Anda di halaman 1dari 257

Robert

Bellamy di tugaskan menyelidiki jatuhnya sebuah balon cuaca


dipegunungan aspen,Swiss,semua saksi mata harus ditemukan dan di
tanyai,namun bagi Bellamy,itulah langkah pertamanya menyusuri jalanan
mengerikan yang seakan akan tak berujung
Dari washington ke london,zurich,roma,dan paris,cerita di gelar untuk
menyingkap masa lalu Bellamy,mengapa wanita yg dicintainya lebih dari
hidupnya tak dapat membalas cintanya,mengapa sahabat sahabatnya yang
terbaik menjadi musuh musuhnya yg paling kejam,dan mengapa dunia tak boleh
tau akan hadirnya sesuatu yang kerhasiaanya dijaga begitu ketat oleh kekuatan
tersembunyi yang mematikan
Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
I. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2 Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
sebagaimana dimaksud dalam ayat(l), dipidana dengan pidana penjara paling
lama S (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,-(lima puluh
juta rupiah)..
Sidney Sheldon
KONSPIRASI JARI KIAMAT
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2005
THE DOOMSDAY CONSPIRACY by Sidney Sheldon Copyright © 1991 by
Sheldon Literary Trust Ail rights reserved inlcuding the rights of reproduction in
whole or in part in any form
KONSPIRASI HARI KIAMAT Alih bahasa: Drs. Budijanto T. Pramono GM
402 99.488 Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama JjL Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit FT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Juni 1992
Cetakan keenam: Januari 2002 Cetakan Ketujuh: Januari 2005
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
SHELDON, Sidney
Konspirasi Hari Kiamat/Sidney Sheldon; alih bahasa, Budijanto T. Pramono—
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1999
544 him: 18 cm
Judul asli: The Doomsday Conspiracy ISBN 979-5U-488-3
L Judul H. Pramono, Budijanto T
Untuk Jerry Davis
813
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih yang tak terhingga saya haturkan kepada James J. Hurtak,
Ph.D., dan istrinya, Desiree, yang telah menyumbangkan keahlian mereka dalam
penulisan buku ini.
Semoga Anda hidup di zaman yang mengasyikkan.
-kutukan Cina kuno
Prolog
Uetendorf, Swiss Minggu, 14 Oktober, Jam 15.00
Mereka yang berdiri di pinggir lapangan itu menyaksikan dengan ngeri dan kelu.
Adegan yang sedang berlangsung di hadapan mereka adalah sebuah mimpi
buruk yang teramat ganjil dan primitif yang menjelma dari relung-relung hitam
paling dalam di bawah sadar manusia purba. Beraneka ragam reaksi mereka.
Satu orang langsung pingsan. Orang yang kedua muntah. Seorang wanita
gemetar tak terkendali. Seorang lagi berpikir Aku bisa kena serangan jantung.
Pastor tua itu menggenggam rosarionya dan membuat tanda salib. Tolonglah
aku, Bapa. Tolonglah kami semua. Lindungi kami dari Jelmaan Mis ini Kami
telah Menyaksikan wajah Setan. Ini adalah akhir zaman. Hari Peradilan lelah
tiba.
Armageddon telah tiba... Armageddon... Armageddon...
buku satu
SANG PEMBURU
MINGGU 14 Oktober, Jam 21.00
PESAN kuat ULTRA TOP SECRET DARI NSA UNTUK WAKIL DIREKTUR
COI
PRIBADI
PERIHAL : OPERASI HARI KIAMAT PESAN : LAKSANAKAN tERTTAHU
NORAD. CIRVIS, (JKPAN. DtS, GHG, PESAN DITUTUP
Minggu, 14 Oktober, Jam 21.15
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET DARI NSA UNTUK WAKIL
DIREKTUR— INTELIJEN ANGKATAN LAUT DISTRIK KE-17 PRIBADI
PERIH Al I.PTKOI ROBERT BELLAMY ATUR PEMINDAHAN
SEMENTARA KE BADAN INI,
I AKSANAKAN SEGERA KERJA SAMA ANDA DAI AM HAL INI
DIHARAPKAN PERAN DITUTUP
Bab Satu
Hari Pertama Senin, 15 Oktober
Ia kembali lagi ke ruang perawatan yang penuh sesak di Pangkalan Cu Chi di
Vietnam dan Susan sedang menyandar di tempat tidurnya, mengenakan seragam
juru rawatnya yang putih bersih, berbisik, "Bangunlah, pelaut Kau belum mau
mati."
Seakan ada yang gaib dalam suara itu, yang membuatnya hampir melupakan rasa
sakit yang dideritanya. Juru rawat itu sedang menggumamkan kata-kata lain ke
telinganya, tapi terdengar dentang lonceng yang keras sehingga ia tidak dapat
mendengarnya dengan jelas. Ia menggapai untuk menarik dia lebih dekat ke
tubuhnya, tapi tangannya menangkap udara kosong.
Bunyi telepon itulah yang kemudian membuat Robert Bellamy benar-benar
terjaga. Ia membuka matanya dengan berat, masih tidak rela membiarkan mimpi
tadi berlalu. Telepon di samping tempat tidurnya terus berdering. Ia memandang
ke
arah jam dinding. Jam empat pagi. Ia menyambar telepon itu, marah karena
mimpinya terputus. "Gila, Anda tahu ini jam berapa sekarang?"
"Letkol Bellamy?" Suara berat seorang pria.
"Ya..."
"Ada pesan untuk Anda, Letnan. Anda diperintahkan melapor kepada Jenderal
Hilliard di markas besar Badan Keamanan Nasional di Fort Meade pada jam
enam pagi hari ini. Apakah pesan ini sudah dipahami, Letnan?" "Ya." Eh, tidak.
Lebih banyak tidak. Letkol Robert Bellamy meletakkan gagang kembali dengan
perlahan. Bingung. Gila, apa urusan NSA memanggilnya? Ia ditugaskan pada
ONI, Badan Intelijen Angkatan Laut Dan urusan apa yang sebegitu pentingnya
sehingga orang dipanggil pada jam enam pagi? Ia berbaring kembali dan
memejamkan matanya, berusaha untuk mendapatkan kembali mimpinya yang
hilang. Terasa begitu nyata tadi Ia tahu, pasti, apa yang menyebabkannya. Susan
meneleponnya malam sebelumnya. "Robert..."
Suara magis itu lagi-lagi membuatnya terbius. Ia menarik napas dengan tergetar.
"Halo, Susan."
"Kau tidak apa-apa, Robert?"
"O, ya. Luar biasa. Bagaimana kabarnya Moneybags?"
National Security Agency—NSA **
Office of Naval intelligence
"Jangan mulai, tolong."
"Baik. Bagaimana kabarnya Monte Banks?"
Robert tidak. sanggup menyebut kata "suamimu". Dia mantan suami Susan.
"Dia baik-baik saja. Aku hanya ingin memberitahukan bahwa kami akan pergi
sebentar. Aku tidak ingin kau kuatir."
Benar-benar gaya Susan—memang begitulah Susan selalu. Robert berjuang
untuk memantapkan suaranya. "Kali ini kalian ke mana?"
"Kami akan terbang ke Brazil."
Naik pesawat 727 milik Moneybags.
"Monte ada urusan bisnis di sana."
"Oh ya? Tadinya kupikir negeri itu punya dia."
"Jangan begitu, Robert. Sungguh."
"Sori."
Hening sejenak. "Kuharap kau tidak bersikap begitu."
"Seandainya kau ada di sini, pasti aku bisa."
"Aku ingin kau menemukan seseorang yang baik dan aku ingin kau bahagia."
"Aku pernah menemukan seseorang yang baik, Susan." Tenggorokannya yang
bagai tersumbat membuatnya sulit berbicara. "Dan kau tahu apa yang terjadi
kemudian? Aku kehilangan dia."
"Kalau kau terus begitu, aku tidak akan meneleponmu lagi."
Tiba-tiba Robert merasa panik. "Jangan bilang begitu. Tolong." Susan adalah
nadi kehidupannya. Ia tidak sanggup membayangkan untuk tidak berbicara
dengannya lagi. Ia lalu berusaha untuk ter-
dengar riang. "Aku akan keluar dan mencari gadis berambut pirang yang
seksi dan bermain cinta dengannya sampai tewas." "Aku ingin kau mencari
seseorang." "Aku berjanji melakukan itu." "Aku sangat kuatir akan kau, darling."
"Itu tidak perlu.- Aku sungguh tidak apa-apa." Hampir ia tersedak karena
dustanya itu. Kalau saja Susan tahu yang sebenarnya. Tapi ia tidak bisa
membicarakan itu dengan orang lain. Apalagi Susan. Ia tidak sanggup
membayangkan bahwa ia akan dikasihani "Aku akan meneleponmu dari Brazil,"
kata Susan. Lama keduanya berdiam diri. Mereka tidak ingin berpisah saat itu
karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, terlalu banyak yang lebih baik tidak
dikatakan, yang seharusnya memang tidak usah dikatakan. "Aku harus pergi
sekarang, Robert," "Susan?"
"Ya?" Hra£|£i
"Aku mencintaimu, baby. Sampai kapan pun."
"Aku tahu. Aku juga cinta padamu, Robert."
Dan di situlah letak keganjilannya. Begitu pahit tapi begitu manis. Mereka masih
sangat saling mencintai"
Hidup perkawinan kalian berdua sukses, demikianlah sering dikatakan teman-
teman mereka dulu. Apanya yang salah?
Letkol Robert Bellamy bangun dari tempat
tidurnya dan berjalan melewati ruang duduk dengan kaki telanjang. Ruang
kosong itu seakan meneriakkan ketidakhadiran Susan. Di situ ada puluhan foto
Susan bersamanya tersebar di mana-mana, bagaikan momen-momen yang beku
dalam waktu. Berdua sedang memancing di pegunungan Skotlandia, berdiri di
depan patung Budha dekat biara di Thailand, naik kereta kuda di tengah hujan
melintasi taman-taman Borghese di Roma. Dan dalam setiap foto itu mereka
sedang tersenyum dan berpelukan, dua insan yang sedang kasmaran.
Ia menuju dapur dan menaruh teko kopi di atas tungku. Jam dinding di dapur itu
menunjukkan angka 4.15. Ia ragu sejenak, lalu diputarnya sebuah nomor. Enam
kali telepon itu berdering, dan akhirnya ia mendengar suara Admiral Whittaker
di ujung sana. "Halo."
"Admiral..."
"Ya?"
"Robert di sini. Maaf sekali saya terpaksa membangunkan Anda, sir. Saya baru
saja menerima telepon yang agak ganjil dari Badan Keamanan Nasional."
"NSA? Apa yang mereka inginkan?"
"Saya tidak tahu. Saya diperintahkan melapor kepada Jenderal Hill iard pada jam
enam pagi."
Hening sejenak, Admiral itu tepekur. "Barangkali kau akan dimutasikan ke
sana.-"
"Tidak mungkin. Tidak masuk akal. Mengapa mereka...?"
"Jelas ini sesuatu yang penting, Robert Teleponlah aku nanti setelah selesai
pertemuan." "Baiklah. Terima kasih."
Hubungan telepon putus di situ. Seharusnya aku tidak perlu merepotkan orang
tua itu, pikir Robert. Admiral itu sudah pensiun dari dinas Intelijen Angkatan
Laut dua tahun yang lalu. Dipaksa untuk pensiun, tepatnya. Desas-desusnya
yaitu bahwa sebagai pelipur lara, Angkatan Laut memberinya suatu tugas entah
di mana, menghitung kerang di gudang kapal, atau kerja remeh lain macam
begitu. Admiral itu tentu tidak tahu apa-apa mengenai kegiatan intelijen
mutakhir. Tapi ia adalah orang tua pengayom Robert. Robert lebih dekat
kepadanya daripada kepada siapa pun juga di dunia ini, kecuali, tentu saja,
Susan. Dan Robert benar-benar perlu berbicara dengan seseorang. Dengan
kepergi-an Susan, ia merasa seolah-olah hidup dalam suatu ceruk waktu yang
salah. Ia mengkhayalkan bahwa di suatu dimensi waktu dan ruang yang berbeda,
ia dan Susan masih dalam suatu ikatan perkawinan yang bahagia, tertawa,
merasa bebas, dan saling mencintai. Atau barangkali juga tidak, pikir Robert
dengan lesu. Barangkali aku cuma tidak tahu kapan semuanya ku harus
kurelakan.
Kopi itu sudah siap. Pabit rasanya. Ia bertanya-tanya dalam bati apa kiranya biji
kopinya berasal dari Brazil.
Ia menuju ke kamar mandi sambil membawa cangkir kopi itu dan memandangi
wajahnya sendiri di cermin. Di cermin nampak seorang laki-laki
berumur awal empat puluhan, jangkung, semampai, dan bugar dengan wajah
kasar, dagu yang kuat, rambut hitam, dan mata hitam yang menatap waspada dan
memancarkan kecerdasan. Di dadanya nampak sebuah parut yang panjang dan
dalam, kenang-kenangan dari suatu kecelakaan pesawat. Tapi itu masa lalu. Itu
masa Susan. Ini adalah masa kini. Tanpa Susan. Ia bercukur, mandi, dan
melangkah menuju lemari pakaiannya. Apa yang harus kukenakan, ia bertanya
dalam hati, seragam Angkatan Laut atau pakaian sipil? Tapi, siapa yang akan
peduli? Ia lalu mengenakan setelan jas wama abu-abu gelap, kemeja putih, dan
dasi sutera abu-abu. Sedikit sekali yang diketahuinya tentang Badan Keamanan
Nasional, cuma bahwa Istana Teka-Teki itu—demikian julukannya—
menggantikan semua badan intelijen Amerika dan yang paling dijaga
kerahasiaannya di antara semua badan itu. Apa yang mereka inginkan dariku?
Aku akan segera mengetahuinya.
Bab Dua
Badan keamanan nasional itu letaknya terpencil dan tersembunyi di lahan seluas
delapan puluh dua ekar di Fort Meade, Maryland, terdiri dari dua bangunan yang
jika digabung besarnya dua kali lipat kompleks CIA di Langley, Virginia. Badan
itu, yang bertugas memberikan bantuan teknis guna melindungi jaringan
komunikasi Amerika Serikat dan memperoleh data-data intelijen elektronik dari
seluruh muka bumi, mempekerjakan ribuan orang, dan begitu banyaknya
informasi yang dihasilkan dari operasi-operasinya sehingga ia menelurkan lebih
dari empat puluh ton dokumen setiap harinya.
Hari masih gelap ketika Letkol Robert Bellamy tiba di gerbang pertama. Ia terus
meluncur dengan mobilnya menuju pagar berbentuk angin siklon setinggi
delapan kaki yang dililit dengan kawat berduri di bagian atasnya. Di sana
nampak sebuah pos jaga yang dihuni oleh dua orang pengawal bersenjata.
Seorang dari mereka tinggal di dalam pos itu, menyaksikan rekannya
menghampiri mobil. "Bisa saya bantu?"
"Letkol Bellamy menghadap Jenderal Hilliard." "Bolehkah saya melihat
identitas Anda, Letkol?"' Robert Bellamy mengeluarkan dompetnya dan
mencabut kartu identitas Intelijen Angkatan Laut Distrik Ke-17. Pengawal itu
mengamatinya dengan cermat dan mengembalikannya. "Terima kasih, Letnan."
Ia mengangguk kepada pengawal yang berada di dalam pos, dan gerbang itu
terayun membuka. Pengawal di dalam pos mengangkat telepon. "Letkol Bellamy
sedang menuju ke sana."
Semenit kemudian, Robert Bellamy meluncurkan mobilnya ke gerbang beraliran
listrik yang masih tertutup.
Seorang pengawal bersenjata menghampiri mobilnya. "Letkol Bellamy?"
"Ya."
"Bolehkah saya melihat kartu identitas Anda?"
Ia sudah akan mengajukan protes, tapi kemudian berpikir, Buat apa repot-repot.
Ini kan kandang mereka. Ia mengeluarkan dompetnya sekali lagi dan
memperlihatkan identitasnya kepada pengawal itu;
"Terima kasih, Letnan." Pengawal itu membuat isyarat yang tidak kelihatan, dan
gerbang terbuka.
Saat Robert Bellamy meluncur lagi ke depan ia melihat pagar siklon yang ketiga
di depan sana. Ya, Tuhan, pikirnya, rupanya aku ada di .Negeri Oz.
Lagi-lagi seorang pengawal berseragam keluar dan menghampiri mobilnya.
Ketika Robert
Bellamy baru akan mengeluarkan dompetnya, pengawal itu memandang ke arah
pelat nomor mobilnya dan berkata, "Silakan terus lurus menuju gedung
administrasi, Letnan. Akan ada orang yang menemui Anda di sana." "Terima
kasih."
Gerbang itu membuka, dan Robert Bellamy menyusuri lorong menuju sebuah
gedung yang teramat besar bercat putih. Seorang pria yang mengenakan pakaian
sipil sedang berdiri di luar, menggigil diterpa udara beku bulan Oktober.
"Silakan meninggalkan mobil Anda di sini saja, Letnan," ia berseru. "Kami yang
akan mengurusnya."
Robert Bellamy meninggalkan kunci kontaknya tergantung dan turun dari
mobilnya. Laki-laki yang menyapanya tadi berumur sekitar tiga puluhan,
jangkung, kurus, dan pucat. Ia nampak seolah-olah tidak pernah melihat
matahari selama bertahun-tahun.
"Saya Harrison Keller. Saya akan mengawal Anda menuju kantor Jenderal
Hilliard."
Mereka berjalan memasuki lobi yang berlangit-langit tinggi. Nampak seorang
pria berpakaian sipil sedang duduk di belakang meja tulis. "Letkol Bellamy..."
Robert Bellamy memutar badannya dengan cepat Ia mendengar bunyi klik
sebuah kamera. "Terima kasih, sir."
Robert Bellamy menoleh kepada Keller. "Apa...?" ini hanya akan makan waktu
satu menit," Harrison Keller meyakinkannya.
Enam puluh detik kemudian, Robert Bellamy diberi sebuah badge identitas
berwarna biru dan putih dengan fotonya tertera di atasnya.
"Mohon ini dikenakan selama Anda berada di dalam gedung ini, Letnan."
"Baik."
Mereka lalu berjalan menyusuri sebuah lorong putih yang panjang. Robert
Bellamy melihat kamera-kamera pengaman dipasang dengan jarak dua puluh
kaki di kedua sisi lorong itu.
"Seberapa besarnyakah gedung ini?"
"Kira-kira dua juta kaki persegi lebih sedikit, Letnan."
"Apa?"
"Ya. Lorong ini adalah lorong terpanjang di dunia—sembilan ratus delapan
puluh kaki. Kami memenuhi semua kebutuhan sendiri di sini. Kami mempunyai
shopping center, kafetaria, kantor pos, delapan kedai snack, sebuah rumah sakit
lengkap dengan ruang operasinya, ruang praktek dokter gigi, kantor cabang
Bank Negara Laurel, agen dry-cleaning, toko sepatu, barber shop, dan
keperluan-keperluan lainnya."
Ini adalah rumah yang jauh dari rumah, pikir Robert Anehnya, ia merasa suasana
di situ tidak mengenakkan perasaan.
Mereka melewati suatu tempat terbuka yang teramat luas di mana terhampar
lautan komputer. Robert berhenti karena takjub.
"Cukup mengesankan, ya? Ini cuma salah satu dari ruang komputer kami.
Kompleks ini menam-
pung mesin-mesin dekoder dan komputer- komputer senilai tiga miliar dolar."
"Berapa orang yang bekerja di tempat ini?" "Sekitar enam belas ribu." Gila, jadi
mereka perlu aku buat apa? Robert Bellamy bertanya-tanya dalam hati.
Ia dibawa ke sebuah lift pribadi yang dioperasikan oleh Keller dengan
menggunakan sebuah kunci. Mereka naik satu lantai dan memasuki lagi sebuah
lorong panjang sampai mereka tiba di sebuah aula yang menampung kantor-
kantor yang saling berhubungan di ujung lorong itu.
"Silakan masuk ke sini, Letnan." Mereka memasuki sebuah kantor reception
dengan empat meja tulis untuk empat sekretaris. Dua sekretaris telah berada di
situ untuk memulai pekerjaan mereka. Harrison Keller mengangguk kepada
salah seorang, dan ia lalu menekan sebuah tombol, dan pintu ruang kantor
sebelah dalam itu terbuka.
"Silakan langsung masuk saja, Tuan-tuan. Jenderal sudah menunggu." Harrison
Keller berkata, "Lewat sini." Robert Bellamy mengikutinya masuk ke dalam
sebuah ruangan yang menembus jauh ke dalam. Ia mendapati dirinya berada di
sebuah kantor yang luas, langit-langit dan dinding-dindingnya nampak dilapis
dengan bahan kedap suara secara menyeluruh. Ruang itu dilengkapi dengan
perabotan yang memberikan rasa nyaman, penuh dengan foto-foto dan kenang-
kenangan pribadi. Jelas nampak bahwa
orang yang duduk di belakang meja tulis itu ba-
Inyak menghabiskan waktunya di tempat itu. Jenderal Mark Hilliard, wakil
direktur NSA, nampak berumur sekitar pertengahan lima puluhan, sangat
jangkung, dengan wajah yang seakan terpahat dari batu padas, mata yang dingin
dan keras, dan postur tubuh yang tegak. Jenderal itu mengenakan setelan jas abu-
abu, kemeja putih, dan dasi abu-abu pula. Ternyata dugaanku benar, pikir
Robert.
JHarrison Keller berkata, "Jenderal Hilliard, ini Letkol Bellamy." "Terima kasih
Anda mau datang, Letnan." Kok seperti undangan minum teh saja. Kedua pria
itu bersalaman. "Silakan duduk. Saya rasa Anda mau minum kopi."
Orang ini pandai membaca pikiran orang. "Ya, sir."
"Harrison?"
"Tidak, terima kasih." Ia lalu duduk di kursi di sudut.
Sebuah tombol ditekan, pintu terbuka, dan seorang pelayan berdarah Timur yang
mengenakan seragam pelayan makanan memasuki ruangan dengan membawa
nampan berisi kopi dan kue-kue. Robert melihat bahwa ia tidak mengenakan
badge identitas. Sayang. Kopi dituangkan. Aromanya harum semerbak.
"Anda biasanya bagaimana?" tanya Jenderal Hilliard
"Tanpa gula, terima kasih." Kopinya sedap sekail
Kedua pria itu duduk berhadap-hadapan di kursi berjok kulit empuk.
"Direktur minta saya menemui Anda."
Direktur. Edward Sanderson. Sebuah legenda di kalangan spionase. Seorang
dalang boneka yang brilian dan kejam, terkenal karena pernah mendalangi
puluhan kudeta yang berani di seluruh pelosok dunia. Seseorang yang jarang
tampil di depan umum dan digunjingkan orang dengan diam-diam.
"Berapa lama sudah Anda berdinas di Badan Intelijen Angkatan Laut Distrik Ke-
17, Letnan?" tanya Jenderal Hilliard.
Robert langsung saja menjawab. "Lima belas tahun." Ia berani bertaruh sebulan
gaji bahwa jenderal itu sebenarnya sudah tahu tanggal berapa tepatnya ia
bergabung dengan ONI.
"Sebelum itu, saya mendengar bahwa Anda memimpin sebuah skuadron udara
Angkatan Laut di Vietnam."
"Ya, sir."
"Anda tertembak jatuh. Mereka tidak menyangka Anda akan bisa selamat."
Dokternya berkata, "Relakan saja dia. Dia tidak akan sanggup bertahan hidup."
Memang saat itu ia sudah memilih mati saja. Sakitnya jtak tertahankan. Lalu
Susan menyandar di tempat tidurnya. "Bukalah matamu, pelaut, kau belum mau
mati." Ia lalu dengan susah payah membuka matanya dan
sambil menahan rasa sakit ia melihat wanita tercantik yang pernah dijumpainya.
Ia memiliki wajah lonjong yang lembut dan rambut hitam tebal, mata coklat
yang berbinar-binar dan senyum bagaikan anugerah yang dikirimkan Tuhan dari
surga. Saat itu ia mencoba berbicara tapi tidak mampu.
Jenderal Hilliard sedang mengucapkan sesuatu.
Robert Bellamy menghentikan lamunannya. "Maafkan saya, Jenderal?"
"Kami punya masalah, Letnan. Kami membutuhkan bantuan Anda."
"Ya, sir?"
Jenderal itu bangkit dan mulai berjalan mondar-mandir. "Apa yang akan saya
ceritakan ini sifatnya sangat sensitif. Lebih dari hanya sekadar top secret."
"Ya, sir."
"Kemarin, di Pegunungan Alpen di Swiss, sebuah balon cuaca milik NATO
jatuh. Balon itu mengangkut peralatan militer eksperimental yang sifatnya sangat
rahasia."
Robert bertanya-tanya dalam hati sedang dibawa ke mana ia.
"Pemerintah Swiss telah mengamankan peralatan itu dari balon yang rusak itu,
tapi sayangnya ada orang-orang yang menyaksikan terjadinya kecelakaan itu.
Adalah sangat penting bahwa tak ada seorang pun yang akan berbicara mengenai
apa yang telah mereka lihat Itu bisa memberikan informasi berharga kepada
negara-negara lain tertentu. Anda paham?"
"Saya kira begitu, sir. Anda ingin saya berbicara kepada para saksi itu dan
memperingatkan mereka untuk tidak membicarakan apa yang mereka saksikan."
"Bukan begitu tepatnya, Letnan."
"Kalau begitu saya kurang meng..."
"Apa yang saya ingin Anda lakukan adalah cuma melacak para saksi itu. Orang
lain yang nanti akan berbicara kepada mereka tentang perlunya menutup mulut"
"Saya mengerti. Apa semua saksi itu berada di Swiss?"
Jenderal Milliard menghentikan langkahnya tepat di depan Robert "Itulah
masalah kami, Letnan. Begini, kami sama sekali tidak tabu sekarang mereka
berada di mana. Atau mereka itu siapa."
Robert mengira ada yang tidak ditangkapnya. "Maafkan saya?"
"Satu-satunya informasi yang kami peroleh hanyalah bahwa saksi-saksi mata itu
saat itu sedang berada dalam sebuah bus dalam rangka tur. Mereka kebetulan
lewat saat balon cuaca itu jatuh dekat sebuah desa kecil bernama..." Ia menoleh
kepada Harrison Keller. "Uetendorf."
Sang Jenderal menoleh kembali ke Robert. "Para penumpang itu keluar dari bus
mereka beberapa menit lamanya untuk menyaksikan kecelakaan itu dan
melanjutkan perjalanan kembali. Ketika tur berakhir, para penumpang itu
menyebar."
Robert berkata perlahan, "Jenderal Hilliard, apa
kah maksud Anda adalah bahwa tidak ada data-data mengenai siapa orang-orang
itu dan ke mana mereka pergi?" "Benar sekali."
"Dan Anda ingin saya melacak dan menemukan mereka?"
"Tepat Anda sangat direkomendasikan untuk itu. Saya diberitahu bahwa Anda
bisa berbicara dalam setengah lusin bahasa dengan fasih, dan prestasi Anda di
lapangan sangat mengesankan. Direktur telah mengatur supaya Anda sementara
dipindahkan ke NSA."
Gawat. "Saya rasa saya harus bekerja sama dengan pemerintah Swiss dalam
masalah ini?"
"Tidak, Anda akan bekerja sendirian."
"Sendirian? Tapi..."
"Kita tidak boleh mengikutsertakan orang lain dalam misi ini. Saya tidak mampu
menekankan lebih jelas lagi betapa pentingnya peralatan yang ada di dalam
balon itu, Letnan. Faktor waktu sangat penting. Saya ingin Anda melapor kepada
saya setiap hari."
Sang Jenderal menuliskan sebuah nomor di atas sebuah kartu dan
memberikannya kepada Robert. "Saya bisa dihubungi melalui nomor ini siang
atau malam. Pesawat sudah siap untuk membawa Anda ke Zurich. Anda akan
diantarkan ke apartemen Anda, jadi sekarang Anda bisa mengemasi barang-
barang keperluan Anda, dan kemudian Anda akan diantarkan ke bandara."
Begitulah kelengkapan dari "Terima kasih Anda
mau datang" itu. Robert tergoda untuk bertanya, "Apakah akan ada orang yang
memberi makan ikan mas saya sementara saya tidak ada di tempat?" Tapi ia
menduga bahwa jawabannya pasti, "Anda tidak punya ikan mas."
"Selama Anda dinas di ONI, Letnan, saya rasa Anda telah mempunyai kontak-
kontak intelijen di luar negeri?"
"Ya, sir. Saya mempunyai sejumlah teman yang mungkin bisa bermanfaat..."
"Anda tidak boleh berhubungan dengan mereka. Anda tidak akan diberi
wewenang untuk menghubungi siapa pun. Para saksi mata yang akan Anda lacak
itu jelas berasal dari berbagai negara." Jenderal itu menoleh kepada Keller.
"Harrison..."
Keller berjalan menghampiri sebuah lemari arsip di sudut ruangan itu dan
membuka kuncinya. Ia mengeluarkan sebuah amplop manila besar dan
memberikannya kepada Robert.
"Di dalam sini ada lima puluh ribu dolar dalam berbagai mata uang Eropa, dan
dua puluh ribu lagi dalam dolar AS. Anda juga akan mendapati beberapa set
identitas palsu yang akan bermanfaat nanti."
Jenderal Hilliard mengacungkan sebuah kartu plastik hitam yang tebal dan
mengkilat dengan garis putih melintang di atasnya. "Ini kartu kredit yang..."
"Saya rasa saya tidak akan memerlukan itu, Jenderal. Uang tunai ini saja sudah
cukup, lagi pula saya masih memegang kartu kredit ONI."
"Terimalah."
"Baiklah." Robert mengamati kartu itu. Dikeluarkan oleh sebuah bank yang
namanya belum pernah didengarnya. Di bagian dasarnya terdapat sebuah nomor
telepon. ."Tidak ada nama pada kartu ini," kata Robert.
"Kartu itu sama saja dengan cek kosong. Tidak diperlukan identitas apa-apa.
Minta saja mereka menelepon nomor yang ada di kartu itu bilamana Anda
melakukan pembelian. Adalah sangat penting bahwa Anda selalu membawanya
dan menjaganya setiap saat."
"Baik."
"Dan, Letnan?" "Sir?"
"Anda harus menemukan para saksi mata itu. Semuanya. Saya akan
memberitahu Direktur bahwa Anda sudah memulai tugas Anda."
Pertemuan itu usai sudah.
Harrison Keller mengantarkan Robert ke kantor yang di depan. Seorang marinir
berseragam sedang duduk di sana. Ia bangkit ketika kedua pria itu memasuki
ruangan.
"Ini Kapten Dougherty. Dia akan mengantarkan Anda ke bandara. Semoga
sukses."
"Terima kasih."
Kedua pria itu lalu bersalaman. Keller membalikkan badannya dan kembali ke
kantor Jenderal Hilliard.
"Anda sudah siap, Letnan?" tanya Kapten Dougherty.
"Ya." Tapi siap untuk apa? Ia sudah pernah menangani tugas-tugas yang sulit di
masa yang lalu, tapi tidak ada yang segila ini. Ia diminta untuk melacak saksi-
saksi mata tak dikenal yang jumlahnya tidak diketahui, demikian pula negara
asalnya. Apa saja hambatannya nanti? Robert bertanya dalam hati. Aku merasa
seperti White Queen dalam kisah Through the Looking Glass. "Kadang-kadang
malahan aku bisa percaya sampai enam hal yang mustahil sebelum makan pagi."
Nah, sekarang keenam-enamnya ada padaku.
"Saya ditugaskan untuk mengantarkan Anda langsung ke apartemen Anda,
kemudian ke Pangkalan Angkatan Udara Andrews," kata Kapten Dougherty.
"Pesawatnya sudah menunggu untuk..."
Robert menggelengkan kepala. "Saya harus singgah dulu ke kantor saya."
Dougherty nampak ragu. "Baiklah. Saya akan ikut dengan Anda ke sana dan
menunggu Anda."
Seakan mereka tidak percaya sehingga ia perlu terus diawasi. Karena sekarang ia
tahu bahwa balon cuaca itu jatuh? Tidak masuk akal. Ia menyerahkan badge-nya
kepada resepsionis dan berjalan keluar ke cuaca dingin dari fajar yang baru saja
merekah. Mobilnya sudah tidak ada di situ. Gantinya adalah sebuah limousine
berbadan panjang.
"Mobil Anda akan diurus, Let," Kapten Dougherty memberitahunya. "Kita akan
naik mobil yang ini."
Ada semacam kediktatoran dalam semua ini yang membuat perasaan Robert
kurang nyaman.
Baiklah," katanya.
nan mereka meluncur menuju markas besar Ba-Intelijen Angkatan Laut.
Matahari pagi yang aa itu mulai diselimuti awan-awan hitam. Hari ini pasti tidak
akan enak. Bukan cuma karena Tuacanya saja, pikir Robert.
Bab Tiga
Ottawa, Canada Jam 24.00
Nama sandinya Janus. Ia sedang berbicara di depan dua belas orang dalam
ruangan yang dijaga ketat di lingkungan sebuah kompleks militer.
"Seperti telah diberitahukan kepada Anda semua, Operasi Hari Kiamat telah
diluncurkan. Ada sejumlah saksi mata yang harus ditemukan secepat mungkin
dan dengan diam-diam. Kita tidak bisa melacak mereka melalui jalur-jalur
sekuriti yang biasa "karena dikuatirkan adanya kebocoran."
"Siapa yang kita pakai?" Si Rusia. Besar tubuhnya. Kurang sabar.
"Namanya Letkol Robert Bellamy."
"Bagaimana proses seleksinya?" Si Jerman. Sok bangsawan. Kejam.
. ".Letkol itu dipilih setelah dilakukan penelitian komputer atas arsip-arsip CIA,
FBI, dan setengah lusin badan keamanan yang lain."
"Maaf, boleh saya bertanya apa kualifikasinya?" Si Jepang. Sopan. Pemalu.
"Letkol Bellamy adalah seorang perwira lapangan yang bisa berbicara dalam
enam bahasa dengan fasih, dan memiliki catatan prestasi yang amat baik.
Berulang kali dia membuktikan bahwa dirinya sangat mampu. Dia tidak
mempunyai famili yang masih hidup."
"Apakah dia menyadari pentingnya hal ini?" Si Inggris. Snob. Berbahaya.
"Dia tahu itu. Kami optimis dia akan dapat menemukan semua saksi mata itu
dalam waktu sangat singkat."
"Apakah dia memahami maksud dari misinya itu?" Si Prancis. Senang
mendebat. Keras kepala.
"Tidak."
"Dan nanti kalau dia sudah menemukan saksi-saksi itu?" Si Cina. Pintar. Sabar.
"Dia akan memperoleh imbalan yang memadai"
Bab Empat
Markas besar Badan Intelijen Angkatan Laut (ONI) menempati seluruh lantai
lima dari kompleks Pentagon yang membentang dengan luas; sebuah tempat
tertutup di tengah-tengah bangunan perkantoran terbesar di dunia, dengan
lorong-lorong sepanjang tujuh belas mil dan dua puluh sembilan ribu karyawan
militer dan sipil.
Interior kantor Badan Intelijen Angkatan Laut itu mencerminkan tradisi-tradisi
kelautannya. Meja-meja tulis dan lemari arsipnya semuanya berwarna kalau
bukan hijau kekuning-kuningan, dari era Perang Dunia II, pasti abu-abu kapal
perang, dari era Vietnam. Dinding dan langit-langitnya dicat warna lembut atau
warna krem. Pada mulanya, Robert kurang senang dengan dekorasi ala Spartan
itu, tapi akhirnya ia menjadi terbiasa juga.
Kini, ketika ia berjalan memasuki bangunan itu dan menghampiri meja
reception, pengawal yang sudah mengenalnya berkata, "Selamat pagi, Let. Boleh
saya libat pas Anda?" Robert sudah tujuh tahun bekerja di situ, tapi
prosedur itu tidak pernah diubah. Dengan patuh ia menunjukkan pasnya. "Terima
kasih, Let."
Saat berjalan menuju kantornya, Robert berpikir tentang Kapten Dougherty yang
sedang menunggunya di tempat parkir di gerbang depan sungai. Menunggu
untuk mengawalnya menuju pesawat yang akan menerbangkannya ke Swiss
untuk melaksanakan suatu perburuan yang musykil.
Ketika Robert tiba di ruang kantornya, sekre tarisnya, Barbara, sudah ada di
sana.
"Selamat pagi, Let. Wakil Direktur ingin ber temu dengan Anda di kantornya."
"Biarkan dia menunggu sebentar. Tolong hu bungkan saya dengan Admiral
Whittaker."
"Baik, sir."
Semenit kemudian Robert sudah berbicara de ngan sang Admiral.
"Kukira kau sudah selesai dengan pertemuanmu, Robert?"
"Beberapa menit yang lalu."
"Bagaimana?"
"Mmmm... cukup menarik. Anda bisa makan pagi bersama saya sekarang,
Admiral?" Ia mencoba membuat nada suaranya berkesan biasa-biasa saja.
Tidak ada keraguan. "Ya. Apa kita akan ber temu di sana?1'
"Baik. Saya akan mengatur pas tamu untuk An da."
"Baiklah. Aku akan menemuimu dalam waktu satu jam."
Robert meletakkan gagang telepon dan berpikir, Ironis sekati bahwa aku harus
mengatur pas tamu buat dia Beberapa tahun yang lalu dia adalah orang penting
di sini, pimpinan Intelijen Angkatan Laut Bagaimana perasaannya?
Robert mengebel sekretarisnya melalui interkom.
"Ya, Let?"
"Saya menunggu kedatangan Admiral Whittaker. Tolong atur pas buat dia."
"Saya akan melaksanakannya dengan segera."
Sudah waktunya melapor kepada Wakil Direktur. D us tin "Dusty" Thornton.
Bab Lima
Dustin "DUSTY" Thornton, wakil direktur Badan Intelijen Angkatan Laut, telah
berhasil membuat dirinya terkenal sebagai salah satu atlet terbesar yang pernah
dihasilkan oleh Annapolis. Keduduk annya yang tinggi sekarang ini
dimungkinkan oleh sebuah pertandingan bola. Tepatnya pertandingan bola antara
Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Thornton yang berperawakan besar dan
kokoh itu bermain sebagai fullback sewaktu ia masih menjadi mahasiswa di
Annapolis, dalam pertandingan tahunan Angkatan Laut yang terpenting. Di awal
perempat waktu yang keempat, dengan Angkatan Darat menang 13—0, unggul
dengan dua touchdown dan satu conversion, tangan sang' nasib mengubah
kehidupan Dustin Thornton. Thornton saat itu memotong lemparan bola
Angkatan Darat, berputar-putar, dan berlari menembus pagar pemain Angkatan
Darat untuk mencoba melakukan touchdown. Angkatan Laut tidak berhasil
mencetak angka ekstra, tapi segera setelah itu berhasil menyarangkan sebuah
field goal. Setelah tendangan
permulaan, Angkatan Darat gagal membuat down yang pertama dan menendang
bola ke wilayah daerah pertahanan Angkatan Laut Skor menunjukkan 13 untuk
Angkatan Darat Angkatan Laut 9, dan menit-menit terus berlalu.
Ketika permainan dimulai lagi, bola dilemparkan ke arah Thornton, dan ia
tersuruk di bawah tumpukan pemain Angkatan Darat Cukup lama, baru ia bisa
berdiri kembali. Seorang dokter berlari-lari menuju ke tengah lapangan.
Thornton dengan marah melambaikan tangannya menyuruh dia pergi.
Dengan waktu hanya tinggal beberapa detik lagi, isyarat diberikan untuk suatu
lemparan samping. Thornton menangkapnya di posisi sepuluh yard dari garis
batas, dan ia melesat seperti anak panah. Tak terbendung. Ia menerobos pagar
pemain bagaikan sebuah tank, menabrak jatuh semua orang yang menghalangi
larinya. Dua detik sebelum peluit berbunyi, Thornton melewati garis gol dan
membuat touchdown yang menentukan kemenangan itu. Dan Angkatan Laut
mencatat kemenangannya yang pertama terhadap Angkatan Darat dalam empat
tahun terakhir. Peristiwa itu, jika tidak ada hal lain, hanya akan mempunyai
sedikit pengaruh terhadap kehidupan Thornton. Yang membuat peristiwa itu
menjadi penting adalah karena saat itu, duduk di boks khusus untuk penonton
VIP Witlard Stone dan putrinya, Eleanor. Ketika penonton bangkit dari
duduknya dan mengelu-elukan pahlawan- bola dari Angkatan Laut itu,
Eleanor menoleh kepada ayahnya dan berkata pelan, "Aku ingin bertemu
dengannya."
Eleanor Stone adalah seorang wanita yang sangat bergairah. Wajahnya biasa-
biasa saja, tapi ia memiliki tubuh sintal dan libido yang tak pernah terpuaskan.
Melihat Thornton bergerak dengan ganas di lapangan bola itu, ia mengkhayalkan
seperti apa laki-laki itu jika di atas ranjang. Jika kejantanannya memang sehebat
unsur-unsur tubuhnya yang lain... Ternyata ia tidak kecewa.
Enam bulan kemudian, Eleanor dan Dustin Thornton menikah. Itulah awal
mulanya. Dustin Thornton lalu bekerja di bawah ayah mertuanya dan berkenalan
dengan suatu dunia penuh misteri yang belum pernah dimimpikannya
sebelumnya.
Willard Stone, yang baru saja menjadi ayah mertua Thornton, adalah orang yang
penuh misteri. Seorang miliarder dengan koneksi-koneksi politik yang kuat dan
masa lalu yang penuh rahasia, ia merupakan sosok di belakang layar yang
mengendalikan permainan di kota-kota besar di seluruh dunia. Umurnya hampir
tujuh puluh tahun, dan ia orang yang sangat cermat dan teliti—setiap gerakannya
diperhitungkan dengan tepat dan metodis. Raut wajahnya tajam dan matanya
yang berkelopak tebal memancarkan pandangan yang tak ber-emosi. Willard
Stone adalah orang yang tidak suka membuang-buang kata maupun emosi, dan
ia bisa bersikap sangat kejam dalam memperoleh apa yang diinginkannya.
Desas-desus tentang dirinya sangat mengundang
minat Ia dikabarkan pernah membunuh pesaing bisnisnya di Malaysia dan
pernah menjalin affair dengan istri favorit seorang emir. Ia juga dikabarkan
membantu perebutan kekuasaan yang sukses di Nigeria. Pemerintah mencoba
menuntutnya dengan selusin gugatan, tapi semuanya itu dicabut kembali secara
misterius. Ada juga kisah-kisah penyuapan, senator yang dibeli dengan uang,
rahasia perusahaan yang dicuri, dan saksi-saksi yang lenyap. Stone adalah
penasihat para presiden dan raja-raja. Dia itu sama dengan suatu kekuasaan yang
kejam dan tak kenal ampun. Salah satu hartanya adalah sebuah permukiman
yang luas dan terpencil di Pegunungan Colorado, di mana setiap tahunnya para
ilmuwan, pemimpin-pemimpin kalangan industri, dan pemuka-pemuka dunia
berkumpul untuk mengadakan seminar. Pengawal-pengawal bersenjata
ditugaskan untuk mencegah tamu yang tidak diundang.
Willard Stone bukan hanya merestui pernikahan putrinya itu—ia mendorongnya.
Menantu barunya adalah seorang sangat cerdas, ambisius, dan, yang paling
penting—gampang dikuasai.
Dua belas tahun setelah mereka menikah, Stone mengatar supaya Dustin
diangkat menjadi duta besar di Korea Selatan. Beberapa tahun setelah itu,
Presiden menunjuknya menjadi duta di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada saat
Admiral Whittaker diberhentikan dari jabatannya sebagai wakil direktur ONI
secara mendadak, Thornton menggantikan kedudukannya.
Hari itu Willard Stone memanggil menantunya itu.
"Ini baru permulaannya saja," Stone menjanjikan. "Aku punya rencana-rencana
yang lebih besar untukmu, Dustin. Rencana-rencana hebat" Dan ia lalu
menjelaskan garis besar rencananya itu.
Dua tahun yang lalu, Robert untuk pertama kalinya berhadapan dengan wakil
direktur ONI yang baru itu dalam suatu pertemuan.
"Silakan duduk, Letnan." Tak ada keramahan dalam suara Dustin Thornton.
"Saya melihat catatan prestasi Anda dan ternyata Anda adalah seorang yang
netral dalam politik."
Maksudnya apa orang ini? Robert bertanya dalam hati. Ia memutuskan untuk
menanti dengan diam.
Thornton mendongak. "Saya tidak tahu bagaimana dulu Admiral Whittaker
mengelola biro ini dalam masa jabatannya, tapi mulai saat ini kita akan
menjalankan semuanya berdasarkan aturan yang ditetapkan. Saya minta semua
instruksi saya dilaksanakan sampai ke huruf-hurufnya. Apa sudah cukup jelas?"
Astaga, pikir Robert, pimpinan macam apa yang harus kami hadapi?
"Apa sudah cukup jelas, Letnan?"
"Ya. Anda minta semua instruksi Anda dilaksanakan sampai ke huruf-hurufnya."
Ia tidak tahu apakah ia seharusnya melakukan hormat militer.
"Cukup sekian dulu."
47
Tapi ternyata belum cukup sampai di situ. Sebulan kemudian, Robert dikirim ke
Jerman Timur - untuk membawa seorang ilmuwan yang bermaksud membelot
Itu adalah tugas yang sulit karena Stasi, polisi rahasia Jerman Timur, telah
mencium tentang adanya maksud itu dan terus mengawasi ilmuwan itu dengan
ketat Meskipun demikian, Robert berbasil menyelundupkan orang itu lewat
perbatasan, ke sebuah tempat persembunyian. Ia sedang membuat persiapan
untuk membawanya ke Washington ketika ia menerima telepon dari Dustin
Thornton yang memberitahukan bahwa situasi sudah berubah dan ia diminta
untuk membatalkan misinya itu.
"Kita kan tidak bisa meninggalkan dia begitu saja," Robert saat itu memprotes.
"Mereka akan membunuhnya."
"Itu urusan dia," begitu jawaban Thornton. "Kau diperintahkan untuk segera
pulang."
Sialan kau, pikir Robert. Aku tidak akan meninggalkannya begitu saja. Ia. lalu
menelepon temannya di MI6, Intelijen Inggris, dan menjelaskan situasinya.
"Kalau dia kembali ke Jerman Timur," kata Robert, "mereka akan
membantainya. Kau bersedia menerima dia?"
"Akan kubantu dia semampuku, sobat. Bawa saja dia kemari."
Dan ilmuwan itu lalu diberi suaka di Inggris.
Dustin Thornton tidak pernah bisa memaafkan Robert untuk pembangkangannya
itu. Sejak saat
itu, ada rasa permusuhan di antara kedua orang itu. Thornton telah
membicarakan peristiwa ini dengan ayah mertuanya.
"Pemberontak-pemberontak urakan seperti Bellamy itu berbahaya," Willard
Stone saat itu memperingatkan. "Mereka berbahaya bagi keamanan. Orang-
orang seperti itu tidak perlu dipertahankan. Ingat itu."
Dan Thorton selalu ingat itu.
Kini, saat berjalan melewati lorong menuju kantor Dustin Thornton, Robert tidak
bisa tidak berpikir tentang perbedaan di antara Thornton dan Whittaker. Dalam
tugas yang sekarang tengah ditanganinya ini, kepercayaan merupakan hal yang
paling utama. Ia tidak percaya kepada Dustin Thornton.
Thornton sedang duduk di belakang meja tulisnya ketika Robert berjalan
memasuki kantornya.
"Anda ingin bertemu dengan saya?"
"Ya. Silakan duduk, Letnan." Hubungan mereka tidak pernah mencapai taraf
sapa-menyapa dengan nama panggilan.
"Saya diberitahu bahwa Anda dimutasikan sementara ke Badan Keamanan
Nasional. Kalau nanti Anda sudah kembali, saya punya..."
"Saya tidak akan kembali. Ini adalah misi saya yang terakhir."
"Apa?"
"Saya akan minta berhenti."
Mengingat peristiwa itu kemudian, Robert tidak
49
yakin bagaimana tepatnya reaksi yang diharapkannya saat itu. Pokoknya ramai.
Dustin mungkin terkejut, atau membantah, atau marah, atau merasa lega. Tapi
kenyataannya tidak demikian. Ia hanya memandang Robert dan mengangguk.
"Jadi begitu?"
Ketika Robert kembali ke kantornya sendiri, ia berkata kepada sekretarisnya,
"Saya akan tidak ada di tempat untuk beberapa waktu lamanya. Kira-kira satu
jam lagi saya berangkat."
"Apa Anda bisa dihubungi di suatu tempat?"
Robert ingat akan pesan Jenderal Hilliard. "Tidak."
"Ada beberapa pertemuan yang harus Anda..." "Batalkan semuanya." Ia melihat
arlojinya. Sudah waktunya bertemu dengan Admiral Whittaker.
Mereka berdua makan pagi di halaman tengah bangunan Pentagon di Kafe
Ground Zero. Dinamakan demikian karena orang berpendapat bahwa serangan
bom nuklir pertama ke Amerika Serikat pasti akan diarahkan ke Pentagon.
Robert telah memesan sebuah meja di sudut di mana mereka akan bisa berbicara
dengan lebih tidak terganggu. Admiral Whittaker datang tepat waktu, dan ketika
Robert menyaksikannya menghampiri meja, nampak olehnya bahwa admiral itu
kelihatan lebih tua dan lebih kecil, seakan status sem.pensiunnya itu telah
membuatnya lebih tua dan mengecilkan badannya. Ia masih nampak menonjol
karena profil wajahnya yang kuat, hidung Romawi, struktur
tulang pipi yang bagus, dan rambut peraknya yang bagaikan mahkota. Robert
pernah berdinas di bawah pimpinan admiral itu waktu di Vietnam dan
selanjutnya di Badan Intelijen Angkatan Laut, dan ia sangat menghormati orang
tua itu. Lebih daripada sekadar sangat menghormati saja, Robert mengakui.
Admiral Whittaker sudah merupakan ayah pengganti baginya.
Sang Admiral duduk. "Selamat pagi, Robert. Well, benar mereka
memindahkanmu ke NSA?"
Robert mengangguk. "Untuk sementara."
Waitress datang, dan kedua orang itu mengamati menu.
"Aku sudah lupa betapa payahnya makanan di sini," kata Admiral Whittaker
sambil tersenyum. Ia memandang ke sekeliling ruangan itu, wajahnya
mencerminkan nostalgia yang tidak diucapkan.
Dia nampaknya ingin kembali ke sini, pikir Robert. Amin.
Mereka memesan makanan. Setelah waitress berjalan cukup jauh, Robert
berkata, "Admiral, Jenderal Hilliard mengirim saya ke tempat yang tiga ribu mil
jauhnya dari sini untuk melacak beberapa saksi mata yang menyaksikan jatuhnya
sebuah balon cuaca. Saya pikir itu aneh. Dan ada lagi hal lain yang lebih aneh.
'Waktu merupakan hal yang terpenting,' demikian kata jenderal itu, tapi saya
dilarang menggunakan kontak-kontak saya di luar negeri untuk membantu saya."
Admiral Whittaker nampak bingung. "Kurasa jenderal itu pasti punya alasan."
Robert berkata, "Saya tidak bisa memperkirakan apa alasannya."
Admiral Whittaker mengamati Robert. Letkol Bellamy berdinas di bawahnya di
Vietnam dan saat itu merupakan pilot terbaik di skuadronnya. Putra sang
Admiral, Edward, bertindak sebagai petugas pembom pembantu Robert, dan di
hari yang naas itu pesawat mereka ditembak jatuh dan Edward tewas. Robert
sendiri dalam keadaan sekarat Sang Admiral menjenguknya rumah sakit.
"Dia tidak akan bisa bertahan," begitu kata dokter kepadanya. Robert, yang
sedang terbaring dicekam rasa sakit berbisik, "Saya menyesal mengenai
Edward... Saya sangat menyesal."
Admiral Whittaker menggenggam tangan Robert "Aku tahu kau sudah berusaha
sekuat tenaga. Kau harus sembuh sekarang. Kau akan pulih kembali-" Ia
memang sangat menghendaki Robert tetap hidup. Dalam persepsi sang Admiral,
Robert adalah putranya, yang akan menjadi pengganti Edward.
Dan Robert ternyata selamat.
"Robert..."
"Ya, Admiral?"
Kuharap misimu ke Swiss itu sukses." Saya juga. Ini adalah misi saya yang
terakhir." "Kau masih tetap ingin berhenti?" Hanya kepada sang Admiral Robert
telah menceritakan niatnya itu. "Sudah cukup buat saya." Gara-gara Thornton?"
"Bukan dia saja. Saya sendiri juga. Saya capek
harus selalu mencampuri kehidupan orang lain." Aku muak dengan semua dusta
dan ketidakjujuran, dan janji-janji kosong yang memang tidak pernah
dimaksudkan untuk ditepati Aku bosan memanipulasi orang dan dimanipulasi
orang. Aku bosan dengan permainan-permainan ini dan bahaya yang
menyertainya serta pengkhianatan-pengkhianatan. Aku harus mengorbankan
semua yang kucintai.
"Kau punya rencana setelah itu akan melakukan apa?"
"Saya akan berusaha untuk melakukan sesuatu yang berguna dalam hidup saya,
sesuatu yang positif,"
"Bagaimana jika mereka tidak merelakan kau berhenti?"
Robert berkata, "Mereka tidak punya pilihan, bukan?"
Bab Enam
Limousine itu menunggu di tempat parkir di gerbang masuk arak sungai.
"Anda sudah siap, Letnan?" tanya Kapten Dougherty.
Sesiap aku biasanya, pikir Robert "Ya."
Kapten Dougherty menemani Robert menuju apartemennya untuk mengemasi
barang-barangnya. Robert tidak tahu berapa hari ia akan pergi. Berapa lama
dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah nasi yang mustahil? Ia menyiapkan
cukup pakaian untuk dipakai selama satu minggu dan, pada saat terakhir,
memasukkan sebuah foto Susan yang berpigura. Ia menatap foto itu lama-lama
dan bertanya-tanya dalam hati apakah mantan istrinya sedang bergembira di
Brazil sana. Pikirnya, Mudah-mudahan tidak Aku harap dia merasa tidak senang
di sana. Dan seketika itu juga ia malu kepada dirinya sendiri.
Ketika limousine itu tiba di Pangkalan Angkatan Udara Andrews, pesawat sudah
menunggu. Tipenya C20A, sebuah jet milik Angkatan Udara.
Kapten Dougherty mengulurkan tangannya. "Semoga berhasil, Letnan."
"Terima kasih." Aku memang perlu itu. Robert kemudian menaiki tangga
pesawat menuju kabinnya. Awak pesawat berada di dalam sedang menyelesaikan
pengecekan sebelum terbang. Ada seorang pilot, seorang kopilot, seorang
navigator, dan seorang pramugara, semuanya berseragam Angkatan Udara.
Robert cukup mengenal pesawat itu, yang penuh dengan peralatan elektronik. Di
sebelah luar dekat ekornya terdapat sebuah antena frekuensi tinggi yang nampak
seperti joran pancing raksasa. Di dalam kabinnya terdapat dua belas pesawat
telepon warna merah yang dipasang di dinding, dan satu telepon putih untuk
pemakaian umum. Transmisi radio dilakukan dengan sandi, dan radar pesawat
itu berada dalam frekuensi militer. Warna dominan di dalam adalah biru
angkatan udara, dan kabin itu dilengkapi dengan kursi-kursi ramping yang
nyaman.
Robert mendapati bahwa dirinya adalah satu-satunya penumpang. Sang pilot
menyapanya, "Selamat datang di kabin, Letnan. Silakan mengenakan sabuk
pengaman, kami telah mendapatkan clearance untuk tinggal landas."
Robert melilitkan sabuk itu dan menyandar di kursinya, dan pesawat itu bergerak
menuju lah-dasan pacu. Semenit kemudian, ia merasakan sentakan gravitasi
yang sudah begitu dikenalnya saat jet itu meraung menembus angkasa. Sejak
kecelakaan yang dialaminya itu ia belum mengudara
lagi malahan ia diberitahu ia tidak akan bisa terbang lagi. Terbang lagi apa, pikir
Robert, mereka bilang aku tidak akan bisa hidup. Hanya karena mukjizat saja—
Tidak, karena Susan....
Vietnam. Saat itu ia dikirim ke sana dalam jabatannya sebagai letnan komandan,
ditempatkan di kapal pengangkut pesawat Ranger sebagai perwira bagian taktik,
yang tugasnya adalah melatih pilot-pilot pesawat tempur dan merencanakan
strategi serangan. Ia telah memimpin skuadron Pene-robos A-6A, dan hampir-
hampir tidak ada waktu bersantai sama sekali untuk menghilangkan ketegangan
pertempuran. Ia pernah melewatkan salah satu cutinya yang tidak banyak itu di
Bangkok selama seminggu dalam rangka R dan R, dan selama masa cuti itu ia
hampir-hampir tidak tidur. Kota itu bagaikan Disneyland yang dirancang khusus
untuk memberikan kepuasan bagi kaum Adam yang haus kenikmatan duniawi.
Ia bertemu dengan seorang gadis Thai yang molek satu jam setelah menginjak
kota itu, dan gadis itu terus mendampinginya sepanjang waktu, dan mengajarkan
kepadanya sejumlah ungkapan Thai. Ia mendapati bahwa bahasa Thai itu lembut
dan merdu. Selamat pagi. Arm sawasdi. Anda dari mana? Khun na chak nai?
Anda mau ke mana sekarang? Khun kamrant chain pai?
Gadis itu juga mengajarkan ungkapan-ungkapan yang lain, tapi ia tidak mau
memberitahukan apa
artinya, dan ketika Robert melafalkannya, ia tertawa cekikikan.
Ketika Robert kembali ke Ranger lagi, Bangkok bagaikan sebuah mimpi indah
nun jauh di sana. Perang adalah kenyataan hidup yang sebenarnya dan itu terasa
mengerikan. Seseorang menunjukkan kepadanya salah satu selebaran yang
dijatuhkan para marinir di Vietnam Utara. Bunyinya:
Para warga,
Marinir Amerika sedang bertempur mendukung pasukan-pasukan Vietnam
Selatan di Due Pho dengan tujuan memberikan kesempatan bagi rakyat Vietnam
menempuh kehidupan yang bahagia, bebas, dan tanpa kuatir akan bahaya
kelaparan dan penderitaan. Tapi banyak orang Vietnam telah membayar dengan
nyawanya, dan rumah-rumah mereka dihancurkan karena mereka membantu
Vietkong.
Kampung-kampung Hai Mon, Hai Tan, Sa Binh, Ta Binh, dan banyak lagi telah
dihancurkan karena hal itu. Kami tidak akan ragu untuk menghancurkan setiap
kampung yang membantu Vietkong yang tidak berdaya untuk membendung
kekuatan gabungan GVN dan sekutu-sekutunya. Anda boleh memilih. Kalau
Anda menolak membiarkan Vietkong menggunakan desa-desa dan kampung-
kampung Anda sebagai ajang pertempuran mereka, maka rumah-rumah Anda
dan nyawa Anda akan diselamatkan.
57
Memang benar kami menyelamatkan orang-orang yang malang itu, pikir Robert
dengan muram. Yang kami hancurkan adalah negeri mereka.
Kapal pengangkut pesawat Ranger dilengkapi dengan semua teknologi canggih
yang bisa dijejalkan ke dalamnya. Kapal itu berfungsi sebagai pangkalan bagi 16
pesawat, 40 perwira, dan 350 serdadu. Jadwal-jadwal terbang dibagikan tiga atau
empat jam sebelum lepas landas yang pertama setiap hari.
Di bagian perencanaan misi di pusat intelijen kapal, informasi terakhir serta foto-
foto hasil pengintaian diberikan kepada para petugas pembom, yang kemudian
merancang pola terbang mereka.
"Wah, mereka memberi kita tugas yang indah pagi ini," kata Edward Whittaker,
petugas pembom Robert
Edward Whittaker nampak seperti duplikat ayahnya dalam versi muda, tapi
dengan kepribadian yang sama sekali lain. Kalau sang Admiral merupakan sosok
yang angker, berwibawa, dan keras—putranya ini praktis, hangat dan ramah. Di
lingkungannya ia dijuluki "cuma salah satu dari anak-anak itu." Para awak
pesawat udara yang lain menerimanya dengan baik walaupun ia putra komandan
mereka. Ia petugas pembom terbaik di skuadron itu, dan ia dan Robert menjadi
sahabat karib.
"Ke mana tujuan kita?" tanya Robert. "Demi menambah dosa-dosa kita, kita
memperoleh Paket Enam."
Itu adalah misi paling berbahaya dari semuanya. Itu artinya terbang ke utara ke
Hanoi, Haiphong, sampai ke Muara Merah, di mana tembakan meriam
penangkis serangan udara adalah yang paling gencar. Ada peraturan catch-22:
Mereka tidak boleh membom target-target strategis apabila di sekitarnya ada
warga sipil; dan pihak Vietnam Utara tidak bodoh—mereka segera
menempatkan warga sipil di sekeliling instalasi-instalasi militer mereka. Banyak
orang di kalangan militer sekutu memprotes kebijaksanaan ini, tapi Presiden
Lyndon Johnson sendiri, jauh di Washington sana, yang memberikan instruksi
itu.
Masa dua belas tahun pasukan Amerika bertempur di Vietnam adalah masa
terpanjang yang pernah ditempuh dalam suatu perang. Robert Bellamy terjun ke
dalamnya agak terlambat, yaitu tahun 1972, bertepatan dengan masalah-masalah
besar yang sedang dihadapi Angkatan Laut Skuadron-skuadron F-4 mereka
sedang mengalami kehancuran. Walaupun pada kenyataannya pesawat-pesawat
tempur mereka mengungguli MiG Rusia, Angkatan Laut Amerika kehilangan
satu F-4 untuk setiap dua MiG yang tertembak jatuh. Ini adalah perbandingan
yang tak bisa diterima.
Robert dipanggil ke markas besar Admiral Ralph Whittaker.
"Anda memanggil saya, Admiral?"
"Kau mempunyai reputasi sebagai seorang pilot yang hebat, Letnan. Aku perlu
bantuanmu."
"Ya, sir?"
"Kami sedang dihancurkan oleh musuh saat ini. Aku sudah membuat analisis
yang saksama. Tak ada yang salah dengan pesawat-pesawat kita— pelatihan
awak-awak yang menerbangkannya itulah masalahnya. Kau paham?"
•Ya, sir?"
"Aku ingin kau membentuk satu grup dan memberikan latihan ulang kepada
mereka dalam hal manuver dan pengoperasian persenjataan..."
Grup baru itu disebut Top Gun, dan sebelum mereka selesai dengan masa
pelatihannya, perbandingan tadi sudah berubah dari dua berbanding satu menjadi
dua belas berbanding satu. Untuk setiap dua F-4 yang hilang, dua puluh empat
MiG ditembak jatuh. Penugasan itu memakan waktu pelatihan intensif selama
delapan minggu, dan Letnan Komandan Bellamy akhirnya kembali ke kapalnya.
Admiral Whittaker sudah berada di sana untuk menyambutnya. "Pekerjaan Anda
luar biasa bagusnya, Letnan."
"Terima kasih, Admiral."
"Nah, kita harus kembali bekerja sekarang."
"Saya siap, sir."
Robert telah melaksanakan tiga puluh empat misi pemboman dari Ranger tanpa
sekali pun mengalami kecelakaan.
Misinya yang ketiga puluh lima adalah Paket Enam.
Mereka telah melewati Hanoi dan sedang
menuju ke arah barat laut ke Phu Tho dan Yen Bai. Tembakan meriam penangkis
terasa semakin gencar. Edward Whittaker duduk di sebelah kanan Robert,
menatap layar radar, mendengarkan nada-nada bas yang menakutkan dari radar-
radar pelacak milik musuh yang menjelajahi angkasa.
Langit di depan mereka nampak meriah bagaikan tanggal 4 Juli, dipenuhi jalur-
jalur asap putih yang berasal dari meriam-meriam ringan di bawah, semburan-
semburan abu-abu gelap dari peluru-peluru lima puluh lima milimeter,
gumpalan-gumpalan hitam dari peluru-peluru seratus milimeter, dan peluru-
peluru pelacak berwarna dari senapan-senapan mesin kelas berat.
"Kita sedang mendekati target," kata Edward. Suaranya terdengar mengerikan
dan seakan jauh lewat headphone.
"Roger."
Penerobos A-6A itu terbang dengan kecepatan 450 knot, dan dalam kecepatan
seperti itu, walaupun dibebani oleh muatan bom yang berat, ia masih bisa
terbang dengan bagus, dengan gerakan yang terlalu cepat untuk dapat dilacak
oleh musuh.
Robert mengulurkan tangan untuk menyalakan tombol persenjataan induk.
Selusin bom dengan berat 500 pound kini telah siap untuk dijatuhkan. Ia
meluncur lurus ke arah target.
Suara di radionya berkata, "Romeo... awas ada pesawat musuh di arah pukul
empat di atas Anda."
Robert menoleh untuk melihat. Sebuah MiG sedang meluncur ke arahnya, keluar
dari matahari.
Robert memiringkan pesawatnya dan menerjunkannya dengan tajam ke bawah.
MiG • itu mengejarnya. Ia melepas sebuah peluru. Robert mengamati panel
instrumennya. Peluru itu mendekat dengan cepat Seribu kaki... enam ratus...
empat ratus...
"Hofy shitF Edward berteriak. "Tunggu apa lagi kita?"
Robert menunggu sampai detik terakhir, lalu menyemburkan serangkaian dedak
logam dan menengadahkan pesawat ke atas dengan tajam, membiarkan peluru
itu mengejar dedak logam dan meledak di bawah dengan sia-sia.
Terima kasih, Tuhan," kata Edward, "dan padamu juga, pai."
Robert melanjutkan pendakiannya dan menukik membuntuti MiG itu. Pilotnya
mulai membuat gerakan mengelak, tapi sudah terlambat Robert melepaskan
sebuah peluru Sidewinder dan menyaksikannya mengejar dan memasuki liang
ekor MiG itu dan meledak. Sesaat kemudian, angkasa dipenuhi dengan serpihan
logam.
Sebuah suara terdengar melalui interkom. "Kerja bagus, Romeo."
Pesawat itu sudah tiba di atas targetnya sekarang. "Ini dia," kata Edward. Ia
menekan tombol merah yang melepaskan bom-bom dan menyaksikannya
meluncur ke bawah menuju targetnya. Misi telah dilaksanakan. Robert
mengarahkan pesawatnya kembali ke kapal induk. Pada saat itu, mereka
merasakan sebuah ben
turan keras. Pesawat pembom yang gesit dan luwes itu sekarang jadi terseok-
seok.
"Kita kena!" Edward berseru.
Kedua lampu indikator bahaya api menyala merah. Pesawat itu bergerak tak
terkendali.
Sebuah suara terdengar di radio. "Romeo, ini Tiger. Anda mau kami meng-cover
Anda?"
Robert membuat keputusan kilat. "Tidak, lanjutkan menuju target Anda. Saya
akan mencoba menerbangkan ini ke pangkalan."
Pesawat itu bertambah pelan lajunya dan menjadi semakin sulit dikendalikan.
"Percepat," kata Edward dengan tegang, "atau kita akan terlambat makan siang
nanti."
Robert melihat ke altimeternya. Jarumnya terus menurun dengan cepat. Ia
menghidupkan mik radionya. "Romeo kepada pangkalan. Kami baru saja kena
tembak."
"Pangkalan kepada Romeo. Seberapa parahnya?"
"Saya tidak pasti. Saya rasa saya bisa membawanya pulang."
"Tunggu." Sesaat kemudian suara itu kembali. "Sandi Anda adalah 'Charlie
sudah tiba'."
Itu artinya mereka sudah mendapat clearance untuk langsung mendarat di atas
kapal induk.
"Roger."
"Semoga sukses."
Pesawat itu mulai berguling. Robert berjuang untuk meluruskannya, mencoba
memperoleh ketinggian. "Come on, baby, kau pasti bisa." Wajah Robert nampak
tegang. Mereka kehilangan ter-
lalu banyak ketinggian. "Bagaimana posisi ETA kita?"
Edward melibat ke layar monitornya. "Tujuh menit"
"Akan kuusahakan kau makan siang tepat waktu."
Robert terus mengemudikan pesawat itu dengan mengerahkan segenap
keterampilannya, memanfaatkan kemudi tangan dan pengungkit untuk membuat
pesawat tetap lurus. Altitude-oya masih terus turun. Akhirnya, di depannya,
Robert melihat perairan biru Teluk Tonkin yang berbuih-buih.
"Kita sudah tiba dengan selamat, buddy," kata Robert "Cuma beberapa mil lagi."
"Hebat Aku tidak pernah meragukan..." Dan entah dari mana, dua MiG terjun
menukik ke arah pesawat dengan auman yang dahsyat. Peluru-peluru mulai
membentur badan pesawat tempat pusat sekring.
"Eddie! Lompat ke luar!" Ia menoleh untuk melihat Edward menggantung pada
sabuk pengamannya, sebelah kanan tubuhnya terkoyak menganga, darah
berhamburan di kokpit. "Tidaaak!" Robert menjerit Sedetik kemudian, Robert
tiba-tiba merasa sesuatu menghantam dadanya dengan keras dan menyakitkan.
Seragam terbangnya kuyup dengan darah seketika itu juga. Pesawat itu mulai
menukik dalam gerakan spiral. Ia merasa kesadarannya mulai hilang. Dengan
sisa tenaganya yang terakhir, ia melepaskan sabuk pengamannya. Ia menoleh
untuk
melihat ke Edward terakhir kalinya. "Maafkan aku," ia berbisik. Ia pingsan dan
di kemudian hari ia tidak ingat lagi bagaimana ia terlontar dari pesawat dan
payung udara mengantarkannya ke permukaan laut. Seruan Mayday telah
diudarakan, dan sebuah helikopter Sea King SH-3A Sikorsky dari U.S.S.
Yorktown berputar-putar di udara, bersiap-siap mengangkatnya. Di kejauhan,
para awak melihat sejumlah perahu jung Cina menghampiri dengan cepat untuk
melakukan penyergapan, tapi mereka terlambat.
Ketika mereka menaikkan Robert ke helikopter, seorang anggota korps medis
melihat tubuh yang terkoyak itu dan berkata, "Demi Tuhan, sampai ke rumah
sakit pun dia tak akan tahan."
Mereka menyuntik Robert dengan morfin, mengikat dadanya rapat-rapat dengan
perban, dan menerbangkannya ke Rumah Sakit Pengungsi di Pangkalan Cu Chi.
"Rumah Sakit Pengungsi Ke-12 yang melayani pangkalan-pangkalan Cu Chi,
Tay Ninh, dan Dau Tieng itu, mempunyai empat ratus tempat tidur dan selusin
bangsal, yang terdapat dalam bangunan-bangunan berbentuk setengah silinder
yang membentuk suatu kompleks berbentuk U, dihubungkan oleh lorong-lorong
tertutup. Rumah sakit itu memiliki dua unit perawatan intensif, satu untuk kasus-
kasus bedah, satu lagi untuk luka-luka bakar, dan kedua unit itu selalu kewalahan
melayani pasien. Ketika Robert dibawa masuk, darahnya berceceran sepanjang
lantai rumah sakit itu.
Seorang dokter bedah memotong perban-perban di dada Robert, mengamati
sebentar, dan dengan lesu berkata, "Dia tidak akan bisa bertahan. Bawa dia
kembali ke ruang pendingin." Dan dokter itu melanjutkan tugasnya yang lain.
Robert, sesaat pingsan dan sesaat sadar kembali, mendengar suara dokter itu
seakan jauh sekali. Jadi beginilah, pikirnya. Benar-benar cara yang tidak enak
untuk mati
"Kau belum mau mati, kan, pelaut? Bukalah matamu. Ayolah."
Ia membuka matanya dan melihat bayang-bayang kabur seragam putih dan
wajah seorang wanita. Ia mengucapkan sesuatu yang lain, tapi Robert tidak
berhasil memahaminya. Bangsal itu sangat bising, penuh dengan jeritan dan
rintihan para pasien, dan dokter-dokter yang menyerukan perintah-perintah, dan
para perawat yang berlari-lari dengan cemas mengurus tubuh-tubuh parah yang
terbujur di sana.
Robert ingat bahwa selama dua kali dua puluh empat jam setelah itu, ia berada
dalam kesakitan yang amat sangat dan terus mengigau. Baru.kemudian ia tahu
bahwa perawat itu, Susan Ward, membujuk seorang dokter untuk melakukan
operasi atas dirinya dan telah menyumbangkan darahnya sendiri untuk transfusi.
Dalam upaya mati-matian untuk mempertahankan nyawanya, mereka
memasukkan tiga alat transfusi ke tubuh Robert yang terkoyak itu dan
memompakan darah melalui ketiga alat itu secara bersama-sama.
Ketika operasi itu berakhir, dokter bedah yang menanganinya menghela napas.
"Kita telah membuang-buang waktu saja. Peluangnya untuk hidup tidak lebih
dari sepuluh persen."
Tapi dokter itu tidak mengenal Robert Bellamy. Dan tidak mengenal Susan
Ward. Robert merasa bahwa setiap kali ia membuka matanya, Susan ada di situ,
memegang tangannya, mengusap dahinya, merawatnya, mendorong
semangatnya untuk hidup. Ia terus-terusan mengigau. Susan duduk dengan diam
di sebelahnya dalam gelap di tengah malam-malam yang sunyi dan
mendengarkan igauannya.
"...DOD-nya salah, kau tidak boleh maju secara tegak lurus menuju target atau
kau akan menghantam sungai... Bilang pada mereka untuk terjun menyimpang
beberapa derajat dari arah target... Bilang pada mereka...," ia menggumam.
Susan menenangkannya dan menjawab, "Akan kukatakan."
Tubuh Robert basah kuyup dengan keringat Susan mengeringkannya. "...Kau
harus melepaskan kelima pasak pengaman itu atau kursinya tidak akan
terlontar... Coba lihat lagi..."
"Baiklah. Sekarang tidurlah dulu."
"...Alat penyangga pada rak pelontar ganda itu tidak bekerja... Hanya Tuhan
yang tahu ke mana bom-bom itu jatuh...."
Setengah dari ucapan-ucapan pasiennya itu tidak bisa dipahami Susan.
Susan Ward adalah kepala juru rawat di ruang
operasi gawat darurat Ia berasal dari sebuah kota kecil di Idaho dan sejak masa
kanak-kanak telah menjalin hubungan dengan anak laki-laki tetangganya, Frank
Prescott, putra wali kota. Semua orang di kota itu beranggapan bahwa mereka
pasti akan menikah pada suatu hari. '>Vf4
Susan mempunyai seorang adik laki-laki, Michael, yang amat disayanginya.
Pada hari ulang tahunnya yang kedelapan belas ia bergabung dengan Angkatan
Darat dan dikirim ke Vietnam, dan Susan menulis surat kepadanya setiap hari.
Tiga bulan setelah Michael masuk tentara, keluarga Susan menerima sebuah
telegram, dan Susan sudah tahu apa isinya sebelum membukanya.
Ketika Frank Prescott mendengar berita itu, ia buru-buru datang. "Aku turut
berdukacita, Susan. Aku amat menyukai Michael." Tapi kemudian ia membuat
kesalahan dengan mengatakan, "Marilah kita segera menikah."
Dan Susan saat itu memandangnya dan mengambil keputusan. "Tidak. Aku ingin
melakukan sesuatu yang penting dalam hidupku."
"Demi Tuhan! Apa yang lebih penting daripada menikah denganku?"
Jawabannya adalah Vietnam. Susan Ward memasuki sekolah perawat. Ia sudah
berada di Vietnam selama sebelas bulan, bekerja,tanpa mengenal lelah, ketika
Letnan Komandan Robert Bellamy dibawa masuk di atas tempat tidur beroda
dan "dijatuhi hukuman mati", Menolong pasien berdasarkan sistem prioritas
merupakan kebiasaan rumah-rumah sakit pengungsi darurat Para dokter
memeriksa dua atau tiga pasien dan kemudian membuat keputusan mana yang
layak dicoba diselamatkan. Entah kenapa, begitu Susan melihat tubuh Robert
Bellamy yang terkoyak, ia bertekad tidak akan membiarkan marinir itu mati.
Apakah itu berarti ia menyelamatkan nyawa adiknya? Atau karena hal lain lagi?
Ia sudah kecapekan dan terlalu banyak kerja, tapi ia tidak minta cuti, malahan
semua waktu luangnya dipergunakannya untuk menjaga Robert
Susan telah mempelajari catatan riwayat hidup pasiennya itu. Seorang pilot dan
instruktur Angkatan Laut unggulan yang pernah memperoleh Naval Cross—
bintang jasa Angkatan Laut. Tempat lahirnya adalah Harvey, Illinois, sebuah
kota. industri kecil di selatan Chicago. Ia mendaftar masuk Angkatan Laut
setelah lulus universitas dan menjalani pendidikan di Pensacola. Ia belum
menikah.
Setiap hari, ketika Robert berangsur pulih kesehatannya setelah meniti benang
tipis di antara mati dan hidup, Susan berbisik di telinganya, "Ayo, pelaut. Aku
menunggumu."
Pada suatu malam, enam hari setelah ia dibawa masuk ke rumah sakit itu, Robert
mengigau ke sana kemari, lalu tiba-tiba ia duduk tegak di tempat tidurnya,
menatap Susan, dan berkata dengan jelas, "Ini bukan mimpi. Kau benar-benar
ada."
Susan merasa jantungnya bergetar. "Ya," katanya lembut. "Aku memang benar-
benar ada."
"Tadinya kupikir aku bermimpi. Kupikir aku berada di surga dan Tuhan
mengirim kau kepadaku."
Ia memandang mata Robert dalam-dalam dan berkata dengan serius, "Aku akan
membunuhmu kalau kau memutuskan untuk mati."
Mata Robert menyapu bangsal yang sesak itu. "Di mana... di mana aku
sekarang?"
"Rumah Sakit Pengungsi Ke-12 di Cu Chi."
"Sudah berapa lama aku di sini?"
"Enam hari."
"Eddie... ia..."
"Aku menyesal."
"Aku harus memberitahu Admiral."
Susan memegang tangan Robert dan berkata dengan lembut, "Dia sudah tahu.
Dia sudah ke sini mengunjungimu."
Air mata menggenang di mata Robert. "Aku benci perang terkutuk ini. Tak bisa
kugambarkan padamu betapa aku membencinya."
Sejak Hu, kemajuan kesehatan Robert membuat para dokter tercengang. Semua
unsur-unsur vitalnya menjadi stabil kembali.
"Kita akan segera mengeluarkan dia dari sini," demikian kata mereka kepada
Susan. Dan Susan tiba-tiba merasa hatinya bagaikan tersayat sembilu.
Robert tidak tahu persis kapan ia jatuh cinta kepada Susan Ward. Barangkali itu
terjadi pada
saat Susan sedang memasang perban pada luka-lukanya, dan tak jauh dari situ
mereka mendengar bunyi bom-bom yang dijatuhkan dan Susan bergumam,
"Mereka sedang memutar lagu favorit kita."
Atau barangkali pada saat mereka memberitahu Robert ia sudah cukup sehat
untuk bisa dipindahkan ke* Rumah Sakit Walter Reed di Washington untuk
menyempurnakan pemulihan kesehatannya, dan Susan berkata, "Apa kaupikir
aku akan tinggal saja di sini dan membiarkan perawat lain mendapatkan tubuh
yang hebat ini? Oh, tidak. Aku akan berusaha mati-matian untuk bisa ikut
denganmu."
Mereka menikah dua minggu setelah itu. Robert membutuhkan waktu satu tahun
untuk pulih total, dan Susan melayani semua kebutuhannya, siang dan malam.
Robert belum pernah bertemu dengan orang seperti dia. Dan ia juga belum
pernah mimpi bahwa ia bisa mencintai seseorang sebegitu dalamnya. Ia
menyukai sifat welas asih Susan dan kepekaan perasaannya, gairah hidup dan
vitalitasnya. Ia menyukai kemolekan tubuhnya dan rasa humornya.
Di hari ulang tahun perkawinan mereka yang pertama, ia berkata kepada Susan,
"Kau adalah orang yang paling cantik, paling menakjubkan, dan paling berbudi
di dunia. Tak ada orang lain di muka bumi ini yang memiliki kehangatan hati,
selera humor, dan kecerdasan seperti dirimu."
Dan Susan memeluknya erat-erat dan berbisik
dalam suara sengau seorang chorus-girl, "Kau juga sama, aku yakin."
Mereka berbagi lebih dari sekadar cinta. Mereka benar-benar saling menyukai
dan menghormati. Kawan-kawan mereka iri melihat mereka, dan mereka
memang pantas merasa begitu. Bilamana mereka membahas tentang perkawinan
yang sempurna, yang dipakai sebagai contoh selalu Robert dan Susan. Mereka
berdua cocok dalam segala hal; mereka benar-benar sejiwa. Susan adalah wanita
paling sensual yang pernah dikenal Robert, dan mereka selalu bisa saling
membangkitkan gairah hanya dengan sebuah sentuhan, satu kata saja. Pada suatu
petang, saat mereka sedang bersiap-siap untuk menghadiri jamuan makan malam
resmi, Robert bergegas-gegas karena waktu mendesak. Ia berada di bawah dus
saat Susan masuk ke kamar mandi—sudah ber-make-up dan mengenakan gaun
malam strapless yang memukau.
"My God, kau nampak seksi," kata Robert. "Sayang sekali kita tidak punya
waktu lagi."
"Oh, jangan kuatir tentang itu," Susan menggumam. Dan sesaat kemudian ia
sudah melepaskan seluruh pakaiannya dan bergabung dengan Robert di bawah
dus. a
Mereka tidak pernah muncul di pesta itu.
Susan bisa mengetahui kebutuhan Robert hampir-hampir sebelum Robert sendiri
mengetahuinya, dan ia selalu mengupayakan bahwa itu terpenuhi. Dan perhatian
Robert kepadanya juga sama.
Susan sering menemukan memo-memo cinta di meja riasnya, atau di dalam
sepatunya ketika ia sedang akan berdandan. Bunga-bunga dan hadiah-hadiah
kecil dikirimkan kepadanya pada Hari Groundhog dan pada hari ulang tahun
Presiden Polk dan untuk merayakan keberhasilan Ekspedisi Lewis dan Clark.
Dan jika mereka tertawa bersama... benar-benar suara tawa yang penuh
kebahagiaan....
Suara pilot melalui interkom memecah keheningan. "Kita akan mendarat di
Zurich dalam waktu sepuluh menit, Letnan."
Pikiran Robert Bellamy beralih kembali ke saat kini, ke tugas yang sedang
diembannya. Selama lima belas tahun masa dinasnya di Intelijen Angkatan Laut,
ia sudah pernah terlibat dalam puluhan kasus sulit, tapi yang satu ini adalah yang
paling ganjil dari semuanya. Ia sedang dalam perjalanan menuju Swiss untuk
menemukan saksi-saksi mata satu bus penuh yang telah lenyap ditelan udara. Ini
sama saja dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Di mana tumpukan
jerami itu berada pun aku tidak tahu. Mengapa Sherlock Holmes tidak ada saat
dia kuperlukan?
"Harap kencangkan sabuk pengaman Anda."
Pesawat C20A itu terbang di atas hutan-hutan yang gelap, dan sesaat kemudian
meluncur di atas landasan yang diapit oleh lampu- lampu Bandara
Internasional Zurich. Pesawat itu meluncur pe|an ke arah sektor timur bandara
itu dan menuju ke sebuah bangunan kecil milik General Aviation terpisah dari
terminal utama. Masih nampak genangan-genangan air di atas landasan sisa
hujan sebelumnya, tapi langit nampak cerah malam itu.
"Cuacanya payah," sang pilot berkomentar. "Hari Minggu-nya cerah di sini, hari
ini hujan seharian dan malamnya cerah lagi. Kita tidak perlu arloji di sini. Yang
kita perlukan adalah barometer. Bisa saya atur sebuah mobil untuk Anda, Let?"
"Tidak, terima kasih." Mulai saat itu, ia benar-benar sendirian. Robert menunggu
sampai pesawat itu meluncur pergi, kemudian naik ke minibus yang
membawanya ke hotel bandara. Di sana ia jatuh tertidur tanpa bermimpi.
Bab Tujuh
Hari Kedua Jam 08.00
Keesokan harinya, Robert berjalan menghampiri seorang petugas di belakang
meja tulis perusahaan European "Guten Tag."
Itu mengisyaratkan'bahwa ia sedang berada di wilayah Swiss yang berbahasa
Jerman. "Guten Tag. Apa ada mobil yang disewakan?"
"Ya, Tuan, ada. Anda perlu untuk berapa lama?"
Pertanyaan bagus. Satu jam? Satu bulan? Barangkali setahun atau dua tahun?
"Saya belum pasti."
"Anda bermaksud mengembalikan mobilnya ke bandara ini?" "Mungkin."
Petugas itu memandangnya dengan heran. "Baiklah. Bisa Anda isi formulir-
formulir ini?" Robert membayar sewa mobil itu dengan kartu
kredit hitam khusus yang diberikan Jenderal Hil-Iiard kepadanya. Petugas itu
memeriksanya, kebingungan, lalu berkata, "Maaf sebentar." Ia lenyap ke dalam
sebuah kantor, dan ketika ia kembali Robert bertanya, "Ada masalah?" "Tidak,
Tuan. Sama sekali tidak." Mobilnya ternyata Opel Omega warna abu-abu.
Robert mengendarainya memasuki jalan raya bandara dan menuju pusat kota
Zurich. Ia senang berada di Swiss. Salah satu negeri yang terindah di dunia.
Bertahun-tahun yang lalu. ia pernah bermain ski di sana. Belum lama ini, ia
mengemban misi di sana, membuat hubungan dengan Espionage Abteilung,
badan intelijen Swiss. Selama Perang Dunia U, badan itu terbagi menjadi tiga
biro: D, P, dan I, yang masing-masing meliput Jerman, Prancis, dan Italia. Kini,
kegiatan utamanya berkaitan dengan pelacakan operasi-operasi mata-mata
terselubung yang dilakukan untuk berbagai organisasi PBB di Jenewa. Robert
mempunyai teman-teman di Espionage Abteilung, tapi ia ingat akan kata-kata
Jenderal Hilliard, "Anda tidak boleh berhubungan dengan mereka itu."
Perjalanan dengan mobil ke pusat kota memakan waktu dua puluh lima menit.
Robert tiba di gerbang keluar dari pusat kota di daerah Duben-dorf dan menuju
Grand Hotel Dolder. Semuanya masih sama seperti yang diingatnya: sebuah
bangunan kuno gaya Swiss yang rumit dengan menara-menara kecil, anggun,
dan mencolok, dikelilingi oleh pepohonan dan menghadap ke Danau
Zurich. Ia memarkir mobilnya dan berjalan ke dalam lobi. Counter reception-nya
ada di sebelah ktrl.
"Guten Tag."
"Guten Tag. Haben Sie ein Zimmer fur eine Nacht?"
"Ja. Wie mOchten Sie bezahlen?"
"Mit Kreditkarte."* Kartu kredit h i tam-p u t ih yang diberikan Jenderal Hilliard
kepadanya itu. Robert minta peta Swiss dan ia diantarkan ke sebuah kamar yang
nyaman di suatu bangunan baru hotel itu. Kamar itu mempunyai balkon kecil
yang menghadap ke danau. Robert berdiri di situ, menghirup udara musim gugur
yang bersih sambil memikirkan tugas yang menunggunya.
Ia tidak mempunyai petunjuk untuk langkah selanjutnya. Tak satu pun. Semua
unsur yang diperlukan dalam melaksanakan tugasnya itu sama sekali tidak
diketahui. Nama dari biro perjalanan itu. Jumlah penumpang bus itu. Nama-
namanya dan tempat tinggalnya. "Apa semua saksi mata itu berada di Swiss?"
"Itulah masalah kami Kami sama sekali tidak tahu sekarang mereka berada di
mana, atau mereka itu siapa." Dan tidaklah cukup untuk hanya menemukan
sebagian dari mereka.
Selama i siang.
Selamat siang. Ada kamar kosong untuk semalam? Ya. Bagaimana Anda akan
membayar? Dengan kartu kredit.
"Anda harus menemukan mereka semuanya." Satu-satunya informasi yang
dipunyainya adalah tempat dan waktu kejadian: Uetendorf, Minggu, 14 Oktober.
Ia perlu pegangan, sesuatu untuk berpijak. Kalau ia tidak salah ingat, semua bus
turis berangkat hanya dari dua kota besar: Zurich dan Jenewa. Robert menarik
sebuah laci meja dan mengeluarkan sebuah Telefonbuch tebal. Aku mestinya
mencari di bawah M, untuk mukjizat, pikir Robert Ada lebih dari setengah lusin
biro perjalanan yang terdaftar: Sunshine Tours, Swisstour, Tour Service,
Touralpino, Tourisma Reisen... Ia harus mengeceknya satu per satu. Ia mencatat
alamat semua biro itu dan mengendarai mobilnya menuju salah satu yang
terdekat.
Di balik counter ada dua petugas yang melayani para turis. Setelah salah satu
dari mereka selesai, Robert berkata, "Maaf. Istri saya ikut tur Anda hari Minggu
yang lalu, dan dompetnya ketinggalan di bus. Saya rasa dia kaget karena melihat
balon cuaca yang jatuh dekat Uetendorf."
Petugas itu mengernyitkan alisnya. "Es tut mir viel leid. Anda pasti keliru. Tur-
tur kami tidak ada yang melewati Uetendorf." "Oh. Sori." Pukulan pertama.
Percobaan berikutnya nampaknya cukup memberikan harapan.
"Apakah tur Anda ada yang ke Uetendorf?" "Oh, ja." Petugas itu tersenyum.
"Tur-tur kami pergi ke semua tempat di Swiss. Ke tempat-tempat
yang pemandangannya paling bagus. Ada tur yang ke Zermatt—yaitu Tell
Special. Ada lagi Glacier Express dan Palm Express. Great Circle Tour
berangkat lima belas..."
"Apa hari Minggu yang lalu ada tur yang berhenti untuk menyaksikan balon
cuaca yang jatuh? Istri saya terlambat kembali ke hotel dan..."
Petugas di belakang counter itu berkata dengan marah, "Kami selalu berbangga
bahwa tur-tur kami tidak pernah terlambat Kami tidak pernah berhenti di suatu
tempat di luar yang sudah dijadwalkan."
"Jadi salah satu bus Anda tidak berhenti untuk menyaksikan balon cuaca itu?"
"Sama sekali tidak."
"Terima kasih." Pukulan kedua.
Biro ketiga yang dikunjungi Robert terletak di Bahnhofplatz, dan papan merek di
depannya menayangkan tulisan Sunshine Tours. Robert menuju ke counter-nya.
"Selamat sore. Saya ingin bertanya tentang salah satu bus turis Anda. Saya
mendengar bahwa sebuah balon cuaca jatuh dekat Uetendorf dan bahwa sopir
Anda menghentikan bus selama setengah jam supaya para penumpang dapat
menyaksikannya." ''"<^Hi
"Tidak, tidak. Dia hanya berhenti selama lima belas menit. Jadwal kami sangat
ketat."
Nah, kena sekarang!
"Anda bilang tadi, apa kepentingan Anda?" Robert mengeluarkan salah satu
kartu identitas yang sudah diberikan kepadanya. "Saya seorang
79
wartawan," kata Robert dengan sungguh-sungguh, "dan saya sedang membuat
artikel untuk majalah Travel and Leisure tentang bagaimana efisiennya bus-bus
di Swiss, dibandingkan dengan negara-negara lain. Apa kiranya boleh saya
mewawancarai sopir Anda?"
"Pasti itu akan jadi artikel yang sangat menarik. Pasti menarik. Kami orang
Swiss bangga akan sifat efisien kami."
"Dan kebanggaan itu memang pantas dimiliki," Robert meyakinkan dia.
-j, "Apakah nama perusahaannya akan disebut?" "Dengan sangat jelas."
Petugas itu tersenyum. "Well, kalau begitu tak ada salahnya."
"Boleh saya berbicara dengannya sekarang?"
"Hari ini dia cuti." Ia menuliskan sebuah nama pada secarik kertas.
Robert Bellamy membacanya dalam posisi terbalik. Hans Beckerman.
Petugas itu menambah dengan alamat "Ia tinggal di Kappel. Itu sebuah desa
kecil sekitar empat puluh kilometer dari Zurich. Anda akan menemukan dia di
rumahnya saat ini."
Robert Bellamy menerima kertas itu. "Terima kasih banyak. Ngomong-
ngomong," kata Robert, "supaya kami memperoleh semua fakta untuk artikel itu,
apakah Anda mempunyai catatan berapa tiket yang Anda jual untuk tur itu
khususnya?"
"Tentu. Kami menyimpan semua data tur-tur kami. Sebentar." Ia mengeluarkan
sebuah buku
Catatan induk dari bawah counter dan membuka-buka halamannya. "Ah, ini dia.
Minggu. Hans Beckerman. Ada tujuh penumpang. Ia memakai Iveco hari itu—
bus kecil."
Tujuh penumpang tak dikenal dengan sopirnya. Robert mencoba-coba. "Apa
Anda kebetulan mempunyai nama-nama penumpang itu?"
"Tuan, orang-orang datang dari mana-mana, membeli tiket, dan ikut tur. Kami
tidak menanyakan identitas mereka."
Bagus. "Terima kasih sekali lagi." Robert berjalan ke pintu.
Petugas itu berseru, "Saya harap Anda akan mengirimkan satu kopi dari artikel
itu."
"Pasti," kata Robert.
Unsur pertama dari teka-teki ini terletak pada bus turis itu, dan Robert
mengendarai mobilnya menuju ke Talstrasse, dari mana semua bus bertolak,
berharap akan memperoleh petunjuk yang terselubung. Bus Iveco itu berwarna
coklat dan perak, cukup kecil untuk mendaki jalan-jalan yang curam di
Pegunungan Alpcn, dengan kapasitas empat belas penumpang. Siapa ketujuh
penumpang itu, dan ke mana mereka menghilang? Robert kembali ke mobilnya.
Ia memeriksa petanya dan menandainya. Ia melewati Lavessneralle setelah
keluar dari kota, masuk ke Albis, yang merupakan awal dari Pegunungan Alpcn,
ke desa Kappel, Ia menuju ke selatan melewati bukit-bukit kecil yang mengitari
Zurich, dan mulai mendaki rangkaian
gunung-gunung Alpen yang megah. Ia melewati Adliswil, Langnau, Hausen, dan
desa-desa tak bernama dengan rumah-rumah kuno dan pemandangan cantik
seperti yang sering terlihat di postcard-postcard, dan setelah hampir satu jam, ia
tiba di Kappel. Desa kecil itu terdiri dari sebuah restoran, sebuah gereja, sebuah
kantor pos, dan sekitar dua belas rumah yang tersebar di sekitar bukit-bukit itu.
Robert memarkir mobilnya dan berjalan masuk ke restoran. Seorang waitress
sedang membersihkan meja di dekat pintu.
"Entschuldigen Sie bitte, Fraulein. Welche Rich-tung ist dos Haus von Herr
Beckerman?"
Ja." Ia menunjuk ke jalanan di bawah. "An der Kirche rechts."
"Danke."
Robert membelok ke kanan ke arah gereja itu dan menuju sebuah rumah batu
bertingkat dua yang beratapkan genting keramik. Ia keluar dari mobilnya dan
berjalan ke pintu. Ia tidak melihat bel, jadi diketuknya pintu itu.
Seorang wanita berperawakan besar dan berkumis halus menyapa, "Ja?"
"Maafkan saya mengganggu. Apa Mr. Beckerman ada?"
Maafkan saya, Nona. Bisa Anda menunjukkan jalan ke rumah
Herr Beckerman?
Ya, Di sebetah kanan gereja itu.
Terima kasih.
Ia mengamati Robert dengan curiga. "Apa yang Anda inginkan darinya?"
Robert tersenyum dengan simpatik. "Anda pasti Mrs. Beckerman." Ia
mengeluarkan kartu identitas wartawannya. "Saya sedang menyusun artikel
majalah mengenai para pengemudi bus Swiss, dan suami Anda
direkomendasikan oleh majalah saya karena ia memiliki prestasi terbaik dalam
hal keamanan di negeri ini."
Wajah wanita itu berubah cerah dan ia berkata dengan bangga, "Hans saya
seorang pengemudi yang sangat baik." /« ,
"Itulah yang dikatakan semua orang kepada saya, Mrs. Beckerman. Saya ingin
mengadakan wawancara dengannya."
"Wawancara dengan Hans saya untuk majalah?" Ia nampak gugup. "Itu sangat
menyenangkan. Silakan masuk."
Ia mengantarkan Robert masuk ke ruang duduk kecil yang nampak sangat rapi.
"Tunggu di sini, bitte. Saya akan memanggil Hans."
Rumah itu mempunyai atap yang rendah dan ditopang dengan balok-balok,
lantai kayu berwarna gelap, dan perabotan kayu sederhana. Di situ ada perapian
dari batu dan gorden-gorden berenda di jendela-jendelanya.
Robert berdiri di situ dan berpikir. Ini bukan saja petunjuk yang terbaik baginya,
tapi petunjuk satu-satunya. "Orang datang dari mana-mana, membeli tiket, dan
.ikut tur. Kami tidak menanyakan identitas mereka..." Dari sini entah harus
ke mana lagi, pikir Robert dengan muram. Kalau ini tidak berhasil aku toh masih
bisa memasang iklan: Harap ketujuh penumpang yang menyaksikan balon cuaca
yang jatuh pada hari Minggu berkumpul di kamar hotel saya jam dua belas
besok Makan pagi akan disediakan.
Seorang laki-laki yang kurus dan botak muncul. Kulitnya pucat, dan ia
mempunyai kumis tebal dan hitam yang tidak sesuai dengan penampilannya.
"Selamat sore, Herr...?"
"Smith. Selamat sore." Suara Robert terdengar ramah. "Saya sungguh ingin
bertemu dengan Anda, Mr. Beckerman."
"Istri saya mengatakan bahwa Anda sedang menyusun artikel tentang para
pengemudi bus." Ia berbicara dengan logat Jerman yang kental.
Robert tersenyum dengan sangat simpatik. "Benar. Majalah saya sangat tertarik
dengan prestasi Anda yang mengesankan dalam hal keamanan dan..." fc,;
"Scheissdreckf' katai Beckerman dengan kasar. "Anda tertarik pada benda yang
jatuh kemarin sore, kan?"
Robert menunjukkan sikap terperangah. "Terus terang saja, ya, saya tertarik
untuk membicarakan itu juga."
"Jadi mengapa tidak langsung saja mengatakan begitu? Mari duduk."
"Terima kasih." Robert duduk di sofa.
Beckerman berkata, "Maaf*.saya tidak bisa menawarkan minuman kepada
Anda, karena tak ada
lagi persediaan minuman di rumah kami." Ia menepuk perutnya. "Tukak
lambung. Dokter bahkan tidak bisa memberi saya obat untuk meringankan rasa
sakitnya. Saya alergi terhadap semua obat itu." Ia duduk berhadapan dengan
Robert. "Tapi Anda datang ke sini bukan untuk berbincang tentang kesehatan
saya, eh? Apa yang ingin Anda ketahui?"
"Saya ingin berbicara dengan Anda mengenai para penumpang yang berada di
bus Anda pada hari Minggu ketika Anda berhenti dekat Uetendorf di tempat
jatuhnya balon cuaca itu."
Hans Beckerman ternganga menatapnya. "Balon cuaca? Balon cuaca apa? Anda
ini berbicara apa?"
"Balon yang..."
"Maksud Anda pesawat ruang angkasa." Kini giliran Robert yang ternganga.
"Pesawat., ruang angkasa?" "Ja, piring terbang."
Membutuhkan sedikit waktu untuk mengendapkan kata-kata itu. Tiba-tiba
Robert merasa ngeri. "Maksud Anda, Anda melihat piring terbang?"
"Ja. Dengan mayat-mayat di dalamnya."
"Kemarin, di Pegunungan Alpen Swiss, sebuah balon cuaca milik NATO jatuh-
Balon itu mengangkut peralatan militer eksperimental yang sifatnya sangat
rahasia."
Robert berusaha keras untuk nampak tenang. "Mr. Beckerman, Anda yakin
bahwa yang Anda lihat itu benar sebuah piring terbang?"
"Tentu saja. Apa yang mereka sebut sebagai UFO."
"Dan di dalamnya ada orang-orang yang sudah inati?"
"Bukan orang, bukan. Makhluk-makliluk Sulit untuk menggambarkan mereka."
Ia bergidik sedikit "Mereka sangat kecil dengan mata yang besar dan aneh.
Pakaiannya berwarna perak metalik. Sangat menakutkan."
Robert mendengarkan, pikirannya kacau. "Apakah para penumpang Anda juga
melihatnya?"
"Oh, /a. Kami semua melihatnya. Saya berhenti di sana sekitar lima belas menit
Mereka ingin saya tinggal lebih lama, tapi perusahaan sangat ketat mengenai
jadwal."
Robert sudah tahu pertanyaannya akan sia-sia bahkan sebelum ia
mengajukannya. "Mr. Beckerman, apa Anda kebetulan tabu nama-nama
penumpang Anda itu?"
"Mister, saya hanya mengemudikan bus. Para penumpang itu membeli tiket di
Zurich, dan kami membuat tur ke arah barat daya ke Interlaken dan ke barat laut
ke Bem. Mereka boleh turun di Bern atau kembali ke - Zurich. Tidak ada yang
memberitahukan nama."
Robert dengan putus asa berkata, "Jadi tidak ada jalan untuk dapat
mengidentifikasi mereka?"
Pengemudi bus itu berpikir sebentar. "Well, yang bisa saya katakan adalah
bahwa tidak ada anak-anak dalam tur itu. Cuma pria semuanya." "Cuma pria?"
Beckerman berpikir sebentar. "Tidak. Itu tidak betul. Ada juga satu wanitanya."
Bagus. Sudah bertambah sempit sekarang, pikir Robert Pertanyaan berikut:
Mengapa dulu aku mau menerima penugasan ini? "Maksud Anda yaitu bahwa
sekelompok turis menumpang bus Anda dari Zurich, dan kemudian setelah tur
berakhir, mereka menyebar begitu saja?"
"Benar begitu, Mr. Smith."
Jadi bahkan tumpukan jeraminya pun tidak ada. "Ada yang dapat Anda ingat
mengenai para penumpang itu? Apa saja yang mereka katakan atau lakukan?"
Beckerman menggelengkan' kepala. "Mister, saya sudah terbiasa mengantar turis
sehingga saya tak pernah memperhatikan mereka. Kecuali jika mereka membuat
masalah. Seperti si Jerman itu."
Robert duduk tak bergerak. Ia bertanya dengan pelan, "Jerman apa?"
"Affenarsck! Semua penumpang sangat ingin melihat UFO itu dan makhluk-
makhluk yang mati di dalamnya, tapi si tua ini terus saja ribut minta kami
bergegas tiba di Bern karena dia harus mempersiapkan kuliah untuk universitas
keesokan paginya...^
Sebuah permulaan. "Apa Anda ingat hal yang lain mengenai dia?" "Tidak."
"Sama sekali tidak?"
"Dia mengenakan jas luar hitam."
Bagus. "Mr. Beckerman, saya ingin minta ban-
tuan Anda. Keberatankah Anda kalau saya minta untuk menemani saya ke
Uetendorf?"
"Ini hari cuti saya. Saya sedang sibuk dengan..."
"Saya bersedia membayar Anda."
"ja?"
"Dua ratus mark." "Saya tidak..."
"Bagaimana kalau empat ratus mark."
Beckerman beipikir sebentar. "Mengapa tidak? Ini hari yang baik untuk
bepergian, nicht?"
Mereka menuju ke arah selatan, melewati Lu-zern dan desa-desa cantik
Immensee dan Meggen. Pemandangannya luar biasa indahnya, tapi pikiran
Robert penuh dengan hal-hal lain.
Mereka melewati Engelberg, dengan biara Bene-diktin-nya yang kuno itu, dan
Briinig, celah pegunungan yang menuju Interlaken. Mobil dilarikan dengan
kencang melewati Leissigen dan Faulensee, yang memiliki danau biru yang
nampak berbintik-bintik putih karena banyaknya perahu layar.
"Masih berapa jauhnyakah ini?" tanya Robert.
"Sudah dekat," kata Hans Beckerman.
Mereka sudah sejam di perjalanan saat mereka akhirnya tiba di Spiez. Hans
Beckerman berkata, "Sudah tidak jauh. Sedikit lewat Thun."
Robert merasa jantungnya berdebar lebih keras. Sebentar lagi ia akan
menyaksikan sesuatu yang sulit dibayangkan, tamu-tamu asing dari bintang di
langit. Mereka meluncur melewati desa kecil bernama Thun, dan beberapa menit
kemudian, saat mereka mendekati sekelompok pepohonan d)
seberang jalan raya, Hans Beckerman menunjuk dan berkata, "Itu!"
Robert mengerem dan meminggirkan mobilnya.
"Di seberang jalan. Di balik pohon-pohon itu."
Robert merasa semakin tercekam dengan rasa ingin tahu. "Baiklah. Mari kita
lihat."
Sebuah truk lewat dengan kencang. Setelah truk itu menjauh, Robert dan Hans
Beckerman menyeberangi jalan. Robert mengikuti pengemudi bus itu
menghampiri sebuah ceruk yang dinaungi oleh pepohonan.
Jalan raya itu sama sekali tidak nampak dari sana. Saat mereka tiba di tempat
yang lapang, Beckerman berkata, "Tepatnya di sana."
Di tanah di depan mereka nampak serpihan-serpihan sisa sebuah balon cuaca.
89
88
Bab Delapan
Ako sudah terlalu tua untuk hal-hal begini, pikir Robert dengan lesu. Tadi aku
benar-benar mulai percaya kepada dongeng piring terbangnya ini.
Hans Beckerman sedang mengamati benda yang di tanah itu dengan ekspresi
wajah yang kebingungan. "Verfalschen! Bukan itu."
Robert menghela napas. "Memang bukan?"
Beckerman menggelengkan kepala. "Ada di sini kemarin."
"Makhluk-makhluk hijau Anda yang mungil itu barangkali telah membawanya
terbang pergi."
Beckerman bersikeras, "Tidak, tidak. Waktu itu mereka sudah tot—mati."
Tot—mati. Kata ini tepat sekali menyimpulkan nasib misiku ini Satu-satunya
petunjukku adalah orang tua gila yang ngotot melihat piring terbang.
Robert menghampiri balon itu untuk mengamatinya dengan lebih saksama. Ia
nampak seperti pembungkus raksasa dari bahan aluminium bergaris tengah
empat belas kaki dengan tepi yang bergerigi—bagian yang terkoyak saat ia
menghantam
90
tanah. Semua peralatannya sudah diambil, tepat seperti apa yang dikatakan
Jenderal Hilliard. "Saya tidak mampu menekankan lebih jelas lagi betapa
pentingnya peralatan yang ada di dalam balon itu."
Robert berjalan mengitari balon yang sudah kempis itu, sepatunya menginjak
rumput yang basah, mencari apa saja yang mungkin bisa memberikan petunjuk
kepadanya. Tidak ada. Balon itu sama saja dengan selusin balon lain yang
pernah dilihatnya selama tahun-tahun belakangan ini.
Orang tua itu masih saja belum mau menyerah, menampilkan sikap keras
kepalanya yang khas Jerman. "Makhluk-makhluk asing itu... Mereka yang
membuatnya jadi begini. Mereka bisa melakukan apa saja, tahu."
Tak ada lagi yang bisa dilakukan di sini, Robert memutuskan. Kaus kakinya
basah karena berjalan menembus rumput yang tinggi. Ia sudah akan
membalikkan badannya, lalu ragu karena sebuah gagasan terlintas di benaknya.
Ia berjalan balik ke balon itu. "Bisa tolong angkat ujung yang sebelah sana?"
Beckerman memandangnya sesaat, keheranan. "Anda ingin saya mengangkat
ini?"
"Bitte."
Beckerman mengangkat pundak. Ia memungut salah satu ujung bahan yang
ringan itu dan mengangkatnya sementara Robert mengangkat ujung lainnya.
Robert memegang bahan aluminium itu di atas kepalanya sementara ia
melangkah masuk ke bawah
91
balon itu di tengahnya. Kakinya terperosok ke dalam rumput "Di bawah sini
basah," Robert berseru.
"Tentu saja." Kata dummkopf-—goblok—tidak ikut terucapkan. "Kan kemarin
hujan seharian. Seluruh permukaan tanah ini basah."
Robert merangkak keluar dari balon itu. "Seharusnya kering." "Cuacanya
payah," kata sang pilot "Hari Minggunya cerah di sini." Hari ketika balon itu
jatuh. "Hari ini hujan seharian dan malamnya cerah lagi Kita tidak perlu arloji di
sini. Yang kita perlukan adalah barometer."
"Apa?"
"Bagaimana cuacanya saat Anda melihat UFO itu?"
Beckerman berpikir sebentar. "Sore itu cuacanya cerah."
"Matahari ada?" "Ja. Ada."
"Tapi kemarin hujan seharian?"
Beckerman memandangnya, bingung. "Jadi?"
"Jadi kalau balon ini ada di sini sepanjang malam, maka tanah yang di bawahnya
seharusnya kering—atau paling-paling lembap, karena osmosis. Tapi ini basah,
seperti tanah sekitarnya."
Beckerman ternganga. "Saya tidak paham. Itu berarti apa?"
"Itu bisa berarti," kata Robert hati-hati, "bahwa seseorang menaruh balon ini
kemarin setelah hujan turun dan mengambil benda yang Anda lihat waktu itu."
Ataukah ada penjelasan lain yang lebih masuk akal yang luput dari
pemikirannya?
92
"Siapa yang mau melakukan hal segila itu?"
Tidak segila itu, pikir Robert Pemerintah Swiss bisa saja menaruh ini untuk
mengelabui para pengunjung yang ingin tahu. Strategi pertama untuk menutupi
sesuatu adalah disinformasi. Robert berjalan menyusuri rumput basah menelaah
tanah itu sambil mengutuki dirinya sendiri untuk kelakuannya yang seperti orang
tolol itu.
Hans Beckerman sedang mengawasi Robert dengan curiga. "Apa nama majalah
yang Anda sebut tadi, mister?"
"Travel and Leisure."
Wajah Hans Beckerman menjadi cerah. "Oh. Kalau begitu saya rasa Anda akan
memotret saya, seperti yang dilakukan orang itu waktu itu."
"Apa?"
"Fotografer yang memotret kami waktu itu." Robert terdiam kelu. "Anda ini
bicara tentang siapa?"
"Fotografer itu. Orang yang memotret kami saat kami berada di tempat
reruntuhan itu. Katanya dia akan mengirimkan satu lembar untuk kami semua.
Beberapa penumpang juga membawa kamera."
Robert berkata perlahan, "Sebentar. Jadi maksud Anda seseorang memotret para
penumpang itu di depan UFO?"
"Itulah yang ingin saya katakan."
"Dan dia berjanji untuk mengirimkan hasilnya kepada setiap orang?"
"Betul."
93
"Kalau begitu dia pasti mencatat nama-nama dan alamat Anda."
"Well, tentu. Kalau tidak, bagaimana dia akan bisa mengirimkannya?"
Robert berdiri beku, suatu perasaan sukacita menjalari seluruh inderanya. Buset,
Robert, kau memang beruntung! Misi yang mustahil itu kini menjadi perkara
kecil. Ia tidak usah lagi melacak tujuh penumpang tak dikenal. Ia cuma perlu
mencari satu fotografer. "Mengapa Anda tidak mengatakannya dari tadi, Mr.
Beckerman?" "Anda bertanya tentang penumpang." "Maksud Anda dia bukan
penumpang?" Hans Beckerman menggelengkan kepala. "Neinf Ia menunjuk.
"Mobilnya mogok di seberang jalan raya itu. Sebuah truk penderek baru saja
akan menariknya dari situ, dan pada saat itu terdengar bunyi debum yang keras,
dan ia berlari menyeberang jalan untuk melihat apa yang terjadi. Ketika orang
ini melihat benda yang jatuh itu, dia berlari balik ke mobilnya, menyambar
kameranya, dan kembali ke sini, Lalu dia minta kami berpose di depan piring
terbang itu." "Apa fotografer itu memberitahukan namanya?" "Tidak."
"Ada yang dapat Anda ingat tentang dia?"
Hans Beckerman berkonsentrasi. "Well, dia orang asing. Amerika atau Inggris."
"Tadi Anda bilang sebuah truk penderek sudah akan menyingkirkan mobilnya?"
"Betul."
"Ingatkah Anda truk itu menuju ke arah mana?"
"Utara. Saya pikir truk itu membawanya ke Bern. Memang Thun lebih dekat,
tapi pada hari Minggu, semua bengkel di Thun tutup."
Robert menyeringai. "Terima kasih. Anda sangat membantu."
"Anda tidak akan lupa mengirimkan artikelnya kalau sudah selesai dibuat?"
"Tidak. Ini uang Anda dan ekstra seratus mark lagi untuk bantuan Anda yang
berharga. Saya akan mengantarkan Anda pulang." Mereka lalu berjalan ke
mobil. Ketika Beckerman membuka pintu mobil, ia berhenti dan menoleh ke
Robert.
"Anda sangat pemurah." Ia mengeluarkan dari sakunya sekeping logam kecil
berbentuk persegi, sebesar pemantik api, dan berisi sebuah kristal sangat kecil
berwarna putih.
"Apa ini?"
"Saya menemukannya di tanah pada hari Minggu itu sebelum kami masuk ke
bus lagi." ' Robert mengamati benda aneh itu. Ringan seperti kertas dan
warnanya seperti warna pasir. Satu tepinya kasar menunjukkan bahwa mungkin
benda itu merupakan bagian dari benda lain. Bagian dari peralatan yang ada di
dalam balon cuaca itu? Atau bagian dari UFO?
"Barangkali itu akan membawa rezeki bagi Anda," kata Beckerman saat ia
memasukkan uang kertas yang baru diterimanya dari Robert ke dalam
dompetnya. "Yang jelas itu telah membawa rezeki
bagi saya." Ia tersenyum lebar dan masuk ke dalam mobil.
Sudah waktunya untuk bertanya pada dirinya sendiri sekarang: Apakah aku
sungguh percaya bahwa UFO itu ada? Ia pernah membaca kisah-kisah seru di
surat kabar tentang orang-orang yang mengaku telah melihat pesawat ruang
angkasa dan mengalami hal-hal yang aneh, dan ia selalu beranggapan bahwa
orang-orang yang membuat laporan itu hanya ingin mencari popularitas atau
perlu bantuan psikiater. Tapi tahun-tahun belakangan ini, ada banyak laporan
yang tidak bisa begitu saja diabaikan. Laporan-laporan tentang dilihatnya UFO
oleh para astronot, pilot-pilot Angkatan Udara, dan petugas-petugas kepolisian—
tokoh-tokoh masyarakat yang berkredibilitas dan tidak suka publisitas. Selain
itu, ada lagi laporan yang sungguh menggelitik tentang jatuhnya sebuah UFO di
Roswell, New Mexico, di mana jasad-jasad makhluk asing dilaporkan telah
diketemukan. Pemerintah dianggap telah menutupi laporan itu dan
menyingkirkan semua bukti. Dalam Perang Dunia II, pilot-pilot melaporkan
adanya penampakan-penampakan ganjil yang mereka istilahkan sebagai "Foo
fighters", benda-benda yang sulit diidentifikasi yang melintas cepat di depan
mereka dan kemudian lenyap-Banyak cerita tentang kota-kota kecil yang
dikunjungi benda-benda tak dikenal yang datang meluncur dari angkasa.
Bagaimana kalau makhluk asini yang menumpang UFO dari galaksi lain i'"
memang benar ada? Robert bertanya-tanya. Apa pengaruh kenyataan tersebut
terhadap dunia kita? Apakah itu berarti perdamaian? Perang? Tamatnya
peradaban yang kita kenal sekarang ini? Ia mendapati dirinya sendiri setengah
berharap bahwa Hans Beckerman itu seorang sinting yang ngaco, dan bahwa
yang jatuh itu memang hanya balon euaca biasa. Ia perlu menemukan seorang
saksi lain untuk membuktikan bahwa cerita Beckerman itu benar atau
menyangkalnya. Di permukaan, cerita itu seakan tidak masuk akal, tapi toh - ada
sesuatu yang menggelitik Robert Seandainya itu cuma peristiwa jatuhnya balon
cuaca, sekalipun mungkin benar ia mengangkut peralatan khusus, mengapa aku
dipanggil ke Badan Keamanan Nasional pada jam enam pagi dan diberitahu
bahwa sangat penting menemukan semua saksi mata itu secepat mungkin?
Adakah yang disembunyikan? Dan seandainya begitu... mengapa?
97
Bab Sembilan
Hari itu juga, siangnya, sebuah konferensi pers diselenggarakan di Jenewa di
kantor Kementerian Dalam Negeri Swiss yang megah. Ada lebih dari lima puluh
wartawan di ruangan itu, dan khalayak berjubel di luar dan di dalam lorong. Ada
petugas-petugas televisi, radio, dan pers dari selusin negara lebih, yang sebagian
besar di antaranya menyandang mikrofon dan peralatan televisi. Mereka seakan
berbicara serempak.
"Kami mendengar berita bahwa itu bukan balon cuaca...."
"Benarkah ini piring terbang?"
"Desas-desus mengatakan bahwa ada jasad-jasad makhluk asing di dalam
pesawat itu...."
"Apakah salah satu makhluk itu masih hidup?"
"Apakah pemerintah berusaha menutupi kebenaran dari masyarakat...?"
Pejabat bidang pers mengeraskan suaranya untuk menguasai keadaan.
"Ladies and gentlemen, ini hanyalah salah-pa-ham biasa. Kami sering menerima
laporan seperti
ini. Orang melihat satelit, bintang jatuh... Apakah tidak aneh bahwa laporan
tentang UFO sumbernya selalu tak disebut jelas? Barangkali penelepon ini
memang percaya yang dilihatnya itu UFO, tapi pada kenyataannya itu adalah
balon cuaca yang jatuh ke tanah. Kami telah menyiapkan transportasi untuk
membawa Anda ke sana. Silakan ikut saya...."
Lima belas menit kemudian, dua bus penuh dengan wartawan dan kamera
televisi bertolak menuju Uetendorf untuk melihat sisa-sisa balon cuaca yang
jatuh itu. Tiba di sana, mereka berdiri di atas rumput mengamati lembaran
metalik yang koyak itu. Pejabat bidang pers berkata, "Inilah piring terbang Anda
yang misterius itu. Balon ini dikirim ke udara dari pangkalan udara kami di
Vevey. Sepanjang yang kami ketahui, ladies and gentlemen, tidak ada
unidentified flying object yang tidak bisa dijelaskan oleh pemerintah kami
dengan memuaskan sampai saat ini, juga sepanjang yang kami tahu, belum
pernah ada makhluk-makhluk extraterrestrial yang mengunjungi kita. Adalah
merupakan kebijakan yang tegas dari pemerintah kami bahwa jika kami
menjumpai adanya bukti semacam itu, kami akan dengan segera memberikan
informasi kepada masyarakat. Kalau tidak ada pertanyaan lain..."
Bab Sepuluh
Hanggar 17 di Pangkalan Angkatan Udara Lang-ley di Virginia dijaga dengan
pengamanan yang menyeluruh dan keras. Di luar, empat marinir bersenjata
menjaga garis keliling bangunan itu, dan di dalam, tiga perwira Angkatan Darat
berpangkat tinggi bergiliran jaga setiap defapan jam, menjaga sebuah ruang
tertutup di dalam hanggar itu. Tak ada dari perwira-perwira itu yang tahu apa
yang sedang dijaganya. Selain para ilmuwan dan para dokter yang sedang
bekerja di dalam, hanya ada tiga pengunjung yang diizinkan memasuki ruang
tertutup itu.
Pengunjung keempat baru saja datang. Ia disambut oleh Brigadir Jenderal
Paxton, perwira yang mengepalai bidang keamanan. "Selamat datang di kandang
kami"
"Saya sudah lama ingin ke sini."
"Anda tidak akan kecewa. Silakan lewat sini."
Di luar pintu ruang tertutup itu ada sebuah rak yang memuat empat busana steril
berwarna putih
"Mohon ini dikenakan," kata jenderal itu.
"Tentu." Janus mengenakan pakaian itu. Hanya wajahnya saja yang kelihatan
melalui masker kaca. Ia mengenakan sandal besar putih menyelimuti sepatunya,
dan sang Jenderal mengantarkan dia ke pintu masuk ruang tertutup itu. Marinir
yang bertugas melangkah ke samping, dan sang Jenderal membuka pintu. "Di
dalam sini."
Janus memasuki ruangan dan melihat berkeliling. Di tengah ruang itu nampak
sebuah pesawat ruang angkasa. Di atas meja autopsi yang putih terbujur dua
tubuh makhluk asing. Seorang dokter patologi sedang melakukan autopsi
terhadap salah satunya.
Jenderal Paxton mengarahkan perhatian si pengunjung kepada pesawat ruang
angkasa itu.
"Kami percaya bahwa pesawat ini adalah pesawat penyelidik," Jenderal Paxton
menjelaskan. "Kami yakin bahwa dia bisa berkomunikasi secara
langsung'dengan pesawat induknya."
Kedua laki-laki itu mendekat untuk mengamati pesawat itu. Garis tengahnya
sekitar tiga puluh lima kaki. Interiornya dibentuk seperti sebuah mutiara, dengan
langit-langit yang bisa mengembang, da.n berisi tiga sofa yang mirip dengan
kursi yang bisa dibaringkan. Dinding-dindingnya dilapis dengan panel-panel
yang dipasangi disk-disk metal yang bergetar.
"Banyak yang belum dapat kami pecahkan saat ini," Jenderal Paxton mengakui.
"Tapi apa yang telah kami temukan sangat menakjubkan." Ia lalu
menunjuk kepada serangkaian peralatan dalam panel-panel kecil. "Ada sistem
optik pandangan-luas, juga sesuatu yang mirip dengan sistem life-scan, suatu
sistem komunikasi yang memiliki kemampuan sintesa suara, dan sebuah sistem
navigasi yang, terus terang saja, membuat kami bingung. Kami berpendapat
bahwa sistem itu bekerja dengan semacam pulsa elektromagnetik."
"Apa ada senjata di dalamnya?" tanya Janus.
Jenderal Paxton membentangkan tangannya tanda menyerah. "Kami tidak yakin.
Banyak alat berat di sini yang sedikit pun belum kami pahami."
"Sumber energinya apa?"
"Dugaan kami yang paling kuat adalah dia memanfaatkan hidrogen monoatomik
dalam siklus yang ketat sehingga limbahnya, yaitu air, bisa secara
berkesinambungan didaur ulang menjadi hidrogen untuk menghasilkan energi
lagi. Dengan menggunakan energi yang tak putus ini, dia bisa terbang bebas di
ruang angkasa menjelajahi planet-planet. Bisa memakan waktu bertahun-tahun
sebelum semua misteri ini terpecahkan. Dan masih ada satu lagi yang
membingungkan. Tubuh-tubuh kedua makhluk asing ini terikat pada sofa
mereka. Tapi bekas lekukan yang terdapat pada sofa ketiga menunjukkan bahwa
tadinya ada yang duduk di sita."
"Maksud Anda," tanya Janus perlahan, "bahwa ada satu yang mungkin hilang?"
"Begitulah nampaknya."
Janus berdiri di situ sesaat dengan mengerutkan
dahinya. "Mari kita lihat pelanggar-pelanggar batas itu."
Kedua lelaki tersebut menghampiri meja-meja tempat kedua makhluk asing itu
terbujur. Janus berdiri di situ menatap sosok-sosok ganjil itu. Sungguh sulit
diterima akal bahwa jasad-jasad yang begitu asing bagi umat manusia bisa
mengejawantah dalam bentuk makhluk yang berindera peka seperti itu. Dahi
makhluk itu ternyata lebih lebar daripada yang diduganya. Makhluk itu-sama
sekali gundul, tanpa kelopak mata, dan tanpa alis. Matanya seperti bola
pingpong.
Dokter yang sedang melakukan autopsi mendongak ketika kedua orang itu
menghampiri. "Benar-benar menakjubkan," katanya. "Satu tangan- telah
dipotong dari salah satu makhluk asing ini. Tidak ada tanda-tanda adanya darah,
tapi nadinya nampak terisi dengan cairan hijau, yang sebagian besar sudah
menguap."
"Cairan hijau?" tanya Janus.
"Ya." Dokter itu ragu-ragu. "Kami berpendapat bahwa makhluk-makhluk ini
adalah suatu bentuk kehidupan sayur-mayur."
"Sayur-mayur yang dapat berpikir? Anda serius?"
"Coba lihat ini." Dokter itu mengambil sebuah bejana dan memercikkan air ke
lengan makhluk yang sudah tak bertangan itu. Untuk sesaat tidak terjadi apa-apa.
Lalu, tiba-tiba, .di ujung lengan itu suatu zat hijau mengalir keluar dan dengan
perlahan mulai membentuk tangan.
Kedua orang itu ternganga, kaget. "Astaga! Makhluk ini sebenarnya sudah rriati
atau belum?"
"Itu pertanyaan yang menarik. Kedua sosok ini tidak hidup, ditinjau dari segi
manusia, tapi mereka juga tidak memenuhi definisi kita tentang kata 'mati'.
Istilah saya adalah bahwa mereka itu dormant—tidak aktif."
Janus masih saja menatap ke tangan yang baru terbentuk itu..
"Banyak tanaman yang menunjukkan berbagai bentuk inteligensi."
"Inteligensi?"
"Oh, ya. Ada tanaman yang menyamarkan dirinya, melindungi dirinya. Saat ini,
kami sedang melakukan eksperimen yang menakjubkan mengenai kehidupan
tanaman."
Janus berkata, "Saya ingin melihat eksperimen itu."
"Tentu. Saya akan mengatur itu dengan senang hati"
Laboratorium rumah kaca yang sangat besar itu terletak dalam suatu kompleks
gedung-gedung pemerintah tiga puluh mil dari Washington, D.C. Tergantung di
dindingnya sebuah tulisan yang berbunyi:
Pohon maple dan pohon fern masih suci, Akan tetapi, kalau nanti mereka
terbangun, Mereka pun akan memaki dan mengutuk. -Ralph Waldo Emerson
Nature, 1836
Profesor Rachman, yang mengepalai kompleks itu, adalah seorang pria kecil
yang serius, yang penuh dengan gairah akan profesinya. "Adalah Charles
Darwin yang pertama-tama melihat bahwa tanaman mempunyai kemampuan
berpikir. Luther Burbank melanjutkan dengan melakukan komunikasi dengan
tanaman."
"Anda sungguh-sungguh percaya bahwa itu mungkin?"
"Kami tahu itu bisa. George Washington Carver menyatukan dirinya dengan
tanaman, dan tanaman memberinya ratusan produk baru. Kata Carver, 'Kalau
saya menyentuh sekuntum bunga, saya menyentuh Ketakterbatasan. Bunga-
bunga sudah ada lama sebelum ada manusia di bumi ini, dan bunga-bunga itu
akan terus ada berjuta-juta tahun setelah itu. Melalui bunga, saya berbicara
dengan Ketakterba tasa n...."'
Janus memandang berkeliling ke rumah kaca mahaluas tempat mereka sedang
berdiri. Rumah kaca itu dipenuhi oleh tanaman-tanaman dan bunga-bunga
eksotik yang membuat rona-rona pelangi dalam ruangan itu. Semerbak aroma-
aroma berbaur memenuhi ruangan.
"Semua yang ada di dalam ruangan ini hidup," kata Profesor Rachman.
"Tanaman-tanaman ini bisa merasakan cinta, benci, kesakitan, gairah... seperti
hewan. Sir Jagadis Chandra Bose membuktikan bahwa mereka bereaksi terhadap
suatu nada suara."
"Bagaimana hal seperti itu bisa dibuktikan?" tanya Janus.
"Dengan senang hati saya akan mendemonstrasikannya." Rachman berjalan
menghampiri sebuah meja yang penuh dengan tanaman. Di samping meja itu
terdapat sebuah mesin poligraf. Rachman mengangkat salah satu elektrodanya
dan menempelkannya ke sebuah tanaman. Jarum yang terpasang di skala
poligraf itu tidak bergerak. "Coba lihat," katanya.
Ia mendekatkan tubuhnya ke tanaman itu dan berbisik, "Kukira kau sangat
cantik. Kau yang paling cantik dari semua tanaman lain di sini...."
Janus menyaksikan jarum itu bergerak dengan sangat perlahan.
Tiba-tiba, Profesor Rachman berteriak ke tanaman itu, "Kau jelek! Kau akan
mati! Kau dengar aku? Kau akan mati!"
Jarum itu mulai bergetar, lalu bergerak dengan tajam ke atas.
"Ya, Tuhan," kata Janus. "Aku tak percaya ini."
"Apa yang Anda lihat," kata Rachman, "sama dengan seorang manusia yang
sedang berteriak. Majalah-majalah nasional sudah pernah memuat artikel-artikel
mengenai eksperimen ini. Salah satu yang paling menarik adalah eksperimen
buta yang dilakukan oleh enam siswa. Salah satu dari mereka, tanpa setahu yang
lain, dipilih untuk berjalan masuk ke dalam sebuah, ruang di mana ada dua
tanaman yang salah satunya dihubungkan dengan kabel ke poligraf. Dia lalu
merusak total
106
tanaman satunya. Kemudian, satu per satu, siswa-siswa itu dikirim masuk ke
ruangan melewati tanaman-tanaman itu. Ketika siswa-siswa yang tidak bersalah
lewat di situ, poligraf itu tidak bergerak. Tapi pada saat siswa yang bersalah itu
muncul, jarum pada poligraf langsung terlompat ke atas."
"Benar-benar luar biasa."
"Tapi benar. Kami juga tahu bahwa tanaman bereaksi terhadap berbagai jenis
musik." "Berbagai jenis?"
"Ya. Eksperimen pernah dilakukan di Temple Buell College di Denver di mana
bunga-bunga yang sehat ditaruh dalam tiga kotak kaca. Musik rock keras
dialirkan ke kotak pertama, musik sita r India Timur yang lembut dialirkan ke
kotak kedua, dan kotak yang ketiga tidak dialiri musik. Seorang kru kamera CBS
merekam eksperimen itu dengan menggunakan fotografi rentang-waktu. Setelah
dua minggu, bunga-bunga yang diekspos ke musik rock itu mati, kelompok yang
tidak diberi musik tumbuh normal, dan bunga-bunga yang mendengarkan musik
sitar mekar dengan indah, dengan bunga dan kuncup-kuncupnya menggapai ke
arah sumber suara itu. Walter Cronkite memutar film itu dalam salah satu
tayangan beritanya. Kalau Anda ingin mengeceknya, waktunya adalah 26
Oktober 1970."
"Maksud Anda tanaman itu punya inteligensi?"
"Mereka bernapas, makan, dan berbiak. Mereka bisa merasa sakit, dan mereka
bisa memanfaatkan
107
alat-alat pertahanan diri terhadap musuh-musuh mereka. Misalnya, zat terpin
dipakai oleh beberapa jenis tanaman untuk meracuni tanah di sekitar mereka
supaya para pesaing mereka mundur. Beberapa jenis lain memproduksi alkaloida
supaya rasanya tidak enak bila dijilat oleh serangga. Kami telah membuktikan
bahwa tanaman saling berkomunikasi dengan feromon."
"Ya. Saya sudah mendengar mengenai itu," kata Janus.
"Beberapa jenis tanaman adalah pemakan daging. Venus si Penjebak Lalat,
misalnya. Beberapa jenis anggrek tertentu kelihatan dan mempunyai bau seperti
lebah betina, supaya bisa memancing lebah jantan. Ada juga yang menyerupai
bentuk kumbang betina untuk menarik perhatian sang jantan supaya mau
singgah dan mengambil serbuk sarinya. Satu jenis anggrek memiliki aroma
seperti daging busuk untuk memikat lalat pemakan bangkai di sekitar situ supaya
datang kepadanya." Janus menyimak setiap kata. "Si Wanita Merah Jambu
Pemikat mempunyai bibir atas yang berengsel, yang segera menutup apabila
seekor lebah mendarat, dan menjebaknya. Satu-satunya jalan keluar adalah
sebuah lorong sempit yang tembus ke belakang, dan sementara sang lebah
berjuang untuk mencari jalan kebebas-an^dia memungut sejumlah serbuk sari.
Ada lima rmu tanaman bunga yang tumbuh di kawasan ti-BS dan setop jenis
mempunyai ciri-ciri yang • ^ ada keraguan mengenai hal ini.
108
Sudah berulang kali dibuktikan bahwa tanaman hidup memiliki inteligensi."
Janus saat itu berpikir, Dan makhluk asing yang hilang ini masih berkeliaran di
suatu tempat.
Bab Sebelas
Hari Ketiga Bern, Swiss Rabu, 17 Oktober
Bern adalah salah satu kota favorit Robert Kota yang anggun, penuh dengan
monumen-monumen cantik dan bangunan-bangunan tua terbuat dari batu yang
berasal dari abad kedelapan belas. Bern adalah ibu kota Swiss dan salah satu
kota yang termakmur di negeri itu, dan Robert bertanya dalam bati apakah trem-
trem bercat hijau di jalan itu ada hubungannya dengan warna hijau uang. Ia
mendapati bahwa warga Bern bersikap lebih santai daripada warga kota-kota
Swiss lainnya. Mereka bergerak dengan lebih lambat, berbicara lebih pelan, dan
secara umum lebih tenang. Ia pernah beberapa kali bertugas di Swiss bekerja
sama dengan Dinas Rahasia Swiss, menjalankan kegiatannya dari markas besar
mereka di Waisenhausplatz-Sebenarnya ia mempunyai teman-teman di sana
yang akan bisa bermanfaat, tapi instruksi yan£
diberikan kepadanya sangat jelas. Membingungkan, tapi jelas.
Robert perlu menelepon lima belas kali untuk menemukan bengkel yang
menderek mobil si fotografer. Bengkel itu kecil dan terletak di Fribourgs-trasse,
dan montirnya, Fritz Mandel, adalah juga pemiliknya. Mandel nampaknya
berumur hampir lima puluh, dengan wajah kurus berlubang-lubang bekas
jerawat, tubuh kerempeng, dan perut yang luar biasa besarnya karena bir. Ia
sedang bekerja di bawah dalam lubang tempat pelumas ketika Robert tiba di situ.
"Selamat siang," Robert berseru.
Mandel menengadah. "Guten Tag. Apa yang bisa saya bantu?"
"Saya ingin bertanya tentang mobil yang Anda derek hari Minggu yang lalu."
"Sebentar, saya selesaikan ini dulu."
Sepuluh menit kemudian, Mandel memanjat ke luar lubang itu dan
membersihkan tangannya yang berminyak dengan sebuah lap kotor.
"Andalah yang menelepon pagi tadi. Apakah ada keluhan mengenai pekerjaan
derek itu?" tanya Mandel. "Saya tidak bertanggung jawab untuk..."
"Tidak," Robert meyakinkannya. "Sama sekali tidak. Saya sedang melakukan
survai, dan saya ingin bertanya tentang pengemudi mobil itu."
"Mari kita ke kantor."
Kedua orang itu berjalan menuju ke sebuah kantor kecil, dan Mandel membuka
sebuah lemari arsip. "Hari Minggu lalu, Anda bilang tadi?"
"Benar."
Mandel mengeluarkan sebuah kartu. "Ja. Itu mobil si Arschficker yang memotret
kami di depan UFO."
Robert merasa tiba-tiba telapak tangannya jadi basah. "Anda melihat UFO?"
'Ja. Saya hampir brachte aus."
"Bisakah Anda menggambarkannya?"
Mandel bergidik. "Ia... ia sepertinya hidup sekail"
"Maaf?"
"Maksud saya... di sekitarnya nampak semacam sinar—yang terus berubah
warna. Biru... lalu hijau... saya tidak tahu. Sulit digambarkan. Dan di dalamnya
ada makhluk-makhluk kecil. Bukan manusia, tapi..." Bicaranya terhenti.
"Berapa jumlahnya?"
"Dua."
"Apakah mereka hidup?"
"Menurut saya sudah mati." Ia mengusap alisnya. "Saya senang Anda
mempercayai saya. Saya mencoba menceritakannya kepada teman-teman, tapi
mereka malahan menertawai saya. Bahkan istri saya bilang bahwa saya pasti
mabuk. Tapi saya tahu apa yang saya lihat."
"Tentang mobil yang Anda derek itu...," kata Robert
"Ja. Renault mereknya. Olinya bocor dan ada /ager-nya yang hangus. Ongkos
dereknya seratus dua puluh lima franc. Dua kali lipat kalau hari Minggu."
"Pengemudinya membayar dengan cek atau kartu kredit?"
"Saya tidak menerima cek, dan saya juga tidak menerima kartu kredit Ia
membayar tunai." "Franc Swiss?" "Pound." "Anda yakin?"
"Ya. Saya ingat waktu itu saya harus mengecek nilai tukarnya."
"Mr. Mandel, apa Anda kebetulan mempunyai catatan mengenai pelat nomor
mobil itu?"
"Tentu saja," kata Mandel. Ia memandang kartu itu. "Itu mobil sewaan. Avis. Dia
menyewanya di Jenewa."
"Bisa saya minta nomor pelatnya?"
"Tentu, mengapa tidak?" Ia menuliskan nomor pelat itu pada secarik kertas dan
memberikannya kepada Robert. "Sebenarnya semua ini dalam rangka apa? UFO
itukah?"
"Tidak," kata Robert, dalam nada suara setulus mungkin. Ia mengeluarkan
dompetnya dan mencabut kartu identitasnya. "Saya dari IAC, International Auto
Club. Perusahaan saya sedang melakukan survai mengenai mobil-mobil
penderek."
"Oh."
Robert berjalan keluar dari bengkel itu dan berpikir dengan cemas, Nampaknya
memang UFO sialan itu benar ada beserta dua makhluk asing yang sudah mati.
Kalau begitu mengapa Jenderal Hilliard berdusta padanya, sedang ia tahu Robert
pasti akan tahu bahwa yang jatuh itu piring terbang?
Jawabannya hanya ada satu, dan Robe
tiba merasa tubuhnya dingin karena ngeri.
Bab Dua belas
Pesawat induk yang sangat besar itu melayang tanpa suara menembus ruang
angkasa yang gelap, bagaikan tidak bergerak, meluncur dalam kecepatan dua
puluh dua ribu mil per jam, dan dengan rapi menyusuri orbit bumi. Keenam
makhluk asing di dalamnya sedang mempelajari layar optik Iuas-pandang tiga
dimensi yang mencakup satu dinding penuh pesawat ruang angkasa itu. Pada
monitor nampak bola bumi berputar sementara mereka mengamati gambar-
gambar holografik dari apa yang ada di bawah, dan sebuah spektrograf
elektronik menganalisis komponen-komponen kimia dari gambar-gambar yang
timbul. Atmosfer di atas lahan-lahan yang diliputnya tercemar berat Pabrik-
pabrik besar mengotori udara dengan gas-gas beracun, hitam dan tebal,
sementara limbah yang tak terurai dibuang di ceruk-ceruk lahan dan ke dalam
laut
Makhluk-makhluk asing itu melihat ke bawah ke samudera luas, yang dulunya
murni dan biru, kini hitam kena minyak dan coklat karena kotoran.
Karang Great Barrier Reef sudah berubah jadi putih karena pudar, dan miliaran
ikan mati. Di hutan-hutan penadah hujan Amazon sebuah kawah yang luas
menganga gersang. Peralatan di pesawat itu menunjukkan bahwa temperatur
bumi telah naik sejak eksplorasi terakhir yang mereka lakukan tiga tahun
sebelumnya. Mereka juga melihat ada peperangan di sana-sini di planet di bawah
itu, yang menaburkan racun-racun baru ke dalam atmosfer.
Makhluk-makhluk asing itu berkomunikasi lewat telepati mental.
Makhluk-makhluk bumi itu belum juga berubah. Sayang sekali Mereka tidak
pernah mau belajar.
Kita akan mengajari mereka. -Sudahkah Anda berhasil menghubungi yang lain-
lain?
Ya. Pasti terjadi sesuatu. Tidak ada jawaban. Anda harus terus mencoba. Kita
harus menemukan pesawat itu.
Di bumi, ribuan kaki di bawah orbit pesawat ruang angkasa itu, Robert sedang
menelepon lewat saluran khusus ke Jenderal Hilliard. Ia hampir seketika itu juga
sudah berada di telepon.
"Selamat siang, Letnan. Ada yang perlu Anda laporkan?"
Ya. Aku ingin melaporkan bahwa kau adalah seorang pembohong sialan.
"Mengenai balon
cuaca itu, Jenderal... rupanya itu ternyata sebuah UFO." Ia menunggu.
"Ya, saya tahu itu. Saya tidak bisa memberitahukannya kepada Anda
sebelumnya karena alasan-alasan penting yang menyangkut keamanan."
Omong kosong birokratik. Kemudian hening sejenak.
Jenderal Hilliard berkata, "Saya akan memberitahukan sesuatu yang sifatnya
sangat rahasia, Letnan. Pemerintah kita pernah kontak dengan makhluk-makhluk
ruang angkasa tiga tahun yang lalu. Mereka mendarat di salah satu pangkalan
udara NATO kita. Waktu itu kita bisa berkomunikasi dengan mereka."
Robert merasakan jantungnya berdebar lebih keras. "Apa... apa yang mereka
katakan?"
"Bahwa mereka bermaksud menghancurkan kita."
Ia merasakan guncangan di sekujur tubuhnya. "Menghancurkan kita?"
"Benar. Mereka menyatakan akan kembali untuk menaklukkan planet ini dan
menjadikan kita budak mereka, dan bahwa kita tak akan bisa berbuat apa-apa
untuk mencegah hal itu. Memang sekarang belum. Tapi kita sedang mencari
jalan untuk membendung mereka. Karena itulah penting sekali bahwa kita tidak
membuat khalayak panik supaya kita bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Saya kira Anda bisa memahami sekarang mengapa sedemikian pentingnya para
saksi mata itu diperingatkan untuk tidak menyiarkan apa yang sudah
mereka libat Kalau berita tentang Ident-ident itu— demikian kita sebut mereka
—bocor, maka akan terjadi musibah berskala dunia."
"Menurut Anda apa tidak lebih baik mempersiapkan publik dan...?*
"Letnan, di tahun 1938, seorang aktor muda bernama Orson Welles menyiarkan
sebuah sandiwara radio berjudul War of the Worlds mengenai makhluk-makhluk
asing yang melakukan invasi ke bumi. Dalam beberapa menit saja timbul
kepanikan di kota-kota besar di seluruh Amerika. Sekelompok penduduk yang
panik mencoba melarikan diri dari penyerbu-penyerbu fiktif itu. Saluran-saluran
telepon penuh sesak, jalan-jalan raya macet total. Banyak orang tewas. Terjadi
kekacauan total. Tidak, kita dulu yang harus siap menghadapi makhluk-makhluk
asing itu sebelum semuanya ini diumumkan. Kami ingin Anda menemukan
saksi-saksi mata itu demi keamanan mereka sendiri, sehingga kita bisa
mengendalikan semuanya ini dengan baik."
Robert mulai berkeringat. "Ya. Saya... saya mengerti."
"Bagus. Saya kira Anda telah berhasil berbicara dengan salah satu saksi mata?"
"Saya telah menemukan dua dari mereka." "Nama-nama mereka?"
"Hans Beckerman—dia adalah pengemudi bus turis itu. Dia tinggal di
Kappel...." "Dan yang kedua?"
"Fritz Mandel. Dia memiliki bengkel mobil di
Bern. Dia adalah montir yang menderek mobil milik saksi ketiga." "Nama saksi
ini?"
"Saya belum berhasil mendapatkannya. Saya sedang mengupayakan itu. Apakah
Anda menghendaki saya berbicara dengan mereka tentang perlunya tidak
membicarakan masalah UFO ini dengan orang lain?"
"Tidak perlu. Tugas Anda hanyalah menemukan para saksi itu saja. Setelah itu
kita akan meminta pemerintah mereka masing-masing yang menanganinya. Apa
Anda sudah tahu semuanya ada berapa saksi mata?"
"Ya. Tujuh penumpang ditambah pengemudinya, montir itu, dan seorang
pengendara mobil yang kebetulan lewat"
"Anda harus menemukan mereka semua. Kesepuluh saksi mata yang melihat
jatuhnya pesawat itu. Cukup jelas?"
"Ya, Jenderal."
Robert meletakkan gagang telepon, pikirannya kalut Ternyata UFO benar ada.
Makhluk-makhluk asing itu adalah musuh. Ini benar-benar mengerikan.
Tiba-tiba, perasaan tidak enak yang sudah lama terkandung dalam diri Robert
sekarang kembali dengan lebih kuat. Jenderal Hilliard telah memberinya tugas
ini, tapi mereka tidak memberitahukan semua informasi kepadanya. Fakta apa
lagi yang disembunyikan darinya?
Perusahaan persewaan mobil Avis terletak di
Rue de Lausanne 44 di pusat kota Jenewa. Robert dengan bergegas masuk ke
dalam kantornya dan menghampiri wanita yang berada di balik meja tulis. "Bisa
saya bantu?"
Robert membanting potongan kertas yang ber-tuliskan nomor pelat mobil
Renault itu. "Anda menyewakan mobil ini minggu lalu. Saya menginginkan
nama orang yang menyewanya." Suaranya terdengar marah.
Petugas itu menarik tubuhnya ke belakang. "Maaf, kami tidak diperbolehkan
untuk memberikan informasi itu."
"Well, kalau begitu akan repot," Robert menukas, "karena saya akan menuntut
perusahaan Anda untuk membayar ganti rugi yang besar jumlahnya."
"Saya tidak paham. Ada masalah apa?"
"Akan saya katakan masalahnya apa, Nona. Hari Minggu lalu mobil ini
menabrak mobil saya di jalan raya dan menyebabkan kerusakan yang sangat
parah. Saya berhasil mencatat nomor pelatnya, tapi orangnya melarikan
mobilnya tanpa berhasil saya kejar."
"Begitu." Petugas itu mengamati Robert sebentar. "Permisi sebentar." Ia
menghilang ke dalam sebuah ruang di bagian belakang. Beberapa menit
kemudian ia muncul kembali dengan membawa sebuah map. "Menurut catatan
kami, memang ada masalah dengan mesin mobil itu, tapi tidak ada laporan
tentang adanya kecelakaan."
"Well, saya melaporkannya sekarang. Dan saya
minta perusahaan Anda bertanggung jawab untuk ini. Anda harus membayar
biaya reparasi mobil saya. Porsche keluaran terbaru dan Anda akan membayar
sangat mahal...."
"Saya minta maaf, Tuan, tapi karena kecelakaan itu tidak dilaporkan, kami tidak
bisa memikul tanggung jawab."
"Begini," kata Robert dalam nada suara yang lebih tenang, "saya hanya ingin
fair. Saya tidak ingin minta perusahaan Anda bertanggung jawab. Yang saya
inginkan cuma supaya orang itu membayar kerusakan yang dibuatnya terhadap
mobil saya. Ini kasus tabrak lari. Saya bahkan bisa melibatkan polisi dalam
urusan ini. Kalau Anda mau memberikan nama dan alamat orang itu, saya akan
bisa berbicara langsung dengannya, dan kami akan bisa menyelesaikannya
sendiri di antara kami dan tidak perlu melibatkan perusahaan Anda. Apa ini
tidak cukup fair?"
Petugas itu terdiam, mencoba membuat keputusan. "Ya. Kami jauh lebih
menyukai cara itu." Ia melihat ke map yang di tangannya itu. "Nama orang yang
menyewa mobil itu adalah Leslie Mothershed."
"Dan alamatnya?"
"Grove Road Dua Tiga Belas A, Whitcchapcl, London, East Three." Ia
mendongakkan kepalanya. "Anda pasti bahwa perusahaan kami tidak akas
dilibatkan dalam gugatan hukum apa pun?"
"Saya berjanji," Robert meyakinkannya. "Ini urusan pribadi di antara Leslie
Mothershed dan saya."
Letkol Bellamy langsung berada dalam pesawat Swiss berikutnya dengan, tujuan
London.
Ia duduk seorang diri dalam gelap, memusatkan daya konsentrasinya, memeriksa
dengan cermat setiap tahapan dari rencana itu, memastikan bahwa tidak ada
lubang-lubang kelemahan, bahwa tidak ada yang akan bisa meleset.
Permenungannya diganggu oleh dering telepon yang lembut
"Janus di sini.*
"Janus. Jenderal Milliard.*
"Lanjutkan."
"Letkol Bellamy telah menemukan dua saksi mata yang pertama." "Bagus sekali.
Harap segera ditangani." "Ya, sir."
"Di mana letkol ku sekarang?"
"Dalam perjalanan menuju London. Tak lama lagi yang nomor tiga akan bisa
dipastikan."
"Saya akan memberitahu komisi mengenai hasil yang sudah dicapai. Harap saya
terus dihubungi-Kondisi operasi ini harus tetap Nova Red "
"Saya mengerti, sir. Saya mengusulkan..."
Telepon itu diputus.
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET nsa KEPADA WAKIL DIREKTUR
BUNDESANWALTSCHAPT PRIBADI
KOPI SATU DARI (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI HARI KIAMAT 1.
HANS BECKERMAN—KAPPEL 2. FRITZ MANDEL—BERN PESAN
DITUTUP
Bab Tiga Belas
Tengah malam di sebuah rumah pertanian kecil lima belas mil dari Uetendorf,
keluarga Lagenfeld diganggu oleh serangkaian peristiwa aneh. Anak yang tertua
terbangun karena cahaya kuning yang menyilaukan menembus jendela kamar
tidurnya. Ketika ia bangkit untuk menyelidikinya, cahaya itu lenyap.
Di halaman, Tozzi, anjing gembala Jerman mereka, mulai menyalak dengan
galak, membangunkan Pak Tua Lagenfeld. Dengan enggan petani itu turun dari
tempat tidurnya untuk menenangkan anjingnya, dan ketika ia melangkah keluar
ia mendengar bunyi biri-biri yang ketakutan membentur-bentur kandang
mencoba lari. Ketika Lagenfeld melewati bak, yang tadinya penuh sampai ke bi
birnya oleh air hujan yang turun belum lama ini, ia melihat bahwa bak itu kering
sama sekali.
Tozzi datang berlari ke sisinya, merengek-rengek
Lagenfeld mengusap-usap kepala binatang itu. "T'" dakana-an» Nat -r;_i„i, _ _
* Fd ap^NaK. Iidak apa-apa."
an tepat di saat itu, semua lampu di rumah |IU
i, Ketika petani itu kembali ke rumah dan menelepon perusahaan listrik,
teleponnya juga mati.
Seandainya lampu-lampu itu sebentar saja bertahan, petani itu mungkin akan
melihat seorang wanita cantik tapi aneh berjalan keluar dari halaman
lumbungnya dan menuju tanah lapang di luar.
Bab Empat Belas
Bundesanwaltschaft—jenewa Jam 13.00
Menteri Negara yang duduk di bagian dalam markas besar Dinas Rahasia Swiss
menyaksikan Wakil Direktur membaca pesan sampai tuntas. Ia memasukkan
pesan itu ke dalam sebuah folder yang bertuliskan "Top Secret", meletakkan
folder itu ke dalam laci meja tulis, dan mengunci laci itu.
"Hans Beckerman und Fritz Mandel."
"Ja."
"Tidak ada masalah, Herr Menteri. Itu akan diurus." •GuL" 'Warn?" "Safari.
Segera."
Keesokan paginya dalam perjalanan ke kantor, tukak lambung Hans Beckerman
mengganggunya. Mestinya waktu itu aku minta si wartawan membayar benda
yang kutemukan di tanah itu. Majalah-
majalah ini kaya. Barangkali aku akan memperoleh beberapa ratus mark lagi
Jadi aku bisa pergi ke dokter ahli dan minta dia mengobati tukak lambungku ini.
la sedang melewati Danau Turler ketika di depannya, di tepi jalan raya,
dilihatnya seorang wanita melambaikan tangannya, mencari tumpangan.
Beckerman mengurangi laju mobilnya untuk bisa mengamati dengan lebih jelas.
Ia masih muda dan menarik. Hans menghentikan mobilnya ke pinggir jalan.
Wanita itu menghampiri mobilnya.
"Guten Tag," kata Beckerman. "Bisa saya bantu Anda?" Wanita itu semakin
dekat semakin cantik.
"Danke." Logatnya logat Swiss. "Saya bertengkar dengan pacar saya, dan ia
menurunkan saya di sini di tengah jalan."
"Ck, ck. Payah benar."
"Keberatankah Anda memberi saya tumpangan sampai Zurich?"
"Sama sekali tidak. Mari masuk, mari masuk."
Si pencari tumpangan itu membuka pintu mobil dan duduk di sebelahnya. "Anda
sangat baik hati," katanya. "Namaku Karen."
"Hans." Ia menjalankan mobilnya.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa seandainya kau tadi tidak datang, Hans."
"Oh, aku yakin orang lain akan mau memberi tumpangan kepada seorang wanita
cantik seperti kftv/
Wanita itu bergerak mendekatinya. "Tapi aku
berani bertaruh dia tidak akan lebih ganteng dari-padamu."
Hans memandangnya. "Ja?"
"Menurutku kau sangat tampan."
Ia tersenyum. "Mestinya kaukatakan itu kepada istriku."
"Oh, kau sudah menikah." Ia nampak kecewa. "Mengapa semua pria yang baik
selalu sudah menikah? Kau juga nampak sangat pintar."
Semakin tegak Hans duduk.
"Terus terang saja, aku menyesal mengapa aku menjalin hubungan dengan
pacarku itu.* Ia bergerak-gerak di tempat duduknya dan roknya tersingkap tinggi
ke pahanya. Hans berusaha untuk tidak melihat "Aku suka kepada pria yang
lebih tua, lebih dewasa, Hans. Aku kira mereka lebih seksi daripada pria-pria
muda." Ia merapatkan dirinya ke tubuh Hans. "Apa kau suka seks, Hans?"
Hans melancarkan tenggorokannya. "Aku...? Well, begini... aku seorang pria...."
"Aku tahu itu," kata wanita itu. Ia mengusap paba Hans. "Bisa kukatakan sesuatu
kepadamu? Pertengkaran dengan pacarku itu membuatku sangat bergairah. Kau
menghendaki aku main cinta denganmu?"
Hans tidak percaya ia bisa semujur itu. Wanita itu cantik, dan dari apa yang
disaksikannya, bentuk tubuhnya bagus sekali. Hans menelan ludah. "Aku mau,
tapi aku sedang berangkat kerja dan..."
"Hanya diperlukan waktu beberapa menit saja." Ia tersenyum. "Ada jalan masuk
di depan sana
yang menuju ke hutan. Bagaimana kalau kita berhenti di sana?"
Hans merasa gairahnya meluap-luap. Sicher. Tunggu sampai kubilang kepada
teman-teman di kantor tentang ini! Mereka takkan percaya.
"Tentu. Mengapa tidak?" Hans menyimpangkan mobilnya dari jalan raya dan
mengambil jalan kecil berdebu menuju ke sekelompok semak belukar yang
terlindung dari pandangan mata para pengendara mobil yang lewat.
Wanita itu mengusapkan tangannya pada paha Hans. "Mein Gott, kakimu kokoh
sekali."
"Aku pelari waktu masih muda," Beckerman menyombongkan dirinya.
"Coba celananya dilepas saja." Ia melepaskan ikat pinggang Hans dan
membantunya menurunkan celananya. Kini nampak jelas bahwa Hans sudah
benar-benar "terbakar".
Beckerman mengerang dan memejamkan matanya. Jari-jari yang lembut itu
mengusap-usap. Tiba-tiba Hans merasa jarum menusuk pahanya dengan keras,
dan matanya terbelalak. nWie...?"
Tubuhnya kaku seketika, dan matanya melotot keluar. Tenggorokannya
tersumbat dan ia tidak bisa bernapas. Wanita itu menyaksikan Hans' terkulai di
atas setir. Ia turun dari mobil dan mendorong tubuh Hans masuk ke jok
belakang, lalu ia duduk di belakang setir dan mengemudikan mobil itu kembali
melalui jalan berdebu masuk ke jalan g raya. Di pinggiran sebuah jalan gunung
yang curam, ia menunggu .sampai jalanan sepi, lalu mem-
buka pintu mobil, menginjak gasnya, dan pada
saat mobil itu bergerak maju, ia melompat keluar. Ia berdiri di sana menyaksikan
mobil itu terjungkir dari tebing curam. Lima menit kemudian, sebuah limousine
hitam berhenti di dekatnya.
"Irgendwekhe Problem?' . "Keins'
Fritz Mandel sedang berada di kantornya, bersiap-siap menutup bengkelnya,
ketika dua pria menghampirinya.
"Maaf," katanya, "saya sudah akan tutup. Saya tidak dapat.."
Salah seorang dari pria-pria itu memotong bicaranya. "Mobil kami mogok di
jalan raya. Ka-putt! Kami perlu mobil penderek.*
"Istri saya sudah menunggu. Malam ini kami akan ada tamu. Saya bisa
memberikan nama bengkel lain..."
"Kami bersedia membayar dua ratus dolar. Kami sangat terburu- buru." "Dua
ratus dolar?"
"Ya. Dan mobil kami agak parah keadaannya. Kami ingin Anda
memperbaikinya. Barangkali akan kami tambah lagi dengan dua ratus, atau tiga
ratus."
Mandel mulai berminat *Ja?"
Ada masalah? Tidak.
"Mobilnya Rolls-Royce," salah seorang pria itu berkata. "Coba kami libat Anda
punya peralatan apa saja." Mereka berjalan menuju tempat reparasi dan berdiri di
pinggir lubang tempat mengganti oli. "Cukup bagus peralatannya."
"Ya, Tuan;" kata Mandel dengan bangga. "Yang terbaik."
Orang tak dikenal itu mengeluarkan dompetnya. "Ini. Saya bisa memberikan
uang mukanya." Ia mencabut beberapa lembar uang kertas dan memberikannya
kepada Mandel. Pada saat ia melakukan itu, dompet itu lepas dari tangannya dan
jatuh ke dalam lubang pengganti oli. "Verfluchtf"
"Jangan kuatir," kata Mandel. "Saya akan mengambilnya."
Ia menuruni lubang. Ketika ia sedang melakukan itu, salah seorang pria itu
menghampiri tombol pengatur yang mengoperasikan lift hidrolik dan
menekannya. Lift itu mulai bergerak turun.
Mandel mendongak ke atas. "Hati-hati! Apa yang Anda lakukan?"
Ia segera menyingkir ke samping. Saat jari-jarinya menyentuh pinggiran lubang,
pria yang satu lagi menjejakkan kakinya ke tangan Mandel, berusaha
meremukkannya, dan Mandel jatuh kembali ke dalam lubang, menjerit. Lift
hidrolik yang berat itu terus turun tanpa ampun menimpanya.
"Keluarkan aku dari sini!" ia berseru. "HilfeP
Lift itu mulai menyentuh pundaknya dan terus menekannya ke bawah sampai ke
lantai semen. Beberapa menit kemudian, setelah jeritan- jeritan
memilukan itu berhenti, seorang dari pria-prja itu menekan tombol yang
mengangkat lift Temannya lalu turun ke dalam lubang dan mengambil kera. bali
-dompetnya, berhati-hati untuk tidak membuat pakaiannya kotor kena darah.
Kedua pria itu |a]u kembali ke mobil mereka dan meluncur pergi di gelap malam
yang sepi.
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET ESPIONAGE ABTEILUNG KEPADA
WAKIL DIREKTUR NSA PRIBADI KOPI SATU DARI (SATU) KOPI
PERIHAL : OPERASI HARI KIAMAT 1. HANS BECKERMAN—DIAKHIRI
2. FRITZ MANDEL—DIAKHIRI PESAN DITUTUP
Ottawa, Kanada
Jam 24.00 ^jjfr.
Janus sedang berbicara di depan kelompok dua belas orang.
"Operasi berjalan cukup memuaskan. Dua dan saksi-saksi mata itu telah
diamankan. Letkol Bellamy sedang mengikuti jejak yang ketiga."
apa sudah ada hasil dengan SDI? si italia impulsif temperamental
"Belum ada, tapi kami yakin bahwa teknologi Star Wars akan bisa dimanfaatkan
dan berfungsi dalam waktu dekat."
"Kita harus melakukan apa saja yang mungkin untuk mempercepatnya. Jika
masalahnya adalah keuangan..." Si Saudi. Misterius. Tertutup.
"Bukan. Hanya perlu sedikit pengujian lagi saja-"
"Kapan uji coba berikutnya akan dilaksanakan?" Si Australia. Ramah. Cerdik.
"Dalam waktu seminggu. Kita akan bertemu lagi di sini empat puluh delapan
jam lagi"
Bab Lima Belas
Hari Keempat—London Kamis, 18 Oktober
Tokoh idola Leslie Mothershed adalah Robin Leach. Ia adalah penonton fanatik
program Lifestyles of the Rich and Famous yang dengan saksama mengamati
cara berjalan, berbicara, dan berpakaian tamu-tamu Robin Leach, karena ia
yakin bahwa suatu hari kelak ia akan muncul di program itu. Sejak masih kanak-
kanak, ia sudah merasa bahwa ia ditakdirkan untuk menjadi, orang—yang kaya
dan terkenal.
"Kau sangat istimewa," begitu sering diucapkan ibunya. "Putraku akan dikenal
di seluruh dunia."
Anak kecil itu berangkat tidur dengan kalimat tadi mengiang-ngiang di
telinganya sampai akhirnya ia benar-benar mempercayainya. Pada waktu
Mothershed sudah lebih dewasa, ia mulai menyadari bahwa ia punya satu
masalah: Ia tidak tahu bagaimana persisnya ia akan bisa menjadi kaya dan
terkenal. Untuk beberapa saat lamanya, ia
mereka-reka kemungkinan menjadi bintang film, tapi ia sangat pemalu. Untuk
sesaat ia berangan-angan menjadi bintang sepakbola, tapi perawakannya kurang
atletis. Ia berpikir apakah bisa menjadi ilmuwan masyhur, atau pengacara hebat,
yang dibayar super mahal. Tapi sayang angka-angkanya di sekolah cuma biasa-
biasa saja, dan ia drop out dari sekolah sebelum mendekati kemasyhuran.
Pendeknya nasib baik tidak memihak padanya. Secara jasmani ia kurang
menarik—kurus, dengan warna kulit yang pucat dan nampak sakit-sakitan; dan
perawakannya pendek, tepatnya lima kaki lima setengah inci. Mothershed tidak
pernah lupa menyebutkan yang setengah inci itu. Ia menghibur diri dengan
kenyataan bahwa banyak orang terkenal yang berperawakan pendek: Dudley
Moore, Dustin Hoffman, Peter Falk....
Satu-satunya profesi yang benar-benar menarik minat Leslie Mothershed adalah
fotografi. Memotret benar-benar sangat gampang. Siapa saja bisa melakukannya.
Tinggal memencet tombol saja. Ibunya membelikannya sebuah kamera pada hari
ulang tahunnya yang keenam dan memberikan pujian yang berlebih-lebihan
terhadap foto-foto hasil, pemotretan putranya. Pada waktu ia berusia belasan
tahun, Mothershed merasa yakin bahwa ia seorang fotografer cemerlang. Ia
meyakinkan dirinya sendiri bahwa dalam segala hal tidak kalah dengan Ansel
Adams, Richard Avedon, atau Margaret Bourke-White. Dengan pinjaman dari
ibunya,
Leslie Mothershed membuka usaha fotografi miliknya sendiri di liatnya di
Whitechapel.
"Mulailah kecik" kata ibunya, "tapi berpikirlah besar," dan itulah yang dilakukan
oleh Leslie Mothershed. Ia mulai sangat kecil dan berpikir sangat besar, tapi
sayangnya,, ia tidak mempunyai bakat di bidang fotografi Ia memotret pawai,
binatang, bunga, dan dengan penuh percaya diri mengirimkan foto-fotonya itu ke
surat kabar dan majalah, dan foto-foto itu selalu dikembalikan. Mothershed
menghibur diri dengan mengingat-ingat para jenius yang ditolak sebelum
kemampuan mereka diakui, Ia menganggap dirinya sebagai martir paham phi-
listmisme.
Kemudian, tanpa dinyana, peluang emasnya muncul. Saudara sepupu ibunya,
yang bekerja di sebuah usaha penerbitan HarperCollins, memberikan sebuah
informasi kepada Mothershed bahwa mereka merencanakan untuk membuat
sebuah buku promosi tentang Swiss.
"Mereka belum memilih fotografernya, Leslie, jadi kalau kau sekarang pergi ke
Swiss dan membawa kembali foto-foto yang bagus, order buku itu akan
kaudapatkan."
Leslie Mothershed bergegas mengemasi kamera-kameranya dan berangkat ke
Swiss. Ia tahu—ia teramat tahu—bahwa inilah peluang yang sudah lama
ditunggu-tunggunya. Akhirnya, orang-orang goblok itu akan mengakui
bakatnya. Ia menyewa sebuah mobil di Jenewa dan berkeliling ke seluruh negeri
itu memotret rumah-rumah khas Swiss, air
terjun, dan puncak-puncak gunung yang bersalju. Ia memotret matahari terbit
dan matahari terbenam dan para petani yang sedang bekerja di ladang. Lalu, di
tengah semuanya itu, nasib datang dan mengubah kehidupannya. Ia sedang
dalam perjalanan menuju Bern ketika mobilnya mogok. Ia membawa mobilnya
ke pinggir jalan raya dengan penuh amarah. Kenapa aku? Mothershed mengeluh.
Mengapa hal-hal seperti ini selalu terjadi pada diriku? Ia duduk di situ dengan
kesal, memikirkan tentang waktu berharga yang hilang dan betapa mahalnya
ongkos menderek mobilnya. Lima belas kilometer di belakangnya adalah
desa.bernama Thun. Aku akan mencari mobil derek di sana, pikir Mothershed.
Pasti tidak akan terlalu mahal.
Ia menghentikan sebuah truk bensin yang lewat di situ. "Saya memerlukan truk
penderek," Mothershed menjelaskan. "Bisakah Anda singgah ke sebuah bengkel
di Thun dan minta mereka datang dan menjemput saya?"
Pengemudi truk itu menggelengkan kepala. "Sekarang hari Minggu, mister.
Bengkel terdekat yang buka ada di Bern."
"Bern? Berarti lima puluh. kilometer dari sini. Akan sangat mahal itu."
Pengemudi truk itu menyeringai. "Ja. Memang hari Minggu kesempatan bagi
mereka menaikkan harga." Ia sudah akan menjalankan kendaraannya.
"Tunggu." Sangat berat ia mengucapkannya. "Saya... saya akan mengambil truk
penderek dari Bern itu."
"Gut. Saya akan minta mereka mengirim orang ke sini."
Leslie Mothershed duduk memaki-maki di da lam mobilnya yang ngadat itu. Ya,
ini pas benar buatku, pikirnya dengan kesal. Ia sudah menge luarkan banyak
uang untuk membeli film, dan sekarang ia harus keluar uang lagi untuk
membayar seorang pemeras yang akan mendereknya ke sebuah bengkel. Setelah
menunggu hampir .dua jam penuh truk penderek itu baru datang. Pada saat
montir mulai mengikatkan kabel dari truknya ke mobil itu, tiba-tiba nampak
kilatan cahaya dari seberang jalan raya, yang diikuti oleh sebuah ledakan keras,
dan Mothershed menengadah untuk menyaksikan sesuatu yang nampaknya
seperti sebuah benda terang jatuh dari langit. Satu-satunya kendaraan lain di
jalan raya itu adalah sebuah bus turis yang dihentikan di belakang mobilnya.
Para penumpang bus itu bergegas menuju tempat jatuhnya benda tadi.
Mothershed ragu, antara menuruti rasa ingin tahunya atau melanjutkan
perjalanannya. Ia berbalik dan mengikuti para penumpang bus itu ke seberang
jalan. Ketika tiba di tempat kejadian, ia berdiri di situ terpana. Holy God,
pikirnya. Sungguh mustahil. Ia sedang menyaksikan sebuah piring terbang.
Leslie Mothershed pernah mendengar tentang piring terbang dan telah membaca
tentang itu, tapi tidak pernah percaya bahwa mereka benar ada. Ia menatapnya,
tercengang melihat pemandangan yang ganjil itu. Kulit luar piring terbang
tersebut terkoyak, dan ia bisa melihat dua
sosok-di dalamnya, kecil tapi kepalanya besar, mata tertanam dalam, tidak ada
telinga dan hampir-hampir tak berdagu, dan mereka nampak seperti mengenakan
sejenis pakaian metalik berwarna perak.
Kelompok dari bus turis itu berdiri di sekelilingnya, menatap dengan diam dan
ngeri. Pria di sebelahnya jatuh pingsan. Seorang pria yang lain berbalik pergi
dan muntah-muntah. Seorang pastor yang sudah tua menggenggam rosarionya
dan menggumamkan sesuatu dengan tersendat-sendat.
"Ya, Tuhan," kata seseorang. "Itu piring terbang!"
Dan saat itulah Mothershed baru sadar. Sebuah mukjizat telah jatuh ke
pangkuannya. Ia—Leslie Mothershed—berada di tempat kejadian dengan
kameranya untuk memotret kisah terbesar abad ini! Tak ada majalah atau surat
kabar di dunia ini yang akan menolak foto-foto yang sebentar akan diambilnya
ini. Buku promosi tentang Swiss? Hampir ia tertawa mengingat betapa
menggelikannya gagasan itu. Sebentar lagi ia akan membuat dunia tercengang.
Semua program berita televisi akan memohon-mohon kepadanya, tapi ia akan
muncul di program Robin Leach dulu. Ia akan menjual foto-fotonya kepada
London Times, Sun, Mail, Mirror—kepada semua koran Inggris, dan kepada
koran-koran dan majalah-majalah asing— Le Figaro dan Paris Match, Oggi dan
Der Tag. Time dan USA Today. Semua media massa akan memohon untuk diberi
foto-fotonya. Jepang dan
Amerika Selatan dan Rusia dan Cina dan—tidak
ada batasnya. Hati Mothershed dipenuhi dengan kegembiraan yang meluap-luap.
Aku tidak akan memberikan kak istimewa kepada pihak mana pun. Setiap pihak
harus membayar secara terpisah. Aku akan mulai dengan seratus ribu pound per
foto, mungkin dua ratus ribu. Dan aku akan menjual-' nya berulang-ulang.
Bagaikan kesurupan ia mulai menghitung-hitung uang yang akan diterimanya
itu.
Leslie Mothershed begitu sibuk menghitung kekayaannya sehingga ia hampir
saja lupa untuk memotret. "Ya, ampun! Permisi," katanya, tidak kepada siapa-
siapa, lalu lari secepat kilat kembali ke seberang jalan untuk mengambil
peralatan memotretnya.
Montir sudah selesai mengangkat moncong mobil yang mogok itu, siap untuk
mendereknya pergi dari situ.
"Apa yang terjadi di sana?" tanyanya.
Mothershed sibuk menyambar peralatan memotretnya. "Ayo ikut dan lihatlah
sendiri."
Kedua orang itu lari menyeberangi jalan raya menuju tempat yang ditumbuhi
pepohonan itu, dan Mothershed menerobos masuk di antara kerumunan turis.
"Maaf," katanya. "Maaf."
Ia mengatur fokus kameranya dan mulai memotret UFO itu bersama
penumpang-penumpangnya yang ganjil. Ia memotret dalam hitam-putih dan
dalam warna. Setiap kali tirai penutup lensa ber-
bunyi klik, Mothershed menghitung, Satu juta pound., sejuta pound lagu., sejuta
pound lagi.
Pastor itu membuat tanda salib pada dirinya sendiri dan berkata, "Ini adalah
wajah Setan."
Setan, omong kosong, pikir Mothershed dengan kegembiraan yang meluap-luap.
Ini adalah wajah uang. Ini akan merupakan foto-foto pertama yang membuktikan
bahwa piring terbang memang benar ada. Dan kemudian, tiba-tiba, sebuah
gagasan yang menakutkan terlintas di benaknya. Bagaimana kalau majalah-
majalah ini mengira bahwa foto-foto ini palsu? Sebelum ini sudah banyak foto
piring terbang palsu. Kegembiraannya lenyap seketika. Bagaimana kalau mereka
tidak percaya padaku? Dan pada saat itulah Leslie Mothershed memperoleh
inspirasinya yang kedua.
Ada sembilan saksi mata yang berada di sekitarnya. Tanpa mereka sadari,
mereka bisa memberikan keautentikan pada penemuannya ini.
Mothershed membalikkan badan untuk berhadapan dengan kelompok ini.
"Nyonya-nyonya dan Tuan-tuan," ia berseru. "Kalau Anda semua ingin difoto di
sini, harap berdiri berjajar dan dengan senang hati saya akan mengirimkan
hasilnya kepada Anda masing-masing, gratis."
Terdengar gemuruh seman tanda setuju. Beberapa saat kemudian para
penumpang bus turis itu, kecuali si pastor, sudah berdiri di samping reruntuhan
UFO.
' Pastor itu enggan. "Saya tidak bisa," katanya. "Itu roh jahat!"
Mothershed memerlukan pastor itu. Ia akan merupakan saksi mata yang paling
meyakinkan dari semuanya.
"Justru itulah," kata Mothershed membujuk. "Tidakkah Anda lihat? Ini-akan
merupakan kesaksian Anda mengenai eksistensi roh jahat"
Dan pastor itu akhirnya terbujuk juga.
"Harap menyebar sedikit" demikian instruksi Mothershed, "jadi kita bisa melihat
piring terbangnya."
Para saksi mata itu mengubah posisi mereka.
"Cukup. Bagus sekali. Bagus. Awaaas, ya."
Ia memotret sebanyak lebih dari setengah lusin foto dan mengeluarkan sebuah
pensil dan secarik kertas.
"Mohon dituliskan nama dan alamat Anda, akan saya atur supaya Anda masing-
masing memperoleh satu foto nanti."
Padahal ia tidak pernah bermaksud mengirimkan foto sama sekali. Ia hanya
memerlukan saksi-saksi itu sebagai penunjang. Nah, sekarang koran-koran dan
majalah-majalah itu tak bisa berkilah lagi!
Kemudian, tiba-tiba, ia melihat bahwa beberapa orang dari kelompok itu
memiliki kamera. Ia tidak akan membolehkan orang lain mengambil foto! Hanya
foto-foto dengan tanda "Photograph by Leslie Mothershed" yang boleh ada.
"Maaf/ katanya kepada kelompok itu. "Siapa di antara Anda yang mempunyai
kamera, mari berikan kepada saya. Saya akan memotret Anda
sehingga Anda akan mempunyai foto yang diambil dengan kamera Anda
sendiri."
Kamera-kamera itu segera diberikan kepada Leslie Mothershed. Pada waktu ia
berlutut untuk mengambil foto yang pertama, tak seorang pun melihat bahwa
Mothershed membuka bilik tempat film dengan ibu jarinya dan membiarkannya
renggang sedikit Nah, sedikit sinar matahari akan membuat foto-foto ini tidak
jadi Maaf, kawan, tapi hanya kaum profesional saja yang boleh memotret
momentum historis ini.
Sepuluh menit kemudian, Mothershed telah mencatat semua nama dan alamat
mereka. Ia lalu memandang sekali lagi ke piring terbang itu dan berpikir dengan
penuh sukacita, Ibu ternyata benar. Aku'akan menjadi kaya dan terkenal.
Ia tidak sabar ingin segera kembali ke Inggris untuk mencuci foto-fotonya yang
amat berharga itu.
"Apa yang terjadi sebenarnya?"
Kantor-kantor polisi di Uetendorf kewalahan melayani telepon yang masuk
sepanjang petang.
"Ada orang yang menyelinap masuk di sekitar rumah saya...."
"Ada cahaya-cahaya aneh di luar sana...."
"Ternak piaraan saya gelisah terus. Pasti ada serigala di sekitar sini...."
"Ada orang yang mengeringkan bak air saya...."
Dan laporan telepon yang paling sulit dijelaskan adalah: "Pak Kepala, sebaiknya
Anda segera me-
ngirimkan banyak truk penderek ke jalan rav utama. Ini benar-benar mimpi
buruk. Lalu 1 inta macet total." "Apa? Mengapa?"
"Tidak ada yang tabu. Mesin-mesin mobil mendadak mati semuanya."
Itu merupakan malam yang. tak akan pernah bisa mereka lupakan.
Bab Enam Belas
Berapa lama misi ini akan berlangsung? Robert bertanya dalam hati, sementara
ia mengikatkan sabuk pengaman di kursi kelas satu penerbangan Swissair. Pada
saat pesawat itu meluncur di lan-dasan pacu, dengan mesin-mesin Rolls-Roycc-
nya rakus menelan udara malam, Robert bersantai dan memejamkan matanya.
Apa benar baru lewat beberapa tahun sejak aku ikut dalam penerbangan yang
sama ini bersama Susan ke London? Tidak Rasanya seperti sudah berabad-abad
yang lalu.
Pesawat itu menyentuh landasan di Heathrow pada jam 18.29 pelang, tepat
sesuai jadwalnya. Robert berjalan keluar dari kompleks yang rumit ltu dan
mengambil taksi menuju pusat kota yang membentang tak beraturan. Ia
melewati ratusan monumen yang .dikenalnya dengan baik, dan ia j>tsa
mendengar suara Susan yang dengan riang memberikan komentar-komentar
terhadap itu. Di masa yang penuh kebahagiaan itu, tidak menjadi H mereka
berada di mana. Sudah cukup asal
mereka berada bersama-sama. Mereka selalu membawa serta kebahagiaan
mereka, rasa saling menyukai yang amat khusus. Perkawinan mereka seharusnya
bisa berakhir dengan "happy end". Hampir.
Masalah yang timbul di antara mereka bermula dari sesuatu yang amat biasa,
yaitu telepon lintas samudera dari Admiral Whittaker ketika Robert dan Susan
sedang bertamasya di Thailand. Saat itu enam bulan sudah berlalu sejak Robert
dibebastugaskan dari Angkatan Laut, dan selama itu ia belum berbicara lagi
dengan sang Admiral. Telepon itu, yang masuk ke Hotel Oriental di Bangkok,
merupakan sebuah kejutan.
"Robert? Admiral Whittaker."
"Admiral! Senang sekali mendengar suara Anda."
"Tidak mudah juga melacakmu. Kau sedang sibuk apa sekarang ini?"
"Tidak banyak. Santai-santai saja. Menikmati bulan madu yang panjang."
"Susan bagaimana? Benar Susan, kan?"
"Ya. Dia baik-baik saja, terima kasih."
"Berapa cepat kau bisa kembali ke Washington?"
"Maaf?"
"Memang ini belum diumumkan, tapi aku baru saja diberi jabatan baru, Robert.
Mereka mengangkatku menjadi wakil direktur Badan Intelijen Angkatan Laut
Distrik Ke-17. Aku ingin kau iku^ denganku."
Robert agak terkejut. "Intelijen Angkatan Laut? Admiral, saya tidak tahu apa-apa
tentang..."
"Kau bisa mempelajarinya. Kau akan melakukan sesuatu yang penting
buat.negerimu, Robert. Maukah kau datang dan membicarakannya denganku?"
"Well..."
"Baik. Aku menunggu kedatanganmu di kantorku hari Senin jam sembilan pagi.
Sampaikan salamku buat Susan."
Robert mengulangi pembicaraan itu kepada Susan.
"Intelijen Angkatan Laut? Kedengarannya begitu menarik."
"Mungkin," kata Robert ragu. "Aku benar-benar buta tentang bidang itu."
"Kau harus mencari tahu."
Ia mengamati Susan untuk beberapa saat "Kau ingin aku menerimanya, kan?"
Susan melingkarkan kedua lengannya di leher Robert. "Aku ingin kau
melakukan apa saja yang ingin kaulakukan. Kukira kau sudah siap untuk
kembali bekerja. Aku melihat beberapa minggu terakhir ini betapa kau sudah
mulai gelisah."
"Kukira kau mencoba menyingkirkan aku," Robert menggoda. "Bulan madunya
sudah berakhir."
Susan menempelkan bibirnya ke bibir Robert "Tidak akan. Sudahkah kukatakan
padamu betapa aku tergila-gila padamu, pelaut? Ayo kubuktikan sekarang...."
Merenungkan hal itu kemudian—terlambat— Robert sadar bahwa itu merupakan
awal mula berakhirnya perkawinan mereka. Tawaran itu kedengaran sangat
menarik saat itu, dan ia kembali
ke Washington untuk menjumpai Admiral Whittaker.
"Pekerjaan ini memerlukan otak, keberanian, dan inisiatif, Robert Kau memiliki
ketiga-tiganya. Negeri kita telah menjadi sasaran bagi sejumlah diktator negara
kecil yang bisa membiayai kelompok teroris atau membangun pabrik senjata
kimia. Beberapa negara seperti ini sedang berupaya membuat bom atom supaya
mereka bisa memaksakan kemauannya. Tugasku adalah membangun jaringan
intelijen untuk mencari tahu dengan tepat apa yang sedang mereka lakukan dan
berusaha mencegah mereka. Aku ingin kau membantuku."
Akhirnya, Robert menerima pekerjaan di Intelijen Angkatan Laut itu, dan secara
tidak diduga, ia ternyata menyukainya dan mempunyai bakat di bidang itu.
Susan menemukan sebuah apartemen cantik di Rosslyn, Virginia, tidak jauh dari
tempat kerja Robert, dan ia menyibukkan diri mendekorasinya. Robert dikirim
ke Farm, pusat pelatihan GIA untuk para agen Dinas Rahasia.
Terletak di sebuah kompleks yang dijaga ketat di daerah pedesaan Virginia, Farm
menempati daerah seluas dua puluh mil persegi, sebagian besar dikelilingi
pepohonan pinus yang tinggi, dengan bangunan-bangunan utamanya terletak di
lahan seluas sepuluh ekar yang jauhnya dua mil dari gerbang depan. Jalan-jalan
setapak nampak bercabang-cabang menembus pepohonan, dengan portal-portal
berbarikade yang ditandai "Dilarang Ma-
suk1*- Di landasan udaranya yang kecil, pesawat-pesawat tak beridentitas
datang dan pergi beberapa kali dalam sehari. Farm dibangun dengan penampilan
tersamar, dengan pohon-pohon berdaun rindang, rusa-rusa yang berlarian di
halamannya, dan bangunan-bangunan kecil yang bertebaran di sekitar kawasan
yang luas itu bagaikan rumah-rumah biasa. Tapi di dalam kompleks itu
keadaannya sangat berbeda.
Robert tadinya menyangka akan menjalani pelatihan bersama-sama dengan
personil Angkatan Laut yang lain, tapi ia heran, ternyata para siswanya
merupakan campuran dari calon-calon agen CIA, marinir, personil Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Setiap siswa diberi nomor dan
ditempatkan di sebuah ruang mirip asrama di salah satu bangunan bata
bertingkat dua yang nampak sangat Spartan. Di Mess Perwira Bujangan tempat
Robert ditempatkan, setiap orang diberi kamar sendiri, dan berbagi kamar mandi
dengan seorang rekan. Aula terletak di seberang kompleks Mess Perwira
Bujangan itu.
Pada hari Robert tiba, ia diantarkan ke sebuah auditorium bersama dengan tiga
puluh pendatang baru yang lain. Seorang kolonel berkulit hitam yang jangkung
dan tegap dari Angkatan Udara berbicara kepada kelompok itu. Ia berusia sekitar
pertengahan lima puluhan, dan memberikan kesan seseorang yang berpikir cepat
dan bersikap dingin. Ia berbicara dengan jelas dan singkat tanpa ada kata yang
terbuang.
"Saya Kolonel Frank Johnson. Saya ingin mengucapkan selamat datang. Selama
Anda tinggal di sini Anda banya akan menggunakan nama kecil Anda. Mulai
saat ini, kehidupan Anda merupakan buku yang tertutup. Anda semua telah
disumpah untuk memegang rahasia. Saya minta Anda memegang sumpah itu
dengan sangat, sangat sungguh-sungguh. Anda tidak akan pernah diizinkan
untuk membicarakan pekerjaan Anda dengan siapa pun— istri Anda, keluarga
Anda, teman-teman Anda. Anda telah dipilih untuk datang ke sini karena Anda
memiliki kualifikasi khusus. Kerja keras sedang menunggu Anda supaya Anda
bisa mengembangkan kualifikasi khusus itu, dan belum tentu semua akan
mampu melakukannya. Anda akan dilibatkan dalam hal-hal yang belum pernah
Anda dengar sebelumnya. Saya tidak mampu menggambarkan betapa
pentingnya tugas yang akan Anda emban jika Anda telah selesai di sini. Sudah
menjadi mode sekarang ini di kalangan liberal tertentu untuk menyerang dinas-
dinas rahasia kita, apakah itu CIA, Angkatan Darat, Angkatan Laut, atau
Angkatan Udara, tapi saya bisa meyakinkan Anda, Saudara-saudara, bahwa
tanpa orang-orang yang berdedikasi tinggi seperti Anda semua, negeri ini akan
berada dalam kesulitan besar. Akan menjadi tugas Anda untuk mencegah bal itu.
Mereka yang lulus nanti akan menjadi perwira-perwira kasus. Jelasnya, perwira
kasus artinya mata-mata. Ia akan bekerja secara terselubung. "Selama Anda
berada di sini, Anda akan mem-
peroleh pelatihan yang terbaik di dunia. Anda akan dilatih mengenai
pengawasan dan kontra pengawasan. Anda akan mengikuti kursus-kursus
komunikasi radio, penggunaan sandi, persenjataan, dan membaca peta.
"Anda akan mengikuti pelajaran hubungan antarmanusia. Anda akan diajari
tentang bagaimana membangun hubungan baik, bagaimana membangkitkan
motivasi pada diri seseorang, bagaimana membuat target Anda merasa nyaman."
Semua orang di kelas itu menyimak dengan saksama.
"Anda akan belajar bagaimana menemukan dan merekrut seorang agen. Anda
akan dilatih untuk memastikan bahwa tempat-tempat pertemuan sudah aman.
"Anda akan belajar apa artinya dead drops, bagaimana caranya berkomunikasi
secara terselubung dengan kontak-kontak Anda. Kalau Anda berhasil dalam
pelatihan ini, Anda akan melaksanakan tugas-tugas Anda tanpa diketahui dan
dideteksi orang."
Robert dapat merasakan semangat tinggi yang memenuhi ruangan itu.
"Ada di antara Anda nanti yang bekerja di bawah perlindungan pemerintah. Itu
bisa diplomatik atau militer. Ada juga yang akan bekerja secara terselubung tapi
tidak melalui jalur pemerintah—sebagai pengusaha, arkeolog, atau novelis —
profesi apa saja yang akan bisa menjadi -sarana bagi Anda untuk menyesuaikan
diri dengan ling-
kungan dan tipe-tipe manusia yang memiliki informasi yang Anda cari. Dan
sekarang saya akan mengembalikan Anda kepada para instruktur Anda. Semoga
sukses."
Robert mendapati bahwa pelatihan itu sangat menarik. Para instrukturnya adalah
orang-orang yang sudah bekerja di lapangan dan merupakan profesional-
profesional berpengalaman. Robert menyerap informasi teknisnya dengan
mudah. Selain pelajaran-pelajaran yang sudah disebutkan Kolonel Johnson, ada
pelajaran tambahan bahasa dan pelajaran mengenai sandi-sandi rahasia.
Kolonel Johnson adalah seorang yang misterius bagi Robert Desas-desus yang
beredar adalah bahwa ia mempunyai koneksi kuat dengan Gedung Putih dan
terlibat dalam kegiatan terselubung tingkat tinggi. Sering ia menghilang dari
Farm selama berhari-hari dan tiba-tiba muncul kembali.
Seorang agen bernama Ron sedang memimpin sebuah kelas.
"Ada enam fase dalam proses sebuah operasi rahasia. Yang pertama adalah
spotting—pengenalan. Kalau Anda sudah tahu informasi'apa yang Anda
perlukan, tantangan Anda yang pertama adalah mengidentifikasi dan
menemukan orang-orang yang mempunyai jalur ke informasi itu. Fase yang
kedua adalah assessment—penerobosan. Setelah si target bisa dikenali, Anda
harus memutuskan apa-
kah dia benar mempunyai informasi yang Anda butuhkan, dan apakah kiranya
mungkin merekrutnya. Apa motivasinya? Apakah dia cukup puas dengan
pekerjaannya? Apakah dia menaruh dendam* terhadap bosnya? Apakah .dia
mempunyai masalah keuangan? Kalau si target ini bisa diterobos dan ada
motivasi yang bisa dieksploitasi, Anda sudah bisa beranjak ke fase tiga.
"Fase tiga adalah development—pengembangan. Anda membina hubungan
dengan si target. Anda berusaha untuk sebanyak mungkin bertemu dia seakan
tak sengaja, dan membangun hubungan baik. Fase selanjutnya adalah
recruitment Kalau menurut Anda dia sudah siap, Anda mulai menggarap dia
secara psikologis. Anda menggunakan senjata psikologis apa saja yang Anda
punyai—balas dendam terhadap bosnya, uang, rangsangan untuk memperoleh
uang. Kalau, seorang perwira kasus melakukan tugasnya dengan baik, si target
biasanya akan mengatakan 'ya'.
"Sejauh ini bagus. Kini Anda punya mata-mata yang bekerja untuk Anda.
Langkah berikutnya adalah menangani dia. Anda harus melindungi bukan saja
diri Anda sendiri tapi juga dia. Anda harus mengadakan pertemuan-pertemuan
rahasia dengannya dan melatihnya untuk menggunakan mikrofilm dan, bila
perlu, radio terselubung. Anda harus mengajarkan kepadanya bagaimana
mendeteksi kalau diawasi, dan harus menjawab apa jika diinterogasi, dan lain-
lain.
"Fase yang terakhir adalah disconnecting—
pemutusan. Setelah beberapa waktu, mungkin saja agen Anda itu akan
dipindahkan ke suatu pekerja-an tain sehingga tidak lagi berada di jalur
informasi itu, atau barangkali kita tidak membutuhkan informasi yang bisa
diberikannya itu. Apa pun masalahnya, hubungan itu harus diakhiri, tapi penting
sekali untuk mengakhirinya sedemikian rupa sehingga si agen tidak merasa
bahwa dia telah ditunggangi dan karena itu ingin menuntut balas...."
Ternyata Kolonel Johnson benar. Tidak semua calon berhasil menyelesaikan
pelatihan itu. Ada saja wajah-wajah yang sudah dikenal yang lalu menghilang
Lenyap begitu saja. Tak ada yang tahu mengapa. Tak ada yang bertanya.
Pada suatu hari, ketika sekelompok siswa sedang bersiap-siap untuk berangkat
ke Richmond untuk melakukan latihan pengawasan, instruktur Robert
mengatakan, "Kita akan mencoba apa Anda sudah bisa, Robert Saya akan
mengirim seseorang untuk membuntuti Anda. Anda harus bisa menye-
satkannya. Bisa Anda lakukan itu?"
"Ya, sir."
"Semoga berhasil."
Robert menumpang bus yang menuju Richmond dan mulai menyusuri jalan-
jalan di kota itu. Dalam waktu lima menit ia sudah bisa menemukan para
pelacaknya. Ada dua orang. Satu berjalan kaki dan
yang satu lagi mengendarai mobil. Robert berusaha menghindar masuk ke
restoran-restoran dan toko-toko dan cepat-cepat keluar lewat pintu belakangnya,
tapi ia tidak berhasil mengecoh mereka. Mereka terlalu terlatih. Akhirnya, waktu
hampir habis untuk kembali ke Farm, dan Robert masih saja belum bisa lolos
dari mereka. Mereka membuntutinya terlalu dekat Robert masuk ke sebuah
department store, dan kedua orang itu mengambil posisi sedemikian rupa
sehingga mereka bisa meliput jalan-jalan masuk dan keluarnya. Robert
mengambil eskalator naik ke bagian pakaian pria. Tiga puluh menit kemudian
ketika ia turun lagi, ia mengenakan setelan yang berbeda—lengkap dengan
mantel dan topi—, berceloteh dengan seorang wanita, sambil menggendong
bayi. Ia berjalan melewati para pengejarnya tanpa dikenali.
Hari itu cuma dia yang berhasil lolos dari peng; awasan.
Istilah-istilah khusus yang dipakai di Farm merupakan bahasa tersendiri.
"Anda barangkali tidak akan memakai semua istilah ini," kata instruktur itu di
depan kelasnya, "tapi sebaiknya Anda tahu. Ada dua jenis agen: agent of
influence—agen pembawa pengaruh dan agent provocateur—agen provokasi.
Agen pembawa pengaruh berusaha mengubah opini di dalam negara tempat dia
beroperasi. Agen provokasi mencoba membuat masalah dan menciptakan
kekacauan. Biographic leverage—pijakan biografis
adalah sandi CIA yang artinya pemerasan. Ada
lagi black-bag job, yang meliputi suap sampai pekerjaan maling. Watergate
merupakan contoh black-bag job."
Ia memandang berkeliling untuk meyakinkan bahwa kelas memperhatikan.
Mereka semuanya terpana.
"Dari waktu ke waktu Anda mungkin membutuhkan seorang cobbler—yaitu
seorang yang ahli dalam memalsu paspor."
Robert bertanya dalam hati apakah ia akan pernah perlu memakai jasa seorang
cobbler.
"Ungkapan to demote maximally—menurunkan dengan maksimal adalah
ungkapan yang kurang enak. Itu artinya membersihkan dengan cara membunuh.
Begitu juga istilah terminate—mengakhiri. Firm—perusahaan—adalah julukan
yang kita berikan untuk Dinas Rahasia Inggris. Kalau Anda diminta untuk
mensterilkan sebuah kantor, Anda bukannya mencari rayap di sana, tapi Anda
akan mencari alat-alat penyadap."
Ungkapan-ungkapan yang misterius itu memikat perhatian Robert.
"Ladies adalah eufemisme untuk wanita yang dikirim untuk menggoda lawan.
Legend artinya biografi seorang mata-mata yang dipalsukan untuk memberikan
penyamaran baginya. Going private artinya berhenti dari dinas."
Instruktur itu menatap ke seluruh kelas, "Ada di antara Anda yang tahu apa
artinya lion tamer— penjinak singa?"
Ia menunggu jawaban. Diam.
"Kalau seorang agen dipecat, bisa jadi dia kecewa dan mungkin mengancam
akan mengungkapkan apa yang diketahuinya. Muscleman atau lion tamer
dipanggil untuk melunakkannya. Saya yakin tidak ada di antara Anda yang akan
pernah perlu berhadapan dengannya."
Itu membuat semua siswa tertawa dengan tegang.
"Kemudian, ada istilah measles—campak. Kalau seorang target meninggal
karena measles, itu artinya dia dibunuh dengan begitu efisien sehingga
kematiannya nampak seperti kecelakaan atau karena sebab-sebab alami. Satu
cara untuk menghasilkan measles ini adalah dengan menggunakan Tabun; yaitu
suatu cairan tak berwarna atau berwarna kecoklatan yang menyebabkan
kelumpuhan saraf apabila diserap melalui kulit Apabila seseorang menawarkan
kepada Anda sebuah music box, itu artinya mereka menawarkan wireless
transmitter. Operator transmiter itu disebut 'musisi*. Kelak, ada di antara Anda
yang akan beroperasi 'telanjang'. Jangan terus langsung mencopot pakaian Anda;
itu artinya cuma bahwa Anda sendirian dan tidak ada yang membantu.
"Ada satu bal lagi yang perlu saya bicarakan hari ini. Kebetulan. Dalam
pekerjaan kita ini, tidak ada binatang dengan nama seperti itu. Biasanya itu
mengisyaratkan bahaya. Kalau Anda terus-terusan berjumpa dengan orang yang
sama, atau Anda berulang kali memergoki mobil yang sama pada
saat Anda sedang menjalankan aksi, lindungi diri Anda. Anda barangkali berada
dalam kesulitan.
"Saya kira cukup untuk hari ini, Saudara-saudara. Akan kita lanjutkan pelajaran
kita, besok."
Dari waktu ke waktu, Kolonel Johnson memanggil Robert ke kantornya untuk
"ngobrol", begitu istilah yang digunakannya. Percakapannya nampak seolah
santai, tapi Robert menyadari bahwa ada penyelidikan terselubung yang sedang
dijalankan.
"Saya mendengar bahwa Anda sudah menikah dan sangat berbahagia, Robert"
"Benar."
Mereka melanjutkan berbicara setengah jam berikutnya mengenai perkawinan,
kesetiaan, dan saling percaya.
Di saat lain: "Admiral Whittaker menganggap Anda sebagai putra, Robert Anda
tahu itu?"
"Ya." Kenangan pahit tentang kematian Edward adalah sesuatu yang tak kunjung
hilang dari ingatan Robert.
Mereka berbicara tentang loyalitas, kewajiban, dan kematian.
"Anda pernah menghadapi kematian lebih dari satu kali, Robert. Apakah Anda
takut mati?"
"Tidak." Tapi mati untuk alasan yang benar, pikir Robert. Bukan mati konyol.
Pertemuan-pertemuan itu membuat Robert frustrasi karena mereka bagaikan
cermin tipuan. Kolonel Johnson bisa melihatnya dengan jelas, tapi
kolonel itu tetap saja tidak nampak, suato misteri yang tak kunjung terungkap.
Pelatihan itu lamanya enam belas minggu, dan selama waktu itu, tak ada di
antara para siswa yang diizinkan untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Robert
benar-benar sangat rindu kepada Susan. Itu merupakan kurun waktu berpisah
yang paling lama bagi mereka. Ketika empat bulan itu berakhir, Kolonel Johnson
memanggil Robert ke dalam kantornya.
"Ini berarti selamat tinggal. Anda telah melakukan tugas Anda dengan sangat
baik, Letnan. Saya kira Anda akan menjalani masa depan yang sangat menarik."
"Terima kasih, sir. Saya harap begitu." "Semoga berhasil."
Kolonel Johnson menyaksikan Robert berlalu dari tempat itu. Selama lima menit
ia duduk di situ tanpa bergerak, kemudian menetapkan niatnya. Ia berjalan
menuju pintu dan menguncinya. Lalu diambilnya telepon dan diputarnya sebuah
nomor.
Susan sudah menunggunya. Ia membuka pintu apartemen mereka, mengenakan
daster tipis yang sama sekali tidak mampu menutupi liku-liku tubuhnya. Ia
terbang ke dalam pelukan Robert dan memeluknya erat-erat "Hai, pelaut. Mau
bersenang-senang?"
"Aku sedang bersenang-senang saat ini," kata Robert dengan riang, "hanya
dengan memelukmu saja."
"Ya Tuhan, aku rindu sekali kepadamu!" Susa mundur dan berkata dengan
garang, "Kalau terjad apa-apa atas dirimu, kukira aku akan mati."
Tak akan pernah terjadi apa-apa atas diriku."
"Janji?"
"Janji."
Susan mengamatinya sebentar, kualir. "Kau nampak lelah sekali."
"Pelatihan ini sungguh intensif," Robert mengakui Pernyataannya itu kurang dari
kenyataannya. Dengan semua teks dan manual yang harus dipelajari, selain
pelajaran-pelajaran praktis yang langsung dipraktekkan, tak ada satu pun dari
para calon itu yang bisa tidur lebih dari beberapa jam saja setiap malamnya.
Sedikit yang memprotes hal itu karena satu alasan yang jelas: Mereka sadar
bahwa apa yang mereka pelajari itu dapat menyelamatkan nyawa mereka satu
hari kelak.
"Aku tahu persis yang kauperlukan," Susan memutuskan.
Robert menyeringai. "Aku akan bilang." la menggapai Susan.
"Tunggu. Beri aku lima menit Tanggalkan pa-kaianmu."
Ia menyaksikan Susan berlalu dan berpikir, Kok bisa seorang laki-laki beruntung
seperti ini? Ia mulai menanggalkan pakaiannya.
Susan kembali beberapa menit kemudian. Ia berkata pelan, "Umm. Aku mau kau
telanjang."
Terngiang di telinganya suara instrukturnya yang berkata, "Ada di antara Anda
nanti yang
akan beroperasi 'telanjang'. Itu artinya Anda sendirian dan tidak ada yang
membantu." Aku akan dibawa ke mana ini? Susan akan kubawa ke mana?
Susan menuntunnya ke kamar mandi. Baknya sudah diisi dengan air hangat yang
wangi, dan ruangan itu gelap hanya diterangi empat lilin yang berkelip-kelip di
wastafel.
"Selamat datang di rumah kembali, darling." Ia menanggalkan dasternya dan
melangkah masuk ke dalam bak mandi. Robert mengikutinya.
"Susan..."
"Jangan bicara. Menyandarlah padaku."
Robert merasakan tangan Susan mengusap-usap punggung dan pundaknya
dengan lembut, dan ia merasakan lekuk-lekuk tubuh Susan yang halus
menyentuh tubuhnya, dan ia lupa betapa lelahnya ia. Mereka bercinta di air
hangat itu, dan setelah mereka mengeringkan tubuh, Susan berkata, "Cukup
sekian pembukaannya. Ayo sekarang kita serius."
Mereka bercinta lagi, dan kemudian, ketika Robert jatuh tertidur sambil
memeluk Susan, ia ber-jikir, Akan begini terus. Untuk selamanya.
Bab Tujuh Belas
Hari Senin pagi berikutnya, Robert melapor untuk I hari pertamanya berdinas di
Badan Intelijen Ang- I katan Laut Distrik Ke-17 di Pentagon.
Admiral Whittaker berkata dengan hangat, "Se- I lamat datang kembali, Robert.
Rupanya kau telah I membuat kesan yang sangat mendalam terhadap I Kolonel
Johnson."
Robert tersenyum. "Dia sendui sangat menge- I sankan."
Saat minum kopi bersama, sang Admiral bertanya, "Kau sudah siap bekerja?"
"Sangat ingin."
"Bagus. Ada sedikit masalah di Rhodesia..."
Bekerja di Badan Intelijen Angkatan Laut ternyata lebih menyenangkan daripada
yang dibayangkan Robert. Setiap penugasan sifatnya berbeda, dan Robert diberi
tugas yang berkategori sangat sensitif. Ia membawa masuk seorang pembelot
yang telah mengungkapkan operasi penyelun- : dupan obat terlarang Noriega di
Panama, mem- i
buka tabir seorang agen yang bekerja untuk Marcos di Kedutaan Amerika di
Manila, dan membantu memasang suatu pos penyadapan informasi di Maroko.
Ia dikirim untuk bertugas di Amerika Selatan dan Hindia Timur. Satu-satunya
yang merisaukannya adalah perpisahan-perpisahan yang lama dengan Susan. Ia
benar-benar tidak suka harus berada jauh dari Susan, dan ia sangat merindukan
Susan. Ia memang bisa mengalihkan kerinduan ini kepada "pekerjaan yang
sangat disukainya, tapi Susan tidak bisa. Beban pekerjaan Robert semakin berat
Ia semakin lama semakin jarang berada di rumah, dan waktu itulah masalahnya
dengan Susan menjadi bertambah gawat
Setiap kali Robert pulang, ia dan Susan langsung melepas kerinduan masing-
masing dan bercinta dengan penuh gairah. Tapi saat-saat seperti itu semakin
lama semakin jarang terjadi. Susan merasa bahwa sering kali panggilan tugas
lebih cepat daripada maksud Robert untuk cuti pulang ke rumah.
Yang lebih parah lagi, Robert tidak boleh membicarakan tentang pekerjaannya
dengannya. Susan sama sekali tidak tahu ke mana ia pergi atau apa yang sedang
dilakukannya. Ia hanya tahu bahwa apa pun yang dikerjakan Robert pasti sesuatu
yang berbahaya, dan ia selalu ketakutan bahwa pada suatu saat Robert akan
berangkat dan tidak pernah kembali,. Ia tidak berani menanyakan apa-apa
kepada Robert. Ia merasa seperti orang asing, yang sama sekali berada di luar
bagian penting hidup
Robert Hidup mereka. Aku tidak bisa terus-terusan hidup seperti ini, Susan
memutuskan.
Ketika Robert pulang setelah misi empat ming-gunya di Amerika Tengah, Susan
berkata, "Robert, kukira kita harus bicara."
"Ada masalah apa?" tanya Robert Ia sudah tahu masalahnya apa.
"Aku takut Hubungan kita semakin lama semakin renggang, dan aku tidak mau
kehilangan kau. Aku tidak akan tahan itu."
"Susan..."
"Sebentar. Biar aku selesaikan. Kau tahu berapa banyak waktu yang kita
habiskan bersama selama empat bulan terakhir ini? Kurang dari dua minggu.
Setiap kali kau pulang, aku merasa kau ini tamu dan bukan suamiku."
Robert memeluk Susan dan mendekapnya erat-erat "Kau tahu betapa aku sangat
mencintaimu."
Susan menyandarkan kepalanya di pundak Robert "Aku mohon jangan sampai
terjadi apa-apa di antara kita."
"Pasti tidak," ia berjanji. "Aku akan berbicara dengan Admiral Whittaker."
"Kapao?" "Segera."
"Admiral bersedia menjumpai Anda, Letnan."
"Terima kasih." • Admiral Whittaker duduk di belakang meja tulisnya sedang
menandatangani surat-surat. Ia men-
dongakkan kepalanya ketika Robert masuk dan tersenyum.
"Selamat datang, Robert, dan kuucapkan selamat Pekerjaanmu di El Salvador
sangat memuaskan."
"Terima kasih, sir."
"Silakan duduk. Boleh kutawarkan kopi?"
"Tidak, terima kasih, Admiral."
"Kau ingin berbicara denganku? Sekretarisku mengatakan bahwa ada yang
penting. Apa yang bisa kubantu?"
Terasa sulit memulainya. "Well, sir, ini masalah pribadi. Saya baru menikah
kurang dari dua tahun, dan..."
"Kau telah membuat pilihan yang istimewa, Robert Susan seorang wanita yang
baik."
"Ya, saya setuju. Masalahnya adalah bahwa saya selalu tak ada di rumah, dan dia
kurang senang dengan itu." Ia menambahkan dengan cepat, "Dan dia
mempunyai hak untuk merasa begitu. Itu sesuatu yang tidak normal."
Admiral Whittaker menyandar ke kursinya dan berkata dengan tepekur,
"Memang yang kaulakukan ini bukan sesuatu yang normal. Kadang-kadang
orang memang harus mau berkorban."
"Saya tahu," kata Robert bersikeras, "tapi saya tidak bersedia mengorbankan
perkawinan saya. Itu terlalu berat buat saya."
Sang Admiral mengamati dia sambil berpikir keras. "Begitu. Jadi apa yang akan
kauajukan?"
"Saya berharap Anda' berkenan mencarikan
tugas-tugas yang tidak terlalu banyak menjauhkan saya dari rumah. Ini suatu
operasi yang sangat besar, pasti ada ratusan tugas yang bisa saya kerjakan tanpa
berada jauh dari rumah."
"Dekat dengan rumah."
"Ya."
Sang Admiral berkata pelan, "Kau tentu berhak memperolehnya. Aku tidak
melihat alasan mengapa itu tidak bisa diatur."
Robert tersenyum dengan lega. "Anda sangat baik hati, Admiral. Saya sangat
menghargainya."
"Ya, kurasa itu pasti bisa diatur. Katakan kepada Susan bahwa aku bilang
masalahnya bisa diatasi."
Robert bangkit dengan wajah berseri-seri. "Saya tidak tahu bagaimana saya
harus berterima kasih kepada Anda."
Admiral Whittaker melambaikan tangannya tanda berpisah. "Kau adalah tenaga
yang terlalu bernilai buatku sehingga tak boleh ada apa-apa yang terjadi atas
dirimu. Nah, sekarang pulanglah kepada pengantinmu."
Ketika Robert menyampaikan kabar baik itu kepada Susan, ia sangat girang. Ia
melingkarkan kedua tangannya ke leher Robert. "Oh, darling, itu sungguh
menyenangkan."
"Aku akan minta kepadanya untuk memberiku cuti beberapa minggu supaya kita
bisa bepergian ke suatu tempat. Itu akan menjadi bulan madu kita yang kedua."
"Aku sudah lupa bulan madu itu seperti apa," Susan bergumam. "Coba
perlihatkan padaku." Robert melakukan yang diminta.
Admiral Whittaker memanggil Robert keesokan harinya. "Aku hanya ingin kau
tahu bahwa aku sedang melakukan sejumlah persiapan mengenai masalah yang
kita bicarakan kemarin."
"Terima kasih, Admiral." Tiba waktunya kini untuk menyampaikan permintaan
cuti itu. "Sir..."
Admiral Whittaker berkata, "Sesuatu baru saja terjadi, Robert." Sang Admiral
mulai berjalan mondar-mandir. Pada saat ia berbicara, suaranya terdengar sangat
kuatir. "Aku baru saja diberi tahu bahwa CIA telah kebobolan. Rupanya selama
ini informasi top secret telah dibocorkan secara terus-menerus. Yang mereka
ketahui tentang mata-mata ini hanyalah bahwa nama sandinya Fox. Saat ini ia
berada di Argentina. Mereka membutuhkan seseorang di luar badan itu untuk
menangani operasi ini. Direktur CIA meminta kau. Mereka ingin kau melacak
orang itu dan membawanya pulang. Kukatakan kepada mereka bahwa
keputusannya terserah kau. Maukah kau melakukan tugas itu?"
Robert ragu. "Sepertinya saya harus menolaknya, sir."
"Aku menghormati kep utusan mu itu, Robert Selama ini kau terus-terusan
bepergian dan belum pernah menolak suatu tugas. Aku tahu itu cukup
menyulitkan kehidupan rumah tanggamu."
"Sebenarnya saya mau menerima tugas ini, sir. Cuma saja..."
"Kau tak usah menyebutkannya, Robert. Pen-dapatku mengenai pekerjaan dan
dedikasimu akan tetap tidak berubah. Aku hanya ingin'minta satu hal saja
darimu."
"Apa itu, Admiral?"
"Wakil Direktur CIA minta bertemu denganmu, apa pun yang kauputuskan.
Sebagai penghormatan. Kau tidak keberatan, kan?"
"Tentu saja tidak, sir."
Hari berikutnya Robert mengendarai mobilnya ke Langley untuk bertemu
dengan sang Wakil Direktur.
"Silakan duduk, Letnan," kata wakil direktur itu setelah Robert memasuki kantor
besar yang terletak di sudut "Saya mendengar banyak tentang' Anda. Semuanya
yang baik-baik, tentu,"
"Terima kasih, sir."
Wakil direktur itu berusia sekitar awal enam puluhan, sangat kurus dengan
rambut putih yang nampak rapi dan kumis kaku yang bergerak-gerak ke atas ke
bawah kalau ia mengisap pipanya. Setelah lulus dari Yale ia lalu bergabung
dengan OSS selama Perang Dunia II dan kemudian pindah ke CIA ketika badan
itu dibentuk setelah perang usai. Kariernya menanjak dengan mantap sampai ke
jabatannya yang sekarang ini di salah satu badan intelijen yang paling besar dan
paling berkuasa di dunia.
"Saya ingin Anda tahu, Letnan, bahwa saya menghormati keputusan Anda."
Bellamy mengangguk kepada sang Wakil Direktur.
"Tapi, ada satu hal, yang saya kira harus saya beri tahukan kepada Anda." "Apa
itu, sir?"
"Presiden secara pribadi terlibat dalam operasi membuka kedok Fox." "Saya
tidak tahu itu, sir."
"Beliau—dan saya juga—menganggap ini sebagai salah satu operasi paling
penting yang ditangani badan ini sejak didirikan. Saya tahu bagaimana situasi
rumah tangga Anda, dan saya yakin Presiden akan bisa mengerti juga. Dia pria
yang sangat mementingkan kehidupan keluarga. Tapi ketidaksediaan Anda
menerima penugasan ini mungkin bisa menyebabkan—apa ya istilahnya? kesan
yang kurang baik terhadap ONI dan Admiral Whittaker."
"Admiral tidak ada sangkut-pautnya dengan keputusan saya, sir," kata Robert
"Saya mengerti itu, Letnan, tapi apakah Presiden akan bisa mengerti?"
Bulan madu itu rupanya harus ditunda, pikir Robert
Ketika Robert memberitakan hal itu kepada Susan, ia berkata dengan lembut,
"Ini adalah penugasanku yang terakhir. Setelah ini aku akan berada
di roman begitu banyak sehingga kau akan bosan melihatku nanti.
Susan tersenyum kepadanya. "Tak akan ada waktu sebanyak itu di dunia ini. Kita
akan terus bersama untuk selamanya."
Perburuan terhadap Fox ternyata merupakan pengalaman paling palit buat
Robert Ia menemukan jejak Fox di Argentina tapi terlambat satu hari antuk
menangkap mangsanya itu. Jejaknya membawa Robert ke Tokyo, Cina, dan
kemudian Malaysia. Siapa pan si Fox ini, ia meninggalkan cukup petunjuk untuk
melacak di mana tadinya ia berada tapi tidak pernah di mana ia sekarang berada.
Hari-km menjadi minggu, dan minggu-minggu menjadi bulan, dan Robert selalu
setapak berada di belakaag si Fox. Ia menelepon Susan hampir setiap hari. Pada
mulanya yang dikatakannya adalah, "Aku akan palang beberapa hari lagi,
darling." Lalu, "Aku mungkin akan sudah di rumah minggu depan." Dan
kemudian, akhirnya, "Aku tidak yakin kapan aku bisa kembali." Akhirnya
Robert menyerah, la telah mengikuti jejak Fox ini selama dua setengah bulan
tanpa hasil.
Ketika ia kembali ke Susan, Susan nampak berubah. Agak kbib dingin.
"Maafkan aka, dariiag," Robert minta maaf. "Aku benar-benar tidak menyangka
akan begitu lama jadinya. Tadinya Ha..."
"Mereka tidak akan pernah mau melepaskan dirimu, kan, Robert?"
"Apa? Tentu saja mereka mau."
Susan menggelengkan kepalanya. "Aku kira tidak akan. Aku telah bekerja di
Washington Memorial Hospital."
Robert terperangah. "Kau apa?"
"Aku akan menjadi perawat lagi. Aku tidak bisa cuma duduk seharian
menunggumu pulang kepadaku, dengan terus bertanya-tanya kau ada di mana
dan apa yang sedang kaulakukan, bertanya-tanya apakah kau sudah mati atau
masih hidup."
"Susan, aku..."
"Tidak apa-apa, kekasihku. Setidak-tidaknya aku akan melakukan sesuatu yang
berguna di saat-saat kau tidak di rumah. Itu akan membuat penantianku menjadi
lebih menyenangkan."
Dan Robert tidak bisa membantah itu.
Ia melaporkan kegagalannya kepada Admiral Whittaker. Admiral itu bersikap
penuh pengertian.
"Salahku menyetujui memakai dirimu untuk tugas ini. Mulai saat ini, kita akan
membiarkan CIA menangani sendiri masalah-masalah mereka. Maafkan aku,
Robert"
Robert menceritakan kepadanya tentang Susan yang sudah melamar pekerjaan
sebagai perawat
"Mungkin itu suatu gagasan yang baik," kata admiral itu sambil tepekur. "Itu
akan meringankan beban perkawinanmu. Kalau kau melakukan tugas-tugas di
luar negeri kadang-kadang, aku yakin tidak akan terlalu banyak menimbulkan
masalah."
"Kadang-kadang"-nya Itu ternyata berarti hampir
terus-menerus. Itulah awal mula dari perkawinan mereka.
Susan bekerja di Washington Memorial Hospital sebagai perawat di ruang
operasi, dan setiap Robert berada di rumah, ia mencoba mencari waktu untuk
bisa menemaninya, tapi semakin lama ia semakin terlibat dengan pekerjaannya.
"Aku benar-benar senang, darling. Aku merasa aku melakukan sesuatu yang
berguna."
Ia menceritakan tentang pasien-pasiennya kepada Robert, dan Robert teringat
betapa dulu ia. begitu serius merawatnya, betapa Susan telah menguatkannya
sampai kesehatannya pulih kembali, hidup kembali. Robert ikut senang bahwa
Susan kini melakukan pekerjaan penting yang disukainya, tapi kenyataannya
adalah, mereka semakin lama semakin jarang bertemu. Kerenggangan emosional
di antara mereka semakin lama semakin parah. Ada kekakuan dalam hubungan
mereka yang tadinya tidak pernah ada. Mereka bagaikan dua orang asing yang
mati-matian mencoba untuk menemukan-pokok pembicaraan.
Ketika Robert kembali ke Washington setelah menyelesaikan penugasan enam
minggu di Turki, ia membawa Susan makan malam di Sans Souci.
Susan berkata, "Kami mendapat seorang pasien baru di ramah sakit. Dia korban
kecelakaan pesawat terbang, dan para dokter berpendapat bahwa dia tidak akan
bisa bertahan, tapi aku akan meng
upayakan agar dia bertahan." Mata Susan berbinar-binar.
Dulu dia juga begitu terhadapku, pikir Robert Dan ia ingin tahu apakah Susan
menyandarkan
dirinya ke tempat tidur pasien baru itu dan berkata, "Cepatlah sembuh. Aku
menunggumu." Ia
mencoba menepiskan gagasan itu.
"Dia sangat baik, Robert. Semua perawat tergila-gila kepadanya."
Semua perawat? tanyanya dalam hati.
Di sudut benaknya mulai ada secercah keraguan yang menggelitik, tapi ia
berhasil melupakannya.
Mereka memesan hidangan makan malam.
Hari Sabtu berikutnya, Robert berangkat ke Portugal, dan ketika ia kembali tiga
minggu kemudian, Susan menyambutnya dengan riang.
"Monte sudah mulai bisa berjalan hari ini!" Ciumannya kepada Robert tidak
terasa sungguh-sungguh.
"Monte?"
"Monte Blanks. Itulah namanya. Dia akan sehat kembali. Para dokter tidak
percaya, tapi kami tidak mau menyerah."
Kami. "Ceritakan tentang dia kepadaku."
"Dia benar-benar menyenangkan. Dia selalu memberi kami hadiah. Dia sangat
kaya. Dia biasa mengemudikan sendiri pesawatnya, dan saat itu dia mengalami
kecelakaan hebat, dan..."
"Hadiah-hadiah apa?" -
"Oh, hadiah-hadiah kecil—coklat, bunga-bunga,
buku-buku, dan piringan hitam. Dia pernah mencoba memberi kami semua
arloji-arloji mahal tapi tentu saja kami menolaknya." "Tentu saja."
"Dia punya yacht, kuda-kuda untuk bermain polo..."
Sejak hari itu Robert menyebutnya Moneybags. Susan selalu berbicara tentang
dia setiap kali ia pulang dari rumah sakit "Dia benar-benar orang baik, Robert"
Baik berarti berbahaya.
"Dan dia begitu memperhatikan orang lain. Kau tahu apa yang dilakukannya hari
ini? Dia mengatur supaya makan siang dikirim dari Jockey Club untuk semua
perawat di seluruh lantai kami."
Orang ini sungguh menyebalkan. Lucunya, Robert mendapati dirinya sendiri
menjadi marah. "Apakah pasienmu yang hebat ini sudah menikah?"
"Tidak, darling. Kenapa?" "Aku cuma ingin tahu."
Susan tertawa. "Ya Tuhan, kau tidak cemburu,
kan?"
"Terhadap seorang tua yang baru saja belajar berjalan? Tentu saja tidak." Jelas
aku cemburu. Tapi ia tidak mau membuat Susan senang dengan mengatakan
begitu.
Kalau Robert berada di rumah, Susan mencoba untuk tidak membicarakan
pasiennya itu, tapi kalau ia tidak membicarakannya, Robert-lah yang memulai.
"Bagaimana kabarnya si tua Moneybags?"
"Namanya bukan Moneybags," Susan memprotes. "Namanya Monte Banks."
"Terserahlah." Sayang sekali si brengsek itu tidak mati dalam kecelakaan
pesawat.
Besoknya adalah hari ulang tahun Susan.
"Aku punya usul," kata Robert dengan bersemangat, "kita akan merayakannya.
Kita akan ke luar rumah dan mencari tempat yang enak untuk makan malam
dan..."
"Aku harus bekerja di rumah sakit sampai jam delapan."
"Baiklah. Aku akan ke sana menjemputmu."
"Oke. Monte sangat ingin bertemu kau. Kuceritakan padanya semua tentang
dirimu."
"Aku juga ingin bertemu dengan orang tua itu," kata Robert meyakinkan dia.
Ketika Robert tiba di rumah sakit, resepsionisnya berkata, "Selamat petang,
Letnan. Susan sedang bekerja di bangsal ortopedi di lantai tiga. Dia menunggu
Anda." Ia mengangkat gagang telepon.
Ketika Robert turun dari lift, nampak Susan sedang menunggunya, mengenakan
seragam putih bersihnya, dan Robert merasa jantungnya berdebar keras. Ia, oh,
benar-benar cantik. "Halo, Cantik"
Susan tersenyum, sikapnya nampak sedikit kaku. "Halo, Robert Aku sudah akan
bebas tugas beberapa menit lagi. Mari masuk. Akan kukenalkan
kau kepada Monte." Sudah tak sabar aku.
Susan membawanya ke sebuah ruang pribadi yang luas yang penuh dengan
buku-buku, bunga-bungaan, dan keranjang-keranjang buah, dan berkata,
"Monte, ini suamiku, Robert"
Robert berdiri di situ menatap ke laki-laki yang berada di tempat tidur. Ia
nampak tiga atau empat tahun lebih tua dari dirinya dan wajahnya mirip-mirip
Paul Newman. Robert langsung tidak suka kepadanya.
"Saya sangat senang berjumpa dengan Anda, Letnan. Susan telah menceritakan
semuanya mengenai diri Anda."
Itukah yang mereka bicarakan kalau Susan berada di samping tempat tidurnya di
tengah malam?
"Susan sangat bangga akan Anda."
Bagus, buddy, puji-puji aku terus.
Susan sedang memandang ke Robert, ingin suaminya berlaku sopan. Ia
mencoba.
"Saya mendengar Anda sudah akan bisa keluar dari sini segera."
"Ya, itu terutama karena bantuan istri Anda. Ia seorang pembuat keajaiban."
'Ayolah, pelaut. Apa kaukira aku akan mau membiarkan perawat lain
mendapatkan tubuh yang hebat ini?" "Ya, memang itulah keahliannya." Robert
tidak mampu menyembunyikan kepahitan dalam nada suaranya.
Makan malam ulang tahun itu ternyata malah f menjadi bencana. Yang ingin
dibicarakan Susan hanyalah pasiennya itu.
176
I
"Apakah dia mengingatkanmu pada seseorang,
darling?" "Boris Karloff."
"Mengapa kau harus bersikap begitu kasar ke-
• padanya?"
Robert berkata dengan dingin, "Kurasa aku sudah bersikap sangat sopan.
Kebetulan aku kurang suka padanya."
Susan menatapnya. "Kenal pun kau belum dengannya. Apa yang tidak kausukai
mengenai dirinya?"
Aku tidak suka caranya memandang dirimu. Aku tidak suka caramu
memandangnya. Aku tidak suka melihat betapa perkawinan kita sedang menuju
ke jurang. Ya Tuhan, aku tidak mau kehilangan dirimu. "Maaf. Kurasa aku cuma
capek saja."
Mereka menyelesaikan makan malam mereka dengan saling berdiam diri.
Keesokan paginya, saat Robert bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, Susan
berkata, "Robert, ada sesuatu yang ingin kubicarakan...."
Dan itu membuat perutnya nyeri bagaikan ditusuk dengan pisau. Ia tidak tahan
menyaksikan Susan mengungkapkan apa yang sedang terjadi dalam kata-kata.
"Susan..."
"Kau tahu aku mencintaimu. Aku akan selalu mencintaimu. Kau laki-laki yang
paling kusayangi,
yang paling kukagumi yang pernah kukenal." "Aku mohon..."
Tidak, biarkan aku lanjutkan dulu. Ini sangat berat buatku. Dalam tahun terakhir
ini, kita hanya berada bersama beberapa menit saja. Perkawinan kita sebenarnya
sudah tidak ada. Kau dan aku sudah semakin saling menjauh." Setiap kata
merupakan tusukan pisau bagi Robert. "Kau benar," kata Robert dengan putus
asa. "Aku akan berubah. Aku akan berhenti dari badan itu. Sekarang. Hari ini.
Kita akan pergi ke suatu tempat dan..."
Susan menggelengkan kepala. "Tidak, Robert. Kita sama-sama tabu bahwa itu
tidak akan bisa terjadi. Kau senang melakukan apa yang sedang kaulakukan
sekarang. Kalau kau berhenti hanya karena aku, kau akan selalu menyesali itu.
Ini j bukan salah siapa-siapa. Ini memang... harus ter- j jadi. Aku ingin minta
cerai."
Seakan dunia runtuh menimpa dirinya. Tiba-tiba ia merasa perutnya mual.
"Kau tidak bersungguh-sungguh, Susan. Kita akan mencari jalan untuk..."
"Sudah terlambat Aku sudah berpikir tentang ini cukup lama. Selama kau tidak
ada dan aku duduk di rumah sendirian dan menunggumu kembali, aku
memikirkan ini. Selama ini kita sebenarnya menjalani hidup yang terpisah. Aku
butuh j lebih dari itu. Aku butuh sesuatu yang tak bisa kauberikan lagi."
Ia berdiri di situ, bergulat mengendalikan emosinya. "Apa ini... apa ini ada
hubungannya dengan Moneybags?"
178
fSusan tertegun sejenak. "Monte telak memintaku untuk menikah dengannya."
Robert merasa isi perutnya seperti diputarbalikkan. "Dan kau mau?" "Ya."
Itu merupakan mimpi buruk yang membuatnya
gila. Tidak mungkin kit bisa terjadi, pikirnya. Tidak mungkin. Air mata
berlinang di pipinya.
Susan memeluknya dan mendekapnya erat-erat "Tak akan pernah lagi aku
mempunyai perasaan terhadap seorang pria seperti yang kurasakan terhadapmu.
Aku mencintaimu dengan sepenuh jiwa-ragaku. Aku akan selalu mencintaimu.
Kau akan menjadi temanku yang paling kusayangi." Ia lalu menarik dirinya dan
menatap ke mala Robert dalam-dalam. "Tapi itu saja belum cukup. Kau
mengerti?"
Ia cuma mengerti bahwa Susan sedang mencabik-cabik dirinya. "Kita bisa
mencoba lagi. Kita
akan mulai dari awal dan..."
"Maafkan aku, Robert" Suaranya tersangkut di tenggorokan. "Maafkan aku, tapi
semuanya sudah
berakhir."
Susan terbang ke Reno untuk mengurus perceraiannya, dan Letkol Robert
Bellamy mabuk selama dua minggu penuh.
Kebiasaan lama sulit hilangnya. Robert menelepon seorang temannya di FBI. Al
Traynor muncul lebih dari setengah lusin kali dalam perjalanan hidup Robert,
dan Robert mempercayainya.
"Tray, aki perlu bantuan."
"Bantuan? Kau perlu psikiater. Gila, bagaimana bisa kaubiarkan Susan pergi dari
sisimu?"
Berita itu barangkali sudah tersebar di seluruh kota.
"Ceritanya panjang dan menyakitkan."
"Aku sungguh ikut sedih, Robert Dia seorang wanita yang amat baik. Aku...
sudahlah. Apa yang bisa kubantu?"
"Aku ingin kau melakukan pengecekan komputer atas diri seseorang."
"Baik. Berikan namanya."
"Monte Banks. Ini cuma pemeriksaan rutin saja-"
"Baik. Apa yang ingin kauketahui?"
"Mungkin dia bahkan tidak ada di arsipmu, fray, tapi kalau seandainya ada—
apakah dia pernah ditilang karena salah parkir, berlaku kejam terhadap
anjingnya, menerobos lampu merah di perempatan? Hal-hal seperti itu."
"Baik."
"Dan aku juga ingin tahu dari mana dia memperoleh uangnya. Aku ingin tabu
riwayat hidup nya."
"Jadi, semua hal rutin itu, kan?" "Dan Tray, ini cuma antara kita saja. Pribadi.
Oke?"
"Noproblem. Besok kutelepon kau." "Terima kasih. Aku utang satu kali makan
siang." "Makan malam," "Beres."
Robert meletakkan gagang telepon dan berpikir, Aku ini seperti orang yang
hampir tenggelam dan menggapai-gapai mencari pegangan. Apa yang
kuharapkan, bahwa dia itu Jack the Ripper dan Susan
akan berlari-lari kembali ke dalam pelukanku?
Esoknya pagi-pagi sekali, Dustin Thornton memanggil Robert menghadap.
"Anda sedang mengerjakan apa sekarang, Letnan?"
Dia tahu persis apa yang sedang kukerjakan, pikir Robert. "Saya sedang
menyelesaikan laporan mengenai diplomat Singapura itu, dan..."
"Nampaknya itu tidak cukup membuat seluruh waktu Anda terpakai."
"Maaf?"
"Seandainya Anda lupa, Letnan, Badan Intelijen Angkatan Laut tidak
mempunyai wewenang untuk menyelidiki warga Amerika."
Robert menatapnya, tak mengerti. "Apa yang
Anda..."
"Saya baru saja diberi tahu oleh FBI bahwa Anda mencoba memperoleh
informasi yang santa sekali di luar wewenang badan ini."
Robert merasa darahnya bergejolak karena marah. Bajingan Traynor itu telan
mengkhianatinya. Cuma sebegitu arti persahabatan. "Itu masalah pribadi," kata
Robert "Saya..."
"Komputer-komputer FBI itu tidak dipasang untuk kepentingan Anda, juga
bukan untuk membantu Anda mengganggu warga sipil. Jelas?" "Sangat jelas."
"Hanya itu saja." Robert bergegas kembali ke kantornya. Jari-jari nya gemetar
ketika ia memutar nomor 202-324 3000. Sebuah suara menyahut, "FBI."
"Al Traynor."
"Harap tunggu sebentar."
Semenit kemudian, suara seorang pria terdenga di saluran telepon. "Halo. Bisa
saya bantu?"
"Ya. Saya ingin bicara dengan Al Traynor."
"Maaf, Agen Traynor sudah tidak bekerja di kantor ini."
Robert sangat terkejut "Apa?"
"Agen Traynor sudah dipindahkan."
"Dipindahkan?"
"Ya."
"Ke mana?"
"Boise. Tapi sementara ini dia belum akan bisa bertugas di sana. Bisa jadi cukup
lama." "Apa maksud Anda?"
"Dia mengalami kecelakaan tabrak lari tadi malam ketika sedang jogging di
Rock Creek Park. Sulit dipercaya ya? Si penabrak pasti sedang mabuk berat Dia
menaikkan mobilnya ke atas jalur jogging itu. Tubuh Traynor terlempar lebih
dari empat puluh kaki. Mungkin dia tidak akan bisa bertahan hidup."
Robert meletakkan gagang telepon. Pikirannya kacau. Gila, apa yang sedang
terjadi? Monte Banks, si mata biru "all-American boy* itu sedang dilindungi.
Dari apa? Oleh siapa? Ya, Tuhan, pikir Robert, Susan akan dibawa ke mana?
Robert mengunjunginya sore itu.
Susan tinggal di apartemennya yang baru, se-! buah bangunan duplex yang
molek di M Street Robert bertanya-tanya apakah Moneybags yang membelinya.
Sudah berminggu-minggu ia tidak bertemu dengan Susan, dan saat melihatnya
jantung Robert berdebar keras.
"Maafkan aku mengganggu, Susan. Aku tahu aku sudah berjanji untuk tidak
melakukannya."
"Kau bilang tadi bahwa masalahnya penting." .
"Memang." Setelah ia berada di sini sekarang, ia tidak tahu harus mulai dari
mana. Susan, aku datang ke sini untuk menyelamatkan dirimu? Susan pasti akan
menertawakannya.
"Apa yang terjadi?"
"Ini tentang Monte."
Susan mengerutkan dahinya. "Ada apa tentang
dia?"
Sekarang sampai ke bagian yang sulit Bagaimana ia bisa memberitahu Susan
tentang sesuatu yang ia sendiri tidak tahu? Yang diketahuinya hanyalah bahwa
ada sesuatu yang sangat tidak beres. Nama Monte Banks benar ada di komputer
FBI, dengan sebuah keterangan: Tidak'ada informasi yang boleh diungkapkan
tanpa persetujuan resmi. Dan pelacakan itu telah dilemparkan balik ke ONI.
Mengapa?
"Kukira dia itu... dia tidak seperti yang nampak
di luar." "Aku tidak mengerti."
"Susan... dari mana dia memperoleh uangnya?" Susan nampak heran mendengar
pertanyaan itu. "Monte mempunyai bisnis ekspor-impor yang sangat sukses."
Penyamaran paling tua di dunia. h seharusnya datang dengan alasan yang lebih
jelas dan bukan cuma menyatakan sebuah teori yang setengah matang begitu. Ia
merasa seperti orang tolol. Susan menunggu tanggapannya, dan ia tidak bisa
mengatakan apa-apa. "Mengapa kau menanyakan itu?" "Aku... aku cuma ingin
yakin bahwa dia orang yang tepat untukmu/ kata Robert dengan lesu.
"Oh, Robert" Suaranya mengandung nada kecewa.
. "Kukira seharusnya aku tidak datang tadi" Memang seharusnya begitu, buddy.
"Maafkan aku."
Susan menghampirinya dan merangkulnya. "Aku mengerti/ katanya pelan.
Tapi sebenarnya ia tidak mengerti. Ia tidak mengerti bahwa suatu penyelidikan
biasa atas diri Monte Banks telah membentur tembok batu, dan dilemparkan
kembali ke Badan Intelijen Angkatan Laut, dan bahwa orang yang mencoba
mencari informasi itu telah dipindahkan ke suatu tempat terpencil.
Ada jalan lain untuk memperoleh informasi, dan Robert menempuhnya dengan
sangat hati-hati. Ia menelepon seorang teman yang bekerja di majalah Forbes.
"Robert! Long time no see. Apa yang bisa aku
hantu?"
Robert menyatakan maksudnya.
"Monte Banks? Kebetulan sekali kau menyebut namanya. Kami berpendapat
bahwa dia seharusnya berada di daftar Empat Ratus Orang Terkaya Forbes, tapi
kami tidak bisa memperoleh data-data yang terinci mengenai dia. Kau punya
data buat kami?"
Hasil nol besar.
Robert pergi ke perpustakaan umum dan mencari nama Monte Banks di buku
Who's Who. Ternyata ia tidak ada di situ.
Ia membalik-balik arsip mikrofilm dan memeriksa edisi-edisi lama Washington
Post sekitar saat-saat Monte Banks mengalami kecelakaan pesawat. Ada sedikit
berita mengenai kecelakaan itu, yang menyebutkan Banks sebagai seorang
pengusaha.
Di situ ia nampak seperti pengusaha yang bersih. Barangkali aku yang keliru,
pikir Robert. Mungkin Monte Banks bukan kriminal Pemerintah kita pasti tidak
akan melindunginya kalau dia mata-mata, seorang penjahat, atau terlibat dalam
perdagangan obat terlarang.... Kenyataannya adalah bahwa aku masih mencoba
untuk mempertahankan Susan.
Menjadi bujangan lagi berarti menjalani hidup yang sepi, hidup yang kosong,
sibuk di siang hari dan tak bisa tidur di malam hari. Senng kali n
tiba-tiba diserang rasa putus asa yang hebat, yang membuatnya menangis. Ia
menangisi dirinya sendiri dan menangisi Susan dan menangisi semua yang
diambil dari mereka. Kehadiran Susan terasa di mana-mana. Apartemen itu
penuh dengan kenangan akan dia. Robert bagaikan dikutuk dengan kenangan
yang terus menghantui, dan setiap ruang menyiksanya dengan kenangan akan
suara Susan, derai tawanya, kehangatan perangainya. Ia teringat akan bukit-bukit
dan lembah-lembah yang lembut dari tubuh Susan saat ia berbaring telanjang di
tempat tidur menunggunya, dan itu membuat hatinya semakin pedih tak
tertahankan.
Teman-temannya merasa kuatir akan keadaannya.
"Kau tidak boleh sendirian, Robert" Dan bersama-sama mereka lalu
meneriakkan, "Kami akan carikan seorang gadis untukmu!"
Gadis-gadis itu jangkung dan cantik, mungil dan seksi. Mereka itu model dan
sekretaris dan staf perusahaan iklan dan janda dan pengacara. Tapi mereka bukan
Susan. Robert merasa tak seorang pun cocok dengannya, dan mencoba berbasa-
basi dengan orang-orang tak dikenal yang sama sekali tak menarik baginya
malah membuatnya makin kesepian. Robert tidak mempunyai hasrat untuk
bercinta dengan yang* mana pun dari mereka. Ia ingin menyendiri Ia ingin
memutar film kehidupannya kembali ke permulaan, menulis ulang skenarionya.
Setelah berada di luar semuanya itu, I begitu mudah rasanya melihat kekeliruan-
I
kekeliruannya, melihat bagaimana seharusnya adegan dengan Admiral Whittaker
dulu itu dimainkan.
CIA telah disusupi skseorang bernama Fox. Wakil Direktur memintamu untuk
melacaknya.
Tidak, Admiral. Maaf. Saya akan pergi dengan istri saya untuk berbulan madu
kedua.
Ia ingin, mengedit ulang hidupnya, untuk mengakhirinya dengan happy end.
Terlambat Kehidupan tidak memberikan peluang kedua. Ia sendirian sekarang.
Ia belanja sendiri, memasak makanannya sendiri, dan pergi ke laundromat dekat
situ sekali seminggu kalau ia sedang berada di rumah.
Itu adalah masa-masa yang sunyi dan sengsara dalam kehidupan Robert. Tapi itu
masih belum yang terburuk. Seorang desainer cantik yang dijumpainya di
Washington meneleponnya berulang-ulang mengundangnya makan malam. Pada
mulanya Robert merasa enggan, tapi akhirnya ajakan itu diterimanya. Gadis itu
menyiapkan makan malam lezat dengan lilin-lilin yang dinyalakan di atas meja
khusus untuk mereka berdua.
"Kau seorang tukang masak yang sangat ahli" kata Robert.
"Aku sangat ahli dalam segala hal." Dan tak ada keraguan mengenai arti dari
ucapannya itu. Ia bergerak mendekati Robert "Biarkan aku membuktikannya
kepadamu." Ia meletakkan tangannya di paha Robert dan memainkan lidahnya
pada bibir Robert.
Sudah lama sekali, pikir Robert. Barangkali!», lalu lama.
Mereka pergi ke tempat tidur, dan betapa syoknya Robert mendapati bahwa itu
ternyata bencana baginya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Robert impoten.
Ia merasa terbina.
"Jangan kuatir, darling," kata gadis itu. "Pasti beres."
Ternyata ia keliru.
Robert pulang ke rumahnya dengan perasaan malu, lumpuh. Ia tahu bahwa,
entah bagaimana, ia merasa bahwa bercinta dengan wanita lain merupakan
pengkhianatan terhadap Susan. Benarkah aku sudah jadi setolol itu?
Ia mencoba lagi untuk bercinta beberapa raing-gu kemudian dengan seorang
sekretaris cantik dari ONI. Gadis itu sangat bergairah dan liar di tempat tidur,
membelai seluruh tubuh Robert dan melakukan apa saja untuk membangkitkan
hasratnya. Tapi percuma, la hanya menginginkan Susan. Setelah itu, ia berhenti
mencoba. Ia pernah berpikir akan berkonsultasi dengan dokter, tapi ia terlalu
malu. la tahu jawaban dari masalahnya, dan itu tak ada hubungannya dengan
nasihat medis, la lalu mencurahkan segenap energinya ke dalam pekerjaannya.
Susan meneleponnya paling sedikit satu kali seminggu. "Jangan lupa mengambil
kemeja-kemeja-mu di tempat pencucian," ia selalu mengingatkah. Atau,
"Kukirim seorang pembantu untuk membersihkan apartemen. Pasti sudah
berantakan."
Setiap telepon itu membuat rasa kesepiannya semakin tak tertanggungkan.
Susan meneleponnya semalam sebelum pesta pernikahannya.
"Robert, aku ingin kau tahu aku akan menikah besok pagi."
Rasanya sulit baginya untuk bernapas. Napasnya
tersengal. "Susan..."
"Aku mencintai Monte," kata Susan, "tapi aku juga mencintaimu. Aku akan
mencintaimu sampai
aku mati. Jangan kau pernah lupa itu." Bagaimana ia akan menanggapinya?
"Robert, kau tidak apa-apa?" Tentu. Aku baik-baik saja. Kecuali bahwa aku
merasa seperti orang yang dikebiri. "Robert?"
Ia tidak tega membuat Susan sedih dengan masalahnya itu. "Aku tidak apa-apa.
Aku cuma mau minta tolong sedikit, baby?"
"Apa saja yang aku bisa."
"Jangan... jangan biarkan dia membawamu berbulan madu ke tempat-tempat
yang pernah kita kunjungi."
Robert menutup teleponnya dan pergi keluar untuk mabuk lagi.
Itu setahun yang lalu. Itu adalah masa lalu. Ia dipaksa untuk mengakui kenyataan
bahwa Susan sekarang sudah menjadi milik orang lain. Ia harus hidup di masa
kini. Ia mempunyai tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Saatnya sudah tiba ia
harus berbincang-bincang dengan Leslie \foth shed, fotografer yang mempunyai
foto-foto nama-nama para saksi mata yang harus dil ^ oleh Robert dalam
misinya yang dijadwalkan ^ gai yang terakhir baginya. ^"
Bab Delapan Belas
Leslie mothershed sedang dalam kedaan mabuk kepayang karena kegirangan.
Begitu tiba di London, sambil menggenggam filmnya yang berharga itu, ia
langsung menuju gudang makanan yang telah diubahnya menjadi kamar gelap,
memeriksa apakah semua yang diperlukannya sudah ada di situ: bak pencuci
film, termometer, jepitan jemuran dengan per, empat gelas silinder besar, timer,
cairan pencuci, cairan setelah proses cuci, dan perekat. Ia mematikan lampu dan
menyalakan sebuah lampu merah di atas kepala. Tangannya gemetar ketika ia
membuka rol kamera dan mengeluarkan film itu. Ia menarik napas dalam-dalam
untuk menenangkan dirinya. Tak ada yang boleh salah kali inh pikirnya. Tak ada.
Ini buatmu, Ibu.
Dengan hati-hati ia menggulung film ke gelen-dong-gelendong. Ia meletakkan
geleudong-gelen-dong itu ke dalam bak dan mengisinya dengan cairan pencuci,
yaitu cairan yang pertama dipakainya. Temperaturnya harus konstan 68°Fdan isi
bak itu harus diguncang-guncang secara berkata.
Setelah sebelas menit, ia mengosongkan isinya dan
menuangkan cairan perekat ke atas gelcndong-gelendong itu.
Ia merasa tegang lagi, takut kalau berbuat kesalahan. Ia membuang cairan
perekat itu untuk pencucian pertama dan kemudian membiarkan film itu di
dalam bak yang diisi penuh dengan air selama sepuluh menit Ini diikuti dengan
guncangan secara tetap selama dua menit dengan menggunakan cairan
hypocleansing untuk kemudian dibiarkan lagi selama dua belas menit di dalam
air. Tiga puluh detik dicuci dengan cairan photo-flo memastikan bahwa
negatifnya tidak akan tergurat atau cacat Akhirnya, dengan sangat, sangat hati-
hati, ia mengeluarkan film itu, menggantungnya dengan jepitan jemuran, dan
menggunakan penyeka ber-bentuk T untuk membersihkan sisa-sisa air yang
masih menempel pada film itu. Ia menunggu keringnya negatif-negatif itu
dengan tidak sabar.
Nah, kini waktunya untuk memeriksanya. Dengan menahan napas, dan dengan
jantung berdebar-debar, Mothershed memungut rangkaian negatif yang pertama
dan mengacungkannya dekat ke lampu. Sempurna. Benar-benar sempurna!
Setiap foto merupakan permata, gambar yang membuat semua fotografer di
dunia merasa bangga seandainya mereka yang memotretnya. Setiap detail
pesawat ruang angkasa yang aneh itu nampak jelas, termasuk jasad-jasad kedua
makhluk asing yang terbaring di dalamnya.
Dua hal yang sebelumnya tidak dilihatnya kini
menarik perhatian Mothershed, dan ia mencoba melihat lebih dekat. Di bagian
yang retak dari pesawat itu ia dapat melihat tiga sofa kecil di dalam pesawat—
padahal makhluk asingnya hanya dua. Hal ganjil lainnya adalah bahwa salah
satu tangan makhluk asing itu terpotong. Di semua foto tangan itu tidak nampak.
Mungkin makhluk itu memang hanya punya satu tangan, pikir Mothershed. Afy
God, foto-foto ini adalah masterpiece/ Ibu ternyata benar. Aku seorang jenius. Ia
melihat ke sekeliling ruang kecil itu dan berpikir, Setelah ini aku akan mencuci
film di sebuah kamar gelap yang besar dan mewah di rumahku yang megah di
Eaton Square.
Ia berdiri di situ memain-mainkan harta karunnya seperti seorang kikir memain-
mainkan emasnya. Tidak ada majalah atau surat kabar yang tidak akan
memohon-mohon untuk mendapatkan foto-foto ini. Di tahun-tahun yang lewat
bajingan-bajingan itu telah menolak foto-fotonya dilampiri surat-surat mereka
yang menghina. "Terima kasih untuk upaya Anda mengirimkan foto-foto yang
kami kembalikah bersama ini. Foto-foto ini tidak sesuai dengan kebutuhan kami
pada saat ini." Dan; "Terima kasih untuk kiriman Anda. Foto-foto ini terlalu
mirip dengan foto-foto yang pernah kami muat sebelumnya." Atau hanya: "Kami
kembalikan foto-foto yang Anda kirimkan kepada kami." -^m Selama bertahun-
tahun ia mengerais-emis kepada bajingan-bajingan itu supaya diberi pekerjaan,
dan sekarang merekalah yang akan merangkak di
depannya, dan ia akan membuat mereka menebus kesalahan mereka.
Ia sudah tidak sabar lagi. Ia harus memulainya dengan segera. Karena British
Telecom sialan telah memutuskan aliran teleponnya—hanya karena ia terlambat
beberapa minggu membayar iuran kuartalannya—, Mothershed harus pergi
keluar untuk mencari telepon. Tiba-tiba saja ia memutuskan untuk pergi ke
Restoran Langan's, tempat nongkrong orang-orang terkenal, dan memesan
hidangan makan siang yang mahal. Langan's sebenarnya jauh di luar
kemampuannya, tapi kalau memang ada yang perlu dirayakan, maka inilah
saatnya. Bukankah ia sudah berada di ambang pintu kekayaan dan
kemasyhuran?
Seorang pelayan berkelas mengantarkan Mothershed mengambil meja di sudut
restoran itu, dan di sana, di sebuah meja tak lebih dari sepuluh kaki jauhnya, ia
melihat dua wajah yang cukup dikenalnya. Tiba-tiba ia sadar mereka itu siapa,
dan debaran jantungnya terasa menguat Michael Caine dan Roger Moore, dalam
bentuk nyata! Kalau saja ibunya masih hidup supaya bisa diceritakannya hal ini
kepadanya... Ibunya suka sekali membaca tentang bintang-bintang film. Kedua
laki-laki itu sedang tertawa-tawa dan nampak senang, seakan di dunia ini tak ada
yang perlu dirisaukan, dan Mothershed tak bisa menahan diri untuk tidak
menatap ke arah mereka. Pandangan mereka melewatinya dengan tak acuh.
Orang-orang sombong
pikir Leslie Mothershed dengan marah. Kurasa mereka mengira aku akan
menghampiri mereka untuk minta tanda tangan. Well, beberapa hari lagi
merekalah yang akan minta tanda tanganku. Mereka akan kerepotan
memperkenalkan aku kepada teman-teman mereka. "Leslie, kuperkenalkan
Charles dan Di, dan ini adalah Fergie dan Andrew. Leslie—kalian tahu—adalah
orang yang membuat foto-foto UFO yang terkenal itu."
Setelah Mothershed selesai dengan makan siangnya, ia berjalan melewati kedua
bintang itu dan naik ke lantai atas ke tempat telepon. Kepala Bagian Informasi
memberikan kepadanya nomor telepon harian Sun. "Saya ingin berbicara dengan
editor foto." Suara seorang pria terdengar di saluran. "Chap-kman."
"Akan Anda nilai berapa jika saya berikan kepada Anda foto-foto UFO dengan
dua makhluk asing di dalamnya?"
Suara di ujung sana saluran itu menyahut, "Kalau gambar-gambarnya cukup
bagus, kami barangkali bisa memuatnya sebagai contoh tipuan yang pintar,
dan..."
Mothershed berkata dengan kesal, "Tapi ini bukan tipuan. Saya mempunyai
nama saksi-saksi mata yang cukup punya kedudukan yang mau bersaksi bahwa
ini benar, termasuk seorang pastor."
Nada suara orang itu berubah. "Oh? Dan dj:/ mana foto-foto itu diambil?"
ketus. Dia tidak akan membiarkan orang itu men-jebaknya untuk memperoleh
informasi. "Anda tertarik atau tidak?"
Suara itu berkata dengan hati-hati, "Kalau Anda bisa membuktikan bahwa foto-
foto itu autentik, ya> kami akan sangat tertarik."
Jelas kau akan tertarik, pikir Mothershed dengan girang. "Saya akan
menghubungi Anda lagi." Ia menutup telepon itu.
Dua telepon lainnya-juga sama memuaskannya. Mothershed harus mengakui
bahwa mencatat nama-nama dan alamat para saksi mata itu adalah suatu
tindakan jenius. Tidak ada alasan sekarang bagi orang untuk menuduhnya
mencoba melakukan penipuan. Foto-foto ini akan muncul di halaman depan
semua koran dan majalah yang terkemuka di dunia. Dengan namaku tercantum:
Foto-foto oleh Leslie Mothershed
Ketika Mothershed meninggalkan restoran itu, ia tak dapat menahan diri untuk
tidak berjalan melewati meja tempat kedua bintang itu duduk. "Maafkan saya
mengganggu, bolehkah saya minta tanda tangan Anda?"
Roger Moore dan Michael Caine tersenyum ke-padanya dengan ramah. Mereka
menorehkan nama-nama mereka di secarik kertas dan memberikannya Kepada si
fotografer. "Terima kasih."
memtk'tand! ^ Mother^ tiba di luar, ia ^ya "'k t3ngafl Uu *»ga„ gemas dan
fflem-
Haram jadah! pikirnya. Aku lebih penting daripada mereka.
Bab Sembilan Belas
Robert naik taksi ke Whitechapel. Mereka meluncur melewati City, pusat bisnis
London, menuju ke arah timur sampai mereka tiba di Whitechapel Road, sebuah
kawasan yang mendapat nama buruk seabad lalu gara-gara Jack the Ripper. Di
sepanjang Whitechapel Road terdapat puluhan kios yang menjual apa saja mulai
dari pakaian sampai sayur-mayur segar dan permadani.
Pada waktu taksi itu semakin dekat dengan alamat Mothershed, lingkungan di
situ nampak semakin kumuh. Lukisan-lukisan graffiti dicoretkan di mana-mana
di bangunan-bangunan batu coklat yang tak terawat. Mereka melewati Weaver's
Arms Pub. Mungkin Mothershed sering minum di situ, pikir Robert Ada lagi
satu tempat dengan papan merek: Walter Bookmaker.... Mothershed mungkin
membeli kupon taruhan pacuan kuda di sini.
Akhirnya mereka tiba di Grove Road 213A. Robert membayar taksinya dan
mengamati bangunan yang ada di depannya. Bangunan itu ber-
tingkat dua dan nampak buruk, yang terbagi menjadi flat-flat kecil. Di dalamnya
tinggal orang yang mempunyai daftar lengkap para saksi mata yang
dilacak Robert.
Leslie Mothershed sedang berada di ruang duduk melamun tentang rezekinya
yang nomplok itu ketika tiba-tiba bel pintu berdering. Ia mendongakkan
kepalanya, kaget, dan entah mengapa tiba-tiba merasa takut. Bel berdering lagi.
Mothershed meraup foto-fotonya yang berharga itu dan bergegas masuk ke
kamar gelapnya. Ia menyelipkan foto-fotonya itu ke dalam tumpukan foto-foto
lama, kemudian berjalan balik ke ruang duduknya dan membuka pintu depan. Ia
menatap pria tak dikenal yang berdiri di situ.
"Ya?"
"Leslie Mothershed?"
"Benar. Apa yang bisa saya bantu?"
"Boleh saya masuk?"
"Saya tidak tahu. Sebenarnya ini ada apa?"
Robert mengeluarkan, kartu identitas Kementeri-an Pertahanan dan
menunjukkannya. "Saya datang untuk urusan resmi, Mr. Mothershed. Kita bisa
bicara di sini atau di Kementerian." Itu hanya gertakan. Tapi Robert bisa melihat
wajah fotografer itu langsung ketakutan.
Leslie Mothershed menelan ludahnya. "Saya ii-dak mengerti apa yang Anda
bicarakan, tap... silakan masuk."
Robert masuk ke ruangan yang muram «tu.
Ruang itu nampak kuno, kumuh, dan usang—tempat yang ditinggali orang
hanya karena terpaksa.
"Mohon jelaskan maksud kedatangan Anda ke sini?"
Mothershed membuat suaranya, terdengar jengkel tapi tak bersalah.
"Saya berada di sini untuk menanyai Anda tentang foto-foto yang Anda ambil
belum lama ini."
Ia tahu itu! Ia sudah tahu sejak ia mendengar belnya berdering tadi. Bajingan-
bajingan itu akan mencoba merampas rezeki ini dari tanganku. Well, aku tidak
akan membiarkan mereka melakukannya. "Foto-foto apa yang Anda maksud?"
Robert berkata dengan sabar, "Foto-foto yang Anda ambil di tempat kejadian
jatuhnya UFO itu/
Mothershed menatap Robert sesaat, seolah-olah ia kaget, dan kemudian
memaksakan untuk tertawa. "Oh, ito! Kalau saja itu ada pada saya sekarang"
"Bukankah Anda memang telah memotretnya?" "Saya mencoba."
"Apa maksud Anda... mencoba?"
"Foto-foto sialan itu tidak jadi." Mothershed terbatuk dengan gugup. "Kamera
saya macet. Ini yang kedua kali terjadi pada saya." Bicaranya kurang jelas
sekarang. "Bahkan negatifnya saya buang. Tidak jadi semuanya. Hanya
membuang-buang film saja. Dan Anda tahu bagaimana mahalnya film sekarang"
Ia seorang pendusta yang kurang mahir, pikir Robert Ia mulai panik. Dengan
simpatik Robert
berkata, "Sayang sekali. Foto-foto itu seharusnya bisa sangat membantu." Ia
tidak mengatakan apa-apa tentang daftar penumpang. Kalau Mothershed
berbohong mengenai foto-foto itu, ia juga akan berbohong mengenai daftar itu.
Robert memandang ke sekelilingnya. Foto-foto dan daftar itu pasti
disembunyikan di suatu tempat di sini. Tidak akan terlalu sulit untuk
menemukannya. Flat itu terdiri atas ruang duduk kecil, kamar tidur, kamar
mandi, dan sebuah pintu yang rupanya pintu lemari serba guna. Tak ada cara
untuk bisa memaksa orang ini menyerahkan barang itu. Ia tidak mempunyai
wewenang resmi. Tapi ia menghendaki foto-foto itu dan daftar para saksi mata
sebelum SIS datang dan membawanya pergi. Ia memerlukan daftar itu untuk
dirinya sendiri.
"Ya." Mothershed menghela napas. "Foto-foto itu seharusnya bisa mendatangkan
rezeki besar."
"Ceritakan kepada saya tentang pesawat ruang angkasa itu," kata Robert.
Mothershed tanpa sengaja bergidik. Pemandangan yang ganjil itu akan terpatri di
benaknya untuk; selama-lamanya. "Saya tak akan pernah melupakannya,"
katanya. "Pesawat itu nampak seperti... berdenyut, seakan ia hidup. Terkandung
sesuatu yang jahat di dalamnya. Lalu ada dua makhluk asing yang mati itu di
dalamnya."
"Bisa Anda ceritakan mengenai para pentimj
bus itu?" J
Tentu bisa, kata Mothershed pada dmnya scn-dlri. Aku punya semua nama dan
alamat mereka.
Tidak, saya rasa saya tidak bisa." Mothershed melanjutkan bicaranya untuk
menutupi kegugupan-' nya. "Alasan mengapa saya tidak bisa membantu Anda
mengenai para penumpang itu adalah karena
saya tidak ikut dalam bus. Mereka semua tidak
saya kenal."
"Begitu. Well, terima kasih atas kerja sama Anda, Mr. Mothershed. Saya sangat
menghargainya. Saya ikut menyesal tentang foto-foto Anda."
"Saya juga," kata Mothershed. Ia menyaksikan pintu ditutup di belakang orang
tak dikenal itu dan dengan gembira berkata dalam hati, Aku berhasil! Aku telah
mengalahkan bajingan-bajingan itu.
Di luar di lorong, Robert sedang memeriksa kunci pintu itu. Mereknya Chubb.
Model lama. Ia hanya akan perlu beberapa detik untuk membukanya. Ia akan
mulai melakukan pengawasan tengah malam nanti dan menunggu fotografer itu
meninggalkan flatnya di pagi hari. Begitu daftar penumpang itu kuperoleh, maka
yang lain-lain dari misi ini akan menjadi gampang.
Robert mendaftar di sebuah hotel kecil dekat flat Mothershed dan menelepon
Jenderal Hilliard.
"Saya sudah memperoleh nama saksi mata Inggris itu, Jenderal."
"Sebentar, Baik. Silakan, Letnan."
"Leslie Mothershed. Dia tinggal di Whitechapel, di Grove Road 213A."
"Bagus sekali. Saya akan mengatur supaya pihak
yang berwenang di Inggris bisa berbicara kepadanya."
Robert tidak menyebutkan daftar penumpang atau foto-foto itu. Data-data
tersebut merupakan
kartu-kartu As-nya dalam masalah ini.
Reggie's Fish and Chip Shop terletak di sebuah gang yang merupakan «cabang
dari Brompton Road. Warung makan kecil itu pelanggannya adalah para pegawai
dan sekretaris yang bekerja di sekitar tempat itu. Dinding-dindingnya tertutup
oleh poster-poster sepakbola, dan bagian-bagiannya yang tidak tertutup belum
pernah' mencicipi cat baru sejak konflik Suez.
Telepon di balik counter berdering dua kali sebelum dijawab oleh seorang pria
bertubuh besar yang mengenakan sweter wol kumal. Pria itu nampak seperti
warga London Timur sejati kecuali kacamata berlensa satu dengan pinggiran
emas yang bertengger ketat di mata kirinya. Mengapa ia memakai satu lensa
akan menjadi jelas apabila ia diamati lebih cermat: Mata kanannya terbuat dari
kaca dengan warna biru seperti yang sering terlihat di poster-poster biro
perjalanan.
"Reggie di sini."
"Ini Bishop."
«Ya, sir," kata Reggie, suaranya dipelankan
menjadi berbisik.
"Nama klien kita adalah Mothershed. Nama depannya Leslie. Tinggal di Grove
Road 213A.Kami minta order ini dilaksanakan secepaw Mengerti?" "Sudah
dilaksanakan, sir."
Bab Dua Puluh
Leslie mothershed sedang tenggelam dalam mimpi indah di siang hari. Ia merasa
sedang diwawancarai oleh para jurnalis dari pers dunia. Mereka bertanya
kepadanya tentang istana mewah yang baru saja dibelinya di Skotlandia,
chdteau-nya di Prancis Selatan, yacht-nya yang super itu. "Dan benarkah bahwa
Sri Ratu telah mengundang Anda untuk menjadi fotografer resmi kerajaan?" "Ya.
Saya katakan saya akan memberi kabar kepadanya. Dan sekarang, ladies and
gentlemen, saya minta maaf, saya sudah terlambat untuk show saya di BBC..."
Permenungannya ini diputus oleh bunyi bel pintu. Ia melihat arlojinya. Jam
sebelas. Apakah orang itu kembali lagi? Ia berjalan ke pintu, dan membukanya
dengan waspada. Di ambang pintu berdiri seorang pria yang bertubuh lebih
pendek daripada Mothershcd (itulah hal pertama yang menarik perhatiannya),
dengan kacamata tebal dan wajah yang kurus dan kekuning-kuningan.
"Maafkan sava." kata orang itu dengan malu-
malu. "Saya minta maaf mengganggu Anda pada jam begini Saya tinggal di
ujung blok ini. Papan merek di luar menyatakan bahwa Anda seorang
fotografer."
"Jadi?"
"Apakah Anda biasa membuat -foto untuk paspor?"
Leslie Mothershed membuat foto paspor? Orang yang sebentar lagi akan
memiliki dunia ini? Itu sama saja dengan minta Michelangelo mengecat kamar
mandi
"Tidak," katanya dengan kasar. Ia bergerak akan menutup pintu itu.
"Saya benar-benar tidak bermaksud untuk merepotkan Anda, tapi ini benar-benar
mendesak. Pesawat saya akan berangkat ke Tokyo jam delapan pagi besok, dan
beberapa waktu yang lalu ketika saya mengeluarkan paspor saya, saya melihat
bahwa foto saya hampir lepas. Sekarang malahan hilang Saya sudah mencari ke
mana-mana. Saya pasti tidak diperbolehkan naik ke pesawat kalau foto saya
tidak ada." Pria kecil itu sudah hampir menangis.
"Maaf," kata Mothershed. "Saya tidak dapat menolong Anda."
"Saya bersedia membayar seratus pound."
Seratus pound? Untuk orang yang akan memiliki istana dan chateau dan yacht?
Itu suatu penghinaan.
Pria kecil yang memelas itu terus membujuk. "Saya akan menambahnya. Dua
ratus atau tiga
ratus. Saya benar-benar harus bisa ikut pesawat itu atau saya akan kehilangan
pekerjaan saya."
Tiga ratus pound hanya untuk membuat satu foto paspor? Tidak termasuk
mencucinya, itu hanya akan makan waktu 10 detik. Mothershed mulai berhitung.
Itu berarti 1.800 pound semenit Seribu delapan ratus pound semenit berarti
10.800 per jam. Kalau ia bekerja delapan jam sehari, berarti 94.400 pound
seharinya. Kalau satu minggu berarti bisa...
"Maukah Anda melakukannya?"
Ego Mothershed berperang dengan keserakahannya, dan keserakahannya yang
menang. Tidak ada salahnya mendapat sedikit uang saku.
"Silakan masuk," kata Mothershed. "Harap berdiri menempel di dinding."
"Terima kasih. Saya sungguh menghargai ini."
Mothershed menyesal ia tidak mempunyai kamera Polaroid. Akan lebih mudah
jadinya kalau ia memilikinya. Ia mengambil kamera Vivitar-nya dan berkata,
"Jangan bergerak."
Sepuluh detik kemudian pemotretan itu selesai.
"Mencucinya agak sedikit lama," kata Mothershed. "Anda bisa kembali lagi..."
"Kalau Anda tidak keberatan, saya mau menunggu saja."
"Silakan."
Mothershed membawa kamera itu ke dalam kamar gelapnya, memasukkannya
ke dalam kantong hitam, mematikan lampu yang di atas kepala, menyalakan
lampu merah, dan mengeluarkan filmnya.
Ia akan memprosesnya secepatnya. Foto paspor toh selalu nampak jelek. Lima
belas menit kemudian, ketika Mothershed sedang mengembangkan film itu di
bak yang berisi cairan pencuci, ia mulai mencium bau asap. Ia tertegun. Apakah
itu cuma imajinasinya saja? Tidak. Baunya semakin kuat. Ia berbalik untuk
membuka pintu. Nampaknya macet Mothershed mendorongnya kuat-kuat Tetap
saja tak bisa terbuka.
"Halo," ia memanggil-manggil. "Apa yang sedang terjadi di luar sana?" Tidak
ada jawaban.
"Halo?" Ia menempelkan pundaknya di pintu, tapi rasanya ada sesuatu yang
berat yang menopang sisi pintu sebelah luar sehingga pintu tidak bisa dibuka.
"Mister?"
Tak ada jawaban. Satu-satunya suara yang didengarnya hanyalah suara
gemeretak di sana-sini. Bau asap kini semakin tak tertahankan. Flat itu sedang
terbakar. Karena itulah mungkin dia pergi Dia pasti pergi mencari bantuan.
Leslie Mothershed membenturkan pundaknya ke pintu, tapi pintu itu tidak
bergeming. "Tolong!" ia menjerit. "Keluarkan saya dari sini!"
Asap mulai mengalir dari bawah pintu, dan Mothershed bisa merasakan
panasnya api mulai menjual pintu itu. Malai sulit untuk bernapas.
Tenggorokannya mulai tersumbat. Ia merobek kerah bajunya, terengah-engah
kehabisan udara. Paru-parunya terbakar. Ia mulai kehilangan kesadarannya. Ia
jatuh berlutut "Oh, Tuhan, jangan
biarkan aku mati sekarang. Jangan sekarang di
saat aku sudah akan jadi kaya dan terkenal...."
"Reggie di sini."
"Apakah ordernya sudah dilaksanakan?" "Ya, sir. Agak sedikit terlalu matang
tapi dikirimkan tepat pada waktunya." "Bagus sekali."
Ketika Robert tiba di Grove Road pada jam dua pagi untuk memulai
pengawasannya, ia dihadapkan pada lalu lintas yang luar biasa macetnya.
Jalanan dipenuhi kendaraan-kendaraan pemerintah, mobil pemadam kebakaran,
ambulans-ambulans, dan tiga mobil polisi. Robert menerobos kerumunan massa
dan bergegas menuju pusat keramaian. Seluruh bangunan itu dikurung api. Dari
luar ia bisa melihat bahwa flat di lantai satu yang ditempati fotografer itu telah
sama sekali hangus.
"Bagaimana terjadinya?" Robert bertanya kepada seorang anggota pemadam
kebakaran.
"Kami belum tahu. Harap mundur."
"Sepupu saya tinggal di flat itu. Apa dia selamat?"
"Rasanya tidak." Nada suaranya menjadi bersimpati. "Mereka sedang
mengeluarkannya dia dari bangunan itu sekarang."
Robert menyaksikan dua petugas ambulans mendorong tempat tidur beroda yang
memuat sebuah jasad ke dalam ambulans.
«Saya tinggal dengan dia," kata Robert "Sem pakaian saya ada di sana. Saya
ingin masuk dan.
pemadam kebakaran itu menggelengkan kepak "Bisa berbahaya untuk Anda,
Tuan. Tidak ada yang tersisa di flat itu kecuali abu."
Tak ada yang tersisa kecuali abu. Termasuk foto-foto dan daftar penting
penumpang dengan nama dan alamat mereka.
Sampai di sini saja rezeki nomplok itu, pikir Robert dengan sangat kecewa.
Di Washington Dustin Thornton sedang makan siang bersama ayah mertuanya di
ruang makan pribadi yang sangat mewah di kantor Willard Stone. Dustin
Thornton merasa tegang. Ia selalu tegang kalau berhadapan dengan ayah
mertuanya yang sangat berkuasa ini.
Willard Stone sedang gembira hari itu. "Aku makan malam bersama Presiden
tadi malam. Beliau mengatakan kepadaku bahwa beliau sangat senang dengan
pekerjaanmu, Dustin."
"Saya sangat berterima kasih."
"Kau telah bekerja dengan baik. Kau membantu melindungi kami dari
komplotan itu."
"Komplotan?"
"Mereka yang berniat untuk menaklukkan negeri besar mu Namun bukan cuma
musuh yang berada di luar tembok yg harus kita waspadai tapi juga mereka juga
yg pura2 mengabdi kepada kepentingan negara kita tapi gagalmemenuhi
tugasnya mereka yg tidak melaksanakan perintah."
para pembangkang."
Benar, Dustin. Para pembangkang. Mereka ha-
rUs dihukum. Kalau..."
Seorang pria memasuki ruangan. "Maafkan saya, Mr. Stone. Tuan-tuan itu sudah
datang. Mereka
menunggu Anda."
»Ya." Stone menoleh kepada menantunya. "Selesaikan makan siangmu, Dustin.
Aku harus mengurus sesuatu yang penting. Kelak mungkin aku
bisa menceritakannya kepadamu."
Bab Dua Puluh Satu
Jalan-jalan di Zurich penuh dengan makhluk-makhluk aneh yang berbentuk
tubuh ganjil, raksasa-raksasa salah bentuk dengan tubuh-tubuh besar
menakutkan dan mata kecil, dengan kulit yang berwarna seperti ikan rebus.
Mereka pemakan daging, dan ia membenci bau anyir yang terpancar dari tubuh
mereka. Beberapa dari para wanitanya mengenakan kulit binatang, sisa yang
tinggal dari makhluk-makhluk yang mereka bunuh. Ia masih terguncang oleh
kecelakaan dahsyat yang telah mencabut inti kehidupan rekan-rekannya.
Ia telah berada di planet bumi selama empat siklus yang disebut luna oleh
makhluk-makhluk aneh ini, dan selama itu ia belum makan. Ia merasa lemah
karena kehausan. Cuma sekali ia mendapat air minum, yaitu air hujan segar di
bak petani itu, dan belum turun hujan lagi sejak malam ia tiba. Semua air yang
lain di planet bumi tidak bisa diminum. Ia pernah mencoba pergi ke sebuah
tempat makan makhluk bumi, tapi ia tidak tahan baunya, la sudah mencoba
untuk makan sayur-
1\1
mayur dan buah-buahan mentah mereka, tapi rasanya hambar, tidak seperti
makanan di planetnya
yang lezat berair.
Ia dinamai Graceful One, dan tubuhnya tinggi, anggun, molek, dengan mata
hijau cemerlang. Ia meniru bentuk tubuh makhluk bumi setelah ia meninggalkan
tempat kejadian kecelakaan itu, dan ia berjalan di antara massa tanpa terdeteksi.
Ia sedang duduk di depan sebuah meja, di kursi keras yang kurang nyaman yang
dirancang untuk tubuh makhluk bumi, dan ia bisa membaca pikiran makhluk-
makhluk yang berada di sekitarnya.
Dua makhluk bumi duduk pada sebuah meja dekat dengannya. Yang satu berkata
keras. "Ini merupakan kesempatan yang hanya datang sekali dalam hidup, Franz!
Hanya dengan lima puluh ribu franc kau sudah bisa ikut sejak awal. Kau punya
lima puluh ribu franc, bukan?" Ia membaca yang ada di benaknya. Ayolah, babi.
Aku perlu komisinya.
"Tentu, tapi nanti dulu..." Aku harus meminjamnya dari istriku.
"Apa pernah aku memberikan nasihat investasi yang salah?" Cepatlah putuskan.
"Itu bukan jumlah sedikit." Dia tak akan meminjamkannya kepadaku.
"Bagaimana prospeknya? Ada peluang mencip-
takan jutaan." Katakan ya.
"Baiklah. Aku ikut." Mungkin akan kujual sebagian perhiasannya;
Kudapat dia! "Kau tak akan menyesal, Franz." Dia kan selalu bisa menanggung
rugi pajak.
Graceful One sama sekali tidak mengerti apa arti percakapan itu.
Di bagian paling ujung dari restoran itu, seorang pria dan seorang wanita sedang
duduk pada meja. Mereka berbicara dengan suara pelan. Ia memanjangkan
pikirannya supaya bisa mendengar mereka.
"Ya, Tuhan!" kata si pria. "Bagaimana kau bisa hamil?" Kau goblok, sialan!
"Menurutmu bagaimana aku bisa hamil?" Alatmu itu yang menyebabkannya!
Hamil adalah keadaan yang dialami makhluk-makhluk bumi ini kalau sel telur
telah dibuahi. Mereka berkembang biak dengan cara yang begitu primitif dengan
menggunakan alat-alat kelamin mereka, tak berbeda dengan binatang-binatang
piaraan mereka.
"Apa yang akan kaulakukan, Tina?" Kau harus mengusahakan aborsi
"Apa yang kauharapkan akan kulakukan? Kauhilang kau akan memberitahu
istrimu tentang aku," Kau bajingan pembohong.
"Begini, Sayang, itu akan kulakukan, tapi saat ini kurang baik." Aku memang
sinting mau terlibat denganmu. Seharusnya aku tahu bahwa kau hanya akan
bikin masalah saja.
"Saat ini juga kurang baik bagiku, Paul. Malah-., an kupikir kau tidak
mencintaiku." Katakan padaku kau mencintaiku.
"Tentu saja aku mencintaimu. Cuma istriku sedang mengalami masa-masa yang
berat saat ini."
Aku tidak mau kehilangan dia.
"Aku juga sedang mengalami masa-masa berat saat ini. Tidakkah kau mengerti?
Aku sedang mengandung bayimu." Dan kau harus menikahiku. Air keluar dari
matanya.
"Tenanglah, Sayang. Dengarkan, semuanya akan beres. Aku menginginkan bayi
itu sama seperti kau." Aku harus membujuknya untuk melakukan aborsi.
Di meja di sebelah mereka, seorang makhluk bumi laki-laki sedang duduk
seorang diri.
Mereka berjanji kepadaku. Katanya lombanya sudah diatur, dan aku tak mungkin
bisa kalah, dan seperti orang tolol kuberikan semua uangku kepada mereka. Aku
harus mengembalikannya sebelum para auditor itu datang. Aku tak akan
sanggup kalau dimasukkan ke penjara. Aku akan bunuh diri lebih dahulu. Aku
bersumpah kepada Tuhan, aku akan bunuh diri.
Di meja lain, seorang pria dan seorang wanita sedang berada di tengah sebuah
perbincangan.
"...sama sekali bukan begitu. Aku hanya mengatakan bahwa aku punya vila
bagus di pegunungan, dan kupikir akan baik bagimu untuk melupakan kerja dap
bersantai di akhir pekan." Kita akan banyak bersantai di tempat tidur, cherie.
"Entahlah, Claude. Sebelum ini aku belum pernah pergi dengan seorang pria."
Aku tidak tahu apakah dia percaya ini.
"Oui, tapi ini tidak menyangkut seks. Aku meng. usulkan vila itu hanya karena
kupikir kau periu beristirahat Kau bisa menganggap aku sebagai kakakmu." Dan
kita akan mempraktekkan incest gaya kuno.
Graceful One tidak sadar bahwa berbagai manusia itu tadi berbicara' dalam
bahasa-bahasa yang berbeda-beda, sebab ia bisa menyaring bahasa-bahasa itu
melalui alam sadarnya dan memahami yang mereka katakan.
Aku harus mencari jalan untuk bisa kontak dengan pesawat induk, pikirnya. Ia
mengeluarkan transmiter tangan kecil yang berwarna keperakan. Transmiter itu
merupakan suatu sistem neuronet yang terbagi dua, setengahnya terdiri dari
bahan organik hidup dan setengahnya lagi adalah campuran logam dari galaksi
lain. Bahan organik itu terdiri atas ribuan sel tunggal, sehingga kalau sel-sel itu
mulai aus, yang lainnya akan berbiak dan menjaga koneksi-koneksinya tetap
konstan. Sayangnya, kristal dilithium yang mengaktifkan transmiter itu patah
dan hilang. Ia sudah mencoba untuk berkomunikasi dengan pesawat induk, tapi
transmiter itu menjadi tak berguna tanpa kristal.
la mencoba makan sepucuk daun selada lagi, benar:benar sudah tidak tahan
dengan baunya ia bangkit dan menghampiri pintu .Kasir ber-"Sebentar, miss.
Anda belum membayar makanan Anda" Maaf. Sava tirlat-
Anda." K mempunyai alat pembayaran
jelaskan itu kepada polisi saja."
ceful One menatap mata si kasir dengan dan kasir itu jadi lemas. Ia lalu berbalik
dan
San keluar dari tempat makan itu. Aku harus menemukan kristal itu. Mereka
menunggu berita dariku. Ia harus berkonsentrasi
memfokuskan mdera-inderanya. Tapi semuanya
nampak kabur dan berubah bentuk. Tanpa air, ia
tahu, ia akan mati dalam waktu dekat
Bab Dua Puluh Dua
Hari Kelima Bern, Swiss
Robert sudah sampai ke jalan buntu. Ia baru sadar betapa ia begitu
menggantungkan harapannya pada daftar nama Mothershed. Musnah dalam
asap, pikir Robert Secara harfiah. Jejak itu sudah beku sekarang. Seharusnya
daftar itu sudah kudapat waktu aku berada di flat Mothershed. Itu akan mengajar
aku untuk., mengajar. Ya-ya! Pikiran yang sudah lama menggantung di sudut
benaknya kini muncul ke permukaan. Waktu itu Hans Bee-kerman mengatakan,
"Affenarsch/ Semua penumpang sangat ingin melihat UFO itu dan makhluk'
makhluk yang mati di dalamnya, tapi si tua mt saja ribut minta kami bergegas
tiba di Bern kar€m na dm harus mempersiapkan kuliah untuk sebuan
universitas.' Ini merupakan data yang sangat IH bur, tapi hanya itu yang Robert
punyai sekarang-la menyewa mobil di bandara Bern dan menuju
jalan raya utama Bera, dan menuju Langgasses-trasse, di mana Universitas Bera
terletak. Universitas itu terdiri atas sejumlah bangunan. Bangunan utamanya
adalah sebuah gedung beton empat tingkat dengan dua bangunan samping dan
sebuah arca batu besar berbentuk ganjil yang menghiasi atapnya. Di masing-
masing sudut halaman di depan bangunan itu terdapat jendela atap kaca yang
membawahi ruang-ruang kelas, dan di bagian belakang universitas itu terdapat
sebuah taman yang menghadap ke Sungai Aare.
Robert menaiki undakan gedung administrasi dan memasuki ruang reception-n
ya. Satu-satunya informasi yang diberikan Beckcrman adalah bahwa penumpang
itu berkebangsaan Jerman dan bahwa
ia waktu itu mempersiapkan kuliahnya untuk hari
Senin.
Seorang mahasiswa menunjukkan kepadanya Kantor Tata Usaha. Di balik meja
tulis duduk seorang wanita berpenampilan galak. Ia mengenakan setelan yang
kaku potongannya, kacamata berkerangka hitam, dan rambutnya disanggul. Ia
mendongakkan wajahnya ketika Robert memasuki kantornya.
"Bitter
Robert mengeluarkan kartu identitasnya. "Interpol. Saya sedang melakukan
penyelidikan, dan saya akan sangat senang kalau Anda mau membantu, Miss..."
"Frau. Frau Screlber. Penyelidikan apa, ya?" "Saya sedang mencari seorang
dosen."
Ia mengerutkan dahi. "Namanya?"
"Saya tidak tahu."
"Anda tidak tahu namanya?"
"Tidak. Dia seorang dosen tamu. Dia memberi kuliah di sini beberapa hari yang
lalu. Montag."
"Banyak dosen tamu yang datang ke sini setiap harinya untuk memberi kuliah.
Disiplinnya apa?"
"Maaf?"
"Dia mengajar -apa?" Nada suaranya semakin tidak sabar. "Mata kuliah apa yang
diajarkannya?" "Saya tidak tahu."
Ia membiarkan kekesalannya nampak. "Tut mir ktd—muL Saya tidak bisa
membantu Anda. Dan saya terlalu sibuk antuk melayani pertanyaan-pertanyaan
tak penting seperti ini..." Ia mulai memalingkan mukanya.
"Oh, ini bukan tak penting," Robert meyakinkan dia. "Es ist sehr dringend." Ia
mencondongkan tubuhnya ke depan dan berkata dengan suara pelan, "Anda
harus berjanji untuk tidak membocorkan rahasia ini. Dosen yang kami cari ini
terlibat dalam jaringan pelacuran."
Mulut Frau Schreiber membentuk "o" kecil menyatakan keheranan.
"Interpol telah melacaknya selama berbulan-bulan. Informasi terakhir yang kami
peroleh adalah bahwa dia orang Jerman dan bahwa dia memberi kuliah pada
tanggal lima belas bulan ini." Robert
Ini sangat mendesak.
menegakkan badannya kembali. "Kalau Anda tidak
bersedia membantu, kami bisa melakukan penyelidikan resmi terhadap
universitas ini. Tentu saja, publisitasnya..."
"Nein, neiti!" katanya. "Universitas tidak boleh dilibatkan dalam kasus seperti
ini." Ia nampak kuatir. "Anda bilang tadi dia memberi kuliah di sini pada... hari
apa?"
"Tanggal lima belas. Senin." '
Frau Schreiber bangkit dan berjalan menuju sebuah lemari arsip. Ia menarik
salah satu lacinya dan membalik-balik sejumlah arsip. Ia mengeluarkan sejumlah
kertas dari sebuah folder. "Nah, ini , dia. Ada tiga dosen tamu yang memberi
kuliah di sini pada tanggal lima belas."
"Orang yang saya cari berkebangsaan Jerman."
"Mereka semua Jerman," kata Frau Schreiber dengan kaku. Ia membalik-balik
kertas yang di tangannya itu. "Satu memberi kuliah ekonomi, satu lagi kimia,
dan yang terakhir psikologi." "Boleh saya lihat itu?"
Dengan enggan ia memberikan data-data itu kepada Robert.
Robert mempelajari kertas-kertas itu. Setiap lembar memuat nama, alamat
rumah, dan nomor
telepon.
"Saya bisa mengkopi ini kalau Anda mau."
"Tidak, terima kasih." Ia sudah menghafal nama-nama dan nomor-nomor itu.
"Orang yang saya cari tidak ada di antara mereka."
Frau Schreiber menarik napas lega. "Syukurlah.
Pelacuran! Kami tidak akan pernah terlibat dalam masalah seperti itu."
"Maaf, saya telah merepotkan Anda dengan percuma." Robert berlalu dari situ
dan menuju sebuah booth telepon di kota.
Telepon yang pertama adalah ke Berlin. "Profesor Streubel?"
"Ja.*
"hi Sunshine Tours Bus Company. Anda tinggalkan kacamata Anda di bus kami
hari Minggu yang lalu ketika Anda ikut tur kami di Swiss dan..."
"Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan." Suaranya terdengar kesal.
"Anda berada di Swiss pada tanggal empat belas, bukan. Profesor?"
"Bukan. Tanggal lima belas. Memberi kuliah di Universitas Bern."
"Dan Anda tidak ikut tur kami?"
"Saya tidak punya waktu untuk hal-hal tak berguna seperti itu. Saya orang
sibuk." Dan profesor itu memutuskan hubungan.
Telepon yang kedua adalah ke Hamburg. "Pro-fesor Heinrich?"
"Ini Profesor Heinrich."
"Ini Sunshine Tours Bus Company. Anda berada di Swiss pada tanggal empat
belas bulan ini?"
"Mengapa Anda ingin tahu?
"Karena kami menemukan tas Anda di salah satu bus kami, Profesor, dan..."
"Anda menghubungi erang yang salah. Saya tidak pernah ikut tur dengan bus."
«Anda tidak ikut tur kami dengan tujuan Jung-
frau?"
"Tadi saya sudah bilang, tidak." "Maaf, telah merepotkan Anda." Telepon yang
ketiga adalah ke Munich. "Profesor Otto Schmidt?" "Ya."
"Profesor Schmidt, ini Sunshine Tours Bus Company. Kami menemukan
kacamata Anda di
bus kami beberapa hari yang lalu, dan..."
"Pasti ada kekeliruan."
Hati Robert luluh. Ia sudah sampai ke batas akhir. Ia tak tahu mau ke mana lagi.
Suara itu masih melanjutkan, "Kacamata itu masih ada pada saya. Tidak bilang."
Semangat Robert bangkit kembali. "Apa Anda yakin, Profesor? Anda ikut tur ke
Jungfrau pada tanggal empat belas, bukan?"
"Ya, ya, tapi seperti saya bilang tadi, saya tidak kehilangan apa-apa."
"Terima kasih banyak, Profesor." Robert meletakkan gagang telepon. Jackpot!
Robert memutar nomor lain, dan dua menit kemudian ia sudah berbicara dengan
Jenderal
Hiiliard.
"Ada dua hal yang perlu saya laporkan," kata Robert. "Saksi di London yang
saya laporkan sebelum ini?"
"Ya?" "L . „
"O, ya? Sayang sekali."
"Ya, sir. Tapi saya kira saya telah menemukan seorang saksi mata yang lain.
Akan saya laporkan nanti begitu saya mendapat data yang lebih lengkap."
"Saya menunggu berita Anda itu, Letnan."
Jenderal Hilliard melapor kepada Janus. "Letkol Bellamy telah menemukan
seorang saksi lain."
"Bagus. Kelompok ini sudah mulai resah. Semuanya kuatir bahwa cerita ini akan
tersiar sebelum SOI berhasil dioperasikan."
"Saya akan memberikan informasi lagi dalam waktu dekat ini."
"Saya tidak perlu informasi, saya perlu hasil."
"Baik, Janus."
Plattenstrasse di Munich adalah sebuah jalan sepi tempat permukiman dengan
bangunan-bangunan dari batu coklat yang mengelompok jadi satu seakan ingin
melindungi diri. Rumah nomor 5 tidak berbeda bentuknya dari rumah-rumah di
sebelahnya. Di dalam pendapanya nampak sederet bis surat. Sebuah kartu kecil
di bawah salah satu bis surat itu bertuliskan "Profesor Otto Schmidt". Robert
membunyikan bel pintu.
Pintu apartemen itu dibuka oleh seorang laki- j laki jangkung dan kurus yang
rambut putihnya awut-awutan. Ia mengenakan sweter koyak dan
mengisap pipa. Robert bertanya dalam bati apakah ia dengan sengaja ingin
menciptakan kesan khas
seorang dosen universitas, ataukah justru kesan khas itu yang menciptakan dia.
"Profesor Schmidt?"
"Ya?"
"Boleh saya berbicara dengan Anda sebentar?
Saya..."
"Kita sudah berbicara," kata Profesor Schmidt "Anda orang yang menelepon
saya tadi pagi. Saya ahli mendeteksi suara manusia. Silakan masuk."
"Terima kasih." Robert memasuki sebuah ruang duduk yang penuh dengan buku.
Menempel di dinding terdapat rak-rak buku mulai dari lantai sampai ke langit-
langit, penuh dengan ratusan buku. Buku-buku ada di mana-mana: di meja-meja,
di lantai, di kursi-kursi. Perabot yang hanya sedikit di ruangan itu nampak
seperti pelengkap belaka.
"Anda bukan dari perusahaan tur Swiss, bukan?"
"Well, saya..."
"Anda orang Amerika."
"Ya."
"Dan kunjungan ini tidak ada hubungannya dengan hilangnya kacamata saya
yang tidak hilang."
"Well... tidak, sir."
"Anda tertarik pada UFO yang saya lihat. Itu merupakan suatu pengalaman yang
sangat tidak enak. Sejak dulu saya memang percaya UFO itu mungkin benar ada,
tapi saya udak pernah menyangka saya akan melihatnya sendiri."
"Pasti sangat mengguncangkan." "Memang benar."
"Bisa Anda ceritakan tentang itu?"
"UFO itu... hampir-hampir seperti hidup. Ada semacam cahaya yang berkilauan
di sekitarnya. Biru. Bukan, mungkin lebih mirip abu-abu. Saya... saya tidak
yakin."
Robert ingat akan uraian Mandel: "Cahaya itu terus berubah warna. Sepertinya
biru... kemudian hijau. *
"Pesawat itu retak menganga, dan saya bisa melihat dua jasad di dalamnya.
Kecil... matanya besar-besar. Mereka mengenakan semacam seragam
keperakan."
"Ada yang bisa Anda ceritakan mengenai rekan-rekan penumpang sebus Anda?"
"Rekan-rekan yang sebus dengan saya?"
"Ya."
Profesor itu mengangkat bahu. "Saya tidak tahu apa-apa tentang mereka. Mereka
semua tidak saya kenal. Saya saat itu sedang berkonsentrasi ke kuliah yang akan
saya berikan keesokan paginya, dan saya hampir-hampir tidak memperhatikan
para penumpang lainnya."
Robert mengamati wajahnya, menunggu.
"Kalau sekiranya ini bisa membantu," kata sang profesor, "saya bisa mengatakan
kepada Anda negara asal sebagian dari mereka. Saya mengajar kimia, tapi
fonetik adalah hobi saya."
'Apa saja yang bisa Anda ingat akan sangat saya hargai."
-Ada pastor Italia, orang Hungaria, orang Amerika dengan logat Texas, orang
Inggris, gadis Rusia..."
"Rusia?"
"Ya. Tapi dia bukan dari Moskow. Dari logatnya, saya rasa dia dari Kiev, atau
dekat dengan
situ."
Robert menunggu, tapi profesor itu tidak melanjutkan bicaranya. "Anda tidak
mendengar mereka menyebutkan nama mereka atau berbicara tentang profesi
mereka?"
"Maafkan saya. Tadi saya sudah bilang, saat itu saya sedang memikirkan kuliah
saya. Sulit sekali berkonsentrasi. Orang Texas dan pastor itu duduk
bersebelahan. Orang Texas itu tidak pernah berhenti berbicara. Mengganggu
sekali. Saya tidak tahu seberapa banyak yang bisa dipahami oleh pastor itu."
"Pastor itu..."
"Logatnya seperti orang Roma." "Bisa Anda ceritakan lebih banyak tentang
mereka?"
Profesor itu mengangkat bahu. "Saya rasa tidak." Ia membuat satu kepulan
dengan pipanya. "Maaf, saya kira saya tidak bisa membantu lebih
jauh lagi."
Tiba-tiba sesuatu terlintas di benak Robert. "Kata Anda tadi Anda seorang ahli
kimia?"
"Ya."
"Barangkali Anda tidak keberatan melihat suatu benda, Profesor." Robert meraba
sakunya dan
mengeluarkan kepingan logam yang diterimanya dari Beckennan. "Bisakah
Anda katakan ini apa?"
Profesor Schmidt mengambil benda itu, dan ketika dia mengamatinya, ekspresi
wajahnya berubah. "Di mana... di mana Anda mendapatkan ini?"
"Saya kira tidak bisa saya katakan. Anda tahu itu apa?"
"Nampaknya seperti bagian dari sebuah alat transmisi." "Anda yakin itu?"
Ia membalikkan benda itu di tangannya. "Kristalnya adalah diiithium. Sangat
langka. Anda lihat ceruk-ceruk ini? Ini menunjukkan bahwa benda ini
seharusnya digabungkan dengan unit yang lebih besar. Jenis metalnya sendiri
adalah... Ya, Tuhan, saya belum pernah melibat yang seperti ini!" Suaranya
penuh dengan emosi. "Bolehkah saya pinjam ini untuk beberapa hari saja? Saya
ingin menelitinya dengan menggunakan spektrograf."
"Saya kira itu tidak mungkin," kata Robert.
Tapi..."
"Maaf." Robert mengambil kembali kepingan logam itu.
Profesor itu mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Barangkali Anda bisa
membawanya kembali ke sini. Apa bisa saya minta kartu nama Anda? Kalau
saya menemukan hal lain, saya akan menghubungi Anda."
Robert meraba-raba sakunya sebentar. "Rupanya saya kehabisan kartu."
Profesor Schmidt berkata pelan, "Ya, saya rasa
begitu."
"Letkol Bellamy on the line."
Jenderal Hilliard menerima telepon itu. "Ya,
Letnan?"
"Nama dari saksi mata terakhir adalah Profesor Schmidt Ia tinggal di
Plattenstrasse 5 di Munich."
"Terima kasih, Letnan. Saya akan memberitahu pihak yang berwenang di Jerman
dengan segera."
Robert hampir saja mengatakan, "Saya kira itulah saksi mata terakhir yang bisa
saya temukan," tapi sesuatu menahannya. Ia tidak suka mengakui kegagalannya.
Padahal, jejak memang semakin dingin. Orang Texas dan seorang pastor. Pastor
itu berasal dari Roma. Titik. Bersama sejuta pastor lainnya. Dan tidak ada cara
untuk menemukan identitasnya. Aku punya pilihan, pikir Robert Aku bisa
menyerah dan kembali ke Washington, atau aku bisa ke Roma dan mencoba
untuk terakhir kalinya....
Bundesverfassungsschutzamt, yaitu markas besar Badan Perlindungan Undang-
Undang Dasar, terletak di pusat kota Berlin di Neumarkterstrasse. Sebuah
bangunan besar berwarna kelabu yang tidak mencolok, tidak berbeda dengan
bangunan-bangunan di sekitarnya. Di dalamnya di lantai dua, di ruang rapat,
Inspektur Otto Joachim sedang mengkaji sebuah berita. Kepala Badan
Perlindung-
an undang-Undang Dasar tersebut membaca berita itu dua kali, lalu meraih
telepon merah yang ada di meja tulisnya.
Hari Keenam Munich, Jerman
Keesokan paginya ketika Otto Schmidt sedang menuju laboratorium kimianya,
ia berpikir tentang percakapannya semalam dengan^ orang Amerika itu. Dari
mana kira-kira kepingan logam itu berasal? Sangat mempesona, lebih dari apa
saja yang pernah dialaminya. Dan orang Amerika itu membingungkannya.
Katanya ia tertarik kepada para penumpang yang di bus itu. Mengapa? Karena
mereka semua merupakan saksi mata dari piring terbang itu? Apakah mereka
akan diperingatkan supaya tidak bicara? Kalau memang begitu, mengapa orang
Amerika itu tidak memperingatkannya? Ada sesuatu yang aneh yang sedang
berlangsung, profesor itu mengambil kesimpulan. Ia masuk ke laboratoriumnya
dan menanggalkan jasnya serta menggantungkannya. Ia lalu memasang celemek
untuk melbdungi pakaiannya dan berjalan menghampiri meja tempat ia
mengerjakan sebuah eksperimen kimia selama berminggu-minggu. Kalau ini
berhasil, pikirnya, ini bisa berarti hadiah No-^t. la mengangkat silinder gelas
yang berisi air ^anTlfimenUangkannya ke"dalam sebuah
Dentum ledakan itu sangat dahsyat. Laborato-. itu pecah dalam suatu ledakan
hebat, dan ""ih-serpib kaca dan daging manusia bertebaran
di dinding.
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET BFV KEPADA WAKIL DIREKTUR
NSA PHIBADl KOPI SATU QARI (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI HARI
KIAMAT 4: OTTO SCHMIDT—DIAKHIRI PESAN DITUTUP
Robert tidak mendengar berita kematiah,profesor itu. Dia sedang berada d,
sebuah pesawat
Alitalia, dalam perjalanan menuju Roma.
Bab Dua Puluh Tiga
Dusun thornton sedang resah. Ia berkuasa sekarang, dan itu seperti obat bius. Ia
ingin lebih. Entah sudah berapa kali ayah mertuanya, Willard Stone, berjanji
akan membawanya masuk ke kelompok intern yang misterius, tapi janji tinggal
janji.
Hanya karena suatu kebetulan yang langka Thornton mengetahui bahwa ayah
mertuanya selalu menghilang pada setiap hari Jumat. Waktu itu Thornton
meneleponnya untuk mengajak makan siang bersama.
"Maafkan saya," kata sekretaris pribadi Willard Stone, "tapi Mr. Stone tidak ada
di tempat seharian tai."
"Oh, sayang sekali. Bagaimana kalau makan siang Jumat depan?"
"Maaf, Mr. Thornton. Mr. Stone akan tidak ada di tempat lagi Jumat depan."
Aneh. Dan menjadi semakin aneh karena ketika Thornton menelepon dua
minggu setelah itu, ia menerima jawaban yang sama. Ke mana orang tua ,
itu menghilang setiap hari Jumat? Ia bukan seorang pegolf dan bukan seorang
yang suka membuang-buang waktu untuk hobinya.
Jawaban yang paling masuk akal adalah wanita. Istri Willard Stone sangat
seflang dengan kehidupan sosial dan sangat kaya. Ia suka memerintah, hampir
sekuat suaminya dengan caranya sendiri. Ia bukan tipe wanita yang akan
mentolerir jika suaminya mempunyai affair. Kalau dia mempunyai affair, pikir
Thornton, aku akan bisa menguasainya sepenuhnya. Ia memutuskan untuk
menyelidiki.
Dengan semua fasilitas yang dimilikinya, Dustin Thornton akan dengan mudah
bisa menemukan apa yang sedang dilakukan ayah mertuanya, tapi Thornton
tidak bodoh. Ia sadar bahwa kalau sedikit saja ia salah melangkah, ia akan
celaka. Willard Stone bukan tipe orang yang akan mentolerir campur tangan
orang lain ke dalam kehidupannya. Thornton memutuskan untuk menyelidikinya
sendiri.
Pada jam lima pagi hari Jumat berikutnya, Dustin Thornton duduk melorot di
belakang setir sebuah Ford Taurus yang tidak mencolok, setengah blok jauhnya
dari rumah mewah Willard Stone. Dingin menggigit di pagi buta itu, dan
Thornton terus bertanya pada dirinya sendiri apa sebenarnya yang diinginkannya
di situ. Mungkin saja kelakuan Stone yang aneh ini mempunyai alasan yang bisa
diterima sepenuhnya. Aku cuma membuang waktu
saja, pikir Thornton. Tapi sesuatu membuatnya tetap di tempat
Pada jam tujuh, gerbang-gerbang untuk jalan mobil dibuka, dan sebuah mobil
muncul. Willard Stone berada di belakang setir. Ia tidak mengendarai limousine-
nya yang biasa, tapi van hitam yang biasa dipakai pegawai rumah tangganya.
Thornton terbangkit semangatnya. Ia tahu bahwa penyelidikannya membawa
hasil. Orang hidup sesuai dengan polanya, dan Stone sedang melanggar pola itu.
Pasti ada wanita lain.
Mengendarai mobilnya pelan-pelan dan menjaga jarak di belakang van itu,
Thornton membuntuti ayah mertuanya melalui jalan-jalan Washington ke jalan
yang menuju Arlington.
Aku harus menangani ini dengan sangat hati-hati, pikir Thornton. Aku tidak
akan terlalu menekan dia. Aku akan mencari semua informasi yang bisa kudapat
mengenai pacar gelapnya ini, lalu aku akan mengungkapkannya kepadanya.
Akan kubilang bahwa aku hanya bermaksud melindunginya. Dia akan mengerti
maksudku. Dia paling takut kalau dirinya menjadi sasaran skandal di muka
umum.
Dustin Thornton begitu asyik dalam permenungannya ini sehingga ia hampir
tidak melihat ketika Willard Stone berbelok. Mereka sekarang berada di sebuah
kawasan permukiman eksklusif. Van hitam itu mendadak lenyap mendaki sebuah
jalan mobil yang dinaungi pepohonan.
Dustin Thornton menghentikan mobilnya,
menimbang-nimbang cara terbaik untuk melanjutkan penyelidikannya. Haruskah
ia menangkap basah Willard Stone pada saat ia melakukan penyelewengan?
Atau sebaiknya ia menunggu sampai Stone pergi lagi dan kemudian berbicara
dengan wanita itu lebih dahulu? Atau sebaiknya ia mengumpulkan saja
informasi yang diperlukannya dan kemudian berbicara dengan ayah mertuanya?
Ia memutuskan untuk mengintai dulu.
Thornton memarkir mobilnya di sebuah jalan samping dan berjalan memutar
sampai ia tiba di gang yang terletak di belakang rumah bertingkat dua itu. Pagar
kayu menutupi bagian belakang halaman rumah tersebut, tapi itu bukan masalah.
Thornton membuka gerbang itu dan melangkah ke dalam. Di hadapannya
terbentang sebuah halaman yang sangat luas, indah, dan terawat baik dengan
rumah di baliknya.
Ia bergerak dengan diam-diam di antara bayang-bayang pepohonan yang
memagari lapangan rumput itu dan berdiri di pintu belakang, menimbang-
nimbang langkah berikutnya. Ia memerlukan bukti mengenai apa yang sedang
terjadi. Tanpa itu orang tua itu akan menertawainya. Apa pun yang sedang
terjadi di dalam sana bisa menjadi kunci bagi masa depannya. Ia harus mencari
tahu.
Dengan sangat hati-hati, Thornton membuka pintu belakang itu. Ternyata tidak
terkunci. Ia menyelinap ke dalam dan mendapati dirinya berada di sebuah dapur
yang luas dan bergaya kuno. Tak ada siapa-siapa di situ. Thornton bergerak
menuju
pintu masuknya dan mendorongnya terbuka kit Ia melibat di hadapannya sebuah
ruang r S6(1,~ tion yang luas. Di ujung sana nampak s h ^ pintu tertutup yang
bisa jadi menuju mang D & Ua^ takaan. Thornton berjalan menghampirinya1?
118" gerak dengan tak bersuara. Ia berdiri di situ dengarkan. Tidak ada tanda-
tanda kehidupan^ rumah itu. Orang tua itu barangkali ada di/L atas di kamar
tidur. lantai
Thornton berjalan menuju pintu yang tertuh.n •tu dan membukanya. Ia berdiri di
ambang 72 tertegun. Ada dua belas orang sedang dudu di ruang itu mengitari
sebuah meja besar
"Masuklah, Dustin,- kata Willard Stone "Kami sudah menunggumu." Kami
Bab Dua Puluh Empat
Roma ternyata menyulitkan Robert, karena membangkitkan kepahitan batin
yang membuatnya menderita. Di sana ia melangsungkan bulan madunya dengan
Susan, dan kenangannya kini meruyak di benaknya. Roma mengingatkannya
kepada Roberto, yang mengurus Hotel Hassler mewakili ibunya, dan yang
setengah tuli tapi mampu membaca bibir dalam lima bahasa. Roma berarti
taman-taman Villa d'Este di Tivoli, dan Ristorante Sibilla dan kekaguman Susan
melihat seratus pancuran yang diciptakan oleh putra Lucretia Borgia. Roma
berarti Otello, di kaki Spanish Steps, dan Vatikan, dan Colosseum dan Forum
dan patung Musa pahatan Michelangelo. Roma berarti menikmati tar-tufo
bersama di Tre Scalini dan derai tawa Susan, d?n suaranya yang berkata,
"Berjanjilah bahwa kib» akan selalu sebahagia ini, Robert."
Sedang apa aku di sini? Robert heran sendiri, aku ""ma sekali tidak tahu siapa
pastor itu, atau apakah ** memang berada di Roma. Sudah ^™£JT* kundur,
untuk pulang dan melupakan semuanya
Tetapi sesuatu di dalam dirinya, suatu sirat pantang menyerah yang diwarisi dari
leluhur yang sudah lama mati, tidak menghendaki ia melakukan itu. Akan kuberi
satu hari lagi, Robert memutuskan. Satu hari lagi saja.
Bandara Leonardo da Vinci penuh sesak, dan rasanya satu dari setiap dua orang
yang dijumpai Robert pasti pastor. Ia sedang mencari seorang pastor di kota
yang dihuni oleh... berapa? Lima puluh ribu pastor? Seratus ribu? Di dalam taksi
dalam perjalanan menuju Hotel Hassler, ia melihat banyak sekali pastor berjubah
di jalan-jalan. Ini mustahil, pikir Robert Aku pasti sudah gila.
Ia disambut di lobi Hotel Hassler oleh sang asisten manajer.
•Letkol Bellamy! Senang sekali melihat Anda bgi."
"Terima kasih, Pietro. Apa kau punya kamar buatku untuk satu malam saja?"
"Untuk Anda—tentu saja. Selalu!"
Robert diantarkan ke kamar yang dulu pernah ditinggalinya.
"Kalau ada yang Anda perlukan, Let, harap..."
Aku perlu suatu mukjizat, pikir Robert Ia' duduk di tempat tidur dan
membaringkan dirinya, mencoba menjernihkan pikirannya.
Mengapa seorang pastor dari Roma bertamasya ke Swiss? Ada berbagai
kemungkinan. Ia mungkin sedang berlibur, atau barangkali ada semacam J
kongres pastor. Ia satu-satunya pastor di dalam
bus itu." Ini artinya apa? Tidak berarti apa-apa. Kecuali, mungkin, bahwa ia
iidak bepergian dalam satu kelompok. Jadi, itu mungkin suatu trip untuk
mengunjungi keluarganya atau teman-temannya. Atau mungkin ia benar anggota
suatu rombongan, tapi rombongan itu mempunyai rencana lain hari itu. Pikiran
Robert berputar-putar dalam suatu lingkaran kesia-siaan.
Mulai dari awal lagi. Bagaimana cara pastor itu sampai ke Swiss?
Kemungkinannya besar bahwa dia tidak memiliki mobil. Seseorang mungkin
saja telah memberikan tumpangan kepadanya, tapi lebih besar kemungkinannya
dia naik pesawat atau kereta api atau naik bus. Kalau dia benar sedang cuti, pasti
waktunya terbatas. Jadi baiklah disimpulkan bahwa dia naik pesawat Jalur
penalaran itu tidak membawanya ke mana-mana. Perusahaan-perusahaan
penerbangan tidak mencatat profesi para penumpangnya. Nama pastor itu
hanyalah salah satu dari banyak nama di daftar penumpang. Tapi kalau benar ia
anggota suatu rombongan...
Vatikan, tempat kediaman resmi Sri Paus, menjulang dengan megahnya di Bukit
Vatikan, di tepi barat Sungai Tiber, di ujung barat laut Roma. Kubah Basilika
Santo Pctrus yang dirancang oleh Michelangelo, mencuat di atas piazza—alun-
alun —yang amat luas, penuh sesak setiap harinya oleh para turis dari segala
aliran kepercayaan.
Piazza itu dikelilingi oleh dua colona setengah lingkaran yang dibangun oleh
Bernini pada tahun 1667, dengan 284 tiang terbuat dari marmer
travertine yang diatur dalam empat baris yang menopang langkan tempat berdiri
140 patung. Robert telah berkali-kali mengunjungi tempat itu, tapi setiap kali ia
terpesona melihat karya agung itu.
Interior Vatikan tentu saja lebih spektakuler lagi. Kapel Sistine-nya dan
museumnya dan Sala Rotonda-nya sulit digambarkan keindahannya.
Tapi hari ini Robert tidak datang ke sini untuk bertamasya.
Ia tiba di Kantor Humas Vatikan di bangunan samping kompleks itu, yang
melayani urusan non keagamaan. Pemuda yang bertugas di belakang meja
penerima bersikap sopan.
"Bisa saya bantu?"
Robert menunjukkan kartu identitasnya. "Saya dari majalah Time. Saya sedang
menyusun artikel mengenai sejumlah pastor yang berkonferensi di Swiss satu
atau dua minggu yang lalu. Saya memerlukan data-data penunjang,"
Pemuda- itu mengamatinya sejenak, lalu mengerutkan dahinya. "Kami memang
mempunyai sejumlah pastor yang mengikuti konferensi di Vene-sia bulan lalu.
Tapi tak ada di antara pastor-pastor kami yang ke Swiss akhir-akhir ini. Maafkan
saya, saya rasa saya tidak bisa membantu Anda."
Ini sungguh-sungguh penting," kata Robert dengan serius. "Bagaimana saya bisa
mendapatkan informasi seperti itu?"
"Rombongan yang Anda maksudkan itu—mereka mewakili cabang gereja yang
mana?"
"Maaf?"
"Ada banyak ordo Katolik Roma. Ada Francis-
kan, Marist, Benediktin, Trappist, Jesuit, Domini-kan, dan banyak lagi. Saya rasa
sebaiknya Anda pergi ke ordo dari mana mereka berasal dan bertanya ke sana."
"Ke sana" itu ke mana? Robert bertanya dalam hati. "Anda punya saran-saran
lain?"
"Saya. kira tidak."
Aku juga tidak, pikir Robert Telah kutemukan jeraminya, tapi jarumnya belum.
Ia meninggalkan Vatikan dan berjalan tanpa tujuan di jalan-jalan Roma, tidak
mengacuhkan orang-orang di sekitarnya karena pikirannya terpusat kepada
masalah yang dihadapinya. Di Piazza del Popolo, ia duduk di sebuah kafe di
udara terbuka dan memesan Cinzano. Minuman itu dihidangkan di depannya dan
tidak disentuhnya.
Ia tidak tahu pasti di mana pastor itu berada. Jangan-jangan ia malah masih
berada di Swiss! Dia anggota ordo yang mana? Aku tidak tahu. Peganganku
cuma kata-kata si profesor, yang merasa yakin bahwa ia orang Roma.
Ia menyesap minumannya.
Ada pesawat senja dengan tujuan Washington, Aku kan ikut itu, Robert
memutuskan. Aku menyerah. Gagasan ini menyakitkan baginya. Keluar, tidak
dengan teriakan kemenangan, tapi dengan rintihan. Sudah waktunya berangkat
"U conto, per favore."
'Si, signore."
Robert melayangkan pandang ke sekeliling piazza itu. Di seberang kafe, sebuah
bus sedang memuat penumpang. Di antara antrean orang yang akan naik terdapat
dua pastor. Robert menyaksikan ketika para penumpang itu membayar tiket
mereka dan berjalan ke bagian belakang bus. Ketika pastor-pastor itu sampai di
depan kondektur, mereka tersenyum kepadanya dan duduk tanpa membayar.
"Bon Anda. signore," kata waiter-nya. Robert sama sekali tidak mendengarnya.
Pikirannya sedang bekerja keras. Di sini, di pusat gereja Katolik, para pastor
mempunyai sejumlah hak istimewa. Mungkin saja, sangat mungkin...
Kantor Swissair terletak di Via Po 10, lima menit jauhnya dari Via Veneto.
Robert disambut oleh pria yang bertugas di counter. "Boleh saya bertemu dengan
manajer Anda?" "Sayalah manajernya. Bisa saya bantu?" Robert menunjukkan
sebuah kartu identitas. "Michael Hudson. Interpol." "Apa yang bisa saya bantu,
Mr. Hudson?" "Sejumlah perusahaan penerbangan internasional mengeluh
tentang adanya pemberian discount yang ilegal di Eropa—di Roma, khususnya.
Menurul perjanjian internasional..." "Maafkan saya, Mr. Hudson, tapi Swissair
tidak
Tolong bonnya Baik, Tua.
memberikan discount Semua orang harus membayar harga tiket yang
ditetapkan." "Semua orang?"
"Dengan pengecualian karyawan perusahaan penerbangan, tentunya."
"Apakah Anda tidak memberikan discount kepada para pastor?"
"Tidak. Untuk penerbangan ini mereka membayar penuh."
Untuk penerbangan ini. "Terima kasih untuk waktu Anda." Dan Robert berlalu
dari situ.
Dari situ—dan ini harapannya yang terakhir—ia menuju Alitalia. "Discount
ilegal?" Manajernya menatap Robert dengan wajah tidak mengerti. "Kami hanya
memberikan discount kepada para karyawan kami."
"Apa Anda tidak memberikan discount kepada para pastor?"
Wajah manajer itu menjadi cerah. "O, itu, iya. Tapi itu tidak ilegal. Kami telah
membuat perjanjian dengan pihak gereja Katolik."
Hati Robert berbunga-bunga. "Jadi, kalau seorang pastor ingin terbang dari
Roma ke Swiss misalnya, maka dia akan memakai perusahaan penerbangan ini?"
"Well, itu akan lebih murah untuk dia. Ya." Kata Robert, "Supaya komputer
kami bisa disesuaikan dengan kondisi terakhir, akan sangat membantu kalau
Anda mau memberitahukan kepada saya berapa jumlah pastor yang terbang ke
Swiss
selama dua minggu terakhir ini. Anda pasti puny; catatannya, bukan?" "Ya, tentu
saja. Untuk keperluan pajak." "Saya akan sangat menghargai informasi itu."
"Anda ingin tahu berapa pastor yang pergi ke Swiss selama dua minggu terakhir
ini?" "Ya. Zurich atau Jenewa." "Sebentar. Saya akan cek di komputer." Lima
menit kemudian, manajer itu kembali dengan sehelai printout komputer. "Hanya
ada satu pastor yang terbang dengan Alitalia ke Swiss selama dua minggu
terakhir ini." Ia lalu mengamati printout itu. "Ia meninggalkan Roma pada
tanggal tujuh dan terbang ke Zurich. Penerbangan kembalinya ii-booking untuk
dua hari yang lalu."
Robert menarik napas dalam-dalam. "Namanya?" . "Father Romero Patrian."
"Alamatnya?"
Ia melihat ke bawah ke kertas itu lagi. "Ia tinggal di Orvieto. Kalau Anda
memerlukan penjelasan lebih lanjut.." Ia menengadahkan kepalanya.
Robert sudah pergi.
Bab Dua Puluh Lima
Hari Ketujuh Orvieto, Italia
Ia menghentikan mobilnya di sebuah tikungan tajam dijalan raya S-71, dan di
sana di seberang lembah, tinggi di atas karang-karang vulkanis, nampak
pemandangan yang menakjubkan dari kota Orvieto. Kota itu merupakan pusat
kebudayaan Etruscan kuno, dengan katedralnya yang termasyhur di dunia,
selengah lusin gereja, dan seorang pastor yang menyaksikan jatuhnya sebuah
UFO.
Kota itu seakan tak terjamah oleh sang waktu, dengan jalan-jalan batu kerikil
dan bangunan-bangunan kuno yang cantik, dan pasar di udara terbuka tempat
para petani menjual sayur-mayur segar dan ayam.
Robert mendapatkan tempat parkir di Piazza del Duomo. Ia menyeberang he
katedral itu dan ma-auk ke dalamnya. Tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali
seorang pastor tua yang baru saja akan meninggalkan altar.
"Maafkan saya, Father* kata Robert "Saya mencari seorang pastor dari kota ini
yang berada di Swiss minggu yang lalu. Barangkali Anda..."
Pastor itu bergerak ke belakang, wajahnya nampak kurang senang. "Saya tidak
bisa membicarakan itu."
Robert memandangnya dengan heran. "Saya tidak mengerti. Saya hanya ingin
mencari..."
"Dia bukan dari gereja ini. Dia dari Gereja San Giovenale." Dan pastor itu
berjalan tergesa-gesa melewati Robert Mengapa dia begitu tidak ramah?
Gereja San Giovenale terletak di Quartiere Vec-chio, sebuah kawasan meriah
dengan menara-menara dari abad"pertengahan dan gereja-gereja. Seorang pastor
muda sedang merawat taman yang berada di sampingnya. Ia mendongakkan
kepalanya ketika Robert menghampirinya.
'Buon giorno, signore."'
"Selamat pagi. Saya sedang mencari seorang pastor yaag berada di Swiss
minggu lalu. Dia..."
"Ya, ya. Father Patri n i yang malang. Sesuatu yang sangat menyedihkan telah
terjadi atas diri-«ya/
"Saya tidak mengerti. Menyedihkan bagaima-
Selamat pagi. Tuan.
"Dia melihat kereta setan. Dia ternyata tidak tahan. Orang tua yang malang itu
mengalami guncangan saraf."
"Saya ikut menyesal mendengar itu," kata Robert "Di mana dia sekarang? Saya
ingin berbicara dengannya."
"Dia dirawat di rumah sakit dekat Piazza di San Patrizio, tapi saya tidak yakin
apakah dokter akan memperbolehkan Anda-—atau siapa pun—menjenguknya."
Robert berdiri di situ, kebingungan. Seseorang yang sedang mengalami
guncangan saraf pastilah tak akan bisa banyak membantu. "Begitu. Terima kasih
banyak."
Rumah sakit itu adalah sebuah bangunan bertingkat satu yang tidak mencolok
dekat pinggiran kota. Ia memarkir mobilnya dan berjalan ke dalam lobi yang
kecil. Ada seorang perawat yang bertugas di belakang meja reception.
"Selamat pagi," kata Robert "Saya ingin bertemu dengan Father Patrini."
"Mi seusi, ma—maaf—itu tidak mungkin. Dia tidak boleh berbicara dengan
siapa pun."
Robert sudah menetapkan niat bahwa kali ini ia tidak mau dihalangi. Ia harus
mengikuti petunjuk yang telah diberikan Profesor Schmidt. "Anda tidak
mengerti," kau Robert dengan lancar. "Father Patrini yang meminta untuk
bertemu dengan saya. Saya datang di Orvieto ini atas permintaannya." "Dia
minta bertemu dengan Anda?" "Ya. Dia menulis aurat kepada saya di Amerika.
Saya datang jauh-jauh hanya untuk menjumpai-¦ya."
Perawat itu nampak ragu. "Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Dia
sakit parah. Moka."
"Saya yakin hatinya akan senang jika melihat saya."
"Dokternya tidak ada di sini..." Ia membuat keputusan. "Baiklah. Anda boleh
masuk ke kamarnya, signore, tapi Anda hanya boleh tinggal beberapa menit
saja."
"Itu cukup buat saya," kata Robert.
"Silakan lewat sini, per piacere."
Mereka berjalan melewati sebuah lorong pendek yang diapit oleh deretan kamar-
kamar yang rapi di kiri-kanannya. Perawat itu mengantarkan Robert ke salah
satu kamar.
"Hanya beberapa menit, signore."
'Grant—terima kasih."
Robert masuk ke kamar yang kecil itu. Penghuninya nampak bagai sesosok
bayangan pucat yang berbaring di seprai putih. Robert mendekau-nya dan
berkata pelan, "Father..."
Pastor itu menoleh untuk memandangnya, dan Robert tertegun. Bara kali ini ia
melihat penderitaan yang sedemikian hebatnya di mata seorang manusia.
"Father, nama saya ada..." la menyambar lengan Robert "Tolonglah aku," pastor
itu bergumam. "Kau harus menolongku, imanku sudah lenyap. Selama hidup aku
telah berkhotbah tentang Tuhan dan tentang Roh Suci,
dan sekarang aku tahu bahwa Tuhan itu tidak ada. Yang ada hanya setan, dan dia
telah datang untuk mencelakakan kita..." "Father, kalau Anda..."
"Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Ada dua di kereta setan itu, tapi,
oh, akan. datang lebih banyak lagi! Yang lain-lain akan datang! Tunggu dan lihat
saja. Kita semua dikutuk untuk masuk ke neraka."
"Father... dengarkan saya. Apa yang Anda lihat itu bukan setan. Itu pesawat
ruang angkasa yang..."
Pastor itu melepaskan Robert dan* memandangnya bagaikan orang yang tiba-
tiba.sadar. "Anda ini siapa? Apa yang Anda inginkan?"
Robert berkata, "Saya Seorang teman. Saya datang ke sini untuk menanyakan
kepada Anda tentang tamasya dengan bus di Swiss itu."
"Bus itu. Kalau saja saya tidak pernah berada dekat dengannya..." Pastor itu
mulai terguncang lagi.
Robert merasa tidak tega untuk menekannya lebih jauh, tapi ia tidak mempunyai
pilihan.
"Anda duduk di sebelah seorang pria di dalam bus tersebut. Orang Texas. Anda
banyak berbicara dengannya, ingat?"
"Percakapan. Orang Texas. Ya, saya ingat."
"Apa dia menyebut-nyebut tempat tinggalnya di Texas?"
"Ya, saya ingat dia. Dia dari Amerika." "Ya. Dari Texas. Apakah dia
memberitahukan rumahnya di mana?"
"Ya, ya. Dia memberitahu saya."
"Di mana. Father? Di mana rumahnya?"
"Texas. Dia berbicara tentang Texas."
Robert mengangguk dengan sikap memberi se manga t "Benar."
"Saya melihat mereka dengan mata kepala sendiri. Kenapa Tuban tidak
membutakan saja mata saya?! Saya~"
"Father... orang dari Texas itu. Apakah dia mengatakan dia dari mana? Apa dia
menyebut sebuah nama?" "Texas, ya. Ponderosa."
Robert mencoba lagi "Itu ada dalam acara televisi. Tapi ini manusia yang nyata.
Dia duduk di sebelah Anda..."
Pendeta itu mulai mengigau lagi. "Mereka datang! Armageddon sudah tiba.
Kitab Suci telah berbohong! Setan-lah yang akan menguasai dunia." Ia menjerit-
jerit sekarang. "Awas! Awas! Aku bisa melihat mereka!"
Perawat masuk dengan tergopoh-gopoh. Ia memandang Robert dengan kurang
senang. "Anda harus segera pergi, signore."
"Saya cuma perlu satu menit.lagi saja..."
'Tidak, signore. Adesso—sekarang!"
Robert memandang pastor itu untuk yang terakhir kalinya. Dia masih saja
menjerit-jerit tanpa arah. Robert membalikkan badannya untuk berlalu j dari situ.
Tak ada lagi yang bisa dilakukannya. J Tadinya ia berspekulasi bahwa pastor ini
akan
memberinya petunjuk tentang orang Texas itu, tapi ternyata ia gagal.
Robert kembali ke mobilnya dan mengendarainya balik ke Roma. Akhirnya
semuanya telah berakhir. Petunjuk-petunjuk yang masih tinggal—kalau itu
pantas disebut petunjuk—hanyalah fakta adanya seorang wanita Rusia, seorang
pria Texas, dan seorang Hungaria. Tapi tak ada jalan untuk melacak mereka
lebih jauh. Skak dan skakmat. Memang sangat mengecewakan sudah berjalan
sejauh ini dan harus berhenti di sini saja. Kalau saja pastor itu bersikap waras
cukup lama untuk bisa memberikan kepadanya informasi yang dibutuhkannya!
Sudah dekat sekali sebetulnya. Apa yang dikatakan pastor itu? Ponderosa. Pastor
tua itu terlalu banyak nonton televisi dan, dalam keadaan setengah sadar, dia
pasti telah mengasosiasikan Texas dengan film seri yang pernah populer,
Bonanza. Ponderosa, tempat tinggal keluarga Cart-wright yang legendaris itu.
Ponderosa Robert mengurangi laju mobilnya dan berhenti di pinggir jalan,
pikirannya bekerja keras. Ia lalu berputar seratus delapan puluh derajat dan
memacu mobilnya ke arah Orvieto.
Setengah jam kemudian, Robert sudah berbicara dengan bartender di sebuah
trattoria kecil di Piazza della Repubblica. "Kota Anda sangat indah," kata
Robert. "Suasananya sangat damai."
"Oh si, signore, kami sangat senang di sini. Apa Anda pernah mengunjungi Italia
sebelumnya?"
"Saya berbulan madu di Roma." *Kau membuai semua mimpiku menjadi
kenyataan, Robert Aku ingin melihat Roma sejak aku masih kecil*.
"Ah, Roma. Terlalu besar. Terlalu bising."
"Saya setuju."
"Kami hidup sederhana di sini, tapi kami bahagia.'
Robert berkata dengan santai, "Saya melihat banyak antena televisi di atap-atap
rumah di sini."
"Oh, ya, memang. Kami cukup up-to-date dalam hai itu."
"Itu nampak jelas. Berapa banyak saluran televisi yang ada di kota ini?" "Hanya
satu."
"Saya rasa banyak acara televisi Amerika yang dapat Anda nikmati?"
"Tidak, tidak. Ini adalah saluran milik pemerintah. Di sini kami hanya bisa
menerima acara-acara produksi Italia."
Bingo! "Terima kasih."
Robert menelepon Admiral Whittaker. Seorang sekretaris menerima teleponnya
itu. "Kantor Admiral Whittaker."
Robert bisa membayangkan suasana kantor itu. Pasti itu semacam tempat untuk
menampung pejabat-pejabat buangan yang sudah tak berperanan lagi di
pemerintahan.
"Apa bisa saya berbicara dengan Admiral? Di sini Letkol Robert Bellamy."
"Tunggu sebentar, Letnan."
Robert bertanya dalam hati apakah saat ini ada orang yang masih mau repot-
repot menjaga hubungan dengan tokoh yang tadinya berkuasa ini, kini setelah ia
cuma mengurus armada pergudangan. Barangkali tidak.
"Robert, senang sekali mendengar beritamu lagi." Suara orang tua itu terdengar
lelah. "Kau berada di mana?"
"Saya tidak bisa mengatakannya, sir."
Hening sejenak. "Aku mengerti. Ada yang bisa aku bantu?"
"Ya, sir. Ini agak tidak enak sebab saya dilarang untuk berkomunikasi dengan
siapa pun. Tapi saya memerlukan bantuan dari luar. Apa sekiranya Anda bisa
membantu menyelidiki sesuatu untuk saya?"
"Pasti bisa kucoba. Apa yang ingin kauketahui?" "Saya perlu tahu apakah di.
Texas ada sebuah ranch yang bernama Ponderosa." "Seperti yang di Bonanza
itu?" "Ya, sir."
"Aku bisa menyelidikinya. Bagaimana aku bisa menghubungimu?"
"Saya rasa sebaiknya saya yang menghubungi Anda, Admiral."
"Baiklah. Aku minta waktu satu atau dua jam. Aku akan menjaga bahwa ini
hanya di antara kita berdua saja."
"Terima kasih."
Robert bisa merasakan bahwa kelelahan sudah lenyap' dari suara orang tua itu.
Akhirnya ia di-
minta untuk melakukan sesuatu, walau itu begitu tak berarti seperti mencari tahu
tentang letak sebuah ranch.
Dua jam kemudian, Robert menelepon Admiral Whittaker lagi.
"Aku sudah menunggu teleponmu," kata admiral itu. Nada suaranya
mengandung rasa puas. "Aku telah mendapatkan informasi yang kauperlukan."
"Dan?" Robert menahan napas.
"Ada ranch bernama Ponderosa di Texas. Letaknya persis di luar kota Waco.
Pemiliknya adalah Dan Wayne."
Robert mengembuskan napas lega. "Terima kasih, Admiral," kata Robert. "Saya
utang satu makan malam kalau saya pulang nanti"
"Aku akan senang sekali, Robert."
Telepon Robert berikutnya adalah ke Jenderal Hilliard. "Saya telah menemukan
seorang saksi lagi di Italia, Father Patrini"
"Pastor?"
"Ya. Di Orvieto. Dia dirawat di rumah sakit, sakit parah. Saya kuatir pihak yang
berwajib di Italia tidak akan bisa berkomunikasi dengannya."
"Saya akan menyampaikan laporan ini. Terima kasih, Letnan."
Dua menit kemudian, Jenderal Hilliard sudah menelepon Jam».
"Saya sudah mendengar berita lagi dari Letkol
Bellamy. Saksi mata terakhir yang ditemukannya adalah seorang pastor.
Namanya Faher Patrini dan tinggal di Orvieto." "Bereskan dia."
PESAN KILAT
ULTRA TOP SECRET NSA KEPADA WAKIL DIREKTUR SIFAR PRIBADI
KOPI SATU DARI (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI HARI KIAMAT 5.
FATHER PATRINI—ORVIETO PESAN DITUTUP
Markas-besar SIFAR terletak di Via della Pine-ta, di pinggiran paling selatan
kota Roma, di sebuah kawasan yang dikelilingi oleh rumah-rumah petani. Satu-
satunya hal yang membuat orang menengok dua kali ke kompleks bangunan
batu yang nampak seperti pabrik itu adalah tembok tinggi yang memagarinya,
yang diberi kawat berduri dengan pos-pos penjagaan di setiap sudutnya.
Tersembunyi di sebuah kompleks militer, badan itu adalah salah satu dinas
rahasia yang paling ter-selubung di dunia, dan yang paling kurang dikenal. Ada
tulisan di luar kompleks itu yang berbunyi: Vietate Passare Oltre i Limiti.
Dilarang Masuk
Di dalam sebuah kantor yang bersuasana Spartan di lantai satu bangunan
utamanya, Kolonel Francesco Cesar sedang mengkaji pesan kilat yang baru saja
diterimanya. Kolonel itu adalah seorang pria berumur awal lima puluh tahunan,
dengan tubuh berotot dan wajah kasar yang mirip buldog. la membaca pesan itu
untuk ketiga kalinya.
Jadi, Operasi Hari Kiamat akhirnya benar-benar dilaksanakan. E una belia
fregatura. Untung kami sudah siap untuk mi, pikir Cesar. Ia melihat lagi
telegram itu. Seorang pastor.
Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam ketika biarawati itu berjalan
melewati perawat-perawat yang sedang bertugas jaga malam di remah sakit kecil
di Orvieto.
"Aku kira dia akan menemui Signora Fillipi," kata Suster Tomasino.
"Kalau bukan dia pasti Pak Tua Rigano itu. Mereka berdua sudah dekat ajal."
Biarawati itu berjalan tanpa bersuara memutari pojok dan langsung menuju
kamar sang Pastor. Ia sedang tidur dengan tenang, tangan-tangannya disatukan di
dadanya hampir-hampir seperti sedang berdoa. Secercah cahaya bulan masuk
menembus tirai; sinarnya yang keemasan menerangi wajah sang Pastor.
Biarawati Hu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam jubahnya. Dengan
hati-hati ia mengambil sebuah rosario indah dari butir kaca dan menaruhnya di
tangan pastor tua itu. Ketika mengatur letak butir-butir itu, dengan cepat ia
menarik
sebulir mengiris ibu jari korbannya. Segari* tipis darah timbul. Biarawati itu
mengeluarkan sebuah botol kecil dari kotak dan, dengan alat penetes obat mata,
dengan hati-hati meneteskan tiga tetes cairan ke dalam luka yang terbuka itu.
Hanya memakan waktu beberapa menit bagi racun maut yang bekerja cepat itu
untuk menunjukkan hasilnya. Biarawati itu menarik napas saat ia membuat tanda
salib di atas orang yang sudah mati itu. Lalu ditinggalkannya tempat itu tanpa
suara seperti ketika ia masuk tadi.
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET SIFAR KEPADA WAKIL DIREKTUR
NSA PRIBADI KOPI SATU DARI (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI HARI
KIAMAT 5. FATHER PATRINI—ORVIETO—DIAKHIRI PESAN DITUTUP
Bab Dua Puluh Enam
Frank johnson direkrut karena ia dulu anggota Green Beret di Vietnam dan di
antara rekan-rekannya dikenal dengan sebutan Killing Machine. Membunuh
adalah hobinya. Motivasinya tinggi dan ia sangat cerdas.
"Dia pas sekali untuk maksud kita," kata Janus. "Dekati dia dengan hati-hati.
Aku tidak mau kehilangan dia."
Pertemuan pertama diadakan di barak angkatan darat Seorang Kapten berbicara
dengan Frank Johnson.
"Tidakkah kau kuatir mengenai pemerintah kita?" tanya sang kapten.
"Pemerintah kita sedang dikendalikan oleh sekelompok pejabat berhati rapuh
yang selalu mengalah. Negeri ini membutuhkan kekuatan nuMfe, tapi politisi-
politisi brengsek itu malahan melarang kita mendirikan instalasi baru. Kita
bergantung pada Arab-Arab sialan itu untuk minyak, tapi maukah Pemerintah
membiar-kan kita sendiri melakukan pengeboran lepas pan-
Oh tidak. Mereka lebih memikirkan ikan-ikan daripada kita. Apa ini masuk akal
bagimu?" "Aku mengerti maksudmu," kata Frank Johnson. "Aku tahu kau pasti
bisa mengerti, karena kau pintar." Ia memperhatikan ekspresi wajah Johnson
sementara ia berbicara. "Kalau Kongres tidak melakukan apa-apa untuk
menyelamatkan negeri kita, maka tergantung kepada sebagian dari kita untuk
melakukan sesuatu."
Frank Johnson nampak keheranan. "Sebagian dari kita?"
"Yeah." Cukup sekian dulu kali ini, pilar kapten itu. "Kita akan
membicarakannya lagi nanti."
Perbincangan berikutnya sudah lebih rinci sifatnya. "Ada sekelompok patriot
Frank, yang ingin melindungi dunia kita. Mereka terdiri dari orang-orang yang
berkuasa. Mereka telah membentuk sebuah komisi. Komisi ini mungkin nanti
akan membengkokkan beberapa aturan hukum agar mereka bisa melakukan
misinya, tapi akhirnya ini semua akan ada gunanya. Kau tertarik?"
Frank Johnson menyeringai. "Aku sangat tertarik."
Begitulah awal mulanya. Pertemuan selanjutnya berlangsung di Ottawa, Kanada,
dan Frank Johnson berjumpa dengan sebagian anggota komisi itu. Mereka
mewakili kelompok-kelompok yang berkuasa dari selusin negara.
"Kami terorganisir dengan amat rapi," seorang anggota menjelaskan kepada
Frank Johnson.
"Kami memiliki susunan komando yang ketat. Ad» Divisi Propaganda,
Perekrutan, Taktik, Penghubung... dan Pasukan Pembasmi." Ia melanjutkan.
"Hampir semua dinas intelijen di seluruh dunia ikut mengambil bagian."
"Maksud Anda kepala-kepala dari...?"
"Tidak, bukan kepala-kepalanya. Wakil-wakilnya. Mereka lebih tahu apa yang
sebenarnya terjadi di lapangan, tahu bahaya apa yang sedang mengancam
negara-negara kita saat ini."
Pertemuan-pertemuannya diselenggarakan di seluruh dunia—Swiss, Maroko,
Cina—dan Johnson menghadiri semua pertemuan itu.
Baru enam bulan kemudian Kolonel Johnson bertemu dengan Janus. Janus
memanggilnya.
"Saya menerima laporan-laporan yang sangat baik mengenai Anda, Kolonel."
Frank Johnson menyeringai. "Saya menyukai pekerjaan saya."
"Begitulah yang saya dengar. Anda berada dalam posisi yang bagus untuk
membantu kami."
Frank Johnson menegakkan duduknya. "Saya akan melakukan apa yang saya
bisa."
"Bagus. Di Farm, Anda bertugas mengawasi pelatihan para agen dari berbagai
dinas rahasia." "Benar."
"Dan Anda mengenal mereka dan kemampuan mereka."
"Dengan mendalam."
"Apa yang saya ingin Anda lakukan," kata
Janus, "adalah merekrut mereka yang Anda anggap akan bisa sangat membantu
dalam organisasi kita ini. Kami hanya tertarik kepada yang paling
baik."
"Itu mudah," kata Kolonel Johnson. "Tidak ada masalah." Ia ragu sejenak, "Saya
pikir..." "Ya?"
"Saya bisa melakukan itu dengan tangan kiri saya saja. Sebenarnya saya ingin
melakukan lebih dari itu, sesuatu yang lebih besar." Ia mencondongkan
badannya ke depan. "Saya telah mendengar tentang Operasi Hari Kiamat Hari
Kiamat tepat berada di mulut gang rumah saya. Saya ingin mengambil bagian di
situ, sir."
Janus terdiam, mengamatinya sebentar. Ia lalu mengangguk. "Baiklah, Anda
diterima."
Johnson tersenyum. "Terima kasih. Anda tidak akan menyesal." Kolonel Frank
Johnson meninggalkan pertemuan itu dengan sangat gembira. Kini ia
mempunyai kesempatan untuk menunjukkan apa yang mampu dilakukannya.
Bab Dua Puluh Tujuh
Han Kedelapan Waco, Texas
Hari itu bukan hari yang baik bagi Dan Wayne. Malahan, boleh dikatakan itu
hari yang celaka baginya. Ia baru saja kembali dari Pengadilan Negeri Waco
menghadiri persidangan sehubungan dengan kebangkrutan perusahaannya.
Istrinya, yang mempunyai hubungan gelap dengan seorang dokter muda, sedang
menuntut perceraian darinya dan meminta setengah dari semua yang dimilikinya
(yang bisa jadi setengah dari nol, begitu telak dikatakannya kepada pengacara
istrinya). Dan salah satu sapi jantan kesayangannya harus dilenyapkan. Dan
Wayne merasa bahwa nasib sedang menggencetnya. Ia tidak pernah melakukan
apa-apa yang pantas membuatnya dihukum seperti nu Ia suami yang baik dan
seorang pengusaha ranch yang baik. Ia duduk di ruang bacanya merenungkan
masa depannya yang suram. Dan Wayne adalah seseorang yang bangga aka"
dirinya. Ia cukup sadar akan semua tenda gurau tentang orang Texas suka omong
besar, pembual, tapi ia setulusnya merasa bahwa ia memang memiliki sesuatu
yang pantas dibanggakan. Ia dilahirkan di Waco, di daerah pertanian yang subur
di lembah Sungai Brazoz. Waco sebuah kota yang cukup modem, tapi masih
mempertahankan sisa kejayaan lamanya, ketika lima C masih menopang
kehidupannya: cattle, cotton, corn, collegian, culture. Wayne mencintai Waco
dengan seluruh jiwa raganya, dan ketika ia berjumpa dengan pastor Italia di
dalam bus di Swiss itu, ia menghabiskan hampir lima jam membicarakan
kampung halamannya. Pastor itu mengatakan kepadanya bahwa ia ingin
mempraktekkan bahasa Inggris-nya, tapi yang terjadi adalah Dan yang berbicara
terus sepanjang waktu, begitu pikirnya kalau ia mengingat kembali saat-saat itu.
"Waco memiliki segalanya," katanya waktu itu kepada sang Pastor. "Cuaca kami
sangat bagus. Tidak pernah terlalu panas atau terlalu dingin. Kami mempunyai
dua puluh tiga sekolah dan Universitas Baylor. Kami mempunyai empat surat
kabar, sepuluh stasiun radio, dan lima stasiun televisi. Kami mempunyai Hall of
Fame Texas Ranger yang benar-benar akan membuat Anda terpesona. Maksud
saya, kalau kita berbicara tentang sejarah. Kalau Anda suka maneing, Father,
Sungai Brazos akan merupakan suatu pengalaman yang sulit Anda lupakan.
Lalu, kami memiliki ranch safari dan sebuah art center yang besar. Sungguh,
Waco adalah salah satu kota terunik di dunia, Anda harus mengunjungi kami
suatu hari kelak."
Dan pastor tua yang berperawakan kecil itu tersenyum dan manggut-manggut,
dan Wayne bertanya dalam hati seberapa banyak ia memahami bahasa Inggris.
Ayah Dan Wayne mewariskan kepadanya tanah seluas seribu ekar, dan putranya
itu telah berhasil meningkatkan jumlah lemaknya dari dua ribu menjadi sepuluh
ribu ekor. Ada juga seekor kuda jantan unggulan yang kelak akan berharga
sangat mahal. Dan sekarang bajingan-bajingan itu akan mengambil semuanya
darinya. Bukan salahnya bahwa pasar ternak hancur seperti itu, atau bahwa ia
kini tak mampu membayar angsuran gadainya. Bank-bank kini mengancam
untuk menjerat mangsanya, dan satu-satunya peluang menyelamatkan dirinya
sendiri adalah mencari seseorang yang mau membeli ranch itu, membayar lunas
kepada para kreditornya, dan dengan begitu memberikan kepadanya sedikit sisa
keuntungan.
Wayne mendengar bahwa ada orang Swiss kaya raya yang sedang mencari ranch
di Texas, dan ia lalu terbang ke Zurich untuk menjumpai orang itu. Akhirnya,
ternyata itu cuma merupakan perburuan yang sia-sia. Yang dimaksudkan si kaya
itu dengan ranch itu hanyalah tanah seluas satu atau dua ekar dengan kebun
sayur-mayur yang kecil dan indah. Siaaalan!
Begitulah kisahnya mengapa Dan Wayne akhirnya bisa ikat tur dengan bus itu
ketika peristiwa
yang luar biasa itu terjadi. Ia sering membaca tentang piring terbang, tapi ia
tidak pernah mempercayainya. Kini, demi Tuhan, ia percaya. Segera setelah dia
tiba di rumahnya, ia menelepon editor sebuah surat kabar lokal.
"Johnny, aku bersumpah aku baru saja melihat sebuah piring terbang dengan
makhluk-makhluk berbentuk aneh di dalamnya."
"Yeah? Kau punya foto-fotonya, Dan?"
"Tidak. Aku mencoba memotretnya, tapi tidak bisa jadi."
"Tak apa. Kami akan mengirimkan seorang fotografer ke sana. Apakah lokasinya
di ranch-mu?" "Hm, tidak. Lokasinya di Swiss." Hening sejenak.
"Oh. Yah, kalau kebetulan nanti ada yang jatuh di ranch-mu, Dan, teleponlah aku
lagi."
"Tunggu! Aku akan dikirimi foto oleh seseorang yang juga melihat benda itu."
Tapi Johnny sudah menutup teleponnya.
Dan hanya sampai di situ saja.
Wayne hampir-hampir berharap bahwa benar-benar akan ada invasi oleh
makhluk-makhluk asing dari luar angkasa. Barangkali mereka akan membunuh
para kreditornya yang menyebalkan itu. Ia mendengar bunyi mobil menuju
rumahnya, dan ia bangkit menghampiri jendela. Nampaknya seseorang dari
timur. Barangkali kreditor yang lain lagi. Akhir*akhir ini mereka seperti muncul
dari mana saja.
Dan Wayne membuka pintu depan. "Howdy." • "Daniel Wayne?"
"Teman-teman memanggil saya Dan. Apa yang bisa saya bantu?"
Dan Wayne lain sama sekali dengan yang dibayangkan Robert Biasanya orang
Texas berbadan gempal, tapi Wayne ternyata bertubuh kecil dan berpenampilan
aristokrat dengan sikap yang malu-malu. Satu-satunya yang menunjukkan
daerah asalnya hanyalah logatnya saja. "Bisa saya minta waktu Anda beberapa
menit
saja?"
"Memang cuma waktu yang masih saya punyai," kata Wayae. "Ngomong-
ngomong, Anda bukan kreditor, kan?"
"Kreditor? Bukan."
"Bagus. Silakan masuk."
Kedua orang itu berjalan memasuki ruang duduk Ruang itu luas dan
diperlengkapi dengan nyaman dengan perabotan gaya Barat.
"Tempat tinggal Anda sungguh nyaman," kata Robert
"Yeah. Saya dilahirkan di rumah ini. Bisa saya tawari Anda minuman? Minuman
dingin, barangkali?"
"Tidak, terima kasih. Saya baru saja minum." "Silakan duduk."
Robert duduk di sebuah sofa kulit yang empuk. "Apa keperluan Anda
menjumpai saya?"
"Saya mendengar bahwa Anda ikut tur dengan bus di Swiss minggu yang lalu?"
"Benar. Apa mantan istri saya menyuruh orang membuntuti saya? Anda tidak
bekerja untuk dia, kan?"
"Tidak, sir."
"Oh." Tiba-tiba dia paham. "Anda tertarik kepada UFO itu. Benda paling
terkutuk yang pernah saya lihat Terus berubah warna. Dan makhluk-makhluk
yang mati itu!" Ia bergidik. "Saya terus-terusan bermimpi tentang itu."
"Mr. Wayne, bisakah Anda bercerita tentang penumpang-penumpang lain yang
ikut dalam bus itu?"
"Maaf, dalam hal ini saya tak bisa membantu Anda. Waktu itu saya bepergian
seorang diri."
"Saya tahu, tapi Anda berbicara dengan beberapa penumpang lain, bukan?"
"Terus terang saja saat itu saya sedang banyak pikiran. Saya tidak banyak
memperhatikan orang lain."
"Apa ada yang Anda ingat tentang yang mana saja dari mereka itu?"
Dan Wayne terdiam untuk beberapa saat "Well, ada seorang pastor Italia. Saya
cukup banyak berbicara dengannya. Dia nampaknya seorang yang baik. Saya
ingin mengatakan sesuatu kepada Anda. Piring terbang itu benar-benar telah
mengguncangnya. Dia terus mengoceh mengenai setan." "Apa Anda berbicara
dengan orang lain?" Dan Wayne mengangkat bahu. "Rasanya tidak.... Sebentar.
Saya berbicara dengan seseorang, yang
memiliki sebuah bank di Kanada." Ia menjilatkan lidah ke bibirnya. "Terus
terang saja, saya sedang mengalami sedikit masalah keuangan berkenaan dengan
ranch saya ini. Kelihatannya saya akan kehilangan ranch ini. Saya benci dengan
bankir-bankir jahanam itu. Mereka semua pengisap darah. Tapj saat itu saya
pikir barangkali orang yang satu ini berbeda. Ketika saya tabu bahwa dia
seorang bankir, 'saya berbicara dengannya tentang kemungkinan memperoleh
pinjaman. Tapi dia sama saja dengan yang lain-lain. Dia sama sekali tidak
tertarik." "Kata Anda tadi dia berasal dari Kanada?" "Yeah, Fort Smith, di atas di
Northwest Territories sana. Saya rasa hanya itu saja yang bisa saya ceritakan
kepada Anda."
Robert berusaha menyembunyikan rasa gembiranya. "Terima kasih, Mr. Wayne,
Anda sangat membantu." Robert bangkit "Hanya itu saja?" "Hanya itu."
"Anda man tinggal untuk makan malam?" "Tidak, terima kasih. Saya harus
melanjutkan perjalanan. Semoga sukses dengan ranch Anda." "Terima kasih."
Fort Smith, Kanada Northwest Territories
Robert menunggu sampai Jenderal Hilliard berada di saluran telepon.
268
"Ya, Letnan?"
"Saya menemukan saksi mata lainnya. Dan Wayne. Dia pemilik Ponderosa,
sebuah ranch di luar kota Waco, Texas."
"Bagus sekali. Saya akan minta kantor kita yang di Dallas untuk berbicara
dengannya."
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET NSA KEPADA WAKIL DIREKTUR
DCI PRIBADI KOPI SATU DARI (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI HARI
KIAMAT 6. DANIEL WAYNE—WACO PESAN DITUTUP
Di Langley, Virginia, Wakil Direktur Central Intelligence Agency mengkaji
transmisi itu dengan serius. Nomor enam. Semua berjalan lancar. Letkol
Bellamy telah bekerja dengan sangat memuaskan. Keputusan untuk memilihnya
ternyata sangat tepat Janus ternyata benar. Ia selalu benar. Dan ia mempunyai
kekuasaan untuk membuat keinginan-keinginannya dilaksanakan. Kekuasaannya
begitu besar.... Sang Direktur melihat pesan itu lagi. Buat itu nampak seperti
suatu kecelakaan, pikirnya. Itu I
pasti tidak akan sulit. Ia menekan sebuah tombol.
Kedua laki-laki itu tiba di ranch dengan mengendarai sebuah van biru' tua.
Mereka memarkir-
I
1
„ya di halaman dan keluar dari mobil, melihat-lihat ke sekeliling dengan hati-
hati. Dugaan pertama Dan Wayne adalah bahwa mereka datang untuk
mengambil alih ranch itu. Ia membukakan pintu untuk mereka. "Dan Wayne?"
"Ya. Apa yang bisa saya...?" Hanya sampai di situ saja kata-katanya. Pria yang
satunya lagi telah berdiri di belakangnya dan menghantam tengkorak kepalanya
dengan sebuah pentungan polisi. -
Pria yang berperawakan lebih besar mengangkat rancher itu ke pundaknya dan
membawanya keluar ke kandang kuda. Ada delapan ekor kuda di kandang.
Kedua pria tadi tidak mengacuhkan mereka dan terus berjalan menuju kandang
terakhir yang terletak di belakang sekali. Di dalamnya ada seekor koda jantan
hitam yang amat bagus.
Pria bertubuh besar itu berkata, "Inilah kudanya." Ia lalu menurunkan tubuh
Wayne.
Pria yang satunya mengambil sebuah pelecut sapi listrik di lantai, melangkah ke
pintu kandang, dan melecut kuda jantan itu keras-keras. Ia meringkik dan
mundur sambil mengangkat tinggi-tinggi kaki depannya. Pria itu mengarahkan
pele-CdenT„^ Wdung kuda ilu- I» melompat-lompat itu Tv ^mben*r-bentur
dinding kandang iThu Gi ^3 Me,0k»kan diri da« ruang pak putih
me2Saa2ihatdan """"^ Ayo," kata nria ¦,,„' '.
pna ya"g lebih kecil. Temannya
mengangkat tubuh Dan Wayne dan melemparkannya lewat pintu rendah ke
dalam kandang. Mereka menyaksikan pemandangan berdarah itu beberapa saat
lamanya, dan setelah merasa puas, membalikkan badan dan berlalu dari tempat
itu.
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET DCI KEPADA WAKIL DIREKTUR
NSA PRIBADI KOPI SATU DARI (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI HARI
KIAMAT 6. DANIEL WAYNE—WACO—DIAKHIRI PESAN DITUTUP
270
271
Bab Dua Puluh Delapan
Hari Kesembilan Fort Smith, Kanada
Fort smith, di Northwest Territories, adalah sebuah kota yang makmur
berpenduduk dua ribu orang, sebagian besar petani dan peternak sapi, dan
sejumJah kecil saudagar ternak. Cuacanya keras, dengan musim dingin yang
panjang dan sangat dingin, dan kota itu merupakan bukti hidup dari teori Darwin
tentang "survival of the fittest".
William Mann adalah salah satu yang cukup fit> yang mampu bertahan hidup. Ia
dilahirkan di Michigan, tapi pada waktu ia berumur awal tiga puluhan, ia
kebetulan lewat di Fort Smith ketika sedang memancing dan beranggapan bahwa
masyarakat di situ memerlukan sebuah bank baru yang baik. la memanfaatkan
peluang itu. Hanya ada satu bank lain di kota itu, dan William Manfl
memerlukan waktu kurang dari dua tahun untuk menyingkirkan pesaing
bisnisnya ini. Man n menjalankan banknya seperti layaknya sebuah bank
harus dijalankan. Tuhannya adalah matematika, dan ia selalu mengupayakan
agar angka-angka selalu berpihak padanya. Cerita favoritnya adalah tentang
seorang pria yang menjumpai seorang bankir untuk memohon pinjaman supaya
ia bisa membayar biaya operasi yang akan menyelamatkan jiwa putranya. Ketika
ia mengatakan ia tak punya apa-apa untuk dijaminkan, bankir itu memintanya
keluar dari kantornya.
"Saya akan pergi," kata orang itu, "tapi saya ingin mengatakan kepada Anda
bahwa sepanjang hidup saya, belum pernah saya bertemu dengan orang yang
mempunyai hati sedingin Anda."
"Tunggu sebentar," bankir itu menjawab. "Saya punya usul. Salah satu mata saya
terbuat dari kaca. Kalau Anda bisa mengatakan kepada saya mana yang kaca,
pinjaman akan saya berikan." Orang itu langsung menjawab, "Yang kiri." Bankir
itu terheran-heran. "Tidak ada yang tabu itu. Bagaimana Anda bisa tahu?"
Kata orang itu, "Gampang saja. Sekilas, tadi saya pikir saya lihat kilauan simpati
di mata kiri Anda itu, jadi saya yakin bahwa itu pasti mata kaca Anda."
Itu, bagi William Mann, adalah sebuah kisah bisnis yang bagus. Orang tidak
boleh menjalankan bisnis berdasarkan simpati. Orang harus berpijak pada faktor
murninya. Sementara bank-bank di Kanada dan di Amerika berguguran seperti
botol-botol boling, bank milik William Mann malah menjadi semakin kuat.
Falsafahnya sangat seder-
nana: Tidak ada pinjaman untuk memulai bisnis baru. Tidak ada investasi untuk
surat-surat berharga yang kurang aman. Tidak ada pinjaman untuk tetangga yang
anaknya harus segera dioperasi.
Mann sangat mengagumi sistem perbankan Swiss. Zurich adalah sarang dari
bankirnya bankir. Jadi. pada suatu hari, William Mann memutuskan untuk
berkunjung ke Swiss untuk berbicara dengan beberapa bankir di sana untuk
mencari tahu apakah ada hal-hal yang belum diketahuinya, cara-cara untuk
memeras setiap sen dari dolar Kanada. Ia diterima dengan senang hati, tapi
akhirnya ternyata ia tidak memperoleh sesuatu yang baru. Metode-metode
perbankan yang sudah diterapkannya di banknya sendiri cukup canggih, dan
orang-orang Swiss itu tidak ragu untuk menyatakan hal itu kepadanya.
Pada hari ia bermaksud untuk pulang, Mann memutuskan untuk menghadiahi
dirinya sendiri dengan sebuah tur ke Pegunungan Alpen. Ternyata tur itu
membosankan baginya. Pemandangan alamnya memang menarik, tapi tidak
lebih indah daripada pemandangan alam di sekitar Fort Smith. Salah satu
penumpang bus itu, orang Texas, telah berani mencoba membujuknya untuk
memberikan pinjaman bagi sebuah ranch yang hampir bangkrut. Ia terang-
terangan tertawa di depan orang itu. Satu-satunya bal menarik yang dialaminya
dalam tur itu adalah jatuhnya apa yang disebut piring terbang itu. Sedikit pun
Mann tidak percaya bahwa itu sungguh-sungguh terjadi. Ia yakin bahwa peris-
tiwa itu diatur oleh pemerintah Swiss untuk membuat para turis terkesan. Ia
pernah ke Walt Disney World, dan ia telah melihat benda-benda serupa itu yang
nampak asli tapi nyatanya palsu. Itu adalah mata kaca ala Swiss, pikirnya dengan
sinis.
William Mann merasa senang ketika pulang ke rumahnya.
Setiap menit dari hari-hari dalam kehidupan bankir itu dijadwalkan dengan
sangat teliti, dan ketika sekretarisnya masuk dan berkata ada seorang tak dikenal
yang ingin menjumpainya, naluri pertama Mann adalah memintanya pergi saja.
"Apa yang dikehendakinya?"
"Katanya dia ingin mewawancarai Anda. Dia sedang menulis artikel tentang
para bankir."
Kalau begitu lain soalnya. Pub'lisitas yang tepat sangat bagus untuk bisnis.
William Mann merapikan jasnya, menyisir rambutnya, dan berkata, "Persilakan
dia masuk."
Tamunya adalah seorang Amerika. Ia berpakaian rapi, yang menunjukkan bahwa
ia bekerja untuk salah satu majalah atau surat kabar yang cukup terkemuka.
"Mr. Mann?"
"Ya."
"Robert Bellamy."
"Sekretaris saya mengatakan bahwa Anda bermaksud membuat artikel mengenai
diri saya." "Well, bukan seluruhnya mengenai diri Anda,"
kata Robot Tapi yang jelas Anda akan dilon jolfcan di dalamnya. Surat kabar
saya..." "Surat kabarnya apa?" "Wall Street Journal. *
Ah, ya. Ini benar-benar hebat. "Journal berpendapat bahwa kebanyakan bankir
terlalu terisolasi dari apa yang sedang berlangsung di belahan dunia lainnya.
Mereka jarang bepergian, mereka tidak pernah mengunjungi negara-negara' lain.
Di pihak lain. Anda, Mr. Mann, diketahui sering bepergian."
"Saya kira begitu," kata Mann dengan rendah hati. "Sehubungan dengan itu, saya
baru saja kembali dari Swiss minggu yang lalu."
"O, ya? Anda senang di sana?"
"Ya. Saya bertemu dengan sejumlah bankir di sana. Kami memperbincangkan
ekonomi dunia."
Robert mengeluarkan sebuah notes dan mulai mencatat "Apa Anda punya waktu
untuk bersenang-senang?"
"Sebenarnya tidak. Oh, saya ikut tur dengan naik bus. Saya belum pernah
melihat Pegunungan Alpen sebelum itu."
Robert mencatat lagi, "Ikut tur. Wah, kebetulan itu yang sedang kami cari-cari;"
kata Robert dengan nada memberi semangat. "Saya bayangkan Anda pasti
bertemu dengan banyak orang yang menarik di bus itu."
"Menarik?" Ia teringat akan orang Texas yang mencoba meminjam uang itu.
"Tidak juga "
"Oh?" j
Mann memandangnya. Reporter itu jelas mengharapkan ia berbicara lebih
banyak. 'Jelas Anda akan ditonjolkan di dalamnya.' "Ada seorang gadis Rusia."
Robert mencatat "O, ya? Harap Anda ceritakan tentang dia."
"Well, kami berbincang-bincang, dan saya menjelaskan bagaimana
terbelakangnya Rusia dan bagaimana beratnya masalah yang akan dihadapinya
kalau mereka tidak mau berubah." "Pasti dia sangat terkesan," kata Robert "Oh,
memang. Gadis itu nampaknya cerdas. Untuk orang Rusia, maksud saya. Mereka
sangat tertutup, Anda tahu itu." "Apakah dia menyebutkan namanya?" "Tidak...
sebentar. Olga apa begitu." "Apakah dia mengatakan asalnya dari mana?" "Ya.
Dia bekerja sebagai pus ia kawati di kantor cabang utama di Kiev. Itu merupakan
perjalanannya yang pertama ke luar negeri. Saya kira itu karena glasnost. Kalau
Anda mau tahu pendapat saya..." Ia berhenti untuk memastikan bahwa Robert
telah mencatatnya. "Gorbachev mengantarkan Rusia ke neraka dalam sebuah
keranjang. Jerman Timur dipersembahkan kepada Bonn di atas. sebuah piring.
Di sektor politik, Gorbachev bergerak terlalu cepat, dan di sektor ekonomi ia
bergerak terlalu lamban."
"Itu sangat menarik," Robert bergumam. Ia menghabiskan waktu setengah jam
lagi dengan bankir itu, menyimak komentar-komentarnya me-
ngenai apa saja mulai dari Pasar Bersama sampai perlucutan senjata. Ia tidak
berbasil memperoleh informasi lebih lanjut mengenai penumpang-penumpang
yang lain.
Sepulangnya ke hotel, Robert menelepon kantor Jenderal Hilliard.
"Sebentar, Letkol Bellamy."
Ia mendengar serangkaian bunyi klik, dan Jenderal Hilliard berada di saluran.
"Ya, Letnan?"
"Saya telah melacak satu lagi saksi mata, Jenderal." "Namanya?"
"William Mann. Ia. adalah pemilik bank di Fort Smith, Kanada."
"Terima kasih. Saya akan minta pihak yang berwenang di Kanada berbicara
dengannya segera."
"Selain itu, dia memberikan kepada saya petunjuk ban. Saya akan terbang ke
Rusia petang ini. Saya memerlukan visa dari Intourist."
"Anda menelepon dari mana?"
"Fort Smith."
"Singgahlah di Hotel Visigoth di Stockholm. Akan ada sebuah amplop buat
Anda di resep-sionis,"
"Terima kasih,"
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET NSA KEPADA WAKIL DIREKTUR
CGHQ J
PRIBADI f
KOPI SATU DARI (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI HARI KIAMAT 7.
WILLIAM MANN—FORT SMITH PESAN DITUTUP
Jam sebelas malam itu, bel pintu William Mann berdering. Ia tidak mempunyai
janji dengan siapa pun, dan ia tidak suka pada tamu-tamu yang tidak membuat
perjanjian sebelumnya. Pengurus rumah tangganya sudah beristirahat, dan
istrinya sudah tidur di kamarnya di lantai atas. Dengan kesal Mann membuka
pintu depan. Dua orang pria yang mengenakan setelan hitam-hitam berdiri di
ambang pintu.
"William Mann?"
"Ya." iJjjj
Seorang dari mereka mengeluarkan sebuah kartu
identitas. "Kami dari Bank of Canada. Boleh kami
masuk?"
Mann mengerutkan dahi. "Ini urusan apa?"
"Kami lebih senang membicarakannya di dalam, kalau Anda tidak
berkeberatan."
"Baiklah." Ia mengantarkan tamu-tamu itu ke ruang duduk.
"Anda belum lama ini ada di Swiss, bukan?"
Pertanyaan itu membuatnya terperangah. "Apa? Ya, tapi apa urusannya...?"
"Sementara Anda pergi itu kami telah mengaudit pembukuan Anda, Mr. Mann.
Apakah Anda sadar bahwa ada defisit sebesar satu juta dolar di bank Anda?"
William Mann memandang kedua orang itu, sangat terkejut "Anda ini bicara
apa? Saya cek sendiri buku-buku itu setiap minggunya. Tak pernah ada satu
penny pun yang hilang!"
"Satu juta dolar, Mr. Mann. Kami rasa Anda bertanggung jawab karena telah
menggelapkannya."
Wajahnya berubah merah. Ia mendapati dirinya gemetar. "Beraninya kalian!
Keluar dari sini sebelum kupanggil polisi."
"Percuma saja. Yang kami ingin Anda lakukan adalah bertobat"
Ia memelototi mereka sekarang, bingung. "Bertobat? Bertobat apa? Kalian sudah
gila!"
"Tidak, sir."
Salah seorang dari mereka mengeluarkan pistol. "Duduk, Mr. Mann."
Oh, my God! Aku sedang dirampok. "Begini," kata Mann, "ambil semua yang
kalian maui. Tidak ada gunanya kekerasan dan..."
"Harap duduk."
Pria yang kedua berjalan menghampiri lemari minuman keras. Ternyata terkunci.
Ia menghancurkan kacanya dan membuka lemari itu. Ia mengambil sebuah gelas
air yang besar, mengisinya dengan scotch, dan membawanya ke tempat duduk
Mana.
"Minum ini Ini akan membuat Anda rileks." "Saya... saya tidak pernah minum
setelah makan malam. Dokter saya..." Pria yang satunya itu menempelkan pistol
pada
pelipis William Mann. "Minumlah, atau gelas ini akan penuh dengan otakmu
nanti."
Mann kini sadar bahwa ia berada di tangan dua orang maniak. Ia menerima gelas
itu dengan tangannya yang gemetar dan menyesapnya.
"Minum sampai habis."
Ia meneguk cukup banyak. "Apa... apa yang kalian inginkan?" Ia mengeraskan
suaranya, berharap bahwa istrinya akan mendengarnya dan turun ke bawah, tapi
itu hanya harapan kosong. Ia tahu betapa istrinya itu sulit bangun kalau sudah
tidur. Orang-orang ini jelas ke sini untuk merampok rumah ini. Tapi mengapa
mereka tidak langsung saja melakukannya ?
"Ambil apa saja," katanya. "Saya tidak akan mencegah."
"Habiskan isi gelas itu."
"Ini tidak perlu. Saya..."
Laki-laki itu meninjunya dengan keras di atas telinganya. Mann terengah
kesakitan. "Habiskan."
Ia menenggak sisa whiskey itu dalam satu tegukan dan merasa tenggorokannya
bagai terbakar saat cairan itu bergerak turun. Ia mulai merasa pening. "Lemari
besi saya ada di lantai atas di kamar tidur," katanya. Kata-katanya mulai tak
jelas. "Saya akan membukakannya untuk kalian." Barangkali itu akan bisa
membangunkan istrinya dan ia akan menelepon polisi.
"Tidak perlu lergesa," pria yang memegang pistol berkata. "Anda punya banyak
waktu untuk minum segelas lagi"Pria yang kedua kembali ke lemari dan mengisi
gelas itu sampai penuh lagi. "Silakan."
"Tidak, sungguh.* William Mann memprotes. "Saya tidak mau itu."
Gelas itu dijejalkan ke dalam tangannya. "Minum sampai habis."
"Saya benar-benar tidak..."
Tinju melayang ke tempat yang sama di atas telinga. Mann hampir pingsan
menahan sakit.
"Minumlah."
Well, kalau itu yang mereka maui, mengapa tidak? Lebih cepat mimpi buruk ini
lewat, lebih baik Ia meneguk dengan cukup banyak dan tersedak.
"Kalau saya minum lagi, saya akan sakit."
Pria itu berkata pelan, "Kalau Anda sakit, saya akan membunuh Anda."
Mann memandangnya dan kemudian partnernya. Setiap orang kini nampak
seperti kembar.
"Apa yang kalian inginkan sebenarnya?" ia menggumam.
"Tadi kami sudah bilang, Mr. Mann. Kami ingin Anda bertobat"
William Mann mengangguk dalam keadaan mabuk. "Oke, saya bertobat."
Pria itu tersenyum. "Memang cuma itu yang kami minta. Sekarang,.," Ia
menaruh secarik kertas di tangan Mann. "Anda cuma perlu menuliskan 'Aku
menyesal. Maafkan aku.'"
Will iam Mann mendongak dengan pandangan kabur. "Hanya Hb?"
"Hanya itu. Setelah itu kami akan pergi."
Ia merasa tiba-tiba semangatnya bangkit kembali. Jadi inilah masalahnya.
Mereka adalah kaum beragama yang fanatik. Begitu mereka pergi nanti, ia akan
menelepon polisi dan menyuruh tangkap mereka. Akan kupastikan supaya
bajingan-bajingan itu digantung.
"Tulis, Mr. Mann."
Sulit baginya untuk memusatkan pandangan. "Tadi Anda minta saya menulis
apa?"
"Tulis saja 'Aku menyesal. Maafkan Aku.'"
"Baik." Sulit untuk memegang penanya. Dengan susah payah ia mencoba
berkonsentrasi dan mulai menulis. "Aku menyesal. Maafkan aku."
Pria itu mengambil kertas itu dari tangan Mann, memegangnya pada ujung-
ujungnya. "Bagus sekali, Mr. Mann. Gampang sekali, bukan?"
Ruangan itu mulai nampak berputar-putar. "Yeah. Terima kasih. Saya sudah
bertobat Sekarang Anda akan pergi?"
"Saya lihat Anda kidal."
"Apa?"
"Anda kidal."
"Ya."
"Akhir-akhir ini banyak kejahatan terjadi di sekitar sini, Mr. Mann. Kami akan
memberikan pistol ini untuk Anda pakai."
Ia merasa pistol itu ditempatkan di tangan kirinya.
"Anda tahu bagaimana menggunakan pistol?" "Tidak."
"Gampang sekali. Anda menggunakannya seper ti ini—" Ia mengangkat pistol
itu dan menempelkannya ke pelipis William Mann dan menekankan jari sang
bankir itu pada pelatuknya. Terdengar bunyi dentuman yang diredam. Kertas
berdarah ku jatuh ke lantai.
"Semuanya sudah beres sekarang," salah satu pria itu berkata. "Selamat malam,
Mr. Mann."
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET CGHQ KEPADA WAKIL DIREKTUR
NSA PRIBADI KOPI SATU DARI (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI HARI
KIAMAT 7. WILLIAM MANN—FORT SMITH—DIAKHIRI PESAN
DITUTUP
Hari Kesepuluh Fort Smith, Kanada
Keesokan harinya, para penyelidik bank melaporkan bahwa sejuta dolar telah
raib dari bank Mann. Polisi mencatat kematian Mann sebagai bunuh diri.
Uang yang bilang itu tidak pernah dikctemukan.
Bab Dua Puluh Sembilan
Hari Kesebelas Brussels, Jam 03.00
Jenderal shipley, komandan markas besar NATO, dibangunkan oleh ajudannya.
"Saya minta maaf membangunkan Anda, Jenderal, tapi kami nampaknya
mempunyai sedikit masalah."
Jenderal Shipley menegakkan" badannya, menghapus rasa kantuk dari matanya.
Semalam ia tidur larut malam karena harus menjamu sekelompok senator yang
berkunjung dari Amerika Serikat "Apa masalahnya, Billy?"
"Saya baru saja menerima telepon dari menara radar, sir. Kami tidak yakin
apakah semua peralatan kita kacau atau kita kedatangan tamu-tamu yang aneh."
Jenderal Shipley memaksakan diri untuk turun dari tempat tidurnya. "Katakan
pada mereka aku akan ke sana lima menit lagi."
Ruang radar yang gelap itu penuh dengan staf
dan petugas berkepentingan yang berkumpul mengitari layar-layar radar di
tengah-tengah ruang-Mereka menoleh dan mengambil sikap siap ketika sang
Jenderal masuk.
•Istirahat" Ia menghampiri petugas yang bertanggung jawab, Kapten Muller.
"Apa yang sedang terjadi di sini, Lewis?"
Kapten Muller menggaruk-garuk kepalanya. "Saya bingung. Apa Anda pernah
menjumpai sebuah pesawat yang bisa meluncur dua puluh dua ribu mil per jam,
berhenti dengan langsung, lalu berbalik seratus delapan puluh derajat?"
Jenderal Shipley ternganga. "Kau ini bicara apa?"
"Menurut layar radar kami, itulah yang sedang berlangsung selama setengah jam
terakhir ini. Mulanya kami mengira itu barangkali sejenis peralatan elektronik
yang sedang diuji coba, tapi sudah kami cek dengan pihak Rusia, Inggris, dan
Prancis, dan mereka juga menangkap hal yang sama di layar radar mereka."
"Jadi, bukan peralatannya yang salah," kata Jenderal Shipley dengan suara berat.
"Bukan, sir. Kecuali Anda beranggapan bahwa semua radar di dunia ini kacau."
"Berapa banyak pesawat seperti itu yang sudah muncul di layar?"
"Lebih dari selusin. Mereka bergerak begitu ce-
Kami Sih 6ka' lalu mereka lenyap lag'-¦ fe&kirkan kondisi-kondisi atmo*
.. meteor-meteor, komet-komct, balon-balon f?aca, dan semua jenis pesawat
udara yang dike-Cal manusia. Saya bermaksud untuk mengirim sejumlah
pesawat udara, tapi benda-benda ini—apa pun itu—begitu tinggi terbangnya
sehingga kita tidak akan pernah bisa mendekati mereka."
jenderal Shipley menghampiri salah satu layar radar itu. "Apa ada yang masuk di
layarmu sekarang?"
"Tidak, sir. Mereka sudah lenyap." Ia ragu sejenak. "Tapi Jenderal, saya
mempunyai perasaan yang sangat tidak enak bahwa mereka akan kembali."
Bab Tiga Puluh
Ottawa, Jam 05.00
Setelah Janus selesai membacakan laporan Jenderal Shipley, si Italia berdiri dan
berkata dengan emosi, "Mereka bersiap-siap menyerang kita!"
"Mereka sudah menyerang kita." Si Prancis.
"Kita terlambat Ini bencana." Si Rusia. "Tidak ada jalan..."
Janus menyela. "Tuan-tuan, ini adalah bencana yang bisa kita cegah."
"Bagaimana? Anda tahu tuntutan-tuntutan mereka." Si Inggris.
"Tuntutan mereka tidak perlu diperhitungkan." Si Brazil. "Bukan urusan mereka
apa yang kita lakukan dengan pohon-pohon kita. Yang disebut efek rumah kaca
itu adalah omong kosong ilmiah yang sama sekali belum terbukti."
"Dan kita bagaimana?" Si Jerman. "Kalau mereka memaksa kita untuk
membersihkan udara di atas kota-kota kita, kita akan harus menutup
hrik-pabrik kita. Kita tidak akan mempunyai in-
dustri apa-apa.
..pan kita harus berhenti memproduksi mobil," leata si Jepang. "Lalu dunia
beradab ini mau dike-manakan?"
«Kita semua berada dalam posisi yang sama." Si Rusia. "Kalau kita
menghentikan semua polusi, seperti yang mereka tuntut, itu akan
menghancurkan ekonomi dunia. Kita harus mengulur waktu sampai Star Wars
siap untuk mejiangkal mereka."
Janus menukas dengan tajam, "Kita sudah bersepakat dalam hal itu. Masalah
langsung kita saat ini adalah menjaga supaya rakyat tetap tenang dan mencegah
tersebarnya kepanikan."
"Bagaimana dengan pelaksanaan tugas Letkol Bellamy?" Si Kanada.
"Pelaksanaannya sangat memuaskan. Dia akan selesai dalam satu-dua hari ini."
dari selusin tempat di dalam wilayah Uni Soviet. Tapi sekarang, asal ia cukup
gesit melakukannya, seluruh dunia terbentang di hadapannya. Olga mengambil
sebuah atlas dari rak perpustakaan dan mempelajarinya. Ternyata dunia sangat
luas di luar sana! Ada Afrika dan Asia, dan Amerika Utara
dan Selatan_ Ia takut bepergian sejauh itu. Olga
beralih ke peta Eropa. Swiss, pikirnya. Ke situlah aku akan pergi.
Ia sebenarnya tidak ingin mengakui ini kepada siapa saja di dunia, tapi alasan
utamanya tertarik kepada Swiss adalah bahwa ia pernah mencicipi coklat Swiss,
dan ia tidak pernah bisa melupakannya. Ia sangat menyukai gula-gula. Permen
dan coklat di Rusia—itu pun kalau bisa diperoleh—tak terasa gulanya dan
sangat tidak enak.
Hobi makan coklat ini ternyata meminta tebusan nyawa Olga. 'Jm
Perjalanan dengan Aeroflot ke Zurich ternyata merupakan awal yang sangat
menyenangkan, la belum pernah terbang sebelumnya. Ia mendarat di bandara
Zurich dengan penuh semangat, memikirkan kesenangan yang menantinya.
Udara terasa berbeda bagi Olga. Barangkali inilah bau kebebas- i an yang
sesungguhnya, pikir Olga. Keuangannya sangat terbatas, dan ia memesan kamar
di sebuah hotel yang tidak mahal, Leonhare, di LlmmaUjuai \ 136.
Olga melapor di bagian reception. "Saya baru 1 pertama kali berkunjung ke
Swiss," ia mengaku I
kepada petugas administrasi, dalam bahasa Inggris yang tersendat "Bisakah
Anda memberitahukan kepada saya apa yang sebaiknya saya lakukan?"
"Tentu. Banyak yang bisa dilakukan di sini," kata petugas itu kepadanya.
"Barangkali Anda bisa memulai dengan ikut tur keliling kota. Saya akan
mengaturnya."
"Terima kasih."
Olga mendapati bahwa Zurich sangat luar biasa. Ia terpesona akan pemandangan
dan bunyi-bunyi yang didengarnya di kota itu. Orang-orang yang berlalu-lalang
di jalan-jalan semuanya mengenakan pakaian yang bagus-bagus dan naik mobil
mahal. Olga mendapat kesan bahwa semua orang di Zurich pastilah miliuner.
Dan toko-tokonya! Ia berjalan-jalan mengamati etalase-etalase di sepanjang
Bahnhofstrasse, jalan raya pusat pertokoan di Zurich, dan ia terkesima
menyaksikan ragam corak barang di etalase-etalase itu. Ada gaun-gaun dan
mantel-mantel dan sepatu-sepatu dan pakaian dalam dan perhiasan dan barang
pecah belah dan perabotan dan mobil dan buku-buku dan pesawat televisi dan
radio-radio dan mainan anak-anak dan piano-piano. Nampaknya barang-barang
yang dijual itu tidak pernah ada habisnya. Kemudian Olga sampai ke Toko
Spriingli's, yang terkenal akan kembang gula dan coklatnya. Dan wah! Empat
etalase depannya terisi penuh dengan beraneka ragam coklat yang menakjubkan.
Nampak kotak-kotak besar berisi beragam coklat, coklat bung-
kahan, coklat terbentuk kelinci, coklat beris kacang-kacangan. Ada juga pisang
berlapis coklai dan butir-butir coklat berisi alkohol. Mengamati display-nya saja
di etalase-etalase itu sudah merupakan kenikmatan luar biasa. Olga ingin
membeli semuanya, tapi ketika ia tahu harga-harganya, ia akhirnya hanya
membeli sekotak berisi beragam jenis coklat dan sebatang kembang gula besar.
Minggu berikutnya, Olga mengunjungi Zurich-born Gardens, Museum Rietberg
dan Grossmtinster —gereja yang dibangun pada abad kesebelas—, serta selusin
lagi objek wisata yang sangat menarik. Akhirnya, waktu cutinya hampir habis.
Petugas hotel di Leonhare mengatakan kepadanya, "Sunshine Tours Bus
Company menyelenggarakan tur yang menarik ke Pegunungan Alpen. Saya rasa
Anda akan senang ikut tur itu sebelum Anda meninggalkan negeri ini."
"Terima kasih," kata Olga. "Saya akan mencoba itu."
Ketika Olga meninggalkan hotel, yang pertama disinggahinya adalah Spriingli's
lagi, dan berikutnya adalah kantor Sunshine Tours Bus Company itu, di mana ia
mendaftar untuk ikut tur. Ternyata memang sangat mengasyikkan.
Pemandangannya membuat orang menahan napas karena indahnya, dan di
tengah perjalanan, mereka menyaksikan ledakan dari apa yang disangkanya
sebuah piring terbang, tapi bankir Kanada yang duduk di sebelahnya
menjelaskan bahwa itu cuma sua t u adegan
turis, bahwa piring terbang itu tidak pernah ada. Olga tidak yakin sepenuhnya
akan hal itu. Ketika ia sudah kembali ke rumahnya di Kiev, ia
memperbincangkan hal itu dengan bibinya.
"Tentu saja piring terbang itu ada," kata bibinya. "Mereka sering sekali terbang
di atas Rusia. Kau harus menjual ceritamu kepada surat kabar."
Olga pernah mempertimbangkan akan melakukan hal itu, tapi ia kuatir akan
ditertawakan. Partai Komunis tidak suka kalau anggotanya mendapat publisitas,
apalagi publisitas yang menyebabkan ia dicemoohkan. Tapi pendeknya, Olga
beranggapan bahwa—tanpa kehadiran Dmitri dan Ivan—liburannya itu
merupakan saat penting dalam hidupnya. Akan sulit baginya memulai kerjanya
lagi setelah liburan itu.
Perjalanan melalui jalan raya yang baru dibangun dari bandara menuju pusat
kota Kiev dengan menumpang bus Intourist memakan waktu satu jam. Robert
belum pernah berkunjung ke Kiev sebelumnya, dan ia kagum melihat ada
pembangunan di sepanjang jalan itu dan bangunan-bangunan apartemen yang
menjamur di mana-mana. Bus itu dihentikan di depan Hotel Dnieper dan
menurunkan dua lusin penumpangnya. Robert melihat arlojinya. Jam delapan
malam. Perpustakaan itu' sudah tutup. Urusannya harus menunggu sampai esok
pagi. la check-in di hotel besar yang sudah dipesankan untuknya itu, melepas
haus di bar, lalu pergi ke ruang makan yang dicat putih
dan berkesan muram. Makan malamnya terdiri dari kaviar, mentimun, dan tomat,
disambung dengan kentang dalam kuali yang dipadu dengan irisan daging kecil-
kecil dan disiram dengan adonan kental, semuanya ini ditemani vodka dan air
mineral.
Visa telah menunggunya di hotel di Stockholm, seperti yang dijanjikan Jenderal
Hiiliard. Itu kerja sama internasional yang amat cepat, pikir Robert, tapi tidak
ada kerja sama yang disediakan buat aku sendiri. Telanjang" adalah istilah
operasionalnya.
Setelah makan malam, Robert mengajukan beberapa pertanyaan di bagian
reception dan berjalan-jalan ke Lenkomsomol Square. Kiev ternyata tidak seperti
yang diduganya. Salah satu kota tertua di Rusia, Kiev adalah sebuah kota
bergaya | Eropa yang terletak di tepi Sungai Dnieper, de- ' ngan taman-taman
hijau dan jalan-jalan yang diapit deretan pohon. Bangunan gereja nampak di
mana-mana, dan merupakan contoh-contoh spektakuler i dari arsitektur religius.
Ada gereja St. Vladimir dan St, Andrew, dan St. Sophia, yang terakhir ini f
dibangun dalam tahun 1037, putih bersih dengan menara loncengnya yang
berwarna biru, dan Biara j Pechersk yang merupakan bangunan tertinggi di kota
itu. Susan pasti akan senang melihat semua \ ini, pikir Robert. Ia belum pernah
ke Rusia. Ia tidak tahu apakah Susan sudah kembali dari Brazil. Tiba-tiba saja,
sesampainya ia di kamar hotelnya, ia ingin sekali menelepon Susan, dan dengan
tak disangka-sangka teleponnya langsung disambungkan.
"Halo?" Suara yang serak basah dan seksi itu. "Hai. Bagaimana Brazil?"
"Robert! Aku mencoba meneleponmu berkali-kali. Tidak ada jawaban." "Aku
tidak ada di rumah." "Oh." fa sudah sangat terlatih untuk tidak bertanya Robert
ada di mana. "Kau baik-baik saja?"
Untuk seorang yang impoten, aku termasuk sangat sehat. "Tentu. Baik sekali.
Bagaimana Money —Monte?"
"Dia baik-baik saja, Robert, kami akan berangkat ke Gibraltar besok pagi."
Dengan yacht si Moneybags sialan itu, pasti. Apa ya namanya? Ah, ya. Halcyon.
"Dengan yacht?"
"Ya. Kau bisa meneleponku di yacht itu. Kau ingat huruf-huruf kode
teleponnya?"
Ia ingat. WS 337. Singkatan apa WS itu? Won-derful Susan?... Why separate?...
Wife Stealer?
"Robert?"
"Ya, aku masih ingat. Whiskey Sugar 337"
"Kau mau menelepon? Supaya aku tahu kau baik-baik."
"Tentu. Aku rindu kau, baby."
Yang di ujung sana diam, dan keheningan terasa begitu menyakitkan. Robert
menunggu. Ia mengharap Susan akan mengatakan apa? Datang dan selamatkan
aku dari pria charming yang mirip Paul Newman ini, dan yang memaksa aku
ikut dengannya di atas yacht-nya yang berukuran dua ratus lima puluh kaki, dan
tinggal di istana-istana kecil kami yang kumuh di Monte Carlo dan
Maroko dan Paris dan London dan entah di mana lagi Seperti orang gila. Robert
mendapati dirinya setengah berharap Susan akan berkata begitu.
"Aku juga merindukanmu, Robert Jaga dirimu baik-baik." Dan hubungan itu
diputuskan. Ia berada di Rusia, seorang diri.
Hari Kedua Belas Kiev, Uni Soviet
Keesokan harinya pagi-pagi sekali, sepuluh menit setelah perpustakaan dibuka,
Robert berjalan memasuki bangunan yang sangat besar dan muram itu, dan
menghampiri counter reception.
"Selamat pagi," kata Robert
Wanita di balik counter itu mendongakkan kepalanya. "Selamat pagi. Bisa saya
bantu?"
"Ya. Saya mencari seorang wanita yang saya dengar bekerja di sini, Olga..."
"Olga? Ya, ya." Ia menunjuk ke ruang lain. "Ia ada di sana."
"Terima kasih."
Begitu mudahnya. Robert berjalan ke ruang yang lain melewati sekelompok
pelajar yang sedang belajar dengan serius di meja-meja panjang. Mempersiapkan
masa depan yang seperti apa? Robert bertanya dalam bati. Ia sampai ke ruang
baca yang lebih kecil dan memasukinya. Seorang wanita sedang sibuk
menumpuk-numpuk buku.
"Maafkan saya," kata Robert.
Ia menoleh. "Ya? "Olga?"
"Saya Olga. Apa yang Anda kehendaki dan
saya?"
Robert tersenyum dengan simpatik. "Saya sedang menulis sebuah artikel surat
kabar tentang perestroika dan bagaimana pengaruhnya terhadap kebanyakan
orang Rusia. Apakah itu telah membuat banyak perubahan dalam hidup Anda?"
Wanita itu mengangkat bahu. "Sebelum Gorbachev kami takut membuka mulut
kami. Sekarang kami dapat membuka mulut kami, tapi kami tidak mempunyai
apa-apa untuk dimasukkan ke dalamnya."
Robert mencoba taktik lain. "Tapi pasti ada pembahan yang menuju kebaikan.
Misalnya, Anda bisa bepergian sekarang."
"Anda pasti bercanda. Dengan suami dan enam anak, siapa yang punya biaya
untuk bepergian?"
Robert mencoba terus. "Tapi, Anda pergi ke Swiss, dan..."
"Swiss? Saya belum pernah ke Swiss seumur hidup saya."
Robert berkata perlahan, "Anda tidak pernah ke Swiss?"
"Baru saja saya bilang tadi." Ia menganggukkan kepalanya ke arah seorang
wanita berambut hitam yang sedang mengumpulkan buku dari meja. "Dialah
yang beruntung bisa pergi ke Swiss."
Robert memandangnya sekilas. "Siapa nama-
"Olga. Sama dengan saya." Robert menarik napas lega. "Terima kasih." Semenit
kemudian, Robert sudah berbicara de ngan Olga kedua.
"Maafkan saya," kata Robert "Saya sedang menulis sebuah artikel surat kabar
tentang perestroika dan dampaknya terhadap kehidupan orang Rusia." Ia
memandang Robert dengan waspada. "Ya?" "Nama Anda siapa?" "Olga. Olga
Romanchanko." "Ceritakan kepada saya, Olga, apakah perestroika telah
mengubah Anda?"
Enam tahun sebelum itu, Olga Romanchanko pasti takut berbicara dengan
seorang asing, tapi sekarang bal itu diperbolehkan. "Tidak juga," katanya hati-
hati! "Semuanya praktis masih sama saja."
Orang asing itu mendesak terus. "Tak ada apa-apa sama sekali yang telah
mengubah hidup Anda?"
Ia menggelengkan kepalanya. "Tidak." Dan kemudian menambahkan dengan
nada patriotik, "Tentu saja, kami boleh bepergian ke luar negeri sekarang"
Ia nampak terlarik. "Dan sudah pernahkah Anda bepergian ke luar negeri?"
"Oh, ya," kata Olga bangga. "Saya baru saja kembali dari Swiss. Negeri yang
sungguh indah."
"Saya setuju," kata orang asing itu. "Apakah Anda berkesempatan bertemu
dengan seseorang dalam perjalanan itu?" J
"Banyak orang'yang saya jumpai. Saya ikut tur
dengan bus, dan kami pergi ke pegunungan.
Alpen." Tiba-tiba, Olga menyadari bahwa tidak seharusnya ia menceritakan hal
itii, karena orang asing ini bisa saja bertanya mengenai pesawat ruang angkasa
itu, dan ia tidak ingin membicarakannya. Itu bisa menimbulkan masalah
baginya.
"O, ya?" tanya Robert. "Ceritakan kepada saya mengenai orang- orang yang ikut
dalam bus itu."
Dengan lega, Olga menjawab, "Sangat ramah. Pakaian yang mereka kenakan
begitu..." Ia membuat isyarat tangan. "Sangat kaya. Saya bahkan bertemu dengan
seseorang dari ibu kota negeri Anda, Washington, D.C." "O, ya?"
"Ya. Sangat baik. Dia memberi saya kartunya."
Jantung Robert seakan berhenti berdetak. "Anda masih menyimpannya?"
"Tidak. Saya sudah membuangnya." Ia melihat ke sekitarnya. "Lebih baik tidak
menyimpan barang seperti itu." ¦ Sialan!
Kemudian ditambahkannya, "Saya ingat namanya. Parker, seperti pena buatan
Amerika itu. Kevin Parker. Orang penting dalam politik. Dia memberitahu para
senator bagaimana memberikan suara."
Robert terperangah. "Itukah yang dikatakannya
kepada Anda?"
"Ya. Dia mengajak mereka bepergian dan memberikan hadiah-hadiah kepada
mereka, dan kemudian mereka akan memberikan suara untuk kepen-
tingan para kliennya. Begitulah cara demokras diterapkan di Amerika."
Seorang pelobi. Robert membiarkan Olga berbicara selama lima belas menit
berikutnya, tapi ia tidak berhasil memperoleh informasi lainnya mengenai
penumpang-penumpang yang lain.
Robert menelepon Jenderal Hilliard dari kamar hotelnya.
"Saya telah menemukan saksi mata Rusia itu. Namanya Olga Romanchanko. Ia
bekerja di perpustakaan pusat di Kiev."
"Saya akan mengatur agar pejabat Rusia berbicara dengannya."
PESAN KUAT ULTRA TOP SECRET NSA KEPADA WAKIL DIREKTUR
GRU PRIBADI KOPI SATU UNTUK (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI
HARI KIAMAT 8. OLGA ROMANCHANKO—KIEV PESAN DITUTUP
Sore itu Robert berada di dalam pesawat jet Aeroflot Tupolev Tu-154 dengan
tujuan Paris. Ketika ia tiba tiga'jam dua puluh lima menit kemur dian, ia pindah
ke sebuah penerbangan Air France dengan tujuan Washington, D.C.
302
Pada jam dua malam Olga Romanchanko mendengar bunyi derit rem saat
sebuah mobil berhenti di depan bangunan apartemen tempat tinggalnya, di
Vertryk Street. Dinding-dinding apartemen itu begitu tipis sehingga ia bisa
mendengar suara-suara dari luar di jalanan. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan
melihat ke luar jendela. Dua pria dalam pakaian sipil sedang turun dari sebuah
mobil Chaika hitam, model yang biasa dipakai oleh para pejabat pemerintah.
Mereka menghampiri pintu masuk bangunan apartemennya. Melihat mereka
membuat perasaannya tidak enak. Selama tahun-tahun yang telah lalu, beberapa
tetangganya telah menghilang, tak pernah nampak lagi. Sebagian dari mereka
telah dikirim ke gulag-gulag di Siberia. Olga bertanya-tanya siapakah yang
dicari oleh polisi rahasia itu kali ini, dan pada saat ia sedang memikirkan itu,
terdengar bunyi ketukan di pintunya yang sangat mengejutkannya. Apa yang
mereka inginkan dariku? ia bertanya dalam hati. Pasti ada kekeliruan.
Ketika pintu dibukanya, kedua pria itu berdiri di situ.
"Kamerad Olga Romanchanko?" "Ya."
"Giavnoye Razvedyvatelnoye Upravleniye." GRU yang ditakuti orang itu.
Mereka menerobos masuk ke dalam ruangan melewatinya. "Apa... apa yang
Anda inginkan? "Kami yang akan mengajukan pertanyaan-
303
pertanyaan. Saya Sersan Yuri Gromkov. Ini Sersar Vladimir Zemsky."
Ia tiba-tiba merasa sangat takut. "Apa... ada masalah apa? Apa yang telah saya
perbuat?"
Zemsky menimpali pernyataan itu. "Oh, jadi Anda tahu bahwa Anda telah
melakukan kesalahan!"
"Tidak, tentu saja tidak," kata Olga, kebingungan. "Saya tidak tahu mengapa
Anda ke sini."
"Duduk," Gromkov berteriak. Olga duduk.
"Anda baru saja kembali dari bepergian ke Swiss, nyetl"
"Y... ya," ia tergagap, "tapi itu... itu adalah.... saya mendapat izin dari..."
"Kegiatan mata-mata itu tidak legal, Olga Romanchanko."
"Kegiatan mata-mata?" Ia benar-benar sangat ketakutan. "Saya tidak tahu apa
yang Anda bicarakan ini."
Pria yang berperawakan lebih besar itu menatap ke tubuh Olga, dan Olga tiba-
tiba sadar bahwa ia hanya mengenakan gaun tidur tipis.
"Ayo pergi. Anda ikut kami."
"Tapi ini suatu kekeliruan besar. Saya seorang pustakawati. Tanyakan siapa saja
di sini yang..."
Pria itu menariknya dari tempat duduknya. "Ayo."
"Anda akan membawa saya ke mana?"
"Ke markas besar. Mereka ingin menanyai Anda."
Mereka memperbolehkan dia mengenakan mantelnya menutupi gaun tidur itu. Ia
lalu didorong turun.tangga dan masuk ke dalam Chaika. Olga
berpikir tentang semua orang yang pernah dibawa-dengan mobil seperti ini dan
tidak pernah kembali, dan ia jadi kelu karena ketakutan.
Pria yang lebih besar, Gromkov, yang menyetir. Olga duduk di jok belakang
bersama Zemsky. Ia tidak begitu menakutkan bagi Olga, tapi Olga ngeri karena
tidak tahu mereka ini siapa dan apa yang akan terjadi atas dirinya.
"Saya mohon percayalah kepada saya," kata Olga dengan sungguh-sungguh.
"Saya tidak akan pernah mengkhianati negeri..." "Tutup mulut," Gromkov
membentaknya. Vladimir Zemsky berkata, "Dengar, tak ada alasan untuk
berlaku kasar terhadapnya. Sebenarnya aku percaya kepadanya." Hati Olga
berdebar-debar penuh, harapan. "Zaman sudah berubah," Kamerad Zemsky
melanjutkan. "Kamerad Gorbachev tidak ingin kita terus-terusan mengganggu
orang-orang yang tidak bersalah. Masa-masa seperti itu telah lewat."
"Siapa bilang dia tidak bersalah?" Gromkov menggeram. "Mungkin dia bersalah,
mungkin tidak. Mereka akan bisa mengetahuinya dengan segera di markas
nanti."
Olga duduk diam mendengarkan kedua pria itu membicarakan dirinya seakan ia
tidak ada di situ.
Zemsky berkata, "Ayolah, Yuri, kau tahu bahwa di markas nanti dia pasti akan
mengaku, lepas dari kenyataan dia bersalah atau tidak. Aku tida'-itu."
305
"Apa boleh buat Kita kan tak bisa berbual apa-apa."
"Ya, kita bisa." "Apa?"
Pria yang duduk di sebelah Olga terdiam beberapa saat lamanya. "Dengarkan,"
katanya, "mengapa tidak kita biarkan saja dia pergi? Kita bisa mengatakan
kepada mereka bahwa dia tidak ada di rumah. Kita tunda maksud mereka satu
atau dua hari, dan mereka akan melupakan semuanya tentang dia karena begitu
banyaknya orang yang harus diperiksa."
Olga mencoba mengatakan sesuatu, tapi tenggorokannya terlalu kering. Ia begitu
ingin pria yang di sebelahnya memenangkan perdebatan itu.
Gromkov mengomel. "Mengapa kita harus mengambil risiko buat dia? Apa
untungnya? Apa yang akan diberikannya kepada kita?"
Zemsky menoleh memandang Olga seolah menunggu tanggapan. Olga akhirnya
sanggup juga berbicara. "Saya tidak punya uang," katanya.
"Siapa yang memerlukan uang Anda? Kami punya banyak uang." Kata
Gromkov, "Dia mempunyai yang lain." Sebelum Olga dapat menjawab, Zemsky
berkata, "Tunggu sebentar, Yuri Ivanovich, kau tidak boleh berharap dia akan
melakukan itu."-
"Itu terserah dia. Dia bisa berbaik-baik dengan kita atau pergi ke markas dan
disiksa selama satu atau dua minggu. Barangkali mereka akan menyekapnya di
sebuah shizo."
Olga pernah mendengar tentang shizo. Sebuah sel tanpa alat pemanas udara
berukuran delapan kali empat kaki dengan tempat tidur dari papan dan tanpa
selimut "Berbaik-baik dengan kita.'' Apa maksudnya?
"Itu terserah dia."
Zemsky menoleh kepada Olga. "Mana yang Anda pilih?" "Saya... saya kurang
paham." "Apa yang dikatakan partner saya adalah kalau Anda berbaik-baik
dengan kami, kami akan melupakan semua masalah ini. Dalam waktu yang tak
terlalu lama, mereka barangkali akan lupa tentang Anda." "Apa... apa yang harus
saya lakukan?" Gromkov menyeringai kepadanya di kaca spion. "Cuma
memberikan kepada kami beberapa menit saja dari waktu Anda." Ia teringat
akan sesuatu yang pernah dibacanya. "Cuma berbaring saja dan bayangkan sang
tsar." Ia tertawa cekikikan.
Olga tiba-tiba paham akan apa yang mereka maksudkan. Ia menggelengkan
kepalanya. "Tidak, saya tidak bisa melakukan itu."
"Baiklah." Gromkov mulai menambah laju mobilnya. "Mereka akan bersenang-
senang dengan Anda di markas nanti."
"Tunggu!" Ia panik, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia sudah
mendengar cerita-cerita horor tentang apa yang terjadi pada orang-orang yang
ditangkap dan menjadi zeks. Tadinya ia mengira bahwa semua itu sudah tidak
ada lagi-seka-rang tapi kini ia melihat bahwa ternyata semua itu
masih berlangsung. Perestroika masih tetap hanya sebuah ilusi. Mereka tidak
akan memperbolehkannya mencari pengacara atau berbicara dengan siapa pun.
Di masa silam, teman-temannya telah diperkosa dan dibunuh oleh GRU. Ia
terjebak sekarang. Kalau ia dimasukkan ke penjara, mereka bisa saja
menyekapnya selama berminggu-minggu, menyiksanya dan memperkosanya,
mungkin lebih dari itu. Dengan kedua pria ini, paling-paling akan memakan
waktu beberapa menit saja dan mereka akan melepaskannya. Olga telah
membuat kepu-tusan.
"Baik," katanya dengan memelas. "Anda ingin kembali ke apartemen saya?"
Gromkov berkata, "Saya tahu tempat yang lebih baik." Ia memutar kembali
mobilnya.
Zemsky berbisik, "Maafkan saya untuk ini, tapi dia yang memegang pimpinan.
Saya tidak dapat mencegahnya."
Olga tidak mengatakan apa-apa.
Mereka meluncur melewati Gedung Opera Shevchenko yang merah cerah, dan
menuju sebuah taman luas yang dipagari pepohonan. Taman itu benar-benar sepi
pada jam-jam seperti ini. Gromkov membawa mobil itu ke bawah pepohonan
dan mematikan lampu-lampu dan mesinnya. "Mari keluar," katanya. Ketiganya
keluar dari mobil itu. Gromkov memandang Olga. "Anda beruntung.
Kami bersedia melepaskan Anda dengan mudah.
Saya harap Anda bisa menghargai itu."
Olga mengangguk, terlalu ketakutan untuk berbicara.
Gromkov membawa mereka ke sebuah tempat yang agak terbuka. "Tanggalkan
pakaian Anda."
"Dingin sekali," kata Olga. "Apa bisa kita...?"
Gromkov menampar wajahnya dengan keras. "Lakukan apa saja yang
diperintahkan sebelum saya berubah pikiran."
Olga nampak ragu sejenak, dan melihat lengan Gromkov naik lagi untuk
memukulnya, ia mulai melepaskan kancing-kancing mantelnya.
"Tanggalkan."
Olga membiarkannya jatuh ke tanah.
"Sekarang gaun tidur itu."
Pelan-pelan, Olga mengangkat gaun tidur itu ke atas kepalanya dan menariknya
supaya terlepas, menggigil kedinginan di bawah udara malam yang beku, berdiri
telanjang di bawah sinar bulan.
"Tubuh yang bagus," kata Gromkov. Tangannya mulai menggerayangi tubuh
Olga.
"Saya mohon..."
"Anda bersuara lagi, dan kami- akan langsung membawa Anda ke markas
besar." Ia mendorong Olga ke tanah.
Aku tak mau memikirkan ini. Akan kubayangkan aku berada di Swiss sedang
ikut tur dalam bus, menikmati pemandangan yang indah itu,
Gromkov telah melepaskan celananya dan merentangkan paha Olga. Bisa kulihat
Pengunungan Alpen diselimuti
salju. Ada sebuah kereta luncur lewat dengai seorang anak laki-laki dan
perempuan di atasnya.
Olga merasa pria itu menempatkan tangannya di bawah pinggulnya, dan menye
tub uninya, menyakitinya.
Ada mobil-mobil bagus meluncur di jalan raya. Belum pernah kulihat mobil
sebanyak itu seumur hidupku. Di Swiss setiap orang mempunyai mobil.
Ia semakin keras mengguncang Olga, menekannya, dan mengeluarkan suara-
suara liar, suara-suara hewan.
Aku akan mempunyai sebuah rumah kecil di pegunungan. Apa istilah orang
Swiss untuk itu? Chalet, Dan aku akan makan coklat setiap hari Berkotak-kotak
coklat.
Gromkov sudah selesai, terengah-engah. Ia berdiri dan menoleh kepada Zemsky.
"Giliranmu."
Aku akan menikah dan punya anak, dan kami semua akan main ski di Alpen di
musim dingin. - Zemsky telah menurunkan ritsleting celananya dan mulai
menggagahi Olga.
Itulah kehidupan yang kudambakan. Aku tak akan pernah kembali ke Rusia. Tak
akan. Tak akan. Tak akan.
Zemsky sedang menjalankan hasratnya kini, menyakitinya lebih daripada pria
sebelumnya, menekannya keras-keras dan mendorongnya ke tanah yang dingin
sehingga rasa sakitnya hampir-hampir tak tertahankan.
Kami akan tinggal di tanah pertanian yang sepi dan penuh kedamaian untuk
selamanya, dan kami
akan mempunyai sebuah taman yang penuh dengan bunga-bunga indah.
Zemsky sudah selesai sekarang dan menengadah melihat ke rekannya. "Pasti dia
sangat menikmatinya." Ia menyeringai.
Ia lalu meraih ke bawah ke leher Olga dan mematahkannya.
Keesokan harinya ada berita kecil di surat kabar lokal bahwa seorang
pustakawati telah diperkosa dan dicekik di sebuah taman. Pihak yang berwajib
memperingatkan dengan keras bahwa sangat berbahaya bagi wanita-wanita
muda untuk pergi ke taman seorang diri di malam hari.
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET WAKIL DIREKTUR GRU KEPADA
WAKIL DIREKTUR NSA PRIBADI KOPI SATU DARI (SATU) KOPI
PERIHAL : OPERASI HARI KIAMAT 8. OLGA ROMANCHANKO—KIEV
—DIAKHIRI PESAN DITUTUP
Bab Tiga Puluh Dua
Willard stone dan Monte Banks secara alam saling bermusuhan. Keduanya
adalah pemangsa-pemangsa yang kejam, dan daerah perburuan mereka adalah
rimba beton Wall Street, yang penuh dengan pengambilalihan usaha karena
permainan kelas tinggi, pembelian saham mayoritas yang Iictk, dan transaksi-
transaksi saham.
Kedua pria itu bersilang jalan untuk pertama kalinya ketika keduanya berniat
untuk membeli sebuah perusahaan keperluan umum. Willard Stone melakukan
penawaran pertamanya dan menyangka tak mungkin ada hambatan. Ia begitu
berkuasa dan reputasinya begitu ditakuti orang sehingga sedikit sekali yang
berani menantangnya. Ia sangat heran ketika tahu bahwa seorang pemula
bernama Monte Banks menyaingi penawarannya. Stone terpaksa menaikkan
penawarannya sendiri, dan terjadi perang penawaran. Willard Stone akhirnya
berhasil menguasai perusahaan itu, tapi dengan harga jauh lebih tinggi daripada
yang direncanakannya. Enam bulan kemudian, dalam suatu penawaran
[ pengambilalihan terhadap sebuah perusahaan elektronika yang besar, Stone
sekali lagi dihadang oleh Monte Banks. Perang penawaran berlangsung lagi, dan
kali ini Monte Banks yang menang.
Ketika Willard Stone mengetahui bahwa Monte Banks bermaksud untuk
menyainginya lagi dalam pengambilalihan sebuah perusahaan komputer, ia
memutuskan sudah waktunya untuk berbicara dengan pesaingnya itu. Kedua
orang itu bertemu di kawasan netral di Paradise Island, di Kepulauan Bahama.
Willard Stone sebelumnya telah melakukan penyelidikan saksama atas latar
belakang pesaingnya ini, dan mengetahui bahwa Monte Banks berasal dari
keluarga kaya raya pemilik perusahaan minyak dan telah berhasil dengan
cemerlang mengubah warisannya menjadi sebuah konglomerat internasional.
Kedua orang itu makan siang bersama. Willard Stone, tua dan berpengalaman;
Monte Banks, muda dan bersemangat.
Willard Stone membuka pembicaraan. "Anda sudah mulai menjadi duri dalam
daging saya."
Monte Banks menyeringai. "Karena ucapan itu keluar dari mulut Anda, saya
menerimanya sebagai suatu kehormatan besar."
"Sebenarnya apa yang Anda inginkan?" tanya Stone.
"Sama dengan yang Anda inginkan. Saya ingin
memiliki dunia."
Willard Stone berkata sambd tepekur, "Well, dunia ini cukup luas."
313
"Maksud Anda?"
"Ada cukup banyak ruang untuk kita berdua."
Mulai hari itu mereka menjadi mitra bisnis. Masing-masing tetap menjalankan
bisnisnya secara terpisah, tapi jika menyangkut proyek-proyek baru —
perkayuan, minyak, dan real estate—mereka bergabung melakukan transaksi,
dan bukan malahan bersaing. Berulang kali Divisi Antitrust dari Departemen
Kehakiman mencoba mencegah transaksi-transaksi mereka, tapi koneksi-koneksi
Willard Stone-lah yang akhirnya menang. Monte Banks memiliki perusahaan-
perusahaan kimia yang bertanggung jawab terhadap polusi berat yang
mencemari danau-danau dan sungai-sungai, tapi setiap kali ia digugat, gugatan
itu selalu gugur dengan sendirinya secara misterius.
Kedua orang itu menikmati hubungan saling menguntungkan yang sempurna.
Operasi Hari Kiamat sangat pas untuk memenuhi apa yang mereka butuhkan,
dan mereka berdua ikut terlibat secara aktif. Mereka sedang melakukan transaksi
yang hampir final untuk membeli tanah subur penuh pepohonan seluas sepuluh
juta ekar di kawasan hutan tadah-hujan Amazon. Kalau jadi, maka itu akan
merupakan transaksi paling menguntungkan yang pernah mereka buat selama
ini.
Mereka tentu saja tidak bisa membiarkan apa pun yang sekiranya akan menjadi
penghalang.
Bab Tiga Puluh Tiga
Hari Ketiga Belas Washington, D.C.
Senat Amerika Serikat sedang bersidang pleno. Senator yunior dari Utah sedang
angkat bicara.
"...dan apa yang sedang terjadi atas ekologi kita merupakan hal yang memalukan
secara nasional. Sudah waktunya badan yang terhormat ini menyadari bahwa
merupakan kewajibannya di bawah sumpah bahwa dia harus melestarikan
warisan agung yang dipercayakan oleh leluhur kita. Bukan hanya kewajiban kita
di bawah sumpah tapi hak istimewa kita untuk melindungi tanah, udara, dan
lautan dari kepentingan-kepentingan tertentu yang dengan egois sedang
menghancurkan semuanya itu. Apakah kita sekarang sedang melakukan tugas
kita? Apakah kita dengan sepenuh hati sedang melakukan tugas kita sebaik-
baiknya? Atau kita membiarkan bisikan kebendaan mempengaruhi
nurani kita...?"
Kevin Parker, yang sedang duduk di ruang
tunggu tamu, melibat arlojinya untuk ketiga kalinya dalam lima menit terakhir.
Ia bertanya dalam hati berapa lama lagi pidato itu akan memakan waktu. Ia
duduk menunggu di situ karena ia akan makan siang dengan sang senator dan ia
membutuhkan bantuannya. Kevin Parker senang berjalan-jalan di lorong-lorong
pusat kekuasaan itu, berbasa-basi dengan para anggota kongres dan para senator,
mengobral hadiah-hadiah untuk memperoleh imbalan dalam bentuk bantuan
politis.
Ia dibesarkan dalam keadaan miskin di Eugene, Oregon. Ayahnya seorang
pecandu minuman keras yang tadinya memiliki sebuah perusahaan
penggergajian kayu kecil. Karena tidak mampu berperan sebagai seorang
pengusaha yang baik, ia telah menghancurkan bisnis yang seharusnya sangat
menguntungkan itu. Kevin harus bekerja sejak ia berumur empat belas tahun,
dan karena ibunya lari dengan laki-laki lain bertahun-tahun sebelum itu, ia sama
sekali tidak pernah sempat menikmati kehidupan rumah yang normal.
Sebenarnya dengan mudah ia bisa menjadi seorang berandal dan berakhir seperti
ayahnya, tapi ia diselamatkan oleh parasnya yang sangat tampan dan sangat
menawan. Rambutnya pirang berombak dan lekuk-lekuk wajahnya bagaikan
bangsawan, yang mungkin diwarisinya dari leluhurnya yang sudah lama
dilupakan. Beberapa warga masyarakat yang terkemuka •menaruh belas kasihan
kepada anak itu, memberinya pekerjaan dan dorongan moril, mencoba
membantunya sebaik-baiknya. Orang terkaya di
kota itu, Jeb Goodspell, mempunyai minat khusus untuk membantu Kevin dan
memberinya kerja part-time di salah satu perusahaannya. Goodspell yang masih
lajang itu sering mengundang Parker muda menemaninya makan malam di
rumahnya.
"Kau pasti bisa menjadi orang penting dalam hidup ini," kata Goodspell
kepadanya, "tapi kau tak akan bisa mencapai itu tanpa bantuan teman-teman."
"Saya tahu itu, Tuan. Dan saya amat menghargai bantuan Anda. Bekerja pada
Anda berarti menyelamatkan jiwa saya."
"Aku bisa membantumu lebih banyak lagi," kata Goodspell. Saat itu mereka
berdua sedang duduk di sebuah sofa di ruang duduk, setelah selesai makan
malam. Ia merangkul anak laki-laki itu. "Jauh lebih banyak." Ia memijit pundak
anak laki-laki itu. "Kau memiliki tubuh yang bagus, kau tahu itu?"
"Terima kasih, Tuan."
"Apakah kau pernah merasa kesepian?"
Ia memang selalu kesepian. "Ya, Tuan."
"Well, kau tak perlu merasa kesepian lagi." Ia mengusap lengan anak laki-laki
itu. "Aku juga sering kesepian. Kau perlu seseorang yang memelukmu dan
menghiburmu."
"Ya, Tuan."
"Pernahkah kau mempunyai pacar?"
"Well, saya pernah berkencan dengan Sue Ellen
sebentar."
«Kau tidur dengannya?"
Anak itu kemalu-maluan. "Tidak, Tuan." "Umurmu berapa, Kevin?" "Enam
belas. Tuan."
"Itu umur yang penting—saat yang tepat untul mengawali kariermu." Ia
mengamati anak itu sebentar. "Kurasa kau akan cocok sekali berkarier di bidang
politik."
"Politik? Saya sama sekali buta mengenai itu, Tuan."
"Karena itulah kau perlu bersekolah, belajar. Dan aku akan membantumu."
"Terima kasih."
"Ada banyak cara menunjukkan rasa terima kasih kepada seseorang," kata
Goodspell. Ia mengusapkan tangannya menelusuri paha anak itu. "Banyak cara."
Ia memandang ke mata Parker. "Kau tahu maksudku?"
"Ya, Jeb."
Begitulah awal mulanya.
Ketika Kevin Parker lulus dari Churchill High School, Goodspell mengirimnya
ke Universitas Oregon. Pemuda itu mempelajari ilmu politik, dan Goodspell
mengatur supaya anak didiknya itu membentuk bubungan dengan semua orang.
Mereka semua terkesan dengan penampilannya yang menarik. Dengan
memanfaatkan koneksi-koneksi-nya itu, Parker mendapati bahwa ia bisa
menawarkan bantuan kepada orang-orang penting dan menghubungkan seorang
dengan yang lain. Menjadi seorang pelobi di Washington merupakan pem-
buka jalan yang sangat lumrah, dan Parker sangat cocok di bidang itu.
Goodspell meninggal dua tahun sebelum itu, tapi Parker telah mewarisi bakat
dan selera pembimbingnya itu. Ia biasa menjemput anak-anak laki-laki dan
membawa mereka ke hotel-hotel terpencil di mana ia tidak akan dikenali orang.
Senator dari Utah itu akhirnya sampai juga pada akhir pidatonya, "...dan saya
nyatakan kepada Anda sekarang bahwa kita harus mengesahkan undang-undang
ini kalau kita memang ingin menyelamatkan sisa-sisa ekologi kita. Sekarang
saya mohon dilakukannya pengambilan suara secara roll-call"
Syukurlah, sidang yang sangat lama ini sudah hampir selesai. Kevin Parker
membayangkan malam yang menantinya, dan ia mulai merasa hasratnya
tergugah. Malam sebelumnya, ia berjumpa dengan seorang pemuda di Danny's P
Street Station, sebuah bar kaum gay yang terkenal. Sayang sekali, pemuda itu
bersama partnernya. Tapi mereka berdua saling bermain mata sepanjang malam
itu, dan sebelum ia meninggalkan tempat tersebut, Parker menulis sebuah memo
dan menyelipkannya ke tangan si pemuda. Pesannya hanya, "Besok malam."
Pemuda itu tersenyum dan menganggukkan kepala.
Kevin Parker bergegas mengenakan pakaiannya untuk pergi keluar rumah. Ia
bermaksud sudah
q
sampai di bar itu sebelum si pemuda tiba. Pemuda itu sangat menawan, dan
Parker tidak ingin orang lain mendahuluinya mendapatkannya. Bel pintu depan
berdering. Stolon. Parker membuka pintu.
Seorang tak dikenal berdiri di situ. "Kevin Parker?"
"Ya..."
"Nama saya Bellamy. Saya ingin berbicara dengan Anda sebentar saja."
Parker berkata dengan tidak sabar, "Anda harus membuat perjanjian terlebih
dahulu dengan sekretaris saya. Saya tidak membicarakan bisnis setelah jam
kerja."
"Ini bukan bisnis, Mr. Parker. Ini ada hubungannya dengan kunjungan Anda ke
Swiss dua minggu yang lalu."
"Kunjungan saya ke Swiss? Mengapa itu?"
"Dinas saya tertarik kepada beberapa orang yang mungkin Anda jumpai di
sana." Robert mengacungkan kartu identitas CIA tembakan itu.
Kevin Parker dengan saksama mengamati orang tak dikenal itu. CIA ini kira-kira
maunya apa? Mereka sungguh paling getol mencampuri urusan orang. Apakah
aku sudah cukup melindungi diriku?
Tak ada gunanya menentang kehendak orang ini. Ia tersenyum. "Silakan masuk.
Saya ada janji dan sudah hampir terlambat, tapi Anda bilang tadi tidak akan
lama, bukan?"
"Tidak, sir. Saya dengar Anda ikut tur bus ke luar kota Zurich?"
0, jadi itulah yang menarik minatnya. Masalah piring terbang itu. Benda paling
terkutuk yang pernah dilihatnya. "Anda ingin tahu tentang UFO itu, bukan?
Well, saya katakan saja pada Anda, itu adalah pengalaman yang sangat ganjil."
"Pasti begitu, tapi terus terang saja, dinas kami tidak percaya bahwa piring
terbang itu benar ada. Saya berada di sini untuk mencari tahu mengenai para
penumpang rekan Anda di bus itu."
Parker terheran-heran. "Oh. Well, saya kira saya tidak bisa membantu Anda
dalam hal itu. Mereka semuanya tak saya kenal."
"Saya mengerti itu, Mr. Parker," kata Robert dengan sabar, "tapi pasti Anda ingat
sesuatu tentang mereka."
Parker mengangkat bahu. "Well, sedikit sekali... saya ingat saya bertukar kata
dengan orang Inggris yang memotret kami." Leslie Mothershed. "Siapa lagi?"
"Oh, ya. Saya berbasa-basi sedikit dengan gadis Rusia itu. Ia nampaknya
menyenangkan. Saya kira dia seorang pustakawati di suatu kota."
Olga Romanchanko. "Bagus sekali. Bisakah Anda mengingat yang lainnya lagi,
Mr. Parker?"
"Tidak, saya kira cuma itu... oh, ada dua orang lagi. Yang satu adalah orang
Amerika, dari Texas."
Dan Wayne. "Dan yang satu lagi?"
"Dia seorang Hungaria. Dia pemilik sebuah usaha pasar malam atau sirkus atau
yang semacam itu di Hungaria." Ia ingat. "Usaha pasar malam."
'Anda yakin mengenai itu, Mr. Parker?"
"Oh, ya. Dia menceritakan kepada saya beberapa cerita mengenai bisnis pasar
malam. Dia sangat terkesan melihat UFO itu. Saya kira, seandainya itu mungkin,
dia akan menggunakan UFO sebagai show tambahan di pasar malamnya. Harus
saya akui, itu pemandangan yang menakjubkan. Seharusnya sudah saya laporkan
itu, tapi saya tidak mau disamakan dengan orang-orang aneh yang mengaku
pernah melihat piring terbang."
"Apakah dia menyebutkan namanya?"
"Ya, tapi itu sebuah nama asing yang sangat sulit dilafalkan. Saya kira saya tidak
bisa mengingatnya lagi."
"Apakah Anda ingat bal lain tentang dia?"
"Hanya bahwa dia tergesa-gesa ingin segera kembali ke pasar malamnya." Ia
melihat arlojinya. "Apakah masih ada yang bisa saya bantu? Saya sudah
terlambat"
"Tidak, terima kasih, Mr. Parker. Anda sangat membantu." '
"Saya ikut senang." Ia tersenyum manis kepada Robert "Anda harus mampir ke
kantor saya suatu saat nanti. Kita akan mengobrol lagi." "Tentu, pasti."
Jadi, sudah hampir selesai, pikir Robert. Mereka boleh mengambil pekerjaanku
dan membuangnya. Sudah waktunya aku membenahi hidupku yang kacau ini
dan memulai semuanya dari awal lagi.
Robert menelepon Jenderal Hilliard. "Saya ham-
pir menunaikan seluruh tugas saya, Jenderal. Saya menemukan Kevin Parker. Ia
seorang pelobi di Washington, D.C. Sekarang saya berangkat untuk melacak
penumpang yang terakhir."
"Saya sangat senang," kata Jenderal Hilliard. "Anda telah melakukan tugas
dengan sangat baik, Letnan. Telepon saya lagi sesegera mungkin."
"Ya, sir."
PESAN KILAT
ULTRA TOP SECRET NSA KEPADA WAKIL DIREKTUR CIA PRIBADI
KOPI SATU DARI (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI HARI KIAMAT 9.
KEVIN PARKER—WASHINGTON, D.C. PESAN DITUTUP
Ketika Kevin Parker tiba di Danny's P Street Station, ia mendapati bahwa bar itu
lebih penuh daripada malam sebelumnya. Pria-pria yang lebih berumur
mengenakan pakaian yang lebih konservatif, sedangkan sebagian besar
pemudanya mengenakan Levi's, blazer, dan sepatu bot. Ada beberapa yang
berpakaian menyimpang dari yang lain, yaitu dari bahan kulit hitam, dan Parker
berpendapat bahwa bahan itu sangat tidak enak dipandang. Semua yang kasar itu
berbahaya, dan ia tidak pernah mau terlibat dengan tingkah laku yang aneh-aneh
seperti itu. Bersikap hati-hati, itu-
lah yang menjadi moltonya selalu. Bersikap had-hati Pemuda tampan itu belum
datang, tapi Parker memang tidak mengharapkan itu. Ia akan datang sebentar
lagi, tampan dan masih segar, pada saat yang lainnya di bar itu sudah capek dan
berkeringat Kevin Parker menghampiri bar, memesan minuman, dan
memandang ke sekelilingnya. Pesawat-pesawat televisi di dinding menayangkan
siaran stasiun MTV. Danny's adalah sebuah bar jenis S-and-M—stand and
model. Pria-pria yang lebih muda mengambil pose-pose yang menampilkan diri
mereka sebaik mungkin, sedangkan yang lebih berumur—si pembeli—akan
mengamati mereka dan menentukan pilihan. Bar-bar S-and-M ini adalah yang
paling berkelas. Tidak pernah terjadi perkelahian di antara mereka, karena
kebanyakan pelanggan bergigi palsu, dan mereka tidak menghendaki gigi itu
copot dalam perkelahian.
Kevin Parker melihat bahwa kebanyakan pelanggan sudah memilih partner
masing-masing. Ia mendengarkan percakapan yang sedang berlangsung di
sekitarnya. Ia heran sendiri bahwa percakapan itu selalu saja sama, apakah itu
terjadi di bar kulit, bar dansa, bar video, atau klub-klub underground yang
mengganti lokasi setiap minggu. Ada sejumlah istilah khusus. "Sang ratu itu
sebenarnya bukan apa-apa. Dia pikir dia itu Miss Thing..." "Dia meninggalkan
aku tanpa alasan. Dia menjadi begitu marah. Bicara tentang kepekaan..." "Kau
main atas atau main bawah?"
"Main atas". Aku yang memberi perintah, Yang," menjentikkan jari.
"Bagus. Aku senang menerima perintah...."
"Dia tidak menghargai aku.... Cuma berdiri saja dan mengkritik terus berat
badanku, kulitku, kelakuanku. Kubilang saja padanya, 'Mary, kita putus.' Tapi itu
menyakitkan. Karena itulah aku di sini sekarang... mencoba melupakannya.
Boleh aku minta minumnya lagi?..."
Pada jam satu malam, barulah pemuda itu masuk, la melihat ke sekelilingnya,
bertemu pandang dengan Parker, lalu menghampirinya. Pemuda itu bahkan lebih
cantik dari yang diingat Parker.
"Selamat malam."
"Selamat malam. Sori saya terlambat datang." "Tidak apa-apa. Saya tidak
keberatan menunggu."
Pemuda itu mengeluarkan sebatang rokok dan menunggu sampai pria yang lebih
tua itu menyalakannya untuknya.
"Aku terus memikirkah kau," kata Parker.
"O, ya?"
Bulu mata pemuda itu luar biasa lentiknya. "Ya. Boleh kupesankan kau
minuman?" "Kalau itu menyenangkan hatimu." Parker tersenyum. "Kau mau
membuat hatiku senang?"
Pemuda itu menatap matanya dalam-dalam dan berkata pelan, "Kurasa begitu."
"Aku melihat pria yang bersamamu tadi malam, la tidak cocok buatmu."
"Dan kau cocok buat aku?" "Mungkin. Bagaimana kalau kita pastikan? Ka mau
jalan-jalan sedikit?" "Usul yang bagus."
Parker mulai terangsang. "Aku tahu suatu tem pat yang nyaman di mana kita
bisa sendiri." "Baik. Minumnya nanti saja." Pada waktu mereka sedang berjalan
ke pintu depan, pintu itu tiba-tiba terbuka dan dua pria muda bertubuh besar
masuk ke bar itu. Mereka melangkah ke depan si pemuda, menghalangi
jalannya. "Nah ini dia, kau anak jadah. Mana utangmu kepadaku?"
Pemuda itu memandangnya dengan kebingungan. "Aku tidak tahu kau ini bicara
apa. Aku belum pernah bertemu denganmu sebe..."
"Jangan macam-macam kau." Pria itu menarik pundaknya dan mendorongnya
keluar ke jalanan.
Parker berdiri di situ dengan marah. Ia tergoda untuk ikut campur, tapi ia tidak
ingin terlibat dalam apa saja yang bisa menjadi skandal. Ia tetap diam
menunggu, menyaksikan pemuda itu lenyap dalam kegelapan malam.
Pria yang kedua tersenyum kepada Kevin Parker dengan simpatik. "Kau
seharusnya memilih teman kencan dengan lebih hati-hati. Dia hanya akan
membuat masalah saja."
Parker memandang pria yang berbicara kepadanya itu dengan lebih saksama.
Dia berambut pirang dan sangat menawan, dengan bentuk tubuh yang nyaris
sempurna. Parker merasa bahwa
f ma|am itu mungkin belum merupakan kegagalan
i j total baginya. "Kau mungkin benar," katanya.
"Kita tidak pernah tahu ke mana nasib membawa kita, bukan?" Ia sedang
menatap ke mata Parker.
"Tidak, memang tidak. Namaku Tom. Siapa namamu?" "Paul."
"Bagaimana kalau kupesankan kau minuman,
Paul?" Terima kasih."
"Kau punya acara khusus malam ini?" "Itu terserah padamu."
"Bagaimana kalau kaulewatkan malam ini bersamaku?" "Kelihatannya
menyenangkan." "Berapa?"
"Aku suka kau. Buat kau, dua ratus saja." "Itu cukup pantas."
"Memang. Kau tidak akan menyesal."
Tiga puluh menit kemudian, Paul membawa Kevin Parker ke sebuah bangunan
apartemen lama di Jefferson Street, Mereka berdua menuju lantai tiga dan masuk
ke sebuah kamar. Parker memandang ke sekelilingnya. "Tidak terlalu memadai,
ya? Hotel lebih enak."
Paul menyeringai. "Tapi di sini lebih sepi. Lagi pula, kita kan cuma perlu tempat
tidur?"
"Kau benar. Bagaimana kalau kautanggalkan pa-kaianmu? Aku ingin lihat apa
yang kubeli."
"Tentu." Paul mulai menanggalkan pakaiannya. Body-nya memang istimewa.
Parker mengamatinya, dan merasakan hasratnya mulai bangkit
"Sekarang giliranmu," Paul berbisik. "Cepatlah aku menginginkanmu."
"Aku menginginkanmu juga, Mary." Parker mulai melepaskan pakaiannya.
"Kau suka apa?" tanya Paul. "Lips atau hipsV
"Kita main cocktail saja. Maafkan istilahku. Kita punya waktu seluruh malam
ini."
"Baik. Aku mau ke kamar mandi dulu," kata Paul. "Aku akan segera kembali."
Parker berbaring di tempat tidur, telanjang, membayangkan kenikmatan luar
biasa yang segera akan dialaminya. Ia mendengar partnernya keluar dari kamar
mandi dan menghampiri tempat tidur.
Ia mengulurkan kedua tangannya. "Mari sini, Paul," katanya.
"Ini aku datang"
Dan Parker merasakan kesakitan yang luar biasa ketika sebilah pisau menyayat
dadanya. Matanya terbelalak. Ia menengadahkan kepalanya, terengah-engah. "Ya
Tuhan, apa...?"
Paul sedang mengenakan pakaiannya. "Jangan pikirkan tentang uangnya,"
katanya.
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET CIA KEPADA WAKIL DIREKTUR
NSA PRIBADI KOPI SATU DARI (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI HARI
KIAMAT
9. KEVIN PARKER—WASHINGTON, D.C—DIAKHIRI PESAN DITUTUP
Robert Bellamy tidak sempat melihat buletin berita karena ia sudah berada di
pesawat yang membawanya ke Hungaria untuk menemukan laki-laki yang
memiliki usaha pasar malam.
Bab Tiga Puluh Empat
Hari Keempat Belas Budapest
Penerbangan dari Paris menuju Budapest dengan Malev Airlines memakan
waktu dua jam lima menit Robert tidak tahu apa-apa tentang Hungaria, kecuali
bahwa negeri itu selama Perang Dunia II menjadi salah satu anggota kelompok
Axis, dan kemudian menjadi satelit Rusia. Robert menumpang bus bandara ke
pusat kota Budapest, dan ia terkesan dengan pemandangan kota itu.
Bangunan-bangunannya kuno dan arsitekturnya klasik. Gedung Parlemen yang
terletak di Rudolph Quay sangat besar dan bergaya Neo-Gotik, amat' mencolok.
Jauh di atas kota itu di atas Castle Hill terletak Royal Palace. Jalan-jalan penuh
dengan mobil dan orang yang berbelanja.
Bus itu berhenti di depan Hotel Duna Intercontinental. Robert berjalan
memasuki lobi dan menghampiri bagian informasi.
"Maaf kata Robert, "Anda berbicara bahasa
Inggris?"
"Igan. Ya. Apa yang bisa saya lakukan buat
Anda?"
"Seorang teman saya berada di Budapest beberapa hari yang lalu, dan dia
bercerita kepada saya bahwa dia telah menyaksikan sebuah pasar malam yang
bagus. Saya pikir mumpung saya masih berada di kota ini, saya ingin
melihatnya. Bisakah Anda memberitahukan di mana tempatnya?"
Petugas bagian informasi itu mengerutkan dahinya. "Pasar malam?" Ia
mengeluarkan selembar kertas dan menelitinya. "Coba saya lihat Di Budapest
saat ini, kami punya opera, sejumlah pertunjukan teater, balet, tur keliling kota
siang atau malam, tur-tur ke luar kota..." Ia mendongakkan kepalanya. "Maafkan
saya. Tidak ada pasar malam."
"Anda yakin itu?"
Sang petugas memberikan daftar itu kepada Robert "Anda lihat sendiri saja."
Daftar itu ditulis dalam bahasa Hungaria.
Robert mengembalikannya. "Baiklah. Apa ada orang di sini yang bisa saya ajak
berbicara tentang ini?"
Petugas itu berkata, "Kementerian Kebudayaan barangkali akan bisa membantu
Anda."
Tiga puluh menit kemudian, Robert berbicara dengan seorang petugas di kantor
Kementerian Kebudayaan.
"Tidak ada pasar malam di Budapest Anda yakin teman Anda itu menontonnya
di Hungaria?"
•Ya."
Tapi dia tidak mengatakan di mana?" "Tidak."
"Maafkan saya. Saya tidak dapat membanti Anda/ Petugas itu menjadi kurang
sabar. "Kalau tidak ada yang lain lagi..."
"Tidak." Robert bangkit dari duduknya. "Terima kasih." Ia ragu sejenak. "Saya
punya satu pertanyaan lagi. Seandainya saya ingin membawa masuk suatu sirkus
atau usaha pasar malam ke Hungaria, apakah saya harus meminta izin dahulu?"
"Tentu."
"Di mana saya akan mendapatkannya?" "Di Kantor Urusan Perizinan di
Budapest,"
Gedung urusan perizinan itu terletak di Buda dekat dengan tembok kota abad
pertengahan. Robert harus menunggu tiga puluh menit sebelum ia diantarkan ke
kantor yang dipimpin oleh seorang pejabat yang angkuh dan sangat dingin
sikapnya.
"Bisa saya bantu?"
Robert tersenyum. "Saya harap begitu. Maaf saya mengganggu Anda dengan
urusan yang seremeh ini, tapi saya di sini bersama putra saya yang masih kecil,
dan ia mendengar bahwa ada pasar malam yang main di suatu tempat di
Hungaria ini, dan saya telah berjanji untuk membawanya menontonnya. Anda
tabu sendiri bagaimana anak' anak kalau sudah ada maunya."
Pejabat itu menatap Robert, heran. "Anda bertemu saya untuk membicarakan
apa?"
"Well, terus terang saja, kelihatannya tak ada orang yang tahu di mana pasar
malam itu diadakan, dan Hungaria begitu besar dan begitu indah... Well, saya
diberitahu bahwa kalau ada orang yang tahu apa yang terjadi di negeri ini, maka
orang itu adalah Anda."
Pejabat itu mengangguk. "Ya. Tak ada keramaian seperti itu yang boleh
dijalankan tanpa izin." Ia lalu menekan sebuah tombol, dan seorang sekretaris
masuk. Mereka berbicara dengan cepat dalam bahasa Hungaria. Sekretaris itu
berlalu dan kembali lagi dua menit kemudian dengan membawa sejumlah kertas.
Ia memberikannya kepada atasannya. Pejabat itu menelitinya dan berkata kepada
Robert, "Dalam tiga bulan terakhir ini, kami telah mengeluarkan dua surat izin
untuk usaha pasar malam. Yang satu telah ditutup sebulan yang lalu." "Dan
satunya lagi?"
"Satunya lagi saat ini sedang diadakan di So-pron. Sebuah kota kecil dekat
perbatasan Jerman."
"Anda punya nama pemiliknya?"
Sang pejabat melihat kembali ke kertas itu. "Bushfekete. Laslo Bushfekete."
Laslo Bushfekete sedang menikmati salah satu hari yang paling menyenangkan
dalam hidupnya. Sangat sedikit orang yang cukup beruntung untuk melewatkan
hidup mereka dengan melakukan apa yang mereka inginkan, dan Laslo
Bushfekete adalah salah satu dari yang beruntung itu. Bushfekete seorang pria
berperawakan sangat besar dengan
tinggi enam kaki empat inci dan berat tiga ratus pound. Ia memakai arloji yang
bertatahkan berlian, cincin berlian, dan sebuah gelang emas yang besar. Ayahnya
pemilik sebuah pasar malam kecil, dan ketika ia meninggal dunia, putranya
melanjutkan usaha itu. Itu adalah satu-satunya cara hidup yang diketahuinya.
Laslo Bushfekete suka bermimpi yang muluk-muluk. Ia ingin meluaskan usaha
pasar malamnya yang kecil itu menjadi yang paling besar dan paling bagus di
seluruh Eropa. Ia ingin menjadi terkenal sebagai P.T. Barnum-nya usaha pasar
malam Tapi saat ini, ia hanya mampu mempertunjukkan atraksi-atraksi
tambahan biasa: Wanita Gemuk dan Pria Bertato, si Kembar Siam dan Mumi
Berumur Seribu Tahun, "yang digali dari makam raja-raja Mesir kuno". Lalu ada
juga si Penelan Pedang dan si Pemakan Api, dan si Pemikat Ular yang mungil
itu, Marika. Tapi semuanya ini adalah atraksi umum yang juga dimiliki oleh
pasar malam keliling lainnya.
Kini, dalam sekejap semua ini akan segera berubah. Impian Laslo Bushfekete
akan segera terwujud.
Ia berkunjung ke Swiss untuk mewawancarai seorang tukang sulap yang ahli
dalam meloloskan diri. Piece de resistance atau daya tarik dari seni meloloskan
diri ini adalah si pelakunya ditutup matanya, diikat tangannya, dikunci dalam
sebuah peti kecil, lalu dikunci lagi dalam peti yang lebih besar, dan akhirnya
ditenggelamkan dalam sebuah
bak air. Lewat telepon kedengarannya cukup fantastis, tapi ketika Bushfekete
terbang ke Swiss untuk meninjaunya, ia mendapati bahwa ada satu masalah yang
sulit diatasi: Tukang sulap itu membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk bisa
lolos dari semua itu. Tidak ada penonton di dunia ini yang mau menatap ke
sebuah peti di dalam bak air selama tiga puluh menit. '
Nampaknya perjalanan itu sudah gagal total. Laslo Bushfekete memutuskan
untuk ikut tur guna menghabiskan waktunya selama menunggu jam berangkat
pesawatnya. Ternyata tur itu telah mengubah kehidupannya.
Seperti rekan-rekan penumpang sebusnya, Bushfekete juga melihat Jedakan itu
dan berlari-lari melintasi lapangan untuk membantu menyelamatkan penumpang
dari apa yang mereka kira kecelakaan pesawat itu. Tapi adegan yang
disaksikannya sangat luar biasa. Tak ada keraguan lagi bahwa itu memang
sebuah piring terbang dan bahwa di dalamnya ada dua jasad kecil yang sangat
aneh bentuknya. Penumpang-penumpang lain berdiri di situ menatap sambil
ternganga. Laslo Bushfekete berjalan berkeliling untuk mengetahui bagaimana
UFO itu sebenarnya, dan kemudian ia berhenti, tertegun. Sekitar sepuluh kaki di
belakang reruntuhan pesawat itu, tergeletak di tanah dan tidak nampak oleh para
turis lainnya, adalah sepotong tangan yang lepas dari tubuhnya dengan enam jari
dan dua ibu jari yang saling berhadapan. Tanpa perlu berpikir sedikit pun,
Bushfekete mengeluar-
kan saputangannya, memungut tangan itu, dan memasukkannya ke dalam tas
serba gunanya. Jantungnya berdebar keras. Kini ia memiliki sebuah tangan asli
dari makhluk angkasa luar! Mulai saat ini lupakan saja itu Wanita Gemuk, Pria
Bertato, Penelan Pedang, dan Pemakan Api, pikirnya. "Mari maju ke sini. Tuan-
tuan dan Nyonya-nyonya, untuk menyaksikan sensasi paling dahsyat dalam
hidup Anda. Apa yang akan Anda saksikan ini adalah pemandangan yang belum
pernah dilihat manusia sebelum ini. Anda akan menyaksikan salah satu benda
paling luar biasa di jagat raya ini. Ini bukan binatang. Ini bukan sayur-mayur. Ini
bukan mineral. Apakah ini? Bagian dari jasad seorang makhluk angkasa luar...
makhluk dari planet lain.... Ini bukan fiksi ilmiah, Tuan-tuan dan Nyonya-
nyonya, ini adalah benda nyata.... Dengan uang lima ratus forint saja, Anda bisa
difoto bersama,»*
Dan itu mengingatkannya akan sesuatu. Ia berharap bahwa fotografer yang
berada di tempat kejadian itu tidak lupa mengirimkan foto yang dijanjikannya. Ia
akan membesarkan foto itu dan memasangnya di sebelah benda tersebut. Itu
akan menjadi pelengkap yang bagus dari pertunjukan* nya. Showmanship.
Hidup ini hanya berkisar di sekitar prinsip itu. Showmanship.
Ia sudah tidak sabar ingin, segera kembali ke
Hungaria dan mewujudkan impiannya yang hebat
itu.
Ketika ia tiba di rumah dan membuka bung-
kusan saputangannya, dilihatnya tangan itu mengerut dan mengering. Tapi ketika
Bushfekete membersihkan kotorannya dengan air, secara menakjubkan tangan
itu pulih kembali kesegarannya.
Bushfekete menyembunyikan tangan itu di tempat yang aman dan telah
memesan sebuah kotak kaca yang bagus dengan alat pelembap yang dipasang di
dalamnya. Setelah ia selesai mempertunjukkannya di pasar malamnya, ia
merencanakan untuk melakukan perjalanan ke seluruh Eropa. Ke seluruh dunia.
Ia akan membuat pertunjukan di museum-museum. Ia akan membuat
pertunjukan khusus di depan para ilmuwan; barangkali, bahkan di depan para
kepala negara. Dan ia akan minta mereka semua membayar. Rezeki luar biasa
yang menantinya itu seakan tidak ada batasnya.
Ia tidak menceritakan kepada siapa pun tentang keberuntungannya ini, bahkan
juga tidak kepada kekasihnya, Marika, penari mungil yang mengendalikan kobra
dan puff adder, dua jenis binatang melata yang paling berbahaya. Tentu saja,
kantong-kantong bisanya telah diambil, tapi penonton tidak tahu itu karena
Bushfekete juga mempunyai kobra yang masih utuh kantong bisanya. Ia
memamerkan ular itu gratis kepada khalayak, yang menyaksikan binatang itu
membunuh tikus-tikus. Tidak mengherankan kalau penonton sangat terkesan
menyaksikan Marika yang cantik itu membiarkan ular-ular piaraannya
menyusuri tubuhnya yang seksi dan setengah telanjang. Dua atau tiga kali
seminggu, Marika berkunjung ke tenda Laslo
Bushfekete dan merayap di atas tubuhnya dengan lidah keluar-masuk seperti
binatang-binatang piaraannya. Mereka baru saja bercinta malam sebelumnya,
dan Bushfekete masih lelah akibat permainan senam Marika yang menakjubkan.
Permenungannya terputus oleh kedatangan seorang tamu. "Mr. Bushfekete?"
"Sayalah orangnya. Apa yang bisa saya bantu?" "Saya mendengar Anda berada
di Swiss minggu yang lata."
Bushfekete langsung waspada. Apakah ada orang yang melihatku memungut
tangan itu? "Ada... ada apa dengan itu?"
"Anda ikut tur dengan bus hari Minggu yang lalu?"
Bushfekete menjawab dengan hati-hati, "Ya." Robert Bellamy merasa lega.
Sudah tuntas sekarang. Ini adalah saksi mata terakhir. Ia telah mengemban
sebuah misi yang tidak masuk akal, dan ia telah melaksanakannya dengan baik.
Melaksanakannya dengan sangat baik, kalau boleh kukatakan pada diri sendiri.
"Kami sama sekali tidak tahu sekarang mereka berada di mana. Atau mereka itu
siapa." Dan ia telah menemukan mereka semuanya. Ia merasa seakan sebuah
beban yang sangat berat telah disingkirkan dari pundaknya. Ia bebas sekarang.
Bebas untuk pulang ke rumah dan memulai hidup baru.
"Ada apa dengan tur saya itu, mister?" "Ita tidak penting," Robert Bellamy
meyakinkannya. Dan memang tidak, tidak lagi. "Saya tad'
nya ingin tahu tentang rekan-rekan sebus Anda, Mr. Bushfekete, tapi sekarang
saya rasa saya telah memperoleh semua informasi yang saya perlukan»
jadi..."
"0h\ tak ada masalah, saya bisa menceritakan tentang mereka semua," Laslo
Bushfekete berkata. "Ada seorang pastor Italia dari Orvieto, Italia; seorang
Jerman—saya rasa dia itu seorang dosen ilmu kimia dari Munich; seorang gadis
Rusia yang bekerja di perpustakaan di Kiev; seorang pemilik ranch dari Waco,
Texas; seorang bankir Kanada dari Territories... dan seorang pelobi bernama
Parker dari Washington, D.C."
Astaga, pikir Robert. Seandainya aku dapat menjumpainya lebih dulu, aku bisa
menghemat banyak waktu. Orang ini luar biasa. Dia ingat mereka semuanya.
"Anda mempunyai daya ingat yang kuat," kata Robert.
"Yeah." Bushfekete tersenyum. "Oh, dan masih ada wanita yang satunya."
"Wanita Rusia itu."
"Bukan, bukan, wanita yang lain lagi. Yang jangkung, kurus, dan mengenakan
pakaian putih."
Robert berpikir sebentar. Penumpang-penumpang lainnya tidak ada yang
menyebutkan tentang wanita kedua ini. "Saya kira Anda keliru."
"Tidak, tidak mungkin," Bushfekete bersikeras. "Ada dua wanita di sana."
Robert menghitung dalam hati. Jumlahnya tidak cocok. "Wanita itu tidak
mungkin ada." Bushfekete merasa diremehkan. "Ketika foto-
grafer itu memotret kami semua di depan UFO dia berdiri tepat di sebelah saya.
Dia benar-benar cantik." Ia menghentikan bicaranya sebentar. "Anehnya, saya
tidak ingat melihat dia di dalam bus. Barangkali dia duduk di belakang atau di
mana. Saya ingat dia nampak agak pucat Saya agak kuatir mengenai dia saat
itu."
Robert mengerutkan dahi. "Ketika Anda semua kembali ke bus lagi, apakah dia
ada?"
"Baru sekarang saya ingat bahwa saya tidak melihatnya lagi setelah itu. Saya
begitu tercekam oleh UFO itu sehingga saya tidak terlalu memperhatikan."
Ada sesuatu di sini yang tidak cocok. Apakah mungkin ada sebelas saksi mata
dan bukan hanya sepuluh? Aku harus menyelidikinya, pikir Robert. "Terima
kasih, Mr. Bushfekete," katanya.
"Terima kasih kembali."
"Semoga Anda beruntung."
Bushfekete menyeringai. "Terima kasih." Ia tidak memerlukan keberuntungan.
Sudah tidak.lagi. Karena ia memiliki sebuah tangan milik makhluk luar angkasa
asli.
Malam itu Robert Bellamy menyampaikan laporannya yang terakhir kepada
Jenderal Hilliard. "Namanya saya dapatkan. Laslo Bushfekete. Ia mengelola
sebuah pasar malam di luar kota Sopran, Hungaria."
"Dia saksi mata yang terakhir?"
Robert ragu sejenak. "Ya, sir." Ia hampir saja
menyebutkan penumpang yang kedelapan itu, tapi
ia memutuskan untuk menunggu sampai ia telah memastikannya. Nampaknya
sangat tidak mungkin. "Terima kasih, Letnan. Kerja Anda sangat baik."
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET NSA KEPADA WAKIL DIREKTUR
HRQ PRIBADI KOPI SATU DARI (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI HARI
KIAMAT 10. LASLO BUSHFEKETE—SOPRON PESAN DITUTUP
Mereka tiba di sana pada tengah malam, ketika pasar malam itu sudah tutup.
Mereka berlalu dari tempat itu lima belas menit kemudian, dengan tak bersuara
seperti waktu mereka datang.
Laslo Bushfekete bermimpi ia sedang berdiri di pintu masuk sebuah tenda besar
berwarna putih, menyaksikan penonton yang penuh sesak sedang antre di depan
loket untuk membeli tiket yang harganya lima ratus for ini.
"Mari silakan lewat sini, Saudara-saudara. Saksikan bagian tubuh asli makhluk
luar angkasa. Bukan gambar, bukan foto, tapi bukti nyata dari makhluk ET yang
asli. Hanya lima ratus forint untuk kejutan paling hebat seumur hidup Anda,
pemandangan yang tidak akan pernah Anda lupakan."
Kemudian ia berada di tempat tidur denK Marika, dan mereka berdua telanjang,
dan ia S merasakan dada Marika menempel di dadanya dan lidahnya terus
bermain-main dengan terampil, dan gairahnya semakin menyala sekarang. Ia
mencoba memeluknya dan tangannya menyentuh sesuatu yang dingin dan
berlendir, dan ia terbangun dan membuka matanya dan menjerit, dan saat itulah
kobra itu mematuknya.
Mereka menemukan mayatnya keesokan paginya. Kurungan tempat ular berbisa
itu didapati kosong.
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET HRQ KEPADA WAKIL DIREKTUR
NSA PRIBADI KOPI SATU DARI (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI HARI
KIAMAT 10. LASLO BUSHFEKETE—SOPRON—DIAKHIRI PESAN
DITUTUP
Jenderal Hilliard menelepon dengan pesawat berwarna merah. "Janus, saya
sudah menerima la-poran terakhir dari Letkol Bellamy. Ia telah menemukan
saksi mata yang terakhir. Mereka semua sudah dibereskan."
™2*m StkaH- Sa*a akai> menyampaikan ini kepada yang lain. Saya ingin Anda
melanjutkan <*• gera dengan sisa rencana kit,-
¦Dengan segera."
PESAN KILAT ULTRA TOP SECRET NSA KEPADA PARA WAKIL
DIREKTUR: SIFAR, MI6, GRU, CIA, COMSEC, DCI, CGHQ, BFV PRIBADI
KOPI SATU DARI (SATU) KOPI PERIHAL : OPERASI HARI KIAMAT 11.
LETKOL ROBERT BELLAMY—AKHIRI PESAN DITUTUP
BUKU DUA
SANG BURONAN
u 9
Bab Tiga Puluh Lima
Hari Kelima Belas
Robert bellamy menghadapi sebuah dilema. Apakah mungkin ada sebelas saksi
mata? Dam seandainya benar, mengapa yang lain tidak menyebutkannya
sebelum ini? Petugas yang menjual tiket telah mengatakan kepadanya bahwa
hanya ada tujuh penumpang. Robert merasa yakin bahwa pemilik pasar malam
itu telah membuat kekeliruan. Akan mudah untuk mengabaikannya saja,
menganggap itu suatu kekeliruan, tapi pendidikan yang telah dijalani Robert
tidak bisa mentolerir itu. Disiplin sudah begitu kuat tertanam dalam dirinya.
Cerita Bushfekete harus diselidiki kebenarannya. Bagaimana? Robert
merenungkan hal itu. Hans Beckerman. Sopir bus itu pasti tahu.
Ia menelepon ke Sunshine Tours. Kantornya sudah tutup. Di daftar telepon
Knppel, nama Hans Beckerman tidak tercatat Aku harus kembali lagi b Swiss
dan membereskan masalah ini, pikir
Robert Aku tidak boleh membiarkan hal-hal w belum tuntas.
Hari sudah malam ketika Robert tiba di Zurich. Udara terasa dingin dan bersih,
dan bulan sedang purnama. Robert menyewa sebuah mobil dan mengendarainya
melalui jalan yang kini dikenalnya menuju desa kecil Kappel. Ia meluncur lewat
gereja dan berhenti di depan rumah Hans Beckerman, merasa yakin bahwa
usahanya memburu saksi kesebelas akan sia-sia saja. Rumah itu gelap. Robert
mengetuk pintunya dan menunggu. Ia mengetuk lagi sambil menggigil diterpa
udara malam yang dingin.
Mrs. Beckerman akhirnya membukakan pintu itu. Ia mengenakan jubah flanel
yang sudah kusam warnanya. mBitteT
"Mrs. Beckerman, apakah Anda masih ingat kepada saya? Saya reporter yang
menulis artikel tentang Hans. Saya minta maaf mengganggu Anda malam-
malam begini, tapi ini sangat penting—saya harus berbicara dengan suami
Anda."
Kata-katanya disambut dengan diam seribu bahasa. "Mrs. Beckerman?"
"Hans sudah meninggal."
Robert merasa sedikit terguncang mendengar itu. "Apa?"
"Suami saya sudah meninggal."
"Saya... saya turut berdukacita. Bagaimana me- j ninggalnya?" I
"Mobilnya terjungkir di lereng necunimiwin." f
? f Suaranya mengandung kepahitan yang mendalam. "Polisi-polisi dummkopf
itu mengatakan bahwa tubuhnya penuh dengan obat bius."
"Obat bius?" "Tukak lambung. Dokter bahkan tidak bisa memberi saya obat
untuk meringankan rasa sakitnya. Saya alergi terhadap semua obat itu."
"Polisi mengatakan itu kecelakaan?" "Ja." ¦
"Apakah mereka melakukan autopsi?" "Ya, dan mereka menemukan obat bius.
Tidak masuk akal."
Robert tidak tahu harus mengatakan apa. "Saya sangat menyesal, Mrs.
Beckerman. Saya..."
Pintu ditutup, dan Robert berdiri di situ seorang diri di malam yang dingin itu.
Satu saksi mata telah lenyap. Bukan—dua. Leslie Mothershed mati karma
kebakaran. Robert berdiri di situ berpikir keras cukup lama. Dua saksi mata telah
mati. Masih terngiang di teli* nganya apa yang dikatakan instrukturnya di Farm:
"Ada satu hal lagi yang perlu saya bicarakan hari mu Kebetulan. Dalam
pekerjaan kita ini, tidak ada binatang dengan nama seperti itu. Biasanya itu
mengisyaratkan bahaya. Kalau Anda terus-terusan berjumpa dengan orang yang
sama, atau Anda berulang kali memergoki mobil yang sama pada saat Anda
sedang menjalankan aksi, lindungi diri Anda. Anda barangkali berada dalam
kesulitan*
"Barangkali dalam kesulitan." Sekarang perasaan Robert menjadi sangat kacau.
Apa yang telah
terjadi mungkin saja memang suatu kebetulan, ta pi~ Aku harus menyelidiki
penumpang rnisteriu. itu,
¦ Teleponnya yang pertama adalah ke Fort Smith, Kanada. Suara sedih seorang
wanita menerima telepon itu. "Ya?"
"Bisa saya bicara dengan William Mann?"
Suara itu menjawab sambil menangis, "Maafkan saya. Suami saya... sudah
tiada."
"Saya tidak mengerti"
"la bunuh dai."
Bunuh diri? Bankir yang berkemauan keras itu? Apa yang sebenarnya sedang
terjadi? Robert bertanya-tanya. Yang dipikirkannya tidak dapat dipercayainya
sendiri, tapi... Ia mulai merslepon ke mana-mana.
"Tolong sambungkan dengan Profesor Schmidt" "Achf Profesor tewas karena
ledakan yang ter-• jadi di laboratoriumnya...."
"Saya ingin bicara dengan Dan Wayne."
"Orang yang malang. Kuda jantan yang dibanggakannya itu menendangnya
hingga tewas minggu ¦ yang..." |
"Tolong sambungkan dengan Laslo Bushfekete." "Pasar malam sudah tutup.
Laslo meninggal...."
"Tolong sambungkan dengan Fritz Mandel." "Fritz'Mandel terbunuh dalam suatu
kecelakaan aneh...."
Robert benar-benar panik sekarang. "Olga Romanchanko."
"Gadis yang malang. Dan ia masih begitu muda...."
"Saya menelepon untuk menanyakan tentang Father Patrini."
"Orang tua yang malang itu meninggal dalam tidurnya."
"Saya harus berbicara dengan Kevin Parker." "Kevin baru saja dibunuh...."
Mari. Semua saksi mata itu sudah mati Dan dialah yang menemukan dan
mengidentifikasi mereka. Mengapa ia tidak tahu tentang apa yang sedang
berlangsung? Karena bajingan-bajingan itu menunggu sampai ia keluar dari
setiap negara tersebut sebelum menghabisi korban-korbannya. Satu-satunya
orang yang diiaporinya adalah Jenderal Hilliard. "Kita tidak boleh
mengikutsertakan orang lain dalam misi ini.... Saya ingin Anda melapor tentang
pelaksanaan tugas Anda kepada saya setiap hari."
Mereka telah memanfaatkan dirinya untuk menuding saksi-saksi mata itu. Ada
apa di balik
semuanya ini? Otto Schmidt terbunuh di Jerman, Hans Beckerman dan Fritz
Mandei di Swiss, Olga Romanchanko di Rusia, Dan Wayne dan Kevin Parker di
Amerika, William Mann di Kanada, Leslie Mothersbed di Inggris, Father Patrini
di Italia, dan LasJo Bushfekete di Hungaria. Itu artinya dinas-dinas rahasia iebih
dari setengah lusin negara telah terlibat dalam operasi terselubung paling besar
dalam sejarah. Seseorang yang statusnya sangat tinggi telah memutuskan bahwa
semua saksi mata yang hadir saat jatuhnya UFO itu harus mati. Tapi siapa? Dan
mengapa?
Ini suatu konspirasi internasional, dan aku berada tepat di tengahnya.
Prioritas: Samarkan dirimu. Sulit bagi Robert untuk percaya bahwa mereka
bermaksud membunuhnya. Ia adalah salah satu dari mereka. Tapi sebelum ia
tahu dengan pasti, sebaiknya ia tidak mengambil risiko. Hal pertama yang perlu
dilakukannya adalah memperoleh paspor palsu. Itu berarti Ricco di Roma. jjjj&g
Robert menumpang pesawat berikut yang ke luar negeri dan ia berjuang mati-
matian agar jangan sampai tertidur. Ia tidak menyadari betapa • lelahnya ia.
Tekanan pekerjaan selama lima belas hari yang terakhir ini, ditambah dengan
semua jet lag yang dialaminya selama itu, telah menguras habis seluruh
tenaganya.
Ia mendarat di Bandara Leonardo da Vinci, dan ketika ia berjalan memasuki
terminal, orang per- I
tama yang dilihatnya adalah Susan. Ia berhenti, terkejut. Susan berdiri
membelakanginya, dan sesaat, Robert mengira ia keliru. Lalu ia mendengar
suara Susan. "Terima kasih. Saya dijemput" Robert beranjak ke sisinya.
"Susan..." Susan menoleh, terkejut "Robert! Suatu... suatu kebetulan yang luar
biasa! Tapi betul-betul kejutan yang menyenangkan." "Kukira kau ada di
Gibraltar," kata Robert. Susan tersenyum dengan rikuh. "Ya. Kami sedang dalam
perjalanan ke sana. Monte ada bisnis di sini yang harus diurus lebih dulu. Kami
berangkat malam ini. Apa yang kaulakukan di Roma?"
Lari menyelamatkan nyawaku. "Aku sedang menyelesaikan tugas." Ini yang
terakhir. Aku sudah berhenti, darling. Kita bisa bersama terus mulai saat ini, dan
apa pun tak akan bisa memisahkan kita lagi Tinggalkan Monte dan pulanglah ke
rumah bersamaku. Tapi ia tidak sanggup mengucapkan semuanya itu. Ia telah
cukup banyak menyusahkan Susan. Ia sekarang sudah bahagia dengan hidupnya
yang baru. Biarkan saja, pikir Robert.
Susan mengamatinya. "Kau nampak lelah." Ia tersenyum. "Aku banyak
bepergian akhir-akhir ini."
Mereka saling memandang dalam-dalam, dan daya magis itu ternyata masih ada.
Hasrat yang menyala, dan kenangan masa lalu, dan derai tawa, dan kerinduan
yang mencekam.
Susan menggenggam tangannya dan berkata dengan lembut, "Robert Oh.
Robert. Kalau saja ki< ta..."
"Susan..."
Dan pada saat itu, seorang pria bertubuh tegap dalam seragam pengemudi
menghampiri Susan. "Mobilnya sudah siap, Mrs. Banks." Dan keindahan itu
terkoyak kembali.
"Terima kasih." Ia menoleh ke Robert. "Maafkan aku. Aku harus pergi sekarang.
Jaga dirimu baik-baik."
Tentu." Ia menyaksikan Susan berlalu. Begitu banyak yang ingin dikatakannya
kepada Susan. Hidup ini tidak pandai memilih waktu yang tepat Sangat
menyenangkan melihat Susan lagi, tapi ada sesuatu yang merisaukan hatinya.
Apa? Tentu saja! Kebetulan. Satu lagi kebetulan.
la naik taksi ke Hotel Hassler.
"Selamat datang kembali, Letnan." Terima kasih."
"Saya akan memanggil bellman untuk mengurus tas-tas Anda."
Tunggu." Robert melihat arlojinya. Jam sepuluh malam. Ia tergoda untuk naik ke
lantai atas dan tidur sejenak, tapi ia harus mengurus paspornya lebih dulu.
"Saya belum mau naik ke kamar," kata Robert. "Saya akas senang sekali kalau
Anda mau mengirimkan tas-tas saya ke atas." "Pasti, Let."
Ketika Robert sudah akan beranjak pergi, pintu lift terbuka, dan sekelompok
Shriner keluar dari situ, tertawa-tawa dan berceloteh. Nampak jelas bahwa
mereka baru saja minum. Salah seorang dari mereka, seorang pria gemuk
berwajah merah, melambaikan tangannya kepada Robert
"Hai, buddy... hati Anda senang?"
"Bukan main," kata Robert "Bukan main."
Robert berjalan melintasi lobi terus ke tempat mangkat taksi di luar. Ketika ia
akan memasuki taksi itu, ia melihat ada sebuah mobil Opel abu-abu yang tidak
mencolok diparkir di seberang jalan. Terlalu tidak mencolok. Mobil itu ada di •
antara mobil-mobil besar dan mewah.
"Via Monte Grappa," kata Robert kepada pengemudi taksi. Sepanjang
perjalanan, Robert memandang ke luar melalui jendela belakang. Opel abu-abu
itu tidak ada. Aku terlalu gugup, pikir Robert. Ketika mereka sampai di Via
Monte Grappa, Robert turun di pojok jalan. Ketika ia akan membayar
pengemudinya, dengan sudut matanya ia melihat Opel abu-abu itu, setengah
blok jauhnya di jalan yang sama, padahal ia berani bersumpah mobil itu tidak
membuntutinya tadi. Ia membayar ongkos taksi dan mulai berjalan, menjauhkan
diri dari mobil itu, melenggang dengan perlahan, berhenti untuk melihat-lihat
etalase toko. Dari bayang-bayang di kaca, ia melihat Opel itu, bergerak pelan di
belakangnya. Ketika Robert sampai di sudut jalan berikutnya, ia mendapati
bahwa jalan itu satu arah. Ia membelok ke jalan itu,
menentang arus lalu lintas yang padat Opel itu jadi ragu di sudut jalan, lalu
berpacu untuk mendahului Robert ke ujung jalan di sebelah sana. Robert
berbalik arah dan berjalan balik ke Via Monte Grapna. Opel itu tidak nampak
lagi. Robert memanggil taksi. "Via Monticalli."
Bangunan itu sudah tua dan tidak menarik, sisa peninggalan lempo doeloe.
Robert sudah pernah mengunjunginya berulang kali dalam berbagai misinya. Ia
menurun tiga anak tangga yang menuju basement dan mengetuk pintunya.
Sebuah mata mengintip lewat lubang pengintip, dan sebentar kemudian pintu itu
dibuka lebar-lebar.
"Roberto!" seorang pria berseru. Ia merangkul-kan lengannya ke Robert
"Bagaimana kabarmu, mio amicoV
Yang berbicara itu seorang pria gemuk berusia enam puluhan dengan janggut
putih yang tak dicukur, alis tebal, gigi kekuningan, dan dagu berlipat-lipat Ia
menutup pintu dan menguncinya.
"Aku baik-baik saja, Ricco."
Ricco tidak mempunyai nama belakang "Bagi orang seperti aku," ia biasa
membanggakan diri, "satu nama saja sudah cukup. Seperti Garbo." "Apa yang
bisa kulakukan untukmu hari ini, kawanku?"
sobat'
"Aku"sedang menangani sebuah kasus," kata Robert, "dan waktuku tidak
banyak. Bisakah kau-buatkan aku sebuah paspor?"
Ricco tersenyum. "Apakah Sri Paus itu Katolik?" Ia menghampiri sebuah lemari
di sudut dan membukanya dengan kunci. "Kau maunya berasal dari negeri
mana?" Ia mengeluarkan scgenggam paspor dengan sampul berbagai warna dan
menyeleksinya. "Di sini ada paspor Yunani, Turki, Yugoslavia, Inggris..."
"Amerika," kata Robert
Ricco mengeluarkan sebuah paspor bersampul biru. "Ini dia. Apakah nama
Arthur Butterfield kau suka?"
"Hebat," kata Robert.
"Tolong berdiri menempel dinding itu, dan aku akan memotretmu."
Robert menghampiri dinding. Ricco* membuka sebuah laci dan mengambil
sebuah kamera Polaroid. Semenit kemudian, Robert sudah bisa melihat fotonya
sendiri.
"Aku tidak tersenyum tadi," kata Robert
Ricco memandangnya, heran. "Apa?"
"Aku tidak tersenyum. Potret aku sekali lagi."
Ricco mengangkat bahu. "Baik. Terserah kau saja."
Robert tersenyum saat potret kedua untuk paspornya itu diambil. Ia
mengamatinya dan berkata, "Ini lebih baik." Dengan gaya santai ia memasukkan
foto yang pertama ke dalam sakunya.
"Sekarang giliran proses high-tech-nya," Ricco
menyatakan. Robert menyaksikan Ricco berjalan menghampiri meja kerja di
mana terdapat sebuah mesin laminasi la menaruh foto itu di bagian dalam paspor
tersebut.
Robert mendekati sebuah meja yang penuh dengan pena, tinta, dan tetek bengek
lainnya dan mengambil sebuah silet dan sebotol kecil lem serta memasukkannya
ke dalam saku jasnya.
Ricco sedang mengamati hasil pekerjaan tangannya. "Lumayan," katanya. Ia
memberikan paspor itu kepada Robert. "Ongkosnya lima ribu dolar."
Tidak rugi membayar sebegitu/ Robert menyatakan persetujuannya sambil
mengeluarkan 10 Jem-bar uang kertas lima ratusan.
"Aku selalu senang berbisnis dengan kalian. Kau tahu bagaimana perasaanku
terhadap kalian."
Robert tabu persis bagaimana perasaannya. Ricco seorang pemalsu ulung yang
bekerja untuk setengah lusin negara—dan tidak setia kepada satu pun. Ia
memasukkan paspor itu ke dalam saku jasnya.
"Semoga sukses, Mr. Butterfield." Ricco 'tersenyum. Terima kasih."
Pada saat pintu tertutup dan Robert sudah pergi, Ricco meraih telepon. Informasi
selalu bisa dihargai dengan uang oleh orang yang membutuhkannya.
Di luar, dua puluh yard jauhnya di jalan yang sama, Robert mengeluarkan paspor
baru itu dari sakunya dan menguburkannya di dalam kaleng
I (empat sampah. Pengecohan. Suatu teknik yang I dipakainya sebagai pilot,
yaitu membuat jejak-jejak I pa|su untuk rudal-rudal musuh. Biar mereka mencari
Arthur Butterfield.
Opel abu-abu itu diparkir setengah blok dari situ. Menunggu. Tak mungkin.
Robert yakin bahwa mobil itu satu-satunya yang dipakai membuntutinya. Ia juga
yakin bahwa Opel itu tidak mengikutinya, tapi toh selalu berhasil
menemukannya. Mereka pasti mempunyai cara lain untuk melacak lokasinya.
Hanya ada satu penjelasan: Mereka menggunakan semacam alat yang
menempel. Dan pasti itu disandangnya. Ditempelkan di pakaiannya? Tidak.
Mereka tak pernah punya kesempatan untuk itu. Kapten Dougherty dulu
memang menyertainya waktu ia mengemasi pakaiannya, tapi ia tidak akan tahu
pakaian mana yang akan dikenakannya. Robert mengingat-ingat barang apa saja
yang dibawanya—uang kontan, kunci-kunci, dompet, saputangan, kartu kredit.
Kartu kredit itu! "Saya tidak akan memerlukan itu, Jenderal." "Ambillah. Dan
bawa terus setiap saat"
Bajingan licik itu. Tidak heran mereka selalu bisa menemukannya dengan
mudah.
Opel abu-abu itu sudah tidak nampak. Robert mengeluarkan kartu itu dan
mengamatinya. Kartu itu sedikit lebih tebal daripada kartu kredit biasa.
Ditekannya, dan ia bisa merasakan ada semacam lapisan di dalamnya. Mereka
pasti punya remote control yang mengaktifkan kartu itu. Bagus, pikir Robert.
Biar kubuat jahanam-jahanam itu sibuk.
359
Di situ ada sejumlah truk yang diparkir di sepanjang jalan, mengambil dan
menurunkan muatan. Robert mengamati pelat-pelat nomornya. Ketika sampai ke
sebuah truk merah dengan pelat nomor Prancis, ia memandang ke sekelilingnya
meyakinkan tak ada yang memperhatikannya, lalu melemparkan kartu itu ke bak
belakang truk tersebut
Ia menghentikan sebuah taksi. "Hassler,, per favore.'
Di lobi, Robert menghampiri bagian informasi. "Tolong periksa apakah ada
penerbangan dari sini ke Paris malam ini."
"Baiklah, Letnan. Perusahaan penerbangan apa yang Anda sukai?"
"Apa saja. Pokoknya yang pertama keluar dari
"Saya akan segera mengaturnya."
"Terima kasih." Robert menghampiri petugas administrasi hotel. "Tolong kunci
saya. Kamar 314. Dan saya akan check-out beberapa menit lagi."
"Baik, Letkol Bellamy." Petugas itu menghampiri kotak-kotak di belakangnya
dan mengambil kunci dan sebuah amplop, "Ada surat untuk An-
Tubuh Robert menegang. Amplop itu ditutup rapat dan hanya tertuliskan:
"Letkol Robert Bellamy". Ia merabanya, mencoba mencari tahu apakah ada
plastik atau logam di dalamnya. Ia membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya
terdapat kartu yang mengiklankan sebuah restoran Italia.
Tak ada yang pantas dicurigai. Kecuali, tentu saja, nama di amplop itu. "Anda
ingat siapa yang memberikan amplop
ini?"
"Maafkan saya," kata petugas itu dengan malu, "tapi kami sangat sibuk malam
ini...."
Itu tidak penting. Siapa pun yang memberikannya pasti tidak punya identitas. Ia
pasti mengambil kartu itu entah di mana, memasukkannya ke dalam amplop, dan
berdiri dekat bagian penerima tamu untuk melihat nomor kotak—yang juga
berarti nomor kamar—tempat amplop itu dimasukkan. Sekarang ini ia pasti
sudah menunggu di kamar Robert. Sudah waktunya untuk melihat wajah musuh.
Robert tersentak mendengar suara-suara keras dan ia menoleh serta menyaksikan
para Shriner yang dilihatnya tadi sedang masuk ke lobi, tertawa-tawa dan
bernyanyi-nyanyi. Jelas mereka sudah minum lagi. Pria gemuk itu menyapa lagi,
"Hai, pai Anda rugi tidak ikut pesta." Robert sedang berpikir keras. "Anda suka
pesta?" "Hoohoo!"
"Ada satu pesta sekarang di lantai atas," kata Robert. "Minuman keras, cewek—
apa saja yang Anda mau. Ikuti saya, teman-teman."
"Nah, itu baru semangat Amerika, pai." Pria itu menepuk punggung Robert.
"Kalian dengar itu, anak-anak? Teman kita ini sedang mengadakan pesta!"
Mereka berdesakan di lift dan bersama-sama menuju lantai tiga.
¦WH-
Si Shriner itu mengoceh lagi, "Italia-Ilalia in tahu benar bagaimana menikmati
hidup. Kuras: mereka yang menemukan orgy, huh?"
"Akan kutunjukkan pada kalian arti orgy yang sebenarnya," Robert berjanji.
Mereka mengikutinya melewati lorong menuju kamarnya. Robert memasukkan
kunci ke dalam lubang pintu dan menoleh ke kelompok itu. "Apa kalian semua
sudah siap untuk bersenang-senang?" Terdengar jawaban serentak mengiyakan...
Robert memutar anak kunci itu, mendorong pintunya, dan melangkah ke arah
samping. Kamar itu gelap. Ia menyalakan lampu. Seorang pria tak dikenai
bertubuh jangkung dan kurus sedang berdiri di tengah kamar dengan
menggenggam sebuah Mauser yang dilengkapi peredam bunyi, setengah
diacungkan. Pria itu memandang kelompok itu dengan ekspresi terkejut dan
dengan cepat mendorong masuk pistolnya ke dalam jasnya.
"Hei! Di mana minumannya?" salah satu Shriner itu menuntut
Robert menuding pria tak dikenal itu. "Dia yang membawanya. Mintalah
padanya."
Kelompok itu maju ke arah pria itu. "Di mana minuman kerasnya, buddy?"... "Di
mana cewek-ceweknya?"... "Marilah kita mulai saja pestanya...." I
Pria kurus itu mencoba menerobos ke arah Robert >api kelompok itu
menghalangi jalannya. Ia memandang dengan tak berdaya ketika Robert me- t
lompat ke luar pintu. Ia berlari turun tangga dengan melompati dua anak tangga
sekaligus.
I Di lobi, Robert sedang menuju pintu keluar f ketika petugas bagian informasi
itu berteriak, "Oh, I Letkol Bellamy, saya telah memesan tempat untuk I Anda.
Air France penerbangan 312 ke Paris. Berangkat jam satu malam." "Terima
kasih," kata Robert bergegas. .Ia sudah berada di luar sekarang, menuju suatu
tempat terbuka yang menghadap ke Spanish Steps. Sebuah taksi kebetulan
sedang menurunkan penumpang di situ. Robert memasukinya. "Via Monte
Grappa."
Semuanya sudah jelas baginya sekarang. Mereka . memang bermaksud
membunuhnya. Itu tidak akan gampang. Sekarang ia yang diburu dan bukan
yang memburu, tapi ia mempunyai satu aspek yang sangat menguntungkan.
Mereka telah melatihnya sedemikian baik. Ia tahu semua teknik mereka,
kekuatan mereka, kelemahan mereka, dan ia akan menggunakan pengetahuannya
itu untuk menghentikan mereka. Pertama-tama, ia harus menemukan jalan untuk
membuat mereka kehilangan jejaknya. Agen-agen yang melacak jejaknya pasti
sudah diberi suatu cerita tentang dirinya. Mereka pasti diberitahu bahwa ia dicari
karena penyelundupan obat bius, atau karena pembunuhan, atau karena kegiatan
mata-mata. Mereka pasti diperingati: Dia berbahaya. Jangan ambil risiko.
Tembak dan bunuh saja.
Robert berkata kepada pengemudi taksi itu, "Roma Termini."' Mereka sedang
memburunya, tapi mereka pasti tidak punya cukup waktu untuk
menyebarkan fotonya. Jadi sampai saat ini, wajah nya belum dikenali orang.
Taksi itu berhenti di Via Giovanni Giolitt 36 dan pengemudinya berkata,
"Stazione Termini, sig-nore."
"Kita tunggu dulu di sini sebentar." Robert duduk di taksi itu, mengamati bagian
luar stasiun kereta api itu. Nampaknya semuanya berjalan biasa-biasa saja.
Taksi-taksi dan limousine-limousine datang dan pergi, menurunkan dan
mengambil penumpang. Kuli-kuli memuat dan membongkar barang. Seorang
polisi sibuk menyuruh mobil-mobil menyingkir dari.kawasan parkir khusus. Tapi
ada sesuatu yang mengganggu pikiran Robert. Tiba-tiba ia sadar apa yang tidak
wajar di sana. Ada tiga mobil sedan tak beridentitas yang diparkir tepat di depan
stasiun itu di kawasan no-parking, tanpa orang di dalamnya. Polisi itu
membiarkannya saja.
"Saya tak jadi ke situ," kata Robert kepada pengemudinya. "Via Veneto 110/A."
Orang pasti tidak akan mencarinya ke situ.
Kedutaan dan Konsulat Amerika terletak di bangunan semen berwarna merah
muda yang menghadap ke Via Veneto, dilindungi oleh pagar besi. Kedutaan
tutup pada jam seperti ini, tapi bagian paspor konsulat dibuka terus selama dua
puluh empat jam untuk melayani keperluan-keperluan darurat Di ruang tunggu
di lantai satu, seorang marinir duduk di belakang meja.
Marinir itu menengadahkan kepala ketika Robert masuk. "Bisa saya bantu, sir?"
"Ya," kata Robert. "Saya ingin bertanya tentang pembuatan paspor baru. Punya
saya baru saja hilang"
"Anda warga negara Amerika?" "Ya."
Marinir itu menunjuk ke sebuah kantor di bagian paling ujung. "Mereka akan
membantu Anda di sana, sir. Pintu terakhir itu."
"Terima kasih."
Ada setengah lusin orang di dalam ruang itu yang juga sedang mengurus paspor,
melaporkan paspor hilang, dan memperoleh perpanjangan dan visa.
"Apa saya perlu visa untuk mengunjungi Albania? Saya punya famili di sana...."
"Saya perlu perpanjang paspor malam ini. Saya harus mengejar pesawat...."
"Saya tidak tahu bagaimana bisa hilang. Pasti ketinggalan di Milan...."
"Mereka merampas paspor saya langsung dari tas saya...."
Robert berdiri di situ mendengarkan. Pencurian paspor sudah menjadi industri
subur di Italia. Pasti ada seseorang di sini yang akan mendapat paspor baru. Di
ujung depan antrean nampak seorang pria setengah umur berpakaian rapi yang
sedang menerima paspor Amerika.
"Ini paspor baru Anda, Mr. Cowan. Saya menyesal Anda mengalami hal seperti
itu. Memang di Roma ini banyak pencopet."
"Saya pasti akan menjaga supaya mereka tidal merampas yang ini," kata Cowan.
"Sebaiknya begitu, sir."
Robert menyaksikan Cowan memasukkan paspornya ke dalam saku jasnya dan
beranjak pergi. Robert melangkah mendahuluinya. Pada saat seorang wanita
lewat di situ, Robert menabrak Cowan, seolah-olah ia didorong, sehingga Cowan
hampir jatuh.
"Minta maaf sekali," kata Robert. Ia memajukan badannya dan membantu
Cowan membenahi jasnya.
"Tidak apa-apa," ujar Cowan.
Robert berbalik dan berjalan menuju kamar kecil khusus pria di ujung lorong,
dengan paspor orang tak dikenal itu di dalam sakunya. Ia memandang ke
sekelilingnya meyakinkan bahwa ia sendirian, lalu menghampiri salah satu
booth. Ia mengeluarkan pisau silet dan botol lem yang dicurinya dari Ricco.
Dengan sangat cermat, ia mengelupas lembar plastik pelindung dan melepaskan
foto Cowan. Kemudian, ia menggantinya dengan fotonya sendiri basil potretan
Ricco. Ia mengelem plastik pelindung itu kembali dan memeriksa hasil
pekerjaan tangannya. Sempurna. Sekarang ia adalah Henry Cowan. Lima menit
kemudian, ia sudah di luar di Via Veneto, memasuki sebuah taksi. "Leonardo da
Vinei,"
Sudah jam setengah satu ketika Robert tiba di bandara. Ia berdiri di luar,
mengamati kalau-kalau I ada yang tidak wajar. Di permukaan, semuanya I
nampak normal. Tidak ada mobil polisi, tidak ada orang-orang berulah
mencurigakan. Robert memasuki terminal dan berhenti pas setelah melewati
pintu. Nampak berbagai counter penerbangan tersebar di sekitar terminal utama
itu. Nampaknya tidak ada orang yang berkeliaran atau bersembunyi di balik
tiang. Ia tetap diam di tempatnya dengan waspada. Ia tidak bisa menjelaskannya,
bahkan kepada dirinya sendiri, tapi entah bagaimana semuanya nampak terlalu
normal.
Di seberang ruangan itu nampak counter Air France. "Saya telah memesan
tempat untuk Anda. Air France penerbangan 312 ke Paris.... Berangkat jam satu
malam." Robert berjalan melewati counter itu dan menghampiri seorang wanita
berseragam di balik counter Alitalia. "Selamat malam." "Selamat malam. Bisa
saya bantu, signore?" "Ya," kata Robert. "Bisa Anda panggilkan Letkol Robert
Bellamy untuk datang ke telepon di bagian informasi?" "Tentu," katanya. Ia
memungut sebuah mike. Beberapa kaki dari situ, seorang wanita gemuk sedang
memeriksakan sejumlah koper, dan terlibat perdebatan dengan seorang petugas
penerbangan mengenai biaya overweight. "Di Amerika, tidak pernah diminta
biaya overweight."
"Maafkan saya, madam. Tapi kalau Anda ingin membawa semua koper ini, Anda
harus membayar kelebihan bagasi."
Robert bergerak semakin mendekat. Ia mendengar suara operator melalui
pengeras suara. "Di-
mohon Letkol Robert Bellamy datang ke telepon putih di bagian informasi.
Letkol Robert Bellamy harap datang ke telepon putih di bagian informasi."
Pengumuman itu bergema ke seluruh bandara.
Seorang pria yang menjinjing tas tangan sedang - berjalan melewati Robert
"Maafkan saya," kata Robert Pria itu menoleh. "Ya?"
"Saya mendengar istri saya memanggil saya, tapi"—ia menunjuk ke koper-koper
wanita gemuk tadi—"saya tidak bisa meninggalkan bagasi saya ini" Ia
mengeluarkan satu lembaran sepuluh dolar dan diberikannya kepada pria itu.
"Maukah Anda pergi ke telepon putih di sana itu dan mengatakan kepadanya
saya akan menjemputnya di hotel kami satu jam lagi? Saya akan sangat
menghargai bantuan Anda ini."
Pria itu melihat ke uang kertas sepuluh dolar di tangannya. "Baik." Lsg ,.-
Robert menyaksikannya menghampiri telepon di bagian informasi dan
mengangkatnya. Ia menempelkan gagang telepon ke telinganya dan berkata,
"Halo?... Halo?,.."
Segera setelah itu, empat pria bertubuh besar dalam pakaian hitam-hitam muncul
entah dari mana dan mengepungnya, menyudutkan pria naas itu ke dinding.
"Hei! Apa-apaan ini?"
"Mari kita selesaikan dengan tenang," salah satu
«Anda ini mau apa? Lepaskan tangan Andal" "Jangan ribut-ribut, Letnan. Tak
ada gunanya..." "Letnan? Anda salah menangkap orang! Nama saya Melvyn
Davis. Saya dari Omaha!" "Ayo, jangan main-main." "Tunggu sebentar! Saya
dijebak. Orang yang Anda cari ada di sana!" Ia menunjuk ke tempat Robert tadi
berdiri. Tidak ada siapa-siapa di situ.
Di luar terminal, sebuah bus bandara sedang bersiap-siap untuk diberangkatkan.
Robert naik ke situ, berbaur dengan para penumpang lainnya. Ia duduk di bagian
belakang bus itu, memusatkan pikirannya untuk langkah selanjutnya.
Ia ingin sekali berbicara dengan Admiral Whit-taker untuk mencoba mencari
jawaban tentang apa yang sedang berlangsung, untuk mencari tahu siapa yang
bertanggung jawab atas pembunuhan orang-orang yang tidak bersalah hanya
karena kebetulan mereka menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak boleh
mereka lihat. Apakah Jenderal Hilliard? Dustin Thornton? Atau ayah mertua
Thornton, Willard Stone, orang yang penuh misteri itu. Apakah tidak mungkin
bahwa ia terlibat dengan suatu cara? Apakah bukan Edward Sanderson, direktur
NSA itu? Apakah mereka semua bekerja sama? Apakah kasus ini ditangani
sampai ke jenjang kepresidenan? Robert memerlukan
jawaban. .•
Bus itu memerlukan waktu satu jam untuk sam-
369
pai di Roma. Ketika bus itu berhenti di depan Hotel Eden. Robert turun.
Aku harus berusaha keluar dari negeri ini. pikir Robert. Hanya ada satu orang di
Roma yang bisa dipercayainya. Kolonel Francesco Cesar, kepala SIFAR, Dinas
Rahasia Italia. Ia akan bisa membantu Robert melarikan diri dari Italia.
Kolonel Cesar sedang bekerja lembur. Pesan-pesan terus datang dan pergi di
antara dinas-dinas rahasia asing, dan semuanya itu menyangkut Letkol Robert
Bellamy. Di masa silam, Kolonel Cesar pernah bekerja sama dengan Robert, dan
ia sangat menyukai Robert. Cesar menghela napas ketika melihat pesan terakhir
yang ada di depannya. Akhiri Dan ketika ia sedang membaca itu, sekretaris-aya
masuk ke dalam kantornya.
"Letkol Bellamy ada di saluran satu ingin berbicara dengan Anda."
Kolonel Cesar menatapnya. "Bellamy? Dia sendiri? Saya terima." Ia menunggu
sampai sekretarisnya meninggalkan ruang itu, lalu diangkatnya telepon.
"Robert?"
"Ciao, Francesco. Sebenarnya ini ada apa?" "Kau yang jelaskan, amico. Aku
menerima segala macam komunite penting mengenai dirimu. Apa yang telah
kaulakukan?"
"Panjang ceritanya," kata Robert. "Dan aku tidak punya waktu sekarang. Apa
saja yang kaudengar?"
"Bahwa kau sudah melepaskan diri dari dinas. Bahwa kau telah berubah dan
menyanyi seperti burung kenari."
"Apa?"
"Kudengar kau membuat transaksi'dengan pihak Cina dan..." "Astaga! Itu benar-
benar gila!" "O, ya? Mengapa?"
"Karena sejam lagi mereka akan haus minta berita lagi."
"Demi Tuhan, Robert, ini bukan waktunya bercanda."
"Memang, Francesco. Aku baru saja menyebabkan kematian sepuluh orang yang
tidak bersalah. Aku dijadwalkan untuk menjadi korban yang kesebelas."
"Kau ada di mana?"
"Di Roma. Nampaknya aku tidak bisa keluar dari kotamu ini."
"Cacaturar Kemudian hening—berpikir. "Apa yang bisa aku bantu?"
"Bawa aku ke suatu tempat yang aman di mana kita bisa berbicara, supaya aku
bisa memikirkan bagaimana caranya meloloskan diri. Bisa kauatur itu?"
"Ya, tapi kau harus hati-hati. Sangat hati-hati. Aku sendiri yang akan
menjemputmu."
Robert menarik napas lega. "Terima kasih, Francesco. Aku sangat menghargai
itu."
"Seperti kata orang Amerika, kau utang satu. Kau ada di mana?"
¦ C9fl
Bar Lido d i Trastevere." "Tunggu saja di sana. Aku akan ke sana tepa satu jam
lagi."
Terima kasih, amico." Robert meletakkan ga. gang telepon. Satu jam ini akan
terasa sangai lama.
Tiga puluh menit kemudian, dua mobil tak beridentitas berhenti sepuluh yard
dari Bar Lido. Ada empat pria dalam setiap mobil, dan mereka semua membawa
senapan otomatis.
Kolonel Cesar turun dari mobil pertama. "Mari kita lakukan ini dengan cepat
Kita tidak mau sampat orang-orang lain terluka. Andate al dietro, subito—segera
masuk."
Setengah dari pasukan itu berjalan memutar untuk meliput bagian belakang
bangunan itu.
Robert Bellamy menyaksikan dari atap bangunan di seberang jalan sementara
Cesar dan orang-. orangnya menodongkan senapan mereka dan menyerbu masuk
ke dalam bar itu.
Baiklah, bajingan-bajingan, pikir Robert dengan marah, akan kita lakukan
dengan caramu.
I
Bab Tiga Puluh Enam
Hari Keenam Belas Roma, Italia
Robert menelepon Kolonel Cesar dari sebuah telepon umum di Piazza del
Duomo. "Apa yang terjadi dengan persahabatan?" tanya Robert.
"Jangan bersikap naif, kawan. Aku hanya melaksanakan instruksi, seperti kau
juga. Aku ingin meyakinkanmu bahwa tak ada gunanya lari. Namamu ada di
bagian paling atas dari daftar orang yang paling dicari oleh semua dinas rahasia.
Setengah dari semua pemerintahan di dunia sedang mencarimu."
"Kau percaya bahwa aku ini pengkhianat?"
Cesar menghela napas. "Tidak jadi soal apakah aku percaya atau tidak, Robert.
Ini bukan masalah pribadi. Aku hanya melaksanakan perintah."
"Untuk menangkapku."
"Kau bisa membuatnya lebih mudah dengan menyerahkan dirimu."
"Terima kasih, paesano'. Kalau aku perlu nasihat, aku akan menghubungi Dear
Abby." Ia membanting telepon itu.
Robert menyadari makin lama ia berkeliaran, makin besar bahaya yang
dihadapinya. Agen-agen rahasia dari setengah lusin negara akan mengepungnya.
Aku harus mencari pohon untuk berlindung, pikir Robert Ia pernah mendengar
cerita tentang seorang pemburu yang menceritakan pengalamannya ketika
bersafari. "Singa yang sangat besar itu sedang berlari ke arahku, dan semua anak
buah penembakku telah lari. Aku tidak memegang senjata, dan tak ada tempat
untuk bersembunyi. Sama sekali tidak ada semak-semak atau pohon di sekitar
situ, dan binatang itu sedang menuju ke arahku, semakin dekat dan semakin
dekat" "Bagaimana Anda bisa lolos?" seorang pendengar bertanya. "Aku berlari
ke pohon yang terdekat dan memanjatnya." "Tapi Anda bilang tadi di situ tidak
ada pohon." "Anda tidak mengerti. Harus ada pohon!" Dan aku harus
menemukannya, pikir Robert.
Ia melihat ke sekeliling piazza itu. Sudah sangat sepi pada jam-jam begini. Ia
memutuskan bahwa, sekaranglah waktunya berbicara dengan orang yang
memulai semua mimpi buruk ini, Jenderal Milliard. Tapi ia harus sangat hati-
hati. Pelacakan telepon dengan peralatan elektronik modern bisa sangat
orang kampung
cepat Robert melihat bahwa dua booth telepon di samping booth yang sedang
dipakainya kosong kedua-duanya. Bagus. Dengan mengabaikan nomor khusus
yang diberikan Jenderal Hilliard, ia memutar nomor umum NSA. Ketika
operatornya menjawab, Robert berkata, "Tolong kantor Jenderal Hilliard."
Tak lama kemudian, ia mendengar suara seorang sekretaris. "Kantor Jenderal
Hilliard."
Kata Robert, "Harap tunggu, ini telepon antar-negara." Ia menjatuhkan gagang
telepon dan bergegas ke booth sebelah. Dengan cepat diputarnya kembali nomor
itu. Seorang sekretaris lain menjawab, "Kantor Jenderal Hilliard."
"Harap tunggu, ini telepon antarnegara," kata Robert Ia membiarkan gagang
telepon menggantung, pergi ke booth yang ketiga, dan memutar lagi. Ketika
sekretaris yang lain lagi menjawab, Robert berkata, "Ini Letkol Bellamy. Saya
ingin bicara dengan Jenderal Hilliard."
Terdengar desah terkejut "Sebentar, Letnan." Sekretaris itu membunyikan
interkom. "Jenderal, Letkol Bellamy ada di saluran tiga."
Jenderal Hilliard menoleh ke Harrison Keller. "Bellamy ada di saluran tiga.
Lakukan pelacakan, cepat"
Harrison Keller bergegas menghampiri telepon di sebuah meja samping dan
menghubungi Pusat Operasi Jaringan* yang dijaga dan dimonitor dua
'Network Operations Center
puluh empat jam sehari. Pejabat senior yang bertugas menjawab. "NOG Adams."
"Berapa lama dibutuhkan untuk melakukan pelacakan darurat terhadap telepon
masuk?" Keller berbisik.
"Sekitar satu sampai dua menit."
"Lakukan sekarang. Kantor Jenderal Hilliard, saluran tiga. Akan saya tahan."* Ia
menoleh kepada sang Jenderal dan mengangguk.
Jenderal Hilliard menerima telepon itu.
"Letnan... Anda di situ?"
Di pusat operasi, Adams mengetikkan sebuah nomor ke dalam komputer. "Nah,
pelacakan dimulai," katanya.
"Saya pikir sudah waktunya Anda dan saya bicara, Jenderal."
"Saya gembira Anda menelepon, Letnan. Bagaimana kalau Anda datang ke sini
dan membicarakan masalahnya? Saya akan menyiapkan sebuah pesawat untuk
Anda, dan Anda akan tiba di sini dalam..."
"Tidak, terima kasih. Terlalu banyak kecelakaan terjadi dalam pesawat,
Jenderal."
Di ruang komunikasi, ESS—electronic switching system—telah diaktifkan.
Layar komputer mulai nampak terang. AX121-B... AX122-C... AX123-C...
"Apa yang terjadi?" Keller berbisik ke dalam telepon.
"Pusat Operasi Jaringan di New Jersey melacak Washington, D.C., saluran
induk, sir. Tahan dulu."
Layar itu jadi kosong. Lalu kata-kata Saluran Induk Luar Negeri Satu tertayang
di layar.
"Telepon itu berasal dari suatu tempat di Eropa. Kami sedang melacak
negerinya...."
Jenderal Hilliard berkata, "Letkol Bellamy, saya kira ada sedikit salah paham.
Saya punya usul..."
Robert meletakkan gagang telepon.
Jenderal Hilliard menoleh ke Keller. "Apa sudah ditemukan?"
Harrison Keller berbicara di telepon kepada Adams. "Apa yang terjadi?" "Kami
kehilangan dia."
Robert pergi ke booth yang kedua dan ^meng-angkat telepon.
Sekretaris Jenderal Hilliard berkata, "Letkol Bellamy menelepon di saluran dua."
Kedua orang itu saling berpandangan. Jenderal Hilliard menekan tombol untuk
saluran dua.
"Letnan?"
"Izinkan saya mengajukan usul," kata Robert.
Jenderal Hilliard menutupi gagang telepon dengan tangannya. "Lacak lagi."
Harrison Keller mengangkat telepon dan berkata kepada Adams, "Dia ada lagi.
Saluran dua. Cepat"
"Baik."
"Usul saya, Jenderal, yaitu Anda batalkan semua kegiatan anak buah Anda.
Sekarang juga."
"Saya rasa Anda salah menafsirkan situasinya, Letnan. Kita bisa menyelesaikan
masalah ini kalau..."
"Akan saya katakan bagaimana kita bisa menyelesaikannya. Ada perintah untuk
membunuh saya. Saya mau Anda membatalkannya."
Di Pusat Operasi Jaringan, layar komputer me nayangkan pesan baru: AX155-C
Saluran Induk Sekunder A21 dilacak Sirkuit 301 ke Roma. Saluran Induk 1
Atlantik.
"Kami telah menemukannya," Adams berkata lewat telepon. "Kami telah
melacak salurannya ke Roma."
"Dapatkan nomor dan lokasinya," kata Keller kepadanya.
Di Roma, Robert sedang mengamati arlojinya. "Anda memberikan tugas. Saya
telah melaksanakannya."
"Anda melaksanakannya dengan sangat baik, Letnan. Pendapat saya be..."
Hubungan terputus.
Sang Jenderal menoleh ke Keller. "Ia memutuskannya lagi." Keller berbicara di
telepon, "Bisa dilacak?" "Terlalu cepat, sir."
Robert pergi ke booth berikutnya dan mengangkat telepon.
Suara sekretaris Jenderal Hilliard terdengar lewat interkom. "Letkol Bellamy ada
di saluran satu, Jenderal."
Jenderal itu membentak, "Dapatkan bajingan ini!" Ia mengangkat telepon itu.
"Letnan?"
"Dengarkan, Jenderal, dan dengarkan baik-baik. Anda telah membunuh banyak
orang yang tidak bersalah. Kalau Anda tidak membatalkan kegiatan anak buah
Anda, saya akan pergi ke media massa
dan menceritakan kepada mereka apa yang sedang terjadi."
"Sebaiknya Anda tidak melakukan itu, kecuali Anda ingin menciptakan
kepanikan di seluruh dunia. Makhluk-makhluk asing itu benar-benar ada, dan
kita tak berdaya menghadapi mereka. Mereka sudah siap menyerang kita. Anda
tidak tahu apa yang akan terjadi'kalau ini sampai bocor."
"Anda juga tidak tahu," Bellamy menukas. "Saya tidak memberi Anda pilihan.
Batalkan kontrak untuk membunuh saya. Kalau masih ada usaha untuk
membunuh saya, saya akan mempublikasi-kan semua ini."
"Baiklah," kata Jenderal Hilliard. "Anda menang. Saya akan membatalkannya.
Bagaimana kalau begini? Kita bisa..."
"Pelacakan Anda pasti sudah ada hasilnya sekarang," kata Robert. "Selamat
siang."
Hubungan diputuskan.
"Bisa dilacak?" Keller membentak lewat telepon.
Adams berkata, "Hampir, sir. Dia menelepon dari sebuah kawasan di pusat kota
Roma. Ia terus-terusan mengubah nomornya."
Sang Jenderal menoleh ke arah Keller. "Well?"
"Maafkan saya, Jenderal. Yang kami tahu hanya bahwa dia berada di suatu
tempat di Roma. Anda percaya ancamannya itu? Apakah kita akan membatalkan
kontrak untuk membunuhnya?"
"Tidak. Kita akan menyingkirkan dia."
Robert menimbang-nimbang lagi pilihan yang
dipunyainya. Ternyata sangat sedikit Mereka akan mengawasi bandara-bandara,
stasiun-stasiun kereta api, terminal-terminal bus, dan persewaan-persewa-an
mobil. Ia tidak bisa mendaftar di hotel karena SIFAR akan menyebarkan
pengumuman peringatan. Padahal ia harus bisa keluar dari Roma. Ia
memerlukan penyamaran. Seorang pendamping. Mereka pasti tidak akan
mencari seorang pria dan seorang wanita yang pergi bersama. Ini satu
permulaan.
Sebuah taksi sedang menunggu di pojok jalan. Robert mengacak rambutnya,
menarik dasinya ke bawah, dan berjalan terhuyung-huyung ke arah taksi itu.
"Hei," ia berseru. "Kamu!"
Pengemudinya memandangnya dengan wajah kurang senang.
Robert mengeluarkan lembaran dua puluh dolar dan menamparkannya ke tangan
pengemudi itu. "Hei, buddy, aku ingin bersenang-senang. Kau tahu maksudnya?
Apa kau bicara bahasa Inggris?"
Pengemudi itu melihat ke uang kertas itu. "Anda ingin perempuan?"
"Betul, pai. Aku ingin perempuan."
"Andiamo—mari," kata pengemudi itu.
Robert menyusup ke dalam taksi, dan taksi itu berangkat Robert menoleh ke
belakang. Ia tidak sedang dikuntit Adrenalin mengalir deras di pemindah
darahnya. "Setengah dari semua pemerintah di dunia sedang mencari dirimu,*
Dan tidak ada ! peluang untuk minta keringanan. Perintahnya adalah membunuh
dia.
Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di Tor di Ounto, kawasan lampu
merah Roma, yang dihuni para mucikari dan wanita tuna susila. Mereka
meluncur melewati Passeggiata Archeologica, dan pengemudi itu berhenti di
sebuah sudut jalan. "Anda akan mendapatkan wanita di sini," katanya. "Terima
kasih, buddy." Robert membayar ongkos sesuai meternya dan turun dari taksi itu.
Taksi itu langsung melesat pergi diiringi derit ban, mengeluarkan bunyi
menggerit.
Robert melihat ke sekelilingnya, mengkaji lingkungannya. Tidak ada polisi. Ada
beberapa mobil dan segelintir pejalan kaki. Nampak lebih dari selusin pelacur
sedang menjelajahi jalanan. Dengan prinsip "Mari kita giring teman-teman lama
kita," polisi melakukan penggerebekan dua bulan sekali untuk memuaskan
tuntutan moralitas dan untuk memindahkan para pelacur kota dari Via Veneto—
kawasan yang terlalu terbuka—ke kawasan ini. Di sini mereka tidak akan
menyinggung perasaan wanita-wanita kaya terhormat yang sedang minum teh di
Donny's. Karena itulah, sebagian besar dari para wanita ini cukup menarik dan
berpakaian keren. Ada satu yang menarik perhatian Robert secara khusus.
Ia nampaknya berumur awal dua puluhan. Rambutnya panjang dan hitam, dan ia
mengenakan rok hitam dan blus putih yang" sedap dipandang, yang ditutup
dengan mantel bulu unta. Robert menduga bahwa ia pasti seorang aktris atau
model part-time. Ia sedang memandang kepada Robert.
Robert terhuyung di depannya. "Hai, baby," bergumam, "kau bicara bahasa
Inggris?" "Ya."
"Bagus. Mari kita bikin sedikit pesta."
Ia tersenyum dengan ragu-ragu. Orang mabui bisa membuat repot "Barangkali
Anda sebaikny; segarkan diri dulu." Ia berbicara dengan logat Italia yang halus.
"Hei, aku cukup sadar."
"Biayanya seratus dolar."
"Oke, honey.*
Ia menetapkan niatnya. "Va bene—baik. Mari. Ada hotel pas di ujung jalan itu."
"Bagus. Siapa namamu, baby?" "Pier."
"Aku Henry." Sebuah mobil polisi muncul di kejauhan, menuju ke arah mereka.
"Ayo, kita pergi dari sini."
Wanita-wanita yang lain memandang dengan iri kepada Pier dan pelanggan
Amerika-nya yang berlalu dari situ.
Hotel itu memang tidak seperti Hassler, tapi pemuda dengan wajah seperti germo
yang bertugas di meja di lantai bawah tidak menanyakan paspor. Ia malahan
hampir sama sekali tidak mengangkat wajahnya ketika ia memberikan kunci
kamar kepada Pier. "Lima puluh ribu lira."
Pier memandang Robert Robert mengeluarkan uang dari sakunya dan
memberikannya kepada pemuda itu.
Ruang yang mereka masuki berisi sebuah tem- 'j
pat tidur besar di sudut, sebuah meja kecil, dua kursi kayu, dan sebuah cermin di
atas wastafel. Ada juga sebuah rak pakaian di balik pintunya.
"Anda harus membayar di muka."
"Tentu." Robert menghitung seratus dolar.
"Grazie."
Pier mulai menanggalkan pakaiannya. Robert berjalan ke jendela. Ia
menyingkap sedikit tirainya dan mengintip ke luar. Semuanya nampak normal
saja. Ia berharap bahwa saat itu polisi sedang mengikuti truk merah itu kembali
ke Prancis. Robert menjatuhkan tirai itu dan membalikkan badannya. Pier sudah
telanjang. Tak disangka ternyata tubuhnya sangat indah. Payudara yang kencang,
pinggul yang penuh, pinggang yang ramping, dan kaki-kaki yang panjang.
Ia sedang mengawasi Robert. "Kau tidak akan menanggalkan pakaianmu,
Henry?"
Ini bagian yang sulit, "...terus terang saja," kata Robert, "aku rasa aku terlalu
banyak minum tadi. Aku tidak bisa melakukannya sekarang."
Pier mengamatinya dengan pandang menyelidik. "Jadi mengapa kau...?"
"Kalau aku tinggal di sini dan tidur supaya mabukku hilang, kita bisa bercinta
esok pagi."
Pier mengangkat bahu. "Aku harus bekerja. Itu berarti aku kehilangan..."
"Jangan kuatir. Aku akan menutupnya." Robert mengeluarkan beberapa lembar
ratusan dolar dan memberikannya kepada Pier. "Apakah itu cukup?" Pier melihat
ke uang itu dan membuat Jcepu-
383
tusan. Itu cukup menggoda. Di luar dingin, dan bisnis sedang payah. Di lain
pihak, ada sesuatu yang aneh dengan laki-laki ini. Pertama, yang jelas ia
sepertinya tidak mabuk. Cara berpakaiannya rapi, dan dengan uang sebanyak itu,
sebenarnya bisa saja ia membawanya ke hotel yang bagus. Well, pikir Pier,
peduli amat! Que s to cazzo se ne frega? "Baiklah. Hanya ada satu tempat tidur
untuk kita berdua." "Tidak apa-apa."
Pier menyaksikan ketika Robert menghampiri jendela lagi dan menyingkap
sedikit tirainya.
"Kau sedang mencari sesuatu?"
"Apa ada pintu belakang untuk keluar dari hotel?"
Aku terlibat dalam apa ini? Pier bertanya dalam hati. Sahabatnya baru saja
terbunuh karena bergaul dengan para penjabat. Pier biasa menganggap dirinya
cukup pintar menilai laki-laki, tapi yang satu ini sungguh membuatnya heran. Ia
tidak nampak seperti orang jahat, tapi toh... "Ya, ada," katanya.
Tiba-tiba ada suara jeritan, dan Robert memutar badannya.
*Dio! Diol Sono venuta tre volte!" Suara wanita yang berasal dari kamar sebelah
menembus dinding tipis itu.
"Apa itu?" Jantung Robert berdebar keras,.
Pier menyeringai. "Dia sedang bersenang-senang Katanya dia sudah mencapai
'itu' untuk ketiga kalinya."
Robert mendengar bunyi gemeretak per-per tempat tidur.
"Kau mau tidur?" Pier berdiri di situ, telanjang
dan tidak malu-malu, memandangnya. "Tentu." Robert duduk di tempat.tidur.
"Kau tidak akan melepas pakaianmu?" "Tidak."
"Terserah kau saja." Pier menghampiri tempat tidur dan berbaring di samping
Robert "Kuharap kau tidak mendengkur," kata Pier.
"Kau bisa mengatakannya kepadaku esok pagi."
Robert tidak mempunyai niat untuk tidur. Ia ingin memeriksa jalanan sepanjang
malam untuk memastikan bahwa mereka tidak datang ke hotel itu. Mereka pasti
akan sampai juga ke hotel kecil kelas tiga ini akhirnya, tapi itu akan makan
waktu. Terlalu banyak tempat yang harus mereka liput terlebih dulu. Ia terbaring
di situ, seluruh persendiannya terasa sakit, menutup matanya untuk beristirahat
sejenak. Ia tertidur. Ia merasa seakan sudah berada di rumahnya kembali, di
tempat tidurnya sendiri, dan ia merasakan tubuh Susan yang hangat berada di
sebelahnya. Ia sudah kembali, pikirnya senang. Ia telah kembali kepadaku. Baby,
aku begitu merindukanmu.
Hari Ketujuh Belas /'i
Roma, Italia
Robert dibangunkan oleh cahaya matahari yang menerpa wajahnya. Ia langsung
duduk tegak, melihat ke sekelilingnya dengan cemas, belum sadar
ia berada di mana. Ketika ia melihat Pier, ingatannya pulih kembali Ia bisa lebih
santai. Pier sedang di depan cermin, menyisir rambutnya.
'Buon giorno" katanya. "Kau tidak mendengkur."
Robert melihat arlojinya. Jam sembilan. Ia telah menyia-nyiakan waktu yang
berharga.
"Kau mau bercinta sekarang? Bukankah kau sudah membayar untuk itu?"
"Tidak apa-apa," kata Robert.
Pier, telanjang dan menggoda, berjalan menghampiri tempat tidur. "Sungguh?"
Aku tidak bisa walaupun seandainya aku mau, Manis. "Sungguh."
*Va bene." Pier mulai mengenakan pakaiannya. Ia bertanya sepintas lalu, "Siapa
Susan?"
Pertanyaan itu mengejutkan Robert "Susan? Apa yang membuatmu bertanya?"
"Kau mengigau dalam tidurmu."
la ingat mimpinya. Susan telah kembali kepadanya. Barangkali ini sebuah
pertanda. "Dia seorang teman." Dia istriku. Dia akan bosan kepada Moneybags
dan kembali kepadaku satu hari nanti. Itu kalau aku masih hidup.
Robert menghampiri jendela. Ia mengangkat Urainya dan melihat ke luar.
Jalanan penuh dengan pejalan kaki dan para pedagang yang mulai membuka
toko-tokonya. Tidak ada tanda-tanda mara bahaya.
Sudah waktunya untuk melaksanakan rencananya. Ia menoleh ke gadis itu. "Pier,
bagaimana kalau kau ikut bepergian sedikit bersama aku?"
Ia memandang Robert dengan curiga. "Bepergian—ke mana?"
"Aku harus ke Venesia untuk urusan bisnis, dan aku paling tidak senang
bepergian sendirian. Kau
suka Venesia?" "Ya...."
"Bagus. Aku akan membayarmu untuk waktumu, dan kita akan menikmati
sedikit liburan bersama." Robert menatap ke luar jendela lagi. "Aku tahu di sana
ada hotel yang bagus. Cipriani" Bertahun-tahun yang lalu ia dan Susan tinggal di
Royal Daniel i, dan ia pernah kembali lagi, tapi hotel itu sudah sangat merosot
pengelolaannya dan tempat tidurnya sangat kotor. Satu-satunya sisa kejayaan
hotel itu adalah Luciano, petugas yang melayani counter reception.
"Biayanya seribu dolar sehari." Tapi ia sebenarnya bersedia melakukannya untuk
lima ratus dolar.
"Baik," kata Robert. Ia menghitung dua ribu dolar. "Ini dulu."
Pier nampak ragu. Nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak* benar.
Tapi janji peranan figuran dalam sebuah film yang dinanti-nanti sampai saat ini
belum juga ada kabarnya, dan ia sangat membutuhkan uang. "Baiklah," katanya.
"Mari kita pergi."
Di lantai bawah, Pier melihat Robert mengamati jalanan dengan saksama
sebelum melangkah ke luar untuk memanggil taksi. Dia ini sedang dikejar-kejar
orang, pikir Pier. Aku tidak jadi ikut.
"Begini," kata Pier, "aku tidak yakin apakah aku jadi ikut ke Venesia denganmu.
Aku..."
"Kita akan senang sekali di sana," tukas Robert.
Tepat di seberang jalan terletak sebuah toko permata. Ia memegang tangan Pier.
"Ayo. Kau akan kuberi sesuatu yang bagus."
"Tapi..."
Ia menarik Pier menyeberangi jalan ke toko permata itu.
Petugas di balik counter berkata, "Buon giorno, signore. Boleh saya bantu?"
"Ya," kata Robert. "Kami mencari sesuatu yang bagus untuk nona ini." Ia
menoleh ke Pier. "Kau suka zamrud?"
"Aku... ya."
Robert berkata kepada petugas itu, "Anda punya gelang zamrud?"
"Si, signore. Saya punya sebuah gelang zamrud yang bagus." Ia menghampiri
sebuah lemari kaca dan mengeluarkan sebuah gelang. "Ini koleksi kami yang
terbagus. Harganya lima belas ribu dolar."
Robert melihat ke Pier. "Kau suka?"
Pier tak sanggup mengucapkan apa-apa. Ia mengangguk.
"Kami ambil itu," kata Robert Ia memberikan kartu kredit ONI-nya kepada sang
petugas.
"Mohon tunggu sebentar." Petugas itu menghilang ke ruang belakang Ketika ia
kembali lagi, ia berkata, "Perlu saya bungkus untuk Anda, atau...?"
"Tidak. Teman saya akan memakainya." Robert
mengenakan gelang itu ke pergelangan tangan
Pier. Pier mengamatinya, tertegun.
Robert berkata, "Itu akan nampak cantik di Venesia, ya?"
Pier mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Sangat."
Ketika mereka berada di jalan, Pier berkata, "Aku... aku tak tahu bagaimana
harus berterima
kasih kepadamu."
"Aku cuma ingin kau merasa senang," kata Robert. "Kau punya mobil?"
"Tidak. Tadinya aku punya satu mobil tua, tapi
dicuri orang." "SIM-mu masih ada?"
Pier memandangnya dengan terheran-heran. "Ya, tapi tanpa mobil, apa gunanya
SIM?"
"Kita lihat nanti. Mari kita pergi dari sini."
Ia memanggil taksi. "Tolong ke Via Po."
Pier duduk di taksi itu, berpikir tentang Robert. Mengapa ia begitu ingin
ditemani olehnya? Padahal ia bahkan tidak menyentuh dirinya. Bisa jadi dia...?
"Qui!" Robert berseru kepada pengemudinya. Mereka berada seratus yard dari
Agen Persewaan Mobil Maggiore.
"Kita turun di sini," kata Robert kepada Pier. Ia membayar pengemudi itu dan
menunggu sampai taksi itu sudah jauh. Ia memberikan setumpuk uang kertas
kepada Pier. "Aku ingin kau menyewa mobil untuk kita. Minta Fiat atau Alfa
Romeo. Bilang kita perlu itu untuk empat atau lima hari.
Uang ini cukup untuk uang mukanya. Sewa atas namamu. Aku akan
menunggumu di bar di seberang jalan."
Kurang dari delapan blok jauhnya dari situ, dua orang detektif tengah menanyai
pengemudi sebuah truk merah yang naas, yang berpelat nomor Prancis.
"Vous me faites chier. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana kartu sialan itu
bisa berada dalam bak truk saya," pengemudinya berteriak. "Seorang Italia gila
barangkali menaruhnya di situ."
Kedua detektif itu saling berpandangan. Salah seorang berkata, "Aku akan
menelepon dulu."
Francesco Cesar sedang duduk di belakang meja tulisnya, memikirkan tentang
perkembangan terakhir. Sebelumnya penugasan ini nampak begitu mudah.
"Anda tak akan sulit menemukannya. Kalau sudah tiba saatnya, kami akan
mengaktifkan alat pelacak itu, dan itu akan membawa Anda langsung
kepadanya." Ternyata mereka salah mengukur kemampuan Letkol Bellamy.
Kolonel Frank Johnson sedang duduk di kantor Jenderal Hilliard, perawakannya
yang besar itu memenuhi seluruh kursi.
"Setengah dari seluruh agen di Eropa sedang memburu dia," kata Jenderal
Hilliard. "Sejauh ini mereka belum mujur."
"Diperlukan lebih dari sekadar kemujuran," kata Kolonel Johnson. "Bellamy
agen yang andal."
"Kita tahu bahwa dia berada di Roma. Bajingan itu baru saja membeli sebuah
gelang seharga lima belas ribu dolar. Kita sudah berhasil- mengurungnya. Tak
ada jalan baginya untuk bisa keluar dari Italia. Kita tahu nama yang
digunakannya di paspornya—Arthur Butterfield."
Kolonel Johnson menggelengkan kepala. "Kalau saya tidak salah menilai
Bellamy, sampai sekarang kita belum tahu apa-apa mengenai nama apa
dipakainya. Satu-satunya hal yang dapat kita pastikan tentang Bellamy adalah
bahwa dia tidak akan melakukan apa-apa yang kita sangka akan dilakukannya.
Kita sedang memburu seseorang yang paling andal di bidang ini. Mungkin
malahan lebih dari itu. Seandainya masih ada tempat pelarian, Bellamy akan lari
ke sana. Seandainya masih ada tempat untuk sembunyi, dia akan sembunyi di
sana. Saya rasa alternatif yang terbaik bagi kita adalah membawanya keluar ke
tempat terbuka, mengasapinya supaya keluar. Saat ini, dialah yang
mengendalikan semua situasi. Kita harus merebut inisiatif itu darinya."
"Maksud Anda, mempublikasikannya? Membukanya kepada pers?" "Tepat
sekali."
Jenderal Hilliard mengerutkan bibirnya. "Itu akan sangat sensitif. Jangan sampai
kita mengumumkan diri kita sendiri."
«Kita tidak perlu sampai begitu. Kita akan me-
ngeluarkan pernyataan pers bahwa dia dicari k» rena menyelundupkan obat
terlarang. Dengan begitu kita bisa melibatkan Interpol dan semua korps
kepolisian di seluruh Eropa tanpa harus repot-repot lagi."
Jenderal Hilliard menimbang gagasan itu sesaat. "Saya suka itu."
"Bagus. Saya akan berangkat ke Roma," kata Kolonel Johnson. "Saya sendiri
yang akan memimpin perburuan itu."
Ketika Kolonel Frank Johnson kembali ke kantornya, ia tepekur. Ia sedang
melibatkan diri dalam suatu permainan yang berbahaya. Tak pelak lagi. Ia harus
menemukan Letkol Bellamy.
Bab Tiga Puluh Tujuh
Robert mendengarkan telepon itu berdering dan
berdering lagi. Saat itu jam enam pagi di Washington. Aku selalu
membangunkan orang tua itu dari tidurnya, pikir Robert
Sang Admiral menjawab setelah dering yang keenam. "Halo..."
"Admiral, saya..."
"Robert! Apa...?"
"Jangan berkata apa-apa. Telepon Anda barang-kali disadap. Saya hanya
sebentar saja. Saya hanya ingin mengatakan kepada Anda, jangan percaya apa
pun yang dikatakan mereka tentang diri saya. Saya ingin Anda mencoba mencari
tahu apa yang sedang terjadi. Barangkali saya akan memerlukan bantuan Anda
kelak."
"Tentu saja. Apa saja yang bisa kulakukan, Ro- . bert."
"Saya tahu."
"Aku akan menghubungimu nanti." Robert meletakkan gagang telepon. Tidak
akan cukup waktu untuk melacak. Ia melihat sebuah
Fiat biru berhenti di depan bar. Pier berada di belakang setir.
"Geser ke sana," kata Robert "Aku yang menyetir."
Pier memberinya tempat sementara ia menyusup masuk ke belakang setir.
"Apakah kita langsung ke Venesia?" tanya Pier.
"Uh-huh. Kita perlu singgah di beberapa tempat dulu.'' Sudah waktunya
membuat sedikit ulah di sana-sini. Ia membelokkan mobil ke Viale Rossini. Di
depan nampak Rossini Travel Service. Robert menghentikan mobilnya di pinggir
trotoar. "Aku akan kembali sebentar lagi."
Pier mengamatinya berjalan ke biro perjalanan itu. Aku bisa saja lari sekarang,
pikirnya, dan membawa uangnya, dan dia tidak akan bisa menemukan aku. Tapi
mobil ini disewa atas namaku. Cacchio!
Di dalam kantor biro itu, Robert menghampiri wanita yang bertugas di balik
counter.
"Selamat siang. Bisa saya bantu?"
"Ya. Saya Letkol Robert Bellamy. Saya bermaksud melakukan sedikit
perjalanan," kata Robert. "Saya ingin memesan tiket"
Ia tersenyum. "Itu tugas kami di sini, signore. Anda merencanakan pergi ke
mana?"
"Saya perlu tiket kelas satu ke Beijing, oneway."
Ia mencatat itu. "Dan kapan Anda ingin berangkat?"
"Hari Jumat ini."
"Baik." Ia menekan beberapa tombol pada komputer. "Ada flight dengan Air
China yang berangkat jam tujuh empat puluh Jumat malam."
"Itu bagus sekali."
Ia menekan beberapa tombol lagi. "Beres. Pemesanan Anda sudah dikonfirmasi.
Akan dibayar
tunai atau...?"
"Oh, saya belum selesai. Saya ingin memesan tiket kereta api ke Budapest."
"Dan untuk kapan itu, Letnan?"
"Senin depan."
"Atas nama siapa?"
"Sama."
Ia memandang Robert dengan aneh. "Anda terbang ke Beijing pada hari Jumat
dan..."
"Masih ada lagi," kata Robert dengan simpatik. "Saya pesan satu tiket one-way
ke Miami, Florida, untuk hari Minggu."
Sekarang ia terang-terangan menatap Robert "Signore, kalau ini cuma sekadar..."
Robert mengeluarkan kartu kredit ONI-nya dan memberikannya kepadanya.
"Saya bayar harga tiket-tiket itu dengan kartu ini."
la mengkajinya sebentar. "Maafkan saya." Ia masuk ke kantor belakang dan
muncul lagi setelah beberapa menit. "Tidak ada masalah sama sekali. Kami
sangat senang mengaturnya untuk Anda. An^ da ingin semua pesanan ini atas
satu nama saja?"
"Ya. Letkol Robert Bellamy."
"Baiklah."
Robert menyaksikan ketika ia menekan bebe-
rapa tombol lagi pada komputernya. Semenit kemudian, tiga tiket muncul. Ia
menyobeknya dari printer.
"Tolong masukkan tiket-tiket itu dalam amplop terpisah," kata Robert "Baik.
Anda ingin saya mengirimkannya ke...?" "Saya akan membawanya." "Si,
signore."
Robert menandatangani slip kartu kredit itu, dan sang petugas memberikan tanda
terimanya.
"Beres sudah. Semoga perjalanan... eh, perjalanan-perjalanan Anda
menyenangkan."
Robert menyeringai, "Terima kasih." Semenit kemudian ia sudah berada di
belakang setir lagi.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Pier.
"Kita tinggal singgah di beberapa tempat lagi," kata Robert
Pier melihatnya mengamati jalanan lagi dengan saksama sebelum menjalankan
mobil.
"Aku ingin kau melakukan sesuatu buatku," kata Robert
Nah, ini dia, pikir Pier. Dia akan minta aku melakukan sesuatu yang
menakutkan. "Apa itu?" ia bertanya.
Mereka sudah berhenti di depan Hotel Victoria. Robert memberikan salah satu
amplop tadi kepada Pier. "Aku ingin kau pergi ke resepsionis dan memesan
sebuah suite atas nama Letkol Robert Bellamy. Bilang padanya kau adalah
sekretarisnya dan bahwa dia akan datang sejam lagi, tapi bilang bahwa kau akan
ke atas untuk memeriksa suite
untuk memberikan persetujuan. Sesampai kau di dalamnya, tinggalkan amplop
ini di atas meja di
dalam kamar itu." la memandang Robert dengan heran. "Cuma
itu?" "Cuma itu."
Orang ini benar-benar tidak masuk akal. "Bene." Betapa inginnya ia mengetahui
apa yang sedang dilakukan orang Amerika gila ini. Dan siapa gerangan Letkol
Bellamy itu? Pier keluar dari mobil dan berjalan ke lobi hotel itu. Ia agak gugup.
Dalam perjalanan profesinya ta pernah beberapa kali diusir dari hotel-hotel kelas
satu. Tapi petugas di bagian penerimaan tamu menyapanya dengan sopan. "Bisa
saya bantu, signoraV
"Saya sekretaris Letkol Robert Bellamy. Saya diminta memesan sebuah suite
untuknya. Dia akan datang ke sini satu jam lagi." ^
Petugas itu memeriksa daftar kamar. "Kami kebetulan punya satu suite yang
sangat bagus yang masih kosong."
"Boleh saya lihat dulu?" tanya Pier.
"Tentu. Saya akan suruh orang mengantar Anda."
Seorang asisten manajer mengantarkan Pier ke atas. Mereka berjalan menuju
ruang duduk suite itu dan Pier memeriksa berkeliling. "Apakah ini cukup
memuaskan, signoraV
Pier sama sekali tidak bisa menilai. "Ya, ini cukup bagus." Ia mengeluarkan
amplop itu dari tasnya dan meletakkannya di atas meja kopi.
"Saya akan meninggalkan ini untuk Letkol Bellamy," katanya. "Bene.''
Pier tak dapat membendung rasa ingin tahunya. Ia membuka amplop itu. Di
dalamnya terdapat satu tiket one-way dengan tujuan Beijing atas nama Robert
Bellamy. Pier memasukkan tiket itu kembali ke dalam amplop, meninggalkannya
di atas meja, dan pergi ke lantai bawah.
Fiat biru itu diparkir di depan hotel.
"Ada masalah?" tanya Robert.
"Tidak."
"Hanya tinggal dua urusan lagi saja, lalu kita berangkat," kata Robert dengan
ceria.
Yang berikutnya adalah Hotel Valadier. Robert memberikan amplop lain kepada
Pier. "Aku ingin kau memesan suite di sini atas nama Letkol Robert Bellamy.
Bilang pada mereka dia akan check-in satu jam lagi. Lalu..."
"Kutinggalkan amplop ini di atas."
"Benar."
Kali ini, Pier berjalan masuk ke hotel itu dengan lebih percaya diri Bersikap
seperti wanita terhormat saja, pikirnya. Kita harus menyandang wibawa. Itulah
kunci dari semua hal.
Ada suite yang masih kosong di hotel itu.
"Saya ingin melihatnya dulu," kata Pier.
"Tentu saja, signora."
Seorang asisten manajer mengantarkan Pier ke lantai atas. "Ini salah satu suite
kami yang paling bagus." Memang sangat indah.
Pier berkata dengan angkuh, "Saya rasa ini cukup lumayan. Letkol Bellamy
orangnya sangat pemilih, tahu." Ia mengeluarkan amplop yang kedua itu dari
tasnya, membukanya, dan melihat isinya. Ternyata tiket kereta api ke Budapest
atas nama Letkol Robert Bellamy. Pier menatapnya dengan heran. Permainan
apa ini? Ia meninggalkan tiket itu di meja samping, tempat tidur.
Ketika Pier kembali ke mobil, Robert bertanya, "Bagaimana?"
"Beres."
"Yang terakhir sekarang." Kali ini hotelnya adalah Leonardo da Vinci. Robert
memberikan amplop yang ketiga kepada
Pier. "Aku ingin kau..." "Aku tahu."
Di dalam hotel itu, petugas berkata, "Ya, signora, kami punya suite yang bagus.
Tadi Anda bilang Letkol akan datang kapan?"
"Satu jam lagi. Saya ingin memeriksa suite-nya dulu apakah cukup memuaskan."
"Tentu, signora."
Ternyata suite itu lebih mewah dari dua suite yang dilihat Pier sebelumnya.
Asisten manajernya menunjukkan kepadanya kamar tidur yang sangat besar
dengan tempat tidur raksasa berkanopi di tengah ruangan. Sayang benar tidak
dipakai, pikir Pier. Dalam satu malam saja, aku bisa kaya di sini. Ia mengambil
amplop yang ketiga dan melihat isinya. Amplop itu berisi sebuah tiket pesawat
ke Miami, Florida. Pier meninggalkan amplop itu di tempat tidur.
Asisten manajer mengantarkan Pier kembali, ke ruang duduk. "Kami punya TV
berwarna," katanya. Ia menghampiri televisi itu dan menyalakannya. Foto
Robert sedang ditayangkan di layar. Si penyiar berkata, "...dan Interpol menduga
bahwa dia saat ini berada di Roma. Ia dicari karena akan diinterogasi
sehubungan dengan operasi penyelundupan obat terlarang. Saya Bernard Shaw
dari CNN News," Pier menatap ke layar, tertegun.
Asisten manajer mematikan televisi itu. "Apa semuanya sudah cocok?"
"Ya," kata Pier perlahan. Penyelundup obat terlarang!
"Kami menunggu kedatangan Letnan."
Ketika Pier sudah bergabung lagi dengan Robert di mobil di bawah, ia sudah
mempunyai penilaian yang berbeda tentang diri Robert.
"Sekarang kita siap berangkat" Robert tersenyum.
Di Hotel Victoria, seorang laki-laki yang mengenakan setelan jas hitam-hitam
sedang mengkaji daftar tamu hotel. Ia mendongakkan kepalanya ke petugas
administrasi. "Jam berapa Letkol Bellamy
check-in?"
"Dia belum datang. Sekretarisnya tadi memesan suite. Katanya dia akan datang
dalam waktu satu
jam."
Pria itu menoleh ke rekannya. "Kepung hotel
ini. Panggil bala bantuan. Aku akan menunggu di atas." la menoleh ke petugas
administrasi itu. "Buka suite itu."
Tiga menit kemudian, sang petugas membuka pintu kamar suite tersebut. Pria
berpakaian hitam itu masuk dengan mengendap-endap, pistol di tangan. Suite itu
kosong. Ia melihat amplop di atas meja dan memungutnya. Di bagian depannya
tertulis: "Letkol Robert Bellamy." Ia membuka amplop itu dan melihat isinya.
Beberapa saat kemudian ia menelepon markas besar SIFAR.
Francesco Cesar sedang berbincang dengan Kolonel Frank Johnson. Kolonel
Johnson mendarat di Bandara Leonardo da Vinci dua jam sebelumnya, tapi ia
tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
"Sepanjang yang kami tahu," kata Cesar, "Bellamy masih ada di Roma. Kami
mempunyai lebih dari tiga puluh laporan mengenai di mana dia berada."
"Ada yang sudah dicek?"
"Tidak."
Telepon berdering. "Ini Luigi, Kolonel," kata suara di telepon itu. "Kami sudah
menemukan dia. Saya berada di dalam suite-nya di Hotel Victoria. Saya
memegang tiket pesawatnya ke Beijing. Dia merencanakan untuk berangkat hari
Jumat ini."
Suara Cesar terdengar penuh gairah. "Bagus! Tetaplah di sana. Kami akan ke
sana segera/ Ia meletakkan gagang telepon dan menoleh ke Kolonel Johnson
"Saya kuatir perjalanan Anda ke sm,
sia-sia, Kolonel, Kami sudah mendapatkan di Dia mendaftar di Hotel Victoria.
Anak buah saya menemukan tiket pesawat atas namanya dengan tujuan Beijing
hari Jumat ini.
Kata Kolonel Johnson dengan ringan, "Bellamy mendaftar ke hotel atas
namanya sendiri?"
"Ya."
"Dan tiket pesawat itu juga atas namanya?" "Ya." Kolonel Cesar bangkit "Ayo
kita ke sana."
Kolonel Johnson menggelengkan kepala. "Jangan buang-buang waktu Anda."
"Apa?"
"Bellamy tidak akan pernah..."
Telepon berdering lagi. Cesar menyambarnya. Sebuah suara berkata, "Kolonel?
Ini Mario. Kami telah menemukan jejak Bellamy. Dia di Hotel Valadier. Dia
akan naik kereta api Senin ini ke Budapest. Apa tindakan kami sekarang?"
VUtu akan meneleponmu lagi nanti," kata Kolonel Cesar. Ia menatap Kolonel
Johnson. "Mereka menemukan tiket kereta api ke Budapest atas nama Bellamy.
Saya tidak mengerti apa..."
Telepon berdering lagi.
"Ya?" Suaranya lebih melengking daripada sebelumnya.
"Ini Bruno. Kami telah menemukan jejak Bellamy. Dia mendaftar di Hotel
Leonardo da Vinci. Dia merencanakan untuk berangkat hari Minggu ini ke
Miami. Apa yang harus saya...?"
"Balik dulu ke sini," Cesar menukas. Ia mem-
banting telepon itu. "Gila dia, permainan apa lagi
ini?"
Kolonel Johnson berkata dengan muram, "Ia berusaha supaya Anda membuang-
buang banyak
tenaga pelacak, bukan begitu?" "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Kita jebak bajingan itu."
Mereka meluncur di Via Cassia, dekat Olgiata, menuju ke arah utara ke Venesia.
Polisi pasti menjaga semua titik-titik keluar dari negeri Italia yang penting-
penting, tapi mereka pasti menyangka ia akan menuju ke barat, untuk pergi ke
Prancis atau Swiss. Dari Venesia, pikir Robert, aku akan naik hydrofoil ke
Trieste dan berusaha menyusup ke Austria. Setelah itu...
Suara Pier memutuskan permenungannya. "Aku lapar."
"Apa?"
"Kita belum sarapan dan belum makan siang."
"Sori," kata Robert. Ia terlalu tegang sehingga lupa makan. "Kita akan berhenti
di restoran pertama yang kita lewati."
Pier mengamatinya sementara ia mengemudi. Ia semakin lama semakin bingung.
Ia hidup dalam dunia mucikari dan maling—dan penyelundup obat terlarang.
Tapi orang ini bukan penjahat.
Mereka berhenti di kota berikutnya di depan sebuah trattoria kecil. Robert
membawa mobilnya ke lapangan parkir, kemudian mengajak Pier- turun dari
mobil.
Restoran itu penuh sesak oleh pelanggan, dan ramai oleh ocehan mereka dan
gemerincing piring. Robert menemukan meja dekat dinding dan mengambil
kursi yang menghadap ke pintu. Seorang waiter datang dan memberikan menu.
Robert sedang berpikir, Susan barangkali ada di kapalnya sekarang. Ini mungkin
kesempatan terakhir untuk berbicara dengan dia. "Lihat menunya." Robert
bangkit "Aku sebentar kembali."
Pier menyaksikannya menghampiri telepon umum dekat meja mereka. Robert
memasukkan koin ke lubangnya.
"Saya ingin berbicara dengan operator marinir di Gibraltar. Terima kasih."
Siapa yang dia telepon di Gibraltar? Pier bertanya-tanya. Apa itu tempat
persembunyiannya?
"Operator, tolong disambungkan ke yacht Ame-rika, Halycon, lepas pantai
Gibraltar. Whiskey Sugar 337. Terima kasih."
Beberapa menit berlalu sementara operator-operator saling berbicara dan
akhirnya teleponnya diterima.
Robert mendengar, suara Susan di telepon. "Susan..."
"Robert! Kau baik-baik saja?"
"Ya. Aku hanya ingin mengatakan padamu..."
"Aku tahu apa yang akan kaukatakan. Semua radio dan televisi menyiarkannya.
Mengapa Interpol memburumu?"
"Ceritanya panjang."
"Tidak apa-apa. Aku ingin tabu."
Robert ragu. "Ini masalah politik, Susan. Aku punya bukti-bukti yang ingin
dipendam oleh pemerintah beberapa negara. Karena itulah Interpol mengejarku."
Pier menyimak dengan saksama semua yang diucapkan Robert.
"Apa yang bisa kubantu?" tanya Susan.
"Tidak ada, honey. Aku hanya menelepon karena ingin mendengar suaramu
sekali lagi—kalau-kalau aku tidak berhasil lolos dari ini."
"Jangan bilang begitu." Suara Susan terdengar panik. "Boleh aku tahu kau di
negara mana?"
"Italja."
Hening sejenak. "Baiklah. Kami tidak jauh dari-mu. Kami dekat sekali dengan
pantai Gibraltar. Kami bisa menjemputmu ke tempat mana pun
yang kausebutkan." "Tidak, aku..."
"Dengarkan aku. Ini mungkin kesempatan terakhirmu untuk meloloskan diri."
"Aku tidak bisa membiarkanmu melakukan itu, Susan. Kau akan berada dalam
bahaya.*
Monte masuk ke ruang itu pas ketika itu diucapkan. "Biar aku bicara padanya."
"Sebentar, Robert, Monte ingin berbicara denganmu."
"Susan, aku belum..."
Suara Monte terdengar di saluran. "Robert, aku mengerti kau sedang dalam
kesulitan."
Jauh lebih gawat daripada sekadar kesulitan. "Boleh dikatakan begitu."
"Kami ingin membantumu. Mereka tidak akan mencarimu dalam sebuah yacht.
Bagaimana kalau kau kami jemput?"
"Terima kasih, Monte, kuhargai itu. Tapi aku tidak bisa menerimanya."
"Kurasa kau keliru dalam hal ini. Kau akan aman di sini."
Mengapa dia begitu ingin membantu? "Terima kasih saja. Biar kutanggung
risikonya. Aku ingin bicara dengan Susan lagi."
"Tentu." Monte Banks memberikan gagang telepon kepada Susan. "Bujuk dia
supaya mau," desaknya.
Susan berbicara melalui telepon. "Biarkan kami menolongmu."
"Kau sudah menolongku, Susan." Bicaranya terhenti sejenak. "Kau adalah
bagian terindah dari hidupku. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku akan selalu
mencintaimu." Ia tertawa kecil. "Meskipun selalu sekarang sudah tidak penting
lagi."
"Maukah kau menelepon lagi?"
"Kalau aku bisa."
"Berjanjilah."
"Baik. Aku janji."
Robert meletakkan telepon itu dengan pelan. Mengapa kulakukan ini
kepadanya? Mengapa kulakukan ini kepada diriku sendiri? Kau seorang tolol
yang sentimentil, Bellamy. Ia berjalan balik ke mejanya.
"Ayo kita makan," kata Robert. Mereka memesan.
"Aku mendengar percakapanmu. Polisi sedang
mencarimu, kan?"
Robert jadi tegang. Kurang hati-hati Dia akan menjadi masalah. "Hanya sedikit
kesalahpahaman.
Aku..."
"Jangan perlakukan aku seperti orang tolol. Aku ingin menolongmu."
Robert mengamatinya dengan waspada. "Mengapa kau ingin menolongku?"
Pier mencondongkan tubuhnya ke depan. "Karena kau sudah begitu bermurah
hati kepadaku. Dan aku benci polisi. Kau tidak tahu bagaimana rasanya berada
di jalanan, diburu-buru mereka, diperlakukan seperti sampah. Mereka
menangkapku karena tindakan asusila, tapi mereka membawaku ke ruang
belakang dan menggilir diriku. Mereka itu binatang. Aku akan melakukan apa
saja untuk membalas dendam. Apa saja. Aku bisa membantumu."
"Pier, tak ada yang bisa kau..."
"Di Venesia, polisi dengan mudah bisa menangkapmu. Kalau kau tinggal di hotel
mereka akan menemukanmu. Kalau kau mencoba naik kapal, mereka akan
menjebakmu. Tapi aku tahu suatu tempat di mana kau akan aman dari mereka.
Ibu dan saudara laki-lakiku tinggal di Napoli. Kita bisa tinggal di rumah mereka.
Polisi tidak akan pernah mencarimu ke sana."
Robert terdiam untuk sesaat, memikirkan itu. Apa yang dikatakan Pier masuk
akal juga. Rumah penduduk biasa jauh lebih aman daripada tempat
mana pun, dan Napoli adalah kota pelabuhan yang besar. Gampang sekali naik
kapal keluar dari sana. Ia ragu-ragu sebelum memberikan jawabannya. ia tidak
ingin membahayakan diri Pier.
"Pier, kalau polisi menemukan diriku, mereka diinstruksikan untuk
membunuhku. Kau akan dianggap sebagai pembantu kejahatan. Kau bisa
membahayakan dirimu sendiri."
"Gampang saja." Pier tersenyum. "Jangan sampai mereka menemukan dirimu."
Robert membalas senyumnya. Ia telah membuat keputusan. "Baiklah. Makanlah
dulu. Kita akan pergi ke Napoli."
Kolonel Frank Johnson berkata, "Anak buah. Anda tidak tahu ke mana dia
pergi?"
Francesco Cesar menghela napas. "Sekarang belum. Tapi ini hanya soal waktu
saja..."
"Kita tidak punya waktu. Sudah Anda cek di mana bekas istrinya berada?"
"Bekas istrinya? Belum. Saya tidak paham apa..."
"Kalau begitu Anda belum mengerjakan PR Anda," Kolonel Johnson menukas.
"Dia. menikah dengan seseorang bernama Monte Banks. Menurut saya Anda
sebaiknya menemukan mereka. Dan cepat"
Bab Tiga Puluh Delapan
Wanita itu berjalan tanpa arah di sepanjang boulevard yang lebar, tidak tahu akan
ke mana. Sudah berapa hari sejak terjadinya kecelakaan yang mengerikan itu? Ia
sudah tidak bisa menghitung lagi. Ia begitu capek sehingga sulit rasanya
berkonsentrasi. Ia sangat memerlukan air; bukan air ter-polusi yang biasa
diminum makhluk bumi, tapi air hujan yang segar dan jernih. Ia membutuhkan
cairan murni itu untuk memulihkan kembali inti hidupnya, untuk memperoleh
kekuatan agar dapat mencari kristal yang hilang itu. Ia sedang sekarat '
Ia terhuyung-huyung dan menabrak seorang pria.
"Hei! Lihat ke mana..." Salesman Amerika itu mengamatinya dengan saksama
dan tersenyum. "Halo. Bayangkan menabrak dirimu seperti ini!" Cantik bagai
boneka hidup.
"Ya, aku bisa membayangkannya."
"Kau dari mana, honey?"
"Matahari ketujuh dari kawasan Pleiades."
Ia tertawa. "Aku suka gadis yang punya selera humor. Kau mau ke mana?"
409
Graceful One menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tabu. Aku orang asing di
sini."
Wah, ada harapan, nih. "Sudah makan?"
"Belum. Aku tidak bisa makan makananmu."
Aneh juga cewek ini Tapi cakep sekali. "Di mana kau tinggal?"
"Aku tidak tinggal di mana-mana."
"Kau tidak tinggal di hotel?"
"Hotel?" Ia ingat sekarang. Kotak-kotak untuk orang-orang asing yang
bepergian. "Tidak. Aku harus menemukan tempat untuk tidur. Aku sangat lelah."
Senyum sang salesman bertambah lebar. "Well, Papa akan mengatur itu.
Bagaimana kalau kita pergi ke kamar hotelku saja? Aku punya tempat tidur yang
enak dan empuk di sana. Kau mau?"
"Oh, ya, mau sekali."
Ia tidak percaya ia bisa seberuntung itu. "Hebat!" Aku yakin dia pasti hebat di
atas jerami.
Gadis itu memandangnya dengan heran. "Tempat tidurmu terbuat dari jerami?"
Salesman itu terpana. "Apa? Bukan, bukan. Kau suka bercanda, ya?"
Ia hampir-hampir tidak mampu membuka matanya lagi. "Bisa kita pergi ke
tempat tidur sekarang?"
Sang salesman itu menggosok-gosokkan kedua tangannya. "Pasti! Hotelku dekat
sekali dari sini." la mengambil kunci kamarnya di counter, dan
mereka naik lift ke lantai atas. Ketika mereka tiba
di kamarnya, pria itu bertanya, "Kau mau minum
dulu sedikit?" Kita bersantai dulu.
Ia memang sangat menginginkannya, tapi bukan cairan yang biasa diminum
makhluk'bumi. "Tidak," katanya. "Mana tempat tidurnya?"
Ya Tuhan, dia benar-benar. sudah ngebet. "Di dalam sini, honey." Ia
mengantarkan gadis itu ke kamar tidur. "Sungguh kau tidak mau minum?"
"Sungguh."
Ia menjilat bibirnya. "Kalau begitu, bagaimana kalau kau... ehm... menanggalkan
pakaianmu?"
Graceful One mengangguk. Ini kebiasaan makhluk bumi. Ia melepaskan pakaian
yang dikenakannya. Ia tidak memakai apa-apa lagi di baliknya. Tubuhnya sangat
indah.
Pria itu mengamatinya dan berkata dengan gembira, "Ini adalah malam
keberuntunganku, honey. Kau juga." Aku akan memberikan kepadamu
kenikmatan yang belum pernah kaualami sebelumnya. Ia merenggut lepas
pakaiannya secepat mungkin dan melompat ke tempat tidur ke samping gadis
itu. "Nah!" katanya. "Aku akan tunjukkan kepadamu sesuatu yang hebat." Ia
memandang ke atas. "Sialan! Aku lupa mematikan lampu." Ia sudah akan turun
lagi.
"Tidak apa-apa," kata gadis itu dengan mengantuk. "Aku akan mematikannya."
Dan sang salesman menyaksikan lengan Graceful One memanjang melintasi
ruangan yang luas itu, dan jari-jarinya berubah menjadi sulur-sulur hijau,
meraba-raba tombol lampu itu serta mematikannya.
Pria itu sendirian bersamanya di dalam gelap. Ia menjerit
Bab Tiga Puluh Sembilan
Mereka meluncur dengan kecepatan tinggi di sepanjang Autostrada del Sole,
jalan raya menuju Napoli. Mereka berdiam diri sejak setengah jam yang lalu,
masing-masing asyik dengan permenungannya.
Pier-Iah yang memulai lebih dulu. "Berapa lama kau akan tinggal di rumah
ibuku?" ia bertanya.
"Tiga atau empat hari, kalau mereka tidak keberatan."
"Tidak ada masalah."
Robert tidak mempunyai niatan untuk tinggal di sana lebih dari satu malam, dua
paling banyak. Tapi ia merahasiakan rencananya itu. Begitu ia bisa mendapatkan
kapal yang aman, ia akan pergi meninggalkan Italia.
"Aku ingin sekali bertemu dengan keluargaku," kata Pier.
"Kau hanya punya satu saudara laki-laki?" "Ya. Cario. Dia lebih muda dariku."
"Ceritakan padaku tentang keluargamu, Pier." Ia mengangkat bahu. "Tak banyak
yang bisa
diceritakan. Ayahku bekerja di pelabuhan seumur hidupnya. Dia tertimpa mesin
derek dan tewas ketika aku berumur lima belas tahun. Ibuku sakit waktu itu, dan
aku harus menunjang hidupnya dan hidup Carlo. Aku kebetulan punya teman di
Studio Cinecitta, dan dia mencarikan peran-peran figuran untukku. Aku dibayar
sangat sedikit, dan aku harus tidur dengan asisten sutradaranya. Aku
memutuskan bahwa aku bisa mendapatkan lebih banyak uang di jalanan.
Sekarang ini aku melakukan kedua jenis pekerjaan itu bersama-sama." Tidak ada
nada mengasihani diri sendiri di dalam suaranya.
"Pier, kau yakin ibumu tidak keberatan kau membawa orang tak dikenal ke
rumah?"
"Aku yakin. Hubungan kami sangat dekat. Ibu akan senang melihatku. Apa kau
sangat mencintainya?"
Robert memandangnya dengan tak mengerti. "Ibumu?"
"Wanita yang kautelepon di restoran tadi—Susan."
"Apa yang membuatmu mengira bahwa aku
mencintainya?" "Nada suaramu itu. Siapa dia?" "Temanku."
"Dia sangat beruntung. Kalau saja ada orang yang menyayangi aku seperti itu...
Apakah Robert Bellamy nama aslimu?"
"Ya."
"Dan kau benar seorang letnan kolonel?"
Ini lebih sulit dijawab. "Sekarang aku tidak yakin, Pier," katanya. "Sebelumnya
memang."
"Bisa kauceritakan mengapa Interpol mencarimu?"
Ia berkata dengan hati-hati, "Lebih baik aku tidak mengatakan apa-apa
kepadamu. Berada bersamaku mi saja sudah cukup menyulitkan dirimu. Makin
sedikit yang kauketahui, makin baik."
"Baiklah, Robert"
Robert berpikir tentang situasi ganjil yang mempertemukan mereka berdua.
"Aku ingin menanyakan sesuatu. Seandainya kau tahu bahwa makhluk-makhluk
asing sedang mendarat di bumi kita ini dengan pesawat ruang angkasa, kau akan
merasa panik?"
Pier mengamati dia sejenak. "Kau sungguh-sungguh?" "Sangat."
Pier menggelengkan kepala. "Tidak. Kukira itu akan sangat mengasyikkan. Kau
percaya bahwa hal seperti itu benar-benar ada?" "Ada kemungkinan," katanya
hati-hati. Wajah Pier berbinar, "Masa? Apakah mereka punya... maksudku...
apakah bentuk tubuhnya seperti manusia?" Robert tertawa. "Aku tidak tahu."
"Apakah semua ini ada hubungannya dengan mengapa polisi mengejar-ngejar
dirimu?" "Tidak," kata Robert dengan cepat "Sama sekali
"Kalau kukatakan sesuatu padamu, kau mau
berjanji tidak akan marah kepadakftfr"^-' "Aku berjanji."
Ketika Pier berbicara, suaranya begitu pelan sehingga Robert hampir-hampir
tidak bisa mendengarnya. "Kukira aku jatuh cinta kepadamu."
"Pier..."
"Aku tahu. Aku memang bodoh. Tapi aku belum pernah mengucapkan itu
kepada siapa pun. Aku ingin kau tahu."
"Aku merasa tersanjung, Pier."
"Kau tidak menertawakan aku?"
"Tidak, sungguh." Robert melihat ke indikator bahan bakar. "Kita sebaiknya
mencari pompa bensin."
Mereka sampai ke sebuah pompa bensin lima belas menit kemudian. "Kita akan
mengisi bensin di sini," kata Robert.
"Baiklah." Pier tersenyum. "Aku bisa menelepon ibuku dan mengatakan bahwa
aku akan membawa seorang asing yang ganteng ke rumah."
Robert meluncurkan mobilnya ke pompa bensin itu dan berkata kepada
petugasnya, "II piano, per favor e.n
"Si, signore."
Pier beringsut mendekati Robert dan menciumnya di pipi. "Aku akan segera
kembali." Robert menyaksikan dia berjalan ke kantor dan
menukar uang kecil untuk menelepon. /a ^ benar cantik, pikirnya. Dan cerdas
pula. Aku h rus berhati-hati jangan sampai dia terkena. "
Di dalam kantor itu, Pier sedang memutar no. mor. Ia menoleh, tersenyum, dan
melambai kepada Robert Ketika operator menerimanya, Pier berkata,
"Sambungkan dengan Interpol. Subito—segera!"
Bab Empat Puluh
Sejak Pier melihat siaran berita tentang Robert Bellamy, ia tahu bahwa ia akan
jadi kaya. Kalau Interpol, angkatan kepolisian kriminal internasional, sedang
mencari Robert, pasti ada hadiah besar bagi orang yang menemukannya. Dan ia
satu-satunya yang tahu di mana Robert berada! Hadiahnya akan diberikan hanya
untuknya. Membujuk Robert untuk pergi ke Napoli, di mana ia bisa terus
mengawasinya, adalah satu gagasan cemerlang. • Suara seorang pria di telepon
berkata, "Interpol. Bisa saya bantu?"
Pier berdebar-debar. Ia memandang ke luar jendela untuk memastikan bahwa
Robert masih ada di pompa bensin itu. "Ya. Anda sedang mencari seseorang
yang bernama Letkol Robert Bellamy, ya?"
Hening sesaat. "Siapa yang menelepon?"
"Tidak penting. Benar Anda mencari dia atau tidak?"
"Saya harus mentransfer Anda ke orang lain. Mohon jangan ditutup dulu, ya?" Ia
menoleh kepada asistennya, "Segera lacak telepon ini. Pronto...'."
Tiga puluh detik kemudian, Pier berbicara dengan seorang pejabat senior. "Ya,
signora. Bisa saya bantu?"
Bukan begim, tolol. Aku yang akan bantu kamu. "Saya bersama Letkol Robert
Bellamy. Anda menginginkan dia atau tidak?"
"Tentu*saja, signora, kami sangat menginginkan dia. Anda bilang tadi Anda ada
bersamanya?"
"Betul. Dia bersama saya sekarang. Berapa nilainya bagi Anda?" .
"Anda berbicara tentang hadiah?" "Tentu saja saya berbicara tentang hadiah." Ia
memandang ke luar jendela lagi. Orang-orang goblok macam apa ini?
Pejabat itu memberi isyarat kepada asistennya untuk mempercepat pelacakan.
"Kami belum menetapkan nilainya saat ini, signora, jadi..." "Well, tetapkan
sekarang. Saya tergesa-gesa." "Berapa yang Anda harapkan?" »
"Saya tidak tahu." Pier berpikir sebentar. "Bagaimana kalau lima puluh ribu
dolar?"
"Lima puluh ribu dolar itu cukup tinggi. Kalau Anda mau mengatakan Anda ada
di mana, kami bisa datang dan merundingkan hal itu..."
Memang aku tolol?! "Tidak. Pokoknya Anda setuju membayar apa yang saya
minta atau..." Pier mengangkat wajahnya dan melihat Robert sedang mendekati
kantor itu. "Cepat! Ya atau tidak?"
"Baiklah, signora. Ya. Kami setuju membayar Anda...."
Robert masuk dan menghampirinya.
Pier cepat-cepat berkata, "Kami akan tiba di sana sekitar waktu makan malam,
Mama. Mama pasti menyukainya. Dia sangat baik. Baiklah. Sampai nanti.
Ciao.n
Pier meletakkan gagang telepon dan menoleh ke Robert. "Ibu sangat ingin
bertemu denganmu."
Di markas besar Interpol, pejabat senior itu berkata, "Apakah teleponnya sudah
dilacak?"
"Ya. Telepon itu berasal dari sebuah pompa bensin di Autostrada del Sole.
Kelihatannya mereka sedang menuju Napoli."
Kolonel Francesco Cesar dan Kolonel Frank Johnson sedang mengkaji sebuah
peta di dinding kantor Cesar.
"Napoli adalah sebuah kota besar," kata Kolonel Cesar. "Ada seribu tempat
sembunyi baginya."
"Bagaimana tentang wanita itu?"
"Kami tidak tahu siapa dia."
"Mengapa tidak kita cari tahu saja?" tanya Johnson.
Cesar memandangnya dengan heran. "Bagaimana?"
"Kalau Bellamy membutuhkan seorang teman wanita dalam keadaan tergesa-
gesa, untuk penyamarannya, apa yang akan dilakukannya?"
"Barangkali dia akan mengambil seorang pela- •
cur."
"Benar. Di mana kita mulai?" "Tor di Ounto."
Mereka naik mobil ke Passeggiata Archeologica dan mengamati para wanita
tuna susila "menjajakan" dagangannya. Di dalam mobil, bersama Kolonel Cesar
dan Kolonel Johnson, duduk Kapten Bellini, kepala polisi dari distrik yang
bersangkutan.
"Ini tidak akan mudah," kata Bellini. "Mereka memang saling bersaing, tapi jika
urusannya menyangkut polisi, mereka seperti saudara sedarah. Mereka tidak
akan bicara." "Kita lihat saja nanti," kata Kolonel Johnson. Bellini
memerintahkan pengemudi untuk berhenti di pinggir trotoar jalan, dan ketiga
pria itu turun dari mobil. Para pelacur itu mengamati mereka dengan waspada.
Bellini menghampiri salah seorang dari mereka. "Selamat sore, Maria.
Bagaimana bisnis?" "Akan lebih baik kalau Anda pergi." "Kami tidak akan
tinggal lama-lama. Aku cuma mau mengajukan satu pertanyaan. Kami sedang
mencari seorang Amerika yang mengambil salah satu dari kalian tadi malam.
Kami kira sekarang mereka sedang bepergian bersama. Kami ingin tahu siapa
gadis itu. Bisa kau membantu kami?" Ia menunjukkan foto Robert.
Sejumlah pelacur lain mengitarinya dan mendengarkan pembicaraan itu.
"Saya tidak bisa membantu Anda," kata Maria, "tapi saya tahu seseorang yang
bisa."
Bellini mengangguk dengan penuh harap. "Bagus. Siapa?-"
Maria menunjuk ke arah sebuah kios di seberang jalan. Papan merek di
etalasenya berbunyi: Peramal—Pembaca Garis Nasib. "Madam Lucia barangkali
bisa menolong Anda." Gadis-gadis itu tertawa dengan riang Kapten Bellini
menatap mereka dan berkata, "Jadi kalian ingin bercanda, ya? Well, kami akan
sedikit bercanda juga dan kalian akan sangat menyukainya; Kedua bapak ini
sangat ingin mengetahui nama gadis yang pergi dengan orang Amerika itu.
Kalau kalian tidak tahu siapa dia, aku anjurkan sebaiknya kalian tanya kepada
teman-teman kalian, .cari siapa yang tahu, dan kalau kalian sudah tahu
jawabnya, hubungi aku."
"Mengapa kami harus melakukannya?" salah seorang berkata, menentang.
"Kalian akan tahu mengapa." Satu jam kemudian, pelacur-pelacur kota Roma
dikepung. Mobil-mobil patroli menggerebek seluruh kota, mengangkut semua
wanita yang sedang bekerja di jalanan bersama dengan mucikari mereka.
Terdengar jeritan-jeritan protes.
"Anda tidak bisa melakukan ini... saya sudah membayar uang
perlindungan*polisi." "Saya sudah lima tahun bekerja begini...." "Saya sudah
melayani gratis Anda dan teman-teman Anda. Di mana rasa terima kasih
Anda?..."
"Buat apa uang perlindungan yang sudah saya bayar?..."
Keesokan harinya, jalan-jalan praktis kosong dari pelacur, dan penjara jadi
penuh.
Cesar dan Kolonel Johnson sedang duduk di kantor Kapten Bellini. "Akan sulit
untuk terus menahan mereka di dalam penjara," Kapten Bellini memperingatkan.
"Bisa saya tambahkan juga bahwa ini dampaknya buruk untuk kepariwisataan."
"Jangan kualir," kata Kolonel Johnson, "pasti ada yang akan buka mulut Terus
saja tekan."
Apa yang mereka harapkan terjadi sore hari mendekati senja. Sekretaris Kapten
Bellini berkata, "Ada seorang bernama Mr. Lorenzo ingin berjumpa dengan
Anda."
"Suruh dia masuk."
Mr. Lorenzo mengenakan setelan jas yang mahal dan cincin berlian pada tiga
jarinya. Mr. Lorenzo adalah seorang mucikari. "Apa yang bisa saya bantu?"
tanya Bellini. Lorenzo tersenyum. "Soalnya adalah apa yang bisa saya bantu,
Tuan-tuan. Beberapa rekan saya, memberitahu saya bahwa Anda sedang mencari
seorang gadis tertentu yang meninggalkan kota bersama seorang Amerika, dan
karena kami selalu bersedia bekerja sama dengan pihak yang berwajib, saya kira
saya bisa memberitahukan namanya."
Kolonel Johnson berkata, "Siapa dia?"
Lorenzo mengabaikan pertanyaan itu. "Karena itu, saya yakin Anda akan
memberikan penghargaan Anda dengan melepaskan rekan-rekan saya bersama
kawan-kawan mereka."
Kolonel Cesar berkata, "Kami tidak tertarik pada pelacur-pelacurmu itu. Yang
kami inginkan hanyalah nama gadis itu."
"Itu kabar yang "sangat menggembirakan, sir. Kami selalu senang berurusan
dengan orang-orang yang penuh pengertian. Saya tahu bahwa..."
"Namanya, Lorenzo."
"Ya, tentu. Namanya Pier. Pier Valli. Orang Amerika itu menginap semalam
dengannya di Hotel LTncrocio, dan keesokan paginya mereka berangkat. Ia
bukan anak buah saya. Kalau boleh saya katakan..."
Bellini sudah menelepon. "Bawa data-data Pier Valli. Subitor
"Saya harap tuan-tuan akan menunjukkan penghargaan Anda dengan..."
Bellini mengangkat wajahnya, lalu berkata di telepon, "Dan batalkan Operasi
Puttana."
Wajah Lorenzo jadi cerah. "Grazie."
Data-data Pier Valli sudah berada di meja Bellini lima menit kemudian. "Dia
mulai menjadi pelacur jalanan ketika berumur lima belas tahun. Dia pernah
ditangkap selusin kali sejak itu. Dia..."
"Dari mana asalnya?" Kolonel Johnson menyela.
"Napoli." Kedua pria itu saling berpandangan. "Ia mempunyai ibu dan saudara
laki-laki yang tinggal di sana."
"Bisa Anda cari tahu di mana?".
"Saya akan mengeceknya."
"Lakukan itu. Sekarang."
Bab Empat Puluh Satu
Mereka hampir tiba di pinggiran kota Napoli. Bangunan-bangunan apartemen
tua berderet-deret di sepanjang jalanan yang sempit, dengan jemuran yang
melambai-lambai dari hampir setiap jendela, membuat bangunan-bangunan itu
nampak seperti bukit-bukit beton yang melambaikan bendera-bendera warna-
warni.
Pier bertanya, "Kau sudah pernah ke Napoli?"
"Sekali." Suara Robert terdengar kaku. Susan duduk di sampingnya, tertawa
cekikikan. Aku dengar Napoli itu kota mesum. Apa bisa kita melakukan hal-hal
yang mesum di sini darling?
Kita akan menemukan beberapa hal baru, Robert berjanji
Pier sedang memandang kepadanya. "Kau tidak apa-apa?"
Robert mengembalikan pikirannya ke saat seka rang "Aku tidak apa-apa."
Mereka meluncur di sepanjang lengkung pela buhan, yang dibentuk oleh Castei
dell'Ovo, istana kuno dan kosong di tepi pantai.
; tana
Ketika tiba di Via Toledo, Pier berkata dengan
bersemangat, "Belok di sini."
Mereka sampai di Spaccanapoli, kawasan kota lama dari Napoli.
Pier berkata, "Terus sedikit lagi. Belok ke kiri •ke Via Benedetto Croce."
Robert membelok. Lalu lintas di sini lebih ramai, dan bunyi klakson mobil
memekakkan telinga. Ia sudah lupa betapa bisingnya Napoli. Ia mengurangi laju
mobilnya supaya tidak menabrak para pejalan kaki dan anjing-anjing yang
berlari di depan mobil seakan mereka memiliki dua nyawa.
"Di sini belok kanan," Pier mengarahkan, "masuk ke Piazza del Plebiscite" Lalu
lintas lebih parah lagi di sini, dan lingkungannya lebih usang.
"Stop!" Pier berseru.
Robert menghentikan mobil ke pinggir. Mereka berhenti di depan sederet toko
kumuh.
Robert memandang ke sekelilingnya. "Ibumu tinggal di sini?"
"tidak," kata Pier. "Tentu saja tidak." Ia melongok ke luar dan menekan klakson.
Sesaat kemudian, seorang wanita muda keluar dari salah satu toko itu. Pier
keluar dari mobil dan berlari-lari untuk menyambutnya. Mereka berpelukan.
"Kau nampak hebat!" wanita itu berseru. "Pasti enak hidupmu sekarang."
"Memang." Pier mengacungkan pergelangan tangannya. "Lihat gelangku yang
baru ini!" "Apa zamrud asli itu?"
"Tentu saja asli."
Wanita itu berteriak kepada seseorang di dalam toko. "Anna! Mari ke luar. Lihat
siapa ini!"
Robert menyaksikan semua adegan itu, tidak percaya dengan apa yang
disaksikannya. "Pier..."
"Sebentar, darling," katanya. "Aku harus bilang halo kepada teman-temanku."
Dalam beberapa menit setengah lusin wanita sudah mengerumuni Pier,
mengagumi gelangnya, sementara Robert duduk di situ dengan tak berdaya,
menggertakkan giginya.
"Dia sangat mencintaiku," Pier menyatakan. Ia menoleh ke Robert "Ya tidak,
caroV
Robert rasanya ingin mencekik dia, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. "Ya,"
katanya. "Bisa kita pergi sekarang, Pier?" "Sebentar."
"Sekarang!" kata Robert
"Oh, baiklah." Pier menoleh kepada wanita-wanita itu. "Kami harus pergi
sekarang. Ada janji penting. Ciao!"
"Ciaor
Pier naik ke mobil di sebelah Robert, dan para wanita itu berdiri di sana
menyaksikan mereka berlalu.
Pier berkata dengan gembira, "Mereka semua teman lama." "Bagus. Di mana
rumah ibumu?" "Oh, dia tidak tinggal di dalam kota." "Apa?"
"Dia tinggal di luar kota di sebuah rumah pertanian kecil, setengah jam dari
sini."
Rumah pertanian itu terletak di daerah pinggiran Napoli bagian selatan, sebuah
bangunan tua dari batu agak jauh dari jalanan.
"Itu dia!" Pier berseru. "Bagus sekali, ya?"
"Ya." Robert senang melihat rumah itu ternyata jauh dari pusat kota. Tidak
mungkin ada orang yang akan mencarinya ke sini. Pier benar. Ini merupakan
tempat persembunyian yang sempurna.
Mereka berjalan ke pintu depan, dan sebelum mereka sampai ke situ, pintu
terbuka lebar dan ibu Pier berdiri di situ tersenyum kepada mereka. Dia amat
mirip dengan putrinya, hanya lebih tua, kurus dan beruban, dengan wajah keriput
yang mencerminkan penderitaan hidup.
"Pier, caral Mi sei mancata!"
"Aku juga rindu padamu, Mama. Ini teman yang di telepon tadi aku bilang akan
kubawa ke rumah."
Mama cepat menangkap maksud Pier. "Ah? Si, selamat datang Mr....?"
"Jones," kata Robert.
"Silakan masuk, silakan."
Mereka masuk ke ruang duduk. Ruang itu besar, nyaman, dan hangat, penuh
dengan perabotan.
Seorang pemuda berumur awal dua puluhan memasuki ruangan. Ia. pendek dan
berkulit gelap, dengan wajah yang cekung dan cemberut serta mata coklat yang
seakan tepekur. Ia mengenakan
jeans dan jaket bertuliskan D ia vol i Rossi. Wajahnya berbinar ketika melihat
kakak perempuannya. "Pier!"
"Halo, Carlo." Mereka berpelukan.
"Kau sedang apa di sini?"
"Kami datang berkunjung untuk beberapa hari." Ia menoleh ke Robert "Ini
adikku, Carlo. Carlo, ini Mr. Jones."
"Halo, Carlo."
Carlo mengamati Robert dengan saksama. "Halo."
Kata Mama, "Aku siapkan kamar tidur yang nyaman untuk sepasang merpati ini
di belakang."
Robert berkata, "Kalau Anda tidak keberatan— maksud saya, kalau Anda punya
kamar tidur ekstra, saya lebih senang tidur sendiri."
Semua diam. Ketiganya memandangi Robert.
Mama menoleh kepada Pier. "Omosessuale?"
Via mengangkat bahu. Aku tidak tahu. Tapi ia yakin Robert bukan seorang
homoseksual. ,
Mama mengalihkan pandang kepada Robert "Terserah Anda saja." Ia memeluk
Pier lagi. "Aku senang sekali melihatmu. Ayo kita ke dapur. Aku akan membuat
kopi buat kita semua."
Di dapur, Mama berseru, "Benissimo—hebat! Bagaimana kau bertemu
dengannya? Dia kelihatan sangat kaya. Dan gelangmu itu. Pasti harganya sangat
mahal. Astaga! Malam ini aku akan memasak santap malam yang enak. Aku
akan mengundang semua tetangga supaya mereka bisa bertemu
dengan..." sMba?'
"Tidak, Mama. Jangan lakukan itu."
"Tapi, cara, kenapa tidak kita beritakan kabar keberuntunganmu ini? Semua
teman kita akan senang sekali."
"Mama, Mr. Jones hanya ingin beristirahat beberapa hari. Tak ada pesta. Tak ada
tetangga."
Mama menghela napas. "Baiklah. Terserah kau saja."
Akan kuatur supaya dia diambil jauh dari rumah, supaya Mama tidak terganggu.
Carlo juga sudah melihat gelang itu. "Gelang itu. Zamrud asli, ya? Anda yang
membelikannya untuk kakak saya?"
Ada sesuatu dalam sikap pemuda ini yang tidak disukai Robert. "Tanyakan
kepadanya saja.*
Pier dan Mama keluar dari dapur. Mama melihat ke Robert. "Sungguh Anda
tidak ingin tidur dengan Pier?"
Robert merasa malu. "Terima kasih. Tidak."
Kata Pier, "Kutunjukkan kamar tidurmu." Ia mengantarkan Robert ke bagian
belakang rumah, ke sebuah kamar tidur yang besar dan nyaman dengan tempat
tidur besar di tengah-tengahnya.
"Robert, apa kau takut Mama akan berpikir yang bukan-bukan kalau kita tidur
bersama? Ia tahu pekerjaanku."
"Bukan itu," sahut Robert. "Soalnya..." Sulit baginya memberikan penjelasan.
"Maafkan aku, aku..." Suara Pier bernada dingin. "Tidak apa-apa. Ia merasa
tersinggung tanpa sebab. Dua kali
Robert menolak tidur dengannya. Tidak salah kalau kuserahkan dia kepada
polisi, pikirnya. Tapi oh... ia merasa ada semacam perasaan bersalah yang
menggelitik di benaknya. Robert benar-benar orang baik. Tapi lima puluh ribu
dolar adalah lima puluh ribu dolar.
Ketika makan malam bersama, Mama terus berceloteh, tapi Pier, Robert, dan
Carlo diam saja dan asyik dengan pikiran masing-masing.
Robert sedang sibuk memikirkan rencananya untuk meloloskan diri. Besok pagi,
pikirnya, aku akan pergi ke pelabuhan dan mencari kapal untuk keluar dari sini
Pier sedang mereka-reka maksudnya untuk menelepon Interpol Aku akan
menelepon dari kota, sehingga polisi tidak bisa melacak ke sini
Carlo sedang mempelajari orang asing yang dibawa kakaknya ke rumah. Dia
pasti gampang digarap.
Setelah santap malam selesai, kedua wanita itu pergi ke dapur. Robert sendirian
dengan Carlo.
"Anda laki-laki pertama yang dibawa kakak saya ke sini," kata Carlo. "Dia pasti
sangat menyukai Anda."
"Saya sangat menyukainya."' j\ J
"Masa? Apakah Anda akan tnenjaganya7" "Saya rasa kakak Anda bisa menjaga
dirinya sendiri,"
Carlo menyeringai. "Yeah. Saya tahu." Orang *nya ini berpakaian
keren dan jelas sangat kaya. Mengapa dia mau tinggal di sini padahal ia bisa
tinggal di hotel mewah? Satu-satunya alasan yang bisa dipikirkan Carlo adalah
bahwa orang ini sedang bersembunyi. Dan itu membawanya ke suatu pemikiran
yang menarik. Kalau seorang kaya bersembunyi, maka dengan suatu cara,'entah
bagaimana, pasti ada uang yang bisa digali dari situasi ini. "Dari mana asal
Anda?" tanya Carlo. "Tidak dari suatu tempat tertentu," kata Robert dengan
simpatik. "Saya banyak bepergian."
Carlo mengangguk. "Begitu." Aku akan tanyakan kepada Pier dia ini siapa.
Seseorang mungkin mau membayar mahal untuknya, dan Pier dan aku bisa
membagi hasilnya.
"Anda bergerak dalam bidang bisnis?" tanya Carlo. "Sudah berhenti."
Tidak akan sulit membuat orang ini bicara, demikian Carlo memutuskan. Lucea,
pimpinan Dia-voli Rossi, akan bisa membuka mulutnya dalam sekejap.
"Berapa lama Anda akan tinggal bersama kami?"
"Sulit dikatakan." Rasa ingin tahu pemuda itu mulai membuat Robert kesal.
Pier dan ibunya keluar dari dapur.
"Anda mau kopi lagi?" tanya Mama.
"Tidak, terima kasih. Santap malamnya tadi enak sekali."
Mama tersenyum- "Ku bukan apa-apa. Besok saya akan menyiapkan pesta buat
Anda."
"Bagus." Ia sudah akan pergi saat itu. Ia bang. kit "Kalau Anda tidak keberatan,
saya agak lelah Saya ingin masuk dulu."
"Tentu saja," kata Mama. "Selamat malam."
"Selamat malam."
Mereka mengawasi Robert ketika ia berjalan menuju kamar tidur.
Carlo menyeringai. "Dia menganggapmu tak cukup baik untuk tidur dengannya,
eh?"
Komentar itu menyengat perasaan Pier sesuai tujuannya. Ia tidak akan
tersinggung seandainya Robert seorang homoseksual, tapi ia pernah mendengar
ia berbicara dengan Susan, dan ia tahu bahwa Robert bukan homoseksual. Akan
kutunjukkan kepadanya.
Robert berbaring di tempat tidur memikirkan tentang langkahnya setelah ini.
Menciptakan jejak palsu dengan alat pelacak yang disembunyikan dalam kartu
kredit itu memang bisa mengulur sedikit waktu, tapi ia tidak mau
menggantungkan diri terlalu banyak padanya. Mereka barangkali sudah
menangkap truk merah itu. Orang-orang yang mengejarnya itu kejam dan pintar.
Apakah kepala-kepala negara ikut terlibat dalam operasi rahasia besar-besaran
ini? Robert bertanya-tanya. Ataukah ini sebuah organisasi dalam organisasi,
suatu komplotan rahasia dalam masyarakat intelijen yang bertindak sendiri
secara tidak sah? Semakin dipikirkannya, semakin besar kemungkinannya
bahwa kepala-kepala negara tidak tahu-menahu akan semua yang sedang terjadi
ini. Dan sebuah gagasan
terlintas di benaknya. Sudah lama ia merasa aneh bahwa Admiral Whittaker tiba-
tiba dipensiunkan dari ONl" dan dipindahkan ke sebuah pos yang terpencil. Tapi
kalau seseorang memaksanya turun karena mereka tahu bahwa ia tidak akan
pernah mau bergabung dalam komplotan itu, maka semuanya jadi masuk akal.
Aku harus menghubungi Admiral, pikir Robert. Ia satu-satunya orang yang bisa
dipercaya untuk menyingkapkan kebenaran sehubungan dengan semua yang
sedang terjadi ini. Besok, pikirnya. Besok. Ia menutup mata dan tidur.
Bunyi derik pintu kamar tidur membangunkannya. Ia bangkit dan duduk di
tempat tidur, langsung terjaga penuh. Seseorang sedang bergerak mendekati
tempat tidur. Robert bersiaga, siap untuk melompat Ia mencium bau parfum Pier
dan merasakan Pier menyusup ke tempat tidur di sebelahnya. "Pier... Apa yang
kau...?" "Ssh." Tubuhnya menempel di tubuh Robert Telanjang. "Aku kesepian,"
ia berbisik. Ia beringsut mendekati Robert.
"Maafkan aku, Pier, aku... aku tidak bisa melakukan apa-apa terhadapmu."
Kata Pier, "Tidak? Kalau begitu biarkan aku yang melakukan sesuatu
terhadapmu." Suaranya terdengar lembut.
"Percuma. Kau tak akan bisa." Robert merasakan kekecewaan yang pahit Ia
ingin jangan sampai terjadi hal yang memalukan di antara mereka berdua.
"Kau tidak menyukaiku, Robert? Tidakkah kau berpendapat bahwa tubuhku
bagus?"
"Ya." Dan memang benar. Robert merasakan hangatnya tubuh Pier yang semakin
merapat
Pier mengusap-usap Robert dengan sangat lembut, memainkan jari-jarinya di
dadanya, ke atas, ke bawah.
Ia harus menghentikannya sebelum terjadi "musibah" memalukan seperti yang
sudah-sudah. "Pier, aku tidak bisa bercinta. Aku tidak bisa lagi bermesraan
dengan wanita sejak... lama."
"Kau tidak perlu melakukan apa-apa, Robert," katanya. "Aku hanya ingin
bermain-main. Kau senang kumain-mainkan?"
Robert tidak bisa merasakan apa-apa. Susan yang bikin aku jadi begini! Susan
pergi bukan hanya membawa dirinya pergi sendiri, tapi juga sebagian
kejantanannya.
Pier sudah semakin ke bawah sekarang. "Ber-balik," katanya.
"Percuma saja, Pier. Aku..." Pier membalikkan tubuh Robert, dan Robert
terbaring di situ menyesali Susan, menyesali ketidakmampuannya sebagai laki-
laki. Ia bisa merasakan lidah Pier bergerak di sepanjang punggungnya, berputar-
putar membuat lingkaran-lingkaran kecil, ke bawah dan semakin ke bawah.
Jemarinya dengan lembut menggelitik kulit tubuhnya. "Pier..." "Sah."
Robert merasakan lidah Pier membuat gerak
spiral, semakin lama semakin... Ia mulai terangsang, digerakkannya tubuhnya.
"Pier-/
"Ssh. Jangan bergerak."
Lidahnya terasa lembut dan hangat, dan Robert bisa merasakan payudaranya
menyentuh kulit tubuhnya. Denyut nadinya mulai bertambah cepat Ya, pikirnya.
Ya! Oh, ya! Hasratnya mulai tergugah dan mengeras seperti batu, dan ketika ia
sudah tidak kuasa menahannya lagi, ia menyambar tubuh Pier dan
membalikkannya.
Pier merasakan sebuah sentuhan dan terengah, "My God, bukan main kau ini.
Aku ingin kau..."
Sesaat kemudian Robert sudah berada di dalam Pier, kemudian lagi dan lagi, dan
ia merasa seakan telah dilahirkan kembali. Pier sangat mahir dan sangat liar, dan
Robert terlena dalam kelembutan beludru yang membius sukma. Tiga kali
mereka bercinta malam itu. Akhirnya, mereka tertidur. .
Hari Kedelapan Belas Napoli, Italia
Keesokan paginya, saat cahaya pucat menerobos melalui jendela, Robert
terbangun. Ia memeluk Pier erat-erat dan berbisik, "Terima kasih."
Pier tersenyum nakal. "Bagaimana perasaanmu?"
"Luar biasa," kata Robert Dan memang benar begitu.
Pier merapatkan tubuhnya. "Kau binatang!"
Robert menyeringai. "Kau telah memuaskan egoku," katanya.
Pier duduk tegak dan berkata dengan serius, "Kau bukan penyelundup obat bius,
lean?"
Itu pertanyaan yang sungguh naif. "Bukan."
"Tapi Interpol mencarimu."
Yang ini lebih kena. "Ya."
Wajah Pier berbinar. "Aku tahu! Kau seorang mata-mata!" Ia begitu bergairah
seperti kanak-kanak.
Robert tak sanggup menahan tawanya. "Apa iya?" Dan ia berpikir, Yang
bertekuk lutut di kaki wanita.».
"Akui saja," Pier bersikeras. "Kau mata-mata,
kan?"
"Ya," kata Robert serius. "Aku mata-mata." "Sudah kuduga!" Mata Pier
berbinar-binar. "Bisa kauceritakan padaku beberapa rahasia?" ! Rahasia apa?"
"Itu lho, kode-kode rahasia mata-mata—dan yang semacam itu. Aku senang
membaca novel-novel spy. Banyak sekali yang kubaca."
"O, ya?"
"Ya! Tapi itu kan cuma cerita bohongan. Kau tahu semua yang sebenarnya,
bukan? Seperti isyarat-isyarat yang dipakai oleh mata-mata. Apa kau
diperbolehkan untuk mengatakan kepadaku satu saja?"
Kata Robert dengan serius, "Well, seharusnya tidak, boleh, tapi kurasa kalau
cuma satu saja tidak apa-apa." Apa yang bisa kukatakan yang bisa
dipercayainya? "Ada satu trik kuno yang disebut
penutup jendela."
Pier terbelalak. "Trik kuno penutup jendela?"
"Ya." Robert menunjuk ke sebuah jendela di kamar tidur itu. "Kalau semuanya
beres, kita biarkan penutup itu terbuka. Tapi jika ada masalah, kita tarik penutup
itu ke bawah. Itu merupakan isyarat bagi rekan agen kita untuk pergi menjauh."
Pier berkata dengan bersemangat, "Hebat! Aku belum pernah .membacanya di
buku-buku."
"Tidak akan ada," kata Robert. "Itu sangat rahasia."
"Aku tidak akan mengatakannya kepada siapa pun," Pier berjanji. "Ada lagi?"
Ada lagi? Robert berpikir sesaat "Well, ada lagi yang disebut trik telepon."
Pier merapatkan tubuhnya. "Katakan padaku."
"Hm... katakan saja seorang rekan mata-mata meneleponmu untuk mencari tahu
apa semuanya beres. Ia ingin bicara dengan Pier. Kalau semuanya beres, kau
akan bilang, 'Ini Pier.' Tapi kalau ada masalah, kau akan bilang, 'Anda salah
sambung.*"
"Itu hebat!" Pier berseru.
Para instrukturku di Farm akan mendapat serangan jantung kalau mereka
mendengar omong kosong ini
"Bisa kaukatakan padaku yang lain lagi?" Pier bertanya.
Robert tertawa. "Kurasa untuk pagi ini cukup sekian dulu saja."
I
ft
I
"Baiklah." Pier menggosokkan tubuhnya ke tubuh Robert "Kau mau mandi?"
tanya Pier. "Mau."
Mereka saling membasuh tubuh dengan sabun di bawah dus air panas, dan
ketika Pier merenggangkan kaki-kaki Robert dan mulai membasuhnya, ia mulai
terangsang lagi.
Mereka bercinta di bawah dus.
Ketika Robert sedang berpakaian, Pier mengenakan jubah mandinya dan
berkata, "Aku akan mengecek sarapan pagi dulu."
Carlo sedang menunggu Pier di kamar makan.
"Ceritakan padaku tentang temanmu itu," katanya.
"Tentang apanya?"
"Di mana kau jumpa dia?"
"Di Roma."
"Pasti dia sangat kaya bisa membelikan gelang zamrud itu untukmu."
Ia mengangkat bahu. "Dia suka padaku."
Carlo berkata, "Kau tahu apa yang kupikirkan? Kukira temanmu itu sedang lari
dari sesuatu. Kalau kita laporkan kepada pihak yang berwenang, pasti ada hadiah
besar antuk itu."
Pier menghampiri adiknya itu dengan .mata bernyala-nyala. "Jangan ikut
campur, Carlo."
"Jadi benar, dia memang sedang lari."
"Dengar, kau piscialetto kecil, kuperingatkan kau—urus urusanmu sendiri." Pier
tidak ingin membagi hadiah itu dengan orang lain.
Carlo berkata dengan marah, "Kakakku yang
baik, kau ingin semuanya untukmu sendiri." "Tidak. Kau tidak mengerti, Carlo."
"O, ya?"
Pier berkata dengan serius, "Kukatakan yang sebenarnya. Mr. Jones sedang
melarikan diri dari istrinya. Istrinya itu menyewa detektif untuk mencarinya.
Cuma itu saja masalahnya."
Carlo tersenyum. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi? Kalau begitu tidak ada
apa-apanya dia, aku tidak akan mempersoalkannya lagi."
"Bagus," kata Pier.
Dan Carlo berpikir, Aku harus mencari tahu
siapa dia itu sebenarnya.
Janus sedang berbicara di telepon. "Sudah dapat berita lagi?"
"Kami tahu bahwa Letkol Bellamy berada di Napoli."
"Data-data sudah diperoleh tentang itu?"
"Ya. Mereka sedang mencarinya sekarang. Kami punya petunjuk. Dia bepergian
dengan seorang pelacur yang mempunyai keluarga di Napoli. Kami rasa mereka
mungkin ke sana. Kami akan melanjutkan pelacakan ke sana."
"Hubungi saya terus."
Di Napoli, Biro Perumahan Kota Madia sedang sibuk melacak rumah ibu Pier
ValJi. Selusin agen keamanan dan korps kepolisian
kota Napoli sedang mengacak-acak kota 'h menemukan Robert u u«hik
Carlo asyik dengan rencananya terhadap R Pier bersiap-siap menelepon Interpol
lagi rt
Bab Empat Puluh Dua
Aroma bahaya yang menggantung di udara seakan-akan nyata, dan Robert
merasa seolah-olah ia bisa menggapainya dan menyentuhnya. Di pelabuhan
kesibukan sama seperti di sarang lebah, dengan kapal-kapal barang yang
bongkar-muat. Tapi ada yang lainnya: Mobil-mobil polisi nampak ber-lalu-
lalang di dermaga, dan polisi-polisi bersera-gam dan detektif-detektif yang gagal
menyembunyikan identitasnya nampak sedang menanyai para pekerja pelabuhan
dan para pelaut Perburuan berskala besar itu sangat mengherankan Robert
Hampir-hampir sepertinya mereka itu tahu bahwa ia berada di Napoli, sebab
tidak mungkin mereka melakukan pencarian seintensif ini di setiap kota besar
Italia. Percuma saja keluar dari mobilnya. Ia memutar mobilnya dan menjauh
dari pelabuhan itu. Apa yang tadinya disangkanya merupakan rencana yang
mudah—menumpang kapal barang yang menuju Prancis—ternyata sangat
berbahaya sekarang. Entah bagaimana mereka telah berhasil melacaknya ke sini.
Ia menimbang alternatif-alternatif-
nya lagi. Mengendarai mobil ke mana saja sudah jelas terlalu besar risikonya.
Saat ini di sekeliling kota pasti jalan-jalan ke luar sudah dijaga. Pelabuhan
dijaga. Itu artinya stasiun kereta api dan bandara juga dijaga. Ia sudah masuk
dalam jepitan sekarang. Dan jepitan itu sedang mengatup atas dirinya.
Robert teringat akan tawaran Susan. "Kami berada di lepas pantai Gibraltar.
Kami bisa berputar dan menjemputmu, ke tempat mana pun yang kau mau.
Barangkali ini satu-satunya jalan bagimu untuk meloloskan diri" Ia sebenarnya
enggan melibatkan Susan dalam bahaya ini, tapi ia tidak bisa menemukan
alternatif lain. Itu adalah satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari perangkap
ini. Mereka tidak akan mencarinya dalam sebuah yacht pribadi. Kalau aku bisa
mencari jalan untuk mencapai Halcyon, pikirnya, mereka akan bisa menurunkan
aku di dekat pantai Marseilles, dan aku akan bisa ke pantai sendiri Dengan
begitu, tidak akan berbahaya bagi mereka.
Ia memarkir mobilnya di depan sebuah trattoria kecil di sebuah jalan samping
dan masuk ke dalamnya untuk menelepon. Lima menit kemudian, ia sudah
disambungkan dengan Halcyon.
Tolong Mrs. Banks."
"Dari siapa ini?"
Monte punya resepsionis khusus di yacht-nya. "Bilang saja dari seorang teman
lama."
Semenit kemudian ia mendengar suara Susan. "Robert., kaukah itu?"
"Musuh masyarakat."
"Mereka... mereka belum menangkapmu, bukan?"
"Belum, Susan." Sulit baginya mengajukan pertanyaan ini. "Apa tawaranmu
masih berlaku?"
"Tentu saja masih. Kapan...?"
"Bisakah kau mencapai Napoli malam ini?"
Susan ragu. "Aku tidak tahu. Tunggu sebentar." Robert mendengar pembicaraan
di luar pesawat telepon. Susan melanjutkan, "Monte bilang kami mengalami
kerusakan mesin, tapi kami bisa mencapai Napoli dalam waktu dua hari."
Sial. Setiap hari di sini berarti meningkatkan kemungkinan kena tangkap.
"Baiklah, begitu juga boleh."
"Bagaimana kami akan menemukanmu?" "Kau akan kuhubungi lagi." "Robert,
aku mohon jaga dirimu baik-baik." "Akan kucoba. Sungguh." "Tak akan
kaubiarkan sesuatu terjadi atas dirimu?"
"Tidak, tak akan kubiarkan apa pun terjadi atas diriku." Atau atas dirimu.
Ketika Susan meletakkan telepon itu, ia menoleh kepada suaminya dan
tersenyum. "Ia akan segera naik ke kapal ini."
Satu jam kemudian, di Roma, Francesco Cesar memberikan sebuah telegram
kepada Kolonel Frank Johnson. Telegram itu dari Halcyon. Bunyinya:
BELLAMY AKAN NAIK KE HALCYON. ANDA AKAN DIHUBUNGI
LAGI. Tanpa tanda tangan.
"Saya sudah • mengatur supaya sem kasi dari dan ke Halcyon dimonitor" v lc
°niu,»i-"Begitu Bellamy naik ke atas kanal 'i» 3ta ^r. tangkap dia." P ' ,an«sung
kita
Bab Empat Puluh Tiga
Semakin Carlo Valli memikirkannya, semakin yakin dia bahwa ia pasti akan
memperoleh tangkapan besar. Cerita karangan Pier mengenai si Amerika yang
lari dari istrinya itu sungguh menggelikan. Mr. Jones sedang buron, memang
benar, tapi ia sedang lari dari polisi. Mungkin tersedia hadiah untuk buronan ini.
Mungkin besar. Ini harus ditangani dengan hati-hati. Carlo memutuskan untuk
memperbincangkan ini dengan Mario Lucca, pimpinan Diavoli Rossi.
Pagi-pagi sekali, Carlo naik skuter Vespa-nya menuju Via Sorcella, di belakang
Piazza Garibaldi. Ia berhenti di depan sebuah bangunan apartemen yang kumuh,
dan memencet bel pada kotak surat yang sudah rusak bertuliskan "Lucca".
Semenit kemudian terdengar bentakan, "Siapa itu?!"
"Carlo. Aku perlu bicara denganmu, Mario." "Sebaiknya ada gunanya bicaramu
itu—pagi-pagi begini. Ayo naik ke atas."
Bel pintu berdering, dan Carlo naik ke lantai atas.
Mario Lucca sedang berdiri di ambang pintu, telanjang. Di ujung ruangan, Carlo
melihat seorang gadis di atas tempat tidurnya.
*Che cosa? Kamu ini apa-apaan pagi-pagi begini?"
"Aku tidak bisa tidur, Mario. Aku terlalu tegang. Kurasa aku dapat tangkapan
besar." "Yeaa? Masuk."
Carlo memasuki apartemen yang kecil dan berentakan itu. "Tadi malam kakakku
membawa seorang laki-laki" "Jadi? Pier itu pelacur. Ia..." "Yeah, tapi yang satu
ini sangat kaya. Dan dia sedang bersembunyi" "Bersembunyi dari siapa?" "Aku
tidak tahu. Tapi aku akan cari tahu. Kurasa mungkin ada hadiah yang tersedia
bagi yang menemukannya."
"Mengapa kau tidak menanyakannya kepada kakakmu?"
Carlo mengerutkan dahi. "Pier ingin menguasainya sendiri. Kau harus lihat
gelang yang dibelikannya untuk Pier—zamrud."
"Gelang? Yeafa? Berapa nilainya?"
"Nanti kuberitabu. Aku akan menjualnya pagi isi."
Lucca berdiri di situ, tepekur, "Begini saja, Carlo. Bagaimana kalau kita
berbicara sedikit dengan teman kakakmu itu? Kita jemput saja dia dan kita bawa
ke kiah pagi fa j." KJub yang dimaksud
adalah sebuah gudang kosong di Quartiere Santo yang memiliki satu ruangan
kedap suara.
Carlo tersenyum. "Bene. Aku "bisa membawanya ke sana dengan cukup
mudah."
"Kami akan menunggunya," kata Lucca. "Kita akan berbicara dengannya.
Kuharap suaranya cukup merdu, sebab ia akan bernyanyi untuk kita."
Ketika Carlo kembali ke rumah, Mr. Jones sudah pergi. Carlo panik.
"Ke mana temanmu pergi?" tanyanya kepada Pier.
"Dia bilang dia harus ke kota sebentar. Sebentar dia kembali. Kenapa?"
Ia memaksakan diri untuk tersenyum. "Cuma ingin tahu."
Carlo menunggu sampai ibunya dan Pier pergi ke dapur untuk menyiapkan
makan siang, lalu ia bergegas masuk ke kamar Pier. Ia menemukan gelang itu
disembunyikan di bawah setumpuk pakaian dalam di sebuah laci pakaian.
Dengan cepat dikantonginya benda itu, dan keluar dari rumah pas saat ibunya
keluar dari dapur.
"Carlo, kau tidak makan siang dulu?"
"Tidak. Aku ada janji, Mama. Sebentar aku kembali."
Ia menaiki Vespa-nya dan menuju Quartiere Spagnolo. Barangkali gelang ini
palsu, pikirnya. Jangan-jangan cuma bahan perekat saja. Mudah-mudahan aku
tidak malu di depan Lucca nanti. Ia memarkir sepeda motornya di depan sebuah
toko
permata kecil yang papan mereknya bertuliskan: Orologia. Pemiliknya,
Gambino, adalah seorang laki-laki tua keriput dengan wig hitam yang kurang
pas, dan semulut penuh gigi palsu. Ia mengangkat wajahnya ketika Carlo masuk.
"Selamat pagi, Carlo. Pagi sekali kau keluar."
"Yeah."
"Kau punya apa buat aku kali ini?"
Carlo mengeluarkan gelang itu dan meletakkannya di atas counter. "Ini."
Gambino mengambilnya. Ketika mengamatinya, matanya terbelalak. "Dari mana
kaudapatkan ini?"
"Bibiku yang kaya meninggal dan mewariskan-nya kepadaku. Apakah ada
nilainya?"
"Mungkin saja," kata Gambino dengan hati-hati.
"Jangan main-main denganku."
Gambino seakan tersinggung. "Pernahkah aku menipumu?"
Tak pernah tidak."
"Kalian anak-anak muda selalu main-main. Akan kukatakan padamu apa yang
sebaiknya kulakukan, Cario. Aku tidak yakin apa aku bisa menangani ini sendiri
Nilainya sangat tinggi."
Jantung Cario seakan berhenti berdenyut. "Benar?"
"Aku harus menjajaki dulu apa ini bisa ditaksir di suatu tempat. Nanti malam
kutelepon."
"Oke," kata Carlo. Ia mengambil lagi gelang itu. "Akan kubawa dulu sampai
kudengar berita dari-mu."
Carlo meninggalkan toko itu dengan perasaan
bagai di awang-awang. Jadi, ia ternyata benari Si brengsek itu kaya, dan juga
gila. Siapa orangnya yang mau memberikan sebuah gelang mahal kepada
seorang pelacur?
Dari dalam toko itu, Gambino menyaksikan Cario pergi dari situ. Ia berpikir,
Terlibat apa lagi idiot-idiot ini? Dari bawah counter, ia mengambil sebuah
selebaran yang baru saja dibagikan kepada semua toko gadai. Ada gambar di
selebaran itu yang menguraikan ciri-ciri gelang yang baru saja dilihatnya, tapi
bagian paling bawah yang biasanya memuat keterangan nomor telepon polisi
untuk dihubungi, kini diisi dengan keterangan khusus yang berbunyi: "Hubungi
SIFAR segera." Gambino biasanya mengabaikan selebaran polisi biasa, seperti
yang sudah pernah diperolehnya beratus-ratus kali sebelum ini, tapi ia cukup
mengenal apa SIFAR itu, dan tidak ingin berurusan dengannya. Ia memang
menyesal tidak bisa menikmati keuntungan dari penjualan gelang itu, tapi ia
tidak ingin mempertaruhkan lehernya. Dengan setengah hati, ia mengangkat
telepon dan memutar nomor yang tercantum di selebaran.
Bab Empat Puluh Empat
Itu adalah masa-masa penuh ketakutan, penuh bayang-bayang maut yang
mengancam setiap saat. Bertahun-tahun sebelum ini Robert pernah ditugaskan
ke Borneo, dan ia menyusup ke hutan-hutan lebat untuk mengejar seorang
pengkhianat. Waktu itu bulan Oktober, yaitu musim takoot, musim berburu
tradisional, saat para penduduk asli hidup dalam ketakutan akan teror Balli
Salang, roh yang memburu manusia untuk diisap darahnya. Musim itu
merupakan musim pembunuhan, dan sekarang ini bagi Robert, Napoli tiba-tiba
menjadi hutan rimba Borneo. Kematian terasa menggantung di udara. Jangan
keluar berkeliaran di kegelapan malam, pikir Robert. Mereka harus berusaha
menangkapku terlebih dulu. Bagaimana mereka bisa melacaknya ke sini? Pier.
Mereka pasti telah melacaknya melalui Pier. Aku harus kembali ke rumah untuk
memperingatkannya, pikir Robert. Tapi sebelumnya aku harus menemukan jalan
untuk bisa keluar dari sini. Ia mengendarai mobilnya ke arah pinggiran
kota, tempat jalan tol bermuara, sambil berharap terjadinya mukjizat—yaitu,
jalan itu tidak dijaga. Lima ratus yard sebelum dia mencapai gerbang masuk ke
jalan itu, ia melihat sepasukan polisi membuat hambatan jalan. Ia memutar dan
kembali ke arah pusat kota.
Robert meluncur pelan-pelan, berkonsentrasi, mencoba menempatkan dirinya di
dalam pikiran para pemburunya. Mereka pasti membuat hambatan jalan di
semua jalan raya yang merupakan gerbang ke luar dari Italia. Semua kapal yang
akan meninggalkan negeri itu pasti digeledah. Tiba-tiba terbetik sebuah rencana
di benaknya. Mereka tidak akan menggeledah kapal-kapal yang tidak akan
meninggalkan Italia. Ini sebuah peluang. Ia kembali lagi ke arah pelabuhan.
Lonceng kecil di atas pintu toko permata itu berdering, dan Gambino
mendongak. Dua pria berpakaian hitam-hitam masuk.-Mereka bukan pelanggan.
"Bisa saya bantu?" "Mr. Gambino?"
Ia menyeringai memamerkan gigi palsunya. "Ya."
"Anda menelepon tentang gelang zamrud."
SIFAR. Ia memang sudah menunggu mereka. Tapi -kali ini ia berada di pihak
para malaikat. "Benar. Sebagai seorang warga negara yang patriots, saya merasa
adalah tugas saya..."
"Tak perlu omong kosong itu. Siapa yang membawanya?"
"Seorang pemuda bernama Carlo."
"Apa gelangnya ditinggalkan di sini?"
"Tidak, ia membawanya lagi."
"Apa nama belakang Carlo?"
Gambino mengangkat babu. "Saya tidak tahu nama belakangnya. Dia salab satu
anggota Diavoli Rossi. Itu salah satu geng lokal di sini. Dipimpin oleh seorang
bernama Lucca."
"Anda tahu di mana kami bisa bertemu dengan Lucca?"
Gambino ragu. Kalau Lucca tahu bahwa ia telah berbicara, maka lidahnya akan
dipotong. Kalau ia tidak mau mengatakannya kepada orang-orang ini, maka
otaknya akan dicerai-beraikan. "Dia tinggal di Via Sorcella, di belakang Piazza
Garibaldi."
Terima kasih, Mr. Gambino. Anda sangat membantu."
"Saya selalu senang bekerja sama dengan..." Orang-orang itu sudab pergi.
Lucca sedang berada di tempat tidur dengan pacarnya ketika kedua agen itu
mendesak pintu apartemennya.
Lucca melompat dari tempat tidurnya. "Apa-apaan ini? Kalian siapa?"
Salah satu agen itu menunjukkan kartu identitasnya.
SIFAR! Lucca menelan ludah. "Hei. saya tidak melakukan sesuatu yang salah.
Saya seorang warga taat hukum yang..."
"Kami tabu itu, Lucca. Kami bukan mencarimu.
Kami sedang mencari seseorang yang bernama
Carlo."
Carlo. Jadi inilah biang persoalannya. Gelang celaka itu! Carlo ini kena urusan
apa? SIFAR tidak akan mengirim orangnya kalau hanya urusan permata curian
saja.
"Well... kau mengenalnya atau tidak?"
"Mungkin."
"Kalau kau tidak yakin, kami akan menyegarkan ingatanmu di markas besar."
"Tunggu! Saya ingat sekarang," kata Lucca. "Pasti maksud Anda Carlo Valli.
Memangnya dia kenapa?"
"Kami ingin bicara dengannya. Di mana dia tinggal?"
Setiap anggota Diavoli Rossi harus bersumpah dengan darah untuk bersikap
setia, suatu sumpah yang menyatakan bahwa mereka lebih baik mati daripada
mengkhianati rekan sesama anggota. Itulah yang membuat Diavoli Rossi
menjadi klub yang begitu kuat. Mereka sangat kompak. Satu buat semua dan
semua buat satu.
"Anda mau ikut kami ke pusat kota ke markas kami?"
"Buat apa?" Lucca mengangkat bahu. Ia memberikan alamat Carlo.
Tiga puluh menit kemudian, Pier membukakan pintu untuk dua orang tak
dikenal yang berdiri di situ.
"Signorina Valli?"
Gawat "Ya." "Boleh kami masuk?"
Ia ingin mengatakan -tidak, tapi tidak berani. "Anda siapa?"
Salah seorang agen itu mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan kartu
identitasnya. SIFAR. Ini bukan orang-orang yang berurusan dengannya sebelum
ini. Pier merasa panik bahwa mereka tidak akan membayar hadiahnya nanti.
"Apa yang Anda inginkan dari saya?" "Kami ingin mengajukan beberapa
pertanyaan." "Silakan. Tak ada yang perlu saya sembunyikan." Syukurlah Robert
tidak ada, pikir Pier. Aku masih bisa mempertahankan harganya.
"Anda kemarin naik mobil dari Roma, bukan." Itu sebuah pernyataan, bukan
pertanyaan.
"Ya. Apa ha melanggar hukum? Apa saya melewati batas kecepatan?"
Pria itu tertawa. Tapi tawanya itu tidak mengubah ekspresi wajahnya. "Anda
bersama seorang teman?"
Pier menjawab dengan hati-hati, "Ya." "Siapa dia, signorind?"
Ia mengangkat babu. "Seorang laki-laki yang menumpang mobil saya di tengah
perjalanan. Dia ingin nebeng sampai ke Napoli."
Pria yang kedua bertanya, "Apakah dia di sini bersama Anda sekarang?"
"Saya tidak tahu di mana dia. Saya menurunkannya di jalan ketika kami masuk
kota, dan dia menghilang."
454
"Apakah nama penumpang Anda itu Robert Bellamy?"
Pier mengerutkan dahi seakan berkonsentrasi. "Bellamy? Saya tidak tahu.
Rasanya dia tidak menyebutkan namanya."
"Oh, kami rasa iya. Dia mengambil Anda di Tor di Ounto, Anda menginap
dengannya di Hotel L'Incrocio, dan keesokan paginya ia membelikan Anda
gelang zamrud. Dia menyuruh Anda pergi ke beberapa hotel dengan membawa
tiket pesawat dan kereta api, dan Anda menyewa mobil dan pergi ke Napoli.
Benar?"
Mereka tahu semuanya. Pier mengangguk, sinar matanya memancarkan
ketakutan.
"Apakah teman Anda itu nanti kembali, atau dia sudah meninggalkan Napoli?"
Pier ragu, menimbang jawaban apa yang paling baik. Kalau ia mengatakan pada
mereka bahwa Robert sudah meninggalkan kota, mereka toh tidak akan percaya
kepadanya. Mereka akan menunggu di sini di rumahnya, dan kalau Robert
muncul, mereka akan menuduhnya berdusta dan menganggapnya membantu
kejahatan. Ia memutuskan bahwa yang terbaik adalah berbicara apa adanya. "Dia
akan kembali," kata Pier. "Sebentar lagi?" "Saya tidak yakin."
"Well, kami akan bersantai sedikit di sini. Anda tidak keberatan kalau kami
melihat-lihat, bukan?" Mereka membuka jas mereka sehingga senjata mereka
nampak.
455
"T... tidak."
Mereka menyebar, memeriksa seluruh, bagian rumah.
Mama masuk dari dapur. "Siapa Tuan-tuan ini?"
"Mereka teman-teman Mr. Jones," kata Pier. "Mereka datang untuk
menemuinya."
Wajah Mama berbinar. "Orang yang sungguh baik. Anda mau ikat makan
siang?"
"Tentu, Mama," salah seorang pria itu berkata. "Ada makanan apa?"
Pikiran Pier kacau. Aku harus menelepon Interpol lagi, pikirnya. Mereka bilang
akan membayar lima puluh ribu dolar. Sementara itu ia harus menjauhkan
Robert dari rumah sampai ia selesai berunding tentang harga penyerahannya.
Tapi bagaimana caranya? Tiba-tiba ia ingat percakapan mereka pagi itu. Kalau
ada masalah fata tarik satu penutup jendela ke bawah... supaya rekan kita
menjauhkan dirinya dari situ. Kedua agen itu duduk di meja makan sambil
menikmati semangkuk capellmi.
"Terlalu terang di sini," kata Pier. Ia bangkit dan berjalan ke ruang duduk lalu
menarik ke bawah penutup jendela. Lalu ia kembali ke meja: Kuharap Robert
ingat akan isyarat peringatan ini.
Robert sedang meluncur menuju rumah itu sambil berpikir, memantapkan
rencananya untuk melarikan diri. Belum sempurna, pikirnya, tapi paling
tidak ini akan membuat mereka kehilangan jejak cukup lama untuk mengulur
waktu. Ia sudah hampir sampai ke rumah itu sekarang. Ia mengurangi laju
mobilnya dan mengamati sekelilingnya. Semuanya nampak normal. Ia
bermaksud memperingatkan Pier untuk keluar dari situ laki pergi. Ketika Robert
sudah akan memarkir mobilnya di depan rumah, ia melihat ada yang ganjil.
Salah satu penutup jendela depan turun ke bawah. Padahal yang lainnya
terangkat. Barangkali itu cuma suatu kebetulan, tapi toh... Ia tiba-tiba seperti
diperingatkan. Apakah mungkin Pier menganggap semua senda guraunya itu
serius? Apakah itu dimaksudkan sebagai semacam isyarat? Robert menginjak
gas dan meluncur terus. Ia tidak berani mengambil risiko, bagaimanapun juga
kecilnya. Ia menuju ke sebuah bar satu mil dari situ dan masuk ke dalam untuk
meminjam telepon.
Mereka sedang duduk di meja makan ketika telepon berdering. Agen-agen itu
tegang. Yang satu mulai bangkit dari duduknya.
"Apakah Bellamy akan menelepon ke sini?" Pier memandangnya dengan nada
melecehkan. "Tentu saja tidak. Apa perlunya?" Pier bangkit dan menghampiri
telepon itu. Ia mengangkatnya. "Halo?"
"Pier? Aku melihat penutup jendela itu dan..."
Pier cuma perlu mengatakan bahwa semuanya beres, dan Robert akan kembali
ke rumah itu. Agen-agen itu akan menangkapnya, dan Pier bisa menuntut
hadiahnya. Tapi apakah mereka hanya
Ain
akan menangkap Robert? Pier seakan mendengar suara Robert berkata, "Kalau
polisi menemukan aku, mereka diinstruksikan untuk membunuhku."
Agen-agen di meja makan itu mengawasinya. Banyak sekali yang bisa
dilakukannya dengan lima puluh ribu dolar. Pakaian-pakaian bagus, bepergian ke
mana-mana, sebuah apartemen kecil yang molek di Roma____ Ia tidak ingin
Robert-mati. Selain
itu, ia benci kepada polisi sialan itu. Pier menjawab, "Salah sambung."
Robert mendengar bunyi klik pesawat telepon dan berdiri di Situ, tercengang.
Ternyata Pier mempercayai semua omong kosongnya, dan itu barangkali telah
menyelamatkan jiwanya. Semoga dia diberkati Tuhan.
Robert memutar balik mobilnya dan meluncur menjauh dari rumah itu ke arah
pelabuhan, bukan ke bagian utama pelabuhan yang melayani kapal-kapal barang
dan kapal-kapal samudera yang akan meninggalkan Italia, tapi ke arah lain,
lewat Santa Lucia, ke sebuah dermaga di mana nampak sebuah papan
bertuliskan: "Capri dan Ischia". Robert memarku- mobilnya di tempat yang
mudah dilihat, dan berjalan menuju tempat penjualan tiket.
"Hydrofoil yang berikutnya ke Iscbia jam berapa?"
"Tiga puluh menit lagi." "Dan ke Capri?" "Lima menit."
"Minta satu tiket one-way ke Capri." "Si, sigfiore."
"Apa itu *si, signore'...?" Robert menukas dengan suara keras. "Mengapa Anda
tidak berbahasa Inggris saja seperti yang lain-lain?"
Orang itu terbelalak karena terkejut.
"Kamu orang-orang brengsek semuanya sama saja. Stupid! Atau, dalam
istilahmu, stupido." Robert menyorongkan uangnya ke orang itu, menyambar
tiketnya, dan berjalan menuju hydrofoil.
Tiga menit kemudian ia sudah dalam perjalanan ke Pulau Capri. Perahu itu
memulai pelayarannya perlahan-lahan, menyusuri terusan. Setelah sampai di
batas keluar, ia meluncur keras ke depan, badannya melayang di atas air
bagaikan seekor lumba-lumba yang lincah. Ferry itu penuh dengan turis dari
berbagai negara, berceloteh dalam bahasa masing-masing. Tak seorang pun
memperhatikan Robert Ia berjalan menuju bar kecil yang menjual minuman.
Katanya kepada bartender, "Minta vodka dan tonic."
"Baik, Tuan."
Ia menyaksikan bartender itu mencampur minuman yang dipesannya. "Silakan,
signore."
Robert menerima gelas itu dan meneguknya. Ia membanting gelas itu kembali ke
atas bar. "Ini kamu sebut minuman?" katanya. "Rasanya seperti kencing kuda.
Kalian ini bagaimana, Italia edani"
Orang-orang di sekitarnya menoleh melihat adegan itu.
Bartender dengan nervous berkata, "Maafkan saya, signore, kami menggunakan
merek yang paling..." .
459
"Tai kucing!"
Seorang Inggris yang ada di dekat situ berkata dengan sikap kaku. "Ada wanita
di sini. Bisakah kaujaga sedikit bicaramu?"
"Aku tidak perin menjaga bicaraku," Robert membentak. "Kalian tahu aku
siapa? Letkol Robert Bellamy. Dan mereka sebut ini kapal? Ini barang
rongsokan!"
Ia menyibakkan orang-orang untuk menuju ke bagian depan kapal dan duduk di
situ. Pandang mata tak senang mengikutinya Hatinya berdebar-debar, tapi
sandiwaranya ini belum selesai.
Ketika hydrofoil itu berlabuh di Capri, Robert menghampiri kios tiket di pintu
masuk yang menuju funicolare. Seorang pria tua bertugas menjual tiket dalam
kios itu.
"Satu tiket," Robert membentak. "Dan cepat sedikit! Aku terburu-buru. Kau
sudah terlalu tua untuk menjual tiket Kau seharusnya tinggal di rumah saja.
Istrimu barangkali sedang tidur dengan tetanggamu."
Orang tua its sudah akan bangkit karena marah. Orang-orang yang lewat
memandang Robert dengan sebal. Robert menyambar tiket itu dan melangkah
masuk ke dalam funicolare yang penuh sesak. Mereka akan ingat aku, pikirnya
dengan geram, la sedang mencoba meninggalkan jejak yang mencolok.
Ketika funicolare itu berhenti, Robert menerobos maju menyibakkan kerumunan
orang-orang. Ia ber-
jalan menyusuri Via Vittorio Emanuele yang berliku-liku menuju Hotel
Quisisana.
"Saya perlu kamar." kata Robert kepada petugas di belakang meja.
"Maafkan saya," sahut petugas itu, "tapi kamar sudah habis dipesan. Ada..."
Robert memberinya enam puluh ribu lira. "Kamar yang mana saja."
"Well, kalau begitu, kami rasa kami bisa menerima Anda, signore. Mari saya
daftar?"
Robert menuliskan namanya: Letkol Robert Bellamy.
"Berapa lama Anda akan tinggal di sini, Letnan?" "Satu minggu."
"Tak ada masalah. Boleh saya pinjam paspor Anda?"
"Ada di dalam koper saya. Lima menit lagi akan ada di sini."
"Akan saya suruh bellboy mengantarkan Anda ke kamar Anda."
"Jangan sekarang. Saya harus keluar dulu beberapa menit. Saya akan segera
kembali."
Robert melangkah keluar dari lobi, menuju ke jalanan. Kenangan lama
menerpanya bagaikan guyuran air dingin. Ia pernah berjalan di tempat ini
bersama Susan, menjelajahi gang-gang kecil, dan berjalan menyusuri Via
Ignazio Cerio dan Via Li Campo. Masa-masa itu terasa seperti surga. Mereka
mengunjungi Crotta Azzurra, dan minum kopi pagi-pagi di Piazza Umberto.
Mereka menumpang
. funicolare ke Anacapri, dan naik keledai ke Villa JovB, vila milik Tiberius, dan
berenang di air yang hijau bagai zamrud di Marina Piccola. Mereka berbelanja di
sepanjang Via Vittorio Ema-nuele dan naik kursi gantung ke puncak Monte
Solaro, dengan kaki mereka meluncur di atas daun-daun anggur dan pepohonan
hijau. Di sebelah kanan nampak rumah-rumah bertebaran memenuhi lembah
sampai ke pantai, semak hijau berbunga kuning terhampar di mana-mana;
perjalanan sebelas menit menembus tanah bidadari yang penuh pepohonan hijau,
rumah-rumah putih dan, di kejauhan, laut biru. Di puncak bukit itu,-mereka
minum kopi di Barbarossa Ristorante, lalu pergi ke gereja kecil di Anacapri
untuk bersyukur kepada Tuban atas semua berkat yang mereka dapatkan, dan
untuk cinta mereka. Saat itu Robert mengira bahwa Capri adalah sumber semua
mukjizat itu. Tapi ia keliru. Ternyata mukjizatnya adalah Susan, dan ia telah
meninggalkan panggung pertunjukan.
Robert kembali ke stasiun funicolare di Piazza Umberto, dan menumpang trem
itu lagi menuju ke bawah, berbaur dengan para penumpang yang lain. Ketika
funicolare itu sampai di bawah, ia berjalan ke luar, diam-diam menyusup
menghindari penjual tiket Ia berjalan menuju kios tiket di tempat kapal berlabuh.
Dalam logat Spanyol yang kental, Robert bertanya, "A que hora sale el barco a
Ischia?"
"Sale en treinta minutos."
"Gracias.* Robert membeli sebuah tiket
Ia memasuki sebuah bar di tepi pantai dan mengambil tempat duduk di bagian
belakang, lalu
memesan scotch. Saat ini mereka pasti sudah menemukan mobilnya, dan
perburuan terhadapnya sudah semakin menyempit. Ia membentangkan peta
Eropa di benaknya. Pengejar-pengejar pasti mengira ia pergi ke Inggris dan
mencari jalan untuk kembali ke Amerika, sebab itu yang paling logis. Tak ada
perlunya ia kembali ke Prancis. Tapi justru karena itu negara tersebut menjadi
sasarannya. Ia harus mencari pelabuhan yang ramai untuk meninggalkan Italia.
Civitavecchia. Aku harus bisa sampai ke Civitavecchia. Halcyon.
Ia menerima uang kembalian dari pemilik bar dan meminjam telepon. Operator
kelautan membutuhkan sepuluh menit untuk menyambungkan teleponnya. Susan
menerimanya hampir seketika itu juga.
'Kami sudah menunggu-nunggu beritamu." Kami. Istilah itu menarik
perhatiannya. "Mesinnya sudah beres. Kami bisa mencapai Napoli pagi-pagi
sekali besok. Di mana kau akan kami jemput?"
Terlalu riskan bagi Halcyon untuk datang ke sini. Robert berkata, "Kau ingat
palindrome? Kita ke sana dulu waktu bulan madu." "Apa?"
"Waktu itu aku bercanda karena aku begitu
lelahnya."
Di ujung sana diam sebentar. Lalu Susan berkata pelan, "Aku ingat."
"Bisakah Halcyon menemuiku di sana besok?" "Tunggu sebentar."
Ia menunggu.
Susan kembali ke telepon. "Ya, kami bisa ke sana."
"Bagus." Robert merasa ragu. Ia. teringat akan semua orang tak bersalah yang
telah mati. "Terlalu banyak yang kuminta darimu. Kalau mereka kelak tahu
bahwa kalian membantuku, bisa sangat berbahaya buat kalian."
"Jangan kuatir. Kami akan menemuimu di sana. Hati-hatilah."
"Terima kasih."
Hubungan diputuskan.
Susan menoleh kepada Monte Banks. "Dia akan datang"
Di markas besar SIFAR di Roma, mereka mendengarkan percakapan itu dari
ruang komunikasi. Ada empat orang di ruang itu. Operator radio berkata, "Kami
telah merekamnya kalau Anda ingin mendengarkannya lagi, sir."
Kolonel Cesar memandang Frank Johnson seakan minta jawaban.
"Ya. Saya ingin mendengarkan kembali bagian yang menyebutkan tentang
tempat mereka akan bertemu. Kedengarannya seperti palindrome. Apakah itu
suatu tempat di Italia?"
Kolonel Cesar menggelengkan kepala. "Saya belum pernah mendengarnya.
Kami akan mencari tabu." Ia menoleh kepada asistennya. "Cari di peta. Dan
lanjutkan memonitor semua transmisi ke dan dari Halcyon."
Di rumah pertanian di Napoli, telepon berdering. Pier sudah akan
mengangkatnya untuk menjawab.
"Tunggu," salah seorang agen itu berkata. Ia menghampiri telepon itu dan
mengangkatnya. "Halo?" Ia mendengarkan sesaat, lalu membanting gagang
telepon itu dan menoleh kepada partnernya. "Bellamy menumpang hydrofoil
yang ke Capri. Ayo kita cabut!"
Pier menyaksikan kedua agen itu berlari ke luar pintu dan berpikir, Tuhan tidak
menghendaki aku memperoleh uang sebanyak itu. Semoga dia lolos.
Ketika ferry ke Ischia tiba, Robert berbaur dengan rekan sesama penumpang. Ia
berusaha untuk tidak menonjolkan diri, dan menghindari kontak mata. Tiga
puluh menit kemudian, saat kapal itu berlabuh di Ischia, Robert turun dan
berjalan menuju kios tiket di dermaga. Sebuah pengumuman menyatakan bahwa
ferry yang menuju Sorrento akan diberangkatkan sepuluh menit lagi.
"Satu tiket p.p. ke Sorrento," kata Robert.
Sepuluh menit kemudian ia sudah dalam perjalanan menuju Sorrento, kembali
ke daratan utama. Kalau aku beruntung, pelacakan itu akan sudah beralih ke
Capri, pikir Robert Kalau aku beruntung.
Pasar makanan di Sorrento penuh sesak. Para
463
f
petani datang dari kawasan pedesaaan membawa buah-buahan dan sayur-mayur
segar dan potongan-potongan daging sapi yang diatur berjajar di stan-stan
daging. Jalanan dibanjiri oleh para penjaja barang dan pembelanja.
Robert menghampiri seorang pria tegap bercele-mek yang sedang memuat
barang ke sebuah truk. "Pardon, monsieur," kata Robert dengan logat Prancis
yang sempurna. "Saya sedang mencari tumpangan ke Civitavecchia. Apa Anda
kebetulan menuju ke arah itu?"
"Bukan. Salerno." Ia menunjuk ke seorang pria yang sedang memuat truk lain
tak jauh dari situ. "Giuseppe mungkin bisa membantu Anda."
*Merci."
Robert menghampiri truk yang berikutnya. "Monsieur, apakah Anda kebetulan
pergi ke arah Civitavecchia?"
Pria itu menjawab dengan tak acuh, "Mungkin."
"Saya bersedia membayar untuk itu."
"Berapa?"
Robert memberinya uang seratus ribu lira. "Anda kan bisa membeli tiket pesawat
ke Roma dengan uang sebanyak itu?"
Robert langsung sadar akan kekeliruannya. Ia memandang ke sekelilingnya
dengan gugup. "Terus terang saja, beberapa kreditor saya mengawasi bandara.
Saya lebih suka menumpang truk."
Pria itu mengangguk. "Ah. Saya mengerti. Baik, masuklah. Kita sudah akan
berangkat." Robert menguap. "Saya tres fatigue". Bagaimana
mengatakannya? Capek? Anda tidak keberatan kalau saya tidur di belakang?"
"Akan banyak guncangan, tapi silakan saja."
"Merci."
Bak truk itu penuh dengan krat-krat dan kotak-kotak kosong. Giuseppe
menyaksikan Robert menaikinya, dan ia lalu menutup bagian belakangnya. Di
dalam bak itu, Robert berlindung di balik sejumlah krat. Tiba-tiba ia sadar betapa
lelahnya ia sebenarnya. Perburuan itu mulai menghabiskan tenaganya. Sudah
berapa lama sejak terakhir ia tidur? Ia teringat pada Pier dan bagaimana gadis itu
datang kepadanya malam itu dan membuatnya merasa utuh kembali, menjadi
laki-laki lagi. Ia berharap semoga gadis itu baik-baik saja. Robert tertidur.
Di belakang setir, Giuseppe sedang berpikir tentang penumpangnya. Berita
tersebar bahwa seorang Amerika sedang dicari pihak yang berwajib.
Penumpangnya ini memiliki logat Prancis, tapi ia nampak seperti seorang
Amerika dan berpakaian seperti orang Amerika. Tak ada salahnya mencari tahu.
Mungkin saja ada hadiah lumayan.
Satu jam kemudian, di sebuah perhentian truk di tepi jalan raya, Giuseppe
berhenti di depan sebuah pompa bensin. "Isi penuh," katanya. Ia lalu berjalan
memutari bagian belakang truknya dan mengintip ke dalamnya. Penumpangnya
itu sedang tidur.
Giuseppe masuk ke dalam restoran dan menelepon ke kantor polisi setempat.
467
Bab Empat Puluh Lima
Telepon itu disambungkan ke Kolonel Cesar.
"Ya," katanya kepada Giuseppe, "memang mirip sekali dengan orang yang
sedang kami cari. Dengarkan baik-baik. Ia berbahaya, jadi lakukan persis seperti
yang saya katakan. Anda mengerti?" "Ya, sir."
"Anda di mana sekarang?"
"Di perhentian truk AGIP di jalan yang menuju Civitavecchia."
"Dan saat ini dia ada di dalam bak truk Anda?"
"Ya." Percakapan itu membuatnya tegang. Barangkah aku mestinya jangan ikut
campur urusan ini.
"Jangan lakukan apa-apa yang bisa membuatnya curiga. Kembalilah ke truk dan
lanjutkan perjalanan. Sebutkan nomor pelat dan ciri-ciri truk Anda."
Giuseppe menyebutkannya.
"Bagus. Kami akan mengurus semuanya. Lakukan sekarang."
Kolonel Cesar menoleh kepada Kolonel Johnson dan mengangguk. "Sudah kena
dia. Saya akan
memasang hambatan jalan. Kita akan bisa sampai ke sana dengan helikopter
dalam tiga puluh menit."
"Mari kita pergi."
Ketika Giuseppe meletakkan telepon, ia menggosokkan telapak tangannya yang
berkeringat pada bajunya dan berjalan menuju truknya. Kuharap tidak akan
terjadi tembak-menembak Maria akan sangat marah kepadaku. Akan tetapi,
kalau hadiahnya cukup besar... Ia naik ke truknya dan melanjutkan
perjalanannya ke Civitavecchia.
Tiga puluh lima menit kemudian, Giuseppe mendengar suara helikopter di atas
kepalanya. Ia mendongak. Nampak ciri-ciri kepolisian negara. Di depannya di
jalan raya, ia melihat dua mobil polisi berjajar bersebelahan, membentuk
hambatan jalan. Di belakang mobil-mobil itu nampak sepasukan polisi
menyandang senjata otomatis. Helikopter itu mendarat di tepi jalan, dan Cesar
beserta Kolonel Frank Johnson melangkah ke luar.
Ketika sudah dekat dengan hambatan jalan itu, Giuseppe mengurangi laju
truknya. Ia mematikan starternya dan melompat ke luar, berlari-lari ke arah para
perwira militer itu. "Dia ada di belakang!" ia berteriak.
Truk itu akhirnya berhenti. Cesar berseru, "Kepung."
Polisi-polisi itu menyebar mengelilingi truk, senapan siap menembakkan.
"Jangan tembak," teriak Kolonel Johnson. Saya yang akan mengambilnya." Ia
bergerak ke bagian
belakang truk itu. "Ayo keluar, Robert," seru Kolonel Johnson, "semua sudah
berakhir."
Tidak ada jawaban.
"Robert, kuberi waktu lima detik."
Hening. Mereka menunggu.
Cesar menoleh kepada anak buahnya dan mengangguk.
•Jangan!" Kolonel Johnson berteriak. Tapi sudah terlambat.
Polisi mulai memberondong bagian belakang truk itu. Bunyi senapan otomatis
memekakkan telinga. Serpihan-serpihan krat beterbangan di udara. Setelah
sepuluh detik, tembakan itu berhenti. Kolonel Frank Johnson melompat ke
dalam bak truk itu dan menyingkirkan krat-krat dan kotak-kotak.
Ia menoleh kepada Cesar. "Dia tidak ada di shri."
Hari Kesembilan Belas +
Civitavecchia, Italia
Civitavecchia adalah pelabuhan laut kuno dari Roma, yang dilindungi sebuah
benteng kokoh yang dibangun oleh Michelangelo di tahun 1537. Pelabuhan itu
adalah salah satu yang tersibuk di Eropa, melayani semua lalu lintas laut ke dan
dari Roma dan Sardinia. Hari masih sangat pagi, tapi pelabuhan itu sudah sibuk
dan bising. Robert menembus kerumunan massa melewati halaman stasiun dan
menuju sebuah trattoria kecil yang
memancarkan bau masakan yang tajam dan dip©* sannya sarapan pagi.
Halcyon akan menunggunya di tempat yang sudah disepakati, Elba. Ia bersyukur
Susan masih mengingatnya. Waktu mereka berbulan madu dulu, mereka tidak
keluar dari kamar mereka di sana dan bercinta selama tiga hari tiga malam.
Waktu itu Susan berkata, "Mau pergi berenang, Sayang?"
Robert menggelengkan kepala. "Tidak, bergerak saja aku tidak bisa. 'Able was I,
ere I saw Elba.'" Susan tertawa dan mereka bercinta lagi. Dan syukurlah, dia
masih ingat palindrome itu.
Sekarang ia cuma tinggal mencari perahu bermotor yang bisa membawanya ke
Elba. Ia menyusuri jalanan menuju pelabuhan. Pelabuhan itu sibuk dengan
kegiatan kelautan, penuh dengan kapal barang, perahu bermotor, dan yacht
pribadi. Nampak sebuah tempat berlabuh kapal ferry. Mata Robert bersinar
ketika melihatnya. Itu merupakan cara paling aman untuk menyeberang ke Elba.
Ia akan bisa berbaur dengan massa penumpang.
Ketika Robert sudah akan melangkah ke tempat tambatan ferry itu, ia melihat
sebuah mobil sedan hitam tanpa identitas diparkir setengah blok jauhnya dari
situ, dan ia menghentikan langkahnya. Mobil itu bernomor pelat pemerintah.
Ada dua orang di dalamnya sedang mengawasi pelabuhan. Robert berbalik dan
berjalan ke arah sebaliknya.
Tersebar di antara para pekerja pelabuhan dan para turis, ia melihat detektif-
detektif berpakaian preman yang mencoba bersikap tidak mencolok.
Mereka berdiri di situ bagaikan mercu suar. Jantung Robert mulai berdebar
keras. Bagaimana mereka bisa melacaknya ke sini? Kemudian ia sadar apa yang
telah terjadi. Ya Tuhan, aku memberi, tahukan kepada sopir truk itu ke mana aku
akan pergi' Bodoh/Aku pastrtupek sekali waktu itu.
Ia tadi jatuh tertidur, dan waktu truk itu berhenti ia terbangun. Ia lalu bangkit
untuk melibat ke luar dan menyaksikan Giuseppe masuk ke kantor pompa bensin
dan menelepon. Robert cepat-cepat turun dari truk dan naik ke belakang truk lain
yang menuju utara ke arah Civitavecchia.
Ia telah menjebak dirinya sendiri. Mereka sedang mencari dirinya di sini.
Beberapa ratus yard dari situ nampak lusinan perahu bermotor yang seharusnya
bisa membawanya lolos. Sekarang tidak lagi.
Robert menjauh dari pelabuhan itu dan berjalan ke arah kota. ia melewati sebuah
bangunan dengan poster yang sangat besar dipasang di depannya. Bunyinya:
Dalanglah ke Pekan Raya. Hiburan bagi Anda Semua! Makanan.' Permainan!
Saksikan Perlombaan Besar? Ia berhenti dan mengamati. Ia telah menemukan
jalan untuk meloloskan diri.
Bab Empat Puluh Enam
Di arena pekan raya itu, lima mil di luar kota, terlihat sejumlah balon besar
berwarna-warni yang mirip pelangi-pelangi bundar. Balon-balon itu diikatkan ke
truk-truk sementara para kru daratnya sedang sibuk mengisinya dengan udara
dingin. Setengah lusin mobil pemantau berada di situ, siap untuk mengikuti
balon-balon itu, dengan dua orang di dalam setiap mobil, pengemudinya dan
pelacaknya.
Robert menghampiri seorang pria yang nampaknya mengepalai kegiatan itu.
"Nampaknya Anda sudah siap menjalankan lomba besar ini," kata Robert
"Benar. Pernah naik balon?" "Tidak pernah."
Saat itu mereka berdua sedang meluncur di atas Danau Como dan ia
menerjunkan balon itu ke bawah sampai menyentuh air. 'Kita akan tercth bur,"
Susan berteriak la tersenyum. Tidak, tidak akan." Pantat balon itu berdansa di
atas gelombang, fa lalu membuang sebuah karung pasir, dan
balon itu mulai terangkat kembali Susan tertawa, memeluknya, dan berkata...
Pria itu berkata, "Anda harus mencobanya suatu saat nanti. Olahraga yang
mengasyikkan."
"Yeah. Lomba ini menuju ke mana?"
"Yugoslavia. Angin sedang berembus kencang ke arah timur. Kami akan take off
beberapa menit lagi. Lebih baik terbang pagi-pagi saat angin masih dingin."
"Oh, ya?" kata Robert dengan sopan. Ia teringat pengalaman di Yugoslavia di
suatu hari di musim panas. "Ada empat orang yang harus diselundupkan keluar
dari sini, Letnan. Kita harus menunggu sampai udara lebih dingin. Sebuah balon
yang bisa mengangkut empat orang di musim dingin hanya akan mampu
mengangkut dua orang saja di udara musim panas.1'
Robert melihat bahwa krunya sudah hampir selesai mengisi balon dengan udara
dan mulai menyalakan alat pembakar gas propana yang besar itu, dengan
mengarahkan nyalanya ke dalam celah balon yang menganga, untuk
menghangatkan udara di dalamnya. Balon-balon itu, yang terpuruk pada sisinya,
kini mulai mengapung sehingga keranjangnya jadi tegak.
"Boleh saya melihat-lihat?" tanya Robert. "Silakan. Asal jangan menghalangi
jalan orang." "Baik." Robert menghampiri sebuah balon berwarna kuning-merah
yang sudah diisi dengan gas Satu-satunya yang menghubungkannya
dengan tanah adalah seutas tali yang diikatkan
pada salah satu truk.
Petugas kru yang baru saja selesai menanganinya kini meninggalkan tempat itu
dan bercakap-cakap
dengan seseorang. Tak ada orang di sekitar situ.
Robert menaiki keranjang balon, dan selongsong raksasa itu seakan menutupi
seluruh langit di atasnya. Ia memeriksa rig dan peralatannya, altimeternya,
petanya, pirometer untuk memantau suhu balon itu, indikator tingkat ketinggian,
dan perangkat alat-alat. Semuanya beres. Robert meraih kotak alat-alat itu dan
menarik sebuah pisau. Ia memotong tali pengikatnya dan sesaat kemudian balon
itu mulai mengapung ke atas.
"Hei!" Robert berteriak. "Bagaimana ini? Turunkan saya!"
Orang yang diajaknya berbicara mendongak menyaksikan balon yang terlepas
itu. "Figlio d'una mignotta! Jangan panik," ia berteriak. "Ada altimeter di situ.
Pakai kantong pasirnya dan tetap berada di ketinggian seribu kaki. Kami akan
menjumpaimu di Yugoslavia. Kau bisa dengar aku?"
"Dengar."
Balon itu semakin lama semakin tinggi, membawanya ke timur, menjauhi Elba,
yang berada di barat. Tapi Robert tidak kuatir. Angin berubah-ubah arah jika
ketinggiannya berubah-ubah.
Balon-balon yang lain belum take off. Robert melihat salah satu mobil di bawah
bergerak maju, melacaknya. Ia menjatuhkan kantong pasir dan melihat
altimeternya bergerak ke atas. Enam ratus
kaki... tujuh ratus kaki... sembilan ratus kaki... seribu seratus kaki...
Pada ketinggian seribu lima ratus kaki, angin terasa melemah. Balon itu hampir
tak bergerak sekarang. Robert menjatuhkan kantong pasir lagi. Ia menggunakan
teknik anak tangga, berhenti pada setiap ketinggian yang berbeda untuk
mengecek arah angin.
Pada ketinggian dua ribu kaki, Robert bisa merasakan arah angin mulai berubah.
Balon itu berayun di pusaran udara sesaat, lalu pelan-pelan mulai berubah arah
dan menuju ke barat
Di kejauhan, di bawah sana, Robert melihat balon-balon yang lain mulai
mengapung dan bergerak ke timur ke arah Yugoslavia. Sama sekali tidak ada
suara kecuali desir angin yang lembut "Sunyi sekali, Robert rasanya seperti
menunggang awan. Kuharap kita bisa tinggal di atas sini untuk selama-
lamanya." Susan memeluknya erat-erat. "Kau pernah bercinta di dalam balon?"
ia bergumam. "Mari kita coba."
Dan kemudian, "Aku berani bertaruh hanya kita di seluruh dunia yang pernah
bercinta dalam sebuah balon, Sayang."
Robert berada di Laut Tyrrhenia sekarang, menuju ke arah barat laut ke pantai
Tuscany. Di bawah, serangkaian pulau terhampar membentuk lingkaran di lepas
pantai, dengan Elba yang terbesar.
Napoleon dulu dibuang di sana, dan barangkali dia memilihnya karena jika hari
cerah, demikian pikir Robert dia bisa melihat Pulau Corsica yang
dicintainya, tempat kelahirannya. Dalam pe, angan satu-satunya gagasan yang
ada di benak Napoleon adalah bagaimana bisa meloloskan MH dan kembali ke
Prancis. Aku juga sama. Hanya Napoleon tidak mempunyai Susan dan Halcyon
yang bisa menyelamatkannya.
Dari kejauhan, tiba-tiba Monte Capanne muncul, menjulang pada ketinggian
lebih dari tiga ribu kaki ke angkasa. Robert menarik tali pengaman yang
membuka klep di atas balon itu sehingga udara panas bisa dikeluarkan, dan
balon itu mulai bergerak turun. Di bawahnya, Robert bisa melihat Pulau Elba
yang subur dan nampak merah muda dan hijau. Merah muda karena produk batu
granit dan rumah-rumah Tuscan, sedangkan hijau karena hutan-hutannya yang
lebat. Di bawah, pantai-pantai putih yang perawan bertebaran di mana-mana di
sepanjang garis luar pulau itu.
Ia mendaratkan balon di kaki gunung, jauh dari kota, supaya tidak menarik
perhatian orang. Tidak jauh dari tempat pendaratan itu ada sebuah jalan, dan ia
menghampirinya serta menunggu sampai ada mobil yang lewat di situ.
"Boleh saya menumpang sampai ke kota?" Robert berseru.
"Tentu. Naiklah."
Pengemudinya nampak sudah berumur delapan puluhan, dengan wajah yang
renta dan keriput.
"Saya berani bersumpah saya melihat sebuah balon di angkasa baru saja tadi.
Anda melihatnya,
mister?"
Tidak," kata Robert. "Berkunjung?"
"Hanya kebetulan saja lewat Saya dalam perjalanan ke Roma."
Pengemudi itu mengangguk. "Dulu saya pernah ke sana."
Setelah itu keduanya berdiam diri sepanjang perjalanan.
Ketika mereka tiba di Portoferraio, ibu kota dan satu-satunya kota di Pulau Elba,
Robert turun dari mobil itu.
"Have a nice day* kata pengemudi itu dalam bahasa Inggris.
Astaga, pikir Robert, orang-orang California juga pernah ke sinL
Robert berjalan di sepanjang Via Garibaldi, j&-lan utama yang dipenuhi para
turis yang kebanyakan disertai anak-istri mereka, dan seakan sang waktu
berhenti Tidak ada yang berubah di tempat itu; kecuali bahwa aku sudah
kehilangan Susan, dan separo pemerintah negara-negara di dunia berusaha
membunuhku. Kalau tidak, pikir Robert dengan masam, semuanya benar-benar
persis sama seperti dulu.
Ia membeli sebuah teropong di toko souvenir, berjalan ke arah pantai, dan duduk
di meja di luar Restoran Stella Mariner. Dari situ ia bisa mengamati pelabuhan
dengan jelas. Tidak nampak mobil-mobil yang mencurigakan, tidak ada perahu-
perahu bermotor polisi, dan tidak ada polisi yang berkeliaran. Mereka mengira
bahwa ia terperang-
kap di daratan utama. Aman baginya untuk naik ke Halcyon dari sini. Sekarang
ia hanya perlu
menunggu tibanya yacht itu.
Ia duduk di situ menyesap procanico, anggur putih setempat yang lezat itu,
sambil mengamati munculnya Halcyon. Ia mengkaji rencananya lagi. Yacht itu
akan menurunkannya di dekat pantai Marseilles, dan ia akan berusaha mencapai
Paris menemui temannya, Li Po, yang akan membantunya. Ironis memang.
Masih terngiang di telinganya kata-kata Francesco Cesar, "Kudengar kau
membuat transaksi dengan pihak Cina."
Robert tahu bahwa Li Po akan mau membantunya karena Li pernah sekali
menyelamatkan hidupnya, dan menurut tradisi Cina kuno, karena itu ia telah
menjadi orang yang bertanggung jawab atas diri Robert Itu adalah masalah
winyu—"kehormatan".
Li Po bekerja di Guojia Anquanbu, Kementerian Keamanan Cina, yang
menangani spionase. Bertahun-tahun sebelumnya Robert tertangkap ketika
sedang berusaha menyelundupkan seorang pembelot keluar dari Cina. Ia dikirim
ke Qincheng, penjara yang dijaga sangat ketat di Beijing. Li Po adalah seorang
agen ganda yang pernah bekerja sama dengan Robert. Ia berhasil membantu
Robert meloloskan diri.
Di perbatasan Cina, saat itu Robert berkata, "Kau harus keluar selagi kau masih
hidup, Li. Belum tentu kau bisa terus bertahan begini."
Li Po tersenyum. "Aku memiliki ren—kemam
puan untuk menanggung penderitaan, untuk bertahan hidup."
Setahun kemudian, Li Po dipindahtugaskan ke Kedutaan Cina di Paris.
Robert memutuskan sudah waktunya menjalankan langkahnya yang pertama. Ia
meninggalkan restoran dan berjalan di sepanjang pantai. Pantai itu dipenuhi
dengan perahu-perahu bermotor besar dan kecil yang bertolak dari Portoferraio.
Robert menghampiri seorang pria yang sedang menggosok-gosok badan sebuah
perahu bermotor yang mengkilap. Perahu itu jerus Donzi, yang digerakkan oleh
sebuah mesin V-8 berkekuatan 351 tenaga kuda. "Perahu yang bagus," kata
Robert. Pria itu mengangguk. "Merci." "Apakah sekiranya bisa saya sewa untuk
keliling-keliling pelabuhan?"
Pria itu menghentikan kerjanya dan mengamati Robert "Bisa saja. Anda sudah
biasa mengendalikan perahu bermotor?"
"Ya. Saya juga punya perahu Donzi di tempat asai saya."
Pria itu mengangguk dengan senang. "Anda berasal dari mana?" "Oregon," kata
Robert. "Biayanya empat ratus franc per jam." Robert tersenyum. "Baiklah."
"Dan sejumlah uang muka, tentunya." "Tentu."
"Ia sudah siap. Anda ingin membawanya sekarang?"
"Tidak, saya masih ada beberapa urusan. Saya
pikir besok pagi saja." "Jam berapa?"
"Akan saya beritahu nanti," kata Robert.
Ia memberikan sejumlah uang kepada orang itu. "Ini sebagian dari uang
mukanya. Kita ketemu besok."
Ia memutuskan bahwa berbahaya membiarkan Halcyon memasuki kawasan
pelabuhan. Banyak formalitas di sana. Capitaniera di porto—sang syahbandar—
akan mengeluarkan sebuah autorizzazione untuk setiap yacht dan mencatat
persinggahannya. Robert bermaksud untuk sesedikit mungkin melibatkan
Halcyon dengan masalah yang dihadapinya. Ia akan menjumpai yacht itu di
tengah laut.
Di kantor Kementerian Kelautan Prancis, Kolonel Cesar dan Kolonel Johnson
sedang berbicara kepada operator kelautan. "Anda yakin tidak ada lagi
komunikasi selanjutnya dengan Halcyon?"
"Tidak ada, sir, sejak percakapan terakhir yang saya laporkan kepada Anda itu."
"Teruskan pemantauan Anda." Kolonel Cesar menoleh ke Kolonel Johnson dan
tersenyum. "Jangan kuatir. Kita akan tahu begitu Letkol Robert Bellamy naik ke
Halcyon."
"Tapi saya ingin menangkapnya sebelum dia naik ke kapal."
Operator kelautan itu berkata, "Kolonel Cesar,
tidak ada tempat bernama Palindrome yang terdaftar di peta Italia. Tapi kami
rasa kami tahu apa artinya itu." "Di mana?"
"Itu bukan nama tempat, sir. Itu hanya sebuah kata."
"Apa?"
"Ya, sir. Palindrome adalah kata atau kalimat yang ejaannya sama dari depan
atau dari belakang. Misalnya, 'Madam I'm Adam.' Kami telah berhasil
menemukan sejumlah palindrome dengan bantuan komputer." Ia memberikan
sebuah daftar panjang yang terdiri dari kata-kata.
Kolonel Cesar dan Kolonel Johnson mengkaji daftar itu. "Kook... deed... bib...
bob... boob... dad... dud... eve... gag... mom... non... noon... Otto... pop... sees...
tot... toot,.." Cesar mengangkat wajahnya. "Tidak banyak membantu, ya?"
"Mungkin membantu, sir. Jelas mereka menggunakan bahasa kode. Dan salah
satu palindrome yang paling terkenal adalah yang pernah diucapkan oleh
Napoleon, 'Able was I, ere I saw Elba.'"
Kolonel Cesar dan Kolonel Johnson saling berpandangan. "Elba! Ya, Tuhan! Di
sanalah dia sekarang!"
Hari Kedua Puluh Pulau Elba
ada mulanya itu cuma nampak seperti sebuah
noktah kabur di cakrawala, yang membesar dengan cepat dalam terang cahaya
pagi. Melalui teropongnya, Robert melihat noktah itu mengejawantah menjadi
Halcyon. Tak salah lagi. Di lautan tak banyak berkeliaran yacht seperti itu.
Robert bergegas menuju pantai, tempat perahu bermotornya menunggu.
"Selamat pagi."
Pemilik perahu itu mengangkat wajahnya. "Bon-jour, monsieur. Anda sudah siap
untuk membawanya keluar?"
Robert mengangguk. "Ya."
"Berapa lama Anda akan memakainya?"
"Tidak lebih dari satu atau dua jam."
Robert memberikan sisa uang muka kepada orang itu dan turun ke dalam perahu.
"Harap dijaga baik-baik," kata orang itu.
"Jangan kuatir," kata Robert meyakinkannya, "pasti."
Pemilik perahu itu melepaskan ikatannya, dan beberapa saat kemudian perahu
itu sudah berada di laut lepas, berpacu mengejar Halcyon. Robert membutuhkan
waktu sepuluh menit untuk mengejar yacht itu. Ketika sudah semakin dekat, ia
melihat Susan dan Monte Banks sedang berdiri di deknya. Susan melambaikan
tangan, wajahnya nampak cemas. Robert menyetir perahu kecil itu mengambil
posisi di samping yacht dan ia melemparkan seutas tali kepada petugas dek.
"Anda ingin menaikkannya ke atas kapal, sir?" petugas itu berseru.
483
"Tidak, lepaskan saja." Pemiliknya akan segera menemukannya.
Robert menaiki tangga menuju dek mulus yang terbuat dari kayu jati. Susan
pernah menggambarkan Halcyon kepada Robert, dan ia sangat terkesan, tapi
melihatnya sendiri ternyata lebih mengesankan. Halcyon itu panjangnya dua
ratus delapan puluh kaki, dengan kabin pemilik yang mewah, delapan suite
untuk pasangan tamu, dan kabin-kabin lain yang menampung enam belas kru.
Ada ruang tamunya, ruang makan, ruang baca, salon, /dan kolam renang.
Kapal itu digerakkan oleh dua mesin diesel Caterpillar D399 turbo enam belas
silinder berkekuatan seribu dua ratus lima puluh tenaga kuda, dan mengangkut
enam perahu karet untuk dipakai pergi ke pantai. Desain interiornya dikerjakan
oleh Luigi Sturchio di Italia. Yacht itu adalah sebuah istana terapung. "Aku
senang kau akhirnya berhasil," kata Susan. Dan Robert mendapat kesan bahwa
sikap Susan tidak wajar, bahwa ada sesuatu yang tidak beres di situ. Ataukah itu
cuma perasaannya saja karena ia juga sedang tegang?
Susan nampak luar biasa cantik, tapi entah mengapa, Robert merasa kecewa.
Apa sebenarnya yang diinginkannya? Apakah dia ingin Susan nampak pucat dan
merana?
Robert menoleh kepada Monte. "Aku ingin kau tahu betapa aku sangat
menghargni'semuahya ini."
Monte mengangkat bahu. "Senang sekali membantumu."
Orang ini benar-benar berhati malaikat "Bagaimana rencanamu selanjutnya?"
"Aku ingin kau mengganti arah dan menuju barat ke Marseilles. Kau bisa
menurunkan aku di
lepas pantai dan..." «r.^--
Seorang pria dengan seragam putih bersih mendekat Umurnya sekitar lima
puluhan, berbadan gempal, dengan janggut yang dicukur rapi.
"Ini Kapten Simpson. Ini..." Monte Banks memandang Robert menunggu
bantuan.
?Smith. Tom Smith."
Kata Monte, "Kita akan ke arah Marseilles,
Kapten."
"Kita tidak memasuki Pulau Elba?" "Tidak."
Kapten Simpson berkata, "Baik." Ia nampak keheranan.
Robert mengamati cakrawala. Semuanya nampak bersih dan aman.
"Aku usul sebaiknya kita turun saja," kata Monte Banks.
Ketika ketiganya sudah duduk di salon, Monte bertanya, "Apakah kau tidak
merasa perlu memberikan penjelasan kepada kami?"
"Perlu," kata Robert, "tapi aku tidak akan memberikannya. Makin sedikit yang
kalian tahu mengenai masalah ini, makin baik. Aku hanya bisa bilang bahwa aku
tidak bersalah. Aku terlibat dalam suatu permasalahan politis. Aku tahu terlalu
banyak, dan aku sedang diburu. Kalau mereka
menemukan aku, mereka akan membunuhku." Susan dan Monte saling
berpandangan. "Tapi-mereka tak mempunyai alasan untuk mengaitkan diriku
dengan Halcyon," Robert melanjutkan. "Percayalah, Monte, seandainya aku
mempunyai alternatif lain untuk meloloskan diri, pasti sudah kuambil."
Robert teringat akan semua orang yang terbunuh karena basil pelacakannya. Ia
tidak akan tahan kalau sesuatu terjadi atas diri Susan. Ia mencoba untuk
menahan emosinya ketika berkata, "Aku akan senang sekali kalau kalian untuk
kepentingan kalian sendiri tidak mengatakan bahwa aku pernah berada di kapal
ini."
"Tentu saja tidak," kata Monte.
Yacht itu terasa berayun dan berputar perlahan menuju ke arah barat
"Maafkan aku, aku harus berbicara dengan Kapten."
Makan malam berlangsung dalam suasana kaku. Robert merasakan ada sesuatu
yang aneh yang tak bisa dipahaminya, suatu ketegangan yang hampir-hampir
nampak nyata. Apakah itu disebabkan oleh kehadirannya? Ataukah sesuatu yang
lain lagi? Sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua? Semakin cepat aku pergi
dari sini, semakin baik, pikir Robert
rie berada di salon menikmati mi-
numan setelah santap malam ketika Kapten Simpson masuk ke ruang itu.
"Kapan kita akan mencapai Marseilles?" tanya Robert
"Kalau cuaca tidak berubah, kita akan tiba di sana besok sore, Mr. Smith."
Ada sesuatu dalam sikap Kapten Simpson yang tidak disukai Robert. Kapten itu
kasar sikapnya, hampir-hampir tidak sopan. Tapi dia pasti cakap dalam tugasnya,
pikir Robert kalau tidak Monte tidak akan mempekerjakannya. Susan pantas
mendapatkan yacht ini. Ia pantas mendapatkan yang terbaik dari semua hal.
Pada jam sebelas, Monte melihat arlojinya dan berkata kepada Susan, "Kurasa
sebaiknya kita masuk dulu, darling."
Susan memandang sekilas kepada Robert. "Ya."
Ketiganya bangkit.
Monte berkata, "Ada pakaian di dalam kabinmu. Ukuran kita kira-kira sama."
"Terima kasih."
"Selamat malam, Robert"
"Selamat malam, Susan."
Robert berdiri di situ, menyaksikan wanita yang dicintainya berjalan masuk ke
tempat tidur dengan pesaingnya. Pesaing? Apa tidak salah aku? Dia
pemenangnya. Aku pecundangnya.
Tidur adalah bayang-bayang maya yang menari-nari tak tergapai. Terbaring di
tempat tidurnya, Robert sedang memikirkan bahwa di sisi yang lain
dari dinding itu, hanya beberapa kaki jauhnya ada wanita yang dicintainya lebih
daripada siapa pun di muka bumi ini. Ia membayangkan Susan sedang terbaring
di sana, tanpa busana—dia tidak pernah mengenakan baju tidur dan ia mulai
merasa gairahnya bangkit Apakah Monte saat ini sedang bercinta dengannya
atau sedang berada seorang dirikah dia?... Dan apakah Susan sedang memikirkan
tentang dia dan mengenang semua saat indah, yang telah mereka lalui bersama?
Mungkin saja tidak Well, toh dia akan segera keluar dari hidup Susan.
Barangkali dia tidak akan pernah melihat Susan lagi.
Ketika akhirnya ia bisa memejamkan matanya, fajar sudah tiba.
Di ruang komunikasi SIFAR, radar sedang melacak Halcyon. Kolonel Cesar
menoleh ke Kolonel Johnson dan berkata, "Sayang sekali kita gagal
menangkapnya di Elba, tapi. kita sudah berhasil mendapatkan dia sekarang!
Sebuah kapal sudah kita siapkan. Kita hanya tinggal menunggu berita dari
Halcyon untuk menyergapnya di atas yacht itu."
Hari Kedua Puluh Satu
Pagi-pagi sekali, Robert sudah berada di dek memandangi lautan yang tenang.
Kapten Simpson
mendekatinya. "Selamat pagi. Kelihatannya cuaca
akan tetap bagus, Mr. Smith." "Ya."
"Kita akan sampai di Marseilles sekitar jam tiga sore. Apakah kita akan lama
tinggal di sana?"
"Saya tidak tahu," kata Robert dengan ramah. "Kita lihat saja nanti."
"Ya, sir."
Robert menyaksikan Simpson berjalan pergi. Orang ini ada apanya, ya?
Robert berjalan menuju buritan dan mengamati cakrawala. Ia tidak melihat apa-
apa, tapi toh... Di masa lalu, nalurinya telah menyelamatkan nyawanya lebih dari
satu kali. Sudah lama ia belajar untuk bergantung pada nalurinya itu. Ada
sesuatu yang tidak beres di sini.
Di balik cakrawala itu dan tidak nampak, kapal perang Angkatan Laut Italia
Stromboli sedang menguntit Halcyon.
Ketika Susan muncul untuk sarapan pagi, ia nampak pucat dan lelah.
"Tidurmu cukup, darling?" tanya Monte.
"Cukup," kata Susan.
Jadi mereka tidak tinggal di kabin yang sama! Robert merasakah suatu
kegembiraan yang tak berdasar mendengarnya. Ia dan Susan selalu tidur di
ranjang yang sama, tubuhnya yang telanjang dan ranum itu bercumbu dengan
tubuhnya. Ya,
Tuhan, harus k uh e n tikan pikiran-pikiran seperti ini
Di depan Halcyon, di sisi kanan badan yacht itu, ada sebuah perahu penangkap
ikan'dari perusahaan di Marseilles sedang menangkap ikan segar.
"Kalian mau ikan segar untuk makan siang?" tanya Susan.
Kedua pria itu mengangguk. "Ya."
Mereka sudah hampir sejajar dengan perahu penangkap ikan itu.
Ketika Kapten Simpson lewat, Robert bertanya, "Bagaimana ETA kita ke
Marseilles?"
"Kita akan tiba di sana dalam dua jam, Mr. Smith. Marseilles pelabuhan yang
menarik. Anda sudah pernah ke sana?"
"Memang itu pelabuhan yang menarik," kata Robert.
Di ruang komunikasi SIFAR, kedua kolonel itu sedang membaca berita yang
baru saja datang dari Halcyon. Bunyinya hanya: "Sekarang."
"Di mana posisi Halcyon?" bentak Kolonel Cesar.
"Mereka dua jam jauhnya dari Marseilles, menuju pelabuhan."
"Instruksikan Stromholi untuk mengejar dan menyergap yacht itu segera."
Tiga puluh menit kemudian, kapal perang Ang-
katan Laut Italia Stromboli mendekat ke Halcyon. Susan dan Monte sedang
berada di buritan menyaksikan kapal perang itu berpacu ke arah mereka.
Sebuah suara terdengar melalui pengeras suara. "Ahoi, Halcyon. Harap berhenti.
Kami akan naik ke kapal Anda."
Susan dan Monte saling berpandangan. Kapten Simpson bergegas menghampiri
mereka.
"Mr. Banks..."
"Saya mendengarnya. Lakukan apa yang mereka minta. Matikan mesin." "Ya,
sir.'1
Semenit kemudian, gemuruh mesin berhenti, dan yacht itu terapung diam di atas
air. Susan dan suaminya menyaksikan ketika para pelaut bersenjata dari kapal
perang angkatan laut itu diturunkan ke sebuah perahu karet.
Sepuluh menit kemudian, selusin pelaut beramai-ramai menaiki tangga Halcyon.
Perwira angkatan laut yang bertugas memimpin, seorang letnan komandan,
berkata, "Maafkan saya mengganggu Anda, Mr. Banks. Pemerintah Italia punya
alasan kuat untuk menduga bahwa Anda mengangkut seorang buronan. Kami
diperintahkan untuk menggeledah kapal ini."
Susan berdiri di situ menyaksikan pelaut-pelaut itu mulai menyebar, bergerak di
sepanjang dek dan turun ke bawah untuk memeriksa kabin-kabin-nya.
"Jangan katakan apa-apa."
491
"Tapi..."
"Sedikit pun jangan."
Mereka berdiri di dek dengan diam, menyaksikan penggeledahan itu.
Tiga puluh menit kemudian, mereka berkumpul kembali di dek utama.
"Tidak ada tanda-tanda kehadirannya, Komandan," seorang pelaut melapor.
"Kau yakin itu?"
"Sangat yakin, sir. Tidak ada penumpang di kapal ini, dan kami sudah
memeriksa setiap kru."
Komandan itu berdiri di situ dengan kecewa. Atasannya telah membuat
kekeliruan yang parah.
Ia menoleh ke Monte, Susan, dan Kapten Simpson. "Saya mohon maaf,"
katanya. "Saya sangat menyesal telah merepotkan Anda. Kami mohon pamit
dulu." Ia berbalik untuk pergi.
"Komandan..."
"Ya?"
"Orang yang Anda cari sudah laYi dengan menumpang kapal penangkap ikan
setengah jam yang lalu. Tidak akan sulit bagi Anda untuk mengejarnya."
Lima menit kemudian, Stromboli sudah berpacu ke arah Marseilles. Letnan
komandan itu punya cukup alasan untuk merasa senang. Pemerintah negara-
negara di dunia sedang memburu Letkol Robert Bellamy, dan dialah orang yang
akan menemukannya. Aku bisa naik pangkat karena inh pikirnya.
Dari anjungan, perwira navigasi berseru, "Komandan, bisa Anda naik ke atas
sini?"
Apakah mereka telah berhasil menemukan kapal penangkap ikan itu? Sang
komandan bergegas naik ke anjungan.
"Lihat, sir!"
Komandan itu melihat ke arah yang ditunjuk, dan ia jadi lemas. Di kejauhan, di
depan sana, menutupi seluruh cakrawala, nampak seluruh armada penangkap
ikan Marseilles, seratus kapal dengan bentuk sama yang sedang kembali ke
pelabuhan. Tidak mungkin mengidentifikasi kapal mana yang mengangkut
Letkol Robert Bellamy.
Adi
Bab Empat Puluh Tujuh
Ia mencuri sebuah mobil di Marseilles. Fiat 1800 Spider convertible, yang
sedang diparkir di sebuah jalan yang remang-remang. Mobil itu terkunci, dan tak
ada kunci yang menempel di lubang starternya. Tak jadi soal. Setelah melihat ke
sekelilingnya untuk meyakinkan bahwa tak ada orang yang melihatnya, Robert
membuat sedikit sobekan di kanvasnya di bagian atas dan memasukkan
tangannya ke dalam untuk membuka kunci pintu. Ia lalu menyusup masuk ke
mobil itu dan meraih ke bawah dashboard untuk menarik kabel-kabel starternya.
Ia memegang kabel merah tebal di satu tangan sementara, satu per satu, ia
menyentuh kabel-kabel yang lain dengan kabel merah itu sampai ia menemukan
mana yang menyalakan dashboard. Kemudian ia mengaitkan kedua kabel itu dan
menyentuh kabel-kabel yang lain dengan dua kabel yang tadi dikaitkan sampai
mesinnya hidup. Ia menarik keluar choke-nya, dan mesinnya bergemuruh siap
untuk bergerak. Sesaat kemudjan, Robert sudah dalam perjalanan ke Paris.
494
Prioritas pertamanya adalah mencari dan menemukan Li Po. Ketika ia sampai di
pinggiran kota Paris, ia berhenti di sebuah booth telepon. Ia menelepon
apartemen Li dan mendengar suara yang dikenalnya berbicara melalui mesin
penjawab: "Zao, mes amis.... Je regrette que je ne sois pas chez moi, mais U n'y
a pas du danger que je riponde pas a votre coup de telephone. Prenez garde que
vous attendiez le signal de I'appareil."
"Selamat pagi. Menyesal sekali saya tidak ada di rumah, tapi tidak ada bahaya
saya tidak akan menjawab telepon Anda. Berhati-hatilah menunggu nadanya
dulu." Robert mengeluarkan kata-kata yang tidak dipakai sesuai dengan sistem
kode di antara mereka berdua. Kata-kata kuncinya adalah: Menyesal... bahaya...
berhati-hati.
Telepon itu disadap, itu sudah jelas. Li memang sudah menunggu telepon
darinya, dan inilah caranya memperingatkan Robert. Robert harus bisa
menjumpainya secepat mungkin. Ia akan menggunakan kode lain yang pernah *
mereka pakai di masa lalu.
Robert berjalan di sepanjang Rue du Faubourg St. Honore. Ia pernah berjalan di
jalan ini dengan Susan. Waktu itu Susan berhenti di depan sebuah etalase toko
dan berpose seperti sebuah mannequin. "Kau ingin melihatku mengenakan gaun
itu, Robert?" "Tidak, aku lebih suka melihatmu tidak memakai apa-apa sama
sekali" Dan waktu itu mereka juga mengunjungi Museum Louvre, dan Susan
berdiri di'situ, terpana di depan lukisan
495
Mona Lisa dengan air mata tergenang di pelupuknya....
Robert menuju kantor Le Matin. Ketika sampai di blok di mana kantor itu
berada, sebelum gerbangnya, ia menghentikan seorang remaja yang sedang
lewat di jalan itu.
"Kau mau mendapatkan lima puluh franc?"
Anak laki-laki itu memandangnya dengan curiga. "Melakukan apa?"
Robert menuliskan sesuatu pada secarik kertas dan memberikannya kepada anak
itu dengan dilampiri uang kertas lima puluh franc.
"Hanya memberikan ini ke kantor Le Matin di bagian iklan mininya."
"Bon, d'accord.**
Robert menyaksikan anak itu melangkah ke gedung yang dituju. Iklan itu masih
akan sempat dimuat dalam edisi pagi besok. Bunyinya: "Tilly. Ayah sakit keras.
Perlu kau. Harap segera temui dia. Ibu."
Sekarang hanya tinggal menunggu saja. Ia tiflak berani mendaftar ke hotel
karena hotel-hotel pasti sudah dijaga. Paris terasa seperti bom waktu yang
sewaktu-waktu bisa meledak.
Robert naik ke sebuah bus turis yang penuh dengan penumpang dan duduk di
belakang, berusaha untuk tidak menarik perhatian orang. Kelompok turis itu
mengunjungi Luxembourg Gardens, Museum
Setuju.
Louvre, makam Napoleon di Les Invaiides, dan selusin monumen lainnya. Dan
Robert selalu berusaha membaurkan dirinya di tengah massa.
Hari Kedua Puluh Dua Paris, Prancis
Ia membeli tiket untuk pertunjukan tengah malam di Moulin Rouge, bergabung
dengan kelompok turis yang lain. Pertunjukan itu dimulai jam dua pagi. Seusai
pertunjukan, ia mengisi sisa malam itu dengan berkeliaran di sekitar
Montmartre, dari satu bar kecil ke bar kecil yang lain.
Koran pagi itu tidak akan terbit sebelum jam lima pagi. Beberapa menit sebelum
jam lima, Robert berdiri di dekat sebuah kios surat kabar dan menunggu. Sebuah
truk merah datang, dan seorang anak laki-laki melemparkan seikat koran ke
trotoar. Robert memungut koran yang ada di paling atas. Ia membuka bagian
iklan mini. Iklannya ada di sana. Kini tak ada yang bisa dilakukan selain
menunggu.
Pada tengah hari, Robert berjalan-jalan dan sampai ke sebuah toko tembakau
kecil. Di sana lusinan pesan pribadi ditempelkan pada sebuah papan
pengumuman. Ada iklan mencari tenaga kerja, iklan persewaan apartemen,
mahasiswa mencari teman kamar, sepeda dijual. Di tengah papan pengumuman
itu, Robert menemukan pesan yang ditunggu-tunggunya. "Tilly sangat ingin
bertemu. Telepon dia di 50 41 26 45."
Li Po menjawab pada dering telepon yang pertama. "Robert?" "Zoo, Li."
"Demi Tuhan, Bung, apa yang terjadi?"
"Aku justru berharap kau yang bisa menjelaskannya kepadaku."
"Sobatku, kau mendapatkan perhatian lebih banyak daripada Presiden Prancis.
Telegram-telegram semua hanya tentang dirimu saja. Apa yang telah
kaulakukan? Jangan, jangan bilang. Apa pun masalahnya, kau dalam kesulitan
besar. Mereka menyadap telepon di Kedutaan Cina, teleponku di rumah juga
disadap, dan mereka mengawasi flatku. Mereka mengajukan banyak pertanyaan
kepadaku mengenai dirimu."
"Li, apa kau tahu semuanya ini sebenarnya menyangkut masalah...?"
"Jangan lewat telepon. Kau ingat di mana letak apartemen Sung?"
Pacar Li "Ya."
"Aku akan menjumpaimu di sana setengah jam lagi."
"Terima kasih." Robert sangat menyadari bahaya yang mengancam Li Po. Ia
teringat akan apa yang terjadi atas diri Al Traynor, temannya di FBI itu. Aku ini
Jonah si pembawa sial. Setiap orang yang kudekati mati.
Apartemen yang dimaksud terletak di Rue Benouville di kawasan permukiman
yang sunyi di
Paris. Ketika Robert tiba di gedung itu, langit
dipenuhi awan gelap, dan dari kejauhan terdengar gemuruh guntur. Ia berjalan
menuju lobi dan membunyikan bel pintu apartemen itu. Li Po langsung
membuka pintu.
"Mari masuk," katanya. "Cepat." Ia menutup pintu dan menguncinya. Li Po
masih tetap sama seperti yang terakhir Robert bertemu dengannya. Ia jangkung,
kurus, dan awet muda.
Kedua laki-laki itu berjabatan tangan.
"Lj, kau tahu apa yang sebenarnya terjadi?"
"Duduklah, Robert."
Robert duduk.
Li mengamatinya sebentar. "Apakah kau pernah mendengar tentang Operasi Hari
Kiamat?"
Robert mengerutkan dahi. "Tidak. Apakah ada hubungannya dengan UFO?"
"Memang itu terutama menyangkut UFO. Dunia sedang menghadapi bencana,
Robert."
Li Po mulai berjalan mondar-mandir. "Makhluk-makhluk luar angkasa akan
datang untuk menghancurkan kita. Tiga tahun yang lalu, mereka mendarat di sini
dan mengadakan pertemuan dengan para pejabat pemerintah untuk menuntut
supaya semua perusahaan industri terkemuka menutup proyek-proyek nuklirnya
dan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil."
Robert menyimak dan merasa terheran-heran.
"Mereka menuntut dihentikannya produksi bahan bakar minyak, produk-produk
kimia, karet, plastik. Itu berarti penutupan ribuan pabrik di selu-
ruh dunia. Pabrik-pabrik mobil dan baja "terpaksa akan tutup. Ekonomi dunia
akan kacau." "Mengapa mereka...?"
"Mereka beranggapan bahwa kita mencemari jagat raya, menghancurkan planet
bumi dan samu-dera raya.... Mereka menghendaki kita berhenti membuat
senjata, berhenti mengobarkan peperangan."
"Li..."
"Sekelompok tokoh yang berpengaruh dari dua belas negara membentuk
persekutuan—industrialis-industrialis terkemuka dari Amerika Serikat, Jepang,
Rusia, Cina.... Seseorang dengan nama kode Janus mengorganisir badan-badan
intelijen di seluruh dunia untuk bekerja sama dalam Operasi Hari Kiamat
melawan makhluk-makluk asing itu." Ia menoleh ke Robert. "Kau pernah
mendengar tentang SDI?'
"Star Wars. Sistem satelit untuk menembak jatuh rudal-rudal balistik antarbenua
Soviet."
Li menggelengkan kepalanya. "Bukan. Itu cuma kedok. SDI tidak diciptakan
untuk melawan orang-orang Rusia. SDI dirancang khusus untuk menembak
jatuh UFO-UFO. Itu satu-satunya cara untuk menghentikan mereka."
Robert berdiri di situ dengan tercengang, berusaha menyerap semua informasi
yang baru saja diberikan Li Po, sementara gemuruh guntur semakin
menggelegar. "Maksudmu, semua pemerin-toh ikut mendukung...?"
"Katakan saja ada semacam klik di dalam setiap
pemerintahan. Operasi Hari Kiamat ini dikelola di luar jalur pemerintahan. Kau
mengerti sekarang?"
"Ya, Tuhan! Jadi pemerintah-pemerintah tidak tahu bahwa..." Ia mengangkat
wajahnya memandang Li. "Li... bagaimana kau bisa tahu semua itu?"
"Mudah saja, Robert," kata Li pelan. "Aku adalah sekutu Cina-nya." Tangannya
menggenggam sebuah Beretta.
Robert menatap ke senjata itu. "Li...!"
Li menekan pelatuknya, dan bunyi tembakan berbaur dengan bunyi gelegar
guntur dan kilat yang menyambar di luar jendela.
Bab Empat Puluh Delapan
Bum-BUim pertama air hujan yang bersih dan jernih yang baru saja turun
membangunkan wanita itu. Ia sedang berbaring di sebuah bangku taman, terlalu
lelah untuk bisa bergerak. Dalam dua hari terakhir ini, ia merasa bahwa energi
hidupnya mengering dari tubuhnya. Aku akan mati di planet mi Ia lalu terhanyut
dalam tidur yang disangkanya tidur terakhir. Lalu hujan turun. Hujan yang
merupakan anugerah baginya. Ia hampir-hampir tak mempercayainya. Ia
menengadahkan kepalanya ke langit dan merasakan butir-butir air yang sejuk
membasahi wajahnya. Hujan turun semakin deras. Cairan yang segar dan murni.
Ia lalu berdiri dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, membiarkan ah tertuang
ke atas dirinya, memberikan kekuatan baru dan membuatnya merasa hidup
kembali. Ia membiarkan air hujan itu mengisi tubuhnya, menyerapnya ke dalam
intisari raganya sampai ia mulai merasa kelelahannya hilang. Ia merasa dirinya
semakin kuat dan semakin kuat sampai akhir-nya, pikirnya, Aku sudah siap
sekarang. Aku bisa
iirir dengan jernih. Aku tahu siapa yang bisa bZZttkif menemukan jalan pulang.
Ia meng-5Ttransmiter kecil itu, memejamkan matanya,
dan mulai berkonsentrasi.
Bab Empat Puluh Sembilan
Kilasan kilat itulah yang menyelamatkan hidup Robert Tepat di saat Li Po akan
menekan pelatuk pistolnya, kilasan cahaya di luar jendela mengalihkan
perhatiannya sekejap. Robert bergerak, dan peluru itu mengenai pundak
kanannya dan bukan dadanya.
Ketika Li mengangkat pistolnya untuk menembak lagi, Robert mengirimkan
tendangan samping yang membuat pistol di tangan Li jatuh. Li berputar ke
depan dan memukul Robert dengan keras di pundaknya yang luka itu. Sakitnya
menusuk tulang. Jas Robert bersimbah darah. Robert membalas dengan
menghantamkan sikunya. Li mengerang kesakitan. Ia membalas dengan pukulan
shuto yang mematikan ke leher Robert dan Robert berhasil mengelak Kedua
laki-laki itu saling memutari, keduanya terengah-engah, mencari peluang.
Mereka berkelahi dalam bening seakan sedang melaksanakan suatu upacara
kematian zaman purba, dan masing-masing tahu bahwa hanya salah satu dari
mereka yang akan tetap hidup. Robert sema-
kin lemah. Rasa sakit di pundaknya semakin me nyengat dan ia menyaksikan
darahnya menetes netes ke lantai
Waktu berada di pihak Li Po. Aku harus mengakhiri ini secepatnya, pikir Robert
Ia masuk dengan tendangan cepat ke depan. Bukannya mengelak, Li malahan
menerima tendangan itu sepenuhnya, dan berada cukup dekat dengan Robert
sehingga ia bisa menghantamkan sikunya ke pundak Robert Robert terhuyung.
Li masuk dengan memutarkan- badannya dan dengan sebuah tendangan ke
belakang, dan Robert tergetar. Li sekarang berada di atas tubuhnya,
memukulinya, meninju pundaknya berkali-kali, mendorongnya melintasi
ruangan. Robert terlalu lemah untuk menahan pukulan keras yang bertubi-tubi
itu. Matanya mulai meredup. Ia jatuh ke tubuh Li, mencengkeramnya, dan kedua
laki-laki itu terjatuh, menimpa dan memecahkan sebuah meja kaca. Robert
terbaring di lantai, tak bergerak karena tenaganya habis. Sudah selesai, pikirnya.
Mereka menang.
Ia terbaring di sana, setengah sadar, menunggu Li menghabisinya. Tapi tidak
terjadi apa-apa. Pelan-pelan, kesakitan, Robert mengangkat kepalanya. Li
terbaring di sebelahnya di lantai, matanya terbelalak menatap ke langit-langit.
Sebuah potongan kaca besar mencuat dari dadanya seperti sebilah belati
transparan.
Robert berjuang untuk duduk. Tubuhnya lemah karena banyak kehilangan darah.
Pundaknya terasa amat sakit. Aku harus ke dokter, pikirnya. Ada
me- i
tes-
satu nama—seseorang yang sering dipakai oleh dinas tempatnya bekerja, di
Paris—seseorang yang bekerja di Rumah Sakit Amerika. Hilsinger. Benar itu
namanya. Leon Hilsinger.
Dr. Hilsinger baru saja akan meninggalkan tempat prakteknya seusai bekerja hari
itu, ketika telepon berdering. Juru rawat pembantunya sudah pulang, jadi
diangkatnya sendiri telepon itu. Suara di ujung sana telepon itu tidak jelas.
"Dr. Hilsinger?"
"Ya,"
"Ini Robert Bellamy.... Perlu bantuan Anda. Saya luka parah. Anda bisa
menolong saya?"
"Tentu. Anda ada di mana?"
"Itu tidak penting. Saya akan menemui Anda di Rumah Sakit Amerika setengah
jam lagi."
"Saya akan segera ke sana. Langsung saja masuk ke ruang gawat darurat"
"Dokter... jangan ceritakan telepon ini kepada siapa pun."
"Saya berjanji." Hubungan diputuskan.
Dr. Hilsinger memutar sebuah nomor. "Saya baru saja dihubungi Letkol
Bellamy. Saya akan menemuinya di Rumah Sakit Amerika setengah jam lagi...."
"Terima kasih, Dokter."
Dr. Hilsinger meletakkan gagang telepon itu. Ia mendengar pintu ruang reception
itu terbuka dan ia mengangkat wajahnya. Robert Bellamy berdiri di situ dengan
senjata di tangan.
"Saya berubah pikiran," kata Robert. "Mungkin lebih baik kalau Anda merawat
saya di sini."
Dokter itu mencoba menyembunyikan kekagetannya. "Anda... Anda seharusnya
ke rumah sakit11
"Terlalu dekat dengan kamar mayat. Perban saya, dan lakukan itu dengan cepat"
Sulit rasanya untuk berbicara.
Dokter itu akan memprotes, tapi urung. "Baik. Terserah Anda saja. Sebaiknya
saya beri Anda anestesi. Itu akan..."
"Jangan macam-macam," kala Robert. "Jangan mencoba menipu saya." Ia
menggenggam pistolnya di tangan kiri. "Kalau saya tidak bisa keluar dari tempat
ini hidup-hidup, Anda juga. Ada pertanyaan?" Kepalanya terasa pening.
Dr. Hilsinger menelan ludah. "Tidak."
"Kalau begitu, ayo lakukan...."
Dr. Hilsinger membawa Robert ke ruang sebelah, sebuah ruang pemeriksaan
yang penuh dengan peralatan medis. Dengan perlahan dan dengan hati-hati,
Robert melepaskan jasnya. Sambil tetap memegang pistol, ia duduk di atas meja.
Dr. Hilsinger memegang sebuah pisau bedah. Jari-jari Robert semakin menekan
pelatuk pistol itu.
"Tenang," kata Dr. Hilsinger dengan tegang. "Saya hanya akan memotong baju
Anda."
Luka itu nampak menganga, merah, dan digenangi darah. "Pelurunya masih di
dalam sini," kata Dr. Hilsinger. "Anda tidak akan tahan sakitnya kalau tidak saya
beri..."
"Tidak!" Ia tidak mau membiarkan dirinya dibius. "Cabut saja." "Baik, kalau itu
yang Anda kehendaki." Robert menyaksikan dokter itu menghampiri unit
sterilisasi dan memasukkan sebuah tang penjepit. Robert duduk di pinggir meja,
berjuang melawan rasa pening yang semakin mencekam. Ia memejamkan
matanya sejenak, dan Dr. Hilsinger berdiri di depannya dengan tang penjepit di
tangan.
"Mari kita mulai." Ia menusukkan tang itu ke dalam luka yang menganga itu,
dan Robert menjerit keras karena kesakitan. Di depan matanya nampak kilatan-
kilatan cahaya. Ia mulai kehilangan kesadarannya. "Sudah keluar," kata Dr.
Hilsinger. Robert duduk di situ gemetaran sesaat, menarik napas dalam-dalam
berulang-ulang, berjuang untuk menguasai dirinya.
Dr. Hilsinger mengamatinya dengan saksama. "Anda tidak apa-apa?"
Untuk sesaat Robert tidak mampu mengeluarkan suara. "Ya.... Perban saja."
Dokter itu menuangkan peroksida ke lukanya, dan Robert hampir pingsan lagi.
Ia menggertakkan giginya. Tahan. Sudah hampir beres. Dan akhirnya, syukurlah,
yang terberat sudah bisa dilewati. Dokter itu membalutkan perban tebal
menyilang pundak Robert. "Ambilkan jas saya," kata Robert. Dr. Hilsinger
menatapnya. "Anda tidak bisa keluar sekarang. Berjalan saja Anda tidak
mampu."
"Bawa jas saya kemari." Suaranya begitu lemah sehingga ia hampir-hampir tidak
mampu berbicara. Ia menyaksikan dokter itu berjalan melintasi ruangan untuk
mengambilkan jasnya, dan sosok dokter itu nampak seperti berbayang.
"Anda banyak kehilangan darah," Dr. Hilsinger memperingatkan. "Besar
risikonya kalau Anda per-gi."
Dan lebih besar lagi risikonya kalau aku tinggal, pikir Robert Dengan hati-hati,
ia mengenakan jasnya dan mencoba untuk berdiri. Lututnya membengkok. Ia
menyambar pinggiran meja itu.
"Anda tidak akan bisa," Dr. Hilsinger memperingatkan. ¦
Robert mengangkat wajahnya melihat sosok kabur di hadapannya itu. "Pasti
bisa."
Tapi ia tahu bahwa begitu ia beranjak dari situ, Dr. Hilsinger pasti akan
menelepon lagi. Pandangan Robert tertuju pada segulung pita berperekat yang
tadi dipakai Dr. Hilsinger.
"Duduk di kursi ini." Kata-katanya tidak jelas.
"Mengapa? Apa yang Anda...?"
Robert mengangkat pistolnya. "Duduk."
Dr. Hilsinger duduk. Robert mengambil gulungan pita itu. Sulit sekali karena ia
hanya bisa menggunakan satu tangan. Ia menarik lepas ujung pita itu dan mulai
membuka gulungannya. Ia menghampiri Dr. Hilsinger. "Duduk diam dan Anda
tak akan disakiti."
Ia mengikatkan ujung pita itu ke lengan kursi, lalu mulai melingkarkannya ke
kedua tangan dokter itu.
"Ini sungguh tidak perlu," kata Dr. Hilsinger. "Saya tidak akan..."
"Tutup mulut" Robert melanjutkan mengikat sang Dokter ke kursi. Upaya itu
membuat rasa sakitnya kambuh lagi. Ia menatap dokter itu dan berkata pelan,
"Saya tidak akan pingsan."
Ia pingsan."
Ia merasa seolah-olah sedang melayang di ruang angkasa, mengapung tanpa
berat menembus awan-awan putih, dalam kedamaian. Bangun. Ia tidak ingin
bangun. Ia ingin perasaan yang mengasyikkan ini terus berlanjut untuk
selamanya. Bangun. Sesuatu yang keras menekan sisi tubuhnya. Sesuatu yang
terdapat dalam saku jasnya. Dengan mata yang masih terpejam, ia meraihnya
dan menggenggamnya di tangannya. Ternyata kristal yang dulu itu. Ia terhanyut
lagi dalam tidur.
Robert. Suara wanita, lembut dan menenteramkan hati. Ia berada di sebuah
lapangan rumput yang cantik dan hijau, dan udara dipenuhi musik merdu, dan di
langit nampak cahaya terang. Seorang wanita sedang berjalan ke arahnya.
Jangkung dan cantik dengan wajah lonjong dan warna kulit lembut yang hampir-
hampir nampak bening. Ia mengenakan gaun berwarna putih salju. Suaranya
lembut dan pelan.
"Tidak ada yang akan menyakitimu lagi, Robert. Mari datang kepadaku. Aku
menunggumu di sini."
Perlahan-lahan Robert membuka matanya. Lama ia terbaring di situ, lalu bangkit
karena tiba-tiba ia
merasa bergairah kembali. Sekarang ia tahu siapa saksi mata yang kesebelas itu,
dan ia tahu di mana harus menjumpainya.
Bab Lima Puluh
'Hari Kedua Puluh Tiga ¦Paris, Prancis
Ia menelepon Admiral Whittaker dari kantor dokter itu. "Admiral? Robert."
"Robert! Apa yang terjadi? Mereka bilang..."
"Itu tidak jadi soal sekarang. Saya membutuhkan bantuan Anda, Admiral. Anda
pernah mendengar nama Janus?"
Admiral Whittaker berkata perlahan, "Janus? Tidak. Aku tidak pernah
mendengar namanya."
Robert melanjutkan, "Saya telah menemukan fakta bahwa dia mengepalai
semacam organisasi rahasia yang melakukan pembunuhan terhadap orang-orang
tak bersalah, dan kini dia berusaha membunuh saya. Kita harus mencegahnya."
"Bagaimana aku bisa membantumu?"
"Saya perlu bertemu dengan Presiden. Bisa Anda atur pertemuan seperti itu?"
Hening sejenak. "Aku yakin aku bisa."
"Ada lagi. Jenderal Hilliard juga terlibat" "Apa? Bagaimana bisa?"
"Dan ada yang lain-lain. Sebagian besar dinas rahasia di Eropa juga terlibat Saya
tidak bisa menjelaskan lebih lanjut sekarang. Saya ingin Anda menelepon
Hilliard. Katakan padanya saya menemukan saksi mata yang kesebelas."
"Aku tidak mengerti. Saksi mata terhadap apa?"
"Maafkan, saya, Admiral, tapi tak bisa saya katakan. Hilliard akan paham. Saya
ingin dia menemui saya di Swiss."
"Swiss?"
"Katakan padanya cuma saya yang tahu df mana saksi mata kesebelas itu berada.
Kalau dia berbuat macam-macam, transaksi ini batal. Katakan padanya untuk
pergi ke Hotel Dolder Grand di Zurich. Akan ada memo buatnya di resepsionis.
Katakan juga padanya bahwa aku juga ingin bertemu dengan Janus di Swiss—
dan harus dia sendiri yang datang."
"Robert, apa kau yakin apa yang kaulakukan ini benar?"
"Tidak, sir. Tapi ini satu-satunya peluang yang masih saya punyai. Tolong
katakan padanya bahwa syarat-syarat saya tidak dapat ditawar lagi. Nomor satu,
saya minta jaminan perjalanan yang aman ke Swiss. Nomor dua, Jenderal
Hilliard dan Janus harus menemui saya di sana. Nomor tiga, setelah itu, saya
ingin bertemu dengan Presiden Amerika Serikat"
"Akan kulakukan apa yang aku bisa, Robert. Bagaimana aku akan bisa
menghubungimu?"
"Saya akan menelepon Anda lagi. Berapa banyak waktu yang Anda butuhkan?"
"Beri aku satu jam." "Baik."
"Dan Robert..."
Robert bisa mendengar ada nada pilu dalam suara orang tua itu. "Ya, sir?" "Hati-
hatilah."
"Jangan kuatir, sir. Saya selalu bisa lolos. Ingat?"
Satu jam kemudian, Robert berbicara dengan Admiral Whittaker lagi.
"Mereka setuju. Jenderal Hilliard nampaknya terguncang mendengar bahwa ada
saksi baru. Dia berjanji kepadaku bahwa kau tidak akan diganggu. Syarat-
syaratmu akan dilaksanakan. Dia akan terbang ke Zurich dan akan tiba di sana
esok pagi."
"Dan Janus?"
"Janus akan berada di pesawat itu bersamanya." Robert merasa lega. "Terima
kasih, Admiral. Dan Presiden-nya?"
"Aku sudah berbicara sendiri dengannya. Para pembantunya akan mengatur
pertemuan untukmu kapan saja kau siap."
Thank God!
"Jenderal Hilliard menyediakan pesawat untukmu untuk membawamu ke..."
"Tidak." Ia/tidak mau membiarkan mereka memasukkannya ke dalam sebuah
pesawat. "Saya ada
di Paris. Saya minta sebuah mobil dan biar saya kendarai sendiri nanti. Saya
minta mobil itu ditinggalkan di depan Hotel Littre di Montparnasse setengah jam
lagi."
"Aku akan mengupayakan itu."
"Admiral?"
"Ya, Robert?"
Sulit rasanya mengucapkan kata-katanya dengan tegar. "Terima kasih."
Ia berjalan menyusuri Rue Littre, dengan gerakan perlahan karena rasa sakitnya.
Ia mendekati hotel dengan waspada. Nampak sebuah Mercedes hitam diparkir
tepat di depan bangunan itu. Tidak ada orang di dalamnya. Di seberang jalan
nampak sebuah mobil polisi biru-putih dengan seorang polisi berseragam di
belakang setirnya. Di trotoar, dua orang berpakaian preman berdiri menyaksikan
Robert datang mendekat. Dinas Rahasia Prancis.
Robert merasa napasnya sesak. Jantungnya berdebar keras. Apakah ia sedang
melangkah ke dalam sebuah perangkap? Satu-satunya jaminan yang dipunyainya
adalah saksi mata kesebelas itu. Apakah Hilliard percaya kepadanya? Apakah
jaminan itu cukup kuat?
Ia berjalan menghampiri mobil sedan itu, menunggu agen-agen itu bergerak.
Mereka berdiri diam di situ, memperhatikannya.
Ia berjalan menuju sisi pengemudi Mercedes itu dan menjenguk ke dalam.
Kuncinya tergantung di lubang starter. Ia dapat merasakan tatapan para
petugas tersebut menghunjam ke punggungnya saat ia membuka pintu dan
menyelinap masuk. Ia terpaku sejenak, memelototi lubang starter. Kalau Jenderal
Hilliard mengkhianati Admiral Whittaker, maka inilah saatnya semuanya
berakhir dengan sebuah ledakan hebat.
Nah, ini sekarang. Robert menarik napas dalam-dalam, meraih ke tempat kunci
dengan tangan kiri dan memutarnya. Mesinnya mengeluarkan bunyi gemuruh.
Agen-agen dinas rahasia itu berdiri di situ menyaksikan Robert melaju. Ketika
Robert sampai di perempatan, sebuah mobil polisi mengambil posisi di depan
mobilnya, dan untuk sesaat, Robert mengira ia akan diminta berhenti. Tapi,
polisi itu malahan menyalakan lampu merah sirenenya, dan lalu lintas seakan
bubar membuka jalan. Gila! Mereka mengawalku!
Di atasnya, Robert mendengar bunyi helikopter. Ia mendongak. Sisi badan heli
itu ditandai dengan logo Kepolisian Nasional Prancis. Jenderal Hilliard rupanya
melakukan semua hal yang perlu untuk mengupayakan supaya ia bisa tiba di
Swiss dengan aman. Dan setelah kutunjukkan saksi mata yang terakhir, pikir
Robert dengan geram, ia pasti akan membunuhku. Tapi sang Jenderal akan
mendapat kejutan.
Robert mencapai perbatasan Swiss pada jam empat sore hari. Di perbatasan itu,
polisi Prancis berbalik, dan sebuah mobil polisi Swiss ganti mengawalnya.
Untuk pertama kalinya sejak peristiwa ini diawali, Robert merasa lega.
Syukurlah Admiral
Whittaker mempunyai banyak koneksi di kalangan tinggi Dengan adanya
kenyataan bahwa Presiden mengharapkan bertemu 'dengan Robert, Jenderal
Hilliard tidak akan berani menyakitinya. Ia teringat akan wanita yang berpakaian
putih itu, dan saat itu juga, ia mendengar suaranya, yang bergema di dalam
mobilnya.
"Cepat, Robert. Kami semua menunggumu." Semua? Apa ada lebih dari satu?
Aku akan segera mengetahuinya, pikir Robert.
Di Zurich, Robert berhenti di Dolder Grand Hotel dan menulis sebuah memo di
meja penerima tamu untuk sang Jenderal.
"Jenderal Hilliard akan menanyakan saya," kata Robert kepada petugas itu.
"Tolong berikan ini kepadanya." "Baik, Tuan."
Di 1 uar, Robert menghampiri mobil polisi yang sejak tadi mengawalnya. Ia
membungkuk untuk berbicara dengan pengemudinya. "Mulai dari sini, aku tidak
mau diikuti."
Pengemudinya ragu-ragu. "Baiklah, Letnan."
Robert kembali ke mobilnya dan mengendarainya menuju Uetendorf ke tempat
jatuhnya UFO itu. Sepanjang perjalanan, ia teringat akan semua tragedi yang
telah terjadi karena hal itu dan tentang semua nyawa yang telah melayang. Hans
Beckerman dan Father Patrini; Leslie Mothershed dan William Mann; Daniel
Wayne dan Otto Schmidt; Laslo Bushfekete dan Fritz Mandel;
Romanchanko dan Kevin Parker. Mati. Semuanya mad.
Aku ingin melihat wajah Janus, pikir Robert, dan memandang ke dalam
matanya.
Desa-desa seakan-akan berlarian susul-menyusul, dan keindahan yang perawan
dari Pegunungan Alpen mengaburkan semua pertumpahan darah dan teror yang
bermula dari tempat itu. Mobil sampai ke Thun, dan adrenalin mulai menjalari
seluruh indera Robert. Di depan sana terletak lapangan rumput tempat ia dan
Beckerman menemukan* balon cuaca itu, tempat mimpi buruk ini berawal-mula.
Robert membawa mobilnya ke tepi jalan dan mematikan mesinnya. Ia berdoa di
dalam hati. Ia lalu keluar dari mobilnya dan menyeberangi jalanan menuju
lapangan itu.
Seribu kenangan terlintas di benak Robert. Telepon berdering pada jam empat
pagi. "Anda diperintahkan melapor kepada Jenderal Hilliard di markas besar
Badan Keamanan Nasional di Fort Meade pada jam enam pagi hari ini. Apakah
pesan ini sudah dipahami, Letnan?"
Betapa sedikit yang dipahaminya saat itu. Ia teringat akan kata-kata Jenderal
Hilliard: "Anda harus menemukan para saksi mata itu. Semuanya." Dan
pelacakan itu telah membawanya dari Zurich ke Bern, London, Munich, Roma,
dan Orvieto; dari Waco ke Fort Smith; dari Kiev ke Washington, dan Budapest.
Well, pelacakan maut itu telah
sampai ke titik akhirnya, di sini, di mana semua dulu dimulai.
Wanita itu sedang menunggunya, dan Robert tahu itu, dan ia tampil persis sama
dengan yang dilihatnya dalam mimpinya. Mereka berdua saling mendekat, dan
wanita itu seakan bergerak melayang ke arahnya dengan senyum cerah
tersungging di wajahnya.
"Terima kasih kau mau datang, Robert."
Apakah ia benar-benar sedang mendengarnya berbicara, ataukah ia hanya
mendengar alur pikiran wanita itu? Bagaimana cara kita berbicara dengan
makhluk asing?
"Aku harus datang," hanya begitu jawab Robert. Ini suatu adegan yang sungguh
tidak nyata. Aku berdiri di sini berbicara dengan seseorang dari dunia lain!
Seharusnya aku merasa takut, tapi selama hidupku aku belum pernah merasa
sedamai ini. "Aku harus memperingatkanmu," kata Robert "Sejumlah orang
akan datang ke sini dan bermaksud menyakiti dirimu. Lebih baik kau pergi
sebelum mereka datang."
"Aku tidak bisa pergi."
Dan Robert mengerti. Ia meraih ke dalam sakunya dengan tangan kirinya dan
mengeluarkan potongan logam kecil yang berisi kristal itu.
Wajahnya berbinar. "Terima kasih, Robert."
Robert memberikan kristal itu kepadanya dan menyaksikan dia
mempertautkannya dengan potongan yang di tangannya.
"Bagaimana sekarang?" tanya Robert "Sekarang aku bisa berkomunikasi dengan
teman-temanku. Mereka akan datang menjemputku."
Adakah kalimat itu mengandung suatu arti lain? Robert teringat akan kata-kata
Jenderal Hilliard: "Mereka bermaksud untuk menguasai planet ini dan
menjadikan kita budak mereka." Bagaimana kalau ternyata Jenderal Hilliard
benar? Bagaimana kalau makhluk-makhluk asing ini memang berniat untuk
menguasai planet kita? Siapa yang bisa mencegah mereka? Robert melihat
arlojinya; Jenderal Hilliard dan Janus sudah hampir datang. Tepat pada saat
Robert berpikir begitu, didengarnya suara gemuruh helikopter Huey raksasa
mendekati dari arah utara.
"Teman-temanmu datang."
Teman-teman. Mereka adalah musuh bebuyutannya, dan ia berniat untuk
membuka kedok mereka sebagai pembunuh-pembunuh, untuk menghancurkan
mereka.
Rumput dan bunga-bunga di lapangan itu mulai berkibar-kibar dengan keras saat
helikopter itu akan mendarat
Sebentar lagi ia akan bertemu muka dengan Janus. Gagasan itu membuatnya
marah dan dipenuhi hasrat untuk membunuh. Pintu helikopter membuka.
Susan melangkah keluar.
Bab Lima Puluh Satu
Di dalam pesawat induk yang melayang tinggi di atas planet bumi, ada sukacita
besar. Semua lampu pada panel-panelnya memancarkan sinar hijau.
"Kita telah menemukan dia!"
"Kita harus bergegas."
Pesawat yang besar itu lalu melesat menuju planet yang terletak jauh di bawah.
Bab Lima Puluh Dua
Untuk sekejap, sang waktu seakan beku, lalu pecah kembali berkeping-keping.
Robert menatap, tercengang, saat Susan melangkah keluar dari helikopter. Susan
berdiri di situ sesaat, lalu berlari ke arah Robert, tapi Monte Banks yang berada
tepat di belakangnya, menyambarnya dan menariknya kembali.
"Lari,Robert! Lari! Mereka akan membunuhmu!"
Robert maju selangkah ke arah Susan, dan pada saat itu Jenderal Hilliard dan
Kolonel Frank Johnson melangkah keluar dari helikopter.
Jenderal Hilliard berkata, "Saya datang, Letnan. Saya telah menepati apa yang
saya janjikan." Ia menghampiri Robert dan wanita dalam pakaian putih itu.
"Saya kira ini saksi mata yang kesebelas. Makhluk asing yang hilang itu. Kami
yakin ia akan sangat menarik minat kami. Jadi semuanya sudah beres."
"Belum. Anda bilang akan membawa Janus."
"Oh, ya. Janus bersikeras datang ke sini untuk menjumpai Anda."
Robert menoleh ke arah helikopter itu. Admiral Whittaker sedang berdiri di
ambang pintu. "Kau minta bertemu denganku, Robert?" Robert menatapnya,
tidak percaya, dan matanya seakan tertutup oleh selaput merah. Ia merasa seakan
dunianya sudah runtuh. "Tidak! Mengapa...? Demi Tuhan mengapa?"
Sang Admiral sedang berjalan ke arahnya. "Kau tidak mengerti, bukan? Sejak
dulu kau tidak mengerti. Kau terlalu peduli dengan nyawa-nyawa yang tidak
berharga. Kami peduli tentang bagaimana menyelamatkan dunia ini. Bumi ini
milik kita dan kita boleh melakukan apa saja yang kita sukai."
Ia menoleh untuk menatap wanita dalam pakaian putih itu. "Kalau kalian
makhluk asing menginginkan perang, kalian akan mendapatkannya. Dan kami
akan mengalahkanmu!" Ia menoleh kembali ke Robert. "Kau mengkhianatiku.
Kau adalah putraku. Kau kuanggap menggantikan tempat Edward. Kuberi kau
kesempatan untuk berbakti kepada negerimu. Tapi apa balas budimu? Kau
malahan mengiba-iba minta aku memperbolehkan kau tinggal di rumah saja
supaya bisa bersama istrimu." Suaranya penuh dengan kebencian. "Tidak ada
putraku yang boleh bersikap seperti itu. Saat itu seharusnya aku sudah tahu
bahwa nilai-nilai pandangan hidupmu kacau."
Robert berdiri di situ seolah-olah lumpuh, terguncang hebat dan tak kuasa
berkata-kata.
"Kuhancurkan perkawinanmu karena waktu itu aku masih punya keyakinan atas
dirimu, tapi..."
"Kau membubarkan perkawinan...?" "Ingat ketika CIA menugaskan dirimu
untuk memburu Fox? Akulah yang mengatur itu. Aku berharap kau akan insaf.
Kau gagal karena memang Fox itu tidak ada. Saat itu kupikir aku sudah berhasil
meluruskan sikapmu, menunjukkan bahwa kau adalah salah satu dari kami. Lalu
kauhilang kau bermaksud keluar dari dinas. Saat itulah aku tahu bahwa kau
bukan seorang patriot, bahwa kau harus disingkirkan, dihancurkan. Tapi sebelum
itu kau harus membantu kami dengan misi kami."
"Misi kalian? Untuk membunuh orang-orang yang tak berdosa ini? Anda sudah
gila!"
"Mereka harus dibunuh supaya mereka tidak menyebarkan kepanikan. Kami
sudah siap sekarang untuk menghadapi makhluk-makhluk asing itu. Saat itu
yang kami perlukan hanyalah mengulur sedikit waktu, dan kau sudah
memberikannya kepada kami."
Wanita yang berpakaian putih itu sejak tadi berdiri di situ mendengarkan, tidak
mengatakan apa-apa, tapi kini alur pikirannya dilayangkannya masuk ke dalam
pikiran mereka semua yang berdiri di lapangan itu. "Kami datang ke sini untuk
mencegah kalian menghancurkan planet kalian. Kita semua adalah bagian dari
satu jagat raya. ikatlah ke atas."
Kepala-kepala mereka menengadah ke langit. Di na nampak segumpal awan
putih yang sangat sar, dan ketika mereka memandangnya, awan itu rubah bentuk.
Kini yang mereka lihat adalah
sebuah kutub es, dan ketika mereka menatapnya, kutub itu mulai mencair, dan
air tercurah melalui sungai-sungai dan lautan-lautan di seluruh dunia,
membanjiri London dan Los Angeles, New York dan Tokyo, dan semua kota
pantai di seluruh dunia dalam suatu perpaduan adegan yang membuat kepala
pening. Kemudian pemandangan itu berganti dengan tanah pertanian mahaluas
yang kering dan tandus, dengan hasil panen yang hangus jadi abu di bawah
matahari yang kerontang dan ganas, dan mayat-mayat hewan berserakan di
mana-mana. Adegan di depan mata mereka berubah lagi, dan mereka melihat
kerusuhan-kerusuhan massa di Cina, dan bahaya kelaparan di India, dan perang
nuklir yang menghancurkan, dan akhirnya, orang-orang yang hidup di gua-gua.
Adegan itu perlahan-lahan menghilang.
Untuk beberapa saat semuanya diam tertegun. "Seperti itulah masa depan kalian
kalau kalian masih saja melanjutkan cara hidup kalian."
Admiral Whittaker-lah yang paling dulu sadar. "Hipnosis masai," bentaknya.
"Aku yakin kau bisa menunjukkan kepada kami trik-trik lain yang lebih
menarik." Ia bergerak mendekati makhluk asing itu. "Aku akan membawamu ke
Washington. Kami perlu banyak informasi darimu." Admiral itu melihat ke
Robert. "Kau sudah habis." Ia menoleh kepada Frank Johnson. "Urus dia."
Kolonel Johnson mengeluarkan pistolnya dari sarungnya.
Susan berontak dari Monte dan berlari ke sisi Robert "Tidak!" ia menjerit
"Bunuh dia!" kata Admiral Whittaker.
Kolonel Johnson mengarahkan senjatanya kepada sang Admiral. "Admiral,
Anda ditahan."
Admiral Whittaker menatapnya. "Apa... apa yang kaukatakan? Aku
menyuruhmu membunuhnya. Kau salah satu dari kami."
"Anda keliru. Saya tidak pernah menjadi salah satu dari kalian. Saya menyusup
ke dalam organisasi kalian sudah sejak lama. Saya mencari Letkol Bellamy
bukan untuk membunuhnya, tapi untuk menyelamatkannya." Ia menoleh kepada
Robert. "Maaf, aku tidak bisa menghubungimu lebih awal."
Wajah Admiral Whittaker sudah berubah pucat "Kalau begitu kau juga akan
dihancurkan. Tak ada orang yang bisa menghalangi kami. Organisasi kami..."
"Anda sudah tidak memiliki organisasi. Saat ini, semua anggotanya sudah
ditangkap. Semuanya sudah habis, Admiral."
Di atas kepala, langit seakan bergetar karena cahaya dan suara. Pesawat induk
yang sangat besar itu sedang melayang turun tepat di atas mereka, cahaya hijau
yang terang terpancar dari interiornya. Mereka semua terpana ketika pesawat itu
melakukan pendaratan. Sebuah pesawat yang lebih kecil muncul, lalu satu lagi,
dan dua lagi, dan tambah lagi dua, sampai angkasa seakan dipenuhi oleh
pesawat-pesawat itu, dan di udara terdengar
gemuruh dahsyat yang membentuk paduan musik
megah yang bergema di seluruh pegunungan. Pint» pesawat induk itu membuka
dan sesosok makhluk asing muncul.
Wanita dalam pakaian putih itu menoleh kepada Robert "Aku pergi sekarang." Ia
menghampiri Admiral Whittaker, Jenderal Hilliard, dan Monte Banks. "Kalian
ikut dengan saya."
Admiral Whittaker melangkah mundur. 'Tidak! Aku tidak mau pergi!"
"Harus. Kami tidak akan menyakiti kalian." Ia mengacungkan tangannya, dan
untuk sesaat tidak terjadi apa-apa. Kemudian, dengan disaksikan oleh yang hadir
di situ, ketiga orang itu pelan-pelan mulai bergerak dan meluncur ke arah
pesawat ruang angkasa itu. Admiral Whittaker berteriak, "Tidak!" Ia masih
berteriak ketika mereka bertiga menghilang ke dalam pesawat ruang angkasa itu.
Wanita yang berpakaian putih itu menoleh kepada mereka yang hadir. "Mereka
tidak akan disakiti. Mereka harus banyak belajar. Kalau mereka sudah belajar
nanti, mereka, akan dibawa kembali ke sini."
Susan memegang Robert erat-erat
"Katakan kepada orang-orang bahwa mereka harus berhenti membunuh planet
ini, Robert Buat mereka mengerti"
"Aku cuma sendirian."
"Ada ribuan orang seperti kau. Setiap hari jumlahnya bertambah. Suatu hari
nanti akan jadi juta-
an, dan kalian harus berbicara dengan satu suara yang kuat Kau mau melakukan
itu?"
"Akan kucoba. Akan kucoba."
"Kami harus pergi sekarang. Tapi kami akan terus mengawasi kalian. Dan kami
akan kembali lagi."
Wanita berpakaian putih itu berbahk dan masuk ke dalam pesawat induk. Cahaya
di dalam mulai bersinar makin terang dan semakin terang sampai seluruh
angkasa seakan diterangi.
Tiba-tiba, tanpa peringatan apa-apa, pesawat induk itu lepas landas, diikuti oleh
pesawat-pesawat yang lebih kecil, sampai akhirnya semuanya lenyap dari
penglihatan.
"Katakan kepada orang-orang bahwa mereka harus berhenti membunuh planet
ini." Benar pikir
IRobert Aku tahu sekarang apa yang akan kulakukan dalam hidupku selanjutnya.
Ia memandang Susan dan tersenyum.
Cerita Dimulai
Catatan dari Penulis
Dalam melakukan penelitian bagi penulisan novel ini, saya telah membaca
banyak buku, majalah, dan artikel surat kabar yang memuat pernyataan
astronaut-astronaut yang dilaporkan telah mengalami sesuatu yang berhubungan
dengan makhluk luar angkasa. Kolonel Frank Borman ketika berada di Gemini 7
memotret sebuah UFO yang membuntuti kapsulnya. Neil Armstrong di Apollo
11 melihat dua pesawat ruang angkasa yang tak dikenal pada saat ia mendarat di
bulan. Buzz Aldrin memotret pesawat tak dikenal waktu berada di bulan.
Kolonel L. Gordon Cooper berjumpa dengan sebuah UFO besar ketika
melakukan misi penerbangan Proyek Mercury di atas Perth, Australia, dan
merekam suara-suara yang berbicara dalam bahasa yang kemudian ternyata
bukan salah satu bahasa makhluk bumi.
Saya berbicara dengan orang-orang ini", dan juga dengan astronaut-astronaut
yang lain, dan semuanya memastikan bahwa cerita-cerita itu memang patut
diragukan kebenarannya tapi bukan semacam
wahyu Ilahi, bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai pengalaman apa-apa
dengan UFO. Beberapa hari setelah percakapan telepon saya dengan Kolonel
Gordon Cooper, ia menelepon saya kembali. Saya membalas teleponnya itu, tapi
ia tiba-tiba tidak bisa dihubungi. Setahun kemudian, saya berhasil mendapatkan
sepucuk surat yang ditulis olehnya, tertanggal 9 November 1978, yang berbicara
tentang UFO.
Saya menelepon Kolonel Cooper lagi menanyakan apakah suratnya itu autentik.
Kali ini, ia lebih berterus terang. Ia mengatakan bahwa surat itu autentik dan
bahwa selama penerbangan-penerbang-annya ke angkasa luar, ia telah melihat
dengan mata kepala sendiri sejumlah UFO yang sedang terbang. Ia juga
menyebutkan bahwa astronaut-astronaut lain pernah mengalami hal yang sama,
tapi mereka diperingatkan untuk tidak membicarakannya.
Saya telah membaca selusin buku yang dengan jelas membuktikan bahwa piring
terbang itu ada. Saya telah membaca selusin buku yang dengan jelas
membuktikan bahwa piring terbang itu tidak ada. Saya telah memutar video-
video yang menampilkan gambar-gambar piring terbang, dan telah menemui
para terapis di Amerika Serikat dan di luar negeri yang mengkhususkan diri
dalam menghipnotis orang-orang yang menyatakan pernah dibawa masuk ke
dalam UFO. Para terapis itu mengatakan bahwa mereka telah menangani ratusan
kasus yang rincian pengalaman korban-korban-
nya sangat mirip, termasuk tanda-tanda serupa yang sulit dijelaskan pada tubuh
mereka.
Seorang jenderal Angkatan Udara yang mengepalai Blue Book Project—sebuah
tim pemerintah Amerika Serikat yang dibentuk untuk menyelidiki piring terbang
—meyakinkan saya bahwa sampai saat ini belum ditemukan bukti-bukti nyata
mengenai piring terbang atau makhluk luar angkasa.
Tapi, dalam kata pengantar buku karangan Timothy Good yang berjudul Above
Top Secret: The Worldwide UFO Cover-up, Lord
Hill-Norton, admiral Armada Nasional dan kepala Staf Pertahanan Inggris dari
1971 sampai 1973, menulis:
Bukti-bukti bahwa ada objek-objek yang pernah nampak di atmosfer kita, dan
bahkan di daratan kita, yang tidak dapat dijelaslan sebagai buatan manusia atau
suatu hasil kekuatan atau pengaruh alam yang diketahui para ilmuwan kita
nampaknya sudah banyak sekali.... Banyak sekali penampakan yang telah
dilaporkan oleh orang-orang yang reputasinya menurut pendapat saya tidak perlu
dipertanyakan lagi. Yang sangat mengesankan adalah bahwa banyak di antara
mereka itu merupakan pengainat-pengatnat yang terlatih, seperti petugas-petugas
kepolisian dan pilot-pilot perusahaan penerbangan dan angkatan udara....
Pada tahun 1933, Korps Penerbangan Swedia Ke-4 melakukan suatu
penyelidikan tentang
pesawat udara tak dikenal yang muncul di udara Skandinavia, dan pada tanggal
30 April 1934, Mayor Jenderal Erik Reuterswaerd memberikan pernyataan
kepada pers sebagai berikut:
Perbandingan dari laporan-laporan ini menunjukkan bahwa tidak bisa diragukan
lagi bahwa di atas kawasan militer rahasia kita terdapat lalu lintas udara ilegal.
Banyak laporan dari orang-orang yang dapat dipercaya yang menggambarkan
pengamatan saksama atas pesawat udara misterius itu. Dan dalam setiap kasus,
dicatat komentar yang sama; pada pesawat itu tidak terdapat tanda-tanda atau
ciri-ciri identitas yang dapat dilihat... Pertanyaannya adalah: Mereka itu siapa
dan apa, dan mengapa mereka melanggar batas wilayah udara kita?
Pada tahun 1947, Profesor Paul Santorini, seorang ilmuwan Yunani terkemuka,
diminta untuk menyelidiki rudal-rudal yang terbang melewati angkasa Yunani.
Tapi penyelidikannya ini akhirnya dihentikan: "Kami segera bisa mendeteksi
bahwa itu ternyata bukan rudal. Tapi, sebelum kami dapat melangkah lebih jauh,
Angkatan Darat, setelah berunding dengan para pejabat luar negeri,
memerintahkan supaya penyelidikan dihentikan. Para ilmuwan asing terbang ke
Yunani untuk melakukan pembicaraan rahasia dengan saya." (Kalimat ini diberi
penekanan.)
Profesor itu menegaskan bahwa "selubung kerahasiaan internasional" menutupi
masalah UFO karena, salah satu alasannya, pihak yang berwenang
tidak bersedia mengakui adanya suatu kekuatan
yang "tidak mungkin bisa dilawan".
Sejak 1947 sampai 1952, Air Technical Intelligence Center (ATIC) menerima
sekitar seribu lima ratus laporan resmi mengenai penampakan UFO. Dari jumlah
ini, Angkatan Udara menyatakan bahwa dua puluh persennya tidak dapat
dijelaskan.
Marsekal Utama Angkatan Udara Lord Dowding, panglima komando Pesawat
Tempur RAF selama Perang Inggris Raya di tahun 1940 menulis:
Lebih dari 10.000 penampakan telah dilaporkan, yang mayoritasnya tidak dapat
dipertanggungjawabkan melalui "penjelasan ilmiah". Pesawat-pesawat itu telah
dilacak melalui layar radar... dan kecepatan yang dapat diamati adalah 9.000 mil
per jam.... Saya yakin bahwa objek-objek ini benar-benar ada dan bahwa objek-
objek ini tidak dibuat oleh bangsa mana pun di muka bumi ini. (Kalimat ini
diberi penekanan.) Oleh karena itu bagi saya tidak ada alternatif lain kecuali
menerima teori bahwa mereka datang dari suatu sumber di angkasa luar.
Baru-baru ini, di Elmwood, Wisconsin, seisi kota menyaksikan ketika piring-
piring terbang melayang-layang di angkasa kota mereka untuk beberapa hari
lamanya.
Jenderal Lionel Max Chassin, yang baru saja
diangkat menjadi kepala staf Angkatan Udara Prancis dan menjabat koordinator
pertahanan udara, Angkatan Udara Sekutu, Eropa Tengah (NATO), menulis:
Bahwa sering terlihat benda-benda aneh kini tidak perlu diragukan lagi....
Jumlah orang berpendidikan yang serius, cerdas, dan sangat mampu dalam
bidangnya masing-masing yang telah "melihat sesuatu" semakin hari semakin
bertambah.
Kemudian ada lagi Insiden Roswell yang terkenal di tahun 1947. Menurut
laporan saksi mata, pada petang hari tanggal 2 Juli, sebuah benda terang
berbentuk cakram terlihat di atas Roswell, New Mexico. Keesokan harinya,
reruntuhan yang terserak di lokasi yang luas diketemukan oleh seorang
pengelola ranch setempat bersama kedua anaknya. Pihak yang berwajib
disiagakan, dan sebuah pernyataan resmi dikeluarkan, yang menyatakan bahwa
reruntuhan sebuah piring terbang telah diketemukan.
Pernyataan pers kedua segera dikeluarkan, yang menyatakan bahwa reruntuhan
itu tidak lain hanyalah reruntuhan sebuah balon cuaca, yang kemudian
dipamerkan di depan konferensi pers. Sementara itu, reruntuhan yang
sebenarnya dilaporkan telah dikirim ke Wright Field. Jasad-jasad yang
ditemukan itu digambarkan oleh seorang saksi mata sebagai
mirip manusia tapi mereka bukan manusia. Kepala-
nya bundar, mata kecil, dan mereka tidak berambut. Jarak antara satu mata
dengan lainnya lebar. Dibandingkan kita, perawakan mereka kecil, dan kepala
mereka besar jika dibandingkan dengan tubuh mereka. Pakaian mereka
nampaknya berbentuk terusan yang utuh dan warnanya abu-abu. Mereka
nampaknya laki-laki semuanya dan beberapa di antara mereka... Personil-
personil militer kemudian mengambil alih dan kami diminta meninggalkan
lokasi itu serta diperingatkan untuk tidak membicarakan apa yang telah kami
saksikan itu kepada siapa pun.
Menurut sebuah dokumen yang diperoleh dari suatu sumber intelijen pada tahun
1984, sebuah komisi yang sifatnya sangat rahasia bernama sandi Majestic 12,
atau MJ-12, telah dibentuk oleh Presiden Truman pada tahun 1947 untuk
menyelidiki UFO dan melaporkan hasilnya kepada Presiden. Dokumen itu, yang
bertanggal 18 November 1952, dan digolongkan sebagai 'Top Secret/Majic/Eyes
Only', katanya disusun oleh Admiral Hilienkoetter untuk presiden yang baru saja
terpilih, Dwight Eisenhower, dan memuat pernyataan yang luar biasa, yaitu
bahwa empat jasad makhluk asing telah ditemukan dua mil dari lokasi
reruntuhan Roswell.
Lima tahun setelah dibentuk, komisi itu mengirimkan sebuah memo kepada
presiden terpilih Eisenhower, mengenai proyek UFO itu dan mengenai perlunya
menjaga kerahasiaan:
Bahwa motif dan maksud tamu-tamu asing ini masih belum dapat diketahui
sama sekali membawa iihpli-
kasi-implikasi yang penting dan terus berlanjut bagi Keamanan Nasional.... Oleh
karena itu, dan karena pertimbangan-pertimbangan teknologi internasional yang
tak bisa dihindari dan karena kebutuhan mutlak untuk menghindari kepanikan
masyarakat dengan mengerahkan segenap kemampuan kita, maka Komisi
Majestic 12 dengan dukungan suara mutlak berpendapat bahwa kerahasiaan
demi keamanan harus tetap dijaga dengan ketat oleh pemerintahan kita yang
baru.
Bantahan resmi dari pemerintah menyatakan bahwa keaslian dokumen
bersangkutan patut dipertanyakan.
Badan Keamanan Nasional dikabarkan menahan lebih dari seratus dokumen
yang menyangkut UFO; CIA, sekitar lima puluh; dan DIA, enam.
Mayor Donald Keyhoe, bekas staf Charles Lindbergh, terang-terangan menuduh
pemerintah Amerika Serikat menyangkal eksistensi UFO untuk mencegah
kepanikan masyarakat.
Di bulan Agustus 1948, ketika 'Air Technical Intelligence Center membuat suatu
Perkiraan Situasi yang sangat rahasia sifatnya, yang menyatakan pendapatnya
bahwa UFO adalah pesawat yang ditumpangi oleh tamu-tamu dari planet lain,
Jenderal Vandenberg, kepala staf Angkatan Udara pada masa itu, memerintahkan
untuk membakar dokumen tersebut.
Apakah ada suatu konspirasi pemerintah sedunia untuk menutupi kebenaran
terhadap masyarakat?
Dalam jangka waktu yang pendek, yaitu enam tahun, dua puluh tiga ilmuwan
Inggris yang terlibat dalam proyek-proyek jenis Star Wars meninggal dengan
sebab-sebab yang kurang jelas. Mereka semua mengerjakan aspek-aspek yang
berbeda-beda dari persenjataan elektronik, termasuk riset UFO. Di bawah ini
daftar mereka yang meninggal beserta tanggal dan sebab-sebab kematian-nya.
1. 1982. Profesor Keith Bowden: tewas dalam suatu kecelakaan mobil.
2. Juli 1982. Jack Wolfenden: tewas dalam kecelakaan pesawat terbang layang.
3. November 1982. Ernest Brockway: bunuh diri.
4. 1983. Stephen Drinkwater: bunuh diri dalam keadaan tercekik.
5. April 1983. Letnan Kolonel Anthony Godley: hilang, dinyatakan sudah
meninggal.
6. April 1984. Geirge Franks: bunuh diri dengan menggantung diri.
7. 1985. Stephen Oke: bunuh diri dengan menggantung diri.
8. November 1985. Jonathan Wash: bunuh diri * dengan melompat dari atas
bangunan.
9. 1986. Dr. John Brittan: bunuh diri dengan racun karbonmonoksida.
10. Oktober 1986. Arshad Sharif: bunuh diri dengan mengikatkan tali pada
lehernya, menyangkutkannya pada sebuah pohon, dan kemudian melarikan
mobilnya dengan kecepatan
tinggi. Tempat kejadiannya di Bristol, seratus mil dari rumahnya di London.
11. Oktober 1986. Vimal Dajibhai: bunuh diri dengan melompat dari sebuah
jembatan di Bris-
- tol, seratus mil dari rumahnya di London.
12. Januari 1987. Avtar Singh-Gida: hilang, dinyatakan meninggal.
13. Februari 1987. Peter Peapell: bunuh diri dengan merangkak di bawah mobil
di garasi.
14. Maret 1987. David Sands: bunuh diri dengan menabrakkan mobilnya ke
dalam kafe dengan kecepatan tinggi.
15. April 1987. Mark Wisner: meninggal karena mencekik dirinya sendiri.
16. 10 April 1987. Stuart Gooding: terbunuh di Siprus.
17. 10 April 1987. David Greenhalgh: jatuh dari . jembatan.
18. April 1987. Shani Warren: bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya.
19. Mei 1987. Michael Baker: tewas karena kecelakaan mobil.
20. Mei 1988. Trevor Knight: bunuh diri.
21. Agustus 1988. Alistair Beckham: bunuh diri dengan menyengat diri sendiri
dengan aliran listrik.
22. Agustus 1988. Brigadir Peter Ferry, bunuh diri dengan menyengat diri
sendiri dengan aliran listrik.
23. Tanggal tidak diketahui. Victor Moore: bunuh diri.
Kebetulankah?
Selama tiga dekade terakhir ini, sedikitnya ada tujuh puluh ribu laporan
mengenai benda-benda
misterius di angkasa ditambah penampakan-penam-pakan lainnya yang tak
terhitung jumlahnya, mungkin sepuluh kali jumlah tadi, yang tidak dilaporkan.
Laporan-laporan tentang UFO datang dari ratusan negara di seluruh muka bumi.
Di Spanyol, UFO dikenal dengan istilah objetos foladores no identificados; di
Jerman, fliegende Untertassen; di Prancis, soucoupes volantes; di Cekoslovakia,
leta-jici talire.
Pakar astronomi termasyhur Cari Sagan membuat perkiraan bahwa galaksi Bima
Sakti kita sendiri saja barangkali terdiri dari sekitar 250 miliar bintang. Sekitar
satu jutanya, ia percaya, mungkin memiliki planet-planet yang berpotensi
menopang suatu bentuk peradaban.
Pemerintah kita menyangkal eksistensi makhluk pintar dari luar angkasa,
padahal nanti pada Hari Columbus di tahun 1992, di California dan di Puerto
Rico, NASA akan meresmikan pengoperasian teleskop-teleskop radio yang
diperlengkapi dengan penerima-penerima khusus dan komputer-komputer yang
mampu menganalisis puluhan juta saluran radio secara sekaligus untuk dapat
melacak sinyal-sinyal kehidupan makhluk cerdas di jagat raya ini.
NASA menggunakan istilah MOP—Microwave Observing Project—untuk misi
ini, tapi para ahli astronomi menamainya SETI, yaitu Search for Extraterrestrial
Intelligence.
Saya telah mencoba menanyakan kepada dua mantan presiden Amerika Serikat
apakah mereka tahu tentang UFO atau makhluk luar angkasa, dan jawaban
mereka negatif. Apakah mereka akan mau memberitahukan kepada saya
seandainya mereka memiliki informasi tentang itu? Mengingat adanya selubung
rahasia yang menyelimuti masalah itu, saya kira tidak.
Apakah piring terbang itu benar-benar ada? Apakah kita sering dikunjungi oleh
makhluk asing dari planet lain? Dengan adanya teknologi canggih yang melacak
semakin dalam menembus alam semesta, mencari tanda-tanda kehidupan
makhluk cerdas di ruang angkasa, mungkin kita akan memperoleh jawabnya
lebih cepat daripada yang kita perkirakan.
Ada banyak orang yang bekerja di bidang eksplorasi ruang angkasa, astronomi,
dan kosmologi yang, karena tidak sabar menunggu jawabnya itu, mencari
penyakit dengan membuat ramalan-ramalan sendiri. Jill Tartar, seorang pakar
fisika-astro-nomi dan flmuwan proyek SETI di Ames Research Center milik
NASA di Ames, Iowa, adalah salah satunya.
Ada 400 miliar bintang di galaksi kita. Kite «JJ terbuat dari debu bintang, suatu
bahan yang sang»
tidak istimewa. Dalam alam semesta yang penuh dengan debu bintang, rasanya
sulit dipercaya bahwa kita adalah satu-satunya makhluk yang ada.
9 November 1978
Kepada Yth. Duta Besar Griffith Misi Grenada untuk PBB 866 Second Avenue
Suite 502
New York, New York 10017
Duta Besar Griffith yang terhormat,
Saya ingin menyampaikan pandangan-pandangan saya mengenai tamu-tamu dari
luar angkasa yang lebih dikenal sebagai "UFO", dan mengusulkan bagaimana
sebaiknya perlakuan kita terhadap mereka.
Saya percaya bahwa kendaraan-kendaraan ruang angkasa ini beserta krunya
mengunjungi planet kita dari planet lain, yang jelas sedikit lebih canggih
teknologinya daripada yang kita miliki di planet bumi. Saya berpendapat bahwa
kita perlu menyusun sebuah program tingkat tinggi yang terkoordinir dengan
baik, untuk secara ilmiah mengumpulkan dan menganalisis data diri dari seluruh
dunia menyangkut pertemuan-pertemuan tersebut, dan menentukan bagaimana
cara yang terbaik untuk menghadapi tamu-tamu ini secara bersahabat. Tapi
sebelum itu, barangkali kita harus dapat menunjukkan kepada mereka bahwa
kita di
planet bumi telah belajar menyelesaikan masalah-masalah kita secara damai, dan
bukan dengan'berperang, kalau kita berkeinginan untuk diterima sebagai
anggota-anggota tim universal yang memenuhi syarat. Penerimaan ini akan
membuahkan kemungkinan-kemungkinan yang luar biasa bagi kita untuk
memajukan dunia kita dalam semua bidang. Apabila demikian maka pastilah
PBB akan sangat berkepentingan untuk menangani masalah ini dengan sebaik-
baiknya, cepat, dan efisien.
Perlu saya kemukakan di sini bahwa saya bukan seorang peneliti profesional
UFO yang berpengalaman. Saya belum pernah berkesempatan untuk
menerbangkan sebuah UFO, dan juga belum pernah bertemu dengan krunya.
Tapi saya merasa bahwa saya agak memenuhi syarat untuk berbicara tentang
mereka karena saya sudah pernah mengarungi wilayah luas yang juga mereka
arungi. Juga, saya berkesempatan di tahun 1951 untuk mengamati sejumlah
besar penerbangan mereka, dengan pesawat yang ukurannya bermacam-macam,
yang terbang dalam formasi tempur, kebanyakan dari timur ke barat melintasi
Eropa. Mereka berada di ketinggian yang tak terjangkau oleh pesawat-pesawat
jet tempur kita pada waktu itu.
Ingin saya kemukakan juga di sini bahwa kebanyakan astronaut sangat enggan
untuk berbicara tentang UFO, karena begitu banyak orang yang secara sera m
pangan menjual cerita-cerita palsu dan
543
memalsukan dokumen-dokumen yang seenaknya menyalahgunakan nama-nama
para astronaut serta reputasi mereka. Astronaut-astronaut yang masih
melanjutkan berperan serta dalam bidang UFO, yang tidak banyak jumlahnya
itu, harus bersikap sangat hati-hati. Cukup banyak di antara kami yang percaya
akan adanya UFO dan yang pernah menyaksikan UFO dari daratan, atau dari
pesawat udara.
Sekiranya PBB setuju menyelenggarakan proyek semacam ini, dan
mendukungnya dengan kredibilitas yang dimilikinya, maka barangkali akan
semakin banyak lagi orang-orang dengan berkualifikasi tinggi yang bersedia
untuk ikut serta dan memberikan bantuan serta informasi.
Saya berharap untuk dapat berjumpa dengan Anda dalam waktu dekat ini.
Hormat saya,
L. Gordon Cooper
Kol. USAF (Purnawirawan)<PIXTEL_MMI_EBOOK_2005>7

Anda mungkin juga menyukai