Anda di halaman 1dari 303

Mario

puzo dengan karya klasiknya:The sicilian kisah kehidupan orang orang


sicilia yang romantis,meski penuh darah,balas dendam,dan pengkhianatan.
Tahun 1950 .Michael corleono tiba di pengujung masa pengasinganya di
sicilia.God father memerintahkanya membawa seorang pelanggar hukum muda
bernama salvatore Guiliano kembali ke amerika .namun kehidupan Guiliano
dihiasi jaring jaring berdarah penuh kekejaman dan vendetta.Di sicilia,Guliano
adalah Robin hood zaman modern yan melawan korupsi,Pemerintah Roma-dan
melawan Cosa Nostra,Di pulau yang penuh berserakan puing kuil kuno
peninggalan bangsa Yunani ini,jalan hidup Michael Corleono terjalin erat dengan
legenda Salvatore Guiliano:sang kesatria,pencinta,sicilian sejati
Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,-(lima puluh
juta rupiah).
MARIO PUZO
ORANG-ORANG SISILIA
Gn
BUKU I
MICHAEL CORLEONE 1950
MICHAEL CORLEONE berdiri di dermaga kayu panjang di Palermo dan
mengawasi kapal laut besar itu berlayar ke Amerika. Ia seharusnya berada di
kapal itu juga, tetapi instruksi-instruksi baru dari ayahnya telah datang.
Ia melambai mengucapkan selamat berpisah kepada orang-orang di perahu
nelayan kecil yang membawanya ke dermaga, orang-orang yang menjaga dirinya
selama beberapa tahun terakhir ini. Perahu nelayan itu meng-ikuti ombak
berbuih putih yang ditimbulkan kapal laut, bagai anak itik kecil pemberani
mengejar sang induk. Para pria dalam perahu itu balas melambai; ia tidak akan
bertemu mereka lagi.
Dermaga itu sendiri terasa hidup dengan para buruh bertopi dan bercelana baggy
yang lalu-lalang membongkar muatan kapal-kapal lainnya, memuati truk-truk
yang berjajar di sepanjang dermaga. Mereka pria-pria kecil bertubuh liat yang
lebih mirip orang Arab daripada Italia, mengenakan topi-topi berlidah yang
menyembunyikan wajah mereka. Di antara mereka pasti terdapat para pengawal
baru yang akan memasti-; kan dirinya tidak celaka sebelum bertemu Don Croce
9
Malo, Capo di Capi* dari "Friends of the Friends" (Teman-temannya Teman-
teman). Itulah julukan mereka di Sisilia ini. Surat-surat kabar dan dunia luar
menyebut mereka Mafia, tapi di Sisilia kata Mafia tak pernah melintas di bibir
penduduk biasa. Sebagaimana mereka tak akan pernah memanggil Don Croce
Malo Capo di Capi melainkan "The Good Soul"—Jiwa yang Baik
Selama dua tahun masa pengasingannya di Sisilia, Michael mendengar banyak
cerita tentang Don Croce, beberapa di antaranya begitu fantastis hingga ia
hampir-hampir tak percaya orang seperti itu ada. Tapi instruksi-instruksi yang
diberikan ayahnya jelas sekali: ia diperintahkan makan siang bersama Don Croce
hari ini juga. Dan mereka berdua harus mengatur pelarian bandit terbesar Sisilia
dari negara itu, Salvatore Guiliano. Michael Corleone tidak boleh meninggalkan
Sisilia tanpa Guiliano.
Di ujung dermaga, tak lebih dari lima puluh meter jauhnya, mobil besar
berwarna gelap diparkir di jalan sempit, itu. Di depan mobil berdiri tiga laki-laki,
sosok-sosok persegi gelap yang seperti dipotong dari lembaran cahaya terang
yang memancar bagai dinding emas matahari. Michael berjalan mendekati
mereka. Ia ber-
*Don/Capo/Godfather/Boss adalah kepala keluarga. Capo di (Tutti) Capi atau
Boss of the Bosses adalah Don yang paling berpengaruh dari semua Don. Ia
biasa memimpin pertemuan yang dihadiri para Don untuk mendiskusikan
pertengkaran antarkeluarga, pembagian teuton, keputusan berdamai maupun
berperang dengan pihak lain,
henti sejenak untuk menyulut rokok dan mengamati kota.
Palermo terletak di dasar mangkuk yang tercipta dari kawah yang telah mati,
dikepung pegunungan di ketiga sisinya, dan membentang ke air biru kemilau
Laut Mediterania di sisi keempat. Kota itu berkilau-kilau tertimpa cahaya
keemasan matahari tengah hari Sisilia. Berkas-berkas cahaya kemerahan
menghantam tanah, seakan-akan memantulkan banjir darah yang menggenangi
tanah Sisilia selama berabad-abad, tak terhitung lamanya. Bias-bias keemasan
menyiram tiang-tiang marmer kuil-kuil Yunani, kubah-kubah mesjid yang bagai
berjala-jala, ch^dmg-dinding depan katedral Spanyol yang rumit; di lereng bukit
di kejauhan berdiri sisa-sisa puri Normandia kuno. Semuanya ditinggalkan oleh
aneka pasukan kejam yang memerintah Sisilia sejak sebelum Kristus dilahirkan.
Di balik dinding-dinding puri, pegunungan-pegunungan berbentuk kerucut
memeluk Palermo—yang bagaikan sosok wanita—dalam pelukan mendekati
cekikan, keduanya seakan berlutut anggun dengan seutas tali melilit makin erat
di leher kota. Jauh di atas; puluhan elang merah mungil melesat kian kemari di
langit biru cemerlang.
Michael berjalan mendekati ketiga pria yang menunggunya di ujung dermaga.
Sosok-sosok persegi gelap itu pun menjelma menampilkan garis-garis wajah dan
postur. Seiring setiap langkah ia bisa melihat mereka makin jelas dan mereka
tampak merenggang, memperlebar jarak antara satu dan yang lain seolah hendak
melingkupinya sewaktu menyapa.
Ketiganya tahu sejarah Michael. Bahwa ia putra termuda Don Corleone yang
agung di Amerika sang
Godfather, yang kekuasaannya bahkan menjangkau Sisik. Bahwa ia membunuh
pejabat tinggi kepolisian di New York sewaktu tengah mengeksekusi musuh
Kekaisaran Corleone. Bahwa ia bersembunyi dan diasingkan di Sisilia ini akibat
pembunuhan-pembunuhan tersebut dan sekarang akhirnya, berbagai urusan
sudah "diatur", ia dalam perjalanan ke tanah kelahirannya untuk melanjutkan
perannya sebagai putra mahkota Keluarga Corleone. Mereka mengamati Michael
dengan teliti, caranya berjalan yang begitu cepat dan ringan, pandangannya yang
waspada, sisi wajahnya yang cekung mengesankan pria yang telah mengalami
penderitaan dan bahaya. Jelas ia pria "terhormat".
Begitu Michael melangkah meninggalkan dermaga, pria pertama yang
menyapanya adalah pastor, tubuhnya yang gempal terbungkus jubah, kepalanya
tertutup topi berbentuk mirip kelelawar berminyak. Kerah pastornya yang putih
ternoda debu merah Sisilia, wajah di atasnya dijejali daging.
Inilah Pater Benjamino Malo, saudara Don Croce yang agung. Kelakuannya
malu-malu dan khidmat, tapi ia sangat berbakti pada saudaranya yang terkenal
dan tak pernah mengernyit atas kehadiran setan yang begitu dekat dengan
dirinya. Menurut kabar ia bahkan menyampaikan rahasia orang-orang yang
mengaku dosa kepada Don Croce.
Pater Benjamino tersenyum gugup saat menjabat tangan Michael dan terkejut
sekaligus lega melihat senyum Michael yang bersahabat, sama sekali tidak
seperti pembunuh terkenal.
Pria kedua tidaklah seramah pastor meskipun cukup sopan. Ia Inspektur
Frederico Velardi, kepala Kepolisian
Sisilia. Ia satu-satunya dari mereka bertiga yang tidak menampilkan senyum
menyambut. Bertubuh kurus dan mengenakan pakaian yang terlalu bagus bagi
seorang yang menerima gaji pegawai negeri, mata birunya yang dingin
memancarkan peluru-peluru genetis para penakluk Normandia berabad-abad
yang lalu. Inspektur Velardi tak mungkin menyukai orang Amerika yang
membunuh pejabat tinggi kepolisian. Orang itu boleh mencoba peruntungannya
di Sisilia. Berjabatan dengan Velardi terasa seperti beradu pedang.
Pria ketiga lebih jangkung dan lebih kekar; ia bagai raksasa di samping kedua
pria lainnya. Tangannya menelan tangan Michael, lalu menarik Michael ke
dalam pelukannya yang hangat. "Sepupu Michael," katanya. "Selamat datang di
Palermo." Ia melangkah mundur dan memandang Michael dengan sayang tapi
waspada. "Aku Stefan Andolini, ayahmu dan aku tumbuh besar bersama-sama di
Corleone. Aku pernah melihatmu di Amerika, sewaktu kau kecil. Kau ingat
aku?"
Anehnya Michael mengingatnya. Karena Stefan Andolini termasuk makhluk
langka di Sisilia, rambutnya merah. Itu merupakan kesialan baginya, karena
orang Sisilia percaya Yudas berambut merah. Wajahnya juga tidak mudah
dilupakan. Mulurnya besar dan bentuknya tidak teratur, bibirnya yang tebal
bagai daging cincang berlumuran darah; di atasnya terdapat cuping hidung
berbulu, dan matanya cekung di lubangnya yang dalam. Sekalipun tengah
tersenyum, wajah Andolini akan menyebabkan orang memimpikan
pembunuhan.
Menyangkut kehadiran sang pastor, Michael seketika memahami kaitannya. Tapi
kehadiran Inspektur Velardi merupakan kejutan. Andolini, yang hadir untuk
melak-
sanakan tanggung jawab sebagai kerabat, dengan hati-hati menjelaskan kepada
Michael kapasitas resmi kehadiran Inspektur. Michael seketika waspada. Apa
yang dilakukan orang itu di sini? Velardi terkenal sebagai salah satu pemburu
Salvatore Guiliano yang tak kenal lelah. Dan jelas sekali Inspektur dan Stefan
Andolini saling membenci mereka menampilkan kesopanan dua pria yang siap
berduel hingga mati.
Sopir telah membukakan pintu-pintu mobil bagi mereka. Pater Benjamino dan
Stefan Andolini mengajak Michael ke kursi belakang sambil menepuk-nepuknya
sopan. Dengan kerendahan hati Kristiani, Pater Benjamino bersikeras agar
Michael duduk di dekat jendela sementara ia sendiri di tengah, karena Michael
harus melihat keindahan Palermo. Andolini duduk di kursi belakang lainnya.
Inspektur sudah menempati kutsi di samping sopir. Michael memerhatikan
Inspektur Velardi memegangi tangkai pintu sehingga bisa membukanya dengan
cepat. Terlintas dalam benaknya bahwa mungkin Pater Benjamino memaksa
duduk di tengah untuk mengurangi kemungkinan dirinya menjadi sasaran.
Laksana naga hitam besar, mobil perlahan-lahan melaju sepanjang jalan-jalan
Palermo. Di jalan ini berdiri rumah-rumah bergaya Moor yang anggun,
bangunan-bangunan publik bertiang gaya Yunani yang menjulang, katedral-
katedral Spanyol. Rumah-rumah pribadi bercat biru, bercat putih, bercat kuning,
semuanya memiliki balkon bertepi pot bunga yang membentuk jalan layang lain
di atas kepala. Pemandangannya pasti indah kalau bukan karena kehadiran
berpuluh-puluh carabinieri, Polisi Nasional Italia, yang berpatroli di
setiap tikungan dengan senapan siap ditembakkan. Dan lebih banyak lagi rekan
mereka di balkon-balkon di atas kepala.
Mobil mereka menyebabkan mobil-mobil lain di sekitarnya tampak kecil,
terutama kereta-kereta petani yang ditarik keledai, sebagian besar membawa
sayur-mayur segar dari pedalaman. Kereta-kereta ini dicat warna-warni cerah:
setiap incinya sampai jari-jari rodanya, termasuk tonggak tempat mengikat
keledai. Di sisi sebagian besar kereta terdapat lukisan yang menggambarkan
kesatria-kesatria berhelm dan raja-raja bermahkota dalam adegan-adegan
dramatis legenda Charlemagne dan Roland, para pahlawan kuno cerita rakyat
Sisilia. Tapi di beberapa kereta Michael melihat tulisan—di bawah gambar
pemuda tampan bercelana panjang wol tebal dan berkemeja putih tanpa lengan,
dengan pistol-pistol di sabuknya dan pistol-pistol lain tersandang di bahunya—
dua baris kalimat yang selalu diakhiri huruf-huruf merah besar menyatakan
nama GUILIANO.
Selama pengasingannya di Sisilia, - Michael telah banyak mendengar tentang
Salvatore Guiliano. Namanya selalu dimuat koran-koran. Orang-orang
membicarakan dirinya. Istri Michael, Apollonia, mengaku setiap malam ia
berdoa bagi keselamatan GuiHano, sebagaimana yang dilakukan hampir semua
anak dan remaja SisiHa. Mereka memujanya, ia salah satu dari mereka,
sosoknya merupakan impian masa depan mereka masing-masing. Dalam usia
muda, dua puluhan, ia telah diakui sebagai jenderal besar karena berhasil
mengalahkan pasukan-pasukan carabinieri yang dikirim untuk melawannya. Ia
tampan dan dermawan, ia mem-
berikan sebagian besar hasil kejahatannya kepada orang miskin. Ia berbudi dan
para banditnya tak pernah diizinkannya melecehkan wanita atau pastor. Bila
mengeksekusi informan atau pengkhianat, ia selalu memberi waktu kepada para
korbannya untuk berdoa dan membersihkan jiwa dalam rangka berdamai dengan
para penguasa dunia selanjutnya. Semua ini diketahui Michael tanpa harus
mendapat penjelasan khusus.
Mereka berbelok meninggalkan jalan raya dan poster besar behuruf-huruf hitam
di dinding sebuah rumah menarik perhatian Michael. Ia hanya sempat melihat
kata GUILIANO di baris teratas.
Pater Benjamino mencondongkan tubuh ke jendela dan berkata, "Itu salah satu
proklamasi Guiliano. Tak peduli segala yang terjadi, dia masih menguasai
Palermo di malam hari."
"Apa isi proklamasi itu?" tanya Michael. Dia mengizinkan penduduk Palermo
naik trem lagi," jawab Pater Benjamino.
"Dia mengizinkan?" tanya Michael sambil tersenyum. "Seorang pelanggar
hukum memberi izin?"
Dari sisi lain Stefan Andolini tertawa. "Carabinieri menggunakan trem untuk
pergi ke mana-mana, jadi Guiliano meledakkan trem-trem itu. Tapi sebelumnya
dia memperingatkan masyarakat untuk tidak menggunakannya. Sekarang dia
berjanji tidak meledakkan trem-trem lagi."
Michael berkata datar, "Dan kenapa Guiliano meledakkan trem yang penuh
polisi?"
Inspektur Velardi berpaling, mata birunya membelalak "Karena Roma dalam
kebodohannya telah menangkap ayah dan ibunya dengan tuduhan menampung
penjahat
terkenal, yakni putra mereka sendiri. Hukum Fasis yang tak pernah dicabut oleh
republik."
Pater Benjamino berkata dengan kebanggaan tersamar, "Kakakku, Don Croce,
mengatur pembebasan mereka. Oh, kakakku sangat marah terhadap Roma."
Demi Tuhan, pikir Michael. Don Croce marah terhadap Roma? Memangnya
siapa Don Croce ini selain menjadi pezzonovante—tokoh berkuasa—Mafia?
Mobil berhenti di depan bangunan berwarna merah muda yang panjangnya
mencapai satu blok. Menara-menara biru mencuat di masing-masing sudutnya.
Di depan pintu masuk terdapat kanopi besar berwarna hijau dan bergaris-garis
putih yang bertuliskan HOTEL UMBERTO, dikawal dua penjaga pintu yang
mengenakan seragam berkancing emas kemilau. Tapi perhatian Michael tidak
teralih oleh kemeriahan ini.
Matanya yang terlatih memotret jalan di depan hotel. Ia menemukan sedikitnya
sepuluh pengawal yang berjalan berpasangan, atau bersandar ke pagar besi.
Orang-orang ini tidak menyembunyikan fungsi mereka. Jaket-jaket mereka yang
tak terkancing menampilkan senjata-senjata yang melekat ke tubuh. Dua di
antaranya, sambil mengisap cerutu tipis, menghalangi jalan Michael sejenak
sewaktu ia turun dari mobil. Mereka mengamatinya dengan teliti—seakan
mengukur makamnya Mereka tak mengacuhkan Inspektur Velardi dan yang
lainnya.
Sewaktu kelompok itu memasuki hotel, para penjaga menutup pintu masuk di
belakang mereka. Di lobi, empat pengawal lain muncul dan mendampingi
mereka menyusuri koridor. Orang-orang ini memancarkan kebanggaan pelayan
istana kaisar.
Koridor berujung pada dua pintu kayu ek besar. Seorang pria, yang semula
duduk di kursi tinggi bagai takhta, bangkit berdiri dan membuka pintu-pintu itu
dengan kunci kuningan. Ia membungkuk sambil melontarkan 'senyum bernada
tahu sama tahu pada Pater Benjamino.
Pintu-pintunya membuka ke ruangan suite yang mewah jendela-jendela ganda
bergaya Prancis menampak-
Ikan taman yang indah di baliknya, menebarkan keharuman pepohonan lemon
ke dalam ruangan. Sewaktu mereka masuk, Michael bisa melihat dua pria yang
ditempatkan di dalam suite. Ia penasaran kenapa Don Croce dijaga seketat ini. Ia
teman Guiliano, kepercayaan Menteri Kehakiman di Roma, dan karenanya aman
dari para carabineri yang memenuhi Palermo. Kalau begitu siapa, dan apa, yang
ditakuti Don yang agung ini? Siapa musuhnya?
Perabotan di ruang duduk suite aslinya dirancang untuk istana Italia—kursi-kursi
berlengan berukuran raksasa, sofa-sofa sepanjang dan sedalam kapal-kapal kecil,
meja-meja marmer besar menyerupai barang curian dari museum. Semua itu
sangat sesuai dengan pria yang kini melangkah masuk dari taman untuk
menyambut mereka.
Lengan-lengannya terulur, memeluk Michael Corleone. Dalam keadaan berdiri,
lebar tubuh Don Croce hampir sama dengan tinggi badannya. Rambut lebat
beruban, keriting seperti orang kulit hitam, dicukur rapi, kepalanya besar bagai
kepala singa. Matanya sehitam mata kadal, bagai dua kismis yang menempel
pada pipi-pipi tembam. Kedua pipinya bagai dua lembar kayu mahoni, sisi
kirinya halus, sementara sisi lainnya
keriput oleh daging yang tumbuh berlebihan. Mulutnya—mengejutkan—sangat
bagus, dan di atasnya tumbuh sebaris kumis tipis. Hidungnya yang mancung
bagai hidung bangsawan menyatukan ciri-ciri wajahnya yang lain.
Tapi di bawah kepala yang bagaikan kaisar itu ia tetap petani. Celana panjang
kebesaran melilit perutnya yang buncit, ditahan suspender lebar berwarna putih.
Kemejanya yang kebesaran juga putih dan baru dicuci, tapi tidak disetrika. Ia
tidak mengenakan dasi atau mantel dan kakinya telanjang menginjak lantai
marmer.
Ia tidak tampak seperti pria, yang "punya andil" dalam setiap perusahaan besar
di Palermo sampai kios-kios pasar murah di alun-alun. Sulit dipercaya bahwa ia
bertanggung jawab atas ribuan kematian. Bahwa kekuasaannya di kawasan
Sisilia Barat lebih besar daripada kekuasaan pemerintah Roma. Dan bahwa ia
lebih kaya daripada para bupati dan bangsawan yang menguasai lahan-lahan luas
di Sisilia.
Pelukannya sigap dan ringan sementara ia berkata, "Aku kenal ayahmu sewaktu
kami kanak-kanak. Aku gembira sekali dia memiliki putra sebaik ini." Lalu ia
menanyakan kenyamanan perjalanan Michael dan kebutuhannya saat ini.
Michael tersenyum dan mengatakan ingin makan sekerat roti dan minum setetes
anggur. Don Croce seketika mengajaknya ke kebun, karena seperti semua orang
Sisilia, kalau bisa ia lebih suka makan di ruang terbuka.
Di bawah sebatang pohon lemon telah disiapkan meja, yang kemilau oleh gelas-
gelas dan kain linen putih halus. Kursi-kursi bambu lebar ditarik ke belakang
oleh para pelayan. Don Croce memeriksa pembagian
tempat" dengan ramah dan riang, menjadikannya lebih muda daripada usianya;
ia sekarang berusia enam puluhan. Ia menempatkan Michael di sebelah
kanannya dan saudaranya, si pastor, di sebelah, kirinya. Ia menempatkan
Inspektur Velardi dan Stefan Andolini di seberangnya dan menerima kehadiran
mereka dengan agak dingin.
Semua orang Sisilia gemar makan, kalau ada hidangan yang bisa dimakan, dan
salah satu dari sedikit lelucon yang berani dilontarkan orang-orang tentang Don
Croce adalah ia lebih suka makan enak daripada membunuh musuh. Sekarang ia
duduk sambil tersenyum gembira, memegang pisau dan garpu sementara para
pelayan menyajikan hidangan. Michael memandang sekilas ke sekeliling kebun.
Kebun itu dikepung din-ding-dinding batu tinggi dan sedikitnya sepuluh
pengawal menyebar di meja-meja makan kecil di sekitar mereka, tapi tak lebih
dari dua orang di satu meja dan cukup jauh pula agar tidak mengganggu Don
Croce dan tamu-tamunya. Kebun dipenuhi harum pohon lemon dan zaitun.
Don Croce sendiri yang melayani Michael, menyendokkan ayam panggang dan
kentang ke piringnya, mengawasi taburan keju di piring kecil spaghetti-nya
mengisi gelas anggurnya dengan anggur putih lokal yang keruh. Ia
melakukannya dengan minat mendalam, dengan keprihatinan tulus bahwa
penting sekali teman barunya ini makan dan minum dengan baik. Michael lapar,
ia belum makan sejak dini hari, dan Don sibuk mengisi kembali piringnya. Don
Croce juga mengawasi pirmg-piring tamu lainnya, dan bila perlu ia memberi
isyarat kepada pelayan untuk mengisi gelas atau piring yang kosong.
Akhirnya mereka selesai, dan sambil menghirup espresso-nya, Don siap
berbisnis.
Ia berkata kepada Michael, "Jadi kau akan membantu teman kata Guiliano
melarikan diri ke Amerika."
"Itu instruksi yang kuterima," kata Michael. "Aku harus memastikan dia masuk
ke Amerika tanpa hambatan."
Don Croce mengangguk; wajah mahoninya yang keras memancarkan ekspresi
mengantuk khas orang gemuk. Suara tenornya yang bergetar terdengar
mengejutkan, mengingat wajah dan rubuhnya. "Semuanya diatur antara diriku
dan ayahmu, aku harus mengantar Salvatore Guiliano kepadamu. Tapi tak ada
yang lancar dalam kehidupan, selalu ada kejadian tak terduga. Sekarang ini sulit
bagiku melakukan bagianku." Ia mengangkat tangan untuk mencegah Michael
menyela, "walaupun bukan kesalahanku sendiri. Aku tidak berubah. Tapi
Guiliano tidak lagi memercayai siapa pun, bahkan diriku. Selama bertahun-
tahun, hampir sejak hari pertama dia menjadi pelanggar hukum, aku sudah
membantunya bertahan hidup; kami rekanan. Dengan bantuanku dia menjadi,
tokoh terbesar di Sisilia kendati dia masih bocah berumur dua puluh tujuh tahun.
Tapi waktunya sudah habis. Lima ribu prajurit dan polisi lapangan Italia sedang
menyisir pegunungan. Meski begitu, dia masih menolak memercayakan dirinya
padaku."
"Kalau begitu tak ada yang bisa kulakukan untuknya," kata Michael. "Aku
diperintahkan menunggu tidak lebih dari tujuh hari, lalu aku harus kembali ke
Amerika."
Bahkan saat mengatakannya ia penasaran kenapa pelarian Guiliano begitu
penting bagi ayahnya. Michael
sudah tak tahan ingin pulang sesudah pengasingan bertahun-tahun. Ia
mengkhawatirkan kesehatan ayahnya. Sewaktu ia lari dari Amerika, ayahnya
tengah terbaring, luka parah, di rumah sakit. Sejak pelariannya, kakaknya,
Sonny, telah dibunuh. Keluarga Corleone sudah lama terlibat dalam pertempuran
mati-matian untuk bertahan hidup menghadapi Lima Keluarga New York.
Pertempuran yang merentang dari Amerika ke jantung Sisilia untuk membunuh
istri Michael yang belia. Memang benar kurir-kurir ayahnya membawa berita
bahwa Don tua sudah pulih dari luka-lukanya, bahwa ia sudah berdamai dengan
Lima Keluarga, bahwa ia sudah mengatur agar semua tuduhan terhadap Michael
dibatalkan. Tapi Michael tahu ayahnya menantikan kepulang-annya untuk
menjadi tangan kanannya. Ia tahu setiap orang dalam keluarganya pasti sangat
ingin bertemu dengannya—adikya Connie, kakaknya Freddie, saudara
angkatnya Tom Hagen, dan ibunya yang malang, yang pasti masih berdukacita
atas kematian Sonny. Michael sekilas teringat akan Kay—masihkah Kay
memikirkan dirinya sesudah ia menghilang selama dua tahun? Tapi yang paling
penting adalah: Kenapa ayahnya menunda kepulangannya? Pasti karena sesuatu
yang sangat penting, berkaitan dengan Guiliano.
Tiba-tiba ia menyadari mata biru Inspektur Velardi yang dingin tengah
mengawasi dirinya. Wajah aristokrat kurus itu memancarkan ejekan, seolah-olah
Michael bersikap pengecut
"Sabar," kata Don Croce. "Teman kita, Andolini, masih berfungsi sebagai
penghubung antara aku dan Guiliano serta keluarganya. Kita semua akan
berbicara baik-baik. Dari sini, kau akan mengunjung? ayah dan
ibu Guiliano di Montelepre, kau akan melewatinya dalam perjalananmu ke
Trapani." Ia diam sejenak dan tersenyum, senyum yang tidak menggoyang pipi-
pipinya yang tembam. "Aku sudah diberitahu tentang rencanamu. Semuanya." Ia
menyatakannya dengan penekanan khusus, tapi Michael berpendapat ia tidak
mungkin mengetahui semua rencana. Godfather tidak pernah memberitahukan
semuanya kepada siapa pun.
Don Croce melanjutkan dengan lancar. "Kami semua yang menyayangi Guiliano
menyetujui dua hal. Dia tidak lagi bisa tinggal di Sisilia dan harus pergi ke
Amerika. Inspektur Velardi juga menyemjuinya."
"Aneh sekali, bahkan untuk Sisilia," komentar Michael sambil tersenyum.
"Inspektur adalah kepala Kepolisian Sisilia yang disumpah untuk menangkap
Guiliano."
Don Croce tertawa, tawanya pendek dan dingin. "Siapa yang bisa memahami
Sisilia? Tapi masalahnya sederhana saja. Roma lebih suka Guiliano berbahagia
di Amerika, bukannya meneriakkan tuduhan-tuduhan dari bangku saksi dalam
sidang pengadilan Palermo. Ini semua soal politik."
Michael bingung. Ia merasa amat tidak nyaman. Situasi tidak berjalan sesuai
rencana. "Kenapa Inspektur Velardi ingin Guiliano melarikan diri? Guiliano
yang tewas tidak lagi berbahaya."
Inspektur Velardi menjawab dengan nada jijik. "Aku lebih suka begitu," katanya.
"Tapi Don Croce menyayanginya seperti putranya sendiri."
Stefan Andolini menatap Inspektur dengan pandangan liar. Pater Benjamino
menunduk dalam saat meminum isi gelasnya. Tapi Don Croce berbicara tegas
pada Inspektur, "Kita semua teman di sini, kita harus
berbicara jujur pada Michael. Guiliano memegang kartu as. Dia memiliki buku
harian yang disebutnya Wasiatnya. Di dalamnya dia menuliskan bukti-bukti
bahwa pemerintah di Roma, pejabat-pejabat tertentu, sudah membantunya
selama dia menjadi bandit, demi kepentingan mereka sendiri, kepentingan
politik. Kalau dokumen itu terungkap, pemerintahan Demokrat Kristen akan
runtuh dan kita semua akan dipimpin kaum Sosialis dan Komunis. Inspektur
Velardi setuju denganku bahwa kemungkinan itu harus dicegah dengan segala
cara. Jadi dia bersedia membantu Guiliano melarikan diri bersama Wasiat-nya
dengan pengertian buku itu tak akan pernah diungkapkan kepada masyara-kat"
"Kau sudah pernah melihat Wasiat ini?" tanya Michael. Ia bertanya-tanya apakah
ayahnya mengetahui keberadaan buku ini. Instruksi yang diterimanya tak pernah
menyinggung dokumen semacam ini.
"Aku tahu isinya," sahut Don Croce. Inspektur Velardi berkata tajam, "Kalau aku
bisa mengambil keputusan, akan kubunuh Guiliano, persetan dengan Wasiat-
nya."
Stefan Andolini memelototi Inspektur, pandangannya penuh» kebencian kuat
dan terang-terangan sehingga untuk pertama kalinya Michael menyadari orang
ini hampir sama berbahayanya seperti Don Croce sendiri. Andolini berkata,
"Guiliano tak akan pernah menyerah dan kau tidak cukup bagus untuk
menghabisinya. Jauh lebih bijak bila kau menjaga dirimu sendiri."
Don Croce mengangkat tangan pelan-pelan dan kesunyian pun menyelimuti
meja. Ia berbicara lambat-lambat kepada Michael, tak menghiraukan yang lain.
"Ada kemungkinan aku tidak bisa memenuhi janjiku kepada ayahmu untuk
mengantarkan Guiliano kepadamu. Kenapa Don Corleone merasa perlu terlibat
dalam masalah ini, aku tak bisa mengatakannya. Yakinlah dia punya alasan
sendiri dan alasannya itu bagus. Tapi apa yang bisa kulakukan? Siang ini kau
pergi ke rumah orangtua Guiliano, yakinkan mereka agar putranya memercayai
diriku dan ingatkan orang-orang baik itu bahwa akulah yang membebaskan
mereka dari penjara." Ia diam sejenak. "Dengan begitu mungkin kita bisa
membantu putra mereka."
Selama tahun-tahun dalam pengasingan dan persembunyian, Michael telah
mengembangkan naluri hewani terhadap bahaya. Ia tidak menyukai Inspektur
Velardi, ia takut terhadap Stefan Andolini, dan Pater Benjamino menyebabkan ia
merinding. Tapi di atas - semua itu Don Croce memicu alarm yang bertalu-talu
dalam benaknya.
Semua orang di sekitar meja merendahkan suara apabila berbicara dengan Don
Croce, bahkan saudaranya sendiri, Pater Benjamino. Mereka mencondongkan
tubuh, mendekatinya dengan kepala tertunduk, menunggunya berbicara, bahkan
berhenti mengunyah. Para pelayan mengitarinya seakan ia matahari, para
pengawal yang menyebar di kebun terus mengawasinya, menerjang maju begitu
diperintahkan, dan mencabik-cabik setiap orang hingga berkeping-keping.
Michael berkata hati-hati, "Don Croce, aku di sini untuk mematuhi setiap
keinginanmu."
Don menganggukkan kepalanya yang besar dengan khidmat, melipat tangan di
perut dan berkata dengan suara tenornya yang kuat, "Kita harus jujur sepenuhnya
terhadap satu sama lain. Katakan apa rencanamu untuk melarikan Guiliano?
Bicaralah padaku seperti anak kepada ayahnya."
Michael melirik sekilas Inspektur Velardi. Ia tidak akan pernah berbicara jujur di
depan Kepala Kepolisian Sisilia. Don Croce seketika memahaminya. "Inspektur
Velardi dipandu sepenuhnya oleh nasihatku," katanya. "Kau bisa memercayainya
seperti memercayaiku."
Michael mengangkat gelas anggurnya untuk minum. Dari balik gelas ia bisa
melihat para pengawal mengawasi mereka, bagai penonton pertandingan. Ia bisa
melihat Inspektur Velardi menyeringai, tidak menyukai diplomasi dalam
perkataan Don, pesan yang menyatakan dengan jelas bahwa Don Croce
menguasai dirinya dan kantornya Michael melihat kerutan pada wajah berbibir
besar Stefan Andolini. Hanya Pater Benjamino yang menolak membalas
tatapannya dan menunduk. Michael menghabiskan anggur putihnya dan pelayan
bergegas mengisinya kembali. Tiba-tiba kebun itu tampak seperti tempat
berbahaya.
Ia tahu pasti bahwa apa yang dikatakan Don Croce tidak benar. Mengapa setiap
orang yang duduk di meja ini harus memercayai Kepala Kepolisian Sisilia? Apa
Guiliano memercayainya? Sejarah Sisilia dijejali pengkhianatan, pikir Michael
kecut; ia teringat almarhumah istrinya. Jadi kenapa Don Croce bersikap begitu
percaya? Dan kenapa pengamanan di sekitarnya begitu ketat? Don Croce orang
tertinggi di Mafia. Ia memiliki koneksi-koneksi paling kuat di Roma dan benar-
benar berfungsi sebagai deputi tidak resmi mereka di Sisilia. Kalau begitu, apa
yang ditakuti Don Croce? Hanya Guiliano yang mungkin ditakutinya.
Tapi Don tengah mengawasi dirinya. Michael mencoba berbicara tulus.
"Rencanaku sederhana. Aku akan menunggu di Trapani sampai Salvatore
Guiliano diantar menemuiku. Olehmu dan anak buahmu. Kapal cepat akan
membawa kami ke Afrika. Tentu saja kami akan membawa dokumen identitas
yang diperlukan. Dari Afrika kami akan terbang ke Amerika, di sana sudah
diatur agar kami bisa masuk tanpa formalitas yang biasa. Kuharap situasinya
akan semudah seperti yang mereka katakan." Ia diam sejenak. "Kecuali kau
punya saran lain."
Don mendesah dan minum. Lalu ia menatap lurus ke arah Michael. Ia berbicara
dengan lambat dan mengesankan. "Sisilia tanah yang tragis," katanya. "Tidak
ada kepercayaan. Tidak ada aturan. Hanya kekerasan dan pengkhianatan yang
melimpah. Kau tampak waspada, sobat mudaku, dan kau berhak bersikap begitu.
Begitu pula Guiliano kita. Asal kau tahu: Turi Guiliano tidak mungkin bertahan
hidup tanpa perlindunganku; dia dan aku bagaikan dua jari di satu tangan. Dan
sekarang dia menganggapku musuh. Ah, kau tak mungkin tahu betapa
menderitanya diriku karenanya. Satu-satunya impianku adalah suatu hari Turi
Guiliano bisa kembali kepada keluarganya dan diakui sebagai pembela Sisilia.
Dia orang Kristen sejati dan pemberani. Dan dengan hati begitu lembut sehingga
memenangkan hati setiap orang Sisilia." Don Croce diam sesaat dan minum lagi.
Tapi arus berlawanan dengannya. Dia sendirian di pegunungan, hanya bersama
beberapa orang, menghadapi pasukan yang dikirim Italia. Dan dia sudah
beberapa kali dikhianati. Jadi dia tidak memercayai siapa pun, bahkan dirinya
sendiri."
Sejenak Don memandang Michael dengan tatapan sangat dingin. "Kalau aku
harus bicara jujur" katanya, "kalau .aku tidak begitu menyayangi Guiliano,
mungkin aku akan memberikan nasihat yang tidak wajib kuberikan kepadamu.
Terus terang mungkin seharusnya kukatakan, pulanglah ke Amerika tanpa,
dirinya. Kami sudah mendekati akhir tragedi yang sama sekali bukan urusanmu."
Don berhenti sejenak dari mendesah. "Tapi tentu saja, kaulah satu-satunya
harapan kami dan aku harus memohon agar kau tetap di sini dan membantu cita-
cita kami. Aku akan membantu dengan segala cara, aku tak akan pernah
meninggalkan Guiliano." Don Croce mengangkat gelas anggurnya. "Semoga dia
hidup seribu tahun."
Mereka semua minum dan Michael mereka-reka. Don ingin dirinya tetap tinggal
atau meninggalkan Guiliano? Stefan Andolini berbicara. "Ingat, kita sudah
berjanji kepada orangtua Guiliano bahwa Michael akan mengunjungi mereka di
Montelepre."
"Silakan," sahut Don Croce lembut. "Kita harus memberikan harapan kepada
orangtuanya."
Pater Benjamino berkata tegas namun amat rendah hati, "Dan mungkin ada yang
mereka ketahui tentang Wasiat"
Don Croce mendesah. "Ya, Wasiat Guiliano. Menurutnya buku itu akan
menyelamatkan nyawanya atau sedikitnya membalas kematiannya." Ia berbicara
langsung kepada MichaeL "Ingadah. Roma takut terhadap Wasiat, tapi aku tidak.
Dan beritahu orangtuanya bahwa apa yang tertulis di atas kertas memengaruhi
sejarah. Tapi tidak memengaruhi kehidupan. Kehidupan merupakan sejarah yang
berbeda."
Lama perjalanan dari Palermo ke Montelepre tidak lebih dari satu jam bermobil.
Tapi dalam satu jam itu Michael dan Andolini beralih dari peradaban kota ke
kebudayaan primitif pedalaman Sisilia. Stefan Andolini mengemudikan mobil
Fiat mungil, dan di bawah siraman cahaya matahari sore pipi dan dagunya yang
tercukur tipis tampak membara oleh puluhan akar rambut merah. Ia mengemudi
pelan dan hati-hati layaknya orang yang belajar mengemudi di usia lanjut. Fiat
itu terengah-engah seakan kehabisan napas sewaktu berputar-putar naik-turun
melintasi pegunungan yang membentang luas.
Di lima tempat berbeda mereka dihentikan blokade Kepolisian Nasional, peleton
yang sedikitnya terdiri atas dua belas orang, didukung kendaraan lapis baja yang
dipenuhi senapan mesin. Dokumen Andolini membantu mereka lewat.
Michael merasa aneh melihat pedalaman yang begitu liar dan primitif dalam
jarak begitu dekat dari kota besar Palermo. Mereka melintasi desa-desa kecil
yang terdiri atas rumah-rumah batu yang berdiri di lereng-lereng curam. Lereng-
lereng ini dibentuk hati-hati membentuk teras-teras ladang sempit tempat
tumbuh deretan . tanaman hijau yang bagaikan paku-paku. Bukit-bukit kecil
dipenuhi puluhan bongkahan batu putih yang separo terkubur di rawa-rawa dan
rumpun bambu; dari kejauhan pemandangan itu seperti pemakaman yang tidak
tertata.
Di sepanjang jalan, pada jarak-jarak tertentu, terdapat
tempat-tempat berdoa, dengan kotak-kotak kayu bergembok berisi patung
Perawan Maria atau orang suci favorit lainnya. Di salah satu tempat berdoa
Michael melihat seorang wanita berlutut dan berdoa, suaminya duduk di kereta
yang ditarik keledai sambil menenggak sebotol anggur. Kepala keledai itu
menunduk bagaikan kepala seorang martir.
Stefan Andolini menjulurkan tangan untuk menepuk bahu Michael dan berkata,
"Senang sekali bertemu denganmu, sepupuku yang baik. Apa kau tahu Guiliano
kerabat kita?"
Michael yakin ia bohong ada sesuatu dalam senyum merah yang licik itu.
"Tidak," jawabnya. "Aku hanya tahu orangtuanya bekerja pada ayahku di
Amerika."
"Dulu kupikir juga begitu," kata Andolini. "Kami membantu membangun rumah
ayahmu di Long Island. Guiliano tua tukang batu yang ahli, dan sekalipun
ayahmu sudah menawarinya pekerjaan dalam bisnis minyak zaitun, dia bertahan
pada keahliannya. Dia bekerja seperti orang Negro selama delapan belas tahun
dan menabung seperti orang Yahudi. Lalu dia kembali ke Sisilia untuk menjalani
kehidupan seperti orang Inggris. Tapi perang dan Mussolini menyebabkan uang
mereka tidak berharga dan sekarang dia hanya memiliki rumah dan sepetak kecil
lahan pertanian. Dia menyesali kepergiannya dari Amerika. Mereka mengira
putra kecil mereka akan tumbuh menjadi pangeran dan sekarang dia justru
menjadi bandit"
Fiat itu mengepulkan awan debu; di sepanjang tepi jalan tumbuh pepohonan pir
berduri dan bambu yang menimbulkan kesan berhantu, buah-buah pir yang
bergerombol bagai membentuk tangan-tangan manusia.
Di lembah-lembah mereka bisa melihat rumpun zaitun dan sulur-sulur anggur.
Tiba-tiba Andolini berkata, "Turi memulai kehidupannya di Amerika."
Ia melihat tatapan bertanya yang dilontarkan Michael. "Ya., dia memulai
kehidupannya di Amerika tapi dilahirkan di Sisilia. Kalau saja orangtuanya
menunggu beberapa bulan, Turi akan menjadi warga negara Amerika." Ia diam
sejenak. "Turi selalu membicarakannya. Kau yakin bisa membantunya melarikan
diri?"
"Entahlah," sahut Michael. "Sesudah makan siang bersama Inspektur dan Don
Croce, aku jadi bingung. Apa mereka menginginkan bantuanku? Ayahku-bilang
Don Croce menginginkannya. Dia tidak pernah menyinggung soal Inspektur."
Andolini menyapu rambutnya yang menipis ke belakang. Tanpa sadar kakinya
menginjak pedal gas lebih dalam dan Fiat itu terlonjak maju. "Guiliano dan Don
Croce sekarang bermusuhan," katanya. 'Tapi kami sudah menyusun rencana
tanpa Don Croce. Turi dan orang-tuanya mengandalkan dirimu. Mereka tahu
ayahmu tidak pernah mengkhianati teman."
"Dan kau sendiri di pihak siapa?" tanya Michael.
Andolini mendesah. "Aku berjuang untuk Guiliano," jawabnya. "Kami sudah
menjadi rekan selama lima tahun terakhir dan sebelum itu dia pernah
menyelamatkan nyawaku. Tapi aku tinggal di Sisilia dan karena itu tak. bisa
menentang Don Croce terang-terangan- Aku terjepit di antara mereka" berdua,
tapi aku tak akan pernah mengkhianati Guiliano."
Apa maksud orang ini? pikir Michael. Kenapa ia tidak bisa mendapat jawaban
jujur dari mereka semua? Karena ini Sisilia, pikirnya. Orang Sisilia ngeri
terhadap
kebenaran. Para Tiran dan Penguasa menyiksa mereka demi mendapatkan
kebenaran selama lebih dari ribuan tahun. Pemerintah di Roma dengan bentuk-
bentuk hukumnya menuntut kebenaran. Pastor dalam bilik pengakuan dosa
meminta kebenaran dengan ancaman penderitaan abadi di neraka. Tapi
kebenaran merupakan sumber kekuatan, alat pengendali, jadi kenapa kita harus
memberikannya begitu saja?
Ia harus menemukan jalannya sendiri, pikir Michael, atau meninggalkan misi ini
dan bergegas pulang. Ia berada di daerah berbahaya, jelas ada semacam vendetta
—dendam—antara Guiliano dan Don Croce, dan terjebak dalam pusaran
vendetta orang Sisilia sama saja dengan bunuh diri. Orang Sisilia percaya
pembalasan dendam adalah satu-satunya keadilan sejati, dan itu selalu tanpa
ampun. Di pulau Katolik ini, tempat patung-patung Yesus menangis di setiap
rumah, memaafkan, sebagaimana ajaran Kristen, merupakan tindakan
menjijikkan para pengecut.
"Kenapa Guiliano dan Don Croce bermusuhan?" tanya Michael.
"Karena tragedi di Portella della Ginestra," jelas Andolini "Dua tahun lalu.
Sesudah itu keadaan tidak pernah sama lagi. Guiliano menyalahkan Don Croce."
Tiba-tiba mobil serasa terjun hampir vertikal, di jalan menurun dari pegunungan
menuju lembah. Mereka melewati reruntuhan puri Normandia yang dibangun
untuk meneror pedalaman sembilan ratus tahun lalu dan sekarang dipenuhi tokek
dan kambing liat yang tidak berbahaya. Di bawah, Michael bisa, melihat
Montelepre.
Kota itu terbenam dalam di pegunungan yang mengepungnya rapat-rapat
bagaikan ember yang menjuntai di dasar sumur. Berbentuk lingkaran sempurna,
di luar batasnya tidak terdapat rumah-rumah, dan matahari senja menyirami
bebatuan pada dinding-dindingnya dengan api merah tua. Sekarang Fiat itu
meluncur menuruni jalan sempit berliku-liku dan Andolini menginjak rem untuk
menghentikannya sewaktu blokade yang diawaki sepeleton carabinieri
menghalangi jalan mereka. Salah satu di antaranya memberi isyarat dengan
senapannya agar mereka turun dari mobil.
Michael mengawasi Andolini menunjukkan dokumen-dokumennya kepada
polisi. Ia melihat surat izin khusus bertepi merah yang setahunya hanya bisa
diterbitkan oleh Kementerian Kehakiman di Roma. Michael sendiri punya izin
seperti itu yang, menurut instruksi yang diterimanya, hanya boleh ditunjukkan
dalam keadaan tersudut Bagaimana orang seperti Andolini bisa mendapatkan
dokumen seampuh itu?
Lalu mereka kembali memasuki mobil dan bergulir melintasi jalan-jalan sempit
Montelepre, begitu sempit sehingga kalau ada mobil dari arah berlawanan,
mereka takkan bisa berpapasan. Semua rumah memiliki balkon yang anggun dan
dicat dengan warna berbeda-beda. Sebagian besar biru, beberapa lainnya putih,
dan beberapa lagi merah muda. Ada sedikit rumah yang dicat kuning. Pada saat-
saat seperti ini para wanita tengah memasak makan malam untuk para suami.
Tapi tidak ada anak-anak di jalan. Sebaliknya, di setiap tikungan terdapat dua
carabinieri berjaga-jaga. Montelepre tampak seperti kota yang diduduki, tempat
diterapkannya undang-undang keadaan darurat Hanya
terlihat beberapa pria tua yang menunduk dari balkon-balkon rumah mereka
dengan ekspresi kaku bagai batu.
Fiat itu berhenti di depan sederet rumah yang saling menempel, salah satu di
antaranya bercat biru cerah dan ukiran pada gerbangnya membentuk huruf "G".
Gerbang itu dibuka pria kecil tegap berusia enam puluhan yang mengenakan
setelan Amerika berwarna gelap dan bergaris-garis, dengan kemeja putih dan
dasi hitam. Inilah ayah Guiliano. Ia memeluk Andolini sebentar tapi penuh
perasaan sayang. Ia menepuk-nepuk bahu Michael dengan sikap hampir-hampir
berterima kasih seraya mengajak mereka masuk ke rumah. Wajah ayah Guiliano
khas pria yang menderita karena menantikan kematian orang tercinta akibat sakit
parah. Jelas sekali ia mengendalikan emosinya dengan sangat ketat, tapi
tangannya berulang-ulang menyentuh wajahnya seolah memaksa raut mukanya
tetap seperti itu. Tubuhnya tegang, bergerak kaku tapi agak goyah.
Mereka memasuki ruang duduk luas yang termasuk mewah untuk ukuran rumah
orang Sisilia di kota kecil ini Yang mendominasi ruangan itu adalah foto yang
dibesarkan, yang terlalu samar untuk bisa dikenali, berbingkai kayu oval
berwarna krem. Michael segera tahu itu pasti foto Salvatore Guiliano. Di
bawahnya, di atas meja bulat hitam kecil, terdapat lilin persembahan. Di meja
yang lain berdiri foto berbingkai yang lebih jelas; Ayah, ibu, dan putranya berdiri
di depan sehelai tirai merah, sang putra dengan satu lengan memeluk ibunya
dengan sikap posesif. Salvatore Guiliano menatap lurus ke kamera, seakan-akan
menantangnya. Wajahnya tampan luar biasa, bagaikan patung
Yunani, garis-garisnya kuat seakan terpahat di marmer, bibirnya penuh dan
sensual, matanya oval dengan kelopak setengah tertutup, jauh antara satu dan
yang lain. Wajah pria yang tidak memiliki keraguan, bertekad bulat hendak
memengaruhi dunia dengan kehadirannya. Tapi baru sekarang Michael
menyadari adanya selera humor manis yang terpancar di wajah tampan itu.
Juga ada foto-foto lain Salvatore bersama saudari-saudarinya dan suami mereka,
tapi foto-foto itu hampir tersembunyi di sudut ruangan yang remang-remang.
Ayah Guiliano mengajak mereka ke dapur. Ibu Guiliano berbalik dari tungku
masak untuk menyapa mereka. Maria Lombardo Guiliano tampak jauh lebih tua
daripada foto dirinya di ruang duduk, malah tampak seperti Orang lain.
Senyumnya yang sopan menyerupai celah di wajahnya yang kaku hingga ke
tulang akibat kelelahan, kulitnya bersisik dan kasar. Rambutnya panjang dan
lebat melewati bahunya, tapi dihiasi berkas-berkas uban. Yang mengejutkan
adalah matanya. Matanya hampir-hampir hitam, memancarkan kebencian pribadi
terhadap dunia yang menghancurkan dirinya dan putranya.
Ia tak memedulikan suaminya dan Stefan Andolini, ia berbicara langsung kepada
Michael. "Kau datang untuk membantu putraku atau tidak?" Kedua pria lain jadi
kikuk mendengar kekasaran pertanyaan Maria Lombardo, tapi Michael
tersenyum muram kepadanya.
'Ya, aku di pihakmu."
Ketegangan mereda di wajah Maria Lombardo, dan ia menundukkan kepala ke
tangannya seakan bersiap menerima pukulan. Andolini berkata kepadanya
dengan
nada menenangkan, "Pater Benjamino mau ikut, tapi kukatakan padanya kau.
tidak menginginkannya."
Maria Lombardo menengadah dan Michael terpesona melihat semua emosi yang
dirasakan wanita itu terpancar di wajahnya. Kejijikannya, kebenciannya,
ketakutannya, ironi pada kata-katanya sesuai dengan senyumnya yang keras,
seringai yang tak bisa ditekannya. "Oh, Pater Benjamino memang berhati emas,
tidak diragukan lagi," ujarnya. "Dan dengan hati emasnya dia seperti wabah,
membawa kematian ke satu desa. Dia seperti tanaman sisal—kalau terkena, kau
akan terluka. Dan dia melaporkan rahasia-rahasia pengakuan dosa kepada
saudaranya, menjual jiwa-jiwa demi perjanjiannya dengan iblis."
Ayah Guiliano berkata tenang, seolah tengah berusaha menenangkan orang gila.
"Don Croce teman kita. Dia membebaskan kita dari penjara." .
Ibu Guiliano meledak murka, "Ah, Don Croce, Jiwa yang Baik, dia memang
selalu baik. Tapi asal tahu saja, Don Croce itu ular. Dia membidikkan pistolnya
ke depan dan membantai teman di sampingnya. Dia dan putra kita akan
memerintah Sisilia bersama-sama, dan sekarang Turi bersembunyi sendirian di
pegunungan sementara 'Jiwa yang Baik' sama bebasnya dengan udara di Palermo
bersama para pelacurnya Don Croce hanya perlu bersiul dan Roma menjilati
kakinya. Tapi dia sudah melakukan kejahatan lebih banyak dibanding Turi kita.
Dia jahat dan putra kita baik. Ah, kalau saja aku pria seperti kalian, akan
kubunuh Don Croce. Akan kukirim The Good Soul' ke tempat peristirahatan
terakhirnya." Ia memberi isyarat jijik. "Kalian para pria tidak mengerti apa-apa."
Ayah Guiliano berkata tidak sabar, 'Tamu kita pasti sudah berjam-jam berada di
jalan dan dia harus makan dulu sebelum bercakap-cakap."
Sikap ibu Guiliano mendadak berubah drastis. Ia menjadi ramah. "Anak malang,
kau sudah bepergian sepanjang hari untuk menemui kami, kau harus
mendengarkan kebohongan-kebohongan - Don Croce dan celotehku. Kau mau
ke mana?"
"Aku harus ada di Trapani besok pagi," jawab Michael "Aku menginap di rumah
teman-teman ayahku sampai putramu datang menemuiku."
Ruangan bagai membeku. Michael bisa merasakan mereka semua tahu sejarah
dirinya. Mereka melihat luka yang dijalaninya selama dua tahun, melihat sisi
wajahnya yang cekung. Ibu Guiliano melangkah mendekatinya dan memeluknya
sejenak.
"Minum anggurlah dulu," sarannya. "Lalu pergilah kalian berjalan-jalan di kota.
Makanan akan siap di meja satu jam lagi. Dan pada saat itu teman-teman Turi
sudah tiba dan kita bisa bercakap-cakap."
Andolini dan ayah Guiliano menempatkan Michael di antara mereka berdua dan
melangkah santai menyusuri .jalan-jalan sempit dari bebatuan bulat di
Montelepre, yang sekarang kemilau kehitaman karena matahari telah terbenam.
Dalam remang kebiruan sebelum senja, hanya sosok-sosok Kepolisian Nasional,
carabinieri, yang berkeliaran di sekitar mereka. Di setiap persimpangan, lorong-
lorong sempit bagai ular meliuk-liuk dari Via Belia. Kota tampak seperti telah
ditinggalkan.
"Kota ini dulu sangat hidup," ayah Guiliano menjelaskan. "Selalu sangat miskin,
seperti seluruh Sisilia, banyak penderitaan, tapi kota ini hidup. Sekarang
lebih dari tujuh ratus penghuninya dipenjara, ditangkap karena bersekongkol
dengan putraku. Sebagian besar di antara mereka tidak bersalah, tapi pemerintah
menangkap mereka untuk menakut-nakuti yang lain, untuk memaksa mereka
membuka mulut tentang Turi-ku. Ada lebih dari dua ribu Polisi Nasional di kota
ini dan seribu lainnya memburu Turi di pegunungan. Jadi orang-orang tidak lagi
menyantap makan malam di luar, anak-anak tidak lagi bermain-main di jalan.
Polisi begitu pengecutnya sehingga menembakkan pistol kalau ada kelinci
berlari menyeberangi jalan. Jam malam diberlakukan, dan kalau wanita kota ini
ingin mengunjungi tetangganya dan tertangkap, mereka akan
memperlakukannya dengan tidak senonoh. Para prianya mereka seret untuk
disiksa di penjara bawah tanah di Palermo." Ia mendesah. "Kejadian-kejadian
seperti itu tak akan pernah terjadi di Amerika. Kukutuki hari ke-pergianku dari
negara itu."
Stefan Andolini memaksa mereka berhenti sejenak sementara ia menyurut
sebatang cerutu kecil. Sambil mengembuskan asap, ia tersenyum dan berkata,
"Jujur saja, semua orang Sisilia lebih menyukai bau sampah desa mereka
dibandingkan parfum terbaik dari Paris. Apa yang kulakukan di sini? Aku bisa
saja melarikan diri ke Brasilia seperti yang lainnya. Ah, kami orang Sisilia
mencintai tempat kelahiran kami, tapi Sisilia tidak mencintai kami"
Ayah Guiliano mengangkat bahu. "Aku bodoh sekali memutuskan pulang Kalau
saja aku menunggu beberapa bulan lagi, Turi-ku akan menjadi warga Amerika
berdasarkan hukum. Tapi udara negara itu pasti sudah meresap ke dalam
kandungan ibunya." Ia menggeleng
bingung. "Kenapa putraku selalu merepotkan diri dengan masalah orang lain,
bahkan orang-orang yang tidak ada hubungan darah dengannya? Dia selalu
memiliki gagasan-gagasan besar, dia selalu membicarakan keadilan. Orang
Sisilia sejati membicarakan roti."
Saat mereka menyusuri Via Belia, Michael melihat kota itu dibangun sedemikian
rupa sehingga ideal untuk penyergapan dan perang gerilya. Jalan-jalannya begitu
sempit sehingga hanya satu kendaraan bermotor yang bisa melintasinya, dan
sebagian besar hanya cukup lebar bagi kereta-kereta kecil dan keledai yang
masih digunakan orang-orang Sisilia untuk mengirim barang. Beberapa orang
mampu menahan pasukan penyerbu mana pun, lalu melarikan diri ke
pegunungan batu kapur putih yang mengelilingi kota.
Mereka turun ke alun-alun, Andolini menunjuk gereja kecil yang mendominasi
alun-alun dan berkata, "Di gereja inilah Turi bersembunyi sewaktu Polisi
Nasional pertama kali mencoba menangkapnya. Sejak itu dia bagai hantu."
Ketiganya mengawasi pintu gereja seakan-akan Salvatore Guiliano mungkin
muncul di hadapan mereka.
Matahari terbenam di balik pegunungan, dan mereka kembali ke rumah tepat
sebelum jam malam. Dua pria asing menanti kedatangan mereka, asing hanya
bagi Michael, karena mereka memeluk ayah Guiliano dan berjabatan dengan
Stefan Andolini.
Salah satunya pemuda langsing berkulit sangat pucat dan bermata hitam besar.
Kumisnya ditata rapi dan ia memancarkan ketampanan yang hampir feminin,
tapi jelas ia bukan banci. Ia memancarkan kekejaman pernah
harga diri khas pria yang memiliki kemauan memimpin dengan segala cara.
Sewaktu ia diperkenalkan sebagai Gaspare Pisciotta, Michael tertegun. Pisciotta
orang kedua Turi Guiliano, sepupu dan sahabat terbaiknya. Selain Guiliano, ia
orang paling dicari di Sisilia, kepalanya dihargai lima juta lira. Dari legenda-
legenda yang didengar Michael, nama Gaspare Pisciotta menimbulkan citra pria
yang lebih berbahaya dan bertampang lebih jahat. Namun inilah orangnya,
begitu ramping dengan wajah kemerahan, di Montelepre yang dikepung dua ribu
polisi militer Roma.
Pria yang satu lagi sama mengejutkannya, tapi alasannya berbeda. Pada saat
memandangnya pertama kali, Michael mengernyit. Ia begitu kecil sehingga bisa
dianggap orang kerdil, tapi memancarkan wibawa yang menyebabkan Michael
seketika merasa kernyitannya bisa jadi merupakan penghinaan besar. Pria itu
mengenakan setelan garis-garis kelabu buatan penjahit. mahal, dan dasi lebar
keperakan yang menjuntai di depan kemeja krem pucatnya. Rambutnya tebal
dan hampir putih; ia tidak mungkin lebih tua daripada lima puluh tahun. Ia
anggun. Atau seanggun yang bisa dicapai orang yang sangat pendek. Wajahnya
kasar dan tampan, dengan mulut besar tapi melekuk sensitif.
Ia mengetahui kegelisahan Michael dan menyapanya dengan senyum mengejek
namun ramah. Ia diperkenalkan sebagai Profesor Hector Adonis.
Maria Lombardo Guiliano menyiapkan makan malam di meja dapur. Mereka
bersantap di sisi jendela dekat balkon, dari sana mereka bisa melihat langit yang
bergurat-gurat kemerahan, kegelapan malam menyelinap
turun, dari pegunungan di sekitar. Michael makan pelan-pelan, menyadari
mereka semua tengah mengawasinya, menilai dirinya. Hidangannya sangat
sederhana tapi lezat, spaghetti dengan saus hitam dari tinta cumi-cumi, dan
kelinci rebus yang pedas karena saus tomat dan paprika merah. Akhirnya
Gaspare Pisciotta berbicara dengan dialek Sisilia setempat. "Jadi kau putra Vito
Corleone yang bahkan lebih besar daripada Don Croce kami, begitu kata orang.
Dan kaulah yang akan menyelamatkan Turi kami."
Suaranya bernada mengejek, nada yang mengundang orang melayani
tantangannya kalau berani. Senyumnya seolah mempertanyakan motif di balik
setiap tindakan, seakan-akan hendak mengatakan, "Ya, memang benar kau akan
berbuat baik, tapi apa tujuanmu sendiri?" Tapi sikapnya sama sekali tidak
merendahkan, ia mengetahui sejarah Michael, mereka sesama pembunuh.
Michael menjelaskan, "Aku mengikuti perintah ayahku. Aku harus menunggu di
Trapani sampai Guiliano menemuiku. Lalu aku akan membawanya ke Amerika."
Pisciotta berkata, nadanya lebih serius, "Dan begitu Turi berada di tanganmu,
kau menjamin keselamatannya? Kau bisa melindunginya dari Roma?"
Michael menyadari ibu Guiliano mengawasinya dengan tajam, wajahnya tegang
karena gelisah. Ia berkata hati-hati, "Sebanyak jaminan yang bisa diberikan
manusia melawan nasib. Ya, aku yakin."
Ia bisa melihat ketegangan wajah ibu Guiliano mengendur, tapi Pisciotta berkata
kasar, "Aku tidak. Kau menyatakan kepercayaanmu pada Don Croce siang ini.
Kau memberitahukan rencana pelarianmu kepadanya."
"Kenapa tidak?" balas Michael. Bagaimana Pisciotta bisa mengetahui rincian
makan siangnya dengan Don Croce secepat ini? "Ayahku memberitahu.bahwa
Don Croce akan mengatur agar Guiliano menemuiku. Lagi pula aku hanya
memberitahukan satu rencana pelarian kepadanya."
"Dan rencana lainnya?" sergah Pisciotta. Ia melihat Michael ragu-ragu.
"Bicaralah terus terang. Kalau orang-orang di ruangan ini tak bisa dipercaya, tak
ada harapan bagi Turi."
Pria yang bertubuh kecil, Hector Adonis, berbicara untuk pertama kalinya. Ia
memiliki suara luar biasa kaya, suara orator berbakat, pembujuk yang alami.
"Michael yang baik, kau harus memahami bahwa Don Croce adalah musuh Turi
Guiliano. Informasi ayahmu sudah kedaluwarsa. Jelas sekali kami tidak bisa
mengantarkan Turi kepadamu tanpa mengambil langkah berjaga-jaga." Ia
berbicara dengan bahasa Italia Roma yang anggun, bukan dialek Sisilia.
Ayah Guiliano menyela, "Aku memercayai janji Don Corieone untuk membantu
putraku. Itu tak perlu diragukan lagi."
Hector Adonis berkata, "Aku memaksamu memberitahukan rencanamu kepada
kami."
"Aku bisa memberitahukan apa yang kukatakan pada Don Croce," kata Michael.
"Tapi kenapa aku harus menceritakan rencanaku yang lain? Kalau kutanyakan di
mana Turi Guiliano bersembunyi sekarang, apa kau akan memberitahuku?"
Michael melihat Pisciotta tersenyum, menyetujui ucapannya Tapi Hector Adonis
menyela, "Tidak sama. Kau tidak punya alasan untuk- mengetahui tempat per-
sembunyian Turi. Kau hendak membantunya, jadi kami harus mengetahui
rencanamu."
Michael berkata pelan, "Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu."
Senyum cemerlang merekah di wajah Hector Adonis yang tampan. Lalu pria
kecil itu bangkit berdiri dan membungkuk. "Maafkan aku," katanya tulus. "Aku
guru sekolah Turi sewaktu dia kanak-kanak dan orangtuanya memberiku
penghormatan dengan menjadikan diriku godfather—bapak baptisnya. Aku
sekarang Profesor Sejarah dan Sastra di Universitas Palermo. Tapi, kredibilitas
terbaikku bisa dijamin setiap orang di meja ini. Sekarang, dan sejak dulu, aku
anggota kelompok Guiliano."
Stefan Andolini berkata tenang, "Aku juga anggota kelompok. Kau tahu namaku
dan aku sepupumu. Tapi aku juga dipanggil Fra Diavalo."
Ini juga nama legendaris di Sisilia yang sudah sering didengar Michael. Ia pantas
memiliki tampang pembunuh, pikir Michael. Dan ia juga pelarian dengan kepala
yang dihargai mahal. Tapi siang tadi ia duduk bersantap di samping Inspektur
Velardi.
Mereka semua menunggu jawaban darinya. Michael tidak berniat
mengungkapkan rencana terakhirnya, tapi sadar ia harus memberitahu mereka
sesuatu. Ibu Guiliano tengah menatapnya tajam. Ia berbicara langsung kepada
Maria Lombardo. "Sederhana saja," kata Michael. "Pertama-tama aku harus
memperingatkan bahwa aku tak bisa menunggu lebih dari tujuh hari. Aku sudah
terlalu lama jauh dari rumah dan ayahku membutuhkan bantuanku untuk
mengatasi masalahnya. Tentu kalian memahami betapa besar keinginanku kem-
bali ke keluargaku. Tapi ayahkulah yang memintaku membantu putramu.
Instruksi terakhir yang kuterima dari kurir adalah aku mengunjungi Don Croce
di sini, lalu melanjutkan perjalanan ke Trapani. Di sana aku akan menginap di
vila Don setempat. Di sana sudah menunggu orang-orang Amerika yang
kupercaya sepenuhnya. Orang-orang yang memenuhi syarat." Ia diam sejenak.
Istilah "memenuhi syarat" memiliki arti khusus di Sisilia, biasanya digunakan
untuk para algojo tingkat tinggi Mafia Ia melanjutkan, "Begitu Turi menemuiku,
dia akan aman. Vilanya berupa benteng. Dan dalam beberapa jam kami akan
menumpang kapal cepat ke kota di Afrika. Di sana pesawat khusus sudah
menunggu, siap mengantar kami ke Amerika dan di sana dia akan berada dalam
perlindungan ayahku dan kau tak perlu mencemaskannya lagi."
"Kapan kau siap menerima Turi Guiliano?" tanya Hector Adonis.
"Aku akan tiba di Trapani besok pagi. Beri aku waktu dua puluh empat jam
sesudah itu."
Tiba-tiba ibu Guiliano menangis. "Turi-ku yang malang tidak lagi memercayai
siapa pun. Dia tidak akan mau pergi ke Trapani."
"Kalau begitu aku tidak bisa membantunya," kata Michael dingin.
Ibu Guiliano dicekam keputusasaan. Pisciotta-lah yang tanpa terduga mendekati
untuk menghiburnya. Ia mencium ibu Guiliano dan memeluknya. "Maria
lmbardo, jangan khawatir," katanya. "Turi masih mau mendengarkanku. Akan
kukatakan bahwa kita semua memercayai orang Amerika ini, benar bukan?" ia
memandang yang lain dengan tatapan bertanya dan
mereka semua mengangguk. "Aku sendiri yang akan membawa Turi ke
Trapani."
Semua puas. Michael menyadari ucapannya yang bernada dinginlah yang telah
meyakinkan mereka sehingga memercayai dirinya. Orang-orang Sisilia selalu
curiga terhadap kedermawanan yang terlalu hangat dan manusiawi. Sedang bagi
dirinya sendiri, ia tidak sabar dengan kehati-hatian mereka dan kekacauan
rencana ayahnya. Don Croce sekarang musuh, Guiliano mungkin tidak akan
segera menemuinya, bahkan mungkin tidak muncul sama sekali. Bagaimanapun,
apa arti Turi Guiliano baginya? Untuk itu, ia kembali penasaran, apa arti
Guiliano bagi ayahnya?
Mereka mengajaknya ke ruang duduk kecil tempat ibu Guiliano menyajikan kopi
dan minuman keras anisette sambil meminta maaf karena tidak ada kue-kue
manis. Anisette yang dibuat dari biji tanaman anise akan menghangatkan
Michael selama perjalanan malam hari yang panjang ke Trapani, kata mereka.
Hector Adonis mengeluarkan kotak rokok emas dari saku jasnya yang mahal dan
menawarkan kepada yang lain, lalu menyelipkan rokok ke mulurnya sendiri
yang bagus dan sejauh ini lupa dirinya tengah bersandar ke kursi sehingga
kakinya tidak lagi menyentuh lantai. Sejenak ia mirip boneka yang menjuntai
pada talinya.
Maria Lombardo menunjuk foto besar di dinding. "Dia tampan, bukan?"
katanya. "Dan dia juga baik. Hatiku hancur sewaktu dia menjadi pelanggar
hukum. Apa kau ingat hari yang mengerikan itu, Signor Adonis? Dan semua
kebohongan yang mereka katakan tentang Portella della Ginestra? Putraku tak
akan pernah melakukan tindakan seperti ku."
Para pria lain tampak malu. Untuk kedua kalinya Michael penasaran apa yang
terjadi di Portella della Ginestra, tapi tidak menanyakannya.
Hector Adonis berkata, "Sewaktu aku menjadi guru Turi, dia banyak membaca,
hafal legenda Charlemagne dan Roland luar kepala, dan sekarang dia sendiri
menjadi mitos. Hatiku juga hancur sewaktu dia menjadi pelanggar hukum."
Ibu Guiliano berkata pahit, "Dia beruntung kalau masih hidup. Oh, kenapa kita
menginginkan putra kita lahir di sini? Oh, ya, kita ingin dia menjadi orang Sisilia
sejati." Ia tertawa liar dan getir. "Dan dia memang menjadi orang Sisilia sejati.
Dia hidup dalam ketakutan akan keselamatannya dan dengan harga atas
kepalanya" Ia diam sejenak lalu berkata penuh keyakinan, "Padahal putraku itu
orang suci."
Michael melihat Pisciotta tersenyum aneh, sebagaimana dilakukan orang saat
mendengarkan orangtua yang penuh cinta berbicara terlalu sentimental mengenai
kebaikan anak-anaknya. Bahkan ayah Guiliano memberi isyarat yang
menunjukkan ketidaksabaran. Stefan Andolini tersenyum sinis dan Pisciotta
berkata lembut tapi dingin, "Maria Lombardo-ku yang baik, jangan menganggap
putramu' selemah itu. Dia lebih kuat daripada itu dan musuh-musuhnya takut
terhadapnya"
Ibu Guiliano berkata lebih tenang, "Aku tahu dia banyak membunuh, tapi dia
tidak pernah bertindak tidak adil. Dan dia selalu memberi mereka kesempatan
untuk membersihkan jiwa dan mengucapkan doa terakhir kepada Tuhan." Tiba-
tiba ia meraih tangan Michael dan membimbingnya ke dapur dan terus ke
balkon. "Tak satu pun dari mereka benar-benar mengenal putraku," katanya.
"Mereka tidak tahu betapa baik dan lemburnya dia. Mungkin sikapnya berbeda
saat menghadapi orang lain, tapi dia menjadi dirinya sendiri di depanku. Dia
mematuhi setiap ucapanku, dia tidak pernah berbicara kasar kepadaku. Dia putra
yang berbakti dan penuh kasih. Di hari-hari pertamanya sebagai pelanggar
hukum, dia memandang ke bawah dari pegunungan tapi tak bisa melihatku. Dan
aku menengadah dan tak bisa melihatnya. Tapi kami merasakan kehadiran satu
sama lain, merasakan cinta satu sama lain. Dan malam ini aku merasakan
dirinya. Dan aku membayangkannya seorang diri di pegunungan itu sementara
ribuan tentara memburunya dan hatiku hancur karenanya. Dan kau mungkin
satu-satunya .orang yang bisa menyelamatkan dirinya. Berjanjilah padaku kau
akan menunggu." Ia memegang tangan Michael erat-erat dan air mata
membanjiri pipinya.
Michael memandang malam gelap di luar, Montelepre yang diam di perut
pegunungan luas, hanya alun-alun yang menunjukkan sebintik cahaya. Langit
dipenuhi bintang. Di jalan-jalan di bawah sesekali terdengar derak pistol dan
suara-suara serak carabinieri yang berpatroli. Kota serasa dipenuhi .hantu.
Hantu-hantu yang datang di udara malam musim panas yang lembut dan
dipenuhi aroma pepohonan lemon, dengung pelan ribuan serangga, teriakan tiba-
tiba patroli polisi yang berkeliaran.
"Akan kutunggu selama mungkin," kata Michael lembut. "Tapi ayahku di rumah
membutuhkan diriku. Kau harus memaksa putramu menemuiku."
Maria Lombardo mengangguk dan mengajaknya kembali. Pisciotta tengah
mondar-mandir dalam ruangan. Ia tampak gugup.
"Kami sudah memutuskan menunggu di sini hingga dini hari dan jam malam
berakhir," katanya. "Terlalu banyak prajurit yang mudah menembak dalam gelap
di luar sana dan bisa terjadi kecelakaan karenanya. Kau keberatan?" tanyanya
pada Michael.
"Tidak," jawabnya. "Selama itu tidak merepotkan tuan rumah kita."
Mereka tak mengacuhkan kekhawatirannya. Mereka sering berjaga semalaman
saat Turi menyelinap ke kota untuk mengunjungi orangtuanya. Lagi pula ada
banyak hal yang harus mereka bicarakan, rincian yang harus mereka bereskan.
Mereka menyiapkan diri menghadapi malam panjang. Hector Adonis
menanggalkan jas dan dasinya, tapi masih tampak anggun. Ibu Guiliano
menyeduh kopi lagi.
Michael meminta mereka menceritakan segala sesuatu yang bisa mereka katakan
tentang Turi Guiliano. Ia merasa harus memahaminya. Orangtua Guiliano sekali
lagi menceritakan betapa hebatnya Turi sebagai'anak selama ini. Stefan Andolini
bercerita tentang hari Turi Guiliano membiarkan "dirinya tetap hidup. Pisciotta
menceritakan kisah-kisah lucu tentang keberanian dan selera humor serta
"kebaikan hati" Turi. Walaupun ia bisa bertindak tanpa ampun terhadap
pengkhianat dan musuh, ia tidak pernah menghina mereka dengan penyiksaan
dan penghinaan. Lalu ia menceritakan tragedi di Portella della Ginestra. "Dia
menangis hari itu," cerita Pisciotta. "Di depan semua anggota kelompoknya
Maria Lombardo menyela, "Dia tak mungkin membunuh orang-orang di
Ginestra."
Hector Adonis menenangkannya. "Kita semua tahu. Dia baik hati sejak lahir." Ia
berpaling pada Michael dan berkata, "Dia menyukai buku, tadinya kukira dia
akan jadi penyair atau sarjana. Dia pemarah, tapi tidak kejam. Kemurkaannya
polos. Dia membenci ketidakadilan, kebrutalan yang dilakukan carabinieri
terhadap kaum miskin, dan sikap menjilat mereka terhadap orang kaya. Bahkan
sewaktu kanak-kanak dia sudah murka bila mendengar petani yang tak bisa
menyimpan jagung yang ditanamnya, tak bisa menikmati anggur yang
diperasnya, menyantap babi yang dijagalnya. Sekalipun begitu, dia bocah laki-
laki yang lembut."
Pisciotta tertawa. "Dia tidak selembut itu sekarang. Dan kau, Hector, jangan
main-main jadi guru-sekolah kecil sekarang. Di atas kuda kau sama besarnya
dengan kami."
Hector Adonis menatapnya tajam. "Aspanu," katanya, "ini bukan saatnya
bermain-main."
Pisciotta menyahut penuh semangat, "Orang kecil, kaupikir aku takut padamu?"
Michael memerhatikan Pisciotta dijuluki Aspanu, dan kedua orang ini tidak
saling menyukai. Sikap Pisciotta yang terus menyinggung ukuran tubuh Adonis,
kerasnya nada Adonis setiap kali berbicara dengan Pisciotta. Bahkan ia
merasakan ketidakpercayaan di antara mereka semua yang lain tampak menjaga
jarak dengan Stefan Andolini, ibu Guiliano kelihatannya tidak memercayai
semua orang. Meski begitu, seiring semakin larutnya malam, jelas mereka semua
mencintai Turi
Michael berkata hati-hati, "Ada Wasiat yang ditulis Turi Guiliano. Di mana
dokumen itu sekarang?" .
Kesunyian timbul cukup lama, mereka menatapnya tajam. Dan tiba-tiba mereka
juga tidak memercayai dirinya.
Akhirnya Hector Adonis berbicara. "Dia mulai menulisnya atas nasihatku dan
aku membantunya. Setiap halaman ditandatangani Turi. Semua persekutuan
rahasia dengan Don Croce, dengan pemerintah Roma, dan kebenaran terakhir
tentang Portella della Ginestra. Kalau dokumen itu terungkap kepada
masyarakat, pemerintah pasti runtuh. Dokumen itu kartu terakhir yang bisa
dimainkan Guiliano kalau situasi berubah sangat buruk."
"Kuharap kau menyimpannya di tempat aman," kata Michael.
Pisciotta setuju. "Ya. Don Croce pasti sangat ingin memiliki Wasiat"
Ibu Guiliano berkata, "Pada saat yang tepat, akan kami atur agar Wasiat
dikirimkan kepadamu. Mungkin kau bisa mengirimnya ke Amerika bersama
gadis itu."
Michael memandang mereka, terkejut. "Gadis yang mana?"
Mereka membuang muka, seakan malu atau takut Mereka tahu ini kejutan yang
tidak menyenangkan dan takut akan reaksinya.
Ibu Guiliano menjawab, "Tunangan putraku. Dia hamil." Ia berpaling pada yang
lain. "Dia tidak bersedia menghilang begitu saja. Apa orang ini mau
membawanya atau tidak? Biar dia mengatakannya sekarang" Walaupun ibu
Guiliano berusaha keras tetap tenang, jelas sekali ia mencemaskan reaksi
Michael. "Gadis itu
akan datang menemuimu di Trapani. Turi ingin kau mengirimnya lebih dulu ke
Amerika. Sesudah Turi mendapat kabar darinya bahwa dia aman, Turi akan
menemuimu."
Michael berkata hati-hati, "Aku tidak diberi instruksi tentang hal ini. Aku harus
berkonsultasi dengan orang-orangku di Trapani mengenai pengaturan waktunya.
Aku tahu kau dan suamimu harus berangkat juga begitu putramu tiba di
Amerika. Apa gadis itu tidak bisa menunggu dan berangkat bersama kalian?"
Pisciotta menyela kasar, "Gadis itu ujian bagimu. Dia akan mengirimkan kata
sandi sehingga Guiliano tahu apakah dia berurusan bukan saja dengan orang
jujur tapi juga cerdas. Baru sesudah itu dia percaya kau bisa membawanya
keluar dari Sisilia dengan selamat."
Ayah Guiliano menukas marah, "Aspanu, aku sudah bilang padamu dan putraku.
Don Corleone sudah berjanji hendak membantu kita."
Pisciotta memberitahu, "Itu perintah Turi."
Michael berpikir cepat. Akhirnya ia menjelaskan, "Menurutku rencana itu pintar.
Kita bisa menguji rute pelarian dan memastikan rute itu tidak terbongkar." Ia
tidak berniat menggunakan rute pelarian yang sama untuk Guiliano. "Aku bisa
mengirimmu dan suamimu bersama gadis itu," •katanya pada ibu Guiliano. Ia
menatap mereka dengan pandangan bertanya, tapi kedua orangtua itu
menggeleng.
Hector, Adonis berkata lembut, "Gagasan itu tidaklah buruk."
"Kami tidak akan meninggalkan Sisilia sementara putra kami di sini,tegas Ibu
guiliano,ayah guiliano
melipat lengannya dan mengangguk setuju. Michael memahami apa yang
mereka pikirkan. Kalau Turi Guiliano tewas di Sisilia, mereka tidak ingin berada
di Amerika. Mereka harus tinggal di sini untuk berkabung atas dirinya,
menguburkannya, membawakan bunga ke makamnya. Itu tragedi terakhir milik
mereka. Gadis itu bisa pergi, ia hanya terikat oleh cinta, bukan darah.
Suatu saat pada malam itu Maria Lombardo Guiliano menunjukkan pada
Michael kliping berisi artikel-artikel koran, poster-poster yang menunjukkan
berbagai harga kepala Guiliano, yang dibuat pemerintah Roma. Maria Lombardo
memperlihatkan artikel berfoto yang diterbitkan di Amerika oleh majalah Life
pada tahun 1948. Artikelnya menyatakan Guiliano adalah bandit terbesar di era
modern, Robin Hood Italia yang merampok orang kaya untuk membantu orang
miskin. Majalah itu juga memuat salah satu surat terkenal yang dikirim Guiliano
ke berbagai surat kabar.
Bunyinya "Selama lima tahun aku sudah berjuang untuk memerdekakan Sisilia.
Aku sudah memberi orang miskin apa yang kuambil dari orang kaya. Biarkan
orang Sisilia berbicara apakah aku pelanggar hukum atau pejuang kemerdekaan.
Kalau mereka menentangku, aku akan menyerahkan diri ke dalam tanganmu
untuk dihakimi. Selama mereka mendukungku, aku akan terus melanjutkan
perang total."
Jelas ia tidak terdengar seperti bandit yang melarikan diri, pikir Michael,
sementara senyum merekah di wajah bangga Maria Lombardo. Michael
merasakan ikatan dengannya, wanita itu, sangat mirip ibunya sendiri. Wajahnya
berkerut-kerut oleh penderitaan masa
lalu, tapi matanya membara oleh cinta alami pertempuran melawan nasibnya.
Akhirnya fajar merekah dan Michael bangkit berdiri serta mengucapkan selamat
berpisah. Ia terkejut sewaktu ibu Guiliano memeluknya hangat.
"Kau mengingatkanku pada putraku," katanya. "Aku percaya padamu." Ia
melangkah ke rak di atas perapian dan menurunkan patung kayu Perawan Maria.
Patung itu berkulit hitam. Garis-garis wajahnya Negroid. "Ambil ini sebagai
hadiah. Ini satu-satunya milikku yang cukup berharga untuk diberikan padamu."
Michael berusaha menolak, tapi Maria Lombardo mendesak.
Hector Adonis berkata, "Hanya tersisa beberapa patung seperti itu di Sisilia.
Menarik, tapi kami memang sangat dekat dengan Afrika."
"Tidak penting bagaimana tampangnya, kau bisa berdoa kepadanya," ujar ibu
Guiliano.
"Ya," sahut Pisciotta. "Dia bisa melakukan kebaikan sama seperti yang lainnya."
Terdengar nada jijik dalam suaranya.
Michael mengawasi Pisciotta berpamitan kepada ibu Guiliano. Ia bisa melihat
kasih sejati di antara mereka Pisciotta mencium kedua pipi ibu Guiliano dan me-
nepuk-nepuknya untuk meyakinkan. Tapi sejenak ibu Guiliano menyandarkan
kepala ke bahunya dan mendesah, "Aspanu, Aspanu, aku mencintaimu sama
seperti mencintai putraku sendiri. Jangan biarkan mereka membunuh Turi." Ia
pun menangis.
Pisciotta kehilangan semua sikap dinginnya, tubuhnya seolah merosot, wajahnya
yang kurus dan gelap melunak. "Kalian semua akan menjadi tua di Amerika,"
katanya
Lalu ia berpaling pada Michael. "Akan kuantar Turi menemuimu minggu ini,"
katanya.
Ia menyelinap keluar pintu, tergesa dan diam-diam Ia memiliki kartu izin bertepi
merahnya sendiri dan ia bisa kembali menghilang di pegunungan. Hector Adonis
tetap tinggal bersama keluarga Guiliano, kendati ia memiliki rumah di kota ini.
Michael dan Stefan naik ke Fiat dan melaju melintasi alun-alun, memasuki jalan
menuju Castelvetrano dan kota pantai Trapani. Dengan cara mengemudi
Andolini yang lambat dan berhati-hati, serta puluhan blokade militer, baru
tengah hari mereka tiba di Trapani.
BUKU II
TURI GUILIANO 1943
Bab 2
DI bulan September 1943 Hector Adonis adalah Profesor Sejarah dan Sastra di
Universitas Palermo. Tubuhnya yang sangat pendek menyebabkan para
koleganya memperlakukan dirinya kurang hormat, tak sebanding dengan
bakatnya. Tapi inilah takdir dalam budaya Sisilia, yang biasa dengan kejam
memberikan julukan berdasarkan kekurangan fisik. Satu-satunya orang yang
mengetahui nilai sejati dirinya adalah Rektor Universitas.
Di bulan September 1943 inilah kehidupan Hector Adonis berubah. Bagi
kawasan Italia selatan, perang sudah berakhir. Tentara Amerika sudah
menaklukkan Sisilia dan pergi ke daratan. Fasisme sudah mati, Italia dilahirkan
kembali; untuk pertama kalinya dalam empat belas abad, pulau Sisilia tidak
memiliki majikan yang nyata. Tapi Hector Adonis, yang memahami ironi
sejarah, tidak berharap besar. Mafia mulai menguasai hukum di Sisilia.
Kekuasaan mereka yang bagai kanker sama mematikannya seperti kekuasaan
pemerintahan mana pun. Dari jendela kantornya ia menunduk memandang lahan
Universitas, memandang sekelompok bangunan yang bisa disebut kampus.
Asrama tidak diperlukan, tidak ada kehidupan kuliah
seperti yang dikenal di Inggris dan Amerika. Di sini sebagian besar mahasiswa
belajar di rumah dan berkonsultasi dengan para dosen pada waktu-waktu yang
ditentukan sebelumnya. Para dosen memberi kuliah dan para mahasiswanya bisa
tidak memedulikannya tanpa sanksi apa pun. Mereka hanya perlu mengikuti
ujian. Hector Adonis menganggap sistem ini pada umumnya memalukan dan
pada khususnya tolol karena memengaruhi orang Sisilia, yang menurut
pendapatnya memerlukan disiplin akademis lebih keras dibanding mahasiswa di
negara-negara lain.
Dari jendelanya yang mirip jendela katedral, ia bisa melihat gelombang
musiman pemimpin Mafia dari seluruh provinsi Sisilia, datang melobi para
dosen Universitas. Di bawah kekuasaan Fasis, para pemimpin Mafia ini lebih
hati-hati, lebih rendah hati, tapi sekarang di bawah kekuasaan demokrasi
pemulihan-Amerika yang ramah, mereka mencuat bagaikan cacing-cacing
berjuang menembus tanah yang disiram hujan dan melanjutkan cara-cara lama.
Mereka tidak lagi rendah hati.
Para pemimpin Mafia, Friends of the Friends, para permimpin klan-klan kecil
setempat di banyak desa Sisilia, datang di hari-hari libur untuk mengajukan
permohonan atas para mahasiswa yang merupakan kerabat atau putra teman
mereka atau putra tuan tanah kaya, yang tidak berprestasi baik di Universitas,
yang takkan mendapatkan gelar tanpa tindakan tegas. Padahal gelar-gelar ini
amat penting. Bagaimana lagi cara keluarga-keluarga itu mengusir para putra
yang tidak memiliki ambisi, bakat, kecerdasan? Para orangtua akan terpaksa
menyokong putra-putra mereka seumur hidup. Tapi
dengan gelar, sehelai pernyataan dari Universitas, beran-dalan-berandalan ini
bisa menjadi guru, dokter, anggota Parlemen, atau paling buruk, pegawai
rendahan adminis-trasi negara.
Hector Adonis mengangkat bahu; sejarah menghiburnya. Inggris tercintanya, di
masa kejayaan Kerajaan, memercayakan tentara-tentara mereka kepada putra-
putra orang kaya yang juga tidak kompeten, yang para orangtuanya menyuap
agar mereka mendapatkan jabatan dalam ketentaraan dan mengomandani kapal-
kapal besar. Namun demikian, Kerajaan Inggris tetap makmur. Memang benar
para komandan ini telah memimpin anak buahnya ke dalam pembantaian yang
tidak perlu, namun harus dikatakan mereka ikut tewas bersama anak buahnya,
keberanian merupakan hal penting bagi mereka. Dan dengan tewasnya mereka,
setidaknya memecahkan masalah orang-orang ceroboh dan tidak kompeten yang
membebani negara. Orang Italia tidak segagah atau sepraktis itu. Mereka
mencintai anak-anak mereka, menyelamatkan mereka dari bencana, dan
membiarkan negara mengurus dirinya sendiri.
Dari jendelanya, Hector Adonis bisa melihat setidaknya tiga pemimpin Mafia
setempat tengah berkeliaran mencari korbannya. Mereka mengenakan topi kain
dan sepatu bot kulit, dan membawa jas beludru tebal di lengannya, karena cuaca
masih hangat. Mereka membawa keranjang berisi buah-buahan, botol-botol
dibungkus anyaman bambu berisi anggur buatan sendiri untuk diberikan sebagai
hadiah. Itu bukan suap, melainkan penangkal sopan bagi rasa takut yang akan
memuncak dalam dada para dosen begitu melihat
kehadiran mereka. Karena sebagian besar dosen merupakan penduduk asli Sisilia
dan paham bahwa per-mintaan-permintaan itu takkan pernah bisa ditolak.
Salah satu pemimpin Mafia, mengenakan pakaian yang amat khas pedalaman
sehingga ia bisa turut bermain dalam Cavalleria Rusticdna*, tengah memasuki
gedung dan menaiki tangga. Puas tapi sebal Hector Adonis bersiap memainkan
komedi yang sudah akrab baginya.
Adonis mengenal pria itu. Namanya Buccilla dan ia memiliki tanah pertanian
dan peternakan domba di Parunico, tak jauh dari Montelepre. Mereka berjabatan
dan Buccilla memberikan keranjang yang dibawanya.
"Begitu banyak buah-buahan kami yang jatuh ke tanah dan membusuk sehingga
kupikir sebaiknya kubawa beberapa untuk Profesor," kata Buccilla. Ia pria
pendek tapi kekar, tubuhnya kuat akibat bekerja keras seumur hidup. Adonis
tahu pria ini dikenal jujur dan rendah hati meskipun ia bisa mengubah
kekuasaannya menjadi kekayaan. Ia salah satu contoh kemunduran, kembali ke
era lama ketika para pemimpin Mafia berjuang bukan untuk kekayaan melainkan
penghargaan dan penghormatan.
Adonis tersenyum sambil menerima keranjangnya. Petani mana di Sisilia yang
pernah membiarkan segala
*Drama tentang kehidupan petani yang diangkat dari novel berjudul sama karya
Giovanni Verga, novelis kelahiran Catania, Sisilia (1840-1922).
sesuatu tersia-sia? Ada seratus anak untuk setiap butir zaitun yang jatuh ke
tanah, dan anak-anak ini bagaikan belalang perusak.
Buccilla mendesah. Ia ramah, tapi Adonis tahu keramahan ini bisa berubah
menjadi ancaman hanya dalam sepersekian detik. Jadi ia melontarkan senyum
simpatik sementara Buccilla berkata, "Hidup ini benar-benar merepotkan. Aku
harus bekerja di lahanku, tapi sewaktu tetanggaku meminta bantuan, bagaimana
aku bisa menolaknya? Ayahku mengenal ayahnya, kakekku mengenal kakeknya.
Dan sudah menjadi sifatku, mungkin itulah kesialanku, bahwa aku akan
melakukan apa saja yang diminta temanku. Bagaimanapun, bukankah kita
sesama orang Kristen?"
Hector Adonis berkata tenang, "Kita, orang Sisilia, sama semua. Kita terlalu
dermawan. Itu sebabnya orang utara di Roma bisa memanfaatkan kita
sedemikian rupa."
Buccilla menatapnya tajam. Takkan ada masalah, kan? Dan bukankah ia pernah
mendengar bahwa dosen yang satu ini salah satu Friends? Jelas si dosen tidak
tampak takut. Dan kalau ia Friends of the Friends, kenapa dirinya, Buccilla,
tidak mengetahuinya? Tapi dalam Friends memang terdapat banyak tingkatan.
Pokoknya, inilah orang yajjg memahami dunia tempatnya tinggal.
"Aku datang untuk meminta bantuanmu," Buccilla menjelaskan. "Sebagai
sesama orang Sisilia. Putra tetanggaku gagal di Universitas tahun ini. Kau yang
menggagalkannya. Jadi tetanggaku mengklaim. Tapi sewaktu kudengar namamu
aku berkata kepadanya, Apa! Signor Adonis? Wah, dia orang paling baik di
dunia. Dia tidak mungkin bertindak sejahat itu kalau tahu semua faktanya. Tidak
akan pernah.' Jadi mereka memohon sambil menangis agar aku memberitahukan
seluruh ceritanya kepadamu. Dan meminta dengan amat rendah hati agar kau
mengubah nilainya supaya dia bisa mencari nafkah."
Hector Adonis tidak tertipu oleh kesopanan luar biasa ini. Sekali lagi ini seperti
Inggris yang begitu dikaguminya, orang-orang yang bisa bersikap kasar tanpa
kentara sehingga kau menikmati penghinaan mereka selama berhari-hari
sebelum menyadari mereka sudah menyakitimu habis-habisan. Bila
permintaannya ditolak, orang Inggris palmg-paling mencaci-maki, tapi dengan
Signor Buccilla akan diikuti semburan lupara— senapan yang larasnya digergaji
supaya daya ledaknya lebih dahsyat—di suatu malam gelap. Hector Adonis
dengan sopan mencicipi zaitun dan beri di keranjang. "Ah, kita tidak bisa
membiarkan seorang anak muda kelaparan di dunia yang menyedihkan ini,"
katanya. "Siapa nama anak muda ini?" Dan sewaktu Buccilla memberitahunya,
ia mengambil buku catatan dari dasar mejanya Ia membalik-baliknya meskipun
tentu saja ia mengenal nama itu dengan baik.
Mahasiswa yang gagal itu pemalas tolol; lebih parah daripada domba-domba di
jjgfernakan Buccilla. Ia suka main perempuan, suka membual, bocah buta huruf
tanpa harapan yang tak tahu perbedaan antara iliad dan Verga. Meskipun
demikian, Hector Adonis tersenyum manis kepada Buccilla dan dengan pura-
pura sangat terkejut berkata, "Ah, dia sedikit bermasalah dalam salah satu
ujiannya. Tapi bisa dibereskan dengan mudah. Suruh dia menemuiku, akan
kusiapkan dia di
ruangan ini dan kuberi ujian tambahan. Dia tidak akan gagal lagi."
Mereka berjabatan, dan pria itu berlalu. Dapat satu teman lagi, pikir Hector. Apa
itu berarti semua pemuda tidak berguna ini akan mendapatkan gelar sarjana yang
tak layak mereka peroleh? Di Italia tahun 1943 mereka bisa menggunakan gelar
itu untuk memanjakan diri dan mendapat posisi menengah.
Dering telepon menghentikan pemikirannya dan mencetuskan kejengkelan lain.
Deringannya pendek, lalu berhenti sejenak sebelum berdering lebih pendek lagi
tiga kali. Wanita operator telepon tengah bergosip dan melakukan tugasnya di
sela-sela percakapannya sendiri. Ini begitu menjengkelkan sehingga Adonis
berteriak, "Pronto" ke telepon, lebih kasar daripada yang diinginkannya.
Dan sialnya telepon itu dari Rektor Universitas. Tapi sang Rektor, yang terkenal
ketat dalam masalah kesopanan profesional, jelas tengah memikirkan hal lain
yang lebih penting daripada kekasaran. Suaranya gemetar ketakutan,
permohonannya hampir-hampir diiringi air mata. "Profesor Adonis yang baik,"
rengeknya, "apa kau tidak keberatan datang ke ruanganku? Universitas mendapat
masalah serius dan hanya kau yang mungkin bisa memecahkan. Ini penting
sekali. Percayalah, profesorku yang baik, aku akan sangat berterima kasih."
Bujukan tersebut menyebabkan Hector Adonis gugup. Apa yang diharapkan
idiot ini darinya? Melompat dari Katedral Palermo? Rektor lebih memenuhi
syarat untuk itu, pikir Adonis getir, tingginya paling sedikit 180 sentimeter.
Biarkan ia melompat dan tidak
meminta bawahan yang berkaki paling pendek di Sisilia melakukannya.
Bayangan itu meringankan kembali suasana hari Adonis. Jadi ia bertanya ringan,
"Mungkin kau bisa memberiku petunjuk. Jadi aku bisa mempersiapkan diri
selama perjalanan."
Suara Rektor merendah menjadi bisikan. "Don Croce yang terhormat bersusah
payah mengunjungi kita. Keponakannya mahasiswa kedokteran, dan dosennya-
menyarankan dia mengundurkan diri dengan hormat dari program. Don Croce
datang untuk meminta kita, dengan cara yang paling sopan,
mempertimbangkannya kembali. Tapi dosen di Fakultas Kedokteran bersikeras
agar anak muda ini mengundurkan diri." "Siapa manusia tolol itu?" tanya Hector
Adonis. "Dokter Nattore yang masih muda itu," jawab Rektor. "Anggota
terhormat fakultas tapi masih kurang pengalaman."
"Aku akan tiba di ruanganmu lima menit lagi," tegas Hector Adonis.
Sementara ia bergegas menyeberangi tempat terbuka menuju gedung utama,
Hector Adonis mempertimbangkan tindakan apa yang akan diambilnya.
Kesulitannya bukan terletak pada Rektor; ia selalu memanggil Adonis untuk
menangani masalah-masalah seperti ini. Kesulitannya terletak pada Dokter
Nattore. Ia mengenal baik sang dokter. Praktisi medis yang cemerlang, pengajar
yang kematiannya jelas akan menjadi kerugian besar bagi Sisilia, dan
pengunduran dirinya akan merupakan kehilangan bagi Universitas. Juga orang
membosankan yang paling sombong, punya prinsip kaku dan kehormatan sejati.
Tapi bahkan ia pun harus mendengarkan Don Croce yang agung, ia pun harus
menancapkan sedikit logika dalam otaknya yang jenius. Pasti ada jalan lain.
Di depan gedung utama terdapat mobil hitam panjang dan dua pria bersetelan
bisnis—mereka tetap saja tidak tampak terhormat—bersandar di sana. Mereka
pasti para pengawal dan. sopir Don yang ditinggalkan di luar untuk menghormati
para akademisi yang dikunjungi Don Croce. Adonis melihat pandangan tertegun
mereka, lalu keheranan bercampur geli melihat posturnya yang pendek,
pakaiannya yang bagus, map di bawah ketiaknya. Ia melontarkan tatapan dingin
yang membuat mereka terkejut. Mungkinkah orang sekecil ini termasuk Friends
of the Friends?
Ruangan Rektor lebih mirip perpustakaan daripada pusat bisnis; ia lebih
menyerupai sarjana daripada administrator. Buku-buku berjajar memenuhi
dinding-dindingnya, perabotannya besar tapi nyaman. Don Croce duduk di kursi
besar sambil menghirup espresso-nya. wajahnya mengingatkan Hector Adonis
akan haluan kapal dalam kisah Iliad, yang melewati tahun-tahun peperangan dan
lautan buas. Don berpura-pura mereka tidak saling kenal, dan Adonis
membiarkan dirinya diperkenalkan. Rektor tentu saja tahu langkah ini hanyalah
pura-pura, tapi Dokter Nattore yang masih muda percaya.
Rektor adalah orang terjangkung di Universitas; Hector Adonis yang terpendek.
Segera, demi kesopanan, Rektor duduk merosot di kursinya sebelum berbicara.
"Kita menghadapi sedikit perbedaan pendapat," kata Rektor. Mendengarnya
Dokter Nattore mendengus jengkel, tapi Don Croce memiringkan kepala menye-
tujui. Rektor pun melanjutkan, "Keponakan Don Croce sangat ingin menjadi
dokter. Menurut Profesor Nattore pemuda ini tidak berhasil mendapatkan nilai
yang cukup untuk memperoleh izin praktik. Ini tragedi. Don Croce begitu baik
bersedia datang dan mengajukan masalah keponakannya, dan karena Don Croce
sudah berbuat begitu banyak bagi Universitas, menurutku kita harus berusaha
sebaik-baiknya untuk mencarikan jalan keluar."
Don Croce berkata riang, tanpa kesinisan sedikit pun, "Aku sendiri buta huruf,
tapi tak ada yang bisa bilang aku tidak berhasil dalam bisnis." Tentu saja, pikir
Hector Adonis, orang yang bisa menyuap para menteri, memerintahkan berbagai
pembunuhan, meneror para penjaga toko dan pemilik pabrik, tidak perlu bisa
membaca dan menulis. Don Croce melanjutkan, "Aku menemukan jalanku
melalui pengalaman. Kenapa keponakanku tidak bisa seperti itu juga? Adik
perempuanku yang malang pasti patah hati kalau putranya tidak bisa
menambahkan kata 'Dokter' di depan namanya Adikku pengikut Kristus sejati,
dia ingin membantu dunia."
Dokter Nattore, dengan ketidakpekaan khas orang yang berada di pihak yang
benar, berkata, "Aku tidak bisa mengubah posisiku."
Don Croce mendesah. Ia membujuk, "Kerugian apa yang bisa ditimbulkan
keponakanku? Aku akan mengatur jabatan di ketentaraan, atau di rumah sakit
Katolik untuk manula. Dia akan memegang tangan mereka dan mendengarkan
masalah mereka. Orangnya sangat ramah, dia akan memesona orang-orang tua
itu. Apa yang kuminta? Hanya mengatur sedikit kertas-
kertas yang kauatur di sini." Sekilas ia memandang sekeliling ruangan, jijik
terhadap buku-buku yang membentuk dinding-dindingnya.
Hector Adonis sangat terganggu oleh kerendahan hati Don Croce—itu
merupakan tanda bahaya kalau muncul dari orang seperti dirinya—dan dengan
marah berpikir memang gampang saja bagi Don mendapatkan jabatan itu. Anak
buahnya akan segera mengirimnya ke Swiss begitu livernya kurang beres. Tapi
Adonis tahu dirinya terbebani untuk membereskan masalah ini. "Dokter Nattore
yang baik," katanya, "tentu ada yang bisa kita lakukan. Sedikit pelajaran
tambahan pribadi, kerja praktik tambahan di rumah sakit amal?"
Sekalipun dilahirkan di Palermo, Dokter Nattore tidak mirip orang Sisilia.
Rambutnya pirang dan mulai botak dan ia menunjukkan kemarahannya, sesuatu
yang tak akan pernah dilakukan orang Sisilia sejati dalam situasi serumit ini.
Tidak ragu lagi itu akibat kerusakan genetika yang diwarisinya dari para
penjajah Normandia jauh di masa lalu. "Kau tidak mengerti, Profesor Adonis-ku
yang baik. Si tolol ini mau jadi ahli bedah."
Yesus, Yusuf, Perawan Maria kami, dan semua orang sucinya, pikir Hector
Adonis. Ini benar-benar gawat.
Memanfaatkan kesunyian akibat kekagetan yang terpancar pada wajah para
koleganya, Dokter Nattore melanjutkan. "Keponakanmu tidak tahu apa-apa
tentang anatomi. Dia mencincang mayat hingga berkeping-keping seperti
menyembelih domba untuk pesta. Dia tidak mengikuti sebagian besar pelajaran,
dia tidak belajar untuk ujian, dia memasuki ruang operasi seolah hendak
berdansa. Kuakui dia ramah, kau tak bisa
nemukan pemuda yang lebih menyenangkan lagi. Tapi, bagaimanapun juga, kita
bicara soal orang yang suatu hari harus memasuki tubuh manusia dengan sebilah
pisau tajam."
Hector Adonis tahu persis apa yang dipikirkan Don Croce. Siapa peduli seburuk
apa bocah ini sebagai ahli bedah? Ini soal gengsi keluarga, hilangnya
penghormatan kalau si bocah gagal. Tidak peduli seburuk apa ia sebagai ahli
bedah, ia tak akan pernah membunuh sebanyak yang dilakukan anak buah Don
Croce yang lebih sibuk. Selain itu, Dokter Nattore yang
masih muda ini tidak mau mengubah kemauannya, tidak memahami isyarat
bahwa Don Croce bersedia melupakan cita cita keponakannya menjadi ahli
bedah kalau ia bersedia menjadikannya dokter umum.
Jadi sekarang tiba waktunya bagi Hector Adonis untuk membereskan masalah
ini. "Don Croce yang baik," katanya, "aku yakin Dokter Nattore akan memenuhi
permintaanmu kalau kita terus membujuknya. Tapi kenapa keponakanmu punya
gagasan romantis menjadi ahli bedah? Seperti sudah kaukatakan, dia terlalu
ramah, padahal ahli bedah dikenal sadis sejak lahir. Dan siapa di Sisilia ini yang
sukarela mau diiris?" Ia diam sejenak, lalu melanjutkan. "Selain itu dia harus
menjalani praktik di Roma, kalau kami meluluskannya di sini, dan Roma akan
menggunakan segala alasan untuk menghancurkan orang Sisilia Kau justru
merugikan keponakanmu kalau bersikeras. Biarkan aku yang mengatur."
Dokter Nattore menggumam bahwa tidak mungkin ia berkompromi. Untuk
pertama kalinya mata Don Croce yang bagai mata kadal membara. Dokter
Nattore
terdiam dan Hector Adonis bergegas bicara. "Keponakanmu akan mendapatkan
nilai lulus dan menjadi dokter, bukan ahli bedah. Kita katakan saja dia terlalu
baik hati, tak tega mengiris orang."
Don Croce membentangkan lengannya lebar-lebar, bibirnya merekah
melontarkan senyum dingin. "Kau mengalahkanku dengan logikamu," pujinya
kepada Adonis. "Terserahlah. Keponakanku akan jadi dokter, bukan ahli bedah.
Dan adik perempuanku harus puas dengan itu." Ia bergegas meninggalkan
mereka, tujuan utamanya tercapai; ia tidak berharap lebih. Rektor Universitas
mengantarnya ke mobil. Tapi semua orang dalam ruangan menyadari lirikan
terakhir yang dilontarkan Don Croce ke arah Dokter Nattore. Lirikan tajam
seakan ia hendak mengingat-ingat wajahnya, memastikan dirinya tidak
melupakan wajah orang yang mencoba menentang kehendaknya.
Sesudah mereka pergi, Hector Adonis berpaling memandang Dokter Nattore dan
berkata, "Kau, kolegaku yang baik, harus mengundurkan diri dari Universitas
dan membuka praktik di Roma."
Dokter Nattore membentak marah, "Kau sudah sinting?"
Hector Adonis menjawab, "Tidak sesinting dirimu. Aku memaksamu makan
malam bersamaku malam ini dan akan kujelaskan kenapa Sisilia kita bukanlah
Taman Eden."
"Tapi kenapa aku harus pergi?" protes Dokter Nattore.
"Kau bilang 'tidak' kepada Don Croce Malo. Sisilia tidak cukup besar bagi kalian
berdua."
"Tapi dia sudah mendapatkan keinginannya,teriak
Dokter Nattore putus asa. "Keponakannya akan jadi dokter. Kau dan Rektor
sudah menyetujuinya."
"Tapi kau tidak," kilah Hector Adonis. "Kami menyetujuinya untuk
menyelamatkan nyawamu. Meskipun demikian, kau sudah ditandai."
Malam itu Hector Adonis menjadi tuan rumah bagi enam dosen, termasuk
Dokter Nattore, di salah satu restoran terbaik Palermo. Masing-masing dosen
mendapat kunjungan "orang terhormat" hari itu dan mereka setuju mengubah
nilai mahasiswa yang gagal.
Dokter Nattore mendengarkan cerita mereka dengan ngeri dan akhirnya berkata,
"Tapi hal itu tidak bisa terjadi di fakultas kedokteran, tidak bagi seorang dokter."
Hingga akhirnya mereka kehilangan kesabaran. Seorang dosen Filsafat menuntut
kenapa praktik kedokteran lebih penting bagi umat manusia daripada proses
berpikir yang rumit dalam pikiran manusia dan kesucian jiwa yang abadi.
Sesudah mereka selesai, Dokter Nattore setuju pergi dari Universitas Palermo
dan pindah ke Brasilia, para koleganya menjamin di sana ahli bedah yang baik
bisa mendapatkan kekayaan dengan menangani kandung kemih.
Malam itu Hector Adonis tidur nyenyak. Tapi keesokan paginya ia menerima
telepon mendesak dari Montelepre. Putra baptisnya, Turi Guiliano, yang
kecerdasannya telah dibinanya, yang kelembutannya sangat dihargainya, yang
masa depannya telah direncanakannya, membunuh petugas polisi.
Bab 3
MONTELEPRE adalah kota berpenduduk tujuh ribu orang yang terbenam dalam
di lembah Pegunungan Cammarata, sebagaimana terbenam dalam kemiskinan.
Pada tanggal 2 September 1943 para penduduknya tengah bersiap
menyelenggarakan Festa, yang dimulai besok dan berlanjut hingga tiga hari
berikutnya.
Festa merupakan acara terbesar setiap tahun di setiap kota, lebih besar daripada
Paskah atau Natal atau Tahun Baru, lebih meriah daripada perayaan berakhirnya
perang besar atau hari kelahiran pahlawan nasional. Festa diselenggarakan bagi
orang suci kesukaan masing-masing kota. Acara ini salah satu dari sedikit tradisi
yang tidak berani dilarang atau dicampuri oleh pemerintahan Fasis Mussolini.
Untuk mengorganisir Festa, setiap tahun dibentak Komite Tiga yang terdiri atas
orang-orang paling dihormati di kota. Ketiga orang ini lalu menunjuk para deputi
untuk mengumpulkan uang dan sumbangan barang. Setiap keluarga
menyumbang sesuai kemampuan. Sebagai tambahan, para deputi dikirim ke
jalan-jalan untuk mengemis.
Lalu seiring kian dekatnya hari besar itu, Komite
Tiga mulai menghabiskan dana khusus yang dikumpulkannya setahun terakhir.
Mereka menyewa band dan badut. Mereka menyiapkan hadiah uang besar untuk
balap kuda yang akan diselenggarakan selama tiga hari. Mereka menyewa pakar
untuk mendekorasi gereja dan jalan-jalan agar kemuraman Montelepre yang
dicekam kemiskinan tiba-tiba menyerupai kota berbenteng khas abad
pertengahan di tengah Fields of the Cloths of Gold. Mereka menyewa teater
boneka. Para pedagang makanan menyiapkan kios.
Keluarga-keluarga Montelepre memanfaatkan Festa untuk memamerkan putri-
putri mereka yang siap menikah pakaian-pakaian baru dibeli, pendamping-pen-
damping diberi penjelasan. Sekelompok pelacur Palermo mendirikan tenda besar
tepat di luar kota, surat izin dan sertifikat medis menghiasi dinding-dinding
kanvas bergaris-garis merah, putih, dan hijau. Seorang biarawan suci terkenal,
yang bertahun-tahun lalu memiliki luka-luka penyaliban Kristus, disewa untuk
menyampaikan khotbah resmi Dan akhirnya, pada hari ketiga, keranda kayu
orang suci dibawa menyusuri jalan-jalan, diikuti seluruh penduduk kota,
bersama bagal-bagal, kuda-kuda, babi-babi, dan keledai-keledai mereka. Di atas
Ini mengacu pada padang rumput mewah meriah di selatan Prancis, tempat Raja
Inggris dan Prancis bertemu dalam upaya menghentikan perang, Masing-masing
mendirikan tenda-tenda mewah menyerupai kastil, mencoba tampil lebih hebat
daripada yang lain, meski harus menghabiskan uang lebih daripada yang mereka
miliki.
keranda terdapat patung orang suci yang ditimbuni uang, bunga, gula-gula aneka
warna, dan botol-botol anggur besar terbungkus anyaman bambu.
Hari-hari itu merupakan hari-hari kemegahan. Bukan masalah kalau sepanjang
tahun sisanya mereka kelaparan dan di alun-alun desa yang sama—tempat
mereka menghormati orang suci—mereka menjual keringat kepada para tuan
tanah untuk seratus lira sehari.
Di hari pertama Festa Montelepre, Turi Guiliano ditugaskan mengambil peran
dalam ritual pembukaan, mengawinkan Bagal Ajaib Montelepre dengan keledai
terbesar dan terkuat di kota. Jarang sekali bagal betina bisa melahirkan; mereka
termasuk hewan steril, produk persilangan antara kuda dan keledai. Tapi ada
bagal seperti itu di Montelepre; bagal itu melahirkan seekor keledai dua tahun
lalu. Sebagai tanggung jawab keluarga untuk berpartisipasi dalam Festa,
pemiliknya setuju menyumbangkan bagal itu dan, seandainya terjadi keajaiban,
anaknya dalam Festa tahun depan. Acara ini mengandung ejekan sinis.
Tapi ritual penjantanan ini hanyalah sebagian ejekan itu. Petani Sisilia punya
kemiripan dengan bagal dan keledainya. Bagal dan keledai makhluk pekerja
keras, dan seperti petani Sisilia sendiri, sifatnya keras kepala dan masam. Seperti
petani, bagal dan keledai mampu bekerja berjam-jam tanpa lelah, tidak seperti
kuda yang lebih anggun, yang harus dimanjakan. Selain itu, bagal dan keledai
sangat kuat dan mampu memilih jalan di sepanjang lereng pegunungan tanpa
jatuh dan menderita patah kaki, tidak seperti kuda ras jantan atau betina. Petani,
keledai, dan bagal juga mampu bertahan hidup dengan makanan yang akan
membunuh
orang dan hewan lainnya. Tapi kemiripan terbesar adalah: Petani, keledai, dan
bagal harus diperlakukan dengan kasih dan penghormatan, kalau tidak mereka
bisa berubah mematikan dan keras kepala.
Festival-festival keagamaan Katolik lahir dari ritual pemuja berhala yang
memohon keajaiban dari para dewa. Di hari yang sangat penting di bulan
September 1943 ini, selama Festa Montelepre, keajaiban akan muncul dan
mengubah nasib tujuh ribu penduduknya.
Pada usia 20 tahun, Turi Guiliano dianggap pemuda paling berani, paling
terhormat, paling kuat, dan yang paling memicu penghargaan. Ia pria terhormat.
Maksudnya, ia orang yang memperlakukan sesamanya de-ngan sangat adil dan
tidak bisa dihina begitu saja.
Ia menjadi terkenal di musim menuai lalu karena menolak dipekerjakan sebagai
buruh dengan bayaran begitu menghina yang ditentukan para pengawas lahan
setempat Ia lalu- berpidato, mendesak orang-orang lain agar tidak bekerja,
membiarkan hasil panen membusuk. Carabinieri menangkapnya atas tuduhan
yang dilontarkan para tuan tanah. Orang-orang lain kembali bekerja Guiliano
tidak menunjukkan kemarahan kepada mereka atau bahkan kepada carabinieri.
Sewaktu dibebaskan dari penjara berkat campur tangan Hector Adonis, ia tidak
menjadi sinis. Ia membela prinsip yang dipercayainya dan itu sudah cukup
baginya.
Dalam kesempatan lain, ia melerai perkelahian pisau antara Aspanu Pisciotta
dan seorang pemuda lain hanya dengan menempatkan dirinya yang tidak
bersenjata di antara keduanya dan sambil melucu membujuk mereka sehingga
kemarahan mereka reda. Yang tidak biasa dari kejadian ini adalah kalau
orang lain yang melakukannya, tindakan itu akan dianggap sebagai
kepengecutan yang disamarkan dalam kemanusiaan, tapi sesuatu dalam diri
Guiliano mencegah penafsiran seperti itu.
Di hari kedua bulan September ini, Salvatore Guiliano, dipanggil Turi oleh
teman-teman dan keluarganya, muram memikirkan apa yang baginya merupakan
pukulan hebat terhadap martabatnya sebagai pria.
Masalahnya kecil saja. Montelepre tidak memiliki bioskop, tidak ada gedung
pertemuan, tapi ada kafe kecil dengan meja biliar. Semalam Turi Guiliano,
sepupunya, Gaspare "Aspanu" Pisciotta, dan beberapa pemuda lain tengah
bermain biliar. Beberapa pria yang lebih tua mengawasi mereka sambil minum
bergelas-gelas anggur. Salah satu di antaranya, pria bernama Guido Quintana,
sudah agak mabuk. Ia orang yang memiliki reputasi. Ia pernah dipenjara
Mussolini karena dicurigai sebagai anggota Mafia. Keberhasilan Amerika
menaklukkan pulau tersebut menyebabkan ia dibebaskan sebagai korban
fasisme, dan menurut isu ia akan dipilih menjadi walikota Montelepre.
Sebagaimana orang-orang Sisilia mana pun, Turi Guiliano mengetahui
kekuasaan Mafia yang legendaris. Dalam beberapa bulan setelah kebebasan,
organisasi ini kembali menebarkan jaring-jaring kekuasaannya ke seluruh pulau,
seakan-akan disuburkan oleh pupuk segar pemerintahan demokratis yang baru.
Di kota muncul isu para pemilik toko harus membayar "asuransi" kepada
"orang-orang terhormat" tertentu. Dan tentu saja Turi mengetahui sejarah,
tentang pembunuhan atas puluhan petani yang mencoba mengambil upah
mereka dari para bangsawan dan tuan tanah
yang berkuasa, tentang seberapa kuat pengendalian Mafia atas pulau ini sebelum
Mussolini melumpuhkan mereka dengan ketidakpeduliannya terhadap proses
hukum, seperti ular yang lebih mematikan menggigit reptil yang lebih lemah
dengan taring-taring beracunnya. Jadi Turi Guiliano merasakan kengerian yang
menanti di depannya.
Quintana sekarang memandang Guiliano dan rekan-rekannya dengan tatapan
agak jijik. Mungkin semangat tinggi mereka menjengkelkannya. Apalagi ia
orang yang serius, yang hendak memulai perubahan besar dalam hidupnya-
Dibuang oleh pemerintahan Mussolini ke pulau terpencil, ia kini kembali ke kota
kelahirannya. Dalam beberapa bulan ke depan tujuannya adalah mendapatkan
penghormatan di mata penduduk kota.
Atau mungkin ketampanan Guiliano yang membuatnya jengkeL karena Guido
Quintana sangat jelek. Penampilannya mengintimidasi, dan itu bukan karena
salah satu ciri tubuhnya, melainkan karena seumur hidup ia biasa menampilkan
ekspresi masam kepada dunia luar. Atau mungkin penyebabnya adalah
ketidaksenangan alami antara penjahat dan pahlawan.
Apa pun alasannya ia tiba-tiba bangkit berdiri, tepat pada saatnya untuk
mendorong Guiliano yang tengah berjalan ke seberang meja biliar. Turi—
memang sudah sifatnya bersikap sopan • terhadap pria lebih tuai—meminta maaf
dengan lembut dan tulus. Guido Quintana memandangnya dari atas ke bawah
dengan jijik.Kenapa kau tidak tidur dan beristirahat supaya bisa mencari makan
besok?" tanyanya. "Teman-temanku sudah menunggu sejam untuk bermain." Ia
menjulurkan tangan dan meraih tongkat biliar dari tangan
Guiliano dan, sambil tersenyum tipis, melambai mengusirnya.
Semua orang mengawasi. Itu bukan penghinaan besar. Kalau orang ini lebih
muda dan penghinaannya lebih langsung, Guiliano akan terpaksa berkelahi dan
mempertahankan harga dirinya sebagai pria. Aspanu Pisciotta selalu membawa
pisau, dan sekarang ia menempatkan diri untuk menghadang teman-teman
Quintana kalau mereka memutuskan turut campur. Pisciotta tidak, menghormati
orang lebih tua, dan ia berharap teman sekaligus sepupunya ini membereskan
perselisihannya.
Tapi pada saat itu Guiliano merasakan keresahan yang aneh. Orang ini tampak
begitu mengintimidasi dan siap menghadapi konsekuensi paling serius dalam
perselisihan apa pun. Teman-teman di belakangnya, juga pria-pria lebih tua,
tersenyum geli seakan-akan mereka tahu pasti apa yang akan terjadi. Salah satu
dari mereka mengenakan pakaian berburu dan menyandang senapan. Guiliano
sendiri tidak bersenjata. Dan lalu, untuk sesaat yang memalukan, ia merasa
takut. Ia bukan takut terluka, atau diserang, atau karena orang ini lebih kuat
dibanding dirinya. Ia takut orang-orang ini tahu benar apa yang mereka lakukan,
takut mereka mengendalikan situasi. Ia tidak memegang kendali. Ia takut mereka
bisa menembaknya hingga mati di jalan-jalan Montelepre yang gelap dalam
perjalanan pulang. Takut dirinya tampak seperti orang bodoh. yang tewas
keesokan harinya. Ketakutan itu merupakan indra taktis alamiah prajurit gerilya
yang menyebabkan ia memilih mengalah. Jadi Turi Guiliano meraih lengan
temannya dan
membimbingnya ke luar kafe. Pisciotta mengikuti tanpa perlawanan, terkesima
melihat temannya mengalah begitu mudah, tapi tak pernah curiga temannya
takut. Ia tahu Turi baik hati dan menganggap temannya itu tidak ingin bertengkar
dan melukai orang lain hanya karena masalah seremeh itu. Sewaktu mereka
menyusuri Via Belia menuju rumah, mereka bisa mendengar bola-bola biliar
berdetak-detak di belakang.
Sepanjang malam itu Turi Guiliano tidak bisa tidur. Apakah ia benar-benar takut
terhadap orang berwajah jahat dan bersikap mengancam itu? Apakah ia
menggigil seperti perempuan? Apakah mereka semua menertawakan dirinya?
Apa pendapat sahabat terbaiknya, sepupunya, Aspanu, tentang dirinya sekarang?
Bahwa ia pengecut? Bahwa ia, Turi Guiliano, pemimpin pemuda Montelepre,
yang paling dihormati, paling kuat, dan paling tidak kenal takut, takluk begitu
mendapat ancaman dari pria sejati? walaupun begitu, katanya dalam hati, kenapa
mengambil risiko menghadapi vendetta yang bisa menyebabkan kematian hanya
karena masalah sepele seperti permainan biliar, karena kekasaran menjengkelkan
seorang pria lebih tua? Ini tidak seperti bertengkar dengan sesama pemuda. Ia
tahu perselisihan ini bisa jadi serius. Ia tahu orang-orang itu termasuk Friends of
the Friends. Dan itu menyebabkan ia takut.
Guiliano tidur gelisah dan terjaga dengan suasana hati muram yang begitu
berbahaya dalam diri seorang pemuda. Ia tampak konyol di matanya sendiri.
Selama ini ia selalu ingin jadi pahlawan, seperti sebagian besar emuda lainnya.
Seandainya ia hidup di kawasan Italia ya, pasti ia sudah lama menjadi prajurit.
Tapi se-
bagai orang Sisilia sejati ia tidak mendaftarkan diri secara sukarela, dan bapak
permandiannya, Hector Adonis, telah mengatur agar dirinya tidak pernah
dipanggil wajib militer. Walaupun Sisilia berada di bawah pemerintahan Italia,
tidak ada orang Sisilia sejati yang merasa dirinya orang Italia. Lagi pula, kalau
mau bicara jujur, pemerintah Italia sendiri tidak begitu bersemangat merekrut
orang Sisilia, terutama selama setahun terakhir peperangan. Orang-orang Sisilia
memiliki banyak kerabat di Amerika, mereka sudah menjadi penjahat dan
pemberontak sejak lahir, mereka terlalu bodoh untuk dilatih dalam ilmu perang
modern, dan mereka menimbulkan masalah ke mana pun mereka pergi.
Di jalan Turi Guiliano merasakan kemuramannya memudar bersama keindahan
hari. Matahari keemasan tampak megah, harum pohon lemon dan zaitun
memenuhi udara. Ia mencintai Montelepre, jalan-jalannya yang berliku-liku,
rumah-rumah batu dengan balkon-balkonnya yang dipenuhi bunga yang tumbuh
di Sisilia dengan sendirinya. Ia menyukai atap-atap genteng merah yang
membentang hingga ke ujung kota kecil itu, terbenam dalam lembah tempat
matahari menyiraminya bagai emas cair.
Dekorasi Festa yang meriah—di atas jalanan bergantungan boneka-boneka
kertas aneka warna melambangkan para orang suci, rumah-rumah dihiasi bunga-
bunga yang dirangkai pada bambu—menyamarkan kemiskinan yang merupakan
gejala umum di Sisilia. Bertengger tinggi, tapi bersembunyi malu-malu di celah-
celah pegunungan yang mengelilinginya, rumah-rumah Montelepre yang telah
berhias itu sebagian besar di-
penuhi pria, wanita, anak-anak, dan hewan yang menempati tiga atau empat
ruangan. Banyak di antara rumah-rumah itu tidak memiliki sanitasi, dan bahkan
ribuan bunga serta dinginnya udara pegunungan tak bisa mengatasi bau kotoran
yang membubung seiring naiknya matahari.
Di tengah cuaca bagus orang-orang tinggal di luar rumah. Para wanita duduk di
kursi-kursi kayu di teras yang terbuat dari batu-batu bulat, menyiapkan makanan
di meja-meja, yang juga ditata di luar ruangan. Anak-anak kecil memenuhi
jalanan sambil mengejar-ngejar ayam, kalkun,- kambing muda; anak-anak yang
lebih tua menganyam keranjang bambu. Di ujung Via Belia, sebelum alun-alun,
terdapat air mancur besar berwajah iblis, dibangun orang-orang Yunani dua ribu
tahun sebelumnya, airnya menyembur dari mulut bergigi batu. Di sekeliling
pegunungan taman-taman hijau tumbuh menantang bahaya, dibangun pada teras-
teras. Di dataran di bawah terlihat kota Partinico dan Castellammare; Corleone,
kota batu hitam berlumuran darah, mengintai dengan nafsu membunuh di balik
kaki langit.
Dari ujung seberang Via Belia, ujung jalan yang menuju dataran Castellammare,
Turi bisa melihat Aspanu Pisciotta tengah membimbing keledai kecil. Sejenak ia
mengkhawatirkan perlakuan Aspanu kepadanya setelah penghinaan yang
dialaminya semalam. Temannya itu terkenal akan keberaniannya. Apa ia akan
melontarkan komentar jijik kepadanya? Guiliano kembali merasakan gelombang
kemarahan yang sia-sia dan bersumpah tak akan lengah seperti itu lagi. Ia takkan
peduli dengan konsekuensinya, ia akan menunjukkan kepada mereka semua
bahwa dirinya bukan
pengecut. Tapi di sudut benaknya ia melihat seluruh adegan dengan tajam dan
jelas. Teman-teman Quintana menunggu di belakangnya, salah seorang di
antaranya menyandang senapan berburu. Mereka Friends of the Friends dan
akan membalaskan dendam rekan mereka. Ia tidak takut pada mereka, ia hanya
takut dikalahkan oleh mereka, dan tampaknya itulah yang akan terjadi sebab
sekalipun tidak terlampau kuat, mereka lebih kejam.
Aspanu Pisciotta menyeringai nakal sambil berkata, "Turi, keledai kecil ini tidak
bisa melakukannya sendiri. Kita harus membantunya."
Guiliano tidak bersusah payah menjawab, ia lega temannya telah melupakan
kejadian semalam. Ia selalu tersentuh melihat Aspanu, yang sering meributkan
kesalahan orang lain, selalu memperlakukan dirinya penuh sayang dan hormat.
Mereka berjalan bersama-sama ke alun-alun kota, keledai Pisciotta ikut di
belakang. Anak-anak berhamburan ke sana kemari di depan mereka bagai ikan-
ikan pilot. Anak-anak tahu apa yang. akan terjadi dengan si keledai dan mereka
jadi liar karena bersemangat. Bagi mereka peristiwa itu merupakan tontonan
besar, kejadian mengasyikkan di hari musim panas yang biasanya
membosankan.
Panggung kecil setinggi 120 sentimeter dibangun di lapangan kota. Panggung itu
terbuat dari bongkahan-bongkahan batu yang dipotong dari pegunungan di
sekitarnya. Turi Guiliano dan Aspanu Pisciotta mendorong keledainya menaiki
jalur tanah ke atas panggung. Mereka menggunakan seutas tali untuk mengikat
kepala keledai di tonggak besi vertikal yang pendek. Keledai itu duduk. Ada
bercak kulit putih di mata dan
moncongnya yang menyebabkan penampilannya seperti badut Anak-anak
berkumpul di sekitar panggung, tertawa-tawa dan mengejek. Salah seorang di-
antaranya berseru, "Yang mana keledainya?" dan semua anak itu pun tertawa
Turi Guiliano—tidak tahu hari ini merupakan hari terakhirnya sebagai pemuda
desa tak dikenal—menunduk memandang mereka dengan kepuasan posesif pria
yang berada di tempat seharusnya. Ia berada di tempat kecil di bumi, tempat ia
dilahirkan dan menghabiskan hidupnya. Dunia luar takkan pernah bisa
menyakitinya. Bahkan penghinaan semalam telah terlupakan. Ia mengenal
pegunungan kapur yang menjulang seakrab anak kecil mengenal kotak pasirnya.
Pegunungan itu menumbuhkan bongkahan-bongkahan batu semudah
menumbuhkan rerumputan, dan membentuk gua-gua dan tempat persembunyian
yang bisa melindungi satu pasukan. Turi Guiliano mengenal setiap rumah, setiap
ladang, setiap buruh, dan semua reruntuhan puri yang ditinggalkan orang
Normandia dan Moor, puing-puing kuil peninggalan orang Yunani yang
membusuk dengan indahnya.
Dari pintu masuk alun-alun yang lain muncul petani yang menggiring Bagal
Ajaib. Orang inilah yang mempekerjakan mereka pagi ini. Namanya Papera, dan
ia sangat dihormati penduduk Montelepre karena berhasil melakukan vendetta
terhadap tetangganya. Mereka bertengkar atas sepetak tanah tempat tumbuh
sesemakan zaitun. Pertengkaran berlangsung hingga sepuluh tahun, lebih lama
dari semua peperangan, yang dikobarkan Mussolini atas Italia. Lalu suatu malam
tak lama setelah Pasukan Sekutu membebaskan Sisilia dan me-
netapkan pemerintahan demokratis, si tetangga ditemukan hampir terpenggal
jadi dua oleh sepucuk lupara, yang populer digunakan di Sisilia untuk masalah-
masalah seperti ini. Kecurigaan segera jatuh pada Papera, tapi ia telah
membiarkan dirinya bertengkar dengan carabinieri dan menghabiskan malam
saat terjadinya pembunuhan di sel penjara Barak Bellampo. Isu mengatakan
inilah tanda pertama kebangkitan Mafia lama, bahwa Papera—bersaudara
dengan Guido Quintana karena pernikahan—telah melibatkan Friends of the
Friends untuk membantu membereskan pertengkaran tersebut.
Saat Papera membimbing bagalnya ke depan panggung, anak-anak
mengerumuninya sehingga ia terpaksa mengusir mereka dengan makian ringan
dan lambaian cambuk yang dipegangnya. Anak-anak menghindari cambuknya
dengan mudah sewaktu Papera melecutkan-nya di atas kepala mereka sambil
tersenyum riang.
Mencium bau bagal betina di bawah, keledai berwajah putih menarik-narik tali
yang menahannya di panggung. Turi dan Aspanu mengangkatnya sementara
anak-anak bersorak-sorak. Sementara itu Papera mengatur posisi bagalnya agar
pantatnya menempel ke panggung.
Pada saat itu Frisella, tukang cukur, keluar dari salonnya untuk menggabungkan
diri dalam kegembiraan. Di belakangnya berjalan Maresciallo yang sombong
dan sok penting sambil menggosok-gosok wajahnya yang halus kemerahan. Ia
satu-satunya orang di Montelepre yang bercukur setiap hari. Bahkan dari
panggung, Guiliano bisa mencium bau cologne yang disiramkan tukang cukur
pada dirinya.
Maresciallo Roccofino melontarkan pandangan profesional ke arah kerumunan
yang berkumpul di lapangan. Sebagai komandan detasemen Kepolisian Nasional
setempat, yang terdiri atas dua belas orang, ia bertanggung jawab atas hukum
dan ketertiban di kota. Festa selalu merupakan masa-masa merepotkan, dan ia
telah memerintahkan patroli empat orang di alun-alun kota, tapi mereka belum
datang. Ia juga mengawasi si dermawan Papera, yang membawa Bagal
Ajaibnya. Ia yakin Papera telah memerintahkan pembunuhan atas tetangganya.
Orang-orang Sisilia biadab ini sangat cepat mengambil keuntungan dari
kebebasan mereka yang sakral. Mereka semua akan menyesali kepergian
Mussolini, pikir Maresciallo muram. Dibandingkan Friends of the Friends,
diktator itu akan dikenang sebagai wujud lain Santo Francis dari Assisi.
Frisella si tukang cukur adalah pelawak Montelepre. Orang-orang yang
menganggur karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan, berkumpul di salonnya
untuk mendengarkan lelucon dan gosip. Ia salah satu tukang cukur yang lebih
melayani diri sendiri daripada para pelanggannya Kumisnya terawat sangat rapi,
rambutnya diminyaki dan disisir kaku, tapi wajahnya menyerupai badut
sandiwara boneka.. Hidung bulat besar, mulut lebar menganga bagai gerbang,
dan rahang bawah yang tidak berdagu.
Sekarang ia berteriak, "Turi, bawa hewan-hewanmu ke tempatku agar bisa
kuberi parfum. Keledaimu akan mengira curinya bercinta dengan putri
bangsawan."
Turi tak mengacuhkannya. Frisella pernah memotong rambutnya sewaktu ia
kecil, dan potongannya begitu
buruk sehingga ibunya terpaksa mengambil alih tugas tersebut. Tapi ayahnya
tetap mengunjungi Frisella untuk turut mendengarkan gosip kota dan
menceritakan kisahnya sendiri tentang Amerika yang memesona para
pendengarnya. Turi Guiliano tidak menyukai si tukang cukur karena Frisella
seorang Fasis yang kuat dan terkenal sebagai orang kepercayaan Friends of the
Friends.
Maresciallo menyulut rokok dan melenggok menyusuri Via Belia tanpa
memerhatikan Guiliano—kelalaian yang akan msesalinya selama berminggu-
minggu mendatang.
Keledainya sekarang berusaha melompat dari panggung. Guiliano membiarkan
talinya mengendur sehingga Pisciotta bisa membimbing hewan itu ke tepi
panggung dan memposisikannya di atas Bagal Ajaib. Pantat bagal betina' itu
berada tepat di atas panggung. Guiliano mengendurkan talinya sedikit lagi.
Bagal betina mendengus hebat dan mendorong pantatnya ke belakang,
bersamaan dengan itu si keledai mendesak ke bawah. Si keledai mencengkeram
pantat si bagal betina dengan kedua kaki depannya, tersentak-sentak beberapa
kali dan menggantung di tengah-tengah udara dengan ekspresi puas yang lucu
pada wajah bebercak putihnya. Papera dan Pisciotta tertawa-tawa sementara
Guiliano menarik tali kuat-kuat dan mengembalikan keledai yang lemas itu ke
tonggak besi. Kerumunan orang bersorak-sorak dan meneriakkan restu. Anak-
anak berhamburan ke jalanan, mencari kegembiraan lain.
Papera, masih tertawa, berkata, "Kalau saja kita semua hidup seperti keledai, eh,
benar-benar kehidupan yang luar biasa."
Pisciotta menimpali sembarangan, "Signor Papera, izinkan kumuati
punggungmu dengan bambu dan keranjang zaitun dan kupukuli kau sepanjang
jalan ke pegunungan selama delapan jam setiap hari. Itulah kehidupan keledai."
Si petani merengut. Ia menangkap ejekan halus bahwa ia membayar mereka
terlalu sedikit untuk pekerjaan ini. Ia tidak pernah menyukai Pisciotta dan
sebenarnya memberikan pekerjaan itu kepada Guiliano. Semua orang di
Montelepre menyukai Turi. Tapi Pisciotta soal lain. Lidahnya terlalu tajam dan
sikapnya terlalu santai. Pemalas. Kenyataan ia memiliki dada lemah, bukanlah
alasan. Ia masih bisa merokok, mencumbu gadis-gadis Palermo yang masih
bebas, dan mengenakan pakaian layaknya pesolek. Dan kumis kecilnya bergaya
Prancis. Ia bisa terbatuk-batuk hingga tewas dan menemui iblis dengan dadanya
yang lemah, pikir Papera. Ia memberi mereka dua ratus lira, Guiliano
mengucapkan terima kasih padanya dengan sopan, lalu ia membawa bagal
betinanya kembali ke tanah pertaniannya. Kedua pemuda itu melepaskan ikatan
si keledai dan membimbingnya pulang ke rumah Guiliano. Pekerjaan yang
membosankan itu baru saja dimulai; masih banyak pekerjaan kurang
menyenangkan yang menantinya.
Ibu Guiliano menyiapkan makan siang lebih awal untuk kedua pemuda itu.
Kedua saudari Turi, Mariannina dan Giuseppina, membantu ibu mereka
membuat pasta untuk makan malam. Telur dan tepung dicampur menjadi
gundukan besar di papan kayu persegi, lalu diremas-remas hingga padat.
Selanjutnya tanda salib diukir untuk menyucikan adonan . itu. Lalu
Mariannina dan Giuseppina mengiris-iris adonan yang mereka guling-gulingkan
pada bilah rumput sisal, dan mencabut batang rumputnya sehingga terbentuk
lubang di tengah-tengah tabung adonan. Mangkuk-mangkuk besar penuh berisi
zaitun dan anggur menghiasi ruangan.
Ayah Turi bekerja di ladang, hari kerja yang pendek agar bisa mengikuti Festa di
siang harinya. Besok Mariannina akan bertunangan dan akan ada doa khusus di
rumah Guiliano.
Turi selalu menjadi anak kesayangan Maria Lombardo Guiliano. Kedua
saudarinya mengingatnya sebagai bayi yang dimandikan setiap hari oleh ibu
mereka. Baskom timah dengan hati-hati dihangatkan di dekat tungku, ibunya
menguji suhu airnya dengan siku, sebatang sabun dibeli khusus dari Palermo.
Mula-mula kedua kakak perempuannya iri, lalu terpesona melihat ibunya
memandikan bayi laki-laki telanjang itu dengan lembut. Turi tidak pernah
menangis sewaktu bayi, selalu tertawa sementara ibunya bersenandung dan
menyatakan tabuhnya sempurna. Ia anak termuda dalam keluarga tapi tumbuh
menjadi yang terkuat. Dan bagi mereka ia selalu agak aneh. Ia membaca buku-
buku dan berbicara tentang politik, dan tentu saja terdengar komentar bahwa
tinggi dan postur tabuhnya berasal dari masa ia berada dalam kandungan di
Amerika. Tapi mereka juga menyayanginya karena kelembutan dan
kebaikannya.
Pada pagi ini para wanita tengah mengkhawatirkan Turi dan mengawasi dirinya
penuh sayang sementara ia menyantap roti dan keju susu-kambingnya, sepiri
zaitun, dan kopi yang terbuat dari tanaman chicory
Begitu selesai bersantap siang, ia dan Aspanu akan membawa keledainya ke-
Corleone dan kembali dengan menyelundupkan sejumlah besar keju dan ham
serta sosis. Untuk itu ia akan melewatkan satu hari Festa demi menyenangkan
ibunya dan menyukseskan pesta pertunangan kakaknya. Sebagian barang-barang
itu akan mereka jual agar mendapatkan uang tunai di pasar gelap untuk
simpanan keluarga.
Ketiga wanita ini begitu senang melihat kedua pemuda itu bersama-sama.
Mereka bersahabat sejak kecil, lebih erat daripada saudara sekalipun keduanya
begitu berlawanan. Aspanu Pisciotta, dengan kulit gelapnya,
kumis tipis bintang filmnya, wajahnya yang ekspresif, mata hitam cemerlang dan
rambut hitam pekat di kepalanya yang kedi, serta keberaniannya, selalu
memesona para wanita. Walaupun demikian, semua ke-flamboyanan itu
dikalahkan keindahan khas Yunani Turi Guiliano yang pendiam. Ia bertubuh
kekar seperti patung-patung batu kuno Yunani yang bertebaran di seluruh Sisilia.
Dan kulitnya cokelat muda—juga rambutnya. Ia selalu sangat tenang, meskipun
kalau bergerak kecepatannya mengejutkan. Tapi cirinya yang paling n^dominasi
adalah matanya. Mata cokelat keemasannya bagai selalu bermimpi. Kalau
memandang ke arah lain matanya tampak biasa, tapi kalau memandang lurus
kepadamu, kelopaknya turun separo bagaikan kelopak mata patung dan seluruh
wajahnya berubah seperti topeng
Sementara Pisciotta menyenangkan hati Maria Lombardo, Turi Guiliano naik ke
kamarnya di lantai atas untuk mempersiapkan diri bagi perjalanan yang akan
dilakukannya. Terutama untuk mengambil pistol
yang disembunyikannya di sana. Teringat penghinaan semalam, ia membulatkan
tekad untuk mempersenjatai diri dalam pekerjaannya hari ini. Ia tahu cara
menembak, karena ayahnya sering mengajaknya berburu.
Di dapur, ibunya menunggunya seorang diri untuk mengucapkan selamat
tinggal. Ibunya memeluknya dan merasakan pistol yang diselipkan di sabuknya.
"Turi, hati-hati," katanya, terkejut. "Jangan bertengkar dengan carabinieri. Kalau
mereka menghentikan curimu, berikan apa yang kaubawa."
Guiliano berusaha meyakinkannya. "Mereka boleh mengambil barang-barang
itu," katanya. "Tapi aku takkan membiarkan mereka memukuliku atau
membawaku ke penjara."
Maria Lombardo mengerti. Dan dalam kebanggaan Sisilia-nya sendiri yang kuat,
ia bangga akan putranya. Bertahun-tahun lalu kebanggaannya, kemarahannya
terhadap kemiskinan, menyebabkan ia membujuk suaminya untuk mencoba
kehidupan baru di Amerika. Ia dulu pemimpi, ia percaya pada keadilan dan
tempatnya di dunia. Ia mendapatkan keberuntungan di Amerika, dan kebanggaan
yang sama menyebabkan ia memutuskan kembali ke Sisilia untuk hidup bagai
ratu. Lalu segalanya berubah menjadi abu. Lira menjadi tidak berharga di masa
perang, dan ia kembali miskin. Ia sudah pasrah akan nasibnya tapi masih
berharap untuk anak-anaknya. Dan ia bahagia melihat Turi menunjukkan
semangat yang sama seperti diri nya. Tapi ia takut akan hari ketika Turi harus
menghadapi kenyataan hidup yang sekeras batu di Sisilia.
Ia mengawasi putranya melangkah ke jalan berbatu bulat Via Belia untuk
menyapa Aspanu Pisciotta. Turi
berjalan seperti kucing raksasa, dadanya begitu bidang, lengan dan kakinya
begitu berotot sehingga Aspanu tampak tidak lebih dari sebatang rumput sisal.
Aspanu mempunyai kecerdikan yang tidak dimiliki putranya, kekejaman dalam
semangatnya. Aspanu akan menjaga Turi dari dunia penuh pengkhianatan tempat
mereka semua harus tinggal. Dan Maria Lombardo memiliki kelemahan
terhadap ketampanan Aspanu yang berkulit zaitun, sekalipun ia percaya putranya
lebih tampan.
Ia mengawasi mereka menyusuri Via Belia yang menuju ke luar kota, ke dataran
Castellammare. Putranya, Turi Guiliano,- dan putra adik perempuannya, Gaspare
Pisciotta. Dua anak muda yang belum lagi berusia dua puluh, dan tampak lebih
muda daripada usia mereka yang sebenarnya. Ia mencintai keduanya dan takut
akan nasib mereka berdua.
Akhirnya kedua pria ku dan keledainya menghilang di balik tanjakan jalan, tapi
Maria Lombardo tetap mengawasi dan akhirnya mereka terlihat lagi, jauh di atas
Montelepre, memasuki kawasan pegunungan yang mengelilingi kota Maria
Lombardo 'Guiliano terus mengawasi, seakan-akan ia tidak akan pernah melihat
mereka lagi, sampai mereka menghilang dalam kabut pagi di sekitar puncak
pegunungan. Mereka menghilang ke dalam awal mitos mereka sendiri.
Bab 4
DI Sisilia pada bulan September 1943 ini, orang-orang hanya bisa bertahan
hidup dengan berdagang di pasar gelap. Pembagian bahan makanan yang ketat
masih tersisa dari zaman perang, dan para petani harus menyerahkan hasil
mereka ke gudang-gudang pemerintah pusat dengan harga tetap dan demi uang
kertas yang hampir-hampir tidak bernilai. Sebaliknya pemerintah seharusnya
menjual dan membagi-bagikan bahan makanan dengan harga murah kepada
masyarakat. Berdasarkan sistem ini semua orang akan mendapat cukup makanan
agar tetap hidup. Kenyataannya, para petani sebisa mungkin menyembunyikan
hasil mereka karena apa yang mereka serahkan ke gudang-gudang pemerintah
diatur oleh Don Croce Malo dan para wali kotanya untuk dijual di pasar gelap.
Masyarakat lalu harus membeli di pasar gelap dan melanggar hukum
penyelundupan sekadar untuk bertahan hidup. Kalau mereka tertangkap basah,
mereka akan dijatuhi hukuman penjara. Apa gunanya pemerintah demokrasi
yang dibentuk di Roma? Mereka bisa memberi suara sementara mereka
kelaparan. Turi Guiliano dan Aspanu Pisciotta, dengan perasaan amat
ringan,tengah dalam proses melanggar hukum
ini. Pisciotta memiliki semua kontak dengan pasar gelap dan telah mengatur
urusan ini. Ia mengadakan perjanjian dengan seorang petani untuk
menyelundupkan sejumlah besar keju bulat dari pedalaman ke seorang penadah
pasar gelap di Montelepre. Bayaran mereka adalah empat potong daging asap
dan sekeranjang sosis yang akan menjadikan pesta pertunangan kakak
perempuan Guiliano meriah. Mereka melanggar dua peraturan, satu yang
melarang perdagangan dalam pasar gelap, lainnya penyelundupan dari satu
provinsi ke provinsi lainnya di Italia. Tak banyak yang bisa dilakukan pihak
berwenang untuk menegakkan hukum pasar gelap mereka harus memenjarakan
semua orang di Sisilia untuk itu. Tapi penyelundupan soal lain. Patroli-patroli
Kepolisian Nasional, carabinieri, menjelajahi pedalaman, memblokir jalan-jalan,
membayar informan. Tentu saja, mereka tidak bisa mencampuri iring-iringan
Don Croce Malo yang menggunakan truk-truk Angkatan Darat Amerika dan
kartu pas khusus milik militer dan pemerintah. Tapi mereka bisa menjaring
banyak petani kecil dan penduduk desa yang kelaparan.
Mereka membutuhkan waktu empat jam untuk tiba di tanah pertanian itu,
Guiliano dan Pisciotta mengambil keju putih besar berbutir-butir dan barang-
barang lainnya, lalu mengikatnya di keledai mereka. Mereka menutupi semua itu
dengan rerumputan sisal dan bambu sehingga mereka seolah hanya mengangkut
rerumputan untuk ternak yang banyak dipelihara penduduk desa. Mereka
memancarkan kecerobohan dan keyakinan anak muda, bahkan anak kecil, yang
menyembunyikan harta dari orangtuanya, seakan-akan niat
menipu sudah mencukupi. Keyakinan mereka juga berasal dari pengetahuan
bahwa mereka bisa menemukan jalan setapak tersembunyi di pegunungan.
Sewaktu memulai perjalanan panjang kembali ke rumah, Guiliano meminta
Pisciotta berjalan terlebih dulu untuk memeriksa kehadiran carabinieri. Mereka
mengatur serangkaian siulan sebagai tanda bahaya. Keledainya membawa keju-
keju itu dengan mudah dan bersikap manis—ia sudah mendapatkan upahnya
sebelum berangkat. Mereka berjalan selama dua jam, pelan-pelan mendaki. Lalu
Guiliano melihat di belakang mereka, mungkin sekitar lima kilometer jauhnya,
mengikuti jalan setapak mereka, iring-iringan enam ekor bagal dan pria berkuda.
Kalau jalan setapak itu diketahui orang-orang pasar gelap lainnya, jalan itu bisa
jadi telah ditandai polisi untuk diblokir. Sebagai langkah penjagaan, ia menyuruh
Pisciotta berjalan jauh di depan.
Sam jam kemudian ia menyusul Aspanu, yang duduk di atas batu besar sambil
merokok dan terbatuk-batuk. Aspanu tampak pucat ia seharusnya tidak merokok.
Turi Guiliano duduk di sampingnya, beristirahat. Salah satu ikatan terkuat
mereka sejak kecil adalah mereka tidak pernah saling memerintah dengan cara
apa pun, jadi Turi tidak mengatakan apa-apa. Akhirnya Aspanu memadamkan
rokoknya dan memasukkan puntungnya yang menghitam ke sakunya. Mereka
berjalan lagi, Guiliano memegangi kekang keledainya, Aspanu melangkah di
belakang.
Mereka menyusuri jalan setapak pegunungan yang memotong jalan-jalan dan
desa-desa kecil, tapi terkadang mereka melihat sumur kuno Yunani yang me-
nyemburkan air dari sela-sela mulut patung yang runtuh, atau sisa-sisa puri
Normandia yang berabad-abad lalu menghalangi jalan ini dari para penyerbu.
Sekali lagi Turi Guiliano melamunkan masa lalu Sisilia dan masa depannya Ia
teringat akan bapak baptisnya, Hector Adonis, yang berjanji akan datang sesudah
Festa dan mempersiapkan lamarannya ke Universitas Palermo. Dan saat
memikirkan bapak baptisnya, sejenak ia merasa sedih. Hector Adonis tidak
pernah menghadiri Festa para pria yang mabuk akan mengejek tubuhnya yang
pendek, anak-anak—beberapa lebih jangkung daripada Adonis—akan
menghinanya. Turi bertanya-tanya tentang Tuhan yang telah menahan
pertumbuhan badan pria itu tapi menjejali otaknya dengan pengetahuan. Turi
menganggap Hector Adonis orang paling jenius di dunia dan ia mencintainya
karena kebaikannya pada dirinya dan orangtuanya.
Ia teringat ayahnya yang bekerja begitu keras di sepetak kecil tanah mereka, dan
kakak-kakak perempuannya yang pakaiannya sudah tipis. Untung Mariannina
begitu cantik sehingga bisa mendapatkan suami meskipun dirinya miskin dan
mengalami masa-masa sulit. Tapi yang paling membuatnya sedih adalah ibunya,
Maria Lombardo. Bahkan sewaktu kanak-kanak ia sudah mengenali kepahitan
yang dirasakan ibunya, ketidak-bahagiaannya, Ibunya telah mencicipi Amerika
yang makmur dan tak lagi bisa bahagia di kota-kota Sisilia yang dicekam
kemiskinan. Ayahnya sering menceritakan hari-hari bahagia itu dan ibunya akan
berurai air mata.
Tapi ia akan mengubah nasib keluarganya, pikir Turi Guiliano. Ia akan bekerja
keras dan belajar sekuat tenaga dan ia akan menjadi orang hebat seperti bapak
baptisnya.
Tiba-tiba mereka melewati sekumpulan pohon, semacam hutan kecil, salah satu
dari sedikit yang tersisa di bagian Sisilia ini, yang sekarang tampaknya hanya-
menumbuhkan batu-batu besar putih dan tempat-tempat penggalian marmer. Di
seberang pegunungan mereka akan memulai turunan ke Montelepre dan harus
berhati-hati terhadap patroli Kepolisian Nasional, carabinieri. Tapi sekarang
mereka tiba di Quattro Moline, Simpang Empat, dan di sini juga harus berhati-
hati. Guiliano menarik kekang keledainya dan memberi isyarat agar Aspanu
berhenti. Mereka berdiri diam sambil membisu. Tak terdengar suara asing, hanya
dengungan mantap puluhan serangga yang beterbangan di atas permukaan tanah,
sayap-sayap dan kaki-kakinya mendengung seperti gergaji di kejauhan. Mereka
maju melewati persimpangan dan menghilang dari pandangan ke dalam hutan
kecil lain. Turi Guiliano mulai melamun lagi.
Jarak pepohonan tiba-tiba melebar, seakan-akan didorong mundur, dan mereka
melintasi padang terbuka kecil yang tanah, kasarnya terdiri atas batu-batu kecil,
tunggul-tunggul bambu, dan rerumputan tipis mem-botak. Matahari sore
tenggelam menjauh, tampak pucat dan dingin di atas pegunungan yang ditaburi
granit. Selepas padang terbuka ini jalan setapak mulai menurun berliku-liku
menuju Montelepre. Tiba-tiba Guiliano tersadar dari lamunan. Kilasan cahaya
bagai nyala korek api menusuk mata kirinya. Ia menyentak keledainya agar
berhenti dan mengacungkan tangan ke arah Aspanu.
Hanya sepuluh meter jauhnya orang-orang asing melangkah keluar dari balik
semak-semak. Ada tiga
orang, dan Turi Guiliano melihat topi-topi militer mereka yang hitam kaku dan
seragam hitam mereka yang bergaris-garis putih. Ia merasa amat putus asa
sekaligus malu karena tertangkap. Ketiga pria itu mendekat seraya berpencar,
senjata siap ditembakkan. Dua di antaranya masih muda dengan wajah kasar
mengilap dan topi militer lusuh yang miring ke belakang kepala, hampir bisa
dibilang lucu. Mereka tampak sungguh-sungguh sekaligus serakah sewaktu
mengacungkan senapan mesinnya.
Carabiniere yang di tengah merupakan orang tertua dan menyandang sepucuk
senapan. Wajahnya bopeng dan berbekas luka, topinya ditarik mantap menutupi
matanya. Ia menyandang pangkat sersan di lengan bajunya. Kilasan cahaya yang
tadi dilihat Guiliano adalah pantulan cahaya matahari pada laras baja senapannya
Orang ini tersenyum muram, senapannya diarahkan dengan mantap ke dada
Guiliano. Keputusasaan Guiliano berubah menjadi kemarahan melihat
senyumnya
Sersan bersenapan itu melangkah mendekat, kedua rekannya menghampiri dari
kedua sisi. Sekarang Turi Guiliano waspada. Kedua carabiniere muda dengan
pistol otomatis tidak perlu ditakuti; mereka mendekati keledainya dengan
serampangan, tidak menganggap serius tahanannya. Mereka memberi isyarat
kepada Guiliano dan Pisciotta agar menjauhi keledainya dan salah seorang di
antara mereka membiarkan pistolnya terayun-ayun pada talinya sementara ia
menanggalkan kamuflase bambu dari punggung keledai. Sewaktu melihat
barang-barang itu, ia bersiul serakah penuh kegembiraan. Ia tidak menyadari
Aspanu bergeser mendekatinya, tapi
si sersan bersenapan melihatnya. Ia berteriak, "Kau, yang berkumis,
menjauhlah," dan Aspanu melangkah mundur mendekati Turi Guiliano.
Sersan itu maju sedikit. Guiliano mengawasinya dengan tajam. Wajah
bopengnya tampak kelelahan tapi matanya berkilat-kilat sewaktu mengatakan,
"Well, anak-anak muda, itu keju yang bagus. Kami bisa me-nikmatinya di barak
kami untuk dimakan dengan makaroni. Jadi katakan saja nama petani dari siapa
kalian mendapatkannya dan kami akan mengizinkan kalian membawa keledai
kalian pulang." Mereka tidak menjawab. Sersan menunggu. Mereka tetap
berdiam diri. Akhirnya Guiliano berkata pelan, "Aku punya uang seribu lira
sebagai hadiah, kalau kau membiarkan kami pergi."
"Kau bisa membersihkan pantatmu dengan lira," sahut Sersan. "Sekarang, surat-
surat identitas kalian. Kalau surat-surat kalian tidak beres, akan kupaksa kalian
buang air dan membersihkannya dengan surat-surat itu."
Kekurangajaran kata-kata itu, kekurangajaran seragam hitam bergaris putih itu,
memicu kemurkaan yang dingin dalam diri Guiliano. Pada saat itu ia tahu ia tak
akan pernah membiarkan dirinya ditangkap, tak akan pernah membiarkan orang-
orang ini merampok makanan keluarganya.
Turi Guiliano mengeluarkan kartu identitasnya dan hendak mendekati Sersan. Ia
berharap bisa berada dalam jangkauan senapan yang diarahkan kepadanya. Ia
tahu koordinasi fisiknya lebih cepat daripada sebagian besar orang dan ia
bersedia mengambil risiko Tapi
senapan itu bergerak, memberi isyarat agar ia mundur. Sersan memerintah,
"Lemparkan ke tanah." Guiliano mematuhinya.
Pisciotta, lima langkah jauhnya di sebelah kiri Guiliano, mengetahui apa yang
ada dalam benak temannya, mengetahui temannya menyimpan pistol di balik
kemejanya, mencoba mengalihkan perhatian Sersan. Ia berkata dengan
kekurangajaran yang disengaja, tubuhnya condong ke depan, tangan di pinggang
menyentuh tangkai pisau yang dibawanya dalam sarung yang terikat di
punggungnya, "Sersan, kalau kami memberitahukan nama petaninya kepadamu,
kenapa kau membutuhkan kartu identitas kami? Tawar-menawar tetap saja
tawar-menawar." Ia diam sejenak, lalu berkata sinis, "Kami tahu carabiniere
selalu menepati janji." Ia meludahkan kata "carabiniere" yang dibencinya.
Pria bersenapan itu maju beberapa langkah dengan santai, mendekati Pisciotta.
Ia berhenti. Ia tersenyum dan membidikkan senapannya. Katanya, "Dan kau,
pesolek kecilku, kartumu. Atau kau tidak memiliki kartu identitas, seperti
keledaimu, yang kumisnya lebih baik daripada kumismu?"
Kedua poolisi yang lebih muda tertawa. Mata Pisciotta berkilau. Ia maju
selangkah mendekati Sersan. "Tidak, aku tidak memiliki kartu identitas. Dan aku
tidak kenal petani mana pun. Kami menemukan barang-barang ini tergeletak di
jalan."
Kecerobohan tantangannya mengalahkan tujuannya. Pisciotta ingin menipu pria
bersenapan itu agar mendekati cirinya, sehingga terjangkau tangannya, tapi
sekarang Sersan malah mundur beberapa langkah dan tersenyum lagi. Ia berkata,
"Bastinado akan menyingkir-
kan sebagian kekurangajaran Sisilia-mu." Ia diam sejenak sebelum memerintah,
"Kalian berdua, berbaring di tanah."
Bastinado merupakan istilah yang umum digunakan untuk pemukulan fisik
dengan cambuk dan gada. Guiliano mengenal beberapa penduduk Montelepre
yang pernah dihukum di Barak Bellampo. Mereka pulang ke rumah dengan
kedua lutut patah, kepala membengkak sebesar melon, bagian dalam tubuhnya
terluka sehingga mereka tak akan pernah bisa bekerja lagi. Carabinieri tak akan
pernah berbuat begitu kepadanya. Guiliano berjongkok pada satu lutut seakan
hendak membaringkan diri, meletakkan satu tangan di tanah dan tangan yang
lain di sabuknya agar bisa mencabut pistol di balik kemejanya. Padang terbuka
itu bermandikan cahaya lembut awal senja, matahari yang berada jauh di balik
pepohonan telah membenamkan diri ke balik deretan pegunungan terakhir. Ia
melihat Pisciotta berdiri bangga, menolak perintah. Jelas mereka tidak akan
menembaknya hanya karena sepotong keju selundupan. Ia bisa melihat senapan
mesin bergetar di tangan kedua polisi yang masih muda.
Pada saat itu terdengar dengusan bagal dan detak kuku kuda dari belakang, dan
iring-iringan bagal yang dilihat Guiliano siang tadi tiba-tiba muncul di tempat
itu. Pria. berkuda yang memimpinnya menyandang sepucuk lupara di bahunya
dan tampak sangat besar dengan jaket kulit tebalnya. Ia melompat turun dari
kuda, mengeluarkan setumpuk tebal lira dari salah satu sakunya, dan berkata
kepada carabiniere bersenapan, "Jadi kau berhasil meraup beberapa ekor ikan
sarden kali ini." Mereka jelas saling mengenal. Untuk pertama
kalinya Sersan mengendurkan kewaspadaannya untuk menerima uang yang
ditawarkan kepadanya. Kedua pria tersebut saling menyeringai. Para tahanan
tampaknya dilupakan semua orang.
Turi Guiliano perlahan-lahan menghampiri polisi terdekat. Pisciotta bergeser ke
arah rumpun bambu terdekat. Para penjaga tidak menyadarinya. Guiliano
menghantam polisi terdekat dengan lengannya, menjatuhkannya ke tanah. Ia
berteriak kepada Pisciotta, "Lari." Pisciotta menerjang rumpun bambu dan
Guiliano berlari ke pepohonan. Penjaga yang tersisa entah terlalu tertegun atau
terlalu lamban untuk mengarahkan pistol pada waktunya. Guiliano, siap masuk
ke dalam perlindungan hutan, sekilas merasakan kegembiraan luar biasa. Ia
meluncurkan tubuhnya ke udara untuk menerjang ke sela-sela dua pohon besar
yang akan melindungi curinya. Saat itu juga ia mencabut pistol dari balik
kemejanya.
Tapi perhitungannya benar bahwa polisi bersenapan-lah yang paling berbahaya.
Sersan menjatuhkan tumpukan uangnya ke tanah, mengayunkan senapannya ke
atas, dan menembak dengan sangat tenang. Tidak ada kekeliruan dalam
bidikannya: tubuh Guiliano jatuh bagai bangkai seekor burung.
Guiliano mendengar tembakan bersamaan ia merasakan tubuhnya kesakitan
setengah mati, seakan-akan kupukul gada raksasa. Ia mendarat di tanah di antara
kedua batang pohon dan mencoba bangkit, tapi sia-sia. Kaki-kakinya bagai mati
rasa; ia tidak bisa menggerakkannya. Dengan pistol di tangan ia membalikkan
tubuh dan melihat Sersan mengacungkan senapannya di udara dengan sikap
menang. Lalu Guiliano merasa-
kan celana panjangnya dibanjiri darah, cairan yang hangat dan lengket.
Dalam sepersekian detik sebelum ia menarik picu pistolnya, Turi Guiliano hanya
tertegun. Mereka menembak dirinya hanya karena sepotong keju. Mereka
mencabik kain keluarganya dengan kecerobohan yang begitu kejam hanya
karena pelanggaran hukum kecil yang dilakukan semua orang. Ibunya akan
menangis hingga akhir hayatnya. Dan sekarang tubuhnya berlumuran darah, ia
yang tidak pernah menyakiti siapa pun.
Ia menarik picu pistolnya dan melihat senapan itu jatuh, melihat topi hitam
bergaris putih Sersan melayang ke udara sementara tubuh dengan luka di kepala
yang mematikan itu terdesak dan melayang ke tanah yang dipenuhi bebatuan.
Mustahil menembak dengan pistol pada jarak sejauh itu, tapi Guiliano merasa
tangannya sendiri seolah melesat bersama pelurunya dan menghunjamkannya
bagai sebilah pisau menembus mata Sersan.
Pistol otomatis mulai menyalak tapi peluru-pelurunya berhamburan ke atas tak
membahayakan, berdetak-detak ribut bagai burung-burung kecil. Lalu suasana
sangat sunyi. Bahkan serangga-serangga tidak lagi berdengung tanpa henti.
Turi Guiliano berguHng-guling masuk ke semak-semak. Ia melihat wajah
musuhnya berantakan membentuk topeng darah dan itu menimbulkan harapan.
Ia bukannya tidak berdaya. Ia mencoba bangkit lagi dan kali ini kakinya
mematuhi perintahnya. Ia mulai berlari tapi hanya satu kaki yang melesat maju,
yang lainnya terseret di permukaan tanah, yang membuatnya
terkejut Selangkangannya terasa hangat dan lengket, celana panjangnya basah
kuyup, pandangannya berkabut Sewaktu berlari melintasi seberkas cahaya, ia
takut dirinya telah kembali ke padang terbuka tadi dan mencoba berbalik.
Tubuhnya mulai jatuh—tidak ke tanah, tapi ke dalam kehampaan hitam bertepi
merah yang tidak berdasar, lalu ia tahu dirinya jatuh untuk selama-lamanya.
Di padang terbuka si serdadu muda menyingkirkan tangannya dari picu dan
rentetan tembakannya pun berhenti. Si penyelundup bangkit berdiri dari tanah
dengan memegang setumpuk besar uang dan menawarkannya ke serdadu yang
lain. Serdadu itu mengarahkan pistol otomatisnya ke arah si penyelundup dan
berkata, "Kau ditangkap."
Penyelundup itu berkata, "Kau hanya perlu membaginya dua sekarang. Biarkan
aku melanjutkan perjalanan."
Kedua polisi muda ku menunduk memandang Sersan yang tergeletak. Tak
diragukan lagi ia telah tewas. Peluru menghancurkan mata dan lubangnya hingga
berkeping-keping, dan lukanya, menyemburkan cairan kekuningan berbuih dan
seekor kadal mencelupkan lidah ke dalamnya.
Si penyelundup berkata, "Biar kukejar dia, dia ter-luka. Akan kubawa kembali
mayatnya dan kalian berdua akan jadi pahlawan. Biarkan aku melanjutkan
perjalanan." Penjaga yang lain mengambil kartu identitas yang tadi dilemparkan
Turi ke tanah atas perintah Sersan, ia membacanya keras-keras, "Salvatore
Guiliano, kota Montelepre
"Tidak perlu kita cari sekarang," kata rekannya. "Kita melapor ke markas
besar, itu yang lebih penting."
"Pengecut," desis si penyelundup. Sejenak terlintas dalam benaknya untuk
menurunkan lupara, tapi ia melihat mereka berdua memandangnya benci. Ia
telah menghina mereka. Untuk penghinaan itu mereka memaksanya menaikkan
mayat Sersan ke kudanya dan berjalan kaki ke barak. Sebelumnya mereka
melucuti senjatanya. Mereka sangat bersemangat dan ia berharap mereka tidak
menembaknya tanpa sengaja hanya.karena gugup. Selain itu ia tidak merasa
terlalu khawatir. Ia mengenal Maresciallo Roccofino dari Montelepre dengan
sangat baik. Mereka pernah berbisnis dan mereka akan berbisnis lagi.
Sepanjang waktu tak satu pun dari mereka teringat akan Pisciotta. Tapi Pisciotta
mendengar semua yang dikatakan mereka. Ia berbaring di ceruk berumput yang
dalam, pisau tercabut dari sarungnya. Ia menunggu mereka memburu Turi
Guiliano, dan ia merencanakan menyergap salah satunya dan merampas
pistolnya sesudah menggorok lehernya. Ada kebuasan dalam jiwanya yang
mengusir semua ketakutan akan kematian, dan sewaktu ia mendengar si
penyelundup menawarkan untuk membawa kembali mayat Turi, ia mematrikan
wajah pria itu untuk selama-lamanya dalam benaknya. Ia hampir menyesal
melihat mereka meninggalkannya seorang diri di pegunungan untuk kembali ke
barak. Ia merasakan sengatan sewaktu mereka mengikat keledainya di belakang
iring-iringan bagal.
Tapi ia tahu Turi terluka parah dan membutuhkan bantuan. Ia berputar mengitari
padang, berlari menembus hutan untuk menuju tempat rekannya tadi meng-
hilang. Tak terlihat tanda-tanda kehadiran orang di semak-semak dan ia berlari
menyusuri jalan setapak, dari mana mereka tadi datang.
Masih tidak terlihat tanda-tanda sehingga ia memanjat ke atas sebongkah granit
besar yang puncaknya menurun ke ceruk kecil. Di dalam ceruk batu itu terdapat
kolam kecil yang hampir-hampir hitam oleh darah dan sisi lain batu ternoda
goresan darah merah cerah. Ia terus berlari dan terkejut sewaktu melihat tubuh-
Guiliano menelentang menghalangi jalannya, pistolnya yang mematikan masih
berada dalam genggamannya.
Ia bedutut dan mengambil pistol itu dan menjejal-kannya ke sabuknya. Pada saat
itu mata Turi Guiliano terbuka. Matanya memancarkan kebencian yang
mengagumkan, tapi menatap melewati Aspanu Pisciotta. Pisciotta hampir-
hampir menangis karena lega dan mencoba menegakkan tubuh Guiliano, tapi ia
tidak cukup kuat 'Turi, cobalah bangkit, akan kubantu," kata Pisciotta. Guiliano
menumpukan tangannya ke tanah dan mengangkat tubuhnya. Pisciotta
menyelipkan sebelah lengannya ke pinggang Guiliano dan tangannya terasa
hangat dan basah. Ia menyentakkan tangannya menjauh dan menarik sisi kemeja
Guiliano, dan dengan ngeri melihat lubang menganga. Ia menyandarkan
Guiliano ke sebatang pohon, mencabik kemejanya sendiri dan menjejalkannya
ke lubang itu untuk menahan aliran darahnya, mengikatkan lengan kemejanya
menjadi satu di sekeliling pinggang Guiliano. Ia menyelipkan satu lengan ke
dada temannya dan dengan tangannya yang bebas meraih tangan kiri Guiliano
dan mengangkatnya ke udara tinggi-tinggi. Dengan begitu
menyeimbangkan mereka berdua sementara ia membimbing Guiliano menyusuri
jalan setapak dengan langkah hati-hati dan tertatih-tatih. Dari kejauhan mereka
berdua seolah tengah menari menuruni pegunungan.
Jadi Turi Guiliano melewatkan Festa Santa Rosalie, yang diharapkan penduduk
Montelepre akan membawa keajaiban bagi kota mereka.
Ia melewatkan kontes menembak yang jelas akan dimenangkannya. Ia
melewatkan lomba balap kuda di mana para joki memukuli kepala joki lawan
dengan gada dan cambuk. Ia melewatkan roket-roket ungu, kuning, dan hijau
yang meledak dan merajah langit yang dipenuhi bintang.
Ia tidak pernah mencicipi manisan ajaib yang terbuat. dari pasta almond yang
dibentuk menjadi wortel, rumpun bambu, dan tomat merah, semuanya begitu
manis sehingga seluruh tubuhmu bagai mati rasa; atau sosok-sosok gulali
berbentuk boneka-boneka kesatria zaman roman mistis, sosok-sosok Roland,
Oliver, dan Charlemagne, pedang gula mereka dipenuhi peppermint merah dan
hijau dari potongan buah yang dibawa pulang anak-anak untuk dinikmati
sebelum tidur. Di rumah, pesta pertunangan kakak perempuannya berlangsung
tanpa dirinya.
Perkawinan keledai dan Bagal Ajaib gagal. Tidak ada anak yang dilahirkan.
Penduduk Montelepre kecewa. Mereka tidak tahu hingga bertahun-tahun
kemudian bahwa Festa tersebut menghasilkan keajaibannya dalam diri seorang
pemuda yang memegangi si keledai.
Bab 5
KEPALA BIARA tengah melakukan jalan-jalan sorenya mengelilingi biara
Fransiskan, mendorong semangat para biarawannya yang pemalas dan tidak
berguna untuk mendapatkan roti harian mereka. Ia memeriksa kotak-kotak di
bengkel relikui suci dan mengunjungi pembakaran roti yang menghasilkan
bongkahan-bongkahan roti untuk kota-kota sekitarnya. Ia memeriksa kebun dan
keranjang-keranjang bambu penuh berisi zaitun, tomat, dan anggur, mencari-cari
memar pada kulit buah-buah itu yang bagai satin. Para biarawannya sesibuk
kurcaci—namun tidak terlalu ceria. Malah mereka merupakan awak yang
muram, tanpa sukacita yang diperlukan untuk melayani Tuhan. Kepala Biara
mengambil cerutu hitam panjang dari balik jubahnya dan berjalan-jalan
mengelilingi lahan biara untuk mempertajam selera makan malamnya.
Pada saat itulah ia melihat Aspanu Pisciotta menyeret Turi Guiliano melewati
gerbang biara. Penjaga-gerbang mencoba mengusir mereka, tapi Pisciotta
menempelkan sepucuk pistol ke kepalanya yang tercukur dan ia jatuh berlutut
untuk mengucapkan doa terakhirnya. Pisciotta meletakkan tubuh Guiliano yang
berlumuran darah, hampir tewas, di kaki Kepala Biara.
Kepala Biara seorang pria jangkung kurus berwajah anggun mirip monyet,
bertulang kecil, dengan sepotong hidung dan dua kancing cokelat kecil penuh-
tanya sebagai matanya. Walaupun telah berusia tujuh puluh tahun, ia tetap
bersemangat, benaknya masih setajam dan selicik masa-masa sebelum.
Mussolini, sewaktu ia menulis surat-surat tebusan yang elegan untuk para Mafia-
penculik yang mempekerjakan dirinya.
Sekarang meskipun telah diketahui semua orang— para petani dan pihak
berwenang—bahwa biaranya merupakan markas besar para pelaku pasar gelap
dan penyelundup, kegiatan ilegalnya tidak pernah dicampuri. Ini karena
penghormatan terhadap panggilan sucinya, dan perasaan bahwa ia layak
mendapatkan upah materi atas bimbingan spiritualnya terhadap masyarakat.
Jadi Kepala Biara Manfredi tidak merasa jengkel mendapati dua petani bajingan
yang berlumuran darah menerobos masuk ke wilayah suci Santo Fransis. Malah
ia mengenal Pisciotta dengan baik. Ia pernah menggunakan tenaga anak muda
ini dalam beberapa operasi penyelundupan dan pasar gelap. Mereka memiliki
kelicikan yang sama, dan ini menyenangkan mereka berdua—yang satu terkejut
karena mendapatinya dalam diri pria setua dan sesuci ini, yang lain karena
menemukannya dalam diri pria yang begitu muda dan tidak mementingkan hal-
hal duniawi.
Kepala Biara meyakinkan biara penjaga gerbang, lalu berkata kepada Pisciotta,
"Well spanu yang baik, kenakalan apa lagi yang kaulakukan sekarang?" Piscita
tengah mengeratkan lilitan kemeja di. sekeliling luka Guiliano. Kepala Biara
terkejut melihat wajahnya ter
cekam duka yang dalam; ia tidak mengira bocah ini
mampu menunjukkan emosi seperti itu.
Pisciotta, setelah melihat luka menganga itu sekali lagi, merasa yakin temannya
akan tewas. Dan bagaimana menyampaikan kabar ini kepada ibu dan ayah Turi?
Ia takut akan duka Maria Lombardo. Tapi untuk saat ini, ada adegan lebih
penting- yang harus dimainkan. Ia harus meyakinkan Kepala Biara agar
memberi Guiliano perlindungan.
Ia memandang lurus ke. mata Kepala Biara. Ia ingin menyampaikan pesan yang
bukan merupakan ancaman langsung tapi akan menyebabkan pastor itu
memahami kalau menolak ia akan menjadi musuh bebuyutan. "Ini sepupu dan
teman tersayangku, Salvatore Guiliano," Pisciotta menjelaskan. "Seperti bisa
kaulihat, dia bernasib sial, dan tak lama lagi Kepolisian Nasional akan
membanjiri pegunungan mencari dirinya. Dan diriku. Kumohon kau mau
menyembunyikan kami, dan memanggilkan dokter. Lakukan ini untukku dan
kau mendapat teman untuk selama-lamanya." Ia menekankan kata "teman".
Tak satu kata pun lolos dari pemahaman Kepala Biara. Ia memahaminya dengan
sempurna. Ia pernah mendengar tentang Guiliano muda ini, pemuda pemberani
yang cukup dihormati di Montelepre, penembak dan pemburu yang hebat, lebih
dewasa daripada usianya. Bahkan Friends of the Friends mengincar dirinya
sebagai calon yang layak direkrut. Don Croce yang agung sendiri, dalam
kunjungan sosial dan bisnisnya ke biara, pernah menyebut dirinya sebagai orang
yang mungkin menguntungkan untuk dikembangkan.
Tapi saat mengamati Guiliano yang tak sadarkan
diri, ia hampir-hampir yakin pemuda ini lebih membutuhkan makam daripada
perlindungan, seorang pastor untuk memberi sakramen terakhir daripada seorang
dokter. Memenuhi permintaan Pisciotta bukanlah risiko besar, memberikan
perlindungan kepada mayat bukanlah kejahatan bahkan di Sisilia. Tapi ia tidak
ingin pemuda ini tahu bahwa pertolongan yang akan diberikannya bernilai begitu
kecil. Ia bertanya, "Kenapa mereka mencarimu?"
Pisciotta ragu-ragu. Kalau Kepala Biara mengetahui ada polisi yang tewas ia
mungkin menolak memberi mereka perlindungan. Tapi kalau ia tidak bersiap
menghadapi pencarian yang pasti akan terjadi, ia mungkin terkejut sehingga
malah mengkhianati mereka. Pisciotta memutuskan untuk menceritakan yang
sebenarnya. Ia melakukannya dengan sangat cepat.
Kepala Biara menunduk penuh kesedihan untuk satu lagi jiwa yang hilang dan
untuk meneliti sosok Guiliano yang tak sadarkan diri. Darah mengalir keluar,
menembus kemeja yang diikatkan ke sekeliling tubuhnya. Mungkin bocah yang
malang ini akan tewas sementara mereka bercakap-cakap, dan memecahkan
seluruh masalah.
Sebagai biarawan Fransiskan, Kepala Biara penuh dengan kedermawanan
Kristiani, tapi di masa-masa yang menakutkan ini ia harus mempertimbangkan
konsekuensi praktis dan material dari kebaikannya. Kalau ia memberi
perlindungan dan bocah ini tewas, ia bisa mendapatkan keuntungan. Pihak
berwenang akan merasa puas dengan mayatnya, keluarganya akan berutang budi
padanya untuk selama-lamanya. Kalau Guiliano pulih, rasa terima kasihnya
mungkin bahkan lebih ber-
nilai. Pria yang cakap, yang sekalipun terluka parah masih bisa menembakkan
pistolnya dan membunuh petugas polisi adalah orang yang bisa diandalkan bila
berada di pihak kita.
Ia tentu saja bisa mengirim kedua Berandalan ini ke Kepolisian Nasional, yang
lalu. akan menangani mereka dalam waktu singkat. Tapi apa keuntungannya?
Pihak berwenang tidak bisa melakukan apa pun baginya lebih daripada yang
selama ini mereka lakukan. Kawasan tempat mereka berkuasa telah aman berada
di tangannya Ia membutuhkan teman di sisi lain. Mengkhianati para pemuda ini
hanya akan menciptakan musuh di kalangan petani dan kebencian tanpa akhir
dari dua keluarga. Kepala Biara tidaklah sebodoh itu sehingga menganggap
jubahnya bisa melindungi dirinya dari vendetta yang pasti akan terjadi, ia juga
membaca pikiran Pisciotta; inilah pemuda yang bersedia bersusah payah
sebelum menapaki jalan ke neraka. Tidak, kebencian petani Sisilia tak pernah
bisa dianggap remeh. Sebagai penganut Kristen sejati, mereka tak akan pernah
mempermalukan patung Bunda Maria, tapi dalam panasnya darah vendetta,
mereka bersedia menembak Paus dengan senapan tabur karena melanggar
omerta— kode kuno untuk menutup mulut terhadap pihak berwenang. Di tanah
tempat terdapat patung Yesus yang tak terhingga jumlahnya ini, tidak ada yang
memercayai doktrin tentang memberikan pipi yang lain apabila pipi yang
sebelah ditampar. Di tanah yang terbelakang ini "pengampunan" merupakan
tempat pelarian bagi pengecut. Petani Sisilia' tidak memahami arti mengampuni.
Sam hal ia merasa yakin. Pisciotta tidak akan pernah
mengkhianati dirinya. Di salah satu transaksi penyelundupan kecil-kecilan,
Kepala Biara mengatur agar Pisciotta tertangkap dan diinterogasi.
Interogatornya, anggota Kepolisian Palermo, bukan carabiniere yang bodoh,
mula-mula bersikap halus kemudian keras. Tapi baik kelicikan maupun
kekejaman tidak mampu menggoyahkan Pisciotta. Ia tetap membisu.
Interogatornya membebaskan curinya dan meyakinkan Kepala Biara bahwa
inilah bocah yang bisa dipercaya untuk melaksanakan tugas-tugas yang lebih
penting. Sejak itu Kepala Biara selalu menganggap istimewa Aspanu Pisciotta
dan sering kali mendoakan jiwanya.
Kepala Biara menempelkan dua jari ke mulurnya yang keriput dan bersiul.
Biarawan-biarawan muncul berlari-lari dan Kepala Biara memerintahkan mereka
membawa Guiliano ke bangsal terjauh biara, tempat tinggal khusus Kepala Biara
sendiri, tempat ia menyembunyikan para desertir maupun putra-putra petani
kaya dari incaran Angkatan Darat Italia selama perang. Lalu ia mengirim salah
satu biarawannya untuk memanggil dokter di desa San Giuseppe Jato, hanya
delapan kilometer jauhnya.
Pisciotta duduk di ranjang dan memegang tangan temannya. Lukanya tidak lagi
mengeluarkan darah, dan mata Turi Guiliano terbuka, tapi bagai ada lapisan kaca
yang menutupinya. Pisciotta, hampir-hampir menangis, tidak berani berbicara. Ia
mengusap kening Guiliano, yang basah oleh keringat. Kulitnya mulai kebiruan.
Baru satu jam kemudian dokter tiba dan—setelah melihat kehadiran
segerombolan carabinieri yang menyusuri lereng-lereng pegunungan—ia tidak
terkejut
temannya, Kepala Biara, ternyata menyembunyikan pria terluka. Ini tidak
masalah baginya; siapa yang peduli terhadap polisi dan pemerintah? Kepala
Biara merupakan sesama orang Sisilia yang memerlukan bantuan. Dan yang
selalu mengiriminya sekeranjang telur di hari Minggu, satu tong anggur untuk
Natal, dan seekor domba muda untuk Paskah Suci.
Dokter memeriksa Guiliano dan membalut lukanya. Peluru menembus perut dan
mungkin mencabik beberapa organ vital, dan jelas mengenai livernya. Pemuda
itu banyak kehilangan darah, wajahnya pucat bagai hantu, kulit di seluruh
tubuhnya memutih. Di sekitar mulurnya terdaptt lingkaran putih yang sangat
dikenalinya sebagai salah satu tanda pertama kematian.
Ia mendesah dan berkata kepada Kepala Biara, "Aku sudah berusaha
semampuku. Perdarahannya sudah berhenti, tapi dia telah kehilangan lebih dari
sepertiga darahnya, dan biasanya itu fatal. Jaga agar dia tetap hangat, berikan
sedikit susu, dan akan kutinggalkan sedikit morfin untuknya." Ia menunduk
memandang tubuh Guiliano yang kuat dengan tatapan menyesal.
Pisciotta berbisik, "Apa yang bisa kukatakan kepada ayah dan ibunya? Apa dia
punya kesempatan?"
Dokter itu mendesah. "Terserah kau. Tapi lukanya mematikan.' Dia tampaknya
bocah yang kuat jadi mungkin dia masih hidup selama beberapa hari lagi, tapi
sebaiknya jangan berharap." Ia, melihat pandangan putus asa di mata Pisciotta
dan kelegaan sekilas di wajah Kepala Biara,lalu berkata dengan nada humor
yang ironis, "Tentu saja di tempat suci ini selalu ada kemungkinan terjadi
keajaiban."
Kepala Biara dan dokter melangkah keluar. Pisciotta membungkuk di atas tubuh
temannya untuk menghapus keringat dari alis matanya dan tertegun sewaktu
melihat kilauan mengejek yang samar di mata Guiliano. Matanya cokelat tua tapi
bagian tepinya keperakan. Pisciotta membungkuk lebih dekat. Turi Guiliano
tengah berbisik; ia harus bersusah payah untuk berbicara.
"Beritahu ibuku aku akan pulang," kata Turi. Lalu ia melakukan sesuatu yang
tidak akan pernah dilupakan Pisciotta selama tahun-tahun berikutnya. Kedua
tangan Guiliano tiba-tiba terjulur dan menyambar rambut di kepala Pisciotta.
Kedua tangannya kuat; tidak mungkin tangan-tangan orang yang sekarat. Kedua
tangan itu menyentakkan kepala Pisciotta agar menunduk lebih dekat. "Patuhi
aku," perintah Guiliano.
Pagi hari sesudah orangtua Guiliano memanggil dirinya, Hector Adonis tiba di
Montelepre. Ia jarang sekali menggunakan rumahnya di kota itu. Sewaktu muda
ia membenci tempat kelahirannya itu. Ia terutama menghindari Festa. Dekorasi-
dekorasinya selalu menyebabkan ia tertekan, kecerahannya tampak seperti
samaran jahat dari kemiskinan kota. Dan ia selalu mendapat penghinaan selama
perayaan itu—pria-pria mabuk mengejek tubuhnya yang pendek, para wanita
melontarkan senyum menghina sekaligus geli.
Fakta bahwa ia tahu lebih banyak daripada mereka tidak banyak membantu.
Mereka begitu bangga, misalnya,bahwa setiap keluarga mengecat rumah dengan
warna sama seperti yang dilakukan nenek moyang mereka. Mereka tidak tahu
warna rumah mengungkapkan
asal mereka, darah yang mereka warisi dari nenek moyang mereka bersama
rumah-rumahnya. Berabad-abad yang lalu orang Normandia mengecat rumahnya
dengan warna putih, Yunani selalu menggunakan warna biru, Arab memakai
variasi antara pink dan merah. Dan Yahudi memulasnya dengan warna kuning.
Sekarang mereka semua menganggap diri mereka orang Italia atau Sisilia. Darah
telah begitu bercampur-baur selama seribu tahun sehingga kau tidak bisa
mengidentifikasi pemilik rumah berdasarkan ciri wajahnya, dan kalau kau
memberi tahu pemilik rumah kuning bahwa ia memiliki nenek moyang Yahudi,
bisa-bisa perutmu tertusuk pisau,
Aspanu Pisciotta tinggal di rumah putih walaupun ia tampak lebih mirip orang
Arab. Rumah keluarga Guiliano berwarna biru, dan wajah Turi Guiliano
memang jelas-jelas Yunani biarpun ia memiliki tubuh orang Normandia yang
bertulang besar. Tapi tampaknya semua darah telah menyatu menjadi sesuatu
yang aneh dan berbahaya dan membentuk orang Sisilia sejati, dan itulah yang
membawa Adonis ke Montelepre hari ini
Setiap tikungan di Via Belia dijaga pasangan carabinieri, mereka berwajah
muram, menyandang senapan dan pistol otomatis yang siap ditembakkan. Hari
kedua Festa sudah dimulai, tapi bagian kota ini anehnya ditinggalkan dan tidak
ada anak-anak di jalan. Hector Adonis memarkir mobilnya di depan rumah
keluarga Guiliano, di atas sepenggal jalan setapak. Sepasang carabinieri
mengawasinya dengan pandangan curiga sampai ia turun dari mobil, lalu mereka
tersenyum geli melihat tubuhnya yang pendek.
Pisciotta yang membukakan pintu dan mengajaknya masuk. Ibu dan ayah
Guiliano menunggu di dapur, bersama sarapan yang terdiri atas sosis dingin, roti,
dan kopi di meja. Maria Lombardo tampak tenang, ia telah diyakinkan oleh
Aspanu yang disayanginya bahwa putranya akan pulih. Maria Lombardo lebih
merasa marah daripada takut. Ayah Guiliano tampak lebih merasa bangga
daripada sedih. Putranya telah membuktikan diri sebagai pria sejati; ia hidup dan
musuhnya tewas.
Sekali lagi Pisciotta menceritakan kisahnya, kali ini dengan humor yang
menghibur. Ia mengecilkan luka Guiliano dan kepahlawanannya sendiri dalam
membawa Guiliano ke biara. Tapi Hector Adonis tahu membantu seseorang yang
terluka sejauh hampir lima kilometer, melewati wilayah yang sulit, pasti sangat
menguras tenaga bagi Pisciotta yang bertubuh kurus itu. Selain itu, ia merasa
Pisciotta menjelaskan luka-luka itu terlalu ringkas. Adonis merasa khawatir akan
kemungkinan terburuk.
"Bagaimana carabinieri tahu mereka harus datang kemari?" tanyanya. Pisciotta
menceritakan tentang kartu identitas yang diserahkan Guiliano.
Ibu Guiliano mengeluh. "Kenapa Turi tidak membiarkan mereka mengambil
kejunya? Kenapa dia melawan?"
Ayah Guiliano berkata kasar kepada istrinya, "Kau mau dia berbuat apa?
Melaporkan petani yang malang itu? Dia akan mempermalukan nama keluarga
selama-lamanya kalau begitu."
Hector Adonis merasa terpukul oleh kontradiksi dalam komentar-komentar ini.
Ia tahu si ibu jauh
lebih kuat dan lebih bersemangat daripada si ayah. Tapi si ibu melontarkan kata-
kata bernada pasrah, dan si ayah mengucapkan kata-kata yang menantang. Dan
Pisciotta, si bocah Aspanu ini--siapa mengira ia akan seberani itu,
menyelamatkan rekannya dan membawanya ke tempat aman? Dan sekarang ia
berbohong dengan begitu tenangnya kepada orangtua ini atas luka yang diderita
putra mereka.
Ayah Guiliano berkata, "Seandainya dia tidak menyerahkan kartu identitasnya.
Teman-teman kami pasti akan bersumpah dia ada di jalan-jalan sini pada saat
itu."
Ibu Guiliano menukas, "Mereka tetap saja akan menangkapnya" Ia mulai terisak-
isak. "Sekarang dia harus tinggal di pegunungan."
Hector Adonis berkata, "Kita harus memastikan Kepala Biara tidak akan
menyerahkan dirinya kepada polisi"
Pisciotta menimpali tak sabar, "Dia tak akan berani. Dia tahu aku akan
menggantangnya dengan jubahnya kalau dia berani berbuat begitu."
Adonis menatap Pisciotta cukup lama. Ada ancaman mematikan dalam diri
pemuda ini. Tolol sekali merusak ego seorang pemuda, pikir Adonis. Polisi tidak
pernah memahami bahwa—dengan tingkat kekebalan tertentu—kau bisa
menghina pria setengah baya yang telah dihina oleh kehidupan itu sendiri dan ia
tidak akan sakit hati karenanya. Tapi seorang pemuda akan menganggap
penghinaan ini mematikan.
Mereka meminta bantuan Hector Adonis, yang pernah membantu putra mereka
di masa lalu. Hector berkata, "Kalau polisi mengetahui keberadaannya, Kepala
Biara takkan punya pilihan. Dia sendiri bukan-
nya tidak dicurigai dalam beberapa masalah tertentu. Kupikir paling baik,
dengan seizin kalian, adalah meminta temanku, Don Croce Malo, untuk
membujuk Kepala Biara."
Mereka terkejut mengetahui dirinya mengenal Don yang agung, kecuali
Pisciotta, yang melontarkan senyum maklum. Adonis menegurnya tajam, "Dan
apa yang kaulakukan di sini? Kau akan dikenali dan ditangkap. Mereka sudah
memiliki deskripsi dirimu."
Pisciotta berkata dengan nada menghina, "Kedua serdadu itu ketakutan setengah
mati. Mereka tidak akan mengenali ibunya sendiri. Dan ada selusin saksi yang
akan bersumpah aku berada di Montelepre kemarin."
Hector Adonis menampilkan sikap profesionalnya yang paling mengesankan. Ia
berbicara kepada orangtua Guiliano, "Kalian tidak boleh mencoba mengunjungi
putra kalian atau memberitahu siapa pun, bahkan sahabat-sahabat terbaik kalian,
tentang di mana dia berada. Polisi memiliki informan dan mata-mata di mana-
mana. Aspanu akan mengunjungi Turi di malam hari. Begitu dia bisa
dipindahkan, akan kuatur agar dia tinggal di kota lain sampai situasinya mereda.
Lalu dengan sejumlah uang, segalanya bisa diatur, dan Turi bisa pulang. Jangan
mengkhawatirkan dirinya, Maria, jaga kesehatanmu. Dan kau, Aspanu, terus
kabari aku."
Ia memeluk ibu dan ayah Guiliano. Maria Lombardo masih terus menangis
ketika ia berlalu.
Banyak yang harus dilakukannya—yang paling penting adalah memberi kabar
kepada Don Croce dan memastikan tempat perlindungan Turi tetap aman.
Syukurlah pemerintah di Roma tidak menawarkan hadiah atas informasi tentang
pembunuhan terhadap seorang polisi, kalau tidak Kepala Biara akan menjual
Turi secepat menjual salah satu relikui sucinya.
Turi Guiliano berbaring di ranjang tanpa bergerak. Ia mendengar dokter
menyatakan lukanya mematikan, tapi tak percaya dirinya sekarat. Tubuhnya
serasa melayang di udara, bebas dari sakit dan takut. Ia tidak akan pernah bisa
mati. Ia tidak tahu kehilangan banyak darah bisa menimbulkan euforia.
Selama berhari-hari salah seorang biarawan merawatnya, memberinya susu. Di
senja hari, Kepala Biara datang bersama dokter. Pisciotta mengunjunginya' di
malam hari dan memegang tangannya serta merawatnya selama jam-jam
panjang yang gelap dan menyeramkan. Di akhir minggu kedua, dokter
menyatakan keajaiban.
Turi Guiliano telah memerintahkan tubuhnya pulih, mengganti darah yang
hilang, menyambung kembali organ-organ vital yang tercabik peluru berlapis
baja. Dan dalam euforia yang dipicu terkurasnya darah dari tubuhnya, k
.memimpikan masa depan yang gemilang Ia merasakan kebebasan baru, yang
sejak saat itu tak lagi bisa diperoleh dari apa pun yang dilakukannya. Hukum
masyarakat, hukum keluarga Sisilia yang lebih ketat, tidak lagi mengikat dirinya.
Ia bebas melakukan tindakan apa pun; lukanya menjadikan dirinya tidak berdosa
Dan semua ini karena seorang carabiniere tolol menembak dirinya hanya karena
sepotong keju.
Selama minggu-minggu pemulihan diri, ia terus-menerus mengingat hari-hari ia
dan teman-teman sedesa-
nya berkumpul di alun-alun menunggu gabellotti— mandor pengawas lahan-
lahan luas—menjemput mereka untuk bekerja hari itu, menawarkan upah sangat
minim diringi cibiran jijik "ambil-atau-lupakan" orang-orang yang memiliki
semua kekuasaan. Pembagian hasil panen yang tidak adil yang menyebabkan
semua orang jatuh miskin sesudah setahun bekerja keras. Tangan-tangan hukum
yang terlalu berat dalam menghukum si miskin dan membiarkan si kaya
melenggang bebas.
Kalau dirinya pulih dari lukanya, ia bersumpah akan memastikan keadilan
ditegakkan. Ia tak akan pernah lagi menjadi bocah tidak berdaya yang pasrah
kepada nasib. Ia akan mempersenjatai diri, secara fisik dan mental. Satu hal ia
merasa yakin: Ia tidak akan pernah lagi berdiri tanpa daya di hadapan dunia,
seperti yang dilakukannya di depan Guido Quintana, dan polisi yang
menembaknya. Pemuda yang tadinya bernama Turi Guiliano tidak ada lagi.
Di akhir bulan, dokter menyarankannya beristirahat selama empat minggu lagi
ditambah sedikit olahraga. Jadi Guiliano mengenakan jubah biarawan dan
berkeliaran di lahan biara. Kepala Biara menyukainya, dan sering kali
menemaninya, menceritakan kisah-kisah perjalanan ke tanah yang jauh di masa
mudanya. Perasaan sayang Kepala Biara tidak berkurang sewaktu Hector Adonis
mengiriminya sejumlah uang atas doa-doanya bagi orang miskin dan Don Croce
sendiri memberitahu Kepala Biara bahwa ia berminat terhadap pemuda ini.
Sedangkan bagi Guiliano, ia tertegun melihat cara hidup para biarawan. Di
pedalaman di mana orang-
orang hampir kelaparan, di mana para buruh harus menjual keringatnya seharga
lima puluh sen sehari, para biarawan Santo Fransis hidup bagai raja. Biara
tersebut benar-benar lahan yang luas dan kaya.
Mereka memiliki kebun lemon, pohon-pohon zaitun yang setua Yesus bertebaran
di mana-mana. Mereka memiliki kebun bambu kecil dan tempat penjagalan,
tempat mereka membawa kawanan domba dan babi mereka. Ayam dan kalkun
berkeliaran bebas, dalam jumlah besar. Para biarawan menyantap daging setiap
hari bersama spaghetti, menenggak anggur buatan sendiri yang diambil dari
gudang anggur yang luas, dan berdagang di pasar gelap untuk mendapatkan
tembakau, yang mereka isap seperti kecanduan.
Tapi mereka bekerja keras. Sepanjang hari mereka bekerja dengan kaki telanjang
dan jubah yang dijejalkan hingga ke lutut, keringat mengalir deras ke alis mata
mereka. Di kepala mereka yang tercukur, untuk melindunginya dari matahari,
mereka mengenakan topi fedora Amerika yang aneh bentuknya, berwarna hitam
dan cokelat, yang diperoleh Kepala Biara dari petugas pemasok pemerintahan
militer dengan bayaran segentong anggur. Para biarawan mengenakannya dalam
berbagai gaya, beberapa dengan kelepak diturunkan, gaya gangster, lainnya
dengan kelepak diangkat di sekeliling topi, membentuk celah untuk menyimpan
rokok. Kepala Biara akhirnya membenci topi ini dan melarang penggunaannya
kecuali saat bekerja di ladang.
Selama empat minggu kedua, Guiliano menjadi biarawan. .Yang menyebabkan
Kepala Biara tertegun, ia , juga bekerja keras di ladang dan membantu biarawan-
biarawan yang lebih tua membawa keranjang-keranjang
berat berisi buah-buahan dan zaitun ke dalam gudang. Seiring dengan semakin
pulihnya dirinya, Guiliano menikmati pekerjaan itu, menikmati kesempatan
untuk memamerkan kekuatannya. Mereka menumpuk keranjangnya tinggi-tinggi
dan ia tidak pernah membiarkan lututnya lemas. Kepala Biara merasa bangga
padanya dan mengatakan ia bisa tinggal selama ia suka, bahwa ia memiliki
tanda-tanda pelayan Tuhan sejati.
Turi Guiliano merasa bahagia selama empat minggu itu. Bagaimanapun juga ia
telah kembali dari kematian dalam tubuh, dan dalam kepalanya ia tengah
menganyam impian dan keajaiban. Dan ia menyukai kehadiran Kepala Biara tua
itu, yang memperlakukan dirinya dengan kepercayaan penuh dan
mengungkapkan rahasia-rahasia biara kepadanya. Pria tua itu menyombong
bahwa semua hasil biara dijual langsung ke pasar gelap, tidak diserahkan ke
gudang-gudang pemerintah. Kecuali anggurnya, yang ditenggak habis para
biarawan sendiri. Di malam hari ada perjudian besar-besaran dan mabuk-
mabukan, bahkan wanita-wanita diselundupkan ke dalam biara, tapi Kepala
Biara menutup mata terhadap semua ini. "Sekarang ini masa-masa sulit,"
katanya kepada Guiliano. "Upah yang dijanjikan di surga terlalu jauh. Orang-
orang harus mendapatkan kesenangannya sekarang. Tuhan akan mengampuni
mereka."
Pada suatu siang saat hujan turun, Kepala Biara menunjukkan kepada Turi
bangsal biara yang lain yang digunakan sebagai gudang. Gudang itu penuh sesak
oleh relikui suci yang dibuat oleh seregu biarawan tua yang ahli. Kepala Biara,
seperti penjaga toko mana pun, mengeluhkan masa-masa sulit. "Sebelum perang,
kami memiliki bisnis yang bagus," katanya
sambil mendesah. "Gudang ini tidak pernah lebih daripada setengah penuh. Lihat
saja harta karun suci yang ada di sini. Tulang dari ikan yang dilipatgandakan
oleh Kristus. Tongkat yang dibawa Musa dalam perjalanan ke Tanah Perjanjian."
Ia diam sejenak, dengan puas mengawasi Guiliano yang tertegun. Lalu wajahnya
yang kurus mengerut membentuk seringai nakal. Sambil menendang tumpukan
tinggi tongkat kayu, ia berkata dengan nada hampir-hampir gembira, "Ini dulu
barang terbaik kami. Ratusan potong kayu salib tempat Tuhan kita disalibkan.
Dan di peti ini ada sisa-sisa orang suci, siapa pun yang bisa kausebutkan. Tidak
ada satu rumah pun di Sisilia yang tidak memiliki sepotong tulang orang suci.
Dan di gudang khusus yang terkunci ada tiga belas lengan Santo Andrew, tiga
kepala Yohanes Pembaptis, dan tujuh baju besi yang dikenakan Joan of Arc. Di
musim dingin, biarawan-biarawan kami menempuh perjalanan jauh untuk
menjual harta karun ini."
Turi Guiliano sekarang tertawa dan Kepala Biara tersenyum kepadanya. Tapi
Guiliano tengah memikirkan betapa orang miskin selalu ditipu, bahkan oleh
mereka yang menunjukkan jalan keselamatan. Satu lagi fakta yang penting untuk
diingat.
Kepala Biara menunjukkan guci besar penuh medali yang telah diberkati oleh
Kardinal Palermo, tiga puluh kain kafan yang dikenakan Yesus ketika ia
meninggal, dan dua patung Bunda Maria berkulit hitam. Ini menghentikan tawa
Guiliano. Ia memberitahu Kepala Biara tentang patung Bunda Maria berkulit
hitam yang dimiliki ibunya dan begitu dihargainya sejak ibunya masih gadis
kecil; bahwa patung itu berada di tangan
keluarganya selama beberapa generasi. Mungkinkah patung itu palsu? Kepala
Biara menepuk bahunya dengan ramah dan mengatakan biara telah membuat
replikanya selama lebih dari seratus tahun, mengukirnya dari kayu zaitun yang
bagus. Tapi ia meyakinkan Guiliano bahwa replika-replika itu pun bernilai,
karena hanya sedikit jumlahnya.
Kepala Biara menganggap tak ada ruginya mempercayakan dosa-dosa ringan
orang-orang suci kepada pembunuh. Meskipun demikian, kebisuan Guiliano
yang menandakan ketidaksetujuannya mengganggu Kepala Biara. Dengan nada
membela diri ia berkata, "Ingatlah, kami orang-orang yang mengabdikan diri
kepada Tuhan juga harus hidup dalam dunia materi manusia yang tidak percaya
menanti upah mereka di surga. Kami juga punya keluarga dan harus membantu
serta melindungi mereka. Banyak di antara para biarawan kami yang miskin dan
berasal dari keluarga miskin, kita tahu meski miskin mereka orang-orang baik.
Kami tidak bisa membiarkan saudara-saudara kami, keponakan dan sepupu
kami, kelaparan di masa-masa sulit ini. Gereja Suci sendiri membutuhkan
bantuan kita, harus melindungi diri terhadap musuh-musuh yang kuat. Kaum
Komunis dan Sosialis, pengikut liberal yang salah arah itu, harus dilawan, dan
untuk itu dibutuhkan uang. Orang-orang beriman benar-benar membantu Gereja
Induk! Kebutuhan mereka akan relikui suci memberi kami uang untuk
menghancurkan orang kafir dan memenuhi kebutuhan dalam jiwa mereka
sendiri. Kalau kami tidak memasok mereka, mereka akan menghabiskan uang
untuk berjudi dan anggur dan wanita yang memalukan. Kau sependapat, bukan?"
Guiliano mengangguk, tapi ia tersenyum. Bagi orang semuda dirinya sungguh
memesona dapat bertemu seorang pakar kemunafikan. Kepala Biara merasa
jengkel oleh senyuman itu; semula ia mengharapkan jawaban yang lebih ramah
dari pembunuh yang diberinya tempat berlindung dan dirawat hingga bisa
kembali dari gerbang kematian. Penghormatan penuh terima kasih
mengharuskan jawaban munafik yang setulus-tulusnya. Penyelundup ini,
pembunuh ini, orang kampung ini, Master Turi Guiliano, seharusnya lebih
menunjukkan pengertian, lebih menunjukkan semangat Kristiani. Kepala Biara
berkata dengan nada keras, "Ingat bahwa iman sejati kami berdasarkan pada
keyakinan kami akan keajaiban."
"Ya," tukas Guiliano. "Dan aku tahu dengan segenap hatiku bahwa sudah
menjadi tugasmu membantu kami menemukannya" Ia mengatakannya tanpa niat
jahat, dengan semangat kegembiraan, dengan niat baik yang tulus untuk
menyenangkan penyelamatnya. Tapi hanya itu yang bisa dilakukannya agar tidak
tertawa terbahak-bahak.
Kepala Biara merasa senang dan seluruh rasa sayangnya kembali. Pemuda ini
baik, ia senang ditemani olehnya selama beberapa bulan terakhir, dan ia merasa
tenang mengetahui pemuda ini banyak berutang budi kepadanya. Dan ia tidak
akan bersikap tidak tahu terima kasih; ia telah menunjukkan hatinya yang mulia.
Ia mengekspresikan dalam kata-kata dan perbuatan— setiap hari—
penghormatan dan rasa terima kasihnya kepada Kepala Biara. Ia tidak memiliki
kekerasan hati pelanggar hukum. Apa yang akan terjadi pada orang-orang seperti
ini di Sisilia masa sekarang, yang
penuh informan, kemiskinan, bandit, dan pendosa besar? Ah, well, pikir Kepala
Biara, orang yang pernah sekali membunuh bisa melakukannya lagi dalam
sekejap mata. Kepala Biara memutuskan Don Croce harus membimbing Turi
Guiliano ke jalan hidup yang benar.
Suatu hari, sewaktu tengah beristirahat di ranjangnya, Turi Guiliano menerima
tamu yang aneh. Kepala Biara memperkenalkannya sebagai Pater Benjamino
Malo, teman yang sangat baik, lalu meninggalkan mereka berdua.
Pater Benjamino berkata ramah, "Anak muda yang baik, kuharap kau sudah
sembuh dari lukamu. Kepala Biara Suci memberitahuku bahwa kesembuhanmu
benar-benar keajaiban."
Guiliano menanggapi sopan, "Berkat Tuhan." Dan Pater Benjamino
membungkuk seakan-akan ia sendiri yang menerima berkat itu.
Guiliano mengamatinya dengan teliti. Pastor ini tidak pernah bekerja keras di
ladang. Keliman jubahnya terlalu bersih, wajahnya terlalu tembam dan putih,
tangannya terlalu halus. Tapi sikapnya cukup suci; rendah hati dan memancarkan
kepasrahan bagai Kristus, kerendahan hati Kristiani.
Suaranya juga lembut dan lunak sewaktu ia berkata, "Anakku, aku akan
mendengar pengakuan dosamu dan memberikan Jamuan Kudus bagimu.
Sesudah dibersihkan dari dosa, kau bisa keluar ke dunia dengan hati yang
murni."
Turi Guiliano mengamati pastor yang memiliki kekuasaan mahamulia itu.
"Maafkan aku, Pater," katanya "Aku belum lagi merasa menyesal dan jelas aku
akan
berbohong kalau mengaku dosa sekarang ini. Tapi terima kasih atas berkatmu."
Pastor itu mengangguk dan berkata, "Ya, dengan begitu justru akan
memperbesar dosamu. Tapi ada tawaran lain yang mungkin lebih praktis di
dunia ini. Saudaraku, Don Croce, mengirimku untuk menanyakan apakah kau
bersedia berlindung padanya di Villaba. Kau akan mendapat upah bagus, dan
tentu saja, seperti yang harus kauketahui, pihak berwenang tidak akan berani
melecehkan dirimu selagi kau berada dalam perlindungannya."
Guiliano tertegun mendengar perbuatannya telah mencapai telinga orang seperti
Don Croce. Ia tahu dirinya harus berhati-hati. Ia tidak menyukai Mafia, dan
tidak ingin terperangkap dalam jaring-jaring mereka.
"Itu kehormatan yang sangat besar," katanya. "Aku berterima kasih kepadamu
dan kepada saudaramu. Tapi aku harus berkonsultasi dengan keluargaku terlebih
dulu, aku harus menghormati keinginan orangtuaku. Jadi untuk saat ini izinkan
aku menolak tawaranmu yang baik."
Ia melihat pastor itu terkejut. Siapa di Sisilia yang menolak perlindungan Don
yang agung? Jadi ia menambahkan, "Mungkin beberapa minggu lagi, aku akan
berubah pikiran dan menemuimu di Villaba."
Pater Benjamino pulih dari keterkejutannya. Ia mengangkat tangan dengan sikap
memberkati. "Pergilah bersama Tuhan, anakku," katanya. "Kau selalu diterima
di rumah saudaraku." Ia membuat tanda salib dan berlalu.
Turi Guiliano sadar sudah tiba saatnya untuk pergi.
Sewaktu Aspanu Pisciotta mengunjunginya malam itu, ia memerintahkan
berbagai persiapan yang harus dilakukan untuk kembalinya dirinya ke dunia
luar. Ia melihat sementara dirinya berubah, temannya juga. Pisciotta tidak
mengernyit maupun memprotes saat menerima perintah yang ia tahu akan
mengubah hidupnya secara drastis. Akhirnya Guiliano berkata, "Aspanu, kau
bisa ikut denganku atau tetap tinggal bersama keluargamu. Lakukan apa yang
menurutmu harus kaulakukan."
Pisciotta tersenyum. "Kaupikir aku akan membiarkan dirimu mendapatkan
semua kesenangan dan kejayaan? Membiarkan dirimu bermain-main di
pegunungan sementara aku menggiring keledai-keledai untuk bekerja dan
memetik zaitun? Dan bagaimana dengan persahabatan kita? Apa aku harus
membiarkan dirimu hidup di pegunungan seorang diri sementara kita sudah
bermain dan bekerja bersama sejak anak-anak? Baru sesudah kau kembali ke
Montelepre sebagai orang bebas, aku juga akan kembali ke sana. Jadi jangan lagi
bicara yang bukan-bukan. Aku akan menjemputmu empat hari lagi. Butuh
sedikit waktu untuk melaksanakan semua permintaanmu."
Pisciotta sibuk selama empat hari itu. Ia melacak penyelundup berkuda yang
menawarkan diri memburu Guiliano yang terluka. Namanya Marcuzzi, ia orang
yang ditakuti dan penyelundup skala besar yang beroperasi di bawah
perlindungan Don Croce dan Guido Quintana. Ia memiliki paman yang bernama
sama yang merupakan kepala Mafia besar.
Pisciotta mendapati Marcuzzi melakukan perjalanan secara teratur dari
Montelepre ke Castellammare.
Pisciotta mengetahui petani yang merawat bagal-bagal penyelundup itu, dan
sewaktu ia melihat hewan-hewan itu dibawa dari padang ke lumbung di dekat
kota, ia menebak Marcuzzi akan melakukan perjalanan keesokan harinya. Saat
subuh Pisciotta memposisikan diri di tepi jalan yang ia tahu harus dilalui
Marcuzzi, dan menantikan kedatangannya. Ia menyandang lupara, yang banyak
dimiliki keluarga Sisilia sebagai bagian dari peralatan rumah tangga. Senapan
tabur Sisilia yang mematikan ku begitu umum dan sering kali digunakan untuk
membunuh sehingga sewaktu Mussolini menyapu bersih Mafia, ia
memerintahkan agar semua dinding batu diruntuhkan hingga paling tinggi satu
meter agar para pembunuh tidak bisa menggunakannya sebagai titik
penyergapan.
Pisciotta memutuskan untuk membunuh Marcuzzi bukan saja karena ia
menawarkan diri membantu polisi dengan membunuh Guiliano yang terluka,
tapi karena ia menyombongkan hal itu kepada teman-temannya. Dengan
membunuh penyelundup itu, ia memberikan peringatan kepada siapa pun yang
mungkin akan mengkhianati Guiliano. Selain itu ia juga membutuhkan senjata-
senjata yang ia tahu dibawa Marcuzzi.
Ia tidak perlu menunggu lama.. Karena Marcuzzi memimpin iring-iringan bagal
tak berbeban untuk mengambil barang-barang pasar gelap di Castellammare, ia
bertindak ceroboh. Ia mengendarai bagal terdepan menyusuri jalan setapak
pegunungan dengan senapan tersandang di bahu, bukannya siap ditembakkan.
Sewaktu melihat Pisciotta berdiri di tengah jalan setapak di depannya, ia tidak
waspada. Ia hanya melihat bocah pendek langsing berkumis tipis penuh gaya,
yang ter-
senyum dengan cara yang membangkitkan kejengkelannya. Baru setelah
Pisciotta mengarahkan lupara yang diambilnya dari balik jaket, Marcuzzi
menaruh perhatian penuh.
Ia berkata parau, "Kau mencegatku di jalan yang salah. Aku belum lagi
mengambil barang-barangku. Dan bagal-bagal ini dalam perlindungan Friends of
the Friends. Jadilah orang pintar dan carilah pelanggan yang lain."
Pisciotta berkata lembut, "Aku hanya menginginkan nyawamu." Ia tersenyum
kejam. "Suatu hari kau ingin menjadi pahlawan bagi polisi. Hanya beberapa
bulan yang lalu, kau ingat?"
Marcuzzi ingat. Ia menggerakkan bagalnya menyamping, seakan-akan tidak
sengaja, untuk menyembunyikan tangannya dari tatapan Pisciotta. Ia
menyelipkan tangan ke sabuknya dan mencabut pistol. Pada saat yang sama ia
menyentakkan kekang bagalnya untuk memutar dirinya ke posisi menembak.
Hal terakhir yang dilihatnya adalah senyum Pisciotta saat lupara itu
mengempaskan tubuhnya dari pelana dan melayang ke tanah berdebu.
Dengan puas Pisciotta berdiri di atas mayatnya dan menembak kepalanya, lalu
mengambil pistol yang masih berada dalam genggaman Marcuzzi dan senapan
yang melilit tabuhnya. Ia mengambil peluru senapan dari saku jaket si
penyelundup dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya sendiri. Lalu dengan
cepat dan sistematis ia menembak keempat ekor bagal, sebagai peringatan bagi
siapa pun yang mungkin membantu musuh-musuh Guiliano, bahkan secara tidak
langsung. Ia berdiri di jalan, dengan lupara di tangan, senapan
pria yang tewas itu tersandang melintang di bahunya, pistol di sabuknya. Ia tidak
merasa iba dan kebuasan-nya justru menimbulkan kepuasan. Karena meskipun ia
menyayangi temannya, mereka selalu bersaing dalam banyak hal. Dan walaupun
ia mengakui Turi sebagai pemimpinnya, ia merasa harus membuktikan
pernyataannya tentang persahabatan mereka dengan bersikap sama berani dan
cerdiknya. Kini ia juga melangkah keluar dari lingkaran masa kanak-kanak yang
ajaib, lingkaran masyarakat, dan bergabung dengan Turi di luar lingkaran itu.
Dengan tindakan ini ia mengikat dirinya untuk selama-lamanya dengan Turi
Guiliano.
Dua hari kemudian, tepat sebelum makan malam, Guiliano meninggalkan biara.
Ia memeluk semua biarawan saat mereka berkumpul di ruang makan dan
mengucapkan terima kasih atas kebaikan mereka. Para biarawan menyesali
kepergiannya. Memang benar, ia tidak pernah menghadiri misa-misa mereka,
dan tidak membuat pengakuan dosa dan penyesalan atas pembunuhan yang
dilakukannya, tapi beberapa di antara para biarawan itu juga memulai masa
dewasa mereka dengan kejahatan yang sama dan mereka tidak menghakimi.
Kepala Biara mengantar Guiliano ke gerbang biara tempat Pisciotta menunggu.
Ia memberikan hadiah perpisahan. Patung Bunda Maria berkulit hitam, duplikat
patung milik Maria Lombardo, ibu Guiliano. Pisciotta membawa ransel hijau
Amerika dan Guiliano memasukkan patung itu ke dalamnya.
Pisciotta mengawasi dengan pandangan sinis saat Kepala Biara dan Guiliano
mengucapkan kata-kata
perpisahan. Ia tahu Kepala Biara seorang penyelundup, anggota rahasia Friends
of the Friends, dan majikan yang kejam bagi para biarawannya yang malang.
Jadi ia tidak mengerti sentimentalitas yang ditunjukkan Kepala Biara dalam
perpisahan itu. Tak pernah terlintas dalam benak Pisciotta bahwa rasa sayang,
kasih, dan penghormatan yang dibangkitkan Guiliano dalam dirinya juga bisa
timbul sama kuatnya pada orang setua Kepala Biara.
Kendati rasa sayang Kepala Biara tulus, perasaannya dihiasi kepentingan
pribadi. Ia tahu bocah ini suatu hari nanti akan menjadi kekuatan yang harus
diakui di Sisilia. Rasanya seperti menemukan jejak-jejak kedewaan. Sedangkan
bagi Turi Guiliano, ia benar-benar berterima kasih. Kepala Biara telah
menyelamatkan nyawanya, tapi lebih daripada itu, ia telah mengajarinya banyak
hal dan menjadi teman yang menyenangkan. Kepala Biara bahkan membiarkan
ia menggunakan perpustakaannya. Yang menarik, Guiliano menyukai
ketidakjujuran Kepala Biara; baginya itu merupakan keseimbangan yang bagus
dalam kehidupan, melakukan kebaikan tanpa melakukan kejahatan besar yang
kentara, keseimbangan kekuasaan yang menjadikan kehidupan berjalan begitu
mulus.
Kepala Biara dan Turi Guiliano berpelukan. Turi berkata, "Aku berutang budi
padamu. Ingatlah padaku kalau kau membutuhkan bantuan apa pun. Apa pun
yang kauminta, akan kulakukan."
Kepala Biara menepuk bahunya. "Kedermawanan Kristiani tidak menuntut
pembayaran," tegasnya. "Kembalilah ke jalan Tuhan, anakku, dan berikanlah
penghormatan." Tapi ia hanya sekadar bicara. Ia tahu
benar kepolosan semuda ini Iblis bisa bangkit d kobaran api untuk bertindak
berdasarkan kepolosan
seperti itu. Ia akan mengingat janu Guiliano.
Guiliano menyandang ransel di bahunya tanpa me medulikan protes Pisciotta,
dan mereka berjalan melewati gerbang biara bersama-sama. Mereka tidak pernah
berpaling.
DARI tepi jurang yang menjorok di puncak Monte d'Ora, Guiliano dan Pisciotta
bisa memandang kota Montelepre. Hanya beberapa kilometer di bawah mereka,
lampu-lampu rumah menyala untuk melawan kegelapan yang turun. Guiliano
bahkan membayangkan dirinya bisa mendengar suara musik yang berasal dari
pengeras suara di alun-alun, yang selalu melantunkan siaran stasiun radio Roma
untuk menghibur para pejalan kaki di kota sebelum waktu makan malam
mereka.
Tapi udara pegunungan menipu. Butuh waktu dua jam untuk turun ke kota dan
empat jam untuk kembali ke pegunungan. Guiliano dan Pisciotta sering bermain-
main di sini sewaktu kanak-kanak, mereka mengenal setiap batu di pegunungan,
setiap gua, serta setiap terowongan. Di balik tebing ini terdapat Grotta Bianca,
gua kesukaan mereka sewaktu kecil, yang ukurannya lebih besar daripada rumah
mana pun di Montelepre.
Aspanu mematuhi perintah dengan baik, pikir Turi Guiliano. Gua itu dipenuhi
kantong tidur, panci masak, berkotak-kotak amunisi, dan berkarung-karung
makanan 8erta roti. Ada kotak kayu tempat lampu senter, lentera
dan pisau, juga ada beberapa kaleng minyak tanah. Ia tertawa. "Aspanu, kita bisa
tinggal di sini selamanya."
"Selama beberapa hari," koreksi Aspanu. "Ini tempat pertama yang didatangi
carabinieri ketika mereka mencarimu."
"Para pengecut itu hanya mencari di siang hari," jawab Turi. "Kita aman di
malam hari."
Tirai kegelapan yang pekat turun menutupi pegunungan, tapi langit di atas begitu
penuh bintang sehingga mereka bisa saling memandang dengan jelas. Pisciotta
membuka ranselnya dan mulai mengeluarkan senjata serta pakaian. Perlahan-
lahan dan bagai tengah melakukan upacara, Turi Guiliano mempersenjatai diri.
Setelah menanggalkan jubah biarawannya, ia mengenakan celana panjang katun
tebal, lalu jaket kulit domba besar yang bersaku banyak. Ia menyelipkan dua
pucuk pistol di sabuknya dan menyandang senapan mesin di balik jaketnya
sehingga tersembunyi tapi bisa segera dikeluarkan untuk beraksi. Ia mengenakan
sabuk amunisi di pinggangnya dan memasukkan kotak peluru tambahan di saku-
saku jaketnya. Pisciotta memberinya sebilah pisau, yang lalu diselipkannya di
sepatu bot tentara yang dikenakannya. Lalu sepucuk pistol kecil lainnya, yang
sesuai dengar» sarung yang diikatkan di balik kelepak jaket kulit dombanya. Ia
memeriksa semua senjata dan amunisinya dengan hati-hati.
Senapannya ia bawa terang-terangan, talinya melintang di bahu. Akhirnya ia
siap. Ia tersenyum kepada Pisciotta, yang secara terbuka hanya membawa
sepucuk lupara dan pisau dalam sarungnya di punggung. Pisciotta berkata, "Aku
merasa telanjang. Kau bisa berjalan de-
ngan semua besi di tubuhmu itu? Kalau kau jatuh, aku takkan bisa
mengangkatmu."
Guiliano terus tersenyum, senyum rahasia seorang anak yang percaya dirinya
berhasil menaklukkan dunia. Bekas luka besar di tubuhnya terasa sakit akibat
beratnya senjata dan amunisi, tapi ia menerimanya. Rasa sakit itu memicu
kebulatan tekadnya. "Aku siap menjumpai keluargaku atau menghadapi
musuhku," tegasnya kepada Pisciotta. Kedua pemuda itu mulai menuruni jalan
setapak panjang yang berliku-liku dari puncak Monte d'Ora ke kota Montelepre
di bawah.
Mereka berjalan di bawah kubah bintang-bintang. Bersenjata untuk menghadapi
maut dan sesama manusia, menenggak harum kebun lemon dan bunga-bunga
liar di kejauhan, Turi Guiliano merasakan kedamaian yang tak pernah
dikenalnya. Ia bukan lagi tidak berdaya menghadapi musuh siapa pun. Ia tidak
lagi harus menghibur musuh dalam dirinya yang meragukan semangatnya.
Seandainya ia memang berhasil memerintah dirinya untuk tidak mati,
memerintah tubuhnya yang tercabik-cabik untuk kembali utuh, ia kini percaya
dirinya mampu membuat tubuhnya melakukan hal itu berulang-ulang. Ia tidak
lagi ragu bahwa dirinya memiliki takdir luar biasa di hadapannya. Ia berbagi
keajaiban dengan para pahlawan abad pertengahan yang tidak bisa mati sampai
mereka tiba di akhir kisah mereka yang panjang, sampai mereka meraih
kemenangan besar.
Ia tidak akan pernah meninggalkan pegunungan ini, pepohonan zaitun ini, Sisilia
ini. Ia hanya memiliki gagasan samar mengenai masa depannya yang gemilang,
tapi ia tidak pernah meragukan kegemilangan itu. Ia tidak akan pernah lagi
menjadi pemuda petani miskin
135
yang takut terhadap carabinieri, para hakim, dan korupsi hukum yang merusak.
Mereka teJah turun dari pegunungan sekarang dan memasuki jalan-jalan yang
menuju Montelepre. Mereka melewati.altar Bunda Maria dan Anak, yang
terletak di tepi jalan dan digembok, jubah birunya yang terbuat dari semen
tampak berkilau bagai lautan tertimpa cahaya bulan. Perkebunan memenuhi
udara dengan keharuman yang menyebabkan Guiliano hampir-hampir pusing. Ia
melihat Pisciotta membungkuk dan memetik buah pir yang manis berkat udara
malam, dan ia merasakan kasih terhadap teman yang telah menyelamatkan
nyawanya itu, kasih yang berakar pada masa kanak-kanak yang mereka habiskan
bersama. Ia ingin berbagi keabadian dengan temannya itu. Mereka tidak pernah
ditakdirkan mati sebagai dua petani tidak dikenal di bagian Sisilia yang
bergunung-gunung. Dalam kegairahan besar Guiliano berseru, "Aspanu, Aspanu,
aku percaya, aku percaya," dan mulai berlari menuruni lereng terakhir
pegunungan, keluar dari bebatuan putih bagai hantu, melewati altar-altar suci
Kristus dan para orang suci yang menjadi martir, yang berdiri dalam kotak-kotak
berkurici Pisciotta berlari di sampingnya, tertawa-tawa, dan mereka berlomba
memasuki leng-kungan cahaya bulan yang menyirami jalan ke Montelepre.
Pegunungan berakhir di padang rumput yang membentang seratus meter menuju
dindmg-dinding belakang yang terbentuk dari rumah-rumah di Via Belia. Di
balik dinding-dinding itu, masing-masing rumah memiliki kebun tomat sendiri.
Dan beberapa rumah juga
mempunyai sebatang pohon zaitun atau lemon. Gerbang ke kebun Guiliano tidak
dikunci, dan kedua pemuda itu menyelinap masuk diam-diam dan mendapati ibu
Guiliano tengah menanti. Ia menghambur ke dalam pelukan Turi Guiliano, air
mata mengalir membasahi wajahnya. Ia mencium putranya dengan hangat dan
berbisik, "Putraku tersayang, putraku tersayang," dan Turi Guiliano mendapati
dirinya berdiri dalam cahaya bulan tanpa membalas kasih ibunya untuk pertama
kali seumur hidupnya.
Sekarang sudah hampir tengah malam, bulan masih teranig, dan mereka
bergegas masuk ke dalam rumah untuk menghindari pengawasan mata-mata.
Jendela-jendela ditutup rapat, dan kerabat Guiliano serta keluarga Pisciotta
ditempatkan di seluruh jalan untuk memperingatkan kehadiran patroli polisi. Di
dalam rumah teman-teman dan keluarga Guiliano telah menunggu untuk
merayakan kepulangannya. Pesta yang selayaknya untuk menyambut Paskah
Suci telah disiapkan. Mereka hanya memiliki satu malam bersamanya sebelum
Turi pindah ke pegunungan.
Ayah Guiliano memeluknya dan menampar punggungnya untuk menyatakan
persetujuan. Kedua kakak perempuannya ada di sana, dan Hector Adonis. Juga
seorang tetangga, wanita yang dipanggil La Venera. Ia janda berusia sekitar 35
tahun. Suaminya dulu bandit terkenal bernama Candeleria, yang dikhianati, lalu
disergap oleh polisi, baru setahun yang lalu. Ia menjadi sahabat dekat ibu
Guiliano, tapi Turi terkejut akan kehadirannya dalam reuni ini. Hanya ibunya
yang bisa mengundangnya. Sejenak ia penasaran, ingin tahu apa alasannya.
Mereka bersantap dan minum-minum dan memperlakukan Turi Guiliano seakan-
akan ia baru saja kembali dari libur panjang ke negeri-negeri asing. Tapi lalu
ayahnya ingin melihat lukanya. Guiliano menarik kemeja dari celana panjangnya
dan memamerkan bekas luka besar yang kemerahan, jaringan di sekitarnya biru
kehitaman akibat trauma tembakan. Ibunya mulai meratap. Guiliano berkata
kepadanya sambil tersenyum, "Kau lebih suka melihatku di penjara dengan
bekas-bekas bastinado?"
Kendati adegan yang akrab baginya itu menyerupai hari-hari paling bahagia
semasa ia kanak-kanak, ia merasa sangat jauh dari mereka. Semua hidangan
kesukaannya tersedia, cumi-cumi bertinta, makaroni gemuk dengan saus tomat,
daging domba panggang, mangkuk-mangkuk besar berisi zaitun, salad hijau dan
merah yang disiram minyak zaitun segar, botol-botol terbungkus bambu berisi
anggur Sisilia. Segala sesuatu dari tanah Sisilia. Ibu dan ayahnya menceritakan
dongeng tentang kehidupan di Amerika. Dan Hector Adonis menghibur mereka
dengan kemegahan sejarah Sisilia. Tentang Garibaldi dan prajurit baju merahnya
yang terkenal. Tentang hari-hari Sicilian Vespers, sewaktu orang-orang Sisilia
bangkit membantai tentara pendudukan Prancis beratus-ratus tahun lalu. Semua
Pemberontakan yang terjadi pada tahun 1282 terhadap pasukan Prancis yang
menduduki Sisilia. Ketika itu bunyi bel vesper pada Senin Paskah dijadikan
tanda dimulainya pembantaian dan pengusiran pasukan Prancis.
kisah tentang penindasan terhadap Sisilia dimulai dengan Roma, diikuti bangsa
Moor dan Normandia dan Prancis dan Jerman dan Spanyol. Terkutuklah Sisilia!
Tidak pernah merdeka, rakyatnya selalu kelaparan, tenaga mereka dijual begitu
murah, darah mereka tertumpah begitu mudah.
Jadi sekarang tidak ada satu orang Sisilia pun yang memercayai pemerintah,
hukum, ketertiban terstruktur masyarakat yang selalu digunakan untuk
menjadikan mereka hewan tunggangan. Guiliano sudah mendengar kisah-kisah
ini selama bertahun-tahun, mengukirnya dalam benaknya. Tapi baru sekarang ia
sadar dirinya bisa mengubahnya.
Ia mengawasi Aspanu mengisap rokok sambil menikmati kopinya. Bahkan
dalam reuni yang penuh sukacita ini, Aspanu melontarkan senyum ironis.
Guiliano bisa menebak apa yang dipikirkannya dan apa yang akan dikatakannya
nanti: Yang perlu kaulakukan hanyalah bertindak cukup bodoh sehingga
ditembak polisi, melakukan pembunuhan, menjadi pelanggar hukum, lalu orang-
orang yang kaukasihi akan menunjukkan perasaan sayang dan memperlakukan
dirimu bagai orang suci dari surga. Meskipun begitu, Aspanu satu-satunya orang
yang tidak membuatnya merasa terasing.
Dan wanita ini, La Venera. Kenapa ibunya mengundangnya, dan kenapa ia
datang? Ia melihat wajah wanita itu masih menarik, tegas dan kuat dengan alis
mata hitam pekat dan bibir begitu gelap dan kemerahan sehingga hampir-hampir
ungu dalam cahaya yang terhalang asap ini. Mustahil melihat postur tubuhnya,
karena ia mengenakan gaun hitam janda Sisilia yang potongannya tidak
berbentuk.
Turi Guiliano harus menceritakan seluruh kisah penembakan di Simpang Empat
kepada mereka. Ayahnya, agak mabuk oleh anggur, menggeram setuju atas
kematian si sersan. Ibunya membisu. Ayahnya menceritakan kisah bagaimana si
petani datang untuk mencari keledainya dan tentang komentarnya sendiri kepada
petani itu: "Bergembiralah karena kau hanya kehilangan keledai. Aku kehilangan
anak lelaki." Aspanu berkomentar, "Keledai mencari keledai." Mereka semua
tertawa. Ayah Guiliano melanjutkan, "Sewaktu petani itu mendengar ada petugas
polisi yang terbunuh, dia terlalu takut untuk mengajukan klaim, takut dihajar
dengan bastinado." Turi berkata, "Dia akan mendapat ganti rugi." Akhirnya
Hector Adonis menjabarkan rencananya untuk menyelamatkan Turi. Keluarga
almarhum akan mendapat ganti rugi. Orangtua Guiliano terpaksa menggadaikan
sepetak tanah agar bisa mendapatkan uang itu. Adonis sendiri akan
menyumbangkan sejumlah uang. Tapi taktik ini harus menunggu hingga
kemarahan mereda. Pengaruh Don Croce yang agung akan digunakan untuk
menekan para pejabat pemerintah dan keluarga polisi yang terbunuh.
Bagaimanapun juga, kejadian itu kurang-lebih merupakan kecelakaan. Tidak ada
niat jahat yang nyata dari kedua belah pihak. Mereka bisa mengaturnya selama
keluarga korban dan pejabat pemerintah mau bekerja sama. Satu-satunya
kelemahan adalah kartu identitas di lokasi pembunuhan. Tapi dalam waktu
setahun Don Croce bisa menyebabkan bukti itu menghilang dari arsip jaksa
penuntut Yang paling penting, Turi Guiliano harus menghindari masalah selama
setahun ini. Ia harus menghilang ke pegunungan.
140
Turi Guiliano mendengarkan mereka semua dengan sabar sambil tersenyum,
mengangguk-angguk, tidak menunjukkan kejengkelannya. Mereka masih
menganggap dirinya sama seperti pada Festa lebih dari dua bulan lalu. Ia
menanggalkan jaket kulit domba dan senjata-senjatanya; senapannya tergeletak
di dekat kakinya di bawah meja. Tapi hal itu tidak mengesankan mereka, begitu
pula bekas lukanya yang mengerikan. Mereka tidak bisa membayangkan
bagaimana benaknya tercabik-cabik oleh tembakan hebat di tabuhnya, atau
betapa ia tidak akan pernah lagi menjadi pemuda yang dulu mereka kenal.
Di dalam rumah ini, untuk saat ini ia aman. Orang-orang tepercaya menjelajahi
jalan-jalan dan mengawasi barak-barak carabinieri untuk memberinya peringatan
akan serangan apa pun. Rumahnya sendiri, dibangun beratus-ratus tahun lalu,
terbuat dari batu; jendela-jendelanya, yang daunnya terbuat dari kayu, terkunci
dan tebalnya sekitar tiga puluh senti. Pintu kayunya kuat dan didukung palang-
palang besi. Tidak seberkas sinar pun bisa membias keluar dari rumah ini, tidak
ada musuh yang bisa menerbbos masuk dengan cepat dalam serangan tiba-tiba.
Kendati demikian, Turi Guiliano merasakan dirinya dalam bahaya. Orang-orang
terkasih ini akan menjebaknya ke dalam kehidupannya yang dulu, membujuknya
menjadi petani sederhana, meletakkan senjata dari sesama manusia, dan
membiarkan dirinya tidak berdaya di hadapan hukum-hukum mereka. Pada saat
itu ia tahu ia harus bersikap kejam terhadap orang-orang yang paling dicintainya
Sudah menjadi impiannya sejak dulu untuk mendapatkan cinta dan bukannya
kekuasaan. Tapi semua-
nya telah berubah. Ia sekarang melihat jelas bahwa kekuasaan menempati urutan
pertama.
Ia berbicara pelan kepada Hector Adonis dan orang-orang lainnya. "Godfather
yang baik, aku tahu kau berbicara karena rasa sayang dan perhatianmu. Tapi aku
tidak bisa membiarkan ibu dan ayahku kehilangan sepetak tanah untuk
membantuku melepaskan diri dari masalah. Dan kalian semua yang hadir di sini,
jangan terlalu mengkhawatirkan diriku. Aku pria dewasa yang harus membayar
kecerobohannya sendiri. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun membayar
ganti rugi untuk carabinieri yang sudah kutembak itu. Ingat, dia mencoba
membunuhku hanya karena aku menyelundupkan sepotong keju. Aku tidak akan
pernah menembaknya kalau aku tidak mengira diriku sekarat dan ingin
menyamakan kedudukan. Tapi semua itu sudah berlalu. Lain kali aku tidak akan
begitu mudah ditembak"
Pisciotta berkata sambil menyeringai, "Lagi pula di pegunungan lebih asyik."
Tapi ibu Guiliano tidak teralihkan. Mereka semua bisa melihat kepanikannya,
ketakutan dalam matanya yang membara. Ia mengeluh putus asa, "Jangan
menjadi bandit, jangan merampok orang-orang miskin yang sudah cukup
sengsara dalam hidup mereka. Jangan menjadi pelanggar hukum. Izinkan La
Venera memberitahumu kehidupan macam apa yang dulu dijalani suaminya."
Ia Venera mengangkat kepala dan memandang lurus kepada Guiliano. Guiliano
terpesona melihat sensualitas di wajahnya, seakan-akan wanita itu berusaha
menarik gairah dirinya terhadapnya. Mata La Venera mantap
dan menatap Guiliano hampir seperti mengundang. Sebelumnya Guiliano hanya
menganggapnya sebagai wanita yang lebih tua; sekarang ia merasakan
keberadaan La Venera secara seksual.
Sewaktu La Venera berbicara, suaranya serak oleh emosi. Ia berkata, "Di
pegunungan yang sama ke mana kau ingin pergi, suamiku terpaksa hidup seperti
hewan. Selalu ketakutan. Selalu. Dia tak bisa makan. Dia tak bisa tidur. Sewaktu
kami berada di tempat tidur, suara sekecil apa pun akan mengejutkan dirinya.
Kami tidur dengan senapan-senapan di lantai di samping ranjang. Tapi itu tidak
membantunya. Sewaktu putri kami sakit, dia mencoba mengunjunginya, dan
mereka telah menantikan kedatangannya. Mereka tahu hatinya lembut. Dia
ditembak seperti anjing di jalanan. Mereka berdiri di atasnya dan menertawakan
diriku."
Guiliano bisa melihat seringai pada wajah Pisciotta. Candeleria, si bandit besar,
berhati lembut? Ia membantai enam orang yang dicurigainya sebagai mata-mata,
mengincar para petani kaya, memeras uang dari para petani miskin,
menyebarkan teror di seluruh pedalaman. Tapi istrinya memandangnya dengan
cara berbeda.
Ia Venera tidak menyadari senyum Pisciotta. Ia melanjutkan, "Kumakamkan dia
dan lalu anakku seminggu kemudian. Kata mereka putriku menderita radang
paru-paru. Tapi aku tahu dia patah hati. Yang paling kuingat adalah sewaktu
mengunjungi suamiku di pegunungan. Dia selalu kedinginan dan kelaparan, dan
terkadang sakit. Dia mau memberikan apa saja asalkan bisa kembali ke
kehidupan sebagai petani yang
143
jujur. Tapi yang paling buruk, hatinya menjadi sekeras biji zaitun. Dia bukan lagi
manusia, semoga dia beristirahat dengan tenang. Jadi, Turi sayang, jangan
sebangga itu. Kami akan membantumu dalam kesial-anmu, jangan menjadi
seperti suamiku sebelum dia tewas."
Semua orang membisu, Pisciotta tidak lagi tersenyum. Ayah Guiliano bergumam
ia justru senang bisa menyingkirkan ladangnya; ia bisa tidu& sampai siang
Hector Adonis menunduk menatap taplak meja, mengerutkan kening. Tidak satu
pun dari mereka berbicara.
Kesunyian itu dipecahkan oleh ketukan cepat di pintu, tanda dari salah seorang
pengawas. Pisciotta keluar menemui pria itu Sewaktu masuk kembali, ia
memberi isyarat kepada Guiliano agar mempersenjatai diri. "Barak-barak
carabinieri terang benderang," katanya. "Dan van polisi memblokir ujung jalan
Via Belia di pintu masuk lapangan. Mereka bersiap-siap menyerbu rumah ini." Ia
diam sejenak. "Kita harus bergegas mengucapkan selamat tinggal."
Yang memesona semua orang adalah ketenangan Turi Guiliano dalam
mempersiapkan pelariannya. Ibunya menghambur ke dalam pelukannya dan
sambil membalas pelukan itu, ia memegang jaket kulit dombanya. Ia
mengucapkan selamat tinggal kepada yang lain dan sesaat kemudian telah
bersenjata lengkap, jaket dikenakan, senapan disandang, Sekalipun begitu ia
tidak bergerak dengan cepat atau tergesa-gesa. Ia berdiri di sana sejenak,
tersenyum kepada mereka dan berkata kepada Pisciotta, "Kau bisa tetap di sini
dan menemuiku di pegunungan nanti, atau ikut denganku se-
karang." Tanpa mengatakan apa-apa Pisciotta melangkah ke pintu belakang dan
membukanya.
Guiliano memeluk ibunya untuk yang terakhir kali, dan ibunya menciumi
dirinya habis-habisan seraya berkata, "Bersembunyilah, jangan bertindak
gegabah. Biarkan kami membantumu." Tapi Guiliano sudah melepaskan diri dari
pelukannya.
Pisciotta yang memimpin perjalanan, menyeberangi ladang-ladang menuju
lereng pegunungan. Guiliano bersiul tajam dan Pisciotta berhenti untuk memberi
kesempatan pada Turi menyusulnya. Jalan ke pegunungan aman, dan menurut
para pengawas tidak ada patroli polisi di jalan itu. Mereka akan aman di Grotta
Bianca sesudah mendaki selama empat jam. Kalau carabinieri mengejar mereka
dalam kegelapan, tindakan itu entah keberanian atau ketololan luar biasa.
Guiliano bertanya, "Aspanu, berapa banyak anggota carabinieri di garnisun
mereka?"
"Dua belas," jawab Pisciotta. "Dan Maresciallo." Guiliano tertawa. "Tiga belas,
angka sial. Dan kenapa kita melarikan diri dari sedikit orang itu?" Ia diam
sejenak lalu berkata, "Ikut aku."
Ia memimpin jalan kembali melintasi ladang-ladang sehingga mereka memasuki
Montelepre lebih jauh lagi. Lalu menyeberangi Via Bella agar mereka bisa
mengawasi rumah Guiliano dari lorong sempit yang gelap dan aman. Mereka
berjongkok dalam bayang-bayang, menunggu.
Lima menit kemudian mereka bisa mendengar deru jip menyusuri Via Belia.
Enam carabinieri berjejalan di dalamnya termasuk Maresciallo sendiri. Dua di
antaranya segera memasuki jalan-jalan samping untuk mem-
blokir pintu belakang. Maresciallo dan tiga anak buahnya melangkah ke pintu
dan memukulinya kuat-kuat. Pada saat yang sama sebuah truk kecil tertutup
berhenti di belakang jip dan dua carabinieri lagi, dengan senapan siap
ditembakkan, melompat turun untuk mengatur jalan.
Turi Guiliano mengawasi semuanya dengan penuh minat Penggerebekan polisi
berdasarkan anggapan sasaran mereka tidak sedang dalam posisi melancarkan
serangan balasan; satu-satunya alternatif mereka hanyalah melarikan diri dari
kekuatan yang lebih unggul. Turi Guiliano pada saat itu menetapkan prinsip
dasar untuk selalu berada dalam-posisi balas menyerang saat diburu, tidak peduli
seberapa tipis peluangnya, atau barangkali semakin tipis kemungkinannya justru
semakin baik
Ini operasi taktis pertama Guiliano dan ia terpesona melihat betapa mudah
baginya mengendalikan situasi kalau ia memilih pertumpahan darah. Benar, ia
tidak bisa menembak Maresciallo dan ketiga anak buahnya di pintu karena
peluru-pelurunya mungkin menembus ke dalam rumah dan mengenai
keluarganya. Tapi ia bisa membantai dengan mudah kedua petugas yang
menjaga jalan dan dua pengemudi di kendaraan masing-masing. Kalau mau, ia
bisa melakukannya begitu Maresciallo dan anak buahnya masuk ke dalam rumah
keluarga Guiliano. Mereka tidak akan berani keluar, dan dirinya serta Pisciotta
bisa berjalan ke ladang-ladang dengan santai. Sedangkan van yang memblokir di
ujung jalan, jarak mereka terlalu jauh sehingga tak perlu diperhitungkan. Mereka
tidak akan memiliki inisiatif menyusuri jalan tanpa perintah.
Tapi pada saat ini ia tidak ingin menumpahkan darah. Gerakannya masih
merupakan manuver intelektual. Dan ia terutama ingin melihat Maresciallo
beraksi, karena inilah orang yang akan menjadi musuh utamanya di masa depan.
Pada saat itu pintu rumah dibuka oleh ayah Guiliano, dan Maresciallo meraih
lengan pria tua itu dengan kasar dan mendorongnya ke jalan diiringi teriakan,
menyuruhnya menunggu di sana.
Seorang Maresciallo dari carabinieri Italia merupakan bintara tertinggi dari
pasukan Kepolisian Nasional dan biasanya merupakan komandan detasemen
kota kecil. Oleh karena itu ia dianggap orang penting dalam masyarakat
setempat dan diperlakukan dengan hormat, sama seperti yang diterima wali kota
dan pastor setempat. Jadi ia tidak menduga akan mendapat sambutan dari ibu
Guiliano ketika wanita itu menerjang ke arahnya dan meludah ke tanah di
depannya, untuk menunjukkan kejijikannya.
Ia dan ketiga anak buahnya harus menerobos ke dalam rumah dan
menggeledahnya sementara dimaki-maki dan dilecehkan oleh ibu Guiliano.
Semua orang dibawa keluar ke jalan untuk ditanyai; rumah-rumah tetangga
dikosongkan dari orang-orang yang juga mengata-ngatai para polisi.
Ketika penggeledahan dalam rumah terbukti tidak menghasilkan apa-apa,
Maresciallo mencoba menanyai para penghuninya. Ayah Guiliano tertegun.
"Menurutmu aku akan mengkhianati putraku sendiri?" tanyanya kepada
Maresciallo, dan raungan persetujuan terdengar dari kerumunan di jalan.
Maresciallo memerintahkan keluarga Guiliano masuk kembali ke dalam rumah.
Dalam bayang-bayang di lorong, Pisciotta berkata kepada Guiliano, "Mereka
beruntung karena ibumu tidak menyimpan senjata kita." Tapi Turi tidak
menjawab. Darah mengalir deras ke kepalanya.. Ia harus berjuang keras untuk
mengendalikan diri. Maresciallo mengayunkan gada dan memukul pria dalam
kerumunan yang berani memprotes perlakuan kasar terhadap orangtua Guiliano.
Dua carabinieri lainnya mulai menangkapi penduduk Montelepre secara acak
dan melemparkan mereka ke dalam truk yang menunggu, menendangi dan
memukuli mereka sepanjang jalan, tanpa mengacuhkan jerit ketakutan dan
protes mereka.
Tiba-tiba seorang laki-laki berdiri sendirian di jalan menghadapi carabinieri. Ia
menerjang Maresciallo. Terdengar tembakan, dan pria itu jatuh ke jalan. Dari
salah satu rumah seorang wanita menjerit dan berlari keluar, menghambur ke
suaminya yang jatuh. Turi Guiliano mengenali wanita itu, ia teman lama
keluarganya yang selalu membawakan kue Paskah yang baru dipanggang untuk
ibunya.
Turi menepuk bahu Pisciotta dan berbisik, "Ikut aku," dan mulai berlari
menyusuri jalan sempit berliku-liku ke arah lapangan kota, di ujung seberang
Via Belia.
Pisciotta berteriak keras, "Apa yang kaulakukan?" tapi lalu terdiam. Karena tiba-
tiba ia menyadari apa yang direncanakan Turi. Truk penuh tahanan itu terpaksa
menyusuri Via Belia untuk berputar balik dan kembali ke Barak Bellampo.
Saat ia berlari menyusuri jalan sejajar yang gelap, Turi Guiliano merasa tidak
kasatmata, bagai dewa. Ia tahu musuh tidak akan pernah bermimpi, tidak akan
pernah bisa membayangkan, apa yang dilakukannya. Ia tahu mereka mengira
dirinya melarikan diri ke pegunungan. Ia merasakan kegembiraan yang liar.
Mereka akan belajar bahwa mereka tidak bisa menyerbu rumah ibunya begitu
saja, mereka akan berpikir dua kali sebelum melakukannya lagi. Mereka tidak
lagi bisa menembak seseorang dengan darah dingin. Ia akan memaksa mereka
menunjukkan penghormatan kepada tetangga dan keluarganya.
Ia tiba di seberang alun-alun, dan dalam siraman cahaya satu-satunya lampu
jalan yang ada ia bisa melihat van polisi yang memblokir jalan masuk ke Via
Belia. Memangnya ia bisa ditangkap dengan jebakan seperti itu? Apa yang
mereka pikirkan? Apa itu merupakan contoh kepandaian pejabat? Ia berpindah
ke jalan samping yang lain agar bisa menuju pintu belakang gereja yang
mendominasi alun-alun, Pisciotta mengikutinya. Di dalam, mereka berdua
melompati pagar altar lalu berhenti sejenak di panggung suci tempat bertahun-
tahun berselang mereka bertugas sebagai putra-putra altar dan melayani pastor
sementara ia melayani Misa Minggu dan Komuni bagi penduduk Montelepre.
Sambil menyandang senjata yang siap ditembakkan, mereka berlutut dan
membuat tanda salib dengan kikuk; sejenak kekuatan patung-patung lilin Kristus
yang bermahkotakan duri, patung-patung Bunda Maria yang berjubah biru, dan
sederet patung orang suci, menumpulkan keinginan mereka bertempur. Lalu
mereka berlari menyusuri lorong pendek ke pintu kayu ek besar yang memberi
mereka bidang tembak ke lapangan. Dan mereka kembali berlutut untuk
menyiapkan senjata.
149
Van yang memblokir Via Bella mundur untuk memberi kesempatan truk berisi
tahanan memasuki alun-alun supaya bisa berputar balik dan kembali menyusuri
jalan. Pada saat itu Turi Guiliano mendorong pintu gereja hingga terbuka dan
berkata kepada Pisciotta, 'Tembak ke atas kepala mereka." Pada saat yang sama
ia menembakkan pistol otomatisnya ke van yang menghalangi jalan, membidik
roda-roda dan mesinnya. Tiba-tiba lapangan itu terang benderang saat mesin van
meledak dan van itu terbakar. Kedua carabinieri di kursi depan terhuyung-
huyung keluar bagai boneka yang sendi-sendinya lemas, keterkejutan mereka
tidak memberi kesempatan pada tubuh mereka untuk mengatasi shock. Di
samping Guiliano, Pisciotta menembakkan senapan ke bagian depan truk yang
membawa tahanan. Turi Guiliano melihat sopirnya melompat keluar dan jatuh
tidak bergerak lagi. Carabinieri bersenjata lainnya melompat keluar dan Pisciotta
kembali menembak. Petugas polisi kedua jatuh. Turi berpaling kepada Pisciotta
untuk memarahinya, tapi tiba-tiba jendela-jendela kaca berwarna gereja pecah
beran-takan akibat tembakan senapan mesin dan serpihan warna-warni jatuh ke
lantai gereja bagaikan batu mirah. Turi menyadari tidak ada lagi kemungkinan
pengampunan. Aspanu benar. Mereka harus membunuh atau dibunuh.
Guiliano menarik lengan Pisciotta dan berlari kembali menerobos gereja,, keluar
melalui pintu belakang dan menyusuri jalan-jalan Montelepre yang gelap dan
berliku-liku. Ia sadar malam ini tidak ada harapan untuk membantu para tahanan
melarikan diri. Mereka menyelinap melewati dinding terakhir kota, melintasi
ladang-ladang terbuka, dan terus berlari sampai mereka aman di lereng-lereng
menanjak yang dipenuhi bongkahan batu putih. Fajar telah merekah sewaktu
mereka tiba di puncak Mpnte d'Ora di Pegunungan Cammarata.
Lebih dari seribu tahun lalu Spartacus menyembunyikan pasukan budaknya di
sini dan memimpin mereka keluar untuk melawan legiun Romawi. sSaat berdiri
di puncak Monte d'Ora ini, mengawasi matahari terbit, Turi Guiliano dipenuhi
sukacita belia karena berhasil meloloskan diri dari musuh-musuhnya. Ia tidak
akan pernah mematuhi sesama manusia lagi. Ia akan memilih siapa yang tetap
hidup dan siapa yang mati, dan tidak ada keragu-raguan dalam benaknya bahwa
semua yang akan'dilakukannya adalah demi kejayaan dan kemerdekaan Sisilia,
untuk kebaikan dan bukan untuk kejahatan. Ia hanya akan menyerang demi
keadilan, untuk membantu orang miskin. Ia akan memenangkan setiap
pertempuran, memenangkan cinta orang-orang yang tertekan.
Ia berusia dua puluh tahun.
Bab 7
DON CROCE MALO dilahirkan di desa Villaba, lubang lumpur kecil yang
dijadikannya makmur dan terkenal di seluruh Sisilia. Bagi orang Sisilia, tidaklah
ironis ia berasal dari keluarga religius yang menyiapkan dirinya untuk menjadi
pastor di Gereja Katolik Suci, dan nama pertamanya yang sebenarnya adalah
Crocefisso, nama religius yang hanya diberikan oleh orangtua yang paling saleh.
Tentu saja, sebagai pemuda bertubuh ramping ia dipaksa memainkan peran
sebagai Kristus dalam drama-drama keagamaan yang diselenggarakan untuk
merayakan Paskah Suci dan kesalehan dirinya diakui.
Tapi sewaktu tumbuh dewasa di pergantian abad, jelas Croce Malo sulit
menerima kekuasaan yang bukan berasal dari dirinya sendiri. Ia menyelundup, ia
memeras, ia mencuri, dan akhirnya, yang paling buruk, ia menghamili gadis
belia di desanya—pemeran Magdalena dalam drama. Ia lalu menolak
menikahinya, berdalih mereka berdua terhanyut dalam semangat religius drama
itu, dan oleh karena itu dirinya seharusnya dimaafkan.
Keluarga gadis itu mendapati penjelasannya terlalu samar dan menuntut
pernikahan atau kematian. Croce Malo terlalu bangga diri untuk menikahi gadis
yang
begitu ternoda dan melarikan diri ke pegunungan. Sesudah setahun menjalani
kehidupan sebagai bandit, ia mendapat nasib baik sehingga bisa berhubungan
dengan Mafia.
"Mafia," dalam bahasa Arab berarti tempat perlindungan, dan kata itu mendapat
tempat dalam bahasa Sisilia sewaktu bangsa Saracen memerintah negeri itu di
abad ke-10. Sepanjang sejarah, orang-orang Sisilia ditekan habis-habisan oleh
orang-orang Romawi, Ke-pausan, Normandia, Prancis, Jerman, dan Spanyol.
Pemerintah memperbudak kelas pekerja yang miskin, mengeksploitasi tenaga
mereka, memerkosa para wanita mereka, membunuhi para pemimpin mereka.
Bahkan kaum kaya pun tidak luput. Para Inkuisitor Spanyol dari Gereja Katolik
Suci merampas harta kekayaan mereka dengan alasan mereka orang sesat. Jadi
"Mafia" pun muncul sebagai kelompok rahasia para pembalas dendam. Sewaktu
pengadilan kerajaan menolak menghukum bangsawan Normandia yang
memerkosa istri petani, sekelompok petani membunuhnya. Sewaktu kepala
polisi menyiksa pencuri kelas teri dengan cassetta yang ditakuti, kepala polisi itu
ditemukan tewas terbunuh. Pelan-pelan para petani dan kaum miskin yang
berkemauan paling kuat mengorganisir diri menjadi kelompok yang mendapat
dukungan rakyat dan akhirnya menjadi pemerintah bayangan yang lebih kuat
Kalau ada kesalahan yang harus diperbaiki, tidak ada yang mau menemui polisi,
mereka menemui pemimpin Mafia setempat, yang menjadi perantara masalah
tersebut.
Kejahatan terbesar yang bisa dilakukan orang Sisilia adalah memberikan
informasi apa pun kepada pihak berwenang mengenai apa pun yang dilakukan
Mafia. Mereka menutup mulut. Dan aksi ini kemudian dikenal
dengan nama omerta. Selama berabad-abad praktik tersebut berkembang hingga
mereka tidak pernah mem-beritahu polisi mengenai kejahatan bahkan yang
menimpa diri sendiri. Semua komunikasi antara rakyat dan para penegak hukum
terputus sehingga anak kecil pun diajari untuk tidak memberi orang asing
petunjuk arah ke desa atau rumah seseorang.
Selama berabad-abad Mafia memerintah Sisilia, kehadirannya begitu
tersembunyi dan tidak kentara sehingga pihak berwenang tidak pernah benar-
benar memahami seberapa besar kekuasaannya. Sampai Perang Dunia H, kaa
"Mafia" tidak pernah diucapkan di Pulau Sisilia.
Lima tahun sesudah Don Croce melarikan diri ke pegunungan, ia terkenal sebaga
"Orang yang Berkualitas". Yaitu orang yang bisa dipercaya untuk menghabisi
orang lain. dengan dampak serninimal mungkin. h. "Orang Terhormat", dan
sesudah mengatur segala sesuatu, ia pulang kembali ke Villaba, sekitar 65
kilometer arah selatan Palermo. Pengaturan ini termasuk membayar tebusan
kepada keluarga gadis yang diper-malukannya. Hal ini kemudian dianggap
sebagai ukuran kedermawanannya, tapi sebenarnya lebih merupakan pertanda
kebijakannya. Gadis yang hamil itu dikirim ke kerabatnya di Amerika dengan
label janda muda untuk menyembunyikan aib, tapi keluarganya ingat.
Bagaimanapun juga, mereka orang Sisilia. Don Croce, pembunuh ahli, pemeras
brutal, anggota Friends of the Friends yang menakutkan, tidak bisa
mengandalkan
semua ini untuk melindungi diri dari keluarga yang dipermalukan itu. Ini soal
kehormatan, dan kalau bukan . karena tebusan itu, mereka akan terpaksa
membunuhnya tidak peduli konsekuensinya.
Dengan menggabungkan kedermawanan dan kebijaksanaan, Croce Malo
mendapat gelar terhormat "Don". Pada waktu berusia empat puluh tahun ia telah
diakui sebagai anggota Friends of the Friends paling terkemuka dan sering
dimintai bantuan untuk membereskan perselisihan berat antara cosce-cosce—
atau "klan"—Mafia yang bersaing, membereskan vendetta paling sadis. Ia orang
yang logis, ia pandai, ia diplomat berbakat, tapi yang paling penting, ia tidak
jatuh pingsan kalau melihat darah. Ia kemudian terkenal sebaga "Don
Perdamaian" di seluruh Mafia Sisilia, dan semua orang makmur; orang-orang
yang keras kepala dibunuh dan Don Croce menjadi kaya. Bahkan adik lelakinya,
Benjamino, menjadi sekretaris Kardinal Palermo, tapi darah lebih kental
daripada air suci dan kesetiaan pertamanya adalah kepada Don Croce.
Ia menikah dan menjadi ayah bocah lelaki yang dipujanya. Don Croce—saat itu
tidak sebijaksana sekarang, tidak serendah hati sebagaimana kemudian
dipelajarinya melalui lecutan kesengsaraan—merancang kudeta yang
menyebabkan ia terkenal di seluruh Sisilia, dan menjadi objek kekaguman
masyarakat kelas tertinggi Romawi. Kudeta ini muncul dari ketidakcocokan
pernikahan yang bahkan harus dialami orang-orang terhebat dalam sejarah.
Don Croce, karena posisinya dalam Friends of the Friends, menikahi anggota
keluarga angkuh yang baru-baru ini membeli gelar kebangsawanan dengan
sejumlah
besar uang sehingga darah mereka pun berubah biru. Sesudah menikah selama
beberapa tahun, istrinya memperlakukan dirinya dengan kurang hormat,
kesalahan yang menurut Don Croce harus diperbaiki meskipun, tentu saja, tidak
dengan gayanya yang biasa. Darah biru sang istri menyebabkan ia menganggap
rendah gaya hidup kasar dan sederhana kaum petani, sikap Don Croce yang
tidak mengatakan apa-apa kalau tidak ada yang perlu dikatakan, pakaiannya
yang biasa, kebiasaannya yang suka memerintah dengan kasar. Istrinya juga
teringat betapa para pelamar lainnya seketika mundur teratur begitu Don Croce
mengumumkan keinginannya, melamar dirinya.
Tentu saja sang istri tidak menunjukkan perasaan tidak hormatnya secara
mencolok. Bagaimanapun juga, ini Sisilia, bukan Inggris atau Amerika. Tapi
Don memiliki jiwa sangat peka. Ia segera menyadari istrinya tidak memuja cara
hidupnya, dan itu sudah menjadi bukti rasa tidak hormatnya. Don Croce
membulatkan tekad untuk memenangkan hati sang istri dengan cara sedemikian
rupa sehingga bertahan sampai akhir hayat, sehingga ia bisa memusatkan
perhatian pada bisnis sepenuhnya. Benaknya yang lincah berjuang keras mencari
cara mengatasi masalah itu dan mencetuskan rencana yang menjadikan dirinya
layak disejajarkan dengan Machiavelli.
Raja Italia akan datang ke Sisilia untuk mengunjungi orang-orang yang setia
padanya, dari mereka memang benar-benar setia. Semua orang Sisilia membenci
pemerintah Roma dan takut terhadap Mafia. Tapi mereka mencintai keluarga
kerajaan karena mereka memiliki hubungan darah dengan Bunda Maria dan
Tuhan sen-
156
diri. Festival-festival besar disiapkan untuk kunjungan Raja.
Di hari Minggu pertamanya di Sisilia, Raja menghadiri Misa di Katedral
Palermo yang agung. Ia akan menjadi bapak permandian bagi salah satu
keluarga bangsawan lama Sisilia, Pangeran Ollorto. Raja telah menjadi bapak
permandian bagi sedikitnya seratus anak, para putra marsekal, bupati, dan orang-
orang paling berkuasa dari partai Fasis. Kesediaan itu merupakan langkah politik
untuk mengukuhkan hubungan antara kerajaan dan para eksekutif pemerintahan.
Anak-anak baptis kerajaan otomatis menjadi Kesatria Kerajaan dan mendapat
dokumen serta ikat pinggang lebar untuk membuktikan kehormatan yang mereka
terima. Juga cangkir perak kecil.
Don Croce sudah siap. Tiga ratus anak buahnya hadir dalam festival. Adiknya,
Benjamino, merupakan salah satu pastor yang melaksanakan upacara itu. Bayi
Pangeran Ollorto dibaptis, dan ayahnya yang bangga keluar dari katedral sambil
mengangkat bayinya tinggi-tinggi penuh kemenangan. Para penonton berteriak
menyatakan persetujuan. Pangeran Ollorto salah satu kaum bangsawan yang
tidak begitu dibenci, pria ramping yang tampan; penampilan memang selalu
dinilai tinggi di Sisilia.
Pada saat itu sekelompok anak buah Don Croce menyeruak maju memasuki
katedral dan dengan efektif memblokir jalan keluar Raja. Raja seorang pria kecil
dengan kumis lebih lebat daripada rambut di kepalanya. Ia mengenakan seragam
lengkap Kesatria berkuda, yang menyebabkan dirinya tampak seperti prajurit
mainan. Kendati penampilannya angkuh, ia sangat
baik. Jadi sewaktu Pater Benjamino menyodorkan bayi lain lagi, ia bingung tapi
tidak memprotes. Kerumunan orang yang mendesak maju, sesuai instruksi Don
Croce, menghalanginya dari anggota rombongannya dan Kardinal Palermo
sehingga mereka tidak bisa turut campur. Pater Benjamino bergegas
memercikkan air suci dari kolam di dekatnya dan menyambar bayi itu dari
pelukan Raja dan menyerahkannya kepada Don Croce. Istri Don Croce
menitikkan air mata bahagia saat berlutut di depan Raja. Raja menjadi bapak
permandian anak mereka satu-satunya. Ia tidak bisa meminta lebih banyak lagi.
Don Croce bertambah gemuk dan wajah kurusnya menumbuhkan pipi-pipi
bagaikan lempengan kayu mahoni; hidungnya menjadi mirip paruh besar yang
berfungsi sebagai antena kekuasaan. Rambutnya berubah menjadi uban seperti
warna kawat duri. Tubuhnya menggembung anggun; matanya menjadi
berpelupuk dengan daging yang tumbuh bagai lumut lebat di wajahnya.
Kekuasaannya meningkat seiring setiap kilogram pertambahan berat tubuhnya
sampai ia menjadi bagai tugu yang tak bisa diterobos. Ia tampaknya tidak
memiliki kelemahan sebagai manusia; ia tidak pernah menunjukkan kemarahan,
tidak pernah menunjukkan keserakahan. Ia penuh kasih pada semua orang tapi
tidak pernah menunjukkan cinta. Ia sadar akan tanggung jawabnya yang berat
dan karenanya tidak pernah mengutarakan ketakutannya di ranjang istrinya atau
di atas payudaranya. Ia Raja Sisilia yang sebenarnya. Tapi putranya—sang putra
mahkota—terserang penyakit aneh reformasi sosial religius dan pindah ke
Brasilia untuk mendidik dan meningkatkan taraf hidup suku Indian liar di
sepanjang Amazon. Don begitu malu hingga tidak pernah menyinggung-
nyinggung nama putranya lagi.
Di awal naiknya Mussolini ke takhta, Don Croce tidak terkesan. Ia mengamat^
Mussolini dengan hati-hati dan mencapai kesimpulan orang itu tidak cerdik
maupun berani. Dan kalau orang seperti itu bisa memerintah Italia, berarti ia,
Don Croce, bisa memerintah Sisilia.
Tapi lalu bencana menimpa. Sesudah berkuasa selama beberapa tahun, Mussolini
mengalihkan perhatiannya ke Sisilia dan Mafia. Ia menyadari Mafia bukanlah
sekumpulan penjahat compang-camping melainkan pemerintah bayangan sejati
yang mengendalikan sebagian kekaisarannya. Dan ia menyadari bahwa
sepanjang sejarah Mafia bersekongkol melawan pemerintahan apa pun yang
memerintah Roma. Para penguasa Sisilia selama seribu tahun terakhir telah
mencoba dan gagal. Sekarang sang Diktator bersumpah untuk menghancurkan
mereka untuk selama-lamanya. Kaum Fasis tidak memercayai demokrasi, aturan
hukum masyarakat. Mereka berbuat sesuka hati demi apa yang menurut mereka
baik bagi negara. Pendeknya, mereka menggunakan metode-metode Don Croce
Malo.
Mussolini mengirim menterinya yang paling tepercaya, Cesare Mori, ke Sisilia
sebagai Kepala Daerah dengan kekuasaan tanpa batas. Mori memulai dengan
membekukan semua pengadilan di Sisilia dan melangkahi semua pengamanan
hukum orang-orang di sana. Ia membanjiri Sisilia dengan pasukan yang
diperintah-
kan menembak terlebih dulu dan bertanya kemudian. Ia menangkap dan
mendeportasi seluruh desa.
Sebelum masa kediktatoran, Italia tidak memberlakukan hukuman mati, yang
merupakan kerugian dalam perlawanan terhadap Mafia yang menggunakan
kematian sebagai alat penegak hukum utamanya. Semua ini berubah di bawah
pimpinan Kepala Daerah Mori. Anggota Mafia yang bangga—yang mematuhi
hukum omerta, bertahan bahkan dalam menghadapi cassetta yang menakutkan—
ditembak. Mereka yang dituduh bersekongkol dibuang ke pulau kecil terisolir di
Mediterania. Dalam waktu setahun Pulau Sisilia dilumpuhkan, Mafia sebagai
kekuatan pemerintahan dihancurkan. Roma tidak peduli ribuan orang tak
bersalah terjebak dalam jaring-jaring yang luas ini dan menderita bersama
mereka yang bersalah.
Don Croce menyukai keadilan demokrasi dan murka melihat tindakan Fascist!
kaum Fasis itu. Teman-teman dan kolega-koleganya dipenjara dengan tuduhan
dibuat-buat, karena mereka terlalu pandai sampai-sampai tidak meninggalkan
jejak kejahatan mereka. Banyak yang dipenjara hanya karena desas-desus,
informasi rahasia dari para bajingan yang tidak bisa dilacak dan diajak bicara,
karena mereka tidak perlu muncul terang-terangan dan bersaksi. Di mana
keadilan hukum? Kaum Fasis kembali ke era Inkuisisi, ke zaman hak istimewa
raja-raja. Don Croce tidak pernah memercayai hak istimewa raja, ia sungguh
yakin tidak ada manusia waras bersedia memercayai hak itu kecuali ia terancam
dicabik-cabik empat ekor kuda liar.
Lebih buruk lagi, kaum Fasis menghadirkan kem-
bali cassetta, alat penyiksaan abad pertengahan—kotak sepanjang satu meter,
lebar 60 sentimeter, yang menghasilkan keajaiban pada tubuh-tubuh yang keras
kepala. Bahkan anggota Mafia yang paling gigih pun mendapati lidahnya sama
kendurnya sebagaimana moral wanita Inggris bila berhadapan dengan cassetta.
Don Croce dengan marah membual ia tidak pernah menggunakan penyiksaan
apa pun. Pembunuhan saja sudah cukup.
Seperti seekor paus yang agung, Don Croce menyelam dalam perairan keruh
dunia bawah tanah Sisilia. Ia memasuki biara sebagai biarawan Fransiskan
gadungan, di bawah perlindungan Kepala Biara Manfredi. Mereka memiliki
hubungan lama dan menyenangkan. Don, walaupun bangga dengan buta
hurufnya, terpaksa mempekerjakan Kepala Biara untuk menulis surat tuntutan
tebusan sewaktu menerjuni bidang penculikan di awal kariernya. Mereka selalu
jujur satu sama lain. Mereka mendapati selera mereka sama—wanita
gampangan, anggur yang enak, dan pencurian yang rumit Don sering mengajak
Kepala Biara ke Swiss untuk mengunjungi dokternya dan mencicipi kemewahan
damai negara itu. Perubahan yang menenteramkan dan menyenangkan dari
kesenangan yang lebih berbahaya di Sisilia.
Sewaktu Perang Dunia II pecah, Mussolini tidak lagi bisa memberikan perhatian
penuh pada Sisilia. Don Croce segera mengambil kesempatan ini untuk
membangun jaringan komunikasi dengan Friends of the Friends yang tersisa,
mengirimkan pesan harapan kepada orang-orang kuat Mafia lama yang dibuang
ke pulau-pulau kecil Pantelleria dan Stromboli. Ia ber-
sahabat dengan keluarga-keluarga pemimpin Mafia yang dipenjarakan oleh
Kepala Daerah Mori.
Don Croce tahu satu-satunya harapan, pada akhirnya, adalah kemenangan
Sekutu, dan ia harus mengerahkan segenap upaya untuk mencapainya. Ia
mengadakan kontak dengan kelompok-kelompok partisan bawah tanah dan
memerintahkan anak buahnya menolong pilot Sekutu mana pun yang selamat
setelah pesawatnya ditembak jatuh. Karena itu, pada saat-saat kritis, Don Croce
telah siap.
Sewaktu Angkatan Darat Amerika menginvasi Sisilia di bulan Juli 1943, Don
Croce mengulurkan bantuan. Bukankah banyak sesama orang Sisilia di antara
pasukan penyerbu itu, putra-putra para imigran? Apa orang Sisilia harus
bertempur melawan sesama orang Sisilia demi orang Jerman? Anak buah Don
Croce membujuk ribuan prajurit Italia untuk desersi dan bersembunyi di tempat
yang disiapkan Mafia bagi mereka. Don Croce sendiri mengadakan kontak
dengan agen-agen rahasia Angkatan Darat Amerika dan mengantar pasukan
penyerang melewati celah-celah pegunungan sehingga mereka bisa mengepung
meriam-meriam Jerman. Sementara pasukan Inggris di seberang pulau menderita
korban dalam jumlah besar dan hanya bisa maju pelan-pelan, Angkatan Darat
Amerika menyelesaikan misinya jauh lebih cepat dari jadwal dan dengan korban
sangat sedikit.
Don Croce sendiri, meskipun hampir berusia 65 tahun dan luar biasa tambun,
memimpin sekelompok partisan Mafioso ke Palermo dan menculik jenderal
Jerman yang memimpin pertahanan. Ia bersembunyi bersama tawanannya di
kota sampai garis depan hancur
dan Angkatan Darat Amerika berderap masuk. Komandan Tertinggi Amerika
untuk Italia selatan menyebut Don Croce dalam laporannya ke Washington
sebaga "Jenderal Mafia". Dan begitulah ia dikenal oleh para perwira staf
Amerika selama bulan-bulan berikutnya.
Gubernur Militer Amerika untuk Sisilia adalah Kolonel Alfonso La Ponto.
Sebagai politisi tingkat tinggi dari Negara Bagian New Jersey, ia menerima
perintah langsung dan dilatih khusus untuk tugas ini. Aset terbesarnya adalah
keramahan dan pengetahuannya tentang bagaimana membereskan transaksi
politik. Para perwira staf dalam pemerintahan militernya dipilih berdasarkan
kualifikasi yang sama. Markas besar Pemerintahan Militer Amerika terdiri atas
dua puluh perwira dan lima puluh anggota wajib militer. Banyak di antara
mereka keturunan Italia. Don Croce menyambut mereka semua dengan kasih
saudara sedarah yang tulus, memperlihatkan setiap tanda pengabdian dan sayang
kepada mereka. Terlepas dari fakta di hadapan teman-temannya ia sering
menyebut mereka sebagai "Domba kita dalam Kristus".
Tapi Don Crcce "selalu menepati janji", seperti sering dikatakan orang Amerika.
Kolonel La Ponto menjadikan Don Croce teman baik dan kepala penasihatnya.
Sang kolonel sering datang ke rumah Don Croce untuk menikmati hidangan
makan malam yang akrab di lidahnya.
Masalah pertama yang harus diselesaikan adalah menunjuk wali-wali kota baru
di seluruh kota-kota kecil Sisilia- Para wali kota yang dulu tentu saja
anggota kelompok Fasis, dan telah ditahan di penjara Amerika.
Don Croce merekomendasikan para pemimpin Mafia yang dipenjarakan. Karena
catatan mereka dengan jelas menunjukkan mereka disiksa dan dipenjara oleh
pemerintah Fasis karena melawan tujuan dan kesejahteraan negara, tuduhan-
tuduhan kejahatan mereka pun dianggap hanya dibuat-buat. Don Croce, sambil
menikmati ikan dan spaghetti lezat buatan istrinya, menceritakan kisah-kisah
indah betapa teman-temannya— semuanya pembunuh dan pencuri—menolak
mengingkari kepercayaan mereka akan prinsip-prinsip demokratis keadilan dan
kebebasan. Sang kolonel merasa senang bisa menemukan orang-orang ideal
dalam waktu secepat itu untuk mengatur masyarakat sipil di bawah
pengarahannya. Dalam waktu sebulan sebagian besar kota di Sisilia Barat
memiliki wali kota yang terdiri atas para anggota Mafia paling ulet yang bisa
ditemukan di penjara Fasis.
Dan mereka berfungsi sangat baik bagi Angkatan Darat Amerika. Hanya sedikit
pasukan Pendudukan yang ditinggalkan untuk mempertahankan ketertiban di
kalangan orang-orang yang ditaklukkan itu. Sementara perang terus berlanjut ke
daratan utama, tidak ada sabotase di garis belakang Amerika, tidak ada mata-
mata berkeliaran. Pasar gelap oleh rakyat biasa berhasil ditekan hingga minimal.
Kolonel menerima medali khusus dan promosi menjadi Brigadir Jenderal.
Para wali kota Mafia Don Croce menegakkan hukum penyelundupan dengan
sangat ketat dan carabinieri berpatroli di jalan-jalan dan celah-celah pegunungan
tanpa henti. Rasanya seperti masa lalu. Don Croce me-
merintah keduanya. Para inspektur pemerintah memastikan para petani yang
keras kepala menyerahkan padi dan zaitun serta anggur mereka ke gudang-
gudang pemerintah dengan harga yang sudah ditentukan— tentu saja, bahan
makanan itu akan dibagikan kepada penduduk Sisilia. Untuk memastikan hal ini,
Don Croce meminta dan menerima pinjaman truk-truk Angkatan Darat Amerika
untuk mengirimkan bahan makanan ini ke kota-kota Palermo, Monreale, dan
Trapani, ke Syracuse dan Catania, dan bahkan ke Napoli di daratan utama. Pihak
Amerika terheran-heran melihat betapa efisiennya cara kerja Don Croce dan
menghadiahinya surat pujian atas layanannya kepada pasukan bersenjata
Amerika Serikat.
Tapi Don Croce tidak bisa menyantap surat pujian itu, ia bahkan tidak bisa
membacanya demi kesenangan dirinya sendiri, karena ia buta huruf. Tepukan di
punggung dari Kolonel La Ponto tidak mengisi perutnya yang gendut. Don
Croce—tidak memercayai rasa terima kasih orang-orang Amerika atau berkah
yang diberikan Tuhan—membulatkan tekad bahwa kebaikannya yang begitu
besar dalam melayani kemanusiaan dan demokrasi akan mendapatkan imbalan.
Jadi truk-tnk Amerika yang penuh sesak itu, sopir-sopirnya dilengkapi kartu-
kartu izin yang ditandatangani Kolonel, bergulir ke tujuan yang agak berbeda
sesuai perintah Don Croce. Mereka membongkar muatan di gudang-gudang
pribadi milik Don yang terletak di kota-kota kecil seperti Montelepre, Villaba,
dan Parunico. Lalu Don Croce dan para koleganya menjual bahan makanan itu
lima puluh kali lipat dari harga resminya di pasar gelap. Jadi ia mengukuhkan
hubungannya dengan para
pemimpin terkuat Mafia yang tengah bangkit kembali. Karena Don Croce
percaya keserakahan merupakan kelemahan terbesar manusia, ia pun
membagikan labanya dengan murah hati.
Ia lebih dari murah hati. Kolonel La Ponto menerima hadiah-hadiah luar biasa
berupa patung-patung antik, lukisan-lukisan, dan perhiasan kuno. Ini merupakan
kesenangan Don. Di matanya para perwira dan orang-orang detasemen
Pemerintahan Militer Amerika adalah anak-anaknya, dan seperti ayah mana pun
yang memanjakan ia membanjiri mereka dengan hadiah. Orang-orang ini, dipilih
terutama karena pemahaman mereka akan karakter dan kebudayaan Italia,
karena banyak di antara mereka yang keturunan Sisilia, membalas kasihnya.
Mereka menandatangani izin-izin perjalanan khusus, mereka merawat truk-truk
yang dipinjamkan kepada Don Croce dengan perhatian lebih. Mereka
menghadiri pesta-pestanya di mana mereka bertemu gadis-gadis Sisilia yang
baik dan menjalin hubungan cinta hangat yang merupakan sisi lain karakter
Sisilia. Diterima dalam keluarga-keluarga Sisilia ini, menyantap hidangan yang
sama seperti buatan ibu mereka yang imigran, banyak di antara mereka menjalin
hubungan dengan putri-putri Mafioso.
Don Croce Malo memiliki semua pada tempatnya untuk memperoleh kembali
kekuasaannya yang dulu. Para pemimpin Mafia di seluruh Sisilia berutang budi
padanya. Ia mengendalikan sumur-sumur bor yang menjual air kepada penduduk
pulau dengan harga yang memberinya laba yang bagus. Ia menciptakan
monopoli bahan makanan ia mengenakan pajak untuk setiap kios di pasar yang
menjual buah-buahan, setiap
tukang daging yang menjual daging, kafe-kafe yang menjual kopi, bahkan
musisi-musisi pengelana. Karena satu-satunya sumber bensin hanyalah
Angkatan Darat Amerika, ia juga mengendalikannya. Ia menyediakan pengawas
bagi lahan luas para bangsawan, dan pada waktunya merencanakan untuk
membeli tanah-tanah mereka dengan harga murah. Ia dalam perjalanan meraih
kekuasaan yang dimilikinya sebelum Mussolini mengambil alih Italia. Ia
membulatkan tekad untuk menjadi kaya lagi. Dalam tahun-tahun mendatang ia,
sebagaimana isu yang beredar, akan memeras Sisilia.
Hanya satu hal yang amat mengganggu Don Croce. Putra satu-satunya terobsesi
dengan keinginan eksentriknya untuk melakukan kebaikan. Adiknya, Pater
Benjamino, tidak bisa berkeluarga. Don tidak memiliki keturunan untuk
mewarisi kekaisarannya. Ia tidak memercayai para tangan kanannya, walaupun
muda dan terikat hubungan darah, untuk bisa diandalkan saat dirinya gagal.
Anak buah Don menandai Salvatore Guiliano, dan Kepala Biara Manfredi
mengkonfirmasi potensinya. Sekarang legenda-legenda bocah ini melanda
seluruh Sisilia. Don mencium jawaban atas satu-satunya masalahnya.
Bab 8
PADA pagi hari sesudah pelarian mereka dari Montelepre, Turi Guiliano dan
Aspanu Pisciotta mandi di sungai yang mengalir deras di belakang gua mereka
di Monte d'Ora. Mereka membawa senjata-senjata mereka ke tepi tebing dan
membentangkan sehelai selimut untuk menikmati fajar yang tercabik-cabik
berkas cahaya merah muda.
Grotta Bianca merupakan gua panjang yang berakhir di sekumpulan bongkahan
batu besar yang mencapai—atau hampir mencapai—langit-langit gua. Sewaktu'
kanak-kanak Turi dan Aspanu berhasil menerobos celah-celah batu dan
menemukan lorong yang membentang hingga ke sisi lain pegunungan. Lorong
itu sudah ada sebelum Kristus, digali pasukan Spartacus, untuk bersembunyi dari
legiun Romawi.
Jauh di bawah, semungil desa mainan, terletak Montelepre. Sekian banyak jalan
setapak yang menuju tebing mereka bagaikan cacing-cacing tipis putih yang
menempel di lereng-lereng pegunungan. Satu demi satu rumah-rumah batu
kelabu Montelepre berubah keemasan oleh matahari terbit.
Udara pagi bersih, buah-buah pir berduri yang bergeletakan di tanah terasa
dingin dan manis. Turi
memungut satu dan menggigitnya hati-hati untuk menyegarkan mulurnya.
Beberapa jam lagi panas matahari akan mengubah buah-buah itu menjadi bola
kapuk yang tidak berair. Tokek-tokek, dengan kepala besar bagai balon di atas
kaki-kaki serangga yang kecil, merayapi tangannya. Tapi tokek-tokek itu tidak
berbahaya walau penampilan mereka menakutkan. Guiliano menjentikkan
mereka ke samping.
Sementara Aspanu membersihkan senjata, Turi mengawasi kota di bawahnya.
Mata telanjangnya menangkap bintik-bintik hitam mungil, orang-orang yang
menuju pedalaman untuk menggarap sepetak kecil lahan mereka. Ia mencoba
menemukan rumahnya sendiri. Bertahun-tahun ia dan Aspanu mengibarkan
bendera Sisilia dan Amerika di atap rumah itu. Keduanya anak-anak cerdas dan
ceria, dan mereka menerima pujian sebagai patriot, tapi alasan sebenarnya
adalah agar tetap bisa mengawasi rumah itu sementara mereka berkeliaran di
puncak-puncak gunung di sekitar kota—penghubung yang menenangkan dengan
dunia orang dewasa.
Tiba-tiba ia teringat kejadian sepuluh tahun lalu. Para pejabat desa yang
merupakan kaum Fasis memerintahkan mereka menurunkan bendera Amerika
dari atap rumah Guiliano. Kedua bocah itu begitu marah sehingga mereka
menurunkan kedua bendera sekaligus, bendera Amerika dan Sisilia. Lalu mereka
membawa keduanya ke tempat persembunyian mereka, Grotta Bianca, dan
menguburkannya di dekat dinding bongkahan batu besar.
Guiliano berkata kepada Pisciotta, "Awasi jalan-jalan setapak itu," dan masuk ke
dalam gua. Bahkan sesudah sepuluh tahun, Guiliano masih ingat dengan
tepat di mana mereka menguburkan bendera-bendera itu, di sudut kanan tempat
bongkahan-bongkahan batu menyatu dengan tanah. Saat itu mereka menggali
tanah di bawah bongkahan batu, lalu menjejalkan tanahnya kembali guna
menutupi kedua bendera.
Selapis tipis lumut hijau-kehitaman tumbuh di atas tempat itu, Guiliano
menggalinya dengan sepatu botnya, lalu menggunakan batu kecil sebagai
beliung. Dalam waktu beberapa menit ia menemukan bendera-bendera itu.
Bendera Amerika-nya lusuh dan tercabik-cabik, tapi mereka membungkus
bendera Sisilia di dalam bendera Amerika, dan bendera Sisilia itu masih utuh.
Guiliano mengibarkannya, warna-warna merah dan emasnya masih seterang saat
ia kecil. Bahkan tak terdapat satu lubang pun di bendera itu. Ia membawanya
keluar dan berkata kepada Pisciotta sambil tertawa, "Kau ingat ini, Aspanu?"
Pisciotta menatap bendera itu. Lalu ia juga tertawa, tapi lebih penuh semangat.
""Ini takdir," teriaknya dan melompat serta menyambar bendera itu dari tangan
Guiliano. Ia menuju tepi tebing dan melambai-lambaikan-nya ke kota di bawah.
Mereka bahkan tidak perlu berbicara satu sama lain. Guiliano mencabut pohon
kecil yang tumbuh di permukaan tebing. Mereka menggali lubang dan
menegakkan pohon- itu dengan bantu-an batu-batu, lalu mengikatkan bendera ke
dahannya sehingga berkibar-kibar bebas untuk dilihat seluruh dunia. Akhirnya,
mereka duduk di tepi tebing dan menunggu.
Baru pada tengah hari mereka melihat sesuatu. Itu pun hanya pria yang
menunggang keledai di jalan setapak berdebu yang menuju tebing mereka.
Mereka mengawasinya selama satu jam lagi dan saat keledai itu mulai memasuki
wilayah pegunungan dan menyusuri jalan setapak yang mendaki, Pisciotta
berkata, "Sialan, penunggang itu lebih kecil daripada keledainya. Pasti bapak
baptismu, Adonis."
Guiliano menyadari kejijikan dalam suara Pisciotta. Pisciotta—begitu ramping,
begitu rapi, begitu bagus sosoknya—memiliki kengerian terhadap cacat fisik.
Paru-parunya yang terserang tuberkulosis, yang terkadang mengalirkan darah ke
mulurnya, membuatnya jijik, bukan karena membahayakan hidupnya, tapi
karena penyakit itu merusak apa yang menurutnya merupakan keindahan
dirinya. Orang Sisilia senang memberi julukan sesuai kelemahan atau
ketidaknormalan fisik, dan pernah sekali ada teman yang menyebut Pisciotta
"Paru-paru Kertas". Pisciotta berusaha menusuknya dengan pisau lipat. Hanya
kekuatan Guiliano yang berhasil mencegah pembunuhan itu.
Guiliano berlari menuruni lereng pegunungan sejauh beberapa kilometer dan
bersembunyi di balik sebongkah batu granit besar. Ini salah satu permainan masa
kanak-kanaknya dengan Aspanu. Ia menunggu sampai Adonis melewati
tempatnya, lalu melangkah keluar dari balik batu seraya berseru, "Jangan
bergerak." Ia mengarahkan lupara-nya..
Sekali lagi tindakan itu merupakan permainan masa kecil. Adonis berbalik
pelan-pelan dengan cara sebegitu rupa sehingga menyembunyikan tangannya
yang mencabut pistol. Tapi Guiliano, sambil tertawa, melangkah kembali ke
balik batu hanya lara? lupara-nya yang berkilau tertimpa cahaya matahari.
Guiliano berseru, "Godfather, ini Turi," dan me-
nunggu sampai Adonis menyarungkan pistolnya kembali di pinggangnya serta
menurunkan ranselnya. Lalu Guiliano menurunkan lupara dan melangkah ke
tempat terbuka. Guiliano tahu Hector Adonis sulit turun dari tunggangannya
karena kaki-kakinya yang pendek dan ia ingin membantunya. Tapi sewaktu ia
muncul di jalan setapak Profesor sudah meluncur turun dengan cepat, dan
mereka berpelukan. Mereka berjalan mendaki ke tebing, Guiliano membimbing
keledainya.
"Well, anak muda, kau sudah memutus jalan pulang," ajar Hector Adonis dengan
suara berwibawa. "Dua lagi polisi tewas sesudah semalam. Masalah ini bukan
lagi lelucon."
Sewaktu mereka tiba di tebing dan Pisciotta menyapanya, Addnis berkata,
"Begitu aku melihat bendera Sisilia itu aku tahu kalian ada di atas sini."
Pisciotta menyeringai dan berkata riang, "Turi dan aku serta pegunungan ini
telah melepaskan diri dari Italia."
Hector Adonis menatapnya tajam. Pemuda yang hanya memperhatikan diri
sendiri, menegaskan arti penting pribadinya.
"Seluruh kota sudah melihat bendera kalian," kata Adonis. 'Termasuk
Maresciallo dari carabinieri. Mereka akan naik kemari untuk menurunkannya."
Pisciotta berkata menantang, "Selalu kepala sekolah yang memberikan
pengetahuan. Mereka boleh saja mendekati bendera kami, tapi hanya itu yang
akan mereka temukan di sini Kami aman di malam hari. Butuh keajaiban bagi
carabinieri untuk keluar dari barak mereka di malam hari."
Adonis tak mengacuhkannya dan menurunkan
karung-karung dari keledainya. Ia memberi Guiliano teropong yang kuat dan
kotak pertolongan pertama, sehelai kemeja bersih, beberapa pakaian dalam,
sehelai sweter rajutan, peralatan cukur dengan silet bertepi lurus milik ayahnya,
dan enam potong sabun. "Kau akan memerlukan semua ini di atas sini," katanya.
Guiliano merasa senang mendapatkan teropong itu. Teropong berada di urutan
teratas dalam daftar benda-benda yang ia butuhkan selama beberapa minggu
mendatang. Ia tahu ibunya mengumpulkan sabun-sabun itu sepanjang tahun lalu.
Dalam kantong terpisah terdapat sepotong besar keju yang ditaburi merica,
sepotong roti, dan dua kue bulat besar yang sebenarnya roti diisi ham prosciutto
dan keju mozzarella dan dimahkotai telur-telur rebus.
Adonis memberitahu, "La Venera yang mengirimkan kue itu untukmu. Katanya
dia selalu memanggangkan kue itu untuk suaminya sewaktu dia tinggal di
pegunungan. Kau bisa bertahan seminggu dengannya."
Pisciotta tersenyum licik dan berkata, "Semakin lama semakin enak rasanya."
Kedua pemuda duduk di rerumputan dan mencabik-cabik roti. Pisciotta
menggunakan pisaunya untuk memotong keju. Rerumputan di sekitar mereka
dipenuhi serangga, jadi mereka meletakkan karung makanan di atas batu granit.
Mereka minum air dari sungai jernih yang mengalir hanya sekitar tiga puluh
meter di bawah. Lalu mereka beristirahat di tempat mereka bisa mengawasi
tebing.
Hector Adonis mendesah. "Kalian berdua sangat puas dengan diri sendiri, tapi
ini bukan lelucon. Kalau
mereka menangkap kalian, mereka akan menembak kalian,"
Guiliano berkata tenang, "Dan kalau aku menangkap mereka, akan kutembak
mereka."
Hector Adonis terkejut mendengarnya. Takkan ada harapan pengampunan kalau
begini. "Jangan tergesa-gesa," ujarnya. "Kau masih muda."
Guiliano memandangnya lama. "Aku cukup tua bagi mereka untuk ditembak
karena sepotong keju. Kau mengira aku akan melarikan diri? Membiarkan
keluargaku kelaparan? Membiarkan dirimu membawakan makanan sementara
aku berlibur di pegunungan? Mereka datang untuk membunuhku, jadi akan
kubunuh mereka. Dan kau, godfather yang baik. Sewaktu aku kecil, kau sering
mengajariku tentang kehidupan para petani Sisilia, bukan? Betapa mereka
tertekan, oleh Roma dan para pemungut pajaknya, oleh para bangsawan, oleh
para tuan tanah yang membayar tenaga kita dengan lira yang tak cukup untuk
mempertahankan hidup? Aku pernah ke pasar bersama dua ratus pria penduduk
Montelepre dan mereka menawar kami seakan-akan kami ini ternak Seratus lira
untuk pekerjaan pagi, kata mereka, terima atau lupakan. Dan sebagian besar
orang terpaksa menerimanya. Lalu siapa yang akan menjadi pembela Sisilia,
kalau bukan Salvatore Guiliano?"
Hector Adonis benar-benar kecewa. Sudah cukup buruk menjadi pelanggar
hukum, tapi menjadi revolusioner lebih berbahaya. "Semua itu boleh-boleh saja
dalam literatur," jelasnya. "Tapi dalam kehidupan nyata kau bisa masuk kubur
lebih cepat." Ia diam sejenak. "Apa gunanya tindakan kepahlawananmu semalam
itu? Para tetanggamu masih dipenjara."
"Akan kubebaskan mereka," sahut Guiliano pelan. Ia bisa melihat ketakjuban di
wajah bapak baptisnya. Ia menginginkan persetujuannya, bantuannya,
pengertiannya. Ia bisa melihat Adonis masih menganggap dirinya pemuda desa
berhati lembut. "Kau harus mengerti bagaimana keadaanku sekarang." Ia diam
sejenak. Bisakah ia menyatakan dengan tepat apa yang dipikirkannya? Apakah
bapak baptisnya ini akan menganggap dirinya terlalu sombong? Tapi ia
melanjutkan, "Aku tidak takut mati." Ia tersenyum kepada Hector Adonis,
senyum kekanak-kanakan yang begitu dikenal dan disukai Adonis. "Sungguh,
aku sendiri takjub karenanya. Tapi aku tidak takut terbunuh. Itu tidak mungkin
terjadi padaku." Ia tertawa keras. "Polisi mereka, mobil-mobil lapis baja mereka,
senapan mesin mereka, seluruh Roma. Aku tidak takut kepada mereka. Aku bisa
mengalahkan mereka. Pegunungan Sisilia ini penuh bandit. Passatempo dan
anak buahnya. Terranova. Mereka menentang Roma. Apa yang bisa mereka
lakukan, aku bisa melakukannya."
Hector Adonis geli sekaligus gelisah. Apakah luka memengaruhi otak Guiliano?
Atau yang dilihatnya sekarang sama dengan awal kemunculan para pahlawan
sejarah, Alexander, Caesar, Roland? Kapan mimpi-mimpi tentang kepahlawanan
dimulai, kalau bukan saat duduk seorang diri di lembah kecil, berbicara pada
sahabat-sahabat baik. Tapi ia berkata santai, ''Lupakan, Terranova dan
Passatempo. Mereka ditangkap dan dipenjara di Barak Bellampo. Mereka akan
dikirim ke Palermo beberapa hari lagi." Guiliano melanjutkan, "Akan
kuselamatkan mereka, lalu kutuntut rasa terima kasih mereka."
Kemuraman yang mengiringi kata-katanya menyebabkan Hector Adonis
tertegun dan Pisciotta bersukacita. Mereka terkejut melihat perubahan dalam diri
Guiliano. Sejak dulu mereka selaki mencintai dan menghormatinya. Guiliano
selalu menunjukkan martabat tinggi dan ketenangan bagi orang semuda dirinya.
Tapi sekarang untuk pertama kalinya mereka merasakan semangat Guiliano
untuk meraih kekuasaan.
Hector Adonis mencela, 'Terima kasih? Passatempo membunuh paman yang
memberinya keledai pertamanya."
"Kalau begitu aku harus mengajarinya arti berterima kasih," ujar Guiliano. Ia
diam sejenak. "Dan sekarang aku harus meminta bantuanmu. Pikirkanlah baik-
baik, dan kalau kau menolak, aku akan tetap menjadi putra baptismu yang setia.
Lupakan kau teman baik orangtua-ku dan lupakan perasaan sayangmu kepadaku.
Aku meminta bantuan ini demi Sisilia yang kauajarkan padaku agar kucintai.
Jadilah mata dan telingaku di Palermo."
Hector Adonis berkata kepadanya, "Apa yang kauminta .dariku,. sebagai dosen
di Universitas Palermo, adalah menjadi anggota kelompok banditmu."
Pisciotta mendesak tidak sabar, "Itu bukan hal aneh di Sisilia, di mana setiap
orang berhubungan dengan Friends of the Friends. Dan di mana lagi kecuali di
Sisilia dosen Sejarah dan Sastra menyandang pistol?"
Hector Adonis mengamati kedua pemuda itu dengan teliti sementara
mempertimbangkan jawabannya. Ia bisa dengan mudah berjanji hendak
membantu dan lalu melupakan janjinya. Ia bisa menolak dengan sama
mudahnya dan berjanji untuk kadang-kadang memberi bantuan seperti yang
diberikan seorang teman, seperti yang dilakukannya hari ini. Bagaimanapun
juga, komedi ini mungkin akan berlangsung singkat. Guiliano mungkin akan
tewas dalam pertempuran atau dikhianati. Ia mungkin pindah ke Amerika. Dan
masalahnya akan terpecahkan, pikirnya sedih.
Hector Adonis teringat suatu hari di musim panas bertanun-tahun lalu, hari yang
sangat mirip hari ini, sewaktu Turi dan Aspanu tidak lebih dari delapan tahun
usianya. Mereka duduk di padang rumput yang membentang antara rumah
Guiliano dan pegunungan, menunggu makan malam. Hector Adonis membawa
satu tas buku untuk Turi. Salah satunya adalah Song of Roland, dan ia
membacakannya bagi mereka.
Adonis hampir hafal puisinya. Itu merupakan puisi istimewa bagi setiap orang
Sisilia yang bisa membaca, dan kisahnya disukai oleh yang buta huruf. Puisi itu
menjadi kisah utama teater boneka yang dimainkan di setiap kota dan desa, dan
karakter-karakter legendarisnya dilukiskan di sisi setiap kereta yang bergulir di
sepanjang bukit-bukit Sisilia. Dua kesatria terhebat Kaisar Charlemagne, Roland
dan Oliver, membantai bangsa Saracen, melindungi penarikan diri kaisar mereka
ke Prancis. Adonis bercerita bagaimana mereka tewas dalam pertempuran besar
Roncevalles— bagaimana Oliver sampai memohon tiga kali kepada Roland agar
meniup terompetnya untuk memanggil kembali pasukan Charlemagne dan
bagaimana Roland menolak karena gengsi. Lalu sewaktu bangsa Saracen
berhasil mendesak mereka, Roland meniup terompet besarnya, tapi sudah
terlambat. Ketika Charlemagne
kembali untuk menyelamatkan para kesatrianya, ia mendapati mayat-mayat
mereka di antara ribuan mayat bangsa Saracen dan sangat sedih karenanya.
Adonis teringat air mata yang mengalir di pipi Turi Guiliano dan, agak aneh,
ekspresi mengejek pada wajah Aspanu Pisciotta. Bagi anak yang satu itu
merupakan saat-saat terhebat dalam hidup seseorang, bagi anak yang lain itu
kematian amat memalukan di tangan orang kafir.
Kedua bocah laki-laki itu bangkit dari rerumputan, berlari masuk ke dalam
rumah untuk makan malam. Turi memeluk bahu Aspanu, dan Hector tersenyum
melihatnya. Pemandangan itu bagai Roland yang mendukung Oliver agar
mereka berdua bisa mati berdiri di hadapan bangsa Saracen yang menyerbu.
Roland, sekarat, mengacungkan sarung tangannya ke langit biru yang cerah, dan
malaikat mengambilnya dari tangannya. Atau begitulah menurut puisi dan
legenda.
Kejadian itu berlangsung seribu tahun lalu, tapi Sisilia tetap menderita di tengah
alam berupa semak-semak zaitun dan dataran-dataran panas menyengat yang
sama, altar-altar di tepi jalan yang dibangun oleh para pengikut Kristus yang
pertama, puluhan salib tempat budak-budak pemberontak pimpinan Spartacus
disalibkan. Dan putra baptisnya akan menjadi salah satu pahlawan itu, tidak
memahami kalau Sisilia mau berubah, harus ada kawah moral yang
meluluhlantakkan tanah ini.
Sementara Adonis mengawasi mereka sekarang, Pisciotta menelentang di
rerumputan, Guiliano menatapnya dengan mata cokelat tuanya diiringi
senyuman yang agaknya mengatakan dirinya tahu persis apa
yang dipikirkan bapak baptisnya, transformasi adegan yang menggelitik
berlangsung. Adonis melihat mereka bagai patung-patung yang diukir dari
marmer, tubuh-tubuh mereka tercabut dari kehidupan biasa. Pisciotta menjadi
sosok pada sebuah vas, tokek di tangannya berubah menjadi ular berbisa,
semuanya diukir dalam cahaya matahari pagi pegunungan yang cerah. Pisciotta
tampak berbahaya, orang yang mengisi dunia dengan racun dan belati.
Salvatore Guiliano alias Turi, putra baptisnya, merupakan sisi lain vas itu. Ia
memiliki keindahan Apollo dari Yunani, tubuh yang terbentuk sempurna, bagian
putih matanya begitu cerah hingga mengesankan kebutaan. Wajahnya
memancarkan keterbukaan dan keterusterangan dengan kepolosan pahlawan
legendaris. Atau lebih tepatnya, pikir Adonis, menolak sentimentalitas yang
dirasakannya, kebulatan tekad pemuda yang telah memutuskan untuk bertindak
heroik. Tubuhnya berotot bagai patung-patung Mediterania, paha yang penuh,
punggung yang kekar. Tubuhnya merupakan tubuh orang Amerika, lebih
jangkung dan lebih bidang daripada sebagian besar orang Sisilia.
Bahkan sewaktu kanak-kanak, Pisciotta telah menunjukkan kelicikan. Guiliano
sangat percaya akan kebaikan manusia, dan bangga akan kejujurannya sendiri.
Di masa-masa itu Hector Adonis sering kali membayangkan Pisciotta akan
menjadi pemimpin saat mereka dewasa kelak, dan Guiliano menjadi pengikut.
Tapi seharusnya ia lebih tahu. Percaya pada kebaikan seseorang jauh lebih
berbahaya daripada percaya pada kelicikan seseorang.
Suara Pisciotta yang mengejek menerobos lamunan
Hector Adonis. "Tolong katakan ya, Profesor. Aku orang kedua dalam kelompok
Guiliano, tapi aku tidak memiliki anak buah satu pun untuk kuperintah." Ia
tersenyum. "Aku bersedia memulai dari yang kecil."
Meski Adonis tidak terprovokasi, mata Guiliano bersinar marah. Tapi ia bertanya
pelan, "Apa jawabanmu?"
Hector Adonis menjawab, "Ya." Apa lagi yang bisa dikatakan seorang bapak
baptis?
Lalu Guiliano memberitahukan apa yang harus dilakukannya ketika kembali ke
Montelepre nanti dan menceritakan garis besar rencananya besok. Adonis sekali
lagi tertegun oleh keberanian dan kenekatan rencana-rencana pemuda ini. Tapi
sewaktu Guiliano mengangkatnya ke atas keledainya, ia membungkuk dan
mencium putra baptisnya.
Pisciotta dan Guiliano mengawasi Adonis menuruni jalan setapak menuju
Montelepre. "Dia kecil sekali," komentar Pisciotta. "Dia jauh lebih cocok jadi
teman kita bermain bandit-banditan waktu kita kecil."
Guiliano berpaling kepadanya dan berkata lembut, "Dan leluconmu pasti lebih
baik waktu itu. Bersikaplah serius kalau kita sedang membicarakan masalah
serius." Tapi malam itu sebelum mereka tidur, keduanya berpelukan. "Kau
saudaraku," kata Guiliano. "Ingat itu." Lalu mereka menyelimuti diri dan
melewatkan malam terakhir persembunyian mereka dengan tidur.
Bab 9
TURI GUILIANO dan Aspanu Pisciotta terjaga sebelum fajar, sebelum cahaya
pertama memancar, karena kendati kemungkinannya tipis, carabinieri mungkin
mulai bergerak dalam kegelapan untuk mengejutkan mereka bersama matahari
pagi. Mereka melihat kendaraan lapis baja dari Palermo tiba di Barak Bellampo
semalam bersama dua jip pasukan tambahan. Sepanjang malam Guiliano
berpatroli memeriksa keadaan di lereng pegunungan dan mendengarkan suara
apa pun yang mungkin ditimbulkan siapa pun yang mendekati tebing mereka—
langkah berjaga-jaga yang ditertawakan Pisciotta. "Sewaktu kecil kita boleh
bermain-main seperti itu," katanya kepada Guiliano, "tapi apa kau benar-benar
mengira carabinieri pemalas itu akan mempertaruhkan nyawa mereka dalam
kegelapan, atau bahkan melewatkan tidur nyenyak malam hari di ranjang-
ranjang empuk?"
"Kita' harus melatih diri dengan kebiasaan yang baik," kata Turi Guiliano. Ia
tahu suatu hari nanti akan datang musuh-musuh yang lebih hebat.
Turi dan Aspanu bekerja keras menempatkan senjata-senjata mereka di atas
sehelai selimut dan memeriksanya dengan teliti. Lalu mereka menyantap
sebagian kue
roti pemberian La Venera, meminum anggur yang ditinggalkan Hector
Adonis untuk mereka. Kuenya, dengan merica pedas dan rempah-rempah,
menghangatkan perut mereka. Kue itu memberi mereka energi untuk
membangun tirai dari cabang-cabang pohon kecil dan bongkahan batu-batu di
tepi tebing. Dari balik tirai ini, mereka mengawasi kota dan jalan setapak
pegunungan melalui teropong. Guiliano mengisi peluru dan memasukkan
beberapa kotak amunisi ke dalam saku-saku jaket kulit dombanya sementara
Pisciotta berjaga-jaga. Guiliano melakukan pekerjaannya dengan hati-hati dan
lambat Ia bahkan menguburkan sendiri semua pasokan dan menutupinya dengan
batu-batu besar. Ia tidak pernah memercayai siapa pun untuk memeriksa detail-
detail semacam ini. Jadi Pisciotta-lah yang melihat keberangkatan kendaraan
lapis baja dari Barak Belampo.
"Kau benar," kata Pisciotta. "Kendaraan itu menuju dataran Castellammare
menjauhi kita."
Mereka saling tersenyum Guiliano diam-diam merasa gembira. Bagaimanapun
juga, melawan polisi ternyata tidak sulit Ini permainan anak-anak dengan
kecerdikan anak-anak. Kendaraan lapis baja itu akan menghilang di balik
tikungan jalan kemudian memutar balik dan mendaki ke pegunungan, menuju
belakang tebing tempat mereka berada. Pihak berwenang pasti mengetahui
tentang terowongan itu dan menduga mereka akan menggunakannya untuk
melarikan diri dan justru mengarah ke kendaraan lapis baja itu. Lengkap dengan
senapan-senapan mesinnya.
Dalam waktu satu jam carabinieri akan mengirimkan satu detasemen ke Monte
d'Ora untuk menyerang
dari depan dan mengusir mereka keluar. Ada gunanya polisi menganggap
mereka hanyalah pemuda-pemuda Uar, bajingan biasa. Bendera merah dan emas
Sisilia yang mereka kibarkan di tepi tebing mengkonfirmasi kecerobohan
mereka, atau begitulah pendapat polisi.
Satu jam kemudian, van pasukan dan jip yang membawa Maresciallo Roccofino
keluar dari gerbang Barak Bellampo. Kedua kendaraan melaju santai ke kaki.
Monte d'Ora dan berhenti untuk menurunkan penumpangnya. Dua belas
carabinieri yang bersenjatakan senapan dikirim melalui jalan setapak kecil yang
menyusuri lereng. Maresciallo Roccofino menanggalkan topinya dan
mengarahkannya ke arah bendera merah dan emas yang berkibar-kibar di tebing
di atas mereka.
Turi Guiliano mengawasi mereka melalui teropong dari balik'tirai cabang-
cabang pohon. Sejenak ia mengkhawatirkan kendaraan lapis baja di balik
pegunungan. Apa mereka juga menyuruh orang-orang dari lereng belakang naik
kemari? Tapi orang-orang itu butuh waktu satu jam untuk mendaki, mereka tidak
mungkin berada di dekat sini. Ia mengesampingkan mereka dari pikirannya dan
berkata kepada Pisciotta, "Aspanu, kalau kita tidak secerdik anggapan kita, kita
tidak akan pulang ke ibu kita dan menikmati sepiring spaghetti malam ini,
seperti yang sering kita lakukan sewaktu kecil dulu."
Pisciotta tertawa. "Kita selalu benci pulang; ingat? Tapi harus kuakui, ini lebih
asyik. Apa sebaiknya kita bunuh beberapa dari mereka?"
"Tidak," tegas Guiliano. "Tembak ke atas kepala mereka." Ia teringat bagaimana
Pisciotta tidak mematuhi perintahnya dua hari lalu. Ia mengingai
"Aspanu, patuhi perintahku. Tidak ada gunanya membunuh mereka. Kali ini
tidak ada gunanya membunuh mereka."Mereka menunggu dengan sabar selama
satu jam. Lalu Guiliano mendorong senapan taburnya menembus tirai cabang
pohon dan menembak dua kali. Mengagumkan sekali melihat bagaimana iring-
iringan yang lurus dan percaya diri itu berhamburan begitu cepat, seperti semut-
semut yang melesat dan menghilang ke balik rerumputan. Pisciotta
menembakkan senapannya empat kali Kepulan asap muncul di tempat-tempat
berbeda di lereng saat para carabinieri balas menembak.
Guiliano menurunkan senapan tabur dan meraih teropong. Ia bisa melihat
Maresciallo dan sersannya menggunakan radio. Mereka menghubungi kendaraan
lapis baja di balik pegunungan, memperingatkan bahwa para pelanggar hukum
akan menuju ke sana. Ia meraih senapan' tabur lagi dan menembak dua kali, lalu
berkata kepada Pisciotta, "Sudah waktunya pergi."
Mereka berdua merangkak ke sisi seberang tebing, tidak terlihat oleh carabinieri
yang bergerak maju, lalu merosot menuruni lereng yang dipenuhi bongkahan
batu, berguling sejauh lima puluh meter sebelum bangkit berdiri, senjata siap
ditembakkan. Sambil membungkuk rendah, mereka berlari menuruni bukit,
berhenti hanya agar Guiliano bisa mengamati para penyerang melalui teropong.
Carabinieri terus menembaki tebing, tidak menyadari kedua pelanggar hukum itu
sekarang ada di samping mereka. Guiliano memimpin jalan menyusuri jalan
setapak sempit yang tersembunyi di sela-sela bongkahan batu besar dan
memasuki hutan kecil. Mereka beristira-
hat selama beberapa menit lalu mulai berlari dengan lincah dan diam-diam,
menuruni jalan setapak. Dalam waktu kurang dari satu jam mereka sudah tiba di
dataran yang memisahkan pegunungan dari Montelepre, tapi mereka telah
memutar ke seberang kota; kota itu kini berada di antara mereka dan van
pembawa pasukan. Mereka menyembunyikan senjata di balik jaket dan berjalan
menyeberangi dataran, tampak seperti dua petani dalam perjalanan ke ladang.
Mereka memasuki Montelepre dari ujung Via Belia, hanya seratus meter jauhnya
dari Barak Bellampo.
Pada saat yang sama Maresciallo Roccofino memerintahkan anak buahnya terus
mendaki lereng ke arah bendera di tepi tebing. Selama satu jam terakhir tidak
terdengar tembakan balasan dan ia yakin kedua pelanggar hukum itu telah
melarikan diri melalui terowongan dan sekarang tengah menuruni lereng
pegunungan di baliknya, ke arah kendaraan lapis baja. Ia ingin menutup
jebakannya. Anak buahnya memerlukan waktu satu jam lagi sebelum tiba di tepi
tebing dan merobek-robek bendera. Maresciallo Roccofino melangkah ke gua
dan memerintahkan anak buahnya menggeser bongkahan batu yang menutupi
terowongan. Ia mengirim anak buahnya memasuki lorong batu itu ke seberang
pegunungan untuk bertemu kendaraan lapis baja. Ia tertegun sewaktu mendapati
buruannya telah lolos. Ia menyebar anak buahnya untuk mencari di sekitarnya,
merasa yakin mereka akan berhasil mendesak keluar para pelarian dari lubang
persembunyian mereka.
Hector Adonis mematuhi perintah Guiliano sepenuh-
nya. .Di ujung Via Belia terdapat kereta berlukisan legenda kuno yang menutupi
setiap jengkalnya, di dalam dan di luar kereta. Bahkan jeruji roda dan tepi-
tepinya digambari baju-baju baja kecil sehingga sewaktu rodanya berputar,
gambar-gambar itu menampilkan ilusi orang-orang yang tengah bertempur.
Porosnya juga dihiasi lengkungan-lengkungan merah berbintik-bintik perak.
Kereta itu tampak seperti manusia yang setiap jengkal tubuhnya dipenuhi tato.
Di depan kereta berdiri bagal putih yang terkantuk-kantuk. Guiliano melompat
ke kursi kusir yang kosong dan memandang ke dalam kereta. Kereta itu penuh
guci besar anggur yang dibungkus keranjang bambu. Sedikitnya ada dua puluh
guci. Guiliano menyelipkan senapan tabur ke balik sederet gucL Ia memandang
ke arah pegunungan sekilas; tidak ada apa pun yang bisa dilihatnya, kecuali
benderanya yang masih berkibar. Ia tersenyum ke arah Pisciotta. "Semuanya
sesuai rencana," ujarnya. "Pergilah dan perlihatkan tarianmu."
Pisciotta memberi hormat sekilas, serius sekaligus mengejek, mengancingkan
jaket menutupi pistolnya, dan melangkah ke gerbang Barak Bellampo. Saat
melangkah ia melirik jalan yang menuju Castellammare, sekadar memastikan
tidak ada kendaraan lapis baja yang tengah melaju pulang dari pegunungan.
Tinggi di atas kursi kereta, Turi Guiliano mengawasi Pisciotta berjalan pelan-
pelan melintasi lapangan terbuka dan memasuki jalan setapak berlapis batu yang
menuju gerbang. Lalu ia memandang ke ujung seberang Via Belia. Ia bisa
melihat rumahnya, tapi tidak ada siapa pun yang berdiri di depannya. Tadinya ia
berharap
bisa melihat ibunya sekilas. Beberapa pria duduk-duduk di depan salah satu
rumah, meja dan botol-botol anggur mereka diteduhi balkon yang menjorok.
Tiba-tiba ia teringat teropong yang melilit di lehernya dan menanggalkannya,
lalu melemparkannya ke bagian belakang kereta.
Seorang carabiniere muda berdiri berjaga-jaga di gerbang, bocah berumur tidak
lebih dari delapan belas tahun. Pipinya yang kemerahan dan wajahnya yang
mulus menyatakan ia lahir di provinsi-provinsi utara Italia; seragam hitam
bergaris putihnya kebesaran dan tidak dijahit dengan baik, dan topi militernya
menyebabkan penampilannya menyerupai boneka atau badut. Kendati peraturan
melarang, sebatang rokok tergantung di mulurnya yang bagai busur Cupid. Saat
mendekatinya dengan berjalan kaki, Pisciotta merasakan gelombang rasa jijik
sekaligus geli. Bahkan sesudah apa yang terjadi selama beberapa hari terakhir,
orang ini tidak memegang senapannya dalam sikap siaga.
Si penjaga hanya melihat seorang petani lusuh yang berani menumbuhkan kumis
lebih elegan daripada yang selayaknya. Ia berkata kasar, "Kau yang di sana, kau
makhluk hina, mau ke mana?" Ia tidak menyandang senapannya. Pisciotta bisa
menggoroknya dalam sedetik.
Tapi ia malah berusaha tampak penuh minat, berusaha menekan kemarahannya
yang timbul akibat kesombongan bocah ini. Ia berkata, "Kalau kau tidak
keberatan, aku mau menemui Maresciallo. Aku punya informasi berharga."
"Kau bisa menyampaikannya padaku," sahut si penjaga.
186
Pisciotta tidak bisa menahan diri. Ia berkata dengan nada marah, "Dan kau juga
bisa membayarku?"
Si penjaga tertegun oleh kekasarannya. Lalu ia berkata menghina tapi agak
waspada, "Aku tidak akan membayarmu satu lira pun kalau kau memberitahu
Yesus datang lagi."
Pisciotta tersenyum. "Lebih baik daripada itu. Aku tahu di mana Turi Guiliano
berada, orang yang menyebabkan hidungmu berdarah."
Penjaga itu berkata curiga, "Sejak kapan orang Sisilia membantu pihak
berwenang di negara terkutuk ini?"
Pisciotta maju lebih dekat. "Tapi aku punya ambisi," katanya. "Aku sudah
mengajukan lamaran menjadi carabiniere. Bulan depan aku akan ke Palermo
untuk menjalani ujian. Siapa tahu, kita berdua mungkin akan mengenakan
seragam yang sama tak lama lagi."
Penjaga itu memandang Pisciotta dengan lebih ramah. Memang benar banyak
orang Sisilia menjadi polisi. Itu jalan keluar dari kemiskinan, jalan untuk
mendapatkan sepotong kecil kekuasaan. Sudah menjadi lelucon nasional yang
populer bahwa orang Sisilia, entah menjadi penjahat atau polisi, menimbulkan
kerusakan sama besar di kedua pihak. Sementara itu Pisciotta diam-diam tertawa
membayangkan dirinya menjadi carabiniere. Pisciotta orang yang flamboyan; ia
memiliki sehelai kemeja sutra yang dibuat di Palermo. Hanya orang bodoh yang
bersedia mengenakan seragam hitam bergaris putih dan topi kaku serta konyol
itu.
"Sebaiknya kau berpikir *dua kali," kata si penjaga, tidak ingin semua orang
mendapat keberuntungan. "Bayarannya kecil dan kami semua akan kelaparan
kalau tidak menerima suap dari para penyelundup.
Dan baru minggu ini dua anggota barak kami, teman-teman baikku, tewas di
tangan Guiliano terkutuk itu. Dan setiap hari para petani sombong itu bahkan
tidak mau memberitahukan arah menuju tukang cukur di kota."
Pisciotta berkata riang, "Kita ajari mereka sopan santun dengai bastinado." Lalu,
dengan sikap bersekongkol, seakan mereka telah sama-sama menjadi carabinieri,
ia bertanya, "Kau punya rokok?"
Yang menggembirakan Pisciotta, saat-saat berbaik hati sudah usai. Penjaga itu
murka. "Rokok untukmu?" semburnya tak percaya. "Demi nama Kristus, kenapa
aku harus memberikan rokok pada sepotong kotoran Sisilia?" Dan sekarang
akhirnya ia menaikkan senapannya.
Sejenak Pisciotta merasakan desakan liar untuk menghambur maju dan
menggorok lehernya. "Karena aku bisa memberitahukan di mana kalian dapat
menemukan Guiliano," jawab Pisciotta. "Kamerad-kameradmu yang mencari di
pegunungan terlalu tolol bahkan untuk menemukan seekor tokek."
Si penjaga tampak kebingungan. -Kekasaran itu menyebabkan ia hilang akal;
informasi yang ditawarkan membuatnya sadar lebih baik ia berkonsultasi dengan
seniornya. Ia merasa orang ini terlalu licik dan bisa menyebabkan dirinya
mendapat masalah. Ia membuka gerbang dan memberi isyarat dengan
senapannya agar Pisciotta memasuki lahan Barak Bellampo. Ia memunggungi
jalan. Pada saat itu, Guiliano, seratus meter jauhnya, menendang bagalnya
hingga terjaga dan memajukan keretanya ke jalan setapak batu yang menuju
gerbang.
Lahan Barak Bellampo seluas 1,5 hektar. Di sana berdiri gedung administrasi
besar dengan bangsal ber-bentuk L yang merupakan sel-sel penjara. Di
belakangnya terdapat barak-barak tempat tinggal carabinieri, cukup besar untuk
menampung seratus orang, dengan bagian terpisah yang secara khusus
disediakan sebagai apartemen pribadi Maresciallo. Di sebelah kanan terdapat
garasi kendaraan yang sebenarnya lumbung dan sebagian masih digunakan
untuk itu karena detasemen tersebut meliputi sepasukan bagal dan keledai untuk
perjalanan melintasi pegunungan, saat kendaraan tidak berguna.
Jauh di belakang terdapat gudang amunisi dan pasokan, keduanya terbuat dari
baja bergelombang. Seluruh area dikepung pagar berkawat duri setinggi lebih
dari dua meter dengan dua menara tinggi untuk penjaga, tapi menara-menara itu
telah berbulan-bulan tidak digunakan. Barak Bellampo dibangun rezim
Mussolini lalu diperluas selama masa perang dengan Mafia.
Sewaktu melewati gerbang Pisciotta memeriksa tanda-tanda bahaya. Menara-
menara kosong, tidak ada penjaga bersenjata berkeliaran. Tempat itu tampak
seperti tanah pertanian yang sunyi dan damai. Tidak ada kendaraan di garasi;
malah tidak terlihat kendaraan di mana pun, yang mengejutkan dirinya, dan
membuatnya khawatir salah satu kendaraan akan segera kembali. Ia tidak bisa
memahami Maresciallo begitu bodoh sehingga meninggalkan garnisunnya tanpa
kendaraan. Ia harus memperingatkan Turi bahwa mereka mungkin mendapat
tamu tidak terduga.
Dikawal penjaga muda itu, Pisciotta melewati pintu-pintu lebar gedung
administrasi. Ia memasuki ruangan
ion
luas dengan kipas angin di langit-langit yang hanya sedikit mengusir panasnya
udara. Ada meja besar di atas panggung rendah yang mendominasi ruangan, dan
di sisi-sisinya terdapat pagar yang melingkupi meja-meja yang lebih kecil bagi
para staf; di sekitar ruangan terdapat bangku-bangku kayu. Semua itu kosong
kecuali meja besar di atas panggung. Di belakangnya duduk seorang kopral
carabinieri yang secara keseluruhan berlawanan dengan penjaga muda itu. Papan
nama berukir di meja bertuliskan KOPRAL CANIO SILVESTRO. Bagian atas
tubuh kopral itu sangat kekar—bahu-bahu menggembung dan leher tebal
dimahkotai kepalanya yang besar. Bekas luka kemerahan, sebaris jaringan mati
mengilap, tampak seolah ditempelkan dari telinganya ke ujung rahangnya yang
bagai karang. Kumis lebat yang panjang mengembang bagaikan dua sayap hitam
di atas mulutnya.
Ia menyandang strip-strip kopral di lengan bajunya, pistol besar di sabuknya,
dan yang paling buruk ia memandang Pisciotta dengan amat curiga dan tidak
percaya sementara si penjaga menceritakan kisahnya. Ketika Kopral Silvestro
berbicara, aksennya mengungkapkan ia orang Sisilia. "Kau bajingan
pembohong," cacinya kepada Pisciotta. Tapi sebelum ia sempat melanjutkan,
suara Guiliano terdengar berteriak dari balik gerbang.
"Hei yang. di sana, carabiniere, kau mau anggur atau tidak? Ya atau tidak?"
Pisciotta mengagumi gaya suara Guiliano; nadanya kasar, dialeknya begitu
kental sehingga hampir-hampir tidak bisa dipahami kecuali oleh penduduk asli
provinsi
ini, pilihan kata-katanya, sombong, khas petani yang
cukup berhasil.
Kopral menggerutu jengkel, "Demi nama Kristus, apa yang diteriakkan orang
itu?" dan dengan langkah-langkah lebar keluar dari gedung. Penjaga dan
Pisciotta mengikutinya.
Kereta berhias lukisan dan bagal putih itu ada di luar gerbang. Tidak berbaju,
dadanya yang bidang mengilap oleh keringat, Turi Guiliano mengayun-ayunkan
seguci anggur. Ia melontarkan seringai lebar yang tolol; seluruh tubuhnya
tampak menjulur kikuk. Penan> pilannya menghapus kecurigaan. Tidak
mungkin ia menyembunyikan senjata, ia mabuk dan aksennya merupakan dialek
paling kasar di seluruh Sisilia. Tangan Kopral menyingkir dari pistolnya, si
penjaga menurunkan senapannya. Pisciotta mundur selangkah, siap mencabut
pistolnya sendiri dari balik jaketnya.
"Aku membawa sekereta anggur untuk kalian," kata Guiliano lagi. Ia meniup
hidung dengan jarinya dan membuang ingusnya ke gerbang.
"Siapa yang memesan anggur ini?" tanya Kopral. Tapi ia melangkah ke gerbang
dan Guiliano tahu ia akan membukanya lebar-lebar agar kereta itu bisa lewat.
"Ayahku menyuruhku membawanya ke Maresciallo," kata Guiliano sambil
mengedipkan sebelah mata.
Kopral menatapnya. Anggur itu merupakan hadiah karena membiarkan seorang
petani menyelundup. Kopral berpikir gelisah, bahwa sebagai orang Sisilia sejati
si ayah seharusnya mengantarkan sendiri anggurnya agar maksud pemberian
hadiah itu lebih jelas. Tapi lalu ia mengangkat bahu. "Turunkan dan bawa ke
barak."
Guiliano berkata, "Bukan aku yang melakukannya, aku tidak mau."
Sekali lagi Kopral tersengat keraguan. Nalurinya memperingatkan dirinya.
Menyadari hal ini, Guiliano turun dari kereta dengan cara begitu rupa sehingga
bisa menyambar lupara dengan mudah dari tempat persembunyiannya. Tapi
pertama-tama ia mengangkat seguci anggur dalam pembungkus bambunya dan
berkata, "Ada dua puluh guci untuk kalian."
Kopral itu meneriakkan perintah ke arah barak tempat tinggal dan dua
carabinieri muda muncul berlari-lari; jaket mereka tidak terkancing dan mereka
tidak mengenakan topi. Tak satu pun membawa senjata. Guiliano berdiri di atas
kereta dan menyurukkan guci-guci anggur ke dalam pelukan mereka. Ia
memberikan seguci anggur kepada penjaga, bersenapan, yang mencoba
menolak. Guiliano berkata riang, "Kau nanti pasti membantu menghabiskannya,
jadi bawalah."
Sekarang sesudah ketiga penjaga dilumpuhkan, lengan-lengan mereka sibuk
membawa guci, Guiliano mengamati pemandangan di sekitarnya. Persis seperti
yang dtinginkannya. Pisciotta berada tepat di belakang Kopral, satu-satunya
prajurit yang tangannya bebas. Guiliano mengamati lereng-lereng pegunungan;
tidak terlihat tanda-tanda kembalinya kelompok pencari. Ia memeriksa jalan ke
Castellammare; tidak terlihat tanda-tanda kehadiran kendaraan lapis baja. Di Via
Belia anak-anak masih bermain-main. Ia mengulurkan tangan ke kereta,
mengeluarkan lupara, dan mengarahkannya kepada Kopral yang tertegun. Pada
saat yang sama Pisciotta mencabut pistol dari balik kemejanya. Ia
menekankannya ke punggung Kopral. "Jangan ber-
gerak sedikit pun," ancam Pisciotta, "atau kucukur kumismu yang lebat itu
dengan timah."
Guiliano tetap mengarahkan lupara pada ketiga penjaga yang ketakutan. Ia
berkata, "Jangan lepaskan guci-guci itu dan semuanya masuk ke gedung."
Penjaga bersenjata memeluk guci anggurnya dan membiarkan senapannya jatuh
ke tanah. Pisciotta memungutnya saat mereka bergerak masuk. Di dalam
ruangan, Guiliano meraih papan nama dan mengaguminya. "Kopral Canio
Sirvestro. Tolong kuncinya. Semuanya"
Tangan Kopral menempel pada pistolnya dan ia memelototi Guiliano. Pisciotta
memukul tangannya hingga tersentak maju dan mencabut senjatanya. Kopral
berbalik dan menatapnya dengan pandangan dingin mematikan. Pisciotta
tersenyum dan berkata, "Permisi."
Kopral berpaling memandang Guiliano dan berkata, "Nak, larilah dan jadilah
aktor, kau sangat pandai. Jangan melanjutkan perbuatanmu ini, kau tidak akan
pernah bisa lolos. Maresciallo dan anak buahnya akan kembali sebelum malam
dan akan memburumu ke ujung dunia. Pikirkan lagi, sobat muda, bagaimana
rasanya menjadi pelanggar hukum dengan harga atas kepalanya. Aku sendiri
akan memburumu dan aku tak pernah melupakan wajah orang. Akan kucari tahu
namamu* dan kugali kau keluar kalau kau bersembunyi di neraka."
Guiliano tersenyum kepadanya. Entah kenapa ia menyukai orang ini. Katanya,
"Tapi kalau kau ingin tahu namaku, kenapa tidak kautanyakan?"
Kopral memandangnya marah, "Dan kau akan memberitahuku, seperti orang
idiot?"
Guiliano menjawab, "Aku tidak pernah berbohong. Namaku Guiliano."
Kopral mengayunkan tangannya ke samping, hendak meraih pistol yang telah
diambil Pisciotta. Guiliano semakin menyukainya karena reaksi naluriah itu.
Orang ini memiliki keberanian dan tanggung jawab. Para penjaga yang lain
ketakutan. Ini Salvatore Guiliano yang telah membunuh tiga kamerad mereka.
Tidak ada alasan untuk berpikir ia akan membiarkan mereka tetap hidup.
Kopral mengamati wajah Guiliano, mengingat-ingat-nya. Lalu, dengan gerak
lambat dan hati-hati, mengambil seikat besar kunci dari laci meja. Ia berbuat
begitu karena Guiliano menempelkan senapan taburnya keras-keras ke
punggungnya. Guiliarto menerima kunci dan melemparkannya kepada Pisciotta.
"Bebaskan para tahanan," katanya.
Di bangsal penjara gedung aciministrasi, dalam area sel yang luas, terdapat
sepuluh warga Montelepre yang ditangkap pada malam Guiliano melarikan diri.
Di salah satu sel kecil yang terpisah terdapat dua bandit yang terkenal di
kawasan ini, Passatempo dan Terranova. Pisciotta membuka kunci pintu-pintu
sel mereka dan mereka mengikutinya ke ruangan administrasi dengan gembira.
Warga Montelepre yang ditangkap, semuanya tetangga Guiliano, memasuki
ruangan adntinistrasi dan mengerumuninya untuk memeluknya penuh terima
kasih. Guiliano membiarkannya tapi mempertahankan kewaspadaannya,
pandangannya tetap terpaku pada para carabinieri tawanannya. Para tetangganya
gembira melihat perbuatan Guiliano; ia mempermalukan polisi yang
mereka benci, ia pembela mereka. Mereka melapor padanya bahwa Maresciallo
mengeluarkan perintah agar mereka dihukum bastinado, tapi Kopral
menghentikan pelaksanaan hukuman ini hanya dengan kekuatan karakternya dan
argumentasi bahwa tindakan seperti itu hanya menciptakan kemarahan lebih
besar yang akan .memengaruhi keamanan barak. Sebaliknya, besok pagi mereka
akan dikirim ke Palermo untuk diinterogasi hakim.
Guiliano mengarahkan moncong lupara ke lantai, takut tembakan yang tidak
disengaja mengenai orang-orang di sekitarnya. Mereka semua orang tua, para
tetangga yang dikenalnya sejak kecil. Hati-hati ia berbicara kepada mereka
sebagaimana caranya berbicara kepada mereka selama ini "Kalian boleh ikut
denganku ke pegunungan," katanya. "Atau kalian bisa mengunjungi kerabat di
bagian lain Sisilia sampai pihak berwenang menyadari kesalahan mereka." Ia
menunggu tapi yang ada hanya kesunyian. Kedua bandit, Passatempo dan
Terranova, berdiri terpisah dari yang kin. Mereka sangat waspada, seakan siap
menyerang. Passatempo pria pendek kekar dan jelek, dengan wajah menakutkan
akibat cacar yang dideritanya sewaktu kanak-kanak, mulurnya tebal dan tidak
berbentuk. Para petani di pedalaman menyebutnya "si Kasar". Terranova
bertubuh kecil dan berpostur bagai musang. Kendati begitu, raut wajahnya yang
kecil tampak menyenangkan, bibirnya selalu membentuk senyuman wajar.
Passatempo merupakan bandit khas Sisilia yang serakah dan mencuri ternak
serta membunuh sekadar demi uang Terranova petani yang bekerja keras dan
memulai kariernya sebagai pelanggar hukum sewaktu
dua penarik pajak datang untuk menyita babi kesayangannya. Ia terpaksa
membunuh keduanya, menjagal babi untuk disantap keluarga dan kerabatnya,
lalu melarikan diri ke pegunungan. Kedua pria itu bergabung dan membentuk
gerombolan tapi dikhianati dan ditangkap sewaktu bersembunyi di gudang
kosong di ladang padi di Corleone.
Guiliano berkata kepada mereka, "Kalian berdua tidak punya pilihan lain. Kita
akan ke pegunungan bersama-sama* lalu kalau mau kalian bisa tetap berada di
bawah perintahku atau bercliri sendiri. Tapi untuk hari ini aku membutuhkan
bantuan kalian dan kalian berdua berutang padaku." Ia tersenyum kepada
mereka, mencoba memperlunak tuntutan agar mereka mematuhi perintahnya.
Sebelum kedua bandit sempat menjawab, kopral carabinieri itu melakukan
tindakan sinting namun berani. Mungkin karena martabat Sisilia yang terluka,
mungkin karena kebuasan hewani yang alamiah, atau sekadar fakta bahwa
bandit-bandit terkenal tahanannya akan melarikan diri telah memicu
kemurkaannya. Ia bercliri hanya beberapa langkah dari Guiliano dan dengan
kecepatan mengejutkan maju dalam satu langkah lebar.
Pada saat yang sama ia mencabut pistol kecil yang tersembunyi di balik
kemejanya. Guiliano mengayunkan lupara untuk menembak tapi terlambat.
Kopral menjulurkan pistolnya sejauh setengah meter dari kepala Guiliano.
Pelurunya akan telak menghantam wajah Guiliano.
Semua orang membeku karena kaget. Guiliano melihat pistol yang diarahkan ke
kepalanya. Di belakangnya wajah Kopral yang merah karena marah
menegangkan
Otot-ototnya bagai tubuh ular. Tapi pistol itu seolah bergerak sangat lambat.
Rasanya seperti jatuh dalam mimpi buruk, jatuh selamanya tapi tahu itu hanya
mimpi dan ia tidak akan pernah tiba di dasarnya. Dalam waktu sepersekian detik
sebelum Kopral menarik picunya, Guiliano merasakan kedamaian luar biasa dan
tidak takut sama sekali. Matanya tidak berkedip sewaktu Kopral menarik
picunya, ia malah maju selangkah. Terdengar bunyi klik metalik yang keras saat
pelatuknya menghantam amunisi yang rusak di larasnya. Sepersekian detik
sesudahnya, Pisciotta, Terranova, dan Passatempo menghambur ke arah Kopral.
Dan kopral itu jatuh tertimpa berat tubuh mereka. Terranova menyambar
pistolnya dan berusaha merampasnya, Passatempo mencengkeram rambut di
kepalanya dan berusaha mencungkil matanya, Pisciotta mencabut pisaunya dan
siap menghunjamkannya ke leher Kopral Guiliano menghentikannya tepat pada
waktunya.
Guiliano berkata pelan, "Jangan bunuh dia." Dan menarik mereka dari Kopral
yang sekarang tidak bergerak dan tidak berdaya. Ia menunduk dan kecewa
melihat kerusakan yang terjadi dalam kemurkaan sesaat itu. Telinga Kopral
setengah tercabik dari kepalanya dan menyemburkan banyak darah. Lengan
kanannya patah dan terkulai membentuk sudut yang mengerikan di samping
tubuhnya. Salah satu matanya memancarkan darah, kulitnya menjuntai di sana.
Orang itu tetap tidak takut. Ia berbaring di sana menanti kematian, dan Guiliano
merasakan gelombang kasih yang hebat baginya. Inilah orang yang telah
menguji dirinya, dan yang menegaskan keabadiannya
sendiri; inilah orang yang mengesahkan kelumpuhan kematian. Guiliano
menariknya berdiri dan, yang mengejutkan semua orang, memeluknya sesaat.
Lalu ia berpura-pura sekadar membantu agar Kopral bisa berdiri tegak.
Terranova memeriksa pistolnya. "Kau beruntung sekali," katanya kepada
Guiliano. "Hanya satu peluru yang tidak bisa meledak."
Guiliano mengulurkan tangan meminta pistol itu. Terranova ragu-ragu sejenak,
lalu memberikannya. Guiliano berpaling kepada Kopral. "Jaga sikapmu,"
katanya ramah, "dan tidak akan terjadi apa-apa pada dirimu dan anak buahmu.
Kujamin."
Kopral itu, terlalu kaget dan terlalu lemah akibat luka-lukanya untuk bisa
menjawab, tampak tidak mengerti apa yang diucapkan. Passatempo berbisik
kepada Pisciotta, "Berikan pisaumu dan akan kubereskan dia."
Pisciotta berkata, "Guiliano yang memberi perintah di sini dan semua orang
patuh." Pisciotta mengatakannya dengan nada biasa agar tidak memberi kesan
pada Passatempo bahwa ia sendiri siap membunuh bandit itu dalam sekejap
mata.
Penduduk Montelepre yang semula ditahan bergegas pergi. Mereka tidak ingin
menjadi saksi pembantaian carabinieri. Guiliano mengawal Kopral dan para
penjaga ke bangsal penjara dan'mengunci mereka di satu sel yang sama. Lalu ia
mengajak Pisciotta, Terranova, dan Passatempo menggeledah gedung-gedung
lainnya di Barak Bellampo. Di gudang senjata mereka menemukan senapan,
pistol, senapan mesin, dan berkotak-kotak amunisi. Mereka menyandang
senjata-senjata itu di bahu dan memuat kotak-kotak amunisinya ke
kereta. Dari barak tempat tinggal mereka mengambil beberapa helai selimut dan
kantong tidur, dan Pisciotta melemparkan dua seragam carabinieri ke dalam
kereta sekadar untuk keberuntungan. Lalu, dengan Guiliano di kursi kusir, kereta
penuh sesak oleh barang rampasan, ketiga orang lainnya berjalan dengan senjata
siap ditembakkan, menyebar untuk melindungi diri dari serangan apa pun.
Mereka bergegas menyusuri jalan menuju CasteUammare. Mereka
membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk tiba di rumah petani yang telah
meminjamkan keretanya kepada Hector Adonis dan menguburkan barang
rampasan di kandang babinya. Lalu mereka membantu si petani mengecat
keretanya dengan warna hijau zaitun yang dicuri dari depot pasokan Angkatan
Darat Amerika.
Maresciallo Roccofino pulang bersama regu pencarinya pada saat makan malam;
matahari telah menghilang dari langit dan hari itu sinarnya masih kalah panas
dibandingkan kemarahan yang dirasakan Maresciallo begitu melihat anak
buahnya dikurung dalam penjara mereka sendiri. Maresciallo memerintahkan
kendaraan lapis baja menjelajahi seluruh jalanan untuk mencari jejak para
penjahat, tapi pada saat itu Guiliano sudah berada jauh di tempat perlindungan di
pegunungan.
Koran-koran di seluruh Italia menerbitkan kisah itu secara besar-besaran. Baru
tiga hari sebelumnya, pembunuhan dua carabinieri juga menjadi berita halaman
pertama, tapi pada saat itu Guiliano hanyalah bandit Sisilia putus asa .dan satu-
satunya yang membuat ia terkenal adalah kebrutalan. Kejadian kali ini berbeda.
Ia memenangkan pertempuran nyali dan taktik melawan
200
Kepolisian Nasional. Ia membebaskan teman-teman dan tetangganya dari apa
yang jelas merupakan penahanan yang tidak adil. Para wartawan dari Palermo,
Napoli, Roma, dan Milan pergi ke Montelepre, mewawancarai keluarga dan
teman-teman Turi Guiliano. Ibunya dipotret sambil membawa gitar Turi yang
menurutnya dimainkan Turi bagaikan malaikat. (Ini tidak benar; Guiliano hanya
bisa memainkannya dengan cukup baik, sekadar nadanya bisa dikenali.) Mantan
teman-teman sekolahnya mengakui bahwa Turi kutu buku sehingga ia dijuluki
"Profesor". Koran-koran menangkap informasi ini dengan gembira. Bandit
Sisilia yang benar-benar bisa membaca. Mereka juga menyebut-nyebut
sepupunya, Aspanu Pisciotta, yang menggabungkan diri dengannya semata-mata
karena persahabatan, dan amat penasaran terhadap Guiliano, orang yang mampu
membangkitkan kesetiaan seperti itu.
Lalu sehelai potret lama yang diambil sewaktu Guiliano berusia tujuh belas
tahun, yang memperlihatkan ketampanan khas Mediterania-nya yang luar biasa,
menjadikan seluruh kisahnya sangat memikat. Tapi mungkin yang paling
menarik bagi orang-orang Italia adalah pengampunan Guiliano atas kopral yang
mencoba membunuhnya. Itu lebih baik daripada opera—lebih mirip sandiwara
boneka yang begitu populer di Sisila, di mana sosok-sosok dari kayu tidak
pernah meneteskan darah atau tercabik dagingnya atau koyak oleh peluru.
Koran-koran hanya menyesalkan tindakan Guiliano membebaskan dua penjahat
seperi Terranova dan Passatempo, menyiratkan bahwa dua sekawan jahat itu
ini
bisa menodai citra pahlawan berbaju besi mengilap ini.
Hanya koran Milan yang mengingatkan bahwa Salvatore 'Turi" Guiliano
membunuh tiga anggota Kepolisian Nasional dan menyarankan agar diambil
langkah-langkah khusus untuk menangkapnya, bahwa pembunuh seharusnya
tidak diampuni kejahatannya hanya karena ia tampan, bisa membaca, dan bisa
memainkan gitar.
Bab 10
DON CROCE sekarang menyadari keberadaan Turi Guiliano sepenuhnya dan
sangat mengagumi dirinya. Benar-benar pemuda Mafioso sejati. Tentu saja yang
dimaksudkannya adalah penggunaan kata Mafioso dalam tradisi lama, seperti
wajah Mafioso, pohon Mafioso, wanita Mafioso, yang berarti yang paling indah,
yang paling cantik.
Pemuda ini akan menjadi tangan kanan luar biasa bagi Don Croce. Panglima
perang yang tangguh di lapangan. Don Croce memaafkan fakta Guiliano saat ini
merupakan duri dalam dagingnya. Kedua bandit yang dipenjarakan di
Montelepre, Passatempo yang ditakuti dan Terranova yang cerdik, tertangkap
berdasarkan persetujuan dan campur tangan Don. Tapi semua ini bisa dimaafkan,
yang berlalu biar berlalu; Don tidak pernah menyimpan dendam yang bisa
mengacaukan keuntungannya di masa depan. Ia akan melacak Turi Guiliano
dengan sangat hati-hati.
Jauh di pegunungan, Guiliano sama sekali tidak menyadari ketenarannya. Ia
terlalu sibuk menyusun bersalah renCana ulltuk membangun kekuasaannya. Ma-
pertamanya adalah kedua pemimpin bandit itu,
Terranova dan Passatempo. Ia bertanya secara mendetail bagaimana mereka bisa
tertangkap dan mendapat kesimpulan mereka dikhianati, ada yang membocorkan
informasi tentang mereka. Keduanya bersumpah anak buah mereka setia dan
banyak yang terbunuh dalam jebakan itu. Guiliano mempertimbangkan semua
ini dan mendapat kesimpulan Mafia, yang selama ini bertindak sebagai pagar
dan perantara bagi kelompok bandit itu, telah mengkhianati mereka. Sewaktu ia
menyatakan kesimpulannya kepada kedua bandit, mereka menolak
memercayainya. Friends of the Friends tak akan pernah melanggar aturan suci
omerta yang merupakan titik pusat pertahanan mereka sendiri. Guiliano tidak
berkeras. Sebaliknya ia mengajukan penawaran resmi kepada mereka untuk
bergabung dengan kelompoknya.
Ia menjelaskan tujuannya bukan hanya bertahan hidup tapi juga menjadi
kekuatan politik. Ia menekankan mereka tidak akan merampok orang miskin.
Malahan separo keuntungan yang didapat kelompok akan dibagikan kepada
kaum miskin di provinsi-provinsi sekitar Montelepre hingga ke pinggiran
Palermo. Terranova dan Passatempo akan memimpin kelompok mereka sendiri
tapi berada di bawah pimpinan Guiliano secara keseluruhan. Kelompok-
kelompok bawahan ini tidak akan melakukan ekspedisi apa pun untuk
mendapatkan uang tanpa persetujuan Guiliano. Bersama-sama mereka
memegang kekuasaan mutlak atas provinsi-provinsi di mana terletak Palermo,
Monreale, Montelepre, Partinico, dan Corleone. Guiliano me-negaskan bahwa
mereka akan menyerang carabinieri. Bahwa polisilah yang akan merasa takut,
bukan para bandit. Mereka tertegun mendengar keberaniannya.
Passatempo, bandit gaya lama yang percaya akan pemerkosaan, pemerasan
kecil-kecilan, dan pembunuhan para gembala, seketika mulai
mempertimbangkan bagaimana ia bisa mendapat keuntungan dari hubungan ini,
lalu membunuh Guiliano dan merampas bagiannya. Terranova, yang menyukai
Guiliano dan lebih berterima kasih karena sudah diselamatkan, berpikir-pikir
bagaimana cara mengarahkan bandit muda berbakat ini ke jalan yang lebih tepat.
Guiliano memandang mereka sambil tersenyum tipis, seakan bisa membaca
benak mereka dan geli dengan pikkan-pikiran itu.
Pisciotta sudah terbiasa dengan gagasan-gagasan besar teman seumur hidupnya
itu. Ia percaya. Kalau Turi Guiliano mengatakan bisa melakukan sesuatu,
Aspanu Pisciotta percaya ia bisa melakukannya. Jadi sekarang ia mendengarkan.
Dalam cahaya matahari pagi yang menerangi pegunungan dengan warna
keemasan, mereka bertiga mendengarkan Guiliano, terpesona sementara ia
menceritakan betapa mereka akan memimpin perjuangan memerdekakan orang
Sisilia, mengangkat derajat kaum miskin, menghancurkan kekuasaan Mafia,
kaum bangsawan, dan pemerintahan Roma. Mereka akan tertawa bila orang lain
yang mengatakannya, tapi mereka teringat peristiwa yang disaksikan semua
orang—kejadian yang akan selalu diingat mereka: Kopral carabinieri itu
mengacungkan pistol ke kepala Guiliano. Tatapan bisu Guiliano, keyakinan
mutlaknya bahwa dirinya tidak akan mati sementara menunggu Kopral menarik
picunya. Pengampunan yang diberikannya kepada
Kopral setelah pistolnya tidak meledak. Semua ini tindakan orang yang
memercayai keabadiannya sendiri dan memaksa orang lain juga memercayainya.
Dan sekarang mereka menatap pemuda tampan itu, dan terkesan oleh keindahan
dirinya, semangatnya, dan kepolosannya.
Keesokan harinya Guiliano mengajak ketiga anak buahnya, Aspanu Pisciotta,
Passatempo, dan Terranova, menuruni jalan setapak pegunungan yang akan
membawa mereka ke dataran-dataran dekat Castelvetrano. Ia turun pada dini
hari untuk memeriksa medan. Ia dan anak buahnya mengenakan pakaian pekerja.
Ia tahu konvoi truk bahan makanan akan melintasi jalan ini dalam perjalanan
menuju pasar-pasar Palermo. Masalahnya bagaimana cara menghentikan truk-
truk ku. Mereka akan melaju dengan kecepatan tinggi untuk menghindari
pembajakan dan para sopirnya mungkin bersenjata.
Guiliano memerintahkan anak buahnya bersembunyi di semak-semak jalanan
tepat di luar Castelvetrano, lalu ia sendiri duduk di atas sebongkah batu putih
besar di tempat terbuka. Orang-orang yang pergi ke ladang menatapnya tanpa
ekspresi. Mereka melihat lupara yang disandangnya dan bergegas melanjutkan
perjalanan. Guiliano bertanya-tanya adakah di antara mereka yang
mengenalinya. Lalu ia melihat kereta besar berlukiskan legenda muncul
menyusuri jalan, ditarik bagal. Guiliano mengenali pria tua yang
menjalankannya. Ia salah satu dari para pengusaha penyewaan kereta yang
jumlahnya begitu banyak di pedalaman Sisilia. Pria itu menyewakan kereta-
keretanya untuk
membawa bambu dari desa-desa ke pabrik di kota. Bertahun-tahun lalu ia pernah
datang ke Montelepre dan mengantarkan hasil bumi bagi ayah Guiliano.
Guiliano melangkah ke tengah jalan. Ijtpara menjuntai dari tangan kanannya.
Kusir mengenalinya kendati wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun,
hanya matanya yang berkilau sejenak.
Guiliano menyapanya dengan gaya yang biasa digunakannya sewaktu kecil,
memanggilnya Paman. "Zu Peppino," sapanya. "Ini hari keberuntungan bagi kita
berdua. Aku kemari untuk memberimu kekayaan dan kau kemari untuk
membantuku meringankan beban orang miskin." Ia benar-benar gembira
bertemu pria tua itu dan tertawa terbahak-bahak.
Pria tua itu tidak menjawab. Ia menatap Guiliano, wajahnya yang bagai batu
menunggu. Guiliano naik ke kereta dan duduk di sampingnya. Ia
menyembunyikan lupara di dalam kereta dan tertawa lagi penuh semangat
Karena Zu Peppino, ia yakin hari ini hari keberuntungannya.
Guiliano menikmati kesegaran akhir musim gugur, keindahan pegunungan di
kaki langit, pengetahuan bahwa ketiga anak buahnya di semak-semak
mengawasi jalanan dengan pistol. Ia menjelaskan rencananya kepada Zu
Peppino, yang mendengarkan tanpa kata-kata dan tanpa perubahan ekspresi.
Sampai Guiliano mengungkapkan imbalannya: keretanya akan dipenuhi bahan
makanan dari truk. Lalu Zu Peppino mendengus dan berkata, "Turi Guiliano,
sejak dulu kau pemuda hebat, pemberani. Kau tidak berubah sejak menjadi pria
dewasa." Guiliano kini ingat Zu Peppino salah satu murid sistem pendidikan
lama Sisilia yang terbiasa
207
dengan kata-kata berbunga-bunga. "Aku akan membantumu dalam hal ini dan
yang lainnya. Sampaikan salamku untuk ayahmu yang seharusnya bangga
memiliki putra seperti dirimu."
Konvoi tiga truk yang dipenuhi bahan makanan muncul di jalan pada tengah
hari. Sewaktu berbelok di tikungan yang langsung menuju dataran Partinico,
mereka terpaksa berhenti Sekelompok kereta dan bagal menghalangi jalan
sepenuhnya. Zu Peppino yang mengaturnya. Semua pengusaha penyewaan
kereta berutang budi padanya dan mematuhinya.
Sopir truk terdepan membunyikan klakson dan memajukan truknya sehingga
menyodok kereta terdekat. Pria di kereta berpaling dan melontarkan pandangan
begitu garang sehingga si sopir seketika menghentikan truk dan menunggu
dengan sabar. Ia tahu para pemilik kereta sewaan ini—walau profesi mereka
sederhana— orang-orang bermartabat yang akan menusuknya hingga tewas lalu
melanjutkan perjalanan sambil bernyanyi-' nyanyi, dan dalam hal kehormatan,
mereka merasa lebih berhak atas jalanan daripada pengendara kendaraan
bermotor.
Kedua truk yang lain berhenti. Kedua sopirnya melangkah turun. Salah seorang
berasal dari ujung timur Sisilia dan yang satu lagi orang asing; artinya, dari
Roma. Sopir Roma itu mendekati kereta-kereta sewaan sambil membuka
ritsleting jaketnya, berteriak marah kepada mereka agar memindahkan bagal-
bagal sialan dan kotak kotoran mereka dari jalan. Ia membiarkan satu tangan di
balik jaketnya.
Guiliano melompat turun dari kereta. Ia tidak ber-
susah payah mengeluarkan lupara dari dalam kereta ataupun mencabut pistol di
sabuknya. Ia memberikan isyarat kepada anak buahnya yang menunggu di
semak-semak dan mereka berhamburan ke jalan sambil mengacungkan senjata.
Terranova memisahkan diri menuju truk paling belakang agar truk itu tidak bisa
di* pindahkan. Pisciotta merosot di tepi jalan dan menghadapi sopir Roma yang
marah itu.
Sementara itu Passatempo, lebih bersemangat daripada yang lain, menyentakkan
sopir truk pertama dari dalam kendaraannya dan melemparkannya ke jalan ke
depan kaki Guiliano. Guiliano mengulurkan tangan dan menariknya berdiri.
Pada waktu itu, Pisciotta menggiring sopir truk paling belakang untuk bergabung
dengan kedua rekannya. Sopir Roma itu telah mengeluarkan tangannya yang
kosong dari balik jaket dan menghapus kemarahan dari wajahnya. Guiliano
tersenyum tulus dan berkata, "Ini hari keberuntungan kalian bertiga. Kalian tidak
perlu bersusah payah melakukan perjalanan ke Palermo. Kereta-kereta sewaanku
akan membongkar muatan truk dan membagi-bagikan makanannya kepada kaum
miskin di distrik ini, tentu saja di bawah pengawasanku. Izinkan aku
memperkenalkan diri. Namaku Guiliano."
Ketiga sopir seketika meminta maaf dan bersikap ramah. Mereka tidak tergesa-
gesa, jelas mereka. Mereka punya waktu selama-lamanya. Malah, sekarang
sudah tiba saatnya makan siang. Truk-truk mereka nyaman. Cuaca tidak terlalu
panas. Memang benar, ini kebetulan yang menggembirakan, keberuntungan.
Guiliano menyadari ketakutan mereka. "Jangan khawatir," katanya. "Aku tidak
membunuh orang yang
mencari makan dengan keringatnya sendiri. Kalian akan makan siang bersamaku
sementara anak buahku melakukan pekerjaan mereka, lalu kalian akan pulang ke
rumah kepada istri dan anak-anak dan memberitahukan tentang keberuntungan
kalian. Kalau polisi menginterogasi kalian, bantu mereka sesedikit mungkin dan
aku akan berterima kasih kepada kalian."
Guiliano diam sejenak. Penting sekali baginya agar orang-orang ini tidak merasa
malu atau benci. Penting sekali agar mereka melaporkan perlakuan baiknya.
Karena akan ada "korban-korban" lainnya.
Mereka membiarkan diri digiring ke keteduhan se-bongfcjfcibam raksasa di tepi
jalan. Mereka dengan sukarela menawarkan pistol mereka kepada Guiliano tanpa
digeledah. Dan mereka duduk bagai malaikat sementara kereta-kereta sewaan
mengambil alih muatan truk Sewaktu kereta-kereta sewaan sudah penuh, masih
ada satu truk yang tersisa. Guiliano memerintahkan Pisciotta dan Passatempo
menumpang truk itu bersama sopirnya dan meminta Pisciotta mengirimkan
bahan makanan itu ke para buruh tani di Montelepre. Guiliano sendiri dan
Terranova akan mengawasi pembagian makanan di distrik Castelvetrano dan
Partinico. Kemudian mereka akan bertemu di gua di puncak Monte d'Ora.
Dengan satu tindakan ini Guiliano akan memenangkan dukungan dari seluruh
pedalaman. Adakah bandit lain yang membagikan hasil jarahannya kepada orang
miskin? Keesokan harinya koran-koran di seluruh Sisilia memuat kisah bandit
Robin Hood itu. Hanya Passatempo yang menggerutu mereka melakukan
pekerjaan satu hari dengan sia-sia. Pisciotta dan
Terranova memahami kelompok mereka telah memperoleh seribu pendukung
melawan Roma.
Yang tidak mereka ketahui adalah bahan makanan itu sebenarnya akan dikirim
ke gudang Don Croce.
Dalam waktu sebulan Guiliano memiliki mata-mata di mana-mana—melapor
padanya pedagang kaya mana yang bepergian dengan uang pasar gelap,
kebiasaan bangsawan-bangsawan tertentu, dan beberapa penjahat yang bergosip
dengan pejabat-pejabat tinggi kepolisian. Dan dengan cara itu sampailah ke
telinga Guiliano kabar tentang perhiasaan milik Duchess of Alcamo yang
terkadang dipamerkannya. Konon hampir sepanjang tahun perhiasan itu
disimpan dalam lemari besi bank di Palermo tapi Duchess sesekali
mengambilnya untuk menghadiri pesta-pesta. Untuk mengetahui lebih jauh apa
yang menurutnya merupakan sasaran kelas kakap, Guiliano mengirim Aspanu
Pisciotta ke rumah Alcamo.
Tiga puluh dua kilometer ke arah barat laut Montelepre, lahan Duke dan
Duchess of Alcamo dipagari tembok, gerbang-gerbangnya dijaga orang-orang
bersenjata. Duke juga membayar "sewa" kepada Friends of the Friends, yang
menjamin ternaknya tidak akan dicuri, rumahnya tidak akan dirampok, atau
anggota keluarganya tidak akan diculik. Pada masa-masa biasa dan dengan
penjahat-penjahat yang biasa, perlindungan ini menjadikan dirinya lebih aman
dibandingkan Paus di Vatikan.
Di awal bulan November perkebunan-perkebunan luas Sisilia menuai anggur,
dan untuk itu para pemilik menyewa para pekerja dari desa-desa sekitarnya.
Pisciotta melapor ke balai kota dan membiarkan dirinya direkrut untuk bekerja
di lahan Duke of Alcamo. Ia menghabiskan hari pertama bekerja keras, mengisi
keranjang-keranjang dengan tumpukan-tumpukan buah ungu kehitaman. Ada
lebih dari seratus orang di kebun anggur—pria, wanita, dan anak-anak kecil
yang bernyanyi bersama sambil bekerja. Di tengah hari, makan siang disajikan
di luar ruangan.
Pisciotta duduk seorang diri, mengawasi yang lainnya. Ia melihat gadis muda
yang membawa baki berisi roti dari puri. Gadis itu cantik tapi pucat; jelas ia
jarang bekerja di bawah matahari. Selain itu pakaiannya juga lebih baik daripada
wanita-wanita lainnya. Tapi yang paling menarik Pisciotta adalah raut cemberut
menghina di wajahnya, dan caranya menghindari sentuhan dengan para pekerja
lain. Ia mendapat informasi gadis ini pelayan pribadi Duchess.
Pisciotta seketika menyadari gadis itu sesuai dengan tujuannya, lebih baik
daripada siapa pun. Guiliano, yang memahami cara-cara Pisciotta, tegas-tegas
memerintahkannya untuk tidak mempermalukan gadis setempat mana pun dalam
proses mendapatkan informasi; tapi Pisciotta menganggap Turi terlalu romantis
dan polos dalam memandang cara-cara kerja dunia ini. Sasarannya terlalu kaya,
gadisnya terlalu cantik.
Sewaktu gadis itu keluar lagi membawa baki besar berisi roti, ia mengangkatnya
dari tangan si gadis dan membawakannya. Gadis itu terkejut, dan sewaktu
Pisciotta menanyakan namanya, ia menolak menjawab.
Pisciotta meletakkan baki dan menyambar lengannya. Ia tersenyum liar, "Kalau
aku bertanya padamu, jawab. Kalau tidak, akan kukubur kau di tumpukan
anggur
itu." Lalu ia tertawa untuk menunjukkan ia hanya bergurau. Ia melontarkan
senyum paling memesona, berbicara dengan suara paling lembut. "Kau gadis
tercantik yang pernah kulihat di Sisilia," pujinya. "Aku harus bercakap-cakap
denganmu."
Si pelayan ketakutan sekaligus terpesona. Ia memerhatikan pisau pemotong yang
berbahaya menjuntai dari pinggang Pisciotta, gaya Pisciotta yang seakan juga
seorang duke. Kini ia tertarik. Ia mengatakan namanya Graziella.
Ketika hari kerja berakhir, Pisciotta dengan berani mengetuk pintu belakang
dapur puri dan menanyakan Graziella. Wanita tua yang membukakan pintu
mendengarkan, lalu berkata tegas, "Pelayan tidak diizinkan menerima tamu." Ia
membanting pintu di depan Pisciotta.
Keesokan harinya Pisciotta mengambil baki yang dibawa Graziella dan berbisik
ia ingin menemui Graziella sesudah pekerjaan usai. Diselipkannya seuntai
gelang emas ke pergelangan Graziella sambil mengelusnya. Graziella berjanji
akan menyelinap keluar sesudah gelap dan menemuinya di kebun anggur yang
kosong.
Malam itu Aspanu Pisciotta mengenakan kemeja sutra istimewa buatan penjahit
Palermo. Ia menunggu Graziella di lembah yang terbentuk dari tumpukan buah
anggur di semua sisinya. Ketika Graziella muncul, ia memeluknya, dan sewaktu
Graziella mendongak untuk dicium, Pisciotta menyapu bibir gadis itu dengan
bibirnya dan pada saat bersamaan meletakkan tangannya di sela-sela kaki
Graziella. Graziella mencoba melepaskan diri tapi Pisciotta memeluknya erat-
erat. Mereka berciuman lebih dalam dan Pisciotta mengangkat
rok wol Graziella, terkejut mendapati gadis itu mengenakan pakaian dalam sutra.
Graziella pasti meminjamnya dari Duchess, pikir Pisciotta. Ia benar-benar
pemberani, dan pencuri.
Ia membaringkan Graziella di atas selimut yang telah dibentangkannya di tanah.
Mereka berbaring ber-sama-sama di sana. Graziella menciuminya penuh nafsu
dan Pisciotta bisa merasakan reaksinya dari balik celana dalam sutra yang
dikenakannya. Dengan satu gerakan cepat ia menanggalkan celana dalam itu dan
kulit hangat yang basah pun berada dalam genggamannya. Graziella membuka
sabuknya dan sementara mereka terus berciuman, Pisciotta mendorong celana
panjangnya turun ke pergelangan kaki. Ia bergulir ke atas tubuh Graziella,
menyingkirkan tangannya, dan memasukinya. Graziella mengerang pelan dan
meregang ke atas dengan kekuatan mengejutkan. Aspanu Pisciotta merasakan
dirinya sendiri bergerak naik-turun, naik-turun, dan tiba-tiba Graziella menjerit
pelan dan berbaring tidak bergerak. Sialan, pikir Pisciotta, ia terlalu cepat Tapi
tidak masalah. Tujuan utamanya adalah informasi, kepuasannya sendiri bisa
menunggu.
Mereka menyelimuti diri dan berpelukan. Pisciotta bercerita ia bekerja untuk
mendapatkan uang agar bisa kuliah di Universitas Palermo, keluarganya ingin
dirinya menjadi pengacara. Ia ingin Graziella mengira dirinya tangkapan yang
bagus. Lalu ia bertanya tentang Graziella sendiri, bagaimana pendapatnya
tentang pekerjaannya, orang-orang macam apa yang menjadi sesama pelayan di
sana? Perlahan-lahan ia mengarahkan pembicaraan mereka ke majikan Graziella,
Duchess. Graziella mengembalikan tangan Aspanu ke sela-
sela kakinya dan bercerita tentang betapa cantiknya Duchess kalau mengenakan
pakaian-pakaiannya yang bagus dan perhiasannya, bagaimana dirinya—
Graziella—menjadi pelayan kesayangan dan diizinkan mengenakan gaun
ketinggalan mode yang dibuang Duchess. iPf!^
"Aku ingin melihatmu mengenakan barang-barang majikanmu. Apa dia
membiarkan kau memakai perhiasannya juga?"
"Well, di Malam Natal dia selalu mengizinkan aku mengenakan kalung." Jadi
seperti terkaan Guiliano, perhiasan itu ada di rumah pada musim liburan. Ada
satu hal lagi yang perlu diketahuinya, tapi tiba-tiba Graziella memeluknya erat-
erat, seraya berusaha mempertahankan selimut di bahunya. Aspanu terangsang
sepenuhnya, selimutnya jatuh, roknya melayang melewati kepala Graziella dan
kekuatan sentakan mereka menyebabkan keduanya bergeser ke dinding anggur.
Setelannya tubuh-tubuh mereka yang kelelahan tertutup cairan lengket anggur
dan keringat mereka sendiri.
Aspanu berkata, "Udara segar memang baik, tapi kapan aku bisa masuk ke
dalam rumah dan bercinta denganmu dengan cara yang layak?"
'Tidak selagi Duke di sini. Kalau dia pergi ke Palermo, seisi rumah lebih santai.
Bulan depan, dia akan pergi selama beberapa minggu, tepat sebelum Natal."
Aspanu tersenyum. Dan sekarang sesudah mendapatkan semua informasi yang
dibutuhkannya, ia menaruh perhatian penuh pada tugas di hadapannya. Ia
mengempaskan diri ke tubuh Graziella dan menekannya pada selimut, bercinta
dengan keliaran begitu rupa
sehingga gadis itu tenggelam dalam kenikmatan, dan agak ketakutan. Cukup
agar Graziella menginginkan
dirinya lagi sepanjang bulan yang akan datang.
Lima hari sebelum Natal, Guiliano, Passatempo, Pisciotta, dan Terranova
berhenti di depan gerbang Perkebunan Alcamo dalam kereta yang ditarik bagal-
bagaL Mereka mengenakan pakaian-berburu petani tuan tanah yang cukup
berhasil, dibeli di Palermo dari hasil menjarah truk: celana panjang korduroi,
kemeja wol merah, jaket menembak yang tebal dan berisi kotak-kotak peluru.
Dua penjaga keamanan menghalangi jalan mereka. Karena saat itu tengah hari,
mereka tidak waspada dan membiarkan senjata mereka menjuntai dari bahu.
Guiliano melangkah sigap mendekati mereka. Ia tidak bersenjata kecuali
sepucuk pistol yang tersembunyi di balik mantel kasar pemilik penyewaan
kereta. Ia tersenyum lebar. "Tuan-tuan," sapanya. "Namaku Guiliano dan aku
datang untuk menyampaikan selamat Natal kepada Duchess dan memohon
sumbangan untuk membantu kaum miskin."
Para penjaga tertegun mendengar nama Guiliano. Lalu mereka hendak
mengayunkan senjata. Tapi pada saat itu Passatempo dan Terranova telah
membidik mereka dengan pistol otomatis. Pisciotta merampas senjata para
penjaga dan melemparkannya ke dalam kereta. Passatempo dan Terranova
ditinggalkan untuk berjaga-jaga di depan gerbang.
Jalan masuk ke rumah mewah itu berupa halaman batu yang sangat luas. Di
salah satu sudut segerom-bol ayam sibuk mengerumuni wanita tua yang menye-
barkan biji-bijian. Di luar rumah, keempat anak Duchess bermain-main di
taman, diawasi pengasuh anak yang mengenakan gaun katun hitam. Guiliano
menyusuri jalan setapak menuju rumah, Pisciotta berjalan di sampingnya.
Informasinya benar, tidak ada penjaga lain. Di balik taman membentang tanah
luas, yang digunakan untuk menanam sayur-mayur dan sekelompok pohon
zaitun. Di ladang ini enam pekerja tengah bekerja keras. Ia membunyikan bel
dan mendorong pintunya saat pelayan membukakannya. Graziella terkejut
melihat kemunculan Pisciotta di pintu depan dan melangkah ke samping.
Guiliano berkata lembut, "Jangan terkejut. Beritahu majikanmu bahwa kami
kemari atas perintah suaminya untuk masalah bisnis. Aku harus berbicara
dengannya."
Masih kebingungan, Graziella mengajak mereka ke ruang duduk tempat Duchess
tengah membaca. Duchess melambai mengusir pelayan, jengkel karena
gangguan tanpa pemberitahuan itu dan berkata tajam, "Suamiku sedang pergi.
Ada yang bisa kubantu?"
Guiliano tidak bisa menjawab. Ia tertegun oleh keindahan ruangan itu. Ruangan
paling luas yang pernah dilihatnya dan, yang lebih mengagumkan, bentuknya
bundar dan bukannya persegi. Tirai-tirai keemasan melindungi pintu-pintu kaca-
gandanya, langit-langit di atas berceruk di bawah kubah dan dihiasi patung-
patung kerubim. Di mana-mana terdapat buku—di sofa, di meja kopi, dan di rak-
rak khusus di sepanjang dinding. Lukisan-lukisan besar cat minyak yang kaya
warna menggantung di dmding-dinding dan vas-vas bunga besar bertebaran di
berbagai tempat. Kotak-kotak perak dan emas tersebar di meja-meja yang ada
di depan kursi-kursi dan sofa-sofa empuk. Ruangan itu bisa menampung seratus
orang dengan mudah dan satu-satunya yang menggunakannya" hanyalah wanita
yang mengenakan gaun sutra putih ini. Cahaya matahari dan udara dan teriakan
anak-anak yang bermain di taman menerobos jendela-jendelanya yang terbuka.
Untuk pertama kalinya Guiliano memahami rayuan kekayaan, bahwa uang bisa
menciptakan keindahan seperti ini, dan ia merasa enggan merusak keindahan itu
dengan kekasaran maupun kekejaman. Ia akan melakukan apa yang harus
dilakukannya dan tidak meninggalkan satu goresan pun di tempat yang indah ini.
Duchess, menunggu jawaban dengan sabar, terpana oleh ketampanan jantan
pemuda ini. Ia melihat pemuda ku terpesona oleh keindahan ruangan, dan agak
jengkel karena si pemuda tidak menyadari kecantikan dirinya. Ia menyayangkan
si pemuda yang jelas-jelas petani dan tidak termasuk golongannya, di mana
sedikit cumbuan polos tidak bisa dibilang tidak layak. Semua ku menyebabkan
ia berkata dengan lebih menawan daripada biasanya, "Anak muda, maafkan aku,
tapi kalau kau datang untuk urusan bisnis, kau harus kembali kin kali Suamiku
tidak di rumah."
Guiliano memandangnya. Ia merasakan perlawanan yang dirasakan pria miskin
terhadap wanita kaya yang dengan cara tertentu memancarkan keunggulan atas
dirinya karena kekayaan dan posisinya di masyarakat. Guiliano membungkuk
sopan, menyadari cincin spektakuler di jari Duchess, dan berkata dengan
kepasrahan yang konis, "Aku punya urusan denganmu. Namaku Guiliano."
Tapi ironi kepasrahannya tidak berarti bagi Duchess, yang terbiasa menganggap
rendah para pelayannya. Ia menganggap itu sesuatu yang biasa. Ia wanita
beradab, tertarik pada buku-buku dan musik, dan tidak berminat pada kejadian
sehari-hari di Sisilia. Ia jarang membaca koran setempat; ia menganggap koran-
koran itu biadab. Jadi ia hanya berkata sopan, "Senang berkenalan denganmu.
Apa kita pernah bertemu di Palermo? Mungkin di opera?"
Aspanu Pisciotta, yang mengamati adegan tersebut dengan heran bercampur
gembka, tertawa terang-terangan dan melangkah santai ke pintu ganda untuk
mencegah pelayan yang mungkin datang dari arah itu.
Guiliano, agak marah karena tawa Pisciotta tapi terpesona oleh ketidakpedulian
Duchess, berkata tegas, "Duchess yang baik, kita tidak pernah bertemu. Aku
bandit. Nama lengkapku Salvatore Guiliano. Kuanggap diriku Pembela Sisilia,
dan tujuan kedatanganku kemari adalah menemuimu untuk meminta dirimu
menyumbangkan perhiasan kepada kaum miskin agar mereka bisa menikmati
dan merayakan kelahkan Kristus di hari Natal." ,
Duchess tersenyum tidak percaya. Pemuda yang wajah dan tubuhnya
membangkitkan hasrat yang asing dalam dirinya ini tidak mungkin berniat jahat
terhadapnya. Dan sekarang ditambah sedikit sentuhan bahaya, ia justru semakin
tergelitik. Ia akan menceritakan kisah ini pada pesta-pesta di Palermo. Jadi ia
berkata sambil tersenyum polos, "Perhiasaanku ada di lemari besi bank di
Palermo. Uang tunai apa pun yang ada di rumah ini boleh kauambil. Aku rela."
Seumur hidupnya, tak seorang pun pernah meragukan
kata-katanya. Bahkan sewaktu kecil ia tidak pernah
berbohong. Ini untuk pertama kalinya.
Guiliano memandang medalion berlian yang melilit di
tenggorokannya. Ia tahu wanita ini berbohong, tapi ia merasa enggan melakukan
apa yang harus dilakukannya Lalu ia mengangguk kepada Pisciotta, yang
menyelipkan jemari ke sela giginya dan bersiul tiga kali. Dalam waktu beberapa
detik Passatempo muncul di pintu ganda. Sosoknya yang pendek, besar, dan
jelek, wajahnya yang bopeng menakutkan bisa saja berasal dari sandiwara
boneka. Wajahnya lebar seolah hampir tanpa dahi, dan rambut hitamnya yang
lebat dan kusut serta alis matanya yang menggembung menyebabkan ia tampak
seperti gorila. Ia tersenyum kepada Duchess dan menunjukkan gigi-gigi besar
berwarna suram.
Kemunculan bandit ketiga ini akhirnya membuat Duchess ketakutan. Ia
menanggalkan kalungnya dan memberikannya kepada Guiliano. "Apa itu
cukup?" tanyanya.
"Tidak," jawab Guiliano. "Duchess yang baik, aku orang berhati lembut. Tapi
para kolegaku sama sekali berbeda. Temanku Aspanu, walaupun tampan, sama
kejamnya seperti kumis kecilnya yang telah mematahkan hati begitu banyak
orang. Dan pria di pintu itu, meski anak buahku, membuatku bermimpi buruk.
Jangan sampai aku melepas mereka. Mereka akan melesat ke tamanmu seperti
rajawali dan membawa anak-anakmu jauh ke pegunungan. Sekarang bawa
kemari semua berlianmu yang lain."
Duchess melesat ke kamar tidur dan kembali beberapa menit kemudian sambil
membawa sekotak perhiasan. Ia cukup berani menyembunyikan beberapa
perhiasan berharga sebelum membawanya keluar. Ia memberikan kotak itu
kepada Guiliano. Guiliano mengucapkan terima kasih dengan ramah. Lalu ia
berpaling kepada Pisciotta. "Aspanu," katanya, "Duchess mungkin melupakan
beberapa barang. Coba periksa kamar tidur sekadar untuk memastikan." Segera
Pisciotta menemukan perhiasan yang disembunyikan dan membawanya kepada
Guiliano.
Sementara itu Guiliano membuka kotak perhiasan dan jantungnya melonjak
gembira melihat permata-permata itu. Ia menyadari isi kotak ini bisa memberi
makan seluruh Montelepre selama berbulan-bulan. Dan yang lebih
menggembirakan lagi, perhiasan-perhiasan itu dibeli Duke dengan uang yang
diperolehnya dari keringat para buruhnya. Lalu saat Duchess meremas-remas
tangannya, Guiliano menyadari cincin zamrud besar di jarinya.
"Duchess yang baik," katanya, "bagaimana kau bisa begitu bodoh mencoba
menipuku dengan menyembunyikan perhiasan-perhiasan lain? Aku bisa
menerima bila petani miskin yang melakukannya, karena mereka harus bersusah
payah memperoleh harta. Tapi bagaimana kau bisa mempertaruhkan
keselamatanmu dan anak-anakmu demi dua perhiasan yang tidak akan
kaurindukan sama seperti suamimu Duke merindukan topi di kepalanya?
Sekarang, tanpa perlu ribut, berikan cincin yang ada di jarimu itu."
Duchess menangis. "Anak muda yang baik," katanya, "izinkan aku
menyimpannya. Akan kukirimkan uang senilai cincin ini. Tapi suamiku
memberikannya sebagai hadiah pertunangan. Aku tidak bisa kehilangan cincin
ini Hatiku akan hancur karenanya."
Sekali lagi Pisciotta tertawa. Ia sengaja melakukannya. Ia takut Turi akan
membiarkan wanita itu menyimpan cincinnya karena perasaannya yang
sentimental. Padahal zamrud itu jelas paling berharga.
Tap^ Guiliano tidak memiliki sentimentalitas seperti itu. Pisciotta akan selalu
mengingat tatapannya sewaktu Turi meraih lengan Duchess dengan kasar dan
mencabut cincin zamrud itu dari tangannya yang gemetar. Guiliano bergegas
mundur dan mengenakan cincin itu di kelingking kirinya. 1$^/.
Turi melihat wajah Duchess memerah dan air mata menggenang di matanya.
Sikap Guiliano sekali lagi sopan sewaktu berkata, "Untuk menghormati
kenanganmu, aku tidak akan menjual cincin ini—aku akan mengenakannya."
Duchess mencari-cari ironi di wajah Guiliano, tapi tidak menemukannya.
Tapi saat ku merupakan momen-momen ajaib bagi Turi Guiliano. Karena begitu
ia mengenakan cincin itu, ia merasakan perpindahan kekuatan. Dengan cincin itu
ia menikahkan dirinya dengan takdir. Cincin itu merupakan simbol kekuasaan
yang akan dimenangkannya dari dunia orang kaya. Dalam genangan hijau tua
ku, terikat oleh lingkaran emasnya, masih menguarkan harum parfum wanita
cantik yang terus mengenakannya selama bertahun-tahun, ia telah menangkap
sepotong inti kehidupan yang tidak akan pernah dimilikinya.
Don Croce mendengarkan tanpa berkata-kata.
Duke of Alcamo tengah menyampaikan keluhannya kepada Don Croce.
Bukankah ia sudah membayar "sewa" kepada Friends of the Friends? Bukankah
mereka menjamin kekebalan dirinya terhadap segala bentuk
pencurian? Apa yang akhknya terjadi? Di masa lalu tidak ada seorang pun yang
berani. Dan apa yang akan dilakukan Don Croce untuk mendapatkan kembali
perhiasannya? Duke melaporkan pencurian itu kepada pihak berwenang, meski
tahu usaha ini sia-sia dan mungkin tidak menyenangkan Don Croce. Tapi ada
asuransi yang harus diambil; mungkin pemerintah di Roma akan menganggap
serius si bandit Guiliano ini.
Don Croce merasa sudah waktunya menganggap serius Guiliano. Ia berkata
kepada Duke, "Kalau aku bisa mendapatkan kembali perhiasanmu, kau mau
membayar seperempat nilainya?"
Duke murka. "Mula-mula aku membayar sewa kepadamu agar aku dan harta
milikku aman. Lalu, sewaktu kau gagal melakukan tugasmu, kau memintaku
membayar uang tebusan. Bagaimana kau bisa berharap mempertahankan
penghormatan dari para klienmu kalau begini caramu berbisnis?"
Don Croce mengangguk. "Harus kuakui pendapatmu benar. Tapi anggaplah
Salvatore Guiliano sebagai kekuatan alam, seperti kemarahan Tuhan. Jelas kau
tidak bisa mengharapkan Friends of the Friends melindungimu dari gempa bumi,
gunung meletus, banjir? Pada waktunya Guiliano akan terkendali, kujamin. Tapi
coba pikir: Kaubayar tebusan yang akan kuatur. Kau akan mendapatkan
perlindungan tanpa membayar sewa seperti biasa selama lima tahun mendatang,
dan berdasarkan perjanjian Guiliano tidak akan menyerang lagi. Untuk apa dia
menyerang lagi, toh aku dan dirinya menganggap kau pasti punya akal sehat
untuk menyimpan barang-barang berhargamu di lemari besi bank di Palermo?
Wanita terlalu polos—mereka tidak
mengetahui nafsu dan keserakahan pria dalam memburu barang-barang materi
dunia ini." Ia diam sejenak agar senyum tipis yang muncul di wajah Duke
menghilang. Lalu ia melanjutkan, "Kalau kau menghitung sewa yang harus
dibayar untuk melindungi seluruh lahanmu selama lima tahun masa sulit yang
akan datang, kau akan melihat kerugianmu sangat sedikit akibat kesialan ini"
Duke memang memikirkannya. Don Croce benar mengenai masa sulit yang
menanti di depan mereka. Menebus perhiasan itu akan membuat jumlah
kerugiannya lumayan besar, kendati ada pengurangan "sewa" selama lima tahun;
siapa yang bisa memastikan Don Croce tetap hidup selama itu atau sanggup
menahan Guiliano? Tapi tetap saja itu penawaran terbaik yang bisa diperolehnya.
Dengan begitu Duchess tidak bisa merengek-rengek meminta perhiasan baru
darinya selama bertahun-tahun mendatang dan itu merupakan penghematan luar
biasa. Ia terpaksa menjual sepetak tanahnya, tapi para leluhurnya telah
melakukannya selama beberapa generasi untuk membayar kebodohan mereka,
dan ia masih memiliki ribuan are tanah. Duke setuju.
Don Croce memanggil Hector Adonis, Keesokan harinya Adonis mengadakan
perjalanan untuk menemui putra baptisnya. Ia menjelaskan misinya. Ia bersikap
Hferus terang. "Kau tidak akan mendapat harga yang lebih baik walaupun kau
menjual perhiasan-perhiasan itu kepada para pencuri di Palermo," katanya. "Dan
ahkan kalau bisa, itu butuh waktu dan kau jelas tidak 'an mendapatkan uangnya
sebelum Natal, aku tahu lah harapanmu. Lebih dari itu kau akan mendapat
niat baik Don Croce, dan itu penting bagimu. Bagaimanapun, kau menyebabkan
dia kehilangan kehormatan, yang akan dimaafkannya kalau kau bersedia
membantunya."
Guiliano tersenyum kepada bapak baptisnya. Ia tidak memedulikan niat baik
Don Croce; bagaimanapun salah satu impiannya adalah membantai naga Mafia
di Sisilia. Tapi ia telah mengirim utusan ke Palermo untuk menemui pembeli
perhiasan curian itu, dan jelas prosesnya akan memakan waktu lama dan
menyiksa. Jadi ia menyetujui penawaran itu. Tapi ia menolak menyerahkan
cincin zamrudnya.
Sebelum berlalu Adonis akhirnya menanggalkan perannya sebagai guru roman
bagi Guiliano. Untuk pertama kalinya ia membicarakan realita kehidupan orang
Sisilia. "Putra baptisku yang baik," katanya, "tak seorang pun mengagumi
kualitas dirimu lebih daripada aku. Aku menyukai tmgginya cita-citamu, aku
berharap turut berperan membangunnya. Tapi sekarang kita harus membicarakan
soal bertahan hidup. Kau tak bisa berharap menang menghadapi Friends of the
Friends. Selama seribu tahun terakhir, seperti sejuta labah-labah, mereka sudah
merajut jaring-jaring raksasa di seluruh kehidupan di Sisilia. Don Croce
sekarang berdiri di tengah-tengah jaring itu. Ia mengagumi dirimu,
menginginkan persahabatanmu, ia ingin kau menjadi kaya bersamanya. Tapi kau
terkadang harus mengikuti keinginannya. Kau bisa memperoleh kekaisaran, tapi
kekaisaranmu harus ada dalam jaring-jaringnya. Satu hal yang pasti—kau tidak
bisa menentangnya terang-terangan. Kalau kaulakukan, sejarah sendiri akan
membantu Don Croce menghancurkan curimu."
Jadi perhiasan itu kembali ke tangan Duke. Guiliano menyimpan separo uang
penjualan perhiasan itu untuk dibagikan pada Pisciotta, Passatempo, dan
Terranova. Mereka mengincar cincin zamrud di jari Guiliano tapi tidak
mengatakan apa-apa, karena Guiliano menolak menerima uang hasil penjualan
perhiasan.
Separo uang sisanya dibagikan Guiliano kepada para penggembala miskin yang
menjaga kawanan domba dan ternak milik orang kaya, janda-janda tua dan anak-
anak yatim piatu, semua orang miskin di sekitarnya. S%^'':
Ia memberikan sebagian besar uang itu melalui perantara, tapi pada suatu hari
yang cerah ia mengisi saku-saku jaket kulit dombanya dengan tumpukan lira. Ia
juga mengisi karung kanvas dengan uang dan memutuskan berjalan melintasi
desa-desa antara Montelepre dan Piani dei Greci, didampingi Terranova.
Di satu desa ada tiga wanita tua yang hampir kelaparan. Ia memberi mereka
masing-masing seikat Bra. Mereka menangis dan menciumi tangannya. Di desa
lain ada pria yang akan kehilangan ladang dan tanahnya karena tidak mampu
membayar cicilan pinjaman. Guiliano meninggalkan cukup uang baginya untuk
melunasi utang-utangnya.
Di desa lain ia memborong habis toko roti dan bahan-bahan pokok, membayar
pemiliknya, dan membagi-bagikan roti dan keju dan pasta kepada seluruh
penduduk desa.
Di kota berikutnya ia memberikan uang kepada
orangtua seorang anak yang sakit agar mereka bisa membawanya ke rumah sakit
di Palermo dan membayar biaya dokter setempat. Ia juga menghadiri pernikahan
pasangan muda dan memberi mereka banyak hadiah perkawinan.
Tapi yang paling disukainya adalah memberikan uang kepada anak-anak kecil
berpakaian lusuh, yang memenuhi jalan-jalan kota-kota kecil di Sisilia. Banyak
di antara mereka mengenal Guiliano. Mereka mengerumuninya sewaktu ia
membagi-bagikan uang sambil memberitahu mereka agar memberikannya
kepada orangtua masing-masing. Guiliano mengawasi saat mereka berlari-lari
pulang dengan sukacita.
Ia hanya tinggal memiliki beberapa ikat lira sewaktu memutuskan untuk
mengunjungi ibunya sebelum malam turun. Sewaktu melintasi padang di
belakang rumahnya, ia bertemu anak laki-laki dan gadis kecil yang menangis.
Mereka kehilangan uang yang dipercayakan orangtua mereka kepada mereka
dan mengatakan carabinieri merampasnya. Guiliano merasa geli melihat tragedi
kecil itu dan memberi mereka salah satu dari dua ikat lira yang tersisa.
Kemudian, karena gadis kecil itu begitu cantik dan Guiliano tidak tahan
membayangkannya dihukum, ia memberinya sehelai surat untuk orangtuanya.
Orangtua gadis kecil itu bukan satu-satunya orang yang berterima kasih.
Penduduk di Borgetto, Corleone, Partinico, Monreale, dan Piani dei Greci mulai
menyebut dirinya "Raja Montelepre" untuk menunjukkan kesetiaan mereka.
Don Croce gembira walaupun kehilangan uang "sewa"
dari Duke selama lima tahun. Karena meski Don Croce memberitahu Adonis
bahwa Duke hanya bersedia membayar dua puluh persen dari nilai perhiasan itu,
ia menarik 25 persen dari Duke, dan mengantongi lima persen selisihnya.
Yang lebih menggembirakan lagi adalah kepuasan bahwa ia menemukan
Guiliano lebih awal dan menilainya dengan begitu tepat. Benar-benar pemuda
luar biasa. Siapa yang percaya orang semuda itu bisa melihat begitu jelas,
bertindak begitu bijaksana, mendengarkan dengan begitu sabar pendapat orang
yang lebih tua dan lebih bijaksana? Dan semua ini dilakukan dengan kecerdasan
yang menjaga kepentingannya sendiri, yang tentu saja dikagumi Don Croce,
karena siapa yang mau berhubungan dengan orang bodoh? Ya, Don merasa Turi
Guiliano akan menjadi tangan kanan yang hebat Dan seiring berlalunya waktu,
menjadi putra angkat terkasih.
Turi Guiliano melihat semuanya dengan jelas, menembus segala sesuatu yang
berlangsung di sekitarnya. Ia tahu bapak baptisnya benar-benar
mengkhawatirkan kesejahteraan (iirinya. Tapi itu tidak berarti ia memercayai
penilaian pria yang lebih tua itu. Guiliano tahu dirinya belum cukup kuat
menghadapi Friends of the Friends; bahkan ia masih membutuhkan bantuan
mereka. Tapi ia sama sekali tidak berilusi tentang jangka panjang. Pada
akhirnya, kalau ia mendengarkan nasihat bapak baptisnya, ia akan terpaksa
menjadi pelayan Don Croce. Ia membulatkan tekad untuk tidak membiarkan hal
itu terjadi. Untuk saat ini, ia harus mengulur waktu.
Bab 11
KELOMPOK Guiliano sekarang berjumlah tiga puluh orang. Beberapa di
antaranya mantan anggota kelompok Passatempo dan Terranova.. Juga beberapa
penduduk Montelepre yang dibebaskan dari penjara sewaktu Guiliano menyerbu
ke sana. Mereka mendapati tidak ada pengampunan dari pihak berwenang
walaupun mereka tidak bersalah; mereka masih tetap diburu. Mereka
memutuskan untuk diburu bersama Guiliano dan bukannya dilacak seorang diri
dan tanpa teman.
Pada suatu pagi di bulan April yang cerah, para mata-mata Guiliano di
MontelerJre mengirim kabar bahwa seorang pria bertampang berbahaya,
mungkin mata-mata polisi, bertanya-tanya tentang cara bergabung dengan
kelompok. Pria itu tengah menunggu di alun-alun utama. Guiliano mengirim
Terranova dan empat anak buahnya ke Montelepre untuk menyelidiki. Kalau pria
itu memang mata-mata, mereka akan membunuhnya; kalau ia berguna, mereka
akan merekrutnya.
Menjelang sore, Terranova kembali dan memberitahu Guiliano, "Kami berhasil
menangkap orang itu dan sebelum kami menembaknya, kami merasa kau
mungkin ingin mengenalnya terlebih dulu."
Guiliano tertawa sewaktu melihat sosok tinggi besar yang mengenakan pakaian
tradisional kaum buruh Sisilia itu, "Well, teman lama, kaupikir aku akan
melupakan wajahmu. Apa kali ini kau datang membawa peluru yang lebih
baik?"
Pria itu kopral carabinieri, Canio Silvestro, yang menembakkan pistolnya ke
kepala Guiliano sewaktu penyerbuan-penjara yang terkenal itu.
Wajah Silvestro yang kokoh dan berbekas luka tampak serius. Wajahnya
menarik perhatian Guiliano, entah kenapa- Hatinya mudah tersentuh orang yang
telah membantu membuktikan keabadiannya ini.
Silvestro berkata, "Aku datang untuk bergabung Aku bisa berguna bagimu." Ia
mengatakannya dengan bangga seperti orang yang hendak memberi hadiah. Ini
juga menyenangkan Guiliano. Ia membiarkan Silvestro menceritakan kisahnya.
Sesudah penyerbuan-penjara, Kopral Silvestro diltirim ke Palermo untuk
menghadiri mahkamah tnihter dengan tuduhan melalaikan tugas. Maresciallo
murka kepadanya dan menginterogasinya habis-habisan sebelum
merekomendasikan hukuman. Anehnya situasi yang memicu kecurigaan
Maresciallo adalah upayanya menembak Guiliano. Penyebab luputnya tembakan
ditemukan, yakni peluru yang rusak. Maresciallo menuduh Kopral sengaja
mengisi pistolnya dengan peluru yang tidak berbahaya, bahwa Kopral tahu
peluru itu rusak. Bahwa seluruh upaya perlawanannya hanyalah pura-pura dan
Kopral Silvestro telah membantu Guiliano merencanakan penyerbuan-penjara
dan sengaja menempatkan para penjaganya untuk membantu keberhasilan
penyerbuan itu.
Guiliano menyela, "Bagaimana mereka bisa beranggapan kau tahu pelurunya
rusak?"
Silvestro tampak malu-malu. "Aku seharusnya tahu. Aku bekerja di bagian
persenjataan di infanteri, seorang pakar." Wajahnya berubah muram dan ia
mengangkat bahu. "Aku memang lalai, itu benar. Mereka menempatkan diriku di
belakang meja dan tidak menaruh banyak perhatian pada bakatku yang
sebenarnya. Tapi aku bisa berharga bagimu. Aku bisa mengurus persenjataanmu.
Aku bisa memeriksa semua senjatamu dan memperbaikinya. Aku bisa
memastikan amunisimu ditangani dengan benar sehingga tempat
penyimpanannya tidak akan meledak. Aku bisa memodifikasi senjatamu agar
sesuai dengan penggunaan yang kauinginkan, di sini di pegunungan ini."
"Ceritakan kisahmu sampai selesai," perintah Guiliano. Ia mengamatinya dengan
saksama. Bisa jadi orang ini mata-mata yang hendak menyusupi kelompoknya.
Ia bisa melihat Pisciotta, Passatempo, dan Terranova sama sekali tidak percaya..
Silvestro melanjutkan. "Mereka semua bodoh dan mereka cuma segerombol
wanita yang ketakutan. Maresciallo sadar membawa sebagian besar anak
buahnya ke pegunungan, meninggalkan barak, yang penuh tahanan, merupakan
tindakan bodoh. Carabinieri menganggap Sisilia negara asing yang terjajah. Aku
dulu memprotes anggapan itu, dan aku masuk daftar hitam mereka karenanya.
Dan pihak berwenang di Palermo ingin melindungi Maresciallo—bagaimanapun
juga mereka bertanggung jawab atas dirinya. Akan lebih baik kalau Barak
Bellampo dikhianati dari dalam daripada diambil alih orang yang lebih berani
dan lebih cer v
Mereka tidak mengadiliku. Mereka memerintahkan aku mengundurkan diri.
Kata mereka pengunduran diriku akan diterima tanpa prasangka, tapi aku
mengenal mereka dengan baik. Aku tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan
di pemerintahan lagi. Aku tidak cocok untuk pekerjaan apa pun, padahal aku
patriot Sisilia. Jadi kupikir—apa yang bisa kulakukan dengan hidupku? Jadi aku
berkata sendiri—aku akan menemui Guiliano."
Guiliano mengajak anak buahnya ke dapur untuk bersantap dan mmum-minum,
lalu bercakap-cakap dengan para pemimpin bawahannya.
Passatempo menggerutu tapi yakin. "Mereka pikir kita ini bodoh, ya? Tembak
dia dan buang mayatnya ke jurang. Kita tidak butuh carabinieri dalam kelompok
kita."
Pisciotta melihat Guiliano sekali lagi terpesona oleh si kopral Ia mengetahui
emosi sahabatnya yang impulsif, jadi ia berkata hati-hati, "Kemungkinan besar
ini tipuan. Tapi kalau bukan, kenapa mengambil risiko? Kita jadi khawatir
.sepanjang waktu. Selalu ada keraguan. Kenapa tidak Idta suruh kembali saja?"
Terranova mengingatkan, "Dia tahu kamp kita. Dia sudah melihat berapa orang
kita dan mengetahui jumlahnya. Itu informasi berharga,"
Guiliano berkata, "Dia Sisilia sejati Dia bertindak berdasarkan martabatnya. Aku
tidak percaya dia mau melakukan kegiatan mata-mata." Ia melihat mereka semua
tersenyum mendengar kepolosannya.
Pisciotta berkata, "Ingat, dia pernah mencoba membunuhmu. Dia
menyembunyikan senjata, dia tahanan, dan dia mencoba membunuhmu karena
marah padahal tanpa harapan untuk melarikan diri."
Guiliano berpikir, Dan itulah yang membuatnya berharga bagiku. Ia
menjelaskan, "Bukankah itu membuktikan dia pria terhormat? Dia sudah kalah
tapi merasa harus membalas dendam bagi dirinya sendiri sebelum mati. Dan
bahaya apa yang bisa ditimbulkannya? Dia bisa menjadi anggota kelompok biasa
—kita tidak akan memercayainya. Dan kita akan mengawasinya dengan ketat.
Aku sendiri akan khusus memperhatikan dirinya. Pada saatnya nanti kita
memberinya ujian yang pasti akan ditolaknya kalau dia carabinieri. Serahkan dia
padaku."
Malam itu ketika Guiliano memberitahu Silvestro bahwa sekarang ia sudah jadi
anggota kelompok, pria itu hanya berkata, "Kau bisa mengandalkan diriku untuk
apa pun." Ia memahami Guiliano sekali lagi menyelamatkan nyawanya.
Pada hari Paskah Guiliano mengunjungi keluarganya. Pisciotta menentang
keinginannya itu, mengatakan polisi mungkin memasang jebakan. Paskah di
Sisilia selalu menjadi hari kematian tradisional para bandit. Polisi mengandalkan
eratnya ikatan kekeluargaan untuk' memancing para bandit menyusup turun dari
pegunungan dan mengunjungi orang-orang yang mereka cintai. Tapi mata-mata
Guiliano menyampaikan kabar bahwa Maresciallo akan mengunjungi
keluarganya di daratan dan separo garnisun di Barak Belampo mendapat cuti
untuk merayakan liburan di Palermo. Guiliano memutuskan membawa cukup
banyak anak buah bersamanya supaya aman. Ia menyelinap ke Montelepre pada
hari Minggu Suci.
Ia mengirim kabar kunjungannya beberapa hari se-
belumnya dan ibunya menyiapkan pesta. Malam itu ia tidur di ranjang masa
kanak-kanaknya, dan keesokan hatinya, sewaktu ibunya menghadiri Misa pagi,
Guiliano menemaninya ke gereja. Ia mengajak enam pengawal yang juga
mengunjungi keluarga mereka di kota tapi mendapat perintah untuk menemani
Guiliano ke mana pun ia pergi
Sewaktu ia keluar dari gereja bersama ibunya, keenam pengawalnya telah
menunggu bersama Pisciotta. Wajah Aspanu pucat karena murka sewaktu
berkata, "Kau dikhianati, Turi. Maresciallo kembali dari Palermo membawa dua
puluh orang tambahan untuk menangkapmu. Mereka sudah mengepung rumah
ibumu. Mereka mengira kau di sana."
Sejenak Guiliano merasakan kemarahan atas ke-tergesa-gesaan dan
kebodohannya sendiri, dan membulatkan tekad untuk tidak bertindak seceroboh
itu lagi. Bukan berarti Maresciallo dan kedua puluh anak buahnya bisa
menangkap dirinya di rumah ibunya. Para pengawalnya pasti sudah menyergap
mereka, dan akan terjadi pertempuran berdarah. Tapi hal itu akan merusak
semangat kepulangan Paskah-nya. Hari Kristus bangkit bukanlah hari
pertempuran.
Ia mencium ibunya sebagai salam perpisahan dan memberitahunya agar pulang
serta mengaku kepada polisi bahwa ia meninggalkan Guiliano di gereja. De-an
cara begitu ibunya takkan bisa dituduh bersekongkol Ia meminta ibunya agar
jangan khawatir, dirinya dan anak buahnya bersenjata lengkap dan bisa
melarikan diri dengan mudah; bahkan tidak akan terjadi pertempuran.
Carabinieri tidak akan berani mengikuti mereka ke pegunungan.
Guiliano dan anak buahnya berlalu bahkan tanpa sepengetahuan polisi Malam
itu di kamp di pegunungan, Guiliano menanyai Pisciotta. Bagaimana
Maresciallo bisa mengetahui kunjungan itu? Siapa mata-matanya? Harus
dilakukan sesuatu untuk menemukannya. "Itu tugas khususmu, Aspanu,"
katanya. "Dan kalau ada mata-mata yang kautemukan, mungkin ada mata-mata
yang lain. Aku tidak peduli berapa lama yang dibutuhkan atau berapa banyak
uang yang kita habiskan, kau harus menyelidiki."
Bahkan sewaktu kecil, Pisciotta tidak pernah menyukai tukang cukur Montelepre
yang sok itu. Frisella salah satu tukang cukur yang memotong rambut sesuai
suasana hatinya hari itu, sekali waktu trendi, lain kali serampangan, lain waktu
amat kuno seperti petani. Dengan mengubah-ubah gayanya ia membanggakan
dirinya seorang artis. Ia juga terlalu akrab dengan para pejabat dan sombong
terhadap sesamanya. Terhadap anak-anak ia suka bermain-main dengan gaya
kejam ala Sisilia, yang merupakan salah satu sisi kurang menyenangkan karakter
penduduk pulau itu; ia menggunting sedikit telinga mereka dan terkadang
memotong rambut mereka begitu pendek sehingga kepala mereka tampak seperti
bola biliar. Jadi Pisciotta merasa puas sewaktu melapor kepada Guiliano bahwa
Frisella si tukang cukur yang menjadi mata-mata polisi dan telah melanggar
aturan suci omerta. Jelas Maresciallo tidak melakukan penyerangan secara acak
pada hari Paskah itu. Ia pasti sudah mendapat informasi bahwa Turi akan ada di
sana. Dan bagaimana ia bisa mendapatkan informasi itu padahal Turi
memberitahu keluarganya hanya 24 jam sebelumnya?
Pisciotta memanfaatkan para informannya sendiri di desa untuk memeriksa
setiap langkah yang dilakukan Maresciallo selama 24 jam itu. Dan karena hanya
ibu dan ayah Guiliano yang mengetahui kunjungan itu, ia menanyai mereka
dengan santai untuk memastikan apakah mereka secara tidak sengaja
menyebarkan informasi.
Maria Lombardo segera mencium maksudnya. Ia berkata kepadanya, "Aku tidak
berbicara pada siapa pun, bahkan pada para tetanggaku. Aku tinggal di rumah
dan memasak agar Turi bisa menikmati pesta Paskah."
Tapi ayah Guiliano pergi ke Frisella si tukang cukur pada pagi hari kunjungan
itu. Pria tua itu agak putus asa, dan ingin tampil hebat untuk menyambut
kesempatan langka putranya berkunjung ke rumah di Montelepre. Frisella yang
mencukur dan memotong rambut pria tua itu dan melontarkan leluconnya seperti
biasa. "Apa Signor mau pergi ke Palermo mengunjungi wanita-wanita muda
khusus di sana? Apa dia menerima tamu penting dari Roma?" Ia, Frisella, akan
menjadikan Signor Guiliano cukup tampan untuk menerima "raja". Dan Pisciotta
membayangkan adegannya. Ayah Guiliano, sambil tersenyum misterius
menggumam bahwa pria boleh saja tampil rapi demi kepuasannya sendiri, tanpa
perlu alasan lain. Ia pun merasa dirinya penting mengetahui putranya cukup
terkenal untuk disebut "Raja Montelepre". Mungkin sebelumnya ayah Guiliano
pernah bercukur pada hari Guiliano berkunjung, dan si tukang cukur menebak
kali ini pun ia
pasti bercukur untuk menyambut kedatangan putranya.
Maresciallo Roccofino singgah ke salon Frisella setiap pagi untuk cukur
hariannya. Tampaknya tidak ada percakapan apa pun yang bisa menyampaikan
informasi dari si tukang cukur ke polisi itu. Tapi Pisciotta merasa yakin. Ia
mengirim mata-mata ke salon untuk berkeliaran di sekitarnya sepanjang hari dan
bermain kartu bersama Frisella di meja kecil yang diletakkan di jalan di luar.
Mereka minum anggur, membicarakan masalah-masalah politik, dan
meneriakkan hinaan kepada teman-teman yang melintas.
Selama berminggu-minggu mata-mata Pisciotta mengumpulkan lebih banyak
informasi. Frisella selalu menyiulkan lagu salah satu opera kesukaannya sewaktu
mencukur dan memotong rambut; terkadang radio besar berbentuk oval
melantunkan rekaman-rekaman dari Roma. Selalu begitu situasinya setiap kali ia
menangani Maresciallo. Dan selalu ada saat ia membungkuk ke arah petugas
polisi itu dan membisikkan sesuatu. Kalau kau tidak sedang curiga, adegan itu
tampak seperti tukang cukur yang penuh perhatian terhadap keinginan
pelanggannya, sekadar ingin menyenangkan si pelanggan. Tapi lalu salah
seorang mata-mata Pisciotta melihat lembaran lira yang digunakan Maresciallo
membayar layanan si tukang cukur. Mereka memerhatikan lembaran itu dilipat,
dan si tukang cukur menyimpannya dalam saku-j am khusus di rompinya, di
balik mantel putihnya. Sewaktu mata-mata dan salah satu pembantunya
mengkonfrontasi Frisella dan memaksanya menunjukkan uang itu, ternyata itu
lembaran sepuluh ribu lira. Si tukang cukur bersumpah
uang itu untuk membayar layanannya selama beberapa bulan terakhir, dan mata-
mata Pisciotta berpura-pura memercayai ucapannya.
Pisciotta menyajikan bukti kepada Guiliano di hadapan Terranova, Passatempo,
dan Kopral Silvestro. Mereka berada di kamp di pegunungan, dan Guiliano
menuju salah satu tepi karang yang membentang ke arah Montelepre dan
memandangi kota itu.
Frisella, si tukang cukur, telah menjadi bagian kota itu sepanjang ingatan
Guiliano. Sewaktu kecil ia pernah mengunjungi Frisella untuk memotong
rambutnya untuk acara Konfirmasi Suci, dan Frisella memberinya sekeping koin
perak kecil sebagai hadiah. Ia mengenal istri dan putra Frisella. Frisella sering
meneriakkan lelucon kepadanya di jalan dan selalu menanyakan keadaan ibu dan
ayahnya.
Tapi sekarang Frisella melanggar hukum suci omerta. Ia menjual rahasia kepada
musuh; ia mata-mata bayaran polisi. Bagaimana ia bisa sebodoh itu? Dan apa
yang harus dilakukannya terhadap Frisella? Membunuh polisi dalam
pertempuran hebat mungkin biasa saja, tapi mengeksekusi—dengan darah dingin
—pria lebih tua yang bagaikan pamannya sendiri jelas berbeda. Turi Guiliano
baru berusia 21 tahun dan ini pertama kalinya ia harus menggunakan kekejaman
luar biasa yang -begitu penting bagi kelangsungan hidupnya.
Ia berbalik memandang yang lain. "Frisella sudah mengenalku seumur hidupku.
Dia memberiku es jeruk •sewaktu aku kecil, kau ingat, Aspanu? -Dan mungkin
dia hanya bergosip dengan Maresciallo, tidak benar-benar memberinya
informasi. Bukan seperti kita memberitahunya bahwa aku akan mengunjungi
kota dan
lalu dia melaporkannya ke polisi. Mungkin dia hanya berteori dan menerima
uang karena ditawarkan. Siapa yang akan menolak?"
Passatempo memandang Guiliano dengan mata menyipit, seperti yang dilakukan
hiena kala memandang singa sekarat, berpikk-pikir apakah sudah tiba waktunya,
apakah situasi aman, untuk melesat maju dan mencabik sepotong dagingnya.
Terranova menggeleng pelan, ia tersenyum seakan tengah mendengarkan anak
kecil memaparkan kisah konyol. Tapi hanya Pisciotta yang menjawab.
"Dia sama bersalahnya seperti pendeta di rumah bordil," ujar Pisciotta.
"Kita bisa memperingatkannya," sahut Guiliano. "Kita bisa menariknya ke pihak
kita dan memanfaatkan dirinya untuk memberikan informasi palsu kepada pihak
berwenang, sesuai tujuan kita." Bahkan sementara bicara, ia tahu dirinya keliru.
Ia tidak lagi bisa mengambil risiko dengan tindakan-tindakan seperti itu.
Pisciotta berkata berang, "Sekalian saja beri dia hadiah, sekarung padi atau
seekor ayam! Turi, keselamatan kita dan keselamatan semua orang di luar sana
di pegunungan ini bergantung pada keberanian-mu, kemauanmu,
kepemimpinanmu. Bagaimana kami bisa mengikutimu kalau kau mengampuni
pengkhianat seperti Frisella? Orang yang melanggar hukum omerta. Friends of
the Friends pasti sudah menggantung hati dan jantungnya pada tiang salonnya
sekarang ini bahkan seandainya bukti yang mereka miliki lebih sedikit daripada
bukti yang kita punya. Kalau kau membiarkan dia lolos, maka setiap
pengkhianat serakah akan tahu dia bisa membocorkan rahasia sekali tanpa
hukuman. Salah satu dari 'sekali' itu bisa berarti kematian kita."
Terranova berbicara hati-hati. "Frisella orang sok yang bodoh, serakah, dan
pengkhianat. Di waktu-waktu biasa dia sekadar pengganggu. Sekarang dia
berbahaya. Membiarkan dirinya lolos merupakan kebodohan—dia tidak cukup
cerdas untuk memperbaiki kesalahan. Dia akan menganggap kita bukan orang-
orang serius. Dan banyak orang lainnya juga akan berpikir begitu. Turi, kau
sudah menekan kegiatan Friends of the Friends di Montelepre. Orang mereka,
Quintana, bergerak sangat hati-hati, walaupun dia sempat melontarkan beberapa
pernyataan ceroboh. Kalau kau membiarkan Frisella lolos dengan hukuman apa
pun selain kematian, Friends of the Friends akan menganggap kau lemah dan
mengujimu lebih jauh. Carabinieri akan semakin berani, tidak setakut sekarang,
dan lebih berbahaya. Bahkan penduduk Montelepre akan memandang rendah
dirimu. Frisella tidak bisa dibiarkan hidup." Ia mengatakan kalimat terakhir
hampir-hampir bernada penyesalan.
Guiliano mendengarkan pendapat mereka sambil berpikir. Mereka benar. Ia
menyadari pandangan Passatempo dan memahami pikirannya. Passatempo
takkan pernah bisa dipercaya kalau Frisella dibiarkan hidup. Guiliano takkan
bisa lagi membayangkan dirinya menjadi kesatria Charlemagne, takkan bisa lagi
mengkhayalkan dirinya membereskan masalah melalui pertempuran terhormat di
tengah Fields of the Cloths of Gold. Frisella harus dieksekusi dan dengan cara
sedemikian rupa sehingga menciptakan ketakutan maksimal.
Guiliano mendapat gagasan. Ia berpaling kepada
Kopral Silvestro dan bertanya, "Apa pendapatmu? Jelas Maresciallo pernah
memberitahumu tentang para mata-matanya. Apa tukang cukur itu bersalah?"
Silvestro mengangkat bahu, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia
tidak membuka mulut. Mereka semua menyadari ini masalah kehormatan
baginya, untuk tidak bicara, untuk tidak mengkhianati kepercayaan yang pernah
diperolehnya. Bahwa ia tidak menjawab merupakan caranya menyatakan tukang
cukur itu jelas mengadakan kontak dengan Maresciallo. Meskipun demikian,
Guiliano harus merasa yakin. Ia tersenyum kepada Kopral dan berkata,
"Sekarang tiba saatnya bagimu untuk membuktikan kesetiaanmu kepada kami.
Kita semua akan menuju Montelepre dan kau akan mengeksekusi tukang cukur
itu di alun-alun."
Aspanu Pisciotta terheran-heran akan kelicikan sahabatnya. Guiliano selalu
mengejutkan dirinya. Ia selalu bertindak mulia, tapi bisa memasang jebakan
yang layak disejajarkan dengan Iago—tokoh cerdas dan licik dalam drama
Othello karya William Shakespeare. Mereka semua mulai mengenal si kopral
sebagai orang jujur dan bisa dipercaya, serta adil. Ia tidak akan mau melakukan
eksekusi apa pun kalau ia tidak yakin si tukang cukur bersalah, tidak peduli apa
pun risikonya bagi dirinya sendiri. Pisciotta melihat Guiliano tersenyum—kalau
Kopral menolak, tukang cukur akan dianggap tidak bersalah dan bebas.
Tapi si kopral mengelus-elus kumisnya yang lebat dan memandang lurus ke arah
mereka. Katanya, "Frisella memotong rambut begitu buruk sehingga untuk itu
saja dia pantas mati. Aku akan siap besok pagi."
Pada saat fajar Guiliano dan Pisciotta serta mantan Kopral Silvestro menyusuri
jalan menuju Montelepre. Satu jam sebelumnya Passatempo berangkat bersama
sepuluh orang untuk memblokir seluruh jalan yang menuju alun-alun kota.
Terranova bertanggung jawab atas kamp dan bersiap-siap memimpin penyerbuan
ke kota bila rekan-rekan mereka menemui masalah serius.
Hari masih pagi ketika Guiliano dan Pisciotta memasuki alun-alun. Jalan-jalan
yang terbuat dari batu-batu bulat dan trotoar telah disiram air dan beberapa anak
tengah bermain-main di panggung tempat keledai dan bagal "bercinta" pada hari
yang menentukan beberapa waktu silam. Guiliano memerintahkan Silvestro
mengusir anak-anak ku dari alun-alun agar mereka tidak menyaksikan apa yang
akan terjadi. Silvestro melakukannya begitu keras sehingga anak-anak itu
berhamburan bagai anak ayam.
Sewaktu Guiliano dan Pisciotta memasuki salon dengan pistol otomatis siap
ditembakkan, Frisella tengah memotong rambut man tanah kaya di provinsi itu.
Tukang cukur itu menganggap mereka datang untuk menculik pelanggannya dan
ia mengibaskan kainnya sambil tersenyum seakan-akan menyajikan hadiah.
Tuan tanah itu, petani tua Sisilia yang menjadi kaya selama masa perang berkat
menjual ternak kepada Angkatan Darat Italia, bangkit berdiri dengan bangga.
Tapi Pisciotta memberi isyarat agar ia menyingkir dan berkata sambil tersenyum,
"Kau tidak memiliki cukup uang untuk membayar kami dan kerja keras yang
kami lakukan."
Guiliano sangat waspada dan tetap memandang Frisella. Tukang cukur itu masih
menggenggam gun-
ringnya. "Letakkan," perintah Guiliano. "Kau tidak perlu memotong rambut di
tempat kau akan pergi. Sekarang keluarlah."
Frisella menjatuhkan guntingnya dan wajahnya yang lebar menyeringai seperti
badut sewaktu ia mencoba tersenyum. "Turi," katanya, "aku tidak memiliki
uang, aku cuma membuka usaha. Aku orang miskin."
Pisciotta menyambar rambutnya yang lebat dan menyeretnya keluar salon ke
jalan berbatu-batu bulat, Silvestro telah menanti di sana. Frisella jatuh berlutut
dan mulai menjerit-jerit. "Turi, Turi, aku memotong rambutmu sewaktu kau
kecil. Kau ingat? Istriku akan kelaparan. Putraku tolol."
Pisciotta bisa melihat Guiliano goyah. Ia menendang tukang cukur itu dan
berkata, "Kau seharusnya memikirkan hal-hal itu sewaktu kau membocorkan
rahasia."
Frisella mulai menangis. "Aku tidak pernah mengkhianat Turi. Aku bercerita
tentang pencuri domba kepada Maresciallo. Aku bersumpah demi istri dan
anakku."
Guiliano menunduk memandangnya. Pada saat itu ia merasa hatinya akan
hancur, bahwa apa yang akan dilakukannya akan menghancurkan dirinya
selama-lamanya. Tapi ia berkata lembut, "Kau punya waktu satu menit untuk
berdamai dengan Tuhan."
Frisella menengadah memandang ketiga pria yang mengepungnya dan tidak
melihat tanda-tanda pengampunan. Ia menundukkan kepala dan menggumamkan
doa. Lalu ia mendongak dan berkata kepada Guiliano, "Jangan biarkan istri dan
anakku kelaparan."
"Aku berjanji mereka akan mendapat roti," kata
941
Guiliano. Ia berpaling kepada Silvestro. "Bunuh dia," perintahnya.
Kopral tertegun mengawasi adegan itu. Tapi begitu mendengar perintah, ia
menarik picu pistol otomatisnya. Pelurunya mengangkat tubuh Frisella dan
mendorongnya sepanjang batu-batu bulat yang basah. Darah menggelapkan
genangan-genangan air kecil di sela-sela bebatuan. Darah mengalir kehitaman di
retakan-retakan yang tidak tercapai air dan mengusir keluar kadal-kadal kecil.
Kesunyian berlangsung cukup lama di alun-alun. Lalu Pisciotta. bedutut di atas
mayat dan menjepitkan kertas putih persegi pada dada pria yang tewas itu.
Saat Maresciallo tiba, hanya kertas itu yang ia temukan sebagai bukti. Para
penjaga toko tidak melihat apa-apa, menurut pengakuan mereka. Mereka tengah
bekerja di belakang toko. Atau mengamati awan-awan yang indah di atas Monte
d'Ora. Pelanggan Frisella mengaku tengah mencuci muka di baskom sewaktu
mendengar tembakan, ia tidak pernah melihat para pembunuhnya. Meskipun
demikian, siapa yang bersalah sudah jelas. Kertas persegi di dada Frisella
bertuliskan, KEMATIAN BAGI SEMUA YANG MENGKHIANATI
GUILIANO.
Bab 12
PERANG telah berakhir, tapi perang Guiliano baru saja dimulai. Selama dua
tahun, Salvatore Guiliano telah menjadi orang paling terkenal di Sisilia. Ia
membangun dominasinya di sudut barat laut pulau. Jantung kerajaannya adalah
Montelepre. Ia mengendalikan kota-kota Piani dei Greci, Borgetto, dan
Partinico. Dan kota para pembunuh, Corleone, yang penduduknya begitu buas
sehingga mereka terkenal buruk bahkan di Sisilia. Jangkauannya nyaris
mencapai Trapani, dan ia mengancam Monreale serta ibukota Sisilia sendiri,
Palermo. Sewaktu pemerintah demokrasi yang baru di Roma memasang harga
sepuluh juta lira atas. kepalanya, Guiliano tertawa dan terus berkeliaran penuh
percaya diri di banyak kota. Ia bahkan sesekali bersantap malam di restoran-
restoran di Palermo. Setelah makan ia selalu meninggalkan surat di bawah
piringnya yang berbunyi, "Ini untuk menunjukkan Turi Guiliano bisa pergi ke
mana pun dia mau."
Benteng Guiliano yang tidak tertembus adalah kawasan Pegunungan
Cammarata. Ia mengenal semua gua dan jalan setapak rahasianya. Ia merasa
tidak terkalahkan di sini. Ia menyukai pemandangan Montelepre di bawahnya,
dataran Partinico yang membentang
hingga ke Trapani dan Laut Mediterania. Saat rembang senja berubah biru,
memantulkan laut di kejauhan, ia bisa melihat reruntuhan kuil-kuil Yunani,
pepohonan jeruk, perkebunan zaitun, dan ladang biji-bijian yang merupakan
Sisilia Barat. Dengan teropongnya ia bisa melihat akar-akar bergembok di tepi
jalan yang berisi patung-patung orang suci yang berdebu.
Dari pegunungan ini ia memimpin anak buahnya ke jalan-jalan putih berdebu
untuk merampok iring-king-an kendaraan pemerintah, meledakkan rel kereta,
dan meringankan beban para wanita kaya dari perhiasan mereka. Para petani
yang lewat dengan kereta-kereta warna-warni mereka di festival-festival suci
memberikan hormat kepadanya dan anak buahnya, mula-mula dengan ketakutan,
lalu hormat dan sayang. Tak satu pun dari mereka, tak satu gembala atau buruh
pun yang tidak mendapat keuntungan dari pembagian harta rampasannya.
Seluruh pedalaman menjadi mata-matanya. Di malam hari sewaktu anak-anak
mengucapkan doa, mereka mengikutsertakan permohonan kepada Bunda Maria
"untuk menyelamatkan Guiliano dari carabinieri".
Pedalamanlah yang memberi makan Guiliano dan anak buahnya. Ada
perkebunan zaitun dan jeruk, serta kebun anggur. Ada kawanan domba yang
gembalanya menutup mata saat para bandit datang untuk mengambil beberapa
ekor. Di kawasan inilah Guiliano ber-eliaran bagai hantu, menghilang dalam
keremangan ahaya kebkuan Sisilia yang merupakan pantulan warna ngit di Laut
Mediterania. Musim dingin sangat panjang di pegunungan, dan tgat dingin.
Kendati demikian kelompok Guiliano
bertambah besar. Di malam hari puluhan api unggun bermunculan di lereng-
lereng dan lembah-lembah Cammarata. Orang-orang memanfaatkan cahaya api
unggun untuk membersihkan senjata-senjata mereka, memperbaiki pakaian,
mencuci pakaian di sungai pegunungan di dekat perkemahan. Menyiapkan
makan malam bersama terkadang menyebabkan perdebatan. Setiap desa di
Sisilia memiliki resep berbeda untuk cumi-cumi dan belut, mereka berdebat soal
bumbu-bumbu apa yang tidak boleh dicampurkan dalam saus tomat. Dan apakah
sosisnya harus dipanggang atau tidak Orang-orang yang cenderung gampang
membunuh memilih mencuci pakaian; para penculik lebih suka memasak dan
menjahit. Para perampok bank dan kereta bertahan membersihkan senjata
mereka.
Guiliano memerintahkan mereka semua menggali parit-parit pertahanan dan
mendirikan pos pengamatan yang cukup jauh agar mereka tidak bisa dikejutkan
pasukan pemerintah. Suatu hari sewaktu orang-orang tengah menggali, mereka
menemukan kerangka hewan raksasa, lebih besar daripada yang bisa mereka
bayangkan. Hector Adonis tiba hari itu membawa buku-buku untuk dipelajari
Guikano,. karena Guiliano sekarang sangat ingin mengetahui segala sesuatu
yang terjadi di dunia. Ia mempelajari buku-buku tentang ilmu pengetahuan, obat-
obatan, poktik, filsafat, dan teknik militer. Hector Adonis membawa sekarung
penuh buku setiap beberapa minggu sekali. Guikano mengajaknya ke tempat
anak buahnya menemukan kerangka hewan itu. Adonis tersenyum melihat
kebingungan mereka. "Apa aku belum memberimu cukup banyak buku sejarah?"
tanyanya kepada Guiliano. "Orang yang tidak menge-
tahui sejarah umat manusia selama dua ribu tahun terakhir adalah orang yang
hidup dalam kegelapan." Ia diam selama beberapa saat. Suara Adonis yang lunak
adalah suara dosen yang tengah mengajar.
"Ini tulang-belulang mesin perang yang digunakan Hannibal dari Kartagena,
yang dua ribu tahun silam melewati pegunungan ini untuk menghancurkan
kekaisaran Romawi Ini tulang-belulang salah seekor gajah perangnya, terlatih
bertempur dan tidak pernah terlihat di benua ini sebelumnya. Gajah-gajah itu
pasti sangat menakutkan bagi para prajurit Romawi. Tapi mereka tidak memberi
Hannibal keuntungan apa pun; Roma mengalahkannya dan menghancurkan
Kartagena. Pegunungan ini dihuni begitu banyak hantu, dan kau menemukan
salah satu di antaranya. Pikir, Turi, suatu hari kau akan menjadi salah satu dari
hantu-hantu itu."
Dan Guiliano memang berpikir sepanjang malam itu. Gagasan suatu hari dirinya
akan menjadi salah satu hantu sejarah- membuatnya senang. Kalau ia terbunuh,
ia berharap terbunuh di pegunungan; ia berfantasi—dalam keadaan terluka—ia
merangkak ke salah satu dari ribuan gua yang ada dan hanya akan ditemukan
secara kebetulan, .seperti yang terjadi pada gajah Hannibal
Mereka berpindah tempat berkemah berulang kali selama musim dingin. Dan
terkadang selama ber-minggu-minggu kelompoknya bubar dan tidur di rumah
kerabat, gembala sahabat, atau gudang kosong luas milik kaum bangsawan.
Guiliano menghabiskan sebagian besar musim dingin dengan mempelajari buku-
bukunya dan menyusun rencana. Ia berbicara panjang-lebar dengan Hector
Adonis.
Di awal musim semi ia pergi bersama Pisciotta menyusuri jalan yang menuju
Trapani. Di jalan itu mereka melihat kereta dengan legenda yang baru dilukiskan
di sisinya. Untuk pertama kalinya mereka melihat panel yang menunjukkan
legenda Guiliano. Adegan itu digambarkan dengan cat merah manyala, Guiliano
tengah merampas cincin zamrud dari jari Duchess sambil membungkuk di
hadapannya. Di latar belakang, Pisciotta berdiri menyandang pistol otomatis dan
mengancam sekelompok pria bersenjata yang gemetar ketakutan.
Pada hari itu juga untuk pertama kali mereka mengenakan gesper bergambar
elang dan singa yang diukirkan pada sepotong emas. Gesper-gesper itu buatan
Silvestro, yang sekarang" bertugas di bagian persenjataan, dan ia
memberikannya pada Guiliano dan Pisciotta. Gesper-gesper itu merupakan
lencana kepemimpinan mereka atas kelompok. Guiliano selalu mengenakannya;
Pisciotta mengenakannya hanya bila sedang bersama Guiliano. Karena Pisciotta
sering masuk ke kota-kota dan desa-desa sambil menyamar, bahkan ke Palermo.
Di malam hari di pegunungan, Guiliano—sewaktu menanggalkan sabuknya—
mengamati gesper emas persegi itu. Di sisi kiri terdapat ukiran burung elang
yang tampak seperti pria berbulu. Sisi kanan berukirkan singa, cakar-cakarnya—
seperti sayap-sayap elangnya— mendukung lingkaran di antara keduanya.
Tampaknya seolah keduanya bersama-sama memutar roda dunia. Guiliano
terutama terpesona pada ukiran singanya, dengan tubuh manusia di bawah
kepalanya. Raja udara, raja tanah, diukir di atas emas kuning yang lunak.
Guiliano menganggap dirinya elang, Pisciotta singanya, dan lingkaran itu Sisilia.
Selama berabad-abad, penculikan orang kaya merupakan salah satu industri
rumah tangga di Sisilia. Biasanya penculiknya Mafiosi atau anggota Mafia yang
paling ditakuti, yang hanya perlu mengirim surat sebelum menculik. Ini cara
sopan, untuk menghindarkan kerepotan, uang tebusan dikirim terlebih dulu.
Seperti mendapat diskon kalau membayar tunai, tebusan jadi jauh lebih kecil
karena segala macam perincian yang menjengkelkan—seperti penculikan itu
sendiri—tidak perlu dilakukan. Karena sejujurnya, aksi semacam penculikan
orang terkenal tidaklah semudah anggapan orang. Penculikan bukanlah bisnis
yang cocok bagi amatir serakah atau pemalas tolol yang menolak bekerja
mencari penghidupan. Penculikan juga tidak sesuai bagi orang tak berakal, yang
menyebabkan aksi bunuh diri seperti yang terjadi di Amerika, di mana para
pelakunya membuat penculikan mendapat reputasi buruk. Bahkan kata
"kidnapping" atau penculikan tidak digunakan di Sisilia, karena "kid" atau anak-
anak tidak ditahan guna mendapat tebusan kecuali ditemani orang dewasa.
Terserah apa katamu tentang orang Sisilia: mereka penjahat sejak lahir, mereka
membunuh semudah wanita memetik" bunga, mereka sama liciknya seperti
orang Turki, mereka ketinggalan zaman tiga ratus tahun; tapi tak seorang pun
bisa memperdebatkan bahwa orang Sisilia mencintai—oh, tidak—mereka me-
muja anak-anak. Jadi tidak ada yang namanya penculikan di Sisilia. Mereka
"mengundang" orang kaya menjadi tamu mereka, dan ia tidak akan dibebaskan
sebelum menfbayar uang kamar dan pelayanan, sebagaimana di hotel mewah.
Industri ini telah mengembangkan peraturan-peraturan tertentu selama ratusan
tahun. Harganya selalu bisa dinegosiasikan melalui perantara seperti Mafia.
"Tamu" tidak akan diperlakukan kasar selama ia mau bekerja sama. "Tamu" akan
diperlakukan amat hormat, selalu dipanggil sesuai kedudukannya, seperti
Pangeran atau Duke atau Don atau bahkan Uskup Agung, kalau ada bandit yang
mentilih membahayakan jiwanya dengan menangkap anggota gereja. Bahkan
Anggota Parlemen pun dipanggil Yang Mulia meskipun semua orang tahu
mereka itu mencuri lebih banyak daripada siapa pun.
Ini dilakukan semata-mata karena kehati-hatian. Sejarah menunjukkan ini
kebijakan yang berguna. Begitu tahanan dibebaskan, ia tidak menunjukkan
keinginan membalas dendam selama harga dirinya dipertahankan. Ada cerita
klasik tentang seorang Duke yang—sesudah dibebaskan—memimpin carabinieri
ke tempat para bandit bersembunyi, lalu membayar pengacara bagi para bandit
itu. Meski mereka terbukti bersalah, Duke itu campur tangan untuk mengurangi
setengah masa hukuman mereka. Ini karena para bandit memperlakukan dirinya
begitu ramah dan sopan sehingga Duke itu menyatakan clirinya belum pernah
mendapati sikap begitu hebat bahkan di kalangan teratas Palermo.
Sebaliknya tahanan yang diperlakukan buruk, begitu dibebaskan, akan
menghabiskan hartanya untuk memburu para penangkapnya, terkadang
menawarkan hadiah lebih besar daripada uang tebusan yang dibayarkan.
Tapi bila segala sesuatu berjalan lancar, kalau kedua belah pihak bersikap
beradab, harganya dinegosiasikan
dan tahanan dilepaskan. Kaum kaya Sisilia akhirnya menganggap "penculikan"
ini semacam pajak tidak resmi atas kehidupan mereka di tanah yang mereka
cintai, dan karena mereka membayar pajak begitu sedikit kepada pemerintah
resmi, mereka menanggung beban ini dengan kepasrahan Kristiani.
Penolakan keras atau negosiasi berkepanjangan, diselesaikan melalui hukuman
ringan. Mungkin salah satu telinga dipotong, atau jari. Biasanya ini sudah cukup
untuk menyadarkan semua orang Kecuali dalam kasus-kasus menyedihkan yang
sangat jarang terjadi di mana mayat si korban harus dikirimkan, dicincang dan
dipenuhi peluru, atau, di masa lalu, ditusuk puluhan kali dalam pola salib.
Tetap "Mengundang Tamu" selalu merepotkan. Korban harus diamati selama
beberapa waktu agar bisa "diambil" tanpa banyak kekerasan, Bahkan
sebelumnya, lima atau enam tempat persembunyian harus disiapkan, diisi
pasokan bahan makanan, dan dijaga, karena mereka memahami bahwa selama
negosiasi, pihak berwenang akan berusaha mencari korban. Bisnis rumit ini
bukan untuk amatiran.
Sewaktu Guiliano memutuskan menerjuni bisnis penculikan, ia membulatkan
tekad untuk hanya melayani klien-klien terkaya di Sisilia. Malah korban
pertamanya adalah bangsawan paling kaya dan paling berkuasa di pulau itu. Ia
Pangeran Ollorto, yang bukan saja memiliki lahan terluas di Sisilia tapi juga
kekaisaran virtual di Brasilia. Ia man tanah bagi sebagian besar penduduk
Montelepre—pemilik ladang-ladang dan rumah-rumah mereka. Secara politis ia
orang paling berkuasa di balik layar; Menteri Kehakiman di Roma
teman dekatnya, dan mantan Raja Italia menjadi bapak permandian anaknya. Di
Sisilia, pengawas atas seluruh lahannya adalah Don Croce sendiri. Tidak perlu
dikatakan lagi besarnya gaji yang diterima Don Croce, termasuk perlindungan,
terhadap Pangeran Ollorto dari penculikan dan pembunuhan, serta perlindungan
terhadap perhiasan dan ternaknya dari pencurian.
Aman di purinya, dmdmg-dindingnya dijaga anak buah Don Croce, penjaga
gerbang, dan para pengawal pribadinya, Pangeran Ollorto bersiap-siap
menikmati malam yang damai dengan mengamati bintang-bintang di langit
melalui teleskop besar yang lebih dicintainya dari apa pun di dunia ini. Tiba-tiba
terdengar suara langkah-langkah berat menaiki tangga putar yang menuju
menara pengamatan. Pintunya didobrak dan empat orang yang berpakaian kasar
dan menyandang senjata menyesaki ruangan mungil itu. Pangeran menutupi
teleskopnya dengan tangan, melindunginya, dan berpaling dari bintang-bintang
yang tak berdosa untuk menghadapi mereka. Begitu Pangeran melihat wajah
Terranova yang bagai musang, ia seketika berdoa kepada Tuhan.
Tap Terranova berkata ramah kepadanya, "Yang Mulia, aku diperintahkan
membawamu ke pegunungan untuk berlibur bersama Turi Guiliano. Kau akan
dikenai biaya kamar dan akomodasi selama kunjunganmu, itu kebiasaan kami.
Tapi kau akan dijaga seperti bayi yang baru lahir."
Pangeran mencoba menyembunyikan ketakutannya. Ia membungkuk dan
bertanya serius, "Boleh aku membawa obat-obatan dan beberapa pakaian?"
Terranova menjawab, "Kami akan mengirim orang untuk mengambilnya.
Sekarang ini kecepatan yang penting. Carabinieri akan tiba sebentar lagi dan
mereka tidak diundang -ke pesta kecil kita. Sekarang silakan turun terlebih dulu.
Dan jangan coba-coba melarikan diri. Orang-orang kami ada di mana-mana dan
bahkan seorang pangeran tidak bisa mengalahkan kecepatan peluru." l|p|s
Di gerbang samping, jauh di bagian bawah dinding, menunggu Alfa Romeo dan
jip. Pangeran Ollorto didorong masuk ke Alfa Romeo bersama Terranova, yang
lainnya melompat naik ke jip, dan kedua kendaraan itu melesat menyusuri jalan
pegunungan. Setelah mereka melaju selama setengah jam dari Palermo dan tidak
jauh lagi dari Montelepre, mobil-mobil itu berhenti dan semua penumpangnya
turun. Ada altar tepi jalan berisi patung Bunda Maria, dan Terranova berlutut di
depannya dan membuat tanda salib. Pangeran, yang religius, menekan dorongan
hati untuk berbuat begitu, takut tindakannya dianggap sebagai tanda kelemahan
atau permohonan kepada orang-orang ini agar tidak menyakitinya. Kelima orang
lainnya berdiri menyebar dalam formasi bintang, Pangeran berdiri di tengah.
Lalu mereka mulai berjalan menuruni lereng curam sampai tiba di jalan setapak
sempit yang menuju hutan luas di Pegunungan Cammarata.
Mereka berjalan berjam-jam, dan sering kali Pangeran meminta istirahat, yang
dengan sopan dipenuhi para ptia yang menemaninya. Mereka duduk di bawah
batu granit raksasa dan menyantap makan malam. Ada roti, sepotong besar keju,
dan sebotol anggur. Terranova membagikannya sama rata kepada semua orang,
ter-
masuk Pangeran, dan bahkan sambil meminta maaf. "Maaf karena tidak bisa
menawarkan yang lebih baik," ucapnya. "Setelah tiba di kamp kami nanti,
Guiliano akan menghidangkan makanan panas bagimu, mungkin sup kelinci
yang lezat. Koki kami pernah bekerja di restoran-restoran di Palermo." .^^|
Pangeran mengucapkan terima kasih dengan sopan dan makan dengan lahap.
Malah selera makannya lebih baik dibandingkan saat ia menyantap makan
malam mewah yang biasa dinikmatinya. Olahraga menyebabkan ia kelaparan,
sudah bertahun-tahun ia tidak pernah merasakan lapar seperti itu. Ia
mengeluarkan sekotak rokok Inggris dari sakunya, dan menawarkannya kepada
semua orang. Terranova dan anak buahnya masing-masing mengambil sebatang
dengan penuh terima kasih dan mengisapnya. Pangeran diam-diam mencatat
fakta bahwa mereka tidak menyita sisa rokoknya. Jadi ia memberanikan diri
berkata, "Aku harus minum obat-obatan tertentu. Aku menderita diabetes dan
harus mendapat insulin setiap hari."
Ia terkejut melihat keprmatinan Terranova. "Kenapa kau tidak mengatakannya
sejak tadi?" tanyanya. "Kami bisa menunggu sebentar. Tapi tidak perlu khawatir.
Guiliano akan mengirim orang untuk mengambilkan obatmu dan kau akan
menerimanya besok pagi. Aku berjanji padamu."
'Terima kasih," ujar Pangeran. Tubuh Terranova yang kurus tampaknya selalu
membungkuk hormat dan penuh perhatian. Wajahnya yang bagai musang selalu
tersenyum dan ramah. Tapi ia bagaikan silet; berguna tapi bisa berubah menjadi
sesuatu yang mematikan. Kemudian mereka melanjutkan. perjalanan.
Terranova berjalan paling depan dalam formasi bintang itu. Sering kali ia
mundur untuk bercakap-cakap dengan Pangeran dan meyakinkannya bahwa ia
tidak akan disakiti.
Mereka mendaki cukup lama dan akhirnya tiba di dataran di puncak
pegunungan. Tiga perapian telah dinyalakan dan meja piknik dilengkapi- kursi-
kursi bambu diletakkan di dekat tepi tebing. Di salah satu meja duduk Guiliano
yang membaca buku dengan bantuan cahaya lampu baterai Angkatan Darat
Amerika. Tas kanvas berisi buku-buku lain berada di dekat kakinya. Tas itu
tertutup tokek dan memang terdengar dengungan mantap yang keras mengisi
udara pegunungan, yang dikenali Pangeran sebagai suara jutaan serangga. Suara
itu tampaknya tidak mengganggu Guiliano.
Guiliano beranjak bangkit dari meja dan menyapa Pangeran dengan sopan. Ia
sama sekali tidak menunjukkan sikap penahan terhadap tahanannya. Tapi ia
melontarkan senyum yang membangkitkan penasaran, karena Guiliano tengah
memikirkan seberapa jauh perubahan dirinya. Dua tahun lalu ia hanyalah petani
miskinj sekarang ia menguasai orang berdarah paling biru dan berdompet paling
tebal di seluruh Sisilia.
"Kau sudah makan?" tanya Guiliano. "Apa ada yang kaubutuhkan agar
kunjunganmu ke tempat kami lebih menyenangkan? Kau akan bersama kami
selama beberapa waktu."
Pangeran mengaku lapar dan menjelaskan kebutuhannya akan insulin dan obat-
obatan lainnya. Guiliano memanggil ke sisi tebing dan tak lama kemudian anak
buahnya bergegas mendaki jalan setapak sambil mem-
bawa sepanci setup panas. Guiliano meminta Pangeran menuliskan secara terinci
obat-obatan apa yang dibutuhkannya. "Aku punya teman seorang ahli kimia di
Monreale yang bersedia membuka tokonya bagi kami, tidak peduli pukul
berapa," Guiliano" menjelaskan. "Kau akan mendapatkan obatmu tengah hari
besok."
Setelah Pangeran selesai bersantap, Guiliano mengajaknya menuruni lereng
menuju gua kecil berisi ranjang jerami dan kasur. Dua bandit mengikuti mereka
sambil membawa selimut, dan Pangeran terpesona melihat mereka bahkan
menyediakan seprai putih dan bantal besar empuk. Guiliano menyadari
kekagetannya dan berkata, "Kau tamu terhormat dan aku akan melakukan apa
saja agar kau bisa menikmati liburan singkat ini. Kalau ada anak buahku yang
bersikap kurang hormat kepadamu, harap melaporkannya padaku. Mereka telah
menerima perintah tegas untuk memperlakukan dirimu sesuai kedudukanmu,
dan reputasimu sebagai patriot Sisilia. Sekarang tidurlah yang nyenyak, kau akan
membutuhkan semua kekuatanmu, karena besok kita akan menempuh perjalanan
panjang berjalan kaki. Surat permintaan tebusan sudah dikirim dan carabinieri
akan datang kemari dengan kekuatan besar untuk mencari dirimu. Jadi kita harus
meninggalkan tempat ini sejauh-jauhnya."
Pangeran mengucapkan terima kasih atas keramahannya dan menanyakan berapa
tebusannya.
Guiliano tertawa dan Pangeran terpesona pada tawanya, pada ketampanan
Guiliano yang kekanak-kanakan. Tapi saat Guiliano menjawab pesona itu
lenyap. "Pemerintahmu menetapkan harga sepuluh juta lira untuk
kepakku. Aku sama saja menghina Yang Mulia kalau
menuntut tebusan kurang dari sepuluh kali lipat." Pangeran terkesima lalu
berkata ironis, "Kuharap
keluargaku menganggap cliriku sama berharganya seperti
anggapanmu."
"Harga itu bisa dinegosiasikan," sahut Guiliano. Sesudah ia pergi, kedua bandit
tadi menyiapkan ranjang lalu duduk di luar gua. Sekalipun dengung serangga
terdengar sangat keras, Pangeran Ollorto tidur lebih nyenyak daripada yang
didaminya selama bertahun-tahun.
Guiliano sibuk sepanjang malam. Ia mengirim orang-orang ke Montelepre untuk
mengambilkan obat; ia membohongi Pangeran sewaktu mengatakan tentang
Monreale. Lalu ia mengirim Terranova menemui Kepala Biara Manfredi di
biaranya. Ia ingin Kepala Biara menangani negosiasi tebusannya, walaupun ia
tahu Kepala Biara terpaksa bekerja melalui Don Croce. Tapi Kepala Biara
perantara yang sempurna, dan Don Croce akan mendapatkan komisinya.
Negosiasinya akan berjalan panjang, dan ia sadar jumlah seratus juta lira tidak
bisa dibayarkan semuanya Pangeran Ollorto sangat kaya, tapi, berdasarkan
sejarah, tuntutan pertama bukanlah harga yang sebenarnya.
Hari kedua penculikan Pangeran Ollorto merupakan hari yang sangat
menyenangkan baginya. Ia berjalan kaki menempuh perjalanan panjang tapi
tidak menguras tenaga menuju rumah pertanian kosong jauh di pegunungan.
Guiliano benar-benar berusaha keras menyenangkan dirinya, seolah ia orang
dusun kaya raya yang
merasa terhormat akan kunjungan tiba-tiba rajanya. Dengan matanya yang tajam
Guiliano melihat Pangeran Ollorto tertekan karena kondisi pakaiannya. Ia
menatap penuh sesal setelan mahal buatan Inggris-nya, takut pakaian itu rusak.
Guiliano bertanya padanya tanpa maksud menghina, melainkan sekadar ingin
tahu, "Kau benar-benar memedulikan apa yang kaukenakan di luar kulitmu?"
Pangeran selalu memiliki kecenderungan mengajar. Dan jelas dalam kondisi
sekarang mereka berdua memiliki banyak waktu. Jadi ia menceramahi Guiliano
mengenai bagaimana pakaian yang tepat, yang dijahit begitu indahnya dan
terbuat dari bahan terbaik, bisa memperkaya orang seperti dirinya. Ia
menjabarkan tentang para penjahit di London yang begitu sombong sehingga,
kalau dibandingkan, para Duke Italia jadi tampak seperti kaum Komunis. Ia
bercerita tentang segala macam jenis kain, keahlian luar biasa, waktu yang
dihabiskan untuk mengepas. "Guiliano yang baik," kata Pangeran Ollorto,
"bukan masalah uang, kendati Santa Rosalie pun tahu harga yang kubayar untuk
setelan ini bisa menghidupi satu keluarga Sisilia selama setahun, ditambah
membayar mas kawin putri mereka. Tapi aku harus pergi ke London. Aku harus
menghabiskan berhari-hari bersama para penjahit yang mendorongku ke sana
kemari. Pengalaman yang menjengkelkan. Jadi aku menyesal kalau pakaian ini
rusak. Pakaian ini tidak akan pernah tergantikan."
Guiliano menatap Pangeran dengan simpatik dan ia bertanya, "Kenapa begitu
penting bagimu dan golonganmu untuk mengenakan pakaian mewah, atau,
maafkan aku, setepat itu? Bahkan sekarang kau masih
mengenakan dasi meski kita berada di pegunungan. Sewaktu memasuki rumah
ini, kulihat kau mengancingkan jas seolah seorang Duchess tengah menunggu di
sini untuk menyapamu."
Walaupun Pangeran Ollorto sangat reaksioner dalam hal politik, dan seperti
sebagian besar bangsawan Sisilia, tidak memedulikan keadilan ekonomi, namun
ia selalu memiliki perasaan keterkaitan dengan golongan yang lebih rendah. Ia
merasa mereka manusia, sama seperti dirinya, dan ia tidak membiarkan orang-
orang yang bekerja padanya, menghormatinya, dan menyadari posisinya,
mengalami kesusahan. Para pelayan di purinya memuja dirinya. Ia
memperlakukan mereka layaknya anggota keluarga. Selalu ada hadiah saat
mereka berulang tahun dan sedikit keistimewaan bagi mereka di hari-hari libur.
Saat makan malam keluarga, bila tidak ada tamu yang hadir, para pelayan yang
menunggu di sisi meja akan turut serta dalam diskusi dan menyampaikan
pendapat mereka mengenai masalah yang dihadapi keluarga bangsawan itu. Dan
ini bukanlah sesuatu yang tidak umum di Italia. Kelas-kelas bawah diperlakukan
kejam hanya apabila mereka berjuang untuk mendapatkan hak-hak ekonomi
mereka.
Dan sekarang Pangeran mengambil sikap sama terhadap Guiliano. Seakan-akan
penangkapnya hanyalah pelayannya yang ingin berbagi pengetahuan tentang
kehidupannya, kehidupannya yang glamor dan penuh kekuasaan yang
menimbulkan iri hati. Pangeran tiba-tiba menyadari ia bisa mengubah
penangkapan dirinya menjadi keuntungan yang mungkin menjadikan
pembayaran tebusan memang layak dilakukan. Tapi ia tahu ia harus sangat hati-
hati. Ia harus mengerahkan
pesonanya habis-habisan tanpa sikap merendahkan sedikit pun. Ia harus terus
terang dan tulus dan sejujur mungkin. Dan menunjukkan ia tidak mencoba
mendapatkan keuntungan besar dari situasi ini. Karena secepat kilat Guiliano
dapat beralih dari kelemahan menjadi kekuatan.
Jadi sekarang ia menjawab pertanyaan Guiliano dengan serius dan tulus. Ia
berkata sambil tersenyum, "Kenapa kau mengenakan cincin zamrud itu, gesper
emas itu?" Ia menunggu jawaban, tapi Guiliano hanya tersenyum. Pangeran
melanjutkan. "Aku menikahi wanita yang bahkan lebih kaya daripada diriku.
Aku memiliki tanggung jawab kekuasaan dan politik. Aku memiliki lahan di
Sisilia ini dan lahan yang bahkan lebih luas lagi di Brasilia berkat istriku. Orang-
orang di Sisilia mencium tanganku begitu aku mengeluarkannya dari saku, dan
bahkan di Roma aku mendapat penghormatan besar. Karena di kota itu uang
berkuasa. Pandangan semua orang terarah kepadaku. Aku merasa konyol—aku
tidak melakukan apa-apa untuk mendapatkan semua ini. Tapi kehormatan itu
lnimiliki dan aku harus menjaganya, aku tidak bisa mempermalukan pribadi
milik publik ini. Bahkan sewaktu pergi berburu dengan mengenakan apa yang
tampaknya pakaian kasar penduduk pedalaman, aku harus tampil sempurna.
Sebagai orang kaya dan terkemuka yang pergi berburu. Betapa terkadang aku iri
pada orang seperti dirimu dan Don Croce, yang memegang kekuasaan dalam
kepala dan dalam hati. Yang mendapatkan kekuasaan melalui keberanian dan
kepandaian. Konyol bukan, bahwa aku melakukan tindakan yang hampir sama
seperti tindakan kalian, hanya saja
dalam bentuk mengunjungi penjahit terbaik di London?"
Ia menyampaikan ceramah ini dengan begitu indahnya sehingga Guiliano
tertawa terbahak-bahak. Malahan Guiliano begitu senang sehingga keduanya
bersantap malam dan berbicara panjang-lebar mengenai kesengsaraan Sisilia dan
kepengecutan Roma.
Pangeran mengetahui harapan Don Croce untuk merekrut Guiliano dan berusaha
membantunya. "Guiliano yang baik," katanya, "kenapa kau dan Don Croce tidak
menyatukan kekuatan untuk memerintah Sisilia? Dia memiliki kebijakan karena
usianya, kau memiliki idealisme orang muda. Tidak diragukan lagi kalian berdua
mencintai Sisilia. Kenapa kalian tidak bersatu menghadapi masa-masa sulit yang
akan datang, yang berbahaya bagi' kita semua? Sekarang sesudah perang
berakhir, situasi berubah. Komunis dan Sosialis berharap bisa merendahkan
Gereja, menghancurkan ikatan darah. Mereka berani mengatakan tugas partai
politik lebih penting daripada cinta kepada ibumu, pengabdian kepada saudara-
saudarimu. Bagaimana kaku mereka memenangkan pemilihan dan melaksanakan
kebijakan politik ini?"
"Mereka tidak akan pernah menang" kilah Guiliano. "Orang Sisilia tidak akan
pernah memilih Komunis,"
"Jangan seyakin itu," desak Pangeran. "Kau ingat Silvio Ferra, dia teman masa
kanak-kanakmu. Bocah-bocah yang baik seperti Silvio pergi berperang dan
pulang dalam keadaan terinfeksi gagasan-gagasan radikal. Provokator mereka
menjanjikan roti gratis, tanah gratis. Petani yang naif bagaikan keledai yang
mengikuti sebatang wortel. Mereka sangat mungkin memilih Sosialis."
"Aku tidak menyukai Demokrat Kristen, tapi aku akan berusaha sekuat tenaga
mencegah kemunculan pemerintah Sosialis," tegas Guiliano.
"Hanya kau dan Don Croce yang bisa memastikan kemerdekaan Sisilia," kata
Pangeran. "Kalian harus bergabung. Don Croce selalu berbicara seakan-akan kau
putranya—dia sayang kepadamu. Dan hanya dia yang bisa mencegah perang
besar antara dirimu dan Friends of the Friends. Dia mengerti kau harus
melakukan apa yang harus kaulakukan; aku juga memahaminya. Tapi bahkan
sekarang kita bertiga bisa bekerja sama dan mempertahankan takdir kita. Kalau
tidak, kita semua akan hancur."
Turi Guiliano tidak bisa menahan amarahnya. Orang kaya ini benar-benar keras
kepala. Ia berkata dengan ketenangan mematikan, 'Tebusanmu sendiri belum
disepakati dan kau sudah menawarkan persekutuan. Kau bisa mati."
Malam itu Pangeran tidur sangat gelisah. Tapi Guiliano tidak menunjukkan
kemarahan lebih jauh, dan Pangeran menghabiskan dua minggu berikutnya
dalam kondisi sangat baik. Kesehatannya meningkat dan tubuhnya mengencang
karena olahraga setiap hari dan udara segar. Kendati sejak dulu tubuhnya
langsing, ia mulai menumpuk lemak di sekitar pinggang dan sekarang lemak itu
lenyap. Secara fisik ia tidak pernah merasa lebih baik.
Dan secara mental ia juga gembira. Terkadang sewaktu pindah dari satu tempat
ke tempat lain, Guiliano tidak turut dalam rombongan yang menjaga dirinyay
dan ia harus bercakap-cakap dengan orang-orang buta aksara dan tidak
memahami kebudayaan apa pun Tapi ia terkejut melihat karakter mereka.
Sebagian besar bandit ini memang ramah, memiliki martabat penduduk asli, dan
sama sekali tidak bodoh. Mereka selalu memanggil obinya sesuai kedudukannya
dan mencoba memenuhi setiap permintaannya. Ia belum pernah berhubungan
sedekat ini dengan sesama orang Sisilia, dan ia terkejut merasakan timbulnya
rasa cinta baru terhadap tanah dan rakyatnya. Tebusannya, akhirnya dicapai
kesepakatan sebesar enam puluh juta lira dalam bentuk emas, dibayar melalui
Don Croce dan Kepala Biara Manfredi. Pada malam sebelum pembebasannya,
Pangeran Ollorto menghadiri pesta yang diselenggarakan Guiliano dan para
wakilnya serta dua puluh anggota kelompok yang paling penting. Sampanye
dibawa dari Palermo untuk merayakan kesempatan ini dan mereka semua
bersulang atas kebebasannya, karena mereka menyukai (lirinya. Pangeran yang
terakhir bersulang. "Aku pernah menjadi tamu di sebagian besar keluarga
bangsawan di Sisilia," katanya. 'Tapi aku tidak pernah menerima perlakuan
sebaik ini, keramahan sebaik ini, atau orang-orang dengan sikap sehalus seperti
yang kudapati di pegunungan ini. Aku tidak pernah tidur begitu nyenyak dan
bersantap senikmat ini." Ia diam sejenak dan berkata sambil tersenyum,
"Tagihannya memang agak tinggi, tapi segala yang baik memang mahal." Kata-
kata itu memicu raungan tawa, Guiliano yang tertawa paling keras. Tapi
Pangeran menyadari Pisciotta bahkan tidak tersenyum.
Mereka semua minum demi kesehatannya dan ber-
sorak. Pangeran akan mengingat malam itu sepanjang sisa hidupnya, dan dengan
perasaan senang.
Keesokan paginya, hari Minggu, Pangeran diantar ke depan Katedral Palermo. Ia
masuk ke gereja untuk mengikuti Misa pertama dan mengucapkan doa syukur. Ia
mengenakan pakaian yang sama seperti pada hari ia diculik. Guiliano, sebagai
kejutan dan tanda kehormatannya, telah memperbaiki dan membersihkan setelan
buatan Inggris-nya di penjahit terbaik di Roma.
Bab 13
PARA kepala Mafia seluruh Sisilia menuntut pertemuan dengan Don Croce.
Walaupun Don Croce diakui sebagai pemimpin tertinggi, ia tidak memerintah
mereka secara langsung. Mereka memiliki kekaisarannya sendiri. Mafia
bagaikan salah satu kerajaan abad pertengahan, para bangsawan yang berkuasa
bersatu padu untuk mendukung peperangan anggota mereka yang paling kuat,
yang mereka akui sebagai pemimpin utama. Tapi seperti para bangsawan kuno,
mereka harus didorong oleh raja mereka, mereka 'harus mendapat bagian
pampasan perang. Don Croce memimpin mereka bukan dengan kekerasan
melainkan kecerdasan, karisma, "kehormatan" yang dikumpulkannya seumur
hidup. Ia memerintah dengan menggabungkan kepentingan mereka yang
berbeda-beda menjadi satu kepentingan bersama, yang menguntungkan mereka
semua.
Don Croce harus berhati-hati menghadapi mereka. Mereka semua memiliki
pasukan pribadi, pembunuh, pencekik, peracun, pencabut nyawa secara langsung
dengan menggunakan lupara yang menakutkan. Di bidang ini kekuatan mereka
sejajar dengan kekuatannya; itu sebabnya Don ingin merekrut Turi Guiliano
sebagai
kepala pasukan pribadinya. Orang-orang ini juga pandai, dengan caranya sendiri.
Beberapa bahkan orang-orang paling licik yang pernah tinggal di Sisilia. Mereka
tidak menyimpan kejengkelan karena Don membangun kekuasaan; mereka
memercayainya. Tapi bahkan orang yang paling cerdas di dunia terkadang
keliru. Dan mereka percaya perasaan Don terhadap Guiliano merupakan satu-
satunya kegagalan yang muncul dari labirin benaknya.
Don Croce menyelenggarakan makan siang mewah bagi keenam kepala Mafia di
kebun Hotel Umberto di Palermo, di sana kerahasiaan dan keamanannya
terjamin.
Orang yang paling menakutkan dan vokal di antara para pemimpin ini adalah
Don Siano, yang menguasai kota Bisacquino. Ia telah setuju berbicara atas nama
yang lain dan ia melakukannya dengan kesopanan kasar yang merupakan
peraturan Friends of the Friends di tingkat tertinggi.
"Don Croce yang baik," kata Don Siano, "kau tahu kami semua menghormati
clirimu. Kau » yang mengangkat kami dan keluarga kami. Kami sangat berutang
budi kepadamu. Jadi kami Derbicara terus terang sekarang semata-mata demi
keuntunganmu. Si bandit Turi Guiliano sudah terlalu kuat. Kita terlalu
meremehkannya. Dia hanya bocah kecil namun dia sudah menantang
wewenangmu dan wewenang kami. Dia merampok perhiasan klien-klien kita
yang paling kaya. Dia merampas zaitun, anggur, jagung dari man-man tanah kita
yang paling kaya. Dan sekarang dia menunjukkan kekurangajaran terbesar yang
tidak bisa kita abaikan. Dia menculik Pangeran Ollorto yang dia tahu
berada dalam perlindungan kita. Tapi, meskipun begitu, kau terus berbaik hati
padanya, kau terus menawarkan persahabatan dengannya. Aku tahu dia kuat,
tapi apa kita tidak lebih kuat? Dan kalau kita membiarkan dia bertindak
semaunya, apa dia tidak jadi lebih kuat lagi? Kami, semua setuju sekaranglah
saatnya memecahkan masalah ini. Kita harus mengambil semua langkah yang
mungkin untuk meruntuhkan kekuatannya. Kalau kita tak memedulikan
penculikan Pangeran Ollorto, kita semua akan menjadi bahan tertawaan di
seluruh Sisilia."
Don Croce mengangguk-angguk seakan-akan menyetujui semua ucapannya.
Tapi ia tidak berbicara. Guido Quintana, yang kedudukannya paling rendah di
antara yang hadir, berkata dengan nada hampir-hampir sedih, "Aku Wali Kota
Montelepre dan semua orang tahu aku salah satu Friends. Tapi tidak ada yang
datang kepadaku meminta pendapat, ganti rugi, atau hadiah. Guiliano memimpin
kota dan mengizinkan diriku tinggal di sana agar tidak memprovokasi
pertengkaran dengan kalian. Tapi aku tidak bisa mencari nafkah. Aku tidak
punya wewenang. Aku hanya boneka. Selama Guiliano masih hidup, Friends
tidak eksis di Montelepre. Aku tidak takut terhadap bocah ini. Aku pernah
mengalahkannya sekali. Sebelum dia menjadi bandit Kurasa dia tidak pedu
ditakuti. Kalau dewan setuju, aku akan berusaha menyingkirkannya. Aku sudah
menyusun rencana dan hanya menunggu persetujuan kalian untuk
melaksanakannya."
Don Piddu dari Caltanissetta dan Don Arzana dari Piani dei Greci mengangguk.
Don Piddu berkata, "Di mana kesulitannya? Dengan sumber daya yang kita
miliki, kita bisa mengirimkan mayatnya ke Katedral Palermo dan menghadiri
pemakamannya seperti kalau kita menghadiri pernikahan."
Pemimpin-pemimpin lain, Don Marcuzzi dari Villamura, Don Buccilla dari
Partinico, dan Don Arzana menyuarakan persetujuan mereka. Lalu mereka
menunggu.
Don Croce mengangkat kepalanya yang besar. Hidungnya yang tinggi seolah
menusuk mereka bergantian sewaktu ia bicara. "Teman-temanku, aku
menyetujui semua yang kalian rasakan," katanya. "Tapi kupikir kalian
merendahkan pemuda ini. Dia lihai melebihi usianya dan mungkin sama
beraninya dengan siapa pun di antara kita di sini. Dia tak akan bisa dibunuh
semudah itu. Aku juga melihat kegunaan dirinya di masa depan, bukan hanya
bagi diriku sendiri tapi bagi kita semua. Para provokator Komunis menghajar
orang-orang Sisilia sampai jadi gila sehingga mereka mengharapkan kehadiran
Garibaldi yang lain, dan kita harus memastikan Guiliano tidak dipuja sebagai
juru selamat mereka. Aku tidak perlu memberitahu kalian apa konsekuensinya
kalau orang-orang biadab itu sampai memerintah Sisilia. Kita harus
membujuknya agar berjuang di pihak kita. Posisi kita belum lagi aman sehingga
kita tidak bisa menyia-nyiakan kekuatannya dengan membunuhnya." Don
mendesah, melahap sebongkah roti dan melancarkan jalannya dengan segelas
anggur, lalu membersihkan mulut dengan serbet. "Bantu aku. Biar aku
membujuknya, terakhir lcalinya. Kalau dia menolak, lakukan apa yang menurut
kalian harus kalian lakukan. Akan kuberikan jawabannya dalam waktu tiga hari
Hanya saja beri aku kesempatan terakhir untuk mencapai kesepakatan logis."
Don Siano yang pertama mengangguk setuju. Bagaimanapun, orang bijak mana
yang begitu tidak sabar melakukan pembunuhan sehingga tidak bisa menunggu
tiga hari? Setelah mereka berlalu, Don Croce memanggil Hector Adonis ke
rumahnya di Villaba.
Don bersikap terus terang terhadap Adonis. "Batas kesabaranku terhadap putra
baptismu sudah habis," katanya kepada pria kecil itu. "Kini dia harus bergabung
dengan kami atau menentang kami. Penculikan Pangeran Ollorto merupakan
penghinaan langsung terhadapku, tapi aku bersedia memaafkan dan
melupakannya. Bagaimanapun dia masih muda, dan aku ingat sewaktu masih
seusianya aku juga sama bersemangatnya. Seperti yang selalu kukatakan, aku
mengaguminya karena itu. Dan percayalah, aku menghargai kemampuannya.
Aku akan sangat senang kalau dia bersedia menjadi tangan kananku. Tapi dia
harus menyadari tempatnya di lingkup kbih luas. Ada pemimpm-pemimpin lain
yang tidak sekagum diriku, tidak penuh pengertian seperti aku. Aku tidak akan
bisa menahan mereka. Jadi temui putra baptismu dan sampaikan apa yang
kukatakan kepadamu. Dan beritahu aku jawabannya paling lambat besok. Aku
tidak bisa menunggu lebih lama lagi"
Hector Adonis ketakutan. "Don Croce, kusadari kedermawananmu dalam hati
dan perbuatan. Tapi Turi penuh tekad dan seperti semua anak muda, terlalu yakin
akan kekuatannya sendiri. Dan memang benar dia tidak bisa dibilang tidak
berdaya. Kalau dia ber-
perang melawan Friends of the Friends, aku tahu dia tidak akan menang. Tapi
kerusakan yang timbul bisa menakutkan. Apa ada hadiah yang bisa kujanjikan
kepadanya?"
Don berkata, "Janjikan ini padanya. Dia akan mendapat kedudukan tinggi di
Friends, dan dia akan mendapat kesetiaan dan kasih pribadiku. Lagi pula dia
tidak bisa tinggal di pegunungan selamanya. Akan ada waktunya dia ingin
mengambil tempat di masyarakat, hidup dalam perlindungan hukum di tengah
keluarganya. Pada saat hari itu tiba, aku satu-satunya orang di Sisilia yang bisa
menjamin pengampunannya. Dan aku sangat senang kalau bisa melakukannya.
Aku benar-benar tulus dalam hal ini." Dan memang sewaktu Don berbicara
dengan gaya seperti itu, ia tidak bisa tidak dipercayai, ia tidak bisa ditolak.
Sewaktu Hector Adonis naik ke gunung untuk menemui Guiliano, ia sangat
bingung dan takut akan nasib putra baptisnya dan membulatkan tekad untuk
berbicara terus terang. Ia ingin Guiliano memahami bahwa kasih di antara
mereka merupakan yang paling utama, bahkan lebih daripada kesetiaannya
kepada Don Croce. Saat ia tiba, kursi-kursi dan meja' lipat telah ditata di tepi
tebing. Turi dan Aspanu duduk berdua di sana.
Adonis berkata kepada Guiliano, "Aku harus berbicara empat mata denganmu."
Pisciotta berkata marah, "Orang kecil, Turi tidak merahasiakan apa pun dariku."
Adonis tak mengacuhkan penghinaan itu. Ia berkata tenang, "Turi bisa
menceritakan padamu apa yang ku-
katakan, kalau dia mau. Itu urusannya. Tapi aku tidak bisa memberitahumu. Aku
tidak bisa menerima tanggung jawab itu."
Guiliano menepuk bahu Pisciotta. "Aspanu, tinggalkan kami berdua. Kalau kau
harus mengetahuinya, aku akan memberitahumu nanti" Pisciotta bangkit berdiri
dengan tiba-tiba, menatap tajam ke arah Adonis, dan berlalu.
Hector Adonis menunggu cukup lama. Lalu ia mulai bicara. 'Turi, kau putra
baptisku. Aku menyayangimu sejak kau masih bayi. Aku yang mengajarimu,
memberimu buku-buku untuk dibaca, membantumu sewaktu kau menjadi
pelanggar hukum. Kau salah satu dari sedikit orang di dunia yang menjadikan
hidupku ada gunanya. Tapi sepupumu Aspanu menghinaku tanpa sepatah kata
teguran pun darimu."
Guiliano -berkata, "Aku memercayai dirimu lebih daripada aku memercayai
siapa pun kecuali ibu dan ayahku."
"Dan Aspanu," lanjut Hector Adonis menegur. "Tidakkah dia terlalu haus darah
untuk bisa dipercaya?"
Guiliano menatapnya lurus-lurus dan Adonis terpaksa mengagumi ketulusan
damai di wajahnya. "Ya, harus kuakui, aku lebih memercayai Aspanu daripada
dirimu. Tapi -aku menyayangimu sejak aku kecil. Kau membebaskan
pemikiranku melalui buku-bukumu dan kecerdasanmu. Aku tahu kau membantu
ibu dan ayahku dengan uangmu. Dan kau menjadi teman sejati dalam
kesulitanku. Tapi kulihat kau terlibat Friends of the Friends, dan firasatku
mengatakan itu alasan kedatanganmu kemari hari ini."--
Sekali lagi, Adonis terpesona akan naluri putra
baptisnya. Ia menyampaikan masalahnya kepada Turi. "Kau harus mengadakan
kesepakatan dengan Don Croce," ujarnya. "Bukan dengan Raja Prancis, bukan
dengan Raja Dua Sisilia, bukan dengan Garibaldi, bahkan bukan dengan
Mussolini yang pernah menghancurkan Friends of the Friends. Kau tidak bisa
berharap memenangkan perang melawan Don Croce. Kumohon buadah
kesepakatan. Mulanya kau memang harus tunduk padanya, tapi siapa yang tahu
posisimu di masa depan. Kuberitahukan ini demi kehormatan-mu dan demi
ibumu yang sama-sama kita puja: Don Croce percaya pada kejeniusanmu dan
menyayangimu. Kau akan menjadi pewarisnya, putra kesayangan. Tapi untuk
kali ini, kau harus tunduk pada peraturannya."
Ia bisa melihat Turi tergerak oleh penjelasannya dan menanggapinya sangat
serius. Hector Adonis berkata penuh semangat, "Turi, pikirkanlah ibumu. Kau
tidak bisa tinggal di pegunungan selamanya, mempertaruhkan keselamatanmu
agar bisa menemuinya beberapa hari setiap tahun. Bersama Don Croce, kau
punya harapan mendapat pengampunan."
Pemuda itu membutuhkan beberapa lama untuk berpikir, lalu berbicara kepada
ayah baptisnya dengan nada lambat dan serius. "Pertama-tama aku berterima
kasih atas kejujuranmu," ujarnya. 'Tawaran itu sangat menarik. Tapi aku
sekarang terikat untuk memerdekakan kaum miskin di Sisilia, dan aku tidak
percaya Friends memiliki tujuan sama. Mereka pelayan orang kaya.dan politisi
di Roma, dan merekalah musuh bebuyutanku. Kita tunggu dan lihat saja. Jelas
aku sudah menculik Pangeran Ollorto dan menyakiti mereka. Tapi aku
membiarkan Quintana tetap hidup padahal
aku sangat membencinya. Aku menahan diri karena rasa hormatku kepada Don
Croce. Katakan itu padanya. Sampaikan itu dan beritahukan padanya aku berdoa
untuk hari ketika kami bisa menjadi mitra sejajar. Pada saat kepentingan-
kepentingan kami tidak berselisih jalan. Sedangkan mengenai para
pemimpinnya, biarkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Aku tidak
takut terhadap mereka."
Dengan berat hati Hector Adonis membawa jawaban itu kepada Don Croce,
yang menganggukkan kepalanya yang bagai singa, seakan telah menduga
jawaban itu.
Dalam bulan berikutnya tiga upaya dilakukan untuk menghabisi Guiliano. Guido
Quintana diizinkan melakukan upaya pertama. Ia merencanakannya begitu rumit
sehingga layak disejajarkan dengan keluarga Borgia— keluarga terkenal di
zaman Renaissance yang para anggotanya sangat berbakat, cerdas, namun licik,
jahat dan keji Ada jalan yang sering digunakan Guiliano bila ia turun gunung. Di
sepanjang tepi jalan terdapat padang-padang subur yang dipenuhi Quintana
dengan sekawanan besar domba. Tiga penggembala yang tampaknya tidak
berbahaya menjaga kawanan itu, ketiganya penduduk asli kota Corleone dan
teman-teman lama Quintana.
Selama hampir seminggu, setiap kali Guiliano terlihat menyusuri jalan itu, para
penggembala menyapanya penuh hormat dan, sesuai tradisi lama, mencium
tangannya. Guiliano mengajak mereka bercakap-cakap ramah; para
penggembala sering kali menjadi anggota paro waktu kelompoknya dan ia selalu
mencari orang yang bisa direkrut Ia tidak merasakan bahaya apa pun
274
karena ia hampir selalu bepergian bersama pengawal dan sering kali bersama
Pisciotta, yang kekuatannya setidaknya sama dengan dua orang. Para
penggembala itu tidak bersenjata dan mengenakan pakaian tipis yang tidak bisa
digunakan untuk menyembunyikan senjata.
Tapi para penggembala itu menyembunyikan lupara dan sabuk peluru di perut
beberapa ekor domba di tengah kawanan. Mereka menunggu kesempatan saat
Guiliano sendirian atau tidak dikawal seketat itu. Tapi Pisciotta sudah
mencurigai keramahan para penggembala itu, kemunculan kawanan domba yang
tiba-tiba, dan ia menyelidikinya melalui jaringan mata-mata. Para penggembala
itu teridentifikasi sebagai para pembunuh yang dipekerjakan oleh Quintana.
Pisciotta tidak membuang-buang waktu. Ia mengajak sepuluh anggota
kelompoknya sendiri dan mengepung ketiga penggembala itu. Ia menanyai
mereka mengenai pemilik domba, sudah berapa lama mereka menjadi gembala,
di mana mereka dilahirkan, nama-nama ibu dan ayah mereka, istri dan anak-
anak mereka. Para' penggembala tampaknya menjawab dengan jujur, tapi
Pisciotta mendapat bukti mereka berbohong.
Penggeledahan menemukan senjata-senjata yang disembunyikan di sela-sela
bulu domba. Pisciotta pasti akan membunuh para penipu itu kalau Guiliano tidak
melarang. Bagaimanapun tidak ada kerugian yang terjadi dan penjahat yang
sebenarnya adalah Quintana.
Jadi para penggembala dipaksa membawa kawanan domba ke Montelepre. Dan
di alun-alun kota mereka harus menyanyi, "Datang dan ambillah hadiah dari Turi
GuiHano. Seekor domba untuk setiap rumah,
275
anugerah dari Turi GuiJiano." Lalu para penggembala itu akan menjagal dan
menguliti domba bagi siapa pun yang meminta layanan itu.
"Ingat," tegas Pisciotta kepada mereka, "kuminta kalian sepatuh gadis penjaga
toko di Palermo, seakan-akan kalian mendapat komisi untuk itu. Dan sampaikan
salam serta ucapan terima kasihku kepada Guido Quintana."
Don Siano tidak serumit itu. Ia mengirim dua utusan untuk membujuk
Passatempo dan Terranova agar menentang Guiliano. Tapi Don Siano tidak bisa
memahami kesetiaan yang dibangkitkan Guiliano bahkan dalam diri orang
sekasar Pas*satempo. Sekali lagi Guiliano menolak membunuh, tapi Passatempo
sendiri mengirim kedua utusan itu kembali dengan bekas-bekas bastinado.
Upaya ketiga dilakukan Quintana lagi. Dan ini menghabiskan kesabaran
Guiliano.
Seorang pastor datang ke Montelepre, pastor pengelana yang menyandang
berbagai bekas luka Kristus di tabuhnya. Ia memimpin Misa di gereja setempat
pada suatu Minggu pagi dan menunjukkan- luka-luka sucinya.
Namanya Pater Dodana, dan ia pria jangkung atletis yang berjalan begitu sigap
sehingga jubah hitamnya berkibar-kibar di udara di atas sepatu kulitnya yang
pecah-pecah. Rambutnya pirang kusut, wajahnya keriput dan secokelat kacang
walaupun usianya masih muda. Dalam waktu sebulan ia telah menjadi legenda di
Montelepre, karena ia tidak takut bekerja keras; ia membantu para petani menuai
ladang, ia memarahi anak-anak nakal di jalanan, ia mengunjungi wanita-
wanita tua yang sakit di rumah mereka untuk mendengarkan pengakuan dosa
mereka. Dan suatu hari Minggu sewaktu ia berdiri di luar gereja sesudah
memimpin Misa, Maria Lombardo Guiliano tidak terkejut sewaktu sang pater
menghentikan dirinya dan menanyakan kalau-kalau ada yang bisa dilakukan
untuk putranya.
"Jelas- kau menglmawatirkan jiwanya," kata Pater Dodana. "Lain kali kalau dia
datang mengunjungimu, panggil aku dan akan kudengarkan pengakuan
dosanya."
Maria Lombardo^ tidak menyukai pastor meskipun ia religius. Tapi pria ini
membuatnya terkesan. Ia tahu" Turi tidak akan pernah melakukan pengakuan
dosa, tapi mungkin ia bisa memanfaatkan orang suci yang bersimpati terhadap
tujuan perjuangannya. Ia memberitahu sang pastor ia akan meneruskan tawaran
itu kepada putranya.
Pater Dodana berkata, "Aku bahkan bersedia ke pegunungan untuk
membantunya. Beri tahukan padanya. Satu-satunya urusanku adalah
menyelamatkan jiwa yang terancam bahaya neraka. Apa yang dilakukan orang
adalah urusannya sendiri."
Turi Guiliano mengunjungi ibunya seminggu kemudian. Maria Lombardo
mendesaknya menemui pastor dan mengaku dosa. Mungkin Pater Dodana
bersedia memberikan Komuni baginya. Maria Lombardo akan merasa lebih enak
kalau dosa-dosa Guiliano ber- -kurang.
Turi Guiliano sangat tertarik, dan ini mengejutkan ibunya. Ia setuju menemui
pastor itu dan mengirim Aspanu Pisciotta ke gereja untuk menjemputnya dan
mengajaknya ke rumah Guiliano. Seperti dugaan Guiliano, sewaktu Pater
Dodana muncul, pria itu bergerak jauh lebih mirip orang yang biasa beraksi; ia
terlalu bersemangat dan terlalu bersimpati terhadap tujuan Guiliano
Pater Dodana berkata, "Anakku, aku akan mendengarkan pengakuan dosa di
kamar tidurmu. Dan sesudah itu aku akan memberimu Jamuan Kudus. Aku
membawa semua keperluanku di sini." Ia menepuk kotak kayu di ketiaknya.
"Jiwamu akan semurni jiwa ibumu, dan kalau kejahatan menimpamu, kau akan
langsung ke surga."
Maria Lombardo menyela, "Kubuatkan kopi dan makanan untukmu dan bapa
suci." Ia pergi ke dapur.
"Kau bisa mendengar pengakuan dosaku di sini," ujar Turi Guiliano sambil
tersenyum.
Pater Dodana melirik Aspanu Pisciotta. "Temanmu harus keluar" sarannya.
Turi tertawa "Dosaku sudah diketahui umum. Dosaku dipublikasikan di setiap
koran. Selain itu jiwaku murni, kecuali satu hal. Harus kuakui aku memiliki sifat
curiga. Jadi aku ingin melihat apa isi kotak di ketiakmu itu."
"Roti untuk Komuni," jawab Pater Dodana. "Akan kutunjukkan." Ia hendak
membuka kotak itu, tapi pada saat itu Pisciotta menekankan sepucuk pistol ke
belakang lehernya. Guiliano mengambil kotak itu dari tangan Pater. Pada saat itu
mereka bertukar pandang. Guiliano membukanya. Sepucuk pistol otomatis biru
kehitaman yang ditempatkan di atas beludru bersinar ke arahnya.
Pisciotta melihat wajah Guiliano memucat, matanya yang bertepi keperakan
menggelap karena kemarahan yang ditekan.
Guiliano menutup kotak dan memandang sang pastor. "Kupikir sebaiknya kita ke
gereja dan berdoa bersama-sama," ajaknya. "Kita akan mendoakan dirimu dan
Quintana. Kita akan berdoa agar Tuhan yang baik mau mengambil kejahatan dari
dalam hati Quintana dan keserakahan dari dalam hatimu. Berapa banyak bayaran
yang dijanjikannya padamu?"
Pater Dodana tidak khawatir. Calon-calon pembunuh lainnya dibebaskan begitu
mudah. Ia mengangkat bahu dan tersenyum. "Hadiah dari pemerintah dan
tambahan lima juta lira."
"Harga yang bagus," puji Guiliano. "Aku tidak menyalahkan dirimu karena
berusaha mendapatkan kekayaan. Tapi kau sudah menipu ibuku dan itu tidak
bisa kumaafkan. Kau benar-benar pastor?"
"Aku?" tanya Pater Dodana menghina. 'Tidak pernah. Tapi kukira takkan ada
yang mencurigaiku."
Mereka bertiga menyusuri jalanan bersama-sama, Guiliano membawa kotaknya,
Pisciotta mengikuti di belakang. Mereka memasuki gereja. Guiliano memaksa
Pater Dodana berlutut di depan altar, lalu mengambil pistol otomatis itu dari
dalam kotak. "Kau punya waktu semenit untuk berdoa," kata Guiliano.
Keesokan paginya Guido Quintana bangun dan berniat ke kafe untuk menikmati
kopi paginya. Sewaktu membuka pintu rumahnya, ia terkejut oleh bayangan
besar yang menghalangi sinar matahari pagi. Detik berikutnya salib kayu besar
yang kasar buatannya jatuh ke dalam,
hampir-hampir menimpa dirinya. Di salib itu terpaku mayat Pater Dodana yang
dipenuhi peluru.
Don Croce mempertimbangkan kegagalan-kegagalan ini. Quintana mendapat
peringatan. Ia harus mengabdikan diri pada tugas-tugasnya sebagai wali kota
atau Montelepre terpaksa mengatur diri sendiri. Jelas kesabaran Guiliano sudah
habis dan mungkin akan melancarkan perang habis-habisan terhadap Friends.
Don Croce menyadari keyakinan seorang pakar dalam pembalasan Guiliano.
Hanya satu serangan lagi yang bisa dilakukan dan tidak boleh gagal. Don Croce
tahu ia harus, aldiirnya, berpihak. Dan kendati bertentangan dengan pendapat
dan kemauannya, ia mengirim pembunuhnya yang paling bisa diandalkan,
seseorang bernama Stefan Andolini, yang juga dikenal dengan julukan Fra
Diavalo.
Bab 14
GARNISUN di Montelepre ditingkatkan menjadi lebih dari seratus carabinieri,
dan saat Guiliano diam-diam turun ke kota untuk menghabiskan malam bersama
keluarganya, yang jarang dilakukannya, ia selalu merasa takut kalau-kalau
carabinieri menyergap mereka. Pada suatu malam seperti itu, saat mendengarkan
ayahnya membicarakan masa lalu di Amerika, gagasan itu melintas dalam
benaknya. Salvatore Senior tengah menikmati anggur dan membahas masa lalu
dengan teman lama dan tepercaya yang juga pernah ke Amerika dan kembali ke
Sisilia bersamanya, dan mereka saling memarahi karena bertindak begitu bodoh.
Pria yang satu lagi, tukang kayu bernama Alfio Dorio, mengingatkan ayah
Guiliano akan tahun-tahun pertama mereka di Amerika sebelum bekerja pada
Godfather, Don Corleone. Mereka dipekerjakan untuk membangun terowongan
raksasa di bawah sungai, entah ke New Jersey atau ke Long Island, mereka
memperdebatkannya. Mereka mengenang betapa mengerikannya bekerja di
bawah sungai yang mengalir, mereka takut tabung penahan airnya runtuh dan
mereka semua akan tenggelam bagai tikus. Dan tiba-tiba gagasan itu melintas
dalam benak Guiliano. Kedua orang ini, dibantu be-
berapa orang yang bisa dipercaya, mampu membangun terowongan dari rumah
orangtuanya ke kaki pegunungan yang hanya berjarak seratus meter. Pintu .
keluarnya akan disembunyikan di balik bebatuan granit raksasa dan mulut
terowongan di rumah bisa disembunyikan di salah satu lemari pakaian atau di
bawah tungku di dapur. Kalau rencana itu terlaksana, Guiliano bisa datang dan
pergi sesuka hati.
Kedua pria yang lebih tua mengatakan rencana itu mustahil, tapi ibunya begitu
gembira membayangkan putranya bisa datang dan tidur di ranjangnya diam-
diam selama musim dingin. Alfio Dorio mengatakan bahwa mengingat
pentingnya kerahasiaan, jumlah orang yang bisa dipekerjakan terbatas, dan
karena pekerjaan itu hanya bisa dilakukan malam hari, butuh waktu sangat lama
menyelesaikan terowongan seperti itu. Lalu masih ada masalah-masalah lainnya.
Bagaimana membuang tanah galian tanpa terlihat? Padahal tanah di sini penuh
batu. Bagaimana kalau mereka membentur sederet batu granit di bawah tanah?
Dan bagaimana kalau salah satu penggali terowongan membocorkan
keberadaannya? Tapi keberatan paling utama kedua pria lebih tua itu adalah
pembangunannya membutuhkan waktu sedikitnya satu tahun. Dan Guiliano
menyadari mereka mengajukan keberatan ini karena jauh di lubuk hati mereka
percaya dirinya tidak akan hidup selama itu. Ibunya juga menyadarinya.
Ia berkata kepada kedua pria yang lebih tua: "Putraku meminta kalian berdua
melakukan sesuatu yang mungkin membantu menyelamatkan dirinya. Kalau
kalian terlalu malas melakukannya, aku akan turun tangan. Setidaknya kita bisa
mencoba. Apa ruginya kecuali
tenaga kita? Dan apa yang bisa dilakukan pihak berwenang kalau mereka
menemukan terowongan itu? Kita berhak sepenuhnya menggali tanah kita
sendiri. Kita katakan saja kita membuat gudang bawah tanah untuk sayur-mayur
dan anggur. Coba pikir. Mungkin suatu hari kelak terowongan ini akan
menyelamatkan nyawa Turi. Apa itu tidak layak dilakukan?"
Hector Adonis juga hadir. Adonis mengatakan ia akan mencari buku-buku
tentang penggalian dan perlengkapan yang diperlukan. Ia juga mengusulkan
variasi yang menyenangkan mereka semua: mereka akan membangun cabang
menuju rumah lain di Via Belia, jalan lain seandainya pintu keluar terowongan
diketahui atau dikhianati mata-mata. Terowongan cabang ini akan digali terlebih
dulu, dan hanya oleh kedua pria tua dan Maria Lombardo. Tidak boleh ada orang
lain yang mengetahuinya. Dan menggali terowongan cabang ini tidak
memerlukan waktu lama.
Mereka berdiskusi panjang-lebar mengenai rumah mana yang layak. Ayah
Guiliano menyarankan rumah orangtua Aspanu Pisciotta. Tapi usul itu segera
ditolak .Guiliano. Rumah itu terlalu dicurigai, akan diawasi dengan ketat. Dan
ada terlalu banyak kerabat yang tinggal di sana. Terlalu banyak orang yang akan
mengetahuinya. Lagi pula, hubungan Aspanu dengan keluarganya kurang baik.
Ayah kandungnya telah meninggal, dan sewaktu ibunya menikah lagi, Aspanu
tidak pernah memaafkannya.
Hector Adonis menawarkan rumahnya tapi letaknya terlalu jauh, dan Guiliano
tidak ingin membahayakan bapak baptisnya. Karena kalau terowongan itu
ditemukan, pemilik rumah jelas akan ditangkap. Kerabat dan
283 teman-teman lainnya dipertimbangkan dan ditolak, dan akhirnya ibu
Guiliano berkata, "Hanya ada satu orang. Wanita ini tinggal seorang diri, hanya
empat rumah jauhnya dari kita. Suaminya tewas di tangan carabinieri, dia
membenci mereka. Dia teman terbaikku dan dia menyayangi Turi, dia
menyaksikan Turi tumbuh dari anak-anak menjadi pria dewasa. Bukankah dia
yang mengirimi Turi makanan sepanjang musim dingin yang dihabiskan anakku
di pegunungan? Dia teman sejatiku dan aku memercayainya sepenuhnya."
Ia diam sejenak sebelum melanjutkan, "La Venera."
Dan tentu saja sejak diskusi dimulai, mereka menantikan dirinya menyebutkan
nama itu. Sejak awal, La Venera merupakan satu-satunya pilihan logis dalam
benak mereka. Tapi mereka pria Sisilia dan tidak bisa mengajukan saran seperti
itu. Kalau La Venera setuju dan cerita ini terungkap, reputasinya akan hancur
selama-lamanya. Ia janda muda. Ia akan memberikan hak pribadi dan dirinya
kepada seorang pria muda. Siapa yang yakin ia tak akan kehilangan kendali? Tak
ada seorang pria pun di Sisilia bagian ini yang mau menikahi atau bahkan
menghormati wanita seperti itu.-Memang benar La Venera sedikitnya lima belas
tahun lebih tua daripada Turi Guiliano. Tapi ia belum lagi empat puluh. Dan
meskipun wajahnya tidak cantik, tapi cukup menarik, dan ada daya tarik tertentu
dalam matanya. Pokoknya, ia wanita dan Turi laki-laki, dan melalui terowongan
itu mereka bisa berduaan saja. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi mereka akan
menjadi sepasang kekasih, karena tidak ada orang Sisilia yang percaya seorang
laki-laki dan seorang wanita yang berduaan, tidak peduli seberapa besar
perbedaan
284
usia mereka, bisa menahan diri. Jadi terowongan ke rumah La Venera, yang
mungkin suatu hari kelak menyelamatkan nyawa Turi Guiliano, juga bisa
menandai dirinya sebagai wanita bereputasi buruk.
Kecuali Turi Guiliano sendiri, mereka semua paham kepolosan seksual Guiliano
menimbulkan kekhawatiran. Itu tidak wajar bagi pria Sisilia. Ia hampir-hampir
kaku. Anak buahnya pergi ke Palermo untuk mengunjungi pelacur; hubungan
asmara Aspanu Pisciotta hampir-hampir merupakan skandal. Pimpinan
banditnya, Terranova dan Passatempo dikenal sebagai kekasih janda-janda
miskin yang mereka beri hadiah. Passatempo bahkan dikenal sebagai pria yang
menggunakan bujuk rayu kasar yang lebih mirip pemerkosa daripada pelamar,
walaupun kini ia lebih berhati-hati karena berada di bawah perintah Guiliano.
Guiliano menetapkan hukuman mati bagi anak buahnya yang memerkosa.
Karena semua alasan inilah mereka terpaksa menunggu ibu Guiliano
mengajukan nama temannya, dan mereka agak terkejut sewaktu Maria
Lombardo melakukannya. Maria Lombardo Guiliano orang yang religius, wanita
kuno yang tidak ragu menyebut gadis-gadis muda di kota sebagai pelacur kalau
mereka berjalan-jalan di alun-alun desa tanpa pengawal. Mereka tidak tahu apa
yang diketahui Maria Lombardo. Bahwa La Venera—karena kesulitan
persalinannya, kurangnya perawatan medis—tidak lagi bisa hamil. Mereka tidak
mungkin tahu Maria Lombardo telah memutuskan La Venera bisa menjadi
penghiburan terbaik bagi putranya dengan cara yang paling aman. Putranya
pelanggar hukum dengan harga atas kepalanya dan bisa begitu mudah dikhianati
wanita. Ia masih muda dan rapuh
285
dan membutuhkan wanita—adakah yang lebih baik daripada wanita lebih tua
yang tidak bisa memiliki anak, dan yang tidak bisa menuntut pernikahan? Dan
La Venera memang tidak ingin menikahi bandit. Untuk itu ia sudah mendapat
cukup pengalaman. Suami yang ditembak mati di depan matanya. Pengaturan
yang sempurna. Hanya reputasi La Venera yang dipertaruhkan, jadi ia harus
mengambil keputusan sendiri. Kalau La Venera setuju, ia akan menanggungnya
sendiri.
Sewaktu ibu Guiliano mengajukan permintaan itu beberapa hari kemudian, ia
terkejut La Venera menjawab ya dengan bangga dan sukacita. Sikap La Venera
menegaskan kecurigaan dirinya jatuh hati kepada Turi. Terserahlah, pikir Maria
Lombardo sambil memeluk La Venera dan menangis penuh syukur.
Terowongan cabang diselesaikan dalam waktu empat bulan; terowongan utama
membutuhkan waktu setahun. Secara teratur Guiliano menyelinap ke kota di
malam hari dan mengunjungi keluarganya dan tidur di ranjang hangat, sesudah
menyantap masakan panas ibunya selalu ada pesta. Baru menjelang musim semi
Guiliano mendapati clirinya perlu menggunakan terowongan cabang. Patroli
carabinieri menyusuri Via Belia dan melintas di dekatnya. Mereka bersenjata
lengkap. Keempat pengawal Guiliano yang bersembunyi di rumah-rumah di
dekatnya telah siap bertempur. Tapi mereka berlalu. Kendati begitu masih ada
ketakutan bahwa dalam perjalanan kembali, carabinieri memutuskan menyerbu
rumah Guiliano. Jadi Turi Guiliano turun ke terowongan melalui tingkap di
kamar tidur orangtuanya.
Terowongan cabang disembunyikan di balik panel
kayu yang ditutupi tanah setebal sekitar tiga puluh sentimeter sehingga para
pekerja terowongan utama tidak mengetahui keberadaannya. Guiliano harus
menyingkirkan tanah dan mencabut lempengan kayunya Ia memerlukan waktu
lima belas menit lagi untuk merangkak melewati lorong sempit yang menuju
bawah rumah La Venera. Tingkap terowongan di sana berada di dapur dan
tertutup tungku besi besar. Guiliano mengetuknya sesuai sinyal yang disepakati
dan menunggu. Ia mengetuk lagi. Ia tidak pernah takut terhadap peluru, tapi ia
takut kegelapan ini. Akhirnya terdengar suara samar di atasnya dan tingkap - itu
terangkat. Tingkap itu tidak bisa terangkat sepenuhnya karena tungku di atasnya
telah mematahkan engselnya. Guiliano harus menerobos celah yang ada dan
berguling menelungkup di lantai dapur La Venera.
Kendati saat itu tengah malam, La Venera masih mengenakan gaun hitamnya
yang kebesaran, tanda dukacita kendati sang suami telah tiga tahun meninggal.
Kakinya telanjang. Ia tidak mengenakan kaus kaki, dan sewaktu Guiliano
beranjak bangkit dari lantai ia bisa melihat kulit kaki La Venera begitu putih,
sangat kontras dengan kulit wajahnya yang kecokelatan terbakar matahari dan
rambut hitam pekat kasar yang tebal dijalin. Untuk pertama kalinya Guiliano
menyadari wajah La Venera tidaklah selebar sebagian besar wanita lebih tua di
kotanya, wajahnya hampir segitiga, dan meskipun matanya cokelat tua, ada
sedikit bintik hitam di sana yang belum pernah dilihat Guiliano. La Venera
memegang sekop penuh batu bara menyala seakan siap melemparkannya ke
dalam terowongan. Sekarang dengan tenang ia mengembalikan
batu bara itu ke tungku dan menutupnya. Ia tampak agak ketakutan.
Guiliano berusaha menenangkannya. "Hanya patroli yang berkeliaran. Sesudah
mereka kembali ke barak, aku akan pergi. Tapi jangan khawatir, ada teman-
temanku di jalan."
Mereka menunggu. La Venera menyeduh kopi dan mereka bercakap-cakap. Ia
menyadari Guiliano tidak menunjukkan gerakan-gerakan gugup sebagaimana
suaminya dulu. Turi tidak mengintip ke luar jendela, tubuhnya tidak menegang
mendengar suara tiba-tiba dari jalan. Turi tampak tenang sepenuhnya. La Venera
tidak tahu Turi melatih diri bersikap begitu karena ceritanya sendiri tentang
suaminya dan karena Turi tidak mau orangtuanya khawatir, terutama ibunya. Ia
memancarkan kepercayaan diri begitu besar sehingga tidak lama kemudian La
Venera melupakan bahaya yang menghadang Turi dan mereka bergosip tentang
kejadian-kejadian kecil di kota.
La Venera menanyakan apakah Turi menerima makanan yang dikirimkannya
sesekali ke pegunungan. Turi mengucapkan terima kasih dan mengatakan betapa
ia dan teman-temannya sangat menggemari makanan kiriman La Venera seolah
itu pemberian orang Majus. Betapa anak buahnya memuji-muji masakannya.
Turi tidak menceritakan lelucon kasar yang dilontarkan beberapa rekannya, bila
permainan cinta La Venera menyamai masakannya berarti ia sungguh-sungguh
wanita berharga. Sementara itu Turi mengawasinya dengan tajam. La Venera
tidak bersikap seramah biasanya ia tidak menunjukkan perasaan sayang seperti
yang selama ini ditunjukkannya di depan umum. Turi berpikir-pikir
apakah ia telah menyinggung perasaan- nya. Sesudah bahaya berlalu dan tiba
waktunya pergi bagi Turi, mereka saling bersikap resmi.
Dua minggu kemudian Guiliano mengunjunginya lagi. Musim dingin hampir
berakhir, tapi pegunungan masih dilanda hujan badai dan altar-altar para orang
suci yang tergembok di sepanjang jalan meneteskan air hujan. Guiliano di dalam
guanya memimpikan masakan ibunya, mandi air panas, ranjang empuk di kamar
masa kecilnya. Dan bercampur dengan kerinduan itu, yang mengejutkannya,
adalah kenangan akan putihnya kulit kaki La Venera. Malam telah turun sewaktu
ia bersiul memanggil para pengawalnya dan menyusuri jalan ke Montelepre.
Keluarganya menyambut dengan sukacita. Ibunya mulai memasak makanan
kesukaannya dan sambil menunggu masakan matang, ia menyiapkan air panas
untuk mandi. Ayah Turi tengah menuangkan segelas anisette ketika salah satu
mata-mata datang ke rumah dan melapor bahwa patroli-patroli carabinieri
mengepung kota dan Maresciallo sendiri akan memimpin satu skuadron gerak
cepat dari Barak Bellampo untuk menyerbu rumah Guiliano.
Guiliano masuk ke terowongan melalui tingkap di lemari pakaian. Terowongan
itu berlumpur karena hujan dan tanah menempel di tubuhnya, dan mempersulit
perjalanannya. Sewaktu ia merangkak keluar, ke dapur La Venera, pakaiannya
tertutup lumpur, wajahnya hitam.
Sewaktu La Venera melihatnya, ia tertawa. Dan seingat Guiliano itu pertama
kalinya ia melihat La Venera tertawa. "Kau tampak seperti bangsa Moor,"
komentarnya. Dan sesaat Turi merasakan kekecewaan anak-
anak, mungkin karena bangsa Moor selalu menjadi penjahat dalam sandiwara
boneka di Sisilia, dan bukannya pahlawan yang tengah menghadapi bahaya, ia
malah dipandang sebagai penjahat. Atau mungkin karena tawa La Venera
menyebabkan wanita itu terasa tidak bisa dijangkau keinginan dalam dirinya. La
Venera tahu entah dengan cara bagaimana ia telah melukai perasaan Turi. "Akan
kuisi bak mandi dan kau bisa membersihkan diri," katanya. "Ada beberapa
pakaian suamiku yang bisa kaupakai sementara kubersihkan pakaianmu."
Ia menduga Turi akan menolak, bahwa Turi merasa terlalu gugup untuk mandi
dalam situasi begitu berbahaya. Suaminya dulu begitu tegang ketika
mengunjungi dirinya sehingga tak pernah menanggalkan pakaian, tak pernah
meninggalkan pistol di luar jangkauan tangannya. Tapi Guiliano tersenyum dan
menanggalkan jaket tebal dan pistolnya dan meletakkannya di atas kotak kayu
tempat kayu bakar.
Butuk waktu untuk memanaskan berpanci-panci air dan mengisi bak mandi
kaleng. La Venera memberinya kopi sementara mereka menunggu. Ia mengamati
Turi dengan saksama. Turi setampan malaikat, pikirnya, tapi dirinya tidak
tertipu. Suaminya dulu sama tampannya dan juga membunuh orang. Dan peluru
yang membunuhnya menyebabkan tampang suaminya lumayan jelek, pikirnya
sengsara; jatuh cinta pada wajah bukanlah tindakan cerdas, apalagi di Sisilia.
Dirinya dulu menangis, tapi diam-diam lega luar biasa. Kematian suaminya
sudah pasti, begitu ia menjadi bandit, dan setiap hari La Venera menanti,
berharap suaminya tewas di pegunungan atau kota yang jauh. Tapi
suaminya ditembak di depan matanya. Dan sejak dirinya tidak mampu melarikan
diri dari perasaan malu, bukan karena suaminya bandit, tapi karena kematiannya
sama sekali tidak mengagumkan dan berani. Suaminya menyerah dan memohon
ampun, dan carabinieri membantainya di hadapannya. Syukurlah putrinya tidak
menyaksikan ayahnya dibantai. Itu anugerah kecil dari Kristus.
Ia tahu Turi Guiliano mengamatinya dengan ekspresi tertentu di wajahnya, yang
mengisyaratkan keinginan dalam diri semua pria. La Venera tahu benar. Anak
buah suaminya sering kali memancarkan ekspresi begitu. Tapi ia tahu Turi tidak
akan mencoba merayunya, karena perasaan hormat kepada ibunya, perasaan
hormat atas pengorbanan dirinya mengizinkan pembangunan terowongan itu.
La Venera meninggalkan dapur dan menuju ruang duduk kecil agar Turi bisa
mandi sendirian. Sesudah kepergiannya, Guiliano menanggalkan semua pakaian
dan masuk ke dalam bak mandi. Bertelanjang di dekat wanita menyebabkan ia
terangsang. Ia mandi dengan sangat hati-hati, lalu mengenakan pakaian suami La
Venera. Celana panjangnya agak kependekan dan kemejanya agak ketat di
sekitar dada sehingga Turi terpaksa membiarkan kancing teratas terbuka.
Handuk yang dihangatkan La Venera di dekat tungku hanya sedikit lebih baik
daripada kain lap, tubuh Turi masih lembap, dan untuk pertama kalinya ia
menyadari betapa miskin La Venera dan membulatkan tekad untuk memberinya
uang melalui ibunya.
Ia berseru kepada La Venera, memberitahu dirinya telah berpakaian dan La
Venera kembali ke dapur.
Wanita itu memandangnya dan berkata, "Tapi kau belum mencuci rambutmu,
sepasukan tokek bisa bersarang di sana." Kata-katanya kasar tapi dilontarkan
begitu hangat sehingga Turi tidak tersinggung. Seperti nenek tua La Venera
mengelus rambut Turi yang kusut, lalu meraih lengannya dan membimbingnya
ke wastafel.
Guiliano merasakan kehangatan ketika tangan La Venera menyentuh kepalanya.
Ia bergegas menyurukkan kepala ke bawah keran dan La Venera menyiram
rambutnya dengan air dan mengeramasinya dengan sabun dapur kuning; ia tidak
punya sabun lain. Pada saat itu tubuh dan kakinya bersentuhan dengan tubuh
Guiliano dan Guiliano tiba-tiba merasakan dorongan kuat untuk menyentuh
payudaranya, menyentuh perut La Venera yang lembut
Usai mencuci rambut Guiliano, La Venera memaksanya duduk di salah satu
kursi enamel dapur yang kehitaman dan mengeringkan rambut Guiliano dengan
handuk cokelat kasar yang sudah lusuh. Rambut Guiliano begitu panjang
sehingga menutupi kerah kemejanya
"Kau tampak seperti bangsawan bajingan Inggris dalam film-film," ujarnya.
"Aku harus memotong rambutmu, tapi tidak di dapur. Rambutmu akan
beterbangan ke panci-panciku dan merusak makan malammu. Ayo ke ruangan
lain."
Guiliano geli melihat ketegasan La Venera. Ia bersikap layaknya seorang bibi
atau ibu yang menutupi kemunculan perasaan lain yang lebih lembut. Turi
menyadari seksualitas yang ada di balik sikap itu, tapi ia waspada. Di bidang ini
ia kurang berpengalaman
dan tidak ingin tampak bodoh. Rasanya seperti perang gerilya yang
dilakukannya di pegunungan; ia tidak akan maju sebelum kemungkinan menang
ada di pihaknya. Ini bukan wilayah yang telah dijelajahi. Tapi memimpin dan
membunuh orang yang dilakukannya tahun lalu menyebabkan ketakutan alamiah
kekanak-kanakan-nya terasa lucu, toh penolakan wanita tidak akan
melumpuhkan egonya. Dan meskipun terkenal tidak pernah berhubungan dengan
wanita, ia pernah ke Palermo bersama teman-temannya untuk mengunjungi
pelacur. Tapi kejadiannya sebelum ia menjadi pelanggar hukum dan mendapat
penghormatan sebagai kepala bandit, dan tentu saja pahlawan romantis tidak
akan pernah berbuat begitu.
La Venera membimbingnya ke ruang duduk kecil yang dipenuhi perabotan, meja
kecil yang bagian atasnya terbuat dari kayu bepernis hitam. Di meja-meja ini
terdapat foto-foto almarhum suaminya dan anaknya, seorang diri atau bersama-
sama. Beberapa foto La Venera bersama keluarganya. Foto-foto itu berbingkai
kayu oval hitam, cetakannya agak kecokelatan. Guiliano terkejut melihat
kecantikan La Venera sewaktu muda, di hari-hari bahagianya, terutama sewaktu
ia mengenakan pakaian yang bagus dan bergaya. Ada foto resmi dirinya seorang
diri, mengenakan gaun merah tua, yang sangat memesona Guiliano. Dan sejenak
ia teringat akan suami La Venera dan berapa banyak kejahatan yang pasti telah
dilakukannya untuk memberikan gaun seindah itu kepada istrinya.
"Jangan memandangi potret-potret itu," tukas La Venera sambil tersenyum sedih.
"Itu saat aku mengira dunia bisa membahagiakan diriku." Guiliano menyadari
salah satu alasan La Venera mengajaknya ke ruangan ini adalah agar ia melihat
foto-foto itu.
La Venera menendang bangku bulat kecil dari sudut ruangan dan Guiliano duduk
di atasnya. Dari kotak kulit, indah buatannya dan dijahit dengan emas, La Venera
mengeluarkan gunting, pisau cukur, dan sisir— salah satu hasil kejahatan bandit
Candeleria yang dibawa pulang sebagai hadiah Natal. Lalu ia pergi ke kamar
tidur dan mengambil sehelai kain putih yang dibentangkan menutupi bahu
Guiliano. Ia juga membawa mangkuk kayu yang diletakkannya di meja di
sampingnya. Jip melintas di depan rumah.
Ia berkata, "Apa sebaiknya kuambilkan pistolmu dari dapur? Kau lebih nyaman
kalau begitu?"
Guiliano memandangnya tenang. Ia tampak benar-benar damai. Ia tidak ingin
membuat La Venera gugup. Mereka berdua tahu jip yang melintas tadi penuh
carabinieri dalam perjalanan menyerbu rumah Guiliano. Tapi Guiliano tahu dua
hal: Kalau carabinieri datang kemari dan mencoba melewati pintu berpalang,
Pisciotta dan anak buahnya akan membantai mereka semua dan sebelum
meninggalkan dapur ia telah menggeser tungkunya sehingga tidak seorang pun
bisa membuka tingkap terowongan.
Ia menyentuh lembut lengan La Venera. "Tidak," katanya. "Aku tidak
membutuhkan pistolku kecuali kau merencanakan menggorok leherku dengan
pisau cukur itu." Mereka berdua tertawa.
Lalu La Venera mulai memotong rambut Turi Guiliano. Ia melakukannya begitu
hati-hati dan lambat, meraih segenggam rambut untuk digunting, lalu me-
letakkan potongan rambut itu ke mangkuk kayu. Guiliano duduk sangat tenang.
Terpesona oleh desir pelan gunting, ia menatap dinding-dinding kamar. Di
dinding tergantung potret-potret besar suami La' Venera, bandit hebat
Candeleria. Tapi hebat hanya di provinsi kecil Sisilia, pikir Guiliano, harga diri
masa mudanya bersaing dengan suami yang tewas itu.
Rutillo Candeleria dulu pria yang tampan. Ia memiliki kening lebar yang
dikepung rambut cokelat berombak yang dipotong cermat, dan Guiliano
penasaran apakah istrinya yang memotong rambutnya. Wajah Candeleria dihiasi
kumis kavaleri yang membuatnya tampak lebih tua, kendati baru berusia 35
tahun sewaktu carabinieri menembaknya. Sekarang wajahnya menunduk dari
potret oval itu, memandang hampir ramah, memberkati. Hanya mata dan
mulutnya yang menunjukkan kekejaman. Namun wajahnya pada saat yang sama
memancarkan kepasrahan, seakan-akan tahu nasibnya. Seperti semua orang yang
pernah menentang dunia dan mencabik harapan mereka dari dunia itu melalui
kekerasan dan pembunuhan, seperti orang-orang lainnya yang menciptakan
hukum sendiri dan mencoba mengendalikan masyarakat dengan hukum itu, ia
akhirnya harus mati mendadak.
Mangkuk kayunya terisi rambut cokelat mengilap, berjejalan bagai sarang
burung-burung kecil. Guiliano merasakan kaki La, Venera menekan
punggungnya; panas tubuhnya menerobos kain katun kasar gaunnya. Sewaktu
La Venera pindah ke depan untuk memotong rambut di sekitar dahinya, ia
berdiri agak jauh dari kaki Guiliano, tapi sewaktu harus membungkuk,
payudaranya hampir menyapu bibir Guiliano dan aroma
bersih tubuhnya menyebabkan wajah Guiliano panas seakan-akan ia tengah
berdiri di depan api. Potret-potret di dinding berubah kabur.
La Venera memutar pinggulnya yang bulat untuk meletakkan potongan rambut
lain di mangkuk kayu. Sejenak pahanya menempel pada lengan Guiliano dan
Guiliano bisa merasakan kulitnya yang sehalus sutra dari balik gaun hitamnya
yang tebal. Guiliano menegangkan tubuh hingga sekeras batu. La Venera
menyandar semakin keras. Untuk menahan diri tidak mengangkat rok La Venera
dan mencengkeram pahanya, Guiliano bergurau, "Apa kita ini Samson dan
Delilah?"
La Venera tiba-tiba melangkah menjauh. Dan Guiliano terkejut melihat air mata
mengalir di wajahnya Tanpa berpikir ia menyentuh tubuh La Venera dan
menariknya mendekat Perlahan-lahan La Venera mengulurkan tangan dan
meletakkan gunting peraknya di atas tumpukan rambut cokelat yang memenuhi
mangkuk kayu.
Kemudian kedua tangan Guiliano telah berada di balik gaun hitam berkabungnya
dan mencengkeram pahanya yang hangat La Venera membungkuk dan menutupi
mulut Guiliano dengan mulutnya sendiri seakan-akan hendak menelannya.
Kelembutan awal mereka merupakan bunga api kedua yang meraung menjadi
nafsu hewani yang dipicu kejandaan La Venera selama tiga tahun, kebangkitan
Guiliano dari nafsu pemuda yang tidak pernah merasakan cinta wanita kecuali
dari para pelacur yang dibayar.
Sesaat Guiliano kehilangan seluruh perasaan tentang dirinya dan dunianya.
Tubuh La Venera begitu meng-
gairahkan, dan terasa panas hingga menembus tulang belulangnya. Payudara La
Venera lebih penuh daripada yang pernah dibayangkan; gaun hitam
kejandaannya menyamarkan dan melindunginya dengan baik. Saat melihat
kedua bulatan itu, Guiliano merasakan darah menderu di kepalanya. Lalu
keduanya berguling di lantai, bercinta, dan menanggalkan pakaian mereka pada
saat bersamaan. La Venera terus-menerus berbisik, "Turi, Turi," dengan suara
nelangsa, tapi Guiliano diam saja. Ia tenggelam dalam aroma, panas, dan tubuh
La Venera. Sesudahnya, La Venera mengajaknya ke kamar* tidur dan mereka
kembali bercinta. Guiliano tak bisa memercayai kenikmatan yang ditemukannya
pada tubuh La Venera, bahkan merasa jengkel atas kepasrahannya sendiri dan
hanya terhibur karena La Venera lebih pasrah lagi.
Sewaktu Guiliano tidur La Venera lama menatap wajahnya. Ia mengingat-
ingamya karena takut tidak akan pernah melihat Guiliano dalam keadaan hidup
lagi. Karena ia teringat malam terakhir dirinya tidur dengan suaminya sebelum
sang suami tewas, sewaktu ia memunggunginya setelah bercinta lalu tidur, dan
sejak -itu tidak pernah bisa mengingat topeng manis yang memancar di setiap
wajah kekasih. Ia memunggungi suaminya karena tidak tahan pada kegugupan
dan ketakutan suaminya saat berada di rumah, kengeriannya dijebak sehingga
suaminya itu tidak pernah benar-benar tidur, bagaimana suaminya terkejut kalau
dirinya turun dari tempat tidur untuk memasak atau melakukan tugas-tugas
rumah tangga. La Venera kini bertanya-tanya akan ketenangan Guiliano; ia
mencintai Guiliano karenanya. Ia mencintai Guiliano karena,
tidak seperti suaminya, Guiliano tidak membawa pistol ke ranjang, Guiliano
tidak menyela percintaan mereka untuk mendengarkan suara-suara musuh yang
mungkin mengintai, Guiliano tidak merokok atau minum atau menceritakan
ketakutan-ketakutannya. Guiliano lembut dalam berbicara, tapi menikmati
kesenangannya tanpa takut dan dengan gairah terfokus. La Venera beranjak
bangkit tanpa suara dari ranjang dan Guiliano tetap tidak terjaga. Ia menunggu
sebentar dan keluar ke dapur untuk memasakkan hidangan terbaik bagi Guiliano.
Sewaktu Guiliano meninggalkan rumah La Venera di pagi hari, ia melalui pintu
depan, melangkah keluar sembarangan tapi senjata tersembunyi di balik
jaketnya. Ia mengatakan pada La Venera bahwa ia tidak akan mampir untuk
berpamitan kepada ibunya dan meminta La Venera melakukannya, memberitahu
ibunya bahwa dirinya baik-baik saja. La Venera ketakutan melihat
keberaniannya, ia tidak tahu Guiliano memiliki sepasukan kecil anak buah di
kota, tidak menyadari Guiliano membiarkan pintu terbuka selama beberapa
menit sebelum melangkah keluar sehingga Pisciotta tahu niatnya dan
menyingkirkan carabinieri mana pun yang kebetulan lewat
La Venera menciumnya malu-malu sebagai salam perpisahan, yang
menyebabkan Guiliano tergerak, lalu wanita itu berbisik, "Kapan kau datang
kemari lagi?"
"Setiap kali mengunjungi ibuku, aku akan ke tempatmu sesudahnya," jawab
Guiliano. "Di pegunungan aku memimpikan dirimu setiap malam." Dan dengan
kata-kata itu La Venera merasakan arus sukacita yang menyebabkan ia bahagia.
Ia menunggu hingga tengah hari sebelum menyusuri jalan ke rumah ibu
Guiliano. Maria Lombardo hanya perlu melihat wajahnya dan tahu apa yang
terjadi. La Venera tampak sepuluh tahun lebih muda. Di mata cokelat tuanya
terdapat bintik-bintik hitam menari-nari, pipinya kemerahan, dan untuk pertama
kalinya selama hampir empat tahun ia mengenakan gaun yang bukan hitam. Ia
mengenakan gaun berenda beludru yang dikenakan gadis yang hendak
menjumpai ibu kekasihnya. Maria Lombardo bersyukur terhadap temannya, atas
kesetiaan dan keberaniannya, dan juga kepuasan tertentu karena rencananya
berjalan begitu baik. Pengaturan ini bagus sekali bagi putranya, wanita yang
tidak akan pernah menjadi pengkhianat, wanita yang tidak bisa mengklaim
dirinya secara permanen. Sekalipun Maria Lombardo sangat mencintai putranya,
ia tidak cemburu. Kecuali ketika La Venera menceritakan bagaimana ia
memasak hidangan terbaiknya, pai isi daging kelinci dan potongan-potongan
keju keras yang ditaburi merica, dan betapa Turi menyantap habis jatah lima
orang dan bersumpah belum pernah menyantap hidangan selezat itu seumur
hidupnya.
Bab 15
BAHKAN di Sisilia, tanah tempat orang-orang saling bunuh dengan antusiasme
sama hebatnya seperti antusiasme orang Spanyol membantai banteng,
kesintingan maut penduduk Corleone memicu ketakutan umum. Keluarga-
keluarga yang bersaing saling menghabisi dalam pertengkaran yang disebabkan
sebatang pohon zaitun, tetangga bisa saling bunuh hanya karena jumlah air yang
diambil dari sungai umum, orang bisa tewas karena cinta—yakni jika ia menatap
dengan sangat tidak hormat istri atau anak perempuan seseorang. Bahkan
Friends of the. Friends yang paling tenang pun pasrah terhadap kesintingan ini
dan cabang-cabang mereka yang berbeda berperang sampai mati di Corleone
hingga akhirnya Don Croce mendamaikan mereka.
Di kota seperti itulah, Stefan Andolini mendapat julukan Fra Diavalo, Saudara
Iblis.
Don Croce memanggilnya dari Corleone dan memberinya instruksi Ia harus
bergabung dengan kelompok Guiliano dan mendapatkan kepercayaan mereka. Ia
harus tinggal bersama mereka sampai Don Croce memberikan perintah
berikutnya. Sementara itu ia harus mengirimkan informasi mengenai kekuatan
Guiliano
yang sebenarnya, tentang kesetiaan Passatempo dan Terranova. Karena kesetiaan
Pisciotta tidak diragukan lagi, yang tersisa hanyalah mengevaluasi kelemahan
pemuda itu. Dan kalau ada kesempatan, Andolini harus membunuh Guiliano.
Andolini tidak takut terhadap Guiliano yang agung. Selain itu, karena rambutnya
merah, dan rambut merah termasuk langka di Italia, Stefan Andolini diam-diam
percaya dirinya telah dibebaskan dari keharusan berbuat baik. Seperti halnya
penjudi memercayai sistemnya tidak akan pernah kalah, Stefan Andolini percaya
dirinya begitu cerdik sehingga tidak pernah bisa dikalahkan.
Ia mengajak dua orang picriotti, atau pembunuh magang, menemaninya. Ini
sebutan bagi mereka yang belum diterima di Mafia tapi berharap mendapatkan
kehormatan tersebut. Mereka pergi ke pegunungan tempat Guiliano berkeliaran,
membawa ransel dan lupara. Dan jelas, mereka pun bertemu patroli yang
dipimpin Pisciotta.
Pisciotta mendengarkan cerita Stefan Andolini dengan wajah tanpa ekspresi.
Andolini mengaku dicari carabinieri dan Polisi Keamanan atas pembunuhan
terhadap agitator Sosialis di Corleone. Kisahnya ada benarnya. Yang tidak
dikatakan Andolini adalah polisi dan carabinieri tidak memiliki bukti dan
mencari dirinya sekadar untuk ditanyai.. Interogasinya akan berlangsung ramah
dan tidak melelahkan berkat pengaruh Don Croce. Andolini juga mengatakan
kedua picriotti yang menemaninya adalah orang-orang yang dicari polisi sebagai
ko-konspirator dalam pembunuhan itu. Ini juga benar. Tapi sementara ia
bercerita, Stefan Andolini merasa semakin tidak nyaman. Pisciotta
mendengarkan
dengan ekspresi orang yang bertemu kenalannya atau orang yang sudah sering
didengarnya.
Andolini mengatakan ia datang ke pegunungan berharap bisa bergabung dengan
kelompok Guiliano. Lalu ia memainkan kartu asnya. Ia telah mendapat
persetujuan dari ayah Guiliano sendiri. Ia, Stefan Andolini, adalah sepupu Don
Vito Corleone yang agung di Amerika. Pisciotta mengangguk. Andolini
melanjutkan. Don Vito Corieone dilahirkan sebagai seorang Andolini di desa
Corleone. Setelah ayahnya tewas terbunuh, dan dirinya diburu sewaktu masih
kanak-kanak, Don Vito Corleone berhasil, melarikan diri ke Amerika, di sana ia
menjadi Godfather yang hebat Sewaktu kembali ke Sisilia untuk membalas
dendam kepada para pembunuh ayahnya, Stefan Andolini merupakan salah satu
picriotti Don Corleone. Setelah kejadian itu ia pernah mengunjungi Don di
Amerika untuk menerima upahnya. Di sana ia bertemu ayah Guiliano yang
bekerja sebagai tukang batu di rumah mewah Don yang baru di Long Island.
Mereka bersahabat, dan Andolini, sebelum pergi ke pegunungan, singgah di
Montelepre untuk mendapatkan persetujuan Salvatore Guiliano Senior.
Ekspresi Pisciotta berubah sangat serius selagi mendengarkan kisah ini. Ia tidak
memercayai orang ini, rambut merahnya, wajah pembunuhnya. Dan Pisciotta
tidak menyukai air muka kedua picriotti yang datang bersama si Malpek itu,
begitulah ia menyebut si rambut merah dalam gaya Sisilia.
Pisciotta berkata, "Akan kubawa kau menemui Guiliano, tapi biarkan lupara
tetap di bahu sampai dia berbicara denganmu. Jangan menurunkannya tanpa
izin."
Stefan Andolini tersenyum lebar dan berkata sangat gembira, "Tapi aku
mengenalmu, Aspanu. Aku percaya padamu. Ambillah lupara dari bahuku dan
anak buahmu bisa mengambil lupara para picciotti-ku ini. Sesudah kita berbicara
dengan Guiliano aku yakin dia akan mengembalikan senapan kami."
Pisciotta berkata, "Kami bukan hewan beban untuk membawakan senjata kalian.
Bawa saja sendiri." Dan ia memimpin jalan melintasi pegunungan menuju
tempat persembunyian Guiliano di tepi tebing yang menghadap ke Montelepre.
Lebih dari lima puluh anggota kelompok bertebaran di sekitar tebing,
membersihkan senjata dan memperbaiki peralatan. Guiliano duduk di meja,
mengawasi melalui teropongnya.
Pisciotta berbicara pada Guiliano sebelum membawa calon anggota baru itu
menghadap. Ia menceritakan situasinya dan akhirnya berkata, "Turi, menurutku
dia agak berjamur" "Berjamur" merupakan idiom orang Sisilia untuk mata-mata.
"Dan menurutmu kau pernah melihatnya?" tanya Guiliano.
"Atau mendengar tentangnya," sahut Pisciotta. "Entah bagaimana aku merasa
mengenalnya, tapi rambut merah jarang ada. Seharusnya aku ingat."
Guiliano berkata pelan, "Kau mendengar tentangnya dari La Venera. Dia
menyebut pria itu Malpelo—dia tidak tahu namanya Andolini. La Venera juga
menceritakannya padaku. Orang ini bergabung dengan kelompok suaminya.
Sebulan kemudian suaminya disergap dan dibunuh carabinieri. La Venera juga
tidak memercayainya. Dia penuh tipuan, katanya."
Silvestro mendekati mereka. "Jangan memercayai si rambut merah. Aku pernah
melihatnya di markas besar Palermo untuk kunjungan pribadi pada Komandan
Carabinieri."
Guiliano berkata, "Pergilah ke Montelepre dan jemput ayahku kemari.
Sementara itu awasi mereka."
Pisciotta mengirim Terranova menjemput ayah Guiliano dan ia sendiri menemui
ketiga orang itu, yang duduk di tanah. Ia membungkuk dan meraih senjata Stefan
Andolini. Anggota kelompok lainnya mengepung ketiganya bagaikan serigala-
serigala mengelilingi mangsa yang telah jatuh. "Kau tidak keberatan kalau
kubantu membawakan senjatamu sekarang?" tanya Pisciotta sambil tersenyum.
Stefan Andolini terkejut sejenak, wajahnya mengerut menyeringai. Lalu ia
mengangkat bahu. Pisciotta melemparkan lupara itu ke salah satu anak buahnya.
Ia menunggu beberapa saat, memastikan anak buah-nya siap. Lalu ia
membungkuk mengambil lupara kedua picciotti Andolini. Salah satu di
antaranya, lebih karena takut daripada niat jahat, mendorong Pisciotta menjauh
dan memegang senapan taburnya. Detik berikutnya, secepat ular menjulurkan
dan menarik kembali lidahnya, sebilah pisau muncul di tangan Pisciotta.
Tubuhnya melesat maju dan pisau itu menggorok leher si picdotto. Darah merah
segar menyembur ke udara pegunungan yang bersih dan picdotto itu merosot ke
samping. Pisciotta menahannya, membungkuk, dan satu tusukan cepat lagi
menyelesaikannya. Lalu, dengan serangkaian tendangan cepat, ia menggulirkan
mayat itu ke sungai kering
Anak buah Guiliano lainnya berlompatan bangkit
304
dan mengarahkan senjatanya. Andolini, duduk di tanah, mengangkat tangan ke
udara dan memandang sekitarnya dengan bingung. Tapi picciotta yang satu lagi
menerjang ke arah senjatanya dan mencoba mengayunkannya. Passatempo, yang
berdiri di belakangnya dan menyeringai gembira, menghabiskan peluru pistolnya
ke kepala orang itu. Tembakannya menggema ke seluruh pegunungan. Mereka
semua membeku, Andolini memucat dan gemetar ketakutan, Passatempo masih
menggenggam pistolnya. Lalu suara Guiliano dari tepi tebing berkata pelan,
"Singkirkan mayat-mayatnya dan ikat Malpelo itu ke pohon sampai ayahku
tiba."
Mayat-mayat itu dibungkus jaring bambu dan dibawa ke jurang yang dalam.
Mereka melemparkan batu-batu sesudah mayat-mayat itu agar baunya tidak
membubung, menurut kepercayaan kuno. Ini tugas Passatempo, yang merampok
mayat-mayat itu sebelum membuangnya. Guiliano harus berjuang terus-menerus
mengatasi perasaan jijik terhadap Passatempo. Tidak ada rasionalisasi sebesar
apa pun yang bisa mengubah hewan itu menjadi kesatria.
Senja telah turun, hampir tujuh jam kemudian, sewaktu ayah Guiliano akhirnya
tiba di kamp. Stefan Andolini dibebaskan dari pohon dan dibawa ke gua yang
diterangi lampu minyak tanah. Ayah Guiliano marah begitu melihat kondisi
Andolini.
"Tapi orang ini temanku," katanya kepada putranya. "Kami berdua pernah
bekerja untuk Godfather di Amerika. Kuberitahukan padanya dia bisa bergabung
dengan kelompokmu, dan dia akan diperlakukan dengan baik"
Ia berjabatan dengan Andolini dan berkata, "Aku
minta maaf. Putraku pasti salah mengerti atau mendengar gosip tentang dirimu."
Ia diam sejenak, perasaannya tidak enak. Ia tertekan melihat teman lamanya
begitu ketakutan. Karena Andolini hampir-hampir tidak bisa berdiri.
Andolini yakin dirinya akan dibunuh. Bahwa semua ini hanya pura-pura. Bagian
belakang lehernya sakit karena otot-otomya menegang, mengantisipasi
kedatangan peluru. Ia hampir-hampir menangis karena begitu nekat telah
meremehkan Guiliano. Pembunuhan cepat atas kedua picciotti-nya
menyebabkan ia terguncang.
Signor Guiliano merasa temannya terancam oleh putranya. Ia berkata, "Turi,
seberapa sering aku memintamu, melakukan sesuatu untukku? Kalau ada
keberatanmu terhadap orang ini, maafkan dan lepaskan dia. Dia baik padaku di
Amerika dan dia menguimimu hadiah sewaktu kau dibaptis. Aku
memercayainya dan memegang erat-erat persahabatannya."
Guiliano berkata, "Sekarang sesudah kau mengidentifikasi dirinya, dia akan
diperlakukan sebagai tamu terhormat Kalau dia ingin tinggal sebagai anggota
kelompokku, dia diterima."
Ayah Guiliano diantar kembali ke Montelepre dengan kuda agar bisa tidur di
ranjangnya sendiri. Dan sesudah kepergiannya Guiliano berbicara dengan Stefan
Andolini seorang diri.
"Aku tahu tentang dirimu dan Candeleria," katanya. "Kau mata-mata Don Croce
sewaktu bergabung dengan kelompok Candeleria. Sebulan kemudian Candeleria
tewas. Jandanya masih ingat dirimu. Dari apa yang diceritakannya kepadaku,
tidak sulit bagiku memperkirakan apa yang terjadi. Kita orang Sisilia
306
pandai memecahkan teka-teki pengkhianatan. Kelompok-kelompok pelanggar
hukum mulai menghilang Pihak berwenang harus sangat pintar. Aku duduk di
pegununganku dan berpikir sepanjang hari. Aku memikirkan pihak berwenang di
Palermo—mereka tidak pernah sepintar itu sebelumnya. Lalu aku tahu Menteri
Kehakiman di Roma dan Don Croce bersahabat erat. Dan kita tahu, kau dan aku,
Don Croce cukup pandai melihat kepentingan mereka berdua. Jadi Don Croce-
lah yang membersihkan bandit-bandit ini untuk Roma. Dan kupikir tak lama lagi
giliranku akan tiba untuk mendapat kunjungan mata-mata Don Croce. Dan aku
menunggu dan menunggu dan penasaran kenapa Don memerlukan waktu begitu
lama. Karena, dengan segala kerendahan hati, akulah hadiah terbesar di antara
semuanya. Dan hari ini aku melihat kalian bertiga melalui teropongku. Dan
kupikir,Ha, si Malpelo lagi. Aku senang bisa menemuinya.Tapi tetap saja aku
harus membunuhmu. Aku tidak ingin menyebabkan ayahku tertekan, jadi
mayatmu akan menghilang."
Stefan Andolini kehilangan rasa takutnya sejenak karena murka. "Kau menipu
ayahmu sendiri?" teriaknya. "Kau mengaku putra orang Sisilia?" Ia meludah ke
tanah. "Kalau begitu bunuhlah aku dan pergilah ke neraka."
Pisciotta, Terranova, dan Passatempo juga tertegun. Tapi mereka telah tertegun
berulang-ulang di masa lalu. Guiliano yang begitu terhormat yang
membanggakan diri selalu menepati janji, yang selalu membicarakan keadilan
bagi semua orang, bisa tiba-tiba berubah dan mengambil tindakan yang di mata
mereka begitu jahat. Bukannya mereka keberatan ia
membunuh Andolini—ia bisa membunuh seratus Andolini, seribu malah. Tapi ia
melanggar janjinya kepada ayahnya dan menipu ayahnya, rasanya tidak bisa
dimaafkan. Hanya Kopral Silvestro yang mengerti dan berkata, "Dia tidak boleh
membahayakan keselamatan kita semua hanya karena ayahnya berhati lembut."
Guiliano berkata pelan kepada Andolini, "Ber-damailah dengan Tuhan." Ia
memberikan isyarat kepada Passatempo. "Kau punya waktu lima menit."
Rambut merah Andolini seolah berdiri tegak di seluruh kepalanya. Ia berkata
panik, "Sebelum kau membunuhku, berbicaralah dengan Kepala Biara
Manfredi."
Guiliano tertegun menatapnya dan pria berambut merah itu berbicara tergesa-
gesa. "Kau pernah mengatakan kepada Kepala Biara kau berutang budi padanya.
Bahwa dia bisa meminta apa saja kepadamu." Guiliano ingat dengan baik
janjinya itu. Dari mana orang ini mengetahuinya?
Andolini melanjutkan, "Ayo kita temui dia dan dia akan memohonkan ampun
bagiku."
Pisciotta berkata jijik, "Turi, butuh waktu satu hari lagi untuk mengirim kurir
dan mendapat jawaban dari Kepala Biara. Apa Kepala Biara lebih berpengaruh
bagimu daripada ayahmu sendiri?"
Guiliano kembali menyebabkan mereka tertegun. "Ikat tangannya dan ikat
kakinya dengan beban agar dia bisa berjalan tapi tidak bisa lari. Siapkan sepuluh
pengawal. Akan kubawa dia ke biara, dan kalau Kepala Biara tidak
memohonkan ampun baginya, dia bisa melakukan pengakuan dosa terakhirnya.
Akan kuekse-kusi dia dan kuberikan mayatnya kepada para biarawan untuk
dimakamkan."
Guiliano dan kelompoknya tiba di gerbang biara saat matahari terbit dan para
biarawan tengah dalam perjalanan untuk bekerja di ladang. Turi Guiliano
mengawasi mereka sambil tersenyum. Bukankah baru dua tahun lalu ia pergi ke
ladang bersama biarawan-biarawan ini, mengenakan jubah cokelat dan topi
fedora Amerika lusuh di kepalanya? Ia teringat betapa kegiatan ini membuatnya
gembira. Siapa yang pada saat itu memimpikan masa depan begini buas?
Nostalgia tentang masa damai bekerja di ladang itu melintas.
Kepala Biara sendiri keluar ke gerbang untuk menyapa mereka. Sosok jangkung
berjubah hitam itu ragu-ragu sewaktu sang tawanan melangkah maju, lalu
membentangkan lengannya. Stefan Andolini menghambur ke dalam pelukan pria
tua itu, mencium kedua pipinya dan berkata, "Bapa, orang-orang ini akan
membunuhku, hanya kau yang bisa menyelamatkan diriku."
Kepala Biara mengangguk. Ia mengulurkan tangan ke arah Guiliano, yang
melangkah maju untuk memeluknya. Guiliano sekarang memahami segalanya.
Aksen yang* aneh pada kata "Bapa" bukanlah cara seseorang memanggil
pendetanya, melainkan cara putra memanggil orangtuanya.
Kepala Biara berkata, "Kumohon kau mengampuni orang ini, sebagai
pembalasan utang budi padaku."
Guiliano menanggalkan tali yang mengikat tangan dan kaki Andolini. "Dia
milikmu," kata Turi Guiliano
Andolini merosot ke tanah; ketakutan yang me-
nyembur keluar dari tubuhnya menyebabkan ia lemas. Kepala Biara
mendukungnya dengan sosoknya sendiri yang rapuh. Ia berkata kepada
Guiliano, "Masuklah ke ruang makanku. Anak buahmu akan kuberi makan dan
kita bertiga bisa membicarakan apa yang harus kita lakukan."
Ia berpaling kepada Andolini dan berkata, "Putraku yang baik, kau masih belum
lolos dari bahaya. Apa pendapat Don Croce kalau tahu semua ini? Kita harus
mendiskusikannya atau kau akan salah jalan."
Kepala Biara mempunyai ruang kecilnya sendiri dan ketiganya duduk nyaman.
Keju dan roti disajikan bagi kedua pria yang lebih muda ini.
Kepala Biara berpaling dan tersenyum sedih kepada Guiliano. "Salah satu dari
sekian banyak dosaku. Aku menjadi ayah bagi orang ini sewaktu masih muda.
Ah, tidak ada yang mengetahui godaan-godaan yang dialami pastor di Sisilia.
Aku tidak menolaknya. Skandal itu ditutupi dan ibunya menikah dengan seorang
Andolini. Sejumlah besar uang diberikan dan aku bisa mendapat kenaikan
jabatan di Gereja. Tapi ironi surga tidak bisa diperkirakan manusia. Putraku
tumbuh dewasa menjadi pembunuh. Dan itu salib yang harus kutanggung
sekalipun ada begitu banyak dosaku sendiri yang harus ku-pikul."
Nada Kepala Biara berubah sewaktu ia berpaling kepada Andolini. Ia berkata,
"Dengarkan baik-baik, anakku. Untuk kedua kalinya kau berutang nyawa
padaku. Pahamilah kepada siapa kesetiaanmu yang pertama. Sekarang kepada
Guiliano.
"Kau tidak bisa kembali kepada Don. Dia akan
bertanya-tanya, Kenapa Turi membiarkan dirimu tetap hidup dan menghabisi
kedua rekanmu? Dia akan mencurigai adanya pengkhianatan dan itu berarti
kematian-mu. Yang harus kaulakukan adalah mengabai semuanya kepada Don
dan meminta tetap bergabung dengan kelompok Guiliano. Kau akan
memberinya informasi dan berfungsi sebagai penghubung antara Friends of the
Friends dan pasukan Guiliano. Aku sendiri akan menemui Don dan
memberitahukan keuntungan pengaturan ini. Akan kukatakan juga kepadanya
kau akan tetap setia kepada Guiliano, tapi bukan berarti merugikan Don Croce.
Dia mungkin mengira kau akan mengkhianati orang yang sudah membiarkan
dirimu tetap hidup ini. Tapi asal kau tahu, kalau kau tidak setia kepada Guiliano,
aku akan mengetukmu selama-lamanya. Kau akan menanggung kutukan ayahmu
sampai mati."
Ia kembali berpaling kepada Guiliano. "Jadi sekarang aku meminta bantuan
kedua padamu, Turi Guiliano yang baik. Terimalah putraku dalam kelompokmu.
Dia akan berjuang untukmu dan aku bersumpah dia akan setia kepadamu."
Guiliano memikirkannya hati-hati. Ia yakin—seiring perjalanan waktu—dapat
memenangkan hati Andolini, dan ia tahu pengabdian orang ini kepada ayahnya,
si Kepala Biara. Oleh karena itu kemungkinan ia berkhianat sangat kecil dan
bisa diawasi. Stefan Andolini akan menjadi kepala operasi kelompoknya, bahkan
lebih berharga lagi sebagai sumber informasi mengenai kekaisaran Don Croce.
Guiliano bertanya, "Apa yang akan kaukatakan kepada Don Croce?"
Kepala Biara diam sejenak. "Aku akan berbicara kepada Don. Aku memiliki
pengaruh terhadapnya. Lalu kita lihat saja. Sekarang, bersediakah kau menerima
putraku dalam kelompokmu?"
"Ya, aku bersumpah padamu," kata Guiliano. "Tapi kalau dia mengkhianatiku,
doa-doamu tidak akan cukup cepat menangkap jiwanya dalam perjalanannya ke
neraka."
Stefan Andolini telah menjalani kehidupan di dunia di mana hanya ada sedikit
kepercayaan, mungkin itulah alasan kenapa wajahnya selama bertahun-tahun ini
membentuk semacam topeng pembunuh. Ia paham dalam tahun-tahun
mendatang ia akan berakrobat bagaikan artis trapeze, harus terus menjaga
keseimbangan di atas tali kematian. Tidak ada pilihan aman. Ia senang semangat
pengampunan yang memancar dari diri Guiliano menyelamatkan dirinya. Tapi ia
tidak berharap banyak. Turi Guiliano satu-satunya orang yang pernah
menyebabkan ia ketakutan.
Sejak hari itu Stefan Andolini menjadi anggota kelompok Guiliano. Dan selama
bertahun-tahun kemudian ia begitu terkenal akan kebuasan dan kesalehannya
sehingga julukannya, Fra Diavalo, termasyhur di seluruh Sisilia. Kesalehannya
berasal dari fakta bahwa setiap hari Minggu ia menghadiri Misa. Ia biasanya
pergi ke Villaba, tempat Pater Benjamino menjadi pastor. Dan dalam ruang
pengakuan dosa ia mengungkapkan berbagai rahasia kelompok Guiliano kepada
pendengar pengakuan dosanya, untuk disampaikan kepada Don Croce. Tapi
bukan rahasia yang oleh Guiliano dilarang diceritakan.
BUKU III
MICHAEL CORLEONE 1950
Bab 16
FIAT itu menyusuri tepi kota Trapani dan mengambil jalan di sepanjang pantai.
Michael Corleone dan Stefan Andolini tiba di sebuah vila, lebih besar daripada
kebanyakan vila lainnya, dengan tiga rumah mencolok di sekitarnya. Vila itu
dikepung dinding kecuali celah di sisi yang menghadap pantai. Gerbang vila
dijaga dua pria, dan tepat di baliknya Michael bisa melihat pria gendut yang
mengenakan pakaian yang kelihatan asing di sini: jas sport dan celana panjang
dilengkapi kaus polo rajutan yang terbuka. Saat mereka menunggu gerbang
dibuka, Michael melihat senyum di wajahnya yang lebar dan tertegun menyadari
pria itu Peter Clemenza.
Clemenza tangan kanan ayah Michael Corleone di Amerika. Apa yang
dilakukannva di sini? Mchael terakhir kali bertemu dengannya pada malam fatal
saat Clemenza membuang pistol yang digunakan Michael membunuh kapten
polisi dan si Turki, Sollozzo. Ia teringat ekspresi sedih dan iba pada wajah
Clemenza saat itu, dua tahun lalu Sekarang Clemenza benar-benar gembira
bertemu michael ia menarik keluar dari Fiat mungil itu dan hampir-hampir
meremukkan dirinya dengan pelukanya yang bagaikan pelukan beruang.
"Michael, senang bertemu denganmu. Aku menanti bertahun-tahun untuk
mengatakan betapa bangga diriku padamu. Kerjamu hebat Dan sekarang semua
masalahmu sudah beres. Seminggu lagi kau akan berkumpul bersama
keluargamu, akan ada perayaan besar. Semua orang menantikanmu, Mikey." Ia
menatap wajah Michael penuh sayang sambil memeganginya sejauh kedua
lengannya yang besar, dan sementara itu menilainya. Pemuda ini bukan lagi
sekadar pahlawan perang yang belia. Selama keberadaannya di Sisilia, bocah ini
telah tumbuh menjadi laki-laki. Maksudnya, wajah Michael tidak lagi
memancarkan keterbukaan; wajahnya memancarkan ekspresi bangga yang
tersembunyi, khas kelahiran Sisilia. Michael siap mengambil posisi dalam
keluarga.
Michael gembira melihat sosok Clemenza yang tinggi besar, wajahnya yang
lebar. Ia menanyakan kabar keluarganya kepada Clemenza. Ayahnya telah pulih
dari usaha pembunuhan, tapi kesehatannya tidak bagus. Clemenza menggeleng
sedih. "Tak bagus bagi siapa pun kalau tubuhnya berlubang," kata 1 Clemenza,
"tak peduli seberapa baik mereka pulih. Tapi ini bukan pertama kali ayahmu
ditembak. Dia seperti banteng. Dia akan pulih. Sonny tewas terbunuh, itu yang
merusak ayah dan ibumu. Pembunuhannya brutal, Mikey—mereka mencincang
Sonny dengan senapan mesin. Itu tidak benar, mereka tidak perlu berbuat begitu.
Itu jahat Tapi kita sedang menyusun rencana. Ayahmu akan memberitahukannya
padamu begitu kau pulang Semua senang kau kembali."
Stefan Andolini mengangguk kepada Clemenza; mereka jelas pernah bertemu. Ia
menjabat tangan Michael
dan mengatakan dirinya harus pergi—ada yang harus dilakukannya di
Montelepre. "Ingat ini, meski apa pun yang kaudengar," katanya, "aku tetap setia
kepada Turi Guiliano dan dia memercayai diriku sampai akhir. Kalau dia
dikhianati, bukan aku yang mengkhianatinya." Ia tergagap namun tulus. "Dan
aku tidak akan mengkhianati dirimu."
Michael memercayainya. "Kau mau masuk, beristirahat, dan makan atau minum
terlebih dulu?" tanyanya.
Stefan Andolini menggeleng. Ia masuk ke Fiat-nya dan melaju keluar melalui
gerbang yang segera ditutup di belakangnya.
Clemenza mengajak Michael melintasi lapangan terbuka menuju vila utama.
Orang-orang bersenjata berpatroli di dinding-dinding dan di pantai tempat lahan
itu membuka ke arah laut. Dermaga kecil membentang ke arah pantai Afrika di
kejauhan, dan di sana tertambat perahu motor besar ramping, bendera Italia
berkibar di perahu itu.
Di dalam vila menanti dua wanita tua berpakaian hitam, tanpa satu pun warna
lebih terang pada diri mereka, kulit mereka gelap terbakar matahari, syal hitam
menutupi kepala. Clemenza meminta mereka membawakan semangkuk buah-
buahan ke kamar tidur Michael.
Teras kamar tidur menghadap ke Laut Mediterania yang biru dan tampak seakan
terbelah di tengah-tengah sewaktu seberkas cahaya matahari pagi
menghantamnya. Kapal-kapal nelayan dengan layar biru dan merah cerah
terayun-ayun di kaki langit bagai bola berlompatan di air. Ada meja kecil di teras
yang tertutup kain tebal berwarna cokelat tua, dan keduanya
duduk di kursi di sekitarnya. Sepoci espresso dan sekaraf anggur merah tersedia
di sana.
"Kau tampak lelah," ujar Gemenza. "Tidurlah dulu, nanti kuceritakan semua
rmtiatinya kepadamu."
"Tidur ada gunanya," kata Michael. "Tapi terlebih dulu, katakan, apa ibuku baik-
baik saja?"
"Dia baik-baik saja," jawab Clemenza. "Dia menunggu kepulanganmu. Kami
tidak.ingin mengecewakannya, terlalu berat baginya sesudah apa yang terjadi
pada Sonny."
Michael bertanya lagi, "Dan ayahku, dia sudah pulih sepenuhnya?"
Clemenza tertawa; tawa yang buruk. "Jelas. Lima Keluarga akan mengetahuinya.
Ayahmu hanya menunggu kepulanganmu, Mike. Dia punya rencana-rencana
besar untukmu. Kita tidak boleh mengecewakannya Jadi jangan terlalu
mengkhawatirkan Guiliano— kalau dia muncul kita akan membawanya. Kalau
dia terus-menerus mengacau, kita akan meninggalkannya di sini."
"Apa itu perintah ayahku?" tanya Michael.
Clemenza berkata, "Ada kurir yang datang melalui udara setiap hari ke Tunisia
dan aku berperahu ke sana untuk berbicara dengannya. Itu perintah yang
kuterima kemarin. Mula-mula Don Croce seharusnya membantu kita, atau
begitulah yang dikatakan ayahmu sebelum aku meninggalkan Amerika. Tapi kau
tahu apa yang terjadi di Palermo sesudah kepergianmu kemarin? Ada yang
mencoba menghabisi Don Croce. Mereka datang menerobos dinding kebun dan
membunuh empat pengawalnya. Tapi Croce berhasil lolos. Jadi apa yang
sebenarnya terjadi?"
Michael berkata, "Ya Tuhan." Ia teringat langkah-langkah penjagaan yang
dilakukan Don Croce di sekitar hotel. "Kupikir itu perbuatan teman kita
Guiliano. Kuharap kau dan ayahku tahu apa yang kalian lakukan. Aku terlalu
lelah untuk berpikir."
Clemenza beranjak bangkit dan menepuk bahunya. "Mikey, tidurlah dulu.
Setelah bangun nanti kau akan bertemu saudaraku. Orang hebat, sama seperti
ayahmu, sama pandainya, sama tangguhnya, dan dia bos di wilayah ini, persetan
dengan Croce."
Michael menanggalkan pakaian dan naik ke ranjang. Ia belum tidur selama lebih
dari tiga puluh jam, tapi benaknya terus melompat-lompat dan tidak membiarkan
tubuhnya beristirahat. Ia bisa merasakan panasnya matahari pagi meskipun telah
menutup daun jendela yang tebal. Semerbak bunga dan pepohonan lemon
mencapai hidungnya. Benaknya bekerja memikirkan kejadian-kejadian yang
berlangsung selama beberapa hari ini. Bagaimana Pisciotta dan Andolini bisa
berkeliaran sebebas itu?. Kenapa Guiliano seolah memutuskan Don Croce
adalah musuhnya di saat paling tidak tepat ini? Kesalahan seperti itu bukanlah
ciri orang Sisilia. Bagaimanapun, orang itu telah tujuh tahun hidup di
pegunungan sebagai pelanggar hukum. Sudah cukup. Ia pasti menginginkan
kehidupan yang lebih baik—tidak mungkin di sini, tapi jelas di Amerika. Dan ia
pasti memiliki rencana semacam itu, kalau tidak, ia tidak akan mengirim
tunangannya yang hamil ke Amerika, mendului dirinya. Pemikiran yang
mencerahkan itu menyatakan padanya bahwa jawaban atas semua misteri ini
adalah Guiliano tengah melakukan pertempuran terakhir. Bahwa ia tidak takut
mati di
tanah kelahirannya ini. Bahwa ada berbagai rencana dan persekongkolan yang
tengah menuju titik akhir di mana ia, Michael tidak menyadarinya dan karenanya
ia harus waspada. Karena Michael Corleone tidak ingin mati di Sisilia. Ia bukan
bagian dari mitos yang satu ini.
Michael terjaga di kamar tidur luas itu dan membuka jendela-jendelanya, yang
mengayun keluar ke balkon batu putih yang berkilau tertimpa cahaya matahari
pagi. Di bawah balkon, Laut Mediterania bergulung-gulung bagai permadani
biru tua yang membentang ke kaki langit. Berkas-berkas kemerahan menoreh air,
dan di atasnya kapal-kapal nelayan berlayar sampai lenyap dari pandangan.
Michael mengawasi mereka selama beberapa menit, terpesona oleh keindahan
laut dan keanggunan tebing-tebing Erice yang membentang sepanjang pantai ke
utara.
Ruangan itu penuh perabotan besar gaya pedesaan. Meja dengan baskom enamel
biru dan seguci air di atasnya. Di kursi tersampir handuk cokelat kasar. Di
dinding-dindingnya tergantung lukisan para orang suci dan Bunda Maria, yang
menggendong bayi Yesus. Michael mencuci muka, lalu meninggalkan kamar. Di
dasar tangga Peter Clemenza telah menanti.
"Ah, sekarang kau tampak lebih baik, Mikey," ujar Clemenza. "Santapan lezat
akan mengembalikan kekuatanmu dan sesudahnya kita bisa membicarakan
bisnis." Ia mengajak Michael ke dapur, ke meja kayu panjang. Mereka duduk
dan wanita tua bergaun hitam muncul bagai disihir di dekat tungku, menuang
dua cangkir espresso dan menyajikannya kepada mereka. Lalu, juga
bagai disihir, ia mengeluarkan sepiring telur dan sosis yang diletakkannya di
meja. Dari oven muncul sebongkah roti cokelat bundar. Lalu wanita itu
menghilang ke ruangan di balik dapur. Ia tidak memedulikan ucapan terima
kasih Michael. Pada saat itu seorang pria masuk. Ia lebih tua daripada Clemenza
tapi tampak begitu mirip dengannya sehingga Michael seketika mengenali inilah
Don Domenic Clemenza, kakak Peter Clemenza. Don Domenic mengenakan
pakaian yang jauh berbeda. Ia memakai celana panjang beludru hitam yang
dijejalkan ke dalam sepatu bot cokelat kokoh. Ia berkemeja sutra putih yang
bagian lengannya berkerut-kerut dan rompi hitam panjang. Di kepalanya
bertengger topi berlidah pendek. Tangan kanannya memegang cambuk yang
dilemparkannya ke sudut. Michael bangkit berdiri menyapanya dan Don
Domenic Clemenza memeluknya hangat.
Mereka duduk bersama. Don Domenic memiliki keanggunan alamiah dan
memancarkan kewibawaan yang mengingatkan Michael akan ayahnya sendiri. Ia
juga menunjukkan keakraban gaya lama. Peter Clemenza jelas sangat
mengagumi kakaknya, yang memperlakukan dirinya dengan sikap sayang kakak
kepada adiknya yang nakal. Ini menyebabkan Michael heran sekaligus geli.
Peter Clemenza adalah caporegme ayahnya yang paling tepercaya dan berbahaya
di Amerika.
Don Domenic berkata serius tapi matanya berkilau-kilau. "Michael, aku merasa
sangat senang dan tersanjung karena ayahmu, Don Corleone, memercayakan
dirimu kepadaku. Sekarang kau bisa memenuhi rasa penasaranku. Adikku yang
tidak berguna ini, apakah keberhasilannya di Amerika sesuai bualannya?
Apa dia sudah menduduki jabatan begitu tinggi, adikku yang aku tak yakin bisa
menjagal babi dengan benar? Apa Don Corleone benar-benar memercayainya
sebagai tangan kanan? Dan katanya dia memimpin lebih dari seratus orang.
Bagaimana aku bisa percaya semua itu?" Tapi sementara mengatakannya, ia
menepuk-nepuk bahu adiknya penuh sayang.
"Semuanya benar," jelas Michael. "Ayahku selalu mengatakan dia pasti akan
berjualan minyak zaitun kalau bukan karena adikmu."
Mereka semua tertawa. Peter Clemenza berkata, "Aku akan menghabiskan
seumur hidupku di penjara kalau bukan karena ayahmu. Dia mengajariku
bagaimana berpikir dan bukannya sekadar menggunakan pistol."
Don Domenic mendesah. "Aku hanyalah petani dari negara miskin. Memang
benar para tetangga menemuiku untuk meminta nasihat dan di Trapani ini
mereka bilang aku orang penting. Mereka menyebutku Si Tidak Setia karena aku
tidak bersedia memenuhi keinginan Don Croce. Mungkin tindakanku tidak
terlalu cerdas, mungkin Godfather akan menemukan cara agar bisa bergaul lebih
baik dengan Don Croce. Tapi menurutku mustahil. Aku mungkin Tidak Setia',
tapi hanya kepada mereka yang tidak memiliki kehormatan. Don Croce menjual
informasi kepada pemerintah dan bagiku itu infamita—melanggar hukum
omerta. Tak peduli sebagus apa pun alasannya. Cara lama masih tetap yang
terbaik, MichaeL seperti yang akan kaulihat sesudah berada di sini beberapa hari
nanti."
"Aku yakin begitu," ujar Michael sopan. "Dan aku harus mengucapkan terima
kasih atas bantuan yang kauberikan padaku sekarang"
"Ada yang harus kukerjakan," kata Don Domenic. "Kalau ada yang
kaubutuhkan, suruh orang memberitahukannya padaku." Ia meraih cambuknya
dan keluar melewati pintu.
Peter Clemenza menjelaskan, "Michael, ayahmu setuju membantu Turi Guiliano
keluar dari negara ini demi persahabatan dan penghormatannya kepada ayah
Guiliano. Tapi keselamatanmu lebih utama. Ayahmu masih memiliki musuh di
sini. Guiliano punya waktu seminggu untuk menemuimu. Tapi kalau dia tidak
muncuL kau harus kembali ke Amerika- Serikat seorang diri. Itu perintah yang
kuterima. Kita sudah menyiapkan pesawat khusus di Afrika dan kita bisa pergi
setiap saat. Kau tinggal memerintahkannya."
Michael berkata, "Pisciotta berjanji akan mengantarkan Guiliano menemuiku
secepatnya."
Clemenza bersiul. "Kau bertemu Pisciotta? Hell, mereka mencari Pisciotta sama
sulitnya seperti mencari Guiliano. Bagaimana dia bisa turun dari pegunungan?"
Michael mengangkat bahu. "Dia memiliki salah satu kartu izin khusus bertepi
merah yang ditandatangani. Menteri Kehakiman. Dan itu juga membuatku
khawatir."
Peter Clemenza menggeleng.
Michael melanjutkan. "Orang yang membawaku kemari, Andolini, kau
mengenalnya, Pete?"
"Yeah," kata Peter Clemenza. "Dia bekerja pada kita di New York, pekerjaan
pemberesan dua kali, tapi ayah Guiliano orang sederhana dan tukang batu yang
hebat. Keduanya bodoh kembali kemari. Tapi banyak orang Sisilia seperti itu.
Mereka tidak bisa melupakan rumah kecil mereka yang kumuh di Sisilia. Aku
mem-
bawa dua orang bersamaku kali ini untuk membantu. Mereka sudah dua puluh
tahun tidak kembali kemari. Jadi kami berjalan-jalan di pedalaman dekat Erice,
kota yang indah, Mikey, dan kami singgah di ladang-ladang bersama domba-
domba milik mereka dan minum anggur. Lalu kami semua harus buang air kecil.
Jadi kami melakukannya di sana dan sesudahnya, kedua orang ini melompat
sekitar tiga meter ke udara dan berteriak,Panjang umur Sisilia.' Kau mau apa?
Begitulah mereka, sampai mati tetap orang Sisilia."
Michael mengingatkan, "Yeah, tapi bagaimana dengan Andolini?"
Clemenza mengangkat bahu. "Dia sepupu ayahmu. Dia menjadi salah satu
tangan kanan Guiliano selama lima tahun terakhir. Tapi sebelumnya dia dekat
dengan Don Croce. Siapa yang tahu? Dia berbahaya."
Michael berkata, "Andolini yang akan mengantarkan tunangan Guiliano kemari.
Gadis itu sedang hamil. Kita harus mengirimnya ke Amerika, lalu dia akan
mengirimkan kata sandi kepada Guiliano, menyatakan rutenya aman, setelah itu
barulah Guiliano menemui kita. Aku sudah berjanji kita akan melakukannya.
Kau tidak keberatan?"
Clemenza bersiul. "Aku belum pernah mendengar Guiliano memiliki kekasih.
Tentu saja kita bisa melakukannya."
Mereka keluar ke kebun yang luas. Michael bisa melihat para penjaga di gerbang
dan di pantai sedikitnya enam orang bersenjata mondar-mandir. Perahu motor
besar tertambat di dermaga yang pendek. Di kebun sekelompok orang jelas
tengah menunggu untuk bertemu Peter Clemenza. Ada sekitar dua puluh orang,
semuanya khas orang Sisilia dengan pakaian dan topi mereka yang berdebu,
mirip Don Domenic hanya dalam versi yang lebih miskin.
Di sudut kebun, di bawah pohon lemon, berdiri meja kayu oval dilengkapi kursi-
kursi kayu di sekitarnya. Clemenza dan Michael duduk di dua kursi di antaranya,
kemudian Clemenza memanggil orang-orang itu. Salah satunya mendekat dan
duduk. Clemenza menanyakan kehidupan pribadi pria itu. Apa ia sudah
menikah? Apakah ia punya anak? Berapa lama ia bekerja untuk Don Domenic?
Siapa kerabatnya di Trapani? Apa ia pernah berpikir pergi ke Amerika untuk
mengumpulkan kekayaan? Jawaban untuk pertanyaan terakhir adalah Ya.
Wanita tua berpakaian hitam membawa seguci besar anggur yang dicampur
lemon segar, lalu mengeluarkan baki berisi banyak gelas. Clemenza menawarkan
minum dan rokok kepada setiap orang yang diwawancarainya. Setelah usai dan
orang terakhir berlalu, Clemenza berkata kepada Michael, "Ada di antara mereka
yang menurutmu salah?"
Michael mengangkat bahu dan berkata, "Mereka semua tampak sama bagiku.
Mereka semua ingin ke Amerika."
Clemenza berkata, "Kita memerlukan tenaga baru di rumah. Kita kehilangan
banyak orang dan mungkin akan kehilangan lebih banyak lagi. Setiap sekitar
lima tahun aku pulang kemari dan membawa sekitar dua belas orang ke
Amerika. Aku sendiri yang melatih mereka. Pekerjaan-pekerjaan kecil pada
awalnya penagihan, tukang pukul, tugas jaga. Aku menguji kesetiaan mereka.
Ketika kurasa waktunya tepat dan ke-
sempatannya ada, kuberi mereka kesempatan "menuntaskan masalah". Tapi aku
sangat berhati-hati dalam hal ini. Begitu mencapai sejauh itu, mereka tahu
mereka bisa memiliki kehidupan bagus seumur hidup asal tetap setia. Semua
orang di sini tahu aku merekrut untuk Keluarga Corleone dan setiap orang di
provinsi ini ingin menemuiku. Tapi kakakku yang memilih mereka. Tidak ada
yang bisa bertemu denganku tanpa seizinnya."
Michael memandang kebun indah di sekitarnya, berhias bunga-bunga aneka
warna, pepohonan lemon yang harum, patung-patung kuno para dewa yang
digali dari reruntuhan kuno, patung-patung orang suci dari masa yang lebih baru,
dinding-dinding merah di sekeliling vila. Lokasi yang indah untuk menguji dua
belas murid pembunuh.
Menjelang sore Fiat kecil itu muncul kembali di gerbang vila dan diizinkan
masuk oleh para penjaga. Andolini yang mengemudi, dan di sampingnya duduk
gadis berambut panjang hitam pekat dan berwajah oval layaknya Madonna
dalam lukisan. Sewaktu gadis itu turun, dari mobiL Michael bisa melihat ia
hamil; walaupun ia mengenakan gaun longgar sederhana khas wanita Sisilia,
gaunnya tidak hitam, tapi merah-putih bermotif bunga-bunga yang buruk. Tapi
wajahnya begitu cantik sehingga gaunnya tidak masuk hitungan.
Michael Corleone terkejut melihat sosok kecil Hector Adonis turun dari kursi
belakang. Adonis-lah yang memperkenalkan mereka. Gadis itu bernama Justina.
Ia tidak memiliki sikap malu-malu khas gadis muda; dan di usianya .yang baru
tujuh belas, wajahnya me-
mancarkan kekuatan wanita yang lebih tua, seakan ia telah mengalami beberapa
tragedi kehidupan. Ia mengamati Michael dengan teliti sebelum menundukkan
kepala untuk menegaskan perkenalannya. Seolah ia mengamatinya untuk
menemukan tanda-tanda pengkhianatan di wajah Michael.
Salah satu wanita tua mengajaknya pergi ke kamarnya dan Andolini
mengeluarkan bagasinya dari dalam mobil. Bagasinya hanya berupa satu koper
kecil. Michael sendiri yang membawanya masuk ke rumah.
Malam itu mereka makan malam bersama kecuali Andolini, yang harus pergi
bersama Fiat-nya. Hector Adonis tetap tinggal. Di meja makan mereka
menyusun rencana untuk mengirim Justina ke Amerika. Don Domenic
mengatakan perahu ke Tunisia telah siap; perahu itu selalu siap karena mereka
tidak tahu kapan Guiliano tiba dan mereka harus bergerak cepat saat itu terjadi.
"Siapa yang tahu teman-teman jahat macam apa yang akan datang
mengikutinya," ujar Don Domenic sambil tersenyum kecil.
Peter Clemenza mengatakan akan menemani Justina ke Tunisia dan memastikan
gadis itu naik ke pesawat khusus dengan dokumen-dokumen khusus yang
memungkinkannya masuk ke Amerika Serikat tanpa masalah. Lalu ia akan
kembali ke vila.
Sesudah Justina tiba di Amerika, ia akan mengirimkan kata sandinya dan operasi
terakhir untuk menyelamatkan Guiliano akan dimulai.
Justina hanya sedikit bicara selama makan malam. Don Domenic bertanya
apakah ia siap berangkat malam ini juga setelah melakukan perjalanan sejauh itu
di siang harinya.
Ketika gadis itu menjawab, Michael menyadari daya tarik yang dilihat Guiliano
pada dirinya. Gadis itu memiliki mata hitam kemilau yang sama, rahang yang
menunjukkan kebulatan tekad, mulut wanita Sisilia yang paling kuat, dan bicara
dengan sama tegasnya.
"Bepergian lebih mudah daripada bekerja dan tidak lebih berbahaya daripada
bersembunyi," katanya. "Aku pernah tidur di pegunungan dan di ladang-ladang
bersama domba, jadi kenapa aku tidak bisa tidur di kapal atau di pesawat? Jelas
tidak akan sedingin di pegunungan atau di ladang, bukan?" Ia mengucapkannya
dengan kesombongan orang muda, tapi kedua tangannya gemetar sewaktu
mengangkat gelas anggur. "Aku hanya khawatir apakah Turi bisa melarikan diri.
Kenapa dia tidak ikut bersamaku?"
Hector Adonis berkata lembut, "Justina, dia tidak ingin membahayakan dirimu
dengan kehadirannya. Lebih suHt baginya bepergian; lebih banyak langkah
penjagaan yang harus diambil."
Peter Clemenza menyela, "Perahu akan membawamu ke Afrika sebelum fajar,
Justina. Mungkin sebaiknya kau beristirahat dulu."
Justina berkata, 'Tidak, aku tidak capek dan aku tedalu bersemangat untuk tidur.
Bisa minta anggur lagi?"
Don Domenic menuangkan anggur hingga gelasnya penuh. "Minumlah, ini
bagus bagi bayimu dan akan membantumu tidur nanti. Apa Guiliano menitipkan
pesan untuk kami?"
Justina tersenyum sedih. "Aku sudah berbulan-bulan tidak bertemu dengannya.
Aspanu Pisciotta satu-satunya orang yang dipercayainya. Bukan berarti dia
mengira
aku akan mengkhianatinya, tapi akulah titik lemah yang mungkin dimanfaatkan
orang untuk menjebaknya. Itu akibat roman-roman yang dibacanya, di mana
cinta wanita menyebabkan kejatuhan para pahlawan. Dia menganggap cintanya
kepadaku merupakan kelemahan terbesarnya, dan tentu saja dia tidak pernah
mengungkapkan rencananya kepadaku."
Michael ingin tahu lebih banyak tentang Guiliano. Dirinya, atau Sonny, mungkin
menjadi Guiliano seandainya ayahnya tetap tinggal di Sisilia. "Bagaimana kau
bertemu Turi?" tanyanya kepada Justina.
Justina tertawa. "Aku jatuh cinta kepadanya sewaktu usiaku sebelas tahun,"
jawabnya. "Itu hampir tujuh tahun lalu dan tahun pertama Turi menjadi
pelanggar hukum, tapi dia sudah terkenal di desa kecil kami di Sisilia. Adik
lelakiku dan aku bekerja di ladang bersama ayahku, dan Papa memberiku seikat
uang lira untuk diberikan pada ibuku. Adikku dan aku masih bodoh dan kami
memamerkannya, begitu bersemangat memiliki uang sebanyak itu. Dua
carabinieri melihat kami di jalan dan merampas uang kami dan tertawa-tawa
sewaktu kami menangis. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan, kami
takut pulang dan takut kembali ke ayah. Lalu pemuda ini keluar dari balik
semak-semak. Dia lebih jangkung daripada sebagian besar pria di Sisilia dan
bahunya jauh lebih lebar. Dia tampak seperti prajurit Amerika yang kami lihat
selama perang. Dia menyandang senapan mesin tapi matanya yang cokelat
begitu lembut. Dia sangat tampan. Dia menanyai kami, 'Anak-anak, kenapa
kalian menangis di hari seindah ini? Dan kau, young lady, kau merusak
kecantikanmu, siapa yang mau menikah denganmu?'
tapi dia tertawa dan kau bisa melihat, entah kenapa, dia gembira melihat kami.
Kami menceritakan apa yang terjadi dan dia tertawa lagi dan memperingatkan
kami agar selalu berhati-hati terhadap" carabinieri. Dia bilang kami telah
mendapat pelajaran begitu dini dalam kehidupan, dan itu bagus. Lalu dia
memberi adikku setumpuk besar lira untuk diberikan kepada ibu kami dan
kepadaku dia memberi surat untuk ayahku. Aku masih ingat isi suratnya kata
demi kata. Katanya, 'Jangan memarahi kedua anakmu yang cantik yang akan
menjadi kesenangan dan penghiburanmu di hari tua. Uang yang kuberikan
kepada mereka lebih banyak daripada yang mereka hilangkan. Dan ketahuilah:
Mulai hari ini, kau dan anak-anakmu berada di bawah perlindungan
GUILIANO.' Menurutku nama itu begitu luar biasa dan dia menulisnya dalam
huruf-huruf besar. Aku melihat nama itu dalam mimpiku selama berbulan-bulan.
Hanya huruf-huruf itu. GUILIANO.
"Tapi yang membuatku jatuh cinta padanya adalah kegembiraannya dalam
melakukan kebaikan. Dia benar-benar senang membantu orang lain. Sikap itu
tidak pernah berubah. Aku selalu melihat kegembiraan yang sama, seakan-akan
dia mendapatkan lebih banyak dengan memberi daripada yang mereka peroleh
dengan menerima. Itu sebabnya orang Sisilia menyayanginya."
Hector Adonis berkata tenang, "Sampai kejadian di Portella della Ginestra."
Justina menunduk dan berkata tegas, "Mereka masih tetap mencintainya."
Michael bergegas menyela, 'Tapi bagaimana kau bertemu lagi dengannya?"
Justina menjelaskan, "Kakak laki-lakiku adalah teman-
330
nya. Dan mungkin ayahku anggota kelompoknya. Aku tidak tahu. Hanya
keluargaku dan para pemimpin utama Turi yang tahu kami sudah menikah. Turi
menyuruh semua .orang bersumpah untuk merahasiakannya, takut pihak
berwenang menangkapku."
Semua orang di meja tertegun mendengar berita itu. Justina memasukkan tangan
ke balik bajunya dan mengeluarkan dompet kecil. Dari dalamnya ia menarik
dokumen dari kertas kaku berwarna krem dilengkapi segel tebal dan
mengulurkannya kepada Michael. Tapi Hector Adonis meraihnya dan
membacanya. Lalu ia tersenyum kepada Justina.
"Kau akan berada di Amerika besok. Bisa kusampaikan kabar baik ini kepada
orangtua Turi?"
Wajah Justina memerah. "Mereka selalu mengira aku hamil tanpa menikah,"
katanya. "Mereka memandang rendah diriku karenanya. Ya, kau bisa memberi-
tahu mereka."
Michael bertanya, "Kau pernah melihat atau membaca Wasiat yang
disembunyikan Turi?"
Justina menggeleng. "Tidak," jawabnya. "Turi tidak pernah membicarakannya
denganku."
Wajah Don Domenic berubah dingin, tapi ia juga tampak penasaran. Ia tahu
tentang Wasiat, pikir Michael tapi tidak menyetujuinya. Berapa banyak orang
yang mengetahuinya? Jelas bukan orang-orang Sisilia. Hanya anggota
pemerintahan di Roma, Don Croce, dan keluarga Guiliano, serta orang-orang
kepercayaannya.
Hector Adonis berkata, "Don Domenic, kau tidak keberatan aku menjadi
tamumu sampai ada kabar dari Amerika bahwa Justina tiba dengan selamat?
Sesudah
331
itu aku bisa mengatur agar Guiliano menerima beritanya. Seharusnya tidak lebih
dari semalam."
Don Domenic berkata tegas, "Aku merasa terhormat, Profesor yang baik.
Tinggallah selama kau suka. Tapi sekarang sudah waktunya kita semua tidur.
Signora muda kita harus tidur untuk menghadapi perjalanan panjangnya dan aku
sudah terlalu tua terjaga sampai selarut ini. Avanti ayo." Ia memberi isyarat
mengusir bagai burung besar yang penuh perhatian, agar mereka segera pergi. Ia
sendiri meraih lengan Hector Adonis dan membimbingnya ke kamar sambil
meneriakkan perintah kepada para wanita pelayan untuk menangani tamu-
tamunya yang lain.
Sewaktu Michael terjaga keesokan paginya, Justina telah pergi
Hector Adonis harus menginap dua malam sebelum kurir tiba membawa surat
dari Justina yang melaporkan ia tiba di Amerika dengan selamat. Dalam surat itu
tersembunyi kata sandi yang memuaskan Adonis, dan pada pagi hari sewaktu ia
hendak pergi, ia meminta berbicara empat mata dengan Michael.
Michael melalui dua hari terakhir dalam ketegangan penuh harap, ia sendiri
sangat ingin pulang ke Amerika. Penjelasan Peter Clemenza tentang
pembunuhan Sonny menimbulkan firasat tentang Turi Guiliano pada dirinya.
Dalam benaknya kedua orang itu berkaitan. Entah bagaimana keduanya mirip
dan memiliki vitalitas serta kekuatan fisik yang sama. Guiliano sebaya dengan
Michael, dan Michael tergelitik akan ketenaran pria itu ia gelisah memikirkan
mereka akhirnya akan bertemu muka. Ia penasaran, manfaat apa yang didapat
ayahnya dengan membawa Guiliano ke Amerika. Karena ia yakin itulah tujuan
ayahnya. Kalau tidak, perintah membawa Guiliano pulang bersamanya tidak
masuk akal.
Michael menemani Adonis berjalan-jalan di pantai. Para penjaga bersenjata
memberi salam kepada mereka berdua, mengucapkan, "Vossia" Yang Mulia. Tak
satu pun dari mereka menunjukkan tanda-tanda mengejek melihat Adonis yang
bertubuh kecil tapi berbusana anggun itu. Perahu motor telah kembali, dan
sekarang saat berada lebih dekat Michael bisa melihat perahu itu hampir sebesar
yacht kecil. Orang-orang di atasnya bersenjatakan lupara dan senapan mesin.
Matahari bulan Juli panas dan laut begitu biru dan tenang sehingga cahaya
matahari memantul di atasnya seolah laut terbuat dari logam. Michael dan
Hector Adonis duduk di dua kursi yang ada di dermaga.
"Sebelum aku pergi pagi ini, ada instruksi terakhir yang harus kusampaikan
padamu," kata Hector Adonis pelan. "Penting sekali bagi Guiliano agar kau bisa
melakukannya."
"Dengan segenap hatiku," janji Michael.
"Kau harus mengirimkan Wasiat Guiliano ke Amerika secepatnya, kepada
ayahmu," jelas Adonis. "Dia akan tahu bagaimana menggunakannya. Dia akan
memastikan Don Croce dan pemerintah di Roma mengetahui Wasiat sudah aman
di Amerika, dan mereka tidak akan berani menyakiti Guiliano. Mereka akan
membiarkannya beremigrasi dengan aman."
"Kau membawanya?" tanya Michael.
Pria kecil itu tersenyum dan tertawa. "Kau yang membawanya," katanya.
1
334
melawan carabinieri, tapi manusia berubah seiring waktu atau karena disiksa.
Jadi paling baik mereka tidak mengetahuinya"
"Tapi dia memercayai dirimu," kata Michael.
"Aku diberkati," kata Hector Adonis. "Tapi kau lihat betapa pandainya Guiliano?
Bila menyangkut wasiat, dia hanya memercayaiku, sedangkan mengenai
keselamatannya, dia hanya memercayai Pisciotta. Kami berdua harus berkhianat
kalau ingin menjatuhkan dirinya."
Michael tertegun. "Kau pasti mendapat berita yang salah," tukas Michael.
"Belum ada yang memberikannya padaku."
"Sudah," tegas Hector Adonis. Ia menyentuh lengan Michael dengan sikap
bersahabat dan Michael menyadari betapa kecil dan halus tangan Adonis, seperti
tangan anak-anak. "Maria Lombardo, ibu Guiliano, yang memberikannya
padamu. Hanya dia dan aku yang tahu di mana dokumen itu berada, bahkan
Pisciotta tidak tahu."
Ia melihat ekspresi bingung Michael. "Dokumen itu ada di dalam patung Bunda
Maria berkulit hitam," ujar Hector Adonis. "Memang benar patung itu sudah
berada di tangan keluarga Guiliano selama beberapa generasi dan sangat
berharga. Semua orang mengetahuinya. Tapi Guiliano mendapat replikanya,
dengan lubang di bagian dalamnya. Wasiat ditulis di kertas yang amat tipis dan
setiap lembar ditandatangani Guiliano. Aku yang membantunya menyusun
dokumen itu selama beberapa tahun terakhir. Juga ada beberapa dokumen yang
memberatkan. Turi sejak dulu tahu apa yang mungkin terjadi padanya dan ingin
mempersiapkan diri Bagi seorang yang masih muda, kemampuannya menyusun
strategi sungguh luar biasa."
Michael tertawa. "Dan ibunya aktris yang luar biasa."
"Semua orang Sisilia begitu," kilah Hector Adonis. "Kami tidak memercayai
siapa puri dan mengalihkan perhatian semua orang. Ayah Guiliano jelas bisa
dipercaya, tapi dia mungkin tidak bisa menyimpan rahasia. Pisciotta sudah
menjadi sahabat sejati Guiliano sejak mereka masih kanak-kanak, Stefan
Andolini pernah menyelamatkan nyawa Guiliano dalam pertempuran
Bab 17
MICHAEL CORLEONE dan Hector Adonis berjalan kembali ke vila dan duduk
di bawah pohon lemon bersama Peter Clemenza. Michael sangat ingin membaca
Wasiat, tapi Hector Adonis mengatakan Andolini dijadwalkan menjemputnya
untuk membawanya kembali ke Montelepre dan Michael menunggu apakah
Andolini membawa pesan untuknya.
Satu jam berlalu. Hector Adonis memandang arlojinya, wajahnya memancarkan
kekhawatiran.
Michael berkata, "Mungkin mobilnya mogok. Fiat itu sudah hampir tamat
riwayatnya."
Hector Adonis menggeleng. "Stefan Andolini memiliki hati pembunuh, tapi
jiwanya tepat waktu. Dan bisa diandalkan. Aku khawatir ada yang tidak beres
karena dia sudah terlambat satu jam. Padahal aku harus tiba di Montelepre
sebelum jam malam."
Peter Clemenza berkata, "Kakakku akan memberimu mobil dan sopir."
Adonis berpikir sejenak. "Tidak," tolaknya, "akan kutunggu. Penting bagiku
bertemu dengannya."
Michael bertanya, "Kau tidak keberatan kami membaca Wasiat tanpa dirimu?
Bagaimana cara membuka patungnya?" |
Hector Adonis menjawab, "Tentu saja—baca saja. Soal membukanya, tidak ada
trik khusus. Patung itu diukir dari kayu utuh. Kepalanya dipatri sesudah Turi
memasukkan dokumennya. Kau hanya perlu memenggal kepalanya. Kalau ada
kesulitan membacanya, dengan senang hati akan kubantu. Suruh salah seorang
pelayan memanggilku."
Michael dan Peter Clemenza naik ke kamar tidur Michael. Patung itu masih ada
di jaket Michael; ia telah melupakannya sama sekali. Begitu ia
mengeluarkannya, keduanya menatap patung Bunda Maria berkulit hitam itu.
Garis wajahnya jelas wajah orang Afrika, tapi ekspresinya sama seperti Bunda
Maria kulit putih yang menghiasi hampir setiap rumah tangga miskin di Sisilia.
Michael membolak-baliknya di tangannya. Patung itu sangat berat—kau takkan
menerka patung itu berlubang.
Peter Clemenza melangkah ke pintu dan meneriakkan perintah kepada salah satu
wanita pelayan. Wanita itu muncul sambil membawa golok dapur. Ia menatap ke
dalam ruangan sejenak dan menyerahkan golok itu kepada Clemenza. Clemenza
menutup pintu untuk menghalangi pandangan ingin tahu si pelayan.
Michael memegangi patung Bunda Maria di atas meja rias kayu yang tebal. Ia
mencengkeram lempengan yang diukir di bagian dasar patung dengan satu
tangan dan menggunakan tangan lain untuk mencengkeram puncak kepala
patung. Hati-hati Clemenza menempelkan golok ke leher Madonna, mengangkat
lengannya yang kekar, dan dengan satu ayunan cepat yang kuat, memenggal
kepala patung dan melontarkannya ke seberang kamar. Segulung kertas yang
diikat tali kulit
kelabu yang lunak, mencuat dari bagian leher patung yang berlubang.
Clemenza menghantam tepat pada sambungan yang dipatri goloknya tak
mungkin bisa membelah kayu zaitun yang keras itu. Ia meletakkan golok di meja
dan menarik lembaran-lembaran kertas dari dalam patung tanpa kepala.
Dilepaskannya ikatannya dan dibentangkannya di meja. Kertas-kertas itu terikat
dalam satu bundel, berisi sekitar lima belas helai kertas tipis dengan tulisan
tangan rapat-rapat dalam tinta hitam. Bagian bawah setiap halaman
ditandatangani Guiliano, tak terbaca mirip coretan cakar ayam raja-raja. Ada
juga dokumen-dokumen bersegel resmi pemerintah, surat-surat berkop
pemerintah, dan pernyataan yang dilengkapi segel notaris. Kertas-kertas itu
kembali menggulung dengan sendirinya, sesuai bentuk tempatnya, dan Michael
menggunakan kedua potongan patung dan golok untuk menahannya tetap
terbuka di meja. Lalu dengan sikap resmi ia menuang dua gelas anggur dari
karaf di meja samping ranjang dan memberikan segelas kepada Clemenza.
Mereka minum, kemudian mulai membaca Wasiat.
Mereka memerlukan waktu hampir dua jam untuk menyelesaikannya.
Michael terpesona bahwa Turi Guiliano, begitu muda, begitu idealistis,
menjalani kehidupan di tengah berbagai pengkhianatan ini. Michael cukup
mengenal dunia itu untuk membayangkan bagaimana Guiliano mengandalkan
kecerdikannya, skema kekuasaannya, untuk tetap mengabdi pada misinya.
Michael merasa sangat mengenal dan terikat pada alasan pelarian Guiliano.
wasiat bukan sekadar buku harian Guiliano yang menceritakan pengalamannya
selama tujuh tahun terakhir, tapi dokumen-dokumen yang melengkapinya jelas
bisa meruntuhkan pemerintahan Demokrat Kristen di Roma. Bagaimana orang-
orang yang berkuasa ini bisa begitu bodoh, pikir Michael penasaran: surat yang
ditandatangani Kardinal, surat yang dikirim Menteri Kehakiman kepada Don
Croce menanyakan apa yang bisa dilakukan untuk menghancurkan demonstrasi
di Ginestra—tentu saja ditulis dalam kata-kata sandi, tapi jelas sangat
memberatkan berkaitan dengan kejadian-kejadian yang berlangsung sesudahnya.
Masing-masing dokumen secara terpisah tidak berbahaya, tapi bila disatukan
membentuk segunung bukti yang sama mengejutkannya seperti Piramida.
Ada surat dari Pangeran Ollorto yang penuh pujian berbunga-bunga kepada
Guiliano dan meyakinkannya bahwa semua pejabat tinggi pemerintahan
Demokrat Kristen di Roma telah meyakinkan Pangeran bahwa mereka akan
berusaha sekuat tenaga agar Guiliano mendapat pengampunan, asal ia bersedia
memenuhi permintaan mereka. Dalam suratnya Pangeran Ollorto mengklaim
telah mendapatkan kesepakatan dengan Menteri Kehakiman di Roma. .
Juga ada duplikat berbagai rencana operasi yang disiapkan para pejabat tinggi
carabinieri untuk menangkap Guiliano—rencana-rencana yang diserahkan
kepada Guiliano sebagai ganti layanan yang mereka minta.
"Tidak heran mereka tidak ingin menangkap Guiliano," komentar Michael. "Dia
bisa menghancurkan mereka dengan dokumen-dokumen ini." Peter Clemenza
berkata, "Akan kukirim dokumen
ini ke Tunisia secepatnya. Besok malam dokumen ini sudah berada dalam
lemari besi ayahmu."
Ia mengambil patung Madonna tanpa kepala dan menjejalkan dokumen itu
kembali ke dalamnya. Dikantonginya patung itu dan berkata kepada Michael
"Ayo. Kalau berangkat sekarang, aku bisa kembali kemari besok pagi."
Mereka keluar dari vila, Clemenza mengembalikan golok ke pelayan tua di
dapur, yang memeriksanya dengan curiga seakan mencari bekas-bekas darah.
Mereka mulai berjalan ke pantai dan terkejut melihat Hector Adonis masih
menunggu. Stefan Andolini tidak muncul Pria kecil itu telah mengendurkan
dasinya dan menanggalkan jasnya; kemeja putihnya yang tadi cemerlang buram
oleh keringat meskipun ia berada di bawah keteduhan pohon lemon. Ia juga agak
mabuk—karaf besar anggur di meja kebun dari kayu itu sudah kosong.
Ia menyapa Michael dan Peter Clemenza dengan nada putus asa. "Pengkhianatan
terakhir sudah dimulai. Andolini terlambat tiga jam. Aku harus ke Montelepre
dan Palermo. Aku harus mengirim kabar kepada Guiliano."
Peter Clemenza berkata dengan selera humor kasar, profesor, mobilnya mungkin
mogok, atau dia mungkin terhambat urusan lain yang lebih mendesak, apa saja.
Dia tahu kau aman di sini dan akan menunggunya. Menginaplah di sini semalam
lagi kalau dia tidak datang hari ini"
Tapi Hector Adonis terus-menerus bergumam, "Situasinya akan memburuk,
situasinya akan mem-
340
buruk," dan meminta mereka menyediakan transportasi Clemenza
memerintahkan dua orang menggunakan salah satu Alfa Romeo dan mengantar
Hector Adonis ke Palermo. Ia meminta anak buahnya tiba kembali di vila
sebelum malam turun.
Mereka membantu Hector Adonis masuk ke mobil dan memintanya agar jangan
khawatir. Wasiat akan tiba di Amerika dalam waktu 24 jam dan Guiliano akan
aman. Setelah mobil melesat melewati gerbang, Michael berjalan ke pantai
bersama Clemenza dan mengawasinya naik ke perahu, dan terus mengamati saat
perahu itu memulai perjalanannya ke Afrika. "Aku akan kembali besok pagi,"
seru Peter Clemenza. Dan Michael bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau
Guiliano memutuskan datang malam ini.
Kemudian ia makan malam, dua wanita tua melayaninya. Sesudahnya ia
berjalan-jalan di pantai sampai diminta berbalik oleh para penjaga di tepi lahan
vila. Saat itu beberapa menit sebelum gelap, dan Laut Mediterania berwarna biru
gelap bagai beludru, dan di balik kaki langit ia bisa mencium aroma benua
Afrika, semerbak bunga liar dan hewan buas.
Di sini, di dekat laut, tidak terdengar dengungan serangga; makhluk-makhluk itu
membutuhkan tumbuhan yang subur, udara panas lembap pedalaman. Rasanya
hampir seperti mesin yang dimatikan. Ia berdiri di pantai merasakan kedamaian
dan keindahan malam Sisilia dan merasa iba pada mereka semua yang harus
melakukan perjalanan dalam kegelapan; Guiliano di pegunungannya, Pisciotta
dengan perisai rapuh kartu izin bertepi merahnya melintasi garis musuh,
Profesor Adonis dan Stefan Andolini saling mencari di
341
jalan-jalan Sisilia yang berdebu, Peter Clemenza yan menunggangi laut biru
kehitaman menuju Tunisia; dan ke mana perginya Don Domenic Clemenza
sehingga tidak muncul saat makan malam? Mereka semua bagai bayang-bayang
di malam Sisilia, dan sewaktu mereka muncul kembali panggung akan diatur
untuk menentukan hidup atau matinya Turi Guiliano.
BUKU IV
DON CROCE 1947
Bab 18
RAJA UMBERTO II dari Istana Savoy begitu rendah hati dan dicintai rakyatnya,
dan ia menyetujui diadakannya referendum untuk menentukan apakah Italia
tetap berbentuk kerajaan. Ia tidak mau tetap menjadi raja kalau rakyatnya tidak
menginginkannya. Dan dalam hal ini ia sama seperti para pendahulunya. Raja-
raja Savoy selalu merupakan para penguasa yang tidak ambisius; kerajaan
mereka sebenarnya demokrasi yang dipimpin Parlemen. Para pakar politik yakin
referendum akan menguntungkan kerajaan.
Kelompok mayoritas di Pulau Sisilia diperhitungkan akan menuntut
dipertahankannya status quo. Pada saat ini dua kekuatan yang paling berkuasa di
pulau itu adalah Turi Guiliano—yang kelompoknya mengendalikan ujung barat
laut Sisilia—dan Don Croce Malo— yang bersama Friends of the Friends
mengendalikan bagian Sisilia lainnya. Guiliano tidak terlibat dalam strategi
pemilihan partai politik mana pun. Don Croce dan Mafia berusaha keras
memastikan terpilihnya kem-bali demokrat Kristen dan dipertahankannya
kerajaan. Tapi yang mengejutkan semua orang, para pemilih italia menolak
kerajaan; Italia menjadi republik. Dan °mpok Sosialis serta Komunis nyata-nyata
memper-
345
lihatkan Demokrat Kristen sedang goyah dan hampir runtuh. Pemilihan
berikutnya mungkin akan memenangkan kelompok Sosialis yang tak ber-Tuhan,
memerintah dari Roma. Partai Demokrat Kristen mulai menggalang seluruh
sumber daya untuk memenangkan pemilihan berikutnya.
Kejutan terbesar adalah Sisilia. Mereka memilih banyak wakil Parlemen yang
merupakan anggota partai Sosialis dan Komunis. Di Sisilia serikat dagang masih
dianggap pekerjaan ibKs, dan banyak industri serta tuan tanah menolak
berurusan dengan mereka. Apa yang terjadi?
Don Croce murka. Anak buahnya telah melakukan tugas mereka. Mereka
melontarkan ancaman yang menakutkan para penduduk desa di seluruh
pedalaman, tapi jelas ancaman-ancaman itu akhirnya gagal. Gereja Katolik
memerintahkan pendeta-pendetanya berkhotbah menentang Komunis, dan para
biarawati memberikan keranjang spaghetti dan minyak zaitun sumbangan hanya
kepada mereka yang berjanji memilih Demokrat Kristen. Hierarki gereja di
Sisilia tertegun. Organisasi itu telah membagikan jutaan lira dalam bentuk
makanan, tapi para petani Sisilia yang licik menelan roti sumbangan itu dan
meludahi partai Demokrat Kristen.
Menteri Kehakiman Franco Trezza juga marah terhadap sesamanya orang Sisilia
—kumpulan pengkhianat, licik bahkan sewaktu kelicikan itu tidak
menguntungkan mereka, bangga akan kehormatan pribadi padahal mereka tidak
memiliki kakus untuk menampung air seni mereka. Ia putus asa menghadapi
mereka. Bagaimana mereka bisa memilih Sosialis dan Komunis yang pada
akhirnya akan menghancurkan struktur keluarga
dan memusnahkan Tuhan Kristen mereka dari semua katedral Italia yang
memesona? Hanya ada satu orang yang bisa memberinya jawaban atas
pertanyaan itu dan solusi untuk pemilihan mendatang, yang akan menentukan
masa depan kehidupan politik Italia. Ia menghubungi Don Croce Malo.
Para petani Sisilia yang memilih partai-partai sayap kiri dan mengusir raja
tercinta mereka pasti tertegun kalau mengetahui kemarahan semua pejabat tinggi
ini. Mereka pasti terpesona bahwa negara-negara kuat seperti Amerika Serikat,
Prancis, dan Inggris Raya merasa prihatin Italia akan menjadi sekutu Rusia.
Banyak di antara mereka belum pernah mendengar nama Rusia.
Rakyat miskin Sisilia, yang mendapat kesempatan memilih secara demokratis
untuk pertama kalinya setelah dua puluh tahun, memberikan suara pada kandidat
dan partai politik yang menjanjikan pada mereka kesempatan membeli sepetak
tanah dengan harga murah.
Tapi mereka pasti ngeri bila tahu pilihan mereka akan partai-partai sayap kiri itu
akan menentang struktur keluarga mereka, menentang Bunda Maria, dan Gereja
Katolik Suci. Gereja yang citra sucinya diterangi lilin-lilin merah menghiasi
setiap dapur dan kamar tidur di Sisilia; ngeri kalau tahu pilihan mereka akan
mengubah katedral-katedral menjadi museum dan mengusir Paus tercinta dari
pantai-pantai Italia.
Tidak. Orang-orang Sisilia memilih demi mendapatkan sepetak tanah bagi diri
dan keluarga mereka sendiri, bukan untuk partai politik. Mereka tidak bisa
mendapatkan sukacita yang lebih besar dalam kehi dupan selain menggarap
tanah sendiri, menyimpan apa
yang mereka hasilkan dengan susah payah, untuk mereka dan anak-anak mereka
sendiri. Impian mereka tentang surga adalah beberapa hektar ladang gandum,
kebun sayur-mayur bertingkat-tingkat di lereng gunung, kebun anggur mungil,
sebatang pohon lemon, dan sebatang pohon zaitun.
Menteri Kehakiman Franco Trezza penduduk asli Sisilia dan anti-Fasis sejati
yang menghabiskan waktu di penjara Mussolini sebelum melarikan diri ke
Inggris. Ia pria jangkung berpenampilan aristokrat dengan rambut masih hitam
pekat walaupun janggutnya yang lebat telah dihiasi uban. Kendati pahlawan
sejati, ia juga birokrat dan politisi yang mendarah daging, sungguh kombinasi
yang aneh.
Kantor Menteri di Roma berukuran luas, dilengkapi perabotan antik besar-besar.
Di dindingnya bergantung foto-foto Presiden Roosevelt dan Winston Churchill.
Jendela-jendela terbuat dari kaca berwarna dan di baliknya menjulur balkon
kecil. Menteri menuangkan anggur bagi tamu terhormatnya, Don Croce Malo.
Mereka duduk menghirup anggur dan membicarakan gambaran politik di Sisilia
dan pemilihan regional yang akan datang. Menteri Trezza mengungkapkan
ketakutannya. Kalau Sisilia meneruskan dukungan kepada sayap kiri di kotak
pemilihan suara, partai Demokrat Kristen mungkin akan kehilangan kendali atas
pemerintahan. Gereja Katolik mungkin akan kehilangan kendali atas posisi
legalnya sebagai agama resmi Italia.
Don Croce tidak bereaksi sedikit pun. Ia bersantap dengan tenang, dan harus
mengakui hidangan di Roma jauh lebih baik daripada di tanah kelahirannya
Sisilia.
Don menundukkan kepalanya yang besar bagai kepala kaisar di atas sepiring
spaghetti bercampur jamur truffle, rahangnya yang besar mengunyah mantap
tanpa bersuara. Sesekali ia mengusap kumis tipisnya dengan serbet. Hidungnya
yang bagai paruh berdiri berjaga-jaga di atas setiap piring hidangan yang
disajikan pelayan, seakan-akan mengendus keberadaan racun di sana. Matanya
menyambar ke sana kemari di meja yang penuh sesak itu. Ia tidak melontarkan
sepatah kata pun sementara Menteri terus mengoceh tentang masalah negara saat
ini.
Mereka mengakhiri acara makan dengan sepiring besar buah-buahan dan keju.
Lalu sambil menikmati secangkir kopi dan segelas brendi yang menggembung
bagai balon, Don siap-siap berbicara. Ia menggeser tubuhnya yang besar di kursi
yang tidak memadai itu, dan Menteri bergegas mengajaknya ke ruang tamu
dengan kursi-kursi berlengan yang empuk. Ia memerintahkan pelayan
membawakan kopi dan brendi, lalu mengusir mereka. Menteri sendiri yang
menuangkan espresso untuk Don, menawarkan cerutu yang ditolak oleh
tamunya, lalu mempersiapkan diri untuk mendengarkan kebijakan Don yang ia
tahu akan langsung pada pokok persoalan.
Don Croce menatap Menteri dengan mantap. Ia tidak terkesan oleh profil
aristokratnya, garis-garis wajahnya yang kuat, ketegasannya. Dan ia membenci
janggut Menteri yang menurutnya sok aksi. Ini orang yang bisa mengesankan di
Roma tapi tidak di Sisilia. Tetapi inilah orang yang bisa mengkonsolidasikan
kekuasaan Mafia di Sisilia. Mencibir pada Roma merupakan kesalahan di masa
lalu; hasilnya adalah
Mussolini dan kaum Fasis. Don Croce tidak berilusi. Pemerintah sayap kiri bisa
serius melaksanakan reformasi, menyapu habis pemerintahan bayangan Friends
of the Friends. Hanya pemerintah Demokrat Kristen yang mempertahankan
proses hukum yang menyebabkan Don Croce tidak terkalahkan, dan ia setuju
datang ke Roma dengan kepuasan seorang penyembuh iman mengunjungi
segerombolan orang lumpuh yang menderita terutama akibat histeria. Ia tahu
dirinya bisa menyembuhkan.
"Aku bisa memenangkan Sisilia dalam pemilihan yang akan datang untukmu,"
katanya kepada Menteri Trezza. "Tapi kita membutuhkan pasukan bersenjata.
Kau harus menjamin tidak akan menentang Turi Guiliano."
"Aku tidak bisa menjanjikan hal itu," ujar Menteri Trezza.
"Kau harus bisa," tegas Don Croce.
Menteri mengelus-elus janggut kecilnya. "Orang macam apa si Guiliano ini?"
tanyanya enggan. "Dia terlalu muda untuk menjadi begitu menakutkan. Bahkan
bagi orang Sisilia."
"Ah, tidak, dia bocah yang baik," kilah Don Croce, tak mengacuhkan senyum
sinis Menteri dan tidak menyinggung soal dirinya tidak pernah bertemu
Guiliano.
Menteri Trezza menggeleng "Kurasa itu tidak mungkin," katanya. "Orang yang
membunuh begitu banyak carabinieri tidak bisa disebut bocah yang baik."
Memang benar. Don Croce merasa Guiliano sangat ceroboh sepanjang tahun
lalu. Sejak mengeksekusi "Pater" Dodana, Guiliano telah mengumbar kemurka-
annya kepada semua musuhnya, Mafia dan Roma sekaligus.
Ia mulai mengirimkan surat ke koran-koran yang menyatakan dirinya penguasa
Sisilia Barat, persetan apa yang dilakukan Roma. Ia juga mengirim surat yang
melarang carabinieri dari Montelepre, Corleone, dan Monreale berpatroli di
jalan-jalan selewat tengah malam. Alasannya, anak buahnya harus mendapat
kesempatan mengunjungi teman atau keluarga, dan ia tidak mau anak buahnya
ditangkap di ranjang atau ditembak sewaktu mereka keluar dari rumah masing-
masing atau sewaktu ia sendiri ingin mengunjungi keluarganya di Montelepre.
Koran-koran mempublikasikan surat ini diiringi berbagai komentar meriah.
Salvatore Guiliano melarang penggunaan alat penyiksaan cassetta? Bandit ini
melarang polisi berpatroli sesuai hukum di kota-kota Sisilia? Benar-benar kurang
ajar. Benar-benar ketidaksopanan dalam skala besar. Apa pemuda ini
menganggap dirinya Raja Italia? Muncul gambar-gambar kartun yang
menggambarkan carabinieri bersembunyi di lorong-lorong Montelepre
sementara sosok raksasa Guiliano melangkah anggun menuju alun-alun.
Tentu saja hanya satu tindakan yang bisa dilakukan Maresciallo. Setiap malam ia
mengirim patroli ke jalan-jalan. Setiap malam garnisunnya, yang ditingkatkan
menjadi seratus orang, berjaga-jaga, mengawasi pintu-pintu masuk kota dari
pegunungan agar Guiliano tidak bisa menyerang.
Tapi pada satu kesempatan ia mengirim carabinieri ke pegunungan, Guiliano dan
kelima tangan kanannya—Pisciotta, Terranova, Passatempo, Silvestro, dan
Andolini—masing-masing memimpin lima puluh anak buah, menyergap mereka.
Guiliano tidak menunjukkan belas kasihan, dan enam carabinieri tewas.
Detasemen-detasemen yang lain melarikan diri dari tembakan senapan dan
senapan mesin.
Roma pun mengangkat senjata, tapi kecerobohan Guiliano inilah yang kini dapat
berguna bagi mereka hanya kalau Don Croce bisa meyakinkan Menteri
Kehakiman tolol ini.
"Percayalah," kata Don Croce kepada Menteri Trezza. "Guiliano bisa memenuhi
tujuan kita. Aku akan membujuknya untuk menyatakan perang terhadap partai-
partai Sosialis dan Komunis di Sisilia. Dia akan-menyerang markas mereka, dia
akan menekan organisasi-organisasi mereka. Dia akan menjadi perpanjangan
militerku dalam skala luas. Lalu tentu saja teman-temanku dan aku sendiri akan
melakukan pekerjaan yang pedu tapi tidak bisa dilaksanakan terang-terangan."
Menteri Trezza tampaknya tidak terkejut mendengar saran itu, tapi ia berujar
sombong, "Guiliano sudah menjadi skandal nasional. Skandal internasional. Di
mejaku ada rencana Kepala Staf angkatan bersenjata untuk menggerakkan
pasukan dan menekannya. Kepalanya dihargai sepuluh juta lira. Seribu
carabinieri sudah disiagakan untuk menuju Sisilia dan memperkuat rekan-rekan
mereka di sana. Dan kau memintaku, melindunginya? Don Croce yang baik,
kuharap kau membantu menangkap dirinya untuk kami, seperti bantuan yang
kauberikan untuk menangkap bandit-bandit lainnya. Guiliano merupakan aib
Italia. Semua orang menganggap dia harus disingkirkan."
352
Don Croce menghirup espressonya dan mengusap kumisnya dengan jemari. Ia
agak tidak sabar menghadap kemunafikan Roma ini. Ia menggeleng perlahan-
lahan. "Turi Guiliano jauh lebih berharga bagi kita dalam keadaan hidup dan
melakukan tindakan-tindakan kepahlawanan di pegunungannya. Rakyat Sisilia
memujanya; mereka mendoakan jiwa dan keselamatannya. Tidak ada seorang
pun di pulauku yang akan mengkhianatinya. Dan dia jauh lebih cerdik daripada
semua bandit lainnya. Aku sudah menyusupkan mata-mata ke kampnya, tapi
kepribadiannya sebegitu rupa sehingga aku tidak tahu seberapa setia mata-
mataku sendiri kepadaku. Seperti itulah orang yang kaubicarakan. Dia
membangkitkan perasaan sayang semua orang. Kalau kau mengirimkan seribu
carabinieri dan angkatan ber-senjatamu dan mereka gagal—dan mereka pernah
gagal—lalu apa? Kuberitahu kau: Kalau Guiliano memutuskan membantu
partai-partai kiri dalam pemilihan mendatang, kau akan kehilangan Sisilia dan
karena itu, seperti pasti sudah kauketahui, partaimu akan kehilangan Italia." Ia
diam cukup lama dan mempertajam tatapannya kepada sang menteri. "Kau harus
mengadakan semacam kerja sama dengan Guiliano."
"Bagaimana mengaturnya?" tanya Menteri Trezza sambil melontarkan senyum
sopan dan sok yang di-benci Don Croce. Senyum khas Roma padahal orang ini
keklahiran Sisilia. Lalu Menteri melanjutkan. "Aku mendapat kabar yang cukup
bisa dipercaya bahwa Guiliano tidak menyukaimu."
Don Croce mengangkat bahu. "Dia tidak bisa bertahan selama tiga tahun terakhir
kalau dia tidak cukup pandai melupakan masalah sepele. Dan aku punya
koneksi dengannya. Doktor Hector Adonis salah satu anak buahku, dan dia juga
bapak baptis Guiliano dan teman yang paling dipercayainya. Dia akan menjadi
perantaraku dan mengadakan perdamaian antara aku dan Guiliano. Tapi aku
harus mendapatkan jaminan yang diperlukan darimu dalam bentuk konkret."
Menteri berkata sinis, "Kau mau surat bertanda tangan yang menyatakan aku
menyayangi bandit yang hendak kutangkap?"
Kekuatan terbesar Don adalah ia tidak pernah memedulikan nada menghina atau
kurang hormat, walaupun ia menyimpannya jauh di lubuk hatinya. Ia menjawab
terus terang, wajahnya bagai topeng yang tidak tergoyahkan. 'Tidak," katanya.
"Cukup beri aku duplikat rencana Kepala Staf angkatan bersenjata yang hendak
melawan Guiliano. Juga duplikat perintahmu mengirim seribu carabinieri
tambahan ke pulau. Aku akan menunjukkannya kepada Guiliano dan
menjanjikan kau tidak akan melaksanakan perintah itu kalau dia membantu kita
mendidik para pemilih Sisilia. Duplikat itu tidak akan merugikan dirimu kelak—
kau selalu bisa mengklaim duplikatnya dicuri. Aku juga akan berjanji pada
Guiliano kalau Demokrat Kristen memenangkan pemilihan mendatang, dia akan
mendapat pengampunan."
"Ah, tidak bisa," tegas Menteri Trezza. "Kekuasaanku tidak mencukupi untuk
memberi pengampunan."
"Kekuasaanmu cukup untuk memberi janji" kilah Don Croce. "Dan kalau
janjimu tidak bisa ditepati, baguslah. Kalau menurutmu mustahil, akan
kusampaikan berita buruk itu kepadanya."
Menteri seketika memahami. Ia mengerti, sebagai-
mana diinginkan Don Croce, pada akhirnya Don Croce harus menyingkirkan
Guiliano. Mereka berdua tidak bisa hidup berdampingan di Sisilia. Dan Don
Croce akan mengambil alih seluruh tanggung jawab ini, sehingga Menteri tidak
perlu khawatir bagaimana memecahkan masalahnya. Jelas ia bisa memberikan
janji-janji. Ia hanya perlu menyerahkan duplikat kedua rencana militer itu
kepada Don Croce.
Menteri mempertimbangkan keputusannya. Don Croce menunduk dan berkata
pelan, "Kalau pengampunannya memang bisa diberikan, aku pasti akan
mendesaknya."
Menteri mondar-mandir dalam ruangan memikirkan semua komplikasi yang
mungkin timbul. Don Croce tidak pernah menggerakkan kepala maupun tubuh
untuk mengikuti gerakannya.
Menteri berkata, "Janjikan pengampunan atas namaku padanya, tapi kau harus
tahu janji itu sulit ditepati. Skandalnya mungkin terlalu berlebihan. Kalau pers
tahu kita bertemu, mereka akan memanggangku hidup-hidup dan aku terpaksa
pensiun, kerja di lahan pertanianku di Sisilia, menyekop kotoran, dan mencukur
domba. Sekarang apa kau benar-benar perlu mendapatkan duplikat rencana dan
perintahku itu?"
"Tidak ada yang bisa dilakukan tanpa keduanya," jawab Don Croce. Suara
tenornya sama kuat dan meyakinkannya seperti suara penyanyi hebat. "Guiliano
perlu bukti bahwa kita berteman dan dia butuh bayaran di muka untuk
layanannya. Kedua masalah itu akan beres begitu kutunjukkan kedua duplikat
tersebut dan berjanji semua itu tidak akan dilaksanakan. Dia bisa beroperasi
sebebas sebelumnya tanpa harus melawan
angkatan bersenjata atau polisi tambahan. Dengan kedua duplikat di tanganku,
itu membuktikan koneksiku denganmu, dan ketika rencana-rencana itu tidak
dijalankan, itu akan membuktikan pengaruhku terhadap Roma."
Menteri Trezza menuangkan secangkir espresso lagi untuk Don Croce. "Aku
setuju," katanya. "Aku percaya pada persahabatan kita. Rahasia adalah
segalanya. Tapi aku mengkhawatirkan keselamatanmu. Begitu Guiliano
melaksanakan tugasnya dan tidak mendapat pengampunan, jelas dia akan
menuntut tanggung jawab darimu."
Don mengangguk tapi tidak berbicara. Ia menghirup espressonya. Menteri
mengawasinya tajam dan berkata, "Kalian berdua tidak bisa hidup berdampingan
di pulau sekecil itu."
Don tersenyum. "Akan kusediakan tempat baginya," ujarnya. "Ada banyak
waktu."
"Bagus, bagus," sambut Menteri Trezza. "Dan ingat ini Kalau aku bisa
menjanjikan partaiku bahwa para pemilih Sisilia akan memenangkan mereka
dalam pemilihan selanjurnya, dan kemudian aku bisa membereskan masalah
Guiliano dengan kemenangan di pihak pemerintah, tak terduga seberapa tinggi
kenaikan posisiku dalam jajaran penguasa Italia. Tapi tidak peduli setinggi apa
pun, aku tidak akan pernah melupakan dirimu, sobat. Kau akan selalu mendapat
perhatianku."
Don Croce menggeser tubuhnya yang besar di kursi dan berpikir apakah layak
menjadikan orang tolol ini Perdana Menteri Italia. Tapi kebodohannya justru bisa
menjadi aset bagi Friends of the Friends, dan kalau ia berkhianat, mudah saja
menghancurkan-
nya. Don Croce berbicara dalam nada tulus yang menjadikannya terkenal, "Aku
berterima kasih atas persahabatanmu dan akan berusaha sekuat tenaga
membantumu. Kita sudah sepakat. Aku akan berangkat ke Palermo besok sore
dan akan sangat berterima kasih kalau kau mengirimkan rencana dan dokumen
lainnya ke hotelku besok pagi. Mengenai Guiliano, kalau kau tidak bisa
mengusahakan pengampunan baginya sesudah dia melakukan tugasnya, akan
kuatur agar dia menghilang. Ke Amerika, mungkin, atau ke tempat lain di mana
dia tidak bisa menyulitkan dirimu lebih jauh."
Jadi keduanya pun berpisah. Trezza si orang Sisilia, yang memilih mendukung
masyarakat, dan Don Croce, yang menganggap struktur dan hukum di Roma
sebagai iblis yang diturunkan ke dunia untuk memperbudak dirinya. Karena Don
Croce percaya pada kebebasan, kebebasan miliknya sendiri, yang tidak berutang
apa pun pada kekuatan mana pun, yang dimenangkan hanya melalui
penghormatan yang diperolehnya dari sesama orang Sisilia. Sial sekali, pikir
Don Croce, nasib mempertentangkan dirinya dengan Turi Guiliano, orang yang
sangat sesuai dengan keinginannya, dan bukan dengan menteri keparat ini.
Begitu tiba di Palermo, Don Croce memanggil Hector Adonis. Ia menceritakan
pertemuannya dengan Trezza dan persetujuan yang mereka capai. Lalu ia
menunjukkan duplikat rencana yang disusun pemerintah untuk perang
menghadapi Guiliano. Pria kecil itu tampak tertekan, dan memang ini yang
diharapkan Don. "Menteri berjanji padaku bahwa rencana-rencana ini
357
akan ditolaknya dan tidak akan pernah dilaksanakan," kata Don Croce. "Tapi
putra baptismu harus menggunakan semua kekuatannya untuk mempengaruhi
pemilihan mendatang. Dia harus tegas dan kuat dan tidak begitu mencemaskan
orang miskin. Dia harus memikirkan dirinya sendiri. Dia harus mengerti bahwa
persekutuan dengan Roma dan Menteri Kehakiman merupakan peluang. Trezza
mengepalai seluruh carabinieri, semua polisi, semua hakim. Mungkin suatu hari
kelak dia menjadi Perdana Menteri Italia. Kalau itu terjadi, Turi Guiliano bisa
kembali ke tengah keluarganya dan mungkin membangun karier politiknya
sendiri. Orang-orang Sisilia mencintainya. Tapi untuk saat ini dia harus
memaafkan dan melupakan. Kuandalkan dirimu untuk mempengaruhinya."
Hector Adonis berkata, "Tapi bagaimana dia bisa memercayai janji Roma? Turi
selalu berjuang demi kaum miskin. Dia tidak akan melakukan apa pun yang
bertentangan dengan kepentingan mereka."
Don Croce berkata tajam, "Jelas dia bukan Komunis. Atur pertemuan antara
diriku dan Guiliano. Akan kuyakinkan dirinya. Kami dua orang paling berkuasa
di Sisilia Kenapa kami tidak bisa bekerja sama? Dia pernah menolak, tapi waktu
sudah berubah. Sekarang ini akan menyelamatkan dirinya sekaligus kami.
Komunis akan menghancurkan kami berdua dengan kesenangan yang sama.
Negara komunis tidak bisa menerima pahlawan seperti Guiliano atau penjahat
seperti diriku. Aku akan datang menemuinya kapan pun dia mau. Dan beritahu
dia, aku menjamin janji-janji Roma. Kalau Demokrat Kristen memenangkan
pemilihan yang akan datang, aku bertanggung jawab atas peng-
ampunannya. Kupertaruhkan nyawaku dan kehormat-anku."
Hector Adonis mengerti. Bahwa Don Croce bersedia menghadapi kemurkaan
Guiliano kalau janji-janji Menteri Trezza dilanggar.
"Boleh kubawa rencana-rencana ini untuk kutunjukkan pada Guiliano?"
tanyanya.
Don Croce mempertimbangkannya sejenak. Ia tahu dirinya tidak akan pernah
melihat rencana-rencana itu lagi dan dengan menyerahkannya kepada Guiliano,
berarti ia memberi Guiliano senjata ampuh untuk masa depannya. Ia tersenyum
kepada Hector Adonis. "Profesor yang baik," katanya, "tentu saja kau boleh
membawanya."
Saat menunggu kedatangan Hector Adonis, Turi Guiliano mempertimbangkan
tindakannya selanjurnya. Ia mengerti pemilihan dan kemenangan partai-partai
sayap kiri akan memaksa Don Croce meminta bantuannya.
Selama hampir empat tahun, Guiliano membagikan ratusan juta lira dan
makanan kepada orang miskin di Sisilia yang menjadi wilayahnya, tapi ia baru
bisa membantu mereka dengan meraih semacam kekuasaan.
Buku-buku ekonomi dan politik yang diberikan Adonis kepadanya untuk dibaca
telah membuatnya terganggu. Arah sejarah menunjukkan partai-partai sayap kiri
merupakan satu-satunya harapan bagi orang miskin di negara mana pun kecuali
Amerika. Kendati begitu, ia tidak bisa berpihak pada mereka. Ia membenci
khotbah mereka yang menentang Gereja dan penghinaan mereka terhadap ikatan
kekeluargaan yang
telah menjadi ciri khas orang Sisilia sejak abad pertengahan. Dan ia tahu
pemerintahan Sosialis akan berusaha keras menyingkirkan dirinya dari
pegunungannya lebih daripada usaha Demokrat Kristen.
Saat itu sudah malam, dan Guiliano mengawasi api-api unggun anak buahnya
menyebar hingga ke bawah pegunungan. Dari tebing memandang ke Montelepre
di bawahnya, ia sesekali mendengar potongan-potongan musik yang melantun
dari pengeras suara di alun-alun desa, musik dari Palermo. Ia bisa melihat kota
sebagai pola geometris cahaya yang membentuk lingkaran yang hampir
sempurna. Sesaat ia berpikir, sesudah Adonis datang dan menyelesaikan urusan
mereka, ia akan menemani bapak baptisnya menuruni pegunungan dan
mengunjungi orangtuanya dan La Venera. Ia tidak takut melakukannya. Setelah
tiga tahun, ia mengendalikan sepenuhnya pergerakan di provinsi. Detasemen
carabinieri di kota diawasi ketat, lagi pula ia akan membawa cukup banyak
anggota kelompoknya untuk membantai mereka kalau mereka berani mendekati
rumah ibunya. Ia sekarang memiliki pendukung bersenjata yang tinggal di Via
Belia.
Ketika Adonis tiba, Turi Guiliano mengajaknya ke gua besar tempat meja dan
kursi-kursi, dan diterangi lampu-lampu baterai Angkatan Darat Amerika. Hector
Adonis memeluknya dan memberikan kantong kecil berisi buku-buku yang
diterima Turi penuh terima kasih. Adonis juga memberinya tas atase berisi
kertas-kertas. "Menurutku kau akan menganggap kertas-kertas ini menarik. Kau
harus segera membacanya."
Guiliano membentangkan kertas-kertas itu di meja kayu. Isinya perintah yang
ditandatangani Menteri
Trezza, mengesahkan pengiriman seribu carabinieri lagi dari daratan induk ke
Sisilia, untuk menghadapi bandit-bandit Guiliano. Juga ada rencana yang
disusun Kepala Staf angkatan bersenjata. Guiliano mempelajarinya penuh minat.
Ia tidak takut; ia hanya perlu pindah lebih jauh ke dalam pegunungan, tapi
peringatan dini ini tiba tepat pada waktunya.
i "Siapa yang memberikan ini padamu?" tanyanya kepada Adonis.
"Don Croce," sahut Adonis. "Dia mendapatkannya dari Menteri Trezza sendiri."
Turi tampak tidak terkejut sebagaimana seharusnya begitu mendengar berita itu.
Malahan, ia tersenyum tipis.
"Apa ini seharusnya membuatku takut?" tanya Guiliano. "Pegunungan sangat
luas. Semua orang yang mereka kirim bisa ditelan dan aku akan bersiul-siul
sendiri hingga terlelap di bawah pohon."
"Don Croce ingin bertemu denganmu. Dia akan datang ke tempat mana pun
yang kauinginkan," jelas Adonis. "Rencana-rencana ini merupakan simbol niat
baiknya. Ada penawaran yang ingin diajukannya"
Turi berkata, "Dan kau, bapak baptisku, apa kau menyarankan aku menemui
Don Croce?" Ia mengawasi Hector tajam.
"Ya," jawab Adonis.
Turi Guiliano mengangguk. "Kalau begitu kami akan bertemu di rumahmu, di
Montelepre'. Apa kau yakin Don Croce akan mengambil risiko itu?"
Adonis berkata serius, "Kenapa tidak? Aku berjanji dia akan baik-baik saja. Dan
aku mendapat janjimu yang lebih kupercayai daripada apa pun di dunia ini."
Guiliano meraih tangan Hector Adonis. "Sebagaimana aku memercayai
janjimu," katanya. "Terima kasih untuk rencana-rencana ini dan terima kasih
untuk buku-buku yang kaubawakan. Kau mau membantuku dengan salah
satunya malam ini sebelum kau pergi?"
"Tentu saja," kata Hector Adonis. Dan sepanjang sisa malam, dengan suara
profesionalnya yang memesona, ia menjelaskan paragraf-paragraf sulit dalam
buku-buku yang dibawanya. Guiliano mendengarkan dengan penuh perhatian
dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Seakan keduanya kepala sekolah dan
murid, seperti mereka dulu bertahun-tahun'lalu.
Pada malam itulah Adonis menyarankan Guiliano menulis Wasiat. Dokumen
yang akan mencatat segala sesuatu yang menimpa kelompoknya, yang akan
memerinci perjanjian rahasia apa pun yang dibuat Guiliano dengan Don Croce
dan Menteri Trezza. Dokumen itu bisa menjadi perlindungan yang hebat.
Guiliano seketika bersemangat. Bahkan kalau dokumen itu tidak memiliki
kekuatan, bahkan kalau dokumen itu hilang, ia bermimpi mungkin seratus tahun
lagi ada pemberontak yang menemukannya. Sebagaimana ia dan Pisciotta
menemukan tulang-belulang gajah HannibaL
Bab 19
PERTEMUAN bersejarah itu berlangsung dua hari kemudian. Dan dalam waktu
sesingkat itu Montelepre bagai meledak oleh isu Don Croce Malo yang agung
akan datang, dengan hormat, untuk menemui pahlawan besar mereka, Turi
Guiliano. Bagaimana rahasia ini tersebar, tidak diketahui. Mungkin karena
Guiliano melakukan penjagaan luar biasa untuk pertemuan terseGut. Pasukan
patrolinya menempati posisi untuk menutup jalan ke Palermo, dan hampir lima
puluh anak buahnya yang berhubungan darah dengan penduduk di Montelepre
mengunjungi kerabat mereka dan menginap di sana.
Passatempo dikirim bersama anak- buahnya untuk memblokir Barak Bellampo
dan melumpuhkan carabinieri kalau mereka berkeliaran berpatroli. Anak buah
Terranova mengendalikan jalan dari Castellammare dan Trapani. Kopral Canio
Silvestro bertengger di atap bersama lima penembak terbaiknya dan sepuguk
senapan mesin besar disamarkan di balik bingkai bambu pengering tomat
sebelum dijadikan pasta, yang banyak digunakan keluarga-keluarga di
Montelepre.
Don Croce tiba senja hari mengendarai Alfa Romeo besar yang diparkir di depan
rumah Hector Adonis.
Ia datang bersama adiknya, Pater Benjamino, dan dua pengawal bersenjata yang
tetap berada di mobil bersama sopir. Hector Adonis menunggu mereka di pinta,
pakaiannya bahkan lebih anggun daripada biasanya dalam setelan kelabu buatan
London dan dasi merah bergaris-garis hitam pada kemeja putihnya yang
mengilap. Ia tampak sangat kontras dibandingkan Don, yang tampil lebih
serampangan daripada biasanya, sosok besarnya terbungkus celana panjang yang
menyebabkannya tampak seperti bebek raksasa berjalan, kemejanya, tanpa kerah
dan tidak terkancing pada bagian leher, dan jaket hitam tebal yang bahkan tidak
bisa menutup di bagian depan, jadi kau bisa melihat suspender putihnya yang
sederhana, satu inci lebarnya, menahan celana panjangnya. Sepatunya lebih tepat
disebut sandal tipis.
Pater Benjamino mengenakan pakaian keagamaannya dan topi hitam berdebunya
yang biasa, yang berhentak mirip panci bulat Ia memberkati rumah itu sebelum
memasukinya, membuat tanda salib dan menggumamkan berkat
Hector Adonis memiliki rumah terbaik di Montelepre dan merasa bangga
karenanya. Perabotannya dari Prancis dan lukisan-lukisannya dibeli hati-hati dari
para seniman Italia yang hidup pas-pasan. Piring makannya dari Jerman dan
pelayan rumahnya wanita Italia paro baya yang dilatih di Inggris sebelum
perang. Si pelayan menyajikan kopi untuk mereka sementara ketiga pria itu
duduk di ruang tamu menanti kedatangan Guiliano.
Don Croce merasa aman sepenuhnya. Ia tahu Guiliano tidak akan
mempermalukan bapak baptisnya
dengan mengingkari janjinya sendiri. Don merasa sangat bersemangat. Kini ia
akan bertemu dan menilai sendiri kebesaran sejati sang bintang yang tengah
menanjak ini. Meski begitu ia agak terkejut menyadari Guiliano menyelinap ke
dalam rumah tanpa suara. Tidak terdengar suara apa pun di jalan yang terbuat
dari batu-batu bulat. tidak terdengar suara pintu dibuka atau ditutup. Mendadak
Guiliano telah berdiri di koridor yang menuju ruang makan. Don Croce tersentak
melihat ketampanannya.
Kehidupan di pegunungan telah memperlebar dadanya dan merampingkan
wajahnya. Bentuk wajahnya masih oval tapi pipi-pipinya lebih kurus, dagunya
lebih runcing. Matanya bagai mata patung, cokelat keemasan dengan lingkaran
keperakan yang aneh, yang seolah menempelkan bola mata Guiliano ke
lubangnya. Pakaiannya pun mempertegas ketampanannya—celana panjang
katun tebal, kemeja putih yang baru dicuci dan disetrika. Ia mengenakan jaket
berburu longgar dari beludru kemerahan, di baliknya terdapat pistol otomatis
yang selalu dibawanya. Di atas semua itu ia tampak begitu belia, tidak lebih dari
remaja, walaupun berusia 24 tahun.
Bisakah bocah seperti ini menentang Roma, mengalahkan Friends of the Friends,
memicu pengabdian dalam diri Andolini yang penuh nafsu membunuh,
mengendalikan kebrutalan Passatempo, menaklukkan seperempat Sisilia dan
cinta penduduk seluruh pulau ini? Don Croce tahu Guiliano luar biasa berani,
tapi Sisilia dipenuhi manusia pemberani yang mati muda, korban pengkhianatan.
Dan bahkan sementara Don Croce masih meragukan
dirinya, Turi Guiliano mengambil tindakan yang menyenangkan hati Don dan
kembali meyakinkannya bahwa keputusannya menjadikan bocah ini sekutunya
merupakan keputusan yang benar. Ia masuk ke dalam ruangan dan langsung
mendekati Don Croce seraya berkata, "Bacio tua mano"
Itu sapaan tradisional petani Sisilia terhadap orang yang jabatannya lebih tinggi,
seperti pendeta, man tanah, atau bangsawan. Artinya "Kucium tanganmu." Dan
senyum riang merekah di wajah Guiliano. Tapi Don Croce tahu pasti kenapa
Guiliano mengatakannya. Sapaan itu bukan untuk menunjukkan kepatuhannya
kepada Don atau bahkan penghormatan terhadap usianya. Guiliano
mengatakannya karena Don telah menyerahkan dirinya ke dalam kekuasaan
Guiliano dan Guiliano menunjukkan penghormatan terhadap kepercayaan itu.
Don Croce bangkit perlahan-lahan, pipi-" pipinya yang tembam menjadi
semakin gelap karena upayanya. Ia memeluk Guiliano. Pemuda ini mulia dan ia
ingin menunjukkan perasaan sayangnya. Saat melakukannya ia bisa melihat
wajah Hector Adonis yang tersenyum bangga—putra baptisnya menunjukkan
dirinya sebagai kesatria' sejati.
Pisciotta muncul di lorong dan mengawasi adegan tersebut diiringi senyum kecil
merekah di wajah seriusnya. Ketampanannya juga luar biasa tapi sangat kontras
dengan Guiliano. Penyakit paru-parunya menguruskan tubuh dan wajahnya.
Tulang-tulang wajahnya bagai hendak mencuat keluar dari balik kulit zaitunnya.
Rambutnya disisir hati-hati dan hitam mengilap sementara rambut Guiliano yang
cokelat dipotong sangat pendek
Sedangkan Turi Guiliano, ia semula menduga akan mengejutkan Don dengan
sapaannya dan justru terkejut oleh pemahaman Don dan penerimaannya yang
hangat. Ia mempelajari sosok Don Croce yang tinggi besar dan menjadi lebih
waspada. Orang ini berbahaya. Bukan hanya berdasarkan reputasinya tapi karena
aura kekuasaan yang mengelilinginya. Sosoknya yang besar, yang seharusnya
mengerikan, seakan-akan memancarkan energi; energi itu memenuhi ruangan.
Dan sewaktu Don berbicara, suara yang berasal dari kepalanya yang besar
memancarkan keajaiban hampir-hampir seperti musik paduan suara. Don Croce
membangkitkan pesona luar biasa sewaktu ia bertekad untuk memberikan
pengaruh, pesona yang timbul dari kombinasi ketulusan, ketegasan, dan
keramahan yang aneh pada diri seseorang yang tampaknya begitu kasar dalam
semua tindakannya yang lain.
"Sudah bertahun-tahun aku mengawasimu dan menanti hari ini. Sekarang setelah
hari ini tiba, kau ternyata memenuhi setiap harapan."
Guiliano berkata, "Aku tersanjung." Ia mengatur kata-kata selanjurnya,
mengetahui apa yang diharapkan darinya. "Aku selalu berharap kita bisa
berteman."
Don Croce mengangguk dan menjelaskan kesepakatannya dengan Menteri
Trezza. Bahwa kalau Guiliano membantu "mendidik" orang-orang Sisilia
memilih dengan benar dalam pemilihan mendatang, akan dicarikan jalan agar ia
mendapat pengampunan. Guiliano bisa kembali ke keluarganya sebagai warga
negara biasa dan tidak lagi menjadi bandit. Sebagai bukti akan kebenaran
kesepakatan ini, Menteri Trezza menyerahkan berbagai rencana memerangi
Guiliano kepada Don.
Don mengacungkan tangan ke udara untuk menekankan kata-kata selanjutnya.
"Kalau kau setuju, rencana-rencana ini akan diveto Menteri. Tidak akan ada
pengiriman tentara atau seribu carabinieri tambahan ke Sisilia."
Don Croce melihat Guiliano mendengarkan penuh perhatian tapi tidak tampak
terkejut dengan semua ini. Ia melanjutkan. "Setiap orang di Sisilia mengetahui
keprihatinanmu terhadap orang miskin. Orang bisa menganggap dirimu
mendukung partai-partai sayap kiri. Tapi aku mengetahui kepercayaanmu kepada
Tuhan, bagaimanapun kau orang Sisilia. Dan siapa yang tidak mengetahui
pengabdianmu kepada ibumu? Apa kau benar-benar ingin kaum Komunis
memimpin Italia? Apa yang akan terjadi pada gereja? Apa yang akan terjadi
pada keluarga? Para pemuda Italia dan Sisilia. yang bertempur dalam perang
terinfeksi kepercayaan-kepercayaan asing, doktrin-doktrin politik yang tidak
memiliki tempat di Sisilia. Orang-orang Sisilia bisa menemukan jalannya sendiri
untuk mendapatkan nasib yang lebih baik. Dan apa kau benar-benar
menginginkan negara yang berkuasa di segala bidang sehingga tidak
memberikan kesempatan bagi warganya untuk memberontak? Pemerintah sayap
kiri jelas akan menyelenggarakan kampanye besar-besaran melawan kita berdua,
karena bukankah kita pemimpin Sisilia yang sebenarnya? Kalau partai-partai
sayap kiri memenangkan pemilihan mendatang, suatu hari akan ada orang-orang
Rusia di desa-desa Sisilia yang mengambil keputusan siapa yang boleh pergi ke
gereja Anak-anak kita akan dipaksa pergi ke sekolah yang mengajarkan bahwa
negara lebih penting daripada ibu dan
ayah. Apa gunanya itu? Tidak ada. Sekarang waktunya bagi setiap orang Sisilia
sejati untuk membela keluarganya dan kehormatannya melawan negara."
Ada yang menyela tanpa terduga. Pisciotta masih bersandar ke dinding lorong.
Ia berkata sinis, "Mungkin orang Rusia akan mengampuni kita."
Angin dingin mengembus benak Don. Tapi tidak mungkin ia menunjukkan
kemarahan yang dirasakannya terhadap pesolek kecil berkumis yang kurang ajar
ini. Ia mengamatinya dengan saksama. Kenapa ia menarik perhatian pada dirinya
saat ini? Kenapa ia ingin Don menyadari keberadaannya? Don Croce bertanya-
tanya apakah bisa memanfaatkannya. Dengan nalurinya yang luar biasa ia
mencium kebusukan dalam diri letnan yang paling dipercayai Guiliano ini.
Mungkin penyakit paru-parunya, mungkin kesinisan pemikirannya. Pisciotta
orang yang tak pernah bisa memercayai siapa pun sepenuhnya dan karena itu
tidak bisa dipercayai sepenuhnya oleh siapa pun. Don Croce memikirkan semua
ini sebelum menjawab.
"Kapan ada negara asing yang membantu Sisilia?" tanyanya. "Kapan ada orang
asing yang pernah memberikan keadilan kepada orang Sisilia? Pemuda-pemuda
seperti dirimu katanya langsung kepada Pisciotta, "satu-satunya harapan kami.
Cerdik dan berani dan membanggakan kehormatan. Selama seribu tahun orang-
orang seperti itu bergabung dengan Friends of the Friends untuk melawan para
penjajah, untuk mendapatkan keadilan yang sekarang diperjuangkan Turi
Guiliano. Ini saatnya bagi kita untuk bersatu dan mempertahankan Sisilia."
Guiliano tampak tak terpengaruh kekuatan suara
Don. Ia berkata dengan kekasaran yang disengaja, "Tapi kami selalu menentang
Roma dan orang-orang yang dikirim untuk mengatur kami. Sejak dulu mereka
musuh kami. Dan sekarang kau meminta kami membantu mereka, memercayai
mereka?"
Don Croce berkata serius, "Ada saatnya kita perlu mencapai tujuan yang sama
bersama musuh. Partai Demokrat Kristen musuh paling tidak berbahaya bagi
kita kalau mereka memenangkan Italia. Oleh karena itu penting bagi kita agar
mereka tetap berkuasa. Apa yang bisa lebih sederhana lagi?" Ia diam sejenak.
"Orang-orang sayap kiri tidak akan pernah mengampuni dirimu. Yakinlah.
Mereka terlalu munafik, sama sekali bukan pemaaf, mereka tidak memahami
karakter orang Sisilia. Jelas kaum miskin akan memperoleh tanah, tapi bisakah
mereka menyimpan apa yang mereka tanam? Bisakah kau membayangkan
orang-orang kita bekerja dalam sistem kooperatif? Demi Tuhan, sekarang saja
mereka saling bunuh hanya karena masalah apakah Bunda Maria akan
mengenakan jubah putih atau merah dalam prosesi religius kita."
Semuanya ini disampaikan dengan keironisan seseorang yang ingin para
pendengarnya tahu ia membesar-besarkan namun paham sikap itu sebagian besar
benar adanya.
Guiliano mendengarkan sambil tersenyum tipis. Ia tahu suatu hari mungkin ia
perlu membunuh orang ini dan hanya perasaan, hormat yang dibangkitkan Don
Croce melalui sosok dan kekuatan kepribadiannya-lah yang menyebabkan
Guiliano mengesampingkan pemikiran itu. Seolah hanya memikirkan
kemungkinan itu ia sudah menentang ayahnya sendiri, perasaan
mendalam akan kekeluargaan. Ia harus mengambil keputusan dan itu merupakan
keputusan paling penting sejak ia menjadi pelanggar hukum.
Guiliano berkata lembut, "Aku setuju dengan pen-dapatmu mengenai kaum
Komunis. Mereka tidak cocok bagi orang Sisilia." Guiliano.diam sejenak. Ia
merasa sekaranglah saatnya memaksa Don Croce mengikuti kemauannya. "Tapi
kalau aku melakukan pekerjaan kotor untuk Roma, aku harus menjanjikan
hadiah kepada anak buahku. Apa yang bisa dilakukan Roma bagi kami?"
Don Croce telah menghabiskan kopinya. Hector Adonis melesat bangkit untuk
mengisinya kembali, tapi Don Croce melambai mengusirnya. Lalu ia berkata
kepada Guiliano, "Sejauh ini tindakan-tindakan kami tidak terlalu buruk bagimu.
Andolini- memberimu informasi mengenai pergerakan carabinieri sehingga kau
bisa selalu mengawasi mereka. Mereka tidak mengambil langkah-langkah drastis
untuk mengusirmu dari pegununganmu. Tapi aku tahu itu belum mencukupi.
Izinkan aku mengambil tindakan menguntungkan dirimu yang akan
menggembirakan hatiku dan membuat ibu dan ayahmu bersukacita. Di hadapan
bapak baptismu di sini, di depan teman sejatimu, Aspanu Pisciotta, kuberitahu
kau: Aku akan menggerakkan langit dan bumi untuk memastikan pengampunan
dirimu dan tentu saja anak buahmu."
Guiliano telah memutuskan, tapi ia ingin memastikan jaminan itu sebisa
mungkin. Ia berkata, "Aku setuju dengan hampir semua yang kaukatakan. Aku
mencintai Sisilia dan orang-orangnya, dan walaupun hidup sebagai bandit, aku
percaya akan. keadilan. Aku bersedia me-
lakukan hampir segalanya "untuk bisa kembali ke rumah dan orangtuaku. Tapi
bagaimana caramu memastikan Roma menepati janjinya kepadaku? Itu
kuncinya. Layanan yang kauminta berbahaya. Aku harus mendapatkan upahku."
Don mempertimbangkannya. Lalu ia berkata lambat dan hati-hati, "Kau benar
bersikap waspada. Tapi kau sudah mendapatkan rencana-rencana yang
ditunjukkan Hector Adonis kepadamu sesuai permintaanku. Simpan rencana-
rencana itu sebagai bukti hubunganmu dengan Menteri Trezza. Aku akan
berusaha mengamankan dokumen-dokumen lain yang mungkin bisa kaugunakan
dan yang ditakuti Roma akan kaupublikasikan melalui korespondensi persmu
yang terkenal itu. Lalu akhirnya aku menjamin pengampunan itu secara pribadi
kalau kau menyelesaikan tugasmu dan partai Demokrat Kristen memenangkan
pemilihan. Menteri Trezza sangat menghormati diriku dan tidak akan pernah
melanggar janjinya."
Hector Adonis tampak sangat bersemangat dan puas. Ia membayangkan
kebahagiaan Maria Lombardo saat putranya pulang dan tidak lagi menjadi
buronan. Ia tahu tindakan Guiliano memang diperlukan, tapi ia merasa
persekutuan antara Guiliano dan Don Croce melawan Komunis ini mungkin
merupakan kaitan pertama yang bisa mengikat keduanya dalam persahabatan
sejati.
Kenyataan bahwa Don Croce yang agung menjamin pengampunan pemerintah
bahkan membuat Pisciotta terkesan. Tapi Guiliano melihat kelemahan penting
dalam penjelasan Don. Bagaimana ia bisa yakin bahwa semua ini bukan sekadar
karangan Don? Bahwa ren-
cana-rencana itu tidak dicuri? Bahwa rencana-rencana itu belum diveto Menteri?
Ia perlu bertemu langsung dengan Trezza.
"Itu meyakinkan diriku," tegas Guiliano. "Jaminan pribadimu menunjukkan
kebaikan hatimu dan kenapa orang-orang di Sisilia menjulukimu 'Jiwa yang
Baik'. Tapi pengkhianatan Roma sangat terkenal, dan para politisi—kita tahu
orang macam apa mereka itu. Aku ingin ada orang yang kupercayai mendengar
janji Trezza dari mulurnya sendiri dan dokumen darinya yang memberi
jaminan."
Don tertegun. Sepanjang percakapan ia merasa sayang terhadap Turi Guiliano. Ia
memikirkan betapa hebatnya seandainya pemuda ini putranya. Oh, mereka bisa
memimpin Sisilia bersama-sama. Dan dengan anggun ia tadi berkata, "Kucium
tanganmu." Don terpesona, sesuatu yang jarang terjadi. Tapi sekarang ia
menyadari Guiliano tidak memercayai jaminannya, dan perasaan sayangnya
memudar. Ia menyadari mata pemuda im yang seolah mengantuk, yang
menatapnya dengan pandangan aneh, menanti bukti lebih jauh, jaminan lebih
jauh. Jaminan Don Croce Malo tidak mencukupi.
Kesunyian timbul cukup lama, Don mempertimbangkan apa yang harus
dikatakannya, yang lain menunggu. Hector Adonis berusaha menutupi
kekecewaannya terhadap "kekerasan" Guiliano dan ketakutannya akan reaksi
Don. Wajah tembam Pater Benjamino yang pucat tampak seperti buldog yang
terhina. Tapi akhirnya Don berbicara dan meyakinkan mereka semua. Ia telah
mempertimbangkan apa yang ada dalam benak Guiliano dan apa yang
dibutuhkannya.
"Penting bagiku kau setuju," katanya kepada Guiliano, "dan mungkin aku hanyut
dalam argumentasiku sendiri. Tapi izinkan aku membantumu dalam hal ini.
Pertama-tama, izinkan aku mengatakan Menteri Trezza tidak akan memberimu
dokumen apa pun—itu terlalu berbahaya. Tapi dia akan berbicara denganmu dan
menyampaikan janji yang diucapkannya padaku. Aku bisa menjamin surat-surat
dari Pangeran Ollorto dan kaum bangsawan berkuasa lainnya, yang memiliki
tujuan sama dengan kita. Mungkin lebih baik dari itu, aku punya teman yang
bisa lebih meyakinkan dirimu— Gereja Katolik akan mendukung
pengampunanmu. Aku sudah mendapat janji Kardinal Palermo. Sesudah kau
berbicara dengan Menteri Trezza, aku akan mengatur pertemuan dengan
Kardinal. Dia juga akan memberikan janji secara langsung kepadamu. Dan kau
mendapatkan keinginanmu, janji Menteri Kehakiman seluruh Italia, janji
Kardinal Gereja Katolik Suci yang suatu hari kelak mungkin menjadi Paus kita,
dan janjiku."
Mustahil menjelaskan sikap Don saat mengucapkan kedua kata terakhir. Suara
tenornya merosot merendah seakan ia tidak berani memasukkan namanya
bersama yang lain, dan ada tambahan energi dalam kata-kata "dan janjiku" yang
tidak menyisakan keraguan akan pentingnya janji darinya.
Guiliano tertawa. "Aku tidak bisa pergi ke Roma." Don Croce berkata, "Kalau
begitu kirim orang yang kaupercayai sepenuhnya. Aku sendiri yang akan
mengantarnya menemui Menteri Trezza. Lalu aku akan mengantarnya menemui
Kardinal. Tentu kau bisa memercayai kata-kata pangeran Gereja Suci?"
Guiliano mengawasi Don Croce tajam. Sinyal-sinyal
peringatan memancar dalam benaknya. Kenapa Don begitu ingin membantunya?
Jelas ia tahu dirinya, Guiliano, tidak bisa pergi ke Roma, ia tidak akan pernah
mengambil risiko itu, bahkan seandainya ada seribu kardinal dan menteri yang
berjanji. Jadi siapa yang diharapkan Don akan dipilihnya sebagai wakil?
"Tidak ada"orang yang lebih kupercayai selain tangan kananku," kata Guiliano
kepada Don. "Ajak Aspanu Pisciotta bersamamu ke Roma, dan ke Palermo. Dia
menyukai kota-kota besar, dan mungkin kalau Kardinal mendengar pengakuan
dosanya, bahkan dosa-dosanya akan. diampuni."
Don Croce menyandar ke belakang dan memberikan isyarat kepada Hector
Adonis untuk mengisi cangkir kopinya. Itu tipuan lamanya, untuk menutupi
kepuasan dan kemenangannya. Seolah masalah yang tengah dihadapinya begitu
tidak menarik sehingga keinginan eksternal bisa menggantikannya. Tapi
Guiliano, yang telah membuktikan diri sebagai pejuang gerilya cemerlang begitu
ia menjadi bandit, memiliki intuisi yang mampu membaca isyarat dan pola
berpikir seseorang. Ia seketika merasakan kepuasan im. Don Croce telah
memenangkan tujuan yang sangat penting. Ia tidak menduga Don Croce sangat
ingin bisa berdua saja bersama Aspanu Pisciotta.
Dua" hari kemudian Pisciotta menemani Don-Groce ke Palermo dan Roma. Don
Croce memperlakukan dirinya seakan ia keluarga kerajaan. Dan Pisciotta
memang memiliki wajah bagai jenderal Borgia, Cesare. Garis wajahnya yang
tajam, kumis tipisnya kulitnya yang gelap khas Asia, pandangannya yang kejam
dan kurang
ajar, begitu hidup dengan pesona dan kecurigaan terhadap segala sesuatu di
dunia.
Di Palermo mereka menginap di Hotel Umberto, yang dimiliki Don Croce, dan
Pisciotta mendapat layanan sangat ramah. Ia diajak membeli pakaian baru untuk
pertemuannya dengan Menteri Kehakiman di Roma. Ia bersantap dengan Don
Croce di restoran-restoran terbaik. Lalu Pisciotta dan Don Croce diterima
Kardinal Palermo.
Luar biasa bahwa Pisciotta, pemuda dari kota kecil di Sisilia, dibesarkan dalam
iman Katolik, tidak terpesona oleh pertemuan ini, oleh aula-aula agung istana
Kardinal, penghormatan terhadap kekuasaan suci yang ditunjukkan semua orang.
Sewaktu Don Croce mencium cincin Kardinal, Pisciotta memandang Kardinal
dengan tatapan angkuh.
Kardinal pria yang jangkung. Ia mengenakan baret merah dan mantel bersabuk
lebar merah tua. Garis wajahnya kasar dan berbekas cacar air. Ia bukan orang
yang akan terpihh menjadi Paus, tidak peduli celoteh Don Croce. Tapi ia pintar
menarik perhatian, ia orang Sisilia.
Berlangsung basa-hasi yang biasa. Kardinal dengan serius menanyakan
kesehatan spiritual Pisciotta. Ia mengingatkan bahwa dosa apa pun yang
dilakukan di bumi ini, orang tidak boleh lupa bahwa pengampunan abadi
menantinya kalau ia orang Kristen yang taat.
Sesudah meyakinkan Pisciotta akan amnesti spiritualnya, Kardinal langsung
membahas inti persoalan. Ia memberitahu Pisciotta bahwa Gereja Suci berada
dalam bahaya maut di Sisilia. Kalau Komunis memenangkan pemilihan
nasional, siapa yang tahu apa yang akan
terjadi? Katedral-katedral akan dibakar dan dihancurkan dan diubah menjadi
pabrik-pabrik. Patung-patung
Bunda Maria, salib Yesus, patung-patung semua orang suci akan dilemparkan ke
Mediterania. Para pendeta akan dibunuh, biarawati diperkosa.
Mendengar yang terakhir, Pisciotta tersenyum. Orang Sisilia mana, tidak peduli
seberapa fanatiknya sebagai pengikut Komunis, yang pernah bermimpi
memerkosa biarawati? Kardinal melihat senyumnya. Kalau Guiliano membantu
menekan propaganda Komunis sebelum pemilihan berikutnya, ia, Kardinal
sendiri, akan berkhotbah pada hari Minggu Paskah tentang kebaikan Guiliano
dan memintakan pengampunan dari pemerintah di Roma. Dan Don Croce bisa
mengatakan hal yang sama kepada Menteri sewaktu mereka bertemu di Roma.
Seiring ucapan itu Kardinal menghadiri pertemuan dan memberkati Aspanu
Pisciotta. Sebelum pergi, Aspanu Pisciotta meminta surat dari Kardinal yang
bisa diberikan kepada Guiliano sebagai bukti pertemuan ini memang terjadi.
Kardinal memenuhinya. Don tertegun oleh kebodohan Pangeran Gereja Suci tapi
tidak mengatakan apa-apa.
Pertemuan di Roma lebih sesuai dengan gaya Pisciotta. Menteri Trezza tidak
berpura-pura sesaleh Kardinal. Bagaimanapun ia Menteri Kehakiman dan
Pisciotta hanyalah kurir bandit. Ia menjelaskan kepada Pisciotta kalau partai
Demokrat Kristen kalah dalam pemilihan, Komunis akan berusaha sangat keras
menyapu habis bandit-bandit yang tersisa di Sisilia. Memang benar carabinieri
masih mengadakan ekspedisi menentang
Guiliano, tapi itu tidak bisa dihindari. Penampilan harus dipertahankan atau
koran-koran radikal akan memprotes setinggi langit.
Pisciotta menyelanya. "Apakah maksud Yang Mulia partaimu tidak bisa
memberikan pengampunan pada Guiliano?"
"Sulit," jawab Menteri Trezza, "tapi bukan mustahil. Kalau Guiliano membantu
kami memenangkan pemilihan. Kalau selanjutnya dia menahan diri tidak
melakukan penculikan atau perampokan selama beberapa waktu. Kalau dia
membiarkan namanya tidak seburuk itu. Mungkin dia bahkan bisa beremigrasi
ke Amerika untuk sementara dan kembali setelah semua orang memaafkannya.
Tapi satu hal bisa kujamin, kalau kami memenangkan pemilihan. Kami tidak
akan berusaha keras menangkapnya. Dan kalau dia ingin pindah ke Amerika
kami tidak akan menghalanginya atau membujuk pihak berwenang Amerika
mendeportasinya." Ia diam sejenak "Secara pribadi aku akan berusaha sekuat
tenaga membujuk Presiden Italia agar mengampuninya."
Pisciotta kembali berbicara sambil tersenyum tipis, "Tapi kalau kami menjadi
warga negara teladan, bagaimana kami bisa makan, Guiliano dan anak buahnya
serta keluarga mereka? Mungkinkah ada cara bagi pemerintah untuk membayar
kami? Bagaimanapun, kami yang melakukan pekerjaan kotor mereka."
Don Croce yang sejak tadi mendengarkan percakapan ini dengan mata terpejam,
bagai reptil yang tengah tidur, dengan cepat berbicara untuk menghentikan
jawaban marah Menteri Kehakiman yang murka karena bandit ini berani
meminta uang kepada pemerintah. "Cuma lelucon, Yang Mulia," sela Don
Croce. "Dia
pemuda yang baru pertama kali meninggalkan Sisilia. Dia tidak memahami
moralitas ketat dunia luar. Pertanyaan mengenai dukungan sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya dengan dirimu. Akan kuatur hal itu dengan Guiliano sendiri." Ia
melontarkan lirikan peringatan kepada Pisciotta agar tidak membuka mulut.
Tapi Menteri tiba-tiba tersenyum dan berkata kepada Pisciotta, "Well, aku
senang melihat pemuda Sisilia belum berubah. Aku dulu juga seperti itu. Kita
tidak takut menanyakan hak kita. Mungkin kau ingin sesuatu yang lebih konkret
daripada janji." Ia menjulurkan tangan ke balik mejanya dan mengeluarkan kartu
bertepi merah yang dilaminasi. Sambil melemparkan kartu kepada Pisciotta ia
berkata, "Ini kartu khusus yang kutandatangani sendiri. Kau bisa bepergian ke
mana pun di Italia atau Sisilia tanpa diganggu polisi. Nilainya sebesar emas
dengan berat yang sama."
Pisciotta membungkuk sebagai ucapan terima kasih* dan menyimpan kartu itu di
saku-dalam jasnya, di dekat dadanya. Dalam perjalanan mereka ke Roma ia
melihat Don Croce menggunakan kartu seperti itu; ia tahu dirinya menerima
sesuatu yang berharga. Tapi lalu pemikiran itu melintas dalam benaknya:
Bagaimana kalau ia tertangkap membawa kartu tersebut? Akan ada skandal yang
mengguncang seluruh negeri. Orang kedua dalam kelompok Guiliano membawa
kartu izin keamanan yang diterbitkan Menteri Kehakiman? Bagaimana
mungkin? Benaknya berputar cepat berusaha memecahkan masalah itu, tapi ia
tidak bisa menemukan jawaban.
Hadiah berupa dokumen sepenting itu menunjukkan niat baik dan kepercayaan
Menteri. Keramahan Don Croce yang mengagumkan selama perjalanan memang
memuaskan. Namun semua itu tidak bisa meyakinkan Pisciotta. Sebelum pulang
ia meminta Trezza menulis surat kepada Guiliano yang mengkonfirmasi adanya
pertemuan ini Trezza menolak.
Sewaktu Pisciotta kembali ke pegunungan Guiliano menanyainya dengan
saksama, memaksanya mengulangi setiap kata yang bisa diingatnya. Sewaktu
Pisciotta menunjukkan kartu izin bertepi merah dan menyatakan
kebingungannya akan alasan pemberian kartu itu serta risiko yang dihadapi
Menteri dengan menandatanganinya, Guiliano menepuk bahunya. "Kau saudara
sejati," katanya "Kau jauh lebih curiga daripada diriku, namun kesetiaanmu
padaku membutakan matamu dari hal-hal yang sudah jelas. Don Croce pasti
telah meminta Menteri memberimu kartu izin im. Mereka berharap kau
mengadakan perjalanan khusus ke Roma dan menjadi mata-mata mereka."
"Licik sekali," seru Pisciotta berang. "Akan kugunakan kartu ini untuk kembali
dan menggorok lehernya."
"Tidak," bantah Guiliano. "Simpan saja kartu itu. Akan ada gunanya bagi kita.
Dan satu hal lagi. Tanda tangan di kartu itu mungkin seperti tanda tangan Trezza,
tapi bukan. Tanda tangan itu palsu. Kalau sesuai tujuan mereka, mereka bisa
menganggap kartu ku tidak sah. Atau kalau sesuai tujuan mereka, mereka bisa
mengatakan kartu itu sah dan mengeluarkan catatan yang menunjukkan kartu itu
disahkan oleh Trezza. Kalau mereka mengatakan kartu itu palsu, mereka hanya
perlu menghancurkan catatannya."
Pisciotta menyadari kebenarannya. Hari demi hari ia semakin terpesona bahwa
Guiliano yang perasaannya
begitu terbuka dan jujur bisa memperkirakan rencana rumit musuh-musuhnya. Ia
menyadari pada dasarnya keromantisan Guiliano adalah paranoia yang merasuk
begitu kuat.
"Kalau begitu bagaimana kita bisa percaya mereka akan menepati janjinya
kepada kita?" tanya Pisciotta. "Kenapa kita harus membantu mereka? Bisnis kita
bukan politik."
Guiliano mempertimbangkannya. Aspanu sejak dulu selalu sinis, dan agak
serakah. Beberapa kali mereka bertengkar mengenai pembagian hasil sejumlah
perampokan, Pisciotta mendesak agar anggota kelompok mendapat bagian lebih
besar.
"Kita tidak punya pilihan," ujar Guiliano. "Komunis tidak akan pernah
memberiku pengampunan kalau mereka memenangkan kendali pemerintahan.
Sekarang ini Demokrat Kristen dan Menteri Trezza dan Kardinal Palermo serta
tentu saja Don Croce harus menjadi sekum dan rekan seperjuangan kita. Kita
harus me-netralisir kaum Komunis, itu yang paling penting. Kita akan menemui
Don Croce dan membereskan masalahnya." Ia diam sejenak dan menepuk bahu
Pisciotta. "Kerjamu bagus dengan mendapatkan surat Kardinal itu. Dan kartu
izinnya pasti akan berguna."
Tapi Pisciotta tidak yakin. "Kita akan melakukan pekerjaan kotor mereka,"
katanya. "Lalu kita akan berkeliaran seperti pengemis menanti pengampunan
mereka. Aku tidak memercayai satu pun dari mereka—mereka berbicara kepada
kita seakan kita ini gadis-gadis tolol, menjanjikan dunia kepada kita kalau kita
mau tidur dengan mereka. Menurutku kita berjuang demi diri sendiri, kita
simpan uang hasil kerja kita
bukannya membagi-bagikannya kepada kaum miskin. Kita bisa menjadi kaya
dan hidup seperti raja-raja di Amerika atau Brasilia. Itu solusi kita dan lalu kita
tidak perlu mengandalkan para pesgpnovanti itu."
Guiliano memutuskan untuk menjelaskan perasaannya. "Aspanu," katanya, "kita
harus berjudi dengan Demokrat Kristen dan Don Croce. Kalau kita menang dan
mendapatkan pengampunan, rakyat Sisilia akan memilih kita menjadi pemimpin
mereka. Kita akan memenangkan segalanya." Guiliano diam sejenak dan
tersenyum kepada Pisciotta. "Kalau mereka menipu kita, baik kau dan aku tidak
akan pingsan karena terkejut. Tapi seberapa banyak kerugian kita? Kita tetap
saja harus melawan Komunis; mereka musuh yang lebih besar daripada kaum
Fasis. Jadi mereka harus dihancurkan. Sekarang, dengarkan baik-baik. Kau dan
aku berpikiran sama. Pertempuran terakhir akan berlangsung sesudah kita
mengalahkan Komunis dan harus berjuang menghadapi Friends of the Friends
dan Don Croce."
Pisciotta mengangkat bahu. "Kita melakukan kesalahan," ujarnya
Guiliano, meskipun tersenyum, berpikir serius. Ia tahu Pisciotta menyukai
kehidupan sebagai pelanggar hukum Kehidupan itu sesuai karakternya, dan
walaupun berani serta cerdik, Pisciotta tidak punya imajinasi.
*Pezzonovanti (Jamak) atau pevgpnovante (tunggal) berarti senjata, namun
dalam konteks ini bermakna orang penting atau berkuasa.
Ia tidak mampu berpikir jauh ke depan dan melihat nasib tidak terelakkan yang
menanti mereka sebagai pelanggar hukum.
Malam im juga, Aspanu Pisciotta duduk di tepi tebing dan mencoba merokok.
Tapi sakit yang hebat di dadanya menyebabkan ia mematikannya dan
mengantongi puntungnya. Ia tahu tuberkulosisnya semakin buruk, tapi ia juga
tahu kalau ia beristirahat di pegunungan selama beberapa minggu, ia akan
merasa lebih baik. Yang mengkhawatirkannya adalah sesuatu yang tidak
diceritakannya kepada Guiliano.
Sepanjang perjalanan untuk menemui Menteri Trezza dan Kardinal, Don Croce
selalu menemaninya. Mereka makan bersama setiap malam, dan Don
menjelaskan tentang masa depan Sisilia, masa-masa sulit yang akan datang.
Perlu beberapa lama bagi Pisciotta untuk menyadari Don tengah membujuk
dirinya, mencoba membuatnya bersimpati kepada Friends of the Friends, dan
dengan halus berusaha meyakinkan Pisciotta bahwa, seperti Sisilia, masa
depannya sendiri mungkin lebih baik bersama Don daripada bersama Guiliano.
Pisciotta tidak menunjukkan tanda-tanda dirinya memahami pesan Don. Tapi itu
menyebabkan ia semakin meragukan niat baik Don. Ia belum pernah takut
terhadap siapa pun, kecuali mungkin Turi Guiliano, Tapi Don Croce, yang
menghabiskan seumur hidup mendapatkan "penghormatan" berupa lencana
pemimpin besar Mafia, membangkitkan ketakutan dalam dirinya. Yang
disadarinya sekarang adalah ia takut Don akan mengalahkan dan mengkhianati
mereka dan suatu hari kelak mereka akan tewas.
Bab 20
PEMILIHAN umum bulan April tahun 1948 untuk memilih anggota legislatif
Sisilia merupakan bencana bagi partai Demokrat Kristen di Roma. "Blok
Rakyat", kombinasi partai-partai sayap kiri Komunis Sosialis, mengumpulkan
600.000 suara, sementara Demokrat Kristen hanya 330.000. Sisanya sebanyak
500.000 suara terbagi antara Monarki dan dua partai pecahan lainnya Panik
mencekam Roma. Harus diambil tindakan drastis sebelum pemilihan nasional,
atau Sisilia, kawasan paling terbelakang di negara itu, akan menjadi penentu
yang mengubah seluruh Italia menjadi negara Sosialis.
Berbulan-bulan sebelumnya Guiliano memenuhi janjinya pada Roma. Ia
merobek poster-poster partai-partai oposisi, menyerbu markas-markas besar
kelompok sayap kiri dan membubarkan pertemuan mereka di Corleone,
Montelepre, Castellammare, Partinico, Piani dei Greci, San Giuseppe Jato, dan
kota besar Monreale. Bandit-banditnya memasang poster di seluruh kota-kota ini
yang menyatakan dalam huruf-huruf hitam besar, MATI BAGI KAUM
KOMUNIS, dan ia membakar beberapa rumah pertemuan yang didirikan
kelompok-kelompok Pekerja Sosialis. Tapi kampanyenya terlambat dimulai
untuk memengaruhi pemilihan regional, dan ia enggan menggunakan
pembunuhan yang merupakan teror paling keji. Pesan-pesan berlalu-lalang
antara Don Croce, Menteri Trezza, Kardinal Palermo dan Turi Guiliano.
Berbagai teguran dilontarkan. Guiliano didesak meningkatkan kampanyenya
agar situasi bisa dipertahankan untuk pemilihan nasional. Guiliano menyimpan
semua surat tersebut dalam Wasiat-nya.
Perlu ada pukulan hebat, dan otak Don Croce yang cerdaslah yang
menemukannya. Ia mengirim pesan kepada Guiliano melalui Stefan Andolini.
Dua kota yang paling banyak memiliki pengikut sayap kiri dan paling keras
memberontak di Sisilia adalah Piani dei Greci dan San Giuseppe Jato. Selama
bertahun-tahun, bahkan di bawah kepemimpinan Mussolini, mereka merayakan
tanggal 1 Mei sebagai hari revolusi. Karena tanggal itu juga merupakan hari
Santa Rosalie, perayaan mereka disamarkan sebagai festival keagamaan yang
tidak dilarang oleh pihak berwenang Fasis. Tapi sekarang parade May Day
mereka dipenuhi bendera merah dan ceramah yang menghasut. Parade May Day
berikutnya yang akan dilaksanakan seminggu lagi direncanakan sebagai parade
terbesar sepanjang sejarah. Sebagaimana biasa, kedua kota akan bergabung
untuk merayakannya dan perwakilan dari seluruh Sisilia akan membawa
keluarga mereka untuk bersukaria atas kemenangan mereka baru-baru ini.
Senator Komunis, Lo Causi, orator yang terkenal berapirapi, akan
menyampaikan pidato utama. Parade itu akan menjadi perayaan resmi kelompok
Kiri atas kemenangan mereka dalam pemilihan yang baru berlangsung.
Rencana Don Croce adalah perayaan ini diserang dan dibubarkan oleh kelompok
Guiliano. Mereka akan memasang senapan mesin dan menembak ke atas kepala
orang-orang untuk membubarkan mereka. Tindakan itu merupakan langkah
pertama dalam kampanye intimidasi, semacam peringatan atau teguran halus.
Dengan cara ini Senator Komunis, Lo Causi, akan sadar bahwa terpilihnya
dirinya sebagai anggota Parlemen tidak memberinya izin di Sisilia atau
menjadikannya orang suci. Guiliano menyetujui rencana ini dan memerintahkan
para tangan kanannya, Pisciotta, Terranova, Passatempo, Silvestro, dan Stefan
Andolini agar bersiap-siap melaksanakannya.
Selama tiga tahun terakhir perayaan itu selalu diselenggarakan di dataran
pegunungan antara Piani dei Greci dan San Giuseppe Jato, dilindungi oleh
puncak kembar Monte Pizzuta dan Monte Cumeta. Penduduk kedua kota akan
mendaki ke dataran itu melalui jalan-jalan berliku yang menyatu di dekat
puncak, dengan begitu populasi kedua kota akan bertemu dan membentuk
prosesi Mereka akan memasuki dataran tinggi melalui celah sempit, lalu
menyebar untuk merayakan hari libur mereka. Celah ini disebut Portella della
Ginestra.
Desa-desa Piani dei Greci dan San Giuseppe Jato merupakan desa miskin,
rumah-rumahnya tua, teknik pertanian mereka kuno. Mereka percaya akan
aturan kehormatan kuno; para wanita yang duduk di luar rumah harus duduk
diam untuk menjaga reputasi mereka. Tapi kedua desa itu merupakan rumah bagi
para pemberontak paling keras di pulau Sisilia.
Desa-desa di sana begitu kuno sehingga sebagian besar rumahnya dibangun dari
batu, dan beberapa tidak memiliki jendela kecuali lubang-lubang kecil yang
ditutup piringan besi. Banyak keluarga memelihara hewan di ruangan-ruangan
tempat mereka tinggal. Tukang roti memelihara kambing dan domba-domba
kecil di samping oven-oven mereka, dan kalau sebongkah roti yang baru
dipanggang jatuh ke lantai, roti im biasanya menimpa kotoran hewan.
Para pria penduduk desa-desa itu menyewakan tenaga sebagai buruh pada tuan
tanah kaya dengan bayaran satu dolar sehari dan terkadang bahkan kurang, tidak
cukup untuk memberi makan keluarga mereka. Jadi sewaktu para biarawati dan
pastor, yang dijuluki para "Gagak Hitam", datang membawa paket-paket
makaroni dan pakaian sumbangan, penduduk memberikan sumpah yang
diperlukan: suara bagi partai Demokrat Kristen.
Tapi dalam pemilihan regional di bulan April 1948 mereka justru memberikan
suara dalam jumlah mengejutkan kepada partai Komunis atau Sosialis. Ini
memicu kemarahan Don Croce yang mengira kepala Mafia setempat
mengendalikan kawasan itu. Tapi Don menyatakan kekurangajaran terhadap
Gereja Katoliklah yang menyebabkan ia merasa sedih. Bagaimana mungkin
orang-orang Sisilia yang saleh begitu tega menipu biarawati-biarawati suci yang
dengan kedermawanan Kristen memberikan roti untuk anak-anak mereka?
Kardinal Palermo juga jengkel. Ia telah mengadakan perjalanan khusus ke kedua
desa untuk menyelenggarakan Misa dan memperingatkan mereka agar tidak me-
milih Komunis. Ia memberkati anak-anak mereka dan bahkan membaptis
mereka, dan mereka masih tetap berpaling dari Gereja. Ia memanggil para pastor
desa ke Palermo dan memperingatkan agar mereka meningkatkan upaya
memenangkan pemilihan nasional. Ini bukan saja demi kepentingan politik
Gereja tapi juga untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang bodoh dari api neraka.
Menteri Trezza. tidak terkejut. Ia orang Sisilia dan memahami sejarah pulau itu.
Penduduk kedua desa sejak dulu merupakan pejuang yang bangga dan kejam
dalam menentang kaum kaya Sisilia dan tirani Roma. Mereka yang pertama-
tama bergabung dengan Garibaldi, dan sebelumnya mereka menentang para
penguasa Prancis dan Moor yang menguasai pulau itu. Penduduk Piani dei Greci
merupakan keturunan orang Yunani yang melarikan diri ke Sisilia, menghindari
para penyerbu Turki. Mereka masih mempertahankan kebudayaan Yunani,
berbicara dalam bahasa Yunani dan mempertahankan hari-hari libur Yunani
dengan mengenakan kostum kuno. Tapi tempat itu merupakan benteng Mafia
yang selalu menimbulkan pemberontakan. Jadi Menteri Trezza kecewa pada
prestasi Don Croce, pada ketidakmampuannya mendidik mereka. Tapi ia juga
tahu bahwa para pemilih di desa-desa dan kawasan pedalaman sekitarnya telah
dihasut oleh satu orang, organisator partai Sosialis bernama Silvio Ferra.
Silvio Ferra prajurit Angkatan Darat Italia dalam Perang Dunia II yang banyak
menyandang bintang jasa. Ia memperoleh medali-medalinya dalam kampanye
Afrika lalu ditangkap oleh Angkatan Darat Amerika.
Ia menjadi tawanan perang di Amerika Serikat, di sana ia menghadiri berbagai
kursus yang dirancang untuk membuat para tahanan memahami proses
demokrasi. Ia tidak begitu memercayainya sampai ia mendapat izin bekerja di
luar kamp, pada tukang roti di kota setempat. Ia terpesona melihat kebebasan
dalam kehidupan orang Amerika, kemudahan di mana kerja keras bisa diubah
menjadi kesejahteraan abadi, kemampuan orang-orang kelas bawah untuk
meningkatkan diri. Di Sisilia petani yang bekerja paling keras hanya bisa
berharap menyediakan makanan dan perlindungan bagi anak-anaknya; tidak
mungkin ada simpanan untuk masa depan.
Sewaktu kembali ke tanah kelahirannya di Sisilia, Silvio Ferra menjadi
pendukung Amerika yang gigih. Tapi tidak lama kemudian ia melihat partai
Demokrat Kristen hanyalah alat orang kaya dan ia bergabung dengan kelompok
Pekerja Sosialis di Palermo. Ia haus pendidikan dan sangat senang membaca
buku. Tak lama kemudian ia sudah melahap seluruh teori Marx dan Engels, dan
bergabung dengan partai Sosialis. Ia mendapat tugas mengorganisir klub partai
di San Giuseppe Jato.
Dalam empat tahun ia berhasil melakukan apa yang tidak bisa dilakukan para
aktivis dari Italia utara. Ia menerjemahkan doktrin Revolusi Merah dan Sosialis
ke dalam istilah Sisilia. Ia meyakinkan mereka bahwa memilih Partai Sosialis
berarti mendapatkan sepetak lahan. Ia berkhotbah bahwa lahan lahan luas milik
kaum bangsawan seharusnya dibagi-bagikan karena para bangsawan
membiarkan lahan tersebut tidak terurus, Tanah yang bisa menumbuhkan
gandum bagi anak
anak mereka. Ia meyakinkan mereka bahwa di bawah pemerintahan Sosialis,
korupsi bisa disapu habis. Tidak akan ada penyuapan terhadap pejabat, tidak
seorang pun pedu memberi pastor dua butir telur untuk membacakan surat dari
Amerika, petugas pos desa tidak perlu diberi satu lira untuk memastikan
pengiriman surat, pria-pria tidak perlu melelang tenaganya untuk bekerja di
ladang-ladang para bangsawan. Tidak ada lagi upah yang minim, dan para
pejabat pemerintah akan menjadi pelayan rakyat, sebagaimana di Amerika.
Silvio Ferra mengutip pasal dan ayat untuk menunjukkan para pejabat Gereja
Katolik mendukung sistem kapitalis yang tidak terhormat ini, namun ia tidak
pernah menyerang Bunda Maria, orang-orang suci yang berguna, atau
kepercayaan pada Yesus. Di pagi hari Paskah ia menyapa para tetangganya
dengan sapaan tradisional, "Kristus sudah bangkit". Di hari Minggu ia
menghadiri Misa. Istri dan anak-anaknya diawasi dengan gaya Sisilia yang ketat
karena ia percaya pada semua nilai tradisional, pengabdian mutlak putra kepada
ibunya, penghormatan kepada ayahnya, tanggung jawab bagi sepupunya yang
paling jauh.
Sewaktu cosce Mafia di San Giuseppe Jato memperingatkan bahwa dirinya
sudah keterlaluan, ia tersenyum dan dengan rendah hati mengungkapkan di masa
depan ia bersedia menerima persahabatan mereka, meskipun dalam hati ia tahu
pertempuran terakhir dan terbesar adalah menghadapi Mafia. Sewaktu Don
Croce mengirim kurir-kurir khusus untuk mengadakan perjanjian, ia menolak
mereka. Seperti itulah reputasi keberaniannya dalam perang, penghormatan yang
diberikan penduduk desa serta indikasi ia akan bersikap
logis terhadap Friends of the Friends membuat Don Croce memutuskan bersikap
sabar, terutama karena ia merasa yakin pemilihan akan dimenangkan.
Tapi yang paling utama adalah Silvio Ferra bersimpati terhadap sesama manusia,
kualitas yang jarang ada di kalangan petani Sisilia. Kalau ada tetangga yang
jatuh sakit ia membawakan makanan untuk keluarganya, ia melakukan tugas-
tugas rumah tangga bagi janda-janda tua sakit yang tinggal seorang diri, ia
menghibur mereka yang bersusah payah menjalani kehidupan dan takut akan
masa depan mereka. Ia memproklamirkan harapan baru di bawah partai Sosialis.
Sewaktu menyampaikan pidato-pidato politik ia menggunakan retorika selatan
yang begitu disukai orang-orang Sisilia. Ia tidak menjelaskan teori-teori ekonomi
Marx tapi berbicara penuh semangat tentang balas dendam yang dirindukan para
petani yang tertekan selama berabad-abad. "Sebagaimana roti manis bagi kita,"
katanya, "begitu pula darah orang miskin bagi orang kaya yang menenggaknya."
Silvio Ferra yang mengorganisir kerja sama para buruh tani yang- menolak
mengikuti lelang tenaga kerja di mana mereka yang bersedia dibayar paling
rendah yang mendapatkan pekerjaan. Ia menetapkan bayaran per hari, dan kaum
bangsawan terpaksa memenuhinya pada musim menuai, karena kalau tidak
zaitun, anggur, dan biji-bijian mereka membusuk. Dan Silvio Ferra pun terancam
bahaya.
Yang menyelamatkan dirinya adalah kenyataan ia berada dalam perlindungan
Turi Guiliano. Ini salah satu pertimbangan yang menyebabkan Don Croce
menahan diri. Silvio Ferra dilahirkan di Montelepre.
390
Bahkan sewaktu muda kualitas dirinya sudah terlihat jelas. Turi Guiliano sangat
mengaguminya, walaupun mereka tidak bersahabat dekat karena perbedaan usia
— Guiliano empat tahun lebih muda—dan karena Silvio pergi berperang. Silvio
kembali sebagai pahlawan dengan banyak bintang jasa. Ia bertemu gadis dari
San Giuseppe Jato dan pindah ke sana untuk menikahinya. Dan seiring
tumbuhnya ketenaran politik Ferra, Guiliano membiarkan orang-orang
mengetahui pria ini temannya meskipun pandangan politik mereka berbeda.
Oleh karena im saat Guiliano memulai program "mendidik" para pemilih di
Sisilia, ia memberi perintah agar tidak ada yang mengambil tindakan terhadap
desa San Giuseppe Jato atatf terhadap Silvio Ferra.
Ferra mendengar kabar ini dan cukup cerdas untuk mengirim pe^an kepada
Guiliano, mengucapkan terima kasih dan mengatakan ia bersedia melayani di
bawah kepemimpinan Guiliano. Pesan im dikirim melalui orangtua Ferra yang
masih tinggal di Montelepre bersama anak-anak mereka yang lain. Salah satunya
gadis muda bernama Justina, baru berusia lima belas tahun, yang membawa
surat im ke rumah Guiliano untuk diberikan kepada ibunya. Kebetulan saat itu
Guiliano tengah berkunjung, sehingga bisa langsung menerima pesannya. Di
usia lima belas sebagian besar gadis Sisilia telah dewasa, dan ia jatuh cinta
kepada Turi Guiliano. Bagaimana tidak? Kekuatan fisik Guiliano,
keanggunannya yang sigap begitu memesona Justina sehingga gadis itu menatap
Guiliano hampir-hampir vulgar.
Turi Guiliano dan orangtuanya serta La Venera tengah minum kopi dan
menawari gadis itu. Justina
menolak. Hanya La Venera yang menyadari betapa cantiknya gadis itu serta
betapa ia terpesona kepada Guiliano. Guiliano tidak mengenalinya sebagai gadis
kecil yang dulu ditemuinya menangis di jalan dan diberinya uang. Guiliano
berkata kepadanya, "Sampaikan terima kasihku kepada kakakmu atas
tawarannya dan katakan padanya untuk tidak mengkhawatirkan ibu dan
ayahnya; mereka akan selalu berada dalam perundunganku." Justina bergegas
meninggalkan rumah dan melesat kembali ke rumah orangtuanya. Sejak saat itu
ia memimpikan Turi Guiliano sebagai kekasihnya. Dan ia merasa bangga akan
perasaan sayang Guiliano kepada kakaknya.
Maka sewaktu Guiliano setuju menyerang festival di Portella della Ginestra, ia
mengirim peringatan bersahabat kepada Silvio Ferra agar ia tidak terlibat dalam
pertemuan May Day itu. Ia menjamin Silvio tak satu pun penduduk San
Giuseppe Jato akan terbaka tapi ada kemungkinan ia tidak bisa melindungi
Silvio kalau berkeras melanjutkan kegiatan partai Sosialisnya. Bukan berarti
Guiliano akan menyakitinya, tapi Friends of the Friends telah membulatkan
tekad untuk menghancurkan partai Sosialis di Sisilia dan Ferra jelas menjadi
salah satu sasaran mereka.
Sewaktu Silvio Ferra menerima pesan tersebut ia menganggapnya sebagai satu
lagi upaya menakut-nakuti dirinya, yang dipimpin oleh Don Croce. Itu bukan
masalah. Partai Sosialis tengah menuju kemenangan, dan ia tidak akan
melewatkan salah satu perayaan terbesar atas kemenangan yang mereka peroleh.
Pada May Day tahun 1948 itu penduduk Piani dei
Greci dan San Giuseppe Jato bangun lebih awal untuk memulai perjalanan
panjang menyusuri jalan setapak pegunungan ke dataran tinggi di balik Portella
della Ginestra. Mereka dipimpin sekelompok musisi dari Palermo yang disewa
khusus untuk acara itu. Silvio Ferra, diapit istri dan kedua anaknya, berada di
jajaran depan prosesi San Giuseppe Jato, dengan bangga membawa salah satu
bendera merah besar. Kereta-kereta yang dicat memesona, dilengkapi kuda-kuda
yang diselimuti kain merah khusus dan warna-warna meriah, dimuati panci-
panci masak, kotak-kotak kayu besar berisi spaghetti, mangkuk-mangkuk kayu
raksasa untuk salad. Ada kereta yang khusus mengangkut berguci-guci anggur.
Kereta lain yang dilengkapi balok-balok es digunakan untuk mengangkut keju-
keju bulat, sosis-sosis besar, dan adonan serta oven untuk memanggang roti.
Anak-anak menari-nari dan menendang-nendang bola di sepanjang barisan. Para
pria yang menunggang kuda menguji tunggangan mereka untuk lomba yang
merupakan acara utama pertandingan sore harinya.
Saat Silvio Ferra memimpin warga kotanya menuju celah pegunungan sempit
yang bernama Portella della Ginestra, para penduduk Piani dei Greci bergabung
dari jalan lain, membawa bendera merah dan panji-panji partai Sosialis mereka
tinggi-tinggi. Kedua rombongan menyatu, saling menyapa riang sementara
berjalan, bergosip tentang skandal-skandal terakhir di desa masing-masing, dan
berspekulasi tentang hasil kemenangan dalam pemilihan, bahaya apa yang akan
menghadang walaupun terdengar kabar tentang kemungkinan bahaya dalam
perayaan May Day ini, me-
394
reka sama sekali tidak takut. Mereka membenci Roma, takut kepada Mafia, tapi
tidak pasrah. Bagaimanapun mereka mengalahkan keduanya dalam pemilihan
terakhir dan tidak terjadi apa-apa.
Pada tengah hari lebih dari tiga ribu orang menyebar di dataran tinggi itu. Para
wanita mulai menggunakan oven jinjing untuk merebus air dan memasak pasta,
anak-anak menerbangkan layang-layang yang menari-nari bersama sejumlah
elang merah Sisilia. Senator Komunis, Lo Causi, mempelajari catatan untuk
pidato yang akan disampaikannya; sekelompok pria dipimpin Silvio Ferra
mendirikan panggung kayu yang akan menjadi tempat bagi dirinya dan sejumlah
warga terkemuka kedua kota. Para pria yang membantunya juga menyarankan
agar tidak berlama-lama dalam memperkenalkan Senator—anak-anak mulai
lapar.
Pada saat itu terdengar letupan-letupan pelan di pegunungan. Beberapa anak
pasti membawa petasan, pikir Silvio Ferra. Ia berpaling untuk melihatnya.
Pada pagi yang sama tapi jauh lebih awal, bahkan sebelum matahari Sisilia
terbit, dua pasukan yang masing-masing terdiri atas dua belas orang berjalan dari
markas besar Guiliano di pegunungan di atas Montelepre, ke pegunungan tempat
Portella della Ginestra berada. Satu pasukan dipimpin Passatempo dan yang lain
dipimpin Terranova. Masing-masing pasukan membawa sepucuk senapan mesin
berat. Passatempo memimpin anak buahnya jauh ke atas lereng Monte Cumeta
dan hati-hati mengawasi peletakan senapan mesin. Empat orang ditugaskan
merawat dan menembakkannya. Anak buahnya yang
395
tersisa menyebar di lerang dengan senapan dan lupara untuk melindungi
keempat orang itu dari serangan apa pun.
Terranova dan anak buahnya menempati lereng Monte Pizzuta di sisi lain
Portella della Ginestra. Dari tempat ini, dataran tinggi yang gersang dan desa-
desa di bawahnya berada dalam jangkauan laras-laras senapan mesin dan
senapan-senapan anak buahnya. Strategi ini untuk mencegah kejutan dari
carabinieri seandainya mereka berkeliaran keluar barak.
Dari kedua lereng pegunungan anak buah Guiliano mengawasi para penduduk
kota Piani dei Greci dan San Giuseppe Jato berjalan ke puncak yang sedatar
meja. Beberapa anak buah Guiliano memiliki kerabat di prosesi itu, tapi mereka
tidak gelisah. Karena perintah Guiliano sangat jelas. Senapan mesin hanya
ditembakkan ke atas kepala orang-orang sampai mereka membubarkan diri dan
kembali ke desa masing-masing. Tidak boleh ada yang dilukai.
Guiliano semula merencanakan mengikuti ekspedisi ini dan memimpinnya
langsung, tapi tujuh hari sebelum May Day, dada Aspanu Pisciotta yang lemah
akhirnya mengalami perdarahan. Ia tengah berlari mendaki lereng pegunungan
menuju markas besar kelompok sewaktu darah menyembur dari mulurnya dan ia
jatuh ke tanah. Tubuhnya bergulmg-guling turun. Guiliano, mendaki di
belakangnya, mengira kejadian itu hanya salah satu lelucon sepupunya. Ia
menghentikan tubuh Pisciotta dengan kakinya dan lalu melihat bagian depan
kemejanya berlumuran darah. Mula-mula ia mengira Aspanu terkena tembakan
penembak jitu dan ia luput
mendengar bunyi tembakannya. Ia memanggul Pisciotta dan membawanya
mendaki bukit. Pisciotta masih sadar dan terus bergumam, "Turunkan aku,
turunkan aku." Dan Guiliano mengerti tidak mungkin Pisciotta tertembak.
Suaranya menunjukkan kerusakan dalam, bukan luka hebat akibat terkena
peluru.
Pisciotta ditempatkan di tandu dan Guiliano memimpin sepuluh anak buahnya
menemui dokter di Monreale. Dokter itu sering dimanfaatkan kelompoknya
untuk merawat luka tembakan dan bisa diandalkan dalam menyimpan rahasia.
Tapi sang dokter melaporkan penyakit Pisciotta kepada Don Croce seperti
halnya transaksi-transaksi lainnya dengan Guiliano. Karena ia berharap ditunjuk
sebagai kepala rumah sakit Palermo dan ia tahu itu mustahil terwujud tanpa
persetujuan Don Croce.
Sang dokter membawa Pisciotta' ke rumah sakit Monreale untuk pemeriksaan
lebih jauh dan meminta Guiliano tetap tinggal dan menunggu hasilnya.
"Aku akan kembali besok pagi/' kata Guiliano kepada dokter itu. Ia menugaskan
empat anak buahnya menjaga Pisciotta di rumah sakit dan bersama, anak buah
lainnya kembali ke rumah salah satu anggota kelompoknya untuk bersembunyi.
Keesokan harinya dokter memberitahunya bahwa Pisciotta membutuhkan obat
streptomycin yang hanya bisa diperoleh di Amerika Serikat. Guiliano
memikirkannya. Ia akan meminta ayahnya dan Stefan Andolini menulis surat
kepada Don Corleone di Amerika dan meminta obat itu dikirimkan. Ia
menyatakan rencananya kepada dokter itu dan menanyakan apakah Pisciotta bisa
meninggalkan rumah sakit. Sang dokter mengiya-
kan, tapi dengan syarat Pisciotta beristirahat di ranjang selama beberapa minggu.
Jadi begitulah, Guiliano tengah berada di Monreale mengurus Pisciotta,
mengatur rumah baginya untuk menyembuhkan diri, sewaktu serangan di
Portella della Ginestra berlangsung.Ketika Silvio Ferra berpaling ke asal suara
petasan, tiga hal- berturut-turut tercatat di otaknya. Pertama adalah
pemandangan bocah kecil tertegun seraya mengacungkan lengannya. Di ujung
lengannya, bukannya tangan yang memegang layang-layang, melainkan tunggul
berlumuran darah yang menakutkan, layang-f layangnya melayang ke angkasa di
atas lereng-lereng Monte Cumeta. Kedua adalah shock begitu menyadari
petasan-petasan itu ternyata suara tembakan senapan mesin. Ketiga adalah kuda
hitam menerjang liar menerobos kerumunan, tanpa penunggang, panggulnya
menyemburkan darah. Lalu Silvio Ferra berlari menerobos kerumunan, mencari-
cari istri dan anak-anaknya.
Di lereng Monte Pizzuta, Terranova mengamati kejadian itu dari balik
teropongnya. Mula-mula ia mengira orang-orang berjatuhan ke tanah karena
ketakutan, kemudian ia melihat tubuh-tubuh tidak bergerak, terkapar dalam
posisi aneh dan ia memukul penembak senapan mesinnya agar menjauhi
senjatanya. Tapi begitu senapan mesin membisu, ia masih bisa mendengar
rentetan tembakan dari Monte Cumeta. Terranova mengira Passatempo belum
menyadari bahwa tembakan diarahkan terlalu rendah dan orang-orang terluka.
Be-
398
berapa menit kemudian senapan lain juga berhenti dan kesunyian mengerikan
mengisi Portella della Ginestra. Lalu lolongan mereka yang masih hidup
mengambang ke puncak-puncak kembar pegunungan, jeritan-jeritan mereka
yang terluka dan sekarat. Terranova memberikan isyarat kepada anak .buahnya
agar berkumpul, memerintahkan mereka membongkar senapan mesinnya, lalu
memimpin mereka lari ke seberang pegunungan. Sambil melarikan diri ia
berpikir apakah sebaiknya ia kembali ke Guiliano untuk melaporkan tragedi ini.
Ia takut Guiliano mengeksekusi dirinya dan anak buahnya seketika. Tapi ia juga
yakin Guiliano akan memberinya kesempatan menyampaikan pembelaan, dan ia
dan anak buahnya bisa bersumpah bahwa mereka telah menaikkan arah
tembakan. Ia akan kembali ke markas besar dan melapor. Ia penasaran apakah
Passatempo juga berbuat begitu.
Pada saat Silvio Ferra menemukan istri dan anaknya, tembakan senapan mesin
telah berhenti. Keluarganya tidak terluka dan hendak bangkit dari tanah. Ia
memaksa mereka kembali berbaring dan,tidak bergerak selama lima belas menit
lagi. Ia melihat pria berkuda melesat ke arah Piani dei Greci untuk meminta
bantuan dari barak carabinieri dan ketika pria itu tidak ditembak jatuh dari
kudanya, Silvio tahu serangan telah berakhir. Ia beranjak bangkit.
Dari dataran yang menjadi puncak Portella della Ginestra, ribuan orang turun
kembali ke desa-desa mereka di kaki pegunungan. Dan mereka yang tewas atau
sekarat terkapar di tanah, keluarga mereka ber-" jongkok di sekitar mereka
sambil menangis. Bendera meriah yang tadi pagi mereka kibarkan sekarang
tergeletak dalam debu, kecemerlangan warna emas gelap, hijau mencolok, dan
merahnya tampak mengejutkan tertimpa matahari tengah hari. Silvio Ferra
meninggalkan keluarganya untuk membantu mereka yang terluka. Ia
menghentikan beberapa pria yang lari dan memaksa mereka menjadi pembawa
tandu. Dengan ngeri ia melihat beberapa di antara korban adalah anak-anak dan
wanita. Ia merasakan air mata merebak di matanya. Semua gurunya keliru,
mereka yang percaya akan tindakan politik. Para pemilih tidak akan pernah
mengubah Sisilia. Semuanya hanyalah kebodohan. Mereka harus membunuh
untuk mendapatkan haknya.
Hector Adonis yang menyampaikan kabar itu kepada Guiliano di samping
ranjang Pisciotta. Guiliano seketika menuju markas besarnya di pegunungan,
meninggalkan Pisciotta memulihkan diri tanpa perlindungan pribadinya.
Di tebing-tebing di atas Montelepre, ia memanggil Passatempo dan Terranova.
Kuperingatkan kalian sebelum kalian berbicara," tukas Guiliano. "Siapa pun
yang bertanggung jawab akan ditemukan tidak peduli berapa lama waktu yang
diperlukan. Dan semakin lama waktunya, semakin berat hukumannya. Kalau
kejadian ini kesalahan tidak disengaja, akuilah sekarang dan aku berjanji kalian
tidak akan menderita dalam kematian."
Passatempo dan Terranova tidak pernah melihat kemurkaan sehebat itu pada
Guiliano; Mereka berdiri kaku, tidak berani bergerak sementara Guiliano
menginterogasi. Mereka bersumpah senjata-senjata dinaikkan
untuk menembak di atas kepala orang-orang, dan sewaktu mereka menyadari
orang-orang tertembak, mereka menghentikan tembakan.
Guiliano kemudian menanyai anggota pasukan dan orang-orang yang menangani
senapan mesin. Ia membayangkan apa yang terjadi. Senapan mesin Terranova
menembak selama sekitar lima menit sebelum dihentikan. Senapan Passatempo
sekitar sepuluh menit. Para penembak bersumpah mereka menembak di atas
kepak orang-orang. Tidak satu pun dari mereka mengakui mungkin melakukan
kesalahan atau mengubah arah senapan.
Sesudah membubarkan mereka, Guiliano duduk seorang diri. Untuk pertama
kalinya sejak menjadi bandit, ia merasakan malu yang tidak tertahankan. Selama
lebih dari empat tahun sebagai pelanggar hukum ia bisa menyombongkan diri
tidak pernah menyakiti orang miskin. Sekarang hal itu tidak benar. Ia telah
membantai mereka. Jauh di lubuk hatinya ia tidak lagi bisa menganggap dirinya
pahlawan. Lalu ia mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Kejadian itu
mungkin kesalahan: Anak buahnya pandai menggunakan lupara tapi senapan
mesin berat itu terlalu asing bagi mereka. Menembak ke bawah, ada
kemungkinan mereka keliru memperhitungkan sudutnya. Ia tidak percaya
Terranova atau Passatempo membohonginya, tapi selalu ada kemungkinan salah
satu atau keduanya telah - disuap untuk melakukan pembantaian tersebut. Selain
itu, terlintas dalam benaknya begitu mendengar kejadian itu, mungkin ada
kelompok penyergap ketiga.
Tapi jelas, kalau kejadian itu disengaja, lebih banyak lagi yang tertembak. Tentu
pembantaiannya akan jauh lebih mengerikan. Kecuali, pikir Guiliano, tujuan
pembantaian itu untuk mencoreng nama Guiliano. Dan gagasan siapakah
penyerangan di Portella della Ginestra itu? Unsur kebetulannya terlalu
berlebihan untuk bisa diterima.
Kebenaran yang tidak terelakkan dan memalukan adalah dirinya dikalahkan oleh
Don Croce.
PEMBANTAIAN di Portella della Ginestra mengejutkan seluruh Italia. Koran-
koran menjeritkan judul-judul mencolok mengenai pembantaian pria, wanita,
dan anak-anak yang tidak bersalah. Lima belas orang tewas dan lebih dari lima
puluh terluka. Mula-mula muncul spekulasi Mafia yang melakukannya, dan
Silvio Ferra menyampaikan pidato yang membebankan tanggung jawab kejadian
itu ke atas bahu Don Croce. Tapi Don telah siap menghadapi hal ini. Para
anggota rahasia Friends of the Friends bersumpah di hadapan para hakim bahwa
mereka melihat Passatempo dan Terranova menyiapkan penyerangan. Orang-
orang Sisilia penasaran kenapa Guiliano tidak mengingkari tuduhan itu melalui
salah satu suratnya yang terkenal ke surat-surat kabar. Ia membisu di luar
kebiasaan.
Dua minggu sebelum pemilihan nasional, Silvio Ferra mengendarai sepedanya
dari San Giuseppe Jato menuju kota Piani dei Greci. Ia mengayuh sepedanya di
sepanjang tepi sungai Jato dan menyusuri kaki pegunungan. S jalan ia
berpapasan dengan dua pria yang berteriak menyuruhnya berhenti, tapi ia terus
mengayuh cepat. B berpaling ia melihat kedua orang itu mengikutinya dengan
sabar tapi tak lama kemudian ia telah jauh meninggalkan mereka. Saat ia tiba di
desa Piani dei Greci, mereka tidak lagi tampak.
Ferra menghabiskan waktu tiga jam di gedung pertemuan Sosialis bersama para
pemimpin partai dari kawasan di sekitarnya. Sewaktu pertemuan usai senja telah
turun, dan ia sangat ingin tiba di rumah sebelum gelap. Ia menuntun sepedanya
melewati alun-alun, menyapa riang beberapa penduduk desa yang dikenalnya.
Tiba-tiba empat orang mengepungnya. Silvio Ferra mengenali salah satu di
antaranya sebagai kepala Mafia Montelepre, dan ia merasa lega. Ia mengenal
Quintana sejak kecil, dan Ferra juga tahu Mafia sangat berhati-hati di kawasan
ini, agar tidak menjengkelkan Guiliano atau melanggar peraturannya mengenai
"menghina orang miskin". Maka ia menyapa Quintana sambil tersenyum dan
berkata, "Kau jauh dari rumah."
Quintana berkata, "Halo, sobat. Kami akan menemanimu sebentar. Jangan ribut
dan kau tidak akan terluka. Kami hanya ingin berbicara denganmu."
"Berbicaralah denganku di sini," kata Silvio Ferra. Ia merasakan getar ketakutan
yang pertama, ketakutan yang sama seperti yang dirasakannya di medan perang,
ketakutan yang ia tahu bisa- dikuasainya. Jadi sekarang ia menahan diri tidak
bertindak bodoh. Dua di antara mereka menempatkan diri di sampingnya dan
mencengkeram lengannya. Mereka mendorongnya pelan menyeberangi alun-
alun. Sepedanya bergulir bebas, lalu jatuh.
Ferra melihat para penduduk desa yang duduk di luar rumah mulai menyadari
apa yang terjadi. Jelas mereka akan membantunya. Tapi pembantaian di Portella
della Ginestra, kengerian yang mencekam
semua orang, telah mematahkan semangat mereka. Tidak satu pun memprotes.
Silvio Ferra menjejakkan tumitnya ke tanah dan mencoba berbalik ke gedung
pertemuan. Bahkan dari jarak sejauh ini ia bisa melihat beberapa rekan kerjanya
di ambang pintu. Tidakkah mereka melihat dirinya menghadapi masalah? Tapi
tak seorang pun beranjak dari tempatnya. Ia berteriak, "Tolong." Tak ada yang
bergerak dan Silvio Ferra merasa malu luar biasa atas sikap mereka.
Quintana mendorongnya kasar. "Jangan bodoh," tegasnya. "Kami hanya ingin
bicara. Sekarang ikut kami tanpa memicu keributan. Jangan sampai teman-
temanmu terluka."
Saat itu hampir gelap, bulan telah terbit. Ia merasakan sepucuk senapan
disodokkan ke punggungnya dan tahu mereka akan membunuhnya di alun-alun
kalau mereka berniat melakukannya. Lalu mereka akan membunuh siapa pun
yang berniat membantu. Ia berjalan bersama Quintana ke ujung desa. Ada
kemungkinan mereka tidak berniat membunuhnya; ada terlalu banyak saksi dan
beberapa di antaranya jelas mengenali Quintana. Kalau ia melawan sekarang
mereka mungkin panik dan menembakkan senapan. Lebih baik menunggu dan
mendengarkan.
Quintana berbicara datar kepadanya. "Kami ingin membujukmu agar
menghentikan semua kebodohan Komunis-mu. Kami sudah memaafkan
seranganmu terhadap Friends of the Friends sewaktu kau menuduh mereka
mendalangi penyerangan Ginestra. Tapi kesabaran kami tidak terbalas dan mulai
menipis. Menurutmu itu bijaksana? Kalau kauteruskan, kau memaksa kami
membuat anak-anakmu tidak memiliki ayah." Pada saat itu mereka telah
meninggalkan desa dan mulai mendaki jalan setapak berbatu-batu yang akhirnya
menuju Monte Cumeta. Silvio Ferra berpaling putus asa tapi tidak melihat
seorang pun mengikuti. Ia berkata kepada Quintana, "Kau mau membunuh
kepala keluarga demi masalah sepele seperti politik?"
Quintana tertawa kasar, "Aku pernah membunuh orang hanya karena meludahi
sepatuku, ejeknya.
Orang-orang yang memegang lengan Silvio Ferra menjauhkan diri dan saat itu
Silvio Ferra menyadari nasibnya. Ia berpaling dan berlari menuruni jalan setapak
yang diterangi cahaya bulan.
Penduduk desa mendengar suara tembakan dan salah seorang pemimpin partai
Sosialis menghubungi carabinieri. Keesokan paginya mayat Silvio Ferra
ditemukan dibuang di salah satu jurang di pegunungan. Sewaktu polisi menanyai
penduduk desa, tak seorang pun mengaku menyaksikan apa yang terjadi. Tak
seorang pun menyinggung tentang keempat pria itu, tak seorang pun mengaku
mengenali Guido Quintana. Meskipun mereka pemberontak, mereka orang
Sisilia dan tidak akan melanggar hukum omerta. Tapi beberapa orang
menceritakan apa yang mereka saksikan kepada kelompok Guiliano.
Gabungan banyak hal menyebabkan Demokrat Kristen memenangkan
pemilihan. Don Croce dan Friends of the Friends melaksanakan tugas dengan
baik. Pembantaian di Portella della Ginestra mengejutkan seluruh Italia, tapi
kejadian itu lebih dari mengejutkan bagi orang Sisilia—peristiwa itu
menyebabkan mereka
trauma. Gereja Katolik, penyelenggara pemilihan di bawah nama Kristus,
bersikap lebih hati-hati dalam memberikan sumbangan. Pembunuhan terhadap
Silvio Ferra merupakan pukulan terakhir. Partai Demokrat Kristen meraih
kemenangan luar biasa di Sisilia pada tahun 1948, dan itu membantu
kemenangan di seluruh Italia. Jelas mereka akan memimpin dalam waktu lama.
Don Croce penguasa Sisilia, Gereja Katolik akan menjadi agama nasional, dan
kemungkinan besar Menteri Trezza, tidak dalam waktu dekat tapi juga tidak
terlalu lama, akan menjadi Perdana Menteri Italia.
Pada akhirnya Pisciotta terbukti benar. Don Croce mengirim kabar melalui
Hector Adonis bahwa partai Demokrat Kristen tidak bisa memberikan
pengampunan kepada Guiliano dan anak buahnya karena pembantaian di
Portella della Ginestra. Pengampunan akan menimbulkan skandal luar biasa;
tuduhan bahwa pengampunan itu dipicu kepentingan politik akan kembali
mencuat ke permukaan. Pers akan heboh dan akan terjadi demonstrasi besar-
besaran di seluruh Italia. Don Croce mengatakan bahwa sudah sewajarnya
tangan Menteri Trezza terikat, bahwa Kardinal Palermo tidak lagi bisa
membantu orang yang dianggap telah membantai wanita dan anak-anak tidak
bersalah; tapi dirinya, Don Croce, akan terus berupaya mendapatkan
pengampunan itu. Namun ia menyarankan lebih baik Guiliano pindah ke Brasilia
atau Amerika Serikat, dan dalam hal itu dirinya, Don Croce, akan membantu
dengan segala cara.
Anak buah Guiliano tertegun melihat Guiliano tidak menunjukkan emosi apa
pun terhadap pengkhianatan itu, ia seolah menerimanya sebagai kewajaran. Ia
mengajak anak buahnya semakin jauh ke pegunungan dan memberitahu para
pemimpinnya agar mendirikan per-kemahan di dekat kemahnya sendiri supaya ia
bisa mengumpulkan mereka dalam waktu singkat. Seiring berlalunya hari, ia
tampak semakin tenggelam dalam dunianya. Berminggu-minggu berlalu
sementara para pemimpin kelompoknya menunggu perintahnya dengan tidak
sabar.
Suatu pagi ia berkeliaran jauh ke dalam pegunungan seorang diri. tanpa
pengawalan. Ia kembali dalam kegelapan dan berdiri di dekat api unggun.
"Aspanu," katanya, "panggil semua pemimpin."
Pangeran Ollorto memiliki lahan seluas ratusan ribu hektar, tempat ia
menumbuhkan segala sesuatu yang menjadikan Sisilia kantong makanan Italia
selama seribu tahun—jeruk dan lemon, biji-bijian, bambu, pohon zaitun yang
menyediakan minyak, anggur untuk minuman, lautan tomat, paprika hijau,
terong yang paling ungu dan sebesar kepala bagal. Sebagian lahan ini disewakan
kepada para petani dengan sistem bagi hasil sama rata. Tapi Pangeran Ollorto,
seperti semua tuan tanah, meraih keuntungan terlebih dulu—mesin yang
digunakan, bibit dan transportasi, semua disewakan dengan bunga. Para petani
cukup beruntung kalau bisa menyimpan 25 persen dari apa yang telah susah
payah mereka tanam. Kendati demikian nasib mereka masih jauh lebih baik
daripada orang-orang yang menyewakan tenaganya dengan sistem harian dari
menyewakan
Tanah di Sisilia subur, tapi sayangnya para bangsawan membiarkan sebagian
besar lahannya tidak terurus dan tersia-sia. Pada tahun 1860 Garibaldi yang
agung berjanji para petani akan merniliki lahannya sendiri. Namun sekarang pun
Pangeran Ollorto masih memiliki seratus ribu hektar lahan yang tidak terurus.
Begitu pula para bangsawan lainnya yang memanfaatkan lahan mereka sebagai
cadangan uang tunai, menjual sepetak demi sepetak demi kesenangan.
Dalam pemilihan yang terakhir semua partai, termasuk partai Demokrat Kristen,
berjanji memperkuat dan menegakkan hukum pembagian tanah. Hukum ini
menyatakan tanah yang tidak terurus dari lahan-lahan besar bisa diklaim para
petani dengan pembayaran minimal.
Tapi hukum ini sejak dulu dipatahkan oleh para bangsawan yang menyewa para
pemimpin Mafia untuk mengmtimidasi orang-orang yang berniat mengklaim
lahannya. Pada hari ketika petani bisa mengklaim lahan, pemimpin Mafia hanya
perlu menunggang kuda-nya menyusuri batas lahan dan tak satu petani pun
berani mengajukan klaim. Beberapa orang yang memutuskan meneruskan
niatnya akan dibunuh, begitu pula para pria anggota keluarganya. Tindakan ini
berlangsung selama seabad, dan setiap orang Sisilia memahami peraturan itu.
Kalau ada lahan yang dilindungi pemimpin Mafia, tidak ada tanah yang bisa
diklaim dari sana. Roma bisa menerbitkan ratusan undang-undang, semua itu
tidak berarti sama sekali. Sebagaimana pernah dikatakan Don Croce kepada
Menteri Trezza pada saat, senggang, "Apa hubungan undang-undangmu dengan
kami?" Tidak, lama seusai pemilihan, tiba harinya lahan Pangeran Ollorto yang
tidak terurus bisa diklaim para petani. Seluruh lahan seluas seratus ribu hektar
itu telah dipatok oleh pemerintah. Para pemimpin partai sayap kiri mendesak
orang-orang mengajukan klaim. Saat harinya tiba hampir lima ribu petani
berkumpul di luar gerbang istana Pangeran Ollorto. Para pejabat pemerintah
menunggu dalam tenda besar di lahan itu, yang dilengkapi meja-meja dan kursi-
kursi, serta para pegawai negeri mencatat secara resmi setiap klaim. Beberapa
petani berasal dari kota Montelepre.
Pangeran Ollorto, mengikuti saran Don Croce, menyewa enam pemimpin Mafia
sebagai gabelloti. Maka pada pagi yang cerah itu, matahari Sisilia memanggang
mereka hingga berkeringat, keenam pemimpin Mafia itu menunggang kuda
mereka mondar-mandir menyusuri dinding yang mengelilingi lahan Pangeran
Ollorto. Para petani yang berkumpul, di bawah pepohonan zaitun yang lebih tua
daripada Kristus, mengawasi keenam orang itu, yang terkenal kebuasannya di
seluruh Sisilia. Mereka menunggu seakan-akan berharap ada keajaiban, terlalu
takut bergerak maju.
Tapi keajaiban itu bukan dalam bentuk kekuatan hukum. Menteri Trezza telah
mengirim perintah langsung kepada Maresciallo yang mengomandani mereka
agar tidak mengeluarkan carabinieri dari baraknya. Pada hari itu, tak satu pun
anggota Kepolisian Nasional berseragam terlihat di seluruh provinsi Palermo.
Kerumunan di luar dinding lahan Pangeran Ollorto menunggu. Keenam
pemimpin Mafia terus menunggangi kuda sekonsisten metronom, wajah mereka
datar,
senapan mereka tersarung di pelana, lupare tersandang di bahu, pistol dijejalkan
di sabuk di balik jaket. Mereka tidak menunjukkan sikap mengancam ke arah
kerumunan—malah mereka tak mengacuhkan para petani; mereka hanya
menunggang kuda dalam kebisuan. Para petani, seakan berharap kuda-kuda itu
kelelahan atau membawa para naga-penjaga ini pergi, membuka kantong-
kantong makanan dan botol-botol anggur mereka. Sebagian besar di antara
mereka pria, hanya beberapa wanita. Dan di antara para wanita ini terdapat
Justina bersama ibu dan ayahnya. Mereka datang untuk menunjukkan kemarahan
atas pembunuhan terhadap Silvio Ferra. Namun tak satu pun dari mereka berani
melintasi barisan kuda yang melangkah pelan itu, tidak ada yang berani
mengklaim tanah yang merupakan milik mereka berdasarkan undang-undang.
Bukan hanya rasa takut yang menahan mereka; para penunggang kuda ini adalah
"orang-orang terhormat" pembuat undang-undang yang sebenarnya di kota
tempat tinggal mereka. Friends of the Friends mendirikan pemerintah bayangan
yang berfungsi lebih efektif daripada pemerintah di Roma. Adakah pencuri atau
perampok yang mencuri ternak dan domba petani? Kalau korban melaporkan
kejahatan itu kepada carabinieri, ia tidak akan pernah mendapatkan miliknya
kembali. Tapi kalau ia menemui para pemimpin Mafia ini dan membayar komisi
dua puluh persen, fernak yang hilang akan ditemukan dan ia mendapat jaminan
kejadian itu tidak akan terulang. Kalau berandalan pemarah membunuh pekerja
yang tidak - bersalah karena segelas anggur, pemerintah jarang bisa memvonis
pelaku karena kesaksian yang tidak jelas dan hukum omerta. Tapi kalau keluarga
korban menemui salah satu dari keenam pria terhormat ini, pembalasan dan
keadilan bisa diperoleh.
Pencuri-pencuri kelas teri di lingkungan miskin akan dieksekusi, perseteruan
diselesaikan secara terhormat, pertengkaran atas batas lahan diselesaikan tanpa
biaya pengacara. Keenam orang ini merupakan hakim yang pendapatnya tidak
bisa ditentang atau diabaikan, hukuman bagi mereka yang menentang sangat
berat dan tidak bisa dihindari kecuali dengan emigrasi. Keenam orang ini
memiliki kekuasaan di Sisilia yang tidak bisa diterapkan bahkan, oleh Perdana
Menteri Italia. Jadi orang-orang tetap menunggu di luar dinding-dinding lahan
Pangeran Ollorto.
Keenam pemimpin Mafia tidak berkuda dalam jarak dekat, itu akan dianggap
tanda kelemahan. Mereka terpisah, seperti raja-raja yang independen, masing-
masing membawa kengerian tersendiri. Yang paling ditakuti, menunggang kuda
kelabu berbintik-bintik, adalah Don Siano dari kota Bisacquino. Ia berusia lebih
dari enam puluh tahun dan wajahnya sama pucat dan ber-bintik-bintik seperti
pantat kudanya. Ia telah menjadi legenda di usia 26 tahun sewaktu membunuh
pemimpin Mafia pendahulunya. Pria itu membunuh ayah Don Siano sewaktu
Don sendiri masih berusia dua belas tahun dan Siano harus menunggu empat
belas tahun untuk bisa membalas dendam. Lalu suatu hari ia melompat dari
pohon menerkam korban yang tengah menunggang kuda dan, sambil
mencengkeram pria itu dari belakang, memaksanya berkuda melewati jalan
utama di kota. Sementara mereka berkuda di depan orang-orang,.Siano
mencincang korbannya, memotong
hidungnya, bibirnya, telinganya, dan kemaluannya. Lalu, sambil memeluk mayat
yang berlumuran darah, Siano mengarahkan kudanya melewati rumah
korbannya. Setelah itu ia memimpin provinsinya dengan tangan besi berlumuran
darah.
Pemimpin Mafia kedua, mengendarai kuda hitam bebercak merah di atas
telinganya, adalah Don Arzana dari kota Piani dei Greci. Ia pria yang tenang,
hari-hari, yang percaya selalu ada dua pihak dalam perselisihan dan menolak
membunuh Silvio Ferra demi tujuan politik. Ia bahkan berhasil mempertahankan
keselamatan Silvio selama bertahun-tahun. Ia tertekan oleh pembunuhan itu tapi
tidak berdaya mencampurinya, karena Don Croce dan para pemimpin Mafia
lainnya berkeras telah tiba waktunya memberi pelajaran bagi kawasan tersebut.
Kepemimpinannya diwarnai pengampunan dan kebajikan, dan ia yang paling
dicintai dari keenam tiran itu. Tapi sekarang sementara ia menunggang kudanya
di depan kerumunan, wajahnya tegas, seluruh keraguan dalam dirinya terhapus.
Pria ketiga adalah Don Piddu dari Caltanissetta dan pelananya dipenuhi bunga.
Ia terkenal sangat suka pujian dan penuh perhatian terhadap penampilannya, iri
terhadap kekuasaan dan senang menghancurkan aspirasi pemuda. Di festival
desa, seorang petani muda menyebabkan para wanita setempat terpesona karena
mengenakan genta pada tumitnya sewaktu menari, memakai kemeja dan celana
panjang sutra hijau yang dijahit di Palermo, dan menyanyi sambil memainkan
gitar yang dibuat di Madrid. Don Piddu merasa kesal pada kekaguman yang
diperoleh si petani muda, murka karena para wanita mengagumi pemuda banci
dan bukan pria sejati seperti dirinya. Pemuda itu tak bisa menari lagi keesokan
harinya, ia ditemukan di jalan menuju tanah pertaniannya, tubuhnya tercincang
peluru.
Pemimpin Mafia keempat adalah Don Marcuzzi dari kota Villamura, yang
dikenal bersahaja dan memiliki kapel sendiri di rumah sebagaimana para
bangsawan kuno. Don Marcuzzi, terlepas dari pemilikan kapel itu, hidup sangat
sederhana, dan secara pribadi miskin karena menolak mendapat keuntungan dari
kekuasaannya. Tapi ia sangat menikmati kekuasaan itu; ia tidak kenal lelah
dalam usahanya membantu sesama orang Sisilia tapi juga penganut sejati cara-
cara lama Friends of the Friends. Ia menjadi legenda sewaktu mengeksekusi
keponakan kesayangannya karena melakukan infamita, dengan memberikan
informasi kepada polisi yang merugikan pesaing dari fraksi Mafia lain.
Orang kelima yang menunggang kuda adalah Don Buccilla dari Partinico, yang
datang menemui Hector Adonis atas nama keponakannya bertahun-tahun lalu,
pada hari menentukan ketika Turi Guiliano menjadi pelanggar hukum. Sekarang,
lima tahun kemudian, beratnya bertambah dua puluh kilo. Ia masih mengenakan
pakaian petani gaya operanya walaupun ia menjadi sangat kaya selama lima
tahun itu. Kebuasannya tidak berlebihan, tapi ia tidak bisa mengesampingkan
ketidakjujuran dan mengeksekusi pencuri dengan keadilan yang sama seperti
Hakim Agung Inggris abad kedelapan belas menyatakan hukuman mati atas para
pencopet cilik.
Orang keenam adalah Guido Quintana, yang, meskipun berasal dari Montelepre,
meraih reputasi dengan
mengambil alih kawasan maut di kota Corleone. Ia terpaksa melakukannya
karena Montelepre berada di bawah perlindungan langsung Guiliano. Tapi di
Corleone, Guido Quintana mendapatkan pelampiasan nafsu membunuhnya. Ia
menyelesaikan empat perselisihan keluarga dengan menyingkirkan para
penentang keputusannya. Ia membunuh Silvio Ferra dan para penggerak
organisasi lainnya. Ia mungkin satu-satunya pemimpin Mafia yang lebih dibenci
daripada dihormati.
Keenam orang inilah yang, melalui reputasi dan penghormatan serta sejumlah
besar ketakutan yang bisa mereka bangkitkan, menghalangi lahan Pangeran
Ollorto dari tangan para petani miskin Sisilia.
Dua jip penuh orang bersenjata melesat menyusuri jalan Montelepre-Palermo
dan berbelok ke jalan setapak yang menuju dinding lahan. Hanya dua di
antaranya yang tidak mengenakan topeng wol yang hanya menyisakan celah
untuk mata. Kedua orang yang tidak bertopeng itu adalah Turi Guiliano dan
Aspanu Pisciotta. Mereka yang mengenakan topeng termasuk Kopral Canio
Silvestro, Passatempo, dan Terranova. Andolini, juga bertopeng, menghalangi
jalan dari Palermo. Saat jip-jip itu berhenti sekitar, lima belas meter dari para
pemimpin-Mafia berkuda, orang-orang lain bermunculan menerobos kerumunan
petani. Mereka juga bertopeng. Mereka semula berpiknik di bawah pepohonan
zaitun. Sewaktu kedua jip muncul mereka membuka keranjang makanan dan
mengambil senjata serta topeng mereka. Mereka menyebar membentuk setengah
lingkaran panjang dan mengepung para pe-nunggang kuda dengan senjata
mereka. Seluruhnya ada lima puluh orang. Turi Guiliano melompat turun dari jip
dan memeriksa apakah semua orang telah menempati posisi masing-masing. Ia
mengawasi keenam penunggang kuda yang mondar-mandir itu. Ia tahu mereka
telah melihatnya, begitu pula kerumunan petani. Matahari Sisilia yang panas
bagai memerahkan pemandangan alam yang hijau. Guiliano bertanya-tanya
bagaimana ribuan petani tangguh ini bisa dintimidasi sehingga membiarkan
enam orang menghalangi roti dari mulut anak-anak mereka.
Aspanu Pisciotta menunggu bagai ular yang tidak sabar di samping Guiliano.
Hanya Aspanu yang menolak mengenakan topeng; semua orang lainnya takut
akan pembalasan dendam keluarga keenam pemimpin Mafia dan Friends of the
Friends. Sekarang Guiliano dan Pisciotta yang akan menanggung risiko
vendetta.
Mereka berdua mengenakan gesper emas berukir singa dan elang. Guiliano
hanya menyandang sepucuk pistol besar di sarung yang menjuntai dari
sabuknya. Ia juga mengenakan cincin zamrud yang dirampasnya dari Duchess
bertahun-tahun lalu. Pisciotta menyandang senapan mesin. Wajahnya pucat
akibat penyakit paru-paru dan semangatnya; ia merasa tidak sabar karena
Guiliano berlambat-lambat. Tapi Guiliano hati-hati mengawasi sekitarnya untuk
memastikan perintahnya telah dilaksanakan. Anak buahnya membentuk setengah
lingkaran sehingga menyisakan jalan melarikan diri bagi para pemimpin Mafia
itu seandainya mereka memutuskan lari. Kalau mereka lari, mereka akan
kehilangan "kehormatan" dan sebagian besar pengaruh mereka; , para petani
tidak lagi takut terhadap mereka. Tapi
Guiliano melihat Don Siano membelokkan kuda kelabu berbintik-bintiknya dan
yang lain mengikuti untuk berparade sekali lagi di depan dinding. Mereka tidak
akan lari.
Dari salah satu menara istana tuanya, Pangeran Ollorto menyaksikan
pemandangan itu melalui teleskop yang digunakannya untuk memetakan
bintang. Ia bisa melihat wajah Turi Guiliano dengan jelas dan mendetail—
matanya yang oval, wajahnya yang bersih, mulut lebarnya yang sekarang
terkatup rapat; dan ia tahu kekuatan yang terpancar di wajah pemuda itu adalah
kekuatan kebaikan, namun sayangnya kebaikan bukanlah aset yang bagus.
Karena kebaikan semata sangat menakutkan, dan Pangeran tahu kebaikan
semacam itulah yang disaksikannya sekarang. Perannya ini membuatnya malu.
Ia mengenal baik sesama orang Sisilia ini, dan sekarang ia bertanggung jawab
atas apa yang akan terjadi Keenam manusia hebat yang diikatnya dengan uang
itu akan bertempur demi dirinya, mereka tidak akan lari. Mereka mengintimidasi
kerumunan yang berdiri di depan dinding "kerajaannya". Tapi sekarang Guiliano
berdiri di hadapan mereka bagai malaikat pembalas. Bagi Pangeran, matahari
telah memudar.
Guiliano menghampiri lintasan yang dilalui keenam penunggang kuda. Mereka
orang-orang bertubuh besar dan mereka mempertahankan tunggangannya agar
melangkah pelan-pelan. Sesekali mereka memberi makan kuda-kuda dengan
gandum yang menumpuk di dinding batu putih bergerigi. Dengan begitu kuda-
kuda akan terus membuang kotoran dan meninggalkan jejak rabuk yang
menghina; lalu mereka akan kembali berjalan pelan-pelan.
Turi Guiliano menempatkan diri sangat dekat dengan lintasan, Pisciotta
selangkah di belakangnya. Keenam penunggang kuda tidak berhenti atau
memandang ke arahnya. Wajah-wajah mereka sulit ditebak., Meski mereka
semua menyandang lupara di bahu, mereka tidak mencoba meraihnya. Guiliano
menunggu. Mereka berenam melewatinya tiga kali lagi. Guiliano mundur
selangkah. Ia berkata pelan kepada Pisciotta, "Turunkan mereka dari kuda dan
bawa mereka ke hadapanku." Lalu ia menyeberangi lintasan dan menyandar ke
dinding batu putih.
Sambil bersandar ke dinding ia tahu curinya telah melewati garis yang penting,
apa yang dilakukannya hari ini akan menentukan nasibnya. Tapi ia tidak ragu,
tidak gelisah, hanya merasakan kemarahan dingin terhadap dunia. Ia tahu di
belakang keenam orang ini berdiri sosok raksasa Don Croce, dan Don Croce-lah
musuh terakhirnya. Dan ia merasa marah terhadap kumpulan orang yang
dibantunya ini. Kenapa mereka begitu patuh, begitu penakut? Kalau saja ia bisa
mempersenjatai dan memimpin mereka, ia bisa menciptakan Sisilia baru. Tapi
lalu ia merasakan gelombang iba terhadap orang-orang miskin ini, para petani
yang hampir kelaparan, dan ia mengangkat tangan 'memberi hormat untuk
mendorong semangat mereka. Kerumunan orang itu tetap membisu. Sejenak ia
teringat akan Silvio Ferra, yang mungkin bisa membangkitkan semangat mereka.
Sekarang Pisciotta menguasai panggung Ia mengenakan sweter wol berwarna
krem berhias tenunan naga-
naga berwarna gelap merajalela. Kepalanya yang ramping hitam, sesempit mata
pisau, dikelilingi cahaya merah-darah matahari Sisilia. Ia memalingkan kepala
yang bagai bilah pisau itu ke arah enam tugu penunggang kuda dan mengawasi
mereka cukup lama dengan tatapan ular berbisa. Kuda Don Siano membuang
kotoran di depan kakinya saat keenam orang itu lewat.
Pisciotta mundur selangkah. Ia mengangguk ke arah Terranova, Passatempo, dan
Silvestro, yang berlari menuju lima puluh orang bertopeng yang membentuk
lingkaran pengepung. Orang-orang bertopeng menyebar lebih jauh untuk
menutup jalan melarikan diri yang tadi dibiarkan terbuka. Para pemimpin Mafia
terus berkuda dengan angkuh seakan tidak terjadi apa-apa, meski tentu saja
mereka mengamati dan memahami segalanya. Tapi mereka telah memenangkan
ronde pertama pertempuran. Sekarang keputusan berada di tangan Guiliano,
apakah ia hendak mengambil langkah terakhir yang paling berbahaya atau tidak.
Pisciotta melangkah ke lintasan kuda Don Siano dan mengangkat tangannya ke
wajah kelabu yang ketakutan itu. Tapi Don Siano tidak berhenti. Sewaktu
kudanya berusaha berbelok penunggangnya menarik tali kekangnya erat-erat,
dan mereka pasti akan menginjak-injak Pisciotta kalau pemuda itu tidak
menyingkir dan, sambil menyeringai buas, membungkuk kepada Don Siano
yang melewatinya. Lalu Pisciotta melangkah tepat ke belakang kuda dan
penunggangnya, membidikkan senapan mesinnya ke pantat kelabu kuda dan
menarik picunya.
Udara yang semerbak wangi bunga dipenuhi bau isi perut, semburan deras darah
dan ribuan serpih kotoran. Hujan peluru menyapu kaki-kaki kuda dan hewan itu
pun jatuh terempas, Don Siano terperangkap tubuh yang jatuh itu sebelum empat
anak buah Guiliano menariknya dan mengikat lengannya ke belakang. Kudanya
masih hidup dan Pisciotta melangkah maju dan menyemburkan peluru ke kepala
hewan itu.
Erang ngeri dan sorak gembira meluap dari kerumunan. Guiliano tetap bersandar
ke dinding, pistolnya yang berat masih di sarungnya. Ia berdiri dengan lengan
terlipat seolah ia juga mengira-ngira apa yang akan dilakukan Aspanu
selanjurnya.
Kelima pemimpin Mafia yang tersisa meneruskan parade. Tunggangan mereka
melonjak saat mendengar suara tembakan, tapi para penunggang cepat
mengendalikan mereka. Mereka berkuda lambat-lambat seperti sebelumnya.
Sekali lagi Pisciotta melangkah ke tengah lintasan. Sekali lagi ia mengangkat
tangan. Penunggang terdepan, Don Buccilla, berhenti. Rekan-rekannya menahan
kuda masing-masing di belakangnya.
Pisciotta berseru kepada mereka, "Keluarga kalian akan membutuhkan kuda-
kuda ini di masa datang. Aku berjanji akan mengirim mereka. Sekarang turunlah
dan sampaikan penghormatan kepada Guiliano." Suaranya menggaung keras dan
jelas ke telinga orang-orang yang berkerumun.
Kesunyian timbul cukup lama dan kelima orang itu turun dari kuda. Mereka
berdiri angkuh menatap kerumunan, pandangan mereka buas.dan marah.
Lingkaran besar anak buah Guiliano terpecah sewaktu dua puluh orang di
antaranya mendekat, senjata siap ditembakkan. Dengan hati-hati dan lembut
mereka mengikat
tangan kelima orang itu di belakang punggung masing-masing Lalu mereka
menggiring kelima pemimpin ku ke hadapan Guiliano.
Guiliano memandang keenam orang itu tanpa ekspresi Quintana pernah
menghinanya sekali, bahkan pernah berusaha membunuhnya, tapi sekarang
situasinya terbalik. Wajah Quintana tidak berubah selama lima tahun ini—
tampang serigalanya masih ada—tapi saat ini matanya kosong dan liar di balik
topeng ketakacuhan Mafia.
Don Siano menatap hina Guiliano. Buccilla tampak agak tertegun, seakan
terkejut oleh besarnya kebencian dalam masalah yang tidak benar-benar
melibatkan dirinya. Para Don yang lain memandang Guiliano lurus dan dingin
sebagaimana harus dilakukan orang-orang terhormat. Guiliano mengenal
reputasi mereka semua; sewaktu kecil ia takut terhadap beberapa di antaranya,
terutama Don Siano. Sekarang ia menghina mereka di hadapan seluruh Sisilia
dan mereka tidak akan pernah memaafkan dirinya. Mereka akan menjadi musuh
mematikan selamanya. Ia tahu apa yang harus dilakukannya, tapi ia juga tahu
mereka suami dan ayah tercinta, anak-anak mereka akan menangisi mereka.
Mereka menatap angkuh melewati bahunya, tidak menunjukkan tanda-tanda
ketakutan. Pesan mereka jelas. Biarkan Guiliano melakukan apa yang harus
dilakukannya, kalau it memiliki keberanian untuk itu. Don Siano meludah ke
kaki Guiliano.
Guiliano memandang lurus ke wajah mereka, satu demi satu. "Berlutut dan
berdamailah dengan Tuhan,'" katanya. Tak satu pun dari mereka bergerak.
Guiliano berpaling dan berjalan menjauhi mereka. Keenam pemimpin Mafia itu
berdiri berjajar di depan dinding batu putih. Guiliano tiba di jajaran anak
buahnya, lalu berbalik. Ia berkata dengan suara keras dan jelas sehingga bisa
didengar oleh kerumunan orang, "Kueksekusi kalian atas nama Tuhan dan
Sisilia," lalu menyentuh bahu Pisciotta.
Pada saat itu Don Marcuzzi hendak berlutut tapi Pisciotta telah menembak.
Passatempo dan Terranova dan KopraL tetap bertopeng, juga menembak.
Keenam orang yang terikat itu terempas ke dinding akibat badai peluru senapan
mesin. Batu putih bergerigi diciprati semburan darah merah keunguan dan
serpihan daging yang terlontar dari tubuh yang tercabik-cabik. Mereka seakan
tengah menari-nari selagi mereka terempas ke belakang berulang-ulang oleh
hujan peluru yang terus mendera.
Jauh di menara istananya, Pangeran Ollorto berpaling dari teleskopnya. Jadi ia
tidak melihat apa yang terjadi selanjutnya.
Guiliano melangkah maju mendekati dinding. Ia mencabut pistol yang berat dari
sabuknya dan dengan lambat bagai tengah melakukan upacara ia menembak
kepala setiap pemimpin Mafia.
Terdengar raungan menggemuruh dari kerumunan yang menonton dan, dalam
waktu beberapa detik, ribuan orang menghambur melewati gerbang lahan
Pangeran Ollorto. Guiliano mengawasi mereka. Ia menyadari tak satu pun dari
mereka mendekati dirinya.
Bab 22
PAGI hari Paskah tahun 1949 itu benar-benar meriah. Seluruh pulau bagai
diselimuti karpet bunga, dan balkon-balkon di Palermo dihiasi tabung-tabung
besar berwarna-warni; retakan-retakan di trotoar menumbuhkan bunga liar
merah dan biru dan putih, demikian pula dinding-dinding samping gereja-gereja
tua. Jalan-jalan Palermo dipenuhi orang yang hendak menghadiri Misa Kudus
pukul sembilan di katedral utama Palermo tempat Kardinal akan memberi
Komuni. Penduduk dari desa-desa di sekitar Palermo datang untuk mengikuti
Misa, dan dalam pakaian hitam berkabung, bersama istri dan anak-anak mereka,
mereka menyapa setiap orang yang mereka temui dengan sapaan tradisional pagi
hari Paskah para petani, "Kristus sudah bangkit." Turi Guiliano menjawab
dengan jawaban yang sama tradisionalnya, "Diberkatilah NamaNya."
Guiliano dan anak buahnya telah menyusup ke Palermo semalam. Mereka
mengenakan pakaian hitam petani pedalaman, tapi jas setelan mereka longgar
dan menggembung, karena di baliknya mereka menyembunyikan pistol
otomatis. Guiliano mengenal jalan-jalan Palermo dengan baik; selama enam
tahun karier-nya sebagai bandit ia sering menyelinap masuk ke kota untuk
memimpin penculikan bangsawan kaya atau bersantap di restoran terkenal dan
meninggalkan surat tantangannya di bawah piring.
Guiliano tidak pernah terancam bahaya selama kunjungan-kunjungan itu. Ia
selalu berada di jalan didampingi Kopral Ganio Silvestro. Dua orang lainnya
berjalan dua puluh langkah di depannya, empat lainnya berjalan di kedua sisi
jalan, dua lagi berjalan dua puluh langkah di belakang. Dan dua orang lagi agak
jauh di belakang. Kalau Guiliano dihentikan carabinieri dan dimintai kartu
identitas, mereka merupakan sasaran empuk bagi orang-orang yang telah siap
menembak tanpa ampun ini. Sewaktu ia memasuki restoran, ruang makannya
akan dipenuhi para pengawalnya yang duduk di-meja-meja lain.
Pagi ku, Guiliano mengajak lima puluh anak buahnya memasuki kota. Mereka
termasuk Aspanu Pisciotta, Kopral, dan Terranova; Passatempo dan Andolini
ditinggalkan. Ketika Guiliano dan Pisciotta masuk ke dalam katedral, empat
puluh' anak buahnya masuk bersamanya; sepuluh orang lainnya bersama Kopral
dan Terranova menjaga kendaraan untuk melarikan diri di belakang katedral.
Kardinal tengah menyelenggarakan Misa, dan dalam jubah putih dan emasnya,
salib besar menjuntai dari lehernya, dan dengan suaranya yang mengalun, ia
menciptakan aura kesucian yang tidak bisa dilanggar. Katedral dipenuhi patung
besar Kristus dan Bunda Maria. Guiliano mencelupkan jemarinya ke baskom air
suci yang didekorasi ukir-ukiran Kisah Sengsara Kristus. Sewaktu berlutut ia
melihat langit-langit berbentuk
kubah yang luas, dan di sepanjang dinding berbaris lilin merah yang berfungsi
sebagai pengingat nazar kepada patung-patung orang suci.
Anak buah Guiliano menyebar di sepanjang dinding di dekat altar. Kursi-kursi
diisi jemaat yang melimpah, para penduduk desa berpakaian hitam, penduduk
kota dalam busana Paskah yang meriah. Guiliano berdiri di dekat patung Bunda
Maria dan Dua Belas Murid yang terkenal, dan sejenak ia terpukau oleh
keindahannya.
Lantunan para pastor dan putra altar, gumam jawaban para jemaat, keharuman
bunga-bunga eksotis subtropis di altar, kesalehan para pengikut ini memengaruhi
Guiliano. Terakhir kali ia menghadiri Misa adalah pagi Paskah lima tahun lalu
sewaktu Frisella, si tukang cukur, mengkhianatinya. Di pagi hari Paskah ini ia
merasa tersesat dan ketakutan. Berapa kali ia berkata kepada para musuhnya
yang dikalahkan, "Kueksekusi kau atas nama Tuhan dan Sisilia," dan menunggu
mereka menggumamkan doa yang sekarang didengarnya. Sejenak ia berharap
bisa membangkitkan mereka semua, seperti Kristus telah bangkit, mengangkat
mereka dari kegelapan abadi tempat ia melontarkan mereka. Dan kini di pagi
Paskah ini ia mungkin harus mengirim Kardinal Gereja bergabung bersama
mereka. Kardinal ini telah melanggar janjinya, berbohong dan mengkhianatinya,
dan menjadi musuhnya. Tidak peduli seindah apa pun lantunannya dalam
katedral yang luas ini. Pentingkah memberitahu Kardinal agar berdamai dengan
Tuhan? Bukankah Kardinal selalu dalam keadaan suci? Apa ia cukup rendah hati
untuk mengakui pengkhianatannya terhadap Guiliano?
akhirnya usai; para jemaat menuju pagar altar untuk menerima Komuni.
Beberapa anak buah Guiliano di dekat dinding berlutut untuk menerima
Komuni. Mereka mengaku dosa kepada Kepala Biara Manfredi di biaranya
kemarin dan dalam keadaan bersih, karena mereka tidak melakukan kejahatan
sebelum upacara ini usai.
Kerumunan jemaat, bahagia dalam Paskah kebangkitan Kristus, gembira karena
telah dibersihkan dari dosa, meninggalkan katedral dan memenuhi yang
terhubung dengan jalan besar. Kardinal menuju belakang altar dan pembantunya
menekan topi kerucut Uskup Agung-nya hingga ke alis. Dengan hiasan kepala
itu Kardinal tampak tiga puluh senti lebih tinggi, hiasan emas rumit di bagian
depannya berkilau di atas wajah Sisiha^nya yang kasar; ia lebih memberi kesan
orang yang berkuasa dan bukan sosok, penuh kesucian. Ditemani serombongan
pastor, ia memulai langkah-langkah doa tradisional di keempat kapel katedral.
Kapel pertama berisi makam Raja Roger I, kapel kedua berisi makam Kaisar
Frederick II, kapel ketiga berisi makam Henry IV, kapel terakhir berisi abu
jenazah Constanzia, istri Frederick II. Makam-makam ku terbuat dari marmer
putih yang dihiasi mosaik-mosaik indah. Ada kapel lain yang terpisah, altar
perak, berisi patung Santa Rosalie seberat lima ratus kilogram, santa pelindung
Palermo, yang diarak pen- * duduk kota pada peringatan hari sucinya. Di altar
ini tersimpan jasad seluruh uskup agung Palermo, dan di sinilah Kardinal sendiri
akan dimakamkan sesudah meninggal kelak. Di sinilah perhentian pertamanya,
dan sewaktu ia berlutut hendak berdoa, di sinilah
426
Guiliano dan anak buahnya mengepung dirinya dan rombongannya. Anak buah
Guiliano yang lain menutup semua pintu keluar sehingga tak ada yang bisa
meminta pertolongan.
Kardinal bangkit berdiri untuk menghadapi mereka. Tapi lalu ia melihat
Pisciotta. Ia teringat wajah itu. Tapi bukan seperti sekarang. Sekarang wajah
Pisciotta bagai wajah setan yang datang untuk merenggut jiwanya, untuk
memanggang dagingnya di neraka.
Guiliano berkata, "Yang Mulia, kau tawananku. Kalau kauparahi perintahku kau
tidak akan disakiti. Kau akan menghabiskan Paskah di pegunungan sebagai
tamuku dan aku berjanji kau akan bersantap di sana sebaik di istanamu."
Kardinal marah, "Kau berani membawa orang-orang bersenjata ke dalam rumah
Tuhan ini?"
Guiliano tertawa; seluruh perasaan terpesonanya lenyap dalam kegembiraan atas
tindakan yang akan dilakukannya. "Aku lebih berani lagi," katanya. "Aku berani
memarahimu karena kau melanggar kata-katamu yang suci. Kau menjanjikan
pengampunan bagiku dan anak buahku dan kau tidak menepati janji itu.
Sekarang kau dan gereja akan membayarnya."
Kardinal menggeleng. "Aku tidak akan beranjak dari tempat suci ini," tegasnya.
"Bunuh aku kalau kau berani dan kau akan kehilangan muka di seluruh dunia."
"Aku sudah mendapatkan kehormatan itu," kilah Guiliano. "Sekarang kalau kau
tidak mematuhi perintahku, aku akan terpaksa bersikap lebih keras. Aku akan
membantai semua pastormu di sini, lalu mengikat dan menyumpal mulutmu.
Kalau kau ikut denganku tanpa
427
ribut-ribut, tak akan ada yang terluka dan kau akan kembali ke katedralmu dalam
waktu kurang dari seminggu,"
Kardinal membuat tanda salib dan berjalan ke pintu altar yang ditunjuk Guiliano.
Pintu ini menuju belakang katedral tempat anggota kelompok Guiliano yang lain
telah menguasai limusin resmi Kardinal dan pengemudinya. Mobil hitam besar
itu dihiasi buket-buket bunga Paskah dan menyandang panji-panji gereja di
kedua sisi kisi-kisi radiatornya. Anak buah Guiliano juga telah menguasai mobil-
mobil pejabat lainnya. Guiliano membimbing Kardinal memasuki limusin dan
duduk di sampingnya. Dua anak buahnya duduk di bagian belakang mobil, dan
Aspanu Pisciotta duduk di kursi depan di samping sopir. Lalu irmg-iringan mobil
itu meliuk-liuk membelah kota, melewati patroli-patroli carabinieri yang
memberikan hormat kepada mereka. Atas perintah Guiliano, Kardinal balas
melambai. Di jalan yang sepi Kardinal dipaksa meninggalkan mobil. Anggota
kelompok Guiliano yang lain telah menunggu dengan tandu untuk mengangkut
Kardinal. Setelah meninggalkan kendaraan dan para sopir, mereka lenyap ke
dalam lautan bunga di pegunungan.
Guiliano menepati janjinya; jauh di dalam gua-gua di Pegunungan Cammarata
Kardinal menyantap hidangan selezat yang bisa diperolehnya di istana. Para
bandit yang terpesona, penuh hormat terhadap kekuasaan spiritualnya, meminta
berkatnya saat mereka menyajikan setiap hidangan.
Koran-koran Italia murka, sementara penduduk Sisilia dicekam dua perasaan:
ngeri karena pelanggaran kesuci-
an itu dan sinis atas ketidakmampuan carabinieri. Di atas semua ini mereka
merasa bangga terhadap Guiliano, karena seorang Sisilia berhasil mengalahkan
Roma; Guiliano sekarang "orang terhormat" yang tertinggi.
Semua orang penasaran, apa yang diinginkan Guiliano sebagai pengganti
Kardinal? Jawabannya sederhana: sejumlah besar uang tebusan.
Gereja Suci, yang bagaimanapun bertanggung jawab menyelamatkan jiwa, tidak
merendahkan diri dengan bernegosiasi seperti para bangsawan dan pedagang
kaya. Gereja segera membayar tebusan seratus juta lira. Tapi Guiliano memiliki
motif lain.
Ia berkata kepada Kardinal, "Aku petani, tidak mendapat pengajaran mengenai
cara-cara surgawi. Tapi aku tidak pernah mengingkari janjiku. Dan kau, Kardinal
Gereja Katolik, dengan semua pakaian suci dan salib Yesus, membohongiku
seperti orang Moor yang kafir. Kantormu yang suci saja tidak akan bisa
menyelamatkan hidupmu." Kardinal merasa lututnya lemas. Guiliano
melanjutkan. "Tapi kau beruntung. Aku punya tujuan lain terhadap dirimu." Ia
lalu memaksa Kardinal membaca Wasiat-nya.
Sekarang setelah tahu clirinya tidak akan dibunuh, Kardinal, yang telah dilatih
dalam kedisiplinan Tuhan-Bjph tertarik pada dokumen-dokumen Wasiat
daripada menegur Guiliano. Sewaktu melihat surat yang ditulisnya untuk
Pisciotta, Kardinal membuat tanda salib dalam kemurkaan hebat.
Guiliano berkata, "Kardinal yang baik. Bawa pengetahuanmu tentang dokumen
ini kepada Gereja dan Menteri Trezza. Kau sudah melihat bukti kemampuanku
menghancurkan pemerintahan Demokrat Kristen. Kematianku akan menjadi
kesialan terbesarmu. Wasiat akan berada di tempat aman di luar jangkauanmu.
Kalau ada di antara mereka yang meragukan diriku, suruh mereka bertanya pada
Don Croce bagaimana caraku menangani musuh-musuhku."
Seminggu sesudah penculikan Kardinal, La Venera
meninggalkan Guiliano.
Selama tiga tahun Guiliano merangkak menyusuri terowongan menuju
rumahnya. Di ranjang La Venera, ia menikmati kenyamanan tubuh La Venera
yang kokoh, kehangatan dan perlindungannya. La Venera tidak pernah
mengeluh, tidak pernah meminta lebih selain memberinya kesenangan.
- Tapi malam ini berbeda. Sesudah mereka bercinta, ia memberitahu Guiliano
dirinya akan pindah ke kerabatnya yang tinggal di Florence. "Hatiku terlalu
lemah," katanya. "Aku tidak tahan melihat kehidupanmu yang berbahaya. Aku
bermimpi kau ditembak di depan mataku. Carabinieri membunuh suamiku
seakan-akan dia binatang, di depan rumahnya. Mereka terus menembak sampai
tubuhnya hanya berupa seonggok daging berlumuran darah. Aku bermimpi kau
mengalami kejadian yang sama." La Venera meraih kepala Guiliano ke dadanya.
"Dengar," katanya, "dengarkan detak jantungku."
Dan Guiliano mendengarkan. Dan menjadi iba dan cinta oleh detak jantung yang
berdentam-dentam tidak keruan itu. Kulit telanjang di bawah payudara La rasa
asin oleh keringat ketakutan
yang dirasakan La Venera. Wanita itu menangis, dan Guiliano membelai rambut
hitamnya yang tebal.
"Kau tidak pernah takut sebelumnya," ujar Guiliano. 'Tidak ada yang berubah."
La Venera menggeleng kuat-kuat. "Turi, kau semakin ceroboh. Kau menciptakan
musuh, musuh-musuh yang kuat. Teman-temanmu takut akan nasibmu. Ibumu
memucat setiap kali ada yang mengetuk pintu. Kau tidak bisa melarikan diri
selamanya."
Guiliano berkata, "Tapi aku tidak berubah."
La Venera mulai menangis lagi. "Ah, Turi, ya, kau sudah berubah. Kau sekarang
cepat membunuh. Aku tidak bermaksud mengatakan kau kejam; kau ceroboh
dengan kematian."
Guiliano mendesah. Ia melihat betapa takutnya La Venera dan hal itu memenuhi
dirinya dengan kesengsaraan yang tidak bisa dipahaminya. "Kalau begitu kau
harus pergi," katanya. "Akan kuberi uang secukupnya agar kau bisa hidup di
Florence. Suatu hari semua ini akan berakhir. Tidak akan ada pembunuhan lagi.
Aku sudah menyusun rencana. Aku tidak akan menjadi bandit selamanya. Ibuku
akan tidur nyenyak di malam hari dan kita semua akan berkumpul kembali."
Guiliano tahu La Venera tidak memercayainya.
Di pagi hari sebelum Guiliano pergi, mereka kembali bercinta, penuh nafsu,
tubuh mereka saling menyatu liar untuk yang terakhir kalinya. Bab 23
TURI GUILIANO akhirnya berhasil melakukan apa yang tidak pernah bisa
dilakukan negarawan atau politisi nasional lainnya. Ia berhasil menyatukan
seluruh partai politik di Italia untuk mencapai satu tujuan sama: menghancurkan
Guiliano dan kelompoknya.
Pada bulan Juli tahun 1949 Menteri Trezza mengumumkan kepada pers
pembentukan pastikan carabinieri khusus berjumlah lima ribu orang yang
disebut Pasukan Khusus Penekan Bandit, tanpa menyinggung sama sekali nama
Guiliano. Koran-koran segera meralat kelicikan pemerintah, yang tidak ingin
Guiliano tampak sebagai sasaran utama. Mereka menyetujui dan memberikan
ucapan selamat kepada partai Demokrat Kristen yang berkuasa karena
mengambil langkah seberani itu.
Pers nasional juga heran melihat kejeniusan Menteri Trezza mengorganisir
pasukan khusus berjumlah lima ribu orang itu. Pasukan itu terdiri atas para
bujangan sehingga tidak akan ada janda, dan keluarga mereka tidak bisa
dijadikan sasaran ancaman. Akan ada pasukan komando, pasukan para,
kendaraan lapis baja, senjata berat, dan bahkan pesawat Bagaimana mungkin
bandit kelas teri bertahan menghadapi pasukan sekuat ini?
432
Dan pasukan itu akan dipimpin Kolonel Ugo Luca,
salah satu pahlawan Perang Dunia II Italia, yang bertempur bersama jenderal
Jerman yang legen-daris, Rommel. Koran-koran menjulukinya "Serigala Padang
Pasir Italia", ahli perang gerilya, yang taktik dan strateginya akan
membingungkan Turi Guiliano, bocah pedalaman Sisilia yang kampungan itu.
Pers juga mengumumkan dalam paragraf singkat tentang penunjukan Frederico
Velardi sebagai kepala seluruh Kepolisian Keamanan Sisilia. Tak banyak yang
diketahui tentang Inspektur Velardi kecuali ia ditunjuk langsung oleh Menteri
Trezza untuk membantu Kolonel Luca.
Hanya sebulan sebelumnya diselenggarakan pertemuan penting antara Don
Croce, Menteri Trezza, dan Kardinal Palermo. Kardinal melaporkan tentang
Wasiat Guiliano yang dilengkapi berbagai dokumen memberatkan.
Menteri Trezza ketakutan. Wasiat harus dihancurkan sebelum pasukan
menyelesaikan misinya. Ia berharap bisa membatalkan perintah pembentukan
Pasukan Khusus, tapi pemerintahannya berada di bawah begitu banyak tekanan
dari partai-partai sayap ktti yang menuduh Guiliano dilindungi pemerintah.
Bagi Don Croce, Wasiat memang menambah kerumitan tapi tidak mengubah
kebulatan tekadnya. Ia telah memutuskan membunuh Guiliano: pembunuhan
ie'enam anak buahnya tidak memberinya alternatif Jain. Tapi Guiliano tidak bisa
mati di tangan Friends of the Friends atau dirinya. Ia pahlawan yang terlalu
feebat; pembunuhan atas curinya akan menjadi kejahatan
433 yang terlalu hebat bahkan bagi Friends of the Friends. Pembunuhan atas
Guiliano akan menyatukan kebencian .Sisilia kepada mereka.
Intinya, Don Croce sadar ia harus mengalah dan berusaha memenuhi kebutuhan
Trezza. Bagaimanapun, inilah orang yang ingin dijadikannya Perdana Menteri
Italia. Ia berkata kepada Menteri, "Tentu saja harus begini Jelas kau tidak punya
pilihan lain, kau harus memburu Guiliano. Tapi- jagalah agar dia tetap hidup
sampai aku bisa meniadakan Wasiat, yang kujamin bisa kulakukan."
Menteri mengangguk muram. Ia menjentik interkom dan memberi perintah,
"Suruh Inspektur masuk." Beberapa detik kemudian seorang pria jangkung
bermata biru dingin memasuki ruangan. Ia bertubuh kurus, berpakaian rapi, dan
berwajah aristokrat.
"Ini Inspektur Frederico Velardi," Menteri memperkenalkan. "Aku akan
mengumumkan penunjukannya sebagai kepala seluruh Kepolisian Keamanan di
Sisilia. Dia akan berkoordinasi dengan kepala pasukan yang kukirim ke Sisilia."
Ia memperkenalkan mereka dan menjelaskan kepada Velardi mengenai Wasiat
dan ancamannya terhadap rezim Demokrat Kristen.
"Inspektur yang baik," kata Menteri. "Kuminta kau menganggap Don Croce
sebagai wakil pribadiku di Sisilia. Kau akan memberikan semua informasi yang
beliau minta sebagaimana kauberikan padaku. Kau mengerti?"
Inspektur memerlukan waktu lama untuk mencerna permintaan yang satu ini.
Lalu ia memahaminya. Tugasnya adalah memberkahu Don Croce semua rencana
yang disusun pasukan penyerbu dalam perang terhadap
434
Guiliano. Don Croce, pada gilirannya, akan menyampaikan informasi itu kepada
Guiliano sehingga ia tidak tertangkap sampai Don merasa situasinya cukup aman
untuk mengakhiri karier Guiliano.
Inspektur Velardi berkata, "Apa aku harus memberikan semua informasi kepada
Don Croce? Kolonel Luca bukan orang bodoh—dia akan segera curiga kalau ada
kebocoran dan mungkin akan mengesampingkan curiku dalam setiap sesi
penyusunan rencananya." Whr---:
"Kalau kau mendapat masalah," tegas Menteri, "suruh dia menghubungi aku.
Misimu yang sebenarnya adalah mengamankan Wasiat, dan menjaga agar
Guiliano tetap hidup dan bebas selama misi utamamu belum selesai."
Inspektur mengalihkan mata birunya yang dingin kepada Doa Croce. "Aku
senang bisa melayanimu," katanya. "Tapi aku harus mengerti satu hal. Kalau
Guiliano tertangkap hidup-hidup sebelum Wasiat dihancurkan, apa yang harus
kulakukan?"
Don berkata jujur; ia bukan pejabat pemerintah dan bisa berbicara blak-blakan.
"Itu berarti kesialan yang tidak tertanggungkan."
Kolonel Ugo Luca, Komandan Pasukan Khusus Penekan Bandit, dipuji pers
sebagai pilihan tepat. Mereka membahas prestasi militernya, medali-medali atas
keberaniannya, kejeniusan taktiknya, sifatnya yang pendiam dan tenang, dan
kebenciannya terhadap segala bentuk kegagalan. Ia bagai buldog kecil, kata
media massa, dan akan menjadi lawan tepat bagi kebuasan Sisilia. Sebelum
melakukan apa pun, Kolonel Luca mem-pelalari semua dokumen intelijen
mengenai Turi Guiliano. Di kantor sang kolonel, Menteri Trezza mendapati
dirinya terjepit tumpukan map berisi laporan dan klping koran-koran lama.
Sewaktu Menteri bertanya kapan ia membawa pasukannya ke Sisilia, Kolonel
menjawab enteng ia sedang menyusun staf, dan ia menegaskan Guiliano pasti
masih berada di tempatnya tidak peduli berapa lama waktu yang ia perlukan
untuk menyusun para staf itu.
Kolonel Luca mempelajari berbagai laporan dan menarik kesimpulan-
kesimpulan tertentu. Bahwa Guiliano jenius dalam perang gerilya dan memiliki
metode operasi yang unik. Ia hanya memilih dua puluh orang sebagai
penerusnya, dan itu termasuk para pemimpin anak buahnya: Aspanu Pisciotta
sebagai orang kedua dalam kelompok, Canio Silvestro sebagai pengawal pribadi,
dan Stefan Andolini sebagai kepala intelijen serta kurir penghubung dengan Don
Croce» dan jaringan Mafia. Terranova dan Passatempo memiliki kelompok
mereka sendiri dan diizinkan beroperasi secara independen berdasarkan perintah
langsung Guiliano kecuali ada tindakan yang diatur bersama. Terranova yang
menjalankan operasi penculikan dan Passatempo melakukan perampokan kereta
api serta bank yang direncanakan Guiliano.
Jelas bagi Kolonel anggota pasukan Guiliano tidak lebih dari tiga ratus orang.
Lalu bagaimana, pikir Kolonel, ia bisa bertahan selama enam tahun, bagaimana
ia bisa mengalahkan carabinieri seluruh provinsi dan hampir-hampir
mengendalikan seluruh kawasan barat daya Sisilia? Bagaimana ia dan anak
buahnya bisa meloloskan diri dari pencarian di pegunungan
yang dilakukan sejumlah besar pasukan pemerintah? Ini hanya bisa terjadi kalau
Guiliano mendapat tenaga ekstra dari para petani Sisilia setiap kali ia
membutuhkannya. Dan ketika pemerintah menggeledah pegunungan, para bandit
paro waktu ini akan melarikan diri ke kota-kota dan tanah pertanian untuk hidup
seperti petani biasa. Ini juga dikarenakan banyak penduduk Montelepre menjadi
anggota rahasia kelompok Guiliano. Tapi yang paling penting adalah
kepopuleran Guiliano; kecil kemungkinan Guiliano dikhianati, dan tak ada
keraguan bila ia mengajak Sisilia mencetuskan reyblusii; ribuan orang akan
menggabungkan diri di bawah panji-panjinya.
Aldiirnya, muncul hal lain yang membingungkan: kemisteriusan sosok Guiliano.
Ia muncul di satu tempat lalu seakan menghilang begitu saja. Semakin banyak
yang dibaca Kolonel Luca, semakin terkesanlah dirinya. Lalu ia menemukan
sesuatu yang ia yakin bisa segera dilaksanakan. Mungkin tampaknya tidak
berarti, tapi dalam jangka panjang- tindakan ini penting.
Guiliano sering menulis surat kepada pers yang selalu diawali dengan,
"Seandainya kita bukan musuh, sebagaimana keadaan membuatku percaya, kau
akan mempublikasikan surat ini," lalu dilanjutkan dengan penyajian sudut
pandangnya mengenai aksi kejahatan terbarunya. Bagi benak Kolonel Luca
kalimat pembuka itu merupakan ancaman terselubung. Dan isi suratnya
merupakan propaganda musuh. Ada penjelasan mengenai penculikan,
perampokan, dan bagaimana uangnya dibagikan kepada kaum miskin di Sisilia.
Sewaktu Guiliano bertempur melawan carabinieri dan membunuh beberapa di
antaranya, ia selalu mengirim surat yang menjelaskan bahwa dalam perang,
prajurit pasti mati. Ada permohonan langsung kepada carabinieri untuk tidak
melawan. Dan surat lain dilayangkan sesudah eksekusi keenam pemimpin
Mafia, menjelaskan hanya dengan cara itulah para petani bisa mengklaim tanah
yang merupakan hak mereka berdasarkan hukum dan moralitas manusia.
Kolonel Luca tertegun karena pemerintah membiarkan surat-surat ku
dipublikasikan. Ia menulis catatan untuk Menteri Trezza yang isinya meminta
kekuasaan undang-undang militer di Sisilia sehingga Guiliano bisa dipisahkan
dari publiknya.
Hal lain yang dicarinya adalah informasi tentang kekasih Guiliano, tapi ia tidak
bisa menemukan apa pun. Meskipun ada laporan bahwa para bandit
menggunakan rumah bordil di Palermo dan Pisciotta senang mengumbar nafsu,
Guiliano tampaknya menjalani kehidupan tanpa seks selama enam tahun
terakhir. Kolonel Luca, sebagai orang Italia, tidak percaya. Pasti ada seorang
wanita di Montelepre yang menjadi kekasih Guiliano, dan pada saat mereka
menemukannya, separo pekerjaan selesai
Hal menarik lain bagi sang kolonel adalah catatan keakraban antara Guiliano dan
ibunya. Guiliano putra yang berbakti kepada kedua orangtuanya, tapi ia memuja
ibunya. Kolonel Luca juga menulis catatan khusus mengenai hal ini Seandainya
Guiliano benar-benar tidak mempunyai kekasih, ibunya bisa digunakan sebagai
umpan jebakan.
Sesudah semua persiapan ini selesai, Kolonel Luca membentuk stafnya.
Penunjukan paling penting adalah Kapten Antonio Perenze sebagai aide-de-
camp—perwka
pembantu—dan pengawal pribadinya. Kapten Perenze pria bertubuh besar,
hampir-hampir gendut, dengan ekspresi wajah riang dan sikap santai, tapi
Kolonel Luca tahu pria itu memiliki keberanian luar biasa. Mungkin akan ada
saatnya keberanian bisa menyelamatkan nyawa Kolonel.
Baru pada bulan September 1949 Kolonel Luca riba di Sisilia bersama pasukan
pertama berjumlah dua ribu orang. Ia berharap jumlah ini mencukupi; ia tidak
ingin mengagungkan nama Guiliano dengan membawa pasukan lima ribu orang
untuk menghadapinya. Bagaimanapun, Guiliano hanyalah bandit yang
seharusnya ditangani dengan mudah sejak dulu.
Langkah pertamanya adalah memerintahkan koran-koran Sisilia agar tidak lagi
mempublikasikan surat-surat Guiliano. Langkah keduanya adalah menangkap
ibu dan ayahnya atas tuduhan bersekongkol dengan putra mereka. Langkah
selanjurnya adalah menangkap dan menahan untuk ditanyai dua ratus pria di
Montelepre dengan tuduhan menjadi anggota rahasia kelompok Guiliano. Semua
yang ditangkap ini dikirim ke penjara di Palermo yang dijaga ketat anak buah
Kolonel Luca. Semua tindakan ini dilakukan berdasarkan hukum rezim Fasis
Mussolini yang masih tercatat dalam buku.
Rumah Guiliano digeledah dan terowongan rahasianya ditemukan. La Venera
ditangkap di Florence. Tapi ia dibebaskan hampk seketika begitu ia mengklaim
dirinya tidak mengetahui keberadaan terowongan itu. Bukan berarti ia dipercaya,
tapi Inspektur Velardi ingin ia bebas dengan harapan Guiliano mengunjunginya.
Pers Italia memuji-muji Kolonel Luca setinggi akhirnya muncul orang yang
benar-benar "serius". Menteri Trezza. gembira atas pilihannya, terutama sewaktu
ia menerima surat ucapan selamat yang hangat dari Perdana Menteri. Hanya Don
Croce yang tidak terkesan.
Bulan pertama, Turi Guiliano mempelajari aksi-aksi Luca, pengiriman pasukan
carabinieri. Ia mengagumi kecerdikan Kolonel dalam melarang koran-koran
mempublikasikan surat-suratnya, memutus komunikasi vitalnya dengan
penduduk Sisilia. Tapi sewaktu Kolonel Luca serampangan menangkapi
penduduk Montelepre—bersalah atau tidak—kekaguman itu berubah menjadi
kebencian. Dan atas penangkapan orangtuanya, Guiliano murka.
Selama dua hari Guiliano duduk di guanya jauh di dalam Pegunungan
Cammarata. Ia menyusun rencana dan mengulas kembali apa yang diketahuinya
tentang pasukan Kolonel Luca yang terdiri atas dua ribu carabinieri, Sekitar
seribu di antara mereka ditempatkan di dalam dan di sekitar Palermo, menunggu
dirinya mencoba menolong orangtuanya. Seribu carabinieri lainnya dipusatkan
di kawasan sekitar kota-kota Montelepre, Piani dei Greci, San Giuseppe Jato,
Partinico, dan Corleone, kota-kota di mana banyak penduduknya menjadi
anggota rahasia kelompok yang bisa direkrut untuk bertempur.
Kolonel Luca sendiri mendirikan markas besarnya di Palermo dan tidak
terkalahkan di sana. Ia harus dipancing keluar.
Turi Guiliano melampiaskan kemarahannya dengan menyusun rencana-rencana
taktis. Rencana-rencana itu
ddf)
memiliki pola aritmetis yang jelas baginya, sesederhana permainan anak-anak.
Rencana-rencana itu hampir selalu berhasil, dan seandainya gagal ia selalu bisa
menghilang kembali ke pegunungannya. Tapi ia tahu segalanya bergantung pada
pelaksanaan tanpa kesalahan, setiap detail hingga yang terkecil harus sempurna.
Ia memanggil Aspanu Pisciotta ke dalam gua dan memberitahukan berbagai
rencana itu kepadanya. Kemudian, para pemimpin lainnya—Passatempo,
Terranova, Kopral Silvestro, dan Stefan Andolini—— hanya diberitahu apa yang
perlu mereka ketahui berkaitan dengan tugas masing-masing.
Markas besar carabinieri di Palermo membayar gaji semua pasukan di Sisilia
Barat. Sebulan sekali truk uang yang dijaga ketat dikirim untuk membayar
garnisun-garnisun di semua markas besar kota dan provinsi. Pembayaran
dilakukan tunai, dan dalam amplop berisi uang lira sejumlah gaji masing-masing
prajurit. Amplop-amplop ini dimasukkan ke dalam kotak-kotak kayu berselot
yang dikunci ke dalam truk yang dulunya kendaraan pengangkut senjata
Angkatan Darat Amerika.
Sopirnya bersenjatakan pistol, prajurit kasir berjaga-jaga di sampingnya dengan
senapan. Ketika truk berisi jutaan lira ini meninggalkan Palermo, kendaraan itu
didahului tiga jip pengawal, masing-masing bersenjatakan senapan mesin dan
memuat empat orang, dan kendaraan pengangkut prajurit berisi dua puluh orang
bersenjata lengkap senapan mesin dan pistol. Di belakang truk uang itu berjalan
dua mobil komando, masing-masing berisi enam orang. Semua kendaraan ini
membawa peralatan radio komunikasi untuk menghubungi Palermo atau barak
carabinieri terdekat untuk mendapatkan pasukan tambahan. Tak pernah ada rasa
takut bahwa bandit-bandit akan menyerang kekuatan sebesar ini. Tindakan itu
sama saja bunuh diri.
Truk pembayar gaji itu meninggalkan Palermo pada dini hari dan perhentian
pertama adalah kota kecil bernama Tommaso Natale. Dari sana irmg-iringan
berbelok memasuki jalan pegunungan menuju Montelepre. Kasir dan para
pengawalnya tahu ini hari yang panjang dan mereka melaju secepat mungkin.
Mereka menyantap potongan-potongan salami dan roti serta minum anggur dari
botol selama perjalanan. Mereka melontarkan lelucon dan tertawa-tawa, dan
para sopir jip di depan meletakkan senjata mereka di lantai kendaraan. Tapi
sewaktu konvoi melewati puncak bukit terakhir yang menurun ke Montelepre,
mereka tertegun melihat jalan di depan dipenuhi sekawanan besar domba. Jip-jip
yang memimpin irmg-iringan menerobos kawanan domba, dan para pengawal
berteriak marah ke arah para gembala yang berpakaian kasar. Para prajurit sangat
ingin tiba di barak yang sejuk dan menyantap hidangan panas, menanggalkan
pakaian dan bersantai di ranjang atau bermain kartu sepanjang istirahat tengah
hari mereka. Tidak mungkin ada bahaya; Montelepre, hanya beberapa mil
jauhnya, memiliki garnisun yang terdiri atas lima ratus anggota pasukan Kolonel
Luca. Di belakang, mereka melihat truk pengangkut uang memasuki lautan
domba yang luas itu, tapi tidak sadar truk itu melambat di sana, tidak ada jalan
terbuka baginya.
Para gembala berusaha membuka jalan bagi truk
itu. Mereka begitu sibuk sehingga seolah tidak menyadari kendaraan pengangkut
pasukan menjeritkan klakson, para pengawal berteriak dan tertawa dan memaki-
maki. Masih tidak ada tanda-tanda bahaya.
Tapi tiba-tiba enam gembala mendesak truk kasir. Dua di antaranya mencabut
pistol dari balik jaket dan menendang kasir dan sopir keluar truk. Mereka
melucuti kedua carabinieri itu. Empat orang lainnya melempar keluar kotak-
kotak berisi uang gaji. Passatempo yang memimpin kelompok ini, dan kebuasan
wajahnya, kekerasan yang terpancar dari tabuhnya, menyebabkan para pengawal
meringkuk ketakutan.
Pada saat bersamaan lereng-lereng di sekitar jalanan tiba-tiba dipenuhi bandit
yang rhenyandang senapan dan pistol otomatis. Roda-roda kedua mobil
komando di belakang ditembak. Lalu Pisciotta berdiri di depan mobil pertama.
Ia berseru, "Turun pelan-pelan, tanpa senjata, dan kalian akan menyantap
spaghetti malam ini di Palermo. Jangan jadi pahlawan, bukan uang kalian yang
kami ambil."
Jauh di depan, kendaraan pengangkut pasukan dan ketiga jip pembuka jalan tiba
di kaki bukit terakhir dan hendak memasuki Montelepre sewaktu perwira kepala
menyadari tidak ada kendaraan apa pun di belakangnya. Sekarang domba-domba
malah bertambah banyak, menghalangi dirinya dengan kendaraan lain dalam
konvoi. Ia meraih radio dan memerintahkan salah satu jip kembali.
Menggunakan isyarat tangan ia mengarahkan kendaraan-kendaraan lain agar
berhenti di tepi jalan dan menunggu.
Jip pembuka jalan berputar balik dan kembali mendaki bukit yang baru saja
dilewatinya. Di tengah jalan jip itu mendapat sambutan hujan peluru senapan
mesin dan senapan. Keempat penumpangnya tercincang peluru, dan tanpa sopir
jip itu kehilangan momentum dan pelan-pelan bergulir kembali menuruni bukit,
ke arah kendaraan rekan-rekannya.
Komandan carabinieri melompat keluar dari jip dan berteriak kepada anak
buahnya di kendaraan pengangkut untuk turun dan membentuk barisan. Kedua
jip lain melesat pergi bagai kelinci yang ketakutan mencari perlindungan. Tapi
pasukan ini telah dinetralisir secara efektif. Mereka tidak bisa menyelamatkan
truk gaji karena truk itu berada di balik bukit mereka bahkan tidak bisa
menembaki anak buah Guiliano, yang tengah menjejalkan amplop-amplop uang
ke dalam jaket mereka. Anak buah Guiliano menguasai tempat yang lebih tinggi
dan jelas memiliki senjata untuk membantai penyerang mana pun. Langkah
terbaik yang bisa diambil pasukan itu adalah mencari perlindungan dan
menembak membabi buta.
Maresciallo menantikan si pembayar gaji. Pada akhir bulan ia selalu kekurangan
uang dan, seperti anak buahnya, berharap melewatkan malam di Palermo dengan
bersantap di restoran bagus bersama wanita-wanita yang memesona dan teman-
teman. Sewaktu mendengar suara tembakan ia kebingungan. Guiliano tak akan
berani menyerang salah satu patrolinya di siang hari, tidak dengan adanya
pasukan tambahan Kolonel Luca yang berjumlah lima ratus prajurit di kawasan
ini.
Pada saat itu Maresciallo mendengar ledakan hebat di gerbang Barak Bellampo.
Salah satu kendaraan lapis
baja yang diparkir di belakang telah diledakkan men-dptakan suluh raksasa
oranye. Lalu Maresciallo mendengar detak senapan mesin berat dari arah jalan
yang menuju Castelvetrano dan kota pantai Trapani, diikuti rentetan tembakan
pistol dari kaki pegunungan di luar kota. Ia bisa melihat pasukan patrolinya di
Montelepre berhamburan masuk ke dalam barak, dalam jip atau berjalan kaki,
berusaha menyelamatkan diri; dan lambat-lambat kesadaran merekah dalam
dirinya bahwa Guiliano mengerahkan seluruh anak buahnya untuk .menyerang
garnisun Kolonel Luca yang berjumlah lima ratus orang.
Di tebing tinggi di atas Montelepre, Turi Guiliano mengamati perampokan uang
gaji itu melalui teropongnya. Dengan berputar sembilan puluh derajat ia juga
bisa melihat pertempuran di jalan-jalan kota, serangan langsung terhadap Barak
Bellampo dan patroli-patroli carabinieri di jalan-jalan pantai. Seluruh pemimpin
anak buahnya melakukan tugas dengan sempurna. Passatempo dan anak buahnya
berhasil mendapatkan uang gaji, Pisciotta berhasil melumpuhkan carabinieri di
belakang truk, Terranova dan kelompoknya, didukung anggota baru, menyerang
Barak Bellampo dan para patrolinya. Orang-orang yang berada di bawah
pimpinan langsung Guiliano menjaga markas-markas mereka di-kaki
pegunungan. Dan Stefan Andolini, Fra Diavalo sejati, tengah menyiapkan
kejutan.
Di markas besarnya di Palermo, Kolonel Luca menerima kabar hilangnya uang
gaji dengan ketenangan yang tidak biasa, menurut anak buahnya. Tapi diam-
445 diam. ia hanya bisa marah terhadap kepandaian Guiliano dan penasaran dari
mana dan dengan. cara bagaimana Guiliano bisa mendapatkan informasi
mengenai penempatan carabinieri. Empat carabinieri tewas dalam perampokan
itu dan sepuluh lainnya tewas dalam pertempuran menghadapi pasukan Guiliano
yang lain.
Kolonel Luca masih menerima laporan telepon mengenai para korban saat
Kapten Perenze menghambur masuk, rahangnya yang besar bergetar penuh
semangat. Ia baru saja menerima laporan tentang beberapa bandit yang terluka
dan salah satunya tewas dan ditinggalkan di medan tempur. Bandit yang tewas
itu telah diidentifikasi melalui dokumen yang ada pada dirinya dan kesaksian
dua penduduk Montelepre. Mayat itu tidak lain adalah Turi Guiliano.
Bertentangan dengan kewaspadaannya, dengan semua informasi intelijen yang
diketahuinya, Kolonel Luca merasakan kemenangan besar merekah dalam
dadanya. Sejarah rniliter dipenuhi kemenangan hebat, manuver taktis cemerlang,
yang dikalahkan satu kecelakaan kecil. Peluru yang diarahkan nasib secara ajaib
telah mencari dan menemukan jiwa licin bandit besar itu. Tapi lalu kewaspadaan
kembali. Keberuntungan itu tedalu bagus; mungkin jebakan. Tapi kalau benar
begitu, ia bisa masuk ke sana dan menjebak penjebaknya.
Kolonel Luca mempersiapkan diri, dan pasukannya disiapkan untuk menghadapi
serangan apa pun. Kendaraan-kendaraan lapis baja berangkat terlebih dulu,
diikuti mobil antipeluru yang membawa Kolonel Luca dan Inspektur Frederico
Velardi, yang berkeras membantu mengidentifikasi mayat tapi sebenarnya hanya
untuk memastikan Wasiat tidak ada pada mayat itu.
Di belakang mobil Luca melaju pengangkut pasukan berisi para prajurit siaga,
senjata siap ditembakkan. Jip-jip pembuka jalan berjumlah dua puluh, dipenuhi
prajurit-para bersenjata, mendahului rombongan. Garnisun di Montelepre
diperintahkan menjaga jalan-jalan terdekat dengan kota dan mendirikan pos-pos
pengamatan di pegunungan di dekatnya. Patroli-patroli berjalan kaki dalam
kekuatan besar, bersenjata lengkap, mengendalikan sepanjang tepi jalan.
Kolonel Luca dan pasukannya memerlukan waktu kurang dari satu jam untuk
tiba di Montelepre. Tidak ada serangan; pameran kekuatan itu berlebihan bagi
para bandit. Tapi kekecewaan telah menanti Kolonel.
Inspektur Velardi berkata mayat itu, sekarang berada dalam ambulans di "Barak
Bellampo, tidak mungkin mayat Guiliano. Peluru yang menewaskannya memang
mencabiknya tapi tidak cukup parah sehingga Inspektur tidak mungkin keliru.
Penduduk dipaksa melihat mayat itu, dan mereka juga mengatakan itu bukan
Guiliano. Mayat itu memang jebakan, Guiliano pasti berharap Kolonel bergegas
menuju lokasi dengan sedikit pengawalan dan membuka diri untuk disergap.
Kolonel Luca memberi perintah untuk melakukan semua langkah penjagaan, tapi
ia tergesa-gesa kembali ke Palermo dan ke markas besarnya; ia mgin melaporkan
sendiri ke Roma apa yang terjadi hari itu serta memastikan tidak ada yang
menerbitkan laporan palsu mengenai kematian Guiliano. Setelah memeriksa
terlebih dulu untuk meyakinkan semua pasukannya siap di tempat sehingga
perjalanan kembali tidak disergap, ia menumpang salah satu jip pembuka jalan
yang lincah di jajaran paling depan. Inspektur Velardi mendampinginya.
Ketergesa-gesaan Kolonel menyelamatkan nyawa mereka berdua. Sewaktu
pasukannya mendekati Palermo, dengan mobil komando Luca di tengah,
terdengar ledakan menggelegar. Mobil komando itu terlontar lebih dari tiga
meter ke udara dan hancur berkeping-keping, terbakar, tersebar di lereng-lereng
pegunungan. Kendaraan pengangkut pasukan yang mengikuti dekat di
belakangnya kehilangan delapan orang tewas dan lima belas orang terluka dari
total tiga puluh korban. Kedua perwira dalam mobil Luca hancur berkeping-
keping.
Sewaktu Kolonel Luca menyampaikan kabar buruk itu kepada Menteri Trezza,
ia juga meminta tiga ribu pasukan tambahan yang telah menunggu segera
diberangkatkan ke Sisilia.
Don Croce tahu serangan-serangan itu akan terus berlanjut selama orangtua
Guiliano dipenjara, jadi ia mengatur agar mereka dibebaskan.
Tapi ia tidak bisa mencampuri keterlibatan pasukan baru, dan dua ribu prajurit
sekarang menghuni Montelepre dan kawasan di sekitarnya. Tiga ribu lainnya
menggeledah pegunungan. Tujuh ratus penduduk Montelepre dan provinsi
Palermo telah dipenjarakan untuk ditanyai oleh Kolonel Luca, menggunakan
kekuasaan khusus yang diberikan kepadanya oleh pemerintahan Demokrat
Kristen di Roma. Jam malam diberlakukan mulai senja sampai subuh, penduduk
dilumpuhkan di rumah masing-masing dan orang-orang yang bepergian tanpa
kartu izin khusus dipenjarakan. Seluruh provinsi berada di bawah kekuasaan
teror resmi.
Don Croce mengawasi dengan gelisah sementara arus berubah menentang
Guiliano.
Bab 24
SEBELUM kedatangan pasukan Luca, sewaktu Guiliano bisa memasuki
Montelepre sesuka hatinya, ia sudah sering bertemu Justina Ferra. Kadang-
kadang gadis itu datang ke rumah Guiliano untuk menerima tugas atau uang
yang diberikan Guiliano kepada orangtuanya. Guiliano tidak pernah sungguh-
sungguh menyadari ia telah tumbuh menjadi wanita muda yang cantik hingga
suatu hari Guiliano melihatnya di jalan-jalan Palermo bersama orangtuanya.
Mereka pergi ke kota untuk berbelanja kebutuhan Festa yang tidak tersedia di
kota kecil Montelepre. Guiliano dan anggota kelompoknya pergi ke Palermo
untuk membeli persediaan.
Guiliano tidak bertemu Justina hampir sekitar enam bulan, dan Justina tumbuh
menjadi lebih jangkung dan lebih ramping. Ia jangkung untuk ukuran wanita
Sisilia, dengan kaki-kaki panjang terbungkus sepatu berhak tinggi yang baru
dibeli. Ia baru berusia enam belas tahun, tapi wajah dan bentuk tubuhnya telah
merekah di tanah subtropis Sisilia dan secara fisik ia sudah dewasa. Rambutnya
yang hitam mengilap ditarik ke atas kepala dan dijepit tiga sisir bagai permata,
menampilkan leher jenjang keemasan bagai gambar wanita Mesir pada vas.
Matanya besar, penuh pertanyaan; mulutnya sensual, walaupun demikian, itulah
satu-satunya bagian wajahnya yang menunjukkan kemudaannya. Ia mengenakan
gaun putih berpita merah melintang di depan.
Ia begitu cantik sehingga Guiliano menatapnya untuk waktu cukup lama.
Guiliano tengah duduk di kafe, anak buahnya bertebaran di meja-meja di
sekitarnya, ketika Justina melintas ditemani ayah dan ibunya. Mereka melihat
Guiliano. Ayah Justina mempertahankan ekspresi kaku wajahnya dan tidak
menunjukkan tanda-tanda pengenalan. Ibunya bergegas memandang ke arah
lain. Hanya Justina yang menatapnya' sambil berlalu. Ia bersikap ala orang
Sisilia dan tidak menyapa Guiliano, tapi ia menatap lurus ke matanya dan
Guiliano bisa melihat mulut Justina bergetar menahan senyum. Di jalan yang
bermandikan matahari Justina bagai kolam cahaya kemilau, kecantikan Sisilia
yang sensual dan merekah di usia dini. Sejak menjadi pelanggar hukum Guiliano
tidak pernah memercayai cinta. Baginya cinta merupakan tindak penyerahan diri
dan menyimpan benih pengkhianatan yang fatal. Tapi pada saat itu ia merasakan
apa yang belum pernah ia rasakan—keinginan dalam dirinya untuk berlutut di
depan manusia lain dan sukarela bersumpah untuk membaktikan diri dalam
perbudakan yang asing. Ia tidak mengidentifikasi perasaan itu sebagai cinta.
Sebulan kemudian, Guiliano mendapati benaknya terobsesi kenangan akan
Justina Ferra berdiri di kolam cahaya matahari keemasan di jalan di Palermo. Ia
menganggap itu hanyalah hasrat seksual, ia sekadar merindukan malam-malam
penuh gairah bersama La
venera. Lalu dalam lamunannya ia mendapati dirinya bukan hanya memimpikan
bercinta dengan Justina, tapi juga menghabiskan waktu bersamanya menjelajahi
pegunungan, memperlihatkan padanya gua-guanya, lembah-lembah sempitnya
yang penuh bunga, memasakkan makanan baginya di api unggun. Gitarnya
masih ada I rumah ibunya dan ia bermimpi memainkannya untuk Justina. Ia
menunjukkan kepada Justina puisi-puisi yang ditulisnya selama bertahun-tahun
ini, beberapa di antaranya pernah dipublikasikan koran-koran Sisilia. Bahkan
terpikir olehnya untuk menyelinap ke Montelepre dan mengunjungi Justina di
rumahnya, tidak peduli kehadiran dua ribu prajurit Pasukan Khusus Kolonel
Luca. Pada saat ini ia tersadar dan tahu sesuatu yang berbahaya tengah
berlangsung dalam dirinya.
Semua ini bodoh. Hanya ada dua alternatif dalam hidupnya. Entah ia tewas
terbunuh oleh carabinieri atau ia mencari perlindungan di Amerika. Dan kalau ia
terus memimpikan gadis ini, hidupnya tidak akan berakhir di Amerika. Ia harus
menyingkirkannya dari benaknya. Kalau ia membujuk Justina atau
melarikannya, ayah Justina akan menjadi musuh berbahaya, padahal ia sudah
memiliki cukup banyak musuh berbahaya. Ia pernah menghukum Aspanu karena
merayu gadis yang masih polos dan selama bertahun-tahun ini telah
mengeksekusi tiga anak buahnya karena memerkosa. Perasaannya terhadap
Justina adalah ia ingin membahagiakan gadis itu, menjadikan Justina mencintai
dan mengagumi dan melihatnya sebagaimana ia pernah melihat dirinya sendiri.
Ia ingin tatapan Justina dipenuhi cinta dan kepercayaan. Tapi itu hanyalah
pikiran taktisnya yang tengah mengeksplorasi berbagai pilihan yang ia miliki. Ia
telah memutuskan tindakan yang akan diambilnya. Ia akan menikahi gadis itu.
Diam-diam. Tidak ada seorang pun yang tahu kecuali keluarga Justina dan tentu
saja Aspanu Pisciotta dan beberapa anggota tepercaya kelompoknya. Setiap kali
situasi aman, ia akan memerintahkan anak buahnya menjemput Justina ke
pegunungan agar mereka bisa menghabiskan satu atau dua hari bersama-sama;
Berbahaya bagi Justina menjadi istri Turi Guiliano, tapi Guiliano bisa mengatur
agar ia berangkat ke Amerika, dan Justina akan menunggunya di sana saat ia
berhasil melarikan diri. Hanya ada satu masalah. Apa pendapat Justina tentang
dirinya?
Caesero Ferra telah menjadi anggota rahasia kelompok Guiliano selama lima
tahun, semata-mata sebagai pengumpul informasi, tidak pernah terlibat operasi.
Ia dan istrinya mengenal dan bertetangga dengan orangtua Guiliano; mereka
tinggal sepuluh rumah dari rumah Guiliano di Via Belia. Caesero lebih
berpendidikan dibandingkan sebagian besar penduduk Montelepre dan merasa
tidak puas dengan bertani. Lalu ketika Justina masih kedi dan menghilangkan
uang, Guiliano memberi penggantinya dan menyuruhnya pulang bersama surat
yang menyatakan keluarga mereka berada di bawah perlindungannya,- Caesero
Ferra mengunjungi Maria Lombardo dan menawarkan jasa. Ia mengumpulkan
informasi di Palermo dan Montelepre mengenai pergerakan patroli carabinieri,
pergerakan para pedagang kaya yang akan diculik kelompok Guiliano, serta
identitas informan polisi. Ia mendapat bagian dari hasil
penculikan-penculikan itu dan membuka tavern kecil di Montelepre, yang juga
membantu kegiatan rahasianya.
Sewaktu putranya Silvio kembali dari perang sebagai aktivis Sosialis, Caesero
Ferra mengusirnya. Bukan karena tidak menyetujui pandangannya, tapi karena
bahaya yang bisa ditimbulkannya bagi anggota keluarga lainnya. Ia tidak punya
gambaran mengenai demokrasi atau para pemimpin di Roma. Ia mengingatkan
Turi Guiliano akan janjinya melindungi keluarga Ferra dan Guiliano berusaha
sebaik-baiknya melindungi Silvio. Dan setelah Silvio dibunuh, Guiliano berjanji
akan membalaskan dendamnya.
Ferra tidak pernah menyalahkan Guiliano. Ia tahu pembantaian di Ginestra
sangat mengganggu Turi Guiliano, menyebabkan ia berduka, dan masih
menyiksa dirinya. Caesero mengetahuinya dari istrinya, yang mendengarkan
Maria Lombardo bercerita tentang putranya selama berjam-jam. Bagaimana
bahagianya mereka sebelum hari yang mengerikan bertahun-tahun lalu itu,
sewaktu putranya ditembak carabinieri dan terpaksa balas membunuh. Dan tentu
saja setiap pembunuhan setelah kejadian itu memang harus terjadi, dipaksakan
terhadap Guiliano oleh orang-orang jahat. Maria Lombardo memiliki alasan
untuk setiap pembunuhan, setiap kejahatan, tapi ia goyah saat membicarakan
pembantaian di Portella della Ginestra. Oh, anak-anak kedi yang tercabik
tembakan senapan mesin, wanita-wanita tak berdaya yang tewas. Bagaimana
orang-orang bisa mengira putranya melakukan perbuatan seperti itu? Bukankah
ia pelindung kaum miskin, Pembela Sisilia? Bukankah ia sudah memberikan
harta membantu semua orang Sisilia yang membutuh-
452 kan makanan dan tempat tinggal? Turi-nya tidak mungkin memberikan
perintah pembantaian seperti itu. Turi bersumpah kepadanya di depan patung
Bunda Maria berkulit hitam, dan mereka menangis sambil berpelukan.
-Maka selama bertahun-tahun Caesero memburu misteri mengenai apa yang
sebenarnya terjadi di Portella della Ginestra. Apakah para penembak senapan
mesin di bawah komando Passatempo telah melakukan kesalahan tak disengaja
berkaitan dengan sudut tembakan mereka? Apakah Passatempo, karena sifat
haus darahnya yang terkenal, .membantai orang-orang itu demi kesenangan
belaka? Mungkinkah seluruh kejadian itu dirancang untuk menghancurkan
Guiliano? Mungkinkah ada kelompok lain yang menembak dengan senapan
mesin, orang-orang yang bukan di bawah perintah Guiliano melainkan dikirim
oleh Friends of the Friends atau bahkan sekelompok anggota Polisi Keamanan?
Tak seorang pun luput dari daftar tersangka Caesero kecuali Turi Guiliano.
Karena kalau Guiliano bersalah seluruh dunia tempat ia tinggal akan runtuh. Ia
mencintai Guiliano seperti mencintai putranya sendiri. Ia menyaksikan Guiliano
tumbuh dari anak-anak menjadi pria dewasa, dan tidak pernah sekali pun
Guiliano menunjukkan kekejaman, maupun kekerasan.
Jadi Caesero Ferra terus membuka mata dan telinga. Ia membelikan minuman
bagi para anggota rahasia kelompok yang belum dipenjarakan oleh Kolonel
Luca. Ia mendengar potongan-potongan percakapan di antara Friends of the
Friends yang tinggal di kota dan sesekali datang ke tavern untuk rninum anggur
dan kartu. Suatu malam ia mendengar meteka
berbicara sambil tertawa-tawa tentang "Si Hewan" dan "Si Iblis" yang
mengunjungi Don Croce, dan bagaimana Don yang agung mengubah kedua
orang yang ditakuti itu menjadi malaikat yang berbisik-bisik. Ferra
mempertimbangkan informasi itu dan dengan paranoia khas orang Sisilia
berhasil mengaitkannya. Passatempo dan Stefan Andolini telah menemui Don.
Passatempo sering kali disebut "Si Kasar" dan Fra Diavalo adalah nama bandit
Andolini. Apa yang mereka lakukan, mengadakan pertemuan rahasia dengan
Don Croce di rumahnya di Villaba, yang jauh dari pangkalan bandit di
pegunungan? Ia mengirim putra remajanya ke rumah Guiliano membawa pesan
penting dan dua hari kemudian ia dijemput ke pegunungan untuk menemui
Guiliano. Ia menceritakan apa yang didengarnya kepada Guiliano. Pemuda itu
tidak menunjukkan emosi apa pun dan hanya menyuruhnya bersumpah agar
tidak membuka rahasia. Ferra tidak mendengar kabar apa-apa lagi. Sekarang,
tiga bulan kemudian, ia menerima panggilan lain dari Guiliano dan menduga
akan mendengar kelanjutan informasinya.
Guiliano dan kelompoknya berada jauh di pegunungan, di luar jangkauan
pasukan Luca. Caesero Ferra berangkat di malam hari dan ditemui Aspanu
Pisciotta di tempat perjanjian untuk diantar ke kamp. Mereka baru tiba subuh
keesokan harinya dan mendapati sarapan panas di meja lipat yang dilengkapi
serbet linen dan peralatan makan perak. Turi Guiliano mengenakan kemeja sutra
putih dan celana kulit cokelat yang diselipkan ke dalam sepatu bot cokelat yang
disemir mengilap; rambutoya baru saja dikeramas dan disisir, ernah tampil
begitu tampan. Pisciotta diperintahkan pergi dan Guiliano serta Ferra duduk
bersama-sama. Guiliano tampak kikuk. Ia berkata kaku, "Aku ingin
mengucapkan terima kasih atas informasi yang kausampaikan kepadaku.
Informasi itu sudah ditindaklanjuti dan sekarang aku tahu pertemuan itu memang
terjadi. Dan sangat penting. Tapi aku menyuruh anak buahku menjemputmu
untuk membicarakan masalah lain. Masalah yang aku tahu akan mengejutkan
dan kuharap tidak membuatmu tersinggung."
Ferra terkejut tapi berkata sopan, "Kau tidak akan pernah membuatku
tersinggung, aku berutang budi terlalu banyak padamu."
Mendengarnya Guiliano tersenyum, senyum polos yang diingat Ferra dari masa
kanak-kanak pemuda ini.
"Dengar baik-baik," kata Guiliano. "Berbicara padamu adalah langkah
pertamaku. Dan kalau kau tidak setuju aku tidak akan bertindak lebih jauh.
Lupakan posisiku sebagai pemimpin kelompok; aku berbicara padamu sebagai
ayah Justina. Kau tahu dia cantik, pasti banyak pemuda kota yang berkeliaran di
dekat rumahmu. Dan aku tahu kau menjaga putrimu dengan hati-hati. Harus
kuberitahukan, ini pertama kali seumur hidupku aku memiliki perasaan begini.
Aku ingin menikahi putrimu. Kalau kau menolak aku tidak akan mengatakan
apa-apa lagi. Kau tetap temanku dan putrimu berada dalam perlindungan khusus
seperti biasa. Kalau kau setuju, aku akan bertanya pada putrimu apa dia tidak
keberatan dengan gagasan ini. Kalau dia menolak, masalahnya selesai sampai di
situ."
Caesero Ferra begitu terpana sehingga ia hanya bisa tergagap, "Biar kupikir, biar
kupikir." Dan lama ia membisu. Saat mulai berbicara lagi nadanya penuh
hormat. "Aku lebih suka mendapatkan dirimu sebagai suami putriku daripada
pria mana pun. Dan aku tahu putraku Silvio—semoga Tuhan memberkati
jiwanya— pasti menyetujui pendapatku." Sekali lagi ia tergagap. "Aku hanya
mengkhawatirkan keselamatan putriku. Kalau Justina menjadi istrimu, Kolonel
Luca jelas akan menggunakan alasan apa saja untuk menangkap-" nya. Friends
of the Friends sekarang menjadi musuhmu dan mungkin akan menyakiti clirinya.
Dan kau harus melarikan diri ke Amerika atau tewas di pegunungan ini. Aku
tidak ingin putriku menjadi janda di usia semuda itu, maafkan aku karena
berbicara terus terang. Tapi menikahinya juga menambah rumit hidupmu dan itu
yang paling membuatku cemas. Pengantin yang bahagia tidak begitu waspada
terhadap jebakan, dia lengah terhadap musuh-musuhnya. Pernikahan bisa
menyebabkan kematianmu. Aku berbicara terus terang begini karena rasa sayang
dan hormatku kepadamu. Pernikahanmu bisa diundur menunggu hari yang lebih
baik saat kau mengetahui masa depanmu secara lebih pasti dan
merencanakannya dengan lebih baik." Seusai berbicara Ferra mengawasi mata
Guiliano, mencari-cari tanda apakah ia telah membuat pemuda itu kesal.
Tapi ia hanya menyebabkan Guiliano tertekan. Dan Ferra mengenalinya sebagai
kekecewaan pemuda yang tengah jatuh cinta. Di matanya hal itu begitu luar
biasa sehingga secara naluriah ia berkata, "Aku bukannya berkata tidak
kepadamu, Turi."
Guiliano mendesah. "Aku sudah memikirkan semua itu. Rencanaku begini. Aku
akan menikahi putrimu diam-diam. Kepala Biara Manfredi akan memimpin
upacaranya. Kami akan menikah di pegunungan ini. Terlalu berbahaya bagiku
melakukannya di tempat lain. Tapi aku bisa mengatur agar kau dan istrimu
menemani putrimu sehingga kalian bisa menyaksikan pernikahan. Putrimu akan
tinggal bersamaku selama tiga hari, lalu aku akan mengirimnya pulang ke
rumahmu. Kalau putrimu menjadi janda dia akan memiliki cukup uang untuk
memulai kehidupan baru. Jadi kau tidak perlu mengkhawatirkan masa depannya.
Aku mencintai putrimu dan akan menghargai serta melindunginya seumur
hidupnya. Aku akan menyediakan dana untuk masa depannya seandainya yang
paling buruk terjadi. Tapi tetap saja berisiko menikah dengan orang seperti
diriku, dan sebagai ayah yang hati-hati kau berhak menolak putrimu mengambil
risiko itu."
Caesero Ferra sangat tersentuh. Pemuda ini berbicara begitu gamblang dan blak-
blakan. Dan dengan harapan begitu tinggi. Tapi yang terbaik ia berbicara
langsung ke pokok persoalan. Ia telah menyiapkan cadangan bagi kesejahteraan
putrinya di masa depan seandainya terjadi bencana. Ferra bangkit dari kursinya
dan memeluk Guiliano. "Aku meresftiimu," katanya. "Aku akan berbicara pada
Justina."
Sebelum pergi, Ferra mengatakan dirinya gembira karena informasi yang
diberikannya terbukti berguna. Dan ia tertegun melihat perubahan ekspresi
wajah Guiliano. Mata Guiliano membelalak, keindahan wajahnya seakan
mengeras menjadi marmer putih.
"Akan kuundang Stefan Andolini dan Passatempo ke pernikahanku," katanya.
"Jadi kita bisa membereskan masalahnya." Baru kelak terlintas dalam benak
Ferra bahwa itu tindakan yang aneh, apalagi jika pernikahan Guiliano
seharusnya dirahasiakan.
Di Sisilia bukan tidak umum bagi seorang gadis untuk menikahi pria yang tidak
pernah sekali pun menghabiskan waktu bersamanya. Pada saat para wanita
duduk-duduk di luar rumah mereka, gadis yang belum menikah harus duduk
tegak, tidak pernah menatap langsung ke jalan, kecuali mereka ingin disebut
perempuan jalang Para pemuda yang lewat tidak akan pernah mendapat
kesempatan bercakap-cakap dengan mereka kecuali di gereja, tempat para gadis
muda dilindungi patung-patung Bunda Maria dan ibu-ibu mereka yang menatap
dingin. Kalau ada pemuda yang jatuh cinta setengah mati pada penampilan si
gadis atau pada percakapan singkat di antara mereka, ia harus menyampaikannya
secara tertulis, dalam surat yang tersusun dengan baik untuk menyatakan
niatnya. Ini masalah serius. Sering kali penulis profesional disewa untuk ini'
Nada yang salah bisa mengakibatkan pemakaman dan bukan pernikahan. Maka
lamaran Guiliano melalui ayah Justina bukanlah tidak biasa, meski kenyataannya
di hadapan Justina ia tidak menunjukkan tanda-tanda tertarik.
Caesero Ferra tidak ragu akan jawaban Justina. Sewaktu kecil Justina selalu
mengakhiri doanya dengan, "Dan selamatkanlah Turi Guiliano dari carabinieri?'
Ia selalu berharap ada pesan yang harus diantarnya ke ibu Guiliano, Maria
Lombardo. Lalu sewaktu kabar mengenai terowongan yang menuju rumah La
Venera tersiar, Justina marah besar. Mula-mula ayah dan ibunya mengira
kemarahan itu karena penangkapan atas La Venera dan orangtua Guiliano, tapi
lalu mereka menyadari kemarahan itu disebabkan kecemburuan.
Jadi Caesero Ferra bisa mengantisipasi jawaban putrinya; tak ada kejutan. Tapi
yang mengejutkan adalah cara Justina menerima berita itu. Ia tersenyum nakal
kepada ayahnya seolah ia memang berencana menggodanya, seakan ia sudah
tahu dirinya bisa menaklukkan Guiliano.
Jauh di pegunungan berdiri puri Normandia kecil, hampir tinggal puing-puing,
yang tidak dihuni selama dua puluh tahun. Guiliano memutuskan merayakan
pernikahan dan bulan madunya di sana. Ia memerintahkan Aspanu Pisciotta
menetapkan batas penjagaan orang-orang bersenjata, untuk mencegah serangan
mendadak. Kepala Biara Manfredi meninggalkan biara dengan kereta keledai,
lalu diusung dengan tandu oleh anggota kelompok Guiliano, melintasi jalan-
jalan setapak pegunungan. Di puri tua itu ia gembira menemukan kapel pribadi,
walaupun semua patung dan ukirannya yang berharga telah lama dicuri. Tapi
batu-batu polosnya indah, begitu pula altar batunya. Kepala Biara tidak
sepenuhnya setuju Guiliano menikah, dan sesudah mereka berpelukan ia berkata
dengan nada bergurau kepada Guiliano, "Kau seharusnya memerhatikan pepatah
kuno, 'Orang yang bermain sendirian tidak pernah kalah.'"
Guiliano tertawa dan berkata, "Tapi aku harus memikirkan kebahagiaanku
sendiri." Kemudian ia menambahkan salah satu kata-kata mutiara kaum petani
yang paling disukai Kepala Biara, yang selalu digunakannya untuk
membenarkan caranya mencari uang; "Ingat,
Santo Joseph mencukur janggutnya sendiri sebelum mencukur murid-murid
lainnya." Ucapannya menggembirakan hati Kepala Biara, dan ia membuka kotak
dokumen serta menyerahkan akte pernikahan Guiliano. Dokumen yang cantik,
dihiasi huruf-huruf kaligrafi abad pertengahan yang ditulis dengan tinta emas.
"Pernikahan ini akan dicatat di biara," kata Kepala Biara. 'Tapi jangan takut, tak
seorang pun akan mengetahuinya."
Pengantin wanita dan orangtuanya didatangkan dengan keledai semalam.
Mereka tinggal di ruangan-ruangan puri yang telah dibersihkan anak buah
Guiliano dan dilengkapi ranjang-ranjang yang terbuat dari bambu dan jerami.
Guiliano merasa sedih karena orangtuanya sendiri tidak hadir dalam pernikahan
itu, B mereka berada di bawah pengawasan ketat Pasukan Khusus Kolonel Luca.
Hanya Aspanu Pisciotta, Stefan Andolini, Passatempo, Kopral Silvestro, dan
Terranova yang hadir dalam pernikahan itu. Justina mengganti pakaian
bepergiannya dengan gaun putih yang pernah dikenakannya di Palermo, gaun
yang telah mencatat sukses besar. Ia tersenyum kepada Guiliano, dan Guiliano
terpana melihat senyum berseri-seri itu. Kepala Biara mempersingkat upacara,
lalu mereka keluar ke halaman rumput puri, di sana telah disiapkan meja dengan
anggur, daging dingin, dan roti. Mereka semua bersantap cepat dan bersulang
untuk kedua pengantin. Perjalanan pulang Kepala Biara dan suami-istri Ferra
akan berlangsung lama dan berbahaya. Mereka gelisah patroli carabinieri
mungkin sampai ke kawasan ini dan para jfehersenjata harus bertempur
menghadapi me-reka. Kepala Biara ingin segera pulang, tapi Guiliano
menahannya.
"Aku ingin mengucapkan terima kasih atas apa yang sudah kaulakukan hari ini,"
kata Guiliano. "Segera sesudah hari pernikahanku aku ingin melakukan
pengampunan. Tapi aku membutuhkan bantuanmu." Mereka berbicara pelan
selama beberapa saat, dan Kepala Biara mengangguk-angguk.
Justina memeluk orangtuanya; ibunya menangis dan memandang Guiliano
dengan tatapan memohon. Lalu Justina membisikkan sesuatu ke telinganya dan
ibunya tertawa. Mereka kembali berpelukan, lalu orangtua Justina naik ke
keledai masing-masing.
Pengantin baru itu menghabiskan malam pertama mereka di ruang tidur utama
puri. Ruangan itu semula kosong melompong tapi Turi Guiliano telah
mengisinya dengan kasur besar yang diangkut keledai, dilengkapi seprai sutra
dan selimut serta bantal bulu angsa yang dibeli dari toko terbaik di Palermo. Ada
kamar mandi yang sama luasnya dengan kamar tidur, dilengkapi bak mandi
marmer dan wastafel besar. Tentu saja tidak ada air mengalir dan Guiliano harus
mengisi bak dengan air yang diambilnya sendiri dari sungai kemilau yang
mengalir di samping puri, menggunakan ember. Ia juga mengisi kamar itu
dengan perlengkapan kamar mandi dan parfum yang belum pernah dilihat
Justina seumur hidupnya.
Telanjang, Justina mula-mula merasa malu, menutupi sela kakinya dengan
tangan. Kulitnya keemasan. Ia langsing tapi memiliki payudara penuh wanita
dewasa. Ketika Guiliano menciumnya, Justina memalingkan kepalanya sedikit
sehingga pemuda itu hanya mencium
sudut mulurnya. Guiliano bersabar, tidak dengan keahlian pencinta melainkan
dengan indra taktis yang selama ini diandalkannya dalam perang gerilya. Justina
membiarkan rambutnya yang panjang dan hitam pekat menjuntai menutupi
payudaranya dan Guiliano membelai rambutnya serta berbicara tentang saat-saat
pertama ia melihat Justina sebagai wanita pada hari yang menentukan di
Palermo. Betapa cantiknya Justina saat itu. Ia mengutip sejumlah puisi yang
dituUsnya tentang Justina saat ia seorang diri di pegunungan dan memimpikan
kecantikannya. Justina bersantai di ranjang, selimut bulu angsa menutupi
tubuhnya. Guiliano berbaring di atas selimut, tapi Justina mengalihkan
tatapannya.
Justina mengungkapkan kepada Guiliano bagaimana ia jatuh cinta kepadanya
pada hari ia membawa pesan dari kakak lelakinya dan betapa hancur hatinya
sewaktu menyadari Guiliano tidak mengenali dirinya sebagai gadis kecil yang
diberi uang pengganti bertahun-tahun lalu. Ia bercerita betapa ia berdoa bagi
Guiliano setiap malam sejak berusia sebelas tahun, betapa ia mencintai Guiliano
sejak hari itu.
Turi Guiliano merasa sangat bahagia mendengarkan cerita Justina. Justina
mencintainya, memikirkan dan memimpikan dirinya sementara ia sendirian di
pegunungan. Ia terus membelai rambut Justina dan wanita itu menangkap
tangannya dan memegangnya, tangannya H hangat dan kering. "Apa kau terkejut
sewaktu kuminta ayahmu berbicara kepadamu soal pernikahan?" tanya Guiliano.
Justina tersenyum, senyum kemenangan. "Tidak idah kau menatapku begitu rupa
di Palermo," ujarnya. "Sejak hari itu aku menyiapkan diri untukmu."
Guiliano membungkuk untuk mencium bibir Justina yang penuh, merah tua
bagai anggur, dan kali ini Justina tidak memalingkan wajah, Guiliano terkejut
menyadari manisnya mulut Justina, tarikan napasnya, dan kepekaan kulitnya
sendiri. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa tubuhnya bagai meleleh
dan lepas dari dirinya. Ia mulai menggigil, dan Justina menyingkap selimut bulu
angsanya sehingga Guiliano bisa berbaring bersamanya. Justina berbaring
menyamping agar bisa memeluk Guiliano, sehingga mereka menyatu, dan
tubuhnya terasa berbeda dari tubuh mana pun yang pernah disentuh Guiliano.
Justina memejamkan mata.
Turi Guiliano mencium mulurnya, matanya yang terpejam, dan payudaranya,
kulitnya begitu halus sehingga panasnya daging hampir-hampir membakar bibir
Guiliano. Ia terpana akan aroma tubuh Justina, begitu manis, tidak terpengaruh
pahitnya kehidupan, begitu jauh dari kematian. Ia membelai paha Justina dan
kehalusan kulit bagai sutra itu menyebabkan ia terangsang hingga hampir-
hampir menyakitkan, pada saat sama ia merasa begitu terpesona hingga tertawa
keras-keras. Tapi lalu Justina menyentuh sela pahanya, sangat lembut, dan
Guiliano hampir-hampir kehilangan kesadaran. Ia bercinta dengan gairah liar
tapi lembut dan Justina membalas belaiannya, pelan-pelan, hati-hati, dan
beberapa saat kemudian dengan gairah yang sama. Mereka bercinta sepanjang
malam tanpa kata kecuali seruan-seruan singkat penuh cinta, dan saat fajar
merekah, Justina tertidur kelelahan.
Sewaktu terjaga hampir tengah hari ia mendapati bak mandi marmer besar telah
terisi air dingin, dan ember-ember di samping wastafel juga penuh air. Turi tidak
terlihat di mana pun. Sejenak ia merasa takut karena sendirian; lalu ia melangkah
masuk ke bak mandi dan membersihkan diri. Sesudahnya ia mengeringkan tubuh
dengan handuk besar kasar berwarna cokelat dan mengoleskan salah satu parfum
di wastafel ke mbuhnya. Lalu ia mengenakan pakaian bepergian, gaun panjang
cokelat tua dan sweter putih berkancing. Ia memakai sepatu biasa.
Di luar matahari bulan Mei sangat terik, seperti biasa di Sisilia, tapi angin
pegunungan menyejukkan udara. Di dekat meja lipat terdapat api unggun, dan
Guiliano telah menyiapkan sarapan untuknya—roti kasar yang dipanggang, ham
clingin, dan buah-buahan. Ada juga mug-mug susu yang dituang dari wadah
logam yang dibungkus dedaunan.
Tidak terlihat siapa pun jadi Justina langsung berlari ke pelukan Turi dan
menciumnya penuh semangat. Lalu ia berterima kasih karena Turi membuatkan
sarapan tapi kemudian memarahinya karena tidak membangunkannya agar ia
bisa menyiapkan makanan. Pria Sisilia tidak biasa berbuat begitu.
Mereka bersantap di bawah cahaya matahari. Di sekitar mereka, di sekitar
pesona mereka, berdiri sisa-sisa dinding puri, di atas mereka menjulang
reruntuhan menara Normandia, puncaknya dihiasi mosaik batu berwarna-warni.
Di pintu masuk puri berdiri gerbang Normandia yang megah, dan melewati
bebatuan yang pecah-pecah itu mereka bisa melihat lengkungan altar Mereka
melangkahi reruntuhan dinding puri dan berjalan menerobos pohon-pohon
zaitun, di sela-sela pepohonan lemon yang bertebaran. Mereka melintasi kebun
bunga yang banyak tumbuh di Sisilia—asphodel yang biasa digunakan penyair
Yunani, anemone merah muda, hyacinth ungu, Adonis merah yang menurut
legenda ternoda darah kekasih Venus. Turi Guiliano memeluk Justina; rambut
dan tubuh gadis itu memantulkan wangi yang dipancarkan bunga-bunga itu. Jauh
di belukar zaitun, Justina dengan berani menariknya dan merebahkannya di
permadani luas yang terbuat dari bunga aneka warna, dan mereka bercinta. Di
atas mereka gerombolan kupu-kupu kuning dan hitam berputar-putar, lalu
membubung ke langit biru keunguan.
Di hari ketiga dan terakhir mereka mendengar suara tembakan di pegunungan di
kejauhan. Justina terkejut, tapi Guiliano menenangkannya. Guiliano selalu
berhati-hati sepanjang tiga hari itu agar Justina tidak ketakutan. Ia tidak
bersenjata, tidak terlihat senjata di sekitar mereka; ia menyembunyikan
senjatanya di kapel. Ia menyembunyikan kewaspadaannya, dan ia
memerintahkan anak buahnya bersembunyi. Tapi tidak lama sesudah tembakan
itu Aspanu Pisciotta muncul membawa seikat kelinci berlumuran darah di
bahunya. Ia melemparkan kelmci-keHnci ini ke kaki Justina dan berkata,
"Masaklah ini untuk suamimu, itu hidangan kesukaannya. Dan kalau
masakanmu hancur, kita masih punya dua puluh ekor lagi." Ia tersenyum kepada
Justina, dan sementara gadis itu sibuk menguliti dan membersihkan kelinci, ia
memberi isyarat kepada Guiliano. Keduanya menuju gerbang lengkung yang
telah runtuh dan duduk. "Well, Turi," kata Pisciotta, menyeringai, "apa dia
memang layak sehingga kita harus mempertaruhkan oyawa?"
Guiliano berkata pelan, "Aku bahagia. Sekarang katakan tentang kedua puluh
kelinci yang kautembak tadi."
"Salah satu patroli Luca, tapi berkekuatan penuh," cerita Pisciotta. "Kami
menghadang mereka di perbatasan. Dua kendaraan lapis baja. Salah satunya
melewati ladang ranjau kita dan terbakar sama buruknya seperti kelmci-kelinci
yang dibakar istri barumu itu. Kendaraan lain menembakkan senjatanya ke batu-
batu dan lari pulang ke Montelepre. Mereka akan kembali besok pagi, tentu saja,
untuk menemukan rekan-rekan mereka. Dengan kekuatan lebih besar.
Kusarankan kautinggalkan tempat ini malam nanti."
"Ayah Justina akan menjemputnya fajar besok," kata Guiliano. "Kau sudah
mengatur pertemuan kecil kita?"
"Ya," jawab Pisciotta.
"Sesudah kepergian istriku..." Guiliano tergagap saat mengucapkan "istriku" dan
Pisciotta tertawa. Guiliano tersenyum dan melanjutkan, "...ajak orang-orang itu
menemuiku di kapel dan kita selesaikan masalahnya." Ia diam sejenak dan
berkata, "Apa kau terkejut sewaktu kuberitahukan kejadian yang sebenarnya di
Ginestra?"
"Tidak," kata Pisciotta.
"Kau mau makan malam bersama kami?" tanya Guiliano.
"Di malam teraldiir bulan madumu?" Pisciotta menggeleng. "Kau tahu pepatah:
'Hati-hati terhadap masakan pengantin baru.'"
Tentu saja maksud pepatah kuno itu adalah kemung-kuian berkhianatnya rekan
yang baru diajak bergabung dalam kejahatan. Pisciotta sekali lagi mengatakan
Guiliano seharusnya tidak menikah.
Guiliano tersenyum. "Semua ini tidak bisa berlangsung lebih lama lagi—kita
harus mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang berbeda. Pastikan
penjagaan di perbatasan tetap bertahan besok sampai kita menyelesaikan semua
urusan."
Pisciotta mengangguk. Ia melirik ke api unggun tempat Justina memasak.
"Betapa cantiknya dia," pujinya. "Apalagi mengingat dia tumbuh besar tepat di
depan hidung kita dan kita tidak pernah menyadarinya. Tapi hati-hatilah, kata
ayahnya dia pemarah. Jangan biarkan dia menyentuh senjatamu."
Sekali lagi ini keterusterangan kasar khas petani Sisilia, tapi Guiliano seolah
tidak mendengarnya dan Pisciotta melompati dinding kebun, menghilang di sela-
sela pohon zaitun.
Justina mengumpulkan bunga-bunga dan menempatkannya dalam vas tua yang
ditemukannya di puri. Sawgkaian itu menyemarakkan meja. Ia menyajikan
masakannya, kelinci dengan bawang putih dan tomat, semangkuk salad dengan
minyak zaitun dan cuka anggur merah. Menurut Turi ia tampak agak gugup,
agak sedih. Mungkin karena suara tembakan, mungkin kehadiran Aspanu
Pisciotta di Taman Eden mereka dengan wajahnya yang pucat pasi, senapan
tergantung di tubuhnya.
Mereka duduk berhadapan sambil makan pelan-pelan. Justina bukan juru masak
yang buruk, pikir Guiliano, dan ia sigap memberinya tambahan roti, daging dan
mengisi gelas anggurnya; ia sudah dilatih
baik oleh ibunya. Guiliano rrienyadari dan mengakui Justina suka makan—ia
tampak segar, justina menengadah dan melihat Guiliano tengah mengawasinya.
Ia
tersenyum dan berkata, "Apa masakannya selezat
masakan ibumu?" "Lebih lezat," kata Guiliano. "Tapi jangan pernah
bilang padanya." Justina masih memandanginya bagai kucing. "Apa
sama lezatnya dengan masakan La Venera?"
Turi Guiliano tidak pernah menjalin hubungan cinta dengan gadis muda. Ia
terkejut, tapi pikiran taktisnya cepat mencerna pertanyaan itu. Berikutnya Justina
akan menanyakan hubungan seksnya dengan La Venera. Ia tak ingin mendengar
atau menjawab pertanyaan seperti itu. Ia tidak mencintai wanita lebih tua itu
sebagaimana cintanya terhadap gadis muda ini; namun ia sayang dan hormat
kepada La Venera. La Venera wanita yang mengalami berbagai tragedi dan
penderitaan yang belum pernah dialami gadis muda dengan segala pesonanya
ini.
Guiliano tersenyum serius kepada Justina. Justina beranjak bangkit untuk
membersihkan meja tapi menunggu jawabannya. Guiliano berkata, "La Venera
pandai memasak—tidak adil membandingkan dirimu dengannya."
Sebuah piring melayang melewati kepalanya dan Guiliano tertawa lepas. Ia
tertawa penuh sukacita dan bahagia karena menjadi bagian dari pertengkaran
rumah tangga dan karena untuk pertama kalinya topeng kemanisan dan
kepatuhan ditanggalkan dari wajah Justina. Tapi begitu ia mulai terisak-isak
Guiliano memeluknya.
Mereka berdiri di sana, dalam senja keperakan yang
469 turun begitu cepat menyelimuti Sisilia. Guiliano menggumam ke telinga
Justina yang mencuat kemerahan dari balik rambutnya yang hitam pekat. "Aku
hanya bergurau. Kau juru masak terbaik di dunia." Tapi Guiliano membenamkan
wajahnya di leher Justina agar ia tidak bisa melihat senyumnya.
Di malam terakhk, mereka lebih banyak bercakap-cakap daripada bercinta.
Justina bertanya tentang La Venera dan Guiliano mengatakan wanita itu
merupakan masa lalu dan sebaiknya dilupakan. Justina bertanya tentang masa
depan mereka berdua. Guiliano menjelaskan ia sedang mengatur untuk mengirim
Justina ke Amerika dan akan bergabung dengannya di sana. Tapi ayah Justina
sudah memberitahukan hal itu; yang dipertanyakan Justina hanyalah bagaimana
mereka bisa bertemu lagi sebelum ia berangkat ke Amerika. Guiliano melihat
tidak pernah terlintas dalam benak Justina kemungkinan dirinya gagal melarikan
diri; Justina terlalu muda untuk bisa membayangkan akhir yang tragis.
Ayah Justina datang saat fajar baru merekah. Justina memeluk Turi Guiliano
erat-erat untuk terakhir kali dan pergi.
Guiliano pergi ke kapel di reruntuhan puri dan menunggu kedatangan Aspanu
Pisciotta bersama para pemimpin anak buahnya. Sementara menunggu ia
mempersenjatai diri dengan senapan-senapan yang-disembunyikannya di kapel.
Dalam percakapan dengan Kepala Biara Manfredi tepat sebelum pernikahannya,
Guiliano menyatakan kecurigaannya bahwa Stefan Andolini dan Passatempo
menemui Don Croce dua hari sebelum pembantaian di
Portella della Ginestra. Ia meyakinkan Kepala Biara dirinya tidak akan
menyakiti putranya, tapi penting baginya mengetahui kebenaran. Kepala Biara
menceritakan seluruh kejadiannya. Seperti telah ditebak Turi, Stefan Andolini
telah mengaku dosa kepada ayahnya.
Don Croce meminta Stefan Andolini membawa Passatempo menemuinya diam-
diam di Villaba. Andolini diperintahkan menunggu di luar ruangan sementara
keduanya bercakap-cakap. Pertemuan itu hanya dua hari sebelum pembantaian.
Sesudah tragedi May Day itu Stefan Andolini mengkonfrontasi Passatempo,
yang mengakui Don Croce telah memberinya sejumlah besar uang untuk
menentang perintah Guiliano dan mengarahkan senapan mesin ke kerumunan
orang. Passatempo mengancam kalau Andolini mem-beritahu Guiliano, ia akan
bersumpah menyatakan Andolini ada di dalam ruangan bersama Don Croce
sewaktu tawar-menawar terjadi. Andolini terlalu takut memberitahu siapa pun
kecuali ayahnya, Kepala Biara Manfredi. Manfredi menasihatinya untuk
menutup mulut. Seminggu setelah pembantaian Guiliano dicekam kedukaan
begitu hebat sehingga ia yakin akan mengeksekusi keduanya.
Sekali lagi Guiliano meyakinkan Kepala Biara ia tidak akan melukai putranya.
Guiliano memberikan beberapa perintah pada Pisciotta tapi mengatakan mereka
akan menyelesaikan masalahnya sesudah Justina kembali ke Montelepre,
sesudah bulan madu. Ia tidak ingin berperan sebagai tukang jagal di depan
pengantinnya.
Ia sekarang menunggu di kapel reruntuhan puri Normandia, langit-langitnya
berupa langit Mediterania yang biru. Ia bersandar ke sisa-sisa altar di
belakangnya,
471 dan begitulah posisinya sewaktu menerima para pemimpin anak buahnya
yang dibawa masuk Pisciotta. Kopral telah mendapat penjelasan dari Pisciotta
dan berdiri di tempat senjatanya bisa dibidikkan ke Passatempo dan Stefan
Andolini. Keduanya diajak langsung menghadap Guiliano di depan altar.
Terranova, yang tidak tahu apa-apa, duduk di salah satu bangku batu kapel. Ia
yang memimpin pertahanan perbatasan di malam hari dan ia kelelahan. Guiliano
tidak mem-beritahu siapa pun apa yang akan dilakukannya terhadap Passatempo.
Guiliano mengerti Passatempo mirip hewan liar—ia bisa merasakan perubahan
atmosfer dan mencium bahaya yang terpancar dari orang lain. Guiliano berhati-
hati agar bersikap seperti biasa terhadap Passatempo. Ia selaki lebih menjaga
jarak dengannya daripada dengan pemimpin lainnya. Ia bahkan menugaskan
Passatempo dan kelompoknya mengendalikan kawasan di sekitar Trapani yang
cukup jauh, karena kebuasan Passatempo membuatnya jijik. Ia menggunakan
Passatempo untuk mengeksekusi para informan dan juga untuk mengancam
"tamu" yang keras kepala sampai mereka membayar tebusannya. Hanya melihat
Passatempo biasanya sudah cukup membuat para tahanan ketakutan dan
mempersingkat negosiasi. Tapi kalau itu belum cukup, Passatempo akan
mengungkapkan apa yang akan dilakukannya terhadap mereka dan keluarga
mereka kalau tebusan tidak dibayar. Dan ia bercerita dengan kenikmatan begitu
rupa sehingga para "tamu" akan berhenti tawar-menawar agar bisa dibebaskan
sesegera mungkin.
Guiliano mengarahkan pistol otomatisnya kepada
Passatempo dan berkata, "Sebelum berpisah kita harus membereskan utang-
piutang di antara kita. Kau tidak mematuhi perintahku, kau menerima uang dari
Don Croce untuk membantai orang-orang di Portella della Ginestra."
Terranova memandang Guiliano dengan mata menyipit, bertanya-tanya akan
keselamatannya sendiri, apakah Guiliano tengah menyeHdiki siapa yang
sebenarnya bersalah. Apakah ia mungkin akan dituduh juga. Ia mungkin bisa
bergerak membela diri, tapi Pisciotta juga mengarahkan pistolnya kepada
Passatempo.
Guiliano berkata kepada Terranova, "Aku tahu kau dan kelompokmu mematuhi
perintahku. Passatempo tidak. Tindakannya membahayakan nyawamu, karena
kalau aku tidak mengetahui kebenarannya, aku akan terpaksa mengeksekusi
kalian berdua. Tapi sekarang kita harus menghadapinya."
Stefan Andolini tidak bergerak sedikit pun. Sekali lagi ia pasrah pada nasib.
Selama ini ia setia kepada Guiliano dan, seperti semua orang yang percaya pada
Tuhan tidak akan pernah percaya bahwa Tuhan kejam, dan melakukan kejahatan
atas NamaNya, ia percaya penuh dirinya tidak akan disakiti.
Passatempo juga tahu. Dengan naluri hewan yang tajam ia merasakan
kematiannya sudah dekat. Tidak ada yang bisa membantunya kecuali
kebrutalannya sendiri, tapi dua pucuk pistol diarahkan kepadanya. Ia hanya bisa
mengulur waktu dan melakukan serangan terakhir. Jadi ia berkata, "Stefan
Andolini memberiku uang dan pesan itu—dia juga terlibat," dengan harapan
Andolini akan bertindak membela diri dan dengan begitu ada kesempatan
menyerang. Guiliano berkata kepada Passatempo, "Andolini sudah mengaku
dosanya dan tangannya tidak pernah menyentuh senapan mesin itu. Don Croce
menipunya sama seperti ia telah menipu cliriku."
Passatempo berkata dengan kebingungan liar, "Tapi aku sudah membunuh
ratusan orang dan kau tidak pernah mengeluh. Dan kejadian di Portella itu
hampir dua tahun lalu. Kita sudah bersama-sama selama tujuh tahun dan hanya
satu kali itu aku tidak mematuhimu. Don Croce membuatku percaya kau tidak
akan terlalu menyesali perbuatanku. Bahwa kau terlalu takut melakukannya
sendiri. Dan apa artinya kematian beberapa orang dibandingkan orang-orang
lainnya yang kita bunuh? Secara pribadi aku tidak pernah tidak setia kepadamu."
Pada saat itu Guiliano menyadari betapa sia-sianya membuat orang ini
memahami akibat perbuatannya. Lagi pula, bagaimana peristiwa itu bisa begitu
menyakiti hatinya? Selama bertahun-tahun ini bukankah ia sendiri pernah
memerintahkan tindakan yang hampir sama mengerikan? Eksekusi si tukang
cukur, penyaliban pendeta palsu, penculikan-penculikan, pembantaian
carabinieri, pembunuhan keji para mata-mata? Kalau Passatempo orang yang
kasar, sejak lahir, lalu apakah dirinya ini, Pembela Sisilia? Ia merasakan
keengganannya melakukan eksekusi. Jadi Guiliano berkata, "Kuberi kau waktu
untuk berdamai dengan Tuhan. Berlutut dan berdoalah."
Pemimpin lainnya menjauhi Passatempo, meninggalkan dirinya di tengah-tengah
lingkaran kematiannya sendiri. Ia bergerak seakan hendak berlutut dan lalu
tubuhnya yang gemuk pendek melesat ke arah Guiliano.
Guiliano melangkah maju menyambutnya dan menyentuh picu pistol otomatis.
Peluru menghantam passatempo di udara, tapi ia terus maju dan membentur
Guiliano ketika tubuhnya roboh. Guiliano menjauhinya.
Siang itu mayat Passatempo ditemukan di jalan pegunungan yang dilewati
patroli carabinieri. Pada mayatnya dijepitkan surat pendek berbunyi,
KEMATIAN BAGI SEMUA YANG MENGKHIANATI GUILIANO. BUKU V
TURI GUILIANO DAN MICHAEL CORLEONE 1950
MICHAEL tertidur lelap, lalu tiba-tiba terjaga. Rasanya seperti ia merenggut
tubuhnya keluar dari lubang yang dalam. Kamar tidur gelap gulita; ia memang
menutup daun jendela kayunya untuk menghalangi cahaya bulan yang laming
pucat Tidak terdengar suara, hanya kesunyian menakutkan yang kini dipecahkan
debur jantungnya. Ia bisa merasakan kehadiran seseorang dalam kamar.
Ia berbalik di ranjang, dan dalam pandangannya ada genangan kegelapan yang
lebih terang di lantai di dekatnya. Ia mengulurkan tangan dan menyalakan lampu
di samping ranjang. Genangan itu membentuk potongan kepala patung Bunda
Maria berkulit hitam. Ia menebak potongan kepala itu jatuh dari meja dan
bunyinya membangunkan dirinya. Ia merasa tenang dan tersenyum lega. Pada
saat itu ia mendengar geme-resik pelan di pintu. Ia berpaling, dan dalam bayang-
bayang yang tidak terjangkau cahaya oranye suram lampu, ia bisa melihat wajah
kurus gelap Aspanu Pisciotta.
Ia duduk di lantai memunggungi pintu. Mulurnya yang berkumis merekah
membentuk senyum kemenangan, seakan hendak mengatakan, percuma saja
para penjagamu itu, percuma saja keamanan tempat perlindunganmu ini.
Michael memandang arlojinya yang ada di meja samping ranjang. Pukul tiga.
"Kau terus muncul di jam-jam yang tidak biasa—apa yang kautunggu?"
tanyanya. Ia turun dari ranjang dan bergegas berpakaian, lalu membuka jendela.
Cahaya bulan menerobos memasuki ruangan bagai hantu, muncul dan
menghilang. "Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Michael.
Pisciotta bangkit bagai ular mengangkat kepala siap menyerang. "Aku senang
mengamati orang tidur. Terkadang dalam tidur mereka meneriakkan rahasia
mereka."
"Aku tidak pernah mengungkapkan rahasiaku," kilah MichaeL "Dalam mimpi
pun tidak." Ia melangkah keluar ke teras dan menawarkan rokok kepada
Pisciotta. Mereka merokok bersama. Michael bisa mendengar dada Pisciotta
menggemuruh karena menahan batuk dan wajahnya pucat pasi tertimpa cahaya
bulan, tulang-tulangnya menonjol.
Mereka membisu. Lalu Pisciotta bertanya, "Kau pernah membaca Wasiat?"
"Ya," jawab MichadL
Pisciotta mendesah. "Turi memercayaiku lebih daripada siapa pun di dunia ini—
dia memercayakan hidupnya padaku. Aku satu-satunya orang yang bisa
menemukan dirinya sekarang. Tapi dia tidak memercayakan Wasiat kepadaku.
Dokumen itu ada padamu?"
Michael ragu-ragu sejenak. Pisciotta tertawa.
"Kau mirip Turi," ujarnya.
"Wasiat ada di Amerika," kata Michael. "Dokumen itu sudah diamankan
ayahku." Ia tidak ingin Pisciotta
mengetahui dokumen itu dalam perjalanan ke Tunisia hanya karena ia tidak
ingin ada orang lain yang mengetahuinya.
Michael hampir-hampir takut mengajukan pertanyaan selanjurnya. Hanya ada
satu alasan Pisciotta mengunjunginya diam-diam. Hanya ada satu alasan ia
mengambil risiko menghindari para penjaga yang mengepung vila; atau ia
memang diizinkan masuk? Kedatangan Pisciotta hanya berarti Guiliano aldurnya
siap muncul. "Kapan Guiliano kemari?" ia bertanya.
"Besok malam," jawab Pisciotta. "Tapi tidak di sini."
"Kenapa tidak?" tanya Michael. "Ini tempat yang aman."
Pisciotta tertawa. "Tapi aku bisa menerobos, bukan?"
Michael merasa jengkel atas kebenaran itu. Ia kembali bertanya-tanya apakah
Pisciotta diizinkan masuk oleh para penjaga berdasarkan perintah Don Domenic,
atau bahkan dibawa kemari oleh Don Domenic sendiri. "Hanya Guiliano yang
bisa memutuskan," katanya.
"Tidak," bantah Pisciotta. "Aku yang memutuskan baginya. Kau sudah berjanji
kepada keluarganya dia akan aman. Tapi Don Croce tahu kau di sini, begitu juga
Inspektur Velardi. Mata-mata mereka ada di mana-mana. Apa yang
kaurencanakan untuk Guiliano? Pesta pernikahan, ulang tahun? Pemakaman?
Kekonyolan macam apa yang kaukatakan kepada kami? Kaukira kami di Sisilia
ini keledai semua?" Ia mengucapkannya dengan nada berbahaya.
"Aku tidak akan menceritakan rencana pelarian ini kepadamu," kata Michael.
"Kau bisa memilih memercayaiku atau tidak. Katakan di mana kau akan
mengantarkan Guiliano dan aku akan ada di sana. Kalau kau tidak
mengatakannya, besok malam aku sudah aman di Amerika, sementara kau dan
Guiliano masih berusaha menyelamatkan diri."
Pisciotta tertawa dan berkata; "Berbicara seperti orang Sisilia sejati—kau tidak
menyia-nyiakan keberada-anmu di sini." Ia mendesah. "Sulit dipercaya semua
ini harus berakhir," katanya. "Hampir tujuh tahun bertempur dan melarikan diri,
menghadapi pengkhianatan dan pembunuhan. Tapi kami Raja-Raja Montelepre,
Turi dan aku—ada cukup banyak kebanggaan bagi kami berdua. Kebanggaan
dirinya bagi kaum miskin dan kebanggaanku bagi diriku sendiri. Mula-mula aku
tidak pernah percaya, tapi di tahun kedua kami sebagai pelanggar hukum, dia
membuktikannya kepadaku dan seluruh anggota kelompok. Ingat, aku orang
kedua dalam kelompoknya, sepupunya, orang yang paling dipercayainya. Aku
mengenakan sabuk bergesper emas sama seperti dirinya; dia memberikannya
padaku. Tapi aku merayu putri petani di Partinico dan niengharnili-nya. Ayahnya
menemui Guiliano dan menceritakan masalahnya. Kau tahu apa yang dilakukan
Turi? Dia mengikatku ke sebatang pohon dan mencambuki diriku. Tidak di
depan petani itu atau salah satu anak buah kami Dia tidak akan pernah
mempermalukan diriku sepera itu. Itu rahasia kami. Tapi aku tahu kalau aku
menentang perintahnya lagi, dia akan membunuhku. Begitulah Turi kami."
Tangan Pisciotta bergetar ketika ia mengangkatnya ke mulut. Dalam cahaya
bulan yang mulai memudar kumisnya yang tipis berkilau bagai sepotong tipis
tulang hitam.
Betapa aneh ceritanya, pikir Michael. Kenapa ia menceritakannya kepadaku?
Mereka kembali ke kamar tidur dan Michael menutup daun jendela. Pisciotta
mengambil potongan kepala patung Bunda Maria berkulit hitam dari lantai dan
menyerahkannya kepada Michael. "Aku melemparkannya ke lantai untuk
membangunkanmu," katanya, "wasiat ada di dalamnya, benar?"
"Ya," jawab Michael.
Wajah Pisciotta berkedut. "Maria Lombardo mem-bohongiku. Aku pernah
bertanya apakah Wasiat ada padanya. Dia menjawab tidak. Lalu dia
memberikannya padamu di depan mataku." Ia tertawa pahit. "Aku sudah seperti
putranya sendiri." Ia diam sejenak lalu berkata, "Dan dia sudah seperti ibuku
sendiri."
Pisciotta meminta rokok lagi. Masih ada sisa anggur di karaf di meja samping
ranjang. Michael menuang segelas untuk mereka berdua, dan Pisciotta
meminumnya penuh syukur. "Terima kasih," katanya. "Sekarang kita harus
membicarakan bisnis. Akan kuantarkan Guiliano padamu di luar kota
Castelvetrano. Gunakan mobil terbuka agar aku bisa mengenalimu, dan datang
langsung dari arah Trapani. Aku akan mencegatmu di tempat yang kutentukan.
Kalau ada bahaya, pakailah topi dan kami tidak akan muncul. Waktunya segera
setelah fajar. Kau bisa mengurusnya?"
"Ya," kata Michael. "Semua sudah diatur. Ada satu hal yang harus kuberitahukan
padamu: Stefan Andolini tidak menemui Profesor Adonis kemarin. Profesor
sangat khawatir."
Pisciotta terkejut untuk pertama kalinya. Lalu ia mengangkat bahu. "Pria kecil
itu selalu siaL" ujarnya. "Sekarang kita harus mengucapkan selamat berpisah
sampai fajar besok." Ia meraih tangan Michael. Michael berkata spontan,
"Ikutlah dengan kami ke Amerika."
Pisciotta menggeleng. "Aku sudah tinggal di Sisilia seumur hidupku dan aku
mencintai kehidupanku. Jadi aku harus mari di Sisilia kalau perlu. Tapi terima
kasih."
Michael anehnya tergerak mendengar kata-kata itu. Bahkan kendati ia kurang
mengenal Pisciotta, ia merasa orang ini tidak akan pernah bisa dicabut dari tanah
dan pegunungan Sisilia. Ia terlalu buas, terlalu haus darah; warna kulitnya,
suaranya, semua Sisilia. Ia tidak akan pernah bisa memercayai tanah asing.
"Akan kuantar kau melewati gerbang," kata Michael.
"Tidak," tolak Pisciotta. "Pertemuan kecil kita ini harus tetap dirahasiakan."
Setelah Pisciotta berlalu, Michael berbaring di ranjangnya sampai fajar, tidak
mampu tidur. Ia akhirnya akan bertemu muka dengan Turi Guiliano; mereka
akan pergi ke Amerika bersama-sama. Ia bertanya-tanya seperti apakah Guiliano
itu? Apakah ia mencerminkan legenda yang beredar tentang dirinya? Begitu
hebatnya sehingga ia mampu mendominasi pulau ini dan memengaruhi arah
sebuah bangsa? Ia bangkit dan membuka jendela. Fajar akhirnya merekah dan ia
menyaksikan matahari menanjak di langit dan membentuk jalur panjang
keemasan melintasi laut, dan di atas berkas cahaya itu ia melihat perahu motor
besar melesat ke dermaga. Ia bergegas keluar dari vila dan menuju pantai untuk
menyambut Peter Clemenza.
Mereka sarapan bersama. Dan Michael menceritakan tentang kunjungan
Pisciotta. Clemenza tidak tampak
terkejut mengetahui Pisciotta berhasil menerobos penjagaan vila.
Mereka menghabiskan sepanjang pagi untuk menyusun rencana menemui
Guiliano. Mungkin ada mata-mata yang mengawasi vila, mencatat setiap
kegiatan yang tidak biasa; irmg-iringan mobil pasti akan menarik perhatian.
Michael juga jelas tengah diawasi. Memang benar, kepolisian Sisilia di bawah
pimpinan Inspektur Velardi tidak akan ikut campur, tapi siapa yang tahu
pengkhianatan apa yang akan terjadi?
Seusai menyusun rencana, mereka makan siang, lalu Michael menuju kamarnya
untuk tidur siang. Ia ingin melewati malam panjang nanti dalam keadaan segar.
Peter Clemenza harus mengurus begitu banyak hal— memberikan perintah
kepada anak buahnya, mengatur transportasi, dan memberikan penjelasan
kepada kakaknya, Don Domenic, mengenai kepulangannya.
Michael menutup daun jendela kamar tidur dan berbaring di ranjang. Tubuhnya
kaku; ia tidak bisa tidur. Dalam 24 jam mendatang banyak kejadian buruk yang
mungkin terjadi. Ia mendapat firasat buruk. Tapi lalu ia memimpikan
kepulangannya ke Long Island, ibu dan ayahnya menunggu di pintu,
pengasingannya yang panjang telah berakhir. Bab 26
SELAMA tujuh tahun menjadi bandit, Turi Guiliano tahu ia harus meninggalkan
kerajaan pegunungannya dan melarikan diri ke Amerika, negeri tempat ia
tumbuh dalam kandungan ibunya, Amerika yang selalu diceritakan orangtuanya
sewaktu ia kanak-kanak. Tanah luar biasa tempat terdapat keadilan bagi orang
miskin, tempat pemerintah tidak menjadi antek orang kaya, tempat orang Sisilia
miskin bisa menjadi kaya hanya dengan bekerja keras secara jujur.
- Mengandalkan persahabatannya, Don menghubungi Don Corleone di Amerika
untuk membantu menyelamatkan Guiliano dan memberinya perlindungan di
sana. Turi Guiliano cukup memahami bahwa Don Croce berbuat begitu juga
demi kepentingannya sendiri, tapi ia tahu dirinya tak punya banyak pilihan.
Kekuasaan kelompoknya telah lenyap.
Malam ini ia akan memulai perjalanan menemui Aspanu Pisciotta; ia akan
menyerahkan diri ke tangan si orang Amerika, Michael Corleone. Kini ia akan
meninggalkan pegunungan ini. Pegunungan yang telah memberinya
perlindungan selama tujuh tahun. Ia akan meninggalkan kerajaannya,
kekuasaannya, keluarganya, dan semua rekannya. Pasukannya telah luluh lantak;
pegunungannya telah dikuasai musuh; pelindungnya, rakyat Sisilia, tengah
dihancurkan Pasukan Khusus Kolonel Luca. Kalau ia tetap tinggal ia akan
meraih beberapa kemenangan, tapi kekalahan finalnya sudah pasti. Untuk saat
ini, ia tidak memiliki pilihan.
Turi Guiliano menyandang /upara-nya., meraih senapan mesinnya dan memulai
perjalanan panjang ke Palermo. Ia mengenakan kemeja putih tanpa lengan, tapi
di luarnya ia memakai jaket kulit bersaku besar yang berisi amunisi senjatanya.
Ia mempercepat langkah. Arlojinya menyatakan pukul sembilan, dan masih ada
sisa-sisa siang hari di langit meskipun bulan malu-malu mulai menampakkan
diri. Ada risiko berpapasan dengan patroli Pasukan Khusus Penekan Bandit,
namun Guiliano melangkah tanpa takut. Selama bertahun-tahun ini ia
mendapatkan semacam kekebalan. Semua orang di pedalaman bagai
menyembunyikan dirinya. Kalau ada patroli mereka akan memberitahunya;
kalau ada bahaya mereka akan melindungi dan menyembunyikan dirinya di
rumah mereka. Kalau ia diserang, para gembala dan petani akan bergabung
membelanya. Ia telah menjadi pembela mereka; mereka tidak akan pernah
mengkhianati dirinya sekarang.
Dalam bulan-bulan setelah pernikahannya, terjadi pertempuran hebat antara
Pasukan Khusus Kolonel Luca dan segmen-segmen kelompok Guiliano. Kolonel
Luca memperoleh pujian atas kematian Passatempo, dan koran-koran
melaporkan dalam judul-judul besar bahwa salah satu pemimpin kelompok
Guiliano yang paling ditakuti tewas dalam pertempuran senjata dengan para
prajurit heroik Pasukan Khusus Penekan Bandit.
487 Kolonel Luca, tentu saja, telah menyingkirkan surat Guiliano dari mayat itu,
tapi Don Croce mengetahuinya dari Inspektur Velardi. Jadi ia tahu Guiliano
menyadari sepenuhnya pengkhianatan yang terjadi pada peristiwa Portella della
Ginestra.Pasukan Kolonel Luca yang berjumlah lima ribu orang melakukan
penekanan besar-besaran terhadap Guiliano. Ia tidak lagi berani memasuki
Palermo untuk membeli pasokan atau menyelinap ke Montelepre untuk
mengunjungi ibunya dan Justina. Banyak anak buahnya yang dikhianati dan
dibunuh. Beberapa pindah atas keinginan sendiri ke Aljazair atau Tunisia.
Lainnya menghilang ke tempat-tempat persembunyian yang memisahkan
mereka dari kegiatan kelompok. Mafia kini aktif menentangnya, menggunakan
jaringannya untuk menggiring anak buah Guiliano ke tangan carabinieri.
Dan akhirnya salah satu pemimpin kelompok Guiliano berhasil dibunuh.
Terranova bernasib sial, dan justru kebaikannya yang menyebabkan kesialan itu.
Ia tidak memiliki kebuasan Passatempo, kelicikan Pisciotta yang berbahaya,
karakteristik mematikan Fra Diavalo. Ia juga tidak memiliki kualitas
kesederhanaan Guiliano. Ia cerdas tapi juga penyayang Dan Guiliano sering kali
menggunakan dirinya untuk berteman dengan korban-korban penculikan
mereka, untuk membagikan uang dan barang -kepada kaum miskin. Terranova
dan kelompoknya yang memenuhi Palermo dengan poster-poster propaganda
Guiliano di tengah malam. Ia jarang terlibat operasi-operasi berdarah.
Ia pria yang membutuhkan cinta dan kasih sayang. Beberapa tahun lalu, ia
memiliki wanita simpanan di
Palermo, janda dengan tiga anak yang masih kecil. Sang janda tidak pernah tahu
dirinya bandit; ia menganggap Terranova pejabat pemerintah di Roma yang
berlibur di Sisilia. Ia bersyukur atas uang dan berbagai hadiah bagi anak-
anaknya yang diberikan Terranova, tapi jelas baginya mereka tidak akan pernah
bisa menikah. Maka janda itu memberi Terranova perhatian dan kasih sayang
yang dibutuhkannya. Bila Terranova berkunjung sang janda memasak berbagai
hidangan; ia mencucikan pakaian Terranova dan bercinta penuh gairah.
Hubungan seperti itu tidak bisa dirahasiakan selamanya dari Friends of the
Friends, dan Don Croce menyimpan informasi itu untuk digunakan pada saat
yang tepat.
Justina sempat mengunjungi Guiliano di pegunungan beberapa kali, dan
Terranova menjadi pengawal dalam perjalanannya. Kecantikan Justina
membangkitkan kerinduan dalam hatinya, dan walaupun sadar keputusannya
ceroboh, ia memutuskan mengunjungi gundiknya untuk yang terakhir kali. Ia
ingin memberi sejumlah besar uang yang bisa menjamin kehidupan sang janda
beserta anak-anaknya selama bertahun-tahun mendatang.
Jadi suatu malam ia menyelinap ke Palermo seorang diri. Ia memberikan uang
kepada janda itu dan menjelaskan dirinya mungkin tidak bisa menemuinya
dalam waktu lama. Sang janda menangis dan memprotes dan akhirnya Terranova
memberitahukan siapa dirinya yang sebenarnya. Wanita itu tertegun. Sikap
Terranova sehari-hari begitu halus, sifatnya begitu lembut, namun ia salah satu
pemimpin terkenal kelompok Guiliano. Sang janda bercinta dengannya begitu
penuh gairah sehingga Terranova merasa senang, dan mereka menghabiskan
malam bahagia bersama ketiga anaknya. Terranova mengajari mereka bermain
kartu, dan sewaktu mereka menang ia membayar dengan uang sungguhan, yang
menyebabkan mereka tertawa-tawa gembira.
Sesudah menidurkan anak-anak, Terranova dan sang janda kembali bercinta
hingga fajar. Lalu Terranova bersiap pergi. Di pintu mereka berpelukan untuk
ter-akhir kali, lalu Terranova bergegas menyusuri jalan kecil dan memasuki alun-
alun utama di depan katedral. Tubuhnya puas dan bahagia, dan pikirannya
tenang. Ia santai dan lengah.
Udara pagi dipecahkan oleh raungan mesin. Tiga mobil hitam melesat ke
arahnya. Orang-orang bersenjata bermunculan dari setiap sisi lapangan. Orang-
orang bersenjata lainnya berlompatan turun dari mobil. Salah satunya berteriak
memerintahkan dirinya agar menyerah, agar mengangkat tangannya.
Terranova memandang katedral, ke arah patung-patung orang suci yang
bertengger di dindingnya; ia melihat balkon-balkon biru dan kuning, matahari
tengah menanjak di langit kebiruan. Ia mengerti inilah terakhir kali ia melihat
keajaiban seperti itu, keberuntungan selama tujuh tahun telah berakhir. Hanya
ada satu tindakan yang harus dilakukannya.
Ia melompat setmggi-tingginya seolah hendak melompati kematian dan
melontarkan diri ke alam semesta yang aman. Saat tubuhnya melayang ke satu
sisi dan menghantam tanah, ia mencabut pistol dan menembak. Salah satu
prajurit terhuyung ke belakang dan jatuh beriutut Terranova mencoba menarik
picunya lagi, tapi pada saat itu ratusan peluru menghunjam tubuhnya,
mencincangnya, mencabik daging dari tulang-
AOCi
tulangnya. Satu hal ia beruntung—kejadiannya berlangsung begitu cepat
sehingga ia tidak sempat bertanya-tanya apakah gundiknya telah
menglduanatinya.
Kematian Terranova menghancurkan Guiliano. Ia paham kejayaan kelompoknya
telah berakhir. Mereka tidak lagi berhasil membalas serangan, mereka tidak lagi
bisa bersembunyi di pegunungan. Tapi ia selalu mengira dirinya dan para
pemimpin anak buahnya akan lolos, bahwa mereka tidak akan tewas. Sekarang
ia tahu waktu yang tersisa sangat sedikit. Ada satu hal yang selalu ingin
dilakukannya, maka ia memanggil Kopral Canio Silvestro.
"Waktu kita sudah habis," katanya kepada Silvestro. "Kau pernah bilang ada
teman-temanmu di Inggris yang akan melmdungimu. Sekarang waktunya kau
pergi. Kau mendapat izinku."
Kopral Silvestro menggeleng. "Aku selalu bisa pergi kalau kau sudah aman di
Amerika. Kau masih membutuhkan aku. Kau tahu aku tidak akan pernah
mengkhianati dirimu."
"Aku tahu," kata Guiliano. "Dan kau tahu perasaanku terhadapmu. Tapi kau
bukan bandit. Kau selalu menjadi prajurit dan polisi. Hatimu selalu taat kepada
hukum. Jadi kau bisa membangun kehidupanmu sendiri sesudah semua ini
berakhir. Anggota kelompok kita selebihnya akan sulit mencapai hal itu. Kami
selamanya bandit."
Silvestro berkata, "Aku tidak pernah menganggap dirimu bandit."
"Aku juga tidak," ujar Guiliano. "Tapi apa yang kulakukan selama tujuh tahun
ini? Kupikir aku berjuang demi keadilan. Kucoba membantu kaum miskin.
Kuharap bisa membebaskan Sisilia. Aku ingin menjadi orang baik. Tapi
waktunya salah dan caranya tidak tepat Sekarang kita harus melakukan apa yang
kita bisa untuk menyelamatkan diri. Jadi kau harus pergi ke Inggris. Aku akan
gembira kalau tahu kau aman." Lalu ia memeluk Silvestro. "Kau teman
sejatiku," katanya, "dan itulah perintahku."
Saat senja, Turi Guiliano meninggalkan guanya dan pindah ke biara Cappuccini
tepat di luar kota Palermo untuk menunggu kabar dari Aspanu Pisciotta. Salah
satu biarawan di sana adalah anggota rahasia kelompoknya, dan ia bertanggung
jawab atas katakombe atau kuburan bawah tanah biara. Di katakombe inilah
terdapat ratusan mayat yang dijadikan mumi.
Selama ratusan tahun sebelum Perang Dunia I, sudah menjadi kebiasaan
keluarga kaya dan bangsawan untuk menempeli dmdmg-dmding biara dengan
kostum yang ingin mereka kenakan saat dimakamkan. Pada saat mereka
meninggal, seusai upacara pemakaman, mayat-mayat mereka dikirim ke biara.
Para biarawan merupakan pakar dalam seni mengawetkan mayat. Mereka
memanasi mayat-mayat itu pelan-pelan selama enam bulan, lalu mengeringkan
bagian-bagian tubuh yang lunak. Selama proses pengeringan kulit mengerut,
ekspresi wajah berubah menjadi seringai kematian, ada yang ketakutan, ada yang
hendak tertawa, sungguh mengerikan bagi yang menyaksikan. Lalu mayat-mayat
itu dipasangi kostum yang telah disediakan dan diletakkan dalam peti mati kaca.
Peti-peti mati itu ditempatkan di lubang-lubang di dinding atau digantungkan
pada
langit-langit menggunakan kabel kaca. Beberapa mayat duduk di kursi, beberapa
berdiri bersandar ke dinding. Beberapa disandarkan dalam kotak-kotak kaca
seperti boneka berkostum.
Guiliano membaringkan diri di batu katakombe yang lembap dan menggunakan
peti mati sebagai bantal. Ia memerhatikan semua orang Sisilia yang telah
meninggal selama ratusan tahun itu. Ada kesatria kerajaan mengenakan seragam
sutra biru berkerut, helm, dan menggenggam pedang. Seorang hakim, berjubah
gaya Prancis, dengan wig putih dan sepatu bot bersol tinggi. Ada kardinal yang
mengenakan jubah merah, uskup agung dengan topi tingginya. Ada putri-putri
istana yang gaun keemasannya sekarang tampak bagai sarang labah-labah yang
mencekik mayat-mayat yang mengerut akibat pengawetan seolah mayat-mayat
itu lalat. Ada gadis muda bersarung tangan putih dan bergaun malam berenda
putih dalam kotak kaca.
Guiliano tidur gelisah selama dua malam yang dilewatinya di sana. Siapa yang
tidak? pikirnya. Mereka ini pria-pria dan wanita-wanita hebat Sisilia selama tiga
atau empat abad terakhir. Dan dengan cara begini mereka mengira bisa
menghindari cacing-cacing. Kebanggaan dan kesombongan orang kaya,
kesayangan nasib. Jauh lebih baik mati di jalan seperti suami La Venera.
Tapi yang benar-benar membuat Guiliano tetap terjaga adalah kekhawatiran
yang mengganggu. Bagaimana Don Croce bisa lolos dari serangan awal pekan
ini? Guiliano tahu operasi itu direncanakan dengan sempurna. Ia telah
memikirkan bagaimana cara melakukan-sejak mengetahui kebenaran
pembantaian di Portella della Ginestra. Don dijaga begitu ketat sehingga harus
ditemukan celah dalam pertahanannya. Guiliano memutuskan kesempatan
terbaiknya adalah saat Don merasa aman di Hotel Umberto Palermo yang dijaga
ketat. Kelompoknya memiliki mata-mata di hotel itu, salah seorang pramusaji. Ia
memberikan jadwal Don, pengaturan penjagaan. Dengan informasi ini Guiliano
yakin serangannya akan berhasil.
Ia memerintahkan tiga puluh orang berkumpul bersamanya di Palermo. Ia
mengetahui kunjungan Michael Codeone dan acara makan siangnya bersama
Don, jadi ia menunggu hingga sore setelah menerima laporan bahwa Michael
telah pergi. Lalu dua puluh anak buahnya menyerang dari depan hotel untuk
menyingkirkan para penjaga dari kebun. Beberapa saat kemudian ia dan sepuluh
anak buahnya yang tersisa menanamkan bahan peledak di dinding kebun dan
meledakkannya. Guiliano memimpin penyerbuan melalui lubang di dmding itu.
Hanya lima penjaga yang tersisa di kebun; Guiliano menembak salah satunya
dan keempat penjaga lainnya lari. Guiliano bergegas ke kamar Don tapi kamar
itu kosong. Dan ia merasa aneh kamar itu tidak dijaga. Sementara itu detasemen
lain dari kelompoknya berhasil menerobos pertahanan dan menggabungkan diri
dengannya. Mereka menggeledah kamar-kamar dan koridor-koridor tapi tidak
menemukan apa pun. Sosok Don yang tinggi besar menyebabkan ia salk
bergerak cepat, jadi hanya ada satu kesimpulan yang bisa ditarik. Don
meninggalkan hotel tidak lama sesudah kepergian Michael. Dan sekarang
terlintas dalam benak Guiliano untuk pertama kalinya bahwa Don Croce telah
diberitahu akan serangan itu.
Sayang sekali, pikir Guiliano. Serangan itu seharusnya menjadi pukulan terakhir
yang gemilang, di samping menyingkirkan musuhnya yang paling berbahaya.
Kenangan akan dirinya pasti luar biasa kalau ia bisa menemukan Don Croce di
kebun yang bermandikan cahaya matahari itu. Tapi akan ada hari lain. Ia tidak
akan tinggal di Amerika selamanya.
Pada pagi ketiga, biarawan Cappuccini, tubuh dan wajahnya hampir sama
kisutnya seperti mumi-mumi yang dijaganya, membawa pesan dari Pisciotta.
Bunyinya, -jDi rumah Charlemagne." Guiliano seketika memahaminya. Zu
Peppino, pemilik kereta sewaan dari Castelvetrano, yang membantu Guiliano
membajak truk-truk Don Croce dan sejak itu menjadi sekum rahasia
kelompoknya, memiliki tiga kereta dan enam ekor keledai. Ketiga keretanya
dilukisi legenda-legenda Kaisar agung, dan sewaktu kecil, Turi dan Aspanu
menyebut rumahnya sebagai rumah Charlemagne. Waktu pertemuan telah
ditentukan.
Malam itu, malam terakhirnya di Sisilia, Guiliano menuju Castelvetrano. Di luar
Palermo ia menjemput beberapa gembala yang merupakan anggota rahasia
kelompoknya dan menggunakan mereka sebagai pengawal bersenjata. Mereka
riba di Castelvetrano dengan begitu mudah sehingga kecurigaan timbul dalam
benak Guiliano. Kota tampak terlalu terbuka. Ia membubarkan para
pengawalnya, yang menyelinap ke kegelapan malam. Lalu ia menuju ke rumah
batu kecil di luar Castelvetrano, di halamannya terdapat tiga kereta berlukis,
sekarang semuanya menampilkan legenda kehidupannya sendiri. Itulah rumah
Zu Peppino. Zu Peppino tidak tampak terkejut melihatnya. Ia meletakkan kuas
yang digunakannya mengecat papan salah satu keretanya. Lalu ia mengunci
pintu dan berkata kepada Guiliano, "Ada masalah. Kau menarik perhatian
carabinieri bagaikan bangkai bagal menarik kiat"
Guiliano terkejut. "Apa mereka Pasukan Khusus Luca?" tanyanya.
"Ya," jawab Zu Peppino. "Mereka bersembunyi, tidak berpatroli di jalan-jalan.
Aku melihat beberapa kendaraan mereka di jalan sewaktu pulang kerja. Dan
beberapa pemilik kereta juga memberitahuku mereka melihat kendaraan-
kendaraan lain. Kami mengira mereka menyiapkan jebakan untuk salah satu
anggota kelompokmu, kami tidak pernah menduga kau orangnya. Kau tidak
pernah bepergian ke selatan sejauh ini, begitu jauh dari pegununganmu."
Guiliano berpikir bagaimana carabinieri bisa mengetahui tempat pertemuannya.
Apa mereka mengikuti Aspanu? Apa- Michael Corleone dan anak buahnya
kurang hati-hati? Atau ada mata-mata? Pokoknya, ia tidak bisa menemui
Pisciotta di Castelvetrano. Tapi mereka punya tempat pertemuan cadangan kalau
salah satu dari mereka tidak muncul di tempat ini.
'Terima kasih atas peringatanmu," kata Guiliano. "Tolong pasang mata kalau
Pisciotta datang kemari dan beritahu dia. Dan bila kau membawa kereta
sewaanmu ke Montelepre, kunjungi ibuku dan beritahu dia aku sudah aman di
Amerika."
Zu Peppino berkata, "Izinkan orang tua ini memelukmu." Dan ia mencium pipi
Guiliano. "Aku tidak pernah percaya kau bisa membantu Sisilia, tidak ada yang
bisa, tidak akan ada yang bisa, bahkan Garibaldi,
bahkan orang tolol II Duce itu. Sekarang kalau kau mau aku bisa memasang
bagal-bagalku ke kereta dan mengantarmu ke mana pun kau ingin pergi."
Pertemuan Guiliano dengan Pisciotta ditetapkan tengah malam. Sekarang baru
pukul sepuluh. Ia sengaja datang lebih awal untuk memeriksa medan. Dan ia
tahu pertemuan dengan Michael Corleone dijadwalkan saat fajar. Tempat
pertemuan cadangan setidaknya dua jam berjalan cepat dari Castelvetrano. Tapi
lebih baik berjalan kaki daripada menggunakan Zu Peppino. Ia mengucapkan
terima kasih kepada pria tua itu dan menyelinap pergi.
Tempat pertemuan cadangan itu berupa reruntuhan puri Yunani kuno yang
disebut Acropolis Selinus. Di selatan Castelvetrano, dekat Mazara del Vallo,
reruntuhan itu berdiri di dataran terpencil dekat laut, menjadi titik akhir tempat
tebing mulai menjulang. Selinus terkubur akibat gempa bumi sebelum Kristus
cWahirkan, tapi sederet pilar marmer dan lengkungan-lengkungan-nya masih
ada. Atau lebih tepat dibangkitkan dari kubur oleh para penggali. Jalan utamanya
masih ada, meski kini tinggal puing-puing gedung kuno yang menjajari kedua
sisinya. Ada kuil dengan atap yang dijalari tanaman dan lubang-lubang
menganga bagai tengkorak dan tiang-tiang batu kelabu yang kelelahan akibat
termakan usia. AkropoHs itu sendiri, kota benteng Yunani kuno, seperti biasa,
dibangun di tanah tertinggi, maka reruntuhan itu menghadap pedalaman yang
gersang di bawahnya.
Sirocco, angin padang pasir yang mengerikan, bertiup sepanjang hari. Sekarang,
di malam hari, begitu dekat dengan laut, angin meniup kabut hingga bergulung-
gulung menerobos reruntuhan. Guiliano, kelelahan akibat perjalanan
panjangnya, berputar ke tebing laut agar bisa memandang ke bawah dan
mengamati keadaan.
Pemandangannya begitu indah hingga sejenak ia melupakan bahaya yang
mengancamnya. Kuil Apollo telah runtuh menjadi puing-puing pilar saling
menjalin. Kuil-kuil lain yang juga telah runtuh berkilau tertimpa cahaya bulan—
tanpa dinding, hanya pilar-pilar, sepetak atap dan satu dinding benteng dengan
apa yang tadinya merupakan jendela berjeruji dan terletak tinggi di dinding,
sekarang kosong kehitaman, cahaya bulan menerobos masuk melewatinya. Di
bawahnya, dalam apa yang tadinya merupakan balai kota, di bawah akropolis,
satu pilar berdiri sendirian, dikelilingi reruntuhan yang rata, yang selama ribuan
tahun tidak pernah runtuh. Inilah "II Fuso di la Vecchia" yang terkenal, Jarum
Tenun Wanita Tua. Orang Sisilia begitu terbiasa dengan monumen-monumen
Yunani yang bertebaran di seluruh pulau sehingga mereka memperlakukannya
dengan campuran antara sayang dan benci, Hanya orang asing yang
meributkannya.
Dan orang asinglah yang membangkitkan kembali kedua belas pilar raksasa
yang sekarang berdiri di hadapan Guiliano. Kemegahan pilar-pilar itu luar biasa,
tapi di belakangnya hanya ada panorama reruntuhan. Di kaki kedua belas pilar,
berjajar bagaikan prajurit yang menghadap komandan mereka, berdiri panggung
anak tangga batu yang seolah tumbuh dari bumi. Guiliano duduk- di anak tangga
tertinggi, punggungnya bersandar ke salah satu pilar. Ia memasukkan tangan ke
balik mantel dan menanggalkan pistol otomatis
dan lupara, dan meletakkan keduanya satu anak tangga di bawahnya. Kabut
bergulung-gulung melintasi reruntuhan, tapi ia tahu ia akan mendengar suara
siapa pun yang mendekat melewati puing-puing dan ia dengan mudah bisa
melihat musuhnya sebelum sang musuh melihatnya.
Ia bersandar ke salah satu pilar, senang bisa beristirahat, mbuhnya . merosot
kelelahan. Bulan di atas tampak bagai melewati tiang-tiang putih keabuan dan
beristirahat di tebing yang menuju lautan. Dan di seberang lautan itu terletak
Amerika. Dan di Amerika ada Justina serta anak mereka yang akan cfflahirkan.
Tak lama lagi ia akan aman dan tujuh tahun terakhirnya sebagai bandit akan
lenyap bagaikan mimpi. Sejenak ia bertanya-tanya kehidupan macam apa yang
akan di-jalaninya, apakah ia bisa bahagia tidak tinggal di Sisilia. Ia tersenyum.
Suatu hari nanti ia akan kerhbali dan mengejutkan" mereka semua. Ia mendesah
kelelahan dan menanggalkan sepatu bornya. Ia melepaskan kaus kaki dan
kakinya menyambut dinginnya batu. Ia memasukkan tangan ke saku dan
mengeluarkan salah satu dari dua buah pir, dan sari buah yang manis dan
disejukkan oleh malam itu menyegarkan dirinya. Dengan satu tangan pada pistol
otomatis yang tergeletak di sampingnya, ia menunggu kedatangan Aspanu
Pisciotta. Bab 27
MICHAEL, Peter Clemenza, dan Don Domenic makan malam lebih awal. Untuk
menepati pertemuan fajar nanti, operasi menjemput Guiliano harus dimulai saat
senja. Mereka kembali membahas rencananya dan Domenic menyetujuinya. Ia
menambahkan satu detail: Michael tidak boleh membawa senjata. Kalau ada
yang tidak beres dan carabinieri atau Polisi Keamanan menangkapnya, tidak ada
tuduhan yang bisa dikenakan terhadap Michael, dan ia bisa meninggalkan Sisilia
tanpa peduli apa yang terjadi.
Mereka menikmati sekaraf anggur dan lemon di kebun, lalu tiba waktunya pergi.
Don Domenic men-cium adiknya sebagai ucapan selamat berpisah. Ia berpaling
kepada Michael dan memeluknya sejenak. "Sampaikan salamku untuk ayahmu,"
katanya. "Aku berdoa untuk masa depanmu. Kuharap kau berhasil. Dan di
tahun-tahun mendatang, kalau kau butuh bantuanku, beritahu aku."
Mereka bertiga berjalan menyusuri dermaga. Michael dan Peter Clemenza naik
ke perahu motot yang penuh orang bersenjata. Perahu bergerak menjauh, Don
Domenic melambai dari dermaga. Michael dan Peter Clemenza turun ke kabin
tempat Clemenza tidur di
np satu ranjang susunnya. Ia sibuk seharian tadi padahal mereka akan tiba di
tujuan menjelang fajar keesokan harinya.
Mereka telah mengubah rencana. Pesawat di Mazara del Vallo yang semula
mereka rencanakan untuk terbang ke Afrika akan digunakan sebagai umpan;
mereka akan melarikan diri ke Afrika memakai perahu. Clemenza-lah yang
keberatan, dengan alasan ia bisa mengendalikan jalanan dan menjaga perahu
bersama anak buahnya, tapi ia tidak bisa mengawasi lapangan terbang. Terlalu
banyak jalan darat yang bisa dipakai mendekati landasan dan pesawat terlalu
berisiko; me-rekjfttisa terperangkap selagi masih di darat. Kecepatan tidaklah
sepenting tipuan, dan di laut lebih mudah bersembunyi daripada di udara. Selain
itu mereka juga bisa pindah ke perahu lain; kita tidak bisa berpindah pesawat di
udara.
Clemenza sibuk sepanjang hari mengatur orang-orang dan mobil-mobil di titik
pertemuan di jalan menuju Castelvetrano; lainnya mengamankan kota Ma2ara
del Vallo. Ia mengirim mereka dalam tenggang waktu satu jam; ia tidak ingin
mata-mata melihat konvoi kendaraan yang tidak biasa keluar dari gerbang vila.
Mobil-mobil itu melaju ke arah berbeda-beda sehingga semakin
membingungkan mata-mata mana pun. Sementara itu perahu motor mengitari
ujung barat laut Sisilia untuk bersembunyi di balik kaki langit sampai fajar mulai
merekah, saat itulah perahu akan melesat ke pelabuhan Mazara del Vallo. Mobil-
mobil dan orang-orang sudah menanti mereka di sana. Dari sana lama
$fctjalanan dengan mobil ke Castelvetrano tidak lebih dari setengah jam bahkan
meskipun mereka harus memutar ke utara untuk mencapai jalan ke Trapani yang
mengarah ke tempat Pisciotta akan mencegat mereka.
Michael berbaring di salah satu ranjang susun. Ia bisa mendengar Clemenza
mendengkur dan terkagum-kagum karena pria itu mampu tertidur pulas dalam
situasi seperti ini. Michael berpikir dalam 24 jam ia akan berada di Tunisia dan
dua belas jam sesudahnya ia akan berkumpul kembali dengan keluarganya di
rumah. Sesudah dua tahun dalam pengasingan ia akan mempunyai semua pilihan
yang layaknya dimiliki pria bebas, tidak lagi melarikan diri dari polisi, tidak lagi
diatur-atur para pelindungnya. Ia bisa melakukan apa pun yang diinginkannya.
Dengan catatan kalau ia berhasil melewati 36 jam yang akan datang. Sementara
ia membayangkan apa yang akan dilakukannya pada hari-hari pertamanya di
Amerika, goyangan lembut perahu menenangkan dirinya dan ia pun terlelap
dalam tidur tanpa mimpi.
Fra Diavalo tidur lebih nyenyak lagi.
Stefan Andolini, di pagi hari saat ia seharusnya menjemput Profesor Hector
Adonis di Trapani, pergi ke Palermo terlebih dulu. Ia harus menemui Kepala
Polisi Keamanan Sisilia, Inspektur Velardi; ini salah satu dari pertemuan yang
cukup sering mereka lakukan di mana Inspektur menjelaskan tentang rencana
operasional Kolonel Luca hari itu kepada Andolini. Andolini akan
menyampaikan informasi itu kepada Pisciotta, yang lalu menyampaikannya
kepada Guiliano.
Pagi itu indah; padang-padang di kedua sisi jalan dipenuhi bunga. Ia tiba lebih
awal dari janji temunya jadi ia berhenti di salah satu altar tepi jalan untuk
merokok dan lalu berlutut di depan kotak bergembok berisi patung Santa
Rosalie. Doanya sederhana dan praktis, permohonan agar Santa melindunginya
dari musuh-musuhnya. Pada hari Minggu yang akan datang ia akan mengakui
dosa-dosanya kepada Pater Benjarnino dan menerima Komuni. Sekarang cahaya
matahari menghangatkan kepalanya; wangi bunga di udara begitu tajam
sehingga membersihkan cuping hidung dan mulurnya dari nikotin, dan ia sangat
lapar. Ia menjanjikan sarapan lezat bagi clirinya sendiri di restoran terbaik di
Palermo seusai pertemuannya dengan Inspektur Velardi.
Inspektur Frederico Velardi, kepala Polisi Keamanan Sisilia, memperoleh
kemenangan besar yang hanya dirasakan seseorang yang sabar menunggu, yang
selalu percaya Tuhan akhirnya akan menertibkan alam semestanya, dan yang
akhirnya mendapatkan upahnya. Karena selama hampir setahun, berdasarkan
perintah langsung dan rahasia Menteri Trezza, ia membantu Guiliano
meloloskan diri dari carabinieri dan pasukan gerak cepatnya sendiri. Ia telah
bertemu Stefan Andolini, Fra Diavalo. Akibatnya, sepanjang tahun itu Inspektur
Velardi menjadi anak buah Don Croce Malo.
Velardi berasal dari kawasan utara Italia, tempat orang-orang meraih prestasi
melalui pendidikan, penghormatan terhadap aturan-aturan masyarakat,
kepercayaan kepada hukum dan pemerintah. Pengabdian Velardi selama
bertahun-tahun di Sisilia menanamkan kejijikan dan kebencian mendalam
terhadap orang-orang Sisilia, baik dari kalangan tinggi maupun rendah. Orang
Sisilia kaya tidak memiliki hati nurani sosial dan menekan kaum miskin melalui
persekongkolan kriminal mereka dengan Mafia. Mafia, yang berpura-pura
melindungi kaum miskin, mempekerjakan diri kepada kaum kaya untuk
menekan kaum miskin. Para petani terlalu bangga, mempunyai ego begitu rupa
sehingga bersedia membunuh meski harus menghabiskan sisa hidup mereka di
penjara.
Tapi sekarang situasinya akan berbeda. Tangan Inspektur Velardi akhirnya
dibebaskan dan pasukan gerak cepatnya bisa dilepaskan. Dan orang-orang akan
melihat lagi perbedaan antara Polisi Keamanan yang dipimpinnya dan badut-
badut carabinieri.
Yang menyebabkan Velardi heran adalah Menteri Trezza sendiri yang
memerintahkan semua orang yang mendapat kartu izin bertepi merah dan
bertanda tangan Menteri—kartu izin yang sangat ampuh sehingga
memungkinkan pembawanya melewati blokade jalan, membawa senjata api,
kebal dari penangkapan rutin— ditahan dalam sel tersendiri. Kartu-kartu itu
harus dikumpulkan. Terutama kartu yang diberikan kepada Aspanu Pisciotta dan
Stefan Andolini.
Velardi siap-siap bekerja. Andolini tengah menunggu di ruang kecil untuk
mendapat penjelasan. Ia akan mendapat kejutan hari ini. Velardi meraih telepon
dan memanggil seorang kapten dan empat sersan polisi. Ia memberitahu mereka
agar bersiap-siap menghadapi masalah. Ia sendiri menyandang pistol pada
sarung pinggangnya, sesuatu yang biasanya tidak "dilakukannya di kantor. Lalu
ia menyuruh anak buahnya membawa Stefan Andolini menemuinya.
Rambut merah Stefan Andolini tersisir rapi. Ia mengenakan setelan hitam
bergaris-garis, kemeja putih, dan dasi berwarna gelap. Bagaimanapun,
mengunjungi kepala polisi merupakan acara resmi di mana kita harus
menunjukkan penghormatan. Ia tidak bersenjata. Berdasarkan pengalaman ia
tahu semua orang selalu digeledah bila memasuki markas besar kepolisian.
Andolini berdiri di depan meja Velardi, menunggu diizinkan duduk seperti biasa.
Izin itu tidak diberikan, jadi ia tetap berdiri dan sinyal peringatan pertama
berbunyi dalam kepalanya.
"Coba kulihat kartu izinmu," kata Inspektur Velardi kepadanya.
Andolini tidak bergerak. Ia mencoba mengira-ngira alasan Velardi mengajukan
permintaan yang aneh itu. Dengan tegas ia berbohong, "Aku tidak
membawanya," jawabnya. "Lagi pula aku mengunjungi Teman." Ia menekankan
secara khusus kata "Teman".
Ucapan itu memicu kemurkaan Velardi. Ia mengitari meja dan berdiri
berhadapan dengan Andolini. "Kau tidak pernah menjadi temanku. Aku bahkan
cuma mematuhi perintah kalau beramah-tamah dengan babi seperti dirimu.
Sekarang dengarkan aku baik-baik. Kau ditangkap. Kau akan ditahan dalam
selku sampai pemberitahuan lebih lanjut, dan harus kukatakan aku mempunyai
cassetta di sel bawah tanah. Tapi kita akan bercakap-cakap sedikit di sini di
kantorku besok pagi dan kau tidak perlu menderita, kalau kau pintar."
Keesokan paginya Velardi menerima telepon dari Menteri Trezza dan telepon
yang lebih eksplisit dari Don Croce. Beberapa menit kemudian Andolini di-dari
selnya ke ruangan Velardi. Saat melewati malam sendirian, memikirkan
penangkapannya yang aneh ini Andolini merasa yakin dirinya dalam bahaya
maut Ketika ia masuk, Velardi tengah mondar-mandir dalam ruangan, matanya
yang biru berkilat-kilat, jelas ia marah. Stefan Andolini sedingin es. Ia
mengamari segala sesuatu—Kapten dan keempat sersan polisi yang siaga, pistol
di pinggang Velardi. Ia tahu Inspektur membencinya sejak dulu, dan ia juga
sama bencinya terhadap Inspektur. Kalau ia bisa membujuk Velardi agar
menyingkirkan para penjaga, ia mungkin bisa membunuh Velardi sebelum ia
sendiri terbunuh. Jadi ia berkata, "Aku mau bicara, tapi tidak di hadapan para
sbirri ini." Sbirri adalah idiom vulgar dan menghina bagi Kepolisian Keamanan.
Velardi memerintahkan keempat polisi meninggalkan ruangan tapi memberi
isyarat agar perwiranya tetap tinggal Ia juga memberinya isyarat agar bersiap-
siap mencabut pistolnya. Lalu ia mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada
Stefan Andolini.
"Aku menghendaki informasi apa pun mengenai cara menangkap Guiliano,"
katanya. "Terakhir kali kau bertemu dengannya dan Pisciotta."
Stefan Andolini tertawa, wajah buasnya membentuk seringai jahat Kulitnya yang
dipenuhi bakal janggut merah menyala-nyala penuh kekejaman.
Tak heran mereka menyebutnya Fra Diavalo, pikir Velardi. Ia memang
berbahaya. Ia pasti tidak menduga sedikit pun apa yang akan terjadi.
Velardi berkata tenang, "Jawab pertanyaanku atau kurentangkan kau di cassetta."
Andolini berkata jijik, "Kau keparat pengkhianat, aku di bawah perlindungan
Menteri Trezza dan Don
Croce. Setelah mereka membebaskanku, akan kucabut jantung sbirri-mu"
Velardi menegakkan tubuh dan menampar wajah Andolini dua kali, sekali
dengan telapak, lalu dengan punggung tangan. Ia melihat darah mengalir dari
mulut Andolini dan kemarahan di matanya. Ia sengaja ber-balik
memunggunginya untuk duduk.
Pada saat itu, kemarahan membutakan naluri bertahan hidup, Stefan Andolini
merampas pistol dari sarung pinggang Inspektur dan mencoba menembak. Pada
saat yang sama perwira polisi mencabut pistolnya dan menembakkan empat
peluru ke tubuh Andolini. Andolini terempas ke dinding seberangi dan tergeletak
di lantai. Kemeja putihnya memerah dan, pikir Velardi, tampak serasi dengan
rambutnya. Ia membungkuk dan mengambil pistol dari tangan Andolini
sementara polisi-polisi lain berhamburan masuk. Ia memuji Kapten atas
kesiagaannya, lalu di bawah pandangan perwira itu ia mengisi pistolnya dengan
peluru-peluru yang telah dikeluarkannya sebelum pertemuan ini. Ia tidak ingin
Kapten menyombongkan diri, bahwa dirinya berhasil menyelamatkan nyawa
kepala Kepolisian Keamanan yang ceroboh. 'p^§$m
Lalu ia memerintahkan anak buahnya menggeledah mayat itu. Sesuai
dugaannya, kartu izin keamanan bertepi merah itu ada dalam tumpukan kartu
identitas yang harus selalu dibawa setiap orang Sisilia. Velardi mengambil kartu
izin itu dan menyimpannya dalam lemari besi. Ia akan menyerahkannya sencliri
kepada Menteri Trezza, dan kalau beruntung ia juga akan mendapatkan kartu
izin Pisciotta pada saat itu. Di geladak seseorang membawakan cangkir-cangkir
berisi espresso panas kepada Michael dan Clemenza, yang mereka nikmati
sambil bersandar ke pagar. Perahu itu pelan-pelan meluncur ke darat, motornya
tak bersuara, dan mereka bisa melihat lampu-lampu dermaga, berupa bintik-
bintik kebiruan yang samar.
Clemenza berjalan-jalan di geladak, memberikan perintah kepada orang-orang
bersenjata dan nakhoda. Michael mengamati lampu-lampu biru yang seolah
tengah berlari mendekatinya. Perahu menambah kecepatan, dan air yang tersibak
bagai membelah kegelapan malam. Fajar mulai merekah di langit, dan Michael
bisa melihat geladak dan pantai-pantai Mazara del Vallo; payung-payung
berwarna-warni di meja kafe tampak temaram di depannya.
Sewaktu mereka merapat, tiga mobil dan enam orang telah menunggu. Clemenza
mengajak Michael ke mobil terdepan, mobil jelajah kuno yang terbuka dan
hanya berisi sopir. Clemenza naik ke kursi depan dan Michael duduk di
belakang. Clemenza berkata kepada Michael, "Kalau kita dihentikan patroli
carabinieri, tiaraplah di lantai. Kita tidak bisa bermain-main di jalan sini, kita
harus menembaki mereka dan melarikan diri."
Ketiga mobil jelajah berbadan lebar itu melaju di bawah cahaya matahari fajar
yang pucat melalui pedalaman yang hampir-hampir tidak berubah sejak
kelahiran Kristus. Saluran-saluran air kuno dan pipa-pipa menyiramkan air ke
ladang-ladang. Cuaca hangat dan
lembap, dan udara dipenuh wangi bunga yang mulai membusuk akibat musim
panas Sisilia yang menyengat. Mereka melintasi Selinunte, reruntuhan kota
Yunani kuno, dan Michael kadang-kadang bisa melihat puing pilar-pilar marmer
kuil yang ditebar di Sisilia Barat oleh para penjajah Yunani lebih dari dua ribu
tahun lalu. Pilar-pilar ku menjulang menakutkan dalam cahaya kekurangan,
kepingan-kepingan atapnya seperti tetesan hujan kehitaman di langit biru. Tanah
yang hitam pekat meluap pada dinding-dinding tebing granit. Tidak ada rumah,
hewan, maupun manusia yang terlihat. Pemandangan itu diciptakan oleh tebasan
sebilah pedang raksasa.
Lalu mereka berbelok ke utara memasuki jalan Trapani-Castelvetrana Kini
Michael dan Clemenza lebih waspada; sepanjang jalan inilah Pisciotta akan
mencegat mereka dan mengantar mereka menemui Guiliano. Michael merasakan
gairah menyala-nyala. Ketiga mobil jelajah sekarang melaju lebih lambat.
Clemenza meletakkan pistol otomatis di kursi di sisi kirinya agar ia bisa
mengangkatnya dengan mudah melewati pintu mobil. Kedua tangannya
diletakkan di atasnya. Matahari menanjak menempati posisinya, dan sinarnya
panas keemasan. Mobil-mobil itu terus melaju pelan-pelan; mereka hampir tiba
di kota Castelvetrano.
Clemenza memerintahkan sopirnya bergerak lebih pelan lagi. Ia dan Michael
mencari-cari tanda kehadiran pisciotta. Mereka sekarang tiba di pinggir kota
Castelvetrano, mendaki jalan berbukit, dan berhenti agar bisa memandang ke
bawah ke jalan utama kota yang membentang di hadapan mereka. Dari posisi
yang menguntungkan itu Michael bisa melihat jalan dan Palermo penuh sesak
oleh kendaraan—kendaraan militer jalan-jalan dipenuhi carabinieri dalam
seragam hitam dan bergaris putih. Terdengar lolongan sirene -sirene yang
agaknya tidak berhasil membubarkan kerumunan orang di jalan utama. Di atas
kepala dua pesawat kecil melayang berputar-putar.
Sopir memaki dan menginjak rem sambil menepikan kendaraan. Ia berpaling
kepada Clemenza dan berkata, "Kau mau terus?"
Michael merasa gelisah. Ia bertanya kepada Clemenza, "Berapa orang yang
kausiapkan menunggu kita di kota?"
"Tidak cukup," jawab Clemenza kesal, Wajahnya hampir-hampir ketakutan.
"Mike, kita harus pergi dari sini. Kita harus kembali ke perahu."
"Tunggu," kata Michael, sekarang melihat kereta dan keledai yang tengah susah
payah mendaki bukit, mendekati mereka. Kusirnya pria tua bertopi jerami yang
ditarik rendah menutupi kepalanya. Berbagai legenda dilukiskan pada roda-roda,
papan-papan, dan sisi-sisi keretanya. Kereta itu berhenti tepat di samping
mereka. Wajah kusirnya keriput dan tidak menunjukkan ekspresi apa pun, dan
lengannya, yang sangat berotot, telanjang hingga ke bahu, karena ia hanya
mengenakan rompi hitam di. atas celana kanvas lebarnya. Ia bertanya, "Don
Clemenza, kaukah itu?"
Suara Clemenza terdengar lega, "Zu Peppino, apa yang terjadi di sini? Kenapa
anak buahku tidak muncul dan memperingatkanku?"
Wajah keriput Zu Peppino yang kaku tidak berubah sedikit pun. "Kalian bisa
kembali ke Amerika," katanya. "Mereka sudah membantai Turi Guiliano."
Michael mendapati dirinya mendadak pusing. Tiba-tiba pada saat itu cahaya
seolah jatuh dari langit. Ia teringat ayah dan ibu Guiliano yang sudah tua, Justina
yang menunggu di Amerika, Aspanu Pisciotta, dan Stefan Ajidolini. Hector
Adonis. Karena Turi Guiliano merupakan cahaya bintang kehidupan mereka, dan
tidak mungkin bila cahayanya tidak lagi ada.
"Kau yakin dia yang tewas?" tanya Clemenza parau. Pria tua itu mengangkat
bahu. "Itu salah satu tipuan lama Guiliano, meninggalkan mayat atau boneka
untuk menarik perhatian carabinieri agar dia bisa membunuh mereka. Tapi sudah
dua jam berlalu dan tidak ada kejadian apa pun. Mayat itu masih tergeletak di
halaman tempat mereka membunuhnya. Orang-orang pers dari Palermo sudah
datang membawa kamera mereka, memotret semua orang, bahkan keledaiku.
Jadi terserah apa yang kaupercayai."
Michael merasa nelangsa tapi berhasil berkata, "Kita harus ke sana dan
melihatnya. Aku harus yakin."
Clemenza berkata kasar, "Hidup atau mati, kita tidak bisa membantunya lagi.
Aku akan membawamu pulang, Mike."
'Tidak," kata Michael pelan. "Kita harus ke sana. Mungkin Pisciotta menunggu
kita. Atau Stefan Andolini Untuk memberitahu apa yang harus kita lakukan.
Mungkin itu bukan Guiliano, aku tidak percaya itu Guiliano. Dia tidak bisa mati,
tidak sesudah dia begitu nyaris meloloskan diri. Apalagi Wasiatnya sudah aman
di Amerika." Clemenza mendesah. Ia melihat ekspresi menderita di wajah
Michael. Mungkin mayat itu bukan Guiliano; mungkin Pisciotta sedang
menunggu, siap bertemu. Mungkin bahkan kejadian ini bagian dari trik
mengalihkan perhatian pihak berwenang dari rencana pelariannya, terutama
karena mereka membuntutinya.
Sekarang matahari telah naik sepenuhnya. Clemenza memerintahkan anak
buahnya memarkir mobil dan mengikutinya. Lalu ia dan Michael menyusuri
jalan yang dipenuhi orang itu. Mereka berkumpul di sekitar pintu masuk jalan
kecil yang dipenuhi mobil militer dan dihalangi serombongan carabinieri. Di
jalan samping ini terdapat sederet rumah yang dipisahkan halaman-halaman.
Clemenza dan Michael berdiri di belakang kerumunan, menyaksikan bersama
orang-orang lainnya. Perwira carabinieri mengizinkan para wartawan dan
pejabat melewati para penjaga sesudah memeriksa kartu identitas mereka.
Michael bertanya kepada Clemenza, "Bisakah kau membawa kita melewati
perwira itu?"
Clemenza meraih lengan Michael dan menariknya meninggalkan kerumunan.
Sam jam kemudian mereka berada di salah satu rumah kecil di gang itu. Rumah
ini juga memiliki halaman sempit dan jaraknya hanya sekitar dua puluh rumah
dari rumah tempat orang-orang berkerumun. Clemenza meninggalkan Michael
di sana bersama empat orang, lalu ia dan dua orang lainnya kembali ke kota.
Mereka pergi selama satu jam dan ketika Clemenza kembali ia jelas terguncang
hebat.
"Situasinya buruk, Mike," katanya. "Mereka menjemput ibu Guiliano dari
Montelepre untuk mengidentifikasi mayatnya; Kolonel Luca ada di sini,
Komandan
Pasukan Khusus. Dan wartawan dari seluruh dunia terbang kemari, bahkan dari
Amerika. Kota ini akan menjadi gila. Sebaiknya kita pergi dari sini." Besok,"
tegas Michael. "Kita berangkat besok. Sekarang coba lihat apakah kita bisa
melewati para penjaga itu. Kau sudah mencobanya?" "Belum," kata Clemenza.
"Well, sebaiknya kita keluar dan lihat apa yang bisa kita lakukan," kata Michael.
Bertentangan dengan protes Clemenza, mereka keluar ke jalan. Seluruh kota
bagaikan tertutup carabinieri. Pasti sedikitnya ada seribu orang, pikir Michael.'
Dan ratusan fotografer. Jalan dipadati van dan mobil dan mustahil mendekati
halaman itu. Mereka melihat sekelompok pejabat tinggi memasuki restoran, dan
bisik-bisik pun menyebar bahwa mereka adalah Kolonel Luca dan stafnya yang
hendak makan siang untuk merayakan peristiwa ini. Michael sekilas melihat
sang kolonel. Ia pria kecil bertubuh ramping dan berwajah muram, dan karena
panas ia menanggalkan topinya serta mengusap kepalanya yang separo botak
dengan saputangan putih. Sekelompok fotografer sibuk memotret dan
segerombol wartawan mengajukan pertanyaan kepadanya. Ia melambai
mengusir mereka tanpa menjawab dan menghilang ke dalam restoran.
Jalan-jalan kota begitu sesak oleh manusia sehingga Michael dan Clemenza
hampir tidak bisa bergerak. Clemenza memutuskan sebaiknya mereka kembali
ke rumah dan menunggu informasi. Menjelang sore berita disampaikan oleh
salah satu anak buahnya bahwa Maria Lombardo telah mengidentifikasi mayat
itu sebagai putranya. Mereka makan malam di kafe terbuka. Radio di sana
meneriakkan laporan kematian Guiliano. Menurut laporan itu polisi mengepung
rumah tempat mereka percaya Guiliano tengah bersembunyi. Pada saat Guiliano
keluar ia diperintahkan menyerah. Ia seketika menembak. Kapten Perenze,
kepala staf Kolonel Luca, diwawancarai sejumlah wartawan dalam siaran radio
itu. Ia menceritakan bagaimana Guiliano melarikan diri dan ia, Kapten Perenze,
mengikutinya dan menyudutkannya di halaman itu. Guiliano berbalik bagai
singa tersudut, kata Kapten Perenze, dan ia, Perenze, balas "menembak dan
menewaskannya. Semua orang di restoran mendengarkan siaran radio itu. Tidak
ada yang makan. Para pramusaji tidak berpura-pura melayani mereka juga
mendengarkan. Clemenza berpaling kepada Michael dan berkata, "Seluruh
situasi ini busuk. Kita berangkat malam ini"
Tapi pada saat itu jalan-jalan di sekitar kafe dipenuhi Polisi Keamanan. Sebuah
mobil pejabat berhenti di tepi jalan dan dari dalamnya turun Inspektur Velardi. Ia
mendekati meja mereka dan memegang bahu Michael. "Kau ditangkap,"
katanya. Ia menatap Clemenza dingin. "Dan demi keberuntungan kau juga
ditangkap. Aku punya satu nasihat. Seratus anak buahku mengepung kafe ini
Jangan menimbulkan keributan atau kalian akan bergabung bersama Guiliano di
neraka."
Van polisi berhenti di tepi jalan. Michael dan Clemenza dikepung Polisi
Keamanan, digeledah, lalu didorong kasar ke dalam van. Beberapa fotografer
surat kabar yang tengah makan di kafe itu melompat sambil membawa kamera
mereka dan seketika dihajar
polisi Keamanan agar mundur. Inspektur Velardi mengawasi seluruh kejadian
diiringi senyum puasnya yang muram.
Keesokan harinya ayah Turi Guiliano berbicara dari balkon rumahnya di
Montelepre kepada orang-orang di jalan di bawahnya. Sesuai tradisi lama Sisilia,
ia menyatakan vendetta terhadap pengkhianat putranya. Secara spesifik ia
menyatakan vendetta terhadap pembunuh putranya. Orang itu, katanya, bukan
Kapten Perenze, bukan carabinieri. Orang yang disebutkannya adalah Aspanu
Pisciotta. Bab 28
ASPANU PISCIOTTA merasakan ulat hitam pengkhianatan tumbuh dalam
hatinya selama setahun terakhir.
Pisciotta selama ini setia. Sejak kecil ia menerima kepemimpinan Guiliano tanpa
iri. Dan Guiliano selalu menyatakan Pisciotta sebagai pemimpin kedua
kelompoknya, bukan salah satu pemimpin anak buah seperti Passatempo,
Terranova, Andolini, dan Kopral. Tapi kepribadian Guiliano begitu kuat
sehingga pemimpin kedua hanyalah mitos belaka; Guiliano yang memerintah.
Pisciotta menerimanya tanpa protes.
Guiliano lebih berani daripada semua orang. Taktiknya dalam perang gerilya
tidak tertandingi, kemampuannya membangkitkan cinta kasih dalam hati orang-
orang Sisilia tidak ada bandingnya sejak Garibaldi. Ia idealis dan romantis, dan
memiliki kecerdikan yang begitu dikagumi orang Sisilia. Tapi Pisciotta
menemukan kelemahan Guiliano dan berusaha memperbaikinya.
Sewaktu Guiliano berkeras memberikan sedikitnya lima puluh persen hasil
jarahan kelompok kepada kaum miskin, Pisciotta berkata kepadanya, "Kau bisa
menjadi orang kaya atau orang yang disayangi. Me-
nurutmu orang-orang Sisilia akan bangkit dan membelamu dalam perang
melawan Roma. Mereka tidak akan pernah melakukannya. Mereka akan
mencintaimu saat menerima uangmu, mereka akan menyembunyikanmu
sewaktu kau memerlukan tempat perlindungan, mereka tidak akan pernah
mengkhianati dirimu. Tapi mereka tidak memiliki semangat revolusi."
Pisciotta menolak mendengarkan bujukan Don Croce dan Partai Demokrat
Kristen. Ia menentang rencana menghancurkan organisasi Komunis dan Sosialis
di Sisilia. Ketika Guiliano mengharapkan pengampunan dari Demokrat Kristen,
Pisciotta berkata, "Mereka tidak akan pernah mengampunimu, dan Don Croce
tidak akan pernah mengizinkan dirimu berkuasa. Takdir kita adalah membeli
jalan keluar dan dunia bandit dengan uang, atau suatu hari nanti tewas sebagai
bandit. Bukan cara yang buruk untuk mati, paling tidak menurutku begitu." Tapi
Guiliano tidak mendengarkan nasihatnya, dan ini akhirnya membangkitkan
kemarahan Piscotta dan memulai tumbuhnya ulat pengkhianatan yang
tersembunyi.
Guiliano sejak dulu orang yang mudah percaya dan polos; Pisciotta selalu
melihat jelas segala situasi. Seiring kehadiran Kolonel Luca dan Pasukan
Khusus-nya, Pisciotta tahu akhir pemalangan mereka telah tiba. Mereka bisa
meraih seratus kemenangan, tapi satu kekalahan memastikan kematian mereka.
Sebagaimana Roland dan Oliver bertengkar dalam legenda Charlemagne,
Guiliano dan Pisciotta pun bertengkar dan Guiliano menjadi terlalu keras kepala
dalam kepahlawanannya. Pisciotta merasa seperti Oliver, berulang-ulang
memohon Roland meniup terompetnya.
517 Lalu sewaktu Guiliano jatuh cinta kepada Justina dan menikahinya, Pisciotta
menyadari nasibnya dan nasib Guiliano memang berbeda. Guiliano akan
melarikan diri ke Amerika, mempunyai istri dan anak. Ia, Pisciotta, akan
menjadi buronan selamanya. Ia tidak akan pernah berumur panjang; peluru atau
penyakit paru-paru akan mengakhiri riwayatnya. Itulah nasibnya. Ia tidak akan
pernah tinggal di Amerika.
Yang paling mengkhawatirkan Pisciotta adalah Guiliano—yang menemukan
cinta dan kelembutan dalam diri seorang gadis—sebagai bandit bertindak
semakin buas. Ia membunuh carabinieri padahal sebelumnya ia hanya
menangkap mereka. Ia mengeksekusi Passatempo dalam masa bulan madunya.
Ia tidak menunjukkan belas kasihan kepada siapa pun yang dicurigainya menjadi
mata-mata. Pisciotta takut orang yang disayangi dan dibelanya selama bertahun-
tahun akan berubah sikap terhadapnya. Ia khawatir kalau Guiliano mengetahui
beberapa tindakannya baru-baru ini, Guiliano akan mengeksekusi dirinya juga.
Don Croce mempelajari hubungan 'antara Guiliano dan Pisciotta dengan teliti
selama tiga tahun terakhir. Mereka merupakan satu-satunya bahaya dalam
rencananya membangun kekaisaran. Mereka satu-satunya penghalang cita-
citanya untuk menguasai Sisilia. Mula-mula ia mengira bisa menjadikan
Guiliano dan kelompok bersenjatanya bagian dari Friends of the Friends. Ia
mengirim Hector Adonis untuk membujuk Guiliano. Tawarannya jelas. Turi
Guiliano akan menjadi pejuang hebat, Don Croce menjadi negarawan hebat.
Tapi Guiliano harus merendahkan diri, dan ia menolaknya.
Ia memiliki cita-cita sendiri, membantu kaum miskin, menjadikan Sisilia negara
merdeka, bebas dari kungkungan Roma. Ini tidak bisa dipahami Don Croce.
Tapi dari tahun 1943 hingga 1947, bintang Guiliano terus menanjak. Don masih
harus menyatukan Friends. Friends masih belum pulih dari pembantaian habis-
habisan, yang dilakukan pemerintahan Fasis Mussolini. Jadi Don menjinakkan
kekuatan Guiliano dengan merayunya agar bersekutu dengan Partai Demokrat
Kristen. Sementara itu ia membangun kembali kekaisaran Mafia dan mengulur
waktu. Pukulan pertamanya, rancangan pembantaian di Portella della Ginestra,
dengan kesalahan dibebankan pada Guiliano, merupakan mahakarya, namun ia
tidak bisa menuntut penghargaan atas keberhasilan itu. Pukulan itu
menghancurkan kemungkinan pemerintah Roma mengampuni Guiliano dan
mendukung upayanya menguasai Sisilia. Pembantaian itu juga selamanya
menodai mantel kepahlawanan yang dikenakan Guiliano sebagai pembela kaum
miskin Sisilia. Dan sewaktu Guiliano mengeksekusi keenam pemimpin Mafia,
Don tidak punya pilihan lain. Friends of the Friends dan kelompok Guiliano
harus bertempur hingga salah satu hancur.
Jadi Don Croce lebih memusatkan perhatian pada Pisciotta. Pisciotta pintar, tapi
sama saja seperti semua anak muda yang pintar—ia tidak mempertimbangkan
kekejaman dan kejahatan yang tersembunyi dalam hati manusia. Dan Pisciotta
juga menyukai kekayaan dan godaan duniawi. Sementara Guiliano tidak
menyukai uang, Pisciotta menyukai apa yang bisa dibeli dengan uang. Guiliano
tidak memiliki satu sen pun kekayaan pribadi walaupun ia memperoleh lebih
dari satu miliar lira dari kejahatannya. Ia membagikan hasil jarahannya kepada
kaum miskin dan keluarganya.
Namun Don Croce mengamari Pisciotta mengenakan setelan terbaik buatan
Palermo dan mengunjungi pelacur-pelacur paling mahal. Selain itu kehidupan
keluarga Pisciotta jauh lebih baik daripada keluarga Guiliano. Dan Don Croce
tahu Pisciotta menyimpan uang di bank Palermo dengan nama palsu, dan telah
mengambil tindakan berjaga-jaga lainnya yang hanya dilakukan orang yang
tertarik bertahan hidup. Misalnya dokumen identitas palsu dengan tiga nama
berbeda, rumah aman di Trapani. Dan Don Croce tahu semua ini dirahasiakan
dari Guiliano. Jadi dengan penuh minat dan kegembiraan ia menunggu
kunjungan Pisciotta, kunjungan atas kemauannya sendiri, yang mengerti rumah
Don selalu terbuka baginya, dengan minat dan kegembiraan, namun juga dengan
kehati-hatian dan pikiran jauh ke depan. Ia dikelilingi para pengawal bersenjata,
dan telah memberitahu Kolonel Luca dan Inspektur velardi agar bersiap-siap
mengadakan pertemuan kalau semua berjalan baik. Kalau tidak, kalau, ia keliru
menuai Pisciotta, atau kalau ini malah merupakan pengkhianatan segitiga yang
diatur Guiliano untuk membunuh Don, pertemuan itu akan menjadi pemakaman
Pisciotta.
Pisciotta membiarkan dirinya dilucuti sebelum diantar menemui Don Croce. Ia
tidak takut, karena hanya beberapa hari lalu ia memberikan bantuan luar biasa
kepada Don Croce; ia telah memperingatkan Don akan rencana penyerangan
Guiliano ke hotel. Mereka hanya berdua. Para pelayan Don Croce
telah menyiapkan semeja hidangan dan anggur, dan Don Croce, layaknya tuan
rumah gaya lama, mengisi piring dan gelas Pisciotta,
• "Saat-saat indah sudah berlalu," ujar Don Croce. "Sekarang kita harus sangat
serius, kau dan aku. Tiba waktunya mengambil keputusan yang akan
menentukan hidup kita. Kuharap kau siap mendengarkan apa yang harus
kukatakan."
'Aku tidak tahu masalahmu," kata Pisciotta kepada Don. "Tapi aku tahu aku
harus sangat pandai untuk menyelamatkan nyawaku."
I "Kau tidak ingin pindah ke luar negeri?" tanya Don. "Kau bisa pergi ke
Amerika bersama Guiliano. Anggurnya tidak selezat di sini dan minyak
zaitunnya terlalu cair dan mereka memiliki kursi listrik, lagi pula mereka tidak
seberadab pemerintahan kita di sini. Kau tidak bisa gegabah melakukan apa pun.
Tapi kehidupan di sana tidaklah buruk."
Pisciotta tertawa. "Apa yang akan kulakukan di Amerika? Akan kucari
keberuntunganku di sini. Begitu Guiliano lenyap, mereka tidak akan mencariku
sekeras sekarang, dan pegunungan sangat dalam."
Don berkata cemas, "Kau masih punya masalah dengan paru-parumu? Kau
masih minum obat?"
"Ya," jawab Pisciotta. "Itu bukan masalah. Kemungkinan paru-paruku tidak akan
sempat membunuhku." Ia menyeringai kepada Don Croce.
"Mari bicara sebagai orang Sisilia," ajak Don serius. "Sewaktu kecil, sewaktu
masih muda, wajarlah kita menyayangi teman-teman kita, bersikap dermawan
kepada mereka, memaafkan kesalahan mereka. Setiap hari merupakan hari baru,
kita memandang masa depan dengan gembira dan tanpa takut. Dunia sendiri
tidak seberbahaya itu saat-saat yang menyenangkan. Tapi seiring bertambahnya
usia dan kita harus bekerja mencari nafkah, persahabatan tidak lagi bertahan
semudah itu. Kita harus selalu waspada. Orang-orang tua tidak lagi merawat
kita, kita tidak lagi puas akan kesenangan-kesenangan sederhana anak kecil.
Kebanggaan tumbuh dalam diri kita—kita ingin menjadi orang hebat atau
berkuasa atau kaya rap, atau sekadar menghindari kesialan. Aku tahu betapa
sayangnya kau kepada Turi Guiliano, tapi sekarang kau harus bertanya pada diri
sendiri, apa harga untuk perasaan sayang ini? Dan sesudah sekian tahun ini, apa
perasaan itu masih ada atau sekadar kenangannya yang masih bertahan?" Ia
menunggu Pisciotta menjawab, tapi Pisciotta memandangnya dengan ekspresi
lebih kaku daripada bebatuan di Pegunungan Cammarata dan sama putihnya.
Karena wajah Pisciotta berubah sangat pucat.
Don Croce melanjutkan. "Aku tidak bisa membiarkan Guiliano tetap hidup atau
melarikan diri. Kalau kau tetap setia padanya, kau juga musuhku. Camkan ini
Dengan kepergian Guiliano, kau tidak bisa tetap hidup di Sisilia tanpa
perlindunganku."
Pisciotta berkata, "Wasiat Turi sudah aman di tangan teman-temannya di
Amerika. Kalau kau membunuhnya Wasiat akan dipublikasikan dan pemerintah
akan jatuhi Pemerintahan baru mungkin akan memaksamu pensiun di tanah
pertanianmu di Villaba ini atau bahkan lebih buruk lagi."
Don tergelak. Lalu tertawa terbahak-bahak. Ia berkata menghina, "Kau pernah
membaca Wasiat-nya yang terkenal itu?"
"Ya," jawab Pisciotta, heran melihat reaksi Don.
"Aku belum," kata Don. "Tapi aku memutuskan untuk bertindak seakan
dokumen itu tidak pernah ada."
Pisciotta berkata, "Kau memintaku mengkhianati Guiliano. Kenapa menurutmu
itu mungkin terjadi?"
Don Croce tersenyum. "Kau memperingatkan diriku mengenai serangan di
hotelku. Apa itu bukan tindakan persahabatan?"
"Aku melakukannya demi Guiliano, bukan untukmu," kilah Pisciotta. "Turi tidak
lagi rasional. Dia merencanakan pembunuhanmu. Begitu kau mati, aku tahu
tidak ada harapan lagi bagi kami. Friends of the Friends tidak akan pernah
berhenti sampai kami tewas, ada Wasiat maupun tidak. Dia bisa saja
meninggalkan negeri ini berhari-hari yang lalu tapi dia bertahan, berharap bisa
membalas dendam dan mencabut nyawamu. Aku datang ke pertemuan ini untuk
mengadakan perjanjian denganmu. Guiliano akan meninggalkan negeri ini
beberapa hari lagi, dia akan mengaldbiri vendetta terhadapmu. Biarkan dia
pergi."
Don Croce menjauh dari piringnya di meja. Ia menghirup gelas anggurnya. "Kau
bersikap kekanak-kanakan," komentarnya. "Kita sudah mendekati akhir sejarah.
Guiliano terlalu berbahaya bila dibiarkan hidup. Tapi aku tidak bisa
membunuhnya. Aku harus tinggal di Sisilia—aku tidak bisa membunuh
pahlawan terbesar negeri ini dan melakukan apa yang harus kulakukan. Terlalu
banyak orang yang menyayangi Guiliano, terlalu banyak pengikutnya yang akan
membalaskan kematian-nya. Harus carabinieri yang melakukannya. Itulah yang
harus diatur. Dan kau satu-satunya yang bisa meng-giring Guiliano ke dalam
jebakan itu." Ia diam sejenak lalu berkata hati-hati, "Akhir duniamu sudah tiba.
Kau bisa bertahan sampai dunia itu hancur atau kau bisa keluar dan sana dan
hidup di dunia lain."
Pisciotta berkata, "Aku mungkin saja dilindungi Kristus, tapi aku tidak akan
hidup lama kalau orang-orang tahu aku mengkhianati Guiliano."
"Kau hanya perlu memberitahukan di mana kau akan bertemu lagi dengannya,"
kata Don Croce. "Tak akan ada orang lain yang tahu. Aku akan mengatur
segalanya dengan Kolonel Luca dan Inspektur Velardi. Mereka yang akan
menangani sisanya." Ia diam sejenak. "Guiliano sudah berubah. Dia bukan lagi
teman masa kanak-kanakmu, bukan lagi sahabat terbaikmu. Dia orang yang
menjaga dirinya sendiri. Kini kau pun harus begitu."
Maka pada malam tanggal 5 Juli, sewaktu Pisciotta menuju Castelvetrano, ia
telah mengabdikan diri kepada Don Croce. Ia memberitahu Don Croce tempat ia
akan menemui Guiliano, dan ia tahu Don akan memberitahu Kolonel Luca dan
Inspektur Velardi. Ia tidak memberitahu mereka lokasinya adalah rumah Zu
Peppino, ia hanya mengatakan pertemuan akan berlangsung di kota
Castelvetrano. Dan ia memperingatkan mereka agar berhati-hati, karena
Guiliano memiliki indra keenam dalam mencium jebakan.
Tapi saat Pisciotta tiba di rumah Zu Peppino, pria tua itu menyapanya dengan
sikap dingin yang aneh. Pisciotta berpikir apakah pria tua itu mencurigai dirinya.
Ia pasti menyadari aktivitas tidak biasa para carabinieri di kota dan dengan sifat
paranoia orang
Sisilia yang tak pernah salah, berhasil menebak apa yang terjadi.
Sejenak Pisciotta merasakan kepedihan mendalam. Kemudian melintas pikiran
lain yang menyakitkan. Bagaimana kalau ibu Guiliano mengetahui Aspanu
tercintanya mengkhianati Guiliano? Bagaimana kalau suatu hari Maria
Lombardo berdiri di hadapannya dan meludahi wajahnya dan menyebutnya
pengkhianat dan pembunuh? Mereka pernah menangis bersama sambil
berpelukan dan ia telah bersumpah melindungi putra Maria Lombardo dan ia
malah memberinya ciuman Yudas. Sejenak terlintas dalam benaknya untuk
membunuh pria tua itu dan juga dirinya sendiri.
Zu Peppino berkata, "Kalau kau mencari Turi, dia sudah datang dan pergi lagi."
Ia merasa iba terhadap Pisciotta; wajahnya begitu pucat, seakan kesulitan
menghirup udara. "Kau mau anisette?"
Pisciotta menggeleng dan berbalik, hendak pergi. Pria tua itu berkata, "Hati-hati,
kota penuh carabinieri^
Pisciotta sekejap merasa takut. Betapa bodohnya ia mengira Guiliano tidak akan
mencium adanya jebakan. Dan bagaimana kalau sekarang Guiliano tahu peng-
khianatnya?
Pisciotta berlari keluar rumah, mengitari kota, dan mengambil jalan setapak di
ladang yang akan membawanya ke tempat pertemuan cadangan, Acropolis
Selinus di kota hantu kuno Selinunte.
Reruntuhan kota kuno Yunani itu kemilau tertimpa cahaya bulan musim panas.
Di tengahnya, Guiliano duduk di anak tangga batu kuil yang telah runtuh di
sana-sini, memimpikan Amerika. Ia merasa begitu nelangsa. Mimpi-mimpi
lamanya telah lenyap. Ia semula begitu penuh harap akan masa depannya dan
masa depan Sisilia ia semula begitu memercayai keabadiannya. Begitu banyak
orang yang menyayanginya. Dulu ia anugerah bagi mereka, dan sekarang,
menurut Guiliano, ia adalah kutukan. Entah mengapa ia merasa ditinggalkan.
Tapi ia masih memiliki Aspanu Pisciotta. Dan akan riba saatnya mereka berdua
membangkitkan kembali semua rasa sayang dan mimpi-mimpi lama itu.
Bagaimanapun, pada mulanya hanya mereka berdua.
Bulan menghilang dan kota kuno itu lenyap ditelan kegelapan; sekarang
reruntuhan itu bagaikan tulang-belulang yang digoreskan pada kanvas malam.
Dalam kegelapan itu terdengar desir kerikil dan tanah bergeser, dan Guiliano
berguling ke belakang ke antara tiang-tiang marmer, pistol otomatisnya siap
ditembakkan. Bulan melayang keluar dengan indahnya dari balik awan, dan ia
melihat Aspanu Pisciotta berdiri di jalan lebar yang telah hancur, yang menuju
akro-polis.
Pisciotta melangkah pelan menyusuri reruntuhan, matanya mencari-cari,
suaranya membisikkan nama Turi. Guiliano, bersembunyi di balik pilar-pilar
kuil, menunggu sampai Pisciotta melewatinya, lalu muncul di belakangnya.
"Aspanu, aku menang lagi," katanya, memainkan permainan masa kanak-kanak
mereka. Ia terkejut ketika Aspanu berbalik dengan ngeri.
Guiliano duduk di anak tangga batu dan menyingkirkan senjatanya"Kemari dan
duduklah sebentar," ajaknya. "Kau pasti capek, dan ini mungkin kesempatan
terakhir kita bercakap-cakap berdua."
Pisciotta berkata, "Kita bisa berbicara di Mazara del Vallo, kita akan lebih aman
di Sana."
Guiliano berkata kepadanya, "Kita punya banyak waktu dan kau akan muntah
darah lagi kalau tidak beristirahat. Ayo, duduklah di sampingku." Dan Guiliano
duduk di puncak anak tangga.
Ia melihat Pisciotta menurunkan senjatanya dan mengira hendak meletakkannya.
Ia berdiri dan mengulurkan tangan untuk membantu Aspanu menaiki tangga.
Lalu ia menyadari temannya itu mengarahkan senapan kepadanya. Ia membeku,
untuk pertama kali selama tujuh tahun dirinya lengah.
Benak Pisciotta menggemuruh dengan apa yang ditanyakan Guiliano seandainya
mereka berbicara. Ia akan bertanya, "Aspanu, siapa Yudas dalam kelompok kita?
Aspanu, siapa yang memperingatkan Don Croce? Aspanu, siapa yang membawa
carabinieri ke Castelvetrano? Aspanu, kenapa kau bertemu Don Croce?" Dan di
atas semua itu, ia takut Guiliano akan berkata, "Aspanu, kau saudaraku." Teror
terakhir itulah yang menyebabkan Aspanu menarik picu.
Hujan peluru menghancurkan tangan Guiliano dan mencabik-cabik tubuhnya.
Pisciotta, ngeri melihat tindakannya sendiri, menunggu Guiliano roboh.
Sebaliknya Guiliano pelan-pelan menuruni anak tangga, darah menyembur dari
luka-lukanya. Ngeri akan takhayul kemati-an, Pisciotta berbalik dan lari, ia bisa
melihat Guiliano berlari mengejarnya dan kemudian roboh.
Tapi Guiliano yang sekarat, mengira dirinya masih berlari. Neuron-neuron
otaknya yang hancur saling menjerat kusut dan ia mengira dirinya berlari di
pegunungan bersama Aspanu tujuh tahun lalu, air segar
527 menyembur dari sumur Romawi kuno, aroma bunga-bunga aneh
menghanyutkan, berlari melewati patung-patung orang suci dalam altar mereka
yang terkunci, dan ia berteriak, sama seperti pada malam itu, "Aspanu, aku
percaya," percaya akan takdirnya yang bahagia, akan kasih sejari sahabatnya.
Lalu kebaikan kematian mengantarkan kesadaran akan pengkhianatan dan
kekalahan terakhirnya. Ia tewas dalam impiannya.
Aspanu Pisciotta melarikan diri. Ia berlari melewati ladang-ladang dan
memasuki jalan menuju Castelvetrano. Di sana ia menggunakan kartu izin
khususnya untuk menghubungi Kolonel Luca dan Inspektur Velardi Merekalah
yang menyebarkan berita Guiliano masuk perangkap dan tewas di tangan Kapten
Perenze.
Maria Lombardo Guiliano terjaga pada dini hari tanggal 5 Juli 1950 itu. Ia
terjaga oleh ketukan di pintu; suaminya turun untuk membukakan pintu.
Suaminya kembali ke kamar tidur dan memberitahu Maria Lombardo ia akan
pergi dan mungkin sepanjang hari. Maria Lombardo memandang ke luar jendela
dan melihat suaminya naik ke kereta keledai Zu Peppino yang dilukisi legenda
pada papan-papan dan roda-rodanya. Apa mereka mendapat kabar dari Turi, apa
Turi berhasil melarikan diri ke Amerika, atau ada yang tidak beres? Ia
merasakan kecemasan yang memuncak menjadi rasa takut yang biasa
dirasakannya selama tujuh tahun terakhir. Perasaan itu menyebabkan ia resah,
dan setelah membersihkan rumah dan menyiapkan sayur-mayur untuk hidangan
hari itu, ia membuka pintu dan memandang ke jalan.
Para tetangganya tidak terlihat di sepanjang Via Belia. Tidak ada anak kecil
bermain-main. Banyak kaum prianya yang dipenjara karena dicurigai
bersekongkol dengan kelompok Guiliano. Para wanitanya terlalu takut untuk
mengizinkan anak-anak mereka keluar ke jalan. Pasukan-pasukan carabinieri ada
di kedua ujung Via Belia. Para prajurit- dengan senapan melintang di bahu
berpatroli di sepanjang jalan. Jip-jip militer diparkir di dekat gedung-gedung.
Kendaraan lapis baja menghalangi mulut Via Belia di dekat Barak Bellampo.
Dua ribu anggota pasukan Kolonel Luca menduduki kota Montelepre, dan
mereka menjadikan penduduk kota musuh mereka dengan melecehkan para
wanitanya, menakut-nakuti anak-anak, menyiksa para pria yang tidak
dipenjarakan. Dan semua prajurit ini berada di sini untuk membunuh putranya.
Tapi putranya telah terbang ke Amerika, ia akan bebas, dan bila saatnya tiba, ia
dan suaminya akan bergabung bersamanya di sana. Mereka akan hidup dalam
kebebasan, tanpa rasa takut.
Ia masuk kembali ke rumah dan menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah
tangga. Ia pergi ke balkon belakang dan memandang ke pegunungan.
Pegunungan tempat Guiliano mengawasi rumah ini melalui teropongnya. Maria
Lombardo selalu merasakan kehadiran putranya; ia tidak merasakannya
sekarang. Putranya pasti telah berada di Amerika.
Ketukan keras di pintu menyebabkan ia membeku ketakutan. Pelan-pelan ia
menghampiri dan membukanya. Yang pertama dilihatnya adalah Hector Adonis,
dan Maria Lombardo belum pernah melihatnya seperti itu. Ia tidak bercukur,
rambutnya berantakan, ia tidak mengenakan dasi. Kemeja di balik, jasnya kusut
dan kerahnya ternoda kotoran. Tapi yang paling disadari Maria Lombardo adalah
seluruh kewibawaan lenyap dari wajahnya. Wajahnya kusut memancarkan
kedukaan amat dalam. Mata Adonis berkaca-kaca memandangnya. Maria
Lombardo menjerit tertahan.
Hector Adonis masuk ke rumah dan berkata, 'jangan, Maria, kumohon padamu."
Seorang letnan carabinieri yang masih sangat muda menemaninya. Maria
Lombardo menatap ke jalan di belakang mereka berdua. Tiga mobil hitam
diparkir di depan rumahnya, pengemudinya para carabinieri. Sekelompok orang
bersenjata berdiri di kedua sisi pintu.
Letnan itu masih muda dan berpipi kemerahan. Ia menanggalkan topi dan
menyelipkannya ke ketiaknya. "Kau Maria Lombardo Guiliano?" tanyanya
resmi. Aksennya dari utara, tepatnya dari Tuscany.
Maria Lombardo membenarkan. Suaranya serak penuh derita. Mulutnya kering.
"Aku harus memintamu menemaniku ke Castelvetrano," kata perwira itu. "Mobil
sudah kusediakan. Temanmu ini akan menemani kita. Tentu saja, kalau kau
setuju."
Mata Maria Lombardo membelalak. Ia berkata dengan suara lebih tegas.
"Kenapa aku harus' pergi ke sana? Aku tidak tahu apa-apa tentang Castelvetrano
atau kenal siapa pun di sana."
Suara Letnan menjadi lebih lembut, ragu-ragu. "Kami memintamu
mengidentifikasi seseorang di sana. Kami percaya dia putramu."
"Itu bukan putraku, dia tidak pernah ke Castelvetrano," kata Maria Lombardo.
"Orang itu tewas?"
"Ya," jawab perwira itu.
Maria Lombardo melolong panjang dan jatuh berlutut. "Putraku tidak pernah
pergi ke Castelvetrano," katanya. Hector Adonis mendekatinya dan memegang
bahunya.
"Kau harus pergi," katanya. "Mungkin ini salah satu tipuannya, dia sudah pernah
melakukannya." "Tidak," tegas Maria Lombardo. "Aku tidak mau pergi. Aku
tidak mau pergi."
Letnan bertanya, "Suamimu di rumah? Kami bisa mengajaknya."
Maria Lombardo teringat kedatangan Zu Peppino pagi tadi, memanggil
suaminya. Ia teringat firasat buruk yang dirasakannya ketika melihat kereta
keledai berlukis itu. "Tunggu," katanya. Ia naik ke kamar tidur dan mengganti
pakaiannya dengan gaun hitam dan mengenakan syal hitam menutupi kepalanya.
Letnan membukakan pintu baginya. Ia keluar ke jalan. Prajurit bersenjata di
mana-mana. Ia memandang Via Belia, tempat jalan itu berakhir di alun-alun.
Dalam cahaya matahari bulan Juli yang terik ia melihat jelas Turi dan Aspanu
membimbing keledai mereka untuk dikawinkan tujuh tahun lalu, pada hari Turi
menjadi pembunuh dan pelanggar hukum. Ia mulai menangis, Letnan meraih
lengannya dan membantunya masuk ke salah satu mobil hitam yang menanti.
Hector Adonis duduk di sisinya. Mobil melesat melewati serombongan
carabinieri yang membisu. Maria Lombardo membenamkan wajah di bahu
Hector Adonis, sekarang tidak terisak-isak melainkan dicekam kengerian hebat
membayangkan apa yang akan dilihatnya di akhir perjalanannya. Mayat Turi
Guiliano tergeletak di halaman selama tiga jam. la seperti sedang tidur, tubuhnya
menelungkup dan kepalanya berpaling ke kiri, satu kaki terlipat. Tapi kemeja
putihnya hampir-hampir merah tua. Di dekat lengan yang tercincang tergeletak
pistol otomatis. Para fotografer dan wartawan dari Palermo dan Roma sudah
berada di lokasi. Fotografer majalah Life tengah memotret Kapten Perenze dan
fotonya akan muncul dengan keterangan inilah orang yang menewaskan
Guiliano yang agung. Wajah Kapten Perenze dalam foto tampak ramah dan
sedih, juga agak bingung. Ia mengenakan topi yang membuatnya lebih mirip
pedagang, kelontong yang baik hati daripada perwira polisi.
Tapi foto-foto Turi Guiliano-lah yang memenuhi koran-koran di seluruh dunia.
Di satu tangannya yang terulur terdapat cincin zamrud yang diambilnya dari
Duchess. Di pinggangnya melilit sabuk bergesper emas berukir elang dan singa.
Darah menggenang di bawah tubuhnya.
Sebelum kedatangan Maria Lombardo, mayat itu dibawa ke kamar mayat kota
dan diletakkan di atas meja marmer besar berbentuk oval. Kamar mayat itu
bagian dari pemakaman, yang dikelilingi pepohonan cypress hitam. Ke sanalah
Maria Lombardo dibawa dan diminta duduk di bangku batu. Mereka menunggu
Kolonel dan Kapten menyelesaikan makan siang kemenangan di Hotel Selinus
di dekat tempat itu. Maria Lombardo mulai menangis melihat para wartawan,
penduduk kota yang penasaran, begitu banyak carabinieri yang berusaha
mengatur mereka. Hector Adonis berusaha menghiburnya.
Akhirnya mereka mengajaknya masuk ke kamar mayat. Para pejabat di sekitar
meja oval mengajukan berbagai pertanyaan. Maria Lombardo menengadah dan
melihat wajah Turi.
Turi tidak pernah tampak begitu muda. Ia bagaikan anak kecil yang kelelahan
setelah bermain seharian bersama Aspanu-nya. Tidak ada tanda apa pun di
wajahnya, kecuali kotoran halus di tempat keningnya menyentuh halaman.
Kenyataan menyadarkan Maria Lombardo, memberinya ketenangan. Ia
menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. "Ya," katanya, "ini putraku Turi,
dilahirkan dari tubuhku dua puluh tujuh tahun lalu. Ya, kuidentifikasi dirinya."
Para pejabat masih berbicara kepadanya, memberinya dokumen-dokumen untuk
ditandatangani, tapi Maria Lombardo tidak mendengar atau melihat mereka. Ia
tidak melihat atau mendengar kerumunan orang yang berdesakan di sekitarnya,
para wartawan yang berteriak-teriak, para fotografer yang melawan carabinieri
agar bisa memotret.
Maria Lombardo mengecup kening Turi, yang seputih marmer berurat kelabu, ia
mengecup bibir Turi yang mulai membiru, tangan yang tercabik-cabik peluru.
Pikiran Maria Lombardo luluh dalam duka. "Oh darah dagingku, darah
dagingku," katanya, "betapa mengerikan kematian yang menimpamu."
Ia jatuh pingsan, dan sewaktu dokter yang hadir menyuntiknya serta ia tersadar
kembali, Maria Lombardo berkeras pergi ke halaman tempat mayat
533 putranya ditemukan. Di sana ia berlutut dan mencium
noda darah di tanah.
Setelah dibawa pulang ke Montelepre ia mendapati suaminya tengah menanti
kedatangannya. Pada saat itulah ia tahu bahwa pembunuh putranya adalah
Aspanu-nya yang tercinta.
534
Bab 29
MICHAEL CORLEONE dan Peter Clemenza dikirim ke penjara Palermo segera
setelah ditangkap. Dari sana mereka dibawa ke ruangan Inspektur Velardi untuk
diinterogasi.
Bersamanya Velardi menyiapkan enam perwira carabinieri, bersenjata lengkap.
Ia menyapa Michael dan Clemenza dengan kesopanan yang dingin. Ia berbicara
kepada Clemenza terlebih dulu. "Kau warga negara Amerika," katanya. "Kau
memiliki paspor yang menyatakan kedatanganmu kemari untuk mengunjungi
kakakmu. Don Domenic Clemenza dari Trapani. Orang yang sangat terhormat,
kata orang. Pria terhormat." Ia mengucapkan ungkapan tradisional itu dengan
kesinisan yang nyata. "Kami mendapati dirimu bersama Michael Codeone, dan
kau membawa senjata maut di kota tempat Turi Guiliano menemui kematiannya
hanya beberapa jam sebelumnya. Kau mau memberi pernyataan?"
Clemenza berkata, "Aku sedang berburu, kami mencari kelinci dan rubah. Lalu
kami melihat semua kegemparan di Castelvetrano sewaktu berhenti di kafe
untuk menikmati kopi pagi. Jadi kami ke sana untuk melihat apa yang terjadi."
"Di Amerika kau menembak kelinci dengan pistol
otomatis?" tanya Inspektur VeJardi. Ia berpaling kepada Michael Corleone, "Kita
pernah bertemu, kau dan aku, kita tahu untuk apa kau datang kemari. Dan
teman gendutmu ini juga tahu. Tapi situasi berubah sejak kita menikmati makan
siang yang memesona bersama Don Croce beberapa hari lalu. Guiliano sudah
mati. Kau terlibat konspirasi kejahatan untuk membantunya melarikan diri. Aku
tidak lagi diwajibkan memperlakukan sampah seperti dirimu sebagai manusia.
Pengakuan sedang disiapkan, kusarankan kalian menandatanganinya."
Pada saat itu seorang perwira carabinieri masuk dan berbisik ke telinga Inspektur
Velardi. Velardi berkata kasar, "Suruh dia masuk."
Ternyata Don Croce, dan seingat Michael caranya berpakaian tak lebih baik
daripada saat mereka makan siang bersama. Wajah kerasnya tampak tenang. Ia
terhuyung-huyung mendekati Michael dan memeluknya. Ia menjabat tangan
Peter Clemenza. Lalu ia berbalik dan menatap Inspektur tanpa mengatakan apa
pun. Kekuatan kasar memancar dari manusia tinggi besar itu. Kekuasaan
memancar dari wajah dan matanya. "Dua orang, ini temanku," katanya. "Atas
alasan apa kau memperlakukan mereka dengan tidak hormat?" Tak ada
kemarahan dalam suaranya, tak ada emosi. Seolah ia sekadar mengajukan
pertanyaan yang menuntut jawaban berdasarkan fakta. Suaranya juga
menyatakan tidak ada fakta yang bisa membenarkan penangkapan mereka.
Inspektur Velardi mengangkat bahu. "Mereka akan menghadap hakim dan dia
akan membereskan masalahnya
Don Croce duduk di salah satu kursi berlengan di
samping meja Inspektur Velardi. Ia mengusap alis
matanya. Ia berkata dengan suara pelan yang lagi-lagi tanpa nada mengancam
sedikit pun, "Demi menghormati persahabatan kita, hubungilah Menteri Trezza
dan tanyakan pendapatnya dalam hal ini. Kau membantuku dengan berbuat
begitu."
Inspektur Velardi menggeleng. Mata birunya tidak lagi dingin tapi menyala-
nyala penuh kebencian. "Kita tidak pernah berteman," bantahnya. "Aku
bertindak atas dasar perintah yang sekarang tidak lagi mengikat karena Guiliano
sudah mati. Kedua orang ini akan diadili. Kalau aku memiliki kekuasaan kau
juga akan diadili bersama mereka."
Pada saat itu telepon di meja Inspektur Velardi berdering. Ia tak
mengacuhkannya, menunggu jawaban Don Croce. Don Croce berkata,
"Terimalah teleponnya, itu pasti dari Menteri Trezza."
Pelan-pelan Inspektur meraih telepon, matanya mengawasi Don Croce. Ia
mendengarkan selama beberapa menit, lalu berkata, "Ya, Yang Mulia," dan
menutup telepon. Ia merosot di kursinya dan berkata kepada Michael dan Peter
Clemenza, "Kalian bebas."
Don Croce bangkit berdiri dan menggiring Michael serta Clemenza keluar
dengan gerakan seperti mengusir, seolah mereka hanyalah ayam-ayam yang
terjebak di halaman. Lalu ia berpaling kepada Inspektur Velardi. "Aku
memperlakukan dirimu dengan sangat ramah selama setahun terakhir meskipun
kau orang asing di Sisilia-ku. Tapi di depan teman-teman dan sesama perwira
kau menunjukkan sikap tidak hormat padaku. Tapi aku bukan orang. pendendam.
Kuharap dalam
waktu dekat kita bisa makan malam bersama dan memperbarui persahabatan kita
dengan pemahaman yang lebih jelas."
Lima hari kemudian di tengah hari, Inspektur Frederico Velardi ditembak mati di
jalan raya utama Palermo.
Dua hari kemudian Michael tiba di rumah. Diadakan pesta keluarga menyambut
kepulangannya—kakaknya Fredo terbang dari Vegas, ada Connie dan suaminya
Carlo, ada Clemenza dan istrinya, Tom Hagen dan istrinya. Mereka berpelukan
dan menyidangi Michael serta mengomentari betapa tampan dirinya. Tak
seorang pun membicarakan tahun-tahun pengasingannya, tak ada yang terang-
terangan mengatakan wajahnya bertambah cekung, tak seorang pun
menyinggung ke-matian Sonny. Ini pesta keluarga seakan ia cuma pergi kuliah
atau berlibur panjang. Ia kini berada di sisi ayahnya Akhirnya ia aman.
Keesokan paginya ia tidur sampai siang, tidur pertama yang benar-benar
nyenyak sejak ia lari dari negara ini. Ibunya telah menyiapkan sarapan dan
menciumnya sewaktu ia duduk di meja makan, tanda kasih sayang yang jarang
dilakukannya. Ibunya hanya sekali melakukannya sebelum ini, sewaktu ia
pulang dari perang
Usai sarapan ia pergi ke perpustakaan dan mendapati ayahnya telah menunggu.
Ia terkejut melihat Tom Hagen tidak ada di sana, lalu menyadari Don ingin
berbicara empat mata dengannya.
Don Corleone dengan takzim menuangkan dua gelas anisette dan mengulurkan
satu gelas kepada Michael. "Untuk, kemitraan kita/' kata Don.
538
Michael mengangkat gelasnya. "Terima kasih," katanya. "Banyak yang harus
kupelajari." "Ya," Don Corleone membenarkan. "Tapi kita punya banyak waktu,
dan aku di sini untuk mengajarimu" Michael berkata, "Menurutmu tidakkah kita
sebaiknya membereskan soal Guiliano terlebih dulu?" . .
Don duduk terenyak dan mengusap mulutnya, membersihkannya dari minuman.
"Ya," katanya. "Urusan yang menyedihkan. Aku berharap dia bisa meloloskan
diri. Ayah dan ibunya teman baikku." " Michael berkata, "Aku tidak pernah
sungguh-sungguh memahami apa" yang terjadi, aku bingung mana pihak yang
benar dan mana yang salah. Kau menyuruhku memercayai Don Croce, tapi
Guiliano membencinya. Kukira dengan Wasiat di tanganmu mereka tidak akan
membunuh Guiliano, tapi mereka tetap saja membunuhnya. Dan sekarang kalau
kita sebarkan Wasiat kepada seluruh surat kabar, artinya mereka menggorok
leher mereka sencliri."
Ia melihat ayahnya menatapnya tenang. "Itulah Sisilia," kata Don. "Selalu ada
pengkhianatan dalam pengkhianatan."
Michael berkata, "Don Croce dan pemerintah pasti mengadakan perjanjian
dengan Pisciotta." "Tak diragukan lagi," ujar Don Corleone. Michael masih
bingung. "Kenapa mereka berbuat begitu?- Kita memiliki Wasiat yang
membuktikan pemerintah bekerja sama dengan Guiliano. Pemerintah Italia akan
jatuh kalau koran-koran mempublikasikan apa yang kita berikan kepada mereka.
Tidak masuk akal sama sekali."
Don tersenyum tipis dan berkata, "Wasiat akan tetap tersembunyi. Kita tidak,
akan memberikannya kepada siapa pun."
Michael pedu waktu untuk meresapi apa yang dikatakan ayahnya dan apa
artinya. Lalu, untuk pertama kali seumur hidupnya, ia benar-benar marah kepada
ayahnya. Wajahnya memucat, ia berkata, "Apa itu berarti selama ini kita bekerja
sama dengan Don Croce? Apa itu berarti aku mengkhianati Guiliano dan
bukannya membantunya? Berarti aku berbohong kepada orangtuanya? Kau
mengkhianati teman-temanmu dan membiarkan putra mereka tewas? Kau
memanfaatkan diriku, membodobiku, begitukah? Pop, ya Tuhan, Guiliano orang
baik, pahlawan sejati bagi orang-orang miskin di Sisilia. Kita harus
menyebarluaskan Wasiat."
Ayahnya membiarkan dirinya berbicara lalu bangkit dari kursinya dan
memegang bahu Michael. "Dengarkan aku," katanya. "Segala sesuatu disiapkan
agar Guiliano bisa meloloskan diri. Aku tidak mengadakan perjanjian apa pun
dengan Don Croce untuk mengkhianati Guiliano. Pesawatnya sudah menunggu,
Clemenza dan anak buahnya diperintahkan membantumu sepenuhnya. Don
Croce memang ingin Guiliano melarikan diri, itu cara paling mudah. Tapi
Guiliano bersumpah akan melakukan vendetta kepadanya dan mengulur waktu
dengan harapan bisa memenuhinya. Dia bisa saja me-nemuimu dalam beberapa
hari, tapi dia tetap tinggal untuk melakukan upaya terakhirnya. Itu yang
membuatnya terbunuh."
Michael menjauhi ayahnya dan duduk di salah satu kursi kulit berlengan. "Ada
alasan kau tidak mem-pubhkasikan Wasiat," katanya. "Kau mengadakan
perjanjian."
"Ya," sahut Don Corleone. "Kau harus ingat sesudah dirimu terluka oleh bom,
kusadari aku dan teman-temanku tidak lagi bisa melindungimu sepenuhnya di
Sisilia. Kau bisa menjadi korban usaha pem-Imnuhan lainnya. Aku harus
sungguh-sungguh yakin kau bisa kembali dengan selamat. Jadi aku mengadakan
perjanjian dengan Don Croce. Dia akan melindungimu dan sebagai gantinya aku
berjanji- akan membujuk Guiliano agar tidak mempublikasikan Wasiat saat dia
berhasil lari ke Amerika."
Dengan perasaan terguncang yang memuakkan Michael teringat dirinyalah yang
memberitahu Pisciotta bahwa Wasiat sudah aman di Amerika. Pada saat itu ia
telah memutuskan takdir Guiliano. Michael mendesah. "Kita berutang kepada
ibu dan ayahnya," katanya. "Dan kepada Justina. Dia baik-baik saja?" "Ya,"
jawab Don. "Dia dijaga dengan baik. Butuh waktu beberapa bulan sampai dia
bisa menerima apa yang terjadi." Ia diam sejenak. "Dia gadis yang sangat
pandai, dia bisa menjalani kehidupan di sini dengan baik."
Michael berkata, "Kita mengkhianati ayah dan ibunya kalau tidak
mempublikasikan Wasiat."
"Tidak," bantah Don Codeone. "Ada yang kupelajari selama bertahun-tahun
tinggal di Amerika. Kau harus bersikap logis, bisa bernegosiasi. Apa gunanya
mempublikasikan Wasiat? Mungkin pemerintah Italia akan jatuh, mungkin juga
tidak. Menteri Trezza akan kehilangan jabatan, tapi apa kaupikir mereka akan
menghukumnya?"
Michael berkata marah, "Dia pejabat pemerintah yang bersekongkol membunuh
rakyatnya sendiri." Don mengangkat bahu. "Lalu kenapa? Biarkan aku
melanjutkan. Apakah mempublikasikan Wasiat akan membantu ibu dan ayah
atau teman-teman Guiliano? Pemerintah akan memburu mereka, memenjarakan
mereka, menyiksa mereka dengan berbagai cara. Lebih buruk lagi, Don Croce
mungkin akan memasukkan mereka ke daftar hitamnya. Biarkan mereka
menjalani kedamaian di usia tua. Aku mengadakan perjanjian dengan
pemerintah dan Don Croce untuk melindungi mereka. Dengan begitu keberadaan
Wasiat di tanganku ada gunanya."
Michael berkata sinis, "Dan berguna bagi kita kalau suatu saat kita
membutuhkannya di Sisilia."
"Apa boleh buat," kata ayahnya sambil menahan senyum.
Setelah membisu cukup lama Michael berkata pelan, "Entahlah, rasanya
perbuatan itu tidak terhormat. Guiliano pahlawan sejati, dia sudah menjadi
legenda. Kita seharusnya membantu kenangan akan dirinya. Bukannya
membiarkan kenangan itu lenyap dalam kekalahan." -
Untuk pertama kali Don menunjukkan kejengkelan. Ia menuang segelas anisette
lagi untuk dirinya sendiri dan langsung menghabiskannya. Ia menuding
putranya. "Kau ingin belajar," katanya. "Sekarang dengarkan aku. Tugas pertama
seorang pria adalah bertahan hidup. Berikutnya adalah melakukan segala hal
yang disebut kehormatan. Perbuatan yang tidak terhormat ini seperti katamu
tadi, dengan senang hati kutanggung sendiri. Aku melakukannya demi
menyelamatkan nyawamu karena kau sekali waktu dulu melakukan perbuatan
menyelamatkan nyawaku. Kau
tidak akan pernah meninggalkan Sisilia hidup-hidup lanpa perlindungan Don
Croce. Jadi terserah. Kau mau jadi pahlawan seperti Guiliano, jadi legenda? Dan
mati? Aku mencintainya sebagai putra kawan baikku, tapi aku tidak iri akan
ketenarannya. Kau hidup dan Sila mati. Ingat selalu hal itu dan jalani
kehidupanmu bukan untuk menjadi pahlawan, melainkan untuk tetap hidup.
Seiring berlalunya waktu, kepahlawanan tampak konyol."
Michael mendesah. "Guiliano tidak punya pilihan," katanya.
"Kita lebih beruntung," tegas Don.
Itulah pelajaran pertama yang diterima Michael dari ayahnya sekaligus yang
paling baik. Pelajaran itu mewarnai kehidupannya di masa depan,
mendorongnya mengambil keputusan-keputusan menakutkan yang tak pernah ia
bayangkan harus dilakukannya. Pelajaran itu mengubah persepsinya mengenai
kehormatan dan keter-pesonaannya akan kepahlawanan. Pelajaran itu
membantunya bertahan hidup, tapi menjadikan clirinya tidak bahagia. Karena
kendati ayahnya tidak merasa iri terhadap Guiliano, Michael tetap iri. Bab 30
KEMATIAN Guiliano menghancurkan semangat rakyat Sisilia. Ia pembela
mereka, perisai mereka melawan kaum kaya dan bangsawan, Friends of the
Friends, pemerintah Demokrat Kristen di Roma. Dengan tiadanya Guiliano, Don
Croce Malo menempatkan Pulau Sisrha di mesin peras dan memeras kekayaan
melimpah baik dari kaum kaya maupun miskin. Sewaktu pemerintah mencoba
membangun dam-dam yang menyediakan air murah, Don Croce memerintahkan
anak buahnya meledakkan peralatan-peralatan berat yang digunakan
membangun dam-dam itu. Dirinyalah yang mengendalikan semua sumur di
Sisilia; dam pemasok air murah tidak sesuai dengan kepentingannya. Seusai
perang, bisnis pembangunan gedung semakin marak, dan melalui informasi dari
dalam dan gaya negosiasi persuasif, Don Croce memperoleh gedung-gedung di
lokasi terbaik dengan harga murah; lalu ia menjualnya dengan harga berkali-kali
lipat. Ia mengontrol semua bisnis di Sisilia.. Kita tidak bisa menjual sayur
artichoke di pasar Palermo tanpa membayar komisi beberapa centesimi kepada
Don Croce; orang kaya tidak bisa membelikan perhiasan bagi istri mereka atau
kuda balap untuk putra mereka tanpa membayar - asuransi
kepada Don Croce. Dan dengan tangan besi ia melenyapkan harapan bodoh para
petani yang ingin mengklaim lahan tidak terurus milik Pangeran Ollorto, akibat
undang-undang tidak masuk akal yang disahkan Parlemen Italia. Terjepit di
antara Don Croce, kaum bangsawan dan pemerintah Roma, rakyat Sisilia
berhenti berharap.
Dalam dua tahun setelah kematian Guiliano, lima ratus ribu orang Sisilia,
sebagian besar pemuda, pindah ke luar negeri. Mereka pergi ke Inggris dan
menjadi tukang kebun, pembuat es krim, pramusaji restoran. Mereka pergi ke
Jerman dan melakukan pekerjaan kasar, ke Swiss untuk menjaga kebersihan
negara itu dan membuat jam kukuk. Mereka pergi ke Prancis sebagai pembantu
dapur dan penyapu di rumah-rumah mode. Mereka ke Brasilia untuk menebang
pohon membuka hutan. Beberapa pergi ke Scandinavia di musim dingin yang
menggigit. Dan tentu saja ada yang beruntung dan direkrut Clemenza untuk
melayani Keluarga Corleone di Amerika Serikat. Mereka dianggap yang paling
beruntung di antara semuanya. Maka Sisilia pun menjadi tanah para pria tua,
anak-anak, dan wanita yang menjadi janda akibat vendetta ekonomi. Desa-desa
mati itu tidak lagi memasok buruh bagi lahan orang kaya, dan orang kaya juga
menderita. Hanya Don Croce yang makmur.
Gaspare "Aspanu" Pisciotta disidang atas kejahatan-kejahatannya sebagai bandit
dan dijatuhi hukuman seumur hidup di Penjara Ucciardone. Tapi semua orang
tahu ia akan mendapat pengampunan. Satu-satunya kekhawatiran Aspanu adalah
dirinya dibunuh dalam penjara. Namun demikian amnesti tidak juga diterima-
nya. Ia mengirim kabar kepada Don Croce menyatakan kalau ia tidak segera
diampuni, ia akan mengungkapkan semua kontak yang berlangsung antara
kelompoknya dengan Trezza, bagaimana Perdana Menteri yang baru
bersekongkol dengan Don Croce untuk membunuhi rakyatnya sendiri di Portella
della Ginestra.
Pada pagi hari setelah kenaikan Menteri Trezza menjadi Perdana Menteri Italia,
Aspanu Pisciotta terjaga pukul delapan pagi Selnya besar, berisi tanaman-
tanaman dan kain-kain sulaman besar yang dibuatnya untuk mengisi waktu di
penjara. Pola-pola sulaman yang cemerlang pada kain sutra itu agaknya
menenangkan pikirannya, karena sekarang ia sering terkenang masa kanak-
kanak bersama Turi Guiliano, dan cinta kasih antara mereka berdua.
Pisciotta menyiapkan kopi paginya dan minum. Ia takut diracun. Jadi segala
sesuatu di dalam cangkir kopi itu dibawakan oleh keluarganya. Makanan penjara
diberikannya secuil terlebih dulu pada kakatua yang dipeliharanya dalam
kurungan. Dan untuk keadaan darurat, di salah satu raknya, bersama tumpukan
kain dan jarum-jarum sulam, ia menyimpan sebotol besar minyak zaitun. Ia
berharap dengan meminum minyak itu banyak-banyak, ia bisa menetralkan
pengaruh racun atau menyebabkan ia muntah. Ia tidak takut kekerasan lainnya-
—ia dijaga sangat baik. Hanya para tamu yang disetujuinya yang diizinkan
datang ke selnya; ia tidak pernah diizinkan keluar sel. Ia menunggu dengan sabar
sementara kakatuanya makan dan mencerna makanannya kemudian ia
menyantap sarapannya itu penuh selera.
Hector Adonis meninggalkan apartemennya di Palermo
dan menggunakan trem untuk menuju Penjara Ucciar-done. Matahari bulan
Februari sudah terik kendati hari masih pagi, dan ia menyesal mengenakan
setelan hitam dan dasinya. Tapi ia merasa harus berpakaian resmi untuk
peristiwa ini. Ia menyentuh selembar kertas penting dalam saku-dada jasnya,
yang aman ditempatkan dalam-dalam.
Selama perjalanan melintasi kota, hantu Guiliano memaninya. Ia teringat suatu
pagi menyaksikan satu trem penuh carabinieri meledak, salah satu pembalasan
Guiliano karena orangtuanya ditahan di penjara yang hendak dikunjunginya
sekarang. Dan ia kembali bertanya-tanya bagaimana bocah lembut yang
diajarinya membaca literatur klasik itu bisa bertindak begitu mengerikan. Kini,
walaupun dinding-dinding gedung yang dilewatinya kosong, ia masih melihat
dalam imajinasinya tulisan-tulisan cat merah berbunyi PANJANG UMUR
GUILIANO yang sering kali dicatkan di sana. Well, putra baptisnya tidak
berumur panjang. Tapi yang selalu mengganggu Hector Adonis adalah Guiliano
dibunuh orang yang seumur hidup menjadi temannya, teman sejak ia masih
kecil. Itu sebabnya ia gembira menerima perintah untuk mengirimkan surat
dalam saku jasnya. Surat itu dikirim Don Croce bersama perintah khusus.
Trem berhenti di depan bangunan batu bata panjang, itulah Penjara Ueciardone.
Bangunannya dipisahkan dari jalanan oleh dinding batu yang dilengkapi kawat
berduri di atasnya. Para penjaga mengawasi gerbang, dan batas-batas pagar
dijaga polisi bersenjata berat. Hector Adonis, membawa semua dokumen yang
diperlukan, diantar masuk oleh penjaga khusus, dan di-kawal menuju apotek
rumah sakit. Di sana ia disambut sang apoteker, pria bernama Cuto. Ia
mengenakan mantel putih bersih di atas setelan bisnis dan dasinya. Ia juga,
melalui proses psikologis yang tidak kentara, memutuskan untuk mengenakan
pakaian resmi untuk peristiwa ini. Ia menyapa riang Hector Adonis dan mereka
duduk menunggu.
"Apakah Aspanu mengkonsumsi obatnya secara teratur?" tanya Hector Adonis.
Pisciotta masih harus menelan streptomycin' untuk mengobati tuberkulosisnya.
"Oh, ya," jawab Cuto. "Dia sangat hati-hati menjaga kesehatannya. Dia bahkan
berhenti merokok. Kusadari ada sesuatu yang menarik dari para narapidana.
Ketika bebas mereka mengabaikan kesehatan—mereka merokok berlebihan,
minum sampai mabuk, berhubungan seks hingga kehabisan tenaga. Mereka tidak
cukup tidur atau berolahraga. Lalu saat mereka harus menghabiskan seumur
hidup di penjara, mereka melakukan push-up, mereka menolak tembakau,
mereka mengawasi makanan mereka, dan berhati-hati dalam segala hal"
"Mungkin karena mereka memiliki lebih sedikit kesempatan," komentar Hector
Adonis.
"Oh, tidak, tidak," kilah Cuto. "Kau bisa mendapatkan apa saja di Ucciardone.
Para sipir di sini miskin dan para narapidananya kaya, jadi wajar ada uang yang
berpindah tangan. Kau bisa melakukan segala macam kesenangan di sini"
Adonis memandang sekeliling apotek. Ada rak-rak penuh obat dan lemari-lemari
kayu ek besar berisi perban dan peralatan medis, karena apotek itu juga
berfungsi sebagai ruang gawat darurat bagi para nara-
pidana. Bahkan ada dua ranjang tertata rapi di ceruk ruangan yang luas itu.
"Kau-punya masalah mendapatkan obatnya?" tanya Adonis.
"Tidak, kami punya izin khusus," kata Cuto. "Tadi pagi aku menginminya botol
obat yang baru. Dilengkapi semua segel khusus ekspor yang ditempelkan orang
Amerika. Obat yang sangat mahal. Aku terkejut pihak berwenang begitu
bersusah payah mempertahankan hidupnya."
Keduanya saling tersenyum.
Dalam selnya Aspanu Pisciotta mengambil botol streptomycin dan merobek
segelnya yang rumit. Ia mengukur dosisnya dan meminumnya. Selama sedetik,
saat ia bisa berpikir, ia terkejut oleh pahitnya rasa obat itu, lalu tubuhnya
terdorong ke belakang dan terlempar ke tanah. Ia menjerit, yang mendatangkan
sipir ke pintu selnya. Pisciotta bersusah payah bangun, bergumul melawan sakit
yang mencabik-cabik tubuhnya. Tenggorokannya terasa nyeri dan ia terhuyung-
huyung menuju botol minyak zaitunnya. Tubuhnya kembali terjengkang dan ia
menjerit kepada sipir, "Aku diracuni. Tolong, tolong." Lalu sebelum jatuh lagi, ia
merasakan kemurkaan hebat karena akhirnya ia dikalahkan oleh Don Croce.
Para sipir yang membawa Pisciotta menerobos apotek sambil berteriak
narapidana itu diracuni. Cuto menyuruh mereka membaringkan Pisciotta di salah
satu ranjang dan memeriksanya. Lalu ia bergegas menyiapkan obat perangsang
muntah dan menuangkannya ke tenggorokan Pisciotta, Bagi para sipir ia tampak
berusaha keras menyelamatkan Pisciotta. Hanya Hector Adonis yang tahu obat
perangsang muntah itu hanyalah campuran encer yang tidak akan membantu
orang sekarat itu. Adonis bergeser ke samping ranjang dan mengeluarkan kertas
dari saku-dadanya, memegangnya tersembunyi dalam telapak tangannya.
Berpura-pura membantu sang apoteker, ia menyelipkan kertas itu ke dalam
kemeja Pisciotta. Pada saat bersamaan ia menunduk memandang wajah Pisciotta
yang tampan. Wajahnya bagai berkerut oleh kedukaan, tapi Adonis tahu kerutan
itu akibat rasa sakit luar biasa. Sebagian kumis kecil Pisciotta tergigit dalam
kesakitannya. Saat itu Hector Adonis berdoa bagi jiwa Pisciotta dan merasakan
kesedihan mendalam. Ia ingat ketika orang ini dan putra baptisnya berjalan
berangkulan di perbukitan Sisilia sambil mengutip puisi tentang Roland dan
Charlemagne.
Hampir enam jam kemudian surat itu ditemukan pada mayat Pisciotta, tapi
masih cukup pagi untuk dipublikasikan di berita surat kabar mengenai kematian
Pisciotta dan dikutip di seluruh Sisilia. Kertas yang diselipkan Hector Adonis ke
dalam kemeja Pisciotta bertuliskan KEMATIAN BAGI SEMUA YANG
MENGKHIANATI GUILIANO.
550
Bab 31
DI Sisilia, kalau kau punya uang, kau. tidak menguburkan orang terkasih di
dalam tanah. Itu kekalahan yang terlalu telak, dan tanah Sisilia telah lama
bertanggung jawab atas terlalu banyak penghinaan. Jadi pemakaman dipenuhi
batu nisan kecil dan mausoleum marmer—bangunan-bangunan persegi kecil
yang disebut congrega^ioni. Pintu-pintu baja berjeruji menghalangi jalan
masuknya. Di dalamnya terdapat ceruk-ceruk tempat peti mati diletakkan dan
ceruk itu cktutupi semen. Ceruk-ceruk lain disediakan untuk anggota keluarga
lainnya.
Hector Adonis memilih hari Minggu yang cerah tak lama setelah kematian
Pisciotta untuk mengunjungi Pemakaman Montelepre. Don Croce akan
menemuinya di sana untuk berdoa di makam Turi Guiliano. Dan karena ada
yang harus mereka diskusikan, adakah tempat yang lebih baik—selain
pemakaman—bagi pertemuan mereka, orang-orang tanpa pretensi yang saling
memahami? Juga bagi pertemuan untuk memaafkan luka-luka lama, pertemuan
yang clirahasiakan?
Dan adakah tempat yang lebih baik, selain pemakaman, untuk memberikan
selamat kepada kolega yang melakukan tugas dengan baik? Sudah menjadi tugas
551 Don Croce menyingkirkan Pisciotta, yang terlalu vokal dan memiliki
ingatan terlalu baik. Don Croce memilih Hector Adonis untuk merancang tugas
itu. Surat yang ditinggalkan di mayat Pisciotta merupakan salah satu aksi Don
yang paling halus. Surat itu memuaskan Adonis, dan pembunuhan politis
disamarkan sebagai aksi keadilan yang romantis. Di depan gerbang pemakaman,
Hector Adonis mengawasi sopir dan para pengawal mengangkat Don Croce
keluar dari mobil. Tubuh Don bertambah besar selama setahun terakhir, seakan
tumbuh pesat seiring semakin besarnya kekuasaan yang diraihnya.
Kedua orang itu melewati gerbang. Adonis menengadah memandang
lengkungan di atas gerbang. Pada kerangka jeruji besinya terdapat tulisan bagi
para pelayat. Bunyinya: KAMI TELAH MENJADI SEPERTI KALIAN—DAN
KALIAN AKAN MENJADI SEPERTI KAMI.
Adonis tersenyum membaca tantangan sinis itu. Guiliano tak akan pernah
berperilaku kasar seperti itu, tapi itulah yang akan diteriakkan Pisciotta dari
kuburnya.
Hector Adonis tidak lagi merasakan kebencian getir terhadap Pisciotta,
kebencian yang merasukinya setelah kematian Guiliano. Ia telah membalas
dendam. Sekarang ia teringat keduanya saat bermain sewaktu kecil, menjadi
penjahat bersama-sama.
Don Croce dan Hector Adonis berada jauh di perkampungan batu nisan dan
bangunan marmer. Don Croce dan para pengawalnya berjalan berkelompok,
saling mendukung di jalan setapak berbatu-batu; sopir membawa buket bunga
besar yang diletakkannya di
552
gerbang congrega^one makam Guiliano. Don Croce sibuk menata kembali
bunga-bunganya, lalu menatap tajam foto kecil Guiliano yang ditempelkan di
pintu batu. Para pengawalnya memegangi tubuhnya agar tidak jatuh.
Don Croce menegakkan tubuh. "Dia bocah pemberani,", kata Don. "Kita semua
mencintai Turi Guiliano. Tapi bagaimana kita bisa hidup bersamanya? Dia ingin
mengubah dunia, menjungkirbalikkannya. Dia menyayangi sesama manusia dan
siapa yang lebih banyak membunuh mereka? Dia percaya pada Tuhan dan
menculik Kardinal."
Hector Adonis mengamati foto itu. Foto itu dibuat sewaktu Guiliano masih tujuh
belas tahun, dengan ketampanan Laut Mediterania. Ada sesuatu yang manis pada
wajahnya yang menyebabkan orang menyayanginya, dan orang tak bisa
membayangkan dirinya akan memerintahkan seribu pembunuhan, mengirim
seribu jiwa ke neraka.
Ah, Sisilia, Sisilia, pikirnya, kau menghancurkan putra terbaikmu dan
menjadikan mereka debu. Anak-anak yang lebih cantik daripada malaikat
muncul dari tanahmu dan berubah menjadi iblis. Kejahatan tumbuh subur di
tanah ini seperti bambu dan pir. Tapi kenapa Don Croce datang kemari dan
meletakkan bunga di makam Guiliano?
"Ah," kata Don, "kalau saja aku memiliki putra seperti Turi Guiliano. Aku akan
meninggalkan kekaisaran luar biasa untuk dipimpinnya. Siapa bisa menebak
kejayaan macam apa yang akan dimenangkannya?"
Hector Adonis tersenyum. Tidak ragu lagi Don Croce orang hebat, tapi ia tidak
memiliki persepsi sejarah. Don Croce memiliki seribu putra yang akan
melanjutkan kepemimpinannya, mewarisi kelicikannya, menjarah Sisilia,
mengorupsi "Roma. Dan ia, Hector Adonis, Dosen Terkemuka Sejarah dan
Sastra di Universitas Palermo, adalah salah satu di antaranya.
Hector Adonis dan Don Croce berbalik pergi. Deretan panjang kereta tengah
menunggu di depan pemakaman. Setiap jengkal kereta-kereta itu dilukisi
legenda Turi Guiliano dan Aspanu Pisciotta dalam warna-warna cerah:
perampokan Duchess, pembantaian para pemimpin Mafia, pembunuhan Turi
oleh Aspanu. Dan Hector Adonis merasa ia mengetahui semuanya. Bahwa Don
Croce akan dilupakan kendati ia begitu hebat, namun Turi Guiliano akan terus
hidup. Bahwa legenda Guiliano akan terus tumbuh, bahwa beberapa orang
percaya ia tidak pernah mati melainkan masih berkeliaran di Pegunungan
Cammarata dan suatu hari kelak akan muncul kembali untuk membebaskan
Sisilia dari rantai pengekang dan kesengsaraannya Di ribuan desa yang penuh
tanah dan batu, anak-anak yang belum dilahirkan akan berdoa bagi jiwa dan
kebangkitan Guiliano.
Bagaimana dengan Aspanu Pisciotta dan benaknya yang licik, yang mengaku
tidak mendengarkan sewaktu Hector Adonis menceritakan legenda
Charlemagne, Roland dan Oliver, dan karena itu memutuskan pergi ke arah yang
berlawanan? Kalau tetap setia, Pisciotta akan terlupakan, Guiliano akan mengisi
legendanya seorang diri. Tapi dengan melakukan kejahatan besarnya, Pisciotta
akan mendampingi Turi-nya yang terkasih selama-lamanya. Pisciotta akan
dimakamkan di pemakaman ini juga.
Mereka berdua akan menatap selamanya pegunungan yang mereka cintai,
pegunungan yang juga menyimpan tulang-belulang gajah Hannibal, yang sekali
waktu menggemakan raungan keras terompet Roland sewaktu ia tewas dalam
pertempuran melawan bangsa Saracen, juri Guiliano dan Aspanu Pisciotta mati
muda, tapi mereka akan tetap hidup, kalau bukan untuk selamanya, jelas lebih
lama daripada Don Croce maupun clirinya, Profesor Hector Adonis.
Kedua pria itu, yang satu begitu raksasa, yang lain begitu mungil, meninggalkan
pemakaman. Kebun-kebun berteras memenuhi lereng-lereng pegunungan di
sekeliling mereka dengan pita-pita hijau, batu-batu putih besar berkilau-kilau,
seekor rajawali merah Sisilia melayang ke arah mereka pada seberkas cahaya
matahari.

Anda mungkin juga menyukai