Oleh
KARTIKA
Hidupku tak selalu seperti sebuah dongeng,
Tapi aku diberkati bakat untuk melarikan diri dalam imajinasiku
Untuk membuat cerita yang memenuhi dunia dengan fantasi dan khayalan,
Keluguan,
Juga cinta.
Cerita-cerita yang kuharap hidup selamanya.
(Hans Christian Andersen)
So Much THANKS!
Dari yang telah berlalu dan untuk yang akan datang.
Seluruh Sahabat dan Keluarga, yang berada di samping saya saat ‘perjalanan’
itu berlangsung. Operasi, Kehilangan satu indung telur, Kemoterapi, Kehilangan
rambut—dan Menjadi botak, MRI, dan akhirnya RECOVERED. Kalianlah bagian
terindah yang tak ingin saya lupakan karena kelumpuhan sesaat ini. Tapi berada jauh
dari kalian sungguh merupakan siksaan yang pedih, maka biarlah kenangan kita akan
menjadi kenangan yang sesungguhnya abadi. Lebih abadi dari tulisan ini.
Setelah kehilangan demi kehilangan....
Saya ingin berhenti mengasihani diri sendiri dan melanjutkan hidup dengan
jalan yang saya PILIH dan telah saya yakini akan membawa saya pada
pemberhentian yang benar. Dengan satu komitmen untuk apapun konsekuensinya.
Hidup bukanlah tentang perbandingan—mana yang lebih baik, tetapi hidup adalah
tentang kesetiaan—satu keyakinan untuk menjadi yang terbaik, seburuk apapun
wajahnya.
Kedua orangtua—Mama dan Papa, Nyai, almarhumah si Mbah, dan satu-
satunya adik sekaligus sahabat berbagi hidup—Dita. Terima kasih untuk jalan yang
mampu menjadikan saya tegar.
Teman-teman koresponden, teman penulis, teman teater, budayawan, yang
selalu siap berbagi ilmu. Untuk ilmu yang sesungguhnya.
Mbak Abidah El-Khalieqy, untuk telinga saat curhat demi curhat melayang
lewat ketikan sms. Semoga aku mampu sehebat dirimu.
Sekali lagi dan untuk selamanya, Huda. Dimanapun engkau berada. You’re the
biggest inspiration for my write.
Dia, Chandra Wirawan, untuk takdir.
Yogyakarta terindah. Tempat segala kasih dan kisah meluber kemudian tumpah ruah
tak terbendung, sehingga saya tenggelam di dalam eksotisnya. Aku amat bergetar
merindu..... Izinkanlah aku untuk selalu pulang lagi, bila hati mulai sepi tanpa
terobati. ☺
Kepada Dunia yang bijak. Saya telah kembali hari ini, untuk berlari. Lebih
kencang.
-Permulaan-
Sebuah Pasar di Kota (1978)
Perempuan itu celingukan. Toleh kanan toleh kiri, menggigiti bibirnya cemas.
Banci mengamen. Nenek-nenek dengan bakul penuh kembang. Pedagang tikar
bersuara parau.
Dia terus berusaha menembus kerumunan dengan menebar jauh
pandangannya. Namun sejauh ia memandang, yang dicarinya tak juga nampak. Maka
ia memutuskan menelusuri pasar. Menghalau lalu lalang orang, bersenggolan dengan
ibu-ibu yang tengah berdiri menawar, sempat juga tersandung dagangan si pedagang
tikar tadi.
Orang-orang datang setiap minggu kemari untuk mencari ikan segar. Semua
kalangan datang ke sini untuk berbelanja. Dari yang paling miskin, sampai yang
paling kaya. Dan dia seharusnya tadi sudah mendapatkan sekantong ikan segar
dengan harga dibawah standar, tetapi begitu sadar gadis kecilnya telah lenyap, maka
ia merelakan ikan itu menjadi milik orang lain. Padahal baru saja lengah sedikit, anak
itu sudah hilang dari pengawasanannya. Dasar lasak!
Dia berhenti beberapa kali dan bertanya.
“Anak perempuan setinggi ini? Rambutnya agak coklat keemasan.”
Orang-orang masih menggeleng.
Perempuan itu sudah putus asa andai saja dari tempatnya bersandar,
penglihatannya tidak bertemu dengan sosok kecil itu. Jaket merah muda yang lusuh—
dengan bulu putih di ujung lengannya, dengan rok yang menjuntai keluar dari jaket,
yang merupakan terusan dari baju di dalam jaketnya—berwarna senada.
Mendapati bidadari kecilnya sedang duduk di pagar rendah sebuah pelataran
parkir. Duduk di depan seorang bocah laki-laki yang berjongkok di hadapannya. Kira-
kira empat atau lima tahun lebih tua.
Perempuan itu menelan ludah lega. Mengurut dada dan bergegas mendekat,
tapi ia lantas mengurungkan niatnya mendengar kedua bocah itu tampak mengobrol
dengan seru.
“Kamu cantik, tapi warna rambutmu lucu. Namamu siapa?”
Putrinya tersenyum malu-malu.
Astaga, ia sekecil itu dan sudah bisa malu mendengar pujian dari laki-laki?
Ibunya menggeleng-geleng.
“Kamu sepertinya tidak tinggal di kota ya? Kamu anak desa ya?”
Cukup! Perempuan itu menyudahi pikirannya, untuk mengira anaknya sedang
bermain. Anak laki-laki itu akan melukainya dengan mengejeknya sebagai anak desa
yang cantik.
Ia sudah berjalan mendekat, ketika itu ada perempuan lain yang telah sampai
lebih dulu.
“Astaga! Kamu mama cariin kemana-mana! Ternyata di situ. Ayo bangun, kita
pulang.” Perempuan itu menggamit kasar lengan anak laki-lakinya dan memaksanya
berdiri.
Anak laki-laki itu menurut tanpa menjawab. Ia berjalan mengikuti ibunya dari
belakang.
Gadis kecil itu bingung melihat teman barunya yang pergi tanpa permisi.
Tapi kemudian ia tersenyum karena melihat temannya menoleh ke belakang.
Untuk tersenyum dan melambai padanya.
Genggaman ibunya semakin keras. “ayo, Dion! Cepat.”
Putrinya membalas lambaian itu.
“JULI, ingat terus ya, ibu sudah bilang, jangan bermain-main dengan orang
yang tidak kau kenal. Apalagi orang kaya macam itu. Mereka sombong-sombong!”
Begitu turun dari angkutan kota, perempuan itu kembali mengingatkan anaknya.
Anak itu mengangguk. Kemudian mereka menghabiskan sisa perjalanan
mereka menuju sebuah rumah, sambil bergandengan.
Rumah yang sederhana dan terletak di pinggiran kota. Atapnya tinggi, dengan
pintunya tidak terlalu besar. Bila masuk di dalam, maka akan terlihat dindingnya yang
belum diplester dan sebagian besar terlihat kosong tanpa terlihat berusaha dihiasi apa-
apa kecuali satu bingkai foto Presiden berukuran sedang. Tiang kayu di terasnya
sebagian sudah melapuk dimakan sepasukan besar rayap.
Empat kursi plastik berkaki rendah berwarna biru dan satu meja rotan yang
tidak terlalu serasi berdampingan di ruang tamu yang sempit. Untuk duduk satu dua
orang yang masuk rumah itu, bertamu sebentar lalu pergi lagi. Kadang untuk menagih
hutang, kadang juga hanya untuk sekedar bertanya alamat.
Halamannya luas dan hijau. Tampak terlalu lapang untuk ukuran rumah
sekecil itu.
Pekarangan yang sama sekali tidak terurus. Rumput-rumput tumbuh dengan
sendirinya disitu. Sebuah pohon asam besar menaungi salah satu sudut halaman, dan
ada beberapa tumpukan barang bekas yang tidak berguna lagi, namun tampaknya
terlalu sayang untuk dibuang.
Rumah yang tak pernah sepi, sekalipun penghuninya cuma tiga orang.
Sepasang suami istri baru menikah, dan satu orang anak perempuan yang belum
genap tiga tahun.
Suara kedua orangtua yang masih muda itu keras, bila bicara. Kerap tak hanya
suara dari mulut mereka, ada juga suara meja kursi yang saling menghantam menjadi
jeda setiap pembicaraan itu, tamparan, dan kadang-kadang suara meludah.
Pembicaraan yang tampak penting dan sering. Entah apa, tapi sepertinya para
tetangga sudah menganggap semua itu menjadi bagian dari lingkungan mereka. Tidak
bisa tidak, karena itu terlalu sering.
Pagi, siang, sore, tengah malam, subuh, detik demi detik.
Mereka seperti biduk yang tengah menjaring kepedihan, karena ternyata bulan
madu tak selamanya manis.
“Kau! Petantang petenteng saja kerjanya. Tak bisakah kau cari kerja yang
lebih baik?” perempuan itu gemar menyumpahi laki-lakinya.
“Kenapa kau tidak pernah puas? Yang penting aku masih bisa cari duit. Sudah
bagus aku mau menerimamu dengan anak tak jelasmu itu. Tinggal makan saja masih
kau ribut. Diam sedikit, gampang toh?”
Bila sabda bertemu sabda, maka terdengarlah persahutan sabda. Umpatan
bertemu umpatan, sudah tentulah terdengar persahutan-persahutan yang sama.
Sahutan demi sahutan yang terus berlanjut, bersambung, berepisode-episode,
yang dipertontonkan di hampir setiap hari. Bergabung dalam malam dan merasuki
mimpi-mimpi mereka.
Seorang anak perempuan yang belum genap tiga tahun, berjongkok di pintu
ruang tamu sambil memeluk boneka manusia. Anak yang mungil dan berkulit putih
pucat. Rambutnya panjang ikal melewati bahu dan berwarna sedikit keemasan. Emas
yang pucat pula. Padahal rambut laki-laki di rumah itu hitam legam dan lurus. Begitu
juga rambut sang perempuan, hitam dan sedikit keriting. Matanya berwarna coklat
terang, seperti mata boneka dipelukannya. Benar-benar tampak bahwa dia memang
bukan benih dari laki-laki di dalam rumah itu.
Bila ia sudah berjongkok begitu, maka sudah tentu akan ada sesuatu yang ikut
menggenang di bawah kakinya. Genangan air kencing yang mengalir menuju teras.
Si kecil hanya menangis dalam diam dan menyedot ingus yang turun
bercampur airmata. Tak satupun dari kedua orangtuanya menghentikan diskusi itu
untuk datang membawanya membersihkan diri.
Mungkin ada ketakutan yang sedang meracau hati gadis kecil itu, membuatnya
tak sanggup bergerak untuk pindah dari genangan itu. Matanya menatap lurus ke
jalanan sepi, kadang-kadang juga mengeraskan suara isaknya. Mungkin meminta
perhatian orang lain, atau meminta pertolongan seseorang mengangkatnya berdiri dari
jongkoknya di tempat kotor itu. Tapi mungkin juga itu isakan pertanda marahnya ia
pada orang-orang berdiskusi itu.
Sampai pada akhirnya, seorang pemuda tanggung yang sedang lewat jalanan
rumah itu mendengar keriuhan di dalamnya. Ia seorang anak pesantren yang rajin
sembahyang. Tersimak olehnya diskusi yang belum juga reda. Matanya menangkap
sebuah sosok kecil meringkuk dan makin basah di depan pintu rumah.
Sempat ragu ia untuk masuk pekarangan. Dikira orang-orang maling pula,
rumitlah urusannya.
Beberapa detik yang singkat, tatapan mereka berdua beradu. Melihat polosnya
mata itu, maka luluhlah hati sang pemuda dari keraguan. Didekati anak itu dengan
pasti
Si gadis kecil melihatnya, menatap dengan mata bulat-coklat yang semakin
kabur, tertutupi kabut di pelupuknya. Rambut panjangnya sudah basah sebagian,
keringat bercucuran dari dahi, leher dan tangannya.
Sungguh malang gadis manis yang sendiri itu. Pikir pemuda itu.
Dia akhirnya masuk dan menggendong gadis bau kencing itu menjauhi
pekarangan menuju sumur di samping rumah. Mengurungkan niatnya untuk menuju
masjid dan bersembayang ashar, dan lebih berniat membersihkan anak yang sudah
mulai bau amis.
“Siapa namamu dik?”
Gadis kecil itu justru memeluk keras leher pemuda tadi, dan bersembunyi di
dalam pelukannya. Leher besar yang berbau harum.
Wajah yang bersimbah peluh itu dibasuhnya dengan air sumur yang dingin.
Ingus-ingusnya dibersihkan, kaki dan tangannya dicuci.
Dengan lembut ia menangkup pipi kecil yang bersemu itu, dan seolah
berbicara sendiri. “Jangan takut lagi. Semuanya beres.”
Gadis itu menatap lekat wajah yang baru pernah dilihatnya. Satu wajah putih
bersih dan bercahaya. Bola mata yang hitam pekat. Lebih pekat dari malam, dan lebih
hitam dari arang.
Ia terlalu kecil untuk mengucap terima kasih. Terlalu muda untuk berkata-
kata.
“Siapa namamu?”
Juli....suara yang kecil dan samar, ditambah konsonan J yang lebih terdengar
seperti D.
Terakhir, pemuda itu menyelimuti tubuh kecil Juli dengan sajadahnya.
Menghalaunya dari rasa dingin yang mengganggu.
Sebagaimana semua hal di bumi berasal dan terjadi lalu mengalir, maka semua
juga akan sampai pada satu titik. Kini tiba saatnya aliran itu menuju kobaran klimaks
yang sesungguhnya.
Tanah pekarangan becek tergenang air coklat. Hujan turun berhari-hari seperti
kesetanan. Awan bergumul dan membayangi bumi dari ketinggian puluhan ribu kaki.
Ini kesempatan bagi manusia menyadari rahmat Tuhan sedang membanjir.
“Bang, aku ingin melamar kerja jadi TKW.” Suara itu menjadi satu-satunya
jeda di antara tamparan air di genteng rumah.
“Apa?”
“Jadi TKW, bang....”
“Siapa pula yang sudah menghasut kau.” Suaminya menyahut dengan bibir
masih menjepit batang rokok yang tinggal sepotong. Asapnya mengaburkan
pandangannya. Ia mengerjap beberapa kali mengusir perih.
“Aku tadi ketemu Marini di warung. Dia bilang dia sudah kerja di Malaysia.
Sudah dua tahun ini, bang. Kau lihat saja, jarang kan kau lihat Marini di kampung
kita?”
Ia menghisap rokoknya lalu menghembuskan keras. Asap putih memenuhi
ruangan yang dingin. Kedua alisnya tak pernah berhenti bertemu, bahkan saat tidur.
Kesan temperamental selalu melekat padanya.
“Bang?” perempuan itu mengulangi.
“Mana kutahu!”
“Dia dapat gaji besar. Kerjanya saja cuma cuci piring dan bersihkan rumah.
Yaa..pembantulah begitu. Tiap tahun dia pulang ke Indonesia, bawa banyak uang.
Suaminya saja gajinya tidak sebesar dia. Senanglah anak-anaknya. Tampaknya dia
sukses.”
“Lalu? Kau mau ke Malaysia juga?”
Ia mengangguk.
“Anak kau? bawa sekalian saja.”
“Alah bang, lagak kau sudah seperti tuan tanah! Nanti kalau kubawa pulang
uang banyak, biar kusumpal mulutmu. Bagaimana aku kerja kalau bawa-bawa bocah?
Tak usah cemas kau bang,”
Iya benar. Kenapa harus cemas. Kalimat tanya yang berakhiran titik, bukan
tanda tanya. Ditujukan kepada dirinya sendiri, di dalam hati.
Laki-laki itu menyulut rokok kedua. “Terserah kaulah.” Kemudian bergegas
beranjak meninggalkan ruang tamu, dengan menyeret sandal. Suara hujan kembali
mengambil alih atmosfir. Sepi menjelma dalam keriuhan hujan.
“Juli! Sini nak!”
Perempuan itu memanggil anak gadis kecilnya ke ruangan yang
pencahayaannya remang-remang. Satu kalimat yang terasa seperti hujan. Hujan yang
membasahi jiwa putrinya yang kering kerontang.
“Dengar Juli.....kaulah satu-satunya harta ibu yang paling berharga dalam
seumur hidup yang pernah ibu punya. Hanya kamu yang bikin ibu mampu bertahan
dalam segala situasi, meski kau tahu, situasinya tak pernah bagus. Tapi sayang, ibu
menyayangimu nak, lebih dari segala-gala isi dunia ini. Dengan cinta ini, kuharap kau
juga mampu bertahan, seperti yang selama ini ibu lakukan.” Ia memilin ujung rambut
anaknya yang semakin bersinar tertimpa cahaya lampu minyak. Kalimatnya terlampau
panjang dan rumit dimengerti oleh si anak. Tapi Juli tahu, kalimat itu memiliki arti
yang besar untuknya.
Mata bundar di hadapannya terlihat membesar dan sempurna indah. Berbinar
pada waktu bahagia. Bahagia ketika malam ini ia tahu satu hal lagi. Ibunya mencintai
dirinya. Lebih dari apapun.
Mereka saling mendekap. Di tengah pintu terbuka lebar, membiarkan
semburan hujan masuk terbawa angin, bebas menyirami lantai rumah. Sedikit-sedikit
menerpa wajah mereka. Tapi dekapan mereka saling menghangatkan. Dua manusia
beda generasi yang terlihat bahagia bila sekali-sekali berpelukan. Seperti merasa,
inilah pelukan terhangat yang pernah mereka miliki. Mungkin akan jadi yang terakhir.
“Bapak juga akan menyayangimu seperti ibu.”
Dan mata itu pelan-pelan meredup sempurna. Telinga kecilnya menangkap
kalimat yang penuh kebohongan, di balik pundak ibunya yang kurus kering.
Ia hanya seorang anak kecil yang terlalu bodoh untuk membenarkan sesuatu
yang dirasanya salah. Juli kecil hanya butuh air susu dan ia disapih sebelum usianya
genap dua tahun.
Satu-satunya yang ia tahu, ibunya akan pergi jauh dan tidak akan pernah
membawanya. Pergi meninggalkan dia berdua di rumah berpekarangan luas ini
bersama ayahnya yang sedikitpun tidak tampak mencintainya. Juli tidak tahu kenapa.
Sama seperti ia tidak tahu kenapa warna kulit dan matanya berbeda dengan yang
dimiliki ayahnya.
Juli kecil mungkin belum sadar, ia akan tumbuh sendiri menuju usia remaja
dan dewasanya. Tapi mungkin sejak lahir, ia sudah dipersiapkan untuk itu. Baru akan
genap usianya tiga tahun, ia sudah terbiasa menjadi sesuatu yang tidak terlalu
diharapkan. Sesuatu yang membebani orang lain.
Jadi mungkin ia akan biasa saja. Kesendirian tidak akan semelankolis
kelihatannya. Malah mungkin lebih baik. Toh ia juga akan memakai ulos di kepala
seperti ibunya. Pergi ke gereja dan berdoa, ikut misa dan mungkin juga akan menikah
nantinya. Dia juga akan memiliki bahu yang kurus. Sama seperti ibunya.
“Jangan lupa—biaya anakmu. Kalau dia—sekolah atau—apalah
kebutuhannya. Anak perempuan kan butuh banyak!” tiba-tiba tubuh sang suami
muncul lagi dari dalam.
“Iya sudah pasti itu. Tapi jangan lupa juga kau, antarkan Juli sekolah minggu.”
Perempuan itu menyahut, serius. Tetapi suaminya sudah tidak kelihatan lagi. Kembali
masuk dalam kamarnya.
Benar-benar sulit dipercaya bahwa mereka dahulu adalah dua orang yang
saling jatuh cinta.
Hujan masih sempurna di luar sana. Menyapurata apa saja yang masih nekat
berada di luar. Hati yang kaku akan semakin beku, bila menyimak benar derap-derap
airnya yang satu irama.
***
Penghujung Tahun 1997
Pengadilan membebaskan terdakwa. Terdakwa didiagonosa mengidap
kelainan jiwa dan penyimpangan perilaku. Memutuskan untuk mengembalikan
terdakwa kepada keluarga, untuk kemudian diteruskan pada rumah sakit jiwa agar
ditangani secara medis.
1
Suatu akibat dari gangguan jiwa yang menyebabkan tubuh menjadi kaku
mampu membedakan mana hidup yang mati, atau sesuatu yang dihidupkan dari
kematian.
Membiarkan segala hal yang masih tersisa di ruang ini menelanjangiku.
Apapun dia, yang sanggup, maka lakukanlah. Apa masih tersisa perasaan malu itu.
Atau sudah mati bersama rasa yang mereka bunuh.
Dari rontaan ke katatonik. Dari ruang ke ruang. Dari ada ke tiada. Lalu aku
hilang selamanya.
Mereka berebut menempatiku.
2
Rumah sakit jiwa
Rumah sakit jiwa. Seragam berwarna bladus dengan angka di punggung
seperti pemain bola, atau pakai gaun sekalipun, kami semua tetap pesakitan. Dan
pesakitan selalu tersisih.
Para satpam di sini memakai topi baret dan menyandang senapan di bahu
mereka. Bukan satpam dengan seragam putih-biru donker dan memegang borgol
murah serta pentungan karet. Mereka direkrut langsung dari instansi berwenang,
diseleksi terlebih dahulu, kemudian diberi modal nama baik.
Ini rumah sakit jiwa khusus perempuan. Letaknya persis di pusat kota.
Ditengah-tengah suburnya kemacetan dan para biang stres bertemu dan saling
menularkan penyakit.
Kami semua ada dua belas orang, mendapat kamar sendiri-sendiri dengan
ranjang springbed dan lemari pakaian dari kayu jati. Penerangannya dari lampu yang
bagus. Seperti lampu di kerajaan-kerajaan. Aku menyukai kamarku.
Kamar kami diberi nama. Tidak diberi nomor seperti kamar-kamar pada
umumnya. Sebabnya adalah jelas, karena kami semua istimewa.
Aku mengenal dekat beberapa pasien. Kupikir, setiap orang memerlukan
komunitas di sekeliling mereka, untuk hidup dan berbaur. Dan komunitasku di
assylum ini terbentuk karena kami memiliki satu kesamaan. Terasing dari realita.
Bukan komunitas yang umumnya tumbuh bersama dan saling menunjang.
Agar bisa dipersalahkan bila terjadi penyimpangan dalam salah satu individu. Dan
bukan juga untuk disanjung bila berprestasi.
Sejak kecil aku juga tidak pernah memiliki teman dari komunitas yang sebaya.
Tak ada persaingan, tak ada masa-masa menjadi kompetitor, menjadi sang juara,
menjadi yang lebih baik, atau lebih buruk. Tak juga merasakan menjadi sebuah
eksistensi yang paling berharga, atau paling terbuang.
Kecuali satu, janji untuk menjadi yang paling dicintai.
Tapi itu hanya semacam janji yang diingkari.
Orang yang berjanji kepadaku mati bunuh diri minum racun serangga setelah
berjanji akan mencintaiku lebih dari apapun. Seorang wanita desa yang pernah
menjadi ibuku.
Duniaku memang sepi dan sendiri.
Aku tumbuh besar dan selalu menjadi penonton. Duduk di bangku paling
depan, menonton dan tidak diizinkan berperasaan.
Pertama kali kesini, aku datang diseret, dan tangan diborgol. Setelah disuntik
penenang, maka kemudian aku diajak berkeliling, diantar seorang perawat dan
seorang dokter, yang konon akan menjadi psikiaterku, selama aku berada di sini.
Kamar pasien terletak di lantai dua dan tiga. Letaknya berjejeran rapat seperti
sel-sel penjara, tapi bedanya dinding kami (aku mulai membiasakan menggunakan
kata kepemilikan, agar terbiasa merasa seperti rumah sendiri) menggunakan kertas
dinding warna-warni pastel dengan motif bunga-bunga.
Melintasi para perempuan yang memenuhi koridor, membuat jantungku
seakan hendak pensiun memompa darah.
Inilah para perempuan pasien RSJ Puri Kemala.
Mereka seperti benda-benda tanpa nyawa—robot yang bertebaran di mana-
mana. Layaknya pelakon panggung sandiwara, mereka seperti berada di sebuah
panggung teater raksasa dengan backdrop hitam dan lampu sorot yang menerangi
mereka masing-masing sebagai pelakon utama. Tak ada yang mendapat peran
pembantu. Semuanya asyik dengan dunia mereka sendiri-sendiri.
Aku tergerak untuk berhenti, ketika melihat seorang gadis dengan rambut
hitam panjang sampai pinggangnya. Duduk di sebuah kursi roda dengan mata yang
hampa. Memperhatikan tajam tembok di depannya yang seakan sedang duduk
berhadapan dengannya. Seolah ia menjadi buta karena amarahnya. Bila diperhatikan,
ia tampak telah lama mati dan tak sempat dikuburkan.
“Namanya Brian. Briana. Dari kamar The Clouds” Telunjuk dokter Bre
menunjuk sebuah kamar paling ujung.
“T...the Clouds?”
“Semua kamar disini memiliki nama. Briana, seorang katatonik.” Lanjutnya
kemudian.
Kami berjalan pelan-pelan. Mendapati seorang perempuan lain yang tengah
santai menonton televisi.
“Itu Maria, mmm....kamar Blue Marigold, Phobia3 terhadap ruang sempit,
ruang gelap, pola-pola tertentu, serangga, dan tangga.” Ia menunjuk perempuan itu
tepat di depan wajahnya. Tapi ia tidak memberi respon.
“Tapi, ia harusnaik tangga kesini kan?” tanyaku bodoh.
Dokter Bre tertawa terbahak.
3
Rasa takut yang berlebihan
Aku tekejut, tak siap dengan reaksi semacam itu. Sial!
Kakiku berjalan pelan-pelan, hatiku bagai terseret di belakang langkahku
membayangkan gadis itu. Aku merasa cukup waras untuk merasakan kepedihan-
kepedihan disini.
Sedangkan dokter Bre, seolah sedang memberikan laporan klinisnya, ia
merasa perlu untuk terus menjelaskannya padaku. Apakah ia melakukannya pada
semua pasien yang baru datang? Apa ini prosedur standar darinya untuk membuatnya
merasa bangga dengan pengetahuan yang dimilikinya itu? Aku bertanya-tanya dalam
hati.
“Itu, Celine. Kamar Uranus-dua kamar disebelahmu nantinya. Berusia 17
tahun, ia memiliki waham4. Ia mengira dirinya ikan.”
Mataku tertuju sebuah tubuh yang membungkuk di sudut tembok. Melipat
dirinya sedemikian rupa hingga hampir sebulat bola.
Ikan! Hai ikan! Hai manusia tapi ikan! Dunia macam apa itu?
Kami melewati sebuah kamar yang pintunya terbuka. Gadis dengan rambut
sangat keriting dan panjang terlihat sedang melukis di sebuah kanvas berukuran besar
dan tinggi. Memakai rok merah tua, dengan atasan kaos buntung berwarna hitam. Ia
duduk santai, menjepit rokok di bibirnya. Bila melihatnya, akan mengingatkan kita
pada penampilan seorang seniman. Di atas pintu terpampang Mermaid room.
“Dia memang pelukis. Luna, perempuan dengan dunia yang terpecah-pecah.”
“Seperti saya dok?”
Ia menggeleng. “Kalau kamu kepribadianmu sayang, sedangkan Luna
dunianya. Ia sering mengalami....istilahnya short term memory lost...semacam
amnesia terhadap kejadian-kejadian yang baru. Tapi semangat sembuhnya luarbiasa.
Ia berjuang mati-matian.”
Aku bersusah payah menelan ludah.
Seorang perempuan dengan badan sekurus pohon cemara, berdiri di pintu
kamarnya sambil mengamati kami yang lewat dengan penuh selidik.
“Gina. Anorexia!5” teriak perempuan itu tiba-tiba. “Pilgrim room! Biar aku
yang lanjutin dok! Nggak usah repot-repot.”
Dokter Bre melempar senyum padanya. “Terima kasih, Gina.”
4
Keyakinan menetap yang tidak sesuai dengan kenyataan pada diri seseorang yang timbul sebagai
gangguan jiwa
5
Salah satu jenis eating disorder yang menolak mengkonsumsi makanan sama sekali
Pilgrim? Sekalian aja Batu Nisan!
Lagian siapa sih yang punya ide memberikan nama-nama itu? Mermaid, The
Clouds, Uranus? Seolah-olah para pasien ini memang berasal dari dunia lain dan
sengaja dikumpulkan menjadi satu disini untuk dipamerkan.
Terlihat sebuah kamar dengan pintu besi berwarna keperakan. Agak jauh dari
yang lain.
“Itu ruangan apa dok?”
“Pasien psikopat. Membunuh seluruh keluarganya, kecuali kakak tertuanya
yang kebetulan tinggal di luar negeri. Ia sangat terobsesi dengan membunuh. Sangat
sensitif dengan manusia dan keadaan di alam terbuka.”
Aku melongok ke dalam dan mendapati sebuah tubuh dengan kaki tangan
yang diikat. Ruangan bercat hijau. Dan satu-satunya kamar yang tidak bernama.
“Kristal. Anak bungsu dari salah seorang penting di negara kita ini.”
Aku menatap mata dokter Bre di balik kacamatanya. Rambutnya tebal dan
rapi. Ia memiliki badan tegap di balik jubah putihnya. Dengan modal sekulum senyum
sejuk di balik profesinya yang kuanggap lebih kejam dari fitnah, ia berjalan tanpa
beban. Tunggu saja sampai dia betul-betul berhadapan denganku. Bisa-bisa dia
berlutut dan meminta ampun. ‘Saya menyerah! Saya menyerah!’
Aku tersenyum sendiri membayangkan itu.
“Ada dua belas pasien disini.” Ia membakar kesenangan semuku..
“Eh, dua belas? Rumah sakit sebesar ini?”
Ia mengangguk, “dua belas ditambah kamu.” Ada gurat kebanggaan disela
kalimat itu. “Enam diantaranya pasien saya. Semua yang saya sebutkan tadi, termasuk
kamu. Kecuali Kristal.”
Aku menunduk seperti mencari kalimat yang terjatuh.
“Berbaurlah Juliet.”
Ia menyuruhku berbaur! Berbaur ditengah manusia-manusia mati itu.
Kemudian bersama-sama menjadi zombie dari planet lain.
Kuangkat wajahku dan memberikannya satu pertanyaan.
“A..pa nama kamar saya...dok?”
Ia tersenyum, kemudian menepuk pundakku.
“Autumn.”
Itu dulu.
Perkenalanku dengan assylum ini. Rumah sakit jiwa kelas atas yang terletak di
pusat kota.
Hm, baiklah......
Namaku Juliet, salah satu pasien di rumah sakit jiwa ini. Pasien yang
menurutku bisa disebut gila—tidak gila, karena sebenarnya aku waras, dan tidak
berhalusinasi—tidak pernah berpikir aku adalah superman atau John Lenon—tidak
juga berenang melintasi tujuh samudera. Tapi aku disini karena berpotensi memiliki
kepribadian ganda. Lebih dari satu kepribadian dalam diriku.
Keren juga kan? Orang keren yang tinggal di rumah sakit jiwa.
Tapi sebenarnya aku tidak perduli.
Sekalipun mereka menempatiku hanya di gorong-gorong got, atau tempat
sampah, aku akan mengejarnya meski sampai ke ujung dunia sekalipun. Tapi aku
tahu, perempuan itu mengirimku kesini hanya untuk menyingkirkanku. Tidak dengan
niat untuk menyembuhkan aku dari penyakit apapun. Tidak juga dari flu.
Perempuan yang mengirimku kesini. Mungkin ia jatuh cinta kepada laki-laki
biadab itu karena kegilaannya pada seks. Sama seperti laki-laki itu jatuh cinta dengan
uangnya.
Meskipun kaya raya, tak satupun laki-laki yang mampu memuaskannya dalam
bentuk hubungan semesra apapun. Ia menikah untuk menutupi kegilaannya itu.
Padahal, sudah jadi rahasia umum, ia pengelana sejati yang selalu mencari laki-laki
demi laki-laki.
Jadi setidaknya cocoklah mereka berdua itu.
Sekarang aku disini. Dan baru saja mengerang. Mencoba beringsut dari tempat
tidur yang dipakai menampung tubuhku ketika mereka menyetrumku. Tak sesentipun
aku bergeser, padahal berjuta semut rangrang terasa menguliti punggungku.
Kesemutan, karena terlalu lama diikat.
Mataku memicing. Kemudian segera terbiasa lagi pada warna putih di ruangan
ini.
Ruang observasi I.
Semakin sempurna penglihatanku merangkum cahaya, semakin liar pikiranku
menjamahi setiap dendam yang terpenjara waktu di dalam dada. Apa salahnya aku
mendendam? Aku belum berubah menjadi fosil. Karena itu aku masih bebas
berperasaan. Mengenang masa yang memulai semua ini, hingga akhirnya aku bisa
sampai di ruangan ini dengan selamat.
Maghrib itu aku pulang dari mencuci pakaian di rumah ibu RT. Begitu banyak
pakaian yang harus kucuci, sampai-sampai rasanya tak akan ada habisnya. Tapi aku
mendapat imbalan yang cukup besar. Apalagi ibu RT memberikan uang lebih. Dalam
perjalanan pulang, aku berpikir mungkin aku bisa membeli beberapa buku untuk
waktu kosongku.
Sialnya anjing-anjing itu tengah berada di rumah. Anjing-anjing berkaki dua
dan berliur dengan botol-botol alkohol.
Memang, tak lama setelah kematian ibu, laki-laki itu terus membuatku capek.
Menyuruhku bekerja keras, untuk menyuapinya dengan uang.
Dia sedang serius berbincang dengan perempuan yang kini sudah dikawininya
itu, ketika aku berlari terseok dari dapur sambil menggulung sarung di pinggang.
“Aku diperkosa laki-laki itu!” teriakku saat kakiku sudah bergetar begitu
hebatnya dan ambruk ke tanah.
Mereka membawaku ke dalam.
Saat sadar, rumah sudah sepi dan tinggal aku berdua dengannya.
“Juli...jadi begini.....kejadian tadi tidak usah kau masukkan ke hati.
Maklumlah dia sedang mabuk. Lama-lama juga sakitnya hilang, dan kau akan
terbiasa.” Katanya sambil duduk di samping ranjang. Mencoba menyentuh kakiku.
Kutepis dengan cepat.
Jakunnya naik turun seirama mulutnya membuka menutup. Rambut-rambut
tipis di kepala yang sudah separuh botak itu terlihat seperti rumput liar yang belum
disiangi.
Ia menelan ludah. Menganggukkan kepala dan tersenyum. Sekarang ia terlihat
seperti penyihir tua yang berumur ribuan tahun. Giginya seakan ditumbuhi lumut.
Ludah bersisa di dua sudut bibirnya yang kecoklatan.
Aku benar-benar mau muntah.
Mendengar dan melihat apa yang ada di depanku.
Malam itu aku lari dari rumah dan tertidur di sebuah dangau dekat sungai
Narita. Kunobatkan semua binatang malam menjadi sahabatku. Tak peduli apapun
yang akan kuhadapi di hutan kecil itu, yang jelas akan lebih baik daripada aku berada
di rumah. Bersama binatang berkaki dua dan bermulut busuk.
Jelas, setelah itu aku hanya mengikuti naluri kebinatangan yang lama tertanam
karena hidup bersama binatang. Aku tak bisa menyalurkan kemarahan dengan cara
yang lain, selain mengejarnya dengan sebilah pisau daging yang kubeli di pasar dari
uang hasil mencuci.
Bahunya kena dan berdarah-darah. Akan kutusuk jantungnya, ketika
perempuan itu datang dan berteriak-teriak. Detik-detik berhargakupun lenyap lagi.
Tak bosan mereka melakukan itu berulang-ulang padaku.
Sebelum ia mengirimkan aku ke rumah sakit ini, perempuan itu sempat
berbisik di telingaku. “Kau tak lebih dari secuil buangan, nak. Kau seharusnya berada
di tempat dimana tak ada mimpi yang hidup. Maka rasakanlah...”
Aku mengerti apa yang dikatakannya. Tapi aku tidak mendendam. Dendamku
hanya untuk laki-laki itu. Karena dengan sengaja ia membiarkan ibuku mati, dan tidak
menyayangiku seperti yang dijanjikan ibu.
Tak ada almanak disini.
Jampun tak ada. Waktu seolah berhenti dan terpasung bersama denganku di
ruangan ini. Tinggal di tempat ini membuat lidah jiwaku semakin merasa, hidup
memang memuakkan untuk dijalani.
Pasien-pasien itu. Para perempuan sakit itu.
Briana. Celine. Maria. Gina. Luna. Dan Kristal.
Ditambah aku. Masih ada lima yang lain.
Mungkin dunia seperti sebuah dinding one way screen di ruang obsrevasi III.
Dimana semua orang bisa melihat kita di dalamnya dengan leluasa, lengkap dengan
buku catatan untuk mengobservasi tingkah laku para pesakitan jika sedang sendirian.
Tanpa yang di dalam mampu untuk menembus pemandangan di luar.
Hidup hanya keping-keping pengulangan sejarah. Di tahun 1957 ada seorang
perempuan bernama Eve White.
Sybil.
Billy milligan.
Lantas kini giliranku.
Hidup tidak berjalan, tetapi mengulang. Entah sampai kapan. Mungkin nanti,
sampai semua akan bosan mengulang, stagnasi, kemudian mati bersama-sama.
Lamunan demi lamunanpun terburai saat pintu terbuka dan suara-suara dari
luar menyerbu masuk.
Dr. Bre dengan senyumnya yang fenomenal, melangkah cepat menuju tempat
tidurku. Membuka kelopak mataku dengan tangannya. Menyoroti mereka dengan
lampu senter yang putih.
“Bagus.” Kupikir, dokter Bre ini seharusnya berkaca. Keriput-keriput itu
sudah mulai merambati jeda-jeda wajahnya, padahal menurutku belum saatnya
mereka hadir di sana.
Ia mengukur detak nadi di pergelanganku.
Ada jengah yang memborosi kepalaku, karena aku tidak terlalu suka disentuh
oleh orang lain. Kubuang pandangan ke samping dan menggertakkan gigi.
“Jangan terlalu cemas, Julia.”
Hah? Julia? Hoi....Juliet. Tok! Tok!
Kenapa ia sering sekali memanggilku Julia? Padahal ia tahu dari awal namaku
Juliet, atau kalau bosan, ia bisa memendekkannya menjadi JULI, tapi sama sekali
bukan Julia.
“Suster, ia sudah bisa dipindahkan ke kamarnya.” Ia menepuk lenganku.
Setelah berkata demikian, iapun berjalan keluar dengan langkah lebar.
Kupandangi tubuh itu dari belakang. Manusia sombong yang mengira selalu
tahu segala hal.
“Dia tidak sejelek dugaanmu.” Seorang perawat dengan bordiran nama Agiana
di dada kanannya, melepaskan tali-tali kekang itu. Ia seolah bisa membaca pikiranku.
Perawat yang lainnya membereskan ruangan dan bersiap mendorongku
menuju kamar.
“Kita ke kamar, sayang...” Katanya sambil merapikan bajuku.
Begitu keluar dari ruangan observasi, semburan udara dingin dari penyejuk
ruangan menyapa kulitku yang berkeringat. Sedikit segar untuk ruang otakku yang
sempit.
Aku melintasi para pasien yang sedang berkeliaran. Tak satupun
memperhatikan, dan berminat untuk mencari tahu.
Celine sedang kacau dan mengamuk. Ia meronta-ronta dalam pelukan dua
perawat laki-laki. “Aku mau air! Air!! Tolol aku bisa mati!!”
Kalau sudah begitu, hanya keajaiban yang bisa membuat Celine tenang, tanpa
suntikan. Keparahan di atas itu, maka nasibnya akan sama sepertiku. Mendarat di atas
meja shock therapy untuk disetrum.
Pikiran demi pikiran liarku, belum juga letih berkelana.
Di kamar, Suster Agi menyisir rambutku dan terus-menerus memujinya. Ia
menyisir hati-hati sekali, seperti memperlakukan porselen antik dari dinasti Ming.
“Selesai ini, kau harus mandi.”
Aku memandangi tajam dinding kamar. Bila bisa, aku ingin menembusnya.
“Bisakah kita keluar sebentar dan duduk-duduk di bawah pohon? Apa...disini
ada pohon?”
“Pasien boleh jalan-jalan setiap hari rabu, sayang.” Ia menguntai rambutku
dan menggulungnya dengan rapi. Tengkuk asinku terasa sedikit lebih nyaman.
“Sekarang hari apa?”
“Kamis, sayang.”
Masih seminggu lagi aku bisa menghirup udara luar. Tapi aku cukup nyaman
mendengarnya memanggilku sayang. Seperti tiupan harmonika tanpa gema. Indah
saja.
Sebenarnya aku membutuhkan sedikit udara segar, karena aku merasa pusing
bila terus menerus dikurung begini.
Pikiranku kembali mengembara jauh ke belakang. Aku pernah kabur dari
rumah hanya untuk mencium udara pagi.
Itu terjadi di awal tahun 1994.
Aku memutuskan pergi dari rumah di hari yang masih buta. Pagi-pagi sekali.
Bahkan mungkin terlalu pagi bagi embun, dan lebih pagi lagi dari subuh. Udara masih
pekat, dan kepungan atmosfir sedih khas pagi hari terasa membelit setiap langkah
yang telanjang. Daun-daun belum berubah dari warna hitamnya, tanah lepek juga
masih tersembunyi di perut bumi dan akar-akaran menjalar. Lampu-lampu jalan,
lampu-lampu taman, lampu-lampu teras, masih berpendar-pendar setia. Diamnya
angin membungkus jantung bumi dalam pernafasannya untuk satu kesimpulan yang
sederhana, langit dan bumi, serta semua penghuninya masih mengantuk. Belum
waktunya semua beranjak hijau dan berbunyi.
Tapi justru inilah waktu yang tepat untuk meninggalkan rumah secara diam-
diam.
Sudah lama aku lupa bagaimana rupa wajah pagi hari, dan hari itu aku ingin
reuni. Merasai semburan dinginnya angin dari kisi-kisi jendela, dan menggelitik
manja kaki-kaki lelap kemudian di sentuhan akhirnya memperdengarkan tangisan
ayam-ayam pejantan.
Pagi yang kuingat, adalah pagi terakhir ketika usiaku tujuh belas. Ketika
suasana hari terasa sangat romantis, dan menghipnotis. Lebih anggun dari sebuah
kematian, dan lebih romantis dari pelarian. Sesuatu yang disukai dari pagi bagiku
adalah ketika harumnya udara menyengat penciumanku dengan serampangan. Sama
juga seperti orang lain, aku suka melihat lengkungan merah itu mulai mencoba
meraba bumi. Disanalah keanggunan tak diraba sebatas gincu merah tua pada bibir
para pekcun.
Keindahan langit itu berwujud dalam bentuk arak awan yang selalu bersahaja
di langit membiru, uap pagi yang sedih seolah tengah kolaps karena oksigen yang
nyaris habis terkikis polusi tak mengurangi indahnya. Matahari oranye dalam balutan
kegigihannya menyembul dari timur seperti biasa. Ayam-ayam melantunkan tangisan
pagi hari, sebelum mereka mulai pergi mengais tanah bercacing, dan kemudian
menghamili para betina agar dapat terus bertelur sepanjang sejarah.
Mungkin semuanya terasa biasa bagi para petani, mereka sahabat pagi. Tapi
bagi orang-orang sepertiku. Merebut kembali pagi ke dalam penglihatan, butuh
perjuangan.
Itu adalah pagi terakhir yang bisa kuingat dengan baik.
Setelah itu, aku selalu disibukkan dengan pesta pora laki-laki itu sampai
menjelang subuh, baru kemudian bisa tertidur dan melewatkan pagi.
Maka hari ini sebelum pagi mulai membentang, aku memutuskan lari dari
rumah. Melarikan diri dari laki-laki yang gemar menetek dari ketiak orang lain,
karena tak mampu membeli susunya sendiri.
Semalaman aku terus terjaga dan kemudian melesat lari berkaki telanjang
merasai rumput-rumput mati yang masih tertidur ini. Kubawa sebuah senter kecil
dengan batu batere yang sedikit lagi akan kehabisan energi. Lampunya redup, dan
nyaris hanya mampu menerangi kaca di depan bohlamnya. Menembus hutan kecil
menuju sungai Narita.
Sebuah sungai kecil yang tersembunyi di dalam hutan cemara. Letaknya
kurang lebih lima kilo dari pemukiman penduduk. Bila pagi, banyak orang yang
datang untuk mencuci atau mandi di sungai itu. Airnya dingin seperti es. Malahan
kupikir, air sungai itu benar-benar berasal dari lelehan gunung es. Tapi dinginnya
justru terasa menghangatkan kehidupan penduduk disekitarnya.
Aku berlari dengan kaki telanjang dan menginjak segala benda yang berada di
tanah basah ini. Kadang aku berlari seperti kesetanan, bila melewati tempat yang
benar-benar gelap. Tanpa kusadari aku bisa saja membangunkan sesuatu yang tidur
dengan berisiknya langkah kaki yang berdebam, terkadang bergemerisik bila
menginjak daun kering.
Rok besar yang kupakai, kujinjing tinggi-tinggi agar tak menghalau bebasnya
langkah yang semakin lebar. Akan kujemput matahari itu hari ini. Tepat sebelum
waktunya ia menyapa bumi, aku sudah harus sampai di sungai Narita. Kupikir, karena
tak ada satupun dari orang-orang itu tahu aku kerap kesana bila hari sedang bersisa,
maka kali ini mereka juga tak akan menduga. Mungkin pagiku akan selamat.
Klak-klik-klak-klik...!
Tombolnya kutekan dengan gemas, lalu kupukul kepala senter itu dengan
kepalan tangan. Lampunya mati hidup sebentar, kemudian benar-benar padam.
Bahkan umur sebuah lampu senter saja tak dapat diduga. Benda sekarat yang
seharusnya sudah mati beberapa minggu lalu, malahan memilih mati sekarang. Justru
disaat tak satupun cahaya yang hadir dan mampu mengelabui kegelapan jalanan
setapak hutan cemara. Ia mati seolah menggenapi kebodohanku. Seharusnya kau
bawa Halogen, Juliet!
Aku bersandar di sebuah pohon cemara yang mulai tua, tinggi, besar, coklat
dan rapuh. Mengatur napas dan mengurut pinggang. Tampaknya sisa perjalanan harus
kulalui dengan berjalan pelan-pelan, sebelum rasa sakit yang menjalar di pinggang
semakin membelit perutku.
Sebentar lagi sungai Narita akan terlihat. Aku sudah bisa mendengar aliran
airnya yang berkecipak karena tak terlalu dalam.
Sungai ini memilik legenda di zaman dahulu. Seperti legenda lorojongrang
dan batu-batu arcanya, Narita memiliki kisah sedih yang dikisahkan oleh seorang
perempuan muda yang ditenggelamkan di sungai ini setelah ia dibunuh. Perempuan
ini konon memiliki kecantikan yang sangat mempesona. Sehingga dengan
kecantikannya, para laki-laki menjadi gampang terpikat olehnya, sekalipun yang
dilakukannya setiap hari hanya mencuci dan mandi di sungai ini. Pendudukpun resah
dan menuduh ia adalah biang dari ketidakharmonisan warga. Maka dengan
kesepakatan bersama, perempuan itupun dihabisi nyawanya pada pagi-pagi hari, saat
mentari belum keluar. Narita, nama perempuan yang telah dinobatkan dalam legenda
itu sebagai tumbal dari sebuah kecantikan yang konon mampu membunuh sisa-sisa
moral para manusia di muka bumi.
Air sungai Narita yang teramat dingin juga mendukung dramatisasi legenda
yang sedih itu. Kurasa, beruntunglah para penyair dengan penanya, para sastrawan
dengan kamus-kamusnya. Orang Mesir mengenal hytograf, orang Jepang dengan
kanji-nya, Jawa Kuno dengan tulisan sansekerta mereka. Karena ternyata dunia
menyediakan begitu banyak tempat untuk dijadikan akomoditas, sekaligus ada banyak
sisi sentimentil yang ikut berperan.
Mungkin memang, Narita memiliki daya pikat magis yang bisa menghipnotis
sekaligus melumpuhkan daya pikir. Karena semua orang akan tiba-tiba memiliki
Tuhan, ketika berhadapan dengan sungai Narita. Mulai pencopet, pembunuh, orang
gila sampai koruptor, serta maling hutan akan serentak menyebut nama Tuhan.
Narita memang memukau......
Hanya saja aku tidak terlalu tega menabuh pengkhianatan sejajar dengan
genderang munajat. Ada puji dan fitnah yang bersanding. Aku bosan dengan karnaval
idealisme yang lalu lalang di dunia tak terlalu surealku. Dunia tak terlalu nyata yang
sekaligus merupakan perpecahanku. Sobekan wajah-wajahku. Juga sobekan-sobekan
tiket jalan pintas menuju sorga yang baru saja terburai dari kantong rahasiaku.
Menggenapi keterasingan ini.
(Kadang aku berpikir, masih lebih indahkah taman di Babylonia?)
Aku mengeleng sendiri. Aku sendiri belum memastikannya.
Kata dokter, perpecahan merupakan sublimasi dari sebuah penolakan besar
yang terjadi tanpa disadari kemudian menjelma sebagai penyelamatan diri. Defence
mechanism, begitu istilah kerennya.
Ada sebagian dariku yang menyimpan memori berlebih tentang kisah
traumatik dalam rentang-rentang waktu tertentu, kemudian bersegera membawanya
ke alam bawah sadar. Sehingga secara tanpa sadar aku membelah diri. Seperti
Amoeba.
Sepertinya aku mengerti maksud dokter itu.
Dia hanya ingin bilang bahwa aku pelari terburuk nomor satu di dunia.
Karena semesta telah menutup pintu untukku merasai pagi, padahal telah
kupilih embun sebagai pengganti oksigen.
Kuizinkan mereka berteori, padahal mungkin para dokter itu tak tahu
bagaimana rasanya terpenjara malam, dan berkhianat dengan udara bebas.
“Dinginnya pas Juliet?” Kini lamunanku benar-benar terburai, dan aku
langsung melupakannya. Aku sudah berada di dalam bak mandi. Telanjang. Syarat
orang mandi.
“Sepertinya kau senang melamun ya?” Ia tersenyum.
“Aku bisa mandi sendiri, suster.”
Ia menggeleng. “Tidak sayang, untuk hari-hari pertama kamu masih dalam
pengawasan penuh. Sampai semua sepakat untuk membiarkanmu melakukannya
sendiri. Kau mengerti?”
Aku mengangguk pasrah.
Airnya hangat. Rasa segar membuat kegelisahanku hilang seketika.
Kuperhatikan wajahku di dalam air yang beriak. Sebuah bayangan wajah
pecah. Mungkin pada suatu saat mereka akan lukiskan wajah itu dalam sejarah yang
lain.
Apakah saat-saat begini Tuhan yang sering kupanggil dalam doa-doa di gereja
masih mengingatku? Sedangkan aku sendiri telah kehilangan ingatan akan diriku yang
sesungguhnya, dan memilih tinggal disini untuk disiksa demi mendapatkan kembali
ingatan itu.
Kitab-kitab alpa. Nyanyian bisu. Misa-misa masa lalu.
Tak ada pengakuan dosa. Hadirku sendiri adalah dosa.
Aku yang pernah percaya keyakinan itu telah memunculkan harapan-harapan
baru. Berdiskusi langsung dengan Tuhan lewat doa-doaku. Lewat sembah sujudku di
gereja. Mengharap semua pertolongan, cinta suci murni, jalan pilihan Tuhan. Kupikir
Tuhan telah membalas doaku dengan suara-suaranya. Mendatangi hidupku, memasuki
kalbu dengan suara yang maha damai dan berjanji menjadi penolong dan penebus
dosaku.
Tapi kuharap aku keliru.
Karena suara-suara itu ternyata sumbang. Suara-suara perpecahan yang
menggema, mengolok-olok ruang jiwaku.
Cuaca telah berubah dan akupun berubah pikiran.
Aku ingin bertemu Tuhan. Untuk mengatakan, bahwa aku sudah bosan
menunggunya. Dan Bunda Maria yang hanya berbaik hati terhadap orang-orang sehat
dan kaya raya.
Aku tak ingin cinta Bunda Maria.
“Juliet, ayo pakai sabunnya......”
-ASSYLUM Puri Kemala, AUTUMN, Jumat malam yang lembab-
Aku berbincang lumayan tegang dengan Ana di kamar, ketika obat tidur
selesai dibagikan pukul sembilan, dan kusimpan di bawah bantal. Anti depressan yang
melemahkan, membuatku seperti babi pemalas yang bisanya hanya tidur.
Dadaku terasa sedikit sesak dengan asap rokok milik Ana yang mengepul
memenuhi ruangan tertutup ini.
Rumah sakit sudah sepi, dan suster Agi kebagian piket malam ini.
Aku hanya mendengar tanpa mampu memandang wajahnya yang penuh daya
pikat. Sensual, dan eksotis di bawah temaram lampu yang sengaja kuredupkan.
[Keluar dari sini Juliet. Lupakan bau rumah sakit, dewa anti depresan-sialmu]
[Ini yang bisa membantumu sembuh dari dendam. Garis dia dengan ini tepat
di nadinya pelan-pelan dan dalam....]
Pelan-pelan silet itu masuk ke dalam kulit mulus Ana dan mulai berjalan
dengan pasti.
“Hai, kau orang baru? Kau bisa bicara?” Acara televisi terputus ketika seorang
perempuan sebayaku melompat mendekati tempat dudukku.
“Tentu.”
“Baiklah, siapa namamu?” Tanyanya lagi. Memasang senyum lebar.
“Juliet.”
Ia meremas tanganku, “Aku Rose, dari kamar dengan nama yang sama. Rose.”
Aku mengangguk dan tersenyum kemudian menonton lagi. Rupanya disini,
nama kamar merupakan bagian dari identitas diri.
“Siapa doktermu?”
“Itu penting?”
“Aku menderita ketidakstabilan emosi.” Katanya lagi.
“Bukankah semua orang begitu? Semua orang berubah. Marah, sedih, kadang-
kadang bahagia. Tertawa-tawa. Iya toh?”
“Ealah....ngeyel lu!” Ia mengangkat bahu, menuangkan minuman soda di
gelasnya dan meminumnya sampai habis, lalu menjilati bibirnya. Aku
memandanginya.
“Bagaimana denganmu?” Ia kembali tersenyum. Bibirnya merekah seperti
mawar di pagi hari. Lengkap dengan bekas minumas soda itu sebagai embunnya.
“Mereka bilang aku membelah diri.”
Ia tertawa terbahak-bahak. “Itu istilah kuno! Kau pasti sang kepribadian
ganda. Waaaaow......aku sangat suka dengan orang-orang berkepribadian ganda.”
Katanya bersemangat.
Aku mengernyitkan alis.
“Sst Diam kau! Terlalu berisik di depan tivi!!” Adeline, pecandu psikotropika
itu merasa terusik. Dialah satu-satunya manusia yang menurutku paling tidak stabil
emosinya disini. Kerjanya marah-marah dan terus menerus membentak setiap pasien,
perawat dan dokter.
Rose menunduk dan bersembunyi di balik kursinya dengan wajah ketakutan.
Kemudian ia berbisik, “aku suka orang dengan kepribadian ganda....”
Aku terbengong-bengong.
Mungkin memang aku seperti yang dikatakannya. Rasanya lebih baik aku
memilih percaya kepada salah satu kenyataan yang paling meyakinkan. Sisanya,
sudah habis untuk coba kupercaya. Aku tak punya apa-apa lagi, selain mempercayai
apapun yang dikatakan mereka.
“Juliet, dokter kepala memintamu menemuinya. Saatnya terapi sayang.” Suara
suster Agi datang dari belakang tanpa menunggu langkahnya sampai.
Aku memandangnya. “Apakah kau memang ditugaskan khusus untuk
menjagaku suster?”
Ia tersenyum. “Tampaknya demikian.”
6
Ganguan temporal yang menyebabkan gagalnya fungsi memori atau hilangnya kontrol terhadap
emosi. Salah satunya adalah Split Personality atau yang biasa disebut kepribadian ganda.
Ana sudah disitu. Aku tahu Ana sudah ada disitu. Memelototi dokter Amina
seperti hendak memakannya hidup-hidup.
“Juliet?”
[Aku Ana, dokter bodoh!]
jawab suara dari mulutku.
“Siapa kau Ana?” dokter Amina masih lembut.
[Tadi malam aku berbicara dengannya. Tampaknya dia tidak terlalu menyukai
kalian. Kenapa sih, tidak kalian lepaskan saja dia?]
[Ia tertawa.]
[Ia mengangguk]
[Apa pedulimu?]
[Di jalan!!]
Ana terlihat geram.
“Sebelum itu, apa pekerjaanmu?” Dokter Amina tidak terpancing.
Diletakkannya bolpoin dan bukunya di atas meja. Ia duduk dengan lebih tegak
Aku bertemu seorang perempuan lain ketika keluar dari kantor dokter Amina.
Berdiri memandangi jendela sambil menggigiti kukunya. Ketika melihatku, tangisnya
pecah.
Ragu-ragu aku mendekatinya. “Ada apa?”
“Aku mendapat berita ibuku mati.” Ia menangis semakin keras. “Sedangkan
aku tidak bisa keluar dari tempat ini.”
Aku mengelus pundaknya yang bergetar. Mencoba menenangkannya,
walaupun hatiku sedang tak tenang.
“Ibuku mati.......”desahnya. “Padahal aku baru berencana menelponnya hari
ini. Tapi ia sudah mati duluan hari ini. Kau tahu perasaanku?”
Aku diam. Ibuku juga mati
“Kau tahu perasaanku??” desakknya
“Kau tahu perasaanku? Kau tahu perasaanku?”
Suster Agi datang bersama dua orang perawat lainnya.
Aku menggigit bibir cemas.
Dua perawat itu membawa perempuan itu pergi. Ia terus berteriak. “Ibuku
mati, kau tahu perasaanku?”
Aku mengangguk sendiri.
“Gadis manis itu bernama Nadia. Pseudologia Fantastica. Ia menderita
penyakit suka berbohong yang parah.”
Suster Agi merangkul pinggangku dan mengajakku kembali ke kamar.
Aku membisu, kembali pada hatiku yang ribut. Perlahan tapi pasti, batinku
mulai paham kedok-kedok jiwa itu.
Andai tadi Nadia benar-benar bertanya bagaimana aku memahami
perasaannya. Aku ingin bersitatap dengannya, kemudian menjelaskan bagiamana
perasaannya yang kumengerti. Walaupun aku tidak yakin dia akan terharu.
Wajah laki-laki itu kembali menggelayut dinding rumah sakit.
Aku menepisnya kuat-kuat.
Malam ini aku mengurung diri di kamar, masih mereka-reka apa yang terjadi
di kantor dokter Amina saat terapi tadi pagi. Dua kali obat yang diberikan perawat
siang dan malam, tidak kusentuh seperti biasanya.
Aku membuka botol anggur di dalam kulkas dan menuangnya sedikit di sloki
berwarna emas dengan gagang kepala angsa. Aku justru mengenal minuman seperti
ini di sini. Rasanya tidak terlalu enak, tapi entah kenapa semua orang suka
meminumnya. Apalagi disaat udara sedang membeku.
Mungkin pasien seperti Adeline tidak bisa menikmati fasilitas ini. Karena
tidak semua pasien mendapat bisa merasakannya. Perlu izin khusus dan dilakukan tes
terlebih dahulu, sebelum menentukan jenis fasilitas yang akan didapat dari sini.
Apalagi Adeline punya sejarah mencandu dengan alkohol dan obat-obatan aditif itu.
Rasa hangat menyelimuti hatiku ketika cairan itu mengalir masuk. Udara
diluar memang sangat dingin di bulan Juni. Apalagi selimut disini juga tidak terlalu
tebal, sehingga sedikitnya wine bisa membantu menghangatkan dari dalam.
Aku mengeluarkan sebuah agenda panjang berwarna kuning dari dalam laci
lemari pakaian.
Hampir separuh buku sudah terisi tulisan. Dan itu bukan tulisanku. Itu Ana.
ini ruas hari paling tawar. Karena harus merasakan kembali ngilu-ngilu yang
berdenging karena merindumu. Ini sudut kota yang beristikharah. Disini ceruk
kemerut selulit di lipatan paha yang terus kugosok dengan batu kali.
Seperti inilah bila malam menjelma menjadi penyamun, mengejar bayanganmu terus
ke selatan.
(bunyi siulan....)Karena kuharus memeta jauhmu.
mengubur siang, menggali malam, bersetubuh.
melahirkan vibrasi kaffahmu.
menulikan indera agar kukuasa mengukur jengkal yang maha letih, layaknya rindu
makam pada peziarahnya.
Maka rentangkan tanganmu lalu melompatlah kau dari bibir jembatan ini......
Selamat mencari cinta di dasar lumpur sawah mati itu.
Selamat menjadi gila bersama zaman yana maniak
Kau jilati peluhku, kau resapi tubuhku
Dan belajarlah
Untuk menoreh telunjukmu pada gundukan tanah kuburanmu sendiri
(Halaman 11)
Aku takut mendengar suaranya dalam mimpiku. Suara laki-laki yang menghempasku
dalam lorong dunia tak kukenal. Tapi rasanya sakit.
Suaranya menulikanku.
Aku butuh ribuan suara lain.
Bebunyian....
Untuk menyamarkan gemanya dalam dadaku.
Aku ingin ada suara-suara.
Ana...
Sampai sekarangpun aku masih tidak percaya ada mahkluk bernama Ana yang
bersembunyi dalam diriku, dan dia memiliki buku agenda berwarna kuning.
Benarkah dia yang menulis semua ini? Kapan? Tidak tercantum tanggal, atau
hari. Aku membolak-balik buku itu.
Tulisan ini memang terlihat seperti sebuah isyarat. Tidak mengandung makna
tertentu. Sebuah isyarat kegalauan hatinya. Seperti cinta dan kebencian yang
bercampuraduk. Entah karena ia kesulitan dalam membahasakan perasaan yang
sedang meliputi dirinya, atau lebih kepada sebuah pesan yang hanya ingin diketahui
oleh dirinya sendiri.
Menurutku hampir semua tulisan ini tidak memiliki arti yang khusus. Tidak
ada makna yang secara khusus ingin dia ungkapkan. Tulisan yang datang langsung
dari suara hatinya. Tulisan yang terukir sejalan dengan jiwanya yang bersuara. Bukan
tulisan yang dibuat setelah mengalami proses pemikiran dan pemaknaan panjang.
Tulisan seadanya.
Kebencian dan rasa cinta yang menjadi satu.
Tunggu dulu. Ya ampun! Ana begitu? Kepada siapa?
Tanganku bergerak membuka halaman-halaman lainnya.
Tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar. Rasa kaget menyentak tubuhku
dari tempat tisdur dan langsung menyimpan buku itu.
Kuatur nafasku dan bertanya dari balik pintu. “Siapa ya?”
Pintu itu kembali diketuk.
Ih, ngeyel juga. Aku membukanya hati-hati.
“Hei....Juliet.” Dua perempuan muncul tiba-tiba dan langsung menerobos
masuk.
Mataku menyipit, mecoba mengingat-ingat. Gina—anorexia. Dan Nadia, si
perempuan tadi siang. Mengingat mereka karena penyakit yang diderita. Satu-satunya
clue yang kupunya.
“Ssst...” Gina menekan telunjuk kurusnya di bibir. Ia langsung berdiri dekat
jendela. Nadia duduk di kursi samping tempat tidur.
Aku masih bengong di depan pintu.
“Maafkan aku berbohong padamu tadi siang....” Nadia tertunduk dan
menggigiti kuku. Kegiatan favoritnya.
“Kenapa kalian kemari?” tanyaku
“Gue tahu lo pasti belum tidur, makanya kita kemari. Sekali-sekali gue pengen
mengobrol dengan sesama orang sehat.”
Mereka berdua tertawa.
“Kenapa kalian pikir aku sehat?”
“Orang sakit tak dapat wine!” Gina menunjuk slokiku. Mereka tertawa lagi.
“Apa masalahmu Juliet? Kau sulit tidur? Insomnia?” Nadia memeluk bantal
dikursi dan mulai memilin ujungnya.
“Aku cemas. Sangat cemas.” Kataku.
“Semua orang disini juga cemas Juliet. Ada-ada aja lo!” Gina memotong.
“Semua orang juga sulit tidur. Makanya mereka butuh pil-pil itu.” Tambahku
tak mau kalah.
“Ya.....tapi kenapa kau ada disini?”
“Aku berkepribadian ganda.”
Mereka saling melihat. “Hah? Lo percaya gitu aja Jul?” tanya Gina lagi. Ia
seperti gila bicara.
“Entahlah,” aku mengangkat bahu.
“Ada bukti atau apa, maksudku....yang membuatmu yakin.”
Aku melirik pergelanganku yang masih nyeri. Tapi diam tak menjawab.
“Aku suka berbohong sejak usiaku sangat belia......” Nadia menyela. Masih
menggigit kuku. “Semua orang tidak terlalu peduli pada kebiasaanku, sampai aku
dikeluarkan dari sekolah menengah pertama, dan menelpon pemadam kebakaran,
polisi, sekaligus mobil ambulans untuk mengabarkan kebakaran di rumahku. Kau
tahu...sebenarnya kebakaran itu palsu.” Ia tertawa sambil menggosok-gosokkan kedua
telapak tangannya.
“Dan aku dimasukkan ke rumah sakit ini.” Sekarang Nadia menggigiti ujung
bantal itu. “Ini tahun ke sembilan.”
“Apa...?” pandanganku beralih ke arah Gina.
Ia tersenyum sinis, “bahkan orang lain ngerasa lebih tahu tentang berat badan
ideal gue dan seenak-enaknya mutusin supaya gue naikin. Lo kira lihat itu adil?”
“Mau minum wine?” tawarku, ingin memecah ketegangan sarafku.
“Thanks but no. Gue nggak konsumsi sesuatu yang mengandung gula.” Gina
menyalakan sebatang rokok.
“Hei, sebentar lagi perawat akan berkeliling. Kita harus kembali.” Nadia
mengingatkan.
Dalam hati aku bersyukur. Ini suasana yang tidak cukup nyaman untuk
mengobrol.
“Ya. Sampai jumpa Juliet.” Gina mengecup pipiku.
Dadaku berdebar.
Harus ada orang lain yang melakukan, ketika kau belum mampu. Kalimat
dokter Amina menggantung di telingaku. Tiba-tiba aku ikut yakin, bahwa kedua gadis
itu memang sakit dan sungguh butuh perawatan.
Teringat lagi agenda kuning, aku mengambil dan membukanya pelan-pelan.
Dengan siapa Ana jatuh cinta.
Pada halaman kesekian, kegilaanpun menyergapku kembali. Sebuah foto
terekat manis pada satu halaman kosong. Foto hitam putih—pas foto yang kusam.
Wajah Laki-laki biadab itu. Terpasang disana dan seolah meludahiku dari
dalam fotonya.
Sayangku,
Dan tulisan itu. Itu laki-laki yang dicintai Ana.
Ada lagi yang mengepung dadaku, hampir membakarnya dengan panas yang
begitu tinggi. Aku tertawa kecil. Ini kegilaan dalam tawa yang menahan tangis.
Aku semakin bersumpah untuk segera menghabisi nyawanya. Tunggu saja!
Tanganku lasak mencari-cari ke bawah bantal. Kutenggak dua pil sekaligus.
Aku butuh tidur. Agar bisa memisahkan aku dengan rasa panas di dalam dada ini.
Inilah malam yang seharusnya paling singkat. Karena aku menjadi tahu
banyak hal. Tapi aku ingin tidur yang lama. Tidur yang pulas.
Apakah ia tahu, aku sedang menyimpan dendam yang sarat?
Untuk itu ia menyuruhku membunuhnya. Demi sebuah kekecewaannya
terhadap cinta. Ana, oh tidak.
Wueeek!
Aku tidak berani berpikir Ana telah tidur dengan laki-laki itu. Walaupun
sejujurnya, sulit untuk tidak. Karena laki-laki itu sebenarnya binatang.
Tulisan-tulisan itu....
Ada semacam ledakan gairah yang begitu dahsyat kurasakan saat
membacanya. Betapa kuatnya perasaan cinta bisa bermain dalam tubuh seseorang.
Aku yakin, ia rela melakukan apa saja demi yang dicintainya. Apa saja.....
Begitukah seharusnya cinta berperan?
Andai saja ada sebuah harapan aku bisa keluar dari tubuhku dan mengurai
semua kejadian ini satu persatu, maka aku akan lebih yakin karena telah menemukan
jawabannya sendiri.
Tapi bagaimana mungkin? Menyilangkan angka di kalender setiap hari saja
aku tidak mampu. Selalu ada yang hilang dari ingatan.
Dan loncatan-loncatan realita ini.
Membuatku ingin bunuh diri.
Sebuah pohon besar dekat sumur. Aku dan ibu yang berjongkok menahan
sakit.
Sakit di dada dan sakit di pantat.
Kami duduk di batu yang tajam. Tampaknya ibu tidak peduli.
Aku merasakan lagi sakit itu di dalam mimpi. Sesempurna saat itu. Dan aku
menangis dalam tidurku yang lelap.
-MINGGU pagi-
Benar aku terbangun ketika wajah ibu mendekat. Tepat di depan hidungku dan
hampir menyentuhnya. Sedikit lagi saja.
Suara alat penyedot debu dari luar menyentakkan kepalaku, dan berakhirlah
mimpi itu. Sebelum ibu menyentuh hidungku dengan hidungnya. Dengan susah payah
aku berusaha menutup mata dan menyambung kembali mimpi yang terputus.
Memang sempat tersambung. Tapi berbeda.
Aku mencari ibu, tapi tak ada.
Mesin penyedot itu berhenti di depan pintu kamarku dan meraung tanpa dosa.
Rasa rindu menyelinap rapi dalam kejengkelan akibat mimpi yang terputus.
Rindu yang sakit bersisa pada airmata yang sudah kering, membentuk belek.
Kemanakah ibu dalam mimpiku?
Aku membuka mata pelan-pelan dan berharap rindu itu menguap. Tapi
ternyata ia masih ada. Aku yang hilang. Hilang lagi dan lagi.
Atmosfir tiba-tiba dikepung oleh udara yang bau sedih. Aku seperti penderita
asma yang kehilangan inhalernya. Seolah-olah tubuhku terasa terlalu kecil, terlalu
ringkih untuk merasakan sakit. Dimana Tuhan? Dimana ibu? Dimana cinta?
Ah hiperbolis! Kau manusia gila yang hanya pantas makan sandal.
Menggigiti daun. Mandi lumpur. Berjalan mengelilingi dunia tak beralas kaki dengan
telanjang bulat!
Pintu itu terbuka.
Ada seonggok tubuh kecil yang tampaknya tidak bergerak. Ia berjongkok di
depan pintu yang belum sempat ditutup. Autumn Room. Anak kecil berambut
keemasan duduk tepat di bawah tulisan itu terpasang dengan bersahaja.
Ia meringkuk memeluk tubuhnya sendiri yang basah keringat. Cairan kuning
mengalir dari selangkangannya. Anak itu ngompol.
Salah seorang perawat tersentak mendapati anak itu dalam keadaan yang
menyedihkan.
Ia mendekat.
Dan suara tangis itupun pecah. [Ibu...] serunya didalam tangis. Suaranya
pincang. Ejaan dari lidahnya belum sempurna, sehingga ditambah isak tangis yang
bercampur, lebih terdengar seperti “immu...”
“Jangan mendekat!” teriak suster kepala. Perawat dan beberapa petugas ikut
menengok.
“Biarkan sampai dokter datang. Agi, panggil dokter Bre.” Teriaknya pada
suster Agi yang masih terbengong-bengong. “Cepat!”
Suster Agipun tergopoh-gopoh pergi.
Semua orang berkumpul di hadapan anak kecil yang masih berjongkok itu
sambil memasang wajah pias. Hampir semua alis mata mereka menyatu.
Dokter Agi datang bersama dokter Amina.
Mereka terdiam lama. Satu menit—dua menit—tiga—empat—lima menit.
“Bersihkan dia, bawa ke ruangan saya.” Perintah dokter Bre.
“Ke ruangan saya saja.” Dokter Amina menyela. Ia memberi isyarat kepada
dokter Bre. Dokter Bre mengangguk dan mereka berdua pergi begitu saja.
Semua orang bubar satu-satu. Dua perawat membantu anak itu membersihkan
diri. Suara tangisannya semakin berupa sembilu. Terdengar begitu menusuk dan
memohon-mohon.
Aku sudah mulai curiga. Sepertinya dia memanggil ibu yang sama dengan
yang pernah kumiliki.
“Masuk.”
Dokter Bre masih di dalam.
Suster Agi masih merapikan baju anak itu. Ia belum beranjak keluar sebelum
dokter menyuruhnya.
Mereka berdua berbisik-bisik di meja dokter Amina.
Pada terapi kemarin, sudah muncul kepribadian7 pertama—saya menduga
ada lebih dari satu. Ia menyimak buku di mejanya. Ana. Dari informasi pertama, ia
seorang pelacur yang amnesia tentang masa kecilnya. Kepribadian ini sangat
provokatif dengan Juliet. Bisiknya untuk mencegah suaranya terdengar olehku. Tapi
justru sebaliknya. Ruangan ini terlalu hening.
Dokter Bre menangkupkan tangan di atas dagunya. Berpikir.
Secara fisik memang ditemukan aktivitas seksual yang dilakukan secara
kontinyu. Sambungnya lagi.
Satu lagi dokter Bre, Ana berhasil mengajak Juliet berbicara. Mereka sudah
saling mengenal, dan pernah mengobrol di kamar Juliet.
Sepertinya ini gejala kepribadian kedua? Masa kecil yang terperangkap
dalam dirinya? Simpul dokter Bre.
Kita lihat saja nanti.
Anak itu mengeluh. Manja dan kebingungan. Ia bergeser sedikit untuk
memeluk tubuh suster Agi. Mencengkeram tubuhnya seolah ia tidak diizinkan
beranjak.
7
Corak seorang manusia yang terhimpun dalam dirinya, yang digunakan untuk berhadapan dengan
stimulus atau rangsangan, baik yang datang dari lingkungan maupun yang datang dari dirinya sendiri.
Sehingga corak perilaku itu merupakan suatu kesatuan fungsional dan kemudian menjadi khas bagi
manusia tersebut.
Dokter Amina mempersilahkan suster Agi keluar.
Anak itu menjadi cemas ketika tangannya dilepaskan dari pelukan itu. Ia
berteriak dan melolong. Menangis sekencang-kencangnya. Ingus kembali meleleh
dari kedua lubang hidungnya yang masih mampet.
“Tenang sayang...tidak apa-apa....suster Agi pergi sebentar. Nanti kembali
lagi.”
Tangisnya mereda. Ia memandangi gerak-gerik dokter Amina dan dokter Bre
dengan waspada.
“Siapa namamu, sayang?”
Tubuh itu mengejang—mengeras. Himpitan waktu dan kecemasan
membuatnya pingsan.
Aku kembali.
Dokter Amina kecewa. Mereka berdua terlihat benar-benar kecewa.
Dengan nafas satu-dua, aku mengerang dan mencoba meredakan rasa sakit
yang mengerumuni seluruh tubuhku.
Aku melihat kedua dokter senior—lulusan luar negeri—berprofesi paling
profesional—itu terkulai. Ada apa? Suara dalam hatiku kembali bertanya. Loncatan
waktu yang asing kembali membuatku terpenjara.
Kadang-kadang keterasingan ini membuatku ingin mati.
Tapi tentu saja, aku tidak akan mati sebelum laki-laki itu mati.
Sementara mereka sibuk bergulat dengan pecahan-pecahan diriku, dan
mencari solusi terapi yang akan digunakan untukku, maka biarkan aku sendiri yang
akan menyelesaikan akar—pokok permasalahan sebenarnya. Yang mereka lupakan.
Yang terlalu diremehkan.
Aku tak menunggu surat mereka keluar. Surat yang bertuliskan, Final
diagnosis : Recovered.
Yang kutunggu adalah surat dengan tulisan, Case Closed.
Tak peduli setelah itu aku akan dilempar ke dalam penjara. Bagiku tetap saja
tak ada bedanya.
-SELASA-
Ternyata hari masih berjalan seperti biasanya. Dari senin kemudian selasa,
sampai rabu hingga kembali senin. Hari masih saja setia.
Kesetiaan itu memberiku sebuah kejutan hari ini.
Aku mendapati tubuhku disekap para perawat dan dua orang penjaga laki-laki
bertubuh kekar. Tinggi besar. Semua orang disitu seperti terlihat memegang kuasa
mereka masing-masing. Kuasa untuk mendatangi dan mengeksekusiku layaknya
pencuri. Mereka mengerumuniku di atap rumah sakit lantai tiga. Tubuhku terbaring di
lantai dan tanganku diikat dengan borgol.
Saat mataku menerawang, aku melihat langit biru yang luas dan sangat besar.
Aku benar-benar berada di atap lantai tiga, tanpa kusadari. Apa aku berjalan sambil
tidur? Jelas semua orang tidak akan berpikiran begitu.
Aku telah kehilangan satu momen lagi.
Sedang apa aku disini? Kenapa bisa aku ada disini. Aku melihat dokter Amina
dengan lipstik merah tua yang menyilaukan mataku datang dan kemudian menembus
kerumunan orang-orang dengan gusar. Pandangan matanya menyala-nyala pertanda ia
sedang tidak sabar.
“Ruang observasi I.” Katanya datar sambil berlalu.
“Tidaaaaaak!!!!” aku menjerit sekuat tenaga. Aku benci ruangan itu. Aku
benci ruangan bau kematian itu!
Aku memberontak sampai tanganku terasa sakit.
“Aku tidak melakukan apa-apa. Kenapa aku harus dihukum? Lepaskan aku!!!”
Kepanikan itu hanya timbul karena mendengar ruang observasi I disebut.
Mereka menggotongku. Setelah sebelumnya menyuntikkan penenang.
Seketika aku menjadi lupa. Yang kurasakan hanya damai. Tubuhku melayang tinggi
dan menjadi sekarat.
Tapi ruang observasi tak bisa dielakkan.
Aku menggigil ketika sadar. Mendapati tubuhku tidak berbusana sama sekali.
Hanya sebuah kain putih yang ditutupi di atas tubuhku. Ujung kedua kakiku
menyembul dari bawahnya.
Tangan, kaki, kepala dan perutku masih diikat dengan sabuk-sabuk itu.
Membelengguku dengan tanpa merasa bersalah. Aku yang kesakitan.
Perasaan hampa kembali menyergap. Detik demi detik kembali terasa
merayap. Bermain-main malas dan mengacuhkan aku.
Ada suster Agi di sudut ruangan ini.
Ia duduk dan memandangi jendela. Menangis sesenggukan. Ia membiarkan
dirinya terkunci bersamaku di ruangan terkejam di seluruh kamar di rumah sakit ini.
“Suster.....” panggilku memelas. Suaraku hampir tidak mampu keluar karena
tercekat. Tenggorokanku seperti teriris dan menjadi luka oleh suaraku.
Ia mendatangiku dengan tergopoh-gopoh. “Kau sudah sadar, sayang.” Ia
mengelus dahiku yang berpeluh asin.
Airmataku jatuh. “Apa yang terjadi suster Agi....? Kenapa mereka
membawaku kesini? Aku benci ruangan ini. Aku tidak butuh penenang, aku hanya
butuh seseorang mendengarkanku. Sebentar saja....bahwa aku tidak tahu apa yang
tengah terjadi. Apa yang baru saja kulakukan.”
Suster Agi mengangguk. Menggigit bibirnya dan airmatanya kembali jatuh. Ia
pasti bisa merasakan kepedihan yang tengah menyelimutiku sekarang. “Kau mencuri
kunci di ruang perawat, sayang...”
“Apa yang sudah kulakukan?”
“Kau.....mencuri kunci ruangan dimana Kristal sedang diobservasi.”
Apa?! Darahku serasa menggelegak. Jantungku mulai berdebar lagi. Tak
beraturan dan menyakitkan.
“Kau membuka semua ikatan Kristal dan mengajak ia ke lantai tiga. Waktu
ada penjaga yang melihat, mereka menghubungi perawat dan kami ramai-ramai ke
atas. Sampai di atas, semua orang menyaksikan kalian tengah berdiri bergandengan
tangan di bibir pagar. Kau bilang, kalian akan melompat.”
“Benarkah suster Agi? Aku...”
“Kristal tidak terbiasa dengan udara bebas. Dia panik ketika melihat begitu
banyak orang yang datang. Kakinya terpeleset. Tapi untungnya, ia masih selamat
karena celananya tersangkut di besi pagar. Mereka membawa Kristal dalam keadaan
sangat depresi. Ia begitu membabi buta. Mengamuk dan menjadi sangat kuat. Salah
satu penjaga digigitnya sampai kulit lengannya sobek dan berdarah-darah. Kristal
berakhir di Observasi II. Mungkin ia harus diulang dari nol lagi. Dokter Amina
kelihatan marah besar. Kepala rumah sakit langsung menyuruh semua pegawai
berkumpul dan mengadakan rapat mendadak.”
Sesuatu berhenti.
Sepertinya itu nafas suster Agi. Aku bisa merasakan ia berhenti bernafas,
untuk kemudian terisak-isak.
Aku merasa tak sanggup menjalani semua ini. Sungguh tidak mampu. Lihat
apa saja yang kuketahui tentang diriku ternyata tak cukup membuat orang lain
mengenaliku seperti aku yang kukenal. Dunia tengah membohongiku.
Tubuhku bergetar. Sejahat itukah aku.....sekejam itu aku mengajak seorang
psikopat untuk bunuh diri? Mencuri kunci dan membuat seorang penjaga terluka.
Ada saat dimana aku merasa bisa maklum dengan semua ini. Tapi ini sudah
kelewatan. Aku benar-benar tak sanggup.
Dokter Agi yang menangis meraih bahuku dan memelukku dalam keadaan
terikat di tempat tidur. Ia membungkuk dan mendekap tubuhku.
Aku pecah. Berdarah-darah di pelukan itu.
“Suster....aku sudah tidak kuat lagi.....aku ingin mati. Boleh?”
Suster Agi semakin menguatkan pelukannya. Ia terluka demi aku. Demi
menyedot sedikit rasa sakit yang tidak mungkin terbagikan dengan siapapun juga.
Ana...Ana....
Biarkan aku mengais kebenaran di tanah yang sudah tak berhumus ini. Aku
ingin menjadi budak untuk hidupmu yang papa, dan mengabdi sepanjang usiaku
masih mampu dihitung. Melupakan apa saja yang menurut mereka benar, dan apa saja
yang mereka bilang normal. Aku rela terikat disini bersamamu, untuk menghabiskan
waktu yang tak pernah berjalan. Menghirup udara yang sesak dengan kepalsuan. Aku
rela menjadi sebelah sayapmu, separuh nafasmu, separuh jiwamu, sebagian
kejujuranmu. Setengah dari sel-mu. Sungguh aku rela.
***
Sebuah Pertemuan
(Hari rabu yang kelabu)
Hari ini, pertama kalinya di bulan juni hujan tidak turun ke bumi. Pantas saja
sepertinya orang-orang tampak lebih bersemangat. Pengunjung pasien lebih banyak
dari hari biasanya. Petugas kebersihan jadi lebih sering lalu-lalang. Kafetaria juga
penuh sesak. Parkiran apalagi. Tapi justru itu yang membuatku makin betah di kamar.
Duduk di kursi dan memandangi keluar jendela kamar. Apalagi pakai melamun, maka
dunia terasa sempurna.
Ada rasa betah memandangi bumi yang tampak berseri dari dalam sini. Jejak
basah yang tertinggal bekas becek kemarin sudah mulai mengeras. Cadar alam seperti
tersibak oleh senyuman matahari, yang sebentar lagi berubah beringas. Burung-
burung beterbangan rendah dan memenuhi langit.
Jam sembilan nanti jadwal jalan-jalan.
Hm, Gina sangat senang jalan-jalan. Ia pasti akan sangat cerewet di luar sana.
Kalau semua berjalan lancar, dan setelah menurunkan Maria terlebih dahulu, maka
semua akan bersenang-senang di taman kota. Maria sedang dalam puncak
keberhasilan terapinya. Phobianya terhadap tangga perlahan mulai menghilang. Maria
tampak lebih percaya diri.
Kecuali Kristal.
Dengar-dengar sudah setahun ia begitu-begitu saja. Seperti manusia yang
menemukan dunianya sendiri, dan tak ada seorangpun diperbolehkannya masuk.
Kadang-kadang aku melihat Kristal tak lebih dari sebuah barang usang yang
tergeletak di tempat tidur, kemudian diikat erat agar tak jatuh. Karena dulunya ia
pernah berharga.
Masih untung jadi aku. Sudah dapat fasilitas banyak, boleh jalan-jalan, dan
bebas bergerak.
Tapi mengapa tak ada yang coba masuk dan mengajaknya berbicara? Bahkan
keluarganya saja enggan datang untuk sekedar mencoba meraba ruangan masam
kamar itu. Apalagi menemaninya bicara? Sepertinya memang tak ada orang waras
yang bertahan dengan kamar sepengap itu.
Kamar itulah kuburannya.
Lagian, apa peduliku dengan Kristal?
Dia mati dan membusuk disanapun seharusnya aku tidak peduli. Aku baru
saja dijatuhkan palu hakim, menderita kepribadian ganda. Sekalipun dokter itu terlalu
pengecut untuk berterus terang apa yang sebenarnya terjadi padaku, dan mereka
saling berbisik di belakangku. Hanya saja aku mengerti, Aku salah satu calon ahli
waris sejarah Sybil cs. Harusnya aku lebih peduli pada diriku sendiri bukan?
Eh, apa aku tak salah lihat? Seorang penjaga berseragam dan menenteng
senapan melemparkan senyum padaku.
Melihat aku tak membalas, iapun melambai.
Secangkir minuman hangat di atas meja posnya, masih mengepulkan asap.
Berkali-kali laki-laki itu menguap. Hujan semalam masih menyisakan lembab di
matanya. Ia tampak butuh lebih banyak istirahat.
Kenapa ia melambai padaku? Kenapa ia melambai pada orang gila?
Aku mengikir sudut jendela dengan kuku. Teringat dengan jurnal Ana di buku
kuning itu.
Aku harus memastikan apa yang dilakukan laki-laki itu terhadap Ana. Apa
benar mereka saling jatuh cinta? Ataukah itu hanya sebuah pemikiran belaka?
sehingga ia menganggap laki-laki itu juga mencintainya padahal tidak.
Mungkin laki-laki itu memanfaatkannya.
Laki-laki biadab. Ia hanya berkisar tentang persoalan ganja, birahi, dan
perempuan. Ia akan kenyang kalau penisnya diberi makan. Ia baru bisa tertidur
sesudah mabuk. Ia sengaja melumpuhkan kakinya agar ada perempuan kaya yang
datang kemudian menetekinya sambil menggendongnya berdiri.
Seharusnya ia yang berada di tempat ini. Otaknya akan disetrum, dan dengan
mulut yang bau sampah ia akan berteriak meminta tolong. Karena ia tidak akan sekuat
aku. Ia terlalu tua. Sudah bau tanah.
Hatiku mulai risau memikirkan itu.
Aku benar-benar harus memastikannya. Harus.
Aku mencari petugas bersenapan itu. “Hei!”
Ia menoleh padaku, dan mengangkat gelas minumannya padaku. Tersenyum
lagi.
Kusambar jaketku dan menemui suster Agi. Sepertinya aku memang harus
sedikit gesit, bila ingin memastikan itu.
Ia sedang mempersiapkan beberapa surat-surat saat kutemui di ruangan
perawat. Wajahnya terlihat lelah.
“Ada apa Juliet?”
Aku meragu melihat wajahnya yang polos tanpa senyum. Hah! Aku sudah
disini.
“Ya?” tanyanya lagi menyentuh daguku yang tersembunyi karena kepalaku
menunduk.
“Bolehkah hari ini aku tidak ikut jalan-jalan?”
“Kenapa?”
“Aku ingin pergi membeli buku. Semua buku sudah habis kubaca. Aku butuh
yang baru. Ada toko di dekat sini. Mintalah izin untukku kepada suster kepala, suster
Agi.” Pintaku.
Ia memandangku penuh selidik.
“Oke, tunggu di kamarmu.”
“Terima kasih.” Dengan wajah yang masih tertunduk aku berlari kembali ke
kamar.
Aku berpapasan dengan Gina. “Hai Jul, kau sudah siap kan? Hari ini kita
jalan-jalan.”
“Kurasa aku agak tidak enak badan.” Jawabku sambil berlalu.
“Aneh.” Desisnya.
Di kamar, aku melihat keluar jendela lagi. Penjaga sudah bertambah dua
orang. Mereka bertiga duduk di pos sambil berkelakar. Salah satunya sampai tertawa
terpingkal-pingkal. Cuaca memang sanggup mengubah suasana hati siapa saja.
Penjaga yang tadi menoleh ke arah jendelaku, mencuri-curi pandang. Aku berkelit,
dan bersembunyi.
Kalau aku bisa keluar dari tempat ini, maka aku tidak akan kembali lagi. Tidak
untuk sekalipun. Tempat ini tidak untuk menampung orang gila. Tapi untuk orang
jahat. Lebih kejam dari penjara.
Lagipula, bukankah semua orang memang gila?
Bukankah semua orang lahir untuk kemudian dimatikan?
Biarkan saja aku menjadi gila dan mati di jalanan sana. Hidup dengan sebuah
penglihatan, tidak ada loncatan-loncatan, pertanyaan-pertanyaan, tanpa diagnosis dan
tidak perlu ada orang lain yang memprotes cara hidupku. Sampai-sampai semua ini
membuatku merasa bersalah dengan hidup yang kumiliki.
Hidup tidak seharusnya mundur, seperti yang selalu terjadi di ruang terapi itu.
Seperti lokomotif yang berjalan dan merambati setiap senti rel baja itu. Ketika
peluitnya bertiup, ketika rodanya bergerak, ketika ia menjadi laju dan tak terkendali.
Ia tidak akan mundur lagi. Sekalipun tak satupun manusia yang tahu apa yang akan
dihadapi di depan sana.
Setidaknya ada sebuah ambisi yang tertuntaskan.
Kemudian matikanlah aku. Dengan cara sesuka hatimu.
“Juliet, sudah kubilang jangan terlalu senang melamun.” senyum khas suster
Agi yang mampu membuat musim hujan berubah seketika menjadi musim semi itu
mengembang lagi.
Aku tersipu.
“Kau sedang beruntung, sayang.”
“Benarkah?” tanyaku tak percaya.
“Hanya dua puluh menit, dan dikawal oleh seorang penjaga.”
“Tidak masalah.”
Ia mendekat, membantu aku berpakaian. Mengenakan syal di leher. “Jadilah
anak baik,”
Aku tak menjawab. Takut untuk berjanji.
Langkahku terhenti di depan halaman yang luas. Rumah itu gelap gulita.
Dedauan kering yang berkumpul menjadi satu-satunya warna.
Ia pasti sudah tidak tinggal disini.
Dadaku naik turun. Jantungku sudah berpacu tak karuan. Aku memejamkan
mata sejenak, meraba sebilah pisau yang masih tersimpan rapi di balik rok. Apapun
yang akan menjadi takdir, biarlah begitu. Tapi mereka harus menungguku sampai aku
berhasil menemuinya dan menyelesaikan urusan ini. Semoga saja dia bisa memberiku
satu alasan bagus, sehingga kematiannya tidak terlalu sakit.
Dari kejauhan terdengar bunyi sirene mobil polisi.
Brengsek!
Aku kalut. Mereka pasti mengejarku. Sam telah membuka mulut tentang
rencanaku kemari. Mereka menyewa manusia berseragam itu untuk menghadapi satu
perempuan sakit macam aku. Apa yang sebenarnya mereka takutkan dariku?
Langkahku kembali beradu dengan rerumputan basah.
Rumah perempuan barbar itu!
Kupercepat lagi langkahku, mempertaruhkan jantungku yang lemah, karena
lama tak terpakai. Seperti mumi tua yang didewakan. Menjadi bagian dari tubuhku,
tanpa berfungsi ekstra.
Rumah itu terang benderang. Semua orang sedang berkumpul untuk
merayakan sesuatu.
Dari kejauhan aku merasakan kehangatan pada sekumpulan orang-orang
dengan aktivitas mereka di dalam sana.
Tiba-tiba saja aku takut menjadi waras.
Lampu mobil itu bergerak semakin dekat.
Aku menerobos masuk kerumunan manusia itu.
Semua terhenyak. Tertegun dan menjadi diam. Seorang perempuan yang telah
dibuang dari desa mereka kini kembali dengan pakaian basah yang menjadi terlalu
tipis untuk menyembunyikan segenap unsur yang berbau aurat.
“Keluar kau laki-laki busuk!” teriakku.
Polisi dari mobil itu berhamburan dan menodongkan senjata mereka ke
arahku. Manusia-manusia bersenjata, berseragam, dibayar untuk menjadi benteng
negara, tapi terlanjur dilatih untuk menjadi banci. Manja. Terlalu percaya dengan
selongsongan timah yang bahkan untuk dapat mengacungkannya, mereka rela
merogoh kocek sendiri. Pistol itu menjadi panutan mereka.
Sebuah wajah hitam dan tua keluar dari kerumunan.
“Juliet! Mau apa kau?” Ia berjalan diikuti perempuan itu.
Dua orang perawat—salah satunya suster Agi datang mendekatiku pelan-
pelan. “Juliet, ayo kembali sayang. Tidak akan ada yang melukaimu.” Suara suster
Agi bergetar.
Aku menoleh ke belakang dengan takut-takut.
“Beritahu aku, satu hal saja.” Aku berpaling padanya.
Ada hening yang ikut menyimak.
“Apa aku pernah tidur denganmu?”
Ia mendekat dan menohok hatiku dengan tatapan binatangnya. “Kau sendiri
yang buka bajumu. Perempuan jalang! Kau sama dengan ibumu.”
Kujatuhkan pisau itu ke lantai.
Semua orang histeris.
Kuedarkan pandangan ke sekelilingku. Semua orang menohokku dengan
suara-suara hati mereka yang memaki-maki aku. Sumpah serapah yang hanya terlihat
dari sorot-sorot mata itu. Tapi aku mampu mendengarnya dengan jelas. Kututup
kedua telinga sekencang-kencangnya.
Dua orang polisi langsung menyergapku, mengunci tanganku di belakang.
Tiba-tiba dunia di sekelilingku—meja, kursi, gelas-gelas, manusia-manusia
itu—berputar sedemikian cepat. Berputar dan terus berputar secepat kilat dan
langsung jatuh di atas pundakku.
Dunia seperti kehilangan sinyal.
Anginpun takut untuk berhembus.
Telingaku seolah berdarah-darah mendengar jawaban itu. Lututku polio,
tanganku menjadi parkinson. Aku lunglai dalam himpitan borgol kedua polisi itu.
Malam berubah sangar dengan raungan panjang dari mulutku.
Aku bersumpah! Laki-laki itu akan berakhir seperti anjing rabies yang
terendam di dalam kolam cetek. Mati karena ketakutannya.
Pertama, karena telah membiarkan aku tidur bersamanya. Kedua, karena telah
menyebut ibuku Jalang. Mungkin memang aku tempat segala haram jadah, tapi ibuku
tidak bisa disebut pelacur. Ibu tidak bisa menjadi pelacur.
Dalam setengah sadarku, aku melihat Haidar berdiri di dekat mobil polisi.
Wajahnya basah oleh airmata yang putus asa. Ia memandangiku yang berlalu bersama
deru mobil polisi lengkap dengan sirene pemberi tanda: awas orang gila!
Semua akan pergi lagi begitu saja. Semua orang akan memohon agar waktu
tetap diam dan tak perlu berputar, sekalipun mereka tahu betapa sakitnya terhimpit
roda waktu yang berhenti tiba-tiba. Tetapi mereka tetap tidak peduli.
Ada satu-dua cita-cita yang perlu untuk diselamatkan.
Dan kurasa ia akan segera kembali berjalan. Menapaki masjid yang sehari-
harinya dipakai berdoa. Tanpa menengok ada apa dengan masa lalu, atau apa kabar
kerinduan.
Lihat saja, hidup masih menyimpan rahasianya dariku. Beberapa jam yang lalu
aku merasa amat menikmati hidupku, tapi sekarang, di tempat, ini aku sudah melihat
hidupku kembali hancur berantakan.
Ini hari rabu yang kelabu.
.....
***
Di bangku usia tua, Akhir Juni 1998
[Sayangku, kau membeberkan rahasiaku pada malam. Bahwa sebenarnya aku
bukan pelacur sungguhan. Aku hanya seorang pujangga kesepian. Kehilangan masa
lalunya, dan tak pernah ingat darimana ia berasal.]
[Aku menyewakan kemaluanku pada para laki-laki yang pergi di malam hari,
meninggalkan istri-istri mereka, rumah, anak-anak dan sepiring nasi yang terlanjur
ditumpahkan.
Mereka datang dan mengemis di bawah kakiku. Memohon-mohon dengan
selembar uang lusuh hasil keringat mereka selama berbulan-bulan, agar aku membuka
selangkanganku.
Laki-laki itu tak mencari cinta dengan uang di tangan.
Mereka mencari kebebasan yang tergadaikan oleh sebuah ikatan pernikahan.
Mereka masih mencintai istri mereka,
Tapi mereka terlanjur menjadi seorang laki-laki]
[Tapi sayang,
Aku melihat malam telah membongkar rahasiaku pada siang.
Pagi dan senja hari.
Mereka sembunyikan kau dariku.
Tapi aku melihatmu pergi membawa perempuan lain yang haus akan
injeksimu.
Tampaknya kalian sama.
Sama-sama kehausan.
Bedanya kau laki-laki.
Kau haus kekayaan yang disembunyikan di bawah bantalnya.
Maka tidurilah dia agar kau dapat mencurinya.
Sekalipun kau tidak akan pernah kembali padaku]
-RABU-
[Juliet Biadabbbb!!]
-KAMIS-
[Siapa kau?]
[Aku tak peduli kau pecandu apa! Mau apa kau disini?]
[Diam kau bajingan! Aku tidak akan tidur dengan bangkai sepertimu.]
[Kadang-kadang]
[Tidak! Aku yang akan membunuhnya. Tugasmu membantu aku keluar dari
tempat sialan ini.]
DIAM
-JUMAT-
-SABTU-
[Siapa kalian.....???]
........
[Aku butuh suara-suara lain. Suara yang lebih ribut dari gemuruh ombak.
Lebih merdu dari....]
[milikmu...]
[Ana]
8
Waktu yang meloncat dan hilang
“Belum jelas. Tapi yang pastinya mereka adalah wujud defense mechanism
dari kepribadian asli. Bisa juga mereka membawa obsesi yang sama dengan pribadi
asli, atau bisa sebaliknya. Justru bertolak belakang.”
“Psikoterapi banyak membantu?” Pertanyaan itu terdengar seperti sindiran.
Dokter Amina tertawa kecil.
“Bukankah kita seharusnya menjadi satu tim kecil, dokter? Oya dokter Bre.
Seberapa sering anda memberikan Valium pada Juliet?”
“Sesuai kebutuhannya. Bila diperlukan.” Jawabnya yakin.
“Seberapa sering?”
“Tidak terlalu.”
“Sebaiknya penggunaan valium pada Juliet dihentikan dulu. Kalau bisa, tidak
ada pemakaian obat-obatan penenang atau penghilang rasa—kecuali obat tidur.
Karena ada salah satu kepribadian yang belakangan muncul, dan merupakan pecandu
valium. Saat ini Juliet benar-benar tidak eksis. Setiap alter ego sedang bergantian
menempatinya. Tentu ini akan membahayakan Juliet.”
Dokter Bre tersentak. Dahinya sekarang benar-benar berlipat. “Anda yakin
begitu dokter Amina?”
“Seratus persen.”
Suasana hening.
“Berhati-hatilah dengan Jean. Tampaknya ia berbahaya.”
Dokter Bre membanting pulpen di atas meja di hadapanku.
Mataku bergidik.
“Ini sungguh membingungkan. Kepalaku jadi sakit.”
Dokter Amina menyodorkan segelas air putih dari kulkas. “Anda begitu?
Apalagi wanita ini. Anda bisa bayangkan bagaimana hidupnya?”
“Psikiater tidak mencampuradukkan empati dalam obat-obatan. Tugas anda
berempati.” Semburnya frustasi.
“Saya mengerti.”
Dokter Bre menghabiskan air di gelas dengan cepat. “Penyatuan kepribadian.
Bagaimana?”
“Memang selama ini, cuma itu satu-satunya cara. Hanya saja kita memerlukan
sedikit waktu untuk mengetahui kepribadian-kepribadian yang dominan beserta latar
belakangnya.”
“Anda tahu, begitu banyak pasien kepribadian ganda tidak pernah tertangani
tuntas. Malah menjadi sasaran komoditas para penangguk keuntungan.”
“Dan kita tidak akan membiarkan itu terjadi pada Juliet.”
“Perempuan yang merekomendasinya kesini adalah salah satu penanam saham
terbesar. Penyumbang tetap setiap tahunnya! Kita tidak mungkin menggantung kasus
Juliet.”
“Kita memang tidak merencanakannya kan, dokter Bre?”
Dokter Bre menggaruk kepalanya sambil mengoceh sendiri. Mungkin ia
merasa sedikit dipermainkan.
“Kalau perempuan ini tidak menemui kesembuhannya, dan kasusnya ditutup.
Aku akan mengundurkan diri.” Katanya sambil menghempaskan diri di sofa.
“Karena orang yang merekomendasinya begitu berpengaruh....?”
“Karena Juliet sudah menyita seluruh pikiranku.” Kalimat itu dipotong oleh
satu jawaban yang terdengar jujur, dalam nada suara yang memelas.
Dokter Amina tidak menanggapi.
Mereka berdua masih saja berfrustasi ria dihadapanku. Di hadapan aku yang
sedang tidak eksis.
Aku yang memandangi mereka dengan kelucuan mereka.
Aku yang tak berusaha kembali.
Tempat itu terlalu sesak.
Sesesak dendam itu ada di dada.
Entah sudah berapa lama mereka mengunciku di ruangan ini. Sejak kejadian
aku melarikan diri dari rumah sakit, mereka semakin memperketat pengawasanku.
Ana terus menerus mengamuk.
Menendang pintu sepanjang malam, berteriak, melolong, dan menyumpah-
nyumpah.
Luna dengan kecemasan tingginya jadi ikut-ikutan stres. Ia malah menjadi
gila. Memukul-mukulkan kepalanya di dinding sampai gemanya terdengar di
sepanjang labirin.
Mereka terus menyuntikkan bermacam obat.
Tapi Ana tetap tidak berhenti. Ia memang sudah seperti kesetanan.
Aku.
Aku mengalami blackout—hilang ingatan tiba-tiba, dan jatuh bangun terus
menerus dari pingsan. Seolah ada kekuatan setan yang menarikku ke dasar kegilaan.
Membuatku melupakan kewarasan dan tak sanggup lagi kembali.
Itu yang memang mereka inginkan.
Mereka berhasil menguasaiku. Sampai aku hilang.
Tapi dokter Bre tetap menyuntikku—dan menyetrumku juga. Dasar dokter
psiko!
Setelah fisikku pulih, mereka melepaskanku kembali ke kamar—tetap dengan
pengawasan. Hanya fisikku yang pulih dan kembali sehat, tapi tidak jiwaku. Aku
masih hilang dan tak tahu berada dimana.
Ana berkeliaran bebas dengan kemarahan-kemarahan yang meledak sewaktu-
waktu.
Saat nonton televisi ruang menonton, ia mempengaruhi semua orang untuk
membuang obat mereka. Bahkan Briana juga dibujukinya. Tentu saja ia tetap
bergeming. Matanya tetap menontoni udara yang hampa. Briana tak pernah
mendengar orang lain.
Ana mencuri valiumku untuk diberikan kepada Jean. Mereka memang
bertemu sekali-sekali, untuk merencanakan sesuatu.
Gina terpengaruh.
Celine juga percaya.
Tapi yang paling tergila-gila dengan Ana adalah Maria. Ia begitu terpesona
dengan Ana sehingga mempercayai dan mengikuti semua perkataan Ana.
Aku sendiri tak dapat berbuat apa-apa.
Maria sedang memandangi siaran tivi saat Ana mendekat.
“Nonton apa Maria?”
“Sinetron Tersanjung....”
Ana menganggukkan kepala. “Kau cantik Maria. Bahkan lebih cantik dari
pemeran utama wanita itu.”
Maria tertarik. “Begitukah?”
“Tentu kau bisa menjadi seorang aktris terkenal dengan kecantikanmu.”
“Aku tidak yakin.” Ujarnya pesimis.
“Kenapa tidak? Kau hanya perlu satu hal.”
Maria memandangi mata Ana dengan serius. “Apa itu Juliet?” tanyanya
bersemangat.
“Sst, aku Ana.”
“A...ana? kau punya nama lain?”
“Jangan sentuh lagi obat-obat itu. Mereka yang membuatmu tidak mampu
berpikir, sehingga otakmu menjadi tumpul seperti anak dengan retardasi mental.
Sembunyikan di bawah lidahmu.....lalu, buang saat tak ada yang melihat.”
“Aku akan menjadi artis?”
“Ya Maria, setelah kepintaranmu kembali, larilah dari sini. Kabur jauh-jauh!
Banyak pencari bakat yang berkeliaran menunggu kau bebas dari sini. Jangan mau
berkarat disini.”
Mata Maria bersinar-sinar.
“Apa betul kau takut dengan tangga?”
“Ngg...se sedikit. Sekarang sudah tidak lagi.” Jawabnya senang.
“Itu bagus Maria! Bagus! Itu akan mempermudahmu keluar dari sini. Asalkan,
jangan kau sentuh lagi obat-obatan itu. Mengerti?”
Maria mengangguk mantap. Ia merangkul leher Ana, dan mendekap penuh
sayang. Ia merasa Ana telah menyelamatkan semangatnya yang telah lama mati di
rumah sakit ini. Terkubur janji-janji sembuh dari dokter yang lupa.
Ana menjadi sulit sekali terpisah dari tubuhku. Menurut dokter Amina, ia akan
menjadi kepribadian tunggal bila tidak berbuat sesuatu.
Jelas aku tidak menginginkan hal itu terjadi. Karena bila Ana menguasai
kepribadian yang lain, dan mungkin ia akan menjadi dominan, maka habislah aku.
Tamatlah riwayatku karena diculik mahkluk dalam diriku sendiri. Tidak ada Juliet,
tidak ada ingatanku tentang Haidar. Dan yang paling menyeramkan, aku jatuh cinta
pada laki-laki itu. Amit-amit! Sumpah, aku tidak akan hidup meskipun hanya sekali,
bila harus menyukai orang itu.
Dokter Amina menjelaskan padaku saat terapi minggu lalu.
“Kau harus mulai teratur minum obatmu. Sejauh ini, tidak ada reaksi yang
signifikan terhadap obat. Itu artinya, kau harus lebih pandai bekerjasama. Demi
kebaikanmu juga. Jika tidak, percuma ratusan terapi yang akan berjalan.” Jelasnya.
Aku mengiyakan, dan berjanji untuk lebih menurut.
Semalam kutemukan tulisannya lagi.
Dalam tulisan itu, ia berkata akan membunuh laki-laki itu dengan bantuan
Jean—entah siapa lagi dia—dan bila tidak berhasil ia akan bunuh diri.
Bunuh diri.
Sedangkan Ana tak pernah punya tubuh.
[Kematiannya tidak lama lagi. Tunggu sampai Jean menemukan waktu yang
tepat. Jelas ia harus mati! Aku sudah sesak menyimpan segala-galanya di
dada.]
AAARRGGHHH!!!
Frustasi datang tak terbendung. Menyerbu dinding-dinding otak dan
menggilas semua semangat serta energi positif yang mulai tertata demi cita-cita.
Entah kenapa aku harus memiliki cita-cita. Jantungku membara dalam tubuhku yang
terbakar.
Bila mau ambil tubuhku, ambil saja!! Aku tak peduli bila harus mati
sekalipun!
[Juliet.....]
[Kita harus bersanding!]
“Kenapa??”
[Karena dendam sudah membatu. Dan tidak ada cara untuk lepas lagi]
“Ambil saja tubuhku lalu terjun dari gedung teratas pencakar langit. Bunuhlah
aku.”
Aku menjadi gila.
Malam ini dokter Bre mengetuk pintuku. Bahkan malam belum terlalu larut. Ia
datang dan membalas permen tadi siang. Benar! Laki-laki itu datang dengan air liur
yang sudah menggantung. Mengendap-endap, dan mengendus-endus.
Memohon-mohon padaku.
Kuberikan semua yang dimintanya. Malam ini aku bercinta dengan
psikiaterku.
Tapi aku tidak menjadi gila karenanya.
Aku tidak menjadi gila karena menuruti permintaan dokter Bre. Karena
bagiku, bercinta dengannya adalah sebuah kemenangan besar, dalam sebuah
peperangan virtual yang dikobarkan dia dan anaknya di depan hidungku.
Susi, Susi....ayahmu laksana bedil tua yang tinggal menunggu ditarik picunya
lewat sebutir permen, dan diapun meledak-ledak tak terkendali.
Yang membuatku gila.... seperginya dokter Bre dengan baju yang masih
berantakan, kutemukan sampah yang berserakan di bawah tempat tidurku. Aku
menemukan begitu banyak benda rongsokan yang tidak pernah kukenal.
Semua itu benda yang berbunyi.
Entah darimana asalnya, tapi yang jelas hanya ada satu tertuduh.
“Ana kau membuatku gila!”
Dua belas kotak musik. Berbagai ukuran. Malah ada yang sudah hampir
berkarat. Tiga buah weker, satu jam dinding, radio, kerincingan Vihara, ada juga
pentungan kayu milik penjaga malam.
[Aku butuh suara-suara....]
[Agar aku menjadi tuli dengan suaranya]
“Aku membencimu!”
[Tidak, kau lebih membencinya!]
[Kau mungkin bisa memperbaiki sesuatu yang rusak, Juliet...]
[Tapi kau tidak akan bisa menghidupkan yang sudah mati]
Nafasku memburu.
“Aku yang akan membunuh laki-laki itu, dan kau tidak punya kesempatan
merasakan dendam itu terbalaskan. Jangan harap aku akan membunuhnya untukmu,
Ana. Tidak ada kita. Yang ada hanya aku.”
[Atau aku..]
[Jean?]
[Aku membuat Juliet belajar untuk berpikir dua kali bila mau melawan aku]
9
dalam ilmu psikologi klinis, ketidakmampuan pasien dalam menggambar manusia bisa menjadi salah
satu simptom klinis, yang berkaitan dengan kepribadiannya sendiri.
hidung penuh darah. Ia dibopong dan diselimuti kantong mayat. Dipulangkan kepada
keluarganya!
Dipulangkan dalam keadaan mati. Konon ia mati akibat ulahku. Ulah sebagian
dari diriku.
“Apa yang tidak hiperbolis di dunia ini dokter? Semua manusia berusaha
membedakan dirinya dengan orang lain karena selalu merasa benar. Dan dengan
kebenaran yang diakuinya, mereka seolah berhak menuding kesalahan oranglain.”
“Kau ngelantur. Duduk kembali dengan tenang Juliet.”
“Saya sedang duduk dokter. Kenapa? Anda kaget? Atau tidak terima dengan
kenyataan bahwa partner anda semalam baru saja tidur denganku.”
Dokter Amina menjadi geram. Kemudian bergegas mengangkat gagang
telpon, mungkin memanggil penjaga untuk datang meringkusku ke ruang observasi I
agar mulutku terbungkam. Menyetrumku lagi.
“Apa yang bisa kalian lakukan hanya duduk dari sana dan mulai menganalisa
hidupku? Tahukah kalian apa yang sebenarnya terjadi? Bahwa hari ini aku merasa
amat buruk, karena membiarkan Maria jatuh terguling lalu mati dalam ketakutannya.”
Nafasku terengah-engah. Aku menangis dengan isakan yang keras. Seperti seorang
gadis cengeng.
“Kenapa tadi aku tidak mengejarnya di tangga kemudian memeluknya dan
membawanya ke atas. Menyelamatkan sisa hidupnya yang buruk.”
“Aku mungkin tidak tahu bagaimana rasanya menjadi dirinya. Tapi aku
mengerti bagaimana rasanya ingin mati karena tidak berdaya. Terhadap rasa takut
yang begitu besar. Lebih besar dari dunia yang kumiliki!”
“Setrum aku lagi dokter yang terhormat! Aku tidak akan berhenti bicara!”
Teriakku. Para penjaga itu datang. Melipat tanganku di belakang, dan membawaku
pergi.
Aku meronta dalam gendongan mereka. Menendang, menggapai, mencakar,
dan sesekali memaki.
“Kecoak!! Tai semua!”
Waktu tak hanya merayap, bila berada disini. Tapi mati total.
Aku tidak pernah tahu, bagaimana rupa kebahagiaan yang kucari.
Bahkan disaat aku coba membicarakannya, aku menjadi gemetar. Gentar,
karena aku tidak yakin, aku masih mencarinya. Aku sudah tidak peduli hidupku akan
jadi apa nantinya. Entah bisa sampai atau tidak aku pada pemberhentian yang benar,
hanya satu yang pasti, aku ingin menutup telingaku dari obsesi para dokter untuk
menyelamatkan hidupku yang sudah terpecah-pecah. Entah, darimana mereka bisa
yakin, mereka tahu segala hal tentang minat, dan kebahagiaanku. Tapi mereka selalu
mengejarku untuk meraihnya dengan cara yang mereka pilihkan.
Aku benar-benar tidak tahu rupa kebahagiaan.
Tapi kelak aku akan mengetahuinya. Dan itu bukan jalan dari siapapun, tapi
oleh pencarianku sendiri. Toh, aku juga manusia, yang memiliki hak yang sama
seperti manusia yang lainnya. Untuk mendapatkan jatah udara segar, untuk bernafas,
dan juga berhak menentukan hidup yang akan kujalani. Tinggal mencari, apakah
masih ada hidup seperti yang kucari.
Aku mencium bau kesunyian dalam impian itu.
Aku sadar aku hanya menghibur diri. Bahwa sebenarnya aku bahkan tidak
tahu caranya hidup dengan cara yang kumau.
Buktinya malam ini aku berakhir lagi di ruang Observasi I.
Apa yang bisa aku pedulikan? Aku sudah mencoba berkompromi dengan
mereka untuk mejadi pasien yang penurut. Minum obat—terapi—tes-tes, tapi toh aku
tetap disiksa. Menjadi pembangkang apalagi, bisa lebih parah akibatnya. Aku bisa
dieksekusi mati.
Sekarang aku tahu, ruangan ini bukan ruang pengobatan, tetapi sebagai ruang
penyiksaan karena aku telah menyinggung perasaan mereka. Rumah sakit ini bukan
untuk rehabilitasi jiwa, tapi untuk tempat pembuangan bagi orang-orang macam aku.
Macam aku? Ya, yang tidak punya masa depan.
Aku hampir mati karena menggigit lidahku sendiri sehingga hampir putus.
Bodoh! Mereka lupa menopang gigiku dengan sumpalan sendok kayu saat obat itu
bekerja.
Seluruh badanku kaku. Mati rasa.
Kecuali satu, kutahu darah mengalir terus menerus dari pangkal lidah karena
tergigit.
“Begoooo!!!! Kasih aku obat merah!” Aku berteriak parau. Hampir saja tidak
bicara sempurna karena lidahku memar.
Mereka menuangkan alkohol.
Badanku hanya bergidik sedikit, dan sisa airmata luruh di pipi kiri.
Aku tidak merasakan sakit. Bahkan perih juga tidak. Mungkin sedikit lagi aku
akan jadi psikopat, karena sudah menjadi kebal. Menemani Kristal di samping tempat
tidurnya. Diikat berdua berdampingan dalam satu ruangan kemudian bicara dalam
bahasa telepati.
Jadi apa sajalah! Yang penting aku bisa bunuh bajingan itu.
Aku sudah terbiasa belajar kebal dan menjadi bebal sejak kecil.
Aku ingat pertama kali ia menyiksa ibu. Wajah ibu dibentur-benturkan ke
tembok dan lalu memaki-maki ibu.
Wajah ibu berdarah dan bengkak-bengkak sampai mata ibu menjadi besar
sebelah dan berwarna biru.
Penyebabnya karena ibu sedang datang bulan. Ia tidak suka. Ia tidak pernah
suka bila ibu datang bulan. Entah kenapa.
Yang membuatku marah, ibu hanya berteriak dan menangis. Kenapa ibu tidak
sedikitpun mencoba membalas, atau melarikan diri dari laki-laki itu? Kenapa ia hanya
diam, dan membiarkan tubuh dan hatinya terus menerus disakiti?
Kenapa ibu tidak pernah peduli, padahal ia tahu laki-laki itu pergi setiap
malam bersama pacarnya. Pulang dalam keadaan mabuk, dan selalu berang. Klise.
Padahal ia selalu menangis dalam kegelapan saat semua orang tidur. Tapi aku
bisa mendengarnya. Bagaimana tidak, itu terjadi hampir setiap malam.
Apa? Apa yang menjadi standar hidupnya? Bukankah setiap orang sehat,
selalu memiliki standar? Minimal pendidikan strata 1, minimal punya pangkat,
minimal kaya raya, dan kesetiaan di rumah tangga tidak menjadi terlalu penting. Ada
juga yang memiliki standar hidup berkenaan dengan Tuhan dan filosofi agamanya.
Minimal mereka rajin beribadah, menjadi umat yang patuh, maka standar hidupnya
telah tercapai. Standar manusia beragam. Tapi tak satupun manusia yang mau hidup
menderita. Setidaknya ada satu sisi yang tercapai sebagai standar hidup.
Tapi ibu? Ia tidak punya apa-apa. Ia tidak punya harta. Ia tidak punya
pendidikan, ia tidak punya kebanggaan dalam rumah tangga, dan agamanya telah
kandas sejak lama, mati dalam pelukan doa-doa yang terburai oleh kekecewaan. Ibu
hanya memiliki laki-laki yang bahkan tidak mampu menjalani hubungan sosial
sebagaimana manusia seharusnya.
Aku melenguh. Kenapa aku tidak menderita amnesia? Atau minimal long term
memori lost? Kenangan itu tidak pernah indah. Dan aku benci karena mampu
mengingatnya dengan baik.
Selalu. Memori itu selalu teraba kembali setiap aku berada di ruangan ini.
Padahal, aku tidak terlalu lama kenal ibu.
Semasa hidupnya aku juga jarang bicara dengannya. Apakah aku
mencintainya? Aku juga tidak tahu. Yang aku tahu, aku membenci laki-laki yang
dinikahinya, karena terus menerus menyakitinya. Aku hanya tidak tahan menontoni
mereka setiap hari.
Sedangkan Ana, dan yang lainnya. Mereka semakin sering muncul, untuk
merencanakan sesuatu, menjalani hidupku, melewati hari-hariku tanpa kusadari dan
itu membuatku kewalahan. Terlalu banyak lompatan yang kualami. Terlalu banyak
perpindahan waktu yang lewat dalam diriku tanpa kusadari. Hidupku seperti dicuri
oleh orang lain yang menyamar menjadi aku.
Aku miris mengingat jurnal Ana. Merasa ikut tersakiti dan semakin
terpengaruh untuk melayani apa maunya. Aku takut, jangan-jangan aku nantinya akan
berubah arah. Membunuh laki-laki itu karena rasa kasihanku pada Ana.
Padahal itu tidak boleh terjadi. Karena sekalipun tujuan kita sama, tetapi
alasan kita berbeda.
Sebuah sinar melintas di mataku, dengan jarak hanya beberapa meter. Dengan
cepat aku terhipnotis. Memandanginya yang bergerak mengitari ruangan dengan
gerakan slow motion.
Kupikir kematian telah datang menjemput. Ternyata aku tidak akan mati.
Karena badanku kembali kejang-kejang.
Layar itu kembali kabur dan memutih. NO SIGNAL.
Akhirnya sampai juga pada hari besar itu. Hari dimana semua dendam akan
dimuntahkan bulat-bulat. Tanpa kompromi lagi.
Ana membawaku kabur dari ruangan itu. Kami bersama. Keluar dari ruangan
ini, keluar dari rumah sakit gila ini.
***
PERSIMPANGAN
DION
Ia melintasi sebuah perkampungan yang ramai. Ada pasar malam yang meriah
disana. Musik, badut, permainan, roda gila, komidi putar, atraksi-atraksi, gula-gula,
manisan, dan macam-macam makanan lainnya.
Ana menyukai bebunyian, dan keributan-keributan seperti ini. Ia selalu tergila-
gila pada pesta atau konser-konser musik. Kegaduhan menyamarkan kesepian dalam
jiwanya yang kosong.
Sedangkan aku benci semua itu. Musik, tawa, senda gurau, lelucon, apa saja
yang berbau pura-pura. Dimana semua orang terlihat senang, padahal aku tidak
mengerti kenapa orang harus tertawa. Sekali lagi, Klise.
Ana menelusuri keramaian itu dengan hati berbunga-bunga.
Matanya membulat dan perasaannya seperti musim semi.
Ia seperti menemukan sebuah dunia negeri dongeng—penuh keindahan dan
keajaiban—yang terdampar di sebuah pulau yang sedih. Seperti Atlantis.
Ana belum pernah datang ke pasar malam.
Ia melihat badut dengan kaki yang panjang sedang menyemburkan api dari
mulutnya. Anak-anak kecil yang berlarian menggendong boneka, hadiah dari
permainan yang berhasil dimenangkan mereka. Komidi putar bergerak seperti kereta
kuda yang membawa pangeran dan mimpi-mimpi indahnya. Riuh rendah suasana
pasar malam yang sibuk, menyatu dalam pikirannya.
Ia menari berputar-putar di tengah-tengah orang-orang yang sibuk, kemudian
beranjak membeli sebuah tiket seharga tiga ribu.
Sebuah Bianglala.
Ana duduk di dalamnya sendiri.
Bianglala itu siap berputar. Gerakannya lambat dan malas.
Tak lama Ana sudah dibawa menuju puncak putaran teratas. Ia melihat seluruh
kota yang bersinar warna-warni. Mulutnya terbuka lebar karena kekagumannya.
Rambutnya tersibak sedikit oleh angin yang menyelusup dari jendela yang tidak
terlalu rapat tertutup. Ia hampir sejajar dengan sebuah pesawat yang terbang rendah.
Tangannya seolah sanggup merengkuh dunia, menidurkan dalam pelukannya,
sehingga semua akan baik-baik saja.
Ia bersorak dalam kotak bianglala itu, yang mulai bergerak melambat. Ia telah
sampai kembali di bawah. Melihat segala sesuatu dalam jarak dekat. Semua hal
kembali terasa besar dan tak sanggup direngkuhnya.
Kakinya kembali berjalan. Menembus pusat keramaian, dengan suara-suara,
logat, bahasa, berseliweran melewatinya tanpa permisi.
Ia bahagia malam ini.
Wajahnya tertuju kepada sepasang muda-mudi yang duduk agak jauh dari situ.
Duduk berpelukan di samping penjual sekoteng. Matanya tak lepas mencermati setiap
gerak-gerik dua orang itu.
Ia menjadi cemburu. Senyumnya surut. Andai saja semua orang tahu, bahwa
iapun pernah memiliki cinta. Mungkin juga jauh lebih bagus.
Wajahnya berpaling. Sesuatu menyita penuh perhatiannya.
Jetcoaster. Kereta luncur kecepatan tinggi yang diam. Tak ada pengunjung
yang naik. Seluruh kursinya kosong dan itu menggoda hati Ana. Seolah memang
sengaja disiapkan untuk dirinya.
Kakinya kembali bergerak. Dengan mantap ia kembali membeli sebuah tiket
seharga tiga ribu. Ada riak-riak gairah yang siap mengucur bersama adrenalinnya.
Membantu melupakan sedikit sakit yang sudah terlalu uzur dan bau amis. Ana siap
mati untuk merasakan itu malam ini. Walau hanya beberapa menit, ia rela menunggu.
Ia rela menukar dengan nyawanya. Ia hanya ingin dadanya kosong. Ia ingin
memorinya tersumbat, melupakan apa saja yang tersimpan rapi dan tak mau pergi.
“Tiketnya satu mas,” matanya tak lepas dari roda-roda gila yang siap
kesetanan itu.
“Yoi mbak, naek aja langsung.”
*
Satu pasang mata sedang mengintainya dari kejauhan. Seperti serigala lapar
yang baru saja dilepas dari kerangkengnya.
Matanya penuh amarah.
Amarah yang butuh penuntasan.
*
Ana menyibak rok besarnya dan duduk di bangku paling depan. Seperti putri
kerajaan yang hendak duduk di tahtanya. Senyum mengembang lebar di bibir Ana
dan ia merasa tidak sabar untuk merasakan tubuhnya terguncang-guncang di atas
jetcoaster itu. Tangannya mencengkeram besi di depannya. Jetcoaster hanya terisi
separuh. Ana duduk di bangku paling depan.
Krekk.
Roda itu berputar, dan kereta mulai bergerak amat pelan.
Ayo, berlari, cepatlah! Yihaaaa!
Para penumpang lain mulai memejamkan mata, ada yang berkelakar, dan ada
yang sudah mulai berteriak ketakutan.
Ketika kereta itu sampai di puncak tertinggi, tiba-tiba seekor burung malam
melintasi di hadapan mereka dan hampir menabrak kepala Ana. Ana limbung dan
menjadi tidak konsentrasi.
Tiba-tiba saja sebuah pintu di ruangan tak berbatas itu terbuka lebar dan aku
terhempas keluar. Plass!
Aku sudah berada di luar.
Cahaya yang banyak.
Terang.
Suara-suara sumbang, lampu-lampu yang berkedip frustasi ditengah
keramaian yang menggila.
10
Ketidakmampuan seseorang membedakan kenyataan dan khayalan, sehingga menciptakan realitas
baru.
psikosis atau neurosis11 mereka. Tapi toh sekarang aku bisa duduk dan berbicara
dengan kamu. Tidak masalah.”
Dion meneliti mukaku lama. “Lo lulusan mana sih?”
“Hah?”
“Kuliah dimana lo?”
Aku menggeleng. “Aku cuma sampai SMP. Sebenarnya SMU kelas 2.”
“Really? Gaya bicara lo itu. Dapet akses darimana lo tahu sebanyak itu? Lo
bisa duduk santai disini dan mempresentasikan penyakit lo ke gue. Lancar lagi. Anak
SMP ga ada yang ngomong kayak tadi. Lo banyak baca ya?”
Aku mengangguk lagi. “Apa saja yang berkaitan dengan penyakitku.”
Kurapatkan kedua kakiku terus menerus. Aku rikuh. Tidak biasa berhadapan
dengan orang macam Dion. Tampaknya dia salah satu tipe laki-laki superior. Superior
maksudku adalah yang selalu punya semuanya. Selalu dapat apapun yang dia mau.
Anak kesayangan, mahasiswa berprestasi. Laki-laki macam ini tidak pernah suka
ditolak.
Mataku terus-terusan menatap lantai marmernya yang berkilauan.
Dion menghela nafas dan menyalakan sebatang rokok. Bungkusannya
disodorkan kepadaku.
“Nih!”
Aku menggeleng. “Aku tidak....”
“Oiya! Itu kan Ana. Ah apalah...pusing gue musti percaya hal ajaib beginian.”
Ia menggaruk kepalanya dengan ujung jari yang bebas tidak sedang menjepit rokok.
“Kalau gue.......Gue cenderung sembunyi kalo ada masalah. Lari jauh-jauh,
masa bodoh. Nggak pernah gue pikirin. Cuek aja. Gue nggak gampang panikan. Ya,
karena itu sebenarnya karena gue nggak peduli. Nggak mikirin. Gue tenang bukan
karena udah tau solusi buat masalah itu, tapi karena emang nggak mikirin sama
sekali. Apalagi kalo masalahnya lagi bener-bener nyerbu otak gue, gue pasti flight.
Emang sih masalah gue nggak lantas hilang begitu aja. Tapi setidaknya gue nggak
depresi.” Dion menghembuskan asapnya tinggi-tinggi di atas kepalaku.
Apa aku juga begitu? Apa aku juga suka lari dari masalah? Aku bahkan
hampir tidak punya masalah.
11
Gangguan mental dimana seseorang memiliki insight serta kemampuan nilai realitasnya tidak
terganggu. Suatu gejala organic yang tidak dapat ditunjukkan.
“Ingat nggak waktu kita kecil? Waktu seorang ayah begitu menjadi dewa
untuk kita. Dan penerimaan darinya membuat kita merasa begitu berarti? Menjadi hal
yang paling kita cari? Gue, adalah anak yang mau ngelakuin apa aja untuk ngedapetin
itu Jul.”
“Aku nggak pernah punya ayah.” Dadaku berdebar mendengar kata ayah
disebutkan. Seperti picu. Tali kekang. Sumbu meriam. Anak panah. Seolah akan ada
yang berdarah begitu mereka dilepaskan.
“Beruntung lo ga punya! Gue? Dari kecil gue selalu dibiasakan untuk
membentuk kepribadian lain yang diinginkan ayah gue. Anak yang pintar, sopan,
soleh, ga suka main-main, belajar, juara kelas. Standar.”
Aku beruntung katanya? Tanpa berdosa ia katakan itu.
“Tapi ternyata ada yang berontak di alam sadar gue. Ternyata kepribadian asli
gue bukan yang selama ini gue pakai. Tapi toh ayah terlalu berkuasa, susah untuk
dipatahkan. Hasilnya? Gue pakai kepribadian gue yang diinginkan ayah gue, dan
tanpa gue tahu kepribadian asli gue berkembang. Akhirnya gue.....ganti lingkungan,
ganti kepribadian. Demi penerimaan, gue berani lakuin itu.”
Munafik.
“Munafik? Tidak. Itu berbeda.” Ia seperti membaca pikiranku, “Munafik sih lo
jadi orang lain yang bukan diri lo. Sedangkan yang gue lakuin adalah secara sadar dan
dengan senang hati. Ini bukan lagi sebuah sebuah pelarian. Tapi lebih ke kebutuhan
gue. Dimana gue berada, ya gue pake kepribadian gue yang sesuai. Hanya seperti sisi
lain dari diri gue aja. Bukan berpura-pura.” Ia mengakhiri dengan tertawa lebar.
Pembantunya datang membawakan dua buah gelas minuman segar berwarna
merah.
“Makasih ya mbok!”
Belum pernah disambut seperti ini, Aku makin merasa tidak enak.
“Santai aja Jul, Gue biasa gini kok sama semua tamu gue.” Dia seperti
membaca lagi pikiranku.
“Terima kasih.” Aku tidak basa-basi. Aku benar-benar berterima kasih, karena
sedang kehausan. Langsung kuhabiskan isi gelas itu.
“O...haus to? Mboook! Satu lagi. Cepetan!”
“Untungnya gue masih dalam batas normal man. Kepribadian yang gue bentuk
masih gue sadarin. Nggak kayak lo gitu. Serem gue.” Dion bergidik. Aku tidak
tersinggung, karena dia tidak terlihat berniat menyinggung. “Gue juga bisa menikmati
hal yg completely different. Gue suka musik jazz. Tapi gue juga biasanya ke acara
yang ada band-band top forty. Udah gitu, gue punya banyak film science, tapi gue
juga seneng sama film drama keluarga. Yang happy ending biasanya. Gue aja nih,
sukanya melototin Playboy versi Asia. Keren, kulitnya seksi! ga putih kayak Chinesse
atau bule-bule karbitan itu. Tapi, begini-begini gue juga romantis lho. Gibranism
man!. Asyik tulisan-tulisannya semua berbau unreal...Tau kan Khalil Gibran? Cuma
mungkin belum gue temuin aja mana yang dominan. Tapi gue jalanin satu-satu.
Jalanin man, bukan coba-coba. Toh hidup adalah anugerah.”
Aku dan Dion berdua terdiam.
“Dalem banget yah?” Dia tertawa lepas.
Aku berpikir lagi. Tidak ada yang salah dengan anak ini. Sekarang ia justru
terlihat sangat familiar. Akrab dan hangat. Apa ini juga salah satu kepribadiannya
yang dipakai begitu ketemu orang?
“Lalu untuk suka pergi ke pelacuran, apa itu juga salah satu kepribadianmu?”
“Gue nggak punya pacar man! Mau gimana lagi?”
“Nggak punya pacar? Pergi ke pelacuran?”
“Ya apalah namanya, yang penting nge-efek. Tinggal Get in, get off, and get
out. Gue nggak terlalu tertarik sama komitmen. Laki-laki macam gue ini males kalau
harus berurusan sama hati. Apalagi cewek. Cewek man! Mahkluk paling sensitif di
muka bumi. Ribet! Terlalu banyak bahasa yang mereka pakai dan sering ga bisa gue
ngertiin. Nyokap gue? Beh! Bawaannya aja kalem. Namanya doang ada embel Raden
Ayu. Tiap ditinggal bokap ke luar negeri, langsung jalan sama orang lain. Tiap
kesepian dikit, langsung deh ngelencer dia. Naga-naganya, Scotch, wine, vodka juga
man! Ngalah-ngalahin gue anaknya. Kenapa dia nggak ngomong langsung ke bokap,
kalau dia capek jadi ibu rumah tangga yang duduk manis nungguin suaminya pulang.
Bosen dia kesepian. Kenapa harus selalu nunggu bokap yang buka aksi duluan? Dan
kenapa juga gue musti nanya sama elo? Bingung kan? Nah cewek tuh! Kelompoknya
elo tuh!” Dion meringis. Ada sedikit raut penyesalan yang tergaris disana. Ia sendu.
Aku mencoba memandangi wajah aslinya. Mencoba meraba hatinya dengan
satu bahasa yang aku punya. Yang kuyakin dimiliki semua perempuan di dunia ini
dan tidak pernah diketahui keberadaannya oleh para laki-laki. Insting. Feeling. Vision.
Mata hati.
Deg. Ada sebuah chemistry yang tertangkap. Rasanya aneh. Bergetar.
Aku merasa semakin mengenalnya.
Mungkin Dion ini hanya manusia yang punya limpahan kasih sayang yang
tidak tersalurkan. Dia begitu butuh pelabuhan yang benar. Mataku begitu penuh
dengan semua yang tidak terlihat itu. Sesungguhnya ia amat bersahaja.
“Lo sendiri? Lo bilang, kelainan lo ada karena terjadi semacam penolakan.
Trauma gitu bahasanya. Kenapa lo?”
Aku tidak pernah siap mendapat pertanyaan seperti ini selain dari dokter
Amina atau dokter Bre.
“Aku.....cuma korban. Cuma itu. Maaf, aku tidak terlalu ingat.”
Dion menggeleng kepalanya. “Udahlah, jangan dipikirin.” Sekali lagi
menepuk pundakku. ”Wah, tapi cool ya gue ketemu lo malam ini. Tapi....jangan-
jangan, gue ketipu nih?”
“Maksudnya?”
“Jangan-jangan yang asli malah si Ana? Bukan elo lagi? Mampus gue kan jadi
pusing gini.” Ia menggigit bibir. Tampangnya lucu.
Aku tersipu. “Aku yang asli. Tenang saja.”
“Yakin lo?”
“Yakin,” Aku tertawa lebar.
Tertawa. Satu hal lagi yang kuanggap hipokrit telah kulakukan malam ini.
Tertawa. Mana bisa aku tertawa?
Menuding laki-laki ini penculik? Aku sepertinya terlalu berlebihan. Sepertinya
ia punya maksud lain.
“Tapi lo beda banget ya ama Ana? Lo keibuan banget. Sedangkan Ana tu
meledak-ledak. Penuh obsesi. Full of Passion......Kalau lo, gue liat lo sederhana
banget. Datar-datar aja dan serasa putri keraton tiap bahasa yang keluar harus lo tata
begitu?”
“Kelihatan keibuan apa kelihatan penuh masalah?”
“Nggak man, gue serius. Lo bisa banget meredam marahnya raja naga
sekalipun.” Dion berbicara seolah sedang tidak berhadapan dengan orang sakit. Ia
seolah tidak ingat aku adalah pasien rumah sakit jiwa dengan gangguan kepribadian
yang parah. Atau mungkin lebih tepatnya ia tidak peduli.
Ia memperlakukan aku seperti manusia biasa. Bukan manusia yang super
istimewa karena sesuatu yang dibawanya sebagai kelainan.
“Terus kenapa aku diculik?” tanyaku pelan.
“Hei man! Gue nyulik Ana. Inget?”
“Iya kenapa?”
“Rahasia.”
“Apa?”
“Hehehe. Becanda Jul. Ceritanya gue pernah tidur sama dia. Beberapa
kali....Aduh jadi ga enak ngomongnya. Gimana ya....ya di dunianya, dia pelacur kan?
Lo tau kan? Gitulah.”
Urat-uratku bersekutu dengan darah. Aku menegang.
“Baru pertama kali gue ketemu perempuan kayak Ana. Pesonanya luar biasa.
Sex appealnya menawan gue di penjara hatinya. Gue jatuh cinta man sama Ana!” Ia
menggigit bibir. “Damn, she was looking great.”
Ada rasa iri yang ikut membakar. Rasa tidak terima. Bentuk persaingan yang
tidak enak. Seperti ditusuk dari belakang.
“Sebenarnya, apa yang membuatmu jatuh cinta pada Ana? Kamu yakin itu
cinta?”
Ia mengangguk.
Aku menunggu jawaban selanjutnya.
“Yah, gue rasa karena daya pikat yang dipunyainya itu tadi.” Jawabnya tidak
yakin.
“Bukan itu, Dion. Pasti ada alasan lain.”
Ia menggigit bibirnya. Pandangannya menerawang. “Sebenarnya sih.....”
“Sebenarnya?”
“Sejak pertama kali melihat dia berdiri di jalanan kurang lebih satu tahun lalu,
gue seperti merasakan sesuatu. Perasaan sepertinya perempuan ini sudah pernah gue
kenal sebelumnya. Ya Jul! Lo pernah nggak sih, ketemu sama orang baru pertama kali
dan langsung tahu kalau dia adalah pasangan jiwa lo. Seseorang yang begitu akrab di
hati dan ingatan lo. Seperti pernah bertemu lalu terpisah dalam waktu yang panjang.”
Aku mengangguk. “Sebelumnya aku nggak pernah sih, sampai hari ini.”
Dion terperangah. “Hah, maksud lo?”
“Entahlah tentang pasangan jiwa yang kamu bilang tadi, tapi selebihnya
memang begitu yang aku rasakan terhadap kamu di pertemuan pertama kita.”
“Persis! Itu yang gue rasain terhadap Ana. Tapi......”
“Tapi?”
“Perasaan itu semakin kuat saat bertemu kamu.”
Diam.
Kami sama-sama mencerna pikiran kami sendiri-sendiri. Kebisuan menggoda
telinga kami dengan pikiran-pikiran yang makin meluas, dan menjadi tidak terarah.
Membuat pikiran itu menjelma menjadi sebuah lelucon di dalam hati, sehingga
mencuatkan sebuah garis tipis di bibir. Pertanda otak merespon lelucon itu. Kami
tertawa kecil sendiri.
“Tapi sekarang kamu tahu, dia tidak pernah ada.”
Dion mengangkat bahunya tinggi-tinggi dan menghempaskannya. “Kalau
begitu, otak gue harus di-defrag.”
“Lo mau kemana sih sebenarnya?” tanyanya lagi.
“Sudah kubilang aku mau cari ayah tiriku.”
“Belum. Lo belum bilang. Lo cuma bilang lo mau pergi bunuh orang.”
“Yang mau kubunuh adalah ayah tiriku.”
“Astaga. Serius nih?”
Aku mengangguk. Kemudian menunduk lagi.
“Emang kenapa?”
“Dia satu-satunya manusia yang harus dilenyapkan dimuka bumi ini. Karena
dia ibuku mati. Kedua, dia meniduriku berkali-kali tanpa aku sadari.”
“Ma..maksud lo?”
“Memanfaatkan kelainanku untuk meniduriku. Disaat aku sedang jadi orang
lain. Padahal saat itu hanya dia yang bisa bantu aku, tapi yang dilakukannya justru
sebaliknya.”
“Maksud lo Ana?”
“Mungkin. Aku tidak tahu.”
Ia menepuk jidatnya. “Manusia miskin itu? Yang sekarang kawin ama orang
kaya kan?”
“Darimana kamu tahu?”
“Ana sering cerita man! Dan dia jatuh cinta sama laki-laki itu. Ya ampun,
emang bajingan banget ya tu orang. Jadi lo berdua mau ngebunuh laki-laki yang
sama? Astaga. Sulit buat dipercaya, tapi gue udah mulai ngerti sekarang.”
Kesunyian kembali mengepung. Masing-masing kami tenggelam dalam
pikiran sendiri-sendiri. Mereka-reka urutan kejadiannya versi kepala kami masing-
masing.
Kejadian seharian ini membuat seluruh badanku terasa hendak patah. Lelah
dan mengantuk. Malam sudah semakin menipis. Entahlah ini sudah jam berapa, tapi
yang jelas sudah sangat larut. Aku tertidur di kursi panjang itu begitu saja. Kepalaku
terasa berat untuk digerakkan, memang cukup berat untuk berbagi tubuh dengan
orang lain seperti ini.
Aku tertidur di depan Dion yang masih terus berbicara.
Hari sudah terang benderang ketika aku bangun. Matahari masuk melalui
jendela dan membuat tubuhku berkeringat apak di bawah balutan selimut yang
lumayan tebal. Seperti dipanggang dalam oven.
Selimut?
Ternyata aku sudah berpindah. Bukan di sofa lagi. Tapi di kamar seorang laki-
laki. Aku tersentak dan langsung duduk. Dion yang menggendongku? Beratku kan
tidak ringan, mana mungkin? Tapi lebih tidak mungkin lagi aku berjalan dalam tidur
dan langsung menemukan kamar ini lalu tidur manis seperti putri, tertelungkup di
dalam selimut.
Suasana kamar ini mencerminkan sisi lain seorang Dion. Kesan tegas
tersembunyi di perabotan yang dipilihnya. Kamarnya sangat rapi dan teratur. Semua
benda memiliki tempat dan posisi sendiri-sendiri. Tak ada satupun debu yang terlihat,
apalagi sampah atau benda-benda yang tidak terpakai. Hanya ada beberapa buku yang
berserakan di atas meja. Tampaknya sering digunakan.
Dindingnya bersih. Tak ada coretan atau tempelan-tempelan usang. Tiga foto
besar terpampang disana.
Ada satu foto suasana padang rumput pagi hari dalam balutan warna hitam
putih ukuran besar, satu foto suasana kota malam hari dalam warna sephia dengan
ukuran yang sama. Ada satu foto yang lebih mendominasi, yaitu sebuah gambar
manusia yang diambil dari atas. Tidak begitu jelas, karena pencahayaannya jelek,
fokus yang labil, dan obyek fotonya terlalu kecil, sekalipun foto itu dicetak dalam
ukuran yang lebih besar. Tapi kalau kuperhatikan, itu seperti sebuah gambar
perempuan berkerudung hitam sedang berlutut di depan sebuah patung. Tampaknya ia
berdoa. Jelasnya, seorang perempuan berkerudung di dalam gereja yang dipenuhi
lilin. Dan sedang berlutut, berdoa.
Aku tertegun di depan gambar itu.
Seharusnya laki-laki yang gemar perempuan—pelacur atau wanita penghibur,
tidak memasang gambar seperti itu. Seharusnya dia lebih tertarik dengan sesuatu yang
merangsang penglihatan dan pemikirannya mengenai bentuk tubuh perempuan yang
ideal menurut logikanya, seperti yang diharapkan bawah sadarnya. Seharusnya ada
beberapa gambar perempuan seksi disana.
Tapi tidak kutemukan.
Kamarnya terlalu memiliki fokus yang banyak dan terkesan berlebihan. Tidak
ada satu titik yang menyedot perhatian lebih. Semua benda yang ada, seperti tidak
dipasang dengan tidak sengaja. Semuanya seperti memiliki makna. Kamar ini besar,
dan disetiap sudutnya selalu terlihat patung-patung kecil—seperti simbol yang
abstrak, yang hanya dimengerti oleh yang empunya.
Dengan mata yang masih lengket, aku merasa jauh lebih segar dengan suasana
di kamar ini. Lalu memutuskan untuk mencari Dion. Tampaknya aku harus keluar
dari rumah ini secepatnya sebelum aku menjadi betah.
Aku membalikkan tubuh.
Dion berdiri di tengah pintu sambil melipat tangan di dada. Tak ada senyum di
wajahnya. Entah sudah berapa lama ia berdiri di sana.
“Dion....”
“Tampaknya lo belum bisa kemana-mana hari ini. Keadaan diluar sedang
ribut. Ada kerusuhan dan juga penjarahan dimana-mana. Republik kita sedang berada
pada titik penting sejarahnya. Tidak hanya ibukota yang kacau. Hampir semua kota
kena imbasnya. Sebaiknya lo diam disini dulu. Lo nggak mau jadi korban perkosaan
kan? Banyak manusia nggak jelas yang ngambil keuntungan dari situasi ini.”
Aku menunduk.
Dion meneliti tubuhku dari atas sampai bawah.
“Sebenarnya lo siapa sih?” pertanyaan itu membuatku terlonjak.
“Apa?”
Dion masih bertahan untuk bersandar di pintu.
“Tadi malam gue liat semuanya, Jul. Lo duduk berlutut di depan gambar itu.”
Ia menunjuk gambar perempuan berkerudung itu. “Berlutut dan mulut lo terus komat-
kamit. Saking seriusnya lo nggak nyadarin keberadaan gue. Gue sampai rela jongkok
di depan pintu itu nungguin lo sampai lo selesai dengan ritual lo dan berjalan dengan
mata tertutup ke tempat tidur. Terus terang gue khawatir.”
“Mungkin aku berjalan sambil tidur, Dion. Aku sering begitu. Sampai aku bisa
ke kamar ini juga.”
“Gue yang bawa lo ke kamar ini, kok. Kasian tidur kok nggak nyaman begitu.
Tapi sampai disini malah lo kayak orang aneh begitu. Lo baru benar-benar tertidur
sekitar jam enam.”
“Oya?? Sekarang sudah jam berapa? Kamu....tidur dimana?”
“Gue tidur di sofa. Dan sekarang jam 12 siang.”
“Astaga. Maaf, aku kesiangan, dan sudah merepotkan.”
“Santai aja man, anggap lagi di Hawaii.”
Aku terus menunduk. Tak berani menatap wajah Dion yang tegang.
“Terus terang gue takut. Jangan-jangan lo ini semacam pengikut aliran sesat.”
“Sepertinya aku harus benar-benar pergi dari sini. Aku harus cari ayah tiriku.”
Aku mengelak dan mencoba menerobos Dion.
Ia menghalauku.
Aku mengambil langkah mundur.
“Inget ya Jul, lo sekarang tanggungjawab gue. Gue yang bawa lo kemari. Gue
nggak mau setelah lo keluar dari sini, lo dibalikin lagi sama orang-orang dalam
keadaan jadi mayat, dan gue harus ribut-ribut sama polisi karena identitas lo ga jelas!
Denger lo? Bertahanlah satu atau dua hari sampai kondisi di luar bisa disebut aman.
Setelah itu lo boleh pergi jauh-jauh. Cari ayah tiri lo, cepat-cepat bunuh dia dan
jangan libatkan gue. Dan tetap saja berharap gue percaya karangan lo tentang
kepribadian ganda itu.”
Dion menunggu reaksiku dengan sabar. Ia menyalakan rokok di tangan,
kemudian justru memainkan benda itu di sela-sela jemarinya.
“Yang gue ingin tahu, sebenarnya lo siapa? Ngapain lo jongkok-jongkok di
depan gambar itu? Ada kepentingan apa lo sama foto itu?”
Aku masih diam.
“Bisa kan lo jawab gue?!!”
Aku menengadah dan menatap matanya dengan takut-takut.
“Andai saja aku juga tahu siapa aku sebenarnya. Mungkin tidak akan sulit
untuk menjawabnya.”
Dion menyerah. Ia menghembuskan nafasnya dengan satu sentakan keras.
“Lo mandi dulu. Itu udah gue siapin baju dan alat mandinya. Abis itu gue
tunggu di meja makan.” Ia berlalu tanpa menunggu jawaban dariku.
Dion tidak mempercayaiku? Lalu kenapa ia masih menahanku di rumahnya?
Benarkah ia semarah itu?
Seharusnya ia berhak marah padaku, untuk sebuah pertanyaan yang tak
mampu kujawab. Tapi ia mampu menahannya. Aku merasa bersalah telah
membuatnya seperti itu.
Langit di luar jendela semakin terang.
Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan mandi tanpa ada yang mengawasi.
Aku berjalan perlahan mendekati meja makan bundar yang terletak di samping
ruang televisi. Rumah ini sangat besar ternyata. Semua perabotan di dalamnya bagus-
bagus. Kebanyakan foto dalam bingkai berukuran besar, menjadi penghias
dindingnya.
Langkahku kupelankan, berusaha menyembunyikan gema yang bisa
ditimbulkan dari kakiku.
Dion terpekur sambil memegang kepalanya. Asbak rokok di depannya sudah
hampir penuh. Sebanyak itukah yang dihisapnya selagi menunggu aku mandi? Aku
merasa semakin serba salah. Wajar, ini pertama kali baginya menghadapi orang
seperti aku.
Aku menarik kursi dan duduk di hadapannya tanpa disuruh. Dion masih diam.
Pembantunya datang membawakan minum untuk kami berdua. Sekali lagi aku
merasa rikuh.
“Silahkan non, mas Dion, makan siangnya.”
Tak ada yang menjawab.
“Dion,”
Ia menengadah dan menatap wajahku dengan serius.
“Aku.....pernah membawa lari seorang pasien psikopat di rumah sakit ke atap
gedung dan mengajaknya bunuh diri, dengan melompat dari atas sana.” Aku terhenti,
terbayang wajah suster Agi yang berpeluh dan penuh airmata, pada hari itu.
Dion mengernyitkan alisnya.
“Semua orang di rumah sakit panik. Kepala rumah sakit sampai memutuskan
untuk mengadakan pertemuan mendadak untuk membahas kejadian itu. Karena itu
dianggap keteledoran para perawat. Kristal—nama pasien perempuan itu, mengalami
depresi berat sejak kejadian itu. Ia harus menjalani tahap perawatan dari awal
kembali. Dan itu menghabiskan dana yang tidak sedikit.”
Wajah Dion semakin serius mendengarkanku.
“Bisa kau bayangkan betapa besar kebingungan itu hadir di dadaku. Sampai-
sampai rasanya aku putus asa dan ingin mati. Tapi, tak satupun orang di rumah sakit
itu bertanya kepadaku ‘kenapa kau lakukan itu Juliet?’ tidak ada. Tidak ada yang
bertanya padaku, dan tidak ada yang menyalahkan aku. Sama sekali tidak ada. Kau
tahu kenapa? Karena aku melakukannya tanpa sadar. Karena orang lain12 dalam diriku
yang berbuat semua itu. Mungkin Ana. Mungkin yang lain.”
Dion melipat tangannya di atas meja dengan wajah penuh pertanyaan.
“Sekarang, aku berhadapan denganmu. Kau bertanya padaku aku siapa, apa
yang aku lakukan tadi malam. Dan menurut ceritamu aku berlutut di depan lukisanmu
selama berjam-jam. Karena pertanyaanmu itu, untuk pertama kalinya Dion, aku
merasa memiliki sebuah tanggungjawab.”
“Gue benar-benar bingung!” sentaknya.
“Maafkan aku untuk itu, Dion. Sekarang izinkan aku pergi. Aku benar-benar
harus bertemu ayah tiriku. Pihak rumah sakit pasti sedang mengirim orang untuk
mencariku kemana-mana.”
Dion tidak menanggapi. Ia membukakan piringku dan menyuruhku makan.
“Mereka pasti sudah menunggumu di rumah ayah tirimu. Jadi, tunggu sampai semua
orang lupa akan pelarianmu, barulah kesana. Kalau tidak akan sia-sia usahamu.”
“Tapi....”
“Pasti sulit jadi lo.” Ia meraih tanganku di atas meja.
Aku menariknya dengan rikuh.
“Maafin gue, udah kekanakan dengan mencecar lo seperti tadi. Masalahnya
gue bener-bener nggak siap sama kejadian tadi malam. Serem banget.”
Aku memandangi wajahnya dengan bingung. Anak ini kok gampang sekali
berubah-ubah. Tadi sepertinya ia marah besar padaku. Sekarang justru minta maaf.
“Sekali lagi lo minta keluar dari rumah ini, aku akan nganterin langsung ke
rumah sakit. Ngerti lo?”
Aku pasrah dan hanya bisa mengangguk.
12
Rata-rata pasien dengan kepribadian ganda menyebut kepribadian yang lain mereka, dengan sebutan
Orang Lain. Bukan dengan Kepribadian Lain.
“Gue beli gambar itu di tukang loak sekitar enam tahun lalu. Kata yang jual,
itu hasil foto seorang mahasiswa ISI yang gagal. Tidak layak dipamerkan, makanya
dia jual ke tukang loak dengan harga murah. Parahnya lagi waktu itu gue lagi ga ada
uang. Bokek berat. Akhirnya foto itu gue tukar dengan Reebok baru gue, oleh-oleh
dari bokap gue waktu pulang dari luar negeri.” Dion bercerita sambil memberi isyarat
kepadaku untuk mengambil nasi. Ia sendiri sudah mulai mengunyah.
“Kenapa tertarik?”
Dion berhenti makan dan berpikir. “Nng...waktu gue SMP. Tepatnya waktu
gue akhil baliq. Itu....tuh, gue jadi dewasa pertama kalinya.....gue sering banget mimpi
ketemu sama perempuan yang kayak di foto itu. Bajunya panjang, dia pake kerudung,
pokoknya mirip suster yang di gereja-gereja katolik”
“Oya? Seberapa sering?”
“Sering banget. Malah hampir setiap gue tidur. Tapi pasti gue didatengin
setiap hati gue lagi dalam keadaan galau. Gue yakin itu bukan mimpi biasa, gue yakin
ada maksudnya.”
“Suster ya.....? Di foto itu juga mirip suster kan? Suster yang berdoa. Maaf
Dion, kalau boleh tahu, kamu percaya Tuhan?”
“Hah?? Pertanyaan apaan tuh? Harusnya lo nanya agama gue apa kali?”
“Tidak. Itu pertanyaanku yang sebenarnya. Menurut aku itu pertanyaan yang
lebih penting ketimbang menanyakan apa agamamu. Kalau kamu percaya adanya
Tuhan, maka dengan sendirinya kamu punya cara untuk berkomunikasi denganNya,
yaitu melalui tata cara agama yang kamu pilih, yang kamu yakini bisa lebih cepat
menghubungkan kamu dengan penciptamu. Bukan sekedar agama yang diturunkan
dari orangtua kamu.”
Dion terdiam. Ia mengunyah dengan cepat. Sampai nasi di piringnya habis,
baru ia mulai berbicara lagi.
“Gue percaya. Percaya sama adanya Tuhan. Gue juga percaya akan adanya
kehidupan setelah kita mati. Kenapa? Karena harus ada yang berkuasa dan harus ada
yang mengatur semua isi bumi dan langit biar nggak bentrok. Tapi yang belum gue
yakini....”
“Agama apa yang bisa memberimu cara yang tepat dan kamu yakini bisa
menghubungkanmu denganNya, lantas kamu bisa berkomunikasi dengan Tuhanmu?”
Dion menggeleng. “Tidak Jul, agama hanyalah perantara. Sebuah perantara
yang memiliki batasan. Sejauhmana kita boleh berhubungan dengan Tuhan. Tidak
sepenuhnya mengajarkan cara itu.”
“Jadi?”
“Gue belum menemukan cara terbaik untuk bisa berkomunikasi dengan
Tuhanku tanpa ada batasan.”
“Kamu semacam atheis, begitu?” Aku mencoba mencerna jawabannya. Baru
kali ini aku berbicara dengan pembicaraan yang bermakna dan bernilai saling
mengisi. Bukan digurui atau divonis tentang sesuatu yang harus aku lakukan.
“Ya beda dong! Kan gue udah bilang gue percaya Tuhan. Atheis sih nggak
percaya Tuhan.”
“Tapi kamu tadi bilang masih sedang dalam ketidakyakinan. Berarti kamu
tidak memilih salah satu dari sekian banyak agama yang ada?”
“Gue hidup di Indonesia man! Di Indonesia orang hidup pakai KTP. Di KTP
ada agamanya. Beda ama orang Jepang, mereka ga terlalu peduli sama agama, ga da
KYP-KTPan. Maksud gue ketidakyakinan adalah bagaimana caranya gue menjalin
komunikasi dengan Tuhan dengan jalan yang benar-benar gue yakinin. Tidak sekedar
norma tata cara ibadah yang diajarin orangtua-orangtua gue.”
Aku menggeleng. Bingung.
“Menurut gue, gue yang jalanin hidup gue, seharusnya gue berhak tahu apa
rahasia kehidupan yang selama ini disembunyikan di belakang gue. Itu...itu yang
belum gue temui.”
“Dan kamu mencari?”
”Aku nggak tahu harus mencari kemana.” Ia mengangkat bahu.
Aku mengangguk. Sedikit lebih mengerti.
“Balik lagi ke pembicaraan kita. Sebenarnya gue bukan hanya tertarik sama
foto jelek itu, tapi lebih ke panggilan hati. Rasanya harus gue miliki barang itu. Sejak
gue sering mimpiin perempuan itu, gue jadi males deketin cewek. Rasanya semua
perempuan yang gue temuin semuanya sama aja. Ga ada daya tarik, ga ada
keistimewaan yang mereka miliki sehingga pantas disebut sebagai perempuan.
Menurut gue, perempuan itu seharusnya istimewa. Bukan hanya perempuan yang
selalu sibuk ngurusin kepentingan seksualitasnya. Dandan—yang berada di urutan
teratas skala prioritas, shopping, gaul, memiliki hobi yang intelek, cari komunitas
yang sejajar—demi sebuah pengakuan, mengagungkan virginitas tapi siap ngorbanin
diri buat laki-laki pujaan, sekolah tinggi-tinggi biar bisa berkarir dan mematok standar
bagi pasangan hidupnya. Pusing gue, ngeliat begitu banyak perempuan yang selalu
merasa dirinya tidak pernah utuh dan tidak pernah cukup memuaskan.”
“Kecuali itu.....yang selalu gue liat di mimpi gue. Rasanya beda. Dia itu
istimewa, punya chemistry, punya sebuah nilai yang absolut dan seolah tidak peduli
pada kebutuhan seksualitasnya. Dia bukan sebuah bentuk ambisi atau obsesi, tapi
lebih ke.....Mengabdi. Seorang abdi. Kecuali......” Dion menjelaskan dengan nada
bicara tidak yakin.
“Kecuali?” aku melotot.
“Pertemuan pertama kita.”
“Pertemuan pertama kita.” Aku membeo.
Aku melanjutkan makan. Sup wortel panas, sate ayam, makaroni panggang
dan sambal tomat mentah. Dengan rakus aku menikmati setiap suapan yang masuk ke
mulut. Tak peduli dengan Dion yang terpekur sambil memegangi kedua kepalanya.
Kakinya bergoyang-goyang, menggetarkan meja makan yang kupakai bertumpu. Ia
berpikir keras.
“Jul! Aku ada ide!!” Teriaknya tiba-tiba.
Sepotong besar wortel rebus meluncur ke dalam tenggorokan tanpa proses
pelumatan. Aku tersedak dan terbatuk-batuk. Untung bukan sedang menggigit sate.
Bisa kehilangan amandel aku.
Dion menyodorkan segelas air putih dan meminta maaf padaku. “Lo ga pa-pa
kan? Sori, saking semangatnya gue.” Ia menepuk pundakku.
Aku menggeleng. Susah payah mencari udara, untuk bernafas.
“Perlu bantuan? Aku bisa kasih nafas buatan.....”
Air di mulutku tersembur keluar dan membasahi muka bodoh di hadapanku
itu. Lengkap dengan potongan wortel dan beberapa butir nasi.
Rasa geli menggelitik perutku ketika melihat mukanya yang dipenuhi
kejijikan. Aku membantu membersihkan wajahnya. Dengan bersungut-sungut ia
langsung menuju wastafel dan mengguyur mukanya dengan air. Kemudian kembali
bergegas duduk disampingku.
“Begini Jul. Gue rasa semua ini ada hubungannya. Urut-urutannya nggak
terlalu jelas sih, tapi.....Gue terobsesi sama perempuan berkerudung di mimpi gue—lo
berjongkok di depan gambar perempuan berkerudung itu tanpa lo sadari—gue ketemu
Ana setahun lalu dan langsung ngerasa jatuh cinta ngg, mungkin—lo ketemu gue
pertama kali dan langsung ngerasa pernah kenal gue—gue juga sama. Apa mungkin?”
“Apa mungkin? Apa?” tanyaku.
“Jul, gue punya temen yang bisa bantu kita.”
“Bantu apa?” aku merasa tak enak.
“Ayahnya seorang Tionghoa yang buka usaha toko kelontong di kota. Menjual
uang-uang zaman dahulu, ya semacam itulah. Ibunya keturunan Jepang, tapi sudah
meninggal. Mereka menganut sebuah kepercayaan yang sangat yakin dengan adanya
hubungan dekat antara Tuhan dan manusia. Hubungan yang tiada bisa dibatasi oleh
apapun. Mereka percaya akan adanya kehidupan yang terjadi berulang. Mungkin
bokapnya itu bisa bantu kita ngejelasin tentang reinkarnasi.”
“Apa?? Reinkarnasi apa? Maksudnya apa sih?”
“Ya itu tadi! Hubungan kita yang mbulet itu.”
“Pe...perasaanku nggak enak, Dion.”
“Perasaanku juga. Makanya kita harus temui bokapnya Iwan. Perjalanannya
sekitar satu jam dari rumah gue.”
Dion menarik tanganku. Menyambar jaket coklat yang tergantung dan kunci
mobil setelah sebelumnya ia menelpon seseorang dan membuat janji.
Aku merasa terbelit di tengah-tengah sate ayam yang belum sempurna dicerna,
dan kalimat-kalimat Dion yang juga sama-sama belum selesai proses pencernaannya.
Membuatku pusing dan terpaksa harus berhenti mengambil kesimpulan. Karena akan
semakin ruwet. Traumatik—Kepribadian ganda—Reinkarnasi. Buatku, itu sama saja
menjelajahi negeri dongeng. Tidak ada hubungannya. Dan tidak akan ada akhirnya.
“Dion, tapi katanya lagi ada kerusuhan?”
“Ini keadaan genting! Dan lagian...kan ada gue? Jadi tenang aja.” ia
menaikkan alisnya, tetap menyeretku masuk ke dalam mobil. “Mbok! Mbok! Pergi
dulu ya!”
Dion membanting pintu mobil.
Hari ini Dion memakai kaos putih lengan panjang berleher bundar dengan dua
kancing di dadanya. Wajahnya bersih tanpa rambut. Dari penampilannya, ia terlihat
seperti laki-laki dewasa, pelindung yang kharismatik. Tapi sebenarnya? Boro-boro!
Sifat otoriternya semakin terasa disaat-saat seperti begini. Aku yakin, tak akan ada
satu orangpun yang sanggup mencegahnya untuk mendapatkan apapun bila dia
sedang menginginkan itu.
Mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah besar itu.
“Jadi kamu berpikir kita terperangkap dalam sebuah proses reinkarnasi?”
“Yak! Betul.”
“Kalau boleh kubilang, kamu ini sepertinya rumit ya?”
“Kenapa aku harus rumit?”
“Melihat cara berpikirmu tentang segala sesuatu. Sepertinya kamu bukan
orang yang lurus-lurus saja. Bukan tipe manusia yang terbiasa hidup dalam arus. Tapi
manusia yang hampir gila karena obsesinya. Karena menentang arus.” Ujarku berani.
“Eits, bukannya lo sendiri yang bilang batas gila dan waras itu tipis?”
Aku mengangkat bahu. “Tapi ada yang bisa benar-benar gila.”
“Gini deh, bolehlah gue dibilang punya cara berpikir yang keluar dari
lingkaran kebiasaan manusia pada umumnya. Tapi sebenarnya yang gue rasain itu
timbul dari dalam diri gue. Itu yang bikin gue berani menilai perempuan segitunya.
Padahal, gue siapa sih? Seganteng apa sih si Dion ini, sampai gue harus ngedapetin
perempuan yang lain dari yang lain.”
Aku heran, ia masih saja menyombong. “Jangan tanya pendapatku.”
“Gue ngeliat cewek dalam mimpi itu dan gue bener-bener ngerasa perempuan
lain dari pada yang lain itu benar-benar ada! Dan dia mungkin tercipta untuk gue?”
“Ckk...ckk Dion, tapi reinkarnasi? Apa-apaan itu?”
“Reinkarnasi, lo tau apa itu kan?”
“Iya...iya. yang orang mati, terus bisa hidup lagi dan....”
“Hahaha bukan! Itu sih zombie! Maksud lo kehidupan yang terulang dengan
jiwa yang sama, dan mungkin dalam raga yang berbeda.”
“Kok yakin?”
“Sudahlah Jul, kita liat aja nanti.” Ia tersenyum dan menepuk bahuku lembut.
“Lo sendiri bagaimana Juliet? Lo punya agama?”
Refleks aku membuang pandangan ke luar jendela.
“Halo? Aku salah ngomong ya?”
“Katolik.”
“Sounds great.”
“Maksudnya?”
“Kayaknya lo cukup yakin. Lo cukup taat?”
“Pernah. Sangat taat. Pernah—sangat taat.”
“Lho? Kenapa pernah? Berarti sekarang nggak lagi dong?”
“Aku capek mengabdi. Mengesampingkan semua kesulitan materiku,
kehidupan fisik dan jiwaku yang tertekan, psikologisku yang mengambang antara
kenyataan dan halusinasi. Hanya agama yang terus kupeluk dengan sangat yakin.
Karena Tuhanku terlanjur kucintai dengan sepenuh hati. Tapi sekarang, aku tidak
punya semuanya. Aku hanya punya luka.”
“Waduh, kayaknya serius tuh. Lo kecewa?”
“Tuhan tidak pernah menjawabku.”
“Darimana lo tahu?”
“Lihat aku....perempun yang lari dari rumah sakit jiwa karena nggak tahan
disetrum, disakiti terus menerus dan berlari menuju sumber sakitnya. Laki-laki
keparat itu. Aku berhenti berdoa. Meminta. Lebih tepatnya, berhenti percaya.”
Dion tidak menjawab.
“Seperti apa rasanya, satu-satunya teman yang kamu miliki, tapi bahkan
enggan membalas semua sapaanmu? Kalau aku, lebih baik aku pensiun.”
“Hati-hati lho ngomongnya.....” sambung Dion pelan. “Bukankah sudah
kubilang, prosesi komunikasi dengan Tuhan harus dilakukan dengan menanggalkan
semua batasan-batasan yang ada. Modal utamanya cuma satu Jul. KEYAKINAN.
Bukan hanya sebatas tanya dan jawab.”
Aku memandanginya. “Sayangnya, aku sudah terlanjur memilih cara untuk
berkomunikasi dengan Tuhanku dan terlanjur yakin bahwa caraku benar.”
“Mungkin lo lupa menjaganya....”
“Maksudnya?”
“Menjaga komunikasi lo dengan Tuhan lo agar tidak terputus dan tetap hangat,
dari situ mungkin lama kelamaan lo akan ngerti dengan cara apa Tuhan biasanya
menjawab pertanyaan dan sapaan-sapaan lo.”
Aku menunduk. Daguku hampir menyentuh dada. Rasa rindu bergolak pelan.
Jantungku berdegup manis. Rindu yang sejati. Rindu padaNya.
“Bukankah Dia itu Tuhan lo sendiri? Bukan Tuhan-nya siapa-siapa. Hanya
Dia yang lo punya. Dan hanya lo yang Dia punya. Jadi, dilarang berburuk sangka.”
Aku terdiam.
Bahkan Dion yang sempat kufitnah atheis, memiliki konsep kedekatan dengan
Tuhan yang jauh lebih berprinsip daripada aku yang sudah menjalani ritual
keagamaan selama hampir seumur hidupku.
Mobil melaju dalam kecepatan tinggi. Mengantarkan kami pada sebuah
jawaban lain.
***
Dari Titik Nol
“Hai Dion! Masuk aja. Bokap udah nunggu.” Seorang laki-laki kurus, bertopi
bundar hitam dan berkaos putih menyambut kedatangan kami. Matanya yang sipit jadi
benar-benar tertutup saat tertawa. Ia menyalamiku. Menyebut namanya ‘Iwan’ dan
aku menyebut namaku.
“Ha? Sumpah lo?”
“Santai aja, gue udah cerita ke bokap, kalo ada seorang laki-laki yang
kehilangan jati diri akan datang beberapa jam lagi.”
“Sialan lu.”
“Tapi bener kan? Masuk sono, bokap lagi di belakang, sedang bermesraan
dengan burung-burungnya. Hehehe. Sori gue ga bisa nemenin. Jaga toko!”
Dion menarik lenganku dan kami masuk tanpa ditemani Iwan. Tokonya besar,
dan ada dua lantai. Meskipun besar, toko ini hanya memiliki satu etalase utama. Berisi
beragam koin dan uang kertas. Ada dua box wartel di pojok luar. Desain gedungnya
sudah terlalu tua dan kuno. Aku khawatir bisa runtuh sewaktu-waktu. Aku celingak-
celinguk.
“Diong....!” sebuah suara besar dan berat menggelegar mengejutkanku.
“Eh, Babe...Apa kabar Be?”
Tua, tidak terlalu tinggi, berbadan kekar—cukup kekar untuk ukuran laki-laki
seumuran dia. Ayah Iwan.
Mereka berpelukan seperti ayah dan anak.
“Lama tak kelihatan. Jangan terlalu banyak perempuang kamu,
Diong....haha.” Terdengar sulit ia mengucapkan sebuah kalimat yang berakhiran N. Ia
harus susah payah terlebih dahulu, menekannya kuat-kuat, tapi itupun tak terlihat
berhasil.
Dion tertawa rikuh. Ia melirikku.
“Eh, ada gadis manis. Siapa ini Diong?”
“Ini Juliet, Be.”
“Temen kampus ya? Ah, pasti bukan.”
Dion menggeleng.
“Cantik ya, kenalkan saya ayahnya Iwan.” Ia menangkupkan kedua tangannya
di dada. Membuatku semakin rikuh karena sudah terlanjur menyodorkan tangan di
hadapannya. Ia tertawa. Rasanya terlalu riang jadi orangtua. Tak terlihat ia memiliki
beban hidup di hari tuanya. Aku merasa tertular.
“Babe ini udah tua genit aja.” Celetuk Dion.
“Siapa bilang saya udah tua? Kavernya doang begini. Liat dalamnya dong.
Selalu muda!”
Dasar orangtua aneh. Pikirku dalam hati.
Kemudian kita dipersilahkan duduk di sebuah ruangan yang kelihatannya
memang sengaja disiapkan khusus untuk menerima tamu di tokonya. Ruangan tak
terlalu besar, dan hanya ada karpet merah dan satu meja berkaki rendah. Ruang tamu
ala lesehan. Jendela kaca ukuran besar terpampang di hadapan kami, sehingga kami
bisa langsung melihat tembusan di halaman belakang rumahnya. Dan tebak apa yang
terlihat? Laut. Ya laut yang luas, lengkap dengan ombaknya yang menghantam
dinding karang. Aku terpukau.
Ia menyalakan rokok kretek, kemudian ditawarkan kepada kami. Dion tidak
mengambil. Sepertinya ia sungkan.
“Jadi, apa yang membawa organisator kampus yang super sibuk seperti kamu
datang kesini?”
“Ah, Babe...bisa aja.”
Pandangan bapak itu beralih kepadaku. Tiba-tiba saja ia seperti terhipnotis,
berhenti pada wajahku dan menusuknya dengan tatapan yang aneh. Seperti sedang
membaca koran, dan menemukan berita kematian dirinya sendiri. Terlalu hiperbolis?
“Nak, bersyukurlah dengan apapun yang menjadi jalan hidupmu. Tapi lebih
bersyukur lagi karena tiap manusia selalu memiliki kesempatan kedua, ketiga dan
seterusnya.”
“Eh?” tanyaku tolol. Dion menyikutku.
“Apa yang mengganggumu?” Bapak Iwan (aku memilih menyebutnya begitu)
tidak melepaskan pandangannya dariku.
“Eh?”
“Be, bukan itu maksud kedatangan kami. Kami ingin menanya....”
Bapak Iwan mengangkat tangannya—menyuruh Dion berhenti bicara—tanpa
menoleh ke arah Dion. Ia menunggu jawabanku.
“Saya.....tidak tahu masalah saya apa...”
Ia masih menunggu.
“Tapi saya dianggap manusia yang tidak normal, karena memiliki...” Aku
tidak yakin.
“...kepribadian....terbelah....terpecah......kepribadian...ganda.”
Setelah itu suasana menjadi sedikit lebih cair. Bapak Iwan tertawa, dan Dion
menghembuskan nafas tegangnya yang tertahan karena menunggu jawabanku.
“Minum dulu nih....” Bapak Iwan menyodorkan segelas besar air putih.
Setelah itu ia memintaku untuk mengurutkan semua kepribadian-
kepribadianku dan juga peristiwa-peristiwa yang kuanggap ada kaitannya.
Dion sudah tidak sabar. Maksud kedatangannya kesini ingin meminta
penjelasan tentang sebuah konsep reinkarnasi yang dianggap berhubungan dengan
peristiwa kita berdua selama ini. Tapi yang dibahas justru aku dan masalahku. Kenapa
topik dunia selalu tentang aku? Dan bukan dirinya? Pasti ia sedang berpikir begitu.
Aku tidak yakin, tapi kulihat bibirnya sedikit turun.
“Ana sang pelacur.....kemudian seorang laki-laki pecandu obat penenang,
seorang perempuan muslim keturunan Palestina........Pendeta yang terobsesi dengan
dirinya................Juli kecil.........dan Mother Teressa. Itu yang saya tahu pernah
muncul lebih dari dua kali. Selain itu masih banyak, tapi hanya muncul satu kali dan
tak lama. Itu yang saya baca dari laporan klinis dokter saya.” Aku bercerita dan
menjelaskan hal-hal yang kutahu dari kedua dokterku.
Mereka berdua terbelalak ngeri di hadapanku. Bahkan mulut Dion sampai
terbuka lebar.
“Hm.....cukup mengejutkan ya? Haha.....” bapak Iwan mendekatiku dan
menyentuh keningku sambil memejamkan matanya.
Beberapa menit kemudian ia membebaskanku. Mencoret-coret kertas, dengan
data yang baru saja kuberikan.
“Mereka rata-rata memiliki latar belakang yang sama ya? agama, kecuali....”
Bapak Iwan mengambil handuk kecil di sakunya dan melap keringat di dahinya.
“Kepribadian yang paling dominan, bisa jadi merupakan sumber
permasalahannya. Bisa jadi.”
“Waduh Be, saya bingung nih.”
“Aduh bodoh benar sih kamu ini!”
“Maaf.....”
“Hehehe tapi aku ini kan bukan dokter jiwa....”
Kami berdua saling berpandangan tak mengerti.
“Bisa saja ini ada hubungannya dengan kehidupan kalian sebelumnya, seperti
yang dipikirkan Diong. Tapi, bisa saja itu faktor kebetulan belaka.”
“Waktu kami pertama ketemu, kami merasa seperti sudah pernah berjumpa
sebelumnya, Be. Seperti de javu, rasanya.”
Bapak Iwan mengangguk. “Fenomena lukisan Diong dan berlutunya Juliet
tanpa dia sadari itu, bisa juga salah satu fenomena de javu yang lain.”
“Apanya yang....”
“Dengar dulu kamu Diong, jangan sok cerdas. Terlalu banyak bertanya
memang pertanda kecerdasan, tapi itu untuk usia pertumbuhan. Bukan usia kamu ya,”
Dion tertunduk. Ia menyikutku lagi.
“Peristiwa itu merupakan kejadian yang kalian lakukan tanpa sadar. Ada satu
hal yang menarik kalian untuk melakukan sesuatu dengan obyek yang sama, dan
mungkin karena alasan yang sama, yang tidak kalian sadari.”
“Jadi, kami berdua mempunyai sebuah hubungan yang tidak terlihat sebelum
ini?” Aku ganti bertanya.
“Reinkarnasi.” Dion mendesis.
“Sebegitunya terobsesinya kamu Diong....”
“Nggak, Be. Saya ngerasa feeling itu kuat banget.”
“Reinkarnasi, itu memiliki beberapa versi dalam beberapa pandangan juga.
Dalam agama Hindu, reinkarnasi disebut juga samsara. Artinya penitisan kembali.
Buddha menyebutnya tumimbal lahir atau rebirth, atau yang biasa disebut dengan
kelahiran kembali.”
“Benarkah saya dan Juliet mengalami itu?”
“Semua masih mungkin. MUNGKIN. Nak, kamu harus bersabar. Kita akan
berjalan pelan-pelan.” Kali ini bapak Iwan sukses mengucapkan huruf N!
“Beberapa kepercayaan meyakini reinkarnasi ini terjadi karena kecintaan
seseorang pada dunia sebelum ia mati. Jika ia masih terikat oleh kehidupan alam
materi, maka ia akan menjalani kehidupan pada apa yang ia pikirkan, misalnya
kepada binatang. Tetapi ada juga yang meyakini sesuatu dengan lebih simpel. Yaitu,
hubungan reinkarnasi dengan karma, dimana keduanya merupakan suatu proses yang
terjalin erat satu sama lain. Mereka menyebut reinkarnasi adalah kesimpulan atas
karma yang didapat dalam sebuah masa kehidupan. Baik buruknya karma yang
dimiliki seseorang akan menentukan tingkat kehidupannya pada reinkarnasi
berikutnya.”
Bapak Iwan terdiam sambil memperbaiki duduknya perlahan-lahan. Ia
menyilangkan kaki dan duduk di atas keduanya. Tangannya ditumpu di atas lutut.
Badannya tegap dalam posisi sempurna.
“Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.”
“Apa?” ujar kami bersamaan.
“Meditasi.”
Apa lagi ini?
“Disisi lain, meditasi juga dipercaya bisa mencegah reinkarnasi. Tapi, pada
intinya, meditasi merupakan sebuah jalan menuju pencapaian kesadaran jiwa. Selama
ini, manusia hanya mengalami kesadaran fisik. Pencapaian kesadaran jiwa bisa
dilakukan dengan latihan. Meditasi itu tadi, nak.”
“Me..memangnya, ada apa dengan kesadaran jiwa?”
“Ssst...” aku menyikut Dion yang tidak bisa bersabar.
“Kesadaran jiwa mampu membuat kita hidup terbebas dari kesedihan yang
berkepanjangan, putus asa, kebimbangan hidup. Dan justru sebaliknya, jiwa akan
mencapai kedamaian. Dan untuk tingkat lebih tinggi, jiwalah yang akan mengontrol
kehidupan, dan fisik tidak akan tersakiti.”
“Dengan meditasi?”
“Pada tujuannya meditasi itu merupakan proses menuju sebuah ketenangan.
Seperti relaksasi jiwa. Seperti Yoga. Kalau dalam Islam, mereka sholat sambil
berdzikir. Prinsipnya sama dengan meditasi. Disitu ayat-ayat suci yang dibaca bisa
menjadi suatu fokus yang menyatu dengan pikiran. Ketenangan, sebagai tujuan
meditasi akan muncul bila yang menjalankan penuh konsentrasi dan keyakinan. Pada
fase tertentu, proses relaksasi atau meditasi itu membawa kita ke fase yang sangat
dalam. Dimana pikiran kita terasa begitu terfokus, kosong, dan siap untuk dimasukkan
apa saja. Maka serta merta banyak hal menyerbu masuk ke dalam pikiran kita. Entah
soal makanan, uang, teman-teman, pekerjaan atau bahkan hal-hal yang lebih remeh.
Bila seseorang tidak bisa mengendalikan ini maka pencapaiannya pada fase
berikutnya akan gagal. Sebaliknya, bila tetap terfokus maka mereka akan berhasil.”
“Apakah itu bisa menjadi pencapaian kesadaran jiwa tadi, Be?”
“Meditasi bisa merupakan mediatornya. Untuk menuju ke prosesi
sesungguhnya.”
“Apa?”
“Pernah dengar tentang Perjalanan Astral13?”
Aku menggeleng.
“Perjalanan jiwa keluar tubuh kan Be?” Dion menimpali.
“Betul. Perjalanan Astral, ilmiahnya. Proyeksinya merupakan aplikasi dari
kesadaran Jiwa itu. Dimana saat tertidur, jiwa kita terasa melayang-layang dan seolah
terlepas dari tubuh kita. Pergi meninggalkan jauh dari raga kita, menembus atap
rumah dan berkeliaran di luar.”
Aku tiba-tiba teringat mimpiku beberapa waktu lalu. Mimpi yang mengerikan
dan membuatku amat kelelahan. Perjalanan semacam itukah yang kualami?
“Seperti mimpi ya pak?” tanyaku.
“Hampir sama. Tetapi kalau mimpi, terjadi diluar kendali kita. Sedangkan
perjalanan astral dilakukan dengan kontrol dari kita. Atas kendali kita.”
“Maksud Babe, kita bisa menyuruh jiwa kita kemana saja kita mau?”
“Tepat. Dan orang yang sering mengalami de javu, sangat berpotensi untuk
sukses dalam melakukan perjalanan astral.”
“Bagaimana caranya, Be?”
“Biasanya, dilakukan dalam keadaan setengah sadar. Sudah mengantuk, tetapi
belum tidur. Modal utama dan yang paling berperan adalah keyakinan. Keyakinan
merupakan peran utama dalam menjalani hidup.”
“Benarkah itu, Be?”
“Temukanlah apa yang kalian cari melalui itu.” Bapak Iwan tertawa sambil
menepuk pundak Dion keras. Dion tampak terkejut.
“Sekarang, coba kita lakukan sekali bersama. Lipat kaki kalian begini. Lalu
tegakkan punggung serileks mungkin.”
“Ta...tap...i, Be...”
“Ingat! Harus yakin.”
“I...ya.”
Dan kamipun melakukannya.
Aku melipat kaki dengan ragu-ragu.
13
Out of Body Experience (Perjalanan Astral)
Mataku terpancing untuk melihat betapa cantiknya ombak-ombak itu
bertubrukan kemudian memercikkan air yang tinggi. Seperti tanda alam sedang
bersukaria. Aku tidak heran, kedua ayah dan anak disini bisa hidup dengan amat
berbahagia, tanpa harta yang tidak terlalu melimpah, dan keluarga yang tidak terlalu
besar. Ternyata selalu ada banyak cara untuk bisa hidup bahagia.
“Nak, kau harus konsengtrasi....bukan melamung....”
Aku menutup mata dengan sempurna. Tak ada celah yang bisa dilalui cahaya.
Aku mencoba berkonsentrasi. Hal yang paling sulit kulakukan selama hidupku.
Membentengi otak dari pikiran-pikiran liar yang selalu menyerbuku setiap kali aku
‘kosong’.
Tulang-tulang punggungku terasa melentur.
Aku menyimak instruksi Bapak Iwan.
Aku membaur dalam debur ombak itu. Sungguh aku merasa membaur.
Suaranya kujadikan musik pengiring jiwaku, cahayanya kujadikan pandu. Aku
terpaku pada satu titik yang amat meyakinkan.
Perlahan-lahan aku semakin mampu berkonsentrasi.
Jul......psst!
Aku melihat wajah Bapak Iwan dalam keadaan mata yang tertutup. Ia duduk
tepat di hadapanku. Kulihat ia membuka mulutnya dan hendak berkata sesuatu. Tapi
tiba-tiba ada suara lain yang mengacau.
Juuuuuull
Bernafaslah lebih dalam lagi.........
Hujan turun cukup deras di dalam perjalanan pulang kami. Mobil Dion
terjebak macet, dan berulangkali mesin mobil mati sendiri. Dengan sabar Dion
menyalakannya kembali, sambil harap-harap cemas tentunya.
“Jangan mati dulu dong lu...” bisiknya pada diri sendiri. Tidak mungkin pada
mobilnya.
Mau tak mau kami menikmati kemacetan ini. Menunggu tanpa banyak
berbicara. Sisa perjalanan pulang ini kami habiskan dengan tenggelam dalam pikiran
masing-masing.
Dion mengutuk pelan ketika sebuah motor menyerobot lewat sisi kanan dan
menyemburkan air berlumpur.
Aku menggigil, memeluk tubuhku dengan kedua tanganku.
“Dingin ya? Maaf AC harus kunyalakan, karena kalau tidak kacanya akan
berembun dan menutupi pandangan.”
Dion membuka jaketnya dan menyelimuti punggungku.
Dingin itu berkurang, tapi aku masih saja menggigil, merinding.
Benarkah aku akan menemukan sesuatu dengan cara ini? Benarkah aku akan
melakukannya? Yakinkah aku?
-HARI 1-
-HARI 2-
-HARI 3-
Akhir-akhir ini aku sering merasa tegang dalam tidurku. Seperti banyak
bisikan-bisikan yang menguntit untuk aku tetap terjaga dan melakukan latihan.
Sehingga di waktu senggang, aku mencoba meladeni bisikan itu. Hasilnya memang
tidak jelek. Tingkatan-tingkatan kesadaran jiwa yang dimaksud Bapak Iwan sudah
mulai kurasakan melalui meditasi. Namun, aku belum berani melampaui tahap itu.
Ada batasan yang harus ditempuh satu persatu dan tidak boleh didahului.
Bisikan itu semakin lama semakin kuat. Malahan, aku tidak akan bisa tidur
sebelum meditasi. Seperti ada sesuatu ketimpangan yang datang dan memintaku
menyeimbangkannya terlebih dahulu.
Hari ini tidak ada latihan bersama. Aku sendirian.
Tuntutan organisasi membuat Dion harus kembali bersibuk ria. Entahlah apa
yang terjadi sore itu, tapi aku mendengar ribut-ribut di ruang tamu. Aku melongok
dari kamar dan melihat ada beberapa orang disana. Satu perempuan dan dua laki-laki
selain Dion.
Mereka bertengkar. Memperdebatkan sesuatu.
“Mana tanggungjawab moral lo?!” Seorang laki-laki berdiri tepat di hadapan
Dion sambil menuding-nuding. Sementara yang lain berusaha menahannya. Dion
hanya berdiri bergeming, tidak ganti berteriak. Yang ia lakukan hanyalah membalas
tatapan laki-laki itu.
“Iya, Di. Lo udah lama tinggalin kampus. Urusan di organisasi banyak yang
ancur. Banyak yang mulai bimbang ngeliat ketuanya ngilang, dan siap-siap ganti
haluan.” si perempuan berbicara.
Dion masih diam. Seperti ada persimpangan yang menjepitnya. Entah kenapa
ia lakukan itu.
Akhirnya aku menutup pintu kamar dan bersila di permadani.
Tanpa iringan musik aku melakukannya. Semua suara itu kukumpulkan dan
kujadikan pengiring. Lalu jadilah ia satu irama dalam detak jantungku.
Aku kembali berayun dalam konsentrasi penuh.
Nikmat.
Lebih sempurna dibandingkan latihan kemarin. Aku menghilang dari
kehidupan beberapa menit sampai kurasa aku kelelahan dan memutuskan untuk
melakukan pernapasan teratur kemudian bersegera menyudahinya.
Saat melihat jam di dinding, aku terkejut. Ternyata aku tidak hanya
menghabiskan waktu beberapa menit, tapi dua jam lebih tiga puluh menit.
Tubuhku ambruk ke lantai. Kelelahan.
-HARI 4-
Ada sekitar lebih dari duapuluh orang di ruang tamu itu. Mereka duduk
membentuk lingkaran dan mendiskusikan sesuatu secara serius. Keadaan di luar
tampak tegang. Tak ada satupun tawa pertanda mereka masih bisa bercanda.
Dion mengadakan rapat di rumahnya.
Aku menontoni mereka dari atas. Dari kamar.
Dalam duduknya yang tegap, aku melihat Dion terluka. Wajahnya pias, seolah
hendak pecah karena airmata yang telah tak terbendung.
Andaikan aku bisa berada di sisinya tanpa terlihat yang lain, aku ingin sekali
membantu menenangkannya.
Kami tidak pernah lagi latihan bersama.
Aku masuk kamar dan bersiap-siap. Rambutku kugulung tinggi. Poninya
kujepit. Tak satupun rambut yang akan menggelitikiku selama latihan.
Aku mengambil posisi ternyaman. Kaki kanan bertumpu di atas yang kiri,
kedua tangan bertumpu di kedua lututnya.
Saat mataku mulai terpejam. Aku langsung merasakan sensasi itu. Tak
membutuhkan waktu lama untuk fokus. Aku mulai melihat warna dalam hitamnya
mataku. Ada ribuan warna yang belum pernah kulihat hadir di muka bumi ini.
Kujadikan pandu dan benar-benar berusaha percaya pada mereka.
Tiba-tiba aku merasa sudah tidak sabar lagi. Ya! Aku harus melakukannya
sekarang!
Aku menarik nafas panjang dan menahannya di perut. Pikiran itu perlahan
kutarik keluar. Aku melihat diriku yang lain. Aku juga menjadi diriku yang lain itu.
Dalam sekejap aku merasa memiliki dua penglihatan. Seperti ada dua siaran
yang berbeda dalam satu televisi.
Tiba-tiba saja badanku terasa ringan. Terlalu ringan malahan. Aku ketakutan.
Dalam keadaan mata terpejam, aku bisa melihat ke bawah. Tak ada pijakan
yang kupakai bertumpu.
Aku melayang.
Aku melayang..........
Serta merta aku kehilangan pemanduku. Jantung terasa sakit seperti dicubit
dengan gerakan refleks.
Aku jatuh menghantam lantai dan langsung lemas. Badanku bergetar hebat.
Aku masih bisa melihat yang lain, tapi aku tidak bisa membuka mataku.
Sampai akhirnya, semua warna itu lenyap. Menyatu menjadi satu hitam yang
disebut kegelapan.
Tiba-tiba ada sebuah tangan menyentuh punggungku, dan merasa tubuhku
dipapah oleh tangan itu. Didudukkan dengan posisi yang sama seperti semula. Aku
hanya menurut dan mencoba, tetap dengan mata tertutup.
“Ambil nafas dalam, Jul....kau harus pelan-pelan melakukannya.”
Jantungku masih sakit. Tapi pernafasanku berhasil kutata rapi.
Mataku terbuka. “Dion.....”
Ia tersenyum cemas memandangiku. “Kamu lima jam berada di dalam kamar,
Juliet. Aku khawatir.”
Aku tersentak. Lima jam?
“Ada apa Jul?” Ia menyentuh keningku yang berpeluh.
Tak terasa bibirku bergetar dan airmata jatuh satu-satu. “Aku melayang......”
“Aku melihatnya......” Bisiknya kemudian merangkul tubuhku. Memeluknya
kencang. Sekencang-kencangnya. Terlalu kencang sampai aku tersedak.
Tapi ketakutanku lenyap. Aku menangis disana. Pelukan itu mengusir semua
perasaan asing yang hadir.
“Kamu berhasil, Jul.” Bisiknya lagi. Ia mengelus rambutku.
“Dion, ada apa?”
Ia terdiam. Mengendurkan sedikit pelukannya dan menjawab, “aku keluar dari
organisasi.”
Tanganku meraih pinggangnya. Aku balas memeluk tubuhnya dengan
kencang. Tenaga yang hampir habis, tapi kuyakin ini cukup kencang untuk
melenyapkan perasaan asing yang hadir di dadanya.
Dion lesu. Aku kelu.
Kami berpelukan.
-HARI 5-
-ISTIRAHAT-
“Aku tahu kalian akan kembali lagi. Hahaha!” suara berat itu menggelegar
lagi. Kami berdua hanya tertunduk, seperti sedang menerima hukuman karena
tertangkap basah mencuri.
“Kan sudah dibilangin, ingat BEJANA, ingat bejana. Ingat nggak? Setiap
manusia memiliki kekuatan yang tidak ada batas dalam bawah sadar dirinya, nak.
Tinggal bagaimana manusia itu mencari, berkenalan, mengesplor, dan kemudian
mengendalikannya. Jangan sampai, begitu kekuatan itu sudah didapat, malah dia yang
mengendalikan kita. Itu tidak benar.”
“Iya, be. Tapi bagaimana caranya. Saya sih ngerasa nggak sanggup aja kalo
tiap latian harus aja ada barang yang rusak.” Dion melirikku.
“Ya, pikir sendiri dong! Gimana caranya ngisi air di dalam ember biar ga
sampai tumpah dan meluap. Itu sama dengan bagaimana caranya mengendalikan
pikiran. Harus pelan-pelan nak, dari tahap ke tahap. Kalau kalian meloncat, agar ingin
cepat-cepat sampai, kalian akan tergelincir. Itu akan sangat sakit tentunya ya?”
Aku mengangguk pelan.
Bapak Iwan tersenyum dan menepuk pundakku.
Petikan senar dari gitarnya membuat suasana rumah jadi terasa romantis.
Sekalipun bunyinya terdengar sumbang dan lirik yang keluar dari mulut Dion terbata-
bata karena ia masih sering keliru antara kunci nada Eminor dan A. Rokok di bibirnya
menggelayut manja seperti milik si gitaris Guns N Roses. Tapi gitaris yang ini
memainkan lagunya Benyamin S.
“Dion,”
“Hm?”
“Sudah hampir seminggu, aku utuh menjadi Juliet.”
“Hah?”
“Tak ada tanggal kalender yang kuloncati kan?”
Dion mengacungkan jempolnya. Mengacak rambutku, tanpa banyak komentar.
-PERJALANAN besar-
Si mbok pulang kampung. Cucunya minggu depan mau masuk sekolah baru.
Katanya sih, sudah tradisi, kalau ada cucunya yang baru masuk sekolah, atau
kenaikan kelas telah tiba, si mbok dan keluarganya harus hadir dan mengadakan
selamatan kecil-kecilan.
“Itu neng, cuma baca doa sekeluarga aja. Kecil-kecilan, tapi itu mah, sudah
tradisi.” Ujarnya mengikuti kalimat sebuah iklan di televisi.
Aku beli batagor di ujung kompleks perumahan. Perutku sakit, sejak pagi
tidak kemasukan apa-apa. Batagor ini akan jadi yang pertama.
Begitu masuk rumah, jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 siang.
Dion tidak di rumah. Kuliah mungkin.
Aku membuka lemari es dan mencari sesuatu yang segar di sana. Hanya ada
sekaleng jus. Aku tidak doyan jus. Maka kutuangkan segelas penuh air dingin.
Kuputuskan untuk makan di kamar saja, karena rumah segini besar, di siang bolong
juga bisa jadi menyeramkan kalau cuma sendirian.
Kubuka jendela kamar lebar-lebar. Gerimis.
Ah hujan lagi!
Aku mulai makan dan beberapa suap kemudian perutku terasa melilit. Ini
pertanda lambungku merajuk. Karena keterlambatanku, ia terlanjur memproduksi
asam berlebihan. Piring itu kutaruh di atas meja. Padahal masih lapar.
Tak ada obat maag. Aku menekuk diri di atas tempat tidur.
Dengan mata terpejam, kusimak tetesan air hujan itu. Perlahan-lahan.
Tes...tes...testestes....tes....tes....testes.....
Percaya atau tidak, tetesan konstan itu berubah menjadi sebuah nada. Hujan
seperti sedang bernyanyi dengan merdu.
Bau tanah yang menggelitiki penciuman membuatku melayangkan angan-
angan dan kemudian jadilah kantuk itu datang. Dengan diantar nyanyian hujan yang
masih semerdu biasanya. Aku menyimak dengan sukacita.
Mataku sudah lengket dan memohon untuk segera dirapatkan.
Tiba-tiba sesuatu bergolak dari dasar perutku. Seperti hendak mau muntah,
tapi ini lebih sakit. Ada yang tercabut dari tubuhku. Melayang cepat dan berlari
menembus waktu tanpa seorangpun bisa mengejarnya.
Jiwaku keluar dengan sendirinya!
Sedangkan tubuh asliku masih di tempat tidur dan masih memandangi sepiring
batagor itu.
Dadaku sakit, seperti ketindihan sesuatu. Aku kehilangan oksigen untuk
bernafas. Atau lebih tepatnya aku kehilangan kemampuan untuk menghirup oksigen.
Lampu di plafon kamar bertubrukan. Mati—hidup beberapa kali, kemudian
meledak. Pecahannya berhamburan, memenuhi lantai kamar.
Semua menjadi hitam.
Proyeksi astral yang dahsyatkah? Atau jangan-jangan....AKU MATI. Karena
aku tidak bernafas.
Dalam dua dunia yang telah terasa jelas itu, aku merasa telah terdampar di
separuh waktu yang pernah ada, namun telah berlalu. Aku benar-benar telah sampai di
kehidupanku yang sebelumnya.
Selain warna kalung salib di dadaku yang berwarna kuning keemasan, semua
disana berwarna hitam dan putih.
Mataku melihat seliweran wanita dengan pakaian hitam putih berkerudung.
Ada tubuhku disana. Sebuah tubuh yang secara fisik berbeda dengan tubuhku
sekarang, tapi secara alami aku mengenalinya sebagai tubuhku. Dan aku tengah
berlutut di hadapan seorang laki-laki dewasa.
Jari-jariku gemetar. Aku ketakutan dengan sosok di hadapanku ini.
Laki-laki itu pergi meninggalkanku. Aku yang berlutut, tertunduk, dan terluka.
Ayah, selamatkanlah aku, aku terperangkap.....
Juliet......
Juliet....
JULIET!!
Buka matamu...
Hanya beberapa detik aku terlempar jauh kesana. Hanya beberapa detik.
Tapi kurasakan tubuhku seolah terpecah-pecah.
Tak kuasa mengadili lemparan waktu Sang Kuasa.
Aku ketakutan...kesakitan....
Menyaksikan semuanya dengan mata kepalaku sendiri. Tubuhku yang lain
yang tengah berlutut putus asa di depan altar suci. Jiwa bimbang yang butuh
diselamatkan.
Sampai kapanpun ia akan menunggu itu.
Sementara tubuhku yang satunya ada di sini. Didorong di atas tempat tidur
menuju sebuah ruangan yang dipenuhi cahaya lampu bundar-bundar. Terang
benderang. Ruangan yang penuh sesak dengan cahaya lampu.
Kedua kenyataan itu bertubrukan dan membuatku semakin kehilangan kendali
atas jiwaku sendiri. Ia menghilang dan pergi semakin jauh di tempat yang tak
terjangkau oleh pikiranku.
Sinyal itu hilang sepenuhnya.
Aku tersesat.
HWOEEEKKKK!
Rongrongan udara menggerayangi paru-paruku. Menyerbu masuk melalui
hidung tanpa mengantri terlebih dahulu. Mereka tak sabar membuatku kesesakan.
Aku megap-megap.
Kemudian seperti biasa, tubuhku terpental kesana kemari. Bergetar hebat dan
kejang-kejang. Mataku melihat satu cahaya putih yang besar. Sambil berusaha
melawan gempa lokal ini, aku menantang cahaya itu. Perlahan ia mengecil dan
kemudian hilang.
Gempa itu mereda dan menyisakan pusing yang luar biasa.
Selamat datang kembali, kehidupan. Ternyata aku belum mati dengan
sempurna.
Sebuah tangan menyentuh keningku.
Meskipun samar, aku bisa mengenali wajahnya. Sebuah wajah yang gemar
tersenyum.
“Juliet....kau baik-baik?” Matanya dipenuhi kecemasan.
Aku mencoba mengedipkan mata. Aku bisa merasakan diriku sendiri. Aku
rasa aku baik-baik saja sejauh ini. Tapi tolong, jangan lempar aku kemana-mana lagi.
Itu perjalanan paling sakit yang pernah kurasakan.
“Kau tidak amnesia kan?”
“Aku dimana, Dion?”
“Rumah sakit lah.....”
“Kenapa musti rumah sakit....”
“Ya mau kemana lagi? Sepotong gede neon bersarang di jidat lo tuh! Masa lo
musti gue bawa ke restoran?”
Aku mengambang mendengar jawaban itu.
“Kok bisa sih, Juliet....kamu melakukannya lagi kan? Iya?”
Aku bergerak hendak menjelaskan, tapi tidak sanggup.
“Masih pusing?”
Aku menggerakkan kepala.
“Kata dokter, emang begitu. Tapi tenang aja. Dua hari juga udah ilang
sakitnya. Maklumlah, Kepalamu kan dijahit.”
Aku mengangguk lagi.
“Lama-lama gue keder juga ngeliat lo, Jul. Makin lama, makin kayak nenek
sihir. Kendalikan kekuatan lo dong....kata Babenya si Iwan, lo tu kan emang udah ada
bakat dari sononya. Nggak usah dipaksa lepas aja, dia bisa lepas sendiri kok. Nah ini,
akibatnya kalau lo nggak peduli.”
“Iya, aku juga lagi usaha....”
Eh? Aku merasakan tanganku yang kanan terasa hangat, karena sebuah
dekapan.
“Apa-apaan nih?” aku menunjuk tanganku yang dikepal dalam
genggamannya.
“Bukan aku yang minta lho, hehehe.”
“Apa? Enak aja. Ya udah, lepasin ah!” Aku menepis, tapi gerakanku tertahan.
“Nggak mau.” Genggamannya semakin kencang. Ia tertawa, dan nafasnya
menyerbu penciumanku sebagai percampuran oksigen yang sempurna. Harum, khas
Dion.
Aku tidak menyangka harus mendengar cerita itu. Andaikan bisa menghilang
saat itu juga. Atau setidaknya ranjang rumah sakit ini melipat tubuhku, agar
tersembunyi di dalamnya
Menurut Dion......ah, jadi, begini ceritanya.....
Dion menemukan aku terkapar dengan dahi mengucurkan darah di atas tempat
tidur—Jadi neon itu memang benar-benar bertubrukan dan pecah menghujani kamar,
dan ada beberapa potongan yang mendarat sukses di dahiku—sesukses Neil Amstrong
yang mendarat di bulan. Ia langsung membawaku ke rumah sakit terdekat karena
panik. Bagaimana tidak? Potongan neon itu masih tertancap kokoh di dahiku.
Pemandangan yang cukup mengerikan untuk disaksikan seorang diri.
Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung memutuskan mengadakan
operasi, mereka takut pecahan itu mengenai saraf mataku—kalo lo buta, lo nggak bisa
liat orang cakep lagi (begitu kata Dion)—maka keputusan itu segara dilakukan.
Dion menggesek kartu kreditnya.
Ia putuskan pembayaran dilakukan di muka, supaya aku bisa tertangani
secepatnya. Standar rumah sakit-rumah sakit yang menjunjung tinggi prioritas.
Tapi, begitu hendak masuk ruang operasi, terjadi sedikit keributan antara Dion
dan pihak dokter.
Tangan Dion tidak mau kulepaskan dari genggaman. Padahal saat itu aku
sedang tidak sadarkan diri. Dalam keadaan pingsan, tanganku mengepal semakin kuat
dan menyembunyikan tangan Dion di dalamnya.
Para dokter memaksa untuk menarik tanganku. Tapi tetap tidak berhasil.
Akhirnya mereka menyerah. Dion dipakaikan baju untuk ikut masuk kedalam
ruangan operasi. Operasipun berjalan dengan Dion di dalamnya dan tangan kami yang
tetap bertaut tak terpisahkan.
“Gila hampir pingsan tau, ngeliat jidat lo berdarah-darah, dibelah dokter itu.
Hiiii” ia bergidik.
Karena takjubku, aku tidak memberi komentar.
“Lagian, manja amat sih,” ia menjentikkan jari di hidungku.
“Sekarang boleh kok dilepasin, aku udah sadar.”
Ia menggeleng. “Tidak apa-apa.” Lalu tersenyum. Setiap kali senyumnya
mengembang, terukir di wajahnya yang sempurna, aku selalu mengira-ngira, dengan
apa Tuhan telah memahatnya. Hingga dengan demikian indah ia tetap bisa hidup di
tengah-tengah keburukan dunia yang membuatnya harus terus mengikis ukiran
hatinya untuk terus mencari sebuah keyakinan. Entah sudah seberapa banyak
kecantikan hatinya terkikis pertanyaan yang tercipta di benaknya.
“Kamu tahu, terkadang aku berpikir, aku ingin begini saja selamanya. Asal
bersamamu.” Kalimat itu meluncur sendiri.
“Kamu bilang apa Jul? Aku nggak denger. Tivinya kekencengan.” Ia berkata
sambil terus menatap layar televisi.
Aku tahu, dia hanya pura-pura tidak mendengar. Dan tidak sungguh-sungguh
memintaku mengulangi kalimat itu.
Di tengah malam aku terjaga dari tidur. Pusing di kepalaku sudah mereda, dan
tubuhku terasa sudah segar. Rasa haus membuatku terjaga.
Seorang perempuan muda memasuki kamar ini. Memanggil Dion.
Dion terbelalak kaget dan bagai tersihir, ia berdiri menatap perempuan itu.
Mereka berpelukan. Berpelukan di hadapanku, tanpa menyadari aku telah
terjaga.
“Ada apa sayang? Maaf aku terlambat mengangkat teleponmu.” Dion
mencium rambutnya.
Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk kembali tertidur. Lebih baik aku
tidak menyaksikan apa-apa, karena untuk melihat sedikit saja, dadaku sudah terasa
terbakar oleh sesuatu yang tidak enak untuk dirasakan. Mereka melepuh.
Perempuan itu terisak-isak
“Mas Dion, papa—mama mas....”
“Ke...kenapa? Ada apa Arimbi?”
Arimbi? Arimbi—Arimbi itu....
Astaganaga! Kayaknya aku pernah dengar nama itu.
Ya, Arimbi itu adik perempuan Dion, yang pernah diceritakannya padaku.
Kutajamkan kembali pendengaran.
“Mereka berpisah mas.......di pengadilan, minggu depan. Mas Dion pulang ya,
Arimbi ga enak di rumah sendirian. Atau, Arimbi ikut mas Dion ngontrak aja.” Ia
sesenggukan.
Dion membenamkan wajah di tengkuk adiknya dan semua berhenti bersuara.
Tangannya mengepal. Seolah tengah menggenggam sesuatu yang tak nyata dan
sangat tak ingin mereka ikut terburai.
Tiba-tiba saja aku merasa sangat malas bernafas.
BIARKAN AKU MATIII!! Bisa nggak siih?!
Entah setan apa yang telah lancang merasukiku, sehingga tanpa pikir panjang
dan tanpa alasan apapun, aku memutuskan untuk melarikan diri dari rumah sakit.
Hobi lama.
Benar, aku melakukannya tanpa pemikiran panjang! Sebab, kalau terlalu
panjang berpikir, maka keputusan akan selalu berubah. Untuk menghindari
ketimpangan keyakinan itu, aku memutuskan untuk lari dari rumah sakit. Bukankah
itu sudah merupakan keahlianku?
Dion sedang pulang. Arimbi tampak kelelahan karena menyetir sendiri
semalaman.
Aku melompat dari tempat tidur dan meyakinkan diri, bahwa rasa pusing tidak
akan lagi menghalangi langkahku. Biar bagaimanapun juga, aku tidak akan jadi beban
siapa-siapa. Walau tanpa kusadari, ini mungkin akan sangat menyakiti Dion.
*
Keajaiban yang tidak Lazim
14
Al-Quran Al Hijr 28-29
“Terus dok?”
“....dari alam rahim, ke alam dunia. Kemudian ia dilepas dari alam dunia dan
menuju alam kubur. Bagi yang terhalang jiwanya, maka ia tidak akan sampai ke
Tuhannya. Pada saatnya nanti, semua yang mati itu akan dibangkitkan lagi, untuk
dikumpulkan dan diperhitungkan segala amalannya. Hampir sama kan dengan teori
reinkarnasimu itu? Lagipula, kalau semua roh dan jiwa ini berpulang pada Tuhan
sebagai suatu simbol kesempurnaan, bisa habis dong populasi manusia. Toh pada
prinsipnya kehidupan memang berulang. Iya kan Juliet?” Ia tersenyum penuh arti.
Ada juga satu teoriku yang meninggalkan bekas di ingatannya. Tentang Eve, Sybil,
Billy, lalu aku.
Aku mengangguk-angguk. Paham sebagian, tapi tidak tertarik mendengar
lebih banyak. Aku takut ia akan mengeluarkan separuh isi kitab sucinya untuk
dibandingkannya dengan teoriku yang tidak berlandaskan apa-apa. Karena aku hanya
disuguhi mentah-mentah, dan menelannya tanpa kukunyah.
“Saya nggak tahu kenapa kamu begitu tertarik mengulik teori reinkarnasi ini
Juliet. Tapi yang jelas, yang telah kamu lakukan itu adalah pelanggaran. Saya yakin,
kamu juga tidak senang kalau ada sesorang yang mencoba membongkar rahasiamu
tanpa seizinmu?”
Akhirnya dokter Amina berdiri di hadapanku dan menyodorkan tangannya di
hadapanku.
“Untuk apa ini dok?”
Ia tersenyum. Wajah di balik jilbab itu sama sekali tak kehilangan seluruh
kecantikannya sebagai seorang dewi penolongku.
“Saya memberi satu kesempatan untuk kamu.”
“Kesempatan apa?”
“Kesempatan besar.” Ia mengerling. Hanya mengerling dan tidak menjawab.
Barulah kutahu apa maksud kerlingan itu ketika aku sudah sampai di kamar
dan suster Agi datang membawa sebuah amplop berisi surat dari dokter Amina.
Isinya adalah aku diberi kesempatan melalui suatu masa percobaan. Biasanya
masa percobaan ini diberikan kepada para pasien yang dianggap telah mampu hidup
berbaur di tengah masyarakat umum. Hm, tidak lantas bisa dikatakan sehat, karena
kami tidak sedang menderita demam berdarah, atau kanker paru-paru. Tapi bila
keputusan pemberian masa percobaan itu diberikan, maka itu berarti kami telah
dianggap delapanpuluh persen berhasil, mampu menyesuaikan diri dan bisa hidup
dengan masyarakat umum.
Aku memeluk surat itu di dada. Benar-benar tak yakin harus senang atau apa.
Suster Agi memeluk tubuhku. Mau tak mau aku bersandar di bahunya. Pundak
itu terasa seolah memanggil setiap kepala untuk bertengger disana. Ada kerelaan
untuk berbagi yang tak kenal pamrih.
Ini berarti aku akan melewati hari-hari disini tanpa pengawasan saat mandi,
aku boleh berjalan-jalan kapan saja aku suka, dan yang paling penting, aku tidak akan
lagi menyentuh ruang observasi I. Sekalipun hanya kenop pintunya. Tidak.
“Selamat ya sayang,”
Aku mengangguk.
“Apa rencanamu setelah keluar dari sini?”
Senyumku surut. Biasanya pertanyaan ini akan mereka hadapkan pada setiap
pasien yang telah dianggap berhasil melewati masa percobaan dan akan segera keluar
dari rumah sakit. Dan pertanyaan itu nantinya akan dianggap sebagai ujian terakhir.
Ujian yang sangat menentukan. Tapi sungguh, aku belum siap menjawabnya
sekarang.
Kupandangi wajah tirus itu dihadapanku dengan tatapan balik bertanya, iya,
ya, mau kemana aku abis ini?
Suster Agi memegangi wajahku dan menggeleng. “Tidak usah memikirkan
jawabannya sekarang sayang. Semua harus dilakukan satu persatu kan? Tidak boleh
melangkahi yang ada. Dan kamu, sekarang baru mulai dari sini.” Ujarnya sambil
mengibaskan surat di tanganku.
Kami tertawa bersama.
Aku setuju dengannya. Jangan sampai ada bejana yang pecah lagi!
Sekarang aku yakin, sudah tidak akan ada lagi jiwa yang melayang keluar
tanpa aku inginkan. Tidak ada lagi benda-benda berjatuhan, tidak ada lagi kepala yang
yang sobek kena neon. Masa-masa itu sudah berakhir, karena aku telah belajar
mengendalikannya dengan lebih baik. Bejana yang pernah pecah itu berhasil kususun
lagi, dan akan kugunakan seperlunya saja. Sekalipun aku belum menemukan alasan
yang tepat, kenapa aku harus melakukan itu lagi. Tapi yang jelas, bukan dengan
tujuan melakukan perbuatan yang tidak etis. Yaitu menculik rahasia Tuhan dari
penyimpanan tabung waktu milikNya. Aku betul-betul tidak sopan.
Pandangaku terpancing ke luar jendela. Sebuah panser berwarna kuning
menyolok menarik perhatianku. Suara kerikil yang tergilas ban mobil benar-benar
bisa terdengar sampai disini. Bahkan sebelum mobil itu masuk pekarangan rumah
sakit, aku merasa dia memang akan datang. Perasaanku semakin peka saja. Kalau
meniru gaya bahasa sok cool-nya Dion, Feeling so strong, man!
Aku melompat dari tempat tidur.
“Suster, itu sepertinya temanku datang!” teriakku sumringah.
“Ayo temui!”
Aku berlari menuju halaman rumah sakit. Menuruni anak tangga dengan
cepat, menyenggol beberapa perawat, dan terpeleset sedikit di depan pintu ketika
kakiku menginjak keset.
Betapa senangnya aku bisa melihat wajah itu lagi hari ini. Dia benar-benar
datang untuk melengkapi bahagiaku. Dia memang selalu hadir untuk melengkapi
sesuatu yang butuh pelengkap.
Dia seperti sebuah sentuhan akhir.
Dia seperti sebuah tanda baca titik.
Aku melambai ke arah mobilnya. Jejingkrakan senang.
Dion.
Mungkin aku akan selalu menyimpan sebuah rahasia kecil. Bahwa, berdiri di
sampingnya selalu membuatku merasa menjadi pemberani.
***
-Permulaan yang Baru-
Sebuah Assylum, penghujung 1998
*
Laki-laki itu membanting pintu mobilnya, putus asa. Sekali lagi mengedarkan
pandangan pada halaman rumah sakit yang mewah itu, kemudian menemukan
kembali jejak-jejak kenangan yang mengantarnya ke rumah sakit ini.
Ia tidak menyesal, harus membungkam mulutnya sendiri. Padahal ia bisa saja
bicara singkat.
Juliet, laki-laki yang kau cintai pada waktu itu adalah aku. Akulah yang
melarikanmu dari gereja itu di tengah malam buta. Aku mencintaimu pada masa itu.
Bahwa sebenarnya iapun telah mencapai tahap perjalanan astralnya sebelum
Juliet mampu melakukannya. Bahwa ia telah mengetahui rahasia itu sebelum Juliet
mengetahuinya. Bahwa ia selalu latihan sendirian di tengah malam, saat Juliet sudah
terlelap karena kecapekan. Bahwa itulah alasan kenapa ia harus berpura-pura saat
meditasi di pantai hari itu dilakukan. Karena ia kehabisan tenaga. Karena semalaman
ia melakukannya, dan baru bisa tidur saat hujan mulai turun di awal subuh.
Ia tidak bicara. Karena ia tahu, bila ia bicara maka ada kepentingan ego yang
akan ikut terbawa, sebuah ego yang harus ikut dituntaskan dengan sebuah jawaban.
Padahal ia tahu, itu hanya akan menyakitkan bagi dia dan perempuan itu.
Ego tentang sebuah hal remeh.
Ego tentang sebuah kebenaran, Dion memang mencintainya di masa itu. Tapi
ia telah kembali jatuh cinta padanya di masa sekarang. Cinta yang jauh lebih dalam.
Tapi ada perbedaan. Cintanya kali ini akan membebaskan jiwa Juliet, tidak
merantainya seperti yang pernah dilakukan mahkluk berwujud dirinya di masa lalu.
Cinta, hal remeh yang membuat perempuan itu mengkhianati kesetiaannya di
masa lalu.
Pantaskah ia menuntut jawaban itu dari seorang perempuan yang telah terlihat
lebih mampu berdiri sendiri? Seorang perempuan yang telah lelah berbagi hidupnya
dengan begitu banyak orang yang tidak dikenalnya.
Meskipun dalam waktu beberapa hari saja sejak penculikan itu dilakukan
Dion, ia telah merasa begitu dekat dengan Juliet, dan dalam waktu beberapa menit
mereka telah berhasil menjelajahi kehidupan masa lalu mereka yang jaraknya
berpuluh-puluh tahun lalu. Tapi bagi Dion, cintanya kepada Juliet tak akan cukup
memakan waktu beberapa bulan saja. Bertahun-tahun—dalam setiap menitnya ia akan
terus jatuh mencinta—bahkan seumur hidupnya tak akan menjadi waktu yang cukup
untuknya mencintai perempuan itu.
(Sekelabat bayangan melintas)—seperti sebuah ingatan yang dicuri darinya
telah kembali.
(Abu-abu dan rapuh, karena sudah terlalu lama)
Ia menepuk keningnya. Auww! –ups, tampaknya terlalu keras.
Setelah dengan Ana, Ini bukan pertemuan pertama atau kedua kami!
Dia anak perempuan yang pernah duduk bersamaku di sebuah pasar, saat
usiaku masih delapan tahun. Astaga! Astaga! Dia perempuan yang warna rambutnya
hampir sama seperti warna sinar matahari pagi. Dia yang itu.....
Laki-laki itu sekali lagi menepuk jidatnya.
Seekor lalat melayang pasrah, dan jatuh di bajunya. Mampus lu, akhirnya
dendamku terbalaskan.
Dia mencoba mengingat-ingat. Pertama, untuk seorang biarawati di masa lalu,
kedua untuk Juli kecil, kemudian Ana si pelacur, dan akhirnya dia bertemu seorang
perempuan yang telah lama dicari-carinya. Perempuan yang membuatnya terus jatuh
cinta di setiap pertemuan mereka.
Suara-suara di dalam dadanya berhenti berdiskusi. Ia kini telah menjadi laki-
laki paling berbahagia di seluruh dunia sekarang.
Mesin mobil dinyalakan.
Mungkin inilah saatnya Juliet bersenang-senang, karena telah menjadi satu-
satunya manusia yang hidup di dalam dirinya.
Tapi bila kami pernah melewati lebih dari tiga kali pertemuan tanpa
direncanakan, itu berarti sangat besar kemungkinan kami akan mengalami
pertemuan-pertemuan lain di kesempatan berikutnya. Walaupun waktu dan tempat,
masih selalu menjadi rahasia terbesar milik Dia. Tapi bukankah hidup memang
tentang sebuah kesempatan ketika kita mulai berani berharap kembali?
Maka suatu saat, di waktu keberanian dan keyakinan tentang cinta itu patut
diperjuangkan telah sampai di hadapan laki-laki ini, dia akan datang mencari
perempuan berambut emas itu untuk menawarkan sebuah tumpangan.
Sekalipun, untuk pertemuan berikutnya mereka hanya akan tak sengaja
berpapasan dan bertegur sapa lewat sebuah perjalanan astral di penghujung malam
yang berkabut........
Tapi dia akan tetap memintanya.
Dan semoga saja perempuan itu bersedia. Dengan segenap keyakinannya,
untuk BERSEDIA ikut dengannya.
........
Hari laksana terkepung ratusan kamuflase
Seperti rindu yang hadir dan menggebu-gebu, namun yang terjangkau hanya
sepotong demi sepotong sepi
Seperti pelepah kering daun kelapa, yang menunggu angin membelainya
mesra
Seperti sebutir pasir di hamparan sahara, yang tak henti berbisik pada para
musafir agar tak lupa memijaknya
Seperti tanah bekas tapakan el nino, memimpikan riak hujan menggenangi
tubuh pecahnya
Seperti deringan telepon di sebuah kamar kosong, yang menanti seseorang
datang dan menyapanya
Seperti sebait puisi yang menunggu untuk diteriakkan
........
Alas poor Romeo! He is already dead; stabbed with a white wench’s black
eye; shot through the ear with a love-song; the very pin of his heart cleft with the
blind bow-boy’s butt-shaft...
(Romeo and Juliet--Shakespeare)
***
15
Bidadari