Anda di halaman 1dari 359

Source Hanaoki.wordpress.com Convert Pdf by navaseil@gmail.

com
THE ELEVENTH COMMANDMENT
Jeffrey Archer

Copyrighi © Jeffrey Archer 1998 Publi.vhed by arrangement with HarperCoIIins


Publishers Ltd. AH rights reserved
PERINTAH KESEBELAS Alih bahasa: Joko Raswono GM 402 00.417 Sampul
dikerjakan Oleh: Marcel A.W.
Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah
Selatan 24-26, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta, Januari 2000
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ARCHER, Jeffrey
Perintah Kesebelas/Jeffrey Archer; alih bahasa, Joko Raswono—Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama, 2000.
496 hlm.; 18 cm.
Judul asli : The Elevenih Commandment ISBN 979 - 655 - 417 - 8
I. Judul II. Raswono, Joko
813
Dicetak oleh Percetakan PT. Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Untuk Neil dan Monigue
DAFTAR ISI
BUKU SATU Pemain Tim
11
BUKU DUA Pemain Tunggal
165
BUKU TIGA Pembunuh Bayaran
321
BUKU EMPAT Yang Gesit dan yang Tewas
471

UCAPAN TERIMA KASIH


Saya berterima kasih kepada orang-orang berikut yang telah membantu dalam
penulisan buku ini:
Yang Mulia William Webster, mantan Direktur CTA dan FBI
Yang Mulia Richard Thornburgh, mantan Jaksa Agung Amerika Serikat
Yang Mulia Samuel Berger, United States National Security Advisor
Patrick Sullivan, United States Secret Service, Washington Field Office
Agen Khusus J. Patrick Durkin, United States Di-plomatic Secret Service
Melanne Verveer, Kepala Staf Hillary Rodham Clinton
John Kent Cooke Jr., pemilik, Washington Redskins
Robert Petersen, Penyelia^ United States Senate Press Gallery
Jerry Gallegos, Penyelia, Housc Press Gallery King Davis, Kepala Polisi, Sierra
Madre, California
Mikhail Piotrovsky, Direktur, Museum Hermitage dan
Istana Musim Dingin, St. P*etersburg Dr. Galina Andreeva, Pengampu Departemen
Lukisan
Abad Kedelapan Belas dan Kesembilan Belas, State
Tretyakov Gallery, Moscow Aleksandr Novoselov, Asisten Duta Besar, Kedutaan
Federasi Rusia, Washington D.C. Andrei Titov
Tiga anggota St. Petersburg Mafya yang keberatan disebutkan namanya
Malcolm Van de Riet dan Timothy Rohrbaug, Nicole Radner, Robert Van Hoek, Phil
Hochberg, David Gries, Judy Lowe dan Philip Verveer, Nancy Henrietta, Lewis K.
Loss, Darrell Green, Joan Komlos, Natasha Maximova, John Wood dan Chris Ellis.
Dan, khususnya, Janet Brown, Komisi Presidential Debates; dan Michael Brewer
dari Brewer Consulting Group.

BUKU SATU
Pemain Tim
BAB SATU

Begitu ia membuka pintu, alarm berbunyi.


Kesalahan yang biasa dilakukan seorang amatir Mengherankan, sebab Connor
Fitzgerald dianggap
para koleganya sebagai profesionalnya para pro tesional.
Fitzgerala telah mengantisipasi bahwa baru beberapa menit lagi policia akan bereaksi
terhadap
pembobolan di distrik San Victorina.
Masih beberapa jam lagi pertandingan sepak bola tahunan melawan Brasil
berlangsung. Tetapi
separo dari seluruh pesawat televisi di Kolombia pasti telah dinyalakan. Jika
Fitzgerald membobol
pegadaian setelah sepak bola dimulai, policia mungkin tidak akan melacaknya
hingga wasit
membunyikan peluit panjang. Sudah diketahui umum bahwa para kriminal setempat
menganggap
pertandingan itu sebagai waktu bebas bersyarat selama satu setengah jam. Tetapi
rencana
Fitzgerald untuk satu setengah jam itu ialah
13
supaya policia melacaknya berhari-hari. Dan ber-minggu-minggu, bahkan mungkin
berbulan-bulan,
akan berlalu sebelum seseorang menyadari arti sesungguhnya pembobolan di Sabtu
siang itu.
Alarm masih berdering ketika Fitzgerald menutup pintu belakang dan cepat-cepat
melintasi ruang
sempit penyimpan barang menuju pintu depan pegadaian. Ia tidak menggubris
deretan jam di
wadah mereka, zamrud dalam kantong-kantong kertas kaca, serta benda-benda dari
emas dalam
berbagai bentuk dan ukuran yang dipamerkan di balijc.terali rapat. Semuanya
ditandai dengan
nama dan tanggal sangat cermat sehingga para pemilik dapat kembali dalam waktu
enam bulan
untuk menebus warisan keluarga mereka. Tapi hanya sedikit yang datang menebus.
Fitzgerald menyibak tirai manik-manik yang memisahkan ruang penyimpan dengan
toko. Ia
berhenti di depan gerai. Matanya menatap koper kulit lusuh di tengah-tengah etalase.
Ada inisial
"D.V.R." tercetak di atas tutup koper dengan huruf keemasan. Ia tetap tak bergerak
hingga yakin
tak ada orang yang melihat ke dalam.
Ketika tadi pagi menjual senapan istimewa buatan tangan kepada pemilik toko, ia
telah
menjelaskan tidak berniat kembali ke Bogota. Maka barang itu dapat langsung dijual.
Fitzgerald
tidak heran senapan itu telah dipasang di etalase. Di seluruh Kolombia tidak akan ada
yang serupa
dengan itu.
Ia baru akan melewati gerai ketika ada seorang pemuda berjalan melewati etalase.
Fitzgerald
berhenti. Tetapi perhatian pemuda itu seluruhnya tersita oleh radio kecil yang
menempel pada
telinga kiri-
14
nya. Perhatiannya terhadap Fitzgerald hanya seponi perhatian tukang jahit terhadap
boneka model
penjahit. Begitu pemuda itu lepas dari penglihatan, Fitzgerald melangkahi gerai dan
menuju ke
etalas*-Ia memeriksa jalanan apakah ada yang mengawasinya, tapi ternyata tidak ada
siapa-siapa.
Dengan satu gerakan ia mengambil koper kulit dari etalase dan cepat-cepat berjalan
kembali. Ia
melompati gerai dan berbalik memandang ke luar lagi untuk memastikan tidak
seorang pun
menyaksikan pencurian itu.
Fitzgerald berputar, menyibak tirai manik-manik, dan berjalan ke pintu tertutup. Ia
memeriksa jam
tangannya. Alarm telah berbunyi selama 98 detik. Ia memasuki lorong dan
mendengarkan baik-
baik. Seandainya mendengar lengking sirene policia, ia pasti ikan berbelok ke kiri
dan menghilang
di sedemikian banyak jalan yang melintas di belakang toko pegadaian. Tapi yang
terdengar hanya
alarm. Selain itu sunyi. Ia membelok ke kanan dan berjalan santai ke arah Carrera
Septima. ,
Sesampainya di trotoar, Connor Fitzgerald menengok ke kiri-kanan. Ia menyelinap
ke antara lalu
lintas yang tak padat, dan menyeberangi jalan tanpa menoleh ke belakang. Ia
menghilang di
restoran yang ramai pengunjung, tempat sekelompok penggemar sepak bola ramai
mengerumuni
televisi berlayar lebar.
Tak ada yang memandangnya. Satu-satunya perhatian mereka ialah menonton tiga
gol yang dicetak
Kolombia tahun lalu dan ditayangkan berulang-ulang. Ia duduk menghadap meja di
sudut. Walau
tak dapat melihat layar televisi dengan jelas, ia dapat meman-
15
dang ke seberang jalan dengan leluasa. Sebuah papan lusuh bertulisan "'J'.Escobar.
Monte de
Piedad, establecido 1946" terombang-ambing diembus angin siang di atas toko
pegadaian.
Beberapa menit berselang, lalu sebuah mobil policia mendecit berhenti di depan
toko. Begitu
melihat dua policia berseragam memasuki toko, Fitzgerald meninggalkan mejanya
dan tanpa acuh
keluar lewat pintu belakang memasuki jalan lain yang tenang di Sabtu siang itu. Ia
menghentikan
taksi kosong pertama yang l^wat, dan berkata dengan logat A/rika Selatan kental, "El
Belvedere di
Plaza de Bolivar, por favor." Sopir itu mengangguk singkat, seolah memberitahu ia
tidak berminat
bercakap-cakap lebih panjang. Begitu Fitzgerald masuk ke kursi belakang taksi
kuning itu, si sopir
langsung menyetel radio.
Fitzgerald memeriksa jamnya lagi. Pukul 13.17. Ia beberapa menit terlambat dari
jadwal. Pidato
pasti sudah dimulai. Tetapi karena selalu berlangsung empat puluh menit lebih, ia
masih punya
waktu cukup untuk melaksanakan tujuan yang sebenarnya berada di Bogota. Ia
beringsut beberapa
inci ke kanan supaya benar-benar pasti sopir dapat melihatnya dengan jelas melalui
kaca spion.
Begitu policia mulai mengadakan penyelidikan, ia memerlukan semua orang yang
melihatnya hari
itu untuk memberikan deskripsi yang kurang-lebih sama: laki-laki, kulit putih, usia
lima puluhan,
tinggi 180 sentimeter lebih, berat sekitar 80 kilogram, tak bercukur, rambut hitam
dan acak-acakan,
berpakaian seperti orang asing, berlogat asing tapi bukan
16
Amerika. Ia berharap setidaknya ada seorang di antara mereka yang mampu
mengidentifikasi ciri
bunyi sengau bahasa Afrika Selatan. Fitzgerald selalu jago dalam menirukan
berbagai logat. Di
SMU ia senantiasa mendapat masalah karena menirukan uru-gurunya.
Radio di dalam taksi tak henti-hentinya menyiarkan pandangan pakar, satu menyusul
yang lain,
mengenai bagaimana kira-kira hasil acara tahunan tetap itu. Dalam hati Fitzgerald
beralih dari
bahasa yang lak ingin dikuasainya, walau akhir-akhir ini ia menambahkan "falta",
"fuera", dan
"goV pada kosakatanya yang terbatas.
Tujuh belas menit kemudian Fiat kecil itu berhenti di depan El Belvedere. Fitzgerald
menyerahkan
lembaran 10.000 peso kepada si sopir. Dan ia lelah menyelinap keluar taksi sebelum
si sopir
sempat berterima kasih atas tip yang begitu besar. Ini bukannya karena para sopir
taksi di Bogota
terkenal terlalu sering menggunakan kata-kata "muchas gracias".
Fitzgerald bergegas ke tangga hotel, melewati portir berseragam, dan melalui pintu
putar. Di lobi ia
langsung menuju ke deretan lift yang berhadapan dengan meja resepsionis. Ia
menunggu beberapa
menit dan salah satu lift kembali ke lantai dasar. Begitu pintu terbuka, ia masuk dan
memencet
tombol "8", kemudian cepat-cepat memencet tombol "Close" tanpa memberi
kesempatan orang lain
mengikutinya. Saat pintu terbuka di lantai 8, ia melangkah di lorong berkarpet tipis
menuju kamar
807. Ia menggesekkan kartu plastik ke celah dan menunggu cahaya hijau menyala,
baru kemudian
menekan pegangan pintu.
17
Begitu pintu terbuka ia memasang tanda "Favor de no Molestai" di luar pintu, la
menutup pintu dan
memasang pasaknya.
Lagi-lagi ia memeriksa jamnya: pukul 13.36. Menurut perhitungannya, kini polisi
pasti sudah
meninggalkan toko pegadaian setelah menyimpulkan bahwa alarm itu salah. Mereka
akan
menelepon Mr. Escobar di rumahnya di pedalaman untuk memberi-tahu bahwa
tampaknya
segalanya beres. Dan mereka menyarankan supaya ia menelepon polisi jika ada
sesuatu yang hilang
sekembalinya ia ke kota hari Senin. Tetapi lama sebelum itu, Fitzgerald pasti telah
mengembalikan
koper kulit lusuh itu di etalase. Pada hari Senin pagi yang akan dilaporkan Escobar
hanyalah paket-
paket kecil zamrud belum terasah yang diambil policia ketika mereka pergi. Berapa
lama lagi
Escobar akan memergoki benda lain yang juga hilang? Sehari? Seminggu? Sebulan?
Fitzgerald
telah memutuskan untuk meninggalkan petunjuk aneh guna mempercepat proses itu.
Fitzgerald melepas jas dan menyampirkannya di kursi terdekat. Dan mengambil
remote control dari
meja di sisi tempat tidur. Ia menekan tombol nOnn, lalu duduk di sofa di depan
pesawat televisi.
Wajah Ricardo Guzman memenuhi layar televisi.
Fitzgerald tahu bahwa Guzman akan berusia lima puluh tahun di bulan April
berikutnya. Tetapi
dengan tinggi tubuh hampir 185 sentimeter dan rambut masih penuh hitam pekat
serta tak ada
masalah soal berat badan, ia bisa mengatakan kepada khalayak penyan-jungnya
bahwa ia belum
empat puluh tahun. Dan mereka akan mempercayainya. Bagaimanapun tak
18
lunyak orang Kolombia yang mengharapkan para politisi mereka mengatakan
kebenaran tentang

apa pun. Khususnya tentang usia mereka.


Ricardo Guzman, favorit dalam pemilihan presiden yang akan datang, adalah bos
kartel Cali yang
menguasai 80 persen perdagangan kokain New York. *l m menghasilkan semiliar
dolar setahun.
Fitzgerald inlak menjumpai informasi ini dalam tiga surat kabar n.isional Kolombia,
mungkin
karena pasokan kertas koran negeri itu kebanyakan dikendalikan oleh < ni/.man.
'Tindakan pertama yang akan saya ambil sebagai piesiden Anda sekalian adalah
menasionalisasi
perusahaan yang mayoritas pemegang sahamnya orang-<>iang Amerika."
Gerombolan kecil orang-orang yang mengerumuni langga Gedung Kongres di Plaza
de Bolivar
meneriakkan persetujuan mereka. Berkali-kali para penasihat Ricardo Guzman
memperingatkan
bahwa tak iiria gunanya berpidato pada hari dilangsungkannya pertandingan sepak
bola, tetapi
tidak digubrisnjta. Karena ia memperhitungkan bahwa berjuta-juta pemirsa televisi
akan
menjelajahi saluran mencari sepak bola, dan akan melihatnya di layar walau hanya
sekejap. Orang-
orang yang sama itu akan terperanjat, bila hanya sejam kemudian mereka melihat
Guzman
memasuki stadion yang penuh sesak. Sepak bola membosankan Guzman, tetapi ia
tahu bahwa
kehadirannya yang beberapa saat sebelum tim tuan rumah memasuki lapangan akan
mengalihkan
perhatian khalayak dari Antonio Herrera, Wakil Presiden Kolombia dan saingan
utamanya dalam
pemilu.
19
Herrera akan duduk di boks VIP. Tapi Guzman akan berada di tengah-tengah para
penonton di
belakang salah satu gawang Citra yang ingin ia tampilkan ialah seseorang dari
kalangan rakyat.
Fitzgerald memperkirakan pidato itu tinggal enam menit lagi. Ia telah mendengar
kata-kata
Guzman setidaknya lusinan kali: di lobi yang penuh sesak, di bar yang setengah
kosong, di sudut-
sudut jalan, bahkan di stasiun bus sementara si kandidat sedang menyampaikan
pidatonya kepada
para penduduk setempat di bagian belakang «bus. Ia menarik koper kulit itu dari
ranjang ke
pangkuannya.
"...Antonio Herrera bukan calon Liberal," desis Guzman. "Tapi dia calon orang-
orang Amerika. Dia
tak lebih dari orang tolol yang bisa bicara dengan perut. Kata-katanya dipilihkan oleh
orang yang
duduk di Ruang Oval." Massa bersorak lagi.
Lima menit. Fitzgerald menghitung. Ia membuka koper dan memandangi Remington
700 yang baru
beberapa jam hilang dari pandangannya.
"Berani-beraninya orang-orang Amerika mengasumsikan kita akan selalu selaras
dengan apa yang
cocok bagi mereka?" teriak Guzman. "Dan itu hanya karena dolar yang mahakuasa.
Persetan
dengan dolar yang mahakuasa itu!" Massa bersorak lebih keras lagi ketika si kandidat
mengambil
selembar satu dolaran dari dompetnya dan merobek-robek George Washington
menjadi serpihan-
serpihan.
"Satu hal dapat kupastikan kepada Saudara-saudara," lanjut Guzman sambil
menebarkan serpihan-
serpihan kertas hijau itu kepada massa seperti konfeti.
"Tuhan bukan orang Amerika...," cetus Fitzgerald.
'Tuhan bukan orang Amerika!" teriak Guzman.
Dengan hati-hati Fitzgerald mengambil gagang «napan fibreglass McMillan dari
koper.
"Dalam waktu dua minggu, warga negara Kolombia akan diberi kesempatan
memperdengarkan
pandangan-pandangan mereka ke Seantero dunia," teriak Guzman.
"Empat menit," gumam Fitzgerald sambil memandang ke layar dan menirukan
senyum sang calon
presiden. Ia mengambil laras dari baja antikarat Hart dari dudukannya dan
menyekrupkan erat-erat
pada popor. Pas seperti sarung tangan.
"Bila ada konferensi tingkat tinggi di seluruh dunia, Kolombia akan hadir lagi di
meja konferensi,
bukannya hanya membaca beritanya di koran hari berikutnya. I )alam waktu setahun
aku akan
membuat orang-orang Amerika memperlakukan kita bukan sebagai negara Dunia
Ketiga, tapi
sebagai negara sederajat."
Massa bergemuruh. Sementara itu Fitzgerald mengangkat alat bidikan penembak-
gelap bertenaga
Leupold 10 dari tempatnya dan memasukkannya ke dua galur kecil di pucuk laras.
"Dalam waktu seratus hari Saudara-saudara akan menyaksikan perubahan-perubahan
di negeri kita
yang diyakini Herrera takkan mungkin terjadi dalam seratus i thun. Sebab bila aku
menjadi
presiden, Saudara-audara..."
Pelan-pelan Fitzgerald menopangkan popor Remington 700 pada bahunya. Rasanya
seperti sahabat
ama. Tetapi dengan syarat: setiap bagian harus dibuat dengan tangan, tepat sesuai
dengan
spesifikasinya.
Ia menaikkan pandangan melalui teleskop ke arah
21
20
gambar pada layar televisi. Ia menyusun deretan titik-titik kecil hingga terpusatkan
satu inci di atas
jantung calon presiden.
"...mengatasi inflasi..."
Tiga menit.
"...mengatasi pengangguran..."
Fitzgerald mengembuskan napas.
"...di samping itu menghilangkan kemiskinan."
Fitzgerald menghitung tiga... dua... satu. Kemudian dengan lembut ia menarik picu.
Ia nyaris
mendengar bunyi klik mengatasi gemuruh massa.
Fitzgerald menurunkan senapan, beranjak dari sofa, dan menurunkan koper kulit
yang kosong.
Sembilan puluh detik lagi Guzman mencapai ritus pengutukan Presiden Lawrence.
Ia mengambil sebutir peluru dengan ujung berlubang dari kantong kecil di dalam
tutup koper. Ia
mengokang dan memasukkan peluru .ke ruangan pelor, kemudian meluruskan laras
dengan
sentakan ke atas.
"Ini akan merupakan kesempatan terakhir bagi warga negara Kolombia untuk
membalikkan
kegagalan-kegagalan fatal di masa lalu," teriak Guzman. Nadanya semakin meninggi.
"Maka kita
harus memastikan satu hal..."
"Satu menit," gumam Fitzgerald. Ia dapat mengulangi kata demi kata bagian ujung
pidato Guzman
selama enam puluh detik terakhir.
Ia mengalihkan perhatian dari televisi dan berjalan pelan-pelan melintasi kamar
menuju jendela.
"...jangan sampai kita menyia-nyiakan kesempatan emas ini..."
Fitzgerald menarik tali tirai ¦ yang menghalangi
pemandangan dunia luar. Pandangannya menerawang melintasi Plaza de Bolivar ke
sisi utara alun-
alun. Di situ calon presiden berdiri di atas puncak tangga gedung Kongres. Ia
memandang ke
bawah kepada massa. Ia baru akan melepaskan tembakan pamungkasnya alias coup
de grace.
Dengan sabar Fitzgerald menunggu. Jangan biarkan dirimu dalam ruangan terbuka
lebih lama
daripada yang diperlukan.
"Viva la Colombia!" teriak Guzman. "Viva la Colombia!" kembali massa bersorak
histeris. Walau
kebanyakan dari mereka adalah penjilat-penjilat bayaran yang secara strategis
ditempatkan di
antara massa.
"Aku mencintai negaraku," si calon presiden memberikan pernyataan. Pidato itu
tinggal tiga puluh
detik lagi. Fitzgerald membuka jendela. Disambut gemuruh massa yang mengulangi
pidato
Guzman kata demi kata.
Si calon presiden melirihkan suara menjadi bisikan: "Dan biar kujelaskan satu hal—
rasa cintaku
pada negeriku adalah satu-satunya alasan untuk berbakti sebagai presiden Saudara-
saudara."
Untuk kedua kalinya Fitzgerald menopangkan popor Remington 700 pada bahunya.
Semua mata
terpancang pada si calon presiden saat ia meng-gelegarkan kata-kata "Dios guarde a
la Colombia!"
Gemuruh memekakkan ketika ia mengangkat kedua belah tangannya tinggi-tinggi
guna
menghormati seman massa pendukungnya. "Dios guarde a la Colombia!" Tangan
Guzman masih
terangkat tinggi-tinggi penuh kejayaan selama beberapa detik, sebagaimana lazimnya
pada setiap
akhir pidatonya. Dan ia selalu
22
23
berdiam diri hening sama sekali selama beberapa saat.
Fitzgerald mengatur titik-titik kecil itu hingga satu inci di atas jantung calon
presiden. Sambil
mengembuskan napas ia mempererat pegangan jari-jari tangan kirinya pada popor
"Tiga... dua...
satu," gumamnya sambil menahan napas. Kemudian dengan lembut menarik picu.
Guzman masih tetap tersenyum ketika peluru berbuntut seperti perahu merobek
dadanya. Sedetik
kemudian ia ambruk di tanah seperti boneka tanpa tali. Serpihan tulang, otot, dan
daging
beterbangan ke mana-mana. Darah melumuri mereka yang berdiri di dekatnya. Yang
paling akhir
dilihat Fitzgerald ialah tangan Guzman yang terulur ke atas seolah-olah menyerahkan
din kepada
musuh yang tak dikenal.
Fitzgerald menurunkan senapan. Melipatnya. Dan cepat-cepat menutup jendela.
Tugas telah
diselesaikannya.
Kini satu-satunya masalah ialah memastikan bahwa ia tidak melanggar Perintah
Kesebelas.
24
BAB DUA
Apakah sebaiknya aku mengirimkan ungkapan belasungkawa pada istri dan
keluarganya?" tanya
Tom I awrence.
"Tidak, Mr. President," jawab Menteri Luar Negeri. 'Menurutku itu harus diserahkan
pada Menteri
Pembantu untuk Urusan Antar-Amerika. Sekarang pasti Antonio Herrera yang akan
menjadi
Presiden Kolombia berikutnya, jadi dialah orang yang harus kauajak berurusan."
"Maukah kau mewakili ku pada pemakaman? Ataukah Wakil Presiden yang harus ke
sana?"
"Nasihatku: kedua-duanya jangan," jawab Menteri I uar Negeri. "Dubes kita di
Bogota sudah
pantas mewakilimu. Karena pemakaman akan berlangsung , khir pekan ini, kita tak
dapat
diharapkan hadir lengan pemberitahuan yang demikian singkat."
Presiden mengangguk. Ia telah terbiasa dengan pendekatan apa adanya dari Larry
Harrington ter-
25
hadap segala hal, termasuk kematian. Ia hanya ber-i tanya-tanya jalur apa yang akan
ditempuh
Larry bila ia sendiri yang terbunuh.
"Bila kau sempat, Mr. President, aku ingin men-' jelaskan dengan sangat terperinci
padamu
mengenai: kebijakan kita sekarang di Kolombia. Pers mungkin akan menanyaimu
tentang
kemungkinan keterlibat-an..."
Presiden baru akan menyelanya ketika terdengar ketukan di pintu. Andy Lloyd
memasuki ruangan.
Pasti sudah pukul sebelas, pikir Lawrence. Ia tidak memerlukan jam sebab telah
mengangkat Lloyd
sebagai kepala staf.
"Nanti saja, Larry," kata Presiden. "Aku baru akan mengadakan konferensi pers
tentang Rencana
Undang-undang Pengurangan Senjata Nuklir, Biologi, Kimia, dan Konvensional.
Dan tak bisa
kubayangkan) bahwa banyak wartawan akan berminat terhadad kematian seorang
calon presiden di
negara yangj biar kita akui saja, kebanyakan orang Amerika tak bisa
menempatkannya di peta."
Harrington tidak berkata apa-apa. Menurutnya! bukanlah tanggung jawabnya untuk
menjelaskan
kej pada Presiden bahwa kebanyakan orang Amerik^ masih juga belum dapat
menempatkan
Vietnam dalam peta. Tetapi begitu Andy Lloyd memasuki ruangan, Harrington tahu
bahwa hanya
pernyataan Perang Dunia yang dapat memberikan prioritas kepadanya, Ia
mengangguk singkat
kepada Andy Lloyd. Dar meninggalkan Ruang Oval.
"Mengapa aku pernah mengangkat orang itu?' tanya Lawrence, sambil memandangi
pintu tertutup.
26
"Larry mampu menyerahkan Texas, Mr. President, pada saat jajak pendapat kita
menunjukkan
bahwa mayoritas orang-orang Selatan memandangmu sebagai orang Utara tak
terkenal yang akan
suka mengangkat seorang homo menjadi Ketua Gabungan Kepala Staf."
"Kemungkinan besar akan kulakukan, bila dia kuanggap orang yang tepat untuk
pekerjaan itu,"
lawab Lawrence.
Salah satu alasan mengapa Tom Lawrence menawarkan jabatan Kepala Staf Gedung'
Putih kepada
teman sekuliahnya ialah bahwa setelah tiga puluh tahun, mereka tidak saling
menyimpan rahasia
sama sekali. Andy mengemukakan apa yang dilihatnya, tanpa ada rasa bersalah
ataupun dengki.
Sifat mem luiat dirinya disayang ini memastikan bahwa ia sendiri tidak pernah
mengharapkan
dipilih menjadi apa pun, sehingga tidak pernah menjadi saingan.

Presiden membuka berkas arsip biru yang bertulis-kan "SEGERA" yang tadi pagi
diserahkan Andy
ki-padanya. Ia menduga Kepala Staf ini hampir semalaman mempersiapkannya. Ia
mulai
memeriksa l*-rtanyaan-pertanyaan yang menurut anggapan Andy paling mungkin
dipertanyakan
dalam konferensi pers lang itu:
Berapa banyak uang yang Anda antisipasi akan dihemat dengan peraturan ini?
"Kuduga Barbara Evans akan mengajukan per-t inyaan pertama, seperti biasanya,"
kata Lawrence
sambil mendongak. "Apakah kita punya dugaan apa pertanyaannya?"
"Tidak, Sir," jawab Lloyd.'Tapi karena dia selalu mendesak Rencana Undang-undang
Pengurangan
27
Senjata sejak kau mengalahkan Gore di New Hamp-shire, kini dia tak punya alasan
mengeluh
karena kini kau siap melancarkannya "

"Benar. Tapi itu takkan menghalanginya mengajukan pertanyaan nakal."


Andy mengangguk setuju. Sementara itu Presiden melirik pertanyaan berikut.
Berapa banyak orang Amerika yang akan kehilangan pekerjaan karena ini?
Lawrence mendongak. "Apa ada orang khusus yang menurutmu harus kuhindari?"
"Semua orang sisanya," kata Lloyd sambil menyeringai. "Tapi kalau kau mau
singkatnya, temuilah
Phil Ansanch."
"Mengapa Ansanch?"
"Dia mendukung rencana undang-undang itu pada, setiap tahap, dan dia salah
seorang tamumu
pada j makan malam nanti."
Presiden tersenyum dan mengangguk sambil merunut daftar pertanyaan yang
diantisipasi. Ia
berhenti pada nomor tujuh.
Apakah ini bukan sebuah contoh lain bahwa Amerika kehilangan arah?
Presiden mengangkat muka memandang Kepala Stafnya. "Kadang kukira kita ini
masih hidup di
zaman Wild West bila mengingat reaksi beberapa anggota Kongres terhadap rencana
undang-
undang ini."
"Memang, Sir. Tapi sebagaimana yang kauketahui, 40 persen orang Amerika masih
menganggap
orang Rusia sebagai ancaman terbesar. Dan hampir 30 persen berharap masih akan
mengalami
perang melawan Rusia."
Lawrence mengumpat. Dan tangannya menyisir rambut tebal yang terlalu dini mulai
mengelabu.
Kemudian ia kembali menelusuri daftar pertanyaan dan berhenti pada nomor
sembilan belas.
"Masih berapa lama lagi aku akan ditanyai tentang soal membakar kartu buramku?"
"Selama kau menduduki jabatan panglima tertinggi, menurutku," jawab Andy.
Presiden menggumamkan sesuatu sambil menahan napas. Dan ia melanjutkan
pertanyaan
berikutnya. Ia mendongak lagi. "Viktor Zerimski pasti takkan mendapat kesempatan
menjadi
Presiden Rusia berikutnya?"
"Mungkin sekali tidak," jawab Andy. "Tapi dia lelah naik ke tempat ketiga dalam
jajak pendapat
baru-baru ini. Dan walau dia masih jauh di belakang Perdana Menteri Chernopov dan
Jenderal
Borodin, posisinya melawan pidana terorganisasi mulai menggerogoti kepeloporan
mereka ini.
Kemungkinan besar karena kebanyakan orang Rusia percaya Chernopov dibiayai
Mafia Rusia."
"Kalau Jenderal Borodin bagaimana?"
"Dia sudah kehilangan dasar pijakan. Sebab ke-anyakan tentara Rusia belum digaji
berbulan-bulan.
Pers telah melaporkan bahwa para prajurit mulai menjual seragam mereka di
jalanan."
"Syukurlah pemilu masih akan berlangsung beberapa tahun lagi. Jika naga-naganya
si fasis
Zerimski Uu memperoleh kesempatan menjadi Presiden Rusia berikutnya, Rencana
Undang-
undang Pengorangan Senjata takkan lolos melewati babak pertama di kedua
Majelis."
28
29
Lloyd mengangguk sementara Lawrence membalik halaman. Jarinya terus merunut
daftar
pertanyaan. Ia berhenti pada pertanyaan nomor 29.
"Berapa banyak anggota Kongres yang memiliki pabrik senjata dan kemudahan-
kemudahan
mendasar di distrik mereka?" tanyanya sambil menoleh kepada Lloyd.
"Ada 72 senator dan 211 anggota Majelis," jawab Lloyd tanpa melihat berkasnya
yang masih
tertutup. "Setidaknya kau perlu meyakinkan enam puluh persen dari mereka itu untuk
mendukungmu guna memastikan mayoritas di kedua Majelis. Dan itu berarti kita
mengasumsikan
dukungan Senator Bedell."
"Frank Bedell meminta diadakannya Rencana Undang-undang Pengurangan Senjata
yang
menyeluruh ketika aku masih di high school di Wiscon-sin," kata Presiden. "Dia tak
punya pilihan
lain kecuali mendukung kita."
"Dia mungkin bersimpati terhadap rencana undang-undang, tapi dia merasa
langkahmu belum
cukup jauh. Dia menuntut supaya kita mengurangi anggaran pertahanan sebesar lima
puluh persen
lebih."
"Dan apa yang diharapkannya agar aku dapat melaksanakannya?"
"Dengan mengundurkan diri dari NATO dan membiarkan orang-orang Eropa
bertanggung jawab
sendiri atas pertahanan mereka."
"Tapi itu sama sekali tak realistis," kata Lawrence. "Bahkan orang-orang Amerika
yang pro Aksi
Demokratis akan melawannya."
"Kau tahu itu, aku pun tahu, dan menurutku senator yang baik itu juga tahu. Tapi itu
tak meng-
halanginya muncul di setiap stasiun televisi dari linston hingga Los Angeles. Dia
mengklaim bahwa
pengurangan lima puluh persen dari anggaran per-i ihanan akan memecahkan
masalah Amerika
dalam perawatan kesehatan dan masalah pensiun dalam waktu singkat."
"Kuharap Bedell menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan pertahanan bangsa
kita
sebagaimana dia memikirkan perawatan kesehatan mereka," kala Lawrence.
"Bagaimana aku harus
menanggapinya?" ¦
Puji dia berlimpah-limpah atas segala usahanya vang mencolok dan tanpa kenal lelah
untuk mem-
i»«la kepentingan kaum lansia. Tapi kemudian tandaskan bahwa selama kau
menjabat panglima
tertinggi, Amerika Serikat takkan mengurangi pertahanannya. I'uoritasmu yang
pertama ialah selalu
memastikan bahwa Amerika tetap menjadi bangsa paling berkuasa ih dunia, dan lain-
lain, dan lain-
lain. Dengan cara • Itinikian kita selalu menjaga dukungan Bedell. Dan mungkin
bahkan membuat
ragu satu-dua orang politisi \ mg agresif."
Presiden melihat jamnya, kemudian membalik halaman. Ia mendesah dalam-dalam
ketika sampai l
c pertanyaan nomor 31.
Bagaimana Anda dapat mengharapkan RUU ini diberlakukan, bila kaum Demokrat
tak memiliki
mayoritas di salah satu Majelis?
"Baiklah, Andy. Bagaimana jawabannya?"
"Jelaskan bahwa orang-orang Amerika yang peluh' telah menerangkan pada para
wakilnya yang -
rpilih di seantero negeri ini bahwa RUU ini telah
30
31
lama kedaluwarsa. Dan itu merupakan akal sehat
saja."
"Terakhir kali aku telah menggunakan gagasan iti ketika mengajukan RUU
Antinarkotika, ingat,
Andy?'
"Ya, aku ingat, Mr. President. Dan bangsa Ameriki mendukungmu sepenuhnya."
Larry mendesah dalam-dalam lagi, kemudian ber kata, "Oh, memegang pemerintahan
bangsa yang
taJ mengadakan pemilu setiap dua tahun dan tak dihantu korps media massa pasti
lebih baik
daripada memegang pemerintahan yang dipilih secara demokratis."
"Bahkan orang-orang Rusia harus menerima korp! media massa itu," kata Lloyd.
"Siapa percaya kita harus hidup mengalami ha itu?" kata Lawrence seraya memindai
pertanyaai
terakhir. "Aku punya firasat jika Chernopov berjanj pada orang-orang Rusia bahwa
dia berniat
menjad presiden pertama yang akan lebih menganggarka perawatan kesehatan
daripada pertahanan,
dia akal menang dengan mudah."
"Mungkin kau benar," kata Lloyd. "Tapi kau jug boleh yakin jika Zeremski terpilih,
dia akan mula
membangun kembali persenjataan nuklir Rusia lam sebelum mempertimbangkan
membangun
rumah saki baru."
"Itu sudah pasti," kata Presiden. "Tapi karen maniak ku tak punya kesempatan untuk
terpilih..."
Andy Lloyd diam saja.
32
BAB TIGA
111 /gerald tahu bahwa dua puluh menit berikutnya «kun menentukan nasibnya.
Cepat-cepat ia melintasi kamar dan melihat televisi. Massa berhamburan dari alun-
alun lari ke se-
l'.ila penjuru. Teriakan-teriakan gaduh kini menjadi p.niik. Dua orang penasihat
Ricardo Guzman
mem-Inmgkuk mengamati sisa-sisa jasad itu.
Fitzgerald menemukan selongsong peluru yang lelah terpakai dan memasukkannya
kembali ke kan-
imig di dalam tutup koper kulit. Apakah pemilik loko pegadaian akan mengetahui
bahwa salah satu
I luru telah digunakan?
Dari seberang alun-alun, lengking sirene polisi mengatasi kegaduhan massa. Kali ini
reaksi polisi
|auh lebih cepat. .
Fitzgerald melepas alat pembidik dan memasukkannya kembali ke wadahnya.
Kemudian ia
melepas
33
laras dan menyisipkannya ke tempatnya. Dan akhirny mengembalikan gagang
senapan.
Untuk terakhir kalinya ia melayangkan pandanga ke televisi dan menonton polisi
setempat menyerb
masuk ke alun-alun. Ia menyambar koper kulit it mengantongi korek api dari asbak
di atas televisi
kemudian melintasi kamar dan membuka pintu.
Ia menengok ke kanan-kiri di koridor yang kosong kemudian berjalan cepat ke lift
barang. Ia
meneka tombol putih di dinding beberapa kali. Ia tela membuka jendela menuju ke
pintu keluar bila
ad kebakaran hanya beberapa saat sebelum ia pergi k pegadaian. Tetapi ia tahu
bahwa jika ia harus
kembal ke rencana darurat, segerombolan polisi berseragan sudah menunggunya di
bawah lift yang
berkeriat keriut. Tidak akan ada helikopter gaya Rambo pedang-pedang gemerincing
yang akan
membuatnyi lolos dengan jaya sementara peluru berdesingan d samping telinganya
dan mengenai
apa saja kecual dia sendiri. Ini adalah dunia nyata. Bukan film.
Ketika pintu lift yang berat terbuka pelan-pelan Fitzgerald berhadapan muka dengan
pelayan mud<
berjas merah membawa nampan berisikan makar siang. Pelayan ini rupanya kalah
undian maka tsi
memperoleh giliran istirahat siang untuk menonton pertandingan.
Pelayan ini tak dapat menyembunyikan keheran annya ketika melihat seorang tamu
berdiri di luar
lift barang. "No, senor, perdone, no puede entrar* ia «mencoba menjelaskan kepada
Fitzgerald
yang me nerobos melewatinya. Tapi si tamu telah menekat tombol bertuliskan
"Planta Baja" dan
pintu-pintt
34
lift tertutup sebelum pelayan sempat memberitahu hahwa lift itu menuju dapur.
Begitu tiba di lantai dasar, dengan cekatan I itzgerald melewati meja-meja stainless
steel yang I
enuh dengan deretan hors d'oeuvres yang menunggu lipesan, dan berbotol-botol
sampanye yang
hanya ikan dibuka bila kesebelasan tuan"rumah menang, la i I ah sampai di ujung
dapur, melewati
pintu putar, lan menghilang lama sebelum para anggota staf mg berseragam putih
sempat
memprotesnya. Ia l> *rlari melalui lorong temaram—hampir seluruh lam-I u pijar di
situ telah
dicopotnya malam sebelumnya— menuju ke pintu tebal yang membuka ke tempat
parkir mobil di
bawah tanah.
la mengeluarkan kunci besar dari saku jasnya, menutup pintu, dan menguncinya. Ia
langsung meng-
li impiri Volkswagen kecil warna hitam yang terparkir li sudut paling gelap. Ia
mengambil kunci
lagi yang lebih kecil dari saku pantalon. Ia membuka pintu mobil dan menyelinap
duduk di
belakang kemudi. Koper kulit ditaruhnya di bawah tempat duduk penumpang. Lalu
ia menstarter
mobil itu. Mesinnya langsung hidup, walau telah dianggurkan selama tiga hari.
Selama beberapa
detik ia menginjak pedal gas kemudian memindahkan tangkai persneling ke gigi satu.
Fitzgerald menjalankan kendaraan itu dengan santai melewati deretan mobil-mobil
terparkir dan
melalui tanjakan terjal menuju ke jalan luar. Ia berhenti di puncak tanjakan terjal itu.
Polisi sedang
mendobrak sebuah mobil yang terparkir, bahkan tak melayangkan pandangan
kepadanya sama
sekali. Fitzgerald mem-
35
beJok ke kiri dan pelan-pelan meninggalkan Pla/ de Bolivar.
Kemudian ia mendengar lengking sirene di bela kangnya. Ia melirik ke kaca spion
dan melihat du
polisi pengiring mengikutinya dengan lampu ber kilat-kilat terang. Fitzgerald menepi
sementara par
polisi pengiring dan ambulans pengangkut jasa Guzman dengan pesat melewatinya.
Pada belokan ke kiri pertama ia menikung, ke mudian mulai mengikuti rute panjang
berputar-puta
menuju ke pegadaian. Sering ia kembali melalui jala yang sama. Dua puluh empat
menit kemudian
memasuki lorong dan berhenti di belakang truk. I mengambil koper dari bawah
tempat duduk
penumpan dan meninggalkan mobil tak terkunci. Menuru rencananya ia sudah akan
kembali di
belakang kemud lagi dalam waktu kurang dari dua menit.
Dengan cepat ia menengok ke kiri-kanan me meriksa lorong itu. Tak seorang pun
tampak.
Ketika Fitzgerald memasuki pegadaian, lagi-lagi bel tanda bahaya berbunyi. Tapi
kali ini ia tak
khawatir akan segera didatangi polisi patroli. Hampii semua polisi sedang sibuk.
Entah di stadion
tempa! pertandingan akan dimulai setengah jam lagi, entah sedang menahan orang
yang masih
berada satu mi dari Plaza de Bolivar.
Fitzgerald menutup pintu belakang pegadaian Untuk kedua kalinya hari itu ia
bergegas melalui
kantor belakang, menyibak lagi tirai manik-manik. Ia berdiri di belakang gerai,
memeriksa apakah
ada orang lewat. Kemudian barulah .ia mengembalikan koper kulit usang di
tempatnya semula di
etalase.
36
Bila Escobar kembali ke toko pegadaian hari Senin pagi, berapa lama kemudian ia
akan
menemukan bahwa salah satu peluru dari enam peluru mag-niim berekor perahu
telah
ditembakkan, dan hanya selongsongnya yang masih ada di tempatnya? Apakah 11
akan berusaha
menyampaikan informasi itu kepada polisi?
Fitzgerald telah kembali di belakang kemudi Volkswagen dalam waktu kurang dari
90 detik. Ia
masih dapat mendengar alarm berdering sementara 11 mengendarai mobil memasuki
jalan utama.
Ia mulai mengikuti rambu-rambu menuju ke bandara El Dorada. Tak seorang pun
memperhatikannya. Bagaimanapun pertandingan akan segera dimulai. Lagi pula apa
hubungan
alarm yang berdering di pegadaian ih distrik San Victorina dengan pembunuhan
calon piesiden di
Plaza de Bolivar?
Begitu tiba di jalan raya, Fitzgerald tetap meng-nnbil jalur tengah, dan tak pernah
melewati batas
kecepatan. Beberapa mobil polisi menyalibnya dengan pesat dalam perjalanan
menuju ke kota.
Bahkan bila ada orang yang menghentikannya dan me-i leriksa surat-surat, semua
suratnya pasti
beres. Koper ing tertutup rapi di tempat duduk belakang tidak i lenunjukkan sesuatu
yang tak lazim
bagi seorang isahawan yang sedang berkunjung ke Kolombia guna menjual peralatan
pertambangan.
Ketika sampai di jalan keluar menuju bandara, 1 nzgerald menyingkir dari jalan raya.
Sesudah 400
neter, tiba-tiba ia belok kanan dan menuju ke tempat parkir hotel San Sebastian. Ia
membuka kotak
dasbor dan mengeluarkan paspor yang telah berstempel
37
banyak. Dengan korek api yang ia ambil dari Belvedere ia menyulut Dirk van
Rensberg. Ketik jari-
jarinya hampir terbakar ia membuka pintu mobil dan menjatuhkan sisa paspor itu ke
tanah da1
menginjak-injaknya hingga nyala api padam. Serayl memastikan bahwa puncak
lambang Afrika
Selatal masih dapat dikenali. Ia meletakkan korek api atas tempat duduk penumpang,
menyambar
kope dari tempat duduk belakang, dan menutup pint| mobil. Sedangkan kunci ia
biarkan tertancap
pad lubang starter. Ia berjalan ke pintu depan hotel, lal membuang sisa paspor Dirk
van Rensberg
dan kunc besar ke keranjang sampah di bawah tangga.
Fitzgerald masuk melalui pintu putar di belakang sekelompok usahawan Jepang dan
tetap di tengah
aruJ mereka sementara mereka diantar menuju lift terbuka] Ia satu-satunya
penumpang yang keluar
di lantai tiga. Ia langsung menuju ke kamar 347. Di situ ia mej ngeluarkan kartu
plastik lain yang
membuka kama^ lain yang telah dibukukan atas nama orang lain. Il melempar
kopornya ke ranjang
dan melihat jamnya Masih 1 jam 17 menit sebelum take ojf.
Ia melepaskan jas dan menyampirkannya padal satu-satunya kursi, lalu membuka
koper serta
mengeluarkan kantong cucian. Kemudian ia menghilang ke kamar mandi. Selang
beberapa lama air
sudaw cukup hangat baginya, dipasangnya sumbat bak mancfc dan dibukanya .keran.
Sementara
menunggu ia menggunting kuku, kemudian menggosok tangan sebersih-bersihnya
seperti dokter
bedah yang sedang mempersiapkan diri untuk operasi.
Fitzgerald memerlukan waktu 20 menit untuk men-l
38
• ukur habis janggut yang berumur seminggu. Dan ia memerlukan banyak sampo
untuk digosokkan
kerasku eras ke rambutnya di bawah shower hingga rambutnya kembali
bergelombang alami dan
berwarna pirang pasir.
Fitzgerald mengeringkan tubuh dengan handuk tipis \ang disediakan hotel, kemudian
kembali ke
kamar lulur dan mengenakan celana pendek joki yang bersih, la menghampiri lemari
berlaci di sisi
seberang, mem-huka laci ketiga, dan meraba-raba hingga menemukan hnngkusan
yang direkatkan
pada laci di atasnya. Walau beberapa hari tidak menghuni kamar itu, ia yakin tak
seorang pun tahu
tempat persembunyiannya.
Fitzgerald menyobek amplop cokelat itu dan dengan cepat memeriksa isinya. Paspor
lain dengan
nama lain lagi. Lima ratus dolar dalam lembaran yang telah terpakai. Dan sebuah
tiket kelas satu ke
( ape Town. Para pembunuh yang lolos tidak bepergian dengan kelas satu. Lima
menit kemudian ia
meninggalkan kamar 347. Pakaian kotornya bertebaran di lantai dan tanda "Favor de
no Molestar"
dipasang pada pintu.
Fitzgerald menggunakan lift menuju lantai dasar, yakin tak ada yang memperhatikan
seseorang
berusia 51 tahun dengan kemeja biru, dasi bergaris-garis, jaket sport, dan celana
flanel kelabu. Ia
keluar dari lift dan berjalan melintasi lobi tanpa berusaha heck out. Ketika datang
delapan hari lalu,
ia telah membayar sewa kamar secara tunai. Ia membiarkan bar mini di kamar
terkunci, dan tak
pernah sekali pun memesan makanan untuk di kamar. Ia tak pernah menelepon ke
luar hotel dan
tak pernah menonton
39
film pesanan. Maka rekening tamu ini pasti tak akanB dikenai pembayaran ekstra. 9 I
Ia hanya harus menunggu selama 40 menit sam-H pai bus layanan pulang-pergi
datang. Ia melihat
jamjH nya. Empat puluh tiga menit sebelum take ojf. IM sama sekali tidak khawatir
akan tertinggal
Penerbang-B an 63 Aeroperu ke Lima. Ia yakin hari itu tak adaJ yang tepat waktu.
Begitu keluar dari bus di bandara, pelan-pelan vM berjalan menuju meja check 'm. Ia
tidak heran
ketik» diberitahu bahwa penerbangan ke Lima tertundil sekitar sejam. Di ruang
kedatangan yang
penuh sesak I beberapa polisi dengan curiga mengamati setiaffl penumpang. Dan
walau ia
dihentikan serta ditanyail beberapa kali dan kopernya digeledah dua kalifl akhirnya ia
diizinkan
menuju ke Gerbang 47.
Ia memperlambat langkahnya ketika melihat be« berapa orang beransel dikeluarkan
oleh para
anggow staf keamanan bandara. Ia bertanya-tanya dalam hal« berapa banyak orang
kulit putih yang
tak berdos J harus meringkuk di sel, diinterogasi karena tindakannya tadi siang itu.
Ketika bergabung dengan antrean yang menuju k Pemeriksaan Paspor, Fitzgerald
berulang kali
menghafal nama barunya sambil menahan napas. Nama ketiganya untuk hari itu.
Petugas
berseragam biru di dalam gardu membuka paspor Selandia Baru dan dengan cermat
«mengamati
foto di dalamnya yang tak pelak lagi mirip dengan orang yang berdandan rapi berdiri
di depannya.
Ia mengembalikan paspot itu dan mengizinkan Alistair Douglas, insinyur sipil dari
Christchurch,
menuju ke ruang keberangkatan
lali diundur lagi akhirnya penerbangan itu diumumkan. Seorang pramugari
mengantar Mr. Dou-
ylas ke tempat duduknya di kelas satu.
"Anda berminat pada segelas sampanye, Sir?"
l-ilzgerald menggeleng. "Tidak. Terima kasih. Air pulih saja," jawabnya sambil
mencoba logat
Selandia Harunya.
la mengencangkan sabuk pengaman, duduk ber-mdar, dan pura-pura membaca
majalah edisi
penerbangan sementara pesawat mulai menggelinding pelan di landasan yang tak
rata. Karena
deretan pesawat terbang yang akan take off panjang, Fitzgerald punya cukup waktu
untuk memilih
makanan yang hendak ia santap dan film yang hendak ia tonton lama sebelum 727
mempercepat
lajunya. Ketika roda-roda pesawat akhirnya tinggal landas, untuk pertama kalinya <h
hari itu
Fitzgerald mulai bersantai.
Begitu pesawat mencapai ketinggian jelajah, ia meletakkan majalah edisi
penerbangan itu, menutup
11 ita, dan mulai memikirkan apa yang harus dilakukannya begitu ia mendarat di
Cape Town.
"Di sini kapten Anda yang sedang berbicara," (-rdengar suara muram. "Saya harus
mengumumkan
sesuatu yang saya tahu akan menyebabkan beberapa h antara Anda merasa tertekan."
Fitzgerald
segera duduk tegak. Salah satu hal darurat yang tak ia rencanakan ialah kembali ke
Bogota tanpa
bisa dijadwalkan.
"Maaf saya harus mengumumkan bahwa terjadi tragedi nasional di Kolombia hari
ini."
Fitzgerald setengah mencengkeram lengan kursi dan berusaha bernapas dengan
wajar.
40
41
Kapten itu bimbang sesaat. "Saudara-saudara," katanya serius, "Kolombia sangat
kehilangan." Ia
berhenti sejenak. "Kesebelasan nasional kita dikalahkan Brasil dengan satu-dua."
Terdengar erangan di dalam kabin seakan menabrak gunung terdekat malah
merupakan alternatif
yang lebih disukai. Fitzgerald membiarkan bibirnya sedikit menyunggingkan
senyum.
Pramugari muncul lagi di sisinya. "Sekarang kita sudah dalam perjalanan, dapatkah
minuman Anda
saya sajikan, Mr. Douglas?"
"Ya, terima kasih," jawab Fitzgerald. "Saya pikir-pikir saya mau juga segelas
sampanye itu."
42
BAB EMPAT
K i n ka Tom Lawrence memasuki ruangan, korps |hts bangkit berdiri.
"Presiden Amerika Serikat," Juru Bicara Presiden mengumumkan, kalau-kalau ada
pengunjung dari
.uigkasa luar.
Lawrence menaiki tangga ke podium dan menempatkan berkas arsip bini Andy
Lloyd di atas
mimbar. Ia memberi isyarat kepada para wartawan dengan gerakan yang kini sudah
tak asing lagi
supaya mereka duduk kembali.
"Saya senang dapat mengumumkan," Presiden memulai dengan nada santai, "bahwa
saya akan
mengirimkan ke Kongres sebuah RUU yang saya janjikan kepada bangsa Amerika
selama masa
kampanye."
Sebagian kecil dari para koresponden Gedung Putih senior yang duduk di depannya
mencatat,
tetapi sebagian besar tahu bahwa bila ada berita yang
43
pantas dipublikasikan, biasanya akan muncul selama' tanya-jawab dan bukan dari
pernyataan yang
telah disiapkan. Lagi pula pernyataan pembukaan Presiden itu akan dibagikan kepada
mereka
dalam bentukj paket pers saat mereka meninggalkan ruangan. Para profesional
kawakan hanya
bersumber pada teks yang telah dipersiapkan bila mereka harus mengisi beberapa
inci kolom-
kolom ekstra.
Hal itu tak menghalangi Presiden untuk mengingatkan mereka bahwa lolosnya RUU
Pengurangan
Senjata akan memberinya kesempatan mengeluarkan lebih banyak dana untuk
perawatan kesehatan
jang-j ka panjang, sehingga para lansia Amerika dapat mengharapkan standar
kehidupan lebih baik
setelah memasuki masa pensiun.
"Inilah RUU yang akan disambut baik oleh setiap warga negara yang terhormat dan
peduli. Dan
saya bangga menjadi presiden yang akan mengegolkannya melalui Kongres."
Lawrence
mendongak dan tersenyum penuh harap, puas karena paling tidak pernyataan
pembukaannya telah
berjalan lancar.
Teriakan "Mr. President!" muncul dari segala penjuru ketika Lawrence membuka
berkas arsip biru
dan memandangi 31 pertanyaan yang mungkin akan di-kemukakan. Ia mendongak
dan tersenyum
kepada] wajah yang telah dikenalnya di deretan terdepan.' "Barbara," katanya sambil
menunjuk
wartawati kawakan dari UPI yang sebagai wartawati paling senior berhak
mengajukan pertanyaan
pertama.
Pelan-pelan Barbara Evans bangkit berdiri. "Terima kasih, Mr. President." Ia
berhenti sejenak
sebelum mengajukan pertanyaan, "Apakah Anda dapat mem-
beli konfirmasi bahwa CIA tak terlibat dalam pembunuhan Ricardo Guzman, calon
Presiden
Kolombia, ih Bogota hari Sabtu siang?"
Dengung perhatian menggema di seluruh ruangan. I awrence memandangi 31
pertanyaan dan
jawaban n.mg berlebihan. Andai saja tadi ia tidak menolak i.iwaran Larry Harrington
untuk
memberikan penjelasan lebih terperinci begitu saja.
Aku senang pertanyaan itu kaukemukakan, Barium," jawabnya tanpa mengubah nada
bicaranya.
Sebab aku ingin kau tahu bahwa selama aku jadi piesiden, saran seperti itu takkan
muncul. Dalam
keadaan bagaimana pun, pemerintahan ini takkan mencampuri proses demokrasi
sebuah negara
ber-(Inilat. Nyatanya pagi ini juga aku menginstruksikan ki pada Menteri Luar
Negeri untuk
menelepon janda mendiang Mr. Guzman dan menyampaikan ungkapan
belasungkawaku pribadi."
Lawrence lega bahwa Barbara Evans menyebut n ima orang itu, sebab bila tidak, ia
tidak akan
mgat. "Mungkin kau juga tertarik mengetahui bahwa Wakil Presiden telah kuminta
untuk
mewakiliku lalam pemakaman yang kudengar akan dilaksanakan h Bogota akhir
pekan ini."
Pete Dowd, agen Dinas Rahasia yang mengurusi Divisi Perlindungan Presiden,
segera
meninggalkan mangan untuk mengingatkan Wakil Presiden sebelum para wartawan
menemuinya.
Barbara Evans tampak tak yakin. Tapi sebelum ia empat melanjutkan dengan
pertanyaan kedua,
Presiden telah mengalihkan perhatian kepada seseorang yang berdiri di deretan
belakang yang ia
44
45
harapkan tidak berminat terhadap pemilihan presiden di Kolombia. Tetapi begitu
pertanyaannya
terlontar. Lawrence mulai mengharapkan semoga ia punya min.il terhadap hal itu.
"Bagaimana
kemungkinan1 KUU Pengurangan Senjata Anda untuk menjadi I undang-undang jika
Viktor
Zerimski sangat mungkin menjadi Presiden Rusia yang berikutnya?"
Selama empat puluh menit berikutnya- Lawrence menjawab pertanyaan-pertanyaan
mengenai RUU
Pengurangan Senjata Nuklir, Biologi, Kimia, dan Konvensional, tetapi disela dengan
tuntutan
untuk membeberkan peranan CIA sekarang di Amerika Selatan, dan bagaimana ia
akan menangani
Viktor Zerimski bila orang ini menjadi Presiden Rusia yang berikutnya. Karena jelas
sekali bahwa
Lawrence tidak' banyak mengetahui kedua hal itu melebihi mereka, para kuli tinta ini
mencium
"darah" dan mulai merengek-rengek minta penjelasan mengenai kedua hal itu hingga
hal-hal lain
tak disinggung, termasuk RUU Pengurangan Senjata.
Ketika akhirnya memperoleh pertanyaan yang simpatik dari Phil Ansanch mengenai
RUU,
Lawrence memberikan jawaban panjang dan logis. Kemudian tanpa memberi
peringatan ia
menyudahi konferensi pers itu dengan tersenyum kepada para wartawan yang
"menggonggonginya" seraya berkata, "Terima kasih, Saudara-saudara. Seperti
biasanya pertemuan
ini menyenangkan." Dan tanpa sepatah kata pun ia membalikkan badan dan cepat-
cepat
meninggalkan ruangan itu menuju ke Ruang Oval.
Saat Andy Lloyd dapat mengejarnya, Presiden menggerutu sambil menahan napas,
"Aku perlu
bicara
«lengan Larry Harrington secepatnya. Begitu kau bisa menemukannya, telepon
Langley. Aku
menginginkan pertemuan dengan Direktur CIA di kantorku sejam la^i."
"Kupikir-pikir, Mr. President, apakah tak lebih in i f...»" Kepala Staf mulai bicara.
"Sejam lagi, Andy," kata Presiden tanpa memandangnya. "Jika ternyata CIA terlibat
dalam
pembunuhan di Kolombia, Dexter akan kugantung."
"Aku akan segera menghubungi Menteri Luar Negeri supaya menemui mu
secepatnya, Mr.
President," kata Lloyd. Ia menghilang masuk ke kantor samping. Disambarnya
telepon terdekat dan
dihubunginya Larry Harrington di Departemen Luar Negeri, liahkan melalui telepon
pun orang
Texas itu tidak dapat menyembunyikan kesenangannya karena begitu i -pat terbukti
benar.
Setelah meletakkan gagang telepon, Lloyd kembali ke kantornya, menutup pintu, dan
duduk diam
di belakang mejanya beberapa saat. Begitu telah memikirkan masak-masak apa yang
harus
dikatakannya, ia menghubungi nomor telepon yang hanya dijawab oleh satu orang.
"Direktur," satu-satunya jawaban Helen Dexter.
Connor Fitzgerald menyerahkan paspornya kepada I etugas bea cukai Australia.
Akan sangat ironis
bila paspor itu diragukan kebenarannya sebab untuk pertama kalinya dalam tiga
minggu itu, ia

menggunakan nama aslinya. Petugas berseragam itu menekan-nekan keyboard


komputer,
memeriksa layar, kemudian menekan-nekan keyboard lagi.
46
47
Tak ada keterangan yang muncul, maka ia menstempel visa turis itu dan berkata,
"Semoga Anda
menikmati perjalanan Anda ke Australia, Mr. Fitzgerald."
Connor berterima kasih kepadanya dan terus berjalan ke bagian pengambilan barang,
lalu duduk di
seberang ban berjalan yang sedang berhenti. Ia menunggu hingga barangnya muncul.
Ia tak pernah
menjadi orang pertama yang melewati pabean, bahkan jika tak punya sesuatu pun
untuk dilaporkan.
Ketika ia mendarat di Cape Town sehari sebelumnya, Connor dijemput teman dan
kolega lamanya,
Cari Koeter. Beberapa jam berikutnya Cari telah mengadakan tanya-jawab
dengannya. Kemudian
barulah mereka menikmati makan siang lengkap sambil membicarakan perceraian
Cari serta kabar
Maggie dan Tara. Botol kedua Rustenberg Cabernet Sauvignon tahun 1982 hampir
saja membuat
Connor terlambat ikut penerbangan ke Sydney. Di dalam toko bebas bea ia buru-buru
membeli
hadiah untuk istri dan putrinya yang jelas-jelas bercap "Made in South Africa".
Bahkan paspornya
tidak memberikan petunjuk bahwa ia tiba di Cape Town melalui Bogota\ Lima, dan
Buenos Aires.
Sambil duduk di bagian pengambilan barang menunggu bekerjanya ban berjalan, ia
mulai
merenungkan kehidupan yang telah dijalaninya selama 28 tahun.
Connor Fitzgerald telah dibesarkan dalam keluarga ¦ yang taat hukum dan peraturan.
Kakek dari garis ayahnya bernama Oscar, sesuai
48
n una pujangga Irlandia, telah beremigrasi ke Ame-nka dari Kilkenny pada
pergantian abad.
Beberapa iam setelah mendarat di Ellis Island, ia langsung menuju Chicago untuk
bergabung
dengan sepupunya h kepolisian.
Selama masa Larangan Minuman Keras tahun 1920—1933, Oscar Fitzgerald
termasuk dalam
kelompok kecil polisi yang menolak suap dari ge-lombolan kriminal. Akibatnya
kariernya tidak
pernah melebihi pangkat sersan. Tetapi Oscar berhasil men-I idi ayah lima orang
putra yang saleh.
Dan hanya menyerah ketika pastor setempat memberitahunya iahwa telah menjadi
kehendak Tuhan
Yang Mahakuasa I ahwa dia dan Mary tidak dikaruniai seorang putri I un. Istrinya
sangat berterima
kasih dengan kata-kata bijaksana Pastor O'Reilly, sebab cukup sulit membesarkan
lima anak laki-
laki yang tegap-tegap dengan aji seorang sersan. Boleh percaya atau tidak, jika ada
kelebihan satu
sen pun dari gaji mingguan yang liberikan Oscar kepadanya, Mary pasti ingin
menge-i thui dengan
terperinci dari mana datangnya uang itu.
Setelah menamatkan high school, tiga putra Oscar I ergabung dengan Kepolisian
Chicago. Di situ
me-leka dengan cepat mendapat promosi yang sewajarnya telah menjadi hak ayah
mereka. Putra
lain men-lapat panggilan hidup menjadi pastor—yang membuat Mary bahagia. Dan
si bungsu, ayah
Connor, belajar hukum pidana di De Paul berdasarkan program ketentaraan Amerika.
Setelah
diwisuda ia bergabung lengan FBI. Pada tahun 1949 ia menikah dengan Katherine
O'Keefe, gadis
yang tinggal dua rumah di sebelahnya di South Lowe Street. Mereka hanya
49
dikaruniai seorang putra yang dibaptis dengan nama j Connor.
Connor lahir di Rumah Sakit Umum Chicago' pada tanggal 8 Februari 1951. Bahkan
sebelum ia
cukup umur untuk masuk sekolah Katolik setempat, sudah jelas ia akan menjadi
pemain sepak bola
yang berbakat. Ayah Connor gembira ketika putranya menjadi kapten kesebelasan
Mount Carmel
High School. Tetapi ibunya selalu menyuruhnya belajar hingga larut malam untuk
memastikan
bahwa ia menyelesaikan pekerjaan rumah. "Kau tak bisa main bola terus seumur
hidup," demikian
ibunya mengingatkannya terus-menerus.
Kombinasi antara seorang ayah yang bangkit berdiri bilamana ada wanita masuk
kamar dan
seorang ibu yang nyaris menjadi santa, menjadikan Connoi sangat pemalu
berhadapan dengan jenis
kelamin lain, kendati fisiknya tegap. Beberapa gadis di Mounl Carmel High School
telah jelas-jelas
menunjukkan! perasaan mereka terhadapnya, namun ia tetap perjakk hingga kelas
akhir ketika
berjumpa dengan Nancy J Beberapa saat setelah ia memimpin Mount Carmel
mencapai
kemenangan pada suatu sore di musini gugur, Nancy membawanya ke belakang
tempat duduk di
stadion dan merayunya. Saat itu untuk pertama kalinya ia akan melihat wanita
telanjang] jika
Nancy melepas semua pakaiannya.
Sekitar sebulan kemudian Nancy menanyainya apakah ia mau mencoba dua gadis
sekaligus.
"Aku belum pernah punya dua pacar, apalagi sekaligus," jawabnya. Nancy tampak
tak terkes. dan
maju terus.
i2££
Ketika memperoleh beasiswa ke Notre Dame, t onnor tidak mengambil satu pun
tawaran yang
begitu banyak mendatangi para teman satu timnya, leman-temannya itu tampak
sangat bangga
mencoreti nama-nama gadis yang takluk pada pesona mereka ¦ 11 balik pintu locker
mereka Pada
akhir semester I tama, Brett Coleman, sang algojo penalti, telah mencoret tujuh
belas nama di
balik pintu locker-nya. Peraturan yang diberitahukannya kepada Connor ialah bahwa
hanya
penetrasi yang boleh dihitung. "Pintu Unker tak cukup besar untuk mencakup seks
oral." I'ada akhir
semester pertama, Nancy masih tetap aiu-satunya nama yang dicoret Connor. Suatu
sore etelah
latihan, ia memeriksa pintu lain-lainnya dan menemukan nama Nancy pada hampir
semua pintu itu,
kadang-kadang dimasukkan ke dalam kurung bersama nama gadis lain. Seluruh sisa
kesebelasan
tak akan menggubris skor yang rendah itu bila < onnor bukan gelandang baru terbaik
di Notre
Dame e lama satu dasawarsa.
Hanya beberapa hari setelah Connor menjadi mahasiswa tingkat dua, semuanya
berubah.
Ketika ia muncul dalam acara mingguan di Klub Dansa Irlandia, wanita itu
mengenakan sepatu
barunya. Connor tak dapat melihat wajahnya, tapi tak apa-apa, sebab ia tak mampu
mengalihkan
pandang dari k.iki panjang yang langsing itu. Sebagai jagoan sepak bola, ia telah
terbiasa melihat
gadis-gadis menatapnya, lapi kini satu-satunya gadis yang ingin ia buat terkesan
tampaknya tak
sadar bahwa ia ada. Sayangnya, ketika mulai melantai gadis itu berpasangan dengan
Declan
(VCasey, yang tak ada tandingannya sebagai pedansa.
Mereka berdua berdansa dengan punggung tegak dan kaki-kaki yang bergerak begitu
ringan hingga
mustahil ditandingi Connor.
Ketika acara itu usai, Connor belum juga tahu nama gadis itu. Dan lebih sayang lagi,
gadis itu telah
meninggalkan ruangan bersama Declan sebelum Connor mendapatkan cara agar
diperkenalkan
kepada si gadis. Karena putus asa ia memutuskan membuntuti mereka ke asrama
putri dengan
berjalan kaki kira-kira sejauh empat puluh meter di belakang mereka dan tetap
membayangi. Persis
seperti ajaran ayahnya. Ia meringis melihat mereka berdua bergandengan tangan dan
asyik
mengobrol. Sesudah sampai di Lc Mans Hall, si gadis mencium pipi Declan lalu
menghilang ke
dalam. Connor bertanya-tanya dalam hati, mengapa ia tidak lebih memusatkan
perhatian pada
dansa dan bukannya sepak bola?
Setelah Declan menuju ke asrama putra, Connor mulai mondar-mandir di bawah
jendela kamar
tidur asrama putri sambil memikirkan apa ada yang bisa ia kerjakan. Akhirnya
sekilas ia melihat
bayangan gadis itu dalam gaun tidur ketika menutup tirai. Dan' Connor masih
beberapa menit di
situ sebelum akhirnya dengan enggan kembali ke kamar. Ia duduk di ujung ranjang
dan mulai
menulis surat kepada ibunya memberitahu bahwa ia telah melihat gadis yang akan
dinikahinya,
walau sebenarnya ia belum berbicara dengan gadis itu, bahkan belum tahu namanya.
Sambil
menjilat amplop untuk merekatkannya, Connor berusaha meyakinkan diri bahwa
Declan O'Casey
bagi gadis itu hanyalah pasangan dansa.
Selama minggu itu ia berusaha mengetahui se-
52
hanyak mungkin mengenai gadis itu. Tapi yang didapatkannya hanya sedikit, yaitu
gadis itu
bernama Maggie Burke. Ia telah memperoleh beasiswa di St. Mary's dan mahasiswi
tahun pertama
Sejarah Kesenian. Ia mengomeli dirinya sendiri karena selama hidup belum pernah
masuk galeri
seni. Dalam kenyataan ia berdekatan dengan cat hanya ketika ayahnya menyuruhnya
memperbarui
cat pagar yang mengitari kebun belakang mereka di South Lowe Street. I >cclan
ternyata telah
mengencani Maggie sejak tahun ikhir Maggie di high school. Dan Declan tak hanya I
dansa terbaik
dalam klub, melainkan juga mate-matikus ulung di universitas. Lembaga-lembaga
lain telah
menawarinya beasiswa untuk melanjutkan studi pascasarjana, bahkan sebelum hasil
ujian akhirnya
diketahui. Connor hanya bisa berharap supaya Declan ditawari jabatan menggiurkan
sejauh
mungkin dari South Bend.
Hari Kamis berikutnya, Connor muncul paling iwal di klub dansa. Ketika Maggie
muncul dari i
lang ganti pakaian mengenakan blus katun kuning dan rok pendek hitam, hanya satu
pertanyaan
yang menjadi pertimbangan Connor, apakah harus menatap
dalam mata hijau itu ataukah memandangi tungkai I injang langsing itu. Dan sekali
lagi sepanjang
petang Maggie berpasangan dengan Declan. Sementara itu ( onnor duduk membisu
di bangku,
sambil mencoba berpura-pura tak menyadari keberadaan gadis itu telah lagu terakhir,
kedua orang
itu menyelinap k c luar. Lagi-lagi Connor membuntuti mereka kembali ke Le Mans
Hall, tapi kali
ini ia tahu gadis itu tidak menggandeng tangan Declan.
53
Setelah obrolan panjang dan ciuman di pipi,! Declan pergi menuju ke asrama putra.
Connor me«|
rebahkan diri di bangku yang berhadapan dengan jendela Maggie, dan mendongak ke
balkon
asrama^ putri. Ia memutuskan menunggu hingga Maggie me-i nutup tirai, tetapi saat
gadis itu
muncul di jendela, Connor telah tertidur.
Hal berikutnya yang ia ingat ialah terjaga dar tidur nyenyak di mana ia bermimpi
Maggie berdiri di
depannya mengenakan piama dan gaun tidur.
Ia terjaga dengan terperanjat. Menatapnya tak percaya. Segera bangkit dan
mengulurkan tangan.
"Hai aku Connor Fit/gerald,"
"Aku tahu," jawab Maggie sambil menjabat ta ngannya. "Aku Maggie Burke."
"Aku tahu," jawab Connor.
"Masih ada tempat di bangku itu?" tanya Maggie.
Sejak saat itu Connor tidak pernah memandan; wanita lain.
Sabtu berikutnya Maggie menonton sepak boli untuk pertama kali dalam hidupnya,
dan meliha
Connor menunjukkan serangkaian permainai gemilang di hadapan penonton yang
menyesaki sta
dion.
Kamis berikutnya Maggie dan Connor berdam, sepanjang petang, sementara Declan
duduk sedih t
sudut. Ia tampak lebih sedih lagi ketika kedua orar^ itu pergi bersama sambil
bergandengan tangan.
Ketik mereka tiba di Le Mans Hall, Connor menciun Maggie untuk pertama kali.
Kemudian ia
berlutu dan melamarnya. Maggie tertawa, wajahnya meral padam, dan lari masuk.
Dalam
perjalanan menuj
k iama putra, Connor juga tertawa tapi hanya ketika melihat Declan bersembunyi di
balik pohon.

Sejak saat itu Connor dan Maggie selalu meng-Jmbiskan saat-saat senggang mereka
bersama-sama.
Maggie belajar mengenai gol, daerah belakang ga-
ig yang menandai masuknya gol, dan operan tnniping. Sedang Connor mempelajari
Bellini, lleinini,
dan Luini. Setiap Kamis malam selama tiga lalimi ia berlutut dan melamar. Manakala
teman-i nian
satu timnya bertanya mengapa ia tidak menim ct nama Maggie pada balik pintu
locker, ia
menjawab biasa saja, "Karena aku akan menikah dengannya."
I'ada akhir tahun terakhir Connor, Maggie akhirnya fc'iuju untuk menjadi istrinya,
tapi Maggie
harus menyelesaikan ujian dulu.
"Aku perlu melamar 141 kali untuk membuatmu melihat cahaya terang," kata
Connor penuh
kemenangan.
"Ah, jangan tolol, Connor Fitzgerald," kata Maggie."Aku tahu aku akan
menghabiskan sisa
hidupku bersamamu ketika aku bergabung denganmu di bangku im "
Mereka menikah dua minggu setelah Maggie lulus i lengan summa cum laude. Tara
lahir sepuluh
bulan kemudian.
55
54
BAB LIMA
"Menurutmu aku harus percaya CIA bahkan tal tahu ada usaha pembunuhan yang
direncanakan?"
"Betul, Sir/ jawab Direktur CIA tenang. "Saal kami sadar ada pembunuhan yang
terjadi hanys
beberapa detik, aku menghubungi National Securitj Advisor yang sepengetahuanku
segera melapoi
padamu di Camp David."
Presiden mulai berjalan di seputar Ruang Ova yang menurutnya tak hanya
memberikan lebih
banyal waktu untuk berpikir tetapi biasanya juga membua tamu-tamunya merasa tak
enak.
Kebanyakan oranj yang masuk ke Ruang Oval sudah gugup. Sekretaris nya pernah
mengatakan
bahwa empat dari lima tami pergi ke kamar kecil dulu beberapa saat sebelun harus
menemui
Presiden.
Tapi ia meragukan apakah wanita yang dudu I berhadapan dengannya itu tahu di
mana letak kama
kecil terdekat. Jika ada bom meledak di Rose Garden Helen Dexter mungkin hanya
akan
mengangkat alisny
56
yang terawat rapi. Sejauh ini kariernya telah berlangsung lebih lama daripada tiga
presiden.
Ketiganya konon pernah suatu saat memintanya mengundurkan diri.
"Dan ketika Mr. Lloyd meneleponku memberitahu bahwa kau menghendaki
keterangan terperinci
lebih anjut, aku menginstruksikan pada wakilku, Nick (Jutenburg, untuk
menghubungi orang-orang
kita di I ipangan di Bogota dan secara luas menyelidiki apa t patnya yang terjadi
Sabtu siang itu.
Gutenburg nenyelesaikan laporannya kemarin." kata Helen eraya menepuk berkas
arsip di
pangkuannya.
Lawrence berhenti berjalan dan berdiri di bawah potret Abraham Lincoln yang
tergantung dv at«r«
kerapian. Ia memandangi tengkuk Helen - Dexter. Wanita itu tetap memandang lurus
ke depa'
Direktur itu mengenakan setelan rapi berwarna elap dengan kemeja krem sederhana.
Ia jarang
nengenakan perhiasan, bahkan dalam acara kenegara-m. Pengangkatannya oleh
Presiden Ford
sebagai wakil direktur pada usia 32 dimaksudkan sebagai I cngganti sementara untuk
menenangkan
lobi feminis leberapa minggu sebelum pemilihan umum tahun 1976. Ternyata
malahan Ford yang
menjadi pengganti ementara. Setelah serangkaian direktur yang menjabat dalam
masa singkat,
entah karena mengundurkan diri atau pensiun, akhirnya Ms. Dexter mencapai posisi
yang
didambakannya. Banyak desas-desus ter-
bar dalam suasana rumah kaca di Washington me-ii enai pandangan-pandangannya
yang sangat
kanan dan cara-cara yang digunakannya untuk meraih promosi, tapi tak ada anggota
Senat yang
berani mempertanyakan pengangkatannya. Ia lulusan summa cum
57
laudc Bryn Mawr dan selanjutnya Fakultas Hukum Universitas Pennsylvania, lalu
bergabung
dengan salah satu biro pengacara New York yang terkemuka. Setelah serangkaian
perdebatan
dengan dewan mengenai lamanya para wanita menjadi mitra, akhirnya disudahi
dengan proses
peradilan yang diselesaikan di luar pengadilan. Lalu ia menerima tawaran untuk
bergabung dengan
CIA.
Ia memulai hidupnya dalam CIA di kantor Direktorat Operasi, akhirnya menanjak
menjadi wakil
direktur. Saat pengangkatannya, ia lebih banyak mempunyai musuh daripada
sahabat, tetapi dengan
berjalannya waktu musuh-musuh itu tampak menghilang, atau dipecat, atau
mengambil pensiun
dipercepat. Ketika diangkat menjadi direktur, ia baru berusia empat puluh.
Washington Post
menyebutnya telah berhasil menembus langit-langit kaca, tapi itu tak menghalangi
para bandar
bertaruh berapa hari ia akan bertahan. Segera mereka mengubahnya menjadi berapa
minggu,
kemudian berapa bulan. Kini mereka bertaruh apakah ia akan menjabat direktur CIA
lebih lama
daripada J. Edgar Hoover di FBI.
Beberapa hari setelah mendiami Gedung Putih, Tom Lawrence telah menemukan
seberapa jauh
Dex-ter akan menghadangnya bila mencoba mengganggu dunianya. Jika ia meminta
laporan
mengenai perkara-perkara sensitif, tidak jarang baru tersedia di mejanya setelah
berminggu-
minggu. Dan bila akhirnya tiba, ternyata tak bisa tidak merupakan laporan panjang,
diskursif,
membosankan, dan sudah kedaluwarsa. Jika ia memanggil Dexter ke Ruang Oval
untuk
menjelaskan persoalan-persoalan yang tak terjawab, wanita
mi bisa bergaya seorang bisu-tuli yang tampak seperti positif informatif. Jika
Lawrence
mendesaknya, Dex-ln akan mengulur-ulur waktu. Jelas dengan asumsi bahwa dia
masih tetap
menduduki jabatan, lama >-telah para pemilih Lawrence memecatnya dari jabatan.
Tapi Helen Dexter barulah bersikap mematikan ketika Lawrence mengusulkan
seseorang mengisi
lowongan di Mahkamah Agung. Dalam waktu beberapa hari, berkas-berkas laporan
diserahkan ke
meja Lawrence, berisi penegasan panjang-lebar bahwa calon yang diusulkan itu tidak
dapat
diterima. Lawrence mendesak tetap mengajukan calonnya— ihabat lamanya, yang
ditemukan tewas
gantung diri di garasi sehari sebelum menduduki jabatan. Lawrence kemudian
menemukan bahwa
berkas rahasia itu telah dikirim ke setiap anggota Panitia Seleksi Senat, tetapi ia tak
pernah dapat
membuktikan siapa yang bertanggung jawab atas hal itu.
Andy Lloyd telah memperingatkan Lawrence pada berbagai kesempatan bahwa jika
ia berani
mencoba memindahkan Dexter dari jabatannya, sebaiknya ia memiliki sejenis bukti
yang akan
meyakinkan publik bahwa Ibu Teresa memiliki rekening bank rahasia di Swiss yang
secara teratur
diisi oleh sindikat-sindikat kriminal terorganisasi.
Lawrence telah menerima penilaian Kepala Stafnya, tetapi kini merasa bila ia dapat
membuktikan
bahwa CIA terlibat dalam pembunuhan Ricardo tiuzman tanpa bersusah payah
memberi informasi
kepada Andy Lloyd, ia bisa memaksa Dexter meninggalkan jabatan dalam beberapa
hari.
58
59
Lawrence kembali ke kursinya dan menekan tombol di bawah tepi meja yang akan
memungkinkan
Andy ikut mendengarkan percakapan, ataupun mendengarkan pita rekaman malam
harinya.
Lawrence menyadari Dexter tahu persis apa yang sedang diinginkannya. Dan
Lawrence menduga
tas ajaib yang tak pernah pisah dari sisi Dexter dan tidak memuat lipstik, wangi-
wangian, dan kotak

kosmetik yang lazimnya menyertai para wanita, telah merekam sedap kata dalam
pembicaraan
mereka berdua. Namun ia masih juga memerlukan versinya sendiri tentang peristiwa
itu untuk
catatan.
Begitu Dexter telah duduk Presiden berkata, "Karena tampaknya kau telah tahu
dengan baik,
mungkin kau dapat memberiku penjelasan terperinci mengenai apa yang sebenarnya
terjadi di
Bogota."
Helen Dexter tak menanggapi nada sarkastis itu dan mengambil sebuah berkas dari
pangkuan.
Sampul putih berlogo CIA bertuliskan kata-kata "KHUSUS UNTUK PRESIDEN
SAJA".
Lawrence bertanya-tanya dalam hati berapa banyak berkas yang telah disembunyikan
Dexter
dengan tulisan "HANYA UNTUK DIREKTUR SAJA".
Dexter membuka berkas itu. "Telah dikonfirmasi kan oleh beberapa sumber bahwa
pembunuhan di
laksanakan oleh satu penembak," bacanya.
"Sebutkan salah satu sumber itu," Presiden me nyela.
"Atase kebudayaan kita di Bogota," jawab Dexter.
Lawrence mengangkat alisnya. Separo dari par atase kebudayaan di kedutaan-
kedutaan Amerika di
seluruh dunia telah ditempatkan di situ oleh CIA
60
hanya supaya melaporkan kembali langsung ke Helen Dexter di Langley tanpa
konsultasi dengan
duta besar setempat, apalagi dengan Departemen Luar Negeri. Kebanyakan dari
mereka
memperkirakan Nut-eiacker Suite merupakan sepinggan makanan yang lurus ada
dalam daftar
masakan di restoran eksklusif.
Presiden mendesah. "Dan menurut/iyo, siapa yang bertanggung jawab atas
pembunuhan itu?"
Dexter membuka lagi beberapa halaman dalam
I rkas, mengambil sehelai foto, dan menyodorkannya ke seberang meja. Presiden
memandangi foto
seorang
etengah baya yang berpakaian rapi - dan tampak makmur.
'Siapa ini?"
"Carlos Velez. Dia mengelola kartel obat bius t i besar kedua di Bogota. Sudah
barang tentu
Guzman mengawasi yang terbesar."
"Dan apakah Velez sudah dituntut?"
"Sayang sekali dia telah terbunuh hanya beberapa
Ii m sesudah polisi menerima surat penahanan." "Tepat sekali."
Dexter tidak tersipu-sipu. Mustahil baginya, pikir I iwrence. Tersipu-sipu kan perlu
darah.
'Dan apakah pembunuh tunggal ini punya nama? Ataukah dia juga meninggal hanya
beberapa saat
Uelah perintah pengadilan..."
"Tidak, Sir. Dia masih hidup segar bugar," jawab si direktur tegas. "Namanya Dirk
van Rensberg."
"Apa saja yang telah diketahui tentang dirinya?" t.mya Lawrence.
"Dia warga Afrika Selatan. Dan hingga belum lama ini dia tinggal di Durban."
61
"Hingga belum lama ini?"
"Ya. Dia sembunyi di bawah tanah segera sesudah pembunuhan."
"Itu mudah dilaksanakan, lebih-lebih jika tak pernah hidup di alas tanah," kata
Presiden. Ia
menunggu reaksi si direktur. Tapi wanita itu tetap tenang. Akhirnya Lawrence
berkata, "Apakah
para pejabat Kolombia menyetujui versi ini, ataukah atase kebudayaan kita satu-
satunya
sumbermu?"
"Tidak, Sir. Kami menyerap sebagian besar keterangan rahasia dari Kepala Polisi
Bogota\ Dalam
kenyataan dia telah menahan salah seorang kaki-tangan Rensberg yang dipekerjakan
sebagai
pelayan di Hotel El Belvedere tempat dari mana tembakan dilepaskan. Dia ditahan di
lorong
beberapa saat setelah membant si pembunuh lolos lewat lift barang."
"Dan tahukah kita gerak-gerik van Rensberg setelah pembunuhan?"
"Tampaknya dia telah terbang ke Lima dengan nama Alistair Douglas Kemudian
dilanjutkan ke
Buenos Aires menggunakan paspor yang sama. Sesudah itu kita kehilangan
jejaknya."
"Dan kuragukan apakah kau akan pernah menemukannya kembali."
"Oh, aku tak begitu pesimistis, Mr. President," kata Dexter tanpa menggubris nada
Lawrence. "Para
pembunuh bayaran cenderung beraksi sendiri dan menghilang beberapa bulan
sesudah tugas
sepenting ini. Kemudian mereka muncul kembali setelah merasa panas lelah
mereda."
"Nah," kata Presiden. "Kupastikan dalam kasus ini aku tetap akan memanaskan
suasana. Dalam
62
perjumpaan kita berikutnya, mungkin aku punya I iporan sendiri yang dapat
kaupertimbangkan."
"Aku ingin sekali membacanya," kata Dexter dengan nada murid nakal yang tak
gentar kepada
kepala sekolah.
Presiden memencet tombol di bawah meja. Sesaat kemudian ada ketukan di pintu
dan Andy Lloyd
masuk.
"Mr. President, beberapa saat lagi ada pertemuan lengan Senator Bedell," katanya
tanpa
menghiraukan kehadiran Dexter.
"Kalau begitu aku akan meninggalkanmu, Mr. President," kata Dexter sambil bangkit
dari tempat
duduk. Ia meletakkan berkas di meja Presiden, meng-iinbil tasnya, dan langsung
meninggalkan
ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.
Presiden tidak berbicara hingga Direktur CIA menutup pintu, kemudian berpaling
kepada Kepala
Staf.
\ku tak percaya sama sekali," gumamnya sambil meletakkan berkas di baki surat
keluar. Lloyd
mencatat dalam hati akan mengambilnya kembali begitu bosnya meninggalkan
ruangan. "Paling-
paling yang dapat kita I arapkan ialah menanamkan rasa takut pada Tuhan I alam diri
wanita itu,
sehingga dia tak berkeinginan melaksanakan operasi lain seperti itu selama aku
mendiami Gedung
Putih."
"Mengingat perlakuannya padamu semasa kau jadi senator, Mr. President,
kusarankan jangan
terlalu banyak menghabiskan uang untuk itu."
"Karena aku tak bisa memanfaatkan jasa pembunuh untuk menyingkirkan wanita itu,
apa
saranmu?"
"Menurutku dia memberimu dua pilihan: me-
63
mecatnya dan menghadapi penyelidikan Senat yang tak terelakkan; atau menerima
kekalahan,
mengikuti versinya mengenai peristiwa di Bogota, dan berharap bisa
mengalahkannya lain waktu."
"Mungkin ada pilihan ketiga," kata Presiden dengan tenang.
Lloyd mendengarkan dengan cermat, tidak berusaha menyela. Dengan segera
menjadi jelas bahwa
Presiden telah banyak memikirkan bagaimana cara menyingkirkan Helen Dexter dari
jabatan
sebagai direktur CIA.
Connor menenangkan pikiran sambil melihat ke layar kedatangan bagasi. Koper-
koper dari
penerbangannya telah mulai dimuntahkan, dan beberapa penumpang telah maju
hendak mengambil
barang mereka.
Ia masih tetap sedih karena tidak dapat hadir pada kelahiran putrinya. Meskipun
meragukan
kebijakan Amerika Serikat mengenai Vietnam, Connor berbagi patriotisme
keluarganya. Dengan
sukarela ia menggabungkan diri ke dalam dinas militer. Dan ia menyelesaikan
akademi calon
perwira sementara menunggu Maggie diwisuda. Mereka akhirnya hanya mempunyai
waktu untuk
pernikahan dan melangsungkan bulan madu selama empat hari sebelum Letda
Fitzgerald berangkat
ke Vietnam pada bulan Juli 1972.
Dua tahun di Vietnam itu kini tinggal merupakan kenangan lama. la telah naik
pangkat menjadi
lettu, lalu ditangkap Vietkonji la berhasil lolos sambil menyelamatkan hidup seorang
temannya—
tampaknya semua itu telah lama berlalu sehingga ia mampu meyakinkan diri bahwa
semuanya itu
sebenarnya
udak pernah terjadi. Lima bulan setelah ia pulang, Presiden menganugerahinya
penghargaan
nasional militer tertinggi, Medali Kehormatan. Tetapi setelah menjadi tawanan
perang selama
delapan belas bulan di Vietnam, ia hanya bahagia masih diperkenankan hidup dan
bersatu lagi
dengan wanita yang dicintainya. Dan saat melihat Tara, ia jatuh hati untuk k -dua
kalinya.
Seminggu setelah kembali ke Amerika Serikat, t onnor mulai mencari pekerjaan. Ia
telah diwawan-
earai untuk menduduki pos di CIA di kantor wilayah ( hicago, ketika tiba-tiba Kapten
Jackson,
mantan komandan kompinya, muncul dan mengajaknya h -rgabung dalam satuan
istimewa yang
akan didirikan <h Washington. Connor diingatkan bahwa jika ber-f-ibung dengan tim
elite Jackson,
ia akan menerima pekerjaan yang mempunyai segi-segi yang tak dapat
dibicarakannya dengan
orang lain, termasuk istrinya sendiri. Ketika telah mengetahui apa yang diharapkan
darinya, ia
mengatakan perlu sedikit waktu lagi untuk memikirkannya sebelum memutuskan. Ia
membicarakan
masalah itu dengan Pastor Graham, pastor keluarga, ang memberikan nasihat
sederhana: "Jangan
pernah melakukan sesuatu yang kauanggap tak terhormat, bahkan jika itu atas nama
negeri sendiri."
Ketika Maggie ditawari pekerjaan pada Kantor Penerimaan Universitas Georgetown,
Connor
menyadari betapa teguh niat Jackson untuk merekrutnya. Keesokan harinya ia
menyurati mantan
komandan kompinya itu dan menyatakan senang bergabung (kmgan "Asuransi
Maryland" sebagai
karyawan peserta pelatihan eksekutif.
64
65
Itulah saat penipuan dimulai.
Beberapa minggu kemudian Connor, Maggie, dan Tara pindah ke Georgetown.
Mereka
menemukan rumah kecil di Avon Place. Uang mukanya dibayar dengan cek-cek
Ketentaraan yang
telah didepositokan Maggie dalam rekening Connor, sebab dulu ia menolak percaya
bahwa Connor
telah gugur.
Kesedihan yang menimpa mereka selama masai permulaan di Washington ialah
karena Maggie
mengalami dua kali keguguran. Dan para ahli kandungar menasihati agar menerima
kenyataan
bahwa ia hanyj dapat melahirkan satu anak. Maggie mengalami keguguran ketiga
sebelum akhirnya
menerima nasihatj itu.
Walaupun mereka kini telah menikah selama tiga puluh tahun, Maggie masih mampu
menggairahkan! Connor hanya dengan tersenyum dan memijat punggung! Connor
dengan tangan.
Connor tahu, begitu ia keluar! pabean dan melihat Maggie menunggu di ruangai
kedatangan, itu
terasa seakan baru pertama kali. Connor tersenyum bila ingat Maggie telah ada di
bandara selama
paling sedikit sejam sebelum pesawat dijadwalkan mendarat.
Kopernya telah muncul di depannya. Ia menyambarnya dari ban berjalan dan menuju
ke pintu
keluar,
Connoi melewati jalur hijau, sebab yakin bih bagasi ini digeledah, petugas pabean
tidak akai
tertarik kepada antelop dari kayu yang pada kakinyi jelas-jelas bertuliskan "Made in
South Africa".
Ketika memasuki ruang kedatangan, ia langsung! melihat istri dan putrinya berdiri
dalam
rombongan orang banyak. Connor mempercepat langkah d<
iri senyum kepada wanita yang dipujanya itu. Mengapa Maggie mau memandangnya
kembali,
bahkan mau menjadi istrinya? Senyumnya semakin lebar ketika ia memeluknya.
"Apa kabar. Sayang?" tanya Connor.
"Aku hanya merasa hidup kembali bila tahu kau kembali dengan selamat sesudah
menunaikan
tugas," bisik Maggie. Connor mencoba tidak mengindahkan kata "dengan selamat"
sambil melepas
pelukan dan berpaling ke wanita satunya yang ia cintai dalam bulupnya. Tara sangat
mirip ibunya
tapi agak lebih imggi, dengan rambut panjang merah dan mata hijau berkilat yang
sama, namun
wataknya lebih tenang. Sang putri semata wayang ini menciumi pipi Connor bmgga
ia merasa lebih
muda sepuluh tahun.
Pada pembaptisan Tara, Pastor Graham berdoa supaya Yang Mahakuasa
menganugerahi anak itu
wajah Maggie dan otak—Maggie. Ketika Tara telah tumbuh, angka-angkanya di
sekolah menengah
dan banyaknya anak muda yang mengincarnya, telah membuktikan bahwa Pastor
Graham
bukannya hanya pastor, melainkan juga nabi. Connor segera menyudahi usaha
menyingkirkan arus
para pengagum yang mengetuk pintu depan rumahnya di Georgetown, ilau bahkan
bersusah payah
mengangkat telepon, k.irena hampir selalu berhadapan dengan anak muda yang
berlidah kelu dan
berharap putrinya mau ber-k ncan dengannya.
'Bagaimana kabar Afrika Selatan?" tanya Maggie sambil menyelipkan tangan ke
lengan suaminya.
"Makin gawat sejak kematian Mandela," jawab C onnor. Ia telah mendengarkan
uraian panjang dari
66
67
Cari Koeter mengenai masalah-masalah yang dihadapi Aluka Selatan selama makan
siang di Cape
Town, ditambah dengan koran-koran setempat selama seminggu yang ia baca dalam
penerbangan
ke Sydney. "Angka kriminalitas meningkat tajam di kebanyakan kota besar, hingga
bermobil
melanggar lampu merah setelah gelap bukan lagi merupakan pelanggaran hukum.
Mbeki berusaha
sebaik mungkin. Tapi aku kuatir harus menyarankan supaya perusahaan memotong
investasinya di
sana—setidaknya hingga kita yakin perang saudara telah terkendali."
"'Keadaan berantukan; pusat tak dapat bertahan; hanya anarki semata yang melanda
seluruh bumi'"
kata Maggie.
"Kupikir Yeats belum pernah mengunjungi Afrika Selatan" kata Connor.
Betapa sering ia ingin mengatakan seluruh kebenaran kepada Maggie, dan
menjelaskan mengapa ia
hidup dalam dusta bertahun-tahun, tapi nyatanya tak semudah itu. Maggie mungkin
merupakan
wanita simpanannya, tetapi mereka itu majikannya, dan Connor selalu menerima
kode bungkam
total. Selama bertahun-tahun ia berusaha meyakinkan diri bahwa Maggie tidak
mengetahui seluruh
kebenaran itu demi kebaikan Maggie sendiri. Tetapi bila Maggie tanpa sadar
menggunakan kata-
kata "tugas" dan "dengan selamat", Connor sadar bahwa Maggie tahu lebih jauh
daripada yang
diakuinya. Apakah ia mengigau dalam tidur? Namun tak lama lagi tidaklah perlu
mengelabui
Maggie lebih lanjut. Maggie memang belum tahu, tapi Bogota itu adalah penugasan
terakhir.
Selama liburan ia akan mengatakan mengenai
68
promosi tak terduga yang akan berarti tak perlu banyak bepergian lagi.
"Bagaimana dengan perjanjian itu? Kau berhasil menanganinya?" tanya Maggie.
"Perjanjian itu? Oh, ya, semuanya sesuai rencana," kata Connor. Itulah yang paling
mendekati
kebenaran .mg bisa diungkapkannya kepada Maggie.
Connor mulai berpikir tentang dua minggu berikutnya berjemur matahari. Ketika
mereka melewati
kios koran, sebuah judul berita di kolom kanan Sydney Morning Herald menarik
perhatiannya.
Wakil Presiden Amerika Menghadiri Pemakaman di Kolombia
Maggie melepaskan diri dari gandengan suaminya ketika mereka keluar dari ruang
kedatangan,
menghirup udara musim panas yang hangat dan menuju ke tempat parkir.
"Di mana Ayah ketika ada bom yang meledak di ( ape Town?" tanya Tara.
Koeter sama sekali tidak menyebutkan bom di < 'ape Town. Apakah ia akan pernah
bisa bersantai?
69
BAB ENAM
Ia menyuruh sopirnya untuk mengantarnya ke National Gallery.
Ketika mobil meninggalkan jalan masuk ke Gedung Putih untuk anggota staf,
seorang petugas
Dinas Rahasia Uniformed Division di gardu jaga membukakan gerbang logam dan
mengangkat
tangan memberi salam. Sopir menuju ke State Place, melaju di antara South Grounds
dan Ellipse
serta melewati Departemen Perdagangan.
Empat menit kemudian mobil berhenti di luar jalan masuk ke galeri di sebelah timur.
Penumpangnya berjalan cepat melintasi jalur berbatu-batu dan menaiki tangga batu.
Ketika tiba di
tangga teratas, ia menoleh kembali untuk mengagumi pahatan Henry Moore yang
mendominasi sisi
lain alun-alun. Dan ia memeriksa apakah ada yang menguntitnya. Ia tak yakin,
namun ia memang
bukan seorang profesional.
70
Ia berjalan terus memasuki gedung, lalu berbelok ke kiri mendaki tangga pualam
yang menuju ke
aleri-galeri di lantai dua. Semasa muda dulu ia I erjam-jam berada di situ. Ruangan-
ruangan besar I
enuh sesak dengan anak-anak sekolah, tidak aneh
i pagi hari kerja. Sementara berjalan menuju ke daleri 71, ia mengedarkan pandang
ke lukisan-
lukisan I lomer, Bellow, dan Hopper yang telah ia kenal dan
mlai merasa betah. Ia tak pernah merasa demikian di Gedung Putih. Ia melanjutkan
ke Galeri 66.
Sekali lagi mengagumi Tanda Peringatan kepada shaw dan Resimen Massachusetts
Ke-54 karya
Au-jmst Saint-Gaudens. Pertama kali melihat dekorasi
ebesar badan yang masif itu, ia berdiri di depannya
lan terpesona selama sejam lebih. Tapi kali ini ia I anya punya waktu senggang
beberapa saat.
Karena tak bisa menahan diri untuk berhenti berkali-kali, seperempat jam lagi ia baru
sampai ke I
undaran di pusat gedung. Ia bergegas melewati patung Mercury, menuruni tangga,
dan kembali ber-
utar melalui toko buku, cepat-cepat menuruni se-i ingkaian tangga dan melintasi
lorong bawah
tanah, lalu akhirnya muncul di Sayap Timur. Ia mendaki
ebaris tangga lagi, lalu melintas di bawah lukisan
'esar Calder yang bergerak-gerak tergantung pada
I ingit-langit, kemudian menerobos melalui pintu putar, keluar gedung, dan menuju
ke jalur
berbatu-batu. Sekarang ia telah yakin tak ada yang menguntitnya.
Ii langsung masuk ke tempat duduk bagian belakang i iksi yang sedang antre paling
depan. Sambil
me-11 mdang ke luar jendela, ia melihat mobil dan sopirnya di seberang sana alun-
alun.
71
"Ke A.V., di New York Avenue."
Taksi berbelok ke kiri di Pennsylvania, kemudi menuju ke utara ke Sixth Street. Ia
mencoba menat
pikirannya. Ia senang, selama dalam perjalanan s: sopir tidak mengajaknya
berbincang mengenai
peme rintah atau khususnya Presiden.
Mereka membelok ke kiri ke New York Avenue d taksi langsung melambat. Ia
menyerahkan
selemb uang sepuluh dolar kepada si sopir bahkan sebelu mobil berhenti, kemudian
melangkah ke
luar da menutup pintu taksi tanpa menunggu uang kembalian.
Ia lewat di bawah awning merah, putih, dan hija yang menandakan asal-usul
pemiliknya dan mem
buka pintu. Perlu waktu beberapa saat agar matany menyesuaikan diri dalam cahaya
temaram ata
kegelapan. Setelah terbiasa, ia lega karena tempa itu ternyata kosong. Hanya ada
sesosok sendirian
yang duduk menghadap meja kecil di seberang ruangan sambil main-main dengan
gelas jus tomat
setengah kosong. Setelan bagus dan perlente takj menunjukkan bahwa ia
pengangguran. Walau
masih bersosok atlet, kepalanya yang mulai membotak sebelum waktunya
membuatnya tampak
lebih tua daripada usia yang dicantumkan dalam berkas. Mata mereka bertemu dan
orang itu
mengangguk. Ia melintasi ruangan dan duduk berhadapan dengannya. "Namaku
Andy..." ia
memulai. "Misterinya, Mr. Lloyd, bukanlah siapa kau, melainkan mengapa Kepala
Staf Presiden
ingin berjumpa denganku," kata Chris Jackson.
***
72
N »1111 apa bidang spesialisasi Anda?" tanya Stuart 94i Kenzie.
Maggie memandang suaminya. Ia tahu suaminya m\ kan suka kehidupan
profesionalnya dicampuri.
' onnor menyadari bahwa Tara tak sempat mem-luiiiahu pemuda terakhir yang
terpesona kepadanya
Muluk tidak membicarakan pekerjaan ayahnya.
Hingga saat itu ia tak ingat pernah lebih dapat Lifiiikmati makan siangnya. Ikan yang
hanya di-
i.mekap beberapa jam sebelum mereka duduk di kui'ia sudut kafe kecil di Cronulla.
Buah-buahan
[yung belum pernah diawetkan atau di dalam kaleng, ¦km bir yang ia harapkan
diekspor ke
Washington. • onnor menenggak kopi sebelum duduk santai berhindar di kursi dan
menonton para
peselancar hanya wkitar seratus meter jauhnya. Olahraga yang ingin fa |umpai dua
puluh tahun

sebelumnya. Stuart terkejut melihat betapa fit ayah Tara ketika pertama kali mencoba
papan
selancar. Connor membual dengan (•e i cerita bahwa ia masih berlatih dua-tiga kali
seminggu. Dua-
tiga kali sehari mungkin lebih mendekati kebenaran.
Walau takkan pernah memandang seseorang cukup baik bagi putrinya, Connor harus
mengakui
bahwa «lalam beberapa hari yang lalu ini ia semakin senang I" igaui dengan
pengacara muda itu.
"Aku bekerja di bisnis asuransi," jawabnya, sebab .ular putrinya pasti sudah
mengatakan demikian
kepada Stuart.
"Ya, Tara telah menceritakan Anda eksekutif senior. Tapi dia tak memberikan
keterangan
terperinci." Connor tersenyum. "Itu karena spesialisasiku pen
73
culikan dan tebusan, dan sikapku terhadap kepercayaa klien sama seperti dalam
profesimu." Ia
ingin tali apakah itu akan menghentikan pemuda Australia it untuk meneruskan topik
tersebut.
Ternyata tidak.
"Kedengarannya jauh lebih menarik daripad kasus-kasus biasa yang harus saya
tangani," k Stuart,
mencoba menariknya dari persembunyian.
"Sembilan puluh persen yang kulakukan hanyal rutin dan membosankan," kata
Connor. "Dalam k
nyataannya, aku punya lebih banyak pekerjaan tuli: menulis daripada kau."
"Tapi saya tak pernah bepergian ke Afrika Selatan.
Tara memandang cemas ke arah ayahnya, seba tahu ayahnya tak akan suka informasi
ini telah dai
sampaikan kepada seseorang yang relatif asing. Tad Connor tak menunjukkan tanda-
tanda
kebosanan.
"Ya, memang r^arus kuakui pekerjaanku puny satu-dua kompensasi."
"Apakah akan melanggar kepercayaan klien bil Anda mengajak saya menelusuri
kasus yang
khas?"t
Maggie baru akan menengahi dengan kalimat yan di masa silam sering ia gunakan,
tetapi Connor
tela< sukarela menjawab, "Perusahaan tempatku bekerji mewakili beberapa klien
gabungan yang
punya ke< pentingan besar di luar negeri."
"Mengapa klien-klien itu tak menggunakan peri usahaan dari negeri yang terlibat?
Mestinya merek!
lebih bisa menangani keadaan setempat."
"Con," Maggie menyela, "kupikir kau kepanasan. Mungkin lebih baik kembali ke
hotel sebelum ka
seperti udang bakar."
Connor senang dengan intervensi istrinya yan
74
• i meyakinkan itu, apalagi karena istrinya telah tn nyuruhnya mengenakan topi
sejam sebelumnya.
" lak pernah semudah itu," katanya kepada si |« u) acara muda. "Ambillah contoh
Coca-Cola. Harus
Imcgaskan dulu kami tak mewakilinya. Mereka punya ¦mior di seluruh dunia.
Mempekerjakan
puluhan ¦mi anggota staf. Di setiap negara mereka punya )t ckutif senior yang
kebanyakan
berkeluarga."
Maggie tak bisa percaya bahwa Connor telah ) w dibiarkan pembicaraan sejauh itu.
Biasanya me-
fik;i cepat mendekati masalah dan selalu menghentikan pertanyaan lebih lanjut
karena mati
langkah.
' Tapi kami punya orang-orang yang memiliki kualifikasi untuk melaksanakan
pekerjaan seperti itu
¦i Sydney," kata Stuart sambil membungkuk, meluangkan kopi lagi untuk Connor.
"Bagaimanapun
krnculikan dan tebusan juga dikenal di Australia." Terima kasih," kata Connor. Ia
kembali
meneguk
I i sambil memikirkan pernyataan itu. Penelusuran ?tumit tak goyah. Seperti jaksa
penuntut yang
baik. \<\ sabar menunggu dengan harapan saksi memberikan
Ii iban terbuka pada tahap tertentu. "Sebenarnya aku tak pernah diberi tugas bila tak
nila komplikasi." Komplikasi?"
"Kita ambil contoh sebuah perusahaan dengan banyak perwakilan di negara di mana
kejahatan
M'img terjadi, dan penculikan dengan tebusan sudah ilianggap biasa. Direktur
perusahaan itu—
walau biasanya istrinya karena sehari-hari tak begitu terlindungi— diculik."
"Nah, di situ Anda masuk?"
75
"Tidak. Tak harus begitu. Bagaimanapun poli setempal mungkin telah
berpengalaman menang
perkara sejenis itu. Dan tak banyak perusahaan ya suka diintervensi dari luar,
khususnya dari
Amerik Keiap kali aku hanya terbang ke ibu kotanya memulai penyelidikanku
sendiri. Jika
sebelumnya pernah berkunjung ke negeri itu dan telah menyusu laporan bersama
kepolisian
setempat, mungkin af memberitahukan kehadiranku. Tapi aku lebih su menunggu
mereka minta
bantuanku."
"Lalu bagaimana jika mereka tak minta bantuan, tanya Tara.
Stuart terkejut karena jelas Tara belum pe mengajukan pertanyaan itu sebelumnya
kepada aya nya.
"Kalau begitu aku harus bekerja sendirian," kas Connor. "Dan itu membuat proses
tersebut lebi
gawat lagi."
"Tapi bila polisi tak bergerak maju, menga^ mereka menginginkan bantuan Anda?
Mereka pas
menyadari keahlian khusus Anda," kata Stuart.
"Sebab polisi sendiri sudah tahu, pada tahap te tentu mereka telah terlibat."
"Aku tak begitu mengerti," kata Tara.
"Polisi setempat mungkin menerima sebagia tebusan," Stuart mencoba menjawab,
"jadi mereT tak
menyukai intervensi dari luar. Bagaimanap mereka mungkin mengira perusahaan
asing itu marr>
pu membayar tebusan."
Connor mengangguk. Segera jelas mengapa Stua telah mendapat pekerjaan dengan
banyak kasus
tind? pidana terkenal di Sydney.
76
"Jadi apa tindakan Anda bila polisi setempat telah memotong tebusan?" tanya Stuart.
lara mulai menyesal, seandainya saja ia telah memberitahu Stuart untuk tidak
mendesak ayahnya ih
lalu jauh. Namun ia segera menyimpulkan bahwa in.mg-orang Australia tak punya
gambaran di
mana kilas "terlalu jauh" itu.
"Jika itu terjadi, aku harus mempertimbangkan bernegosiasi sendiri. Sebab bila klien
terbunuh,
dapat dipastikan investigasi berikut takkan mendalam, dan p.na penculik mungkin
takkan pernah
tertangkap."
"Dan begitu Anda setuju bernegosiasi, apa langkah p< mbukanya?"
Begini, kita andaikan penculik menuntut satu jiiia dolar—penculik selalu menuntut
jumlah bulat,
biasanya dalam dolar Amerika. Seperti setiap nego-Malor profesional, tugas utamaku
adalah
mencapai u msaksi sebaik mungkin. Dalam hal itu, unsur terpenting ialah
memastikan karyawan
perusahaan tak ti i ancam bahaya. Tapi takkan kubiarkan perkaranya mencapai tahap
negosiasi jika
menurutku klien bisa dibebaskan tanpa pembayaran sepeser pun dari perusahaan.
Semakin banyak
harus membayar, semakin besar kemungkinan penculik mengulangi kejahatannya
beberapa bulan
kemudian. Kadang-kadang dengan menculik orang yang sama."
"Apakah Anda sering sampai ke tahap negosiasi Hii?"
"Sekitar lima puluh persen dari yang kutangani. Saat itulah kita tahu apakah kita
berhadapan
dengan piofesional. Makin lama kita dapat mengulur nego-Liasi, para amatir makin
waswas akan
tertangkap.
77
Dan sesudah beberapa hari mereka jadi menyuk^ orang yang diculik, yang membuat
mereka
mustah( melaksanakan rencana semula. Misalnya dalam- peng pungan Kedutaan
Peru, mereka
akhirnya menyr lenggarakan pertandingan catur dan para teror menang."
Mereka bertiga tertawa, sehingga Maggie bc agak santai.
"Orang-orang profesional atau amatir yang m ngirim orang-orang suruhan?" tanya
Stuart deng..
senyum kecut.
"Aku senang dapat mengatakan aku tak mewakl perusahaan yang bernegosiasi atas
nama cucu M(
Getty. Tapi bahkan bila aku menangani seoranj profesional, aku masih memegang
beberapa kar
bagus." Connor tidak tahu istri dan putrinya me biarkan kopi mereka mendingin.
"Silakan meneruskan," kata Stuart.
"Nah, kebanyakan penculikan merupakan peris wa sekali jadi. Dan walau hampir
selalu dilaksam
kan oleh seorang profesional, mungkin dia tak be pengalaman bernegosiasi dalam
situasi seperti it>
Para penjahat profesional selalu terlalu percaya di Mereka mengira bisa menangani
segalanya.
Seper* pengacara yang mengira bisa membuka restoran hany karena dia makan tiga
kali sehari."
Stuart tersenyum. "Lalu apa yang mereka lakuka begitu sadar takkan mendapatkan
sejuta dolar?"
"Aku hanya dapat bicara dari pengalaman sendiril kata Connor. "Biasanya urusan itu
kuakhiri
dengar menyerahkan seperempat dari jumlah yang dituntu berupa lembaran uang
yang telah
digunakan dan dap
78
p*lacak. Dalam kesempatan yang tak kerap terjadi aku ni« nyerahkan setengah uang
tuntutan.
Hanya sekali fcku setuju menyerahkan jumlah seluruhnya. Tapi Mugai pembelaan
diriku, Tuan
Pengacara, dalam Iumis khusus itu bahkan perdana menteri setempat pun mengambil
bagiannya."
"Berapa banyak yang bisa lolos?"
"Dalam kasus yang telah kutangani selama tujuh [v las tahun, hanya ada tiga. Jadi
secara kasar itu
h'iarti delapan persen."
"Bukan hasil yang jelek. Dan Anda kehilangan |"-iapa klien?"
Kini mereka menginjak wilayah yang bahkan M iggie pun belum pernah
merambahnya. Dan
Maggie mulai beringsut gelisah di kursinya.
"Bila kehilangan klien, perusahaan mendukung lila sepenuhnya," kata Connor. la
berhenti sejenak,
lapi mereka tak membolehkan seseorang gagal dua ah."
Maggie bangkit dari kursi dan berpaling ke Connor •tiaya berkata, "Aku ingin
berenang. Ada yang
mau Ikut?" ]
"Tidak, tapi aku ingin sekali lagi berselancar," kiiliut Tara, cepat-cepat membantu
usaha ibunya
niengakhiri interogasi itu.
"Berapa kali kau terjatuh pagi ini?" tanya Connor memberi konfirmasi bahwa
pembicaraan telah
cukup jauh. 4
"Selusin kali lebih," sahut Tara. "Ini yang terpilah." Dengan bangga ia menunjuk ke
memar besar ih
piha kanan.
'Mengapa kaubiarkan dia sejauh itu, Stuart?" tanya
79
Maggie sambil duduk mengamati memar itu lebi] saksama.
"Sebab itu memberi saya kesempatan menolong nya dan tampil sebagai pahlawan."
"Awas, Stuart, akhir minggu ini dia sudah mahir berselancar. Dan akhirnya dia yang
akan me
nolongmu," kata Connor sambil tertawa.
"Saya tahu hal itu," jawab Stuart. "Tapi saat it terjadi, saya akan mengajarinya
hungee jumping."
Maggie langsung memucat, dan buru-buru me-J mandang ke arah Connor.
"Jangan khawatir, Mrs. Fitzgerald," tambah Stua cepat-cepat. "Lama sebelum itu
Anda berdua tela
kembali ke Amerika." Tak seorang pun dari mere" ingin diperingatkan^akan hal itu.
Tara memegang lengan Stuart. "Ayo pergi, Super] man. Sudah waktunya kau
menemukan
gelombang lain di mana kau bisa menyelamatkanku."
Stuart melompat berdiri. Sambil berpaling ke( Connor ia berkata, "Jika sampai
menculik putri
Anda, saya takkan menuntut tebusan, dan saya tak maJ menyelesaikan persoalan
dengan dolar
Amerika ataJ mata uang mana pun."
Tara tersipu-sipu. "Ayolah," katanya, dan mereka lari ke pantai menyongsong
ombak.
"Dan untuk pertama kalinya aku takkan mencoba bernegosiasi," kata Connor kepada
Maggie
sambfl menggeliat dan tersenyum.
"Dia pemuda yang baik," kata Maggie sambil menggandeng tangan Connor. "Sayang
dia bukajj
orang Irlandia."
80
"Bisa lebih buruk lagi," kata Connor sambil bangku dari kursi. "Dia bisa jadi orang
Inggris."
Maggie tersenyum sementara mereka mulai menuju ke tempat berselancar. "Tara
baru pulang pukul
lima pagi ini."
"Jangan bilang kau terjaga semalaman bila putrimu pergi berkencan," kata Connor
sambil menyeti
ngai.
"Jangan keras-keras, Connor Fitzgerald, dan ingatlah dia itu satu-satunya anak kita."
'Tara bukan anak kecil lagi, Maggie," kata Connor. Dia wanita dewasa dan kurang
dari setahun lagi
iha akan jadi Dr. Fitzgerald."
"Dan tentu saja kau tak mencemaskannya,"
"Kau tahu aku cemas," kata Connor sambil me-i mgkulnya. "Tapi jika dia main api
dengan
Stuart— ilan itu bukan urusanku—dia dapat bertindak jauh lebih buruk lagi."
"Aku tak tidur denganmu hingga hari perkawinan kita. Dan bahkan ketika mereka
mengatakan kau
hilang di Vietnam, aku tak pernah memandang pria lain. Dan itu bukan karena
kurang ajakan."
"Aku tahu, sayangku," kata Connor. 'Tapi saat i lu kau telah menyadari aku tak
tergantikan."
Connor melepas rangkulannya dan berlari menuju ke ombak, sambil memastikan ia
selalu
selangkah _ lebih dulu dari istrinya. Ketika akhirnya dapat menyusulnya, Maggie
sudah kehabisan
napas.
"Declan O'Casey melamarku lama sebelum..."
"Aku tahu, Sayang," jawabnya sambil memandangi nata hijau Maggie dan
menyibakkan
rambutnya. "Dan tak pernah sehari pun berlalu tanpa kusyukuri
81
bahwa kau menungguku. Itulah satu-satunya hal yang membuatku tetap bertahan
hidup setelah
ditawan di 'Nam. Hal itu dan keinginan melihat Tara."
Kata-kata Connor mengingatkan Maggie akan kesedihan ketika ia keguguran dan
ketika
mengetahui ia tak dapat melahirkan anak lagi. Maggie telah dididik dalam keluarga
besar dan
sangat merindukan mempunyai anak-anak sendiri. Ia tak pernah dapat menerima
filsafat sederhana
dari ibunya: itu sudah menjadi kehencfak Tuhan.
Sementara Connor pergi ke Vietnam, ia banyak mengalami masa-masa bahagia
bersama Tara. Tapi
setelah Connor pulang, nona muda itu telah memindahkan kasih sayangnya dengan
tiba-tiba. Dan
walau tetap dekat dengan putrinya, Maggie tahu ia tak dapat mempunyai hubungan
lagi dengan
Tara sebagaimana yang dinikmati Connor.
Ketika Connor menandatangani kontrak dengan Asuransi Maryland sebagai
karyawan peserta
pelatihan manajemen, Maggie kebingungan oleh ke-putusan itu. Maggie selalu
mengira Connor
selalu ingin terlibat dalam penegakan hukum seperti ayahnya. Itu sebelum ia
menjelaskan untuk
siapa sebenarnya ia bekerja. Walau tak menjelaskan secara terperinci, Connor
memberitahu siapa
atasannya, dan arti menjadi petugas pelindung secara tak resmi, NOC—non-official
cover officer.
Bertahun-tahun Maggie dengan setia menyimpan rahasia itu, walau tak dapat
membicarakan
profesi suami dengan teman-teman dan para kolega kadang-kadang terasa aneh.
Tetapi ia
memutuskan ketidaknyamanan itu tak seberapa dibandingkan pengalaman banyak
istri dan
82
para suami yang terlalu senang membicarakan pekerjaan mereka, tak habis-habisnya
dan sangat
terperinci. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikulerlah yang hendak mereka rahasiakan.
Maggie sungguh-sungguh berharap suatu hari putrinya menemukan seseorang yang
bersedia
menunggu di bangku taman semalaman hanya untuk melihatnya menutup tirai.
BAB TUJUH
Jackson menyulut rokok, dan mendengarkan dengan cermat setiap kata yang
diucapkan orang dari
Gedung Putih itu. Ia tidak berusaha menyelanya.
Ketika akhirnya mengakhiri bagian yang telah dipersiapkannya, Lloyd menyesap air
mineral yang
disajikan kepadanya dan mendengarkan apa yang akan menjadi pertanyaan pertama
mantan wakil
direktur CIA itu
Jackson mematikan rokok. "Boleh aku bertanya mengapa kau menduga akulah orang
yang tepat
untuk tugas ini?"
Lloyd tidak kaget. Ia telah memutuskan jika Jackson mengajukan pertanyaan itu, ia
akan berterus
terang. "Kami tahu kau mengundurkan diri dari CIA karena... perbedaan pendapat"—
ia
menekankan kata-kata ini—"dengan Helen Dexter. Walau catatan prestasimu dalam
CIA pantas
diteladani. Dan hingga saat itu kau dianggap sebagai pengganti Dexter yang sudah
semestinya.
Tapi karena meletakkan jabatan
84
dengan alasan-alasan yang sekilas tampaknya aneh, kau tak dapat menemukan
jabatan yang
memadai dengan kualifikasimu. Kami menduga Dexter juga punya sangkut paut
dengan urusan
ini."
"Hanya perlu sekali telepon," kata Jackson, "tentu saja off the record—dan tiba-tiba
kau dibuang
dari setiap daftar orang yang mampu menduduki jabatan. Aku sebenarnya tak suka
menjelek-
jelekkan orang yang masih hidup, tapi dalam hal Helen Dexter, aku senang membuat
perkecualian."
Ia menyulut rokok lagi. "Soalnya Dexter percaya Tom Lawrence menduduki jabatan
kedua
terpenting di Amerika," ia melanjutkan, "Wanita itulah yang menjadi pembela iman,
benteng akhir
bangsa. Dan baginya politisi terpilih itu hanyalah ketidaknyamanan sementara yang
cepat atau
lambat akan dibuang oleh pemilih mereka."
"Presiden telah lebih dari sekali disadarkan akan hal itu," kata Lloyd, dengan agak
terharu.
"Mr. Lloyd, presiden datang dan pergi. Aku berani bertaruh, seperti kita semua,
bosmu adalah
manusia biasa, maka bisa dipastikan Dexter telah menyusun berkas mengenai
Lawrence, penuh
dengan alasan mengapa Lawrence tak pantas menjalani masa jabatan kedua. Dan
omong-omong,
dia juga memiliki berkas yang sama tebalnya mengenai dirimu."
"Kalau begitu sudah saatnya kita menyusun berkas kita sendiri, Mr. Jackson. Tak ada
orang lain
yang kupandang lebih cakap menangani tugas itu."
"Dari mana aku harus mulai?"
"Dengan menyelidiki siapa yang berada di belakang pembunuhan atas Ricardo
Guzman di Bogota
bulan lalu," kata Lloyd. "Kami punya alasan untuk
85
percaya CIA mungkin terlibat, secara langsung ataupun tidak."
"Tanpa sepengetahuan Presiden?" tanya Jackson tidak percaya.
Lloyd mengangguk. Ia mengeluarkan berkas dari tas dan menyodorkannya di atas
meja. Jackson
membukanya.
"Tak usah buru-buru," kata Lloyd, "sebab kau harus mengingat-ingat semuanya."
Jackson mulai membacanya. Dan ia mulai berkomentar walau belum sampai pada
akhir halaman
pertama.
"Jika kita mengasumsikan itu penembak tunggal, mustahil mencoba mencari
informasi yang bisa
diandalkan. Orang seperti itu tak meninggalkan alamat surat." Jackson berhenti
sebentar. "Tapi bila
yang sedang kita tangani ini CIA, Helen Dexter punya sepuluh hari lebih dulu dari
kita. Mungkin
dia telah membuat buntu setiap jalan yang bisa mengarah ke si pembunuh—
kecuali..."
"Kecuali...?" Lloyd menirukan.
"Aku bukan satu-satunya orang yang lelah bertahun-tahun bertemu dengan wanita
itu. Mungkin ada
orang lain di Bogota yang—" lu berhenti. "Waktuku berapa lama?"
"Presiden baru Kolombia .ikan mengadakan kunjungan resmi ke Wasluneinn uyn
tnui^tm lagi.
Akan membantu bila saat itu kita aulah punya sesuatu."
"Rasanya sekarang ini ikti ml ih mulai mengalami seperti zaman duju,' k u i I u I mi
seiaya
mematikan rokoknya. "Kecuali a.l.i k nan an tambah-
8(>
an, karena kali ini Helen Dexter secara resmi ber-eberangan denganku." Ia menyulut
rokok lagi.
"Aku
bekerja untuk siapa?"
"Resminya kau freelance. Tapi secara tak resmi
kau bekerja untukku. Kau akan dibayar sama seperti
waktu meninggalkan CIA. Rekeningmu setiap bulan ikan dikredit. Walau jelas
namamu takkan
muncul
dalam buku mana pun. Aku akan menghubungimu
bila..."
"Jangan, Mr. Lloyd," kata Jackson. "Aku akan menghubungiwH bila ada sesuatu
yang pantas ku-
laporkan. Kontak timbal-balik hanya akan melipatgandakan kemungkinan seseorang
menemukan
kita. Yang kuperlukan hanyalah nomor telepon yang tak dapat dilacak."
Lloyd menuliskan tujuh nomor pada serbet. "Itu langsung berhubungan dengan
mejaku, bahkan
menghindari sekretarisku. Lewat tengah malam otomatis dipindahkan ke telepon di
sisi ranjangku.
Kau dapat meneleponku siang atau malam. Tak perlu menghiraukan perbedaan
waktu bila kau di
luar negeri, sebab aku tak peduli dibangunkan dari tidur."
"Itu bagus," kata Jackson. "Sebab kuduga Helen Dexter tak pernah tidur."
Lloyd tersenyum. "Apakah semuanya telah kita bahas?"
"Belum semuanya," sahut Jackson. "Bila kau pergi, beloklah ke kanan; lalu
berikutnya ke kanan
lagi. Jangan menengok ke belakang. Dan jangan menghentikan taksi sebelum paling
sedikit
melewati empat blok. Mulai sekarang kau harus berpikir seperti Helen Dexter. Dan
hati-hatilah,
wanita itu telah melakukan
87
hal itu selama tiga puluh tahun. Hanya ada satu orang yang sepengetahuanku lebih
baik daripada

dia."
"Kuharap itu kau sendiri," kata Lloyd.
"Bukan. Bukan aku," sahut Jackson.
"Jangan-jangan dia telah bekerja untuk Dexter."
Jackson mengangguk. "Walau dia sahabat ter-karibku, jika Dexter menyuruhnya
membunuhku, tak
ada perusahaan asuransi di seluruh kota ini yang mau memberi santunan untuk polis
asuransi
jiwaku. Jika kau berharap aku mengalahkan mereka berdua, lebih baik kau berharap
aku belum jadi
karatan delapan bulan lalu "
Kedua orang itu bangkit. "Selamat jalan, Mr. Lloyd," kata Jackson sambil berjabat
tangan "Maaf
bahwa ini penemuan kita pertama dan yang terakhir."
'Tapi kukira kita telah sepakat -" sergah Lloyd, sambil memandang cemas lekrul
terbarunya.
"Untuk bekerja sama, Mr. Lloyd, bukan saling bertemu. Ingat, Dexter takkan
memandang dua
pertemuan sebagai kebetulan "
Lloyd mengangguk. "Aku akan menunggu berita dariinu."
"Dan, Mi I loyd " pesan Jackson, "jangan kunjungi NaluMial (i»ilk*ry lagi, kecuali
bila hanya mau
iiR-lili.i1 lihat lukisan "
I luvd iueii»»eiu\!iknu alis "Mendapi»
"S<*ImI| p« n|nea • l' upah tiilui di (ialen 71 sudah dipasain di ..uni piuln h.ni pui<
aiiyk Maumu
Semuanya ul.ih irMuiut Itl i» ikti mu Km | »111*1 ke sana seimm > U sekuli Apak.ih
llnppei
iii.isih puli pelukis kesavaii^.uiinii /"
Lloyd ternganga. "Kalau begitu Dexter telah tahu pertemuan ini?"
'Tidak," sahut Jackson. "Kali ini kau beruntung. Ini hari libur si penjaga."
Walau Connor telah melihat putrinya menangis berulang kali, ketika masih kecil,
karena kakinya
yang lerluka, marah hanya karena tak boleh melakukan yang dimauinya, tapi hal ini
jauh berbeda.
Sementara Tara menggelayut pada Stuart, Connor berpura-pura tertarik pada buku-
buku bestseller
di kios koran. Dan itu merupakan salah satu hari libur yang paling dapat
dinikmatinya yang pernah
diingatnya. Connor telah tambah gemuk beberapa kilo dan telah hampir mahir
berselancar, walau
lebih sering terjatuh daripada bangga. Selama dua minggu itu, pertama-tama ia mulai
menyukai,
kemudian menghargai Stuart. Dan Maggie bahkan telah berhenti mengingatkannya
setiap, pagi
bahwa Tara tak kembali ke kamarnya malam sebelumnya. Ia menganggapnya
sebagai tanda bahwa
walau enggan, istrinya telah memberi persetujuan.
Connor mengambil Sydney Morning Herald dari kios koran. Ia membuka-buka
halaman-
halamannya, hanya melihat judul-judul berita hingga ke rubrik "Berita Internasional".
Ia
memandang Maggie yang sedang membayar beberapa cendera mata yang tak pernah
mereka
pamerkan atau bahkan mereka perkirakan untuk diberikan sebagai hadiah. Dan tentu
saja akan
berakhir dalam obral Natal Pastor Graham.
Connor menunduk lagi. "Kemenangan Besar-besaran bagi Herrera di Kolombia"
merupakan judul
berita yang terpampang di tiga kolom di halaman bawah.
89
Ia membaca tentang kemenangan berat sebelah bagi presiden baru Kolombia atas
pengganti
Ricardo Guzman dari Partai Nasional di saat terakhir. Herrera, demikian bunyi
artikel itu lebih
lanjut, merencanakan berkunjung ke Amerika dalam waktu dekat guna
membicarakan masalah-
masalah yang sedang dihadapi Kolombia dengan Presiden Lawrence. Di antara
masalah-masalah
yang terpenting... "Apakah ini bagus buat Joan?" Connor memandang kepada istrinya
yang sedang
memegang gambar Sydney Harbour karya Ken Done. "Agak terlalu modern buatnya,
menurutku."
"Kalau begitu kita harus membeli sesuatu buatnya dai i layanan bebas pajak di
pesawat."
"Ini panggilan terakhir untuk United Airlines Penerbangan 816 ke Los Angeles," seru
suara yang
menggema di seputar bandara.
"Para penumpang yang belum masuk ke pesawat dipersilakan secepatnya menuju ke
Gerbang 27."
Connor dan Maggie mulai berjalan menuju ke tanda besar keberangkatan, dan
berusaha beberapa
langkah di depan putri mereka dan Stuart. Kedua orang muda ini erat berangkulan
seolah sedang
mengikuti pacuan dengan tiga kaki. Begitu mereka melewati bagian pemeriksaan
paspor, Connor
berhenti, sementara Maggie terus maju menuju ruang keberangkatan guna
memberitahu petugas
gerbang bahwa kedua penumpang terakhir akan segera menyusul.
Ketika Tara dengan enggan muncul beberapa saat kemudian, Connor merangkulnya
dengan
lembut. "Aku tahu ini hiburan tak seberapa, tapi ibumu dan aku berpendapat dia..."
Connor ragu-
ragu
90
"Aku tahu," kata Tara di antara isaknya. "Begitu k< nibali ke Stanford, aku akan
minta izin apakah
mnleh menyelesaikan tesis di Universitas Sydney" t onnor melihat istrinya berbicara
dengan
pramugari ih dekat pintu menuju ke pesawat.
Apakah dia begitu takut terbang?" pramugari itu l»eibisik kepada Maggie ketika
melihat Tara
terisak-i ak
Tidak. Dia harus meninggalkan sesuatu yang tak boleh dibawa melewati pabean."
Maggie tidur sepanjang penerbangan empat belas 11 m dari Sydney ke Los Angeles.
Tara selalu
ka-jmm bagaimana ibunya bisa melakukannya. Ia sendui hanya bisa terkantuk
sebentar selama
penerbang-iii, berapa pun pil yang ditelannya. Ia memegangi tangan ayahnya erat-
erat. Connor
tersenyum kepadanya, tetapi tak bicara.
Tara membalas senyum ayahnya, sebab selama yang dapat diingatnya, ayahnyalah
yang menjadi
pusat dunianya. Ia tak pernah cemas jangan-jangan tak menemukan pria yang dapat
menggantikan
tempat ayahnya. Yang lebih mencemaskannya, jika ia telah menemukan pria itu dan
ayahnya tak
dapat menerimanya. Kini ketika hal itu terjadi, ia lega karena mengetahui betapa
ayahnya
mendukungnya. Bila ada masalah, ibunyalah yang ternyata menjadi sumbernya.
Tara tahu jika ibunya memaksakan kehendaknya sendiri, Tara pasti masih perawan,
dan mungkin
masih tinggal di rumah. Hingga kelas sebelas barulah ia berhenti mengira bahwa bila
mencium
cowok pasti akan hamil. Waktu itu seorang teman sekolahnya
memberinya buku lusuh berjudul Kenikmatan Seks Setiap malam ia meringkuk di
bawah selimut
menJ baca buku tersebut dengan senter.
Tetapi baru setelah diwisuda dari Stone Ridge Tara kehilangan keperawanannya. Dan
jika semuti
teman sekelasnya lelah mengatakan Kebenaran itu, Tara-lah yang terakhir. Tara ikut
orangtuanya
me-j ngunjungi tanah kelahiran kakek buyutnya, seperti yang telah lama mereka
janjikan. Beberapa

saal setelah mendarat di Dublin, Tara jatuh cinta kepada) Irlandia dan orang-
orangnya. Di hari
pertama selama makan malam di hotel. Tara bercerita kepada ayahnyaJ bahwa ia tak
habis pikir
mengapa begitu banyaw orang Irlandia tidak puas tinggal di negeri mereka* lebih
memilih
beremigrasi.
Pelayan muda yang sedang melayani mereka memandang Tara dan
memperdengarkan kutipan:
"Irlandia tak pernah puas." "Mengapa kau berkata demikian? Kau gila. Irlandia baru
puas bila
Semua dapat menggunakan pedang dan pena."
"Walter Savage Landor," kata Maggie. "Tapi apakah kau tahu baris berikutnya?"
Pelayan itu
membungkuk.
"Dan bila Tara telah tumbuh begitu tinggi..."
Tara merah padam, dan tawa Connor meledak. Si pelayan tampak bingung
"Itu namaku," Tara menjelaskan.
92
Si pelayan membungkuk lagi sebelum menying-t u kan piring. Sementara ayahnya
membayar
rekening ilnii ibunya mengambil mantel, pelayan itu bertanya kepada Tara apakah
mau ditraktirnya
minum di t ..illagher's bila ia selesai bertugas. Tara menyetujuinya dengan senang.
Beberapa jam berikutnya Tara menonton film lama ili kamar sebelum menyelinap
turun tepat
setelah lengah malam. Pub yang disebutkan Liam hanyalah sekitar seratus meter
lebih jauh lagi di
jalan itu. Dan ketika masuk, ia menemukan Liam sedang menunggu di bar. Liam tak
menyia-
nyiakan waktu untuk memperkenalkan kelezatan Guinness kepadanya. Tara lak
terkejut ketika tahu
Liam bekerja sebagai pelayan selama liburan sebelum menyelesaikan tahun
terakhirnya di Trinity
College mempelajari pujangga-pujangga Irlandia. Namun Liam terkejut ketika
mendengar
bagaimana Tara dapat mengutip karya-karya Yeats, Joyce, Wilde, dan Synge.
Ketika mengantarkan Tara kembali ke kamar beberapa jam kemudian, ia mencium
lembut bibir
Tara dan bertanya, "Berapa lama kau tinggal di Dublin?"
"Masih dua hari lagi," jawab Tara.
"Kalau begitu jangan sia-siakan sesaat pun."
Setelah tiga malam yang hampir tanpa pernah tidur, Tara berangkat mengunjungi
daerah kelahiran
Oscar di Kilkenny, merasa sudah mampu menambahkan satu-dua catatan kaki ke
dalam buku
Kenikmatan Seks
Ketika Liam mengangkut tas-tas mereka menuju mobil sewaan, Connor memberinya
persen banyak
dan berbisik, "Terima kasih." Tara tersipu-sipu.
Di tahun keduanya di Stanford, boleh dikatakan Tara menjalin affair dengan seorang
mahasiswa
kedokteran. Tetapi ketika dilamar, Tara baru menyadari ia tidak mau hidup bersama
orang itu. Tara
membutuhkan waktu kurang dari setahun untuk mencapai kesimpulan yang sama
sekali berbeda
mengenai Stuart.
Pertama kali bertemu mereka bertabrakan. Memang salah Tara—tidak melihat-lihat
ketika Stuart
sedang menukik dalam gelombang besar dan memotongnya. Keduanya melayang-
layang. Ketika
Stuart mengangkatnya dari air, Tara menunggu caci maki yang memang sudah
sepantasnya.
Tetapi Stuart malah tersenyum dan berkata, "Lain kali cobar hindari jalur cepat."
Tara lagi-lagi
mencoba kiat itu siang harinya. Tapi kali ini sengaja. Dan Stuart tahu.
Stuart tertawa dan berkata, "Kau memberiku dua pilihan: aku mulai mengajarimu,
atau ku i sama-
sama minum kopi. Jika tidak, pertemuan kita berikutnya bisa jadi di rumah sakit.
Mana yang
kaupihh?"
"Ayo kita mulai dengan minum kopi."
Tara sebenarnya ingin tidur bersama Stuart malam itu. Dan menjelang saat
keberangkatannya
tinggal sepuluh hari lagi, ia menyesal telah membual Stuart harus menunggu tiga hari
waktu itu.
Dan pada akhir minggu...
"Ini kapten Anda yang sedang bn ata Kita sekarang mulai mendarat menuju ke Los
Angeles."
Maggie tersentak bangun. Ia menggosok mata dan tersenyum kepada putrinya.
"Apakah aku
tertidur?" tanyanya.
94
"Baru setelah pesawat tinggal landas," jawab Tara.
Setelah mereka mengambil barang-barang mereka, lara mengucapkan selamat tinggal
kepada
orang-uianya dan melanjutkan penerbangan ke San Francisco. Ketika Tara membaur
dengan para
penumpang yang datang dan pergi, Connor berbisik kepada Maggie, "Aku tak heran
jika dia
berubah rencana dan naik pesawat berikutnya kembali ke Sydney." Maggie
mengangguk.
Mereka menuju ke terminal penerbangan domestik, lan menaiki pesawat "mata
merah". Kali ini
Maggie telah tertidur bahkan sebelum video penjelasan tentang sabuk pengaman
selesai diputar.
Sementara me-leka terbang melintasi Amerika, Connor mencoba menghalau Tara
dan Stuart dari
pikirannya. Dan ia memfokuskan pikiran pada apa yang harus dikerjakan begitu tiba
kembali di
Washington. Dalam waktu tiga bulan ia sudah harus dibebaskan dari daftar petugas
berdinas penuh.
Namun ia belum juga punya bayangan akan dipindahkan ke bagian mana. Ia takut
akan gagasan
ditawari pekerjaan dari pukul sembilan sampai pukul lima di markas besar, yang ia
tahu akan
berarti harus mengajar NOC yang muda-muda mengenai pengalamannya di
lapangan. Ia telah
mengingatkan Joan bahwa ia akan mengundurkan diri bila tidak ada tawaran yang
lebih menarik. Ia
merasa tidak sesuai menjadi pengajar.
Selama tahun silam ada petunjuk-petunjuk mengenai pos-pos di garis depan, dan ia
dipertimbangkan untuk menjabatnya. Tetapi itu sebelum bosnya mengundurkan diri
tanpa
penjelasan. Walau telah berdinas selama 28 tahun dan mendapatkan bebe-
95
rapa penghargaan, Connor sadar dengan tidak adanya Chris Jackson kini, masa
depannya tidak lagi
begitu pasti sebagaimana yang dibayangkannya.
BAB DELAPAN
Kau yakin Jackson dapat dipercaya?"
"Tidak, Mr. President, aku tak yakin. Tapi aku vakin akan satu hal: Jackson
membenci—
kuulangi— membenci Helen Dexter seperti kau sendiri."
"Nah, itu sama baiknya dengan rekomendasi pribadi," kata Presiden. "Apa lagi yang
membuatmu
memilihnya? Sebab bila membenci Dexter merupakan kualifikasi utama untuk
pekerjaan itu, pasti
ada banyak calon."
"Dia juga memiliki atribut lain yang kucari-cari. Catatan prestasinya sebagai perwira
di Vietnam
dan sebagai kepala kontra dinas rahasia. Ditambah lagi reputasinya sebagai wakil
direktur CIA."
"Lantas mengapa dia mengundurkan diri sementara masih mempunyai karier yang
menjanjikan?"
"Kuduga Dexter merasa kariernya itu terlalu menjanjikan, dan dia mulai tampak
sebagai pesaing
serius untuk menggantikan posisi Dexter."
97
"Jika dia bisa membuktikan bahwa Dexter memerintahkan pembunuhan atas diri
Ricardo Guzman,
mungkin dia masih bisa jadi pengganti Dexter. Tampaknya kau telah memilih orang
terbaik untuk
pekerjaan itu, Andy."
"Jackson mengatakan ada satu orang yang lebih baik lagi."
"Kalau begitu orang itu kita rekrut sekalian," kata Presiden.
"Aku juga punya ide sama. Tapi ternyata dia telah bekerja untuk Dexter."
"Ah, setidaknya dia takkan tahu Jackson bekerja untuk kita. Apa lagi yang hendak
dikatakannya?"
Lloyd membuka berkas arsip dan mulai mengajak Presiden merunut pembicaraannya
dengan
mantan wakil direktur CIA.
Setelah selesai, satu-satunya komentar Lawrence ialah, "Apakah kau memberitahuku
bahwa aku
diharapkan hanya duduk bertopang dagu sambil menunggu Jackson datang
melapor?"
"Itulah persyaratannya, Mr. President, jika kita menghendaki dia menerima
penugasan kita. Tapi
kuperkirakan Mr. Jackson bukan jenis orang yang cuma bertopang dagu."
"Sebaiknya dia tak begitu, sebab tiap hari Dexter d Langley adalah satu hari yang
terlalu banyak
bagiku. Semoga Jackson dapat memberikan tambang yang cukup panjang untuk
menggantung
Dexter di depan publik. Dan jika saat itu tiba, kita laksanakan eksekusi itu di Rose
Garden."
Kepala Staf tertawa. "Itu mungkin memberikan keuntungan ganda, mendapatkan
beberapa orang
98
I publik lagi yang mendukung kila dalam program lalan-jalan Aman dan RUU
Pengurangan
Kelihaian "
Presiden tersenyum. "Siapa bei ikutnya?" tanyanya
Lloyd melihat jamnya. "Senaloi Bedell sudah agak lama menunggu di lobi." Mau apa
dia
sekarang?"
"Dia ingin bicara denganmu mengenai serangkai-n amandemen yang diusulkannya
tentang RUU
Pengurangan Senjata."
Presiden mengerutkan kening. "Apakah kau memperhatikan berapa poin yang
dikumpulkan
Zerimski dalam jajak pendapat terakhir?"
Setelah menyelipkan kunci ke lubang pintu rumah kecilnya di Georgetown, Maggie
memutar
nomor berkepala 650. Connor mulai membongkar koper sambil mendengarkan
pembicaraan antara
istri dan putrinya lewat telepon.
"Cuma mau memberitahu kami sudah sampai dengan selamat," Maggie mencoba
membuka
percakapan.
Connor tersenyum mendengar alasan yang tak meyakinkan itu. Tara jauh lebih
cerdas untuk teper-
daya oleh ibunya, tapi Connor tahu Tara akan mengikuti permainan itu.
"Terima kasih sudah menelepon, Mom. Senang mendengar suaramu lagi."
"Apa semuanya beres di tempatmu?" tanya Maggie. "Ya, beres," sahut Tara.
Kemudian selama
beberapa menit ia mencoba memberitahu ibunya secara tak langsung bahwa ia tak
akan bertindak
terburu-buru. Setelah yakin ibunya benar-benar tenang, ia bertanya, "Dad ada?"
99
"Ya, dia ada di sini." Maggie menyerahkan pesawat telepon kepada Connor di
seberang tempat
tidur. "Boleh aku minta tolong, Dad?" "Sudah tentu."
'Tolong jelaskan pada Mom, aku takkan bertindak tolol. Stuart telah meneleponku
dua kali sejak
aku pulang. Dan karena dia merencanakan"—Tara ragu— "pergi ke Amerika untuk
Natalan, aku
yakin aku bisa bertahan hingga saat itu. Omong-omong, Dad, mungkin lebih baik
kuberitahukan
padamu apa yang kusukai sebagai hadiah Natal."
"Dan apa itu. Sayang?"
"Dad akan membayar rekening teleponku ke luar negeri selama delapan bulan
berikut. Kurasa itu
jumlahnya akan lebih mahal daripada mobil bekas yang kaujanjikan bila aku meraih
gelar PhD."
Connor tertawa.
"Jadi sebaiknya Dad mendapatkan promosi yang kausebutkan ketika kita di
Australia. Bye, Dad."
"B\e, Sayang."
Connor meletakkan pesawat telepon, dan tersenyum meyakinkan kepada Maggie. Ia
baru saja akan
memberitahu Maggie supaya tidak waswas lagi, ketika telepon berdering. Ia
mengangkatnya karena
mengira itu telepon dari Tara lagi. Ternyata bukan.
"Maaf meneleponmu saat kau baru kembali," kata Joan. "Tapi baru saja kudengar
dari Bos sesuatu
yang kelihatannya gawat. Berapa lama kau bisa sampai di sini?"
Connor melihat jam tangannya. "Dua puluh menit lagi aku akan tiba di situ,"
sahutnya, dan segera
meletakkan pesawat.
100
"Itu tadi siapa?" tanya Maggie, sambil meneruskan iurmbongkar koper.
"Joan. Aku perlu menandatangani beberapa kon nak yang belum tertandatangani.
Takkan lama."
"Sialan," kata Maggie. "Aku lupa membeli hadiah untuknya di pesawat."
'Akan kubelikan sesuatu dalam perjalanan ke kan-lor."
Connor cepat-cepat meninggalkan kamar. Ia berlari menuruni tangga dan keluar
rumah sebelum
Maggie bertanya-tanya lebih lanjut. Ia naik Toyota milik keluarga, tapi baru beberapa
saat
kemudian nesinnya mau hidup. Akhirnya ia mengeluarkan "tank lua" itu, demikian
Tara
menjulukinya, meluncur di Twenty-Ninth Street. Seperempat jam kemudian ia
membelok ke kiri di
M Street, kemudian ke kiri lagi, dan menghilang memasuki jalur landai menuju
tempat parkir
bawah tanah yang tak bertanda
Ketika Connor memasuki gedung, satpam memberi salam dengan menyentuh tepi
topi tingginya
dan berkata, "Selamat datang kembali, Mr. Fitzgerald. Saya kira Anda baru masuk
Senin nanti."
"Kita berdua sependapat demikian," kata Connor sambil membalas salam basa-basi
itu dan menuju
ke deretan lift. Ia naik ke lantai tujuh. Begitu memasuki koridor ia disambut dengan
senyum tanda
kenal oleh resepsionis yang duduk di meja di bawah tulisan besar-besar "Perusahaan
Asuransi
Maryland". Papan petunjuk di lantai dasar menyatakan perusahaan terhormat tersebut

menggunakan lantai tujuh, delapan, sembilan, dan sepuluh.


101
"Senang bertemu Anda lagi, Mr. Fitzgerald," kata resepsionis itu. "Anda ada tamu."
Connor tersenyum dan mengangguk kemudian berjalan lagi. Ketika membelok di
sudut ia melihat
Joan sedang berdiri dekat pintu kantornya. Menilik ekspresi wajahnya, Joan telah
menunggu di
sana beberapa lama. Kemudian Connor ingat kata-kata Maggie tepat saat ia
meninggalkan rumah—
bukannya karena Joan berpikiran hadiah amat penting baginya.
"Bos datang beberapa menit yang lalu," kata Joan sambil membukakan pintu
untuknya.
Connor memasuki kantornya. Yang duduk berhadapan dengannya menghadap meja
adalah
seseorang yang setahu dia tak pernah mengambil cuti.
"Maaf kau terpaksa menunggu agak lama, Direktur," katanya, "aku hanya..."
"Kita menghadapi masalah," kata Helen Dexter sambil menyodorkan berkas
melintasi meja.
"Berilah aku petunjuk yang layak, dan akan kulakukan semua pekerjaan dasar," kata
Jackson.
"Kalau saja aku bisa, Chris," jawab Kepala Polisi Bogota. "Tapi satu-dua kolega
lamamu telah
menjelaskan padaku sekarang kau termasuk persona nongrata."
"Kupikir kau orang yang tak pernah menggubris perlakuan-perlakuan manis seperti
itu," kata
Jackson seraya kembali menuangkan wiski ke gelas Kepala Polisi.
"Chris, harus kaupahami ketika kau masih mewakili pemerintahmu, semuanya
dilakukan terang-
terangan."
102
"Termasuk amplop-amplopmu, bila ingatanku tepat."
"Sudah tentu, Chris," kata polisi itu tak ambil pusing. "Kaulah orang pertama yang
harus
menghargai bahwa pengeluaran itu harus dibayar." Ia meneguk isi gelas kristalnya.
"Dan seperti
kau tahu benar, inflasi di Kolombia tetap tinggi. Gajiku tak cukup untuk keperluan
sehari-hari."
"Dari pidato kecil ini," kata Jackson "haruskah kusimpulkan bahwa tarif tetap sama,
walau aku
telah termasuk persona nongrata?"
Kepala Polisi menghabiskan wiskinya, mengusap kumisnya, dan berkata, "Chris,
presiden kita
sama-sama silih berganti, tapi persahabatan kita tidak."
Jackson tersenyum tipis, kemudian mengambil amplop dari saku dalam, dan
menyerahkannya di
bawah meja. Kepala Polisi melihat isi amplop itu, membuka kancing saku dalam, dan
menyelipkan
amplop itu hingga hilang dari pandangan.
"Sayangnya, kulihat majikan-majikan barumu tak memberikan keleluasaan yang
sama dalam hal
pengeluaran."
"Aku hanya minta satu petunjuk yang layak. Hanya itu," ulang Jackson.
Kepala Polisi mengangkat gelasnya yang kosong dan menunggu hingga pramusaji
bar mengisinya
penuh-penuh. Ia kembali meneguknya. "Aku selalu yakin, Chris, bila kau mencari
harga murah,
tempat yang paling cocok untuk mulai ialah pegadaian." Ia tersenyum, menghabiskan
minumnya,
lalu bangkit berdiri. "Dan mengingat dilema yang sedang kauhadapi, sahabatku,
sebaiknya kau
mulai di distrik
103
San Victorina, dan kuanjurkan hanya melihat-lihat dulu."
Begitu selesai membaca memorandum rahasia itu dengan terperinci, Connor
mengembalikannya
kepada Direktur.
Pertanyaan pertama Direktur mengejutkannya^ "Berapa lama lagi kau masih berdinas
sebelum
pensiun?"
"Aku sudah tak termasuk dalam daftar pejabat aktif mulai 1 Januari tahun depan, tapi
tentu sajaj
aku berharap masih bisa bekerja di sini."
"Mungkin tak begitu mudah untuk mengakomodasikan bakat khususmu saat ini,"
kata Dexter ^pa
adanya. "Tapi ada lowongan yang bisa kurekomen-dasikan padamu." Ia berhenti
sebentar. "Sebagai
direktur kantor kita di Cleveland."
"Cleveland?"
"Ya."
"Setelah berdinas 28 tahun," kata Connor, "aku berharap kau bisa menemukan
pekerjaan buatku di
Washington. Aku yakin kau tahu istriku ketua Bagian Penerimaan di Georgetown.
Sungguh hampir
mustahil' baginya menemukan jabatan sepadan di... Ohio."
Keheningan lama menyusul.
"Sebenarnya aku ingin menolong," kata Dexter datar. "Tapi saat ini tak ada posisi
yang cocok
buatmu di Langley. Jika kau bersedia menerima tugas di Cleveland, mungkin
beberapa tahun lagi
kau bisa kembali."
Connor memandang wanita di seberang meja,, majikannya selama 26 tahun ini.
Hatinya sakit,
wanita
104
itu kini menikamkan belati kepadanya sama seperti yang dilakukannya kepada
banyak rekannya di
masa silam. Tapi mengapa? Ia selalu melaksanakan perintah-perintahnya secermat-
cermatnya. Ia
memandangi berkas-berkas itu. Apakah Presiden meminta supaya seseorang
dikorbankan setelah
interogasi yang begitu teliti mengenai kegiatan-kegiatan CIA di Kolombia? Apakah
Cleveland
merupakan hadiah atas seluruh pengabdiannya selama bertahun-tahun itu7
"Apakah ada alternatif lain?" tanyanya.
Direktur tidak ragu-ragu. "Tentu saja kau bisa minta pensiun dipercepat." Wanita itu
seakan sedang
menyarankan penggantian petugas jaga pintu berusia enam puluhan di gedung
apartemennya.
Connor duduk bungkam. Ia tak dapat mempercayai apa yang telah didengarnya.
Seluruh hidupnya
telah ia baktikan kepada CIA. Dan sebagaimana begitu banyak petugas lainnya, ia
telah beberapa
kali mempertaruhkan hidupnya.
Helen Dexter bangkit dari kursinya. "Mungkin kau dapat memberitahuku setelah
mengambil
keputus-an." Ia meninggalkan ruangan itu tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi.
Connor duduk sendirian beberapa saat. Ia mencoba meresapi seluruh implikasi
ucapan Direktur. Ia
ingat Chris Jackson telah menceritakan kepadanya percakapan yang hampir mirip
delapan bulan
sebelumnya. Dalam kasusnya, pos yang ditawarkan adalah di Milwaukee. "Tak
mungkin terjadi
pada diriku," begitu yang dikatakannya kepada Chris waktu itu. "Bagaimanapun, aku
pemain dalam
tim. Dan tak seorang pun akan menganggapku menginginkan
105
jabatannya." Tetapi Connor telah melakukan dosa yang lebih besar lagi. Dengan
melaksanakan
perintah-perintah Dexter, tanpa sengaja ia menjadi penyebab kejatuhan Dexter. Jika
Connor sudah
tidak di situ lagi untuk mempermalukannya, mungkin Dexter masih dapat bertahan.
Selama
bertahun-tahun, berapa banyak petugas baik yang telah dikorbankan di atas altar ego
wanita
tersebut? ia bertanya-tanya heran.
Pikiran Connor terusik ketika Joan masuk ke ruangan itu. Joan tak perlu diberitahu
bahwa
pertemuan tadi sangat buruk.
"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya tenang. "Tidak, tak ada. Terima kasih, Joan."
Setelah diam
sejenak ia menambahkan, "Kau tahu aku akan dikeluarkan dari daftar petugas aktif
tak lama lagi."
"Tanggal 1 Januari," kata Joan. "Tapi dengan catatan prestasimu, CIA pasti akan
menawarkan
banyak posisi, jam-jam kerja yang manusiawi sebagai gantinya, dan mungkin
ditambah sekretaris
bertungkai panjang."
"Tampaknya tak demikian," kata Connor. "Satu-satunya jabatan yang dipikirkan
Direktur buatku
ialah memimpin kantor di Cleveland, dan di sana tentu saja tak ada sekretaris
bertungkai panjang."
"Cleveland?" ulang Joan tak percaya.
Connor mengangguk.
"Perempuan jahanam "
Connor memandangi sekretaris yang telah lama membantunya, tak kuasa
menyembunyikan
kekagetannya. Itu kata terkasar yang pernah didengarnya diucapkan Joan tentang
seseorang selama
sembilan belas tahun, apalagi tentang Direktur
106
Joan menatap mata Connor dan berkata, "Apa ) ang hendak kaukatakan pada
Maggie?"
"Aku tak tahu. Tapi karena sudah bisa mengelabuinya selama 28 tahun, aku yakin
bisa menemukan
caranya."
Ketika Chris Jackson membuka pintu depan, bel berbunyi untuk memberitahu
pemilik toko bahwa
ada orang yang masuk.
Di Bogota ada lebih dari seratus toko pegadaian, kebanyakan berada di distrik San
Victorina.
Jackson telah lama tak berjalan sejak menjadi polisi. Ia bahkan mulai berpikir
jangan-jangan
perburuannya, sesuai dengan anjuran Kepala Polisi sahabatnya itu, akan sia-sia
belaka. Tapi ia
berjalan terus, sebab tahu polisi khusus itu selalu memastikan ada amplop lain yang
dijejali banyak
uang di kemudian hari.
Escobar mendongak dari balik koran edisi sore. Orang tua ini selalu dapat mengenali
apakah
seseorang pembeli atau penjual sebelum orang itu sampai di gerai. Pandangan,
potongan pakaian,
bahkan gaya langkah menujunya. Hanya perlu memandang sekilas pada pria .khusus
ini dan
Escobar senang ia tidak menutup toko terlalu awal.
"Selamat sore, Sir," kata Escobar sambil berdiri dari kursi tinggi. Ia selalu
menambahkan sapaan
"Sir" bila memperkirakan pendatang itu pembeli. "Bisa saya bantu?"
"Senapan di etalase..."
"Oh, ya. Saya tahu Anda dapat melihat dengan cermat. Itu memang milik kolektor."
Escobar
mengangkat pintu gerai dan berjalan melintas menuju
107
etalase. Ia mengambil koper itu dan meletakkannya di atas gerai, lalu mempersilakan
orang itu
meneliti isinya.
Jackson hanya perlu memandang sekilas senapan buatan tangan itu untuk mengetahui
asalnya. Ia
tidak kaget ketika menemukan bahwa salah satu peluru telah ditembakkan.
"Harganya berapa?"
"Sepuluh ribu dolar," jawab Escobar setelah mengenali logat Amerika pembeli. "Tak
bisa saya
lepas dengan harga lebih murah. Sudah banyak sekali ditanyakan orang."
Setelah tiga hari berkeliaran di sekeliling kota yang panas dan lembap itu Jackson
sama sekali tak
berminat untuk tawar-menawar. Tapi ia tak membawa uang tunai sebanyak itu. Dan
ia tak dapat
memberikan cek begitu saja atau menyerahkan kartu kredit.
"Apakah boleh saya meninggalkan uang muka, dan besok pagi-pagi saya
mengambilnya?"
tanyanya.
"Tentu saja, Sir," sahut Escobar. "Tapi untuk barang khas ini saya minta uang
tanggungan sepuluh
persen."
Jackson mengangguk, mengeluarkan dompet dari sakunya. Ia mengambil beberapa
lembar uang
yang telah digunakan dan menyerahkannya ke seberang gerai.
Pemilik toko itu menghitung sepuluh lembar uang seratus dolaran dengan pelan-
pelan kemudian
memasukkannya ke cash register. Lalu ia menulis kuitansi.
Jackson memandangi koper yang terbuka, dan tersenyum, la mengambil peluru yang
telah terpakai
dan memasukkannya ke saku.
108
Orang tua itu bingung. Bukan karena tindakan I ickson, tetapi karena ia berani
bersumpah bahwa
kedua belas peluru itu masih berada di tempat waktu cnapan itu dibelinya.
Aku ingin sekali berkemas dan berkumpul dengan-nu besok, jika tak mengingat
orangtuaku," kata
Tara.
"Aku yakin mereka akan mengerti," kata Stuart.
"Mungkin," jawab Tara. "Tapi itu takkan meng-entikanku merasa bersalah terhadap
semua
pengorbanan ayahku selama bertahun-tahun agar aku dapat nenyelesaikan PhD-ku.
Belum
terhitung ibuku. Dia nungkin sekali kena serangan jantung."
'Tapi kau bilang akan mencari tahu apakah penasihat fakultasmu akan
mengizinkanmu
menyelesaikan program doktoralmu di Sydney."
"Penasihat Fakultas tak jadi masalah," sahut Tara. Yang jadi masalah adalah Dekan."
"Dekan?"
"Ya. Ketika Penasihat Fakultas membicarakannya kemarin, Dekan mengatakan itu
mustahil."
Hening agak lama. Kemudian Tara berkata, "Kau masih di
situ, Stuart?"
"Ya, masih," sahutnya, diikuti desah yang akan menambah nilai positif bagi seorang
kekasih dalam
drama Shakespeare.
"Tinggal delapan bulan lagi," Tara mengingatkan Stuart. "Bahkan sebenarnya aku
dapat
mengatakan beberapa hari lagi. Jangan lupa, kau akan di sini untuk Natalan."
"Aku sungguh merindukannya," sahut Stuart. "Aku
109
hanya berharap orangtuamu tak merasa seakan kupaksa. Bagaimanapun, mereka
takkan melihatmu
beberapa lama."
"Jangan konyol. Mereka senang sekali ketika ku-beritahu kau akan bersama-sama
dengan kami.
Mom memujamu, kau tahu. Dan kau pria pertama yang disebut baik oleh Dad."
"Dia sungguh menakjubkan."
"Apa maksudmu?"
"Kuduga kau tahu persis apa maksudku."
"Sebaiknya aku berhenti. Bila tidak, Dad akan membutuhkan kenaikan gaji untuk
membayar
rekening teleponku. Omong-omong, berikutnya giliranmu."
Stuart pura-pura tidak tahu betapa tiba-tiba Tara mengganti topik pembicaraan.
"Sungguh aneh bagiku," lanjut Tara, "kau masih bekerja, sementara aku sudah
pulas."
"Nah, kurasa aku punya cara untuk mengubahnya," kala Stuart.
Ketika ia membuka pintu, alarm berbunyi. I ouceng di kantor luar berdentang dua
kali sementara ia
menyingkap tirai manik-manik dan melangkah menuju toko. Ia menatap penyangga
di etalase. S<
impan itu tak ada lagi di tempat.
Beberapa menit kemudian ia baru menem disembunyikan di bawah gerai.
Ia memeriksa seluruh bagian, dan mci satu peluru tak ada. Ia mengempit kopei i
pergi secepat ia
masuk. Bukannya karena ia jangan-jangan ditangkap: Kepala Polisi i< i mastikan
kepadanya bahwa
pembobolan itu l
nya
kan dan as ne-kan
110
dilaporkan setidaknya selama setengah jam. Ia memandang ke jam sebelum menutup
pintu. Pukul
O.M2.
Kepala Polisi tak dapat menyalahkan sahabat lamanya karena tak membawa cukup
uang tunai
untuk membeli senapan. Dan bagaimanapun dengan berbuat begitu ia seolah dibayar
dua kali untuk
sekeping informasi yang diberikannya. Khususnya bila uang n u dalam dolar.
Maggie menuangkan kopi cangkir kedua untuknya.
"Maggie, aku sedang mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari CIA dan
mencari
pekerjaan yang tak perlu banyak bepergian." Ia memandang ke seberang meja dapur
dan menunggu
reaksi istrinya.
Maggie mengembalikan poci kopi ke mesin penghangat dan menyesap dari
cangkirnya sendiri,
kemudian baru bicara. "Mengapa sekarang?" tanyanya sederhana.
"Direksi telah memberitahu aku dibebastugaskan dari penculikan dan tebusan,
diganti dengan orang
yang lebih muda. Itu kebijakan perusahaan bagi orang seusiaku."
"Tapi pasti ada banyak pekerjaan lain dalam CIA untuk orang yang berpengalaman
seperti kau "
"Direktur memang mengajukan saran," kata Connor. "Dia menawarkan pekerjaan
memimpin
kantor daerah di Cleveland."
"Cleveland?" tanya Maggie tak percaya. Beberapa saat ia tetap diam, kemudian
bertanya dengan
tenang, "Mengapa Direktur tiba-tiba ingin sekali menyingkir-kanmu?"
111
"Oh, tak seburuk itu. Kalaupun tawaran itu kutolak, aku masih berhak menerima
pensiun penuh,"
kata Connor tanpa mencoba menjawab pertanyaan. "Joan telah memastikan ada
beberapa
perusahaan asuransi besar di Washington yang sangat senang menerima orang
berpengalaman
seperti aku."
"Tapi bukan perusahaan tempat kau bekerja sekarang," kata Maggie, masih sambil
memandang
langsung pada suaminya. Connor menatap matanya, namun tidak menemukan
jawaban -yang
meyakinkan. Kemudian terjadi keheningan yang lebih lama lagi.
"Apakah menurutmu belum tiba saatnya untuk mengatakan padaku seluruh
kebenaran itu?" tanya
Maggie. "Atau apakah aku harus terus mempercayai setiap katamu sebagai istri yang
berbakti?"
Connor menunduk dan tetap diam. "Kau tak pernah menyembunyikan fakta bahwa
Asuransi
Maryland tak lain adalah kedok untuk CIA. Dan aku tak pernah mendesakmu
mengenai hal ini.
Tapi akhir-akhir ini perjalanan-perjalananmu yang terselubung telah meninggalkan
sedikit lumpur
di sepatumu."
"Aku tak mengerti," kata Connor tak berdaya. "Ketika mengambil satelanmu dari
binatu, aku
diberitahu ini ditemukan dalam sakumu." Maggie meletakkan uang logam kecil di
meja. "Mereka
bilang ini tak bernilai kecuali di Kolombia."
Connor memandangi sekeping sepuluh peso yang bisa untuk membayar telepon
setempat di
Bogota.
"Banyak istri akan langsung meloncat mengambil satu kesimpulan, Connor
Fitzgerald," lanjut
Maggie. "Tapi jangan lupa, aku sudah mengenalmu tiga puluh
112
tahun lebih, dan aku sadar kau takkan mampu melakukan penipuan seperti itu." "Aku
janji.
Maggie..."
"Aku tahu, Connor. Aku selalu menerima, pasti ada alasan yang pantas mengapa
selama bertahun-
tahun kau tak sepenuhnya jujur padaku." Maggie membungkuk dan memegang
tangan suaminya
dan berkata, "Tapi bila sekarang kau harus dibuang ke tumpukan sampah tanpa
alasan jelas, apakah
kau tak merasa aku berhak tahu persis apa yang kaulakukan selama 28 tahun ini?"
Jackson meminta sopir taksi menepi di luar toko pegadaian dan menunggu. Hanya
beberapa menit,
katanya, kemudian ia ingin diantar ke bandara.
Begitu ia masuk toko, Escobar buru-buru muncul dari kantor sebelah luar. Ia tampak
gugup. Ketika
melihat pelanggannya, ia membungkuk dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun
membuka kunci
cash register lalu menarik laci. Pelan-pelan ia mengeluarkan sepuluh lembar uang
seratusan dolar
dan menyerahkannya melintasi gerai.
"Maaf, Sir," katanya sambil mengangkat muka memandang orang Amerika yang
jangkung itu,
"tapi rupanya senapan itu dicuri semalam."
Jackson tak memberi komentar.
"Lucunya," lanjut Escobar, "siapa pun pencurinya, dia tak mengambil uang tunai."
Jackson tetap masih diam. Setelah ia meninggalkan toko, Escobar tak habis pikir
melihat pelanggan
itu tidak begitu terkejut.
Dalam perjalanan menuju bandara, Jackson menge-
luarkan peluru yang telah dipakai itu dari saku jasnya. Ia mungkin tak bisa
membuktikan siapa
yang menarik picu, tapi kini ia tak ragu lagi siapa yang memerintahkan pembunuhan
atas Ricardo
Guzman.
Createdsyaucjy_arr@yatioo. co. id
C1<ofefa"Novef%amf"]
^KJefjfoj, £ittp://£ianaofcj. wordpress. com
114
-
BAB SEMBILAN
111 likopter mendarat lembut di sepetak rumput dekat Kolam Pantulan antara Tugu
Peringatan
Washington dan Lincoln. Ketika baling-baling berputar pelan, terdengar beberapa
langkah ringan.
Pintu Nighthawk terbentang lebar dan Presiden Herrera muncul, mengenakan
seragam lengkap
hingga mirip pemeran kecil dalam film murahan. Ia berdiri tegak siaga dan
membalas salut pasukan
Marinir yang menunggu, kemudian berjalan tak terlalu jauh menuju limusin C adillac
berlapis baja.
Ketika arak-arakan mobil bergerak di Seventeenth Street, setiap tiang bendera
mengibarkan
bendera Kolombia, Amerika, dan Distrik C olumbia.
Tom Lawrence, Larry Harrington, dan Andy Lloyd menantinya di deretan pilar
selatan Gedung
Putih. 'Semakin rapi setelannya, semakin warna-warni selempangnya, semakin
banyak medalinya,
semakin
115
tak berarti negerinya," pikir Lawrence sambil melangkah maju menyambut tamunya.
"Antonio, sahabat lamaku yang baik," kata Lawrence saat Herrera merangkulnya,
walau mereka
baru sekali berjumpa sebelumnya. Herrera akhirnya melepaskan rangkulannya, lalu
Lawrence
berpaling memperkenalkan Harrington dan Lloyd kepadanya. Lampu-lampu kamera
berkilatan dan
kamera-kamera video merekam ketika rombongan Presiden menuju Gedung Putih.
Beberapa foto
saling genggam dan saling senyum diabadikan di koridor panjang di bawah potret
George
Washington.
Seusai pengambilan foto wajib selama tiga menit, Presiden mempersilakan tamunya
masuk ke
Ruang Oval. Sementara kopi Kolombia disajikan dan masih banyak jepretan foto
lagi, mereka
membicarakan tetek-bengek. Ketika mereka akhirnya sendirian, Menteri Luar Negeri
mulai
memandu pembicaraan mengenai hubungan kedua negara yang sedang berlangsung.
Lawrence
berterima kasih atas penjelasan yang ia dapat dari Larry tadi pagi. Ia merasa mampu
berbicara
dengan penuh kewenangan tentang persetujuan ekstradisi, panen kopi tahun ini,
masalah narkotika,
bahkan metro baru yang akan dibangun di Bogota oleh perusahaan Amerika sebagai
bagian paket
bantuan luar negeri.
Ketika Menlu memperluas pembicaraan mencakup soal pengembalian pinjaman
dolar yang telah
diberikan dan kesenjangan ekspor dan impor antara kedua negara, pikiran Lawrence
mengembara
ke masalah-masalah yang harus dihadapinya kemudian hari itu.
RUU Pengurangan Senjata macet di komite dan
116
Andy telah memperingatkannya bahwa suara yang mendukung tidak banyak.
Mungkin ia perlu
bertemu dengan beberapa anggota Kongres secara pribadi bila ia punya kesempatan
meneruskannya. Ia sadar bahwa upacara kunjungan-kunjungan ke Gedung Putih
biasanya tak lebih
daripada pijatan ego sehingga para wakil terpilih itu dapat kembali ke distrik mereka
dan
memberitahu para pemilih—bila mereka kaum Demokrat—betapa dekat hubungan
mereka dengan
Presiden; atau bila mereka kaum Republik— I ahwa Presiden tergantung pada
dukungan mereka
untuk meluluskan suatu undang-undang. Pemilihan umum pertengahan kurang dari
satu tahun lagi.
maka I awrence menyadari harus diadakan pertemuan-pertemuan tak terjadwal dalam
minggu-
minggu mendatang.
Ia tersentak kembali ke persoalan yang sedang berlangsung ketika Herrera berkata,
"...dan untuk itu
saya secara khusus harus berterima kasih pada Anda, Mr. President." Senyum lebar
tersungging
pada wajah pemimpin Kolombia itu, sementara tiga orang paling berkuasa di
Amerika menatapnya
tak percaya.
"Maukah kau mengulanginya, Antonio?" kata Presiden sebab tak yakin telah
mendengar ucapan
tamunya dengan benar.
"Karena sekarang kita dalam privasi Ruang Oval, Tom, aku hanya ingin mengatakan
betapa aku
sangat menghargai peranan diri pribadimu dalam pemilihanku."
"Berapa lama kau telah bekerja untuk Asuransi Jiwa Maryland, Mr. Fitzgerald?"
tanya Ketua
Dewan.
117
Pertanyaan pertama dalam wawancara yang telah berlangsung sejam lebih.
"Mei nanti 28 tahun, Mr. Thompson," jawab Connor, sambil menatap langsung orang
yang duduk
menghadap meja besar di seberangnya.
"Catatan prestasimu sungguh mengesankan," kata wanita yang duduk di sebelah
kanan Ketua. "Dan
referensi-referensimu sungguh tak ada celanya. Aku terpaksa menanyakan mengapa
kau ingin
meninggalkan pekerjaan yang sekarang. Dan mungkin lebih penting lagi mengapa
Asuransi
Maryland mau melepasmu."
Connor telah membicarakan dengan Maggie bagaimana ia akan menjawab
pertanyaan tersebut
selama makan malam hari sebelumnya. "Katakan saja yang sebenarnya," kata
Maggie. "Dan jangan
coba-coba berbohong, kau tak pernah ahli dalam hal itu." Connor tak mengharapkan
nasihat yang
lain.
"Satu-satunya kemungkinan promosi yang langsung ialah pindah ke Cleveland,"
jawab Connor.
"Sedangkan aku tak sanggup meminta istriku melepaskan pekerjaannya di
Georgetown University.
Sulit baginya menemukan jabatan yang sepadan di Ohio."
Anggota ketiga dari dewan pewawancara itu mengangguk. Maggie telah
memberitahunya bahwa
salah satu anggota panel itu punya putra mahasiswa tahun keempat di Georgetown.
"Menurutku kami tak perlu menahanmu lebih lama lagi," kata Ketua. "Aku hanya
ingin berterima
kasih atas kedatanganmu siang ini, Mr. Fitzgerald."
"Sama-sama," kata Connor, sambil beranjak akan pergi.
118
la terkejut ketika Ketua bangkit dari balik meja panjang dan berjalan memutar
bergabung
dengannya. "Maukah kau dan istrimu makan malam bersama kami minggu depan?"
tanyanya
sambil mengantar Connor ke pintu.
"Senang sekali, Sir," jawab Connor.
"Ben," kata Ketua. "Tak seorang pun di Washington Provident memanggilku Sir,
apalagi para
eksekutif seniorku." Ia tersenyum dan berjabat tangan dengan hangat. "Akan kuminta
sekretarisku
menelepon kantormu dan memastikan tanggalnya. Aku ingin sekali berkenalan
dengan istrimu—
namanya Maggie, bukan?"
"Ya, Sir," jawab Connor. Ia berhenti sejenak. "Dan iku ingin sekali berkenalan
dengan Mrs.
Thompson, Ben."
Kepala Staf Gedung Putih mengangkat telepon merah, tetapi tidak segera mengenali
suara itu.
"Aku punya beberapa informasi yang mungkin menurutmu berguna. Maaf sudah
lama sekali."
Lloyd cepat-cepat menyambar notes kuning kosong dan membuka pulpen. Ia tak
perlu menekan
tombol mana pun. Semua pembicaraan melalui telepon khusus itu otomatis direkam.
"Aku baru saja kembali dari kunjungan sepuluh hari ke Bogota\ Dan seseorang di
sana memastikan
bahwa pintu-pintu tak hanya dicampakkan tertutup bagiku, tapi juga dikunci dan
dipasak."
"Jadi Dexter sudah tahu apa yang sedang kaucari," kata Lloyd.
"Aku berani taruhan, pasti beberapa menit setelah aku bicara dengan kepala polisi
setempat."
119
"Apa itu juga berarti Dexter tahu kau bekerja untuk siapa?"
"Tidak, dalam hal itu aku sudah menyamarkan diri sendiri. Itulah sebabnya lama
sekali aku baru
bisa kembali menghubungimu. Dan aku yakin berhasil mengecoh salah satu petugas
junior Dexter
setelah mengalami perburuan yang seru. Dexter takkan tahu pada siapa aku melapor.
Atase
kebudayaan kita di Bogota kini sedang melacak setiap raja narkotika terkenal, setiap
petugas junior
di bagian narkotika, dan setengah kepolisian setempat. Laporannya akan sangat tebal
dan perlu
waktu sebulan hanya untuk membacanya, apalagi menebak-nebak apa yang sedang
kuperbuat di
sana."
"Apa kau mendapatkan sesuatu yang bisa dipakai untuk menjerat Dexter?" tanya
Lloyd.
"Tak ada yang tak bisa dia jelaskan dengan kiat-kiat tipu muslihatnya. Tapi seluruh
bukti
menunjukkan bahwa CIA-lah yang ada di balik pembunuhan itu."
"Itu kita sudah tahu," sahut Lloyd. "Masalahnya, walaupun keterangan informan kita
tak bercela,
Presiden tak bisa bersaksi di depan pengadilan, sebab dia pihak yang langsung
mendapat manfaat
dari pembunuhan itu. Apa kau menemukan seseorang yang dapat memberikan
kesaksian di
pengadilan?"
"Hanya Kepala Polisi Bogota, dan surat kepercayaannya pasti tidak tanpa cela. Bila
dia harus
bersaksi di pengadilan, tak dapat dipastikan pihak mana yang akhirnya dia dukung."
"Kalau begitu bagaimana kau bisa begitu yakin CIA terlibat di dalamnya?"
120
"Aku sudah melihat senapan yang kuyakini telah ilipunakan untuk membunuh
Guzman. Bahkan
aku menemukan selongsong peluru yang menghabisinya. I ••bih-lebih lagi, aku
cukup yakin tahu
pembuat senapan itu. Dia orang yang paling andal dalam bisnis itu dan dikontrak
untuk bekerja
bagi sekelompok kecil NOC." NOC?"
Non-official cover officer, petugas pelindung tak tesmi, yang tak terikat dalam dinas
pemerintahan
mana pun. Dengan demikian CIA dapat menyangkal i.ihu sesuatu tentang kegiatan
mereka bila ada
yang tak beres."
'Jadi pembunuhnya adalah petugas yang berdinas untuk CIA," kata Lloyd.
"Mungkin, kecuali bila ternyata dia sudah di-pensiun Dexter beberapa hari lalu."
"Nah, kalau begitu masih ada satu orang lagi ang harus kita pekerjakan." Disusul
hening lama.
Kemudian barulah Jackson berkata, "Itu mungkin cara kerjamu di Gedung Putih, Mr.
Lloyd. Tapi
orang ini takkan mengkhianati mantan majikan, betapapun besar suap yang
kautawarkan.
Mengancamnya pun takkan berhasil: dia takkan memberimu kesempatan bila kau
membidik
kepalanya."
"Bagaimana kau bisa begitu yakin?"
"Dia berdinas di bawah komandoku di 'Nam. Bahkan Vietkong pun tak berhasil
mengoreknya. Jika
kau memang ingin tahu, dialah satu-satunya alasan mengapa aku masih hidup.
Bagaimanapun,
Dexter pasti telah meyakinkannya bahwa perintah-perintahnya langsung berasal dari
Gedung
Putih."
121
"Kita bisa saja mengatakan padanya bahwa Dex-ter berbohong," kata Lloyd.
"Itu hanya akan membahayakan hidupnya sendiri. Tidak. Aku harus mampu
membuktikan
keterlibatan Dexter tanpa dia tahu apu yang kita usahakan. Dan itu tak mudah."
"Kalau begitu bagaimana kau akan melaksanakannya?"
"Dengan menghadiri pesta pensiunnya." "Kau serius?"
"Ya, sebab di sana akan ada seseorang yang mencintainya melebihi cintanya pada
negaranya. Dan
wanita itu mungkin mau bicara. Aku akan terus menghubungimu."
Dan telepon dimatikan.
Ketika Nick Gutenburg, wakil direktur CIA, memasuki ruang tamu rumah keluarga
Fitzgerald,
orang pertama yang dilihatnya ialah pendahulunya: Chris Jackson yang sedang asyik
berbicara
dengan Joan Bennett. Apakah Chris sedang bercerita pada Joan untuk siapa dia
bekerja di Bogota?
Gutenburg ingin sekali mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan, tetapi ia
harus lebih dulu
menyapa tuan dan nyonya rumah.
"Aku masih sembilan bulan lagi bekerja," kata Joan. "Sesudah itu aku berhak atas
pensiun penuh.
Dan aku ingin bergabung dengan Connor dalam pekerjaan barunya."
"Aku baru saja mendengar hal itu," kata Jackson. "Kedengarannya ideal. Dari yang
diceritakan
Maggie padaku, Connor tak perlu lagi banyak bepergian."
122
Memang benar, tapi penunjukannya belum resmi," s ihut Joan. "Dan kau tahu sendiri
perasaan
Connor karena dipotong dan dikeringkan. Tapi karena Ketua Washington Provident
telah
mengundangnya makan malam bersama Maggie, kita dapat mengasumsikan ( onnor
sudah
menerima pekerjaan itu. Kecuali tentu saja bila Mr. Thompson ingin main bridge
berempat."
"Bagus kau datang, Nick," kata Connor hangat, ambil menyerahkan segelas Perrier
kepada Wakil
Direktur. Connor tak perlu diingatkan bahwa (iutenburg tak pernah menyia-nyiakan
alkohol.
"Takkan kulewatkan dengan alasan apa pun, Connor," kata Gutenburg.
Sambil berpaling ke istrinya, Connor berkata, Maggie, ini Nick Gutenburg, temanku.
Dia bekerja
di..."
"Bagian penggantian kerugian," sela Gutenburg cepat. "Kami semua akan merasa
kehilangan
suamimu di Asuransi Jiwa Maryland, Mrs. Fitzgerald."
"Yah, aku yakin jalan hidup kalian pasti akan bersilangan lagi," kata Maggie,
"sekarang Connor
mendapat pekerjaan baru di bidang yang sama."
"Belum dikonfirmasi," kata Connor. "Tapi begitu sudah, kaulah orang pertama yang
akan
mendengarnya, Nick."
Mata Gutenburg kembali ke arah Jackson. Dan begitu Jackson meninggalkan Joan
Bennett,
Gutenburg menyelinap, melintas ruangan bergabung dengan Joan.
"Aku senang mendengar kau tetap bekerja di CIA, Joan," ia membuka percakapan.
"Semula kukira
kau akan bergabung dengan Connor dalam pekerjaan barunya."
123
"Tidak, aku akan tetap di CIA," kata Joan, sebab tak yakin seberapa jauh Wakil
Direktur telah tahu
masalah itu.
"Karena Connor tetap bekerja dalam bidang yang sama, kukira..."
Kau sedang memancing, pikir Joan. "Aku tak tahu itu," kata Joan tegas.
"Chris Jackson bicara dengan siapa?" tanya Gutenburg.
Joan memandang ke seberang ruangan. Sesungguhnya ia ingin bisa menjawab tidak
tahu, tapi sadar
bahwa ia tak dapat lolos begitu saja. "Itu Pastor Graham, pastor paroki setempat
keluarga Fitzgerald
dari Chicago, dan Tara, putri Connor."
"Apa kerja putrinya?" tanya Gutenburg.
"Sedang menyelesaikan program doktoralnya di Stanford."
Gutenburg sadar ia hanya membuang-buang waktu bila ingin mendapatkan informasi
yang
sesungguhnya dari sekretaris Connor. Bagaimanapun wanita itu telah bekerja untuk
Fitzgerald

selama 28 tahun, jadi tak diragukan lagi kesetiaannya. Dan dalam berkas tak ada
sesuatu pun yang
tak profesional dalam hubungan mereka. Sambil memandang Miss Bennett, ia
menduga wanita itu
mungkin perawan usia 45 tahun yang terakhir di Washington. Ketika putri Connor
menuju ke meja
minuman untuk mengisi kembali gelasnya, Gutenburg meninggalkan Joan tanpa
sepatah kata pun.
"Namaku Nick Gutenburg," katanya kepada Tara sambil mengulurkan tangan. "Aku
teman kerja
ayahmu."
"Aku Tara," kata Tara. "Kau ditugaskan di kota?"
124
"Tidak. Tugasku di pinggiran kota," jawab (iutenburg. "Kau masih di Pantai Barat
untuk
menyelesaikan PhD-mu?"
"Ya, benar," sahut Tara tampak agak kaget. "Dan hagaimana dengan kau? Kau
bekerja di bagian
apa?"
"Bagian penggantian kerugian. Memang agak membosankan bila dibandingkan
dengan tugas
ayahmu, lapi harus ada yang tinggal di kantor dan membereskan uusan surat-
menyurat," katanya
sambil tertawa kecil. Omong-omong, aku senang mendengar ayahmu nendapat
pekerjaan baru."

"Ya, Mom juga senang perusahaan yang begitu ergengsi mau cepat-cepat menerima
Dad. Walau ini
I elum resmi."
Apakah dia akan bekerja di luar Washington?" inya Gutenburg sambil meneguk
Perrier.
"Ya, perusahaan itu beberapa blok dari kantor I imanya..." Tara berhenti bicara
ketika mendengar
hunyi keras. Ia berpaling dan melihat Chris Jackson menepuk meja untuk meminta
perhatian para
tamu.
"Maaf," bisik Tara. "Itu petunjuk buatku untuk melaksanakan tugas malam ini." Ia
bergegas pergi,
dan Gutenburg berpaling untuk mendengarkan pendahulunya di Langley itu.
"Bapak-bapak dan Ibu-ibu," Chris memulai. Ia menunggu hingga suasana benar-
benar hening,
kemudian melanjutkan, "Merupakan kehormatan bagiku intuk bersulang bagi dua
sahabat
terlamaku, Connor dan Maggie. Telah bertahun-tahun, secara konsisten Connor
membukakan diri
sebagai orang yang paling mungkin memasukkanku ke dalam konflik."
Para tamu tertawa. Seorang di antaranya ber-
125
teriak, "Benar itu!" Dan seorang lain menambahkan, "Aku tahu masalahnya."
"Tapi begitu kau di dalam konflik, dialah orang yang paling dapat mengeluarkanmu
dari konflik
itu." Ini disambut dengan tepuk tangan meriah. "Kami bertemu peitama kali..."
Gutenburg merasa penyerantanya berderik. Dicabutnya benda itu dari ikat
pinggangnya. "TROYA
SECEPAT MUNGKIN" berita itu terpampang pada layarnya. Ia mematikannya dan
menyelinap
keluar ke koridor. Ia mengambil telepon terdekat seolah sedang di rumah sendiri.
Dihubunginya
nomor yang tak tercatat dalam buku petunjuk mana pun. Sebelum telepon berdering
sudah
terdengar suara berkata, "Direktur."
"Aku terima beritamu, tapi aku memakai jalur yang tak aman." Ia tak perlu
mengatakan siapa
dirinya.
"Yang akan kusampaikan ini akan diketahui semua orang di seluruh dunia beberapa
jam lagi."
Gutenburg tidak bicara. Membuang-buang waktu saja.
"Yeltsin meninggal karena serangan jantung tujuh belas menit yang lalu," kata Helen
Dexter.
"Harap melapor ke kantorku secepatnya. Dan batalkan segala yang kaurencanakan
selama 48 jam
mendatang." Telepon mati. Tak ada telepon dari jalur tak aman ke kantor Dexter
berlangsung lebih
dari 45 detik. Ada stop-watch di meja Dexter.
Gutenburg meletakkan kembali , gagang telepon lalu menyelinap keluar ke pintu
depan tanpa
berusaha pamit kepada nyonya rumah. Ia diantar mobil me-
126
tunggalkan Parkway kembali ke Langley. Sementara itu Chris mengangkat gelas dan
bersulang,
"Untuk Connor dan Maggie, dan apa pun masa depan yang menanti mereka."
Semua tamu mengangkat gelas. "Untuk Connor lan Maggie."
BAB SEPULUH
"Aku akan memberitahumu dari mana tepatnya asal informasiku ini," kata Tom
Lawrence. "Dari
Presiden Kolombia sendiri. Dia berterima kasih padaku atas 'peranan yang
kumainkan dalam
pemilihannya'."
"Itu bukan bukti," kata Helen Dexter tanpa menunjukkan emosinya sedikit pun
"Kau meragukan ucapanku?" Presiden tidak berusaha menyembunyikan amarahnya.
"Tentu saja tidak, Mr. President," jawab Dexter tenang. "Tapi bila kau mendakwa
CIA
melaksanakan operasi-operasi terselubung tanpa sepengetahu-anmu, kuharap, itu tak
hanya
berdasarkan atas ucapan seorang politikus Afrika Selatan."
Presiden mencondongkan badannya ke depan. "Sebaiknya kaudengarkan baik-baik
rekaman
pembicaraan yang berlangsung di kantor ini belum begitu lama," katanya. "Sebab itu
mengejutkanku sebagai sesuatu yang mengandung kebenaran sesuatu
128
y.mg kuduga tak banyak kaudapatkan bebeiapa tahun belakangan ini."
Direktur tetap tenang, meskipun Nick Gutenburg y mg duduk di sebelah kanannya
beringsut
gelisah. Presiden mengangguk ke arah Andy Lloyd, yang mengulurkan tangan dan
menekan tombol
lape re-order yang telah dipasang di sudut meja Presiden:
"Bisakah kau memberi keterangan yang lebih terperinci?"
"Tentu saja bisa, walaupun aku yakin tak bisa mengatakan sesuatu yang belum
kauketahui. Satu-
satunya pesaingku, Ricardo Guzman, telah diamankan dari persaingan dua minggu
sebelum
pemilihan."
"Kau pasti tak ingin mengatakan..." Itu suara Lawrence.
"Yah, jika itu bukan orangmu, tentu saja itu bukan orangku," Herrera menyela
sebelum Presiden
dapat menyelesaikan kalimatnya.
Kemudian disusul keheningan lama hingga Gutenburg mulai bertanya-tanya jangan-
jangan
pembicaraan telah selesai. Tetapi karena Lawrence dan Lloyd tak bergerak, ia
menyimpulkan
masih ada kelanjutannya.
"Kau punya bukti nyata yang menghubungkan pembunuhan itu dengan CIA?"
akhirnya Lloyd
bertanya.
"Peluru yang menghabisinya terlacak berasal dari senapan yang telah dijual di toko
pegadaian
sebelum pembunuh melarikan diri dari negeri itu. Senapan itu kemudian diambil dari
pegadaian itu
oleh salah satu detektifmu dan dikirim kembali ke Amerika dengan kantong
diplomatik."
129
"Bagaimana kau bisa begitu yakin mengenai itu?" "Kepala polisiku jelas jauh lebih
terbuka
terhadapku dibandingkan dengan CIA terhadapmu."
Andy Lloyd mematikan tape recorder Helen Dex-ter mengangkat muka dan matanya
bertemu
dengan tatapan tajam Presiden.
"Nah, bagaimana?" tanya Lawrence. "Penjelasan sederhana apa yang kini akan
kauajukan?"
"Dari pembicaraan tadi. jelas sama sekali tak ada bukti keterlibatan CIA dalam
pembunuhan
atas^diri Guzman," sahut Dexter datar. "Bagiku itu cuma memberi petunjuk bahwa
Herrera
berusaha melindungi orang yang melaksanakan perintahnya."
"Aku mengasumsikan kau punya hubungan dengan 'pembunuh tunggal' yang telah
menghilang
dengan lihai entah ke mana di Afrika Selatan sejak peristiwa itu," kata Presiden
sarkastis.
"Begitu dia muncul, Mr. President, kami akan menemukannya dan aku akan sanggup
mengemukakan bukti yang kauminta."
"Seorang tak bersalah yang tertembak di jalan perkampungan di Johannesburg takkan
cukup
menjadi bukti bagiku," kata Lawrence.
"Bagiku juga tidak," kata Dexter. "Jika orang yang bertanggung jawab atas
pembunuhan itu ku-
munculkan, takkan ada keraguan sedikit pun untuk siapa dia bekerja." Nada suaranya
agak tajam.
"Jika kau gagal melakukannya," kata Presiden, "aku takkan kaget jika rekaman
ini"—ia mengetuk-
ngetuk tape recorder itu—"jatuh ke tangan wartawan Washington Post tertentu yang
terken , tak
mencintai CIA. Kita dapat membiarkannya memutuskan apakah
130
Herrera melindungi diri, atau mengatakan yang sebenarnya. Dalam kedua hal itu, kau
harus
menjawab begitu banyak pertanyaan gawat."
"Jika itu terjadi, mungkin kau harus menjawab sendiri satu-dua pertanyaan, Mr.
President," kata
Dex-ter, tidak menyangkal.
Dengan marah Lawrence bangkit dari kursinya dan memelototi wanita itu. "Biar
kujelaskan
sekarang, aku masih menuntut bukti positif keberadaan orang Afrika-mu yang hilang
itu. Dan jika
kau gagal menemukannya dalam waktu 28 hari, kuharap kalian berdua mengajukan
surat
pengunduran diri ke mejaku. Dan sekarang keluarlah dari kantorku."
Direktur dan wakilnya beranjak menjnggalkan ruangan itu tanpa berkata-kata lagi.
Keduanya tidak
bicara hingga mereka duduk di kursi belakang mobil Dexter. Begitu mobil itu keluar
dari
pekarangan Gedung Putih, Dexter menekan tombol di lengan kursi dan kaca
pembatas buram
merayap ke atas hingga si sopir—seorang detektif senior—tidak bisa mendengar
percakapan di
belakangnya.
"Sudah kautemukan perusahaan *mana yang telah mewawancarai Fitzgerald?" *
"Ya, sudah," jawab Gutent*rg.
"Kalau begitu kau harus menelepon pemimpinnya."
"Namaku Nick Gutenburg. Aku wakil direktur CIA. Mungkin kau ingin
meneleponku kembali.
Nomor pesawatku 703 482 1100. Jika kausebutkan namamu, operator akan langsung
menghubungkanmu dengan ruang kerjaku." Ia meletakkan gagang telepon.
Selama bertahun-tahun ia telah mengalami bahwa
131
telepon demikian itu pasti dijawab. Biasanya dalam waktu kurang dari semenit.
Tetapi bila ada
dalih sedikit, itu bahkan memberinya kemenangan.
Ia duduk menghadap mejanya. Menunggu. Dua menit sudah berlalu, tapi ia tidak
khawatir. Ia tahu
orang ini pasti ingin memverifikasi nomor. Begitu ia menerima konfirmasi bahwa itu
betul nomor
CIA, Gutenburg berada dalam posisi yang lebih kuat lagi.
Ketika akhirnya telepon berdering tiga menit kemudian, Gutenburg membiarkannya
berdering lagi
beberapa saat sebelum mengangkatnya. "Selamat pagi, Mr. Thompson," katanya
tanpa menunggu
mendengarkan dulu siapa itu. "Aku sungguh berterima kasih kau menelepon kembali
begitu cepat."
"Dengan senang hati, Mr. Gutenburg,'^ kata Kepala Washington Provident.
"Barangkali agak rumit masalah yang ingin kubicarakan denganmu ini, Mr.
Thompson. Aku takkan
menelepon bila tidak demi kepentinganmu."
"Sungguh kuhargai," kata Thompson. "Bisa ku-bantu?"
"Baru-baru ini kau mewawancarai para calon untuk mengepalai bagian penculikan
dan tebusan.
Jabatan yang menuntut standar integritas sangat tinggi."
"Sudah barang tentu," kata Thompson. "Tapi kami telah menemukan seseorang yang
ideal untuk
posisi tersebut."
"Aku tak punya gambaran sama sekali siapa yang kaupilih untuk pekerjaan itu, tapi
harus
kuberitahukan bahwa kami sedang menyelidiki salah satu pelamar. Bila kasus ini
sampai ke
pengadilan, mungkin sekali akan mencerminkan citra yang tak begitu baik bagi
132
perusahaanmu. Namun, Mr. Thompson, bila kau telah yakin menemukan orang yang
tepat, tentu
saja CIA takkan menghalanginya."
"Nanti dulu, Mr. Gutenburg, bila kau tahu sesuatu yang harus kami ketahui, aku
sangat senang jika
boleh mendengarnya."
Gutenburg diam sejenak, kemudian baru berkata. "Boleh kutanyakan secara sangat
rahasia nama
calon yang akan kautawari pekerjaan itu?"
"Tentu saja boleh, sebab aku sama sekali tak ragu mengenai reputasi, latar belakang,
atau tingkah
lakunya. Kami sedang akan menandatangani kontrak dengan Mr. Connor Fitzgerald."
Hening agak
lama. Kemudian Thompson berkata, "Kau masih ada di situ, Mr. Gutenburg?"
"Ya, masih, Mr. Thompson. Aku sedang mempertimbangkan apakah kau punya
waktu untuk
mengunjungiku di Langley. Aku harus menjelaskan padamu lebih lengkap lagi
mengenai
penyelidikan penipuan yang sedang kami lakukan. Mungkin kau juga akan
memeriksa beberapa
surat rahasia yang kami miliki."
Kali ini Thompson ganti diam. "Maaf atas berita tadi, tapi mungkin aku tak perlu
datang," kata sang
kepala tenang. "Tampaknya dia orang yang sungguh baik."
"Aku juga sedih harus menelepon begini, Mr. Thompson. Tapi kau pasti akan lebih
marah lagi
padaku seandainya aku tak menelepon, dan seluruh affair ini akan berakhir dengan
terpampang di
halaman depan Washington Post."
"Memang demikian," kata Thompson.
"Bila boleh kutambahkan," kata Wakil Direktur,
133
"walau tentu saja tak berkaitan dengan kasus yang sedang kami selidiki, bahwa aku
pemegang polis
Washington Provident sejak aku bekerja untuk CIA."
"Sungguh menyenangkan mendengarnya, Mr. Gutenburg. Aku hanya ingin
mengatakan betapa aku
sangat menghargai profesionalisme kalian dalam melaksanakan pekerjaan."
"Aku hanya berharap sudah membantumu, Mr. Thompson. Selamat siang, Sir."
Gutenburg meletakkan pesawat, dan segera menekan angka "1" pada pesawat telepon
terdekat.
"Ya?" sahut sebuah suara.
"Kupikir Washington Provident takkan menawarkan pekerjaan apa pun pada
Fitzgerald."
"Bagus. Kita biarkan saja dulu selama tiga hari, lalu barulah kau memberitahunya
tentang tugas
barunya."
"Mengapa menunggu tiga hari?" "Jelaslah kau tak membaca makalah Freud tentang
kapan orang
paling mudah diserang."
Kami mohon maaf hart\ memberitahu Anda...
Connor sedang membaca surat itu untuk ketiga kalinya ketika telepon di mejanya
berdering. Ia
membeku tak percaya. Apanya yang tak beres? Santap malam di rumah keluarga
Thompson sangat
menyenangkan. Ketika Connor dan Maggie pulang beberapa menit sebelum tengah
malam, Ben
mengusulkan main golf di Burning Tree akhir minggu berikutnya. Dan Elizabeth
Thompson telah
mengundang Maggie untuk mampir minum kopi selama suami mereka sedang
berburu bola putih
kecil. Hari berikutnya,
134
pengacaranya menelepon memberitahu bahwa kontrak yang dikirim Washington
Provident untuk ia
setujui hanya memerlukan perbaikan kecil-kecil.
Connor mengangkat telepon.
"Ya, Joan."
"Wakil Direktur menelepon."
"Sambungkan," jawabnya letih.
"Connor?" kata suara yang tak pernah dipercayai nya. "Ada sesuatu yang penting,
dan Direktur mr
mintaku memberitahumu secepatnya."
"Tentu saja," sahut Connor tanpa benar-benar mengerti kata-kata Gutenburg.
"Kita putuskan saja pukul tiga. Di tempat biasanya?"
"Ya, baiklah," sahut Connor. Lama setelah sambungan diputuskan ia masih tetap
memegangi
gagang telepon. Ia membaca surat itu untuk keempat kalinya, dan memutuskan tak
akan
memberitahu Maggie mengenai hal itu hingga saat ia masuk dalam daftar orang yang
layak
menduduki jabatan lain.
Connor lebih dulu tiba di Lafayette Square. Ia duduk di bangku menghadap Gedung
Putih.
Beberapa menit kemudian Nick Gutenburg datang dan duduk di ujung lain bangku
itu. Connor
bahkan berusaha tidak melayangkan pandang kepadanya.
"Presiden sendiri minta agar kau menerima tugas ini," gumam Gutenburg sambil
menatap Gedung
Putih. "Dia menghendaki orang kita yang terbaik."
"Tapi aku harus meninggalkan CIA sepuluh hari lagi,1* kata Connor.
"Ya, Direktur telah memberitahukannya. Tapi Presiden mendesak agar kami
mengusahakan
segalanya
135
sesuai kemampuan kami untuk meyakinkanmu agar mau tetap bekerja bagi CIA
hingga tugas ini
selesai." Connor tetap diam.
"Connor, hasil pemilu di Rusia dapat mempengaruhi masa depan dunia bebas. Jika si
gila Zerimski
terpilih, berarti dalam waktu singkat kembali ke Perang Dingin. Presiden bisa
melupakan RUU
Pengurangan Senjata, dan Kongres akan menuntut penambahan anggaran pei tahanan
hingga bisa
membuat kita bangkrut."
"Tapi Zerimski masih jauh di belakang dalam jajak pendapat," kata Connor.
"Bukankah Chernopov
yang diharapkan menang dengan mudah?"
"Begitulah kelihatannya sekarang," kata Gutenburg. "Tapi masih ada waktu tiga
minggu lagi, dan
menurut Presiden," ia menekankan kata itu sambil menerawang ke Gedung Putih,
"dengan para
pemilih yang begitu mudah berubah pendapat, segalanya dapat terjadi. Dia akan
sangat lebih
senang bila tahu kau ada di sana, untuk berjaga-jaga bila keahlian khususmu itu
diperlukan."
Connor tak menyahut.
"Bila yang merisaukanmu itu pekerjaan barumu," lanjut Gutenburg, "aku bersedia
merundingkannya dengan kepala perusahaan yang akan kaumasuki. Dan akan
kujelaskan padanya
ini tugas jangka pendek."
"Ah, itu tak perlu," kata Connor. "Tapi aku butuh sedikit waktu untuk
memikirkannya."
"Tentu," kata Gutenburg. "Bila kau telah mantap, tolong telepon Direktur guna
memberitahukan
ke-putusanmu." Ia bangkit berdiri dan melangkah ke arah Farragut Square.
Tiga menit kemudian, Connor melangkah ke arah yang berlawanan.
\ndy Lloyd mengangkat telepon merah Kali ini ia segera mengenali suara itu.
Aku hampir tahu pasti siapa yang melaksanakan lugas di Bogota," kata Jackson.
"Apakah dia bekerja untuk CIA?" tanya Lloyd.
"Ya, memang."
"Apa kau punya cukup bukti untuk meyakinkan para anggota Komite Kongres
Terpilih Urusan
lnteli-
icn?"
"Tidak. Hampir semua bukti yang kumiliki pasti ditolak sebagai kebetulan. Tapi bila
semua
digabungkan jadi satu, menurutku akan terlalu banyak kebetulannya."
"Misalnya?"
"Petugas yang kuduga menarik picu sudah dipecat tak lama setelah Presiden bertemu
Dexter di
Ruang Oval dan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab itas pembunuhan
terhadap Guzman."
"Itu bahkan tak dapat diterima sebagai bukti."
"Mungkin tidak. Tapi orang yang sama itu baru akan menerima pekerjaan baru di
Washington
Provident sebagai kepala bagian penculikan dan tebusan, dan tiba-tiba, tanpa
penjelasan, tawaran
pekerjaan itu dibatalkan."
"Kebetulan yang kedua."
"Ada kebetulan yang ketiga. Tiga hari kemudian, Gutenburg bertemu dengan orang
itu di bangku
taman di Lafayette Square."
137
136
"Mengapa mereka ingin mempekerjakannya kembali?"
"Untuk melaksanakan tugas sekali jadi."
"Apakah kita punya gambaran itu penugasan apa?"
"Tidak. Tapi jangan kaget bila itu akan membawanya jauh dari Washington."
"Punya cara untuk mengclahui di mana?"
"Saat ini tidak Bahkan istrinya pun tak tahu."
"Oke. Mari kita periksa menurut sisi pandang nieieka," kata I loyd. "Menurutmu, apa
yang akan
dilakukan Dextei sekarang ini untuk memastikan kedudukannya terlindungi?"
"Sebelum pertanyaan itu kujawab, aku ingin tahu hasil pertemuan terakhirnya dengan
Presiden,"
kata Jackson.
"Presiden memberi waktu 28 hari pada Dexter dan Gutenburg untuk membuktikan
CIA tak terlibat
dalam pembunuhan terhadap Guzman, dan memberikan bukti kuat siapa
pembunuhnya. Dia juga
menjelaskan, jika gagal mereka harus mengundurkan diri dan melepaskan semua
bukti yang
dimiliki pada Washington Post."
Terjadi keheningan lama sebelum Jackson berkata, "Itu berarti orang tersebut hanya
punya waktu
hidup kurang dari sebulan."
"Wanita itu tak pernah melikuidasi orangnya sendiri," kata Lloyd tak percaya
"Jangan lupa, petugas itu adalah NOC. Seksi itu bahkan resminya tak ada dalam CIA,
Mr. Lloyd.'"
"Orang itu sahabatmu, kan?" tanya Lloyd.
"Ya," jawab Jackson tenang.
138
"Kalau begitu sebaiknya kaupastikan dia tetap hidup."
"Selamat siang, Direktur. Ini Connor Fitzgerald."
"Selamat siang, Connor. Senang mendengar benta ilarimu," kata Dexter dalam nada
yang lebih
hangat daripada waktu pertemuan sebelumnya.
"Wakil Direktur memintaku meneleponmu begitu aku memutuskan mengenai
persoalan yang kami
bicarakan hari Senin."
"Ya," kata Dexter kembali ke gaya tegas seperti biasanya.
"Aku mau menerima tugas itu."
"Aku senang mendengarnya."
"Dengan satu syarat."
"Apa syaratnya?"
"Aku minta bukti bahwa operasi itu telah disetujui Presiden."
Keheningan berlangsung lama, dan akhirnya Dex-ter berkata, "Aku akan
memberitahu Presiden
tentang permohonanmu."
'Jadi bagaimana bekerjanya?" tanya Direktur. Ia tak ingat kapan terakhir kali
mengunjungi
laboratorium Sekolah Pelatihan Perwira di Langley.
"Sebenarnya sangat sederhana," kata Profesor Ziegler, direktur Pelayanan Teknik
CIA. Ia berpaling
ke jajaran komputer dan menekan beberapa tuts.« Wajah Tom Lawrence muncul di
layar.
Setelah Dexter dan Nick Gutenburg beberapa saat mendengarkan kata-kata Presiden,
Dexter
berkata.
139
"Apanya yang mengagumkan? Kita semua pernah mendengarkan Lawrence
mengucapkan pidato."
"Mungkin. Tapi kalian belum pernah mendengar dia mengucapkan pidatonya yang
itu," kata
Ziegler.
"Apa maksudmu?" tanya Gutenburg.
Senyum puas yang hampir kekanak-kanakan tersungging pada wajah sang profesor.
"Dengan nama
kode 'Tommy', aku telah menyimpan dalam komputerku lebih dari seribu pidato,
Wawancara
televisi dan radio, serta pembicaraan lewat telepon Presiden selama dua tahun silam.
Setiap kata
atau kalimat yang telah digunakannya di masa lampau telah disimpan dalam bank
memori ini. Itu
artinya aku bisa membuatnya berpidato tentang topik apa pun yang kaupilih. Aku
bahkan bisa
memutuskan apa posisinya dalam isu tertentu."
Dexter mulai mempertimbangkan kemunj/kinan-kemungkinan itu. "Jika misalnya
ditanyai siiatu
masalah, apakah Tommy bisa memberikan jawaban meyakinkan?" tanya Dexter.
"Tak secara spontan," Ziegler mengakui 'Tapi bila punya pemikiran mengenai
masalah masalah itu,
dia bisa diharapkan akan menjawab. Aku poicaya aku bisa mengecoh ibu Lawrence
sendiri."
"Jadi yang harus kita lakukan ialah mciigimi.isi-pasi apa yang mungkin sekali akan
dikatakan pihak
lawan," tukas Gutenburg. • "Yang itu tak sesulit yang dibayangkan." kala Ziegler.
"Bagaimanapun,
bila kau mendapat lukpon dari Presiden, kau tak bakalan menanyakan ktkmitan
dolar, atau apa
yang disantapnya waktu saiap.m. ya
140
k m9 Dalam kebanyakan kasus, kau telah tahu alasan Piesiden menelepon. Aku tak
punya
gambaran meng «pa kau mungkin memerlukan Tommy. Tapi bila lurus
mempersiapkan
pernyataan-pernyataan pembuka dan penutup, demikian pula lima puluh pertanyaan
iiau pernyataan
yang harus ditanggapinya, aku hampir dapat menjamin dia akan bisa mengadakan
pembicaraan
yang cukup bagus."
"Aku yakin kita bisa melakukannya," kata (iutenburg.
Direktur mengangguk tanda setuju, kemudian ber-lanya kepada Ziegler, "Mengapa
kita pertama-
tama mengembangkan peralatan ini?"
"Peralatan ini disusun kalau-kalau Presiden meninggal sementara Amerika sedang
perang, dan kita
memerlukan musuh percaya bahwa Presiden masih hidup. Tapi Tommy punya
banyak kegunaan
lain, Direktur. Misalnya..."
"Aku yakin memang demikian," sela Dexter.
Ziegler tampak kecewa. Ia sadar perhatian Direktur telah sampai pada batas akhir.
"Berapa lama waktu untuk mempersiapkan sebuah program khusus?" tanya
Gutenburg.
"Berapa lama kau bisa mengetahui apa yang perlu dikatakan Presiden?" Ziegler balas
bertanya.
Senyum kekanak-kanakan kembali menghiasi wajahnya.
Joan tetap memencet bel hingga akhirnya Connor mengangkat telepon di mejanya.
"Ada apa, Joan? Aku tidak tuli."
"Ruth Preston, sekretaris pribadi Presiden, menelepon.!'
141
Berikutnya yang didengar Connor adalah suara wanita. "Apakah di situ Connor
Fitzgerald?"
"Ya, benar," jawab Connor. Ia dapat merasakan keringat dingin membasahi telapak
tangannya yang
memegang telepon. Hal itu tak pernah terjadi bila ia harus menunggu menarik picu.
"Presiden ingin bicara denganmu."
Ia mendengar bunyi klik. "Selamat siang," terdengar suara yang telah akrab.
"Selamat siang, Mr. President."
"Kukira kau tahu mengapa aku menelepon."
"Ya, Sir, aku tahu."
Profesor Ziegler menekan tombol "Pernyataan Pembukaan". Direktur dan Wakil
Direktur menahan
napas.
"Kurasa aku harus meneleponmu untuk memberitahu betapa penting tugas itu
menurutku." Sunyi.
"Sebab aku tak ragu sedikit pun kaulah orang yang tepat untuk melaksanakan tugas
tersebut."
Sunyi. "Jadi kuharap kau setuju menerima tanggung jawab itu."
Ziegler menekan tombol "Tunggu".
"Aku sungguh menghargai kepercayaanmu padaku, Mr. President," kata Connor,
"dan aku
berterima kasih kau mau meneleponku secara pribadi..."
"Nomor 11," kata Ziegler yang hafal semua jawaban.
"Kukira itu setidaknya yang bisa kulakukan dalam situasi begini." Sunyi.
'Terima kasih, Mr. President. Meskipun Mr. Gutenburg meyakinkanku mengenai
keterlibatanmu,
dan Direktur sendiri siang itu memberi konfirmasi,
142
uku masih tetap merasa tak bisa menerima penugasan itu bila belum yakin perintah
itu langsung
darimu." "Nomor 7."
"Aku sangat mengerti kerisauanmu." Sunyi. "Nomor 19."
"Mungkin jika semuanya telah selesai, kau dan istrimu mau berkunjung ke Gedung
Putih—itu
kalau Direktur mengizinkan." Sunyi.
"Nomor 3," kata Ziegler tegas. Terdengar ledakan tawa keras.
Connor agak menjauhkan pesawat telepon dari telinganya. "Kami merasa sangat
terhormat, Sir,"
katanya ketika suara tawa itu telah lenyap.
"Pernyataan penutup," kata Ziegler.
"Bagus. Aku ingin bertemu denganmu begitu kau kembali nanti." Sunyi. "Sering aku
sedih
memikirkan Amerika tak selalu menghargai para pahlawannya yang tak dikenal."
Sunyi. "Sungguh
menyenangkan bisa bicara denganmu. Selamat siang."
"Selamat siang, Mr. President."
Connor masih memegangi telepon ketika Joan masuk ruangan. "Jadi itu tadi
hancurnya sebuah
mitos lain," kata wanita itu ketika Connor meletakkan telepon.
Connor mendongak kepada Joan sambil mengernyitkan alis.
"Mitosnya ialah Presiden selalu memanggil orang dengan nama depan."
143
BAB SEBELAS
Gutenburg menyerahkan amplop cokelat besar berisi empat paspor, tiga tiket pesawat
terbang, dan
segepok uang kertas dalam berbagai mata uang.
"Apakah aku tak harus menandatangani semuanya ini?" tanya Connor.
'Tak usah. Segalanya terburu-buru, surat-surat akan kita urus setelah kau kembali.
Begitu tiba di
Moskwa, kau harus mengunjungi markas-markas besar kampanye Zerimski dan
menunjukkan pada
mereka surat penugasanmu sebagai wartawan freelance dari Afrika Selatan. Mereka
akan
memberimu paket pers yang memuat keterangan terperinci mengenai jadwal
mengikuti masa
persiapan pemilu."
"Apakah aku punya kontak di Moskwa?"
"Ya. Ashley Mitchell." Gutenburg ragu. "Ini penugasan besar pertama baginya, dan
dia sudah
diberi penjelasan mendetail tentang apa yang harus diketahuinya. Dia juga telah
diberi instruksi
hanya boleh
144
menghubungimu bila ada lampu hijau dan dalam hal itu dia akan menyerahkan
senjatanya
padamu." "Buatan dan modelnya?"
"Remington 700, seperti biasanya dibuat menurut pesanan," kata Gutenburg. "Tapi
bila Chernopov
tetap memimpin dalam jajak pendapat, jasamu tak diperlukan, dalam kasus ini kau
harus kembali
ke Washington sehari setelah pemilu. Aku khawatir jangan-jangan misi ini berubah
jadi tak
penting."
"Semoga saja demikian," kata Connor, dan meninggalkan Wakil Direktur tanpa
berjabat tangan.
"Aku takut tanganku dipuntir ke punggungku hingga aku tak bisa menolak," kata
Connor sambil
memasukkan kemeja biru lainnya ke koper.
"Kau sebenarnya bisa menolak," kata Maggie. "Memulai pekerjaan baru pada awal
bulan
sebenarnya alasan yang cukup meyakinkan." Ia berhenti sejenak. "Apa reaksi Ben
Thompson?"
"Dia sangat penuh pengertian," kata Connor. "Dia sama sekali tak keberatan aku
mulai sebulan
yang akan datang. Tampaknya Desember selalu merupakan masa tenang." Connor
menekan-nekan
pakaian-pakaiannya, berusaha agar kantong plastiknya bisa muat. Ia sebenarnya
sudah ingin
membiarkan Maggie yang berkemas baginya, tapi ia tak mau Maggie menjumpai
beberapa barang
yang tak berkaitan dengan ceritanya. Ia menduduki kopernya. Maggie menguncinya.
Lalu mereka
berguling di ranjang sambil tertawa. Connor memeluk Maggie agak terlalu lama.
"Semuanya beres, Connor?" tanya Maggie pelan.
145
"Semuanya baik-baik saja, Sayang," kata Connor sambil melepas pelukannya. v
Connor mengangkat koper dan* membawanya ke lantai bawah. "Maaf aku tak ada di
sini pada
Thanks-giving. Jangan lupa memberitahu Taia, aku sangat menantikannya di Hari
Natal," katanya
sementara Maggie mengikutinya keluar dan pintu depan. Ia berhenti di sebelah mobil
yang belum
pernah dilihat Maggie.
"Dan juga Stuart," Maggie mengingatkan Connor.
"Ya, tentu," kata Connor sambil meletakkan koper dalam bagasi. "Sungguh
menyenangkan dapat
bertemu kembali dengannya." Sekali lagi ia memeluk istrinya. Kali ini ia memastikan
tidak terlalu
lama.
"Astaga, apa hadiah Natal kita buat Tara?" tanya Maggie tiba-tiba. "Bahkan belum
kupikirkan."
"Bila melihat rekening teleponnya yang terakhir, kau tak usah memikirkan* itu lagi,"
kata Connor
sambil naik duduk di belakang kemudi.
"Aku tak ingat mobil ini," kata Maggie.
"Salah satu mobil perusahaan," Connor menjelaskan sambil menstarter mobil.
"Omong-omong, kau
bisa memberitahu Pastor Graham agar mencari pengganti untuk melengkapi pemain
bridge Sabtu
nanti? Selamat tinggal, Sayang."
Tanpa berkata-kata lagi ia menjalankan mobil keluar ke jalan. Ia tak suka
mengucapkan selamat
tinggal kepada Maggie, maka ia selalu berusaha membuat ucapan perpisahannya
sesingkat
mungkin. Ia melihat kaca spion. Maggie berdiri di ujung jalur masuk, melambai-
lambaikan tangan,
sementara Connor membelok ke Cambridge Place dan melaju menuju bandara.
146
Ketika tiba di ujung jalan Dulles, ia tak perlu mencari tanda panah yang menunjuk ke
tempat parkir
jangka lama. Ia menuruni jalur landai dan mengambil tiket dari mesin, kemudian
parkir di sudut
yang jauh. Ia mengunci mobil dan berjalan menuju pintu masuk bandara. Kemudian
ia naik lift satu
tingkat ke meja check-in United Airlines.
'Terima kasih, Mr. Perry," kata petugas berseragam yang memeriksa tiket.
"Penerbangan 918
hampir siap boarding. Silakan langsung saja ke Gerbang C7."
Setelah menyelesaikan urusan keamanan, Connor naik mobil menuju ke terminal
tengah. Di ruang
tunggu ia duduk di sudut ujung. Dan ketika para penumpang diminta masuk pesawat,
ia memilih
duduk dekat jendela di belakang seperti biasanya. Dua puluh menit kemudian, ia
mendengarkan
kapten yang menerangkan bahwa meskipun pesawat tinggal landas tidak tepat waktu,
entah
bagaimana secara menakjubkan mereka akan mendarat sesuai jadwal.
Di terminal, seorang pemuda bersetelan biru tua menekan sebuah nomor pada
ponselnya.
"Ya?" sahut sebuah suara.
"Agen Sullivan menelepon dari 'Coach House'. Si burung sudah terbang."
"Bagus. Lapor lagi secepatnya bila sudah menyelesaikan seluruh tugas." Telepon
dimatikan.
Pemuda itu mematikan ponselnya dan turun dengan eskalator ke lantai dasar. Ia
berjalan menuju ke
sebuah mobil di tempat parkir jangka lama di sudut. Ia naik ke dalam mobil itu,
mengeluarkannya
dari tempat parkir, membayar tiket parkir, dan meluncur ke timur.
147
Setengah jam kemudian ia mengembalikan kunci ke pul mobil dan menandatangani
daftar harian.
Tercantum bahwa mobil itu telah dikeluarkan atas namanya dan dikembalikan juga
atas namanya.
"Bisakah kau benar-benar pasti tak ada jejak sama sekali dia pernah ada?" tanya
Direktur.
"Tak ada jejak apa pun," jawab Gutenburg. "Jangan lupa, sebagai NOC, dia tak
pernah disebut
dalam pembukuan CIA."
"Tapi istrinya lalu bagaimana?"
"Mengapa dia akan menduga sesuatu? Cek gaji bulanan suaminya lelah dibayarkan
ke rekening
me-ieka berdua. Di.i lakkan memikirkannya lagi. Bagi (lili alaminya lelah
mengundurkan diri dari
jabatan m-lanani* dan akan bergabung dengan Washington Pioudeiii pada (anggai 1
Januari
mendatang."
' lapi sekretaris lamanya masih ada."
"Aku telah memindahkannya ke Langley, jadi bisa kuawasi."
"Divisi apa?"
'Timur Tengah."
"Mengapa Timur Tengah?"
"Sebab dia harus berada di kantor selama waktu kerja mereka dari pukul enam
petang hingga pukul
tiga pagi. Dan selama delapan bulan mendatang dia akan kupekerjakan sedemikian
berat hingga
terlalu lelah untuk memikirkan hal lain kecuali apa yang harus dikerjakannya bila
telah pensiun."
"Bagus. Di mana Fitzgerald sekarang?"
Gutenburg melihat jam. "Setengah jalan melintasi
148
Atlantik. Ia akan mendarat di bandara Heathrow London sekitar empat jam lagi."
"Dan mobilnya?"
'Telah dikembalikan ke pul. Sekarang sedang dicat kembali dan diberi pelat nomor
baru."
"Dan kantornya di M Street bagaimana?"
"Akan dibongkar dalam waktu singkat. Dan seluruh lantai itu akan diserahkan pada
agen-agen real
estate hari Senin."
"Tampaknya kau telah memikirkan segala-galanya, kecuali apa yang akan terjadi bila
ia kembali ke
Washington," kata Direktur
"Dia takkan kembali ke Washington," jawab Gutenburg.
Connor mengikuti antrean panjang untuk melewati pengawasan paspor. Ketika
akhirnya ia tiba di
depan, seorang petugas memeriksa paspor dan berkata, "Semoga Anda menikmati
tinggal di Inggris
selama dua minggu ini, Mr. Perry."
Dalam kotak kecil dengan pertanyaan "Berapa lama Anda bermaksud tinggal di
Inggris?" Mr. Perry
telah menulis "Empat belas hari." Tetapi lalu Mr. Lilystrand yang kembali ke
bandara keesokan
harinya.
Dua orang mengawasinya sementara ia meninggalkan Terminal Tiga dan naik bus
menuju Stasiun
Bus Victoria. Empat puluh dua menit kemudian kedua orang itu melihatnya antre
pada deretan
taksi. Dalam kendaraan lain mereka mengikutinya ke Hotel Kensington Park. Di situ
salah seorang
dari mereka telah meninggalkan bingkisan baginya di meja resepsionis.
149
"Ada pesan untukku?" tanya Connor setelah menandatangani formulir pendaftaran.
"Ya, Mr. Lilystrand," jawab si penjaga pintu. "Seorang pria menitipkan ini untuk
Anda pagi tadi."
Ia menyerahkan amplop cokelat yang sangat besar kepada Connor. "Nomor kamar
Anda 211 Portir
akan mengangkut bagasi Anda."
"Bisa kubawa sendiri, terima kasih," katanya.
Begitu masuk kamar, Connor menyobek amplop. Di dalamnya terdapat tiket ke
Jenewa atas nama
Theodore Lilystrand beserta uang seratus franc Swiss. Ia melepas jasnya dan
berbaring di ranjang.
Walaupun sangat letih, ia tak dapat tidur. Ia menghidupkan televisi dan tak henti-
hentinya
menjelajahi berbagai acara—itulah yang disebut Tara berselancar saluran— namun
tak juga
berhasil.
Ia selalu tak suka bila harus menunggu. Itulah keraguan akan waktu yang telah
dimulai. Ia tetap
mengingatkan dirinya bahwa itu adalah misi terakhir. Ia mulai memikirkan Natal
bersama Maggie
dan Tara—dan sudah tentu juga Stuart. Ia tak suka tak diizinkan membawa foto. Ia
harus
membayangkan mereka dalam benaknya. Dan lebih-lebih lagi ia benci tak boleh
menelepon dan
berbicara dengan mereka manakala ia ingin melakukannya.
Connor tak beranjak dari ranjang hingga petang hari. Kemudian ia keluar dari sel
penjara satu
malamnya untuk mencari makan. Ia membeli Evening Standard di kios koran di
sudut jalan dan
membelok masuk ke restoran Italia yang kecil di High Street, Kensington, yang
hanya separo terisi
oleh pengunjung.
Pelayan mengantarkannya ke meja yang tenang di
150
pojok. Lampunya nyaris tak cukup terang untuk membaca koran, la memesan Diet
Coke dengan es
banyak sekali. Orang-orang Inggris takkan pernah mengerti arti "es banyak sekali",
dan ia tidak
terkejut ketika pelayan beberapa menit kemudian kembali dengan membawa gelas
besar berisi tiga
keping es yang mengambang, disertai seiris jeruk tipis.
Ia memesan cannelloni dan salad tambahan. Anehnya, ia selalu memilih makanan
kesukaan Maggie
bila berada di luar negeri. Sesuatu untuk mengingatkannya akan Maggie.
"Satu hal yang harus Dad lakukan sebelum memulai pekerjaan baru ialah
menemukan penjahit
yang pantas," kata Tara ketika mereka berbicara terakhir kali. "Dan aku mau
mengantarmu agar
bisa memilihkan kemeja dan dasimu."
"Pekerjaan barumu." Sekali lagi ia ingat akan surat itu. Menyesal saya harus
memberitahu Anda...
Walaupun berapa kali memikirkannya, ia tidak juga menemukan alasan Thompson
berubah
pendapat Jelas tidak sesuai.
Ia mulai membaca halaman depan koran. Ada sembilan calon yang bersaing dalam
pemilihan untuk
menjadi wali kota pertama London. Itu aneh, pikir Connor. Apakah mereka tak selalu
punya wali
kota? Nah, Dick Whittington bagaimana? Ia melihat foto-foto para pesaing dan
nama-nama
mereka. Tapi tak berbicara apa-apa baginya. Salah seorang dari mereka akan
mengelola ibu kota
Inggris beberapa minggu lagi. Ia bertanya-tanya saat itu ia akan berada di mana.
Ia membayar rekening dengan uang tunai. Pe-
151
layan diberinya tip yang takkan membuat dirinya diingat. Sekembalinya di kamar
hotel ia
menghidupkan televisi, lalu^ beberapa menit menonton komedi yang tidak
membuatnya tertawa.
Setelah mencoba beberapa film, ia tertidur dan sebentar-sebentar terjaga. Tetapi ia
disegarkan oleh
pikiran bahwa nasibnya lebih baik daripada dua orang yang dipasang di trotoar yang
tak bisa tidur
sama sekali itu. Ia telah melihat mereka beberapa saat setelah mendarat di Heathrow.
Ia melihat jam. Tengah malam lewat beberapa menit—beberapa menit setelah pukul
tujuh di
Washington. Ia bertanya-tanya apa yang dikerjakan Maggie malam itu.
"Bagaimana kabar Stuart?" tanya Maggie.
"Masih di sana," jawab Tara. "Lima belas hari lagi ia tiba di Los Angeles. Aku tak
sabar
menunggu."
"Apakah kalian berdua akan langsung terbang kemari?"
"Tidak, Mom," sahut Tara sambil berusaha tak terdengar putus asa. "Seperti telah
kuceritakan
padamu beberapa kali, kami akan menyewa mobil dan mengendarainya ke Pantai
Barat. Stuart
belum pernah ke Amerika. Ia ingin melihat Los Angeles dan San Francisco. Ingat?"
"Hati-hati mengendarainya, ya?"
"Mom, sudah sembilan tahun aku menyetir mobil dan belum pernah ditilang,
sedangkan Dad dan
Mom tak bisa dikatakan demikian. Nah, jangan cemas lagi. Apa acaramu malam
ini?"
"Aku akan mendengarkan Placido Domingo dalam
152
La Boheme. Aku memutuskan menunggu sampai ayahmu ke luar kota, sebab aku
tahu dia akan
tertidur sebelum babak pertama usai."
'"Mom akan pergi sendirian?"
"Ya."
"Yah, hati-hati, Mom. Dan jangan duduk di enam deretan pertama."
"Mengapa tidak?" tanya Maggie polos.
"Sebab barangkali ada laki-laki kaya dan ganteng yang akan meloncat dari salah satu
boks dan
merayumu."
Maggie tertawa. "Rasanya aku sudah cukup menghukum diri sendiri."
"Mengapa Mom tak minta Joan menemanimu? Lalu kalian berdua dapat ngobrol
tentang Dad
semalam suntuk."
"Aku meneleponnya di kantor, tapi nomor itu rupanya sedang rusak. Akan kucoba di
rumah nanti."
"Bye, Mom, besok kita ngobrol lagi," kata Tara. Ia tahu ibunya akan meneleponnya
tiap hari
sementara ayahnya sedang pergi.
Manakala Connor bepergian ke luar negeri atau berlibur semalam untuk menemani
Pastor Graham
di klub bridge, Maggie akan mengimbanginya dengan beberapa aktivitas universitas.
Misalnya
kegiatan apa pun dari GULP, Georgetown University Litter Pa-trol—Pengawasan
Kebersihan
Universitas Georgetown, Maggie adalah anggota pendiri organisasi itu, sampai ke
kegiatan Alive
Women's Poetry Society, dan kelas dansa Irlandia, di mana Maggie mengajar. Bila
melihat para
mahasiswa berdansa, dengan punggung tegak dan kaki mengentak-entak, ia teringat
kembali pada
Declan
153
O'Casey. la kini telah menjadi profesor ternama di Universitas Chicago, belum juga
menikah, dan
setiap Natal pasti mengirim kartu kepada Maggie, serta sebuah kartu tak
tertandatangani pada hari
Valentine. Mesin tulis tua dengan "e" bengkok selalu menunjukkan identitasnya.
Maggie kembali mencoba menelepon Joan di rumah, tapi tetap tak ada jawaban. Ia
membuat salad
ringan yang dimakannya sendirian di dapur. Setelah memasukkan piring ke mesin
pencuci, ia
menelepon Joan lagi. Masih tetap tak ada jawaban, maka ia berangkat ke Kennedy
Center.
Selembar tiket untuk satu orang selalu mudah didapat, betapapun tenarnya penyanyi
tenor tamu
yang didatangkan.
Maggie terpesona oleh babak pertama La Boheme. Dan ia hanya menginginkan
seandainya ada
seseorang yang dapat diajaknya berbagi pengalaman itu. Ketika tirai turun, ia
bergabung dengan
rombongan orang yang menuju ke serambi teater. Waktu mendekati bar yang penuh
pengunjung,
Maggie merasa sekilas melihat Elizabeth Thompson. Ia ingat Mrs. Thompson telah
mengundangnya minum kopi, tapi tak pernah terlaksana. Maggie terheran-heran
sebab tawaran
tersebut waktu itu terdengar sangat tulus.
Ketika Ben Thompson berpaling dan melihatnya, Maggie tersenyum dan berjalan
menghampiri
mereka.
"Betapa senang berjumpa denganmu. Ben," kata Maggie.
"Dan juga denganmu, Mrs. Fitzgerald," jawab Ben, tapi bukan dengan nada hangat
yang diingatnya
dua minggu sebelumnya dalam santap malam. Dan mengapa ia tak memanggilnya
Maggie?
154
Tanpa takut Maggie berjuang terus. "Domingo sungguh hebat, ya?"
"Ya, dan kita sangat beruntung dapat membujuk Leonard Slatkin dari St. Louis,"
jawab Ben
Thompson. Maggie heran mengapa Ben tidak menawarinya minuman, dan ketika
akhirnya ia
memesan jus jeruk, ia semakin terperanjat lagi karena Ben tak berusaha
membayarinya.
"Connor sangat berharap bisa bergabung dengan Washington Provident," kata
Maggie sambil
menyesap jusnya. Elizabeth Thompson tampak terkejut tapi tak berkomentar.
"Khususnya dia sangat berterima kasih padamu, Ben, karena mengizinkannya
menangguhkan
sebulan hingga dia dapat menyelesaikan kontrak dengan perusahaan yang lama yang
belum habis
itu."
Elizabeth baru akan mengatakan sesuatu ketika bel tiga menit sebelum mulai
berdering.
"Yah, sebaiknya kita kembali ke tempat duduk kita," kata Ben Thompson, walau
istrinya baru
menghabiskan separo minumannya. "Sungguh menyenangkan kita dapat bertemu
lagi, Mrs.
Fitzgerald." Ia menggandeng tangan istrinya dengan erat menuju ke arah auditorium.
"Selamat
menikmati babak kedua".
Maggie tidak menikmati babak kedua. Ia tak dapat berkonsentrasi, sebab
pembicaraan di serambi
tadi tetap melintas di pikirannya. Tetapi walaupun berkali-kali memikirkannya, ia
tetap tak dapat
menghubungkan sikap Ben sekarang dengan apa yang telah terjadi di kediamannya
dua minggu
sebelum itu. Seandainya tahu cara menghubungi Connor, ia pasti akan melanggar
peraturan seumur
hidup itu dan meneleponnya. Nah,
155
itulah yang akan dikerjakannya setelah ini. Begitu tiba di rumah, ia akan menelepon
Joan Bennett
lagi. Teleponnya tetap tidak dijawab.
Hari berikutnya Connor bangun pagi pagi. Ia membayar rekening dengan uang tunai,
menghentikan
taksi, dan meluncur ke Heathrow sebelum portir yang bertugas menyadari bahwa ia
telah pergi.
Pukul 07.40 ia memasuki pesawat Swissair Penerbangan 839 ke Jenewa.
Penerbangan berlangsung
kurang dari dua jam, dan ia menyesuaikan jamnya menjadi 10.30 ketika roda pesawat
menyentuh
landasan.
Selama transit ia memanfaatkan tawaran Swissair untuk mandi. Ia memasuki ruang
"fasilitas
eksklusif—deskripsi dalam majalah penerbangan mereka—sebagai Theodore
Lilystrand, bankir
investasi dari Stockholm. Dan empat puluh menit kemudian ia muncul sebagai Piet
de Villiers,
wartawan Johannesburg Mercury.
Meskipun masih punya waktu sejam, Connor tidak melihat-lihat di toko-toko bebas
bea cukai. Ia
hanya membeli croissant dan secangkir kopi di salah satu restoran termahal di dunia.
Akhirnya ia menuju ke Gerbang 23. Tak ada antrean panjang untuk penerbangan
dengan Aeroflot
ke St. Petersburg. Beberapa menit kemudian para penumpang dipanggil, dan ia
menuju ke bagian
belakang pesawat. Ia mulai memikirkan yang harus dilakukannya keesokan harinya
ketika kereta
api memasuki Stasiun Raveltay di Moskwa. Ia memikirkan kembali penjelasan
singkat Wakil
Direktur. Ia heran mengapa Gutenburg berkali-kali berpesan, "Jangan
156
sampai tertangkap. Tapi bila tertangkap, ingkari mentah-mentah hubungan apa pun
dengan CIA.
Jangan cemas—CIA akan selalu mengurusmu."
Hanya rekrut-rekrut hijau yang perlu diperingatkan akan Perintah Kesebelas itu.
"Penerbangan ke St. Petersburg baru saja tinggal landas, dan paket kita ada dalam
pesawat."
"Bagus," kata Gutenburg. "Ada hal lain yang perlu dilaporkan?"
"Kupikir tak ada," jawab agen muda CIA itu. Ia ragu-ragu. "Kecuali..."
"Kecuali apa? Ayo, katakan saja."
"Cuma rasanya aku mengenal seseorang lain yang masuk pesawat juga."
"Siapa dia?" bentak Guntenburg.
"Aku tak ingat namanya. Dan aku tak begitu pasti dia orangnya. Aku tak berani
mengambil risiko
mengalihkan perhatian dari Fitzgerald lebih dari sedetik pun."
"Bila telah ingat siapa dia, telepon aku secepatnya."
"Ya, Sir." Agen muda itu mematikan telepon dan berjalan menuju Gerbang 9. Dalam
beberapa jam
lagi ia akan kembali di belakang mejanya di Bern, memainkan kembali peranannya
sebagai atase
kebudayaan di Kedutaan Besar Amerika.
"Selamat pagi. Di sini Helen Dexter."
"Selamat pagi, Direktur," jawab Kepala Staf Gedung Putih dengan kaku.
"Kukira Presiden ingin segera tahu bahwa orang
157
yang dimintanya kami lacak di Afrika Selatan kini bergerak lagi."
"Aku tak yakin dapat memahami ucapanmu," kata Lloyd.
"Kepala kantor Johannesburg baru saja memberitahuku bahwa pembunuh Guzman
naik pesawat
South African Airways menuju ke London dua hari lalu. Dia membawa paspor
dengan nama
Martin Perry. Dia menginap di London hanya semalam. Keesokan harinya dia naik
pesawat
Swissair menuju Jenewa. Dia menggunakan paspor Swedia dengan nama Theodore
Lilystrand."
Kali ini Lloyd tidak menyela Dexter. Bagaimanapun, ia dapat memutar pita kembali
bila Presiden
menghendaki mendengar kata-kata Dexter dengan tepat.
"Di Jenewa ia naik pesawat Aeroflot menuju St. Petersburg. Kali ini ia membawa
paspor Afrika
Selatan dengan nama Piet de Villiers. Dari St. Petersburg ia naik kereta api malam ke
Moskwa."
"Moskwa? Mengapa Moskwa?" tanya Lloyd.
"Jika ingatanku benar," kata Dexter, "akan ada pemilu di Rusia."
Ketika pesawat mendarat di St. Petersburg, jam Connor menunjukkan pukul 17.50. Ia
menguap,
menggeliat, dan menunggu hingga pesawat benar-benar berhenti, lalu barulah ia
menyesuaikan jam
dengan waktu setempat. Ia melihat ke luar jendela memandang bandara yang
setengah gelap, sebab
separo jumlah bola lampu hilang. Hujan salju turun ringan, tapi tak mengeras.
Seratus penumpang
yang
158
lelah harus menunggu dua puluh menit lagi kedatangan bus yang mengangkut
mereka ke terminal.
Beberapa hal tidak berubah, entah KGB atau organi sasi kriminal yang sedang
bertugas. Orang-
orang \merika menyebut mereka sebagai Mafya untuk menghindari kerancuan
dengan versi Italia.
Connor orang terakhir yang meninggalkan pesawat, dan juga yang terakhir turun dari
bus.
Seseorang yang juga naik pesawat yang sama di kelas satu menerobos ke.depan
antrean supaya
pasti menjadi orang pertama yang melewati imigrasi dan pabean Ia berterima kasih
bahwa Connor
mengikuti seluruh prosedur standar buku petunjuk. Begitu turun dari bus, orang ini
tak pernah
menengok ke belakang. Ia tahu bahwa mata Connor selalu mencari-cari.
Setengah jam kemudian Connor berjalan di jalan penuh lubang, ia menghentikan
taksi pertama
yang kosong dan minta diantar ke Stasiun Protsky
Orang yang bepergian kelas satu itu mengikuti Connor hingga ke ruang pemesanan
yang lebih
mirip gedung opera daripada stasiun kereta api. Ia mengamati dengan cermat kereta
api mana yang
ingin dinaikinya, tetapi ada seorang pria lain yang berdiri dalam bayangan yang
bahkan mengetahui
nomor kamar gerbong tidur yang akan digunakannya.
Atase Kebudayaan Kedubes Amerika di St. Petersburg telah melewatkan undangan
ke Balet Kirov
malam itu sehingga dapat memberitahu Gutenburg kapan Fitzgerald telah naik kereta
api malam ke
Moskwa. Ia tak perlu menemani dalam perjalanan itu, sebab Ashley Mitchell,
koleganya di ibu
kota, akan menunggunya di Peron 4 hari berikutnya untuk
159
memberi konfirmasi bahwa Fitzgerald telah sampai tujuan. Telah dijelaskan kepada
Atase
Kebudayaan bahwa ini operasi Mitchell.
"Satu karcis kelas satu gerbong tidur ke Moskwa," kata Connor dalam bahasa Inggris
kepada
petugas pemesanan.
Orang itu menyodorkan sehelai karcis melintasi gerai kayu. Dan ia kecewa karena
penumpang ini
menyerahkan lembaran uang rubel sepuluh ribuan. Ia telah berharap penumpang ini
memberinya
kesempatan menarik sedikit keuntungan dari kurs— kesempatan keduanya malam
itu.
Connor memeriksa karcisnya sebelum menuju ke kereta api cepat Moskwa. Ia
melalui peron yang
penuh orang, melewati beberapa gerbong tua warna hijau yang agaknya buatan
sebelum Revolusi
1917. Ia berhenti di Gerbong K dan menyerahkan karcis kepada wanita yang berdiri
di pintu
terbuka, la menjepret karcis itu dan menepi untuk mempersilakan Connor naik
kereta. Connor
melalui koridor, mencari Kompartemen 8. Begitu menemukannya ia menyalakan
lampu dan
mengunci diri di dalamnya. Bukan karena takut dirampok sebagaimana yang sering
diberitakan
pers Amerika, tetapi karena ia perlu mengganti identitas sekali lagi.
Ia telah melihat wajah muda-segar yang berdiri di bawah papan kedatangan di
bandara Jenewa itu,
dan heran dari mana mereka dapat merekrut anak-anak muda itu di zaman sekarang.
Ia tidak
berusaha melihat agen di St. Petersburg. la tahu pasti ada orang yang mengecek
kedatangannya,
dan ada orang lain yang menunggu di peron di Moskwa. Gutenburg telah mem-
160
berinya penjelasan singkat mengenai agen Mitchell, yang dilukiskannya sebagai
orang yang
lumayan kasar lan tak tahu status Fitzgerald sebagai NOC.
Kereta api meninggalkan St. Petersburg tepat tengah malam kurang semenit. Dan
bunyi roda-roda
kereta yang bergemeretak lembut dan ritmis melalui rel segera membuat Connor
mengantuk. Ia
tersentak bangun dan melihat jam: pukul 04.37. Itulah tidurnya yang ternyenyak
setelah tiga malam
berlalu.
Kemudian ia ingat mimpinya. Ia telah duduk di bangku di Lafayette Square,
menghadap Gedung
Putih, dan berbicara dengan seseorang yang tak pernah melihat ke arahnya.
Pertemuannya dengan
Wakil Direktur minggu sebelumnya dimainkan ulang kata demi kata. Tetapi ia tak
dapat mengingat
apa pembicaraan yang terus mengganggunya itu. Tepat saat Guntenburg sampai ke
kalimat yang
ingin ia dengar kembali, ia terjaga.
Ia tidak lebih mendekati pemecahan soalnya ketika kereta api memasuki Stasiun
Raveltay pukul
08.33 pagi itu.
"Di mana kau sekarang?" tanya Andy Lloyd.
"Di gardu telepon di Moskwa," jawab Jackson. "Melalui London, Jenewa, dan St.
Petersburg.
Begitu turun dari kereta api, ia membiarkan kita semua berburu acak-acakan. Ia
berhasil
menghilang dari orang kita di Moskwa kurang dari sepuluh menit. Jika aku bukan
yang pertama
mengajarnya teknik kembali ke arah berlawanan, ia dapat juga melepaskan diri
dariku."
"Ia berhenti di mana?" tanya Lloyd.
161
"Ia memesan kamar di hotel kecil di bagian utara kota."
"Apa ia masih di situ?"
"Tidak, ia sudah pergi sejam kemudian. Tapi ia menyamar begitu rapi hingga aku
sendiri hampir-
hampir terkecoh. Jika bukan karena gaya jalannya, barangkali ia dapat melepaskan
diri dariku."
"Ia pergi ke mana?" tanya Lloyd.
"Ia memilih rute memutar lain dan berhenti di markas besar kampanye Victor
Zerimski."
"Mengapa Zerimski?"
"Aku belum tahu. Tapi ia keluar dari gedung sambil membawa semua literatur
kampanye Zerimski,
kemudian membeli peta di kios koran dan makan siang di restoran dekat situ. Siang
hari ia
menyewa mobil kecil dan kembali ke hotelnya Sejak itu ia belum meninggalkan
hotel tersebut."
"Astaga," kata Lloyd tiba-tiba. "Kali ini giliran Zerimski."
Hening lama di ujung satunya sebelum Jackson berkata, 'Tidak, Mr. Lloyd. Itu tidak
mungkin."
"Mengapa tidak?"
"Ia belum pernah menyetujui penugasan yang begitu sensitif kecuali bila perintah itu
datang
langsung dari Gedung Putih. Aku mengenalnya cukup lama untuk yakin tentang hal
itu."
"Coba jangan lupa, sahabatmu itu melaksanakan tugas yang tepat seperti itu di
Kolombia. Dexter
pasti mampu meyakinkannya bahwa operasi itu telah disetujui Presiden."
"Masih ada skenario alternatif," kata Jackson tenang.
162
"Yaitu?"
"Bukan Zerimski yang direncanakan akan dibunuh, tapi Connor."
Lloyd menulis nama itu dalam notes kuning.
163
BUKU DUA
Pemain Tunggal
BAB DUA BELAS
"Orang Amerika?"
"Ya," jawab Jackson tanpa memandang ke bawah, kepada sumber suara nyaring itu.
"Perlu sesuatu?"
'Tidak, terima kasih," sahutnya tanpa mengalihkan pandang dari pintu depan hotel.
"Kau pasti perlu sesuatu. Orang-orang Amerika selalu perlu sesuatu."
"Aku tak perlu apa-apa. Nah, pergilah," kata Jackson tegas.
"Kaviar? Boneka Rusia? Seragam jenderal? Topi bulu binatang? Perempuan?"
Untuk pertama kalinya Jackson memandangi bocah itu. Dari kepala hingga kaki ia
terbungkus jaket
bulu domba yang tiga ukuran terlalu besar baginya. Kepalanya mengenakan peci dari
bulu kelinci
yang menurut Jackson setiap saat makin diperlukannya. Senyumnya menampakkan
dua gigi yang
tanggal.
167
"Perempuan? Pukul lima pagi?"
"Waktu yang cocok untuk perempuan. Tapi mungkin kau lebih suka pria?"
"Berapa harga pelayananmu?"
"Pelayanan macam apa?" tanya si bocah dan tampak curiga.
"Sebagai pesuruh."
"Pesuruh?"
"Kalau tidak, ya pembantu,""
"Pembantu?"
"Asisten."
"Ha, maksudmu partner seperti dalam film-film Amerika."
"Oke, jadi kita telah setuju dengan deskripsi kerjamu, bocah sok tahu, kau minta
bayaran berapa?"
"Per hari? Per minggu? Per bulan?" "Per jam."

"Berapa tawaranmu?"
"Persis seperti pengusaha kecil kita ini, ya?"
"Kami belajar dari orang-orang Amerika," kata si bocah, dengan seringai lebar dari
kuping kiri ke
kuping kanan.
"Satu dolar," kata Jackson.
Bocah itu mulai tertawa. "Aku mungkin sok tahu, tapi kau pelawak. Sepuluh.dolar."
"Itu namanya
pemerasan."
Untuk pertama kalinya bocah itu tampak bingung.
"Kau akan kuberi dua."
"Enam."
"Empat."
"Lima."
"Setuju," kata Jackson.
168
Bocah itu mengacungkan telapak tangan kanan tinggi-tinggi, sesuatu yang telah ia
lihat dalam film
Amerika. Ditepuk oleh Jackson. Transaksi telah jadi. Bocah itu segera mengecek
waktu di jam
Rolex-nya.
"Nah, siapa namamu?" tanya Jackson.
"Sergei," jawabnya. "Dan namamu?"
"Jackson. Dan berapa usiamu, Sergei?"
"Berapa saja yang kau mau."
"Jangan main-main dan katakan usiamu berapa."
"Empat belas."
"Kau sembilan tahun tak lebih sehari pun."
"Tiga belas."
"Sepuluh."
"Sebelas."
"Oke," kata Jackson. "Setuju sebelas." "Dan berapa usiamu?" tanya si bocah. "Lima
puluh empat."
"Setuju 54," kata Sergei.
Jackson tertawa untuk pertama kalinya setelah selama beberapa hari itu. "Mengapa
bahasa
Inggrismu bagus?" tanyanya sambil tetap mengawasi pintu depan hotel.
"Ibuku lama hidup bersama dengan orang Amerika. Orang itu kembali ke Amerika
tahun lalu, tapi
tak membawa kami."
Kali ini Jackson percaya bocah itu mengatakan yang sebenarnya.
"Jadi apa pekerjaanku, partner?" tanya Sergei.
"Kita mengawasi seseorang yang tinggal di hotel itu."
"Teman atau musuh?" 'Teman."
169
"Mafya?"
"Bukan. Ia bekerja untuk orang-orang baik."
"Jangan perlakukan aku seperti anak kecil," kata Sergei tajam. "Kita kan partner,
ingat?"
"Oke, Sergei. Dia seorang teman," kata Jackson tepat saat Connor muncul di pintu
terbuka. "Jangan
bergerak." la memegang erat bahu si bocah.
"Apakah itu orangnya?" tanya Sergei.
"Ya, itu orangnya."
"Ia berwajah ramah. Mungkin sebaiknya aku bekerja untuknya."
Hari Victor Zerimski tidak dimulai dengan baik, padahal baru pukul delapan lebih
beberapa menit
pagi hari. Ia sedang memimpin rapat Dewan Sentral Partai Komunis yang sedang
menerima
penjelasan " dari Dmitri Titov, Kepala Stafnya.
"Sebuah badan internasional para pengamat telah tiba di Moskwa untuk memonitor
proses pemilu,"
kata Titov kepada mereka. "Mereka terutama mencari tanda-tanda adanya
kecurangan atas surat
suara. Tapi ketua mereka telah mengakui bahwa dengan para pemilih yang begitu
banyak dan
tersebar, tak ada cara untuk mendeteksi setiap ketidakberesan." Titov mengakhiri
laporannya
dengan mengatakan bahwa karena kini Kamerad Zerimski naik ke tempat kedua
dalam jajak
pendapat, Mafya mencurahkan lebih banyak uang lagi ke dalam kampanye
Chernopov.
Zerimski mengusap kumis tebalnya sambil ganti memandang setiap orang yang
duduk di seputar
meja. "Bila aku jadi presiden," katanya sambil bang-
170
kit dari kursi ketua, "akan kujebloskan bangsat-bangsat Mafya itu ke dalam penjara
satu per satu.
Kemudian satu-satunya yang akan dapat mereka hitung dalam sisa hidup mereka
adalah batu." Para
anggota Dewan Sentral telah sering mendengar ketua mereka mencerca Mafya.
walau tak pernah
menyebut nama mereka di muka umum.
Orang yang pendek dan berotot itu menggebrak meja. "Rusia perlu kembali ke nilai-
nilai kuno
yang digunakan seluruh sisa dunia untuk menghormati kita." Dua puluh satu orang
yang duduk
berhadapan dengannya mengangguk, kendati telah mendengar kata-kata itu berkali-
kali selama
beberapa bulan sebelumnya.
"Selama sepuluh tahun kita tak mengerjakan apa-apa kecuali mengimpor yang
terburuk dari
tawaran * Amerika."
Mereka mengangguk terus, dan mata mereka tetap menatap padanya.
Zerimski mengusap rambutnya yang hitam tebal itu, mendesah, dan duduk kembali.
Ia memandang
Kepala Stafnya di seberang meja. "Apa yang harus kukerjakan pagi ini?"
"Mengunjungi Museum Pushkin," jawab Titov. "Kau dinanti pukul sepuluh."
"Batalkan saja. Hanya menyia-nyiakan waktu bila tinggal ada delapan hari sebelum
pemilu." Ia
menggebrak meja lagi. "Aku seharusnya di luar di jalanan, di mana rakyat dapat
melihatku."
"Tapi direktur museum telah mengajukan permohonan dana pada pemerintah untuk
restorasi karya-
karya artis Rusia yang ternama," kata Titov.
171
"Hanya membuang-buang uang rakyat," kata Zerimski.
"Dan Chernopov telah dikritik karena mengebiri subsidi para artis," lanjut Kepala
Staf
"Baiklah. Mereka akan kuberi seperempat jam."
"Dua puluh ribu orang Rusia mengunjungi Pushkin sedap minggu," tambah Titov,
sambil
menyimak catatan yang terketik di depannya.
"Baik. Jadikan setengah jam."
"Dan minggu lalu di televisi, Chernopov menuduhmu sebagai penjahat tanpa
pendidikan."
"Dia apa?" teriak Zerimski. "Aku belajar hukum di Universitas Moskwa ketika
Chernopov masih
menjadi buruh pertanian."
"Tentu saja itu benar, Ketua," kata Titov. "tapi jajak pendapat intern kita
menunjukkan persepsi
publik bukan begitu, dan Chernopov telah dapat menyampaikan pesannya."
"Jajak pendapat intern? Suatu hal yang harus kita syukuri karena jasa orang
Amerika."
"Mereka mendudukkan Tom Lawrence dalam jabat-an.
"Begitu terpilih, aku tak memerlukan jajak pendapat untuk bertahan dalam
jabatanku."
Kecintaan Connor terhadap seni dimulai ketika Maggie mengajaknya mengunjungi
galeri-galeri
ketika mereka masih kuliah Awalnya ia hanya ikut supaya bisa lebih lama bersama
Maggie, tetapi
setelah beberapa minggu ia benar-benar suka. Manakala mereka bepergian ke luar
kota, Connor
sering menemani Maggie ke galeri mana pun yang dipilih Maggie.
Dan begitu pindah ke Washington, mereka menjadi Sahabat Corcoran dan Anggota
Phillips.
Sementara Zerimski diantar Direktur berkeliling di Museum Pushkin, Connor harus
berhati-hati
agar konsentrasinya mengawasi pemimpin Komunis itu tidak dibuyarkan oleh begitu
banyaknya
karya agung.
Ketika pertama kali Connor diutus ke Rusia pada tahun 1980-an, para politisi senior
berada paling
dekat dengan rakyat ialah ketika menatap mereka dari tribun Presidium selama
parade May Day.
Tetapi karena kini massa telah dapat menentukan pilihan dengan kertas suara, tiba-
tiba menjadi
perlu bagi mereka yang ingin dipilih untuk bergerak di antara rakyat, dan bahkan
mendengarkan
pandangan mereka.
Galeri itu penuh pengunjung, seperti Stadion Cooke selama pertandingan Redskins.
Dan di mana
pun Zerimski muncul, kerumunan membelah seolah ia Musa yang sedang
menyeberangi Laut
Merah. Calon presiden itu bergerak pelan di antara orang-orang Moskwa, tidak
menggubris lukisan
dan patung, lebih menanggapi tangan-tangan rakyat yang terulur.
Zerimski lebih pendek daripada di foto. Ia dikelilingi sekelompok ajudan yang lebih
pendek
daripadanya, sehingga kependekannya tidak mencolok. Connor ingat komentar
Presiden Truman
mengenai sosok tubuh: "Bila harus menghitung sampai ke inci-incinya, anakku,
sebaiknya kau
hanya memperhatikan dahi," katanya suatu saat kepada mahasiswa Missouri. "Lebih
baik ada satu
inci jarak antara pucuk hidung dan garis rambut daripada antara mata kaki dan
tempurung lutut."
Connor melihat bahwa kesombongan Zerimski tidak mempengaruhi cita rasa
173
172
berpakaiannya. Potongan setelannya buruk. Kemejanya berjumbai pada kerah dan
manset. Connor
bertanya-tanya apakah bijaksana bila Direktur Pushkin mengenakan setelan jahitan
tangan yang
jelas-jelas bukan buatan Moskwa.
Walau Connor tahu bahwa Victor Zerimski cerdas dan terdidik, segera tampak jelas
bahwa
Zerimski jarang mengunjungi galeri. Sambil bergegas menerobos kerumunan,
kadang-kadang ia
menunjuk ke salah satu kanvas dan dengan lantang memberitahukan nama artisnya
kepada para
penonton. Beberapa kali ia sempat salah menyebut artis, namun orang-orang tetap
mengangguk
setuju. Ia tidak menggubris lukisan Rubens yang mengagumkan, tapi lebih
memperhatikan seorang
ibu yang berdiri dalam kerumunan orang sambil mendekap anaknya. Ia tidak begitu
memperhatikan
bakat yang digunakan untuk melukis adegan yang sama itu di belakang ibu tersebut.
Ketika ia
memilih anak itu dan berpose untuk difoto dengan ibunya, Titov menyarankan
supaya Zerimski
melangkah selangkah ke kanan. Dengan demikian mereka dapat menjepret juga
Perawan Maria
dalam foto. Tak ada halaman depan yang dapat menolaknya.
Begitu telah melalui setengah lusin galeri dan yakin setiap pengunjung Museum
Pushkin sadar
akan kehadirannya, Zerimski bosan dan mengalihkan perhatian kepada para
wartawan yang
mengikutinya. Di tempat pemberhentian di lantai pertama ia mulai mengadakan
konferensi pers
secara improvisasi.
"Lanjutkan menanyakan apa yang kalian suka," katanya sambil menatap kumpulan
nyamuk pers
itu.
"Mr. Zerimski, apa reaksi Anda terhadap jajak
174
pendapat terakhir?" tanya koresponden The Times di Moskwa.
"Menuju ke arah yang benar."
"Anda sekarang berada di tempat kedua, jadi satu-satunya pesaing Mr. Chernopov,"
teriak
wartawan lain.
"Menjelang hari pemilu ia akan menjadi satu-satunya pesaing/:w yang nyata," kata
Zerimski.
Rombongannya tertawa sesuai dengan kewajiban mereka.
"Apakah Anda berpendapat bahwa Rusia harus menjadi negara komunis, Mr.
Zerimski?" muncul
pertanyaan yang tak terhindarkan dengan logat Ame-' rika.
Politisi penuh akal ini terlalu waspada untuk terjerumus ke dalam perangkap itu.
"Bila yang
kaumaksud adalah kembali ke kesempatan kerja yang lebih besar, inflasi yang lebih
rendah, dan
tingkat kehidupan yang lebih tinggi, jawabannya pasti ya." Nadanya mirip kandidat
Partai Republik
dalam pemilihan pendahuluan di Amerika.
"Tapi justru itulah yang diklaim Chernopov sebagai kebijakan pemerintahan
sekarang."
"Kebijakan pemerintahan sekarang ialah," kata Zerimski, "memastikan bahwa
Perdana Menteri
mengalirkan dolar Amerika berlimpah ruah ke rekeningnya di Swiss. Uang itu milik
rakyat Rusia
Makanya ia tak pantas menjadi presiden kita berikutnya. Aku diberitahu bahwa bila
majalah
Fortune edisi berikut menerbitkan daftar sepuluh orang terkaya di dunia, Chernopov
berada di
tempat ketujuh. Pilih dia sebagai presiden dan dalam waktu lima tahun ia akan
menggusur Bill
Gates dari tempat teratas. Tidak, temanku," tambahnya. "Kalian akan tahu bahwa
175
bangsa Rusia secara mencolok akan memilih kembali ke zaman ketika kita menjadi
bangsa paling
terhormat di bumi."
"Dan yang paling ditakuti?" tanya seorang wartawan lain.
"Aku lebih suka demikian daripada meneruskan situasi sekarang, di mana kita jelas
tak digubris
oleh seluruh dunia," kata Zerimski. Kini para wartawan menulis setiap kata Zerimski.
"Mengapa temanmu begitu penuh perhatian pada Zerimski?" bisik Sergei di ujung
lain galeri.
"Kau terlalu banyak tanya," sahut Jackson.
"Zerimski orang jahat."
"Mengapa?" tanya Jackson sambil tetap menatap Connor.
"Bila terpilih ia akan menjebloskan orang-orang seperti aku ke penjara, dan kita
semua akan
kembali ke zaman dulu yang menyenangkan", sementara ia berada di Kremlin makan
kaviar dan
minum vodka."
Zerimski melangkah ke pintu keluar galeri, diikuti direktur dan rombongan yang
mencoba
bersama-sama dengannya. Si calon presiden berhenti di anak tangga terbawah untuk
difoto di
depan lukisan raksasa Goya yang berjudul Kristus Diturunkan dari Salib. Connor
begitu terharu
oleh lukisan itu hingga hampir saja tertabrak kerumunan orang di belakangnya.
"Kau suka Goya, Jackson?" bisik Sergei.
"Aku belum pernah melihat lukisannya sebanyak ini," orang Amerika itu mengakui.
"Tapi ya, aku
suka. Benar-benar luar biasa."
"Masih banyak lagi lainnya di ruang bawah tanah." kata Sergei. "Aku selalu bisa
mengatur untuk
176
satu..." Ia menggosok-gosokkan ibu jarinya ke jari-jari lainnya.
Jackson pasti sudah memborgol anak itu kalau tidak takut akan menarik perhatian
orang-orang itu-
"Orangmu bergerak lagi," tukas Sergei tiba-tiba. Jackson mengangkat muka dan
melihat Connor
menghilang keluar lewat pintu samping galeri dengan dibuntuti Ashley Mitchell.
Connor duduk sendirian di restoran Yunani di Prechinstenka dan memikirkan apa
yang telah ia
lihat pagi itu. Walau selalu dikelilingi segerombolan penjahat, dan mata mereka
jelalatan ke semua
penjuru, Zerimski tetap tidak begitu terlindung sebagaimana kebanyakan para
pemimpin Barat.
Beberapa tukang pukulnya mungkin pemberani dan banyak akal, namun hanya tiga
di antara
mereka yang tampaknya punya pengalaman melindungi para negarawan dunia. Dan
mereka tak
mungkin selalu berdinas sepanjang waktu.
Ia mencoba mengunyah moussaka yang tak begitu enak sambil merunut perjalanan
Zerimski
selanjutnya hingga hari pemilu. Calon presiden ini akan dilihat publik dalam 27
kesempatan
berbeda selama delapan hari berikutnya. Sementara pelayan telah menyajikan kopi
tanpa susu di
depannya, ia telah memilih tiga tempat yang pantas dipertimbangkan bila nama
Zerimski perlu
dihapus dari kertas suara.
la melihat jamnya Malam itu si calon presiden akan memberikan amanat dalam rapat
Partai di
Moskwa. Pagi berikutnya ia akan bepergian naik kereta api ke Yaroslavl, di mana ia
akan
membuka
177
pabrik sebelum kembali ke ibu kota untuk menghadiri pertunjukan Balet Bolshoi.
Dari sana ia akan
naik kereta api malam ke St. Petersburg. Connor telah memutuskan membayangi
Zerimski di
Yaroslavl. Ia juga telah memesan karcis balet dan kereta api ke St. Petersburg.
Sambil meneguk kopinya ia memikirkan Ashley Mitchell di Museum Pushkin.
Ashley Mitchell tiap
kali menyelinap di balik pilar yang terdekat bila Connor mengarahkan pandangan ke
arahnya dan
berusaha untuk tidak tertawa. Connor telah memutuskan membiarkan Mitchell
menguntitnya
selama siang hari—mungkin Mitchell bisa berguna dalam beberapa hal—tetapi ia tak
akan
mengizinkan Mitchell mengetahui di mana ia tidur malam hari. Ia memandang ke
luar jendela,
melihat Atase Militer duduk di bangku sambil membaca koran Pravda. Ia tersenyum.
Seorang
profesional harus selalu mampu mengawasi sasarannya tanpa terlihat.
Jackson mengeluarkan dompet dari saku jas, mengambil lembaran uang seratus
rubel, dan
menyerahkannya kepada si bocah.
"Belikan makanan buat kita berdua. Tapi jangan dekat-dekat restoran sana," katanya
sambil
mengangguk ke seberang jalan.
"Aku belum pernah masuk restoran. Apa yang kausukai?"
"Sama dengan yang kaupilih."
"Kau cepat mengerti, Jackson," kata Sergei sambil buru-buru pergi.
Jackson memeriksa kiri-kanan jalan. Orang yang
178
duduk di bangku membaca Prayda itu tak mengenakan mantel. Jelas ia menganggap
pengawasan
hanya dilaksanakan dalam lingkungan yang hangat dan nyaman. Tetapi karena
kehilangan
Fitzgerald hari sebelumnya, ia tak berani lagi mengambil risiko untuk pindah.
Telinganya merah
terang, wajahnya merona kedinginan, dan tak ada orang lain yang membawakannya
makan.
Jackson meragukan apakah mereka akan melihatnya lagi keesokan harinya.
Sergei kembali beberapa menit kemudian, sambil membawa dua kantong kertas. Ia
memberikan
satu kantong kepada Jackson. "Big Mac dengan kentang goreng dan saus tomat."
"Mengapa aku punya perasaan jika jadi presiden, Zerimski akan menutup toko-toko
McDonald?"
kata Jackson. Digigitnya hamburgernya.
"Kupikir kau perlu ini," kata Sergei sambil menyerahkan topi perwira yang terbuat
dari bulu
kelinci.
"Apa seratus rubel cukup untuk membayar semuanya ini?" tanya Jackson.
"Tidak. Topinya kucuri," sahut Sergei apa adanya. "Kupikir kau lebih memerlukan
daripada dia "
"Kau bisa membuat kita berdua ditahan."
"Tak mungkin," kata Sergei. "Ada dua juta lebih tentara di Rusia. Separonya sudah
berbulan-bulan
tak menerima gaji, dan kebanyakan akan menjual saudara perempuan masing-masing
seharga
seratus rubel."
Jackson mencoba topi itu—pas. Mereka berdua tak berbicara sementara melahap
makan siang
mereka. Mata mereka tertuju ke restoran itu.
179
"Kau lihat orang yang duduk di bangku sambil membaca Pravda itu, Jackson?"
"Ya," sahut Jackson sambil mengunyah.
"Dia di galeri pagi ini."
"Kau juga cepat mengerti, Sergei," kata Jackson.
"Jangan lupa, aku punya ibu Rusia," jawab Sergei. "Omong-omong, orang di bangku
itu berpihak
ke mana?"
"Aku tahu siapa yang menggajinya," kata Jackson, "tapi aku tak tahu ia berpihak ke
mana."
180
Connor termasuk di antara orang-orang terakhir yang tiba di Balai Peringatan Lenin.
Ia duduk di
belakang di bagian khusus untuk pers. Dan ia berusaha membuat dirinya tidak
mencolok sama
sekali. Ia selalu teringat terakhir kali ia harus menghadiri rapat politik di Rusia. Pada
kesempatan
itu ia juga harus mendengarkan calon pemimpin komunis, tetapi waktu itu hanya ada
satu nama
pada kertas suara. Itulah yang mungkin menyebabkan jumlah pemilih hanya 17
persen pada hari
pemilu.
Connor memandang sekeliling ruangan. Walau masih ada waktu seperempat jam lagi
sebelum
calon pemimpin tiba, semua kursi telah diduduki orang, dan gang-gangnya pun
hampir penuh. Di
depan, beberapa petugas berdesakan di atas panggung untuk memastikan segalanya
sesuai dengan
harapan sang pemimpin. Seorang tua menempatkan kursi raksasa di belakang
panggung.
181
Rapat orang-orang yang setia kepada Partai sangat kontras dengan rapat politik di
Amerika Para
utusan, bila mereka memang utusan, berpakaian lusuh. Mereka tampak kurang gizi,
dan duduk
diam menunggu kemunculan Zerimski.
Connor menunduk dan mulai mencatat dalam notesnya. Ia tak ingin terlibat dalam
pembicaraan
dengan wartawati di sebelahnya. Wanita itu telah bercerita kepada koresponden di
sebelahnya lagi
bahwa ia mewakili Istanbul News, satu-satunya koran Inggris di Turki. Dan
redakturnya
berpendapat akan runyam bila Zerimski sampai menjadi presiden. Baru-baru ini ia
telah
melaporkan bahwa calon pemimpin Komunis itu mungkin mampu melaksanakannya.
Jika ia
menanyakan pendapat Connor, Connor akan terpaksa setuju dengannya. Kesempatan
Connor untuk
diminta melakukan tugas itu semakin dipersingkat dengan berjalannya waktu.
Beberapa saat kemudian wartawati Turki itu mulai membuat sketsa potret Zerimski.
Surat kabarnya
jelas tidak mampu membiayai wartawan foto, maka kemungkinan besar harus
mengandalkan jasa-
jasa telegraf dan apa pun yang menjadi usaha wartawati itu. Connor harus mengakui
sketsa itu
sangat mirip dengan aslinya.
Lagi-lagi Connor memeriksa ruangan itu. Apakah mungkin membunuh seseorang
dalam ruangan
yang begitu penuh sesak? Tak mungkin jika kau berharap dapat melarikan diri.
Menembak
Zerimski ketika ia berada dalam mobilnya adalah pilihan lainnya, meskipun tentu
saja
pengamanannya sangat ketat. Tak ada seorang profesional yang akan memper-
182
timbangkan menggunakan bom, yang sering kali berakhir dengan membunuh orang-
orang yang tak
berdosa sementara si target selamat. Jika punya kesempatan melarikan diri, ia akan
mengandalkan
senapan berkekuatan tinggi di udara terbuka. Nick Gutenburg telah memastikan
kepadanya bahwa
sebuah Remington 700 pesanan telah aman tersedia di Kedubes Amerika Serikat
lama sebelum ia
tiba di Moskwa. Ini merupakan penyalahgunaan lain kantong diplomatik. Jika
Lawrence yang
memberi perintah, mereka akan membiarkannya menentukan tempat dan waktunya.
Karena sekarang telah mempelajari jadwal perjalanan Zerimski secara terperinci,
Connor
menjatuhkan pilihan pertamanya pada Severodvinsk, di mana pemimpin Komunis itu
akan
berpidato dalam rapat di galangan kapal dua hari sebelum pemilihan. Connor telah
mulai
mempelajari berbagai derek yang digunakan di dermaga-dermaga Rusia dan
kemungkinan untuk
tetap bersembunyi di dalam salah satunya selama waktu yang lama.
Kepala orang-orang berpaling ke belakang, dan Connor memandang sekeliling.
Segerombolan
orang dengan setelan berpotongan buruk dan tonjolan di bawah ketiak memenuhi
belakang
ruangan. Mereka selayang pandang memeriksa ruangan sebelum pemimpin mereka
masuk.
Connor dapat melihat bahwa metode mereka primitif dan tak efisien. Tetapi
sebagaimana semua
pasukan keamanan, mereka kemungkinan besar berharap kehadiran mereka dan
jumlah mereka
membuat setiap orang berpikir dua kali sebelum mencoba macam-
183
macam. Ia memeriksa wajah-wajah itu—ketiga profesional itu kembali bertugas lagi.
Tiba-tiba tepuk tangan riuh meledak di belakang, diikuti sorak-sorai. Ketika Zerimski
masuk, para
anggota Partai bangkit serentak untuk mengelu-elukan pemimpin mereka. Bahkan
para wartawan
pun terpaksa berdiri supaya dapat melihatnya sekilas. Perjalanan Zerimski menuju
panggung
berkali-kali terhenti, ia menyambut tangan-tangan yang terulur. Ketika akhirnya ia
tiba di
panggung, kegaduhan hampir memekakkan telinga.
Ketua yang sudah tua, yang menanti dengan sabar di depan ruangan, mempersilakan
Zerimski
menaiki tangga ke panggung, menuju ke kursi besar. Begitu Zerimski duduk, ketua
itu berjalan
pelan ke mikrofon. Para hadirin duduk kembali dan diam.
Si ketua tidak berhasil baik dalam memperkenalkan "Presiden Rusia yang akan
datang". Dan
semakin lama ia berbicara, para hadirin semakin gelisah. Rombongan Zerimski yang
berdiri di
belakangnya mulai resah dan tampak bosan. Sanjungan akhir orang tua itu ialah
melukiskan
pembicara sebagai "pengganti Kamerad Vladimir Ilyich Lenin yang sejati". Ia berdiri
di samping
untuk memberi jalan kepada sang pemimpin yang tak tampak begitu yakin bahwa
Lenin adalah
perbandingan paling sesuai yang bisa dipibh.
Ketika Zerimski bangkit dari kursi di belakang panggung dan berjalan pelan ke
depan, massa
kembali hidup. Ia mengangkat tangan tinggi-tinggi dan mereka mengelu-elukannya
lebih riuh lagi.
Mata Connor tak pernah meninggalkan Zerimski.
184
Dengan cermat ia mencatat setiap gerakannya ai < nya berdiri, sikap tubuhnya.
Seperti semua orang
energik, ia hampir tak pernah dapat diam sesaat pun.
Setelah merasa sorak-sorai itu cukup lama, ia melambai kepada hadirin agar duduk
kembali.
Connor mencatat bahwa seluruh proses itu dari mula hingca akhir hanya berlangsung
tiga menit
lebih sedikit
Zerimski baru mulai bicara begitu semua orang telah duduk kembali dan suasana
benar-benar
hening.
"Para kamerad," ia memulai dengan suara tegas, "suatu kehormatan besar bagi saya
boleh berdiii di
sini di depan kalian sebagai calon presiden. Hari berganti hari. saya semakin sadar
bahwa Rusia
menuntut suatu permulaan segar kembali. Walau beberapa warga negara
menginginkan kembali ke
rc/im totaliter lama, mayoritas menghendaki pembagian ke makmuran yang lebih
adil yang telah
diciptakan oleh keterampilan dan kerja keras mereka. " Hadirin mulai bertepuk
tangan lagi.
"Janganlah kita lupa," lanjut Zerimski, "bahwa Rusia dapat kembali menjadi negara
paling
dihormati di dunia. Negara-negara lain yang meragukan hal itu akan mengalami
bahaya sendiri
selama masa kepresidenan saya."
Para wartawan cepat-cepat mencatatnya dengan marah, dan para hadirin bersorak
lebih riuh lagi.
Ini berlangsung sekitar dua puluh detik sebelum Zerimski bisa meneruskan pidato.
"Lihatlah jalan-jalan di Moskwa, para kamerad. Ya, kalian akan melihat Mercedes,
BMW, dan
Jaguar. Tapi siapa yang mengendarai? Hanya segelintir orang yang
185
punya hak istimewa. Dan merekalah yang mengharapkan Chernopov akan dipilih
sehingga mereka
dapat melanjutkan menikmati gaya hidup yang tak seorang pun dalam ruangan ini
dapat
menandinginya. Saatnya telah tiba, para kamerad, untuk kemakmuran ini—
kemakmuran kalian—
yang dapat dibagi di antara banyak orang, tak hanya di antara segelintir orang. Saya
menanti-
nantikan hari ketika Rusia tidak lagi memiliki limusin lebih banyak daripada mobil-
mobil keluarga,
lebih banyak kapal pesiar daripada perahu nelayan, dan lebih banyak rekening
rahasia di Swiss
daripada rumah sakit."
Sekali lagi para hadirin menyambut kata-katanya dengan tepuk tangan
berkepanjangan.
Setelah gemuruh itu mereda, Zerimski memperlembut suaranya, tetapi tiap kata
masih sampai ke
belakang ruangan. "Bila saya menjadi presiden kalian, saya tidak akan membuka
rekening bank di
Swiss, tapi membuka pabrik-pabrik di seluruh Rusia. Saya tidak akan menghabiskan
waktu dengan
bersantai di bungalo mewah, melainkan akan bekerja siang-malam di kantor. Saya
akan
mengabdikan diri untuk melayani kalian, dan sudah lebih dari puas dengan gaji
presiden. Saya
tidak menerima suap dari para pengusaha tak jujur, yang hanya punya kepentingan
merampas aset
bangsa."
Kali ini tepuk tangan sedemikian antusias hingga Zerimski baru dapat bicara lagi
setelah
berlangsung semenit lebih.
"Di bagian belakang ruangan ini," katanya sambil menudingkan telunjuk gemuknya
ke arah
kelompok wartawan, "ada para wakil pers dunia." Ia berhenti,
186
mencibir, dan melanjutkan, "Saya sungguh gembira menyambut mereka."
Ucapan khusus ini tidak diikuti tepuk tangan. "Namun, biarkan saya mengingatkan
mereka bahwa
bila saya jadi presiden, mereka perlu berada di Moskwa tidak hanya selama masa
persiapan pemilu,
tapi seterusnya. Sebab Rusia tidak lagi mengharapkan sedekah bila Kelompok Tujuh
bertemu, tapi
sekali lagi akan menjadi peserta besar dalam peristiwa global. Bila Chernopov
terpilih, orang-orang
Amerika akan lebih memperhatikan pandangan Meksiko dari pada pandangan Rusia.
Di kemudian
hari, Presiden Lawrence harus mendengarkan apa yang kalian katakan, dan tidak
hanya melenakan
pers dunia dengan mengatakan betapa ia menyayangi Boris."
Tawa terbahak-bahak tersebar di seluruh ruangan. "Ia boleh memanggil semua orang
dengan nama
depan, tapi akan memanggil saya dengan 'Mr. President'."
Connor tahu bahwa media Amerika akan melaporkan ucapan itu dari pantai ke
pantai, dan setiap
kata dari pidato itu akan diberondongkan ke Ruang Oval.
"Tinggal delapan hari lagi, para kamerad, dan rakyat akan menentukan," kata
Zerimski. "Marilah
kita habiskan setiap saat dalam masa itu untuk memastikan kita memperoleh
kemenangan gemilang
di hari pemilihan. Suatu kemenangan yang akan menyebarkan amanat kepada
seluruh dunia bahwa
Rusia telah kembali menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan di panggung
dunia." Suaranya
mulai meninggi kata demi kata. "Tapi jangan lakukan itu
187
untuk saya, bahkan jangan untuk Partai Komunis. Lakukanlah untuk orang-orang
Rusia generasi
berikut yang akan mampu memainkan peran sebagai bangsa terbesar di bumi. Bila
kalian telah
memberikan suara, kalian hanya melakukan itu karena tahu kita sekali lagi
membiarkan rakyat
menjadi kekuatan pendukung bangsa." Ia berhenti, mengedarkan pandang kepada
hadirin. "Hanya
satu yang saya minta—hak istimewa untuk memimpin rakyat ini." Ia memperlembut
suaranya
hingga nyaris berbisik, dan mengakhiri pidatonya, "Saya akan mengabdikan diri pada
kalian."
Zerimski mundur selangkah dan mengangkat tangan tinggi-tinggi. Hadirin bangkit
serempak.
Sambutan akhir yang menggebu-gebu itu berlangsung selama 47 detik, dan tak sesaat
pun ia tinggal
diam. Mula-mula ia bergerak ke kanan, kemudian ke kiri. Tiap kali sambil
mengangkat tangan
kanan, kemudian tangan kiri, tapi masing-masing hanya beberapa detik. Kemudian ia
membungkuk
dalam-dalam. Setelah tak bergerak beberapa detik, tiba-tiba ia berdiri tegak dan ikut
bertepuk
tangan.
Ia tetap di tengah panggung selama sebelas menit; lagi-lagi mengulangi beberapa
gerakan itu.
Ketika merasa telah menuai seluruh tepuk tangan yang dapat ia perpanjang dari para
hadirin, ia
menuruni tangga panggung diikuti rombongannya. Sementara ia berjalan menuju
jalan tengah,
suara gemuruh semakin keras, dan semakin banyak tangan yang diulurkan. Selama
berjalan pelan-
pelan itu, Zerimski menjabat sebanyak mungkin tangan. Mata Connor tak pernah
meninggalkannya
sesaat pun. Bahkan setelah Zerimski meninggalkan ruangan itu, sorak-sorai masih
ber-
188
langsung terus. Baru setelah hadirin mulai pergi, sorak itu berhenti.
Connor telah mencatat berbagai ciri gerakan kepala dan tangan, sikap-sikap kecil
yang kerap kali
diulang-ulang. Ia telah dapat melihat bahwa gerakan-gerakan tertentu secara teratur
mengiringi
kalimat-kalimat tertentu. Dan ia tahu ia segera dapat mengantisipasi semuanya itu.
"Temanmu baru saja pergi," kata Sergei. "Aku ikuti dia?"
"Tak perlu," sahut Jackson. "Kita tahu di mana dia menginap. Perhatikan saja si
brengsek yang
beberapa langkah di belakangnya akan diputar-putarkan selama sejam atau lebih."
"Lalu apa yang kita kerjakan?" tanya Sergei.
"Tidur sajalah. Aku punya perasaan besok akan jadi hari panjang."
"Kau belum membayarku untuk hari ini," kata Sergei sambil mengulurkan tangan.
"Sembilan jam
dengan tarif 6 dolar per jam, jadi 54 dolar."
"Kupikir ini delapan jam dengan tarif 5 dolar per jam," kata Jackson. "Tapi usahamu
bagus." la
menyerahkan 40 dolar kepada Sergei.
"Dan besok?" tanya partner muda itu setelah menghitung dan mengantongi uang itu.
"Jam berapa
aku kauperlukan?"
"Temuilah aku di luar hotelnya pukul lima. Jangan terlambat. Kuperkirakan kita akan
mengikuti
Zerimski dalam perjalanan ke Yaroslavl, lalu kembali ke Moskwa sebelum
melanjutkan ke St.
Petersburg."
"Kaii beruntung, Jackson. Aku lahir di St. Petersburg, dan tak ada satu pun yang tak
kuketahui di
189
sana. Tapi ingat, bayarannya dua kali lipat di luar
M "Kr'urhu, Sergei, bila kau terus-menerus seperti ini, tak lama lagi kau sendiri
takkan laku d,
pasaran karena kemahalan."
190
BAB EMPAT BELAS
Maggie mengendarai mobil keluar area parkir universitas pukul 13.01. Ia berbelok
kiri masuk ke
Prospect Street. Ia hanya mengerem sebentar pada tanda stop pertama kemudian
meluncur cepat. Ia
selalu hanya memerlukan waktu satu jam untuk makan siang. Bila gagal menemukan
tempat parkir
dekat restoran itu, berarti akan memperpendek waktu mereka bersama. Dan hari ini
ia memerlukan
setiap menit dari jam tersebut.
Jika ia mengambil istirahat siang hari, tak ada seorang pun dari staf Kantor
Penerimaan yang akan
mengeluh. Tapi setelah bekerja untuk* universitas selama 28 tahun—enam tahun
terakhir sebagai
ketua Penerimaan—jika ia mengajukan klaim waktu lembur berlaku surut, ketua
Universitas
Georgetown terpaksa melancarkan imbauan khusus untuk minta bantuan.
Setidaknya hari ini para dewa memihaknya. Seorang wanita sedang mengeluarkan
mobil dari
tempat
191
parkir beberapa meter dan restoran di mana mereka sepakat untuk bertemu. Maggie
memasukkan
empat keping 25 sen ke lubang meteran untuk membayar parkir satu jam.
Ketika memasuki Kafe Milano. Maggie menyebutkan namanya kepada kepala
pelayan. "Ya, tentu
saja, Mrs. Fitzgerald." Si kepala pelayan mempersilakannya menuju meja dekat
jendela untuk
bergabung dengan seseorang yang dikenal tak pernah terlambat dalam hal apa pun.
Maggie mencium perempuan yang telah menjadi sekretaris Connor selama sembilan
belas tahun
dan duduk berhadapan dengannya. Mungkin sekali Joan mencintai Connoi
sebagaimana ia
mencintai setiap pria. Dan untuk cintanya itu ia tak pernah mendapat balasan lebih
daripada
sekadar kecupan sekali-sekali di pipi dan hadiah Natal yang akhirnya dibelikan
Maggie. Joan
belum berusia lima puluh, namun gaun wol yang pantas, sepatu datar, dan rambut
cokelatnya yang
terpotong pendek mengungkapkan bahwa ia telah lama tidak lagi berusaha untuk
menarik lawan
jenis.
"Aku sudah memutuskan," kata Joan.
"Aku tahu apa yang harus kulakukan," sahut Maggie.
"Apa kabar, Tara?" tanya Joan sambil menutup menu.
"Masih berkeliaran di sana, seperti kata-katanya sendiri. Aku hanya berharap semoga
ia
menyelesaikan tesisnya. Walau takkan pernah mengatakan sesuatu pada Tara,
Connor akan sangat
kecewa bila Tara tidak menyelesaikannya."
192
"Connor membicarakan Stuart dengan hangat," kata Joan ketika pelayan berdiri di
sampingnya.
"Ya," kata Maggie agak sendu. "Tampaknya aku harus membiasakan diri dengan
gagasan bahwa
anakku satu-satunya akan tinggal 21.000 kilometer jauhnya." Ia mendongak
memandang pelayan.
"Aku pesan annelloni dan salad."
"Dan aku pesan pasta angel-hair," kata Joan.
"Dan minumannya apa, ladiesT tanya pelayan penuh harap.
"Tidak, terima kasih," sahut Maggie tegas. "Hanya segelas air." Joan mengangguk
setuju.
"Ya, Connor dan Stuart memang cocok," kata Maggie begitu si pelayan pergi. "Stuart
akan datang
merayakan Natal bersama kami. Jadi kau berkesempatan berjumpa dengannya."
"Aku menunggu-nunggu kesempatan itu," kata Joan.
Maggie merasa Joan akan menambahkan sesuatu, tetapi setelah bertahun-tahun ia
tahu Joan tidak
perlu didesak. Jika itu sesuatu yang penting, Joan akan memberitahukannya bila
sudah siap.
"Beberapa hari akhir-akhir ini aku mencoba meneleponmu. Kuharap kau mau ikut
nonton opera
atau datang ke rumah untuk makan malam, tapi kelihatannya aku selalu kecele."
"Sekarang sesudah Connor pergi, kantor di M Street ditutup. Dan aku dipindahkan
kembali ke
markas besar," kata Joan.
Maggie mengagumi pilihan kata-kata Joan yang sangat hati-hati. Tak ada petunjuk di
mana. ia telah
193
bekerja. Tak menyebutkan untuk siapa, dan tak ada isyarat mengenai tanggung
jawabnya yang baru
setelah kini ia tak lagi dengan Connor.
"Bukan merupakan rahasia lagi bahwa kau akhirnya akan bergabung dengan Connor
di Washington
Provident," kata Maggie.
"Aku suka itu, tapi tak ada gunanya merencanakan sesuatu bila belum tahu apa yang
sedang
terjadi."
"Apa maksudmu dengan 'yang sedang terjadi'?" tanya Maggie. "Connor telah
menerima tawaran
Ben Thompson. Ia harus kembali sebelum Natal. Jadi ia bisa mulai pekerjaan baru
pada permulaan
Januari."
Disusul hening lama. Akhirnya Maggie berkata tenang, "Jadi, bagaimanapun, dia tak
jadi
memperoleh pekerjaan di Washington Provident."
Pelayan datang menyajikan makanan. "Sedikit keju Parmesan, Madam?" tanyanya
sambil
meletakkan makanan di meja.
"Terima kasih," kata Joan sambil memandangi pasta.
"Jadi itulah sebabnya Ben Thompson bersikap dingin padaku di opera Kamis lalu. Ia
bahkan tak
menawarkan membelikanku minuman."
"Maaf," kata Joan ketika pelayan pergi. "Aku hanya mengandaikan kau telah tahu."
"Jangan khawatir. Connor pasti memberitahuku begitu telah mendapatkan
wawancara lain.
Kemudian ia akan mengatakan itu pekerjaan yang jauh lebih baik daripada pekerjaan
yang
ditawarkan Washington Provident."
"Kau benar-benar mengenal Connor," kata Joan.
"Kadang-kadang aku bertanya-tanya apakah aku
194
mengenalnya benar-benar," kata Maggie. "Sekarang ini aku tak tahu sama sekali di
mana dia atau
apa yang dikerjakannya."
"Aku juga tak tahu lebih banyak daripada kau," kata Joan. "Untuk pertama kalinya
setelah sembilan
belas tahun ini ia tak memberiku penjelasan sebelum pergi."
"Kali ini lain kan, Joan?" kata Maggie sambil memandang lurus kepadanya.
"Apa yang menyebabkanmu bilang begitu/"
"Ia memberitahuku akan bepergian ke luar negeri, tapi tak membawa paspornya. Aku
memperkirakan ia masih di Amerika. Tapi mengapa..."
"Tak membawa paspornya tak membuktikan ia tidak di luar negeri," kata Joan.
"Mungkin tidak," kata Maggie. "Tapi ini pertama kalinya ia menyembunyikannya di
tempat ia tahu
aku akan menemukannya."
Beberapa menit kemudian pelayan muncul lagi dan mengangkat piring-piring.
"Apakah ada yang menghendaki dessertV tanyanya.
"Aku tidak," sahut Joan. "Kopi saja."
"Aku juga," tambah Maggie. "Kopi tanpa susu, tanpa gula." Ia melihat jamnya,
waktunya tinggal
enam belas menit. Ia mengatupkan bibir. "Joan, aku belum pernah memintamu
menyalahi
kepercayaan selama ini. Tapi ada sesuatu yang harus kuketahui."
Joan memandang ke luar jendela, ke arah pemuda tampan yang empat puluh menit
yang lalu
bersandar-kan pada tembok di seberang jalan. Ia merasa pernah melihatnya di tempat
lain.
195
Ketika meninggalkan restoran pukul 13.53, Maggie tidak tahu pemuda itu
mengambil ponsel dan
menghubungi nomor yang tidak terdaftar.
"Ya?" sahut Nick Gutenburg.
"Mrs. Fitzgerald baru saja selesai makan siang dengan Joan Bennett di Kafe Milano
di Prospect.
Mereka bersama-sama selama 47 menit. Aku telah merekam seluruh percakapan
mereka."
"Bagus. Serahkan pita itu ke kantorku sesegera mungkin."
Ketika Maggie lari menaiki tangga ke Kantor Penerimaan, lonceng di halaman
universitas
menunjukkan pukul 13.59.
Di Moskwa pukul 21.59. Connor sedang menikmati babak akhir Giselle yang
dipergelarkan oleh
Balet Bolshoi. Tetapi tidak seperti kebanyakan para hadirin, ia tidak mengarahkan
teropong opera
kepada tarian anggun prima balerina. Kadang-kadang ia memandang ke bawah
sebelah kanan dan
memeriksa apakah Zerimski masih ada di boksnya. Connor tahu betapa Maggie akan
menikmati
Dansa Wilis, semangat ke-36 mempelai muda bergaun pengantin dan berdansa
berputar-putar
dalam cahaya bulan. Ia mencoba tak terpesona oleh plie dan arabesque mereka serta
memusatkan
perhatian kepada apa yang terjadi dalam boks Zerimski. Maggie sering nonton balet
bila Connor ke
luar kota. Ia pasti senang tahu bahwa dalam satu malam Pemimpin Komunis Rusia
telah berhasil
melakukan apa yang gagal dilaksanakannya selama tiga puluh tahun.
Connor mengamati orang-orang dalam boks. Di
196
k inan Zerimski adalah Dmitri Titov, Kepala Stafnya. Di kirinya duduk orang tua
yang
memperkenalkan /crimski sebelum berpidato malam sebelumnya. Di belakangnya
dalam bayangan
berdirilah tiga penjaga. Connor memperkirakan pasti ada paling sedikit selusin
penjaga lagi di
koridor di luar.
Teater besar dengan balkon-balkon indah bertingkat dan deretan kursi keemasan
berselubungkan
beledu merah, karcisnya sudah terjual habis beberapa minggu sebelumnya. Tapi teori
Maggie juga
berlaku di Moskwa—orang selalu dapat memperoleh satu tiket, bahkan di saat
terakhir.
Beberapa saat sebelum dirigen, tiby di tempat orkestra, sebagian hadirin mulai
bertepuk tangan.
Connor mendongak dari susunan acara dan melihat satu-dua orang menunjuk ke boks
di tingkat
kedua Zerimski telah mengukur ketepatan waktu masuk secara sempurna. Ia berdiri
di depan boks
sambil melambai-lambai dan tersenyum. Setengah hadirin berdiri dan bersorak riuh.
sedangkan
yang lain tetap duduk. Beberapa orang bertepuk tangan dengan santun, yang lain
melanjutkan
pembicaraan mereka seolah Zerimski tak ada di sana. Ini tampaknya memastikan
ketepatan jajak
pendapat bahwa Chernopov kini mengungguli pesaingnya dengan beberapa persen.
Begitu tirai diangkat. Connor segera tahu Zerimski menunjukkan perhatian terhadap
balet sama
besarnya seperti terhadap seni. Hari itu juga merupakan hari yang panjang bagi sang
calon
presiden, maka Connor tidak kaget melihat Zerimski kadang-kadang menutup mulut
bila menguap.
Pagi-pagi benar hari itu kereta apinya telah berangkat ke Yaroslavl, dan ia langsung
197
memulai acara kerja dengan kunjungan ke pabrik pakaian di pinggiran kota. Ketika
meninggalkan
para petugas serikat buruh sejam kemudian, ia telah makan sandwich sebelum masuk
pasar buah-
buahan. Kemudian ke sekolah, ke pos polisi, dan ke rumah sakit. Diikuti dengan
jalan-jalan yang
tanpa dijadwalkan di alun-alun kota. Akhirnya dia diantar kembali ke stasiun dengan
cepat dan naik
kereta api yang ditahan keberangkatannya untuknya.
Ajaran yang disebarluaskan Zerimski kepada semua orang yang mau mendengarkan,
tidak berubah
banyak dari hari sebelumnya. Kecuali bahwa "Moskwa" diganti dengan "Y^ruaiavl".
Bangsat-
bangsat yang mengerumuninya ketika berkeliling di pabrik tampak lebih amatiran
lagi daripada
yang mengikutinya ketika mengadakan pidato di Balai Peringatan Lenin. Sudah jelas
bangsat-
bangsat setempat tak akan mengizinkan bangsat Moskwa memasuki daerah mereka.
Connor
menyimpulkan bahwa usaha untuk menghabisi Zerimski mungkin akan jauh lebih
berhasil di luar
ibu kota. Harus dilaksanakan di kota yang cukup besar untuk bisa menghilang di
dalamnya, dan
juga cukup bangga untuk tidak mengizinkan tiga orang profesional itu mendikte
mereka.
Kunjungan Zerimski ke galangan kapal di Severodvinsk beberapa hari lagi tetap
merupakan
taruhan terbaiknya.
Bahkan di kereta api dalam perjalanan kembali ke Moskwa, Zerimski tidak istirahat.
Ia
mengundang para wartawan asing ke gerbongnya dan mengadakan konferensi pers
lagi. Tetapi
sebelum ada yang mengajukan pertanyaan, ia berkata, "Kalian sudah melihat
198
pijak pendapat terakhir dengan hasil aku jauh mengungguli Jenderal Borodin dan
sekarang
mengejar C hernopov hanya dengan selisih satu poin?"
"Tapi sebelum ini Anda selalu mengatakan tak menggubris jajak pendapat," kata
salah seorang
wartawan dengan berani. Zerimski cemberut.
Connor berdiri di belakang perdebatan ini dan letap mengamati sang calon presiden.
Ia tahu harus
mengantisipasi setiap ekspresi, gerakan, dan sikap /erimski, juga harus dapat
menyampaikan
pidatonya ata demi kata.
Ketika kereta api berhenti di Stasiun Protsky empat iam kemudian, Connor merasa
ada orang lain
lagi yang mengawasinya selain Mitchell. Setelah 28 tahun, dugaannya jarang meleset
mengenai
hal-hal ini. Ia mulai bertanya-tanya apakah Mitchell tidak terlalu mencolok, dan
mungkin ada orang
yang lebih profesional di sana. Bila ada, apa mau mereka? Pagi tadi ia merasa
seseorang atau
sesuatu telah melintasi lalannya dan tidak ia ketahui sebelumnya. Ia memang tidak
menyukai
ketakutan, tetapi seperti semua para profesional, ia tak mempercayai adanya
kebetulan-kebetulan.
Ia meninggalkan stasiun dan kembali ke hotelnya dengan jalan memutar. Ia yakin tak
seorang pun
mengikutinya, tetapi memang tidak perlu bila mereka telah tahu di mana dia tinggal.
Ia mencoba
menghalau gagasan tersebut dari benaknya sambil mengemasi tas. Malam ini ia akan
menghilang
dari orang yang mengikutinya. Siapa pun dia. Kecuali sudah barang tentu bila
mereka telah tahu ia
akan ke mana. Bagaimanapun, bila mereka telah tahu mengapa ia
199
berada di Rusia, mereka tinggal mengikuti perjalanan Zerimski. la keluar dari
hotelnya beberapa
menit kemudian Dan membayar rekening dengan uang tunai.
la telah berganti taksi lima kali sebelum akhirnya minta diturunkan di luar teatei Ia
menitipkan
tasnya di lantai bawah tanah pada wanita tua yang duduk di depan gerai, dan
menyewa teropong
opera. Ia memastikan kepada petugas manajemen bahwa ia akan mengembalikan
teropong opera
tersebut.
Ketika tirai akhirnya diturunkan pada akhir pertunjukan, Zerimski bangkit dan
melambai sekali lagi
kepada para hadirin. Tanggapan hadirin tidak begitu antusias seperti sebelumnya.
Tapi Connor
berpendapat Zerimski harus meninggalkan kesin bahwa kunjungannya ke teater
Bolshoi memang
pantas dilaksanakan. Sambil berjalan menuruni tangga teater ia memberitahu para
hadirin dengan
lantang bahwa ia sangat menikmati penampilan gemilang Ekaterina Maximova.
Sederetan mobil
menunggunya bersama rombongan. Dan ia naik ke dalam mobil ketiga. Arak-arakan
mobil-dan
pengawal polisi mengangkutnya ke kereta api lain yang menunggu di stasiun lain.
Connor mencatat
bahwa jumlah sepeda motor pengawal diperbanyak dari dua menjadi empat
Orang-orang lain jelas mulai berpikir ia mungkin akan menjadi presiden berikutnya.
Connor tiba di stasiun beberapa menit sesudah Zerimski. Ia menunjukkan kartu pers
kepada
petugas keamanan, kemudian baru membeli karcis kereta api pukul 11.59 ke St.
Petersburg.
Begitu masuk ke kompartemen tidurnya, ia mengunci pintu, menyalakan lampu di
atas tempat
tidur, ilan mulai mempelajari jadwal kunjungan Zerimski ke St. Petersburg.
Di dalam gerbong di ujung lain kereta api, sang alon presiden juga memeriksa jadwal
itu bersama
Kepala Staf.
"Lagi-lagi hari penuh acara dari pagi buta hingi'.i irut malam," ia menggerutu. Dan
itu sebelum
Titov menambahkan kunjungan ke Hermitage.
"Mengapa aku mesti bersusah payah mengunjungi Hermitage bila cuma beberapa
jam di St.
Petersburg'"
"Karena kau telah mengunjungi Pushkin, dan tidak mengunjungi museum paling
terkenal di Rusia
nu upakan hinaan paoa warga St. Petersburg."
"Syukurlah kita pergi sebelum tirai di Kirov di naikkan."
Zerimski tahu pertemuan terpenting hari itu ialah ertemuan dengan Jenderal Borodin
dan komandan
unggi militer di Barak Kelskow. Jika ia dapat meyakinkan Jenderal untuk
mengundurkan diri dari
pen calonan presiden dan mendukungnya, para militer-liampir dua setengah juta
orang—pasti akan
menyeberang kepadanya. Dan dialah yang akan mendapat kan hadiah. Dia
merencanakan
menawarkan posisi Menteri Pertahanan kepada Borodin, tetapi kemudian tahu
Chernopov telah
menjanjikan jabatan yang sama kepadanya. Ia tahu Chernopov harus bertemu dengan
Jenderal hari
Senin sebelumnya, dan telah pergi dengan tangan kosong. Zerimski memandang ini
sebagai tanda
baik. Ia bermaksud menawarkan kepada Borodin sesuatu yang tak mungkin
ditolaknya.
201
200
Connor juga menyadari pertemuan hari berikutnya dengan pemimpin militer
mungkin akan
menentukan nasib Zerimski. Ia mematikan lampu di atas tempat tidur pukul dua
lewat beberapa
memt. Dan segera tertidur.
Mitchell telah mematikan lampu saat kereta api keluar stasiun, tapi tidak tidur.
Sergei tak dapat menyembunyikan antusiasmenya ketika memikirkan akan bepergian
dengan kereta
api cepat Protsky. Ia mengikuti partnernya ke dalam kompartemen seperti anak
anjing yang
kegirangan. Ketika Jackson membuka pintu, Sergei berteriak, "Ini lebih besar
daripada flatku." Ia
melompat ke salah satu tempat tidur, melepas sepatunya, dan menarik selimut tanpa
susah-susah
melepas salah satu pakaiannya lebih dulu. "Menghemat cuci muka dan ganti
pakaian," jelasnya
ketika Jackson menyampirkan jas dan pantalon pada kawat gantungan tertipis yang
pernah ia lihat.
Ketika orang Amerika itu mempersiapkan tempat tidurnya, Sergei mengusap jendela
beruap dengan
sikunya dan membuat lingkaran di mana ia bisa mengintai ke luar. Ia tak berkata
sepatah kata pun
hingga kereta api pelan-pelan bergerak keluar stasiun.
Jackson naik ke tempat tidurnya dan mematikan lampu.
"Berapa kilometer ke St. Petersburg, Jackson?" "Enam ratus tiga puluh." "Dan berapa
lama sampai
sana?" "Delapan setengah jam. Besok kita juga menghadapi hari panjang, jadi
cobalah tidur."
Sergei mematikan lampunya, tapi Jackson tetap
202
terjaga. Kini ia tahu pasti mengapa sahabatnya dikirim ke Rusia. Jelas Helen Dexter
tidak
menghendaki Connor jadi penghalang, tapi Jackson masih juga belum tahu seberapa
jauh Helen
akan bertindak untuk menyelamatkan diri.
Ia telah mencoba menghubungi Andy Lloyd siang tadi dengan ponselnya, tetapi tak
dapat
tersambung, la tidak mau mengambil risiko menelepon dari hotel, maka ia
memutuskan
mencobanya lagi setelah Zerimski mengucapkan pidato di Lapangan Kemerdekaan
hari berikutnya.
Menjelang saat itu Washington sudah bangun. Begitu Lloyd tahu apa yang edang
terjadi, Jackson
pasti diberi kewenangan untuk menggagalkan seluruh operasi itu sebelum terlambat,
la
memejamkan mata.
"Kau punya istri, Jackson?"
"Tidak, sudah cerai," jawabnya.
"Sekarang perceraian tiap tahun di Rusia lebih banyak daripada di Amerika. Apa kau
tahu itu,
Jackson?"
"'Tidak. Tapi aku sudah sadar, selama beberapa hari ini semua jenis informasi yang
kaubawa-bawa
dalam kepalamu itu tak berguna."
"Bagaimana dengan anak? Kau punya anak?"
"Tidak," sahut Jackson. "Aku kehilangan..."
"Mengapa kau tak mengadopsiku? Lalu aku akan kembali ke Amerika bersamamu."
"Kupikir Ted Turner pun tak sanggup mengadopsimu. Sekarang tidurlah, Sergei."
Disusul hening lama lagi.
"Satu pertanyaan lagi ya, Jackson?"
"Katakan bagaimana aku dapat menghentikanmu."
203
"Mengapa orang ini begitu penting bagimu?" Jackson menunggu beberapa saat,
kemudian mei
jawab, "Dua puluh sembilan tahun lalu ia menyelamatkanku di Vietnam. Jadi kukira
bisa dibilang
aku berutang nyawa padanya selama bertahun-tahun. Apa itu masuk akal?"
Sergei sebenarnya ingin menjawab, tapi ia telah tertidur nyenyak.
204
BAB LIMA BELAS
Vladimir bolchenkov, kepala polisi St. Petersburg, lelah cukup banyak pikiran tanpa
harus
mencemaskan 'mpat telepon misterius yang masuk. Chernopov lelah mengunjungi
kota itu hari
Senin dan memacetkan lalu lintas, karena menuntut supaya arak-arakan mobilnya
sama panjang
dengan arak-arakan mobil mendiang Presiden.
Borodin menolak mengizinkan orang-orangnya meninggalkan barak sebelum digaji.
Dan karena
sekarang tampaknya ia ketinggalan dalam persaingan menjadi presiden, desas-desus
akan adanya
kup militer muncul ke permukaan kembali. "Tidaklah sulit mengetahui kota mana
yang akan
diduduki lulu oleh Borodin," Bolchenkov mengingatkan Wali Kota. la telah
membentuk satu
pasukan penuh untuk menangani ancaman terorisme selama kampanye pemilihan.
Bila salah
seorang calon akan dibunuh, I mganlah sampai terjadi di wilayahnya. Dalam
205
minggu itu saja pasukan tersebut telah menerima 27 ancaman pembunuhan atas
Zerimski. Kepala
Polisi menganggap ancaman-ancaman tersebut sebagai tindakan orang aneh dan gila
seperti
biasanya— hingga pagi itu seorang, letnan muda buru-buru masuk kantor, pucat pasi
dan bicaranya
terlampau cepat.
Kepala Polisi duduk dan mendengarkan rekaman yang dibuat oleh si letnan beberapa
saat
sebelumnya. Telepon pertama masuk pukul 09.24, jadi 51 menit setelah Zerimski
tiba di kota itu.
"Akan ada usaha pembunuhan terhadap Zerimski siang ini," kata suara laki-laki
dengan logat yang
tak dikenali Bolchenkov. Eropa Tengah, mungkin; yang pasti bukan Rusia.
"Sementara Zerimski berpidato dalam rapat di Lapangan Kemerdekaan, akan ada
usaha
pembunuhan oleh seorang penembak tunggal yang disewa Mafya. Aku akan
menelepon kembali
beberapa menit lagi dengan keterangan lebih mendetail, tapi aku hanya mau bicara
dengan
Bolchenkov." Telepon mati. Telepon singkat itu berarti tak mungkin dilacak kembali.
Bolchenkov
langsung tahu bahwa mereka berurusan dengan seorang profesional.
Sebelas menit kemudian telepon kedua masuk. Letnan berbohong selama mungkin,
memberitahu
bahwa mereka sedang mencari-cari Kepala Polisi, tetapi si penelepon hanya berkata,
"Aku akan
menelepon kembali dalam lima menit. Jadi pastikan Bolchenkov ada di sebelah
telepon. Waktu
kalianlah yang tersia-sia, bukan waktuku."
Saat Letnan menerobos ke dalam kantor Kepala Polisi, Bolchenkov sedang
menjelaskan kepada
salah
206
seorang kaki tangan Zerimski mengapa arak-arakan itu tak dapat memperoleh
kawalan petugas
sebanyak Chernopov. Ia langsung mematikan rokok dan bergabung dengan tim
dalam satuan
terorisme. Sembilan menit kemudian telepon berdering lagi.
"Ada Bolchenkov?"
"Ini Bolchenkov sendiri."
"Orang yang kaucari akan berperan sebagai wartawan asing yang mewakili surat
kabar Afrika
Selatan yang fiktif. Ia tiba di St. Petersburg dengan kereta api cepat dari Moskwa
pagi ini. Ia
bekerja sendirian. Tiga menit lagi aku akan menelepon kembali."
Tiga menit kemudian seluruh bagian berkumpul mendengarkannya.
"Aku yakin mulai sekarang seluruh divisi antitero-risme Kepolisian St. Petersburg
sedang
mendengarkan setiap kataku," demikian salvo pembukaan si penelepon. "Maka
biarkan aku
membantu kalian. Pembunuh itu tingginya 185, mata biru, dan rambut tebal keabu-
abuan. Tapi
mungkin sekali ia menyamar. Aku tak tahu ia akan mengenakan pakaian apa. Tapi
kalian memang
harus melakukan sesuatu supaya pantas menerima gaji." Telepon lalu mati.
Seluruh kesatuan itu mendengarkan rekaman berkali-kali selama setengah jam
berikutnya. Tiba-
tiba sang kepala mematikan rokoknya dan berkata, "Putar lagi pita ketiga." Letnan
muda itu
menekan tombol. Ia ingin tahu apa yang didengar si bos yang tak didengar oleh yang
lain-lain.
Mereka semua mendengarkan penuh perhatian.
"Stop " kata sang kepala setelah lima detik. "Kukira memang demikian. Kembali lagi
dan
hitunglah."
207
Apanya yang dihitung? si letnan ingin bertanya sambil menekan tombol playback.
Kali ini ia
mendengar dentang lonceng samar-samar di- latar belakang.
Ia memutar kembali pita itu dan mereka mendengarkannya sekali lagi. "Dua kali
dentang lonceng,"
kata Letnan. "Jika pukul dua siang, informan kita itu menelepon dari Timur Jauh."
Kepala Polisi tersenyum. "Menurutku bukan begitu," katanya. "Lebih besar
kemungkinannya
mereka menelepon dini hari pukul dua dari pantai timur Amerika."
Maggie mengambil telepon di samping ranjang dan menghubungi nomor berkepala
650. Hanya
berdering beberapa kali kemudian diangkat.
"Tara Fitzgerald," terdengar sahutan dingin. Bukannya "Halo, selamat malam," atau
penegasan
bahwa penelepon telah menghubungi nomor yang benar. Hanya memberitahukan
namanya dengan
tegas, sehingga orang tidak perlu membuang-buang waktu. Persis ayahnya, pikir
Maggie.
"Ini Mom, Sayang."
"Hai, Mom. Apa mobilnya rusak lagi, atau ada sesuatu yang serius?"
"Tak ada, Sayang, aku cuma rindu pada ayahmu," jawabnya, sambil tertawa. "Moga-
moga kau
punya waktu ngobrol."
"Yah, setidaknya Mom cuma merindukan satu laki-laki," kata Tara, mencoba
mempersantai nada
bicaranya. "Aku merindukan dua."
"Mungkin, paling tidak kau tahu di mana Stuart berada, dan bisa meneleponnya bila
ingin.
Masalahku
208
ialah tak punya satu petunjuk pun di mana ayahmu berada."
"Itu lagu lama, Mom. Kita tahu peraturannya bila Dad pergi. Orang-orang perempuan
diharapkan
tinggal di rumah dan setia menunggu datangnya majikan kembali. Khas Irlandia..."
"Ya, aku tahu. Tapi kali ini perasaanku tak enak mengenai perjalanan yang satu ini,"
kata Maggie.
"Aku yakin tak perlu cemas, Mom. Bagaimanapun Dad baru pergi seminggu. Ingat
berapa kali di
masa lalu dia muncul saat Mom sama sekali tak mengharapkannya. Aku selalu
menganggap itu
taktik pengecut untuk memastikan kau tak punya kekasih sampingan."
Maggie tertawa tak yakin.
"Ada hal lain yang membuatmu cemas kan, Mom7" tanya Tara pelan. "Mau
menceritakannya
padaku?"
"Aku menemukan amplop yang ditujukan padaku tersembunyi dalam salah satu laci."
"Orang tua romantis," kata Tara. "Apa yang harus dikatakannya?"
"Entahlah. Aku belum membukanya"
"Mengapa belum? Ya ampun!"
"Sebab di luar amplop tertulis jelas: 'Tak boleh dibuka sebelum 17 Desember.'"
"Mom, mungkin itu hanya kartu Natal," kata Tara ringan.
"Kupikir bukan," kata Maggie. "Aku tahu tak banyak suami yang mengirim kartu
Natal pada
istrinya, dan yang pasti bukan dalam amplop cokelat yang tersembunyi di laci."
"Bila kau begitu mencemaskannya, Mom, aku
209
yakin Dad pasti ingin kau membukanya. Lalu Mom akan tahu tak ada yang perlu
kaucemaskan."
"Tapi bukan sebelum 17 Desember," kata Maggie tenang. "Bila Connor pulang
sebelum tanggal itu
dan menemukan aku telah membukanya, dia pasti..." "Kapan kau menemukannya,
Mom?" "Tadi
pagi, ada di antara pakaian sportnya, dalam laci yang Jhampir tak pernah kubuka." ^
"Aku pasti
akan langsung membukanya bila itu dialamatkan padaku," kata Tara.
"Aku tahu kau pasti akan berbuat begitu," kata Maggie, "tapi kupikir lebih baik
membiarkannya
beberapa hari lagi sebelum aku melakukan sesuatu. Aku akan mengembalikannya ke
laci kalau-
kalau dia tiba-tiba muncul. Lalu dia tak akan pernah tahu aku pernah
menemukannya."
"Mungkin aku harus terbang kembali ke Washington."
"Mengapa?" tanya Maggie. "Membantumu membukanya." "Jangan tolol, Tara."
"Tak lebih tolol daripada Mom yang hanya duduk sendirian di sana sambil
meributkan apa yang
ada dalam amplop."
"Mungkin kau benar."
"Bila Mom begitu tak pasti, mengapa tak menelepon Joan dan minta saran?"
"Sudah."
"Lalu apa katanya?" "Bukalah."
Bolchenkov duduk di meja di depan ruang ope-
210
rasional dan memandangi dua puluh orang terpilih. Ia menyalakan korek api dan
menyulut
rokoknya yang ketujuh pagi itu.
"Berapa banyak orang yang diharapkan datang di lapangan siang nanti?" tanyanya.
"Hanya perkiraan, Chief," kata perwira berseragam paling senior yang hadir,
"mungkin mencapai
seratus i ibu."
Gumam pembicaraan bisik-bisik tersebar di ruangan.
"Tenang," kata Kepala Polisi tajam. "Mengapa begitu banyak, Kapten? Chernopov
hanya
memperoleh
70.000."
"Zerimski tokoh yang jauh lebih karismatis dan karena sekarang jajak pendapat
mulai mengunggul-
kannya, kuperkirakan dia akan menarik lebih banyak orang."
"Berapa banyak yang dapat kausediakan di lapangan?"
"Setiap orang yang tersedia akan berada di lapangan, Chief, dan semua cuti sudah
kubatalkan.
Telah kuberitahukan deskripsi orang itu dengan harapan kita dapat menemukannya
sebelum dia
tiba di lapangan. Tapi tak banyak dari mereka yang sudah berpengalaman dalam hal
sebesar ini."
"Bila akan ada seratus ribu orang di lapangan," kata Bolchenkov, "ini juga
merupakan pengalaman
pertamaku. Apakah semua perwira telah diberi deskripsi orang itu?"
"Ya, Chief, tapi mungkin ia menyamar. Bagaimanapun ada banyak orang asing tinggi
bermata biru
dan berambut keabu-abuan di luar sana. Dan jangan lupa,
211
mereka belum diberitahu mengapa orang itu dicari dan akan ditanyai. Kita sendiri tak
perlu panik."
"Setuju. Tapi aku tak mau mengagetkannya sekarang, hanya memberinya
kesempatan kedua kelak.
Apa ada yang memperoleh informasi lebih lanjut?"
"Ya, Chief," jawab seorang yang lebih muda yang bersandar pada tembok belakang.
Kepala Polisi
mematikan rokok dan mengangguk.
"Ada tiga wartawan Afrika Selatan yang secara resmi meliput pemilihan. Dari
gambaran yang
diberikan informan, aku cukup yakin orang itu yang bernama Piet de Villiers."
"Apa ada data tentang dia di komputer?"
"Tidak," jawab si perwira muda. "Tapi polisi di Johannesburg sangat membantu. Ada
tiga orang
dalam berkas mereka yang sesuai dengan nama itu disertai tindak pidana dari
pencopetan sampai
bigami. Tapi tak ada yang cocok dengan gambaran yang diberikan. Dan
bagaimanapun, dua di
antara mereka kini sedang meringkuk di penjara. Mereka tak tahu ada di mana yang
ketiga itu.
Mereka juga menyebutkan ada koneksi dengan Kolombia."
"Koneksi apa dengan Kolombia?"
"Beberapa minggu lalu CIA menyebarkan memo rahasia yang memberi keterangan
tentang
pembunuhan atas calon presiden di Bogota. Kelihatannya mereka mengejar
pembunuh itu ke
Afrika Selatan, lalu dia lolos. Aku menelepon penghubungku di CIA, tapi dia cuma
bisa bilang
mereka tahu orang itu bergerak lagi, dan terakhir dia terlihat sedang naik pesawat ke
Jenewa."
"Cuma itu yang kubutuhkan," kata Kepala Polisi.
212
Menurut dugaanku pasti tak ada tanda-tanda adanya Villiers saat Zerimski
mengunjungi Hermitage
pagi ini, kan?"
"Tak ada, Chief," kata suara lain lagi, "tak ada di tntara korps wartawan. Ada 23
wartawan di sana,
dan hanya dua yang sesuai dengan deskripsi itu. Yang satu bernama Clifford
Symonds, koordinator
reporter CNN, dan yang satu lagi sudah kukenal bertahun-tahun, teman main
caturku." Semua
orang di ruangan itu tertawa. Ketegangan agak mereda.
"Atap-atap dan gedung?" tanya sang kepala.
"Aku telah menugasi selusin orang dengan perincian untuk melindungi atap dan
gedung di seputar
lapangan," kata kepala kesatuan bersenjata api kaliber lingan. "Kebanyakan gedung-
gedung itu
kantor-kantor umum, jadi aku akan menempatkan perwira berpakaian preman di
setiap jalan masuk
dan keluar, lika ada seseorang yang sesuai dengan gambaran itu mencoba masuk
lapangan ataupun
salah satu gedung yang mempunyai pemandangan lapangan dari atas, ia akan ditahan
di tempat."
"Hati-hati jangan sampai menahan pejabat asing dan melibatkan kita ke dalam
kesulitan lebih
besar. Ada pertanyaan?"
"Ya, Chief. Apa kau telah mempertimbangkan membatalkan rapat?" tanya sebuah
suara dari
belakang.
"Sudah kupertimbangkan. Dan kuputuskan tidak. Jika aku harus membatalkan rapat
setiap kali
menerima ancaman terhadap tokoh publik, jalur telepon kita akan terblokir telepon-
telepon dari
orang-orang radikal setengah matang yang tak punya pekerjaan
213
lain kecuali menganiaya. Bagaimanapun ini bisa juga hanya tanda bahaya bohongan.
Dan bahkan
bila de Villiers berkeliaran di kota, dan melihat kehadiran kita di lapangan, mungkin
dia pikir-pikir
dulu. Ada pertanyaan lagi?" Semuanya bungkam.
"Jika salah seorang di antara kalian melihat sesuatu, dan maksudku apa pun, aku
ingin tahu
secepatnya. Jangan sampai nanti ada yang bilang padaku, 'Aku tidak melaporkannya,
Chief, karena
kupikir tak penting waktu itu.'"
Connor tetap menyimak siaran televisi sambil bercukur. Hillary Bowker sedang
menyajikan berita
aktual mengenai apa yang terjadi di Amerika Serikat. RUU Pengurangan Senjata
telah lolos di
DPR, dapat masuk dengan kelebihan tiga suara. Namun Tom Lawrence mengklaim
bahwa hasil itu
merupakan kemenangan bagi akal sehat. Di lain pihak, para pakar telah memberi
peringatan bahwa
RUU itu akan melalui jalan jauh lebih ketat bila telah mencapai lantai Senat.
"Sama sekali tidak," Presiden meyakinkan rombongan para wartawan dalam jumpa
pers tadi pagi.
Connor tersenyum. "DPR hanya melaksanakan kehendak rakyat. Dan saya yakin
Senat juga ingin
berbuat persis sama."
Presiden kini digantikan tayangan seorang gadis cantik berambut merah cerah.
Connor teringat
akan Maggie. Sejalan dengan pekerjaanku, seharusnya aku menikah dengan penyaji
berita, katanya
suatu saat kepada Maggie.
"Dan kini, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
214
pemilihan yang akan diadakan di Rusia, kita menuju ke Clifford Symonds.
koresponden kami di St.
Petersburg."
Connor berhenti bercukur dan menatap layar. "Jajak pendapat menunjukkan bahwa
dua calon
terkemuka, Perdana Menteri Grigory Chernopov dan pemimpin Partai Komunis
Victor Zerimski,
kini bersaing ketat. Calon Komunis akan menyampaikan pidato dalam rapat di
Lapangan
Kemerdekaan siang ini yang diperkirakan polisi akan menyedot sekitar seratus ribu
orang. Pagi ini
Mr. Zerimski akan mengadakan pertemuan pribadi dengan Jenderal Borodin yang
diharapkan tak
lama lagi akan menyatakan menarik diri dari pencalonan sebagai akibat hasil yang
tak memadai
dalam jajak pendapat terakhir. Masih belum pasti mana dari kedua calon terkemuka
itu yang
hendak didukung Borodin. Dan hasil pemilihan bisa tergantung pada keputusan itu.
Clifford
Symonds, CNN International, St. Petersburg."
Wajah Hillary Bowker muncul lagi di layar. "Dan kini ramalan cuaca," katanya
dengan senyum
lebar.
Connor mematikan televisi, sebab ia tidak tertarik pada suhu di Florida. Ia kembali
mengoleskan
busa sabun pada wajahnya yang ditumbuhi rambut pendek-pendek dan meneruskan
bercukur. Ia
telah memutuskan untuk tidak menghadiri konferensi pers Zerimski pagi itu, yang
hanya
merupakan puji-pujian dari sekretaris persnya atas apa yang telah dihasilkan si bos
bahkan sebelum
sarapan, ataupun mengunjungi Hermitage, dan menghabiskan banyak waktu untuk
menghindari
Mitchell. Ia akan berkonsentrasi pada pemunculan Zenmski di depan publik hari itu.
Ia
215
telah menemukan restoran yang cocok di sisi barat lapangan. Masakannya tidak
terkenal, tetapi
kelebihannya adalah punya lantai dua, dan pemandangan ke Lapangan Kemerdekaan
dari atas.
Yang lebih penting, punya pintu belakang, sehingga ia tak perlu memasuki lapangan
bila belum
perlu.
Begitu meninggalkan hotel, ia menelepon restoran itu dari boks telepon paling dekat
dan memesan
meja di sudut dekat jendela untuk pukul dua belas. Kemudian ia pergi untuk
menyewa mobil, hal
yang di St. Petersburg jauh lebih sulit dilakukan daripada di Moskwa. Empat puluh
menit kemudian
ia mengendarai mobil menuju ke pusat kota dan meninggalkan kendaraan itu di
tempat parkir
bawah tanah hanya beberapa ratus meter dari Lapangan Kemerdekaan. Ia telah
memutuskan
kembali ke Moskwa naik mobil seusai pidato itu. Dengan cara demikian ia segera
akan tahu bila
ada orang mengikutinya. Ia naik ke jalan, menuju ke hotel terdekat, la menyisipkan
lembaran dua
puluh dolar ke tangan porter dan mengatakan memerlukan kamar sekitar sejam untuk
mandi dan
ganti pakaian.
Ketika ia kembali ke lift pukul dua belas kurang beberapa menit, si porter tidak
mengenalinya
kembali. Connor menitipkan ransel padanya dan berkata akan mengambilnya lagi
sekitar pukul
empat sore. Si porter meletakkan ransel itu di bawah meja layan dan untuk pertama
kalinya melihat
koper itu. Karena berlabel nama sama, ransel dan koper itu disatukannya.
Pelan-pelan Connor menyusuri trotoar di dekat Lapangan Kemerdekaan. Ia melewati
dua polisi
yang
216
sedang menanyai seorang asing tinggi berambut keabu-abuan. Mereka tak
memandangnya lagi
ketika Connor menyelinap masuk dan naik lift menuju ke lestoran di lantai dua. Ia
menyebutkan
namanya kepada kepala pelayan dan langsung diantar ke meja di sudut. Ia duduk
sedemikian rupa
hingga terlindung dari tamu-tamu lain, tapi masih punya pemandangan rienyeluruh
atas lapangan di
bawah.
Ia sedang memikirkan Tom Lawrence, dan sedang bertanya-tanya pukul berapa ia
harus pergi
sebelum ia memutuskan. Pada saat itu seorang pelayan muncul
di sampingnya dan menyerahkan menu. Connor memandang ke luar jendela, dan
terperanjat karena
lapangan sudah hampir penuh, padahal masih dua
jam lagi Zerimski menyampaikan pidatonya. Di antara
massa ia melihat beberapa polisi berpakaian preman.
Satu-dua polisi muda menempel pada patung-patung
dan memeriksa dengan teliti sekeliling lapangan.
Tapi apa yang mereka cari? Apakah Kepala Polisi
terlalu hati-hati, atau khawatir akan ada demonstrasi
selama pidato Zerimski?
Kepala pelayan itu kembali. "Anda pesan apa,
Sir? Polisi, telah memerintahkan kami untuk menutup
restoran sebelum pukul dua."
"Kalau begitu lebih baik aku pesan steak kecil
saja," sahut Connor.
217
BAB ENAM BELAS
"Di mana menurutmu dia sekarang ini?" tanya Sergei.
"Ia ada di luar sana entah di mana. Tapi bila dia kukenal pun. hampir tak mungkin
menemukannya
di tengah kerumunan ini," kata Jackson. "Seperti mencari jarum di tengah tumpukan
jerami."
"Siapa pernah kehilangan jarum di tumpukan
jerami?"
"Hentikan ucapanmu yang sok itu dan lakukan tugas untuk apa kau dibayar," kata
Jackson. "Kau
kuberi bonus sepuluh dolar bila dapat melihatnya. Ingat, kemungkinan besar dia
menyamar dengan
baik."
Sergei tiba-tiba jauh lebih memperhatikan massa yang berdesakan di lapangan. "Kau
lihat orang di
tangga teratas di sudut utara itu?" tanyanya. "Yang sedang bicara dengan polisi."
"Ya," jawab
Jackson.
"Itu Vladimir Bolchenkov, kepala polisi. Orang jujur, walaupun dia orang kedua
yang paling
berkuasa di St. Petersburg."
218
"Siapa yang pertama?" tanya Jackson. "Wali Kota?"
"Bukan, saudaranya—Joseph. Bos Mafya kota ini."
"Apa itu tak mengakibatkan konflik kepentingan?"
"Tidak. Kau hanya ditahan di St. Petersburg kalau bukan Mafya."
"Dari mana kau dapat semua informasi itu?" tanya Jackson.
"Dari ibuku. Ia tidur dengan keduanya."
Jackson tertawa seraya melanjutkan mengamati Kepala Polisi yang sedang bicara
dengan petugas
berseragam. Ia sebenarnya ingin mendengarkan pembicaraan mereka. Bila hal itu
terjadi di
Washington, CIA pasti akan dapat memutar kembali rekaman percakapan mereka
kata demi kata.
' Kau lihat orang-orang muda di sekitar patung-patung itu?" tanya polisi senior di
samping
Bolchenkov.
"Ada apa dengan mereka?" tanya Kepala Polisi.
"Kalau-kalau kau terheran-heran mengapa aku tak menahan mereka, mereka semua
anggota timku.
Dari sana mereka dapat melihat kerumunan dengan lebih baik. Lihat di belakangmu,
Chief: penjual
hotdog, dua pendorong kereta bunga, dan empat penjaja koran itu orang-orangku.
Dan masih ada
lagi polisi berseragam, dua belas bus penuh, tak sampai satu blok dari sini. Mereka
dapat dipanggil
masuk hanya dengan pemberitahuan sekejap. Selama jam berikut juga akan ada
seratus orang
berpakaian preman yang keluar-masuk lapangan. Tiap jalan keluar dijaga, dan setiap
orang yang
mempunyai pemandangan atas lapangan ini dijaga satu orangku dalam jarak
beberapa kaki."
219
"Jika dia sebaik yang kuperkirakan. dia pasti telah menemukan tempat yang tak
pernah terpikirkan
olehmu," kata Kepala Polisi.
Connor memesan secangkir kopi dan terus mengamati aktivitas yang berlangsung di
lapangan di
bawah. Walau masih setengah jam lagi calon presiden tiba, lapangan telah penuh
sesak dengan
orang-orang, mulai dari para pemuja Zerimski hingga ke orang yang hanya ingin
tahu. Ia senang
melihat betapa penjual hotdog itu repot menyamarkan identitas aslinya sebagai
polisi. Orang itu
baru saja menerima keluhan dari pembelinya lagi—mungkin lupa memberi saus
tomat. Connor
mengalihkan perhatian ke sisi seberang lapangan. Stand kecil yang didirikan untuk
pers kini
menjadi satu-satunya area yang tetap tak ditempati. Ia terheran-heran mengapa begitu
banyak
detektif berpakaian preman berdesakan di situ, jauh lebih banyak daripada yang
diperlukan untuk
menghalau orang yang kebetulan lewat memasuki area khusus. Itu tak ada artinya.
Pikirannya
dibuyarkan oleh secangkir kopi panas yang disajikan di depannya. Ia melihat jam.
Sekarang
seharusnya Zerimski telah menyelesaikan pertemuannya dengan Jenderal Borodin.
Hasilnya akan
merupakan berita utama di semua saluran televisi malam nanti. Connor bertanya-
tanya apakah ia
bisa mengetahui telah terjadi transaksi atau belum dari gaya bicara Zerimski.
Ia meminta bonnya. Sementara menunggu ia memusatkan perhatian pada
pemandangan di bawah
untuk terakhir kali. Tak ada seorang profesional pun yang pernah
mempertimbangkan Lapangan
Ke-
220
merdekaan sebagai area sasaran. Di samping semua masalah yang telah
diidentifikasinya, kehati-
hatian Kepala Polisi sudah jelas bagi setiap orang yang mau melihatnya. Kendati
demikian, Connor
merasa bahwa besarnya massa itu saja akan memberinya kesempatan terbaik untuk
mempelajari
Zerimski lebih dekat lagi, maka itulah sebabnya ia memutuskan untuk tidak duduk di
antara korps
pers pada kesempatan ini.
Ia membayar tunai bonnya, kemudian berjalan pelan menghampiri gadis yang duduk
di pojok dan
menyerahkan karcis. Gadis itu memberikan topi dan mantelnya. Dan Connor
memberinya tip
lembaran lima rubel. Orang-orang tua selalu memberi tip kecil, demikian yang
dibacanya di suatu
tempat.
Ia bergabung dengan rombongan besar para pekerja yang membanjir keluar kantor di
lantai
pertama. Mereka jelas memperoleh libur untuk menghadiri rapat. Semua manajer
dalam lingkup
satu mil dari lapangan kemungkinan besar telah menerima kenyataan bahwa tak
banyak pekerjaan
yang dapat dilakukan siang itu. Dua polisi berpakaian preman berdiri beberapa meter
dari pintu,
sedang memeriksa rombongan pekerja itu dengan teliti. Tetapi karena udara dingin,
mereka hanya
menunjukkan diri sesedikit mungkin. Connor merasa terdorong oleh massa yang
membanjir keluar
menuju trotoar.
Lapangan Kemerdekaan telah penuh sesak ketika Connor menyelusup di antara
orang-orang
menuju ke panggung. Massa itu pasti berjumlah 70.000 lebih. Ia tahu Kepala Polisi
telah berdoa
meminta badai. Tapi hari itu khas musim dingin di St. Petersburg—
221
dingin, tajam, dan jernih. Ia memandangi tempat yang dikelilingi tali untuk pers. Di
situ masih
terlihat banyak kegiatan. Ia tersenyum ketika melihat Mitchell di tempat biasanya.
Sekitar tiga
meter dari tempat ia biasanya duduk. Tidak hari ini, temanku. Setidaknya kali ini
Mitchell
mengenakan mantel hangat dan tutup kepala yang layak.
"Hari baik bagi para pencopet," kata Sergei sambil memandangi massa.
"Apakah mereka berani mengambil risiko dengan kehadiran polisi sebanyak ini?"
tanya Jackson.
"Selalu dapat ditemukan polisi bila tak diperlukan," kata Sergei. "Aku telah melihat
beberapa
mantan napi yang pergi membawa dompet, tapi polisi tampaknya tak begitu
berminat."
"Mungkin mereka telah banyak menemui masalah di pihak mereka sendiri, apalagi
dengan massa
mendekati seratus ribu orang dan Zerimski bisa tiba setiap saat."
Mata Sergei tertuju pada Kepala Polisi. "Di mana dia sekarang?" tanya Bolchenkov
kepada seorang
sersan dengan walkie-talkie.
"Delapan belas menit yang lalu ia meninggalkan pertemuan dengan Borodin. dan kini
diantar mobil
melalui Preyti Street. Sekitar tujuh menit lagi ia akan tiba."
"Kalau begitu dalam tujuh menit lagi masalah kita dimulai," kata Kepala Polisi
sambil melihat jam.
"Apakah menurutmu tak mungkin orang kita mencoba menembak Zerimski yang
sedang dalam
mobil?"
"Tak mungkin," jawab Kepala Polisi. "Kita ini
222
berurusan dengan seorang profesional. Ia tak mungkin membidik sasaran yang
sedang bergerak,
apalagi dalam mobil antipeluru. Bagaimanapun ia tidak dapat memastikan Zerimski
naik mobil
yang mana. Tidak. Orang kita di sana, dalam kerumunan. Aku dapat merasakannya.
Jangan lupa,
terakhir kali ia mencoba hal seperti ini dengan sasaran orang yang sedang berdiri di
tempat terbuka.
Dengan demikian hampir tak mungkin keliru menembak orang lain. Dan dengan
massa lebih besar,
kemungkinan lolos lebih baik."
Connor masih menyelinap pelan-pelan menuju panggung. Ia memandang sekeliling
ke massa, dan
mengidentifikasi lagi beberapa polisi berpakaian preman. Zerimski tidak
berkeberatan, karena
mereka hanya akan menambah jumlah pengunjung. Satu-satunya yang ia perhatikan
ialah mendapat
pendengar jauh lebih banyak daripada Chernopov.
Connor memeriksa atap. Selusin penembak sedang memindai massa dengan
teropong. Seandainya
mengenakan pakaian sport kuning, mereka tidak akan tampak lebih mencolok. Paling
sedikit ada
beberapa ratus polisi berseragam yang berdiri di sekitar garis keliling lapangan.
Kepala Polisi jelas-
jelas percaya akan arti pencegahan.
Jendela-jendela di gedung-gedung seputar lapangan telah berjejalan dengan pekerja
kantor yang
berusaha mendapatkan pemandangan sebaik mungkin atas apa yang terjadi di bawah
mereka.
Connor sekali lagi memandang ke tempat yang dikelilingi tali khusus untuk pers.
Kini mulai
dipenuhi wartawan. Polisi memeriksa surat-surat mereka semua dengan cermat.
223
Itu hal biasa. Kecuali bahwa beberapa wartawan diminta membuka tutup kepala
mereka. Connor
mengamatinya beberapa saat. Semua yang ditegur memiliki dua persamaan: pria dan
tinggi. Itu
menyebabkan Connor berhenti melangkah. Kemudian dari lirikan mata ia melihat
Mitchell
beberapa langkah darinya di tengah massa. Ia mengernyit. Bagaimana agen muda itu
dapat
mengenalinya?
Tiba-tiba, tanpa pemberitahuan lebih dulu, meledaklah sorak bergemuruh di
belakangnya. Seolah-
olah seorang bintang rock tiba di panggung. Ia berpaling dan melihat arak-arakan
mobil Zerimski
maju pelan-pelan di sekitar tiga sisi lapangan. Mereka berhenti di sudut barat laut.
Massa bertepuk
tangan antusias, walau mereka tak mungkin dapat melihat si kandidat. Sebab semua
jendela mobil
itu berkaca hitam. Pintu limusin Zil terbuka, tapi tak mungkin tahu apakah Zerimski
ada di antara
mereka yang turun dari mobil, sebab ia dikelilingi banyak tukang pukul tegap.
Ketika akhirnya si kandidat mendaki tangga beberapa saat kemudian, massa mulai
bersorak lebih
keras lagi dan mencapai puncaknya ketika ia berjalan ke depan panggung, la berhenti
dan
melambai ke satu arah, kemudian ke arah lain. Sekarang Connor telah dapat
mengatakan berapa
langkah lagi ia akan berjalan, kemudian berpaling dan melambai lagi.
Orang berdesak-desakan untuk bisa melihat lebih baik, tetapi Connor tak menggubris
hiruk-pikuk
di sekitarnya. Ia tetap mengamati para polisi, kebanyakan tidak memperhatikan
podium. Mereka
sedang mencari sesuatu atau seseorang secara khusus. Sebuah gagasan
224
melintas di benaknya, tapi ia segera menghalaunya. I ulak. Tak mungkin. Ketakutan
mulai
merayapinya. I i pernah diberitahu oleh seorang agen veteran bahwa I -nugasan akhir
selalu yang
paling sulit.
Tetapi bila meragukan sesuatu, peraturannya selalu i tap sama: menyingkirlah dari
daerah bahaya.
Ia memandang sekeliling lapangan. Cepat-cepat mem-I -rtimbangkan jalan keluar
mana yang akan
dipilih. Massa mulai mereda sementara menunggu Zerimski unulai pidato Connor
memutuskan
akan bergerak menuju ujung utara lapangan saat tepuk tangan me-dak
berkepanjangan. Dengan
cara demikian kemungkinan besar ia tidak akan dilihat menyelinap di i utara massa.
Ia memandang
sekilas, tindakan refleks, mencari di mana Mitchell. Ia masih tetap berdiri >cberapa
meter di
sebelah kanannya, bila tidak malah igak lebih dekat daripada ketika dilihatnya tadi
Zerimski mendekati mikrofon dengan tangan ter-mgkat tinggi untuk memberitahu
massa bahwa ia
segera akan mulai pidato.
'Aku telah melihat jarumnya," kata Sergei.
"Di mana?" tanya Jackson.
"Di sana, sekitar dua puluh langkah dari podium. Rambutnya berwarna lain dan cara
jalannya
seperti >rang tua. Kau berutang sepuluh dolar padaku."
"Bagaimana kau dapat melihatnya dari jarak sejauh ini?" tanya Jackson.
"Dialah satu-satunya orang yang mencoba meninggalkan lapangan." .
Jackson menyerahkan lembaran sepuluh dolar sementara Zerimski berhenti di depan
mikrofon.
Orang tua yang memperkenalkan Zerimski di Moskwa duduk
225
sendirian di bagian belakang podium. Zerimski tidak mengizinkan kesalahan seperti
itu berulang
kembali.
"Kamerad sekalian," ia mulai dengan lantang, "merupakan kehormatan besar bagi
saya berdiri di
depan Anda sekalian sebagai calon presiden. Hari berganti hari saya semakin
sadar..."
Ketika Connor memindai massa, sekali lagi ia melihat Mitchell. Ia selangkah lebih
dekat
dengannya.
"Walau beberapa gelintir warga kita menginginkan kembali ke zaman totaliter masa
lampau,
mayoritas besar..."
Hanya kata-kata yang diubah di sana-sini, pikir Connor. Ia telah melihat bahwa
Mitchell telah
selangkah lebih dekat lagi dengannya.
"...menginginkan distribusi yang lebih adil dari kemakmuran yang telah diciptakan
oleh
keterampilan dan kerja keras mereka." Ketika massa mulai bersorak, Connor cepat-
cepat bergerak
beberapa langkah ke kanan. Ketika tepuk tangan berhenti, ia berhenti. Tak bergerak
sedikit pun.
"Mengapa orang di bangku itu mengikuti sahabatmu?" tanya Sergei.
"Sebab dia seorang amatir," sahut Jackson.
"Atau seorang profesional yang tahu persis apa yang sedang ia lakukan?" sergah
Sergei.
"Astaga, jangan katakan aku sudah kehilangan naluriku," kata Jackson.
"Sejauh ini ia telah melakukan apa saja, kecuali menciumnya," kata Sergei.
"Lihatlah jalan-jalan di St. Petersburg, Kamerad sekalian," lanjut Zerimski. "Ya,
Anda sekalian
akan melihat Mercedes, BMW, dan Jaguar, tapi siapa yang
226
mengendarai mereka? Hanya segelintir orang yang mempunyai hak istimewa...."
Ketika tepuk tangan meledak lagi, Connor melangkah lebih maju menuju ujung utara
lapangan.
"Saya menanti-nantikan hari negara ini bukan satu-satunya negara di bumi yang
memiliki limusin
lebih banyak daripada mobil-mobil keluarga..."
Connor menoleh ke belakang dan melihat Mitchell lelah dua atau tiga langkah lebih
dekat ke
arahnya. Sedang main apa dia itu?
"...dan di mana ada lebih banyak rekening bank h Swiss daripada rumah sakit."
Pada ledakan tepuk tangan berikutnya ia akan menghilang darinya. Ia berkonsentrasi
pada kata-kata
Zerimski untuk dengan tepat bisa mengantisipasi kapan ia harus bergerak.
"Kupikir aku sudah melihatnya," kata seorang polisi berpakaian preman yang sedang
memeriksa
massa dengan teropong.
"Di mana. di mana?" tanya Bolchenkov sambil menyambar teropong.
"Pukul dua belas, lima puluh meter ke belakang. Tak bergerak. Ia di depan
perempuan yang
memakai selendang merah. Ia tidak mirip dengan fotonya. Tapi bila ada ledakan
tepuk tangan, ia
bergerak terlalu cepat bagi orang seusia dia."
Bolchenkov mulai memfokuskan teropong. "Kena kau," katanya. Setelah beberapa
saat ia
menambahkan, "Ya, mungkin itu dia. Beritahu mereka yang di pukul satu untuk
bergerak dan
menahannya. Dan katakan pada dua orang yang delapan belas meter di depannya
untuk melindungi
mereka. Kita selesaikan
ini secepat mungkin." Polisi muda itu tampak cemas. "Jika kita melakukan
kesalahan," kata Kepala
Polisi, "aku yang bertanggung jawab."
"Janganlah kita pernah melupakan," lanjut Zerimski, "bahwa Rusia dapat kembali
menjadi bangsa
terbesar di bumi..."
Mitchell kini selangkah dari Connor yang dengan sengaja tak menggubrisnya.
Beberapa detik lagi
akan ada sorak-sorai berkepanjangan jika Zerimski mengatakan kepada massa apa
yang hendak ia
lakukan bila menjadi presiden. Tak ada rekening bank yang dipenuhi dengan suap
para pengusaha
tak jujur— inilah yang selalu memperoleh sorak-sorai paling keras. Kemudian ia
akan menghilang,
dan memastikan bahwa Mitchell dipindahkan ke tugas administratif di suatu tempat
terpencil dan
terbelakang serta penuh nyamuk.
"...Saya akan membaktikan diri saya untuk melayani Kamerad sekalian. Saya akan
lebih dari puas
menerima gaji sebagai presiden, dan tidak menerima suap para pengusaha tak jujur
yang hanya
bertujuan menjarah kekayaan bangsa."
Massa meledak dalam sorak-sorai. Connor tiba-tiba berbalik dan bergerak ke kanan.
Ia hampir
mengayunkan tiga langkah ketika polisi pertama memegang lengan kirinya. Polisi
kedua datang
kemudian dari sebelah kanan. Ia dibanting, tapi tak mencoba melawan. Peraturan
pertama: bila tak
ada yang disembunyikan, jangan melawan penangkapan. Kedua tangannya ditelikung
ke belakang
punggung dan di-borgol. Massa lalu mengelilingi tiga orang di tanah itu. Mereka kini
jauh lebih
tertarik pada tontonan
228
sampingan ini daripada pada kata-kata Zerimski. Mitchell agak mundur, dan
menunggu pertanyaan
yang tak terelakkan lagi, "Siapa dia?"
"Pembunuh bayaran Mafya," bisiknya ke telinga orang-orang yang dekat dengannya.
Ia mundur ke
tempat lingkaran khusus pers sambil berkali-kali menggumamkan, "Pembunuh
bayaran Mafya."
"Kamerad sekalian warga negara yang baik, janganlah sekali-kali ragu bahwa jika
saya terpilih
menjadi presiden, Anda sekalian dapat memastikan satu hal..."
"Kau ditahan," kata orang ketiga yang tak dapat dilihat Connor karena kepalanya
ditekan ke tanah.
"Bawa dia pergi," kata suara berwibawa itu. Dan Connor diseret cepat-cepat menuju
ke ujung utara
lapangan.
Zerimski melihat kekacauan itu, tetapi sebagai seorang profesional kawakan, ia tak
menggubrisnya.
"Jika Chernopov terpilih, orang-orang Amerika akan lebih memperhatikan
pandangan Meksiko
daripada pandangan Rusia," ia melanjutkan tanpa ragu.
Jackson tidak pernah mengalihkan pandangan dari Connor sementara massa
menyibak,
membiarkan polisi berlalu.
"Kamerad sekalian, tinggal enam hari lagi dan rakyat akan memutuskan..."
Mitchell bergerak cepat, pergi dari keributan itu dan menuju ke stand pers.
"Lakukanlah itu bukan untuk saya, bahkan juga bukan untuk Partai Komunis.
Melainkan
lakukanlah untuk generasi berikut orang-orang Rusia..."
229
Mobil polisi yang dikelilingi empat sepeda motor mulai keluar dari lapangan.
"...yang lalu mampu memainkan peranan sebagai warga bangsa terbesar di bumi.
Hanya satu yang
saya minta—hak istimewa untuk boleh memimpin rakyat itu."
Kali ini ia diam, hingga pasti diperhatikan oleh semua yang ada di lapangan.
Akhirnya, dengan
lembut ia mengakhiri dengan kata-kata, "Kamerad se kalian, saya menyerahkan diri
sebagai
pelayan Anda sekalian."
Ia mundur, dan tiba-tiba bunyi sirene polisi lenyap ditelan raungan seratus ribu suara.
Jackson memandang ke lingkaran pers. Ia dapat melihat bahwa para wartawan jauh
lebih berminat
pada mobil polisi yang menghilang dari pemandangan daripada pada kata-kata
Zerimski yang
diulang-ulang.
"Pembunuh bayaran Mafya," kata wartawati Turki kepada salah seorang kolega.
Suatu "fakta" yang
ia dengar dari seseorang di antara massa, yang akan dikutipnya sebagai "sumber yang
dapat
dipercaya".
Mitchell mendongak ke deretan kamerawan televisi yang mengikuti perjalanan mobil
polisi ketika
menghilang dari pandangan dengan lampu biru berkilatan Matanya terpaku pada satu
orang yang
perlu ia ajak bicara. Ia menunggu dengan sabar hingga Clifford Symonds
memandang ke arahnya,
dilambaikannya tangannya untuk memberi isyarat bahwa ia perlu segera bicara
dengannya.
Wartawan CNN itu dengan cepat bergabung dengan Atase Kebudayaan Amerika di
antara
rombongan orang-orang yang bersorak-sorai.
230
Zerimski tetap di tengah podium, menyedot seluruh anjungan massa. Ia tak berniat
pergi selagi
mereka masih meraung-raung menyetujuinya.
Symonds mendengarkan dengan cermat apa yang Jikemukakan Mitchell. Ia harus
mengudara
dalam waktu dua belas menit lagi. Detik demi detik senyum di wajahnya semakin
lebar.
Begitu Mitchell selesai bicara, Symonds bertanya. 'Apa kau benar-benar yakin?"
"Pernahkah aku menjatuhkanmu selama ini?" tanya Mitchell, mencoba terdengar
tersinggung.
"Tidak," jawab Symonds minta maaf. "Tidak pernah."
"Tapi keping informasi ini harus kaujaga jauh-jauh dari Kedutaan."
"Tentu saja. Tapi siapa yang harus kusebut sebagai sumberku?"
"Seorang polisi yang tekun dan banyak akal. Itu yang paling takkan dibantah Kepala
Polisi."
Symonds tertawa. "Lebih baik aku segera menemui produserku jika akan
menjadikannya berita
utama dalam tayangan pagi ini."
"Oke," kata Mitchell. "Cuma ingat—pastikan tak dapat dilacak kembali ke diriku."
"Pernahkah aku menjatuhkanmu selama ini?" tukas Symonds. Ia berbalik, buru-buru
kembali ke
lingkaran pers.
Mitchell menyelinap pergi ke arah berlawanan. Masih ada satu orang lagi yang suka
mendengar
cerita ini. Dan ini perlu dilakukan sebelum Zerimski meninggalkan podium.
Sebarisan bodyguard pelindung menghalangi para
231
pendukung yang terlalu antusias mendekati sang kandidat. Juru bicaranya hanya
beberapa meter
dari Mitchell, senang akan sorak-sorai yang diterima bosnya.
Mitchell mengatakan pada salah satu bodyguard itu, dalam bahasa Rusia yang bagus,
siapa yang
ingin diajaknya bicara. Bodyguard itu menoleh dan berteriak kepada si juru bicara.
Jika Zerimski
terpilih, pikir Mitchell, pemerintahannya takkan rumit. Juru bicara itu langsung
memberi isyarat
untuk membiarkan orang Amerika itu mendekat, dan ia memasuki area yang
dikelilingi tali,
bergabung dengan teman caturnya. Dengan cepat ia menjelaskan samaran de Villiers
sebagai orang
tua, dan dari hotel mana ia terlihat, sebelum memasuki restoran.
Menjelang akhir hari itu, Fitzgerald dan Jackson mulai menyadari bahwa mereka
berurusan dengan
seorang profesional sejati.
Createddy syaucjy_arr@ya£ioo. co. id
CKofefo'"Novef%amf"]
'Wekfoj, £}ffp;//tiamo&wordpress.com
232
BAB TUJUH BELAS
Presiden dan Kepala Staf duduk di Ruang Oval, menonton tayangan berita pagi. Tak
ada yang
bicara ketika Clifford Symonds menyajikan laporan.
"Seorang teroris internasional ditahan siang ini di Lapangan Kemerdekaan, selama
pidato
pemimpin Komunis Victor Zerimski. Orang yang hingga kini belum diberitakan
namanya itu
ditahan di Penjara Crucifix di pusat kota St. Petersburg. Polisi setempat tidak
menutup
kemungkinan bahwa ia adalah orang yang sama dengan yang baru-baru ini terlibat
dalam
pembunuhan atas Ricardo Guzman, calon Presiden Kolombia. Orang yang ditahan
polisi itu diduga
telah mengikuti kampanye Zerimski beberapa hari di seluruh negeri. Minggu lalu ia
diberitakan di
majalah Time sebagai penembak bayaran paling mahal di Barat. Diduga ia ditawari
sejuta dolar
oleh Mafia Rusia, guna menyingkirkan Zerimski dari persaingan calon presiden.
Ketika polisi
menangkap-
233
nya, perlu empat orang hanya untuk menahannya di atas tanah."
Diikuti tayangan serangkaian gambar seseorang yang ditangkap di antara massa dan
buru-buru
dibawa pergi. Tetapi gambar terbaik yang mereka buat ialah bagian belakang kepala
yang tertutup
topi kulit binatang. Wajah Symonds muncul kembali di layar.
"Calon Komunis itu tetap melanjutkan pidatonya, walau penangkapan itu hanya
beberapa meter di
depan podium. Zerimski kemudian memuji polisi St. Petersburg atas ketekunan dan
profesionalisme mereka. Dan ia bersumpah walau banyak usaha pembunuhan
terhadapnya, tak ada
yang akan menghalanginya dalam perjuangannya melawan kejahatan terorganisasi.
Zerimski kini
bersaing ketat dengan Perdana Menteri Chernopov dalam jajak pendapat, tetapi
banyak pengamat
berpendapat bahwa insiden hari ini akan mendorong popularitasnya dalam masa
persiapan akhir
menjelang pemilihan.
"Beberapa jam sebelum menyampaikan pidato itu, Zerimski mengadakan pertemuan
pribadi
dengan Jenderal Borodin di markas besar di bagian utara kota. Tak ada yang tahu
hasil
pembicaraan tersebut, tetapi para juru bicara Jenderal tak memungkiri bahwa
sebentar lagi Jenderal
akan membuat pernyataan mengenai apakah ia bermaksud meneruskan kampanye
pencalonan
dirinya, dan mungkin yang lebih penting lagi, yang mana di antara kedua calon
tersisa yang akan
didukungnya apabila ia mengundurkan diri. Pemilihan itu tiba-tiba dibuka lebar-
lebar. Ini Chfford
Symonds, CNN International, di Lapangan Kemerdekaan, St. Petersburg."
234
"Pada hari Senin Senat akan melanjutkan perdebatan mengenai RUU Pengurangan
Senjata Nuklir,
Biologis, Kimia, dan Konvensional..."
Presiden menekan tombol pada remote control dan layar menjadi kosong.
"Dan kau bilang orang yang mereka tangkap tak punya koneksi sama sekali dengan
Mafya Rusia,
melainkan agen CIA?"
"Ya. Aku menunggu konfirmasi Jackson bahwa orang itu sama dengan pembunuh
Guzman."
"Aku harus mengatakan apa, bila pers menanyakan soal ini?"
"Kau harus membual, sebab tak perlu semua orang tahu bahwa orang yang mereka
tangkap adalah
salah satu dari kita."
"Tapi ini akan menghabisi Dexter dan wakilnya yang brengsek itu sekaligus untuk
selama-
lamanya."
"Tidak bila kau mengklaim tak tahu apa-apa mengenai hal itu. Sebab rakyat
setengahnya akan
memecatmu sebagai korban penipuan CIA. Tetapi jika kau mengakui mengetahui hal
itu, rakyat
yang setengahnya lagi menghendaki panggilan untuk dimintai pertanggungjawaban.
Jadi sementara
ini, kusarankan kau berpuas diri dengan mengatakan bahwa kau menunggu hasil
pemilihan Rusia
dengan penuh minat."
"Sudah tentu pasti begitu." kata Lawrence. "Yang paling tidak kusukai ialah bila si
fasis kecil
Zerimski itu menjadi presiden. Kita lebih baik kembali ke Perang Bintang dalam
semalam."
"Kuharap itulah sebabnya Senat menahan RUU Pengurangan Senjatamu. Mereka tak
mau
mengambil keputusan akhir sebelum mengetahui hasil pemilihan."
235
Lawrence mengangguk. "Jika yang mereka tahan di penjara jahanam itu salah satu
dari kita, kita
harus melakukan sesuatu, dan secepatnya. Sebab jika Zerimski benar-benar menjadi
presiden,
hanya Tuhan yang dapat menolongnya. Jelas aku takkan mampu."
Connor tidak bicara. Ia duduk diapit dua polisi di jok belakang mobil polisi. Ia tahu
orang-orang ini
tak mempunyai pangkat ataupun wewenang untuk menanyainya. Pertanyaan akan
datang kemudian
dari seseorang yang mempunyai lebih banyak tanda pangkat.
Ketika mereka memasuki pintu gerbang kayu besar Penjara Crucifix menuju
halamarr berbatu,
yang dialami Connor pertama-tama ialah sambutan mereka. Tiga orang kekar
berseragam
narapidana maju dan membuka pintu belakang mobil hingga hampir lepas dari
engsel, lalu
menyeretnya keluar. Polisi muda yang duduk mengapitnya tampak ngeri.
Ketiga orang itu cepat-cepat menggiring tahanan baru itu melintasi halaman, menuju
gang panjang
dan kumuh. Di situlah dimulai tendangan dan jotosan. Sebenarnya Connor ingin
protes. Tapi
kosakata mereka tampaknya hanya terbatas pada gerutuan. Ketika mereka tiba di
ujung gang, salah
satu dari mereka membuka pintu baja berat dan dua lainnya menjebloskannya ke
dalam sel kecil. Ia
tak berusaha melawan ketika mereka mengambil sepatu, jam, cincin kawin, dan
dompetnya. Dari
barang-barang itu mereka takkan mengetahui apa-apa. Mereka pergi dengan
membanting pintu sel
hingga tertutup.
Connor pelan-pelan bangkit berdiri. Ia menggeliat lelah, mencoba memeriksa apakah
ada tulang
yang
236
patah. Tampaknya tak ada kerusakan permanen, walau memar-memar mulai tampak.
Ia melihat
sekeliling ruangan yang tak lebih besar daripada kompartemen tidurnya dalam
perjalanan dari
Moskwa. Tembok hijau dari bata tampak seakan tak pernah teperciki cat sejak
pergantian abad.
Connor telah mengalami hidup di ruangan yang jauh lebih kecil di Vietnam selama
delapan belas
bulan. Waktu itu perintah-perintahnya jelas: jika ditanyai musuh, sebutkan saja
nama, pangkat, dan
nomor serimu. Peraturan itu tidak berlaku bagi seseorang yang hidup mengemban
Perintah
Kesebelas:
Jangan sampai tertangkap. Bila tertangkap, ingkarilah tegas-tegas bahwa kau punya
hubungan
dengan CIA. Jangan cemas—CIA akan selalu mengurusimu.
Connor menyadari bahwa dalam kasusnya ia dapat melupakan "saluran-saluran
diplomatik yang
biasa", kendati Gutenburg berkali-kali meyakinkannya. Berbaring di bangku selnya
yang kecil, kini
ia menyadari semua tampak teratur rapi pada tempatnya.
Ia tidak diminta menandatangani penerimaan uang tunai, atau tanda tangan untuk
mobil. Dan kini
ia ingat kembali kalimat yang dicoba diingat-ingatnya dari lubuk hatinya.
Ditelusurinya kata demi
kata:
"Jika soal pekerjaan barumu yang merisaukanmu, aku dengan senang mau
membicarakannya
dengan direktur perusahaan di mana kau akan bergabung dan menjelaskan padanya
bahwa ini
hanya penugasan jangka pendek,"
237
Bagaimana Gutenburg tahu bahwa ia telah diwawancarai untuk pekerjaan baru, dan
bahwa ia
berurusan langsung dengan direkturnya? la tahu sebab telah berbicara dengan Ben
Thompson.
Itulah sebabnya mereka membatalkan penawaran mereka. "Maaf, aku harus
memberitahumu..."
Mengenai Mitchell. seharusnya ia langsung menembus pandang wajah bocah yang
seperti malaikat
itu. Tetapi ia masih bingung mengenai telepon dari Presiden. Mengapa Lawrence
tidak pernah
menyebutnya dengan namanya sendiri? Dan kalimat-kalimatnya agak terputus-putus,
dan tawanya
terdengar agak terlalu keras.
Bahkan sekarang pun i» masih sulit mempercayai seberapa jauh Helen Dexter mau
bertindak untuk
menyelamatkan diri sendiri. Ia memandang ke langit-langit. Pertama-tama bila
Presiden tidak
meneleponnya, ia sadar bahwa tak ada harapan lagi untuk dilepas dari Penjara
Crucifix. Dexter
telah berhasil menghilangkan satu-satunya orang yang dapat membongkarnya, dan
Lawrence tak
dapat berbuat apa-apa.
Penerimaan Connor bulat-bulat terhadap kode detektif CIA menjadikannya bidak
sukarela bagi
rencana penyelamatan hidup Dexter. Tak ada duta besar yang mau mengajukan
protes diplomatik
baginya. Takkan ada bingkisan-bingkisan makanan. Ia harus merawat diri sendiri
seperti dulu di
Vietnam. Dan ia telah di-beritahu oleh seorang polisi muda yang menangkapnya
mengenai masalah
lain yang kali ini akan ia hadapi: tak ada yang lolos dari Crucifix selama 84 tahun ini.
238
Pintu sel tiba-tiba terbuka, dan seseorang dengan seragam biru muda berhiaskan pita
keemasan
masuk. Dengan santai ia menyulut rokok. Ini rokok yang kelima belas hari itu.
Jackson tetap berada di lapangan hingga mobil polisi hilang dari pandangan. Ia
marah sekali
dengan dirinya sendiri. Akhirnya ia berbal i k dan bergegas pergi. Ia meninggalkan
massa yang
bersorak-sorai itu dan berjalan demikian cepat hingga Sergei terpaksa lari untuk
mengikutinya. Si
bocah Rusia telah memutuskan bahwa saat itu bukan waktunya untuk mengajukan
pertanyaan. Kata
"Mafya" diucapkan semua orang di jalan yang mereka lalui. Sergei lega ketika
Jackson berhenti
dan memanggil taksi.
Jackson hanya dapat mengagumi betapa baik Mitchell melaksanakan seluruh
tugasnya. Tentu saja
dibimbing oleh Dexter dan Gutenburg. Pukulan klasik CIA, tetapi dengan perbedaan:
kali ini salah
seorang dari mereka sendiri yang mereka tinggalkan dengan kejam di penjara asing.
Ia tidak berusaha memikirkan apa yang akan mereka lakukan terhadap Connor. Ia
lebih suka meng-
konsentrasikan diri pada laporan yang harus ia susun bagi Andy Llyod. Seandainya
saja malam
sebelumnya ia dapat menghubungi Andy, ia mungkin telah memperoleh lampu hijau
untuk
melepaskan Connor. Ponselnya masih belum menyala juga, maka ia harus
mengambil risiko
menggunakan pesawat telepon kamar hotel. Setelah 29 tahun, ia mempunyai
kesempatan untuk
membalas dendam. Dan ternyata kesempatan itu pun tidak sempurna
239
Taksi berhenti di depan hotel Jackson. la membayarnya dan lari ke dalam. Tanpa
menunggu lift, ia
langsung melompat ke tangga hingga ke lantai satu dan lari di sepanjang koridor
menuju ke Kamar
132. Sergei baru dapat menyusulnya ketika ia memutar kunci dan membuka pintu.
Bocah Rusia itu duduk di lantai di sudut kamar dan mendengarkan setengah
percakapan Jackson
dengan seseorang yang bernama Llyod. Ketika akhirnya meletakkan pesawat telepon,
Jackson
pucat dan gemetaran karena marah.
Sergei bicara untuk pertama kalinya setelah mereka meninggalkan lapangan,
"Mungkin sekarang
sudah waktunya menemui salah satu pelanggan ibuku."
"Selamat," kata Dexter pada saat Gutenburg memasuki kantornya. Wakil Direktur
tersenyum
sambil duduk berhadapan dengan bosnya dan meletakkan sebuah berkas di meja.
"Aku baru saja menonton tayangan berita utama di ABC dan CBS," kata Dexter.
"Berita mereka
cocok dengan versi Symonds mengenai apa yang terjadi di Lapangan Kemerdekaan.
Apakah belum
ada perkiraan sebesar apa pers akan memainkan berita itu besok?"
"Mereka telah kehilangan minat. Tak ada tembakan satu pun, tak ada tonjokan, dan
tersangka
ternyata tak bersenjata. Dan tak ada yang mengira orang yang mereka tangkap itu
mungkin seorang
Amerika. Besok pada jam-jam seperti ini, beritanya hanya akan terpampang di
halaman depan
koran-koran di Rusia."
"Bagaimana jawaban kita terhadap pertanyaan pers?"
240
"Kita akan mengatakan bahwa ini masalah intern bagi orang-orang Rusia. Dan di St.
Petersburg
penembak bayaran jauh lebih murah daripada jam tangan yang pantas. Akan
kukatakan pada
mereka bahwa mereka hanya perlu membaca mengenai God-father Rusia di majalah
Time bulan
lalu untuk memahami masalah-masalah yang mereka hadapi. Jika mereka mendesak,
akan
kutunjukkan arah ke Kolombia. Jika mereka tetap mendesak, akan kubuang ke
Afrika Selatan. Itu
akan memberi mereka beberapa inci kolom untuk memberi makan editor mereka
yang kelaparan."
"Apakah ada tayangan yang menunjukkan rangkaian foto Fitzgerald setelah
penangkapan?"
"Hanya belakang kepalanya. Itu pun ia masih dikelilingi para polisi. Jika tidak, pasti
akan dipasang
berulang-ulang."
"Apa ada kemungkinan ia muncul di depan publik dan membuat pernyataan yang
membahayakan
kita dan mungkin ditindaklanjuti pers?"
"Boleh dikata tak mungkin. Jika mereka mengadakan sidang pengadilan, pers asing
pasti tak boleh
masuk. Dan jika Zerimski dipilih, Fitzgerald takkan pernah keluar dari Penjara
Crucifix."
"Sudah kausiapkan laporan untuk Lawrence?" tanya Dexter. "Sebab sudah pasti ia
akan membuat
perhitungan dengan kita."
Gutenburg membungkuk ke depan dan menepuk berkas yang ia letakkan di meja
Direktur.
Dexter membukanya dan mulai membacanya. Ia tak menunjukkan emosi apa pun
ketika membalik
halaman-halamannya. Setelah sampai di akhir laporan,
241
ia menutup berkas. Dan secercah senyum melintasi wajahnya sebelum berkas itu
dikembalikannya.
'Tolong tanda tangani atas namamu dan secepatnya kaukirim ke Gedung Putih," kata
Dexter.
"Sebab apa pun yang diragukannya saat ini, bila Zerimski jadi presiden, ia takkan
mau lagi
menyebut-nyebut perkara ini."
Gutenburg mengangguk setuju.
Helen Dexter memandang wakilnya di seberang meja. "Sayang kita harus
mengorbankan
Fitzgerald," katanya. "Tapi bila ini membantu pemilihan Zerimski, akan tercapai dua
tujuan
sekaligus. RUU Pengurangan Senjata Lawrence akan ditolak Kongres, dan campur
tangan Gedung
Putih atas CIA akan jauh berkurang."
Connor menurunkan tungkainya dari bangku, menapakkan kaki telanjangnya di
lantai, dan
menghadapi tamunya. Kepala Polisi menyedot rokoknya dalam-dalam dan
mengepulkan asapnya
tinggi-tinggi. "Kebiasaan jelek," katanya dalam bahasa Inggris sempurna. "Istriku tak
henti-
hentinya memintaku berhenti merokok."
Connor tak menunjukkan emosi apa-apa.
"Namaku Vladimir Bolchenkov. Aku kepala polisi kota ini. Kupikir barangkali kita
dapat ngobrol
sebelum memasukkannya ke laporan "
"Namaku Piet de Villiers. Aku warga Afrika Selatan, bekerja pada koran
Johannesburg Journal, dan
aku ingin bertemu dengan duta besarku."
"Nah, sekarang ini masalahku," kata Bolchenkov. Rokoknya masih terjuntai di sudut
mulut. "Nah,
begini, aku tak percaya namamu Piet de Villiers.
242
Dan aku sangat yakin kau bukan warga Afrika Selatan. Dan aku yakin kau tak
bekerja pada
Johannesburg Journal, sebab tak ada koran seperti itu. Dan agar kita tak saling
mtfnyia-nyiakan
waktu, aku tahu dari otoritas tertinggi bahwa bukan Mafya yang mempekerjakanmu.
Kuakui aku
belum tahu siapa sebenarnya kau, atau bahkan dari negara mana asalmu. Tapi siapa
pun yang
mengirimmu, kalau memakai istilah modern, sudah menjatuhkanmu ke dalam
lumpur. Dan dari
ketinggian yang sangat menjulang."
Connor bahkan tak berkedip.
'Tapi aku dapat memastikan mereka takkan berbuat demikian terhadapku. Jadi jika
kau merasa tak
bisa terbantu dengan pertanyaan-pertanyaanku, aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali
membiarkanmu membusuk di sini. ^Sementara aku bergelimang dalam kesenangan
yang akhir-
akhir ini berlimpah, padahal aku tak berjasa sedikit pun."
Connor tetap juga tak bereaksi.
"Aku tahu aku tak dapat berhubungan denganmu," kata Kepala Polisi. "Kukira jadi
tanggung
jawabku untuk menunjukkan bahwa ini bukan Kolombia. Dan aku takkan
mengalihkan kesetiaanku
pada orang terakhir yang kuajak bicara atau pada yang menawarkan gepokan dolar
paling tebal." Ia
berhenti, menyedot rokoknya, kemudian menambahkan, "Kuduga itulah salah satu di
antara banyak
persamaan kita."
Ia berbalik dan berjalan menuju pintu sel, lalu berhenti. "Kau kubiarkan
memikirkannya dulu. Tapi
bila aku jadi kau, aku takkan menunggu terlalu lama."
243
Ia menggedor pintu. "Biar kutegaskan dulu padamu, siapa pun kau," lanjutnya saat
pintu terbuka,
"takkan ada penjepitan ibu jari, takkan ada penyiksaan, ataupun bentuk-bentuk
penganiayaan
lainnya yang canggih selama aku jadi Kepala Polisi St. Petersburg. Aku tak percaya
pada
penyiksaan. Itu bukan gayaku. Tapi aku tak dapat menjanjikan semuanya akan
seramah ini bila
Victor Zerimski terpilih jadi presiden kami yang berikut."
Kepala Polisi membanting pintu sel hingga tertutup. Connor mendengar kunci
diputar di dalam
lubangnya.
244
BAB DELAPAN BELAS
Tiga bmw putih berhenti di depan hotel. Orang yang duduk di samping sopir dari
ketiga mobil itu
turun ke trotoar dan memeriksa kiri-kanan jalan. Setelah mereka puas, pintu belakang
mobil tengah
terbuka, Alexei Romanov keluar. Orang muda yang tinggi itu mengenakan mantel
kasmir panjang
hitam. Tanpa menoleh ke kanan-kiri ia berjalan cepat menuju hotel. Ketiga orang itu
mengikutinya
dalam posisi setengah lingkaran yang mengitarinya.
Dari gambaran yang telah diberikan melalui telepon, Romanov langsung mengenali
orang Amerika
tinggi yang berdiri di tengah ruangan. Ia tampak sedang menanti seseorang.
"Mr. Jackson?" tanya Romanov dengan suara besar dan dalam.
"Ya," jawab Jackson. Ia sebenarnya akan berjabatan tangan jika Romanov tidak
berbalik dan
langsung kembali ke pintu masuk.
245
Ketiga mobil itu masih hidup mesinnya dan pintu-pintunya masih terbuka ketika
Jackson keluar ke
jalan. Ia diantar menuju pintu belakang mobil tengah. Ia duduk diapit orang yang tak
mau berjabat
tangan dengannya dan seorang lain yang sama-sama diam saja tetapi bertubuh lebih
besar.
Ketiga mobil meluncur di jalur- tengah. Seakan tersihir, mobil-mobil lain
menyingkir. Hanya
lampu lalu lintas yang tampaknya tidak tahu siapa mereka ini.
Ketika arak-arakan mobil ini meluncur di kota, Jackson memaki dirinya lagi. Ini
semua tidak perlu
seandainya ia dapat menghubungi Lloyd 24 jam lebih awal. Tapi itu peninjauan
ulang, pikirnya—
hanya bakat bawaan para politisi.
"Kau perlu menjumpai Nicolai Romanov," kata Sergei. la telah memutar nomor
telepon ibunya,
dan ketika telepon itu akhirnya diangkat, Sergei berkelakuan seperti yang belum
pernah dilihat
Jackson sebelumnya. Sikapnya penuh hormat, ia mendengarkan dengan penuh
perhatian, dan tak
pernah menyela. Dua puluh menit kemudian ia meletakkan pesawat.
"Kukira ibuku akan menelepon." kalanya. "Masalahnya adalah orang tak bisa
menjadi anggota
'Pencuri dalam Hukum'—atau yang kausebut Mafia— sebelum berumur empat belas.
Sama saja
bahkan juga bagi Alexei, putra tunggal Tsar."
Sergei menerangkan lebih lanjut bahwa ia telah meminta supaya Jackson diizinkan
bertemu dengan
Tsar, pemimpin Pencuri dalam Hukum. Organisasi itu didirikan pada masa Rusia
masih diperintah
oleh
246
Tsar sungguhan, dan tetap bertahan hingga menjadi organisasi kriminal paling
ditakuti dan
dihormati di dunia.
"Tsar hanya mau bicara dengan sedikit wanita, di antaranya adalah ibuku. Ibuku akan
memintanya
agar mau menerima kedatanganmu," kata Sergei.
Telepon berdering, dan Sergei langsung mengangkatnya. Sementara mendengarkan
dengan cermat
apa kata ibunya, ia menjadi pucat dan mulai gemetar. Ia ragu-ragu beberapa saat, tapi
akhirnya
menyetujui saran ibunya. Ketika meletakkan pesawat, tangannya masih gemetaran.
"Apa ia setuju bertemu denganku?" tanya Jackson.
"Ya," sahut Sergei tenang. "Besok pagi ada dua orang datang menjemputmu: Alexei
Romanov,
putra Tsar, yang akan menggantikan bila Tsar meninggal, dan Stefan Ivanitsky,
sepupu Alexei,
pemimpin ketiga."
"Lalu apa masalahnya?"
"Karena tak mengenalmu, mereka mengajukan syarat."
"Apa syaratnya?"
"Jika Tsar berpendapat kau hanya menyia-nyiakan waktunya, dua orang itu akan
kembali dan
mematahkan satu kakiku, untuk mengingatkanku agar tak mengganggu mereka lagi."
"Kalau begitu sebaiknya kaupastikan bahwa kau tak ada di sekitar sini bila aku
kembali."
"Jika aku tak ada di sini, mereka akan mendatangi ibuku dan mematahkan kakinya.
Dan jika aku
tertangkap, mereka akan mematahkan kedua kakiku. Itulah aturan tak tertulis Mafia."
247
Jackson menimbang-nimbang apakah ia akan membatalkan pertemuan itu. la tak mau
bertanggung
jawab atas nasib Sergei bila akhirnya harus ditopang tongkat. Tapi bocah itu
mengatakan sudah
terlambat. Ia telah menerima syarat mereka.
Sekilas pandangan pada Stefan Ivanitsky, kemenakan Tsar, yang duduk di samping
kanannya, telah

cukup meyakinkan Jackson bahwa mematahkan kaki baginya hanya butuh waktu
sekejap, dan akan
segera melupakannya bahkan dalam waktu lebih singkat lagi.
Begitu melewati batas kota. iring-iringan mobil BMW itu mempercepat lajunya
hingga hampir
seratus kilometer per jam. Ketika merayapi jalan melingkar-lingkar naik ke
perbukitan, mereka
hanya berjumpa dengan sedikit kendaraan lain. Mereka melewati para petani di
pinggir jalan
dengan kepala tertunduk, tak ada tanda pada wajah mereka apakah mereka peduli
dengan masa
lampau atau dengan masa yang akan datang. Jackson mulai memahami mengapa
kata-kata
Zerimski dapat membangkitkan sepercik harapan terakhir yang tertinggal dalam diri
mereka.
Tanpa pemberitahuan lebih dulu, mobil terdepan tiba-tiba membelok ke kiri dan
berhenti di luar
gerbang besi kukuh yang puncaknya berhiaskan elang hitam dengan sayap terkepak.
Dua orang
membawa senapan Kalashnikov melangkah maju, dan sopii mobil pertama
menurunkan jendela
kaca gelap supaya mereka dapat mengintai ke dalam. Itu mengingatkan Jackson akan
kedatangan di
markas besar CIA— tetapi di Langley para penjaga hanya bersenjatakan pistol dan
masih
disarungkan.
248
Setelah ketiga mobil itu diperiksa, salah seorang penjaga mengangguk dan sayap-
sayap burung
elang itu menyibak. Iring-iringan mobil maju pelan-pelan mengikuti jalur masuk
berkerikil yang
melingkar melalui hutan lebat. Lima menit kemudian barulah Jackson melihat sekilas
sebuah
rumah, walaupun ternyata itu bukan rumah. Seabad lalu itu istana putra pertama
Kaisar, kini dihuni
oleh seorang keturunan jauh yang juga percaya akan posisinya sebagai ahli waris.
"Jangan bicara dengan Tsar kecuali bila ia menyapamu lebih dulu," demikian Sergei
mewanti-
wanti. "Dan selalu perlakukan dia seperti leluhurnya kaum ningrat." Jackson memilih
tak
mengatakan kepada Sergei bahwa ia tak punya gambaran sama sekali bagaimana
memperlakukan
seorang anggota Keluarga Kerajaan Rusia.
Mobil-mobil itu mendecit berhenti di muka pintu depan. Seseorang yang tinggi
anggun
mengenakan jas panjang hitam, kemeja putih, dan dasi kupu-kupu, berdiri menunggu
di anak
tangga teratas, la membungkuk kepada Jackson yang berusaha bergaya seolah telah
terbiasa dengan
perlakuan seperti itu. Bagaimanapun ia pernah bertemu dengan Richard Nixon satu
kali.
"Selamat datang di Is'ana Musim Dingin, Mr. Jackson," kata kepala pelayan itu. "Mr.
Romanov
menanti Anda di Galeri Biru."
Alexei Romanov dan Stefan Ivanitsky mengantar Jackson melewati pintu terbuka.
Jackson dan
Romanov muda mengikuti kepala pelayan itu melalui koridor panjang dari pualam,
sementara
Ivanitsky
249
tetap berdiri di dekat pintu masuk. Jackson sebenarnya ingin sekali berhenti untuk
mengagumi
lukisan-lukisan dan patung-patung yang pantas menghiasi museum mana pun di
dunia ini. Tapi
langkah si kepala pelayan yang teratur tak mengizinkannya. Kepala pelayan itu
berhenti ketika
sampai di dua pintu putih di ujung koridor yang hampir setinggi langit-langit. Ia
mengetuk dan
membuka salah satu pintu, dan menepi mempersilakan Jackson masuk.
"Mr. Jackson," ia memberitahukan, lalu meninggalkan ruangan itu dan menutup
pintu dengan
tenang.
Jackson melangkah ke dalam ruang duduk yang luas dan berperabotan mewah. Di
lantai terhampar
satu-satunya permadani, yang mana orang Turki bersedia memperdagangkan
hidupnya untuk
memperolehnya. Dari sebuah kursi bergaya Louis XIV berlengan tinggi dilapisi
beledu merah,
bangkitlah seorang tua dengan setelan biru bergaris-garis. Rambutnya keperakan, dan
warna
kulitnya menyiratkan bahwa sudah lama ia mengidap penyakit. Tubuhnya kurus agak
membungkuk
ketika ia melangkah maju untuk menjabat tangan tamunya.
"Sungguh baik kau datang sejauh ini untuk menemuiku, Mr. Jackson," katanya.
"Maafkan aku,
bahasa Inggrisku sudah agak karatan. Aku terpaksa meninggalkan Oxford tahun
1939, segera
setelah pecah perang, walau aku baru tahun kedua. Orang-orang Inggris tidak pernah
benar-benar
mempercayai orang-orang Rusia, meskipun kemudian kami menjadi sekutu." Ia
tersenyum manis.
"Aku yakin mereka bersikap sama bila berurusan dengan orang-orang Amerika."
250
Jackson tidak yakin bagaimana menanggapinya.
"Silakan duduk, Mr. Jackson," kata orang tua itu sambil memberi isyarat ke kursi,
kembaran dari
yang telah ia duduki.
"Terima kasih," kata Jackson. Itulah kata-kata pertama yang ia ucapkan sejak
meninggalkan hotel.
"Nah, Mr. Jackson," kata Romanov sambil pelan-pelan duduk di kursi, "jika aku
mengajukan
pertanyaan, pastikan menjawab dengan tepat. Bila ragu-ragu, bersantailah dulu
sebelum menjawab.
Sebab bila kau memutuskan berdusta padaku—bagaimana aku harus mengatakannya
ya?—kau
akan tahu bukan hanya pertemuan ini yang berakhir."
Jackson sebenarnya ingin keluar saal itu juga, tetapi tahu bahwa kemungkinan besar
orang tua
itulah satu-satunya orang di dunia yang dapat mengeluarkan Connor hidup-hidup dari
Penjara
Crucifix. la hanya mengangguk singkat untuk memberitahu bahwa ia telah mengerti.
"Baiklah," kata Romanov. "Dan sekarang aku ingin mengenal lebih baik mengenai
dirimu, Mr.
Jackson. Secara sekilas aku dapat mengatakan bahwa kau bekerja pada biro
penegakan hukum. Dan
karena kau di negeriku, kuasumsikan kau anggota CIA, bukan FBI. Benarkah aku?"
"Aku bekerja untuk CIA selama 28 tahun hingga digantikan baru-baru ini." Jackson
memilih kata-
katanya dengan hati-hati.
"Mempunyai bos wanita memang menyalahi hukum alam," Romanov memberi
komentar, tanpa
tersenyum sedikit pun. "Organisasi yang kupimpin takkan menerima ketololan
seperti itu."
251
Orang tua itu memiringkan tubuh ke meja di kirinya dan mengambil gelas kecil
penuh cairan tanpa
warna yang tidak diperhatikan Jackson hingga saat itu. Ia minum, dan
mengembalikan gelas itu ke
meja sebelum mengajukan pertanyaan berikutnya.
"Apakah kau akhir-akhir ini bekerja untuk biro penegakan hukum lainnya?"
"Tio'ak" sahut Jackson tegas.
"Jadi kau freelanceT tanya orang tua itu.
Jackson tidak menjawab.
"Aku tahu," katanya. "Dari sikap bungkammu aku dapat menarik kesimpulan bahwa
kau bukan
satu-satunya orang yang tak mempercayai Helen Dex-ter."
Lagi-lagi Jackson tak berkata sepatah pun. Tetapi ia segera mengetahui tak ada
gunanya berbohong
pada Romanov.
"Mengapa kau ingin bertemu denganku, Mr. Jackson?"
Jackson menduga orang tua itu tahu persis mengapa, tetapi ia mengikuti permainan
teka-teki itu.
"Aku datang atas nama sahabatku yang, karena ke-tololanku, telah ditangkap dan
sekarang
meringkuk di Penjara Crucifix."
"Lembaga yang tak begitu terkenal dengan catatan prestasi humaniternya, khususnya
bila mengenai
naik banding dan permohonan pembebasan bersyarat."
Jackson mengangguk setuju.
"Aku tahu bukan sahabatmu yang bertanggung jawab atas informasi pada pers bahwa
organisasiku
telah menawarkan sejuta dolar untuk menyingkirkan Zerimski dari persaingan calon
presiden
Sebab bila
252
itu benar, ia pasti telah gantung diri di selnya lama sebelum ini. Tidak. Kuduga orang
yang
menjajakan sepotong informasi salah ini salah seorang kaki tangan Helen Dexter,"
lanjut Romanov.
"Seandainya kau datang padaku agak lebih awal, Mr. Jackson, aku dapat
memperingatkanmu
mengenai Mitchell." Ia minum lagi dan menambahkan, "Ia salah satu dari sedikit
orang-orang
negaramu yang ku-pertimbangkan untuk kurekrut ke dalam organisasiku. Kulihat kau
terkejut akan
luasnya pengetahuanku."
Padahal Jackson merasa tak satu pun ototnya bergerak.
"Mr. Jackson, kau pasti tak kaget kan kalau tahu aku memasang orang-orangku di
jajaran eselon
atas baik CIA maupun FBI?" Senyum tipis kembali menghiasi wajahnya. "Dan jika
kuanggap
ternyata ada gunanya, akan kulugaskan juga orangku di Gedung Putih. Tapi karena
Presiden
Lawrence menyingkapkan apa saja yang ditanyakan padanya dalam konferensi pers
mingguan, itu
nyaris tak perlu. Kita lanjutkan ke pertanyaan berikut. Apakah sahabatmu bekerja
untuk CIA?"
Jackson tidak menjawab.
"Ah, begitu. Seperti dugaanku. Nah, kupikir ia boleh memastikan Helen Dexter
takkan buru-buru
membebaskannya kali ini."
Jackson tetap bungkam.
"Baiklah," kata orang tua itu. "Jadi sekarang aku tahu persis apa yang kauharapkan
dariku." Ia
berhenti sejenak. "Tapi aku bingung, tak tahu imbalan apa yang kautawarkan
padaku."
253
"Aku tak punya gambaran sama sekali berapa tarif yang berlaku sekarang," kata
Jackson.
Orang tua itu mulai tertawa. "Sesaat pun kau pasti tak percaya, Mr. Jackson, bahwa
kau
kudatangkan kemari hanya untuk membicarakan soal uang, ya kan? Lihatlah
sekelilingmu, maka
kau tahu bahwa berapa pun yang kautawarkan takkan cukup. Time menilai terlalu
rendah ketika
berspekulasi mengenai kekuasaan dan kekayaanku. Tahun lalu saja organisasiku
mempunyai om/et
$187 miliar, melebihi ekonomi Belgia atau Swedia. Kini kami punya cabang-cabang
yang
beroperasi penuh di 142 negara. Tiap bulan dibuka cabang baru, mengutip semboyan
McDonald.
Tidak, Mr. Jackson, hari-hariku yang tersisa di dunia ini tak cukup kalau disia-siakan
untuk
membicarakan uang dengan orang yang tak berduit."
"Lalu mengapa Anda bersedia menemuiku?" tanya Jackson.
"Kau tak perlu mengajukan pertanyaan, Mr. Jackson," kata Romanov tajam. "Jawab
saja
pertanyaanku. Aku kaget, tampaknya kau tak mendapat penjelasan yang cukup."
Romanov kembali meneguk cairan tak berwarna itu sebelum menjelaskan dengan
cermat apa yang
diharapkannya sebagai imbalan untuk membantu melepaskan Connor. Jackson tahu
ia tak
berwenang menerima persyaratan Romanov atas nama Connor, tetapi karena telah
diperintahkan
untuk tidak mengajukan pertanyaan, ia tetap diam.
"Mungkin kau perlu sedikit waktu untuk mempertimbangkan usulku, Mr. Jackson,"
lanjut

Romanov.
254
"Tapi bila sahabatmu setuju dengan persyaratanku, lalu gagal memenuhi
kewajibannya, ia harus
benar-benar disadarkan akan konsekuensi-konsekuensi tindakannya." Ia berhenti
untuk mengambil
napas. "Aku benar-benar berharap, Mr. Jackson, bahwa ia bukanlah jenis orang yang,
setelah
menandatangani persetujuan, mengandalkan pengacara lihai untuk mencari-cari
lubang guna
melepaskannya dari kewajibannya. Kau tahu, dalam pengadilan ini, aku adalah
hakim dan juri. Dan
akan kutunjuk putraku, Alexei, sebagai penuntut. Aku telah menugasinya dengan
tanggung jawab
pribadi untuk mengawasi bahwa perjanjian khusus ini dilaksanakan secara harfiah.
Aku telah
memerintahkannya agar menemanimu kembali ke Amerika. Dan ia takkan kembali
sebelum
persetujuan itu dilaksanakan. Kuharap semuanya telah jelas, Mr. Jackson."
Kantor Zerimski sangat kontras dengan istana Tsar. Pemimpin Komunis itu
menempati lantai tiga
gedung bobrok di pinggiran utara Moskwa, walaupun setiap orang yang pernah
diundang ke dacha-
nya di Volga dengan segera menyadari bahwa ia tidak asing dengan kemewahan.
Pemungutan suara telah berakhir pukul sepuluh tadi malam. Kini yang bisa dilakukan
Zerimski
hanyalah menunggu petugas dari Baltik hingga Pasifik menghitung kertas suara. Ia
tahu benar
bahwa di beberapa distrik orang-orang memberikan suara beberapa kali. Di tempat-
tempat lain
peti-peti suara tidak pernah sampai ke balai kota. Tetapi ia yakin bahwa begitu ia
menyetujui
syarat-syarat Borodin dan
255
jenderal itu menarik diri dari pencalonan presiden, kesempatannya untuk menang
terbuka lebar.
Namun ia cukup realistis untuk menjajaki pendapat dengan baik atas setengah suara-
suara itu
karena adanya dukungan Mafya terhadap Chernopov. Dengan demikian ia
mempunyai sedikit
kemungkinan untuk dinyatakan jadi pemenang. Karena alasan itulah ia memutuskan
bersekutu
dengan kubu Tsar.
Hasil pemilihan baru akan diketahui beberapa hari lagi. Karena di kebanyakan
tempat di negeri itu,
penghitungan suara masih secara manual. Ia tak perlu diingatkan pada ucapan Stalin
yang sering
dikutip, tak jadi soal berapa banyak jumlah orang yang memberikan suara, yang
penting hanya
siapa yang menghitungnya.
Kelompok inti Zerimski sedang bekerja melalui telepon untuk melacak apa yang
sedang terjadi di
tengah bangsa yang besar itu. Tetapi semua ketua negara bagian hanya mau
mengatakan bahwa
tampaknya terlalu cepat untuk menelepon. Hari itu si pemimpin Komunis
menggebrak meja lebih
sering daripada minggu sebelumnya, dan mengurung diri dalam kamarnya hingga
lama untuk
mengadakan pembicaraan telepon pribadi.
"Nah, itu berita bagus, Stefan," kata Zerimski. "Selama kau dapat menangani
masalah sepupumu."
la sedang mendengarkan jawaban Ivanitsky. Tiba-tiba ada ketukan di pintu. Ia
sedang meletakkan
pesawat telepon saat Kepala Staf masuk. Ia tak mau Titov mengetahui dengan siapa
ia baru saja
berbicara.
"Pers sedang bertanya-tanya apakah Anda mau bicara pada mereka," kata Titov
sambil berharap
256
majikannya bisa sibuk beberapa saat. Terakhir kali ia melihat nyamuk pers kemarin
pagi, ternyata
mereka semua menonton dia memberikan suara di Koski, distrik di Moskwa tempat
kelahirannya.
Barangkali tidak ada bedanya seandainya ia mencalonkan diri untuk menjadi
Presiden Amerika
Serikat.
Zerimski mengangguk enggan, dan mengikuti Titov menuruni anak tangga menuju
ke jalan, la
telah menginstruksikan kepada anggota stafnya supaya tidak mengizinkan anggota
pers memasuki
gedung, karena takut mereka akan mengetahui betapa organisasinya itu tidak efisien
dan
kekurangan staf. Tetapi itu akan berubah begitu ia menguasai peti simpanan negara.
Ia tidak
memberitahukan, bahkan pada Kepala Stafnya, bahwa bila ia menang, ini akan
menjadi pemilihan
umum terakhir di Rusia selama ia masih hidup. Dan ia tidak akan memedulikan
seberapa pun
banyaknya protes di majalah-majalah dan koran-koran asing. Dalam waktu sangat
singkat, mereka
tak akan mempunyai sirkulasi sama sekali di sebelah timur Jerman.
Begitu turun ke trotoar, Zerimski disambut oleh rombongan terbesar para wartawan
yang telah ia
lihat sejak permulaan kampanye.
"Sejauh mana Anda yakin akan menang, Mr. Zerimski?" teriak seseorang sebelum ia
sempat
mengucapkan selamat siang.
"Jika pemenang adalah orang yang paling banyak dipilih rakyat, akulah Presiden
Rusia berikut."
"Tapi ketua panel pengamat internasional mengatakan ini pemilihan paling
demokratis dalam
sejarah Rusia. Apakah Anda tak menerima penilaian itu?"
257
"Aku terima jika aku dinyatakan jadi pemenang," jawab Zerimski. Para wartawan
tertawa sopan
mendengar sedikit permainan kata ini.
"Jika terpilih, berapa lama lagi Anda akan mengunjungi Presiden Lawrence di
Washington?"
"Segera setelah ia mengunjungiku di Moskwa," tukasnya tangkas.
"Jika Anda jadi presiden, akan diapakan orang yang ditangkap di Lapangan
Kemerdekaan dan
dituduh bersekongkol untuk membunuh Anda itu?"
"Itu akan diputuskan pengadilan. Tapi kalian dapat memastikan ia akan memperoleh
pengadilan
yang adil."
Tiba-tiba Zerimski merasa bosan. Tanpa memberitahu lebih dulu ia berbalik dan
menghilang
kembali ke dalam gedung, tak menggubris pertanyaan-pertanyaan yang diteriakkan.
"Apakah Anda menawarkan jabatan kepada Borodin dalam kabinet baru Anda
nanti?"
"Apa yang akan Anda lakukan terhadap Chech-nya?"
"Apakah Mafya akan jadi sasaran pertama Anda?"
Sementara dengan lelah ia menaiki tangga menuju ke lantai tiga, ia memutuskan
bahwa menang
atau kalah itulah terakhir kalinya ia akan bicara dengan pers. Ia tidak iri pada
Lawrence yang
berusaha mengelola negara di mana para wartawan berharap diperlakukan sederajat.
Begitu sampai
di kantornya, ia merebahkan diri di kursi yang nyaman, dan tidur untuk pertama
kalinya setelah
beberapa hari.
Anak kunci diputar di dalam lubang kunci, dan
258
pintu sel terbuka lebar. Bolchenkov masuk sambil membawa ransel besar dan koper
kulit yang
lusuh.
"Kaulihat aku kembali lagi," kata Kepala Polisi St. Petersburg, sambil duduk
berhadapan dengan
Connor. "Dari situ kau bisa mengasumsikan aku menginginkan obrolan ojf the record
lagi. Tapi
terpaksa kukatakan aku mengharap obrolan ini bisa lebih produktif daripada
pertemuan kita yang
terakhir."
Kepala Polisi memandangi orang yang duduk di bangku itu. Tampaknya dalam lima
hari ini berat
Connor susut beberapa kilo.
"Kulihat kau belum terbiasa dengan nouvelle cui-sine kami." kata Bolchenkov sambil
menyulut
rokok. "Harus kuakui perlu beberapa hari bahkan bagi para penjahat di St. Petersburg
untuk dapat
sepenuhnya mengerti menu Crucifix. Tapi mereka dapat menerimanya begitu
menyadari mereka di
sini untuk seluruh sisa hidup mereka. Dan di sini tak ada alternatif masakan a la
carte." Ia menyedot
rokok dalam-dalam dan mengepulkan asapnya melalui hidung.
"Sebenarnya," ia melanjutkan, "kau mungkin telah membaca di koran baru-baru ini,
seorang napi
kami telah memangsa sesama napi. Tapi dengan kurangnya jatah makan dan
berjubelnya penghuni,
hal ini tak perlu kita ributkan."
Connor tersenyum.
"Ah, bagaimanapun kau masih hidup," kata Kepala Polisi. "Nah, aku harus
memberitahumu, ada
perkembangan menarik sejak pertemuan kita terakhir kali. Menurutku kau ingin
mengetahuinya."
259
Ia meletakkan ransel dan koper kulit itu di lantai. "Dua barang ini dilaporkan kepala
portir National
Hotel sebagai barang-barang tak bertuan."
Connor mengernyitkan alis.
"Tepat seperti dugaanku," kata Kepala Polisi. "Dan sejujurnya, ketika kami
menunjukkan fotomu,
portir itu mengkonfirmasikan bahwa meskipun ia ingat orang yang cocok dengan
foto itu
menitipkan ransel, * ia tak ingat koper ini. Walau begitu kukira kau tak perlu
diberitahu tentang
isinya."
Kepala Polisi membuka koper dan mengeluarkan Remington 700. Connor menatap
lurus-lurus,
pura-pura acuh tak acuh.
"Walau kau pasti pernah memegang senjata tipe . ini, aku yakin kau belum pernah
melihat senapan
khusus ini, kendati inisial PD.V. tertera dengan pas pada koper ini. Bahkan seorang
rekrut yang
masih hijau dapat menyimpulkan kau telah dijebak."
Bolchenkov mengisap rokoknya dalam-dalam.
"CIA pasti menganggap kepolisian kami adalah yang paling tolol di seluruh dunia.
Apa mereka
mengira kami tak tahu apa pekerjaan Mitchell yang sebenarnya? Atase Kebudayaan!"
dengusnya.
"Ia mungkin mengira Hermitage itu toserba. Sebelum kau mengatakan sesuatu, aku
masih
mempunyai berita lain yang mungkin kauminati." la kembali menyedot rokoknya dan
membiarkan
nikotin meresap ke dalam paru-paru. "Victor Zerimski memenangkan pemilihan. Ia
akan dilantik
jadi presiden Senin mendatang."
Connor tersenyum tipis.
"Dan karena aku tak bisa membayangkan kau akan ditawarinya kursi di deretan
depan dalam pe-
260
lantikan," kata Kepala Polisi, "mungkin sudah tiba saatnya kauceritakan versimu
pada kami, M r.
Fitzgerald."
261
BAB SEMBILAN BELAS
Presiden zerimski memasuki ruangan dengan angkuh. Kolega-koleganya bangkit dari
kursi di
sekeliling meja panjang kayu jati dan bertepuk tangan hingga ia duduk di bawah
potret Stalin, yang
dibangkitkan kembali dari basement Museum Pushkin, tempatnya merana sejak
tahun 1956.
Zerimski mengenakan setelan biru tua, kemeja putih, dan dasi sutra merah. Ia tampak
sangat
berbeda dari orang-orang yang duduk di sekeliling meja, yang masih mengenakan
pakaian
berpotongan kurang cocok sejak kampanye pemilihan. Pesannya jelas— mereka
harus ke penjahit
sesegera mungkin.
Zerimski membiarkan tepuk tangan berlangsung beberapa saat, kemudian tangannya
memberi
isyarat supaya para koleganya duduk seolah mereka hanyalah massa yang
memujanya.
"Meskipun secara resmi baru Senin yang akan datang aku memangku jabatan
baruku," ia memulai
262
kata-katanya, "aku bermaksud segera mengadakan perubahan dalam satu-dua
bidang." Presiden
mengedarkan pandang kepada para pendukung yang telah mendampinginya melewati
tahun-tahun
sulit itu. Mereka kini baru akan menerima imbalan atas kesetiaan mereka. Banyak di
antaranya
yang telah menunggu selama setengah hidupnya.
Ia mengalihkan perhatian kepada orang gemuk pendek yang pandangannya kosong di
depannya.
Joseph Pleskov telah diangkat dari tukang pukul Zerimski menjadi anggota penuh
Politbiro sehari
setelah ia menembak mati tiga orang yang mencoba membunuh bosnya selama
kunjungan ke
Odessa. Pleskov mempunyai satu keutamaan yang dituntut Zerimski dari setiap
menteri dalam
kabinetnya: selama memahami perintah-perintahnya, ia akan melaksanakannya.
"Joseph, sahabat lamaku," kata Zerimski. "Kau akan jadi menteri dalam negeriku."
Beberapa wajah
di sekitar meja berusaha untuk tidak tampak terkejut atau kecewa. Kebanyakan dari
mereka tahu
bahwa mereka jauh lebih berkualitas untuk melaksanakan pekerjaan itu daripada
mantan pekerja
dermaga dari Ukraina tersebut. Dan beberapa menduga ia bahkan tak tahu jabatan itu
sering
disingkat menjadi Men-dagri. Orang pendek gemuk itu memandang bersinar-sinar
kepada
pemimpinnya seperti bocah yang mendapatkan mainan yang tak terduga.
"Tanggung jawab pertamamu, Joseph, ialah menangani tindak pidana terorganisasi.
Menurutku
cara terbaik untuk memulai tugas itu adalah dengan menahan Nicolai Romanov, yang
disebut Tsar.
Sebab
263
takkan ada tempat untuk Tsar atau kaum ningrat apa pun selama aku jadi presiden."
Satu-dua wajah yang sesaat sebelumnya tampak cemberut tiba-tiba menjadi ceria.
Hanya sedikit
dari mereka sanggup menghadapi Nicolai Romanov, dan tak seorang pun percaya
Pleskov sanggup
melaksanakannya.
"Apa tuduhannya?" tanya Pleskov polos.
"Apa pun yang kausukai, penipuan hingga pembunuhan," sahut Zerimski. "Tapi
pastikan tuduhan
itu tetap bertahan."
Pleskov sudah tampak sedikit cemas. Akan jauh lebih mudah seandainya Bos
memerintahkan
membunuh orang itu begitu saja.
Mata Zerimski mengitari meja. "Lev," katanya kepada seseorang yang tetap setia
buta kepadanya.
"Aku akari* memberimu setengah dari program hukum dan ketertibanku."
Lev Shulov tampak gugup, tidak tahu pasti apakah harus berterima kasih atas apa
yang akan ia
terima.
"Kau akan jadi menteri kehakimanku yang baru."
Shulov tersenyum.
"Biar kujelaskan bahwa sekarang ini terlalu banyak kemacetan di dalam pengadilan.
Angkatlah
sekitar selusin hakim baru. Pastikan mereka telah lama menjadi anggota Partai.
Mulailah dengan
menjelaskan pada mereka bahwa aku hanya punya dua kebijakan bila mengenai
hukum dan
ketertiban: yaitu pengadilan lebih singkat dan hukuman lebih lama. Dan aku berniat
membuat
contoh seseorang yang pantas diberitakan dalam hari-hari pertama kepresidenanku,
264
supaya tak ada keragu-raguan lagi mengenai nasib mereka yang menghalangiku."
"Apakah ada seseorang yang Anda pikirkan, Mr. President?"
"Ya," jawab Zerimski, "kalian pasti ingat..." Ada ketukan lembut di pintu. Semuanya
berpaling
ingin tahu siapa yang berani mengganggu rapat kabinet pertama presiden baru.
Dmitri Titov masuk
tanpa suara, menebak bahwa Zerimski akan lebih bosan lagi bila tidak disela.
Presiden mengetuk-
ngetuk meja dengan jarinya sementara Titov berjalan di sepanjang ruangan,
kemudian
membungkuk dan berbisik di telinga Zerimski.
Zerimski langsung meledak tertawa. Yang lain-lainnya ingin ikut tertawa, tetapi
enggan, karena
belum tahu leluconnya. Zerimski menatap kolega-koleganya. "Presiden Amerika
Serikat
menelepon, rupanya ingin memberi selamat padaku." Kini mereka semua bisa ikut
tertawa.
"Keputusanku berikutnya ialah apakah sebaiknya kubiarkan dia menunggu—selama
tiga tahun
mendatang..." Mereka semua tertawa lebih keras lagi, kecuali Titov, "...atau apakah
sebaiknya
kuterima telepon itu."
Tak seorang pun memberikan pendapat.
"Apakah akan kita lihat dulu apa yang dikehendaki orang itu?" tanya Zerimski.
Mereka semua
mengangguk. Titov mengangkat pesawat telepon di sampingnya dan
menyerahkannya kepada Bos.
"Mr. President," kata Zerimski.
"Bukan, Sir," segera terdengar jawaban. "Nama saya Andy Lloyd. Saya Kepala Staf
Gedung Putih.
265
Bolehkah saya hubungkan dengan Presiden Lawrence?"
'Tidak. Tak boleh," kata Zerimski marah. "Katakan pada Presidenmu, lain kali dia
harus menelepon
sendiri, sebab aku tak berurusan dengan pesuruh." Ia membanting pesawat dan
semuanya tertawa
lagi.
"Nah, apa yang sedang kukatakan tadi?"
Shulov menjawab, "Anda baru saja menjelaskan pada kami, Mr. President, siapa
yang dijadikan
contoh untuk menunjukkan kedisiplinan baru Departemen Kehakiman."
"Ah, ya," kata Zerimski, senyum kembali muncul di bibirnya ketika telepon
berdering lagi.
Zerimski menunjuk Kepala Staf, yang mengangkat pesawat.
"Apakah mungkin berbicara dengan Presiden Zerimski?" tanya sebuah suara.
"Siapa yang hendak bicara dengannya?" tanya Titov.
"Tom Lawrence."
Titov menyerahkan telepon kepada Bos. "Presiden Amerika Serikat," hanya itu kata-
kata Titov.
Zerimski mengangguk dan menerima telepon itu
"Kaukah itu, Victor?"
"Ini Presiden Zerimski. Dengan siapa aku bicara?"
"Tom Lawrence," jawab Presiden sambil mengernyitkan alis kepada Menteri Luar
Negeri dan
Kepala Staf Gedung Putih yang sedang ikut mendengarkan dengan pesawat extention
mereka.
"Selamat pagi. Bisa kubantu?"
"Aku menelepon hanya untuk menambah ucapan selamat yang pasti telah kauterima
setelah
kemenang-
266
an yang begitu mengesankan." Sebenarnya Tom Lawrence ingin mengatakan "yang
tak terduga",
namun Departemen Luar Negeri tidak menyetujuinya. "Persaingan yang sangat ketat.
Tapi setiap
orang di dunia politik mengalami masalah itu dari waktu ke waktu."
"Itu bukan masalah yang akan kualami lagi," kata Zerimski. Lawrence tertawa,
menganggap
ucapan ini dimaksudkan sebagai lelucon. Ia takkan berbuat demikian jika bisa
melihat pandangan
membeku orang-orang di seputar meja kabinet di Kremlin.
Lloyd berbisik, "Terus saja."
"Hal pertama yang ingin kulakukan adalah mengenalmu dengan lebih baik, Victor."
"Kalau begitu kau harus mulai memahami bahwa hanya ibuku yang memanggilku
dengan nama
depan."
Lawrence menyimak catatan-catatan yang terbuka di mejanya. Matanya menatap
nama lengkap
Zerimski, Victor Leonidovich. Ia menggarisbawahi "Leonidovich", tetapi Larry
Harrington
menggeleng.
"Maaf," kata Lawrence. "Anda menghendaki saya menyapa Anda bagaimana?"
"Dengan cara yang sama yang diharapkan dari seseorang yang tak tahu bagaimana
harus menyapa
Anda."
Walaupun hanya dapat mendengar dari satu pihak, mereka yang duduk di seputar
meja di Moskwa
menikmati kontak pertama antara dua pemimpin itu. Lain halnya dengan mereka
yang berada di
Ruang Oval.
"Coba yang lainnya, Mr. President," saran Menteri Luar Negeri sambil tangannya
menutupi
pesawat.
Tom Lawrence memandang sekilas pertanyaan-
267
pertanyaan yang telah disiapkan Andy Lloyd dan melewati satu halaman. "Saya
berharap tak begitu
lama lagi kita dapat menemukan kesempatan untuk bertemu. Tolong pikirkan hal
itu," tambahnya.
"Memang agak mengherankan kita belum pernah berjumpa sebelum ini."
"Tidak begitu mengherankan," kata Zerimski. "Ketika Anda terakhir kali
mengunjungi Moskwa
bulan Juni, Kedutaan Anda tidak mengundang saya dan kolega-kolega saya
menghadiri santap
malam yang diselenggarakan untuk Anda." Orang-orang di seputar meja itu
menggumamkan
dukungan.
"Nah, Anda pasti sudah tahu bahwa dalam kunjungan ke luar negeri seperti itu orang
terlalu diatur
oleh petugas-petugas lokal..."
"Saya sangat berminat mengetahui petugas lokal mana yang menurut Anda pantas
diganti sesudah
salah perhitungan yang begitu mendasar." Zerimski berhenti sejenak. "Mungkin
dimulai dengan
Duta Besar Anda."
Kesunyian panjang menyusul sementara ketiga orang di Ruang Oval itu menelusuri
pertanyaan-
pertanyaan yang dengan tekun mereka persiapkan. Sejauh ini mereka tidak
mengantisipasi salah
satu jawaban Zerimski.
"Saya dapat memastikan," tambah Zerimski, "bahwa saya tidak akan mengizinkan
salah satu
petugas saya, baik lokal atau apa pun, untuk mengalahkan kehendak pribadi saya."
"Betapa beruntungnya Anda," kata Lawrence tanpa mau lagi mengindahkan
jawaban-jawaban yang
telah disiapkan.
268
"Keberuntungan bukanlah faktor yang saya pertimbangkan," kata Zerimski. "Lebih-
lebih bila
berurusan dengan lawan-lawan saya."
Larry Harrington tampak mulai putus asa, tetapi Andy Lloyd cepat-cepat menuliskan
pertanyaan di
notes dan menyodorkannya kepada Presiden. Lawrence mengangguk.
"Mungkin sebaiknya kita segera mengadakan pertemuan sehingga dapat saling
mengenal dengan
lebih baik?"
Trio Gedung Putih itu menunggu tawaran tersebut ditolak mentah-mentah.
"Akan saya pikirkan dengan saksama," sahut Zerimski, mengejutkan semua orang di
kedua belah
pihak. "Sebaiknya Anda minta Mr. Lloyd menghubungi Kamerad Titov, yang
bertanggung jawab
mengatur pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin asing."
"Pasti akan saya lakukan," kata Lawrence lega. "Saya akan minta Andy Lloyd
menelepon Mr.
Titov dalam beberapa hari ini" Lloyd menulis lagi dan menyerahkannya kepada
Presiden. Catatan
itu berbunyi: "Dan tentu saja saya akan sangat senang mengunjungi Moskwa."
"Selamat pagi, Mr. President," kata Zerimski.
"Selamat pagi, Mr. President," jawab Lawrence.
Begitu meletakkan telepon, Zerimski langsung memperoleh tepuk tangan. Cepat-
cepat ia berpaling
kepada Kepala Staf dan berkata, "Bila Lloyd menelepon, ia akan mengusulkan
kunjunganku ke
Washington. Terima saja tawaran itu."
Kepala Stafnya tampak kaget.
Sambil berpaling ke kolega-koleganya, Presiden
269
berkata,' "Aku sungguh yakin Lawrence akan segera menyadari dengan orang macam
apa dia
berurusan. Tapi yang lebih penting, aku ingin publik Amerika juga mengetahuinya."
Ia
mengatupkan kedua tangannya. "Aku akan mulai dengan memastikan bahwa RUU
Pengurangan
Senjata Lawrence kalah di Senat. Tak ada hadiah Natal yang lebih sesuai untuk...
Tom."
Kali ini ia membiarkan mereka memberi aplaus pendek kepadanya. Kemudian baru
menyuruh
mereka diam dengan lambaian tangan.
"Tapi saat ini kita harus kembali ke masalah-masalah domestik kita yang lebih
mendesak. Begini,
aku percaya bahwa warga negara kita sendiri harus disadarkan akan keberanian
pemimpin baru
mereka. Akan kuberikan contoh yang takkan menyisakan keraguan sedikit pun
tentang maksudku
menangani mereka yang berniat akan jadi pihak oposisiku." Mereka semua menanti
untuk
mengetahui siapa yang dipilih Zerimski bagi kehormatan ini.
Ia mengalihkan pandangan ke Menteri Kehakiman yang baru saja ditunjuk. "Di mana
pembunuh
bayaran Mafya yang berusaha membunuhku itu?"
"Ia ditahan di Penjara Crucifix," jawab Shulov. "Saya kira Anda menginginkannya di
situ
menghabiskan seluruh sisa hidupnya."
"Sudah tentu tidak," kata Zerimski. "Dipenjara seumur hidup itu vonis terlalu ringan
bagi tindak
pidana yang begitu biadab. Dialah orang paling sesuai untuk diadili. Kita akan
menjadikannya
contoh publik pertama."
"Mungkin polisi belum bisa mengajukan buku bahwa ia..."
270
"Kalau begitu rekayasa saja." kata Zerimski. "Sidangnya hanya akan disaksikan oleh
para anggota
Partai yang setia."
"Saya paham, Mr. President," kata Mepteri Kehakiman baru itu. Ia ragu-ragu. "Apa
rencana Anda?"
"Sidang cepat dengan diketuai salah satu hakim baru kita dan juri yang hanya terdiri
atas para-
pengurus Partai."
"Dan hukumannya, Mr. President?"
"Hukuman mati, tentu saja. Begitu hukuman dijatuhkan, pers harus diberitahu aku
akan menghadiri
eksekusinya."
"Kapan itu akan terjadi?" tanya Menteri Kehakiman sambil menuliskan setiap kata
Zerimski.
Presiden membuka-buka lembaran buku agenda dan mulai mencari sela acara sekitar
seperempat
jam. "Jumat yang akan datang pukul delapan. Dan sekarang sesuatu yang lebih
penting lagi—
rencanaku untuk masa depan angkatan bersenjata." la tersenyum kepada Jenderal
Borodin, yang
duduk di kanannya dan hingga saat itu belum membuka mulut.
"Kau memperoleh hadiah paling besar dari semuanya, menjadi wakil presiden...."
271
BAB DUA PULUH
Ketika disekap di kamp Nan Dinh, Connor telah mengembangkan sistem
penghitungan hari selama
ia jadi tahanan.
Pukul lima setiap pagi seorang Vietkong muncul membawa semangkuk nasi dengan
banyak sekali
air. Itulah satu-satunya makanan untuk hari itu. Connor lalu mengambil sebutir nasi
dan
memasukkannya ke salah satu dari tujuh tiang bambu yang menyangga tempat
tidurnya. Setiap
minggu ia memindahkan salah satu butir nasi itu ke dalam tiang besar di atas kepala.
Lalu enam
butir lainnya ia makan. Setiap empat minggu ia memindahkan salah satu butir dari
tiang di atas
kepala ke antara papan-papan lapisan di dasar ranjang. Pada hari ia dan Chris
Jackson lolos dari
kamp, Connor tahu persis bahwa ia telah ditahan selama satu tahun, lima bulan, dan
dua hari.
Tetapi dengan terbaring di bangku dalam sel tanpa jendela di Penjara Crucifix, ia tak
dapat
menemukan
272
sistem untuk mencatat berapa lama ia berada di situ. Kepala Polisi telah
mengunjunginya dua kali,
dan pergi dengan tangan hampa. Connor mulai berpikir-pikir berapa lama lagi ia
akan tahan
sebelum menjadi tak sabar karena hanya selalu harus mengulang-ulang nama,
kebangsaan, dan
minta izin untuk menemui Duta Besarnya. Ia tak perlu menanti lama untuk
mengetahuinya. Hanya
beberapa saat setelah Bolchenkov meninggalkan sel untuk kedua kalinya, tiga orang
yang telah
menyambutnya pada siang hari kedatangannya memasuki selnya.
Dua di antara mereka menariknya dari bangku dan mencampakkannya ke kursi yang
baru saja
diduduki Kepala Polisi. Mereka menelikung kedua tangan Connor di belakang
punggung dan
memborgolnya.
Itulah pertama kalinya Connor melihat pisau cukur pembunuh. Sementara dua orang
menekannya,
orang ketiga menggundulinya dengan empat belas garukan pisau cukur itu dan
kulitnya ikut
terkelupas juga. Orang itu tak mau buang-buang waktu memakai sabun dan air. Lama
setelah
Connor ditinggalkan terpuruk di kursi, darah masih terus melumuri wajahnya dan
mengotori
kemejanya.
Ia ingat akan kata-kata Kepala Polisi pada pertemuan pertama mereka: "Aku tak
percaya pada
penyiksaan. Itu bukan gayaku." Tetapi waktu itu sebelum Zerimski menjadi presiden.
Akhirnya ia tertidur, tapi tak tahu berapa lama. Hal berikutnya yang ia ingat adalah ia
diangkat dari
lantai dan dicampakkan kembali ke kursi dan ditekan beberapa saat.
273
Orang ketiga mengganti pisau cukur dengan jarum panjang tebal, dan dengan
kepiawaian sama
seperti ketika mencukur, kini mentatokan nomor "12995" pada pergelangan kiri
tahanan. Mereka
jelas tidak mempercayai nama yang disebutkan para tahanan itu waktu didaftarkan di
Penjara
Crucifix.
Ketika kembali untuk ketiga kalinya, mereka me-nyentakkannya dari lantai dan
mendorongnya
keluar sel ke lorong panjang gelap. Pada saat-saat seperti ini Connor berharap tak
punya imajinasi
saja. Ia berusaha tak memikirkan apa yang direncanakan mereka untuknya. Surat
pujian yang
menyertai Medali Kehormatan menyatakan bahwa Letnan Fit/gerald telah memimpin
orang-
orangnya tanpa takut, menyelamatkan seorang rekan perwira, dan berhasil lolos
secara
mengagumkan dari penjara kamp perang Vietnam Utara. Tetapi Connor tahu ia
belum pernah
menjumpai orang yang tanpa takut. Di Nan Dinh ia dapat bertahan selama satu tahun,
lima bulan,
dan dua hari—tapi waktu itu ia baru berusia 22. Dan pada usia 22 orang yakin
dirinya tak bisa mati.
Ketika mereka mendorongnya keluar lorong dan memasuki sinar matahari pagi, yang
dilihat
Connor pertama-tama ialah segerombolan napi yang sedang mendirikan tiang
gantungan. Kini ia
berusia 55. Tak seorang pun perlu memberitahunya bahwa ia bukannya tak bisa mati.
Ketika masuk kerja di Langley hari Senin itu, Joan Bennett tahu persis berapa hari
yang telah
dijalaninya dari hukuman delapan bulan yang dijatuhkan padanya. Karena setiap
petang, tepat pada
waktu ia akan
274
meninggalkan rumah, ia terlebih dulu memberi makan kucing dan mencoret satu
tanggal lagi di
kalender yang tergantung di tembok dapur.
Ia meninggalkan mobilnya di area parkir sebelah barat, lalu langsung menuju
perpustakaan. Setelah
menandatangani daftar hadir, ia menuruni tangga besi menuju ke bagian referensi.
Selama sembilan
jam berikutnya ia akan membaca sekumpulan ringkus an terakhir koran-koran dan
lumu bin1.ih
yang dikirim melalui e-mail, hanya disela dengan istirahat makan tengah malam.
Tugas utamanya
ialah mencari apa saja yang menyebut Amerika Serikat; dan jika genting, ia harus
mengkopinya
secara elektronis dan menyusunnya jadi satu, serta mengirimkannya lewat e-mail
kepada bosnya di
lantai tiga, lalu akan dipertimbangkan konsekuensi-konsekuensinya pada jam-jam
yang lebih
manusiawi pagi harinya. Memang pekerjaan yang membosankan dan mematikan
pikiran. Pada
beberapa kesempatan ia telah mempertimbangkan hendak mengundurkan diri, tetapi
ia telah
bertekad bulat tidak akan memberikan kepuasan tersebut kepada Gutenburg.

Menjelang saat istirahat makan tengah malamnya tiba, sekilas Joan menangkap judul
berita
Istanbul News. "Pembunuh Mafya Harus Diadili". Sepengeta-huannya Mafia hanya
ada di Italia,
maka ia kaget karena artikel itu mengenai seorang teroris Afrika Selatan yang diadili
karena
mencoba membunuh Presiden Rusia yang baru. Ia pasti tidak akan menaruh
perhatian lebih lanjut
jika tidak melihat goresan gambar terdakwa.
Jantung Joan berdegup kencang ketika ia membaca
artikel panjang Fatima Kusmann, koresponden htanbul News untuk Eropa Timur.
Dalam artikel itu
ia menyatakan telah duduk di samping pembunuh profesional itu selama rapat di
Moskwa di mana
Zerimski menyampaikan pidato.
Lewat tengah malam, namun Joan tetap di mejanya.
Ketika Connor berdiri di halaman penjara dan menatap tiang gantungan yang
setengah jadi, sebuah
mobil polisi berhenti dan salah satu tukang pukul itu mencampakkannya ke jok
belakang. Ia
terkejut saat melihat ternyata Kepala Polisi telah menunggunya. Bolchenkov nyaris
tak mengenali
laki-laki kurus dan. gundul itu.
Keduanya tidak berbicara sementara mobil melewati gerbang dan keluar penjara.
Mobil belok ke
kanan dan melaju sepanjang tepi Sungai Neva dengan kecepatan lima puluh
kilometer per jam.
Mobil melintasi tiga jembatan, kemudian baru belok ke kiri dan melewati jembatan
keempat yang
akan membawa mereka ke pusat kota. Sementara mobil menyeberangi 3 sungai,
Connor
memandang ke luar jendela ke istana hijau muda Hermitage. Sangat kontras dengan
penjara yang
baru ditinggalkannya. Ia mendongak ke langit yang biru cerah, dan kembali
memandangi orang-
orang yang lalu lalang di jalan. Segera ia sadar betapa sangat berharga
kemerdekaannya. Begitu
berada di sisi selatan sungai, mobil belok ke kanan, dan setelah beberapa ratus meter
mobil berhenti
di depan Gedung Pengadilan. Pintu mobil dibuka oleh seorang polisi yang telah
menunggu. Jika
Connor
276
berniat meloloskan diri, lima puluh polisi lainnya di trotoar membuatnya berpikir dua
kali. Mereka
membentuk barisan panjang penyambutan, sementara ia menaiki tangga menuju ke
gedung tinggi
itu.
Ia digiring ke meja penerimaan tamu. Seorang* petugas meletakkan tangan kiri
Connor ke meja,
mengamati pergelangannya, dan menuliskan nomor ' 12995" di lajur dakwaan. Ia lalu
dibawa
menyusuri lorong pualam menuju dua pintu jati yang kukuh. Ketika ia tinggal
beberapa langkah
dari pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka lebar, dan ia memasuki ruang sidang yang
penuh sesak.
Ia mengedarkan pandang ke lautan wajah itu, jelas mereka telah menantikannya.
Joan mengetik perintah pencarian dalam komputer: usaha pembunuhan terhadap
Zerimski. Semua
laporan dalam pers tampaknya sama dalam satu hal: orang yang telah ditahan di
Lapangan
Kemerdekaan adalah Piet de Villiers, seorang jago tembak dari Afrika Selatan yang
disewa Mafya
Rusia untuk membunuh Zerimski. Sebuah senapan yang ditemukan di antara barang-
barang
miliknya telah diidentifikasi sama dengan senapan yang digunakan untuk membunuh
Ricardo
Guzman, calon presiden di Kolombia dua bulan sebelumnya.
Joan men-scan goresan gambar de Villiers di koran Turki itu, dan membesarkannya
hingga
memenuhi layar. Kemudian ia membesarkan kedua matanya ke ukuran yang
sesungguhnya.
Sekarang ia telah yakin akan identitas sesungguhnya orang yang akan diadili di St.
Petersburg itu.
277
Joan melihat jamnya. Pukul dua lewat beberapa menit. Ia mengangkat telepon di
sampingnya dan
menghubungi nomor yang telah dihafalnya. Telepon, berdering beberapa saat
sebelum akhirnya
sebuah suara mengantuk menjawabnya, "Siapa itu?"
Joan hanya mengatakan, "Penting. Kita harus bertemu. Aku akan tiba di rumahmu
sekitar sejam
lagi." Dan ia meletakkan telepon.
Beberapa saat kemudian seseorang lain dibangunkan dering telepon. Ia
mendengarkan dengan
cermat j kemudian berkata, "Kita harus memajukan jadwal semula beberapa hari."
Connor berdiri di tempat terdakwa, dan memandangi ke sekeliling ruang pengadilan.
Pertama-tama
ia me-l natap juri. Dua belas orang yang baik dan tulus? Sepertinya tidak. Tak
seorang pun menatap
ke arahnya. Ia menduga tidak lama mengambil sumpah, mereka, dan takkan ada yang
mengajukan
pengganti.
Ketika seorang yang mengenakan jubah hitam panjang masuk ruangan dari pintu
samping, semua
orang di ruang sidang bangkit berdiri. Ia duduk 6\i kursi lebar berlapis kulit di tengah
tempat duduk
tinggi di bawah potret seluruh badan Presiden Zerimski. Petugas administrasi
pengadilan bangkit!
dari kursi dan membacakan dakwaan dalam bahasaJ Rusia. Connor nyaris tidak dapat
mengikuti
proses j ini, dan sudah pasti tidak ditanya bagaimana ia akanJ mengajukan pleidoi.
Petugas itu
duduk kembali. Se-I orang pria setengah baya dan berwajah murung ( bangkit dari
bangku tepat di
bawah Hakim dand mulai berpidato kepada juri.
278
Sambil memegangi kelepak jas, Jaksa menghabiskan sisa waktu pagi itu dengan
melukiskan
peristiwa-peristiwa yang berakhir dengan penangkapan terdakwa. Ia bercerita kepada
juri
bagaimana de Villiers telah mengikuti Zerimski beberapa hari, kemudian baru
ditangkap di
Lapangan Kemerdekaan. Dan bagaimana senapan yang akan digunakan terdakwa
untuk membunuh
presiden mereka yang tercinta telah ditemukan di antara barang-barang miliknya di
lobi hotel.
"Kesombongan pribadi telah mengalahkan terdakwa," kata Jaksa. "Koper yang berisi
senapan
mempunyai inisial jelas tercetak di atasnya." Jaksa lalu mempersilakan juri
memeriksa senapan dan
koper itu.
"Lebih memberatkan lagi secarik kertas telah ditemukan terbuang di kantong sampah
toilet
terdakwa," lanjut Jaksa, '"yang mengkonfirmasikan transfer uang satu juta dolar AS
ke sebuah
rekening yang bernomor di Jenewa." Lagi-lagi juri memperoleh kesempatan untuk
mempelajari
bukti itu. Selanjutnya Jaksa memuji ketekunan dan kecerdikan polisi St. Petersburg
karena
menggagalkan tindakan keji ini, serta profesionalisme mereka dalam menangkap
pelaku kriminal
yang hendak beraksi Ia menambahkan bahwa seluruh bangsa berutang budi kepada
Vladimir
Bolchenkov, Kepala Polisi St. Petersburg. Beberapa anggota juri mengangguk setuju.
Jaksa mengakhiri monolog ini dengan memberitahu juri bahwa bilamana terdakwa
ditanya apakah
telah disewa Mafya untuk melaksanakan pembunuhan ini, ia menolak memberi
jawaban. "Anda
harus mengartikan kebungkamannya sesuai kehendak Anda," kata-
279

nya. "Kesimpulan saya sendiri, setelah mendengar bukti-bukti, hanya ada satu vonis
dan satu
hukuman." Ia tersenyum tipis kepada Hakim dan duduk kembali.
Connor memandang seputar ruang sidang untuk melihat siapa yang ditunjuk untuk
membelanya, la
bertanya-tanya, bagaimana pengacaranya akan melaksanakan tugas bila mereka
bertemu saja
belum.
Hakim mengangguk ke ujung lain meja, dan seorang muda yang tampaknya belum
lama lulus dari
sekolah hukum berdiri dan berbicara kepada pengadilan, la tidak mengatupkan
kelepak jasnya,
tidak tersenyum kepada Hakim, bahkan tidak mengindahkan juri. la hanya berkata,
"Klien saya
tidak mengajukan pembelaan." Lalu ia duduk kembali.
Hakim mengangguk, kemudian mengalihkan perhatian kepada ketua juri, yang
tampak seram dan
tahu dengan tepat apa yang diharapkan dari dirinya. Setelah diberi isyarat ia bangkit
dari kursi.
"Setelah mendengarkan bukti kasus ini. Saudara Ketua, bagaimana pendapat Anda
mengenai
terdakwa?"
"Bersalah," jawab orang itu. menyampaikan putusan dengan satu kata. tanpa perlu
didorong
ataupun berkonsultasi dengan anggota juri lainnya.
Untuk pertama kalinya Hakim memandang Connor, "Karena juri telah mencapai
putusan dengan
suara bulat, yang harus saya lakukan ialah menjatuhkan hukuman. Dan menurut
undang-undang,
hanya ada satu hukuman bagi tindak pidana Anda." Ia berhenti, memandang tanpa
perasaan kepada
Connor dan berkata, "Saya menjatuhkan hukuman mati dengan digantung." Hakim
lalu berpaling
kepada pembela.
280
"Apakah Anda akan mengajukan banding?" tanyanya tanpa perlu dijawab.
"Tidak, Sir," terdengar jawaban segera.
"Eksekusi akan dilaksanakan hari Jumat yang akan datang, pukul delapan pagi."
Connor kaget, hanya karena mereka masih menunggu hingga hari Jumat untuk
menggantungnya.
Sebelum berangkat, Joan sekali lagi memeriksa beberapa artikel. Tanggal-tanggalnya
tepat sesuai
dengan kepergian Connor ke luar negeri. Pertama-tama ke-pergian ke Kolombia,
kemudian
kunjungan ke St. Petersburg. Memang dalam kasus itu, untuk meminjam ungkapan
kesukaan
Connor, terdapat terlalu banyak kebetulan.
Menjelang pukul tiga, Joan merasa haus dan terlalu lelah. Ia tidak ingin segera
menceritakan
kepada Maggie hasil penyelidikannya sendiri. Dan jika Connor benar-benar akan
diadili di St.
Petersburg, tak sesaat pun boleh disia-siakan. Sebab koran-koran Turki itu sudah
beberapa hari
usianya.
Joan men-shut down komputernya, menguncinya, dan berharap bosnya tidak tahu
bahwa isi inbox
e-mail-nya hampir kosong. Ia menaiki tangga tua menuju ke lantai dasar,
memasukkan kunci pas
elektrisnya ke dalam kontrol keamanan pada pintu keluar, dan berpapasan dengan
beberapa gelintir
pekerja yang sudah datang untuk giliran kerja dini.
Joan menyalakan lampu depan mobil dan mengendarai mobil barunya keluar area
parkir melewati
gerbang, membelok ke kiri menuju George Washington Parkway. Jalan masih
tertutup kepingan es
dari
281
badai malam sebelumnya. Para pekerja jalan raya 1 sedang membersihkannya
sebelum lalu lintas
pagi I mulai padat. Biasanya ia senang mengendarai mobil J melalui jalan-jalan
Washington yang
lengang dini I hari. Ia melewati monumen-monumen megah yang " memperingati
sejarah bangsa.
Semasa sekolah di St. Paul dulu, ia duduk tenang di bangku depan di J kelas
sementara gurunya
menceritakan Washington, * Jefferson, Lincoln, dan Roosevelt. Kekagumannya ]
pada tokoh-tokoh
pahlawan itulah yang membakar j semangatnya untuk bekerja sebagai pegawai
negeri.
Setelah menyelesaikan studi pemerintahan pada Universitas Minnesota, ia mengisi
formulir
pendaftar- 4 an masuk FBI dan CIA. Keduanya memanggilnya.» untuk wawancara.
Tetapi begitu
melihat Connor Fitzgerald, ia membatalkan janji wawancara dengan ( FBI. Ini dia
seseorang yang
kembali dari perang sia- ' sia dengan Medali Kehormatan yang tak pernah ia sebut,
dan yang
meneruskan mengabdi negaranya I tanpa ribut-ribut ataupun mengharapkan
pengakuan \ resmi.
Bila Joan mengungkapkan pikirannya ini, j Connor hanya tertawa dan berkata bahwa
Joari^sen-
timental. Tetapi Tom Lawrence memang benar ketika^ melukiskan Connor sebagai
salah satu
pahlawan t bangsa yang tak dihormati. Joan akan menyarankan J kepada Maggie
agar
menghubungi Gedung Putih J secepatnya, sebab Lawrence-lah yang meminta ]
Connor menerima
penugasan ini.
Joan sedang berusaha mengatur gagasannya men- j jadi logis ketika sebuah truk
besar warna hijau
yang menaburkan pasir menduluinya dari jalur luar dan 4 mulai bergerak memasuki
jalurnya
beberapa saat j
282
sebelum benar-benar telah menyalibnya. Joan menyorotkan lampunya, tetapi truk
tidak menyingkir
sebagaimana yang diharapkan Joan. Ia memeriksa kaca spion dan bergerak ke jalur
tengah. Truk
segera melintas menyeberang ke jalurnya, sehingga Joan terpaksa membanting setir
ke jalur kiri.
Dalam sesaat Joan harus memutuskan antara menginjak rem keras-keras atau
mencoba
mempercepat laju mobil hingga menyalib sopir truk yang sembrono itu. Sekali lagi ia
memeriksa
kaca spion, tapi kali ini dikejutkan oleh Mercedes hitam besar yang melaju cepat di
belakangnya.
Joan menginjak pedal gas kuat-kuat ketika jalan raya itu membelok tajam ke kiri
dekat Spout Run.
Passat kecil Joan langsung bereaksi, tetapi truk pasir itu juga mempercepat lajunya,
dan Joan tak
dapat menambah cukup kecepatan untuk menyalibnya.
Joan tak punya pilihan lain kecuali lebih ke kiri lagi hampir masuk jalur median. Ia
melihat ke kaca
spion dan melihat bahwa Mercedes juga bergerak melintas, dan kini telah dekat
dengan bumper
belakangnya. Ia dapat merasakan jantungnya berdegup kencang. Apakah truk dan
Mercedes itu
bekerja sama? Ia mencoba memperlambat jalan, tapi Mercedes semakin dekat dengan
bumper
belakangnya. Joan menginjak pedal gas lagi dan mobilnya melompat maju. Keringat
bercucuran di
dahi dan masuk ke matanya. Mobilnya meluncur sejajar dengan bagian depan truk
pasir. Tetapi
walau telah menginjak gas dalam-dalam hingga kakinya mentok ke lantai, ia tak juga
dapat
menyalibnya. Ia memandang ke kabin truk dan mencoba menarik perhatian sopir.
Tapi
283
sopir tak menggubris lambaian tangan Joan, dan tanpa ampun sedikit demi sedikit
semakin ke kiri
lagi, memaksa Joan memperlambat mobilnya dan berada di belakangnya. Ia
memeriksa kaca spion:
Mercedes itu malahan lebih dekat lagi dengan bumpernya.
Ketika Joan memandang ke depan, lempengan ekor truk naik ke atas dan muatan
pasir mulai
dituang di jalan. Secara naluriah Joan menginjak rem, tetapi mobil kecilnya melaju
liar tak
terkendali, selip melintasi jalur median yang tertutup es dan meluncur menuruni
tanggul berumput
lalu terjun ke sungai. Mobil tercebur ke air seperti batu pipih, mengambang beberapa
saat, lalu
menghilang dari pandangan. Yang tertinggal hanyalah bekas selip di tebing sungai
dan beberapa
gelembung air. Truk pasir kembali bergerak ke lajur tengah dan meneruskan
perjalanan menuju ke
Washington. Sesaat kemudian Mercedes menyorotkan lampu depan, menyalib truk,
dan melaju
cepat.
Dua mobil yang sedang menuju ke Bandara Dulles berhenti di jalur median. Salah
seorang
pengendaranya melompat keluar dan menuruni tebing menuju ke sungai, untuk
melihat apakah bisa
menolong. Tapi saat ia tiba di sungai, mobil itu sudah tak tampak, yang tinggal
hanyalah bekas
selip di tebing bersalju dan sedikit gelembung. Pengendara yang lain mencatat nomor
pelat truk
pasir, lalu menyerahkannya kepada polisi pertama yang tiba di tempat itu, yang lalu
memasukkan
datanya ke komputer di dasbor. Beberapa saat kemudian ia mengernyit. "Anda yakin
telah
menuliskan nomor
yang benar, Sir?" tanyanya. "Divisi Jalan Raya Washington tak memiliki catatan
kendaraan seperti
itu."
Ketika diseret ke jok belakang, lagi-lagi Connor bertemu dengan Kepala Polisi yang
sedang
menunggunya. Sementara mobil kembali ke Penjara Cruciflx, Connor tak dapat
menahan diri untuk
bertanya kepada Bolchenkov.
"Aku bingung mengapa mereka menunggu hingga Jumat untuk menggantungku."
"Sebenarnya ada sedikit keberuntungan," kata Kepala Polisi. "Tampaknya presiden
tercinta kami
berkeras menghadiri eksekusi itu." Bolchenkov menyedot rokoknya dalam-dalam.
"Dan ia hanya
punya kesempatan Jumat pagi."
Connor tersenyum kecut.
"Aku senang akhirnya kau bisa bicara, Mr. Fitzgerald," lanjut Kepala Polisi. "Sebab
kupikir sudah
tiba saatnya untuk memberitahumu bahwa ada alternatif."
285
284
BAB DUA PULUH SATU
Mark twain pernah berkata tentang teman- "Jika ia-tidak muncul pada waktunya,
ketahuilah ia
sudah mati."
Mulai pukul empat, Maggie memeriksa jamnya setiap beberapa menit. Menjelang
pukul setengah
lima, ia mulai bertanya-tanya apakah ia sudah begitu mengantuk saat Joan
meneleponnya, hingga ia
salah paham tentang apa yang dikatakan Joan.
Pukul lima Maggie memutuskan sudah saatnya menelepon Joan di rumah. Tak ada
jawaban, hanya
telepon berdering terus-menerus. Kemudian ia mencoba telepon mobil Joan. Kali ini
ia
memperoleh pesan: "Telepon ini untuk sementara rusak. Harap coba lagi kemudian."
Maggie mulai mondar-mandir mengelilingi meja dapur, merasa yakin bahwa Joan
pasti menerima
berita dari Connor. Harus berita penting, bila tidak mengapa harus
membangunkannya pukul dua
pagi buta? Apakah Connor telah menghubungi Joan? Apa-
286
kah Joan tahu Connor berada di mana? Apakah Joan dapat mengatakan kepada
Maggie kapan
Connor pulang? Menjelang pukul enam, Maggie memutuskan ini peristiwa gawat
darurat. Ia
menyetel televisi untuk mencocokkan jamnya. Wajah Charlie Gibson muncul di
layar. "Dalam jam
berikut kita akan berbincang-bincang mengenai hiasan-hiasan Natal yang bahkan
anak-anak pun
akan dapat membantu Anda melakukannya. Tapi terlebih dulu kita akan menjumpai
Kevin
Newman untuk mendengar berita pagi ini."
Maggie mulai berjalan-jalan di seputar dapur sementara seorang reporter
memprediksikan bahwa
RUU Pengurangan Senjata Nuklir, Biologi, Kimia, dan Konvensional dari Presiden
hampir pasti
kandas di Senat, karena kini Zerimski telah terpilih menjadi pemimpin Rusia.
Maggie baru mempertimbangkan apakah hendak melanggar aturan seumur hidup
dengan
menelepon ' Joan di Langley, ketika baris-baris teks muncul di bawah gambar Kevin
Newman:
"Kecelakaan di GW Parkway melibatkan sebuah truk pasir dan sebuah
Volkswagen—pengendara
mobil diasumsikan tenggelam. Berita selengkapnya dalam Berita Saksi Mata pukul
6.30." Kata-
kata itu melintasi layar bawah dan menghilang.
Maggie mencoba makan semangkuk cornflakes sementara buletin pagi berlanjut.
Andy Lloyd
muncul di layar. Ia mengumumkan bahwa Presiden Zerimski merencanakan
kunjungan resmi ke
Washington sebelum Natal. "Presiden menyambut baik berita itu," kata seorang
reporter, "dan
berharap itu akan sedikit-banyak meyakinkan pemimpin-pemimpin Senat bahwa
Presiden Rusia yang baru menghendaki tetap bersahabat dengan Amerika. Namun
mayoritas para
pemimpin Senat mengatakan akan menanti dulu hingga Zerimski menyampaikan
pidato..."
Ketika mendengar bunyi gedebuk di keset, Maggie pergi ke ruang depan, mengambil
tujuh amplop
yang tergeletak di lantai. Ia memeriksanya sambil berjalan kembali ke dapur. Empat
untuk Connor.
Ia tak pernah membuka surat-suratnya sementara Connor sedang pergi. Ada sebuah
tagihan Pepco.
Yang lain berprangko Chicago, dan huruf dalam nama Maggie ada di sudut sehingga
tak bisa lain
kecuali kartu Natal tahunan dari Declan O'Casey Surat terakhir bertulisan tangan
yang bagus dari
putrinya. Ia meminggirkan surat-surat lainnya dan membuka surat putrinya.
Dear Mom,
Aku (tanya mengabarkan ba(m>a Stuart tiba di Los Angeles (tari Jumat. Kami
merencanakan
bermobil ke San Francisco beberaw (jari sebelum terbang ke Vttisbington tanggal
lima belas.
Maggie tersenyum.
Kami berdua menunggu-nunggu merayakan Natal bersama Mom dan Dad. Dad tidak
meneleponku,
jadi kuanggap ia belum pulangi..
Maggie mengernyit.
Aku menerima surat dari Joan, yang tampaknya
288
tak menyukai pekerjaan barunya. Kuduga, seperti kita semua, ia rindu pada Dad. Ia
mengatakan i#
membeli sebuah Volkstfagen baru yang seksL
Maggie membaca kalimat itu untuk kedua kalinya. Kemudian tangannya mulai
gemetar. "Ya
Tuhan, tidak!" teriaknya keras. Ia melihat jamnya. Pukul 06.20. Di televisi, Lisa
McRee
memegangi rantai kertas hiasan daun holly dan buah berry. "Hiasan pesta Natal yang
dapat
dikerjakan dengan bantuan anak-anak," tutur Lisa dengan ceria. "Sekarang kita
membahas pohon
Natal."
Maggie pindah ke Saluran 5. Seorang penyaji berita lain sedang berspekulasi
mengenai apakah
rencana kunjungan Zerimski akan mempengaruhi pemimpin-pemimpin Senat
sebelum mereka
mengadakan pemungutan suara mengenai RUU Pengurangan Senjata.
. "Ayo, cepat!" kata Maggie.
Akhirnya penyaji berita berkata, "Dan kini kita ikuti berita selengkapnya tentang
kecelakaan di
George Washington Parkway. Kami akan menghubungi koresponden kami, Liz
Fullerton, di tempat
kejadian peristiwa."
"Terima kasih, Julie. Saya berdiri di jalur median George Washington Parkway, di
mana terjadi
kecelakaan tragis sekitar pukul 03.15 pagi ini. Tadi saya mewawancarai seorang
saksi mata yang
menceritakan kepada Saluran 5 apa yang dilihatnya."
Kamera memfokus pada seorang pria yang jelas tak menduga akan ditayangkan di
televisi pagi itu.
"Saya sedang menuju Washington," katanya kepada
289
reporter, "ketika truk pasir itu menuangkan muatannya di jalan raya hingga mobil di
belakangnya
kelabakan tak terkendali. Mobil itu selip, meluncur menuruni tebing, dan tercebur ke
Sungai
Potomac." Kamera bergerak menampilkan sungai dengan sorotan w ide angle,
terfokus pada
sekelompok polisi penyelam, kemudian kembali ke reporter.
"Tampaknya tak seorang pun tahu pasti apa yang telah terjadi," ia melanjutkan.
"Bahkan mungkin
sekali pengendara truk pasir itu tak menyadari telah terjadi kecelakaan, karena
tempat duduknya
yang tinggi, dan melanjutkan perjalanannya"
"Jangan, jangan!" jerit Maggie. "Jangan Joan!"
"Di belakang saya Anda dapat melihat para polisi penyelam yang telah menemukan
kendaraan itu,
ternyata sebuah Volkswagen Passat. Mobil itu diharap dapat segera diangkat ke
permukaan.
Identitas pengendara masih belum diketahui."
"Jangan, jangan, jangan," ulang Maggie. "Ya Tuhan, semoga bukan Joan."
"Polisi meminta pengendara Mercedes hitam yang mungkin menyaksikan kecelakaan
tersebut
supaya tampil untuk membantu penyelidikan mereka. Kami berharap akan
menyampaikan berita
lebih banyak lagi pada tiap jam. Jadi sampai jumpa..."
Maggie lari ke ruang duduk, menyambar mantelnya, dan menerjang keluar melalui
pintu depan. Ia
melompat ke dalam mobil, dan lega karena Toyota tua itu nyaris langsung hidup. Ia
mengeluarkannya pelan-pelan menuju Avon Place, kemudian baru mempercepat
lajunya di
Twenty-Ninth Street dan menuju ke timur di M Street ke arah Parkway.
290
Jika memeriksa kaca spion, ia akan melihat Ford kecil biru yang berbali k, kemudian
mengejarnya.
Penumpang di jok depan sedang menelepon nomor yang tak terdaftar.
"Mr. Jackson, baik sekali kau mau datang dan menjumpaiku lagi."
Jackson senang dengan basa-basi Nikolai Romanov yang berlebihan, lebih-lebih
karena
mengandung pretensi bahwa ia mungkin punya beberapa pdihan dalam persoalan itu.
Pertemuan pertama atas permintaan Jackson, dan jelas tidak dianggap sebagai
"menyia-nyiakan
waktu", sebab Sergei masih berkeliaran dengan kedua belah kakinya. Setiap
pertemuan berikutnya
diikuti dengan panggilan dari Romanov untuk memberitahu Jackson tentang rencana-
rencana
terakhir.
Tsar duduk tenggelam di kursi yang berlengan tinggi. Jackson melihat segelas cairan
tak berwarna
di meja di sampingnya. Ia ingat reaksi orang tua itu ketika pada satu kesempatan ia
mengajukan
pertanyaan, maka ia menunggu orang tua itu bicara.
"Mr. Jackson, kau akan senang mendengar bahwa kecuali satu masalah yang masih
harus
dipecahkan, semua yang diperlukan guna meloloskan rekanmu sudah diatur. Yang
kita perlukan
sekarang ialah agar Mr. Fitzgerald menyetujui syarat-syarat kita. Bila ia tak mampu
melakukannya,
aku tak bisa menghalanginya digantung besok pagi pukul delapan." Romanov bicara
tanpa
perasaan. "Biar kurunut apa yang telah kita rencanakan sejauh ini, begitu dia
memutuskan
melanjutkannya. Aku yakin, sebagai
291
Wakil Kepala Direktur CIA, pengamatanmu pasti akan berguna."
Orang tua itu menekan tombol di lengan kursi, dan pintu-pintu di ujung ruang tamu
itu langsung
terbuka. Alexei Romanov masuk ruangan. "
"Kau pasti sudah mengenal putraku," kata Tsar.
Jackson memandang ke arah orang yang selalu menemaninya dalam perjalanan ke
Istana Musim
Dingin, tapi jarang bicara. Ia mengangguk.
Orang muda itu menyingkap hiasan dinding permadani indah dari abad keempat
belas yang
melukiskan Pertempuran di Flanders. Di baliknya terdapat televisi besar. Layar
keperakan yang
datar itu tampak agak tidak sesuai dengan lingkungan yang begitu megah, tapi tak
melebihi
ketidaksesuaian pemilik dan pembantu-pembantunya, pikir Jackson.
Gambar pertama yang muncul di layar adalah bagian luar Penjara Crucifix.
AIexei Romanov menunjuk jalan masuknya. "Zerimski diharapkan tiba di penjara
pukul 07.50. Ia
berada di mobil ketiga dari arak-arakan tujuh mobil, dan akan masuk melalui
gerbang samping di
sini." Telunjuknya melintasi layar. "Ia akan disambut Vladimir Bolchenkov, yang
akan
mengiringkannya ke halaman utama, tempat eksekusi akan dilaksanakan. Pada pukul
07.52..."
Romanov muda melanjutkan mengajak Jackson merunut rencana dari menit ke
menit. Dengan
perincian yang lebih gamblang lagi bila menyangkut penjelasan tentang bagaimana
orang dapat
melaksanakan lolosnya Connor Jackson melihat bahwa ia tampaknya tak
memperhatikan satu
masalah yang masih
292
mengganjal, jelas karena percaya bahwa ayahnya akan muncul dengan solusi
sebelum besok tiba.
Setelah selesai, Alexei mematikan televisi, mengembalikan permadani ke tempatnya
semula, dan
agak membungkuk pada ayahnya. Kemudian ia meninggalkan ruangan tanpa sepatah
kata pun lagi.
Ketika pintu telah tertutup, orang tua itu bertanya, "Apakah ada beberapa
pandangan?"
"Satu atau dua," jawab Jackson. "Pertama-tama, perkenankan saya mengatakan saya
terkesan oleh
rencana itu, dan yakin kemungkinan besar itu akan sukses. Jelas Anda telah
memikirkan segala
kemungkinan yang barangkali timbul—yaitu mengasumsikan Connor menyetujui
syarat-syarat
Anda. Dan mengenai hal itu, saya harus mengulangi, saya tak punya wewenang
untuk berbicara
atas namanya."
Romanov mengangguk.
"Tetapi Anda masih menghadapi satu masalah." "Apakah kau punya solusinya?"
tanya orang tua
itu.
"Ya," jawab Jackson. "Saya punya solusinya."
Bolchenkov menghabiskan waktu satu jam untuk menjelaskan secara terperinci
rencana Romanov,
kemudian pergi meninggalkan Connor untuk mempertimbangkan jawabannya. Ia tak
perlu
diingatkan bahwa ia menghadapi batas waktu yang tak dapat diubah: Zerimski akan
tiba di Crucifix
dalam waktu 45 menit.
Connor terbaring di bangku. Syarat-syaratnya sudah dikemukakan sejelas mungkin.
Tetapi bahkan
bila ia menerima syarat-syarat itu dan dengan rekayasa
293
berhasil lolos, ia sama sekali tak yakin akan mampu melaksanakan kewajiban
transaksi itu. Bila ia
gagal, mereka akan membunuhnya. Sederhana saja—kecuali bahwa Bolchenkov
telah berjanji ini
bukan kematian cepat dan mudah di tiang gantungan. Seandainya Connor ragu, ia
juga telah
menjelaskan bahwa semua kontrak dengan Mafya Rusia yang tak dilaksanakan,
secara otomatis
akan menjadi tanggung jawab keluarga terdekat pihak yang melanggar.
Connor masih dapat melihat ekspresi sinis di wajah Kepala Polisi ketika ia
mengeluarkan foto dari

saku dan menyerahkannya kepada Connor. "Dua wanita yang cantik," kata
Bolchenkov. "Kau pasti
bangga dengan mereka. Sungguh merupakan tragedi» kalau harus memperpendek
hidup mereka
untuk sesuatu yang tak mereka ketahui sama sekali."
Lima belas menit kemudian pintu sel terbuka kembali, dan Bolchenkov kembali
dengan sebatang
rokok yang tak disulut menggelantung di mulut. Kali ini ia tidak duduk. Connor
melanjutkan
memandangi langit-langit, seolah Bolchenkov tak ada di situ.
"Kulihat rencana kecil kami masih merupakan dilema bagimu," kata Kepala Polisi
sambil menyulut
rokok. "Bahkan setelah perkenalan kita yang singkat, itu tak mengagetkanku. Tapi
mungkin setelah
mendengar berita terakhir dariku, kau akan berubah pikiran."
Connor masih tetap memandangi langit-langit.
"Tampaknya mantan sekretarismu, Joan Bennett, mengalami kecelakaan fatal dengan
mobilnya
dalam perjalanan dari Langley menuju rumah istrimu."
294
Connor menurunkan kakinya, duduk sambil menatap Bolchenkov.
"Bila Joan telah mati, bagaimana kau tahu ia dalam perjalanan akan mengunjungi
istriku?"
"CIA bukannya satu-satunya lembaga yang menyadap telepon istrimu," jawab
Kepala Polisi, la
menyedot rokoknya terakhir kali, membiarkan puntungnya jatuh dari mulut, dan
menginjak-
injaknya di lantai.
"Kami menduga sekretarismu, entah bagaimana, telah mengetahui siapa yang ditahan
di Lapangan
Kemerdekaan. Dan tanpa mengemukakan seluk-beluk hal ini, jika istrimu sebangga
dan sekukuh
ungkapan profilnya, dapat kita asumsikan tak lama lagi ia juga akan sampai ke
kesimpulan yang
sama. Jika memang demikian, aku khawatir Mrs. Fitzgerald akan mengalami nasib
yang sama
seperti sekretarismu."
"Jika aku menyetujui syarat-syarat Romanov," kata •Connor, "aku ingin menyisipkan
klausulku
sendiri ke dalam kontrak itu."
Bolchenkov mendengarkan penuh minat.
"Mr. Gutenburg?" "Saya sendiri."
"Ini Maggie Fitzgerald. Saya istri Connor Fitzgerald, yang sekarang sedang Anda
tugaskan ke luar
negeri."
"Saya tak ingat nama itu," kata Gutenburg.
"Anda menghadiri pesta perpisahannya di rumah kami di Georgetown beberapa
minggu lalu."
"Saya kira Anda keliru mengira saya orang lain." jawab Gutenburg tenang.
"Saya tidak keliru mengira Anda orang lain, Mr.
295
Gutenburg. Nyatanya, pada pukul 20.27 tanggal 2 November, Anda menelepon dari
rumah kami ke
kantor Anda." i
"Saya tidak menelepon seperti iru, Mrs. Fitzgerald. Dan dapat saya tegaskan bahwa/
suami Anda
tidak pernah bekerja untuk saya." /
"Kalau begitu katakan pada saya, Mr. Gutenburg, apakah Joan Bennett pernah
bekerja untuk CIA?
Atau barangkali ia juga telah dihapus sama sekali dari ingatan Anda?"
"Apa yang hendak Anda katakan, Mrs. Fitzgerald?"
"Nah, akhirnya saya berhasil menarik perhatian Anda. Biar saya perbaiki dulu
ingatan Anda yang
rusak sementara ini. Joan Bennett adalah sekretaris suami saya selama hampir dua
puluh tahun.
Dan saya rasa Anda sulit menyangkal bahwa ia tewas akibat kecelakaan dalam
perjalanan dari
Langley untuk bertemu dengan saya."
"Saya turut menyesal membaca berita tentang kecelakaan tragis Miss Bennett itu,
tapi saya tak
mengerti apa hubungannya dengan saya."
"Pers mungkin juga samar-samar mengenai apa yang sebenarnya terjadi di George
Washington
Parkway kemarin pagi. Tapi mereka mungkin selangkah lebih dekat dengan solusi
jika mereka
diberitahu bahwa Joan Bennett biasa bekerja untuk seseorang yang menghilang dari
muka bumi
sementara melaksanakan tugas khusus dari Anda. Dulu saya selalu beranggapan
seorang peraih
Medali Kehormatan, menurut para wartawan, senantiasa menarik perhatian para
pembaca."
"Mrs. Fitzgerald, saya tak dapat diharapkan meng-
296
ingat setiap orang dari 17.000 orang yang bekerja pada CIA. Dan saya pasti tak ingat
pernah
bertemu dengan Miss Bennett, apalagi suami Anda."
"Mungkin saya harus menggugah ingatan Anda yang kabur lebih jauh, Mr.
Gutenburg.
Untungnya— atau celakanya—tergantung pada sudut pandang Anda, putri saya telah
merekam
dengan video pesta yang menurut Anda tidak Anda hadiri itu. Maksudnya ini sebagai
hadiah
kejutan buat ayahnya Natal nanti. Saya punya pandangan lain tentang peristiwa itu,
Mr. Gutenburg.
Walau Anda hanya memainkan peran kecil, dalam rekaman video itu tampak Anda
sangat akrab
dengan Miss Bennett. Percakapannya juga direkam, dan rasanya jaringan televisi
akan menganggap
kontribusi Anda pantas disiarkan pada tayangan berita awal petang ini."
Kali ini Gutenburg tak menjawab beberapa lama. "Mungkin sebaiknya kita bertemu,
Mrs.
Fitzgerald," katanya akhirnya.
"Tak ada gunanya, Mr. Gutenburg. Saya sudah tahu persis apa yang saya inginkan
dari Anda."
"Dan apa itu, Mrs. Fitzgerald?"
"Saya ingin tahu di mana suami saya saat ini, dan kapan saya dapat melihatnya
kembali. Sebagai
imbalan dua informasi kecil itu, saya akan menyerahkan rekaman videonya."
"Saya perlu waktu sedikit."
"Tentu saja," kata Maggie. "Bagaimana kalau kita batasi hingga 48 jam? Dan, Mr.
Gutenburg,
jangan buang-buang waktu dengan mengaduk-aduk rumah saya mencari rekaman itu.
Anda takkan
menemukannya, sebab telah saya sembunyikan di suatu
297
/
tempat di luar perkiraan orang yang ingatannya berbelit-belit seperti Anda." "Tapi..."
Gutenburg
mulai.
"Juga harus saya tambahkan, bila Anda memutuskan menghilangkan saya seperti
yang Anda
lakukan pada Joan Bennett, saya telah menginstruksikan kepada pengacara-
pengacara saya bahwa
bila saya meninggal dalam keadaan yang mencurigakan, mereka harus langsung
menayangkan
kopi-kopi rekaman itu di ketiga jaringan TV utama, Fox, dan CNN. Bila sebaliknya,
saya hilang
begitu saja, rekaman itu akan ditayangkan tujuh hari kemudian. Cukup sekian dulu,
Mr.
Gutenburg."
Maggie meletakkan pesawat telepon dan menjatuhkan diri ke tempat tidur dengan
bermandi
keringat.
Gutenburg menyelinap masuk lewat pintu yang menghubungkan kantornya dengan
kantor Direktur.
Helen Dexter mendongak dari mejanya, tak dapat menyembunyikan kekagetannya
karena wakilnya
telah memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu lebih dulu.
"Kita punya masalah," hanya itu yang dikatakan Gutenburg.
298
^5
BAB DUA PULUH DUA
Si terpidana tidak sarapan.
Staf dapur selalu berusaha menghilangkan kutu-kutu dari roti untuk makanan terakhir
tahanan,
tetapi kali ini usaha mereka sia-sia. Si tahanan memandang sajian itu hanya satu kali,
lalu
meletakkan piring kaleng itu di bawah bangku tidurnya.
Beberapa saat kemudian seorang imam Ortodoks Rusia memasuki sel. Ia
menjelaskan kepada si
tahanan, walaupun agama mereka tidak sama, ia dengan senang hati
menyelenggarakan upacara
keagamaan terakhir.
Hosti itulah satu-satunya santapannya hari itu. Setelah sang imam menyelenggarakan
upacara kecil
itu, mereka berlutut bersama di lantai dingin. Pada akhir doa pendek, sang imam
memberkatinya
dan meninggalkannya dalam kesunyian.
Ia berbaring di bangku tidurnya sambil menera-wangi langit-langit. Tak sesaat pun ia
menyesali
299
Keputusannya. Begitu ia menjelaskan alasan-alasannya, Bolchenkov menerimanya
tanpa
berkomentar, bahkan mengangguk pendek ketika meninggalkan sel. Setidaknya
itulah yang dapat
dilakukan Kepala Polisi untuk mengakui bahwa ia mengagumi keberanian moral
orang itu.
Tahanan itu sudah pernah satu kali menghadapi maut. Yang kedua kali ini tidak lagi
menimbulkan
kengerian yang sama baginya. Dulu ia memikirkan istri dan anaknya yang takkan
pernah dilihatnya
lagi. Tetapi kini ia hanya bisa memikirkan orangtuanya, yang kedua-duanya telah
meninggal hanya
berselang beberapa hari. Ia gembira bahwa tak seorang pun dari mereka dikuburkan
dengan
membawa hukuman mati ini sebagai kenangan terakhir darinya.
Bagi mereka, kepulangannya dari Vietnam merupakan kemenangan, dan mereka
sangat senang
ketika ia menyatakan niatnya untuk melanjutkan mengabdi kepada negerinya. Ia
mungkin sudah
menjadi direktur, jika Presiden tidak terpaksa memutuskan mengangkat seorang
perempuan untuk
mendukung kampanyenya. Ternyata tidak menolong.
Walaupun Gutenburg yang menancapkan belati di antara tulang belikatnya, tak ada
yang
meragukan siapa yang menyerahkan senjata itu. Perempuan itu pasti menikmati
perannya sebagai
Lady Macbeth. Ia akan menuju ke liang kubur dengan hanya sedikit sesama warga
negara yang
pernah menyadari pengorbanannya. Baginya itu saja sudah lebih dari cukup.
Tak akan ada upacara perpisahan. Tak ada peti mati berselubungkan bendera
Amerika. Tak ada sa-
300
habat dan kerabat yang berdiu di ti'pi kubur untuk mendengarkan imam memuji
pengabdian dan
pelayanan kepada masyarakat yang menandai kariernya. Tak ada marinir yang
mengangkat senjata
dengan bangga. Tak ada tembakan salvo 21 kali. Tak ada bendera terlipat yang
diserahkan atas
nama Presiden kepada keluarga dekatnya.
Tidak. Ia hanya ditakdirkan menjadi salah satu pahlawan tak dikenal Tom Lawrence.
Baginya, yang tertinggal hanyalah digantung di negeri yang tak dicintai dan tak
mencintainya.
Kepala pelontos, sebuah nomor di pergelangan, dan kubur tak bernisan.
Mengapa ia mengambil keputusan yang sangat mengharukan Kepala Polisi yang
biasanya tanpa
belas kasihan? Ia tak punya waktu untuk menjelaskan kepada orang itu apa yang
telah terjadi di
Vietnam, tetapi di situlah kematian akan menjemputnya dan takdir ini tak dapat
diubah lagi.
Mungkin ia seharusnya menghadapi regu penembak beberapa tahun lalu di negeri
lain yang jauh.
Namun ia selamat. Kali ini tak seorang pun akan menolongnya di saat terakhir. Dan
kini telah
terlambat untuk berubah pikiran.
Presiden Rusia terbangun pagi itu dengan suasana hati buruk. Orang pertama yang
ditumpahi
kemarahan adalah kokinya. Ia menyapu sarapannya dengan tangan hingga tumpah ke
lantai sambil
berteriak, "Inikah keramahan yang bisa kuharapkan setelah sampai di Leningrad?"
Ia bergegas keluar kamar. Di mang kerjanya,
301
seorang petugas dengan gugup meletakkan dokumen-dokumen untuk ditandatangani,
yang
memberi kuasa kepada polisi untuk menahan para warga tanpa dakwaan tindak
pidana. Ini tidak
mengubah suasana hati Zerimski yang gelap. Ia tahu bahwa itu merupakan kiat untuk
menyingkirkan para pencopet, penjaja obat bius, dan penjahat kecil-kecil dari
jalanan. Yang ia
kehendaki adalah kepala Tsar yang disajikan di atas piring. Jika Menteri Dalam
Negeri terus-
menerus mengecewakannya, ia terpaksa mempertimbangkan untuk menggantinya.
Menjelang saat Kepala Staf tiba, Zerimski telah selesai menandatangani riwayat
ratusan jiwa
orang-orang yang melakukan hanya satu tindak pidana, yaitu mendukung Chernopov
selama
kampanye pemilihan. Telah tersebar desas-desus di sekitar Moskwa bahwa mantan
Perdana
Menteri merencanakan akan beremigrasi. Pada hari ia meninggalkan Rusia, Zerimski
akan
menandatangani seribu perintah semacam itu, dan akan menjebloskan ke penjara
semua orang yang
pernah bekerja untuk Chernopov dalam kapasitas apa pun.
Ia melemparkan pena di meja. Semuanya tekih dilaksanakan dalam waktu kurang
dari seminggu.
Bayangan malapetaka yang akan m ditimbulkannya selama sebulan, setahun,
membuatnya agak
gembira.
"Limusin Anda sudah menunggu, Mr. President," kata seorang petugas dengan takut-
takut. Wajah
orang itu tak dapat dilihatnya. Ia tersenyum memikirkan apa yang pasti akan menjadi
puncak
harinya. Ia telah merindukan suatu pagi di Crucifix sebagaimana orang-orang lain
merindukan
malam balet di Kirov.
302
Ia meninggalkan ruang kerja dan berjalan menyusuri koridor pualam yang panjang
dari blok
perkantoran yang baru saja disita, menuju ke pintu terbuka. Rombongannya bergerak
cepat
menduluinya. Ia berhenti sejenak di anak tangga teratas, memandang ke bawah ke
iring-iringan
mobil yang mengilat. Ia telah memberi instruksi kepada para petugas Partai bahwa ia
harus
mendapat satu limusin lebih banyak daripada presiden sebelumnya.
Ia memasuki pintu belakang mobil ketiga dan melihat jam: pukul 07.43. Polisi telah
menyiapkan
jalan sejam sebelumnya sehingga iring-iringan mobil dapat meluncur tanpa bertemu
dengan satu
kendaraan pun yang menuju ke arah mana saja. Ia pernah menjelaskan kepada
Kepala Staf bahwa
penghentian lalu lintas membuat para warga setempat lebih menyadari bahwa
presiden mereka
sedang berada di kota.
Polisi lalu lintas telah memperkirakan baj^wa perjalanan itu yang biasanya
berlangsung dua puluh
menit dapat diselesaikan dalam tujuh menit kurang. Sementara meluncur melintasi
lampu lalu lintas
dengan warna apa pun dan melintasi sungai, Zerimski bahkan tak memandang sekilas
pun ke arah
Hermitage. Begitu mereka tiba di seberang Sungai Neva, pengendara mobil terdepan
mempertinggi
kecepatan hingga seratus kilometer per jam untuk memastikan bahwa Presiden tepat
waktu dalam
melaksanakan komitmen resmi pertama di pagi itu.
Sementara berbaring di bangku tidur, si tahanan dapat mendengar para penjaga
berderap melalui
jalan
303
batu menuju ke arahnya. Detak bot mereka terdengar semakin keras. Ia ingin tahu
berapa banyak
mereka itu. Mereka berhenti di depan selnya. Sebuah anak kunci diputar di lubang
kunci dan pintu
terbuka lebai. Bila hidup tinggal beberapa menit saja, orang memperhatikan semua
detail.
Bolchenkov memimpin mereka masuk. Tahanan itu sangat terkesan bahwa ia telah
kembali begitu
cepat. Bolchenkov menyulut rokok dan menyedotnya sekali sebelum
menawarkannya kepada si
tahanan. Tahanan itu menggeleng. Kepala Polisi mengangkat bahu, menggilas rokok
itu di lantai
dengan kakinya, dan pergi untuk menyambut Presiden.
Orang berikut yang masuk sel adalah imam. Ia membawa Alkitab besar yang terbuka
dan dengan
lembut menyanyikan kata-kata yang tak berarti apa-apa bagi si tahanan. Kemudian
tiga orang yang
langsung ia kenali, tapi kali ini tak ada pisau cukur, tak ada jarum, hanya sepasang
borgol. Mereka
menatapnya, nyaris ingin mengajaknya berkelahi. Tetapi dengan kecewa mereka
melihat tahanan
itu dengan tenang meletakkan kedua tangannya di belakang punggung, dan
menunggu. Mereka
memasang borgol dan mendorongnya keluar sel menuju ke koridor. Pada akhir
terowongan panjang
dan kelabu itu ia hanya dapat melihat secercah sinar matahari.
Presiden turun dari limusin dan disambut oleh Kepala Polisi. Ia senang telah
menghadiahkan
kepada Bolchenkov bintang Orde Lenin pada hari yang sama dengan ketika ia
menandatangani
perintah untuk menangkap saudaranya.
Bolchenkov mengiringi Zerimski memasuki halam-
304
in tempat akan dilaksanakan eksekusi. Tak seorang pun berpikiran untuk melepas
mantel Presiden
yang berlapiskan bulu binatang atau topinya di pagi yang begitu dingin. Sementara
mereka
melintasi halaman, massa yang berjejalan, bergerombol memunggungi tembok,
mulai bertepuk
tangan. Kepala Polisi melihat wajah Zerimski mengernyit. Presiden mengharapkan
jauh lebih
banyak orang datang untuk menyaksikan eksekusi orang yang telah dikirim untuk
membunuhnya.
Bolchenkov telah mengantisipasi mungkin ini akan menyebabkan kesulitan, maka ia
membungkuk
dan berbisik ke telinga Presiden, "Saya telah diberi instruksi hanya mengizinkan para
anggota
Partai untuk menghadiri ini." Zerimski mengangguk. Bolchenkov tak menambahkan
betapa
sulitnya menggiring orang-orang itu ke Crucifix pagi hari itu. Terlalu banyak di
antara mereka telah
mendengar berita bahwa begitu masuk ke sana, orang tak akan keluar lagi.
Kepala Polisi berhenti di dekat kursi mewah dari abad kedelapan belas yang dibeli
Katarina Agung
dari kediaman Perdana Menteri Inggris Robert Walpole pada tahun 1779, dan yang
telah diminta
kembali dari Hermitage sehari sebelumnya. Presiden langsung duduk di kursi empuk
itu, di depan
tiang gantungan yang baru didirikan.
Baru beberapa detik saja, Zerimski sudah mulai gelisah tak sabar sementara
menunggu tahanan itu
muncul. Ia memandang ke massa dan matanya menatap bocah kecil yang sedang
menangis. Ia tidak
senang.
Pada saat itu si tahanan muncul dari koridor gelap menuju ke cahaya pagi yang
tajam. Kepala
305
pelontos berlumuran darah kering serta seragam penjara yang tipis warna kelabu
membuatnya
tampak aneh tak bernama. Ia tampak bukan main tenang bagi orang yang hidupnya
tinggal
beberapa saat lagi.
Si terhukum menerawang ke matahari pagi dan menggigil, sementara seorang
petugas jaga
bergegas menghampirinya, memegang pergelangan kirinya, dan memeriksa
nomornya: 12995.
Kemudian petugas itu berpaling menghadap Presiden dan membacakan perintah
pengadilan.
Sementara si petugas melaksanakan formalitas-formalitas itu, si tahanan memandang
ke sekeliling
halaman. Ia melihat massa menggigil. Kebanyakan dari mereka enggan
menggerakkan satu otot
pun, karena takut jangan-jangan diperintahkan bergabung dengannya. Matanya
menatap si bocah
yang masih juga menangis. Seandainya mereka mengizinkannya membuat surat
wasiat, ia
sebenarnya ingin mewariskan segalanya kepada anak itu. Sekilas ia menatap ke tiang
gantungan,
kemudian menatap Presiden. Pandangan mereka bertemu. Walaupun ngeri, tahanan
itu tetap
menatap mata Zerimski. Ia sudah bertekad bulat takkan membiarkan Presiden puas
melihat betapa
dia takut. Seandainya Presiden berhenti balas menatapnya dan melihat ke tanah di
antara kakinya,
ia akan tahu sendiri.
Setelah selesai membacanya, si petugas menggulung kembali lembaran perintah
pengadilan lalu
berderap pergi. Ini isyarat bagi kedua tukang pukul itu untuk maju, memegangi
lengan si tahanan
kiri dan kanan, lalu menggiringnya menuju tiang gantungan
306
Ia berjalan dengan tenang melewati Presiden dan terus menuju ke tiang gantungan.
Ketika tiba di
anak tangga kayu pertama, ia mendongak ke menara jam. Pukul 07.57. Hanya sedikit
orang yang
tahu dengan tepat tinggal berapa lama mereka boleh hidup, pikirnya. Ia nyaris
menghendaki jam
berdentang. Ia telah menunggu selama 28 tahun untuk melunasi utangnya. Kini pada
saat-saat
terakhir seperti ini, semuanya melintas kembali dalam ingatannya.
Waktu itu suatu pagi yang panas dan gerah di bulan Mei di Nan Dinh. Seseorang
harus dijadikan
teladan, dan sebagai perwira senior ia telah dipilih secara khusus. Wakilnya maju dan
dengan
sukarela menggantikan tempatnya. Dan, sebagai penakut, dia tidak memprotesnya. Si
perwira

Vietkong tertawa dan menerima tawaran itu, tetapi kemudian memutuskan bahwa
kedua orang itu
harus menghadapi regu penembak hari berikutnya.
Tengah malam. Letnan yang sama itu telah datang di samping ranjangnya dan
berkata bahwa
mereka harus mencoba lolos. Mereka takkan punya kesempatan lain lagi. Keamanan
dalam kamp
selalu longgar, sebab ke utara terbentang bermil-mil hutan belantara • yang diduduki
tentara
Vietkong, dan ke selatan rawa-rawa tak terterobos sepanjang empat puluh kilometer.
Beberapa
orang telah mencoba* keberuntungan mereka melintasi jalur itu sebelumnya, tetapi
mereka tak
pernah berhasil.
Letnan mengatakan bahwa ia memilih mengambil risiko mati di tengah rawa-rawa
daripada
menghadapi kematian yang pasti di depan regu penembak. Ketika ia menyelinap
pergi ke dalam
kegelapan malam,
307
dengan enggan Kapten bergabung dengannya. Beberapa jam kemudian ketika
matahari terbit di
atas cakrawala, kamp masih terlihat. Melintasi rawa yang bau dan penuh nyamuk,
mereka masih
dapat mendengar para penjaga tertawa-tawa sambil bergiliran menembaki mereka.
Mereka
menyelam di bawah permukaan rawa, tetapi hanya beberapa detik kemudian mereka
terpaksa
muncul dan berjuang lebih lanjut. Akhirnya, setelah mengalami hari yang terpanjang
dalam
hidupnya, kegelapan pun tiba. Ia telah meminta Letnan supaya meneruskan
perjalanan tanpa dia,
tapi Letnan menolak.
Pada akhir hari kedua ia menginginkan seandainya saja ia diizinkan menghadapi regu
penembak
daripada harus mati dalam rawa jahanam di negeri terkutuk itu, tetapi perwira muda
itu berjuang
terus dan terus. Selama sebelas hari dan dua belas malam mereka tidak makan, hanya
minum dari
curah hujan yang tertumpah deras tak henti-hentinya. Pada pagi hari kedua belas
mereka mencapai
tanah kering. Ia ambruk mengigau karena sakit dan terlalu letih. Kemudian ia tahu
bahwa selama
empat hari lagi Letnan memanggulnya melintasi hutan, menuju wilayah aman
Hal berikut yang ia ingat ialah terjaga di rumah sakit tentara.
"Sudah beraga lama aku di sini?" tanyanya kepada perawat yang mengurusinya.
"Enam hari." kata wanita itu. "Anda beruntung dapat hidup."
"Dan sahabatku?"
"Ia telah sembuh beberapa hari lalu. Pagi ini ia telah mengunjungi Anda satu kali."
308
Ia tertidur lagi. Ketika terjaga ia meminta kertas dan pena kepada perawat. Sepanjang
sisa hari itu
ia duduk di ranjang rumah sakit dan terus-menerus menulis ulang surat penghargaan.
Setelah
menuliskannya dengan pantas, ia meminta supaya dikirimkan kepada Komandan.
Enam bulan kemudian ia berdiri di halaman rumput Gedung Putih, di antara Maggie
dan ayahnya,
serta mendengarkan surat penghargaan itu dibacakan dengan keras. Letnan Connor
Fitzgerald
melangkah ke depan dan Presiden menganugerahinya Medali Kehormatan.
Sementara menaiki tangga tiang gantungan, ia memikirkan seorang pria yang akan
berkabung
untuknya bila tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia telah berpesan kepada mereka
untuk tidak
mengatakan yang sebenarnya. Sebab bila tahu, ia akan melanggar perjanjian dan
menyerahkan
dirinya serta kembali ke Crucifix. "Kalian harus tahu." jelasnya kepada mereka,
"kalian berurusan
dengan orang yang sungguh-sungguh terhormat. Jadi pastikan jam telah berdentang
delapan kali
sebelum ia tahu ia telah ditipu."
Dentang pertama membuat seluruh tubuhnya menggigil, dan pikirannya
dikembalikan ke saat itu.
Dentang kedua, bocah kecil yang menangis itu lari ke kaki tiang gantungan dan
berlutut.
Dentang ketiga, Kepala Polisi menahan kopral muda yang telah maju selangkah
hendak membawa
pergi anak itu.
Dentang keempat, si tahanan tersenyum kepada Sergei seolah bocah itu putra
tunggalnya.
Dentang kelima, kedua tukang pukul itu men-
309
dorongnya maju sehingga ia berdiri tepat di bawah tali yang bergelayutan.
Dentang keenam, algojo mengalungkan jerat di seputar lehernya.
Dentang ketujuh, ia menurunkan pandangan dan menatap langsung Presiden
Republik Rusia.
Dentang kedelapan, algojo menarik tuas dan pintu kolong terbuka.
Ketika jasad Christopher Andrew Jackson tergantung di atasnya, Zerimski mulai
bertepuk tangan.
Beberapa orang dari massa itu ikut bertepuk tangan dengan setengah hati.
Semenit kemudian kedua tukang pukul menurunkan jasad itu dari tiang gantungan.
Sergei
menerobos maju, membantu mereka menurunkan sahabatnya ke dalam peti mati
kasar yang terletak
di tanah di samping tiang gantungan.
Kepala Polisi mengiringi Presiden kembali ke limusin. Dan iring-iringan mobil
melaju keluar
gerbang penjara sebelum tutup peti mati dipaku. Empat tahanan memanggul peti mati
yang berat

itu ke makam. Sergei berjalan di samping mereka. Mereka keluar halaman dan
menuju ke sebidang
tanah berbatu di belakang penjara. Bahkan orang mati pun tak boleh lolos dari
Crucifix.
Seandainya Sergei menengok ke belakang, ia akan melihat sisa massa itu keluar
melalui gerbang
penjara. Kemudian barulah gerbang ditutup rapat-rapat dan pasak kayu besar
disusupkan kembali
di tempatnya.
Para pengusung peti mati berhenti di sisi kubur tak bertanda yang baru saja digali
oleh tahanan-
tahanan lain. Mereka menurunkan peti mati tanpa
310
upacara ke dalam bang lahat Kemudian tanpa doa ataupun tanpa hening sesaat,
mereka
menimbunkan gumpalan tanah yang baru saja digali ke atasnya.
Bocah itu tak bergerak sebelum mereka menyelesaikan tugas mereka. Beberapa
menit kemudian
para penjaga menggiring para tahanan kembali ke sel mereka. Sergei berlutut,
bertanya-tanya
hingga kapan mereka mengizinkannya berada di sebelah kuburan.
Sesaat kemudian sebuah tangan diletakkan di bahu bocah tersebut. Ia mendongak dan
melihat
Kepala Polisi berdiri di atasnya. Seorang yang jujur, suatu ketika pernah
dikatakannya pada
Jackson.
"Kau mengenalnya dengan baik?" tanya Kepala Polisi.
"Ya, Sir," jawab Sergei. "Ia partnerku."
Kepala Polisi mengangguk. "Aku mengenal orang untuk siapa dia mengorbankan
nyawanya,"
katanya. "Aku hanya berharap punya sahabat seperti dia."
311
BAB DUA PULUH TIGA
"Mrs. fitzgerald tak sepandai penilaiannya sendiri," kata Gutenburg.
"Amatir jarang yang pandai," kata Helen Dexter. "Apakah itu berarti videonya telah
kaudapatkan?"
"Belum, walau aku punya gambaran cukup jelas di mana barang tersebut," kata
Gutenburg. Ia
berhenti sejenak. "Tapi bukan di mana tepatnya."
"Berhentilah bersikap sok tahu," kata Dexter. "Jelaskan saja masalahnya. Kau tak
perlu
membuktikan padaku betapa pandai dirimu."
Gutenburg tahu bahwa sudah hampir tiba saatnya ia menerima pujian dari Direktur.
"Mrs. Fitzgerald tak sadar rumah dan kantornya telah dipasangi mikrofon sebulan
yang lalu. Dan
kita memasang agen-agen untuk mengawasinya sejak hari suaminya terbang dari
Dulles tiga
minggu lalu."
"Nah, apa yang kautemukan?"
"Tidak banyak bila keping-keping informasi itu dilihat secara terpisah. Tapi bila
dipasang bersama,
312
akan mulai menunjukkan gambaran." Ia menyodorkan berkas dan tape recorder ke
seberang meja.
Direktur tak menggubris barang-barang itu. "Jelaskan saja semuanya," katanya agak
marah.
"Selama makan siang Mrs. Fitzgerald dan Joan Bennett di Kafe Milano, pembicaraan
mereka ke
sana kemari hingga saat ia akan kembali kerja lagi. Saat itulah ia mengajukan
pertanyaan kepada
Bennett."
"Apa pertanyaannya?"
"Mungkin kau ingin mendengarnya sendiri." Wakil Direktur menekan tombol "Play"
pada tape
recorder dan duduk kembali.
"Aku juga. Kopi tanpa susu, tanpa gula." Terdengar langkah-langkah menjauh.
"Joan, aku belum
pernah memintamu melanggar kepercayaan sebelum ini, tapi ada sesuatu yang perlu
kuketahui."
"Moga-moga aku bisa membantu, tapi seperti yang telah kujelaskan, jika mengenai
Connor,
mungkin aku juga sama tak tahunya seperti kau."
"Kalau begitu aku perlu nama seseorang yang tahu."
Kemudian disusul hening lama, akhirnya Joan berkata, "Kusarankan kaulihat daftar
tamu pesta
perpisahan Connor."
"Chris Jackson?"
"Bukan. Sayangnya dia sudah tak bekerja di sana lagi."
Kemudian disusul lagi hening lama.
"Orang kecil kelimis yang pergi tanpa pamit itu? Yang bilang bekerja di bagian ganti
kerugian itu?"
Gutenburg mematikan tape.
313
"Kenapa kau datang ke pesta itu?" bentak Dexter.
"Sebab kau menyuruhku menyelidiki apakah Fitzgerald sudah memperoleh pekerjaan
yang akan
menahannya di Washington. Jangan lupa, putrinyalah yang memberi kita petunjuk
yang
memungkinkan kita meyakinkan Thompson bahwa tidak bijaksana
mempekerjakannya. Kau pasti
ingat keadaan waktu itu."
Direktur mengernyit. "Apa yang terjadi setelah Mrs. Fitzgerald meninggalkan Kafe
Milano?"
'Tak ada yang berarti hingga ia pulang malam itu. Ia menelepon beberapa orang—ia
tak pernah
menelepon secara pribadi dari kantor—salah satunya ke ponsel Chris Jackson."
"Mengapa ia berbuat demikian jika sudah tahu Jackson sudah keluar dari sana?"
"Itu berpangkal dari masa lalu. Jackson dan Fitzgerald berdinas di Vietnam bersama.
Jackson-lah
yang merekomendasikan Fitzgerald untuk menerima Medali Kehormatan, dan yang
merekrutnya
sebagai NOC."
"Apa Jackson menceritakan pada perempuan itu tentang dirimu?" tanya Dexter tidak
percaya.
"Tidak, tak sempat," jawab Gutenburg. "Aku telah memerintahkan untuk memblokir
ponselnya saat
kita tahu ia di Rusia." Ia tersenyum. "Tapi kita masih bisa mengidentifikasi siapa
yang mencoba
menghubunginya dan ia mencoba menghubungi siapa."
"Apakah itu berarti telah kautemukan kepada siapa ia melapor?"
"Jackson hanya menghubungi satu nomor sejak ia mendarat di Rusia, dan kuduga ia
terpaksa
melakukannya hanya karena dalam keadaan darurat."
314
"Siapa yang diteleponnya?" tanya Dexter tak sabar.
"Sebuah nomor tak terdaftar di Gedung Putih."
Dexter bahkan tak berkedip. "Teman kita Mr. Lloyd, sudah pasti."
"Sudah pasti," sahut Gutenburg.
"Apakah Mrs. Fitzgerald tahu Jackson melapor langsung ke Gedung Putih?"
"Kupikir tidak," sahut Gutenburg. "Jika tahu, dia pasti telah mencoba
menghubunginya sendiri
beberapa waktu lalu."
Dexter mengangguk. "Kalau begitu harus kita pastikan ia takkan pernah tahu."
Gutenburg tak menunjukkan emosi. "Aku mengerti. Tapi aku tak bisa berbuat apa
pun sampai
video keluarga itu ada di tanganku."
"Bagaimana kabar terakhir video itu?" tanya Dex-ter.
"Kita takkan maju seinci pun jika tak menemukan petunjuk dalam sebuah sadapan
telepon. Ketika
Joan-Bennett menelepon Mrs. Fitzgerald dari Langley pukul dua dini hari untuk
memberitahu akan
menemuinya satu jam kemudian, salah satu anak buahku mengecek apa yang ia lihat
di komputer
perpustakaan referensi. Ternyata perempuan itu menemukan sesuatu yang
membuatnya menduga
bos lamanya sedang meringkuk di penjara di St. Petersburg. Tapi, seperti yang
kauketahui, ia tak
dapat menepati janjinya pada Mrs. Fitzgerald."
"Terlalu cepat menggembirakan."
"Memang. Tapi ketika ia tak muncul juga, Mrs. Fitzgerald meluncur ke GW Parkway
dan
menunggu hingga polisi mengangkat mobil itu."
"Mungkin ia melihat laporan di TV. atau mendengarnya dari radio," kata Dexter.
"Ya, itulah asumsi kita—kisah itu jadi berita utama setempat pagi itu. Begitu tahu
pasti Bennett
yang berada di mobil itu, ia langsung menelepon putrinya di Stanford. Bila suaranya
terdengar agak
mengantuk, itu karena waktu itu baru pukul lima pagi di California." Ia membungkuk
lagi dan
menekan tombol "Play" di tape recorder.
"Hai, Tara. Ini Mom."
"Hai, Mom. Jam berapa ini?"
"Maaf meneleponmu pagi-pagi, Sayang, tapi ada berita yang sangat menyedihkan."
"Bukan Dad. kan?"
"Bukan. Joan Bennett—ia meninggal dalam kecelakaan mobil."
"Joan meninggal? Aku tak percaya. Katakan itu tak benar."
• "Sayangnya itu memang benar. Dan aku punya firasat mengerikan bahwa itu
sedikit-banyak
berkaitan dengan belum pulangnya ayahmu."
"Ayolah, Mom, mengapa jadi ketakutan? Bagaimanapun baru tiga minggu Dad
pergi."
"Mungkin kau benar, tapi kuputuskan memindahkan rekaman video pesta perpisahan
Dad yang
kau-buat, ke tempat yang lebih aman."
"Mengapa?"
"Sebab itu satu-satunya bukti yang kumiliki bahwa ayahmu pernah berjumpa dengan
orang
bernama Nick Gutenburg, apalagi bekerja untuknya."
Wakil Direktur menyentuh tombol "Stop". "Percakapan itu masih berlanjut beberapa
saat, tapi tak
316
banyak menambah pengetahuan kita. Ketika Mrs. Fitzgerald meninggalkan rumah
beberapa menit
kemudian sambil membawa videotape, petugas yang mendengarkan menyadari arti
apa yang baru
saja ia dengar, dan membuntutinya hingga ke universitas. Mrs. Fitzgerald tak
langsung menuju ke
Kantor Penerimaan seperti biasa, tapi mampir di perpustakaan. Di situ ia menuju ke
bagian
komputer lantai satu. Ia menghabiskan waktu dua puluh menit mencari sesuatu di
salah satu
komputer, lalu pergi dari situ dengan membawa printout sekitar dua belas halaman.
Kemudian ia
masuk lift, turun ke pusat riset audio visual di lantai dasar. Petugas itu tak berani
mengambil risiko
selift dengannya. Jadi begitu tahu lantai berapa yang dituju Mrs. Fitzgerald, ia
menghampiri
komputer yang baru saja digunakannya dan rnencoba memanggil dokumen yang
terakhir dibuka."
"Tentu saja ia telah menghapus semuanya," kata Dexter.
"Ya, tentu saja," timpal Gutenburg.
"Tapi printout-nya bagaimana?"
"Lagi-lagi tak ada petunjuk mengenai apa yang tertera di dalamnya "
"Tak mungkin ia hidup bersama Connor Fitzgerald selama 28 tahun tanpa
menangkap sesuatu pun
dari cara kerja kita"
"Petugas itu meninggalkan perpustakaan dan mc nunggu di mobil. Setelah beberapa
menit. Mi s
Fitzgerald meninggalkan gedung. Ia tak lagi mem bawa video, tapi..."
"Ia pasti telah menitipkannya di pusat audio vi suai."
317
"Perkiraanku juga begitu," kata Gutenburg.
"Universitas menyimpan berapa video di perpustakaan?"
"Dua puluh lima ribu lebih." jawab Gutenburg.
"Kita tak punya waktu untuk memeriksa itu semua," kata Dexter.
"Kita memang tak punya waktu sebanyak itu, jika Mrs. Fitzgerald tak membuat
kesalahannya yang
pertama."
Kali ini Dexter tidak menyela. Ketika meninggalkan perpustakaan, ia tak membawa
video, tapi
printout. Petugas kita mengikutinya hingga ke Kantor Penerimaan, di mana prinsip-
prinsip Mrs.
Fitzgerald mengalahkannya."
Dexter mengernyitkan alis.
"Sebelum kembali ke kantornya, Mrs. Fitzgerald mampir di pusat daur ulang. Bukan
kebetulan ia
jadi Wakil Ketua GULP."
"GULP?"
"Georgetown University Litter Patrol—Patroli Kebersihan Universitas Georgetown.
Ia
memasukkan printout itu ke tempat penyimpanan kertas."
"Bagus. Jadi apa yang kautemukan?"
"Daftar lengkap semua video yang kini sedang dipinjam dan tak mungkin
dikembalikan sebelum
semester berikut."
"Jadi dia pasti merasa aman meninggalkan videonya di dalam boks yang kosong,
sebab tak seorang
pun akan menemukannya selama berminggu-minggu."
"Tepat," kata Gutenburg.
"Berapa banyak video yang termasuk dalam kategori itu?"
318
"Empat ratus tujuh puluh dua," sahut Gutenburg.
"Kuduga telah kauambil alih semuanya "
"Semula aku berniat berbuat demikian, tapi jika ada mahasiswa yang penuh selidik
atau ada
anggota staf yang tahu kehadiran CIA di kampus, semuanya akan berantakan."
"Pemikiran yang bagus," kata Dexter. "Jadi apa rencanamu untuk menemukan video
itu?"
"Aku telah memperbantukan selusinan petugas pilihan, semuanya baru saja lulus,
untuk mengecek
semua judul yang ada dalam daftar tersebut sampai mereka menemukan rekaman
video buatan
sendiri di dalam boks yang seharusnya boks kosong. Masalahnya, walaupun mereka
menyamar
dengan berpakaian seperti mahasiswa biasa, aku tak bisa membiarkan mereka di
perpustakaan lebih
dari dua puluh menit, atau menyuruh mereka ke sana lebih dari dua kali sehari.
Jangan-jangan akan
tampak mencolok, terutama nyaris tak ada orang di sana saat-saat ini. Jadi
pelaksanaannya ternyata
agak menyita waktu."
"Menurutmu berapa lama lagi mereka akan menemukannya?"
"Kita bisa saja beruntung dan langsung menemukannya, tapi kukira perlu waktu satu-
dua hari, atau
paling lama tiga hari."
"Jangan lupa menghubungi kembali Mrs. Fitzgerald dalam waktu kurang dari 48
jam."
"Aku tak lupa itu. Tapi tak perlu lagi, bila kita menemukan rekaman video itu
sebelumnya."
"Kecuali bila Mrs. Fitzgerald juga merekam pembicaraan per telepon denganmu."
Gutenburg tersenyum. "Ia memang merekamnya,
319
tapi telah dihapus tak lama sesudah ia meletakkan pesawat telepon. Seharusnya
kaulihat
kesenangan Profesor Ziegler dalam mendemonstrasikan permainan terakhirnya."
"Hebat," kata Dexter. "Telepon aku saat kautemukan video itu. Dengan begitu
barulah tak ada
sesuatu pun yang menghentikan kita melikuidasi satu orang yang masih bisa..."
Telepon merah di
atas meja berdering, dan ia menyambarnya tanpa menyelesaikan kalimatnya.
"Direktur," katanya sambil menekan tombol di stopwatch. "Kapan ini terjadi? ...Apa
kau benar-
benar pasti? ...Dan Jackson? Di mana dia?" Setelah mendengar jawaban, ia langsung
meletakkan
pesawat telepon. Gutenburg melihat hitungan waktu stopwatch, 43 detik.
"Kuharap kautemukan rekaman video itu dalam waktu 48 jam lagi," kata Direktur
sambil
memandang wakilnya di seberang meja.
"Mengapa?" tanya Gutenburg cemas.
"Sebab Mitchell memberitahu bahwa Fitzgerald digantung pukul delapan pagi ini
waktu setempat
di St. Petersburg, dan Jackson baru saja naik pesawat United Airlines dari Frankfurt
menuju
Washington."
BAB DUA PULUH EMPAT
PUKUL tujuh pagi, ketiga tukang pukul memasuki sel dan menggiringnya ke kantor
Kepala Polisi.
Begitu mereka meninggalkan ruangan, Bolchenkov mengunci pintu, dan tanpa
sepatah kata pun
menuju ke lemari pakaian di sudut. Di dalamnya terdapat seragam polisi, lalu
memberi isyarat
kepada Connor untuk mengganti pakaiannya dengan seragam polisi itu. Karena
tubuhnya susut
banyak dalam seminggu ini, pakaian itu tampak kedodoran, untunglah ada penjepit
lengan baju.
Berkat topi bertepi lebar dan jas biru panjang, ia berhasil tampak seperti agen polisi
lain yang
seribuan jumlahnya dan yang akan berpatroli di St. Petersburg pagi itu. Ia
meninggalkan pakaian
penjara di bagian bawah lemari, entah bagaimana Kepala Polisi akan melenyapkan
pakaian itu.
Tetap tanpa berkata sepatah kata pun Bolchenkov mengantarnya keluar kantor
menuju ke ruang
tunggu kecil, dan menguncinya di dalamnya.
Setelah hening lama Connor mendengar pintu dibu-
323
ka, lalu langkah-langkah orang, disusul dengan pintu lain dibuka, mungkin yang
belakangan pintu
lemari pakaian di kantor Kepala Polisi. Ia tetap tak bergerak seraya memikirkan apa
yang sedang
terjadi. Pintu pertama dibuka lagi, dan dua atau tiga orang menerobos masuk kantor
itu tanpa suara.
Beberapa detik kemudian mereka pergi sambil menyeret sesuatu atau seseorang ke
luar dan
menutup pintu dengan membantingnya.
Beberapa saat kemudian pintu itu dibuka, dan Bolchenkov memberi isyarat supaya ia
keluar.
Mereka melintasi kantor dan kembali lagi ke koridor. Jika Kepala Polisi belok ke
kiri, mereka akan
kembali ke sel, tetapi ternyata belok ke kanan. Kaki Connor terasa lemas, tetapi ia
mengikuti
Kepala Polisi secepat mungkin.
Yang pertama ia lihat ketika memasuki halaman ialah tiang gantungan. Seseorang
sedang
menempatkan kursi keemasan megah dibalut kain merah mewah beberapa langkah di
depannya. Ia
tak perlu diberitahu siapa yang akan duduk di situ. Ketika ia dan Bolchenkov
melintasi halaman,
Connor melihat sekelompok polisi, yang berpakaian seperti dia dengan jas biru
panjang,
menggiring orang-orang lewat dari jalan, mungkin untuk menyaksikan eksekusi itu.
Kepala Polisi cepat-cepat melintasi jalan berkerikil menuju ke mobil di tepi halaman.
Connor baru
akan membuka pintu penumpang, ketika Bolchenkov menggeleng dan menunjuk ke
tempat duduk
pengemudi. Connor duduk di belakang kemudi.
"Kendarai mobil ini sampai ke gerbang, kemudian berhenti," kata Kepala Polisi
seraya duduk di
tempat penumpang.
324
Selama mengendarai mobil melintasi halaman, Connor tetap menggunakan
persneling satu,
kemudian berhenti di depan dua penjaga yang ditempatkan dekat gerbang tertutup.
Salah seorang
dari mereka memberi hormat kepada Kepala Polisi dan langsung memeriksa bagian
bawah mobil,
sementara yang satunya melongok melalui jendela belakang dan memeriksa bagasi.
Kepala Polisi mencondongkan badan dan menarik lengan baju Connor ke bawah,
menutupi
pergelangan kirinya. Setelah selesai memeriksa, para penjaga itu kembali ke posisi
semula dan
memberi hormat lagi kepada Bolchenkov. Tak ada yang menaruh perhatian sedikit
pun kepada
pengemudi. Pasak kayu besar ditarik dan gerbang besar Penjara Crucifix itu terbuka.
"Jalan terus," kata Kepala Polisi sambil menahan napas ketika seorang bocah lari
masuk ke
halaman penjara, seolah ia tahu persis harus pergi ke mana.
"Lewat mana?" bisik Connor.
"Kanan."
Connor membelokkan mobil ke kanan, menyeberangi jalan dan mulai meluncur
menyusuri Sungai
Neva menuju ke pusat kota. Tak ada kendaraan lain yang tampak.
"Menyeberang di jembatan berikut," kata Bolchenkov, "kemudian ambil jalan
pertama ke kiri."
Sementara mereka melewati penjara di seberang sungai, Connor memandang ke
tembok penjara
yang tinggi. Polisi masih mencoba membujuk orang-orang untuk menambah jumlah
gerombolan
orang yang telah berkumpul untuk menyaksikan hukuman gantung. Ha gaimana
Bolchenkov akan
dapat meloloskan ini?
325
Connor melanjutkan melaju beberapa ratus meter hingga Bolchenkov berkata,
"Minggir di sini." Ia
memperlambat mobil dan berhenti di belakang BMW besar warna putih dengan salah
satu pintu
belakang terbuka.
"Di sinilah kita berpisah, Mr. Fitzgerald," kata Bolchenkov. "Semoga kita takkan
berjumpa lagi."
Connor mengangguk setuju. Ketika ia keluar dari mobil, Kepala Polisi
menambahkan, "Kau
mendapat hak istimewa mempunyai sahabat yang begitu mengagumkan."
Memerlukan waktu beberapa lama sebelum Connor benar-benar memahami makna
kata-kata itu.
"Penerbangan Anda berangkat dari Gerbang 11, Mr. Jackson. Dua puluh menit lagi
akan boarding."
"Terima kasih," kata Connor sambil mengambil kartu boarding. Ia mulai berjalan
pelan-pelan
menuju tempat Keberangkatan, seraya berharap petugas tidak terlalu teliti memeriksa
paspornya.
Walau foto Jackson telah diganti dengan fotonya, Chris tiga tahun lebih tua daripada
dirinya, lebih
pendek lima senti, serta botak. Seandainya diminta mencopot topinya, ia harus
menjelaskan
mengapa kepalanya bercirikan tanda-tanda seperti punya Gorbachev. Di Kalifornia,
ia akan segera
dianggap sebagai anggota suatu kultus.
Ia menyerahkan paspor dengan tangan kanan. Seandainya ia menggunakan tangan
kiri, lengan
bajunya akan tertarik ke atas dan menyingkap nomor yang ditatokan di pergelangan.
Nanti kalau
sudah kembali di Amerika ia akan membeli gelang jam tangan yang lebih lebar.
326
Petugas hanya memandang sekilas ke paspor lalu mempersilakannya berjalan terus.
Koper yang
baru didapatnya hanya berisi pakaian-pakaian ganti dan kantong cucian, lolos tanpa
hambatan
melalui keamanan. Ia mengangkatnya dan berjalan menuju Gerbang 11. Di ruang
tunggu ia duduk
di ujung, jauh dari jalan keluar menuju ke pesawat.
Selama 24 jam sejak lolos dari Crucifix, Connor tak dapat santai sesaat pun.
"Ini panggilan pertama untuk Finnair Penerbangan 821 ke Frankfurt," terdengar suara
melalui
interkom.
Connor tak bergerak. Seandainya mereka mengatakan yang sebenarnya, ia takkan
pernah
mengizinkan Chris menggantikannya. Ia mencoba menyusun gambaran menyeluruh
tentang
segalanya yang terjadi sejak ia meninggalkan Bolchenkov.
Ia keluar dari mobil polisi dan berjalan secepat mungkin menuju BMW yang sedang
menunggu.
Kepala Polisi telah menjalankan mobilnya kembali ke Crucifix saat Connor masuk
pintu belakang
BMW itu dan duduk di samping seorang muda yang pucat, kurus, mengenakan jas
hitam kasmir
panjang. Baik dia maupun kedua orang yang berpakaian serupa dan duduk di kursi
depan tidak
berbicara ataupun menghiraukan kehadiran Connor.
BMW pelan-pelan masuk ke jalan lengang dan meluncur cepat meninggalkan kota.
Begitu mereka
memasuki jalan raya, si pengemudi tak memperhatikan batas kecepatan. Ketika
angka 08.00
berkedip di jam dasbor, rambu-rambu jalan memberitahu Connor bahwa mereka
berada 150
kilometer dari perbatasan Finlandia.
327
Ketika angka pada rambu-rambu jalan itu mulai menurun menjadi 100 kilometer,
kemudian 50, 30,
dan 10, Connor mulai bertanya-tanya bagaimana mereka akan menjelaskan kehadiran
seorang
polisi Rusia kepada penjaga perbatasan. Tetapi ternyata tak perlu ada penjelasan.
Ketika BMW
sekitar tiga ratus meter dari tanah tak bertuan yang memisahkan dua negara, si
pengemudi
menyorotkan lampu depan empat kali. Rintangan di perbatasan langsung naik,
membiarkan mereka
melintasi perbatasan masuk Finlandia tanpa mengurangi laju kecepatan. Connor
mulai menghargai
luasnya pengaruh Mafya Rusia.
Tak seorang pun dalam mobil berbicara sejak perjalanan mereka dimulai. Dan sekali
lagi rambu-
rambu jalanlah yang memberi petunjuk kepada Connor mereka menuju ke mana. Ia
mulai
menyangka Helsinki yang menjadi tujuan mereka, tetapi sekitar dua belas kilometer
sebelum
mencapai pinggiran kota itu, mobil mengambil jalan lintas luar meninggalkan jalan
raya. Laju
mobil melambat sementara si pengemudi melintasi jalan yang berlubang-lubang dan
berbelok-
belok, membawa mereka semakin masuk ke pedalaman. Connor menatap
pemandangan tandus
diselimuti lapisan salju tebal.
"Ini panggilan kedua untuk Penerbangan Finnair 821 ke Frankfurt. Semua
penumpang diharap
masuk pesawat"
Connor masih juga tidak bergerak.
Empat puluh menit setelah meninggalkan jalan raya, mobil membelok ke halaman
rumah pertanian
yang terbengkalai. Pintu telah terbuka bahkan sebelum mereka berhenti. Orang muda
yang tinggi
itu melom-
328
pat keluar dari mobil dan menggiring Connor masuk rumah. Ia tidak menghiraukan
wanita yang
gemetar ketakutan ketika mereka melewatinya. Connor mengikutinya menaiki
serangkaian tangga
ke lantai pertama. Si orang Rusia membuka pintu, dan Connor memasuki ruangan
itu. Pintu
dibanting menutup, dan ia mendengar kunci lain diputar dalam lubangnya.
Ia berjalan melintasi .ruangan dan memandang ke luar melalui satu-satunya jendela.
Salah seorang
tukang pukul berdiri di halaman, sambil menatapnya. Ia menyingkir dari jendela. Ia
melihat satu
setelan lengkap dengan topi hitam dari bulu kelinci telah diletakkan di atas ranjang
sempit dan
tampak tak nyaman.
Connor melepas semua pakaiannya dan menyam-pirkannya pada kursi di dekat
ranjang. Di sudut
ruangan ada tirai plastik. Dan di baliknya ada shower. Dengan bantuan sebatang
sabun kasar dan
tetes-tetes air suam-suam kuku, selama beberapa menit Connor berusaha
menghilangkan bau
Crucifix dari tubuhnya. Dikeringkannya tubuhnya dengan dua lap piring. Ketika
mengaca ia
menyadari perlu waktu beberapa lama untuk menyembuhkan luka di kepalanya dan
menunggu
rambutnya tumbuh kembali seperti semula. Tetapi nomor yang ditatokan pada
pergelangan
tangannya akan tetap ada sepanjang hidupnya.
Dikenakannya setelan di ranjang itu. Pantalonnya terlalu pendek beberapa inci,
kemeja dan jasnya
pas, walaupun ia telah kehilangan berat badan paling sedikit lima kilo selama
meringkuk di penjara.
Terdengar ketukan lembut di pintu, lalu anak kun ci diputar. Wanita yang berada di
ruang duduk
ketika mereka tiba, kini berdiri di sana membawa nam-
329
pan. Ia meletakkan nampan itu di meja samping ran jang dan menyelinap keluar
sebelum Connor
sempat mengucapkan terima kasih. Ia memandangi mangkuk berisi sup hangat dan
tiga roti gulung,
dan menjilati bibirnya. Ia duduk dan mulai melahap makanan itu, tetapi merasa
kenyang setelah
menyeruput beberapa sendok sup dan mengunyah satu roti gulung. Tiba tiba ia
terserang kantuk,
aan menelungkup di ranjang.
"Ini panggilan ketiga untuk Penerbangan Finnair 821 ke Frankfurt. Para penumpang
yang masih di
luar harap segera masuk pesawat" Connor masih tetap tidak beranjak. Ia pasti telah
tertidur, sebab
yang selanjutnya ia ingat ialah terjaga dan mendapati orang muda pucat itu berdiri di
ujung ranjang,
sambil memandanginya.
"Kita berangkat ke bandara dua puluh menit lagi," katanya, dan melemparkan
amplop cokelat yang
tebal ke atas ranjang.
Connor duduk dan menyobek amplop itu, ternyata berisi tiket kelas satu ke Dulles
International,
seribu dolar AS, dan sebuah paspor Amerika.
Ia membuka paspor dan membaca nama "Christopher Andrew Jackson" di atas foto
dirinya sendiri,
la mendongak ke orang Rusia itu. "Apa artinya ini?"
"Artinya kau masih tetap hidup," sahut Alexei Romanov.
"Ini panggilan terakhir untuk Penerbangan Finnair 821 ke Frankfurt. Harap para
penumpang yang
masih di luar segera naik pesawat."
Connor berjalan menghampiri petugas gerbang, menyerahkan kartu boarding, dan
menuju ke
pesawat
330
y.ing masih menunggu. Pramugara memeriksa nomor tempat duduknya dan
menunjuk ke bagian
depan pesawat. Connor tak perlu mencari kursi dekat jendela di deretan kelima,
sebab orang Rusia
itu sudah terpaku di kursi dekat jalan deretan kelima. Jelas pekerjaannya bukan
hanya membawa
amplop itu, tetapi juga menyerahkannya dan memastikan bahwa perjanjian benar-
benar
dilaksanakan. Ketika Connor melangkahi kaki pengawalnya, seorang pramugari
bertanya,
"Bolehkah saya bawakan topi Anda, M r. Jackson?" "Tak usah, terima kasih."
Ia bersandar di kursi nyaman, tapi tak bisa santai hingga pesawat tinggal landas.
Kemudian mulai
meresap ke dalam hatinya untuk pertama kali bahwa ia benar-benar telah lolos.
Tetapi ia bertanya-
tanya untuk apa. Ia melirik ke kiri: mulai saat ini ada seseorang yang menemani dia
siang-malam
hingga ia melaksanakan kewajibannya dalam perjanjian.
Selama perjalanan ke Jerman, Romanov tak pernah membuka mulut satu kali pun.
Kecuali ketika
makan beberapa potong makanan yang disediakan di depannya. Connor
menghabiskan semua
makanannya, kemudian melewatkan waktu dengan membaca majalah untuk
penerbangan Finnair.
Menjelang pesawat mendarat di Frankfurt, ia telah mengetahui segalanya tentang
sauna, pelempar
lembing, dan ketergantungan orang-orang Finlandia pada ekonomi Rusia.
Ketika mereka berjalan menuju ruang tunggu untuk transit, Connor segera melihat
agen CIA itu.
Cepat-cepat ia melepaskan diri dari pengawalnya, dan dua puluh menit kemudian
kembali sehingga
Romanov jelas merasa lega.
331
Connor tahu sangatlah mudah untuk meloloskan diri dari penjaganya begitu mereka
tiba di
wilayahnya, tetapi ia juga tahu bahwa jika ia mencoba lolos, mereka akan
melaksanakan ancaman
yang dengan jelas dilukiskan Kepala Polisi. Ia gemetar membayangkan salah satu
penjahat itu akan
mencederai Maggie atau Tara.
United Airlines 777 berangkat ke Dulles tepai jadwal. Connor dapat melahap hampir
semua
hidangan pertama dan kedua makan siangnya. Setelah pramugari menyingkirkan
nampan, ia
menekan tombol pada lengan kursinya, merebahkan kursi itu, dan mulai memikirkan
Maggie.
Betapa ia iri Maggie selalu bisa... Beberapa saat kemudian ia tertidur di pesawat
untuk pertama
kalinya dalam kurun waktu dua puluh tahun.
Ketika ia terjaga, makanan kecil sedang disajikan. Ia pastilah satu-satunya orang
dalam
penerbangan itu yang makan segala yang diletakkan di depannya, termasuk dua
mangkuk selai.
Selama jam terakhir sebelum mendarat di Washington, pikirannya kembali melayang
ke Chris
Jackson dan pengorbanan yang telah dilakukannya. Connor tahu ia takkan pernah
dapat membalas
budi itu, namun ia telah bertekad untuk tidak membiarkannya menjadi tindakan yang
tanpa arti.
Pikirannya melesat ke Dexter dan Gutenburg, yang kini pasti menganggapnya telah
mati. Mula
pertama mereka mengirimnya ke Rusia untuk menyelamatkan hidup mereka sendiri,
kemudian
mereka membunuh Joan, sebab wanita ini mungkin telah menyampaikan informasi
kepada Maggie.
Berapa lama lagi akan berlalu sebelum mereka memutuskan Maggie meru-
332
pakan risiko yang terlalu besar hingga juga perlu disingkirkan?
"Ini kapten Anda yang sedang berbicara. Kami telah diberi tanda aman untuk
mendarat di Bandara
Dulles International. Harap para awak kabin bersiap-siap untuk mendarat. Atas nama
United
Airlines, saya mengucapkan selamat datang di Amerika Serikat."
Connor membuka paspornya. Christopher Andrew Jackson telah kembali ke tanah
airnya.
333

BAB DUA PULUH LIMA


MAGGIE tiba di Bandara Dulles satu jam lebih awal—kebiasaan yang biasanya
membuat Connor
marah. Ia memeriksa layar kedatangan, dan merasa senang ternyata penerbangan dari
San
Francisco dijadwalkan mendarat tepat waktu.
Ia mengambil satu eksemplar Washington Posi dari kios koran dan berjalan menuju
kedai kopi
terdekat. Ia bertengger di kursi tinggi pada gerai, lalu memesan kopi tanpa susu dan
croissant. Ia
tidak melihat dua laki-laki yang duduk pada meja di sudut yang berhadapan
dengannya, salah
seorang juga membawa satu eksemplar Washington Post yang tampaknya sedang
dibacanya. Tetapi
kalaupun melihat, Maggie takkan melihat laki-laki ketiga yang lebih
memperhatikannya daripada
memperhatikan layar kedatangan yang sedang ia lihat. Laki-laki itu telah melihat dua
laki-laki lain
di sudut itu.
Maggie membaca Post dari sampul ke sampul,
334
tiap beberapa menit memeriksa jamnya. Saat akan memesan kopi cangkir kedua, ia
sedang
mendalami suplemen mengenai Rusia yang diterbitkan untuk mengantisipasi
kunjungan Presiden
Zerimski ke Washington yang akan berlangsung. Maggie tidak menyukai berita
pemimpin
Komunis itu, yang tampaknya berasal dari abad terakhir.
Dua puluh menit sebelum pesawat dijadwalkan mendarat, ia telah meneguk kopi
ketiga. Ia turun
dari kursi tinggi itu dan menuju ke jajaran boks telepon umum. Kedua pria itu
mengikutinya keluar
restoran, sedangkan pria yang ketiga menyelinap dari satu bayangan ke bayangan
lain.
Ia menelepon dengan ponselnya. "Selamat pagi. Jackie," katanya ketika wakilnya
menjawab
telepon. "Aku cuma ingin tahu apakah semuanya beres."
"Maggie," jawab sebuah suara yang berusaha terdengar tidak terlalu jengkel,
"sekarang jam tujuh
pagi, dan aku masih di ranjang. Kemarin kau menelepon, ingat? Universitas sedang
libur. Tak ada
yang kembali sebelum tanggal 14 Januari. Dan setelah tiga tahun jadi wakilmu, aku
baru bisa
mengelola kantor selama kau pergi."
"Maaf, Jackie," kata Maggie. "Aku tak bermaksud membangunkanmu. Aku lupa
sekarang masih
pagi-pagi sekali. Aku berjanji takkan mengganggumu lagi."
"Moga-moga Connor lekas kembali, dan Tara serta Stuart membuatmu sibuk selama
dua minggu
mendatang," kata Jackie. "Selamat Natal, dan aku tak mau dengar apa-apa lagi
darimu hingga akhir
Januari," tambah Jackie penuh perasaan.
Maggie memutuskan sambungan, menyadari dirinya
335
hanya iseng menghabiskan waktu, dan tak sepantasnya mengganggu Jackie sepagi
ini. Ia memurahi
diri sendiri, dan memutuskan tidak mengganggu Jackie lagi hingga Tahun Baru.
Ia berjalan pelan-pelan menuju gerbang kedatangan dan bergabung dengan orang-
orang yang
semakin banyak mengintip landas pacu dari jendela. Penerbangan pagi mulai
berdatangan dan
berangkat. Ketiga orang yang tidak memeriksa tanda-tanda setiap pesawat yang
datang itu terus
mengawasi Maggie, yang sedang menunggu pengumuman yang mengkonfir-masikan
pendaratan
Penerbangan 50 United dari San Francisco. Ketika pengumuman itu akhirnya
muncul, Maggie
tersenyum. Salah seorang dari tiga pria itu menekan sebelas nomor di ponsel dan
"mengirimkan
informasi kembali ke atasannya di Langley.
Maggie tersenyum lagi ketika seorang pria yang mengenakan topi bisbol klub 49ers
keluar dari
pesawat jet—penumpang pertama keluar dari si "mata merah". Ia harus menunggu
sepuluh menit
lagi, lalu barulah Tara dan Stuart muncul melalui pintu. Ia belum pernah melihat
putrinya tampak
begitu ceria. Saat melihat Maggie, Stuart mulai menyeringai lebar, yang telah
menjadi kebiasaan
selama liburan mereka di Australia.
Maggie memeluk mereka bergantian. "Senang sekali bertemu dengan kalian berdua,"
katanya. Ia
mengambil alih salah satu tas Tara dan mendului mereka menuju terowongan bawah
tanah yang
membawa mereka ke terminal utama.
Salah satu laki-laki yang mengawasinya telah menunggu di tempat parkir jangka
pendek, duduk di
dalam truk Toyota dengan muatan sebelas mobil
336
baru. Dua lainnya sedang berlari melintasi tempat parkir.
Maggie, Tara, dan Stuart melangkah di udara pagi yang dingin, menuju ke mobil
Maggie. "Mom,
bukankah sudah waktunya membeli yang lebih baru daripada sampah tua ini?" tanya
Tara pura-
pura ngeri. "Aku masih di high school ketika Mom membeli ini, barang bekas lagi."
"Toyota itu mobil paling aman di jalan," kata Maggie dengan formal, "seperti yang
dikonfirmasikan Consumer Reports secara teratur."
"Tak ada mobil berumur tiga belas tahun yang aman di jalan," balas Tara.
"Bagaimanapun," kata Maggie, tak memedulikan ejekan putrinya, "ayahmu
berpendapat kita harus
mempertahankannya hingga ia mulai pekerjaan baru, lalu ia akan diberi mobil
perusahaan."
Penyebutan Connor membuat mereka hening, kikuk sesaat.
"Aku sudah tak sabar bertemu dengannya lagi, Mrs. Fitzgerald," kata Stuart sambil
naik ke jok
belakang.
Maggie tidak mengatakan, "Aku juga," melainkan memuaskan diri sendiri dengan,
"Jadi ini
kunjungan pertamamu ke Amerika."
"Ya, itu betul," jawab Stuart, sementara Maggie menghidupkan mobil. "Dan aku
sudah tak yakin
ingin kembali ke Oz."
"Di Amerika sudah cukup banyak pengacara dengan bayaran terlalu tinggi, tanpa
ditambah satu
lagi dari sana," kata Tara sementara mereka antre membayar parkir.
337
Maggie tersenyum kepada Tara, merasa lebih bahagia daripada beberapa minggu
terakhir ini.
"Kapan kau harus pulang, Stuart?"
"Bila Mom merasa ia sudah terlalu lama di sini, kami bisa saja kembali dan naik
penerbangan
berikut," kata Tara.
"Tidak, bukan itu maksudku, cuma..."
"Aku tahu—Mom suka merencanakan sebelumnya," kata Tara sambil tertawa. "Jika
mungkin,
Stuart, Mom ingin membuat pendaftaran para mahasiswa Georgetown pada saat
pembuahan."
"Mengapa itu tak terpikir olehku?" kata Maggie.
"Aku tak perlu kembali masuk kerja sampai tanggal 5 Januari," kata Stuart. "Semoga
Anda dapat
tahan menerimaku selama itu."
"Mom tak punya banyak pilihan," kata Tara sambil meremas tangan Stuart.
Maggie menyerahkan lembaran uang sepuluh dolar kepada kasir sebelum keluar dari
tempat parkir
dan menuju jalan raya. Ia melirik kaca spion, tetapi tak melihat Ford biru, yang tak
jelas ciri-
cirinya, sekitar seratus meter di belakangnya. Ford itu melaju dengan kecepatan kira-
kira sama
dengan mobilnya. Orang yang duduk di kursi penumpang sedang melapor ke
atasannya di Langley
bahwa subjek telah meninggalkan "Kerbside" pukul 07.43 dan menuju ke arah
Washington dengan
dua paket yang baru saja diambilnya.
"Kau menikmati San Francisco, Stuart?"
"Setiap saat," jawabnya. "Kami merencanakan tinggal beberapa hari lagi di sana
dalam perjalanan
pulangku."
Ketika melirik kaca spion lagi. Maggie melihat mo-
338
bil patroli l^egara Bagian Virginia meluncur di belakangnya sambil mengedip-
ngedipkan lampu-
lampunya.
"Apakah menurutmu dia mengikutiku? Aku kan tidak ngebut," kata Maggie sambil
memeriksa
spedometer.
"Mom, mobil ini nyaris jadi barang antik, seharusnya sudah diderek bertahun-tahun
lalu.
Kesalahannya bisa ada di mana saja, dari lampu rem sampai ban kurang angin.
Minggir sajalah."
Tara melongok dari jendela belakang. "Dan jika polantas itu bicara dengan Mom,
jangan lupa beri
dia senyum Irlandia."
Maggie menepikan mobilnya sementara Ford biru itu menyalibnya melalui jalur
tengah.
"Brengsek," desis si pengemudi sambil melejit melewati mereka.
Maggie membuka kaca jendela sementara dua agen polisi keluar dari mobil patroli
dan berjalan
pelan menuju mereka. Polisi pertama tersenyum dan berkata dengan sopan, "Boleh
saya lihat SIM
Anda?"
"Tentu saja, Sir," jawab Maggie sambil balas tersenyum. Ia membungkuk dan
membuka tas serta
mulai mencari-cari di dalamnya. Sementara polisi kedua memberitahu Stuart supaya
menurunkan
kaca jendela juga. Stuart menganggap ini permintaan aneh, sebab ia hampir tak
mungkin
melakukan kesalahan lalu lintas. Tapi karena ia tidak berada di negeri sendiri,
menurutnya lebih
arif kalau mengikuti permintaan itu. Ia menurunkan kaca jendela tepat saat Maggie
menemukan
SIM. Ketika Maggie berpaling menyerahkan SIM, polisi kedua menarik pistol dan
menembak tiga
kali ke dalam mobil.
Kedua polisi itu cepat-cepat kembali ke mobil
339
patroli mereka. Sementara yang satu dengan hati-hati memasukkan mobil ke lalu
lintas pagi, yang
kedua menelepon seseorang yang duduk di samping pengemudi truk raksasa.
"Sebuah Toyota
rusak, dan memerlukan bantuan kalian secepatnya."
Segera setelah mobil patroli itu melejit pergi, truk raksasa pembawa sebelas mobil
Toyota baru
mendekati dan berhenti di depan mobil yang tak bergerak. Orang yang duduk di
sebelah sopir serta
mengenakan topi Toyota dan overall biru itu melompat dari kabin dan lari menuju
mobil yang
berhenti. Ia membuka pintu pengemudi, pelan-pelan memindahkan Maggie ke kursi
sebelah, dan
menarik tuas yang membuka kap mesin mobil. Kemudian ia membungkuk ke tempat
Stuart
ambruk, mengambil dompet dan paspor dari saku dan jas Stuart serta menggantinya
dengan '
paspor lain dan sebuah buku tipis.
Pengemudi truk itu membuka kap mesin Toyota dan memeriksa di bawahnya.
Dengan cepat ia
menonak-tifkan alat pengikut jejak mobil dan menutup kap mesin. Rekannya kini
duduk di
belakang kemudi Toyota. Ia menstarter, memasukkan persneling satu, dan pelan-
pelan menaikkan
mobil itu ke truk raksasa melewati tangga untuk menempati ruang yang masih
tersedia. Kemudian
ia mematikan mesin, memasang rem tangan, mengikat roda mobil pada truk dan
bergabung
kembali dengan si pengemudi di kabin truk. Seluruh kegiatan itu hanya berlangsung
kurang dari
tiga menit.
Truk itu kembali melanjutkan perjalanan menuju Washington. Tetapi setelah berjalan
delapan ratus
meter, truk itu mengambil jalan keluar muatan udara dan melaju kembali ke arah
bandara.
340
Para petugas CIA dalam Ford biru telah keluar dari jalan raya pada jalan keluar
berikutnya,
kemudian memutar kembali dan bergabung dengan lalu lintas menuju Washington.
"Wanita itu
pasti melakukan kesalahan kecil," demikian laporan si pengemudi kepada atasannya
di Langley.
"Tak mengherankan dengan mobil setua itu."
Petugas di sebelahnya heran, karena Toyota itu tak lagi terekam di layarnya. "Mereka
mungkin
dalam perjalanan kembali ke Georgetown," ia mengemukakan pendapatnya. "Kami
akan
menelepon saat kami memperoleh kontak lagi."
Sementara dua agen itu melaju ke Washington, truk yang membawa dua belas mobil
Toyota itu
membelok ke kiri dari jalan khusus Dulles pada tanda yang bertuliskan "Hanya untuk
Kargo".
Setelah beberapa ratus meter mobil itu belok ke kanan melalui gerbang kawat tinggi
yang terbuka
dan dijaga oleh dua orang dengan pakaian overall bandara. Truk turun melalui jalan
landas pacu tua
menuju ke hanggar yang terisolasi. Seseorang berdiri sendirian pada pintu masuk
untuk
membimbing mereka, seolah truk itu pesawat yang baru saja mendarat.
Pengemudi menghentikan kendaraan di samping van yang tak bertanda. Tujuh orang
yang
mengenakan overall putih dengan cepat muncul dari belakang. Salah seorang dari
mereka melepas
rantai pengikat mobil Toyota tua dengan truk raksasa. Seseorang lain
menggantikannya di belakang
kemudi, melepas rem tangan, dan memundurkan Toyota di jalur landai hingga ke
tanah. Saat mobil
itu berhenti, pintu-pintunya dibuka dan tubuh-tubuh di dalamnya diangkat dengan
hati-hati.
341
Orang yang mengenakan topi Toyota melompat dari truk dan memegang kemudi
Toyota tua. Ia
memasukkan persneling satu dan berputar dalam lingkaran serta melesat keluar
hanggar seolah
seumur hidup ia telah mengendarainya. Ketika melewati gerbang terbuka, tubuh-
tubuh itu pelan-
pelan diletakkan di bagian belakang van. Di situ tiga peti mati telah menunggu
mereka. Salah
seorang yang mengenakan overall berkata, "Jangan tutup dulu peti mati itu jika
belum mendekati
pesawat."
"Oke, Dok," jawab orang itu.
"Dan bila palka telah ditutup, angkat tubuh-tubuh itu dan ikat pada tempat duduk
masing-masing."
Saat orang itu mengangguk, truk mundur keluar hanggar dan kembali mengikuti rute
melewati
landas pacu tua menuju ke gerbang. Sampai di jalan raya truk belok ke kiri menuju
ke arah
Leesburg, di mana si sopir akan menyerahkan sebelas Toyota baru itu kepada dealer
setempat.
Bayaran untuk kerja tak terjadwal selama enam jam ini telah cukup baginya untuk
membeli salah
sebuah Toyota baru itu.
Gerbang kawat telah tertutup dan dipasak menjelang saat van keluar hanggar dan
mulai berjalan
pelan menuju area masuk dok kargo. Pengemudi melewati deretan pesawat kargo,
akhirnya
berhenti di belakang pesawat 747 yang bertanda "Air Transport International. Palka
terbuka dan
dua petugas pabean berdiri menunggu di pangkal jalur landai. Mereka memeriksa
dokumen-
dokumen tepat saat dua petugas CIA dalam Ford biru meluncur melalui Avon Place
1648. Setelah
mengitari blok dengan hati-hati, para petugas itu
342
melaporkan ke Langley bahwa tak ada tanda-tanda baik mobil maupun tiga paket itu.
Toyota tua itu keluar dari Route 66 dan bergabung dengan jalan raya menuju
Washington.
Pengemudi menginjak pedal gas dalam-dalam dan melejit menuju kota. Melalui
earphone ia
mendengarkan kedua petugas dalam Ford biru diperintahkan menuju ke kantor Mrs.
Fitzgerald,
untuk memeriksa apakah mobilnya berada di ruang parkir seperti biasa, di belakang
gedung
Penerimaan.
Setelah para petugas pabean puas bahwa dokumen-dokumen jenazah itu beres
semuanya, salah
seorang dari mereka berkata, "Baiklah. Buka tutupnya."
Dengan cermat mereka memeriksa pakaian, mulut, dan lubang-lubang lain dari
ketiga jasad itu,
kemudian menandatangani dokumen-dokumennya. Tutup peti mati dipasang kembali
dan orang-
orang ber-overall putih mengangkut peti mati satu per satu menaiki jalur landai
pesawat dan
meletakkan peti-peti itu sebelah menyebelah di dalam palka.
Jalur landai pesawat 747 dinaikkan ketika Toyota tua meluncur melalui Christ
Church. Mobil itu
melaju mendaki bukit sejauh tiga blok lagi, lalu mendecit berhenti di jalur masuk
Avon Place 1648.
Pengemudi telah menyelinap berputar melalui samping rumah dan masuk sendiri
melalui pintu
belakang menjelang saat si dokter memeriksa nadi ketiga pasien. Ia lari ke atas, ke
ruang tidur
utama dan membuka laci lemari di samping ranjang. Ia mencari-cari di antara
pakaian sport dan
mengambil amplop cokelat bertu-liskan "Tak boleh dibuka sebelum 17 Desember",
lalu
memasukkannya ke saku dalam. Ia menurunkan dua
343
koper dari atas lemari pakaian dan cepat-cepat mengisinya dengan pakaian.
Kemudian ia
mengeluarkan kantong kecil yang terbungkus kertas kaca dari over-all-nya dan
memasukkannya ke
tas kosmetik yang dilemparkannya ke dalam salah satu koper. Sebelum
meninggalkan kamar tidur
ia menyalakan lampu kamar mandi, kemudian lampu di ujung tangga, lalu dengan
menggunakan
remote control ia menyetel televisi di dapur dengan volume tinggi.
Ia meninggalkan dua koper itu dekat pintu belakang dan kembali ke Toyota tua. Ia
membuka kap
mesin dan mengaktifkan alat pengikut jejak.
Para petugas CIA telah mulai mengitari area parkir universitas pelan-pelan untuk
kedua kalinya
ketika ada titik muncul kembali di layar mereka. Si pengemudi dengan cepat
memutar dan kembali
menuju rumah kediaman keluarga Fitzgerald.
Orang dengan topi Toyota kembali ke belakang rumah, mengangkat dua koper, dan
keluar melalui
pintu pagar belakang. Ia melihat taksi parkir di depan Tudor Place, dan masuk ke jok
belakang
tepat saat dua agen itu kembali ke Avon Place. Seorang muda dengan lega
menelepon Langley
untuk melapor bahwa Toyota diparkir seperti biasa di tempatnya, dan bahwa ia bisa
melihat dan
mendengar televisi disetel di dapur. Tidak. Ia tak dapat menjelaskan mengapa alat
pengikut jejak
tak berfungsi selama hampir satu jam.
Pengemudi taksi bahkan tak perlu berpaling ketika orang itu meloncat masuk ke jok
belakang
taksinya dengan dua koper. Tetapi ia tahu persis Mr. Fitzgerald ingin diantar ke
mana.
344
BAB DUA PULUH ENAM
"Apa kau ingin mengatakan ketiga orang itu lenyap begitu saja dari muka bumi?'*
tanya Direktur.
"Tampaknya memang demikian," jawab Gutenburg. "Operasi itu begitu profesional,
hingga jika tak
tahu ia telah meninggal, aku pasti akan berkata itu khas Connor Fitzgerald."
"Tak mungkin, sebagaimana kita ketahui. Lalu menurut perkiraanmu siapa
pelakunya?"
"Berani bertaruh itu Jackson," jawab Wakil Direktur.
"Nah, kalau dia kembali ke negeri, ini, Mrs. Fitzgerald akan tahu suaminya telah
meninggal. Jadi
sekarang kita dapat berharap akan melihat tayangan videonya pada berita sore suatu
hari."
Gutenburg menyeringai puas. "Tak mungkin," katanya sambil menyerahkan paket
tersegel kepada
bosnya. "Salah satu agenku akhirnya menemukan re-
345
kaman video itu beberapa meni sebelum perpustakaan universitas tutup kemarin
malam."
"Satu masalah sudah terpecahkan," kata Direktur sambil merobek pembungkus paket
itu. "Tapi lalu
bagaimana cara menghalangi Jackson melapor kepada Lloyd siapa yang dikubur di
Crucifix?"
Gutenburg mengangkat bahu. "Bahkan bila ia mela kukannya, apa gunanya informasi
tersebut bagi
Lawrence? Hampir pasti ia takkan menelepon Zerimski beberapa hari sebelum
kunjungan
persahabatannya ke Washington, hanya untuk memberitahu bahwa orang yang telah
mereka
gantung karena merencanakan pembunuhan terhadap dirinya bukanlah teroris Afrika
Selatan yang
disewa Mafia Rusia, melainkan agen CIA yang melaksanakan perintah langsung dari
Gedung
Putih."
"Mungkin tak ada gunanya," kata Dexter. 'Tapi selama Jackson dan anak-istri
Fitzgerald masih
berkeliaran di sini, kita masih punya masalah. Maka kusarankan menyebarkan agen-
agen terbaik
untuk melacak mereka, secepat mungkin. Tak peduli mereka bekerja di sektor mana
atau untuk
siapa. Jika dapat membuktikan apa yang sebenarnya terjadi di St. Petersburg,
Lawrence akan punya
alasan lebih dari cukup untuk meminta pengunduran diri seseorang."
Di luar kebiasaan, Gutenburg hanya bungkam.
"Dan karena tanda tanganmulah yang tertera di bawah tiap dokumen yang relevan,"
lanjut Direktur,
"yah, aku tak punya pilihan lain kecuali melepasmu."
Butir-butir keringat muncul di dahi Gutenburg.
Stuart mengira ia terbangun dari mimpi buruk, ber-
346
usaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Mereka telah dijemput di bandara oleh
ibu Tara, yang
mengantarkan mereka dengan mobil menuju Washington. Tetapi mobil itu
dihentikan polisi lalu
lintas, dan ia diminta menurunkan kaca jendela. Lalu...?
Ia melihat sekeliling. Ia berada di pesawat lagi, tetapi akan ke mana? Kepala Tara
bersandar pada
bahunya. Di sisi lain Tara, ibunya juga tidur nyenyak. Semua tempat duduk lainnya
kosong.
Ia mulai merunut kembali semua kejadian, seperti yang selalu ia lakukan bila
mempersiapkan
kasus. Ia dan Tara telah mendarat di Dulles. Maggie telah menanti mereka di
gerbang...
Konsentrasinya buyar ketika seseorang setengah baya yang berpakaian rapi muncul
di sampingnya
dan membungkuk memeriksa denyut nadinya.
"Kita akan ke mana?" tanya Stuart tenang. Tetapi dokter itu tak menjawab, sepintas
memeriksanya,
lalu beralih pada Tara dan Maggie, kemudian menghilang kembali ke bagian depan
pesawat.
Stuart melepas sabuk pengaman, tapi tak cukup kuat untuk berdiri. Tara mulai
bergerak; sementara
Maggie tetap tidur nyenyak. Ia memeriksa sakunya, dompet dan paspornya telah
diambil. Dengan
susah payah ia mencoba mengartikan semuanya itu. Mengapa seseorang harus
bertindak sejauh itu
hanya untuk mengambil beberapa ratus dolar, beberapa kartu kredit, dan paspor
Australia? Bahkan
lebih aneh lagi mereka agaknya telah menggantinya dengan buku tipis berisi puisi
Yeats. Ia belum
pernah membaca Yeats sebelum bertemu dengan Tara. Tetapi setelah Tara kembali
ke Stanford, ia
mulai menikmati karya Yeats.
347
Ia membuka buku pada puisi pertama, "Sebuah Dialog antara Diri dan Jiwa". Kata-
kata "Aku puas
menghayati semuanya lagi, dan lagi" digarisbawahi. Ia membolak-balik halaman
demi halaman,
dan melihat bahwa baris-baris lain juga digarisbawahi.
Ketika ia memikirkan arti semuanya itu, seorang pria tinggi kekar muncul di
sampingnya, berdiri
menjulang penuh ancaman. Tanpa sepatah kata pun ia menyambar buku itu dari
tangan Stuart dan
kembali ke bagian depan pesawat.
Tara menyentuh tangannya. Stuart cepat-cepat berpaling dan berbisik di telinga Tara,
"Jangan
bicara." Tara melihat ibunya sekilas. Ibunya tetap tak bergerak, tampaknya berdamai
dengan dunia.
Begitu Connor telah meletakkan dua koper dalam palka dan memeriksa bahwa ketiga
penumpang
itu masih hidup dan tanpa luka-luka, ia meninggalkan pesawat dan naik ke jok
belakang BMW
yang mesinnya sudah dihidupkan.
"Kita melanjutkan melaksanakan kewajiban kita sesuai dengan transaksi," kata
Alexei Romanov
yang duduk di sebelahnya. Connor mengangguk setuju sementara BMW bergerak
keluar gerbang
kawat dan memulai perjalanan ke Ronald Reagan National Air-port.
Setelah pengalamannya di Frankfurt, di mana agen CIA setempat hampir melihatnya,
sebab
Romanov dan dua pembantunya melakukan segalanya kecuali mengumumkan
kedatangan mereka,
Connor menyadari bahwa jika akan melaksanakan rencananya untuk menolong
Maggie dan Tara,
ia harus mengerjakan
348
operasi itu sendiri. Romanov akhirnya menerima ini ketika diingatkan akan klausul
yang telah
disetujui ayahnya. Kini Connor hanya bisa berharap agar Stuart tetap banyak akal
sebagaimana
yang dilihatnya ketika diujinya di pantai Australia. Ia berdoa semoga Stuart melihat
kata-kata yang
ia garis bawahi dalam buku yang ia selipkan ke dalam sakunya.
BMW mendekati jalan masuk ke ruang Keberangkatan Washington National Airport.
Connor
turun, diikuti Romanov selangkah di belakangnya. Kedua orang itu bergabung
dengan mereka dan
mengikuti Connor berjalan tenang masuk bandara dan terus ke gerai tiket. Yang ia
perlukan ialah
mereka semua santai sebelum ia melancarkan gerakan berikutnya.
Ketika Connor menyerahkan tiket, orang di belakang meja American Airlines
berkata, "Maaf, Mr.
Radford, Penerbangan 383 ke Dallas terlambat beberapa menit, namun kami
berharap dapat
mengejar waktu selama en route. Anda akan boarding melalui Gerbang 32."
Connor berjalan santai menuju ruang tunggu, tetapi berhenti ketika tiba pada deretan
telepon. Ia
memilih satu yang boks kanan-kirinya digunakan orang. Romanov dan kedua tukang
pukul itu
menunggu beberapa langkah darinya. Mereka tampak tidak suka. Connor tersenyum
polos kepada
mereka, kemudian menyisipkan kartu telepon internasional Stuart ke dalam celah dan
menekan
nomor Cape Town.
Telepon berdering beberapa saat dan akhirnya diangkat.
"Ya?"
349
"Ini Connor."
Hening berkepanjangan. "Kukira hanya Yesus yang dapat bangkit dari mati," kata
Cari akhirnya.
"Aku tinggal beberapa waktu di api pencucian sebelum bisa bangkit," jawab Connor.
"Nah, paling tidak kau hidup, sahabatku. Bisa kubantu?"
"Pertama, soal Perusahaan, takkan ada kedatangan yang kedua kali." "Paham," kata
Cari.
Connor sedang mendengarkan jawaban Cari ketika mendengar panggilan kedua
Penerbangan 383
ke Dallas. Ia mengembalikan gagang pesawat telepon, kembali tersenyum kepada
Romanov, dan
cepat-cepat menuju ke Gerbang 32.
Ketika Maggie akhirnya membuka mata, Stuart membungkuk dan
memperingatkannya agar tak
mengatakan sesuatu pun hingga ia benar-benar terjaga. Beberapa saat kemudian
seorang pramugari
muncul dan meminta mereka merendahkan meja nampan mereka. Suatu sajian tak
termakan
terhidang, seolah mereka sedang dalam penerbangan biasa kelas satu.
Sambil mengamati ikan yang seharusnya dibiarkan di laut, ia berbisik kepada Maggie
dan Tara,
"Aku tak punya petunjuk mengapa kita di sini atau ke mana kita akan pergi. Tapi aku
harus
percaya, entah bagaimana ini ada kaitannya dengan Connor."
Maggie mengangguk, lalu dengan tenang menceritakan kepada mereka apa saja yang
ia temukan
sejak kematian Joan.
"Tapi mungkin orang-orang yang menahan kita bu-
350
kan dari CIA," katanya. "Sebab aku sudah mengatakan pada Gutenburg, jika aku
hilang selama
lebih dan tujuh hari, rekaman video itu akan diserahkan pada media."
"Kecuali bila mereka telah menemukannya," kata Stuart.
"Itu tak mungkin," kata Maggie penuh penekanan.
"Kalau begitu, siapa mereka itu?" tanya Tara.
Tak ada yang mengemukakan pendapat sementara seorang pramugari muncul lagi
untuk
menyingkirkan nampan mereka.
"Apakah kita punya sesuatu lainnya yang bisa ditindaklanjuti?" tanya Maggie setelah
si pramugari
pergi.
"Hanya seseorang telah memasukkan buku puisi Yeats ke sakuku," kata Stuart.
Tara melihat Maggie mulai menangis.
"Ada apa?" tanyanya sambil menatap ibunya dengan cemas. Kini air mata Maggie
berlinangan.
"Apa kau tak tahu apa artinya ini?"
"Tidak," jawab Tara bingung.
"Ayahmu pasti masih hidup. Coba lihat," kata Maggie." Ia mungkin meninggalkan
pesan di
dalamnya."
"Celakanya buku itu sudah tak ada padaku lagi. Waktu aku baru saja membolak-
baliknya, seorang
laki-laki kekar muncul dari depan dan menyambarnya lalu pergi," kata Stuart. "Tapi
aku melihat
beberapa kata digarisbawahi."
"Kata apa saja?" desak Maggie.
"Aku tak bisa mengerti banyak."
"Tak apa. Kau bisa mengingat salah satunya?"
351
Stuart memejamkan mata dan mencoba berkonsen trasi. "'Puas'," katanya tiba-tiba
Maggie tersenyum. "'Aku puas menghayati si muanya lagi, dan lagC"
Penerbangan 383 benar-benar mendarat di Dallas tepat waktu. Dan ketika Connor
dan Romanov
keluar dari bandara, sudah ada BMW putih lain yang menunggu mereka. Apakah
Mafia memesan
borongan? batin Connor. Dan pasangan tukang pukul terakhir yang harus menemani
mereka seakan
disewa dari pilihan orang pusat—meskipun sarung pistol di bahu mereka menonjol di
bawah jas.
Ia hanya bisa berharap cabang Cape Town itu cabang tambahan baru. Namun ia sulit
mempercayai
bahwa dengan pengalaman dua puluh tahun lebih sebagai detektif senior CIA di
Afrika Selatan,
Kari Koeter tidak dapat menangani orang baru terakhir dalam blok itu.
Perjalanan menuju pusat kota Dallas memakan waktu sekitar dua puluh menit.
Connor duduk
berdiam diri di jok belakang, sadar akan berhadapan dengan seseorang lainnya yang
telah tiga
puluh tahun bekerja untuk CIA. Walau mereka belum pernah bertemu, ia tahu ini
risiko terbesar
yang telah ia ambil sejak tiba kembali di Amerika. Tetapi jika orang-orang Rusia itu
berharap ia
memenuhi klausul yang paling menuntut dalam perjanjian mereka, ia harus berbekal
senapan yang
ideal untuk melaksanakan tugas itu.
Setelah saling diam selama perjalanan, mereka berhenti di depan Harding's Big
Game Emporium.
Connor cepat-cepat menyelinap masuk ke toko itu,
352
lengan Romanov dan kedua bayang-bayangnya yang i embuntuti setiap langkahnya.
Ia
menghampiri gerai, unentara ketiga orang itu berpura-pura tertarik meng-imati satu
rak pistol
otomatis di sisi lain toko itu.
Connor memandang berkeliling. Pencariannya harus epat, tak mencolok tapi
mendalam. Setelah
beberapa aat ia yakin tak ada kamera keamanan di toko.
"Selamat siang, Sir," kata seorang asisten muda mengenakan jas cokelat panjang.
"Bisa saya
bantu?"
"Saya sedang dalam perjalanan berburu, dan saya ingin membeli senapan."
"Apakah Anda menginginkan model khusus?"
"Ya, Remington 700."
"Tak ada masalah, Sir."
"Saya perlu beberapa modifikasi," kata Connor.
Asisten itu ragu-ragu. "Maaf sebentar saja. Sir." Ia menghilang di balik tirai menuju
ruang
belakang.
Beberapa saat kemudian muncul seorang yang lebih tua, juga mengenakan jas
cokelat panjang, dari
balik tirai. Connor jengkel. Ia berharap membeli senapan tanpa harus bertemu
dengan Jim Harding
yang legendaris itu.
"Selamat siang," kata orang itu sambil mengamati pelanggannya. "Saya dengar Anda
berminat
membeli Remington 700." Ia berhenti sejenak. "Dengan beberapa modifikasi."
"Ya. Anda direkomendasikan oleh sahabat saya," kata Connor.
"Sahabat Anda itu pasti seorang profesional," kata Harding.
Begitu kata "profesional" diucapkan, Connor tahu ia sedang diuji. Seandainya
Harding bukan
Stradivarius-
353
nya para pembuat senapan, ia pasti akan meninggalkan toko itu tanpa sepatah kata
pun.
"Modifikasi-modifikasi apa yang Anda inginkan, Sir?" tanya Harding sambil tetap
menatap mata
pelanggan.
Connor melukiskan dengan terperinci senapan yang ia tinggalkan di Bogota, sambil
mengamati
dengan saksama kalau ada reaksi.
Wajah Harding tetap tenang. "Mungkin saya punya sesuatu yang Anda minati, Sir,"
katanya,
kemudian ia berbalik dan menghilang di balik tirai.
Sekali lagi Connor berpikir-pikir akan pergi, tetapi beberapa saat kemudian Harding
muncul
kembali dengan membawa koper kulit yang tak asing baginya dan menempatkannya
di atas gerai.
"Model ini menjadi milik kami sesudah kematian pemiliknya baru-baru ini," jelas
Harding. Ia
membuka kaitannya, mengangkat tutupnya, dan memutar koper itu, hingga Connor
dapat lebih
mudah memeriksa senapan di dalamnya. "Setiap bagian buatan tangan, dan saya ragu
apakah ada
contoh keahlian yang lebih bagus dari ini di wilayah Mississippi sebelah sini."
Harding menyentuh
senapan itu dengan sayang. "Gagangnya terbuat dari fibreglass supaya ringan dan
lebih seimbang,
sedangkan larasnya diimpor dari Jerman—saya pikir Kraut masih tetap memproduksi
yang terbaik.
Jangkauannya Leupold 10 Power dengan titik-titik mil, sehingga orang tak perlu
menyesuaikannya
dengan angin. Dengan senapan ini orang dapat membunuh tikus sejauh 400 langkah,
apalagi rusa.
Bila berorientasi teknik, orang dapat menembak dengan sudut setengah menit dalam
jarak
354
seratus meter." Ia mendongak untuk melihat apakah si pelanggan memahami yang
dikatakannya,
tapi ekspresi Connor tak me-nunjukkan apa-apa. "Remington 700 dengan modifikasi
seperti ini
hanya dicari oleh pelanggan yang paling jeli." ia menyimpulkan.
Connor tidak memindahkan satu pun dari kelima bagian senapan itu dan tempatnya,
sebab takut
Mr. Harding akan mengetahui betapa jeli pelanggannya itu.
"Berapa?" tanyanya seraya menyadari untuk pertama kali bahwa ia tak punya
gambaran sama
sekali mengenai harga Remington 700 buatan tangan.
"Dua puluh satu ribu dolar," jawab Harding. "Namun kami juga punya model standar
seandainya..."
"Tidak," kata Connor. "Inilah yang sesuai."
"Dan bagaimana cara pembayaran Anda, Sir?"
"Tunai."
"Kalau begitu saya memerlukan tanda identifikasi," kata Harding. "Saya pikir
dibutuhkan beberapa
surat lagi sejak diberlakukannya UU Identifikasi Instan dan Registrasi untuk
menggantikan RUU
Brady"
Connor mengeluarkan SIM Virginia yang ia beli beberapa ratus dolar dari pencopet
di Washington
sehari sebelumnya.
Harding memeriksa SIM itu dan mengangguk. "Yang kita perlukan sekarang, Mr.
Radford, Anda
harus mengisi tiga formulir ini."
Connor menuliskan nama, alamat, dan nomor Jaminan Sosial dari asisten manajer
sebuah toko
sepatu di Richmond.
Ketika Harding memasukkan nomor ke komputer.
355
Connor mencoba berlagak bosan, tetapi diam-diam berdoa agar Mr. Radford tidak
melaporkan
hilangnya SIM selama 24 jam yang lalu.
Tiba-tiba Harding mendongak dari layar. "Apakah nama ini dengan garis
penghubung?" tanyanya.
'Tidak," jawab Connor tak kalah cepat. "Gregory itu nama pertama saya. Ibu saya
terobsesi oleh
Gregory Peck."
Harding tersenyum. "Ibu saya juga begitu."
Setelah beberapa saat Harding berkata lagi, "Semuanya sudah beres, Mr. Radford."
Connor berpaling dan mengangguk kepada Romanov, yang berjalan mendekat dan
mengeluarkan
segepok uang kertas dari saku. Dengan sok ia menarik lepas lembaran seratusan
dolar, dan
menghitungnya sebanyak 210, kemudian menyerahkannya kepada Harding. Apa
yang semula
diharapkan Connor merupakan jual-beli biasa, dengan cepat telah diubah oleh orang
Rusia itu
menjadi pantomim. Kedua tukang pukul itu sepantasnya berdiri di jalan dan menjual
karcis untuk
pertunjukan itu.
Harding menulis kuitansi dan menyerahkannya kepada Connor, yang pergi tanpa
berkata sepatah
pun lagi. Salah satu tukang pukul menyambar senapan itu dan lari keluar toko ke
trotoar seolah
baru saja merampok bank. Connor naik ke jok belakang BMW dan bertanya-tanya
apakah mungkin
mereka menarik perhatian lebih banyak lagi. Mobil itu melejit pergi dari tepi jalan
dan memotong
masuk ke lalu lintas arus cepat sambil membunyikan klakson berkali-kali. Ya, pikir
Connor, jelas
mereka bisa menarik perhatian lebih banyak lagi. Ia tetap bungkam ketika pengemudi
356
melanggar batas kecepatan sepanjang jalan kembali ke bandara. Bahkan Romanov
mulai tampak
agak cemas. Connor segera tahu bahwa Mafia baru di Amerika Serikat itu ternyata
hanya amatiran
dibanding dengan sepupu mereka di Italia. Tetapi tak lama lagi mereka akan
menyainginya, dan
bila itu terjadi, semoga Tuhan menolong FBI.
Seperempat jam kemudian BMW itu sampai di depan pintu masuk bandara. Connor
keluar dan
berjalan menuju pintu putar, sementara Romanov memberi instruksi pada kedua
orang di mobil,
lalu memberi mereka beberapa lembar uang seratusan dolar. Ketika bergabung
dengan Connor di
gerai check-in, ia berbisik dengan pasti, "Senapan itu akan sampai di Washington 48
jam lagi."
"Aku takkan bertaruh mengenai hal itu," kata Connor saat mereka menuju ke ruang
tunggu
keberangkatan.
"Anda hafal seluruh karya Yeats?" tanya Stuart tak percaya.
"Hm, sebagian besar," Maggie mengakui. "Tapi waktu itu aku membaca kembali
beberapa puisi
hampir setiap malam sebelum tidur."
"Stuart sayang, kau perlu banyak belajar mengenai orang-orang Irlandia," kata Tara.
"Sekarang
coba ingat beberapa kata lagi."
Stuart berpikir sesaat. "'Lembah'Y' katanya penuh
kemenangan.
"'Melalui tanah-tanah berlembah dan berbukit'T'
tanya Maggie. "Betul, itu."
357
"Jadi bukan Holland—Tanah Rendah—yang kita tuju," kata Tara.
"Jangan bergurau," kata Stuart.
"Kalau begitu coba ingat beberapa kata lagi," kata Tara.
Stuart mulai berkonsentrasi lagi. "'Sahabat'" katanya akhirnya.
"'Kita selalu mempertemukan sahabat baru dengan sahabat lama'," kata Maggie.
"Jadi kita akan bertemu dengan sahabat baru di negeri baru," kata Tara.
'Tapi siapa? Dan di mana?" kata Maggie sementara pesawat melanjutkan
penerbangan menembus
malam.
358
BAB DUA PULUH TUJUH
SEGERA setelah membaca pesan utama itu, Gutenburg menelepon Dallas. Saat
Harding
menjawab, Wakil Direktur CIA hanya berkata, "Gambarkan dia."
"Tinggi antara 180 dan 183. Mengenakan topi, jadi aku tak bisa melihat warna
rambutnya."
"Usia?"
"Lima puluh. Kira-kira."
"Mata?"
"Biru."
"Pakaian?"
"Jaket sport, pantalon dril, kemeja biru, sepatu murahan, tanpa dasi. Rapi tapi santai.
Kukira dia
salah satu dari kita, sampai kulihat dia ditemani dua preman setempat yang terkenal,
walaupun dia
pura-pura orang-orang itu tak bersamanya. Juga ada seorang muda tinggi yang tak
pernah buka
mulut, tapi dialah yang membayar senjata itu dengan tunai."
359
"Dan orang pertama itu menjelaskan ia menginginkan modifikasi-modifikasi khusus
itu?"
"Ya. Aku yakin benar ia tahu persis apa yang ia cari."
"Bagus—omong-omong soal uang tunai itu. Mungkin kita bisa mengidentifikasi
sidik jari dari
lembarannya."
"Takkan ditemukan satu sidik jari pun," kata Harding. "Orang muda itu membayar,
dan salah satu
preman itu membawa senjata keluar toko."
"Siapa pun dia, jelas dia tak mau ambil risiko membawa senjatanya melalui
keamanan bandara,"
kata Gutenburg. "Kedua preman itu pasti kurir. Formulir ditandatangani dengan
nama siapa?"
"Gregory Peck Radford."
"Tanda identitas?"
"SIM Virginia. Alamat dan tanggal lahirnya sesuai dengan nomor Jaminan Sosial
yang benar."
"Dalam waktu satu jam aku akan mengirimkan seorang agen kepadamu. Ia bisa
mulai dengan
mengirim e-mail kepadaku tentang detail kedua preman itu. Dan aku memerlukan
sketsa komputer
wajah tersangka utama yang dibuat seniman polisi."
"Tak perlu," jawab Harding.
"Mengapa tidak?"
"Sebab seluruh transaksi itu direkam dengan video."
Gutenburg tidak dapat melihat senyum puas Harding ketika menambahkan, "Bahkan
kau pun
takkan melihat kamera keamanan itu."
Stuart melanjutkan berkonsentrasi. "'Temukan'Y' katanya tiba-tiba.
360
'"Dan akan kutemukan kr mana ia pergi'," kata Maggie dengan tersenyum
"Kita akan bertemu dengan sahabat baru di negara baru, dan dia akan menemukan
kita," kata Tara.
"Bisa ingat sesuatu yang lain lagi, Stuart?"
'"Semuanya runtuh...'"
'"...dan dibangun kembali'," bisik Maggie, ketika orang yang menyambar buku dari
tangan Stuart
muncul kembali di samping mereka.
"Sekarang dengarkan, dan dengarkan baik-baik." kata orang itu sambil menunduk
memandang
mereka. "Jika kalian berharap tetap hidup—dan aku tak peduli akan hal itu, kalian
harus mengikuti
perintah-perintahku secara harfiah. Paham?" Stuart menatap mata orang itu, dan tak
ragu lagi
bahwa orang itu memandang mereka bertiga hanya sebagai suatu pekerjaan. Ia
mengangguk.
"Baik," lanjut orang itu. "Bila pesawat mendarat, kalian langsung pergi ke area
bagasi. Ambil
bagasi kalian dan laluilah pabean tanpa menarik perhatian. Kalian tak boleh,
kuulangi, tak boleh
menggunakan ruang istirahat. Begitu kalian melalui pabean dan tiba di area
kedatangan, kalian
akan dijemput dua anak buahku dan diantar ke rumah tempat kalian tinggal dalam
waktu dekat ini.
Aku akan bertemu dengan kalian lagi malam ini. Jelas?"
"Ya," jawab Stuart tegas atas nama mereka bertiga.
"Jika salah seorang dari kalian cukup bodoh untuk lolos atau mencoba mencari
pertolongan, Mrs.
Fitzgerald akan segera dibunuh. Dan jika entah kenapa dia tak dapat ditemukan, aku
harus memilih
antara ka-
361
lian berdua." Ia memandang Tara dan Stuart. "Itulah syarat-syarat yang telah
disetujui Mr.
Fitzgerald."
"Itu tak mungkin," Maggie protes. "Connor takkan pernah..."
"Mrs. Fitzgerald, menurutku lebih bijaksana membiarkan Mr. Farnham berbicara atas
nama kalian
di kemudian hari," kata orang itu. Maggie sudah akan mengoreksi kalau kakinya tak
cepat-cepat
ditendang Tara. "Kalian akan memerlukan ini," kata orang itu sambil menyerahkan
tiga paspor
kepada Stuart. Stuart memeriksanya dan menyerahkan satu kepada Maggie dan satu
lagi kepada
Tara. Sementara orang itu kembali masuk kokpit.
Stuart mengamati paspor yang masih di tangannya. Paspor ini seperti dua yang lain,
juga bersampul
dengan gambar rajawali Amerika. Ketika membukanya ia melihat fotonya sendiri di
atas nama
"Daniel Farnham". Profesi: profesor hukum di universitas. Alamat: Marina
Boulevard 75, San
Francisco, California. Ia menyerahkannya kepada Tara yang tampak kebingungan.
"Aku senang sekali berurusan dengan para profesional," kata Stuart. "Dan aku mulai
menyadari
ayahmu salah satu yang terbaik."
"Kau yakin tak dapat mengingat kata-kata lainnya lagi?" tanya Maggie.
"Rasanya tak bisa," jawab Stuart. "Nanti dulu, tunggu sebentar—'anarki.""
Maggie tersenyum. "Sekarang aku tahu kita akan pergi ke mana."
Perjalanan bermobil dari Dallas ke Washington itu
362
lama. Dua tukang pukul yang telah menurunkan Connor dan Romanov di bandara
telah
merencanakan akan istirahat entah di mana sebelum melanjutkan perjalanan menuju
ke ibu kota
hari berikutnya. Lewat pukul sembilan malam itu, setelah menempuh sekitar 650
kilometer, mereka
berhenti di motel di pinggiran kota Memphis.
Dua petugas senior CIA yang mengawasi mereka memarkir BMW melaporkannya ke
Gutenburg
tiga perempat jam kemudian. "Mereka telah mendaftar masuk ke Memphis Marriott,
kamar 107 dan
108. Mereka memesan layanan kamar pukul 21.33, dan sekarang mereka di kamar
107 sedang
nonton Nash Bridges."
"Senapannya di mana?" tanya Gutenburg.
"Diborgolkan ke pergelangan orang yang terdaftar di kamar 108."
"Kalau begitu kalian perlu pelayan dan kunci pas," kata Gutenburg.
Pukul 22.00 lewat sedikit, seorang pelayan muncul di kamar 107 dan menata meja
untuk santap
malam. Ia membuka botol anggur merah, menuangnya ke dua gelas, dan menyajikan
makanan. Ia
berkata kepada para tamu akan kembali empat puluh menit lagi untuk membenahi
meja. Salah
seorang dari mereka meminta supaya daging panggangnya dipotong-potong kecil-
kecil, sebab ia
hanya bisa menggunakan satu tangan. Pelayan itu dengan senang hati menuruti
permintaannya.
"Selamat makan," katanya, lalu keluar kamar.
Pelayan itu langsung pergi ke tempat parkir dan melapor kepada petugas senior.
Petugas itu
berterima kasih kepadanya dan mengajukan permintaan lagi.
Pelayan mengangguk. Dan agen itu memberinya lima puluh dolar.
"Jelas dia takkan melepaskannya, walaupun sedang makan," kata agen yang lain
begitu si pelayan
tak dapat mendengar mereka.
Si pelayan kembali ke tempat parkir beberapa menit lewat tengah malam. Ia
melaporkan bahwa
kedua orang itu telah pergi tidur ke kamar masing-masing. Ia menyerahkan kunci
pas, dan sebagai
imbalannya menerima lima puluh dolar lagi. Ia pergi dengan perasaan telah
melakukan suatu
pekerjaan malam yang baik. Yang tak ia ketahui ialah bahwa orang di kamar 107
telah mengambil
kunci borgol, supaya pasti bahwa tak seorang pun akan mencoba dan mencuri koper
dari
partnernya sementara ia sedang tidur.
Keesokan paginya, tamu di kamar 107 bangun dengan masih mengantuk sekali. Ia
melihat jamnya,
dan terkejut karena ternyata telah begitu siang. Ia mengenakan jins dan lari melalui
pintu yang
menghubungkan dua kamar untuk membangunkan partnernya. Tiba-tiba ia berhenti,
jatuh berlutut,
dan muntah. Sebuah tangan yang terpotong tergeletak bersimbah darah di karpet.
Ketika mereka keluar dari pesawat di Cape Town, Stuart sadar akan kehadiran dua
orang yang
selalu mengawasi setiap gerak mereka. Petugas imigrasi menstempel paspor mereka,
dan mereka
menuju ke area pengambilan bagasi. Beberapa menit kemudian bagasi mulai muncul
di ban
berjalan. Maggie kaget melihat dua koper tuanya keluar dari tempat penu-
364
runan barang. Stuart mulai terbiasa dengan cara kerja Connor Fitzgerald.
Begitu mereka telah menemukan tas dan koper mereka, Stuart meletakkannya dalam
troli, dan
mereka berjalan menuju pintu keluar pabean warna hijau. Kedua orang itu antre tepat
di belakang
mereka.
Sementara Stuart mendorong troli melewati pabean, seorang petugas mencegatnya,
sambil
menunjuk ke koper merah dan meminta si pemilik untuk meletakkannya di atas
gerai. Stuart
menolong Maggie mengangkatnya, sementara dua orang itu dengan enggan berjalan
terus. Begitu
melewati pintu dorong, kedua orang itu berhenti beberapa kaki dari pintu keluar.
Tiap kali pintu
terbuka, mereka mengintai ke dalam kembali. Tak lama kemudian, ada dua orang
lain yang
bergabung dengan mereka.
"Tolong buka kopernya, Ma'am," kata petugas pabean.
Maggie membuka koper itu dan tersenyum disambut isi koper yang berantakan.
Hanya satu orang
yang dapat mengemasi koper seperti itu. Beberapa saat petugas pabean mengaduk-
aduk pakaiannya
dan akhirnya mengeluarkan tas kosmetik. Ia membuka ritsleting dan mengeluarkan
kantong kertas
kaca kecil yang berisikan bubuk putih.
'Tapi ini tak..." Maggie mulai. Kali ini Stuart yang menahannya.
"Mungkin kami harus mengadakan penggeledahan pada tubuh, Ma'am," kata si
petugas.
"Barangkali, dalam keadaan ini, putri Anda ingin menemani Anda."
Stuart heran bagaimana mungkin petugas itu tahu
365
bahwa Tara putri Maggie, sementara tampaknya ia tidak menganggap Stuart sebagai
putranya.
"Harap Anda bertiga mengikuti saya," kata si petugas. "Tolong bawa koper itu dan
bagasi lainnya."
Ia mengangkat sebagian dari gerai dan mengantar mereka melewati pintu yang
menuju ke ruangan
kecil yang kusam dengan sebuah meja dan dua kursi. "Salah satu rekan saya akan
menemui Anda
sebentar lagi," katanya. Ia menutup pintu dan mereka mendengar anak kunci diputar.
"Ada apa ini?" tanya Maggie. "Kantong itu bukan..."
"Rasanya kita akan segera mengetahuinya," kata Stuart.
Sebuah pintu di sisi jauh ruangan itu terbuka. Dan seorang pria atletis tak berambut
masuk. Usianya
tak lebih dari lima puluh tahun. Ia mengenakan jins biru dan sweter merah, dan tentu
saja tak
menampilkan kesan petugas pabean. Ia langsung menghampiri Maggie dan
memegang tangan
kanannya serta menciumnya.
"Namaku Cari Koeter," katanya dengan logat Afrika Selatan yang kental. "Ini
merupakan
kehormatan besar bagiku, Mrs. Fitzgerald. Sudah bertahun-tahun aku ingin bertemu
dengan wanita
yang cukup berani untuk menikah dengan Connor Fitzgerald. Kemarin siang ia
meneleponku dan
memintaku untuk meyakinkanmu bahwa ia masih hidup segar bugar."
Maggie ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata Koeter meluncur tak henti-
hentinya.
"Tentu saja aku mengenalmu jauh lebih baik daripada kau mengenalku. Tapi
sayangnya pada
kesempatan ini kita tak punya waktu untuk membenahi hal ini " Ia
366
tersenyum kepada Stuart dan Tara, lalu membungkuk sedikit. "Mungkin kalian sudi
mengikutiku."
Ia berpaling dan mulai mendorong troli melalui pintu.
"'Kita senantiasa mempertemukan sahabat baru dengan sahabat lama'" bisik Maggie.
Stuart
tersenyum.
Orang Afrika Selatan itu memimpin mereka melewati jalur terjal di sepanjang lorong
yang kosong
dan gelap. Maggie segera berjalan menjajarinya dan mulai bertanya tentang
percakapannya dengan
Connor di telepon. Di akhir terowongan mereka mendaki jalur terjal lagi, dan muncul
di sisi
seberang bandara. Koeter memimpin mereka melalui keamanan, mereka hanya
diperiksa sepintas.
Setelah berjalan cukup lama lagi mereka tiba di ruang tunggu kosong. Koeter
menyerahkan tiga
tiket kepada petugas gerbang dan menerima kartu boarding penerbangan Quantas
menuju Sydney
yang secara misterius telah ditahan selama seperempat jam.
"Bagaimana kami dapat berterima kasih padamu?" tanya Maggie.
Koeter memegang tangan Maggie dan menciumnya lagi. "Ma'am," jawabnya, "kau
akan tahu
orang-orang di seluruh dunia yang tak mungkin dapat membalas budi Connor
Fitzgerald
sepenuhnya."
Mereka berdua sedang duduk menonton televisi. Tak ada yang bicara sampai seluruh
rekaman
video selama dua belas menit itu selesai.
"Mungkinkah ini?" tanya Direktur.
"Hanya bila entah dengan cara bagaimana Jackson
367
ganti peran dengan Connor di Crucifix," jawab Gutenburg.
Beberapa saat Dexter bungkam, kemudian berkata, "Jackson dapat berbuat demikian
hanya bila dia
bersedia mengorbankan jiwanya."
Gutenburg mengangguk.
"Dan siapa yang membayar senapan itu?"
"Alexei Romanov, putra Tsar dan orang kedua dalam Mafya Rusia. Salah seorang
agen kita
melihatnya di bandara Frankfurt. Kami menduga dia dan Fitzgerald kini bekerja
sama."
"Jadi pasti Mafya yang mengeluarkannya dari Crucifix," kata Dexter. "Tapi bila ia
memerlukan
Remington 700, siapa yang jadi sasaran?"
"Presiden," jawab Gutenburg.
"Mungkin kau benar," jawab Dexter. "Tapi presiden yang mana?"
368
BAB DUA PULUH DELAPAN
PRESIDEN AMERIKA SERIKAT dan Menteri Luar Negeri berada di antara 72
petugas yang
berjajar di sepanjang landas pacu ketika pesawat Ilyushin 62 dari Angkatan Udara
Rusia mendarat
di Lanud Andrews agak di luar Washington DC. Karpet merah telah digelar, podium
dengan
selusinan mikrofon telah dipasang, dan sebuah tangga lebar telah ditarik ke tempat
yang tepat di
tarmak di mana pesawat akan meluncur pelan-pelan hingga berhenti sama sekali.
Ketika pintu pesawat terbuka, Tom Lawrence menu-dungi mata dari sinar cerah
matahari pagi.
Seorang pramugari tinggi semampai berdiri di pintu. Sesaat kemudian, seorang pria
gemuk pendek
muncul di sampingnya. Lawrence tahu Zerimski hanya setinggi 160 senti, namun
ketika berdiri di
samping pramugari tinggi itu kekerdilan postur Zerimski tampak nyata sekali.
Lawrence
meragukan apakah orang setinggi Zerimski bisa menjadi Presiden Amerika Serikat
369
Sementara Zerimski dengan pelan menuruni tangga, gerombolan fotografer mulai
menjepretnya
seperti kesetanan. Dari belakang tali pemisah mereka, para ka-merawan dari semua
saluran televisi
mulai memfokus orang yang akan mendominasi berita dunia selama empat hari
mendatang.
Kepala Protokoler Amerika Serikat melangkah maju untuk memperkenalkan kedua
presiden.
Lawrence menjabat tangan tamunya dengan hangat. "Selamat datang di Amerika
Serikat, Mr.
President."
"Terima kasih, Tom," kata Zerimski langsung "menjegalnya".
Lawrence berpaling untuk mengenalkan Menteri Luar Negeri.
"Senang berjumpa denganmu, Larry," kata Zerimski.
Zerimski tampak baik hati dan ramah ketika diperkenalkan kepada setiap pejabat
baru: Menteri
Pertahanan, Menteri Perdagangan, Penasihat Keamanan Nasional. Ketika tiba di
akhir deretan,
Lawrence menyentuh sikunya dan membimbingnya menuju podium. Ketika mereka
melintasi
landas pacu, Presiden Amerika membungkuk dan berkata, "Saya hanya akan
mengatakan beberapa
patah kata sambutan, Mr. President, dan kemudian mungkin Anda mau
menanggapinya."
"Tolong panggil saya Victor," desak Zerimski.
Lawrence naik panggung, mengeluarkan selembar kertas dari saku, dan
meletakkannya di mimbar.
"Mr. President," ia memulai. Kemudian tersenyum sambil berpaling ke Zerimski dan
berkata,
"Victor. Perkenankan saya memulai dengan mengucapkan selamat datang di
Amerika. Hari ini
mencirikan pem-
370
bukaan era baru dalam hubungan khusus antara dua negara besar kita. Kunjungan
Anda ke
Amerika Serikat mencanangkan..."
Connor duduk di depan tiga layar televisi, sedang nonton liputan upacara itu melalui
tiga saluran
televisi terbesar. Malam itu ia akan memutar kembali rekaman-rekaman itu berkali-
kali. Ternyata
ada penjagaan keamanan yang lebih besar di lapangan daripada yang telah ia
antisipasi. Dinas
Rahasia tampaknya mengeluarkan Divisi Perlindungan Pejabat sepenuhnya bagi tiap
presiden. Tapi
Gutenburg tak kelihatan, juga tak ada detektif CIA satu pun. Connor menduga Dinas
Rahasia tidak
menyadari sedang ada pembunuh potensial yang berkeliaran.
Connor sama sekali tidak kaget bahwa senapan yang ia beli di Dallas tak pernah
mencapai tujuan.
Dua tukang pukul Mafya itu telah melakukan segalanya guna memberi petunjuk
CIA, kecuali
menelepon mereka dengan nomor saluran langsung mereka. Seandainya ia jadi wakil
direktur, ia
pasti membiarkan mereka menyerahkan senapan itu dengan harapan bahwa mereka
akan
menunjukkan orang yang berniat menggunakannya. Gutenburg jelas berpendapat
bahwa
menghilangkan senjata itu lebih penting. Mungkin ia benar. Connor tak dapat
mengambil risiko
kembali dilibatkan dalam kekacauan seperti yang ia alami di Dallas. Mereka telah
memaksanya
mengeluarkan rencana alternatif.
Setelah kejadian di Memphis Marriott, jelas bahwa Alexei Romanov tak mau
dipersalahkan bila
ada sesuatu yang tidak beres. Kini Connor mengendalikan seluruh persiapan
pembunuhan itu.
Mereka yang membayanginya menjaga jarak, walau tak pernah membiar-
371
kannya menghilang dari pandangan mereka. Bila tidak demikian, ia sudah akan
berada di Lanud
Andrews pagi itu. Walau dengan mudah ia dapat melenyapkan mereka kapan saja ia
mau. Connor
sadar benar dengan sikap mereka terhadap kegagalan ketika mengetahui bahwa bos
Mafya
setempat di Dallas telah memotong tangan lain tukang pukul itu, sehingga ia tidak
dapat
mengulangi kesalahan itu untuk kedua kalinya.
Presiden mengakhiri pidato penyambutannya dan menerima tepuk tangan bersama
yang tak begitu
berdampak besar di lapangan luas terbuka seperti itu. Ia menyingkir membiarkan
Zerimski
menanggapi. Tetapi ketika Presiden Rusia menggantikan tempatnya, ia tak tampak
terlihat di atas
deretan mikrofon. Connor tahu bahwa pers akan mengingatkan Presiden Amerika
yang tingginya
180 senti itu pada bencana hubungan masyarakat ini terus-menerus selama empat
hari berikutnya,
dan bahwa Zerimski akan menganggap ia sengaja diperlakukan dengan sombong.
Connor ingin
tahu petugas protokoler Gedung Putih mana yang akan dikeluarkan kemudian pada
hari itu juga.
Connor berefleksi: menembak orang setinggi 180 akan jauh lebih mudah daripada
menembak orang
yang hanya 160. Ia mempelajari agen-agen Divisi Perlindungan Pejabat yang telah
ditugasi
melindungi Zerimski selama kunjungannya. Ia mengenali empat dari mereka.
Semuanya sama
bagusnya dalam profesi mereka, masing-masing dapat merobohkan orang dengan
satu tembakan
dari jarak tiga ratus langkah, dan dapat melumpuhkan seorang penyerang dengan satu
pukulan.
Connor tahu bahwa di balik kacamata hitam, mata mereka jelalatan ke mana-mana.
372
Walau Zerimski tak dapat dilihat oleh mereka yang berdiri di landas pacu, kata-
katanya dapat
didengar dengan jelas. Connor terkejut karena gaya gertak dan bentak yang
digunakannya di
Moskwa dan St. Petersburg kini diganti dengan nada yang jauh bersikap ber-damai.
Ia berterima
kasih kepada "Tom" atas sambutan hangatnya, dan berkata bahwa ia yakin
kunjungan itu akan
terbukti bermanfaat bagi kedua bangsa.
Connor yakin Lawrence tak akan teperdaya oleh pameran kehangatan yang lahiriah
ini. Jelas ini
bukan tempat dan waktunya bagi Presiden Rusia untuk membiarkan orang-orang
Amerika
mengetahui agenda yang sebenarnya.
Sementara Zerimski melanjutkan membaca naskahnya, Connor meneliti jadwal
perjalanan selama
empat hari yang telah disiapkan Gedung PutTh dan dengan -rapi didaftar menit demi
menit di
Washington Post. Ia tahu dari pengalaman bertahun-tahun bahwa bahkan dengan
rencana yang
tersusun paling bagus pun, acara-acara itu jarang terselenggara sesuai jadwal semula.
Pada saat-saat

tertentu selama kunjungan harus dian-daikan akan terjadi hal tak terduga, dan ia
harus me-mastikan
bahwa saat itu ia tidak sedang menyiapkan senapannya.
Kedua presiden akan diterbangkan dengan helikopter dari Lanud Andrews ke
Gedung Putih. Di situ
mereka akan langsung memulai sesi pembicaraan pribadi yang berlangsung hingga
selama makan
siang. Setelah makan siang, Zerimski akan dibawa ke Kedutaan Rusia untuk istirahat.
Kemudian
kembali ke Gedung Putih pada petang dan malam hari guna menghadiri jamuan
santap malam
resmi untuk menghormatinya.
373
Hari berikutnya ia akan mengadakan perjalanan ke New York untuk berpidato di
depan PBB dan
santap siang dengan Sekretaris Jenderal. Diikuti kunjungan sore hari ke Museum
Metropolitan.
Connor tertawa keras ketika pagi itu ia membaca dalam rubrik gaya di Post bahwa
Tom Lawrence
telah sadar akan kecintaan tamunya terhadap seni selama kampanye kepresidenan
yang baru lalu.
Selama masa kampanye dengan jadwal ketat, Zerimski menyempatkan diri tak hanya
menghadiri
balet Bolshoi, melainkan juga mengunjungi Museum Pushkin dan Museum
Hermitage.
Setelah kembali ke Washington hari Kamis malam, Presiden Rusia hanya punya
cukup waktu
untuk buru-buru ke Kedubes Rusia dan ganti jas santap malam, kemudian
menghadiri pertunjukan
Swan Lake oleh - Balet Washington di Kennedy Center. Post secara kurang
bijaksana
mengingatkan pada para pembaca bahwa lebih dari setengah corps de ballet adalah
imigran Rusia.
Jumat pagi akan ada pembicaraan yang diperpanjang di Gedung Putih, disusul
dengan santap siang
di Departemen Luar Negeri. Siangnya Zerimski akan mengucapkan pidato di depan
sesi gabungan
Kongres yang akan merupakan titik puncak kunjungannya selama empat hari.
Lawrence berharap
para penyusun undang-undang akan yakin bahwa pemimpin Rusia ini orang yang
cinta damai dan
mendukung RUU Pengurangan Senjata. Dan sebuah tajuk di New York Times
memperingatkan
bahwa ini mungkin menjadi kesempatan di mana Zerimski mengutarakan garis besar
strategi
pertahanan Rusia selama dasawarsa mendatang. Koresponden diplomatik koran
tersebut
374
telah menghubungi kantor pers Kedubes Rusia, tetapi secara singkat diberitahu
bahwa tak akan ada
ek-emplar pidato itu yang disebarkan sebelumnya
Malamnya Zerimski akan menjadi tamu kehormatan pada jamuan malam di Dewan
Usaha
Amerika-Rusia. Pidato itu secara luas telah disirkulasikan dan seperti biasa tanpa
memedulikan
embargo apa pun. Connor telah mempelajarinya tiap kalimat, dan tahu bahwa tak
akan ada
wartawan yang tahu harga diri akan mencetak satu kata pun dari pidato tersebut.
Hari Sabtu Zerimski dan Tom Lawrence akan pergi ke Stadion Cooke di Maryland
untuk menonton
pertandingan football antara Washington Redskins melawan Green Bay Packers, tim
yang seumur
hidup didukung Lawrence sebagai senator senior dari Wisconsin.
Malamnya Zerimski akan menyelenggarakan santap malam di Kedubes Rusia
sebagai balas budi
atas keramahan mereka semua yang telah menjamunya selama kunjungannya.
Pagi berikutnya ia akan terbang kembali ke Moskwa, tapi itu hanya bila Connor
gagal
melaksanakan perjanjian.
Ada sembilan tempat yang harus dipertimbangkan Connor, tapi tujuh di antaranya
telah ditolaknya
sebelum pesawat Zerimski mendarat. Dari dua tempat yang tersisa, jamuan makan
Sabtu malam
tampaknya paling menjanjikan. Khususnya setelah ia diberitahu Romanov bahwa
Mafya mengelola
katering untuk semua pesta yang diadakan di Kedubes Rusia.
Tepuk tangan riuh mengembalikan perhatian Connor ke upacara penyambutan.
Beberapa orang
yang berdiri di landas pacu baru sadar bahwa
375
Zerimski telah usai dengan pidatonya sesudah ia turun dari podium. Jadi
penyambutan yang
diterimanya tidak begitu antusias sebagaimana yang diharapkan Lawrence.
Kedua pemimpin berjalan melintasi tarmak menuju helikopter yang telah menunggu.
Secara normal
tak ada Presiden Rusia yang akan terbang dengan pesawat militer Amerika Serikat,
tetapi Zerimski
telah mengesampingkan semua keberatan dengan mengatakan kepada para penasihat
bahwa ia
ingin memanfaatkan setiap kesempatan guna "menjegal" Lawrence. Mereka naik
pesawat dan
melambai kepada massa. Beberapa saat kemudian Marine One mengambang di atas
tanah beberapa
detik lalu naik ke angkasa. Para wanita yang tidak menghadiri upacara penyambutan
sebelumnya,
kebingungan harus memegangi topi ataukah gaun mereka.
Dalam waktu tujuh menit Marine One akan mendarat di Lapangan Selatan Gedung
Putih, disambut
oleh Andy Llyod dan staf senior Gedung Putih.
Connor mematikan ketiga televisi, memutar kembali pita video, dan mulai
memikirkan alternatif-
alternatif. Ia telah memutuskan untuk tidak pergi ke New York. PBB dan Museum
Metropolitan
sebenarnya tidak memungkinkan orang lolos. Dan dia sadar bahwa Dinas Rahasia
telah terlatih
untuk melihat seseorang yang muncul dalam lebih dari satu kesempatan pada
kunjungan seperti ini,
termasuk wartawan dan petugas televisi. Apalagi masih ditambah dengan sedikitnya
tiga ribu
petugas New York yang terbaik, menjaga Zerimski setiap detik selama
kunjungannya.
Sementara Zerimski ke luar kota, ia akan menggu-
376
nakan waktunya untuk memeriksa dua tempat yang paling menjanjikan. Mafia telah
mengusahakan
supaya ia menjadi anggota tim katering yang akan me-ninjau Kedubes Rusia siang
itu, sehingga ia
akan tahu perincian jamuan makan Sabtu malam itu. Dubes telah mengutarakan
keinginannya
supaya pesta itu menjadi peristiwa yang tak terlupakan bagi kedua presiden.
Connor melihat jamnya. Ia mengenakan jas dan pergi ke lantai dasar. BMW telah
menunggunya, la
naik ke jok belakang.
"Stadion Cooke," hanya itu yang ia ucapkan.
Dalam mobil tak seorang pun berkomentar ketika pengemudi pelan-pelan
memasukkan mobil ke
jalur tengah.
Saat sebuah truk besar penuh dengan muatan mobil baru lewat di seberang jalan,
Connor
memikirkan Maggie dan tersenyum. Pagi itu ia telah berbicara dengan Cari Koeter
dan diberi
kepastian bahwa ketiga kanguru itu telah selamat dalam kantong mereka.
"Omong-omong, Mafia mendapat kesan bahwa mereka langsung dikirim kembali ke
Amerika,"
demikian penjelasan Koeter.
"Bagaimana kau mengaturnya sampai bisa begitu?" tanya Connor.
"Salah satu pengawal mereka mencoba menyuap petugas pabean. Ia mengambil
uangnya dan
memberitahu dia bahwa mereka telah tertangkap membawa narkotika, dan telah
'dikembalikan ke
bandara embarkasi mereka'."
"Apa menurutmu mereka teperdaya oleh itu?"
"Oh. ya," jawab Koeter. "Mereka harus membayar banyak untyk sepotong informasi
itu."
377
Connor tertawa. "Aku akan selalu berutang padamu, Cari. Katakan saja bagaimana
aku harus
melunasinya."
"Itu tak perlu, sobat," jawab Koeter. "Aku hanya rindu berjumpa lagi dengan istrimu
dalam
keadaan yang lebih menyenangkan."
Pengawal Connor tak menyebutkan hilangnya Maggie, jadi ia tak tahu pasti apakah
mereka terlalu
sombong untuk mengakui bahwa mereka telah kehilangan Maggie, Suart, dan Tara,
ataukah
mereka masih berharap bisa mendapatkan mereka kembali sebelum Connor tahu
yang sebenarnya.
Mungkin mereka takut Connor tidak melaksanakan tugas jika tahu istri dan putrinya
tidak lagi di
tangan mereka, tetapi Connor tak pernah ragu bahwa jika ia gagal memenuhi
perjanjian, Alexei
Romanov akhirnya akan melacak Maggie dan membunuhnya. Dan bila bukan
Maggie, ya Tara.
Bolchenkov telah memperingatkan bahwa jika perjanjian belum diselesaikan—entah
dengan cara
bagaimana, Romanov tak akan diizinkan kembali ke tanah airnya.
Ketika BMW itu belok ke jalan lingkar, Connor memikirkan Joan, yang satu-satunya
kejahatannya
ialah telah menjadi sekretaris Connor. Ia mengepalkan tinju, berharap perjanjiannya
dengan Mafya
akan menghabisi Dexter dan wakilnya yang berkomplot dengannya. Itulah tugas
yang akan ia
laksanakan dengan rasa lega.
BMW melewati batas kota Washington, dan Connor bersandar sambil memikirkan
masih berapa
lagi persiapan yang perlu dilaksanakan. Ia harus mengitari stadion beberapa kali
sambil memeriksa
setiap jalan keluar, sebelum memutuskan apakah ia mau masukjce sana.
378
Marine One mendarat dengan lembut di Lapangan Selatan. Kedua presiden keluar
dari helikopter
dan disambut tepuk tangan meriah enam ratus anggota staf Gedung Putih yang
berkumpul di situ.
Ketika memperkenalkan Zerimski kepada kepala stafnya, Lawrence melihat Andy
tampaknya
sedang banyak pikiran. Kedua pemimpin menghabiskan waktu lama untuk berpose di
depan para
fotografer, kemudian baru mengundurkan diri ke Ruang Oval dengan para penasihat
mereka untuk
mengkonfirmasikan topik-topik yang akan dibahas dalam pertemuan kemudian.
Zerimski tidak
keberatan dengan jadwal yang telah disusun Andy Lloyd, dan tampak santai
menghadapi topik-
topik yang akan dibahas.
Ketika mereka istirahat untuk santap siang, Lawrence merasa diskusi permulaan
telah berjalan
lancar. Mereka pindah ke Ruang Kabinet. Lawrence menceritakan kisah ketika
Presiden Kennedy
bersantap siang dengan delapan peraih Hadiah Nobel dan memberi komentar bahwa
itu adalah
pertemuan intelek terbesar di sana, karena Jefferson bersantap seorang diri selama
ini. Larry
Harrington tertawa karena wajib, walau telah mendengar cerita itu dari Presiden kira-
kira selusin
kali sebelumnya. Andy Lloyd bahkan tak mencoba tersenyum.
Sesudah santap siang, Lawrence menemani Zerimski ke limusin yang sedang
menunggu di jalan
masuk diplomatik. Begitu mobil terakhir dari arak-arakan mobil itu menghilang dari
pandangan—
sekali lagi Zerimski bersikeras ia harus mempunyai satu mobil le-
379
bih daripada arak-arakan mobil mantan Presiden Rusia yang mana pun—Lawrence
buru-buru
kembali ke Ruang Oval. Andy Lloyd yang cemberut berdiri di samping meja.
"Menurutku semuanya berjalan lancar sebagaimana diharapkan," kata Presiden.
"Mungkin," jawab Llyod. "Walau aku tak percaya orang itu mengatakan kebenaran,
bahkan pada
dirinya sendiri. Menurutku ia terlalu kooperatif. Aku merasa kita sedang dijebak."
"Itukah sebabnya kau sangat tak komunikatif selama santap siang?"
"Tidak. Kupikir kita mempunyai masalah yang jauh lebih besar di pihak kita," kata
Lloyd. "Apa
kau telah membaca laporan terakhir Dexter? Kemarin sore kutinggalkan di mejamu."
"Belum. Aku belum membacanya," jawab Presiden. "Kemarin kuhabiskan sebagian
besar waktuku
dengan mengasingkan diri bersama Larry Harrington di Deplu." Ia membuka berkas
berlambang
CIA itu dan mulai membacanya.
Ia menyumpah keras-keras tiga kali sebelum sampai ke halaman dua. Menjelang saat
ia sampai di
paragraf terakhir, wajahnya pucat lesi. Ia mengangkat mukanya ke sahabat
terkaribnya. "Kupikir
Jackson seharusnya ada di pihak kita."
"Memang, Mr. President."
"Lalu bagaimana mungkin Dexter mengklaim ia dapat membuktikan Jackson
bertanggung jawab
atas pembunuhan di Kolombia, kemudian pergi ke St. Petersburg dengan niat
membunuh
Zerimski?"
"Sebab dengan demikian ia membersihkan diri dari
380
segala keterlibatan dan membiarkan kita yang lebih dulu menjelaskan mengapa kita
menugaskan
Jackson. Saat ini ia pasti telah mempunyai satu lemari penuh dengan berkas-berkas
untuk
membuktikan bahwa Jackson-lah yang membunuh Guzman, dan segala sesuatu
mengenai Jackson
yang ia harapkan dipercaya seluruh dunia. Lihat saja foto-foto yang ia kirimkan ini.
Foto-foto
Jackson di sebuah bar di Bogota sedang menyerahkan uang pada Kepala Polisi. Yang
tidak
diperlihatkan ialah bahwa foto-foto itu dibuat hampir dua minggu sesudah
pembunuhan. Jangan
lupa, Sir, CIA tak tertandingi dalam hal melindungi kedudukan."
"Bukan kedudukan mereka yang kukhawatirkan," kata Presiden. "Lalu bagaimana
dengan cerita
Dexter bahwa Jackson telah kembali ke Amerika dan bekerja sama dengan Mafya
Rusia?"
"Cocok, kan?" kata Lloyd. "Jika ada yang tak beres selama kunjungan Zerimski,
Dexter sudah
punya seorang yang sedang antre menerima hukuman "
"Kalau begitu bagaimana menjelaskan fakta bahwa Jackson terekam oleh kamera
keamanan di
Dallas beberapa hari lalu sedang membeli senapan bertenaga tinggi yang mirip
dengan spesifikasi
senapan yang digunakan untuk membunuh Guzman?"
"Sederhana saja," sahut Lloyd. "Begitu disadari bahwa orang itu sebenarnya bukan
Jackson,
segalanya cocok pada tempat masing-masing."
"Jika bukan Jackson, lalu siapa dia itu?"
"Connor Fitzgerald," jawab Lloyd tenang.
"Tapi kau bilang Fitzgerald dipenjara di St. Petersburg, kemudian digantung. Kita
bahkan telah
membicarakan bagaimana mengeluarkannya dari sana."
381
"Aku tahu, Sir, tapi itu tak mungkin terjadi begitu Zerimski terpilih. Kecuali..."
"Kecuali?"
"Kecuali Jackson menggantikan tempatnya."
"Astaga, mengapa dia berbuat demikian?"
"Ingat bahwa Fitzgerald menyelamatkan hidup Jackson di Vietnam, dan ia
mempunyai Medali
Kehormatan untuk membuktikannya. Ketika Fitzgerald kembali dari perang,
Jackson-lah yang
merekrutnya menjadi NOC. Selama 28 tahun ia bekerja untuk CIA, dan memperoleh
reputasi
sebagai perwira yang paling disegani. Kemudian tiba-tiba dalam waktu singkat ia
menghilang dan
tak dapat dilacak dalam buku mereka. Sekretarisnya, Joan Bennett, yang bekerja
untuknya selama
sembilan belas tahun, tiba-tiba meninggal dalam kecelakaan mobil yang misterius
ketika sedang
dalam perjalanan menemui istri Fitzgerald. Kemudian istri dan putrinya juga lenyap
dari muka
bumi. Sementara itu orang yang kita tugasi untuk menyelidiki apa yang terjadi
didakwa membunuh
dan menipu sahabatnya. Tetapi bagaimanapun cermatnya kau meneliti begitu banyak
laporan
Dexter, kau takkan menemukan nama Connor Fitzgerald disebut satu kali pun."
"Bagaimana kau tahu semuanya ini, Andy?" tanya Lawrence.
"Sebab Jackson segera meneleponku dari St. Petersburg begitu Fitzgerald ditangkap."
"Apa
pembicaraan itu direkam?" "Ya, tentu, Sir."
"Sialan," kata Lawrence. "Dexter membuat J. Edgar Hoover tampak seperti Pramuka
Putri."
"Jika kita menerima Jackson yang digantung di
382
Rusia, kita harus mengandaikan Fitzgerald-lah yang terbang ke Dallas dengan niat
membeli
senapan itu sehingga dapat melaksanakan tugas yang sekarang ini."
"Akukah sasarannya kali ini?" tanya Lawrence tenang.
"Kukira bukan begitu, Mr. President. Itulah satu-satunya hal di mana Dexter berterus
terang—aku
masih berpendapat Zerimski-lah yang jadi sasaran."
"Oh, ya Tuhan," kata Lawrence sambil rebah di kursinya.
"Tapi mengapa orang yang begitu terhormat, punya latar belakang dan reputasi
sebaik Fitzgerald
terlibat dalam misi seperti itu? Aku tak bisa mengerti."
"Bisa dimengerti bila orang terhormat itu percaya bahwa perintah asli untuk
membunuh Zerimski
datang darimu."
Zerimski telah agak terlambat ketika pesawatnya tinggal landas dan
menerbangkannya dari New
York kembali ke Washington, tetapi dalam hati ia senang. Pidatonya di PBB telah
disambut baik,
dan santap siang dengan Sekretaris Jenderal telah diumumkan dalam komunike oleh
Sekretariat
sebagai "mempunyai cakupan luas dan produktif.
Selama kunjungan ke Museum Metropolitan siang itu, Zerimski mampu menyebut
artis Rusia yang
telah diberi kesempatan berpameran di salah satu galeri atas. Selain itu, ia juga tak
memedulikan
jadwal perjalanan ketika telah meninggalkan museum itu, hingga pengawas Dinas
Rahasia kalang
kabut. Ia bahkan berjalan-jalan di Fifth Avenue untuk berjabat tangan dengan orang-
orang yang
berbelanja untuk Natal
383
Zerimski terlambat satu jam dari jadwal menjelang saat pesawatnya mendarat di
Washington, dan
ia harus ganti pakaian dengan jas santap malam di bagian belakang limusin supaya
tak menunda
dimulainya pertunjukan Swan Lake di Kennedy Center lebih dari seperempat jam.
Setelah para
penari membungkuk untuk terakhir kali, ia kembali ke Kedubes Rusia untuk
melewatkan malam
kedua.
Sementara Zerimski tidur, Connor tetap terjaga. Ia jarang dapat tidur lebih lama dari
beberapa
menit selama mempersiapkan sebuah operasi. Ia menyumpah keras-keras ketika
melihat tayangan
liputan petang tentang Zerimski yang jalan-jalan. Itu mengingatkannya bahwa ia
selalu harus siap
menghadapi hal-hal tak terduga: dari sebuah apartemen di Fifth Avenue, Zerimski
akan menjadi
sasaran mudah, dan massa pasti begitu banyak dan tak terkendali, hingga ia dapat
menghilang
dalam beberapa saat.
Ia menyingkirkan New York dari pikiran. Sejauh yang menyangkut dirinya, hanya
tinggal dua
tempat serius yang dapat dipertimbangkan.
Di tempat pertama, ada masalah. Ia tak mempunyai senapan yang membuatnya
merasa tenang bila
menggunakannya, walaupun dengan massa begitu besar soal lolos akan jauh lebih
mudah.
Mengenai tempat kedua, jika Romanov dapat memberikan Remington 700 yang telah
termodifikasi
menjelang pagi hari diadakannya jamuan makan dan dapat menjamin lolosnya,
tampaknya itulah
pilihan yang jelas. Atau apakah itu agak terlalu jelas?
Ia mulai menulis daftar pro dan kontra bagi ma-
384
sing-masing tempat. Menjelang pukul dua hari berikutnya, walau lelah, ia menyadari
bahwa ia
harus mengunjungi dua tempat itu lagi sebelum dapat mengambil keputusan akhir.
Tapi bahkan di saat demikian itu pun ia tak berniat memberitahu Romanov mana
yang dipilihnya.
385
BAB DUA PULUH SEMBILAN
"PUG" WASHER—tak seorang pun tahu nama sebenarnya—adalah salah satu
pribadi yang ahli
dalam satu bidang. Dalam hal ini bidangnya ialah Washington Redskins.
Pug telah bekerja untuk Redskins, dewasa dan anak-anak, selama lima puluh tahun.
Ia telah
bergabung dengan staf lapangan pada usia lima belas tahun, ketika tim itu masih
bermain di
Stadion Griffith. Ia mulai kehidupannya di situ sebagai pembawa air minum dan
kemudian beralih
menjadi pemijat tim. Ia menjadi sahabat yang tepercaya dan dipercaya dari para
pemain Redskins
dari generasi ke generasi.
Tahun 1997, setahun sebelum pensiun, Pug bekerja bersama dengan kontraktor yang
membangun
Stadion Jack Kent Cooke. Pengarahannya sederhana: memastikan agar para
penggemar dan pemain
Redskins mendapatkan segala fasilitas yang mereka harapkan dari tim terbesar di
negeri itu.
386
Pada upacara pembukaan, arsitek senior mengatakan kepada para hadirin bahwa ia
selamanya akan
berutang budi kepada Pug atas peranan yang ia mainkan dalam membangun stadion
baru itu.
Selama pidato penutupan John Kent Cooke, presiden Redskins, telah mengumumkan
bahwa Pug
telah dipilih masuk ke Hall of Fame tim. Ini merupakan tanda penghargaan yang
biasanya
dikhususkan bagi para pemain terbesar. Pug bercerita kepada para wartawan, "Tak
akan lebih bagus
lagi daripada ini." Walau telah pensiun ia selalu setia menonton permainan Redskins,
baik di
kandang sendiri maupun di luar.
Connor dua kali menelepon untuk melacak Pug ke apartemen kecilnya di Arlington,
Virginia.
Ketika menjelaskan kepada orang tua itu bahwa ia telab ditugasi untuk menulis
artikel di Sports
lllustrated mengenai arti stadion baru bagi para penggemar Redskins, ia seperti
membuka keran.
"Mungkin Anda bisa meluangkan waktu satu-dua jam untuk mengantar saya
mengelilingi 'the Big
Jack'," demikian usul Connor. Untuk pertama kalinya monolog Pug berhenti, dan ia
tetap bungkam
hingga Connor mengusulkan akan memberi honorarium sebesar $100. Ia telah
mengetahui bahwa
imbalan Pug yang biasa untuk memandu tur sebesar $50.
Mereka setuju untuk bertemu keesokan harinya pukul sebelas.
Ketika Connor tiba pukul 10.59, Pug mengantarnya ke stadion seolah ia pemilik
klub. Selama tiga
jam berikutnya ia menyuguhkan kepada tamunya sejarah lengkap Redskins dan
menjawab setiap
pertanyaan Connor. Dari mengapa stadion tidak selesai tepat waktu untuk
387
upacara pembukaan hingga bagaimana manajemen mempekerjakan pekerja
sementara pada hari
pertandingan. Connor jadi tahu bahwa Sony Jumbo Tron atau Peralatan Jumbo Sony
di belakang
wilayah garis gawang hingga garis akhir merupakan sistem layar video terbesar di
dunia, dan
bahwa deretan tempat duduk paling depan telah dinaikkan 2,7 meter di atas lapangan
pertandingan,
sehingga para penggemar dapat melihat di atas kamera-kamera televisi dan para
pemain bertubuh
kekar tak jemu-jemunya hilir-mudik di area luar garis tepi di depan mereka.
Connor adalah penggemar Redskins selama hampir tiga puluh tahun, jadi tahu bahwa
semua karcis
pertandingan musiman selalu terjual habis sejak 1966, dan masih ada daftar pembeli
cadangan
sebanyak 50.000. la tahu- karena ia salah satu pembeli cadangan itu. Ia juga tahu
Washington Post
menjual karcis ekstra sebanyak 25.000 eksemplar bila Redskins memenangkan
pertandingan.
Tetapi ia tak tahu di bawah lapangan permainan terpasang pipa-pipa uap panas
sepanjang 55
kilometer, dan ada tempat parkir untuk 23.000 kendaraan, dan ada band lokal yang
akan
memainkan lagu kebangsaan Rusia dan Amerika Serikat sebelum dimulainya
pertandingan besok.
Keba-' nyakan informasi yang dikemukakan Pug tak berguna bagi Connor, tetapi tiap
beberapa
menit masih ada | informasi yang berguna.
Sementara mereka berjalan mengelilingi stadion, Connor dapat melihat pemeriksaan
keamanan
yang ketat dilaksanakan oleh staf Gedung Putih yang dikirim lebih dulu untuk
pertandingan hari
berikutnya. Magnetometer yang harus dilalui setiap orang yang
388
masuk lapangan dan yang dapat mendeteksi manakala mereka membawa sesuatu
yang bisa
digunakan sebagai senjata, telah terpasang di tempat masing-masing. Semakin dekat
dengan boks
tempat duduk pemilik—di mana kedua presiden akan menonton pertandingan—
pemeriksaan
semakin ketat.
Pug marah ketika dihentikan agen Dinas Rahasia yang menjaga jalan masuk ke boks
para eksekutif.
Dengan keras ia menjelaskan bahwa ia anggota Hall of Fame Redskins dan salah satu
tamu yang
akan bertemu dengan kedua presiden hari berikutnya. Namun agen itu tetap
melarangnya masuk
tanpa kartu pas keamanan. Connor mencoba meyakinkan Pug bahwa itu tidak begitu
penting.
Ketika mereka berjalan pergi Pug menggerutu sambil menahan napas, "Apakah aku
tampak seperti
orang yang ingin membunuh Presiden?"
Ketika dua orang itu berpisah pada pukul dua siang, Connor menyerahkan kepada
pemandunya
uang $120. Dalam waktu tiga jam orang tua itu memberitahukan lebih banyak
daripada seluk-beluk
yang dapat diberitahukan oleh seluruh Dinas Rahasia seumur hidup. Sebenarnya ia
akan
memberikan $200, tetapi itu mungkin menimbulkan kecurigaan Pug.
Connor melihat jamnya. Ternyata ia telah terlambat beberapa menit untuk janjinya
dengan Alexei
Romanov di Kedubes Rusia. Ketika diantar meninggalkan stadion, ia menyetel radio
siaran C-
SPAN, siaran yang jarang ia dengarkan.
Seorang komentator sedang melukiskan suasana di mimbar pidato DPR, sementara
para anggota
menunggu kedatangan Presiden Rusia. Tak seorang pun
389
1
punya gambaran tentang apa yang akan dikatakan Zerimski, karena pers tak diberi
naskah pidato
itu sebelumnya, dan telah dinasihati untuk mencocokkannya saat pidato itu
disampaikan.
Lima menit sebelum pidato itu dijadwalkan dimulai, Zerimski masuk menuju
mimbar pidato DPR
diiringi oleh panitia pendamping.
Komentator mengumumkan, "Semua yang hadir telah berdiri dan sedang bertepuk
tangan bagi
tamu dari Rusia. Presiden Zerimski tersenyum dan melambaikan tangan sambil
berjalan di
sepanjang gang, di antara kursi-kursi di ruang DPR yang penuh sesak, menuju ke
podium sambil
berjabatan dengan orang-orang yang mengulurkan tangan." Selanjutnya komentator
meneruskan
menggambarkan tepuk tangan itu "hangat dan tidak mengungkapkan rasa terpesona".
Ketika tiba di podium, dengan hati-hati Zerimski meletakkan kertas-kertasnya di atas
mimbar. Ia
mengambil kotak kacamata dan mengenakan kacamatanya. Para pengawas Kremlin
langsung tahu
bahwa pidato akan diucapkan kata demi kata dari naskah yang telah dipersiapkan,
dan tak akan ada
improvisasi yang membuat Zerimski sangat dikenal selama kampanye pemilihan.
Para anggota Kongres, Mahkamah Agung, dan Korps Diplomatik kembali duduk.
Mereka tidak
menyadari akan adanya bom yang segera diledakkan.
"Saudara Ketua DPR, Saudara Wakil Presiden, dan Saudara Ketua Mahkamah
Agung," demikian
Zerimski memulai. "Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada Anda
sekalian dan para
warga negara Anda atas penyambutan ramah dan menyenangkan
390
yang saya terima pada kesempatan kunjungan rJertama saya ke Amerika Serikat ini.
Saya pasti
akan ingin kembali mengunjungi negara ini berkali-kali." Pada poin ini Titov telah
menuliskan
"JEDA" di pinggir teks—memang tepat, sebab ini disusul dengan tepuk tangan yang
menyeluruh.
Zerimski kemudian menyampaikan serangkaian pujian mengenai prestasi historis
Amerika, sambil
mengingatkan kepada para pendengar bahwa tiga kali selama abad silam kedua
bangsa itu telah
berjuang bersama melawan musuh yang sama. Kemudian ia melanjutkan dengan
melukiskan
"hubungan sangat baik yang sedang dinikmati oleh kedua negara kita" Tom
Lawrence yang sedang
mengamati pidato itu dengan Andy Lloyd melalui C-SPAN di Ruang Oval mulai
agak santai.
Bahkan beberapa menit kemudian secercah senyum terulas di bibirnya.
Tetapi senyum itu hilang sama sekali dari wajahnya ketika Zerimski mengucapkan
kata-kata
berikutnya.
"Saya adalah orang terakhir di bumi ini yang menginginkan kedua bangsa besar kita
ini kembali
terlibat dalam perang yang tak ada artinya." Zerimski. berhenti sejenak. "Khususnya
bila kita tidak
berada di pihak yang sama." Ia mengangkat muka dan tampak berseri-seri, walau tak
seorang pun
yang hadir menganggap komentarnya sangat lucu. "Untuk memastikan bahwa
bencana seperti itu
tidak akan menimpa diri kita lagi, Rusia mutlak perlu tetap kuat seperti Amerika
Serikat di medan
perang bila harus memiliki bobot pada meja perundingan."
Di Ruang Oval, Lawrence menonton sementara kamera televisi menyorot wajah-
wajah cemberut
para
391
anggota Majelis, dan tahu bahwa Zerimski hanya memerlukan sekitar empat puluh
detik untuk
menghancurkan setiap kemungkinan diterimanya RUU Pengurangan Senjata menjadi
undang-
undang.
Sisa pidato Zerimski diterima dengan diam. Ketika ia turun dari podium, tak ada
tangan-tangan
yang terulur, dan tepuk tangan terdengar jelas dingin.
BMW putih itu mendekati Wisconsin Avenue, Connor mematikan radio. Sampai di
gerbang
Kedubes Rusia, salah satu pembantu Romanov memeriksa mereka melalui
keamanan.
Connor dikawal memasuki area penerimaan tamu berlantai pualam putih untuk kedua
kalinya
dalam tiga hari. la dapat langsung melihat apa yang dimaksud Romanov ketika
mengatakan bahwa
keamanan intern kedubes itu kendor. "Bila dipikir-pikir, siapa yang akan membunuh
Presiden
Rusia yang tersayang di kedutaan sendiri?" katanya dengan tersenyum.
Sementara mereka menyusuri koridor panjang, Connor berkata kepada Romanov,
"Tampaknya kau
bisa menggunakan seluruh gedung ini dengan cuma-cuma."
"Kau pun juga demikian jika menyetor cukup uang ke rekening bank Swiss milik
Duta Besar untuk
memastikan ia tak perlu kembali ke tanah air lagi."
Romanov meneruskan memperlakukan Kedubes seolah rumah sendiri, bahkan
membuka pintu ke
kamar kerja Duta Besar dan memasukinya. Ketika mereka memasuki kamar yang
lengkap dengan
perabotan penuh hiasan, Connor terkejut melihat Remington 700 sesuai pesanan
tergeletak di meja
Duta Besar.
392
Ia mengambilnya dan memeriksanya dengan teliti. Sebenarnya ia akan menanyakan
kepada
Romanov bagaimana dapat memperoleh senapan itu, jika ia berpendapat ada
kemungkinan
diberitahu yang sebenarnya.
Connor memegang batang senapan dan menekuk gagangnya. Dalam ruang peluru
hanya terlihat
satu butir peluru berekor bentuk perahu. Ia mengernyitkan alis kepada Romanov.
"Kuandaikan dalam jarak itu kau hanya memerlukan satu peluru," kata orang Rusia
itu. Ia
mengantarkan Connor ke sudut kamar, dan menyingkap tirai untuk menunjukkan lift
pribadi Duta
Besar. Mereka masuk, menutup pintunya, dan turun pelan-pelan ke galeri di atas
ruang dansa di
lantai dua.
Beberapa kali Connor memeriksa galeri setiap inci, kemudian menyelinap ke
belakang patung
besar Lenin. Ia melihat melalui tangan patung yang miring untuk memeriksa garis
pandang ke
tempat Zerimski akan mengucapkan pidato perpisahan. Ia memastikan bisa melihat
tanpa dapat
dilihat. Ia sedang berpikir-pikir betapa mudahnya, ketika Romanov menyentuh
lengannya dan
mengantarkannya kembali ke lift.
"Kau harus datang beberapa jam lebih awal, dan bekerja sama dengan staf katering
sebelum jamuan
makan dimulai," kata Romanov.
"Mengapa?"
"Kami tak ingin seorang pun curiga bila kau menghilang justru sebelum Zerimski
memulai pidato."
Romanov melihat jam. "Kita harus pergi. Zerimski akan kembali beberapa menit
lagi."
Connor mengangguk. Mereka berjalan menuju pin-
393
tu masuk belakang. Ketika naik ke jok belakang BMW ia berkata, "Aku akan
memberitahumu bila
telah memutuskan tempat mana yang kupilih."
Romanov tampak terperanjat, tapi tak berkata apa-apa.
Connor telah diantar keluar melalui gerbang Kedubes beberapa menit sebelum
Zerimski kembali
dari Capitol. Ia menyetel radio tepat waktu untuk mendengarkan berita petang: "Para
senator dan
anggota Kongres berebut mikrofon untuk memastikan kepada para pemilih mereka
bahwa setelah
mendengar pidato Presiden Zerimski, mereka tidak akan mendukung RUU
Pengurangan Senjata
Nuklir, Biologis, Kimia, dan Konvensional."
Di Ruang Oval, Tom Lawrence sedang menonton reporter CNN yang melapor dari
galeri pers
Senat. "Tak a'da pernyataan dari Gedung Putih," demikian katanya ."Dan Presiden..."
"Dan jangan berkeliaran menunggu Presiden," kata Lawrence marah sambil
mematikan televisi. Ia
berpaling ke Kepala Staf. "Andy, aku bahkan tak yakin bisa duduk di samping orang
itu selama
empat jam besok siang, apalagi menjawab pidato perpisahannya malam hari."
Lloyd tidak berkomentar
"Aku sudah tak sabar lagi duduk bersebelahan dengan sahabat karibku, Tom, dan
melihatnya
menggeliat di depan jutaan hadirin," kata Zerimski sementara limusin memasuki
wilayah Kedubes
Rusia. Dmitri Titov tetap tenang
"Kupikir aku akan bersorak untuk Redskins. Akan
394
merupakan bonus tambahan bila tim Lawrence kalah." Zerimski tersenyum dibuat-
buat. "Suatu
permainan permulaan menjelang penghinaan yang telah kurencanakan untuknya
malam hari.
Pastikan menyusun pidato yang begitu menyanjung hingga akan tampak semakin
tragis bila
dipikirkan kembali." Ia tersenyum lagi. "Aku telah memerintahkan supaya daging
panggang
disajikan dingin. Dan bahkan kau pun akan kaget dengan apa yang kubayangkan
sebagai makanan
pencuci mulut."
Selama beberapa jam malam itu, Connor berpikir-pikir apakah ia dapat melanggar
peraturan
seumur hidup. Ia menelepon Romanov beberapa memt selewat tengah malam.
Orang Rusia itu tampaknya senang bahwa mereka berdua sampai pada satu
kesimpulan yang sama.
"Akan kuusahakan seorang pengemudi menjemputmu pukul setengah empat,
sehingga kau dapat
berada di Kedubes pukul empat."
Connor meletakkan pesawat telepon. Jika segalanya sesuai rencana, Presiden akan
mati menjelang
pukul empat.
"Bangunkan dia."
"Tapi ini baru pukul empat pagi," kata Sekretaris Pertama.
"Jika kau menghargai hidupmu, bangunkan dia."
Sekretaris Pertama mengenakan jubah tidur, berlari keluar kamar, dan menyusuri
koridor. Ia
mengetuk pintu. Tak ada jawaban, maka ia mengetuk lagi. Beberapa saat kemudian
tampak cahaya
di celah bawah pintu.
395
"Masuk," kata sebuah suara mengantuk. Sekretaris Pertama memutar pegangan pintu
dan
memasuki kamar Duta Besar.
"Yang Mulia, maaf saya mengganggu Anda, tapi ada telepon dari seorang bernama
Mr. Stefan
Ivanitsky dari St. Petersburg. Ia mendesak supaya kita rriembangunkan Presiden.
Katanya ia
mempunyai berita mendesak untuknya."
"Aku akan menerima telepon itu di ruang kerjaku," kata Pietrovski. Ia menyingkap
selimut tanpa
memedulikan erangan istrinya, berlari turun ke lantai dasar, dan menyuruh penjaga
pintu malam
mentransfer tele-•pon ke ruang kerjanya.
Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya diangkat oleh Duta Besar yang
terengah-engah.
"Pietrovski di sini."
"Selamat pagi, Yang Mulia," kata Ivanitsky. "Saya minta disambungkan dengan
Presiden, bukan
dengan Anda."
"Tapi ini baru pukul empat pagi. Apa tak bisa menunggu?"
"Duta Besar, kau tak kubayar untuk memberitahukan waktu. Suara berikut yang
ingin kudengar
ialah suara Presiden. Sudah jelas?"
Duta Besar meletakkan pesawat telepon di mejanya, berjalan pelan menaiki tangga
lebar ke lantai
satu, dan berusaha memutuskan mana dari antara dua orang itu yang lebih
ditakutinya. Ia berdiri di
luar pintu suite Presiden beberapa lama, tetapi ketika melihat Sekretaris Pertama
memandangnya
dari tangga, ia membatalkan keputusannya. Diketuknya pintu pelan-pelan, tapi tak
396
ada jawaban. Ia mengetuk lebih keras lagi, dan mencoba membuka pintu.
Dengan cahaya dari pintu lift, Duta Besar dan Sekretaris Pertama dapat melihat
Zerimski bergerak-
gerak di ranjang. Yang tak mereka lihat ialah bahwa tangan Presiden diselipkan di
bawah bantal
tempat pistol disembunyikan.
"Mr. President," bisik Duta Besar ketika Zerimski menyalakan lampu di samping
ranjang
"Ini harus berita penting," kata Zerimski. "Kecuali kalian ingin menghabiskan sisa
hidup kalian
sebagai pengawas mesin pendingin di Siberia."
"Ada telepon untuk Anda dari St. Petersburg," kata Duta Besar nyaris berbisik. "Mr.
Stefan
Ivanitsky. Katanya mendesak."
"Keluar dari kamarku," kata Zerimski sambil mengangkat telepon di samping
ranjang.
Kedua orang itu melangkah mundur ke koridor dan Duta Besar menutup pintu pelan-
pelan.
"Stefan," kata Zerimski. "Kenapa menelepon pada jam sepagi ini? Apa Borodin
mempersiapkan
kudeta selama aku pergi?"
"Tidak, Mr. Presiden. Tsar meninggal," jawab Ivanitsky tanpa emosi.
"Kapan? Di mana? Dan bagaimana?"
"Sekitar sejam yang lalu. Di Istana Musim Dingin. Cairan tak berwarna itu akhirnya
menghabisinya." Ivanitsky berhenti sejenak. "Aku telah membayar kepala
pelayannya selama
hampir setahun."
Beberapa saat Presiden diam saja. Akhirnya ia berkata, "Bagus. Tak bisa lebih bagus
lagi buat
kita."
"Saya setuju, Mr. President, seandainya putranya
397
sekarang ini tidak berada di Washington. Saya tak dapat berbuat banyak dari sini
hingga ia
kembali."
"Masalah itu akan terpecahkan sendiri malam ini," kata Zerimski.
"Mengapa? Apakah mereka teperdaya oleh jebakan kita?"
"Ya," sahut Zerimski. "Menjelang malam ini aku akan menghilangkan mereka
berdua." "Mereka
berdua?"
"Ya," sahut Presiden. "Aku sudah mengenal ungkapan yang cocok sejak aku ada di
sini:
"membunuh dua burung dengan satu batu". Kalau dipikir-pikir, berapa kali orang
mendapat
kesempatan melihat orang yang sama mati dua kali?"
"Saya ingin berada di sana menyaksikannya."
"Aku akan lebih menikmatinya daripada ketika melihat sahabatnya bergantungan
pada seutas tali.
Bila mempertimbangkan segalanya, Stefan, ini adalah perjalanan yang paling sukses,
khususnya
jika..."
"Semuanya sudah diurus, Mr. President," kata Ivanitsky. "Kemarin saya
membereskan pemasukan
dari kontrak-kontrak minyak dan uranium Yeltsin dan Chernopov ke rekening Anda
di Zurich. Itu
bila Alexei tidak mengeluarkan perintah yang berlawanan dengan perintah-perintah
saya bila ia
sudah kembali."
"Kalau dia tak kembali, dia takkan bisa, ya kan?" Zerimski meletakkan telepon,
mematikan lampu,
dan tertidur lagi beberapa saat kemudian.
Pukul lima pagi itu Connor terbaring tak bergerak di ranjangnya, berpakaian lengkap.
Ia sedang
akan merunut rute yang ia lalui dalam meloloskan diri, ke-
398
tika telepon bangun pagi berdering pukul enam. Ia bangkit, menarik sudut tirai, dan
memeriksa
apakah mereka masih ada di sana. Ternyata masih ada: dua BMW putih diparkir di
seberang jalan
sejak tengah malam. Saat ini para penumpangnya pasti mengantuk. Ia tahu mereka
berganti giliran
jaga pukul delapan, maka ia merencanakan pergi sepuluh menit sebelum jam itu.
Selama setengah
jam berikutnya ia melakukan peregangan ringan supaya badannya tidak kaku.
Kemudian ia
melepas pakaian, membiarkan pancaran air shower menusuki tubuhnya. Tak lama
kemudian ia
mematikan keran, mengambil handuk, lalu mengenakan kemeja biru, pantalon jins,
sweter tebal,
dasi biru, kaus kaki hitam, dan sepatu Nike hitam lengkap dengan logonya.
Ia pergi ke dapur mini, menuang segelas jus jeruk serta semangkuk cornflakes dan
susu. Ia selalu
menyantap makanan yang sama pada hari operasi. Ia menyukai rutinitas, karena
membuatnya
percaya bahwa segalanya berjalan lancar. Sementara makan, ia membaca tujuh
halaman catatan
yang ia buat sesudah pertemuannya dengan Pug, dan sekali lagi mempelajari dengan
cermat denah
stadion dari arsitek. Ia mengukur balok penopang dengan penggaris, dan
memperkirakan jaraknya
ke pintu jebakan 12,5 meter. Ia tak boleh melihat ke bawah. Ia merasakan ketenangan
yang dialami
atlet yang telah terlatih dengan baik saat dipanggil menuju garis start.
Ia melihat jam dan kembali ke kamar. Mereka harus berada di persimpangan antara
Twenty-First
Street dan Bundaran DuPont ketika lalu lintas baru mulai ramai. Ia menunggu
beberapa menit lagi,
lalu memasukkan
399
uang tiga ratus dolar, sekeping 25 sen, dan sebuah pit.i kaset setengah jam ke saku
belakang
jinsnya. Kemudian ia meninggalkan apartemen tak bernama itu untuk tei akhir
kalinya.
Rekeningnya telah dibereskan.
400
BAB TIGA PULUH
ZERIMSKI duduk sendirian di ruang makan Kedubes sambil membaca Washington
Post sementara
kepala pelayan melayaninya sarapan. Ia tersenyum melihat judul berita utama yang
terpampang:
KEMBALINYA PERANG DINGIN?
Sambil menyesap kopinya, ia merenung sesaat apa yang akan dijadikan berita utama
di P&st pagi
berikutnya.
USAHA PEMBUNUHAN ATAS PRESIDEN RUSIA GAGAL
Mantan Agen CIA Ditembak di Wilayah Kedubes
Ia tersenyum lagi dan membaca tajuk yang meng-konfirmasikan bahwa RUU
Lawrence tentang Pe-
401
ngurangan Senjata Nuklir, Biologis, Kimia, dan Konvensional kini dipandang oleh
para komentator
terkemuka sebagai "mati sebelum lahir". Sebuah ungkapan yang baru saja ia kenal.
Pukul tujuh lewat beberapa menit ia membunyikan bel perak di sampingnya dan
meminta kepala
pelayan menjemput Duta Besar dan Sekretaris Pertama. Kepala pelayan bergegas
pergi. Zerimski
tahu bahwa kedua pria itu telah berdiri di luar pintu dengan cemas.
Duta Besar dan Sekretaris Pertama berpendapat mereka harus menunggu satu-dua
menit sebelum
bergabung dengan Presiden. Mereka masih merasa tidak pasti apakah ia senang
dibangunkan pagi-
pagi pukul empat. Tetapi karena mereka belum juga dipecat, keduanya
mengasumsikan telah
membuat kepu-tusan yang tepat.
"Selamat pagi, Mr. President," kata Pietrovski seraya memasuki ruang makan.
Zerimski mengangguk, melipat koran, dan meletakkannya di meja di depannya.
"Apakah Romanov
telah datang?" tanyanya.
"Ya, Mr. President," kata Sekretaris Pertama. "Ia telah berada di dapur sejak pukul
enam pagi. Ia
memeriksa sendiri makanan yang akan disajikan untuk jamuan makan nanti malam."
"Bagus. Saudara Duta Besar, mintalah padanya untuk bergabung dengan kita di
ruang kerjamu.
Aku segera menyusul."
"Ya, Sir," kata Pietrovski sambil melangkah mundur keluar ruangan.
Zerimski mengusap mulut dengan serbet. Ia me-i mutuskan membuat mereka bertiga
menunggu
bebe-i
402
rapa menit lebih lama lagi. Itu akan membuat mereka lebih gugup lagi.
Ia kembali membaca Washington Post dan tersenyum ketika membaca kesimpulan
tajuk untuk
kedua kalinya: "Zerimski adalah pengganti alami Stalin dan Brezhnev, bukannya
pengganti
Gorbachev atau Yeltsin." Ia tak berkeberatan mengenai hal itu. Sebenarnya ia
berharap sebelum
hari berganti malam ia akan memperkuat citra tersebut. Ia bangkit dari kursi dan
berjalan keluar
ruangan. Ketika ia berjalan di koridor menuju ruang kerja Duta Besar, seorang muda
yang datang
dari arah berlawanan berhenti melangkah dan buru-buru membuka pintu untuknya.
Jam kuno
berdentang saat ia memasuki mangan. Mengikuti naluri ia melihat jamnya. Tepat
pukul 07.45.
Pukul 07.50 Connor muncul di pintu gedung apartemen dan pelan-pelan
menyeberangi jalan
menuju ke BMW yang paling depan di antara dua BMW itu. Ia naik di samping
pengemudi yang
agak kaget melihat ia datang begitu pagi. Ia telah diberitahu bahwa Fitzgerald baru
diharapkan
berada di Kedubes pukul 16.00.
"Aku perlu pergi ke kota untuk mengambil beberapa barang," kata Connor. Orang
yang duduk di
jok belakang mengangguk. Maka pengemudi memasukkan persneling satu dan
bergabung dengan
lalu lintas di Wisconsin Avenue. Mobil kedua mengikuti mereka dari dekat,
sementara mereka
membelok ke kiri ke P Street yang sangat padat sebagai akibat pekerjaan konstruksi
yang
mengganggu Georgetown.
Sementara hari berganti hari, Connor melihat bahwa
403
para pengawas telah menjadi semakin santai. Pada waktu yang kira-kira sama tiap
pagi, ia keluar
dan BMW di tikungan antara Twenty-First Street dan Bundaran DuPont. Ia membeli
satu
eksemplar Post dari penjaja koran dan kembali ke mobil. Kemarin orang yang duduk
di jok
belakang bahkan tak berupaya menemaninya.
Mereka menyeberangi Twenty-Third Street, dan| dari kejauhan Connor dapat melihat
Bundarani
DuPont. Mobil-mobil kini merapat, dan hampir masuk akal untuk berhenti. Di sisi
seberang jalan,
lalu lin-( tas menuju ke barat bergerak jauh lebih lancar. Ia perlu menilai dengan
tepat kapan harus
bertindak.
Connor tahu lampu lalu lintas di P Street mendekati Bundaran berubah setiap tiga
puluh detik, dan j
rata-rata ada dua belas mobil yang dapat melintas selama waktu itu. Paling banyak
yang dapat ia'
hitung selama minggu itu ialah enam belas mobil.
Ketika lampu berganti merah, Connor menghitungi ada tujuh belas mobil di
depannya. Ia tetap
tenang. Lampu berganti hijau dan si pengemudi memasukkan persneling satu. Tetapi
lalu lintas
begitu padat, hingga butuh beberapa lama untuk bisa maju. Hanya delapan mobil
dapat lolos
melintasi lampu.
Ia punya waktu tiga puluh detik.
Ia berpaling, tersenyum kepada pengawasnya di jok belakang, dan menunjuk ke
penjaja koran.
Orang itu mengangguk. Connor turun ke trotoar, dan mulai" berjalan pelan menuju
ke orang tua
yang mengenakan rompi oranye manyala. Ia tak menoleh ke belakang sekali pun,
jadi tak tahu
apakah ada seseorang dari mobil kedua yang mengikutinya. Ia berkonsentrasi
404
pada lalu lintas yang berlawanan arah di seberang jalan, seraya mencoba
memperkirakan berapa
panjang deretan mobil itu - bila lampu berubah merah lagi. Ketika sampai di penjaja
koran, ia telah
menggenggam 25 sen. Keping uang itu ia berikan kepada orang tua yang
memberinya satu
eksemplar Post. Ketika ia membalik dan berjalan kembali ke BMW pertama, lampu
berganti merah
dan lalu lintas berhenti.
Connor melihat kendaraan yang diperlukannya. Tiba-tiba ia berganti arah dan berlari
cepat,
berkelok-kelok di antara lalu lintas yang bergeming di sisi barat jalan hingga
menemukan taksi
kosong berjarak enam mobil dari lampu lalu lintas. Dua orang dalam BMW kedua
melompat keluar
mengejarnya, tepat pada saat itu lampu di Bundaran DuPont berganti hijau.
Connor membuka pintu belakang taksi itu dan melompat masuk. "Jalan terus,"
teriaknya. "Kubayar
$100 jika kaulanggar lampu itu."
Si sopir taksi menekan klaksonnya terus-menerus sambil melesat menerobos lampu
merah. Dua
BMW putih itu berbalik dengan berdecit-decit, tapi lampu telah berganti lagi, dan
mereka terhalang
oleh tiga mobil yang berhenti.
Sejauh itu segalanya berjalan menurut rencana
Taksi berbelok kiri masuk ke Twenty-Third Street. Connor menyuruh si sopir
menyeberang. Ketika
mobil itu berhenti, ia memberikan lembaran $100 dan berkata, "Tolong jalan terus ke
Bandara
Dulles. Jika melihat BMW putih di belakang, jangan biarkan menyalib. Begitu
sampai di bandara,
berhentilah tiga puluh detik di luar area Keberangkatan, lalu jalankan mobil pelan-
pelan kembali ke
kota "
405
"Oke, man, apa pun katamu," kata si pengemudi sambil memasukkan lembaran
seratus dolar itu ke
sakunya. Connor menyelinap keluar taksi, berkelok kelok melintasi Twenty-Third
Street, dan
menghenti kan taksi lain yang menuju ke arah berlawanan.
Ia menutup pintu taksi dengan bantingan ketika dua BMW melejit melewatinya
mengejar taksi
pertama.
"Mau ke mana pada pagi yang cerah ini?"
"Stadion Cooke."
"Semoga kau punya karcis, man, jika tidak, akan langsung kuantar kembali."
Ketiga orang itu berdiri ketika Zerimski memasuki ruangan. Ia melambai menyuruh
mereka duduk
seolah mereka massa besar, dan ia duduk di kursi di balik meja Duta Besar. Ia kaget
melihat
senapan di tempat biasanya terdapat pengering tinta, tetapi ia tak memedulikannya
dan berpaling
kepada Alexei Romanov yang tampaknya agak puas diri.
"Ada berita duka buatmu, Alexei," kata Presiden. Ekspresi wajah Romanov berganti
menjadi takut
kemudian cemas selama keheningan yang lama yang dibiarkan saja oleh Zerimski.
"Pagi-pagi tadi aku menerima telepon dari Stefan sepupumu. Ternyata kemarin
malam ayahmu
terkena serangan jantung, dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit."
Romanov menunduk. Duta Besar dan Sekretaris Pertama memandang Presiden untuk
mengetahui
bagaimana harus bereaksi.
Zerimski bangkit, pelan-pelan menghampiri Romanov, dan memegang bahunya
untuk menghibur-
406
nya. Duta Besar dan Sekretaris Pertama menyesuaikan diri dan mengungkapkan ikut
berbelasungkawa.
"Aku berkabung untuknya," kata Zerimski. "Ia orang besar." Dua diplomat itu
mengangguk tanda
setuju, sementara Romanov membungkuk berterima kasih atas kata-kata ramah
Presiden.
"Kini jubah kebesaran telah berpindah padamu, Alexei. Kaulah pengganti yang
paling pantas."
Duta Besar dan Sekretaris Pertama melanjutkan anggukan mereka.
"Dan sebentar lagi," kata Zerimski, "kau akan diberi kesempatan menunjukkan
otoritasmu sehingga
tak seorang pun di Rusia akan meragukan tsar baru ini."
Romanov mengangkat muka dan tersenyum. Masa berkabung yang singkat telah
selesai.
"Itu semua," tambah Zerimski, "dengan mengandaikan bahwa tak ada yang tak beres
malam ini."
"Tak ada yang tak beres," kata Romanov dengan penekanan. "Aku telah bicara
dengan Fitzgerald
tepat selewat tengah malam. Ia menyetujui rencanaku. Ia akan muncul di Kedubes
pukul empat
sore, sementara kau sedang nonton bola dengan Lawrence."
"Kenapa begitu awal?"'4
"Biar semua orang mengira ia salah satu anggota tim katering, sehingga bila ia
menyelinap keluar
dapur enam jam kemudian, tak ada yang memikirkannya. Ia akan tetap di dapur di
bawaH*
pengawasanku hingga beberapa menit sebelum kau berdiri menyampaikan pidato
perpisahan."
"Luar biasa," kata Zerimski. "Lalu apa yang akan terjadi?"
407
"Aku akan menemaninya menuju ruangan ini. tempat ia akan mengambil senapan. Ia
lalu akan naik
lift pribadi menuju galeri yang punya pandangan dari atas ruang dansa."
Zerimski mengangguk.
"Begitu ada di sana, ia akan mengambil posisi di belakang patung besar Lenin, dan
tetap di sana
hingga kau sampai ke bagian pidato di mana kau berterima kasih kepada bangsa
Amerika atas
kemurahan hati dan sambutan hangat yang kauterima di mana-mana, dan sebagainya
dan
sebagainya, dan khususnya dari pihak Presiden Lawrence. Di bagian itu aku telah
mengatur supaya
ada tepuk tangan berkepanjangan. Selama itu kau harus tetap tenang sepenuhnya."
"Kenapa?" tanya Zerimski.
"Sebab Fitzgerald takkan menarik picu bila menurutnya kau akan membuat gerakan
tiba-tiba."
"Aku mengerti."
"Begitu menembak ia akan memanjat keluar ke langkan dekat pohon cedar di kebun
belakang.
Kemarin sore ia telah menyuruh kami mengulang-ulang gerakan ini. Tapi malam ini
ia akan
menemukan ada perbedaan kecil."
"Perbedaan apa itu?" tanya Zerimski.
"Enam dari tukang pukul pribadiku akan menunggu di bawah pohon," sahut
Romanov. "Mereka
akan menembaknya lairp sebelum kakinya menyentuh tanah."
Zerimski terdiam beberapa saat, akhirnya berkata, "Tapi rencanamu punya
kelemahan kecil."
Romanov tampak bingung.
"Bagaimana aku diharapkan selamat dari tembakan
408
jago tembak dengan reputasi Fitzgerald dalam jarak . begitu dekat?"
Romanov bangkit dari kursi dan mengambil senapan itu. Ia mengeluarkan sepotong
kecd metal dan
menyerahkannya kepada Presiden.
"Apa ini?" tanya Zerimski
"Pasak tembak," jawab Romanov.
409
BAB TIGA PULUH SATU
KEDUA BMW putih melaju ke barat pada Rute 66, mengejar taksi kosong yang
sepanjang jalan ke
Bandara Dulles melewati batas kecepatan. Taksi lainnya menuju ke timur dengan
laju yang lebih
santai ke arah Stadion Cooke di Maryland.
Connor kembali memikirkan keputusannya untuk memilih stadion dengan segala
risikonya, dan
bukannya Kedubes. Ia telah diizinkan keluar-masuk gedung itu dengan terlalu
mudah: tak seorang
pun begitu kendor terhadap keamanan, khususnya bila presiden mereka berada di
kota itu.
Ketika diturunkan di stadion, Connor tahu persis akan ke mana. Ia menapak di jalur
lebar berkerikil
menuju pintu masuk utara serta dua baris antrean panjang orang-orang yang berada
di situ sebelum
tiap pertandingan di kandang dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan sehari.
Beberapa di
antara mereka sekadar memerlukan uang tunai, sementara yang lain,
410
menurut keterangan Pug, adalah penggemar Skins yang fanatik sehingga mereka
memilih jalan apa
pun, termasuk suap, untuk dapat masuk ke stadion
"Suap?" tanya Connor polos.
"Oh, ya. Seseorang harus melayani di suite para eksekutif," kata Pug sambil
berkedip. "Dan mereka
akhirnya memperoleh pemandangan terbaik atas pertandingan itu."
"Bahan yang sangat menarik bagi artikelku," demikian Connor meyakinkannya.
Antrean pertama adalah bagi mereka yang menghendaki pekerjaan di luar stadion
untuk mengatur
parkir 23.000 mobil dan bus ataupun menjual jadwal acara, bantal, dan tanda mata
pada para
penggemar yang berjumlah 78.000 orang. Antrean yang lain ialah untuk mereka yang
mengharapkan pekerjaan di dalam stadion. Connor bergabung dengan antrean ini.
Kebanyakan
terdiri atas orang muda, para pengangguran, dan mereka yang digambarkan Pug
sebagai orang-
orang tak bermutu yang memasuki pensiun dini, yang senang menikmati bepergian
keluar. Pug
bahkan telah melukiskan pakaian orang-orang ini, hingga tak ada yang merancukan
mereka dengan
para pengangguran.
Pada hari khusus itu sekelompok orang Dinas Rahasia sedang memperhatikan para
pelamar yang
penuh harapan. Connor tetap membaca Washington Post sementara antrean bergerak
maju pelan-
pelan. Sebagian besar halaman depan mengulas pidato Zerimski kepada sesi
gabungan Kongres.
Secara keseluruhan para anggota bersikap memusuhi sebagai reaksinya. Sambil
beralih ke tajuk
rencana, ia menduga Zerimski senang dengan sikap itu.
411
Ia beralih ke bagian Metro, dan tersenyum kecut ketika membaca berita kematian
mendadak
seorang akademisi terkenal yang berasal dari kotanya.
"Hai," sapa sebuah suara.
Connor menoleh ke belakang, pada seorang pria muda berpakaian rapi yang antre di
belakangnya.
"Hai," balasnya singkat, lalu kembali ke korannya. Ia tidak ingin terlibat dalam
pembicaraan yang
tak perlu dengan seseorang yang kelak mungkin dapat dipanggil sebagai saksi.
"Namaku Brad," kata orang muda itu sambil mengulurkan tangan kanannya.
Connor menjabat tangannya tapi tak mengatakan sepatah kata pun.
"Aku berharap mendapat pekerjaan di salah satu menara lampu," tambahnya. "Kalau
kau
bagaimana?"
"Kenapa menara lampu?" tanya Connor, menghindari pertanyaan itu.
"Sebab di situlah Agen Khusus Dinas Rahasia yang bertugas akan ditempatkan, dan
aku ingin tahu
bagaimana pekerjaan itu sebenarnya."
"Kenapa?" tanya Connor, sambil melipat koran. Ini jelas percakapan yang tak dapat
ia potong
begitu saja.
"Aku ingin bergabung dengan mereka bila sel*ai kuliah. Aku telah mengambil
kursus pelatihan
tingkat sarjana, tapi aku ingin melihat lebih dekat bagaimana mereka bekerja.
Seorang agen
mengatakan padaku bahwa pekerjaan yang tak disukai orang ialah membawakan
makanan pada
orang-orang yang bertugas di panggung lampu di zona garis akhir. Tangga itu
membuat mereka
takut."
Anak tangganya berjumlah 172, pikir Connor. Ia
412
telah membuang gagasan menara lampu lebih awal, bukan karena tangga, melainkan
karena tak ada
jalan untuk lolos. Brad mulai menceritakan kisah hidupnya. Dan menjelang saat
sampai di depan,
Connor telah tahu di mana anak muda itu bersekolah. Sekarang ia mahasiswa senior
kriminologi di
Georgetown—membuat Connor teringat pada Maggie—dan itulah sebabnya ia masih
belum dapat
memutuskan apakah akan bergabung dengan Dinas Rahasia atau menjadi pengacara.
"Berikutnya," kata sebuah suara. Connor berpaling kepada orang yang duduk di
belakang meja
yang ditopang kuda-kuda.
"Apa yang masih tersisa?" tanya Connor.
"Tak banyak," kata orang itu sambil melihat ke daftar penuh dengan tanda.
"Ada pekerjaan dalam katering?" tanya Connor. Seperti Brad ia tahu persis mau
berada di mana.
"Yang tersisa hanya cuci piring atau menyajikan makanan pada para karyawan di
seputar stadion."
"Itu cocok."
"Nama?"
"Pave Krinkle," sahut Connor. "Tanda identitas?"
Connor menyerahkan SIM. Orang itu mengisi kartu pas keamanan dan seorang
fotografer maju
untuk mengambil foto Connor dengan Polaroid yang beberapa detik kemudian
dilaminasi ke dalam
kartu pas.
"Oke, Dave," kata orang itu sambil menyerahkan kartu pas. "Kartu pas ini
membolehkanmu ke
mana saja dalam stadion, kecuali area keamanan ketat, yang mencakup suite para
eksekutif, boks-
boks klub, dan
413
bagian VIP. Kau tak perlu ke sana, kan." Connor mengangguk dan memasang kartu
pas pada
sweternya. "Melaporlah ke Ruang 47, tepat di bawah Blok H." Connor berjalan ke
kiri. Ia tahu
persis di mana Ruang 47 itu. "Berikutnya."
Melintasi tiga pemeriksaan keamanan, Termasuk magnetometer, memerlukan waktu
jauh lebih
lama daripada hari sebelumnya. Karena sekarang dijaga personel Dinas Rahasia dan
bukannya para
polisi sewaan seperti biasa. Begitu Connor berada dalam stadion, ia berjalan pelan
menyusuri gang,
melewati museum dan panji-panji merah bertuliskan "SALAM KEMENANGAN",
hingga tiba di
tangga dengan tanda panah menunjuk ke bawah ke "Ruang 47, Katering Pribadi". Di
dalam
ruangan kecil di kaki tangga, ia menjumpai selusin orang sedang bermalas-malasan.
Mereka semua
tampak seolah sudah akrab dengan rutinitas. Ia mengenali satu-dua orang yang antre
berdiri di
depannya. Tak ada orang di ruangan itu yang tampak seolah tak memerlukan uang.
Ia duduk di sudut dan kembali ke Post, mengulang membaca tinjauan tentang
pertandingan sore itu.
Tony Kornheiser berpendapat bahwa akan merupakan mukjizat jika Redskins
mengalahkan
Packers—tim terbaik di seluruh negeri. Sebenarnya ia meramalkan kemenangan
dengan selisih
angka 21. Connor mengharapkan hasil yang berbeda sama sekali.
"Oke," kata sebuah suara, "tolong perhatikan." Connor mengangkat muka dan
melihat seorang laki-
laki kekar berseragam koki berdiri di depan mereka. Ia berusia sekitar lima puluh
dengan dagu
besar menggelambir. Beratnya kira-kira 125 kilogram.
414
"Aku manajer katering," katanya, "dan seperti yang bisa kalian lihat, aku mewakili
akhir
kegemilangan dunia usaha." Satu-dua pembantu lama tertawa sopan.
"Aku bisa menawarkan dua pilihan pada kalian. Mencuci piring atau melayani para
karyawan
stadion dan orang-orang keamanan yang ditempatkan di seputar stadion. Ada yang
berminat cuci
piring?" Kebanyakan orang di ruangan itu mengacungkan tangan. Pug telah
menjelaskan bahwa
cuci piring selalu populer, sebab para pencuci piring tak hanya menerima upah penuh
$10 per jam,
bagi beberapa dari mereka, sisa-sisa dari boks-boks eksekutif merupakan makanan
terbaik mereka
sepanjang minggu.
"Baik," kata orang itu seraya memilih lima dari mereka serta menulis nama mereka.
Ketika daftar
itu telah selesai, ia berkata, "Sekarang, pelayanan. Kalian dapat melayani staf senior
atau personel
keamanan. Staf senior?" tanyanya sambil mengangkat muka dari clipboard. Hampir
semua tangan
yang tersisa diacungkan. Lagi-lagi si manajer katering menulis lima nama. Setelah
selesai ia
menepuk clipboard dan berkata, "Oke. Tiap orang yang terdaftar sekarang dapat
melapor kerja."
Para profesional lama bangkit dari kursi dan menyeret kaki melewatinya. Mereka
melalui pintu
yang setahu Connor menuju ke dapur. Hanya dia dan Brad yang masih di ruangan
itu.
"Aku masih punya dua pekerjaan tersisa di Keamanan," kata si manajer katering.
"Satu bagus,
satunya jelek. Siapa di antara kalian yang beruntung?" Ia memandang penuh harap
kepada Connor,
yang mengangguk dan memasukkan tangan ke saku belakang.
Manajer katering itu menghampirinya, tanpa me-
415
mandang Brad sedikit pun, dan berkata, "Aku punya firasat kau lebih suka
kenyamanan
JumboTron."
"Baru pertama kalinya," kata Connor, sambil menyelipkan lembaran seratus dolar.
"Seperti dugaanku," kata si manajer katering sambil membalas senyumnya.
Connor tak mengatakan sepatah kata pun ketika orang tua itu mengantongi uang
tunai darinya.
Tepat seperti yang telah diperkirakan Pug.
Orang itu memang layak mendapatkan tiap sen dari imbalannya.
"Pertama-tama seharusnya aku tak pernah mengundangnya," gerutu Tom Lawrence
sambil naik ke
Marine One yang akan mengangkutnya dari Gedung Putih ke stadion Redskins.
"Dan menurut firasatku masalah kita belum selesai," kata Andy sambil mengikat
dirinya pada
tempat duduk.
"Mengapa? Apa lagi yang bisa kacau?" tanya Lawrence ketika baling-baling
helikopter mulai
berputar.
"Masih ada dua peristiwa publik sebelum Zerimski pulang ke Rusia. Dan aku
bertaruh Fitzgerald
pasti menunggu kita pada salah satu peristiwa itu."
"Malam ini tak ada masalah," kata Lawrence. "Duta Besar Pietrovski telah
memberitahu Dinas
Rahasia berkali-kali bahwa orang-orangnya mampu melindungi Presiden mereka
sendiri.
Bagaimanapun, siapa berani mengambil risiko macam itu dengan penjagaan
keamanan yang sangat
ketat?"
"Aturan biasa tak dapat diterapkan pada Fitzgerald," kata Lloyd. "Kerjanya tak
menurut buku."
416
Presiden memandang ke bawah ke Kedubes Rusia. "Sudah cukup sulit masuk ke
gedung itu,"
katanya, "tanpa harus mencemaskan bagaimana keluarnya."
"Fitzgerald takkan menemui kesulitan yang sama sore ini, di suatu stadion yang
memuat hampir
80.000 penonton," jawab Andy. "Itu suatu tempat yang ia anggap mudah untuk
keluar-masuk."
"Jangan lupa, Andy, hanya ada waktu jeda tiga belas menit bila terjadi masalah. Itu
pun setiap
orang di stadion harus melalui magnetometer lebih dulu, jadi tak mungkin orang
memasukkan
pisau lipat, apalagi senapan."
"Apa menurutmu Fitzgerald tak tahu itu?" kata Andy sementara helikopter
membelok ke timur.
"Belum terlambat untuk membatalkan bagian acara itu."
'Tidak," sahut Lawrence tegas. "Jika Clinton dapat berdiri tegak di tengah stadion
Olympiade di
Atlanta untuk menghadiri upacara pembukaan, aku juga dapat melakukannya di
Washington untuk
menghadiri pertandingan bola. Persetan, Andy! Kita hidup di negara demokratis dan
aku takkan
mengizinkan hidup kita didikte dengan cara demikian itu. Dan jangan lupa, aku akan
berada di sana
dengan risiko yang tepat sama seperti Zerimski."
"Aku setuju, Sir," kata Lloyd. "Tapi bila Zerimski harus dibunuh, tak seorang pun
akan memujimu
karena berdiri di sampingnya, apalagi Helen Dexter. Dialah orang pertama yang akan
menegaskan..."
"Siapa yang akan menang sore ini, Andy?" tanya Presiden.
Lloyd tersenyum atas kiat bosnya yang sering digunakannya jika tak menghendaki
diskusi lebih
lanjut
417
tentang hal yang tidak mengenakkan. "Aku tak tahu, Sir," jawab Andy. "Tapi hingga
tadi pagi aku
melih,» betapa banyak stafku yang mencoba berjejal-jejal dalam mobil yang
berangkat lebih dulu,
aku benar-benar tak punya gambaran bahwa kita punya begitu banyak penggemar
Redskins yang
bekerja di Gedung Putih."
"Beberapa di antara mereka mungkin juga peng gemar Packers," kata Lawrence. Ia
membuka
berkas di pangkuannya dan mulai mempelajari profil singkat para tamu yang akan ia
jumpai di
stadion.
"Oke, tolong perhatikan," kata si manajer katering. Connor memberi kesan sedang
mendengarkan
dengan cermat.
"Hal pertama yang kaulakukan ialah mengambil jas putih dan topi Redskins, untuk
menunjukkan
bahwa kau termasuk staf. Kemudian kau naik lift ke lantai tujuh dan tunggu aku
memasukkan
makanan ke lift pelayanan. Agen Dinas Rahasia mendapat makanan kecil pukul
sepuluh, dan
makan siang— Coke, sandwich, dan apa pun yang mereka kehendaki—pada
permulaan
pertandingan. Kautekan tombol di kiri," lanjutnya seolah sedang menjelaskan kepada
bocah
sepuluh tahun, "dan makanan akan tiba dalam waktu kira-kira satu menit."
Connor sebenarnya bisa memberitahu orang itu bahwa lift memerlukan waktu 47
detik tepat dari
basement ke lantai tujuh. Tetapi karena ada dua lantai—lantai dua (kursi klub) dan
lantai lima
(suite para eksekutif)—yang juga punya akses ke lift pelayanan, mungkin ia harus
menunggu
hingga pesanan
418
mereka dipenuhi sebelum lift tiba di tempatnya. Dalam hal ini dibutuhkan waktu tiga
menit.
"Begitu pesanan tiba, kaubawa nampan ke petugas yang ditempatkan di JumboTron
di ujung timur
lapangan. Kau akan menemukan pintu bertulisan "Pribadi" di gang sebelah kiri."
Tiga puluh tujuh
langkah, seingat Connor. "Ini kuncinya. Kau masuk lewat situ menuju ke gang
beratap hingga tiba
di pintu belakang JumboTron." 70 meter, batin Connor. Di masa ia masih main
football, jarak itu
bisa ditempuhnya selama sekitar tujuh detik.
Sementara si manajer memberitahukan hal-hal yang telah diketahuinya, Connor
mempelajari lift
pelayanan. 65 senti kali 77,5 senti. Dan di dalamnya jelas-jelas tertulis: "Berat
maksimum yang
diizinkan 75 kilogram". Connor berbobot 105 kilo, maka ia berharap perancang lift
memberikan
sedikit kelonggaran. Masih ada dua masalah lagi: ia tak akan bisa mengetesnya, dan
ia tak bisa
berbuat apa-apa bila dalam perjalanan turun ia dihentikan di lantai lima dan lantai
dua.
"Bila telah sampai di pintu belakang JumboTron, ketuklah. Agen yang bertugas akan
membuka
gerendel dan membiarkanmu masuk. Bila telah menyerahkan nampan, kau bisa ke
bagian belakang
stadion dan nonton pertandingan perempat pertama. Waktu istirahat, ambil nampan
itu dan bawa ke
lift pelayanan. Tekan tombol hijau, dan lift akan turun kembali ke basement. Lalu
kau bisa nonton
seluruh sisa pertandingan selanjutnya. Paham semuanya itu, Dave?"
Connor tergoda untuk mengatakan, Tidak, Sir. Bisa diulangi sekali lagi, tapi pelan-
pelan?
"Ya, Sir"
419
"Ada pertanyaan?" "Tidak, Sir."
"Oke. Jika petugas itu memperlakukanmu dengan baik, aku akan mengirimkan
daging panggang
setelah pertandingan usai. Bila ia telah selesai memakannya, lapor padaku dan ambil
gajimu. Lima
puluh dolar." la berkedip.
Pug telah menjelaskan bahwa para penggemar yang serius tidak akan mengambil
upah itu, jika
ingin ditawari pekerjaan lagi. "Ingat," katanya, "jika si manajer menyebut kata 'upah',
kedipkan saja
matamu."
Connor tak berniat mengambil uang $50 itu, atau kembali ke stadion itu lagi. Ia
berkedip.
420
BAB TIGA PULUH DUA
"MENGAPA Lawrence nonton pertandingan dengan naik helikopter sementara aku
terduduk di jok
belakang mobil ini?" tanya Zerimski ketika iring-iringan mobil sembilan limusin
meluncur keluar
gerbang Kedubes.
"Ia harus memastikan berada di sana sebelum Anda," sahut Titov. "Ia ingin
diperkenalkan pada
semua tamu, sehingga saat Anda tiba, ia dapat memberi kesan telah mengenal
mereka semua
seumur hidup."
"Cara yang sulit sekali untuk mengelola negeri," kata Zerimski. "Padahal sore ini tak
begitu
penting." Sesaat ia diam. "Tahukah kau, aku telah melihat senapan yang
direncanakan Fitzgerald
untuk membunuhku," katanya akhirnya. Titov tampak terkejut. "Ia menggunakan
model yang sama
dengan yang disediakan CIA untuknya di St. Petersburg, tapi lebih canggih." Ia
memasukkan
tangan ke saku jas. "Menuiutmu
421
ini apa?" tanyanya sambil menunjukkan sesuatu yang mirip paku bengkok.
Titov menggeleng. "Saya tak tahu."
"Ini adalah pasak tembak Remington 700," jawab Zerimski. "Jadi kita bahkan bisa
membiarkannya
menarik picu sebelum para tukang pukul menyemburkan peluru padanya." Ia
mengamatinya
dengan lebih teliti. "Ini akan kupajang sebagai hiasan di mejaku di Kremlin." Ia
memasukkannya
kembali ke saku. "Apakah pidato yang akan kusampaikan malam ini sudah
disebarkan pada pers?"
"Sudah, Mr. President," jawab Titov. "Penuh dengan kata-kata hampa seperti biasa.
Dapat Anda
pastikan tak sepatah kata pun akan dicetak pers."
"Lalu bagaimana dengan reaksi spontanku setelah Fitzgerald terbunuh?"
"Ada di sini, Mr. President."
"Bagus. Coba bacakan, aku ingin mendengarkannya," kata Zerimski sambil
bersandar di kursi.
Titov mengambil berkas dari tas di sampingnya dan mulai membaca naskah tulisan
tangan: "Pada
hari pemilihan saya, Presiden Lawrence menelepon saya di Kremlin dan memberi
saya undangan
pribadi untuk mengunjungi negerinya. Saya menerima undangan itu dengan iktikad
baik. Apa yang
terjadi ketika saya melaksanakannya? Uluran tangan saya bukannya disambut dengan
tangkai
zaitun, tetapi dengan senapan terbi-dikkan langsung pada saya. Dan di mana? Di
kedutaan besar
saya sendiri. Dan siapa yang menarik picunya? Seorang perwira CIA. Bila saja saya
tak begitu
beruntung..."
"Mantan perwira," Zerimski menginterupsi.
422
"Saya kira bijaksana," kata Titov, sambil mengangkat muka dari catatannya, "bila
Anda kadang-
kadang membuat kesalahan, bahkan mengulang-ulangnya. Dengan begitu tak ada
orang yang akan
mengira Anda selalu telah tahu apa yang akan terjadi. Di Amerika semua orang ingin
percaya
bahwa semuanya itu komplotan."
"Aku senang sekali bisa menambah ketakutan mereka," kata Zerimski. "Lama
sesudah Lawrence
dipecat, aku berharap orang-orang Amerika akan menulis berjilid-jilid buku tentang
bagaimana aku
bertanggung jawab atas kerusakan total dalam hubungan antara dua negara ini.
Pemerintahan
Lawrence akan berakhir sebagai tak lebih dari catatan kaki dalam sejarah
kebangkitan imperium
Rusia selama masa kepresidenanku." Ia memandang Titov dengan berseri-seri. "Dan
setelah itu
kucapai, takkan ada lagi pembicaraan tentang pemilihan. Sebab aku akan tetap
berkuasa hingga
hari aku meninggal dunia."
Connor melihat jamnya. Pukul 09.56. Ia menekan tombol di samping lift pelayanan.
Ia langsung
mendengar deru mesin ketika pelan-pelan naik ke lantai tujuh.
Masih ada waktu 34 menit sebelum stadion dibuka untuk umum. Walaupun tahu
massa masih
memerlukan waktu beberapa lama lagi untuk melalui tiga puluh magnetometer dan
pemeriksaan
keamanan pribadi. Connor menepati jadwal waktu jauh lebih ketat daripada siapa
saja di stadion
itu. 47 detik kemudian ia mengambil nampan dan menekan tombol untuk
memberitahu staf bahwa
ia telah menerima pesanannya.
423
Ia berjalan cepat melintasi tempat pertemuan di lantai tujuh, melalui stand bisnis,
menuju pintu
yang bertulisan "Pribadi". Ia membawa nampan di tangan satu dan dengan tangan
yang lain ia
memutar anak kunci, lalu menyelinap ke dalam. Kemudian ia menyalakan lampu dan
menyusuri
lorong beratap di belakang JumboTron. Ia melihat jamnya lagi—83 detik. Terlalu
lama. Tetapi
karena dalam lari yang terakhir kalinya ia tak membawa nampan, seharusnya
mungkin
menyelesaikan seluruh kegiatan itu, dari atap hingga ke basement, dalam waktu
kurang dan dua
menit. Jika semuanya sesuai dengan rencana, ia. akan keluar dari stadion dan dalam
perjalanan ke
bandara sebelum mereka sempat memasang rintangan di jalan.
Connor menjaga keseimbangan nampan di satu tangan dan mengetuk pintu dengan
tangan lainnya;
Beberapa detik kemudian pintu dibuka seorang laki* laki tinggi kekar yang berdiri
dengan
bayangan me^j manjang ditimpa cahaya.
"Kau kubawakan makanan kecil," kata Connon dengan senyum hangat.
"Bagus," kata jago tembak itu. "Mengapa tak masuk saja dan menemaniku?" Ia
mengambil sandich
pastrami dari nampan. Connor mengikutinya^ menyusuri podium baja berlapis seng
di balik layan
sangat besar yang terdiri atas 786 pesawat televisi.i Orang Dinas Rahasia itu duduk
dan melahap
sandich-* nya. Connor diam-diam mengamati senapannya.
JumboTron berada di tiga lantai, satu di atas podium dan satu di bawahnya. Connor
meletakkan i
nampan di samping petugas yang duduk di tengah
424
deretan tangga yang menuju ke jalur yang melandai lebih rendah. Ia lebih
memperhatikan Diet
Coke daripada melihat mata Connor yang jelalatan.
"Omong-omong," katanya di sela-sela tegukannya, "aku Arnie Cooper."
"Dave Krinkle," jawab Connor.
"Nah, berapa yang harus kaubayar untuk memperoleh hak istimewa bergabung
denganku siang
ini?" tanya Arnie sambil menyeringai.
Marine One mendarat di landasan heli di sebelah timur laut stadion, dan sebuah
limusin menderu
maju sebelum kaki heli menyentuh tanah. Sesaat kemudian Lawrence dan Lloyd
muncul. Presiden
berpaling untuk melambai kepada kerumunan para penyambut yang cukup banyak,
baru kemudian
masuk ke jok belakang mobil yang telah menunggu. Mereka menempuh jarak 400
meter ke stadion
dalam waktu kurang dari satu menit. Setiap kali melewati pemeriksaan keamanan
tanpa rintangan
sama sekali. John Kent Cooke, pemilik Redskins, yang sedang menunggu di pintu
masuk,
menyambut mereka.
"Ini merupakan kehormatan besar, Sir," katanya ketika Lawrence keluar dari limusin.
"Sungguh menyenangkan bertemu denganmu John," balas Presiden. Ia berjabat
tangan dengan
orang kurus yang berambut keperakan itu.
Cooke mengajak tamunya menuju ke lift pribadi.
"Apa kau benar-benar percaya Skins akan menang, John?" tanya Lawrence sambil
menyeringai.
"Nah, itulah pertanyaan berbobot yang bisa diharapkan dari seorang politisi, Mr.
President," jawab
425
Cooke, saat mereka masuk ke lift. "Semua orang tahu Andalah penggemar Packers
nomor satu.
Tapi saya terpaksa menjawab pertanyaan Anda dengan 'Ya, Sir.' Berjuanglah bagi
DC. Skins akan
menang."
"Tapi Washington Post tak setuju dengan pendapat itu," kata Presiden ketika pintu
terbuka di lantai
pers.
"Saya yakin Andalah orang terakhir yang percaya pada yang Anda baca di Post, Mr.
President,"
kata Cooke. Kedua orang itu tertawa sementara Lawrence dipersilakan masuk ke
boks, ruangan
luas dan nyaman terletak di atas garis lima puluh yard, dengan pemandangan
sempurna atas seluruh
lapangan. "Mr. President, saya ingin memperkenalkan satu-dua orang yang telah
membuat
Redskins menjadi tim football terbesar di Amerika. Saya mulai dengan istri saya,
Rita."
"Senang berjumpa denganmu, Rita," kata Lawrence sambil berjabatan tangan. "Dan
selamat atas
kesuk-sesanmu di National Symphony Bali. Kabarnya mereka mengumpulkan dana
yang terbesar
di bawah kepemimpinanmu."
Mrs. Cooke berseri-seri dengan bangga.
Lawrence dapaj^ mengingat fakta ataupun anekdot yang sesuai untuk setiap orang
yang
diperkenalkan kepadanya, tak terkecuali pria tua kecil yang mengenakan jaket
Redskins yang tak
mungkin mantan pemain itu.
"Ini Pug Washer," kata John Kent Cooke sambil memegang bahu pria tua itu. "Nah,
dia ini..."
"...satu-satunya orang dalam sejarah yang masuk Redskins Hall of Fame tanpa
memainkan satu
pertandingan pun untuk tim," potong Presiden.
Senyum lebar menghias wajah Pug.
426
"Dan aku juga diberitahu bahwa Pug mengetahui sejarah tim itu melebihi siapa pun
yang masih
hidup."
Pug berjanji tidak akan mendukung Partai Republik lagi.
"Jadi, katakan padaku, Pug, dalam pertandingan-pertandingan Packers lawan Skins,
bagaimana
poin musiman ketika Vince Lombardi melatih Packers, dibandingkan dengan tahun
ketika ia
bersama Skins?"
"Packers 459, Skins 435," jawab Pug dengan senyum menyesal.
'Tepat seperti yang kuduga—pertama-tama seha-I rusnya ia tak meninggalkan
Packers," kata
Presiden sambil menepuk punggung Pug.
"Tahukah Anda, Mr. President," kata Cooke, "saya belum pernah dapat mengajukan
pertanyaan
mengenai Redskins yang tak dapat dijawab Pug."
"Apakah pernah ada orang yang membungkammu, Pug?" tanya Presiden sambil
berpaling kepada
ensiklopedi berjalan itu lagi.
"Mereka selalu mencoba, Mr. President," jawab Pug, "baru kemarin saja ada orang..."
Sebelum Pug menyelesaikan kalimatnya, Andy Lloyd menyentuh siku Lawrence.
"Maaf saya harus
menyela, Sir, tapi baru saja kami diberitahu bahwa Presiden Zerimski kini tinggal
lima menit lagi
dari stadion. Anda dan Mr. Cooke harus menuju ke pintu gerbang timur laut sekarang
juga agar
tepat waktu untuk menyambutnya."
"Ya, tentu saja," kata Lawrence. Ia berpaling pada Pug dan berkata, "Kita teruskan
pembicaraan
kita begitu aku kembali."
427
Pug mengangguk. Presiden dan rombongan mw ninggalkan ruangan itu dan
menyambut Zerimski.
"Agak terasa sedikit kaku di dalam sini," terial Connor mengatasi deru fan ventilasi
pada langit-
langill "Ya, memang," kata Arnie sambil meneguk hab» Diet Coke-nya. "Tapi
kupikir itu sesuai
dengan pen kerjaan."
"Apa kau mengharapkan ada masalah hari ini?"
"Tidak, sungguh tidak. Tentu saja kita semua waspada saat kedua presiden berjalan
menuju
lapangan, tapi itu hanya berlangsung sekitar delapan menit. Walau bila mengikuti
cara Agen
KhusuS Braithwaite, kedua presiden takkan diperbolehkan keluar dari boks pemilik
hingga
pulang."
Connor mengangguk dan mengajukan beberapa^ pertanyaan lagi yang tak berbahaya.
Dengan
cermat', ia mendengarkan logat Brooklyn Arnie, dan berkonsentrasi pada ungkapan-
ungkapan yang
secara teraturi digunakannya.
Sementara Arnie menggigit seiris kue cokelat, Connor mengintip melalui lubang
pada papan iklanf
yang berputar. Kebanyakan para petugas Dinas Ra-j hasia di stadion juga sedang
beristirahat
menyantap makanan kecil. Perhatiannya terpusat pada menara lampu di belakang
zona akhir barat.
Brad sedang di sana, mendengarkan dengan cermat seorang petugas yang menunjuk
ke arah boks
pemilik. Jenis orang muda yang perlu direkrut Dinas Rahasia, pikir. Connor. Ia
menoleh lagi ke
Arnie. "Aku akan kenvl bali ke sini di awal pertandingan. Kau suka sepiring!
sandwich, seiris kue,
dan Coke lagi?"
428
"Ya, asyik. Tapi jangan banyak-banyak kuenya. Aku tak peduli kata istriku aku
tambah gemuk, tapi
akhir-akhir ini SAIC mulai mengomentari kegemukan-ku."
Gaung sirene memberitahu seluruh staf di stadion bahwa waktu telah menunjuk
pukul 10.30 dan
gerbang-gerbang segera akan dibuka. Para penggemar segera membanjiri tribun-
tribun; kebanyakan
dari mereka langsung menuju tempat duduk biasanya. Connor mengumpulkan kaleng
Coke kosong
serta wadah plastik dan meletakkannya di atas nampan.
"Aka akan kembali membawa makan siangmu bila pertandingan dimulai," katanya.
"Ya," jawab Arnie. Kini ia memfokuskan teropongnya pada massa di bawah. "Tapi
jangan masuk
sebelum kedua presiden kembali ke boks pemilik. Tak ada orang lain yang diizinkan
berada di
dalam JumboTron sementara mereka berdua di lapangan."
"Oke. Aku mengerti," kata Connor sambil memandang terakhir kalinya ke senapan
Arnie. Ketika
berbalik hendak pergi ia mendengar suara masuk melalui radio dua arah.
"Hercules 3."
Arnie melepaskan radio dari belakang sabuknya, menekan tombol, dan berkata,
"Hercules 3,
teruskan." Connor ragu-ragu di pintu.
"Tak ada yang perlu dilaporkan, Sir. Aku baru saja memeriksa tribun barat"
"Bagus. Segera lapor bila melihat sesuatu yang mencurigakan."
"Siap, Sir," kata Arnie. Dan ia menyangkutkan kembali pesawat radionya di
sabuknya.
429
Dengan tenang Connor keluar ke lorong beratap, menutup pintu di belakangnya, dan
meletakkan
kaleng Coke di atas tangga.
Ia memeriksa jamnya, kemudian cepat-cepat berj.i lan menyusuri lorong itu. Ia
membuka pintu dan
mo matikan lampu. Tempat pertemuan itu penuh dengan para penggemar yang
menuju kursi
masing-masing. Ketika tiba di lubang lift, ia memeriksa jamnya lagi. 54 detik. Saat
lari terakhir kali
haruslah kurang dari 35 detik. Ia menekan tombol. 47 detik kemudian lift pelayanan
muncul
kembali. Jelas tak ada yang memanggilnya di lantai dua atau lima. Ia meletakkan
nampan di dalam
lift dan menekan tombol lagi. Lift langsung mulai turun pelan-pelan menuju
basement.

Tak ada yang tertarik memperhatikannya ketika Connor dengan jas panjang putih
katering dan topi
Redskins berjalan santai melewati tribun bisnis menuju pintu bertulisan "Pribadi". Ia
menyelinap
masuk dan mengunci pintunya. Dalam kegelapan ia berjalan kembali tanpa suara
melalui lorong
sempit beratap hingga beberapa meter saja dari pintu masuk JumboTron. Ia berdiri
memandang ke
bawah ke penopang baja yang sangat besar yang menahan layar luas di tempatnya.
Sesaat Connor mencengkeram susuran tangga, kemudian berlutut. Ia membungkuk
ke depan,
memegang penopang dengan kedua tangannya, dan keluar dari lorong. Ia menatap
layar di
depannya, yang menurut denah arsitek berukuran 12,5 meter. Tampaknya lebih mirip
1,5 kilometer.
Ia dapat melihat sebuah pegangan kecil, tapi masih juga belum tahu apakah pintu
jebak yang jelas
di-
430
tandai pada denah arsitek benar-benar ada. Ia mulai merangkak pelan-pelan
menyusuri penopang,
inci demi inci, tak pernah memandang ke bawah yang berjarak 51 meter. Terasa
seperti 3
kilometer.
Ketika akhirnya tiba di ujung penopang, ia meng-angkangkan kedua kakinya dan
berpegangan
kuat-kuat, seakan menunggang kuda. Layar beralih dari tayangan ulang sebuah gol
dalam
pertandingan Skins sebelumnya ke iklan toko peralatan olahraga Modell. Connor
menarik napas
dalam-dalam, mencengkeram pegangan pintu, dan menariknya. Pintu jebak terbuka,
menyingkapkan lubang seluas 55 sentimeter persegi. Pelan-pelan Connor menarik
masuk dirinya ke
lubang itu dan menutup kembali pintunya.
Tertekan baja dari segala sisi, Connor mulai berharap seandainya ia mengenakan
kaus tangan tebal.
Rasanya seperti berada di dalam kulkas. Namun dengan berlalunya menit demi
menit, ia mulai
lebih yakin bahwa apabila harus kembali ke rencana daruratnya, tak ada yang tahu di
mana ia
bersembunyi.
Ia berbaring kaku di dalam lubang penopang baja 51 meter di atas tanah selama satu
setengah jam
lebih, nyaris tak bisa membalikkan pergelangan tangan untuk melihat jam. Tetapi
dulu di Vietnam,
ia pernah dikurung tersendiri selama sepuluh hari, berdiri tegak dalam kurungan
bambu yang
digenangi air hingga dagunya.
Sesuatu yang ia duga belum pernah dialami Arnie.
431
BAB TIGA PULUH TIGA
ZERIMSKI berjabatan tangan hangat dengan siapa saja yang diperkenalkan
kepadanya, dan bahkan
tertawa mendengar lelucon John Kent Cooke. Ia mengingat nama semua tamu itu dan
menjawab
semua pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tersenyum. "Itu yang oleh orang-
orang
Amerika dinamakan serangan pesona," kata Titov padanya: hanya akan menambah
kengerian yang
telah direncanakannya untuk mereka malam itu.
la telah dapat mendengar para tamu berkata kepada pers, "Ia santai dan gembira,
khususnya saat
bersama Presiden yang tetap disebutnya sebagai 'sahabatku yang baik Tom'." Seingat
para tamu,
Lawrence tak menunjukkan kehangatan yang sama, dan agak dingin terhadap tamu
dari Rusia itu.
Setelah perkenalan selesai, John Kent Cooke me-
432
ngetuk meja dengan sendok. "Maaf terpaksa menyela kesempatan yang begitu
menyenangkan ini,"
ia memulai, "tapi waktu berjalan terus, dan kemungkinan besar ini menjadi satu-
satunya
kesempatan bagi saya untuk menjelaskan kepada kedua presiden sekaligus."
Terdengar tawa kecil.
"Nah, ini dia." la memakai kacamatanya dan mulai membaca selembar kertas yang
diserahkan
kepadanya oleh asisten urusan umum.
"Pukul 11.20 saya akan menemani kedua presiden menuju pintu selatan stadion, dan
pukul 11.36
saya akan mengantarkan keduanya keluar menuju lapangan." Ia mendongak. "Saya
telah mengatur
supaya sambutan ramai sekali." katanya sambil tersenyum. Rita tertawa agak terlalu
keras.
"Bila kita telah tiba di tengah lapangan, saya akan memperkenalkan kedua presiden
dengan para
kapten tim, dan mereka ganti memperkenalkan kedua presiden dengan para ko-
kapten dan para
pelatih. Kemudian kedua presiden akan diperkenalkan dengan para petugas
pertandingan.
"Pukul 11.40 semuanya akan berbalik dan menghadap ke tribun barat, tempat band
Redskins akan
memainkan lagu kebangsaan Rusia, disusul dengan lagu kebangsaan Amerika 77?^
Star-Spangled
Banner"
"Pukul 11.48 tepat, tamu terhormat kita Presiden Zerimski melontarkan dolar perak.
Lalu saya akan
mengawal kedua presiden meninggalkan lapangan dan kembali ke sini. Saya harap
semuanya dapat
menikmati menonton Redskins mengalahkan Packers di sini."
Kedua presiden tertawa.
Cooke memandang kedua tamunya, tersenyum lega
433
karena bagian pertama tugas berat telah selesai, dan bertanya, "Ada pertanyaan?"
"Ya, John, aku ingin bertanya," kata Zerimski. "Tak kaujelaskan mengapa aku harus
melontarkan
koin."
"Untuk mengundi sisi kepala atau ekor yang meng* hadap ke atas, agar kapten dapat
menentukan
tim mana yang mulai menendang."
"Ide yang menyenangkan," kata Zerimski.
Sementara menit-menit berlalu, Connor semakin lebih sering memeriksa jamnya. Ia
tak mau berada
di da* lam JumboTron lebih lama dari seperlunya, tetapi ia membutuhkan waktu
untuk
membiasakan diri dengan senapan yang telah beberapa tahun tak digunakannya*.'
Ia melihat jamnya lagi. Pukul 11.10. Ia harus menanti 7 menit lagi. Walau sudah tak
sabar lagi;J
jangan terburu-buru—hanya menambah risiko.
Pukul 11.12. Ia memikirkan Chris Jackson, dan, pengorbanannya hanya untuk
memberinya satu ke-
j sempatan ini.
Pukul 11.14. Ia mengenang Joan, serta kematian kejam dan tak perlu yang
diperintahkan Gutenburg
hanya karena wanita itu telah menjadi sekretarisnya.
Pukul 11.15. Ia memikirkan Maggie dan Tara. Jika berhasil melaksanakan ini,
mungkin ia dapat
memberi mereka kesempatan hidup tenteram. Bila tidak, ia ragu apakah akan pernah
melihat
mereka lagi.
Pukul 11.17. Connor membuka pintu jebakan dan pelan-pelan mengeluarkan diri dari
ruangan
sempit itu. Sesaat ia mengerahkan seluruh kekuatannya sebelum mengayunkan
kakinya ke atas
penopang dan pahanya menjepit erat-erat. Lagi-lagi ia tidak melihat
434
ke bawah sambil pelan-pelan merayap kembali sejauh 12,5 meter menuju lorong.
Begitu tiba di langkau yang aman, ia mengangkat diri ke lorong. Beberapa saat ia
memegangi
jeruji, menenangkan diri, dan mulai melakukan beberapa gerakan peregangan.
Pukul 11.27. Ia bernapas dalain-dalain sambil merunut rencananya untuk terakhir
kali. Kemudian ia
berjalan cepat-cepat ke JumboTron, hanya berhenti sebentar untuk mengambil kaleng
Coke kosong
yang ditinggalkannya di tangga.
Ia menggedor pintu keras-keras. Tanpa menunggu jawaban ia membukanya,
menerobos ke dalam,
dan berteriak mengatasi kebisingan unit ventilasi, "Ini cuma aku."
Arnie memandang ke bawah dari langkan, tangan kanannya bergerak menuju picu
senapan Armalit.
"Pergi!" katanya. "Sudah kubilang jangan kembali sebelum kedua presiden keluar
dari lapangan.
Beruntung kau tak kutembak."
"Maaf," kata Connor. "Hanya karena merasa betapa panas di dalam sini, aku
membawakanmu
Coke lagi."
Ia menyerahkan kaleng kosong, dan Arnie membungkuk untuk mengambilnya
dengan tangannya
yang bebas. Begitu jari-jarinya menyentuh pinggir kaleng, Connor melepasnya,
menyambar
pergelangan Arnie, dan dengan sepenuh kekuatan yang dapat ia kerahkan
menariknya dari langkan.
Arnie menjerit mengerikan ketika terjatuh dengan kepala mendarat lebih dulu di atas
lorong yang
berlapiskan seng. Senapannya terpental menjauh.
Connor mengayunkan badan berputar dan melompat
435
ke atas lawan sebelum Arnie sempat berdiri. Saat Arnie mengangkat kepala, tangan
kiri Connor
langsung menghantam dagunya dan membuatnya tuli sesaat, lalu Connor menyambar
borgol yang
tergantung di sabuk Arnie. Ia hanya melihat sekelebat lutut yang melayang ke
selangkangannya,
tapi dengan tangkas ia mengelak ke kiri dan terhindar dari serangan itu. Ketika Arnie
mencoba
berdiri, Connor meninjunya lagi, kali ini tepai mengenai hidungnya. Connor
mendengar tulang
retak. Darah mengucur membasahi wajah Arnie, kakinya tertekuk, dan ia roboh ke
tanah. Connor
melompat lagi ke atasnya. Begitu Arnie berusaha bangkit lagi, Connor menghajar
bahu kanannya,
akibatnya ia mengejat-ngejat. Kali ini ia ambruk tanpa bergerak lagi.
Connor melepaskan jas putih panjang, kemeja, dasi, pantalon, kaus kaki, dan topinya.
Semuanya ia
onggokkan di sudut. Kemudian ia membuka borgol Arnie dan segera mencopot
seragamnya. Ketika
mengenakannya, ternyata sepatu terlalu kecil setidaknya dua nomor, dan pantalonnya
terlalu
pendek beberapa inci. Ia tak punya pilihan lain kecuali mengenakan kaus kakinya
dan sepatu
olahraganya yang setidaknya juga berwarna hitam. Ia berpendapat bahwa dalam
penyiksaan yang
akan dilaksanakannya tak ada orang yang akan ingat pernah melihat seorang agen
Dinas Rahasia
yang mengenakan sepatu tidak sesuai aturan.
Connor mengambil dasinya dari onggokan pakaian di sudut dan mengikat kedua
mata kaki Arnie
erat-erat. Kemudian orang pingsan itu diangkatnya dan disandarkannya pada dinding,
dilingkarkannya kedua lengannya pada tiang logam yang melintasi lebar JumboTron,
dan
diborgolnya pergelangannya. Akhir-
436
nya ia mengeluarkan saputangan dari saku, menggulungnya menjadi sebuah bola,
dan
menyumbatkannya ke mulut Arnie. Orang malang itu akan merasakan sakit beberapa
hari, bukan
merupakan kompensasi yang cukup bila ia kehilangan berat badan beberapa kilo
lebih banyak
daripada yang ditegur SAIC.
"Tak ada antipati pribadi," kata Connor. Ia meletakkan topi dan kacamata hitam
Arnie dekat pintu,
lalu mengambil senapannya. Tepat seperti yang diduganya: M-16. Memang bukan
pilihan
pertamanya, tapi bisa menyelesaikan tugas. Cepat-cepat ia naik tangga menuju ke
platform lantai
dua di mana Arnie tadi duduk. Ia mengambil teropong, melalui lubang di antara
papan iklan dan
layar video ia mulai mengamati massa di bawah.
Pukul 11.32. Sudah berlangsung 3 menit dan 38 detik sejak Connor memasuki
JumboTron. Ia
memberi waktu empat menit untuk pengambilalihan. Ia mulai bernapas dalam-dalam
dan teratur.
Tiba-tiba ia mendengar suara di belakangnya.
"Hercules 3."
Mula-mula ia tak dapat mengetahui dari mana datangnya suara itu. Tapi kemudian ia
ingat pesawat
radio dua arah yang terpasang pada sabuk Arnie. la menyambarnya. "Hercules 3,
silakan masuk"
"Kukira sesaat kami kehilangan kau, Arnie," kata si SAIC. "Apakah semuanya
beres?"
"Ya," kata Connor. "Hanya perlu buang air kecil sebentar. Dan rasanya tak baik
melakukannya di
atas kerumunan itu."
"Sudah jelas," kata Braithwaite, sambil meledak tertawa. "Amati terus bagianmu.
Tak lama lagi
Red Light dan Waterfall akan turun ke lapangan."
437
"Siap," kata Connor dengan logat yang pasti menu buatnya dihukum ibunya waktu ia
kecil. Radio
lalu mati.
Pukul 11.34. Ia memandang sekeliling stadion. Hanya sedikit saja tempat duduk
merah dan kuning
yang tidak diduduki orang. Ia mencoba konsentrasinya tak dibuyarkan para
penggembira
Redskinettes yang berpakaian minim dan menendang tinggi-tinggi tepat di
bawahnya.
Gemuruh menggema dari tribun ketika dua tim muncul dari terowongan di ujung
selatan stadion.
Mereka lari-lari kecil pelan menuju tengah lapangan, sementara massa mulai
menyanyi Hail to the
Redskins.
Connor memasang teropong di depan mata dan memfokuskannya pada menara
lampu jauh di atas
stadion. Hampir semua agen kini sedang mengamati massa di bawah, mencari-cari
bila ada tanda-
tanda masalah. Tak seorang pun menaruh perhatian pada satu tempat yang
sebenarnya akan jadi
sumber masalah. Pengamatan Connor terpaku pada Brad muda, yang sedang
mengintai tribun
utara, memeriksanya deret demi deret. Anak muda itu tampak seakan berada paling
dekat dengan
surga.
Connor mengedarkan pandang dan mengarahkan teropong pada garis lima puluh
meter. Kedua
kapten itu kini berhadap-hadapan.
Pukul 11.36. Suara gemuruh meningkat lagi ketika John Kent Cooke dengan bangga
mengiringi
kedua presiden memasuki lapangan, dikawal oleh selusin agen yang hampir sebesar
para pemain.
Dengan sekali pandang Connor langsung tahu bahwa Zerimski dan Lawrence
mengenakan rompi
antipeluru.
438
Ia ingin mengarahkan senapannya ke Zerimski dan memfokuskan titik-titik mil pada
kepalanya di
sana dan saat itu, tapi ia tak dapat mengambil risiko dilihat salah satu jago tembak di
menara
lampu, yang semuanya menyangga senapan pada lekuk lengan masing-masing. Ia
tahu mereka
telah dilatih membidik dan menembak dalam waktu kurang dari tiga detik.
Ketika kedua presiden diperkenalkan kepada para pemain, Connor memperhatikan
bendera
Redskins yang berkibar diembus angin sepoi di atas ujung barat stadion. Ia membuka
senapan,
ternyata senjata itu dalam keadaan siap tembak—terisi penuh, tidak terkunci, tidak
terkokang—
sesuai dengan yang diharapkannya. Ia memasukkan peluru pertama ke dalam bilik
peluru dan
menutup kembali gagang senapan. Bunyi itu bagi Connor seperti letusan pistol start
dan tiba-tiba
degup jantungnya serasa hampir dua kali lebih cepat.
Pukul 11.41. Kedua presiden kini berbincang-bincang dengan para petugas
pertandingan. Melalui
teropongnya Connor dapat melihat bahwa John Kent Cooke dengan gugup
memeriksa jam
tangannya. Ia membungkuk dan berbisik di telinga Lawrence. Presiden Amerika
mengangguk,
menyentuh siku Zerimski, dan menernaninya menuju tempat di antara dua tim. Di
rumput ada dua
lingkaran putih dengan gambar seekor beruang di dalam salah satunya dan gambar
seekor rajawali
di dalam yang lainnya. Dengan demikian kedua pemimpin tahu harus berdiri di
mana.
"Ladies and gentlemen," kata sebuah suara dari loudspeaker. "Silakan berdiri untuk
menghormati
lagu kebangsaan Republik Rusia."
439
Terdengar bunyi kursi berderak-derak ketika mass bangkit berdiri, banyak di antara
mereka yang
mele. paskan topi Redskins sementara mereka berpaling menghadap band dan
paduan suara di
ujung barat Ia pangan. Dirigen mengangkat tongkatnya, berhenti sel jenak, kemudian
menurunkannya dengan penuh semangat. Dengan gelisah massa mendengarkan yang
su dah pernah
didengar oleh sebagian kecil dari mereka.
Walau telah beberapa kali berdiri menghormati lagu kebangsaan Rusia di masa
silam, Connor
berpendapat bahwa hanya sedikit band di luar negeri yang tahu persis tempo
dimainkannya lagu itu
dan lagu itu mencakup berapa bait. Maka ia memutuskan menunggu lagu The Star-
Spangled
Banner sebelum mengambil satu-satunya kesempatannya.
Begitu lagu kebangsaan Rusia usai, para pemain mulai melakukan peregangan dan
lari di tempat
dalam usaha untuk menenangkan saraf mereka. Connor menunggu hingga dirigen
mengangkat
tongkatnya sekali lagi. yang merupakan isyarat baginya untuk membidik Zerimski. la
memandang
ke tiang bendera di sisi seberang: panji Redskins kini terkulai, tanda bahwa praktis
tidak ada angin.
Dirigen mengangkat tongkat untuk kedua kalinya. Connor meletakkan senapan
melalui sela antara
papan iklan segitiga dan layar video, menggunakan bingkai kayu sebagai dudukan, la
menyapukan
pandangan teleskopis melintasi lapangan, kemudian memfokus-kannya pada
belakang kepala
Zerimski sambil mengatur titik-titik mil hingga benar-benar memenuhi pusat alat
bidik senapan.
Nada-nada pembukaan lagu kebangsaan Amerika
440
dimainkan, dan kedua presiden dengan jelas berdiri tegak. Connor mengembuskan
napas. Tiga...
dua... satu. Dengan lembut ia menarik picu tepat pada saat tangan kanan Lawrence
melintasi dada
dan berhenti di jantung. Tertarik oleh gerakan tiba-tiba ini, Zerimski menoleh ke kiri,
dan peluru
melesat melewati telinga kanan tak mengenai apa-apa. Suara 78.000 orang yang tak
serasi
memastikan bahwa tak ada yang mendengar gedebuk pelan saat logam satu inci itu
mendarat di
rumput di luar garis lima puluh meter.
Brad, yang menelungkup di platform pencahayaan tinggi di atas suite eksekutif,
memandangi
dengan cermat massa di bawah melalui teropongnya. Matanya tertuju pada
JumboTron. Layar
raksasa itu dipenuhi gambar Presiden Lawrence yang lebih besar daripada ukuran
sesungguhnya,
tangan di atas jantung, dengan penuh semangat menyanyikan lagu kebangsaan.
Teropong Brad terus menyapu. Tiba-tiba ia ter-enyak kembali. Ia menduga telah
melihat sesuatu di
sela antara papan iklan segitiga dan layar. Ia memeriksa kembali... ternyata laras
senapan, yang
terarah ke tengah lapangan dari lubang di mana sebelumnya ia melihat Arnie
memeriksa dengan
teropongnya. Ia menggunakan fokus halus dan menatap wajah yang pernah
dilihatnya hari itu. Ia
tidak ragu-ragu.
"Lindungi dan singkirkan. Senapan."
Brad bicara dengan mendesak dan penuh otoritas, hingga Braithwaite dan kedua
penembak jitu
tandingan langsung mengarahkan teropong ke JumboTron. Beberapa saat kemudian
mereka telah
terfokus pada Connor yang sedang membidikkan tembakan kedua.
"Santai." gumam Connor pada diri sendiri. "Jangan
buru-buru. Waktumu banyak." Kepala Zerimski lagi-lagi memenuhi lingkup alat
bidik. Connor
kembali mengatur titik-titik mil dan mengembuskan napas. Tiga... dua...
Peluru Braithwaite menerjang bahu kiri Connor hingga ia terjungkal. Peluru kedua
melesat melalui
lubang tempat kepalanya sesaat yang lalu berada.
Lagu kebangsaan telah selesai.
Latihan selama 28 tahun telah menyiapkan Connor untuk saat ini. Segalanya dalam
tubuhnya
menjerit-jerit kepadanya untuk lolos dengan selamat. Ia langsung melaksanakan
rencana A,
mencoba tak memedulikan rasa nyeri di bahunya. Ia berjuang menuju ke pintu,
memadamkan
lampu, dan merangkak naik ke lorong. Ia mencoba lari ke pintu yang menuju ke
tempat pertemuan,
tetapi ternyata ia harus mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk bergerak. Empat
puluh detik
kemudian, tepat ketika kedua presiden dikawal keluar lapangan, ia mencapai pintu. Ia
mendengar
suara gemuruh massa ketika Redskins bersiap-siap memulai pertandingan.
Connor membuka pintu itu, terhuyung-huyung ke lift pelayanan, dan memencet
tombol beberapa
kali Ia dapat mendengar deru pelan mesin lift yang bergerak pelan menuju ke lantai
tujuh. Matanya
jelalatan ke kiri-kanan, mencari tanda bahaya seberapa kecil pun juga. Bahunya
semakin nyeri, tapi
ia tahu ia tak bisa berbuat apa-apa. Tempat-tempat pertama yang diperiksa para
penegak hukum
ialah rumah-rumah sakit setempat. Ia melongok ke lubang lift, dan mengamati bagian
atas lift
menuju kepadanya. Kira-kira kurang dari lima belas detik lagi. Tapi tiba-tiba lift
berhenti.
442
Seseorang pasti sedang memasukkan atau mengeluarkan barang di lantai eksekutif.
Reaksi naluriah Connor ialah kembali ke rencana darurat. Sesuatu yang tak pernah
terpaksa
dilakukannya di masa silam. Ia tahu ia tak dapat lagi berada di situ. Jika ia menunggu
beberapa
detik lagi, pasti ada yang memergokinya.
Ia bergerak secepat mungkin kembali ke pintu yang menuju ke JumboTron. Lift
pelayanan kembali
bergerak lagi. Sebuah nampan berisi sandwich, seiris Black Forest, dan sekaleng
Coke yang telah
ditunggu-tunggu Arnie muncul beberapa detik lagi.
Connor menyelinap kembali melalui pintu bertulisan "Pribadi", membiarkannya tak
terkunci. Ia
harus mengerahkan seluruh tenaga untuk menyusuri lorong sepanjang tujuh puluh
meter, tapi ia
tahu para agen Divisi Intelijen Perlindungan akan menyerbu masuk melalui pintu itu
beberapa saat
lagi.
Dua puluh empat detik kemudian, Connor tiba di penopang besar yang menyangga
layar video. Ia
memegang jeruji dengan tangan kanan dan pelan-pelan mengangkat diri melalui
pinggir lorong dan
menuju ke langkan, tepat ketika pintu lorong terbentang lebar. Ia menyelinap ke
bawah lorong dan
mendengar dua pasang kaki lari menuju ke arahnya. Mereka melintas di atasnya, dan
berhenti di
luar pintu ke JumboTron. Melalui sela di lorong, ia dapat melihat seorang perwira
menggenggam
pistol, mendorong pintu hingga terbuka. Tanpa masuk, ia meraba-raba sakelar lampu.
Connor menunggu hingga lampu menyala dan dua perwira itu menghilang ke dalam
JumboTron,
443
bui ulah kemudian ia mulai merangkak di sepanjang penopang 12,5 meter untuk
ketiga kalinya hari
itu. Tapi sekarang ia hanya bisa berpegangan dengan tangan kanannya, yang berarti
ia maju lebih
lamban lagi. Pada saat yang sama ia harus memastikan bahwa darah yang menetes
dari bahu
kirinya jatuh sejauh 51 meter ke tanah dan tidak ke penopang sehingga dapat dilihat
semua orang.
Ketika pemimpin agen Dinas Rahasia memasuki JumboTron, yang pertama
dilihatnya ialah Arnie
yang diborgol pada tiang baja. Pelan-pelan ia menghampiri, sambil memeriksa segala
penjuru
hingga tiba di samping Arnie. Partnernya melindunginya sementara ia membuka
borgol Arnie dan
pelan-pelan menurunkannya. Kemudian ia mengeluarkan saputangan dari mulutnya
dan memeriksa
nadinya. Ia masih hidup.
Arnie membuka mata ke langit-langit, tapi tidak bicara. Agen pertama Dinas Rahasia
segera naik
tangga ke lantai dua. Sementara agen lain melindunginya. Dengan hati-hati si agen
pertama
menelusuri sepanjang langkan di belakang layar besar. Sorak bergemuruh
membubung dari stadion
ketika Redskins mencetak gol, tapi ia tidak memedulikannya. Begitu tiba di dinding
paling ujung,
ia berpaling dan mengangguk. Agen kedua mulai naik ke lantai teratas, di sana ia
memberi isyarat
yang sama.
Kedua agen itu kembali ke lantai bawah, sambil memeriksa ulang setiap tempat
persembunyian
yang mungkin. Saat itu ada berita masuk melalui radio agen pertama.
"Hercules 7."
"Hercules 7, silakan masuk."
444
"Ada tanda-tanda orang itu?" tanya Braithwaite.
'Tak ada siapa-siapa di sini kecuali Arnie, yang diborgol pada tiang dengan hanya
memakai celana
dalam. Kedua pintu tak terkunci, dan ada tetes-tetes darah sepanjang jalan menuju
tempat
pertemuan, jadi jelas kau sudah mengenainya. Ia pasti di suatu tempat di luar sana. Ia
mengenakan
seragam Arnie, jadi tak terlalu sulit menemukannya."
"Jangan mengandalkan itu," kata Braithwaite. "Jika dia orang yang saya perkirakan,
dia bisa saja
ada di depan matamu."
445
BAB TIGA PULUH EMPAT
TIGA pria duduk di Ruang Oval sedang mendengar kan tape. Dua di antaranya
mengenakan
setelan resmi, sedangkan yang ketiga mengenakan seragam.
"Bagaimana kau dapat menemukannya?" tanya Lawrence.
"Di antara onggokan pakaian yang ditinggalkan Fitzgerald di JumboTron. Di saku
belakang
jinsnya," kata Agen Khusus yang Sedang Bertugas, Braithwaite
"Berapa banyak orang yang telah mendengarnya?" tanya Llyod, berusaha tidak
terdengar terlalu
cemas.
"Hanya kita bertiga di ruangan ini, Sir," jawab Braithwaite. "Begitu mendengarnya,
saya langsung
menghubungi Anda. Saya bahkan belum memberitahu bos saya"
"Aku berterima kasih atas itu, Bill," kata Presiden. 'Tapi bagaimana dengan orang-
orang yang
menyaksikan insiden itu di stadion?"
446
"Selain saya, hanya ada lima orang yang menyadari telah terjadi sesuatu. Dan Anda
boleh yakin
akan kemampuan mereka menjaga rahasia," kata Braithwaite. "Empat di antaranya
telah bertugas
jadi anggota staf saya selama sepuluh tahun lebih. Dan di antara mereka, mereka
telah cukup tahu
rahasia yang harus diendapkan selama masa empat presiden terakhir, belum termasuk
setengah
anggota Kongres."
"Apakah ada yang sungguh-sungguh melihat Fitzgerald?" tanya Lloyd.
"Tidak, Sir. Dua agen yang langsung menyelidiki JumboTron sesudah insiden tak
melihat dia
kecuali seonggok pakaian, banyak darah, dan salah satu anak buah saya diborgol
pada tiang.
Setelah mendengarkan rekaman ini, saya memerintahkan supaya tak ada laporan
tertulis maupun
lisan mengenai insiden itu."
"Bagaimana dengan agen yang tergantung di tiang baja?" tanya Presiden.
"Ia kehilangan tempat berpijak dan terpeleset dari langkan. Saya memberinya cuti
sakit sebulan."
"Tadi kau sebutkan orang kelima," kata Lloyd.
"Ya, Sir, seorang peserta pelatihan yang berada di atas di menara pencahayaan
bersama kami."
"Bagaimana bisa dipastikan ia takkan bicara?" tanya Lloyd.
"Lamarannya untuk bergabung dengan Dinas Rahasia terletak di meja saya," jawab
Braithwaite.
"Saya kira dia mengharapkan ditugaskan di divisi saya begitu selesai dengan
pelatihan."
Presiden tersenyum. "Dan peluru itu?"
"Setelah stadion dikosongkan, saya mengaduk-aduk seluruh lapangan hingga
menemukan ini," kata
447
Braithwaite sambil menyerahkan sekeping logam pipih kepada Presiden.
Lawrence bangkit dari meja, membalikkan badan, dan memandang ke luar jendela
yang menjorok.
Senja telah meliputi Capitol. Pandangannya melintasi halaman rumput sementara ia
memikirkan
apa yang akan dikatakannya.
"Penting bahwa kau menyadari satu hal, Bill," katanya akhirnya. "Memang suara
dalam pita
rekaman itu kedengarannya seperti suaraku, tapi aku tak pernah meminta siapa pun,
kapan pun,
untuk membunuh Zerimski atau orang lain mana pun."
"Saya menerimanya tanpa mempertanyakannya, Mr. President. Bila tidak, saya pasti
tak ada di sini
sekarang ini. Tapi saya juga harus sama-sama jujur dengan Anda. Bila siapa pun
dalam Dinas
Rahasia menyadari Fitzgerald yang ada di JumboTron, kemungkinan besar mereka
akan
menolongnya lolos."
"Orang macam apa yang dapat menumbuhkan kesetiaan yang begitu besar?" tanya
Lawrence.
"Di dunia Anda, saya pikir itu Abraham Lincoln," jawab Braithwaite. "Di dunia
kami, itu Connor

Fitzgerald."
"Aku ingin sekali berjumpa dengannya."
"Tapi itu akan sulit, Sir. Bahkan bila ia masih hidup, tampaknya ia telah menghilang
dari muka
bumi. Saya tak ingin karier saya tergantung pada bisa-tidaknya saya
menemukannya."
"Mr. President," Lloyd menyela, "Anda telah terlambat tujuh belas menit untuk
santap malam di
Kedubes Rusia."
Lawrence tersenyum dan berjabatan tangan dengan
448
Braithwaite. "Satu orang baik lagi yang tak dapat kuceritakan pada bangsa Amerika,"
katanya
dengan senyum kecut. "Kupikir kau akan dinas lagi malam ini?"
"Ya, Sir, saya telah ditugaskan khusus untuk mengamankan seluruh kunjungan
Presiden Zerimski."
"Kalau begitu aku mungkin bisa bertemu denganmu nanti, Bill. Jika memperoleh
informasi baru
mengenai Fitzgerald, aku ingin mendengarnya sesegera mungkin."
"Sudah pasti, Sir," kata Braithwaite sambil berbalik pergi.
Beberapa menit kemudian Lawrence dan Lloyd berjalan sambil membisu menuju
deretan pilar
sebelah selatan, di mana sembilan limusin dengan mesin telah dinyalakan sedang
berderet
menunggu. Begitu telah berada di jok belakang mobil keenam, Presiden berpaling
pada Kepala Staf
dan bertanya, "Menuiutmu di mana dia sekarang, Andy?"
"Entahlah, Sir. Tapi bila tahu, kemungkinan besar aku akan bergabung dengan tim
Braithwaite
untuk menolongnya lolos."
"Mengapa kita tak punya orang seperti dia sebagai direktur CIA?"
"Sebenarnya kita telah punya, seandainya Jackson masih hidup."
Lawrence berpaling untuk memandang ke luar jendela. Sejak ia meninggalkan
stadion, ada sesuatu
yang mengusik pikirannya, tetapi hingga ketika iring-iringan mobil memasuki
gerbang Kedubes
Rusia, ia belum juga bisa mengeluarkannya dari lubuk hatinya.
"Apa yang membuatnya kelihatan sangat marah?" tanya Lawrence saat melihat
Zerimski mondar-
mandir di luar Kedubes.
449
Lloyd melihat arlojinya. "Kau terlambat tujuh belas menit, Sir."
"Itu tak bisa dikatakan persoalan besar, sesudah apa yang telah kita alami.
Sejujurnya, orang sialan
itu beruntung masih hidup."
"Menurutku itu tak bisa kaugunakan sebagai dalih, Sir."
Iring-iringan mobil berhenti di dekat Presiden Rusia. Lawrence keluar mobil dan
berkata, "Hai,
Victor. Maaf kami terlambat beberapa menit."
Zerimski tidak berusaha menyembunyikan ketidaksenangannya. Setelah berjabatan
tangan dengan
dingin, ia mempersilakan tamu kehormatan itu menuju ke Kedubes dan menaiki
tangga menuju
ruang resepsi yang penuh sesak di Ruang Hijau tanpa mengeluarkan sepatah kata
pun. Kemudian ia
mengemukakan alasan asal-asalan dan membiarkan Presiden Amerika Serikat
ditemani Duta Besar
Mesir.
Mata Lawrence mengitari ruangan sementara Dubes Mesir mencoba menumbuhkan
perhatiannya
terhadap pameran artifak Mesir yang baru saja dibuka di Museum Smithsonian.
"Ya, saya telah mencoba menemukan waktu sela dalam jadwal saya untuk
melihatnya," kata
Presiden mengikuti kemudi yang telah ditentukan. "Semua orang yang telah
melihatnya
mengatakan bagus sekali." Duta Besar berseri-seri, sementara itu Lawrence melihat
orang yang
dicari-carinya. Setelah tiga duta besar, dua istri, dan koresponden politik Pravda,
akhirnya ia
bertemu dengan Harry Nourse tanpa menyebabkan kecurigaan yang tak perlu.
"Selamat malam, Mr. President," kata Jaksa Agung.
450
"Anda pasti senang dengan hasil pertandingan siang tadi."
'Tentu saja, Harry," kata Lawrence dengan semangat meluap-luap. "Packers selalu
bilang bisa
mengalahkan Redskins kapan saja, di mana saja." Ia merendahkan suaranya, "Aku
ingin bertemu
denganmu di kantorku tengah malam ini. Aku perlu nasihatmu berkenaan dengan
suatu masalah
hukum."
"Tentu saja, Sir," kata Jaksa Agung pelan.
"Rita," kata Presiden, sambil berpaling ke kanan, "sungguh senang bersamamu siang
tadi."
Mrs. Cooke balas tersenyum, sementara gong berbunyi di latar belakang dan seorang
kepala
pelayan mengumumkan bahwa santap malam segera disajikan. Obrolan mulai
mereda, dan para
tamu menuju ke ruang dansa.
Lawrence ditempatkan di antara Mrs. Pietrovski, istri Duta Besar, dan Yuri Olgivic,
kepala
Delegasi Perdagangan Rusia yang baru saja diangkat. Presiden Lawrence langsung
tahu bahwa
Olgivic tak bisa berbahasa Inggris sepatah kata pun—isyarat tak langsung Zerimski
lagi mengenai
sikapnya terhadap pembukaan hubungan perdagangan antara kedua bangsa.
"Anda pasti sangat senang dengan hasil pertandingan siang ini," kata istri Dubes
Rusia ketika
mangkuk sup bit Rusia disajikan di depan Presiden.
"Tentu saja," jawab Lawrence. "Tapi menurutku kebanyakan orang tak berpihak
padaku dalam hal
itu, Olga."
Mrs. Pietrovski tertawa.

"Apakah kau bisa mengikuti jalannya pertandingan itu?" tanya Lawrence, sambil
mengambil
sendok sup.
451
"Sebenarnya tidak," jawab Olga. "Tapi saya ber untung ditempatkan di dekat Mr.
Pug Washer,
yang tampaknya tak keberatan menjawab pertanyaan sangar sederhana yang saya
ajukan."
Presiden melepaskan sendoknya sebelum mence-capnya. Ia memandang ke seberang
ruangan pada
Andy Lloyd, dan menopang dagunya dengan kepalan tangannya—isyarat yang selalu
digunakannya bila mendesak perlu bicara dengan Kepala Staf.
Lloyd menggumamkan beberapa kata kepada wanita di sebelah kanannya, kemudian
melipat
serbet, meletakkannya di atas meja, dan berjalan menghampiri Presiden.
"Aku perlu bicara dengan Braithwaite secepatnya," bisik Lawrence. "Kupikir aku
tahu bagaimana
menemukan Fitzgerald."
Lloyd menyelinap keluar ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun sementara
mangkuk sup
Presiden diangkat pergi.
Lawrence mencoba berkonsentrasi pada apa yang dikatakan istri Dubes Rusia, tetapi
tak dapat
membuang Fitzgerald dari pikirannya. Sesuatu tentang bagaimana wanita itu akan
merindukan
Amerika Serikat begitu suaminya pensiun.
"Dan kapan itu akan terjadi?" tanya Presiden, sama sekali tak tertarik dengan
jawabannya.
"Sekitar delapan belas bulan lagi," jawab Mrs. Pietrovski, sementara sepiring daging
dingin
disajikan di depan Presiden. Ia meneruskan pembicaraan itu ketika mula-mula
seorang pelayan
menyajikan sayuran, dan sesaat kemudian pelayan lain membawa kentang. Ia
mengangkat pisau
dan garpunya tepat
452
saat Lloyd kembali masuk ke ruangan itu. Sekejap kemudian ia telah berada di
sebelah Presiden.
"Braithwaite menunggumu di belakang 'Stagecoach'."
"Kuharap tak ada masalah," kata Mrs. Pietrovski ketika Lawrence mulai melipat
serbetnya.
'Tidak penting, Olga," Lawrence meyakinkannya. "Mereka tak bisa menemukan
pidatoku. Tapi
jangan khawatir, aku tahu di mana letaknya." Ia bangkit dari kursi, dan Zerimski
mengikuti setiap
langkahnya ketika ia meninggalkan ruangan.
Lawrence keluar dari ruangan, menuruni tangga kayu, dan melewati pintu depan
Kedubes,
kemudian berlari-lari menuruni tangga dan masuk ke mobil keenam.
Lloyd dan pengemudi berdiri di samping mobil sementara selusin agen Dinas
Rahasia
mengelilinginya sambil mengawasi ke seluruh penjuru.
"Bill, jika Fitzgerald masih di stadion, ada satu orang yang tahu di mana dia berada.
Temukan Pug
Washer, dan Fitzgerald pasti kautemukan."
Beberapa saat kemudian Presiden membuka pintu mobil.
"Oke. Andy," katanya, "ayo kita kembali sebelum mereka tahu apa yang akan kita
lakukan."
"Apa yang akan kita laksanakan?" tanya Lloyd sambil mengejar Presiden menaiki
tangga.
"Akan kuceritakan kelak," kata Lawrence sambil melangkah masuk ruangan dansa.
'Tapi, Sir," kata Lloyd, "kau masih memerlukan..."
"Tidak sekarang," kata Lawrence sambil duduk di dekat istri Dubes dan tersenyum
minta maaf.
453
"Sudah berhasil menemukannya?" tanya Olga. "Menemukan apa?"
"Pidato Anda," sahut Mrs. Pietrovski, sementara! Lloyd meletakkan berkas di antara
mereka
berdua. <

"Sudah tentu," kata Lawrence sambil menepuk berkas itu. "Omong-omong, Olga,
bagaimana kabar
putrimu? Natasha, ya kan? Apa dia masih kuliah Fra Angelico di Florence?" Ia
memegang pisau
dan garpunya.
Presiden Lawrence memandang sekdas ke arah Zerimski, ketika para pelayan muncul
kembali dan
menyingkirkan piring-piring. Ia kembali meletakkan pisau-dan garpu, mengoleskan
mentega ke roti
gulung keras dan kering, serta berusaha mengetahui apa yang dilakukan Natasha
Pietrovski selama
tahun ketiga kuliahnya di Florence. Ia tak bisa tidak melihat bahwa Presiden Rusia
tampak gugup
bahkan cemas, ketika semakin mendekati waktu harus menyampaikan pidatonya. Ia
langsung
mengasumsikan bahwa Zerimski akan kembali memberikan bom yang tak terduga.
Pikiran itu
menjauhkannya dari raspberry souffle.
Ketika akhirnya Zerimski berdiri untuk menyampaikan pidato kepada para tamu,
bahkan para
pengagum beratnya pun terpaksa harus mengakui bahwa usahanya itu tak lebih dari
biasa-biasa
saja. Beberapa di antara mereka yang mengawasinya secara cermat, terheran-heran
mengapa ia
tampak menyampaikan begitu banyak ucapannya ke arah patung besar Lenin di
galeri di atas ruang
dansa. Lawrence menduga patung itu pasti baru-baru saja ditempatkan di situ, sebab
ia tidak ingat
pernah melihat patung itu pada pesta perpisahan Bori s.
454
Ia tetap menunggu Zerimski kembali menekankan amanatnya kepada Kongres hari
sebelumnya,
tapi ia tak mengatakan sesuatu yang kontroversial. Lawrence merasa lega karena
Zerimski ternyata
berpegang teguh pada naskah lunak yang telah dikirimkan ke Gedung Putih siang itu.
Ia memeriksa
pidatonya sendiri, yang seharusnya telah ia periksa bersama dengan Andy di dalam
mobil. Kepala
stafnya telah membubuhkan saran-saran di tepi naskah, namun tak ada kalimat lucu
ataupun
paragraf yang pantas diingat dari halaman satu hingga halaman tujuh. Tapi Andy
memang sangat
sibuk hari itu.
"Izinkan saya mengakhiri dengan berterima kasih kepada bangsa Amerika atas
keramah-tamahan
yang melimpah dan sambutan yang hangat yang telah saya alami di mana-mana,
selama kunjungan
saya di negeri Anda yang besar ini. khususnya dari pihak presiden Anda, Tom
Lawrence."
Tepuk tangan yang menyambut pernyataan itu begitu meriah dan berkepanjangan
hingga Lawrence
mendongak dari catatan-catatannya. Sekali lagi Zerimski berdiri terpaku, sambil
menatap patung
Lenin. Ia menunggu hingga tepuk tangan berhenti, kemudian barulah duduk. Ia sama
sekali tidak
tampak senang, yang mana membuat Lawrence keheranan, sebab menurutnya
sambutan pidato itu
jauh lebih meriah daripada yang sepatutnya.
Lawrence bangkit untuk menjawab. Pidatonya diterima dengan minat yang santun,
tapi tak dapat
dikatakan dengan bergairah. Ia mengakhiri dengan kata-kata, "Marilah kita berharap,
Victor, ini
merupakan kunjungan pertama dari banyak kunjungan lagi yang
455
.ikan Anda lakukan ke Amerika Serikat. Atas nama seluruh hadirin, saya
mengucapkan selamat
jalan, semoga penerbangan Anda besok berlangsung dengan selamat." Lawrence
mengakui dalam
hati bahwa dua dusta dalam satu kalimat memang agak terlalu banyak, bahkan bagi
seorang politisi,
dan berharap ia punya lebih banyak waktu untuk membaca kalimatnya lebih dulu
sebelum
menyampaikan pidatonya. Ia duduk menerima tepuk tangan yang penuh hormat, tapi
yang tak ada
apa-apanya dibandingkan dengan sorak-sorai yang diterima Zerimski untuk sajian
yang sama-sama
dangkal.
Ketika kopi telah disajikan, Zerimski bangkit dari kursi dan berjalan menuju ke pintu
dua daun di
ujung ruangan. Ia segera mengatakan, "Selamat malam," yang terdengar di seluruh
ruangan. Jadi
jelas bahwa ia menginginkan para tamu pergi dari tempat itu secepat mungkin.
Beberapa menit sesudah dentang pukul sepuluh dari beberapa jam di Kedubes,
Lawrence bangkit
dan berjalan pelan menuju tuan rumah. Tetapi, bagaikan sang kaisar di Capitol,
setiap kali ia
dihentikan oleh berbagai warga negara yang ingin menyentuh tepi jubah sang kaisar.
Ketika ia
akhirnya sampai di pintu, Zerimski mengangguk singkat kepadanya, kemudian baru
menemaninya
menuruni tangga menuju lantai satu. Karena Zerimski tak berkata apa-apa, Lawrence
memandang
lama-lama ke patung Kristus di Salib karya Nzizvestni yang masih tetap di
tempatnya di platform
pertama. Kini setelah Lenin kembali, ia heran bahwa Yesus masih tetap bertahan. Di
kaki tangga
batu itu ia berpaling untuk melambai kepada tuan
456
rumah, tetapi Zerimski telah menghilang kembali ke dai am Kedubes. Seandainya ia
mau
menemani Lawrence keluar pintu depan, ia akan melihat SAIC yang menunggu
Lawrence,
sementara ia memasuki limusinnya.
Braithwaite tidak bicara hingga pintu tertutup.
"Anda benar, Sir," katanya ketika mereka melewati gerbang Kedubes.
Orang pertama yang dilihat Zerimski ketika ia berjalan kembali ke Kedubes adalah
Duta Besar.
Yang Mulia Duta Besar tersenyum penuh harap.
"Apa Romanov masih ada di gedung ini?" sembur Zerimski, tak dapat
menyembunyikan
amarahnya lebih lama lagi.
"Ya, Mr. President," jawab Duta Besar, sambil mengejar pemimpinnya. "Ia ada di..."
"Bawa dia menghadapku secepatnya."
"Anda akan berada di mana?"
"Di tempat yang biasanya jadi ruang kerjamu."
Pietrovski buru-buru pergi ke arah berlawanan.
Zerimski bergegas ke ujung koridor pualam, nyaris tanpa menghentikan langkah
ketika membuka
pintu ruang kerja Dubes, mendorongnya keras-keras seolah sedang menonjok karung
latihan tinju.
Hal pertama yang ia lihat ialah senapan itu, yang masih tergeletak di meja. Ia duduk
di kursi kulit
besar yang biasanya diduduki Duta Besar.
Sementara menunggu mereka bergabung dengannya dengan tak sabar, ia mengambil
senapan itu
dan mempelajarinya dengan lebih teliti. Ia mengamati laras dan melihat bahwa satu
peluru masih
berada di tempat. Ketika menumpangkan senapan itu di bahunya, ia me-
457
rasakan keseimbangan sempurna, dan ia memahami untuk pertama kalinya mengapa
Fitzgerald
mau terbang melintasi setengah Amerika untuk menemukan kem-barannya.
Saat itulah ia melihat bahwa pasak tembak telah diganti.
Zerimski dapat mendengar dua orang bergegas melalui koridor pualam. Tepat
sebelum mereka
mencapai ruang kerja, ia menurunkan senapan dan meletakkannya di atas
pangkuannya.
Mereka nyaris berlarian memasuki ruangan itu. Zerimski tanpa basa-basi menunjuk
ke dua kursi di
seberang meja.
"Di mana tadi Fitzgerald?" tanyanya sebelum Romanov sempat duduk. "Di dalam
ruangan ini kau
telah memastikan bahwa ia akan berada di sini menjelang pukul empat sore tadi. Kau
bahkan
sesumbar, "Tak ada yang tak beres. Dia sudah menyetujui rencana." Begitu tepatnya
kata-katamu."
"Itu kesepakatan kami ketika aku bicara dengannya lewat tengah malam, Mr.
President," kata
Romanov.
"Lalu apa yang terjadi antara tengah malam dan pukul empat?"
"Sementara anak buahku mengawalnya ke kota tadi pagi, pengemudi terpaksa
berhenti di depan
deretan lampu lalu lintas. Fitzgerald melompat keluar dari mobil, lari ke seberang
jalan, dan
melompat ke dalam taksi yang sedang lewat. Kami mengejarnya sepanjang jalan ke
Bandara
Dulles, dan ketika kami telah menyusulnya di luar terminal, ternyata Fitzgerald tak
ada di
dalamnya."
"Kebenarannya ialah bahwa kau membiarkannya
458
lolos," kata Zerimski. "Apakah bukan itu yang sebenarnya terjadi?"
Romanov menunduk dan tak berkata sepatah pun.
Suara Presiden merendah menjadi bisikan. "Aku tahu kalian punya peraturan dalam
Mafya,"
katanya sambil menceklikkan gagang senapan, "bagi mereka yang gagal
melaksanakan kontrak."
Romanov mendongak ngeri ketika Zerimski mengangkat senapan hingga terarah
tepat ke tengah
dadanya.
"Ya atau tidak?" tanya Zerimski tenang.
Romanov mengangguk. Zerimski tersenyum kepada orang yang menerima vonis
pengadilannya
sendiri, dan pelan-pelan menarik picu. Peluru berekor perahu mencabik dada
Romanov sekitar satu
inci di bawah jantung. Tubuh kurus itu terpental ke belakang menabrak dinding,
sempat terhenti di
situ selama satu dua detik, lalu merosot ke karpet. Serpihan-serpihan otot dan tulang
berhamburan
ke segala arah. Dinding, karpet, setelan Duta Besar, dan kemeja putih berlipit,
semuanya
berlumuran darah.
Zerimski berputar hingga berhadapan dengan mantan wakilnya di Washington.
"Jangan, jangan!"
teriak Pietrovski, menjatuhkan diri berlutut. "Saya akan mengundurkan diri, saya
akan
mengundurkan diri."
Zerimski menarik pelatuk untuk kedua kalinya. Saat mendengar bunyi ceklik, ia
ingat bahwa hanya
ada satu peluru di dalamnya. Ia berdiri dari kursinya, kekecewaan membayang di
wajahnya.
"Kau terpaksa mencucikan setelan itu ke binatu," katanya, seolah Duta Besar tak
berbuat lain
kecuali mengotori lengan bajunya dengan kuning telur. Presiden Zerimski
meletakkan senapan
kembali di meja.
459
"Pengunduran dirimu kuterima. Tapi sebelum membereskan kantormu, usahakan
supaya jasad
Romanov dikumpulkan dan dikirim ke St. Petersburg." Ia mulai berjalan menuju
pintu. "Kerjakan
dengan cepat. AkJ ingin berada di sana ketika ia dikuburkan bersama ayahnya."
Pietrovski, sambil masih berlutut, tidak menjawab. Ia mual, dan sangat ketakutan
untuk membuka
mulut.
Ketika tiba di pintu, Zerimski berpaling ke diplomat yang gemetaran itu "Dalam
keadaan seperti
ini, mungkin bijaksana kalau mengirim kembali jenazah^ itu dalam kantong
diplomatik."
460
BAB TIGA PULUH LIMA
SALJU turun lebat ketika Zerimski menaiki tangga menuju pesawat Ilyushin 62 yang
telah
menunggu. Karpet putih tebal tercipta di sekitar roda pesawat.
Tom Lawrence berdiri di atas tarmak, mengenakan jas hitam panjang. Seorang
ajudan
memayunginya.
Zerimski menghilang melalui pintu, bahkan tanpa berpaling dan melambaikan tangan
ke arah
kamera yang merupakan tradisi. Semua saran bahwa inilah .waktunya untuk
menunjukkan iktikad
baik bagi semua orang jelas tidak termakan olehnya.
Departemen Luar Negeri telah mengeluarkan pernyataan pers. Pernyataan itu
membicarakan
panjang-lebar tentang keberhasilan kunjungan Presiden Rusia selama empat hari.
Merupakan
langkah signifikan bagi kedua negara, dan harapan akan kerja sama lebih lanjut suatu
waktu di
masa depan. "Berguna dan konstruktif adalah kata-kata yang digunakan Larry
461
Harrington sebelum konferensi pers pagi, dan setelah dipikir kembali ditambah
dengan "suatu
langkah maju". Para wartawan yang baru saja menyaksikan keberangkatan Zerimski
akan
menjabarkan perasaan Harrington dengan "sia-sia dan destruktif, serta tanpa ragu lagi
merupakan
suatu langkah mundur".
Begitu pintu pesawat kelabu itu menutup, Ilyushin mendadak bergerak maju, seolah
seperti bosnya
sudah tak sabar lagi untuk segera pergi.
Lawrence-lah orang pertama yang memunggungi pesawat yang sedang berangkat,
perlahan-lahan
menuju landas pacu. Lawrence bergegas menghampiri helikopter yang telah
menunggu, di mana ia
menemukan Andy LIyod sedang menelepon. Begitu baling-baling mulai berputar,
Lloyd cepat-
cepat menyudahi teleponnya. Saat Marine One mengangkasa, ia duduk bersandar dan
menjelaskan
kepada Presiden mengenai hasil operasi darurat yang telah terjadi pagi itu di Rumah
Sakit Walter
Reed. Lawrence mengangguk sementara Kepala Staf menerangkan garis besar urutan
tindakan
yang direkomendasikan Agen Braithwaite. "Aku sendiri akan menelepon Mrs.
Fitzgerald," katanya.
Selama perjalanan pendek itu kedua orang tersebut mempersiapkan pertemuan yang
akan segera
dilaksanakan di Ruang Oval. Helikopter Presiden mendarat di Halaman Selatan, dan
tak seorang
pun di antara mereka berdua berbicara sementara berjalan menuju Gedung Putih.
Sekretaris
Lawrence telah menunggu dengan cemas di dekat pintu
"Selamat pagi, Ruth," kata Presiden untuk ketiga kalinya pagi itu. Mereka berdua
terjaga hampir
sepanjang malam.
462
Tengah malam Jaksa Agung datang tanpa diumumkan sebelumnya. Dan ia
memberitahu Ruth
Preston bahwa ia dipanggil untuk menghadiri pertemuan dengan Presiden, tetapi itu
tak tercatat
dalam agenda hariannya. Pukul 02.00 Presiden, Mr. Lloyd, dan Jaksa Agung pergi ke
Rumah Sakit
Walter Reed, lagi-lagi kunjungan ini tak disebutkan dalam buku agenda harian,
bahkan nama
pasien yang akan dikunjungi pun tak disebutkan. Mereka kembali sejam kemudian.
Dan mereka
berada di Ruang Oval selama satu setengah jam kemudian. Presiden telah
memberikan instruksi
bahwa mereka tidak dapat diganggu. Ketika Ruth tiba kembali di Gedung Putih
pukul 08.10,
Presiden sudah dalam perjalanan menuju Lanud Andrews untuk mengucapkan
selamat jalan kepada
Zerimski.
Walaupun Presiden mengenakan setelan berbeda, demikian pula kemeja dan dasi
yang lain
daripada yang telah dilihatnya sebelumnya, Ruth bertanya-tanya apakah bosnya tidak
tidur sama
sekali malam itu.
"Apa agenda berikutnya, Ruth?" tanyanya, meskipun ia telah tahu betul.
"Orang-orang yang telah Anda beri janji pertemuan untuk pukul sepuluh sudah
menunggu selama
empat puluh menit di lobi."
"Oh ya? Kalau begitu persilakan mereka masuk."
Presiden berjalan menuju Ruang Oval, membuka laci meja, dan mengeluarkan dua
lembar kertas
dan sebuah kaset. Ia meletakkan dua lembar kertas itu di atas pengering tinta di meja
di depannya,
sedangkan kaset itu ia masukkan ke tape di mejanya. Andy Lloyd masuk dari
kantornya, sambil
mengepit dua berkas. Seperti biasa ia duduk di samping Presiden.
463
"Kau sudah bawa surat-surat pernyataan itu?" tanya Lawrence.
"Ya, Sir," jawab Lloyd.
Terdengar ketukan di pintu. Ruth membuka pintu dan memberitahukan, "Direktur
dan Wakil
Direktur CIA."
"Selamat pagi, Mr. President," kata Helen Dexter ceria, ketika memasuki Ruang Oval
dengan
diikuti Wakil Direktur selangkah di belakangnya. Wanita itu juga mengepit berkas.
Lawrence tidak menjawab salam Helen Dexter.
"Anda akan merasa lega," demikian lanjut Dexter sambil duduk di kursi yang
berhadapan dengan
Presiden, "bila tahu aku telah bisa menangani masalah yang kita khawatirkan akan
timbul selama
kunjungan Presiden Rusia. Ternyata, kita punya semua alasan untuk percaya bahwa
orang tersebut
tidak lagi merupakan ancaman bagi negeri ini."
"Mungkinkah orang itu sama dengan yang kuajak bicara melalui telepon beberapa
minggu lalu?"
tanya Lawrence sambil bersandar di kursi.
"Aku tak begitu mengerti maksud Anda, Mr. President," kata Dexter.
"Kalau begitu biar kujelaskan," kata Lawrence. Ia membungkuk dan menekan
tombol "Play" tape
di meja.
"Kurasa aku harus meneleponmu dan memberitahu betapa penting tugas ini
menurutku. Sebab aku
tak ragu sedikit pun bahwa kaulah orang yang tepat untuk melaksanakannya. Maka
kuharap kau
bersedia menerima tanggung jawab ini."
"Saya sangat menghargai kepercayaan Anda pada
464
sava, Mr. President. Dan saya berterima kasih pada Anda karena berkenan
menelepon saya secara
pribadi.... "
Lawrence memencet tombol "Stop".
"Tak diragukan lagi kau tentu punya penjelasan mengapa dan bagaimana
pembicaraan itu terjadi,"
katanya.
"Aku tak yakin mengerti maksud Anda sepenuhnya, Mr. President. CIA tidak tahu
rahasia
percakapan telepon pribadi Anda."
"Itu mungkin benar atau mungkin juga salah," kata Presiden. "Tapi seperti
kauketahui sendiri,
percakapan itu tidak keluar dari kantor ini."
"Apa Anda menuduh CIA..."
"Aku tak menuduh CIA melakukan sesuatu. Tuduhan itu ditujukan padamu secara
pribadi."
"Mr. President, bila ini lelucon Anda..."
"Apa aku kelihatan seperti sedang tertawa?" tanya Presiden. Kemudian ia memencet
tombol "Play"
lagi.
"Dalam keadaan seperti ini, kurasa setidaknya itulah yang bisa kulakukan."
"Terima kasih, M r. President. Meskipun M r. Gutenburg sudah meyakinkan saya
mengenai
keterlibatan Anda, dan Direktur sendiri kemudian menelepon saya siang itu,
sebagaimana yang
Anda ketahui, saya tetap belum juga bisa menerima tugas itu kecuali bila saya tahu
pasti bahwa
perintah itu datang langsung dari Anda."
Presiden membungkuk dan sekali lagi menekan tombol "Stop".
"Masih ada lagi jika kau mau mendengarkannya."
"Dapat kupastikan," kata Dexter, "operasi yang
465
disebut agen itu tak lain daripada kegiatan rutin saja."
"Apa kau minta aku percaya bahwa pembunuhan Presiden Rusia sekarang dianggap
CIA sebagai
kegiatan rutin?" kata Lawrence tak percaya.
"Kami tak pernah bermaksud agar Zerimski dibunuh," kata Dexter tajam.
"Hanya agar seseorang tak berdosa harus digantung untuk itu," tukas Presiden.
Setelah hening
lama, akhirnya Presiden menambahkan, "Dengan demikian setiap bukti bahwa kau
juga yang
memerintahkan agar Ricardo Guzman di Kolombia dibunuh dapat dihilangkan."
"Mr. President, bisa kupastikan bahwa CIA tak punya sangkut paut..."
"Tapi itu bukanlah yang dikatakan Connor Fitzgerald tadi pagi," kata Lawrence.
Dexter bungkam.
"Mungkin kau mau membaca surat pernyataan yang telah ditandatanganinya di depan
Jaksa
Agung."
Andy Lloyd membuka berkas pertama dari kedua berkas, lalu menyerahkan kepada
Dexter dan
Gutenburg salinan surat pernyataan yang telah ditandatangani Connor Fitzgerald dan
disaksikan
oleh Jaksa Agung. Ketika kedua orang itu mulai membacanya, Presiden tak bisa
tidak melihat
bahwa Gutenburg mulai berkeringat.
"Setelah mendapat nasihat dari Jaksa Agung, aku telah memerintahkan petugas SAIC
untuk
menahan kalian berdua dengan tuduhan pengkhianatan. Bila kalian ternyata bersalah,
kunasihatkan
bahwa hanya ada satu hukuman."
466
Bibir Dexter tetap terkatup rapat. Wakilnya kini tampak jelas gemetaran. Lawrence
berpaling
kepadanya.
"Tentu saja, Nick, mungkin kau tak menyadari bahwa Direktur tidak diberi otoritas
eksekutif yang
diperlukan untuk mengeluarkan perintah seperti itu."
"Itu betul sekali, Sir," cetus Gutenburg. "Sebenarnya, ia membuat saya percaya
bahwa instruksi
untuk membunuh Guzman datang langsung dari Gedung Putih."
"Sudah kuduga kau sebaiknya mengatakan demikian, Nick," kata Presiden. "Dan jika
kau merasa
bisa menandatangani dokumen ini"—ia menyodorkan sehelai kertas ke seberang
meja—"Jaksa
Agung telah memberitahuku bahwa hukuman mati akan diganti dengan hukuman
penjara seumur
hidup."
"Apa pun itu, jangan tandatangani," perintah Dexter.
Sesaat Gutenburg ragu, kemudian mengambil pulpen dari sakunya dan
membubuhkan tanda tangan
di antara dua tanda silang pensil di bawah pernyataan pengunduran dirinya sebagai
wakil direktur
CIA, mulai efektif pukul 09.00 hari itu.
Dexter memandangnya dengan penghinaan yang tak ditutup-tutupinya. "Jika kau
menolak
mengundurkan diri, mereka takkan punya keberanian untuk melanjutkan. Pria itu
begitu lemah." Ia
kembali berpaling kepada Presiden, yang lagi-lagi menyodorkan sehelai kertas ke
seberang meja.
Dan wanita itu memandangi pernyataan pengunduran dirinya sendiri sebagai direktur
CIA, juga
mulai efektif pukul 09.00 hari itu. Ia mengangkat muka kepada Lawrence dan
berkata me-
467
nantang, "Aku takkan menandatangani apa pun, Mr. President. Saat ini Anda harus
memahami
betul-betul bahwa aku tak mudah ditakut-takuti."
"Nah, Helen, jika kau merasa tak mampu melaksanakan tindakan terhormat seperti
Gutenburg,"
kata Lawrence, "begitu kau meninggalkan ruangan ini, kau akan bertemu dengan dua
agen Dinas
Rahasia di luar pintu dengan perintah untuk menahanmu."
"Jangan menggertakku, Lawrence," kata Dexter sambil bangkit dari kursi.
"Mr. Gutenburg," kata Lloyd ketika Dexter mulai berjalan menuju pintu dan
meninggalkan lembar
kertas yang tak tertandatangani itu di meja. "Aku menganggap hukuman seumur
hidup tanpa ada
kemungkinan pembebasan bersyarat dalam keadaan begini merupakan harga yang
terlalu tinggi
untuk dibayar. Khususnya bila kau dijebak dan bahkan tak tahu apa yang sedang
terjadi."
Gutenburg mengangguk ketika Dexter tiba di pintu.
"Kuanggap hukuman enam, paling lama tujuh tahun, akan lebih sesuai dalam
kasusmu. Dan dengan
sedikit bantuan dari Gedung Putih, akhirnya kau hanya perlu menjalaninya tiga atau
empat tahun."
Dexter berhenti melangkah.
"Tapi itu tentu saja berarti kau setuju..."
"Aku akan menyetujui apa pun. Apa pun," kata Gutenburg dengan gugup.
"...untuk memberikan kesaksian demi kepentingan penuntutan."
Gutenburg mengangguk lagi, dan Lloyd mengeluarkan surat pernyataan dua lembar
dari berkas lain
di pangkuannya. Mantan Wakil Direktur hanya perlu
468
beberapa saat nntuk membaca dokumen itu, kemudian membubuhkan tanda
tangannya di bagian
bawah halaman kedua.
Direktur memegangi kenop pintu, ragu sesaat, lalu berbalik dan berjalan pelan
kembali ke meja. Ia
memandang mantan wakilnya untuk terakhir kali dengan muak. Ia mengambil pulpen
dan
membubuhkan tanda tangan di antara dua tanda silang pensil.
"Kau tolol, Gutenburg," kata Dexter. "Mereka takkan mengambil risiko untuk
menghadirkan
Fitzgerald di pengadilan. Tiap pengacara yang kurang baik akan mencabiknya
berkeping-keping.
Dan tanpa Fitzgerald mereka takkan punya kasus. Aku yakin Jaksa Agung telah
menerangkan hal
itu pada mereka." Ia berbalik lagi akan meninggalkan ruangan.
"Helen memang benar," kata Lawrence sambil mengeluarkan tiga dokumen dan
menyerahkannya
pada Lloyd. "Bila kasus ini sampai ke pengadilan, kami takkan pernah bisa
menghadirkan
Fitzgerald di boks saksi."
Dexter berhenti melangkah untuk kedua kalinya. Tinta tanda tangan pengunduran
dirinya itu pun
belum kering.
"Tapi celakanya," kata Presiden, "aku harus memberitahumu bahwa Connor
Fitzgerald telah
meninggal pukul 07.43 pagi ini."
469
BUKU EMPAT
Yang Gesit dan yang Tewas
BAB TIGA PULUH ENAM
Iring iringan pemakaman maju pelan-pelan melewati punggung bukit.
Pemakaman Nasional Arlington penuh sesak bagi seseorang yang tak pernah mencari
pengakuan
publik. Presiden Amerika Serikat berdiri di salah satu sisi makam, diapit oleh Kepala
Staf Gedung
Putih dan Jaksa Agung. Berhadapan dengan mereka ada seorang wanita yang selama
empat puluh
menit lalu tak pernah mengangkat kepala. Di samping kanan berdiri putrinya; dan di
samping kiri
calon menantunya.
Mereka bertiga terbang dari Sydney dua hari setelah menerima telepon pribadi dari
Presiden.
Banyaknya kerumunan orang yang berkumpul di pemakaman itu pasti membuat
Maggie tak
meragukan lagi betapa banyak sahabat dan pengagum yang ditinggalkan Connor.
Dalam pertemuan hari sebelumnya di Gedung Putih, Tom Lawrence telah
mengatakan kepada si
janda bah-
473
wa kata-kata Connor yang terakhir adalah kata-kata sayang kepadanya dan putrinya.
Presiden
masih melanjutkan memberitahu bahwa walaupun ia hanya bertemu dengan
suaminya satu kali,
seumur hidup ia akan selalu mengingatnya. "Padahal ini ucapan seorang pria yang
berjumpa
dengan ratusan orang dalam seharinya," demikian tulis Tara dalam buku hariannya
malam itu.
Beberapa langkah di belakang Presiden berdirilah Direktur CIA yang baru saja
diangkat. Dan
sekelompok pria dan wanita yang tak berniat melapor kerja hari itu. Mereka telah
mengadakan
perjalanan dari empat penjuru bumi untuk berada di sana.
Seorang pria tinggi-kekar tanpa rambut di kepala berdiri agak jauh dari para pelayat
lainnya, sambil
menangis tak terkendali. Tak seorang pun yang hadir di situ akan percaya bahwa
kebanyakan para
bandit kejam di Afrika Selatan akan senang kalau tahu Cari Koeter sedang berada di
luar negeri,
walau hanya beberapa hari.
FBI dan Dinas Rahasia juga hadir dalam jumlah banyak. Agen Khusus William
Braithwaite berdiri
mengepalai dua belas jago tembak, yang masing-masing akan puas bila mengakhiri
kariernya
dianggap sebagai penerus Connor Fitzgerald.
Di lereng bukit lebih ke atas lagi, para kerabat dari Chicago, para akademisi dari
Georgetown, para
pemain bridge, para pedansa Irlandia, para pujangga, dan orang-orang dari setiap
profesi kehidupan
memenuhi pemakaman sejauh mata memandang. Mereka menundukkan kepala
mengenang seorang
pria yang mereka sayangi dan segani.
Iring-iringan pemakaman berhenti di Sheridan
474
Drive, beberapa meter dari pemakaman. Delapan pengawal kehormatan mengangkat
peti mati dari
kereta meriam, memanggulnya, dan mulai berbaris pelan menuju makam. Peti mati
diselubungi
bendera Amerika dan di atasnya terdapat pita-pita penghargaan pertempuran Connor.
Di tengah-
tengahnya ada Medali Kehormatan. Setelah tiba di sisi makam, para pengusung
perlahan-lahan
menurunkan peti mati ke tanah, kemudian bergabung dengan pelayat-pelayat lainnya.
Pastor Graham, yang telah menjadi imam keluarga Fitzgerald selama tiga puluh
tahun lebih,
mengangkat tangan.
"Sahabat-sahabatku," ia memulai. "Para imam sering diundang untuk melantunkan
kidung pujian
bagi umat yang telah meninggal, yang hampir tak dikenal para pelayat dan yang
prestasinya tak
selalu jelas. Tapi lain halnya dengan Connor Fitzgerald. Sebagai mahasiswa, ia
dikenang sebagai
gelandang terhebat yang pernah dimiliki Universitas Notre Dame. Sebagai prajurit,
tak ada kata-
kata lain yang dapat menandingi pujian yang ditulis Kapten Christopher Jackson,
komandan
peletonnya: 'Seorang prajurit yang tak gentar menghadapi bahaya, yang selalu lebih
mementingkan
kehidupan anak buahnya daripada hidupnya sendiri.' Sebagai seorang profesional, ia
telah
mendarmabaktikan hampir tiga puluh tahun jasanya bagi negaranya. Anda hanya
perlu melihat
sekeliling untuk mengetahui penghargaan tinggi dari sesama rekannya. Namun lebih
dari itu semua,
sebagai suami bagi Maggie dan ayah bagi Tara, kita akan mengenangnya. Kita
berdukacita bersama
mereka berdua."
Pastor Graham merendahkan suaranya. "Aku cu-
475
kup beruntung dapat menganggap diriku sebagai sahabatnya. Aku telah merindukan
main bridge
lagi dengannya selama liburan Natal—sebenarnya aku berharap dapat memperoleh
kembali $10
kekalahanku dalam rubber set tepat sebelum ia pergi melaksanakan tugas terakhir.
Ya Tuhan,
dengan senang aku akan memberikan apa saja yang kumiliki hanya untuk sekali lagi
bisa kalah
main bridge dengannya.
"Olahragawan, prajurit, profesional, kekasih, ayah, sahabat, dan bagiku—walau aku
tak pernah
akan berani menyebutnya di depannya, cuma karena ia akan menertawakanku—
pahlawan.
"Dimakamkan tak jauh darimu, Connor, ada seorang pahlawan Amerika yang lain."
Pastor tua itu
mengangkat kepalanya. "Seandainya aku John Fitzgerald Kennedy, aku akan bangga
dimakamkan
di pemakaman yang sama dengan Connor Fitzgerald."
Para pengusung melangkah maju dan menurunkan peti mati ke dalam liang kubur.
Pastor Graham
membuat tanda salib, membungkuk, meraup segenggam tanah, dan menaburkannya
di atas peti
mati.
"Abu kembali ke abu, dan debu kembali ke debu," imam itu mulai menyanyi,
sementara seorang
Marinir meniup trompet melantunkan lagu pemakaman. Para pengawal kehormatan
melipat
bendera dari peti mati membentuk segitiga rapi di tangan kadet termuda, seorang
pemuda delapan
belas tahun, yang dilahirkan di Chicago seperti Connor. Menurut kebiasaan, ia akan
memberikan
bendera itu kepada sang janda sambil mengucapkan, "Ma'am, atas nama Presiden
Amerika
Serikat." Tapi tidak demikian hari ini. Hari ini ia melangkah tegap ke arah lain.
Tujuh Marinir
mengangkat
senapan ke angkasa dan menembakkan salvo 21 kali, sementara kadet muda itu
berdiri tegak di
hadapan Presiden Amerika Serikat, dan menyerahkan bendera.
Tom Lawrence menerimanya, pelan-pelan berjalan memutar ke sisi lain makam dan
berdiri di
hadapan sang janda. Maggie mengangkat kepala dan berusaha tersenyum ketika
Presiden
menghadiahkan panji bangsa.
"Atas nama negara yang berterima kasih, saya menyerahkan kepada Anda bendera
Republik. Anda
dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang mengenal suami Anda dengan baik. Saya hanya
berharap
saya dapat mempunyai hak istimewa itu." Presiden menunduk dan kembali ke sisi
lain makam.
Ketika band Marinir mulai memainkan lagu kebangsaan, ia menempatkan tangan
kanannya di
dadanya.
Tak seorang pun bergerak hingga Maggie didampingi Tara dan Stuart menuju ke
pintu gerbang
makam. Ia berdiri di sana hampir selama sejam, berjabat tangan dengan semua
pelayat yang
menghadiri upacara itu.
Dua orang yang tetap di puncak bukit selama upacara telah terbang dari Rusia sehari
sebelumnya.
Mereka tidak datang untuk berkabung. Mereka akan kembali ke St. Petersburg
dengan penerbangan
malam, dan melapor bahwa jasa-jasa mereka tidak diperlukan lagi.
477
BAB TIGA PULUH TUJUH
Air force one dikelilingi tank-tank ketika Presiden Amerika Serikat mendarat di
bandara Moskwa.
Tak diragukan lagi Presiden Zerimski tidak berminat sedikit pun memberi Tom
Lawrence
kesempatan ber-foto untuk orang-orangnya di tanah air. Juga tidak ada pidato-pidato
"Selamat
datang di Rusia" seperti biasanya yang disampaikan dari podium di landas pacu.
Ketika menuruni tangga pesawat dengan wajah muram, Lawrence disambut oleh
kehadiran
Marsekal Borodin yang berdiri di menara tank.
Saat kedua Presiden akhirnya bertemu di Kremlin pagi ini, butir pertama dalam
agenda ialah bahwa
Presiden Zerimski meminta agar pasukan NATO yang melakukan patroli di
perbatasan Rusia
sebelah barat segera ditarik kembali. Sebagai akibat kekalahan telak RUU
Pengurangan Senjata
Nuklir, Biologis, Kimia, dan Konvensional di dalam Senat, dan kembalinya Ukraina
dengan
sukarela ke Uni Soviet, Presiden
478
Lawrence tahu bahwa ia tidak dalam posisi untuk mundur seinci pun dari peranan
NATO di Eropa,
khususnya sejak Senator Helen Dexter yang baru-baru ini terpilih tetap melukiskan
Lawrence
sebagai "kaki tangan merah".
Sejak pengunduran diri Senator Dexter sebagai direktur CIA tahun lalu, supaya dapat
"lebih
terbuka beroposisi terhadap kebijakan luar negeri Presiden yang salah arah", telah
ada
perbincangan di Capitol Hill mengenai kemungkinan ia akan menjadi presiden
wanita pertama.
Pada pembicaraan pendahuluan di Kremlin pagi ini, Presiden Zerimski tidak berpura-
pura...
Stuart mendongak dari halaman depan Sydney Mor-ning Herald ketika Mnggie
masuk ke dapur,
mengenakan jins dan sweter. Mereka telah tinggal serumah selama enam bulan dan
Stuart belum
pernah melihat Maggie dengan sehelai rambut pun yang tak pada tempatnya.
"Selamat pagi, Stuart," katanya. "Ada yang menarik di koran?"
"Zerimski masih tetap ngotot pada tiap kesempatan walau sekecil apa pun," jawab
Stuart. "Dan
presiden kalian menghadapinya dengan berani, setidaknya itulah pandangan
koresponden Herald di
Rusia."
"Zerimski akan menjatuhkan bom nuklir ke Gedung Putih bila ia beranggapan bisa
berhasil
meloloskan diri," kata Maggie. "Apa tak ada berita yang lebih ceria untuk diceritakan
padaku Sabtu
pagi seperti ini?"
"Perdana Menteri sudah mengumumkan tanggal pemilihan presiden pertama kami."
479
"Kalian sangat lamban di negeri ini," kata Maggie, sambil mengisi mangkuk dengan
cornflakes.
"Kami sudah lepas dari orang-orang Inggris dua ratus tahun lalu."
"Kami juga tak perlu waktu lebih lama lagi," kata Stuart sambil tertawa ketika
istrinya masuk ke
ruangan itu dengan berkimono.
"Selamat pagi," kata Tara dengan mengantuk. Maggie bangkit dari kursi dan
mencium pipi
putrinya.
"Duduk saja di situ dan makan comflakes-mu ini Sementara kubuatkan omelette.
Sebenarnya kau
tak usah..."
"Mom, aku hamil, bukannya kelaparan," kata Tara. "Aku cukup makan semangkuk
cornflakes."
"Aku tahu, tapi itu karena..."
"...Mom tak pernah berhenti «emas," kata Tara sambil memeluk ibunya. "Akan
kuungkapkan
sebuah rahasia padamu. Tak ada bukti-bukti medis bahwa keguguran itu dari
keturunan; hanya
membikin repot para ibu. Apa berita besar hari ini?" tanyanya sambil mengalihkan
pandangannya
ke Stuart.
"Kasusku di pengadilan jadi berita utama di halaman enam belas," sahut Stuart
sambil menunjuk ke
tiga alinea yang tersembunyi di sudut kiri bawah halaman.
Tara membaca laporan itu dua kali, kemudian berkata, "Tapi mereka bahkan tak
menyebut
namamu."
"Tidak. Mereka tampaknya lebih berminat terhadap klienku saat ini," Stuart
mengaku. "Tapi kalau
aku dapat meloloskannya dari hukuman, itu bisa berubah."
"Kuharap kau tak meloloskannya dari hukuman," kata Maggie seraya memecah telur
kedua.
"Kukira
480
klienmu itu penjilat, dan harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara."
"Cuma gara-gara mencuri $73?" tanya Stuart tak percaya.
"Dari wanita tua yang tak berdaya." ^ "Tapi itu baru pertama kali."
"Pertama kali ditangkap, itu maksudmu, kan," kata Maggie.
"Tahukah, Maggie, kau pasti bisa jadi jaksa penuntut jempolan," kata Stuart.
"Sebaiknya jangan
kauambil cuti besarmu tahun ini—lebih baik kau mendaftarkan diri di fakultas
hukum. Maaf ya,
menurutku memenjarakan orang seumur hidup untuk pencurian $73 takkan membuat
seseorang
jadi sedemikian besar."
"Kau akan terkejut karenanya, anak muda," tukas Maggie.
Terdengar bunyi sesuatu yang terjatuh di keset dekat pintu. "Aku akan
mengambilnya," kata Stuart
sambil berdiri.
"Stuart benar," kata Tara, sementara ibunya meletakkan omelette di depannya.
"Sebenarnya Mom
tak usah membuang-buang waktu dengan menjadi pengurus rumah tangga tanpa
dibayar. Mom
terlalu baik untuk itu."
"Terima kasih, sayangku," kata Maggie. Ia kembali ke kompor dan memecahkan
telur lagi. "Tapi
aku menikmati tinggal bersama kalian berdua. Aku cuma berharap keberadaanku tak
mengganggu."
"Tentu saja Mom tak begitu," kata Tara. "Tapi kan sudah enam bulan lebih sejak..."
"Aku tahu. Sayang, tapi aku masih butuh waktu lebih lama lagi sebelum sanggup
kembali ke
Washing-
481
ton. Aku akan baik-baik saja menjelang dimulainya semester musim gugur."
"Tapi Mom tak mau menerima undangan-undangan untuk hal-hal yang kausukai."
"Misalnya?"
"Minggu lalu Mr. Moore mengundang Mom untuk menyaksikan Fidelio di Opera
House, dan Mom
bilang sudah ada acara malam itu."
"Sejujurnya, aku tak ingat lagi apa yang kulakukan malam itu," kata Maggie.
"Aku ingat. Mom duduk di kamar membaca Ulysses."
"Tara, Ronnie Moore itu baik, dan aku tak ragu dia melakukan apa pun di bank itu
dengan baik se-
kali. Tapi dia tak perlu melewatkan malam denganku, hanya untuk mengingatkanku
betapa aku
sangat merindukan ayahmu. Dan tentu aku tak perlu melewatkan malam dengannya,
hanya untuk
diberitahu betapa dia memuja almarhum istrinya, siapa pun namanya."
"Elizabeth," kata Stuart ketika kembali dengan membawa surat-surat. "Ronnie
sebenarnya memang
agak baik."
"Jangan ikut-ikutan," kata,, Maggie. "Sudah tiba waktunya kalian tak perlu
mencemaskan lagi
kehidupan sosialku." Maggie meletakkan omelette yang lebih besar lagi di depan
Stuart.
"Mungkin lebih baik aku menikah denganmu, Maggie," katanya sambil menyeringai.
"Kau jauh lebih cocok daripada kebanyakan pria yang coba-coba kaujodohkan
denganku," kata
Maggie sambil menepuk-nepuk kepala menantunya.
Stuart tertawa dan mulai menyeleksi surat-surat,
482
kebanyakan untuk dirinya. Ia menyerahkan beberapa kepada Tara dan tiga kepada
Maggie, lalu
mendorong tumpukan kecil surat-suratnya ke tepi dan lebih suka membaca rubrik
olahraga di
Herald.
Maggie menuangkan kopi ke cangkir kedua untuk dirinya sendiri, sebelum
mengurusi surat-
suratnya. Seperti biasa ia lebih dulu meneliti prangko surat-surat itu sebelum
memutuskan urutan
surat-surat yang dibukanya. Dua surat berprangko sama, potret George Washington.
Yang ketiga
berprangko gambar burung kookaburra yang penuh. Mula-mula ia membuka surat
dari Australia
itu. Setelah membacanya, ia menyodorkannya kepada Tara di seberang meja. Sambil
membaca
alinea demi alinea surat itu, senyum Tara semakin melebar.
"Sangat menggoda," kata Tara sambil meneruskan surat itu ke Stuart.
Stuart membacanya dengan cepat. "Ya, sangat menggoda. Bagaimana
tanggapanmu?"
"Akan kubalas dan kujelaskan bahwa aku tak memasang iklan di bursa tenaga kerja,"
jawab
Maggie. "Tapi lebih dulu aku harus tahu siapa di antara kalian berdua yang harus
mendapat terima
kasihku." Ia melambaikan surat itu.
"Tak bersalah," kata Tara.
"Mea culpa" Stuart mengaku. Sebelumnya ia telah tahu bahwa tak ada gunanya
mencoba
mengelabui Maggie. Akhirnya Maggie akan selalu mengetahuinya juga.
"Aku melihat tawaran pekerjaan itu di Herald, dan kupikir kau sangat ideal
memenuhi
kualifikasinya. Pokoknya, lebih dari kompeten."
483
"Ada gosip bahwa Kepala Penerimaan akan pensiun akhir tahun akademik ini," kata
Tara. "Jadi
dicari penggantinya dalam waktu dekat ini. Siapa pun yang memperoleh pekerjaan
ini..."
"Sekarang dengarkan aku, kalian berdua," kata Maggie, sambil mulai membenahi
piring-piring
kotor. "Aku sedang cuti besar. Bulan Agustus yang akan datang, aku berniat kembali
ke
Washington dan melanjutkan pekerjaanku sebagai ketua Penerimaan di Universitas
Georgetown.
Universitas Sydney harus mencari orang lain." Ia duduk akan membuka surat kedua.
Baik Tara maupun Stuart tidak berkomentar lebih lanjut ketika Maggie
mengeluarkan cek sebesar
$277.000, yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan. "Pembayaran penuh",
demikian penjelasan
surat yang terlampir, santunan atas kehilangan suami yang sedang berdinas sebagai
petugas dalam
CIA. Bagaimana mereka dapat mulai memahami apa arti kata-kata "pembayaran
penuh" ini?
Cepat-cepat ia membuka surat ketiga. Ia memang sengaja menaruhnya di urutan
terakhir, sebab ia
mengenali bentuk huruf kuno itu dan tahu persis siapa yang mengirimnya.
Tara menyentuh Stuart. "Surat cinta tahunan dari Dr. O'Casey, kalau aku tak salah,"
bisiknya
menirukan adegan drama. "Harus kuakui, Mom. aku terkesan karena ia mampu
melacakmu."
"Aku juga," kata Maggie dengan tersenyum. "Setidaknya dengan dia aku tak perlu
pura-pura."
Dibukanya amplop itu.
"Aku keluar dulu, kita siap berangkat sejam lagi,"
484
kata Stuart sambil melihat jamnya. Maggie memandang melalui atas kacamata
bacanya dan
tersenyum. "Aku sudah memesan satu meja di kafe pantai buat pukul satu."
"Oh, Mom hebat sekali," desah Tara penuh kekaguman. Stuart baru saja akan
memukul kepala Tara
dengan koran ketika Maggie berkala, "Ya ampun." Mereka berdua memandangnya
dengan takjub.
Itulah ucapan yang paling mendekati makian yang pernah mereka dengar.
"Ada apa, Mom?" tanya Tara. "Apakah ia masih tetap melamar, atau setelah
bertahun-tahun
akhirnya ia menikah dengan orang lain?"
"Kedua-duanya tidak. Ia ditawari pekerjaan sebagai ketua Jurusan Matematika di
Universitas New
South Wales. Dan dia akan datang menemui Wakil Rektor sebelum mengambil
keputusan akhir."
"Tak bisa lebih baik lagi," kata Tara. "Bagaimanapun* dia orang Irlandia, tampan,
dan selalu
memujamu. Dan seperti yang berulang kali kauingatkan pada kami, hanya Dad yang
bisa
mengalahkannya. Mau apa lagi?"
Terjadi keheningan yang lama. Akhirnya Maggie berkata, "Aku khawatir itu tak
sepenuhnya tepat."
"Maksud Mom?" tanya Tara. "Yah, yang benar ialah, dulu ia memang tampan dan
ahli dansa', tapi
juga agak membosankan." "Tapi Mom selalu bercerita padaku..." "Aku tahu apa yang
telah
kuceritakan," kata Maggie. "Dan jangan memandangku seperti itu, nyonya muda.
Aku yakin kau
kadang-kadang mengganggu Stuart dengan menceritakan pelayan muda dari Dublin
itu yang..."
"Mom, bagaimanapun sekarang dia..." "Dia apa?" tanya Stuart.
"...dosen di Trinity College, Dublin," lanjut Tara. "Dan lebih-lebih lagi, dia sudah
menikah dengan
bahagia dan dikaruniai tiga anak. Itu lebih dari apa yang dapat dikatakan tentang
kebanyakan
mantan pacarmu."
"Betul," Stuart mengaku. "Jadi katakan," ia berpaling pada Maggie, "kapan Dr.
O'Casey tiba di
Oz?"
Maggie membuka surat itu kembali dan membaca keras-keras:
"Aku terbang dari Chicago tanggal 14, tiba tanggal 15."
"Lho, itu kan hari ini," kata Stuart Maggie mengangguk, lalu melanjutkan:
'Aku akan menginap di Sydney semalam dan menemui Wakil Rektor hari berikutnya
sebelum
kembali ke Chicago."
Maggie mendongak. "Ia sudah akan pulang sebelum kita kembali dari berakhir
pekan."
"Itu sayang," kata Tara. "Sesudah bertahun-tahun, aku ingin bertemu dengan Dr.
Declan CTCasey
yang setia itu "
"Dan itu masih bisa," kata Stuart sambil melihat jamnya. "Pukul berapa pesawatnya
mendarat?"
"Pukul 11.20 pagi ini," kata Maggie. "Aku khawatir kita akan ketinggalan. Dan dia
tak mengatakan
di mana akan menginap. Jadi tak ada cara untuk menghubunginya sebelum ia terbang
pulang."
486
"Jangan cepat menyerah," kata Stuart. "Kalau kita segera berangkat, mungkin
sepuluh menit lagi
kita sudah sampai di bandara, tepat dengan mendaratnya pesawat itu. Kau bisa
mengundangnya
santap siang bersama."
Tara memandang ibunya. Maggie tak tampak bersemangat terhadap gagasan tersebut.
"Bahkan bila
kita bisa mengejarnya, kemungkinan besar ia akan menolak," kata Maggie. "Ia masih
jetlag dan
mau mempersiapkan diri untuk pertemuannya besok."
"Tapi setidaknya Mom sudah berusaha," kata Tara.
Maggie melipat surat itu, melepas celemeknya, dan berkata, "Kau benar, Tara.
Setelah bertahun-
tahun, setidaknya itulah yang bisa kulakukan." Ia tersenyum kepada putrinya, cepat-
cepat
meninggalkan dapur, dan menghilang ke lantai atas.
Di kamarnya, Maggie membuka lemari pakaian dan memilih pakaian kesayangannya
Ia tidak ingin
DeclJ^* menganggapnya setengah baya—meskipun itu agak konyol, karena ia
memang setengah
baya, demikian pula Declan. Ia mematut-matut diri di cermin. Boleh juga, demikian
putusnya,
untuk orang yang berumur 51. Ia tak bertambah gemuk, tetapi satu-dua garis telah
muncul di
dahinya selama enam bulan terakhir.
Maggie tiba kembali di bawah dan menemukan Stuart hilir-mudik di ruang utama. Ia
tahu pasti
mobil sudah siap, bahkan mungkin mesinnya sudah dihidupkan.
"Ayo, Tara," teriaknya ke lantai atas untuk ketiga kalinya.
Beberapa menit kemudian Tara muncul, dan ketidaksabaran Stuart menguap saat
Tara tersenyum.
487
Sambil naik ke dalam mobil, Tara berkata, "Aku sudah tak sabar lagi bertemu dengan
Declan.
Bahkan namanya saja sudah kedengaran romantis."
"Begitulah persisnya yang kurasakan waktu itu," kata Maggie.
"Apalah artinya nama?" kata Stuart dengan meringis, sambil mengeluarkan mobil
dari jalur masuk
dan membelok ke jalan.
"Artinya banyak sekali jika kau dilahirkan sebagai Margaret Deirdre Burke," jawab
Maggie. Stuart
tertawa terbahak-bahak. "Ketika masih sekolah, aku pernah menulis surat pada diriku
sendiri
dengan alamat kepada 'Dr. dan Mrs. Declan O'Casey'. Tapi itu tak membuatnya lebih
menarik lagi."
Maggie menyentuh rambutnya dengan agak gugup.
"Apakah tak mungkin," kata Tara, "sesudah berta-Jiun-tahun, Dr. O'Casey mungkin
berubah jadi
menyenangkan, jantan, dan duniawi?"
"Aku meragukannya," sahut Maggie. "Lebih mungkin ia akan jadi sombong, keriput,
dan masih
perjaka."
"Bagaimana mungkin kau bisa tahu ia masih perjaka waktu itu?" tanya Stuart.
"Sebab ia tak pernah berhenti mengatakannya pada setiap orang," jawab Maggie.
"Gagasan Declan
mengenai akhir pekan yang romantis adalah menyajikan makalah trigonometri pada
suatu
konferensi matematika."
Tawa Tara meledak.
"Tapi, terus terang, ayahmu pun tak begitu lebih berpengalaman daripada dia. Kami
mengalami
malam pertama bersama di atas bangku taman. Dan satu-satunya yang hilang adalah
selopku."
488
Stuart tertawa terbahak hingga hampir menabrak pinggiran jalan.
"Aku bahkan tahu bagaimana Connor kehilangan keperjakaannva," lanjut Maggie.
"Dengan cewek
yang terkenal dengan nama 'Jangan Pernah Bilang Tidak, Nancy'," bisik Maggie,
pura-pura berbagi
rahasia.
"Tak mungkin ia menceritakannya padamu," kata Stuart tak percaya.
"Memang tidak. Aku takkan pernah tahu jika ia tak pulang terlambat setelah latihan
sepak bola
suatu malam. Kuputuskan meninggalkan pesan di dalam locker-nya, dan kutemukan
nama Nancy
tercoret di balik pintu lemari. Tapi sebenarnya aku tak boleh mengeluh. Ketika
kuperiksa locker
teman-teman sekesebelas-annya, skor Connor jauh yang paling di bawah."
Tara kini tertawa terpingkal-pingkal hingga memohon ibunya menghentikan
ceritanya. ^
"Waktu ayahmu akhirnya..."
Saat mereka tiba di bandara, Maggie telah menghabiskan semua ceritanya tentang
persaingan
antara Declan dan Connor, dan mulai merasa agak takut berjumpa dengan mantan
partner dansanya
setelah sekian lama.
Stuart menghentikan mobil di pinggir jalan, melompat keluar, dan membukakan
pintu belakang
untuk Maggie. "Sebaiknya cepat-cepat," katanya sambil memeriksa jam.
"Apa ingin kutemani, Mom?" tanya Tara.
"Tidak Terima kasih," jawab Maggie, dan ia berjalan cepat menuju pintu otomatis
sebelum sempat
berubah pikiran.
489
Ia memeriksa papan pengumuman kedatangan penerbangan. Penerbangan 815
United dari Chicago
mendarat tepat waktu pukul 11.20. Sekarang sudah pukul 11.40. Seumur hidup
belum pernah ia
terlambat begitu lama untuk menjemput seseorang dari pesawat terbang.
Semakin dekat dengan area kedatangan, semakin lambat langkahnya, dengan harapan
Declan
punya waktu untuk menyelinap pergi. Ia memutuskan berada di situ selama
seperempat jam untuk
memenuhi kewajiban, kemudian akan kembali ke mobil. Ia mulai mengamati para
penumpang yang
datang ketika mereka melewati gerbang. Orang-orang muda, ceria, dan bergairah,
sambil mengepit
papan selancar; orang-orang separo baya, buru-buru dan penuh perhatian, sambil
memegangi anak-
anak mereka; orang-orang tua, berjalan pelan-pelan dan hati-hati, berada di urutan
terakhir. Maggie
mulai bertanya-tanya apakah ia akan mengenali Declan. Apakah Declan telah
melewatinya?
Bagaimanapun sudah tiga puluh tahun lebih setelah mereka bertemu terakhir kali,
dan Declan tak
berharap disambut seseorang di situ.
Maggie memeriksa jamnya lagi—waktu seperempat jam sudah hampir habis. Ia
mulai
membayangkan sepiring gnocchi dan segelas Chardonnay untuk makan siang di
Cronulla,
kemudian tidur-tiduran berjemur matahari siang sementara Stuart dan Tara
berselancar. Tiba-tiba
matanya menatap seorang pria berlengan satu yang sedang melewati gerbang
kedatangan.
Kaki Maggie terasa lemas. Ia menatap orang yang tak pernah berhenti dicintainya,
dan mengira ia
akan pingsan. Air matanya berlinangan. Ia tidak minta pen-
490
jelasan. Itu bisa nanti, kelak. Ia berlari ke arah pria itu, melupakan semua orang di
sekitarnya.
Saat melihat Maggie, pria itu mengembangkan senyum yang tak asing lagi yang
menunjukkan ia
tahu ia telah dikenali
"Ya Tuhan, Connor," kata Maggie, sambil mengembangkan kedua lengannya.
"Katakan ini
memang benar. Ya Tuhan, katakan ini benar."
Connor memeluknya erat-erat dengan tangan kanan, lengan baju kirinya menjuntai di
sisinya.
"Memang benar, sayangku Maggie," katanya dengan logat Irlandia kental.
"Sayangnya, meskipun
Presiden bisa memperbaiki hampir segalanya, begitu mereka mematikanmu, kau tak
punya pilihan
lain kecuali menghilang sementara waktu dan memakai identitas lain." Ia melepas
pelukannya dan
memandang wanita yang ingin ia dekap setiap jam selama enam bulan terakhir ini.
"Kuputuskan
memakai identitas Dr. Declan O'Casey, akademis/; yang sedang mempertimbangkan
untuk
menerima tugas baru di Australia, sebab aku ingat kau pernah bilang yang
kauinginkan dalam
hidup ini ialah menjadi Mrs. Declan O'Casey. Aku juga yakin takkan diganggu oleh
terlalu banyak
orang Australia yang mengetes ke-pakaranku dalam matematika."
Maggie mengangkat muka menatapnya. Air mata bercucuran membasahi pipinya. Ia
tak yakin
harus menangis atau tertawa
"Tapi surat itu, sayangku," kata Maggie. "Huruf 'e'-nya yang bengkok. Bagaimana
kau...?"
"Ya, kupikir kau menyukai sentuhan itu," jawab Connor. "Itu sesudah aku melihat
fotomu di
Washington Post, berdiri di dekat makam berhadapan dengan
491
3E?
Presiden, kemudian membaca penghormatan kepada almarhum suamimu dengan
berapi-api, hingga
aku berpikir. Declan. mungkin inilah kesempatan terakhirmu untuk menikahi nona
muda Margaret
Burke dari East Side itu:' Connor tersenyum. "Jadi bagaimana sekarang. Maggie?"
tanyanya.
"Maukah kau menikah denganku?"
"Connor Fitzgerald, masih banyak sekali yang harus kaujelaskan," kata Maggie.
"Memang benar, Mrs. O'Casey. Dan seluruh sisa hidup kita ini perlu untuk
menjelaskannya."
Tamat

Anda mungkin juga menyukai