rumor tertentu mulai menyebar dengan
cepat di seluruh ibu kota. Desas-desus tersebut mengatakan
bahwa siapa pun yang langsung menyerahkan diri kepada
pihak yang berwenang akan dianggap sebagai korban
pemaksaan dan diampuni kesalahannya; bahwa para
pemimpin kudeta yang lain akan mendapatkan hukuman
ringan, Janji-janji yang tidak tidak diketahui sumbunya daa
tidak ditegaskan dengan pernytaan resmi itu ternyata
berhasil menggiring para bangsawan dan pejabat istana
untuk keluar dari tempat persembunyian mereka. Sejumlah
besar prajurit, bersama pengikut Yorinata yang lain,
menyerahkan diri setiap hari dan dijebloskan ke penjara
tempat jeritan para tahanan yang disiksa menggunakan api
dan air terdengar dari tembok tingginya.
Korekata, Panglima Pengawal Golongan Kanan,
ditunjuk meniadi hakim kepala dan bertugas memimpin
pengadilan, tempat, catatan kejahatan telah menumpuk.
Wajah para pejabat dan pegawai istana seketika pucat pas,
ketika bukti yang ditunjukkan di pengadilan tidak hanya
menegaskan tentang pemberontakan tetapi juga secara tidak
langsung menggiring kecurigaan kepada orang-orang yang
bersekongkol untuk mengakibatkan kematian Konoy6, sang
Kaisar- kecil.
Sekarang telah jelas terlihat bahwa dalang yang dengan
lihai menggerakkan dan menjalankan berbagai urusan
kenegaraan adalah Penasihat Shinzei; pejabat pendiam dan
bijaksana yang telah bertahun-tahun menenggelamkan diri
ke dalam pekerjaannya dan lolos dari pengamatan
Yorinaga. Sekarang, Shinzei, akhirnya melejit ke posisi
yang begitu dekat dengan singgasana. Dialah yang
memerintahkan perburuan besar-besaran terhadap para
pengkhianat; jika diusut secara cermat, dia pulalah yang

mulai menyebarkan desas-desus tentang pengampunan; dan


ketika tiba waktu untuk memberikan penghormatan kepada
orang-orang
yang
berperan
dalam
menumpas
pemberontakan, Shinzei pulalah yang menyusun daftar
penerimanya.
Kepada Yoshitomo dianugrahkan, kata banyak orang,
hadiah yang terbesar, yaitu jabatan sebagai Juru Kunci Istal
Kekaisaran ... sebuah jabatan yang belum pernah terdengar
di kalangan samurai. Bagaimanapun, sebagian orang
percaya bahwa Kiyomorilah yang menerima hadiah
terbesar: jabatan gubernur di Provinsi Harima dan gelar
Tuan Harima, karena wilayah yang berhadapan dengan
Laut Dalam itu pernah dipimpin oleh ayahnya dan dihuni
oleh banyak anggota klan Heike. Bahwa sebuah
kesepakatan telah dibuat diam-diam oleh Shinzei dan
Kiyomori terpikir oleh beberapa orang yang mengetahui
kedekatan hubungan mereka. Mereka tahu Shinzei
mengandalkan kekuatan samurai sedangkan Kiyomori terus
memegang teguh teman yang memiliki kekuasaan di Istana
demi klan Heik6. a
o0odwkzo0o
Sebelum sempat melepas baju zirahnya dan tidur dengan
nyenyak malam itu, Kiyomori telah mendapatkan perintah
untuk membawa tiga ratus orang prajurit melintasi Gunung
Hiei menuju Otsu dan Sakamoto yang terletak di dekat
Danau Biwa guna mencari dan menahan Tameyoshi
beserta anak-anaknya. Para mata-mata melaporkan bahwa
Tameyoshi bersembunyi di sebuah kuil di sisi lain Gunung
Hiei dan sedang menantikan saat yang tepat untuk
menyeberangi danau agar bisa melarikan diri ke timur
melewati jalan raya Tokaido. Tetapi, penyisiran di Kuil
Mii-dera dan lingkungan sekitarnya tidak membuahkan
hasil apa pun; jejak para buronan juga tidak bisa ditemukan

di Otsu ataupun kampung-kampung nelayan di antara Otsu


dan Sakamoto, sehingga Kiyomori memindahkan pencarian
ke Persimpangan Izumi, daerah milik salah satu biara di
dekat situ. Desa kecil itu, yang kedai-kedai tehnya sering
dijadikan sebagai tempat bersantai oleh para biksu, adalah
tempat pendaratan kapal-kapal yang lalu lalang di danau.
Para penghuni rumah- rumah bordil di sana menyambut
gembira kedatangan Kiyomori dan pasukannya yang
hendak melakukan pencarian dari rumah ke rumah.
Kiyomori memanggil dan menanyai para kepala keluarga
dan pemilik rumah bordil. Kemudian, seorang wanita tua
cerewet
muncul, menawarkan informasi.
Nah, saya tidak tahu apakah Tameyoshi ada di antara
mereka atau tidak, tapi seorang nelayan memberi tahu saya
bahwa pada pagi buta tadi, enam atau tujuh orang samurai
berbaju zirah mahal menyeberangi danau menuju Omi.
Sementara Kiyomori menanyai wanita itu. sebuah gong
peringatan mula. dibunyikan, dan teriakan-teriakan liar
terdengar memasuki kampung. Kabar mengenai kedatangan
Kiyomori telah terdengar di biara, dan para biksu telah
menyandang senjata mereka dan berduyun-duyun
menuruni gunung untuk mengusir para pelaku pelanggaran.
Ketika tiba di tempat kejadian. Kiyomori mendapati para
prajuritnya terlibat dalam pertempuran sengit melawan para
biksu. Anak-anak panah berdesingan di udara sementara
para biksu menyerang pasukan Kiyomori dengan tombak
mematikan mereka. Kiyomori segera menarik busurnya dan
membidik seorang biksu bertubuh kekar, ketika sasarannya
tiba-tiba mengangkat kedua tangannya dan berseru:
Ya! Kaukah itu, Heik6 Kiyomori? Tunggu. Tuan
Harima! Jika itu memang benar dirimu, aku tidak mau
melawanmu di sini!

Apa, kau menolak melawanku? Sepengecut itukah


dirimu?
Aku Kepala Biara Jisso dari biara di dekat sini.
Apa?
Sudah lupakah dirimu bahwa kita pernah bertemu
delapan atau sembilan musim panas yang lalu ... pada bulan
Juni ... di kaki Bukit Gion ketika kami berbaris membawa
Altar Sakral ke ibu kota? Hanya ada seorang samurai yang
berani melawan kami dan memanah emblem sakral.
Tentunya kau belum melupakan hari itu!
Itu memang aku, Heike Kiyomori
Sebatang anak panahmu telah berhasil menggiring kami
mundur. Kami bersumpah bahwa pada suatu hari nanti,
akan tiba kesempatan untuk membalas dendam. Ada pula
para biksu yang secara diam- diam mengagumimu, dan aku
adalah salah seorang di antaranya.
Lalu? Aku bersumpah bahwa aku akan berusaha
menemuimu, yakin bahwa kau akan menjadi lawan bicara
yang menarik
Di mana pun kau mau. Kapan pun yang bisa
menyenangkanmu.
Ya, tapi apa alasanmu membuat keributan di sini
Kam, tidak bermaksud membuat keributan Aku mendapat
perintah untuk menangkap Tameyoshi. Situasi ini tak
terhindarkan lagi.
Tarik pasukanmu sekarang juga, kita akan bertemu
suatu hari nanyi.
Terserah apa katamu. Aku malu mengakui, namu
memang bersalah.

Kesal akibat gagal menangkap Tameyoshi dan harus


menghadapi- amukan para biksu pasukan Kiyomori baru
mundur setelah membakar gubuk-gubuk di kampung.h
Setelah dua puluh hari berlalu, semua buronan telah
ditangkap dan dipenjarakan, kecuali dua orang-Genji
Tameyoshi dan Heiki Tadamasa, paman Kiyomori.
Dalam perjalanan menuju Rokuhara, Kiyomori
menghibur diri dengan angan-angan untuk melepas baju
zirahnya dan mandi air hangat, dan setelah itu tidur
nyenyak. Dia baru saja melewati Jembatan Gojo ketika
seorang pendeta berjubah compang- camping dengan wajah
nyaris tertutup sepenuhnya oleh kain dan topi peziarah
lebar mendadak melompat ke arahnya dari balik
pepohonan.
Ah, Tuan Harima, tunggu! Tunggu!
Pria itu melempar tongkatnya saat menubruk Kiyomori
dan memegangi pijakan kakinya. Aku ... ini aku, Tuan
Harima, pamanmu!
Apa? Kiyomori memekik kaget dan cepat-cepat
memerintahkan kepada para prajuritnya untuk bersiaga.
Dia menghentikan kudanya dan menatap bingung kepada
sosok mengenaskan itu, nyaris tidak memercayai
pendengarannya. Tinggalkan aku di sini. Pergilah ke
bawah pepohonan di sana dan tunggu aku, perintah
Kiyomori kepada para prajuritnya.
Si pendeta berlutut sambil memegangi pijakan kaki
Kiyomori, menangis terisak-isak, Oh, keponakanku, ini
pamanmu, Tadamasa. Selamatkan aku! Aku memohon
kepadamu, darah dagingku sendiri, untuk mengampuniku.
Aku mendatangimu, harapan terakhirku Tuan Harima,
keponakanku sendiri, selamatkan aku! Oh, selamatkan
aku.

Lepaskan aku! Kiyomori tidak memiliki paman. Kau


tidak punya alasan untuk menyebutku keponakanmu.
Apa maksudmu? Bukankah aku saudara kandung
ayahmu?
Bukankah Heik6 Tadamasa, pada musim panas
sembilan tahun yang lalu, ketika aku berangkat untuk
menghadapi
para
biksu
dari
Gunung
Hiei,
mengkhawatirkan keselamatannya sendiri dan
memutuskan seluruh ikatan darah dengan keluarga
Heike?
Ah, tapi itu kejadian bertahun-tahun yang lalu
Kau tidak punya harga diri ketika itu, dan sekarang pun
sama saja.
Aku telah salah langkah .Aku membuat kesalahan
terbesar di dalam hidupku ketika membiarkan Menteri
Yorinaga menyeretku ke dalam persekongkolan yang
didalanginya. Aku menarik kembali ucapanku yang telah
memutuskan seluruh ikatanku dengan keluarga
Sesal kemudian tidak ada gunanya. Aku tidak
menerima alasan apa pun. Kau adalah seorang penjahat
biasa ... seorang pengkhianat
Apa kau tega melihatku ditangkap dan dihukum mati?
Mengapa kau tidak menyerahkan diri saja? Aku tidak
punya urusan denganmu. Perintah yang kudapatkan adalah
menangkap semua pemberontak Tugasku adalah
menyerahkanmu kepada pihak yang berwenang.
Kau berhati batu! Ah ...
Menjauhlah dari pandanganku! Pergilah ke mana pun
kau mau! Pergilah, atau aku akan menahanmu.

Tidak, tidak! Aku sudah berhari-hari bersembunyi di


perbukitan tanpa memiliki sedikit pun makanan, dan aku
telah bersusah payah meloloskan diri dari para penjaga di
persimpangan untuk menunggumu di sini. Jika aku pergi ke
tempat lain, pasukan lain pasti akan menangkapku .Ya,
kau, Tuan Harima, seharusnya menghukumku dengan
memenggal kepalaku!
Mengapa kau memilihku untuk menjadi algojomu?
Men kau tidak menyerahkan diri kepada pihak yang
berwenang saja?^ itu terlalu memalukanmu, lebih baik
cabut sendiri saja nyawam seperti seorang samurai sejati.
Aku tidak akan melakukan keduanya. Aku datang
kemari untuk memohon ampunan dari keponakanku
sendiri. Jika dia menolakk maka tidak akan ada hukum di
langit maupun bumi yang bisa menyelamatkanku. Aku
memilih untuk dipenggal oleh keponakank Itulah
permintaan terakhirku. Mari, Tuan Harima, tebaskan
pedangmu! Penggallah kepalaku!
Pamanku yang ini memang menyusahkan, pikir
Kiyomori. Namun Tadamasa mengetahui betul watak
Kiyomori. Dia telah mengenal Kiyomori sejak masih bocah
ingusan, dan kemudian tumbuh menjadi pemuda melarat.
Dia juga tahu tentang betapa mudahnya keponakannya
tergerak oleh rasa iba, dan Tadamasa telah siap mengambil
keuntungan dari sifat itu. Dia yakin bahwa Kiyomori tidak
akan tega menjatuhkannya. Tadamasa yakin bahwa air
mata akan dengan mudah meloloskannya. Dan, tepat
seperti yang telah diperkirakan oleh Tadamasa, Kiyomori
merasa sepenuhnya tidak berdaya, seolah-olah dirinyalah
yang menjadi korban, bukan pamannya.
Malam itu, dia menyembunyikan Tadamasa di salah satu
bilik di Rokuhara. Malam berikutnya, dia secara diam-diam
menemui Shinzei. Kiyomori, yang biasanya tetap ceria di

hari-hari terberat setelah perang sekalipun, kali ini tampak


letih dan resah. Sesuatu membebani benaknya, dan dia
menatap kosong pada lentera di ruang tamu Shinzei,
menunggu kehadiran sang penasihat.
o0odwkzo0o

Bab XVII-SUNGAI BERDARAH


Heike Kiyomori maupun tuan rumahnya sudah cukup
mabuk gara-gara sake yang dituangkan oleh Nyonya Kii.
Setelah mereka menenggak beberapa cangkir untuk
merayakan kemenangan, Nyonya Kii, yang bisa menebak
arah percakapan di antara keduanya, menyuruh para
pelayan pergi dan melayani mereka seorang diri.
Kau seharusnya memenggal dia. Tidak ada lagi yang
bisa kaulakukan kecuali memenggal dia. Kau tidak akan
bisa menjadi pria sejati jika hatimu tetap lunak, ulang
Shinzei, mengolok-olok Kiyomori yang sedang dirundung
kebimbangan. Kau resah karena Tadamasa adalah
pamanmu, tapi bukankah dia sudah memutuskan ikatan
darah denganmu?
Ya, waktu itu dia mengkhawatirkan dampak dari
peristiwa Altar Sakral, dan langsung memutuskan
hubungan keluarga denganku.
Kalau begitu, dia tidak memiliki urusan apa pun
denganmu.
Tapi, ada ...
Shinzei menatap tajam kepada Kiyomori dengan mata
merahnya, lalu melanjutkan, Ikatan darah ... tapi kupikir
Kaisar Shirakawalah ayah kandungmu, bukan Heike
Tadamori

Ya, aku mendengar tentang hal itu dari ayahku sebelum


beliau peninggal Walaupun aku barangkali adalah putra
Kaisar Shirakawa, pakah yang pernah beliau lakukan
padaku? Tadamori adalah iyahku. Bagaimana mungkin aku
melupakan beliau? Tadamasa adalah saudaranya, dan aku
tidak tega menahannya, apalagi memenggal ikepalanya.
Shinzel tergelak. Kau memang baik hati. Menoleh
kepada istrinya, dia berkata, Adakah orang lain yang resah
gara-gara hal tidak masuk akal semacam itu?
Nyonya Kii menjawab, Sepertinya aku kurang
mengerti. Apakah yang sebegitu memberatkannya?
Baiklah, dengarkan penjelasanku. Kiyomori datang
kemari untuk meratap kepadaku, dan ketika aku
menanyakan apa yang meresahkannya, dia mengatakan
bahwa dirinya siap menanggalkan gelar barunya dan
menyerahkan tanahnya demi kebebasan Heik6 Tadamasa.
Astaga, jadi Heik6 Tadamasa mendatangimu karena
kau keponakannya?
Kiyomori menyembunyikan Tadamasa, lalu setelah
berpikir panjang lebar mendatangiku, memohon kepadaku
agar membersihkan nama Tadamasa. Aku menyebutnya
bodoh. Nah, apa pendapatmu tentang hal ini?
Aku tidak tahu harus mengatakan apa ...
Dirimu sekalipun, seorang wanita, yang pernah
melaksanakan banyak tugas rahasia yang kaubenci demi
memenuhi keinginan Nyonya Bifukumon dan mendiang
Kaisar, semestinya tersenyum melihat betapa cengengnya
kepala klan Heik6 ... si Tuan Harima ini.
Ini berlebihan, Shinzei ... menjadikanku bahan olokolokan mu seperti itu. Seperti yang baru saja kukatakan,
aku telah menetapkan pikiran.

Aku masih bisa melihat jejak keresahan dan keraguan


pada dirimu. Kau kelihatan cukup tenang, tapi aku bisa
melihat tanda-tanda bahwa kau masih gundah.
Tidak ada apa-apa ... ini hanyalah keraguan yang wajar
dihadapi oleh seseorang yang berusia lebih muda. Aku
kesulitan meneguhkan hatiku untuk menyelesaikan masalah
ini
Masalahnya berbeda dalam kasusmu. Tadamasa adalah
seorang pemberontak, dan kau hanya menjalankan perintah
dari Kaisar. Dia tidak punya hak lagi untuk mengaturngaturmu. Tidak ada lagi ikatan darah di antara kalian
Aku tahu itu. Perintah ini harus segera dijalankan. Aku
tidak akan ragu-ragu lagi.
Mengampuninya adalah tindakan bodoh; kau hanya
akan membawa kemalangan kepada dirimu sendiri. Siapa
yang bisa menjamin bahwa jika dia bebas, dia tidak akan
menghimpun pasukan dari klan Heik6 di wilayah-wilayah
lain negeri ini untuk melawanmu?
Benar. Aku tidak akan menjadi pengecut. Jika Kaisar
menghendakinya, maka aku akan melakukannya besok.
Lebih cepat lebih baik, karena jika orang lain
mengetahui bahwa kau menyembunyikan dia, entah apa
yang akan terjadi padamu dan seluruh klan Heik6.
Benar sekali.
Setelah keraguannya menguap, Kiyomori meninggalkan
kediaman Shinzei. Angin sejuk bertiup ke pipinya, namun
sakit kepala yang memualkan sekonyong-konyong
menderanya, menyebabkannya bersempoyongan di atas
pelananya. Kerisauan akibat tindakan yang harus
diambilnya membuatnya ngeri. Seluruh dirinya seakanakan menciut gara-gara pikiran akan memenggal kepala

pamannya sendiri. Kesedihan mendalam menderanya, dan


Kiyomori menggeleng-geleng dan memukuli keningnya
sendiri dengan tangan terkepal untuk melampiaskan rasa
putus asanya. Dia memang terlahir sebagai seorang
pengecut . Sebenci-bencinya dia kepada Tadamasa, ini
bukanlah jalan keluar yang bisa diambilnya.
Tadamasa terlambat bangun keesokan paginya; sinar
temaram matahari pagi telah menerangi bilik pelayan yang
hanya dilengkapi dengan sedikit perabot. Dia mencuci
mukanya dengan larutan obat yang sudah dipersiapkan
untuknya pada saat kedatangannya, lalu menyantap bubur
sisa makan malamnya; yakin bahwa dirinya telah selamat,
Tadamasa tidur dengan nyenyak malam itu. Dia melahap
sarapannya dengan nikmat, dan pikirannya melayang
kepada putra-putranya, yang tercerai berai gara-gara perang.
Di manakah mereka sekarang? Apakah mereka telah
tertangkap atau terbunuh, pikirnya.
Apakah Heike Tadamasa ada di sini?
Tergugah dari lamunannya, Tadamasa menatap heran
kepada seorang samurai ramah berusia awal tiga puluhan
yang memasuki biliknya. Ada kesan akrab di dalam dirinya,
namun Tadamasa tidak melihat kemiripan dengan
Kiyomori.
Suara Tadamasa terdengar melengking ketika dia
menjawab, Aku sendiri. Siapakah dirimu?
Tokitada, ajudan juru tulis di Istana.
Ah, adik Nyonya Harima. Berlawanan dengan
perkiraanku, Tuan Harima telah dengan murah hati
memberiku tempat berteduh. Aku benar-benar tidak
menyangka, Tuan.

Saya mengerti. Seorang samurai harus menjunjung


tinggi-tinggi namanya hingga titik darah yang penghabisan.
Jika Anda hendak bercukur atau menyisir rambut Anda,
saya bersedia menunggu
Menunggu? Apakah aku akan dibawa ke tempat lain?
Pukul empat sore nanti. Saya dikirim kemari untuk
mengikat Anda.
Eh? Mengikatku? Siapakah yang memberi perintah
kepadamu?
Tuan Harima sendiri.
Mustahil! Panggil Tuan Harima kemari! Katakan
kepadanya bahwa aku harus berbicara dengannya.
Tidak akan ada gunanya. Kami menerima surat
penahanan dari Istana pagi ini dan mendapatkan perintah
untuk menghukum mati Anda pada pukul empat sore ini.
Eh ... ! Tadamasa berdiri dengan goyah, berusaha
memprotes. O-o-omong kosong! Mustahil! Tokitada
menubruknya dan keduanya roboh ke lantai, saling
melawan. Beberapa orang samurai yang menunggu di luar
cepat-cepat masuk membawa seutas tali ke bilik itu dan
mengikat Tadamasa.
Panggil keponakanku! Bawa dia kemari ... Tuan
Harima! Apa maksudnya menipu pria tua tak berdaya ini?
lolong Tadamasa, namun pintu biliknya dipaku dari luar
dan dijaga oleh seorang petugas, sementara Tokitada
bergegas pergi.
Kiyomori menghabiskan pagi itu seorang diri di biliknya;
kata-kata Shinzei terus terngiang-ngiang di telinganya*
namun hatinya tetap berat.
Kakak, aku sudah melaksanakan tugasku.

Ah, kaukah itu, Tokitada? Apa yang dikatakannya?


Dia mengumpat-umpat dengan dahsyat Seorang pria
tua yang beringas, walaupun akhir hidupnya sudah dekat
Seandainya aku tahu bahwa inilah yang akan terjadi,
aku tidak akan menunjukkan belas kasihan kepadanya dan
menahannya saat itu juga. Dia mungkin akan mendapatkan
pengampunan.
Tidak juga. Kau harus mengingat bahwa dia adalah
Heik6 Tadamasa. Kesalahannya sudah tidak diragukan
lagi.
Sudahkah kau membaca isi surat penahanan dari
Istana?
Ya, aku sudah membacanya. Pemenggalan akan
dilaksanakan pada pukul empat sore nanti, di tepi sungai,
tidak jauh dari Jembatan Gojo.
Aku sudah semalaman tersiksa gara-gara memikirkan
Tadamasa, dan sekarang aku diperintahkan untuk tidak
hanya memenggalnya tetapi juga ketiga anaknya! Itu adalah
keinginan Shinzei.
Itu tidak lebih buruk daripada yang kita lakukan di
dalam medan pertempuran, ketika sandal kita basah
bersimbah darah.
Itu berbeda. Sangat berbeda.
Ini juga perang. Apa yang membuatmu berpikir bahwa
arena hukuman mati bukanlah medan perang?
Ucapan gamblang Tokitada lebih meneguhkan hati
daripada penjelasan panjang lebar Shinzei, dan keraguan
Kiyomori kepada dirinya sendiri pun reda.

Aku akan tidur sejenak, kalau begitu. Masih ada


beberapa jam sebelum pukul empat tiba. Tokitada,
ambilkan kotak yang ada di sana itu.
Kiyomori berbaring menatap langit musim panas; dari
bawah pinggiran atap rumahnya, dia melihat gumpalangumpalan awan berarak melintasi matahari, sejenak
mendatangkan keteduhan di dunia sebelum cahaya
menyilaukan menyorot kembali.
o0odwkzo0o
Pelaksanaan hukuman mati di depan umum telah
menjadi kegiatan harian setelah perang berakhir, namun
orang-orang sepertinya tidak bosan-bosannya menjadi
penonton. Masyarakat dari berbagai lapisan telah
membanjiri kedua tepi Sungai Kamo di atas jembatan Gojo.
Para petugas yang baru saja tiba, yang memandang
hukuman mati sebagai peringatan kepada rakyat, tidak
melakukan apa pun untuk menghalau orang-orang yang
terus berdatangan walaupun hari telah semakin sore. Angin
kencang meniup helaian hitam dan putih pada tirai yang
menandai lokasi hukuman mati dan mengancam untuk
mencabik-cabiknya; hujan deras mulai turun.
Tiga orang pemuda berlutut dengan pasrah di atas tikar
masing-masing, yang diletakkan di jarak yang sama di tepi
sungai. Di dekat mereka, seorang pemeriksa mayat yang
dikirim oleh Pangkalan Pengawal Kekaisaran dan para
petugas penjara yang telah menyelesaikan tugas mereka
menantikan kedatangan Kiyomori dan Tokitada. Kehadiran
mereka segera menimbulkan keributan di kalangan
penonton. Kiyomori turun dari kudanya dan berjalan ke
arah sungai, berbasa-basi dengan para petugas yang telah
menanti; Tokitada berjalan di belakangnya, dikawal oleh
beberapa orang samurai dan menarik Tadamasa yang
terikat erat. Tadamasa diperintahkan untuk duduk di atas

tikar keempat Ketiga pemuda yang telah lebih dahulu tiba


di sana serentak berdiri dan berseru, Ayah! Tali yang
mengikat masing-masing tahanan itu tertambat pada sebuah
pasak, sehingga sebelum berhasil berdiri, ketiganya
langsung terjerembap kembali ke tanah. Sifat kebapakan
Tadamasa muncul ketika dia melihat anak-anaknya, dan
dia pun menenangkan mereka:
Bersabarlah. Kita harus menyerah. Hari ini sungguh
pahit bagiku; tetapi, aku bersyukur karena mendapatkan
kesempatan untuk bertemu kembali dengan kalian. Ini
sudah digariskan oleh karma kita.
Suara Tadamasa, yang parau akibat jeritannya ketika
bertahan dari penangkapan, terdengar lebih nyaring.
Dengarkanlah, anak-anakku ... jalan hidup sebagai
samurailah yang membawa kita untuk mati dengan cara ini,
namun kita tidak jatuh serendah binatang itu; keponakanku
yang tidak tahu berterima kasih, Kiyomori! Salahkah kita
jika memilih untuk setia kepada pengayom kita? Kita tidak
pernah melupakan kebaikan hati beliau . Lihatlah dia di
sana, Kiyomori yang telah sejak lama kukenal. Itulah dia,
orang yang paling tidak tahu berterima kasih! Untuk apa
kita harus malu?
Tadamasa memelototi Kiyomori, yang sekarang duduk
di sebuah meja. Kiyomori membalas tatapannya tanpa
mengatakan apa pun; yang ada di hadapannya adalah
seseorang yang telah begitu dekat dengan kematian; rona
telah menghilang dari pipinya, menyisakan kepucatan.
Tadamasa mendadak menyembur Kiyomori. Hei,
Kiyomori! Jika kau masih punya telinga untuk mendengar,
dengarkanlah ini! Apa kau sudah melupakan masa lalu,
ketika Tadamori masih melarat dan tidak mampu
memberimu makan dengan bubur terencer sekalipun, dan
berulang kali menyuruhmu meminjam uang kepadaku?

Kiyomori tetap diam.


Ingatkah kau ketika kau datang ke rumahku di tengah
musim dingin dengan kimono usangmu, seperti pengemis,
menyampaikan cerita-cerita kemalanganmu? Sudah
lupakah dirimu bahwa kau menangis tersedu-sedu sambil
melahap makanan dingin yang kusajikan karena aku
kasihan kepadamu? Aku tertawa jika memikirkan bahwa
iblis kelaparan itu sekarang telah menjadi Tuan Harima
yang hebat! Biarlah masa lalu berlalu, tapi, apakah ini ...
mengkhianati pamanmu sendiri, yang telah menolongmu di
masa mudamu? Jadi, kau akan menyebut dirimu terhormat
gara-gara menukar kepalaku dengan lebih banyak lagi
imbalan dari Istana?
Kau lebih brengsek dari bajingan terbusuk sekalipun!
Jawablah pertanyaanku ... kau ... jika kau bisa!
Aku sudah menduga bahwa kau tidak bisa. Bagaimana
mungkin kau akan menjawab? Jadi, kau berniat memenggal
kepalaku ... pamanmu ... saudara kandung ayahmu? .
Mungkin ini memang telah digariskan oleh karma. Kalau
begitu, baiklah. Alih-alih berdoa, aku akan merapalkan
nama Tadamori sambil menantikan tebasan pedangmu.
Tadamasa menjerit nyaring. Ini, penggal kepalaku
sekarang juga!
Mendung semakin tebal sehingga kegelapan meliputi
arena hukuman mati. Tidak ada matahari yang bisa
memastikan waktu. Geledek terdengar di kejauhan, dan
permukaan air sungai bergolak karena angin dingin
menimbulkan riak meniupkan pasir ke sana. Walaupun
telah terbiasa melihat pelaksanaan hukuman mati, para
petugas berkerumun seolah-olah racauan Tadamasa telah
membuat mereka gentar. Sengatan tajam air hujan,
bagaimanapun, berhasil menyadarkan mereka.

Sudah pukul empat, Tuan Harima ... mungkin bahkan


lebih.
Oh? Kiyomori tampak bingung ketika mendengar
pemberitahuan itu. Dia berdiri dengan mengerahkan
seluruh tenaganya. Tadamasa mengangkat pandangannya
dan menatap lekat-lekat kepada Kiyomori yang sedang
berjalan menghampirinya.
Tokitada ... pedang.
Tokitada, yang berjalan selangkah di belakang Kiyomori,
menghunus pedang kakak iparnya. Dia memandang wajah
pucat Kiyomori dengan ekspresi yang mengatakan, Yang
mana?
Yang di ujung.
Ujung jari Kiyomori menunjuk ke wajah seorang
pemuda. Kiyomori cepat-cepat membuang muka.
Cepat, Tokitada ... jangan berkedip, desak Kiyomori.
Ini bukan apa-apa, gumam Tokitada. Sementara dia
berbicara, suara aneh yang menyerupai gesekan kain basah
terdengar oleh telinga para penonton. Pada saat yang sama,
mata pedang Tokitada berkilat dan meneteskan darah.
Ah, Naganori, mereka sudah membunuhmu!
Tadamasa menangis. Suara yang menegakkan bulu kuduk
kembali terdengar, dan satu lagi kepala terjatuh ke tanah.
Tadatsuna! Ah, Tadatsuna!
Tangisan Tadamasa menyaru dengan gemuruh guntur di
atas mereka. Tadamasa melolong ketika desingan pedang
terdengar untuk ketiga kalinya, namun tidak semulus
sebelumnya. Tokitada mendadak tampak bingung dan
mengamati wajah-wajah di hadapannya dengan tatapan
kosong.

Hei, Tokitada, ada apa denganmu?


Air ... bawakan air untukku sebelum aku menghabisi
yang terakhir. Semuanya menjadi gelap, tanganku
kehilangan kelihaiannya
Pengecut! Kau mual gara-gara melihat darah . Mana,
biar aku yang menyelesaikannya.
Amarah Kiyomori telah memuncak. Dia berjalan
beberapa langkah menghampiri Tadamasa dan menatap
dingin pada wajah yang mendongak kepadanya. Seluruh
perasaan Kiyomori telah tercerabut dan melayang menuju
kehampaan. Inti otaknya bagaikan es, begitu dingin
sehingga menyayat dirinya. Sebuah tawa singkat
mengagetkannya, hingga dia menyadari bahwa suara itu
meluncur
dari bibirnya sendiri, sementara dia berdiri menjulang di
hadapan Tadamara, mencengkeram pedangnya.
Heike Tadamasa, ada lagikah yang hendak kaukatakan?
Aku akan menghukum mati dirimu.
Hmm ... lihat saja apakah kau bisa, Tadamasa
mendesis garang, mendongakkan kepalanya seolah-olah
untuk
mempercepat
saat
terakhirnya.
Alih-alih
membungkuk
untuk
memperlihatkan
tengkuknya.
Tadamasa duduk dengan tegak, menggembungkan
dadanya. Aku tidak pernah menyukaimu ... bahkan ketika
kau masih kanak-kanak, Kiyomori ... kau! Sekarang aku
mengerti alasannya; itu adalah pertanda untuk hari ini.
Aku percaya kepadamu, karena tidak ada orang lain
yang lebih kubenci daripada dirimu.
Seperti salju dan tinta ... kita begitu berbeda, paman dan
keponakan. Kau menang. Aku akan mati di tanganmu, dan
tidak ada yang lebih keji daripada ini.

Sepahit apa pun ini bagimu, ini adalah perang.


Bukan perang melainkan takdir. Giliranmu akan tiba,
Kiyomori.
Tidak perlu menantikan itu. Nah, sudah siapkah
dirimu?
Jangan buru-buru. Satu kata lagi
Apakah itu? Apa lagi yang harus kaukatakan?
Sejujurnya, kemiripan itu tidak bisa disangkal lagi.
Benih-benih kejahatan dari pendeta mesum itu rupanya
mengalir di darahmu
Pendeta apa? Apa?
Ayahmu.
Mirip dengan siapa pun diriku, yang jelas, ayahku
Tadamori.
Ketahuilah bahwa istri pertama Tadamori sendirilah, si
Perempuan Gion, yang memberitahuku bahwa kau bukan
anak Tadamori, dan bukan pula anak Kaisar Shirakawa.
Sesungguhnya, kau adalah buah dari hubungannya dengan
kekasih gelapnya, si pendeta mesum .Tadamasa
mencerocos.
Terkutuklah mulut kotormu itu matilah kau!
Kiyomori mengayunkan pedangnya. Kilat putih terlihat,
memenggal leher Tadamasa dalam sekali tebas.
Dengan sekujur tubuh terciprat darah, Kiyomori berdiri
terpaku, menurunkan pedangnya yang bersimbah darah.
Kilatan petir menyilaukannya. Guntur bergemuruh.
Helaian tirai berkibar-kibar liar. Tanah yang dipijaknya
seolah-olah berguncang.
Dasar tolol! Dungu!

Orang gila! Bengis!


Kau bajingan!
Kau iblis yang tidak tahu berterima kasih!
Itu bukanlah gemuruh guntur melainkan lolongan para
penonton, yang kemarahannya terpicu oleh pemandangan
memuakkan seseorang yang telah menghabisi nyawa
kerabatnya sendiri dengan pedang. Batu-batu dilemparkan
kepada Kiyomori, namun dia tidak berusaha meloloskan
diri. Hujan batu yang lebih deras daripada hujan yang turun
dari langit menghantami baju zirah, wajah, dan kedua
tangannya, dan darah mulai mengalir dari luka-lukanya.
Jeritan para penonton ditenggelamkan oleh gemuruh
guntur. Para prajurit Kiyomori menghambur ke arah para
penonton, yang dengan cepat membubarkan diri begitu
melihat pedang yang terhunus. Tetapi, Kiyomori tetap
berdiri terpaku di dekat keempat mayat tanpa kepala itu.
Hujan deras menerpanya; petir putih kebiruan berkilat
menyilaukan di atas puncak-puncak pagoda di Perbukitan
Timur. Kiyomori mematung di bawah hujan deras,
menjatuhkan pedangnya.
Tuan .Tuan.
Para petugas sudah pergi, Tuan.
Para penonton sudah membubarkan diri.
Anda telah merampungkan tugas ini tanpa cela.
Sekarang waktunya pulang, Tuan.
Para prajurit Kiyomori mengerumuninya dengan cemas,
ingin segera pergi dari sana, namun Kiyomori
memunggungi mereka memanjat tanggul; di bawah hujan
yang mulai reda, dia mendongak ke arah celah di awan dan

menggumamkan sebuah doa. Kemudian, dia memanggil


lirih, Tokitada, Tokitada!
Tokitada yang berwajah gundah dan para prajurit bisa
mendengar keanehan suara Kiyomori. Lengkungan pelangi
menghiasi langit senja. Seolah-olah baru saja terbangun dari
sebuah mimpi buruk, Tokitada menuntun kuda Kiyomori
dan memenuhi panggilannya.
Meraih tali kekang kudanya, Kiyomori berbicara ke balik
bahunya, Tetaplah di sini, Tokitada, bersama empat atau
lima orang prajurit. Bawalah keempat mayat itu dengan
hati-hati ke tempat pembakaran mayat di Toribeno. Aku
akan pulang dan berdoa malam ini. Aku memercayakan
penguburan keempat mayat ini kepadamu.
Malam itu, Shinzei menerima kepala Tadamasa.
Korekata, Panglima Golongan Kanan, membawakan
kepala Tadamasa dan ketiga l putranya dari Rokuhara
untuk Shinzei, yang segera memeriksanya di bawah cahaya
lilin.
Bagus sekali. Dia mengangguk dan mendengarkan
cerita tentang pelakasanaan hukuman mati, saat terakhir
Tadamasa, sikap Kiyomori, dan penundaan yang terjadi.
Shinzei mendadak tertawa terbahak-bahak, menepuknepuk pahanya.
Rupanya itulah yang terjadi, dan ada perkecualian bagi
pepatah yang mengatakan bahwa penyesalan akan dibawa
mati. Tidak banyak orang yang seperti Tadamasa, yang
mati dengan getir dan menolak untuk masuk surga.
Sedangkan Kiyomori ... samurai berhati lembek itu. Aneh
juga melihat dia berperang dengan garang di Shirakawa.
Keesokan harinya, Shinzei memanggil Yoshitomo, dan
dengan sikap biasa mengatakan, Tuan ... juru Kunci Istal

Kekaisaran, Tuan Harima mengirim kepala pamannya


semalam. Sebuah tindakan yang patut diteladani . Dan,
omong-omong, sudahkah Anda mendengar laporan
mengenai penampakan seorang buronan yang jauh lebih
berbahaya daripada Tadamasa? Yang saya maksud adalah
Genji Tameyoshi, yang telah memimpin pemberontakan
melawan kita.
Nada sopan dan ramah yang digunakan oleh Shinzei
membekukan hati Yoshitomo. Wajahnya mendadak pucat
pasi.
Tuan, pencarian sedang dilakukan ... jejak Tameyoshi
dan putra-putranya belum ditemukan.
Anda tahu. Yang Mulia akan terus menerima laporan
tentang kegigihan Anda memburu para pengkhianat.
Segala sesuatu yang bisa menunjang pencarian telah
dilakukan, dan saya yakin mereka akan tertangkap, namun
...
Namun apa?
Yoshitomo menunduk. Shinzei melontarkan tatapan
penuh pertanyaan dari bawah keningnya yang berkerut
merut
o0odwkzo0o
Selama tiga hari dan tiga malam, Tameyoshi, putraputranya, dan tiga orang pelayan mereka bersembunyi di
dalam sebuah kuil di wilayah perbukitan di antara
Shirakawa dan Danau Biwa. Juru kunci kuil itu menerima
mereka dengan baik, sehingga mereka bisa makan dan
tidur, dan mendapatkan kesempatan untuk merawat lukaluka mereka sembari menyusun rencana untuk mencari
perahu yang bersedia membawa mereka menyeberangi
danau dalam pelarian mereka ke arah timur. Tetapi, ketika

itu pulalah, seolah-olah nasib buruk telah membayangi


mereka, penyakit reumatisme melumpuhkan Tameyoshi
dan mengharuskannya menghabiskan waktu di kasurnya, di
dalam sebuah bilik kuil yang mengenaskan. Selama
Tameyoshi terbaring di sana sebagai seorang samurai yang
telah kalah, berbagai peristiwa yang terjadi selama enam
puluh tahun kehidupannya berkelebatan dalam ingatannya,
diwarnai oleh penyesalan dan kesepian, karena dia
menyadari betul penyebab kesedihannya.
Sementara itu; salah seorang putranya dan Magoroku,
seorang pelayan, pergi ke Otsu untuk mencari keterangan
penyewaan perahu, sementara Tametomo dan yang lainnya
berjaga-jaga untuk mewaspadai kehadiran para pengejar
mereka.
Yorikata dan Magoroku segera kembali dan
mengabarkan bahwa mereka telah bertemu dengan seorang
nelayan yang mau membawa mereka menyeberangi danau
secara diam-diam. Malam itu, 17 Juli, para buronan dengan
hati-hati berangkat ke tempat pertemuan yang telah
disepakati, di bawah sebatang pohon pinus besar di
Karasaki. Setibanya di sana, mereka gelisah karena tidak
melihat tanda-tanda keberadaan sebuah perahu. Ketika
melakukan pengamatan di tempat gelap itu, mereka tibatiba melihat kilatan obor di kejauhan, disusul oleh derap
kaki-kaki kuda dan teriakan-teriakan gaduh.
Kita dijebak! seru Tametomo. Setelah dengan buruburu memerintahkan kepada Magoroku untuk meloloskan
diri bersama Tameyoshi ke perbukitan, mempersiapkan
saudara-saudaranya untuk bertahan hingga keduanya tiba
di tempat yang aman.
Setengah menggendong dan setengah menyeret
Tameyoshi, Magoroku akhirnya tiba di sebuah kuil di
wilayah perbukitan. Di sana, Margoroku dengan putus asa

menceritakan tentang masalah mereka kepada seorang


pendeta, yang bersedia memberikan tempat berlindung
kepada mereka. Tetapi, ketika pagi tiba, Magoroku yang
masih
mengkhawatirkan
keselamatan
mereka,
menggendong
Tameyoshi
di
punggungnya
dan
membawanya melintasi sebuah lembah di Gunung Hiei
hingga mereka tiba di sebuah kuil di Kurodani.
Tameyoshi, yang telah mengalami kehancuran jiwa dan
raga, mengakui kepada Magoroku bahwa dia sudah tidak
memiliki keinginan lagi untuk menghimpun sebuah
pasukan walaupun berhasil mencapai wilayah timur
Jepang.
Tidak ada yang bisa kulakukan lagi sekarang ini,
Magoroku, kecuali menjalani penahbisan dan menyerahkan
diri kepada putraku, Yoshitomo, katanya.
Ketika akhirnya bertemu kembali dengan ayah mereka,
putra-putra Tameyoshi berduka karena sang ayah telah
menjalani penahbisan dengan dibimbing oleh seorang
pendeta. Mereka pun meratap. Segala sesuatu yang kita
miliki telah direnggut dari diri kita. Apa lagikah yang bisa
kita harapkan?
Tetapi, Tameyoshi menjawab, Tidak, anak-anakku,
kalian tidak bisa selamanya bergantung kepadaku. Akan
tiba waktunya ketika anak-anak burung harus
meninggalkan sarangnya untuk terbang ke langit biru yang
terbentang tanpa batas di hadapan mereka. Tameyoshi
meneteskan air mata getir ketika menyadari bahwa dirinya
tidak memiliki kata-kata yang lebih menenangkan untuk
anak-anaknya.
Magoroku diperintahkan untuk pergi ke ibu kota dan
menyampaikan surat dari Tameyoshi kepada Yoshitomo.
Sekembalinya dari ibu kota, dia mengabarkan bahwa

Yoshitomo sangat gembira ketika membaca pesan dari sang


ayah. Ingin mendengar lebih banyak tentang kabar
putranya, Tameyoshi menanyakan apakah Magoroku juga
telah berbicara dengan Yoshitomo, dan mendapatkan
jawaban:
Beliau tidak ada di rumahnya. Menduga akan bisa
menemui beliau di rumah Nyonya Tokiwa, saya pun pergi
ke sana. Saya beruntung karena berhasil berjumpa dengan
beliau yang, masih memakai baju zirahnya, sedang
bermain-main dengan anak-anak di pangkuannya.
Kau melihatnya sedang bermain dengan cucu-cucuku?
Jadi, dia sudah mengetahui rasanya menjadi seorang ayah.
Dia memiliki dua orang anak, bukan?
Ya ... dan sepertinya anak ketiga mereka akan segera
lahir, dan karena itulah Tuan Yoshitomo sangat
mengkhawatirkan Nyonya Tokiwa.
Ah, dari kabar yang kudengar, wanita itu memang
menyenangkan. Hanya Yoshitomo seoranglah yang paling
beruntung di antara kita.
Dengan kening berkerut, putra-putra Tameyoshi
menyaksikan ayah mereka membaca surat dari Yoshitomo:
Aku menantikan kedatangan Ayah. Para pelayanku
akan menjemput Ayah di pinggir hutan di dekat Kamo.
Ayah tidak perlu cemas. Aku sudah siap untuk melepas
seluruh kehormatan yang telah dianugrahkan kepadaku
asalkan Yang Mulia bersedia mengampuni Ayah.
Putra-putra Tameyoshi, bagaimanapun, tidak rela
membiarkan ayah mereka menyerahkan diri kepada
Yoshitomo. Dan Tametomo berkata:
Ayahku, tidak adakah cara untuk mencegahmu? Siapa
yang tahu bahwa Yoshitomo bisa dipercaya atau tidak? Aku

merasa bahwa Ayah sedang berada dalam bahaya.


Tinggallah bersama kami.
Apa pun pendapatmu, Tametomo, aku tidak percaya
bahwa Yoshitomo akan menipuku. Walaupun kelihatannya
meragukan, aku memilih untuk pergi bukan karena
nyawaku begitu berharga melainkan untuk memohon
pengampunan bagi kalian semua ... itu, dan karena ini
adalah satu-satunya cara agar Yoshitomo memperoleh
kedamaian di hatinya.
Tametomo menggeleng. Wajar jika Ayah berpikiran
begitu. Anak macam apa yang berharap melihat ayahnya
dihukum mati? Kalaupun Yoshitomo ternyata monster
bengis semacam itu, kesuksesan duniawi sebesar apa pun
tidak akan sanggup menebus penyesalan yang akan
ditanggungnya. Di sisi lain, ingatlah bagaimana Kaisar
telah mengkhianati saudaranya sendiri, sang Mantan
Kaisar; begitu pula Perdana Menteri yang telah
mengkhianati adiknya, Yorinaga.
Tameyoshi mempertimbangkan kata-kata Tametomo,
namun tetap teguh pada pendiriannya.
Aku sudah menyuruh Magoroku menyampaikan pesan
kepada Yoshitomo. Orang-orang di ibu kota tentu sudah
mengetahui di mana kita berada sekarang. Seandainya aku
berhasil tiba di Kamakura namun gagal menghimpun
pasukan, pada akhirnya aku akan bersusah payah
mengusahakan
perdamaian
dengan
kehidupanku.
Sepertinya tidak ada pilihan lain bagiku kecuali
menyerahkan diri kepada Yoshitomo.
Keesokan harinya, Tameyoshi, dipapah oleh Magoroku,
memulai perjalanan meninggalkan Kamo. Dengan hati
tersayat karena menyaksikan sang ayah pergi, putra-putra
Tameyoshi mengikutinya hingga tiba di dekat ibu kota,

yakin bahwa mereka tidak akan pernah lagi bertemu dengan


sang ayah.
Tameyoshi berhenti untuk menoleh dan berkata, Anakanakku, kita sudah tiba di dekat ibu kota. Saatnya
berpamitan ... perpisahan kita pun harus ada akhirnya.
Maka, putra-putra Tameyoshi pun mengucapkan salam
perpisahan dan menangis terisak-isak
o0odwkzo0o
Sebuah tandu telah menanti Tameyoshi di tepi hutan di
dekat Kamo, dan malam itu juga, dia dibawa ke kediaman
Yoshitomo. Di sana, tiga orang wanita pelayan menerima
dan menyiapkan air mandi untuknya, lalu menyediakan
kimono bersih, obat-obatan, dan berbagai macam makanan,
sehingga tidak ada lagi yang diinginkan oleh Tameyoshi.
Malam itu, Tameyoshi tidur nyenyak, tidak terganggu
oleh serangga dan ketakutan pada binatang buas.
Pikiran pertama Tameyoshi ketika terjaga adalah bahwa
dia telah selamat di bawah atap rumah putranya. Baru pada
siang harinya, bagaimanapun, Yoshitomo secara diam-diam
menemuinya. Kurang dari tiga minggu telah berlalu sejak
pertemuan terakhir mereka, namun mereka merasa seolaholah telah bertahun-tahun tidak bertemu. Tameyoshi dan
Yoshitomo menangis tanpa suara ketika mereka bertemu
muka.
Ayahku, ampunilah aku atas kepedihan yang telah
kuberikan kepadamu.
Mengampunimu? Yoshitomo, ayahmu ini bersalah atas
pengkhianatan kepada Kaisar. Aku tidak punya hak untuk
berada di sini. Perlakukanlah aku seperti layaknya seorang
penjahat

Hatiku hancur mendengar Ayah berkata begitu.


Tidak, tidak, Yoshitomo, aku sudah tua dan menyerah
kepada takdir. Hanya ada satu yang kumohon darimu ...
ampunilah saudara-saudaramu, para wanita yang tidak
berdosa, dan juga anak-anak. Biarkanlah aku menanggung
hukuman bagi mereka.
Aku siap menyerahkan
menyelamatkanmu, Ayah.

seluruh

hartaku

demi

Tetapi, ingadah, ada banyak orang di Istana yang


berpendapat lain. Jangan mengambil langkah gegabah yang
akan membahayakan nyawamu. Aku hanya meminta
kepadamu,
putra
sulungku,
untuk
meneruskan
kedudukanku sebagai kepala keluarga dan menjaga nama
klan kita, Tameyoshi memohon.
Malam itu, Yoshitomo mengendarai kereta sapi yang
tertutup rapat menuju kediaman Shinzei. Dia tidak ada di
rumahnya. Penasihat Shinzei sedang luar biasa sibuk akhirakhir ini dan tidak akan pulang dari Istana hingga besok,
kata pelayannya. Malam berikutnya, Yoshitomo kembali
mendatangi kediaman Shinzei dan berhasil menemuinya.
Ketika Yoshitomo menyelesaikan ceritanya, Shinzei
menjawab dengan dingin:
Apa! Anda meminta agar Tameyoshi diampuni? Saya
sekalipun tidak bisa melakukannya untuk Anda. Terlebih
lagi. Anda sungguh tidak pantas datang kemari untuk
mengatakan hal itu kepada saya. Akan lebih tepat jika Anda
menyampaikan sendiri permohonan Anda ini di depan para
pejabat istana.
Yoshitomo, bagaimanapun, pantang menyerah. Dia
mengenal seorang jenderal, Masasada, mantan Menteri
Golongan Kanan, yang terkenal sebagai seorang pria

berhati lembut dan dipercaya oleh banyak kalangan di


Istana, termasuk Kaisar. Yoshitomo menemuinya pada
suatu malam dan diterima dengan penuh kebaikan. Kendati
begitu, sang jenderal tidak ingin terlalu berharap.
Ya. saya rasa saya memahami apa yang Anda lalui.
Tapi, dalam masa pelik seperti ini, saya tidak bisa
menjamin bahwa Istana akan mempertimbangkan
permohonan Anda. Tetapi saya akan memastikan untuk
menyampaikan pendapat saya demi mendukung Anda,
kata Masasada dengan hangat
Dalam pertemuan para penasihat Istana berikutnya,
Masasada menyampaikan permohonan Yoshitomo. Dia
tidak hanya memohon pertukaran hadiah yang baru saja
diterima oleh Yoshitomo dengan ampunan untuk
Tameyoshi, tetapi juga mengatakan, Pencabutan nyawa
seseorang akan berujung pada pencabutan nyawa orang
lain, dan yang lain, hingga seratus nyawa pun tidak akan
cukup, kata sebuah pepatah tua. Tameyoshi berpihak
kepada musuh karena kesetiaan. Dia adalah seorang pria
uzur yang telah berusia lebih dari enam puluh tahun, dan
seorang veteran yang sangat berpengalaman. Kakeknya
adalah seorang samurai termahsyur, yang berhasil
menggagalkan perlawanan musuh di sebuah medan
pertempuran yang berjarak terjauh, dan masih ada banyak
orang yang mengingat perjuangannya. Menghukum mati
Tameyoshi sama saja dengan menyulut kebencian di hati
orang-orang yang masih mengenang kebaikan kakeknya.
Sebagai hakim, kita juga akan dihakimi. Saya sungguh
sedih dan khawatir ketika memikirkan bahwa tindakan
kejam yang diambil atas nama Kaisar hanya akan
menambahkan kebengisan yang telah jamak terjadi di
sekeliling kita. Bukankah pengampunan dan kasih sayang

yang menjangkau segalanya adalah inti dari pemerintahan


Kaisar?
Seseorang tertawa. Shinzei.
Yang sudah berakhir, berakhir. Hari ini adalah hari ini.
Tugas pemerintah adalah menangani apa yang terjadi saat
ini. Tuan, kata-kata Anda sungguh bijaksana, namun
tidakkah Anda melihat apa yang terjadi di sekitar kita hari
ini? tanya Shinzei.
Jika kita mengampuni Tameyoshi, bagaimanakah kita
akan menghadapi si pemburu kekuasaan ... Sutoku? Jika,
alih-alih
menghukum
mati
Tameyoshi,
kita
mengasingkannya, siapakah yang bisa menjamin bahwa dia
tidak akan menghimpun sebuah pasukan di provinsiprovinsi yang jauh dari sini dan sekali lagi mengerahkannya
untuk melawan kita? Apakah Kiyomori ragu pedang ke
leher pamannya? Adilkah jika kita membuat perkecualian
kepada Tameyoshi dan putra-putranya?
Senyum licik tersungging di wajah Shinzei selama dia
berbicara dan memerhatikan Masasada.
Kepala Polisi melaporkan kepada saya bahwa Tuan
Yoshitomo telah memberikan perlindungan kepada
Tameyoshi. Walaupun terdengar aneh dan mustahil, jika ini
terbukti kebenarannya, berarti Tuan Yoshitomo telah
melakukan pelanggaran berat terhadap peraturan Kaisar.
Bagaimana mungkin Tuan Yoshitomo yang terhormat
berharap kita akan memberikan pengampunan kepada
Tameyoshi jika saya sudah memutuskan bahwa dia pantas
mendapatkan hukuman mati.
Shinzei mengucapkan kalimat terakhirnya dengan
garang. Sejak perang berakhir, Shinzei menjadi tangan
kanan Kaisar, dan sang jenderal menyadari bahwa dia tidak

memiliki peluang untuk memenangi perdebatan melawan


Shinzei.
Masasada kemudian memanggil Yoshitomo dan
menceritakan kepadanya tentang apa yang terjadi dalam
pertemuan di Istana. Saya menasihati Anda untuk
bertindak dengan sangat diam-diam jika Anda tidak
menghendaki para panglima lain menyerang Anda di
kediaman Anda sendiri.
Tersiksa oleh penyesalan, Yoshitomo mengecam dirinya
sendiri karena tidak berada di pihak yang sama dengan
ayahnya. Kedua pelayan kepercayaannya, Masakiyo dan
Jiro, segera memahami apa yang berkecamuk di dalam
benak majikan mereka. Tidak hanya mereka, tetapi juga
para pelayan lain yang turut menikmati kejayaan
Yoshitomo cemas memikirkan apa yang akan terjadi
kepadanya. Kemungkinan besar, Yoshitomo tidak hanya
akan diperintahkan untuk memenggal ayahnya sendiri
tetapi juga dilucuti dari seluruh kehormatan dan
wewenangnya.
Setelah menghabiskan dua malam tanpa tidur,
Yoshitomo memanggil Masakiyo dan Jiro, dan berbicara
kepada mereka.
Menjelang malam pada hari yang sama, Masakiyo dan
Jiro membawa sebuah tandu ke luar bilik Tameyoshi dan
berkata, Ada desas-desus sangat meresahkan tentang
Anda, dan majikan kami mengkhawati rkan keselamatan
Anda. Sejak beberapa hari yang lalu, kegalauan
menyebabkan beliau tidak bisa tidur ataupun makan. Ada
beberapa tokoh yang teramat sangat jahat di Istana. Garagara merekalah Anda sebaiknya bersembunyi di suatu
tempat di Perbukitan Timur, dan kami akan menyertai
Anda.

Tameyoshi bangkit untuk pergi bersama mereka.


Sebelum memasuki tandu, dia menoleh ke arah bilik
Yoshitomo dan mengangkat kedua tangannya yang
tertangkup. Ada pepatah yang mengatakan bahwa anak
adalah harta yang paling berharga. Hanya anakkulah yang
bersedia bertindak sejauh itu untuk menjamin
keselamatanku. Itu adalah kemuliaan hati yang mustahil
dilupakan. Aku akan mengingat ini hingga akhir hayatku,
Tameyoshi mengulang-ulang perkataannya dengan wajah
berurai air mata.
Senja itu, tandu Tameyoshi diangkat melewati gerbang
belakang dan membelah malam. Alih-alih menuju
Perbukitan Timur, para pemanggulnya sepertinya
mengikuti seruas jalan lain; dan ketika mereka akhirnya tiba
di sebuah lahan terbuka di luar ibu kota, Tameyoshi melihat
bahwa beberapa orang pelayan kepercayaan Yoshitomo
telah tiba di sana dan menunggu mereka dengan sebuah
kereta sapi.
Masakiyo menyikut Jiro yang, mengerutkan kening dan
menepiskan tangannya, bergumam:
Kau saja yang melakukannya.Aku tidak bisa.
Masakiyo beringsut dengan ragu-ragu dan memanggil
para pemanggul tandu. Ahh ... kalian, turunkan tandunya
. Tuan, kita sudah berada di luar ibu kota dan masih
harus melanjutkan perjalanan; maukah Tuan pindah ke
kereta sekarang? Masakiyo mendekati tandu. Dia mundur
untuk memberikan ruang kepada Tameyoshi agar bisa
melangkah ke luar seraya mempererat cengkeremannya ke
gagang pedangnya. Jiro tiba-tiba berbicara dari
belakangnya dan menyikut tangan Masakiyo sehingga
melepaskan pedangnya.

Masakiyo, aku ingin berbicara denganmu Jiro


menjauh beberapa langkah dari tandu dan menoleh kepada
Masakiyo, yang mengikutinya. Menurutku, sebaiknya kita
melakukannya dengan jujur. Bagaimanapun, beliau adalah
ayah dari majikan kita, dan tindakan ini rasanya salah.
Kalau begitu, bagaimana?
Mengapa kita tidak mengatakan yang sesungguhnya
kepada beliau? Biarkanlah beliau berdoa. Walaupun
kehidupan beliau berakhir di tempat terpencil ini, beliau
tetaplah Genji Tameyoshi dan berhak untuk meninggal
seperti layaknya seorang samurai sejati.
Kau benar. Tapi, itu membuat semua ini semakin sulit
Kau saja yang melakukannya.
Tidak mau! Aku tidak sanggup. Kaulah yang pantas
melakukannya.
Setelah perdebatan mereka berakhir, Masakiyo kembali
menemui Tameyoshi dan mengatakan kepadanya alasan
mereka membawanya kemari.
Tameyoshi mendengarkan penjelasan itu tanpa berkatakata. Ternyata begitu. Dia duduk di tanah dan berkata
dengan perasaan mendalam, Mengapa bukan putraku
sendiri yang menyampaikan hal ini kepadaku? Aku bisa
memahami keengganannya, namun kasih sayang seorang
ayah tidak terbatas. Air mata Tameyoshi berlinang ketika
dia meneruskan, Tidakkah ... tidakkah dia tahu bahwa
kasih sayang seorang ayah bisa melambung lebih tinggi
daripada semua ini? Tahun-tahun yang dihabiskannya
untuk bermain di pangkuanku setelah dia berpisah dari
payudara ibunya, tidakkah dia mengenal setiap sudut hati
ini? ... Ah, Yoshitomo itu saja sudah cukup untuk
membuatku berduka. Kehidupan kita seperti buih di sungai,
namun bukankah kita ayah dan anak, saling terhubung oleh

ikatan dari kehidupan yang lain? Mengapa kau tidak bisa


membuka hatimu kepadaku? Aku memang telah gagal,
namun aku tidak serendah
itu. Aku tidak mendatangimu untuk merengek-rengek
demi keselamatanku. Karena ini telah digariskan oleh para
dewa, mengapa kita tidak menghabiskan malam terakhirku
bersama-sama, mengenang masa lalu dan membuka hati
kita satu sama lain sebelum berpisah?
Sesudah puas mencurahkan isi hatinya, Tameyoshi
duduk lebih tegak di tanah dan menghentikan isakannya,
seolah-olah seluruh air matanya telah habis. Dia
menenangkan diri, menangkupkan kedua tangannya, dan
mengucapkan sebuah doa. Kemudian, dia menoleh kepada
Masakiyo dan berbisik dengan nada selembut gemerisik
jubah biksunya, Masakiyo, penggal aku.
Yoshitomo segera menyerahkan kepala ayahnya kepada
pihak yang berwenang di Istana. Walaupun kepala
Tameyoshi tidak mengalami penghinaan dengan
dipamerkan di depan umum, rakyat memberikan kecaman
yang lebih tajam kepada Yoshitomo daripada kepada
Kiyomori. Kecuali putra bungsunya, anak-anak Tameyoshi
yang lain dengan cepat ditangkap dan dihukum mati.
Tametomo, yang berhasil melarikan diri ke Kyushu,
akhirnya tertangkap dan dibawa ke ibu kota. Di Kyoto,
urat-urat lengannya dipotong sebelum dia menjalani
pengasingan di Pulau Oshima di wilayah timur.
o0odwkzo0o

Bab XVIII-ALUNAN SERULING


Sesaji berupa dupa, bunga-bungaan, dan tumpukan kecil
batu menandai sisi jalan dan jembatan tempat begitu

banyak samurai gugur dalam medan laga. Benda-benda


tersebut ditinggalkan di sana oleh rakyat jelata yang tidak
ambil bagian dalam pertikaian. Perempuan-perempuan tua
yang menggendong bayi di punggung mereka, ibu-ibu
rumah tangga yang pulang dari pasar, para perajin tembikar
yang berangkat ke ibu kota untuk menjajakan hasil karya
mereka, para pedagang tikar anyaman, dan sesekali bahkan
para penuntun kereta sapi berhenti untuk mendoakan para
pahlawan tanpa nama.
Sungguh menyedihkan kalian yang menyabung nyawa
di sini, dan sungguh mengenaskan pertikaian ini! Bisakah
ini dijadikan simbol kebaikan hati manusia? Bagus, bagus!
Seorang pria kekar yang mengenakan topi anyaman
bambu lebar dan jubah biksu compang-camping berdiri di
sebuah persimpangan jalan, menggumamkan sesuatu
kepada dirinya sendiri sembari mengedarkan pandangan
pada bunga-bunga dan dupa-dupa yang ditata di dekat
reruntuhan sebuah bangunan. Dia sepertinya berusia awai
empat puluhan dan memanggul buntalan seperti yang
biasa dibawa oleh seorang pendeta pengelana; dia
menopangkan tubuh pada sebatang tongkat; sebuah tasbih
melingkari pergelangan tangannya yang berbulu. Kepalanya
tidak tercukur dan rambutnya acak-acakan di atas wajahnya
yang letih akibat perjalanan panjang; sandal jerami
usangnya berlumuran lumpur. Kesan tegas di wajahnya
menjadikannya tampak lebih menyeramkan daripada biksubiksu dari Gunung Hiei. Sementara dia bergerak, dengan
cepat menyusuri jalan demi jalan di ibu kota, pemandangan
reruntuhan di berbagai tempat sepertinya menyentuh
hatinya, sehingga dia pun berdoa dengan khusuk, Namu
Amida-butsu, namu Amida-butsu .
Itu dia, si pendeta bersuara nyaring!

Si rambut gondrong, oh, si iblis berambut gondrong!


Pendeta, Pendeta, kau hendak ke mana? anak-anak
jalanan yang mengenali sosoknya mengolok-oloknya.
Pendeta berjubah compang-camping itu menoleh dan
tersenyum dengan tulus, memamerkan mulut merah di
tengah-tengah janggut acak-acakannya..
Pendeta gondrong, berikan kue untuk kami!
Kami ingin kue beras!
Uang juga boleh! anak-anak terus-menerus berseruseru, mengejarnya.
Aku tidak punya apa-apa sekarang. Lain kali, lain kali.
Si pendeta melambai, berbelok di sudut jalan dengan
langkah-langkah panjang.
Sejenak kemudian, dia telah berdiri di depan gerbang
kediaman Penasihat Shinzei, tempatnya berhenti untuk
mengukur tasbihnya dan berdoa. Kemudian, dengan berani
melintasi gerbang, dia bergegas melewati garasi kereta,
duduk di teras depan rumah, dan dengan nyaring
mengumumkan kedatangannya.
Ini aku ... Mongaku ... dari Perbukitan Togano-o di
wilayah utara ibu kota. Aku datang kemari hari ini dan juga
kemarin. Aku harus berbicara kepada Penasihat yang
terhormat hari ini juga; ada sesuatu yang harus
kusampaikan kepada beliau. Tolong katakan kepada beliau
bahwa aku ada di sini.
Suara menggelegar Mongaku terdengar hingga ruanganruangan terdalam di bangunan besar itu; beberapa orang
pelayan yang ketakutan bergegas menghampiri bilik
majikan mereka, dan para pelayan lainnya keluar dari
ruangan mereka. Kemudian, tiga orang samurai muda dan

kepala pelayan muncul. Mereka menyapa Mongaku dengan


sangat sopan. Kemudian, salah seorang dari mereka
berkata, Sayang sekali, namun saya harus mengabarkan
kepada Anda bahwa Tuan terhambat di Istana dan belum
pulang. Kami tidak tahu kapan beliau akan pulang, karena
beliau sangat sibuk mengurus kepentingan negara.
Oh? ... Dalam perjalanan kemari, aku singgah di
Pangkalan Pengawal, dan catatan di sana menunjukkan
bahwa beliau meninggalkan Istana semalam pada jam
Ayam (pukul enam). Beliau seharusnya ada di rumah ...
Mengapa beliau menolakku? Bukankah beliau sedang sibuk
mengembalikan kedamaian dan menenangkan pikiran
rakyat? Aku datang kemari bukan untuk berbasa-basi,
melainkan untuk berbagi pikiran dan memberi nasihat
Karena itulah aku meminta agar . pesanku disampaikan
kepada beliau.
Ya, ya. Semoga beliau bisa menemui Anda di lain
waktu.
Bukan di lain waktu! Aku memohon untuk
dipertemukan dengan beliau saat ini juga. Hentikan
kebohongan ini! Sampaikanlah pesanku kepada beliau
sekarang.
Tetapi, hari ini ...
Sekarang ... hari ini! Tidak boleh besok, karena
menunda satu hari sama halnya dengan membiarkan lebih
banyak nyawa melayang. Atas nama perdamaian ... ini
urusan mendesak. Kalau kau menolak, maka aku akan
memanggil beliau dari sini.
Mongaku tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda
akan beranjak. Menurunkan buntalan pengelananya, dia
duduk di tanah.

Penasihat Shinzei dan istrinya. Nyonya Kii, sedang


menemui seorang kawan mereka di Paviliun Musim Semi,
tempat mereka menikmati sake sementara para juru masak
mempersiapkan hidangan istimewa di hadapan mereka.
Ah ... berisik sekali! dengus Shinzei dengan kesal
sambil melirik ke arah tandu tamunya.
Aku akan melihat apa yang terjadi, putranya,
Naganori, segera bangkit.
Shinzei berbisik ke telinga putranya, Jika itu Mongaku
si pendeta gila yang telah mengirimkan protes tertulis ke
Istana, sampaikan saja sebuah cerita kepadanya dan beri dia
bingkisan.
Naganori mengangguk-angguk dan keluar ke teras,
berdiri dan menunduk kepada Mongaku. Apakah kau
Mongaku si pendeta? Ayahku ada di rumah, namun beliau
sedang menemui seorang tamu penting. Beliau sudah
membaca protes tertulismu. Tidakkah itu cukup?
Siapakah kamu?
Aku putra ketiga Penasihat Shinzei.
Kamu harus memaafkanku ... namun itu tidak cukup.
Sampaikanlah kepada Penasihat Shinzei untuk menemuiku
sendiri.
Kau benar-benar lancang dengan menuntut Penasihat
Shinzei untuk menemuimu.
Tidak juga. Aku sudah datang kemari selama tiga hari
berturut-turut dan tidak akan ada masalah jika beliau mau
menemuiku. Terlebih lagi, bukan urusan pribadi yang
membawaku kemari; beliau harus menyisihkan waktunya
untukku jika aku datang untuk mengatakan kepada beliau
tentang kekhawatiranku terhadap masyarakat

Sudah banyak tamu sepertimu yang datang kemari, dan


aku yakin bahwa ayahku telah sering mendengar nasihat
semacam itu.
Diam! Mongaku tidak seenaknya mendatangi rumahrumah mewah karena sinting. Siang dan malam, para
tahanan diseret dari penjara dan menjalani pemenggalan di
tepi sungai!
Tolong, pelan-pelan! Kau mengganggu tamu kami.
Betulkah? Kalau begitu, Shinzei juga bisa mendengarku
dari biliknya. Baiklah, aku akan bicara dengannya dari sini.
Jika dia sedang menemui tamu, maka tamunya juga akan
mendengar apa yang harus kukatakan.
Mongaku tiba-tiba berdiri dan menarik napas dalamdalam. Suara yang pernah menggelegar melampaui
gemuruh Air Terjun Nachi selama lebih dari sepuluh tahun,
kini tampaknya menggetarkan setiap rangka di kediaman
mewah Shinzei:
Hei, kamu, tuan rumah di sini! Ini adalah peringatan
dari surga, bukan sekadar gosip murahan dari pasar.
Hukuman matimu yang kejam telah menghasilkan enam
putaran neraka di dunia ini. Kau telah memerintahkan
seorang keponakan menghabisi nyawa pamannya dengan
pedang; saudara melawan saudara; seorang ayah muda
memenggal ayahnya sendiri. Binatang terpandir sekalipun
tidak sekeji kepada sesamanya!
Dengarlah lebih jauh lagi: semakin banyak hari yang
kauhabiskan I untuk berbicara di depan para penasihat
Istana, semakin banyak nyawa melayang. Kau telah
memaksa
Yoshitomo
mengirim
kepala
ayahnya,
memanggal saudara-saudaranya, dan, masih belum puas,
kau memastikan agar istri Tameyoshi yang telah uzur
ditenggelamkan, lalu anak-anaknya dan para penghuni

rumahnya dibariskan di jalan dan ditusuk dengan darah


dingin hingga mati. Apa kaupikir tidak ada yang
membencimu gara-gara kelicikan dan kebengisanmu?
Naganori dan para pelayan berdiri tanpa bisa berkatakata menghadapi semburan hujatan yang tidak
berkesudahan ini:
Shinzei memerintahkan agar semua ini dilakukan atas
nama Kaisar dan oleh para samurai. Tindakan apakah yang
lebih jahat daripada ini? Selama lebih dari tiga ratus tahun,
pemerintahan para kaisar kita bebas dari hukuman mati.
Tidak ada perang di ibu kota, dan rakyat dianggap sebagai
anak berbakti penguasa. Masa itu telah berlalu sekarang.
Oh, negeri yang mengibakan!
Butiran-butiran tasbih Mongaku bergemeretak ketika dia
mengacung-acungkan tinjunya. Walaupun telah lebih dari
sepuluh tahun menjalani siksaan dan pembersihan jiwa,
watak asli Morito, si pengawal muda yang selalu berapi-api,
hanya sedikit berubah. Luka akibat kisah cinta kelabunya
telah nyaris sembuh, namun pencarian panjang terhadap
kedamaian jiwa tidak terlalu banyak mengubahnya.
Sekarang, api telah menyala di dalam dirinya; kebrengsekan
dan kekotoran para pejabat telah mendorongnya untuk
keluar dari keheningan Perbukitan Togano-o, tempatnya
bermimpi akan bisa mengembalikan sekte Tendai ke
seluruh kemurniannya pada suatu hari nanti, dan tinggal di
pondok tua yang pernah dihuni oleh Toba Sojo. Ceritacerita tentang kebrutalan yang mengikuti Perang Hogen,
bagaimanapun, membawanya turun ke ibu kota, dan apa
yang dilihatnya di sana membuatnya mengakui bahwa para
guru agama dan pencerahan Buddhisme tidak berdaya
melawan politik dan kegilaan perang. Tetapi, Mongaku
bukan jenis pendeta yang menarik diri dari dunia dan acuh

tak acuh pada perilaku tidak berperikemanusiaan antara


sesama manusia atau penderitaan rakyat jelata.
Sementara Mongaku berteriak-teriak di halaman gerbang
dalam, dua buah kereta sapi memasuki gerbang luar, dan
dua orang pejabat istana muda turun.
Ada apa ini?
Seorang biksu kekar menjerit-jerit?
Fujiwara Tsunemun6, sang pejabat istana, dan seorang
bangsawan muda, Nobuyori, berhenti sejenak untuk
mendengarkan, lalu memasuki gerbang. Setengah
tersembunyi oleh semak-semak di dekat gerbang dalam,
mereka menunggu hingga Mongaku pergi.
Tsunemune, yang menghilang ketika perang pecah,
muncul kembali di Istana segera setelah konflik berakhir,
dan berusaha mengambil hati Perdana Menteri dan
Penasihat Shinzei dengan berkunjung dan mengucapkan
selamat atas kemenangan mereka.
Tsunemune, walaupun tidak bermoral, memiliki bakat
luar biasa dalam hal berbasa-basi dan bergunjing,
dipadukan dengan pesona dan kecerdasannya, dia mampu
menyenangkan semua orang yang ditemuinya. Saat ini dia
sedang menemani Nobuyori, yang menagih janjinya untuk
diperkenalkan kepada Penasihat Shinzei. (Shinzei adalah
tokoh yang harus kautemui. Dialah tokoh saat ini. Tidak
lama lagi, dia akan mengendalikan seluruh urusan negara.
Orangnya agak menjengkelkan, namun kau harus bertemu
dengannya suatu hari nanti.) Shinzei juga telah
memerhatikan Nobuyori dan lebih memilih untuk menemui
bangsawan muda itu di luar Istana.
Melihat kedatangan kedua tamu tersebut, putra Shinzei
yang hendak memerintah pelayannya untuk mengusir

Mongaku, langsung mengambil tindakan sendiri. Keluar!


Pulanglah! serunya. Kau dan tuduhan-tuduhan nistamu!
Sepatah kata lagi darimu dan aku akan menyerahkanmu
kepada para prajurit.
Tawa nyaring menyambut kata-kata Naganori. Mongaku
tertawa terbahak-bahak. Di tengah-tengah para pelayan
yang mengerumuninya, dia berdiri tegak, merentangkan
kedua tangannya lebar-lebar, memelototi mereka.
Tunggu, tunggu! Angkat tangan kalian! Lebih daripada
segalanya, aku membenci kekerasan ... dan bukan kalian
yang kutakuti, namun diriku sendiri jika aku lepas kendali!
Nah, tunggu! Biarkan aku mengucapkan sepatah kata lagi
untuk majikanmu.
Sorot tajam mata Mongaku berhasil menyingkirkan para
calon penangkapnya, dan dia pun melanjutkan
semburannya:
Ya ... Penasihat Shinzei, dengarkanlah dengan rendah
hati perkataan Mongaku. Hentikanlah hukuman mati dan
siksaan mulai hari ini ... mulai saat ini juga! Akhirilah masa
teror ini! Tunjukkanlah belas kasihan kepada musuhmusuhmu, atau pembalasan akan datang ke kepalamu
sendiri. ... Walaupun kau berkuasa, apa gunanya jika orangorang membencimu? Api neraka sendiri akan melalap
rumahmu pada suatu hari nanti, dan kau akan dipaksa
mendengarkan jeritan memilukan sanak saudaramu. ... jika
kau meneruskan hukuman mati yang keji ini, aku sendiri
akan datang untuk mengikatmu ke roda api dan
mengawalmu ke arena pemenggalan di tepi sungai . Apa
kau mendengarku, Shinzei ... hah?
Pendeta kurang ajar! Berani-beraninya kau menghina
Kaisar?

Para pelayan Shinzei menusuk-nusuk kaki Mongaku


dengan tombak mereka. Mongaku, melompat-lompat untuk
menghindari serangan. Ketika para penyerangnya melihat
ini, mereka menubruk Mongaku, menjepit lengannya dan
memegangi kakinya, sehingga Mongaku, yang kewalahan,
tidak sanggup lagi melawan. Mongaku berbaring diam
tanpa mengatakan apa-apa di bawah para pelayan yang
menindihnya, terengah-engah. Ketika melihat bahwa
mereka sedang berusaha mengikatnya dengan seutas tali,
Mongaku meraung:
Baiklah, aku akan berdiri, dia pun berusaha bangkit,
dengan mudah menepiskan para penyerangnya seolah-olah
mereka kurcaci.
Jangan lepaskan dia, seru beberapa orang prajurit yang
menghalangi langkah Mongaku. Mendengar keributan itu,
lebih banyak lagi pelayan, dan bahkan para pawang kuda,
berlarian ke tempat kejadian. Alih-alih berlari ke gerbang,
Mongaku justru melompat ke beranda dan berdiri
menantang.
Sebuah jeritan terdengar, Dia pembunuh ... jangan
biarkan dia masuk!
Mongaku
mengulurkan
kedua
tangannya
dan
mencengkeram seorang pelayan dengan masing-masing
tangannya, lalu melemparkan keduanya melewati langkan.
Dia menyambar kerah seorang pelayan lain dan
membenturkan kepalanya ke tiang terdekat, hingga pria itu
menjerit-jerit memohon ampun. Sebuah sekat ambruk dan
sebuah kerai jatuh dari jendela. Kediaman mewah itu
seolah-olah terguncang-guncang gara-gara keributan yang
ditimbulkan oleh Mongaku, dan jeritan para wanita
semakin memperkeruh keadaan. Mongaku mendadak
muncul kembali di beranda, memanggul buntalannya,

bertumpu pada tongkatnya, dan mengedarkan pandangan


untuk mencari jalan keluar.
Ketika dia menghambur ke gerbang dalam, seseorang
berseru, Kau, yang di sana! Mongaku menyingkir dengan
kaku ketika sebuah lembing dilemparkan ke arahnya.
Mongaku menatap waspada ke gerbang luar dan sejumlah
pedang dan tombak yang teracung ke arahnya; beberapa
kuntum bunga teratai, yang tumbuh di dalam sebuah bejana
perunggu di samping gerbang dalam, menarik perhatiannya.
Melemparkan tongkatnya, dia mengangkat tinggi-tinggi
bejana berat itu. Air di dalamnya bercipratan dan tumpah
ke tanah. Takjub melihat keperkasaan Mongaku, lawanlawannya mundur dan memerhatikannya. Mongaku
berjalan terhuyung-huyung ke arah orang-orang yang
menghadangnya di gerbang luar dan, dengan tenaga luar
biasa, melemparkan bejana itu sehingga dentangan nyaring
logam terdengar. Mongaku tertawa terbahak-bahak melihat
para pelayan dan prajurit yang bermandikan air keruh dan
bunga teratai. Kemudian, dia cepat-cepat menyelinap ke
luar gerbang, masih sambil tertawa nyaring, dan segera
menghilang dari pandangan.
Tsunemung dan Nobunori, yang berjongkok di balik
semak-semak, terpukau menyaksikan aksi Mongaku.
o0odwkzo0o
Lebih dari seratus orang bangsawan dan samurai
dihukum penggal, namun tidak ada tanda-tanda bahwa
pelaksanaan hukuman mati akan dihentikan. Mayat
Yorinaga berhasil digali dan dikenali.
Seandainya aku masih Morito si pengawal, aku
mungkin ditugaskan menggali mayat itu, atau barangkali
aku termasuk di antara mereka yang kepalanya dipenggal di

tepi sungai .Ah, Kesa-Gozen, sayangku, kau memang


penjelmaan malaikat pelindungku . Kesa-Gozen!
Cinta Mongaku kepada Kesa-Gozen tetap berkobar.
Mongaku telah menanggalkan seluruh cinta yang bersifat
fisik dan mengabadikan wanita itu sebagai sosok suci di
dalam hatinya. Selama lebih dari sepuluh tahun, dia
berusaha menebus dosa-dosanya dengan menjalani siksaan
yang hanya bisa ditanggung oleh segelintir manusia. Saat
ini dia duduk di tepi Sungai Kamo, di samping sebuah api
unggun kecil yang dinyalakannya di bawah langit
berbintang di bulan Agustus. Seorang diri ... namun tidak
sepenuhnya
sendirian,
karena
jiwa
Kesa-Gozen
mendampinginya. Mengambil kuas dan tinta dari dalam
buntalannya, Mongaku menuliskan doa-doa di bebatuan di
sekelilingnya, doa-doa bagi mereka yang gugur di medan
perang. Dia berharap agar para pejalan kaki yang melihat
bebatuan ini ... sepuluh ribu orang, sumpahnya, akan
meneruskan doanya ... akan berhenti dan dengan khusuk
menambahkan doa-doa mereka kepada para pahlawan yang
telah gugur.
Selama tiga hari dia bersembunyi karena mendengar
bahwa
Penasihat
Shinzei
telah
memerintahkan
penangkapannya. Sembari memunguti batu demi batu, dia
sesekali menuliskan nama mendiang temannya di samping
sebuah doa .Ah, kehidupan, karma ... segala sesuatu yang
tampak pasti mengalami perubahan. Bagaimanakah
manusia bisa melarikan diri dari karma?
Masih banyak. Sisanya harus menunggu hingga
besok malam, gumam Mongaku, memasukkan alat-alat
tulisnya ke dalam buntalan. Dia membasuh wajahnya
dengan air sungai dan bersiap-siap pergi, ketika dilihatnya
seseorang yang berpenampilan suram menghampirinya.
Mongaku naik ke tanggul di bawah fajar yang mulai

merekah. Sosok diam itu mengikutinya. Mongaku menoleh


kepada sosok yang menyerupai hantu itu. Dia
berperawakan kecil dan berpenampilan dekil. Seorang
mata-mata?
Mongaku
berjalan,
dan
sosok
itu
membuntutinya.
Aku berterima kasih dari lubuk hatiku yang terdalam
.Ada banyak jiwa yang melayang tanpa ratapan di tepi
sungai ini, dan tidak ada tempat yang mereka tuju selain
surga. Aku berterima kasih untuk kepedihanmu. Sambil
mengulang-ulang ucapan terima kasihnya, sosok kecil yang
aneh itu berjalan dengan ceria dan mengejar Mongaku.
Apakah kau salah satu penduduk di dekat sini? Tidak
.
Mengapa kau berterima kasih kepadaku?
Kita memiliki perasaan yang sama. Tidak ada yang
lebih membahagiakanku daripada menemukan orang lain
yang bisa berbagi perasaan denganku.
Oh? Kalau begitu, apakah dirimu salah seorang yang
terancam hukuman?
Barangkali. Atau seseorang yang sejenis.
Aku harus menanyakan sesuatu kepadamu. Apakah
kau bisa mendermakan sebagian uangmu padaku?
Maaf, tapi aku tidak membawa uang sekarang. Kau
boleh memiliki apa pun yang kumiliki, kecuali
kehidupanku.
Mongaku tertawa, Kau akan memberikan segala yang
kaumiliki kepadaku ... lalu terdiam untuk mengamati
sosok bertelanjang kaki itu di bawah cahaya fajar. Seorang
pengemis, pikirnya, jika dilihat dari kimono dan celananya
yang compang-camping. Dia tidak mengenakan topi, dan

rambutnya gimbal. Aku enggan meminta apa pun


kepadamu, untuk saat ini ... **
Jangan, kumohon, katakan saja kepadaku. Jika ada
yang bisa kulakukan untukmu, aku akan menghabiskan
hariku dengan bermakna.
Tidak banyak ... hanya sedikit makanan. Sejujurnya,
aku belum makan apa pun sejak kemarin pagi.
Ah, makanan, ya? Pria kecil itu tampak bingung, lalu
dengan nada menyesal berkata, Aku harus mengakui
bahwa aku tidak punya atap untuk berlindung sejak perang
pecah, dan aku tidak tahu di mana aku akan mendapatkan
makanan pagi ini. Aku menjaga kesehatan jiwa dan ragaku
dengan meminta-minta tapi, aku yakin akan bisa
menemukan sesuatu untukmu nanti. Maukah kau
menunggu hingga aku kembali di dekat sumur di
reruntuhan Istana Mata Air Dedalu?
Mongaku menyesal dan cepat-cepat menarik kembali
permintaannya, namun pria kecil itu telah berlari dengan
ceria menyusuri jalan dan berbelok di persimpangan.
Mongaku segera berangkat ke reruntuhan Istana Mata
Air Dedalu. Tempat itu sepertinya bisa menjadi tempat
persembunyian yang bagus, karena dia tidak bisa kembali
ke pertapaannya di perbukitan dan sangat kesulitan mencari
tempat untuk tidur. Setibanya di Istana Mata Air Dedalu,
dia tidak menemukan sedikit pun sisa-sisa keindahan
tempat itu ... pecahan ubin dan batang-batang pohon
berserakan di mana-mana. Sampah dan bangkai-bangkai
burung mengambang di permukaan kolam yang
keasriannya pernah termahsyur. Bagaimanapun, dia
melihat bahwa pekarangan di sekeliling Mata Air Dedalu
telah disapu dan dibersihkan, dan pecahan papan ditata di
sekeliling sumur untuk menjaga agar dedaunan yang tertiup

angin tidak jatuh ke sana. Khawatir akan mengotori tempat


itu, Mongaku menepi ke bawah pepohonan dan melihat
sebuah gubuk yang dibangun dari bilah-bilah papan yang
telah menghitam. Dia menurunkan buntalannya dan
menggelar tikarnya untuk tidur. Sepertinya dia terlelap
selama beberapa waktu, karena seseorang tiba-tiba
mengguncang tubuhnya.
Bangunlah, Tuan. Bangunlah, Tuan.
Mongaku membuka mata. Matahari telah tinggi. Si pria
kedi telah kembali. Dia menata bilah-bilah papan untuk
dijadikan meja dan menyajikan hidangan yang terdiri atas
nasi, ikan asin, acar, dan sedikit pasta kacang-kacangan di
atas daun ek dan keladi.
Bagus, Tuan. Makanan telah siap. Bagaimana jika kau
bangun dan mulai makan? kata pria itu, membungkuk
dalam-dalam kepada Mongaku.
Mongaku menatap heran kepada sosok yang sedang
membungkuk dengan penuh hormat kepadanya, lalu pada
makanan yang disajikan di atas daun, dan air matanya
seketika merebak. Ini ... kau mendapatkan semua ini
dengan meminta-minta?
Aku tidak akan berbohong. Itulah tepatnya yang
kulakukan ... tapi, semua makanan ini bersih. Orang-orang
termiskin, yang kesulitan memenuhi kebutuhan mereka
sendiri, bersedia membagi sedikit makanan yang mereka
miliki kepada si pengemis ini, yang merapalkan satu ayat
pun kesulitan. Yang harus kulakukan hanyalah mengetuk
setiap pintu dengan tangan terlipat Penghargaan yang
cukup bagiku jika dirimu, seorang pria suci, mau
menyantap hidangan ini, dan aku yakin bahwa orang-orang
yang memberikan makanan ini kepadaku akan merasakan
hal yang sama, jika mereka tahu. Kumohon, makanlah.

Mongaku duduk diam dengan mulut terkatup rapat;


akhirnya, dia mengangkat sepasang sumpit dan berkata,
Terima kasih. Tetapi, kau juga tidak memiliki makanan.
Aku yakin, kau belum makan sedikit pun hari ini. Kau
harus menyantap hidangan ini bersamaku.
Pria kecil itu menggeleng, namun akhirnya mengalah,
dan keduanya perlahan-lahan menghabiskan makanan itu.
Asatori ... Asatori si juru kuna!
Seorang gadis pelayan muncul membawa sebuah ember
kayu.
Kaukah itu.Yomogi? Kau memerlukan air?
Ya, aku datang lagi untuk meminta air dari sumurmu.
Orang-orang tidak mau memberi air kepada siapa pun yang
dekat dengan majikanku, Nyonya Tokiwa. Beberapa orang
malah melempari rumah kami dengan batu selagi lewat
Tunggu, biar aku saja yang mengambilkan air
untukmu, seru Asatori, segera berlari menghampiri gadis
itu.
Ada banyak cerita yang terdengar mengenai para prajurit
yang membuang berbagai macam sampah ke dalam sumur,
atau bahkan mayat Sumur di rumah si gadis adalah salah
satu yang tidak bisa dimanfaatkan lagi, sehingga dia harus
mencari air ke tempat lain. Mongaku pernah mendengar
bahwa Tokiwa adalah gundik Yoshitomo, dan bahwa
orang-orang memperlakukan Yoshitomo dengan jahat
Sejak hari itu, Mongaku tinggal bersama Asatori di
gubuk kecilnya, berbagi kehidupan aneh sebagai pemintaminta. Keduanya kerap duduk di bawah cahaya bulan di
reruntuhan Istana, merenungkan serba-serbi kehidupan di
sekeliling mereka dalam keheningan yang tidak tersentuh
oleh alunan musik dan kemeriahan.

Asatori pergi mengemis pada siang hari, dan Mongaku


pada malam hari.
Pada suatu malam, Mongaku pulang lebih cepat dengan
membawa seguci sake dan menyampaikan bahwa dia telah
memutuskan untuk pergi ke perbukitan di wilayah Air
Terjun Nachi. Sake itu, yang didapatkannya dari
kenalannya di sebuah kuil, dibawanya untuk pesta
perpisahan mereka. Dia berterima kasih untuk kebaikan
Asatori, mengatakan bahwa malam ini adalah gilirannya
untuk menjamu Asatori.
Asatori kecewa ketika mendengar kabar itu. Dia
memprotes, Tapi, ini terlalu berlebihan untuk orang seperti
aku, namun dia terus menenggak secangkir demi secangkir
sake hingga cukup mabuk.
Ah ... aku benar-benar tersanjung. Mongaku yang baik,
jika kita diberi kesempatan untuk bertemu lagi, kuharap
tempatnya tidak di tengah reruntuhan seperti ini, dan aku
akan mendengarkan baik-baik ceramah agamamu.
Ah, Asatori, kau tidak perlu mendengarkan khotbahku.
Pengabdianmu dalam menjaga Mata Air Dedalu telah
membahagiakanku. Kau merebut kekagumanku dengan
kesetiaanmu dalam menjalankan tugasmu walaupun
majikanmu telah pergi. Sungguh senang hatiku saat
mengetahui bahwa orang sepertimu ternyata ada di dunia
ini.
Oh, tidak, pekerjaan ini memang cocok untuk seorang
bodoh sepertiku. Dalam masa susah ini, aku tidak sedikit
pun berminat untuk bermain musik seperti yang pernah
diajarkan oleh ayahku.
Jika semua masalah ini telah berakhir, para bangsawan
di rumah mewah mereka dan para pejabat istana akan
melanjutkan kebiasaan mereka berpesta setiap malam

dengan diiringi musik, dan jika kau kembali menjadi


pemain musik di istana, betapa indah dan mudahnya
kehidupanmu nanti!
Aku sudah muak menjadi peliharaan para bangsawan.
Jika permainan seruling dan bangsiku benar-benar
menghibur mereka.
maka aku akan dengan senang hati tampil di hadapan
mereka dan bersedia disebut sebagai pemain musik; tapi, itu
jarang terjadi karena di tengah seluruh pesta dan
kemeriahan itu, aku terlalu sering melihat persaingan,
kedengkian, dan intrik-intrik yang mengenaskan.
Ya, aku bisa memahami bagaimana para pemain musik
menjadi orang luar yang menyaksikan para penguasa
mabuk-mabukan dan bersikap tidak masuk akal.
Ayahku sering bercerita tentang pekerjaannya sebagai
pemain musik dan tugasnya mengiringi para geisha genit
menghibur para pejabat istana.
Maksudmu, kau lebih memilih untuk hidup miskin
dengan menjaga mata air ini? Aku setuju denganmu dalam
hal ini. Kau sebaiknya memanfaatkan bakatmu untuk
menolong rakyat jelata.
Aku ragu apakah musik yang biasa kumainkan di Istana
bisa menghibur rakyat kecil Tapi, tentunya ada cara untuk
menjadikan harmoni itu cocok bagi mereka.
Ayolah, Asatori, tidak maukah kau memainkan sesuatu
untukku dengan serulingmu itu?
Permintaan Mongaku mengingatkan Asatori pada janji
Mantan Kaisar yang belum terpenuhi, dan dia menjawab,
Maafkan aku karena menolakmu. Ada sangat banyak
kenangan menyedihkan yang ditimbulkan oleh serulingku,
dan aku tidak bisa memainkannya tanpa menangis. Suasana

ceria yang dihadirkan oleh sake ini akan lenyap, dan yang
akan tersisa hanyalah perasaan kesepianku.
Mongaku tidak mendesak Asatori. Ada bunyi-bunyian
manis lain yang bisa menenangkan pikiran dan telinganya,
karena di sekelilingnya, di rerumputan di antara
reruntuhan, jangkrik-jangkrik mengerik, mendering, dan
mengetuk-ngetuk. Bulan menggantung tinggi di langit
malam di atas mereka.
Apakah ini akhir dari pertikaian?
Kurasa tidak.
Kau yakin bahwa perang akan pecah lagi? Asatori
bergidik.
Perang akan terus terjadi hingga manusia belajar untuk
menghilangkan keserakahan dan kecurigaan dari hati
mereka, jawab Mongaku. Selama anak masih meragukan
ayah mereka, dan ayah meragukan anak mereka, tidak ada
yang bisa menghentikan sanak saudara menjadi musuh
bebuyutan. Selama majikan, pelayan, dan teman-teman
tidak saling memercayai, maka tanpa pertumpahan darah
sekalipun, kehidupan di dunia ini akan menjadi neraka. Di
perang terakhir ini, api neraka sendiri akan menjangkau
kita.
Kelihatannya perang sudah berakhir.
Tidak, ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih
mengerikan. Kekejian Penasihat Shinzei adalah jaminan
bagi datangnya masa depan yang lebih buruk. Kau akan
melihat sendiri bagaimana iblis menghantui ibu kota ini.
Pikiran itu membuatku ketakutan.
Apakah penyebab utama semua ini adalah kejahatan
Shinzei?

Penyebabnya lebih jauh dan dalam, dan bukan Shinzei


seoranglah yang bertanggung jawab. Kejahatan juga ada di
dalam diriku ... di dalam dirimu.
Di dalam diriku ... dirimu?
Ketahuilah, Asatori ... manusia adalah makhluk yang
paling menyusahkan. Misalkan saja seseorang datang dan
menumpahkan sake yang sedang kita nikmati ini. Apakah
menurutmu kita akan diam saja? Atau, bagaimana jika
seseorang merampas seruling berhargamu, bukankah kau
akan berusaha merebutnya kembali? Kita berdua adalah
manusia sebatang kara yang tidak terikat pada keluarga,
namun jika bukan begitu keadaannya, kita akan menjadi
korban cinta buta, dan dalam kebutaan itu, siapa yang
mengetahui apa yang akan kita lakukan? Kalaupun kita
bebas dari segala ikatan, diri kita masih bisa dihancurkan
oleh hawa nafsu dan kecintaan kepada diri sendiri.
Tidakkah ajaran Buddha mengatakan bahwa manusia bisa
menjadi dewa ataupun iblis secara bergantian, bahwa
manusia adalah makhluk berbahaya yang tak hentihentinya terjepit di antara kebaikan dan kejahatan?
Pangeran atau rakyat jelata sama
benarnya, mereka yang hidup dalam kelebihan atau
kekurangan ... dan dunia terdiri dari keduanya. Tidak
heran jika satu kali salah langkah bisa berujung pada
pertumpahan darah.
Apakah jika semua manusia jahat, berarti tidak ada
seorang pun yang baik?
Dunia akan aman jika semua manusia menganggap diri
mereka jahat. Aku harus mengatakan bahwa aku juga jahat,
dan bahwa aku bisa dengan mudah membiarkan
perasaanku menghanyutkanku.
Apakah ini berarti kita dikuasai oleh kekuatan jahat?

Tidak diragukan lagi. Tetapi, kekuasaan adalah racun


yang lebih mematikan. Daya tarik kekuasaan bagi manusia
merupakan sebuah misteri. Siapa pun yang pernah
mengecap tampuk kekuasaan tidak akan bisa menghindar
dari menciptakan sengketa atau membiarkan dirinya hanyut
di dalamnya. Bukankah kita sudah melihat sendiri
bagaimana para tokoh terbesar dan wanita tercantik
sekalipun, atau bahkan seorang kaisar yang berumur tiga
tahun, menjadi boneka dalam perebutan kekuasaan ini? ...
Bahkan orang-orang suci di gunung mereka yang
menggembar-gemborkan tentang penebusan dosa tidak
terbebas dari keserakahan terhadap gelar dan kekuasaan.
Tidak, bahkan para geisha di Eguchi dan pedagang di pasar,
atau para pengemis . Kita memang makhluk yang betulbetul menyusahkan!
Mongaku, terhanyut dalam renungannya mengenai
kebodohan manusia, tanpa sadar menenggak bercangkircangkir sake yang dibawakannya untuk temannya. Asatori
mendengarkannya sambil lalu. Berbagai hal yang
disampaikan dengan menggebu-gebu oleh Mongaku
sepertinya tidak bisa ditemukannya di dalam dirinya
sendiri. Renungan Mongaku terdengar seperti pengakuan
seseorang yang tak henti-hentinya bergulat dengan iblis-iblis
di dalam dirinya.
Keduanya segera tertidur. Ketika malam telah setengah
berlalu, Mongaku terbangun dan mempersiapkan
keberangkatannya. Memanggul buntalan dan membawa
tongkatnya, dia berjalan menuju sungai, menyeberanginya
selagi permukaannya masih dangkal, dan
menghilang dalam kegelapan. Asatori menyertai
temannya hingga tiba di tepi sungai dan menyaksikannya
menjauh sebelum kembali ke reruntuhan Istana. Ketika
berbelok menuju salah satu jalan raya, Asatori melihat arak-

arakan panjang penunggang kuda dengan obor-obor


menyala mendekat ke arahnya. Merasakan nyalinya
menciut, Asatori berlari kembali ke gubuknya dan
bersembunyi, gemetar. Tetapi, dia tidak bisa tidur kembali
karena tersiksa oleh kegelisahan. Dia telah berhari-hari
memikirkan Mantan Kaisar dan kelanjutan nasibnya. Ke
mana pun dia pergi meminta-minta, didengarnya desasdesus bahwa pihak yang berwenang sedang bersiap-siap
untuk mengurus Mantan Kaisar; bahwa Kaisar tidak bisa
lagi menahan dan menghukum saudaranya, Sutoku, yang
telah menjalani penahbisan dan menyepi di Kuil Ninna-ji,
atau bahwa Kaisar akan memindahkan Sutoku ke sebuah
kuil yang lebih jauh dari ibu kota. Ada pula rumor yang
mengatakan bahwa pertemuan rahasia para pejabat tinggi
telah diselenggarakan untuk memutuskan nasib Sutoku.
Asatori tiba-tiba menegakkan badan. Mungkinkah arakarakan itu menuju Kuil Ninna-ji? Dia memandang bintangbintang di langit menjelang pagi, lalu bergegas bangkit dan
berlari ke jalan. Dia melewati jalan pintas di belakang
Akademi dan tiba di ruas jalan raya lain, tempatnya melihat
arak-arakan yang sama, yang menyerupai kaki seribu
berpendar, merayap melewati gerbang kota menuju Kuil
Ninna-ji di utara.
o0odwkzo0o
Sehari sebelumnya, utusan Kaisar tiba di Kuil Ninna-ji
dan menemui Mantan Kaisar, Sutoku, untuk mengatakan,
Saya hendak menyampaikan perintah dari Kaisar. Besok,
tanggal 23, Anda akan diberangkatkan ke Sanuki. Anda
hanya memiliki waktu semalam untuk menyelesaikan
urusan Anda dan mengucapkan selamat tinggal. Anda
harus menunggu kedatangan para pengawal Anda.
Pengasingan! Hati Sutoku mencelus ketika dia
mendengar kata itu. Pengasingan di seberang laut! Sutoku

memohon agar diizinkan untuk berbicara dengan Kepala


Biara. Pada tengah malam, Kepala Biara datang, dan
Sutoku mencurahkan kerisauannya akan nasib putranya.
Dia juga memohon kepada Kepala Biara untuk
mendatangkan Pangeran ke biara dan melakukan
penahbisan
kepadanya.
Tergerak
oleh
kata-kata
mengharukan
Sutoku,
Kepala
Biara
menyetujui
permohonannya.
Tiga orang wanita bangsawan, pengiring yang masih
diizinkan oleh Sutoku untuk mengabdi kepadanya, belum
rampung mempersiapkan kepergian mereka ketika
ringkikan kuda, teriakan para pawang dan prajurit, dan
derak roda kereta terdengar di luar gerbang. Obor-obor kayu
pinus berasap menerangi pagi buta itu dengan nyala terang
benderang. Gerbang-gerbang terbuka dan kesibukan para
biksu segera terlihat. Seberkas demi seberkas cahaya pucat
terlihat begitu lilin-lilin dinyalakan. Dua orang samurai tiba
di bilik Sutoku, mengatakan bahwa mereka adalah
pengawalnya dan akan membawanya ke kereta yang telah
menunggu. Di bawah temaram fajar, para biksu, pria dan
wanita pelayan, dan buruh tani yang mengerjakan tanah
milik kuil berbaris di jalan masuk dan memadati gerbang
untuk menyampaikan rasa duka. Di antara mereka,
berdirilah Asatori, yang melongok agar bisa melihat
majikannya untuk terakhir kalinya. Tetapi. Sutoku tidak
terlihat oleh Asatori karena jendela-jendela keretanya
ditutupi kayu. Sementara arak-arakan samurai dan petugas
menjauh, para penonton membubarkan diri sehingga hanya
Asatori seorang yang tersisa, memandangi punggung para
penunggang kuda. Kemudian, Asatori mengejar mereka,
tersuruk-suruk di belakang arak-arakan.
Untuk menghindari ibu kota, arak-arakan tersebut
melewati jalan becek di sisi barat, melewati Gerbang

Rashomon, dan berbelok ke selatan, di dekat Fukumi dan


Kuil Anrakuju-in. tempat Sungai Kamo dan Sungai Katsura
bertemu dan membentuk Sungai Yodo. Seluruh ibu kota
masih tertidur lelap pagi itu.
Tiga buah perahu tertambat di dermaga di Yodo.
Mereka terlambat Mereka seharusnya sudah tiba sejak
tadi, gerutu seorang samurai yang mengawal Gubernur
Sanuki.
Mereka datang, seru seorang nakhoda.
Di mana? Aku tidak melihat mereka.
Tidakkah kau melihat para nelayan berseru-seru
senang?
Sejenak kemudian, dua buah kereta yang diapit oleh
samurai-samurai berkuda tiba. Gubernur menyambut
mereka. Kalian datang lebih lambat daripada waktu yang
telah disepakati. Ini merisaukan kami, yang mengandalkan
pergerakan kami pada pasang surut air dan embusan angin.
Pastikan agar rombongan ini langsung berangkat
Para nakhoda dan awak perahu bergegas mengatur
kemudi, melonggarkan tali-tali, dan saling meneriakkan
perintah di tengah deru angin pagi. Salah seorang pengawal
Sutoku sepertinya sedang terlibat dalam perdebatan panas
dengan sang gubernur.
Sekitar tiga ratus orang pengiring, katamu?
Lagi pula, beliau bukan tahanan biasa.
Walaupun begitu ... banyak sekali. Hanya ada ruang
untuk beliau dan tiga orang pelayan.
Mungkin saja, tapi kami diperintahkan untuk mengawal
beliau. Berapakah perahu yang telah Anda siapkan?

Seperti yang kaulihat sendiri ... satu untuk si tahanan


dan pelayannya. Dua untuk para petugas dan prajurit
Mustahil untuk membawa tiga ratus orang. Kami bisa
membawa dua puluh orang ... tidak lebih. Tidak ada ruang
lagi.
Perdebatan semakin panas, dan akhirnya disepakati
bahwa dua puluh orang samurai akan menyertai Sutoku;
kedua pengawalnya kemudian berpamitan dengan Sutoku
di sana. Tiga orang pengiring Sutoku masuk terlebih dahulu
ke perahu, diikuti oleh majikan mereka. Kabin sempit itu
dilengkapi dengan dua buah jendela kecil dan hanya sehelai
tikar kasar di lantainya. Di dalam kabin, udara lembap dan
berbau apak, dan serangga-serangga menjijikkan merayap
ke sana kemari. Sang gubernur, yang perahunya telah lebih
dahulu berangkat, berseru, Kunci pintu kabinnya, kita
berangkat!
Teriakan tiba-tiba terdengar ketika seorang nakhoda
menemukan seorang pria aneh bertubuh kecil bersembunyi
di antara sebuah lemari geladak dan kabin, dan
menyeretnya keluar dengan mencengkeram tengkuknya. Si
nakhoda, setelah mengamati pria itu lekat-lekat,
menghardiknya, Dasar pengemis sungai! Apa maksudmu
dengan menyelinap kemari dan bersembunyi? Apa kau peri
sungai? Pasti begitu ... kau memang makhluk sungai! Si
nakhoda pun melempar pria itu ke sungai. Orang-orang di
kedua perahu lainnya bersorak sorai dan tertawa terbahakbahak menyaksikan adegan ini. Mendengar ceburan,
Sutoku mengintip dari jendela dan melihat Asatori
menggapai-gapai
di
permukaan
sungai.
Asatori
meneriakkan sesuatu, namun arus sungai yang deras
menjerat dan menyeretnya.
Perjalanan laut yang berat itu berakhir pada 15 Agustus,
ketika ketiga perahu nelayan kecil tersebut tiba di pesisir

timur laut Pulau Shikoku di dekat Sakad6. Sutoku dan


ketiga pelayannya disambut oleh sipir mereka, seorang
petugas baik hati yang membawa mereka ke sebuah kuil di
wilayah perbukitan. Di sana, Sutoku tinggal selama tiga
tahun hingga dipindahkan ke tempat yang lebih jauh lagi, di
tengah perbukitan wilayah selatan.
Di antara penduduk ibu kota yang bersedih mendengar
kepergian mendadak Sutoku adalah Saigyo, si biksu penyair
(Sato Yoshikiyo), yang telah dengan cerdik berhasil
mengirim sebuah puisi kepada Sutoku di tempat
pengasingannya melalui sipirnya yang baik hati.
Pada suatu malam musim gugur, Sutoku meletakkan
kuasnya dan berbicara kepada salah seorang pengiringnya:
Aku mendengarnya malam ini, dan sepertinya aku
mendengarnya lagi ... mustahil jika aku hanya
membayangkannya. Apakah kau juga mendengarnya?
Bunyi itu terdengar lagi ... tidak salah lagi, alunan
seruling ... dan sepertinya mendekati mereka.
Apakah kau mengenal seseorang di daerah ini yang
pintar bermain seruling? Aku bertanya-tanya, siapakah
dia?
Musik yang sungguh indah!
Keluarlah diam-diam untuk mencari tahu. Pasti
seseorang telah melihat nyala lilin ini .Tidak mungkin
jika dia salah seorang pengawal.
Wanita itu menyelinap keluar dan berlari ke pos
pengawal, lalu mengetuk pintunya dengan lembut. Seorang
pengawal keluar, dan wanita itu bercerita tentang apa yang
didengarnya. Si pengawal mendengarkan dengan penuh
perhatian
dan
menjanjikan
kepadanya
untuk

mempertemukannya dengan si pemain seruling misterius


itu, ketika seorang peziarah muda tiba-tiba muncul,
membawa sebuah seruling. Pemuda itu menjawab
pertanyaan yang diberikan kepadanya.
Ya, ya. Saya melakukan perjalanan ziarah dari
Shikoku dalam dengan harapan bahwa kesempatan akan
membawa saya kemari, tempat musik saya akan
menenangkan sang Mantan Kaisar yang sedang berada
dalam pengasingan. Saya telah sangat lama berdoa agar
beliau bisa mendengarkan alunan seruling ini. Nama saya
Asatori. Saya berasal dari keluarga pemain musik istana,
namun saya meninggalkan pekerjaan saya untuk mengabdi
selama bertahun-tahun kepada Yang Mulia sebagai juru
kunci Istana Mata Air Dedalu.
Ketika mendengar namanya, sang wanita pengiring,
yang telah sering mendengar Sutoku membicarakan tentang
Asatori, bergegas menyampaikan kabar itu.
Asatori? Jadi, ternyata Asatori yang meniup seruling
itu! seru Sutoku, cepat-cepat keluar ke beranda dan duduk
di sana. Beranda itu menjorok di atas sebuah kolam yang
ditumbuhi bunga-bunga teratai, dan Asatori, yang dilarang
melintasi jembatan lengkung di atasnya, berdiri cukup jauh
di antara rerumputan tinggi. Bayangan bulan tampak di
permukaan air.
Mereka bertukar pandangan tanpa berkata-kata, dan
Sutoku menyesal karena tidak pernah memenuhi janjinya
kepada Asatori ... bahwa dia akan mendengarkan
permainan serulingnya di bawah cahaya bulan. Tetapi,
Asatori tidak melupakannya. Dia telah mengarungi laut
yang ganas dan menghadapi bahaya yang tak terhitung
banyaknya demi menemukan dirinya. Asatori juga
menolongnya di perbukitan ketika dia melarikan diri dari
Shirakawa.

Asatori hanya sanggup meneteskan air mata; kemudian,


menempelkan serulingnya ke bibir, dia mulai meniup,
mencurahkan seluruh hatinya ke dalam nada-nada yang
mengalun indah.
Bulan telah tenggelam. Matahari mulai mengintip, dan
alunan seruling sudah tidak terdengar lagi. Setelah
berpamitan kepada Sutoku, Asatori bertolak dari tempat itu,
berulang kali menoleh ke belakang.
Sejauh yang diketahui umum, Asatori adalah satusatunya orang yang pernah mengunjungi Mantan Kaisar
Sutoku di pengasingan. Pada Agustus 1146, Sutoku wafat
dalam usia empat puluh enam tahun, dalam keadaan
hancur secara jiwa dan raga. Pada awal musim dingin
tahun berikutnya, seorang peziarah berdiri di samping
sebuah batu nisan di perbukitan Shikoku; dia adalah
Saigyo, yang memulai sebuah perjalanan ziarah dari ibu
kota pada musim gugur.
o0odwkzo0o

Bab XIX-SEBUAH KEDAI TEH DI EGUCHI


Menjelang tengah hari pada akhir November 1159, tiga
orang samurai muda memacu kuda mereka di tepi Sungai
Yodo. Ilalang layu membentang hingga bermil-mil di
sekeliling mereka bagaikan asap yang menggantung rendah,
dan sejauh mata memandang, awan gelap bertemu dengan
permukaan sungai yang kelabu. Matahari siang itu tampak
bagaikan titik terang benderang di langit yang kusam.
Ho-hoy ... Jiro! Berhentilah berpura-pura kau tahu
jalan. Apa kau yakin kau mengambil belokan yang benar?

Baiklah, baiklah. Kita baru saja melewati Perbukitan


Tenno dan pasti berada di Jalan Raya Yamazaki sekarang.
Kita akan tiba di Akutagawa dengan mengikuti kaki
perbukitan.
Tota dan Juro, yang memacu kudanya cukup jauh di
belakang Jiro, meledek, Jiro sepertinya tahu banyak
tentang ini, ya? Katamu ini perjalanan pertamamu, tapi kau
sudah mengenal jalan ini dengan baik
Oh, begitukah? Jadi kau sudah merencanakan ini dan
baru terpikir untuk mengajak kami, ya?
Kau pembohong, Tota! Bukankah kau yang merengekrengek terus padaku untuk pergi ke Eguchi dan
menghabiskan malam disana dengan menonton para geisha
beraksi?
Bukan, itu Juro, pemuda kota kita, yang tahu banyak
soal geisha!
Hei.Tota! Berhati-hatilah dengan perkataanmu!
Juro tergelak. Sudah, sudah, jangan saling
menyalahkan! Jiro sepertinya sama sekali tidak keberatan!
Sepertinya salju akan turun lagi sebelum malam tiba.
Mari kita berharap agar salju turun setelah kita tiba di
Eguchi.
Para penunggang kuda itu mendadak berhenti untuk
mendengarkan lenguhan angsa-angsa liar yang terbang di
kejauhan.
Keahlian berkuda mereka menunjukkan bahwa
ketiganya, walaupun datang dari ibu kota, adalah samurai
yang mengenal baik wilayah timur Jepang. Kecuali Jiro,
yang lainnya datang ke ibu kota untuk memenuhi perintah
Yoshitomo dan ambil bagian dalam perang di Shirakawa.

Jiro terlambat datang, namun tetap tinggal di Kyoto


berdasarkan perintah Jenderal Yoshitomo dan bergabung
dalam Pasukan Pengawal Berkuda.
Dua tahun setelah Perang Hogen, banyak perubahan
terjadi di Kyoto. Istana Kaisar telah dipugar. Menterimenteri baru ditempatkan di berbagai departemen, dan
undang-undang baru mulai dijalankan. Upacara-upacara
tradisional, yang telah diabaikan selama lebih dari seabad,
diselenggarakan kembali; Akademi Musik dan pelatihan
untuk penari istana dibuka kembali. Pertandingan sumo
kembali diadakan di taman Istana seperti sebelumnya, dan
nuansa perdamaian telah kembali, ketika tanpa peringatan
dan penyebab yang jelas, Kaisar Goshirakawa tiba-tiba
digulingkan dari tahtanya dan digantikan oleh Kaisar Nijo.
Mendekati akhir November, ketika kebosanan
merundung rentetan kegiatan resmi di Istana, para
pengawal mendapatkan cuti secara bergiliran; sekarang
adalah giliran ketiga samurai ini, yang telah sangat banyak
mendengar tentang kecantikan luar biasa para geisha di
Eguchi. Khawatir akan dianggap kampungan oleh rekanrekan mereka sesama pengawal, mereka membuat rencana
untuk semalam di Eguchi, di dekat mulut Sungai Yodo.
Sungai Kamo dan Katsura bertemu beberapa mil di selatan
Sungai Yodo membentuk sebuah delta di Naniwa.
Banyak di antara kapal yang membawa muatan untuk
Kyoto, perahu nelayan, dan perahu dari timur dan barat
yang singgah di Nakiwa, dengan kampung nelayan di
tengah padang ilalangnya. Eguchi, yang terletak cukup
dekat dengan mulut sungai, adalah sebuah desa yang
dipenuhi oleh penginapan, kedai teh, dan rumah bordil.
Para pengunjung dari Kyoto biasanya singgah di Eguchi
dalam perjalanan tamasya air, namun ketiga samurai
tersebut tidak memiliki waktu untuk bersantai-santai.

Jadi, inilah Eguchi dan kedai-kedai tehnya!


Lebih ramai daripada tempat-tempat lainnya yang kita
lewati
Sekarang, kita harus mencari tempat untuk menginap.
Para samurai itu turun dan menuntun kuda mereka
dengan kecewa di sepanjang jalan utama, mengamati setiap
rumah yang mereka lewati. Wajah-wajah sepucat bunga
bakung mengintip dari balik jendela-jendela berjeruji yang
tampaknya hanya seukuran sangkar burung. Sesekali,
mereka melihat para geisha di bilik-bilik kecil di balik pagar,
berjongkok di dekat tungku-tungku tanah liat, memasak
atau mengipasi bara. Semakin jauh mereka melangkah,
bagaimanapun, rumah-rumah yang mereka lewati tampak
lebih anggun dan mewah. Mereka melihat beberapa orang
wanita dengan sanggul berhias bunga krisan musim dingin.
Beberapa wanita lain yang mengenakan topi lebar atau
mantel rapat melewati mereka, mendampingi para tamu
yang baru saja mendarat. Dari suatu tempat di atas mereka,
di lantai kedua sebuah rumah, terdengarlah petikan harpa,
dan air yang bergemericik di selokan samar-samar
mengeluarkan wewangian.
Menjelang senja, ketiga samurai itu menambatkan kuda
mereka di luar sebuah rumah yang lebih menyerupai rumah
peristirahatan seorang bangsawan daripada Kedai teh.
Rumah ini terdiri dari beberapa ruangan yang dipisahkan
oleh taman-taman kecil. Sebuah beranda berlangkan yang
berpemandangan Sungai Yodo menjorok ke luar dari salah
satu sisi rumah.
Sake, makanan-nah, bagaimana dengan ge.sha?
Kau harus memintanya secara khusus.

Bukankah tempat ini lebih mirip dengan rumah seorang


samurai
Tidak ada gunanya menginap di dekat sebuah keda, teh
jika kita harus memikirkan kelakuan kita.
Tidak ada geisha-apakah kita harus menghibur diri
sendm?
Tunggu, aku akan memeriksanya.
Tota keluar dari kamar mereka dan kembali sejenak
kemudian. Mereka akan datang kemari ... sebentar lagi.
Datang kemari? Akhirnya ...
Gadis-gadis itu tinggal di sayap lain rumah ini bersama
si nyonya rumah ... seorang biksuni. Seorang biksuni,
katamu?
Sepertinya begitu. Kudengar mereka lumayan memilihmilih tamu mereka. Sepertinya mereka menganggap kita
orang terhormat Ini payah. Kita tidak akan bisa
bersenang-senang. Jangan buru-buru mengeluh. Kita
harus melihat gadis-gadis itu terlebih dahulu.
Para geisha segera muncul dalam balutan kimono
melambai berwarna-warni. Perangai, tatanan rambut, dan
rias wajah berlebihan mereka mengingatkan para pemuda
itu pada gadis-gadis istana.
Perhiasan-perhiasan yang mereka kenakan menunjukkan
bahwa para saudagar, yang sering melakukan pertukaran
barang dengan para penyelundup dari Cina, merupakan
langganan tetap tempat ini.
Juro, yang tertua di antara ketiganya, bertanya,
Siapakah nama kalian?
Senzai.
Kujaku.

Ko-Kannon.
Alih-alih hanya semalam seperti yang telah mereka
rencanakan, samurai itu menginap selama tiga malam. KoKannon sepertinya sangat terpikat pada kepolosan Jiro dan
aksen timurnya yang terdengar kuno, dan Jiro menganggap
Ko-Kannon sangat memesona. Sementara teman-temannya
menghabiskan waktu dengan minum-minum dan bermain
dadu, atau menari dan menyanyi dengan iringan kecapi
bersama para penghibur lainnya di rumah itu, Jiro menyepi
di sebuah bilik mungil bersama Ko-Kannon. Terhanyut
oleh sake, Jiro menatap kelopak mata pucat Ko-Kannon
dan bertanya,
Sejak kapankah kau tinggal di Eguchi? Sejak tiga
tahun terakhir. Sejak Perang Hogen, kalau begitu?
Ya, rumahku terbakar hingga rata dengan tanah,
jawab Ko Kannon, menurunkan pandangannya. Ayahku
meninggal ketika itu,
dan seluruh keluargaku tercerai berai.
Oh?
Aku bangga mengatakannya ... ayahku berpihak kepada
Mantan Kaisar dan dipenggal karenanya.
Jadi, ayahmu adalah seorang pejabat istana? Sungguh
kejam, memisahkan seorang gadis muda yang malang dari
keluarganya dan menjadikannya seorang wanita penghibur!
Jika ayahmu masih
hidup, kau pasti akan menjadi seorang wanita terhormat
yang hidup merdeka
Jangan katakan itu, kumohon .Aku bukan satusatunya orang yang datang kemari setelah perang berakhir.
Ada gadis lain yang berdarah lebih biru, yang telah ... .

Bukan sesuatu yang aneh jika banyaknya Pejabat Istana


dan jenderal yang terbunuh berdampak pada banyaknya
wanita berdosa yang harus menghadapi segala macam
Kemalangan, tidak seluruhnya, rupanya, memilih untuk
menjadi biksuni.
Tidak seluruhnya, tentu saja. karena Ibu kami di sini,
begitulah kami memanggilnya, menikmati kehidupan
semacam itu dan memilih untuk datang ke Eguchi. Tidak
semua rumah disini, seperti kelihatannya, dan tidak semua
penghibur di sini pelacur biasa.
Jiro yang telah banyak mendengar tentang wanita-wanita
penghibur termahsyur dari Eguchi ketika masih tinggal
ditimur, menatap Ko-Kannon dengan kagum.
Tentunya ada banyak pejabat istana dan pria terhormat
yang datang kemari. Apakah yang mendorong kalian untuk
menerima kami, samurai-samurai dan timur ini. dengan
penuh kehangatan
Ko-Kannon tersenyum ketika mendengar pertanyaan
Jiro.
Kami sudah tidak punya rasa hormat lagi untuk para
bangsawan yang wangi dan rapi-para menteri dan pejabat
tinggi itu. Tidak terkatakan lagi kemuakan kami, setelah
beberapa waktu, saat harus menghibur mereka. Di mata
kami. para saudagar ceria dan penuh senyuman yang telah
mengarungi lautan dan kalian para samurai muda. lebih
terlihat seperti pria sejati. Aku tidak tahu alasan
tepatnya-dan bukan aku seorang yang berpikir begitu.
Kita akan pergi besok, kata para samurai muda saat
mereka semua berkumpul. Sekarang adalah malam
terakhir kita untuk berpesta. Para wanita di sini memang
luar biasa. Kita sebaiknya membiarkan Jiro berduaan

dengan Ko-Kannon agar dia bisa mengucapkan salam


perpisahan.
Tetapi, Jiro dan Ko-Kannon hanya saling melempar
senyuman senang ketika mendengar ledekan itu. Mereka
turut menari dan bermain dadu dengan berisik, sesuatu
yang sepertinya tak bosan- bosannya dilakukan oleh Juro
dan Tota. Bercangkir-cangkir sake mereka habiskan untuk
mengiringi tarian, drama, dan canda tawa mereka.
Menjelang tengah malam, para penghibur mereka
mendadak menghilang seorang demi seorang, hingga yang
tersisa hanyalah seorang gadis pelayan bermata sayu yang
bertugas menuangkan sake.
Mengapa mereka mendadak lenyap?
Mungkinkah mereka hantu-karena mereka pergi begitu
saja
Bahkan Ko-Kannon milik Jiro juga meninggalkan tanpa
penjelasan-
Ada tamu penting yang baru saja tiba dari ibu kota,
kurasa.
Astaga ... aku penasaran, siapakah mereka? Ketiganya
mengintip dari balik cabang pohon yang melengkung di atas
sungai dan melihat sebuah perahu berhiasan mewah
menepi. Nyala lentera menerangi tepi sungai, dan akhirnya,
seorang pria yang mengenakan mantel berburu, ditemani
oleh beberapa orang pengiring, berjalan ke arah rumah.
Ko-Kannon, sementara itu. muncul kembali; dia menarik
Jiro dan membisikkan sesuatu ke telinganya, lalu keluar
lagi.
Apa katanya, Jiro? -

Dia hanya menjelaskan duduk


meminta maaf, dan menangis.

perkaranya,

dan

Aku diberi tahu bahwa tamu yang baru saja kita lihat
itu bukan seorang pelancong biasa, atau saudagar kaya, tapi
kerabat dekat dari pemilik rumah ini.
Apa hubungannya hal itu dengan kita? Kita juga tamu
di sini.
Kau marah? Itu tidak akan berguna.
Mudah saja berkata begitu, karena kau mendapatkan
kenikmatan waktu Ko-Kannon menangis di bahumu, tapi
bagaimana dengan kami?
Seorang samurai tidak boleh terbakar emosi.Tunggu
hingga aKu selesai menjelaskan. Orang-orang yang baru
saja tiba itu adalah para pengurus rumah tangga dan
pelayan dari Rokuhara. M* Kyomon
sedang melakukan perjalanan ziarah ke Tempat
Pemujaan di Kishu dan akan singgah sebentar di sini. Dan
datang
terlebih
dahulu
untuk
mempersiapkan
kedatangannya barang satu atau dua hari lagi.
Dari Rokuhara! Tota dan Juro terkesiap dan saling
memandang.
Aku pernah mendengar kabar burung tenung perjalanan
ziarahnya ini. namun harinya sudah ditetapkan, bukan?
Itu berarti kita harus pulang ke ibu kota sekarang ,uga.
Kita sudah mendapatkan perintah dari Jenderal Genji
Yoshtomo.
Kita tidak boleh membuang-buang waktu.
Ketiga samurai itu segera bersiap-siap pergi. Kuda kita
apakah sudah disiapkan.

Kuda kalian akan langsung diantarkan kemari.


Sayangnya kami agak sibuk . Harap sabar sejenak.
jawab seorang pelayan dengan nada menenangkan.
Tidak, kami tidak marah. Ada urusan mendadak yang
mengharuskan kami kembali ke ibu kota sekarang juga .
Dimanakah istalnya? Kami akan berangkat dan sana.
Lewat sini, Tuan-Tuan. Saya akan menunjukkan
,alannya. Ko-Kannon menanti di luar dengan membawa
sebuah lentera dan membawa mereka melintasi sebuah
kebun, lalu melewat, sebuah gerbang. Istal itu terletak di
sebuah lahan kosong di antara rumah an bangunan di
sampingnya.
Tolong jangan lupakan kami. dan datanglah lag., kata
Ko-Kannon. ,
Lain kali. Jiro sebaiknya datang sendirian. Tota dan
juro tergelak sambil memasang pelana pada punggung kuda
mereka dan bersiap-siap menungganginya. Ketika menoleh,
mereka mel.hat bahwa Jiro sedang mengintip dari bali
semak-semak. Apakah itu rumah tetangga kalian?
Bukan, di situlah kami tinggal bersama Ibu. Jiro! Dasar
bajingan tukang intip! Ko Kannon, marahi dia! Tidak apaapa, cahaya yang di sana berasal dari kamar Ibu.
Kamar kami ada di sisi kebun yang ini.
Tota langsung menyodorkan tali kekangnya ke tangan
Juro dan berlari untuk bergabung bersama Jiro. Walaupun
udara ketika itu dingin, sebuah kerai terbuka, dan mereka
bisa melihat dengan jelas sosok seorang wanita yang duduk
di sana. Sulit untuk menentukan umurnya. Lipatan putih
kerudung seorang biksuni membingkai wajahnya dengan
indah; sepertinya dia berusia awal lima puluhan, lotnya
berkilau pucat di bawah cahaya lentera, dan alisnya yang
mulas menghadirkan kesan muda pada wajahnya yang

terbingkai kerudung Kimononya yang bernuansa cokelat


menjadikan sosoknya semakin mencolok, terutama ketika
dia berbicara dengan seseorang vane berada di dekat tiang
lentera. Tota dan Jiro langsung mengenali pria yang telah
sering mereka lihat di ibu kota itu, dan mereka saling
memandang dengan mulut ternganga. Dia adalah adik
Kiyomori, Tsunemori, seorang samurai yang setelah Perang
Hogen diangkat ke Golongan Kelima.
Malam itu juga. ketiga samurai tersebut berangkat ke
Kyoto.
Ketika berhenti di jalan untuk beristirahat, mereka
membahas apa yang baru saja terjadi. Juro, yang tidak
melihat semua yang dilihat oleh Jiro dan Tota,
menambahkan, Aku tahu bahwa adik Kiyomori
dijadwalkan untuk datang mendahului rombongannya,
namun siapakah nyonya rumah yang ditemuinya itu? Aku
tidak tahu namanya.
Kemudian, mereka berusaha mengingat apakah mereka
telan mengatakan sesuatu secara tersirat selama
menghabiskan waktu di Eguchi, karena mereka pernah
mendengar bahwa nyonya rumah
di penginapan yang mereka tempati memiliki hubungan
keluarga dengan Kiyomori.
Sudah, jangan khawatirkan itu, Jiro meyakinkan
teman-temannya.
Jiro, Ko-Kannon pasti pernah mengatakan sesuatu
padamu. Mudah saja kau menyuruh kami untuk tidak
khawatir, tapi apa yang membuatmu berkata begitu? ..
Aku ingin memercayai ceria Ko-Kannon, tapi aku tetap
meragukannya . Nah, itu dia! Ko-Kannon pasti telah
mengatakan sesuatu kepadamu.

Memang dan inilah yang dikatakannya, Ibu mereka


memang pernah menjadi geisha di ibu kota, dan dia pernah
menjadi gundik Kaisar Shirakawa, julukannya ketika itu
adalah Perempuan Gion.
Perempuan Gion?, sepertinya aku pernah mendengar
nama itu.
Kaisar Shirakawa memberikannya pada Heike
Tadamori untuk dijadikan isteri. Mereka memiliki beberapa
orang putra dan yang tertua adalah Kiyomori. Hanya ada
beberapa orang yang mengetahui hal ini, dan Ko-Kannon
menyuruhku berjanji untuk tidak menceritakannya kepada
siapa pun.
Jiro dan Tota menepuk pelana mereka dan berseru,
Dari semuanya yang kalian obrolkan !, kita sebaiknya
tidak pergi ke Euguchi bersama Jiro lagi. Kita tidak tahu
ternyata dia sudah sedekat itu dengan Ko-Kannon. Tapi,
dengar, apakah yang dikatakannya itu benar? Ini desasdesus serius tentang seorang tokoh yang berpengaruh.
Serius mungkin dan tidak terlalu mustahil. Jenderal
Yoshitomo sekalipun, kata orang-orang, adalah anak
seorang geisha cantik.
Itu dia. Aku ingat-kisah tentang ayah kandung
Kiyomori.
Omong-omong, kita benar-benar bersenang-senang di
Eguchi.
Ya, tapi seperti apakah suasana ibu kota saat ini?
Tidak ada gunanya meramalkan hari esok, dan tidak akan
berarti jika samurai biasa seperti kita berusaha menebaknebak. Yang jelas, bagaimanapun, Jenderal Yoshitomo
ingin mengetahui tanggal tepat keberangkatan Kiyomori ke

Kumano, dan kita diperintahkan dengan tegas untuk


kembali ke ibu kota jika tanggal itu sudah diketahui.
Lihat, hujan es turun! Mari kita memacu kuda kita agar
bisa cepat-cepat menghangatkan diri.
Di belakang mereka, jalan, sawah, dan perbukitan segera
tampak memudar.
o0odwkzo0o

Bab XX-Perjalanan Ziarah ke Kumano


Tsunemune, sang pejabat istana, lagi-lagi menghabiskan
harinya di rumah peristirahatan Wakil Penasihat di pinggir
kota. Hampir semua orang di kalangan istana mengetahui
tentang kedekatan keduanya, nemun demi menjaga
penampilan, Tsunemune memberikan penjelasan bahwa
alasan dia sering mengunjungi rumah Nobuyori Fujiwara
adalah untuk memberinya pelajaran sepak bola. Siapa pun
yang mengetahui bahwa Tsunemune lihai dalam
memanfaatkan orang lain demi mendapatkan keinginannya,
akan menghindari keterlibatan dengannya; kendati begitu,
Tsunemune tidak pernah kehabisan pengikut. Mantan
Kaisar Goshirakawa selalu memilihnya sebagai teman
bermain sepak bola, dan Kaisar Nijo menyukainya,
sementara Nobuyori, sang wakil penasihat, menjadikan
Tsunemune kawan sekaligus orang kepercayaan.
Tsunemune, apakah yang menghalangi
Narichika dan Penasihat Moronaka?

Jenderal

Mereka akan segera tiba. Aku tidak mengetahui apa


yang mungkin menghambat mereka, kecuali jika mereka
datang terlambat dan terpisah untuk menghindari
kecurigaan mengirim pesan kepada Korekata?

Pamanku berjanji untuk datang malam ini.Tugasnya di


Kepolisian menyibukkannya sepanjang siang.
Kalau begitu, sebaiknya kita berlatih terlebih dahulu.
Tidak, aku lelah dan sudah cukup berlatih hari ini. Jika
aku terlalu lelah, kepalaku tidak akan jernih untuk
mengikuti pembicaraan kita nanti.
Tsunemune dan Nobuyori berada di sebuah lapangan
sepak bola, tempat selama beberapa waktu bunyi bola kaki
yang disepak terdengar membelah udara musim dingin
dengan tajam. Saat ini, mereka sedang beristirahat di bawah
sebatang pohon dan berbicara dengan nada rendah.
Beberapa orang pejabat istana yang masih muda semakin
sering bertemu di tempat itu dengan kedok
menyelenggarakan kontes puisi dan pertandingan sepak
bola, walaupun alasan utama pertemuan mereka adalah
untuk membicarakan Shinzei.
Selama hampir tiga tahun setelah Perang Hogen
berakhir, kekuasaan Shinzei tidak tertandingi lagi. Dia telah
berubah dari seorang pejabat biasa menjadi pemegang
kekuasaan mutlak, dan wajar saja jika banyak pihak
kemudian berseberangan dengannya.
Dalam menegakkan kekuasaannya, Shinzei senantiasa
tegas dan menjalankan peraturan dengan tangan besi.
Kendati begitu, terdapat keyakinan yang semakin kuat di
kalangan pejabat istana bahwa
jika Shinzei tidak segera disingkirkan, maka entah
sampai sejauh apa tangannya akan menjangkau. Bersama
berakhirnya pertikaian, Shinzei memastikan agar
perdamaian ditegakkan tanpa sedikit pun penundaan.
Reformasi besar-besaran dilakukan berdasarkan arahan
darinya. Undang-undang baru yang mengatur pajak daerah
dijalankan, dan pelarangan penggunaan senjata di wilayah

kota diberlakukan. Shinzei juga memiliki wewenang untuk


menentukan jabatan seseorang dan menetapkan hukuman
ataupun penghargaan. Walaupun telah menghadirkan
banyak perbaikan, kekuasaan Shinzei tidak bisa diterima
begitu saja oleh semua orang, dan sebagian orang juga
mempertanyakan kediktatorannya.
Entah tirani yang menciptakan konflik, atau konflik yang
munculkan tirani, tidak bisa dipungkiri bahwa seorang
penguasa memiliki hak luar biasa atas dirinya sendiri telah
terlahir dalam semalam dan menempatkan dirinya sebagai
kepala negara. Walaupun Situasi memihak dirinya dan
keahliannya tidak bisa dipertanyakan, orang-orang yang
membencinya berpendapat bahwa Shinzei mendapatkan
kesuksesannya sebagian besar adalah berkat dukungan dari
kekuatan militer Kiyomori; alasan itu saja sudah cukup
untuk melecutkan kekesalan di hati para samurai Genji.
Kemudian, mulai terdengar rumor bahwa peraturanperaturan baru dibuat untuk mengukuhkan posisi Shinzei
dan para sekutunya.
Pertemuan rutin dan pembicaraan rahasia di rumah
peristirahatan
Nobuyori
menghasilkan
sebuah
persekongkolan besar untuk menggulingkan Shinzei.
Rencana itu diharapkan dapat dilaksanakan dalam waktu
satu atau dua tahun. Menjelang akhir November 1159,
bagaimanapun, terdengarlah desas-desus mengenai rencana
perjalanan ziarah Kiyomori ke Tempat Pemujaan Kumano,
sebuah perjalanan sepanjang tujuh hari dari ibu kota. Desasdesus tersebut membuat orang-orang yang terlibat dalam
persekongkolan sepakat; bahwa kesempatan untuk
melakukan serangan akhirnya tiba ... sebuah kesempatan
yang tidak akan terulang lagi di kemudian hari.
Rumah peristirahatan Nobuyori menjadi tempat
pertemuan pada hari sebelumnya, dan kedua pemimpin

persekongkolan in TsunemunS dan Nobuyori ... telah


menyebarkan undangan untuk
pertemuan lanjutan hari ini.
Matahari sore memancarkan sinarnya yang terik ke
lapangan sepak bola, tempat lima atau enam orang pria
duduk di tanah di dekat gawang. Jenderal Narichika dan
Penasihat Moronaka telah bergabung dengan kelompok itu,
yang seolah-olah sedang mengobrol tentang sepak bola.
Padahal, mereka membahas sesuatu yang lebih penting.
.Jadi 4 Desember adalah tanggal kebeningkatan
Kiyomori ketempat pemujaan Kumano?
Itu sudah pasti karena aku mendengarnya dari sumber
yang terpercaya, yang juga sering berkunjung ke
Rokuhara, Jawab Jenderal Narichika.
Tanggal 4-itu berarti, kita hanya memiliki sedikit waktu
..
Para penyusun rencana itu tanpa sadar bergidik ketika
memikirkan apa yang sedang menanti mereka Sarang sudah
tidak ada lagi pertanyaan tentang menunda aou mundur
Kta memiliki seluruh alasan untuk meyakini bahwa
perjalanan Ziarah Itu akan dilaksanakan pada awal musim
semi,. Namun perubahan rencana Ini memaksa kha untuk
mempercepat persiapan kita. Apa pun Itu, sebaiknya kta
meneruskan pembahasan ini didalam rumah.
Mereka pun memasuki rumah; kerai-kerai ditutup dan
para penjaga ditempatkan di sepanjang koridor dan lorong
untuk mencegah gangguan apa pun. Setelah matahan
tenggelamkah paman Nobuyori. Korekata, mantan
Panglima Pengawal Golong Kanan, dan pembicaraan pun
menjad, lebih mendetail.Sebagai seorang pejabat

Kepolisian. Korekata bertugas menjaga kedamaian dan


ketenteraman ibu kota. Wewenang Korekata dan pasukan
Genji Yoshitomo, serta para pelaku persekongkolan, adalah
perpaduan yang tidak terkalahkan.
o0odwkzo0o
Tuan Hidung Merah, pemilik sebuah rumah megah di
pintu masuk pasar kota di dekat gerbang menuju Jalan
Kelima, adalah orang kaya baru. kata orang-orang. Dia
mempekerjakan banyak pembantu ... pria dan wanita ... di
gudang-gudangnya, yang penuh berisi gulungan kain.
pewarna kain. sisir, kosmetika, dan wewangian dari Cina.
Tuan Hidung Merah adalah saudagar kesayangan para
wanita Istana. Bamboku adalah nama aslinya, namun dia
lebih terkenal dengan julukannya karena hidungnya yang
sewarna buah stroberi ranum tampak mencolok di pusat
wajahnya. Kulit yang tertarik di bagian samping hidungnya
bekas penyakit cacar yang dideritanya ketika masih
kanak-kanak menyebabkan hidungnya mencuat ke atas.
Namun sesuatu yang akan dianggap merusak
penampilan oleh para pria berumur empat puluhan lainnya
justru terbukti sebaliknya bagi Bamboku karena hidungnya
justru memberikan kesan keramahan yang tulus.
Seandainya dia memiliki hidung bangir tanpa keanehan
apapun mungkin perhatian setiap orang akan langsung
tertuju pada wajahnya yang berkesan licik. Dia jarang
disapa menggunakan nama aslinya lebih sering disebut
sebagai Tuan Hidung oleh rekan- rekarmya sesama
saudagar, atau bahkan si Hidung Merah atau si Hidung saja
... begitulah, sehingga wajar saja jika orang-orang tidak
memedulikan nama aslinya.
Bamboku, sepertinya kau semakin kaya saja.

Ah, Yang Terhormat Tsunemune! Apakah Anda


sedang berjalanOh. tidak, aku baru saja bermalam di rumah
pensirahatan Wakil Penasihat ... kontes puisi seperti
biasanya, kau tahu. Anda hendak pulang, kalau begitu?
Kau sepertinya sudah sibuk sepagi ini. Bagaimana ,.ka
kita berbicara di dalam-ada sebuah permintaan yang harus
kusampaikan padamu .
Tidak perlu meminta maaf . Nah, silakan, lewat sini.
Bamboku mempersilakan Tsunemune memasuki
tokonya dann melewati sebuah lorong sempit, sebuah arena
berkuda, dan sederet gudang, menuju sebuah halaman
dalam.
Anda sebenarnya bisa masuk melalui gerbang di
halaman.
Gerbang itu terkunci. Bamboku
Ah, ternyata saya sangat ceroboh, Hei kata
Bamboku ketika melewati kamar tidur istrinya, Ada tamu,
Yang Terhormat Tsunemune, lalu membawa tamunya
melewat, perkarangan menuju sebuah ruangan yang
bermandikan cahaya matahan pagi yang dingin.
Kalian para saudagar memiliki rumah-rumah indah ...
cerah dan ceria.
Tidak semuanya, Tuan, tidak seperti kediaman Anda
yang cantik.
Kau salah dalam hal itu. Tradisi, kedudukan sosial,
keharusan untuk menjaga penampilan, semua itu
memperumit kehidupan kami, sehingga kami semakin
jarang bisa melihat matahari. Kaisar dan para wanita istana
menghabiskan waktu mereka di dalam ruangan- ruangan

yang berpenerangan lilin. Lebih baik kau tidak bertambah


kaya dan membangun rumah yang lebih besar.
Ah, tidak, Tuan, saya tidak bisa diperhitungkan di
kalangan saudagar kaya di Jalan Kelima ini.Walaupuan
saya memiliki beberapa ambisi .Anda tidak perlu
mengkhawatirkan saya. Tuan, dan saya tentu saja berharap
bahwa Anda bisa terus menjadi pengayom saya.
Kudengar kau mendapatkan kekayaan yang cukup
besar setelah perang usai.
Begitulah kelihatannya di mata orang-orang, Tuan,
walaupun kenyataannya jauh dari itu.
Tsunemune tergelak. Jangan takut, Bamboku, aku tidak
akan memohon utang.
Tetapi, Tuan, kalaupun Anda meminta sesuatu yang
mustahil saya penuhi, saya akan tetap mengusahakannya
dengan senang hati.
Kau hanya berusaha menyenangkan hatiku, bukan?
Apa lagikah yang bisa saya lakukan kepada pengayom
saya?
Tepat ketika itu, istri Bamboku yang menawan, yang
berusia sekitar dua puluh tahun lebih muda darinya, keluar
setelah selesai berdandan.
Selamat datang, Tuan! Anda tiba pagi sekali di udara
yang sedingin ini.
Wah, wah, Umeno! Bagaimana kabarmu ... baik-baik
saja, kuharap?
Umeno tersipu-sipu malu, dan Bamboku melontarkan
tatapan heran kepadanya.

Sajikan kue-kue yang lezat atau apa ... dan teh herbal?
kata Bamboku kepada istrinya, yang langsung beranjak
dengan malu-malu.
Istri Bamboku, cucu seorang penasihat yang telah
kehilangan jabatan, bekerja di rumah Tsunemun6 hingga
setahun silam, ketika Tsunemun6 mengatur sebuah
perjodohan untuknya. Bamboku, yang pernah menjadi
pegawai kecil di Istana ... sebuah pekerjaan yang setidaknya
memberikan penghasilan lebih banyak daripada menjadi
pengiring seorang pejabat rendahan ... mengundurkan diri
sepuluh tahun sebelumnya, membeli sebuah toko kecil di
pasar, dan menjadi saudagar. Melalui kenalan-kenalan
masa lalunya, dia pun berhasil melakukan bisnis dengan
Istana dan para wanitanya. Tsunemung, yang pertama kali
bertemu dengan Bamboku di rumah peristirahatan Perdana
Menteri, menyukai saudagar jenaka yang selalu berhasil
menghiburnya itu. Mendapati bahwa Bamboku ternyata
ambisius dan memiliki semangat berapi-api seperti dirinya,
Tsunemune pun bersedia menjadi pengayom baginya.
Kemudian, ketika perang berakhir dan terdapat begitu
banyak permintaan untuk berbagai macam barang,
Tsunemun6 memastikan agar Bamboku dijadikan pemasok
bagi bahan-bahan bangunan untuk pembangunan istana
baru. Transaksi bisnis ini berujung pada pendirian rumah
indah Bamboku dan deretan gudang-gudangnya di mulut
Jalan Kelima.
Setelah rumahnya rampung dibangun, Bamboku
membutuhkan seorang istri untuk mengurus rumah
tangganya. Karena yakin bahwa dirinya adalah keturunan
bangsawan, Bamboku berniat mempersunting seorang gadis
dari kalangan sosial seorang pejabat istana yang telah lewat
masa jayanya. Terlebih lagi, waktu yang dihabiskannya di
Istana telah membakar ambisi rahasianya untuk hidup

layaknya seorang pria terhormat, istri yang dikehendaki


ternyata disediakan oleh Tsunemune, dan sebagai ucapan
terima kasih, Bamboku langsung mengangkat Tsunemune
sebagai
pengayom
seumur
hidupnya.
Bamboku,
bagaimanapun, sudah menanti-nantikan kesempatan untuk
membalas kebaikan Tsunemun6, dan pagi ini, dia
menyadari bahwa hari pembalasannya telah tiba. Anda
akan menyampaikan sebuah permintaan. Sekarang,
jelaskanlah tentang hal itu kepada saya. Saya akan dengan
senang hati memberikan apa pun yang bisa saya berikan
kepada Anda.
Tidak, Bamboku, aku tidak datang kemari untuk uang
atau apapun yang berhubungan dengan uang. Sebaliknya,
aku menawarkan keuntungan besar untukmu.
Wah, itu luar biasa di masa seperti ini.
Tidak juga. Tapi, kau harus berjanji untuk menyetujui
hal ini,
atau
menolaknya
pembahasannya.

sebelum

aku

menutup

Tentu saja, saya tidak mungkin menolak. Apakah ini


urusan rahasia?
Bamboku, maukah kau menutup
pembicaraan kita tidak terganggu?

kerai

agar

Tsunemun6 memaparkan tentang bagian persekongkolan


yang akan melibatkan Bamboku. Melihat kesan tertarik
di wajah si Hidung, dia menambahkan, setelah menatapnya
dengan cermat, Jika kau bersedia ambil bagian dalam
rencana ini, aku berani menjamin bahwa kau akan
mendapatkan apa pun yang kauminta. Bamboku, apakah
kau mengizinkan kami menggunakan rumahmu? Kami
tidak bisa mengambil risiko dengan mengadakan pertemuan

di luar gerbang kota. Aku yakin bahwa pasar yang ramai ini
akan bisa menjadi tempat pertemuan teraman bagi kita.
Dan, terlebih lagi, sebagian besar dari kami akan menyamar
jika harus datang kemari.
Tsunemune memiliki permohonan lain. Sudah
bertahun-tahun ini, sejak Perang Hogen berakhir, larangan
keras penggunaan senjata diberlakukan, dan kami
kekurangan senjata yang dibutuhkan. Jadi, tugasmu adalah
menyediakan seluruh persenjataan yang kami butuhkan.
Semuanya harus dikerjakan secara sangat rahasia, kau
mengerti.
Tsunemung menghabiskan waktu di rumah Bamboku
hingga siang tiba. Istri Bamboku, sementara itu,
mempersiapkan dan menyajikan hidangan menggiurkan
yang mencakup setermos anggur nikmat dari Cina, yang
dibeli di pasar dari para saudagar yang secara teratur
memasok barang-barang dari seberang laut Setelah
urusannya dengan Bamboku selesai, Tsunemun6
menyelinap keluar melalui gerbang belakang dan berjalan
ke arah sungai, tempat keretanya telah menanti. Dia
mendapati sapi penarik keretanya terkantuk-kantuk di
bawah matahari musim dingin, dan si bocah penuntun sapi
terlelap di atas hamparan rumput. Tsunemung memandang
ke seberang sungai pada tembok dan pepohonan Rokuhara.
o0odwkzo0o
Sejak Perang Hogen berakhir, Kiyomori telah berulang
kali mengatakan, Sekaranglah saat bagiku untuk
melakukan perjalanan ziarah ke Tempat Pemujaan
Kumano sebagai lambang rasa syukurku. Tahun ini, aku
bisa dipastikan akan pergi.
Perjalanan ziarah terakhirnya adalah pada 1154, setahun
setelah kematian Tadamori, ayahnya.

Ibu tiri Kiyomori, Ariko, sedang berkunjung ke


Rokuhara ketika Kiyomori setengah bergurau mengatakan,
Aku sudah sangat lama tidak pergi ke Tempat Pemujaan
Kumano, sehingga aku yakin para dewa akan
menghukumku.
Kiyomori, kau terlalu lancang, tukas Ariko dengan
tegas. Jika kau terus-menerus berkomentar yang
melecehkan agama seperti itu, kau akan menyesalinya pada
suatu hari nanti. Ayahmu yang baik, Tadamori, adalah
seorang pria yang sangat soleh, tapi kau tidak sedikit pun
menyerupai beliau. Kau harus ingat bahwa adalah kepala
klan dan karena itulah kau harus menjaga sikapmu dalam
na.
semacam ini.
Teguran Ariko membungkam Kiyomori. Dia tidak
pernah bisa bersikap santai di hadapan ibu tirinya. Sejak
kematian suaminya, Ariko menjalani penahbisan dan
menjadi seorang biksuni, dan tinggal di sebuah tempat yang
jauh dari ibu kota untuk melewati hari-harinya dengan
melakukan berbagai macam peribadatan. Dia tetap sering
berkunjung ke Rokuhara, dan pada waktu seperti itu,
Kiyomori merasa seperti seorang bocah nakal yang
dipanggil untuk menerima nasihat yang bermaksud baik.
Yang menjengkelkannya adalah kebiasaan ibu tirinya untuk
mengawali setiap kalimat dengan Ayahmu tersayang,
almarhum Tadamori Tidak hanya Kiyomori tetapi juga
istrinya, Tokiko, yang merasa kecil di hadapan Ariko. Ariko
sendiri tanpa segan-segan menunjukkan kasih sayangnya
kepada cucu tertuanya, Shigemori. Di dalam dirinya, Ariko
melihat sosok seorang pria teladan yang berbeda dengan
Kiyomori. Shigemori tidak hanya gagah tetapi juga lemah
lembut dan lebih memerhatikannya daripada semua orang
lain di Rokuhara.

Kau harus menyempatkan diri untuk berziarah ke


Kumano. Bawalah Shigemori bersamamu. Berdoalah agar
tipisnya keimananmu mendapatkan pengampunan dan
mohonlah rahmat bagi dirimu dan seluruh keluargamu
Ariko dengan tulus memohon agar Kiyomori pergi ke
Tempat Pemujaan Kumano, dan Kiyomori berniat untuk
menurutinya. Karena telah menerima penugasan untuk
mengawai detail-detail pembangunan sebuah kuil di
Shirakawa, Kiyomori baru bisa berangkat setelah
pekerjaannya rampung. Sepanjang musim gugur, Shinzei
terus-menerus meminta pendapat Kiyomori mengenai
masalah-masalah yang berkaitan dengan berbagai peraturan
sipil, dan walaupun semakin kehabisan waktu untuk urusan
pribadi, Kiyomori tetap menyambut gembira kesempatan
untuk mencicipi dunia politik di bawah bimbingan Shinzei
dan berharap tumpukan pekerjaannya akan menipis pada
pertengahan Desember Ketika dia menyampaikan niatnya
untuk pergi ke Kumano, Shinzei mengizinkannya dan
bahkan mengirim sebuah hadiah perpisahan untuknya.
Beberapa hari sebelum tanggal keberangkatannya,
Kiyomori mengirim adiknya, Tsunemori, ke Eguchi untuk
mengurus penginapan rombongan mereka dan menyewa
perahu-perahu yang akan membawa mereka menempuh
sebagian jalan ke Kumano. Pada 4 Desember, Kiyomori
beserta putra sulungnya, Shigemori, diiringi oleh
Mokunosuk6 dan rombongan yang terdiri atas lima puluh
orang pelayan, berangkat dari Rokuhara. Persinggahan
mereka pada malam pertama adalah Eguchi, yang mereka
capai setelah berlayar di Sungai Yodo. Kumano bisa dicapai
melalui jalan darat maupun laut, namun untuk sebuah
rombongan besar, perjalanan air lebih disukai karena
sebuah kapal besar bisa menampung seluruh rombongan.

Pada malam yang sama, Kiyomori tiba di Eguchi,


tempat Tsunemori telah menantinya. Karena sebuah
rombongan yang beranggotakan lebih dari lima puluh orang
tidak bisa ditampung dalam satu rumah, Kiyomori dan
Shigemori menempati penginapan yang berbeda. Kiyomori,
yang telah bersumpah untuk menghindari alkohol hingga
perjalanan ziarahnya berakhir, bersiap-siap untuk tidur
lebih awal tanpa minum-minum dan bersenang-senang di
Eguchi. Hanya ada beberapa lentera yang menyala di
penginapan sunyi itu.
Tuan ... saya meminta maaf karena telah mengganggu
Anda ...
Oh, Tua Bangka, kaukah itu? Ada apa?
Adik Anda menitipkan sebuah pesan kepada saya.
Mokunosuk6 berlutut di luar kamar dan mengamati
wajah Kiyomori untuk melihat bagaimana dia akan
bereaksi terhadap kabar yang dibawanya.
Malam ini dingin sekali, Tua Bangka; lebih baik kau
masuk ke ruangan ini dan menutup pintunya.
Melihat bahwa suasana hati majikannya sedang bagus,
Mokunosuke masuk dan berlutut di hadapan Kiyomori, lalu
mulai menyampaikan pesan Tsunemori.
Mokunosuk6, yang sekarang telah berusia delapan puluh
tahun dan tetap menyandang panggilan sayang Tua
Bangka , telah mengabdi kepada Kiyomori sejak masa
kanak-kanaknya. Dari pelayan renta itu-yang telah lama
mengamati perilaku manusia dan sekarang menganggapnya
membosankan, seperti kepakan sayap tawon atau kupukupu. atau pertumbuhan lambat sebatang pohon atau
sekuntum bunga-muncullah penuturan panjang dan

monoton yang seolah-olah diucapkan oleh sebuah topeng


beruban putih.
Tetapi.
Kiyomori
terkejut
ketika
mendengar
penuturannya. Dia baru mengetahui bahwa pemilik rumah
yang mereka tinggali adalah janda dari seorang pejabat
istana yang telah menjadi seorang biksuni. Ada banyak
orang yang mengenalnya di masa lalu; dia adalah seorang
geisha ternama di ibu kota dan kemudian men,ad, gundik
Kaisar Shirakawa. yang memberikannya kepada Tadamori
untuk diperistri. Wanita itu. yang mendapatkan beberapa
orang putra bersama Tadamori. dikenal dengan julukan
Perempuan Gion.
Kiyomori selama beberapa saat berjuang untuk
meredakan gejolak emosi akibat cerita yang baru saja
didengarnya, lalu menoleh kepada Mokunosuke dengan
wajah datar. Dia merasa bahwa Tsunemori telah
mengelabuinya. Perempuan Gion adalah ibunya, ibunda
jelita yang pernah mengabaikan suaminya yang miskm dan
anak-anaknya berpuluh-puluh tahun silam. Kiyomor, tdah
lama berhenti memikirkannya, namun Tsunemori
seperanya tidak pernah melupakannya. Tsunemori telah
melacak keberadaannya dan mempertemukannya dengan
Tadamori yang sedang sekarat. U ia rupanya tetap
menemuinya sejak saat itu. dan menyembunyikan
pertemuan mereka dari Kiyomori dan ibu tiri mereka,
Anko.
Tua
Bangka,
Tsunemone

sampaikanlah

pesanku

kepada

Baiklah
Tsunemori mungkin menganggap wanita itu sebagai
ibunya, namun dia bukan ibuku. Tidak ada alasan bagiku
untuk menemuinya. Katakanlah ini kepada Tsunemori.

Anda tidak mau menemui beliau?


Mengapa aku harus merasa yang sebaliknya. Tua
Bangka? Kau
eharusnya memahamiku, lebih daripada orang lain.
Untuk apa kita mengais-ais abu masa lalu?
Saya sudah mengetahui jawaban Anda sebelum saya
menyampaikan kabar ini.
Kalau begitu, untuk apa kau menyampaikan padaku?
Kau telah merusak malam pertama perjalananku.
Saya juga mencemaskan itu, namun adik Anda
sepertinya merasa bahwa selagi Anda melakukan
perjalanan ziarah ke Kumano, maka tidak ada salahnya
jika, untuk menghormati kenangan mendiang ayah Anda,
Anda menenangkan hati ibu Anda yang telah renta. Dan
menurut saya, pendapat adik Anda benar adanya.
Apa! Berani-beraninya kau memaksakan pendapatmu?
Aku sudah bilang bahwa aku tidak punya ibu seperti itu,
Tolol! Siapa pun atau apa pun dia. Biarkanlah Tsunemori
pergi dan berbicara dengannya, jika menurutnya itu
bermanfaat Aku lelah ... mengantuk.
Di manakah kamar tidurku?
Bocah pelayan yang duduk terkantuk-kantuk di belakang
Kiyomori tiba-tiba mendadak terbangun dengan kaget
akibat hardikan majikannya. Dia cepat-cepat bangkit dan
menunjukkan jalan
dengan sebuah lentera.
Semua pelayan penginapan telah lama tidur. Pada waktu
Kiyomori semestinya telah tidur, sesosok bayangan dengan
lincah menyelinap keluar dari kamarnya. Mokunosuke,
yang masih terjaga, menyaksikan sosok itu melintasi

koridor, mengintip ke luar dari balik kerai, dan membuka


gerendel. Curiga, Mokunosuk6 menegur sosok itu.
Kiyomori berputar dengan kaget dan menatap tajam ke
tempat teguran itu berasal; di dalam kegelapan, dia tiba-tiba
menyeringai lebar.
Kaukah itu,Tua Bangka? .
Tuanku, apa yang membuat Anda keluar ke kebun pada
malam
sedingin ini?
Aku tidak pernah bisa memejamkan mata pada malam
pertama di sebuah tempat asing. Entah mengapa, aku tidak
bisa tidur. Sejujurnya, Tua Bangka, aku telah merenungkan
perkataanmu. Apakah kau tahu di mana tempatnya?
Tahu apa, Tuan?
Bilik yang ditempati wanita yang dibicarakan oleh
Tsunemori.
Anda akhirnya memutuskan untuk menemui beliau?
Hmm ... ya. Kiyomori menggaruk-garuk bagian
belakang kepalanya dengan malu. Lagi pula, setelah aku
memikirkannya, beliau tentu telah berusia mendekati enam
puluh tahun. Umurku sendiri telah hampir empat puluh tiga
tahun ... dan sungguh konyol jika aku membiarkan masa
lalu mencegahku untuk menemuinya, terutama ketika aku
tinggal seatap dengannya. Aku mulai merasa bahwa aku
mungkin akan menyesal jika aku pergi tanpa berjumpa
dengannya.
Ah, itu terdengar cukup bijaksana.
Tua Bangka, apakah kau benar-benar berpikir bahwa ini
lebih baik?

Sejak awal saya berharap agar Anda merasa seperti


sekarang. Ayah Anda tentu juga menghendaki hal yang
sama.
Benar. Beliau bukan orang brengsek yang dibutakan
oleh prasangka buruk seperti aku. Beberapa saat sebelum
beliau wafat, Tsunemori secara diam-diam mempertemukan
mereka, dan aku mendengarkan kata-kata ayahku
kepadanya, si Perempuan Gion, yang selalu berbuat buruk
kepada ayahku.
Ya, saya mendengar tentang seluruh kejadian itu pada
pagi harinya.
Tua Bangka, aku menangis ketika mencuri dengar
percakapan mereka ... karena besarnya cinta ayahku, karena
apa yang dikatakannya kepada seseorang yang telah begitu
tega melukai hatinya.
Di mata ayah Anda, beliau adalah seseorang yang patut
dikasihani. Ayah Anda tentu telah merasakan itu selama
bertahun- tahun sebelum mereka akhirnya berpisah.
Aku hanya bisa berharap untuk menjadi seperti ayahku.
Tetapi, aku adalah seorang pria yang telah berumur empat
puluhan .Apa pun yang pernah terjadi, tidak bisa
disangkal lagi bahwa beliaulah yang melahirkanku ...
Kiyomori ini. Aku setidaknya bisa mengikuti teladan
Tsunemori dan menemui beliau kali ini. Bawalah aku
kepadanya. Tua Bangka.
Malam itu, Kiyomori menemui ibunya, yang telah
menghabiskan malam bersama Tsunemori.
Yasuko ternyata jauh dari perkiraan Kiyomori. Dia tidak
kelihatan murung atau kesepian, tetapi sebaliknya tampak
menikmati kehidupannya saat ini. Perabot di kamarnya

mencerminkan keanggunan dan kenyamanan, seperti yang


selalu disukainya.
Tuan
Harima,
sapanya
kepada
Kiyomori,
Keteganganlah yang membawa Tsunemori ke Eguchi, juga
kebimbangan dan ketakutan, namun dari masa mudamu
kau sudah mengetahui bahwa hiburan bisa didapatkan di
rumah-rumah di Jalan Keenam, jadi kau harus sesekali
datang kemari untuk mencari sedikit kemeriahan. Dan,
kapan pun kau datang ke Eguchi, kau harus singgah di sini
dan membiarkan gadis-gadis mudaku menghiburmu ... ada
banyak gadis muda di sini, dan semuanya memesona.
Seandainya kau sedang tidak dalam perjalanan menuju
Tempat Pemujaan Kumano, aku akan memanggil mereka
kemari sehingga kau bisa melihatnya sendiri.
Itulah dia ... ibunya. Kiyomori mengerti. Dia telah
membujuk Tsunemori untuk mengatur agar Kiyomori
menginap di sini sehingga mereka bisa bertemu. Yasuko
berbicara dengan luwes dan ramah, tanpa sedikit pun
merasa malu. Kiyomori terkejut ketika mendengar nada
bangga Yasuko ketika bercerita tentang bisnisnya.
Kiyomori, yang terheran-heran, hanya sanggup menatap
ibunya. Dari penampilannya, mustahil untuk memercayai
bahwa Yasuko telah berusia mendekati enam puluh tahun.
Dari tubuhnya, Kiyomori bisa mencium semerbak
wewangian yang dikenalinya sebaga. azimat pemikat yang
pernah menjerat seorang penguasa, dan juga membuat
Tadamori begitu lama menahan diri dari perselingkuhan
dan perilaku buruknya. Kiyomori pun terus mendengarkan
celotehan ibunya:
Sungguh menyenangkan bisa menerimamu di sini!
Sayang sekali kau sedang terikat oleh aturan
peribadatanmu. Tapi, kau harus singgah di Eguchi selama

dua atau tiga malam untuk menghormati rombonganmu.


Eguchi memang tempat yang membosankan selama musim
dingin, ketika kami hanya ada tamu penting yang datang
kemari.
Yasuko berbicara tak tentu arah dengan ceria, seolaholah tidak menyadari bahwa dirinya adalah ibu dari empat
orang putra yang telah dewasa. Tidak ada jejak kelembutan
seorang ibu yang mendorongnya untuk mengatakan tentang
kebahagiaannya melihat putra-putranya telah dewasa;
sepertinya dia bahkan telah melupakan Tadamori. Seperti
halnya memakai rias wajah, dia tampaknya bisa dengan
mudah dan lihai menyingkirkan masa lalu dari ingatannya.
Wanita yang paling beruntung, pikir Kiyomori. Dia
mulai menganggap dirinya sendiri tolol. Seharusnya dia
tidak semarah itu kepada ibunya, karena wanita itu benarbenar naif. Yasuko tidak bisa menjadi yang sebaliknya. Dia
terlahir sebagai seorang wanita penghibur. Alamlah yang
menjadikan ibunya seperti ini. dan dia tidak bisa
disalahkan. Kiyomori senang dan lega atas keputusannya
untuk menemui ibunya, karena dia sudah tidak membenci
wanita itu. Ibunya tidak bersalah, karena kehidupan
seorang geisha telah mengalir di dalam darahnya; yang
salah adalah keinginannya untuk menjadikan ibunya yang
sebaliknya. Kiyomori mengamati wajah dan gerak-gerik
ibunya ... inilah kehidupan yang didambakan dan yang
paling bisa membahagiakan Yasuko. Selama bertahuntahun, Kiyomori telah dengan tolol memakan hatinya
sendiri dengan mendambakan
agar ibunya berubah.
Ibu ... maksudku, Nyonya Rumah yang baik, adakah
sake untuk menemani obrolan kita? Tidak perlu
menundanya hingga aku pulang.

Sedikit sake ... atau banyak?


Ibunya tertawa nyaring. Sake? Itu mudah untuk
didapatkan di sini. Baiklah ... dia menepukkan tangannya
untuk memanggil pelayan. Seorang gadis pelayan muncul
dan mendengarkan bisikannya dengan penuh perhatian.
Segera setelah si gadis pelayan pergi, tiga orang geisha
muncul membawa lentera, dan kamar itu seketika terang
benderang. Sake dan makanan pun dihidangkan.
Nyonya Rumah yang baik, apakah hanya mereka
penghibur disini:
Masih ada beberapa orang lagi.
Selagi kita bersenang-senang, sebaiknya kita juga
memanggil mereka. Tsunemone ...
Apa kau tidak pernah datang kemari untuk bersenangsenang?
Aku?Tidak pernah Tsunemori sepertinya kesal. Dia
merasa tersisih dan menjadi seorang pengganggu ketika
menyaksikan Kiyomori dan ibunya bercakap-cakap.
Ini adalah rumah hiburan. Wanita ini adalah nyonya
rumah kita. Jangan cemberut begitu.
Kiyomori tak henti-hentinya mengisi cangkirnya dan
membujuk adiknya agar bergabung bersama mereka.
Ayolah, kau juga harus minum. Aku akan minum dalam
perjalanan pulang dari Kumano Apakah kau takut minum
bersama
kakakmu,
yang
telah
membatalkan
pantangannya? Kiyomori tergelak. Jangan kolot begitu,
Tsunemori, tidak perlu khawatir. Aku akan minum untuk
mengenang ayah kita sebelum kita berangkat ke Kumano.
Tetapi, mengapa?

Tidak bisakah kau melihat alasannya? Tidakkah kau


mengerti bahwa sebelum wafat, Ayah menekankan bahwa
kita harus bahagia.
Benarkah itu?
Karena itulah aku melakukan ini-agar Jiwanya * dalam
kedamaian. Aku yakin bahwa dewa penunggu Tempat
Pemujaan Kumano akan memandang kita sebagai anak
yang berbakti dan tidak akan mengutukmu, Tsunemori.
Ayo, minum dan bergembiralah.
Belum selesai Kiyomori berbicara, ruangan itu
mendadak menjadi jauh lebih terang benderang bersamaan
dengan munculnya sepuluh orang geisha, yang masingmasing lebih cantik daripada yang lainnya. Kiyomori
mengangkat sebuah cangkir besar dan menyentuhkannya ke
bibirnya, lalu mengoperkannya ke salah seorang dari
mereka, dan sebentuk demi sebentuk tangan ramping
pun bergiliran menerimanya.
Suasa hati Tuan Harima sedang bagus, para geisha
berkelakar. Gelak tawa dan obrolan meriah terdengar dari
ruangan itu. Kiyomori, yang telah mabuk sake, terhanyut
oleh aroma bedak dan
kemilau hiasan rambut di sekelilingnya.
Genderang, genderang! Mari menari! serunya dengan
lantang. Tuan Harima memerintahkan kepada kita untuk
menari. Ayo, menari, menyanyi!
Sorak sorai meledak begitu beberapa orang geisha berdiri
dan mengepakkan lengan kimono panjangnya, lalu mulai
menari. Kerai- kerai diangkat, pintu-pintu geser diangkat
untuk menyatukan dua buah kamar agar menjadi lebih luas.
Sebuah harpa dimasukkan, genderang-genderang besar

ditempatkan di atas dudukannya, dan seruling-seruling


dikeluarkan dari wadah-wadah sutranya.
Seorang geisha bersanggul tinggi, membawa sebilah
pedang mainan ramping, melenggang anggun dari
kamarnya dan melintasi jembatan menuju ruangan itu. Dia
membawa sebuah kipas, yang dilempar dan diputarnya
dengan iringan sebuah lagu terkenal. Gerakan luwes
kakinya, goyangan pinggulnya, dan lekukan bahunya
seolah-olah menyatu dengan alunan musik. Kiyomori
meletakkan cangkirnya dan menatap wanita itu, yang
begitu menghayati tariannya. Pandangan Kiyomori tertuju
pada wajahnya yang terpoles bedak tebal di bawah hiasan
rambut bernuansa emas. Seketika itu, Kiyomori merasa
gelisah dan tidak bisa duduk tenang. Mata sipenari sekadar
mengikuti pola tarian dan tidak sekali pun tertuju ke
arahnya. Kegusaran tercermin dalam setiap kerutan di
wajah Kiyomori. Tarian yang membosankan! Pergilah
kalian dengan genderang kalian, seruling kalian! Kapankah
mereka pergi sehingga dia bisa berbicara empat mata
dengan wanita ini?
Tarian itu akhirnya berakhir. Musik seketika berhenti
mengalun. Sementara si penari terkulai di lantai untuk
memberi hormat, para geisha lainnya mengerumuni
Kiyomori untuk mengisi ulang cangkirnya.
Jangan ganggu aku! Menjauhlah dariku! Bawa si penari
itu kemari! hardiknya, dengan kesal menyikuti para geisha
di sekelilingnya dan melambai dengan tangannya yang
memegang cangkir sake. Tetapi, si penari telah
meninggalkan ruangan itu dan melangkah dengan cepat
melintasi jembatan, lalu menghilang kembali di kamarnya.
Kiyomori memanggil-manggilnya dan mengirim seorang
demi seorang geisha lainnya untuk menjemputnya, namun
si penari menolak untuk keluar lagi.

Kemudian salah seorang dari mereka berkata, Aku


tidak tahu di mana dia bersembunyi, tapi dia tidak bisa
ditemukan di mana pun. Amarah Kiyomori meledak. Dia
tidak pernah minum sebanyak
itu ataupun bersikap sekasar itu.
Apa, dia menyebut dirinya geisha? Dahulu dia bernama
Ruriko, keponakan bangsawan Nakamikado! Itu Ruriko,
aku yakin! Hoi, Nyonya Rumah, apa maksudmu
menyembunyikannya?
Kiyomori membanting cangkirnya dan menoleh kepada
si nyonya rumah dengan amarah berkobar, namun Yasuko
tetap berbaring santai dan menopangkan dagunya ke bantal.
Ledakan emosi Kiyomori sepertinya justru membuatnya
senang, dan dia menyambutnya dengan tertawa terpingkalpingkal.
Jadi, Tuan Harima mengingat dia? Saking cintanya
dirimu kepadanya, pernah melupakannya?
Ini benar-benar jahat! Kau memang wanita kejam!
Mengapa? Apa yang membuatmu berkata begitu?
Jika kau tidak tahu malu, itu urusanmu sendiri, namun
kau menyeret dia ... gadis muda tak berdosa bernama
Ruriko itu ... ke lembah nista!
Dia adalah anak angkat keluarga Nakamikado. Dia bisa
dibilang tidak memiliki ayah, dan akulah yang
membesarkannya. Aku sendirilah yang mengajarinya
menari, memainkan berbagai alat musik, dan mengubahnya
menjadi seorang wanita yang akan bisa dengan bangga
menjalani kehidupannya sendiri di dunia ini. Apa salahnya
hal itu?

Kiyomori tiba-tiba merasakan pikirannya jernih kembali,


dan dia menggeleng. Itu salah; jika Ruriko dibesarkan
dengan benar, dia akan menjadi istri yang baik bagi seorang
pria terhormat, namun kau meracuninya, mendidiknya
menjadi seorang pelacur.
Tuan Harima, kau sedikit banyak mengingatkanku
kepada mendiang ayahmu. Apa masalahnya jika seseorang
lebih memilih untuk menjadi seorang wanita penghibur
atau apa pun yang disukainya? Jika Tuan Harima merasa
sangat marah sekarang, mengapa dia tidak dari dahulu
berusaha membiasakan diri bercinta dengan Ruriko ketika
aku masih tinggal bersama keluarga Nakamikado?
Bukankah kau juga patut disalahkan karena telah bersikap
pengecut? Tetap saja, sekarang belum terlambat
Kembalilah kemari dalam perjalananmu pulang dari
Kumano. Aku akan berbicara dengan Ruriko dan berharap
bisa bertemu kembali denganmu.
Kiyomori dan sang nyonya rumah tiba-tiba tertawa
terpingkal- pingkal hingga meneteskan air mata, bertukar
lebih banyak sake dan gurauan yang semakin
membingungkan keduanya, hingga Kiyomori jatuh tertidur
dengan Yasuko dalam pelukannya.
Tsunemori dan Mokunosuk6 memapah Kiyomori ke
ranjangnya. Ketika terbangun keesokan paginya, Kiyomori
mendapati dirinya berada di kamarnya sendiri, seolah-olah
tidak ada sesuatu yang luar biasa terjadi pada malam
sebelumnya.
Sudahkah Anda bangun,
menyiapkan air untuk Anda.

Tuan?

Saya

sudah

Ucapan selamat pagi dari seorang gadis pelayan muda


memulai hari Kiyomori. Sebuah bejana berisi air telah
disiapkan di dekat jendela. Kiyomori melirik ke luar

sembari membasuh wajahnya dan membasahi rambutnya.


Matahari bersinar cerah hari itu, dan udara terhitung hangat
untuk ukuran bulan Desember. Kiyomori bisa melihat
sungai dari jendelanya. Bunyi nyaring tepukan dayung di
permukaan air dan nyanyian para nelayan hinggap di
telinganya, juga suara para awak kapal yang sudah tidak
sabar menantikan aba- aba darinya untuk memulai
perjalanan. Kiyomori berusaha untuk mendapatkan kembali
kekhusyukannya dan menghirup dalam-dalam udara pagi
yang segar. Lagi pula, dia sedang berada dalam perjalanan
menuju Tempat Pemujaan Kumano, dan kerangka
berpikirnya seharusnya serius .
Ketika Kiyomori tergesa-gesa menyantap sarapan, para
anggota rombongannya silih berganti muncul untuk
memberinya ucapan selamat pagi. Shigemori juga muncul
dan menyapa ayahnya dengan khidmat Kiyomori agak
malu kepada putranya, namun para anggota rombongan
lainnya berusaha mencerahkan suasana hatinya dengan
mengobrolkan tentang perjalanan yang telah menanti
mereka.
Di dalam hatinya, Kiyomori menertawakan dirinya
sendiri; tidak seorang pun sepertinya mengetahui apa yang
terjadi pada malam sebelumnya, namun sesuatu yang
begitu menggerakkan telah
berpadu dengan kekonyolan itu.
Tiga buah perahu layar besar telah menanti mereka di
kejauhan. Air sedang surut dan beberapa perahu kecil
bergiliran membawa lima atau enam orang anggota
rombongan mereka menuju ketiga perahu besar yang
tertambat di mulut sungai; banyak orang bersorak
sorai di tepi sungai untuk melepas kepergian mereka.

Nah, Tsunemori. aku memercayakan Rokuhara


kodamu, kata Kiyomori sambil bersiap-siap menaiki salah
satu perahu.
Tsunemori, yang akan langsung kembali ke ibu kota,
menjawab, Baiklah. Semoga perjalananmu lancar.
Kiyomori berdiri di atas perahu, tampak berkilauan
terkena cahaya yang memantul dari permukaan air.
Cakrawala membentang di hadapannya begitu perahu
layarnya menjauh dari pesisir, dan Kiyomori sekilas dapat
melihat orang-orang yang berkerumun di tepi sungai.
Ibunya ada di sana, berdiri di tengah-tengah sekelompok
wanita yang berpakaian indah, sebagian di antara mereka
mengenakan topi lebar, sebagian yang lain mengenakan
mantel bertudung, dan sebagian yang lain membiarkan
kepala mereka terbuka, memamerkan rambut hitam nan
lurus. Kipas-kipas diayunkan ke arahnya sebagai lambang
perpisahan, namun mata Kiyomori, yang terpicing untuk
memburu seraut wajah, tidak menemukan apa yang
dicarinya. Dengan bingung, dia memikirkan apakah
kejadian semalam hanya ada di dalam mimpinya.
Perjalanan laut itu memakan waktu beberapa hari.
Rombongan Kiyomori mendarat di Pelabuhan Waka. Sisa
perjalanan akan mereka tempuh dengan berkuda.
Pemberhentian pertama mereka adalah pada siang hari
tanggal 13 Desember, ketika seluruh rombongan beristirahat
di sebuah penginapan di Kirib6. Di situlah seorang kunr
akhirnya berhasil mengejar mereka. Dia telah memacu
kudanya selama sehari semalam dari Kyoto.
Peristiwa terburuk telah terjadi, Tuan! Sebuah
pergolakan rakyat yang lebih parah daripada sebelumnya!
Apa! Di ibu
pemimpinnya!

kota?

Sebutkanlah

nama

para

Semua orang seketika pucat pasi begitu mendengar kabar


buruk itu; mereka terperanjat dan berlomba-lomba
menyuarakan kepanikan mereka ... jarak yang jauh, tidak
adanya senjata, dan di waktu yang tidak terpikirkan ini!
Kiyomori mengerang kesal, memikirkan apakah ini balasan
dari dewa penunggu Tempat Pemujaan Kumano yang
marah kepadanya.
o0odwkzo0o

Bab XXI-Tuan Hidung Merah Sang Saudagar


Bunga es bertebaran di mana-mana pagi itu. Pasar di
dekat gerbang Jalan Keenam telah riuh rendah oleh
kegiatan jual beli. Keramaian itu terdengar sampai seberang
jalan, di dalam toko megah Hidung Merah, bahkan di ruang
tamu rumahnya. Sebagai orang yang selalu bangun pagi.
Hidung telah kembali dari transaksi bisnis sehari-harinya.
Hidungnya, yang tampak lebih merah daripada biasanya,
mengepul-ngepulkan napas beku seperti hidung kuda. Alihalih menghangatkan diri di depan tungku, dia langsung
memasuki lorong di antara rumah-rumah petak tempat
tinggal para pegawai tokonya.
Hoi ... hoi! Apakah kalian masih mengemasi barang?
Jangan menghabiskan waktu untuk bersiap-siap! Cepatlah
keluar, cepat-bergegaslah kalian!
Hidung menoleh ke arah lain. ke deretan rumah petak
lain, dan melambai-lambai kepada para gadis pelayan toko.
S S* bl terakhir di ^^^ Tidakkah kalian menyadari bahwa
rn^
Desember? Kalian gadis-gadis. |ika kalian ingin Tahun
Baru, sebaiknya kalian lebih giat berjualan.

Hidung kemudian berjalan menuju rumahnya dan


berhenti di beranda yang menghadap kebun dalam, lalu
berseru, Umeno, Umeno! Ambilkan sarapanku,
sarapanku! Dia membuka sandalnya dan memasuki
rumah.
Istrinya bergegas menyajikan sarapan yang terdiri atas
bubur panas, ikan kering, dan acar untuk suaminya yang
rajin bekerja.
Kau pasti kedinginan ... ada sangat banyak bunga es
pagi ini!
Ini bukan apa-apa, jawab Hidung, meniup-niup
buburnya dengan gaduh. Desember telah datang, dan
semua orang bangun sebelum matahari terbit ... gerobak
dan sapi sibuk bekerja, dan para pegawai toko kita, yang
tidak tahu arti kelaparan, malah bermalas-malasan. ... Ah,
apakah Shika ada di toko? Panggil dia kemari.
Seorang gadis pelayan dikirim untuk memanggil Shika.
Shika adalah kepala pegawainya. Setelah kunjungan
Tsunemung pada pagi sebelumnya, Hidung membocorkan
rahasia kepada Shika dan memerintahkannya untuk
mengawasi setiap pelanggan yang memasuki toko.
Shika, kau tidak melihat orang yang berpenampilan
mencurigakan, bukan?
Semuanya sudah dilakukan di toko. Saya sudah
memasang tanda yang mengatakan bahwa toko akan tutup
hingga akhir tahun.
Mungkin saja ada mata-mata atau orang suruhan dari
Rokuhara yang datang kemari dalam penyamaran.
Yang jauh lebih penting adalah mengawasi baik-baik
mata dan lidah para pegawai kita.

Karena itulah aku memerintah mereka untuk berkeliling


menjajakan barang dagangan, dimulai hari ini, dan mereka
akan menghabiskan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan
itu. Aku baru saja berbicara dengan mereka. Kau sebaiknya
memberikan petuah dan mengawasi pekerjaan mereka,
Shika.
Betul. Saya akan menemui mereka sekarang juga!
Nah, tunggu sebentar ... satu lagi. Apakah kau yakin
bahwa ikan karper laut yang kupesan di pasar ikan akan
dikirim kemari? Sekarang tanggal 3, besok tanggal 4 ...
besok sudah terlambat
perahu-perahu nelayan tiba di Yodo pada pagi buta,
dan kita tidak bisa mengharapkan mereka tiba di sini hingga
menjelang Saat pesanan itu tiba, sebaiknya kau menyertai
Nyonya menerimanya.
Ya, saya juga akan mengingat-ingat itu. Kesibukan
terlihat di depan gudang-gudang, tempat para pegawai toko
... pria dan wanita ... memanggul barang dagangan mereka
dan bersiap-siap berangkat. Para saudagar Kyoto biasa
mengirim para pegawai mereka untuk berkeliling
menjajakan dagangan ke kota-kota tetangga dan daerahdaerah pinggiran setiap akhir tahun. Untuk alasan yang
tidak bisa dijelaskan, bagaimanapun, Hidung memulai
rutinitas ini lebih awal daripada biasanya pada tahun ini.
Shika melihat pegawai terakhir berangkat, dan dengan
ekspresi lega, dia kembali ke dekat tungku, yang apinya
telah mulai padam, untuk menghangatkan badan. Tepat
ketika itulah dua orang pria yang menarik gerobak tiba di
depan toko. Topi dan pakaian mereka tampak berkilauan
oleh sisik ikan.
Selamat pagi. Periksalah ikan karper laut ini ...
semuanya lima puluh ekor! Para nelayan yang

menangkapnya mengatakan bahwa mereka baru kali ini


mendapat tangkapan sebagus ini. Lihadah betapa segarnya
ikan-ikan ini!
Kedua pria itu dengan bangga menurunkan dua puluh
lima buah keranjang, yang masing-masing berisi dua ekor
ikan karper laut sepanjang satu kaki yang telah dikemas
dengan rapi menggunakan daun bambu.
Hidung segera keluar. Bagus, bagus! serunya, matanya
membelalak mengamati pemandangan menakjubkan itu.
Hei-mana ikan bass pesananku? Pesanan terpentingku ... . ,
.
Eh, ikan bass? Tuan, Anda hanya memesan seekor,
bukan.
Benar ... itulah yang terpenting. Tanpa seekor ikan bass
itu, kelima puluh ekor ikan karper laut ini tidak berarti apaapa.
Ini. ini, dan ikan bass ini adalah yang terbagus. Tuan.
Di sini, di keranjang ini.
Segera setelah kedua pengantar ikan itu pergi, Hidung
menginstruksikan kepada Shika untuk langsung mengemas
ulang ikan-ikan itu sebagai hadiah. Ikan-ikan yang telah
diletakkan di dalam keranjang-keranjang beralaskan daun
bambu dan dihias dengan buah-buahan beri merah dan
hijau, dimasukkan ke dalam sebuah tandu.
Istri Bamboku, yang mengenakan kimono terbaiknya,
segera bertolak ke arah timur, ditemani oleh Shika dan
empat orang pelayan yang memanggul dua buah tandu ...
yang satu berisi tumpukan keranjang ikan dan yang lain
berisi gulungan sutra dan anggur Cina, semuanya ditata
dengan indah ... dengan muatan yang seluruhnya ditutupi
kertas minyak. Di mata orang awam, mereka tampak

seolah-olah sedang mengantar hadiah pernikahan. Setelah


melintasi Jembatan Gojo, tibalah mereka di luar lingkungan
Rokuhara. Esok hari adalah 4 Desember, yaitu tanggal
keberangkatan Kiyomori ke Kumano. dan kuda, kereta, dan
manusia tampak memadati jalanan, lebih daripada
biasanya.
Istri Hidung berbelok menuju salah satu sayap, tempat
tinggal nyonya rumah Rokuhara. Pintu masuk bagi wanita
terletak di sebelah barat gerbang dapur, tempat para
penjaga, yang sepertinya telah akrab dengan Umeno,
tersenyum dan mempersilakannya masuk. Umeno
menghilang di balik pepohonan di sekitar pintu masuk
utama menuju rumah Nyonya Harima.
Setelah beberapa waktu, Umeno muncul kembali di
gerbang dan berbasa-basi sejenak dengan para penjaga.
Bagaimana tanggapannya, Umeno? tanya Hidung
dengan penuh semangat setelah istrinya kembali.
Ah, kau seharusnya melihat betapa gembiranya Tuan
Harima ... dan istrinya!
Jadi, kau bertiasil menemui istrinya? Bukan hanya itu
... semua kiriman kita ditata dan dipuji-puji. Bagus sekali,
tapi, apakah dia berkomentar soal ikan bass itu? Mereka
penasaran ingin mengetahui bagaimana kau tahu bahwa
ikan bass adalah lambang keberuntungan keluarga mereka,
dan kedatangannya pada malam sebelum keberangkatan
Tuan Harima, kata mereka, adalah firasat terbaik ... sebuah
hadiah indah yang mereka terima dengan penuh suka cita.
Aku cukup terhanyut oleh kebahagiaan mereka.
Kau tidak mengatakan apa pun yang tidak seharusnya
kau katakan, bukan?

Oh, tidak, tidak sepatah kata pun soal itu Umeno,


yang mengetahui maksud sesungguhnya dan dampak dari
urusan berbahaya suaminya, menjawab dengan lirih.
Hidung memiliki penglihatan tajam untuk membidik
keuntungan, penciuman tajam untuk mengendus unsur
paling menguntungkan dari sebuah situasi, sehingga ketika
Tsunemun& membocorkan tentang persekongkolan rahasia
para pejabat istana, dia serta merta bersedia memberikan
dukungan. Bukankah dia seorang sosok penting di dalam
dunia perdagangan, yang telah melejit dari pekerja
rendahan di Istana menjadi seorang saudagar kaya? Dan,
walaupun dia seolah-olah bersedia menanggung risiko besar
demi pengayomnya, sesungguhnya dia tidak selugu itu. Dia
tidak berminat untuk mempertaruhkan nyawa dan seluruh
kekayaannya demi mendukung persekongkolan beberapa
orang bangsawan. Menurut pengamatan Hidung,
pergolakan besar-besaran tidak akan terhindarkan lagi, dan
dia akan mendapatkan lebih banyak keuntungan jika
memberikan dukungan kepada dua belah pihak. Bangsawan
atau samurai-siapa pun yang menang. Hidung adalah
seorang saudagar dan harus memperoleh keuntungan.
Hidung melibatkan istri dan kepala pegawainya dalam
rencananya Walaupun di satu sisi dia telah menyanggupi
untuk membantu Tsunemun*. dia tetap tidak lalai
mengirim hadiah selamat jalan yang indah untuk Kiyomori.
Sejak beberapa tahun terakhir, pusat kegiatan ibu kota
telah secara jelas berpindah ke pasar di gerbang Jalan
Kelima, dan banyak orang mengatakan bahwa semakin
besarnya kekayaan keluarga Heik6 dari Rokuhara adalah
salah satu penyebab utamanya. Rokuhara, yang terletak di
seberang sungai, teriihat dengan sangat jelas dari gerbang
Jalan Keenam dan. setelah mempertimbangkan berbagai

risikonya, Tsunemun^ memutuskan bahwa rumah Hidung


adalah tempat yang tidak akan menimbulkan kecurigaan.
Segera setelah tersebar kabar bahwa Kiyomori akan
meninggalkan ibu kota untuk berziarah ke Kumano. para
pelaku persekongkolan mulai mempercepat persiapan
mereka. Mereka menjadikan rumah Bamboku sebagai
pangkalan, tempat rencana-rencana akhir mengenai
pembentukan dan penempatan pasukan dijabarkan.
Gerimis turun pada malam hari tanggal 7 Desember.
Timbunan batu bara dan karung-karung jerami yang telah
kosong bertumpuk di dekat pintu masuk rumah Hidung.
Sosok-sosok yang bermantel jerami dan bertopi lebar atau
menyamar dengan jubah pendeta satu demi satu bergegas
memasuki rumah sang saudagar. Sebagian dari mereka
menambatkan kuda mereka ke pohon dedalu di depan
rumah, dan sebagian yang lain. begitu turun dari kereta sapi
mereka, langsung disambut oleh pelayan-pelayan
berpayung.
Ini adalah pertemuan rahasia terakhir yang
diselenggarakan oleh para pemimpin persekongkolan; selain
orang-orang yang telah secara teratur bertemu di rumah
peristirahatan Nobuyori. Genji Yoshitomo dan seorang
anggota keluarga Genji yang berpengaruh lainnya,
Yorimasa, juga tampak di sana. Yorimasa, yang tidak kuasa
menolak bujukan Yoshitomo. akhirnya bersedia hadir.
Yorimasa adalah seorang samurai berusia awal lima
puluhan, lebih tua daripada Yoshitomo. dan sejauh ini
adalah tokoh tertua yang hadir di sana.
Kami semua menyambut gembira kesediaan Anda
untuk bergabung bersama kami, sambut Nobuyori, yang
segera dilanjutkan oleh Korekata:

Kedatangan Anda memberikan suntikan semangat yang


tak terkira besarnya bagi kami, begitu besar, sehingga kami
yakin bahwa rencana ini akan berhasil. .
Tidak diragukan lagi, kehadiran Yorimasa berhasil
menghadirkan dukungan moral yang dibutuhkan oleh para
pejabat istana itu, karena selain sebagai salah satu dari
sepuluh orang panglima pengawal singgasana pilihan
mendiang Kaisar Toba, kedudukannya sebagai pemimpin
pos pengadaan persenjataan militer juga tidak bisa
diabaikan. Karena itulah, merebut dukungannya menjadi
sesuatu yang sangat penting.
Yorimasa, seorang pria pendiam, tampak menjaga jarak
dan hanya sesekali menyela perdebatan sengit antara
Nobuyori dan Korekata. Hujan telah reda dan angin bertiup
kencang ketika para pelaku persekongkolan itu akhirnya
keluar dari rumah Bamboku dan menghilang seorang demi
seorang di tengah kegelapan malam.
Keesokan paginya, tanggal 8 Desember, kehidupan di
ibu kota berjalan seperti biasanya. Pada tengah malam
menjelang tanggal 9 Desember, bagaimanapun, derap kakikaki kuda yang menyerupai gelegar guruh teredam
menggema di seluruh daerah di antara JaJan Keempat dan
Keenam. Tidak berapa lama kemudian, sosok-sosok
berkuda berkumpul di Istana Kloister di Jalan Ketiga dan di
tempat-tempat sekelilingnya. Di masing-masing gerbang
Istana, terdengarlah dentangan senjata dan ringkikan kuda.
Pedang-pedang dan tombak-tombak berkilauan di bawah
cahaya bintang; aroma kebengisan dan kebiadaban
menggelayuti udara malam yang sarat akan bunga es.
Sebuah kelompok memisahkan diri dari sebuah pasukan
yang terdiri atas enam ratus orang penunggang kuda,
rnenghamp.n gerbang utama, dan sebuah suara lantang

yang membelah malam bagaikan badai salju, terdengar


berseru:
Adakah orang di dalam? Buka gerbangnya ... ini adalah
Wakil Penasihat Nobuyori! Urusan mendesak memanggil
saya dari ibu kota! Saya harus menemui Yang Mulia
secepatnya!
Sebelum gema dari teriakan itu menghilang, para prajurit
telah mulai menggedor-gedor gerbang. Sorak sorai berisi
tuntutan agar gerbang-gerbang didobrak segera menyusul,
namun sosok di atas kuda itu mengisyaratkan kepada
pasukannya untuk diam. Jawaban tidak kunjung terdengar
dari dalam. Suara yang terdengar hanyalah deru angin di
antara cabang-cabang pepohonan yang telanjang.
Mantan
Kaisar
Goshirakawa
masih
terjaga,
menghabiskan malam bersama dua orang putra Shinzei dan
para pejabat istana lainnya dengan menikmati drama dan
tarian, diiringi oleh para pemain musik istana. Ketika derap
langkah dan kegaduhan terdengar di koridor-koridor istana,
mereka seketika pucat pasi. Kekhawatiran pertama mereka
adalah api. Belum sebulan berlalu sejak salah satu istana di
dekat sungai terbakar habis, dan seorang putri yang sedang
mementaskan tarian Tahun Baru tewas di sana.
Kengerian telah melumpuhkan mereka ketika seorang
pegawai istana tiba-tiba memasuki ruangan dan dengan
terengah-engah mengumumkan, Wakil Penasihat ada di
sini, dikawal oleh pasukan pembawa obor dan prajurit
bersenjata! Beliau menuntut untuk dipertemukan dengan
Yang Mulia. Beliau datang dengan membawa senjata
lengkap dan untuk mengucapkan selamat tinggal. Beliau
tidak mengatakan alasan mengenai kedatangannya yang
seperti ini. Sorak sorai dan keributan terdengar di luar
gerbang. Dengarkanlah!

Si pembawa pesan membuka pintu. Angin dingin bertiup


masuk dan memadamkan lilin-lilin sehingga ruangan itu
seketika menjadi gelap gulita.
Apakah
Penasihat?

Yang

Mulia

bersedia

menemui

Wakil

Cahaya ... aku ingin cahaya!


Ketika mendengar bahwa Nobuyori adalah penyebab
keributan itu, Mantan Kaisar Goshirakawa serta merta
berdiri dan menghambur ke koridor yang dingin.
Lilin-lilin, yang segera dinyalakan kembali, dibawa
mengikuti sosok Mantan Kaisar melintasi Istana menuju
Ruang Selatan. Pintu-pintu di sana dibuka. Di bawah
cahaya lilin, Goshirakawa melihat sosok berkuda, yang
menyapanya:
Yang Mulia, saya baru saja mendengar sebuah desasdesus yang mengatakan bahwa Penasihat Shinzei telah
menetapkan tuduhan alsu kepada saya dan mengirim
pasukannya untuk menahan saya; karena itulah saya
memutuskan untuk melarikan diri ke timur bersama
sebagian pasukan saya dan bersembunyi selama beberapa
waktu. Saya datang kemari untuk berpamitan kepada
Anda.
Terkejut mendengar pemberitahuan dari salah seorang
pejabat kesayangannya, Mantan Kaisar bertanya,
Siapakah yang telah menyebarkan desas-desus tak
berdasar itu? Itu hanyalah kabar burung yang keji,
Nobuyori, dan kau terkelabui. Tidak, desas-desus itu
tidak mungkin salah. Tetapi, tidak ada yang mengatakan
apa pun kepadaku Jika begitu, bagaimanakah
pendapat Yang Mulia mengenai hal itu.

Aku sendiri akan menemui Kaisar dan memastikan


agar tuduhan kepadamu itu dicabut. Tetapi, Nobuyori ...
mempersenjatai diri hingga segigi-gigimu?
Izinkanlah saya, jika begitu, Yang Mulia, untuk
menyertai Anda ke Istana. Mari, gunakanlah kereta saya.
Apa maksudmu merintahku seperti itu, Nobuyori?
amarah Goshirakawa pecah, namun sebelum bisa
mengatakan sepatah kata pun lagi, para prajurit telah
menghambur
ke
beranda,
meringkusnya,
dan
mengangkutnya ke sebuah kereta. Penasihat Moronaka
telah menanti di dekat kereta itu. Bingung dan marah akibat
perlakuan kasar yang diterimanya, Goshirakawa menolak
untuk memasuk, kereta dan menoleh kepada sang penasihat
Kau, Morinaka, apa maksud kedatanganmu kemari
bersenjata pula?
Penasihat Morinaka mundur dan menjawab dengan
terbata-bata. Hanya untuk kali ini, Yang Mulia. Jangan
cemas. Kita akan segera kembali kemari.
Sementara Morinaka dengan gemetar merentetkan
berbagai alasannya, beberapa orang prajurit muncul sambil
menyeret seorang putri yang meratap-ratap, adik
Goshirakawa. Mantan Kaisar tidak sanggup lagi berkatakata ketika melihat adiknya. Tanpa menyanggah lagi, dia
membiarkan dirinya didorong ke kereta, menyusul sang
adik.
Sebuah perintah tegas terdengar, Begitu kereta
berangkat, nyalakan api di semua gerbang! Jangan sampai
anak-anak Shinzei melarikan diri. Habisi saja siapa pun
yang melawan!
Kereta berderak maju dan keluar melalui salah satu
gerbang, yang terlalap api sesaat kemudian. Sebuah cambuk

melecut-lecut di belakang kerbau penarik kereta, sementara


kendaraan besar itu terguncang-guncang di atas jalan yang
beku. Yoshitomo dan Nobuyori beserta pasukan berkuda
mereka mengiringi langkah si kerbau yang, terpacu oleh
dentangan senjata dan derap kaki kuda, berlari menggila
hingga kereta yang ditariknya mendekati Gerbang Selatan
Istana Kekaisaran.
Utara ... ke Gerbang Utara!
Barisan berantakan itu membanjiri tembok Istana
Kekaisaran, berbelok dengan tajam ke utara dan
menghambur memasuki halaman Istana, sebelum berhenti
di antara gerbang luar dan dalam di dekat Gedung Arsip
Istana.
Yoshitomo dan Nobuyori melakukan perundingan
singkat:
Sebaiknya kita menahan mereka di sana hingga
keributan di kota mereda.
Goshirakawa dan adiknya dibawa memasuki Gedung
Arsip dan dikurung di sana. Para prajurit diperintahkan
untuk mengawasi tahanan hingga perintah selanjutnya
dikeluarkan.
Kaisar Nijo, sementara itu, secara paksa dibangunkan
dari tidurnya oleh para prajurit dan secepatnya digelandang,
dalam keadaan ketakutan, ke sebuah gedung di sisi utara
Istana untuk kemudian dikurung di sana.. Sekarang, setelah Kaisar dan Mantan Kaisar ditahan dan
para prajurit Genji memegang kekuasaan utuh di Pangkalan
Pengawal, yang harus dilakukan oleh para pelaku
persekongkolan adalah menangani Shinzei dan Kiyomori.
Ketika meninggalkan gedung Arsip dan mengitari
halaman Istana ke arah timur, Genji Yoshitomo, Wakil

Penasihat Nobuyori, dan para pengikut mereka melihat api


telah melalap Istana Kloister. Langit di atasnya seolah-olah
turut terbakar. Asap yang menyesakkan napas membubung
ke langit dan menghujankan bara biru menyala yang
menjadikan bintang-bintang musim dingin tampak gemetar.
Kuda Nobuyori mendadak berhenti ketika sepasukan
prajurit mengyongsong mereka dengan tombak teracung.
Nobuyori tanpa sadar menjerit, Musuh! ... Genji atau
Heike? Yoshitomo tertawa di belakangnya.
Mereka pasti anak buah kita, tapi aku tidak heran jika
mereka ternyata Heike.
Pasukan itu maju menghampiri Nobuyori dan
Yoshitomo, lalu mendadak berhenti di hadapan mereka
untuk melaporkan apa yang telah terjadi di Istana Kloister.
Mereka telah menangkap dan memenggal kepala dua orang
penasihat Mantan Kaisar, kata mereka, sementara seorang
prajurit mengacungkan sebilah pedang yang digunakan
untuk menancapkan dua buah kepala. Nobuyori bergidik
dan langsung mengalihkan pandangan, namun Yoshitomo
mencondongkan badan untuk memeriksa kedua kepala itu
dari jarak dekat.
Bagus sekali, perintahnya, pajang kedua kepala ini di
Gerbang Timur. Umumkanlah kepada masyarakat nama
semua anggota keluarga Genji dan Heike yang telah
dipenggal.
Diikuti oleh para prajurit yang bersorak sorai dengan
semangcberapi-api, Nobuyori dancberbelok ke barat dan
menyusuri jalan disebelah selatan akedemi.
Ketika itu pukul dua dini hari. Api masih menyala, dan
angin kencang menebarkan bara, meniupnya ke segala arah
dalam sebuah tarian iblis.

Korekata dan Nobuyori, setelah menerima laporan dari


mata-mata bahwa Shinzei dan putra-putranya sedang
menghabiskan malam di Istana Kloister, memerintahkan
agar seluruh tempat itu dibumihanguskan. Tetapi, ketika
diketahui bahwa Shinzei tidak menyerati putra-putranya,
Korekata segera memerintah para prajuritnya untuk
mengepung kediaman sang penasihat dan membakarnya,
tanpa membiarkan seorang pun meloloskan diri. Ketika
pagi tiba, para prajurit menyisir seluruh abu di reruntuhan
bangunan itu namun tidak menemukan mayat Shinzei.
Ketika fajar merekah pada 10 Desember, seluruh ibu
kota masih dicekam kengerian. Rumah-rumah dan tokotoko tertutup rapat, dan hanya kelompok-kelompok prajurit
berwajah menghitam dan bernoda darah yang terlihat
berkeliaran di jalanan. Di gerbang Jalan Kelima,
bagaimanapun, toko Hidung buka seperti biasa.
Bamboku menghabiskan sepanjang malam di atas atap
rumahnya, menyaksikan pembakaran di ibu kota. Melihat
bangunan-bangunan yang ditelan api dan asap, dia
mengerang, Sayang sekali ... api itu adalah emas murni!
Jiwa sang saudagar mendesah melihat begitu banyaknya
harta yang hancur lebur menjadi abu malam itu.
Apa pun yang terjadi, sepertinya Wakil Penasihat
Nobuyori berkuasa saat ini. Luar biasa ... benar-benar luar
biasa! Dengan kepergian Shinzei, ini bisa diduga.
Bertengger di atapnya bagaikan seekor burung bangkai,
Hidung menyaksikan api perlahan-lahan padam, dan dia
pun segera mengalihkan pikirannya pada bisnis yang telah
menantinya keesokan harinya. Tidak sekelumit pun
ketakutan atau keraguan tebersit di benaknya. Otaknya
tanpa henti berputar dan menggeliat.

Bagaimana Tuan Harima akan menerima kabar ini?


Dengan kepergian nya, Rokuhara tentu tidak berdaya.
Bamboku menoleh ke arah Rokuhara di seberang sungai.
Dia tidak melihat geliat kehidupan di sana. Membayangkan
perasaan para penghuni tempat itu, dia berkomentar dengan
lega, Untunglah aku seorang pedagang ... oh, sungguh
bagus takdirku, dilahirkan menjadi seorang pedagang!
Kemudian, dia turun dari angkat dan berseru dengan
suara yang sarat akan emosi, Perempuan, bangunkan
Shika! Katamu dia sudah bangun? Kalau begitu,
bangunkan para pelayan. Perintahkan mereka untuk
mengeluarkan gerobak-gerobak dan menunggu di dekat
gudang.
Di saat pikirannya kalut, Hidung melupakan bahwa
istrinya berdarah biru dan membentak-bentaknya seperti
istri biasa. Sejenak kemudian, Hidung telah sibuk
mengangkut berguci-guci sake ... lebih dari selusin ... keluar
dari gudang dan memuatnya ke dalam gerobak.
Pastikan agar sake ini
Terhormat Nobuyori dan
kepada mereka bahwa ini
dariku. Katakan juga bahwa
Tsunemune secara pribadi
kepada Shika.

terkirim ke kediaman Yang


Yoshitomo. Sampaikanlah
adalah hadiah kemenangan
aku akan menemui Penasihat
siang nanti, kata Hidung

Para pelayan tampak enggan. Masih terlalu berbahaya


untuk melintasi ibu kota dengan membawa gerobak
bermuatan seperti itu, dan mereka pun memprotes dengan
keras kepala.
Hidung cepat-cepat menyanggah mereka. Omong
kosong! Seandainya kalian pelayan samurai, semalam
kalian harus mengangkat pedang dan panah untuk
menyelamatkan diri kalian sendiri! Apakah kalian mengira

bahwa para samurai dan pelayan mereka itu pernah punya


cukup makanan untuk mengenyangkan diri mereka?
Bagaimana kalian bisa menjadi pedagang yang baik jika
kalian tidak berani menghadapi keadaan seperti ini?
Setelah melihat sendiri para pelayannya keluar
menyusun jalanan yang masih gelap. Hidung kembali
memasuk, rumah dan menikmati Lapan yang masih panas,
kemudian merayap ke ranjang dan tidur nyenyak.
Tanpa menyia-nyiakan waktu, Wakil Penasihat
Nobuyori dan Korekata dari Kepolisian menduduki Istana
dan mengeluarkan proklamasi atas nama Kaisar.
Tanggal 12 telah tiba, dan kabar tentang Shinzei belum
juga terdengar. Sang penasihat segera melarikan diri dari
ibu kota dengan menunggang kuda begitu mata-matanya
memberinya peringatan, sejenak sebelum pemberontakan
pecah pada malam hari tanggal 10. Dia tidak sempat lagi
memperingatkan istrinya, Nyonya Kii, atau putra-putranya
yang sedang berada di Istana Kloister. Shinzei melakukan
perjalanan dalam kegelapan, menyusuri Jalan Raya Uji
menuju salah satu tanah kekuasaannya. Lima orang
pelayan tersaruk-saruk di belakangnya. Menjelang siang
pada tanggal 13, salah seorang pelayan Shinzei, yang
berhasil meloloskan diri dari ibu kota, bertemu dengan
rekannya sesama pelayan di wilayah perbukitan di dekat
Uji.
Di manakah majikan kita? Apakah beliau selamat?
tanyanya.
Rekannya ragu-ragu dan, berpikir bahwa lebih bijaksana
jika dirinya tidak banyak bicara, meyakinkannya bahwa
Shinzei selamat dan balas menghujaninya dengan
pertanyaan mengenai apa yang terjadi di ibu kota. Setelah

mendengar semua kabar yang mungkin diperolehnya, dia


mendesak temannya agar kembali ke Kyoto.
Sekembalinya di tempat majikannya, si pelayan
menuturkan semua cerita yang telah didengarnya. Shinzei
pucat pasi karenanya dan, selagi mereka masih berbicara,
beberapa orang pelayan lain, yang baru saja kembali setelah
melakukan pemeriksaan di lingkungan sekitar mereka,
menyampaikan
kabar
bahwa
sebuah
pasukan
beranggotakan tujuh puluh orang samurai berkuda sedang
mendekat ke arah mereka.
Bagaikan seekor binatang yang telah terdesak, mata
Shinzei berkaca-kaca. Dia mengerang. Tidak ada harapan
lagi baginya untuk mencapai daerah kekuasaannya.
Kemudian, dia menoleh kepada kelima pelayannya.
Aku punya rencana. Ada rumah petani di belakang kuil
ini. Carilah sekop dan galilah sebuah lubang di sana ... di
belakang rumpun bambu . Cepat ... sebuah lubang!
Para pelayan itu secara membabi buta menggali tanah
yang beku hingga mendapatkan sebuah lubang yang cukup
besar untuk menampung Shinzei dalam posisi duduk
bersila. Shinzei memasuki lubang itu dan memerintahkan
kepada para pelayannya untuk menimbunnya dengan daun
dan ranting pepohonan hingga batas lehernya.
Sekarang, timbuni aku dengan tanah, perintah Shinzei,
menyelipkan seruas bambu ke bibirnya, hingga bahuku
tertutup seluruhnya. Pasang topi bambu itu di kepalaku,
dan masukkan
lebih banyak lagi tanah, perlahan-lahan, hingga puncak
kepalaku rata dengan permukaan tanah. Robeklah secarik
kain dari kimono kalian dan sumpallah telinga dan
hidungku dengan lembut; kemudian, tutupilah jejak kalian
dengan dedaunan. Pastikan agar tidak ada kotoran yang

menyumbat bambu yang kugunakan untuk bernapas ini.


Tinggalkan aku di sini hingga besok, dan kembalilah segera
setelah keadaan aman.
Setelah menyelesaikan tugas mereka, para pelayan
Shinzei segera pergi.
Keesokan siangnya, dua dari lima orang pelayan Shinzei
kembali secara diam-diam dan terperanjat ketika
menemukan sebuah lubang menganga dengan sesosok
mayat di dalamnya. Beberapa orang petani yang mereka
temui mengatakan bahwa beberapa orang prajurit, dengan
dipandu oleh seorang penebang pohon, mendatangi tempat
itu pada malam hari dan menggali lubang tempat Shinzei
bersembunyi, menariknya keluar, memenggalnya di sana
dan saat itu juga, lalu langsung pergi setelah melemparkan
kembali mayat tanpa kepala sang penasihat ke dalam
lubang.
Pada hari ketika Shinzei menemui ajalnya 13
Desember seorang kurir dari Rokuhara berhasil mengejar
Kyomori di Kiribe.
Pada tanggal 14, ketika kabar mengenai penangkapan
dan pemenggalan Shinzei mencapai ibu kota, sebuah
proklamasi dibuat, mengumumkan bahwa kepala Shinzei
akan diarak di sepanjang jalan-jalan utama ibu kota dan
kemudian dipajang di sebuah tempat umum.
Masyarakat berduyun-duyun turun ke jalanan ibu kota
untuk menyaksikan pemandangan yang mendirikan bulu
kuduk ini. Ketika kepala Shinzei dipamerkan di hadapan
Nobuyori, Korekata, dan Yoshitomo yang duduk di dalam
kereta mereka, salah seorang penonton terdengar
mengatakan telah melihat simbol mengerikan itu
mengangguk dua kali ke arah ketiga pria tersebut. Maka,
cerita aneh ini pun beredar dengan cepatnya dari mulut ke

mulut di antara para penonton yang siap memercayai


segalanya.
Dari keluarga Shinzei, sembilan belas orang, termasuk
putra-putranya, ditahan dan dipenggal di tepi sungai,
tempat begitu banyak orang telah menemui ajal mereka
belum lama berselang berdasarkan perintah Shinzei. Kepala
Shinzei dipajang di atas sebatang pohon di sisi barat ibu
kota agar semua orang bisa melihat nasib ironis seorang
pria yang telah membangkitkan hukuman mati.
Sebelum pekan itu berakhir, para pemberentok telah
membagi-bagikan jabatan-jabatan terpenting di antara
mereka sendiri dan memproklamirkan diri sebagai
pemerintah yang baru. Selain menjadi menteri, Nobuyori
juga menghadiahi dirinya sendiri dengan jabatan Jenderal
Kesatuan Pengawal Kekaisaran yang telah lama
didambakannya. Korekata, fsunemung, dan yang lainnya
mendapatkan jabatan idaman mereka masing-masing, dan
Genji Yoshitomo mendapatkan Provinsi Harima. Genji
Yorimasa, bagaimanapun, tidak menghadiri pesta perayaan
kemenangan mereka dengan alasan bahwa cedera yang
dideritanya menghalanginya untuk keluar dari rumah.
Segala macam pikiran tentang Kaisar dan Goshirakawa
yang masih ditahan untuk sementara itu terlupakan. Tetapi,
ketika pesta tengah berlangsung, seorang juru tulis istana
menghampiri Yoshitomo untuk menyampaikan sebuah
pesan:
Tuan, putra Anda baru saja tiba dari Kamakura. Beliau
sedang menanti Anda di salahi satu ruang tunggu.
Wajah Yoshitomo mendadak berseri-seri. Benarkah?
Wajah Nobuyori tampak merah padam di bawah lapisan
bedak tebalnya. Dia telah minum sepanjang malam.
Mendengar kata-kata si juru tulis, dia mencondongkan

badan ke arah Yoshitomo, yang duduk di sampingnya.


Tuan Juru Kunci Istal Kekaisaran, siapakah yang baru saja
tiba dari Kamakura?
Putra sulungku, Yoshihira. Dia dikirim ke sana sejak
masih bocah untuk memperoleh pendidikan. Namanya
tercoreng gara-gara dia pernah membunuh pamannya
sendiri dalam sebuah pertengkaran. Dia memang anak
nakal, namun sepertinya dia telah mendengar tentang
gejolak yang terjadi di sini dan datang untuk menawarkan
bantuan. Ini membuatku bangga kepadanya. Pepatah
mengatakan bahwa semakin bermasalah seorang anak,
semakin besar cinta orangtuanya kepadanya
Sudah berapa lamakah sejak kau terakhir kali berjumpa
dengannya? Aku tidak ingat lagi berapa tahun telah berlalu.
Berapakah umurnya?
Sembilan belas tahun.
Dia tentu telah berkuda dari Kamakura sepanjang siang
dan malam tanpa sekali pun berhenti. Kau sebaiknya
menemuinya tanpa membuang-buang waktu lagi. Ajak saja
dia kemari
Yoshitomo
menelengkan
kepala.
Jika
kau
menghendaki, Tuan. Aku ingin bertemu sendiri dengan
Yoshihira. Si juru tulis mempersilakan seorang pemuda
masuk, dan seluruh ruangan serentak menoleh dengan
penasaran ke arahnya. Tetapi, ekspresi kecewa seketika
muncul diwajah mereka karena, berbeda dengan
reputasinya, Yoshihira ternyata berpenampilan biasa-biasa
saja dan berperawakan agak kecil, Dia mengenakan baju
zirah yang biasa dikenakanan seorang samurai muda. Tali
sutra ungu di topinya terikat di bawah dagunya, semakin
menonjolkan rona merah pipinya dan menimbulkan kesan

lembut pada sosoknya yang sehat. Topinya masih baru dan


sepertinya dikenakannya dengan tergesa-gesa untuk
mengikuti acara ini.
Nobuyori mengamati pemuda itu dari ujung kepala
hingga ujung kaki.
Genji Yoshihira, kau membawa keberuntungan bagi
kami. Kau datang pada hari perayaan, katanya. Kau pun
juga harus sesegera mungkin membuktikan dirimu di dalam
peperangan, dan dengan kekuatanmu sendiri merebut
sebuah jabatan di istana. Semua orang yang kaulihat di
sekelilingku ini telah membuktikan diri mereka selama
empat hari terakhir dan saat ini sedang mendapatkan hujan
pujian dan kehormatan, seperti yang selayaknya mereka
terima.
Ini ... sake untuk Yoshihira.
Yoshihira
membungkuk
dalam-dalam
untuk
memberikan penghormatan, kemudian duduk tegak dan
menatap para pejabat istana yang duduk di panggung
kehormatan,
seolah-olah
belum
pernah
melihat
pemandangan semenakjubkan itu. Seorang pelayan
menyerahkan secangkir sake kepadanya. Yoshihira
menghabiskannya dalam sekali tenggak. Si pelayan mengisi
kembali cangkirnya, dan dia menenggaknya lagi tanpa
mengatakan apa-apa. Rona di wajah berkulit cokelatnya
menimbulkan kesan lugu yang jarang ditemui dalam diri
para pemuda ibu kota. Tatapan mata jernihnya tidak
menunjukkan kelicikan apa pun.
Minummu hebat, Yoshihira. Kau menikmatinya?
Ya.
Dan ... cinta?
Mengenai itu, saya tidak tahu apa-apa.

Apakah yang membawamu ke ibu kota? Untuk


memperoleh nama?
Itu cita-cita saya. Saya datang kemari karena
mendengar bahwa h saya sedang membutuhkan bantuan,
dan putra macam apakah tidak akan melakukan hal yang
sama? Jawaban lugas dan langsung itu sepertinya
memuaskan Nobuyori. Cara bicaramu khas orang timur!
Dia tergelak, memamerkan giginya yang telah diwarnai.
Yoshihira mengernyitkan wajah dengan jijik melihat
deretan gigi hitam di tengah wajah yang terpoles cat.
Kau tidak sombong tetapi jantan, Yoshihira. Ayo, kau
harus mengikuti teladan ayahmu dan merebut tempatmu di
antara kami. Aku akan memastikan agar kau bisa.
Kesan kesal mengambang di atas senyuman Yoshihira.
Para pejabat istana itu, pikirnya, masih memperlakukan
samurai seperti anjing penjaga. Saat ini mereka sedang
mengiming-iminginya dengan jabatan, seolah-olah dirinya
seekor anak anjing.
Apakah yang membuatmu tersenyum, Yoshihira?
tanya Nobuyori. Apakah kau tertarik untuk memegang
jabatan?
Yoshihira menggeleng. Tidak, saya sedang memikirkan
paman saya dan apa yang beliau lakukan selama Perang
Hogen.
Perang Hogen? Pamanmu?
Genji Tametomo adalah paman saya. Beliau menolak
sebuah jabatan di istana dari Mentero Golongan Kiri ketika
perang dimulai, dan terjun begitu saja ke medan perang .
Saya hanya memikirkan itu.
Nobuyori mengernyitkan wajah. Dia merasa telah
menyinggung perasaan pemuda itu. Para pejabat istana

memelototi Yoshihira; Yoshitomo menahan sambutan


bangganya. Untungnya, kedatangan sebuah pesan untuk
Nobuyori memecahkan keheningan yang menyelimuti
ruangan. Seorang kurir telah kembali dengan membawa
laporan mengenai lokasi keberadaan Kiyomori.
Setelah Shinzei tewas, hanya Kiyomori yang harus
mereka hadapi, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan
Rokuhara tempat adik dan adik ipar Kiyomori bertanggung
jawab, desas-desus yang mengatakan bahwa mereka pun
telah membawa para wanita dan anak-anak, dan satu saja
perintah dari Nobuyori kepada pasukannya akan bisa
memastikan kebenaran kabar burung itu. Tetapi, Nobuyori
dan para pendukungnya bersedia menunggu hingga mereka
mengetahui tindakan yang akan diambil oleh Kiyomori.
Mereka yakin bahwa Kiyomori telah berada di ujung
tanduk; dia tidak akan berani melawan mereka. Tidak ada
yang bisa dilakukannya kecuali menyerah. Beberapa orang,
bagaimanapun, mengkhawatirkan kemungkinan bahwa
Kiyomori akan cukup kalap dan menantang mereka
melakukan pertempuran habis-habisan.
Walaupun sebagian orang merasa waswas, pihak yang
telah menang tidak terganggu sedikit pun ketika mendengar
berita terbaru tersebut Sepertinya Kiyomori telah
memutuskan untuk kembali ke ibu kota. Kurir yang kita
berangkatkan pagi ini baru saja kembali. Tidak ada kabar
tentang langkah yang akan diambil Kiyomori. Tetapi, kita
akan mengetahuinya dari kurir berikutnya.
Pesta dilanjutkan, dan Nobuyori kembali memerhatikan
Yoshihira.
Dan, omong-omong, Anak Muda, apakah pendapatmu
mengenai semua ini?

Yoshihira, yang telah memerhatikan baik-baik potonganpotongan pembicaraan di sekelilingnya, dengan penuh
semangat menjawab, Izinkanlah saya memimpin
sepasukan prajurit. Saya akan pergi ke Abeno dan
menantang Heik6 Kiyomori untuk melakukan pertarungan
satu lawan satu di sana dan membawa kepalanya kemari.
Kepercayaan diri Yoshihira menggelikan para pejabat
istana, yang menyambut ucapannya dengan tertawa
terbahak-bahak.
Yoshihira mengedarkan pandangan dengan heran.
o0odwkzo0o

Bab XXII-Jeruk Dari Selatan


Malam musim dingin turun perlahan-lahan di tengah
laut, menghadirkan nuansa kebiruan yang menyerupai sisik
ikan sementara matahari tenggelam di cakrawala. Di
permukaan air yang jauh, lekak-lekuk ombak tampak putih
berkilauan. Ketika itulah kecepatan putaran bumi nyaris
terasa, seiring sejalan dengan perubahan cahaya. Garis
panjang pesisir Semenanjung Kii tampak berkerut merut di
bagian selatan, disambut oleh deretan perbukitan, dan
Pelabuhan Kirib6 berdiri di antaranya, tampak indah dan
permai. Beberapa titik cahaya berkilauan dari dusun yang
terletak di antara mulut sungai dan laut.
Tenggelamlah matahari ... ah, tenggelamlah, bisik
Kiyomori pada langit yang semakin gelap dan kaki bukit
yang menjadi tempat berdirinya Tempat Pemujaan
Kumano. Tidak pernah sekali pun selama empat puluh dua
tahun kehidupannya, dia menyaksikan matahari tenggelam
dengan perasaan segetir itu. Ketika rtu adalah tanggal 13

Desember, hari saat dia mendengar kabar mengenai


peristiwa memilukan yang terjadi di Kyoto.
Ketika rombongannya telah pulih dari kepanikan
mereka, Kiyomori memanfaat sebuah bangsal di salah satu
bangunan yang terhubung dengan Tempat Pemujaan Kiribe
untuk mengadakan musyawarah; dikelilingi oleh para
pengikutnya, Kiyomori berbicara:
Kita tidak boleh kehilangan semangat di masa terburuk
dalam kehidupan kita ini. Lalu, apakah yang sebaiknya kita
lakukan? Shigemori, sampaikanlah pendapatmu kepada
kami. Mokunosuk6 ... dan kalian semua ... bicaralah.
Semua orang di sini, katakanlah pendapat kalian kepadaku
tentang apa yang sebaiknya kita lakukan.
Tidak seorang pun dari mereka pernah melihat Kiyomori
seperti ini. Sikap seriusnya menjadikan sosoknya sulit
dikenali. Dia bukan lagi seorang pemimpin berperangai
riang dan penuh kepercayaan diri seperti yang selalu
mereka kenal. Alis tebalnya, yang memberinya kesan keras
kepala, bertaut menjadi seruas garis tebal, menaungi
sepasang matanya yang memancarkan kecemasan.
Kesan muram juga tampak di wajah Shigemori, yang
biasanya selalu tenang.
Pertama-tama, katakanlah kepada kami pendapat Ayah.
Tidak ada yang kami inginkan melebihi hidup atau mati
bersama Ayah, kata Shigemori.
Kiyomori segera menjabarkan garis besar dua buah
rencana. Shigemori menyampaikan keberatan, dan
Mokunosuk6 menggeleng. Dan, sementara mereka
berunding, siang musim dingin yang pendek dengan cepat
berganti malam.

Setiap detik begitu berharga, dan kita harus beristirahat


dan tidur, atau kita akan kesulitan menghadapi hari esok.
Bagaimana jika kita meminta juru kunci tempat pemujaan
untuk menghidangkan makan malam kita di dekat tungku?
Dan kau, Mokunosukg, katakan kepada para pelayan untuk
memasak makanan mereka dan tidur.
Pembicaraan itu berakhir ketika juru kunci tempat
pemujaan muncul untuk menyambut Kiyomori dan
mengawalnya ke sebuah pondok yang khusus didirikan bagi
para tamu kekaisaran yang hendak menuju Tempat
Pemujaan Kumano, beberapa hari perjalanan lagi ke arah
tenggara. Besarnya perapian terbuka yang ada di pondok itu
selalu mengejutkan para tamu dari ibu kota. Kiyomori
duduk
di dekat api yang bergolak dan mendengarkan gumaman
laut di kejauhan.
Ayah pasti lelah.
Oh, kaukah itu, Shigemori? Di manakah si Tua
Bangka?
Dia akan kemari sebentar lagi.
Aku hanya ingin berbicara bertiga di sini.
Mokunosuk6 juga berpendapat begitu. Dia sedang
memeriksa apakah semua orang telah tidur malam ini.
Bagaimanakah keadaan mereka?
Mereka sangat terguncang pada awalnya, namun
semangat mereka sepertinya telah kembali.
Jika ada di antara mereka yang hendak kabur,
biarkanlah saja. Jangan mengawasi mereka terlalu ketat.
Para perawan biara membawa masuk sake dan makanan,
dan kepala pendeta hadir beberapa saat kemudian untuk

menyapa Kiyomori. Kiyomori cepat-cepat memberinya


penghormatan dengan cara yang semestinya.
Dari kabar yang saya dengar, iklim di wilayah ini cukup
hangat, namun laut menimbulkan kesan dingin dan
mengancam pada malam hari. Kami berharap bisa
menghabiskan makanan kami di dekat perapian ini, tanpa
gangguan, karena saya harus membahas masalah pribadi,
kata Kiyomori tanpa berbasi-basi.
Mokunosuke segera hadir.
Kedua rencana yang telah disampaikan oleh Kiyomori
kepada para pengikutnya adalah sebagai berikut: pertama,
melanjutkan perjalanan ziarah karena mereka tidak akan
berdaya untuk melakukan perlawanan jika mereka kembali
saat ini. Di Kumano, Kiyomori akan menemui seorang ahli
nujum dan bertindak berdasarkan nasihat darinya. Yang
kedua adalah langsung kembali ke Naniwa (Osaka), dan
dari sana berlayar ke Pulau Shikoku untuk melakukan
pengintaian dan berusaha menghimpun pasukan.
Sesungguhnya, kedua rencana tersebut bisa mereka
jalankan. Bagaimanapun, Mokunosuk6 bisa memahami apa
yang sesungguhnya berkecamuk di benak Kiyomori. Alihalih kepada musuh yang telah menanti di ibu kota,
Kiyomori lebih mencemaskan pengkhianatan di antara para
prajurit yang ada di dalam rombongannya saat ini, karena
imbalan berjumlah besar telah ditawarkan kepada siapa pun
yang bisa menyerahkan kepala Kiyomori kepada pihak
yang berwenang. Kendati begitu, ada masalah lain yang
lebih merisaukan Kiyomori, yaitu nasib keluarganya di
Rokuhara. Jika Kiyomori memutuskan untuk mengangkat
senjata guna melawan Nobuyori dan Korekata, maka
mereka tidak akan segan-segan membawa obor mereka ke
Rokuhara dan membantai seluruh penghuninya, dan
kemudian menuntut Kiyomori agar menyerahkan diri. Hal

ini tidak bisa disangkal, sehingga apa pun keputusan yang


akan diambilnya, Kiyomori harus merahasiakannya dari
teman maupun musuhnya, kembali ke Kyoto tanpa menyianyiakan waktu, dan bertindak dengan cepat.
Mokunosuk6, dengan tubuh delapan puluh tahunnya
yang bungkuk, menghadapi ayah dan anak itu di depan
perapian, berbicara seperti orang yang berkumur-kumur.
Peristiwa di ibu kota itu cepat atau lambat pasti terjadi.
Si Tua Bangka ini sulit memercayai apa yang baru saja
Anda katakan. Saya juga sangat menyadari kesulitan yang
akan Anda hadapi jika Anda kembali ke ibu kota. Tetapi,
sejauh pengetahuan saya, kita memiliki cukup busur, anak
panah, dan baju zirah.
Tua Bangka, apa kau mengatakan
membawa persenjataan kemari?

bahwa

kita

Itu adalah bagian dari pendidikan samurai; saya


berutang budi kepada ayah Anda, Tadamori, untuk
pengetahuan ini.
Bagus sekali!
Shigemori, yang secara diam-diam memerhatikan wajah
ayahnya dalam temaram cahaya perapian, berkata:
Apakah Ayah memutuskan untuk segera kembali ke ibu
kota?
Begitulah. Tidak ada pilihan lain bagiku sebagai
seorang samurai. Para dewa telah memberikan kesempatan
ini kepada kita. Ada begitu
banyak halangan dan rintangan di jalan menuju Kumano
... seperti manusia yang menjalani kehidupan, Shigemori.
Kau telah dewasa sekarang, dan Ini akan menjadi ujian
besar bagi kejantananmu.

Aku pasti akan mendukung Ayah. Tetapi, bagaimana


dengan keluarga kita di Rokuhara?
Ya.
kita
memiliki
semua
alasan
untuk
mengkhawatirkan mereka, dan itulah satu-satunya
keberatanku untuk kembali. Lebih baik kita mengirim
seseorang yang kita percaya untuk menyampaikan pesan ke
penginapan di Tanab6.
Hanzo adalah orang yang tepat untuk tugas itu. Apakah
isi pesannya?
Kepala pendeta Kumano sedang singgah di sana. Aku
akan menulis kepadanya dan memohon bantuan di
sepanjang jalan.
Jika tugas ini memang penting, tidakkah sebaiknya aku
saja yang pergi?
Tidak, itu akan membuat kita tampak putus asa. Hanzo
sudah cukup.
Kiyomori segera menulis sebuah surat dan mengirim
Hanzo untuk menyampaikannya. Kemudian, dia
mengatakan kepada kepala pendeta bahwa sebuah
panggilan mendadak dari ibu kota telah memaksanya untuk
membatalkan perjalanan. Dia menambahkan, Karena
kami akan berangkat sebelum fajar merekah, saya harus
memohon kemurahan hati Anda untuk mengizinkan kami
menghadiri upacara peribadatan pagi.
Mengenakan baju zirah lengkap, Kiyomori, Shigemori,
beserta para prajurit dan pelayan mereka, bergerak
perlahan-lahan ke utara. Masing-masing dari mereka
menyematkan sepotong ranting cemara ke baju zirah
mereka. Para peziarah memang disyaratkan untuk
membawa sepotong ranting cemara, pohon keramat di
Tempat Pemujaan Kirib6, sebagai azimat.

Para pendeta, yang belum mendengar tentang


pemberontakan di Kyoto, mengira bahwa Kiyomori
mendapatkan panggilan biasa dari istana. Mereka
menghadiahi Kiyomori beserta rombongannya dengan
potongan besar ranting-ranting pohon, yang diikatkan ke
pelana kuda mereka. Kiyomori dan rombongannya
menatap heran pada jeruk-jeruk mandarin wangi yang
menyembul dan berkilauan bagaikan emas di antara
dedaunan hijau tua di ranting-ranting tersebut. Benar-benar
hiasan yang indah, pikir Kiyomori, untuk pesta Tahun Baru
di Istana, tempat para bangsawan akan mengagumi buah
asing berjenis baru ini. Kemudian, dia mencabut sebutir
jeruk, mengupasnya, lalu mencicipinya.
Cobalah, ini lezat! serunya, tiba-tiba menoleh dari atas
kudanya. Shigemori, Tua Bangka, cicipilah. Sepertinya
mustahil buah jeruk ini masih tersisa setibanya kita di ibu
kota. Cobalah, semuanya, bagikanlah jeruk-jeruk ini di
antara kalian.
Kiyomori memetiki berfoutir-butir jeruk lalu melempar
ke para prajuritnya, yang berebutan menangkapnya sembari
bersorak sorai seperti anak-anak yang penuh semangat.
Matahari telah tinggi di atas cakrawala sekarang, dan udara
pagi yang dingin telah dipecahkan oleh gelak tawa
menyambut hujan buah emas.
Mereka berkuda melewati desa demi desa hingga
matahari tenggelam, ketika Kiyomori memerintahkan
kepada mereka untuk berhenti. Keesokan paginya, mereka
melintasi rute pegunungan dan terus maju hingga tiba di
Sungai Kii. Di sana, mereka memperkuat pasukan dengan
dua puluh orang penunggang kuda bersenjata yang
disediakan oleh kepala pendeta Tempat Pemujaan Kumano
sebagai jawaban atas surat Kiyomori.

Pada hari yang sama, ketika sedang berbaris, seorang


panglima beserta tiga puluh orang pelayannya menemui
mereka. Sebagai jawaban atas pertanyaan Kiyomori tentang
alasan kedatangan mereka, sang panglima menjawab:
Ayah saya berutuang budi begitu besar kepada
mendiang ayah Anda, Tadamori, yang pernah menjadi
pelindung kami. Saya mendengar bahwa Anda mendadak
memutuskan untuk kembali ke ibu kota karena adanya
pergolakan di sana, dan saya datang untuk memberikan
peringatan kepada Anda.
Sang panglima kemudian mengatakan bahwa kabar
burung mengenai Kiyomori yang membatalkan perjalanan
ziarahnya ke Kumano telah sampai di ibu kota. Putra
Yoshitomo, Yoshihira, bersama tiga ribu orang prajurit
berkuda, telah tiba di Naniwa (Osaka) dan menggiring
pasukannya ke selatan untuk menghadang Kiyomori.
Darah Kiyomori terasa menggelegak. Tatapan Shigemori
semakin nyalang ketika mereka melanjutkan perjalanan ke
utara. Niat Kiyomori telah terbaca dengan jelas oleh para
pengikutnya, dan Kiyomori menyadari bahwa telah tiba
waktunya bagi mereka untuk memutuskan apakah mereka
mau meninggalkannya.
Berhenti, istirahatkanlah kuda-kuda kalian. Habiskan
jeruk kalian. Tidak banyak lagi yang tersisa. Kalian semua
harus mencicipinya, perintahnya, sebelum menambahkan
sambil tertawa, ini mungkin kesempatan terakhir kalian.
Matanya mengamati wajah-wajah di sekelilingnya untuk
melihat dampak kata-katanya kepada pasukannya.
o0odwkzo0o
Pasukan
Kiyomori
membentuk
sekelilingnya di sebentang lahan kosong.

lingkaran

di

Aku membawa kalian melakukan perjalanan sejauh ini


dengan rencana menyeberang ke Pulau Shikoku, namun
aku berubah pikiran. Aku tidak akan memperoleh
keamanan di mana pun, bahkan jika aku menyeberang ke
Cina.
Kiyomori berbicara tanpa sedikit pun tanda-tanda
kegundahan.
Kita akan selamat jika angkat tangan dari kericuhan di
ibu kota, namun para samurai di mana pun akan membenci
klan Heik6 yang pengecut dan menolak untuk memberikan
dukungan mereka kepada kita. Barangkali mereka justru
akan memberikan dukungan kepada klan Genji.
Para prajurit mendengarkan petuah Kiyomori dengan
penuh perhatian. Dari ekspresi wajah mereka, terlihat
bahwa tidak seorang pun dari mereka bersedia mengikuti
sarannya, dan Kiyomori tiba-tiba merasa malu menerima
tatapan bingung mereka. Dia menyadari bahwa bukan
hanya nyawanya sendiri yang menjadi tanggung jawabnya
melainkan
juga
nyawa
mereka,
dan
mereka
memercayainya.
Seandainya
mereka
berniat
mengkhianatinya, renung Kiyomori, mereka pasti telah
menyambar setiap peluang yang ada untuk melakukannya.
Sudah cukup yang kukatakan. Sekarang bukan saat
untuk berbicara. Walaupun kita hanya berkekuatan seratus
orang penunggang kuda, aku yakin bahwa jika kita
memiliki tekad, maka kita akan berhasil mencapai ibu kota.
Dan kabar bahwa aku telah kembali ke Rokuhara telah
tersebar, maka kawan-kawan kita akan memberikan
dukungan mereka kepada kita. Bagaimana menurut
kalian?

Ucapan Kiyomori mendapatkan sambutan gegap


gempita karena semua prajurit mencemaskan nasib anak
dan istri mereka yang mereka tinggalkan di ibu kota.
Kiyomori melanjutkan, Ada satu kesulitan yang masih
menghadang kita. Aku diberi tahu bahwa Genji Yoshihira
bersama tiga ribu orang prajurit berkuda telah menanti kita
di utara. Itu berarti tiga puluh melawan satu.
Para prajurit balas menyemangati Kiyomori dengan
tekad mereka untuk kembali ke ibu kota, dan mereka
menegaskan kepadanya bahwa mereka telah siap untuk
menghadapi musuh yang tak terhitung banyaknya,
mengikutinya ke mana pun dia akan membawa mereka,
dan menunjukkan betapa perkasanya pasukan Heike.
Kiyomori tidak membutuhkan suntikan tekad lagi. Apa
pun keraguan yang dimilikinya tentang para prajuritnya
lenyap sudah. Dia kemudian memerintah pasukannya
untuk menyediakan makanan dan minuman bagi kudakuda mereka, menyiapkan makan malam, dan memeriksa
tali-temali di sandal dan baju zirah mereka sebelum
mempersiapkan diri untuk menembus wilayah musuh pada
malam itu juga.
Mereka beristirahat dan menunggu hingga matahari
tenggelam sebelum melanjutkan perjalanan, dan berkasberkas sinar matahari terakhir memberikan nuansa
keemasan kepada pasukan yang tengah bergerak lambat di
sepanjang pesisir.
Kita sudah dekat sekarang, Kiyomori memperingatkan
pasukannya, memerintah tiga orang penunggang kuda
untuk memeriksa keadaan. Cukup jauh dari sana, ketiga
orang prajurit itu melihat pendar pucat api-api unggun di
sebuah dataran dan menduga bahwa itu adalah perkemahan
musuh. Kematian tengah menghadang mereka. Dengan air

muka keruh dan tangan yang seolah-olah lumpuh,


ketiganya kembali ke pasukan mereka.
Mari kita berkumpul. Mendekatlah kemari, perintah
Kiyomori dengan nada rendah. Tetaplah bersatu; kita akan
menyerang titik terlemah mereka untuk menembus masuk.
Ingatlah ... jangan lakukan pertempuran satu lawan satu!
Tujuan kita adalah mencapai ibu kota. Shigemori, jangan
memisahkan diri dari pasukan, Kiyomori menekankan,
menatap putranya dengan tegas.
Shigemori pernah mendengar pamannya, Tokitada,
berkomentar bahwa Kiyomori tidak berperawakan seperti
layaknya seorang samurai. Walaupun Kiyomori tampak
tegap ketika duduk di atas pelananya, akhir-akhir ini
Shigemori melihat bahwa ayahnya mulai menggemuk dan
kehilangan kelincahan dan kepiawaiannya dalam
pertempuran satu lawan satu.
Jangan khawatir, Ayah. Berhati-hatilah agar Ayah tidak
jatuh dari pelana saat kuda-kuda kita mulai berlari
kencang.
Kurang ajar! Kiyomori tergelak. Berani-beraninya
kau berbicara seperti itu kepada ayahmu! Diam dan
masuklah ke dalam barisan. Jangan cambuk kudamu
hingga aku memberikan aba-aba. Kau tidak terbiasa
berperang, ingat itu. Siapa pun yang menyombongkan diri
sebelum perang dimulai biasanya menjadi orang pertama
kehilangan kepala saat berhadapan dengan musuh Ketika
tengah bergerak perlahan-lahan, para penunggang kuda itu
melihat sosok-sosok yang berkuda dengan cepat ke arah
mereka dengan membawa obor dan membidikkan anak
panah, namun Kiyomori memerintahkan kepada mereka
untuk menahan serangan.

Tahan! Tunggu! Aku mendengar mereka memanggil.


Mari kita dengarkan terlebih dahulu apa yang hendak
mereka katakan.
Beberapa orang samurai menyongsong mereka dengan
gembira, Apakah kalian prajurit Heik6 Kiyomori yang
sedang menuju ibu kota? Apakah Tuan Harima ada di
antara kalian?
Kiyomori membawa kudanya maju. Akulah yang
kalian cari, Heik6 Kiyomori. Siapakah kalian? KaJian
bukan Genji?
Seorang samurai dengan sigap turun dari kudanya dan
menghampiri Kiyomori.
Kami bukan Genji. Kami datang dari Is6. Kami
mendengar bahwa Tuan sangat membutuhkan bantuan.
Heikt dari Is6?
Kami Heik6 yang pernah memperoleh pertolongan dari
ayah Anda. Kami tidak pernah melupakan kebaikan hati
beliau kepada kami, dan kami siap mendukung Anda.
Ah, lse ... akar klan Heike.
Seribu orang telah bertolak dari Ise ... dua ratus orang
menuju Rokuhara. Sekitar lima ratus orang tengah menuju
kemari. Tiga ratus orang penunggang kuda akan
menyambut dan mengawal Anda.
Terpujilah para dewa! Ternyata pasukan yang kami
lihat tadi bukan musuh, ya? Aku tidak layak mendapatkan
pujian untuk hal ini. Semua ini berkat ayahku, yang seumur
hidupnya telah menebarkan benih kebaikan Kiyomori
menangis bersyukur.
Sambutan gegap gempita terdengar malam itu, ketika
Kiyomori berkuda ke perkemahan pasukan pendukungnya.

Sebelum fajar menyingsing, mereka telah melanjutkan


perjalanan, dan Kiyomori, menoleh ke belakang dari atas
pelananya, merasakan dadanya membuncah melihat
matahari bersinar di atas pasukan berkekuatan empat ratus
orang yang dipimpinnya ... bukan jumlah yang kecil.
Matahari masih tinggi ketika mereka tiba di Tempat
Pemujaan Fushimi, belasan mil di sebelah selatan ibu kota,
tempat para peziarah yang baru kembali dari Kumano
biasanya mempersembahkan daun-daun cemara yang
mereka bawa dari Tempat Pemujaan Kirib6. Kiyomori
menghentikan pasukannya cukup lama untuk berdoa bagi
kemenangan mereka. Ketika dia menunduk untuk berdoa,
sebentuk ekor rubah seolah-olah berkelebat dan menghilang
di depan matanya yang terpejam; dia sekonyong-konyong
teringat pada perburuan rubah yang dilakukannya bertahuntahun silam, ketika dia berpapasan dengan tiga ekor rubah,
dan Kiyomori, yang selalu mengolok-olok takhayul, sangat
ingin meyakini bahwa para dewa berada di pihaknya.
Kiyomori dan pasukannya tiba di Rokuhara malam itu.
Cahaya tidak terlihat di mana pun dan jalanan sunyi senyap
walaupun akhir tahun telah mendekat. Hanya lolongan
anjing-anjing pada rembulan musim dingin yang
memecahkan keheningan. Tetapi, begitu mendengar kabar
bahwa Kiyomori telah tiba, para penghuni Rokuhara yang
selama ini menekan perasaan mereka, segera berseru lega.
Tua dan muda, pria dan wanita, para prajurit dan pelayan
membanjir keluar dari setiap rumah ke jalanan, melambailambai dan bersorak-sorai dengan liar.
Tokiko! Tokiko!
Kiyomori memacu kudanya ke gerbang rumahnya,
diiringi oleh lautan wajah pendukungnya. Dia sekilas
melihat beberapa orang penghuni rumahnya dan
memanggil-manggil nama istrinya.

Tokiko, yang menanti di luar dalam keadaan kedinginan


bersama anak-anaknya, berdiri mengangkat ujung
kimononya untuk menghindari noda lumpur. Begitu
mendengar
namanya
dipanggil,
dia
melepaskan
pegangannya pada kimononya, berlari menyambut, dan
menyambar tali kekang Kiyomori.
Selamat datang di rumah! Kau selamat!
Ah, kau ada di sini, seru Kiyomori. mengamati wajah
istrinya dengan lega.
Anak-anak ... ibu kita yang baik? Kiyomori cepat-cepat
menambahkan.
Mereka semua menantikan kedatanganmu dengan
gelisah.
Apakah mereka semua baik-baik saja? Ini sebuah
mukjizat ... benar-benar sebuah mukjizat!
Kiyomori membawa kudanya ke halaman, tempat ibu
tiri dan anak-anaknya menanti di dekat pintu masuk
menuju rumahnya. Tempat gelap itu segera hidup kembali
dengan derap langkah di sana-sini.
Setelah mengetahui bahwa ibu tirinya, Tokiko, anakanak, dan semua wanita di rumahnya mengungsi dan
bersembunyi di perbukitan begitu pemberontakan pecah,
namun kembali ke Rokuhara begitu mendengar bahwa dia
sedang berada dalam perjalanan pulang, Kiyomori gusar.
Siapa yang memerintahkan kepada kalian untuk
pulang? Sebaliknyalah yang harus kalian lakukan. Kalian
boleh menginap di sini semalam, namun sebelum matahari
terbit besok, kalian semua harus kembali ke perbukitan.
Aku tidak bisa membiarkan kalian melihat kekerasan yang
akan terjadi di sini. Kita sedang menghadapi situasi

terburuk, dan Rokuhara mungkin akan segera menjadi


reruntuhan berasap.
Pada hari ketika Kiyomori kembali ke Rokuhara,
Nobuyori dan Korekata mengadakan pertemuan dan
memerintahkan kepada semua pejabat istana untuk hadir
dengan ancaman hukuman mati. Banyak di antara mereka,
bagaimanapun, tidak hadir. Kendati kabar telah tersebar di
Kyoto bahwa para samurai dari Is6 dan provinsi-provinsi
tetangga sedang menuju Rokuhara, dan Kiyomori sendiri
akan segera tiba, Nobuyori lebih merisaukan kekosongan
ruang pertemuannya daripada laporan tersebut Nobuyori
menduduki singgasana di Bangsal Utama dan tengah
menatap dengan bimbang kepada deretan pejabat istana
di bawahnya, ketika seseorang terlambat memasuki
bangsal, tidak dengan cara biasa tetapi melintasi taman dan
menaiki tangga dari sana. Kelima pelayan pria itu, yang
mengenakan mantel di atas baju zirah dan pedang mereka,
menanti di salah satu gerbang. Pipi Nobuyori seketika
memucat di bawah rias wajahnya ketika sang pendatang
baru, pamannya, Mitsuyori, melontarkan tatapan kesal ke
singgasana.
Astaga, betul-betul pemandangan luar biasa! Apakah
aku melihat tempat kehormatan diduduki oleh kaum
perlente dan para pria pemerhati penampilan, dan mereka
yang selayaknya berada di sana justru gemetar ketakutan di
bawah sini? Apakah ini hiburan di kedai teh, lengkap
dengan geisha-geishanya? Bisakah ini disebut Istana?
semburnya dengan getir.
Nobuyori menelengkan kepala dengan bingung ketika
mendengar kata-kata pamannya, sementara yang lain
gelisah menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mitsuyori, kakak Korekata, yang jarang menghadiri

pertemuan di istana, dipandang dengan penuh kekaguman


oleh para bangsawan yang ada di sana.
Seorang pejabat turun dari tempat duduknya di samping
Nobuyori dan menghampiri Mitsuyori. Tuan, kami telah
menunggu Anda. Silakan duduk.
Kalau begitu, ini memang Istana?
Ya ...
jika ini memang Istana, ada yang patut dipertanyakan.
Siapakah laki-laki perlente dengan wajah berias yang duduk
di atas sana?
Jenderal Kesatuan Pengawal yang baru, Menteri
Nobuyori.
Aku tidak pernah mendengar tentang dia. Tidak ada
yang namanya Jenderal Nobuyori di Kesatuan Pengawal
Istana. Barangkali yang kaumaksud adalah Wakil Penasihat
Nobuyori?
Beliau baru saja ditunjuk untuk memegang jabatan
tersebut
Omong kosong! Di manakah Yang Mulia, yang berhak
menyelenggarakan pertemuan? tanya Mitsuyori, menepuk
pahanya dengan marah dan mengacungkan telunjuknya
kepada Nobuyori.
Nobuyori, kau menduduki singgasana; di manakah kau
akan menempatkanku, yang berasal dari golongan yang
lebih tinggi daripada dirimu?
Mengenai pertemuan hari ini ... apakah yang hendak
kaubicarakan? Dan, kalian, Tuan-Tuan, mengapa mereka
yang tidak hadir hari ini diancam dengan hukuman mati?
Hanya Yang Mulia yang berhak menyelenggarakan
pertemuan seperti ini. Di manakah beliau? Tidak adakah

yang bisa menjawabku? Benar-benar aneh dan


mengherankan! sembur Mitsuyori sembari beranjak dari
bangsal menuju salah satu sayap Istana.
Korekata, apa yang kaulakukan di sini, hardiknya
kepada adiknya, yang didapati sedang bersembunyi di salah
satu bilik.
Kaukah itu ... kakakku?
Kakak? Kau berani memanggilku kakak?
Ya ...
Kalau begitu, kau telah mempermalukan ku, karena
rasa bersalahmu adalah rasa bersalahku juga. Beban ini
lebih berat daripada yang bisa kutanggung.
Aku tidak melakukan kesalahan apa pun
Kau memahami maksudku, kalau begitu? Apa yang
membuatmu melakukan ini?
Kau, seorang pejabat dari Kepolisian, menjadi salah
satu dalang pameran kepala Shinzei? Tidak pernahkah kau
memikirkan pendapat orang-orang mengenai dirimu? Aku
bergidik mendengar desas-desus tentangmu. Sepertinya
mustahil bahwa adikku sendiri bisa berbuat sebodoh itu.
Aku selalu meragukannya.
Nama kita tidak pernah tercoreng hingga sekarang, dan
tingkah tololmulah penyebabnya! Pikirkanlah betapa kau
telah mencoreng
nama mendiang ayah kita ... menghadirkan aib bagi ibu
kita yang telah renta. Apa yang membuatmu melakukan
kegilaan seperti ini?
Kebodohanku semata. Aku telah menyaksikan perilaku
Nobuyori selama beberapa hari terakhir ini dan sekarang
menyesali ketololanku.

Kalau yang kaukatakan itu benar, maka pastikan agar


Yang Mulia dibebaskan secepatnya dan selamatkanlah
beliau.
Aku akan melakukannya.
Aku tidak akan menghambatmu dalam melakukan
tugas itu. Apakah kau mengerti, Korekata? Ah, Korekata,
lanjut Mitsuyori dengan iba, mengapa kau harus
mempertaruhkan nyawamu dengan cara setolol itu?
Berkat kehadiran tidak terduga Mitsuyori, pertemuan
bubar begitu saja.
Tanggal 19 Desember hampir tiba. Malam itu, terdengar
kabar di kalangan Pengawal Kekaisaran bahwa Kiyomori
telah kembali ke Rokuhara dan tengah menghimpun
pasukan.
Pada malam itu juga, Nobuyori, yang telah menghuni
Istana, tidak bisa memejamkan mata karena kecemasan
yang menyiksanya. Dia mengirim seorang dayang ke bilik
Korekata dengan permohonan agar pria itu menemuinya.
Nobuyori terkejut ketika mendengar bahwa Korekata tidak
ada di biliknya. Kemudian, dia memanggil Tsunemune,
namun bangsawan itu juga tidak ada di Istana
Sementara itu, fajar menyingsing tanpa diwarnai oleh
serangan dari Rokuhara. Burung-burung mulai berkicau
dari pucuk-pucuk pepohonan berlapis es di taman-taman
Istana. Nobuyori, yang menantikan matahari terbit,
akhirnya terlelap.
o0odwkzo0o

Bab XXIII PENCULIKAN KAISAR


Tanggal 20, 21, dan 22 Desember berlalu tanpa kepastian
di Istana Kekaisaran, tempat lalu lalang para prajurit
bersenjata di taman-taman menggantikan kesibukan untuk
menyambut Tahun Baru. Kabar mengenai rencana
Kiyomori untuk menyerang Istana terus terdengar. Di
Rokuhara, penghimpunan kekuatan terus dilakukan seiring
dengan tersebarnya desas-desus bahwa pasukan Genji akan
berbaris dari Istana untuk menyerbu pusat kekuatan
pasukan Heike. Tetapi, tanda-tanda mengenai pecahnya
pertempuran tidak kunjung terlihat
Di tengah kejenuhan itu, ada seorang pria yang tetap
sibuk. Dia adalah Hidung. Korekata dan Nobuyori, kedua
pemimpin pemberontakan, secara diam-diam mengunjungi
rumah Bamboku di Jalan Kelima pada suatu malam, dan
sesaat setelah mereka pergi. Hidung Merah berangkat ke
Rokuhara untuk menyampaikan sebuah surat kepada
Kiyomori.
Selama hampir seminggu, terdengarlah rumor bahwa
perundingan gencatan senjata sedang berlangsung, namun
pada malam tanggal 26, Nobuyori menyadari bahwa dekrit
apa pun yang dikeluarkan atas nama Kaisar tidak akan
mampu meredakan konflik, karena para
panglima Genji semakin gelisah dan pihak Heikg terus
melanjutkan persiapan perang mereka. Seluruh situasi ini
sekarang berkembang menjadi pertikaian antara Genji dan
Heik6, dan jika mereka ingin menghancurkan klan Heik6,
sekaranglah saat yang tepat untuk melakukannya.
Mantan Kaisar Goshirakawa, yang dikurung di Gedung
Arsip sejak 9 Desember, pada suatu malam mendapatkan
kunjungan dari pria-pria bertopeng yang mengatakan:

Yang Mulia, jangan bersuara dan Anda akan selamat


Ada kisikan tentang pertempuran yang akan pecah sebelum
pagi tiba. Sebuah tandu telah menanti Anda, dan kami akan
mengawal Anda hingga tiba di Kuil Ninna-ji
Goshirakawa tidak melawan dan memasrahkan dirinya
untuk dibawa keluar melewati Gerbang Barat Laut Seekor
kuda telah menantinya di sana, dan dia pun cepat-cepat
menungganginya untuk pergi dari Istana.
Pada sekitar waktu yang sama ... pukul tiga pagi ...
Kaisar, yang ditahan di bagian lain Istana, mendadak
terbangun
gara-gara
mendengar
bisikan
yang
memerintahkannya untuk melarikan diri ke tempat yang
aman pada saat itu juga. Dia terkejut ketika mendapati
bahwa Tsunemung dan Korekata datang menemuinya.
Mereka membawa pedang dan mengenakan baju zirah di
bawah mantel mereka. Terlalu gentar untuk menjawab,
Nijo membiarkan Korekata memasangkan mantel wanita
ke tubuhnya dan membawanya pergi.
Tsunemun6 menggiring Nijo yang gemetar ke luar dan
menyuruhnya memasuki sebuah kereta bersama adiknya,
sang Putri. Kereta itu segera bertolak dari Istana. Dua orang
penuntun sapi dan beberapa orang pelayan menyertai
mereka menuju sebuah gerbang di sisi barat tembok Istana,
tempat mereka dihadang oleh tantangan dari salah seorang
pengawal Genji, Juro.
Siapa di sana?
Para
prajurit
menghentikannya.

menghampiri

kereta

itu

dan

Ada sesuatu yeng mencurigakan di sini. Ke manakah


kalian akan pergi di malam selarut ini?

Putri dan dayangnya sedang menuju kuil. sebuah


jawaban terdengar. Katakan kepada Juro untuk datang
kemari.
Ini saya, Juro.
Kaukah itu, Juro?
Siapa yang berbicara?
Korekata dari Kepolisian.
Anda, Tuan?
Buka gerbangnya dan biarkan kami lewat. Aku sendiri
yang akan mengawal Yang Mulia Tuan Putri. Apakah kau
perlu menanyai kami lagi?
Tidak perlu, Tuan, tapi Jenderal Yoshitomo melarang
kami untuk mengizinkan Anda sekalipun keluar. Tuan.
Kalau begitu, panggil jenderalmu kemari.
Saya tidak tahu di mana beliau berada saat ini.
Hingga berapa lama lagi kau berniat membiarkan Yang
Mulia menunggu di sini bersama para prajurit beringas itu?
Apa hakmu menanyai beliau jika aku sendiri yang
memberikan pengawalan? Menyingkirlah!
Sebentar, Tuan. Tugas kami adalah menjaga gerbang
ini, dan Anda sekalipun dilarang untuk menerobosnya
seperti ini. Tetapi, jika Anda bersikeras, izinkanlah saya
memeriksa isi kereta Anda, kata Juro, maju dan menyibak
tirai kereta menggunakan ujung busurnya. Para pengawal
lainnya berkerumun di belakang Juro, mengacungkan obor
mereka. Pancaran obor menerangi dua sosok wanita muda
yang ketakutan dan saling merangkul dengan lemas. Mata
Kaisar, yang baru berusia tujuh belas tahun, terpejam, dan
tubuh kurusnya, yang mirip perawakan perempuan, tampak

pucat pasi. juro, yang menyangkanya sebagai seorang


dayang, mempersilakan kereta untuk lewat.
Mereka melanjutkan perjalanan melewati sepasukan
besar samurai yang membawa obor, melewati jalan yang
berlapis es, dan menembus kegelapan malam.
Pergilah ke arah sana! Cepat! Korekata dan
Tsunemun6 memerintah kedua penuntun sapi yang
terengah-engah untuk membelokkan kereta mereka ke timur
di ujung tembok Istana.
o0odwkzo0o
Kedua rencana riskan Kiyomori ternyata berhasil
dilaksanakan. Mantan Kaisar telah diungsikan ke Kuil
Ninna-ji, dan Kaisar-muda dilarikan dengan selamat
menggunakan kereta dari Istana. Sesaat kemudian, api yang
bergolak dan asap hitam yang membubung dari bagian
utara Istana Kekaisaran menyebarkan berbagai cerita yang
berkembang dengan liar; terdengar desas-desus bahwa
Kiyomori telah mengirim pasukannya menyeberangi sungai
dan menyerang kompleks kekaisaran dari utara, dan para
biksu dari Gunung Hiei telah memberikan dukungan
kepada Kiyomori dan saat ini tengah berbaris ke ibu kota.
Genji Yoshitomo mengirim putranya, Yoshihira, beserta
sebuah pasukan kecil ke Istana Kekaisaran, sementara
sepasukan pengawal yang ada di sana dikirim ke gerbanggerbang kota di wilayah utara untuk memeriksa kebakaran.
Sementara itu, dengan lecutan cambuk dan teriakan
nyaring, para penuntun sapi mendorong binatang penarik
kereta itu menuju Rokuhara.
Tunggu ... jangan secepat itu! Berhenti, kita sudah
terbebas dari bahaya sekarang Korekata dan

Tsunemun6
Kaisar.

dengan

terengah-engah

menyusul

kereta

Para penuntun sapi menurunkan laju dan tertawa, Kau


mendengar mereka tersengal-sengal? Haruskah kita
menunggu mereka?
Sepertinya keadaan sudah aman sekarang.
Keduanya menghentikan kereta dan mengusap keringat
yang membanjiri wajah mereka.
Kereta itu segera tiba di seruas jalan yang diapit
pepohonan di sepanjang Sungai Kamo, tempat sosok-sosok
gelap bermunculadari balik bayangan dan menemui
mereka. Kiyomori telah mengirim dua ratus orang samurai
dari Rokuhara untuk mengawal Nijo, dan setibanya mereka
di Jembatan Gojo, gumpalan-gumpalan awan menurunkan
salju.
Rokuhara, yang selama bermalam-malam sunyi dan
gelap, tampak bermandikan cahaya untuk menyambut
kedatangan Kaisar. Lilin berkelap-kelip di mana-mana
bagaikan bintang-bintang di tengah hujan salju. Segera
setelah Kaisar tiba di Rokuhara, pasukan samurai Heiki
membanjiri jalan-jalan utama ibu kota, mengumumkan
bahwa Kaisar telah berada di Rokuhara sejak Jam Macan
(pukul empat pagi), dan bahwa Mantan Kaisar saat ini
sudah tiba di Kuil Ninna-ji. Siapa pun yang menaruh
kesetiaan kepada Kaisar diimbau untuk segera pergi ke
Rokuhara.
Ketika matahari terbit, para pejabat istana dan menteri,
dipimpin oleh Perdana Menteri, berduyun-duyun ke
Rokuhara.
Sementara semua itu terjadi, Nobuyori, sang pemimpin
pemberontakan, sedang berbaring di kamarnya di Istana

Kekaisaran dalam keadaan mabuk, ditemani oleh dayangdayangnya. Kebiasaannya minum-minum setiap malamlah
yang akhirnya memuakkan Tsunemung dan Korekata, yang
menyangka Nobuyori telah kehilangan akal sehat Terlebih
lagi, semburan Mitsuyori tempo hari telah menyadarkan
mereka, sehingga mereka pun tidak membuang-buang
waktu lagi untuk menghubungi Kiyomori.
Ketika seorang penasihat muncul dengan napas
terengah-engah di biliknya untuk mengabarkan bahwa para
tahanan kehormatan telah pergi, Nobuyori sekonyongkonyong bangkit dari kasurnya dengan waspada, lalu
tertawa histeris.
Omong kosong macam apa ini? Ini halusinasi ...
Korekata dan Tsunemunt sudah memastikan agar kedua
Yang Mulia tidak melarikan diri!
Tuan, para pengawal telah berkhianat dan kabur
bersama para tahanan.
Mustahil! Nobuyori bersikeras, namun keraguan
melintasi benaknya seketika itu juga; dia cepat-cepat
berpakaian, menyambar pedangnya, dan berlari menyusuri
labirin koridor. Sumpah serapah membanjir dari mulutnya,
dan raungan marah terdengar begitu dia melihat sendiri apa
yang telah terjadi.
Jangan sampai siapa pun mendengar tentang ini ...
sekutu kita sekalipun, perintah Nobuyori.
Bagaimanapun, sudah terlambat untuk menutup-nutupi
kejadian itu. Genji Yoshihira telah mengetahui bahwa para
tahanan telah kabur dan segera melaporkannya kepada
ayahnya.
Sesuatu yang luar biasa telah terjadi tadi malam!
Kiyomori berhasil mengelabui kita ... Yang Mulia telah

dilarikan ke Rokuhara dan Kaisar Kloister telah diamankan


di Kuil Ninna-ji. Mungkinkah berita ini benar?
Yoshitomo tidak menjawab.
Benarkah ini. Ayah? Yoshihira menuntut jawaban.
Yoshitomo enggan memberikan jawaban. Begitulah.
Aku juga sudah mendengar kabar itu, walaupun Nobuyori
belum melaporkannya kepadaku.
Ekspresi prihatin tampak di wajah si pemuda.
Yoshihira! Ya ...
Bagaimana dengan api di Istana?
Itu adalah siasat musuh. Pasukan Kiyomori belum
menginjakkan kaki di sana, namun aku mendapati bahwa
gubuk-gubuk dan rumah-rumah petani di luar tembok kota
telah habis terbakar.
Lagi-lagi kecerdikan Kiyomori, atau siasat mata-mata
licik. Aku harus mengakui kehebatan tindakan musuh kita
tadi malam. Langkah kita tidak akan mudah.
Tetapi, Ayah, apa gunanya membela Istana jika kedua
Yang Mulia tidak ada lagi di sana?
Tidak, aku sudah bersumpah atas nama Genji dalam
kesepakatan ini dan tidak bisa menariknya lagi. Seorang
samurai harus memegang janjinya hingga akhir hayatnya.
Walaupun itu berarti tidak ada pilihan bagiku kecuali
tunduk kepada Heik6 atau binasa untuk selama-lamanya.
Yoshitomo pun mengakui sesuatu yang tidak berani
disebutkannya hingga saat ini. Dia telah salah memandang
Nobuyori dan dengan getir menyesali perbuatannya. Tetapi,
renung Yoshitomo, kalaupun dia tidak merangkaikan
takdirnya dengan Wakil Penasihat Nobuyori, kebengisan
Shinzei pada akhirnya juga akan berujung pada pertikaian

senjata antara klan Genji dan klan Heik6. Shinzei telah


tewas sekarang, namun Kiyomori masih ada. Tidak bisa
disangkal lagi bahwa Genji telah memperoleh pukulan
hebat akibat penculikan Kaisar oleh Heik6. Bagaimanapun,
dalam berperang, Yoshitomo yakin bahwa dirinya memiliki
pengalaman yang jauh lebih unggul daripada Kiyomori.
Seorang penasihat yang dikirim oleh Yoshitomo untuk
menemui Nobuyori telah kembali.
Saya telah menemui Menteri, dan beliau menyangkal
laporan itu. Beliau meyakinkan saya bahwa tidak ada
sedikit pun kejadian luar biasa di Istana.
Semua orang yang berkumpul di dekat perapian bertukar
senyuman iba demi mendengar tentang kepengecutan
Nobuyori.
Kalau begitu, tidak ada lagi yang perlu dikatakan, kata
Yoshitomo, biarkanlah siapa pun yang ditugaskan untuk
menjaga Istana mengatur pertahanan di sana dan
menghadapi apa pun yang akan terjadi.
o0odwkzo0o
Nobuyori, Jenderal Kesatuan Pengawal Kekaisaran,
tengah memeriksa pasukannya dari Aula Utama yang
berhadapan dengan halaman Istana. Para pejabat Istana ...
para menteri dan pejabat tinggi ... berbaris di kedua sisinya,
dan selama pemeriksaan berlangsung, para kurir silih
berganti datang dengan menunggang kuda menembus
lapisan salju untuk menyampaikan laporan terbaru tentang
pergerakan Kiyomori. Sebuah pasukan telah disiagakan di
tepi sungai, kata mereka, menantikan perintah untuk
menyerang. Terdengar pula kabar bahwa pasukan Kiyomori
telah bersiaga di sepanjang kaki Perbukitan Timur, bersiapsiap untuk melakukan serangan kejutan ke Istana.

Dua ribu orang prajurit berkuda Genji menunggu di


halaman Istana, sementara bunga-bunga es perlahan-lahan
terbentuk di atas pelindung mata mereka, dan darah di
tubuh mereka bergolak akibat kecemasan dan ketakutan.
Nobuyori mengenakan baju zirah bernuansa ungu,
dengan lapisan ungu tua di bagian pinggulnya; di
bawahnya, dia mengenakan kimono merah; sarung
pedangnya bertahtakan emas dengan motif bunga krisan
yang cantik; sambungan-sambungan di helm bertanduknya
tampak berkilauan di balik hujan salju. Kuda hitam
legamnya, tunggangan ternama yang diambil dari istal
kekaisaran, ditambatkan ke pohon sakura yang berdiri di
dekat salah satu ruas tangga lebar menuju Aula Utama.
Yoshitomo hadir dengan lebih memerhatikan detaildetail penampilannya, dan ketiga putranya pun
mengenakan kimono dan baju zirah Genji terindah mereka.
Dari ketiga putra Yoshitomo* si bungsu Yoritomo, seorang
remaja berusia tiga belas tahun, paling menyedot perhatian
semua orang. Karena usianya yang masih sangat hijau,
ayah dan kakak-kakaknya mengawasinya dengan sangat
hati-hati. Dia baru saja terbangun dari tidur siang di
pangkalan pengawal dan digiring, dengan mata sayu dan
tubuh gemetar, ke halaman Istana dalam balutan baju zirah
lengkap berukuran kecil. Para prajurit tersentuh ketika
melihat bocah malang yang hendak mendapatkan pelajaran
pertama dalam hal pertumpahan darah.
Pada pagi hari, hujan salju telah reda dan jalan-jalan
utama di ibu kota bersinar menyilaukan, namun tidak
terlihat sedikit pun asap pembakaran yang membubung dari
dapur-dapur penduduk.
Yoshitomo bersiap-siap untuk menyerang Rokuhara alihalih bertahan. Putranya, Yoshihira, yang telah dikirim
untuk memeriksa situasi, segera kembali dengan membawa

laporan tentang Genji Yorimasa yang dilihatnya sedang


melintasi jembatan Gojo. Aku khawatir, Ayah, bahwa
Yorimasa telah mengelabui kita dengan menggunakan
penyakitnya sebagai alasan; dia sedang menuju Rokuhara.
Izinkanlah aku mengejarnya dan menantangnya melakukan
pertempuran satu lawan satu.
Yoshitomo, tersentak ketika mendengar laporan itu,
menjawab, jangan, aku sendirilah yang akan
menemuinya. Tetapi, begitu membelokkan kudanya, dia
berkata sambil tertawa getir, Mengapa kita harus
merisaukan tindakan Yorimasa dan pasukannya? Aku tidak
peduli kepadanya.
Tidak lama kemudian, Yoshitomo dan Yorimasa saling
berhadapan di seberang sungai di dekat jembatan Gojo, dan
Yoshitomo memacu kudanya, berseru meremehkan:
jadi, Yorimasa, dirimu yang seorang Genji telah
berpihak kepada Heik6? Terkutuklah hari ketika kau
dilahirkan sebagai seorang Genji! Sungguh memalukan
bahwa kau melawan klanmu sendiri dalam perang!
Yorimasa memutar kudanya dan menjawab dengan
bangga, Yang kaukatakan itu benar, Yoshitomo. Sejak
waktu yang tidak bisa diingat lagi, klan Genji selalu setia
kepada kaisar yang berkuasa, dan kaulah yang
mempermalukan Genji dengan berpihak kepada si
pengkhianat bejat Nobuyori. Aku menyesali aib yang
kauberikan kepada Genji!
o0odwkzo0o

Bab XXIV-IRAMA GENDERANG


Kaisar Nijo beserta seluruh pengiring dan para
menterinya menempati bangunan-bangunan utama di
Rokuhara. Tempat itu penuh sesak sehingga sebagian
pengiring Kaisar harus ditempatkan di bangunan-bangunan
pendukung dan dapur.
Putra Kiyomori, Shigemori, melintasi pekarangan
tempat salju yang telah berubah menjadi lumpur akibat
terinjak-injak oleh entah berapa banyak pasang kaki, dan
menghampiri bangunan utama untuk mencari ayahnya.
Apakah ayahku bersama Yang Mulia? tanyanya
kepada seorang pengiring Kaisar yang sedang berdiri
bersandar ke langkan.
Tidak, beliau tidak ada di sini, begitulah jawaban yang
diterimanya.
Shigemori meninggalkan pekarangan dan menuju
gerbang bertingkat dua, melongok ke pos penjaga, dan
kembali ke tempatnya semula. Mustahil baginya untuk
mencari ayahnya ke semua bangunan yang ada di seluruh
kompleks Rokuhara. Matahari akan terbit sebentar lagi,
pikir Shigemori, menatap langit dengan cemas. Dia tidak
sampai hati menyaksikan fajar merekah di sepanjang bahu
Perbukitan Timur. Ayahnya, yang sedang hanyut dalam
kegembiraan, mungkin telah melupakan bahwa mereka
masih harus berperang. Pasukan mereka, yang telah
menghabiskan sepanjang malam di tepi sungai, telah mulai
gelisah menantikan perintah selanjutnya.
Shigemori menggerutu kesal kepada dirinya sendiri.
Tidak mungkin ayahnya ada di ruang pelayan di dekat istal.
Tetap saja, tidak ada salahnya mencarinya di sana,
pikirnya. Dia pun berbelok ke arah itu dan berpapasan

dengan ayahnya, yang sedang melintasi lorong menuju


dapur.
Astaga, ternyata Ayah ada di sini!
Kaukah itu, Shigemori? Apa maumu?
Pantas saja aku kesulitan menemukan Ayah. Tidak
pernah kusangka Ayah ada di sini.
Aku baru saja berbicara dengan para juru masak. Aku
harus melihat sendiri apakah mereka menyiapkan hidangan
yang tepat untuk Yang Mulia.
Mengapa Ayah tidak menyerahkan saja urusan itu
kepada para juru masak dan pembantu mereka? Para
prajurit sudah gelisah menantikan perintah dari Ayah.
Masih ada waktu hingga macahan terbit.
Begitu terang, musuh akan lebih dahulu menyerang kita
di Jembatan Gojo, dan jika itu terjadi, Rokuhara akan jatuh
ke tangan mereka.
Berikanlah perintah kepada beberapa orang untuk
memeriksa keadaan.
Itu sudah dilakukan.
Itu sudah cukup untuk saat ini
Tapi, kita tidak boleh kehilangan peluang untuk
melakukan serangan pertama saat fajar menyingsing. Itu
adalah jaminan kemenangan kita.
Aku tidak keberatan mendengar pendapatmu tentang
siasat perang. Tapi. aku memiliki gagasan sendiri. Lagi
pula, kita harus memastikan agar Yang Mulia membuat
proklamasi, dan kondisi beliau masih buruk akibat berharihari menjadi tahanan di Istana. Beliau

jarang makan dan tidur selama masa itu. Aku harus


memastikan agar beliau mendapatkan bubur panas sebelum
memohon kepada beliau untuk melakukan apa pun. Aku
tidak bisa menekan beliau mengenai masalah ini sekarang
.Aku akan memberikan perintah pada saat yang tepat.
Baiklah, Ayah.
Sampaikanlah
hal
ini
Mokunosukt, dan para prajurit.

kepada

adik-adikmu,

Baiklah.
Katakan kepada mereka untuk menunggu hingga Yang
Mulia menghabiskan makanannya. Sementara itu,
perintahkan kepada pasukan kita untuk menumpuk banyak
kayu bakar dan melemaskan tali kekang dan tali busur
mereka.
Shigemori mohon diri. Dia yakin bahwa posisi mereka
sudah tidak di atas angin lagi; ayahnya jelas tampak galau.
Shigemori, yang tidak pernah mempertanyakan penilaian
ayahnya, segera menuju tepi sungai, mengumpulkan para
prajurit, dan menyampaikan instruksi dari ayahnya.
Kiyomori tidak membutuhkan pemberitahuan dari
Shigemori mengenai betapa gentingnya situasi saat ini. Dia
segera menuju bangunan utama, namun kembali dihentikan
di lorong oleh seseorang yang sepertinya sengaja
menunggunya di sana.
Pria itu membungkuk dengan gaya berlebihan
kepadanya, Ah, Tuan Harima, izinkanlah saya
mengucapkan selamat atas keberhasilan mutlak rencana
Anda.
Kiyomori menatap tajam kepadanya. Dia adalah Hidung
Merah, saudagar yang bertugas menyampaikan pesan
antara Korekata, Tsunemun6, dan Rokuhara.

Oh, Bamboku, aku juga berterima kasih untuk kerjamu


yang bagus.
Tidak perlu, Tuan, tugas saya tidaklah penting.
Sebaliknya, kau telah menunjukkan kecerdikanmu
dalam menjalankan seluruh siasat ini.
Anda berlebihan, Tuan ... ini hanyalah wujud rasa
terima kasih yang tak seberapa untuk kebaikan hati istri
Anda
Bagaimana keadaan Korekata dan Tsunemun6?
Cukup kelelahan, tentunya. Mereka sedang beristirahat
di ruang pelayan.
Begitu rupanya. Dan kau datang bersama Yang Mulia
tadi malam?
Sepanjang sebagian jalan, dengan penuh ketakutan dan
tubuh gemetar. Percayalah, Tuan, tidak banyak yang saya
lakukan untuk memberikan bantuan . Bagaimanapu, saya
datang saat ini untuk melihat apakah saya bisa lebih
berguna di dapur, untuk mencuci piring, dan ternyata,
secara kebetulan, saya malah bertemu dengan Anda,Tuan
. Sungguh, saya yakin bahwa ini adalah suatu
kehormatan.
Kau akan mendapatkan penghargaan atas bantuanmu.
Tunggulah hingga beberapa hari lagi.
Kiyomori tidak memiliki alasan untuk meragukan
Bamboku; bukan hanya karena Tokiko menganggapnya
bisa diandalkan melainkan juga karena saudagar itu telah
terbukti sangat membantunya dalam mengatur kesepakatan
nlnastk selama seminggu terakhir.
Kiyomori memasuki sebuah ruang tunggu, tempat salah
seorang pegawai istana menemuinya dan mengatakan:

Putra Anda, Tuan, telah mencari Anda sejak tadi.


Aku baru saja bertemu dengannya. Tapi, bagaimana
keadaan Yang Mulia?
Beliau baru saja menikmati bubur panas.
Apakah beliau sudah lebih tenang?
Saya tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini
kepada Anda ... kami benar-benar tersentuh ketika melihat
beliau menangis hanya karena melihat makanan.
Bagus, bagus! seru Kiyomori sambil tersenyum hangat.
Dan sekarang, kita harus memohon kepada beliau agar
merestui serangan yang akan kita lakukan.
Itu telah disampaikan kepada beliau, dan sebuah
proklamasi tengah disiapkan.
Kalau begitu, suruh putraku Shigemori menemuiku,
kata Kiyomori.
Shigemori, yang telah ditunjuk untuk mewakili ayahnya
dalam memimpin pasukan, segera datang.
Shigemori, Yang Mulia sudah memberikan restunya.
Seranglah Istana sekarang juga ... dengan kecepatan
penuh!
Ketika Shigemori menyampaikan perintah ayahnya,
semua samurai dalam pasukannya memberikan sambutan
meriah; gonggong dan genderang-genderang dibunyikan
mengiringi tiga ribu orang penunggang kuda yang berbaris
menembus hamparan salju untuk menyerbu Istana.
Berkas-berkas sinar matahari pertama pagi itu memancar
dari bahu Perbukitan Timur, berkilauan di baju zirah para
prajurit, pelana kuda, dan berkilat menyilaukan di pucukpucuk pepohonan dan atap-atap Istana. Seluruh gerbang
Istana terbuka, menanti untuk dilewati oleh Genji

Yoshitomo beserta pasukannya, namun Yoshitomo


mengurungkan niatnya, menyadari bahwa dia tidak
mungkin lagi mendapatkan kemenangan dari taktik ini.
Rencana awalnya adalah menyerang Rokuhara sebelum
fajar menyingsing, namun kelambanan Nobuyori dalam
mengambil keputusan dan kekacauan perintahnya kepada
pasukan mereka telah menghabiskan waktu mereka. Dan
sekarang, musuh mereka akan lebih dahulu memulai
serangan.
Yoshitomo segera memerintahkan agar genderang
digebuk untuk mengumumkan perubahan posisi pasukan
dan menugaskan para prajuritnya untuk menjaga tiga buah
gerbang di tembok luar sebelah timur. Dua puluh tujuh
gerbang berdiri di sepanjang tembok Istana, termasuk di
tembok dalam, yang dipisahkan oleh jalan lebar dan tamantaman dengan tembok luar. Dan sekarang, dua ribu orang
prajurit berkuda Genji, mengacungkan senjata, membanjir
dari setiap penjuru ke halaman luas di depan Aula Utama
begitu mendengar gong-gong Heikg dibunyikan di
sepanjang tembok timur.
Oi bawah langit tanpa awan, tiga puluh buah panji-panji
merah Heik6 berkibaran di tengah hutan busur ketika
pasukan Heik6 berdiri diam di depan ketiga gerbang timur
yang terbuka menyambut kedatangan mereka.
Yoshitomo, dicekam oleh kegetiran, mengerang kepada
dirinya sendiri ketika melihat Nobuyori yang berwajah
pucat pasi akhirnya keluar dari Aula Utama, lalu
menunggangi kudanya dengan kikuk dan, dikawal oleh
sepasukan prajurit bersenjata, menuju gerbang tempatnya
akan memimpin pertempuran. Shigemori dan kelima ratus
prajurit berkudanya telah menanti di sana, dan begitu
Nobuyori muncul, Shigemori beserta delapan orang
ajudannya segera menyongsong. Nobuyori menjerit ketika

melihat mereka, ragu-ragu, lalu membalikkan kudanya dan


melarikan diri. Shigemori tentu saja mengejarnya. Melihat
kejadian ini, lima ratus orang prajurit berkuda segera
membanji memasuki gerbang, diikuti oleh lima ratus orang
prajurit lainnya.
Dari tempatnya di gerbang kedua, Yoshitomo melihat
kejadian itu dan memanggil putranya, Yoshihira, yang
dilihatnya sedang melintas.
Musuh telah menembus gerbang utama! Aku tidak bisa
meninggalkan posisiku di sini, tapi kau harus menolong si
pengecut Nobuyori! Giring keluar orang-orang Rokuhara
itu!
Mendengar perintah Yoshitomo, tujuh belas orang
prajurit berkuda maju untuk memberikan dukungan kepada
Yoshihira. Shigemori menunggangi kuda berbulu cokelat,
dan Yoshihira mengenali baju zirah dan kimono merah
yang dikenakannya. Sementara Shigemori menghujani
pasukan Genji dengan anak panah, pasukan berkudanya
menghalangi Yoshihira untuk mendekatinya dan
memaksakan pertempuran satu lawan satu. Tetapi, begitu
Shigemori menurunkan busurnya untuk mengatur napas,
Yoshihara langsung
menyambar peluangnya. Ekor kudanya berkibas-kibas
tertiup angin ketika dia melaju ke arah Shigemori,
menantangnya dengan lantang:
Aku Genji
namamu?

Yoshihira,

putra

Yoshitomo!

Siapa

Shigemori menolehkan kepalanya cukup lama untuk


menatap mata garang Yoshihira; kemudian, mencipratkan
salju berlumpur, dia membalikkan kudanya dengan tajam
dan menjawab, Ah, rupanya kau Genji Yoshihira! Aku
Heik6 Shigemori, putra Kiyomori!

Begitulah generasi muda Genji dan Heik6 itu


berhadapan di depan Aula Utama. Di salah satu sisi tangga
lebar yang mengarah ke aula terdapat sebatang pohon
sakura, dan di sisi lainnya terdapat sebatang pohon jeruk
pahit, dan di halaman depan aula, dua orang petarung
saling berhadapan, saling mengejar.
Sambil memekikkan seruan perang kepada Yoshihira,
yang tidak membawa busur, Shigemori tiba-tiba
menembakkan sebatang anak panah.
Pengecut! Yoshihira membalas teriakannya. Kau
hendak memanahku padahal aku tidak membawa busur?
Beranikah kau beradu pedang denganku?
Anak panah kedua berdesing, namun begitu tangan
Shigemori untuk ketiga kalinya menyentuh wadah anak
panahnya, Yoshihira telah ada di hadapannya. Kuda
cokelat Shigemori mendadak berhenti ketika kuda hitam
Yoshihira memotong jalannya.
Jadi, kau, seorang Heik6, mengira bisa melarikan diri
dariku?
Satu lagi anak panah berdesing; ketika Yoshihira
menunduk, Shigemori langsung menghunus pedangnya.
Kilat putih terlihat ketika baja beradu dengan baja; pijakan
kaki
keduanya
berderit-derit
nyaring.
Berputar,
menghindar, menusuk, dan memamerkan keahlian berkuda
yang menakjubkan, kedua pemuda itu saling memburu
dengan beringas hingga tujuh, dan kemudian delapan kali
mengelilingi pohon sakura dan jeruk. Pedang mereka
berkali-kali terayun, membelah udara, dan berbenturan
diiringi percikan bunga api.
Kedelapan ajudan Shigemori sibuk melawan ketujuh
belas prajurit Yoshitomo di bagian lain halaman, tempat
salju yang terinjak-injak telah tercampur dengan lumpur

dan darah. Shigemori terus terseret dalam kekacauan itu


hingga kedatangan lebih banyak lagi prajurit berkuda Genji
yang memaksanya untuk mundur ke gerbang tempatnya
masuk.
Mokunosuk, yang bertugas mengarahkan penarikan
pasukan itu, menghampiri Shigemori, yang dilihatnya
sedang beristirahat di sebuah persimpangan jalan.
Bagus! seru Mokunosuk&, seandainya Tuan
Kiyomori bisa melihat tindakan Anda! Lalu, dia
menambahkan, Tetapi, ingadah pesan dari ayah Anda,
dan biarkanlah musuh kita mendapatkan kemenangan
untuk saat ini.
Tua Bangka, tidak perlu memarahiku.
Bersama pasukan berkuda yang baru saja tiba, Shigemori
kembali memasuki halaman Istana. Di sana, Yoshihira
menyambut mereka dengan lambaian tangan, kendati
menghadapi hujan anak panah.
Kemarilah kalian, Heik* dari Rokuhara! Tentu saja aku
musuh yang tangguh, atau mungkinkah kalian sebenarnya
takut kepadaku?
Shigemori memacu kudanya. Berani-beraninya kau
menyombongkan diri? Kau sendirilah yang akan takut
kepadaku!
Kapankah aku pernah lari darimu?
Sekali lagi, keduanya saling menyerang dengan beringas
di halaman bersalju itu, hingga Shigemori, yang kelelahan,
berputar dan melarikan diri ke luar tembok Istana, diikuti
oleh para prajuritnya yang bersorak sorai liar.
Yoshihira, memusatkan pandangannya pada kuda
cokelat mengilap yang ditunggangi oleh Shigemori,

mengejar pemuda itu


kembalilah, pengecut!

dan

berseru,

Kembalilah,

Salju bertebaran bagaikan asap di bawah kaki-kaki kuda


Shigemori ketika dia meloloskan diri dari kejaran
Yoshihira. Shigemori membungkuk di atas punggung
kudanya, melecut-lecutkan
cambuknya, sementara dua orang ajudannya berusaha
menyusulnya; mendengar teriakan peringatan, kuda
Shigemori dengan mulus melompati sebuah kanal sempit,
diikuti oleh kuda para ajudannya. Anak-anak panah
berdesingan di kanan dan kiri mereka. Salah satunya
melesat ke baju zirah Shigemori dengan desingan keras dan
menancap di pelindung bahunya.
Tunggu, tunggu, apa kau tak tahu malu? seru
Yoshihira, nyaris di dekat telinga Shigemori, ketika kuda
yang ditungganginya terpeleset di tepi kanal sehingga dia
terlontar ke atas sebuah rakit Sambil berusaha bangkit,
Yoshihiro berseru kepada salah seorang prajuritnya yang
berhasil dengan mulus melompati kanal, Jangan tunggu
aku ... jangan sampai Shigemori lolos.
Si prajurit mengangguk dan memasang anak panah
ketiga ke busurnya; dia membidikkannya ke arah
Shigemori, tepat ketika kuda Shigemori melompati batang
kayu yang tertimbun salju. Sebatang anak panah menancap
di perut binatang itu, darah merah menciprat ke salju yang
putih bersih, dan kuda beserta penunggangnya roboh ke
tanah. Helm melayang dari kepala Shigemori; dia bangkit
untuk menangkapnya, namun ketika dia mendongak,
dilihatnya salah seorang prajurit pengejarnya menunduk
menatapnya. Merasakan bahwa kudanya gentar melihat
timbunan salju di dekat kanal, si prajurit langsung
melompat turun dari pelananya dan menubruk Shigemori.
Dengan sekuat tenaganya, Shigemori mengayunkan

busurnya ke wajah penyerangnya; si prajurit mundur


beberapa langkah dan menghunus pedangnya; tiba-tiba,
salah seorang prajurit Shigemori mendarat di antara mereka
dengan tangan terentang untuk melindungi pemimpinnya.
Bagaikan banteng mengamuk, kedua prajurit itu bergulat
hingga terguling ke tanah.
Begitu berhasil menyeberangi kanal, Yoshihira melihat
pelayan kesayangan ayahnya jatuh. Dengan pedang
terhunus, dia berlari untuk menyelamatkan pria itu.
Seorang lagi prajurit Shigemori tiba di sana dan cepat-cepat
turun dari kudanya; dia menarik dan setengah
mengangkat Shigemori ke pelana kudanya, mendorong
majikannya itu untuk kabur, sebelum menolong rekannya
yang telah roboh ke tanah.
Pertempuran dahsyat terus berlangsung di gerbang yang
dijaga oleh Yoshitomo, ketika adik tiri Kiyomori. Yorimori,
kembali dan melakukan serangan membabi buta bersama
pasukan prajurit berkuda bersenjata panah yang baru saja
tiba. Ketika kedua belah pihak akhirnya mulai kehabisan
persediaan anak panah, pasukan Heik6 telah berhasil
menerobos ke halaman Istana. Di tengah hingar bingar
yang menyusul, hanya warna putih dan merah di panjipanji dan ikatan pita pada baju zirah para prajuritlah yang
membedakan antara teman dan musuh. Empat kali pasukan
Heik6 terdesak dan terpaksa keluar dari gerbang yang telah
mereka masuki. Silih berganti, gelombang pertempuran
beralih arah hingga akhirnya pasukan Heik6 terpaksa
mundur hingga sejauh Jembatan Gojo.
Yoshitomo dan ketiga putranya memburu para prajurit
Heikt yang masih tersisa di jalan-jalan utama ibu kota, dan
tanpa sengaja menengok ke Istana. Pekikan gusar seketika
meluncur dari mulutnya begitu dilihatnya panji-panji Heik6
berkibar di atas gerbang-gerbang dan atap-atap Istana. Salah

satu pasukan Heik6 telah berhasil menyelinap ke dalam


Istana,
yang
penjagaannya
telah
lemah,
dan
mendudukinya.
Perkembangan terbaru dalam pertempuran ini
mengecewakan Yoshitomo. Firasatnya mengatakan bahwa
kemalangan telah menanti mereka. Pasukannya tidak
bertempur dengan semangat yang menggebu-gebu seperti
biasanya. Hanya ada secuil peluang untuk merebut
kemenangan, katanya kepada dirinya sendiri, baru
menyadari bahwa dirinya pun tidak biasanya memiliki
keraguan semacam ini. Baru ketika itu jugalah dia
mengakui bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab
atas kekalahan ini. Sekali lagi, Kiyomori telah
mengelabuinya dengan siasat kekanak-kanakan dan
memotong jalannya untuk mundur. Pasukan Genji telah
terdesak; satu-satunya pilihan yang tersisa baginya untuk
saat ini adalah terus mengejar musuh ke Rokuhara,
menculik Kaisar, dan menantang
Kiyomori untuk berduel, pikir Yoshitomo dengan kesal.
Luluh lantak ... atau kemungkinan satu berbanding seribu
... ini adalah lemparan dadu terakhirnya. Tetapi, semangat
Yoshitomo tersentuh ketika melihat para panglimanya
dengan penuh semangat memukul mundur musuh dan
menggiring pasukan mereka dari Jembatan Gojo ke arah
utara.
Begitu pasukan Genji memenuhi tepi sungai, pasukan
Heik6 mulai meruntuhkan Jembatan Gojo di sisi mereka.
Genji Yoshihira memacu kudanya hingga ke tengah
jembatan yang telah rusak, memerintahkan lima ratus orang
prajurit berkuda untuk mengikutinya dengan anak panah
terbidik ke arah Rokuhara. Sementara itu, dari posisi
mereka di seberang sungai, pasukan Yoshitomo telah
menghujani pusat pertahanan Heik6 dengan anak panah.

Serangan balasan dilakukan oleh pasukan Kiyomori, dan


pasukan berkuda maupun berjalan kaki dari kedua pihak
pun segera membanjiri sungai.
Yoshihira, dikesalkan oleh adu panah yang tidak
membuahkan hasil apa pun, membelokkan kudanya dan
memimpin pasukannya ke hilir untuk melakukan serangan
ke Rokuhara dari arah selatan. Ketika sedang menyusuri
sungai, dia melihat sebuah pasukan, yang berkekuatan lebih
dari seratus orang prajurit berkuda, telah menghadang, siap
siaga di balik dinding tameng, dengan panji-panji berkibar
di udara.
Pasukan Yorimasa! semburnya dengan nada pahit.
Seorang panglima yang mendampinginya berkata,
Ayahmu hendak menyeberangi sungai di sana, namun
beliau mengurungkan niatnya ketika melihat pasukan
Yorimasa.
Apa! Ayahku tidak mau menantang Yorimasa?
Tetapi,
beliau
pengkhianatannya.

mencaci

makinya

karena

Itu saja?
Dan Yorimasa membalas makiannya.
Tapi, apa gunanya beradu mulut dengan marah?
Yorimasa, seorang Genji, berani-beraninya menganggap
kita musuh, dan sekarang dia sedang menunggu untuk
melihat siapa yang menang sebelum memutuskan
pilihannya. Aku akan memberikan apa yang sepantasnya
diterimanya!
Yoshihira memacu kudanya dan melompati pematang
yang membelah pasukan Yorimasa. Pertahanan pasukan
berkuda itu bubar, dan sebagian di antaranya mulai

menyeberangi sungai menuju Rokuhara. Kegegabahan


Yoshihira ternyata berakibat buruk, karena tindakan itu
membuahkan sebuah kesempatan yang telah lama dinantinantikan oleh Yorimasa, yaitu menggabungkan pasukannya
dengan pasukan Heik6. Penghargaan kepada nama Genji
telah mencegah Yorimasa untuk secara terbuka
memberikan perlawanan kepada Yoshitomo dan para
pelaku persekongkolan, dan dia memilih untuk menarik
pasukannya cukup jauh agar bisa menghindari keterlibatan
langsung dengan kedua belah pihak. Tetapi, tindakan
sembrono Yoshihira memicunya untuk meninggalkan posisi
netralnya dan berpihak kepada Heike.
Rokuhara porak poranda oleh kerusuhan dan huru-hara.
Kiyomori telah memberikan perintah tegas kepada
pasukannya untuk menghindari pertempuran di dalam
tembok Istana Kekaisaran; musuh harus dipancing keluar
dan dihancurleburkan di sana. Namun penyerangan lebih
mudah dilakukan daripada penarikan pasukan. Pelarian
Shigemori dan penolakan Yorimori untuk melawan
Yoshitomo berujung pada pelarian pasukan Heik& ke
Rokuhara dan perobohan sebagian Jembatan Gojo.
Setelah jalan mereka untuk mundur tertutup dan tanpa
adanya sesuatu pun yang bisa dipertahankan lagi. pasukan
Genji dengan putus asa menyeberangi sungai dan
menginjak-injak mayat kawan-kawan mereka sendiri hingga
mereka tiba di bawah tembok Rokuhara. Dari atas atap,
tembok, dan pohon, para penghuni Rokuhara bahumembahu dengan para prajurit untuk membela tempat
berlindung Kaisar dengan melemparkan bongkahan batu
dan serpihan ubin kepada para penyerang.
Telah tiba waktu bagi Kiyomori untuk turun tangan
memimpin pasukannya, karena ketakutan terbesarnya
adalah Rokuhara habis terbakar di tangan musuh. Dia

menyambar pedangnya dari salah seorang pelayannya dan,


sambil tergesa-gesa mengencangkan tali helmnya, berlarilari melintasi lorong masuk, ketika adik iparnya, Tokitada,
yang membuntutinya, tiba-tiba menghentikannya dengan
tegas, Tunggu ... tunggu!
Kiyomori, mengempit pedangnya, berhenti di tengah
lorong dan membalikkan badan. Ada apa, Tokitada?
Apakah kau melarangku memimpin pasukan kita?
Tidak, jawab Tokitada, kesulitan menahan tawanya,
helmmu terbalik ... bagian belakangnya menghadap ke
depan. Jangan sampai jenderal kita berpenampilan seburuk
itu!
Helmku ... terbalik?
Kiyomori meraba kepalanya, menyeringai, lalu tertawa
terbahak-bahak.
Salah, Tokitada! Memang beginilah yang seharusnya,
helmku menghadap ke arah Yang Mulia. Ayo, mari kita
memimpin dan menyapu bersih musuh kita!
Tokitada, tidak mampu berkata-kata, berlari mengikuti
Kiyomori, diikuti oleh para prajurit, tertawa hingga
tubuhnya terguncang-guncang.
Pertempuran yang dimulai pagi itu berlangsung
sepanjang hari, dengan pasukan Genji yang terus berusaha
menembus pertahanan Rokuhara. Pada saat Kiyomori
turun tangan untuk mengarahkan pertahanan, anak panah
musuh telah menumpuk di depan pintu gerbang dan keraikerai rumahnya. Dia hanya bisa mendengar raungan
memekakkan telinga dari para prajurit musuh yang
berusaha mendobrak pagar. Berkali-kali, Kiyomori merasa
yakin bahwa Rokuhara telah ditaklukkan; mengabaikan
bahaya yang mengancam dirinya, Kiyomori keluar untuk

memberikan suntikan semangat kepada para prajuritnya


yang ketakutan, dan telah mundur ke salah satu gerbang
dalam. Kiyomori memanjat menara gerbang dan
memekikkan yel-yel pertempuran untuk para prajuritnya
seraya merentetkan anak panah ke arah musuh.
Seandainya pasukan yang berkekuatan lebih besar
menyerbu dari timur, Rokuhara mungkin tinggal kenangan,
namun di sisi ini, para penyerang mendapatkan balasan
yang tak kalah dahsyatnya dan terpaksa melarikan diri ke
perbukitan bersalju di belakang Kuil Kiyomizu.
Sementara itu pasukan berkuda Yorimasa merapat ke
pasukan Genji dari belakang. Yoshitomo, melihat sendiri
betapa banyaknya prajuritnya yang telah gugur, dengan
putus asa memimpin upaya terakhir untuk mendobrak
gerbang-gerbang Rokuhara. Dia berteriak lantang, jangan
sampai kita kehilangan waktu lagi! Pria yang berdiri di atas
menara gerbang itu adalah Kiyomori!
Pasukan pendukung Yoshihira mendadak terpecah belah
dan mundur ke arah sungai. Amarah Yoshitomo meledak;
dia menyandang busurnya dan memacu kudanya ke arah
gerbang, mengacungkan pedangnya dan meneriakkan
tantangan kepada Kiyomori. Tepat ketika itu, kericuhan
yang melanda pasukan berkudanya mendesak Yoshitomo
dari segala arah dan mendorongnya menuju sungai.
Bala bantuan terbaru untuk Heik6 telah tiba melalui jalan
raya dan menyerbu pasukan Yoshitomo dari utara.
Sementara pasukan berkuda Yorimasa menggebrak pasukan
Yoshitomo dari selatan, sepasukan prajurit berkuda
bersenjata panah mendadak menebar kengerian dari
seberang sungai dan membuka serangan kepada pasukan
Genji. Ancaman tidak terduga ini mendorong Yoshihira
untuk berbalik menuju sungai. Pasukan utama Yoshitomo,
yang telah berhasil merangsek hingga depan gerbang

Rokuhara, sekarang mendapati bahwa mereka telah


terkepung dari segala penjuru, dan dengan panik mulai
mundur ke utara di sepanjang Sungai Kamo. Walaupun
telah dihadang oleh pasukan Heik6 di pinggir sungai,
Yoshihira dan pasukannya mempertahankan kedudukan
mereka hingga perintah Yoshitomo untuk melarikan diri
terdengar.
Yoshitomo mengedarkan pandangan putus asa kepada
para ajudan dan panglimanya, lalu berseru, Kita telah
kalah dalam pertempuran ini! Ini adalah takdir bagi siapa
pun yang terlahir untuk mengangkat senjata! Akhirku telah
tiba, namun kaburlah, kalian semua, selamatkan nyawa
kalian!
Dan ketika kedua putra termudanya memohon untuk
tetap tinggal bersamanya hingga ajal menjemput mereka,
Yoshihira, putra sulung Yoshitomo, menghampiri mereka
dan mengatakan, Aku sendirilah yang akan bertahan.
Inilah yang kuinginkan, lebih daripada segalanya. Kalian
dan ayah kita harus selamat.
Para panglima Yoshitomo pun membujuknya untuk
melarikan diri bersama mereka dengan mengatakan, Ini
bukan momen ke matian Genji; jika kita bersembunyi
sekarang, akan tiba hari saat kita bisa membalas aib ini.
Dikawal oleh para pengawalnya yang setia, Yoshitomo
dan putra-putranya mulai mundur menembus pertahanan
musuh. Walaupun dikepung dari segala penjuru, mereka
berhasil mundur ke utara menuju perbukitan di bagian
Kamo yang lebih tinggi, walaupun terpaksa merelakan
beberapa anggota pasukan mereka kepada keganasan
pasukan Heik6. Dan, setelah mereka mendapatkan
keamanan di sebuah pemukiman tertutup yang berselimut
salju di daerah perbukitan, Yoshitomo melihat ke
sekelilingnya dan menyadari bahwa dari seluruh

pasukannya yang semua berjumlah lima puluh orang,


hanya empat belas orang yang tersisa. Tidak sanggup
menutupi duka dan penyesalannya, Yoshitomo meratapi
bagaimana dirinya telah mendatangkan kehancuran bagi
keluarganya, membawa mereka ke masa depan yang suram.
Wilayah perbukitan ini hanya menjanjikan kelaparan dan
penderitaan. Apakah yang akan terjadi kepada orang-orang
tercinta yang ditinggalkan di ibu kota oleh para
pengiringnya ini? Di manakah mereka sekarang?
Bagaimanakah nasib istrinya ... Tokiwa? Tokiwa menolak
untuk meninggalkan Kyoto agar bisa tetap berada di
dekatnya. Apakah Tokiwa akhirnya mau mengungsi ke
pedesaan bersama ketiga putra mereka, seperti yang
dimintanya? Yoshitomo membayangkan istrinya terpukul
ketika mendengar berita kekalahannya.
Kuda mereka kewalahan karena telah lama berjalan di
atas salju; ketika mereka mendaki bukit, Yoshitomo
menghentikan kudanya dan mengedarkan pandangan. Jauh
di bawahnya, setiap pagoda dan atap bangunan di ibu kota
berpendar keperakan di tengah temaram senja, dan di
seluruh penjuru kota, tampaklah kobaran api dan kepulan
asap gelap yang menandai pembumihangusan berbagai
bangunan.
o0odwkzo0o

Bab-XXV BADAI SALJU


Yoshitomo sangat berharap rombongannya bisa tiba di
sisi lain Gunung Hiei sebelum pagi tiba, karena ada anggota
klan Genji yang akan memberikan tempat berteduh dan
pertolongan kepada mereka di Desa Mino, yang terletak di
ujung terjauh Danau Biwa. Maka, mereka pun
mempercepat laju ke utara, mengikuti aliran Sungai

Takano, melewati Has6, dan berbelok ke timur mengikuti


jalur perbukitan menuju Yokokawa, hingga mereka tiba di
Katado, di dekat ujung selatan danau.
Angin kencang seolah-olah hendak memuntahkan seisi
danau ke laut yang bergolak dahsyat ketika dua buah
perahu, yang mengangkut rombongan Yoshitomo beserta
beberapa ekor kuda mereka, bertolak pada pagi buta. Awan
muram menggantung begitu rendah di langit utara,
mengancam mereka dengan hujan salju yang lebih lebat
Pada sekitar tengah hari, para buronan itu akhirnya merapat
di antara ilalang air layu di pesisir timur pantai, dan
timbunan salju di sana jauh lebih tebal daripada di ibu kota.
Mereka turun dari perahu tanpa banyak bersuara dan
berhenti sejenak untuk mengamati sekawanan angsa liar
yang terbang melintasi langit kelam. Dua orang di antara
mereka kemudian pergi ke kampung nelayan terdekat untuk
menukarkan beberapa buah senjata dengan bahan
makanan, sementara yang lain menunggu sembari
mengumpulkan ranting-ranting untuk dijadikan kayu bakar.
Pada sore harinya, setelah menghangatkan dan
mengenyangkan diri, Yoshitomo dan para pengikutnya
membahas tentang perjalanan tahap selanjutnya. Mereka
telah menyepakati untuk melakukannya setelah matahari
tenggelam, ketika bahaya pengejaran tidak sebesar pada
siang hari. Kemudian, tujuh orang panglima dan pelayan
Yoshitomo meminta izin untuk meninggalkannya dan
melanjutkan perjalanan secara terpisah, menekankan
keamanan bepergian dalam rombongan-rombongan kecil.
Ketika matahari mulai turun, masing-masing dari mereka
berpamitan kepada Yoshitomo, berjanji untuk bertemu
kembali setibanya mereka di wilayah timur Jepang.
Saat malam tiba, Yoshitomo, ketiga putranya, dan empat
orang panglima memacu kuda mereka mengikuti aliran

sungai hingga tiba di seruas jalan, lalu melanjutkan pelarian


mereka dari sana. Langit hitam mengancam di atas mereka,
dan bukit-bukit menjulang tinggi di kanan dan kiri mereka.
Kampung demi kampung mereka lewati, sunyi senyap di
bawah selimut salju tebal, tanpa adanya setitik pun cahaya
yang bisa memandu mereka. Tidak ada sedikit pun suara
manusia yang hinggap di telinga mereka; seluruh kehidupan
seolah-olah telah dibungkam. Malam itu sempurna untuk
sebuah pelarian, dan sekelompok kecil buronan itu
mempercepat laju mereka hingga badai tiba dan
menggulung mereka dalam pusaran-pusaran salju yang
membutakan.
? ??
Sementara itu, pada malam ketika Yoshitomo menembus
perbukitan menuju Danau Biwa, Wakil Penasihat Nobuyori
... dalang utama persekongkolan untuk merebut kekuatan
dari Kiyomori ... melarikan diri menuju Kuil Ninna-ji.
Tempay yang berada di sebelah utara gerbang kota itu juga
dipilih oleh sekitar lima puluh orang rekan sesama
bangsawannya sebagai tempat pengungsian. Di sana,
sebelum malam larut, Nobuyori diseret keluar oleh para
prajurit kiyomori, dan keesokan paginya dipenggal bersama
para pengkhianat Kaisar lainnya.
Pada 29 Desember, hari kedua setelah pertempuran
berakhir, ketika ketenangan di Kyoto telah kembali,
Kiyomori diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan
pada Istana dan bangunan-bangunan milik negara lainnya.
Para ahli nujum menyuarakan pendapat mereka, dan
dipilihlah tanggal yang tepat bagi kembalinya Kaisar ke
Istana Kekaisaran. Bagi Kiyomori, kunjungan pemeriksaan
ini sama halnya dengan parade kemenangan, sehingga dia
memerintahkan kepada para adik, putra, dan panglimanya,
juga siapa pun yang ada di Rokuhara untuk berbaris

bersamanya dalam sebuah arak-arakan yang sarat oleh


samurai berbaju zirah indah dan kuda berornamen lengkap.
Di sepanjang rute yang terbentang di antara Jembatan
Gojo dan jalan-jalan utama ibu kota, masyarakat bersorak
sorai mengelu-elukan dan menonton pemandangan indah;
berupa pasukan berkuda dengan baju zirah warna-warni,
diikuti oleh pasukan pemanah dan prajurit berjalan kaki
dengan baju zirah lengkap, serta sepasukan bocah dengan
kimono terbaik mereka di baris terbelakang.
Selama pertempuran berlangsung, kaum terpapa ibu kota
... para pengemis dan pencuri, gelandangan dan penjahat ...
telah menduduki dan tinggal di Istana; mereka
menggeledah setiap ruangan di sana selama tiga hari dan
tiga malam, menjarah gudang-gudang penyimpanan untuk
mencari makanan, menirukan para pejabat istana dengan
memakai kimono dan mahkota mereka, dan pesta-pesta
meriah mereka meninggalkan kekacauan dan keributan di
semua penjuru Istana. Ketika berita mengenai kedatangan
Kiyomori menyebar, kepanikan melanda mereka. Di setiap
sudut istana bisa ditemukan sekelompok gembel ketakutan,
sehingga jumlah mereka terlalu besar untuk ditangani oleh
patroli pengawal atau ditampung di penjara. Maka, atas
perintah Kiyomori, mereka dibariskan di halaman Istana
dan diperintahkan untuk membersihkan seluruh kekotoran
yang mereka timbulkan. Tidak ada ancaman hukuman bagi
mereka, justru iming-iming untuk mendapatkan semangkuk
nasi setelah pekerjaan mereka selesai.
Ya, dia tahu rasanya kelaparan. Dia tahu, kata salah
seorang gelandangan sambil bekerja dengan sapunya.
Itulah Heikt Kiyomori. Aku mengenalnya di masa lalu,
waktu orang-orang masih memanggilnya dengan nama
Heita*. Ini sungguhan. Dahulu, dia adalah bocah miskin
anak si Mata Picing ... itulah julukan ayahnya dahulu ...

yang sering kulihat berkeliaran dengan pakaian compangcamping di Shiokoji, dan di Pasar Pencuri di dekat pohon
jelatang. Aku tidak mengatakan bahwa dia adalah gembel
seperti kita, tentunya, dan aku juga pernah berbicara
dengannya. Dan bukankah setiap kali aku punya sake, aku
pasti selalu menawarinya sedikit?
Jadi, dia juga sudah pernah hidup susah, ya?
Begitulah. Dia mungkin berpenampilan seperti seorang
tuan besar, tapi dia adalah salah satu dari kita, yakinlah
tentang hal ini.
Dan dia mau minum-minum sake denganmu?
Yah, tidak, dia selalu menolak tawaranku, tapi yang
kumaksud adalah, kami bisa dibilang berteman. Karena
itulah dia memahami kaum kita.
Lihat mereka datang!
Siapa ... di mana?
Tuan Rokuhara sendiri ... arak-arakan itu!
o0odwkzo0o
Jalan putih membentang seolah-olah tanpa ujung di
hadapan rombongan Yoshitomo, dan kantuk menyerang
mereka semua. Dingin yang menusuk tulang dan keletihan
yang mendera membuai mereka bagaikan obat tidur.
Teriakan Yoshitomo untuk memanggil nama para
pengiringnya, bagaimanapun, menggugah mereka dari
waktu ke waktu; teriakan balasan meyakinkan Yoshitomo
bahwa tidak seorang pun anggota rombongannya tertinggal
terlalu jauh di belakang.
Jangan sampai kalian mengendurkan pengawasan satu
sama lain, Yoshitomo memperingatkan. Pastikan agar
salju tidak membeku di atas bulu mata kalian. Mari kita

saling memanggil untuk memastikan bahwa kita semua


tetap terjaga!
Pada larut malam, setelah berhasil dengan selamat
melewati pos-pos penjagaan di jalan dan menyeberangi
Sungai Hino, mereka telah serak dan kehabisan napas
akibat berteriak-teriak melawan terpaan angin dan salju.
Semakin sulit bagi mereka untuk saling mengawasi. Tibatiba, Yoshitomo dan Yoshihira, yang mengendarai kuda
mereka di depan, merasa mendengar teriakan-teriakan di
kejauhan. Mereka menghentikan kuda mereka, lalu
memicingkan mata menembus hujan salju dan
mempertajam pendengaran.
Yoritomo ... Yoritomo-o! Ho-oi!
Sebuah suara lain terdengar, Ho-oi, Yoritomo!
Suara-suara itu sepertinya berasal dari belakang mereka.
Apakah mereka memanggil Yoritomo?
Dia pasti tertinggal jauh di belakang. Tunggu aku di
sini, Ayah, aku akan melihat apa yang terjadi di sana.
Tidak, aku akan ikut bersamamu.
Seorang pelayan, yang mengendarai kudanya beberapa
langkah di depan Yoshitomo, berbalik dan bertanya,
Apakah kita semua akan ke belakang?
Yoshitomo menapaki kembali jejaknya dan menghitung
anggota rombongannya. Semuanya ada kecuali Yoritomo,
putra bungsunya.
Yoritomo hilang?
Beberapa waktu tentu telah berlalu sejak salah seorang
dari mereka menyadari tentang menghilangnya Yoritomo,
karena walaupun mereka telah memanggil-manggil

namanya secara serempak, tetap tidak ada jawaban yang


terdengar.
Katamu dia tidak ada di sini, kata Yoshitomo dengan
cemas, tidak kepada siapa pun secara khusus. Kapankah
kau menyadarinya?
Dia berkuda di antara kami ketika kita melintasi
dataran di belakang, jawab dua orang panglima.
Di Sungai Hino?
Badai terdahsyat menerpa kita di sana, dan kami harus
berpencar agar bisa menyeberangi sungai. Kami mungkin
terpisah di sana. Ini adalah kesalahan kami. Biarkanlah
kami kembali ke sana untuk mencarinya, kata kedua
panglima itu, bersiap-siap untuk kembali.
Tetapi, suara Yoshitomo, yang hampa akibat duka,
menghentikan mereka. Tunggu, tunggu. Kalian tidak perlu
melakukan itu. Kita tidak bisa berbalik arah setiap kali ada
yang terpisah dari rombongan.
Mereka semua saat ini berkerumun untuk menahan
badai, dan Yoshitomo melanjutkan, Matahari akan terbit
sebentar lagi, dan kita harus mengalihkan rute kita untuk
menghindari perjumpaan dengan orang lain di jalan.
Sebelum kita tiba di wilayah perbukitan, para pengejar
masih mengancam kita, dan Yoritomo harus dibiarkan
untuk menjalani takdirnya sendiri jika kita ingin berhasil
dalam pelarian ini. Masa depan seluruh klan Genji
tergantung pada keselamatan kita. Kita tidak bisa
mempertaruhkan nyawa demi Yoritomo seorang.
Kedua panglimanya membantah, Tuan, dia adalah
putra bungsu Anda, dan kesayangan kami; bagaimana
mungkin kita meninggalkannya seorang diri di tengah badai
sedahsyat ini? Anda akan menyesali hal ini hingga akhir

hayat Anda. Biarkanlah masa depan menentukan jalannya


sendiri. Izinkanlah kami kembali untuk mencari
Yoritomo!
Tetapi, pendirian Yoshitomo tidak tergoyahkan. Tidak,
walaupun kata-kata kalian teramat sangat menyentuhku.
Kalian tahu betul betapa aku menyayangi putraku, namun
seluruh klan Genji menganggapku sebagai orangtua
mereka, dan aku tidak bisa mengabaikan mereka demi
Yoritomo seorang. Di dalam upaya perebutan kemenangan,
mereka lebih berarti daripada anak-anakku.
Yoshitomo terdiam, lalu tiba-tiba memalingkan
wajahnya dan mengangkat kedua tangannya untuk berdoa,
Ah, malam yang keji! Seperti inikah cara langit menguji
putraku? Benarkah bahwa dia ditakdirkan untuk meninggal
dalam udara sedingin ini? Langit yang pengampun, jika
memang para dewa menghendaki, tolong selamatkan dia!
Yoshitomo memperkuat diri untuk mengambil
keputusan yang tidak bisa dihindarinya, lalu sekali lagi
menoleh kepada rombongannya yang telah menanti. Kita
tidak bisa kembali. Kita harus bergegas karena pagi akan
segera tiba, katanya, menjalankan kembali kudanya.
Walaupun enggan, semua orang mengambil posisi di
belakang Yoshitomo. Semuanya, kecuali seorang panglima
termuda yang, setelah bertukar beberapa pandangan penuh
arti dengan Yoshihira, membelokkan kudanya ke arah
barat.
o0odwkzo0o
Putih, putih di sekelilingnya ... seruas jalan putih yang
tak berujung ... malam putih menyelimutinya.
Kantuk mendera Yoritomo sehingga guncangan kudanya
sekalipun terasa selembut buaian. Mustahil baginya untuk

tetap terjaga. Terkantuk-kantuk terkantuk-kantuk, dan


akhirnya dia takluk. Terkadang, suara seseorang yang
memanggil namanya menembus kesadarannya, dan
Yoritomo menjawab, atau itulah perasaannya. Kemudian,
dia kembali tertidur. Dia baru berumur empat belas tahun,
dan beban yang harus ditanggungnya selama beberapa hari
terakhir ini terlampau berat baginya. Seluruh kengerian
terlupakan di dalam tidurnya. Yang harus dilakukannya
hanyalah memegang erat-erat pada tali kekangnya agar
kudanya tetap maju, dan maju. Dia masih bisa mengingat
ketika dia melewati sebuah desa di Moriyama; kemudian,
mereka melintasi sebuah dataran gersang, namun tidak ada
lagi yang bisa diingatnya
setelah itu. Dia bahkan tidak melihat empat orang pria
yang membuntutinya.
Sehari sebelum Yoritomo tiba di Moriyama, seorang
prajurit tiba terlebih dahulu dari Rokuhara dan menemui
kepala desa dan petani di sana. Dia memerintahkan kepada
mereka untuk mewaspadai kedatangan Yoshitomo.
Sebelum si kurir pergi, telah tersebar pengumuman di
seluruh desa dan wilayah sekitarnya tentang imbalan yang
akan diberikan bagi siapa pun yang berhasil menangkap
Yoshitomo. Demi mendengar tentang hal ini. Gen, seorang
bandit kampung, mengumpulkan beberapa orang antek
dengan janji akan membagi imbalan yang didapatkannya,
yang jumlahnya jauh lebih besar daripada harga selusin babi
hutan. Mempersenjatai dirinya dengan sebuah tombak dan
antek-anteknya dengan bambu runcing, Gen mulai
melakukan perburuan terhadap Yoshitomo dan rombongan
kecilnya.
Itu dia ... dan dia sendirian, Gen.
Begitulah.

Itu aneh.
Kenapa?
Kurasa aku melihat banyak jejak kaki kuda di
hamparan salju di dekat jembatan. Tapi, cuma satu orang
yang kulihat. Beruntung sekali aku karena tertidur di kedai
sake, atau aku tidak akan mendengar tentang ini. Kita tidak
pernah tahu kapan keberuntungan akan datang!
Ini tidak buruk, apalagi karena akhir tahun sudah dekat.
Aku tidak pernah bermimpi bahwa keberuntungan sebesar
ini akan menghampiriku tahun ini.
Hei, ayo kita tangkap dia!
jangan tergesa-gesa, dia masih bocah. Dia pasti anak
Yoshitomo.
Lihat ... lihat itu!
Dia pasti tertidur. Lihat, dia mengangguk-angguk!
Semudah menangkap bayi beruang. Aku akan
memuntir pijakan kakinya dan mendorongnya dari pelana,
dan saat dia jatuh, tangkap dan tindihlah dia di tanah.
Setelah itu, aku akan mengikatnya.
Gen dan antek-anteknya mengepung Yoritomo, yang
mendadak mendongak.
Gen menghadang Yoritomo.
Hei, Nak, kau hendak ke mana? tanyanya dengan
tajam.
Yoritomo tidak menjawab. Dia menatap dengan bingung
pada salju yang berjatuhan di sekelilingnya dan baru
menyadari bahwa ayah dan kakak-kakaknya tidak ada lagi
di dekatnya. Kesan mengibakan dalam sepasang mata
jernih yang menatap dari balik pelindung salju, juga garis-

garis
halus
sosok
kekanak-kanakan
Yoritomo,
menghadirkan perasaan tidak enak di perut Gen.
Turun, turunlah dari kudamu! seru Gen sambil berlari
menghampiri kuda Yoritomo dan menyambar pijakan kaki
kanannya.
Yoritomo memutar tubuhnya di atas pelananya supaya
tidak terjatuh.
Hei, turunlah kamu!
Kau bangsat! Yoritomo berseru sambil menebaskan
pedangnya dengan sekuat tenaga ke kepala Gen. Jeritan
yang mendirikan bulu kuduk berhasil menggugah kesadaran
Yoritomo; noda gelap berceceran di atas hamparan salju;
ujung-ujung bambu runcing terarah kepadanya, dan dia
menyerang seseorang yang menghalangi jalannya dengan
sebuah tombak. Sesuatu menggeram kepadanya, dan
Yoritomo ketakutan, menyadari bahwa ayahnya tidak ada
lagi bersamanya.
Ayah! Ayah!Yoshihira!
Kuda Yoritomo menerjang penyerangnya dan berlari
kencang meninggalkan mereka semua.
Yoritomo tidak tahu ke mana kudanya membawanya,
namun dia yakin bahwa dia tidak sedang mendekati
ayahnya. Dan ketika kudanya yang telah lelah akhirnya
menolak untuk terus berjalan.
Yoritomo meninggalkannya, melempar helm beratnya,
dan berjalan tanpa arah melewati sejumlah bukit dan
lembah.
Beberapa hari kemudian, dia menyeret langkahnya ke
sebuah desa pegunungan yang sunyi dan tertidur di luar
pondok kayu seorang petani. Istri si petani, yang keluar

untuk membuka stoples acar, menjerit nyaring ketika


melihat seorang bocah yang nyaris beku, tertidur di antara
tumpukan kayu dan gundukan batu bara. Dia memanggil
suaminya, dan bersama-sama, mereka membawa Yoritomo
ke dalam pondok mereka, menghangatkannya, dan
memberinya bermangkuk-mangkuk bubur kentang panas.
Kemudian, setelah Yoritomo siap pergi, mereka
memberikan petunjuk mendetail kepadanya tentang cara
mencapai Mino.
Berjalanlah ke arah gunung yang kaulihat di sana, kata
mereka, dan kau akan menemukan jalan menuju selatan,
yang harus kaulewati untuk tiba di Mino.
Yoritomo meninggalkan mereka dengan sebersit
kesedihan di hatinya. Untuk pertama kalinya dalam
kehidupannya, dia berbagi makanan dengan orang miskin
dan mereka memperlakukannya dengan begitu baik.
Seorang biksuni, yang ditemuinya di jalan, tersentuh oleh
kemudaannya dan dengan lembut memperingatkannya,
Anakku, ada banyak prajurit Heik6 di pos penjagaan di
jalan ini. Nah, jangan sampai kau tersesat, katanya ketika
mereka berpisah.
Hari demi hari, Yoritomo tersuruk-suruk, tidur di gubukgubuk kecil dan tempat-tempat pemujaan yang telah
terbengkalai pada malam hari. Salju semakin menipis
seiring perjalanannya. Dia yakin bahwa Tahun Baru telah
tiba dan terlewati olehnya, dan dia meneguhkan diri dengan
meyakini bahwa ayah dan kakak-kakaknya sedang
menantinya di Mino. Yoritomo pernah mendengar bahwa
saudara tiri perempuannya tinggal di sana. Tetapi, dia
masih ragu-ragu tentang hubungan saudara tirinya dengan
Ohi, panglima setempat, yang masih memiliki hubungan
darah dengan Genji dan bisa dipercaya olehnya.

Ketika Yoritomo tiba di sebuah sungai pada suatu hari,


seorang nelayan, yang sedang mencuci perahunya,
menyapanya, Bukankah kau salah seorang Genji ... putra
Yoshitomo?
Yoritomo tidak berupaya menyembunyikan identitasnya.
Ya, aku putra ketiga Yoshitomo. Namaku Yoritomo.
Si nelayan tampak puas dan bercerita bahwa saudarasaudaranya pernah menjadi pelayan di kediaman
Yoshitomo. Dia memperingatkan Yoritomo tentang bahaya
bepergian seorang diri, lalu mengundang bocah itu untuk
singgah di gubuknya.
Yoritomo menginap selama beberapa hari di gubuk si
nelayan, lalu meneruskan perjalanannya, kali ini ditemani
oleh putra si nelayan, yang baru meninggalkannya setelah
mereka tiba di rumah Ohi, sang panglima.
Rumah itu tampak terbengkalai, namun seorang pelayan
akhirnya keluar dan mempersilakan Yoritomo memasuki
sebuah ruangan yang pengap oleh asap dupa.
Jadi, inikah Yoritomo? kata seorang wanita sambil
terisak-isak. Dia adalah Enju, putri Ohi, ibu saudara tiri
Yoritomo. Enju terus menangis, dan air matanya
membingungkan Yoritomo, yang menyimpulkan bahwa
kekalahan Genji adalah penyebab kesedihan wanita itu.
Akhirnya, Enju mengusap air matanya dan berkata,
Yoritomo, ayahmu sudah tidak ada di sini. Dia menginap
di sini pada suatu malam dan, berpikir bahwa lebih aman
bagi rombongannya jika mereka terus bergerak, langsung
melanjutkan perjalanan ke timur menuju Owari untuk
mencari seseorang yang bernama Tadamun6, kepala suku
di sana. Pada hari ketiga Tahun Baru, Tadamun6
membunuhnya dengan bengis.
Eh, ayahku?

Tadamun6 mengirim kepala ayahmu ke ibu kota pada


saat itu juga, dan mereka memajangnya di atas sebatang
pohon di dekat gerbang Penjara Timur.
Tapi ... mungkinkah ini benar?
Dan, bukan hanya itu. Kakakmu Tomonaga tewas
akibat luka-lukanya. Yoshihira melarikan diri, dan kami
belum mendengar kabarnya sejak saat itu.
Jadi, ayah dan kakak-kakakku sudah meninggal? Aku
tidak akan bertemu dengan mereka lagi di dunia ini?
Anakku, anakku yang malang . Tidak aman bagimu
untuk tinggal lebih lama di sini. Heik6 sedang
memburumu.
Ayah! Ayahku!
Yoritomo, dengan tubuh gemetar, mendongak ke langitlangit; air mata membasahi pipi. Bocah itu menangis
terisak-isak dengan nyaring, dan menjerit-jerit tanpa
sanggup mengendalikan diri, seolah-olah jantungnya
hendak meledak.
Baru ketika ayah Enju yang telah uzur muncul dan
berusaha menenangkannya, Yoritomo berhasil mengatakan,
Aku tidak akan menangis lagi. Aku tidak ingin
menangis. Kemudian, menoleh kepada panglima renta itu,
Yoritomo bertanya, Ke manakah sebaiknya aku pergi?
Sang panglima renta menjawab. Ke wilayah timur
Jepang, lalu menyebutkan nama para panglima yang bisa
dipastikan akan menerima Yoritomo dengan baik. Dia
melanjutkan, Aku mendengar bahwa Nyonya Tokiwa
masih ada di ibu kota, dan dia memiliki tiga orang anak
lelaki, saudara tirimu, namun mereka masih kanak-kanak.
Di timur, kau bisa dipastikan akan bertemu dengan para
anggota klan Genji yang akan berdiri di pihakmu.

Yoritomo duduk tenang dan memikirkannya.


o0odwkzo0o
Bersama setiap hari yang dilalui oleh Yoritomo dalam
perjalanannya ke selatan, ladang-ladang luas di kedua sisi
jalan tampak menghijau oleh tanaman jelai yang mulai
tumbuh. Burung-burung berkicau di atasnya, dan Yoritomo
terus berjalan, hatinya terasa ringan. Enju melepas
kepergiannya dengan kasih sayang seorang ibu ...
membekalinya dengan kimono baru, mantel berbulu,
sandal, sekotak batu api, dan sebilah pedang.
Februari hampir tiba dan bulan baru tampak
mengambang di langit biru tua pada tengah hari itu.
Bocah yang baru saja berpapasan dengan kita ...
sungguh aneh melihat anak setampan itu di sini. Aneh
sekali, kata Munekiyo sambil menoleh dari atas pelananya
untuk kembali memandang Yoritomo.
Seorang samurai lain turut mengamati bocah itu.
Sikapnya juga menarik, membuatmu menyangkanya
sebagai anak seorang panglima di wilayah ini.
Mungkin saja, tapi ini latihan yang sangat berat bagi
bocah seperti itu, menyuruhnya melakukan perjalanan
tanpa ditemani oleh seorang pelayan pun di masa
berbahaya ini.
Tanpa berkomentar lebih lanjut, Munekiyo melanjutkan
perjalanan, ketika sebuah firasat mendadak menggelitiknya;
dia langsung menghentikan kudanya dan kembali menoleh
kepada sosok yang kini telah menghilang di kejauhan.
Munekiyo, pelayan adik tiri Kiyomori, Yorimori,
diberangkatkan sebagai duta Yorimori untuk memastikan
kabar kematian Yoshitomo Dia tengah berada dalam

perjalanan pulang ke ibu kota setelah menyelesaikan


berbagai macam urusan yang berkaitan dengan Tadamun6.
Munekiyo menoleh dan memerintah prajurit di dekatnya:
Bawa kemari bocah yang baru saja berpapasan dengan
kita. Jika dia berusaha melarikan diri, maka bisa dipastikan
bahwa dialah orangnya. Tangkap dia, apa pun yang
terjadi.
Munekiyo memutar kudanya dan mengikuti para
prajuritnya dengan santai.
Yoritomo ternyata berusaha meloloskan diri dan
melawan para penangkapnya. Saat ini dia berbaring
telentang di bawah pohon dedalu di tepi sungai,
memandang para prajurit bersimbah keringat yang
mengepungnya. Para prajurit itu terengah-engah; urat-urat
besar tampak bertonjolan bagaikan sumbu di wajah dan
leher mereka yang merah padam.
Kemari kau, berdirilah!
Berdiri kamu!
Alih-alih menurut, Yoritomo tetap berbaring diam dan
menatap matahari.
Munekiyo membungkuk di atasnya dan mengamati
wajahnya. Ada apa dengan dirimu? Apakah yang sedang
kaulakukan?
Dia memang masih kecil, tapi jangan sampai kita
tertipu oleh penampilannya, kata salah seorang prajurit
dengan kesal. Dia petarung cilik . Lihatlah dia, bisabisanya dia memerintah kita untuk menariknya berdiri,
seolah-olah kita pelayannya!
Senyum tipis terulas di wajah Munekiyo, Tarik dia
berdiri, perintahnya.

Dua orang prajurit maju dan mencengkeram lengan


Yoritomo, lalu menariknya hingga berdiri. Yoritomo berdiri
tegak, menatap Munekiyo. Wajahnya berlepotan debu.
Goresan luka merah tampak di pipinya yang merona, dan
rambutnya acak-acakan.
Apakah mereka menyakitimu. Nak?
Kau hendak pergi ke mana? Timur?
Ayahmu? Siapakah ayahmu, Nak?
Yoritomo menolak untuk menjawab, namun pertanyaan
terakhir itu menghadirkan setetes air mata yang mengalir di
pipinya, walaupun dia tetap tidak melontarkan sepatah kata
pun.
jawablah pertanyaanku. Jika kau tetap diam, kami akan
melihat apakah rasa sakit akan mendorongmu untuk
menjawab, Munekiyo mengancam.
Yoritomo menegakkan bahunya dan, dengan tatapan
meremehkan, berkata, Dan siapakah kamu? Turunlah dari
kudamu jika kau ingin berbicara denganku. Aku bukan jenis
orang yang bisa disapa oleh seorang prajurit Heik6 biasa
dari atas punggung kuda.
Munekiyo terdiam dengan takjub ketika mendengar
jawaban bocah itu. Dia mengamati Yoritomo dari ujung
kepala hingga ujung kaki. Kemudian, dia cepat-cepat turun
dari kudanya dan menghampiri Yoritomo, lalu menjelaskan
bahwa dia adalah pelayan Heik6 Yorimori.
Munekiyo telah menduga bahwa bocah itu adalah Genji
Yoritomo, namun dia masih membujuk dengan lembut,
Siapakah dirimu? Sebutkanlah nama ayahmu.
o0odwkzo0o

Bab XXVI BELAS KASIHAN


Lebih dari sebulan telah berlalu sejak ibu tiri Kiyomori,
Ariko, mengungsi ke Rokuhara demi keamanannya, dan
dia tinggal di sana hingga Tahun Baru berlalu, menjalani
kehidupan bersama seluruh penghuni rumah dan
menikmati perhatian dari cucu-cucunya. Ariko berusia
sekitar empat puluh tahun, hanya sedikit lebih tua dari
Kiyomori, dan penampilannya tampak terlalu muda untuk
seorang nenek. Kiyomori kerap tertikam oleh perasaan
cemburu ketika melihat Ariko dan Tokiko menghabiskan
waktu bersama, karena janda ayahnya itu jauh lebih
menawan daripada istrinya; ada kalanya, dia bahkan
mengasihani dirinya sendiri atas pernikahannya.
Walaupun bisa menyembunyikan kekesalannya dengan
baik, Kiyomori tidak pernah merasa tenang saat berada di
dekat Ariko. Ada sesuatu di dalam diri Ariko yang
senantiasa mendorong Kiyomori untuk melawan keinginan
untuk mengabaikannya. Kiyomori kadang-kadang bertanyatanya, apakah yang menjadi akar dari perasaannya kepada
ibu tirinya itu.
Pada suatu pagi, ketika Kiyomori hendak berangkat ke
Istana, dayang Ariko muncul untuk menyampaikan pesan
bahwa majikannya ingin berbicara dengan Kiyomori. Ariko
terbiasa untuk
menghabiskan sebagian paginya dengan merapalkan
ayat-ayat suci di ruang peribadatan kecil yang terhubung
dengan kamarnya, dan Kiyomori selalu menghindari bagian
rumah itu; bukan hanya karena nisan ayahnya ada di sana
melainkan juga karena kesan muram dan angker yang
dimiliki tempat itu.

Ketika Kiyomori muncul, Tokiko sudah ada di sana,


duduk diam di dekat Ariko.
Aku ingin berterima kasih kepadamu, kata Ariko,
dan kuharap kau mau memaafkanku karena telah
memintamu untuk datang kemari.
Kiyomori mengendus-endus asap dupa yang masih
mengepul di belakang Ariko. Dia mendengar seekor burung
berkicau di luar jendela yang terbuka, tempat sinar matahari
menerobos masuk. Cahaya itu menerangi lipatan-lipatan di
kimono biksuni yang dikenakan oleh Ariko, sehingga
sosoknya tampak menyerupai ukiran indah. Kekayaan
detail di ruang peribadatan itu, hiasan-hiasan brokatnya,
lekukan-lekukan di langit-langitnya, lentera-lenteranya,
semuanya bersatu padu untuk menonjolkan sosok
berpakaian putih itu. Kemudian, tiba-tiba terpikir oleh
Kiyomori, ketika dia terdiam sejenak di ambang pintu,
bahwa kehidupan Ariko, masa menjandanya yang
dititikberatkannya untuk berdoa dan berkomunikasi dengan
mereka yang sudah meninggal, entah bagaimana telah
menjadikannya bagian dari dunia arwah ... dan ada banyak
cara untuk menangani arwah.
Tetapi, untuk apa berterima kasih ... dan mengapa Ibu
mendadak memanggilku? Apakah yang bisa kulakukan
untuk menolong Ibu?
Ariko tersenyum. Aku tidak menyadari betapa cepatnya
hari-hari berlalu. Aku sudah tinggal di sini selama lebih dari
sebulan, dan Yorimori telah mengirim banyak pesan untuk
memohon agar aku pulang, sehingga aku memutuskan
untuk
pulang
hari
ini.
Kalian
berdua
telah
memperlakukanku dengan sangat baik sejak kekacauan itu
terjadi ...

Pulang hari ini? Maafkan aku jika selama ini sudah


terlalu sibuk dan mengabaikan Ibu. Tapi, izinkanlah aku
mengatakan bahwa aku telah berpikir untuk mendirikan
rumah baru bagi Ibu di atas sebidang tanah di Rokuhara
ini.
Aku tentu akan sangat bahagia jika bisa tinggal
berdekatan dengan kalian.
Karena rumah Shigemori di lembah baru saja selesai
pembangunannya, kita bisa segera mulai membangun
rumah untuk Ibu dan Yorimori.
Betapa beruntungnya aku ... bahkan, kita semua! Kau,
Kiyomori, tidak boleh sedikit pun melupakan bahwa kau
adalah pemimpin klan Heik6. Teruskanlah melakukan
kebaikan; bersikap tegaslah kepada dirimu sendiri;
jalankanlah tugasmu dengan baik, karena sikap santai
seperti yang selalu kautunjukkan hingga saat ini tidak akan
cukup. ...
Dan.Tokiko, jangan pernah melupakan
kedudukan suamimu. Teruslah berusaha untuk menjadi istri
yang lebih baik baginya, dan ibu yang lebih berbakti.
Sebagai nyonya rumah di sini, berikanlah dukunganmu
kepada suamimu dalam segala bidang.
Kiyomori dan Tokiko mendengarkan petuah dari Ariko
dengan takzim, karena Ariko memang memiliki wewenang
untuk berbicara seperti itu kepada mereka.
Dan sekarang, aku memercayakan segalanya kepada
kalian berdua, Ariko mengakhiri petuahnya. Tanpa
mengatakan apa-apa lagi, dia menghadap ke ruang
peribadatan untuk bermeditasi selama beberapa waktu di
depan nisan Tadamori sebelum berangkat.
Bagi Kiyomori, ibu tirinya seolah-olah melimpahkan
seluruh tanggung jawab keluarga mereka kepadanya; kesan
membingungkan yang didapatkannya dari Ariko agak

merisaukannya, namun dia tidak memiliki alasan untuk


membantahnya. Dia menyadari bahwa dia bukanlah putra
teladan Tadamori, dan dia mencoba untuk menebusnya
dengan berusaha setulusnya menjadi putra yang patuh bagi
janda ayahnya, Ariko. Dan memang wajar jika dirinya,
seorang
kepala klan, menunjukkan pengabdiannya
orangtua sebagai contoh bagi seluruh keluarganya.

kepada

Beberapa hari setelah Ariko kembali ke rumahnya di


bagian
utara
ibu
kota,
putranya,
Yorimori,
mengunjunginya. Ariko menyambutnya dengan hangat.
Ah, Yorimori, kaukah itu?
Maafkan aku karena baru berkunjung, Ibu.
Tidak apa-apa. Wilayah kekuasaan barumu di Owari
tentunya menyibukkanmu akhir-akhir ini.
Begitulah. Aku mengirim Munekiyo ke sana untuk
menyelesaikan beberapa urusan, dan dia kembali dua
malam yang lalu, membawa seorang bocah yang
ditangkapnya di jalan. Kemarin, urusan itu menghabiskan
waktuku seharian.
Oh? Dan siapakah bocah yang dibawa oleh Munekiyo
itu?
Putra Yoshitomo, Yoritomo, yang baru saja berulang
tahun keempat belas.
Putra Yoshitomo? Ini berita besar! Empat belas tahun,
katamu? Astaga, dia masih bocah! Apakah yang mereka
pikirkan ... membiarkan seorang bocah seperti dirinya ikut
berperang! Dia masih terlalu muda untuk memahami
masalah yang sesungguhnya. Anak malang! Di manakah
dia sekarang?

Kami sedang menantikan perintah dari Rokuhara, dan


untuk sementara ini, aku menugaskan kepada Munekiyo
untuk mengawasinya.
Apakah yang akan dilakukan oleh Kiyomori kepada
bocah itu?
Kita akan mengetahuinya hari ini.
Pembicaraan itu selesai, dan Yorimori segera
berpamitan, namun Ariko menahannya. Tinggallah lebih
lama di sini, bujuknya. Aku akan memerintahkan kepada
pelayan untuk memasak makanan kesukaanmu; tinggallah
sejenak untuk makan bersamaku.
Tepat ketika Ariko mengirim dayangnya ke dapur untuk
menyampaikan beberapa instruksi, kedatangan Munekiyo
diumumkan.
Dia hendak berbicara dengan majikannya, kata si
pelayan. Ariko memerintahkan kepada Munekiyo untuk
menunggu.
Ibu dan anak itu menyantap hidangan dengan tenang,
dan ketika mereka telah selesai makan, Yorimori
memanggil prajurit kepercayaannya.
Munekiyo, apakah kau sudah menerima kabar dari
Rokuhara?
Ya, dari seorang kurir.
Apakah isi pesannya ... tentang Yoritomo?
Dia akan dihukum mati pada 13 Januari.
Hmm.
Air muka Yorimori seketika keruh. Perutnya bergejolak
ketika dia memikirkan bahwa satu lagi hukuman mati harus
dilaksanakan. Setelah perang berakhir, dia telah melihat

terlalu banyak pemenggalan kepala dan mendengar cukup


banyak ratapan orang-orang yang berkumpul setiap hari
untuk menyaksikan perahu-perahu berisi kerabat mereka
yang akan diasingkan bertolak. Ketika asap sisa
pertempuran masih menggantung di langit ibu kota, semua
itu tidak terlalu berdampak padanya. Namun setelah
kedamaian datang kembali dan pepohonan plum di kebun
berbunga, seluruh bagian dirinya seolah-olah menjerit untuk
menentang kekejian dari mengangkat senjata demi
menghabisi nyawa seorang bocah biasa.
Awan gelap juga tampak menyelimuti wajah Ariko;
sebagai seorang penganut Buddha yang taat, memberikan
belas kasihan dianggapnya sebagai tugas pertama dan
iktikad utama orang yang beriman.
Dampak dari kabar yang disampaikannya kepada
mereka berdua sepertinya memberikan keberanian bagi
Munekiyo untuk menyampaikan pendapatnya, sehingga dia
menoleh kepada Yorimori:
Dia baru berumur empat belas tahun ... sebaya dengan
adik Anda, jika saya mengingatnya dengan benar, apabila
saat ini beliau masih hidup.
Ya, seandainya dia masih ...
Dan mereka berdua sangat mirip. Saya nyaris percaya
bahwa mereka bersaudara.
Munekiyo, potong Ariko dengan nada tertarik,
ceritakan lebih banyak tentang bocah itu
Munekiyo pun menceritakan semua yang diketahuinya.
Ariko, yang tergerak ketika mendengar kemiripan bocah
itu dengan almarhum putranya, berniat untuk
mempertahankan tekadnya bahwa Yoritomo harus
diselamatkan. Ketika dia tidur malam itu, cerita Munekiyo

seolah-olah menghantui dirinya sehingga sosok kembaran


almarhum putranya itu seolah-olah menempel di kelopak
matanya, dan dia mendambakan pertemuan dengannya.
Beberapa hari kemudian, membawa ranting pohon plum
berbunga merah, Ariko melintasi halaman rumah putranya
menuju bilik sederhana Munekiyo di sisi lain rumah. Ariko
menyuruh seorang pelayan untuk memanggil Munekiyo,
dan ketika prajurit itu muncul, dia mengulurkan bunga
plum yang dibawanya:
Taruhlah ini di dalam vas, dan biarkanlah bocah
malang itu melihatnya.
Munekiyo menerima bunga itu dengan anggukan dalam,
dan sorot matanya tampak melembut, Sebuah hadiah kecil
untuknya?
Dan, Munekiyo ...
Suara Ariko berubah menjadi bisikan. Munekiyo
menganggukkan persetujuan pada apa pun yang
diucapkannya, lalu mempersilakan Ariko memasuki
rumahnya. Pagar bambu tinggi mengelilingi salah satu
sisinya. Pintunya terkunci dan kerai-kerainya tertutup,
kecuali sebuah jendela kecil yang digunakan oleh seorang
penjaga untuk mengawasi tahanan.
Munekiyo memasuki ruangan tempat Yoritomo ditahan,
meminta Ariko untuk menunggu di luar, di dekat lubang
intip.
Seperti biasanya, Yoritomo duduk diam bagaikan patung
kayu cendana di balik sebuah meja tulis kecil; dia menoleh
ke arah Munekiyo dan membelalakkan mata dengan kaget
begitu melihat ranting plum yang dibawanya. Walaupun
Munekiyo mengunjunginya setiap pagi dan petang,

Yoritomo tidak menyadari bahwa kuncup-kuncup bunga


plum telah mekar.
Indah sekali bunga itu! desahnya.
Indah, bukan? jawab Munekiyo. Salju terlalu banyak
turun akhir-akhir ini sehingga pohon-pohon plum terlambat
berbunga tahun ini.
Jangan ingatkan aku pada salju.
Maafkan aku. Haruskah aku menaruh bunga ini di air
untukmu?
Biar aku sendiri saja yang melakukannya. Terima
kasih.
Yoritomo membungkuk untuk mengamati ranting itu,
yang diletakkan oleh Munekiyo di dekat mejanya. Sebuah
buku terbuka di atas mejanya. Munekiyo menatap ranting
di lantai, yang sedang diamati dari dekat oleh Yoritomo.
Bocah ini berbahaya ... sebuah ancaman bagi klan Heik6,
pikir Munekiyo; semakin jelas baginya bahwa dirinya telah
semakin menyukai bocah ini. Di dalam sosok Yoritomo,
Munekiyo melihat seorang samurai berdarah biru, yang
sebentar lagi akan dibunuh- ... disia-siakan.
Apakah yang kaulakukan hari ini? Menulis puisi?
Tidak, aku membaca.
Apakah yang kaubaca?
Aku membaca kumpulan puisi yang kaupinjamkan
kepadaku dan sebuah hikayat tua.
Yang manakah yang paling kausukai?
Aku tidak terlalu menikmati puisi.
Kalau begitu, kau lebih menyukai kisah-kisah
peperangan ... kepahlawanan dan pertempuran?

Yoritomo berlama-lama menatap Munekiyo dengan


matanya yang jernih, namun Munekiyo gelisah karenanya,
merasa seolah-olah bocah itu bisa membaca pikirannya, dan
cepat-cepat mengalihkan pandangan. Tatapan Munekiyo
tertuju pada lubang kecil di dekat tempat Ariko mungkin
sedang mendengarkan mereka, dan dia merasakan
jantungnya berdegup kencang saat dia menantikan jawaban
Yoritomo.
Yoritomo, yang mengenakan baju hangat sutra berwarna
ungu pucat dan celana berwarna senada dengan garis ungu
tua di bagian mata kakinya, duduk bersila di atas sebuah
bantal, menatap jauh ke depan. Setelah terdiam lama, dia
tiba-tiba menjawab:
Kitab-kitab ... aku paling menyukai buku-buku yang
menceritakan tentang Buddha, jika kebetulan kau
memilikinya.
Aku yakin aku punya beberapa ... tapi, apakah yang
mendorongmu untuk menyukai bacaan melankolis seperti
itu?
Entah mengapa ... aku menyukainya. Pasti karena
ibuku, yang sekarang sudah meninggal, kerap membawaku
mengikuti perjalanan ziarah menuju kuil-kuil termahsyur;
aku bahkan pernah mengunjungi Biksu Honen dan
mendengarkan beliau berbicara tentang kitab-kitab suci.
Jadi ...
Jadi, kurasa, jika aku sudah dewasa nanti, aku lebih
memilih untuk menjadi seorang biksu daripada seorang
samurai. Tetapi, sekarang ...
Bocah itu mendadak menunduk. Jelas bahwa dia telah
mendapatkan pendidikan tentang kode yang mengajarkan

bahwa seorang samurai berdarah biru hanya


mengharapkan ke matian di tangan penangkapnya.

bisa

o0odwkzo0o
Baru pada musim semi itulah arak-arakan kereta dengan
jumlah sangat banyak terlihat di Jembatan Gojo, ketika
beraneka ragam kendaraan dan kuda berduyun-duyun ke
arah Rokuhara.
Akhir-akhir ini, Kiyomori mulai lelah menerima arus
tamu yang seolah-olah tak kunjung habis. Walaupun
pangkatnya masih mengharuskannya untuk menyambut
setiap tamu terhormat dengan upacara yang selayaknya,
sisanya ... mereka yang berpindah haluan atau mencari
muka ... ditolaknya tanpa basa-basi; Rokuhara sepertinya
telah berubah menjadi surga berbunga bagi para nyamuk
dan ngengat yang berkerumun dengan gaduh di gerbanggerbangnya.
Ini berlebihan! sembur Kiyomori. Dengan gusar, dia
mengganti kimono kebesarannya pada suatu malam dan
bergabung dengan keluarganya.
Tokiko, besar sekali keluarga kita sekarang ini! Tapi,
pikirkan saja bahwa tahun-tahun terus berlalu,
meninggalkanku hanya dengan seorang istri uzur untuk
menemaniku dan menuangkan sake untukku. Betapa
buruknya bulan itu walaupun pohon plum telah berbunga!
Kiyomori jarang minum terlalu banyak, namun malam
ini dia berniat untuk mabuk sake dengan tekad agar bisa
melupakan segalanya di dalam tidurnya.
Tokiko, kemarilah dan mainkan sesuatu untukku!
Aku? Aneh sekali permintaanmu kepadaku!

Perempuan, kau sama sekali tidak berbudaya!


Mainkanlah sesuatu dengan harpa, atau kecapi.
Tapi, bukankah kau selalu mengatakan bahwa kau benci
segala sesuatu yang meniru kaum bangsawan?
Semua itu tergantung pada waktu dan tempatnya.
Musik diperlukan untuk menghibur telinga. Musik bisa
mendamaikan
pikiran.
Dampaknya
luar
biasa!
Keluarkanlah kecapiku dan aku akan memainkannya untuk
istri uzur dan anak-anakku.
Tokiko mengeluarkan kecapi yang dihadiahkan oleh
Penasihat Shinzei lama berselang, dan Kiyomori mulai
memetiknya dengan kikuk, ketika seorang pelayan muncul
dan mengumumkan dengan ragu-ragu:
Yang Terhormat Yorimori, Tuan, memaksa untuk
berbicara dengan Anda. Beliau telah menunggu cukup lama
dan berharap untuk bisa menemui Anda di saat Anda
sedang bersantai.
Kiyomori mengernyitkan
maunya? Suruh dia kemari.

kening.

Yorimori?

Apa

Si pelayan beranjak, namun segera kembali lagi.


Beliau memohon agar bisa berbicara empat mata
dengan Anda.
Kebiasaan buruknya ini . Aku benci pembicaraan
rahasianya ... segala sesuatu yang ditutup-tutupinya
Kiyomori menyingkirkan kecapinya dengan kesal.
Baiklah ... aku akan segera ke sana, dia mendorong si
pelayan dan menghambur keluar dengan marah.
Genangan air di bawah jendela yang terbuka di salah
satu ruangan rumah Kiyomori memantulkan cahaya dari
satu-satunya lentera yang ada di sana.

Yorimori, sesampainya kau di rumah nanti, cobalah


untuk membujuk ibu kita yang baik hati. Lebih baik jika
beliau tidak turut campur dalam masalah seserius ini.
Mengertikah dirimu? Selalu ada wanita di balik setiap
pengambilan keputusan yang salah ... dan perang.
Tapi ...
Ya? Mengapa kau memandangku seperti itu? Apakah
kau kecewa?
Aku mengerti.
Tentu saja kau mengerti. Sudah sepantasnya begitu.
Tapi, izinkanlah aku menyampaikan pendapatku
sendiri.
Apakah aku melarangmu?
Tapi, yang kaulakukan hanyalah menggerutu tanpa
membiarkanku mengatakan apa pun. Aku kemari hanya
untuk menyampaikan perkataan Ibu dan memohon atas
nama beliau. Dan kau ... f
Dan aku mengatakan kepadamu bahwa alasan apa pun
tidak akan bisa mendorongku untuk mengampuni
Yoritomo. Tidak ada lagi yang harus kukatakan.
Itu saja. Kata-katamu sungguh kasar ... kau mengatakan
bahwa Ibu turut campur dan bahwa dia sebaiknya
menyibukkan diri dengan cucu-cucunya saja, atau merawat
kebun bunga di biaranya. Haruskah aku mengatakan itu
kepada beliau?
Ya, ulangi saja kata per katanya. Ucapanku mungkin
saja kasar, tapi apa lagi yang bisa kukatakan, jika beliau,
seorang Heik6, mengusulkan untuk mengampuni seorang
Genji.

Aku masih tidak mengerti apa yang menjadikan dirimu


semarah itu. Bukankah kau pernah mengampuni Jenderal
Narichika hanya karena Shigemori memohon kepadamu?
Itu kulakukan untuk berterima kasih atas kebaikannya
kepada Shigemori ketika putraku itu pertama kali terjun ke
dalam politik Istana Apakah yang pernah dilakukan oleh
putra Yoshitomo kepada ibu kita atau dirimu?
Tidak ada, tapi Ibu adalah penganut Buddha yang taat,
dan beliau memohon kepadamu untuk menunjukkan belas
kasihan kepada bocah itu.
Belas kasihan? ... Apakah kau mengatakan bahwa aku
sama sekali tak berperasaan?
Aku tidak mengatakan itu.
Dasar bodoh! Sampaikanlah satu lagi saja pesanku
kepada ibu kita ... bahwa beban yang ditanggung oleh
Kiyomori sangatlah berat. Dengan mengampuni Yoritomo,
haruskah aku membiarkan seluruh klan kita terpapar oleh
ancaman tanpa akhir? Apakah kita mau berhadapan dengan
perang yang tak berkesudahan?
Aku sudah mengatakan pendapatku dan tidak akan
mengungkit-ungkit masalah ini lagi.
Sebaiknya kau jangan kemari untuk menyampaikan hal
bodoh lainnya.
Malam itu, Yorimori mengendarai kudanya dengan
murung. Ibunya telah menantinya, tidak sabar ingin
mendengar jawaban Kiyomori.
Sia-sia saja. Dia menolak untuk mendengarkanku.
Terlebih lagi, suasana hatinya sedang buruk, walaupun dia
memang selalu seperti itu, dan kata-katanya kasar.
Apakah aku penyebabnya?

Tidak, sepertinya dia juga mencari-cari kesalahanku.


Aku khawatir dia akan salah langkah kali ini.
Bagaimanapun, dia tidak punya alasan untuk bersikap
sekeji Itu
Dan dia tidak menunjukkan
memaafkan Yoritomo?

tanda-tanda

akan

Akan lebih bijaksana jika kita tidak mengungkit-ungkit


masalah ini lagi. Ibu. Ini hanya akan membangkitkan
kecurigaan dan memicu kemarahannya.
o0odwkzo0o
Tinggal beberapa hari lagi hingga 13 Februari tiba
Munekiyo belum memberi tahu Yoritomo tentang takdir
yang telah menantinya pada hari itu. Dia menemui bocah
itu setiap hari, dan dari hari ke hari, rasa sayang dan belas
kasihannya kepada Yoritomo semakin bertambah.
Yoritomo, yang jarang meminta tolong, pada suatu hari
memohon kepada penjaganya untuk memanggilkan
Munekiyo, yang segera muncul.
Munekiyo, bawakanlah seratus kepingan kecil kayu
cipres dan sebuah pisau untukku.
Kayu cipres dan pisau? Apakah yang akan kaulakukan
dengannya?
Aku baru saja menghitung hari, dan ternyata hari
keempat puluh sembilan wafatnya ayahku hampir tiba. Aku
ingin menghabiskan hariku dengan mengukir kepingankepingan doa untuk beliau, agar aku bisa memberikannya
ke beberapa kuil untuk membersihkan jiwanya.
Sudah sebanyak itu hari berlalu? jawab Munekiyo,
sangat tersentuh oleh permintaan Yoritomo. Walaupun
aku ingin sekali menolongmu, seorang tahanan tidak

diizinkan untuk memiliki pisau. Kurasa, yang bisa


kaulakukan hanyalah membaca doa-doa untuk ayahmu.
Kendati begitu, Munekiyo kembali keesokan paginya
dengan membawa seratus kepingan kecil kayu cipres, dan
Yoritomo pun menghabiskan hari-harinya dengan
menuliskan nama Buddha ayahnya di sana.
Ketika Ariko mendengar tentang semua itu dari
Munekiyo, belas kasihan menyengat sanubarinya, dan
tekadnya untuk menyelamatkan Yoritomo pun semakin
bulat. Iktikad baik, diyakininya, akan selalu mendapatkan
balasan yang setimpal, dan Heik6 tidak akan kehilangan
apa pun dengan menunjukkan belas kasihan; arwah
Tadamori juga akan turut mendapatkan rahmat. Setelah
menimbang-nimbang mengenai hal ini, Ariko semakin
meyakini tugas yang diembannya. Dia pun memanggil
kereta untuk membawanya ke Rokuhara.
Ketika mendengar bahwa ibu tirinya telah tiba, Kiyomori
bertekad untuk bersikap tegas.
Dayang Ariko segera menyampaikan sebuah pesan, yang
mengatakan bahwa majikannya ingin berbicara dengan
Kiyomori di ruang peribadatannya.
Kiyomori memasang wajah muram, bukan sesuatu yang
aneh baginya, dan menyapa ibu tirinya dengan nada gusar.
Kiyomori, atas nama belas kasihan, tidak maukah kau
mendengarkanku?
Kiyomori sudah menebak arah pembicaraan Ariko.
Mengenai Yoritomo ... putra Yoshitomo, bukan?
Ya, kemarin malam ...
Yorimori sudah menceritakannya padaku, tapi ...

Tidak mungkinkah itu dilakukan?


Mustahil. Masalah ini sangat serius sehingga aku harus
memohon kepada Ibu untuk tidak turut campur.
Kiyomori merasa lega karena penolakan tegasnya;
bahkan, ini adalah pertama kalinya dia membantah Ariko.
Tetapi, ketika melihat Ariko menyeka air mata tanpa
berkata-kata, hati Kiyomori seketika mencelus; dia
mengalihkan tatapan dengan bingung.
Desahan panjang keluar dari mulut Ariko. Jika
memang harus begitu ... dengan meninggalnya ayahmu ...
sekarang, setelah beliau tiada ...
Petuah terpatah-patah Ariko melenyapkan kesabaran
Kiyomori, sehingga dia menjawab dengan dingin, Ibu
salah memahamiku ... seperti biasanya.
Seandainya ayahmu masih hidup, kurasa kau tidak
akan bicara seperti itu kepadaku. Kiyomori, setiap kali
memikirkan masa depanmu, aku hanya bisa berduka.
Ibu tidak memperiakukanku dengan adil. Bukankah aku
selalu menunjukkan rasa hormatku walaupun Ibu bukanlah
ibu kandungku? Kapankah aku pernah menyebabkan Ibu
berduka? Aku hanya memohon kepada Ibu untuk tidak
turut campur dalam masalah Ini.
Dan kau masih menolak mendengarkanku?
Tetapi, pikirkanlah. Ibu! Adakah pengaruhnya jika
sepasukan prajurit, jenderal Narichika dan semacamnya,
dibebaskan? Dengan putra seorang samurai seperti
Yoritomo, masalahnya sungguh berbeda.
Bukankah kau juga putra seorang samurai?
Itu justru memberiku lebih banyak alasan untuk
menyingkirkannya. Aku tahu betul apa artinya. Anak

harimau tidak akan melupakan induknya. Belai dan


rengkuhlah dia ke dalam pelukan Ibu sekarang, dan dia
akan menancapkan cakar-cakarnya ketika saatnya tiba.
Dia meratapi kepergian ayahnya dan sudah berencana
untuk menjadi seorang biksu ... bocah malang itu!
Ibu, kita tidak perlu lagi membahas tentang masalah ini.
Pergilah ke keputrian. Aku lebih suka jika Ibu
menghabiskan waktu dengan cucu-cucu Ibu.
Tentunya kau mencintai anak-anakmu?
Tentu saja ... apa pun yang mereka lakukan.
Yoritomo adalah putra Yoshitomo. Dan ingatlah, ada
kehidupan setelah kematian. Apakah kau tidak takut pada
akhirat?
Apakah Ibu mau menceramahiku tentang agama
Buddha?
Ah, sudahlah, sudah cukup aku menasihatimu, jawab
Ariko. Dia memunggungi Kiyomori dan menghadapi nisan
suaminya di atas altar, lalu menggumamkan sesuatu dengan
lirih.
Persilangan pendapat antara Kiyomori dan ibu tirinya
hanya memperlebar jarak yang senantiasa memisahkan
mereka. Ariko pergi pada hari itu juga dari Rokuhara
dengan membawa kekecewaan mendalam, namun dia
memiliki alasan yang kuat bagi tekadnya dan tidak akan
menyampaikannya kepada Kiyomori jika dirinya sendiri
ragu-ragu. Kendati begitu, orang-orang yang mengenal baik
dirinya sekalipun ternyata kurang menyadari betapa
keimanan telah menguasai sanubarinya.

Alih-alih langsung pulang, Ariko pergi ke kediaman


Shigemori di Lembah Pinus Kecil, yang berjarak cukup
dekat dari Rokuhara, untuk berbincang-bincang dengannya
hingga larut malam.
Berbeda dengan ayahnya, Shigemori memiliki hubungan
dekat dengan neneknya, yang selalu menganggapnya
sebagai cucu kesayangan.
Shigemori, maukah kau ikut mencoba membujuk
ayahmu?
Shigemori
langsung
menyanggupi
permohonan
neneknya. Dia menemui Munekiyo secara diam-diam pada
malam berikutnya dan meminta untuk dipertemukan
dengan Yoritomo.
Bocah itu sedang duduk di belakang sebuah meja tulis
kecil, menulisi kepingan-kepingan doa untuk ayahnya.
Tidak ada sedikit pun sumber kehangatan di ruangan itu ...
tidak ada sedikit pun cahaya, kecuali dari bulan yang
mengintip dari balik sebuah jendela kecil. Yoritomo
meletakkan kuasnya dan memicingkan mata untuk menatap
tamunya, yang berdiri diam di ambang pintu.
Merasakan kewaspadaan bocah itu, Shigemori
menghampirinya dan berkata dengan sangat lembut,
Apakah yang sedang kaulakukan, Yoritomo?
Ini untuk almarhum ayahku.
merindukannya ... ayahmu? Tidak.

Apakah

kau

Kau pasti berpikir untuk menuntut balas demi dirinya.


Tidak.
Tidak?
Tidak.
Mengapa tidak?

Saat sedang menulis seperti ini, tidak ada apa bisa yang
merisaukan hatiku.
Kalau begitu, kau hanya mendambakan saat
kematianmu agar bisa berjumpa kembali dengan ayahmu?
Kata orang-orang, kau tahu, kita akan bertemu kembali
dengan orang-orang yang kita sayangi di dunia yang lain.
Aku tidak ingin mati. Aku takut memikirkannya.
Tapi, bukankah kau turut terjun ke medan perang?
Aku bersama ayah dan kakak-kakakku ketika itu, dan
sangat bersemangat sehingga tidak pernah berpikir tentang
kematian.
Apakah kau terkadang bermimpi?
Tidak ... mimpi macam apa?
Maksudku, pernahkah kau memimpikan ayah dan
kakak-kakakmu?
Yoritomo menggeleng. Tidak ... tidak pernah. Setitik
air mata berkilauan dan jatuh ke pipinya, dan dia buru-buru
menunduk.
Shigemori sangat tersentuh oleh pembicaraan ini. Dia
pun segera menemui ayahnya dan secara berapi-api
menyampaikan pendapat yang telah disusunnya dengan
penuh perhitungan, memohon kepada Kiyomori untuk
mengabulkan permintaan Ariko. Tetapi, permintaan
Shigemori justru semakin membakar amarah Kiyomori.
Apa-apaan ini, kau sendiri masih bocah! Beraniberaninya kau membantahku ... dengan lagak sok pintar
pula! Kau masih terlalu muda untuk hanyut dalam
khayalan keagamaan seperti itu! Jangan sebut-sebut lagi
tentang ceramah Kebudhaan dan karma dan omong
kosong lainnya dari nenekmu ... semua itu tidak akan bisa

menguraikan masalah dunia saat ini! Lihat saja sendiri


kebusukan para pendeta di Nara! Apakah serigala-serigala
serakah dari Gunung Hiei itu lebih suci daripada para
gelandangan dan pengemis di jalanan kita? Kita semua
manusia yang memiliki darah dan daging, dan dunia yang
kita tinggali ini adalah arena tempat kita memangsa dan
dimangsa! Jangan pedulikan orang lain; yang penting
adalah menang atau kalah . Jika kau terus larut dalam
omong kosong semacam ini ... meneteskan air mata dan
mengoceh tentang belas kasihan dan karma baik ...
sebaiknya kau pergi ke kuil atau rumah nenekmu saja!
Jangan pernah mengungkit-ungkit masalah ini di
hadapanku jika ada urusan lain yang jauh lebih menyita
perhatianku.
Walaupun Shigemori menyampaikan pendapatnya
kepada ayahnya dengan tenang, Kiyomori menjawabnya
dengan semburan kata-kata pedas. Ketika berada di bawah
tekanan, Kiyomori kembali menampilkan kebiasaan
melakukan tindakan gegabah seperti pada masa mudanya.
Dia pun mengumpat-umpat putranya dengan berbagai
makian yang pernah dipelajarinya dari para bajingan di
pasar. Tetapi, dalam keadaan seperti ini, ketika dia
menghujat kecengengan orang lain, Kiyomori selalu
mengalami kesulitan untuk menyembunyikan air matanya
sendiri.
Pertanyaan mengenai jadi atau tidaknya Yoritomo
dihukum mati bukan sekadar isu politik lagi, melainkan
sebuah kemelut keluarga, dan Kiyomori mendapati ibu tiri,
adik tiri, dan bahkan putranya sendiri menentangnya.
Walaupun tidak secara langsung, dia menganggap dirinya
telah dituduh sebagai iblis yang keji dan berhati batu.
o0odwkzo0o

Bab XXVII SEBUAH KAPEL DI ATAS


BUKIT
Ketika itu 3 Januari, dan dinginnya udara terasa
menusuk tulang. Tidak seberkas cahaya pun terlihat di
mana-mana. Kegelapan pekat menyelimuti bangunanbangunan di kompleks kuil dan mengisi lorong-lorong
terbukanya, yang lantainya telah berlapis es. Udara malam
yang ganas menerebos masuk melalui kerai-kerai, dan
bahkan dinding-dinding Kapel Kannon di kompleks Kuil
Kiyomizu.
Oh, tenanglah, tenanglah, sayangku . Kau aman di
pelukan Ibu. Udara dinginkah yang membuatmu menangis
sekeras ini? Ada apa, bayi mungilku?
Di dekat sebuah pilar kayu di dekat altar, tempat tikar
jerami digelar, tidurlah dua orang anak, saling berpelukan
di bawah sehelai selimut tipis.
Tokiwa menggendong bayi tujuh bulan yang menangis di
balik lipatan-lipatan kimononya dan berbisik ke telinganya,
Air susuku sudah kering, dan kau pasti menangis karena
kelaparan .Apakah yang menahan Yomogi? Dia
seharusnya segera kembali. Cup, cup, jangan hancurkan
hati Ibu, Nak.
Ibu muda itu berjalan mondar-mandir di lantai kapel
dengan
resah,
khawatir
tangis
bayinya
akan
membangunkan kedua putranya.
Kejadian pada malam sebelumnya juga sama, dan kali
ini, Ushiwaka sudah mulai merengek-rengek mengibakan
sejak senja tiba. Perasaan Tokiwa tersayat karena tidak ada
setetes pun air susu yang keluar dari payudaranya untuk
membasahi bibir bayinya.

Tokiwa, yang mendatangi Kapel Kannon untuk berdoa


setiap bulan pada hari-hari suci dan dikenal oleh para
pendeta di sana, melarikan diri ke Kuil Kiyomizu bersama
anak-anak dan para pelayannya ketika pertempuran pecah
di ibu kota. Tetapi, segera terdengar kabar bahwa Kiyomori
telah mengirim prajurit untuk menangkapnya, dan di
tengah kepanikan, para pelayannya meninggalkannya,
kecuali Yomogi, pengasuh anak-anaknya. Walaupun
kasihan kepadanya, para pendeta di Kuil Kiyomizu takut
kepada Kiyomori, sehingga menolak untuk berurusan
dengan Tokiwa. Seorang biksu muda, Kogan namanya,
terharu melihat keprihatinan Tokiwa dan menawarkan diri
untuk menyembunyikannya di Kapel Kannon, tempat yang
jarang dikunjungi orang. Bersama anak-anaknya, Tokiwa
telah bersembunyi di sana selama tiga hari. Kogan secara
diam-diam menyelundupkan sehelai tikar jerami dan
beberapa selimut, juga sedikit makanan yang hanya cukup
untuk bertahan hidup.
Untuk pertama kali dalam kehidupannya, Tokiwa
mengecap pahitnya kebencian manusia. Di tengah
kenyamanan Istana, ketika dia menjadi kesayangan
Permaisuri-terpilih, Nyonya Shimeko, Tokiwa, yang
kecantikannya menjadi buah bibir dan sumber kedengkian
para wanita ibu kota, hanya mengenal kebahagiaan.
Baginya, Yoshitomo merupakan perwujudan dari seluruh
kebaikan manusia, dan cinta Yoshitomo kepadanya telah
mencukupi semua kebutuhannya. Tokiwa tidak tahu apaapa tentang pria; sepanjang hidupnya, dia hanya
menjalankan tugasnya sebagai seorang gundik dan merawat
anak-anak yang didapatkannya dari Yoshitomo. Hingga dia
mendadak terlempar kemari, memohon belas kasihan pada
dunia yang sarat oleh kebencian, pertumpahan darah, dan
perburuan untuk saling membasmi.

Ushiwaka adalah seorang bayi yang manja semenjak


lahir, dan tangisan nyaringnya membuat ibu muda itu
merana. Pada hari-hari menegangkan ketika Tokiwa harus
membawa lari anak-anaknya dari ibu kota, air susunya
mulai mengering. Dia berusaha memberikan makanan
kepada bayinya, namun Ushiwaka masih terlalu kecil
sehingga makanan justru membuatnya sakit. Dengan panik,
lokiwa memanjatkan doa di Kannon agar bayinya selamat;
dan, Tokiwa yang berdoa di sana bukan lagi seorang ibu
yang bahagia. Setengah gila akibat ancaman bahaya,
kekerasan, dan ketakutan akan tertangkap, Tokiwa
mengerahkan seluruh dirinya untuk mewujudkan kehendak
agar ketiga anaknya tetap hidup. Seluruh kesadarannya,
seluruh hasratnya, sekarang menyatu dengan diri anakanaknya. Didera kegundahan, dengan rambut acak-acakan,
Tokiwa berjalan mondar-mandir di dalam kapel di bawah
cahaya suram satu-satunya lilin yang ada di sana, membuai
dan menenangkan bayinya. Mendengar derak pintu yang
terbuka, Tokiwa menoleh dengan waspada, kemudian
bertanya, Kaukah itu,Yomogi?
Ya, ini Yomogi. Saya memohon kepada Kogan, si biksu
berhati mulia, untuk memasakkan sedikit bubur talas, dan
inilah hasilnya.
Oh? Bagus! Berikanlah bubur itu padaku. Dia bahkan
sudah tidak bisa menangis lagi karena terlalu lapar.
Lihadah betapa lahapnya dia makan!
Dia ingin tetap hidup, lihatlah. Dia tahu bahwa
bubur talas bagus untuknya. Lihat, dia bahkan tidak
berhenti makan untuk menarik napas! Lihatlah dia!
Tokiwa kembali meneteskan air mata demi melihat bayi
dalam pelukannya. Mengapa, mengapa, pikirnya, air
susunya tidak mengalir sederas air matanya? Mengapa

seluruh darah dan daging di dalam tubuhnya tidak mau


berubah menjadi susu?
Nyonya Tokiwa ... dia akhirnya berhenti menangis,
bukan?
Yomogi lupa mengatakan kepada majikannya bahwa si
biksu muda turut menyertainya.
Oh, Tuan yang baik hati, saya sudah merepotkan Anda
di malam selarut ini.
Saya tidak melakukan apa-apa, sungguh, namun
sesuatu yang sangat mengganggu telah terjadi.
Apa ... lagi?
Saya yakin Anda mengetahui maksud saya. Ada sangat
banyak desas-desus yang beredar di kuil, dan tempat ini
tidak aman lagi bagi Anda.
Oh, apakah yang harus kulakukan jika aku dipaksa
pergi dari sini?
Kemudian, Kogan bercerita bahwa para pendeta telah
mendengar tangisan bayi, dan sekarang mengetahui bahwa
Tokiwa bersembunyi di kapel. Kabar burung mengatakan
bahwa para prajurit Kiyomori akan tiba besok pagi untuk
menggeledah seluruh kompleks kuil, dan Kogan akan
disalahkan karena memberikan perlindungan kepada
buronan.
Saya akan menggendong salah satu anak Anda, desak
Kogan, Yomogi bisa menggendong Imawaka, dan Anda,
Nyonya, Ushiwaka membutuhkan Anda. Dan sebelum
fajar merekah
Setelah
Kogan
menekankan
tentang
betapa
mendesaknya situasi ini, Tokiwa berhenti gemetar. Maka,

sebelum fajar merekah, mereka telah berjalan menembus


perbukitan yang mengelilingi Kuil Kiyomizu.
Kogan menyertai mereka hingga tiba di sungai, tempat
sebuah perahu kecil telah menanti untuk membawa mereka
ke Eguchi, di mulut Sungai Yodo. Setelah Tokiwa, anakanaknya, dan si pengasuh menaiki perahu, Kogan
meninggalkan mereka.
Dua orang geisha, yang hendak kembali ke Eguchi,
memberikan kue kedua anak Tokiwa sambil berkomentar,
Anak-anak yang manis! Ke manakah kalian akan pergi
sepagi ini?
Terima kasih banyak. Kami memiliki kerabat di
Mimaki, tidak jauh dari sungai, jawab Tokiwa.
Kalau begitu, kalian akan turun sebentar lagi. Apakah
kalian bertamu di sana?
Tidak .
Berarti, kalian pasti senasib dengan orangtua kami,
yang rumahnya terbakar habis dalam pertempuran bulan
lalu. Kami baru saja menjenguk mereka, dan sekarang
hendak pulang ke Eguchi. Memang benar bahwa mereka
yang tidak berdosa selalu mendapatkan dampak yang
terburuk, bukan? Anak-anak manis ini tentu telah
mendapatkan pengalaman yang buruk!
Mmm Imawaka menggeleng kesal kepada wanita
asing yang mengacak-acak rambutnya. Ibu, Otowaka
sudah memakan kuenya! Aku juga mau makan kueku ...
Ibu!
Ucapkan terima kasih sebelum kau makan.
Kedua geisha itu sepertinya sangat menyukai anak-anak
Tokiwa, sehingga mereka mengeluarkan lebih banyak kue

dari wadah bambu yang mereka bawa; salah seorang dari


mereka bahkan menurunkan selendang sutra yang
membungkus bahunya untuk menyelimuti si bayi.
Selamat jalan, anak-anak! keduanya melambai-lambai
ketika Tokiwa turun di M i mata.
Paman Tokiwa adalah seorang pedagang sapi pedaging,
yang dipelihara di peternakannya.
Wah, wah, kaukah itu, Tokiwa? seru bibinya dengan
kaget, walaupun dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan
mempersilakan Tokiwa masuk. Kau pasti menganggapku
kejam, namun kau seharusnya tahu bahwa para prajurit
sedang memburumu. Mereka menjanjikan imbalan besar
bagi siapa pun yang bisa menyerahkanmu kepada Kiyomori
di Rokuhara ... hadiah, kau tahu . Nah, lebih baik kau
pergi sekarang, selagi pamanmu masih tidur; dia tidak akan
membiarkanmu pergi jika mengetahui bahwa kau ada di
sini. Nah, jangan membantah nasihatku, kata si bibi,
mengusir Tokiwa dari rumahnya.
Tokiwa hanya bisa mengingat seorang lagi kerabat
jauhnya yang mungkin bisa dimintai pertolongan, dan pria
itu tinggal di sebuah desa bernama Yamato. Walaupun
letih, dia berjalan kaki ke
sana, meminta-minta makanan untuk anak-anaknya
kepada siapa pun yang mau memberi, tidur di berandaberanda kuil, melanjutkan perjalanan sepanjang siang dan
malam bagaikan gelandangan. Orang-orang melontarkan
tatapan curiga kepada Tokiwa namun memperlakukannya
dan anak-anaknya dengan baik. Mereka yang mengetahui
bahwa dirinya buronan justru mengasihaninya dan
menyembunyikan keberadaannya dari pihak yang
berwenang.

Kerabat yang dicari oleh Tokiwa adalah seorang


pendeta, dan dia bersedia menyembunyikan Tokiwa dan
anak-anaknya di dalam sebuah kuil yang dikelolanya. Pada
awal Februari, ketika Ushiwaka sudah sehat kembali,
paman Tokiwa mendadak mendatangi rumah si pendeta
dengan membawa sebuah gerobak sapi tua yang berderitderit ribut. Dia berbicara dengan si pendeta hingga larut
malam, dan keesokan paginya berkata kepada Tokiwa:
Kau tahu bahwa kau tidak bisa bersembunyi lebih lama
lagi di sini. Kau lebih baik kembali ke ibu kota dan
menyelesaikan urusanmu di sana jika tidak ingin mereka
menggantung atau menyiksa ibumu, yang masih di sana.
Tapi, untuk apa mereka melakukan itu?
Untuk apa? Bukankah itu sudah sewajarnya? Kau kabur
bersama anak-anak Yoshitomo, sehingga mereka
menangkap ibumu dan menjebloskannya ke penjara di
Rokuhara.
Apa ... ibuku?
Siapa lagi? Semua orang mengetahuinya. Mereka juga
menggunjingkan dirimu ... kata mereka, kau mengabaikan
ibumu demi cintamu kepada anak-anak hasil hubungan
gelapmu dengan Yoshitomo!
Tomizo memelototi Tokiwa tanpa berkedip, bagaikan
seekor binatang garang, sementara keponakannya itu
menangis. Selama ini, Tokiwa hanya memikirkan anakanaknya, namun sekarang dia meratap bagaikan seorang
bocah yang mendambakan kasih sayang ibunya.
Tomizo tertawa getir. Sudah, berhentilah menangis! ...
ketika sebuah pikiran lain mendadak terlintas di benaknya,
dan dia pun melanjutkan, Mumpung air matamu belum
kering, sebaiknya kau juga meratapi kekasihmu itu ...

Yoshitomo. Kau mengira dia pergi ke timur dan akan


segera menjemputmu, namun dia sudah mati. Dia mati
pada 3 Januari, kau sudah tahu?
Tokiwa menatap pamannya tanpa bisa memercayai katakatanya; bibirnya ternganga dan seolah-olah membeku.
Itulah kebenarannya. Kau bisa mencari tahu sendiri
setibanya dirimu di ibu kota. Kepalanya digantungkan di
pohon yang berdiri di dekat Penjara Timur selama tujuh
hari. Tidak ada seorang pun di Kyoto yang belum
melihatnya.
Desahan penuh derita meluncur dari bibir Tokiwa,
Kalau begitu ...
Tokiwa!
Tapi, Yoshitomo ...
Sudahlah, Tokiwa, apakah yang merasukimu?
Tenangkan dirimu! Jangan memandangku seolah-olah kau
sudah gila seperti itu. Semua itu tidak ada hubungannya
denganku, kau mendengarku? Peranglah yang melakukan
itu kepadamu dan anak-anakmu, dan bukankah Yoshitomo
juga berperan dalam menyebabkan huru-hara itu?
Sudahlah, lupakanlah masa lalumu.
Tetapi, Tokiwa tidak mau mendengarkan pamannya;
duka yang mendalam telah mengaduk-aduk pikirannya, dan
dia meratap seolah-olah ingin menguras seluruh air
matanya. Hanya bayi dalam pelukannyalah yang berhasil
mengembalikan kesadarannya. Kesedihan ibunya membuat
Ushiwaka ketakutan, sehingga dia menangis mengibakan.
Keesokan harinya, berbekal tipuan dan bujuk rayu,
Tomizo berhasil menyuruh Tokiwa beserta ketiga anaknya
menaiki gerobak bobrok yang dibawanya, meninggalkan

Yomogi si pengasuh yang terisak-isak sedih di belakang


mereka. Tomizo mendecakkan
bibirnya dengan penuh nafsu ketika memikirkan hadiah
yang telah menantinya, lalu memecut sapinya dan bergegas
membawa mereka ke ibu kota.
Setibanya di ibu kota, mereka mendapati bahwa rumah
yang semula dihuni oleh ibu Tokiwa sekarang telah kosong,
tanpa sedikit pun harta benda berharga yang tersisa.
Nah, kita sebaiknya menginap di sini, kata Tomizo,
mengangkat Tokiwa dan anak-anaknya keluar dari gerobak,
lalu mengangkuti selimut, peralatan masak, dan harta
benda ala kadarnya yang mereka bawa ke dalam rumah.
Ini tidak akan cukup ... anak-anakmu menangis; kau pun
pasti lapar. Aku akan mencari makanan.
Setelah membeli bahan-bahan makanan di pasar,
Tomizo mulai memasak, lalu dengan galak menyuruh
Tokiwa dan anak-anaknya makan, seolah-olah mereka
adalah pengemis yang terpaksa dia urus. Ayo, habiskanlah
makanan kalian dan segeralah tidur, perintahnya dengan
gusar sambil memelototi Imawaka dan Otowaka. Tidak
lama kemudian, Tomizo pergi untuk menemui salah
seorang anteknya di kota.
Tokiwa sendiri saat ini telah mengendus kelicikan
pamannya. Tomizo berniat menyerahkannya kepada
Kiyomori untuk merebut hadiah yang telah dijanjikan. Dia
tidak melihat jalan keluar, karena melarikan diri dari
pamannya sama halnya dengan membahayakan nyawa
ibunya. Kabur bersama tiga orang bocah yang tidak berdaya
juga bukan sesuatu yang mudah. Di tengah
keputusasaannya, pikiran untuk bunuh diri setelah
membunuh anak-anaknya terus mendesaknya, namun surat

terakhir Yoshitomo untuknya senantiasa menghentikan


niatnya.
Adakah yang bisa dikatakan tentang pahitnya kekalahan?
Aku tidak bisa datang sendiri untuk mengucapkan selamat
tinggal kepadamu, karena aku telah pergi ... ke mana aku
akan pergi, aku tidak tahu. Pada suatu hari nanti, aku pasti
akan kembali kepadamu. Mengungsilah ke hutan, ke
perbukitan jika perlu. Jangan sampai bahaya mendatangi
anak-anakku tersayang, aku memohon kepadamu.
Walaupun jarak kita terpisah oleh ribuan gunung dan
sungai, ingatlah bahwa aku selamanya mencintaimu. Dan
kutegaskan kepadamu ... -jangan larut dalam keputusasaan.
Kata-kata itu terukir di dalam kenangan Tokiwa
bagaikan ayat-ayat suci di Kannon, dan setiap kali kematian
memanggil-manggil dan menggodanya, dia merapalkan isi
surat Yoshitomo kepada dirinya sendiri, seolah-olah berdoa
untuk menolak nestapa.
Tetapi, seluruh harapannya telah sirna; Yoshitomo telah
wafat, dan besok, Tokiwa yakin, akan menjadi hari
terakhirnya di muka bumi ini. Kemudian, dia sekonyongkonyong teringat bahwa dirinya belum berpamitan kepada
Nyonya Shimeko, yang telah menjadi pengayomnya selama
sembilan tahun. Maka, senja itu, menggendong bayi dan
menggandeng kedua anaknya, Tokiwa berjalan menuju
istana di Jalan Kesembilan, yang terletak cukup dekat dari
rumah ibunya. Dia sudah menghafal seluk beluk tempat itu,
sehingga dia langsung menghampiri Gerbang Barat, yang
dijaga oleh orang-orang yang dikenalnya. Setibanya dia di
ruang
dayang,
teman-teman
lamanya
langsung
mengerumuninya dan menghujaninya dengan pertanyaan
tentang di mana dirinya bersembunyi, lalu menangisi nasib
Tokiwa dan anak-anaknya.

Nyonya Shimeko segera memanggil Tokiwa dan


menyambutnya dengan air mata, mengatakan, Ah,
Tokiwa, menyedihkan sekali perubahanmu. Mengapa kau
tidak secepatnya mendatangiku?
Kelegaan dan kegembiraan meliputi istana Nyonya
Shimeko. Para penghuni tempat itu sempat mencemaskan
kemungkinan Kiyomori akan menuduh Nyonya Shimeko
telah menyembunyikan atau membantu pelarian Tokiwa.
Namun sekarang, teman-teman Tokiwa memuji-mujinya
karena sanggup bersembunyi begitu lama, dan kemudian
menangis karena dia kembali hanya untuk mengucapkan
selamat tinggal.
o0odwkzo0o
Aku Tomizo, pedagang sapi dari Mimata ... paman
Tokiwa, kata seorang pria yang tiba di Rokuhara
menjelang senja. Tokitada, adik ipar Kiyomori, begitu
mengetahui bahwa pria itu datang untuk menyampaikan
kabar tentang Tokiwa, memerintahkan agar dia dikurung di
pos penjaga.
Ini bukan lelucon, Tomizo memprotes si penjaga.
Aku sudah menempuh jarak yang sangat jauh untuk
mengatakan di mana kalian akan menemukan wanita yang
sedang kalian buru, dan aku menuntut hadiahku! Kalian
bahkan tidak berterima kasih kepadaku Apa maksud
kalian menjebloskanku ke dalam lubang ini?
Tokitada menjalankan perintah Kiyomori, yang gusar
karena banyak orang telah mendatangi Rokuhara untuk
menyampaikan keterangan tentang para buronan. Sebagian
besar dari mereka, didorong oleh ketamakan dan keinginan
untuk menjadi kaya, tidak segan-segan mengkhianati
mantan pengayom mereka ataupun orang-orang yang tidak
bersalah demi memuaskan hasrat mereka. Karena itulah

Kiyomori memerintahkan kepada Tokitada untuk


membuka mata orang-orang itu pada kelicikan mereka
sendiri sebelum mengusir mereka.
Malam itu, Tokitada menceritakan kejadian pada siang
harinya kepada Kiyomori. Dan sekarang, apakah
sebaiknya tindakanku selanjutnya?
Tindakanmu selanjutnya? ulang Kiyomori dengan
kesal sebelum terdiam. Pertanyaan itu mengingatkannya
pada betapa kasarnya perkataannya kepada ibu tirinya
mengenai nasib Yoritomo. Akhirnya, dia berkata, Suruh
Itogo melihat apakah Tokiwa benar-benar ada di sana
Kau hendak menyuruh Itogo untuk menangkap Tokiwa
dan membawanya dan anak-anaknya kemari?
Ya, dia hanya perlu membawa beberapa orang prajurit
untuk melakukan itu.
Tidak, tidak untuk seorang wanita dengan tiga orang
anak yang tidak berdaya.
Jika benar bahwa si paman ini menemukan Tokiwa
bersembunyi di Yamato dan membawanya kemari, maka
wanita itu harus menyerahkan diri demi keselamatan
ibunya.
Pamannya tidak mengatakan apa-apa tentang itu.
Tentu saja tidak. Bajingan itu memburu uang, dan
itulah alasannya melaporkan keberadaan Tokiwa. Dia
adalah perongrong rumah tangga Yoshitomo dan dia tentu
banyak berutang budi kepada keponakannya ... bajingan
yang tidak tahu berterima kasih! Pastikan agar dia
mendapatkan apa yang layak diterimanya.
Itu akan segera diurus.

Dan katakan kepada Itogo bahwa saat menangkap


Tokiwa, dia tidak boleh menyakiti anak-anaknya.
Aku akan memberitahunya.
Sejak saat ini, dia akan bertanggung jawab atas para
tahanan itu. Dia akan mendapatkan perintah dariku nanti,
setelah aku memiliki waktu untuk memikirkan langkah
selanjutnya.
Tokitada langsung beranjak untuk menyampaikan
perintah kepada Itogo, yang berangkat pada pagi buta
bersama beberapa orang prajurit ke rumah di Jalan
Keenam. Setibanya di sana, Itogo mendapati rumah itu
kosong; dari para tetangga, Itogo mendengar bahwa Tokiwa
telah pergi ke istana di Jalan Kesembilan. Untuk
menghindari keributan karena kehadiran prajurit bersenjata,
Itogo cepat-cepat melaporkan kedatangannya kepada
pengurus rumah tangga Istana, menjelaskan bahwa dia
dikirim dari Rokuhara untuk menahan Tokiwa. Si pengurus
rumah tangga meyakinkan Itogo bahwa mereka tidak
berupaya melindungi seorang buronan. Tokiwa sendiri,
katanya, sedang bersiap-siap untuk menyerahkan diri ke
Rokuhara.
Sementara Itogo dan para prajuritnya menunggu di pos
penjaga di salah satu gerbang dalam, Tokiwa
mempersiapkan diri untuk keberangkatannya. Dia telah
melalui malamnya bersama teman-teman yang menyayangi
dan menenangkannya, sehingga keberangkatan ini tidak
sepahit yang disangkanya. Dia bangun pada pagi buta
untuk mandi dan menata rambutnya. Dia membuka kotak
peralatan riasnya dan duduk di depan cermin. Dia terkejut
melihat kedamaian sosok yang balas menatapnya dari
dalam cermin. Bedak menempel mulus di kulitnya, dan dia
tampak gemerlap berkat sentuhan peralatan riasnya.

Putra sulung Tokiwa menatap bayangan ibunya dan


bertanya, Ke manakah Ibu akan pergi? Dia menari-nari
gembira ketika mendengar jawaban ibunya.
Ke tempat yang indah ... dan kau akan ikut
bersamaku.
Mengenakan kimono pemberian Nyonya Shimeko dan
dayang-dayangnya, Tokiwa menemui sang majikan,
membungkuk dalam-dalam, dan berkata:
Walaupun tidak berani berharap akan bisa kembali
kemari, saya tidak akan melupakan kebaikan Anda selama
bertahun-tahun ini ... begitu pula perhatian yang Anda
berikan kepada saya tadi malam.
Nyonya Shimeko hanya sanggup berbisik saat
membungkuk ke arah Tokiwa, Sebaiknya kau menyerah
kepada takdirmu, namun jangan pernah kehilangan
harapan. Aku akan memohon kepada ayahku untuk
berbicara kepada Tuan Kiyomori.
Sementara dayang-dayang, dengan berurai air mata,
menemani Imawaka dan Otowaka menyantap sarapan,
Tokiwa menyusui putra bungsunya untuk terakhir kalinya.
Di tempat lain, Itogo dan para prajuritnya mulai
kehabisan kesabaran, dan Tokiwa bisa mendengar mereka
menuntut agar dirinya segera berangkat. Nyonya Shimeko
cepat-cepat menyampaikan pesan melalui pengurus rumah
tangganya, meminta agar Tokiwa diizinkan menggunakan
keretanya. Mengenai hal ini, Itogo menjawab, Tidak
biasanya seorang tahanan diizinkan mengendarai kereta,
namun karena dia membawa anak-anak, saya akan
memperbolehkannya.
Sejenak kemudian, sebuah kereta wanita, dikawal oleh
beberapa orang prajurit berjalan kaki, berderak melewati

gerbang belakang, melewati jalan-jalan utama ibu kota


untuk menuju Rokuhara.
o0odwkzo0o

Bab XXVIII-SANG IBU


Kiiyomori tidur dengan gelisah malam itu. Sepertinya
tidak ada alasannya; jika didesak untuk mengungkapkan
alasannya, dia akan menjawab bahwa dia merasa tertekan
oleh tugas-tugas resminya ... berbagai pertemuan dengan
para pejabat, berbagai tugas dari Kaisar. Tetapi, walaupun
senantiasa siap siaga menjalani semua formalitas itu,
Kiyomori sesungguhnya berhati rapuh. Dia tidak
membutuhkan nasihat dari Ariko ataupun putranya untuk
menangani masalah Tokiwa dan anak-anaknya, karena
kabar mengenai penangkapan mereka telah merisaukannya,
lebih daripada yang mau diakuinya.
Sudahkah kau bertemu dengan mereka, Tokitada?
Kiyomori bertanya kepada Tokitada keesokan siangnya.
Ya, aku sudah menemui mereka. Semuanya sudah
dilaksanakan sesuai dengan perintahmu. Itogolah yang
sekarang bertanggung jawab, dan mereka ditahan dengan
penjagaan ketat Apakah mereka sepertinya merasa
nyaman? Bayinya tak henti-hentinya menangis, dan
Tokiwa sendiri tampak letih.
Tokiwa, yang kecantikannya pernah menjadi buah bibir
dan sumber kedengkian para wanita dari kalangan
bangsawan dan rakyat jelata.
Dia baru berumur dua puluh tiga tahun dan memiliki
tiga orang anak. Sulit untuk memercayai bahwa bermingguminggu pelarian dan kelaparan tidak berpengaruh pada

penampilannya.
Ada
kecantikannya sekarang.

kesan

mengibakan

dalam

Hmm?
Mengenai pengadilannya ... apakah kau ingin aku atau
Itogo yang menanyainya dan menunjukkan bukti-bukti
yang diperlukan?
Tidak, Kiyomori langsung menggeleng. Biar aku saja
yang melakukan pemeriksaan silang. Dia adalah janda
Yoshitomo dan berada di sini bersama ketiga putranya. Ini
adalah masalah yang harus kutangani sendiri.
Tokitada telah mendengar tentang dampak dari pendapat
Ariko mengenai kasus Yoritomo, dan menyimpulkan
bahwa Kiyomori ingin segera menyelesaikan masalah yang
menyangkut nasib Tokiwa sebelum ibu tirinya sekali lagi
turut campur.
Kapankah kau ingin menemui si tahanan?
Lebih cepat lebih baik ... sebelum petang.
Seorang tamu hadir tidak lama setelah Tokitada pergi.
Dia adalah seorang pejabat istana, Fujiwara Koremichi,
yang datang sebagai duta dari putrinya, Nyonya Shimeko.
Kiyomori menerimanya dengan penuh kesopanan.
Tentu saja saya tidak mencurigai Nyonya Shimeko.
Saya terkejut karena Anda sendirilah yang datang untuk
membicarakan masalah ini dengan saya. Sungguh sayang
bahwa tidak ada lebih banyak orang seperti Anda di Istana,
yang bisa memberikan nasihat kepada kami di masa seperti
ini.
Kiyomori diam-diam mengagumi Koremichi dan
menduga bahwa Koremichi memiliki perasaan yang sama
kepadanya. Ketika tiba waktunya bagi Koremichi untuk

pulang, Kiyomori telah menenggak lebih banyak sake


daripada biasanya, dan selagi suasana hatinya masih
bagus, Tokitada hadir kembali untuk mengatakan bahwa
Tokiwa telah siap ditanyai.
Kiyomori menyusuri sebuah lorong menuju sayap barat
Rokuhara. Beberapa perbaikan besar-besaran dan
penambahan sedang dilakukan pada bangunan itu, sehingga
dia melangkah dengan hati-hati menuju salah satu ruangan
di dekat halaman dalam dengan taman yang sedang
diperluas.
Di manakah mereka ditahan?
Di sana.
Di bawah ... sana?
Kiyomori menghampiri langkan dan melongok ke
bawah. Tokiwa duduk bersimpuh di atas sehelai tikar
jerami, menunduk dalam-dalam; di kedua sisinya, duduklah
anak-anaknya, menggenggam erat-erat lengan kimono ibu
mereka.
Itogo, berikanlah bantal duduk untuk wanita itu dan
anak-anaknya, Kiyomori memerintah sebelum duduk di
tengah ruangan itu. Itogo tampak bingung dan kikuk. Tidak
biasanya seorang tahanan diperlakukan dengan cara seperti
ini.
Kemari, bawa mereka ke atas sini, kata Kiyomori,
menyentakkan kepalanya ke arah lorong di luar ruangan.
Bukan hanya Itogo yang tampak terkejut; tidak
diragukan lagi, bagaimanapun, bahwa yang dimaksud oleh
Kiyomori adalah lorong di luar ruangan.
Di sini, Tuan?

Kiyomori mengangguk ketika Itogo meletakkan tiga


buah bantal di puncak tangga yang berpangkal di halaman
bawah. Tokitada mengisyaratkan kepada Tokiwa untuk
mendekat Wanita itu mendongak dengan tubuh gemetar
dan menarik anak-anaknya yang ketakutan. Itogo berbicara
kepadanya:
Naiklah seperti yang telah diperintahkan. Duduklah di
sini.
Tokiwa
berdiri,
menggendong
bayinya
dan
menggandeng tangan mungil Otowaka, lalu melangkah
maju dan perlahan-lahan menaiki
tangga, diikuti oleh Imawaka yang berpegangan erat
pada kimono ibunya.
Ketika Tokiwa mendekat, Kiyomori merasakan
jantungnya berdebar kencang ... dia gelisah. Jadi, inilah dia,
wanita yang kecantikannya tidak tertandingi dan namanya
pernah menjadi buah bibir semua orang!
Apakah kau bersedih, Tokiwa?
Tidak, air mata saya sudah kering. Saya memohon agar
Anda mengasihani ibu saya. Bebaskanlah beliau, saya
mohon, Tuan.
Hmm ... itu akan dilakukan, Kiyomori langsung
menjawab, lalu melanjutkan, Di manakah kau
bersembunyi selama ini? Apakah yang mendorongmu untuk
melarikan diri bersama anak-anakmu?
Saya bersembunyi di Yamato. Mengenai anak-anak
saya, saya hanya bisa mengatakan bahwa saya tidak
berbeda dengan ibu-ibu lainnya, yang secara naluriah
membutuhkan anak-anaknya.
Apakah yang membawamu kembali ke ibu kota?

Laporan mengenai ibu saya.


Pamanmu datang kemari, kau tahu.
Saya tidak tahu bahwa paman saya mendahului saya
kemari. Saya kembali ke ibu kota dengan niat untuk
menyerahkan diri kepada Anda.
Seperti yang sudah kuduga. Kau gila karena kembali ke
ibu kota.
Kiyomori terdiam dan menatap lekat-lekat sang ibu
muda dan anak-anaknya; kemudian, dia mendadak
bertanya, Apakah kau bisa menyusui bayimu?
Tokiwa memandang bayi dalam pelukannya, lalu
menjawab pertanyaan Kiyomori dengan gelengan tersamar.
Tidak bisa. Sudah kuduga, kata Kiyomori kepada
dirinya sendiri dengan tatapan galau. Para ibu memang
tolol. Mereka berpura-pura memiliki makanan padahal
tidak ada apa-apa; sedikit makanan yang ada mereka
berikan kepada suami dan anak-anak mereka, sementara
bayi mereka melolong meminta susu . Dan kau, yang
telah kabur ke wilayah perbukitan dan hutan ... bayimu
masih hidup karena mukjizat.
Tokiwa, kau tidak perlu takut. Ini adalah perang antara
Yoshitomo dan aku. Kau tidak bersalah.
Ya.
Sungguh sayang bahwa pria seperti Yoshitomo telah
salah mengambil langkah dengan berpihak kepada para
bangsawan muda yang bejat. Dia juga telah salah
menilaiku.
Tangis Tokiwa pecah, dan dia terisak-isak hebat.
Tuanku ... tuanku ... dia memohon.

Kiyomori memandang wajah yang terangkat ke arahnya,


lalu tatapannya tertuju pada bulu mata lentik yang sarat
oleh air mata, dan hatinya pun seketika tersengat oleh belas
kasihan.
Tokiwa, kau tidak perlu menangis seperti itu. Kau tidak
memiliki peran apa pun dalam pertikaian ini. Ibumu akan
dibebaskan karena kau telah menyerahkan diri kepada
kami. Hapuslah air matamu, lokiwa, karena kau juga akan
dibebaskan.
Tokiwa mendadak berhenti menangis, Tidak ... tidak,
saya tidak memohon kepada Anda untuk mengampuni
saya. Tetapi, ampunilah mereka, anak-anak saya!
Apa?
Ampunilah anak-anak saya, Tuan; biarkanlah saya mati
untuk menggantikan mereka!
Mendengar hal ini, amarah Kiyomori seketika meledak,
dan dia meraung:
Perempuan, berhati-hatilah dengan omonganmu! Kau
memiliki kebiasaan buruk yang ada di dalam diri setiap
wanita ... kau ingin mempermainkan kelembutan hatiku.
Kau memang bukan seorang Genji, tapi anak-anakmu
berbeda, karena darah Genji mengalir di tubuh mereka.
Aku tidak bisa mengampuni mereka!
Kiyomori, yang berdiri akibat kemarahannya, duduk
kembali. Tetapi, dia tetap menatap garang kepada sosok
yang menjura di hadapannya.
Jadi, kau sama saja dengan Genji Yoshitomo, salah
menilai diriku. Aku membenci kata belas kasihan*. Aku
memang tidak mengenal belas kasihan. Itogo! Tokitada!
Itogo dan Tokitada segera maju.

Bawa perempuan ini dan anak-anaknya. Pengadilan ini


selesai.
Tanpa menunggu para pengawalnya, Kiyomori bergegas
keluar dari ruangan itu dan mengurung diri di salah satu
bilik.
o0odwkzo0o
Tidak sampai dua minggu kemudian. Kiyomori
mengalah, seperti yang biasa dilakukannya kepada orangorang kecil atau keluarga dekatnya. Tidak tahan mendengar
permohonan ibu tirinya, dia memerintahkan agar hukuman
mati untuk Yoritomo ditangguhkan. Seorang kurir dikirim
ke rumah Shigemori untuk menyampaikan pesan bahwa
Kiyomori ingin berbicara dengannya.
Shigemori, aku telah memikirkan masalah ini.
Dan, apakah keputusan Ayah?
Setelah mendengarkan pendapat nenekmu. Shigemori,
aku memutuskan untuk mengampuni Yoritomo.
Lalu?
Dia akan diasingkan. Ke tempat yang sejauh dan
seterpencil mungkin.
Nenek akan bahagia mendengarnya, dan orang-orang
akan memuji Ayah sebagai seorang anak yang berbakti.
Tidak. Aku tidak melakukannya karena Itu, tetapi
karena aku sendiri adalah seorang ayah, dan aku tidak ingin
menghadirkan ajal kepada anak orang lain.
Ya, Shinzei adalah contoh seseorang yang telah dengan
keji membantai musuh-musuhnya. Dia harus menyaksikan
putra-putranya dibunuh, sebelum dirinya sendiri akhirnya
tewas dengan cara yang sama.

Tidak perlu menceramahiku. Aku tidak berpura-pura


menjadi manusia budiman. Manusiawi jika aku merasa iba
kepada seorang bocah seperti Yoritomo. Menghukum mati
dirinya saat ini juga bukan langkah yang bijaksana, dan aku
tidak ingin masyarakat membenciku. Pergilah dan
sampaikanlah keputusanku mengenai nasib Yoritomo ini
kepada nenekmu.
Ketika tanggal 13 Februari semakin dekat, perintah resmi
menyangkut nasib Yoritomo tidak kunjung turun.
Berlawanan dengan kebiasaannya, Kiyomori diam seribu
bahasa, dan tanggal tersebut berlalu begitu saja. Baru sekitar
sebulan kemudian, sebuah dekrit diturunkan, berisi perintah
untuk mengasingkan Yoritomo ke Izu, di wilayah timur
Jepang. Dia akan diberangkatkan pada tanggal 20 Maret
Beberapa hari kemudian, seluruh penduduk ibu kota
dikejutkan oleh kabar bahwa Kiyomori telah mengampuni
Tokiwa dan anak-anaknya. Beberapa di antara mereka
bahkan menghujat Kiyomori dan mempertanyakan
kebijakan yang melandasi keputusannya, dan kepada
mereka, Kiyomori mengatakan bahwa dirinya hanya
meneruskan perintah dari pihak yang lebih berwenang.
Kemudian, mulai beredar desas-desus bahwa alasan yang
dikemukakan oleh Kiyomori adalah omong kosong belaka,
karena terdapat laporan bahwa kereta Kiyomori terlihat
setiap malam di luar rumah tempat Tokiwa ditahan.
o0odwkzo0o

Bab XXIX-PENGASINGAN
Kegelapan masih menyelubungi kuntum-kuntum sakura
ketika sepasukan prajurit dan beberapa orang petugas
berkumpul di bawah pepohonan di sepanjang tembok

kediaman Ariko. Bunga sakura juga bermekaran bagaikan


gumpalan awan di pohon-pohon yang menjulang tinggi di
halaman. Seisi rumah sepertinya telah terjaga, karena
cahaya dari rumah menerobos tirai sakura dan
menunjukkan sosok-sosok yang bergerak ke sana kemari di
lorong-lorong rumah.
Nyenyakkah tidurmu semalam?
Pagi itu adalah 20 Maret, hari ke berangkatan Yoritomo
ke rumah pengasingannya di Izu.
Munekiyo bangun pada pagi buta dan datang untuk
membantu persiapan Yoritomo sebelum melakukan
perjalanan.
Ya, aku bisa tidur, namun aku sangat gembira dan
bersemangat sehingga aku terbangun pada pagi buta; dan,
ketika aku membuka kerai jendela, ternyata bulan masih
bersinar.
Itu berarti kau terbangun pada tengah malam. Kau
harus berhati-hati agar tidak tertidur di atas kudamu lagi.
Oh tidak, Munekiyo, tidak masalah jika itu terjadi lagi
kali ini.
Mengapa begitu?
Para pengawal akan memastikan agar aku tidak
tertinggal di belakang.
Munekiyo tertawa terbahak-bahak mendengar gurauan
Yoritomo; tingkahnya bagaikan seekor burung yang akan
dilepaskan dari sangkar, dan keceriaannya begitu menular
sehingga Munekiyo mau tidak mau merasa bahwa peristiwa
hari ini, yang ditandai dengan mekarnya bunga-bunga
sakura, patut dirayakan. Seorang pelayan muncul untuk
membantu Yoritomo mandi. Yoritomo segera kembali,

dengan wajah berseri-seri dan pipi merona bagaikan buah


yang ranum. Dia mengenakan kimono baru yang
dihadiahkan oleh Ariko.
Sebelum berangkat, aku ingin mengucapkan terima
kasih lagi kepada Nyonya Ariko dan berpamitan.
Ya, Nyonya Ariko juga sudah menunggumu. Aku akan
membawamu menemui beliau segera setelah kau
menghabiskan sarapanmu.
Yoritomo duduk dan menyantap sarapannya dengan
tenang.
Munekiyo, ini terakhir kalinya aku makan di sini,
bukan?
Ya, dan aku bersedih karenanya.
Aku pun sedih, Munekiyo, kata Yoritomo, menoleh
kepada penahannya, aku tidak akan pernah melupakan
kebaikanmu kepadaku.
Munekiyo terkekeh. Aku tidak melakukan apa pun ...
hanya menjalankan tugasku. Kau sebaiknya tidak berharap
akan menemui kebaikan di mana pun kau berada. Beri tahu
aku jika kau secara khusus menginginkan seseorang
menemanimu.
Tidak, tidak ada seorang pun yang terpikir olehku.
Mungkin ada, namun dia tidak akan berani datang kemari.
Benar juga. Nah, jika kau sudah siap, kita akan
menemui Nyonya Ariko.
Yoritomo dibawa keluar dari sebuah bilik mungil
tempatnya disekap selama seratus hari menuju kediaman
Ariko, sebuah rumah mungil yang ditata dan dihias
sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah kapel.
Yoritomo datang kemari pada malam sebelumnya untuk

makan malam bersama Ariko dan dihadiahi kimonokimono baru dan berbagai keperluan untuk perjalanannya.
Sebagai tambahan atas kepuasan karena telah menjalankan
perintah agamanya, Ariko terharu melihat kemiripan bocah
itu dengan almarhum putranya, sehingga ketika Yoritomo
berpamitan, dia menanyakan apakah masih ada sesuatu
yang bisa diberikannya. Yoritomo dengan malu-malu
menjawab, Saya ingin memiliki papan permainan dadu ...
sesuatu untuk dimainkan saat saya merasa kesepian di Izu.
Sayangnya, Ariko tidak bisa memenuhi permintaan
Yoritomo malam itu, namun dia mempersiapkan benda itu
keesokan harinya dan dengan gembira menantikan
kedatangan Yoritomo.
Nyonya, saya datang untuk berpamitan, kata
Yoritomo, membungkuk rendah-rendah di hadapan Ariko,
yang matanya tampak berkaca-kaca. Dan, setibanya saya
di Izu yang jauh, saya tidak akan pernah melupakan Anda
yang telah menyelamatkan nyawa saya. Saya akan berdoa
setiap pagi dan malam untuk kebahagiaan Anda, Nyonya.
Jadi, kau akan pergi sekarang. Aku tidak melakukan
apa pun untuk menyelamatkan nyawamu; semuanya adalah
berkat sang Buddha yang penuh rahmat . Ingatlah
petuahku kepadamu tadi malam, Yoritomo, bahwa kau
harus meninggalkan jalan pedang, mengabaikan panggilan
pertumpahan darah.
Baiklah.
Tidak peduli sebesar apa pun godaannya, berpalinglah
dari bisikan mereka yang tidak beriman . Pusatkanlah
kehidupanmu untuk mendoakan mendiang ibu dan
ayahmu.
Baiklah.

Ingatlah petuahku hingga kau dewasa. Jangan biarkan


seorang pun menyeretmu ke dalam rencana pembalasan
dendam karena aku tidak ingin kau dipenjara lagi. Dan,
jangan pernah lupa bahwa doaku selalu bersamamu.
Baiklah baiklah.
Kau anak baik . Ini papan permainan dadu yang
kujanjikan. Apakah kau senang?
Ariko mengeluarkan sebuah kotak hitam berhiaskan
emas yang indah.
Oh, kotak yang sangat
membukanya sekarang?

cantik!

Bolehkah

saya

Ariko tersenyum. Kurasa kau tidak punya waktu untuk


melakukan itu sekarang. Apakah dia punya waktu,
Munekiyo?
Saya rasa tidak. Peti-petimu sedang diangkut keluar,
dan sebaiknya aku menyatukan kotak itu dengan barangbarangmu yang lain agar tidak rusak.
Lebih baik begitu .Yang lebih penting bagimu saat ini
adalah menemui orang-orang yang baru saja meminta izin
kepadaku untuk mengucapkan selamat jalan kepadamu.
Mereka sedang menunggumu di ruang pelayan.
Oh, tamu untuk saya?
Yoritomo menarik napas dalam-dalam. Kesedihan
melandanya, dan kepedihan yang tidak bisa dijabarkannya;
dia tidak bisa menebak siapa yang sedang menantinya.
Oh!
Ketiga orang tamu Yoritomo menoleh kepadanya
dengan mata berkaca-kaca. Salah satunya adalah pamannya
dari pihak ibu, Sukenori, yang menolak untuk berpihak ke
mana pun ketika perang pecah; yang kedua adalah Genji

Moriyasu, yang tertahan oleh penyakitnya di sebuah


provinsi terpencil hingga perang berakhir. Tamu ketiga
Yoritomo adalah pengasuh tuanya, yang telah
mengasuhnya sejak dia masih bayi; wanita itu berlutut dan
menangis terisak-isak di hadapannya.
Tuan Muda, izinkanlah saya mengikat rambut Anda
untuk terakhir kalinya, kata wanita itu, seraya bangkit dan
berdiri di belakang Yoritomo. Sambil menyisiri rambut
Yoritomo, dia membungkuk cukup lama untuk berbisik,
Ini adalah saat yang
menyedihkan bagi Tuan, namun ini bukan perjumpaan
terakhir kita, karena pengasuh tua ini tidak akan gagal
menyusul Tuan ke Izu.
Kemudian, dua orang tamu lainnya mendekati Yoritomo
ketika si penjaga berpaling, dan berbicara dengan nada
rendah kepadanya, Para dewa telah menyelamatkanmu
dengan mukjizat mereka. Jangan biarkan seorang pun
membujukmu untuk mencukur rambutmu dan menjalani
penahbisan.
Maka, sementara si pengasuh menata rambutnya,
Yoritomo dengan tenang mendongak ke langit-langit,
berpura-pura tidak mendengarkan, namun dengan gerakan
tersamar di alisnya mengisyaratkan bahwa dia mengerti dan
mengiyakan.
Waktunya berangkat, seorang petugas memerintahkan
kepada Yoritomo untuk berdiri dari bangkunya dan
menunggangi kudanya. Si petugas memberikan aba-aba
kepada para pengawal, Bersiaplah ... kita akan segera
berangkat!
Kuda-kuda beban dikeluarkan ke jalan, sementara
sejumlah petugas rendahan mengatur kerumunan penonton
menggunakan tongkat bambu. Para pengawal yang akan

mengiringi Yoritomo segera berbaris di luar gerbang,


menggiring Yoritomo ke kudanya, dan berseru, Waktunya
berangkat! Ayo, cepadah!
Sejenak kemudian, tahanan muda itu keluar dari
gerbang, ditemani oleh para penghuni rumah Ariko.
Pemandangan ini berbeda dari yang biasa terlihat ... bukan
tahanan berpenampilan muram dan berurai air mata
melainkan seorang pemuda ceria berwajah berseri-seri yang
dengan lincah melompat ke pelana kudanya.
Selamat tinggal, seru Yoritomo, tersenyum dan
menolehkan kepala ke arah rumah.
Ariko dan putranya, Yorimori, termasuk di antara orangorang yang berkumpul untuk melepas kepergian Yoritomo.
Yoritomo, semoga kau selalu dilimpahi kesehatan!
Yoritomo, selamat jalan! seru mereka kepada bocah yang
pintar mengambil hati semua orang itu. Mata Yoritomo,
bagaimanapun, beralih kepada sosok yang berdiri di dekat
gerbang.
Munekiyo, selamat
menundukkan kepala.

tinggal,

ucapnya

sambil

Munekiyo segera menjawab, Selamat jalan, dan balas


membungkuk.
Iring-iringan itu bergerak dengan lambat, diiringi oleh
taburan bunga. Sesaat kemudian, yang tersisa dari
keramaian itu hanyalah jalan yang berselimut bunga putih.
Ketika mereka mulai mendaki Kuritaguchi, matahari
musim semi telah menggantung tinggi di langit. Atap-atap
bangunan yang berjajar di ibu kota dan wilayah pedesaan,
yang membentang dari Perbukitan Utara hingga Perbukitan
Timur, seolah-olah mengambang di laut bunga. Yoritomo
kerap menunduk untuk memandang Sungai Kamo.

Siapakah yang mengetahui apa yang berkecamuk di


benaknya saat dia mengingat hari berdarah ketika dia
bertempur di tepi sungai bersama ayah dan kakakkakaknya?
Kabar burung memancing kedatangan banyak orang ...
biksu, pria dan wanita, pengelana, anak-anak dan orangtua
mereka ... ke Otsu, yang terletak di pesisir Danau Biwa.
Semua orang itu ingin melihat keberangkatan Yoritomo.
Ketika Yoritomo akhirnya tiba dan menunggu arus pasang
untuk menyeberang ke sisi lain danau, pamannya dan Genji
Moriyasu, yang diizinkan untuk menemani Yoritomo
hingga sejauh ini, mengucapkan selamat jalan dengan
berurai air mata.
Tetapi, Yoritomo justru memandang mereka dengan
bingung. Lihatlah, aku tidak sedih. Aku tidak tahu
bagaimana seharusnya perasaan orang yang akan
diasingkan pada saat seperti ini, namun bagiku, ini adalah
peristiwa yang menggembirakan, sebuah hari perayaan.
Begitu seluruh rombongan menaiki perahu, Yoritomo
langsung mengeluarkan kotak yang dihadiahkan oleh
Nyonya Ariko kepadanya, dan mulai menata dadu-dadunya
di atas papan. Dia memanggil pengawal yang sedang
bertugas, Maukah kau menemaniku bermain?
Si
pengawal
menertawakannya.
Aku
harus
mengingatkanmu bahwa kau adalah tahanan dan aku
petugas. Kau harus mempelajari aturan untuk tahanan jika
tidak ingin terkena hukuman.
Apakah aku dilarang bermain?
Ini bukan perjalanan tamasya, dan aku akan sekali lagi
memperingatkanmu. Setibanya kau di Izu, kau tetap akan
diperlakukan sebagai tahanan dan dijaga dengan ketat.

Yoritomo mengernyitkan wajahnya dengan kesal. Ini,


simpan saja ini sampai aku tiba di penjara, perintahnya
kepada salah seorang pelayan, mendorong mainannya jauhjauh.
Si pengawai menggeleng dengan heran. Anak ini
sepertinya tidak menyadari siapa dirinya, gumamnya
sambil beringsut menjauh.
Dalam perjalanan panjang melintasi jalan raya Tokaido,
si pengawal dan rekan-rekannya semakin curiga bahwa
tahanan muda mereka adalah seorang pandir, karena
Yoritomo kerap berusaha memancing mereka untuk
mengobrol tentang taktik bermain dadu atau menghabiskan
waktu di atas punggung kudanya dengan bersiul-siul
menggunakan rumput.
Bertepatan dengan pengasingan Yoritomo ke Izu,
Penasihat Moronaka, Kepala Kepolisian Korekata, dan
Tsunemunt sang bangsawan juga diberangkatkan ke
pengasingan. Persekongkolan mereka untuk menggulingkan
Kiyomori ternyata justru semakin mengukuhkan
kekuasaannya.
Musim semi telah tiba, dan kehidupan di ibu kota
kembali berwarna; para penduduk dengan lega menghirup
udara yang sarat oleh kedamaian dan semerbak aroma
bunga. Tidak seperti biasanya, Kiyomori disibukkan oleh
tugas-tugas resmi. Kendati begitu, dia berhasil
menyelesaikan beberapa masalah sembari menunggu
keadaan kembali normal. Kasus Tokiwa dan anak-anaknya
telah diurus: Imawaka, putra sulungnya, dikirim ke sebuah
kuil di dekat Fushimi, di bagian selatan ibu kota, untuk
diasuh oleh kepala biara dengan perjanjian bahwa anak itu
akan menjadi biksu setelah cukup umur; seorang pendeta
berkedudukan tinggi di Kuil

Tennoji dipercaya untuk mengasuh Otowaka, yang juga


diarahkan untuk menjadi biksu; bertentangan dengan
permohonan sang ibu, si bungsu, Ushiwaka, diserahkan
bersama seorang ibu susuan kepada kepala biara di Gunung
Kurama, tempatnya akan menjalani penahbisan setelah
usianya cukup.
Ketika kabar tentang keputusan ini tersebar, semua orang
mulai bergunjing.
Nah, lihatlah akibatnya jika seorang wanita sudah
menebarkan pesonanya!
Itu tidak akan terjadi pada semua orang. Dibutuhkan
seorang wanita secantik Tokiwa untuk menggerakkan hati
Kiyomori.
Begitulah. Apakah yang akan terjadi jika Tokiwa buruk
rupa?
Kemungkinan
diampuni.

besar

anak-anaknya

tidak

akan

Seorang pejalan kaki berkomentar dengan kesal, Huh,


omong kosong!
Apa maksudmu? Kau juga senang mendengarnya!
Kalian ini bagaimana ... apakah kalian tidak menyadari
bahwa jika Tokiwa buruk rupa, maka dia tidak akan pernah
dijadikan dayang di Istana?
Tentu saja.
Tuan Yoshitomo tidak akan jatuh cinta kepadanya, dan
ketiga anak itu tidak akan lahir.
Seperti yang kukatakan, semua ini omong kosong. Apa
yang membuat kalian begitu curiga?

Heh, kalau begitu, katakanlah pendapatmu kepada


kami. Apakah menurutmu Tuan Kiyomori mengampuni
ketiga anak itu tanpa alasan sama sekali?
Dia tidak butuh alasan. Jangan lupakan bahwa dia
adalah penguasa Rokuhara. Untuk apa dia mendengar
ocehan orang lain atau mengambil risiko yang tidak
diperlukan? Untuk apa dia mempermalukan diri di depan
seorang janda dengan tiga anak, jika dunia ini dipenuhi oleh
wanita cantik?
Ah, tidak, hanya ada seorang Tokiwa di seluruh
Kyoto.
Si pejalan kaki tergelak. Ho, ho! Jadi, begitulah cara
berpikir kalian, tapi kalian tidak tahu apa-apa tentang
perasaan seorang pria berumur empat puluhan ... betapa dia
merasa berkuasa ... ketika memandang taklukannya.
Ini adalah topik pergunjingan di seluruh ibu kota ...
rakyat jelata, para pejabat istana dan istri mereka, bahkan
para cendekiawan di kompleks kuil dan para biksuni di
asrama mereka; di Rokuhara sekalipun terdengar bisikanbisikan tentang Kiyomori yang telah dengan teguh membela
Tokiwa.
o0odwkzo0o
Beberapa tambahan bangunan di kediaman Kiyomori
telah rampung dibangun ... lengkap dengan taman
tertutupnya.
Hidung Merah, ini bagus sekali! Rumpun mawar ini
sangat menghiburku.
Saya sudah menduganya. Saya rasa taman di tepi
sungai milik Menteri Golongan Kiri pun tidak akan bisa
menandingi keindahan taman ini.

Kebanggaanmu akan semua ini cukup berlebihan,


bukan, Bamboku? Kiyomori menggodanya.
Tanaman di taman ini dan bangunan ini bisa disebut
sebagai milik saya.
Kiyomori tergelak. Baiklah,
menyombong hari Ini.

Hidung,

kau

boleh

Tetapi, jika ternyata semua ini tidak membanggakan,


dan Anda kecewa, betapa suramnya hari ini bagi saya!
Baiklah, baiklah, Hidung,
melupakan semua masalahku.

rayuanmu

membuatku

Kiyomori sedang menemui si saudagar di salah satu


ruangan baru yang berhadapan dengan rumpun mawar.
Kiyomori tahu bahwa Bamboku memiliki cara misterius
dalam menebak pikiran seseorang. Pria yang licik.
Kiyomori pada awalnya mewaspadainya, namun Tokiko
sangat menghormatinya sehingga Kiyomori terbujuk untuk
menerimanya, dan akhirnya lebih banyak berurusan dengan
Bamboku daripada Tokiko. Dia bahkan cukup menyukai
Hidung Merah, kejenakaannya ... sosoknya yang menonjol
dan culas, yang berbeda dari dirinya. Itu telah dibuktikan
oleh Bamboku dalam perundingan antara Kiyomori dan
para pelaku persekongkolan yang menyebabkan intrik
terbaru di Istana.
Bamboku layak untuk dijadikan sekutu, Kiyomori
memutuskan, sehingga dia mulai menjalin hubungan baik
dengan si saudagar. Ketika suasana hatinya sedang buruk
atau ketika dia sedang membutuhkan teman untuk
menghilangkan kejenuhan, yang harus dilakukannya
hanyalah memanggil Hidung, sama seperti orang-orang
yang menggunakan ramuan wangi untuk memicu semangat
mereka. Sekaranglah contohnya; Hidung sudah menenggak

bercangkir-cangkir sake, dan rona merah di hidungnya telah


menyebar ke seluruh wajahnya.
Oh, masalah, ya? Dan Anda ingin melupakannya?
Mengapa kau mempertanyakannya?
Tuanku, sulit bagi saya untuk percaya bahwa Anda
punya masalah.
Otak udang!
manusia?

Memangnya

kaupikir

aku

bukan

Baiklah ... bukankah Anda pernah mengatakan kepada


saya bahwa Anda adalah putra langit dan bumi ... putra
alam?
Itu hanya kiasan.
Betapa bodohnya saya, sungguh ... saya tidak melihat
apa pun yang berarti masalah bagi Anda.
Benarkah?
Semuanya tampak wajar dan cukup bisa dipahami. Lagi
pula, musim semi telah tiba. Bukankah itu saja sudah
menjadi cukup alasan untuk bergembira. Tuan?
Semacam itu, Kiyomori menjawab sambil tertawa
renyah.
Sejujurnya, Tuan, saya agak kecewa dengan Anda kali
ini. Saya telah salah menilai Anda. Tentang apa?
Kecengengan Anda, Hidung berseloroh, lalu
melanjutkan,
Benar-benar
pemandangan
hebat!
Kecengengan macam apakah ini? Saya tidak percaya bahwa
Anda, jenderal perang yang tidak punya tandingan! Sang
kesatria, sang pahlawan! Beranikah Anda menyebut diri
Anda sebagai manusia jika Anda seloyo itu?

Di bawah pengaruh sake, Bamboku kerap berbicara


dengan gamblang; hanya Hidung yang berani mengejek
Kiyomori dengan cara seperti itu. Sendirian seperti itulah
yang dibutuhkan oleh Kiyomori, yang membuatnya
semakin menyukai si saudagar.
Hidunglah yang pertama kali mendengar tentang
kunjungan Kiyomori kepada Tokiwa ... yang sekarang
sudah menjadi rahasia umum ... dan sekarang turut
menyertainya. Hidung juga selalu membisikkan gosip-gosip
terbaru yang didengarnya ke telinga Kiyomori: Tokiwa
yang malang, dia menyerahkan dirinya kepada penguasa
Rokuhara demi anak-anaknya! Dan sekarang, Kiyomori
tergila-gila kepadanya. Sungguh memalukan si Tokiwa,
takluk begitu saja pada pria berotak mesum itu! Itulah
desas-desus yang beredar di masyarakat, yang telah
dibumbui oleh siapa pun yang menyebarkannya. Tetapi,
Hidung tahu bahwa asap tidak akan ada tanpa api;
walaupun ada sekelumit kebenaran di dalam kabar burung
yang beredar, sisanya murni omong kosong. Kiyomori,
bagaimanapun, membenci omong kosong itu.
Saya terganggu oleh semua ini ... sangat
menjengkelkan. Semua desas-desus itu ... dan Anda yang
cengeng!
Sudahlah, Hidung Merah, berhentilah mengejekku.
Posisiku memang menyulitkan, kau tahu.
Anda masih bimbang, ya? Bukankah Anda sudah
mengambil keputusan tadi malam?
Mengambil keputusan?
Nah, tepat ketika kita tiba di inti permasalahannya.
Anda justru menghindar. Apakah yang membuat Anda
ragu-ragu untuk mengatakan kepada saya tentang

keputusan
gundik?

Anda

untuk

menjadikan

Tokiwa

sebagai

o0odwkzo0o

Bab XXX-SAKURA
Tokiwa duduk di dekat jendela kamarnya, bergeming,
memandang bulan musim semi yang berselaput awan.
Bagaimanakah kabar Imawaka, pikirnya. Sudahkah
Otowaka betah tinggal bersama orang-orang asing? Apakah
dia tumbuh dengan sehat ... Ushiwaka, yang direbut dari
pelukannya dan dilarikan ke Gunung Kurama? Seseorang
pernah berkata kepadanya, Seorang anak akan tetap bisa
tumbuh sehat tanpa ibunya.
Seandainya saja itu benar, doanya. Dia membenci
berbagai macam petuah yang dimaksudkan untuk
menghiburnya, dan yang diketahuinya sebagai kebenaran
walaupun pahit. Untuk apakah dia hidup setelah anakanaknya direnggut dari dirinya? Apakah makna dirinya
yang mengenaskan ini? Yang juga hampir tidak tertahankan
olehnya adalah kenyataan bahwa setelah Ushiwaka diambil
darinya, payudaranya kembali bengkak berisi susu dan
semakin nyeri; demam menyebar dari dadanya ke sekujur
tubuhnya, sehingga dia terbaring sakit selama berhari-hari.
Penjaganya akhirnya memanggil seorang tabib karena tidak
ingin dianggap mengabaikan tahanannya oleh Kiyomori.
Para pelayan lalu lalang di dekat Tokiwa, namun dia
menjauh dari mereka karena takut dan malu; dia
mengetahui apa yang ada di dalam pikiran mereka, karena
seorang wanita tua, yang ditugaskan secara khusus untuk
melayaninya, pernah berbisik kepadanya, Nyonya, semua
orang memuji-muji Anda atas apa yang telah Anda
lakukan. Kemuliaan bukanlah milik wanita yang senantiasa

menjaga kesuciannya saja. Orang-orang mengidolakan


Anda sebagai ibu berbudi luhur yang rela mengorbankan
dirinya demi buah hatinya.
Beberapa saat kemudian, istri si penjaga pun secara
diam-diam menghampiri pembaringan Tokiwa untuk
mengatakan, Tak terhitung lagi banyaknya wanita ibu kota
yang berambisi merebut perhatian Tuan Kiyomori dengan
habis-habisan menonjolkan diri mereka. Kau sepertinya
tidak menyadari betapa beruntungnya dirimu. Kau pasti
dilahirkan di bawah bintang keberuntungan. Sudahlah,
berhentilah merengek dan berdandanlah, karena aku tahu
bahwa kau masih muda. Sebagai seorang wanita, masa
depan terbentang di hadapanmu, dan jika Tuan Kiyomori
menyukaimu, maka semuanya akan menjadi milikmu.
Tokiwa sangat malu mendengarnya, sehingga dia
membenamkan wajah merah padamnya ke lipatan-lipatan
kimononya.
o0odwkzo0o
Tokiwa bisa merasakan bahwa seseorang sedang berdiri
di belakangnya, namun rasa takut mencegahnya untuk
menoleh.
Tokiwa, apakah yang sedang kaulihat?
Kiyomori yang berbicara, dan walaupun mengenali
suaranya, Tokiwa menjawab tanpa menggerakkan
tubuhnya, Saya sedang melihat bunga sakura.
Ruangan itu temaram berkat cahaya rembulan. Kiyomori
akhirnya duduk, namun tidak mengatakan apa-apa, dan
Tokiwa tetap duduk di dekat jendela. Beruntung bagi
Tokiwa karena lentera di kamarnya telah dipadamkan
sehingga dia tidak perlu menjauh dari Kiyomori untuk
menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air mata.

Tidak lama setelah Tokiwa mendengar tentang nasib


anak-anaknya, Kiyomori kerap mengunjunginya. Tokiwa
tidak memiliki alasan untuk melarangnya datang, dan dia
berusaha untuk tidak mengatakan apa pun yang bisa
menyakiti hatinya, karena dia sesungguhnya sangat
berterima kasih atas kebaikan Kiyomori. Seiring waktu,
Tokiwa tidak lagi membenci Kiyomori; tetapi, walaupun
menanti-nantikan kedatangan Kiyomori, dia merasa jijik
terhadap ketidaksetiaannya sendiri.
Oh, angin mengacak-acak kertas-kertasmu!
Kiyomori meraih selembar kertas yang terbang ke bawah
salah satu jendela. Dia meliriknya sekilas di bawah sinar
bulan dan hendak meletakkannya kembali di meja tulis,
ketika Tokiwa mendadak menyadari apa yang terjadi.
Itu ... itu ... serunya, terkejut. Dia tampak
kebingungan selama beberapa waktu, sebelum mengulurkan
tangan untuk meminta kembali kertas tersebut.
Apa kau keberatan kalau aku membacanya?
Tidak ... tidak juga.
Ini bukan tulisanmu. Siapakah yang mengirimkan surat
ini kepadamu?
Seorang pria, rupanya.
Tokiwa tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak bisa
mengatakan bahwa puisi yang ada di sana ditulis olehnya
sendiri, karena lipatan-lipatan yang ada menunjukkan
bahwa lembaran kertas itu adalah sebuah surat; dari tulisan
tangannya pun bisa dipastikan bahwa pembuatnya adalah
seorang pria.
Ini, seperti yang Anda katakan ... adalah sebuah surat
Seorang biksu aneh yang berkeliaran di jalan

menyerahkannya kepada Yomogi untuk diserahkan kepada


saya, lalu dia pergi begitu saja.
Siapakah Yomogi?
Yomogi adalah pengasuh anak-anak saya. Saya
meninggalkannya di Yamato, tempat persembunyian kami,
namun dia menyusul kami.
dan entah bagaimana berhasil menemukan kami.
Katanya, dia bertemu dengan si biksu dalam perjalanannya
kemari, dan biksu itulah yang memberikan surat ini
kepadanya.
Berarti, kau mengenal biksu itu, bukan? Jika tidak,
bagaimana mungkin dia tahu bahwa gadis itu adalah
pengasuh anak-anakmu?
Saya tidak terlalu mengenalnya, karena dia adalah
seorang biksu yang hidup layaknya pengemis di reruntuhan
Istana Mata Air Dedalu setelah Perang Hogen berakhir.
Siapa namanya?
Mongaku, saya yakin.
Kiyomori mengamati surat itu sekali lagi. Tidak
diragukan lagi, sebuah tanda tangan tertera di sana ...
Mongaku. Tulisan tangannya besar dan tebal.
Mongaku. Kapankah terakhir kalinya Kiyomori
berjumpa dengannya ... Morito dari Kesatuan Pengawal
Kekaisaran? Sesekali, Kiyomori pernah mendengar
kabarnya. Shinzei pernah bercerita kepadanya tentang
kekacauan yang ditimbulkan oleh Mongaku di
kediamannya. Ini adalah biksu pengelana yang sama,
Mongaku ... yang berkeliaran ke sana kemari di ibu kota,
tidur di alam terbuka, tanpa memiliki tempat tinggal tetap.
Kiyomori mengenang teman sekolahnya itu dengan rasa iba

yang mendalam. Mengingat Mongaku mau tidak mau juga


membuatnya teringat kepada Kesa-Gozen dan kisah asmara
tragis yang telah menghancurkan sebuah masa depan
cemerlang, semuanya hanya demi mendapatkan cinta
seorang wanita. Orang-orang menganggap Morito bodoh
ketika itu, namun baru sekaranglah Kiyomori menyadari
bahwa dirinya tidak lebih baik daripada Morito. Apakah
yang akan dikatakan oleh Mongaku kepadanya sekarang? ...
Apakah perbedaan kebodohanku ketika aku berumur dua
puluhan dengan kebodohanmu saat ini, ketika kau sudah
berumur empat puluhan? Yang manakah yang lebih buruk?
Siapakah yang lebih hina? Kau melakukan tindakan yang
benar dengan mengampuni anak-anak Tokiwa, namun
apakah alasanmu untuk mengunjungi Tokiwa?
Tidak perlu dipertanyakan lagi, dia memang
memuakkan, secengeng yang dituduhkan oleh Hidung.
Berbeda dengan Mongaku, Kiyomori tidak memiliki tujuan
hidup yang jelas, gairah. Ini jelas terlihat di dalam
hubungan gelapnya dengan Tokiwa. Betapa dia bernafsu
untuk memiliki Tokiwa dan berpura-pura menjadi seorang
pria terhormat di matanya!
Mongaku, itulah panggilannya sekarang, pernah
tergabung dalam Kesatuan Pengawal. Kami teman sekelas
di akademi . Menurutmu, apakah alasannya
mengirimkan puisi ini kepadamu?
Apakah yang mendorongnya memburu penjelasan ini,
pikir Kiyomori dengan bimbang, seraya melanjutkan,
Apakah yang ingin dikatakannya kepadamu? ... Jalan tak
berujung yang membelah padang gersang berselimut kabut
...
Entahlah.
Mongaku.

Saya

tidak

pernah

berjumpa

dengan

Hmm aku yakin dia memahami maksudnya.


Apakah yang ingin dikatakannya?
Genji telah kalah. Benih-benih Yoshitomo telah tersebar
di seluruh dunia yang keji, namun akan ada akhir dari
semua ini, dan Genji akan kembali berjaya. Puisi ini
dimaksudkan untuk menguatkan dirimu.
Oh, sungguh menakutkan maknanya!
Tidak perlu heran. Ada banyak orang yang merasa
seperti Mongaku. Dia yakin bahwa aku adalah penerus
Shinzei dan memandang rendah diriku.
Tidak, tidak. Tuan, Anda salah. Saya menemukan
makna lain dari puisi itu.
Apakah itu?
Padang gersang berselimut kabut adalah hati saya. Dia
membicarakan tentang kesedihan wanita. Dia menasihati
saya untuk bersikap lebih tegar.
Kau boleh saja mengartikannya begitu jika mau.
Saya senang menerima puisi ini. Saya sudah
membacanya berulang kali sepanjang hari. Karenanyalah
saya memutuskan untuk
melanjutkan kehidupan saya, untuk terus melangkah
melewati jalan yang membelah padang gersang berselimut
kabut itu.
Apakah kau kadang-kadang masih berpikir untuk
mengakhiri kehidupanmu sendiri?
Ya, ketika kesepian terlampau berat untuk saya
tanggung, gemerisik sakura sekalipun terdengar bagaikan
undangan untuk mati.

Apakah itu disebabkan oleh kerinduanmu kepada anakanakmu?


Lancang jika saya mengatakannya ... kepada Anda,
penyelamat mereka. Saya hanya bisa pasrah.
Apakah kau masih berduka atas kematian Yoshitomo?
Ah, sungguh kejam kata-kata Anda! Tokiwa menjerit,
menatap Kiyomori dengan mata berkaca-kaca.
Tokiwa!
Kiyomori merengkuh Tokiwa ke dalam pelukannya.
Malam inilah pertama kalinya Kiyomori merasakan
gemulai tubuh Tokiwa. Api gairah menggelora di dalam
dirinya, mendorongnya untuk dengan liar menciumi bibir
Tokiwa. Terkejut akibat gairah yang terlepas dari
kendalinya, Tokiwa meronta-ronta untuk melepaskan diri,
namun Kiyomori tidak mendengar tangisannya.
o0odwkzo0o
Tokiwa terbaring lemas, meringkuk di antara lipatanlipatan kimono sutranya, terisak-isak lirih. Dia tidak sekali
pun
mendongak
ketika
Kiyomori
bangkit
dan
meninggalkannya. Kelopak-kelopak bunga putih tertiup
angin memasuki jendelanya dan berjatuhan di rambut dan
kimononya, dan dia tetap menghabiskan malam musim
semi itu dengan tetesan air mata.
o0odwkzo0o
Sesosok pria mengendap-endap melewati jalan masuk
dan menuruni tangga di tengah kegelapan.
Bagaimanakah hasilnya. Tuan? bisik Bamboku, yang
segera menghampiri Kiyomori.
Tuanku, berhasilkah Anda? Anda sudah bersumpah
bahwa malam ini Anda akan ...

Kiyomori membungkam Bamboku dengan tatapan


garangnya. Hidung belum pernah melihatnya seperti ini.
Sesuatu yang luar biasa tentu telah terjadi. Selama beberapa
waktu, Hidung berjalan di samping Kiyomori tanpa
mengatakan apa pun, kemudian dia tiba-tiba terkekeh.
Kiyomori memelototinya, namun dia justru tertawa
terbahak-bahak.
Tuan, Anda barangkali bisa menipu orang lain, namun
Anda tidak mungkin membodohi saya. Saya sudah
berpengalaman dalam permainan ini.
Kiyomori melontarkan senyum lebar kepadanya di
tengah kegelapan. Hentikanlah ceracaumu itu, kau
menggangguku.
Tapi, bukankah saya sudah menemani Anda di
sepanjang kisah asmara ini, dan bukankah saya
menghayatinya seolah-olah saya sendiri yang sedang
menjalaninya? Anda setidaknya bisa menceritakan kepada
seorang teman apakah Anda berhasil atau tidak. Saya rasa
itu tidak ada salahnya.
Berisik sekali kau ini! Omonganmu itu cukup untuk
menenggelamkan kelembutan apa pun yang mungkin
kumiliki. Menjauhlah dariku. Dan diamlah!
Hidung mencuri pandang dengan penasaran ke wajah
Kiyomori dan menghela napas panjang. Dia sudah
mendengar cukup banyak untuk mengetahui apa yang
terjadi. Dia juga bisa mengendus samar-samar semerbak
minyak wangi.
Hoi-i-i ... ! Hidung tiba-tiba berseru ke arah rumpun
pinus di kaki bukit tempat beberapa orang samurai menjaga
kereta Kiyomori di tengah kegelapan. Beberapa orang
prajurit dan si penarik sapi membawa kendaraan tersebut ke
jalan.

Suara Hidung sekalipun tidak cukup untuk menggugah


Kiyomori. Dia seolah-olah tenggelam di dalam mimpi,
hanyut di dunia lain bersama Tokiwa di sisinya, sehingga
kenyataan pun tidak sanggup untuk sepenuhnya
menyingkirkan bayangan itu.
Tidak perlu buru-buru. Biar saja sapi itu berjalan
santai, Kiyomori memerintah dari balik tirai yang tertutup.
Dia berniat untuk sepenuhnya menikmati sensasi berkereta
menembus pagi buta pada musim semi sembari mengingatingat malam indahnya. Apakah Tokiwa membencinya,
pikirnya. Bagaimanakah Tokiwa akan menyapanya saat
mereka bertemu lagi? Dia sudah kenyang akan kekerasan.
Dia sudah melihat banyak hal selama dua perang terakhir.
Dia telah menyaksikan kepala Yoshitomo digantungkan di
gerbang penjara dan beratus-ratus pemenggalan .
Kehidupan atau ke matian Tokiwa ada di tangannya,
namun dia tidak berniat untuk memperlakukannya dengan
kasar. Tokiwa menyerahkan diri kepadanya dengan cara
yang wajar, bagaikan sekuntum bunga yang mekar dengan
lembut, seperti yang semestinya. Kiyomori hanya
memberikan cinta yang dibutuhkan oleh Tokiwa tanpa
sedikit pun memaksanya. Dia tetap akan mencintai Tokiwa
seandainya Yoshitomo masih hidup .
Pikiran semacam itu berpusar di benak Kiyomori ...
membebaskannya dari beban, meringankan hatinya, dan
membenarkan tindakannya malam itu. Dia tidak bisa
menyangkal tuduhan Hidung Merah kepadanya; dia
pengecut karena jika tidak, mengapa dia merisaukan
Yoshitomo pada saat ini?
Ketika kereta Kiyomori melewati jalan yang diapit
pepohonan pinus ke arah barat salah seorang prajurit yang
berjalan di belakangnya memekik kesakitan dan jatuh

bergedebuk ke tanah. Para prajurit lainnya berseru-seru, dan


sebuah teriakan nyaring terdengar, Di sini, bajingan!
Keributan perkelahian terdengar ketika Kiyomori bangkit
dari bangkunya dan menyibakkan tirai seraya berseru,
Hoi, kalian, apa yang terjadi?
Kiyomori melongok ke luar ketika keretanya mendadak
berhenti, dan sesosok pria bersenjata menatapnya dengan
mata nyalang, mengacungkan pedang.
Heik6 Kiyomori* sudah lupakah kau kepadaku? ...
Genji Yoshihira, putra Yoshitomo?
Yoshihira beberapa kali berusaha meraih lengan kimono
Kiyomori dari balik tirai, ketika sapi penarik kereta
mendadak berlari kencang gara-gara pedang Yoshihira
menggores pantatnya.
Tunggu, Yoshihira!
Yoshihira berusaha bangkit dan mengejar kereta itu,
namun ujung-ujung tombak telah teracung ke arahnya dari
segala penjuru.
Hidung Merah, yang semula terpaku, berlari dari tempat
persembunyiannya di balik pepohonan dan menjerit-jerit
Putra Yoshitomo ... Genji Yoshihira! Dia berlari menuju
pangkalan prajurit berjalan kaki Rokuhara, berseru-seru di
sepanjang jalan, Tolong, ada rampok! Tolong, ada
pembunuh!
Para prajurit dengan berbagai senjata segera mendatangi
arah yang ditunjukkan oleh Hidung Merah.
Di persimpangan! Bunyikan
bunyikan lonceng peringatan!

lonceng

peringatan,

Sepasukan prajurit tiba di persimpangan jalan untuk


memeriksa keadaan. Mereka hanya bisa saling bertukar
tatapan bingung karena tidak ada apa pun di sana.
Siapa orang pandir
menyuruh kita ke sini?

yang

membangunkan

dan

Tetapi, mereka segera menemukan sebuah tombak


tergeletak di jalan; lebih jauh lagi, mereka melihat seseorang
tergeletak kesakitan, mengerang-erang, dan beberapa
langkah dari sana, sesosok tubuh terbaring diam. Keributan
pun terjadi; para pelayan dikirim ke luar untuk menyelidiki
apa yang terjadi, dan pelana-pelana segera dipasang.
Hidung semakin gelisah. Apakah dia telah mengambil
langkah gegabah karena terburu-buru mencari pertolongan?
Kereta
Kiyomori tidak terlihat lagi. Apakah Kiyomori selamat?
Mustahil jika
Kiyomori ternyata sudah tiba kembali di rumahnya.
o0odwkzo0o
Sapi kesakitan itu berlari menyeret kereta, dan baru
berhenti setelah tiba di depan sebuah tembok.
Di manakah kita? Kiyomori berseru.
Pengawal Kiyomori dan si penarik sapi akhirnya
muncul, terengah-engah:
Kediaman Tuan Hitachi, Tuan!
Ketuk gerbangnya!
Nada panik di dalam suara Kiyomori mendorong para
pengawalnya untuk menggedor-gedor gerbang. Penjaga
gerbang segera membukakan pintu untuk mereka dan
terheran-heran ketika si Kiyomori memerintahkan agar

keretanya cepat-cepat dimasukkan ke halaman tanpa


memberikan penjelasan apa pun. Seorang pelayan muncul
dan, ketika mendengar bahwa tamu yang datang adalah
tuan rumah Rokuhara, segera berlari untuk memberi tahu
majikannya.
Norimori, adik Kiyomori, langsung keluar. Ada apa ini
... sepagi ini pula? tanyanya dengan kesal kepada
Kiyomori.
Aku tadi berkunjung ke rumah Itogo dan mendapat
serangan dari pengikut Yoshitomo ketika sedang dalam
perjalanan pulang.
Pengikut Yoshitomo? Berapa jumlahnya?
Sebenarnya, hanya seorang.
Hanya seorang?
Hmm Kiyomori menggumam dengan malu
sebelum mulai bercerita tentang peristiwa yang baru saja
dialaminya. Dia tidak pernah merasa sepanik itu. Seorang
diri, Yoshihira berhasil membuatnya ketakutan setengah
mati dan terguncang. Apakah yang menyebabkan kengerian
luar biasa ini, pikir Kiyomori, mengorek-ngorek pikirannya.
Kepala Yoshitomo, seperti yang dilihatnya menggantung di
gerbang Penjara Timur, tak henti-hentinya berkelebatan di
benaknya dalam perjalanannya pulang, dan begitu dia
mendengar jeritan putra Yoshitomo, bayangan
menyeramkan
itu
terwujud
pada
wajah
yang
memelototinya dari balik tirai keretanya. Seketika itu,
Kiyomori percaya bahwa yang dilihatnya adalah hantu
Yoshitomo yang hendak membalas dendam kepadanya.
Masih ada penjelasan mengenai peristiwa menegangkan itu:
dia baru saja menyelesaikan kunjungannya kepada Tokiwa
dengan kebanggaan atas penaklukannya, namun di lubuk

hatinya yang terdalam, terdapat rasa bersalah yang


menghadirkan arwah Yoshitomo .
Norimori mempersilakan
menanyainya dengan curiga.

kakaknya

masuk

dan

Mengapa kau ketakutan gara-gara Yoshihira seorang?


Bukankah kau membawa cukup banyak pengawal?
tanyanya.
Pasti ada yang salah denganku, Kiyomori mengakui.
Apa kau baru saja minum?
Tidak, tidak setetes pun.
Dari manakah dirimu?
Dari rumah Itogo.
Dari rumah Itogo? Tapi, Itogo pergi malam ini.
Karena
itulah
menyerangku.

aku

pulang,

dan

Yoshihira

Oh ... ? jawab Norimori, namun ekspresi mengejek di


matanya menambahkan, kau pasti berbohong. Aku sudah
tahu tentang kunjungan-kunjungan kepada Tokiwa.
Sementara itu, Hidung, yang akhirnya berhasil melacak
keberadaan Kiyomori, tiba di rumah Norimori.
Segera setelah Hidung datang, Kiyomori bangkit untuk
menyambut dan menanyainya dengan cemas, Bagaimana
nasib bajingan itu?
Dia melarikan diri, jawab Hidung. Begitu mendengar
kabar ini, Kiyomori buru-buru bersiap-siap dan mengatakan
bahwa dia akan menggunakan keretanya lagi. Bamboku
langsung keluar untuk memastikan bahwa kereta Kiyomori
telah siap digunakan. Norimori memandang Bamboku
dengan jijik. Dia tidak pernah memercayai

Bamboku, dan sebagai tindakan pencegahan, dia


memerintahkan sepuluh orang pelayannya untuk menyertai
Kiyomori.
Keesokan harinya, Kiyomori bangun lebih siang
daripada biasanya; sementara dia mengenakan kimono
resminya dan bersiap-siap untuk berangkat ke Istana,
dayang istrinya muncul untuk mengatakan, Nyonya
berharap bisa menikmati sarapan bersama Anda dan sedang
menunggu Anda, Tuan.
Kiyomori terkejut Sarapan? ... Biasanya hanya pada
malam hari ... Apa yang dikehendakinya dariku sepagi
ini? jawab Kiyomori, mempercepat persiapannya seolaholah berbagai urusan yang lebih penting telah menantinya.
Aku sudah terlambat harus segera pergi ke Istana. Ada
banyak pertemuan dan urusan lainnya . Katakan kepada
nyonyamu bahwa aku akan menemuinya nanti malam.
Kiyomori memerintahkan agar keretanya dibawa ke
beranda depan, lalu terburu-buru pergi. Memang benar
bahwa dia semakin sibuk. Kehadirannya di Istana biasanya
menandakan bahwa para pejabat tinggi atau rekan
sejawatnya menantikan nasihat persetujuan, dan
keputusannya. Kekaguman sekaligus rasa penasaranlah
yang mendorong para pejabat istana untuk mendekatinya.
Kalangan istana baru-baru ini menawarkan kenaikan
jabatan kepada Kiyomori, yang dahulu pernah ditolaknya,
dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Kiyomori
memegang pengaruh besar bagi jalannya pemerintahan.
Pengaruh baru mulai terasa sejak masa ayahnya,
Tadamori, ketika seorang samurai yang menduduki jabatan
Kiyomori di Istana akan memancing kedengkian para
bangsawan dan mendatangkan kebencian. Kepercayaan diri
Kiyomori juga mencerminkan perubahan itu. Kiyomori

adalah era baru; tidak ada keputusan yang bisa diambil


tanpa melibatkan dirinya dan kesimpulan yang ditarik tanpa
menunggu persetujuan darinya. Kaum samurai, dengan
kata lain, memegang kekuasaan, dan kata-kata Kiyomori
menentukan kelangsungan hidup negara.
Fujiwara Koremichi, yang dikenal berpihak kepada
Heikl, diangkat sebagai Perdana Menteri pada masa itu,
dan Kiyomori, yang meletakkan kepercayaan kepadanya,
bersikeras agar pengambilan semua keputusan penting
diserahkan kepada Koremichi. Penunjukan itu juga
memuaskan Kiyomori karena putri sang perdana menteri
baru adalah Nyonya Shimeko, mantan majikan Tokiwa.
Saya senang melihat bahwa Anda baik-baik saja.
Kiyomori terperangah mendengar ucapan ini ketika dia
tanpa sengaja berpapasan dengan Koremichi di salah satu
koridor Istana.
Apa maksud Anda? tanyanya dengan kaget
Anda kelihatannya tidak memusingkan kejadian itu.
Sebenarnya, itulah ciri khas Anda. Saya dengar Anda
diserang oleh salah seorang Genji semalam. Begitulah kabar
burung yang terdengar oleh saya.
Ah? Ya, tentu saja, itu, jawab Kiyomori.
Tepat
Jadi, kabar itu sudah tersebar di Istana, ya?
Ya, semua orang terkejut ketika mendengar bahwa
penyerang Anda adalah Genji Yoshihira. Anda sebaiknya
lebih berhati-hati jika bepergian pada malam hari,
Koremichi menambahkan dengan tatapan penuh arti.
Malam-malam musim semi, Anda tahu ... tidak
tertahankan. Kiyomori tertawa, namun peringatan

Koremichi mencemaskannya, sehingga dia langsung pulang


malam itu, hanya untuk mendapatkan semburan dari
Ibkiko.
Ah, di umurmu yang setua ini pula! Aku harus
memintamu untuk tidak mengulanginya lagi ... mengendapendap keluar pada malam hari melalui gerbang belakang
taman mawar!
Kapankah aku pernah ...
Apakah kau berpikir bahwa aku tidak tahu apa-apa?
Apakah kau mengira bahwa Shigemori dan adik-adiknya,
para kepala keluarga kita, para pelayan dan anggota rumah
tangga mereka, juga para pejabat di Istana tidak tahu apaapa?
Tapi, apa hubungan semua itu denganku?
Bagaimana mungkin kau berlagak pilon seperti itu.
Dengan semua orang yang memandangmu sebagai
penguasa Rokuhara, aku benar-benar tak mengerti
bagaimana kau bisa berkelayapan setiap malam bersama si
brengsek Hidung Merah itu untuk mengunjungi janda
musuhmu. Tidakkah kau menyadari betapa memalukannya
itu? Aku tidak mengatakan ini karena aku cemburu.
Ya, makin hari kau makin mirip dengannya.
Apakah kaupikir aku sedang bercanda?
Tidak, aku menanggapimu dengan bersungguhsungguh, dan karena itulah aku menghela napas. Jika kau
menjadi semakin mirip dengan ibu tiriku, ke mana lagtkah
aku bisa mencari kedamaian?
Aku tidak keberatan jika kau memelihara seorang
gundik di paviliun belakang, atau di tempat lain di
lingkungan ini. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh

seorang istri jika suaminya menyukai orang lain. Tapi, dari


semua wanita yang ada ... janda Yoshitomo!
Cukup. Aku mengerti.
Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi jika kau mau
berjanji untuk tidak mengulangi perbuatanmu. Tapi,
bagaimana mungkin kau mengharapkanku untuk tetap
tenang jika aku mendengar bahwa salah seorang Genji
mencoba membunuhmu?
Ah, jadi kau pun ternyata salah satu dari istri-istri
berbudi pekerti mulia itu . Aku mulai mendambakan
wanita semacam Perempuan Gion.
Apa yang baru saja kaugumamkan sendiri itu? Jika kau
tidak menganggapiku dengan serius, aku akan mengundang
ibu tirimu kemari agar beliau bisa menasihatimu. Beliau
bisa memutuskan apakah permintaanku ini masuk akal atau
tidak.
Jangan, aku memohon dengan tulus, demi seluruh
dunia ini, jangan panggil beliau kemari.
Kalau begitu, kau akan menghentikan pertemuan diamdiammu dengan Tokiwa, bukan? Dan kau tidak akan
keberatan jika aku berbicara sendiri dengan Itogo dan
Bamboku?
Terserah kau saja, jawab Kiyomori dengan kesal.
Malam itu, Kiyomori duduk di dekat jendela kamar
istrinya, dengan wajah cemberut memandang bulan yang
berselaput awan. Dia baru saja mendapati sesuatu yang
mengejutkannya: Tokiko, yang telah begitu lama
disibukkan dengan pengasuhan anak-anak mereka, yang
jarang
mempertanyakan
kesibukannya,
ternyata
menyimpan perasaan cemburu.

Keesokan harinya, Tokiko memanggil adiknya,


Tokitada, ke kamarnya. Barangkali penyebabnya adalah
udara musim semi, namun Tokitada melihat bahwa wajah
kakaknya bersemu merah.
Tokitada, kuharap kau bersikap tegas kepada Itogo.
Aku sudah mendapatkan restu dari suamiku untuk
melakukan ini.
Itogo? Apakah yang harus kulakukan kepadanya?
Langsung saja kukatakan, ini tentang Tokiwa. Ketiga
anaknya sudah diurus, dan tidak ada alasan lagi baginya
untuk tinggal di Rokuhara lebih lama.
Tetapi, itu tidak termasuk di dalam wewenangku.
Kau bertanggung jawab mengurus keamanan di sini,
dan Tokiwa tentu saja termasuk di dalam wewenangmu.
Katakan kepada Itogo untuk membebaskannya, atau
memasukkannya ke biara dan memastikan agar dia
menjalani penahbisan. Tanggung jawabmulah untuk
menghentikan kabar miring ini.
Ah, sekarang aku mulai mengerti. Tapi, Tokiko, kau
harus mengakui bahwa kau juga patut disalahkan untuk
perilaku Kiyomori.
Menurutmu begitu, bukan, Tokitada? Coba katakan
kepadaku mengapa kau berpikir bahwa aku patut
disalahkan.
Baiklah, Tokiko, tanpa kausadari, kau telah menua ...
membiarkan kecantikanmu memudar, dan kau tidak pernah
berpikir untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkan
oleh waktu itu agar suamimu tetap terpikat kepadamu.
Kejadian ini sedikit banyak bisa diperkirakan.

Ketika seorang wanita telah memiliki beberapa orang


anak, wajar saja jika kecantikannya memudar. Apakah dia
bersalah jika dirinya tidak lagi ... menarik?
Tidak, Tokiko, Tokitada tergelak, kau tidak boleh
marah-marah seperti itu. Aku berbicara terus terang
kepadamu karena kau adalah kakakku. Aku hanya
mengingatkanmu bahwa seorang wanita ... bukan, seorang
istri ... harus mempelajari keanggunan baru seiring dengan
pertambahan usianya, jika dia tidak ingin dipandang
dengan sebelah mata oleh suaminya.
Jadi, apa saranmu kepadaku?
Lupakanlah umurmu, dan hadirkanlah kesan yang
segar dan menyenangkan.
Aku bukan geisha, jika itu maksudmu!
Nah, pikiran semacam itulah yang umum dimiliki oleh
para istri penggerutu. Yang kukatakan ini tidak hanya
berlaku bagi Kiyomori tetapi juga bagiku. Omong-omong,
setelah mencapai usia empat puluhan, seorang pria siap
untuk menaklukkan dunia, namun tiba-tiba dia mendapati
bahwa istrinya tampak mengenaskan di sampingnya.
Rupanya itulah obrolan para pria seperti kalian jika
sedang berkumpul!
Sejujurnya, itu benar. Sepertinya semua orang
mengeluhkan hal yang sama, walaupun kami mencintai istri
kami, namun mereka menua dan membosankan.
Kalian memang mau menang sendiri
Kau benar. Begitulah kaum pria, namun seorang pria
harus diberi kesempatan untuk mengembangkan egonya di
bawah atap rumahnya sendiri sebelum dia bisa menghadapi
dunia dan menaklukkannya. Ada pepatah lama yang

mengatakan bahwa seorang pria menjadi mudah terhanyut


oleh keraguan setelah dia menginjak usia empat puluhan.
Kami sepertinya sedang memasuki tahap itu sekarang,
namun Kiyomori ditakdirkan untuk melakukan hal-hal
besar, percayalah.
Apa kau berharap aku memercayainya? Kau termasuk
di antara orang-orang yang mendorongnya untuk tenggelam
dalam khayalan seperti itu.
Tidak, kau akan menyadarinya sendiri ketika namanya
semakin termasyhur, dan kau harus mendampinginya
dengan keanggunan dan tingkah laku yang sempurna, atau
kau akan semakin meredup sementara bintangnya bersinar
cemerlang.
Cukup sudah omong kosongmu itu. Silakan tinggalkan
aku sekarang.
Satu lagi saja.
Apa itu?
Bukankah kau sendiri yang sering mengundang
Bamboku si saudagar itu kemari? Kau melakukan kesalahan
besar karena memercayai pria brengsek itu. Aku tahu
bahwa Hidung memegang peranan besar dalam hubungan
gelap suamimu dengan Tokiwa. Bahkan, pada malam
ketika Yoshihira menyerang Kiyomori, Norimori terheranheran karena si brengsek itu ada di tempat kejadian.
Tokitada sebisa mungkin memanfaatkan kesempatannya
untuk menyampaikan pendapatnya tentang kakaknya, dan
Tokiko hanya bisa diam saat mendengarnya, menatap
senyum tipis di wajah Tokitada dengan penuh kegusaran.
Pertengkaran di antara mereka terjadi dari waktu ke waktu,
dan Tokiko biasanya mengalah, namun bibirnya yang

terkatup rapat kali ini menunjukkan tekadnya untuk


menutup adu mulut mereka.
Ya, aku sendirilah yang akan mengurus Bamboku.
Sementara itu, kuharap kau menemui Itogo dan mencari
tahu apa yang hendak dilakukannya kepada Tokiwa.
Kuharap kau berangkat sekarang juga.
Terserah padamu, aku mengerti.
Jangan mengatakan terserah padamu ... aku ingin kau
memahami bahwa itu adalah perintah dari suamiku, tukas
Tokiwa, teringat pada berbagai desas-desus tentang
kecantikan Tokiwa yang tak lekang oleh masa. Dirinya,
sang istri yang terbakar oleh api
cemburu, menyadari bahwa dunia tidak bersimpati
kepadanya tetapi kepada Tokiwa, yang kini dianggapnya
sebagai pesaing.
Pada hari yang sama, Tokiko juga mengundang Hidung
Merah.
Anggap saja dirimu sudah tidak diterima lagi di sini.
Aku memerintahkan agar kau tidak lagi mengunjungi
tempat ini mulai sekarang.
Baiklah ... Hidung, yang biasanya berlidah tajam,
menjawab dengan lirih. Kemudian, setelah terdiam sejenak,
dia melanjutkan, Apakah saya sudah melakukan sesuatu
yang menyinggung perasaan Anda, Nyonya?
Tanyakanlah itu kepada akal sehatmu.
Jika saya memang telah menyinggung Anda, tidak ada
yang bisa saya lakukan kecuali memotong leher saya
sendiri.
Lakukanlah, kalau begitu. Kau lebih tahu daripada
siapa pun bahwa kau punya alasan bagus untuk itu. Aku

sudah membiarkanmu berkeliaran di sini karena


menganggapmu menyenangkan, dan kau membalasnya
dengan mengambil keuntungan dariku. Kau telah
mempermalukan suamiku dengan menjerumuskannya ke
dalam intrik bersama Tokiwa.
Astaga, itu ... Hidung tersentak kaget, menepuk
kepalanya dan berusaha membujuk Tokiko. Tetapi, Tokiko
telah bangkit dan menghambur keluar dari ruangan dengan
kibasan marah kimononya.
o0odwkzo0o

Bab XXXI-GAGAK
Bamboku memerintah salah seorang pegawainya untuk
pergi ke wilayah barat ibu kota, ke sebuah rumah
peristirahatan sederhana yang dahulu dibangun oleh
seorang bangsawan untuk gundiknya dan kini telah
terbengkalai. Si pegawai diperintahkan untuk membeli
rumah peristirahatan tersebut pada saat itu juga. Hal ini
terjadi hanya selang sehari dari pengusiran Hidung Merah
dari Rokuhara, dan pada malam harinya, rumah itu telah
siap dihuni kembali. Bamboku turut sibuk mengerjakan
berbagai macam urusan rumah tangga untuk mempercepat
persiapannya, termasuk menyediakan kereta sapi dan
gerobak untuk mengangkut peralatan tidur, perangkat
dapur, perabot, dan yang semacamnya ke sana. Seorang
diri, Hidung menghabiskan siangnya untuk menata kebun
sesuai dengan seleranya, menata sejumlah ruangan dan
bahkan menyapu lantainya. Dan pada malam harinya,
sekat telah dipasang di ruangan-ruangan utamanya, tirai
telah digantungkan di tempat-tempat yang semestinya,
bahkan sebuah altar peribadatan kecil dan meja tulis anggun

telah dipasang di salah satu ruangan yang berukuran lebih


kecil.
Wah, wah, ini hari yang sibuk! Melihat hasilnya,
pekerjaan kita lumayan. Ini tentu akan menyenangkan
hatinya, Hidung mendesah puas, mengedarkan pandangan
ke sekelilingnya di bawah cahaya sebuah lentera.
Seorang pria meninggalkan keretanya bersama para
pelayannya di bawah pepohonan yang cukup tersembunyi
dari rumah itu. Dia adalah Kiyomori.
Luar biasa, sungguh luar biasa! Di sini juga sangat
tenang. Kebunnya pun bagus, mungil ... dan ada sungai
yang membelahnya, Kiyomori berkomentar seraya
memeriksa keadaan rumah itu, menengok ke sana dan
kemari.
Bagaimana menurut Anda, Tuan?
Bagus sekali, dan semuanya dirampungkan dalam
waktu sesingkat itu.
Pujian itu, Tuan, adalah imbalan yang setimpal untuk
Hidung. Saya sungguh terhina oleh perlakuan Nyonya,
namun Tuan justru memerintah saya untuk mengerjakan ini
secepatnya dan secara rahasia. Saya belum tidur sekejap
pun selama dua hari dan dua malam terakhir.
Ini sudah cukup untuk sekarang. Nah. bagaimana
dengan Tokiwa?
Kita harus menunggu hingga larut malam dan jalanan
telah sepi. Saya akan memastikan agar beliau dibawa
kemari pada waktu yang tepat
Baiklah. Aku tidak akan merisaukannya lagi. Nah, aku
memercayakan kepadamu untuk menyelesaikan urusan
dengan orang-orang ... memberikan penjelasan dan lain

sebagainya, kau tahu. Dan pastikan agar semua kebutuhan


Tokiwa terpenuhi.
Anda akan pergi sekarang?
Aku mungkin sebaiknya tidak ke sini selama beberapa
waktu ... banyak masalah di rumah, ujar Kiyomori
dengan nada gusar, walaupun dia meninggalkan rumah itu
dengan lagak riang.
Seperti yang telah diperkirakannya sendiri, Kiyomori
tidak terlihat kembali di rumah peristirahatan itu. Mudah
untuk meyakini bahwa kemarahan Tokiko akan
berlangsung lama. Terlebih lagi, kesibukannya di Istana
tidak memungkinkannya untuk keluar lebih cepat dan
singgah ke rumah peristirahatan sebelum pulang ke
rumahnya.
Hidung, bagaimanapun, dengan teratur mengunjungi
rumah peristirahatan setiap pagi dan malam, dan bertanya
kepada Tokiwa tentang kenyamanan dan kesehatannya.
Untuk tugasnya ini. Hidung mencurahkan seluruh
perhatiannya.
Nyonya, apakah Tuan Kiyomori belum sekali pun
mengunjungi Anda? Belum? Astaga, setia sekali beliau ini!
Tokiwa belum bisa melupakan Yoshitomo. Dari
jendelanya, dia bisa melihat Gunung Kuratama dan langit
di kejauhan, yang memayungi anak-anaknya saat ini.
Kenyamanan yang ada di sekelilingnya justru semakin
membuatnya tertekan. Tidak sehari pun berlalu tanpa
dihabiskannya untuk berlutut di hadapan patung Kannon di
ruang peribadatannya, mendoakan keselamatan anakanaknya dan memasrahkan mereka pada perlindungan
Kannon. Patung perak berukuran kecil itu dihadiahkan oleh
Yoshitomo kepadanya lama berselang, ketika mereka masih
berbahagia; memandangnya tidak hanya mengingatkan

Tokiwa kepada anak-anaknya tetapi juga wajah dan


kelembutan Yoshitomo. Bagi Tokiwa, saat termanisnya
adalah ketika dia berlutut dan berdoa.
Tetapi, ada kalanya dia terbakar oleh rasa malu dan
tersiksa oleh rasa bersalah. Apakah yang mendorongnya
untuk duduk dan menunggu, seolah-olah dia sedang
mengharapkan kehadiran seseorang? Rumah peristirahatan
itu terletak di luar sebuah hutan di dekat jalan sunyi di
pinggiran ibu kota, dan derak roda kereta, yang jarang
terdengar, selalu mengagetkannya dan melambungkan
harapannya. Jantungnya akan berdegup kencang, dia akan
gelisah, lalu berusaha menenangkan diri kembali.
Jahatkah dia karena merasa seperti ini, tanyanya kepada
dirinya sendiri. Kegilaan jenis apakah yang menguasai
dirinya ini? Nyeri di tubuhnya, pikiran menyiksa yang tak
bisa dihindarinya? Dan sering kali, di malam-malam musim
semi yang hangat, air mata membasahi bantalnya ketika
hatinya mendambakan anak-anaknya dan Yoshitomo,
sementara tubuhnya menantikan Kiyomori, yang
dikehendaki sekaligus dibencinya.
o0odwkzo0o
Benarkah itu, Shika?
Saya berani bersumpah, karena itulah saya kembali
secepat kaki saya bisa membawa tubuh saya.
Hidung mengerang, lalu mengatakan, Bagus! Aku
senang kau mengatakan ini kepadaku. Aku akan
memastikannya sendiri. Nah, tunjukkanlah jalannya.
Tapi, saya tidak tahu apakah kita akan bertemu dengan
siapa pun sekarang.

Yah, kita hanya perlu melihat-lihat keadaannya, desak


Hidung, dan dengan penuh semangat, dia menghambur
keluar dari tokonya di Jalan Kelima.
Bunga-bunga sakura mulai berguguran, dan ujung-ujung
ranting mulai dipenuhi warna merah buah ceri. Aroma khas
bulan April tercium di udara.
Di jalan kecil itu ... di sana, kata Shika, menunjuk
seruas jalan di dekat sebuah lahan terbuka yang akhir-akhir
ini mulai diisi oleh rumah-rumah berukuran kecil.
Rumah keberapa dari sini?
Yang kelima atau keenam, tapi Anda tidak akan bisa
melihat apa pun jika melewatinya. Ada pagar hidup dan
gerbang anyaman ranting kecil di sana, tapi bentuknya
mirip dengan rumah-rumah Heikt.
Ya, aku tahu kata Hidung, mencubit-cubit dagunya
untuk berkonsentrasi.
Inilah yang didengar oleh si kepala pegawai, Shika,
ketika melewati lingkungan itu: seorang prajurit bernama
Rokuro, yang tinggal di salah satu rumah di sana, telah
menyewakan salah satu kamarnya kepada seseorang sejak
awal musim semi. Si penyewa adalah seorang samurai
muda, yang bertubuh pendek namun kekar dan berasal dari
suatu daerah terpencil. Dia mengatakan kepada orangorang bahwa dirinya adalah sepupu Rokuro dari Tamba
yang sedang mencari pekerjaan di Rokuhara. Dia bersedia
menerima pekerjaan apa pun, katanya. Sepertinya tidak ada
yang salah dengan dirinya, dan orang-orang tidak
mempertanyakan ceritanya hingga seorang janda tua, yang
bekerja serabutan di rumah Rokuro, menyebarkan cerita
tentang hal-hal aneh yang terjadi di dalam rumah Rokuro.
Secara kebetulan, katanya, dia melihat sepupu Rokuro
ketika dia sedang menyantap sarapannya pada suatu pagi.

Tidak ada yang aneh mengenai hal itu, kecuali bahwa dia
melihat Rokuro melayani sepupunya itu dengan penuh
hormat; terlebih lagi, Rokuro mempersilakan sepupunya
untuk menyantap hidangan terlezat, sementara dirinya
menghabiskan remah-remah yang tersisa. Sebuah
pemandangan luar biasa di mata seorang rakyat jelata yang
senantiasa kelaparan.
Ketika mendengar tentang hal ini, Shika teringat bahwa
Hidung beberapa kali menyebut-nyebut tentang pencarian
terhadap si orang pendek. Shika pun menyimpulkan
bahwa sepupu Rokuro itulah pria yang dicari oleh Hidung
... Genji Yoshihira. Dia pun segera pergi ke rumah Rokuro,
memastikan kecurigaannya, dan secepatnya kembali ke
toko di Jalan Kelima untuk menyampaikan kabar ini.
Shika, tunggulah di sini. Akan mencurigakan jika kita
berdua peragi ke sana.
Berdiri di sini juga sama mencurigakannya.
Berjalan-jalanlah sedikit, kalau begitu, sementara aku
memeriksa rumah itu seorang diri.
Bamboku menyusuri jalan. Kelima ... keenam ... ? Dia
berhenti melangkah. Samurai adalah samurai, tidak peduli
seberapa pun miskinnya mereka, dan setiap rumah di sana
dilengkapi oleh pagar hidup dan gerbang anyaman ranting
kecil, walaupun tanpa papan nama. Aku akan
memeriksanya ... Hidung berdiri dengan bimbang hingga
didengarnya sebuah tawa melengking. Seorang prajurit
jangkung keluar dari gerbang terdekat, diikuti oleh
temannya yang lebih pendek, dan menatap Hidung dengan
heran.
o0odwkzo0o

Rokuro, apa kau melihat pria bermata licik yang


berkeliaran di depan rumah itu? Apakah dia salah satu
tetanggamu? tanya Yoshihira begitu mereka berbelok di
jalan.
Tidak, dia sepertinya tidak berasal dari daerah miskin
ini. Penampilannya seperti saudagar dari salah satu daerah
pemukiman besar di Jalan Kelima atau Keenam
Apa yang membuatmu berpikir begitu?
Sikapnya dan kimono mahal yang dipakainya.
Apakah kau melihat hidung merahnya yang mencolok?
Dari tatapannya aku tahu bahwa dia berotak licik Kau
sebaiknya berhati-hati, Rokuro.
Saya akan berhati-hati. Tapi, dia sepertinya tidak
membuntuti kita.
Rokuro berulang kali menoleh ke belakang hingga
Hidung menghilang dari pandangannya. Tetapi, keduanya
tidak memerhatikan Shika, yang berjalan ke arah mereka
untuk menjawab isyarat dari Bamboku. Mereka terus
berjalan, menerjang kubangan air dan jalan yang becek,
melewati rumah-rumah reyot para pandai besi, penyamak
kulit perajin busur, pewarna kain, dan perajin pelana.
Lihatlah, Rokuro, orang-orang itu sepertinya jauh lebih
sibuk daripada sebelum perang terakhir pecah.
Memang benar. Kekayaan Rokuhara dan ketukan
palunya terdengar hingga larut malam.
Persenjataan untuk pasukan Heik6?
Tidak diragukan lagi, apalagi sekarang, setelah Genji
terusir dari ibu kota.
Yoshihira mendadak mulai mengamati pemandangan di
sekelilingnya dengan getir. Ya, pikirnya, perubahan besar-

besaran telah terjadi sejak Genji terusir dari ibu kota! Segala
sesuatu yang telah diakrabinya sepertinya telah lenyap; apa
pun yang dilihat dan didengarnya saat ini membuatnya
putus asa. Yoshihira sendiri dianggap telah tewas ketika
tersebar desas-desus bahwa dia telah ditangkap dan
dihukum mati. Sebenarnya, dia melarikan diri ke utara, ke
sebuah desa bernama Echizen dan bersembunyi hingga
keadaan aman sebelum kembali lagi ke Kyoto.
Pengaruh Rokuhara terlihat di mana-mana ... termasuk
dalam cara bergaya dan berpakaian orang-orang. Tidak
hanya di kalangan istana, tetapi juga di kalangan saudagar
dan perajin yang bekerja untuk Rokuhara. Kehidupan
seolah-olah berputar mengelilingi Rokuhara, si matahari
pemberi kehidupan! Amarah Yoshihira menggelegak;
melihat orang-orang yang dengan mudahnya tunduk pada
pemerintahan baru. Ini adalah pergolakan batin hebat
pertama yang melandanya sejak dua puluh tahun
kehidupannya, dan dia yakin bahwa pertikaian ini tidak
akan pernah berakhir. Dunia sepertinya tidak menarik lagi
baginya, kecuali sebagai tempat untuk mengabdikan dirinya
demi upaya pembalasan dendam ... kematian Kiyomori
untuk membayar kehormatan Genji.
Beberapa saat setelah kembali ke ibu kota, Yoshihira
tanpa sengaja berjumpa dengan Rokuro, mantan prajurit
Yoshitomo. Rokuro menjelaskan bahwa dirinya adalah
salah seorang dari banyak prajurit yang ditangkap oleh
pasukan Heik6, dan kemudian dipekerjakan sebagai tentara
bayaran untuk Rokuhara. Sebagai wujud kegembiraan atas
pertemuan itu, Rokuro menawarkan tempat tinggal kepada
Yoshihira
dan
menasihatinya
untuk
menantikan
kesempatan membalas dendam. Tidak lama kemudian,
Rokuro mendengar bahwa Kiyomori mengunjungi Tokiwa
setiap malam; maka, bersama Yoshihira, dia pun

merencanakan sebuah serangan. Kendati upaya untuk


merenggutnyawa Kiyomori gagal, Yoshihira yakin bahwa
Kiyomori adalah sasaran yang empuk.
Seorang lagi calon pembunuh juga tengah bersembunyi
... dia adalah Konno-maru, panglima muda yang berbalik
arah di tengah badai salju untuk mencari Yoritomo. Setelah
gagal dalam pencariannya, Konno-maru kembali ke ibu
kota untuk mengawasi pergerakan Kiyomori secara
saksama dan mencari kesempatan untuk membalas dendam
bagi mendiang majikannya, Yoshitomo. Sementara itu,
kasak-kusuk mengenai Tokiwa tersebar, dan ketidaksetiaan
wanita itu memancing amarah Konno-maru.
Yoshihira dan Rokuro hendak menemui Konno-maru di
sebuah kios perajin pelana. Mereka telah beberapa kali
bertemu sebelumnya di berbagai wilayah ibu kota, dan
pembalasan dendam selalu menjadi topik pembicaraan
datar mereka.
Itu, Rokuro, di sana. Aku melihat kios perajin pelana.
Jadi, dia ada di sana, dan tengah bekerja. Apakah kita
sebaiknya mendatanginya dan diam-diam berbicara
dengannya?
Tunggu, ingatlah pesan dari Konno-maru ... berlaga
kiah seperti seseorang yang hendak melakukan bisnis. Si
perajin pelana mungkin sudah memahaminya, tapi kita
harus berhati-hati pada para muridnya. Kita tidak boleh
mengambil risiko.
Ya, dia sudah berulang kali mengatakannya kepada
saya. Tunggulah di sini sementara saya ke sana untuk
berbicara dengannya.

Aku akan menunggu di sana, di belakang tempat


pemujaan itu, jawab Yoshihira, menunjuk ke sebuah
tempat di dekat sebuah kolam.
Sebuah tempat pemujaan kuno berdiri di tengah sebuah
hutan kecil, tampak reyot dan terbengkalai. Yoshihira
memandang ke sekelilingnya, pada sulur-sulur tumbuhan
merambat yang menggantung dari atap tempat pemujaan,
cabang-cabang pepohonan, dan kuntum-kuntum bunga
mangkok keemasan yang menghiasi tepi kolam. Konnomaru datang bersama Rokuro dan hendak berlutut di
hadapan Yoshihira, namun Yoshihira memperingatkannya
dengan tegas.
Jaga perilakumu baik-baik, karena orang-orang bisa
melihat dan mencurigai kita. Kita bukan lagi majikan dan
pelayan melainkan sesama buronan. Kemari dan duduklah
di sampingku.
Yoshihira menunjuk pangkal sebatang pohon sembari
berbicara. Sudahkah kau mendengar kabar lainnya,
Konno-maru?
Tidak ada kabar baru tentang Kiyomori, tapi tahukah
Anda bahwa Tokiwa diam-diam sudah dipindahkan ke
sebuah rumah peristirahatan di pinggiran ibu kota?
Begitulah yang kudengar, namun aku diberi tahu bahwa
Kiyomori tidak pernah mengunjunginya sekali pun. Aku
menantikan kesempatan untuk menyerangnya saat dia pergi
ke sana.
Saya yakin bahwa Kiyomori telah meningkatkan
kewaspadaannya semenjak peristiwa malam itu, namun
kesempatan kita tentu akan datang.
Ya, suatu ketika nanti.

Penyesalan mewarnai setiap hari yang berlalu. Tidak


sehari pun saya lewati tanpa memikirkan Tuan
Yoshitomo.
Aku pun seperti itu setiap kali memikirkan ayahku.
Dan bagaimanakah menurut Anda, Tuan, tentang
wanita itu, Tokiwa?
Ada apa dengannya?
Apakah kita akan membiarkannya tetap hidup?
Kita tidak akan membicarakan tentang dia.
Tidak, itu mustahil. Bagaimana mungkin kita
mengabaikan aib yang dicorengkannya kepada Genji
karena dia mau menjadi gundik Kiyomori?
Jangan lupakan bahwa karena dirinyalah tiga orang
anak selamat, Konno-maru.
Itulah yang dikatakan oleh semua orang, namun
bagaimana kita bisa memastikan bahwa dia memang
mengorbankan dirinya demi anak-anaknya? Saya
meragukannya. Saya yakin bahwa ambisilah yang
mendorongnya untuk melupakan ayah Anda dan
berpaling kepada Kiyomori
Apakah yang membuatmu berpikir begitu?
Karena dia tidak bunuh diri dan mengikuti tuannya
Kau berharap terlalu banyak darinya. Dan kau juga
terlalu keras menilainya.
Keras, memang, namun Anda juga harus ingat, Tuan,
bahwa saya tumbuh dewasa dengan mengabdikan diri
kepada ayah Anda, Konno-maru mengeluh. Saya adalah
pelayan kepercayaan beliau, dan sayalah yang bertugas
menyampaikan pesan-pesan dari beliau untuk Tokiwa

ketika dia masih menjadi dayang Nyonya Shimeko. Saya


sering kali turut hadir ketika Tuan Yoshitomo menemuinya.
Saya tahu betapa Tuan Yoshitomo mencintainya
.Apakah menurut Anda saya bisa memaafkan perbuatan
Tokiwa? Perang memang telah berakhir, tapi apakah yang
bisa mencegah saya dari membalas pengkhianatan Tokiwa
demi mendiang Tuan Yoshitomo?
Jadi, Konno-maru, kau berniat membunuh Tokiwa?
Sebagai seorang wanita, saya rasa dia tidak memiliki
keberanian untuk mencabut nyawanya sendiri. Jadi, saya
akan membunuhnya sebagai wujud belas kasihan dan untuk
menghapuskan aib yang dicorengkannya kepada Genji.
Tidak, tunggu, Yoshihira buru-buru memotong,
dengan melakukan itu, kau akan merusak kesempatanku
untuk membalas dendam kepada Kiyomori.
Tidak, saya akan menunggu saat yang tepat Saya tidak
memiliki peluang selama Tokiwa masih tinggal di rumah
Itogo. Setelah Anda menghabisi Kiyomori, saya akan
mengurus Tokiwa, jawab Konno-maru dengan nada getir.
Walaupun ragu-ragu mengenai hal ini, Yoshihira
dirisaukan oleh emosinya yang bercampur aduk. Mendiang
ayahnya ... penghinaan terhadap klan Genji, aib yang harus
mereka tanggung.
tapi tidak secepat itu. Sasaran utama kita adalah
Kiyomori. Jangan mengambil tindakan sebelum kau
mendengar bahwa Kiyomori telah mendapatkan apa yang
layak diterimanya.
Yoshihira dan Konno-maru terdiam, ketika derak
nyaring mendadak terdengar di atas mereka dan serpihanserpihan kulit kayu menghujani mereka. Keduanya
mendongak, terkejut Seekor gagak besar, yang semula

bertengger di atap tempat pemujaan, mengepak-ngepakkan


sayapnya dengan gaduh menuju cabang pohon yang lebih
tinggi. Di atas atap, mereka berdua melihat sesosok pria ...
seorang biksu. Sosok berjubah compang-camping itu
membungkuk ke arah mereka dan tersenyum, memamerkan
sebaris gigi putih di tengah-tengah janggut lebatnya. Ada
kesan ramah sekaligus mengejek dalam tatapan yang sekilas
dilontarkannya kepada mereka. Yoshihira, Konno-maru,
dan Rokuro merasakan bulu kuduk mereka meremang;
wajah mereka pucat pasi. Apakah si biksu mendengar
pembicaraan mereka? Pikiran pertama yang terlintas di
benak mereka adalah membunuh si biksu, namun seolaholah bisa membaca pikiran mereka, sosok di atas atap itu
berseru kepada mereka:
Aku tidak punya urusan dengan ini. Gagak itulah biang
keroknya. Kalian tidak perlu takut kepadaku.
Tidak diragukan lagi, biksu itu mendengar setiap patah
kata yang mereka ucapkan, karena dia duduk
menyandarkan punggungnya ke atap; si gagak sekalipun
tidak akan bisa melihat si biksu yang sedang bersantaisantai di atap itu.
Yoshihira akhirnya tersenyum pahit dan memberikan
isyarat kepadanya. Biksu yang terhormat aku ingin
menanyakan sesuatu kepadamu. Maukah kau turun
kemari?
Aku sedang sibuk, karena itulah aku ada di atas sini.
Jika kau hendak bertanya kepadaku, bicaralah dari sana.
Aku bisa mendengarmu dari sini.
Apakah yang sedang kaulakukan di atas sana?
Tidak bisakah
memperbaiki atap.

kau

menebaknya?

Aku

sedang

Memasang genting?
Ya, aku biksu pengembara, dan aku sudah cukup lama
tinggal di tempat pemujaan tua ini. Tempat ini selalu banjir
saat hujan turun. Gagak itu tentu turut mengacak-acak
genting. Hari ini cerah sekali, bukan? Si biksu tergelak.
Aku sudah berada di sini sepagian, bekerja. Apakah yang
sedang kalian lakukan di sana?
Tidak apa-apa, kalian tidak perlu memberitahuku, tapi
karena kita kebetulan bertemu, aku akan memberitahukan
tentang beberapa hal kepada kalian. Jangan anggap aku
sebagai seorang biksu biasa yang nasihatnya tidak berarti
apa-apa bagi kalian, tapi kalian masih muda ... sangat
muda, sehingga mau tidak mau aku merasa iba. Lebih
berhati-hatilah dalam menjaga nyawa kalian yang berharga
Jangan lupakan bahwa masa depan masih terbentang luas
di hadapan kalian.
Menurutmu, siapakah kami?**
Mana aku tahu? Mengapa aku harus tahu?
Kau pasti telah mendengar pembicaraan kami.
Apakah aku seharusnya tidak mendengarkan
pembicaraan kalian? Kalian sungguh ceroboh. Untunglah
hanya aku yang mendengarnya ... aku sama jinaknya
dengan gagak tua itu.
Kemari, turunlah. Sangat disayangkan bahwa kau telah
mendengar pembicaraan kami. Kami tidak akan
membiarkanmu lolos hidup-hidup.
Si biksu terkekeh nyaring, entah untuk mencemooh atau
memperingatkan mereka. Sepasang mata yang terpicing
kepada para pemuda itu tampaknya memancarkan kasih
sayang dan keinginan untuk melindungi.

Aku melihatnya. Aku mengenalinya sekarang ...


samurai muda sembrono yang mengejar putra Kiyomori
dari Gerbang Taikenmon hingga tiba di kanal. Dan dunia
telah begitu berubah sehingga dia bahkan tidak punya nyali
lagi untuk menangkap gagak yang bertengger di atap ini!
Jika kau menolak untuk turun, kami sendirilah yang
akan naik ke sana dan menyeretmu kemari.
Cobalah ... kalian hanya akan membuang-buang waktu.
Aku mendengar pembicaraan kalian, namun rahasia kalian
aman di tanganku. Sama seperti gagak itu, aku tidak berniat
untuk melaporkan kalian ke Rokuhara. Simpatiku, bahkan,
tertuju pada pihak yang kalah, dan karena itulah aku ingin
berbicara denganmu, Anak Muda, yang masih memiliki
masa depan nan menjanjikan. Ayah dan saudarasaudaramu telah tewas dan klan Genji tercerai berai, namun
untuk apa kau harus menyia-nyiakan kehidupanmu? Dari
dirimu akan hadir generasi-generasi selanjurnya. Jagalah
baik-baik nyawamu yang berharga itu! Lupakanlah rencana
tololmu untuk membalas dendam. Kau tidak bisa
mengubah dunia ini hanya dengan membunuh seorang
manusia. Oh, tolol, tolol sekali dirimu jika berpikir begitu!
Tidak bisakah kalian melihat bahwa wanita yang tidak
berdaya itu, yang dengan pasrah membiarkan dirinya
tersiksa demi kasih sayangnya kepada anak-anaknya, jauh
lebih berani daripada kalian?
Ketiga pemuda di bawah pohon itu terdiam. Sinar
matahari yang menerobos dari sela-sela dedaunan
menunjukkan bahwa senja sebentar lagi tiba, dan semburat
merah mengambang di atas sosok mereka.
Lihatlah, lihatlah bahwa matahari tetap bergerak
sementara kita berbicara. Tidak ada yang bisa
menghentikan lajunya. Doa-doa tidak akan bisa
menghentikan pergerakan alam. Begitu pula dengan

kehidupan manusia. Kemenangan dan kekalahan hanyut


bersama dalam arus deras kehidupan. Kemenangan adalah
awal dari kekalahan, dan siapakah yang bisa beristirahat
dengan tenang di tengah kemenangan? Tidak ada yang
tetap di dunia ini. Kau akan mendapati bahwa nasib
burukmu sekalipun akan berubah. Mudah untuk
memahami ketergesaan orang-orang berusia lanjut, yang
sisa harinya bisa dihitung dengan jari, namun mengapa
kalian yang masih muda ini tergesa-gesa padahal masa
depan ada di dalam genggaman tangan kalian? Untuk apa
kalian menuruti nafsu angkara murka dan melakukan
tindakan gegabah yang hanya akan berujung pada
kematian?
Lihatlah kembali si gagak itu. Sudah waktunya bagi
kalian para pemuda untuk mundur. Lebih baik lagi,
pergilah sejauh mungkin dari ibu kota. Dan sudah
waktunya bagiku untuk turun dari atap ini, kata si biksu,
beranjak dari tempat duduknya.
Ketiga pemuda itu dengan serta merta berdiri, seolaholah tersihir oleh kata-kata yang baru saja mereka dengar,
dan Yoshihira segera berlari mendekati tempat pemujaan.
Tunggu, tunggu, kata-katamu menyentuhku. Aku akan
datang kemari besok pagi untuk mendengarkan petuahmu
lagi. Aku akan merenungkan nasihat yang baru saja
kauberikan.Tapi, biksu yang mulia, katakanlah kepada
kami siapa dirimu.
Maafkanlah aku jika harus menolak permintaanmu;
namaku adalah aibku.
Kau adalah manusia yang luar biasa. Hubungan apakah
yang kaumiliki dengan Genji?

Tidak ada. Begitu pula dengan Heik6. Aku tak ubahnya


dari sosok yang kalian lihat, seorang biksu pengembara.
Mari kita bertemu lagi di sini besok pagi.
Tetapi, setidaknya, katakanlah kepada kami siapa
dirimu.
Tidak. Yang kulakukan hanyalah menasihatimu agar
tidak bertindak gegabah, menyadarkanmu agar tidak
melakukan hal bodoh seperti halnya diriku ketika seusiamu.
Ketika itu, aku bahkan lebih tolol daripada kalian semua.
Aku terbutakan oleh cintaku kepada istri pria lain dan
menjadi bahan tertawaan seluruh ibu kota. Hanya
kematianlah yang bisa menghapuskan perasaan bersalahku,
namun aku telah menghabiskan bertahun-tahun di Air
Terjun Nachi, menebus dosaku.
Kau? Kalau begitu, kau adalah Mongaku! Yoshihira
berseru, mendongak agar bisa melihat dengan lebih jelas.
Namun sia-sia saja, karena Mongaku telah lenyap. Hanya
ada seekor gagak yang bertengger di puncak atap,
menyelisik bulunya dan sesekali menengok ke arah bintangbintang di langit senja.
o0odwkzo0o
Ketiganya beranjak dari tempat itu, diam dan larut
dalam pikiran mereka masing-masing, hingga Yoshihira
tergugah oleh pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu
benaknya. Mengapa kata-kata si biksu menggentarkannya?
Mengapa dia membiarkan dirinya tergiur sejenak oleh
saran-saran yang tidak masuk akal itu? Bagaimanapu, dia
tidak bisa menyangkal bahwa si biksu mengatakan
kebenaran, karena manusia dan semua hal yang ada di
muka bumi ini berubah dari waktu ke waktu.
Dia benar ... tidak bisa disangkal lagi. Bahkan saat kita
berjalan, bintang-bintang bermunculan dan malam semakin

gelap. Konno-maru, bagaimana menurutmu? Apakah


keputusanmu?
Keputusan saya tidak berubah. Saya agak terhanyut
oleh perkataan Mongaku, namun semua itu adalah ajaran
Buddha aliran Jodo. Bagaimanapun, saya adalah seorang
samurai, dan pengikut Tuan Yoshitomo. Untuk apa saya
membiarkan kata-kata seorang biksu mengubah diri saya
dalam sekejap?
Kau benar, kita terlahir
menyandang nama samurai.

sebagai

samurai

dan

Kita tidak bisa menyangkal siapa diri kita. Biarkanlah


Mongaku meracau sesuka hatinya tentang alam semesta
dan betapa segala hal di dunia ini senantiasa berubah.
Hidup ini pendek, dan samurai menghargai segalanya.
Benar sekali! Kaum samurai memiliki cara tersendiri
dalam
menghargai
kehidupan,
bisik
Yoshihira,
setengahnya kepada dirinya sendiri, seraya mendongak ke
arah bintang-bintang. Dia mendapatkan keyakinannya lagi.
Angin berembus ke keningnya ketika dia berkata dengan
riang:
Baiklah, Konno-maru, sampai jumpa lagi!
Mereka berpisah di persimpangan. Konno-maru berjalan,
namun tiba-tiba menoleh dan bertanya, Apakah yang akan
Anda lakukan besok pagi?
Besok pagi? Apa maksudmu?
Bukankah Anda tadi mengatakan akan menemui
Mongaku lagi?
Tidak. Apa gunanya mendengarkan dia jika kita sudah
menetapkan pikiran? Lebih baik kita mengintai Kiyomori.

Dan ada lebih banyak alasan bagi saya untuk


mencamkan bahwa Tokiwa tidak boleh hidup lebih lama.
Saya akan mengurus hal itu. Sampai berjumpa lagi, kata
Konno-maru sebelum kembali ke kios perajin pelana.
Yoshihira dan Rokuro juga pulang, mempersiapkan
makan malam mereka di bawah cahaya lilin. Yoshihira
membaca buku setelah kenyang, sementara Rokuro
menghabiskan sisa-sisa makanannya. Sejenak kemudian,
mereka mengunci pintu rumah dan bersiap-siap tidur.
Menjelang fajar, ketika embun menetes dari teritis,
sosok-sosok berpakaian hitam dengan sigap menghampiri
rumah dan mengepungnya dari segala penjuru. Setelah
mendapatkan peringatan dari Hidung, Kiyomori
memberangkatkan tiga ratus orang prajurit dari Rokuhara.
Bamboku tidak bergabung bersama mereka, namun
pegawainya, Shika, turut bersama sang panglima dan
memandunya ke rumah yang dijadikan tempat
persembunyian Yoshihira. Keributan pecah ketika para
prajurit mengepung rumah Rokuro dan menggedor-gedor
pintunya. Para tetangga terbangun dengan bingung dan
menjerit-jerit, Gempa bumi! atau Kebakaran! Di
tengah kegaduhan, terdengar teriakan, Kami berhasil
menangkapnya! Tetapi, para prajurit segera menyadari
bahwa mereka menangkap orang yang salah, karena
Yoshihira berhasil mengendap-endap keluar, melompati
pagar, dan naik ke atap rumah terdekat.
Itu dia ... busurku! seru si panglima. Lihat, dia berlari
ke sana!
Yoshihira melesat, melompati atap demi atap, dan
melarikan diri di tengah situasi yang kacau balau.
Tidak sampai sepuluh hari kemudian, Yoshihira
tertangkap; dia ditemukan ketika sedang tertidur di sebuah

tempat pemujaan di luar ibu kota, beberapa saat setelah dia


berhasil meloloskan diri dari para pengejarnya. Dia diseret
ke Rokuhara dan dihadapkan kepada Kiyomori, yang
disapanya dengan anggukan dan ucapan lantang,
Seandainya aku diizinkan untuk menghadangmu bersama
pasukan berkekuatan tiga ribu orang prajurit, ketika kau
dalam perjalanan pulang dari Kumano, aku yakin bahwa
saat ini dirimu akan bertukar tempat dengan mendiang
ayahku. Kemudian, dia menambahkan dengan penuh
kebencian, Terlebih lagi, seandainya ayahku menang,
beliau tidak akan melakukan apa yang telah kaulakukan ...
merebut wanita yang mencintai orang lain!
Para pelayan dan prajurit Kiyomori menahan napas,
menantikan ledakan amarah Kiyomori, yang selama ini
hanya menatap pemuda itu tanpa berkata-kata. Kiyomori
tidak sampai hati untuk membenci Yoshihira. Hanya secara
kebetulanlah, renungnya, dia mendapatkan kemenangan di
hari bersalju itu. Dia juga memiliki seorang putra, dan mau
tidak mau dia membanding-bandingkan Yoshihira dengan
Shigemori.
Pada malam sebelum Yoshihira digiring ke arena
hukuman mati, Kiyomori memerintahkan agar sake
ditambahkan ke dalam hidangan terakhir untuk pemuda itu.
Kisah yang kemudian beredar adalah Yoshihira menolak
untuk menyentuh makanan ataupun minuman yang
diberikan oleh penahannya, dan ketika para petugas
memeriksa
mayatnya,
mereka
mendapati
bahwa
lambungnya telah mengerut karena dia tidak sekali pun
makan selama berhari-hari sejak penangkapannya.
o0odwkzo0o

Bab XXXII-JALAN PEDAGANG SAPI


Yomogi, Yomogi, di manakah dirimu?
Seruas jalan di dekat gerbang menuju Jalan Keenam,
yang dikenal dengan sebutan Jalan Pedagang Sapi, adalah
sebuah jalan tembus yang diapit oleh gubuk-gubuk kumuh
dan berisik oleh dengungan lalat awal musim panas. Udara
cukup hangat sehingga menghadirkan keringat, dan samarsamar bau kotoran manusia maupun hewan terbawa oleh
angin.
Kaukah itu, Mongaku yang baik?
Mata tajam Yomogi melihat sosok yang bergerak di
tengah kerumunan manusia. Mongaku berjalan dengan
sandal usangnya. Dia tidak memakai topinya ataupun
membawa tongkat peziarahnya.
Akhirnya kita bertemu lagi!
Ya, untuk yang ketiga kalinya.
Ya, aku pertama kali berjumpa denganmu di jalan dari
Yamato, ketika kau sedang menangis saat mencari
majikanmu, Tokiwa.
Kemudian, sekali lagi pada awal bulan ini di Kuil
Kiyomizu, saat hari raya Kannon.
Ya, berkat kebesaran Buddha! Dan sudahkah kau pergi
ke kapel lagi untuk mewakili majikanmu?
Aku harus menyampaikan doa khusus kepada Kannon,
dan karena itulah aku akan pergi ke kapel selama seratus
hari, dan aku baru saja memulainya.
Mengapa kau selalu mewakilinya? Apakah yang
mencegah majikanmu pergi ke kapel sendiri?

Karena ... alih-alih menjelaskan, Yomogi melontarkan


tatapan heran kepada Mongaku, bagaimana kau
mengharapkanku untuk menjawab pertanyaan seperti itu?
Bagaimana? ...
Tentu saja, karena beliau takut keluar dari rumah,
untuk ke kebun sekalipun. Beliau tidak ingin melihat siapa
pun, atau dilihat oleh siapa pun.
Bisa-bisa majikanmu sakit jika terus-menerus bersikap
seperti itu. Ada sesuatu yang membuatnya khawatir
setengah mati. Puisi yang pernah kutitipkan kepadamu ...
apakah beliau sudah melihatnya?
Ya, aku memberikannya kepada beliau ketika beliau
masih tinggal di rumah Itogo. Aku masih ingat, bunyinya
begini ... kata Yomogi, melafalkan puisi tersebut.
Itu dia! Ternyata kau menghafalnya!
Beliau selalu meletakkannya di meja tulisnya, kau
tahu.
Kemarilah, jangan berdiri di situ. Sekawanan sapi
sedang berjalan ke arahmu.
Mongaku menarik Yomogi ke pinggir jalan. Di belakang
rumah-rumah yang berjajar di tepi jalan terdapat lahan
berpagar, tempat sapi-sapi dan kuda-kuda dibiarkan
merumput. Para pedagang membawa hewan-hewan ternak
mereka ke pasar hari ini. Sekawanan sapi sedang melewati
mereka, ketika Yomogi tiba-tiba mencengkeram lengan
Mongaku dan berusaha bersembunyi di belakangnya.
Seorang pria bertampang garang, yang menggiring berekorekor sapi, menatap tajam Yomogi ketika melewatinya, lalu
menoleh untuk memandangnya sekali lagi.
Siapakah pria itu?

Itu adalah paman majikanku,Tokiwa _


Oh, pria brengsek itu, bukankah dia yang mencoba
merebut hadiah dari Rokuhara setelah menipu majikanmu
dan membawanya beserta ketiga anaknya kembali ke ibu
kota?
Dia jahat Matanya membuatku bergidik. Apakah
menurutmu dia mengenaliku? Apakah yang harus
kulakukan jika dia mengingatku?
Mongaku, seorang biksu pengembara yang tidak terikat
dengan biara atau kuil mana pun, menghabiskan sebagian
besar waktunya di Kumano atau Air Terjun Nachi, sesuka
hatinya mengunjungi berbagai kuil dari beraneka ragam
aliran, dan sesekali kembali ke ibu kota. Tidak seorang pun
kawannya di ibu kota pernah melihatnya selama tiga tahun
terakhir, hingga Mongaku mendadak muncul di Kyoto pada
suatu hari dan terpana ketika mendengar bahwa teman
sekolahnya, Kiyomori, telah berkuasa. Kebangkitan
kekuasaan Kiyomori menghadirkan keraguan kepada
Mongaku; dia mendapati dirinya menghabiskan waktu
untuk memikirkan tentang hal ini; orang-orang sepertinya
menyukai Kiyomori. Apakah teman sekolahnya itu akan
mengikuti jejak pendahulunya yang bengis. Shinzei? Ini
menggelikan, sulit dipercaya! Mungkinkah Kiyomori, si
pemuda bertengkorak tebal, seperti sebutan mantan temanteman sekolahnya, menjadi orang nomor satu di negeri ini?
Mengherankan sekali bahwa prestasi Kiyomori bisa
melampaui dirinya! Tetapi, Mongaku tidak bisa
menyembunyikan kepuasannya ketika melihat bahwa kaum
samurai yang semula dibenci sekarang dianggap
berkedudukan setara oleh para bangsawan.
Mongaku yang baik, ke manakah kau hendak pergi?
tanya Yomogi, masih memegangi lengan Mongaku erat-

erat. Dia mengedarkan pandangan ketakutan ke arah


kerumunan orang di dekat mereka.
Mongaku tertawa. Kau masih ketakutan gara-gara
pedagang sapi itu, ya?
Aku takut dia akan
mengkhawatirkan majikanku.

membuntutiku

...

aku

Kesetiaanmu kepada majikanmu sama seperti Asatori,


kawanku.
Asatori ... si juru kunci Mata Air Dedalu?
Ya. apa kau masih ingat ketika kau sering meminta air
kepadanya?
Aku kerap memikirkan apa jadinya dirinya.
Dia tinggal di sini, di dalam sebuah gubuk kecil yang
reyot
Wah, aku tidak tahu tentang itu! Apakah kau yakin?
Tahun lalu, dia menyeberang ke Shikoku untuk
mengunjungi majikannya di tempat pengasingannya. Aku
kadang-kadang bertemu dengannya di jalan, sedang
memainkan serulingnya. Seorang teman yang aneh.
Oh tidak, dia baik sekali. Dia selalu bersikap baik
kepadaku, kepada semua orang.
Berapakah umurmu ketika itu?
Dua belas.
Jadi, sekarang umurmu enam belas?
Ya, enam belas jawab Yomogi, mendadak tersipusipu malu. Apakah kau hendak menemuinya sekarang?
Tidak, aku akan berdoa di makam seorang wanita tua
yang pernah kukenal.

Siapakah wanita tua itu?


Banyak sekali pertanyaan yang kauberikan kepadaku! ...
Wanita tua itu adalah ibu Kesa-Gozen.
Dan siapakah Kesa-Gozen?
Kau tidak akan tahu. Kau belum lahir waktu dia masih
hidup. Ibunya bunuh diri ketika Kesa-Gozen meninggal,
dan aku, yang tidak layak hidup, ternyata justru masih
hidup. Doa yang kupanjatkan setiap hari, dan ziarah yang
kulakukan ke makamnya setiap bulan tidak cukup untuk
menghapus rasa bersalahku. Aku harus melakukan
kebaikan di dunia ini sebelum bisa mengharapkan
pengampunan. Yomogi, katakanlah kepadaku tentang apa
yang sebaiknya kulakukan.
Aku tidak memahami ucapanmu, Mongaku yang baik.
Tidak, aku yakin kau memang tidak mengerti. Aku
berbicara kepada diriku sendiri. Mari kita mencari Asatori
sambil meneruskan obrolan kita. Aku tidak tahu apakah dia
mau ikut atau tidak.
Keduanya menyusuri jalan yang kotor oleh sampah dan
berbau busuk, menerjang kerumunan lalat yang
beterbangan ke sana kemari dan anak-anak yang senantiasa
menghalangi langkah mereka ... anak-anak dengan mata
merah atau badan berkoreng; tidak ada seorang pun di sana
yang terbebas dari berbagai macam wabah atau penyakit
kulit, dan dari gubuk-gubuk kumuh di sekitar mereka,
terdengarlah raungan orang-orang mabuk dan jeritan
pasangan-pasangan yang sedang bertengkar.
Aku yakin inilah tempatnya, kata Mongaku, berhenti
di depan salah satu gubuk. Batu-batu difungsikan sebagai
pemberat di atap gubuk itu, teritisnya miring ke sana
kemari, dan lapisan semen di dindingnya telah mengelupas

di sana-sini, memperlihatkan rangka anyaman bambu di


bawahnya. Tetapi, sebuah tikar jerami menggantung di
pintu; beberapa rumpun rumput galah dan tanaman lainnya
tumbuh di bawah jendela. Sepertinya seseorang telah
menyapu bagian depan gubuk.
Apakah Asatori ada di rumah? Mongaku berseru,
mengangkat tirai seraya melangkah ke dalam. Seorang pria
sedang duduk di dekat jendela, membaca sebuah buku yang
diletakkan di atas peti kayu. Dia menoleh.
Ah, silakan masuk, silakan masuk! serunya, menatap
Yomogi, yang berdiri di belakang Mongaku. Asatori
membelalakkan mata dengan takjub. Mereka tidak pernah
berjumpa lagi sejak pertemuan terakhir mereka di
reruntuhan Istana Mata Air Dedalu. Betapa masih ada
kenangan indah dan hangat yang mereka miliki di tengah
kekerasan dan kebrutalan dunia!
Astaga, Asatori, aku tidak tahu bahwa kau tinggal di
sini!
Kau sudah besar, Yomogi! Aku hampir saja tidak
mengenalimu.
Kau juga telah berubah, Asatori. Kau kelihatan lebih
tua.
Apakah aku banyak berubah?
Tidak juga. Apakah kau masih menjadi juru kunci Mata
Air Dedalu?
Tidak, namun di dalam hatiku, aku masih seorang juru
kunci hingga ajal menjemputku.
Ya, dan itu mengingatkanku akan perkataan orangorang tentang Istana Mata Air Dedalu. Kata mereka,
alunan musik misterius terdengar setiap malam dari sana,

dan arwah Kaisar yang terasingkan bergentayangan di


antara pepohonan. Orang-orang takut berkeliaran di dekat
tempat itu.
Dan rumah majikanmu tidak terbakar ketika itu, namun
perang terakhir pasti telah membinasakannya?
Ya, tidak hanya terbakar, tapi kami harus melarikan diri
untuk menyelamatkan nyawa kami.
Hidupmu pasti sangat berat
Bebanku tidak seberapa jika dibandingkan dengan
majikanku dan anak-anak beliau.
Aku mendengar banyak gosip dari seorang pedagang
sapi ... Tomizo, seorang tokoh penting di sini.
Oh, kau mengenal pria jahat itu, Asatori? tanya
Yomogi, bergidik.
Keduanya melanjutkan obrolan mereka dengan penuh
semangat lupa bahwa Mongaku ada di sana. Karena tidak
tahu harus melakukan apa, Mongaku mengambil buku yang
tengah dibaca oleh Asatori dan mulai membuka-buka
halamannya. Dia penasaran ...
apakah yang sedang
dilakukan oleh Asatori dengan buku tentang obat-obatan?
Mongaku mengeluarkan satu demi satu buku dari dalam
peti. Semuanya membahas tentang pengobatan. Selama ini
Mongaku telah menganggap Asatori sebagai seorang pria
aneh, namun ternyata dia lebih aneh daripada yang
diduganya. Apakah yang sedang direncanakan oleh Asatori
saat ini? Dia adalah seorang pemain musik istana yang
beralih pekerjaan menjadi juru kunci Mata Air Dedalu; dia
juga pernah mengejutkan Mongaku dengan menceritakan
bahwa dirinya bergabung dengan rombongan pertunjukan
boneka jalanan; dan sekarang dia sedang belajar tentang

obat-obatan.
Mongaku
keheranannya.

kesulitan

menyembunyikan

Apakah kalian berdua sudah selesai mengobrol? tanya


Mongaku, terkekeh.
Maafkan kami, Mongaku, karena mengabaikanmu.
Asatori ... Ya?
Apakah kau sedang mempelajari ilmu pengobatan?
Ya, aku melakukannya jika memiliki waktu.
Kalau begitu, kau
pertunjukan boneka?

tidak

akan

menjadi

dalang

Tidak, tidak, aku akan menjelaskannya kepadamu. Aku


tidak akan bisa mencari uang dengan menjadi tabib, jadi
aku tetap memainkan serulingku untuk pertunjukan boneka
dan memberikan pelajaran memainkan lonceng dan
genderang. Bahkan, aku melakukan banyak hal untuk
menyambung kehidupanku.
Hmm ... kau memang memiliki banyak sisi
Itu benar; ada begitu banyak hal yang kuinginkan
sehingga aku selalu gelisah.
Mengapa kau tidak kembali ke Istana dan mengambil
kembali pekerjaanmu sebagai pemain musik?
Jika keadaan Istana tidak seperti sekarang, aku tentu
mau melakukannya.
Kalau begitu, apakah kau pada akhirnya akan menjadi
tabib?
Sebenarnya, aku belum memikirkan tentang itu, namun
ada sangat banyak orang yang miskin dan tidak
berpendidikan di sekelilingku, sehingga kupikir akan lebih

baik jika aku menjadi biksu sepertimu dan mempraktikkan


ilmu pengobatan yang sudah kupelajari.
Hmm ... aku mengerti; aku bisa menduganya darimu.
Itu adalah tindakan yang baik. dan kau orang yang tepat
untuk melakukannya. Para bangsawan dan orang kaya
sanggup membayar tabib dan
membeli obat, namun orang miskin hanya mampu
menanti ajal. Aku meragukan apakah ada seorang saja dari
seratus orang di sini yang mampu membayar jasa seorang
tabib.
Begitulah. Aku sudah mengunjungi semua gubuk itu,
dan di dalamnya bisa dipastikan ada seseorang yang sakit.
Tidak ada harapan bagi orang-orang ini. Jika mereka sudah
tidak memiliki cukup makanan untuk orang-orang yang
masih sehat, mereka yang sakit akan dibawa ke perbukitan
atau sungai dan dibiarkan meninggal di sana.
Aku kalah darimu, Asatori.
Apa maksudmu?
Maksudku adalah kemampuanmu untuk mencintai,
cintamu kepada sesama manusia. Kau membuatku merasa
sangat hina.
Omong kosong, Mongaku. Ingatlah bahwa aku terlahir
sebagai pemain musik dan bisa memainkan hampir semua
alat musik dengan baik, namun aku bukan orang
berpendidikan sepertimu dan harus berjuang keras untuk
memahami buku-buku ini.
Sepertinya kau akan sangat kesulitan jika harus belajar
sendiri. Aku akan memperkenalkanmu kepada seorang
tabib baik hati yang pasti bersedia mendidikmu.

Betapa beruntungnya aku! Tapi, apakah kau mengenal


orang yang mau menolongku?
Ya, seorang lulusan sekolah tabib terkenal. Beliau
sudah cukup tua sekarang ini dan tinggal di rumah
peristirahatannya yang terletak tidak jauh dari ibu kota.
Aku akan membekalimu dengan sebuah surat dan kau bisa
mencari tahu sendiri apakah dia mau mendidikmu atau
tidak.
Tanpa
membuang-buang
waktu,
Mongaku
mengeluarkan tinta dan menulis sebuah surat pengantar.
Selagi Mongaku berbicara dengan Asatori, Yomogi
duduk diam, sepenuhnya terabaikan, gelisah memikirkan
Tomizo. Dia ingin secepatnya pulang.
Asatori bisa mengantarmu pulang, kata Mongaku,
menenangkannya. Aku tentu saja mau mengantarmu,
namun aku bisa-bisa terlibat masalah dengan para prajurit
dari Rokuhara. Asatori, kau mau mengantarkan Yomogi
pulang, bukan?
Tentu saja aku mau, jawab Asatori, dan lesung pipit
pun seketika muncul di wajah cemas Yomogi.
Ketiganya keluar bersama-sama, dan Mongaku
memisahkan diri di sebuah persimpangan di dekat Jalan
Pedagang Sapi.
Yomogi dan Asatori melanjutkan perjalanan, dan
setibanya mereka di daerah yang sunyi, Yomogi melihat
dua orang pria mengikuti mereka, namun dia tidak
merisaukannya karena Tomizo tidak terlihat di antara
mereka.
Rumah yang di sebelah sana itu, kata Yomogi,
menunjuk sebuah rumah, adalah milik majikanku.

Tokiwa. Dia mendadak berhenti,


perjalanan mereka ternyata pendek.

kecewa

karena

Selamat jalan, sampai berjumpa di lain waktu, seru


Yomogi, meninggalkan Asatori dan menghilang di balik
gerbang rumah peristirahatan itu.
o0odwkzo0o

Bab XXXIII-SEKUNTUM PEONI PUTIH


Lenguhan sesekali terdengar dari sudut sebuah tanah
lapang tempat pasar digelar pada siang hari. Seekor kerbau
gelisah memanggil pasangannya di tengah kegelapan
malam, dan jejakan kakinya menambah kegelapan di
sekelilingnya. Satu-satunya cahaya yang ada berasal dari
sebuah gubuk yang digunakan oleh beberapa orang pria
untuk berjudi. Ruangan sempit itu pengap oleh asap lentera
dan aroma sake, dan gemerincing uang logam terdengar
meningkahi suara-suara parau. Beberapa orang pedagang
terlihat di antara para penggembala sapi dan pejudi ulung,
berlomba-lomba menetapkan taruhan yang lebih tinggi.
Peluh mengalir di wajah serius mereka, dan mata mereka
membelalak setiap kali dadu bergulir.
Tomizo menggeram. Masih sama saja? Apa gunanya,
kalau begitu? ... Belum selesai juga? Marah dan menyesali
kekalahannya, Tomizo bersandar ke dinding papan tipis
dan menopangkan kepala ke sebuah bantal kayu. Beberapa
saat kemudian, dia duduk dan meraih guci sake sembari
menggumam, Mengapa semua yang kulakukan akhir-akhir
ini sia-sia. Aku tak mengerti Tomizo menenggak sisa
sake di guci, lalu menggeleng perlahan dan mengernyitkan
wajahnya; dia menepuk-nepuk pahanya, tidak mampu
melarikan diri dari kegelisahan yang menyiksanya. Tokiwa

adalah ujung pangkal dari rangkaian nasib buruknya,


pikirnya. Dia telah bertindak bodoh dengan melaporkan
tentang keberadaan Tokiwa ke Rokuhara. Dia tidak
mendapatkan apa-apa dari tindakan itu ... tidak sepeser
pun. Lebih buruk lagi, mereka memenjarakannya dan baru
melepaskannya setelah menghajarnya habis-habisan. Dia
tentu akan melawan para penyiksanya seandainya itu akan
membawanya langsung ke hadapan Kiyomori, namun itu
tidak terpikir olehnya. Dan ketika dia mengeluh kepada
teman-temannya
tentang
perlakuan
buruk
yang
diterimanya, mereka malah mengolok-oloknya sehingga
amarahnya semakin menggelegak. Dia juga sudah
mendengar bahwa Tokiwa saat ini tinggal di suatu tempat
di ibu kota, menikmati segala kemewahan dan kehormatan
yang menyertai kedudukannya sebagai gundik Kiyomori.
Sake, wanita, judi ... sedikit demi sedikit, seluruh harta
yang dimilikinya melayang. Hewan ternak yang tersisa di
peternakannya telah terjual di pasar pagi itu. Dia berjudi
lagi sesudahnya untuk menebus kekalahannya, namun
justru mendapati dirinya semakin terbelit utang.
Pinjami aku uang hingga hari pasar yang selanjutnya,
pintanya, namun tidak seorang pun menanggapinya. Hei,
jangan menghinaku begitu! Aku punya keponakan ...
Tokiwa ... dan dia lebih berharga bagiku daripada seluruh
uang yang ada di situ, geramnya sebelum berbaring
kembali.
Ketika terbangun keesokan paginya, Tomizo mendapati
dirinya sendirian. Dia mengusir lalat-lalat yang
mengerumuni wajahnya, bangkit menguap, dan berjalan ke
padang rumput yang telah bermandikan sinar matahari.
Hei, Kame, bagaimana dengan kemarin? Bukankah aku
sudah membayarmu?

Kame, seorang penggembala sapi yang sehari


sebelumnya ditugaskan oleh Tomizo untuk membuntuti
Yomogi dan Asatori, keluar dari salah satu kandang dan
memberikan keterangan yang diminta oleh Tomizo.
Karena hari pasar berikutnya telah mendekat Tomizo
membutuhkan uang. Dia pun berangkat ke rumah
peristirahatan Mibu, tempat tinggal Tokiwa. Di gerbang
pelayan, dia mengumumkan kedatangannya, Aku adalah
paman majikan kalian, Tokiwa. Aku datang untuk
menengoknya. Katakan kepadanya bahwa aku ada di sini.
Seorang pelayan menyampaikan pesan tersebut kepada
Tokiwa Selagi Tomizo menunggu, Yomogi berjalan ke
halaman sambil membawa seikat bunga dan mendadak
gemetar begitu melihatnya.
Oh, Yomogi, cantik sekali kau sekarang! Aku baru saja
memberi tahu mereka tentang siapa diriku. Aku juga ingin
memintamu untuk memberi tahu majikanmu bahwa aku
telah datang untuk menengoknya. Hmm ... kalian tinggal di
tempat yang asri dan tenang.
Nyonya tidak ada di rumah ... beliau baru saja pergi.
Apa?
Nyonya sedang tidak ada di rumah.
Kaupikir kau bisa membodohiku, ya?
Tetapi, ini benar; beliau sedang tidak ada di rumah!
Dasar pembohong cilik! Apa-apaan kau ini? Aku
pamannya Cepat katakan kepada majikanmu bahwa aku
ada di sini! Tomizo memelototi gadis yang gemetar
ketakutan itu.

Pelayan yang membawa pesan Tomizo muncul kembali,


ditemani oleh seorang wanita tua. Nyonya sudah sakit
agak lama, kata si wanita tua dengan nada datar.
Sakit? Itu memberiku lebih banyak alasan untuk
menemuinya. Aku tidak bisa pergi sebelum berjumpa
dengannya, Tomizo bersikeras, duduk di depan pintu
tanpa menunjukkan tanda-tanda akan segera pergi.
Sementara itu, Yomogi menyelinap pergi. Pikiran
pertama yang terlintas di benaknya adalah memanggil
Mongaku, namun dia tidak tahu ke mana dia akan mencari
biksu pengembara itu. Asatoril adalah orang kedua yang
terpikir olehnya, namun dia ragu apakah pria itu bisa
menjadi lawan yang seimbang bagi Tomizo. Kemudian,
satu nama lagi terlintas di benaknya ... Bamboku!
Yomogi segera pergi ke toko di Jalan Kelima dan
menemui Hidung Merah di sana.
Astaga, ini kabar buruk! Nyonyamu pasti ketakutan!
seru Bamboku. Dia segera memerintahkan agar kudanya
disiapkan dan bergegas berangkat ke rumah peristirahatan
di Mibu.
Mendengar ringkikan kuda di gerbang, Tomizo langsung
berdiri dengan waspada. Tetapi, Bamboku hanya
menatapnya tanpa ekspresi apa pun.
Hei, kamu, siapa pun dirimu ... kemarilah sebentar.
Bamboku melambai kepada si pedagang sapi; seraya
menjejalkan segenggam uang ke tangan Tomizo, Hidung
Merah menepuk-nepuk punggungnya. Sudahlah, lupakan
saja ini! Jangan bertingkah seperti orang bodoh. Jika uang
yang kauinginkan, kau akan mendapatkannya. Kau ingin
sake, kau juga akan mendapatkannya. Langsung temui saja
Bamboku di Jalan Kelima. Ya, sangat gampang jika kau

mau menemuiku, katanya, mendadak tertawa terbahakbahak.


Takjub karena kebaikan hati Bamboku. Tomizo berkata
dengan terbata-bata, Saya tidak bermaksud buruk ...
datang kemari hanya untuk menengok keponakan saya
tersayang. Tidak akan menyampaikan kabar buruk apa
pun
kepadanya,
namun
penguasa
Rokuhara
memperlakukannya dengan buruk, bukan? Ya, beliau
memperlakukannya dengan sangat buruk
Sambil menggumam tanpa arah, Tomizo menyelipkan
uang yang diterimanya ke balik obi-nya dan pergi begitu
saja. Tetapi, sesaat setelah dia melangkah keluar dari
gerbang, sebuah pekikan ngeri terdengar. Hidung, yang
berdiri di bagian dalam gerbang, berlari keluar sambil
menjerit-jerit dan mengedarkan pandangan ke jalan. Tidak
ada yang terlihat olehnya kecuali atap-atap peternakan di
dekat situ yang berselimut kabut di bawah langit berbintang.
Bawalah obor ... lentera juga boleh! Cepat! Seru
Hidung Merah sambil membungkuk untuk memeriksa
badan Tomizo yang telah terpisah dari kepalanya. Di
bawah cahaya beberapa buah lentera, dia memeriksa
wilayah di sekitarnya dan melihat rumput dan batu yang
basah oleh darah.
Siapakah yang telah membunuh Tomizo? Pekerjaan
yang sangat rapi! Bamboku menggeleng, kebingungan. Para
pelayan, bagaimanapun, saling mengangguk dan
melontarkan tatapan penuh arti. Sesosok iblis ... hanya iblis
yang bisa melakukannya.
Ini tidak dilakukan oleh seorang ahli pedang biasa, dan
dengan pedang biasa, gumam Bamboku. Terlebih lagi,
kepalanya hilang. Ini urusan yang sama sekali tidak
menyenangkan, lanjutnya. Mengabaikan keributan di

sekelilingnya, Bamboku menatap lekat-lekat cahaya


lenteranya. Kemudian, dia menoleh ke arah para pelayan
yang berkumpul di belakangnya dan berkata, Ya, kita akan
merahasiakan kejadian ini. Majikan kalian tidak boleh
mendengar tentang ini, mengerti?
Tepat ketika itu, Yomogi pulang membawa sebuah cerita
menakutkan.
Waktu saya tiba di sungai dan hendak menyeberangi
jembatan, saya merasa mendengar bebek memercikkan air
di bawah saya, namun waktu saya menunduk, yang terlihat
adalah seorang pria yang sedang membungkuk untuk
membilas pedangnya yang bersimbah darah, dan di
sampingnya tergeletak sebuah kepala manusia! Saya
terpaku di jembatan. Kemudian, dia mendongak dan
memelototi saya. Mungkin sinar bulanlah yang
menghadirkan kesan mengerikan, tapi saya yakin bahwa
seumur hidup saya, baru kali inilah saya melihat wajah
semenakutkan itu. Dan saya langsung secepatnya berlari
pulang .Tapi, oh, saya tak bisa melupakan tatapannya!
Seperti apakah pakaian orang itu?
Dia memakai mantel berburu dan topi samurai.
Sepertinya dia masih cukup muda ... awal dua puluhan,
mungkin.
Semakin sulit untuk
menggumam, bersedekap.

menebak-nebak,

Bamboku

Ketika diberi tahu bahwa pemuda yang dilihatnya


barangkali adalah pembunuh Tomizo, wajah Yomogi
sekonyong-konyong pucat pasi akibat ketakutan dan
ketakjuban; kemudian, matanya berkaca-kaca dan air mata
mengalir ke pipinya. Melihat hal ini, para pelayan yang lain
memandanginya, kebingungan. Mengapa kau menangis,

Yomogi? Dia memang paman majikanmu, tapi keadaan


akan lebih baik jika dia disingkirkan dari sini. Kematian
bajingan itu akan menghadirkan kebaikan kepada kita.
Majikanmu tentu akan lega jika mendengar tentang hal ini.
Tidak ada alasan bagimu untuk menangisinya.
Tetapi, Yomogi menggeleng dan mengatakan, Saya
tidak menangisi dia. Saya pergi ke Kapel Kannon setiap
hari, dan saya yakin bahwa Kannon mendengar doa-doa
saya. Saya baru sadar bahwa pemuda itu adalah penjelmaan
dari Kannon, dan entah mengapa, itu membuat saya
terharu.
Bamboku, bagaimanapun, tetap duduk dengan lengan
bersedekap; dia menggeleng-geleng, kesulitan memercayai
kejadian ini. Menurut cara berpikirnya, dibutuhkan lebih
dari sekadar campur tangan Kannon untuk mewujudkan
apa yang baru saja terjadi. Perkara lain juga
meresahkannya. Sekali pun, Kiyomori tidak pernah terlihat
lagi di rumah peristirahatan ini sejak dia memeriksanya
lama berselang; Hidung bertanggung jawab atas Tokiwa.
Apakah yang menyebabkan perubahan sikap Kiyomori itu,
pikir Bamboku, gundah. Dia juga khawatir. Tokiko
memang sudah dengan jelas melarangnya menginjakkan
kaki di Rokuhara, namun mengapa Kiyomori menjaga
jarak darinya, atau dengan kata lain mengabaikannya?
Entah bagaimana, perhitungan Bamboku sepertinya
meleset. Selama pergolakan terakhir, dia telah
mempertaruhkan seluruh harta, reputasi, dan bahkan
nyawanya untuk memastikan kemenangan
Kiyomori. Segala upayanya tampaknya sia-sia saja
sekarang. Sudah saatnya dia mendapatkan balasan atas
segala risiko yang telah diambilnya. Namun seluruh
rencananya sepertinya terhambat oleh urusan hubungan
gelap dengan Tokiwa ini, dan hari-hari musim semi

berkelebat dengan cepat, kecemasan semakin menyiksa


Hidung Merah. Dia tidak tahu kapan Kiyomori akan
mengunjunginya, dan apakah dirinya boleh mengunjungi
Kiyomori ... tetapi, karena dia telah dilarang menginjakkan
kaki di Rokuhara, bagaimanakah dia akan menemui
Kiyomori? Ini membuahkan sebuah pertanyaan lain.
Hidung mendadak tergugah dari lamunannya dan menoleh
kepada Yomogi dan para pelayan lainnya untuk
menanyakan, Apakah yang akan dilakukan oleh majikan
kalian malam ini?
Beliau mungkin akan merapalkan ayat-ayat suci, seperti
kebiasaannya.
Baiklah, kalau begitu, aku akan pergi tanpa
mengganggu beliau. Pastikan agar tidak seorang pun di
antara kalian menceritakan tentang kejadian tadi kepada
beliau.
Bamboku melangkah turun dari beranda dan memakai
sandalnya, lalu berhenti cukup lama untuk mengintip dari
balik pagar pada nyala lentera dari dalam kamar Tokiwa.
Dia bisa melihat Tokiwa dari sela-sela kerai, duduk di balik
meja tulisnya. Seperti sekuntum peoni putih, pikir Hidung,
yang layu pada malam musim semi. Dia mendesah. Patut
disayangkan bahwa bunga secantik itu disia-siakan begitu
saja .Jika Kiyomori tidak berani datang kemari gara-gara
istrinya, maka tidak ada alasan yang bisa mencegah Hidung
Merah dari merebut Tokiwa untuk dirinya sendiri, pikirnya
dengan gairah membara. Itu setidaknya adalah imbalan
yang cukup atas semua kerepotan yang harus
ditanggungnya .
Beberapa hari kemudian. Hidung Merah berkunjung ke
Rokuhara. Di gerbang yang berhadapan dengan sungai, dia
menyuap penjaga yang dikenalnya, lalu menantikan
kepulangan Kiyomori di antara pepohonan yang rimbun.

Tuan, saya berharap bisa berbicara sebentar dengan


Anda, panggil Bamboku ketika Kiyomori melewatinya.
Kiyomori berhenti dan menengok ke belakang. Kau,
Hidung ...
kupikir kau katak besar yang hendak
menyergapku. Ternyata dirimu! Mengapa kau tidak pernah
menunjukkan hidungmu itu di sini akhir-akhir ini? Dasar
brengsek, gerutu Kiyomori.
Ini lebih daripada yang saya harapkan. Saya tidak
menyangka Anda akan menerima saya dengan sehangat
ini, jawab Bamboku.
Kiyomori tergelak. Apa maksud perkataanmu itu?
Ini bukan bahan tertawaan. Tuan, Bamboku
mengeluh.
Anda
tentu
tahu
bahwa
Nyonya
memerintahkan saya untuk tidak menginjakkan kaki lagi di
sini? Ulu?
Bagaimana mungkin saya bisa datang kemari, jika
begitu? Dan siapakah yang menjadi alasan bagi larangan
itu, jika saya boleh bertanya, Tuan?
Tolol! Perintah Tokiko tidak ada hubungannya
denganku, jika Tokiko melarangmu kemari, jangan masuk
melalui gerbang perempuan lagi, Tolol!
Tetapi, beliau menekankan kepada saya bahwa perintah
itu berasal dari Anda.
Aku memberikan perintah semacam itu? Wanita selalu
mengatakan apa pun yang mereka mau. Kau cukup berhatihati agar dia tidak melihatmu. Nah, kau tidak kemari
selama sebulan terakhir dan tidak mengabarkan tentang
keadaan Tokiwa kepadaku. Dasar manusia tak berguna!
Dasar bajingan pemalas dan pengecut!

Ah, ternyata keresahan saya sia-sia saja. Anda ternyata


jauh lebih pemaaf daripada yang saya sangka. Tuan!
Aneh juga, untuk orang selancang dirimu. Katakan
kepadaku, apakah Tokiwa baik-baik saja? Dia sehat dan
hidup nyaman di rumah itu, bukan?
Walaupun diucapkan dengan nada bercanda, pertanyaan
Kiyomori tentang kabar Tokiwa sarat dengan emosi. Ada
hal lain yang harus kusampaikan, tapi sebaiknya kita masuk
terlebih dahulu, katanya, mempersilakan Hidung
memasuki kamarnya. Kemudian, Kiyomori pun mulai
bertanya lebih banyak tentang Tokiwa, seolah-olah
berusaha mencari ketenangan dari jawaban-jawaban
Bamboku. Kendati begitu, Bamboku bisa merasakan bahwa
bukan larangan Tokiko, melainkan sesuatu yang lebih
pentinglah yang menghalangi Kiyomori mengunjungi
Tokiwa. Sudah jelas bahwa tugas-tugas Istana hanya
menyisakan sedikit waktu baginya untuk mengurus
kepentingan pribadinya. Untuk menjelaskan tentang
kesibukannya akhir-akhir ini, Kiyomori menceritakan
bahwa seorang panglimanya baru saja kembali dari sebuah
ekspedisi melawan gerombolan perompak dan berhasil
menangkap si kepala gerombolan. Kiyomori menanyai si
perompak secara panjang lebar dan terpesona dengan
luasnya pengetahuan mengenai dunia luar. Dari si
perompak pulalah Kiyomori mendengar kisah tentang
peradaban Sung yang menakjubkan.
Saat ini, Kiyomori tengah terpikat oleh sebuah cita-cita,
yang bukan sekadar angan-angan, untuk melakukan
perdagangan. Dia yakin bahwa dirinya akan berhasil ... dia
telah menyusun sebuah rencana untuk menyebarkan
kesenian dan kesusastraan melalui perdagangan dengan
Cina. Impian ini semakin berkembang, mendorongnya
untuk mengabaikan kemarahan Tokiko, dan bahkan

membuatnya hampir melupakan Tokiwa. Rencana itulah


yang saat ini menghabiskan waktunya, dan nafisu birahinya
untuk sejenak menguap dan lenyap.
Pada masa kejayaan Tadamorl, Heik6 menguasai
sebagian besar tanah di bagian barat Jepang ... di antaranya
adalah Harima, Bingo, Aki, dan Higo ... dan Tadamori
secara diam-diam melakukan perdagangan dengan kapalkapal dari Cina; tetapi, perdagangan itu hanya dilakukan
dalam skala yang sesuai dengan rencana Tadamori untuk
menambah kekayaan keluarganya. Sekarang, Kiyomori
ingin meneruskan perdagangan dengan Cina dalam skala
yang jauh lebih ambisius.
Seperti yang kaulihat sendiri, Bamboku,
penangkapan para perompak itu tidak ternilai harganya
bagiku. Lihatlah kemari, Hidung Merah, picingkanlah
matamu ke seberang lautan dan bayangkanlah keuntungan
luar biasa yang bisa kita dapatkan dari berdagang di sana.
Pembicaraan ini berbelok ke arah yang tidak pernah
saya duga. Pikirkanlah keuntungan yang akan didapatkan
oleh negeri ini jika kita membawa barang-barang dari Cina.
Sedangkan saya ... saya akan menjadi seorang pangeran
saudagar! Tidak, saya tentu tidak akan berkeliaran ke sana
kemari seperti ini lagi, Bamboku berandai-andai.
Tetapi, intinya adalah ... lanjut Kiyomori, kita harus
mencari cara untuk membawa kapal-kapal dari Cina
langsung ke ibu kota. Percuma saja jika mereka harus
menurunkan muatan di Kyushu.
Betul juga. Jika tersebar kabar bahwa kapal-kapal itu
membawa banyak muatan, para perompak bisa dipastikan
akan menghadang mereka. Karena itulah belum ada
saudagar yang mau melakukan perdagangan dengan Cina
dari sini. Dengan adanya pelabuhan yang bagus dan setelah

Laut Dalam dibersihkan dari perompak, kita akan bisa


mendatangkan kapal-kapal kemari.
Nah, Bamboku, aku sudah memaparkan perkara ini
kepadamu, dan untuk sementara ini, kau akan punya
sesuatu untuk dipikirkan.
Saya akan memikirkannya. Saya bisa melihat bahwa
cita-cita ini akan membuat kita sibuk seumur hidup.
Tentunya Anda bisa menghabiskan waktu luang Anda,
Tuan, untuk mencurahkan perhatian Anda ke beberapa
tempat lain. Bunga yang Anda petik di pinggir jalan itu ...
sayang sekali jika Anda mengabaikannya begitu saja. Anda
menyuruh saya memegangnya, dan saya tidak tahu harus
melakukan apa untuknya. Apakah, Tuan, yang harus saya
lakukan?
Aku akan berbicara denganmu tentang hal itu di lain
waktu.
Tidak sekarang? ... Di lain waktu, kata Anda?
Ya, urusan perdagangan yang baru saja kuceritakan ini
... semua itu menyedot pikiranku; begitu pula Istana ... ada
beberapa masalah,
532 -tf
kau tahu. Aku tidak tahu apakah aku akan bisa
membereskannya dengan cepat.
Baiklah, jika begitu, malam ini saya bisa dengan santai
menyampaikan ucapan Anda kepadanya, bukan?
Kau sudah memastikan bahwa dia tidak membutuhkan
apa-apa?
Saya sendiri yang mengurus semua keperluannya.

Aku akan mengirim puisi untuknya seandainya aku


dikaruniai bakat menulis seperti ayahku . Tidak ada
darah pujangga yang mengalir di tubuhku.
Ah, tidak, jika saya boleh mengatakannya. Tuan,
Nyonya pernah menunjukkan kepada saya sebuah puisi dari
Anda. Saya masih ingat ... bagaimana bunyinya?
Sudahlah, jangan bicarakan soal puisiku . Bersama
bulan Mei hujan akan turun, dan kau sebaiknya menjaga
kesehatanmu.
Apakah itu
kepadanya?

pesan

yang

harus

saya

sampaikan

Kau memang lancang! Mengapa kau harus mengulangi


apa yang sudah kaupahami?
Maafkan saya. Tuan, jika saya memberikan satu lagi
pertanyaan kepada Anda. Benarkah bahwa saya boleh
datang kemari sesuka saya seperti dahulu?
Datanglah kapan pun kau mau, jawab Kiyomori
sebelum menambahkan, tetapi jangan sampai Tokiko
tahu.
o0odwkzo0o

Bab XXXIV-SEBUAH PATUNG PERAK


Pada suatu pagi buta di bulan Mei, ketika deretan bukit
dan lembah masih berselimut kabut putih, Yomogi berdiri
di luar rumah Hidung yang masih tertutup rapat di Jalan
Kelima.
Apakah yang sedang kaulakukan di sini sepagi ini,
Bamboku, yang masih memakai kimono tidurnya, menatap

dengan mata nyalang kepada Yomogi dari ujung kepala


hingga ujung sandalnya yang basah oleh embun.
Maafkan saya karena datang sepagi ini, namun saya
mendengar sebuah kabar buruk.
Kau selalu datang kemari dengan membawa kabar
terburuk. Ada apa sekarang ... pagi ini?
Kejadiannya kemarin, waktu saya hendak pulang dari
kunjungan rutin saya ke Kuil Kiyomizu.
Kau masih rutin pergi ke kuil, ya? Gadis baiki
Dan sepulangnya saya dari sana, saya mendapati
Mongaku tengah menunggu saya di kaki bukit.
Mongaku ... biksu berjanggut itu, ya?
Ya, dia akan pergi ke Air Terjun Nachi lagi bulan ini
dan baru akan kembali ke ibu kota saat musim gugur, dan
dia juga akan berziarah ke Kishu.
Sejak kapankah kau mengenal pengembara itu? Kau
sebaiknya
berhati-hati
kepadanya.
Kudengar
dia
menyebarkan cerita bahwa dirinya pernah menjadi teman
sekolah Tuan Kiyomori dan tidak pernah mengatakan yang
baik-baik tentang beliau.
Tetapi, dia orang baik. Dia selalu berbuat baik kepada
kita.
Biarpun begitu, kau tetap harus berhati-hati. Jadi, ada
apa dengan si Mongaku ini?
Karena dia hendak pergi ke Kishu untuk waktu yang
cukup lama, kami mengunjungi seorang teman kami ...
Asatori. Dan, waktu kami sedang mengobrol ke sana
kemari, aku menceritakan kepadanya tentang pemuda yang
kulihat sedang membilas darah dari pedangnya di sungai,
dan Tomizo yang kepalanya terpenggal

Hmm ... lalu?


Lalu, Mongaku terkejut dan memperingatkan agar kita
berhati-hati. Dia juga mengatakan bahwa sesuatu yang
mengerikan akan menimpa majikan saya nanti ... sepertinya
itu adalah ramalannya.
Apa maksudnya mengatakan itu?
Katanya, si pedagang sapi itu bukanlah orang yang
diburu oleh si pemuda. Dia membunuhnya karena
kebetulan semata. Begitulah menurut Mongaku.
Baiklah ... jadi, si pembunuh itu tentu bersembunyi di
sana. Benar begitu?
Ya, kata Mongaku, orang itu sudah bersembunyi cukup
lama di kebun Nyonya atau di suatu tempat di sekitar
rumah.
Mengagetkan ... benar-benar mengagetkan!
Tapi, Mongaku cukup yakin bahwa itulah yang terjadi.
Dia bahkan menyebutkan nama orang itu kepada saya.
Siapakah namanya?
Saya tidak boleh mengatakannya kepada Anda.
Saya sudah berjanji kepada Mongaku untuk tidak
menyebutkan namanya kepada siapa pun. Kata Mongaku,
sayang sekali jika namanya diketahui dan para prajurit
Rokuhara menangkapnya.
Apakah kau kemari sebagai pembawa pesan Mongaku
atau suruhan majikanmu? Apakah yang mendorongmu
untuk datang kemari?
Tunggulah sampai saya selesai
membentak-bentak saya seperti itu!

bercerita,

jangan

Yomogi adalah lawan yang sepadan bagi Hidung, yang


gampang marah pada pagi hari, dan cerita tentang
penjelasan Mongaku meluncur deras dari mulut gadis itu.
Nama pemuda itu, dia bersikeras, harus tetap dirahasiakan;
dia adalah seorang pelayan Gen j i yang telah bersumpah
untuk membalaskan dendam tuannya dengan cara
membunuh Ibkiwa. Pemuda itu telah lama mengintai
Tokiwa; dia bahkan bersembunyi di kebun di luar kamar
Tokiwa, namun nyalinya melayang ketika dia akhirnya
melihat calon korbannya. Mongaku telah berjanji kepada
Yomogi untuk mengusir si pembunuh menggunakan sebuah
mantra yang ditulisnya di atas selembar kertas. Dia
memberikan kertas yang telah terlipat rapi itu kepada
Yomogi dan dengan saksama memerintahkannya untuk
menggantungkannya di tempat yang terlihat di pagar kebun.
Dia meyakinkan Yomogi bahwa jika kertas itu lenyap pada
malam hari, maka mereka tidak perlu khawatir lagi. Hingga
saat itu tiba, Mongaku berulang kali memperingatkannya,
mereka harus melakukan apa pun untuk melindungi
Tokiwa. Yomogi kemudian pulang dan melaksanakan
perintah Mongaku, mengikatkan kertas itu ke batang bambu
di pagar utara rumah, yang jarang dilewati orang.
Dan saya tidak bisa memejamkan mata sesaat pun
semalam, memikirkan apakah kertas itu akan tetap ada di
sana atau tidak pagi ini.
Yomogi berhenti bicara, walaupun dia sepertinya masih
ingin bercerita, namun Bamboku telah berhasil menebak
siapa pemuda itu.
Dia pasti Konno-maru. Dia sudah lama bersembunyi di
ibu kota bersama Genji Yoshihira.
Oh, bagaimana Anda bisa tahu?

Siapa yang tidak tahu? Dan mantra Mongaku ... apakah


masih ada di sana pagi ini?
Mantra itu sudah hilang.
Seperti yang kuduga
Tapi, ada mantra lain yang menggantikannya. Yomogi
mengeluarkan selembar kertas dan dengan cemas menatap
Bamboku ketika pria itu membacanya.
Bamboku mengernyitkan keningnya dan membacanya
beberapa kali. Tulisan tangan di kertas itu, yang basah oleh
embun, nyaris tidak terbaca.
Apakah katanya?
Sepertinya
Mongaku.

ini

adalah

jawaban

untuk

mantra

Bagaimana dengan sihir yang kata Mongaku akan


bekerja?
Apa! Kau percaya bahwa kata-kata si biksu akan
mendatangkan sihir? Sepertinya dia malah menyemangati
pembunuh itu.
Oh, ini menakutkan .Apakah yang akan kita lakukan,
Bamboku, Tuan? Katakanlah kepada saya, Hidung ...
Hm? Dengan nama apa kau memanggilku?
Tidak ada. Tuan, saya hanya ...
Kau memang gadis berotak udang! Inilah jadinya jika
kau berteman dengan Mongaku. Kejadian ini semestinya
memberikan pelajaran untukmu!
Tetapi, jika bukan karena Mongaku, kita tidak akan
tahu tentang orang jahat yang ingin membunuh majikan
saya ini ... ataupun namanya. Sekarang, jika saya ...

Bah, ocehanmu itu! Kita semua tahu betapa kau


menyayangi majikanmu, tapi kau seharusnya jangan terlalu
cerewet
Mau tidak mau saya terus khawatir . Saya tidak tahu
akan melakukan apa lagi untuk meredakan kekhawatiran
saya.
Bagaimana kau akan tahu? Otakmu tidak lebih besar
daripada otak burung gereja! Kembalilah kepada
majikanmu dan hentikanlah ocehan mu itu!
? ??
Penasihat Kiyomori diam-diam bermalam di Istana
untuk menghadiri sebuah pertemuan rahasia yang
berlangsung hingga pagi hari. Dia berhasil mencuri-curi
tidur selama beberapa jam, dan sedang berjalan kembali ke
aula Istana ketika seorang pejabat istana melihatnya dan
bergegas menghampirinya untuk menyampaikan sebuah
pesan yang ditinggalkan di Pos Pengawal. Seseorang
bernama Bamboku dari Jalan Kelima, rupanya, berharap
bisa berbicara dengannya dan tengah menantinya di
perpustakaan.
Bamboku? Apa maunya? Kiyomori bertanya kepada
dirinya sendiri dengan bingung. Masalah biasa tidak akan
mendorong Bamboku untuk mencarinya ke Istana dan tidak
akan cukup untuk membuatnya diterima di Istana.
Kiyomori pergi ke perpustakaan dan menemui Bamboku
dan Itogo di sana.
Bamboku, yang jelas merasa istimewa karena diizinkan
untuk berada di tempatnya berada ketika itu, bersujud
dengan takzim dan, tanpa sikap meledak-ledak yang telah
menjadi ciri khasnya. Dengan singkat, Bamboku,
menyampaikan keyakinannya bahwa Tokiwa sedang

berada dalam bahaya, dan karena itulah dia memohon


nasihat dari Kiyomori.
Pemuda itu pasti Konno-maru, yang telah bersumpah
akan membalas dendam kepada Heiki. Ini masalah yang
sangat serius, jawab Kiyomori. Lalu, kepada Itogo,
Bawalah
prajurit-prajurit
terbaikmu
ke
rumah
peristirahatan di Mibu, kepung tempat itu, dan tangkaplah
dia. Hanya ada satu tersangka ... seorang pemuda.
Sebelum
meninggalkan
mereka,
Kiyomori
menambahkan, Dan kau. Hidung Merah, pastikan agar
dirimu terlindung dari bahaya. Jika ada apa-apa dengan
Tokiwa, kaulah yang bertanggung jawab.
Hidung membungkuk dalam-dalam.
Pada pagi itu juga, dua ratus orang prajurit di bawah
pimpinan Itogo berangkat ke rumah peristirahatan di Mibu.
Itogo memerintahkan kepada para prajuritnya untuk
berpencar dan menyisir wilayah di sekitar rumah selangkah
demi selangkah hingga seluruh tanah yang luas itu tersapu
bersih.
Mungkin saja seseorang bersembunyi selama beberapa
hari tanpa mengalami kesulitan apa pun di sana, di suatu
tempat di dalam wilayah rumah peristirahatan ... yang
mencakup sebuah danau buatan kecil dengan rumpunrumpun pepohonan rimbun yang menyerupai hutan di
sekelilingnya, dan juga sebentartg tanah yang dilewati
seruas sungai kecil.
Para prajurit mengalami kesulitan dalam menembus
rumpun-rumpun bambu dan pepohonan rimbun yang
berbatasan dengan pagar rumah peristirahatan, namun
selangkah demi selangkah, jaring manusia itu menjadi
semakin ketat dan mustahil untuk ditembus. Akhirnya,
Hidung, ditemani oleh beberapa orang prajurit, melewati

gerbang. Dia tidak mungkin melarikan diri lagi sekarang,


katanya. Aku sendirilah yang akan menggeledah rumah.
Pastikan agar Nyonya Tokiwa tidak terganggu.
Setengah dari pasukan Itogo diperintahkan untuk
menyisir bagian dalam rumah peristirahatan; mereka
merangkak ke bawah rumah; beberapa orang prajurit
memanjat ke atap; beberapa lainnya memeriksa isi sumur
atau memanjat pohon-pohon. Kendati begitu, mereka tidak
menemukan sedikit pun jejak si pembunuh. Seluruh
pencarian itu sepertinya akan sia-sia saja, dan para prajurit
yang kesal mulai berkeluh kesah. Tetapi, Hidung justru
melipatgandakan upayanya. Dia yang akan disalahkan
untuk kekacauan ini, karena dialah yang pertama kali
meributkannya. Dia melampiaskan kemarahannya kepada
Yomogi. Konno-maru tidak ada di sini, bukan? Ini semua
gara-gara cerita omong kosongmu itu! Lihatlah kekacauan
yang sudah kaubuat! raungnya ketika mereka berpapasan
di ruang pelayan.
Sudah, sudah, Hidung. seorang prajurit yang berdiri di
dekat mereka berkata dengan jengkel, untuk apa kau
menyemprot gadis malang itu? Mari kita tutup hari ini. Lagi
pula, para prajurit belum makan
Itogo, yang telah letih, meninggalkan dua puluh orang
anak buahnya untuk menjaga rumah peristirahatan.
Sekali lagi, Hidung memikirkan keseluruhan perkara ini.
Dialah yang harus melaporkannya kepada Kiyomori.
Dengan kesal, dia pun mengalihkan perhatian kepada
Yomogi. Dengar, sampaikanlah pesanku ini kepada
nyonyamu. Katakanlah kepada beliau bahwa kamu
menyesal karena telah mengganggunya dan menyebabkan
kekacauan yang tidak diperlukan ini. Kami telah
menempatkan penjaga baik di dalam maupun di luar
rumah, jadi beliau tidak perlu mengkhawatirkan

kemungkinan adanya penyusup. Penyisiran menyeluruh


telah dilakukan, dan beliau bisa percaya bahwa tidak ada
orang asing yang bersembunyi di sini. Kau mengerti, bukan,
Yomogi?
Ya, saya akan menyampaikannya kepada beliau.
Aku akan pergi ke Rokuhara sekarang.
Berhati-hatilah, Tuan.
Sampaikan pesanku kepada majikanmu tanpa
membumbuinya dengan kata-katamu sendiri. Jangan
katakan apa-apa lagi kepada beliau.
Saya benar-benar tidak secerewet yang Anda duga. Lagi
pula, siapakah yang harus diam kali ini?
Kau mulai lagi! Mengoceh dan mengoceh
Yah, baiklah, saya tidak akan mengatakan apa-apa lagi.
Saya tidak akan mengucapkan sepatah kata pun bahkan jika
sesuatu betul-betul terjadi!
Terserah kau saja. Lagi pula, kau tidak akan banyak
berarti. Para prajurit akan berjaga-jaga di sini mulai malam
ini, jadi kau tidak perlu khawatir lagi. Dan ingat, jangan
mengoceh ke sana kemari lagi saat kau keluar dari sini.
Ocehanmu itu tidak berguna. Ingat itu!
Itu saja? Yomogi cemberut, memalingkan wajahnya
dari Hidung.
Dua batang pohon ek besar berdiri dengan cabangcabang terentang bagaikan payung di atas sebuah lorong,
yang menghubungkan salah satu sayap dengan bangunan
utama dan berujung di salah satu sisi halaman dalam rumah
peristirahatan. Dedaunan baru dan sisa-sisa dedaunan layu
dari tahun lalu saling jalin berkelindan dan membentuk
selimut tebal nan rapat. Konno-maru meregangkan badan

dan mendesah lega ketika melongok ke bawah dari dalam


sarangnya. Cabang-cabang pohon yang saling berjalin
memungkinkannya untuk berselonjor atau bahkan
berbaring di antara dedaunan. Dia telah bersembunyi di
sana sepanjang hari sementara para prajurit Itogo
melakukan pencarian. Dia telah menyusun rencana, apabila
tempat persembunyiannya ditemukan, untuk melarikan diri
melalui cabang pohon yang berdekatan dengan atap rumah.
Hari telah gelap, dan dia bisa melihat beberapa api unggun
dinyalakan di sepanjang pagar.
Dia mengingat-ingat rangkaian peristiwa selama
beberapa hari terakhir, menyalahkan dirinya sendiri atas
sikap
pengecutnya.
Beberapa
kesempatan
untuk
menunaikan sumpahnya telah datang, namun nyalinya
menciut setiap kali dia hendak bertindak. Sekarang, dia
merasa lebih mudah untuk memikirkan apa yang akan
dilakukannya selanjutnya: dia akan membunuh Tokiwa
malam itu juga tanpa perlu memikirkan keselamatannya
sendiri. Dia menunggu hingga malam larut dan semua
orang tidur. Menjelang tengah malam, Konno-maru
merayap turun dari atas pohon bagaikan seekor laba-laba
dan mengendap-endap ke sebuah kamar yang masih
diterangi oleh nyala sebuah lentera. Dia sudah menghafal
denah rumah itu, dan dia tahu bahwa kamar itu ditempati
oleh Tokiwa. Dia melompati langkan dan menyusuri
sebuah lorong, lalu berjongkok di dekat sebuah pintu. Pintu
itu terkunci. Dia bisa dengan mudah membongkar kuncinya
memakai belati dan mendobrak pintu itu, walaupun
keributan yang timbul bisa dipastikan akan mendatangkan
para pelayan dan prajurit; tetapi, sebelum mereka datang,
dia tentu telah menikam Tokiwa. Apa yang akan terjadi
padanya sesudah itu tidak perlu dipikirkannya.

Selagi pikiran itu berkecamuk di benaknya, sebuah suara


mengejutkannya.
Siapa di situ?
Itu adalah suara seorang wanita. Cahaya memancar dari
kerai yang terangkat, dan gemerisik sutra terdengar
menghampiri pintu; Konno-maru cepat-cepat menjauh.
Pintu terbuka dan wajah pucat Tokiwa terlihat, diterangi
oleh lentera yang dipegangnya.
Apakah kau Konno-maru? tanya wanita itu.
Konno-maru memekik kaget dan berdiri terpaku.
Tokiwa, bagaimanapun, tidak menunjukkan tanda-tanda
keterkejutan ataupun ketakutan. Kata-katanya yang
selanjutnya meluncur dalam bisikan.
Konno-maru, aku yakin itu dirimu ... pelayan
kesayangan Tuan Yoshitomo. Kemarilah ... kemari ...
jangan sampai orang lain mendengar pembicaraan kita,
kata Tokiwa, melambai ke arah Konno-maru.
Tokiwa menyibakkan tirai sutra di depan pintunya dan
masuk kembali ke kamarnya, diikuti oleh Konno-maru,
yang berjongkok di salah satu sudut kamar.
Tokiwa perlahan-lahan menutup pintu. Sumbu lentera
memancarkan cahaya cemerlang; di atas meja tulis
tergeletak ayat-ayat suci yang sedang disalin oleh Tokiwa.
Tokiwa mendengar tentang Konno-maru dan tujuan
hidupnya dari Yomogi, namun hal itu tidak mengusiknya;
dia hanya dengan tenang mengungkapkan keterkejutannya
saat mengetahui bahwa Konno-maru telah selama beberapa
hari berada begitu dekat darinya. Ketika Yomogi
menunjukkan mantra yang diikatkan oleh Konno-maru di
pagar, Tokiwa tersentuh dan berkata, Dia adalah seorang

pelayan yang baik dan setia, dan perasaannya kepadaku


tidak bisa disalahkan.
Selama beberapa waktu, keduanya hanya duduk diam
dan saling memandang. Api lentera bergoyang-goyang
tertiup angin.
Konno-maru tidak menemukan kesan menjijikkan di
dalam sosok wanita yang duduk di hadapannya. Tokiwa,
dengan rambut hitam yang terurai di atas lipatan kimono
sutranya, duduk dengan tenang. Kepalanya sedikit
tertunduk, seolah-olah dia tengah bermeditasi. Konno-maru
merasakan tubuhnya lemas lunglai walaupun pikirannya
terus berpacu. Apakah yang menahannya dari menghampiri
Tokiwa dan menikamnya pada saat itu juga? Bersama
setiap detik yang berlalu, hatinya semakin lemah akibat
belas kasihan yang tak tertahankan. Dia sama sekali tidak
melihat kesan jahat dan binal seperti yang selama ini
disangkanya. Aroma dupa menggelitik lubang hidungnya,
dan dia menoleh ke altar, tempat aroma itu berasal. Sekali
lagi, dia menatap Tokiwa dan mengernyitkan wajah melihat
perawakan kurusnya.
Konno-maru, apakah kau masih ingat ketika dahulu
kau sering mendatangi rumahku untuk menyampaikan
surat dari Tuan Yoshitomo?
Suara lembut itu seolah-olah menyadarkan Konno-maru,
dan dia pun membelalakkan matanya kepada Tokiwa.
Jadi, kau belum sepenuhnya melupakan beliau?
Bagaimana mungkin aku bisa melupakan beliau?
jawab Tokiwa dengan lirih.
Ah, dasar kau wanita binal, bagaimana mungkin kau
mengatakan itu tanpa malu! Kau memang wanita jahat!

Kau benar, Konno-maru. Aku ingin mendengar


seseorang mengatakan itu kepadaku ... menghujatku,
menghinaku, mempermalukanku.
Benarkah itu?
Itulah kebenarannya, Konno-maru. Kau bisa
melihatnya sendiri; aku tidak berusaha melarikan diri
darimu.
Ya, itu benar. Tapi penyesalanmu tentu tidak bertahan
lama.
Aku tidak menyesali apa pun yang telah kulakukan.
Aku hanya menjalankan pilihanku.
Apa! Maksudmu, kau juga memilih kematian dengan
cara tertentu?
Konno-maru meraih gagang pedangnya dengan tangan
gemetar; hanya dengan sedikit mengangkat tangannya, dia
akan bisa menghunjamkan ujung pedangnya ke bagian
mana pun dari tubuh Tokiwa.
Kemudian, Tokiwa berkata, Tidak ada pilihan lain bagi
seorang wanita . Tidak ada, setidaknya bagiku. Aku malu
... malu karena didapati dalam keadaan seperti ini oleh
seorang mantan pelayan Tuan Yoshitomo.
Tokiwa sepertinya
mengatakan apa-apa.

hendak

pingsan

namun

tidak

Jika hatimu akan tenang setelah kau membalas dendam


dengan cara membunuhku, maka bunuhlah aku. Aku sudah
siap . Aku tidak akan berusaha melarikan diri ataupun
menjerit ketakutan, kata Tokiwa dengan tenang seraya
mengulurkan setumpuk surat yang sudah disiapkannya.
Aku hanya punya satu permintaan terakhir. Ini adalah
surat untuk anak-anakku, pesan terakhirku kepada putra-

putraku . Dan ini ... ini adalah milik Tuanku Yoshitomo.


Pastikanlah agar benda ini tiba di tangan Genji yang
tepercaya. Hanya itu yang kuminta darimu.
Kemudian, Tokiwa memalingkan wajah dari Konnomaru dan berdoa di hadapan patung Kannon di dalam
ruang peribadatannya.
Konno-maru mendadak risau. Dia teringat pada
sederetan patung perak seperti itu di kamar Yoshitomo,
tempat majikannya itu berdoa setiap pagi dan malam. Di
tengah kebingungannya, Konno-maru menyambar surat
dengan tulisan tangan Yoshitomo yang telah diakrabinya.
Itu adalah surat terakhir dari mendiang majikannya untuk
Tokiwa. Dia membacanya perlahan-lahan dengan air mata
berlinang, lalu meletakkannya. Maafkanlah saya. Nyonya.
Bagaimana saya bisa bertindak sebodoh ini? Memang betul
kata si biksu Mongaku itu ... bahwa saya gila karena
memikirkan pembalasan
dendam, dan bahwa Anda, seorang wanita yang tidak
berdaya, jauh lebih berani daripada saya.
Keheningan menyelimuti ruangan ketika Konno-maru
berusaha menenangkan diri. Kemudian, dia berkata,
Seandainya saya membunuh Anda, kehidupan saya akan
menjadi jauh lebih gelap daripada kehidupan Mongaku.
Sekarang saya menyadari kebodohan saya. Saya akan
melanjutkan kehidupan saya dengan awal baru, dengan
keberanian . Saya bersumpah bahwa surat dari Tuan
akan tiba di tangan Genji di timur, dan surat untuk putraputra Anda akan saya sampaikan sendiri.
Konno-maru hendak berlutut di depan Tokiwa, namun
Tokiwa cepat-cepat berdiri, membuka pintu, mengintip ke
luar, lalu menutupnya kembali. Aku bisa melihat api

unggun para penjaga. Tidakkah sebaiknya kau menunggu di


sini hingga pagi tiba?
Tetapi, Konno-maru telah siap pergi. Dia mengeluarkan
sehelai selendang hitam untuk menutupi wajahnya.
Anda tidak perlu mencemaskan saya, Nyonya; mereka
tidak akan bisa melihat saya sekarang.
Konno-maru melangkah ke pintu, membukanya lebarlebar, dan menghilang di kebun yang gelap. Beberapa saat
kemudian, Tokiwa merasa melihat sebentuk bayangan
bergerak di atas pagar, seolah-olah untuk mengucapkan
selamat tinggal kepadanya. Dia mengangkat lentera sebagai
jawaban.
o0odwkzo0o

Bab XXXV-RIBUAN BATANG LILIN


Hujan yang celah lama turun akhirnya berhenti, dan
kerikan jangkrik, gumpalan awan, serta langit yang panas
menunjukkan bahwa puncak musim panas telah tiba.
Coba kulihat ... apakah kita terlanda banjir lagi?
Tidak terlalu banyak kerusakan, kuharap, seru Hidung.
Dia memiliki kebiasaan untuk menaikkan nada bicaranya
kepada setiap pelayan yang terlihat olehnya tengah
memasuki gerbang rumah peristirahatan di Mibu.
Yomogi dan beberapa orang teman pelayannya sedang
mencuci baju di sungai yang mengalir melewati halaman.
Di dekat mereka, beberapa buah payung kertas untuk
melindungi dari hujan dan panas tengah dijemur agar
kering.
Indah sekali payung yang satu ini, Yomogi! Ini tentu
bukan milikmu, ya?

Bukan, ini milik Nyonya.


Nyonyamu, ya? Tapi, apa gunanya beliau memiliki
payung seperti ini? Beliau tidak pernah keluar rumah.
Saya baru membelinya tadi pagi di Pasar Barat. Tapi,
percayakah Anda, saya baru menyadari bahwa payung itu
kotor setelah membukanya, karena itulah saya mencucinya
bersama yang lain.
Hmm ... kau membelinya di Pasar Barat? Apakah
nyonyamu berencana untuk pergi ke suatu tempat dalam
waktu dekat ini?
Kami berniat untuk pergi ke kuil bersama; lusa adalah
hari keseratus kami.
Dan ke manakah kau akan menemani beliau, kalau aku
boleh bertanya?
Ke mana? Tapi, tentunya Anda tahu ... ke Kapel
Kannon di Kuil Kiyomizu.
Hidung segera memasuki rumah dan berbicara cukup
lama dengan Tokiwa.
Tidak ada tanda-tanda keberadaan ataupun jejak Konnomaru sejak para penjaga ditempatkan di rumah, dan
Hidung menjadi lebih tenang berkat kesigapan para prajurit.
Dia bahkan mulai melupakan seluruh masalah itu,
walaupun masih merisaukan pandangan Kiyomori
kepadanya jika dia dianggap gagal. Sepertinya rencananya
untuk mengambil hati Kiyomori terbuang sia-sia. Memang
benar bahwa Kiyomori tidak memiliki waktu untuk
memikirkan tentang asmara, namun, dengan bekal
kesabaran, pada akhirnya dia pasti akan mendatangi
Tokiwa. Hidung bersedia menunggu hingga saat itu tiba,
dan dia secara berkala berkunjung ke rumah peristirahatan
untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.

Setelah masalah Konno-maru berakhir, Hidung


mendapati dirinya berhadapan dengan sebuah masalah lain.
Apakah Kiyomori sebaiknya diberi tahu atau tidak bahwa
Tokiwa kerap meninggalkan rumah peristirahatan? Tentu
saja Hidunglah yang akan disalahkan jika ada sesuatu yang
buruk menimpa Tokiwa.
Dalam keadaan biasa, saya tidak akan melarang Anda
pergi ke kuil, dan saya senang karena Anda begitu
bersemangat Tetapi, akan lebih bijaksana jika saya bertanya
terlebih dahulu kepada Tuan Kiyomori tentang pendapat
beliau mengenai hal ini. Saya akan berkunjung ke
kediamannya nanti atau besok, Hidung berpesan kepada
Tokiwa sebelum pergi.
Keesokan harinya, Tokiwa mendapatkan izin pergi
melalui sebuah surat. Maka, ditemani oleh Yomogi, dia pun
segera berangkat ke Kuil Kiyomizu. Pada hari doa kepada
Kannon yang keseratus, Tokiwa terpana melihat
serombongan pendeta di kapel merapalkan ayat-ayat suci
atas namanya. Ribuan batang lilin dinyalakan di dalam
kapel, dan udara terasa pengap oleh asap dupa ketika dia
berdoa:
Lindungilah ketiga putra yatim hamba, wahai Sang
Maha Suci. Ibu mereka telah direnggut dari mereka.
Tokiwa ini hanyalah cangkang hampa, dan arwahnya akan
terbang ke neraka. Kesedihan dan cobaan apa pun yang
menghadang ibu mereka, selamatkanlah anak-anaknya,
wahai Sang Maha Pengampun dan Penyayang.
Bersihkanlah dosa-dosa Genji dari diri anak-anak malang
itu.
Tokiwa terisak-isak saat dia teringat pada malam musim
dingin ketika dia berdoa di kapel itu di samping anakanaknya.

Nyonya, misa telah berakhir. Apakah Anda mau duduk


dan beristirahat di sini? bisik seorang pendeta.
Bisikan itu menggugah Tokiwa. Terima
Kemudian, Astaga, benarkah Anda Kogan?

kasih.

Ya, Kogan ... saya harap Anda selalu sehat. Nyonya.


Bagaimana mungkin saya melupakan kebaikan Anda
ketika itu? kata Tokiwa, menyatukan kedua tangannya
untuk menunjukkan rasa terima kasihnya. Saya tidak akan
pernah melupakan betapa Anda tetap bersikap baik kepada
saya walaupuan saya sudah tidak berarti bagi Anda.
Nyonya, Anda tidak boleh berkata begitu. Anda tidak
perlu malu. Di mata saya, Anda sesuci Kannon.
Seorang pendeta lain menghampiri mereka. Lewat sini.
Nyonya, lewat sini, silakan.
Tokiwa menolak undangan itu dengan halus. Terima
kasih, namun perjalanan saya panjang, dan saya sebaiknya
berangkat sekarang.
Tetapi, si pendeta menahannya. Tetapi, Nyonya, Anda
telah datang sejauh dan sepagi ini, dan beliau telah lama
menanti Anda.
Siapa ... siapakah yang menanti saya?
Pria yang memerintahkan penyelenggaraan misa tadi.
Tokiwa terpana. Siapakah pria itu? Dia tidak melihat
jemaat di kapel ini selain dirinya. Tetapi, siapa pun pria itu,
jangan sampai dia menunggu lebih lama lagi ... maka,
dipandu oleh Kogan, Tokiwa menyusuri lorong-lorong
bertangkan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan. Ketika
memasuki ruangan itu, dia tiba-tiba mundur, gemetar, dan
perlahan-lahan duduk terkulai.

Tokiwa ... kau tidak menyangka akan bertemu


denganku di sini, bukan?
Sinar matahari, yang menerobos melalui sela-sela
dedaunan di luar, menerangi wajah Kiyomori sehingga
tampak cemerlang.
Aku kerap memikirkanmu, Tokiwa, namun banyak hal
menghalangi untuk mendatangimu ... dan sekarang, musim
panas telah tiba . Betapa cepatnya musim-musim berlalu!
Apakah segalanya baik-baik saja, Tokiwa?
Ya jawab Tokiwa, dan berbagai macam emosi
berkecamuk di dalam dirinya sehingga dia tercekat oleh air
mata.
Kiyomori pun, ketika memandang Tokiwa, berusaha
sekuat dayanya untuk menahan gejolak di hatinya ... dia
teringat pada kenangan mengenai malam musim semi dan
penyesalannya. Sejenak, dia merasa canggung dan malu
seperti seorang pemuda yang masih hijau. Setelah berhasil
menguasai dirinya, dia kembali berbicara:
Kau tentu tidak menduga bahwa akulah yang
menyelenggarakan misa hari ini. Kau boleh saja merasa
bahwa aku terlalu turut campur. Tetapi, Tokiwa, aku juga
perlu berdoa. Ya, Kiyomori, pria malang yang sering
melakukan kesalahan tolol ini ... pria tak berarti ini! Bisakah
seorang wanita seperti dirimu mengerti?
Saya rasa bisa ... sedikit
Sedikit pun sudah cukup, Tokiwa, dan aku berterima
kasih karenanya. Saat ini pun aku tengah melakukan
kebodohan, namun sulit bagiku untuk mengakui alasannya
kepadamu. Biarkanlah Bamboku saja yang menjelaskannya
di lain waktu.

Kiyomori berbicara dengan nada riang, namun begitu


kalimatnya selesai, dia buru-buru membuang muka, dan
cahaya dari dedaunan yang bergoyang-goyang tertiup angin
pun terpantul di matanya yang berkaca-kaca.
Setelah pertemuan singkat itu, Tokiwa tidak sekali pun
bertemu kembali dengan Kiyomori pada musim panas itu
ataupun pada musim panas yang berikutnya. Mereka tidak
pernah bertemu lagi karena beberapa waktu kemudian,
Kiyomori memerintahkan kepada Hidung untuk mengatur
pernikahan antara Tokiwa dengan seorang bangsawan
Fujiwara yang telah berusia lanjut.
Ketika musim gugur tiba, seluruh
mengenai Tokiwa telah terlupakan.

pergunjingan

o0odwkzo0o

Bab XXXVI-SI PENYAIR PENGEMBARA


Saigyo, si biksu penyair, telah beberapa tahun tidak
menginjakkan kaki di ibu kota, namun ke mana pun dia
melangkah, dia selalu mendengar pembicaraan tentang
setiap peristiwa yang terjadi di sana. Untuk sementara, dia
tinggal di sebuah pertapaan di Yoshino dan telah beberapa
kali berziarah ke Kumano dan Omine. Pada awal musim
semi 1160, dia mulai menyusuri jalan raya Tokaido untuk
melakukan perjalanan ziarah ke timur laut, dan di tengah
perjalanannya, seorang kepala pemerintahan setempat,
Hidehara, mengundangnya untuk menginap di rumahnya.
Hidehara, yang telah sering memasok kuda-kuda
unggulan dari wilayah timur laut kepada para bangsawan
dan samurai di Kyoto, mendengar banyak cerita tentang si
biksu penyair setiap kali dia pergi ke Kyoto untuk

menyelesaikan urusan bisnis ataupun


pengabdiannya kepada pemerintah pusat.

melaporkan

Ketika musim gugur tiba, Saigyo berpamitan kepada


tuan rumahnya dan melanjutkan perjalanan ke Provinsi
Echigo di barat: pada bulan September, dia tiba di sisi
selatan Danau Biwa, tempat sebuah perahu hendak berlayar
ke pesisir barat. Saigyo turut menumpang perahu tersebut,
dan sembari menunggu keberangkatan.
dia memikirkan nasib teman dan pengikutnya, Saiju,
yang berpisah darinya beberapa bulan sebelumnya di
Sungai Tenryu.
o0odwkzo0o
Saigyu dan Saiju tiba di Sungai Tenryu untuk
menumpang sebuah perahu yang hendak berlayar dengan
muatan penuh, ketika tiga orang samurai berpangkat rendah
tiba-tiba muncul dan memerintahkan kepada si pendayung
untuk menghentikan perahunya. Keengganan si pendayung
untuk menerima penumpang lain memicu kemarahan
ketiga samurai itu, yang memaksakan diri untuk naik ke
perahu dengan wajah masam sambil berteriak-teriak, Kami
sedang tergesa-gesa, sementara kalian hanyalah petani dan
biksu pengemis, bukan?
Saigyo bisa menebak perangai mereka. Prajurit di mana
pun selalu bersikap pongah dan garang. Dia mengabaikan
mereka dan tetap duduk dengan tenang sambil memandang
sungai, hingga salah seorang dari mereka tiba-tiba
menghampirinya dan membentaknya: Hei, dasar pengemis
... berdirilah!
Saigyo pura-pura tidak mendengarnya, namun temanteman prajurit itu memaki-makinya dengan lagak
mengancam. Turunlah kalian! Berani-beraninya kalian
menentang perintah kami?

Saigyo tidak berniat melawan mereka, namun bisa


dirasakannya Saiju yang ada di sebelahnya gemetar
menahan amarah. Dia pun mencengkeram erat-erat lengan
pengikutnya itu. Mereka telah sama-sama menjadi biksu
selama dua puluh tahun, namun Saigyo tahu bahwa di
dalam hatinya, Saiju, mantan pelayannya, masih seorang
samurai yang berdarah panas. Dia bahkan telah berkali-kali
memperingatkan Saiju untuk menahan amarahnya!
Ketenangan Saigyo, bagaimanapun, justru semakin
memicu amarah para prajurit tersebut
Hei, apa kau tuli? seru salah seorang dari mereka. Dia
mencengkeram kerah Saigyo dan melemparkan tubuhnya
ke tepi sungai. Kepala Saigyo terbentur pada sebongkah
batu dan
dia mengerang lirih; darah mengalir dari salah satu
matanya. Terbaring tanpa daya, dia memanggil-manggil
Saiju, yang akhirnya menolongnya.
Saiju kehilangan kendali. Jadi, seperti inikah kau
bersikap, Yoshiklyo, yang pernah menjadi samurai paling
perkasa di Kesatuan Pengawal Kekaisaran, ketika dirimu
dihina! desisnya. Jika kau berharap aku akan diam saja
menerima perlakuan seperti itu ... meringkik seperti anjing
teraniaya ... maka aku sudah muak dengan kehidupan suci
ini! Aku menjalani penahbisan untuk menyelamatkan diri
dari siksaan neraka, namun ini lebih buruk daripada yang
kubayangkan! Aku sudah muak dengan kehidupan ini!
Seandainya aku bukan biksu, aku pasti telah membalas
mereka! Saiju menangis karena marah.
Ah, Saiju, belum siapkah dirimu menghadapi jalan
hidup yang sudah kaupilih ini? Sudah lupakah kau pada
hari ketika aku menyuruhmu menemui Nyonya Taikenmon
dan kau terlibat dalam masalah dengan para penjaga di

Gerbang Roshomon, yang akhirnya menjebloskanmu ke


penjara? Ketika aku mendengar bahwa kau terlibat
masalah, aku langsung memacu kudaku sepanjang malam
dari Toba untuk menyelamatkanmu dari Genji Tameyoshi
yang terkenal akan darah dinginnya. Sudahkah kau
melupakan itu, Saiju?
Aku belum melupakannya.
Apakah dirimu yang sekarang lebih bijaksana daripada
dirimu yang dahulu?
Kau boleh mengatakan semua itu, tapi aku tidak bisa
diam saja ketika melihat para berandalan mempecundangi
manusia yang tidak berdaya. Aku tidak mau dipermalukan
seperti itu karena aku selalu menghormati orang lain.
Saiju, selama kau merasa seperti itu, kita tidak akan
pernah bisa seiring sejalan. Walaupun kita berdampingan
ketika melakukan perjalanan, hati kita tidak akan
menyusuri jalan yang sama. Lebih baik kita berpisah di sini
dan pada saat ini juga, Saiju.
Mengapa kau berkata begitu?
Untuk saat ini, akan lebih baik jika kau melakukan apa
pun yang kauinginkan.
Apakah ini berarti aku telah terbebas dari sumpahku?
Aku tidak punya wewenang untuk membebaskanmu
dari sumpahmu, Saiju. Aku selalu berdoa agar kita
menemukan kebahagiaan di dalam hidup kita, dan untuk
itu, kita harus mengikhlaskan setiap ambisi dan gejolak
yang ada di hati kita, menyerahkan diri kepada alam, dan
menjalani kehidupan sebagai pujangga, mencari ketenangan
di dalam ajaran Buddha. Itulah sumpah kita. Siapakah aku
sehingga bisa membengkokkan peraturan? Ah, Saiju, kau
sepertinya sama sekali tidak bisa memahamiku.

Tidak, aku memang hanya orang bodoh yang kau


izinkan untuk menjadi pengikutmu. Tapi, aku yakin bahwa
aku mengerti.
Kurasa kau masih belum mengerti. Kau sama saja
dengan orang-orang yang kutinggalkan di kehidupanku
yang lalu. Bukan ini yang kucari, karena aku ingin
melepaskan diri dari ikatan duniawi. Tujuanku adalah lebih
menyadari keberadaanku, lebih menikmati kehidupan, dan
tidak menyesali apa pun. Dengan cara itulah aku berharap
bisa menjadikan kehidupanku lebih bermakna, dan hanya
itulah yang kuinginkan . Betapa besarnya perbedaan yang
kita miliki dalam gagasan kita mengenai kehidupan suci!
Tidak, aku sependapat denganmu, tapi ...
Kalau begitu, mengapa kau sering sekali marah, lepas
kendali karena merasa terhina, dan menyesali pilihanmu?
Jika kau benar-benar menghayati kehidupanmu sebagai
biksu, kau tidak akan menyesalinya ataupun ingin terbebas
dari sumpahmu. Kau sepertinya belum bisa meninggalkan
dunia, jadi untuk apa kau terus menjadi biksu? Bukankah
lebih baik kau berhenti berpura-pura dan kembali ke
dunia?
Ketika mengatakan itu, Saigyo menyadari bahwa jalan
hidup sebagai biksu, yang semestinya bermakna
kemerdekaan justru menjadi beban bagi Saiju; dan karena
kasih sayangnya kepada Saijulah dia bersikeras agar mereka
berpisah.
Akhirnya, Saiju berkata, Aku akan menuruti
kemauanmu dan merenungkan kata-katamu ... tidak hanya
merenungkannya tetapi juga menjadikannya landasan bagi
tindakanku. Saat kau kembali ke ibu
kota pada musim gugur nanti, aku akan menunggumu di
sana.

o0odwkzo0o
Saigyo memikirkan di mana Saiju akan menantinya
setelah perpisahan lama mereka, karena dia tidak tahu di
mana dia sendiri akan tinggal selama di ibu kota. Dia
menyadari bahwa perahu yang ditumpanginya telah
setengah jalan menyeberangi Danau Biwa, dan bahwa
puncak Gunung Hiei telah tampak menjulang di
hadapannya. Dia masih ingat ketika setahun silam, para
penumpang perahu tak henti-hentinya membicarakan
tentang Genji Yoshitomo dan putra-putranya yang
melarikan diri ke Om i Timur. Kemudian, dia tertidur.
Ketika dia terielap, salah seorang penumpang perahu
berkali-kali memandangnya, dan ketika dia terbangun,
orang itu tersenyum ramah kepadanya dan berkata:
Akhirnya kita berjumpa lagi!
Wah, siapakah kamu?
Aku Otoami, pemahat patung Buddha ... kita pernah
bertemu beberapa waktu yang lalu di timur laut.
Ah, ya, tentu saja! Apakah kau juga hendak pulang
ke ibu kota?
Ya, walaupun aku masih harus bekerja di kuil di timur
laut hingga bertahun-tahun lagi. Aku pulang karena
panggilan mendadak dari Rokuhara, dari Nyonya Ariko.
Jauh sekali jarak yang harus kautempuh!
Ya. memang. Akan menyenangkan jika aku bisa
berkelana sesuka hatiku sepertimu. Sekarang ini, aku harus
menyelesaikan tugas di ibu kota sekaligus di utara, dan
melakukan perjalanan bersama teman-temanku dalam
waktu terbatas Otoami tersenyum, mengedarkan
pandangan kepada teman-temannya, yang memenuhi
hampir setengah kapasitas perahu. Rombongannya tidak

hanya terdiri dari anak buahnya tetapi juga tukang vernis,


tukang kayu, pengukir logam, dan para perajin lainnya.
Seorang penumpang yang duduk di samping Otoami tibatiba mencondongkan badan dan berbisik-bisik kepada
teman-temannya, lalu berkata kepada Saigyo:
Tuan, apakah kau Saigyo, si biksu penyair? Aku
beberapa kali melihatmu di Koromogawa, tempat tinggal
salah satu pengayomku, yaitu Tuan Hidehara, katanya,
lalu menambahkan, aku Kichiji, pekerjaanku adalah
saudagar. Beberapa kali dalam setahun, aku membawa
emas dari timur laut ke ibu kota dan menukarnya dengan
barang-barang dagangan dari Cina. yang kemudian dikirim
ke utara . Jika lain kali kau pergi ke daerah kami, kau
harus mengunjungiku.
Saigyo mengangguk dengan ramah, tersenyum sendiri
ketika memikirkan rumor bahwa dirinya pernah berkelana
ke wilayah sejauh itu.
Ketika perahu itu hendak merapat ke pesisir, para
penumpang sibuk bersiap-siap turun. Otoami dan si
saudagar adalah penumpang pertama yang turun dari
perahu. Setelah menaikkan barang-barang mereka ke atas
punggung kuda, mereka bersiap-siap melanjutkan
perjalanan. Tiba-tiba, Kichiji menoleh kepada Saigyo dan
menawarkan dengan ramah:
Ada cukup banyak kuda untuk kita semua. Maukah kau
bergabung bersama kami di penginapan?
Saigyo menolak undangan
perjalanannya seorang diri.

itu

dan

melanjutkan

Dia tinggal cukup lama di wilayah perbukitan di dekat


Kyoto, menghabiskan waktunya dengan berkunjung ke
berbagai kuil dan menemui teman-teman lamanya. Pada
suatu hari, dia berkeliaran di ibu kota dan mendapati

dirinya berada di jalan tempat rumahnya dahulu berdiri.


Tidak ada yang tersisa dari bangunan itu kecuali pecahan
Ubin dan rumpun-rumpun rumput musim gugur. Dia
mengamati tempat itu tanpa perasaan apa pun, lalu pergi
dari sana ketika senja tiba untuk mencari penginapan,
sementara angin malam
menerpa sosoknya yang lusuh oleh pengembaraan. Dia
memikirkan beberapa orang temannya yang akan dengan
senang hati menerimanya, namun kenangan mengenai istri
dan anaknya, yang ditinggalkannya dua puluh tahun silam,
senantiasa menghantuinya. Istrinya, dia mendengar, telah
menjadi seorang biksuni; dia memikirkan nasib anaknya,
yang masih berumur empat tahun ketika dia pergi. Saigyo
mendengar bahwa putrinya telah menikah. Sesekali dia
berhenti dan mendengarkan bunyi-bunyian malam, yang
berisik oleh kerikan jangkrik. Segalanya ... pepohonan,
tanah, semak-semak, dan bahkan bintang-bintang
mendadak dipenuhi oleh bunyi isak tangis: benak dan hati
Saigyo terasa pedih karenanya, dan dia mulai memikirkan
mengapa dia berkeliaran tanpa tujuan di jalanan yang gelap
gulita. Apakah yang membawanya kemari bagaikan sesosok
hantu dari masa lalu?
Kerinduan mendalam kepada Saiju mendadak
menyergapnya ... bukan sebagai pengikutnya melainkan
teman yang bisa dimintai ampunan dan tempat mengakui
kebutaan dan kebodohannya. Dua puluh tahun menjalani
kehidupan suci! ... dan dia baru menyadari pada malam ini
bahwa hati manusia tidak bisa disangkal oleh pengarahan
kehendak atau kedisiplinan beragama. Di manakah Saiju
menunggunya setelah berjanji untuk menemuinya di ibu
kota? Kemudian, Saigyo teringat kepada sepupunya. Tuan
Tokudaiji, yang beberapa pelayannya berteman dengan
Saiju. Saigyo bermalam di sebuah kuil di Perbukitan Timur,

dan keesokan harinya turun kembali ke ibu kota. Setibanya


di kediaman Tuan Tokudaiji, dia terkejut ketika melihat
para prajurit, kurir, dan pelayan berkerumun di gerbang,
tempat beberapa buah kereta indah menanti. Dia hendak
berbalik arah ketika didengarnya seseorang memanggilnya.
Saiju.
Ah, Saiju, ternyata kau ada di sini!
Ya, aku telah tinggal di sini bersama teman-temanku
selama beberapa waktu; aku yakin bahwa kau akan segera
datang, dan aku gelisah menantimu.
Ya, sungguh menyenangkan bisa berjumpa
denganmu! jawab Saigyo dengan penuh semangat.

lagi

Sejak kita berpisah di Sungai Tenryu. aku bermeditasi


setiap pagi dan malam berkat kata-katamu kepadaku.
Selamban-lambannya aku, aku merasa bahwa diriku lebih
bijaksana sekarang. Aku tidak pernah lagi bertindak bodoh
seperti dahulu. Maafkanlah aku atas kata-kataku
kepadamu.
Saiju, bukan hanya dirimu yang bodoh. Aku bahkan
jauh lebih bodoh. Aku juga perlu meminta maaf.Tapi,
lebih baik kita membicarakannya di lain waktu saja.
Tidak, tidak, itu mustahil . Tapi, ini memang bukan
tempat yang tepat untuk berbicara. Mari kita pergi ke
pondokku di dekat gerbang belakang.
Tapi, sepupuku sedang menerima tamu hari ini.
Tidak hanya hari ini. Kiyomori dan para menteri
lainnya sering datang kemari untuk meminta nasihat dari
Tuan Tokudaiji. Kita tidak akan mengganggu mereka di
pondokku. Maka. Saiju pun membawa Saigyo mengitari
rumah menuju salah satu gerbang belakang.

o0odwkzo0o

Bab XXXVII-SEORANG SAUDAGAR DARI


TIMUR LAUT
Upacara tradisional tidak mungkin diselenggarakan pada
perayaan Tahun Baru sebelumnya, namun kali ini, pohonpohon dan batang-batang pinus yang baru saja dipotong
menguarkan aroma kemeriahan di seluruh ibu kota.
Kita tidak boleh melupakan bahwa kita berutang budi
untuk semua ini kepada Tuan Kiyomori. Tidur dengan kaki
mengarah ke Rokuhara sama saja dengan bertindak
lancang, kata Bamboku kepada serombongan pekerja lepas
dan pegawainya sambil menyesap sake Tahun Baru. Selama
perayaan Tahun Baru, Bamboku membuka gerbangnya
lebar-lebar untuk semua tamu ... kerabat, rekan bisnis,
teman sesama saudagar, dan tetangga ... yang berduyunduyun datang.
Hidung memiliki semua alasan untuk selamanya
berterima kasih kepada Rokuhara, walaupun para tamunya
mencemooh sake yang disajikan oleh Bamboku, yang
kualitasnya menurun pada tahun ini karena berkurangnya
keuntungan yang didapatkan sepanjang tahun lalu. Untuk
menjawab sindiran-sindirannya, Bamboku menjawab
dengan lihai:
Jika kita mau jujur, keuntungan materi tidak berarti
apa-apa ...
tidak sebanding dengan apa yang akan
kudapatkan jika aku benar-benar berhasil. Dan, jika saat itu
tiba, lihat saja sendiri apa yang akan kutampilkan untuk
menghibur kalian.
Sorak sorai meriah menyambut ucapan Bamboku,
karena tidak seorang pun meragukannya. Semua saudagar

di ibu kota tidak pernah mempertanyakan prestasi ataupun


kemampuan Bamboku. Bukankah Hidung telah, seorang
diri, memasok semua bahan bangunan untuk pemugaran
Istana Kloister tahun lalu? Terlebih lagi, Kiyomori adalah
patronnya, dan dia bisa menjamah setiap transaksi bisnis di
ibu kota. Tidak bisa disangkal bahwa tanpa bantuan dari
Kiyomori, Bamboku tidak akan bisa sekaya itu. Di sisi lain,
Hidung juga telah menghabiskan banyak tenaga dan uang
untuk menyelesaikan urusan Tokiwa. Tetapi, seluruh
kerepotan itu tidak sebanding dengan apa yang
diperolehnya: yang terpenting adalah Tokiko kembali
menyukainya. Nyonya rumah Rokuhara itu memanggilnya
dan mengatakan, Kau boleh datang kemari seperti sedia
kala, Bamboku. Selain itu, Kiyomori telah mewujudkan
ambisi Bamboku yang telah lama terpendam ... sebuah
jabatan di Istana.
Ada masanya Hidung Merah mencibir pada gagasan
menjadi pejabat istana, namun saat ini umurnya sudah
menjelang lima puluhan, dan tidak ada salahnya berubah
pikiran setelah menjalani sebuah pekerjaan selama dua
puluh tahun. Kehidupan istana yang tampak konyol di
matanya pernah membuatnya muak dan menyatakan,
Segala macam peraturan dan penghormatan tolol itu! Ya,
aku mengabdi hanya kepada diriku seorang! Aku akan
meraih kekayaanku sendiri, dan emas ... emas kuning ...
akan menghadirkan kebahagiaan dalam kehidupanku.
Ironisnya, begitu kekayaannya bertambah. Hidung Merah
mulai menginginkan kehidupan yang dahulu dibencinya.
Orang kaya baru itu pernah mendambakan istri dari
kalangan bangsawan dan berhasil mendapatkannya; dan
begitu jumlah pegawainya bertambah, dia mulai tergoda
untuk memiliki wewenang yang lebih besar. Sebagai
seorang saudagar besar, Hidung Merah telah berkali-kali
mendapatkan kesempatan untuk bergaul bersama para

bangsawan yang berkedudukan cukup tinggi. Dia bisa


bekerja sebaik mereka ... bahkan lebih baik, pikirnya,
seandainya dirinya memiliki persyaratan yang cukup untuk
memasuki kalangan itu ... sebuah jabatan di istana. Dan,
semakin sering Hidung Merah memikirkannya, semakin
yakinlah dia bahwa dirinya layak memupuk ambisi itu.
Hidung berasal dari kalangan rakyat jelata yang terjelata;
namun istrinya, Umeno, adalah keturunan bangsawan.
Kiyomori menganugrahinya dengan gelar Pengawas Sungai
Kamo ... sebuah jabatan yang memberinya wewenang atas
para petugas dan pekerja yang bertugas di sekitar Kamo;
jabatan itu memberi Bamboku kedudukan setara dengan
bangsawan dari Golongan Kelima dan mengharuskannya
mengenakan kimono yang sesuai dengan golongannya
dalam setiap acara kenegaraan.
Ya, jabatan ini memang sesuai denganku, namun
pakaian ini sama sekali tidak nyaman! Bamboku berseru
kepada dirinya sendiri pada suatu hari ketika dia baru saja
tiba di rumah. Aku harus menemukan tempat untuk
meregangkan badan. Kemudian, tiba-tiba terpikir olehnya
bahwa Kichiji, si saudagar emas dari timur laut, tengah
mengunjungi ibu kota. Dia langsung berangkat ke rumah
sewaan Kichiji di pusat hiburan Horikawa, sebuah wilayah
yang berada di sepanjang kanal dan banyak ditumbuhi
pohon dedalu.
Apakah Tuan Kichiji ada? Aku Pengawas Sungai
Kamo, Hidung Merah mengumumkan kepada seorang
gadis pelayan yang ditemuinya di gerbang.
Pelayan itu menggumam lirih dan memasuki rumah,
tempat Kichiji sedang bercakap-cakap dengan seorang
tamu. Kichiji heran.

Pengawas Sungai Kamo ... siapakah dia? Aku tidak


mengenal seorang pun dengan nama seperti itu.
Tamunya tergelak. Itu pasti Tuan Hidung Merah. Dia
dianugrahi gelar Pengawas Sungai Kamo dalam perayaan
Tahun Baru yang lalu. Anda tahu.
Ah ... si Hidung! Seorang tamu penting, rupanya ...
persilakanlah dia menunggu di ruangan terbaik, kata
Kichiji. Dia meneruskan pembicaraannya dengan tamunya,
seorang tokoh penting di wilayah itu, yang dikenal dengan
julukan Ular. Dia memiliki usaha jual beli perempuan
dan anak-anak.
Jadi, jumlah keseluruhan perempuan yang kita beli
sejak musim gugur silam adalah tujuh belas ... termasuk
yang kemarin, kata Kichiji.
Ya, dan mengenai yang itu, saya sangat kesulitan
memenuhi permintaan Anda, Tuan, karena ada terlalu
banyak wanita cantik yang bisa ditemukan di ibu kota ini.**
Yah, aku akan kembali dalam satu atau dua tahun, tapi
untuk sementara ini, kuharap kau memasang mata
untukku.
Baiklah, Tuan, saya akan melakukannya. Bahkan, saya
sudah menemukan seseorang di pemukiman kumuh di
Jalan Pedagang Sapi.
Berapa umurnya?
Baru tiga belas.
Itu tidak masalah. Aku akan menjadikannya pelayan di
rumahku hingga dia cukup umur. Aku akan membawanya
nanti.
Tetapi, ada satu masalah ... gadis itu tidak bisa lepas
dari orangtuanya ... yang miskin papa. Mereka

menyayanginya dan tidak mau menerima tawaranku.


Ayahnya sudah sakit-sakitan dan mereka terlilit utang.
Mereka bahkan tidak tahu kapan mereka akan bisa makan
lagi ... tapi, kecantikannya!
Secantik itukah?
Saya tidak melebih-lebihkan jika mengatakan bahwa
kecantikannya setara dengan gadis tercantik di Istana.
Sayang sekali ...
Yah, selalu ada jalan untuk mendapatkan apa yang kita
inginkan.
Maksudmu uang, bukan?
Andalah yang paling tahu tentang itu, Tuan, Ular
tertawa licik, seringai di bibirnya menunjukkan
ketamakannya.
Kichiji berkunjung ke ibu kota setiap dua atau tiga tahun,
dan selalu menginap di rumah yang sama di kawasan
mewah itu, tempatnya memboroskan hartanya. Karena
sebagian besar transaksi bisnisnya dilakukan untuk Tuan
Hidehira, seorang tokoh besar di timur laut, Kichiji dikenal
oleh setiap saudagar di Kyoto. Dia bertugas memburu
segala macam barang mewah untuk pengayomnya ... karya
seni dan bahkan wanita cantik ... dan menukarnya dengan
emas, kuda, ukiran, dan sutra yang dibawanya dari timur
laut.
Kakek Hidehira, seorang bangsawan Fujiwara yang
menjadi pemimpin klan pertama di wilayah itu, memiliki
impian mendirikan sebuah ibu kota di wilayah paling utara
Provinsi Michinoku. Tempat yang pernah menjadi wilayah
kekuasaan penduduk asli yang semakin terpinggirkan, suku
Ainu. Sebuah kota besar akan didirikan di sana untuk

menyaingi kejayaan Kyoto, dan pembangunan terus


dilakukan.
Kichiji, yang berhasil merampungkan misinya setelah
beberapa bulan tinggal di ibu kota, lagi-lagi kecewa karena
tidak mendapatkan banyak wanita cantik untuk dibawa
pulang
bersamanya.
Dia
tidak
menculik
atau
memperdagangkan perempuan dan anak-anak tetapi
menawarkan banyak uang dan jaminan kesejahteraan hidup
kepada siapa pun yang bersedia ikut ke timur laut. Karena
tidak banyak hal yang menarik yang bisa ditawarkan dari
Michoniku, dia harus meminta tolong kepada Ular untuk
mencarikan wanita-wanita cantik baginya.
Si gadis pelayan muncul kembali untuk mengatakan,
Pengawas Sungai Kamo mengatakan bahwa beliau akan
berkunjung lagi lain kali, jika Anda sibuk hari ini, Tuan.
Baiklah, Ular, kata Kichiji, berdiri di ambang pintu
untuk mempersilakan Ular pergi, jika kau bisa
mendapatkannya sebelum aku pergi, aku akan
memeriksanya.
Bamboku dipersilakan masuk.
Aku harus
menunggu

meminta

maaf

karena

memintamu

Tidak apa-apa, Kichiji, aku tidak mau mengganggu,


jawab Bamboku.
Tidak, aku sudah bebas sekarang. Baik sekali kamu
karena mau datang kemari. Sebenarnya, aku akan pulang
dalam satu atau dua hari dan sudah berpikir untuk
mengunjungimu . Beruntungnya aku karena kau lebih
dahulu datang kemari.
Tepat seperti yang kuduga, seru Bamboku. Agak
mendadak, mungkin, tapi tiba-tiba terpikir olehku bahwa

kau mungkin punya waktu untuk


bersamaku malam ini sebelum pulang.

minum-minum

Bagus! ... walaupun ini bukan tempat yang cocok untuk


menjamumu.
Sama sekali tidak cocok. Tapi, kaulah yang akan
menjadi tamuku. Perubahan pemandangan akan bagus
untukmu, dan kalau kau tidak keberatan, kita akan pergi ke
salah satu rumah kesukaanku, Hidung Merah bersikeras
mengajak Kichiji pergi.
Hidung Merah berseru-seru memanggil si nyonya rumah
seraya melenggang layaknya di rumah sendiri. Taji! Taji!
Ini aku ... Bamboku! Apakah Ruang Ungu kosong?
Segera setelah keduanya menempati sebuah ruangan
yang menghadap ke sebuah taman indah. Hidung Merah
mengeluarkan seperangkat alat tulis dan dengan cepat
menulis sebuah pesan beserta alamat yang hendak
ditujunya, lalu memanggil seorang pelayan dan
memberinya perintah, Panggil seorang pelari untuk
mengantar surat ini. Sekarang juga ... sekarang!
Hidangan yang menggoda selera disajikan bersama sake,
namun hanya para pelayan yang menemani mereka karena,
berbeda dari kebanyakan rumah hiburan semacamnya, sang
nyonya rumah membanggakan para tamunya yang
terhormat dan para penghiburnya yang benar-benar terpilih,
yang hanya tampil atas permintaan tamu-tamu terpilih, itu
pun hanya untuk menari dan menyanyi.
Malam telah larut dan mereka masih menikmati sake.
Hidung Merah bersikeras untuk memanggil beberapa orang
geisha; dia menyebutkan nama-nama gadis pilihannya dan
meminta mereka menghibur Kichiji.

Kapankah kau akan kembali kemari ... tahun depan,


mungkin?
Tidak, aku belum bisa memastikannya .Tapi, kurasa
aku akan kembali kemari tiga tahun lagi.
Nah, Kichiji, jika kau kemari lagi, kau tidak perlu
tinggal di Horikawa karena rumah peristirahatanku boleh
kaupakai sesuka hatimu.
Rumah peristirahatanmu ... di manakah adanya?
Itulah yang sedang kurencanakan sekarang. Dan, Tuan
Kichiji, katakan saja di mana kau menginginkan rumah itu
dibangun, dan aku akan membangunnya.
Aku tergoda untuk menerima tawaran ini. Di suatu
tempat yang berpemandangan indah.
Kau akan mendapatkannya ... dan kau akan membawa
sedikit emasmu, bukan? Pasokan terakhirmu ... yah, aku
tidak terlalu senang melakukan bisnis bernilai sekecil itu.
Kau mungkin menganggapku rewel, tapi ... dengan
memikirkan bisnis ke luar negeri ... emas yang kaubawakan
untukku tidak akan cukup untuk memenuhi permintaan
para perajin emas langgananku di ibu kota ini saja.
Kichiji tergelak. Tuan Hidung, kau sudah minum terlalu
banyak, dan sekarang bicaramu melantur.
Tidak, aku tidak berbohong.
Aku tidak menuduhmu berbohong, tapi kau pasti
melebih-lebihkan. Aku menyangsikan bahwa emas yang
kubawa kemari bisa disamakan dengan apa pun yang bisa
ditemukan di tempat lain di seluruh Jepang. Nah, nah,
diangkat menjadi Pengawas Sungai Kamo dan pejabat
Golongan Kelima pasti memengaruhi pandanganmu, tapi
Heik6 bukan satu-satunya klan yang harus diperhitungkan

dan Kyoto bukan satu-satunya tempat tinggal yang bagus.


Kunjungilah kami di timur laut sekali saja, dan lihatlah
sendiri keadaan di sana.
Tawa Hidung meledak. Menyombongkan daerahmu,
ya? Aku menyukai kata-katamu tentang ibu kota ... bukan
satu-satunya tempat tinggal yang bagus! ... aku pasti akan
mengunjungimu di Michinoku.
Aku sendiri yang akan mengajakmu berjalan-jalan di
sana.
Tuan Kichiji, aku ragu bahwa kau sekadar saudagar.
Hmm ... apakah yang membuatmu berkata begitu?
Menurutmu aku tidak tahu apa-apa? Kau adalah
seorang samurai! Kau adalah pelayan Hidehira atau
seseorang yang memiliki kedudukan serupa, aku tahu itu.
Kau tidak perlu menutup-nutupinya dariku. Bamboku dari
Golongan Kelima adalah seorang pria yang berpandangan
luas, percayalah. Kau akan mengetahuinya sendiri setelah
lama berteman denganku.
Kichiji tersenyum tipis. Hmm, mungkin saja begitu,
jawabnya tanpa menambahkan apa pun, karena berbeda
dengan Bamboku yang banyak omong, Kichiji adalah
seorang pria utara yang santun dan tertutup.
Aku merasa tersanjung karena disangka sebagai seorang
samurai pada masa seperti ini . Seperti yang kauketahui
sendiri, Tuan Hidung, aku sudah melakukan perjalanan
ribuan mil di atas punggung kuda dengan membawa harta
yang tak terhitung harganya. Di dalam hatiku barangkali
aku memang seorang saudagar, namun dibutuhkan
keberanian seorang samurai untuk menempuh perjalanan
seperti itu ... terutama di masa berbahaya seperti ini.

Begitulah, begitulah. Itulah alasannya. Aku hanya


bercanda tadi. Tiba-tiba aku ingat ... ada apa dengan
temanku. Dia semestinya sudah sampai di sini sekarang.
Siapakah dia?
Dia pernah menjadi juru tulis di Istana ... Tokitada ...
adik ipar Kiyomori. Aku ingin mempertemukannya
denganmu.
Ya, ya, kita pernah membicarakan ini, dan aku juga
tidak sabar ingin berkenalan dengannya.
Seorang kurir segera datang dan mengatakan bahwa
Tokitada tidak ada di rumah dan baru akan pulang malam
itu.
Hidung Merah dan tamunya telah mabuk sekarang.
Setelah beberapa waktu, mereka terbangun dari tidur dan
pulang ke rumah masing-masing pada pagi buta.
Beberapa hari kemudian, Tokitada menghentikan
keretanya di depan toko Hidung Merah di Jalan Kelima,
namun dia tidak turun.
Bamboku, Bamboku! Apakah Bamboku ada?
serunya dari depan toko.
Beberapa orang pegawai toko mendengar
Tokitada namun tidak memedulikannya.

seruan

Bamboku? Siapakah yang Anda maksud dengan


Bamboku, Tuan? seorang pegawai akhirnya menghampiri
kereta Tokitada dan bertanya.
Tuan Hidung Merah ...
Oh, Anda mencari Tuan?
Hidung Merah bergegas keluar dari gudangnya.

Ah, rupanya Anda, Tuan! Silakan masuk ke rumah,


sapanya.
Tidak, aku sedang menuju kediaman Yang Terhormat
Yorimori sekarang. Karena tidak bisa mampir, aku akan
berbicara denganmu di sini.
Apakah Anda sedang tergesa-gesa? Apakah yang bisa
saya lakukan untuk Anda, Tuan?
Tidak ada ... tapi ada pesan dari Rokuhara. Aku tidak
tahu untuk apa, tapi kau diharapkan datang ke kebun
mawar pada senja hari, ketika lentera-lentera dinyalakan.
Hmm gumam Hidung.Sesuatu mengusik beliau?
Sepertinya dia baik-baik saja, jadi kau tak perlu
khawatir . Dan, omong-omong, Bamboku, kau sepertinya
agak cemas, namun dia bagaikan lempung yang bisa
kaubentuk sesuka hatimu, bukan?
Astaga, tidak! Saya tidak pernah mengatakan itu
kepada Tuan Kiyomori ... beliau memang pemarah, tapi
lempung ... tidak pernah!
Tokitada tertawa terpingkal-pingkal hingga keretanya
berguncang-guncang. Bamboku ... kau, aku hanya ingin
melihat reaksimu. Kau memang jenaka, mendengus dan
menyangkal sampai hidungmu semakin merah padam!
Tapi, bahkan dirimu pun punya sisi baik.
Nah, apakah Anda kemari untuk menertawakan saya?
Sudahlah, Bamboku, jangan marah. Hanya dengan
melihat hidungmu, semua orang akan merasa gembira. Apa
kata istrimu tentang hidungmu ketika dia mengigau?
Saya rasa Anda sudah mabuk. Tuan, bahkan sebelum
Anda bertamu.

Sekarang masih Tahun Baru ... tidak ada perang ...


Tahun Baru terbaik sejak bertahun-tahun terakhir . Ya,
dan itu mengingatkanku ... maaf, aku sedang pergi ketika
kurirmu datang tempo hari. Siapakah orang yang hendak
kauperfce naikan kepadaku itu?
Anda pasti pernah mendengar tentang dia ... Kichiji,
seorang saudagar emas dari timur laut.
Ya, aku pernah mendengar tentang dia.
Saya memerhatikan beberapa hal yang membuat saya
berpikir bahwa dia kemari tidak sekadar untuk urusan
bisnis. Saya curiga Hidehara mengirimnya ke sini untuk
memata-matai keadaan di sini, dan saya rasa tidak ada
salahnya jika Anda melihatnya sendiri.
Ah, begitukah? Apakah si Kichiji ini masih ada di ibu
kota?
Dia akan kembali ke timur laut besok pagi, katanya.
Saya akan melepas kepergiannya.
Bagus! Aku juga akan datang . Tapi, aku akan
menyamar, ingatlah itu. Setelah mengatakan itu, Tokitada
langsung menutup tirai keretanya.
Keesokan paginya, Hidung Merah mengiringi Kichiji
hingga gerbang kota, tempat serombongan pria dan wanita
telah berkumpul untuk melepas kepergiannya.
Ya, aku akan kembali tak lama lagi ... dalam dua atau
tiga tahun, seloroh Kichiji dari atas punggung kudanya.
Dia berterima kasih dan mengangguk kepada semua
pengantarnya. Kalian akan menjadikan perpisahan ini
lebih berat jika menyertaiku lebih jauh lagi, jadi biarkanlah
aku mengucapkan selamat tinggal kepada kalian semua di
sini, dan dengan mendoakan yang terbaik untuk kalian.

Kichiji akhirnya mulai mendaki bukit, dan satu demi


satu pengiringnya membubarkan diri. Para pelayan, tukang
angkut, dan kuda-kudanya telah menanti tidak jauh dari
sana.
Mendadak,
Kichiji
mendengar
seseorang
memanggilnya dari kaki bukit. Pria itu akhirnya berhasil
menyusulnya beberapa saat kemudian. Dia terengah-engah
dan tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Kichiji menoleh. Kaukah yang memanggilku? katanya
dengan sinis, menatap pria bertubuh kecil yang bersujud di
hadapannya seperti seorang pengemis. Aku tidak
mengenalmu. Tidak pernah melihatmu sebelum ini. Apa
maksudmu menghentikanku?
Ya. ya, maafkanlah saya karena telah menghambat
Anda . Saya ... saya Asatori, bukan siapa-siapa. Saya
tinggal di daerah kumuh di Jalan Pedagang Sapi.
Kau pasti salah mengiraku dengan orang lain. Untuk
apa kau menemuiku?
Saya tinggal di Jalan Pedagang Sapi ... di daerah
kumuh; ada seorang perajin roda kereta bernama Ryozen di
sana . Dan pagi ini, saya mendengarnya dan istrinya
menjerit-jerit dengan nyaringnya sehingga saya pergi ke
sana untuk melihat apa yang terjadi, dan saya mendengar
bahwa seorang pedagang perempuan dan anak-anak, yang
bernama Ular, telah membawa putri semata wayang
mereka, Asuka . Mereka putus asa.
Kichiji menoleh ke belakang. Keributan sepertinya telah
terjadi di dalam rombongannya; dan seorang gadis menjeritjerit nyaring.
Asatori, tolong aku! Asatori!
Kaukah itu, Asuka? Tunggu aku . Semuanya akan
baik-baik saja. Aku akan menolongmu!

Asatori bangkit, balas melambai kepada Asuka, lalu


memegang erat-erat pelana Kichiji, mendesaknya.
Hentikan omong kosongmu ini, dalang boneka bodoh!
desis Ular, menerobos sekelompok pengawal dan
mencengkeram baju Asatori. Apa maksudmu mengatakan
bahwa aku membawanya pergi dari keluarganya dengan
paksa? Kau sepertinya tidak tahu bahwa ayahnya sudah
lama sakit-sakitan dan berutang banyak kepadaku. Dia dan
istrinya memohon kepadaku untuk melakukan sesuatu
kepada anak ini karena mereka tidak bisa memberinya
makanan lagi. Aku memang tidak membayar mereka, tapi
aku memohon kepada tuan ini untuk membawa Asuka
dengannya . Untuk apa kau ikut campur?
Asatori tidak memiliki kekuatan maupun keberanian
untuk melawan lengan kekar Ular, yang menarik dan
membekuk tubuh ringkihnya. Yang bisa dilakukan oleh
Asatori hanyalah menjejak-jejakkan kakinya ke udara.
Aku akan membayar utang mereka, desisnya. Aku
akan membayarnya, bagaimanapun caranya!
Dasar pembohong, apa kaupikir aku memercayaimu?
Pulanglah sana! Apa maksudmu merengek-rengek dan
menghalang-halangi tuan ini? sembur Ular, mengancam
untuk menghajar Asatori. Kichiji membungkuk dengan
waspada di atas punggung kudanya.
Cukup, Ular.
Tapi, Tuan, dia tidak akan jera.
Tidak, Ular, lepaskanlah anak itu. Kita tidak ingin
membahayakan siapa pun. Aku sudah mengatakan
kepadamu, bukan, bahwa kau tidak boleh memaksa dia?

Utang ayahnya yang sakit-sakitan kepada saya memang


tidak banyak, tapi mereka tidak bisa memberinya makanan,
jadi saya bermaksud menolong mereka.
Sudahlah, lepaskanlah dia. Aku bukan manusia jahat
Asatori bersujud di hadapan Kichiji, lalu melambai
kepada Asuka, yang berlari menyongsongnya dan
memeluknya erat-erat sambil terisak-isak.
Jangan
menangis,
Asatori
menenangkannya,
menghapus air mata dari pipinya yang basah. Jangan
menangis, Asuka. Kau tidak perlu takut. Mari kita pulang.
Wajah mungil nan menawan itu mendongak
memandangnya dan senyuman tipis terulas di sana. Kichiji
dan rombongannya telah meninggalkan mereka.
Bergandengan tangan, keduanya berjalan menuruni bukit
Sejenak setelah mereka lenyap dari pandangan, dua orang
penunggang kuda muncul dari tengah kerimbunan hutan di
atas bukit dan turun ke ibu kota.
Bamboku, diakah orang yang kaumaksud? tanya
Tokitada.
Ya ...
Diakah Kichiji yang kaubicarakan kemarin?
Ya, bagaimana pendapat Anda tentangn dia?
Tidak ada yang aneh dari dirinya sejauh pandanganku.
Sebagai seorang saudagar, dia lebih baik hati daripada
dirimu, ya?
Daripada saya? Anda memang sangat penuh
perhatian. Tuan! Bamboku tergelak.
Setidaknya, dia lebih punya hati daripada dirimu,
Hidung. Aku tidak tahu mengapa dia membiarkan bajingan

itu membeli si gadis kecil, tapi setidaknya dia menunjukkan


kebaikan hati ... melepaskannya.
Dan menurut Anda, saya tidak akan melakukan itu?
Tokitada tertawa terbahak-bahak namun tidak
menjawab. Asuka ... Asuka. Nama yang indah,
gumamnya kepada dirinya sendiri. Tidak heran Ular
mengincarnya . Sungguh menakjubkan bahwa bunga
secantik itu bisa tumbuh di tengah pemukiman kumuh yang
jorok.
o0odwkzo0o

Bab XXXVIII-TIGA BUAH MIMPI


Tokitada bangun lebih pagi keesokan harinya. Kereta
beserta sepasukan samurai dan pengawal telah menanti di
depan pintunya, menyambutnya yang tampil dengan
keagungan khas istana. Rombongan itu segera mendekati
gerbang Rokuhara; Tokitada telah mengirim pesan untuk
mengumumkan kedatangannya dan menanyakan apakah
sang nyonya rumah telah siap. Sebuah kereta wanita yang
anggun telah menanti di dekat beranda; rumbai-rumbai
ungu menggantung di jendelanya; tidak setitik pun debu
tampak di badan dan atapnya yang bercat indah; hiasan
perak dan emas dengan ukiran bermotif burung dan kupukupu berkilauan cemerlang. Namun, dua sosok yang
melangkah ke beranda, diiringi oleh serombongan dayang,
dari dalam rumah jauh lebih cemerlang daripada kereta itu.
Maafkan aku karena telah membuatmu menunggu,
Tokitada, kata Tokiko, yang didampingi oleh putrinya
yang berumur tujuh tahun.

Ah, Tokiko, aku nyaris tidak mengenalimu dengan


penampilan semewah itu!
Oh, tidak setiap hari aku berkunjung ke Istana Kloister
. Dan lagipula, sekarang musim semi.
Kau tampak memesona, sungguh! Aku yakin semua
orang tidak akan keberatan dengan perubahanmu ini ...
tidak peduli secantik apa pun dirimu. Benarkah bahwa kau
mendengar saranku kepadamu?
Jangan mengolok-olokku. Para pelayan melihat kita
dan kesulitan menahan tawa.
Biarkan saja mereka tertawa. Aku tak mengerti
mengapa kalian para wanita takut ditertawakan. Wanitawanita serius seperti Nyonya Ariko terlalu berlebihan
bagiku, jangan sampai kau menjadi seperti dia . Betul,
bukan, Tokuko? kata Tokitada, membelai rambut kemilau
keponakannya. Tuan Putri, mari naik ke keretaku, dan
aku akan mendongeng untukmu. Tokitada mengulurkan
kedua tangannya untuk menggendong gadis kecil itu,
namun Tokuko malah bersembunyi di balik kimono ibunya
dan mengintip pamannya sambil menggeleng. Dayangdayang, yang berdiri di sekitar mereka, tertawa terbahakbahak sementara Tokiko menggendong putrinya dan
memasuki keretanya.
Kereta Tokitada dan sepasukan pengawal mengiringi
kereta Tokiko di sepanjang jalan berapit pepohonan di
Rokuhara.
Tokiko jarang meninggalkan Rokuhara; setiap kali dia
melakukannya,
sepasukan
besar
samurai
selalu
mengawalnya. Selama bertahun-tahun dia disibukkan oleh
anak-anaknya ... sembilan orang, sehingga dia kerap
terheran-heran kepada dirinya sendiri. Suaminya sedang
berada di puncak kejayaannya, dan Tokiko sendiri masih

berumur awal empat puluhan. Dan melihat suaminya yang


gemar bersenang-senang dan main mata, Tokiko mulai
menyadari bahwa dia harus mencegah dirinya menua
sebelum waktunya. Hubungan gelap Kiyomori dengan
Tokiwa setahun silam telah memberinya pelajaran pahit
dan menimbulkan banyak luka di hatinya. Pada masa itu,
dia sering berdoa agar kesuksesan Kiyomori terhambat agar
hubungan gelap semacam itu tidak terjadi lagi .
Dibuai oleh guncangan keretanya, Tokiko tenggelam
dalam renungannya: empat puluh tahun ... kebanggaannya
terhadap pesona ragawinya telah memudar. Bagi seorang
pria, yang telah diperkaya oleh pengalaman dan
kebijaksanaan, usia ini adalah saat yang tepat untuk
mengambil tindakan-tindakan penting, meraih prestasiprestasi besar; telah tiba waktu baginya untuk menghadapi
seorang bocah dewasa yang mustahil dikekang .
Kereta Tokiko mendadak berhenti dan kereta Tokitada
berhenti di sampingnya.
Tokiko, bukalah kerai jendelamu dan lihatlah ke
sekelilingmu.
DI mana ... di manakah kita sekarang?
Jalan Kedelapan Barat ... di seberang sungai yang
mengalir dari Rokuhara ... itu adalah wilayah pedesaan
Shimabara, Mibu. Yang di sana adalah Kamiya dan Sungai
Omura . Lebih jauh lagi di selatan, kau bisa melihat
Sungai Yodo. Pemandangannya luar biasa, bukan?
Mengapa kau membawaku menyimpang sejauh ini dari
Istana? Bukankah Istana ada di arah yang berlawanan?
Tidak, kita tidak sepenuhnya menyimpang .
Lihatlah,Tokiko, lihatlah sendiri ... ribuan orang sedang
bekerja di sebelah sana!

Apakah yang sedang mereka kerjakan?


Mereka sedang membangun jalan baru. Kaulihat orangorang itu menggali, mengangkut tanah, dan sibuk bekerja?
Kaudengar keramaian samar-samar di kejauhan? Para
tukang batu, tukang kayu, dan yang lainnya bekerja di sana.
Dalam waktu enam bulan, kau tidak akan mengenali
tempat ini lagi.
Lalu, apakah yang akan mereka dirikan di sini?**
Perumahan mewah dan istana-istana. Sebuah kota akan
berdiri di sini tidak lama lagi ... bahkan, sebuah kota di
dalam kota, sebuah pusat klan Heik6!
Apakah Rokuhara saja tidak cukup?
Rokuhara sudah terlalu sesak sekarang. Aku yakin
bahwa Kiyomori memikirkan masa depan, dan tidak ada
yang mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pria
sepintar dia. Tidak diragukan lagi,
dia terlahir sebagai seorang tokoh besar dan kau adalah
istrinya. Jangan lupakan itu, Tokiko.
Tokitada, apa kau benar-benar yakin bahwa itu akan
membahagiakanku?
Kau adalah seorang wanita dan kurasa kau memiliki
semua alasan untuk bersyukur karena bersuamikan pria
seperti itu.
Omong kosong, Tokitada. Rokuhara paling sesuai
untukku. Semua ini hanya akan berujung pada semakin
banyaknya hal untuk dikhawatirkan. Kuharap kau bisa
mencegah suamiku melanjutkan rencananya.
Tokitada terkejut ketika Tokiko menutup kerai
jendelanya dengan gusar. Dia telah berepot-repot
membawanya kemari karena yakin bahwa kakaknya itu

akan senang, dan dia mulai memikirkan apakah


keputusannya ini akan menghadirkan masalah baru di
dalam rumah tangga Tokiko.
Tokitada menghela napas. Wanita-wanita itu, aku
tidak bisa memahami mereka. Mereka lebih serakah
daripada pria, lebih keras kepala, tapi sepertinya mereka
tidak menyukai hal-hal yang menyenangkan.
Kedua kereta itu melewati kanal di sepanjang Jalan
Kedelapan dan segera tiba di depan gerbang Istana Kloister.
Adik Tokiko, Shigeko, baru setahun sebelumnya
melahirkan Pangeran Noribito, putra ketiga dari kaisar
terguling, Goshirakawa. Shigeko telah beberapa kali
memohon kepada Tokiko untuk datang dan menjenguk
bayinya. Etika, bagaimanapun, mencegah Tokiko dari
memenuhi permintaan adiknya hingga sang mantan kaisar
sendiri mengirim undangan untuknya.
Membosankan sekali ! keluh Tokitada ketika
menunggu. Dia datang bersama Tokiko hanya sebagai
pengawal resmi sehingga tidak diizinkan memasuki bagian
dalam Istana. Dari tempatnya menunggu, dia bisa
mendengar suara-suara dan gelak tawa kedua saudarinya.
Tangisan melengking seorang bayi tiba-tiba mengejutkan
dan menyadarkan Tokitada bahwa dirinya adalah paman
dari sang pangeran baru. Pikiran ini sungguh mengesankan.
Tidak ada yang pernah menyangka memiliki hubungan
darah dengan seorang pangeran . Apakah yang akan
dikatakan oleh ayahnya, seorang bangsawan miskin, jika
beliau masih hidup? Pikiran Tokitada melayang ke masa
kecilnya. Mereka sangat miskin sehingga dia harus
menyabung ayam untuk melipatgandakan uang melalui
perjudian . Pikirannya kemudian melayang ke masa
depan: kekuasaan, kejayaan, kebesaran yang menyaingi
klan Fujiwara! Gelak tawa kedua saudarinya kembali

menggugah lamunannya. Mereka semua sama-sama


bahagia ... ya, gembira ... namun berkat sumber yang sangat
berbeda.
Mantan Kaisar sendiri mendesak Tokiko untuk makan
malam di Istana, dan Tokitada pun segera bergabung
bersama mereka. Mantan Kaisar memangku putri Tokiko.
membelai rambutnya, dan berkata, Orang-orang selalu
mengatakan bahwa anak perempuan biasanya mirip dengan
ayahnya, dan anak laki-laki dengan ibunya, namun si kecil
ini tidak memiliki kemiripan sedikit pun dengan Kiyomori.
Kebahagiaan Tokiko membuncah ketika dia melihat
Mantan Kaisar membelai-belai Tokuko dan berkali-kali
mengatakan, Kau gadis kecil yang cantik, anak yang
cantik sekali! Tokiko merasa bahwa tidak ada hal lain
yang bisa menandingi kehormatan dari pujian tersebut.
Tokiko, berapakah jumlah anakmu? kata sang mantan
kaisar.
Tokiko menjawab dengan tertawa, Sangat banyak,
sampai-sampai saya sendiri tak sanggup menghitungnya.
Lebih banyak anak laki-laki atau perempuan?
Anak perempuan.
Dan si kecil ini, anak keberapa?
Ini putri ketiga kami.
Ada begitu banyak anak hingga kau tidak sanggup
mengingat-ingatnya. Kalau begitu, kau tentu tidak
keberatan jika yang satu ini tinggal bersama bibinya,
bukan? ujar Mantan Kaisar Goshirakawa dengan
senyuman. Apakah kau mau, Nak?

Bocah itu tidak menunjukkan air mata; dia melepaskan


diri dari pelukan Goshirakawa dan berlari menyongsong
ibunya.
Seperti yang Anda lihat sendiri, Yang Mulia, Tokuko
masih kecil.
Baiklah, tapi dia harus sering-sering mengunjungi
bibinya agar bisa berkenalan dengan kehidupan di sini. Dan
setelah itu, tinggal di sini?
Goshirakawa kemudian mengalihkan perhatiannya
kepada Tokiko, dengan sopan bertanya tentang dirinya,
rumah tangganya, dan kehidupan di Rokuhara; dia
berbicara kepadanya tentang Kiyomori ... kekuatan dan
kelemahannya ... mendorong Tokiko untuk menyambut
gembira masa depan suaminya. Saking terpesonanya
kepada sang mantan kaisar, Tokiko menceritakan banyak
hal kepadanya. Dengan sikap simpatik, Goshirakawa
mendengarkan keluhan Tokiko mengenai suaminya dan
memberikan tanggapan yang memuaskan tanpa harus
mencela Kiyomori:
Tidak, memang bukan sesuatu yang mudah bagi
seorang wanita untuk menjadi istri seorang pria sehebat itu
. Kendati begitu, kau tidak akan berbahagia jika
bersuamikan seorang pria pengecut
Tidak, saya yakin bahwa seorang pria yang biasa-biasa
saja, walaupun miskin, yang kerap tinggal di rumah dan
memerhatikan istrinya akan jauh lebih saya sukai.
Ya, suamimu memang seseorang yang tak pernah kenal
lelah dan senantiasa mengejar mimpi-mimpinya. Ya,
tepat seperti itu, Tokiko mengiyakan. Kau bisa
mendorongnya untuk sedikit lebih mendalami agama.
Kelemahan Kiyomori adalah kebiasaannya untuk

meremehkan keimanan orang lain ... kesan tidak kenal


takut itu.
Semakin banyak sang mantan kaisar mengungkapkan
kelemahan Kiyomori, semakin Tokiko mengaguminya.
Ketika tiba waktu bagi Tokiko untuk berpamitan,
Goshirakawa telah mengetahui tentang seleranya. Dia
menghadiahkan sehelai kain yang langka dan indah kepada
Tokiko dan memintanya untuk lebih sering berkunjung.
Pada malam yang sama, Bamboku tiba di taman mawar
dan mendapati bahwa Kiyomori telah menunggu di sana
bersama Michiyoshi, si pemimpin perompak, yang sejak
setahun silam dipekerjakan di Rokuhara sebagai pelayan
Kiyomori.
Pengerjaannya
sudah
rampung.
Tuan,
kata
Michiyoshi, membentangkan sebuah peta besar di hadapan
Kiyomori. Sebagian dari peta itu ... garis pesisir dan
pelabuhan-pelabuhan di Cina ...
dibuat berdasarkan
perkiraan; jalur-jalur yang membelah Laut Dalam juga
tampak di sana.
Kiyomori membungkuk di atas peta itu dengan penuh
minat Ini? ... Mendekatlah, Bamboku, dan lihatlah sendiri
peta ini.
Michiyoshi di bandar yang manakah kau berdagang di
Cina?
Tidak ada satu bandar pun yang permanen. Semuanya
tergantung pada arah angin dan pasang surut air laut.
Bagaimana dengan di Laut Dalam?
Saya belum pernah ke sana karena tidak ada pelabuhan
yang bagus di sana.

Kiyomori menunjuk empat atau lima titik di peta.


Bagaimana dengan ini?
Pelabuhan-pelabuhan itu hanya cukup
menampung perahu nelayan dan kapal kecil.

untuk

Lebih jauh lagi, jika begitu?


Arus di luar pelabuhan tidak bisa ditebak. Jika ada
kapal yang bisa mencapai Teluk Kumano, pelabuhanpelabuhan alami yang bagus bisa ditemukan di antara
pulau-pulau di sana. Tetapi, kapal-kapal dagang Cina yang
besar tidak akan muat di sana.
Sayang sekali ... Kiyomori mendesah dan
mendongak. Lima ratus tahun yang lalu, ketika duta
negeri kita diterima di singgasana Tang, harta benda dari
Cina mengalir kemari. Itu adalah hari kejayaan !
Lebih jaya daripada sekarang?
Tentu saja. Kau pasti menganggapnya aneh, namun aku
yakin bahwa negeri kita lebih makmur lima ratus tahun
yang lalu, kebudayaan kita lebih cemerlang, para pemuka
agama kita lebih bijaksana dan giat, dan penduduk kita
lebih menikmati kedamaian. Sungguh aneh bahwa kita
tidak membuat kemajuan. Kita berjalan di tempat selama
lima ratus tahun.
Menurut Anda, apakah alasannya?
Kita membiarkan diri kita terjebak di pasir isap.
Saluran-saluran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan baru
telah tersumbat ... ini sudah terjadi sejak berabad-abad
silam, ketika kaisar berhenti mengirim dutanya ke Istana
Tang. Bagaimana menurutmu, Hidung Merah? Kiyomori
tergelak dan cepat-cepat meralat ucapannya, Bamboku,
maksudku. Nah, Pengawas Sungai Kamo, jangan terlena
oleh gelarmu. Kau akan menangani salah satu dari kelima

pelabuhan di Laut Dalam dan akan mengirim sejumlah


kapal ke Cina, kau tahu.
Ya, saya akan mempertaruhkan seluruh kekayaan saya
untuk itu.
Apabila kita sudah memulainya ... pelabuhan manakah
yang pertama kaupilih? tanya Kiyomori.
Bagaimana dengan Pelabuhan Kanzaki di mulut
sungai?
Tidak disarankan karena kubangan pasirnya.
Muro?
Terlalu sempit.
Di manakah tempat yang tepat, jika begitu?
Owada (Kobe). Aku sudah berkali-kali berlayar
melewatinya ketika masih bocah. Tanah Ayahku terbentang
di sepanjang pesisir di sana. Kerabatku juga tinggal di sana,
dan kapal yang kutumpangi selalu melewati Owada .
Dan setiap kali kami mencoba berlabuh di sana, angin
kencang dan keadaan pelabuhan yang buruk menyulitkan
kami. Semasa masih bocah pun aku sudah memikirkan apa
yang bisa diperbuat untuk pelabuhan di sana.
Bamboku menatap Kiyomori dengan terkejut. Eh, Anda
sudah memiliki pikiran semacam itu sejak masih bocah?
Hmm sejak aku berumur dua puluhan karena,
Bamboku, pikirkanlah ... tidak seperti biasanya, Kiyomori
berbicara dengan nada serius kepada Hidung Merah ... aku
baru saja menganugrahkan sebuah gelar kepadamu ...
sesuatu yang beberapa tahun silam tidak pernah kusangka
akan bisa kulakukan. Dan siapakah Kiyomori semasa
mudanya? Seorang samurai yang dibenci oleh kaum
bangsawan! Seekor anjing penjaga dan keturunan Heik6

yang mengenaskan . Bagaimana mungkin aku tahu ketika


itu bahwa masa depan terbentang luas di hadapanku? Aku
masih muda ... tertindas, terinjak-injak, namun bertekad
untuk tetap hidup.
Ya, saya masih mengingat masa itu.
Ya, kau tentu masih ingat, Bamboku. Kau sendiri
bukan siapa-siapa di Istana ketika itu. Dan tidak ada
peluang bagi tumbuhnya harapan atau ambisi seorang
pemuda untuk tumbuh, kecuali dengan memberontak atau
bergabung dengan kelompok penjahat . Karena itulah,
setiap kali aku berlayar melewati Owada bersama ayahku,
aku selalu bermimpi bahwa akan tiba suatu hari ketika aku
membelah sebagian bukit itu dan melihat sebuah kapal
membuang sauh di pelabuhannya. Tempat itu akan menjadi
bandar perdagangan besar yang didatangi oleh kapal-kapal
dari Cina. Itulah angan-anganku setiap kali memandang
laut.
Hidung Merah, yang mendengarkan dengan saksama,
mengatakan, Ternyata saya salah. Saya menyangka bahwa
semua ini adalah impian liar yang baru saja terlintas di
benak Anda.
Tidak, aku sudah memupuknya selama dua puluh
tahun. Bermimpilah, bermimpilah selagi kau muda,
Bamboku. Impianku, seperti yang bisa kaulihat sendiri,
telah mulai terwujud. Ini adalah sebuah kebahagiaan yang
tidak tertandingi oleh apa pun bagiku. Kurasa, tidak
hanya dirimu yang beranggapan bahwa semua ini hanyalah
angan-angan liarku?
Kiyomori jarang merenung hingga sepanjang itu;
sekarang, matanya berkaca-kaca, terpesona pada impiannya
sendiri. Bamboku mengenang Kiyomori setahun silam ...
ketika dia tengah tergila-

gila kepada Tokiwa ... dan nyaris tidak percaya bahwa


dia sedang memandang pria yang sama. Kiyomori melipat
peta di hadapannya sementara para pelayan mulai
menghidangkan sake dan makanan; para pria lain di rumah
itu segera bergabung bersama mereka untuk minum-minum
dan menikmati hiburan.
Kiyomori menenggak bercangkir-cangkir sake, menonton
para geisha dengan pikiran melayang karena mabuk;
baginya, tabuhan genderang terdengar bagaikan deburan
ombak di laut.
Sementara itu, sebuah kereta bergerak tanpa suara
melewati gerbang, dan Tokiko keluar dengan menggendong
Tokuko yang tertidur nyenyak.
Kiyomori meninggalkan tarian dan nyanyian di
belakangnya dan menyusuri lorong menuju kamar Tokiko.
Tokiko melihat bahwa, tidak seperti biasanya, suaminya
sedang gembira dan penyebabnya bukan minuman. Tokiko
sendiri, yang sedang tidak sekaku biasanya, dengan penuh
semangat menceritakan setiap detail kegiatannya hari itu
kepada suaminya.
Pertanyaan pertama Kiyomori adalah Bagaimana kabar
sang pangeran cilik?
Beliau sehat, dan sangat mirip dengan ayahnya.
Mm . Bagaimana kabar Shigeko?
Yang Mulia juga baik-baik saja. Tokiko meralat
dengan senyuman menawan.
Apakah kau berbicara panjang lebar dengan Yang
Mulia Mantan Kaisar? Apakah beliau mengatakan
sesuatu? adalah pertanyaan Kiyomori yang selanjutnya.

Ya, beliau begitu ramah, dan aku merasa sangat


terhormat karena pertanyaan-pertanyaan beliau tentang
keluarga kita dan pendapatnya mengenai dirimu.
Kiyomori mencermati ekspresi wajah Tokiko ketika
sedang berbicara. Dia menyadari bahwa sang mantan kaisar
sedang sebisa mungkin berusaha mendapatkan dukungan
militer dari dan seluruh klan Heik6. Kendati begitu, Tokiko
terus mencerocos tentang pesona, kelembutan, dan
kebaikan hati Yang Mulia.
Kiyomori terpaksa menguap untuk mengakhiri
pembicaraan mereka. Aku senang kau menikmati
harimu, katanya. Bagus bagimu jika sesekali keluar
rumah. Aku akan tidur lebih cepat karena harus mengikuti
pertemuan di Istana besok pagi, ujarnya seraya berdiri.
Oh, tinggallah di sini untuk mengobrol lebih lama
denganku, pinta Tokiko.
Masih adakah yang hendak kauceritakan kepadaku?
Ya, aku terkantuk-kantuk di kereta di sepanjang
perjalanan pulang tadi dan mendapatkan mimpi yang
sangat aneh.
Mimpi?
Mungkin bukan mimpi
Omong kosong!
Mimpi ataupun bukan, penajamanku tadi sangat luar
biasa. Kejadiannya tepat setelah kami tiba di jembatan
Gojo. Tokuko tertidur di pangkuanku, dan aku juga pasti
tertidur, karena mendadak kereta kami seolah-olah terbang
ke awan; derak kereta tidak lagi terdengar, tapi aku malah
mendengar deburan ombak . Aku memandang ke

sekelilingku, dan ternyata kami sedang terbang di atas laut


Aku memikirkan ke mana aku dibawa dan menangis di
dalam tidurku, dan tahukah kamu? ... alih-alih seekor sapi.
sepasang rubah menarik kereta kami! Lalu, aku melihat
sebuah pulau yang seindah puncak-puncak surga menjelma
di hadapanku; sebentuk pelangi melengkung di langit, dan
sebuah suara terdengar olehku ... Itsuku-shima ... Itsukushima, katanya. Kemudian, rubah-rubah itu lenyap, dan
aku terbangun oleh deburan ombak dan petikan harpa.
Kau terbangun?
Bahkan setelah benar-benar terjaga, aku masih bisa
mendengar alunan musik dan suara di awan yang
mengatakan, Itsuku-shima.
Aku bahkan masih bisa mendengarnya sekarang! Aku
mendengarnya selama di dalam kereta.
Bisakah kau menjelaskan makna mimpimu itu?
Apakah kau masih ingat waktu itu ... kau masih
berumur tiga puluh tahun saat itu, sepertinya ... ketika kau
berburu karena membutuhkan bulu rubah untuk baju
zirahmu? Peristiwa itu terjadi setahun setelah pertikaian
dengan para biksu, dan kau harus menjauhi Istana.
Oh, ya, aku ingat masa itu.
Apakah kau masih ingat bahwa kau jatuh iba pada
rubah-rubah itu dan lebih memilih untuk pulang dengan
tangan hampa daripada memanah mereka?
Hebat sekali ingatanmu!
Aku belum pernah menceritakan ini kepadamu, tapi
sejak saat itu, aku menyimpan kecapi, yang dihadiahkan
oleh Shinzei kepadamu, di ruang peribadatan kita dan
mempersembahkannya kepada Dewi Musik karena rubah

adalah kurirnya
kesukaannya.

dan

kecapi

adalah

alat

musik

Gagasanmu itu bagus sekali. Walaupun Shinzei bukan


kenangan yang bagus, aku yakin arwahnya bahagia karena
persembahanmu kepada sang dewi.
Jadi, makna mimpiku adalah, kurasa, sebuah
pertanda bahwa rubah-rubah itu mengawasi rumah kita.
Tidakkah kau berpikir bahwa kurir-kurir sang dewi datang
untuk mengingatkan kita bahwa kita sesekali harus
memberikan penghormatan kepada dewa klan Heik6 di
Itsuku-shima?
Apakah tempat pemujaan untuk dewa klan kita terletak
di Itsuku-shima?
Begitulah kata ibu tirimu. Kakekmu, begitu pula
ayahmu, yang memiliki tanah di sana, telah beberapa kali
datang ke Itsuku-shima untuk berdoa.
Ya, kau benar. Begitulah.
Kecuali dua kali peperangan, kita tidak pernah
mendapatkan kemalangan apa pun ... bahkan, selain semua
hal berjalan dengan lancar, Shigeko sekarang menjadi ibu
bagi seorang pangeran, dan aku tidak percaya bahwa ini
hanyalah kebetulan semata. Kuharap kau mau memberikan
penghormatan kepada para dewa dan, seperti ayahmu,
sesekali melakukan ziarah ke tempat pemujaan klan kita.
Hmm . Maksudmu, Itsuku-shima?
Ya, Itsuku-shima.
Ya, aku akan pergi ke sana tahun ini.
Kiyomori, yang biasanya gusar setiap kali ibu tirinya
menegurnya karena tipisnya keimanannya, mengejutkan
Tokiko dengan persetujuannya.

Kau serius? Tokiko menyangsikannya.


Kiyomori tidak bisa menahan tawa ketika melihat mimik
wajah Tokiko. Dia sepenuhnya memahami jalan pikiran
istrinya, namun sesekali dia bersedia berlagak seperti
seorang suami bodoh yang mengikuti apa pun saran
istrinya. Ya, dia memercayai mimpi Tokiko; dia akan
melakukan apa pun yang diharapkan oleh Mantan Kaisar;
dia akan berusaha untuk menjadi seorang abdi setia dan
suami yang baik. Semuanya akan dilakukan tepat seperti
yang dikatakan oleh istrinya.
Tidak, aku tidak akan mengolok-olok agama, dan aku
berjanji kepadamu untuk melakukan perjalanan ziarah ke
Itsuku-shima tahun ini, apa pun yang terjadi. Aku berjanji
... tidak, aku bersumpah.
o0odwkzo0o

Bab XXXIX-TABIB ASATORI


Asatori meninggalkan rumah Momokawa dan dengan
hati riang menuruni bukit. Setahun telah berlalu sejak dia
menyampaikan surat pengantar dari Mongaku kepada
Tabib Momokawa dan diterima sebagai muridnya. Ada
beberapa orang lain yang menimba ilmu kepada
Momokawa, namun semangat Asatori dan pengalaman
yang didapatkannya dari merawat orang-orang sakit di
pemukiman kumuh ternyata bermanfaat di dalam
pendidikannya ... pembedahan, pelajaran tentang tubuh dan
tanaman herbal, dan pengetahuan tentang berbagai aliran
pengobatan baru dari Cina. Seandainya Asatori memilih
untuk menjadi pemain musik di Istana, dia mungkin akan
mendapatkan kehormatan dan ketenaran, namun di dalam
jalan hidup yang dipilihnya, kemiskinan di antara kaum

papa, dia mendapatkan kepuasan yang tidak pernah


dirasakannya di Istana. Dalam keadaan kelaparan nyaris
sepanjang waktu, sesuatu di dalam kehidupan barunya
memberikan rona di pipi tirusnya.
Di seluruh ibu kota, pohon-pohon paulownia telah
berkembang, dan Asatori mendesah ketika mendongak
untuk memandang bunga-bunga itu. Sejak kuntum-kuntum
ungu paulownia berguguran hingga musim gugur tiba,
wabah penyakit melanda pemukiman kumuh. Dalam
beberapa tahun, wabah tersebut melanda lebih dahsyat
daripada biasanya; dia baru saja membaca tentang penyakit
disentri yang mematikan, yang belum ditemukan obatnya
walaupun kekejamannya telah diketahui oleh semua orang.
Orang kaya maupun miskin rawan terkena penyakit itu, dan
mereka yang sudah tertular tidak bisa melakukan apa-apa
kecuali menunggu kematian hingga wabah mereda. Ribuan
penduduk ibu kota telah kehilangan nyawa akibat penyakit
disentri tahun lalu, hingga hujan salju pertama turun.
Asatori berdoa agar kejadian yang sama tidak terulang
kembali tahun ini, karena sepertiga penduduk Jalan
Pedagang Sapi telah tewas akibat wabah terakhir.
Asuka, apakah yang sedang kaulakukan di sini?
Asatori bertanya dengan heran ketika tiba di Jalan Keenam.
Sebatang paulownia berbunga berdiri di tepi padang rumput
berpagar di dekat Jalan Pedagang Sapi. Seorang gadis
tengah menunggu Asatori di bawah pohon itu.
Akhirnya, Asatori! seru Asuka, berian menyongsong
Asatori dan menangis sambil menyambut uluran
tangannya.
Ada apa, Asuka? Apakah kau sedang menungguku?
Ya ...
Apakah Ular datang lagi?

Dia datang lagi hari ini dan membentak-bentak kami,


mengatakan bahwa dia akan membawaku lagi. Karena
itulah aku kabur dan menunggumu di sini.
Kau tidak perlu takut, Asatori menenangkannya. Aku
akan menebus utang orangtuamu kepadanya, dan aku yakin
dia tidak akan memaksamu lagi.
Kekumuhan terlihat bersama setiap belokan yang
membawa mereka mendekati Jalan Pedagang Sapi.
Setibanya mereka di pondok berdinding lempung milik si
perajin roda kereta, Ular masih ada di sana, mengancam si
perajin dan istrinya yang ketakutan. Ular ditemani oleh
seorang wanita tua berpakaian mencolok, yang menjelaskan
dengan keramahan palsu, Kau tidak perlu
menghabiskan seluruh kehidupanmu di lingkungan
mengenaskan ini, bukan? Aku kemari untuk memberimu
beberapa nasihat ... dan kau memiliki anak perempuan yang
secantik itu! Tidak pernahkah kau memikirkan masa
depannya?
Ryozen dan istrinya tidak sedikit pun menunjukkan
tanda-tanda kepasrahan, namun Ular terus mendesak
mereka. Baiklah, kalau begitu, aku akan meminta kalian
untuk sekarang juga melunasi utang kalian dari tahun lalu.
Jika bukan karena itu, Asuka tidak akan ada di sini
sekarang ... aku pasti sudah menjualnya kepada seseorang
di timur laut Jangan bilang bahwa kalian sudah melupakan
itu! Memangnya untuk apa aku lagi-lagi mau meminjami
kalian uang pada musim semi lalu? Karena kalian
mengatakan bahwa aku sangat kejam lantaran merenggut
putri kalian yang masih kecil. Dan sekarang, wanita ini
berjanji untuk mendidiknya menjadi seorang geisha. Apa
lagi yang kalian keluhkan? Ini lebih daripada yang layak
kalian dapatkan!

Asatori dan Asuka menerobos kerumunan para tetangga


penasaran di depan pintu. Ular dan temannya sepertinya
gelisah melihat kerumunan orang yang memerhatikan
mereka.
Kami akan kembali lagi di lain waktu. Kalian berdua,
pikirkanlah tawaran dariku ini, ujar Ular dengan garang
sebelum pergi.
Dia pantang menyerah ... si Ular itu. Kalian sebaiknya
mengawasi Asuka. Iblis sedang memburunya, Asatori
menasihati seraya memeriksa Ryozen, yang seperti
biasanya sedang sakit. Apakah obatmu masih ada? Segera
setelah obatmu habis, kau harus mengirim seseorang
kepadaku untuk mengambil tambahannya, katanya
dengan ramah. Setelah berbincang-bincang sejenak dengan
si sakit, Asatori pulang.
Keesokan harinya, Asuka mendatangi rumah Asatori.
Asatori yang baik, orang itu menyuruh kami untuk
mengembalikan jepit rambut ini kepadamu. Apakah ini
milikmu? katanya, menyerahkan benda itu kepada Asatori.
Jepit rambut indah yang terbuat dari emas dan perak itu,
yang nyaris tampak terlalu mewah bagi seorang pemusik
istana sekalipun, didapat oleh Asatori dari ibunya ketika dia
beranjak dewasa, jepit rambut itu biasa dikenakan oleh para
pemain musik istana dalam acara-acara resmi. Ibu Asatori
memesan jepit rambut itu untuk putranya setelah
sebelumnya menjual beberapa barang, dan benda itu
menjadi salah satu harta paling berharga yang dimiliki oleh
Asatori. Setelah berjanji untuk menebus utang Ryozen
kepada Ular, Asatori membujuk Ular agar mau menerima
satu-satunya benda mahal yang dimilikinya.
Apakah kau serius mengatakan bahwa si serakah itu
mengembalikannya?

Ya, jawab Asuka.


Mengapa dia mengembalikannya?
Entahlah.
Tapi, aku tidak percaya dia melakukan itu, kecuali jika
dia memang berniat untuk datang lagi. Kau sebaiknya
menyimpan jepit rambut ini, Asuka, siapa tahu dia memang
berniat begitu .Aku tidak membutuhkannya lagi.
Asuka menerimanya dengan enggan, dan baru setelah
gadis itu pergi, Asatori melihat jepit rambutnya telah
tergeletak di atas salah satu peti yang digunakannya untuk
menyimpan buku-bukunya. Asuka kerap mengunjunginya
sejak dia menyelamatkannya dari Ular. Akhir-akhir ini,
bagaimanapun, Asuka lebih sering menghabiskan waktu
bersamanya lebih daripada bersama orangtuanya, dan
Asatori, yang semakin menyayanginya, mengajarinya
membaca dan menulis. Asatori mengagumi bakat Asuka,
karena gadis itu tidak hanya pintar membuat kaligrafi tetapi
juga lihai dalam menulis puisi. Walaupun jarang ditemui di
kalangan kaum rakyat jelata, ayah Asuka, mantan pelayan
seorang bangsawan yang dihukum mati setelah Perang
Hogen, telah mendidik putrinya seperti layaknya seorang
gadis istana.
Sepertinya tidak ada tanda-tanda wabah penyakit pada
tahun ini, namun udara dingin, yang tidak sesuai dengan
musim, membusukkan dan mengerutkan gabah dan bibit
gandum. Dengan gelisah, orangorang membicarakan tentang musim paceklik dan
bencana kelaparan yang mengancam pada musim dingin.
Pada suatu hari, Asatori berjalan kaki pulang dari rumah
Tabib Momokawa. Sambil menghampiri pintu rumahnya,
dia berseru memanggil Asuka, berharap gadis itu ada di

sana dan merapikan rumahnya. Dia tidak mendengar


jawaban, namun begitu melewati ambang pintu, dia
disambut oleh tamu lain, Yomogi, yang memelototinya
dengan kesal. Dia mengedarkan pandangan untuk mencari
Asuka dan mendapati gadis itu sedang duduk dengan
marah di dapur. Kedua gadis tersebut tidak mengatakan
apa-apa. Setelah keheningan yang panjang, Asatori berkata,
Astaga, ada apa sebenarnya ini? Dia kebingungan ketika
melihat mata kedua gadis itu berkaca-kaca.
Ah, Yomogi, aku senang karena bisa bertemu
denganmu lagi! Kita sudah lama tidak berjumpa, bukan?
Apa kabar, Asatori? jawab Yomogi sambil
mengangguk kaku. Kau mungkin sudah mendengar bahwa
nyonyaku mendadak menikah pada musim gugur silam.
Ya, aku sudah mendengarnya.
Sejak saat itulah aku kesulitan keluar, karena beliau
selalu dikelilingi oleh para pelayan aneh dan
menghendakiku untuk sesering mungkin berada di
dekatnya.
Beruntung sekali dirimu! Tapi, kau tidak sepantasnya
mendatangi tempat ini, meskipun aku akan senang jika bisa
sesekali bertemu denganmu.
Aku yakin kau senang karena aku tidak bisa seringsering mengunjungimu.
Oh, sama sekali tidak! Asatori menyangkal sambil
tertawa.
Tapi ... aku mengerti. Aku sudah melihatnya sendiri.
Ada apa ini? Apa maksudmu?
Tidak ada ... tidak ada sama sekali.

Yomogi memalingkan wajah dan menangis tersedu-sedu.


Asuka, yang memerhatikan mereka tanpa berkata-kata,
mendadak bangkit dan berlari keluar rumah dengan kaki
telanjang.
Asuka! Hei, Asuka, kau hendak ke mana? Ada apa
sebenarnya?
Asatori melongok dari jendela dan memanggilnya
senyaring mungkin, namun Asuka tidak mau kembali.
Asatori, yang masih bingung, mulai menduga bahwa
Yomogi dan Asuka bertengkar sebelum dia datang. Mereka
pasti bersilat lidah gara-gara masalah sepele, pikirnya
dengan geli sebelum kembali menemui Yomogi. Dia
terkejut ketika mendapati bahwa Yomogi bukan lagi gadis
kecil yang dikenalnya sekitar setengah tahun silam.
Segala sesuatu di dalam diri Yomogi sepertinya telah
berubah ...
caranya menata rambut dan bersikap
menunjukkan bahwa dia telah menjadi seorang wanita
muda. Mungkinkah, Asatori membatin, naluri kewanitaan,
yang muncul pada usia tujuh belas tahun, telah sepenuhnya
mengubah Yomogi menjadi sosok memesona ini? Asatori
kemudian menyimpulkannya sebagai suatu kewajaran yang
luput dari pantauannya. Dia kembali bertanya:
Yomogi, apakah Asuka tadi melakukan sesuatu yang
melukai perasaanmu?
Tidak, sama sekali tidak, Yomogi menjawab dengan
ketus, lalu menambahkan, Aku bahkan mengira dia bisu
karena dia tidak mengucapkan sepatah kata pun ketika
pertama kali melihatku.
Dia jarang bertemu dengan siapa pun kecuali para
penduduk di sini. Dia miskin dan sangat malu karenanya.
Tidak, kurasa bukan itu masalahnya.

Kalau begitu, apakah itu?


Dia memelototiku seolah-olah dia ingin mengusirku.
Aku mengira kau akan menikahinya. Benarkah itu,
Asatori?
Asatori terpana. Jengah oleh tatapan menyelidik dari
Yomogi, dia terpaksa membuang muka. Dia merasakan
wajah dan telinganya memanas ketika menyadari bahwa
dialah alasan tatapan cemburu
itu. Tetapi, dia terkejut ketika menyadari bahwa seorang
gadis secantik Asuka juga bisa merasa cemburu. Dia
memikirkan apakah Yomogi telah memiliki perasaan
berbeda kepadanya pada musim gugur silam, ketika dia
masih memperlakukannya seperti layaknya seorang bocah.
Apakah nyonyamu menyuruhmu kemari? Asatori
bertanya, mengalihkan pembicaraan.
Tidak, aku ingin meminta nasihatmu dalam suatu
perkara.
Oh ? tanya Asatori, menantikan penjelasan.
Asatori, aku berpikir untuk meninggalkan majikanku
dan hidup di sini. Bagaimana pendapatmu tentang itu?
Maksudmu, kau akan meninggalkan Nyonya Tokiwa?
Aku tidak senang memikirkan akan meninggalkan
beliau sendirian di sana, tapi ...
Tapi, kau sudah menyertai beliau semenjak putraputranya lahir, bukan? Aku khawatir beliau akan
kehilangan dirimu.
Ya, aku juga sudah memikirkannya secara mendalam.
Apa yang membuatmu berpikir bahwa dirimu ingin
menjalani kehidupan di sini?

Bukankah kau selalu mengatakan kepadaku bahwa


kemewahan hanya ada di permukaan? Bahwa kita tidak
bisa membandingkan orang kaya dengan orang miskin,
karena kau justru menemukan kebaikan sejati di antara
mereka? Aku sudah memikirkannya, dan aku yakin bahwa
kau benar.
Tapi, Yomogi, tidak ada alasan bagimu untuk memilih
kehidupan sengsara di sini padahal ada banyak orang yang
bersedia melakukan apa pun untuk pergi dari sini!
Aku sudah muak dengan kemewahan. Ketika aku
mengetahui bahwa kau melepaskan pekerjaanmu sebagai
pemain musik istana karena merasa sepertiku, aku
menyadari bahwa aku juga ingin tinggal di sini.
Tidak, kau tidak akan sanggup hidup di sini setelah
lama bergelimang kemewahan. Kau harus berbicara kepada
nyonyamu dan mendengar pendapat beliau tentang
keinginanmu ini
Tentu saja beliau akan menghentikanku. Sejujurnya,
perasaanku kepada beliau sudah berubah, terlebih lagi
setelah apa yang terjadi antara beliau dengan Tuan
Kiyomori, lalu beliau menikah lagi. Dan walaupun
kecantikan beliau sungguh memesona, memalukan sekali
Yomogi telah dewasa, renung Asatori; dia telah menjadi
seorang wanita yang bisa menilai wanita lain. Dia mulai
meragukan majikannya dan gelisah ingin menjalani masa
depannya sendiri. Tetapi, Asatori risau ketika menyadari
bahwa Yomogi memintanya untuk berbagi masa depan
bersamanya. Bagaimanakah dia akan menolak Yomogi?
Hati Asatori mencelus ketika dia memikirkan tugas yang
diembannya. Tetapi, Yomogi sepertinya senang hanya
dengan berada di sana, mengobrol dengannya dan
mengabaikan waktu yang terus berjalan. Ketika malam tiba,

Yomogi membantu Asatori menyiapkan makan malam


sederhana dan mereka pun menyantapnya bersama.
Kau sebaiknya pulang sekarang,Yomogi
Ya, tapi segera setelah nyonyaku mau melepaskan ku,
kau akan mengizinkanku tinggal di sini, bukan, Asatori?
Tetapi, Asatori membungkamnya dengan mengatakan,
Yah, apabila Mongaku sudah tiba kembali di ibu kota, kau
harus menanyakan pendapatnya. Jangan tergesa-gesa
mengambil keputusan.
Asatori mengantar Yomogi hingga tiba di persimpangan
jalan, lalu kembali ke rumahnya dan mendapati bahwa
lenteranya menyala. Api lentera bergoyang-goyang tertiup
angin sepoi-sepoi; dia mengangkat lentera dan
meletakkannya di atas meja, lalu mulai membuka bukubuku pengobatannya. Kemudian, dia mendengar percikan
air di dekat rumahnya; gemeretak galah bambu. Dia
melongok ke beranda dan melihat sebatang galah bambu
telah disangkutkan di antara cabang-cabang sebatang
pohon; sesosok gadis bertubuh mungil
sedang menggapai untuk menjemur cucian. Kaukah itu,
Asuka, yang ada di luar sana? Jangan coba-coba mencuci di
tengah kegelapan. Masuklah kemari, di sana dingin.
Tapi, kalau aku mencuci sekarang, kau akan memiliki
kimono bersih untuk kaukenakan besok.
Oh, sebaik itukah dirimu hingga mau mencucikan baju
kotorku?
Aku baru mulai melakukannya tadi siang, waktu
tamumu datang, jadi ... kata Asuka, dengan malu-malu
berjalan ke beranda. Dia akhirnya duduk di samping
Asatori, dengan lembut merawat jarinya yang sakit.

Kau terkena serpihan kayu?


Dari galah bambu itu.
Mana, biar kuperiksa. Asatori menarik tangan Asuka
dan mendekatkannya ke matanya. Di sini terlalu gelap,
masuklah ke dekat lentera. Asatori menggunakan sebuah
penjepit untuk mencabut serpihan bambu yang memasuki
jari Asuka. Asuka memasrahkan tangannya dan sepertinya
tidak keberatan dengan rasa sakitnya.
Ah, ini dia ... sudah keluar! Kau pasti kesakitan, jarimu
berdarah.
Tidak, tidak apa-apa.
Perdarahannya akan segera berhenti, Asatori
menenangkannya, mendekatkan jari Asuka ke mulutnya
dan mengisapnya. Asuka tiba-tiba menangis. Asatori cepatcepat memeluknya dan membuainya seolah-olah Asuka
seorang bocah kecil.
Mengapa kau menangis, Asuka? tanyanya.
Karena aku bahagia ... sangat bahagia, jawab Asuka di
antara isak tangisnya.
Berhentilah menangis, kalau begitu.
Aku menangis karena aku tidak akan bisa datang
kemari lagi.
Mengapa kau berkata begitu?
Asuka tidak mau menjawab dan Asatori terus
mengayun-ayunnya di atas pangkuannya. Anak malang,
pikirnya, begitu haus kasih sayang, anak pemukiman
kumuh ini.

Asuka, mengapa kau meninggalkan jepit rambut yang


kuberikan kepadamu tempo hari? Kau harus membawanya
malam ini kau tidak boleh malu.
Apakah jepit rambut itu benar-benar untukku?
Kau tahu, kau bisa menjualnya. Untuk membeli baju
yang bagus, mungkin?
Tidak ... Asuka menggeleng. Dia menggenggam jepit
rambut itu dan akhirnya tersenyum. Aku akan
menyimpannya selamanya ... seumur hidupku.
Asuka akhirnya pulang setelah kesedihannya mereda,
dan Asatori kembali menekuni buku-bukunya. Tetapi,
malam ini, isi buku-buku itu sepertinya mustahil untuk
dipahami, dan percuma saja dia membacanya.
Sekitar seminggu kemudian, Asatori, yang telah dua atau
tiga hari tidak bertemu dengan Asuka, singgah di rumah
Ryozen sebelum pulang ke rumahnya. Dia terperangah
ketika mengatahui bahwa seorang bocah bungkuk dan
seorang pincang telah pindah ke rumah Ryozen dengan
membawa seluruh harta mereka ... sebuah kuali dan sebuah
ember kayu.
Si pincang berkata dengan nada dengki. Kau mencari
Ryozen? Dia sudah pindah kemarin lusa ke sebuah rumah
bagus di daerah pusat hiburan sana ... jauh berbeda dari
gubuk lempung ini. Kudengar seorang kaya sudah
menjemput putrinya. Aku hanya punya si bungkuk ini;
tidak seorang pun menghendakinya waiaupuan aku mau
memberikannya.
Kau
tabib,
bukan?
Kau
bisa
menyembuhkannya, bukan?
Malam itu, Asatori seperti biasanya menyibukkan diri
dengan buku-bukunya, namun dia kesulitan memahami apa
yang dibacanya karena wajah Ular dan si mucikari tua terus

menerus berkelebat di antara dirinya dan bukunya yang


terbuka. Dia juga sakit hati karena Ryozen tidak berpamitan
kepadanya. Pertemanan semacam itu sudah biasa di
lingkungan kumuh, tempat orang-orang datang pada pagi
hari dan pergi begitu saja pada malam hari; peristiwa seperti
ini sudah sering terjadi, katanya kepada dirinya sendiri; dia
tidak memiliki alasan untuk merasa sakit hati. Dia tak
henti-hentinya memikirkan Asuka. Gadis itu bukan
anaknya. Lagipula, apakah yang bisa diperbuatnya untuk
Asuka? Apakah yang membuatnya tertarik kepada Asuka?
Sejumlah ngengat dan serangga kecil bertebaran di atas
meja dan buku-bukunya, menjemput ajal bersama godaan
api. Sebagian serangga itu tampak cantik dan rapuh ...
seperti Asuka; sebagian yang lain ... yang buruk rupa ...
mengingatkannya kepada Ular. Apakah yang bisa
dilakukan oleh Asatori selain mengobati orang sakit?
Membahagiakan Asuka? Mana mungkin! Mengapa dia
percaya bahwa dirinya bisa menolong orang lain? Sudah
menjadi seangkuh itukah dirinya sehingga merasa sanggup
menanggung beban mahaberat bagi seorang manusia? Dia
bahkan tidak mampu menyembuhkan orang sakit!
Asatori keluar dari rumahnya dan mengguyurkan
seember air sumur ke tubuhnya, sebagian untuk mengusir
rasa kantuknya.
Ketika sedang mengeringkan diri dan mengenakan
kimono katunnya, dia melihat orang-orang berdiri di atas
atap, berseru-seru, Dari manakah asal apinya?
Dari Horikawa.
Di daerah hiburan malam atau sekitarnya.
Asatori mendongak dan melihat pendar merah di langit.
Ketika mendengar bahwa api berasal dari suatu tempat di
pusat hiburan, dia mendadak tergoda untuk mengikuti

derap kaki orang-orang. Tetapi, dia malah kembali ke


rumahnya, menutup kerai-kerai jendelanya, dan bersiapsiap tidur. Sesekali, dia mendengar buah kesemek mentah
jatuh dan bergulir di atap tipis di atas kepalanya.
o0odwkzo0o

Bab XL-PERMATA LAUT


DALAM berombongan kecil perahu sedang bersiap-siap
untuk bertolak menuju Yodo, dan para pengantar bersorak
sorai di tepi sungai. Meredanya kesibukan di Istana yang
bertepatan dengan kehadiran musim panas akhirnya
memberikan kesempatan kepada Kiyomori untuk
melakukan perjalanan ke Itsuku-shima dan beribadah di
tempat pemujaan leluhurnya. Perahu dari berbagai jenis
dan ukuran ada di sana: perahu berkabin, perahu
pengangkut kuda-kuda dan persenjataan, perahu
pengangkut bahan makanan, semuanya memenuhi sungai
dan siap diberangkatkan.
Apakah Tokitada belum juga datang? Kiyomori
bertanya dengan gusar.
Dia akan tiba sebentar lagi, jawab Norimori untuk
menenangkan kakaknya yang tidak sabaran.
Bersama Norimori dan dua orang panglimanya,
Michiyoshi si mantan perompak, akan mengawal Kiyomori
dalam perjalanan melintasi Laut Dalam yang telah
diakrabinya. Para tukang kayu, tukang batu, tukang angkut,
dan pekerja lainnya juga termasuk di dalam rombongan
beranggotakan sekitar tiga puluh orang itu.

Kiyomori menoleh ke arah Hidung Merah, yang berdiri


di belakangnya. Bamboku, katanya, Tokitada belum
datang. Apakah sebaiknya kita berangkat tanpa dirinya?
Yah, kita bisa menunggu sebentar lagi. Tuan Tokitada
terlambat, namun pasti akan datang.
Apakah menurutmu yang menghambatnya?
Bukan urusan Istana melainkan urusan yang melibatkan
salah seorang pelayannya. Ada kebakaran di wilayahnya
semalam.
Mengapa perkara itu sampai membuatnya terlambat?
Saya mendengar bahwa salah seorang pelayannya
berkelahi dengan pelan seorang bangsawan, dan itulah
penyebab kebakaran semalam.
Perkelahian antara kedua prajurit itu?
Sepertinya perkelahian semacam itu semakin sering
terjadi akhir-akhir ini. Para pengawal di Istana Kekaisaran
dan Istana Kloister kerap saling menghina dan memancing
perkelahian.
Persaingan para penguasa telah merembes ke bawah?
Patut disayangkan ...
Kemarahan para prajurit sepertinya belum mereda sejak
pembantaian besar-besaran dalam dua perang terakhir. Saya
tidak suka mengatakannya ... tapi, para samurai semakin
semakin beringas akhir-akhir ini.
Kita harus mengabaikan persoalan itu untuk saat ini.
Mereka sudah sangat lama tertindas dan baru mulai
mendapatkan kekuasaan. Tapi, apakah yang sebenarnya
terjadi semalam?

Si pelayan minum terlalu banyak dan menghujat selir


kedua Yang Mulia . Pelayan lainnya mendengarnya dan
membantahnya. Itulah awalnya.
Pertengkaran itukah yang menyebabkan kebakaran?
Begitulah.
Kita bisa mengabaikan kelakuan pongah para prajurit
rendahan itu, namun menyulut api dan menjadikan politik
sebagai alasan pertengkaran pribadi tidak bisa ditoleransi.
Sepertinya memang para prajurit ini menjadikan
pertikaian antara pemimpin mereka sebagai alasan
pertengkaran mereka.
Apa yang bisa dilakukan oleh para prajurit itulah yang
mengkhawatirkanku. Kuharap Tokitada bisa mengawasi
mereka selama aku peragi.
Oh, itu Tuan Tokitada ... tepat pada waktunya!
Wajah Kiyomori tampak berseri-seri ketika dia
mengedarkan pandangan ke tepi sungai dan melihat
Tokitada turun dari kudanya di tengah-tengah deretan
kereta. Dia sepertinya sangat terburu-buru; setelah berhasil
menerobos kerumunan pengantar, Tokitada naik ke perahu
Kiyomori.
Di balik kerai yang tertutup, Kiyomori dan Tokitada
berbicara selama beberapa waktu. Kiyomori menganggap
Tokitada sebagai tangan kanannya dan mengandalkannya
lebih daripada adik-adiknya sendiri.
Baiklah, kalau begitu, aku akan menyerahkan
tanggung jawab kepadamu, Kiyomori mengakhiri
pembicaraan, dan Tokitada segera menuju tepi sungai
untuk bergabung dengan rombongan pria dan wanita dari
Rokuhara, yang datang untuk melepas kepergian Kiyomori.

Di musim kemarau ini, permukaan Sungai Yodo


menyurut Lambung perahu menyentuh dasar sungai di
bagian terdalam sekalipun sehingga para awak perahu dan
prajurit terpaksa harus menarik atau mendayung dengan
giat untuk melewati bagian yang dangkal. Tanpa adanya
angin yang bertiup, panasnya udara nyaris tak tertahankan.
Kiyomori berencana untuk berlayar mengikuti arus
Sungai Kanzaki menuju teluk, dan dari sana beralih ke
kapal laut menuju Bandar Owada (Kob6), namun
kedangkalan sungai mengharuskan rombongannya untuk
menunggang kuda keesokan harinya dan melanjutkan
perjalanan melintasi hamparan pasir yang kering kerontang
di sepanjang pesisir. Mereka jarang melihat tanda-tanda
kehidupan manusia di sana; angin barat daya tanpa hentihentinya
menyemburkan serpihan daun cemara ke pantai, dan
dari waktu ke waktu, mereka melihat sampah-sampah dari
Cina mengapung di permukaan laut, terbawa oleh arus dan
angin. Tetapi, udara hari itu cerah dan rombongan
Kiyomori bersemangat tinggi.
Daerah yang mereka lalui, dan yang mereka sebut
Fukuhara ... Dataran Keberuntungan ... menghadirkan
banyak kenangan bagi Kiyomori.
Di sinilah kami berlabuh pada 1153, ketika aku
berlayar bersama ayahku. Kami hendak meredakan
pergolakan di barat dan mendarat di sini . Perkampungan
nelayan itu dan pepohonan pinus yang di sana tidak banyak
berubah. Hanya waktu yang berubah ... dan aku.
Seluruh tanah kekuasaan Heik6 ... Is6. Bingo, Higo, Aki,
Harima ... berbatasan dengan laut. Semua kenangan masa
muda Kiyomori mengenai ayahnya, pencapaianpencapapain Heik6, tidak bisa dilepaskan dari laut, dan

Fukuhara merupakan tautan antara peristiwa menentukan


pada masa lalu dan angan-angan masa depan Kiyomori.
Selama hampir tiga minggu, Kiyomori tinggal di
Fukuhara untuk melakukan berbagai persiapan. Pada tahap
itu, dia kerap mengajak Bamboku menjelajahi wilayah
perbukitan dan pegunungan di sekitar sana, atau
menghabiskan seharian untuk berkeliaran di bawah sinar
matahari yang terik. Di lain waktu, Kiyomori memerintah
kepala pekerjanya untuk melakukan pengukuran kedalaman
air di sekitar Semenanjung Owada dan mulut sungai.
Ketika hujan menghalangi mereka untuk keluar, Kiyomori
memerintahkan pemetaan desa-desa di sekitar tempat itu,
kemudian menghabiskan malamnya untuk mencermati
peta-peta yang telah dibuat, tenggelam dalam pikirannya
sendiri.
Kendati dirinya sendiri tidak kenal lelah, Kiyomori
menyedot tenaga anak-anak buahnya dengan mengajak
mereka berunding hingga larut malam. Kemudian, setelah
semua orang tidur, dia mendadak duduk tegak di kasurnya,
menyalakan lentera, dan melanjutkan mempelajari peta
hingga fajar menyingsing.
Saya bertanya-tanya, apakah bijaksana jika kita tinggal
di sini lebih lama? Bagaimana pendapat orang-orang di ibu
kota ketika mengetahui tentang hal ini? tanya Bamboku
pada suatu hari.
Kiyomori menggeleng. Aku tidak tahu. Mereka
mengira kita sedang melakukan perjalanan ziarah ke Itsukushima.
Jika memang begitu adanya. Tuan, biarkanlah saya
tinggal di sini untuk menyelesaikan pekerjaan yang ada.
Saya akan mengikuti rencana Anda untuk memeriksa

wilayah di sekitar sini, memastikan kecukupan pasokan air,


dan menyelidiki kemungkinan pembangunan jalan.
Mengikuti saran Bamboku, Kiyomori meninggalkan
beberapa orang pekerja ahli di sana dan meneruskan
perjalanan ke Itsuku-shima melalui laut Selama berharihari, dia mengisi paru-parunya dengan udara segar yang
tanpa henti bertiup dari samudra biru. Bersama banyaknya
pulau yang mereka lewati di sepanjang Laut Dalam, anganangan Kiyomori semakin melambung dengan bebasnya,
dan dia berseru, Ah, begitu sesaknya ibu kota! Ada terlalu
banyak orang hebat yang menjejali liang sempit itu! Rumah
masa depanku akan dibangun dengan pemandangan laut
ini. Kalian akan melihat sendiri pencapaian-pencapaian
hebatku di laut!
Pada suatu hari, garis pantai Itsuku-shima akhirnya
terlihat, meliuk-liuk diterpa ombak.
Para pendeta dan perawan kuil segera berdatangan ke
pantai untuk menyambut Kiyomori. Setelah berlabuh,
Kiyomori segera mendapati bahwa kuil dan tempat-tempat
pemujaan yang ada di sana telah hampir runtuh; angin
lautlah penyebabnya, namun pepohonan pinus yang berdiri
di sepanjang pantai tetap menawan.
Kiyomori dan rombongannya beristirahat di sebuah
penginapan di dekat pantai, dan keesokan harinya, dia
memulai peribadatannya pekan itu.
Selama Kiyomori tinggal di pulau itu, tak terhitung
banyaknya tamu dari daratan telah berperahu ke sana untuk
menyampaikan
penghormatan
kepadanya,
yang
ketenarannya telah tersiar ke seluruh negeri. Para samurai
uzur yang pernah mengabdi kepada kakek Kiyomori
datang, begitu pula para samurai yang hendak mengenang
almarhum Tadamori; para prajurit yang pernah mengabdi

kepada Kiyomori di masa lalu juga berdatangan untuk


menjumpainya sekali lagi.
Saya merasa seperti sedang pulang kampung, kata
Kiyomori kepada para tamu yang menghadiri perjamuan
untuknya. Tempat ini terasa bagaikan kampung halaman
bagiku sehingga saya tidak ingin lagi pulang ke ibu kota.
Kiyomori tinggal selama dua minggu di sana, dan dia
telah mengungkapkan rencananya kepada kepala pendeta di
Itsuku-shima. Rencana-rencana itu sungguh besar ... saking
hebatnya, sang kepala pendeta hanya sanggup
mendengarkan dengan takjub. Kiyomori adalah seorang
samurai, yang berkedudukan setara dengan seorang
penasihat di Istana, masih berusia empat puluhan ... namun
kata-katanya menunjukkan pandangan yang sangat luar
biasa! Mengenai hal ini, Kiyomori berkata:
Kami tidak mungkin meninggalkan pulau yang permai
ini dalam keadaan penuh reruntuhan. Saya ingin melihat ...
dan saya tidak bisa mengatakan kepada Anda secepat apa
ini akan terjadi ... pesisir dan perbukitan dengan keindahan
alaminya ini bersinar lebih cemerlang daripada Kyoto.
Sebuah gerbang lengkung yang belum pernah dibayangkan
oleh siapa pun akan didirikan, menyambut setiap orang
yang merapat ke Itsuku-shima dari laut, dan siapa pun yang
akan beribadah di sini akan masuk melalui gerbang yang
indah. Tempat pemujaan utama dan bangunan-bangunan di
sekitarnya akan dihubungkan oleh lorong-lorong lebar,
menjulang tinggi di atas laut, dan gelombang pasang dan
surut akan menjadikan pemandangan semakin indah. Pada
malam hari, seratus buah lentera batu akan dinyalakan dan
cahaya cemerlangnya akan menyapu gelombang,
menjadikan pulau ini semakin menawan. Aula peribadatan
utama akan cukup luas untuk menampung ribuan jemaat;
menara-menara dan pagoda-pagoda bertingkat lima akan

menjulang melampaui hutan pinus di kaki perbukitan.


Tempat pemujaan dan menara-menara itu, yang berdiri
dengan latar belakang perbukitan, akan mempercantik
pulau ini
Dengan semangat menggelora berkat gambaran yang
dilukisnya sendiri, Kiyomori melanjutkan, Ini tidak akan
dilakukan untuk kepuasan saya semata, tetapi juga untuk
semua orang yang khusus datang dari ibu kota demi
menyaksikan pemandangan indah di sini. Mereka yang
berlayar melewati tempat ini dari negeri nun jauh di sana ...
dari Cina ... akan berkata, Lihatlah, ini Jepang, tempat
pulau terkecil dan terpencil sekalipun dibangun dengan
indah! Mereka boleh saja mengatakan bahwa kita meniru
bangunan mereka, namun keindahan pepohonan pinus dan
pasir putih di pantai, yang berubah-ubah mengikuti musim,
adalah keunikan tempat ini. Dan apabila mereka menjauh
dari laut, karya seni agung kita yang tidak lekang oleh masa
akan terbentang di hadapan mereka ... dari era Asuka,
Nara, dan Heian . Dan apabila kapal mereka berlabuh di
Owada, saya akan menerima mereka di rumah saya.
Owada? Mungkin butuh waktu lama, namun saya berniat
untuk mendirikan sebuah pelabuhan besar di sana, yang
terlindung dari angin dan ombak. Dan setelah rumah
pembangunan peristirahatan saya di Fu ku hara selesai,
saya akan datang kemari untuk beribadah setiap bulan,
menggunakan kapal yang semegah kapal Cina
Bagi para pendengarnya, ucapan Kiyomori hanyalah
omongan muluk-muluk, ocehan orang gila ... sebuah mimpi
yang mustahil terwujud. Tetapi, semangat Kiyomori
mengingatkan mereka pada laut, dan mereka dengan
bangga mengatakan bahwa Kiyomori adalah salah seorang
dari mereka.

Ketika Kiyomori hendak pulang, mereka membanjirinya


dengan hadiah ... harta benda yang tak ternilai harganya
dari Cina ... dupa, kayu cendana yang harum, pakaian, kain
sutra, kain brokat berat, lukisan, barang pecah belah,
berbagai macam kerajinan tangan, dan obat-obatan. Tidak
semuanya berasal dari Cina, karena sebagian di antaranya
berasal dari sejumlah negeri yang berbatasan dengan Laut
Mediterania di sebelah timur, yang dikirim menggunakan
karavan dari Arab dan Teluk Persia.
Pemandangan, wewangian, dan berbagai macam barang
eksotis yang ada di hadapannya menjadikan Kiyomori
semakin tidak sabar. Tunggu, tunggulah hingga pelabuhan
di Owada selesai dibangun, dia terdengar berkali-kali
mengatakan itu. Kendati begitu, hari itu mendekatinya
dengan sangat lambat, bagaikan bayangan yang merayap
perlahan di bawah jam matahari.
Di Owada, Kiyomori sekali lagi bertandang sebelum
kembali ke Kyoto untuk menemui Bamboku, dan pada
bulan September, setelah pergi selama satu setengah bulan,
dia tiba kembali di ibu kota.
o0odwkzo0o
Ada sesuatu yang salah. Kiyomori langsung
menyadarinya begitu dia memasuki gerbang Rokuhara.
Putra sulungngnya, Shigemori, salah satu orang pertama
yang menyambutnya, mengatakan, Paman bedebah itu
telah melakukan kesalahan serius selama Ayah pergi,
namun Ayah sebaiknya mendengar sendiri ceritanya dari
Yorimori.
Kiyomori mengernyitkan keningnya dengan kesal
mendengar nada yang digunakan oleh putranya untuk
membicarakan Tokitada. Tingkah Tokitada memang kerap
dianggap serampangan oleh Shigemori yang berpikiran

serius, namun Kiyomori jauh lebih menyukai keliaran dan


keteledoran Tokitada daripada kelurusan putranya.
Jantungnya, bagaimanapun, berdegup lebih kencang ketika
dia mendengar pemberitahuan Shigemori.
Ada apa? Apakah dia menyeret Yorimori untuk
bertingkah memalukan?
Ada sesuatu yang lebih serius daripada biasanya.
Paman terlibat di dalam sebuah persekongkolan yang bisa
menggoyahkan pemerintah.
Aku tidak percaya dia bahwa dia bisa bersekongkol
untuk menggulingkan Kaisar.
Tidak, tapi akan sulit bagi Yang Mulia untuk
menganggapnya sebagai sesuatu yang lain.
Baiklah, kita akan menunggu. Aku akan berbicara
lagi denganmu nanti, kata Kiyomori, meninggalkan
Shigemori.
Setelah menemui sejumlah penghuni rumahnya dan
mendengar bagaimana mereka merampungkan tugas
mereka selama kepergiannya, Kiyomori memasuki kamar
istrinya dan mendapati Tokiko yang menatapnya dengan
air mata berlinang.
Aku tidak bisa mengampuni diriku sendiri atas apa
yang telah terjadi isaknya, dan di antara sedu
sedannya,Tokiko bercerita.
Selagi Kiyomori lama meninggalkan Rokuhara, dia
mendengar, pergesekan tetap kerap muncul di antara Istana
Kekaisaran dan Istana Kloister. Ada rumor yang
mengatakan bahwa Tokitada dan Yorimori, keduanya
pegawai di istana, bersekongkol untuk menempatkan putra
Kaisar Kloister di singgasana. Desas-desus itu segera
sampai di telinga Kaisar Nijo, dan sang penguasa yakin

bahwa bukan Tokitada melainkan ayahnyalah. Kaisar


Kloister, yang menjadi dalang persekongkolan. Tetapi,
beberapa waktu kemudian, Tokitada dan Yorimori
diturunkan pangkatnya dan diasingkan.
Kiyomori menggerutu setelah mendengar cerita Tokiko.
Tetapi, Tokiko melihat senyum tipis mengambang di bibir
suaminya ketika dia menenangkannya, Tidak ada alasan
bagimu untuk menyalahkan dirimu. Kaisar Kloister
memang telah merencanakan ini. Beliau tidak akan bisa
dihentikan oleh Tokitada sekalipun. Walaupun begitu.
Tokitada terlalu gegabah dalam mengambil tindakan. Ada
kemungkinan bahwa ketergesa-gesaannya untuk meraih
sesuatu selama aku pergi memberikan alasan kepada Yang
Mulia Kaisar untuk mencurigaiku, dan dengan begitu, aku
pun mau tidak mau harus berpihak kepada Kaisar Kloister;
itulah tujuan sesungguhnya dari Yang Mulia.
Tapi, apakah yang benar-benar terjadi menurutmu?
Jangan khawatir, aku sudah pulang sekarang,
Kiyomori meyakinkan Tokiko dengan ketenangannya dan
tidak mengatakan apa-apa lagi. Tokiko kecewa karena
suaminya menolak untuk memberikan penjelasan lebih
lanjut, namun pikirannya sendiri mulai bekerja.
Mungkinkah suami dan adiknya memang telah berencana
untuk
menggulingkan
Putra
Mahkota
dan
menggantikannya dengan sang pangeran muda, keponakan
mereka sendiri? Apakah Kaisar Kloister turut mengetahui
rahasia ini? Kemungkinan merisaukan ini menyiksa batin
Tokiko. Ke manakah ambisi meledak-ledak para pria itu
akan membawa mereka, pikirnya. Tetapi, apa pun pikiran
yang ada di benak Kiyomori, Tokiko tahu bahwa suaminya,
seperti pria lainnya, tidak akan membaginya kepadanya.
Segera setelah tiba kembali di ibu kota, Kiyomori
langsung melapor ke Istana dan menghadap Kaisar Nijo.

Walaupun dirinya termasuk di antara beberapa orang


kepercayaan kaisar muda itu, Kiyomori tidak sekali pun
menyebut-nyebut tentang Kaisar Kloister, ayah Nijo, dan
Nijo pun sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang
Tokitada.
Keesokan harinya, Kiyomori menemui Kaisar Kloister.
Di matanya, Mantan Kaisar Goshirakawa sepertinya diamdiam merasa puas berkat keberhasilan intrik terbaru, yang
diyakininya terjadi karena andil Kiyomori. Tetapi, ketika
mengakhiri ceritanya tentang perjalanannya ke Itsukushima, Kiyomori membungkuk dengan takzim dan
mengatakan:
Saya juga harus menceritakan bahwa ketika menyepi
selama tujuh hari dan tujuh malam, saya mendapatkan
wahyu yang turun melalui sebuah mimpi.
Sebuah mimpi? ulang Goshirakawa, terkejut ketika
mendengar nada serius yang digunakan oleh Kiyomori,
yang biasanya tidak memercayai takhayul.
Ya, saya yakin bahwa itu adalah pesan yang dikirim
oleh para dewa. Saya mendengar deburan ombak dan
sebuah suara yang berasal dari gumpalan awan lembayung
di atas saya.
Sebuah pesan suci?
Kiyomori, katanya, apabila kau sudah benar-benar
menelaah masalah yang sedang kauhadapi, sebagai seorang
abdi yang setia, katakanlah ini kepada pemimpinmu: hanya
ada satu matahari di angkasa, namun di muka bumi ini.
Istana Kekaisaran dan Istana Kloister memiliki dua orang
pemimpin yang berbeda, dan keduanya menyatakan diri
mereka sebagai penguasa tertinggi. Perselisihan seperti
apakah yang akan menyusul, dan kemalangan apakah yang
akan dirasakan oleh rakyat?

Sebentar, Kiyomori, apakah itu kaudengar di dalam


mimpimu?
Ya, di dalam mimpi. Saya seolah-olah sedang berada di
dalam sebuah kereta wanita, mengarungi laut, dan, jika
Anda percaya, sepasang rubah menarik kereta saya!
Goshirakawa tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Kiyomori
ingin tertawa lebih nyaring, namun dia menahan diri dan
melanjutkan berbicara dengan nada serius, Itu adalah isi
mimpi saya. Tapi, saya harus mengakui bahwa Tokiko lebih
pintar dalam menafsirkan mimpi.
Aku memahami maksudmu, Kiyomori. Cukup ...
cukup untuk saat mi
Saya senang jika makna mimpi saya jelas bagi Anda,
kata Kiyomori, namun izinkanlah saya menambahkan
sepatah kalimat lagi. Semoga tumbuh kedamaian di antara
ayah dan anak.
Raut wajah Goshirakawa seketika berubah akibat katakata itu.
Ya, Kiyomori, aku akan mengambil hati
perkataanmu. Kau tidak perlu cemas. Kaisar adalah
putraku dan aku tidak memiliki alasan untuk
membencinya
Kendati begitu, tidak lama kemudian, pada bulan
Oktober, Kaisar Nijo memerintah dua orang pejabat tinggi,
orang-orang kesayangan Goshirakawa ... ayahnya ... untuk
mengundurkan diri dari jabatan mereka. Dan, walaupun
berbagai macam perkiraan dan desas-desus
telah beredar, Kaisar Nijo tidak pernah menjelaskan
alasannya yang sesungguhnya. Anehnya, Goshirakawa,
yang dalam keadaan wajar tidak akan tinggal diam, kali ini
sama sekali tidak berkomentar.

Pada bulan Maret tahun berikutnya, Kaisar Nijo


membebaskan Tsunemung si pejabat Istana, yang
diasingkan oleh Goshirakawa seusai perang.
Pada 1165, tiga setengah tahun setelah perjalanan ziarah
ke Itsuku-shima, Kiyomori masih larut dalam impiannya
untuk menjadikan Owada sebuah kota pelabuhan besar dan
pusat perdagangan dengan Cina. Kiyomori telah banyak
berubah sepanjang waktu itu ... menjadi lebih dewasa.
Setiap waktu luang yang dimilikinya dihabiskan untuk
menyerap berbagai pengalaman Bamboku sebagai saudagar;
dia tak henti-hentinya bertukar pendapat dengan Bamboku,
mematangkan berbagai rencana, mengabdikan dirinya
tanpa kenal lelah pada impiannya hingga dia bisa menarik
kesimpulan bahwa yang dibutuhkan oleh Owada hanyalah
sebuah pelabuhan yang bagus. Tapi, aku tidak tahu
bagaimana aku akan menanggung biayanya seorang diri,
akunya kepada Bamboku. Jelas bagi Kiyomori bahwa dia
tidak mungkin mengharapkan pertolongan dari Kaisar
Kloister karena ambisi Goshirakawa tertuju ke tempat lain
... meraih kekuasaan mutlak. Tidak ada jalan lain untuk
mewujudkan rencana besar ini kecuali dengan
menyampaikannya kepada Kaisar Nijo. Dan, karena kedua
penguasa tersebut sama-sama mengandalkan kekuatan
militer darinya, Kiyomori menyambar kesempatan ini
untuk menyampaikan dua buah permohonan kepada Nijo.
Yang pertama, hak untuk menduduki wilayah Fukuhara di
Owada, langsung dikabulkan. Yang kedua ... modal untuk
menyelesaikan pembangunan pelabuhan di Owada ...
diabaikan. Nijo dan para penasihatnya hanya menanggapi
impian muluk-muluk Kiyomori dengan senyuman. Sebagai
seorang samurai, seorang Heik6, memimpikan perdagangan
dengan luar negeri adalah sesuatu yang konyol ... sebentang
tanah untuk mendirikan rumah peristirahatan di Fukuhara
masih bisa dipahami, namun . Kendati begitu, tekad

Kiyomori tidak tergoyahkan dan bahkan tumbuh semakin


besar.
Di luar pengetahuan Kiyomori, Kaisar Kloister
diresahkan oleh desas-desus dari berbagai pihak. Dia
mendengar bahwa bukan perdagangan yang menjadi
sasaran Kiyomori melainkan pembangunan sebuah pusat
militer di wilayah barat, tempat sepasukan kapal perang
akan dilabuhkan di Owada, di dekat daerah yang dihuni
oleh banyak anggota klan Heike.
Pada tahun yang sama, selama puncak musim panas di
bulan Juli, Kaisar Nijo, sang penguasa muda yang telah
lama sakit parah, mendadak wafat, dan sebuah upacara
pemakaman kekaisaran diselenggarakan pada malam
tanggal 27 di Kuil Koryuji, di wilayah utara ibu kota.
o0odwkzo0o

Bab XLI-WAFATNYA SEORANG KAISAR


Guruh bersahut-sahutan di kejauhan selama beberapa
waktu, dan rerumputan tampak layu akibat lama terpapar
sinar matahari yang terik. Walaupun udara sangat panas,
masyarakat berbaris dari ibu kota dan bahkan dari wilayah
Kinugasa yang jauh untuk mengiringi kereta jenazah Kaisar
Nijo.
Kurasa kita akan kehujanan, Yomogi.
Tidak adakah pohon yang bisa kita jadikan sebagai
tempat berteduh? ... Oh, lihat, orang-orang mulai bubar!
Ada sebuah kuil di dekat hutan kecil itu.
Asatori dan Yomogi bergegas berlari ke bawah naungan
atap kuil tersebut, yang telah didatangi oleh banyak orang
lain.

Empat tahun telah berlalu sejak Yomogi, menentang


nasihat Asatori, meninggalkan Tokiwa. Sebelum Asatori
menyadari apa yang terjadi, Yomogi telah tinggal
bersamanya sebagai istrinya, dan dia pun berangsur-angsur
bisa menerima keadaan ini dan terbiasa dengan perannya
sebagai seorang suami.
Oh, aku takut sekali! Yomogi gemetar dan
berpegangan erat-erat ke lengan Asatori setiap kali
mendengar guruh menggelegar.
Mereka mendengar bahwa kereta jenazah Yang Mulia
akan tiba di kuil di Bukit Funaoka malam itu.
Di tengah kemuraman sore itu, cahaya terang benderang
menerangi langit ketika petir menyambar membelah awan
tebal yang menaungi Bukit Funaoka, dan semua orang
terpana seolah-olah pemandangan mengagetkan itu adalah
sebuah pertanda.
Hei, kalian, menyingkirlah dari sini sekarang juga!
Kami akan menggunakan tempat ini senja nanti, dua
puluh orang penunggang kuda, yang baru saja memasuki
kompleks kuil, memerintah dan mengusir orang-orang yang
berteduh di sana. Segera setelah mendengar bahwa para
penunggang kuda itu adalah samurai dari Rokuhara,
kerumunan orang segera bubar dan pindah ke bangunan
kuil yang lebih kecil.
Dari arah barat, awan gelap berarak bersama dengan
kedatangan malam, dan hujan deras pun mulai membasahi
pepohonan.
Lihat, masih ada beberapa orang yang berada di
wilayah kuil. Usir mereka! perintah seorang prajurit muda,
menoleh dari atas kudanya. Sekelompok pria dan wanita
tengah berjongkok di bawah tenda darurat di dekat sebuah
pilar. Beberapa orang prajurit menghampiri mereka dan

dengan tegas merenggut secara paksa tenda darurat mereka


sambil mengulang-ulang perintah agar mereka segera pergi.
Empat atau lima orang wanita berpakaian indah dan
seorang pelayan cepat-cepat berdiri melindungi seorang
wanita tua yang tergeletak diam di atas sehelai tikar jerami.
Ada yang sakit? tanya seorang samurai muda
dengan lembut seraya turun dari kudanya. Dia
membungkam teman-temannya yang tidak sabaran dan
menghampiri orang-orang itu.
Si pelayan menjawab dengan ketakutan, Ya, udara hari
ini terlalu panas untuk nyonya kami, dan beliau pingsan di
jalan. Kami membawa beliau kemari dan berusaha
membuatnya siuman. Kami akan membawa beliau pergi
jika Anda mau memberikan sedikit waktu.
Tidak, tunggu, majikanmu sepertinya kesakitan.
Tinggallah di sini lebih lama hingga keadaan beliau
membaik.
Tuan, apakah Anda serius?
Tentu saja, jangan sampai beliau kehujanan .
Mungkin aku juga punya obat untuknya. Di sini, kata si
samurai
muda,
merogoh-rogoh
kimononya
dan
memandang mereka kembali dengan wajah kecewa,
apakah ada di antara kalian yang membawa obat? Dari
manakah asal kalian? akhirnya dia bertanya.
Kami dari pusat hiburan di Horikawa?
Geisha? tanya si prajurit, menatap para wanita di
hadapannya. Apakah kalian berjalan sejauh ini demi
menghadiri upacara pemakaman?
Ya jawab salah seorang wanita yang lebih tua,
nyonya kami, Toji, bersikeras untuk memberikan

penghormatan terakhir, namun justru inilah yang terjadi.


Saya tidak tahu apa yang akan kami lakukan sekarang.
Aku akan mencarikan gerobak untuk kalian. Kalian
sebaiknya membawa nyonya kalian pulang.
Seorang prajurit diperintahkan untuk mencari sebuah
gerobak. Sementara itu, wanita tua yang berbaring di bawah
tenda darurat kejang-kejang kesakitan.
Asatori, yang menyaksikan seluruh kejadian itu dari
kejauhan, tidak sanggup lagi menahan diri melihat
penderitaan si wanita tua. Dia pun kembali ke gerbang,
memeriksa keadaan si wanita, dan berlari kembali menemui
Yomogi. Yomogi ...
Ada apa?
Aku ingin melakukan sesuatu untuk wanita yang sakit
itu.
Jangan, ada banyak prajurit Heike di sana.
Apa hubungannya? Aku harus menolong wanita itu.
Ya, tapi apakah kau melihat pria pelayan muda yang
berdiri di sebelah kanan para geisha itu? tanya Yomogi.
Ya, dia datang bersama wanita yang sakit itu.
Aku tahu, lanjut Yomogi, tapi, apa kau tidak
mengenali dia?
Mengapa?
Yah, dialah alasanku melarangmu kembali ke sana.
Sulit bagiku untuk memercayai penglihatanku. Karena
yakin bahwa dia akan terkejut ketika melihatku, aku
memilih untuk menunggu di bawah pohon ini.
Pelayan itu? Ada apa dengannya, dia hanya seorang
pelayan biasa.

Dia adalah mantan pelayan Tuan Yoshitomo ... Konnomaru.


Asatori terkejut. Apa! Konno-maru ... diaV
Sekarang kau mengenalinya, bukan? Dialah pelayan
yang hendak ditangkap oleh para prajurit Heik6 setelah
Perang Heiji berakhir
Aku yakin kau salah, Yomogi.
Tidak, aku tak pernah salah mengenali orang. Aku
sering melihatnya ketika dia secara diam-diam menemui
nyonyaku di rumah peristirahatan di Mibu.
Sungguh aneh jika dia bekerja sebagai seorang pelayan
di sebuah tempat hiburan!
Aku juga tidak mengerti mengapa dia mau melakukan
itu, tapi para prajurit Heik6 tidak akan menduga bahwa dia
adalah Konno-maru. Bayangkanlah apa yang akan terjadi
jika mereka menyadarinya!
Aku
sama
sekali
tidak
tertarik
untuk
membayangkannya. Aku bukan seorang Genji maupun
Heike, jadi tidak ada yang membuatku khawatir sekarang.
Tapi, aku adalah seorang tabib dan naluriku terusik jika aku
tidak melakukan sesuatu untuk menolong wanita itu.
Haruskah kau mengobatinya?
Penyakitnya tidak parah, dia hanya kepanasan. Hanya
butuh waktu singkat untuk mengobatinya. Tidak akan ada
yang mengenaliku di sana. Tidak apa-apa jika aku pergi
sendiri. Lebih baik kau menunggu di sini, Yomogi.
Asatori kembali menghampiri gerbang kuil. Ketika
mendengarnya mendekat, orang-orang yang mengerumuni
wanita sakit itu melontarkan tatapan curiga, namun
tampang ramah dan pengakuannya bahwa dia adalah

seorang tabib segera menyingkirkan keraguan mereka. Si


samurai muda pun mempersilakannya memeriksa si sakit.
Setelah beberapa saat mengamati si sakit tanpa berkatakata, Asatori akhirnya memeriksa denyut nadinya, merabaraba tubuhnya, lalu memulai perawatan; dengan lihai, dia
menusukkan jarum ke berbagai bagian tubuh wanita itu;
kemudian, dia menuangkan beberapa butir pil ke telapak
tangannya dan menoleh ke arah para geisha yang
memerhatikannya, Salah satu dari kalian, ambillah pil-pil
ini, lalu kunyah dan jejalkan ke mulutnya, katanya. Si
pelayan memberikan isyarat kepada para geisha, yang
langsung mundur. Kemudian, salah seorang dari mereka
mendorong temannya yang lebih muda ke arah Asatori,
mengatakan,
Giwo,
kaulah
yang
sebaiknya
melakukannya. Toji selalu menganggapmu sebagai putrinya
sendiri, dan kau adalah kesayangannya.
Kalau memang ini yang kalian semua inginkan,
jawab Giwo, gadis muda itu. Dia cepat-cepat melepas
ikatan topi lebarnya dan meletakkan benda itu di
sampingnya Kemudian, dia duduk di sebelah Asatori dan
mengulurkan tangannya yang ramping dan berkulit mulus.
Mengangkat telapak tangannya untuk menerima beberapa
butir pil berwarna putih, Giwo mendadak menjerit
Kau!
Asuka! Benarkah ini dirimu?
Butiran-butiran pil mungil itu berjatuhan dari sela-sela
jemari gadis itu.
Astaga, itu tidak boleh dipakai lagi! seru Asatori.
Khawatir yang lain mendengarnya, dia cepat-cepat
menuangkan beberapa butir pil lagi dari pundi-pundi
obatnya dan mengatakan, Nah, berikan ini kepadanya

sekarang juga . Buka mulutnya ... sekarang, beri beliau


air.
Sebuah gerobak sapi tiba tepat pada waktunya, dan si
samurai muda menaiki kudanya lagi, memerintahkan
kepada salah seorang anak buahnya untuk mengawasi
mereka.
Sekarang, angkat majikan kalian ke gerobak Perjalanan
kalian mungkin tidak akan terlalu nyaman, tapi kalian
semua, kecuali laki-laki ini, harus naik ke gerobak. Aku
akan memeriksa majikan kalian sekali lagi. Dari rona
wajahnya, keadaan beliau sepertinya sudah jauh lebih
baik.
Para geisha menoleh kepada prajurit yang mengawasi
mereka dan mengatakan, Kami beruntung sekali karena
bertemu dengan samurai berhati mulia itu. Bisakah Anda
memberitahukan namanya kepada kami?
Si prajurit menjawab, Beliau baru saja tiba di ibu kota
dari Kumano. Namanya Tadanori, adik tiri Tuan Kiyomori
dan seorang petugas di Kepolisian.
Para geisha menatap sosok yang telah menghilang di
kejauhan itu, menyebut namanya, Adik tiri Tuan
Kiyomori ... Tadanori?
Sebelum bergiliran menaiki gerobak, para geisha hendak
mengucapkan terima kasih kepada Asatori, namun tabib itu
telah
Hujan deras turun sejenak kemudian, namun Tadanori,
dengan baju zirah dan kuda basah kuyup, tetap mendaki
Bukit Funaoka. Ketika dia tiba di kaki bukit, seorang
petugas yang bertanggung jawab atas para pengawal di
wilayah timur bukit, menegurnya dengan keras:
Tadanori, dari mana kamu?

Saya menyisir jalan yang akan dilalui oleh rombongan,


seperti perintah Anda.
Bagus, tapi bagaimana dengan anak-anak buahmu?
Kami bertemu dengan seorang wanita tua yang jatuh
sakit di jalan dan saya menyuruh mereka mencarikan
gerobak untuknya. Mereka akan tiba sebentar lagi, Tuan.
Kudengar jalanan dipenuhi orang, tapi kau tidak
bertugas merawat orang sakit Biarkan orang-orang itu
mengurus diri mereka masing-masing.
Ya, Tuan.
Tadanori menerima teguran itu tanpa banyak berkatakata, malu karena sifat kampungan dan kekurangan
pengalamannya. Baru beberapa minggu berlalu sejak dia
mendampingi Kiyomori, saudara titinya, dari Kumano.
Segera setelah tiba di ibu kota, Tadanori diberi jabatan
terendah di Kepolisian. Petugas yang baru saja menegurnya
adalah Norimori, adik bungsu Kiyomori. Upacara
pemakaman ini adalah kesempatan pertama Tadanori
untuk ambil bagian di dalam sebuah peristiwa penting, dan
wajar saja jika dia ingin melakukan yang terbaik walaupun
dia hanya membawahi beberapa orang samurai rendahan.
Langit segera cerah kembali dan sebentuk pelangi
muncul, menghadirkan semangat baru di kalangan para
petugas, yang bergegas merampungkan pekerjaan mereka
selagi hari masih terang.
Kompleks makam kaisar terletak di Bukit Funaoka,
tempat sebuah bilik batu telah disiapkan untuk menampung
peti mati. Pagar kayu telah dipasang di kaki bukit, dengan
Kuil Koryuji sebagai batasnya; di kompleks kuil tersebut
terdapat paviliun-paviliun tertutup tirai yang disediakan
untuk pengiring jenazah yang berkedudukan tinggi, para

pejabat kuil, dan para pemain musik sakral; benderabendera lambang duka cita terlihat di mana-mana dan di
cabang-cabang pohon keramat.
Di sini, perwakilan-perwakilan dari biara besar dan kecil
di Nara dan Gunung Hiei akan tiba dan menempati posisi
mereka sesuai dengan kedudukan dan golongan masingmasing. Entah sejak kapan, biara Todaiji, ditetapkan oleh
Istana sebagai biara yang berkedudukan tertinggi di antara
ketujuh biara utama di Jepang, diikuti oleh biara Kofukuji
dari Nara. Biara Enryakuji di Gunung
Hiei menduduku posisi ketiga, dan biara-biara lainnya
berkedudukan di bawah ketiga biara tersebut.
Malam tiba; bintang-bintang berkilauan cemerlang di
langit yang cerah, dan keheningan menyelimuti malam
ketika iring-iringan panjang kereta jenazah perlahan-lahan
mendaki bukit. Api-api unggun dinyalakan di berbagai
bagian bukit tempat umbul-umbul, yang bergambar
lambang matahari dan bulan, berkibar-kibar bagaikan naga
dengan latar belakang langit. Tetapi, sebuah kericuhan
mendadak memecahkan keheningan ketika para pendeta
Kofukuji mendapati bahwa rekan-rekan mereka dari
Enryakuji telah menempati posisi mereka di bukit. Luapan
kemarahan membakar suasana dan obor-obor diayunayunkan dengan lagak mengancam ke arah para biksu
Kofukuji, yang mengancam untuk membalas saingan
mereka menggunakan pedang dan tombak. Kemudian,
kepala biara mereka muncul, mencegah agar para pengikut
mereka menghindari kekerasan. Dua orang petugas
langsung diperintahkan untuk menuntut permintaan maaf
dari pihak Enryakuji.
Laporan tentang pecahnya kericuhan segera didengar
oleh Norimori, yang sedang berjaga-jaga di gerbang utama;
dia langsung memerintahkan kepada para panglimanya

untuk mengikutinya dan mendatangi sumber keributan


tersebut. Tadanori, yang mengikuti saudara tirinya,
mendapati bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk
mengatasi kekacauan itu dan hanya sanggup berdiri dengan
takjub di tengah para biksu yang sedang mengamuk.
Tadanori, mengapa kau tidak meredakan amukan para
biksu itu! seru Norimori, menunjuk ke arah sekelompok
biksu Kofukuji.
Yang itu atau yang di sana? Tadanori balas berseru.
Ya, yang itu ... jangan sampai mereka merangsek lebih
jauh!
Dengan cara apa pun?
Kecuali menghunus pedangmu, jawab Norimori
dengan lantang, mendorong Tadanori untuk menerobos
kerumunan biksu yang ditunjuknya.
Tadanori yang gagah perkasa, pemberani sejak lahir, dan
telah ditempa oleh latihan berat sejak masa kanak-kanaknya
di Kumano, menghadang biksu pertama yang
menyerangnya dan mendorongnya ke arah biksu lainnya.
Tadanori menangkis tombak dan membalas serangan
lawan-lawannya, dan seorang demi seorang biksu
berjatuhan.
Seseorang berseru, Siapakah orang itu?
Dia bukan biksu
Jika dia bukan salah satu dari kita, berarti dia seorang
polisi atau Heik6!
Para biksu gentar dan mundur melihat Tadanori
menghajar teman-teman mereka seorang diri hingga
Norimori membubarkan kerumunan dengan teriakannya:
Bersikaplah yang tertib! Kereta jenazah telah tiba!

Di kaki bukit, arak-arakan obor menandai mendekatnya


kereta jenazah, dan para biksu yang semula bertikai
mendadak diam; mereka yang terluka segera diangkut, dan
jubah yang compang-camping segera dirapikan untuk
menutupi baju zirah dan pedang panjang di bawahnya. Para
biksu Enryakuji terlambat mengetahui bahwa saingan
mereka telah menggusur mereka karena kereta jenazah
telah tiba di kaki Bukit Funaoka bersama nyala obor yang
cemerlang. Keheningan pun kembali menyelimuti tempat
itu.
Diapit oleh para bangsawan dan pejabat tinggi istana
yang berkimono putih, kereta jenazah itu melaju dengan
lambat. Lilin yang terhitung banyaknya, api-api unggun,
dan ribuan obor menerangi Bukit Funaoka, tempat gerbanggerbang akhirnya dibuka untuk menerima jenazah sang
kaisar.
Menjelang pagi, suasana kembali sunyi dan upacara
berakhir. Api-api unggun mulai padam dan para pelayat
pun berduyun-duyun menuruni bukit. Para samurai yang
menunggang kuda, para bangsawan dan pejabat yang
mengendarai tandu dan kereta, dan rakyat jelata yang
berjalan kaki kembali membanjiri ibu kota.
Pertikaian yang pecah antara para biksu semalam,
bagaimanapun, menghadirkan berbagai macam perkiraan
dan gosip di antara orang-orang yang turun dari bukit, dan
yang paling menggelitik benak mereka adalah pertanyaan
mengenai kapan tepatnya perang antara Enryakuji dan
Kofiikuji akan pecah. Telah beredar pula desas-desus bahwa
Mantan Kaisar dan para penasihatnya sengaja
mempertajam pertikaian antara kedua biara yang saling
bersaing. Dan ketika rombongan pelayat pertama tiba di
Kyoto, telah terdengar laporan bahwa Kaisar Kloister telah
mengirim para duta untuk melakukan perundingan dengan

para biksu Enryakuji, yang menyambut mereka dengan


persenjataan penuh di Sakamoto Barat.
o0odwkzo0o
Pada akhir musim panas itu, Kiyomori sekeluarga
beserta sejumlah besar pelayan pindah dari Rokuhara ke
rumah baru yang terletak di seberang Sungai Kamo,
walaupun Kiyomori sendiri tetap tinggal di Rokuhara. Dia
bahkan hanya tinggal selama sepuluh hari di rumahnya
setelah upacara pemakaman kekaisaran, dan selebihnya
tinggal di Istana untuk menghadiri berbagai macam acara
yang menandai diangkatnya seorang penguasa baru.
Sang penguasa baru masih berusia dua tahun, dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan urusan kenegaraan harus
ditangani oleh beberapa orang pejabat istana senior. Karena
kawan lama dan tepercayanya. Perdana Menteri
Koremichi, telah wafat, tanggung jawab untuk menjadi
pimpinan dewan jatuh ke pundak Kiyomori. Sederetan
wajah baru mengelilinginya, masih hijau dan tanpa
pengalaman, dan Kiyomori hanya bisa menggeleng ketika
memandang mereka. Beberapa putra mendiang Perdana
Menteri menduduki berbagai jabatan kunci ... si bungsu,
yang baru enam belas tahun, adalah Penjaga Stempel
Rahasia. Tsunemun6, yang masih tampan walaupun
nasibnya telah berubah, telah diangkat menjadi Menteri
Golongan Kanan. Tidak ada yang berubah di Istana, pikir
Kiyomori. Perdana Menteri, Penasihat Utama, dan para
menteri ... semuanya anggota klan Fujiwara. Dan tidak ada
yang lebih menyenangkan hati atau mendekati tujuan
utama Kaisar Kloister Goshirakawa daripada ini, pikir
Kiyomori dengan ragu-ragu.
Walaupun hanya ditunjuk untuk menjadi Penasihat dan
Jenderal Pengawal Golongan Kiri, Kiyomori memiliki
wewenang yang besar dan keberatan untuk kekuasaan yang

besarnya tidak sesuai bagi samurai sekelas dirinya pun


dengan cepat mereda. Tetapi, Kiyomori mendapati bahwa
Istana dan kursi-kursi kepemerintahan di dalamnya kosong,
dan dia berhadapan dengan dewan kekaisaran yang
ditinggalkan oleh anggota-anggota utamanya. Perdana
Menteri dan menteri-menterinya disibukkan oleh masalahmasalah di tempat lain ... di Istana Kloister, memenuhi
kebutuhan Mantan Kaisar Goshirakawa.
Penantian ini tidak akan berakhir, akhirnya Kiyomori
membatin. Jika aku tinggal lebih lama di sini, aku harus
menjadi Perdana Menteri Untuk pertama kalinya sejak
berhari-hari, Kiyomori teringat pada Rokuhara dan bersiapsiap untuk pulang. Ketika meninggalkan Gedung Urusan
Istana, dia mendongak ke langit. Musim gugur telah tiba!
Kiyomori, yang telah terkurung begitu lama di Istana,
terperangah ketika menghirup udara segar. Waktu dia
melewati Pangkalan Pengawal, beberapa orang panglima
menghormat kepadanya.
Hendak pulang, Tuan? mereka bertanya dengan
tatapan lega.
Tapi, ada apa ini ... mengapa kalian bersenjata
lengkap? jawab Kiyomori, menatap curiga kepada
beberapa ratus prajurit bersenjata dari Rokuhara.
Tepat ketika itu, adiknya, Tsunemori, menghampiri
keretanya. Dia menatap wajah letih Kiyomori dan berbisik,
Berarti kau belum mendengar, ya? Rumor itu telah
tersebar di seluruh Istana dan aku yakin kau sudah
mengetahuinya.
Mengetahui apa? Ada apa ini? Apakah sesuatu telah
terjadi di Rokuhara?
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk saat ini dan
Rokuhara sudah dijaga dengan baik.

Apa yang terjadi? Kiyomori bersikeras. Mengapa


kalian semua bersenjata lengkap?
Para biksu dari Gunung Hiei ...
Apa yang mereka perbuat?
Ini masih desas-desus, tapi kami mendengar bahwa
sikap Kaisar Kloister telah menghasut mereka. Kami hanya
berjaga-jaga.
Apa? Apakah kau mengatakan bahwa Kaisar Kloister
menghasut para biksu untuk melawan aku? Kiyomori
tertawa terbahak-bahak. Omong kosong! Ini benar-benar
omong kosong! serunya, dan tanpa mendengarkan
penjelasan lebih lanjut dari Tsunemori, Kiyomori
memerintahkan kepada penarik sapinya untuk terus
berjalan.
Seperti halnya berbagai desas-desus senada, tidak
seorang pun mengetahui dari mana asalnya. Sumbernya
tidak pernah terungkap. Tetapi, sudah menjadi rahasia
umum bahwa anggota Kesatuan Pengawal Kekaisaran
hanya dipilih dari kian Heik6, bahwa kelakuan buruk para
prajurit Heik6 rendahan menimbulkan kebencian di manamana, bahwa Kiyomori sedang merencanakan sebuah
proyek pembangunan besar-besaran, dan bahwa adik-adik
dan putra-putra Kiyomori menduduki jabatan-jabatan
penting di Istana. Berdasarkan hal-hal tersebut, wajar saja
jika rakyat menyimpulkan bahwa Mantan Kaisar
Goshirakawa ingin mematikan pengaruh Kiyomori yang
semakin besar. Terlebih lagi, Goshirakawa sendiri akhirakhir ini telah secara tidak langsung menyampaikan tentang
pendapatnya mengenai perlunya perubahan dalam sistem
pemilihan pengawal, dan sistim di Istana Kloister pun
mendadak berubah. Goshirakawa memikat para pengikut

yang ambisius, berani menerima tantangan, dan sependapat


dengannya di ranah intrik pribadi dan politik.
Berbagai rumor baru tersebar, menambahkan bumbu
pada kabar-kabar burung sebelumnya; katanya, biksu-biksu
Gunung Hiei telah mempersenjatai diri ... dua ribu orang ...
di Sakamoto Barat,
ratusan orang di titik-titik strategis lainnya, dan bersiapsiap untuk menyerbu Rokuhara. Setiap kabar baru
menambahkan keyakinan masyarakat bahwa perang akan
segera
pecah.
Pergerakan
para
prajurit
Heik6
memastikannya, karena garis pertahanan ulah dibentuk di
sekeliling Rokuhara dan di sebelah barat Jembatan Gojo,
termasuk di Jalan Kedelapan Barat
Sementara itu, Kiyomori tiba di Rokuhara. Ke mana pun
dia melangkah, dia melihat prajurit-prajurit bersembunyi di
balik tembok busur dan tameng. Dari keretanya, Kiyomori
mengamati pemandangan itu dengan kesal.
Setelah mengundang anak-anak dan para panglimanya
untuk menghadap kepadanya, Kiyomori bertanya kepada
mereka semua:
Siapakah yang memerintahkan semua ini?
Karena tidak seorang pun menjawab, Kiyomori meledak,
Tidak adakah yang mau menjawab pertanyaanku?
Siapakah yang memerintahkan penggalangan pasukan? Kau
... Munemori?
Tuan ...
Motomori, apakah kau juga tidak mau menjawab?
Ragu-ragu, Motomori menjawab, Ini bukan perintah
dari siapa pun, tapi karena kesibukan Ayah yang sangat
tinggi di Istana, kami tidak sempat memohon nasihat dari

Ayah.
Saudara-saudaraku
dan
Paman
Tokitada
memutuskan bahwa kita sebaiknya bersiap-siap untuk
menangkal serangan pertama dari para biksu itu.
Kiyomori mengangguk dengan penuh pengertian. Aku
tidak melihat Norimori, mendadak dia berkata.
Paman sedang berjaga-jaga di jalan raya utama. Apakah
Ayah ingin memanggil beliau? tanya salah seorang
putranya.
Ya, panggil dia, jawab Kiyomori. Sembari menunggu
adiknya, Kiyomori menanyai anak-anaknya seorang demi
seorang.
Apakah pendapat kakakmu Shigemori didengar dalam
hal ini?
Ya.
Apa katanya?
Dia menasihati kami untuk terlebih dahulu meminta
pendapat Ayah. Dia sepertinya berpikir bahwa pasukan
harus dikerahkan hanya jika situasi menuntutnya.
Tepat seperti yang ada di dalam pikiranku. Dia pasti
akan menggunakan otaknya untuk mengambil keputusan

Norimori baru tiba, dan Kiyomori langsung berpaling


kepadanya:
Norimori,
aku
mengerti
bahwa
terdapat
kesalahpahaman di antara para biksu dari Enryakuji dan
Kofukuji dalam upacara pemakaman kekaisaran di
Funaoka. Kaulah yang bertanggung jawab memimpin para
pengawal ketika itu. Bagaimanakah kau menyelesaikan
urusan itu? Aku sudah mendengar laporan tentang kejadian

itu, namun aku menginginkanmu menyampaikan detaildetailnya.


Kiyomori memicingkan mata dan mendengarkan baikbaik penjelasan adiknya.
Tidak banyak detail yang bisa kusampaikan. Tadanori
ada di sana ketika itu, dan aku menyuruhnya menertibkan
para biksu Kofukuji sementara aku mengurus yang
lainnya.
Tetapi, sebelum kejadian itu, apakah kau kebetulan
menerima perintah dari dua orang penasihat yang dikirim
ke sana oleh Kaisar Kloister?
Tersebar kabar bahwa itulah yang terjadi, tapi apa
menurutmu aku akan mendengarkan mereka?
Itulah yang kuduga.
Ya. Semua orang sudah tahu bahwa Gunung Hiei
selalu bertentangan dengan Heik6, dan aku tahu bahwa
sudah dua atau tiga kali mereka mencoba mengadu domba
klan kita dengan Kaisar Kloister. Kedua penasihat itu,
bagaimanapun, mengatakan bahwa para biksu Enryakuji
dari Gunung Hiei bersalah pada malam itu dan
mendesakku untuk menindak tegas mereka, begitu pula
para biksu Kofukuji ... mencelakai dan membunuh mereka
jika perlu ...
dan mengatakan bahwa mereka akan
menutup-nutupinya dari Yang Mulia.
Lalu, apakah yang kaulakukan ketika itu?
Aku mendengarkan mereka, namun mengabaikan
perintah mereka. Tadanori sudah memberikan hukuman
yang setimpal kepada para biksu Kofukuji, tapi yang
kulakukan hanyalah tetap berada di tengah, dan entah
bagaimana, mereka tenang dengan sendirinya.

Kalau begitu. Gunung Hiei tidak berseberangan dengan


kita, bukan?
Tidak ada alasan bagi mereka untuk berseberangan
dengan kita.
Kalau begitu, apakah yang melandasi desas-desus
meresahkan yang terdengar selama beberapa hari terakhir
ini?
Aku curiga bahwa para penasihat Kaisar Kloister
tengah berusaha mengadu domba para biksu Gunung Hiei
dengan kita.
Bagus! Itu menjelaskan semuanya, seru Kiyomori,
tampak lega. Dia meminta agar alat-alat tulis disiapkan dan
dengan cepat menulis sebuah surat pendek, lalu memanggil
adik tirinya, yang duduk di sudut terjauh ruangan itu:
Tadanori, wajahmu belum begitu dikenal di ibu kota,
jadi kaulah yang paling cocok untuk mengerjakan tugas ini.
Tanggalkanlah baju zirahmu ... bawa surat ini ke Gunung
Hiei dan pastikan agar salah seorang dari ketiga kepala
biara di sana menerimanya. Jawaban? Kurasa kita tidak
membutuhkannya. Tapi, sebaiknya kau berhati-hati ... para
mata-mata dari Istana Kloister mungkin sedang
mencarimu.
Setelah Tadanori pergi membawa surat tersebut, semua
orang di ruangan itu memandang Kiyomori, penasaran
akan alasannya memulai surat-menyurat dengan para
pemimpin Gunung Hiei.
Kita sedang dirundung masalah sekarang, kata
Kiyomori, setengahnya kepada dirinya sendiri. Ambilkan
baju zirahku. Lebih baik aku mempersiapkan diri untuk
yang terburuk. Dia menambahkan sambil bangkit dengan

malas, Sejujurnya, aku sudah lelah dan lebih siap untuk


tidur daripada melakukan apa pun.
Sembari mengenakan pelindung dada hitam dan
mengencangkan tali-tali pelindung kakinya, Kiyomori
menggumam, terlalu suka ikut campur. Orang-orang
berjenis terburuk di sekelilingnya. Terlalu keras kepala
untuk kebaikannya sendiri . Seandainya saja dia mau
berhenti ikut campur!
Menjelang malam, terdengar laporan bahwa para biksu
Gunung Hiei telah membanjiri ibu kota. Kiyomori
mengerang. Apakah suratnya terlambat tiba di tangan para
pemimpin Gunung Hiei? Tanpa menunda lebih lama, dia
memerintahkan kepada putra-putranya untuk membawa
pasukan ke Istana, menegaskan kepada mereka bahwa dia
akan tetap tinggal dan memperkuat pertahanan Rokuhara.
Sementara itu, sisa-sisa prajurit Heik6 dan anggota
Kepolisian, yang telah berjaga-jaga di Sakamoto Barat dan
sepanjang sisi utara Sungai Kamo, tiba kembali senja itu di
ibu kota dengan membawa kabar bahwa para biksu telah
menghabisi pasukan Heik6. Seluruh ibu kota pun kacau
balau seolah-olah baru saja dilanda gempa bumi.
Kepanikan mendera seluruh rakyat, yang menantikan
pecahnya pertikaian antara Kiyomori dan Mantan Kaisar.
Tetapi, di tengah hiruk pikuk ini, sebuah kereta kekaisaran
tampak melaju di Jalan Kelima, dan terus melintasi
Jembatan Gojo menuju Rokuhara.
Yang Mulia ... Kaisar Kloister ... ada di sini? Kiyomori
kebingungan ketika mendengar pengumuman itu, lalu buruburu keluar untuk menemui tamunya.
Kaukah itu, Kiyomori? panggil Goshirakawa,
menaikkan kerai keretanya dan tersenyum.Tanganmu .
Bantu aku turun, katanya, tetap ramah seperti biasanya.

Kiyomori menatap senyuman tulus yang tersungging di


wajah Goshirakawa, lalu maju bagaikan seseorang yang
berjalan dalam tidur untuk menolongnya turun dari kereta
dan mempersilakannya memasuki rumah.
Tetapi, Yang Mulia, ada apakah ini? Apakah yang
menyebabkan saya mendapatkan kehormatan berupa
kunjungan dari Anda di malam yang telah selarut ini?
tanya Kiyomori dengan heran.
Kiyomori, yang telah terbiasa menghadapi situasi apa
pun, benar-benar terperangah mendapati perubahan
mendadak ini. Tetapi, Mantan Kaisar tetap tersenyum
seolah-olah tidak ada yang terjadi. Walaupun berusia lebih
muda daripada dirinya, tatapan penuh wibawa sang mantan
kaisar menunjukkan bahwa Kiyomori tidak akan bisa
menundukkannya.
Apakah aku mengejutkanmu, Kiyomori?
Tentu saja. Yang Mulia.
Apa lagi yang bisa kulakukan? Seandainya desas-desus
itu benar, pertumpahan darah tentunya sudah terjadi di
mana-mana
Benarkah bahwa semua laporan itu hanyalah rumor?
Apakah kau masih meragukanku, Kiyomori? Bukankah
aku datang kemari ... kepadamu?
Ya, benar, Kiyomori menjawab dengan malu. Dan dia
menyambut Yang Mulia dengan persenjataan lengkap.
Apakah penilaiannya yang piciklah yang menyebabkan
kesalahpahaman ini? Mantan Kaisar tetap memercayainya
walaupun dia telah meragukan beliau. Kiyomori merasa
tidak enak ketika memikirkan kemelut yang mau tidak mau
telah menjerat Yang Mulia Kemudian, kesombongan

samurainya runtuh begitu saja, dan air matanya seketika


merebak.
Kiyomori ... air mata?
Air mata terharu, Yang Mulia.
Lucu sekali, Kiyomori! Kau bersenjata lengkap begitu
pula para prajuritmu ... lalu kau meneteskan air mata!
Benar, memang lucu. Saya menertawakan diri saya
sendiri karena telah bertindak bodoh.
Tidak apa-apa. Sebaiknya kita bersyukur karena kita
tidak saling salah paham. Jangan tertipu oleh desas-desus
murahan, Kiyomori. Yakinilah aku, percayalah kepadaku.
Bersama kata-kata itu, Goshirakawa meninggalkan
Kiyomori, dikawal oleh pasukan dari Rokuhara.
Tidak lama setelah Mantan Kaisar pergi, putra sulung
Kiyomori tiba. Apakah Yang Mulia telah pergi?
tanyanya. Aku baru saja mendengar mengenai kunjungan
beliau dari adik-adikku.
Shigemori, kau tidak memakai baju zirahmu?
Tidak, dan tepat seperti yang kuduga dan telah
kukatakan kepada yang lainnya ... bahwa Yang Mulia tidak
memiliki niat untuk melawan Heik6.
Kau berpendapat begitu, ya? Aku masih ragu-ragu,
jawab Kiyomori.
Mengapa Ayah ragu-ragu?
Semua ini tidak akan bisa saja terjadi tanpa dilandasi
oleh niat dari Yang Mulia. Senyumnya menyembunyikan
sesuatu. Aku yakin bahwa beliau diam-diam memiliki
rencana untuk menjatuhkan Heik6.
Ayah !

Mengapa kau memandangku seperti itu? tukas


Kiyomori.
Itu mustahil, Ayah. Jangan berkata begitu! Jangan
sampai Ayah melakukan sesuatu yang bisa menyulut
kemarahan Yang Mulia kepada kita. Kuharap Ayah bisa
mengabdi kepada beliau dengan kesetiaan yang lebih
mendalam.
Oh, aku tidak perlu diingatkan tentang semua itu. Tapi,
Shigemori, aku ragu-ragu bahwa kau memahami maksud
dibalik sikap menawannya kepada kita. Aku tahu, dan itu
menjadikan semuanya semakin berat bagiku.
Tidak, aku yakin bahwa jika Ayah mengabdikan diri
dengan sepenuh hati kepada Yang Mulia, dewa-dewa akan
melindungi Ayah.
Hati-hati, tukas Kiyomori sambil tertawa, jangan
menceramahi ayahmu ... masalahnya tidak sesederhana itu,
Shigemori. Kau, ibumu, dan semua orang telah teperdaya
oleh pesonanya. Aku seoranglah yang bisa melihat dirinya
yang sesungguhnya . Ya, dan tidak masalah jika kalian
tidak sependapat denganku.
Tetapi, selagi mereka berbicara, api menjilat langit di
atas Kuil Kiyomizu; api dengan cepat menyebar ke
bangunan-bangunan
di
sekelilingnya,
menyebarkan
serpihan-serpihan terbakar ke Rokuhara. Di sana, para
penghuni yang panik percaya bahwa para biksu Gunung
Hiei berusaha membalas dendam pada Kofukuji dengan
cara membakar kuil saingan mereka.
Di tengah huru-hara itu, Tadanori tiba dengan membawa
sepucuk surat dari Kepala Biara Jisso ... sebuah pesan
rahasia yang ditujukan kepada Kiyomori.

Pada malam tanggal 9 Agustus itu, ketika api masih


melahap salah satu sisi Perbukitan Timur, beberapa ribu
biksu bersenjata berbaris pulang ke Gunung Hiei.
o0odwkzo0o

Bab XLII-CAHAYA KEBENARAN


tersisa dari Kuil Kiyomizu, dari pagoda dan bangunanbangunan lainnya di kompleks kuil itu. hanyalah onggokan
abu. Hari-hari terus berlalu, namun tidak seorang pun
pendeta kembali untuk melihat reruntuhan ataupun
berkabung bagi kehancuran tempat sakral mereka; hanya
rakyat jelata ... pria dan wanita ... yang datang dan bersujud
dengan wajah bersimbah air mata di antara tumpukan abu,
memanjatkan doa-doa. Kendati begitu, di antara
kerumunan orang-orang berduka itu, tampaklah seorang
biksu muda ... masih berusia awal tiga puluhan ... yang
bersujud dan berdoa dengan khusyuk. Jubah polosnya
menunjukkan bahwa dia masih menuntut ilmu;
kesederhanaan sosoknya menunjukkan kesan seseorang
yang luluh lantak akibat kesedihan. Akhirnya, ketika dia
meraih topi peziarahnya dan berdiri, orang-orang di
sekelilingnya mengerumuni dan menghujaninya dengan
berbagai pertanyaan.
Biksu yang terhormat, apakah kamu bukan pendeta dari
Kuil Kiyomizu?
Bukan, aku datang dari Gunung Hiei, jawabnya.
Semua mata tiba-tiba tertuju ke arahnya.Gunung Hiei?
Tapi, tidakkah kamu takut terlihat di sini? ... Dari sebuah
kuil di Gunung Hiei, katamu?

Dari Kurodani di sebelah barat. Memang betul bahwa


aku berasal dari Gunung Hiei, namun tidak semua pendeta
di sana brengsek. Pria yang menjadi guruku ... dan banyak
pendeta lainnya ...
mencari kebenaran di dalam
kedamaian. Ada banyak orang yang seperti guruku, yang
mencari pencerahan di dalam agama Buddha agar bisa
berbagi cahaya kepada manusia yang sengsara.
Benarkah itu? Masih adakah orang-orang seperti itu di
Gunung Hiei sekarang? seru orang-orang di sekelilingnya
dengan sangsi.
Masih banyak, tapi bagaimana aku bisa berharap kalian
akan memercayaiku setelah kalian melihat sendiri ribuan
biksu bersenjata itu? Memang benar bahwa di lembahlembah tersembunyi di kedalaman hutan Gunung Hiei,
cahaya suci belum ternoda. Bagaimana mungkin kami, para
pendeta, membiarkan api itu padam jika kalian, yang telah
hidup dalam kesengsaraan setelah bertahan dari Perang
Hogen dan Heiji belum melupakan cara untuk saling
mencintai dan menenangkan?
Kata-katamu memberi kami harapan, namun jika ada
banyak biksu yang sepertimu, mengapa mereka tidak turun
kemari dan mengajarkan kepada kami cara untuk menjalani
kehidupan?
Tetapi ... si biksu mengernyitkan wajah, menunjukkan
kegalauannya yang mendalam. Tetapi, tidakkah kalian,
yang telah datang kemari dan berdoa di antara reruntuhan
kuil, mendengarkan ajaran-ajaran para pendeta kalian di
sini?
Pembohong, mereka semua pembohong! Kami tidak
memercayai apa pun yang mereka katakan! Siapakah yang
akan memercayai mereka setelah melihat reruntuhan ini?
Mereka hanya memberikan kata-kata indah, sementara diri

mereka sendiri tidak lebih baik daripada pencuri, dan


menipu kami adalah pekerjaan mereka! Bisakah kami
memercayai mereka? Apakah kau heran karena kami
membenci mereka?
Kalau begitu, kalian sudah putus asa dan tidak
memercayai mereka?
Ya, dan karena itulah kami datang kemari dan
memanjatkan doa di antara onggokan debu ini
Ah, kalau begitu, Buddha akhirnya telah turun di antara
kalian! Percayalah kepadaku!
Cukup! Kami sudah tidak membutuhkan kata-kata
hampa lagi!
Kalian benar. Kalian menyuarakan kebenaran .
Tetapi, walaupun patung suci telah lenyap dari dalam kuil
... hancur lebur menjadi abu, Kannon masih ada di sini.
Di mana ... di manakah kau melihat Kannon?
Di dalam setiap butiran abu itu, di sekelilingnya.
Bukankah debu tak lebih dari sekadar debu?
Ya.
Apakah yang bisa dilihat di situ?**
Sosok suci tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Tunjukkanlah kepada kami .Tidak, kau masih terlalu
muda untuk itu. Adakah pendeta sungguhan yang bisa
menunjukkan hal-hal gaib kepada kami saat kami masih
bernyawa?
Ada. Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa orang
seperti itu tidak ada.

Di manakah dia? Di manakah pendeta ini? orangorang bersorak sorai ribut, terus mendesak si biksu muda.
Ah ... tolong lepaskan aku, si biksu memohon,
melambaikan topinya dan menerobos kerumunan. Aku
sudah bicara terlalu banyak. Aku belum bisa bercerita
tentang itu kepada kalian, tapi aku yakin bahwa orang
seperti itu ada di muka bumi ini. Dia akan segera hadir di
tengah kalian. Jika dia tidak hadir, maka ajaran Buddha
memang palsu dan surga hanyalah sebuah kebohongan ...
hakikat manusia dan seluruh perintah Buddha adalah
omong kosong belaka. Jika memang itu yang terjadi, maka
kalian akan memiliki alasan untuk berputus asa. Tidak,
wacana dan cahaya kebenaran belum seluruhnya lenyap
dari Gunung Hiei.
Si biksu memakai topi lebar yang menyembunyikan
wajahnya dan berlari menjauh dari kerumunan orang itu,
berseru, jangan putus asa ataupun kehilangan kepercayaan
satu sama lain! Hiduplah dengan berani hingga dia datang!
Kerumunan itu pun bubar dengan cepat karena banyak
di antara orang-orang itu yang berlari mengejar si biksu;
beberapa orang yang lain mengikutinya dengan teriakanteriakan menghina. Sejenak kemudian, debu yang mengepul
ke udara kembali berjatuhan ke tanah.
Seorang pendeta, yang baru saja tiba, menoleh ke arah
sosok yang tengah berlari itu.
Siapakah itu, Yasunori? Sepertinya aku pernah
melihatnya sebelum ini, kata Saiko, seorang bangsawan
Fujiwara yang saat ini tengah menjadi sosok yang banyak
diperbincangkan di Istana Kloister, menoleh ke seorang
anggota Kepolisian yang mengawalnya. Apakah kau
mengenalinya?

Petugas itu, Yasunori, segera menjawab, Bukankah


Anda pernah diperkenalkan kepadanya. Tuan, oleh kepala
biara di Kuil Ninna-ji?
Ah, itu dia Kudengar dialah orang terpintar di sekte
Tendai. Aku masih ingat penjelasan Kepala Biara tentang
dirinya. Seorang biksu ... siapa namanya? ... yang tinggal di
Kurodani di Gunung Hiei.
Dia pasti Honen.
Honen ... itu dia. Aku yakin dialah orangnya. Dia tidak
pernah meninggalkan pertapaannya di Kurodani . Entah
apa yang membawanya turun kemari.
Penghancuran kuil ini banyak dibicarakan orang
sehingga dia pasti penasaran dan tidak bisa menahan diri
dari datang kemari untuk melihat reruntuhan ini.
Pasti itu alasannya, kata Saiko, memandang ke
sekelilingnya untuk memastikan bahwa tidak seorang pun
mengenalinya.
Setelah memeriksa reruntuhan secara saksama, Saiko
mengisyaratkan kepada seorang pelayan untuk menyiapkan
kudanya, dan kembali ke Istana Kloister sesaat kemudian.
Istana Kloister selalu bermandikan cahaya pada malam
hari karena akhir-akhir ini Goshirakawa terbiasa untuk
mengundang empat atau lima orang pengikut yang
disukainya untuk makan malam bersamanya. Saiko baru
saja selesai berbicara. Goshirakawa, yang mendengarkan
dengan cermat cerita tentang pendeta yang singgah di
reruntuhan Kuil Kiyomizu siang itu, menoleh kepada Saiko
dan mengatakan:
Jadi, rakyat berduyun-duyun mendatangi reruntuhan
itu dan berdoa di antara onggokan-onggokan debu, katamu?
Lucu sekaligus menyentuh ... sesuatu harus segera

dilakukan untuk meredakan kemarahan para biksu Kofukuji


agar kita bisa membangun kembali kuil itu . Benar
begitu,Toshitsune?
Benar, Yang Mulia, jawab Toshitsune, seorang pejabat
istana, sambil menundukkan kepala, tidak tahu lagi harus
mengatakan apa karena baru beberapa hari sebelumnya, dia
kembali dari Nara membawa kegundahan mendalam. Para
biksu Kofukuji telah secara keras kepala mendesaknya
untuk membuat kesepakatan dan menuntut agar para
pemimpin Gunung Hiei dihukum sesegera mungkin.
Goshirakawa hanya mengangguk-angguk ketika mendengar
laporannya,
tidak
sedikit
pun
mengungkapkan
pendapatnya. Tetapi, Toshitsun6 telah melihat sendiri
bagaimana para biksu Kofukuji bersiap-siap untuk
berperang. Dia juga punya alasan untuk meyakini bahwa
Goshirakawa mengetahui bahwa para biksu itu akan segera
memasuki ibu kota dengan membawa emblem suci mereka
untuk menjarah dan membumihanguskan kuil-kuil yang
berada di bawah perlindungan Gunung Hiei, juga bahwa
Gunung Hiei tidak akan tinggal diam. Sementara itu, tidak
ada pasukan tangguh di ibu kota yang akan menangkal
serbuan para biksu ke Istana Kloister untuk mengintimidasi
Goshirakawa. Sekarang tentunya adalah saat yang tepat
untuk meminta dukungan dari Heik6. Tetapi, tidak ada
yang tahu tentang keadaan hubungan antara Goshirakawa
dan Kiyomori, karena walaupun kunjungan Mantan Kaisar
ke Rokuhara rupanya telah menghapuskan keraguan
Kiyomori, masih ada keraguan mengenai apa yang ada di
dalam benaknya. Bagaimanapun, tanpa Kiyomori, mustahil
untuk mengerahkan pasukan samurai guna menghalau para
biksu.

Goshirakawa menoleh ke arah si pendeta, Saiko, apa


yang dikatakan penduduk ibu kota tentang rentetan
peristiwa akhir-akhir ini?
Saiko menelengkan kepala dan menunjukkan ekspresi
serius. Apakah yang ingin Yang Mulia ketahui?
Goshirakawa menatap Saiko lekat-lekat. Pada malam
ketika Kuil Kiyomizo dilalap api, ada desas-desus yang
beredar di seluruh ibu kota bahwa aku memberikan perintah
rahasia untuk menyerang Heik6.
Begitulah.
Tetapi, itu konyol, Saiko; apakah pendapatmu tentang
hal ini?
Para tamu yang lain mendengarkan dengan saksama
jawaban Saiko. Mereka baru saja mendengar sangkalan
terhadap semua yang dituduhkan kepada Goshirakawa
hingga saat ini. Tetapi, jawaban dari Saiko segera meluncur:
Yang Mulia, manusia adalah kepanjangan lidah para
dewa. Walaupun Yang Mulia enggan mengatakannya,
rakyat bisa melihat sendiri betapa arogannya para Heik6
saat ini, dan rakyat telah berdoa kepada para dewa, bukan?
Goshirakawa mengangguk mengiyakan, kemudian
mendadak tertawa terbahak-bahak. Cukup, Saiko! Kau
telah memberiku cukup penjelasan!
Segera setelah menyadari bahwa dia tidak bisa
mengabaikan peran Kiyomori, Goshirakawa pun
mengambil hatinya; adik kandung Kiyomori, Yorinori, dan
adik iparnya, Tokitada, yang telah diasingkan dari Kyoto,
cepat-cepat dipanggil kembali. Goshirakawa pun
membiarkan saja ketenaran Kiyomori meningkat di Istana
dan seluruh ibu kota.

Kiyomori, memimpin pasukannya, berangkat untuk


melakukan perundingan bersama para biksu Kofukuji selagi
mereka berbaris menuju Kyoto. Dalam satu atau dua hari,
dia berhasil mengatur sebuah pertemuan antara para
pemimpin Gunung Hiei dan Kofukuji, yang berujung pada
penarikan pasukan Kofukuji ke Nara. Kecepatan
perundingan itu mengherankan rakyat yang ketakutan dan
menakjubkan para pengikut Goshirakawa. Bahkan setelah
Saiko mendapatkan nama ketiga pemimpin yang paling
berkuasa di Gunung Hiei, yang sebelumnya diketahui
berseberangan dengan Heik6 namun baru-baru ini telah
beberapa kali bertukar surat dengan Kiyomori ... tidak ada
yang bisa menjelaskan bagaimana Kiyomori bisa mengenal
mereka. Semua orang telah melupakan peristiwa yang
terjadi pada suatu hari di musim panas, delapan belas tahun
silam, ketika Kiyomori menantang para biksu Gunung Hiei
di Gion, dan tidak ada yang tahu bahwa dia telah merebut
hati beberapa orang berkat keberaniannya itu.
Setahun kemudian, pada 1166, Penasihat Utama
Fujiwara Motozane, yang menikah dengan putri kedua
Kiyomori, meninggal secara mendadak pada usia muda,
dua puluh empat tahun. Setahun kemudian, Kiyomori
ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri dan mendapatkan
seluruh wewenang dan kehormatan yang menyertai
jabatannya. Dia baru saja berulang tahun yang kelima
puluh; rumah barunya di Jalan Kedelapan Barat telah
selesai dibangun; seluruh kerja kerasnya, tampaknya,
akhirnya membuahkan hasil. Tetapi, berbagai godaan baru
terus-menerus muncul di hadapannya, tantangan demi
tantangan, karena masa kejayaan Heik6 baru saja dimulai.
Semua adik dan putranya, yang masih berusia tiga puluhan
atau empat puluhan, telah menduduki jabatan penting di
Istana dan pemerintahan. Namun, kekuasaan dan
ketenaran begitu saja mendatangi Kiyomori tanpa bantuan

kekerasan maupun intrik; kedekatannya dengan kalangan


berdarah biru bukanlah buah dari sebuah kesengajaan; baik
putri maupun adik iparnya, Shigeko, dipersunting oleh
bangsawan: putrinya oleh Mantan Perdana Menteri untuk
putranya dan adik iparnya oleh Mantan Kaisar
Goshirakawa.
o0odwkzo0o

Bab XLIII-DUA ORANG GEISHA


Klan Heike telah memasuki periode ketika pengaruh
mereka begitu besar, dan sudah menjadi rahasia umum
bahwa apa pun yang berhubungan dengan Heike tidak akan
dipandang sebelah mata. Pada sekitar masa inilah beredar
berbagai macam pergunjingan tentang Giwo di seluruh ibu
kota.
Giwo, yang berasal dari salah satu daerah hiburan di
Kyoto, adalah salah seorang geisha yang mengiringi nyonya
mereka untuk menghadiri upacara pemakaman Kaisar Nijo
di Bukit Funaoka. Pada hari itu, ketika Toji jatuh sakit
lantaran terpapar sinar matahari, seorang samurai Heik6
muda jatuh kasihan kepadanya dan meminjamkan sebuah
gerobak sapi untuk membawanya pulang ke ibu kota. Toji
pulih kembali dalam satu atau dua hari, dan pada suatu
siang, sambil menyantap potongan melon dingin, dia
mengobrolkan peristiwa hari itu dengan gadis-gadisnya.
Ya, samurai itu baik sekali. Aku tidak tahu apa yang
akan kita lakukan seandainya dia tidak mencarikan
kendaraan untuk kita.
Ya, Ibu, kami sangat panik ketika itu. Ibu berbaring
kesakitan dan hujan mulai turun, sementara para prajurit
hendak mengusir kita.

Seandainya samurai muda itu tidak ada di sana dan


mengasiha-niku, kita semua akan celaka.
Kami akan harus menggendong Ibu hingga tiba di
rumah. Aku yakin Ibu tidak akan sembuh secepat ini .
Dan samurai itu meminjamkan sebuah gerobak sapi untuk
membawa kita semua pulang! Kita benar-benar harus
melakukan sesuatu untuk membalas kebaikan hatinya,
Ibu.
Toji telah memikirkan tentang hal itu selama beberapa
waktu. Samurai muda itu, dia segera mengetahui, adalah
adik Kiyomori yang bernama Tadanori. Seandainya dia
bukan seorang Heik6, Toji tidak akan menunda-nunda
begitu lama, namun firasatnya yang bagus mengatakan
kepadanya bahwa seperti apa pun wujudnya, ungkapan
terima kasihnya haruslah memberinya ikatan yang kuat
dengan klan Heik6. Dia menanti hingga musim gugur tiba
sebelum memanggil gadis kesayangannya, Giwo, dan
mengatakan, Kaulah orang yang paling tepat untuk
bertandang
ke
Rokuhara
sebagai
kurirku
dan
menyampaikan ucapan terima kasihku kepada Yang
Terhormat Tadanori.
Wajah Giwo seketika merona. Dia mengiyakan perintah
Toji, namun ekspresi cemas di wajahnya mendorong Toji
untuk menambahkan, Kau tidak perlu takut; aku sudah
berbicara dengan Tuan Bamboku tentang ini, dan beliau
berjanji untuk menemuimu di balik gerbang utama
Rokuhara. Beliau akan memastikan bahwa kau bertemu
dengan Tuan Tadanori yang terhormat. Yang harus
kaulakukan hanyalah naik ke kereta dan pergi ke sana.
Giwo siap berangkat pada saat itu juga, namun Toji
menahannya. Tidak, tidak, jangan berpakaian seperti itu!
Ingat, kau hendak pergi ke Rokuhara. Ini mungkin adalah
kesempatan pertama sekaligus terakhirmu, dan kau harus

menunjukkan penampilan terbaik . Nah, aku akan


menolongmu berdandan.
Toji sendirilah yang merias Giwo, membubuhkan
berbagai warna ke wajahnya dengan saksama, hingga dia
puas dengan hasil karyanya. Dengan kimono bernuansa
biru muda, hiasan rambut emas, dan sebilah pedang perak
yang tersemat di obi-nya, Giwo memasuki kereta
perempuan yang telah menantinya. Kowaka, pelayan pria
yang mengawalnya, mengenakan kimono baru yang sesuai
dengan kesempatan ini dan berjalan di belakang keretanya.
Ketika keretanya melintasi Jembatan Gojo dan
memasuki wilayah Rokuhara, Giwo merasakan jantungnya
berdebar kencang akibat kebahagiaannya; dia merasa
seperti seseorang yang kerasukan. Sejak hari ketika dia
bertemu dengan samurai itu, dia tidak pernah berhenti
memimpikannya. Bayangan mengenai pria itu, suaranya,
dan wajahnya senantiasa menyertainya. Ketika memikirkan
bahwa mereka akan segera bertemu, pipi Giwo langsung
panas dan merona. Apakah yang akan dikatakannya?
Bagaimanakah dia akan menjawab?
Kereta Giwo telah mendekati salah satu dari beberapa
gerbang yang ada.
Permisi ... Kowaka menyapa prajurit yang menjaga
gerbang, apakah Tuan Bamboku sudah datang?
Ah, maksudmu Hidung Merah, ya? si prajurit
meralatnya. Kalau memang yang kaumaksud adalah
Hidung Merah, pergilah ke gerbang di sebelah sana dan
tengoklah pondok di sebelah kanannya. Aku baru saja
melihatnya di sana.
Kowaka membungkuk dan mengucapkan terima kasih,
lalu bergegas pergi ketika sebuah teriakan membuatnya
menoleh.

Tidak, tidak! Jangan ke sana! Bawalah keretamu ke


situ! Bamboku mengarahkannya dengan lambaian.
Kereta itu akhirnya berhenti di depan beranda, dan Giwo
melangkah turun. Dia dengan ragu-ragu menghampiri
seorang pelayan dan mengatakan:
Namaku Giwo, dan aku dikirim kemari oleh nyonyaku,
Toji dari Horikawa, untuk berterima kasih kepada Tuan
Tadanori.
Beberapa orang pelayan lainnya segera berkumpul di
pintu masuk dan terpana menatap Giwo, hingga salah
seorang dari mereka sadar dan bergegas menyampaikan
pesan darinya.
Hei, tunggulah di sini! Bamboku mencegah si pelayan.
Majikanmu sudah menunggu kami. Kau tidak perlu
memberi tahu beliau.
Aku sendirilah yang akan mengantarkan tamu kita ini
kepada beliau. Bamboku telah menaiki tangga. Ayo,
Giwo, lewat sini, katanya.
Giwo berlalu melewati para pelayan yang menatapnya
dengan takjub. Dia mengikuti Hidung Merah menyusuri
koridor-koridor panjang dan melewati beberapa petak
taman. Ketika mereka tiba di sebuah jembatan yang
menghubungkan dua buah bilik, Giwo men-dengar langkah
kaki yang dengan cepat mengejar mereka. Dua atau tiga
orang pengawal terlihat dan menyuruh mereka menepi,
Tuan Kiyomori ... silakan menepi.
Bamboku dan Giwo langsung menepi dan menunggu
dengan rikuh. Gelak tawa yang nyaring terdengar oleh
mereka; kemudian, Kiyomori muncul, tenggelam dalam
pembicaraan bersama beberapa orang pejabat istana. Dia
melontarkan tatapan tertarik ke arah Giwo ketika

melewatinya dan menoleh ke belakang sekali lagi sambil


membisikkan pertanyaan kepada salah seorang teman
bicaranya.
Saya harap kami tidak mengganggu Anda, Tuan, kata
Hidung Merah setibanya dia dan Giwo di depan pintu bilik
Tadanori.
Kaukah itu, Bamboku?
Anda sedang sibuk membaca rupanya. Maafkan saya

Tidak perlu minta maaf. Aku sedang melihat-lihat


koleksi puisi yang katanya ditulis oleh ayahku, Tadamori,
dan sangat senang ketika mendapati bahwa beliau ternyata
memiliki bakat menulis puisi.
Begitulah yang saya dengar, kata Bamboku, sama
sekali tidak menunjukkan ketertarikan pada topik tersebut.
Anda yakin saya tidak mengganggu? Sesungguhnya,
saya kemari untuk hal yang sudah saya sebutkan tadi pagi.
Toji dari Horikawa menitipkan pesan untuk Anda kepada
salah seorang muridnya, yang tengah menunggu di ruang
sebelah.
Oh? Ya, tentu saja, bawalah dia ke sini, kata Tadanori,
menyingkirkan bukunya dan memunggungi meja tulisnya.
Dia mencuri pandang ke ruang sebelah.
Giwo, yang sedang menikmati suara Tadanori dengan
pikiran melayang, menatap bingung ketika Hidung Merah
menyibakkan tirai.
Tadanori menatap pemandangan luar biasa di
hadapannya, kemudian menoleh kepada Bamboku untuk
bertanya, Tapi, Bamboku, siapakah dia?

Ini Giwo, seorang geisha murid Toji, yang telah


menerima kebaikan hati Anda.
Tapi, dia berpakaian seperti laki-laki.
Seperti inilah para geisha di ibu kota berdandan ketika
mereka menjadi penghibur di dalam berbagai acara
perjamuan.
Tadanori tergelak. Aku ini memang kampungan sekali,
ternyata.
Giwo, kau hendak berterima kasih kepada Tuan
Tadanori, bukan? Bamboku memberikan dorongan.
Ya . Saya ... nyonya saya, Toji, menitipkan salam
hormat dan terima kasih yang mendalam.
Apakah dia sudah pulih sekarang?
Berkat Anda, beliau sudah sepenuhnya pulih.
Seseorang terdengar memanggil Bamboku, kemudian
seorang pelayan muncul. Tuan Kiyomori ingin menemui
Anda sekarang juga, katanya.
Bamboku, yang tahu bahwa Kiyomori bisa menjadi
sangat tidak sabaran, langsung mohon diri. Tuan, maafkan
saya ... saya akan secepatnya kembali kemari, katanya,
pada saat yang sama memikirkan masalah apa yang kali ini
muncul menyangkut pembangunan di Fukuhara, karena di
sanalah dia menghabiskan sebagian besar waktunya akhirakhir ini.
Giwo pun bersiap-siap untuk berpamitan kepada
Tadanori, yang tidak berupaya menahannya, namun
Hidung Merah, mengabaikan Tadanori, menyuruh Giwo
duduk kembali. Ayolah, tinggallah lebih lama untuk
mengobrol dengan tuan muda ini, karena beliau sepertinya
menyukaimu. Aku akan kembali secepatnya.

o0odwkzo0o
Hidung Merah mendengarkan Kiyomori dengan gelisah.
Sepertinya Kiyomori akan menahannya di sini lebih lama
daripada yang disangkanya. Kiyomori mencerocos tanpa
henti dan dengan panjang lebar tanpa topik yang jelas.
Sungguh sulit untuk menanyakan maksud Kiyomori
memanggilnya tanpa membuatnya tersinggung, pikir
Bamboku.
Tetapi, Kiyomori akhirnya menawarkan, Anggur? dan
memerintah pelayan untuk menyiapkan meja.
Terima kasih, Tuan, saya ...
Hidung Merah tidak sanggup lagi menyembunyikan
kekesalannya. Sejujurnya, Tuan dia mulai
menjelaskan sambil mengetuk-ngetuk keningnya.
Ada apa, Bamboku, kau sedang memikirkan hal lain?
Tepat, Tuan.
Bodoh! Apa kau mengira aku mau menebaknya?
Mengapa kau tidak langsung mengatakannya saja?
Bukan begitu, tapi saya meninggalkan seseorang
bersama Tuan Tadanori.
Seseorang?
Betul.
Apa tepatnya yang kaumaksud dengan seseorang*?
Sejujurnya, dia adalah seorang geisha dari Horikawa.
Kiyomori terkekeh, lalu menyeringai. Seorang geisha,
katamu?

Hidung Merah menepuk kening. Dirinya memang tolol!


Dia seharusnya tahu sejak awal bahwa inilah tujuan dari
pemanggilan dirinya.
Anda mungkin
melewati kami?

melihatnya.

Tuan,

waktu

Anda

Ya, aku melihatnya, jawab Kiyomori. Seseorang


yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Siapakah
namanya?
Giwo, Tuan.
Mengapa kau membawanya menemui Tadanori?
Apakah adik kampunganku itu sudah mulai gemar keluar
malam?
Justru sebaliknya ... Bamboku menyangkal dengan
sikap berlebihan. lalu dengan runut menceritakan kejadian
yang berujung pada kedatangan Giwo ke Rokuhara. Dia
menekankan bahwa Giwo
adalah murid kesayangan Toji, baru tujuh belas tahun
dan sangat berharga sehingga belum pernah ditampilkan di
depan umum.
Ketika sake dan makanan disajikan, Bamboku sudah
mengungkapkan banyak hal.
Hidung Merah, kata Kiyomori sebelum menyentuh
sakenya. Dia akan menjadi geisha yang berhasil. Bawalah
dia kemari.
Eh, Tuan, maksud Anda Giwo?
Hmm ... Kiyomori mengangguk.
Satu per satu lampu dinyalakan di sepanjang lorong yang
gelap, sementara Giwo menyaksikannya seolah-olah di
dalam mimpi. Ini adalah negeri peri, pikirnya. Langit
malam semakin kelam dan se-rangga-serangga berdering

lembut di antara rerumputan di taman. Seandainya saja ini


bisa berlangsung selamanya, desahnya, hingga lampulampu itu mendadak mengingatkannya bahwa waktu
pulang telah tiba. Apakah yang telah dibicarakannya
bersama Tadanori? ... Hanya beberapa patah kata untuk
menjawab pertanyaannya ... kata-kata yang dahulu tidak
akan pernah bisa diucapkannya. Giwo duduk diam,
memandang taman. Baru kali inilah dia melihat
pemandangan seindah ini! Tidak, itu tidak benar ... dia
pernah melihat pemandangan yang sama indahnya, lama
berselang, ketika dia masih tinggal di Jalan Pedagang Sapi.
Namanya masih Asuka waktu itu ... seorang bocah biasa
... dan dia mencintai Asatori. Dia baru berusia tiga belas
atau empat belas tahun dan belum bisa menyanggul
rambutnya sendiri, dan dia memuja Asatori. Tetapi,
seorang wanita lain datang untuk tinggal bersama Asatori
dan menjadi istrinya, dan tidak lama kemudian, Asuka
dijual kepada seorang mucikari di daerah hiburan.
Kenangan mengenai cinta itu sudah luntur dari benaknya
ketika dia tanpa diduga bertemu dengan Asatori di dekat
Bukit Funaoka. Giwo melihat istri Asatori, dan setibanya di
rumah, dia membenamkan wajahnya ke bantal dan
menangis
semalaman.
Kemudian,
perlahan-lahan,
bayangan tentang Tadanori mulai menggusur kenangan
tentang Asatori, hingga Giwo menyadari bahwa dirinya
tengah jatuh cinta kepada samurai
muda yang tampan itu. Tidak pernah sekalipun dia
memimpikan bahwa pertemuan kedua mereka akan
berlangsung sesegera ini, seperti ini, dan tidak ada yang
diinginkannya kecuali berdekatan dengan Tadanori.
Di tengah lamunannya, Giwo mendongak dan
mendapati sebuah lentera telah menyala di dekatnya.
Tadanori telah duduk kembali di balik meja tulisnya,

mencermati kumpulan puisi di dekat lampu baca yang


terang benderang, mengabaikan Giwo.
Anda pasti kesulitan melihat, kata Giwo, mendorong
lentera ke arah Tadanori.
Oh, kau ternyata masih di sini?
Sebenarnya, saya hendak pulang . Entah apa yang
menahan Tuan Bamboku.
Ya, katanya dia akan menjemputmu.
Nyonya saya pasti khawatir, jadi saya sebaiknya
berpamitan sekarang.
Sekarang? Kau bisa-bisa
menemanimu ke beranda.

tersesat;

aku

akan

Tadanori tengah menunjukkan jaJan melewati


serangkaian lorong, ketika keduanya tiba-tiba berpapasan
dengan Bamboku. Dengan tatapan lega, Tadanori
memasrahkan Giwo kepada Bamboku dan kembali ke
biliknya.
Lewat sini, Giwo, lewat sini.
Hari sudah gelap, jadi lebih baik saya pulang sekarang.
Tuan Kiyomori ingin bertemu denganmu. Kemarilah.
Giwo mendadak mundur. Tapi ... protesnya. Dia
berpegangan ke tiang dan menolak untuk mengikuti
Bamboku. Sebuah lentera menyala di sudut ruangan, dan
ketika melihat para pelayan bergegas melewati mereka,
Giwo baru menyadari bahwa ini bukanlah jalan menuju
beranda depan, tempat keretanya menanti.
Kau tidak perlu cemas. Kalau kau terlambat, para
prajurit akan mengawalmu sampai rumah. Kalau kaupikir
Toji akan khawatir, seorang kurir akan langsung dikirim

untuk mengabarkan tentang keadaanmu kepadanya. Apa


paun itu, kau tidak boleh menyinggung perasaan Tuan
Kiyomori dengan menolak undangannya.
Setelah membujuk, memarahi, dan memaksanya,
Hidung Merah akhirnya berhasil mempertemukan Giwo
dengan Kiyomori.
Kiyomori menuangkan sake untuk dirinya sendiri. Dari
tempatnya duduk, tusuk konde emas dan kimono biru
muda Giwo tampak berkilauan di bawah cahaya lentera.
Hidung Merah, lepaskanlah sanggul dan pedangnya; dia
sepertinya tidak nyaman, katanya.
Giwo ... itukah namamu? Mendekatlah ... kemari
.Mengobrollah denganku sebentar. Apakah gosip terbaru
di ibu kota?
Hidung Merah menahan tawa ketika melihat kekikukan
Kiyomori, ucapan konyolnya, dan wajahnya yang merah
padam ... Kiyomori memang selalu canggung saat
berhadapan dengan wanita. Kiyomori, yang mudah
terpesona pada kecantikan dan rapuh, tidak pernah belajar
untuk menutup-nutupi perasaannya. Ini bukan hal baru bagi
Bamboku, karena dia telah melihat Kiyomori bersama
Tokiwa dan setelah itu bersama sejumlah wanita lain, dan
keadaannya selalu sama. Tetapi, Hidung masih bingung
ketika memikirkan mengapa pengayomnya, yang memiliki
kekuasaan besar dan berkedudukan begitu tinggi, sangat
malu setiap kali berhadapan dengan wanita.
Kiyomori pernah mengakui, dalam keadaan mabuk,
bahwa walaupun usianya telah matang, dia tidak pernah
berhasil menghilangkan rasa enggan dan malu ketika
seorang wanita memikatnya. Dia pernah dengan kesal
bercerita bahwa kepolosan seorang perawan muda hanya
akan membuatnya malu dan canggung. Bamboku akhirnya

menyimpulkan bahwa ini hanyalah cara Kiyomori untuk


mengambil hati, karena apa lagikah yang bisa menjadi
penjelasan bagi sikap Kiyomori terhadap Tokiwa? Tokiwa
adalah seorang wanita yang sudah terluka, jadi alasan
apakah yang dimiliki oleh Kiyomori untuk memperdalam
lukanya? Jika memang benar, seperti pengakuan Kiyomori,
bahwa dia malu saat berhadapan dengan wanita muda,
maka seharusnya dia tidak tega untuk melukai wanita itu.
Tetapi, tindakannya berlawanan dengan kata-katanya.
Menurut Bamboku ada jejak kekejaman di dalam diri
Kiyomori, yang selalu berusaha ditutup-tutupinya bahkan
dari dirinya sendiri, dalam hubungannya dengan wanita.
Hidung Merah, kau tahu di mana Giwo tinggal, bukan?
Kau juga mengenal nyonyanya?
Yi, tapi ...
Salah satu tempat kesukaanmu?
Bukan begitu.
Tidak perlu menutup-nutupi apa-apa. Kau mau pergi ke
sana untukku?
Ke mana, Tuan?
Ke rumah Toji dan mengatakan kepadanya bahwa
Giwo akan tinggal di sini. Yakinkanlah Toji bahwa dia
akan mendapatkan semua imbalan yang dimintanya, dalam
bentuk emas maupun perak.
Bamboku menjawab dengan enggan, Anda menyuruh
saya menyampaikan itu kepada Toji, Tuan?
Ya,
pergilah
sekarang,
perintah
Kiyomori,
melontarkan tatapan tajam ke arah Giwo yang ketakutan.
Tanpa sanggul, gadis itu tampak jauh lebih muda dan polos,
dan dia terisak-isak lirih, menggumamkan penolakan,

menunduk dalam-dalam ke lipatan-lipatan kimono biru


mudanya.
Bamboku ragu-ragu. Sekarang sudah larut malam.
Tuan, jadi kapankah Anda bersedia menerima
jawabannya?
Besok juga boleh, jawab Kiyomori.
Bamboku membungkuk dan mohon diri, perlahan-lahan
menutup pintu ganda di belakangnya. Menggunakan kereta
perempuan, yang masih menunggu Giwo, dia menyuruh
Kowaka si pelayan membawanya menemui Toji.
Kisah Giwo segera menjadi buah bibir seluruh penduduk
ibu kota. Gadis itu berkunjung ke Rokuhara tanpa
diundang, menaklukkan Kiyomori dalam pandangan
pertama, dan sekarang tinggal di taman mawar! Dan orangorang pun menebak-nebak tentang nasib orangtua Giwo,
yang sebelumnya miskin papa.
Giwo, dalam kunjungan singkat pertamanya kepada
orangtuanya, yang sekarang tinggal di sebuah rumah baru,
mengendarai sebuah kereta baru, yang berkilauan dengan
hiasan emas dan perak, dan dikawal oleh sepasukan
samurai. Pemandangan semencolok itu tidak pernah ada
sebelumnya di Jalan Juzenji, dan orang-orang segera
berkerumun untuk melihat Giwo dan menunggunya dengan
sabar hingga dia menampakkan diri. Ketika Giwo keluar,
diantar ke gerbang oleh ayah dan ibunya, para penonton
yang penasaran mengerubutinya untuk mengamati
penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Giwo
mengangkat lengan kimononya untuk menutupi wajah dan
cepat-cepat memasuki keretanya, namun beberapa orang
yang berada di dekatnya bisa melihat parasnya yang pucat
dan murung, dan mereka heran mengapa gadis seberuntung
itu bisa dirundung kesedihan.

Ryozen, ayah Giwo, yang kesehatannya telah pulih,


tampak gemuk dan mentereng di dalam balutan kimono
indahnya, segera dibanjiri tamu. Orang-orang itu
menyanjung-nyanjungnya dan istrinya, mengagumi
perabotan mewah dan pakaian mahal yang mereka lihat di
mana-mana, dan menebak-nebak jumlah uang yang
diberikan oleh Kiyomori kepada mereka setiap bulannya.
Di antara para tamu tersebut tampaklah Ular, yang kerap
datang untuk minum-minum bersama Ryozen.
Nah, Ryozen, Ular menekankan, bukankah aku
sudah membawakan keberuntungan untukmu?
Ryozen menikmati sanjungan Ular dan, dengan suasana
hati ceria, menjawabnya, Ya, ini memang sama sekali
tidak buruk. Dan, kalau Giwo melahirkan anak Tuan
Kiyomori, maka aku pun akan dianggap sebagai
kerabatnya. Aku yakin akan bisa mendapatkan jabatan di
Rokuhara karenanya.
Ryozen yang lugu, bagaimanapun, bukanlah tandingan
Ular yang licik dan gemar menindas orang lain.
Ya, Ryozen, kata Ular, jika bukan berkat aku, di
manakah dirimu sekarang berada? Bukankah aku yang
mengentaskanmu dari
Jalan Pedagang Sapi, waktu kalian kelaparan? Akulah
yang membeli anakmu dan menjadikannya geisha, bukan?
Kita sudah sangat dekat seperti saudara, ya? Memang, aku
mungkin sesekali marah kepadamu, tapi itu karena aku
selalu menginginkan yang terbaik untukmu.
Ryozen jarang terlihat di rumahnya sekarang; dia
berkeliaran ke sana kemari bersama Ular, yang
membawanya berjudi, minum-minum, dan menghabiskan
uang di tempat hiburan. Rumahnya, yang tadinya
diselimuti kedamaian, kini menjadi ajang kekerasan rumah

tangga, karena istri Ryozen mendengar bahwa suaminya


memiliki kekasih gelap di Jalan Keenam. Sang istri
mencecar, Ingatlah, katanya dengan air mata merebak,
kehidupan yang nyaman ini kita dapatkan bukan karena
dirimu, dan dengan menghambur-hamburkan uang kita,
kau akan menjadi bahan tertawaan para tetangga. Terlebih
lagi, bagaimanakah menurutmu perasaan Giwo, anak kita
tersayang, jika melihatmu seperti ini?
Pada sekitar waktu ini, orang-orang juga mulai
membicarakan tentang geisha jelita bernama Hotok6 dari
rumah lain di Horikawa. Hotok6 baru berumur enam belas
tahun dan datang ke Kyoto ketika masih bocah dari
Provinsi Kaga, tempat kelahirannya. Sebagai seorang geisha
yang dididik untuk menjalani profesi ini sejak masa kanakkanaknya, tarian dan nyanyiannya pun dikabarkan
mengalahkan para penghibur terbaik di Istana sekalipun.
Para penikmat hiburan di Kyoto, yang pernah melihat
penampilannya, bersumpah bahwa kecantikannya setara
dengan Giwo. Karena kemolekan Giwo sudah tersebar
luas, nyonya Hotok6 merasa perlu menyombongkan
kualitas muridnya yang mengalahkan Giwo, dan pada
suatu hari memanggil Hotoke.
Tidak diragukan lagi, kau adalah penari terbaik di ibu
kota, namun hanya pengunjung daerah hiburan di Kyoto
yang pernah melihat penampilanmu. Jika kau bisa menarik
perhatian Tuan Kiyomori, kau akan kaya raya. Seorang
Giwo saja bisa diterima di Rokuhara, jadi kau pasti juga
bisa. Berdandanlah seperti Giwo, dan kita akan melihat
apakah kau bisa menyainginya.
Hotoke langsung setuju karena dia lugu dan
membanggakan keahliannya menari. Pikiran tentang apa
yang akan diperolehnya tidak pernah terlintas di benaknya.

Pada awal musim gugur, sebuah kereta perempuan yang


indah berhenti di depan gerbang jalan Kedelapan Barat,
tempat Kiyomori, yang telah menjabat sebagai Menteri
Luar Negeri sejak Februari, tinggal di sebuah kediaman
yang semegah istana. Rumah-rumah megah berdiri di
sepanjang jalan yang lebar itu ... rumah Nyonya Ariko di
sini, rumah Tokiko di sana ... dan jalan-jalan kecil tempat
para samurai tinggal bercabang dari sana. Perpaduan antara
arsitektur gaya lama dan baru terlihat di seluruh tempat itu,
mencerminkan perubahan zaman.
Hotoke, menebarkan seluruh pesonanya, melongok dari
keretanya ketika seorang penjaga menghadang keretanya di
gerbang. Aku Hotoke, seorang geisha ... dari lahir, ya, aku
memang mainan kaum pria. Aku dikirim oleh nyonyaku
dan memberanikan diri untuk datang kemari tanpa
diundang. Izinkanlah aku menari dan menyanyi di depan
Tuan Kiyomori.
Si penjaga ragu-ragu dan curiga; kemudian, khawatir
Kiyomori akan memarahinya, dia membentak Hotoke.
Apa-apaan ini? Datang kemari tanpa diundang? Keluar
... pulanglah sana!
Tidak, sudah menjadi kebiasaan di kalangan para
geisha untuk melakukan kunjungan mendadak seperti ini,
dan aku melakukannya untuk memberikan penghormatan
kepada Tuan Kiyomori. Aku masih muda, dan aku tidak
sanggup menanggung luka hati akibat penolakan.
Hotok6, dengan hati kecewa, tengah beranjak dari sana,
ketika seorang pelayan tiba-tiba memanggilnya.
Karena kau memaksa, aku akan melihat apa yang bisa
kulakukan, katanya, membawa Hotok6 memasuki rumah.

Dengan mata membelalak, Hotok6 memandang


ruangan-ruangan indah yang terpampang seolah-olah tanpa
akhir di hadapannya, hingga akhirnya dia melihat seseorang
yang diketahuinya sebagai sang tuan rumah. Kiyomori
duduk dikelilingi oleh para pengiringnya; salah seorang di
antaranya menghampiri Hotoke dan mengatakan,
Apakah kau Hotoke? Anggap saja dirimu beruntung,
karena tidak semua orang bisa bertemu dengan Tuan
Kiyomori. Kau ada di sini hanya karena Giwo memohon
kepada Tuan untuk membuat perkecualian . Kau boleh
menyanyi untuk kami sebagai balasan atas kebaikan luar
biasa ini.
Hotoke membungkuk dan menoleh ke arah Giwo
dengan ekspresi berterima kasih, yang dibalas oleh Giwo
dengan tatapan menguatkan. Hotok6 pun mulai
menyanyikan sebuah lagu sederhana yang diulangi hingga
tiga kali. Dari bibir ranumnya mengalirlah rangkaian nada
yang menyentuh hati para pendengarnya dan mengiang di
telinga mereka dalam gema yang merdu.
Kiyomori tiba-tiba berkata, Kau rupanya benar-benar
pandai menyanyi. Sekarang, menarilah. Hei ... gebuklah
genderangnya!
Hotok6 menelengkan kepala dan berdiri. Dia bergerak
dengan lemah gemulai, berbalut kecantikan yang
menyembunyikan kebelia-annya.
Kiyomori terpukau menatap setiap gerakannya, namun
ketika dia membiarkan matanya membuntuti Hotoke,
mereguk seluruh kecantikannya, sebuah dorongan luar
biasa untuk mencabik-cabik dan meluluhlantakkan
keindahan itu menyergapnya.
Bagus sekali. Lebih bagus daripada yang kusangka,
akhirnya dia berkata. Mari kita bersulang untuk

keahlianmu ... Hotoke? Mari kita menghabiskan sake ini di


Paviliun Musim Semi sambil menyaksikan Hotok6 menari
sekali lagi.
Hotok6 diperintahkan untuk tinggal di kediaman
Kiyomori di Jalan Kedelapan Barat, dan di seluruh penjuru
ibu kota bisa didengar pergunjingan tentang Tuan Kiyomori
yang memiliki gundik baru. Tetapi, yang sesungguhnya
terjadi bukan begitu karena Hotoke, yang merasa berutang
budi kepada Giwo, tidak pernah menuruti keinginan
Kiyomori dan setiap hari selalu memohon agar diizinkan
pulang.
Katakanlah kepada Giwo bahwa dia boleh pergi,
Kiyomori memerintahkan. Aku sudah melakukan
segalanya untuk membahagiakan dia. Dia sudah memiliki
semua yang dibutuhkannya untuk hidup makmur.
Giwo menerima kabar pembebasannya dengan lega,
walaupun dia merasa sedih ketika memikirkan Tadanori,
adik tiri Kiyomori; selama ini, Giwo telah membiarkan
dirinya menjadi mainan seorang pria dan diam-diam
memberikan hatinya kepada pria lain.
Segera setelah tersebar kabar bahwa Giwo telah
dilepaskan, para pria ibu kota mulai mengiriminya
undangan untuk menghadiri perjamuan yang mereka
selenggarakan dan membanjirinya dengan hadiah, namun
Giwo mengurung diri di rumah dan menolak untuk
menemui siapa pun.
Kendati begitu, hati Giwo hancur ketika melihat betapa
ayahnya, Ryozen, telah banyak berubah. Ryozen
memimpin rumah tangganya dengan tangan besi, pemarah,
selalu mabuk, dan terlilit utang. Ibunya menderita, padahal
Giwo selama ini mengira bahwa pengorbanannya akan
membahagiakan wanita itu. Tidak lama kemudian, Ryozen

lenyap bersama Ular dan sejak saat itu tidak terdengar lagi
kabarnya.
Pada akhir musim semi tahun berikutnya, 1168, Giwo,
adik perempuannya, dan ibunya memotong rambut panjang
mereka untuk hidup menyepi di daerah perbukitan di Saga,
di dekat sebuah kuil di sebelah utara gerbang kota. Mereka
telah lama tinggal di sana ketika Hotok6 si geisha melarikan
diri dari rumah megah di Jalan Kedelapan Barat dan
mendatangi Saga, memohon kepada Giwo dan keluarganya
untuk menerimanya. Seperti halnya mereka, Hotok6 juga
sudah cukup banyak melihat betapa jahatnya kekayaan dan
jabatan, dan sudah muak terhadap kemewahan.
o0odwkzo0o

Bab XLIV-HURU-HARA
Kiyomori semakin sering melakukan perjalanan ke
Fukuhara, dan para pelancong, yang melewati jalur antara
ibu kota dan wilayah barat Jepang, terheran-heran melihat
perubahan yang terjadi di sana sejak lima atau enam tahun
terakhir. Kampung-kampung nelayan dan desa-desa kecil
telah berubah menjadi daerah indah yang ditempati oleh
banyak rumah peristirahatan, dengan rumah megah
Kiyomori sebagai pusatnya. Selain jalanan yang telah
diperbaiki, toko-toko yang telah berjajar di sepanjang pesisir
juga akan menjadikan Owada sebagai sebuah pelabuhan
yang bagus.
Walaupun rumah peristirahatan mewah Kiyomori telah
selesai dibangun dan rumah-rumah Heik6 yang berbentuk
seragam juga telah didirikan di sekelilingnya, Kiyomori
hanya membuat sedikit kemajuan dalam mewujudkan
pelabuhan impiannya. Angin barat daya yang kencang dan

ombak yang dahsyat segera menghancurkan tanggul,


walaupun perahu-perahu yang dirancang khusus untuk
mengangkut batu telah berkali-kali mengosongkan muatan
di laut, untuk membuatnya. Dan, setiap kali tanggul mulai
terbentuk,
angin
taufan
musim
gugur
selalu
menghantamnya hingga keropos. Tetapi, Kiyomori
menolak untuk mengabaikan impiannya. Dengan tegas, dia
mengumumkan:
Adakah orang yang memiliki keahlian dan kepercayaan
diri untuk merampungkan pekerjaan ini? Jika ada, aku akan
memenuhi semua kebutuhannya. Carikanlah orang
semacam itu untukku, dan hadapkanlah dia kepadaku.
Setelah mencari ke seluruh penjuru negeri, ditemukanlah
seorang pria yang bisa melanjutkan pembangunan. Ribuan
orang dan perahu bahu-membahu bekerja di bawah
pimpinannya. Hari demi hari, lalu minggu demi minggu,
dan akhirnya bulan demi bulan berlalu, dan Kiyomori
membiayai seluruh pembangunan itu seorang diri. Setiap
kali berkunjung ke Fukuhara, Kiyomori tidak bersantaisantai
dan
mengenang
masa
lalu
di
rumah
peristirahatannya yang megah tetapi sibuk mengikuti
kemajuan pembangunan pelabuhan, mencurahkan seluruh
jiwa dan raganya untuk memecahkan setiap masalah yang
menghadang.
Dalam salah satu kunjungannya ke Fukuhara, Kiyomori
mengabaikan gejala demam yang dideritanya, dan pada
malam hari ketika dia sedang dalam perjalanan kembali ke
ibu kota, suhu tubuhnya semakin meningkat. Kecemasan
melanda penduduk ibu kota ketika kabar mengenai jatuh
sakitnya Kiyomori bocor dari rumah di Jalan Kedelapan
Barat Kaisar mengirim tabib pribadinya untuk mengobati
Kiyomori. Sepanjang hari, kereta para bangsawan dan
pejabat tinggi bergantian melewati gerbang rumah untuk

mencari kabar terbaru tentang kondisi Kiyomori. Tidak


seorang pun ... kerabat Kiyomori sekalipun ... bisa
menemuinya, dan kabar tentang Kiyomori hanya bisa
didapatkan dari si tabib. Tetapi, kondisi Kiyomori semakin
parah. Sudah berhari-hari dia tidak mau makan.
Demamnya tidak kunjung mereda, dan si tabib pun
sepertinya tidak bisa memastikan apa penyakitnya.
Kabar mengenai semakin merosotnya kesehatan
Kiyomori tersebar dalam waktu singkat Begitu mendengar
berita ini, seorang pejabat Heike di Kyushu langsung
berangkat ke Kyoto bersama seorang tabib Cina yang baru
saja tiba di Jepang.
Ibu tiri Kiyomori, Nyonya Ariko, bersama Shigemori
mendatangi kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan utama di
Perbukitan Timur dan Gunung Hiei untuk berdoa bagi
kesembuhannya.
Wajar saja jika orang-orang mengira-ngira tentang apa
yang akan terjadi jika Kiyomori tutup usia. Klan Heik6
belum cukup kuat untuk menjaga agar kekuasaan tidak
jatuh ke tangan Mantan Kaisar Goshirakawa, dan semua
orang percaya bahwa langkah pertama yang akan diambil
oleh sang mantan kaisar adalah menyingkirkan semua
Heik6 ... dan golongan samurai ... dari Istana. Istana
Kloister, sementara itu, setiap hari menerima kunjungan
dari Istana Kekaisaran, dan pada suatu hari, Goshirakawa
memerintahkan agar keretanya disiapkan karena dia akan
menjenguk Kiyomori.
Begitu mendengar bahwa Mantan Kaisar telah tiba,
Kiyomori tampak panik. Dia memerintahkan agar
kamarnya disapu dan dupa disulut Ketika dia bersujud di
hadapan sang tamu agung, Goshirakawa bisa melihat
betapa kurusnya Kiyomori dan berkata dengan lembut:

Sebaiknya kau berbaring saja.


Tidak, Yang Mulia, saya masih bisa bangun.
Dengan tubuh tetap tegap dalam balutan kimono tidur
sutranya, dan tampak lebih tenang daripada biasanya,
Kiyomori menjawab pertanyaan-pertanyaan Mantan
Kaisar.
Ada beberapa persoalan mendesak yang disampaikan
oleh Goshirakawa di sisi tempat tidur Kiyomori. Seperti
yang
kemudian
diketahui,
pembicaraan
tersebut
menyangkut penurunan tahta Kaisar-cilik Rokujo untuk
kemudian digantikan oleh putra Goshirakawa, Takakura.
Rupanya Mantan Kaisar telah cukup lama merencanakan
hal yang dianggapnya akan mengamankan kekuasaannya
ini. Dia yakin bahwa Kiyomori akan tertarik pada rencana
ini karena Takakura adalah keponakannya. Bagaimanapun,
tidak ada jaminan bahwa Mantan Kaisar akan berhasil
membujuk
Kiyomori untuk mendukungnya, dan bahkan ada
kemungkinan Kiyomori akan menolaknya.
Sehari setelah kunjungannya. Mantan Kaisar mengirim
tabib pribadinya ke rumah di Jalan Kedelapan Barat dan
kemudian menanyainya.
Bagaimanakah keadaannya? Apakah ada kemungkinan
dia akan tetap hidup?
Si tabib menjawab pertanyaan ini, Yang Mulia, sulit
bagi saya untuk memastikannya. Mustahil bagi saya untuk
mengetahui penyakit yang dideritanya. Gejala-gejala aneh
yang ditunjukkannya membuat saya semakin kesulitan
memastikan penyakitnya.
Gejala-gejala yang aneh? Goshirakawa mendengarkan
dengan saksama. Apakah Kiyomori akan bertahan atau

tidak bukan masalah baginya; rencananya akan tetap


dijalankan.
Kiyomori sakit dan tidak berdaya. Kesehatannya yang
prima selalu membuatnya menyepelekan kelemahan
fisiknya, walaupun masalahnya berbeda jika dia jatuh sakit
Istrinya, Tokiko, kerap mengolok-oloknya, Aku tidak
pernah melihat seorang pun yang lebih manja dan
menjengkelkan daripada dirimu saat jatuh sakit
Anehnya, kali ini si sakit tidak bersikap manja maupun
menjengkelkan; dia sama sekali tidak tertarik pada
makanan; demamnya tidak menunjukkan tanda-tanda akan
mereda. Dari waktu ke waktu, erangan kesakitan dan
igauan tanpa arah terdengar dari kamarnya. Tabib
Kiyomori semakin waspada. Tokiko, Nyonya Ariko, dan
Shigemori menghabiskan berjam-jam sehari untuk berdoa di
kapel pribadi mereka. Para ahli nujum dipanggil, dan para
kurir diberangkatkan ke pusat-pusat peribadatan untuk
menyampaikan pesan agar upacara khusus digelar demi
kesembuhan Kiyomori. Para dewa yang marah seolah-olah
telah bersatu padu untuk membalas dendam kepada pria tak
beriman yang sudah terlalu lama melecehkan dan
menyangkal mereka.
Tetapi, Kiyomori tidak merisaukan igauannya. Setiap
kali demamnya mereda, dia justru merasakan nyeri di
perutnya; serangan mual yang dahsyat kembali dan
membuatnya merindukan demam yang akan meredakan
rasa sakitnya dan sekali lagi membawanya ke kedamaian
tempatnya melayang di antara gumpalan awan merah
jambu. Dalam keadaan setengah sadar, dia mengingat
dirinya mengatakan, Jadi, inilah ambang antara kehidupan
dan kematian Kemudian, dia akan melihat para
malaikat beterbangan di antara gumpalan-gumpalan awan
dengan iringan musik yang indah, dan di antara mereka, dia

melihat seorang bocah ... dirinya ketika berumur delapan


tahun. Dia berada di atas sebuah panggung di Gion, dan
yang semula dikiranya sebagai gumpalan awan ternyata
sakura. Di bawah pepohonan, ibunya yang cantik jelita
berdiri dan tersenyum kepadanya, tersenyum ketika
menyaksikannya menari. Ayahnya berdiri di samping
ibunya. ... Ibu! Ayah! Lihatlah aku menari! ... Dan
Kiyomori terus menari hingga keletihan menderanya.
Ayahnya mendadak lenyap, disusul oleh ibunya.
Kemudian, lolongan anak-anak menusuk telinganya.
Dengarlah! Itu adalah Si Tua Bangka, menyanyikan lagu
pengantar tidur. Dia melihat istal di rumah tuanya, dan
kuda-kuda di dalamnya menatapnya dengan wajah mereka
yang kurus kelaparan. Dan, di bawah bulan yang
menggantung di langit malam, dia melihat Imadegawa ...
rumah reyot yang pernah dihuninya ... menjulang di
depannya. Tangis kelaparan adik-adiknya membuatnya
panik. Ibunya telah menelantarkan anak-anak ini .
Ayahnya ... ke manakah dia? Dan Kiyomori akhirnya
melihat Si Mata Picing bersandar pada sebuah tiang dan
memandang atap rumahnya tanpa berkata-kata . Aku
memang bukan anak siapa-siapa, tapi kau adalah ayah
kandungku ... dan di tengah igauannya, Kiyomori
memanggil-manggil, Ayah! ... Ayahku!
Kemudian, sebuah suara ... Shigemori ... mengatakan,
Ayah, ada apa?
Adik-adik Shigemori, yang berkumpul di sekeliling ayah
mereka, mengguncang-guncang tubuh Kiyomori agar dia
terbangun.
Apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh dalam
mimpiku? tanya Kiyomori.
Ayah mengigau.

Aku bermimpi indah. Terbangun membuatku kesakitan


lagi.
Tabib Cina dari Kyushu baru saja tiba. Ayah. Apakah
Ayah mau menemuinya di sini?
Apa! Tabib dari negeri Sung? Ya, bawa dia kemari.
Si tabib segera muncul dalam balutan jubah
perjalanannya, dengan rambut putih yang terurai di bahu,
paras kaku, dan tubuh sekerempeng burung bangau. Dia
memeriksa Kiyomori dengan cermat; sesekali menelengkan
kepala dan berkomat-kamit, kemudian duduk di tepi tempat
tidur Kiyomori.
Kiyomori menoleh kepada si tabib dan bertanya,
Apakah saya akan sembuh?
Si tabib menjawab sambil tersenyum, Saya yakin Anda
akan sembuh dalam dua atau tiga hari.
Sulit bagi Kiyomori untuk memercayai pendengarannya,
namun setelah si tabib pergi, dia secara teratur meminum
ramuan yang diberikan kepadanya. Keesokan paginya,
Kiyomori merasa jauh lebih sehat dan terus meminum
ramuannya sesuai arahan si tabib, dan pada malam harinya,
dia tertidur nyenyak dan lama
Penyakit Kiyomori disebabkan oleh kuman-kuman di
dalam ususnya. Setelah kuman-kuman tersebut disingkirkan
dengan obat dan pencahar, kesehatannya pun pulih dengan
cepat Kendati begitu, kabar yang tersebar di seluruh ibu
kota menyebutkan bahwa kesembuhan Kiyomori adalah
sebuah mukjizat Ilmu kedokteran, yang masih berada di
dalam
tahap
paling
awal
perkembangannya,
menghubungkan kehadiran kuman di dalam tubuh manusia
dengan alasan supernatural, dan para dukun dan ahli nujum
kerap dipanggil untuk mengobati orang-orang yang sakit.

Di rumah megah di Jalan Kedelapan Barat dan


Rokuhara, kehidupan kembali berjalan dengan normal;
pesta syukuran digelar di mana-mana, dan musik kembali
terdengar mengalun dari rumah-rumah Heike.
Semua orang yang mengenal Kiyomori takjub ketika
mengetahui bahwa segera setelah kesehatannya pulih, dia
menjalani penahbisan dan menarik diri dari keramaian.
Tidak ada lagi yang diinginkan oleh Kiyomori;
kedudukannya telah aman, reputasinya telah terjaga; posisi
tertinggi yang bisa diraihnya di bidang pemerintahan sudah
berada di dalam genggamannya. Kendati begitu, kedua
ambisinya belum terwujud ... pelabuhan di Owada dan
perdagangan dengan Cina. Dia masih memegang erat-erat
mimpinya untuk menjadikan Fukuhara sebagai pusat
perdagangan besar dan Itsuku-shima sebagai permata Laut
Dalam, penghubung antara Jepang dan negeri Sung.
Kejayaan menantinya jika dia berhasil mewujudkan
mimpinya ini!
Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, Kiyomori
langsung menetap di Fukuhara untuk mengabdikan seluruh
waktunya pada tahap terakhir pembangunan pelabuhan,
dan menyusul kepergiannya. Kaisar Rokujo digulingkan
dari tahtanya dan digantikan oleh putra Goshirakawa yang
berumur sembilan tahun. Semua orang yakin bahwa
Kiyomori adalah dalang dari peristiwa itu. Tuduhantuduhan terpedas datang dari para bangsawan Fujiwara,
yang sudah berabad-abad melahirkan calon kaisar, yang
tidak tahu-menahu tentang perubahan ini. Pelanggaran hak
prerogatif yang tidak pernah dilakukan sebelumnya ini
menginjak-injak wewenang mereka. Pelakunya adalah
seorang samurai ... Heik Kiyomori. Kendati begitu,
walaupun tuduhan terberat ditujukan kepada Kiyomori,
adik iparnya, Tokitada, dianggap sebagai tokoh

berpengaruh di balik layar. Kiyomori tiba-tiba mendapati


dirinya berada di bawah bayang-bayang ketakutan begitu
gosip-gosip liar itu berkembang. Orang-orang mengatakan
bahwa Tokitada menempatkan mata-mata di mana-mana
untuk melaporkan siapa pun yang berani berbicara miring
tentang Heik6.
Pada Juli 1170, sebuah huru-hara, yang akan lama
diingat, pecah di antara para pelayan Perdana Menteri
Fujiwara dan Heik6 Shigemori.
Melihat segala aspek yang ada, bulan itu sungguh
menentukan. Gerhana matahari telah diramalkan, dan
tujuh buah panggung telah didirikan di Istana Kekaisaran
untuk menyaksikan fenomena alam tersebut, walaupun
ketika hari beranjak siang, langit menjadi berawan dan
hujan deras turun. Musim panas ternyata datang lebih
cepat. Semua orang mengkhawatirkan kemungkinan
datangnya musim kemarau panjang, sehingga upacara
khusus untuk meminta hujan diselenggarakan di Tempat
Pemujaan Utama dan tempat-tempat pemujaan yang lebih
kecil. Setelah pemujaan itu, lalu turunlah hujan deras yang
tidak pernah dilihat oleh siapa pun sejak sepuluh tahun
terakhir. Sungai-sungai meluap, dan sebagian wilayah ibu
kota terendam banjir. Pada 3 Juli, sehari setelah gerhana
matahari, sebagian besar penghuni Istana ... para pangeran,
putri, dan Perdana Menteri ... menghadiri Misa Besar di
kuil di dekat Shirakawa, di sebelah utara Rokuhara.
Matahari bersinar sangat terik pada hari itu. Perdana
Menteri, yang mengenakan kimono kebesaran tebalnya,
lalu menyelesaikan tugasnya. Dia tergoda untuk pulang dan
menanggalkan berlapis-lapis pakaian yang dikenakannya.
Tetapi, tidak, matahari masih tinggi, putusnya. Dia akan
kembali ke Istana, menyelesaikan beberapa urusan, lalu
pulang pada malam hari, setelah udara lebih sejuk. Dia

memerintah penarik sapinya untuk membawanya kembali


ke Istana Kekaisaran dan membiarkan kereta mengayunayunnya dengan lambat.
Sinar matahari yang panas menyengat menembus kerai
dan menerangi sosok berkimono putih itu. Perdana Menteri
masih berusia pertengahan dua puluhan. Tampak anggun
dan berwibawa dalam balutan kimono kebesarannya, dia
tetap duduk tegak walaupun keringat mengalir ke pipinya
dari bawah hiasan kepala berat yang dikenakannya.
Rombongan ajudan, penarik sapi, dan pelayannya tentu
saja jauh lebih merana di bawah siksaan panas ini. Dengan
tubuh berselimut debu, mereka berkali-kali dan dengan letih
berusaha mengusir lalat yang mengerumuni mereka.
Sapi penarik kereta dibiarkan menentukan kecepatannya
sendiri, dan iring-iringan panjang itu merayap di sepanjang
jalan raya. Ketika mendekati sebuah persimpangan, dari
jauh mereka melihat kereta lain bergerak ke arah mereka,
diiringi oleh serombongan besar pelayan. Dari jarak yang
lebih dekat, tampaklah bahwa rombongan itu mengiringi
sebuah kereta perempuan. Kereta Perdana Menteri, yang
tampak mencolok berkat lambang besarnya, menguasai
bagian tengah jalan. Etika yang berlaku menuntut
permaisuri sekalipun untuk memberi jalan kepada Perdana
Menteri, namun kereta perempuan tersebut terus maju
tanpa menunjukkan tanda-tanda akan menepi. Jarak
keduanya semakin pendek ... empat puluh meter, lima
belas, sepuluh, lalu tujuh. Kereta itu sudah nyaris
bersentuhan dengan kereta Perdana Menteri namun tetap
melaju dengan kencang. Para pengiring kereta perempuan
mengisyaratkan dengan liar agar kereta Perdana Menteri
menepi, sementara para pengiring Perdana Menteri maju
untuk menghentikan kereta perempuan tersebut Tidak ada

yang mau mengalah, jeritan liar, umpatan, dan caci maki


pun gagal menghentikan keduanya.
Apa kalian tuli? Tidakkah kalian lihat kereta siapa ini?
Pakai mata kalian! Ini kereta Perdana Menteri!
Memangnya siapa majikan kalian?
Kereta perempuan itu terus maju, menceraiberaikan
kerumunan pelayan Perdana Menteri ke tepi jalan.
Berhentilah di sana! Berhenti!
Seorang ajudan Perdana Menteri tiba-tiba bertari maju
sambil memekik, Orang-orang kurang ajar! Dia
menonjok si penarik sapi dan menyambar tali kekangnya
sambil menyeret kereta perempuan itu ke pinggir jalan.
Berani-beraninya kau menyentuhkan tanganmu ke
kereta majikanku?
Para pengawal yang berjaga-jaga di belakang kereta
segera merangsek ke depan dan mengancam. Beraniberaninya kalian menghina kami? Apa maksud semua ini?
Para ajudan Perdana Menteri balas membentak.
Diam! Orang-orang kampungan seperti kalian pasti
tidak tahu bahwa yang sedang kalian hadapi ini adalah
rombongan Perdana Menteri! ... Mundurlah kalian!
Menyingkirlah dari jalan kami, bangsat!
Orang-orang kampungan* kata kalian?
Kalian sama tololnya dengan kucing atau anjing!
Orang-orang kampungan* terlalu bagus untuk kalian!
Kalian ingin berkelahi, ya!
Kalian yang memulai, tapi kami sudah siap!

Empat atau lima orang pengawal Perdana Menteri


mengangkat senjata.
Kalian mau apa?
Perkelahian pun pecah begitu para pengiring Perdana
Menteri menyerang para pengiring kereta perempuan.
Hajar mereka!
Dasar anjing-anjing Rokuhara!
Sumpah serapah membahana. Ranting-ranting dan batubatu dilemparkan ke kereta Perdana Menteri. Gumpalangumpalan debu membubung ke udara, menyelubungi
mereka yang berkelahi mati-matian sehingga kawan dan
lawan mustahil untuk dibedakan lagi. Rombongan
pengiring Perdana Menteri terdiri dari delapan puluh orang,
mencakup sejumlah samurai, sementara rombongan lawan
mereka hanya beranggotakan empat puluh orang. Tetapi,
prajurit-prajurit Rokuhara gagah perkasa dan petarung yang
tangguh, dengan sikap dan tutur bahasa yang kasar.
Para penumpang kedua kereta tersebut sepertinya sudah
sepenuhnya terlupakan. Bukan seorang perempuan yang
ada di dalam kereta perempuan itu melainkan cucu
Kiyomori, putra Shigemori yang berumur sepuluh tahun,
yang hendak pulang dari kursus seruling. Keretanya
terayun-ayun keras ke kanan dan kiri kemudian berputar.
Huru-hara itu pun berhenti, sementara si bocah duduk
gemetar di dalam kereta, ketakutan melihat wajah-wajah
berdarah dan tubuh-tubuh penuh luka yang saling
menyerang. Sebongkah batu melayang menembus kerai,
dan jeritan melengking seorang bocah mendadak terdengar.
Walaupun kedudukan mereka masih unggul, para
pelayan Heik6 terpaksa untuk mundur bersama kereta
mereka yang rusak parah. Tetapi, mereka telah

mengerahkan seluruh tenaga mereka dan bersumpah untuk


membalas dendam.
Hari semakin gelap dan Rokuhara sunyi senyap;
jangkrik-jangkrik di bawah pepohonan pun seolah-olah
tidak berani mengerik. Kabar tentang perkelahian itu telah
sampai di Rokuhara, dan obor-obor terangkat begitu kereta
datang. Berbagai seruan terdengar:
Kaukah itu, Shiro? Apakah Tuan Muda selamat?
Semuanya baik-baik saja, tapi rombongan Perdana
Menteri habis-habisan mempermalukan kita . Jumlah
mereka jauh melampaui kami.
Laporkanlah itu kepada Tuan, tapi bagaimana dengan
Tuan Muda ... tidak ada cedera?
Beliau baik-baik saja, walaupun sedikit menangis.
Cepatlah masuk! Apa kau tidak
khawatirnya orang-orang di rumah?

tahu

betapa

Baru beberapa saat kereta itu berhenti di depan beranda,


Shigemori telah keluar, dengan panik berseru-seru
memanggil putranya.
Shigemori mendengarkan cerita tentang huru-hara itu
dari salah seorang kepala rombongannya. Yang bersalah
bukan pihak mereka melainkan pihak Perdana Menteri, si
kepala rombongan bersikeras. Para ajudan Perdana Menteri
tidak hanya menantang mereka tetapi juga merusak kereta
mereka. Tidak, mereka tentunya akan memberikan jalan
secara suka rela kepada Perdana Menteri jika para
pengiringnya tidak melecehkan mereka. Tidak ada pilihan
selain membela kehormatan Heike .
Ketika si panglima mengakhiri ceritanya, Shigemori,
yang biasanya selalu tenang, meledak. Seandainya saat itu

gelap, aku mengerti jika mereka tidak mengenali anakku,


tapi mustahil jika mereka tidak mengenalinya di tengah
siang hari bolong. Jelas, Perdana Menteri bersalah, dan aku
akan memastikan agar dia mendapatkan balasan yang
setimpal.
Keesokan harinya, pada 5 Juli, Shigemori berangkat ke
Istana bersama pasukan bersenjata lengkap dengan jumlah
yang lebih besar daripada biasanya, bertekad untuk
melabrak Perdana Menteri di mana pun mereka berjumpa.
Sementara itu, Perdana Menteri, yang baru mengetahui
bahwa huru-hara yang disebabkan oleh para ajudannya
tempo hari ternyata melibatkan putra Shigemori, sudah
beberapa hari menghindari Istana. Secara pribadi, Perdana
Menteri menyemburkan kekesalannya kepada para kepala
rombongan dan ajudannya.
Tidak bisakah kalian melihat siapa yang sedang kalian
hadapi sebelum menyerang mereka? Dari semua orang yang
bisa kalian tindas ... cucu Kiyomori! Pandir ... tolol! Dan
akulah yang harus menanggung akibatnya!
Tetapi, walaupun sudah melampiaskan kemarahannya,
Perdana Menteri tetap merasa tidak berdaya untuk
meluruskan masalah ini, hingga salah satu temannya ...
seorang penasihat ... menyarankan agar dia menyerahkan
ajudan-ajudannya yang bersalah kepada Rokuhara untuk
dijadikan jaminan. Si penasihat meyakinkan Perdana
Menteri bahwa tindakan ini bisa dipastikan akan
melunakkan sikap Shigemori. Maka, dua orang kepala
rombongan beserta beberapa orang prajurit dan penarik sapi
diserahkan ke Rokuhara. Beberapa saat kemudian, si
penasihat, yang bertindak sebagai duta Perdana Menteri,
kembali bersama orang-orang yang akan diserahkan itu.
Dia membawa berita bahwa Shigemori menolak untuk
menemuinya.

Aku diberi tahu bahwa Tuan Shigemori tidak mau


menemui siapa pun. Tetapi, kudengar dia mau
membicarakan tentang masalah ini asalkan tidak
denganmu.
Pada 16 Juli, sebelum berangkat untuk menghadiri
sebuah acara yang sudah dijadwalkan di kuil di Shirakawa,
Perdana Menteri memerintahkan kepada anak-anak
buahnya untuk memeriksa keadaan di sekeliling kuil.
Ketika mendapatkan laporan bahwa para samurai Heikt
telah ditempatkan di sepanjang rute yang akan dilaluinya,
Perdana Menteri membatalkan semua rencananya hari itu.
Beberapa bulan kemudian, pada 21 Oktober, pada hari
ketika Perdana Menteri dijadwalkan untuk hadir di
hadapan Dewan Kekaisaran dalam pembahasan terakhir
tentang hak-hak yang akan diterima oleh Kaisar setelah
cukup umur, sebuah pesan tiba di Istana Kekaisaran,
mengatakan bahwa Perdana Menteri telah diserang di
tengah perjalanan menuju Istana sehingga tidak bisa
menghadiri pertemuan. Seisi Istana pun waspada. Jadwal
baru pertemuan Dewan Kekaisaran ditetapkan, dan para
menteri dan pejabat istana yang kebingungan segera
dibubarkan. Masyarakat segera mendengar kabar tentang
serangan yang terjadi di dekat salah satu gerbang Istana itu;
Perdana Menteri berhasil meloloskan diri tanpa menderita
cedera apa pun; sekitar dua ratus orang samurai tiba-tiba
muncul di tepi jalan dan mengepung keretanya; para
penyerang yang tidak dikenal itu menyergap enam orang
pengawal berkuda yang berbaris di depan, menyeret mereka
turun sehingga terluka parah akibat terinjak-injak, dan
memotong ikat rambut mereka sebagai ungkapan
penghinaan. Para anggota rombongan lainnya yang tidak
berhasil melarikan diri, yang jumlahnya tidak seberapa,
menemui nasib serupa.

Orang-orang berusaha mencari penjelasan, dan segera


tersebar kabar bahwa Kiyomori sendirilah yang melakukan
pembalasan kepada Perdana Menteri demi cucu
kesayangannya. Padahal, Kiyomori sesungguhnya tengah
berada di Fukuhara, dan insiden yang melibatkan cucunya
baru terdengar olehnya lama kemudian.
Setelah perhatian masyarakat pada kasus ini berkurang,
kebenaran mencuat dari jalinan kusut desas-desus dan
peyangkalan yang menjadi buah bibir seluruh ibu kota:
Shigemori
sendirilah
yang
telah
memerintahkan
penyerangan kepada Perdana Menteri.
o0odwkzo0o

Bab XLV-PEMBANGUNAN SEBUAH


PELABUHAN
Tahun 1170 adalah tahun banjir dan bencana alam yang
telah merenggut tempat tinggal dan panenan ribuan petani.
Kendati begitu, santer terdengar kabar ini: Tidak ada
seorang pun yang kelaparan di Fukuhara. Lapangan kerja
melimpah ruah di sana Karena itulah para fakir miskin
berbondong-bondong berangkat ke Fukuhara untuk turut
membangun pelabuhan. Sembilan tahun telah berlalu sejak
Kiyomori mengemban tugas luar biasa besar ini, dan
keperkasaan tanggulnya mulai terbukti, mencuat bagaikan
semenanjung di laut. Tetapi, pada bulan September, angin
topan dalam sekejap meluluhlantakkan hasil kerja keras
selama sembilan tahun tersebut.
Kiyomori melamun menatap laut. Impiannya mulai
tampak mengenaskan. Dia sudah menghabiskan sangat
banyak uang dan tenaga, namun belum ada sesuatu pun
yang baru di sana. Karena itu Kiyomori meminta kepada

Gubernur Heike di wilayah utara Kyushu untuk mengirim


beberapa orang insinyur dari Cina kepadanya, para
buangan politik yang baru-baru ini meminta perlindungan
di wilayah selatan Jepang.
Setibanya di Fukuhara, orang-orang asing itu
ditempatkan di Aula Seribu Lentera, yang didirikan setahun
silam di tengah hutan pinus di dekat laut untuk menyambut
kunjungan pertama Mantan Kaisar Goshirakawa.
Kedatangan para insinyur dari Cina itu disambut dengan
gegap gempita karena inilah kali pertama para penduduk
asli dan juga orang-orang Kyoto yang telah lama tinggal di
Fukuhara melihat orang asing.
Para insinyur dari Cina itu menghabiskan hari-hari
mereka di laut atau berlama-lama berdiskusi dengan
seorang mandor, yang menggeleng dengan kecewa. Tidak
ada pengetahuan baru yang mereka dapatkan, lapor si
mandor kepada Kiyomori. Semua yang mungkin dilakukan
telah dicoba. Kendati harapannya telah kandas, Kiyomori
tetap merasakan kepuasan yang mendalam lantaran seluruh
pengetahuan manusia telah dicurahkan ke dalam proyek
pembangunan yang dikerjakan oleh para ahli nan giat ini.
Dia kemudian memerintahkan agar pembangunan
pelabuhan itu dilanjutkan, dan menambahkan kepada
mandornya:
Kita luput memperhitungkan akibat kedatangan badai
musim gugur tempo hari karena baru kali inilah badai besar
terjadi sejak tanggul kita berdiri. Sembilan puluh persen
pembangunan harus dirampungkan di antara musim gugur
dan musim panas tahun depan. Jika kita bisa mencapai
target itu, aku menjamin bahwa kita akan berhasil. Kita
membutuhkan lebih banyak pekerja, lebih banyak bahan
bangunan ... dan uang, tapi kau tidak perlu
mengkhawatirkannya.

Kiyomori tampak percaya diri. Hingga saat ini, dia telah


menguras kekayaan Heik6; bagaimanapun, ada batas bagi
semua hal, termasuk sumber daya itu. Tetapi, kali ini dia
yakin bahwa pemerintah akan bersedia untuk turut
menanggung biaya yang akan dikeluarkannya. Dua tahun
telah berlalu sejak Mantan Kaisar menjanjikan kepadanya
untuk menyumbang dana bagi pembangunan pelabuhan,
dan walaupun belum ada tindakan nyata yang diambil,
Kiyomori yakin bahwa Goshirakawa akan mendukungnya.
Kiyomori sudah sejak lama mengajukan permohonan
resmi untuk dana yang telah dijanjikan itu kepada Mantan
Kaisar, dan Goshirakawa selalu memintanya menunggu
sebentar, sesuatu yang selalu dipatuhinya. Tetapi, sekarang
Kiyomori menyadari bahwa dia sudah tidak bisa menunggu
lagi. Pelabuhan itu harus segera didirikan atau dilupakan
untuk selamanya, sehingga dia pun sekali lagi menemui
Goshirakawa secara pribadi untuk memohon bantuan.
Ketika pertama kali mendengar tentang pertikaian antara
rombongan pengiring Perdana Menteri dengan rombongan
pelayan putra Shigemori, kemarahan Kiyomori tidak
meledak seperti yang sudah diperkirakan; dia hanya
menggeleng dan berkata, Cucu-cucu dan keponakankeponakanku semakin lama semakin sembrono. Cucuku
memang bersalah karena melanggar etika, namun Perdana
Menteri juga masih terlampau belia dan pongah.
Kemudian, dia menambahkan dengan sedih, Kehidupan
terlalu mudah bagi mereka tanpa adanya kesulitan yang
menempa mereka.
Tidak lama kemudian. Mantan Kaisar berkunjung ke
Fukuhara untuk memenuhi undangan Kiyomori.
Kunjungan pertamanya setahun silam bertujuan untuk
melihat kemajuan dalam pembangunan pelabuhan di
Owada dan menghadiri upacara peresmian sebuah kuil

baru. Kali ini, Kiyomori telah mengatur agar Goshirakawa


bertemu dengan kedelapan insinyur dari Cina yang masih
tinggal di Fukuhara. Dua orang wanita muda, putri salah
seorang insinyur Cina, akan menari di hadapan Mantan
Kaisar untuk memikatnya dengan hiburan dari kebudayaan
Sung. Tetapi, maksud Kiyomori yang sesungguhnya adalah
mengingatkan Goshirakawa akan janjinya untuk
memberikan bantuan dana.
Setelah kunjungan Mantan Kaisar usai, Kiyomori
menyadari bahwa tidak ada bantuan yang bisa diharapkan
dari Goshirakawa. Mantan Kaisar telah dengan lihai
menangkis dan berkelit dari permohonan Kiyomori.
Tetapi, Kiyomori tetap menolak untuk menerima
kekalahan. Dia berumur lima puluh tiga tahun sekarang;
kebugaran fisiknya tetap terjaga dan masih tampak muda.
Bagi para rekan sejawatnya di Istana, dia adalah seorang
ambisius yang setiap langkahnya harus diawasi, karena
walaupun telah mendapatkan penolakan, dia kembali
mencurahkan seluruh tenaganya untuk merampungkan
pembangunan pelabuhan.
Pada musim gugur itu, semua tenaga kerja yang biasa
ditemukan di setiap wilayah kekuasaan Heik6 di bagian
barat Jepang, disalurkan ke Fukuhara. Untuk membuktikan
bahwa impian Kiyomori bukan sekadar omong koson,
segala macam bahan bangunan dikumpulkan dalam upaya
terakhir. Siang dan malam, bulan demi bulan, ribuan orang
bekerja tanpa kenal lelah untuk menyelesaikan pekerjaan ini
sebelum kedatangan musim badai tahun depan. Bebatuan
dibersihkan dari semenanjung dan bukit-bukit di sekitarnya,
untuk ditimbun di sepanjang pantai. Rakit yang terbuat dari
rangkaian batang-batang pohon berukuran raksasa
digunakan untuk memuat peti-peti kayu berisi batu dan
ditarik ke laut. Secara bergantian, perahu-perahu

menjatuhkan bongkahan-bongkahan batu besar dan


membiarkannya tenggelam di laut; rakit demi rakit dan
perahu demi perahu.
Pada malam-malam yang panjang selama akhir musim
gugur, perahu-perahu dengan obor-obor terang benderang
berderet di sepanjang garis pantai, menghadirkan kesan
agung dan misterius. Kiyomori memandangnya dengan
puas. Dia telah mengerahkan seluruh kemampuannya; para
dewalah yang akan menentukan segalanya. Ketika
Kiyomori memandang Galaksi Bima Sakti pada suatu
malam, baru terlintas di dalam benaknya bahwa berbulanbulan telah berlalu sejak dia meninggalkan ibu kota, dan dia
pun memikirkan apa yang terjadi di sana. Siapakah di
antara semua putra dan adik lelakinya, pikirnya, yang
memiliki cukup ketangguhan untuk menjadi kepala klan
Heik6? Tsunemori, adiknya, terlalu ringkih; Norimori,
adiknya yang lain, terlalu pendiam. Tokitada, adik iparnya,
kurang memiliki tanggung jawab; dia memang berbakat,
namun terlalu keras kepala. Kendati menjanjikan,
Tadanori, adik tirinya, masih terlalu muda.
Sedangkan putra sulung dan penerusnya, Shigemori ...
Kiyomori tahu bahwa seluruh anggota klan Heike
menghormatinya namun tidak benar-benar mencintainya.
Ada sesuatu yang salah dengannya; di balik permukaan
yang tenang, dia menyembunyikan jiwa yang semenamena. Kiyomori selalu mencurigai tatapan teduh
Shigemori, yang pancarannya kerap kali lebih menunjukkan
kelicikan daripada kebijaksanaan. Shigemori juga telah
berubah. Sebagian besar kesegaran dan kebugaran, yang
selalu ditunjukkannya pada masa mudanya, kini telah
lenyap. Kiyomori bertanya-tanya, apakah putra sulungnya
itu sakit? Dia akan meminta seorang tabib untuk memeriksa
Shigemori sekembalinya dirinya ke Kyoto. Kiyomori juga

sudah mendengar bahwa Shigemori saat ini memiliki


sebuah kapel pribadi, tempatnya menghabiskan sebagian
besar waktunya . Itulah inti masalahnya. Ada terlampau
banyak omong kosong yang terjadi, pikir Kiyomori. Adikadik dan anak-anaknya mulai meniru tingkah kaum
bangsawan: mereka mulai mencintai kemewahan dan
terbiasa dengan beraneka ragam gaya hidup mahal. Mereka
menunjukkan
sikap
berlebih-lebihan
dengan
menagatasnamakan agama, memanjatkan doa dengan
riasan wajah dan alis, dan gigi yang dihitamkan.
Kiyomori tidak keberatan dengan keindahan dan gaya
hidup yang baik. Semua itu memang menggoda. Itu
menjadikan kehidupan mereka lebih berwarna. Sedangkan
agama ... dia sendiri bahkan sudah menjalani penahbisan.
Dia sendiri mengecam orang-orang yang tidak beriman,
tetapi peniruan tingkah kaum bangsawan dan peribadatan
dengan cara berlebihan ... itulah yang membuatnya muak.
Di Rokuhara, dia pernah mencoba untuk menerapkan
aturan-aturan tertentu bagi kaum samurai. Dia memastikan
agar Buddhisme bisa diterima dengan kehormatan yang
selayaknya di dalam kehidupan mereka, tetapi sejak masa
mudanya, dia sudah menolak untuk menerima kepercayaan
terhadap takhayul yang begitu marak di sekitarnya. Hanya
alam semesta yang misteriuslah yang layak untuk dipuja.
Dia akan meminta Tokiko untuk berbicara secara
serius kepada Shigemori mengenai hal ini. Shigemori
akan lebih mendengarkan pendapat ibunya dalam masalah
ini ...
o0odwkzo0o
Akhir musim gugur itu, Kiyomori kembali ke Kyoto, dan
tersebarlah kabar bahwa dia akan tinggal di ibu kota selama
musim dingin.

Pada suatu hari yang tenang, ketika dau-daun mapel


baru mulai memerah, kereta Perdana Menteri melaju ke
kediaman mewah di Jalan Kedelapan Barat, tempat
Kiyomori telah menantikan sang tamu agung itu. Karena
telah kerap mendengar bahwa Kiyomori adalah seorang
pria yang ramah, Perdana Menteri merasa tenang ketika
berangkat. Tetapi, setibanya di Rokuhara, dia mendapati
bahwa kegelisahannya ternyata meledak-ledak.
Saya sangat senang, Tuan, karena Anda baik-baik saja.
Sudah lama saya ingin bertandang ke Fukuhara untuk
melihat kemajuan pembangunan pelabuhan di sana dan
mengagumi rumah peristirahatan Anda, namun karena
pengangkatan resmi Yang Mulia akan dilaksanakan
sebentar lagi, berbagai tugas menghalangi saya untuk
mengunjungi Anda, Tuan.
Justru sebaliknya, jangan sampai hal sepele semacam
itu mengganggu tanggung jawab Anda di Istana. Jika
rentetan upacara pengangkatan resmi telah berakhir, Anda
harus berlibur ke Fukuhara. Dan ini mengingatkan saya
untuk menanyakan apakah tanggal pengangkatan Yang
Mulia telah ditetapkan.
Dewan Kekaisaran sudah memutuskannya, yaitu pada
hari ketiga Tahun Baru.
Itu akan menjadi hari baik bagi kita semua, sambut
Kiyomori.
Perdana Menteri mengernyitkan keningnya. Sejujurnya
... dia mulai menjelaskan. Anda mungkin sudah
mendengar tentang pertikaian serius yang pecah antara
rombongan saya dan rombongan putra Anda pada hari
pertemuan Dewan Kekaisaran.
Hmm ... ya, saya sudah mendengarnya. Huru-hara
besar-besaran, katanya.

Saya tidak hendak menimpakan kesalahan kepada siapa


pun karena mereka semua sama-sama saling menyerang,
namun orang-orang memiliki khayalan mereka sendiri dan
menyebarkan desas-desus bahwa yang sesungguhnya terjadi
adalah pertikaian antara keluarga kita.
Mustahil bagi kita untuk membendung desas-desus
semacam itu. Biarkan saja masyarakat bicara tapi saya
sudah memperingatkan putra saya, Shigemori. Dia sudah
bertingkah sangat kekanak-kanakan.
Justru sebaliknya, Tuan ... dan alasan saya menemui
Anda hari ini adalah untuk meminta maaf. Saya juga layak
Anda peringatkan. Baik putra Anda maupun saya samasama tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
Saya juga sudah mendengar bahwa cucu Anda telah
diberangkatkan ke Ise demi menutupi aib, dan saya
memohon agar Anda membawanya kembali kemari selain
memberikan ampunan kepada saya.
Bukan Anda yang harus meminta maaf, kata
Kiyomori sambil tersenyum penuh arti. Masalah ini
sepertinya hanya menambah beban Anda. Hanya
Shigemori yang berhak mengambil keputusan bagi
putranya. Saya bersikap keras kepadanya karena saya
menyayanginya. Shigemori adalah penerus saya, dan dia
harus belajar tentang cara bersikap yang baik jika
pelayannya terlibat dalam pertikaian. Kali ini dia bersikap
di luar kebiasaan, dan saya menyalahkannya. Seorang tabib
Cina, yang dahulu mengobati saya, telah memeriksa
Shigemori dan menemukan penyakit di perutnya, dan
Shigemori harus beristirahat untuk menyembuhkan diri.
Kendati sulit bagi Anda, saya memohon agar Anda mau
melupakan saja masalah ini.
Ini lebih daripada yang sepantasnya bagi saya, Tuan.

Shigemori akan segera datang, dan saya akan


memanggil anak-anak saya yang lain dan Tokitada agar kita
bisa minum bersama untuk merayakan perdamaian ini.
Pada 3 Januari 1173, Kaisar, yang telah berusia sebelas
tahun, diangkat secara resmi dengan perayaan besarbesaran. Kemudian, pada bulan Oktober, Mantan Kaisar
meminang putri Kiyomori yang ketika itu sudah berusia
tujuh belas tahun, Tokuko, untuk putranya. Maka, Tokuko
pun secara resmi diangkat menjadi permaisuri bagi
Takakura.
Rangkaian peristiwa tersebut mengalir begitu saja
sehingga, mau tidak mau, klan Heik6 berada di puncak
kekuasaan. Nama Kiyomori menjadi buah bibir semua
orang, dan tidak ada yang berani mengatakan hal-hal buruk
tentang Heike. Ketakutan juga menguar di udara.
Meskipun begitu, Kiyomori seolah-olah tidak terkesan
dengan semua itu, bahkan mengecam kedudukan yang
telah ditempati oleh Heik6, karena keinginan sejatinya telah
terpenuhi: pembangunan pelabuhan di Owada sudah
hampir selesai. Akhirnya, pada tahun ini kapal-kapal akan
bisa berlabuh di sana, termasuk kapal-kapal dari negeri
Sung.
o0odwkzo0o

Bab XLVI-PENGASINGAN SEORANG


BIKSU
Siapakah itu? Pada suatu sore yang sejuk di tengah
musim semi, sebuah suara nyaring melantunkan ayat-ayat
suci dan menggangu para pemain musik yang tengah
bekerja

Jangan bergerak! Kau dilarang masuk ... hendak ke


mana dirimu? seorang penjaga menantang.
Adu mulut pun tak terhindarkan.
Seorang pejabat istana yang penasaran meletakkan
kecapinya ketika teriakan nyaring sekali lagi terdengar
menembus dinding.
Mantan Kaisar memberi isyarat kepada salah seorang
pengiringnya. Pergilah dan periksalah apa yang sedang
terjadi.
Orang itu tiba di lorong, tepat ketika seorang biksu gagah
perkasa mendorong seorang penjaga dan berlari menerobos
gerbang menuju bagian dalam istana. Rambut si biksu
terurai di bahunya dan bulu-bulu di kakinya mencuat-cuat
menembus jubah compang-campingnya bagaikan sebatang
kayu pinus besar.
Yang Mulia bisa mendengarku sekarang. Beliau tentu
lelah setelah mendengarkan musik seharian. Sebagai
gantinya, biarkanlah beliau mendengarkan ceramah
Mongaku pada rakyat jelata di jalanan ibu kota! katanya,
mengedarkan pandangan ke halaman dalam yang sempit
dan membuka gulungan yang dipegangnya.
Mongaku dari perbukitan Takao! seru seorang pejabat
istana, mengenali sosok janggal yang sering dilihatnya
berdiri di sudut jalan untuk meminta sumbangan.
Mongaku membacakan sebuah surat permohonan
sokongan untuk pembangunan sebuah kuil baru, namun
surat itu lebih terdengar seperti sebuah pidato kecaman
terhadap penyimpangan-penyimpangan di Istana dan gaya
hidup mewah para bangsawan.

Pastikan agar orang itu ditahan, perintah Mantan


Kaisar. Salah seorang pengiringnya melompati langkan dan
menyergap Mongaku, memuntir lengannya.
Apa kau gila! Tidakkah kau tahu bahwa ini adalah
Istana?
Mongaku tetap berdiri tegak ketika si pengiring Kaisar
menubruknya.
Ya, jawabnya dengan lantang, membiarkan si
pengiring Kaisar memegangnya. Aku sudah menghabiskan
bertahun-tahun di perbukitan Takao, berdoa untuk
pembangunan sebuah kuil tempat pencerahan akan
dihadirkan ke dunia, dan meminta-minta sumbangan dari
rakyat jelata di jalanan ibu kota. Aku datang kemari untuk
memohon sebuah hadiah dari Yang Mulia ... sepeser pun
yang diberikan dengan ikhlas sudah cukup bagiku.
Izinkanlah aku menyampaikan permohonanku.
Untuk apa kau melakukan kekerasan jika maksud dari
kedatanganmu kemari adalah untuk mengajukan
permohonan?
Aku juga punya batasan. Aku sudah mengetuk gerbang
beberapa kali, tapi alunan musik itu meredam semua suara
lain dan para penjaga berpura-pura tidak mendengarku.
Tidak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali menerobos
masuk. Jangan bertingkah macam-macam kepadaku atau
kau akan menanggung akibatnya!
Diamlah, biksu gila!
Mongaku membebaskan salah satu tangannya dan,
dengan sekali gerakan di pergelangan tangannya,
melontarkan lawannya sehingga
jatuh ke tanah. Si pengiring Kaisar cepat-cepat berdiri
dan kembali menerjang Mongaku, yang menghantam

pipinya dengan gulungan surat di tangannya. Ketika


lawannya
sekali
lagi
menyerangnya,
Mongaku
menghantam dadanya. Si pengiring Kaisar terhuyunghuyung mundur dan roboh ke tanah, tidak sanggup bangkit
kembali.
Apakah kalian masih mau melawanku?
Mongaku
memelototi
mengepungnya.

belasan

prajurit

yang

Jangan gentar! Tubruk kakinya! para prajurit berseruseru, menubruk Mongaku.


Mongaku masih memegang gulungan surat, namun
sebilah belati tiba-tiba tampak berkilat di dalam
genggamannya. Mundur; ancamnya; para prajurit
serentak mundur begitu Mongaku dengan lincah melompati
beberapa anak tangga. Seorang prajurit menerjangnya, dan
Mongaku menebaskan belatinya; prajurit itu, dengan lengan
berlumuran darah, terus berpegangan kepada Mongaku
hingga rekan-rekannya datang, meringkus Mongaku, dan
menjebloskannya ke tahanan.
Mongaku diasingkan ke Izu, di wilayah timur Jepang.
Sebelumnya, terdapat silang pendapat di antara para
penasihat Goshirakawa mengenai apakah Mongaku
seharusnya dimaafkan atau tidak, tidak hanya karena dia
pendeta tetapi juga karena rakyat menyukainya dan bahkan
mencintainya.
Mongaku, mengendarai seekor kuda tanpa pelana ke
tempat pengasingannya, tersenyum dan memamerkan gigi
cemerlangnya di tengah janggut lebatnya.
Kudengar teman kita Mongaku telah diasingkan.
Teman kita yang menyenangkan itu?

Apa alasannya? Diasingkan kemana?


Izu. Ke Izu, kata orang-orang.
Orang-orang berkumpul untuk melepas kepergian
Mongaku ketika biksu itu menunggang kudanya melewati
jalan-jalan ibu kota. Di persimpangan jalan, dia berceramah
sesuai ciri khasnya kepada orang-orang itu hingga para
pengawal mendorongnya dengan kesal.
Seorang pria bertubuh kecil berjinjit di sana, memandang
dari antara bahu orang-orang lainnya kepada sosok tinggi
besar yang bergerak menjauh.
Dengan menegakkan kepala dan menyunggingkan
senyum, Mongaku melewati gerbang kota, yang telah
dilewati oleh banyak orang buangan lainnya dengan penuh
duka dan air mata. Tetapi, ada gelak tawa dan bahkan
keceriaan di antara para penonton ketika mereka meleaps
kepergian Mongaku. Begitu Mongaku melewati gerbang
kota, hanya tersisa beberapa orang saja yang mengikuti
arak-arakan itu.
Mongaku tiba-tiba menoleh untuk menyapa pemimpin
pasukan
pengawalnya,
yang
berpura-pura
tidak
mendengarnya. Kemudian, Mongaku mencondongkan
badan ke arah prajurit yang menarik kudanya. Berhentilah.
Aku ingin turun, katanya, menjelaskan bahwa dia harus
membuang hajat. Si prajurit berhenti dan menunggu hingga
atasannya tiba di dekatnya sebelum menuruti permintaan
Mongaku. Mongaku, yang digelandang ke hutan di dekat
situ, segera kembali, tetapi alih-alih menunggangi lagi
kudanya, dia mendaki gundukan tanah dan duduk di atas
sebongkah batu, lalu mengatakan, Ambilkan air untukku.
Aku haus.
Si pemimpin pasukan menggeleng dan mengernyitkan
wajah. Ini tepat seperti yang telah diperkirakannya. Karena

sudah menduga bahwa tahanan ini akan berperilaku


menyusahkan, dia memilih para prajurit terkuat untuk
menyertainya kali ini ... pasukannya pun berjumlah lebih
banyak daripada yang diperlukannya.
Tidak banyak yang bisa kita lakukan. Berikan air
untuknya, katanya. Jangan usik dia dan bujuk dia agar
secepatnya menunggangi kudanya lagi.
Setelah memuaskan dahaganya, Mongaku menoleh lalu
berkata kepada si pemimpin pasukan, Mumpung kita baru
sampai di sini, aku ingin berbicara denganmu. Kemarilah.
Beristirahatlah sejenak.
Apa-apaan ini? Kau adalah seorang tahanan yang
hendak diasingkan dan kami adalah pengawalmu. Apa
maksudmu bertingkah
seperti ini? Kita akan berlayar dari Otsu dan kau bisa
bicara padaku setibanya kita di perahu.
Jika begitu, semuanya akan terlambat
Kita baru saja keluar dari ibu kota dan kau tidak bisa
membuang-buang waktu seperti ini. Naiklah kembali ke
kudamu. Jangan sampai perahu kita menunggu terlalu lama
di Otsu.
Mongaku bergeming. Kau tidak ingin bercakap-cakap
denganku? katanya, tertawa meledek. Ah, panglimaku
yang malang ... Genji terakhir di ibu kota! Waktu aku
mendengar bahwa putra Yorimasa akan mengawalku, aku
senang karena mengira akan mendapatkan teman bicara.
Astaga, ternyata kau sama saja dengan mereka semua!
Dengan wajah merah padam, si pemimpin pasukan
turun dari kudanya. Dia menyerahkan tali kekang kudanya
kepada seorang anak buahnya, lalu menghampiri Mongaku
dengan sikap terkendali.

Biksu yang terhormat, ayahku sering berbicara


tentangmu. Anak-anak buahku sudah diperintahkan untuk
tidak memperlakukanmu seperti tahanan biasa, tapi aku
tidak akan membiarkanmu bertingkah seperti ini karena aku
harus menjalankan tugasku.
Aku tidak ingin menyusahkanmu, tapi tentunya kau
tidak ingin pergi ke pengasingan tanpa mengucapkan
selamat tinggal kepada teman-temanmu?
Tidak ada peraturan yang melarangnya. Setidaknya,
yang bisa kami lakukan adalah menoleh ke arah lain waktu
kau berbicara dengan mereka.
Itu dia! Aku ingin kau melakukan itu. Aku sebenarnya
berhati lunak, dan waktu melihat beberapa orang
mengikutiku ke sini jauh-jauh dari penjara, aku merasa
bahwa aku harus menenangkan mereka dan menyuruh
mereka pulang. Berikanlah sedikit waktu agar aku bisa
berbicara dengan mereka.
Si pemimpin pasukan mengerutkan kening, ragu-ragu.
Yah, baiklah, namun cepatlah, katanya, memerintahkan
kepada para prajuritnya untuk menepi.
Mongaku berdiri dan melambai kepada beberapa sosok
di kejauhan. Para prajurit melihat beberapa orang berlari
mendekat ... empat atau lima orang biksu muda, pasangan
suami istri, dan seorang pria biasa. Para biksu itu adalah
pengikut Mongaku dari Takao, dan Mongaku
menggunakan kesempatan itu untuk menasihati mereka.
Asatori dan istrinya, Yomogi, turut melepas kepergian
Mongaku dengan harapan agar bisa mendengar kata-kata
terakhir darinya. Mereka menatap Mongaku dengan mata
berkaca-kaca.
Aku sudah menduga bahwa kalianlah yang
mengikutiku kemari, kata Mongaku. Bagaimanakah

kabar kalian? Apakah kalian masih tinggal di Jalan


Pedagang Sapi? Semuanya baik-baik saja? Sekarang adalah
saat yang tepat untuk memiliki anak ... apakah kalian sudah
punya anak?
Kami memiliki seorang anak, yang langsung meninggal
dunia setelah dilahirkan, dan tidak ada lagi yang lahir
sesudahnya, kata Asatori. Aku dan Yomogi sudah sangat
lama mengenalmu, tapi kami tidak pernah menyangka
bahwa kita akan berpisah dengan cara seperti ini.
Benar, kita dipertemukan dalam banyak kesempatan
aneh. Setelah Perang Hogen, aku dan Asatori berbagi
makanan dan tempat berteduh di reruntuhan Istana Mata
Air DedaJu. Dan kau, Yomogi, waktu itu kau adalah gadis
cilik pengasuh anak-anak Nyonya Tokiwa, dan kau sering
mendatangi Istana Mata Air DedaJu dengan membawa
embermu. Ya, kalian berdua telah banyak berubah, begitu
pula dunia!
Tentu saja, itu sudah bisa diduga. Tujuh belas tahun
telah berlalu sejak pertemuan pertama kita, kata Yomogi,
menjejalkan sebuah bungkusan kecil ke tangan Mongaku.
Ini obat-obatan, kalau-kalau kau jatuh sakit Ada tujuh
rupa di dalamnya. Yang lainnya adalah nasi
kepal dengan daun kenikir yang baru kumasak tadi pagi.
Bekal untuk kausantap saat menyeberangi danau.
Ternyata kau masih mengingat sayuran kesukaanku!
Aku sangat berterima kasih kepada kalian untuk bekal dan
obat-obatan ini.
Mongaku kembali menoleh kepada Asatori. Dan
pendidikanmu?
Ini kabar lain yang ingin kusampaikan kepadamu ...
dan kau akan senang mendengarnya. Baru-baru ini, aku

mendapatkan izin praktik dan diterima di Akademi


Pengobatan. Tapi, aku sama sekali tidak berminat untuk
bekerja di Istana karena berharap bisa mengabdikan seluruh
ilmuku di Jalan Pedagang Sapi, menolong rakyat miskin.
Mongaku mengangguk setuju. Betapa berlainannya
jalan hidup membawa kita, walaupun kita menginginkan
hal yang sama ... sebuah surga di dunia! Kau memang
terlahir sederhana, dan aku ... penuh gejolak!
Mongaku yang baik, sikapmu benar, dan kau telah
mengusahakan dengan sepenuh jiwamu untuk melawan
begitu banyak kejahatan di dunia ini. Tetap saja, aku tak
mengerti mengapa kau bertingkah seperti itu di Istana
Kloister, tempat mereka menganggapmu sebagai orang
gila.
Sayang sekali, Asatori, tindakan dan hatiku tidak
seiring sejalan. ... Ya, aku sudah menghabiskan bertahuntahun di Air Terjun Nachi, berharap bisa menyucikan diri
dengan airnya, tapi aku baru menyadari bahwa penebusan
dosa bukanlah satu-satunya tujuanku. Aku tidak terlahir
untuk menjadi seorang perenung, karena aku tidak bisa
mengabaikan kejahatan dan kebejatan di dunia ini. Aku
hanya melakukan apa pun yang kuanggap benar, dan aku
ingin mencari cara untuk melenyapkan seluruh kebusukan
dari ibu kota ini ... kebejatan Pemerintahan Kloister dan
arogansi Heik6. Bagaimana caranya, aku tidak bisa
memberi tahu kalian, tetapi, Asatori, kau akan melihatnya
sendiri dalam beberapa tahun ke depan.
Mongaku mendadak terdiam dan menoleh dengan
waspada ke arah pasukan pengawalnya, yang berdiri tidak
jauh dari sana.
Khawatir Mongaku akan mengamuk lagi, Asatori
melirik Yomogi, namun si pemimpin pasukan telah

menoleh ke arah Mongaku dan mendesaknya untuk segera


menyelesaikan urusannya.
Mongaku menunggangi kudanya. Baiklah, katanya
sebelum mengucapkan selamat tinggal kepada Asatori dan
Yomogi.
Seorang pria muda yang setengah tersembunyi di balik
semak-semak di dekat gundukan tanah, menantikan
kesempatan untuk berbicara dengan Mongaku, keluar tepat
ketika iring-iringan itu berangkat Dia berdiri diam, menatap
kepergian Mongaku. Ketika Mongaku menoleh sekali lagi,
keduanya menunjukkan tanda-tanda saling mengenali.
Kemudian, Mongaku kembali menoleh ke depan dengan
santai dan memandang sinar matahari yang menerobos
sela-sela dedaunan.
Ketika hendak beranjak dari sana, Yomogi dan Asatori
mendengar seseorang memanggil nama mereka.
Oh? Kapankah kita terakhir kali bertemu?
Mungkin kau ingat, kau pernah bertemu denganku di
Bukit Funoka beberapa tahun silam ... di pemakaman,
ketika nyonyaku Toji jatuh sakit Kau sangat baik kepada
beliau.
Ya, tentu saja, kau merawat wanita itu bersama para
geisha.
Ya ... dan nyonyaku pernah mengunjungimu untuk
mengucapkan terima kasih di rumahmu di Jalan Pedagang
Sapi.
Sekarang aku ingat . Kau hendak pergi ke mana
sekarang?
Aku datang kemari untuk mengucapkan selamat jalan
kepada tahanan itu.

Kau juga mengenalnya?


Sudah sejak lama. Dia memberiku nasihat ketika aku
paling membutuhkannya dan aku selalu bersyukur
karenanya. Begitulah, kata pria itu. Karena masih ingin
bercakap-cakap dengan Asatori dan Yomogi, dia
melanjutkan, Jika bukan karena dia, aku tentu sudah mati
sekarang, begitu pula majikan istrimu ini. Dua nyawa
terselamatkan pada hari ketika aku bertemu dengannya.
Yomogi terperanjat, lalu menoleh kepada pria asing itu,
yang sedang menatap tajam kepadanya. Pria itu dengan
malu menurunkan pandangannya dan, sesudah memastikan
bahwa tidak ada orang lain di sana, berbisik:
Yomogi ... kau dan aku sama-sama mengabdi kepada
Tuan Genji Yoshitomo sekitar dua puluh tahun yang lalu.
Apakah kau masih ingat?
Ya, Tuan Yoshitomo ...
Tuan Yoshitomo adalah kekasih nyonyamu, kau tahu.
Aku selalu menangis setiap kali memikirkan masa lalu
...
Aku adalah pelayan kesayangan Tuan Yoshitomo
ketika itu. Kau pasti masih ingat bahwa akulah yang
mencoba membalas dendam untuk almarhum tuanku ketika
nyonyamu bersedia menjadi simpanan Kiyomori. Akulah
yang meninggalkan pesan di kebun rumah peristirahatan di
Mibu.
Astaga, kau pasti Konno-maru!
Benar.
Yomogi membelalakkan mata dengan takjub. Dia
gemetar ketakutan sehingga harus berpegangan kepada
Asatori.

Jangan takut, kata Konno-maru, karena aku sudah


lama melupakan semua rencana jahatku. Aku menjadi
pelayan di tempat hiburan dan mengawasi Nyonya Tokiwa
dari jarak jauh.
Yomogi tiba-tiba merasa malu akibat ketakutannya.
Konno-maru, apakah kau masih suka menjumpai
nyonyaku? tanyanya.
Ya, selama hampir sepuluh tahun, aku mengendapendap ke kebun dan menemui beliau. Akulah satu-satunya
orang yang mengenal beliau ketika beliau masih bahagia,
dan beliau selalu senang saat berjumpa denganku.
Oh, apa yang sudah kulakukan! kata Yomogi dengan
putus asa. Sekali pun aku belum pernah mengunjungi
beliau sejak aku menikah. Bagaimanakah keadaan beliau
sekarang?
Beliau sakit sejak hampir setahun terakhir. Sakit?
Beliau hanya bisa berbaring selama enam bulan
terakhir. Aku tidak pernah menemui beliau sejak saat itu,
walaupun aku masih mengendap-endap ke kebunnya.
Aku tidak pernah menyangka bahwa beliau sakit
Jika bukan
hari ini. Tapi,
mendadak, tapi
Bisakah kau
Tokiwa?

karena Mongaku, aku tidak akan kemari


aku ingin berbicara denganmu. Ini agak
... Konno-maru menoleh kepada Asatori.
menyampaikan pesanku untuk Nyonya

Asatori bertanya
memintaku?

dengan

heran.

Mengapa

kau

Kau seorang tabib dan Yomogi pernah menjadi dayang


Nyonya Tokiwa, jadi kalian tidak akan kesulitan menemui

beliau. Kuharap kau mau memberikan sesuatu dariku untuk


beliau.
Asatori menatap Yomogi dengan ragu-ragu, tidak
mampu menjawab. Namun Yomogi, yang senang karena
mendapatkan alasan untuk menemui mantan majikannya,
langsung setuju.
Tentu saja kami mau, dan suamiku pasti akan bisa
mencari penyebab penyakit beliau. Beliau pasti akan senang
jika bisa bertemu dengan kami. Apakah yang akan
kautitipkan kepada kami?
Aku tidak membawanya sekarang, tapi aku akan
membawanya ke rumah kalian besok malam. Ingatlah
bahwa semua ini harus dirahasiakan.
Tentu saja, kami tidak akan mengatakannya kepada
siapa pun.
Aku tidak tahu apakah kabar ini bisa dipercaya atau
tidak, tapi aku mendengar bahwa mata-mata Heike ada di
mana-mana, memasang mata dan telinga.
Tapi, kau tidak meminta kami untuk melakukan sesuatu
yang sulit bukan?
Sama sekali tidak. Kalian hanya perlu memastikan agar
sebuah bungkusan yang sangat kecil sampai di tangan
Nyonya Tokiwa. Jangan sampai benda itu jatuh ke tangan
Heik6, karena beliaulah yang akan menanggung akibatnya.
Ini harus benar-benar dirahasiakan. Aku akan datang ke
Jalan Pedagang Sapi besok malam, Konno-maru
mengakhiri pembicaraan dan meninggalkan mereka.
Konno-maru menepati janjinya untuk mendatangi
rumah Asatori pada malam berikutnya. Setelah mengulangi
peringatannya tentang perlunya menjaga rahasia, dia
menyerahkan sebuah bungkusan kecil dan pergi dari sana.

Apakah isinya menurutmu? tanya Asatori dengan


gelisah.
Hanya surat, aku yakin, Yomogi menenangkan
suaminya, tidak sabar menantikan kunjungan kepada
mantan majikannya. Bukan hanya satu melainkan
setumpuk. Jadi, kapankah kau bisa pergi bersamaku ke
rumah Nyonya Tokiwa?
Kapan pun. Apakah kau tidak takut dicurigai?
Mengapa mereka harus mencurigai kita?
Orang-orang masih ingat bahwa Nyonya Tokiwa
pernah memiliki keterkaitan dengan Genji, dan jika kita
pergi ...
Lagi pula, aku hanyalah seorang pelayan dan tetap
mendampingi nyonyaku bahkan setelah beliau menikah
lagi. Aku tidak melihat alasan mengapa orang-orang akan
mencurigaiku. Lagi pula, kau belum pernah memohon doa
dan restu beliau, dan sudah saatnya kau melakukan itu,
karena sekarang kita sudah menikah. Tidakkah kau
sependapat denganku?
o0odwkzo0o

Bab XLVII-GENJI AKAN BANGKIT


KEMBALI
Beberapa hari kemudian, Asatori memakai kimono
bersih yang telah dipersiapkan oleh Yomogi untuknya, dan
Yomogi sendiri mengenakan kimono terbaiknya. Mereka
berdua pun berangkat ke rumah mewah di Jalan Pertama,
tempat tinggal Tokiwa.

Kini, Tokiwa telah melewati usia tiga puluhan. Dia


memiliki satu anak dari pernikahan keduanya dengan
seorang bangsawan tua dari klan Fujiwara, namun kareka
kesehatannya yang rentan, dia mengucilkan diri di salah
satu sayap rumah besar itu. Hanya ada beberapa tamu yang
pernah menjenguknya, dan kesunyian kehidupannya hanya
sesekali disela oleh kedatangan para pendeta pada hari-hari
besar tertentu.
Konno-maru
seoranglah
yang
secara
teratur
mengunjunginya, dengan diam-diam, untuk membawakan
kabar tentang ketiga putranya. Dan, setiap kali bertemu
dengan Tokiwa, Konno-maru selalu berceloteh tentang
masa depan dengan berapi-api:
Heikt tidak akan pernah bermimpi tentang apa yang
terjadi di timur, tapi kejayaan mereka tidak akan
berlangsung selamanya. Mereka tengah dimabuk kekuasaan
sehingga tidak menyadari bahwa pada suatu hari nanti,
Genji akan membalas mereka. Yoritomo di Izu
sudah dewasa, dan putra bungsu Anda, Ushiwaka, yang
saat ini ada di Gunung Kurama, juga akan segera dewasa.
Tokiwa, yang belum melupakan kengerian perang,
bergidik setiap kali Konno-maru membicarakan hal itu. Dia
juga menyangsikan bahwa beberapa orang Genji yang
tersisa akan bisa menaklukkan Heik6, dan dia telah
berulang kali memohon kepada Konno-maru, Jangan
biarkan anakku tersedot oleh pusaran tanpa ujung itu,
Konno-maru. Jangan pernah berbicara tentang hal itu
kepada mereka.
Tokiwa teramat merindukan Ushiwaka. Anak itu sudah
berumur lima belas tahun sekarang ... ceria dan keras
kepala, kata Konno-maru, dan dari ketiga anak Tokiwa,
hanya dialah yang terus bersikeras meminta kepada Konno-

maru untuk dipertemukan dengan ibunya. Dia bahkan


mengancam untuk berangkat sendiri menemui ibunya.
Tokiwa sendiri benar-benar tergoda untuk menyetujui
kedatangan putranya ketika Konno-maru mengatakan:
Nyonya, saya memohon kepada Anda untuk menunggu
di dekat semak-semak di dekat sungai, agar dia bisa melihat
Anda dari kejauhan.
Tetapi, Tokiwa mengetahui besarnya risiko yang akan
ditanggung oleh Ushiwaka dan, terlebih lagi, dia yakin
bahwa setelah merasakan kebebasan, Ushiwaka tidak akan
mau lagi kembali ke biaranya di Gunung Kurama. Tokiwa
akhirnya menolak untuk bertemu dengan Konno-maru lagi
dan menyuruh dayangnya menyampaikan pesan kepada
pria itu bahwa dia sakit.
Semua pintu dan jendela kamar Tokiwa tertutup kecuali
yang menghadap ke halaman dalam. Tokiwa sedang larut
dalam kegiatan sehari-harinya, yaitu menyalin ayat-ayat
suci, ketika dayangnya menghampiri dan mengatakan
bahwa dua orang tamu telah datang untuk menemuinya.
Keterkejutan Tokiwa berubah menjadi kegembiraan ketika
dia mendengar siapa mereka, dan dia buru-buru
meninggalkan meja tulisnya untuk menyambut mereka.
Yomogi, melupakan salam hormat yang telah dengan
tekun dihafalnya, langsung berurai air mata begitu melihat
mantan majikannya.
Baik sekali dirimu karena mau menjengukku, Yomogi!
kata Tokiwa. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak
pertemuan terakhir kita. Dan kau banyak berubah setelah
menikah!
Sementara kedua wanita itu saling menyapa dengan
hangat, Asatori mengamati penampilan Tokiwa dengan
mata tabib yang sudah terlatih. Dia tidak melihat sesuatu

pun yang salah dengannya. Nama Konno-maru pun


akhirnya disebut dalam pembicaraan mereka.
Konno-maru memberi tahu kami bahwa Nyonya sakit,
tapi untunglah suami saya tabib dan bersedia untuk
menemani saya kemari hari ini. Ini Asatori, kata Yomogi,
memperkenalkan suaminya untuk pertama kalinya. Dengan
sangat bangga, dia menjelaskan bahwa Asatori pernah
menjadi pemain musik di Istana, dan dia meninggalkan
pekerjaannya itu untuk mempelajari ilmu pengobatan.
Asatori duduk di hadapan istrinya yang cerewet dan
mendengarkan sambil sesekali mengangguk. Kemudian,
Tokiwa menoleh ke arahnya dan menyapanya dengan
senyum terulas.
Maafkan aku karena sudah membuat kalian cemas.
Sejujurnya, aku sehat-sehat saja. Aku berbohong tentang
penyakitku karena khawatir orang-orang akan bergunjing,
dan kupikir, jika Konno-maru mengatakan bahwa aku sakit,
Ushiwaka akan mengurungkan niatnya untuk datang
kemari. Jika Ushiwaka melarikan diri dari Gunung Ku
rama dan datang kemari, aku tahu bahwa kehidupannya
akan berakhir.
Beberapa titik air mata mengalir di pipi Tokiwa. Dengan
lembut, Yomogi mengeluarkan bungkusan kecil yang
dibawanya dan meletakkannya di depan Tokiwa.
Konno-maru menitipkan ini untuk Anda, Nyonya.
Tokiwa memandang bungkusan kecil itu, mendadak
disergap oleh kerinduan yang mendalam. Dia cepat-cepat
membukanya. Benda
itu pasti dikirim oleh Ushiwaka, firasatnya berkata ...
Ushiwaka, yang cerita-cerita tentang kenakalannya sudah
sering didengar oleh Tokiwa. Ushiwaka adalah seorang

anak aktif dan jenaka, yang selalu melakukan kenakalan di


biara-biara Gunung Kurama dan memancing kekesalan
semua biksu. Kepala biara, yang semula diberi tanggung
jawab untuk membesarkannya, akhirnya angkat tangan dan
menyerahkannya kepada kepala biara yang lain, yang juga
kewalahan menghadapinya. Laporan tahunan mengenai
perilaku Ushiwaka yang didapatkan oleh Kiyomori begitu
meresahkan sehingga dia merasa perlu mengirim seseorang
dari Rokuhara untuk menguraikan kemelut di sekitar bocah
itu. Akhirnya, Tokiwa mendengar bahwa pihak yang
berwenang telah memperketat pengawasan mereka kepada
Ushiwaka.
Tahun depan, Ushiwaka akan berusia enam belas tahun,
cukup besar untuk menjalani penahbisan, pikir Tokiwa. Dia
juga cukup besar untuk melampiaskan rasa duka akibat
kematian ayahnya dan nasib buruk ibunya dengan
melakukan tindakan melanggar hukum. Satu-satunya doa
yang selalu dipanjatkan oleh Tokiwa adalah agar Ushiwaka
berhenti memberontak terhadap penahannya, tunduk pada
takdirnya, dan menjalani hari-harinya dalam kedamaian.
Dari bungkusan yang dibukanya, Tokiwa mengeluarkan
sehelai kain berwarna cemerlang yang dirobek dari bagian
lengan kimono pendeta muda. Sepucuk surat tersembunyi
di dalamnya.
Ibuku, begitulah surat itu dimulai.
Apakah Ibu sudah sembuh? Setelah Konno-maru
mengabariku bahwa Ibu sakit, aku selalu memimpikan Ibu
setiap malam. Dari puncak gunung ini, aku bisa melihat
cahaya-cahaya lentera di ibu kota, dan aku kerap
memandang ke arah rumah Ibu sambil berdoa agar Ibu
segera pulih kembali.

Mereka mengatakan bahwa aku harus menjalani


penahbisan tahun ini, tapi aku tidak mau menjadi seperti
biksu-biksu itu.
Kain ini kurobek dari lengan kimono yang kupakai
waktu aku berumur tujuh tahun dan pertama kali ambil
bagian dalam upacara sakral itu. Tentu saja, aku sudah
banyak berubah sejak itu.
Festival Besar Gunung Kurama akan berlangsung pada
20 Juni Aku akan ambil bagian dalam upacara sakral di
situ, tapi aku tidak bisa memberi tahu Ibu tentang apa yang
akan terjadi padaku tahun depan.
Ibuku, kirimkanlah kepadaku pernak-pernik yang pernah
Ibu pakai melalui Konno-maru.
Udara masih dingin wataupun musim semi telah datang,
jadi Ibu harus minum obat secara teratur agar bisa lekas
pulih.
Putra Ibu, Ushiwaka
Air mata Tokiwa menetes ke secarik kertas yang
dipegangnya. Kemudian, dia menyodorkan surat itu kepada
Yomogi dan mengatakan, Yomogi ... bacalah ini. Tokiwa
pun menangis terisak-isak seraya menciumi robekan lengan
kimono yang dikirim oleh Ushiwaka.
Yomogi dan Asatori saling melempar tatapan iba dan
bersiap-siap untuk mengakhiri kunjungan yang hanya
menghadirkan kesedihan kepada Tokiwa ini, namun
Tokiwa mendesak mereka untuk tetap tinggal hingga
lentera-lentera dinyalakan.
Ketika pasangan itu akhirnya berpamitan, Tokiwa
mengeluarkan sebuah kotak mungil dan mengatakan. Ada
sepucuk surat untuk Ushiwaka di dalamnya. Maukah kalian
mengusahakan agar dia menerimanya?

Kotak itu, yang berukuran selebar telapak tangan,


memuat sebuah patung Kannon dari perak dan sepucuk
surat.
Setibanya di rumah, Asatori dan Yomogi meletakkan
patung itu di atas meja.
Bagaimana kita bisa menyampaikan benda ini kepada
Ushiwaka tanpa terlihat oleh siapa pun? Ada sangat banyak
orang yang akan melihat kita di Gunung Kurama. Kita bisa
terjerat masalah jika petugas dari Rokuhara tahu, kata
Asatori.
Yomogi menghela napas panjang. Entah apa alasan
Nyonya Tokiwa berbuat seperti ini.
Apa maksudmu?
Maksudku adalah ... jika nyonyaku begitu
mengkhawatirkan Ushiwaka, mengapa beliau tidak mau
menemui Konno-maru?
Asatori mendekatkan diri kepada istrinya. Ini tidak
sesederhana yang kaupikirkan. Pendapat Konno-maru
tentang kesetiaan jauh berbeda dari pendapat Nyonya
Tokiwa.
Dalam hal apa?
Lebih baik aku tidak memberitahumu.
Kau tidak mau memberitahuku ... istrimu sendiri?
Nah, Yomogi, kau terlalu mudah tersinggung.
Lagi pula, beliau adalah nyonyaku tersayang, dan
dahulu, akulah yang bertugas menggendong Ushiwaka dan
mengasuhnya, meminta-minta susu untuk diberikan
kepadanya. Aku sudah melakukan banyak hal untuk
Ushiwaka, dan tidak banyak yang bisa kulakukan untuknya
sekarang. Wajar kalau aku kesal, bukan?

Yomogi,
aku
tidak
bermaksud
menyinggung
perasaanmu. Tetapi, keinginan Konno-maru terhadap
Ushiwaka berlawanan dengan keinginan Nyonya Tokiwa.
Berlawanan?
Ya, itulah inti masalahnya. Kita harus berpikir dengan
cermat sebelum mengambil tindakan apa pun.
Baiklah, tapi apa maksudmu dengan apa pun? Apa
maksudmu dengan berlawanani Kau harus terlebih dahulu
menjelaskannya kepadaku.
Asatori menurunkan nada bicaranya sambil dengan
resah mengintip ke luar jendela. Hati-hati, Yomogi, kau
memang agak cerewet, jadi kau harus sangat berhati-hati
agar tidak ada yang mendengar tentang ini.
Ya, aku
masalahnya!

memang

cerewet,

memangnya

apa

Sudahlah, Yomogi, jangan marah-marah begitu!


Pertama-tama, dengarlah apa yang akan kusampaikan
kepadamu. Mengapa
menurutmu Nyonya Tokiwa bersedia menjalani seluruh
aib yang ditimpakan kepadanya?
Karena pesan terakhir Tuan Yoshitomo kepada beliau,
tentu saja. Lagi pula. Tuan Yoshitomo mencintai beliau dan
mereka berdua sudah memiliki tiga orang anak . Dan,
walaupun hatinya hancur dan anak-anaknya direnggut
darinya, nyonyaku selalu memikirkan mereka. Aku pun
akan melakukan hal yang sama seandainya aku menjadi
beliau.
Bagi Konno-maru, masalahnya berbeda. Dia adalah
seorang samurai dan tidak pernah melupakannya.
Kesetiaan, dalam pemahamannya, berarti dia harus

memastikan bahwa salah satu putra Tuan Yoshitomo akan


mengikuti jejak ayahnya menjadi kepala klan Genji.
Dengan kata lain, pada suatu hari nanti, Genji harus cukup
kuat untuk menggulingkan Heik6.
Itu pasti akan membahagiakan nyonyaku.
Ah, Yomogi, apakah kau sudah melupakan seperti apa
keadaan di sini selama perang Hogen dan Heiji? Sekarang
pun kau bahkan masih sering menceritakan tentang masamasa berat yang kaulalui bersama Nyonya Tokiwa dan
anak-anaknya. Sudah lupakah kau pada semua kejadian
menyedihkan yang menimpamu? Tentu saja, kau pasti
merasa bahwa Ushiwaka adalah darah dagingmu sendiri.
Mengapa kau berkata begitu?
Seandainya kau menjadi Nyonya Tokiwa, yang
berusaha melarikan diri dari ibu kota bersama anak-anak
yang masih kecil, kau tidak akan menginginkan perang
pecah lagi.
Tapi, pernahkah aku mengatakan
menginginkan perang pecah lagi?

bahwa

aku

Itu sama halnya dengan percaya bahwa Konno-maru


benar.
Apakah kau mengatakan bahwa Konno-maru jahat
karena berpikir begitu?
Tidak. Dia beranggapan bahwa ini adalah tugasnya
sebagai seorang samurai, tapi aku yakin bahwa Nyonya
Tokiwa benar karena tidak menginginkan anak-anaknya
ambil bagian dalam pertumpahan
darah dan berharap mereka menjalani kehidupan yang
damai sebagai biksu.

Baiklah, kalau begitu, apakah yang akan kita lakukan


dengan patung ini?
Akan jauh lebih sulit untuk memberikan patung ini
kepadanya setelah Rokuhara menempatkan prajurit di
sekitar Gunung Kurama. Tetap saja, aku tidak akan tenang
sebelum berusaha menemui Ushiwaka untuk menyerahkan
patung dan surat dari ibunya. Salah juga jika aku tidak
mengatakan kepadanya tentang perasaan ibunya dan
mengingatkannya tentang kewajibannya kepada ibunya.
Sungguh berat tugas yang harus kita emban ini!
Itulah tepatnya yang ada di benakku waktu kita sedang
berbicara dengan Nyonya Tokiwa. Bertemu dengan
Ushiwaka saja sudah sulit apalagi membuatnya memahami
keinginan ibunya.
Sulit? Menurutku, kau hanya membesar-besarkannya.
Tidak, kau salah tentang ini, Yomogi. Ini lebih rumit
daripada yang kaukira, dan jika kita salah langkah, perang
bisa-bisa kembali pecah, kata Asatori sambil menghela
napas sekaligus berdoa. Kemudian, dia mengatakan kepada
Yomogi tentang cara yang akan digunakannya untuk
mencapai Gunung Kurama.
Yomogi, yang tidak pernah mengira bahwa suaminya
bisa bertindak seberani itu, dengan takjub mendengarkan
rencana Asatori.
Sebaiknya aku pergi seorang diri, Yomogi. Itu lebih
baik.
Apakah kau yakin akan keselamatanmu jika kau pergi
sendiri?
Aku tidak yakin tentang hal itu, tapi aku sudah
meneguhkan hatiku.

Asatori mempersiapkan diri untuk mengemban tugasnya


seolah-olah dirinya hendak melakukan sebuah perjalanan
panjang. Setelah menyiapkan bekal berupa makanan kering
dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, dia mempersenjatai diri
dengan sebilah belati dan menyimpan seruling
kesayangannya, yang sudah bertahun-tahun tidak
dimainkannya, di balik obi yang mengikat celananya.
Kemudian, pada suatu malam di bulan Mei, dia berangkat
ke Gunung Kurama. Alih-alih melewati rute biasa, yang
akan membawanya ke kaki gunung saat fajar merekah, dia
memilih jalan lain yang jarang digunakan dan lebih sulit
ditembus untuk menghindari perjumpaan dengan orang
lain. Dia mengawali perjalanannya dengan melintasi
padang rumput gersang yang gelap dan sunyi. Musim hujan
hampir tiba sehingga tidak tampak bintang-bintang yang
bisa dijadikan panduan. Ketika memasuki wilayah berbukitbukit dengan gunung menjulang tinggi di hadapannya,
Asatori teringat pada cerita tentang para pencoleng yang
pernah merajai daerah itu. Dia mendadak ketakutan dan
memutuskan untuk beristirahat di rumah pertama yang
ditemuinya. Seberkas cahaya tiba-tiba terlihat di antara
pucuk-pucuk ilalang; Asatori mendesah lega ketika melihat
sebuah gubuk reyot di sebentang tanah terbuka. Deretan
tanaman gandum mengelilingi gubuk itu. Keceriaan musim
semi seolah-olah memecahkan kesunyian. Kemudian,
Asatori mendengar suara-suara.
Seekor kuda? Seekor kuda sudah cukup untuk
mengirimkan pesan.
Ya, benar, seekor kuda! Tidak hanya praktis ... tetapi
juga bisa dikendarai!
Kau semakin lembek saja, ya, setelah bersembunyi
terlalu lama?
Begitulah. Gara-gara tidak punya kegiatan.

Tapi, kita perlu uang untuk mendapatkan kuda.


Tidak ada yang perlu dikhawatirkan di sana. Kau akan
bisa menemukan berbagai macam kuda di istal-istal terbaik
di ibu kota.
Tidak, bukan itu.
Asap mengepul dari sebuah jendela kecil di salah satu sisi
dinding yang kasar. Asatori berjinjit dan mengintip melalui
lubang angin; tujuh atau delapan orang pemburu, pembuat
arang, dan penebang kayu tengah berkumpul sambil
minum-minum di sekeliling tungku yang menyala. Asatori
terkejut ketika melihat penampilan mereka dan langsung
menjauh dari jendela. Mereka bukan orang gunung biasa!
Apa salahnya dengan itu? tanya salah seorang dari
mereka sambil menyambar guci sake dan menuangkan
isinya untuk teman yang ditanyainya.
Aku tidak perlu menjelaskannya, jika bisa membeli
kuda, sebaiknya kita memilih kuda pengangkut barang.
Kuda pengangkut barang tidak akan berguna.
Ya, tapi kuda yang bagus bisa dipastikan akan menarik
perhatian dan memancing kecurigaan orang-orang kepada
kita.
Betul ... itu betul. Sudahlah. Tidak ada gunanya
membaha sesuatu yang mustahil.
Bagaimana kalau kita membahas lagu-lagu yang akan
kita nyanyikan sambil menunggang kuda?
Itu dia! Kalau kau sudah muak dengan wilayah timur,
menyanyilah!
Dua orang yang semula terlibat dalam perdebatan panas
pun bergabung dengan yang lainnya, bertepuk tangan
mengiringi sebuah lagu. Lagu yang gaduh itu sulit dipahami

oleh Asatori. Mereka menyanyikannya berulang-ulang, dan


jiwa pemain musik di dalam diri Asatori mengenali irama
yang mengalun dari tanah, senandung padang rumput, deru
angin dini hari, dan bintang-bintang di langit Tidak ada
kemiripan antara lagu itu dan musik yang didengarnya di
Istana, namun Asatori menikmatinya.
Segumpal asap tiba-tiba mengepul dari jendela tempat
Asatori mengintip; dia tercekik karena terbantuk-batuk
beberapa kali, lalu segera bersembunyi.
Apa itu?
Keheningan menyusul. Asatori, berlari terbirit-birit
menyongsong kegelapan malam. Begitu mendengar langkah
kaki Asatori, kepanikan melanda orang-orang di dalam
gubuk itu. Sebuah teriakan nyaring terdengar. Lebih banyak
teriakan dan langkah kaki memburu Asatori. Anak-anak
panah mulai berdesingan di sekitarnya dan melesat
melewati telinganya. Asatori membiarkan kakinya
membawanya kabur dari sana.
Dua hari kemudian, Asatori duduk di atas sebuah tebing
batu, menyantap bekal pertamanya ... adonan fermentasi
kacang-kacangan dan sayuran kering, dan sejumput nasi
kering yang dibasahi dengan air dari sungai di dekatnya.
Gumpalan-gumpalan awan tampak indah senja itu, dan
ikan-ikan berkecipakan di permukaan air. Sambil
memikirkan di mana dirinya tengah berada, Asatori
menghampiri tepi tebing dan mengamati wilayah di
sekelilingnya. Ke mana pun matanya memandang, hanya
puncak gunung yang dilihatnya.
Dia tidur nyenyak sepanjang siang itu di hutan dan
merasa lebih segar setelah terjaga, walaupun tetap belum
bisa menduga di mana dirinya berada. Sehari sebelumnya,
dia mendaki perbukitan, tempatnya sesekali melihat gubuk-

gubuk penebang kayu atau pembuat arang. Dari tempat


persembunyiannya, Asatori mengamati para penebang kayu
dan pembuat arang itu, yang di matanya mirip dengan
orang-orang yang dilihatnya semalam sebelumnya, bekerja
keras. Dia pun terkejut ketika melihat busur-busur panah
dan tombak-tombak menggantung di dinding gubuk
mereka.
Asatori mengedarkan pandangan. Seluruh pemandangan
di depannya seolah-olah mengambang di tengah genangan
biru tua. Bintang-bintang segera bermunculan di langit, dan
di lembah di tebing seberang, tampaklah tiga berkas cahaya
terang. Mendadak terlintas di benak Asatori bahwa dia
sudah sangat dekat dengan Gunung Kurama, dan cahayacahaya itu berasal dari salah satu biara. Saat itu juga, dia
memutuskan untuk mencapai Gunung Kurama sebelum
pagi tiba dan bersembunyi di sana hingga mendapatkan
kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Ushiwaka.
Jalan setapak yang dilewatinya berliku-liku dan
terkadang lenyap begitu saja, namun tidak seperti biasanya,
bintang-bintang bersinar sangat cemerlang untuk ukuran
bulan Mei. Bulan meninggi ketika Asatori berjalan
melintasi lembah. Akhirnya, dia tiba di tepi selarik sungai
dan berjalan di atas sebatang pohon tua yang dijadikan
jembatan di sana. Asatori tengah meraba-raba tanah di
depannya untuk mencari jejak ketika tiba-tiba dikejutkan
oleh suara-suara dalam dan teredam. Dia menoleh dan
melihat beberapa orang menyeberangi sungai. Mereka
mengenakan pakaian hitam yang pas di badan dan
membawa pedang panjang. Wajah mereka tertutup topeng.
Mereka melintas di dekat tempat Asatori berdiri dan lenyap
begitu saja bagaikan desiran angin malam.
o0odwkzo0o

Bab XLVIII-IBLIS-IBLIS GUNUNG


KURAMA
Belasan atau lebih banyak penginapan dan rumah
singgah kecil berdiri di sepanjang jalan menuju Gunung
Kurama dan kedelapan belas biaranya. Seorang pengelana
turun dari kudanya di depan sebuah rumah singgah dan
menambatkan kudanya ke sebatang tiang sambil
memandang pinggiran atap rumah itu.
Bunga wistaria itu indah sekali! serunya. Apakah kau
baik-baik saja? Aku kembali lagi tahun ini, seperti yang
kaulihat sendiri! Beberapa buah bangku dan meja
diletakkan di salah satu sisi rumah, tempat beberapa orang
biksu sedang mengobrol dan tertawa-tawa dengan gaduh.
Seorang pria tua, si induk semang, meninggalkan kelompok
itu dan berlari menyongsong tamunya.
Selamat siang, Tuan! Dari timur laut lagi, Tuan? Anda
tampak segar bugar! si induk semang menyapa pendatang
baru itu dengan hangat dan meminta agar air panas dan
bantal disiapkan untuknya.
Tidak, Pak Tua, kau sama sekali tidak berubah. Aku
jarang melakukan perjalanan ziarah seperti ini. Kapankah
terakhir kalinya aku kemari?
Tahun lalu ... menjelang pertengahan musim panas,
seingat saya, dan hujan badai besar sedang melanda waktu
itu.
Ya, benar! Petir menyambar pohon cedar besar hingga
tumbang dan nyaris menimpaku! Aku ingat sekarang. Aku
tidak akan pernah melupakan betapa ketakutannya aku
waktu memasuki rumahmu.

Lalu, bagaimana kabar teman Anda, Kowaka, yang


bersama Anda waktu itu? Anda tidak melakukan perjalanan
seorang diri tahun ini, bukan?
Tidak, Kowaka akan segera datang dengan membawa
barang-barangku. Dia sepertinya bersantai-santai di
belakang, tapi dia akan tiba sebentar lagi, pastinya.
Para biksu melanjutkan minum-minum sambil sesekali
mencuri pandang ke arah si pengelana dan saling berbisikbisik. Kemudian, salah seorang dari mereka berdiri dan
menghampirinya:
Saya harap Anda mau memaafkan saya. Tuan, karena
saya ingin bertanya, apakah Anda Tuan Kichiji dari timur
laut?
Ya, saya Kichiji.
Kalau begitu, berarti saya benar. Teman-teman saya
merasa mengenali Anda. Selamat datang, Tuan!
Dan Anda?
Saya seorang biksu, anak buah Kepala Biara Toko.
Oh? ... Sejujurnya, saya selalu menginap di salah satu
biara di sini setiap kali saya datang, dan belum sekali pun
saya melewatkan tujuh-hari peribadatan selama beberapa
tahun terakhir, jadi saya sedikit banyak mengenal Kepala
Biara Toko. Beliau baik-baik saja, saya harap?
Dengan sangat menyesal saya mengabarkan bahwa
beliau wafat beberapa bulan yang lalu. Apakah Anda
datang kemari untuk mengikuti tujuh-hari peribadatan?
Ya, saya merasa bahwa kebiasaan itu baik bagi bisnis
saya. Mendatangkan keberuntungan, sepertinya. Bahkan,
saya yakin bahwa saya berutang budi kepada dewa-dewa di
sini atas kekayaan yang saya dapatkan.

Gemerincing lonceng di kaki bukit mengumumkan


kedatangan kuda barang. Seorang pemuda, lengan
kimononya tergulung tinggi, wajahnya merah padam dan
basah oleh keringat, berjalan dengan napas terengah-engah.
Nah, Kowaka, kau lambat sekali. Aku sampai
menguap-nguap saking lamanya aku menunggumu.
Kowaka, seorang pemuda bertubuh pendek dan kekar,
melontarkan tatapan penuh tanya pada wajah-wajah di
sekelilingnya, lalu tertawa terbahak-bahak.
Anda pasti bercanda, Tuan! Mudah bagi Anda, yang
mendaki bukit dengan menunggang kuda. Jarak dari ibu
kota kemari nyaris sepuluh mil, dan dengan bawaan seberat
ini ... lihatlah, bahkan kuda ini terengah-engah.
Para biksu dan sekelompok pria dan wanita telah
berkumpul di depan rumah singgah itu; mereka tidak
memerhatikan Kowaka tetapi langsung memeriksa dengan
penuh rasa penasaran beraneka ragam barang persembahan
yang dibawanya. Gulungan-gulungan sutra ditumpuk
tinggi-tinggi di atas punggung kuda barang; tong-tong besar
yang terpoles halus terpasang di kedua sisi pelana kuda, dan
pundi-pundi berisi pasir emas, yang dengan hati-hati
dibungkus menggunakan berlapis-lapis kertas dan jerami,
diletakkan di tempat teratas.
Kichiji dan pembantunya, yang sudah mengganti
kimono berdebunya dengan yang bersih, menikmati makan
siang sembari beristirahat di luar. Akhirnya, mereka bangkit
dan berpamitan kepada si induk semang dengan janji untuk
menemuinya kembali dalam perjalanan pulang.
Bagian terberat dalam pendakian itu telah menanti
mereka, dan jalan pun dengan cepat menjadi terlalu curam
untuk kuda mereka, sehingga beban segera diserahkan
kepada para kuli angkut yang kebetulan sedang turun dari

puncak gunung. Para biksu pun turut membantu


mengangkut
sebagian
muatan,
dan
iring-iringan
menyerupai semut itu merayap perlahan melewati jalan
yang curam. Begitu rombongan Kichiji terlihat dari biara
yang hendak mereka singgahi. Kepala Biara dan para
biksunya segera keluar untuk memberikan sambutan.
Keesokan harinya, Kichiji memasuki kuil untuk mulai
menjalani tujuh hari peribadatan. Kowaka, sementara itu,
menginap di salah satu penginapan yang disediakan untuk
para pelayan yang menyertai para peziarah, dan
menyibukkan diri di sana hingga Kichiji merampungkan
peribadatannya.
Menjelang tengah malam, Kowaka diam-diam
menyelinap dari penginapannya dan berjalan menuju
sebuah tempat pemujaan di sebelah utara gerbang biara.
Terdapat seruas jalan menuju biara lain di dekat tempat
pemujaan itu. Kowaka berjongkok di tengah kegelapan dan
menunggu, tidak melihat siapa pun dan hanya mendengar
gemerisik pepohonan pinus di dekat sana. Tiba-tiba, sebuah
pintu biara terbuka, dan sesosok laki-laki kecil tampak di
lorong panjang terbuka yang ada di sana, sejenak
membungkuk di atas langkan, lalu melompat ke bawah
tanpa suara dan melesat selincah burung walet.
Kamukah itu. Tuan Muda Ushiwaka?
Konno-maru!
Keduanya sosok gelap itu bertemu dan bergegas
menyongsong kegelapan lembah di bawah.
Tidak perlu buru-buru, Tuan. Tidak seorang pun akan
menemukan kita.
Tapi, yang lain pasti sudah menunggu.

Ya, tapi dari kedudukan bulan di langit, saya tahu


bahwa kita lebih cepat daripada semalam.
Kau sudah sering bertemu dengan mereka, tapi aku
hanya bisa melakukannya sekali dalam setahun.
Tuan kesepian, saya tahu, dan setelah malam ini, kita
harus berpencar dan bersembunyi.
Ushiwaka melambatkan langkahnya dan menunduk,
menggigiti kukunya. Dia bertelanjang kaki dan mengenakan
celana pendek dan kimono yang sudah kekecilan. Kowaka
berlutut dengan cemas, menyangka Ushiwaka telah
menginjak serpihan bambu yang tajam.
Ada apa. Tuan Muda?
Ushiwaka hanya menggeleng. Tidak ... tidak apa-apa,
jawabnya setelah terdiam sejenak, sebelum kembali
berjalan.
Bagi Konno-maru, sosok kecil yang berjalan di depannya
tampak lebih murung daripada yang ditemuinya selama
beberapa malam terakhir ini. Kono-maru yakin bahwa
hanya dirinyalah yang mengenal baik Ushiwaka ...
kelebihan dan kekurangannya, kenakalan dan gejolak
hatinya. Bukan kebetulan semata jika Konno-maru
menghabiskan lebih dari sepuluh tahun kehidupannya
untuk menyamar sebagai seorang pelayan bernama Kowaka
di rumah Toji di Horikawa. Dia tidak hanya mendapatkan
tempat persembunyian yang aman di daerah hiburan tetapi
juga mendapatkan kesempatan untuk mengamati
perkembangan politik, karena tempat itu sering dikunjungi
oleh orang-orang yang berhubungan dekat dengan Istana
dan para pejabat tinggi istana ... terutama yang
berhubungan dengan pergerakan klan Heik6. Dan sering
kali, dengan alasan hendak mengunjungi ibunya di Tamba,
Konno-maru pergi ke Gunung Kurama untuk secara diam-

diam menemui Ushiwaka atau para Genji lainnya yang


bersembunyi di wilayah perbukitan di sana untuk berunding
dengan mereka, atau bahkan melakukan perjalanan ke
wilayah timur Jepang dan kembali dengan membawa
balasan pesan untuk Tokiwa.
Selama masa itu pulalah Konno-maru mengenal Kochiji,
yang setiap kali berkunjung ke ibu kota selalu menginap di
rumah Toji. Tidak lama kemudian, mereka telah saling
mengenal baik dan membuat kesepakatan yang
menguntungkan keduanya, karena Kochiji adalah seorang
saudagar
yang
ambisius.
Kichiji
mendambakan
penggalangan sebanyak mungkin dukungan bagi
pengayomnya, Tuan Hidehira, yang menguasai wilayah
timur laut, seperti yang dilakukan oleh Bamboku kepada
Heikg Kiyomori. Bagi Kichiji, mustahil untuk menebak
apakah Hidehira akan menyetujui rencananya untuk
menculik Ushiwaka, namun dengan penuh tekad dan
kesabaran, dia setiap tahun berziarah ke Gunung Kurama
dengan mengajak Konno-maru.
o0odwkzo0o
Orang-orang percaya bahwa sebuah ras iblis bersayap ...
Tengu ... tinggal di salah satu lembah di Gunung Kurama,
dan pada malam-malam ketika petir menyambar-nyambar
menembus gumpalan awan di atas lembah tersebut, mereka
percaya bahwa Tengu sedang berpesta. Tidak seorang pun
berani memasuki lembah itu untuk mengintai ulah mereka,
karena Tengu, yang berhidung mirip paruh, akan
mengendus kedatangan orang asing dan menjatuhkannya
dari puncak pohon tertinggi atau mencabik-cabik tubuhnya
hingga hancur. Di seluruh desa di sekitar Gunung Kurama,
yang penduduknya telah selama bergenerasi-generasi
mendengar kisah tentang Tengu, semua orang percaya
bahwa para iblis itu masih tinggal di lembah dan bertingkah

sangat beringas: mereka menggelindingkan batu-batu besar


ke kaki gunung, mendatangkan angin puting beliung yang
meluluhlantakkan sawah-sawah, dan menghujankan
bebatuan ke desa-desa di sekitar wilayah kekuasaan mereka.
Akhir-akhir ini, bagaimanapun, beredar lebih banyak kisah
tentang ulah mereka yang menebarkan kengerian di
kalangan para penduduk desa yang berpikiran sederhana.
Selama tujuh malam berturut-turut, sebuah pertemuan
mencurigakan berlangsung di salah satu lembah di Gunung
Kurama. Sebut saja para pelakunya sebagai Tengu.
Apakah dia sudah datang?
Belum.
Dia terlambat.
Tidak, kitalah yang datang lebih cepat daripada
biasanya. Bulan masih rendah, jawab salah seorang dari
mereka, menunjuk langit Beberapa pasang mata mengikuti
arah telunjuknya.
Baiklah, kalau begitu, lebih baik kita mengobrol saja.
Bongkahan batu bertebaran di dasar lembah itu, dan
gemuruh jeram yang melintasi ngarai menjadi latar
belakang pertemuan ini.
Ini adalah malam terakhir pertemuan kita.
Tidak juga ... kita bisa bertemu kapan pun kita mau,
tapi baru setahun lagi kita akan mendengar kabar Tuan
Hidehira dari timur laut
Kata Kichiji, kita harus menunggu setahun lagi. Dia
bersikeras bahwa sekarang terlalu buru-buru, tapi jika kita
menunggu hingga tahun depan, Heik6 akan mengetahui
apa yang terjadi, dan hasil kerja kita selama sepuluh tahun
ini akan menjadi sia-sia.

Aku kurang memercayai Kichiji. Setiap tahun, dia


selalu menunda-nunda dengan berbagai macam alasan.
Sepertinya dia belum sepaham dengan Tuan Hidehira.
Betul. Kita masih meragukannya.
Genji sudah selama bergenerasi-generasi memiliki
banyak sekutu di timur laut tapi Hidehira tidak
berseberangan dengan mereka. Bahkan bisa dikatakan
bahwa dia dan Kiyomori memiliki ambisi yang sama.
Mungkinkah itu? Siapa yang bisa memastikannya?
Keheningan menyusul.
Tengu yang lain menanggapi, Sebaiknya kita
memikirkan kembali tentang hal ini. Sudah dua tahun
berlalu sejak Hidehira diangkat menjadi jenderal di timur
laut Orang-orang mengatakan bahwa dia berutang budi
kepada Kiyomori. Itu saja cukup untuk menunjukkan
kepada kita tentang pendapat Heik6 mengenai dirinya.
Tidak, itu kesimpulan yang terlalu sederhana. Jangan
terlalu banyak menebak-nebak. Itu hanyalah sogokan untuk
Hidehira dan sama sekali tidak membuktikan tentang
perasaan Kiyomori kepadanya. Pelabuhan di Owada dan
pembangunan Itsuku-shima menguras kekayaan Heik6, dan
Kiyomori membutuhkan seluruh emas yang bisa
didapatkannya dari Hidehira. Tidak diragukan lagi,
Hidehira mengetahuinya. Mereka menyadari persaingan
mereka.
Benar! Itu lebih masuk akal. Omong-omong, Konnomaru akan segera tiba di sini, dan dia akan menceritakan
kepada kita tentang pembicaraannya dengan Kichiji
semalam. Kita akan segera mengetahui keputusan mereka.
Kita tidak bisa mempertaruhkan apa pun ataupun menunda

lebih lama lagi. Apa pun pendapat Kichiji, lebih baik kita
menyelesaikan masalah ini sendiri.
Seseorang, yang menunggu di dekat sungai, tiba-tiba
berseru kepada para Tengu, Aku melihat mereka! Mereka
datang!
Sesosok bayangan tampak melintasi lembah yang curam,
melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya,
berkelit dengan lihai di antara bongkahan-bongkahan batu.
Bayangan itu tampak jelas di bawah sinar bulan yang
menerangi bebatuan dan pepohonan. Para Tengu yang
menunggu di bawah memandangnya dengan kagum tanpa
berkata-kata.
Konno-maru, tempat ini berbeda dari yang kemarin.
Aku bisa mendengar gemuruh jeram di bawah sana;
kita pasti berada di atas air terjun.
Air terjun, ya?
Di sana berbahaya; sebaiknya kita mencari jalan lain.
Lihat mereka sudah menunggu di bawah sana. Mari
kita lewat sini.
Mustahil!
Berputarlah kalau kau mau, aku akan melompat
Mengetahui
berdasarkan
pengalamannya
bahwa
membantah Ushiwaka adalah usaha yang sia-sia saja,
Konno-maru berpegangan ke semak-semak dan melongok
dari atas tebing batu yang curam. Lebih dari enam meter di
bawah mereka terbentanglah tanah dengan bebatuan
berserakan di sana-sini, dan di dasarnya terdapat sebuah
kolam yang tersaput kabut
Konno-maru meneriakkan peringatan, namun Ushiwaka
sudah terlanjur melompat dan tengah mengayunkan diri

dari cabang sebuah pohon besar di bawahnya, lalu


menyeimbangkan badan untuk berpijak di cabang pohon
lain.
Beginilah cara melakukannya, Konno-maru! seru
Ushiwaka sementara cabang pohon yang dipijaknya
melengkung menanggung beban tubuhnya. Ushiwaka
melingkarkan kakinya ke cabang pohon lain dan
melepaskan pegengannya.
Konno-maru kesulitan mengikutinya.
Kau tidak terlalu pintar dalam hal ini, Konno-maru,
Ushiwaka mengolok-oloknya dengan jahil.
Ushiwaka bertubuh kecil untuk ukuran remaja seusianya;
wajahnya tirus; lengan dan kakinya kurus. Selalu
kekurangan makanan dan pakaian sejak tinggal di biara,
Ushiwaka seolah-olah bertahan hidup karena mukjizat. Dia
adalah calon biksu terkecil dan terburuk rupa di biara, yang
selalu menjadi korban ejekan nista semua orang. Berjiwa
pemberontak dan keras kepala, Ushiwaka kerap
melampiaskan perasaannya dalam tangisan liar yang
menjadi bahan pembicaraan para biksu dari biara-biara
tetangga. Ketika dia berumur sepuluh tahun, sebagai
tambahan bagi pendidikan agamanya, dia menerima
pendidikan ketentaraan karena biara-biara di Gunung
Kurama berada di wilayah kekuasaan Gunung Hiei
sehingga para biksunya tidak hanya dilatih untuk bertempur
tetapi juga untuk menjadi prajurit.
Seiring pertumbuhannya, tatapan Ushiwaka menjadi
setajam burung elang; garis-garis mulutnya, yang senantiasa
mengalirkan kata-kata cerdas, menunjukkan ketegasan, dan
kesan berkuasa selalu terpancar dari dirinya. Meskipun
begitu, dia tidak pernah memedulikan penampilannya.
Rambutnya memanjang dan tak terawat, kakinya dipenuhi

bekas luka dan selalu berkoreng, dan walaupun sudah kerap


diperingatkan untuk menambal robekan-robekan di kimono
dan atasannya, dia tidak pernah memedulikannya. Tetapi,
perubahan mengejutkan terjadi padanya sejak beberapa
tahun terakhir. Ushiwaka mendadak bersikap lebih tenang
dan patuh, dan para seniornya mengira bahwa ini berkaitan
dengan pendidikan yang diikutinya. Padahal sesungguhnya
Ushiwaka setiap malam mengendap-endap keluar dari
asramanya untuk menemui para Tengu di lembah, dan di
sanalah dia mendapatkan pengetahuan yang telah lama
disembunyikan darinya: bahwa dia adalah pemimpin
mereka, putra Genji Yoshitomo, dan tahanan Heik6
Kiyomori. Dari para Tengu pulalah dia mendengar tentang
kematian mendadak ayahnya dan nasib ibunya. Dan sejak
saat itu, dia menyadari tentang masa depan maupun bahaya
yang telah menantinya.
Baiklah, Konno-maru, bisakah kau mengikutiku?
Ya. tapi kau sendiri harus berhati-hati.
Jangan khawatirkan aku. Lihat, aku akan melompat,
Ushiwaka menoleh ke belakang; kemudian, melompat dari
satu cabang ke cabang yang lain, dia memperhitungkan
jarak antara dirinya dengan kolam di bawahnya dan
melompat ke atas sebongkah batu.
Lihai sekali! seru para Tengu, berlari menyongsong
dan mengerumuni Ushiwaka.
Para Tengu menyoraki Konno-maru yang ragu-ragu
hingga gema terdengar di seluruh lembah. Tetapi, Konnomaru tiba-tiba berseru:
Aku melihat seseorang bersembunyi di belakang batu
itu. Tangkap dia!

Para Tengu segera berpencar dan memeriksa setiap


bongkah batu yang ada di sana. Dari tempatnya yang lebih
tinggi dan dengan bantuan sinar bulan, Konno-maru
melihat sesosok bayangan bergerak di lembah itu.
o0odwkzo0o
Sangat mudah untuk meloloskan diri dan bersembunyi di
balik bebatuan besar yang bertonjolan di sepanjang tepi
sungai, di antara batang-batang pohon besar yang tumbang
dan membusuk, atau di balik semak-semak lebat. Asatori
terus berlari, melesat dan tersandung-sandung di antara
bongkahan-bongkahan batu. Akhirnya, dia merangkak di
antara dua bongkah batu besar dan berjongkok di sana,
mendengarkan teriakan-teriakan di atasnya.
Ada yang berhasil menangkapnya?
Tidak, sudahkah kau mencarinya di sebelah sana?
Ya, tapi dia tidak ada di sana.
Dari kejauhan terdengarlah teriakan yang terbawa angin,
Hoi-M, apakah kalian berhasil menangkapnya?
Sama sekali tidak. Kalian berhasil di sana?
Tidak ada apa-apa di sini.
Apa sebenarnya yang diributkan oleh Konno-maru?
Dia pasti melihat monyet atau rusa.
Suara-suara itu segera menjauh. Para Tengu sepertinya
telah menghentikan pencarian mereka, dan hanya deru
anginlah yang terdengar di lembah.
Asatori mendesah lega. Kesakitan karena harus
berbaring diam di tempat persembunyiannya yang sempit,
dia merayap keluar. Tatapannya yang tertuju ke tempat
pertemuan Tengu serta merta menariknya kembali untuk

mendekati mereka. Mereka duduk bersila dengan posisi


melingkar, larut dalam pembicaraan. Ushiwaka duduk di
tempat yang lebih tinggi, didampingi oleh Konno-maru.
Mereka berjumlah belasan orang, dengan nama-nama yang
dikenali oleh Asatori sebagai milik para tokoh samurai
Genji dari timur.
Baiklah, Konno-maru, apakah Kichiji bersikeras bahwa
sekarang belum saatnya?
Salah seorang Tengu, yang sepertinya dianggap sebagai
pemimpin kelompok itu, menjawab, Begitulah. Kami
sudah memberitahukan pendapat kita tentang hal ini
kepadanya, tapi Kichiji menolak untuk mengubah
rencananya. Dia bersikukuh bahwa sekarang belum
saatnya.
Menurutnya, kapankah tepatnya kita harus bertindak?
Dia juga tidak yakin tentang itu, tapi dia menekankan
bahwa kita harus menunggu hingga beberapa perubahan
terjadi.
Apa maksudnya?
Misalnya, ada tanda-tanda bahwa hubungan antara
Mantan Kaisar Goshirakawa dan Heik6 Kiyomori
memburuk. Apa pun bentuknya, tidak akan ada asap tanpa
api.
Bagaimana jika keadaan itu
perubahan selama bertahun-tahun?

berlangsung

tanpa

Ya, kita juga harus memperhitungkan kemungkinan


itu.
Apakah kalian siap untuk itu? Apakah kalian bersedia
menunggu tanpa kejelasan?

Si pemimpin melihat bahwa tidak seorang pun anak


buahnya bersedia menunggu lebih lama. Tetapi, Kichiji
adalah satu-satunya harapan mereka sekarang. Segalanya
tergantung pada keputusannya. Tanpa Kichiji dan bantuan
dari Hidehara mustahil untuk menjamin keamanan
Ushiwaka ataupun masa depan Genji.
Semua orang seketika terdiam, putus asa.
Ushiwaka tiba-tiba bersuara. Cukup ... kita tidak usah
membicarakan tentang ini lagi. Tidak perlu memikirkannya
lagi.
Para pria itu memandang Ushiwaka dengan takjub, dan
salah satu dari mereka berkata dengan mata berkaca-kaca:
Tuan Muda, mengapa kamu berkata begitu?
Pikirkanlah semua yang telah kita lalui hingga kini, dan
juga sumpah setia kami kepadamu.
Yang kumaksud hanyalah semua perdebatan ini sia-sia
saja.
Mengapa sia-sia saja?
Mengapa kita harus menunggu dan mengharapkan
sesuatu yang tidak akan pernah terjadi? Sudah hampir tiba
waktu bagiku untuk menjalani penahbisan, dan aku sama
sekali tidak menginginkannya.
Ya, itulah yang sangat merisaukan kami. Kami ingin
Kichiji selekas mungkin membuat kesepakatan dengan
Tuan Hidehira.
Kichiji ... saudagar itu? Kalian menggantungkan diri
kepadanya?
Para pria itu mendengarkan dengan resah. Ushiwaka
telah mencetuskan sesuatu yang tidak berani mereka akui.

Ushiwaka memandang ke sekelilingnya. Baiklah, aku


tidak mengharapkan apa pun darinya. Akan jadi apakah
aku jika kita menggantungkan diri kepada Kichiji? Tidak
peduli apa pun perkataan orang-orang, tidak akan ada yang
bisa menahanku untuk melarikan diri dari Gunung Kurama
tahun ini. Lihat saja sendiri!
Para Tengu mendengarkan ucapan Ushiwaka dengan
kaget,
lalu
menyuarakan
protes
mereka,
memperingatkannya agar tidak bertindak gegabah.
Asatori, yang hanya mendengar potongan-potongan
pembicaraan mereka, merayap semakin dekat, bertekad
untuk mempertaruhkan nyawanya seandainya dia
tertangkap basah demi menyampaikan petuah untuk
Ushiwaka yang diamanatkan oleh ibunya, Tokiwa. Tetapi,
sebelum itu terjadi, Ushiwaka telah terisak-isak nyaring dan
lama.
o0odwkzo0o
Asatori terbangun berkat kicauan burung. Dia
mengingat-ingat peristiwa yang disaksikannya semalam,
mengumpulkan kepingan-kepingan penjelasan yang
didengarnya dan menyatukannya menjadi sebuah
gambaran yang utuh.
Matahari sudah tinggi, dan seluruh lembah bermandikan
udara cahaya bulan Mei. Asatori merayap keluar dari
tempat persembunyiannya dan mengedarkan pandangan.
Dia telah bersembunyi di sana selama dua hari, menangkap
ikan di sungai dan menjatuhkan satu atau dua ekor burung
menggunakan katapelnya. Kemudian, dia memutuskan
untuk tetap bersembunyi di sana hingga mendapatkan
kesempatan untuk menemui Ushiwaka seorang diri.
Hari demi hari berganti, kemudian minggu demi minggu,
hingga pada suatu hari Asatori melihat sekelompok orang

menyusuri jalan setapak. Bahkan dari jarak jauh dia bisa


melihat bahwa mereka bukan pendeta. Dia mengintip
mereka dengan penuh damba karena sudah beberapa
minggu dia tidak melihat ataupun berbicara dengan orang
lain. Setelah meyakinkan diri bahwa mereka adalah
peziarah yang datang dari wilayah Danau Biwa atau
Tamba, Asatori menampakkan diri untuk menyapa mereka.
Semakin dirinya mendekat, semakin kencang jantunya
berdetak, karena dari warna mantel dan bentuk topi
mereka, Asatori tahu bahwa mereka adalah pemain musik
istana. Mengira akan melihat beberapa orang teman
lamanya di antara mereka, Asatori serta merta berlari ke
jalan yang dilalui sekitar delapan belas orang itu. Begitu
melihat Asatori, mereka berhenti dan berkerumun.
Asatori menyadari bahwa mereka mengiranya sebagai
pencoleng. Dia membungkuk rendah-rendah dan menyapa
mereka, Jangan takut. Aku juga pemain musik. Ke
manakah kalian akan pergi?
Para pemain musik itu saling berbisik-bisik, lalu
menghampiri Asatori dan berkata:
Kami pemain musik dari Shuzan dan datang kembali
tahun ini untuk tampil di festival Gunung Kurama. Katamu
kau juga pemain musik, apakah yang membawamu
kemari?
Karena tidak ingin menjawab pertanyaan itu, Asatori
balik bertanya, Festival? Kapankah festival itu
diselenggarakan?
Baru sekitar dua minggu lagi. Kami datang untuk
melakukan geladi bersih.
Dari Shuzan?

Ya, tapi kelompok-kelompok pemain musik lainnya


juga datang.
Bukankah kalian pemain musik dari keluarga Ab6?
Rupanya kau benar-benar mengenali kami!
Aku sendiri juga anggota keluarga Ab6 dari Kyoto.
Benarkah?
Para pemain musik itu serentak menghampiri Asatori
dan mengerumuninya dengan penasaran.
Malam itu, Asatori turut menginap bersama para pemain
musik di penginapan mereka, tidak jauh dari Gunung
Kurama, dan bercakap-cakap dengan mereka hingga larut
malam.
Kau bukan pemain musik biasa, kata mereka, kagum
sekaligus penasaran terhadap Asatori; ceritakanlah tentang
dirimu kepada kami.
Aku sudah berhenti bermain musik untuk menjadi
tabib.
Apakah
yang
mendorongmu
pekerjaanmu di istana?

meninggalkan

Aku tidak bahagia di sana.


Kau tidak menyukai tekanan kehidupan di istana?
Ya, kurang lebih begitu, jawab Asatori. Dia
menambahkan, Aku sedang mengumpulkan tumbuhtumbuhan herbal di bukit itu, dan waktu melihat kalian, aku
tidak bisa menahan diri untuk menyapa. Bagaimana kalau
aku ikut dan melihat penampilan kalian di festival? Jika
kalian bisa memberiku pekerjaan, aku akan dengan senang
hati melakukannya.

Beberapa orang menyambut baik usul Asatori, namun


beberapa lainnya ragu-ragu. Baru pada keesokan harinya
mereka sepakat untuk mengajak Asatori.
Di Gunung Kurama, mereka menginap di salah satu
asrama, yang juga ditinggali oleh kelompok-kelompok
pemain musik lainnya. Geladi bersih dilakukan di semua
biara, tempat para calon biksu melatih peran meraka dalam
drama-drama suci. Asatori menghadiri geladi bersih setiap
hari, yakin bahwa dia akan menemukan Ushiwaka.
Semakin mendekati hari penyelenggaraan festival, dari
pagi buta hingga larut malam, biara-biara di Gunung
Kurama dipenuhi oleh gema genderang, lonceng, seruling,
dan bangsi. Pada suatu malam, Asatori menyelinap ke
sebuah tempat pemujaan di dekat asrama yang
diketahuinya sebagai tempat tinggal Ushiwaka. Dia
mengeluarkan serulingnya dan mulai memainkannya.
Beberapa hari sebelumnya, dia telah berhasil menyelipkan
pesan ke lengan kimono Ushiwaka, dan selama dua malam
berturut-turut dia memainkan serulingnya, berharap
Ushiwaka akan menemuinya. Asatori sudah memutuskan
bahwa ini adalah malam terakhirnya menunggu Ushiwaka
karena dia khawatir para biksu akan mencurigainya.
Ushiwaka bersembunyi di tengah kegelapan bayangan,
tidak jauh dari tempat pemujaan, dan mendengarkan
permainan seruling Asatori. Begitu Asatori menurunkan
serulingnya, dia berjingkat-jingkat keluar dan berdiri tanpa
mengucapkan sepatah kata pun di sampingnya.
Siapa kamu? tanya Asatori, terkejut
Kaukah yang memainkan seruling selama beberapa
malam ini di sini?
Apakah Anda Ushiwaka?

Dan kau ... siapakah dirimu?


Sayalah yang menyelipkan pesan ke lengan kimono
Anda.
Ya, tapi katakanlah kepadaku siapa dirimu. Siapa
dirimu? Apakah kau sedang mencoba mengelabuiku?
Tentu saja tidak. Saya tabib, nama saya Asatori, kata
Asatori, bersujud di hadapan Ushiwaka.
Seorang tabib yang pintar bermain seruling ... dan
seindah itu?
Saya akan menceritakan tentang itu di lain waktu.
Karena Anda ragu-ragu untuk memercayai saya, lebih baik
saya langsung menjelaskan. Ibu Anda meminta saya
menyampaikan sebuah pesan kepada Anda. Ada sepucuk
surat di dalam kotak ini.
Ushiwaka membungkuk dan memungut benda yang
diletakkan oleh Asatori di dekat kakinya, lalu memasuki
tempat pemujaan tanpa mengucapkan apa-apa. Di sana, di
bawah cahaya lentera, dia membaca surat ibunya. Aku
berdoa untuk kebahagiaanmu setiap pagi dan malam,
begitulah surat itu dimulai. Patuhilah para biksu di sana
dalam segala hal. Aku akan bahagia jika kau tekun belajar.
Patung yang kuserahkan kepadamu melalui seorang kurir
ini adalah milik almarhum ayahmu, Genji Yoshitomo. Ini
adalah hadiah terakhir beliau kepadaku
Sisa surat itu membicarakan tentang doa-doa dan
harapan-harapan Tokiwa kepada Ushiwaka ... agar dia
melupakan semua pikiran untuk menjadi samurai dan
mengikuti jalan perdamaian dan kesucian dengan menjadi
seorang pendeta.
Asatori menanti kemunculan Ushiwaka, namun
akhirnya berdiri dan melongok ke dalam tempat pemujaan;

dia melihat Ushiwaka larut dalam surat yang tengah


dibacanya. Asatori segera menyelinap masuk dan berlutut
di hadapan Ushiwaka, lalu mulai menceritakan tentang
Tokiwa kepadanya, membujuk Ushiwaka agar mau
mempertimbangkan pesan ibunya.
Ushiwaka tidak mengatakan apa pun selama beberapa
waktu; kemudian, dia akhirnya mendongak. Ya, Asatori,
aku tahu apa keinginan ibuku untukku.
Benarkah? jawab Asatori dengan penuh semangat.
Tapi ... lanjut Ushiwaka, ibuku adalah seorang
wanita dan tidak akan mengerti. Dari suratnya, aku tahu
betapa beliau adalah seorang wanita sejati. Seandainya aku
bisa menemui beliau! Apakah beliau benar-benar seperti ibu
yang kuimpikan sepanjang waktu?
Apakah Anda benar-benar ingin menemui beliau?
Mengapa kau terus-menerus berkata bodoh!
Tidak ada alasan mengapa Anda tidak boleh menemui
beliau setelah menjalani penahbisan. Jika orang-orang
mengenal Anda sebagai seorang pria bijak dan suci, saya
yakin bahwa Anda akan diizinkan untuk kembali ke ibu
kota dan menemui beliau. Heik sekalipun mungkin akan
menerima Anda di kalangan mereka pada suatu hari nanti.
Aku tidak bisa menunggu selama itu. Aku harus
menemui beliau sekarang
Jika Anda mengambil pilihan yang salah, Anda
mungkin tidak akan pernah bisa bertemu dengan beliau.
Anehkah jika aku ingin menemui ibuku?
Anda harus mengingat Heik6.
Siapakah mereka, dan apakah arti mereka bagiku?
Apakah mereka dewa? Apakah mereka makhluk gaib?

Peranglah yang menghadirkan semua kemalangan ini,


dan Anda harus berpaling dari segala sesuatu yang bisa
menyebabkan perang.
Apakah keadaan ini akan berlangsung selamanya?
Apakah aku harus tetap seperti ini, menjadi tawanan di sini
sejak bayi?
Asatori meneruskan, Kita sendirilah yang bisa
menentukan jalan hidup yang tidak akan menimbulkan
konflik atau menciptakan neraka di dunia. Hanya dengan
mengikuti jalan yang mengarah pada perdamaianlah Anda
bisa menunjukkan sebesar apa Anda mencintai
ibu Anda. Dunia tidak akan bisa berubah dalam
semalam, dan kita pun tidak bisa semudah itu melarikan
diri dari karma
Hanya itukah yang hendak kaukatakan kepadaku,
Asatori? tanya Ushiwaka, membungkus patung perak
dengan surat ibunya dan menyelipkannya ke balik lipatanlipatan kimononya. Tiba-tiba, dia menjejakkan kakinya
kepada Asatori, yang berlutut di hadapannya.
Sekarang aku mengetahui siapa dirimu, katanya.
Kaulah yang telah memata-matai kami malam itu di
lembah. Pergilah dari sini! Aku sendirilah yang akan
menyampaikan jawabanku kepada ibuku. Jangan berlamalama lagi di sini ... pergilah sekarang juga!
Sambil berbicara, Ushiwaka berlari keluar dari tempat
pemujaan dan menghilang ke hutan. Asatori berusaha
mengikutinya namun Ushiwaka telah lenyap dari
pandangannya
o0odwkzo0o

Bab XLIX-USHIWAKA MELARIKAN DIRI


Kabut membubung bagaikan uap dari gunung. Hari itu
adalah hari terakhir dari festival yang berlangsung selama
tiga hari. Ribuan lentera berkelap-kelip pada dini hari itu,
dan senandung ayat-ayat suci dengan iringan musik
terdengar di mana-mana- Udara hari itu bisa dipastikan
akan panas.
Ushiwaka kelihatan cukup gagah, bukan?
Sama sekali tidak terlihat seperti dirinya kalau dia
berdandan seperti itu!
Kau pasti Ushiwaka. Ayo, biarkan kami melihat dirimu
yang sesungguhnya.
Para calon biksu berkumpul di dalam sebuah ruangan di
belakang panggung dansa dan menggoda Ushiwaka, yang
mengenakan kimono bermotif bunga candu dan celana
ungu tua. Rambutnya diikat tinggi-tinggi di atas kepalanya.
Sementara para calon biksu lainnya tertawa-tawa, bersorak
sorai, dan melompat-lompat girang, Ushiwaka menjauhkan
diri dari mereka, menanti dengan tenang.
Kau khawatir, ya? tanya salah seorang temannya.
Ushiwaka menggeleng. Tidak, aku tak bisa tidur sejenak
pun semalam.
Bohong! Apa yang membuatmu terjaga?
Aku sangat gelisah.
Gelisah? Karena apa?
Karena hari ini, tentunya.
Kau memang aneh, ya? Seorang calon biksu lainnya
mendengus, lalu berlari dan bergabung dengan teman-

temannya yang tengah melongok dari balik langkan sebuah


lorong.
Sebuah teriakan nyaring terdengar, Lihatlah orangorang yang datang hari ini!
Masih banyak yang akan datang! Mereka berbaris
seperti semut!
Mana, mana? Aku ingin melihatnya!
Para calon biksu melompat ke atas langkan dan
memanjat tiang-tiang dengan penuh semangat. Sementara
mereka larut dalam keramaian, Ushiwaka bangkit dan
menyelinap ke kamarnya. Dari balik tumpukan buku-buku
di atas meja tulis kecilnya, dia menyambar sebuah kotak
kecil, mengeluarkan sebuah patung perak, melemparkan
kotaknya, dan dengan hati-hati menyelipkan benda itu ke
balik lipatan-lipatan kimononya. Dia menepuk-nepuknya
untuk memastikan bahwa patung itu berada di tempat yang
aman, lalu mengencangkan obi yang melingkari
pinggangnya.
Ushiwaka, Ushiwaka, di manakah dirimu?
Teriakan-teriakan itu mengagetkan Ushiwaka, yang
segera berlari keluar seraya menjawab.
Semua calon biksu telah berbaris, dan seorang biksu
membentak Ushiwaka:
Dari mana kamu?
Saya dari kamar kecil.
Bohong! Aku melihatmu keluar dari kamarmu.
Saya baru saja mengencangkan ikat pinggang saya.
Seorang biksu memimpin prosesi itu, membelah
kerumunan orang untuk membentuk jalan. Para pemain

musik mengikutinya, membunyikan lonceng dan gong; para


pendeta tinggi berbaris di
belakang mereka, diikuti oleh para calon biksu yang turut
ambil bagian dalam drama suci.
Udara semakin panas dan tidak segumpal pun awan
tampak ketika barisan itu berjalan mengitari gunung, dari
tempat pemujaan yang satu ke tempat pemujaan yang lain,
dari kuil yang satu ke kuil yang lain. Para calon biksu
terengah-engah dan berpeluh, tersuruk-suruk, berhenti
sejenak ketika melihat sesuatu yang menarik, dan berlarilari saling menyusul. Ushiwaka, yang terkecil di antara
mereka semua, berbaris di belakang, melangkah dengan
teratur dan tertib. Matanya, bagaimanapun, sibuk
memandang ke kiri dan kanan untuk mengamati para
peziarah yang menonton mereka, dan terkadang sorot
tertentu tampak di matanya ketika dia mengenali orangorang yang dilihatnya.
Ketika prosesi mengitari gunung selama empat jam itu
berakhir, para calon biksu membubarkan diri untuk
menyantap makan siang dan bersiap-siap menari.
Sepanjang siang dan malam- itu, tarian dan musik terus
dipertontonkan. Api unggun dinyalakan di seluruh bagian
gunung. Para peziarah, yang tak terhitung banyaknya,
saling mendorong dan menyikut, berpindah-pindah dari
satu pertunjukan ke pertunjukan lainnya. Para calon biksu
berusaha menerobos kerumunan orang, tidak ingin
melewatkan apa pun. Hanya Ushiwaka yang berkeliaran
tanpa tujuan di lapisan luar penonton hingga seorang pria
sekonyong-konyong menghampirinya dari belakang,
menyampirkan sehelai mantel musim panas tipis ke
bahunya, dan berbisik:
Sekarang, Tuan!

Kaukah itu, Masachika?


Aku akan menemanimu sampai ke jalan menuju
lembah.
Jalan itu sudah dipagari.
Bukan masalah ... cepat!
Ushiwaka berlari. Tidak lama setelah mereka menjauh
dari tempat keramaian, Masachika mendekatkan kedua
jarinya ke bibir dan bersiul nyaring. Beberapa orang pria
dengan tenang memisahkan diri dari kerumunan peziarah
yang tengah menonton ritual membelah bambu, lalu
menghilang di kegelapan malam. Beberapa waktu
kemudian, para pendeta yang ambil bagian dalam ritual
tersebut dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Seseorang terdengar mengatakan. Seorang biksu
dibunuh dengan sadis di perbatasan salah satu lembah.
Keributan pun pecah. Seorang calon biksu telah
menerobos pagar dan melarikan diri. Dia membunuh dua
orang penjaga yang menghalang-halanginya. Tidak,
Tengulah pelakunya, kata orang-orang.
Desas-desus itu segera didengar oleh para pemain musik
yang sedang beristirahat dan minum-minum di ruangan
mereka. Asatori, yang sedang minum sake bersama yang
lainnya, segera duduk tegak.
Seorang calon biksu melarikan diri? Siapakah dia?
Siapakah namanya? Benarkah itu? dia bertanya kepada
teman-temannya, lalu diam-diam meninggalkan tempat
duduknya dan menyelinap keluar.
o0odwkzo0o
Para Tengu berkumpul di gubuk tempat Asatori pernah
melihat mereka.

Langkah pertama telah berhasil kita lalui, dan kita


harus memberikan ucapan selamat kepada kalian, kata
salah seorang dari mereka, menoleh kepada Ushiwaka,
yang duduk di antara sosok-sosok gelap di dalam gubuk itu,
masih takjub akan keberhasilan pelariannya.
Salah seorang dari mereka, yang sepertinya lebih dewasa
dan berpengalaman daripada yang lainnya, berkata, Masih
terlalu dini untuk menyelamati diri kita sendiri. Ingatlah,
kita masih harus membuat kesepakatan dengan Tuan
Hidehira dan, terlebih lagi, kita harus melakukannya tanpa
Kichiji. Meloloskan diri dari Gunung Kurama memang
cukup mudah, tapi bagaimanakah kita akan menjalankan
keseluruhan rencana kita? Jika keberuntungan menyertai
kita, Kichiji akan mendengar tentang kejadian ini; jika
tidak, akan mustahil bagi kita untuk berkelit dari para
prajurit Kiyomori dan melarikan diri ke timur.
Seseorang yang lain angkat bicara, Tapi, ini adalah
kesempatan terakhir kita. Apa pun hasilnya, Ushiwaka
telah mengambil keputusan.
Kita tidak akan menggantungkan diri kepada Kichiji.
Jika dia menolak untuk memberikan pertolongan, maka
kita akan terus bertindak tanpa mengandalkan dirinya.
Ingatlah, kita sudah memperkirakan hal ini ketika
Ushiwaka mengatakan bahwa dia akan melarikan diri.
Tidak ada lagi yang bisa kita upayakan, dan melakukan
yang sebaliknya adalah tindakan pengecut.
Itu bukan tindakan pengecut. Wajar saja jika kita harus
memperhitungkan
segala
kemungkinan
dalam
menyelesaikan urusan sepelik Ini.
Tidak ada gunanya memperdebatkan tentang hal ini.
Aku sudah pernah memperingatkan Konno-maru tentang

apa yang akan terjadi malam ini. Aku cemas karena dia
belum juga muncul.
Kegagalan mengancam upaya pelarian diri itu karena
Heik6 akan bersiaga dan menutup semua jalan menuju
timur. Mereka menunggu Konno-maru, yang akhirnya
datang sesaat sebelum matahari terbit.
Ya, aku terkejut Kupikir kalian baru akan
melakukannya saat tengah malam, dan aku kesulitan
mengikuti kalian.
Kami minta maaf soal itu. Itu tidak akan membantu.
Kami mengatakan tengah malam, tapi rencana kita
mendadak berubah karena peluang yang lebih baik muncul
. Tapi, kita beruntung karena bisa sampai di sini.
Bagaimana dengan Kichiji? Apa katanya?
Dia menertawakan keterburu-buruan kita dan
sepertinya menganggap bahwa tidak ada yang bisa
dilakukannya kecuali mengikuti rencana kita.
Jadi, dia sepakat dengan kita?
Apakah Kichiji menyampaikan gagasannya, atau
apakah dia bersikeras bahwa sekarang belum saatnya untuk
mengatakan keputusan mereka? Apa katanya, Konnomaru?
Fajar mulai merekah, dan berkas-berkas cahaya pucat
menerobos jendela kecil gubuk itu.
Para Tengu menantikan jawaban Konno-maru.
Kichiji selalu mendukung kita, tapi dia mengajukan
beberapa syarat Katanya, dia tidak akan menjamin
keselamatan Ushiwaka jika kita tidak menerima persyaratan
yang diajukannya.
Apakah itu?

Dia hanya akan menjamin keselamatan Ushiwaka. Kita


semua, katanya, harus bertanggung jawab akan
keselamatan kita masing-masing.
Apa! Dia akan begitu saja angkat tangan?
Ya, katanya, keselamatan Ushiwaka bergantung pada
hal ini.
Bagaimana mungkin?
Tidak seorang pun di wilayah ini mengenali kalian.
Orang-orang menganggap kalian sebagai iblis Tengu, tapi
jika kalian pergi bersama Ushiwaka, Kichiji yakin bahwa
itu akan membahayakan nyawanya.
Konno-maru, apakah kau memercayainya?
Ya. Kita telah memainkan peran kita masing-masing.
Sekarang, sesudah Ushiwaka berhasil meloloskan diri dari
Gunung Kurama, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan
kecuali meninggalkannya dan menghilang dari sini.
Lalu, apa yang akan dilakukan oleh Ushiwaka tanpa
kita?
Kichijilah yang akan bertanggung jawab.
Apakah kita bisa memercayainya?
Jika dia tidak bisa dipercaya, dia tidak
memercayai kita sejak awal ... begitulah katanya.

akan

Bagaimana jika kau salah?


Jika ada yang salah, maka Kichijilah yang akan
menerima akibatnya ... dan membayarnya dengan
nyawanya. Tidak ada gunanya berdebat lebih jauh. Yang
bisa kita lakukan hanyalah memercayainya, kata Konnomaru.

Mereka semua pun menantikan pendapat Ushiwaka, dan


Masachika bertanya:
Kamu sudah mengetahui sendiri masalahnya. Jadi,
bagaimana menurutmu?
Dihadapkan pada perwujudan harapan terbesarnya,
Ushiwaka menjawab tanpa ragu-ragu, Aku tidak berharap
bisa berangkat ke timur saat ini juga. Seandainya aku
berangkat sekarang, tidak ada yang bisa menjamin apakah
aku akan bisa bertemu lagi dengan ibuku. Aku harus pergi
ke ibu kota ... seorang diri, atau bersama kalian semua. Aku
harus menemui ibuku . Bawa aku menemui beliau
sekarang juga.
Kabar mengenai pelarian Ushiwaka terdengar sampai ke
Rokuhara pada dini hari. Para prajurit dan mata-mata
segera berangkat ke Gunung Kurama. Para biksu, yang
lebih mengenal baik tempat itu, telah memulai pencarian
mereka. Siang harinya, ketika beberapa ratus orang samurai
dari Rokuhara tiba di Gunung Kurama, Ushiwaka dan para
pengikutnya telah berada dalam perjalanan menuju Puncak
Sajiki. Setibanya mereka di sana, Konno-maru berkata,
Dari sini, jalan mengarah ke Provinsi Shiga, Tamba, dan
Sanjo, dan kami harus meninggalkan kalian sekarang. Aku
sendirilah yang akan menyertai Tuan Muda hingga sampai
ke ibu kota. Kemudian, dia menoleh kepada Ushiwaka,
Aku akan menyertaimu hingga kau siap untuk berangkat
ke timur laut bersama Kichiji. Setelah itu, kau akan
sendirian. Kau sudah bertekad untuk menjalani semua ini
bukan, Ushiwaka?
Ushiwaka ragu-ragu sejenak, lalu kembali bertanya,
Konno-maru, benarkah kau akan membawaku menemui
ibuku? Kapankah kau akan melakukannya?

Aku harus membicarakannya dengan Kichiji terlebih


dahulu, jawab Konno-maru. Kichiji akan mencari cara
untuk melakukannya.
Tidak bisakah kau melakukannya sendiri, Konno-maru?
Mengapa kau harus membicarakannya dengan Kichiji?
Aku sudah berjanji untuk tidak melakukan apa pun
tanpa persetujuannya.
Sekarang ... demi masa depan!
Pertama-tama, aku akan ke Tamba dan bersembunyi
sejenak di sana
Dan kau.Adachi?
Kurasa aku akan pergi ke Shiga Utara. Dan kau,
Kamata?
Aku akan menyeberangi Omi, lalu ke Owari, tempat
ayahku dibunuh bersama Tuan Yoshitomo.
Seorang demi seorang, para pria itu meninggalkan
Ushiwaka dengan janji untuk menemuinya kembali di
timur. Senja itu, hanya Ushiwaka dan Konno-maru yang
tersisa di Puncak Sajiki, yang menjulang di atas Gunung
Kurama; matahari terbenam dan kabut mulai menyelimuti
mereka.
Ushiwaka, apakah kau masih sanggup berjalan lebih
jauh?
Tentu saja!
Kita akan melihat cahaya ibu kota esok senja Sebuah
kereta akan menanti kita di sebuah tempat.
Sebuah kereta? Dan ke manakah kita akan pergi?
Tentang itu, aku tidak tahu, tapi kau tidak perlu
mengkhawatirkannya. Kichiji akan mengatur segalanya.

Kau hanya perlu memercayainya. Jika aku melihat alasan


untuk meragukannya, dia tidak akan lolos hidup-hidup.
Keduanya mulai turun dari puncak gunung. Mereka
tidak bertemu dengan seorang pun hingga malam datang,
kertika mereka berpapasan dengan seorang asing yang
menanyakan arah. Mereka terus berjalan hingga melewati
sebuah dusun kecil dan, jauh di bawah, melihat kerlapkerlip cahaya di tengah kegelapan.
Konno-maru, apakah itu cahaya dari ibu kota?
Bukan, itu adalah Gunung Atago ... cahaya dari
Tempat Pemujaan Atago dan biara.
Perjalanan kita sudah jauh, tapi apakah kita sudah
mendekati ibu kota?
Belum. Kita sedang mengacaukan jejak kita untuk
mengelabui para pengejar kita, tapi kita sudah semakin
dekat dengan ibu kota.
Ushiwaka ... Konno-maru mendadak berkata,
setibanya kita di ibu kota, jangan panggil aku Konnomaru. Namaku Kowaka di sana.
Aku harus memanggilmu Kowaka?
Orang-orang di sana memanggilku dengan nama itu.
Oh? Aku lapar, Konno-maru, kata Ushiwaka.
Itu wajar. Aku akan mencari makanan untukmu.
Tunggulah aku di tempat pemujaan yang ada di sana.
Setelah waktu yang berjalan begitu lambat, Konno-maru
kembali dan mendapati Ushiwaka tertidur di beranda
tempat pemujaan. Dia bisa mendengar napas teratur bocah
yang tertidur di bawah langit berbintang itu. Konno-maru
mengguncang-guncangnya hingga terbangun, dan mereka
pun bersama-sama menyantap makanan yang didapatkan

oleh Konno-maru dari seorang petani; setelah itu, mereka


berbaring untuk tidur hingga malam musim panas yang
singkat itu memudar.
Mereka berjalan kaki selama setengah hari. Sesekali,
mereka berpapasan dengan orang-orang asing, yang dari
penampilannya menunjukkan bahwa Kyoto sudah dekat.
Kita sudah mendekati Saga sekarang, Konno-maru
memberi tahu Ushiwaka ketika mereka berhadapan dengan
sebuah bukit. Sebuah pondok beratap rumbia berdiri di
salah satu sisi bukit itu, dikelilingi oleh pagar hidup. Lihat,
dia datang seperti yang dijanjikannya! Kereta sapinya ada di
jalan di dekat pondok itu seru Konno-maru.
Ushiwaka tidak terkesan dengan apa yang dilihatnya,
namun kelegaan yang terpancar dari wajah Konno-maru
membuatnya senang. Konno-maru dengan hati-hati
menghampiri sebuah gerbang di tengah pagar dan
melongok ke pondok.
Akhirnya, dia memanggil dengan nada lembut:
Selamat siang, benarkah ini tempat Giwo menyepi?
Alunan ayat-ayat suci dari dalam pondok seketika
terhenti. Ya? ... sahut sebuah suara segar; kemudian,
seraut wajah yang ternyata muda dan cantik untuk ukuran
seorang biksuni, melongok ke luar. Siapakah kalian?
Apakah kamu Giwo?
Bukan, aku adiknya.
Konno-maru tersenyum ketika mengenalinya. Apakah
kau masih mengingatku ... Kowaka, pelayan Toji?
Benarkah itu dirimu, Kowaka? Masuk
menunggulah di dalam. Aku akan memanggil Giwo.
Giwo segera muncul, dan Konno-maru menyapanya:

dan

Ah, Giwo! Kapankah kita terakhir kalinya bertemu?


Aku sering memikirkanmu, tapi ...
Apakah semuanya baik-baik saja, Kowaka? Apakah kau
masih bersama Toji?
Ya, semuanya baik-baik saja di sana. Pekerjaanku
menyenangkan, dan tahun-tahun berlalu tanpa kusadari.
Ya, tentu setidaknya sudah delapan tahun berlalu sejak aku
mengantarmu ke Rokuhara.
Seperti mimpi saja, ya? Lima atau enam tahun telah
berlalu sejak aku menyepi di sini bersama ibuku, adikku,
dan Hotok6.
Ya, benar, sudah bertahun-tahun berlalu sejak kau pergi
ke Rokuhara. Kau tidak pernah kembali kepada kami
sesudahnya.
Wajah Giwo seketika mengeruh. Sudahlah, Kowaka,
jangan membicarakan masa lalu. Aku sudah bersumpah
untuk menjadi seorang biksuni sekarang, dan aku malu
setiap kali mengingat masa itu.
Maafkan aku; bodoh sekali aku yang menceracau
seperti itu ... dan ini mengingatkanku tentang alasanku
mendatangimu di sini.
Kau berjanji untuk menemui Tuan Kichiji di sini,
bukan?
Ya, beliau adalah pengayom Toji yang paling terhormat
dan budiman.
Beliau sering memintaku tampil di hadapannya dahulu.
Aku kaget waktu beliau tiba-tiba muncul di sini kemarin.
Kemarin?
Ya, kami berbincang-bincang cukup lama, lalu sebelum
pergi, beliau mengatakan bahwa beliau sudah menyewa

sebuah perahu di Sungai Hozu dan akan membawa


beberapa orang gadis Toji untuk menghabiskan malam di
air.
Apakah beliau sudah kembali?
Beliau kembali kemari pagi ini untuk mengagumi
keindahan pagi hari di sekitar rumah ini dan
memberitahuku bahwa kau akan datang kemari untuk
menjemputnya. Beliau memerintahkan agar keretanya
diletakkan di tempat yang bisa kaulihat. Aku disuruh
menyampaikan pesan bahwa beliau menunggu di kuil yang
bisa kaulihat dari sini.
Konno-maru berterima kasih kepada Giwo dan
mengucapkan selamat tinggal. Kemudian, bersama
Ushiwaka, dia menghampiri kereta itu. Konno-maru
mengangkat kerainya dan melongok ke dalam. Bagian
dalam kereta itu menguarkan aroma dupa dan minyak
wangi.
Ushiwaka, maukah kau menunggu di dalam? Aku akan
segera kembali.
Dari bagian belakang kereta, Konno-maru mengeluarkan
sehelai kimono putih seperti yang biasa dikenakan oleh
penarik sapi, lalu memakainya di atas pakaiannya sendiri
sebelum mereka berangkat ke kuil.
Ushiwaka memeriksa bagian dalam kereta itu dengan
penasaran. Udara yang pengap dan wangi seolah-olah
mencekiknya. Dia teringat kepada ibunya ... surat dari
ibunya menguarkan aroma yang sama, aroma yang
disadarinya sebagai aroma wanita. Dia mengangkat kerai,
yang letaknya sudah dibenahi oleh Konno-maru, dan
sesekali mengintip ke luar.
o0odwkzo0o

Kichiji sedang tidur siang di salah satu ruangan kuil


ketika seorang pendeta masuk dan membangunkannya,
mengatakan bahwa seorang
pelayan telah tiba untuk menjemputnya. Kichiji cepatcepat bangun dan menuju sebuah pintu di bagian belakang
kuil.
Kowaka! Kau sudah datang ... terima kasih!
Saya khawatir tidak akan bisa tiba di sini tepat waktu,
jawab Konno-maru. Apakah kita akan berangkat
sekarang?
Setelah berterima kasih kepada si pendeta, keduanya
meninggalkan kuil dan kembali ke pondok Giwo.
Saya akan kembali lagi, Kichiji tersenyum. Maafkan
saya yang telah merepotkan Anda, katanya kepada si
pendeta dengan nada memohon maaf sambil melangkah
memasuki kereta
Kemunculan mendadaknya mengagetkan Ushiwaka,
yang memandang Kichiji tanpa mengatakan apa-apa.
Begitu kereta itu bergerak, Kichiji mendekatkan diri kepada
Ushiwaka dan berbisik:
Kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun sekarang
karena aku ada di sini.
Setelah keheningan sesaat, Kichiji kembali berbisik,
Tapi ... jika kau bukan Heik6, berarti kau bukan siapasiapa. Seperti itulah dunia saat ini. Jika kau
menggantungkan diri kepadaku untuk menolongmu
melarikan diri ke timur laut, maka kau harus siap
menghadapi banyak hal dan melakukan apa pun tepat
seperti yang kuperintahkan.

Kereta itu berhenti setibanya di depan sebuah rumah


peristirahatan di dekat sungai. Derak rodanya mengundang
dua orang geisha berlari melewati pepohonan dedalu.
Kichiji menyapa mereka dengan wajah berseri-seri.
Di manakah yang lainnya? Sudah pergi, katamu? Ya
sudah, tidak apa-apa, aku bisa menyewa kuda atau tandu
untuk diriku sendiri.
Setelah selama beberapa waktu mengobrol tak tentu
arah, kedua geisha itu menjejalkan diri ke dalam kereta dan
duduk di samping Ushiwaka.
Nah, kalian sebaiknya berangkat sekarang, kata Kichiji
kepada Kowaka, yang mengangguk dan melecutkan
cambuk ke sapinya
Dari percakapan mereka, Ushiwaka menebak bahwa
kedua geisha itu bersaudara ... salah satunya adalah gundik
Kichiji. Mereka berlama-lama memandang Ushiwaka,
saling berbisik, lalu tersenyum kepadanya.
Dia tampan, ya?
Tapi agak kecil untuk pemuda seumurnya, ya?
Sambil meliriknya, kedua wanita itu berkali-kali
mengomentari penampilan Ushiwaka seolah-olah baru saja
mendapatkan hewan piaraan baru. Ushiwaka merasa
tercekik oleh wewangian yang menguar dari pakaian kedua
wanita itu; jantungnya berdegup kencang, dan tatapannya
tertuju pada pemandangan di luar.
Dia sepertinya terpesona melihat pemandangan kota.
Benarlah itu ... Tuan?
Ushiwaka mengabaikan pertanyaan yang ditujukan
untuknya itu. Dia terpikat oleh segala sesuatu yang

dilihatnya di sepanjang perjalanan mereka melintasi ibu


kota.
Uhat! ... Tuan Kichiji ada di sana, di depan kita, seru
salah seorang geisha itu, menunjuk ke salah satu sisi jalan.
Ketika melewati mereka, Kichiji menoleh ke kereta mereka
dan mengatakan sesuatu kepada Kowaka, yang menuntun
sapinya.
Sejenak kemudian, ruas jalan berapit pohon dedalu di
Horikawa terlihat Cahaya-cahaya lentera dari rumah-rumah
di sepanjang kanal seolah-olah menari-nari di atas
permukaan air, sementara alunan seruling, gebukan
genderang; dan kehangatan aroma malam musim panas
menerobos kerai kereta. Mereka berbelok ke salah satu ruas
jalan dan berhenti di depan sebuah rumah yang asri. Kichiji
telah menunggu di sana.
Tuan, katanya kepada Ushiwaka, silakan masuk. Ini
rumahku. Anggap saja sebagai rumah sendiri.
Ushiwaka tidak bisa tidur malam itu. Semua yang
didengar dan dilihatnya di lingkungan baru ini membuatnya
gundah. Makanan yang dikecapnya pun terasa aneh.
Dia semakin gelisah karena tidak diizinkan keluar
rumah. Kichiji baru kembali dua minggu kemudian setelah
pergi pada malam pertama mereka di sana.
Bagaimana keadaanmu? tanyanya kepada Ushiwaka.
Tidak kesepian, bukan? Heik6 masih mengawasi semua
orang, jadi aku sengaja menghindari tempat ini. Jangan
mengira aku telah melupakanmu.
Karena Ushiwaka diam saja, Kichiji melanjutkan,
Kabar baiknya, kurasa mereka tidak akan memeriksa
tempat ini. Semua jalan, pelabuhan, dan gerbang kota
diawasi dengan ketat Siapa pun yang memiliki keterkaitan

dengan Genji hingga saat ini dianggap sebagai tersangka,


tapi aku berhasil mengakali mereka, katanya sambil
tertawa. Siapakah yang akan berpikir untuk menggeledah
daerah hiburan?
Ushiwaka tetap diam saja.
Kichiji melanjutkan, Tentu saja, Tuan, aku tidak perlu
mengingatkanmu tentang betapa berharganya nyawamu
bagi Genji. Jika bukan karena dirimu dan saudara
tirimu,Yoritomo, di Izu, Genji tidak akan memiliki
pegangan lagi. Seluruh harapan mereka ada di benakmu.
Kichiji ... kapankah aku berangkat ke timur laut?
Ushiwaka mendadak bertanya.
Yah, aku harus sangat berhati-hati. Aku tidak boleh
mengambil risiko apa pun. Aku akan menunggu hingga
penjagaan Heik6 lebih longgar. Mungkin musim semi nanti
akan menjadi saat yang tepat untuk menemanimu ke
utara.
Musim semi?
Awal tahun depan, tepatnya.
Dan sebelum itu?
Ibu kota akan cukup aman bagimu. Untuk
memastikannya, bagaimanapun, kau harus berdandan
seperti perempuan, dan setelah merasa nyaman dengan
penyamaranmu, kau bisa bepergian ke sana kemari tanpa
takut dikenali. Kau akan tinggal di sini hingga aku datang
menjemputmu.
Kichiji segera berangkat ke timur laut, berjanji untuk
menjemput Ushiwaka pada bulan Februari atau Maret Dia
telah memberikan instruksi mendetail kepada Konno-maru

tentang apa yang harus dilakukannya selama dia pergi, dan


Ushiwaka dititipkan kepada kedua geisha bersaudara.
Aku tidak mau berdandan seperti perempuan,
Ushiwaka terus bersikeras kepada kedua geisha yang ingin
mendandaninya, dan juga kepada Konno-maru, yang
datang setiap hari; baru setelah dibujuk habis-habisan,
Ushiwaka akhirnya setuju untuk membiarkan rambutnya
disanggul seperti seorang perempuan. Dia mengenakan
kimono berwarna mencolok seperti yang dikenakan oleh
para geisha muda. Wajahnya dibedaki secara merata dan
pipinya dibubuhi pemerah hingga wajahnya benar-benar
mirip perempuan. Setelah terbiasa dengan penyamarannya
dan nama Rindo (bunga gentian), Ushiwaka mulai
merongrong Konno-maru.
Kowaka, kau sudah membohongi ku. katanya
berulang kali. Kau belum juga memberitahuku kapan kita
akan menemui ibuku. Kau pernah mengatakan bahwa
beliau sakit, tapi bukan begitu kenyataannya. Asatori
memberitahuku bahwa beliau pun ingin bertemu
denganku.
Sejak melarikan diri dari Gunung Kurama, Ushiwaka
seolah-olah terobsesi pada pikiran mengenai ibunya. Tetapi,
Konno-maru sebisa mungkin berusaha untuk menekankan
risiko yang akan ditanggungnya. Kau harus mengerti
bahwa aku tidak sedang mencoba menghalang-halangimu
menemui ibumu, tapi Heikt menjaga rumahnya sepanjang
siang dan malam. Mereka yakin bahwa kau akan
mendatanginya, dan mereka sudah siap membekukmu di
sana.
Tetapi. Ushiwaka bersikeras.
Kau akan berangkat ke timur laut, bukan?
Tidak. Aku harus menemui ibuku terlebih dahulu.

Aku sudah berulang kali memberitahumu bahwa demi


ibumu, begitu pula demi dirimu sendiri, kau sebaiknya tidak
menemui beliau sekarang.
Jalan Pertama, tempat tinggal beliau, tidak jauh dari
sini, bukan, Kowaka? Kalau begitu, salahkah aku jika ingin
menemui beliau?
Jika para prajurit Heik6 tidak berjaga-jaga di sana, tidak
ada yang mencegahmu menemui beliau.
Kau jahat, Kowaka, karena melarangku menemui
ibuku. Seandainya aku seorang pria dewasa, akan kuhabisi
semua Heik6.
Bagus! Jika kau ingin menemui ibumu, jangan lupa
bahwa itulah yang pertama-tama harus kaulakukan.
Betapa bencinya aku kepada mereka ... para Heike itu!
seru Ushiwaka dengan tatapan garang.
o0odwkzo0o
Ushiwaka, menyamar sebagai Rindo yang jelita, segera
dikenal oleh orang-orang yang tinggal di sepanjang kanal
berapit pepohonan dedalu di Horikawa, tempatnya sering
berjalan-jalan seorang diri. Kedua kakak beradik yang
tinggal bersamanya kadang-kadang mengajaknya ke pasar
di jalan Keempat dan Kelima. Mereka pun mengajarinya
menabuh genderang dan meniup seruling, dan ketika
musim dingin tiba, Ushiwaka mulai berlatih menari.
Daigo, seorang perajin genderang yang tinggal di dekat
Horikawa, memiliki seorang putri berumur sepuluh tahun
yang datang setiap hari ke rumah mereka untuk belajar
menari. Gadis kecil itu bernama Shizuka dan lebih pintar
memainkan genderang dan seruling daripada Ushiwaka,
yang dianggapnya sebagai kakak.

Rindo, mengapa kau tidak menjadi geisha saja?


tanyanya kepada Ushiwaka pada suatu hari.
Entahlah, jawab Ushiwaka. Aku
memainkan genderang dan seruling.

belum

ahli

Mengapa tidak tahun depan saja, kalau begitu?


Ya, tapi bagaimana denganmu, Shizuka?
Aku ... Shizuka ragu-ragu, memikirkan pertanyaan
Ushiwaka.
Apakah kau tidak ingin menjadi geisha?
Entahlah.
Mereka tengah berjalan-jalan di tengah hamparan salju
pada suatu hari, lupa bahwa mereka harus segera pulang,
ketika Ushiwaka mendadak bertanya:
Maukah kau ikut denganku ke jalan Pertama?
Di manakah letak Jalan Pertama?
Di dekat sungai.
Saat ini, Ushiwaka sudah mengenal baik rumah tua di
dekat sungai itu; dia telah melewatinya berkali-kali dengan
jantung berdegup kencang, dihantui oleh ketakutan bahwa
para penjaga Heik6 akan mengenalinya.
Rindo! Kau mau ke mana? seru Konno-maru,
mengejar kedua anak nakal itu. Mengetahui bahwa
Ushiwaka kerap berkeliaran di sekitar Jalan Pertama,
Konno-maru membawa kereta untuk membawanya pulang.
Pakaian Ushiwaka basah; dia kedinginan dan merana,
menangis terisak-isak untuk melampiaskan kekecewaannya
ketika Konno-maru merangkulnya bersama teman ciliknya,
lalu membawa mereka ke kereta untuk pulang ke Horikawa.
Di dalam kereta, kedua anak itu berpelukan. Shizuka

menghangatkan tangan dingin Ushiwaka dengan


menggosok-gosokkannya
ke
pipi,
dan
Ushiwaka
memeluknya erat-erat hingga mereka berdua jatuh tertidur.
o0odwkzo0o

Bab L-PERJALANAN KE TIMUR


Tahun Baru 1174 diwarnai oleh kegembiraan dan
kekhusyukan; ketenangan menyelimuti seluruh ibu kota.
Upacara besar-besaran di Istana telah berakhir tanpa
kericuhan. Tidak seorang pun mati kelaparan di jalanan
Kyoto. Kedamaian di bawah kekuasaan Heike ini telah
berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun, jauh lebih
lama daripada yang pernah terjadi di bawah kekuasaan
Fujiwara. Tidak sekali pun pertikaian berdarah pecah
sepanjang masa itu, dan rakyat percaya bahwa mereka
berutang budi kepada Kiyomori untuk semua ini.
Kendati begitu, hujatan kepada Heik6 masih sesekali
terdengar, bukan dari rakyat jelata melainkan kaum
bangsawan. Heik6 dipandang miring lantaran kekuasaan,
arogansi, dan bahkan hubungan mereka dengan kaum
darah biru. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, topik lain
menjadi buah bibir seluruh ibu kota. Terdengar desas-desus
bahwa Genji belum tercerabut hingga ke akar-akarnya, dan
mereka sedang bersiap-siap untuk sekali lagi menantang
Heikg. Rumor itu sepertinya disebarkan oleh para biksu dari
Gunung Kurama setiap kali mereka turun ke ibu kota, dan
cerita-cerita tentang menghilangnya Ushiwaka dan para
Tengu pun turut menguatkannya.
Heike melipatgandakan kesiagaan mereka. Mencurigai
daerah hiburan, sejak bulan Februari, para prajurit
Rokuhara secara teratur berpatroli dari rumah ke rumah

untuk mencari Ushiwaka, dan mata-mata dari Kepolisian


juga sering terlihat di sana.
Dua atau tiga kuntum bunga telah mekar di pohon plum
di dekat kios Daijo pada suatu hari di bulan Februari itu,
dan si perajin genderang memanggil seorang pejalan kaki
dari bengkelnya:
Halo, halo! Kaukah itu, Kowaka?
Kowaka berbalik arah dan melongok ke dalam bengkel.
Kau sepertinya sedang sibuk seperti biasanya, Daijo.
Kau yakin aku tidak mengganggumu?
Duduklah sebentar. Jangan melewatiku begitu saja.
Aku tak ingin mengganggumu.
Omong-omong, aku harus memberitahukan sesuatu
kepadamu sebelum secara langsung mengatakan tentang hal
ini kepada Toji. Aku baru mengatakan kepada istriku tadi
pagi bahwa kuharap kau akan berkunjung.
Eh? Apakah sesuatu yang luar biasa telah terjadi?
Dengar, apakah kau mengenal seseorang yang bernama
Ular? Ya.
Lebih baik kau berhati-hati terhadap dirinya.
Terhadap Ular, maksudmu?
Sejujurnya, dia kemarin datang ke sini dan mengatakan
kepadaku bahwa ada yang aneh mengenai Rindo.
Apa! Dia mengatakan itu kepadamu?
Sekarang, dengarkanlah ... kau tahu bahwa Rindo dan
putriku Shizuka selalu bermain bersama. Nah, Ular kemari
untuk alasan yang tidak kumengerti. Dia sepertinya

menyembunyikan sesuatu. Aku sudah meminta Shizuka


berjanji untuk tidak mengatakan apa pun kepadanya.
Apakah si Ular ini juga menanyai putri kecilmu?
Dia menarik Shizuka dan mengatakan kepadanya
bahwa Rindo bukan perempuan. Ular mengancam Shizuka
bahwa jika dia tidak berkata jujur, maka prajurit Heik6 akan
menangkapnya.
Hmm? Pria kurang ajar menyebarkan desas-desus
murahan.
Kowaka ...
Ya.
Hanya itulah yang ingin kuberitahukan kepadamu, tapi
kuharap kau berhati-hati. Orang lain, sama seperti Ular,
mungkin juga menangkap keanehan yang sama.
Baiklah, Daijo, aku berterima kasih kepadamu dan
tidak akan melibatkanmu di dalam masalah. Kau tidak
perlu mengulangi peringatanmu, aku tahu.
Jangan khawatir. Jika aku gemar bergunjing, aku tidak
akan menceritakan tentang semua itu kepadamu.
Terima kasih, Daijo aku tidak akan menceritakan
apa pun kepadamu sekarang. Kau bisa menebak-nebaknya
sendiri, kata Kowaka sambil membungkuk dalam-dalam
dan memandang Daijo dengan penuh hormat.
Daijo meraih palunya dan tersenyum. Itu sudah cukup!
Sikap resmi seperti itu tidak pantas ditunjukkan di daerah
hiburan, kau tahu, katanya dengan riang sambil
mengumpulkan serutan kayu dan melemparkannya ke
perapian.
o0odwkzo0o

Bulan telah meninggi di atas Perbukitan Timur, dan


permukaan air Sungai Kamo berkilauan bagaikan mutiara
Jembatan Gojo semakin sepi begitu kegelapan malam di
bulan Februari itu menyelimuti sungai. Tanpa
memedulikan kesunyian, sesosok remaja berbadan kecil
terus melongok dari atas pagar jembatan, mengamati
unggas-unggas yang masih bermain di sungai.
Sosok itu adalah Ushiwaka, yang mengenakan mantel
dan bakiak wanita hitam bertumit tinggi. Dia membawa
sebuah seruling, yang
tersimpan di dalam wadahnya, dan terlihat sangat mirip
dengan seorang geisha. Siang itu, kedua geisha yang tinggal
bersamanya membawanya ke pasar di Jalan Kelima untuk
membeli beberapa keperluan guna menyambut Festival
Boneka. Tanggal 3 Maret tinggal beberapa hari lagi, dan
mereka berlama-lama di pasar, melihat-lihat beraneka
ragam barang dagangan yang dijajakan di sana. Ketika
sedang berjalan-jalan, kedua kakak beradik itu bertemu
dengan seorang pria yang sepertinya mengenal baik mereka.
Mereka pun menerima undangan untuk mengunjungi
kediaman si pria dan menyuruh Ushiwaka pulang
sendirian. Ushiwaka, yang tidak sanggup menaklukkan
gejolak rasa ingin tahunya, justru menyeberangi jembatan
menuju Rokuhara, tempat yang sudah lama ingin
dilihatnya. Dia berkeliaran di sekitar Rokuhara hingga sore
hari, terpesona melihat ukurannya, deretan rumah megah
yang berdiri mengapit jalan nan luas, banyaknya gang yang
bercabang dari jalan utama, kereta-kereta dan para pejabat
dengan kimono beraneka warna, dan entah seberapa
banyak samurai yang melewatinya di depan kediaman
Kiyomori. Kota yang tengah berkembang ini adalah tempat
tinggal musuh ayahnya!

Merana dan kesepian, Ushiwaka pulang, hingga dia tibatiba roboh dan menangis tersedu-sedu di tengah Jembatan
Gojo. Di tempat inikah ayahnya, Yoshitomo, dan saudarasaudaranya menghadapi kekalahan mereka? Konno-maru
telah berkali-kali menceritakan rangkaian peristiwa pada
hari yang menentukan itu. Dan saat berdiri di sana,
menatap permukaan air, Ushiwaka diterpa oleh kesadaran
bahwa dia adalah putra Genji Yoshitomo. Dengan gigi
terkatup, dia menggumam, Ayah, aku sudah dewasa
sekarang. Putramu ini sudah enam belas tahun. Aku akan
membalaskan dendam Ayah. Hari itu sudah dekat.
Ketika Ushiwaka mengakhiri renungannya untuk
pulang, seseorang menghadangnya. Ushiwaka berusaha
melewatinya, namun pria itu tiba-tiba merentangkan kedua
tangannya dan berlari menyongsongnya.
Tunggu! Jangan bergerak, Rindo!
Apa maumu? Siapa kamu?
Aku? pria itu menyeringai. Semua geisha di ibu kota
ini mengenalku. Namaku Ular ... jangan pernah
melupakannya!
Itu tidak berarti apa-apa bagiku. Aku sedang terburuburu, lepaskan aku!
Hei ... Ular mencengkeram erat-erat mantel
Ushiwaka. Aku punya urusan denganmu. Kau laki-laki,
bukan?
Tentu saja tidak . Lepaskan aku!
Ayolah, aku sudah cukup mengenal geisha untuk
mengetahui tipuanmu!
Lepaskan aku! Aku akan menjerit kalau kau tidak
melepaskanku!

Jadi, kaupikir aku akan menculikmu, setan kecil? Aku


akan memberitahumu siapa dirimu yang sesungguhnya ...
Ushiwaka!
Kau tidak bisa menyanggahku, ya?
Itu tuduhan yang salah, aku Rindo ... seorang geisha!
Seorang geisha, ya? Dari Gunung Kurama? ... Kau
adalah putra sulung Tokiwa. Kalau tidak, mengapa aku
sering melihatmu berkeliaran di Jalan Pertama?
Ular menyambar bahu Ushiwaka dan mendorongnya ke
arah Rokuhara.
Ular benar, bukan? Ikutlah bersamaku sekarang.
Mengapa kau ketakutan begitu? Kita akan pergi ke
rumahku, kata Ular, terdorong maju dengan mantel di
tangannya karena Ushiwaka mendadak mengelak dan
menjatuhkan diri ke tanah.
Kurang ajar! Ular mengumpat ketika Ushiwaka
menendang kakinya. Dalam sekejap, Ushiwaka telah
bangkit dan lari dari sana.
Sekarang aku yakin bahwa kau memang Ushiwaka, dan
aku akan menangkapmu! seru Ular, berusaha berdiri dan
mengejarnya. Derap kakinya bergema di sepanjang
jembatan selama dia memburu sosok kecil itu. Sebuah
pekikan terdengar setibanya Ular di ujung jembatan.
Sesuatu berkelebat di bawah cahaya bulan. Kesunyian
menyusul. Tanpa disertai kepalanya, tubuh Ular terhuyunghuyung beberapa langkah dan roboh ke tanah.
o0odwkzo0o
Ushiwaka terbangun dari tidurnya yang nyenyak dan
memandang ke sekelilingnya. Di sampingnya, sebuah
patung besar menjulang tinggi hingga langit-langit. Dia

mendadak teringat tentang Ular dan pertemuan mereka


semalam. Satu demi satu, dia menatap seluruh isi ruangan
yang menyerupai gudang itu, pada patung-patung besar dan
kecil yang mengelilinginya. Dia mengenali Asura, sang
Dewa Perang; para dewa pemarah; Dewa Angin dan Petir,
dan bahkan Kannon yang tersenyum bijaksana.
Seketika itu, dia mengira dirinya tengah berada di
gudang harta sebuah kuil; kemudian, dia teringat bahwa
seseorang telah membawanya kemari dan dia tertidur.
Sebuah suara menggugahnya, dan dia menoleh. Dilihatnya
Kowaka sedang bangkit dari salah satu sudut yang dipenuhi
oleh berbagai macam perkakas dan peralatan melukis.
Apakah kau sudah bangun, Ushiwaka? tanya Konnomaru.
Kau tidak memanggilku Rindo* pagi ini, ya?
Kau sudah tidak memerlukan panggilan itu. Dan kau
boleh kembali memanggilku Konno-maru.
Apa yang telah terjadi?
Kita tidak akan kembali ke daerah hiburan lagi.
Di manakah kita saat ini?
Kita ada di bengkel seorang perajin patung Buddha.
Wah?
Kau mungkin akan cemas jika aku tidak
memberitahukan yang setepat-tepatnya kepadamu. Otoami,
seorang murid Unkei yang termashyur, tinggal di sini.
Beliau telah selama bertahun-tahun bekerja di timur laut
untuk membuat patung bagi Hidehira, dan
karena itulah Otoami mengenal baik Kichiji. jadi, kau
tidak perlu mengkhawatirkan keberadaanmu di sini.

Di manakah letak rumah ini?


Tidak jauh dari Shirakawa.
Kalau begitu, tempat ini tidak jauh dari Jalan Pertama,
bukan?
Ushiwaka ...
Ya?
Kau nyaris celaka tadi malam, bukan?
Ya, jika tidak ada kau dan pedangmu ...
Aku tidak ingin mengingatkanmu pada peristiwa itu,
tapi kurasa Ular sudah melaporkan tentang dirimu kepada
Heik6. Berkeliaran di luar sama saja dengan menantang
bahaya.
Bagaimana kau bisa tiba di Jembatan Gojo dalam
sekejap mata?
Kedua kakak beradik itu tiba di rumah dan mengatakan
bahwa mereka meninggalkanmu di salah satu sudut pasar di
Jalan Kelima Begitu mendengarnya, aku langsung merasa
bahwa kau sedang berada dalam bahaya karena baru pagi
itu si perajin genderang memberiku peringatan tentang
dirimu.
Ushiwaka tidak berkomentar apa-apa tentang hal ini, dan
Konno-maru melanjutkan, Aku langsung mencarimu ke
Jalan Pertama, namun kau tidak ada di sana. Kupikir kau
mungkin masih ada di Jalan Kelima, dan takdirlah yang
tentunya membawaku ke Jembatan Gojo tepat pada
waktunya.
Dan kita bersembunyi di sini setelah malam larut,
bukan?
Ya, apakah tidurmu nyenyak?

Ya, tapi aku mencemaskan nasib kedua kakak beradik


itu.
Kichiji sudah memberi tahu mereka tentang apa yang
harus mereka lakukan jika masalah terjadi. Aku sudah
memperingatkan mereka semalam, jadi mereka mungkin
sudah meninggalkan Horikawa saat ini.
Ke manakah mereka pergi?
Mereka mungkin akan bersembunyi di desa dan
kemudian berangkat ke timur laut Kichiji akan menjamin
keselamatan mereka. Sementara itu, bagaimanapun, kau
berada dalam bahaya besar ... setidaknya hingga kita tiba di
timur.
Apakah aku akan segera berangkat ke timur laut?
Melihat keadaan saat ini, sebaiknya kau tidak tinggal
lebih lama lagi di ibu kota. Di dalam suratnya, Kichiji
mengatakan bahwa dia akan sesegera mungkin
menjemputmu.
Dan hingga saat itu tiba?
Kau akan bersembunyi selama beberapa hari di sini.
Kau harus bersabar hingga Kichiji datang untuk
menjemputmu, tapi itu tidak akan lama.
Ketika terjaga setiap pagi, Ushiwaka menatap jendela
bengkel yang tinggi dan melihat langit dari sana.
Kemudian, dia akan mengeluh kepada dirinya sendiri. Oh,
menyebalkan! Hingga kapankah aku harus menunggu di
sini?
Dia gelisah karena harus melalui setiap hari dengan cara
yang sama, di tengah patung-patung yang mengerikan.
Kemudian, pada suatu malam di bulan Maret ketika pohonpohon plum tengah berbunga, badai besar menerpa atap

bengkel. Deru angin kencang membangunkan Ushiwaka.


Bantalnya basah, dan dia mendengar air menetes-netes dari
patung-patung di sekelilingnya. Dia duduk dan
menajamkan pendengaran. Alam sepertinya sedang
melampiaskan kemarahannya. Ushiwaka sendirian di sana
karena Konno-maru, yang meninggalkan bengkel bersama
Otoami maJam itu, belum kembali. Seketika itu juga,
terlintaslah di benaknya bahwa malam ini adalah waktu
yang tepat untuk melaksanakan rencana yang telah lama
disusunnya. Dia bangkit dari kasurnya dan meraba-raba
pintu. Terkunci. Konno-maru atau Otoami mengunci pintu
itu dari luar, menjadikannya tawanan di sana! Pikiran ini
mendorong seluruh nalurinya untuk memberontak. Konnomaru, para Tengu ... mereka semua ... selalu mengatakan
kepadanya bahwa segalanya bergantung kepada Kichiji.
Untuk apa dia harus memedulikan Kichiji! Siapakah
Kichiji sehingga bisa mengatur apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukannya? Sekaranglah saat bagi Ushiwaka untuk
menunjukkan tekadnya kepada Kichiji, bahwa dia akan
menemui ibunya terlebih dahulu .
Ushiwaka memanjat salah satu patung dan meraih
jendela. Angin dan hujan menerpa wajahnya. Dia menarik
napas dalam-dalam dan melompat ke luar. Kegelapan yang
pekat menyelimutinya ketika dia berlari ke arah Jalan
Pertama.
o0odwkzo0o
Angin mengoyak teritis dan mengguncang kerai-kerai di
rumah tua itu. Tokiwa berdoa agar hujan lekas reda karena
gemuruh sungai meresahkannya dan menyebabkannya sulit
tidur. Dia menyumpalkan selimut ke telinganya untuk
meredam lolongan angin. Kali ini, dia merasa yakin telah
mendengar bunyi gaduh di ujung lorong. Bunyi itu
terdengar berkali-kali; Tokiwa akhirnya menyibakkan

selimutnya dan menoleh ke arah Yomogi, yang tidur di


sampingnya.
Kemarin adalah 3 Maret ... Hari Festival Boneka ... dan
Tokiwa telah menata beberapa boneka kertas dan lempung
di kamarnya. Yomogi bertandang ke rumahnya,
membawakan seikat bunga persik dan penganan manis
yang dipersiapkannya sendiri. Mereka mengobrol hingga
larut malam, ketika badai memaksa Yomogi untuk
menginap.
Yomogi juga terbangun, bergerak-gerak dengan gelisah
di kasurnya.
Yomogi ... bunyi apakah kira-kira itu?
Bunyi yang aneh. Bisa saja angin. Saya juga terganggu
karenanya. Saya akan memeriksanya, jawab Yomogi,
bangkit dari kasurnya dan menyalakan lentera. Api
berkelap-kelip liar. Sungguh aneh karena angin terusmenerus menerobos masuk ke rumah.
Bayangan Yomogi, yang sedang berjalan dengan hatihati di lorong dengan membawa lentera, berkelebatan liar.
Tokiwa duduk tegak di kasurnya. Sementara itu, Yomogi
melangkah di lorong yang panjang dan berhenti di setiap
belokan, setiap kali merasa tertekan oleh kegelapan yang
meliputinya; bunyi tetesan air hujan mendadak
mengusiknya; sebuah pintu yang menghadap ke sungai
terbuka dan sesosok orang berdiri di keremangan ambang
pintu.
Apakah kau pelayan di sini? tanya sosok itu.
Ya. jawab Yomogi. Aku sedang menemani mantan
nyonyaku.

Ketika Yomogi menghampiri pintu, api lenteranya


berkedip dan padam.
Yomogi menyadari bahwa sosok itu adalah salah
seorang prajurit Heikt yang bertugas menjaga rumah ini
setiap malam.
Apakah kau melihat seseorang? tanya prajurit itu.
Tidak, tidak seorang pun, jawab Yomogi.
Pasti anginlah yang menyebabkan bunyi berisik itu, tapi
aneh juga bahwa pintu ini bisa terbuka.
Ya, segala sesuatu di sini sepertinya copot gara-gara
angin.
Itu benar. Mengapa kau masih terjaga di malam selarut
ini?
Aku tidak bisa tidur gara-gara keributan itu ... angin
yang menerobos masuk ke rumah.
Tapi badai ini sudah hampir reda.
Ini malam yang buruk bagi kaitan yang harus berjaga di
luar sana, ya?
Kehidupan memang berat, hanya itu yang bisa
kukatakan. Lagi pula, banyak kejadian janggal di jalan
Kelima dan Horikawa akhir-akhir ini sehingga kita harus
selalu membuka mata.
Ada apa di Jalan Kelima dan Horikawa?
Ada banyak desas-desus tentang iblis Tengu dan
kejahatan mereka . Kebanyakan adalah kasus penjarahan
rumah, tapi aku tidak semestinya membicarakan tentang
ini. Lebih baik kau mengunci pintu dan tidur. Sebentar lagi
pagi datang.

Yomogi mendengarkan langkah kaki prajurit itu


menjauh; kemudian, dia menutup pintu dan meraba-raba
jalan untuk kembali ke kamar. Sesuatu yang hangat dan
lembut mendadak menyentuhnya dan, seketika itu,
darahnya seolah-olah membeku. Dia hendak menjerit
namun berhasil menahan diri. Siapa ... siapa di sana?
tanyanya.
Yomogi terlonjak kaget ketika melihat sebuah gerakan di
dekat dinding.
Tolonglah ... seseorang berkata dan memeluk
Yomogi.
Yomogi merasakan kelembutan pipi seseorang di pipinya
Ibu? sebuah bisikan parau terdengar.
Yomogi terkesiap. Siapa ... siapa kamu?
Ushiwaka ... ini Ushiwaka, Ibu!
Tidak, tidak! Aku bukan ibumu. Bukan ibumu,
Yomogi
mengulang-ulang
jawabannya,
berusaha
membebaskan diri dari pelukan Ushiwaka. Kemudian,
sesuatu menyentuh bahunya dan dia tersadar. Yomogi
meloloskan diri dan berlari di sepanjang lorong.
Nyonya, Nyonya ... Ushiwaka! bisiknya dengan napas
terengah-engah ke telinga Tokiwa.
Ya? jawab Tokiwa dengan tenang.
Tunggu sebentar, Nyonya, saya akan menyalakan
lentera.
Tidak, Yomogi, jangan sekarang. Para penjaga akan
tahu.
Itu benar, tapi ... bagaimana kalau sedikit saja?

Jangan nyalakan lentera aku sudah lama


memikirkan apa yang akan terjadi jika aku bisa bertemu
kembali dengan putraku. Tidak ... pikiran itu membuatku
ketakutan. Tapi, ini bukan mimpi, dan dia benar-benar ada
di sini!
Ushiwaka, di manakah dirimu?
Di sini, aku di sini! Di sini, Ibu!
Isak tangis terdengar dari tengah kegelapan.
Ushiwaka, kau sudah sangat besar! Ya ...
Surat-surat dan pesan-pesanku sudah terkirim ke
Gunung Kurama, bukan? Ya.
Apa lagi yang bisa kukatakan kepadamu, karena pada
musim semi ini kau sudah berumur enam belas tahun.
Sudah menjadi seorang pria dewasa. Jika kau masih tinggal
di biara, sebagai ibumu, aku punya beberapa petuah
untukmu. Ini adalah doaku bagi putraku .Tetapi, tidak
peduli sekhusyuk apa pun kita memanjatkan doa, hanya
sedikit saja yang akan terjawab. Kau memanggilku Ibu,
padahal sungguh kecil peranku di dalam kehidupanmu.
Tidak, tidak ... Ushiwaka menyanggah, memeluk
Tokiwa dan membenamkan wajah ke pangkuannya.
Bukan salah Ibu jika keadaan kita menjadi seperti ini. Ini
semua gara-gara Heik6 ... Kiyomorilah yang bersalah!
Tokiwa tercekat; wajahnya yang pucat tertunduk ke bahu
Ushiwaka, dan putranya mendongak, menatapnya dalam
kegelapan dan mengatakan:
Ibu, itu benar, bukan? Aku berhasil mengelabui mereka
dan melarikan diri. Aku melakukannya secara sadar. Ibu
berharap aku akan menjadi seorang biksu, tapi aku adalah
putra Yoshitomo dan seorang samurai. Bagaimana

mungkin aku menjadi yang lain? Tidak ada tempat bagi


seorang pun yang berusaha kabur dari dirinya yang sejati.
Di manakah kehidupan semacam itu mungkin berjalan?
Apakah beda antara kehidupan di sini dan di kuil paling
terpencil sekalipun, tempat semua orang menjadi budak
Heike, yang takut dan patuh kepada mereka?
Ampunilah aku, Ibu. Aku tidak akan bisa memenuhi
keinginan Ibu. Tetapi, aku adalah putra Yoshitomo dan
tidak bisa menjadi apa pun selain samurai. Aku harus
memastikan agar nama Genji kembali dihargai. Sebentar
lagi aku akan menjadi seorang pria dewasa. Kejayaan
Kiyomori tidak akan berlangsung lama.
Tokiwa mendengarkan ucapan Ushiwaka dengan
perasaan hancur lebur. Semua orang mengetahui tentang
kemalangan yang menimpa Genji, namun hanya dia
seoranglah yang mengetahui bahwa Ushiwaka berutang
nyawa kepada Heike Kiyomori. Kendati
begitu, dia tidak sampai hati untuk mengungkapkannya
kepada putranya. Ini akan tetap menjadi rahasianya.
Karena cemas, Yomogi tidak bisa duduk tenang dan
terus-menerus mengintip ke lorong untuk meyakinkan diri
bahwa tidak ada orang di sana. Badai telah reda, dan langit
mulai terang. Kokok ayam jantan di kejauhan menambah
kegelisahannya.
Bukankah sekarang sudah saatnya bagi Ushiwaka untuk
pergi? Fajar sudah hampir merekah, bisiknya kepada
Tokiwa. Keheningan menyusul. Di bawah cahaya temaram
yang menerobos dari lubang-lubang udara kecil di atas
jendela, Yomogi melihat Ushiwaka terkulai di dalam
pelukan ibunya, seolah-olah sedang tertidur nyenyak.
Enggan mengganggu mereka, Yomogi berpaling selama

beberapa waktu. Kemudian, dia kembali berbisik, kali ini


dengan lebih tegas:
Nyonya ... sudah pagi.
Ushiwaka segera melepaskan diri dari pelukan ibunya.
Sudah waktunya bagiku untuk pergi .Aku akan kembali
kemari bersama sepasukan samurai Genji untuk menjemput
Ibu.
Tidak, lebih baik lagi ...
Apa kata Ibu?
Jagalah dirimu baik-baik. Hanya itu pintaku.
Tentu saja. Jagalah kesehatan Ibu hingga kita bertemu
lagi.
Untuk itulah aku hidup, Ushiwaka. Ingatlah bahwa
dalam menentukan kebenaran dan kesalahan, kau harus
menggunakan akal sehatmu. Kau juga harus meneladani
orang-orang yang paling kaukagumi; akan ada banyak
orang yang meremehkanmu, dan sejarah pertumpahan
darah yang bodoh dan mengerikan akan selamanya
terulang. Sebagai seorang samurai, ingatlah bahwa kau
harus selalu mencintai dan melindungi mereka yang lemah
dan tertindas, dan namamu pun akan selamanya
semerbak.
Aku mengerti, Ibu. Aku tidak akan pernah melupakan
nasihat Ibu.
Dengan cara apa lagikah kau bisa memberikan
penghormatan kepada ayahmu, Yoshitomo, selain menjadi
seorang samurai yang gagah berani dan bijaksana? Lihat
Yomogi ... matahari sudah terbit!
Tuan Muda, kata Yomogi, melambai kepada
Ushiwaka, bagaimanakah Anda akan pergi dari sini?

Jangan khawatir. Aku akan pergi seperti ketika aku


datang.
Tapi, baju Anda basah kuyup! Bagaimana mungkin
Anda pergi dalam keadaan seperti ini?
Keadaanku tidak pernah sebaik ini waktu masih tinggal
di biara. Aku tidak mempermasalahkan hujan atau angin,
tapi ... Ushiwaka mendadak menoleh kepada Tokiwa
dengan ekspresi memohon ... berikanlah salah satu boneka
Ibu kepadaku sebagai kenang-kenangan, katanya,
menunjuk salah satu boneka, yang buru-buru diserahkan
oleh ibunya kepadanya. Ushiwaka tersenyum dan melesat
di lorong, lalu melompati langkan dan menghilang di antara
pepohonan. Sejenak kemudian, dia telah berdiri di atas
tembok yang berbatasan dengan Sungai Kamo. Ushiwaka
menoleh untuk menatap ibunya sebelum lenyap sesaat
kemudian.
Ushiwaka berdiri di bagian sungai yang dangkal, lalu
berenang di bagian yang dalam. Dia adalah seorang
manusia merdeka sekarang. Dia tidak bergantung kepada
siapa pun. Konno-maru, Kichiji, Tuan Hidehira ... tidak
seorang pun dari mereka berarti apa-apa baginya. Dia
hanya bergantung kepada dirinya sendiri. Ushiwaka
terdiam di tengah sungai dan memandang ke sekelilingnya;
matahari baru saja terbit di balik Perbukitan Timur. Dia
sedang menoleh sekali lagi ke rumah tua di Jalan Pertama
ketika mendengar sebuah teriakan dari suatu tempat di tepi
sungai. Ushiwaka mendongak dan tersenyum ketika
melihat sesosok pria berlari ke arahnya. Dia adalah Konnomaru, yang terengah-engah dan berkeringat.
Tuan Muda, apa yang terjadi? katanya sambil menarik
dan mencengkeram lengan Ushiwaka hingga remaja itu
mengernyitkan wajah kesakitan. Kau tidak tahu betapa

khawatirnya kami. Saat aku datang bersama Kichiji,


bengkel itu kosong.
Apakah Kichiji sudah datang?
Bahkan Kichiji pun kebingungan. Dari mana sajakah
kamu?
Aku menemui ibuku.
Apa! ... ibumu?
Apa salahku?
Risikonya terlampau besar.
Aku melakukannya
janjimu.

karena

kau

Kau seharusnya tidak bertindak


Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu?

tidak

menepati

segegabah

itu.

Ya, itulah yang terus-menerus kaukatakan kepadaku ...


bahwa keselamatanku jauh lebih penting daripada semua
hal lainnya ... lebih daripada keinginanku untuk menemui
ibuku. Apakah menurutmu nyawaku akan berarti jika aku
tidak bisa bertemu dengan beliau?
Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang itu.
Yang jelas, Kichiji panik karenamu. Lebih baik kita
bergegas pulang ke rumah Otoami.
Begitu mendekati rumah Otoami, mereka melihat Kichiji
berdiri di dekat seekor kuda barang di gerbang belakang.
Seperti biasanya, dia ditemani oleh sepasukan pelayannya,
seolah-olah hendak melakukan perjalanan panjang.
Kita akan berangkat sekarang juga, katanya kepada
Ushiwaka dengan tegas. Kau akan menunggang kuda
karena kau masih kecil. Kemudian, Kichiji menoleh
kepada Konno-maru. Konno-maru, kita berpisah di sini

seperti yang telah kaujanjikan. Aku akan bertanggung


jawab atas keselamatan Ushiwaka. Yakinlah bahwa dia
akan aman bersamaku.
Aku yakin bahwa Anda akan sangat berhati-hati,
namun perjalanan ini panjang dan Ushiwaka belum
berpengalaman, jadi saya harap Anda bisa memastikan
bahwa tidak ada masalah yang menimpanya.
Kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Aku siap
mempertaruhkan nyawaku untuk menjamin Ushiwaka tiba
di tempat tujuannya dengan selamat. Tidak ada yang perlu
ditakuti setelah kami melewati Gunung Ashigara.
Selebihnya akan mudah.
Dari atas pelananya, Ushiwaka menoleh kepada Konnomaru. Konno-maru, kau hendak ke mana? tanyanya
dengan sedih.
Aku akan kembali ke perbukitan dan memberi tahu
teman-teman kita bahwa kau telah berangkat Kami sudah
berjanji kepada Kichiji untuk tetap tinggal di ibu kota
setelah kau pergi bersamanya. Tuan Fujiwara Hidehira
akan melindungimu. Pada suatu hari nanti, setelah kau
tumbuh dewasa dan Heik6 lebih lemah, kita semua akan
bertemu kembali di timur.
Ushiwaka menunduk dalam-dalam, menahan air
matanya. Ya, Konno-maru, kita pasti akan bertemu
kembali. Suatu hari nanti, kau akan mendapatkan
penghargaan atas kesetiaanmu. Sampaikanlah ini kepada
yang lainnya.
Kichiji menarik tali kekang kuda Ushiwaka. Baiklah,
Konno-maru, kita akan segera berjumpa lagi. Selamat
tinggal, selamat tinggal!

Mereka bergerak menuju wilayah perbukitan di dekat


Shirakawa, dan kuda yang ditunggangi Ushiwaka tiba-tiba
berlari, seolah-olah tidak sabar lagi untuk melewati Jalur
Shiga menuju timur.
LATAR BELAKANG SEJARAH THE HEIKE
STORY DAN PENULISNYA
Hingga beberapa waktu silam, ibu kota sekaligus pusat
perkembangan peradaban Jepang bukan Tokyo melainkan
Kyoto, tempat Istana Kekaisaran berdiri dari 794 1868.
Dibatasi oleh pegunungan di sebelah utara dan timur, dan
Sungai Kamo yang mengalir di sepanjang garis batas
timurnya, Kyoto merupakan pusat pemerintahan oleh para
bangsawan sejak masa awal kota itu berdiri hingga abad
kedua belas. Tidak terhitung lagi banyaknya kuil, pagoda,
dan tempat pemujaan berdiri di tengah hutan lebat di
berbagai bukit dan puncak gunung atau di lembahlembahnya; sejumlah gerbang megah, di antaranya adalah
Gerbang Rashomon di sebelah selatan, membuka jalan
menuju wilayah ibu kota yang berbentuk persegi dan jalanjalan protokolnya, yang saling bersimpangan dengan jarak
teratur. Di luar ibu kota terdapat desa-desa yang permai,
dengan banyak sekali pemandangan indah, yang menjadi
tempat pilihan bagi kalangan istana untuk bertamasya dan
menyaksikan pacuan kuda dengan latar belakang Sungai
Kamo.
Pada sekitar masa ketika ibu kota dipindahkan dari Nara
menuju Kyoto, pemerintahan pusat memegang kendali
seluruh wilayah barat Jepang sekaligus provinsi-provinsi di
timur hingga sejauh kota yang saat ini dikenal dengan nama
Tokyo, dan para bangsawan dari klan Fujiwara mulai
memegang peranan penting di dalam pengambilan

keputusan-keputusan negara. Dengan cara mengembangkan


sebuah sistem pemerintahan yang berpusat pada kaisar, dan
dengan menduduki semua jabatan penting, klan Fujiwara
segera menjadi penguasa negara. Untuk mengikat
hubungan dengan trah kekaisaran, mereka menyerahkan
putri-putri tercantik mereka untuk dipersunting oleh para
kaisar dan pangeran sehingga keturunan merekalah yang
nantinya menduduki singgasana. Lebih jauh lagi, klan
Fujiwara menjaga agar tampuk kekuasaan tetap berada di
tangan mereka dengan tanpa segan-segan menggulingkan
seorang kaisar dan menggantikannya dengan seorang
keturunan Fujiwara. Bahkan ada masa ketika seorang kaisar
kecil duduk di singgasana sementara dua orang kaisar
terguling ... seorang mantan kaisar dan seorang kaisar
kloister ... tetap berkuasa.
Karena wewenang pemerintahan pusat menjangkau
provinsi-provinsi terjauh, kekayaan Fujiwara pun terus
bertambah dan para bangsawan hidup bergelimang
kemewahan dan kekayaan yang berlimpah ruah. Kesenian
berkembang pesat dan Fujiwara menjadi pengayom bagi
golongan seniman yang tumbuh subur di lingkungan Istana.
Dan pada masa kejayaan mereka di awal abad kesebelas
inilah sebuah novel berjudul Kisah Genji ditulis oleh
seorang wanita bangsawan, menggambarkan keanggunan
dan kemeriahan kehidupan para bangsawan di puncak
kejayaan mereka.
Kurang dari seabad setelah Kisah Genji ditulis, akhir
kejayaan Fujiwara mulai bisa diperkirakan. Begitu
pengaruh mereka memudar, timbullah perebutan kekuasaan
di antara mereka sendiri sehingga gejolak yang terjadi di
istana bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dan
di tengah kekacauan itu, beberapa kaisar bahkan berupaya
untuk memperkuat kekuasaan mereka.

Sementara itu, lembaga agama Buddha, yang


berkembang pesat di bawah pembinaan Fujiwara dan
mendapatkan kekayaan besar dalam bentuk tanah bebas
pajak, semakin korup. Kuil-kuil dan biara-biara besar
melatih para pendeta dan biksu mereka untuk bertempur,
menggalang pasukan bayaran untuk memperkuat
pertahanan mereka, dan memaksakan berbagai kebijakan
kepada pemerintah. Kuil yang terkuat pada masa itu adalah
Enryakuji di Gunung Hiei, di sebelah timur laut ibu kota.
Kriminalitas, gejolak, dan kemarahan masyarakat marak
di ibu kota sejak awal abad kedua belas. Klan Fujiwara,
yang sudah tidak memiliki wewenang kecuali yang bisa
mereka rebut secara paksa, berniat untuk menarik
dukungan dari klan Heik6 atau Genji. Kedua klan samurai
tersebut, yang tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan
istana, hingga saat itu bertugas mengelola wilayah
kekuasaan Fujiwara di provinsi-provinsi yang jauh atau
dipekerjakan sebagai pengawal di Istana; mereka kemudian
dipanggil untuk saling mengadu domba faksi-faksi di dalam
klan Fujiwara sendiri, meredam gejolak masyarakat, dan
menengahi pertikaian bersenjata di antara kuil-kuil dan
biara-biara besar.
Pada pertengahan abad itu, sebuah pertikaian militer
besar-besaran terjadi, dan klan Heik6, di bawah panglima
muda mereka, Kiyomori, mengakhiri dominasi klan
Fujiwara sekaligus menjatuhkan saingan mereka, klan
Genji. Kendati Heikt telah menggantikan Fujiwara, sama
seperti pendahulunya, Kiyomori gagal untuk merumuskan
sebuah sistem pemerintahan dan perundang-undangan
baru. Hal ini berujung pada perebutan kekuasaan antara
Heike dan Genji, dan pada seperempat abad terakhir, Heike
bertekuk lutut di hadapan Genji.

Tetapi, kejayaan Genji juga tidak bertahan lama ataupun


berhasil meredam gejolak yang terjadi di seluruh Jepang,
karena pada awal 1300-an, klan Genji ditumbangkan oleh
pertikaian yang terjadi di dalam tubuh mereka sendiri. Dan,
sementara semua itu terjadi, kaisar dan para bangsawan
berupaya untuk merebut kekuasaan dari klan-klan samurai
yang senantiasa saling berseberangan.
Seluruh Jepang dirundung konflik pada awal abad
keenam belas. Para panglima kecil di berbagai wilayah
saling melawan hingga seluruh negeri dilanda perang
saudara. Kedamaian baru terasa pada akhir abad tersebut,
dibawa oleh seorang jenderal bernama Tokugawa leyasu.
Dialah pelopor diktator samurai yang memerintah Jepang
dengan tangan besi selama dua ratus lima puluh tahun ...
hingga 1868, ketika persatuan antara Kaisar, beberapa
orang bangsawan, dan beberapa klan samurai berhasil
merebut singgasana kembali. Kendati begitu, keberhasilan
itu tidak mengakhiri ketimpangan kekuasaan di antara
unsur-unsur yang memungkinkan terjadinya Restorasi, dan
gejolak itu terus berlanjut hingga 1945, ketika Jepang kalah
dalam Perang Pasifik.
Ketika merenungi kembali sejarah Jepang, kita akan
menyadari adanya keterkaitan yang begitu dekat antara era
modern dengan abad kedua belas. Jepang hari ini masih
mendapatkan pengaruh besar dari ajaran Bushido, atau
kode etik samurai, yang berasal dari kasta samurai. Kisahkisah tentang para kesatria pria dan wanita dari abad
pertengahan, yang disukai oleh anak-anak Jepang hingga
saat ini, adalah kisah-kisah yang juga diperdengarkan pada
masa lalu. Drama, Noh, Kabuki yang termasyhur, dan
banyak legenda lainnya diturunkan dari mulut ke mulut,
semuanya terinspirasi dari para pria dan wanita dari abad
kedua belas dan menjadi warisan kesusastraan rakyat

Jepang. Hampir bisa dikatakan bahwa tanpa memiliki


pengetahuan tentang abad kedua belas, pemahaman kita
mengenai Jepang dan berbagai cabang keseniannya tidaklah
utuh.
Dari berbagai sumber yang membahas tentang periode
itu, Heike Monogatori (The Heik6 Story atau Hikayat
Heike), sebuah kisah epik yang menggambarkan keadaan
pada awal abad ketiga belas, tidak lama setelah tumbangnya
Heik6, bertahan sebagai sebuah dokumen yang penting bagi
sejarah dan salah satu karya sastra besar dari masa itu.
Tidak diragukan lagi bahwa kejatuhan Heik6 berkesan
begitu mendalam di hati setiap penduduk Jepang karena
puisi panjang yang menceritakan tentang akhir tragis klan
Heik6 itu dinyanyikan di berbagai sudut negeri oleh para
penyanyi balada yang tampil dengan kecapi mereka. Dan
hingga berabad-abad sejak pertama kali dilantunkan, lagu
itu menjadi salah satu romansa kesukaan penduduk Jepang,
yang menjadikan para pahlawan di dalamnya sebagai idola.
Eiji Yoshikawa mulai menulis The Heiki Story tidak
lama setelah Perang Pasifik berakhir, karena akhir tragis
dari perang tersebut mengingatkannya pada kisah yang
terkandung di dalam Heik6 Monogatori dari tujuh abad
silam, dan di dalam buku ini, dia mengangkat tema tentang
kepercumaan dan kebejatan perang, juga nafsu untuk
meraup kekuasaan. Penulis menjadikan Kiyomori sebagai
salah seorang tokoh utamanya, namun The Heiki Story,
berbeda dari cerita-cerita pendahulunya, lebih dari sekadar
kronik tentang kehebatan para kesatria dan putri, karena
kisah yang disampaikannya lebih dari sekadar rangkaian
peristiwa yang tercatat di dalam epik abad pertengahan, dan
kekalahan Heik6 diceritakan terjadi setelah kematian
Kiyomori, ketika seorang panglima Genji, Yoritomo, tampil

untuk memainkan sebuah peranan penting seperti yang


terekam di dalam sejarah.
Penulis memperkenalkan tokoh-tokoh sejarah, begitu
pula tokoh-tokoh khayalan di dalam novelnya, namun tidak
seorang pun dari mereka menjadi pahlawan utama. Sejarah,
atau rangkaian peristiwa yang tidak terduga, adalah
protagonis yang sesungguhnya dalam The Heike Story,
mencakup segalanya, dan para tokoh besar yang ada di
dalam kisah itu hanyalah sosok-sosok yang sejenak
terselamatkan dari arus deras waktu, dan dengan
interpretasinya sendiri, Mr. Yoshikawa mengawali
penuturan epik kuno yang diawali dengan Lonceng kuil
menggemakan betapa mudahnya segala sesuatu berubah.
Warna-warni bunga menegaskan kenyataan bahwa apa pun
yang berkembang dengan indah akan membusuk di
kemudian hari. Kebanggaan hanya sejenak bertahan,
bagaikan mimpi di malam musim semi. Dalam waktu
singkat, kedigdayaan akan surut, dan segalanya akan
menjadi debu yang tertiup angin.
Dalam melakukan interpretasi sejarah untuk The Heike
Story, Mr. Yoshikawa tidak hanya mempelajari
kesusastraan dari abad kedua belas dan ketiga belas tetapi
juga sejumlah buku harian, surat, kronik, dan gulungan
gambar, yang memberikan sumber pengetahuan dan detail
otentik dalam penyampaian kisah ini.
Mr. Yoshikawa menduduki tempat terhormat di jajaran
penulis novel Jepang modern. Jika sebagian besar dari
mereka, kalaupun tidak semuanya, pada waktu tertentu di
dalam karier mereka, pernah mendapat pengaruh dari
kesusastraan Eropa, terutama dari penulis-penulis Rusia
dan Prancis, Mr. Yoshikawa, disebabkan oleh situasi pada
awal kehidupannya, tidak memiliki kesempatan untuk
bersinggungan
dengan
kesusastraan
Barat,
versi

terjemahannya sekalipun. Bacaan pada masa mudanya ...


yang dilahapnya dengan rakus ... adalah kisah-kisah klasik
Jepang, dari masa kuno dan abad pertengahan, yang bisa
ditemukannya di perpustakaan. Sebagai hasilnya, latar
belakang dan teknik menulisnya terbentuk secara eksklusif
oleh tradisi sastra klasik Jepang, dan dari sanalah dia
mendapatkan model dan sumber pengetahuan.
The Heiki Story (Hikayat Heike), yang mulai ditulis oleh
Mr.
Yoshikawa
pada
1951,
belum
sempat
dirampungkannya, namun lebih dari dua per tiga bagian
dari proyek monumental ini telah selesai ditulis dan
membentuk sebuah buku. Buku ini laris dan dibaca oleh
berbagai kalangan, dan oleh para kritikus dianggap sebagai
sebuah tonggak di dunia sastra Jepang modern.
Beberapa patah kata perlu ditambahkan berkaitan
dengan terjemahannya. Akan lebih tepat jika buku ini
disebut sebagai versi bahasa Inggrisnya, karena berdasarkan
kesepakatan dengan penulisnya, The Heiki Story telah
banyak dimodifikasi agar lebih mudah dicerna oleh para
pembaca non-jepang. Banyak hal yang signifikan dan
menarik bagi pembaca Jepang, yang telah akrab dengan
latar belakang sejarah kisah ini, dihilangkan dari versi
terjemahannya; setiap bab telah dipadatkan dan sejumlah
besar sub-plot dan tokoh pembantu juga dihilangkan. Oleh
karena itu, versi terjemahan ini bukan sebuah kisah yang
utuh dan tidak akan mampu menyampaikan kerumitan dan
kekayaan versi aslinya. Kendati begitu, penerjemah dengan
tulus berharap agar The Heike Story bisa memberikan
kesempatan bagi pembaca non-jepang untuk mendapatkan
kenikmatan membaca yang setara dan juga perkenalan pada
Jepang dan penduduknya.
THE END

Anda mungkin juga menyukai