Anda di halaman 1dari 35

PETUALANGAN

DETEKTIF SEKARAT

Arthur Conan Doyle

2019
Petualangan Detektif Sekarat

Diterjemahkan dari: The Adventure of the Dying Detective


karangan Arthur Conan Doyle
terbit tahun 1913
(Hak cipta dalam Domain Publik)

Penerjemah : Ilunga d’Uzak


Penyunting : Kalima Insani
Penyelaras akhir : Bared Lukaku
Penata sampul : Bait El Fatih

Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh:


RELIFT MEDIA
Jl. Amil Sukron No. 47
Kec. Cibadak Kab. Sukabumi
Jawa Barat 43351
SMS : 0853 1179 4533
Surel : relift.media@gmail.com
Situs : reliftmedia.com

Pertama kali dipublikasikan pada: April 2019


Revisi terakhir: Juli 2019

Copyright © 2019 CV. RELIFT

Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah


milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak
seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fksi. Semua nama, karakter, bisnis,
organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi
penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati,
peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.

Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek


penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT:
Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga
masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan
mengunjungi iklan yang tampil di situs dan blog kami.
N y. Hudson, ibu kos Sherlock Holmes, adalah wanita yang
tabah. Bukan saja fat lantai pertamanya diserbu pada
jam berapa saja oleh gerombolan karakter ganjil dan seringkali
tak menyenangkan, tapi juga penyewanya yang pelik ini
menampakkan keeksentrikan dan ketidakberesan dalam hidup-
nya yang tentu sangat menguji kesabarannya. Ketidakrapian
luar biasa, kecanduan pada musik di jam-jam aneh, latihan
revolver sesekali di dalam kamar, percobaan ilmiah ganjil dan
kerapkali berbau tak sedap, dan atmosfer kekerasan dan bahaya
yang menggelayutinya menjadikan dia penyewa terburuk di
London. Di sisi lain, bayarannya seperti bangsawan. Aku tidak
ragu rumah itu bisa saja terbeli dengan harga yang sudah
Holmes bayarkan untuk kamarnya selama tahun-tahunku
berteman dengannya.
Ibu kos menyimpan rasa takzim mendalam padanya dan tak
pernah berani mengganggunya, sekasar apapun tindak-tanduk-
nya. Dia juga sangat menyayanginya, karena Holmes luar biasa
lemah-lembut dan sopan dalam berurusan dengan kaum
wanita. Holmes tidak menyukai dan tidak mempercayai jenis
kelamin tersebut, tapi dia lawan yang ksatria. Mengetahui
betapa tulus perhatiannya untuk Holmes, aku menyimak cerita-
nya dengan sungguh-sungguh saat dia datang ke kamarku di

5
tahun kedua kehidupan pernikahanku dan menuturkan kondisi
pilu yang dialami sahabatku.
“Dia sedang sekarat, Dr. Watson,” katanya. “Sudah tiga hari
dia melemah, dan aku ragu apa dia akan melewati hari ini. Dia
takkan membiarkanku memanggil dokter. Pagi ini, saat kulihat
tulang-tulangnya menonjol dari wajahnya, dan mata cerah
besarnya menatapku, aku tak tahan lagi. ‘Dengan atau tanpa
izinmu, Tn. Holmes, aku akan menjemput dokter jam ini juga,’
kataku. ‘Kalau begitu, Watson saja,’ sahutnya. Aku takkan
menyiakan waktu satu jam pun untuk mendatanginya, tuan,
atau kau tidak akan melihatnya dalam keadaan hidup.”
Aku merasa ngeri karena tak pernah dengar apa-apa soal
penyakitnya. Tak usah dikatakan, aku buru-buru mengambil jas
dan topi. Selagi kami berkendara, aku menanyakan seluk-beluk-
nya.
“Tak banyak yang bisa kukatakan, tuan. Dia sedang
mengerjakan sebuah kasus di Rotherhithe, di sebuah gang
dekat sungai, dan dia membawa pulang penyakit ini. Dia lari ke
tempat tidur Rabu sore dan tak beranjak sejak saat itu. Selama
tiga hari ini tak sedikitpun makanan atau minuman melewati
bibirnya.”
“Astaga! Kenapa tak panggil dokter?”

6
“Dia melarang, tuan. Kau tahu dia orangnya sok kuasa. Aku
tak berani melawan. Tapi hidupnya tak lama lagi; kau akan
mengerti begitu melihatnya.”
Dia memang tampak menyedihkan. Dalam cahaya redup
hari November yang berkabut, kamar sakit itu menjadi tempat
muram, tapi wajah cekung dan layulah, membelalak padaku
dari tempat tidur, yang membuat hatiku gigil. Matanya
memancarkan demam, ada rona tidak tenang pada kedua pipi,
dan kerak-kerak gelap melekat pada bibirnya; tangan kurus di
atas selimut kejang-kejang tiada henti, suaranya menggaok dan
menyesak. Dia terbaring lesu saat aku masuk kamar, tapi begitu
melihatku, matanya memancarkan sorot kenal.
“Well, Watson, rupanya kita mengalami hari-hari buruk,”
katanya dalam suara sayup, tapi dengan gaya serampangan
lamanya.
“Sahabatku!” pekikku, mendekatinya.
“Mundur! Cepat mundur!” katanya dengan keangkuhan
tajam yang biasa kukaitkan dengan momen-momen genting.
“Kalau kau mendekat, Watson, akan kusuruh kau keluar dari
rumah ini.”
“Tapi kenapa?”
“Karena itu kehendakku. Apa itu tidak cukup?”

7
Ya, Ny. Hudson benar. Dia lebih sok kuasa dari sebelumnya.
Tapi, pilu rasanya melihat dia kepayahan.
“Aku cuma ingin membantu,” jelasku.
“Tepat! Kau akan sangat membantu dengan melakukan apa
yang diperintahkan.”
“Tentu, Holmes.”
Sikap tegangnya mengendur.
“Kau tidak marah?” tanyanya, megap-megap.
Sobat malang, bagaimana bisa aku marah sementara dia
tergolek sengsara di depanku?
“Ini demi kau sendiri, Watson,” gaoknya.
“Demi AKU?”
“Aku tahu apa yang terjadi denganku. Ini penyakit kuli dari
Sumatera—penyakit yang lebih dipahami orang Belanda
daripada kita, meski mereka meremehkannya sampai hari ini.
Hanya satu hal yang pasti. Ini betul-betul mematikan, dan ini
sangat-sangat menular.”
Kini dia bicara dengan energi berapi-api; tangan panjangnya
kejang dan menyentak saat dia memberi isyarat untuk
menjauh.
“Menular lewat sentuhan, Watson—ya, lewat sentuhan. Jaga
jarak dan semua akan baik-baik saja.”

8
“Ya ampun, Holmes! Kau sangka pertimbangan macam itu
berbobot di sisiku sedetik pun? Itu tidak berpengaruh padaku
dalam kasus orang asing. Dan kau pikir itu akan menghalangi
kewajibanku pada seorang teman lama?”
Lagi-lagi aku maju, tapi dia menangkisku dengan tatapan
marah berapi-api.
“Kalau kau mau berdiri di sana, aku akan bicara. Kalau tidak,
kau harus tinggalkan ruangan ini.”
Aku menaruh rasa hormat begitu dalam pada sifat-sifat luar
biasa Holmes sampai-sampai aku selalu tunduk pada kemauan-
nya, bahkan saat kurang dimengerti. Tapi sekarang semua
naluri profesiku bangkit. Biar saja dia menjadi penguasaku di
tempat lain, tapi di kamar sakit, paling tidak aku adalah
penguasanya.
“Holmes,” kataku, “kau bukan dirimu yang biasa. Orang
sakit tak lebih dari anak kecil, jadi aku akan merawatmu. Tak
peduli kau suka atau tidak, aku akan memeriksa gejala-
gejalamu dan merawatmu.”
Dia memelototiku dengan mata sengit.
“Kalau aku harus mendapat dokter, mau tak mau, biarkan
aku setidaknya mendapatkan seseorang yang kupercayai,”
katanya.

9
“Jadi kau tak percaya padaku?”
“Pada persahabatanmu, sudah tentu. Tapi fakta tetaplah
fakta, Watson, dan, biar bagaimanapun, kau hanyalah dokter
praktek umum dengan pengalaman terbatas dan kualifkasi
medioker. Sakit rasanya harus mengatakan hal-hal ini, tapi kau
tak memberiku pilihan.”
Aku sangat terluka.
“Perkataan semacam itu tidak pantas untukmu, Holmes. Itu
jelas menunjukkan keadaan batinmu. Tapi kalau kau tak
percaya padaku, aku tidak akan memaksakan pelayananku. Biar
kubawakan Sir Jasper Meek atau Penrose Fisher, atau salah satu
dari orang-orang terbaik di London. Tapi kau HARUS mendapat
seorang dokter, titik. Kalau kau pikir aku akan berdiri di sini
dan melihatmu mati tanpa menolongmu atau membawa
seseorang untuk menolongmu, maka kau sudah salah mengerti
temanmu.”
“Niatmu baik, Watson,” kata orang sakit ini antara tersedu
dan mengerang. “Haruskah kupertontonkan ketidaktahuanmu?
Apa yang kau tahu, coba, tentang demam Tapanuli? Apa yang
kau tahu tentang pembusukan Formosa hitam?”
“Aku belum pernah dengar dua-duanya.”
“Ada banyak persoalan penyakit, banyak kemungkinan

10
patologis aneh, di Timur, Watson.” Dia berhenti usai setiap
kalimat untuk mengumpulkan tenaganya yang melemah. “Aku
belajar begitu banyak dalam beberapa riset belakangan ini yang
mengandung aspek medis-kriminal. Selama proses itulah aku
terkena penyakit ini. Kau tak bisa berbuat apa-apa.”
“Mungkin tidak. Tapi aku kebetulan tahu bahwa Dr.
Ainstree, ahli terhebat untuk penyakit tropis, sedang ada di
London. Tak ada gunanya mengeluh, Holmes, aku akan men-
jemput dia detik ini juga.” Aku berbalik ke pintu dengan tegas.
Aku syok bukan main! Tiba-tiba, dengan lompatan macan,
orang sekarat itu mencegatku. Aku dengar derakan tajam kunci
yang diputar. Sejenak berikutnya dia sudah terhuyung-huyung
balik ke tempat tidur, kepayahan dan terengah-engah setelah
letusan energi dahsyat.
“Kau tidak akan mengambil paksa kunci ini dariku, Watson,
kena kau, teman. Di sini kau berada, dan di sini kau akan
tinggal sampai aku berkehendak lain. Tapi aku akan
menghiburmu.” (Semua ini dikatakan sambil terengah-engah,
diselingi usaha mati-matian untuk bernafas.) “Kau memikirkan
kebaikanku. Aku tahu itu. Kemauanmu akan dituruti, tapi beri
aku waktu untuk mendapat tenaga. Tidak sekarang, Watson,
tidak sekarang. Ini jam empat. Kau bisa pergi jam enam.”

11
“Ini gila, Holmes.”
“Dua jam saja, Watson. Aku janji kau akan pergi jam enam.
Kau puas menunggu?”
“Sepertinya aku tak punya pilihan.”
“Tidak sama sekali, Watson. Terimakasih, aku tak butuh
bantuan dalam membereskan seprai. Tolong jaga jarak. Nah,
Watson, ada satu syarat lain yang akan kubuat. Kau akan minta
pertolongan, bukan dari orang yang kau sebutkan, tapi dari
orang yang kupilih.”
“Sudah barang tentu.”
“Itu tiga kata bijaksana pertama yang kau ucapkan sejak
masuk ke sini, Watson. Kau bisa temukan beberapa buku di
sebelah sana. Aku agak kepayahan; aku ingin tahu apa yang
baterai rasakan saat menuangkan listrik ke dalam non-
konduktor? Jam enam, Watson, kita lanjutkan perbincangan
kita.”
Tapi itu ditakdirkan berlanjut jauh sebelum jam tersebut,
dan dalam suasana yang memberiku syok hampir sama dengan
saat dia lompat ke pintu. Aku berdiri beberapa menit meman-
dangi sosok bisu di tempat tidur. Wajahnya hampir tertutup
seprai dan dia tampak tidur. Lalu, tak mampu menenangkan
diri untuk membaca, aku mondar-mandir pelan, memeriksa

12
gambar-gambar penjahat ternama yang menghiasi setiap
dinding. Akhirnya, dalam keluyuran tanpa arah, aku tiba di rak
perapian. Pipa-pipa, kantong-kantong tembakau, sempritan,
pisau-pisau lipat, pelor-pelor revolver, dan puing-puing lain
berserakan di situ. Di tengah-tengah semua ini terdapat boks
gading hitam-putih kecil berpenutup geser. Benda kecil yang
apik, dan aku sudah mengulurkan tanganku untuk memeriksa-
nya lebih dekat ketika—
Dia mengeluarkan teriakan keras—pekikan yang mungkin
saja terdengar sampai ke jalan raya. Kulitku merinding dan
rambutku berdiri karena jeritan seram itu. Saat berbalik, aku
menangkap sepintas wajah kejang dan mata kalut. Aku mati
rasa, dengan boks kecil di tanganku.
“Letakkan itu! Letakkan, sekarang juga, Watson—sekarang
juga, kubilang!” Kepalanya terbenam kembali ke atas bantal
dan dia mendesah lega saat aku menaruh kembali boks itu di
rak perapian. “Aku benci barang-barangku disentuh, Watson.
Kau tahu aku benci itu. Kau membuatku gelisah melebihi batas
ketahanan. Kau, seorang dokter—kau cukup untuk mendorong
seorang pasien masuk rumah sakit jiwa. Duduklah, kawan, dan
biarkan aku istirahat!”
Insiden itu meninggalkan kesan tidak enak dalam benakku.

13
Kehebohan keras dan tanpa sebab, disusul omongan kejam ini,
yang begitu jauh berbeda dari kebiasaan sopan santunnya,
menunjukkan betapa dalam kekacauan pikirannya. Di antara
semua puing-puing, puing-puing pikiran mulia adalah yang
paling disesalkan. Aku duduk murung sampai waktu yang
ditetapkan berlalu. Selama itu dia seolah memperhatikan jam
seperti halnya aku, karena persis sebelum jam enam dia mulai
berbicara dengan gelora berapi-api yang sama seperti tadi.
“Nah, Watson,” katanya. “Kau bawa uang kecil dalam
sakumu?”
“Ya.”
“Ada koin perak?”
“Banyak.”
“Berapa banyak koin setengah crown?”
“Aku punya lima.”
“Ah, terlalu sedikit! Terlalu sedikit! Sayang sekali, Watson!
Meski begitu, kau bisa masukkan mereka ke dalam saku
arlojimu. Dan uangmu sisanya ke dalam saku celana kiri.
Terimakasih. Dengan begitu kau akan jauh lebih seimbang.”
Ini kegilaan hebat. Dia menggigil, dan sekali lagi bersuara
antara batuk dan tersedu.
“Sekarang kau akan nyalakan gasnya, Watson, tapi kau akan

14
sangat hati-hati agar itu tidak menyala lebih dari setengah.
Kumohon hati-hati, Watson. Terimakasih, itu sempurna. Tidak,
kau tak usah menutup keré. Sekarang kau akan berbaik hati
menaruh beberapa surat dan dokumen di atas meja ini dalam
jangkauanku. Terimakasih. Terus beberapa serakan dari rak
perapian. Sempurna, Watson! Ada capit gula di sana. Tolong
angkat boks gading kecil dengan bantuan capit itu. Taruh di
sini di antara dokumen-dokumen. Bagus! Sekarang kau bisa
pergi jemput Tn. Culverton Smith, dari 13 Lower Burke Street.”
Sejujurnya, keinginanku untuk menjemput seorang dokter
sudah agak melemah, karena Holmes mengigau hebat, jadi
tidak aman untuk ditinggalkan. Tapi kini dia sangat ingin
berkonsultasi dengan orang itu sebagaimana tadi dia keras
kepala menolak.
“Aku tak pernah dengar nama itu,” kataku.
“Boleh jadi tidak, sahabatku Watson. Mungkin kau akan
kaget mengetahui bahwa orang di muka bumi yang paling
pandai dalam penyakit ini bukan orang medis, tapi seorang
pengusaha perkebunan. Tn. Culverton Smith adalah penduduk
terkenal dari Sumatera, kini sedang melawat ke London. Wabah
penyakit di perkebunannya, yang jauh dari bantuan medis,
mendorong dia mengkajinya sendiri, dengan beberapa konse-

15
kuensi agak luas. Dia orang yang sangat metodis, dan aku tak
menghendakimu berangkat sebelum jam enam karena aku tahu
dia tidak akan ditemukan di kamar kerjanya. Kalau kau bisa
bujuk dia supaya datang kemari dan memberi kita manfaat dari
pengalaman uniknya dengan penyakit ini, yang penyelidikan-
nya telah menjadi hobi kesayangannya, aku yakin dia bisa
menolongku.”
Aku menampilkan perkataan Holmes secara utuh dan runut
dan tidak akan berupaya menunjukkan bagaimana itu diselang-
selingi oleh megapan nafas dan cengkeraman tangan yang
mengindikasikan sakit yang dideritanya. Penampilannya
berubah memburuk selama beberapa jam aku menemaninya.
Bintik-bintik demam itu lebih jelas, matanya menyorot lebih
terang dari cekung gelap, dan keringat dingin berkelip redup di
dahinya. Namun, dia masih menjaga kejantanan riang dalam
bicaranya. Sampai nafas terakhir dia akan selalu menjadi
penguasa.
“Kau akan beritahu dia persis dalam kondisi bagaimana kau
meninggalkanku,” katanya. “Kau akan sampaikan kesan yang
ada dalam benakmu—orang sekarat—orang sekarat dan
mengigau. Aku tak habis pikir kenapa seluruh dasar samudera
dipadati sekumpulan tiram, makhluk yang begitu mudah ber-

16
kembangbiak. Ah, aku mengembara! Aneh rasanya bagaimana
otak mengendalikan otak! Apa yang kukatakan barusan,
Watson?”
“Arahan untukku terkait Tn. Culverton Smith.”
“Ah, ya, aku ingat. Nyawaku bergantung pada itu. Memelas-
lah padanya, Watson. Ada perasaan tak enak di antara kami.
Keponakannya, Watson—aku mencurigai perbuatan jahat dan
kubiarkan dia mengalaminya. Bocah itu mati dengan buruk. Dia
menaruh dendam padaku. Kau akan melunakkannya, Watson.
Mengemislah padanya, memohonlah padanya, bawa dia kemari
dengan cara apapun. Dia bisa menyelamatkanku—hanya dia!”
“Aku akan bawa dia dalam taksi, sekalipun harus meng-
gotongnya.”
“Kau tidak akan melakukan hal semacam itu. Kau akan
membujuknya untuk datang. Terus kau akan kembali lebih
dulu. Buat dalih apapun agar tidak datang bersama-sama.
Jangan lupa, Watson. Kau tidak akan membuatku kecewa. Kau
tidak pernah membuatku kecewa. Sudah pasti ada musuh-
musuh alami yang membatasi pertambahan makhluk-makhluk.
Aku dan kau, Watson, kita sudah melakukan bagian kita. Jadi,
akankah dunia dibanjiri oleh tiram-tiram? Tidak, tidak;
mengerikan! Kau akan sampaikan semua yang ada dalam

17
benakmu.”
Kutinggalkan dia dengan kesan intelek agung yang
mengoceh seperti anak pandir. Dia sudah menyerahkan kunci
pintu, dan dengan pikiran bahagia aku membawanya agar dia
tidak mengunci diri di dalam. Ny. Hudson sedang menunggu di
lorong, gemetar dan bercucuran air mata. Di belakang, sewaktu
berlalu dari fat, aku mendengar suara tinggi lengking milik
Holmes dalam nyanyian mengigau. Di bawah, selagi aku berdiri
menyiul taksi, seorang pria menghampiriku di antara kabut.
“Bagaimana keadaan Tn. Holmes, pak?” tanyanya.
Dia kenalan lama, Inspektur Morton, dari Scotland Yard,
bersetelan tweed tak resmi.
“Dia sakit parah,” jawabku.
Dia memandangiku dengan cara sangat aneh. Seandainya
itu tidak terlalu buas, aku hampir menyangka pancaran jendela
fanlight menampakkan kegembiraan meluap-luap di wajahnya.
“Aku dengar rumornya,” katanya.
Taksi sudah datang, dan kutinggalkan dia.
Lower Burke Street ternyata merupakan deretan rumah-
rumah indah yang terletak di daerah perbatasan suram antara
Notting Hill dan Kensington. Rumah di mana sopir taksi
menepikan mobilnya memuat kesan kemuliaan sok dan puas

18
diri pada pagar besi kunonya, pintu lipat raksasanya, dan karya
kuningan kemilaunya. Semua serasi dengan seorang kepala
pelayan serius yang tampak dibingkai dalam pancaran merah
muda dari sebuah lampu listrik berwarna di belakangnya.
“Ya, Tn. Culverton Smith ada di dalam. Dr. Watson! Baiklah,
pak, aku akan ambil kartu Anda.”
Nama dan gelar sederhanaku rupanya tidak membuat Tn.
Culverton Smith terkesan. Melalui pintu setengah terbuka aku
mendengar suara tinggi, ngambek, dan menusuk.
“Siapa orang ini? Apa maunya? Ayolah, Staples, berapa
sering kubilang, aku tak mau diganggu dalam jam kajianku?”
Datang aliran lemah-lembut penjelasan yang menenangkan
dari kepala pelayan.
“Well, aku takkan menemuinya, Staples. Aku tak suka
pekerjaanku disela seperti ini. Aku sedang tak di rumah. Bilang
saja begitu. Suruh dia datang besok pagi kalau memang harus
bertemu denganku.”
Sekali lagi gumaman lemah-lembut.
“Well, well, sampaikan pesan itu. Dia bisa datang besok pagi,
atau dia bisa pergi jauh. Pekerjaanku tidak boleh diganggu.”
Aku kepikiran Holmes sedang terombang-ambing di atas
ranjang sakitnya dan sedang menghitung menit, barangkali,

19
sampai aku bisa membawa pertolongan untuknya. Ini bukan
waktu untuk berpegang pada formalitas. Nyawanya bergantung
pada kegesitanku. Sebelum kepala pelayan apologetik itu
menyampaikan pesannya, aku sudah mendesak melewatinya
dan masuk ruangan.
Dengan lengkingan marah seorang pria bangkit dari kursi
sandar di samping perapian. Aku melihat wajah kuning besar,
kasar dan berminyak, dengan dagu ganda berat, dan dua mata
kelabu rongseng penuh ancaman yang melotot padaku dari
bawah alis pirang berumbai. Kepala botak tinggi mengenakan
topi merokok beludru kecil yang diseimbangkan dengan genit
pada satu sisi lekuk merah mudanya. Tengkoraknya berkapa-
sitas besar, tapi saat kuperhatikan ke bawah, aku keheranan
mendapati bentuk badan pria itu kecil dan rapuh, bahu dan
punggungnya kedut seperti orang yang menderita rakitis di
masa kecil.
“Apa-apaan ini?” teriaknya dalam suara tinggi menjerit.
“Apa maksudnya masuk tanpa izin? Bukankah aku sudah kirim
pesan bahwa aku akan temui kau besok pagi?”
“Maafkan aku,” kataku, “tapi perkara ini tak bisa ditunda-
tunda. Tn. Sherlock Holmes—”
Penyebutan nama temanku berefek luar biasa pada pria

20
mungil ini. Raut marah berlalu seketika dari wajahnya.
Romannya jadi tegang dan siaga.
“Kau dari tempat Holmes?” tanyanya.
“Aku baru meninggalkannya.”
“Bagaimana dengan Holmes? Bagaimana keadaannya?”
“Dia sakit parah. Itu sebabnya aku kemari.”
Pria itu memberiku isyarat ke sebuah kursi, lalu berbalik
untuk kembali duduk. Sewaktu dia melakukan itu, aku
menangkap sepintas wajahnya pada cermin di atas rak
perapian. Aku bisa bersumpah wajahnya terpasang dalam
senyum jahat dan menjijikkan. Tapi kuyakinkan diriku sendiri,
itu pasti suatu kontraksi syaraf yang disebabkan olehku, karena
sejenak kemudian dia berbalik padaku dengan roman khawatir
sungguh-sungguh.
“Aku prihatin mendengarnya,” katanya. “Aku hanya kenal
Tn. Holmes melalui beberapa urusan bisnis, tapi aku menaruh
segala hormat pada bakat dan karakternya. Dia amatir kriminal,
sementara aku amatir penyakit. Untuknya penjahat, untukku
mikroba. Di situlah penjaraku,” sambungnya, menunjuk sebaris
botol dan buli-buli yang berdiri di sebuah meja samping. “Di
antara kultur-kultur gelatin itu beberapa pelanggar terburuk
sedang menjalani masa hukuman.”

21
“Oleh sebab pengetahuan istimewamu, Tn. Holmes ingin
bertemu denganmu. Dia menilai tinggi dirimu dan berpikir kau
satu-satunya orang di London yang bisa menolongnya.”
Pria mungil itu terperanjat, dan topi merokok modisnya
jatuh tergelincir ke lantai.
“Kenapa?” tanyanya. “Kenapa Tn. Holmes berpikir aku bisa
menolongnya dalam penyakitnya?”
“Karena pengetahuanmu tentang penyakit-penyakit Timur.”
“Tapi kenapa dia berpikir penyakit yang dideritanya ini dari
Timur?”
“Karena, dalam suatu pekerjaan interogasi, dia bekerja di
antara para pelaut China di dermaga.”
Tn. Culverton Smith tersenyum senang dan memungut topi
merokoknya.
“Oh, hanya itu—ya?” katanya. “Aku yakin perkara ini tidak
segawat yang kau kira. Sudah berapa lama dia sakit?”
“Sekitar tiga hari.”
“Apa dia mengigau?”
“Sesekali.”
“Oh ya! Kedengarannya serius. Sungguh tak manusiawi jika
aku tak penuhi panggilannya. Aku sangat benci pekerjaanku
disela, Dr. Watson, tapi kasus ini tentu pengecualian. Aku akan

22
ikut denganmu sekarang juga.”
Aku ingat instruksi Holmes.
“Aku ada janji lain,” kataku.
“Baguslah. Aku akan pergi sendiri. Aku punya catatan
alamat Tn. Holmes. Kau boleh yakin aku akan ada di sana dalam
setengah jam, paling lambat.”
Dengan hati gundah aku masuk kembali ke kamar tidur
Holmes. Sebatas yang kutahu, hal terburuk mungkin telah
terjadi selama kepergianku. Yang teramat melegakan, dia sudah
banyak membaik dalam selang waktu itu. Penampilannya masih
pucat pasi, tapi semua jejak igauan sudah pergi. Memang betul
dia berbicara dalam suara sayup, tapi dengan kegaringan dan
kejernihan lebih dari biasanya.
“Well, kau ketemu dia, Watson?”
“Ya. Dia sedang datang.”
“Mengagumkan, Watson! Mengagumkan! Kau pengabar
terbaik.”
“Dia ingin datang bersamaku.”
“Itu tidak boleh, Watson. Itu jelas mustahil. Dia tanya aku
sakit apa?”
“Aku cerita padanya soal orang-orang China di East End.”
“Tepat! Well, Watson, kau sudah melakukan semua yang bisa

23
dilakukan seorang teman baik. Sekarang kau boleh menghilang
dari layar.”
“Aku harus tunggu dan dengar opininya, Holmes.”
“Tentu saja kau harus. Tapi aku punya banyak alasan untuk
menduga opininya akan jauh lebih terus-terang dan bernilai
kalau dia berpikir kami cuma berdua. Ada ruang di belakang
kepala tempat tidurku, Watson.”
“Sobatku Holmes!”
“Kurasa tak ada alternatif, Watson. Kamar ini tak cocok
untuk persembunyian, tapi justru itu bagus, karena kecil
kemungkinannya menimbulkan kecurigaan. Tapi begitulah,
Watson, kukira itu bisa dilakukan.” Tiba-tiba dia duduk tegak
dengan keseriusan kaku pada wajah kurus cekungnya. “Ter-
dengar roda-roda, Watson. Cepat, kawan, kalau kau sayang aku!
Dan jangan bergerak sedikitpun, apapun yang terjadi—apapun
yang terjadi, kau dengar? Jangan bicara! Jangan bergerak!
Dengarkan saja baik-baik.” Lalu seketika letupan tenaganya
pergi, dan omongan sok kuasa dan penuh arti berdengung
menjadi gumaman lirih samar ala orang setengah mengigau.
Dari tempat persembunyian yang buru-buru kumasuki, aku
mendengar bunyi langkah kaki di tangga, serta dibuka dan
ditutupnya pintu kamar tidur. Kemudian, yang bikin kaget,

24
suasana menjadi hening panjang, hanya diputus oleh nafas dan
megapan berat orang sakit itu. Aku bisa bayangkan tamu kami
sedang berdiri di sisi tempat tidur dan menatap si penderita.
Akhirnya kesunyian aneh itu pecah.
“Holmes!” pekiknya. “Holmes!” dalam nada bertubi-tubi
seperti membangunkan orang tidur. “Tak bisakah kau dengar
aku, Holmes?” Ada gemerisik, seolah-olah dia menggoyang-
goyang pundak orang sakit itu dengan kasar.
“Kaukah itu, Tn. Smith?” bisik Holmes. “Aku hampir tak
berani berharap kau akan datang.”
Tn. Smith tertawa.
“Kukira tidak,” katanya. “Tapi, kau lihat, aku di sini. Bara
api1, Holmes—bara api!”
“Kau sungguh baik—kau sungguh mulia. Aku mengapresiasi
pengetahuan istimewamu.”
Tamu kami terkikik-kikik.
“Tentu. Kau, untungnya, satu-satunya orang di London yang
mengapresiasi. Kau tahu apa yang terjadi denganmu?”
“Sama,” kata Holmes.
“Ah! Kau kenal gejala-gejalanya?”
“Terlalu kenal.”
1 Berasal dari ungkapan dalam alkitab, yang maknanya “berbuat
baik kepada musuh”.

25
“Well, aku tidak kaget, Holmes. Aku tidak kaget jika ini
MEMANG sama. Kemungkinan buruk buatmu kalau benar.
Victor yang malang mati pada hari keempat—anak muda yang
kuat dan sehat. Seperti kau bilang, memang sangat meng-
herankan dia terkena sebuah penyakit Asiatik di jantung
London—penyakit yang juga sudah kukaji secara khusus.
Kebetulan aneh, Holmes. Pandai sekali kau menyadarinya, tapi
agak kejam jika menyebut itu sebab-akibat.”
“Aku tahu kau pelakunya.”
“Oh, kau tahu, masa? Well, kau tak bisa membuktikannya,
bagaimanapun. Tapi apa maksudmu menyebar desas-desus
tentangku seperti itu, terus merangkak minta bantuan padaku
saat kau dalam masalah? Permainan macam apa itu—hah?”
Aku dengar nafas serak dan berat dari orang sakit itu. “Beri
aku air!” megapnya.
“Ajalmu sudah sangat dekat, kawan, tapi aku tak ingin kau
pergi sebelum aku bicara denganmu. Itulah kenapa aku
memberimu air. Ini, jangan sampai tumpah! Benar begitu. Kau
bisa mengerti apa yang kukatakan?”
Holmes mengerang.
“Lakukan apa saja yang kau bisa untukku. Yang lalu biarlah
berlalu,” bisiknya. “Aku akan berusaha melupakan kata-kata itu

26
—sumpah aku akan. Hanya saja obati aku, dan aku akan
melupakannya.”
“Melupakan apa?”
“Well, soal kematian Victor Savage. Kau praktisnya meng-
akui barusan bahwa kau pelakunya. Aku akan lupakan itu.”
“Kau boleh lupakan itu atau ingat itu, terserah kau suka.
Aku tidak akan melihatmu di bilik saksi. Bilik lain lagi 2,
Holmes, kujamin. Bahwa kau tahu bagaimana keponakanku
mati, itu tak penting buatku. Bukan dia yang sedang kita
bicarakan, tapi kau.”
“Ya, ya.”
“Orang yang menjemputku—aku lupa namanya—dia bilang
kau terkena itu di East End di antara para pelaut.”
“Aku hanya bisa menerangkan sebabnya begitu.”
“Kau bangga dengan kecerdasanmu, bukan, Holmes? Kau
pikir dirimu pintar, bukan? Kau bertemu seseorang yang lebih
pintar kali ini. Nah coba ingat-ingat kembali, Holmes. Apa kau
tak terpikir cara lain bagaimana kau terkena penyakit ini?”
“Tidak. Ingatanku sudah hilang. Demi Tuhan, tolong aku!”
“Ya, aku akan menolongmu. Aku akan menolongmu untuk
memahami di mana persisnya posisimu dan bagaimana kau

2 Maksudnya peti mati.

27
sampai ke sana. Aku ingin kau tahu sebelum kau mati.”
“Beri aku sesuatu untuk meredakan sakitku.”
“Sakit, kan? Ya, para kuli itu biasa mendengking menjelang
ajal. Itu menderamu seperti kram, kukira.”
“Ya, ya; ini kram.”
“Well, kau bisa dengar perkataanku, biar bagaimanapun.
Sekarang dengarkan! Bisakah kau ingat insiden tak biasa dalam
hidupmu kira-kira bersamaan dengan saat gejalamu mulai
muncul?”
“Tidak, tidak; tak ada.”
“Pikir lagi.”
“Aku terlalu sakit untuk berpikir.”
“Well, kalau begitu, aku akan membantu. Apa ada sesuatu
yang datang lewat pos?”
“Lewat pos?”
“Sebuah boks barangkali?”
“Aku akan pingsan—aku akan mati!”
“Dengar, Holmes!” Terdengar suara seolah-olah dia sedang
menggoyang-goyang orang sekarat itu, dan hanya itu yang bisa
kulakukan untuk tetap tenang di tempat persembunyianku.
“Kau harus dengar aku. Kau AKAN dengar aku. Apa kau ingat
sebuah boks—sebuah boks gading? Datang hari Rabu. Kau

28
membukanya—apa kau ingat?”
“Ya, ya, aku membukanya. Ada pegas tajam di dalamnya.
Suatu lelucon—”
“Itu bukan lelucon, sebagaimana akan kau ketahui dengan
resikomu sendiri. Dasar bodoh, kau akan merasakannya dan kau
sudah merasakannya. Siapa suruh melawan rencanaku? Andai
kau tidak ikut campur, aku tidak akan menyakitimu.”
“Aku ingat,” megap Holmes. “Pegasnya! Itu mengisap darah.
Boks itu—itu di atas meja.”
“Yang itu, ya ampun! Dan itu mungkin harus meninggalkan
ruangan ini dalam sakuku. Hilanglah secarik bukti terakhirmu.
Tapi kau tahu yang sebenarnya sekarang, Holmes, dan kau bisa
mati dengan tahu bahwa aku membunuhmu. Kau tahu terlalu
banyak tentang nasib Victor Savage, jadi aku mengirimmu
untuk ikut merasakannya. Ajalmu sudah sangat dekat, Holmes.
Aku akan duduk di sini dan melihatmu mati.”
Suara Holmes tenggelam menjadi hampir bisikan yang tak
terdengar.
“Apa?” kata Smith. “Besarkan gasnya? Ah, bayang-bayang
mulai jatuh, kan? Ya, akan kubesarkan, agar aku bisa melihatmu
lebih jelas.” Dia melintasi ruangan dan tiba-tiba lampu menjadi
terang. “Adakah layanan kecil lain yang bisa kulakukan untuk-

29
mu, sobat?”
“Korek dan rokok.”
Aku nyaris berteriak kegirangan dan keheranan. Dia ber-
bicara dalam suara alaminya—mungkin sedikit lemah, tapi aku
hafal suara itu. Ada jeda panjang, dan aku merasa Culverton
Smith sedang berdiri bisu keheranan memandang rekannya.
“Apa maksud semua ini?” kudengar dia akhirnya berucap
dalam nada kering serak.
“Cara terbaik untuk sukses memainkan peran adalah meme-
rankannya,” kata Holmes. “Asal tahu saja, selama tiga hari aku
belum mengecap makanan atau minuman sampai kau cukup
baik menuangiku gelas air itu. Tapi tembakaulah yang paling
bikin jengah. Ah, ini ADA beberapa rokok.” Aku dengar geretan
korek api. “Sekarang jauh lebih baik. Haloa! Haloa! Apa aku
dengar langkah seorang teman?”
Ada bunyi langkah kaki di luar, pintu terbuka, dan tampak-
lah Inspektur Morton.
“Semua beres dan ini buruanmu,” kata Holmes.
Sang perwira memberi peringatan lazim.
“Aku menangkapmu atas tuduhan pembunuhan Victor
Savage,” simpulnya.
“Dan boleh kau tambahkan upaya pembunuhan Sherlock

30
Holmes,” komentar temanku sambil terkikih. “Demi meng-
hindarkan orang sakit dari kesusahan, Inspektur, Tn. Culverton
cukup baik memberikan sinyal kita dengan membesarkan gas.
Ngomong-ngomong, tahanan ini menyimpan boks kecil dalam
saku jas sebelah kanan yang sebaiknya dipindahkan. Terima-
kasih. Kalau aku jadi kau, akan kutangani itu dengan sangat
hati-hati. Taruh di sana. Itu mungkin akan memainkan peran
dalam persidangan.”
Tiba-tiba terjadi keramaian dan baku hantam, disusul
dentuman besi dan jeritan sakit.
“Kau hanya akan melukai dirimu sendiri,” kata inspektur.
“Tetap di tempat!” Ada bunyi klik borgol.
“Jebakan bagus!” pekik suara tinggi menggeram. “Itu akan
membawa KAU ke bilik terdakwa, Holmes, bukan aku. Dia
memintaku kemari untuk mengobatinya. Aku prihatin untuk-
nya, jadi aku datang. Sekarang dia akan mengaku-aku, tak salah
lagi, bahwa aku sudah mengatakan apapun yang bisa dia karang
yang akan menguatkan kecurigaan gilanya. Kau boleh
berbohong sesukamu, Holmes. Perkataanku praktisnya adalah
perkataanmu.”
“Ya ampun!” pekik Holmes. “Aku lupa dia sama sekali.
Watson sahabatku, aku berutang seribu maaf padamu.

31
Bagaimana aku sampai mengabaikanmu! Aku tak perlu
memperkenalkanmu pada Tn. Culverton Smith, aku tahu kalian
sudah bertemu tadi. Kau sudah pesan taksi di bawah? Aku akan
ikut denganmu setelah berpakaian; aku akan ada gunanya di
pos.”
“Aku tak pernah sebutuh ini,” kata Holmes sambil
menyegarkan diri dengan segelas claret dan beberapa biskuit di
sela-sela dandannya. “Bagaimanapun, seperti kau tahu,
kebiasaanku tidak teratur, dan aksi semacam ini kurang berarti
bagiku dibanding kebanyakan orang. Penting sekali aku mem-
buat Ny. Hudson terkesan dengan kenyataan kondisiku, sebab
dia akan menyampaikan itu kepadamu, dan pada gilirannya kau
kepada Tn. Smith. Kau tidak akan tersinggung, Watson? Kau
akan menyadari bahwa di antara banyak bakatmu, kepura-
puraan tidak menemukan tempat, dan andai kau memegang
rahasiaku, kau takkan pernah bisa membuat Smith terkesan
dengan urgensi kehadirannya, yang mana merupakan poin
penting dari keseluruhan skema. Mengetahui sifat dendamnya,
aku benar-benar yakin dia akan datang untuk menyaksikan
hasil perbuatannya.”
“Tapi penampilanmu, Holmes—wajah pucat pasimu?”
“Tiga hari puasa total tidak menambah keindahan

32
seseorang, Watson. Selebihnya, tidak ada yang tidak bisa diatasi
oleh tukang nebeng. Dengan vaselin di kening, beladonna di
mata, pemerah muka di tulang pipi, dan kerak lilin lebah di
sekitar bibir, sebuah efek memuaskan dapat dihasilkan. Pura-
pura sakit—aku kadang terpikir untuk menulis monograf
tentang subjek ini. Obrolan kecil tentang koin setengah crown,
tiram, atau subjek ngawur lain menghasilkan efek igauan yang
asyik.”
“Tapi kenapa kau tak izinkan aku mendekatimu, padahal
tidak ada penularan?”
“Kau bertanya, Watson? Apa kau kira aku tak punya rasa
hormat pada bakat medismu? Bisakah aku beranggapan bahwa
penilaian tajammu akan melewatkan seorang manusia sekarat
yang, selemah apapun, tidak mengalami kenaikan denyut atau
suhu? Pada jarak empat yard, aku bisa mengecohmu. Kalau aku
tidak berbuat begitu, siapa yang akan membawa Smith ke
dalam genggamanku? Tidak, Watson, aku tidak bakal
menyentuh boks itu. Kau bisa tahu jika memperhatikannya dari
samping di mana pegas tajam mirip gigi ular berbisa muncul
kau membukanya. Aku berani bilang dengan alat semacam
itulah Savage, yang menjadi penghalang antara monster ini dan
sebuah mutasi, dibunuh. Akan tetapi, seperti kau tahu, surat-

33
menyuratku bervariasi, dan aku agak berjaga-jaga terhadap
paket apapun yang sampai kepadaku. Namun, aku yakin,
dengan bersandiwara seolah-olah dia sudah berhasil dalam
rencananya, aku mungkin dapat membangkitkan sebuah peng-
akuan. Sandiwara itu kulakukan dengan keseksamaan seniman
sejati. Terimakasih, Watson, bantu aku pakai jas. Setelah kita
selesai di pos polisi, kurasa makan sesuatu yang bergizi di
Simpson’s adalah wajar.”

34

Anda mungkin juga menyukai