puzo dengan karya klasiknya:The sicilian kisah kehidupan orang orang
sicilia yang romantis,meski penuh darah,balas dendam,dan pengkhianatan. Tahun 1950 .Michael corleono tiba di pengujung masa pengasinganya di sicilia.God father memerintahkanya membawa seorang pelanggar hukum muda bernama salvatore Guiliano kembali ke amerika .namun kehidupan Guiliano dihiasi jaring jaring berdarah penuh kekejaman dan vendetta.Di sicilia,Guliano adalah Robin hood zaman modern yan melawan korupsi,Pemerintah Roma-dan melawan Cosa Nostra,Di pulau yang penuh berserakan puing kuil kuno peninggalan bangsa Yunani ini,jalan hidup Michael Corleono terjalin erat dengan legenda Salvatore Guiliano:sang kesatria,pencinta,sicilian sejati Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah). MARIO PUZO ORANG-ORANG SISILIA Gn BUKU I MICHAEL CORLEONE 1950 MICHAEL CORLEONE berdiri di dermaga kayu panjang di Palermo dan mengawasi kapal laut besar itu berlayar ke Amerika. Ia seharusnya berada di kapal itu juga, tetapi instruksi-instruksi baru dari ayahnya telah datang. Ia melambai mengucapkan selamat berpisah kepada orang-orang di perahu nelayan kecil yang membawanya ke dermaga, orang-orang yang menjaga dirinya selama beberapa tahun terakhir ini. Perahu nelayan itu meng-ikuti ombak berbuih putih yang ditimbulkan kapal laut, bagai anak itik kecil pemberani mengejar sang induk. Para pria dalam perahu itu balas melambai; ia tidak akan bertemu mereka lagi. Dermaga itu sendiri terasa hidup dengan para buruh bertopi dan bercelana baggy yang lalu-lalang membongkar muatan kapal-kapal lainnya, memuati truk-truk yang berjajar di sepanjang dermaga. Mereka pria-pria kecil bertubuh liat yang lebih mirip orang Arab daripada Italia, mengenakan topi-topi berlidah yang menyembunyikan wajah mereka. Di antara mereka pasti terdapat para pengawal baru yang akan memasti-; kan dirinya tidak celaka sebelum bertemu Don Croce 9 Malo, Capo di Capi* dari "Friends of the Friends" (Teman-temannya Teman- teman). Itulah julukan mereka di Sisilia ini. Surat-surat kabar dan dunia luar menyebut mereka Mafia, tapi di Sisilia kata Mafia tak pernah melintas di bibir penduduk biasa. Sebagaimana mereka tak akan pernah memanggil Don Croce Malo Capo di Capi melainkan "The Good Soul"—Jiwa yang Baik Selama dua tahun masa pengasingannya di Sisilia, Michael mendengar banyak cerita tentang Don Croce, beberapa di antaranya begitu fantastis hingga ia hampir-hampir tak percaya orang seperti itu ada. Tapi instruksi-instruksi yang diberikan ayahnya jelas sekali: ia diperintahkan makan siang bersama Don Croce hari ini juga. Dan mereka berdua harus mengatur pelarian bandit terbesar Sisilia dari negara itu, Salvatore Guiliano. Michael Corleone tidak boleh meninggalkan Sisilia tanpa Guiliano. Di ujung dermaga, tak lebih dari lima puluh meter jauhnya, mobil besar berwarna gelap diparkir di jalan sempit, itu. Di depan mobil berdiri tiga laki-laki, sosok-sosok persegi gelap yang seperti dipotong dari lembaran cahaya terang yang memancar bagai dinding emas matahari. Michael berjalan mendekati mereka. Ia ber- *Don/Capo/Godfather/Boss adalah kepala keluarga. Capo di (Tutti) Capi atau Boss of the Bosses adalah Don yang paling berpengaruh dari semua Don. Ia biasa memimpin pertemuan yang dihadiri para Don untuk mendiskusikan pertengkaran antarkeluarga, pembagian teuton, keputusan berdamai maupun berperang dengan pihak lain, henti sejenak untuk menyulut rokok dan mengamati kota. Palermo terletak di dasar mangkuk yang tercipta dari kawah yang telah mati, dikepung pegunungan di ketiga sisinya, dan membentang ke air biru kemilau Laut Mediterania di sisi keempat. Kota itu berkilau-kilau tertimpa cahaya keemasan matahari tengah hari Sisilia. Berkas-berkas cahaya kemerahan menghantam tanah, seakan-akan memantulkan banjir darah yang menggenangi tanah Sisilia selama berabad-abad, tak terhitung lamanya. Bias-bias keemasan menyiram tiang-tiang marmer kuil-kuil Yunani, kubah-kubah mesjid yang bagai berjala-jala, ch^dmg-dinding depan katedral Spanyol yang rumit; di lereng bukit di kejauhan berdiri sisa-sisa puri Normandia kuno. Semuanya ditinggalkan oleh aneka pasukan kejam yang memerintah Sisilia sejak sebelum Kristus dilahirkan. Di balik dinding-dinding puri, pegunungan-pegunungan berbentuk kerucut memeluk Palermo—yang bagaikan sosok wanita—dalam pelukan mendekati cekikan, keduanya seakan berlutut anggun dengan seutas tali melilit makin erat di leher kota. Jauh di atas; puluhan elang merah mungil melesat kian kemari di langit biru cemerlang. Michael berjalan mendekati ketiga pria yang menunggunya di ujung dermaga. Sosok-sosok persegi gelap itu pun menjelma menampilkan garis-garis wajah dan postur. Seiring setiap langkah ia bisa melihat mereka makin jelas dan mereka tampak merenggang, memperlebar jarak antara satu dan yang lain seolah hendak melingkupinya sewaktu menyapa. Ketiganya tahu sejarah Michael. Bahwa ia putra termuda Don Corleone yang agung di Amerika sang Godfather, yang kekuasaannya bahkan menjangkau Sisik. Bahwa ia membunuh pejabat tinggi kepolisian di New York sewaktu tengah mengeksekusi musuh Kekaisaran Corleone. Bahwa ia bersembunyi dan diasingkan di Sisilia ini akibat pembunuhan-pembunuhan tersebut dan sekarang akhirnya, berbagai urusan sudah "diatur", ia dalam perjalanan ke tanah kelahirannya untuk melanjutkan perannya sebagai putra mahkota Keluarga Corleone. Mereka mengamati Michael dengan teliti, caranya berjalan yang begitu cepat dan ringan, pandangannya yang waspada, sisi wajahnya yang cekung mengesankan pria yang telah mengalami penderitaan dan bahaya. Jelas ia pria "terhormat". Begitu Michael melangkah meninggalkan dermaga, pria pertama yang menyapanya adalah pastor, tubuhnya yang gempal terbungkus jubah, kepalanya tertutup topi berbentuk mirip kelelawar berminyak. Kerah pastornya yang putih ternoda debu merah Sisilia, wajah di atasnya dijejali daging. Inilah Pater Benjamino Malo, saudara Don Croce yang agung. Kelakuannya malu-malu dan khidmat, tapi ia sangat berbakti pada saudaranya yang terkenal dan tak pernah mengernyit atas kehadiran setan yang begitu dekat dengan dirinya. Menurut kabar ia bahkan menyampaikan rahasia orang-orang yang mengaku dosa kepada Don Croce. Pater Benjamino tersenyum gugup saat menjabat tangan Michael dan terkejut sekaligus lega melihat senyum Michael yang bersahabat, sama sekali tidak seperti pembunuh terkenal. Pria kedua tidaklah seramah pastor meskipun cukup sopan. Ia Inspektur Frederico Velardi, kepala Kepolisian Sisilia. Ia satu-satunya dari mereka bertiga yang tidak menampilkan senyum menyambut. Bertubuh kurus dan mengenakan pakaian yang terlalu bagus bagi seorang yang menerima gaji pegawai negeri, mata birunya yang dingin memancarkan peluru-peluru genetis para penakluk Normandia berabad-abad yang lalu. Inspektur Velardi tak mungkin menyukai orang Amerika yang membunuh pejabat tinggi kepolisian. Orang itu boleh mencoba peruntungannya di Sisilia. Berjabatan dengan Velardi terasa seperti beradu pedang. Pria ketiga lebih jangkung dan lebih kekar; ia bagai raksasa di samping kedua pria lainnya. Tangannya menelan tangan Michael, lalu menarik Michael ke dalam pelukannya yang hangat. "Sepupu Michael," katanya. "Selamat datang di Palermo." Ia melangkah mundur dan memandang Michael dengan sayang tapi waspada. "Aku Stefan Andolini, ayahmu dan aku tumbuh besar bersama-sama di Corleone. Aku pernah melihatmu di Amerika, sewaktu kau kecil. Kau ingat aku?" Anehnya Michael mengingatnya. Karena Stefan Andolini termasuk makhluk langka di Sisilia, rambutnya merah. Itu merupakan kesialan baginya, karena orang Sisilia percaya Yudas berambut merah. Wajahnya juga tidak mudah dilupakan. Mulurnya besar dan bentuknya tidak teratur, bibirnya yang tebal bagai daging cincang berlumuran darah; di atasnya terdapat cuping hidung berbulu, dan matanya cekung di lubangnya yang dalam. Sekalipun tengah tersenyum, wajah Andolini akan menyebabkan orang memimpikan pembunuhan. Menyangkut kehadiran sang pastor, Michael seketika memahami kaitannya. Tapi kehadiran Inspektur Velardi merupakan kejutan. Andolini, yang hadir untuk melak- sanakan tanggung jawab sebagai kerabat, dengan hati-hati menjelaskan kepada Michael kapasitas resmi kehadiran Inspektur. Michael seketika waspada. Apa yang dilakukan orang itu di sini? Velardi terkenal sebagai salah satu pemburu Salvatore Guiliano yang tak kenal lelah. Dan jelas sekali Inspektur dan Stefan Andolini saling membenci mereka menampilkan kesopanan dua pria yang siap berduel hingga mati. Sopir telah membukakan pintu-pintu mobil bagi mereka. Pater Benjamino dan Stefan Andolini mengajak Michael ke kursi belakang sambil menepuk-nepuknya sopan. Dengan kerendahan hati Kristiani, Pater Benjamino bersikeras agar Michael duduk di dekat jendela sementara ia sendiri di tengah, karena Michael harus melihat keindahan Palermo. Andolini duduk di kursi belakang lainnya. Inspektur sudah menempati kutsi di samping sopir. Michael memerhatikan Inspektur Velardi memegangi tangkai pintu sehingga bisa membukanya dengan cepat. Terlintas dalam benaknya bahwa mungkin Pater Benjamino memaksa duduk di tengah untuk mengurangi kemungkinan dirinya menjadi sasaran. Laksana naga hitam besar, mobil perlahan-lahan melaju sepanjang jalan-jalan Palermo. Di jalan ini berdiri rumah-rumah bergaya Moor yang anggun, bangunan-bangunan publik bertiang gaya Yunani yang menjulang, katedral- katedral Spanyol. Rumah-rumah pribadi bercat biru, bercat putih, bercat kuning, semuanya memiliki balkon bertepi pot bunga yang membentuk jalan layang lain di atas kepala. Pemandangannya pasti indah kalau bukan karena kehadiran berpuluh-puluh carabinieri, Polisi Nasional Italia, yang berpatroli di setiap tikungan dengan senapan siap ditembakkan. Dan lebih banyak lagi rekan mereka di balkon-balkon di atas kepala. Mobil mereka menyebabkan mobil-mobil lain di sekitarnya tampak kecil, terutama kereta-kereta petani yang ditarik keledai, sebagian besar membawa sayur-mayur segar dari pedalaman. Kereta-kereta ini dicat warna-warni cerah: setiap incinya sampai jari-jari rodanya, termasuk tonggak tempat mengikat keledai. Di sisi sebagian besar kereta terdapat lukisan yang menggambarkan kesatria-kesatria berhelm dan raja-raja bermahkota dalam adegan-adegan dramatis legenda Charlemagne dan Roland, para pahlawan kuno cerita rakyat Sisilia. Tapi di beberapa kereta Michael melihat tulisan—di bawah gambar pemuda tampan bercelana panjang wol tebal dan berkemeja putih tanpa lengan, dengan pistol-pistol di sabuknya dan pistol-pistol lain tersandang di bahunya— dua baris kalimat yang selalu diakhiri huruf-huruf merah besar menyatakan nama GUILIANO. Selama pengasingannya di Sisilia, - Michael telah banyak mendengar tentang Salvatore Guiliano. Namanya selalu dimuat koran-koran. Orang-orang membicarakan dirinya. Istri Michael, Apollonia, mengaku setiap malam ia berdoa bagi keselamatan GuiHano, sebagaimana yang dilakukan hampir semua anak dan remaja SisiHa. Mereka memujanya, ia salah satu dari mereka, sosoknya merupakan impian masa depan mereka masing-masing. Dalam usia muda, dua puluhan, ia telah diakui sebagai jenderal besar karena berhasil mengalahkan pasukan-pasukan carabinieri yang dikirim untuk melawannya. Ia tampan dan dermawan, ia mem- berikan sebagian besar hasil kejahatannya kepada orang miskin. Ia berbudi dan para banditnya tak pernah diizinkannya melecehkan wanita atau pastor. Bila mengeksekusi informan atau pengkhianat, ia selalu memberi waktu kepada para korbannya untuk berdoa dan membersihkan jiwa dalam rangka berdamai dengan para penguasa dunia selanjutnya. Semua ini diketahui Michael tanpa harus mendapat penjelasan khusus. Mereka berbelok meninggalkan jalan raya dan poster besar behuruf-huruf hitam di dinding sebuah rumah menarik perhatian Michael. Ia hanya sempat melihat kata GUILIANO di baris teratas. Pater Benjamino mencondongkan tubuh ke jendela dan berkata, "Itu salah satu proklamasi Guiliano. Tak peduli segala yang terjadi, dia masih menguasai Palermo di malam hari." "Apa isi proklamasi itu?" tanya Michael. Dia mengizinkan penduduk Palermo naik trem lagi," jawab Pater Benjamino. "Dia mengizinkan?" tanya Michael sambil tersenyum. "Seorang pelanggar hukum memberi izin?" Dari sisi lain Stefan Andolini tertawa. "Carabinieri menggunakan trem untuk pergi ke mana-mana, jadi Guiliano meledakkan trem-trem itu. Tapi sebelumnya dia memperingatkan masyarakat untuk tidak menggunakannya. Sekarang dia berjanji tidak meledakkan trem-trem lagi." Michael berkata datar, "Dan kenapa Guiliano meledakkan trem yang penuh polisi?" Inspektur Velardi berpaling, mata birunya membelalak "Karena Roma dalam kebodohannya telah menangkap ayah dan ibunya dengan tuduhan menampung penjahat terkenal, yakni putra mereka sendiri. Hukum Fasis yang tak pernah dicabut oleh republik." Pater Benjamino berkata dengan kebanggaan tersamar, "Kakakku, Don Croce, mengatur pembebasan mereka. Oh, kakakku sangat marah terhadap Roma." Demi Tuhan, pikir Michael. Don Croce marah terhadap Roma? Memangnya siapa Don Croce ini selain menjadi pezzonovante—tokoh berkuasa—Mafia? Mobil berhenti di depan bangunan berwarna merah muda yang panjangnya mencapai satu blok. Menara-menara biru mencuat di masing-masing sudutnya. Di depan pintu masuk terdapat kanopi besar berwarna hijau dan bergaris-garis putih yang bertuliskan HOTEL UMBERTO, dikawal dua penjaga pintu yang mengenakan seragam berkancing emas kemilau. Tapi perhatian Michael tidak teralih oleh kemeriahan ini. Matanya yang terlatih memotret jalan di depan hotel. Ia menemukan sedikitnya sepuluh pengawal yang berjalan berpasangan, atau bersandar ke pagar besi. Orang-orang ini tidak menyembunyikan fungsi mereka. Jaket-jaket mereka yang tak terkancing menampilkan senjata-senjata yang melekat ke tubuh. Dua di antaranya, sambil mengisap cerutu tipis, menghalangi jalan Michael sejenak sewaktu ia turun dari mobil. Mereka mengamatinya dengan teliti—seakan mengukur makamnya Mereka tak mengacuhkan Inspektur Velardi dan yang lainnya. Sewaktu kelompok itu memasuki hotel, para penjaga menutup pintu masuk di belakang mereka. Di lobi, empat pengawal lain muncul dan mendampingi mereka menyusuri koridor. Orang-orang ini memancarkan kebanggaan pelayan istana kaisar. Koridor berujung pada dua pintu kayu ek besar. Seorang pria, yang semula duduk di kursi tinggi bagai takhta, bangkit berdiri dan membuka pintu-pintu itu dengan kunci kuningan. Ia membungkuk sambil melontarkan 'senyum bernada tahu sama tahu pada Pater Benjamino. Pintu-pintunya membuka ke ruangan suite yang mewah jendela-jendela ganda bergaya Prancis menampak- Ikan taman yang indah di baliknya, menebarkan keharuman pepohonan lemon ke dalam ruangan. Sewaktu mereka masuk, Michael bisa melihat dua pria yang ditempatkan di dalam suite. Ia penasaran kenapa Don Croce dijaga seketat ini. Ia teman Guiliano, kepercayaan Menteri Kehakiman di Roma, dan karenanya aman dari para carabineri yang memenuhi Palermo. Kalau begitu siapa, dan apa, yang ditakuti Don yang agung ini? Siapa musuhnya? Perabotan di ruang duduk suite aslinya dirancang untuk istana Italia—kursi-kursi berlengan berukuran raksasa, sofa-sofa sepanjang dan sedalam kapal-kapal kecil, meja-meja marmer besar menyerupai barang curian dari museum. Semua itu sangat sesuai dengan pria yang kini melangkah masuk dari taman untuk menyambut mereka. Lengan-lengannya terulur, memeluk Michael Corleone. Dalam keadaan berdiri, lebar tubuh Don Croce hampir sama dengan tinggi badannya. Rambut lebat beruban, keriting seperti orang kulit hitam, dicukur rapi, kepalanya besar bagai kepala singa. Matanya sehitam mata kadal, bagai dua kismis yang menempel pada pipi-pipi tembam. Kedua pipinya bagai dua lembar kayu mahoni, sisi kirinya halus, sementara sisi lainnya keriput oleh daging yang tumbuh berlebihan. Mulutnya—mengejutkan—sangat bagus, dan di atasnya tumbuh sebaris kumis tipis. Hidungnya yang mancung bagai hidung bangsawan menyatukan ciri-ciri wajahnya yang lain. Tapi di bawah kepala yang bagaikan kaisar itu ia tetap petani. Celana panjang kebesaran melilit perutnya yang buncit, ditahan suspender lebar berwarna putih. Kemejanya yang kebesaran juga putih dan baru dicuci, tapi tidak disetrika. Ia tidak mengenakan dasi atau mantel dan kakinya telanjang menginjak lantai marmer. Ia tidak tampak seperti pria, yang "punya andil" dalam setiap perusahaan besar di Palermo sampai kios-kios pasar murah di alun-alun. Sulit dipercaya bahwa ia bertanggung jawab atas ribuan kematian. Bahwa kekuasaannya di kawasan Sisilia Barat lebih besar daripada kekuasaan pemerintah Roma. Dan bahwa ia lebih kaya daripada para bupati dan bangsawan yang menguasai lahan-lahan luas di Sisilia. Pelukannya sigap dan ringan sementara ia berkata, "Aku kenal ayahmu sewaktu kami kanak-kanak. Aku gembira sekali dia memiliki putra sebaik ini." Lalu ia menanyakan kenyamanan perjalanan Michael dan kebutuhannya saat ini. Michael tersenyum dan mengatakan ingin makan sekerat roti dan minum setetes anggur. Don Croce seketika mengajaknya ke kebun, karena seperti semua orang Sisilia, kalau bisa ia lebih suka makan di ruang terbuka. Di bawah sebatang pohon lemon telah disiapkan meja, yang kemilau oleh gelas- gelas dan kain linen putih halus. Kursi-kursi bambu lebar ditarik ke belakang oleh para pelayan. Don Croce memeriksa pembagian tempat" dengan ramah dan riang, menjadikannya lebih muda daripada usianya; ia sekarang berusia enam puluhan. Ia menempatkan Michael di sebelah kanannya dan saudaranya, si pastor, di sebelah, kirinya. Ia menempatkan Inspektur Velardi dan Stefan Andolini di seberangnya dan menerima kehadiran mereka dengan agak dingin. Semua orang Sisilia gemar makan, kalau ada hidangan yang bisa dimakan, dan salah satu dari sedikit lelucon yang berani dilontarkan orang-orang tentang Don Croce adalah ia lebih suka makan enak daripada membunuh musuh. Sekarang ia duduk sambil tersenyum gembira, memegang pisau dan garpu sementara para pelayan menyajikan hidangan. Michael memandang sekilas ke sekeliling kebun. Kebun itu dikepung din-ding-dinding batu tinggi dan sedikitnya sepuluh pengawal menyebar di meja-meja makan kecil di sekitar mereka, tapi tak lebih dari dua orang di satu meja dan cukup jauh pula agar tidak mengganggu Don Croce dan tamu-tamunya. Kebun dipenuhi harum pohon lemon dan zaitun. Don Croce sendiri yang melayani Michael, menyendokkan ayam panggang dan kentang ke piringnya, mengawasi taburan keju di piring kecil spaghetti-nya mengisi gelas anggurnya dengan anggur putih lokal yang keruh. Ia melakukannya dengan minat mendalam, dengan keprihatinan tulus bahwa penting sekali teman barunya ini makan dan minum dengan baik. Michael lapar, ia belum makan sejak dini hari, dan Don sibuk mengisi kembali piringnya. Don Croce juga mengawasi pirmg-piring tamu lainnya, dan bila perlu ia memberi isyarat kepada pelayan untuk mengisi gelas atau piring yang kosong. Akhirnya mereka selesai, dan sambil menghirup espresso-nya, Don siap berbisnis. Ia berkata kepada Michael, "Jadi kau akan membantu teman kata Guiliano melarikan diri ke Amerika." "Itu instruksi yang kuterima," kata Michael. "Aku harus memastikan dia masuk ke Amerika tanpa hambatan." Don Croce mengangguk; wajah mahoninya yang keras memancarkan ekspresi mengantuk khas orang gemuk. Suara tenornya yang bergetar terdengar mengejutkan, mengingat wajah dan rubuhnya. "Semuanya diatur antara diriku dan ayahmu, aku harus mengantar Salvatore Guiliano kepadamu. Tapi tak ada yang lancar dalam kehidupan, selalu ada kejadian tak terduga. Sekarang ini sulit bagiku melakukan bagianku." Ia mengangkat tangan untuk mencegah Michael menyela, "walaupun bukan kesalahanku sendiri. Aku tidak berubah. Tapi Guiliano tidak lagi memercayai siapa pun, bahkan diriku. Selama bertahun- tahun, hampir sejak hari pertama dia menjadi pelanggar hukum, aku sudah membantunya bertahan hidup; kami rekanan. Dengan bantuanku dia menjadi, tokoh terbesar di Sisilia kendati dia masih bocah berumur dua puluh tujuh tahun. Tapi waktunya sudah habis. Lima ribu prajurit dan polisi lapangan Italia sedang menyisir pegunungan. Meski begitu, dia masih menolak memercayakan dirinya padaku." "Kalau begitu tak ada yang bisa kulakukan untuknya," kata Michael. "Aku diperintahkan menunggu tidak lebih dari tujuh hari, lalu aku harus kembali ke Amerika." Bahkan saat mengatakannya ia penasaran kenapa pelarian Guiliano begitu penting bagi ayahnya. Michael sudah tak tahan ingin pulang sesudah pengasingan bertahun-tahun. Ia mengkhawatirkan kesehatan ayahnya. Sewaktu ia lari dari Amerika, ayahnya tengah terbaring, luka parah, di rumah sakit. Sejak pelariannya, kakaknya, Sonny, telah dibunuh. Keluarga Corleone sudah lama terlibat dalam pertempuran mati-matian untuk bertahan hidup menghadapi Lima Keluarga New York. Pertempuran yang merentang dari Amerika ke jantung Sisilia untuk membunuh istri Michael yang belia. Memang benar kurir-kurir ayahnya membawa berita bahwa Don tua sudah pulih dari luka-lukanya, bahwa ia sudah berdamai dengan Lima Keluarga, bahwa ia sudah mengatur agar semua tuduhan terhadap Michael dibatalkan. Tapi Michael tahu ayahnya menantikan kepulang-annya untuk menjadi tangan kanannya. Ia tahu setiap orang dalam keluarganya pasti sangat ingin bertemu dengannya—adikya Connie, kakaknya Freddie, saudara angkatnya Tom Hagen, dan ibunya yang malang, yang pasti masih berdukacita atas kematian Sonny. Michael sekilas teringat akan Kay—masihkah Kay memikirkan dirinya sesudah ia menghilang selama dua tahun? Tapi yang paling penting adalah: Kenapa ayahnya menunda kepulangannya? Pasti karena sesuatu yang sangat penting, berkaitan dengan Guiliano. Tiba-tiba ia menyadari mata biru Inspektur Velardi yang dingin tengah mengawasi dirinya. Wajah aristokrat kurus itu memancarkan ejekan, seolah-olah Michael bersikap pengecut "Sabar," kata Don Croce. "Teman kita, Andolini, masih berfungsi sebagai penghubung antara aku dan Guiliano serta keluarganya. Kita semua akan berbicara baik-baik. Dari sini, kau akan mengunjung? ayah dan ibu Guiliano di Montelepre, kau akan melewatinya dalam perjalananmu ke Trapani." Ia diam sejenak dan tersenyum, senyum yang tidak menggoyang pipi- pipinya yang tembam. "Aku sudah diberitahu tentang rencanamu. Semuanya." Ia menyatakannya dengan penekanan khusus, tapi Michael berpendapat ia tidak mungkin mengetahui semua rencana. Godfather tidak pernah memberitahukan semuanya kepada siapa pun. Don Croce melanjutkan dengan lancar. "Kami semua yang menyayangi Guiliano menyetujui dua hal. Dia tidak lagi bisa tinggal di Sisilia dan harus pergi ke Amerika. Inspektur Velardi juga menyemjuinya." "Aneh sekali, bahkan untuk Sisilia," komentar Michael sambil tersenyum. "Inspektur adalah kepala Kepolisian Sisilia yang disumpah untuk menangkap Guiliano." Don Croce tertawa, tawanya pendek dan dingin. "Siapa yang bisa memahami Sisilia? Tapi masalahnya sederhana saja. Roma lebih suka Guiliano berbahagia di Amerika, bukannya meneriakkan tuduhan-tuduhan dari bangku saksi dalam sidang pengadilan Palermo. Ini semua soal politik." Michael bingung. Ia merasa amat tidak nyaman. Situasi tidak berjalan sesuai rencana. "Kenapa Inspektur Velardi ingin Guiliano melarikan diri? Guiliano yang tewas tidak lagi berbahaya." Inspektur Velardi menjawab dengan nada jijik. "Aku lebih suka begitu," katanya. "Tapi Don Croce menyayanginya seperti putranya sendiri." Stefan Andolini menatap Inspektur dengan pandangan liar. Pater Benjamino menunduk dalam saat meminum isi gelasnya. Tapi Don Croce berbicara tegas pada Inspektur, "Kita semua teman di sini, kita harus berbicara jujur pada Michael. Guiliano memegang kartu as. Dia memiliki buku harian yang disebutnya Wasiatnya. Di dalamnya dia menuliskan bukti-bukti bahwa pemerintah di Roma, pejabat-pejabat tertentu, sudah membantunya selama dia menjadi bandit, demi kepentingan mereka sendiri, kepentingan politik. Kalau dokumen itu terungkap, pemerintahan Demokrat Kristen akan runtuh dan kita semua akan dipimpin kaum Sosialis dan Komunis. Inspektur Velardi setuju denganku bahwa kemungkinan itu harus dicegah dengan segala cara. Jadi dia bersedia membantu Guiliano melarikan diri bersama Wasiat-nya dengan pengertian buku itu tak akan pernah diungkapkan kepada masyara-kat" "Kau sudah pernah melihat Wasiat ini?" tanya Michael. Ia bertanya-tanya apakah ayahnya mengetahui keberadaan buku ini. Instruksi yang diterimanya tak pernah menyinggung dokumen semacam ini. "Aku tahu isinya," sahut Don Croce. Inspektur Velardi berkata tajam, "Kalau aku bisa mengambil keputusan, akan kubunuh Guiliano, persetan dengan Wasiat- nya." Stefan Andolini memelototi Inspektur, pandangannya penuh» kebencian kuat dan terang-terangan sehingga untuk pertama kalinya Michael menyadari orang ini hampir sama berbahayanya seperti Don Croce sendiri. Andolini berkata, "Guiliano tak akan pernah menyerah dan kau tidak cukup bagus untuk menghabisinya. Jauh lebih bijak bila kau menjaga dirimu sendiri." Don Croce mengangkat tangan pelan-pelan dan kesunyian pun menyelimuti meja. Ia berbicara lambat-lambat kepada Michael, tak menghiraukan yang lain. "Ada kemungkinan aku tidak bisa memenuhi janjiku kepada ayahmu untuk mengantarkan Guiliano kepadamu. Kenapa Don Corleone merasa perlu terlibat dalam masalah ini, aku tak bisa mengatakannya. Yakinlah dia punya alasan sendiri dan alasannya itu bagus. Tapi apa yang bisa kulakukan? Siang ini kau pergi ke rumah orangtua Guiliano, yakinkan mereka agar putranya memercayai diriku dan ingatkan orang-orang baik itu bahwa akulah yang membebaskan mereka dari penjara." Ia diam sejenak. "Dengan begitu mungkin kita bisa membantu putra mereka." Selama tahun-tahun dalam pengasingan dan persembunyian, Michael telah mengembangkan naluri hewani terhadap bahaya. Ia tidak menyukai Inspektur Velardi, ia takut terhadap Stefan Andolini, dan Pater Benjamino menyebabkan ia merinding. Tapi di atas - semua itu Don Croce memicu alarm yang bertalu-talu dalam benaknya. Semua orang di sekitar meja merendahkan suara apabila berbicara dengan Don Croce, bahkan saudaranya sendiri, Pater Benjamino. Mereka mencondongkan tubuh, mendekatinya dengan kepala tertunduk, menunggunya berbicara, bahkan berhenti mengunyah. Para pelayan mengitarinya seakan ia matahari, para pengawal yang menyebar di kebun terus mengawasinya, menerjang maju begitu diperintahkan, dan mencabik-cabik setiap orang hingga berkeping-keping. Michael berkata hati-hati, "Don Croce, aku di sini untuk mematuhi setiap keinginanmu." Don menganggukkan kepalanya yang besar dengan khidmat, melipat tangan di perut dan berkata dengan suara tenornya yang kuat, "Kita harus jujur sepenuhnya terhadap satu sama lain. Katakan apa rencanamu untuk melarikan Guiliano? Bicaralah padaku seperti anak kepada ayahnya." Michael melirik sekilas Inspektur Velardi. Ia tidak akan pernah berbicara jujur di depan Kepala Kepolisian Sisilia. Don Croce seketika memahaminya. "Inspektur Velardi dipandu sepenuhnya oleh nasihatku," katanya. "Kau bisa memercayainya seperti memercayaiku." Michael mengangkat gelas anggurnya untuk minum. Dari balik gelas ia bisa melihat para pengawal mengawasi mereka, bagai penonton pertandingan. Ia bisa melihat Inspektur Velardi menyeringai, tidak menyukai diplomasi dalam perkataan Don, pesan yang menyatakan dengan jelas bahwa Don Croce menguasai dirinya dan kantornya Michael melihat kerutan pada wajah berbibir besar Stefan Andolini. Hanya Pater Benjamino yang menolak membalas tatapannya dan menunduk. Michael menghabiskan anggur putihnya dan pelayan bergegas mengisinya kembali. Tiba-tiba kebun itu tampak seperti tempat berbahaya. Ia tahu pasti bahwa apa yang dikatakan Don Croce tidak benar. Mengapa setiap orang yang duduk di meja ini harus memercayai Kepala Kepolisian Sisilia? Apa Guiliano memercayainya? Sejarah Sisilia dijejali pengkhianatan, pikir Michael kecut; ia teringat almarhumah istrinya. Jadi kenapa Don Croce bersikap begitu percaya? Dan kenapa pengamanan di sekitarnya begitu ketat? Don Croce orang tertinggi di Mafia. Ia memiliki koneksi-koneksi paling kuat di Roma dan benar- benar berfungsi sebagai deputi tidak resmi mereka di Sisilia. Kalau begitu, apa yang ditakuti Don Croce? Hanya Guiliano yang mungkin ditakutinya. Tapi Don tengah mengawasi dirinya. Michael mencoba berbicara tulus. "Rencanaku sederhana. Aku akan menunggu di Trapani sampai Salvatore Guiliano diantar menemuiku. Olehmu dan anak buahmu. Kapal cepat akan membawa kami ke Afrika. Tentu saja kami akan membawa dokumen identitas yang diperlukan. Dari Afrika kami akan terbang ke Amerika, di sana sudah diatur agar kami bisa masuk tanpa formalitas yang biasa. Kuharap situasinya akan semudah seperti yang mereka katakan." Ia diam sejenak. "Kecuali kau punya saran lain." Don mendesah dan minum. Lalu ia menatap lurus ke arah Michael. Ia berbicara dengan lambat dan mengesankan. "Sisilia tanah yang tragis," katanya. "Tidak ada kepercayaan. Tidak ada aturan. Hanya kekerasan dan pengkhianatan yang melimpah. Kau tampak waspada, sobat mudaku, dan kau berhak bersikap begitu. Begitu pula Guiliano kita. Asal kau tahu: Turi Guiliano tidak mungkin bertahan hidup tanpa perlindunganku; dia dan aku bagaikan dua jari di satu tangan. Dan sekarang dia menganggapku musuh. Ah, kau tak mungkin tahu betapa menderitanya diriku karenanya. Satu-satunya impianku adalah suatu hari Turi Guiliano bisa kembali kepada keluarganya dan diakui sebagai pembela Sisilia. Dia orang Kristen sejati dan pemberani. Dan dengan hati begitu lembut sehingga memenangkan hati setiap orang Sisilia." Don Croce diam sesaat dan minum lagi. Tapi arus berlawanan dengannya. Dia sendirian di pegunungan, hanya bersama beberapa orang, menghadapi pasukan yang dikirim Italia. Dan dia sudah beberapa kali dikhianati. Jadi dia tidak memercayai siapa pun, bahkan dirinya sendiri." Sejenak Don memandang Michael dengan tatapan sangat dingin. "Kalau aku harus bicara jujur" katanya, "kalau .aku tidak begitu menyayangi Guiliano, mungkin aku akan memberikan nasihat yang tidak wajib kuberikan kepadamu. Terus terang mungkin seharusnya kukatakan, pulanglah ke Amerika tanpa, dirinya. Kami sudah mendekati akhir tragedi yang sama sekali bukan urusanmu." Don berhenti sejenak dari mendesah. "Tapi tentu saja, kaulah satu-satunya harapan kami dan aku harus memohon agar kau tetap di sini dan membantu cita- cita kami. Aku akan membantu dengan segala cara, aku tak akan pernah meninggalkan Guiliano." Don Croce mengangkat gelas anggurnya. "Semoga dia hidup seribu tahun." Mereka semua minum dan Michael mereka-reka. Don ingin dirinya tetap tinggal atau meninggalkan Guiliano? Stefan Andolini berbicara. "Ingat, kita sudah berjanji kepada orangtua Guiliano bahwa Michael akan mengunjungi mereka di Montelepre." "Silakan," sahut Don Croce lembut. "Kita harus memberikan harapan kepada orangtuanya." Pater Benjamino berkata tegas namun amat rendah hati, "Dan mungkin ada yang mereka ketahui tentang Wasiat" Don Croce mendesah. "Ya, Wasiat Guiliano. Menurutnya buku itu akan menyelamatkan nyawanya atau sedikitnya membalas kematiannya." Ia berbicara langsung kepada MichaeL "Ingadah. Roma takut terhadap Wasiat, tapi aku tidak. Dan beritahu orangtuanya bahwa apa yang tertulis di atas kertas memengaruhi sejarah. Tapi tidak memengaruhi kehidupan. Kehidupan merupakan sejarah yang berbeda." Lama perjalanan dari Palermo ke Montelepre tidak lebih dari satu jam bermobil. Tapi dalam satu jam itu Michael dan Andolini beralih dari peradaban kota ke kebudayaan primitif pedalaman Sisilia. Stefan Andolini mengemudikan mobil Fiat mungil, dan di bawah siraman cahaya matahari sore pipi dan dagunya yang tercukur tipis tampak membara oleh puluhan akar rambut merah. Ia mengemudi pelan dan hati-hati layaknya orang yang belajar mengemudi di usia lanjut. Fiat itu terengah-engah seakan kehabisan napas sewaktu berputar-putar naik-turun melintasi pegunungan yang membentang luas. Di lima tempat berbeda mereka dihentikan blokade Kepolisian Nasional, peleton yang sedikitnya terdiri atas dua belas orang, didukung kendaraan lapis baja yang dipenuhi senapan mesin. Dokumen Andolini membantu mereka lewat. Michael merasa aneh melihat pedalaman yang begitu liar dan primitif dalam jarak begitu dekat dari kota besar Palermo. Mereka melintasi desa-desa kecil yang terdiri atas rumah-rumah batu yang berdiri di lereng-lereng curam. Lereng- lereng ini dibentuk hati-hati membentuk teras-teras ladang sempit tempat tumbuh deretan . tanaman hijau yang bagaikan paku-paku. Bukit-bukit kecil dipenuhi puluhan bongkahan batu putih yang separo terkubur di rawa-rawa dan rumpun bambu; dari kejauhan pemandangan itu seperti pemakaman yang tidak tertata. Di sepanjang jalan, pada jarak-jarak tertentu, terdapat tempat-tempat berdoa, dengan kotak-kotak kayu bergembok berisi patung Perawan Maria atau orang suci favorit lainnya. Di salah satu tempat berdoa Michael melihat seorang wanita berlutut dan berdoa, suaminya duduk di kereta yang ditarik keledai sambil menenggak sebotol anggur. Kepala keledai itu menunduk bagaikan kepala seorang martir. Stefan Andolini menjulurkan tangan untuk menepuk bahu Michael dan berkata, "Senang sekali bertemu denganmu, sepupuku yang baik. Apa kau tahu Guiliano kerabat kita?" Michael yakin ia bohong ada sesuatu dalam senyum merah yang licik itu. "Tidak," jawabnya. "Aku hanya tahu orangtuanya bekerja pada ayahku di Amerika." "Dulu kupikir juga begitu," kata Andolini. "Kami membantu membangun rumah ayahmu di Long Island. Guiliano tua tukang batu yang ahli, dan sekalipun ayahmu sudah menawarinya pekerjaan dalam bisnis minyak zaitun, dia bertahan pada keahliannya. Dia bekerja seperti orang Negro selama delapan belas tahun dan menabung seperti orang Yahudi. Lalu dia kembali ke Sisilia untuk menjalani kehidupan seperti orang Inggris. Tapi perang dan Mussolini menyebabkan uang mereka tidak berharga dan sekarang dia hanya memiliki rumah dan sepetak kecil lahan pertanian. Dia menyesali kepergiannya dari Amerika. Mereka mengira putra kecil mereka akan tumbuh menjadi pangeran dan sekarang dia justru menjadi bandit" Fiat itu mengepulkan awan debu; di sepanjang tepi jalan tumbuh pepohonan pir berduri dan bambu yang menimbulkan kesan berhantu, buah-buah pir yang bergerombol bagai membentuk tangan-tangan manusia. Di lembah-lembah mereka bisa melihat rumpun zaitun dan sulur-sulur anggur. Tiba-tiba Andolini berkata, "Turi memulai kehidupannya di Amerika." Ia melihat tatapan bertanya yang dilontarkan Michael. "Ya., dia memulai kehidupannya di Amerika tapi dilahirkan di Sisilia. Kalau saja orangtuanya menunggu beberapa bulan, Turi akan menjadi warga negara Amerika." Ia diam sejenak. "Turi selalu membicarakannya. Kau yakin bisa membantunya melarikan diri?" "Entahlah," sahut Michael. "Sesudah makan siang bersama Inspektur dan Don Croce, aku jadi bingung. Apa mereka menginginkan bantuanku? Ayahku-bilang Don Croce menginginkannya. Dia tidak pernah menyinggung soal Inspektur." Andolini menyapu rambutnya yang menipis ke belakang. Tanpa sadar kakinya menginjak pedal gas lebih dalam dan Fiat itu terlonjak maju. "Guiliano dan Don Croce sekarang bermusuhan," katanya. 'Tapi kami sudah menyusun rencana tanpa Don Croce. Turi dan orang-tuanya mengandalkan dirimu. Mereka tahu ayahmu tidak pernah mengkhianati teman." "Dan kau sendiri di pihak siapa?" tanya Michael. Andolini mendesah. "Aku berjuang untuk Guiliano," jawabnya. "Kami sudah menjadi rekan selama lima tahun terakhir dan sebelum itu dia pernah menyelamatkan nyawaku. Tapi aku tinggal di Sisilia dan karena itu tak. bisa menentang Don Croce terang-terangan- Aku terjepit di antara mereka" berdua, tapi aku tak akan pernah mengkhianati Guiliano." Apa maksud orang ini? pikir Michael. Kenapa ia tidak bisa mendapat jawaban jujur dari mereka semua? Karena ini Sisilia, pikirnya. Orang Sisilia ngeri terhadap kebenaran. Para Tiran dan Penguasa menyiksa mereka demi mendapatkan kebenaran selama lebih dari ribuan tahun. Pemerintah di Roma dengan bentuk- bentuk hukumnya menuntut kebenaran. Pastor dalam bilik pengakuan dosa meminta kebenaran dengan ancaman penderitaan abadi di neraka. Tapi kebenaran merupakan sumber kekuatan, alat pengendali, jadi kenapa kita harus memberikannya begitu saja? Ia harus menemukan jalannya sendiri, pikir Michael, atau meninggalkan misi ini dan bergegas pulang. Ia berada di daerah berbahaya, jelas ada semacam vendetta —dendam—antara Guiliano dan Don Croce, dan terjebak dalam pusaran vendetta orang Sisilia sama saja dengan bunuh diri. Orang Sisilia percaya pembalasan dendam adalah satu-satunya keadilan sejati, dan itu selalu tanpa ampun. Di pulau Katolik ini, tempat patung-patung Yesus menangis di setiap rumah, memaafkan, sebagaimana ajaran Kristen, merupakan tindakan menjijikkan para pengecut. "Kenapa Guiliano dan Don Croce bermusuhan?" tanya Michael. "Karena tragedi di Portella della Ginestra," jelas Andolini "Dua tahun lalu. Sesudah itu keadaan tidak pernah sama lagi. Guiliano menyalahkan Don Croce." Tiba-tiba mobil serasa terjun hampir vertikal, di jalan menurun dari pegunungan menuju lembah. Mereka melewati reruntuhan puri Normandia yang dibangun untuk meneror pedalaman sembilan ratus tahun lalu dan sekarang dipenuhi tokek dan kambing liat yang tidak berbahaya. Di bawah, Michael bisa, melihat Montelepre. Kota itu terbenam dalam di pegunungan yang mengepungnya rapat-rapat bagaikan ember yang menjuntai di dasar sumur. Berbentuk lingkaran sempurna, di luar batasnya tidak terdapat rumah-rumah, dan matahari senja menyirami bebatuan pada dinding-dindingnya dengan api merah tua. Sekarang Fiat itu meluncur menuruni jalan sempit berliku-liku dan Andolini menginjak rem untuk menghentikannya sewaktu blokade yang diawaki sepeleton carabinieri menghalangi jalan mereka. Salah satu di antaranya memberi isyarat dengan senapannya agar mereka turun dari mobil. Michael mengawasi Andolini menunjukkan dokumen-dokumennya kepada polisi. Ia melihat surat izin khusus bertepi merah yang setahunya hanya bisa diterbitkan oleh Kementerian Kehakiman di Roma. Michael sendiri punya izin seperti itu yang, menurut instruksi yang diterimanya, hanya boleh ditunjukkan dalam keadaan tersudut Bagaimana orang seperti Andolini bisa mendapatkan dokumen seampuh itu? Lalu mereka kembali memasuki mobil dan bergulir melintasi jalan-jalan sempit Montelepre, begitu sempit sehingga kalau ada mobil dari arah berlawanan, mereka takkan bisa berpapasan. Semua rumah memiliki balkon yang anggun dan dicat dengan warna berbeda-beda. Sebagian besar biru, beberapa lainnya putih, dan beberapa lagi merah muda. Ada sedikit rumah yang dicat kuning. Pada saat- saat seperti ini para wanita tengah memasak makan malam untuk para suami. Tapi tidak ada anak-anak di jalan. Sebaliknya, di setiap tikungan terdapat dua carabinieri berjaga-jaga. Montelepre tampak seperti kota yang diduduki, tempat diterapkannya undang-undang keadaan darurat Hanya terlihat beberapa pria tua yang menunduk dari balkon-balkon rumah mereka dengan ekspresi kaku bagai batu. Fiat itu berhenti di depan sederet rumah yang saling menempel, salah satu di antaranya bercat biru cerah dan ukiran pada gerbangnya membentuk huruf "G". Gerbang itu dibuka pria kecil tegap berusia enam puluhan yang mengenakan setelan Amerika berwarna gelap dan bergaris-garis, dengan kemeja putih dan dasi hitam. Inilah ayah Guiliano. Ia memeluk Andolini sebentar tapi penuh perasaan sayang. Ia menepuk-nepuk bahu Michael dengan sikap hampir-hampir berterima kasih seraya mengajak mereka masuk ke rumah. Wajah ayah Guiliano khas pria yang menderita karena menantikan kematian orang tercinta akibat sakit parah. Jelas sekali ia mengendalikan emosinya dengan sangat ketat, tapi tangannya berulang-ulang menyentuh wajahnya seolah memaksa raut mukanya tetap seperti itu. Tubuhnya tegang, bergerak kaku tapi agak goyah. Mereka memasuki ruang duduk luas yang termasuk mewah untuk ukuran rumah orang Sisilia di kota kecil ini Yang mendominasi ruangan itu adalah foto yang dibesarkan, yang terlalu samar untuk bisa dikenali, berbingkai kayu oval berwarna krem. Michael segera tahu itu pasti foto Salvatore Guiliano. Di bawahnya, di atas meja bulat hitam kecil, terdapat lilin persembahan. Di meja yang lain berdiri foto berbingkai yang lebih jelas; Ayah, ibu, dan putranya berdiri di depan sehelai tirai merah, sang putra dengan satu lengan memeluk ibunya dengan sikap posesif. Salvatore Guiliano menatap lurus ke kamera, seakan-akan menantangnya. Wajahnya tampan luar biasa, bagaikan patung Yunani, garis-garisnya kuat seakan terpahat di marmer, bibirnya penuh dan sensual, matanya oval dengan kelopak setengah tertutup, jauh antara satu dan yang lain. Wajah pria yang tidak memiliki keraguan, bertekad bulat hendak memengaruhi dunia dengan kehadirannya. Tapi baru sekarang Michael menyadari adanya selera humor manis yang terpancar di wajah tampan itu. Juga ada foto-foto lain Salvatore bersama saudari-saudarinya dan suami mereka, tapi foto-foto itu hampir tersembunyi di sudut ruangan yang remang-remang. Ayah Guiliano mengajak mereka ke dapur. Ibu Guiliano berbalik dari tungku masak untuk menyapa mereka. Maria Lombardo Guiliano tampak jauh lebih tua daripada foto dirinya di ruang duduk, malah tampak seperti Orang lain. Senyumnya yang sopan menyerupai celah di wajahnya yang kaku hingga ke tulang akibat kelelahan, kulitnya bersisik dan kasar. Rambutnya panjang dan lebat melewati bahunya, tapi dihiasi berkas-berkas uban. Yang mengejutkan adalah matanya. Matanya hampir-hampir hitam, memancarkan kebencian pribadi terhadap dunia yang menghancurkan dirinya dan putranya. Ia tak memedulikan suaminya dan Stefan Andolini, ia berbicara langsung kepada Michael. "Kau datang untuk membantu putraku atau tidak?" Kedua pria lain jadi kikuk mendengar kekasaran pertanyaan Maria Lombardo, tapi Michael tersenyum muram kepadanya. 'Ya, aku di pihakmu." Ketegangan mereda di wajah Maria Lombardo, dan ia menundukkan kepala ke tangannya seakan bersiap menerima pukulan. Andolini berkata kepadanya dengan nada menenangkan, "Pater Benjamino mau ikut, tapi kukatakan padanya kau. tidak menginginkannya." Maria Lombardo menengadah dan Michael terpesona melihat semua emosi yang dirasakan wanita itu terpancar di wajahnya. Kejijikannya, kebenciannya, ketakutannya, ironi pada kata-katanya sesuai dengan senyumnya yang keras, seringai yang tak bisa ditekannya. "Oh, Pater Benjamino memang berhati emas, tidak diragukan lagi," ujarnya. "Dan dengan hati emasnya dia seperti wabah, membawa kematian ke satu desa. Dia seperti tanaman sisal—kalau terkena, kau akan terluka. Dan dia melaporkan rahasia-rahasia pengakuan dosa kepada saudaranya, menjual jiwa-jiwa demi perjanjiannya dengan iblis." Ayah Guiliano berkata tenang, seolah tengah berusaha menenangkan orang gila. "Don Croce teman kita. Dia membebaskan kita dari penjara." . Ibu Guiliano meledak murka, "Ah, Don Croce, Jiwa yang Baik, dia memang selalu baik. Tapi asal tahu saja, Don Croce itu ular. Dia membidikkan pistolnya ke depan dan membantai teman di sampingnya. Dia dan putra kita akan memerintah Sisilia bersama-sama, dan sekarang Turi bersembunyi sendirian di pegunungan sementara 'Jiwa yang Baik' sama bebasnya dengan udara di Palermo bersama para pelacurnya Don Croce hanya perlu bersiul dan Roma menjilati kakinya. Tapi dia sudah melakukan kejahatan lebih banyak dibanding Turi kita. Dia jahat dan putra kita baik. Ah, kalau saja aku pria seperti kalian, akan kubunuh Don Croce. Akan kukirim The Good Soul' ke tempat peristirahatan terakhirnya." Ia memberi isyarat jijik. "Kalian para pria tidak mengerti apa-apa." Ayah Guiliano berkata tidak sabar, 'Tamu kita pasti sudah berjam-jam berada di jalan dan dia harus makan dulu sebelum bercakap-cakap." Sikap ibu Guiliano mendadak berubah drastis. Ia menjadi ramah. "Anak malang, kau sudah bepergian sepanjang hari untuk menemui kami, kau harus mendengarkan kebohongan-kebohongan - Don Croce dan celotehku. Kau mau ke mana?" "Aku harus ada di Trapani besok pagi," jawab Michael "Aku menginap di rumah teman-teman ayahku sampai putramu datang menemuiku." Ruangan bagai membeku. Michael bisa merasakan mereka semua tahu sejarah dirinya. Mereka melihat luka yang dijalaninya selama dua tahun, melihat sisi wajahnya yang cekung. Ibu Guiliano melangkah mendekatinya dan memeluknya sejenak. "Minum anggurlah dulu," sarannya. "Lalu pergilah kalian berjalan-jalan di kota. Makanan akan siap di meja satu jam lagi. Dan pada saat itu teman-teman Turi sudah tiba dan kita bisa bercakap-cakap." Andolini dan ayah Guiliano menempatkan Michael di antara mereka berdua dan melangkah santai menyusuri .jalan-jalan sempit dari bebatuan bulat di Montelepre, yang sekarang kemilau kehitaman karena matahari telah terbenam. Dalam remang kebiruan sebelum senja, hanya sosok-sosok Kepolisian Nasional, carabinieri, yang berkeliaran di sekitar mereka. Di setiap persimpangan, lorong- lorong sempit bagai ular meliuk-liuk dari Via Belia. Kota tampak seperti telah ditinggalkan. "Kota ini dulu sangat hidup," ayah Guiliano menjelaskan. "Selalu sangat miskin, seperti seluruh Sisilia, banyak penderitaan, tapi kota ini hidup. Sekarang lebih dari tujuh ratus penghuninya dipenjara, ditangkap karena bersekongkol dengan putraku. Sebagian besar di antara mereka tidak bersalah, tapi pemerintah menangkap mereka untuk menakut-nakuti yang lain, untuk memaksa mereka membuka mulut tentang Turi-ku. Ada lebih dari dua ribu Polisi Nasional di kota ini dan seribu lainnya memburu Turi di pegunungan. Jadi orang-orang tidak lagi menyantap makan malam di luar, anak-anak tidak lagi bermain-main di jalan. Polisi begitu pengecutnya sehingga menembakkan pistol kalau ada kelinci berlari menyeberangi jalan. Jam malam diberlakukan, dan kalau wanita kota ini ingin mengunjungi tetangganya dan tertangkap, mereka akan memperlakukannya dengan tidak senonoh. Para prianya mereka seret untuk disiksa di penjara bawah tanah di Palermo." Ia mendesah. "Kejadian-kejadian seperti itu tak akan pernah terjadi di Amerika. Kukutuki hari ke-pergianku dari negara itu." Stefan Andolini memaksa mereka berhenti sejenak sementara ia menyurut sebatang cerutu kecil. Sambil mengembuskan asap, ia tersenyum dan berkata, "Jujur saja, semua orang Sisilia lebih menyukai bau sampah desa mereka dibandingkan parfum terbaik dari Paris. Apa yang kulakukan di sini? Aku bisa saja melarikan diri ke Brasilia seperti yang lainnya. Ah, kami orang Sisilia mencintai tempat kelahiran kami, tapi Sisilia tidak mencintai kami" Ayah Guiliano mengangkat bahu. "Aku bodoh sekali memutuskan pulang Kalau saja aku menunggu beberapa bulan lagi, Turi-ku akan menjadi warga Amerika berdasarkan hukum. Tapi udara negara itu pasti sudah meresap ke dalam kandungan ibunya." Ia menggeleng bingung. "Kenapa putraku selalu merepotkan diri dengan masalah orang lain, bahkan orang-orang yang tidak ada hubungan darah dengannya? Dia selalu memiliki gagasan-gagasan besar, dia selalu membicarakan keadilan. Orang Sisilia sejati membicarakan roti." Saat mereka menyusuri Via Belia, Michael melihat kota itu dibangun sedemikian rupa sehingga ideal untuk penyergapan dan perang gerilya. Jalan-jalannya begitu sempit sehingga hanya satu kendaraan bermotor yang bisa melintasinya, dan sebagian besar hanya cukup lebar bagi kereta-kereta kecil dan keledai yang masih digunakan orang-orang Sisilia untuk mengirim barang. Beberapa orang mampu menahan pasukan penyerbu mana pun, lalu melarikan diri ke pegunungan batu kapur putih yang mengelilingi kota. Mereka turun ke alun-alun, Andolini menunjuk gereja kecil yang mendominasi alun-alun dan berkata, "Di gereja inilah Turi bersembunyi sewaktu Polisi Nasional pertama kali mencoba menangkapnya. Sejak itu dia bagai hantu." Ketiganya mengawasi pintu gereja seakan-akan Salvatore Guiliano mungkin muncul di hadapan mereka. Matahari terbenam di balik pegunungan, dan mereka kembali ke rumah tepat sebelum jam malam. Dua pria asing menanti kedatangan mereka, asing hanya bagi Michael, karena mereka memeluk ayah Guiliano dan berjabatan dengan Stefan Andolini. Salah satunya pemuda langsing berkulit sangat pucat dan bermata hitam besar. Kumisnya ditata rapi dan ia memancarkan ketampanan yang hampir feminin, tapi jelas ia bukan banci. Ia memancarkan kekejaman pernah harga diri khas pria yang memiliki kemauan memimpin dengan segala cara. Sewaktu ia diperkenalkan sebagai Gaspare Pisciotta, Michael tertegun. Pisciotta orang kedua Turi Guiliano, sepupu dan sahabat terbaiknya. Selain Guiliano, ia orang paling dicari di Sisilia, kepalanya dihargai lima juta lira. Dari legenda- legenda yang didengar Michael, nama Gaspare Pisciotta menimbulkan citra pria yang lebih berbahaya dan bertampang lebih jahat. Namun inilah orangnya, begitu ramping dengan wajah kemerahan, di Montelepre yang dikepung dua ribu polisi militer Roma. Pria yang satu lagi sama mengejutkannya, tapi alasannya berbeda. Pada saat memandangnya pertama kali, Michael mengernyit. Ia begitu kecil sehingga bisa dianggap orang kerdil, tapi memancarkan wibawa yang menyebabkan Michael seketika merasa kernyitannya bisa jadi merupakan penghinaan besar. Pria itu mengenakan setelan garis-garis kelabu buatan penjahit. mahal, dan dasi lebar keperakan yang menjuntai di depan kemeja krem pucatnya. Rambutnya tebal dan hampir putih; ia tidak mungkin lebih tua daripada lima puluh tahun. Ia anggun. Atau seanggun yang bisa dicapai orang yang sangat pendek. Wajahnya kasar dan tampan, dengan mulut besar tapi melekuk sensitif. Ia mengetahui kegelisahan Michael dan menyapanya dengan senyum mengejek namun ramah. Ia diperkenalkan sebagai Profesor Hector Adonis. Maria Lombardo Guiliano menyiapkan makan malam di meja dapur. Mereka bersantap di sisi jendela dekat balkon, dari sana mereka bisa melihat langit yang bergurat-gurat kemerahan, kegelapan malam menyelinap turun, dari pegunungan di sekitar. Michael makan pelan-pelan, menyadari mereka semua tengah mengawasinya, menilai dirinya. Hidangannya sangat sederhana tapi lezat, spaghetti dengan saus hitam dari tinta cumi-cumi, dan kelinci rebus yang pedas karena saus tomat dan paprika merah. Akhirnya Gaspare Pisciotta berbicara dengan dialek Sisilia setempat. "Jadi kau putra Vito Corleone yang bahkan lebih besar daripada Don Croce kami, begitu kata orang. Dan kaulah yang akan menyelamatkan Turi kami." Suaranya bernada mengejek, nada yang mengundang orang melayani tantangannya kalau berani. Senyumnya seolah mempertanyakan motif di balik setiap tindakan, seakan-akan hendak mengatakan, "Ya, memang benar kau akan berbuat baik, tapi apa tujuanmu sendiri?" Tapi sikapnya sama sekali tidak merendahkan, ia mengetahui sejarah Michael, mereka sesama pembunuh. Michael menjelaskan, "Aku mengikuti perintah ayahku. Aku harus menunggu di Trapani sampai Guiliano menemuiku. Lalu aku akan membawanya ke Amerika." Pisciotta berkata, nadanya lebih serius, "Dan begitu Turi berada di tanganmu, kau menjamin keselamatannya? Kau bisa melindunginya dari Roma?" Michael menyadari ibu Guiliano mengawasinya dengan tajam, wajahnya tegang karena gelisah. Ia berkata hati-hati, "Sebanyak jaminan yang bisa diberikan manusia melawan nasib. Ya, aku yakin." Ia bisa melihat ketegangan wajah ibu Guiliano mengendur, tapi Pisciotta berkata kasar, "Aku tidak. Kau menyatakan kepercayaanmu pada Don Croce siang ini. Kau memberitahukan rencana pelarianmu kepadanya." "Kenapa tidak?" balas Michael. Bagaimana Pisciotta bisa mengetahui rincian makan siangnya dengan Don Croce secepat ini? "Ayahku memberitahu.bahwa Don Croce akan mengatur agar Guiliano menemuiku. Lagi pula aku hanya memberitahukan satu rencana pelarian kepadanya." "Dan rencana lainnya?" sergah Pisciotta. Ia melihat Michael ragu-ragu. "Bicaralah terus terang. Kalau orang-orang di ruangan ini tak bisa dipercaya, tak ada harapan bagi Turi." Pria yang bertubuh kecil, Hector Adonis, berbicara untuk pertama kalinya. Ia memiliki suara luar biasa kaya, suara orator berbakat, pembujuk yang alami. "Michael yang baik, kau harus memahami bahwa Don Croce adalah musuh Turi Guiliano. Informasi ayahmu sudah kedaluwarsa. Jelas sekali kami tidak bisa mengantarkan Turi kepadamu tanpa mengambil langkah berjaga-jaga." Ia berbicara dengan bahasa Italia Roma yang anggun, bukan dialek Sisilia. Ayah Guiliano menyela, "Aku memercayai janji Don Corieone untuk membantu putraku. Itu tak perlu diragukan lagi." Hector Adonis berkata, "Aku memaksamu memberitahukan rencanamu kepada kami." "Aku bisa memberitahukan apa yang kukatakan pada Don Croce," kata Michael. "Tapi kenapa aku harus menceritakan rencanaku yang lain? Kalau kutanyakan di mana Turi Guiliano bersembunyi sekarang, apa kau akan memberitahuku?" Michael melihat Pisciotta tersenyum, menyetujui ucapannya Tapi Hector Adonis menyela, "Tidak sama. Kau tidak punya alasan untuk- mengetahui tempat per- sembunyian Turi. Kau hendak membantunya, jadi kami harus mengetahui rencanamu." Michael berkata pelan, "Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu." Senyum cemerlang merekah di wajah Hector Adonis yang tampan. Lalu pria kecil itu bangkit berdiri dan membungkuk. "Maafkan aku," katanya tulus. "Aku guru sekolah Turi sewaktu dia kanak-kanak dan orangtuanya memberiku penghormatan dengan menjadikan diriku godfather—bapak baptisnya. Aku sekarang Profesor Sejarah dan Sastra di Universitas Palermo. Tapi, kredibilitas terbaikku bisa dijamin setiap orang di meja ini. Sekarang, dan sejak dulu, aku anggota kelompok Guiliano." Stefan Andolini berkata tenang, "Aku juga anggota kelompok. Kau tahu namaku dan aku sepupumu. Tapi aku juga dipanggil Fra Diavalo." Ini juga nama legendaris di Sisilia yang sudah sering didengar Michael. Ia pantas memiliki tampang pembunuh, pikir Michael. Dan ia juga pelarian dengan kepala yang dihargai mahal. Tapi siang tadi ia duduk bersantap di samping Inspektur Velardi. Mereka semua menunggu jawaban darinya. Michael tidak berniat mengungkapkan rencana terakhirnya, tapi sadar ia harus memberitahu mereka sesuatu. Ibu Guiliano tengah menatapnya tajam. Ia berbicara langsung kepada Maria Lombardo. "Sederhana saja," kata Michael. "Pertama-tama aku harus memperingatkan bahwa aku tak bisa menunggu lebih dari tujuh hari. Aku sudah terlalu lama jauh dari rumah dan ayahku membutuhkan bantuanku untuk mengatasi masalahnya. Tentu kalian memahami betapa besar keinginanku kem- bali ke keluargaku. Tapi ayahkulah yang memintaku membantu putramu. Instruksi terakhir yang kuterima dari kurir adalah aku mengunjungi Don Croce di sini, lalu melanjutkan perjalanan ke Trapani. Di sana aku akan menginap di vila Don setempat. Di sana sudah menunggu orang-orang Amerika yang kupercaya sepenuhnya. Orang-orang yang memenuhi syarat." Ia diam sejenak. Istilah "memenuhi syarat" memiliki arti khusus di Sisilia, biasanya digunakan untuk para algojo tingkat tinggi Mafia Ia melanjutkan, "Begitu Turi menemuiku, dia akan aman. Vilanya berupa benteng. Dan dalam beberapa jam kami akan menumpang kapal cepat ke kota di Afrika. Di sana pesawat khusus sudah menunggu, siap mengantar kami ke Amerika dan di sana dia akan berada dalam perlindungan ayahku dan kau tak perlu mencemaskannya lagi." "Kapan kau siap menerima Turi Guiliano?" tanya Hector Adonis. "Aku akan tiba di Trapani besok pagi. Beri aku waktu dua puluh empat jam sesudah itu." Tiba-tiba ibu Guiliano menangis. "Turi-ku yang malang tidak lagi memercayai siapa pun. Dia tidak akan mau pergi ke Trapani." "Kalau begitu aku tidak bisa membantunya," kata Michael dingin. Ibu Guiliano dicekam keputusasaan. Pisciotta-lah yang tanpa terduga mendekati untuk menghiburnya. Ia mencium ibu Guiliano dan memeluknya. "Maria lmbardo, jangan khawatir," katanya. "Turi masih mau mendengarkanku. Akan kukatakan bahwa kita semua memercayai orang Amerika ini, benar bukan?" ia memandang yang lain dengan tatapan bertanya dan mereka semua mengangguk. "Aku sendiri yang akan membawa Turi ke Trapani." Semua puas. Michael menyadari ucapannya yang bernada dinginlah yang telah meyakinkan mereka sehingga memercayai dirinya. Orang-orang Sisilia selalu curiga terhadap kedermawanan yang terlalu hangat dan manusiawi. Sedang bagi dirinya sendiri, ia tidak sabar dengan kehati-hatian mereka dan kekacauan rencana ayahnya. Don Croce sekarang musuh, Guiliano mungkin tidak akan segera menemuinya, bahkan mungkin tidak muncul sama sekali. Bagaimanapun, apa arti Turi Guiliano baginya? Untuk itu, ia kembali penasaran, apa arti Guiliano bagi ayahnya? Mereka mengajaknya ke ruang duduk kecil tempat ibu Guiliano menyajikan kopi dan minuman keras anisette sambil meminta maaf karena tidak ada kue-kue manis. Anisette yang dibuat dari biji tanaman anise akan menghangatkan Michael selama perjalanan malam hari yang panjang ke Trapani, kata mereka. Hector Adonis mengeluarkan kotak rokok emas dari saku jasnya yang mahal dan menawarkan kepada yang lain, lalu menyelipkan rokok ke mulurnya sendiri yang bagus dan sejauh ini lupa dirinya tengah bersandar ke kursi sehingga kakinya tidak lagi menyentuh lantai. Sejenak ia mirip boneka yang menjuntai pada talinya. Maria Lombardo menunjuk foto besar di dinding. "Dia tampan, bukan?" katanya. "Dan dia juga baik. Hatiku hancur sewaktu dia menjadi pelanggar hukum. Apa kau ingat hari yang mengerikan itu, Signor Adonis? Dan semua kebohongan yang mereka katakan tentang Portella della Ginestra? Putraku tak akan pernah melakukan tindakan seperti ku." Para pria lain tampak malu. Untuk kedua kalinya Michael penasaran apa yang terjadi di Portella della Ginestra, tapi tidak menanyakannya. Hector Adonis berkata, "Sewaktu aku menjadi guru Turi, dia banyak membaca, hafal legenda Charlemagne dan Roland luar kepala, dan sekarang dia sendiri menjadi mitos. Hatiku juga hancur sewaktu dia menjadi pelanggar hukum." Ibu Guiliano berkata pahit, "Dia beruntung kalau masih hidup. Oh, kenapa kita menginginkan putra kita lahir di sini? Oh, ya, kita ingin dia menjadi orang Sisilia sejati." Ia tertawa liar dan getir. "Dan dia memang menjadi orang Sisilia sejati. Dia hidup dalam ketakutan akan keselamatannya dan dengan harga atas kepalanya" Ia diam sejenak lalu berkata penuh keyakinan, "Padahal putraku itu orang suci." Michael melihat Pisciotta tersenyum aneh, sebagaimana dilakukan orang saat mendengarkan orangtua yang penuh cinta berbicara terlalu sentimental mengenai kebaikan anak-anaknya. Bahkan ayah Guiliano memberi isyarat yang menunjukkan ketidaksabaran. Stefan Andolini tersenyum sinis dan Pisciotta berkata lembut tapi dingin, "Maria Lombardo-ku yang baik, jangan menganggap putramu' selemah itu. Dia lebih kuat daripada itu dan musuh-musuhnya takut terhadapnya" Ibu Guiliano berkata lebih tenang, "Aku tahu dia banyak membunuh, tapi dia tidak pernah bertindak tidak adil. Dan dia selalu memberi mereka kesempatan untuk membersihkan jiwa dan mengucapkan doa terakhir kepada Tuhan." Tiba- tiba ia meraih tangan Michael dan membimbingnya ke dapur dan terus ke balkon. "Tak satu pun dari mereka benar-benar mengenal putraku," katanya. "Mereka tidak tahu betapa baik dan lemburnya dia. Mungkin sikapnya berbeda saat menghadapi orang lain, tapi dia menjadi dirinya sendiri di depanku. Dia mematuhi setiap ucapanku, dia tidak pernah berbicara kasar kepadaku. Dia putra yang berbakti dan penuh kasih. Di hari-hari pertamanya sebagai pelanggar hukum, dia memandang ke bawah dari pegunungan tapi tak bisa melihatku. Dan aku menengadah dan tak bisa melihatnya. Tapi kami merasakan kehadiran satu sama lain, merasakan cinta satu sama lain. Dan malam ini aku merasakan dirinya. Dan aku membayangkannya seorang diri di pegunungan itu sementara ribuan tentara memburunya dan hatiku hancur karenanya. Dan kau mungkin satu-satunya .orang yang bisa menyelamatkan dirinya. Berjanjilah padaku kau akan menunggu." Ia memegang tangan Michael erat-erat dan air mata membanjiri pipinya. Michael memandang malam gelap di luar, Montelepre yang diam di perut pegunungan luas, hanya alun-alun yang menunjukkan sebintik cahaya. Langit dipenuhi bintang. Di jalan-jalan di bawah sesekali terdengar derak pistol dan suara-suara serak carabinieri yang berpatroli. Kota serasa dipenuhi .hantu. Hantu-hantu yang datang di udara malam musim panas yang lembut dan dipenuhi aroma pepohonan lemon, dengung pelan ribuan serangga, teriakan tiba- tiba patroli polisi yang berkeliaran. "Akan kutunggu selama mungkin," kata Michael lembut. "Tapi ayahku di rumah membutuhkan diriku. Kau harus memaksa putramu menemuiku." Maria Lombardo mengangguk dan mengajaknya kembali. Pisciotta tengah mondar-mandir dalam ruangan. Ia tampak gugup. "Kami sudah memutuskan menunggu di sini hingga dini hari dan jam malam berakhir," katanya. "Terlalu banyak prajurit yang mudah menembak dalam gelap di luar sana dan bisa terjadi kecelakaan karenanya. Kau keberatan?" tanyanya pada Michael. "Tidak," jawabnya. "Selama itu tidak merepotkan tuan rumah kita." Mereka tak mengacuhkan kekhawatirannya. Mereka sering berjaga semalaman saat Turi menyelinap ke kota untuk mengunjungi orangtuanya. Lagi pula ada banyak hal yang harus mereka bicarakan, rincian yang harus mereka bereskan. Mereka menyiapkan diri menghadapi malam panjang. Hector Adonis menanggalkan jas dan dasinya, tapi masih tampak anggun. Ibu Guiliano menyeduh kopi lagi. Michael meminta mereka menceritakan segala sesuatu yang bisa mereka katakan tentang Turi Guiliano. Ia merasa harus memahaminya. Orangtua Guiliano sekali lagi menceritakan betapa hebatnya Turi sebagai'anak selama ini. Stefan Andolini bercerita tentang hari Turi Guiliano membiarkan "dirinya tetap hidup. Pisciotta menceritakan kisah-kisah lucu tentang keberanian dan selera humor serta "kebaikan hati" Turi. Walaupun ia bisa bertindak tanpa ampun terhadap pengkhianat dan musuh, ia tidak pernah menghina mereka dengan penyiksaan dan penghinaan. Lalu ia menceritakan tragedi di Portella della Ginestra. "Dia menangis hari itu," cerita Pisciotta. "Di depan semua anggota kelompoknya Maria Lombardo menyela, "Dia tak mungkin membunuh orang-orang di Ginestra." Hector Adonis menenangkannya. "Kita semua tahu. Dia baik hati sejak lahir." Ia berpaling pada Michael dan berkata, "Dia menyukai buku, tadinya kukira dia akan jadi penyair atau sarjana. Dia pemarah, tapi tidak kejam. Kemurkaannya polos. Dia membenci ketidakadilan, kebrutalan yang dilakukan carabinieri terhadap kaum miskin, dan sikap menjilat mereka terhadap orang kaya. Bahkan sewaktu kanak-kanak dia sudah murka bila mendengar petani yang tak bisa menyimpan jagung yang ditanamnya, tak bisa menikmati anggur yang diperasnya, menyantap babi yang dijagalnya. Sekalipun begitu, dia bocah laki- laki yang lembut." Pisciotta tertawa. "Dia tidak selembut itu sekarang. Dan kau, Hector, jangan main-main jadi guru-sekolah kecil sekarang. Di atas kuda kau sama besarnya dengan kami." Hector Adonis menatapnya tajam. "Aspanu," katanya, "ini bukan saatnya bermain-main." Pisciotta menyahut penuh semangat, "Orang kecil, kaupikir aku takut padamu?" Michael memerhatikan Pisciotta dijuluki Aspanu, dan kedua orang ini tidak saling menyukai. Sikap Pisciotta yang terus menyinggung ukuran tubuh Adonis, kerasnya nada Adonis setiap kali berbicara dengan Pisciotta. Bahkan ia merasakan ketidakpercayaan di antara mereka semua yang lain tampak menjaga jarak dengan Stefan Andolini, ibu Guiliano kelihatannya tidak memercayai semua orang. Meski begitu, seiring semakin larutnya malam, jelas mereka semua mencintai Turi Michael berkata hati-hati, "Ada Wasiat yang ditulis Turi Guiliano. Di mana dokumen itu sekarang?" . Kesunyian timbul cukup lama, mereka menatapnya tajam. Dan tiba-tiba mereka juga tidak memercayai dirinya. Akhirnya Hector Adonis berbicara. "Dia mulai menulisnya atas nasihatku dan aku membantunya. Setiap halaman ditandatangani Turi. Semua persekutuan rahasia dengan Don Croce, dengan pemerintah Roma, dan kebenaran terakhir tentang Portella della Ginestra. Kalau dokumen itu terungkap kepada masyarakat, pemerintah pasti runtuh. Dokumen itu kartu terakhir yang bisa dimainkan Guiliano kalau situasi berubah sangat buruk." "Kuharap kau menyimpannya di tempat aman," kata Michael. Pisciotta setuju. "Ya. Don Croce pasti sangat ingin memiliki Wasiat" Ibu Guiliano berkata, "Pada saat yang tepat, akan kami atur agar Wasiat dikirimkan kepadamu. Mungkin kau bisa mengirimnya ke Amerika bersama gadis itu." Michael memandang mereka, terkejut. "Gadis yang mana?" Mereka membuang muka, seakan malu atau takut Mereka tahu ini kejutan yang tidak menyenangkan dan takut akan reaksinya. Ibu Guiliano menjawab, "Tunangan putraku. Dia hamil." Ia berpaling pada yang lain. "Dia tidak bersedia menghilang begitu saja. Apa orang ini mau membawanya atau tidak? Biar dia mengatakannya sekarang" Walaupun ibu Guiliano berusaha keras tetap tenang, jelas sekali ia mencemaskan reaksi Michael. "Gadis itu akan datang menemuimu di Trapani. Turi ingin kau mengirimnya lebih dulu ke Amerika. Sesudah Turi mendapat kabar darinya bahwa dia aman, Turi akan menemuimu." Michael berkata hati-hati, "Aku tidak diberi instruksi tentang hal ini. Aku harus berkonsultasi dengan orang-orangku di Trapani mengenai pengaturan waktunya. Aku tahu kau dan suamimu harus berangkat juga begitu putramu tiba di Amerika. Apa gadis itu tidak bisa menunggu dan berangkat bersama kalian?" Pisciotta menyela kasar, "Gadis itu ujian bagimu. Dia akan mengirimkan kata sandi sehingga Guiliano tahu apakah dia berurusan bukan saja dengan orang jujur tapi juga cerdas. Baru sesudah itu dia percaya kau bisa membawanya keluar dari Sisilia dengan selamat." Ayah Guiliano menukas marah, "Aspanu, aku sudah bilang padamu dan putraku. Don Corleone sudah berjanji hendak membantu kita." Pisciotta memberitahu, "Itu perintah Turi." Michael berpikir cepat. Akhirnya ia menjelaskan, "Menurutku rencana itu pintar. Kita bisa menguji rute pelarian dan memastikan rute itu tidak terbongkar." Ia tidak berniat menggunakan rute pelarian yang sama untuk Guiliano. "Aku bisa mengirimmu dan suamimu bersama gadis itu," •katanya pada ibu Guiliano. Ia menatap mereka dengan pandangan bertanya, tapi kedua orangtua itu menggeleng. Hector, Adonis berkata lembut, "Gagasan itu tidaklah buruk." "Kami tidak akan meninggalkan Sisilia sementara putra kami di sini,tegas Ibu guiliano,ayah guiliano melipat lengannya dan mengangguk setuju. Michael memahami apa yang mereka pikirkan. Kalau Turi Guiliano tewas di Sisilia, mereka tidak ingin berada di Amerika. Mereka harus tinggal di sini untuk berkabung atas dirinya, menguburkannya, membawakan bunga ke makamnya. Itu tragedi terakhir milik mereka. Gadis itu bisa pergi, ia hanya terikat oleh cinta, bukan darah. Suatu saat pada malam itu Maria Lombardo Guiliano menunjukkan pada Michael kliping berisi artikel-artikel koran, poster-poster yang menunjukkan berbagai harga kepala Guiliano, yang dibuat pemerintah Roma. Maria Lombardo memperlihatkan artikel berfoto yang diterbitkan di Amerika oleh majalah Life pada tahun 1948. Artikelnya menyatakan Guiliano adalah bandit terbesar di era modern, Robin Hood Italia yang merampok orang kaya untuk membantu orang miskin. Majalah itu juga memuat salah satu surat terkenal yang dikirim Guiliano ke berbagai surat kabar. Bunyinya "Selama lima tahun aku sudah berjuang untuk memerdekakan Sisilia. Aku sudah memberi orang miskin apa yang kuambil dari orang kaya. Biarkan orang Sisilia berbicara apakah aku pelanggar hukum atau pejuang kemerdekaan. Kalau mereka menentangku, aku akan menyerahkan diri ke dalam tanganmu untuk dihakimi. Selama mereka mendukungku, aku akan terus melanjutkan perang total." Jelas ia tidak terdengar seperti bandit yang melarikan diri, pikir Michael, sementara senyum merekah di wajah bangga Maria Lombardo. Michael merasakan ikatan dengannya, wanita itu, sangat mirip ibunya sendiri. Wajahnya berkerut-kerut oleh penderitaan masa lalu, tapi matanya membara oleh cinta alami pertempuran melawan nasibnya. Akhirnya fajar merekah dan Michael bangkit berdiri serta mengucapkan selamat berpisah. Ia terkejut sewaktu ibu Guiliano memeluknya hangat. "Kau mengingatkanku pada putraku," katanya. "Aku percaya padamu." Ia melangkah ke rak di atas perapian dan menurunkan patung kayu Perawan Maria. Patung itu berkulit hitam. Garis-garis wajahnya Negroid. "Ambil ini sebagai hadiah. Ini satu-satunya milikku yang cukup berharga untuk diberikan padamu." Michael berusaha menolak, tapi Maria Lombardo mendesak. Hector Adonis berkata, "Hanya tersisa beberapa patung seperti itu di Sisilia. Menarik, tapi kami memang sangat dekat dengan Afrika." "Tidak penting bagaimana tampangnya, kau bisa berdoa kepadanya," ujar ibu Guiliano. "Ya," sahut Pisciotta. "Dia bisa melakukan kebaikan sama seperti yang lainnya." Terdengar nada jijik dalam suaranya. Michael mengawasi Pisciotta berpamitan kepada ibu Guiliano. Ia bisa melihat kasih sejati di antara mereka Pisciotta mencium kedua pipi ibu Guiliano dan me- nepuk-nepuknya untuk meyakinkan. Tapi sejenak ibu Guiliano menyandarkan kepala ke bahunya dan mendesah, "Aspanu, Aspanu, aku mencintaimu sama seperti mencintai putraku sendiri. Jangan biarkan mereka membunuh Turi." Ia pun menangis. Pisciotta kehilangan semua sikap dinginnya, tubuhnya seolah merosot, wajahnya yang kurus dan gelap melunak. "Kalian semua akan menjadi tua di Amerika," katanya Lalu ia berpaling pada Michael. "Akan kuantar Turi menemuimu minggu ini," katanya. Ia menyelinap keluar pintu, tergesa dan diam-diam Ia memiliki kartu izin bertepi merahnya sendiri dan ia bisa kembali menghilang di pegunungan. Hector Adonis tetap tinggal bersama keluarga Guiliano, kendati ia memiliki rumah di kota ini. Michael dan Stefan naik ke Fiat dan melaju melintasi alun-alun, memasuki jalan menuju Castelvetrano dan kota pantai Trapani. Dengan cara mengemudi Andolini yang lambat dan berhati-hati, serta puluhan blokade militer, baru tengah hari mereka tiba di Trapani. BUKU II TURI GUILIANO 1943 Bab 2 DI bulan September 1943 Hector Adonis adalah Profesor Sejarah dan Sastra di Universitas Palermo. Tubuhnya yang sangat pendek menyebabkan para koleganya memperlakukan dirinya kurang hormat, tak sebanding dengan bakatnya. Tapi inilah takdir dalam budaya Sisilia, yang biasa dengan kejam memberikan julukan berdasarkan kekurangan fisik. Satu-satunya orang yang mengetahui nilai sejati dirinya adalah Rektor Universitas. Di bulan September 1943 inilah kehidupan Hector Adonis berubah. Bagi kawasan Italia selatan, perang sudah berakhir. Tentara Amerika sudah menaklukkan Sisilia dan pergi ke daratan. Fasisme sudah mati, Italia dilahirkan kembali; untuk pertama kalinya dalam empat belas abad, pulau Sisilia tidak memiliki majikan yang nyata. Tapi Hector Adonis, yang memahami ironi sejarah, tidak berharap besar. Mafia mulai menguasai hukum di Sisilia. Kekuasaan mereka yang bagai kanker sama mematikannya seperti kekuasaan pemerintahan mana pun. Dari jendela kantornya ia menunduk memandang lahan Universitas, memandang sekelompok bangunan yang bisa disebut kampus. Asrama tidak diperlukan, tidak ada kehidupan kuliah seperti yang dikenal di Inggris dan Amerika. Di sini sebagian besar mahasiswa belajar di rumah dan berkonsultasi dengan para dosen pada waktu-waktu yang ditentukan sebelumnya. Para dosen memberi kuliah dan para mahasiswanya bisa tidak memedulikannya tanpa sanksi apa pun. Mereka hanya perlu mengikuti ujian. Hector Adonis menganggap sistem ini pada umumnya memalukan dan pada khususnya tolol karena memengaruhi orang Sisilia, yang menurut pendapatnya memerlukan disiplin akademis lebih keras dibanding mahasiswa di negara-negara lain. Dari jendelanya yang mirip jendela katedral, ia bisa melihat gelombang musiman pemimpin Mafia dari seluruh provinsi Sisilia, datang melobi para dosen Universitas. Di bawah kekuasaan Fasis, para pemimpin Mafia ini lebih hati-hati, lebih rendah hati, tapi sekarang di bawah kekuasaan demokrasi pemulihan-Amerika yang ramah, mereka mencuat bagaikan cacing-cacing berjuang menembus tanah yang disiram hujan dan melanjutkan cara-cara lama. Mereka tidak lagi rendah hati. Para pemimpin Mafia, Friends of the Friends, para permimpin klan-klan kecil setempat di banyak desa Sisilia, datang di hari-hari libur untuk mengajukan permohonan atas para mahasiswa yang merupakan kerabat atau putra teman mereka atau putra tuan tanah kaya, yang tidak berprestasi baik di Universitas, yang takkan mendapatkan gelar tanpa tindakan tegas. Padahal gelar-gelar ini amat penting. Bagaimana lagi cara keluarga-keluarga itu mengusir para putra yang tidak memiliki ambisi, bakat, kecerdasan? Para orangtua akan terpaksa menyokong putra-putra mereka seumur hidup. Tapi dengan gelar, sehelai pernyataan dari Universitas, beran-dalan-berandalan ini bisa menjadi guru, dokter, anggota Parlemen, atau paling buruk, pegawai rendahan adminis-trasi negara. Hector Adonis mengangkat bahu; sejarah menghiburnya. Inggris tercintanya, di masa kejayaan Kerajaan, memercayakan tentara-tentara mereka kepada putra- putra orang kaya yang juga tidak kompeten, yang para orangtuanya menyuap agar mereka mendapatkan jabatan dalam ketentaraan dan mengomandani kapal- kapal besar. Namun demikian, Kerajaan Inggris tetap makmur. Memang benar para komandan ini telah memimpin anak buahnya ke dalam pembantaian yang tidak perlu, namun harus dikatakan mereka ikut tewas bersama anak buahnya, keberanian merupakan hal penting bagi mereka. Dan dengan tewasnya mereka, setidaknya memecahkan masalah orang-orang ceroboh dan tidak kompeten yang membebani negara. Orang Italia tidak segagah atau sepraktis itu. Mereka mencintai anak-anak mereka, menyelamatkan mereka dari bencana, dan membiarkan negara mengurus dirinya sendiri. Dari jendelanya, Hector Adonis bisa melihat setidaknya tiga pemimpin Mafia setempat tengah berkeliaran mencari korbannya. Mereka mengenakan topi kain dan sepatu bot kulit, dan membawa jas beludru tebal di lengannya, karena cuaca masih hangat. Mereka membawa keranjang berisi buah-buahan, botol-botol dibungkus anyaman bambu berisi anggur buatan sendiri untuk diberikan sebagai hadiah. Itu bukan suap, melainkan penangkal sopan bagi rasa takut yang akan memuncak dalam dada para dosen begitu melihat kehadiran mereka. Karena sebagian besar dosen merupakan penduduk asli Sisilia dan paham bahwa per-mintaan-permintaan itu takkan pernah bisa ditolak. Salah satu pemimpin Mafia, mengenakan pakaian yang amat khas pedalaman sehingga ia bisa turut bermain dalam Cavalleria Rusticdna*, tengah memasuki gedung dan menaiki tangga. Puas tapi sebal Hector Adonis bersiap memainkan komedi yang sudah akrab baginya. Adonis mengenal pria itu. Namanya Buccilla dan ia memiliki tanah pertanian dan peternakan domba di Parunico, tak jauh dari Montelepre. Mereka berjabatan dan Buccilla memberikan keranjang yang dibawanya. "Begitu banyak buah-buahan kami yang jatuh ke tanah dan membusuk sehingga kupikir sebaiknya kubawa beberapa untuk Profesor," kata Buccilla. Ia pria pendek tapi kekar, tubuhnya kuat akibat bekerja keras seumur hidup. Adonis tahu pria ini dikenal jujur dan rendah hati meskipun ia bisa mengubah kekuasaannya menjadi kekayaan. Ia salah satu contoh kemunduran, kembali ke era lama ketika para pemimpin Mafia berjuang bukan untuk kekayaan melainkan penghargaan dan penghormatan. Adonis tersenyum sambil menerima keranjangnya. Petani mana di Sisilia yang pernah membiarkan segala *Drama tentang kehidupan petani yang diangkat dari novel berjudul sama karya Giovanni Verga, novelis kelahiran Catania, Sisilia (1840-1922). sesuatu tersia-sia? Ada seratus anak untuk setiap butir zaitun yang jatuh ke tanah, dan anak-anak ini bagaikan belalang perusak. Buccilla mendesah. Ia ramah, tapi Adonis tahu keramahan ini bisa berubah menjadi ancaman hanya dalam sepersekian detik. Jadi ia melontarkan senyum simpatik sementara Buccilla berkata, "Hidup ini benar-benar merepotkan. Aku harus bekerja di lahanku, tapi sewaktu tetanggaku meminta bantuan, bagaimana aku bisa menolaknya? Ayahku mengenal ayahnya, kakekku mengenal kakeknya. Dan sudah menjadi sifatku, mungkin itulah kesialanku, bahwa aku akan melakukan apa saja yang diminta temanku. Bagaimanapun, bukankah kita sesama orang Kristen?" Hector Adonis berkata tenang, "Kita, orang Sisilia, sama semua. Kita terlalu dermawan. Itu sebabnya orang utara di Roma bisa memanfaatkan kita sedemikian rupa." Buccilla menatapnya tajam. Takkan ada masalah, kan? Dan bukankah ia pernah mendengar bahwa dosen yang satu ini salah satu Friends? Jelas si dosen tidak tampak takut. Dan kalau ia Friends of the Friends, kenapa dirinya, Buccilla, tidak mengetahuinya? Tapi dalam Friends memang terdapat banyak tingkatan. Pokoknya, inilah orang yajjg memahami dunia tempatnya tinggal. "Aku datang untuk meminta bantuanmu," Buccilla menjelaskan. "Sebagai sesama orang Sisilia. Putra tetanggaku gagal di Universitas tahun ini. Kau yang menggagalkannya. Jadi tetanggaku mengklaim. Tapi sewaktu kudengar namamu aku berkata kepadanya, Apa! Signor Adonis? Wah, dia orang paling baik di dunia. Dia tidak mungkin bertindak sejahat itu kalau tahu semua faktanya. Tidak akan pernah.' Jadi mereka memohon sambil menangis agar aku memberitahukan seluruh ceritanya kepadamu. Dan meminta dengan amat rendah hati agar kau mengubah nilainya supaya dia bisa mencari nafkah." Hector Adonis tidak tertipu oleh kesopanan luar biasa ini. Sekali lagi ini seperti Inggris yang begitu dikaguminya, orang-orang yang bisa bersikap kasar tanpa kentara sehingga kau menikmati penghinaan mereka selama berhari-hari sebelum menyadari mereka sudah menyakitimu habis-habisan. Bila permintaannya ditolak, orang Inggris palmg-paling mencaci-maki, tapi dengan Signor Buccilla akan diikuti semburan lupara— senapan yang larasnya digergaji supaya daya ledaknya lebih dahsyat—di suatu malam gelap. Hector Adonis dengan sopan mencicipi zaitun dan beri di keranjang. "Ah, kita tidak bisa membiarkan seorang anak muda kelaparan di dunia yang menyedihkan ini," katanya. "Siapa nama anak muda ini?" Dan sewaktu Buccilla memberitahunya, ia mengambil buku catatan dari dasar mejanya Ia membalik-baliknya meskipun tentu saja ia mengenal nama itu dengan baik. Mahasiswa yang gagal itu pemalas tolol; lebih parah daripada domba-domba di jjgfernakan Buccilla. Ia suka main perempuan, suka membual, bocah buta huruf tanpa harapan yang tak tahu perbedaan antara iliad dan Verga. Meskipun demikian, Hector Adonis tersenyum manis kepada Buccilla dan dengan pura- pura sangat terkejut berkata, "Ah, dia sedikit bermasalah dalam salah satu ujiannya. Tapi bisa dibereskan dengan mudah. Suruh dia menemuiku, akan kusiapkan dia di ruangan ini dan kuberi ujian tambahan. Dia tidak akan gagal lagi." Mereka berjabatan, dan pria itu berlalu. Dapat satu teman lagi, pikir Hector. Apa itu berarti semua pemuda tidak berguna ini akan mendapatkan gelar sarjana yang tak layak mereka peroleh? Di Italia tahun 1943 mereka bisa menggunakan gelar itu untuk memanjakan diri dan mendapat posisi menengah. Dering telepon menghentikan pemikirannya dan mencetuskan kejengkelan lain. Deringannya pendek, lalu berhenti sejenak sebelum berdering lebih pendek lagi tiga kali. Wanita operator telepon tengah bergosip dan melakukan tugasnya di sela-sela percakapannya sendiri. Ini begitu menjengkelkan sehingga Adonis berteriak, "Pronto" ke telepon, lebih kasar daripada yang diinginkannya. Dan sialnya telepon itu dari Rektor Universitas. Tapi sang Rektor, yang terkenal ketat dalam masalah kesopanan profesional, jelas tengah memikirkan hal lain yang lebih penting daripada kekasaran. Suaranya gemetar ketakutan, permohonannya hampir-hampir diiringi air mata. "Profesor Adonis yang baik," rengeknya, "apa kau tidak keberatan datang ke ruanganku? Universitas mendapat masalah serius dan hanya kau yang mungkin bisa memecahkan. Ini penting sekali. Percayalah, profesorku yang baik, aku akan sangat berterima kasih." Bujukan tersebut menyebabkan Hector Adonis gugup. Apa yang diharapkan idiot ini darinya? Melompat dari Katedral Palermo? Rektor lebih memenuhi syarat untuk itu, pikir Adonis getir, tingginya paling sedikit 180 sentimeter. Biarkan ia melompat dan tidak meminta bawahan yang berkaki paling pendek di Sisilia melakukannya. Bayangan itu meringankan kembali suasana hari Adonis. Jadi ia bertanya ringan, "Mungkin kau bisa memberiku petunjuk. Jadi aku bisa mempersiapkan diri selama perjalanan." Suara Rektor merendah menjadi bisikan. "Don Croce yang terhormat bersusah payah mengunjungi kita. Keponakannya mahasiswa kedokteran, dan dosennya- menyarankan dia mengundurkan diri dengan hormat dari program. Don Croce datang untuk meminta kita, dengan cara yang paling sopan, mempertimbangkannya kembali. Tapi dosen di Fakultas Kedokteran bersikeras agar anak muda ini mengundurkan diri." "Siapa manusia tolol itu?" tanya Hector Adonis. "Dokter Nattore yang masih muda itu," jawab Rektor. "Anggota terhormat fakultas tapi masih kurang pengalaman." "Aku akan tiba di ruanganmu lima menit lagi," tegas Hector Adonis. Sementara ia bergegas menyeberangi tempat terbuka menuju gedung utama, Hector Adonis mempertimbangkan tindakan apa yang akan diambilnya. Kesulitannya bukan terletak pada Rektor; ia selalu memanggil Adonis untuk menangani masalah-masalah seperti ini. Kesulitannya terletak pada Dokter Nattore. Ia mengenal baik sang dokter. Praktisi medis yang cemerlang, pengajar yang kematiannya jelas akan menjadi kerugian besar bagi Sisilia, dan pengunduran dirinya akan merupakan kehilangan bagi Universitas. Juga orang membosankan yang paling sombong, punya prinsip kaku dan kehormatan sejati. Tapi bahkan ia pun harus mendengarkan Don Croce yang agung, ia pun harus menancapkan sedikit logika dalam otaknya yang jenius. Pasti ada jalan lain. Di depan gedung utama terdapat mobil hitam panjang dan dua pria bersetelan bisnis—mereka tetap saja tidak tampak terhormat—bersandar di sana. Mereka pasti para pengawal dan. sopir Don yang ditinggalkan di luar untuk menghormati para akademisi yang dikunjungi Don Croce. Adonis melihat pandangan tertegun mereka, lalu keheranan bercampur geli melihat posturnya yang pendek, pakaiannya yang bagus, map di bawah ketiaknya. Ia melontarkan tatapan dingin yang membuat mereka terkejut. Mungkinkah orang sekecil ini termasuk Friends of the Friends? Ruangan Rektor lebih mirip perpustakaan daripada pusat bisnis; ia lebih menyerupai sarjana daripada administrator. Buku-buku berjajar memenuhi dinding-dindingnya, perabotannya besar tapi nyaman. Don Croce duduk di kursi besar sambil menghirup espresso-nya. wajahnya mengingatkan Hector Adonis akan haluan kapal dalam kisah Iliad, yang melewati tahun-tahun peperangan dan lautan buas. Don berpura-pura mereka tidak saling kenal, dan Adonis membiarkan dirinya diperkenalkan. Rektor tentu saja tahu langkah ini hanyalah pura-pura, tapi Dokter Nattore yang masih muda percaya. Rektor adalah orang terjangkung di Universitas; Hector Adonis yang terpendek. Segera, demi kesopanan, Rektor duduk merosot di kursinya sebelum berbicara. "Kita menghadapi sedikit perbedaan pendapat," kata Rektor. Mendengarnya Dokter Nattore mendengus jengkel, tapi Don Croce memiringkan kepala menye- tujui. Rektor pun melanjutkan, "Keponakan Don Croce sangat ingin menjadi dokter. Menurut Profesor Nattore pemuda ini tidak berhasil mendapatkan nilai yang cukup untuk memperoleh izin praktik. Ini tragedi. Don Croce begitu baik bersedia datang dan mengajukan masalah keponakannya, dan karena Don Croce sudah berbuat begitu banyak bagi Universitas, menurutku kita harus berusaha sebaik-baiknya untuk mencarikan jalan keluar." Don Croce berkata riang, tanpa kesinisan sedikit pun, "Aku sendiri buta huruf, tapi tak ada yang bisa bilang aku tidak berhasil dalam bisnis." Tentu saja, pikir Hector Adonis, orang yang bisa menyuap para menteri, memerintahkan berbagai pembunuhan, meneror para penjaga toko dan pemilik pabrik, tidak perlu bisa membaca dan menulis. Don Croce melanjutkan, "Aku menemukan jalanku melalui pengalaman. Kenapa keponakanku tidak bisa seperti itu juga? Adik perempuanku yang malang pasti patah hati kalau putranya tidak bisa menambahkan kata 'Dokter' di depan namanya Adikku pengikut Kristus sejati, dia ingin membantu dunia." Dokter Nattore, dengan ketidakpekaan khas orang yang berada di pihak yang benar, berkata, "Aku tidak bisa mengubah posisiku." Don Croce mendesah. Ia membujuk, "Kerugian apa yang bisa ditimbulkan keponakanku? Aku akan mengatur jabatan di ketentaraan, atau di rumah sakit Katolik untuk manula. Dia akan memegang tangan mereka dan mendengarkan masalah mereka. Orangnya sangat ramah, dia akan memesona orang-orang tua itu. Apa yang kuminta? Hanya mengatur sedikit kertas- kertas yang kauatur di sini." Sekilas ia memandang sekeliling ruangan, jijik terhadap buku-buku yang membentuk dinding-dindingnya. Hector Adonis sangat terganggu oleh kerendahan hati Don Croce—itu merupakan tanda bahaya kalau muncul dari orang seperti dirinya—dan dengan marah berpikir memang gampang saja bagi Don mendapatkan jabatan itu. Anak buahnya akan segera mengirimnya ke Swiss begitu livernya kurang beres. Tapi Adonis tahu dirinya terbebani untuk membereskan masalah ini. "Dokter Nattore yang baik," katanya, "tentu ada yang bisa kita lakukan. Sedikit pelajaran tambahan pribadi, kerja praktik tambahan di rumah sakit amal?" Sekalipun dilahirkan di Palermo, Dokter Nattore tidak mirip orang Sisilia. Rambutnya pirang dan mulai botak dan ia menunjukkan kemarahannya, sesuatu yang tak akan pernah dilakukan orang Sisilia sejati dalam situasi serumit ini. Tidak ragu lagi itu akibat kerusakan genetika yang diwarisinya dari para penjajah Normandia jauh di masa lalu. "Kau tidak mengerti, Profesor Adonis-ku yang baik. Si tolol ini mau jadi ahli bedah." Yesus, Yusuf, Perawan Maria kami, dan semua orang sucinya, pikir Hector Adonis. Ini benar-benar gawat. Memanfaatkan kesunyian akibat kekagetan yang terpancar pada wajah para koleganya, Dokter Nattore melanjutkan. "Keponakanmu tidak tahu apa-apa tentang anatomi. Dia mencincang mayat hingga berkeping-keping seperti menyembelih domba untuk pesta. Dia tidak mengikuti sebagian besar pelajaran, dia tidak belajar untuk ujian, dia memasuki ruang operasi seolah hendak berdansa. Kuakui dia ramah, kau tak bisa nemukan pemuda yang lebih menyenangkan lagi. Tapi, bagaimanapun juga, kita bicara soal orang yang suatu hari harus memasuki tubuh manusia dengan sebilah pisau tajam." Hector Adonis tahu persis apa yang dipikirkan Don Croce. Siapa peduli seburuk apa bocah ini sebagai ahli bedah? Ini soal gengsi keluarga, hilangnya penghormatan kalau si bocah gagal. Tidak peduli seburuk apa ia sebagai ahli bedah, ia tak akan pernah membunuh sebanyak yang dilakukan anak buah Don Croce yang lebih sibuk. Selain itu, Dokter Nattore yang masih muda ini tidak mau mengubah kemauannya, tidak memahami isyarat bahwa Don Croce bersedia melupakan cita cita keponakannya menjadi ahli bedah kalau ia bersedia menjadikannya dokter umum. Jadi sekarang tiba waktunya bagi Hector Adonis untuk membereskan masalah ini. "Don Croce yang baik," katanya, "aku yakin Dokter Nattore akan memenuhi permintaanmu kalau kita terus membujuknya. Tapi kenapa keponakanmu punya gagasan romantis menjadi ahli bedah? Seperti sudah kaukatakan, dia terlalu ramah, padahal ahli bedah dikenal sadis sejak lahir. Dan siapa di Sisilia ini yang sukarela mau diiris?" Ia diam sejenak, lalu melanjutkan. "Selain itu dia harus menjalani praktik di Roma, kalau kami meluluskannya di sini, dan Roma akan menggunakan segala alasan untuk menghancurkan orang Sisilia Kau justru merugikan keponakanmu kalau bersikeras. Biarkan aku yang mengatur." Dokter Nattore menggumam bahwa tidak mungkin ia berkompromi. Untuk pertama kalinya mata Don Croce yang bagai mata kadal membara. Dokter Nattore terdiam dan Hector Adonis bergegas bicara. "Keponakanmu akan mendapatkan nilai lulus dan menjadi dokter, bukan ahli bedah. Kita katakan saja dia terlalu baik hati, tak tega mengiris orang." Don Croce membentangkan lengannya lebar-lebar, bibirnya merekah melontarkan senyum dingin. "Kau mengalahkanku dengan logikamu," pujinya kepada Adonis. "Terserahlah. Keponakanku akan jadi dokter, bukan ahli bedah. Dan adik perempuanku harus puas dengan itu." Ia bergegas meninggalkan mereka, tujuan utamanya tercapai; ia tidak berharap lebih. Rektor Universitas mengantarnya ke mobil. Tapi semua orang dalam ruangan menyadari lirikan terakhir yang dilontarkan Don Croce ke arah Dokter Nattore. Lirikan tajam seakan ia hendak mengingat-ingat wajahnya, memastikan dirinya tidak melupakan wajah orang yang mencoba menentang kehendaknya. Sesudah mereka pergi, Hector Adonis berpaling memandang Dokter Nattore dan berkata, "Kau, kolegaku yang baik, harus mengundurkan diri dari Universitas dan membuka praktik di Roma." Dokter Nattore membentak marah, "Kau sudah sinting?" Hector Adonis menjawab, "Tidak sesinting dirimu. Aku memaksamu makan malam bersamaku malam ini dan akan kujelaskan kenapa Sisilia kita bukanlah Taman Eden." "Tapi kenapa aku harus pergi?" protes Dokter Nattore. "Kau bilang 'tidak' kepada Don Croce Malo. Sisilia tidak cukup besar bagi kalian berdua." "Tapi dia sudah mendapatkan keinginannya,teriak Dokter Nattore putus asa. "Keponakannya akan jadi dokter. Kau dan Rektor sudah menyetujuinya." "Tapi kau tidak," kilah Hector Adonis. "Kami menyetujuinya untuk menyelamatkan nyawamu. Meskipun demikian, kau sudah ditandai." Malam itu Hector Adonis menjadi tuan rumah bagi enam dosen, termasuk Dokter Nattore, di salah satu restoran terbaik Palermo. Masing-masing dosen mendapat kunjungan "orang terhormat" hari itu dan mereka setuju mengubah nilai mahasiswa yang gagal. Dokter Nattore mendengarkan cerita mereka dengan ngeri dan akhirnya berkata, "Tapi hal itu tidak bisa terjadi di fakultas kedokteran, tidak bagi seorang dokter." Hingga akhirnya mereka kehilangan kesabaran. Seorang dosen Filsafat menuntut kenapa praktik kedokteran lebih penting bagi umat manusia daripada proses berpikir yang rumit dalam pikiran manusia dan kesucian jiwa yang abadi. Sesudah mereka selesai, Dokter Nattore setuju pergi dari Universitas Palermo dan pindah ke Brasilia, para koleganya menjamin di sana ahli bedah yang baik bisa mendapatkan kekayaan dengan menangani kandung kemih. Malam itu Hector Adonis tidur nyenyak. Tapi keesokan paginya ia menerima telepon mendesak dari Montelepre. Putra baptisnya, Turi Guiliano, yang kecerdasannya telah dibinanya, yang kelembutannya sangat dihargainya, yang masa depannya telah direncanakannya, membunuh petugas polisi. Bab 3 MONTELEPRE adalah kota berpenduduk tujuh ribu orang yang terbenam dalam di lembah Pegunungan Cammarata, sebagaimana terbenam dalam kemiskinan. Pada tanggal 2 September 1943 para penduduknya tengah bersiap menyelenggarakan Festa, yang dimulai besok dan berlanjut hingga tiga hari berikutnya. Festa merupakan acara terbesar setiap tahun di setiap kota, lebih besar daripada Paskah atau Natal atau Tahun Baru, lebih meriah daripada perayaan berakhirnya perang besar atau hari kelahiran pahlawan nasional. Festa diselenggarakan bagi orang suci kesukaan masing-masing kota. Acara ini salah satu dari sedikit tradisi yang tidak berani dilarang atau dicampuri oleh pemerintahan Fasis Mussolini. Untuk mengorganisir Festa, setiap tahun dibentak Komite Tiga yang terdiri atas orang-orang paling dihormati di kota. Ketiga orang ini lalu menunjuk para deputi untuk mengumpulkan uang dan sumbangan barang. Setiap keluarga menyumbang sesuai kemampuan. Sebagai tambahan, para deputi dikirim ke jalan-jalan untuk mengemis. Lalu seiring kian dekatnya hari besar itu, Komite Tiga mulai menghabiskan dana khusus yang dikumpulkannya setahun terakhir. Mereka menyewa band dan badut. Mereka menyiapkan hadiah uang besar untuk balap kuda yang akan diselenggarakan selama tiga hari. Mereka menyewa pakar untuk mendekorasi gereja dan jalan-jalan agar kemuraman Montelepre yang dicekam kemiskinan tiba-tiba menyerupai kota berbenteng khas abad pertengahan di tengah Fields of the Cloths of Gold. Mereka menyewa teater boneka. Para pedagang makanan menyiapkan kios. Keluarga-keluarga Montelepre memanfaatkan Festa untuk memamerkan putri- putri mereka yang siap menikah pakaian-pakaian baru dibeli, pendamping-pen- damping diberi penjelasan. Sekelompok pelacur Palermo mendirikan tenda besar tepat di luar kota, surat izin dan sertifikat medis menghiasi dinding-dinding kanvas bergaris-garis merah, putih, dan hijau. Seorang biarawan suci terkenal, yang bertahun-tahun lalu memiliki luka-luka penyaliban Kristus, disewa untuk menyampaikan khotbah resmi Dan akhirnya, pada hari ketiga, keranda kayu orang suci dibawa menyusuri jalan-jalan, diikuti seluruh penduduk kota, bersama bagal-bagal, kuda-kuda, babi-babi, dan keledai-keledai mereka. Di atas Ini mengacu pada padang rumput mewah meriah di selatan Prancis, tempat Raja Inggris dan Prancis bertemu dalam upaya menghentikan perang, Masing-masing mendirikan tenda-tenda mewah menyerupai kastil, mencoba tampil lebih hebat daripada yang lain, meski harus menghabiskan uang lebih daripada yang mereka miliki. keranda terdapat patung orang suci yang ditimbuni uang, bunga, gula-gula aneka warna, dan botol-botol anggur besar terbungkus anyaman bambu. Hari-hari itu merupakan hari-hari kemegahan. Bukan masalah kalau sepanjang tahun sisanya mereka kelaparan dan di alun-alun desa yang sama—tempat mereka menghormati orang suci—mereka menjual keringat kepada para tuan tanah untuk seratus lira sehari. Di hari pertama Festa Montelepre, Turi Guiliano ditugaskan mengambil peran dalam ritual pembukaan, mengawinkan Bagal Ajaib Montelepre dengan keledai terbesar dan terkuat di kota. Jarang sekali bagal betina bisa melahirkan; mereka termasuk hewan steril, produk persilangan antara kuda dan keledai. Tapi ada bagal seperti itu di Montelepre; bagal itu melahirkan seekor keledai dua tahun lalu. Sebagai tanggung jawab keluarga untuk berpartisipasi dalam Festa, pemiliknya setuju menyumbangkan bagal itu dan, seandainya terjadi keajaiban, anaknya dalam Festa tahun depan. Acara ini mengandung ejekan sinis. Tapi ritual penjantanan ini hanyalah sebagian ejekan itu. Petani Sisilia punya kemiripan dengan bagal dan keledainya. Bagal dan keledai makhluk pekerja keras, dan seperti petani Sisilia sendiri, sifatnya keras kepala dan masam. Seperti petani, bagal dan keledai mampu bekerja berjam-jam tanpa lelah, tidak seperti kuda yang lebih anggun, yang harus dimanjakan. Selain itu, bagal dan keledai sangat kuat dan mampu memilih jalan di sepanjang lereng pegunungan tanpa jatuh dan menderita patah kaki, tidak seperti kuda ras jantan atau betina. Petani, keledai, dan bagal juga mampu bertahan hidup dengan makanan yang akan membunuh orang dan hewan lainnya. Tapi kemiripan terbesar adalah: Petani, keledai, dan bagal harus diperlakukan dengan kasih dan penghormatan, kalau tidak mereka bisa berubah mematikan dan keras kepala. Festival-festival keagamaan Katolik lahir dari ritual pemuja berhala yang memohon keajaiban dari para dewa. Di hari yang sangat penting di bulan September 1943 ini, selama Festa Montelepre, keajaiban akan muncul dan mengubah nasib tujuh ribu penduduknya. Pada usia 20 tahun, Turi Guiliano dianggap pemuda paling berani, paling terhormat, paling kuat, dan yang paling memicu penghargaan. Ia pria terhormat. Maksudnya, ia orang yang memperlakukan sesamanya de-ngan sangat adil dan tidak bisa dihina begitu saja. Ia menjadi terkenal di musim menuai lalu karena menolak dipekerjakan sebagai buruh dengan bayaran begitu menghina yang ditentukan para pengawas lahan setempat Ia lalu- berpidato, mendesak orang-orang lain agar tidak bekerja, membiarkan hasil panen membusuk. Carabinieri menangkapnya atas tuduhan yang dilontarkan para tuan tanah. Orang-orang lain kembali bekerja Guiliano tidak menunjukkan kemarahan kepada mereka atau bahkan kepada carabinieri. Sewaktu dibebaskan dari penjara berkat campur tangan Hector Adonis, ia tidak menjadi sinis. Ia membela prinsip yang dipercayainya dan itu sudah cukup baginya. Dalam kesempatan lain, ia melerai perkelahian pisau antara Aspanu Pisciotta dan seorang pemuda lain hanya dengan menempatkan dirinya yang tidak bersenjata di antara keduanya dan sambil melucu membujuk mereka sehingga kemarahan mereka reda. Yang tidak biasa dari kejadian ini adalah kalau orang lain yang melakukannya, tindakan itu akan dianggap sebagai kepengecutan yang disamarkan dalam kemanusiaan, tapi sesuatu dalam diri Guiliano mencegah penafsiran seperti itu. Di hari kedua bulan September ini, Salvatore Guiliano, dipanggil Turi oleh teman-teman dan keluarganya, muram memikirkan apa yang baginya merupakan pukulan hebat terhadap martabatnya sebagai pria. Masalahnya kecil saja. Montelepre tidak memiliki bioskop, tidak ada gedung pertemuan, tapi ada kafe kecil dengan meja biliar. Semalam Turi Guiliano, sepupunya, Gaspare "Aspanu" Pisciotta, dan beberapa pemuda lain tengah bermain biliar. Beberapa pria yang lebih tua mengawasi mereka sambil minum bergelas-gelas anggur. Salah satu di antaranya, pria bernama Guido Quintana, sudah agak mabuk. Ia orang yang memiliki reputasi. Ia pernah dipenjara Mussolini karena dicurigai sebagai anggota Mafia. Keberhasilan Amerika menaklukkan pulau tersebut menyebabkan ia dibebaskan sebagai korban fasisme, dan menurut isu ia akan dipilih menjadi walikota Montelepre. Sebagaimana orang-orang Sisilia mana pun, Turi Guiliano mengetahui kekuasaan Mafia yang legendaris. Dalam beberapa bulan setelah kebebasan, organisasi ini kembali menebarkan jaring-jaring kekuasaannya ke seluruh pulau, seakan-akan disuburkan oleh pupuk segar pemerintahan demokratis yang baru. Di kota muncul isu para pemilik toko harus membayar "asuransi" kepada "orang-orang terhormat" tertentu. Dan tentu saja Turi mengetahui sejarah, tentang pembunuhan atas puluhan petani yang mencoba mengambil upah mereka dari para bangsawan dan tuan tanah yang berkuasa, tentang seberapa kuat pengendalian Mafia atas pulau ini sebelum Mussolini melumpuhkan mereka dengan ketidakpeduliannya terhadap proses hukum, seperti ular yang lebih mematikan menggigit reptil yang lebih lemah dengan taring-taring beracunnya. Jadi Turi Guiliano merasakan kengerian yang menanti di depannya. Quintana sekarang memandang Guiliano dan rekan-rekannya dengan tatapan agak jijik. Mungkin semangat tinggi mereka menjengkelkannya. Apalagi ia orang yang serius, yang hendak memulai perubahan besar dalam hidupnya- Dibuang oleh pemerintahan Mussolini ke pulau terpencil, ia kini kembali ke kota kelahirannya. Dalam beberapa bulan ke depan tujuannya adalah mendapatkan penghormatan di mata penduduk kota. Atau mungkin ketampanan Guiliano yang membuatnya jengkeL karena Guido Quintana sangat jelek. Penampilannya mengintimidasi, dan itu bukan karena salah satu ciri tubuhnya, melainkan karena seumur hidup ia biasa menampilkan ekspresi masam kepada dunia luar. Atau mungkin penyebabnya adalah ketidaksenangan alami antara penjahat dan pahlawan. Apa pun alasannya ia tiba-tiba bangkit berdiri, tepat pada saatnya untuk mendorong Guiliano yang tengah berjalan ke seberang meja biliar. Turi— memang sudah sifatnya bersikap sopan • terhadap pria lebih tuai—meminta maaf dengan lembut dan tulus. Guido Quintana memandangnya dari atas ke bawah dengan jijik.Kenapa kau tidak tidur dan beristirahat supaya bisa mencari makan besok?" tanyanya. "Teman-temanku sudah menunggu sejam untuk bermain." Ia menjulurkan tangan dan meraih tongkat biliar dari tangan Guiliano dan, sambil tersenyum tipis, melambai mengusirnya. Semua orang mengawasi. Itu bukan penghinaan besar. Kalau orang ini lebih muda dan penghinaannya lebih langsung, Guiliano akan terpaksa berkelahi dan mempertahankan harga dirinya sebagai pria. Aspanu Pisciotta selalu membawa pisau, dan sekarang ia menempatkan diri untuk menghadang teman-teman Quintana kalau mereka memutuskan turut campur. Pisciotta tidak, menghormati orang lebih tua, dan ia berharap teman sekaligus sepupunya ini membereskan perselisihannya. Tapi pada saat itu Guiliano merasakan keresahan yang aneh. Orang ini tampak begitu mengintimidasi dan siap menghadapi konsekuensi paling serius dalam perselisihan apa pun. Teman-teman di belakangnya, juga pria-pria lebih tua, tersenyum geli seakan-akan mereka tahu pasti apa yang akan terjadi. Salah satu dari mereka mengenakan pakaian berburu dan menyandang senapan. Guiliano sendiri tidak bersenjata. Dan lalu, untuk sesaat yang memalukan, ia merasa takut. Ia bukan takut terluka, atau diserang, atau karena orang ini lebih kuat dibanding dirinya. Ia takut orang-orang ini tahu benar apa yang mereka lakukan, takut mereka mengendalikan situasi. Ia tidak memegang kendali. Ia takut mereka bisa menembaknya hingga mati di jalan-jalan Montelepre yang gelap dalam perjalanan pulang. Takut dirinya tampak seperti orang bodoh. yang tewas keesokan harinya. Ketakutan itu merupakan indra taktis alamiah prajurit gerilya yang menyebabkan ia memilih mengalah. Jadi Turi Guiliano meraih lengan temannya dan membimbingnya ke luar kafe. Pisciotta mengikuti tanpa perlawanan, terkesima melihat temannya mengalah begitu mudah, tapi tak pernah curiga temannya takut. Ia tahu Turi baik hati dan menganggap temannya itu tidak ingin bertengkar dan melukai orang lain hanya karena masalah seremeh itu. Sewaktu mereka menyusuri Via Belia menuju rumah, mereka bisa mendengar bola-bola biliar berdetak-detak di belakang. Sepanjang malam itu Turi Guiliano tidak bisa tidur. Apakah ia benar-benar takut terhadap orang berwajah jahat dan bersikap mengancam itu? Apakah ia menggigil seperti perempuan? Apakah mereka semua menertawakan dirinya? Apa pendapat sahabat terbaiknya, sepupunya, Aspanu, tentang dirinya sekarang? Bahwa ia pengecut? Bahwa ia, Turi Guiliano, pemimpin pemuda Montelepre, yang paling dihormati, paling kuat, dan paling tidak kenal takut, takluk begitu mendapat ancaman dari pria sejati? walaupun begitu, katanya dalam hati, kenapa mengambil risiko menghadapi vendetta yang bisa menyebabkan kematian hanya karena masalah sepele seperti permainan biliar, karena kekasaran menjengkelkan seorang pria lebih tua? Ini tidak seperti bertengkar dengan sesama pemuda. Ia tahu perselisihan ini bisa jadi serius. Ia tahu orang-orang itu termasuk Friends of the Friends. Dan itu menyebabkan ia takut. Guiliano tidur gelisah dan terjaga dengan suasana hati muram yang begitu berbahaya dalam diri seorang pemuda. Ia tampak konyol di matanya sendiri. Selama ini ia selalu ingin jadi pahlawan, seperti sebagian besar emuda lainnya. Seandainya ia hidup di kawasan Italia ya, pasti ia sudah lama menjadi prajurit. Tapi se- bagai orang Sisilia sejati ia tidak mendaftarkan diri secara sukarela, dan bapak permandiannya, Hector Adonis, telah mengatur agar dirinya tidak pernah dipanggil wajib militer. Walaupun Sisilia berada di bawah pemerintahan Italia, tidak ada orang Sisilia sejati yang merasa dirinya orang Italia. Lagi pula, kalau mau bicara jujur, pemerintah Italia sendiri tidak begitu bersemangat merekrut orang Sisilia, terutama selama setahun terakhir peperangan. Orang-orang Sisilia memiliki banyak kerabat di Amerika, mereka sudah menjadi penjahat dan pemberontak sejak lahir, mereka terlalu bodoh untuk dilatih dalam ilmu perang modern, dan mereka menimbulkan masalah ke mana pun mereka pergi. Di jalan Turi Guiliano merasakan kemuramannya memudar bersama keindahan hari. Matahari keemasan tampak megah, harum pohon lemon dan zaitun memenuhi udara. Ia mencintai Montelepre, jalan-jalannya yang berliku-liku, rumah-rumah batu dengan balkon-balkonnya yang dipenuhi bunga yang tumbuh di Sisilia dengan sendirinya. Ia menyukai atap-atap genteng merah yang membentang hingga ke ujung kota kecil itu, terbenam dalam lembah tempat matahari menyiraminya bagai emas cair. Dekorasi Festa yang meriah—di atas jalanan bergantungan boneka-boneka kertas aneka warna melambangkan para orang suci, rumah-rumah dihiasi bunga- bunga yang dirangkai pada bambu—menyamarkan kemiskinan yang merupakan gejala umum di Sisilia. Bertengger tinggi, tapi bersembunyi malu-malu di celah- celah pegunungan yang mengelilinginya, rumah-rumah Montelepre yang telah berhias itu sebagian besar di- penuhi pria, wanita, anak-anak, dan hewan yang menempati tiga atau empat ruangan. Banyak di antara rumah-rumah itu tidak memiliki sanitasi, dan bahkan ribuan bunga serta dinginnya udara pegunungan tak bisa mengatasi bau kotoran yang membubung seiring naiknya matahari. Di tengah cuaca bagus orang-orang tinggal di luar rumah. Para wanita duduk di kursi-kursi kayu di teras yang terbuat dari batu-batu bulat, menyiapkan makanan di meja-meja, yang juga ditata di luar ruangan. Anak-anak kecil memenuhi jalanan sambil mengejar-ngejar ayam, kalkun,- kambing muda; anak-anak yang lebih tua menganyam keranjang bambu. Di ujung Via Belia, sebelum alun-alun, terdapat air mancur besar berwajah iblis, dibangun orang-orang Yunani dua ribu tahun sebelumnya, airnya menyembur dari mulut bergigi batu. Di sekeliling pegunungan taman-taman hijau tumbuh menantang bahaya, dibangun pada teras- teras. Di dataran di bawah terlihat kota Partinico dan Castellammare; Corleone, kota batu hitam berlumuran darah, mengintai dengan nafsu membunuh di balik kaki langit. Dari ujung seberang Via Belia, ujung jalan yang menuju dataran Castellammare, Turi bisa melihat Aspanu Pisciotta tengah membimbing keledai kecil. Sejenak ia mengkhawatirkan perlakuan Aspanu kepadanya setelah penghinaan yang dialaminya semalam. Temannya itu terkenal akan keberaniannya. Apa ia akan melontarkan komentar jijik kepadanya? Guiliano kembali merasakan gelombang kemarahan yang sia-sia dan bersumpah tak akan lengah seperti itu lagi. Ia takkan peduli dengan konsekuensinya, ia akan menunjukkan kepada mereka semua bahwa dirinya bukan pengecut. Tapi di sudut benaknya ia melihat seluruh adegan dengan tajam dan jelas. Teman-teman Quintana menunggu di belakangnya, salah seorang di antaranya menyandang senapan berburu. Mereka Friends of the Friends dan akan membalaskan dendam rekan mereka. Ia tidak takut pada mereka, ia hanya takut dikalahkan oleh mereka, dan tampaknya itulah yang akan terjadi sebab sekalipun tidak terlampau kuat, mereka lebih kejam. Aspanu Pisciotta menyeringai nakal sambil berkata, "Turi, keledai kecil ini tidak bisa melakukannya sendiri. Kita harus membantunya." Guiliano tidak bersusah payah menjawab, ia lega temannya telah melupakan kejadian semalam. Ia selalu tersentuh melihat Aspanu, yang sering meributkan kesalahan orang lain, selalu memperlakukan dirinya penuh sayang dan hormat. Mereka berjalan bersama-sama ke alun-alun kota, keledai Pisciotta ikut di belakang. Anak-anak berhamburan ke sana kemari di depan mereka bagai ikan- ikan pilot. Anak-anak tahu apa yang. akan terjadi dengan si keledai dan mereka jadi liar karena bersemangat. Bagi mereka peristiwa itu merupakan tontonan besar, kejadian mengasyikkan di hari musim panas yang biasanya membosankan. Panggung kecil setinggi 120 sentimeter dibangun di lapangan kota. Panggung itu terbuat dari bongkahan-bongkahan batu yang dipotong dari pegunungan di sekitarnya. Turi Guiliano dan Aspanu Pisciotta mendorong keledainya menaiki jalur tanah ke atas panggung. Mereka menggunakan seutas tali untuk mengikat kepala keledai di tonggak besi vertikal yang pendek. Keledai itu duduk. Ada bercak kulit putih di mata dan moncongnya yang menyebabkan penampilannya seperti badut Anak-anak berkumpul di sekitar panggung, tertawa-tawa dan mengejek. Salah seorang di- antaranya berseru, "Yang mana keledainya?" dan semua anak itu pun tertawa Turi Guiliano—tidak tahu hari ini merupakan hari terakhirnya sebagai pemuda desa tak dikenal—menunduk memandang mereka dengan kepuasan posesif pria yang berada di tempat seharusnya. Ia berada di tempat kecil di bumi, tempat ia dilahirkan dan menghabiskan hidupnya. Dunia luar takkan pernah bisa menyakitinya. Bahkan penghinaan semalam telah terlupakan. Ia mengenal pegunungan kapur yang menjulang seakrab anak kecil mengenal kotak pasirnya. Pegunungan itu menumbuhkan bongkahan-bongkahan batu semudah menumbuhkan rerumputan, dan membentuk gua-gua dan tempat persembunyian yang bisa melindungi satu pasukan. Turi Guiliano mengenal setiap rumah, setiap ladang, setiap buruh, dan semua reruntuhan puri yang ditinggalkan orang Normandia dan Moor, puing-puing kuil peninggalan orang Yunani yang membusuk dengan indahnya. Dari pintu masuk alun-alun yang lain muncul petani yang menggiring Bagal Ajaib. Orang inilah yang mempekerjakan mereka pagi ini. Namanya Papera, dan ia sangat dihormati penduduk Montelepre karena berhasil melakukan vendetta terhadap tetangganya. Mereka bertengkar atas sepetak tanah tempat tumbuh sesemakan zaitun. Pertengkaran berlangsung hingga sepuluh tahun, lebih lama dari semua peperangan, yang dikobarkan Mussolini atas Italia. Lalu suatu malam tak lama setelah Pasukan Sekutu membebaskan Sisilia dan me- netapkan pemerintahan demokratis, si tetangga ditemukan hampir terpenggal jadi dua oleh sepucuk lupara, yang populer digunakan di Sisilia untuk masalah- masalah seperti ini. Kecurigaan segera jatuh pada Papera, tapi ia telah membiarkan dirinya bertengkar dengan carabinieri dan menghabiskan malam saat terjadinya pembunuhan di sel penjara Barak Bellampo. Isu mengatakan inilah tanda pertama kebangkitan Mafia lama, bahwa Papera—bersaudara dengan Guido Quintana karena pernikahan—telah melibatkan Friends of the Friends untuk membantu membereskan pertengkaran tersebut. Saat Papera membimbing bagalnya ke depan panggung, anak-anak mengerumuninya sehingga ia terpaksa mengusir mereka dengan makian ringan dan lambaian cambuk yang dipegangnya. Anak-anak menghindari cambuknya dengan mudah sewaktu Papera melecutkan-nya di atas kepala mereka sambil tersenyum riang. Mencium bau bagal betina di bawah, keledai berwajah putih menarik-narik tali yang menahannya di panggung. Turi dan Aspanu mengangkatnya sementara anak-anak bersorak-sorak. Sementara itu Papera mengatur posisi bagalnya agar pantatnya menempel ke panggung. Pada saat itu Frisella, tukang cukur, keluar dari salonnya untuk menggabungkan diri dalam kegembiraan. Di belakangnya berjalan Maresciallo yang sombong dan sok penting sambil menggosok-gosok wajahnya yang halus kemerahan. Ia satu-satunya orang di Montelepre yang bercukur setiap hari. Bahkan dari panggung, Guiliano bisa mencium bau cologne yang disiramkan tukang cukur pada dirinya. Maresciallo Roccofino melontarkan pandangan profesional ke arah kerumunan yang berkumpul di lapangan. Sebagai komandan detasemen Kepolisian Nasional setempat, yang terdiri atas dua belas orang, ia bertanggung jawab atas hukum dan ketertiban di kota. Festa selalu merupakan masa-masa merepotkan, dan ia telah memerintahkan patroli empat orang di alun-alun kota, tapi mereka belum datang. Ia juga mengawasi si dermawan Papera, yang membawa Bagal Ajaibnya. Ia yakin Papera telah memerintahkan pembunuhan atas tetangganya. Orang-orang Sisilia biadab ini sangat cepat mengambil keuntungan dari kebebasan mereka yang sakral. Mereka semua akan menyesali kepergian Mussolini, pikir Maresciallo muram. Dibandingkan Friends of the Friends, diktator itu akan dikenang sebagai wujud lain Santo Francis dari Assisi. Frisella si tukang cukur adalah pelawak Montelepre. Orang-orang yang menganggur karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan, berkumpul di salonnya untuk mendengarkan lelucon dan gosip. Ia salah satu tukang cukur yang lebih melayani diri sendiri daripada para pelanggannya Kumisnya terawat sangat rapi, rambutnya diminyaki dan disisir kaku, tapi wajahnya menyerupai badut sandiwara boneka.. Hidung bulat besar, mulut lebar menganga bagai gerbang, dan rahang bawah yang tidak berdagu. Sekarang ia berteriak, "Turi, bawa hewan-hewanmu ke tempatku agar bisa kuberi parfum. Keledaimu akan mengira curinya bercinta dengan putri bangsawan." Turi tak mengacuhkannya. Frisella pernah memotong rambutnya sewaktu ia kecil, dan potongannya begitu buruk sehingga ibunya terpaksa mengambil alih tugas tersebut. Tapi ayahnya tetap mengunjungi Frisella untuk turut mendengarkan gosip kota dan menceritakan kisahnya sendiri tentang Amerika yang memesona para pendengarnya. Turi Guiliano tidak menyukai si tukang cukur karena Frisella seorang Fasis yang kuat dan terkenal sebagai orang kepercayaan Friends of the Friends. Maresciallo menyulut rokok dan melenggok menyusuri Via Belia tanpa memerhatikan Guiliano—kelalaian yang akan msesalinya selama berminggu- minggu mendatang. Keledainya sekarang berusaha melompat dari panggung. Guiliano membiarkan talinya mengendur sehingga Pisciotta bisa membimbing hewan itu ke tepi panggung dan memposisikannya di atas Bagal Ajaib. Pantat bagal betina' itu berada tepat di atas panggung. Guiliano mengendurkan talinya sedikit lagi. Bagal betina mendengus hebat dan mendorong pantatnya ke belakang, bersamaan dengan itu si keledai mendesak ke bawah. Si keledai mencengkeram pantat si bagal betina dengan kedua kaki depannya, tersentak-sentak beberapa kali dan menggantung di tengah-tengah udara dengan ekspresi puas yang lucu pada wajah bebercak putihnya. Papera dan Pisciotta tertawa-tawa sementara Guiliano menarik tali kuat-kuat dan mengembalikan keledai yang lemas itu ke tonggak besi. Kerumunan orang bersorak-sorak dan meneriakkan restu. Anak- anak berhamburan ke jalanan, mencari kegembiraan lain. Papera, masih tertawa, berkata, "Kalau saja kita semua hidup seperti keledai, eh, benar-benar kehidupan yang luar biasa." Pisciotta menimpali sembarangan, "Signor Papera, izinkan kumuati punggungmu dengan bambu dan keranjang zaitun dan kupukuli kau sepanjang jalan ke pegunungan selama delapan jam setiap hari. Itulah kehidupan keledai." Si petani merengut. Ia menangkap ejekan halus bahwa ia membayar mereka terlalu sedikit untuk pekerjaan ini. Ia tidak pernah menyukai Pisciotta dan sebenarnya memberikan pekerjaan itu kepada Guiliano. Semua orang di Montelepre menyukai Turi. Tapi Pisciotta soal lain. Lidahnya terlalu tajam dan sikapnya terlalu santai. Pemalas. Kenyataan ia memiliki dada lemah, bukanlah alasan. Ia masih bisa merokok, mencumbu gadis-gadis Palermo yang masih bebas, dan mengenakan pakaian layaknya pesolek. Dan kumis kecilnya bergaya Prancis. Ia bisa terbatuk-batuk hingga tewas dan menemui iblis dengan dadanya yang lemah, pikir Papera. Ia memberi mereka dua ratus lira, Guiliano mengucapkan terima kasih padanya dengan sopan, lalu ia membawa bagal betinanya kembali ke tanah pertaniannya. Kedua pemuda itu melepaskan ikatan si keledai dan membimbingnya pulang ke rumah Guiliano. Pekerjaan yang membosankan itu baru saja dimulai; masih banyak pekerjaan kurang menyenangkan yang menantinya. Ibu Guiliano menyiapkan makan siang lebih awal untuk kedua pemuda itu. Kedua saudari Turi, Mariannina dan Giuseppina, membantu ibu mereka membuat pasta untuk makan malam. Telur dan tepung dicampur menjadi gundukan besar di papan kayu persegi, lalu diremas-remas hingga padat. Selanjutnya tanda salib diukir untuk menyucikan adonan . itu. Lalu Mariannina dan Giuseppina mengiris-iris adonan yang mereka guling-gulingkan pada bilah rumput sisal, dan mencabut batang rumputnya sehingga terbentuk lubang di tengah-tengah tabung adonan. Mangkuk-mangkuk besar penuh berisi zaitun dan anggur menghiasi ruangan. Ayah Turi bekerja di ladang, hari kerja yang pendek agar bisa mengikuti Festa di siang harinya. Besok Mariannina akan bertunangan dan akan ada doa khusus di rumah Guiliano. Turi selalu menjadi anak kesayangan Maria Lombardo Guiliano. Kedua saudarinya mengingatnya sebagai bayi yang dimandikan setiap hari oleh ibu mereka. Baskom timah dengan hati-hati dihangatkan di dekat tungku, ibunya menguji suhu airnya dengan siku, sebatang sabun dibeli khusus dari Palermo. Mula-mula kedua kakak perempuannya iri, lalu terpesona melihat ibunya memandikan bayi laki-laki telanjang itu dengan lembut. Turi tidak pernah menangis sewaktu bayi, selalu tertawa sementara ibunya bersenandung dan menyatakan tabuhnya sempurna. Ia anak termuda dalam keluarga tapi tumbuh menjadi yang terkuat. Dan bagi mereka ia selalu agak aneh. Ia membaca buku- buku dan berbicara tentang politik, dan tentu saja terdengar komentar bahwa tinggi dan postur tabuhnya berasal dari masa ia berada dalam kandungan di Amerika. Tapi mereka juga menyayanginya karena kelembutan dan kebaikannya. Pada pagi ini para wanita tengah mengkhawatirkan Turi dan mengawasi dirinya penuh sayang sementara ia menyantap roti dan keju susu-kambingnya, sepiri zaitun, dan kopi yang terbuat dari tanaman chicory Begitu selesai bersantap siang, ia dan Aspanu akan membawa keledainya ke- Corleone dan kembali dengan menyelundupkan sejumlah besar keju dan ham serta sosis. Untuk itu ia akan melewatkan satu hari Festa demi menyenangkan ibunya dan menyukseskan pesta pertunangan kakaknya. Sebagian barang-barang itu akan mereka jual agar mendapatkan uang tunai di pasar gelap untuk simpanan keluarga. Ketiga wanita ini begitu senang melihat kedua pemuda itu bersama-sama. Mereka bersahabat sejak kecil, lebih erat daripada saudara sekalipun keduanya begitu berlawanan. Aspanu Pisciotta, dengan kulit gelapnya, kumis tipis bintang filmnya, wajahnya yang ekspresif, mata hitam cemerlang dan rambut hitam pekat di kepalanya yang kedi, serta keberaniannya, selalu memesona para wanita. Walaupun demikian, semua ke-flamboyanan itu dikalahkan keindahan khas Yunani Turi Guiliano yang pendiam. Ia bertubuh kekar seperti patung-patung batu kuno Yunani yang bertebaran di seluruh Sisilia. Dan kulitnya cokelat muda—juga rambutnya. Ia selalu sangat tenang, meskipun kalau bergerak kecepatannya mengejutkan. Tapi cirinya yang paling n^dominasi adalah matanya. Mata cokelat keemasannya bagai selalu bermimpi. Kalau memandang ke arah lain matanya tampak biasa, tapi kalau memandang lurus kepadamu, kelopaknya turun separo bagaikan kelopak mata patung dan seluruh wajahnya berubah seperti topeng Sementara Pisciotta menyenangkan hati Maria Lombardo, Turi Guiliano naik ke kamarnya di lantai atas untuk mempersiapkan diri bagi perjalanan yang akan dilakukannya. Terutama untuk mengambil pistol yang disembunyikannya di sana. Teringat penghinaan semalam, ia membulatkan tekad untuk mempersenjatai diri dalam pekerjaannya hari ini. Ia tahu cara menembak, karena ayahnya sering mengajaknya berburu. Di dapur, ibunya menunggunya seorang diri untuk mengucapkan selamat tinggal. Ibunya memeluknya dan merasakan pistol yang diselipkan di sabuknya. "Turi, hati-hati," katanya, terkejut. "Jangan bertengkar dengan carabinieri. Kalau mereka menghentikan curimu, berikan apa yang kaubawa." Guiliano berusaha meyakinkannya. "Mereka boleh mengambil barang-barang itu," katanya. "Tapi aku takkan membiarkan mereka memukuliku atau membawaku ke penjara." Maria Lombardo mengerti. Dan dalam kebanggaan Sisilia-nya sendiri yang kuat, ia bangga akan putranya. Bertahun-tahun lalu kebanggaannya, kemarahannya terhadap kemiskinan, menyebabkan ia membujuk suaminya untuk mencoba kehidupan baru di Amerika. Ia dulu pemimpi, ia percaya pada keadilan dan tempatnya di dunia. Ia mendapatkan keberuntungan di Amerika, dan kebanggaan yang sama menyebabkan ia memutuskan kembali ke Sisilia untuk hidup bagai ratu. Lalu segalanya berubah menjadi abu. Lira menjadi tidak berharga di masa perang, dan ia kembali miskin. Ia sudah pasrah akan nasibnya tapi masih berharap untuk anak-anaknya. Dan ia bahagia melihat Turi menunjukkan semangat yang sama seperti diri nya. Tapi ia takut akan hari ketika Turi harus menghadapi kenyataan hidup yang sekeras batu di Sisilia. Ia mengawasi putranya melangkah ke jalan berbatu bulat Via Belia untuk menyapa Aspanu Pisciotta. Turi berjalan seperti kucing raksasa, dadanya begitu bidang, lengan dan kakinya begitu berotot sehingga Aspanu tampak tidak lebih dari sebatang rumput sisal. Aspanu mempunyai kecerdikan yang tidak dimiliki putranya, kekejaman dalam semangatnya. Aspanu akan menjaga Turi dari dunia penuh pengkhianatan tempat mereka semua harus tinggal. Dan Maria Lombardo memiliki kelemahan terhadap ketampanan Aspanu yang berkulit zaitun, sekalipun ia percaya putranya lebih tampan. Ia mengawasi mereka menyusuri Via Belia yang menuju ke luar kota, ke dataran Castellammare. Putranya, Turi Guiliano,- dan putra adik perempuannya, Gaspare Pisciotta. Dua anak muda yang belum lagi berusia dua puluh, dan tampak lebih muda daripada usia mereka yang sebenarnya. Ia mencintai keduanya dan takut akan nasib mereka berdua. Akhirnya kedua pria ku dan keledainya menghilang di balik tanjakan jalan, tapi Maria Lombardo tetap mengawasi dan akhirnya mereka terlihat lagi, jauh di atas Montelepre, memasuki kawasan pegunungan yang mengelilingi kota Maria Lombardo 'Guiliano terus mengawasi, seakan-akan ia tidak akan pernah melihat mereka lagi, sampai mereka menghilang dalam kabut pagi di sekitar puncak pegunungan. Mereka menghilang ke dalam awal mitos mereka sendiri. Bab 4 DI Sisilia pada bulan September 1943 ini, orang-orang hanya bisa bertahan hidup dengan berdagang di pasar gelap. Pembagian bahan makanan yang ketat masih tersisa dari zaman perang, dan para petani harus menyerahkan hasil mereka ke gudang-gudang pemerintah pusat dengan harga tetap dan demi uang kertas yang hampir-hampir tidak bernilai. Sebaliknya pemerintah seharusnya menjual dan membagi-bagikan bahan makanan dengan harga murah kepada masyarakat. Berdasarkan sistem ini semua orang akan mendapat cukup makanan agar tetap hidup. Kenyataannya, para petani sebisa mungkin menyembunyikan hasil mereka karena apa yang mereka serahkan ke gudang-gudang pemerintah diatur oleh Don Croce Malo dan para wali kotanya untuk dijual di pasar gelap. Masyarakat lalu harus membeli di pasar gelap dan melanggar hukum penyelundupan sekadar untuk bertahan hidup. Kalau mereka tertangkap basah, mereka akan dijatuhi hukuman penjara. Apa gunanya pemerintah demokrasi yang dibentuk di Roma? Mereka bisa memberi suara sementara mereka kelaparan. Turi Guiliano dan Aspanu Pisciotta, dengan perasaan amat ringan,tengah dalam proses melanggar hukum ini. Pisciotta memiliki semua kontak dengan pasar gelap dan telah mengatur urusan ini. Ia mengadakan perjanjian dengan seorang petani untuk menyelundupkan sejumlah besar keju bulat dari pedalaman ke seorang penadah pasar gelap di Montelepre. Bayaran mereka adalah empat potong daging asap dan sekeranjang sosis yang akan menjadikan pesta pertunangan kakak perempuan Guiliano meriah. Mereka melanggar dua peraturan, satu yang melarang perdagangan dalam pasar gelap, lainnya penyelundupan dari satu provinsi ke provinsi lainnya di Italia. Tak banyak yang bisa dilakukan pihak berwenang untuk menegakkan hukum pasar gelap mereka harus memenjarakan semua orang di Sisilia untuk itu. Tapi penyelundupan soal lain. Patroli-patroli Kepolisian Nasional, carabinieri, menjelajahi pedalaman, memblokir jalan-jalan, membayar informan. Tentu saja, mereka tidak bisa mencampuri iring-iringan Don Croce Malo yang menggunakan truk-truk Angkatan Darat Amerika dan kartu pas khusus milik militer dan pemerintah. Tapi mereka bisa menjaring banyak petani kecil dan penduduk desa yang kelaparan. Mereka membutuhkan waktu empat jam untuk tiba di tanah pertanian itu, Guiliano dan Pisciotta mengambil keju putih besar berbutir-butir dan barang- barang lainnya, lalu mengikatnya di keledai mereka. Mereka menutupi semua itu dengan rerumputan sisal dan bambu sehingga mereka seolah hanya mengangkut rerumputan untuk ternak yang banyak dipelihara penduduk desa. Mereka memancarkan kecerobohan dan keyakinan anak muda, bahkan anak kecil, yang menyembunyikan harta dari orangtuanya, seakan-akan niat menipu sudah mencukupi. Keyakinan mereka juga berasal dari pengetahuan bahwa mereka bisa menemukan jalan setapak tersembunyi di pegunungan. Sewaktu memulai perjalanan panjang kembali ke rumah, Guiliano meminta Pisciotta berjalan terlebih dulu untuk memeriksa kehadiran carabinieri. Mereka mengatur serangkaian siulan sebagai tanda bahaya. Keledainya membawa keju- keju itu dengan mudah dan bersikap manis—ia sudah mendapatkan upahnya sebelum berangkat. Mereka berjalan selama dua jam, pelan-pelan mendaki. Lalu Guiliano melihat di belakang mereka, mungkin sekitar lima kilometer jauhnya, mengikuti jalan setapak mereka, iring-iringan enam ekor bagal dan pria berkuda. Kalau jalan setapak itu diketahui orang-orang pasar gelap lainnya, jalan itu bisa jadi telah ditandai polisi untuk diblokir. Sebagai langkah penjagaan, ia menyuruh Pisciotta berjalan jauh di depan. Sam jam kemudian ia menyusul Aspanu, yang duduk di atas batu besar sambil merokok dan terbatuk-batuk. Aspanu tampak pucat ia seharusnya tidak merokok. Turi Guiliano duduk di sampingnya, beristirahat. Salah satu ikatan terkuat mereka sejak kecil adalah mereka tidak pernah saling memerintah dengan cara apa pun, jadi Turi tidak mengatakan apa-apa. Akhirnya Aspanu memadamkan rokoknya dan memasukkan puntungnya yang menghitam ke sakunya. Mereka berjalan lagi, Guiliano memegangi kekang keledainya, Aspanu melangkah di belakang. Mereka menyusuri jalan setapak pegunungan yang memotong jalan-jalan dan desa-desa kecil, tapi terkadang mereka melihat sumur kuno Yunani yang me- nyemburkan air dari sela-sela mulut patung yang runtuh, atau sisa-sisa puri Normandia yang berabad-abad lalu menghalangi jalan ini dari para penyerbu. Sekali lagi Turi Guiliano melamunkan masa lalu Sisilia dan masa depannya Ia teringat akan bapak baptisnya, Hector Adonis, yang berjanji akan datang sesudah Festa dan mempersiapkan lamarannya ke Universitas Palermo. Dan saat memikirkan bapak baptisnya, sejenak ia merasa sedih. Hector Adonis tidak pernah menghadiri Festa para pria yang mabuk akan mengejek tubuhnya yang pendek, anak-anak—beberapa lebih jangkung daripada Adonis—akan menghinanya. Turi bertanya-tanya tentang Tuhan yang telah menahan pertumbuhan badan pria itu tapi menjejali otaknya dengan pengetahuan. Turi menganggap Hector Adonis orang paling jenius di dunia dan ia mencintainya karena kebaikannya pada dirinya dan orangtuanya. Ia teringat ayahnya yang bekerja begitu keras di sepetak kecil tanah mereka, dan kakak-kakak perempuannya yang pakaiannya sudah tipis. Untung Mariannina begitu cantik sehingga bisa mendapatkan suami meskipun dirinya miskin dan mengalami masa-masa sulit. Tapi yang paling membuatnya sedih adalah ibunya, Maria Lombardo. Bahkan sewaktu kanak-kanak ia sudah mengenali kepahitan yang dirasakan ibunya, ketidak-bahagiaannya, Ibunya telah mencicipi Amerika yang makmur dan tak lagi bisa bahagia di kota-kota Sisilia yang dicekam kemiskinan. Ayahnya sering menceritakan hari-hari bahagia itu dan ibunya akan berurai air mata. Tapi ia akan mengubah nasib keluarganya, pikir Turi Guiliano. Ia akan bekerja keras dan belajar sekuat tenaga dan ia akan menjadi orang hebat seperti bapak baptisnya. Tiba-tiba mereka melewati sekumpulan pohon, semacam hutan kecil, salah satu dari sedikit yang tersisa di bagian Sisilia ini, yang sekarang tampaknya hanya- menumbuhkan batu-batu besar putih dan tempat-tempat penggalian marmer. Di seberang pegunungan mereka akan memulai turunan ke Montelepre dan harus berhati-hati terhadap patroli Kepolisian Nasional, carabinieri. Tapi sekarang mereka tiba di Quattro Moline, Simpang Empat, dan di sini juga harus berhati- hati. Guiliano menarik kekang keledainya dan memberi isyarat agar Aspanu berhenti. Mereka berdiri diam sambil membisu. Tak terdengar suara asing, hanya dengungan mantap puluhan serangga yang beterbangan di atas permukaan tanah, sayap-sayap dan kaki-kakinya mendengung seperti gergaji di kejauhan. Mereka maju melewati persimpangan dan menghilang dari pandangan ke dalam hutan kecil lain. Turi Guiliano mulai melamun lagi. Jarak pepohonan tiba-tiba melebar, seakan-akan didorong mundur, dan mereka melintasi padang terbuka kecil yang tanah, kasarnya terdiri atas batu-batu kecil, tunggul-tunggul bambu, dan rerumputan tipis mem-botak. Matahari sore tenggelam menjauh, tampak pucat dan dingin di atas pegunungan yang ditaburi granit. Selepas padang terbuka ini jalan setapak mulai menurun berliku-liku menuju Montelepre. Tiba-tiba Guiliano tersadar dari lamunan. Kilasan cahaya bagai nyala korek api menusuk mata kirinya. Ia menyentak keledainya agar berhenti dan mengacungkan tangan ke arah Aspanu. Hanya sepuluh meter jauhnya orang-orang asing melangkah keluar dari balik semak-semak. Ada tiga orang, dan Turi Guiliano melihat topi-topi militer mereka yang hitam kaku dan seragam hitam mereka yang bergaris-garis putih. Ia merasa amat putus asa sekaligus malu karena tertangkap. Ketiga pria itu mendekat seraya berpencar, senjata siap ditembakkan. Dua di antaranya masih muda dengan wajah kasar mengilap dan topi militer lusuh yang miring ke belakang kepala, hampir bisa dibilang lucu. Mereka tampak sungguh-sungguh sekaligus serakah sewaktu mengacungkan senapan mesinnya. Carabiniere yang di tengah merupakan orang tertua dan menyandang sepucuk senapan. Wajahnya bopeng dan berbekas luka, topinya ditarik mantap menutupi matanya. Ia menyandang pangkat sersan di lengan bajunya. Kilasan cahaya yang tadi dilihat Guiliano adalah pantulan cahaya matahari pada laras baja senapannya Orang ini tersenyum muram, senapannya diarahkan dengan mantap ke dada Guiliano. Keputusasaan Guiliano berubah menjadi kemarahan melihat senyumnya Sersan bersenapan itu melangkah mendekat, kedua rekannya menghampiri dari kedua sisi. Sekarang Turi Guiliano waspada. Kedua carabiniere muda dengan pistol otomatis tidak perlu ditakuti; mereka mendekati keledainya dengan serampangan, tidak menganggap serius tahanannya. Mereka memberi isyarat kepada Guiliano dan Pisciotta agar menjauhi keledainya dan salah seorang di antara mereka membiarkan pistolnya terayun-ayun pada talinya sementara ia menanggalkan kamuflase bambu dari punggung keledai. Sewaktu melihat barang-barang itu, ia bersiul serakah penuh kegembiraan. Ia tidak menyadari Aspanu bergeser mendekatinya, tapi si sersan bersenapan melihatnya. Ia berteriak, "Kau, yang berkumis, menjauhlah," dan Aspanu melangkah mundur mendekati Turi Guiliano. Sersan itu maju sedikit. Guiliano mengawasinya dengan tajam. Wajah bopengnya tampak kelelahan tapi matanya berkilat-kilat sewaktu mengatakan, "Well, anak-anak muda, itu keju yang bagus. Kami bisa me-nikmatinya di barak kami untuk dimakan dengan makaroni. Jadi katakan saja nama petani dari siapa kalian mendapatkannya dan kami akan mengizinkan kalian membawa keledai kalian pulang." Mereka tidak menjawab. Sersan menunggu. Mereka tetap berdiam diri. Akhirnya Guiliano berkata pelan, "Aku punya uang seribu lira sebagai hadiah, kalau kau membiarkan kami pergi." "Kau bisa membersihkan pantatmu dengan lira," sahut Sersan. "Sekarang, surat- surat identitas kalian. Kalau surat-surat kalian tidak beres, akan kupaksa kalian buang air dan membersihkannya dengan surat-surat itu." Kekurangajaran kata-kata itu, kekurangajaran seragam hitam bergaris putih itu, memicu kemurkaan yang dingin dalam diri Guiliano. Pada saat itu ia tahu ia tak akan pernah membiarkan dirinya ditangkap, tak akan pernah membiarkan orang- orang ini merampok makanan keluarganya. Turi Guiliano mengeluarkan kartu identitasnya dan hendak mendekati Sersan. Ia berharap bisa berada dalam jangkauan senapan yang diarahkan kepadanya. Ia tahu koordinasi fisiknya lebih cepat daripada sebagian besar orang dan ia bersedia mengambil risiko Tapi senapan itu bergerak, memberi isyarat agar ia mundur. Sersan memerintah, "Lemparkan ke tanah." Guiliano mematuhinya. Pisciotta, lima langkah jauhnya di sebelah kiri Guiliano, mengetahui apa yang ada dalam benak temannya, mengetahui temannya menyimpan pistol di balik kemejanya, mencoba mengalihkan perhatian Sersan. Ia berkata dengan kekurangajaran yang disengaja, tubuhnya condong ke depan, tangan di pinggang menyentuh tangkai pisau yang dibawanya dalam sarung yang terikat di punggungnya, "Sersan, kalau kami memberitahukan nama petaninya kepadamu, kenapa kau membutuhkan kartu identitas kami? Tawar-menawar tetap saja tawar-menawar." Ia diam sejenak, lalu berkata sinis, "Kami tahu carabiniere selalu menepati janji." Ia meludahkan kata "carabiniere" yang dibencinya. Pria bersenapan itu maju beberapa langkah dengan santai, mendekati Pisciotta. Ia berhenti. Ia tersenyum dan membidikkan senapannya. Katanya, "Dan kau, pesolek kecilku, kartumu. Atau kau tidak memiliki kartu identitas, seperti keledaimu, yang kumisnya lebih baik daripada kumismu?" Kedua poolisi yang lebih muda tertawa. Mata Pisciotta berkilau. Ia maju selangkah mendekati Sersan. "Tidak, aku tidak memiliki kartu identitas. Dan aku tidak kenal petani mana pun. Kami menemukan barang-barang ini tergeletak di jalan." Kecerobohan tantangannya mengalahkan tujuannya. Pisciotta ingin menipu pria bersenapan itu agar mendekati cirinya, sehingga terjangkau tangannya, tapi sekarang Sersan malah mundur beberapa langkah dan tersenyum lagi. Ia berkata, "Bastinado akan menyingkir- kan sebagian kekurangajaran Sisilia-mu." Ia diam sejenak sebelum memerintah, "Kalian berdua, berbaring di tanah." Bastinado merupakan istilah yang umum digunakan untuk pemukulan fisik dengan cambuk dan gada. Guiliano mengenal beberapa penduduk Montelepre yang pernah dihukum di Barak Bellampo. Mereka pulang ke rumah dengan kedua lutut patah, kepala membengkak sebesar melon, bagian dalam tubuhnya terluka sehingga mereka tak akan pernah bisa bekerja lagi. Carabinieri tak akan pernah berbuat begitu kepadanya. Guiliano berjongkok pada satu lutut seakan hendak membaringkan diri, meletakkan satu tangan di tanah dan tangan yang lain di sabuknya agar bisa mencabut pistol di balik kemejanya. Padang terbuka itu bermandikan cahaya lembut awal senja, matahari yang berada jauh di balik pepohonan telah membenamkan diri ke balik deretan pegunungan terakhir. Ia melihat Pisciotta berdiri bangga, menolak perintah. Jelas mereka tidak akan menembaknya hanya karena sepotong keju selundupan. Ia bisa melihat senapan mesin bergetar di tangan kedua polisi yang masih muda. Pada saat itu terdengar dengusan bagal dan detak kuku kuda dari belakang, dan iring-iringan bagal yang dilihat Guiliano siang tadi tiba-tiba muncul di tempat itu. Pria. berkuda yang memimpinnya menyandang sepucuk lupara di bahunya dan tampak sangat besar dengan jaket kulit tebalnya. Ia melompat turun dari kuda, mengeluarkan setumpuk tebal lira dari salah satu sakunya, dan berkata kepada carabiniere bersenapan, "Jadi kau berhasil meraup beberapa ekor ikan sarden kali ini." Mereka jelas saling mengenal. Untuk pertama kalinya Sersan mengendurkan kewaspadaannya untuk menerima uang yang ditawarkan kepadanya. Kedua pria tersebut saling menyeringai. Para tahanan tampaknya dilupakan semua orang. Turi Guiliano perlahan-lahan menghampiri polisi terdekat. Pisciotta bergeser ke arah rumpun bambu terdekat. Para penjaga tidak menyadarinya. Guiliano menghantam polisi terdekat dengan lengannya, menjatuhkannya ke tanah. Ia berteriak kepada Pisciotta, "Lari." Pisciotta menerjang rumpun bambu dan Guiliano berlari ke pepohonan. Penjaga yang tersisa entah terlalu tertegun atau terlalu lamban untuk mengarahkan pistol pada waktunya. Guiliano, siap masuk ke dalam perlindungan hutan, sekilas merasakan kegembiraan luar biasa. Ia meluncurkan tubuhnya ke udara untuk menerjang ke sela-sela dua pohon besar yang akan melindungi curinya. Saat itu juga ia mencabut pistol dari balik kemejanya. Tapi perhitungannya benar bahwa polisi bersenapan-lah yang paling berbahaya. Sersan menjatuhkan tumpukan uangnya ke tanah, mengayunkan senapannya ke atas, dan menembak dengan sangat tenang. Tidak ada kekeliruan dalam bidikannya: tubuh Guiliano jatuh bagai bangkai seekor burung. Guiliano mendengar tembakan bersamaan ia merasakan tubuhnya kesakitan setengah mati, seakan-akan kupukul gada raksasa. Ia mendarat di tanah di antara kedua batang pohon dan mencoba bangkit, tapi sia-sia. Kaki-kakinya bagai mati rasa; ia tidak bisa menggerakkannya. Dengan pistol di tangan ia membalikkan tubuh dan melihat Sersan mengacungkan senapannya di udara dengan sikap menang. Lalu Guiliano merasa- kan celana panjangnya dibanjiri darah, cairan yang hangat dan lengket. Dalam sepersekian detik sebelum ia menarik picu pistolnya, Turi Guiliano hanya tertegun. Mereka menembak dirinya hanya karena sepotong keju. Mereka mencabik kain keluarganya dengan kecerobohan yang begitu kejam hanya karena pelanggaran hukum kecil yang dilakukan semua orang. Ibunya akan menangis hingga akhir hayatnya. Dan sekarang tubuhnya berlumuran darah, ia yang tidak pernah menyakiti siapa pun. Ia menarik picu pistolnya dan melihat senapan itu jatuh, melihat topi hitam bergaris putih Sersan melayang ke udara sementara tubuh dengan luka di kepala yang mematikan itu terdesak dan melayang ke tanah yang dipenuhi bebatuan. Mustahil menembak dengan pistol pada jarak sejauh itu, tapi Guiliano merasa tangannya sendiri seolah melesat bersama pelurunya dan menghunjamkannya bagai sebilah pisau menembus mata Sersan. Pistol otomatis mulai menyalak tapi peluru-pelurunya berhamburan ke atas tak membahayakan, berdetak-detak ribut bagai burung-burung kecil. Lalu suasana sangat sunyi. Bahkan serangga-serangga tidak lagi berdengung tanpa henti. Turi Guiliano berguHng-guling masuk ke semak-semak. Ia melihat wajah musuhnya berantakan membentuk topeng darah dan itu menimbulkan harapan. Ia bukannya tidak berdaya. Ia mencoba bangkit lagi dan kali ini kakinya mematuhi perintahnya. Ia mulai berlari tapi hanya satu kaki yang melesat maju, yang lainnya terseret di permukaan tanah, yang membuatnya terkejut Selangkangannya terasa hangat dan lengket, celana panjangnya basah kuyup, pandangannya berkabut Sewaktu berlari melintasi seberkas cahaya, ia takut dirinya telah kembali ke padang terbuka tadi dan mencoba berbalik. Tubuhnya mulai jatuh—tidak ke tanah, tapi ke dalam kehampaan hitam bertepi merah yang tidak berdasar, lalu ia tahu dirinya jatuh untuk selama-lamanya. Di padang terbuka si serdadu muda menyingkirkan tangannya dari picu dan rentetan tembakannya pun berhenti. Si penyelundup bangkit berdiri dari tanah dengan memegang setumpuk besar uang dan menawarkannya ke serdadu yang lain. Serdadu itu mengarahkan pistol otomatisnya ke arah si penyelundup dan berkata, "Kau ditangkap." Penyelundup itu berkata, "Kau hanya perlu membaginya dua sekarang. Biarkan aku melanjutkan perjalanan." Kedua polisi muda ku menunduk memandang Sersan yang tergeletak. Tak diragukan lagi ia telah tewas. Peluru menghancurkan mata dan lubangnya hingga berkeping-keping, dan lukanya, menyemburkan cairan kekuningan berbuih dan seekor kadal mencelupkan lidah ke dalamnya. Si penyelundup berkata, "Biar kukejar dia, dia ter-luka. Akan kubawa kembali mayatnya dan kalian berdua akan jadi pahlawan. Biarkan aku melanjutkan perjalanan." Penjaga yang lain mengambil kartu identitas yang tadi dilemparkan Turi ke tanah atas perintah Sersan, ia membacanya keras-keras, "Salvatore Guiliano, kota Montelepre "Tidak perlu kita cari sekarang," kata rekannya. "Kita melapor ke markas besar, itu yang lebih penting." "Pengecut," desis si penyelundup. Sejenak terlintas dalam benaknya untuk menurunkan lupara, tapi ia melihat mereka berdua memandangnya benci. Ia telah menghina mereka. Untuk penghinaan itu mereka memaksanya menaikkan mayat Sersan ke kudanya dan berjalan kaki ke barak. Sebelumnya mereka melucuti senjatanya. Mereka sangat bersemangat dan ia berharap mereka tidak menembaknya tanpa sengaja hanya.karena gugup. Selain itu ia tidak merasa terlalu khawatir. Ia mengenal Maresciallo Roccofino dari Montelepre dengan sangat baik. Mereka pernah berbisnis dan mereka akan berbisnis lagi. Sepanjang waktu tak satu pun dari mereka teringat akan Pisciotta. Tapi Pisciotta mendengar semua yang dikatakan mereka. Ia berbaring di ceruk berumput yang dalam, pisau tercabut dari sarungnya. Ia menunggu mereka memburu Turi Guiliano, dan ia merencanakan menyergap salah satunya dan merampas pistolnya sesudah menggorok lehernya. Ada kebuasan dalam jiwanya yang mengusir semua ketakutan akan kematian, dan sewaktu ia mendengar si penyelundup menawarkan untuk membawa kembali mayat Turi, ia mematrikan wajah pria itu untuk selama-lamanya dalam benaknya. Ia hampir menyesal melihat mereka meninggalkannya seorang diri di pegunungan untuk kembali ke barak. Ia merasakan sengatan sewaktu mereka mengikat keledainya di belakang iring-iringan bagal. Tapi ia tahu Turi terluka parah dan membutuhkan bantuan. Ia berputar mengitari padang, berlari menembus hutan untuk menuju tempat rekannya tadi meng- hilang. Tak terlihat tanda-tanda kehadiran orang di semak-semak dan ia berlari menyusuri jalan setapak, dari mana mereka tadi datang. Masih tidak terlihat tanda-tanda sehingga ia memanjat ke atas sebongkah granit besar yang puncaknya menurun ke ceruk kecil. Di dalam ceruk batu itu terdapat kolam kecil yang hampir-hampir hitam oleh darah dan sisi lain batu ternoda goresan darah merah cerah. Ia terus berlari dan terkejut sewaktu melihat tubuh- Guiliano menelentang menghalangi jalannya, pistolnya yang mematikan masih berada dalam genggamannya. Ia bedutut dan mengambil pistol itu dan menjejal-kannya ke sabuknya. Pada saat itu mata Turi Guiliano terbuka. Matanya memancarkan kebencian yang mengagumkan, tapi menatap melewati Aspanu Pisciotta. Pisciotta hampir- hampir menangis karena lega dan mencoba menegakkan tubuh Guiliano, tapi ia tidak cukup kuat 'Turi, cobalah bangkit, akan kubantu," kata Pisciotta. Guiliano menumpukan tangannya ke tanah dan mengangkat tubuhnya. Pisciotta menyelipkan sebelah lengannya ke pinggang Guiliano dan tangannya terasa hangat dan basah. Ia menyentakkan tangannya menjauh dan menarik sisi kemeja Guiliano, dan dengan ngeri melihat lubang menganga. Ia menyandarkan Guiliano ke sebatang pohon, mencabik kemejanya sendiri dan menjejalkannya ke lubang itu untuk menahan aliran darahnya, mengikatkan lengan kemejanya menjadi satu di sekeliling pinggang Guiliano. Ia menyelipkan satu lengan ke dada temannya dan dengan tangannya yang bebas meraih tangan kiri Guiliano dan mengangkatnya ke udara tinggi-tinggi. Dengan begitu menyeimbangkan mereka berdua sementara ia membimbing Guiliano menyusuri jalan setapak dengan langkah hati-hati dan tertatih-tatih. Dari kejauhan mereka berdua seolah tengah menari menuruni pegunungan. Jadi Turi Guiliano melewatkan Festa Santa Rosalie, yang diharapkan penduduk Montelepre akan membawa keajaiban bagi kota mereka. Ia melewatkan kontes menembak yang jelas akan dimenangkannya. Ia melewatkan lomba balap kuda di mana para joki memukuli kepala joki lawan dengan gada dan cambuk. Ia melewatkan roket-roket ungu, kuning, dan hijau yang meledak dan merajah langit yang dipenuhi bintang. Ia tidak pernah mencicipi manisan ajaib yang terbuat. dari pasta almond yang dibentuk menjadi wortel, rumpun bambu, dan tomat merah, semuanya begitu manis sehingga seluruh tubuhmu bagai mati rasa; atau sosok-sosok gulali berbentuk boneka-boneka kesatria zaman roman mistis, sosok-sosok Roland, Oliver, dan Charlemagne, pedang gula mereka dipenuhi peppermint merah dan hijau dari potongan buah yang dibawa pulang anak-anak untuk dinikmati sebelum tidur. Di rumah, pesta pertunangan kakak perempuannya berlangsung tanpa dirinya. Perkawinan keledai dan Bagal Ajaib gagal. Tidak ada anak yang dilahirkan. Penduduk Montelepre kecewa. Mereka tidak tahu hingga bertahun-tahun kemudian bahwa Festa tersebut menghasilkan keajaibannya dalam diri seorang pemuda yang memegangi si keledai. Bab 5 KEPALA BIARA tengah melakukan jalan-jalan sorenya mengelilingi biara Fransiskan, mendorong semangat para biarawannya yang pemalas dan tidak berguna untuk mendapatkan roti harian mereka. Ia memeriksa kotak-kotak di bengkel relikui suci dan mengunjungi pembakaran roti yang menghasilkan bongkahan-bongkahan roti untuk kota-kota sekitarnya. Ia memeriksa kebun dan keranjang-keranjang bambu penuh berisi zaitun, tomat, dan anggur, mencari-cari memar pada kulit buah-buah itu yang bagai satin. Para biarawannya sesibuk kurcaci—namun tidak terlalu ceria. Malah mereka merupakan awak yang muram, tanpa sukacita yang diperlukan untuk melayani Tuhan. Kepala Biara mengambil cerutu hitam panjang dari balik jubahnya dan berjalan-jalan mengelilingi lahan biara untuk mempertajam selera makan malamnya. Pada saat itulah ia melihat Aspanu Pisciotta menyeret Turi Guiliano melewati gerbang biara. Penjaga-gerbang mencoba mengusir mereka, tapi Pisciotta menempelkan sepucuk pistol ke kepalanya yang tercukur dan ia jatuh berlutut untuk mengucapkan doa terakhirnya. Pisciotta meletakkan tubuh Guiliano yang berlumuran darah, hampir tewas, di kaki Kepala Biara. Kepala Biara seorang pria jangkung kurus berwajah anggun mirip monyet, bertulang kecil, dengan sepotong hidung dan dua kancing cokelat kecil penuh- tanya sebagai matanya. Walaupun telah berusia tujuh puluh tahun, ia tetap bersemangat, benaknya masih setajam dan selicik masa-masa sebelum. Mussolini, sewaktu ia menulis surat-surat tebusan yang elegan untuk para Mafia- penculik yang mempekerjakan dirinya. Sekarang meskipun telah diketahui semua orang— para petani dan pihak berwenang—bahwa biaranya merupakan markas besar para pelaku pasar gelap dan penyelundup, kegiatan ilegalnya tidak pernah dicampuri. Ini karena penghormatan terhadap panggilan sucinya, dan perasaan bahwa ia layak mendapatkan upah materi atas bimbingan spiritualnya terhadap masyarakat. Jadi Kepala Biara Manfredi tidak merasa jengkel mendapati dua petani bajingan yang berlumuran darah menerobos masuk ke wilayah suci Santo Fransis. Malah ia mengenal Pisciotta dengan baik. Ia pernah menggunakan tenaga anak muda ini dalam beberapa operasi penyelundupan dan pasar gelap. Mereka memiliki kelicikan yang sama, dan ini menyenangkan mereka berdua—yang satu terkejut karena mendapatinya dalam diri pria setua dan sesuci ini, yang lain karena menemukannya dalam diri pria yang begitu muda dan tidak mementingkan hal- hal duniawi. Kepala Biara meyakinkan biara penjaga gerbang, lalu berkata kepada Pisciotta, "Well spanu yang baik, kenakalan apa lagi yang kaulakukan sekarang?" Piscita tengah mengeratkan lilitan kemeja di. sekeliling luka Guiliano. Kepala Biara terkejut melihat wajahnya ter cekam duka yang dalam; ia tidak mengira bocah ini mampu menunjukkan emosi seperti itu. Pisciotta, setelah melihat luka menganga itu sekali lagi, merasa yakin temannya akan tewas. Dan bagaimana menyampaikan kabar ini kepada ibu dan ayah Turi? Ia takut akan duka Maria Lombardo. Tapi untuk saat ini, ada adegan lebih penting- yang harus dimainkan. Ia harus meyakinkan Kepala Biara agar memberi Guiliano perlindungan. Ia memandang lurus ke. mata Kepala Biara. Ia ingin menyampaikan pesan yang bukan merupakan ancaman langsung tapi akan menyebabkan pastor itu memahami kalau menolak ia akan menjadi musuh bebuyutan. "Ini sepupu dan teman tersayangku, Salvatore Guiliano," Pisciotta menjelaskan. "Seperti bisa kaulihat, dia bernasib sial, dan tak lama lagi Kepolisian Nasional akan membanjiri pegunungan mencari dirinya. Dan diriku. Kumohon kau mau menyembunyikan kami, dan memanggilkan dokter. Lakukan ini untukku dan kau mendapat teman untuk selama-lamanya." Ia menekankan kata "teman". Tak satu kata pun lolos dari pemahaman Kepala Biara. Ia memahaminya dengan sempurna. Ia pernah mendengar tentang Guiliano muda ini, pemuda pemberani yang cukup dihormati di Montelepre, penembak dan pemburu yang hebat, lebih dewasa daripada usianya. Bahkan Friends of the Friends mengincar dirinya sebagai calon yang layak direkrut. Don Croce yang agung sendiri, dalam kunjungan sosial dan bisnisnya ke biara, pernah menyebut dirinya sebagai orang yang mungkin menguntungkan untuk dikembangkan. Tapi saat mengamati Guiliano yang tak sadarkan diri, ia hampir-hampir yakin pemuda ini lebih membutuhkan makam daripada perlindungan, seorang pastor untuk memberi sakramen terakhir daripada seorang dokter. Memenuhi permintaan Pisciotta bukanlah risiko besar, memberikan perlindungan kepada mayat bukanlah kejahatan bahkan di Sisilia. Tapi ia tidak ingin pemuda ini tahu bahwa pertolongan yang akan diberikannya bernilai begitu kecil. Ia bertanya, "Kenapa mereka mencarimu?" Pisciotta ragu-ragu. Kalau Kepala Biara mengetahui ada polisi yang tewas ia mungkin menolak memberi mereka perlindungan. Tapi kalau ia tidak bersiap menghadapi pencarian yang pasti akan terjadi, ia mungkin terkejut sehingga malah mengkhianati mereka. Pisciotta memutuskan untuk menceritakan yang sebenarnya. Ia melakukannya dengan sangat cepat. Kepala Biara menunduk penuh kesedihan untuk satu lagi jiwa yang hilang dan untuk meneliti sosok Guiliano yang tak sadarkan diri. Darah mengalir keluar, menembus kemeja yang diikatkan ke sekeliling tubuhnya. Mungkin bocah yang malang ini akan tewas sementara mereka bercakap-cakap, dan memecahkan seluruh masalah. Sebagai biarawan Fransiskan, Kepala Biara penuh dengan kedermawanan Kristiani, tapi di masa-masa yang menakutkan ini ia harus mempertimbangkan konsekuensi praktis dan material dari kebaikannya. Kalau ia memberi perlindungan dan bocah ini tewas, ia bisa mendapatkan keuntungan. Pihak berwenang akan merasa puas dengan mayatnya, keluarganya akan berutang budi padanya untuk selama-lamanya. Kalau Guiliano pulih, rasa terima kasihnya mungkin bahkan lebih ber- nilai. Pria yang cakap, yang sekalipun terluka parah masih bisa menembakkan pistolnya dan membunuh petugas polisi adalah orang yang bisa diandalkan bila berada di pihak kita. Ia tentu saja bisa mengirim kedua Berandalan ini ke Kepolisian Nasional, yang lalu. akan menangani mereka dalam waktu singkat. Tapi apa keuntungannya? Pihak berwenang tidak bisa melakukan apa pun baginya lebih daripada yang selama ini mereka lakukan. Kawasan tempat mereka berkuasa telah aman berada di tangannya Ia membutuhkan teman di sisi lain. Mengkhianati para pemuda ini hanya akan menciptakan musuh di kalangan petani dan kebencian tanpa akhir dari dua keluarga. Kepala Biara tidaklah sebodoh itu sehingga menganggap jubahnya bisa melindungi dirinya dari vendetta yang pasti akan terjadi, ia juga membaca pikiran Pisciotta; inilah pemuda yang bersedia bersusah payah sebelum menapaki jalan ke neraka. Tidak, kebencian petani Sisilia tak pernah bisa dianggap remeh. Sebagai penganut Kristen sejati, mereka tak akan pernah mempermalukan patung Bunda Maria, tapi dalam panasnya darah vendetta, mereka bersedia menembak Paus dengan senapan tabur karena melanggar omerta— kode kuno untuk menutup mulut terhadap pihak berwenang. Di tanah tempat terdapat patung Yesus yang tak terhingga jumlahnya ini, tidak ada yang memercayai doktrin tentang memberikan pipi yang lain apabila pipi yang sebelah ditampar. Di tanah yang terbelakang ini "pengampunan" merupakan tempat pelarian bagi pengecut. Petani Sisilia' tidak memahami arti mengampuni. Sam hal ia merasa yakin. Pisciotta tidak akan pernah mengkhianati dirinya. Di salah satu transaksi penyelundupan kecil-kecilan, Kepala Biara mengatur agar Pisciotta tertangkap dan diinterogasi. Interogatornya, anggota Kepolisian Palermo, bukan carabiniere yang bodoh, mula-mula bersikap halus kemudian keras. Tapi baik kelicikan maupun kekejaman tidak mampu menggoyahkan Pisciotta. Ia tetap membisu. Interogatornya membebaskan curinya dan meyakinkan Kepala Biara bahwa inilah bocah yang bisa dipercaya untuk melaksanakan tugas-tugas yang lebih penting. Sejak itu Kepala Biara selalu menganggap istimewa Aspanu Pisciotta dan sering kali mendoakan jiwanya. Kepala Biara menempelkan dua jari ke mulurnya yang keriput dan bersiul. Biarawan-biarawan muncul berlari-lari dan Kepala Biara memerintahkan mereka membawa Guiliano ke bangsal terjauh biara, tempat tinggal khusus Kepala Biara sendiri, tempat ia menyembunyikan para desertir maupun putra-putra petani kaya dari incaran Angkatan Darat Italia selama perang. Lalu ia mengirim salah satu biarawannya untuk memanggil dokter di desa San Giuseppe Jato, hanya delapan kilometer jauhnya. Pisciotta duduk di ranjang dan memegang tangan temannya. Lukanya tidak lagi mengeluarkan darah, dan mata Turi Guiliano terbuka, tapi bagai ada lapisan kaca yang menutupinya. Pisciotta, hampir-hampir menangis, tidak berani berbicara. Ia mengusap kening Guiliano, yang basah oleh keringat. Kulitnya mulai kebiruan. Baru satu jam kemudian dokter tiba dan—setelah melihat kehadiran segerombolan carabinieri yang menyusuri lereng-lereng pegunungan—ia tidak terkejut temannya, Kepala Biara, ternyata menyembunyikan pria terluka. Ini tidak masalah baginya; siapa yang peduli terhadap polisi dan pemerintah? Kepala Biara merupakan sesama orang Sisilia yang memerlukan bantuan. Dan yang selalu mengiriminya sekeranjang telur di hari Minggu, satu tong anggur untuk Natal, dan seekor domba muda untuk Paskah Suci. Dokter memeriksa Guiliano dan membalut lukanya. Peluru menembus perut dan mungkin mencabik beberapa organ vital, dan jelas mengenai livernya. Pemuda itu banyak kehilangan darah, wajahnya pucat bagai hantu, kulit di seluruh tubuhnya memutih. Di sekitar mulurnya terdaptt lingkaran putih yang sangat dikenalinya sebagai salah satu tanda pertama kematian. Ia mendesah dan berkata kepada Kepala Biara, "Aku sudah berusaha semampuku. Perdarahannya sudah berhenti, tapi dia telah kehilangan lebih dari sepertiga darahnya, dan biasanya itu fatal. Jaga agar dia tetap hangat, berikan sedikit susu, dan akan kutinggalkan sedikit morfin untuknya." Ia menunduk memandang tubuh Guiliano yang kuat dengan tatapan menyesal. Pisciotta berbisik, "Apa yang bisa kukatakan kepada ayah dan ibunya? Apa dia punya kesempatan?" Dokter itu mendesah. "Terserah kau. Tapi lukanya mematikan.' Dia tampaknya bocah yang kuat jadi mungkin dia masih hidup selama beberapa hari lagi, tapi sebaiknya jangan berharap." Ia, melihat pandangan putus asa di mata Pisciotta dan kelegaan sekilas di wajah Kepala Biara,lalu berkata dengan nada humor yang ironis, "Tentu saja di tempat suci ini selalu ada kemungkinan terjadi keajaiban." Kepala Biara dan dokter melangkah keluar. Pisciotta membungkuk di atas tubuh temannya untuk menghapus keringat dari alis matanya dan tertegun sewaktu melihat kilauan mengejek yang samar di mata Guiliano. Matanya cokelat tua tapi bagian tepinya keperakan. Pisciotta membungkuk lebih dekat. Turi Guiliano tengah berbisik; ia harus bersusah payah untuk berbicara. "Beritahu ibuku aku akan pulang," kata Turi. Lalu ia melakukan sesuatu yang tidak akan pernah dilupakan Pisciotta selama tahun-tahun berikutnya. Kedua tangan Guiliano tiba-tiba terjulur dan menyambar rambut di kepala Pisciotta. Kedua tangannya kuat; tidak mungkin tangan-tangan orang yang sekarat. Kedua tangan itu menyentakkan kepala Pisciotta agar menunduk lebih dekat. "Patuhi aku," perintah Guiliano. Pagi hari sesudah orangtua Guiliano memanggil dirinya, Hector Adonis tiba di Montelepre. Ia jarang sekali menggunakan rumahnya di kota itu. Sewaktu muda ia membenci tempat kelahirannya itu. Ia terutama menghindari Festa. Dekorasi- dekorasinya selalu menyebabkan ia tertekan, kecerahannya tampak seperti samaran jahat dari kemiskinan kota. Dan ia selalu mendapat penghinaan selama perayaan itu—pria-pria mabuk mengejek tubuhnya yang pendek, para wanita melontarkan senyum menghina sekaligus geli. Fakta bahwa ia tahu lebih banyak daripada mereka tidak banyak membantu. Mereka begitu bangga, misalnya,bahwa setiap keluarga mengecat rumah dengan warna sama seperti yang dilakukan nenek moyang mereka. Mereka tidak tahu warna rumah mengungkapkan asal mereka, darah yang mereka warisi dari nenek moyang mereka bersama rumah-rumahnya. Berabad-abad yang lalu orang Normandia mengecat rumahnya dengan warna putih, Yunani selalu menggunakan warna biru, Arab memakai variasi antara pink dan merah. Dan Yahudi memulasnya dengan warna kuning. Sekarang mereka semua menganggap diri mereka orang Italia atau Sisilia. Darah telah begitu bercampur-baur selama seribu tahun sehingga kau tidak bisa mengidentifikasi pemilik rumah berdasarkan ciri wajahnya, dan kalau kau memberi tahu pemilik rumah kuning bahwa ia memiliki nenek moyang Yahudi, bisa-bisa perutmu tertusuk pisau, Aspanu Pisciotta tinggal di rumah putih walaupun ia tampak lebih mirip orang Arab. Rumah keluarga Guiliano berwarna biru, dan wajah Turi Guiliano memang jelas-jelas Yunani biarpun ia memiliki tubuh orang Normandia yang bertulang besar. Tapi tampaknya semua darah telah menyatu menjadi sesuatu yang aneh dan berbahaya dan membentuk orang Sisilia sejati, dan itulah yang membawa Adonis ke Montelepre hari ini Setiap tikungan di Via Belia dijaga pasangan carabinieri, mereka berwajah muram, menyandang senapan dan pistol otomatis yang siap ditembakkan. Hari kedua Festa sudah dimulai, tapi bagian kota ini anehnya ditinggalkan dan tidak ada anak-anak di jalan. Hector Adonis memarkir mobilnya di depan rumah keluarga Guiliano, di atas sepenggal jalan setapak. Sepasang carabinieri mengawasinya dengan pandangan curiga sampai ia turun dari mobil, lalu mereka tersenyum geli melihat tubuhnya yang pendek. Pisciotta yang membukakan pintu dan mengajaknya masuk. Ibu dan ayah Guiliano menunggu di dapur, bersama sarapan yang terdiri atas sosis dingin, roti, dan kopi di meja. Maria Lombardo tampak tenang, ia telah diyakinkan oleh Aspanu yang disayanginya bahwa putranya akan pulih. Maria Lombardo lebih merasa marah daripada takut. Ayah Guiliano tampak lebih merasa bangga daripada sedih. Putranya telah membuktikan diri sebagai pria sejati; ia hidup dan musuhnya tewas. Sekali lagi Pisciotta menceritakan kisahnya, kali ini dengan humor yang menghibur. Ia mengecilkan luka Guiliano dan kepahlawanannya sendiri dalam membawa Guiliano ke biara. Tapi Hector Adonis tahu membantu seseorang yang terluka sejauh hampir lima kilometer, melewati wilayah yang sulit, pasti sangat menguras tenaga bagi Pisciotta yang bertubuh kurus itu. Selain itu, ia merasa Pisciotta menjelaskan luka-luka itu terlalu ringkas. Adonis merasa khawatir akan kemungkinan terburuk. "Bagaimana carabinieri tahu mereka harus datang kemari?" tanyanya. Pisciotta menceritakan tentang kartu identitas yang diserahkan Guiliano. Ibu Guiliano mengeluh. "Kenapa Turi tidak membiarkan mereka mengambil kejunya? Kenapa dia melawan?" Ayah Guiliano berkata kasar kepada istrinya, "Kau mau dia berbuat apa? Melaporkan petani yang malang itu? Dia akan mempermalukan nama keluarga selama-lamanya kalau begitu." Hector Adonis merasa terpukul oleh kontradiksi dalam komentar-komentar ini. Ia tahu si ibu jauh lebih kuat dan lebih bersemangat daripada si ayah. Tapi si ibu melontarkan kata- kata bernada pasrah, dan si ayah mengucapkan kata-kata yang menantang. Dan Pisciotta, si bocah Aspanu ini--siapa mengira ia akan seberani itu, menyelamatkan rekannya dan membawanya ke tempat aman? Dan sekarang ia berbohong dengan begitu tenangnya kepada orangtua ini atas luka yang diderita putra mereka. Ayah Guiliano berkata, "Seandainya dia tidak menyerahkan kartu identitasnya. Teman-teman kami pasti akan bersumpah dia ada di jalan-jalan sini pada saat itu." Ibu Guiliano menukas, "Mereka tetap saja akan menangkapnya" Ia mulai terisak- isak. "Sekarang dia harus tinggal di pegunungan." Hector Adonis berkata, "Kita harus memastikan Kepala Biara tidak akan menyerahkan dirinya kepada polisi" Pisciotta menimpali tak sabar, "Dia tak akan berani. Dia tahu aku akan menggantangnya dengan jubahnya kalau dia berani berbuat begitu." Adonis menatap Pisciotta cukup lama. Ada ancaman mematikan dalam diri pemuda ini. Tolol sekali merusak ego seorang pemuda, pikir Adonis. Polisi tidak pernah memahami bahwa—dengan tingkat kekebalan tertentu—kau bisa menghina pria setengah baya yang telah dihina oleh kehidupan itu sendiri dan ia tidak akan sakit hati karenanya. Tapi seorang pemuda akan menganggap penghinaan ini mematikan. Mereka meminta bantuan Hector Adonis, yang pernah membantu putra mereka di masa lalu. Hector berkata, "Kalau polisi mengetahui keberadaannya, Kepala Biara takkan punya pilihan. Dia sendiri bukan- nya tidak dicurigai dalam beberapa masalah tertentu. Kupikir paling baik, dengan seizin kalian, adalah meminta temanku, Don Croce Malo, untuk membujuk Kepala Biara." Mereka terkejut mengetahui dirinya mengenal Don yang agung, kecuali Pisciotta, yang melontarkan senyum maklum. Adonis menegurnya tajam, "Dan apa yang kaulakukan di sini? Kau akan dikenali dan ditangkap. Mereka sudah memiliki deskripsi dirimu." Pisciotta berkata dengan nada menghina, "Kedua serdadu itu ketakutan setengah mati. Mereka tidak akan mengenali ibunya sendiri. Dan ada selusin saksi yang akan bersumpah aku berada di Montelepre kemarin." Hector Adonis menampilkan sikap profesionalnya yang paling mengesankan. Ia berbicara kepada orangtua Guiliano, "Kalian tidak boleh mencoba mengunjungi putra kalian atau memberitahu siapa pun, bahkan sahabat-sahabat terbaik kalian, tentang di mana dia berada. Polisi memiliki informan dan mata-mata di mana- mana. Aspanu akan mengunjungi Turi di malam hari. Begitu dia bisa dipindahkan, akan kuatur agar dia tinggal di kota lain sampai situasinya mereda. Lalu dengan sejumlah uang, segalanya bisa diatur, dan Turi bisa pulang. Jangan mengkhawatirkan dirinya, Maria, jaga kesehatanmu. Dan kau, Aspanu, terus kabari aku." Ia memeluk ibu dan ayah Guiliano. Maria Lombardo masih terus menangis ketika ia berlalu. Banyak yang harus dilakukannya—yang paling penting adalah memberi kabar kepada Don Croce dan memastikan tempat perlindungan Turi tetap aman. Syukurlah pemerintah di Roma tidak menawarkan hadiah atas informasi tentang pembunuhan terhadap seorang polisi, kalau tidak Kepala Biara akan menjual Turi secepat menjual salah satu relikui sucinya. Turi Guiliano berbaring di ranjang tanpa bergerak. Ia mendengar dokter menyatakan lukanya mematikan, tapi tak percaya dirinya sekarat. Tubuhnya serasa melayang di udara, bebas dari sakit dan takut. Ia tidak akan pernah bisa mati. Ia tidak tahu kehilangan banyak darah bisa menimbulkan euforia. Selama berhari-hari salah seorang biarawan merawatnya, memberinya susu. Di senja hari, Kepala Biara datang bersama dokter. Pisciotta mengunjunginya' di malam hari dan memegang tangannya serta merawatnya selama jam-jam panjang yang gelap dan menyeramkan. Di akhir minggu kedua, dokter menyatakan keajaiban. Turi Guiliano telah memerintahkan tubuhnya pulih, mengganti darah yang hilang, menyambung kembali organ-organ vital yang tercabik peluru berlapis baja. Dan dalam euforia yang dipicu terkurasnya darah dari tubuhnya, k .memimpikan masa depan yang gemilang Ia merasakan kebebasan baru, yang sejak saat itu tak lagi bisa diperoleh dari apa pun yang dilakukannya. Hukum masyarakat, hukum keluarga Sisilia yang lebih ketat, tidak lagi mengikat dirinya. Ia bebas melakukan tindakan apa pun; lukanya menjadikan dirinya tidak berdosa Dan semua ini karena seorang carabiniere tolol menembak dirinya hanya karena sepotong keju. Selama minggu-minggu pemulihan diri, ia terus-menerus mengingat hari-hari ia dan teman-teman sedesa- nya berkumpul di alun-alun menunggu gabellotti— mandor pengawas lahan- lahan luas—menjemput mereka untuk bekerja hari itu, menawarkan upah sangat minim diringi cibiran jijik "ambil-atau-lupakan" orang-orang yang memiliki semua kekuasaan. Pembagian hasil panen yang tidak adil yang menyebabkan semua orang jatuh miskin sesudah setahun bekerja keras. Tangan-tangan hukum yang terlalu berat dalam menghukum si miskin dan membiarkan si kaya melenggang bebas. Kalau dirinya pulih dari lukanya, ia bersumpah akan memastikan keadilan ditegakkan. Ia tak akan pernah lagi menjadi bocah tidak berdaya yang pasrah kepada nasib. Ia akan mempersenjatai diri, secara fisik dan mental. Satu hal ia merasa yakin: Ia tidak akan pernah lagi berdiri tanpa daya di hadapan dunia, seperti yang dilakukannya di depan Guido Quintana, dan polisi yang menembaknya. Pemuda yang tadinya bernama Turi Guiliano tidak ada lagi. Di akhir bulan, dokter menyarankannya beristirahat selama empat minggu lagi ditambah sedikit olahraga. Jadi Guiliano mengenakan jubah biarawan dan berkeliaran di lahan biara. Kepala Biara menyukainya, dan sering kali menemaninya, menceritakan kisah-kisah perjalanan ke tanah yang jauh di masa mudanya. Perasaan sayang Kepala Biara tidak berkurang sewaktu Hector Adonis mengiriminya sejumlah uang atas doa-doanya bagi orang miskin dan Don Croce sendiri memberitahu Kepala Biara bahwa ia berminat terhadap pemuda ini. Sedangkan bagi Guiliano, ia tertegun melihat cara hidup para biarawan. Di pedalaman di mana orang- orang hampir kelaparan, di mana para buruh harus menjual keringatnya seharga lima puluh sen sehari, para biarawan Santo Fransis hidup bagai raja. Biara tersebut benar-benar lahan yang luas dan kaya. Mereka memiliki kebun lemon, pohon-pohon zaitun yang setua Yesus bertebaran di mana-mana. Mereka memiliki kebun bambu kecil dan tempat penjagalan, tempat mereka membawa kawanan domba dan babi mereka. Ayam dan kalkun berkeliaran bebas, dalam jumlah besar. Para biarawan menyantap daging setiap hari bersama spaghetti, menenggak anggur buatan sendiri yang diambil dari gudang anggur yang luas, dan berdagang di pasar gelap untuk mendapatkan tembakau, yang mereka isap seperti kecanduan. Tapi mereka bekerja keras. Sepanjang hari mereka bekerja dengan kaki telanjang dan jubah yang dijejalkan hingga ke lutut, keringat mengalir deras ke alis mata mereka. Di kepala mereka yang tercukur, untuk melindunginya dari matahari, mereka mengenakan topi fedora Amerika yang aneh bentuknya, berwarna hitam dan cokelat, yang diperoleh Kepala Biara dari petugas pemasok pemerintahan militer dengan bayaran segentong anggur. Para biarawan mengenakannya dalam berbagai gaya, beberapa dengan kelepak diturunkan, gaya gangster, lainnya dengan kelepak diangkat di sekeliling topi, membentuk celah untuk menyimpan rokok. Kepala Biara akhirnya membenci topi ini dan melarang penggunaannya kecuali saat bekerja di ladang. Selama empat minggu kedua, Guiliano menjadi biarawan. .Yang menyebabkan Kepala Biara tertegun, ia , juga bekerja keras di ladang dan membantu biarawan- biarawan yang lebih tua membawa keranjang-keranjang berat berisi buah-buahan dan zaitun ke dalam gudang. Seiring dengan semakin pulihnya dirinya, Guiliano menikmati pekerjaan itu, menikmati kesempatan untuk memamerkan kekuatannya. Mereka menumpuk keranjangnya tinggi-tinggi dan ia tidak pernah membiarkan lututnya lemas. Kepala Biara merasa bangga padanya dan mengatakan ia bisa tinggal selama ia suka, bahwa ia memiliki tanda-tanda pelayan Tuhan sejati. Turi Guiliano merasa bahagia selama empat minggu itu. Bagaimanapun juga ia telah kembali dari kematian dalam tubuh, dan dalam kepalanya ia tengah menganyam impian dan keajaiban. Dan ia menyukai kehadiran Kepala Biara tua itu, yang memperlakukan dirinya dengan kepercayaan penuh dan mengungkapkan rahasia-rahasia biara kepadanya. Pria tua itu menyombong bahwa semua hasil biara dijual langsung ke pasar gelap, tidak diserahkan ke gudang-gudang pemerintah. Kecuali anggurnya, yang ditenggak habis para biarawan sendiri. Di malam hari ada perjudian besar-besaran dan mabuk- mabukan, bahkan wanita-wanita diselundupkan ke dalam biara, tapi Kepala Biara menutup mata terhadap semua ini. "Sekarang ini masa-masa sulit," katanya kepada Guiliano. "Upah yang dijanjikan di surga terlalu jauh. Orang- orang harus mendapatkan kesenangannya sekarang. Tuhan akan mengampuni mereka." Pada suatu siang saat hujan turun, Kepala Biara menunjukkan kepada Turi bangsal biara yang lain yang digunakan sebagai gudang. Gudang itu penuh sesak oleh relikui suci yang dibuat oleh seregu biarawan tua yang ahli. Kepala Biara, seperti penjaga toko mana pun, mengeluhkan masa-masa sulit. "Sebelum perang, kami memiliki bisnis yang bagus," katanya sambil mendesah. "Gudang ini tidak pernah lebih daripada setengah penuh. Lihat saja harta karun suci yang ada di sini. Tulang dari ikan yang dilipatgandakan oleh Kristus. Tongkat yang dibawa Musa dalam perjalanan ke Tanah Perjanjian." Ia diam sejenak, dengan puas mengawasi Guiliano yang tertegun. Lalu wajahnya yang kurus mengerut membentuk seringai nakal. Sambil menendang tumpukan tinggi tongkat kayu, ia berkata dengan nada hampir-hampir gembira, "Ini dulu barang terbaik kami. Ratusan potong kayu salib tempat Tuhan kita disalibkan. Dan di peti ini ada sisa-sisa orang suci, siapa pun yang bisa kausebutkan. Tidak ada satu rumah pun di Sisilia yang tidak memiliki sepotong tulang orang suci. Dan di gudang khusus yang terkunci ada tiga belas lengan Santo Andrew, tiga kepala Yohanes Pembaptis, dan tujuh baju besi yang dikenakan Joan of Arc. Di musim dingin, biarawan-biarawan kami menempuh perjalanan jauh untuk menjual harta karun ini." Turi Guiliano sekarang tertawa dan Kepala Biara tersenyum kepadanya. Tapi Guiliano tengah memikirkan betapa orang miskin selalu ditipu, bahkan oleh mereka yang menunjukkan jalan keselamatan. Satu lagi fakta yang penting untuk diingat. Kepala Biara menunjukkan guci besar penuh medali yang telah diberkati oleh Kardinal Palermo, tiga puluh kain kafan yang dikenakan Yesus ketika ia meninggal, dan dua patung Bunda Maria berkulit hitam. Ini menghentikan tawa Guiliano. Ia memberitahu Kepala Biara tentang patung Bunda Maria berkulit hitam yang dimiliki ibunya dan begitu dihargainya sejak ibunya masih gadis kecil; bahwa patung itu berada di tangan keluarganya selama beberapa generasi. Mungkinkah patung itu palsu? Kepala Biara menepuk bahunya dengan ramah dan mengatakan biara telah membuat replikanya selama lebih dari seratus tahun, mengukirnya dari kayu zaitun yang bagus. Tapi ia meyakinkan Guiliano bahwa replika-replika itu pun bernilai, karena hanya sedikit jumlahnya. Kepala Biara menganggap tak ada ruginya mempercayakan dosa-dosa ringan orang-orang suci kepada pembunuh. Meskipun demikian, kebisuan Guiliano yang menandakan ketidaksetujuannya mengganggu Kepala Biara. Dengan nada membela diri ia berkata, "Ingatlah, kami orang-orang yang mengabdikan diri kepada Tuhan juga harus hidup dalam dunia materi manusia yang tidak percaya menanti upah mereka di surga. Kami juga punya keluarga dan harus membantu serta melindungi mereka. Banyak di antara para biarawan kami yang miskin dan berasal dari keluarga miskin, kita tahu meski miskin mereka orang-orang baik. Kami tidak bisa membiarkan saudara-saudara kami, keponakan dan sepupu kami, kelaparan di masa-masa sulit ini. Gereja Suci sendiri membutuhkan bantuan kita, harus melindungi diri terhadap musuh-musuh yang kuat. Kaum Komunis dan Sosialis, pengikut liberal yang salah arah itu, harus dilawan, dan untuk itu dibutuhkan uang. Orang-orang beriman benar-benar membantu Gereja Induk! Kebutuhan mereka akan relikui suci memberi kami uang untuk menghancurkan orang kafir dan memenuhi kebutuhan dalam jiwa mereka sendiri. Kalau kami tidak memasok mereka, mereka akan menghabiskan uang untuk berjudi dan anggur dan wanita yang memalukan. Kau sependapat, bukan?" Guiliano mengangguk, tapi ia tersenyum. Bagi orang semuda dirinya sungguh memesona dapat bertemu seorang pakar kemunafikan. Kepala Biara merasa jengkel oleh senyuman itu; semula ia mengharapkan jawaban yang lebih ramah dari pembunuh yang diberinya tempat berlindung dan dirawat hingga bisa kembali dari gerbang kematian. Penghormatan penuh terima kasih mengharuskan jawaban munafik yang setulus-tulusnya. Penyelundup ini, pembunuh ini, orang kampung ini, Master Turi Guiliano, seharusnya lebih menunjukkan pengertian, lebih menunjukkan semangat Kristiani. Kepala Biara berkata dengan nada keras, "Ingat bahwa iman sejati kami berdasarkan pada keyakinan kami akan keajaiban." "Ya," tukas Guiliano. "Dan aku tahu dengan segenap hatiku bahwa sudah menjadi tugasmu membantu kami menemukannya" Ia mengatakannya tanpa niat jahat, dengan semangat kegembiraan, dengan niat baik yang tulus untuk menyenangkan penyelamatnya. Tapi hanya itu yang bisa dilakukannya agar tidak tertawa terbahak-bahak. Kepala Biara merasa senang dan seluruh rasa sayangnya kembali. Pemuda ini baik, ia senang ditemani olehnya selama beberapa bulan terakhir, dan ia merasa tenang mengetahui pemuda ini banyak berutang budi kepadanya. Dan ia tidak akan bersikap tidak tahu terima kasih; ia telah menunjukkan hatinya yang mulia. Ia mengekspresikan dalam kata-kata dan perbuatan— setiap hari— penghormatan dan rasa terima kasihnya kepada Kepala Biara. Ia tidak memiliki kekerasan hati pelanggar hukum. Apa yang akan terjadi pada orang-orang seperti ini di Sisilia masa sekarang, yang penuh informan, kemiskinan, bandit, dan pendosa besar? Ah, well, pikir Kepala Biara, orang yang pernah sekali membunuh bisa melakukannya lagi dalam sekejap mata. Kepala Biara memutuskan Don Croce harus membimbing Turi Guiliano ke jalan hidup yang benar. Suatu hari, sewaktu tengah beristirahat di ranjangnya, Turi Guiliano menerima tamu yang aneh. Kepala Biara memperkenalkannya sebagai Pater Benjamino Malo, teman yang sangat baik, lalu meninggalkan mereka berdua. Pater Benjamino berkata ramah, "Anak muda yang baik, kuharap kau sudah sembuh dari lukamu. Kepala Biara Suci memberitahuku bahwa kesembuhanmu benar-benar keajaiban." Guiliano menanggapi sopan, "Berkat Tuhan." Dan Pater Benjamino membungkuk seakan-akan ia sendiri yang menerima berkat itu. Guiliano mengamatinya dengan teliti. Pastor ini tidak pernah bekerja keras di ladang. Keliman jubahnya terlalu bersih, wajahnya terlalu tembam dan putih, tangannya terlalu halus. Tapi sikapnya cukup suci; rendah hati dan memancarkan kepasrahan bagai Kristus, kerendahan hati Kristiani. Suaranya juga lembut dan lunak sewaktu ia berkata, "Anakku, aku akan mendengar pengakuan dosamu dan memberikan Jamuan Kudus bagimu. Sesudah dibersihkan dari dosa, kau bisa keluar ke dunia dengan hati yang murni." Turi Guiliano mengamati pastor yang memiliki kekuasaan mahamulia itu. "Maafkan aku, Pater," katanya "Aku belum lagi merasa menyesal dan jelas aku akan berbohong kalau mengaku dosa sekarang ini. Tapi terima kasih atas berkatmu." Pastor itu mengangguk dan berkata, "Ya, dengan begitu justru akan memperbesar dosamu. Tapi ada tawaran lain yang mungkin lebih praktis di dunia ini. Saudaraku, Don Croce, mengirimku untuk menanyakan apakah kau bersedia berlindung padanya di Villaba. Kau akan mendapat upah bagus, dan tentu saja, seperti yang harus kauketahui, pihak berwenang tidak akan berani melecehkan dirimu selagi kau berada dalam perlindungannya." Guiliano tertegun mendengar perbuatannya telah mencapai telinga orang seperti Don Croce. Ia tahu dirinya harus berhati-hati. Ia tidak menyukai Mafia, dan tidak ingin terperangkap dalam jaring-jaring mereka. "Itu kehormatan yang sangat besar," katanya. "Aku berterima kasih kepadamu dan kepada saudaramu. Tapi aku harus berkonsultasi dengan keluargaku terlebih dulu, aku harus menghormati keinginan orangtuaku. Jadi untuk saat ini izinkan aku menolak tawaranmu yang baik." Ia melihat pastor itu terkejut. Siapa di Sisilia yang menolak perlindungan Don yang agung? Jadi ia menambahkan, "Mungkin beberapa minggu lagi, aku akan berubah pikiran dan menemuimu di Villaba." Pater Benjamino pulih dari keterkejutannya. Ia mengangkat tangan dengan sikap memberkati. "Pergilah bersama Tuhan, anakku," katanya. "Kau selalu diterima di rumah saudaraku." Ia membuat tanda salib dan berlalu. Turi Guiliano sadar sudah tiba saatnya untuk pergi. Sewaktu Aspanu Pisciotta mengunjunginya malam itu, ia memerintahkan berbagai persiapan yang harus dilakukan untuk kembalinya dirinya ke dunia luar. Ia melihat sementara dirinya berubah, temannya juga. Pisciotta tidak mengernyit maupun memprotes saat menerima perintah yang ia tahu akan mengubah hidupnya secara drastis. Akhirnya Guiliano berkata, "Aspanu, kau bisa ikut denganku atau tetap tinggal bersama keluargamu. Lakukan apa yang menurutmu harus kaulakukan." Pisciotta tersenyum. "Kaupikir aku akan membiarkan dirimu mendapatkan semua kesenangan dan kejayaan? Membiarkan dirimu bermain-main di pegunungan sementara aku menggiring keledai-keledai untuk bekerja dan memetik zaitun? Dan bagaimana dengan persahabatan kita? Apa aku harus membiarkan dirimu hidup di pegunungan seorang diri sementara kita sudah bermain dan bekerja bersama sejak anak-anak? Baru sesudah kau kembali ke Montelepre sebagai orang bebas, aku juga akan kembali ke sana. Jadi jangan lagi bicara yang bukan-bukan. Aku akan menjemputmu empat hari lagi. Butuh sedikit waktu untuk melaksanakan semua permintaanmu." Pisciotta sibuk selama empat hari itu. Ia melacak penyelundup berkuda yang menawarkan diri memburu Guiliano yang terluka. Namanya Marcuzzi, ia orang yang ditakuti dan penyelundup skala besar yang beroperasi di bawah perlindungan Don Croce dan Guido Quintana. Ia memiliki paman yang bernama sama yang merupakan kepala Mafia besar. Pisciotta mendapati Marcuzzi melakukan perjalanan secara teratur dari Montelepre ke Castellammare. Pisciotta mengetahui petani yang merawat bagal-bagal penyelundup itu, dan sewaktu ia melihat hewan-hewan itu dibawa dari padang ke lumbung di dekat kota, ia menebak Marcuzzi akan melakukan perjalanan keesokan harinya. Saat subuh Pisciotta memposisikan diri di tepi jalan yang ia tahu harus dilalui Marcuzzi, dan menantikan kedatangannya. Ia menyandang lupara, yang banyak dimiliki keluarga Sisilia sebagai bagian dari peralatan rumah tangga. Senapan tabur Sisilia yang mematikan ku begitu umum dan sering kali digunakan untuk membunuh sehingga sewaktu Mussolini menyapu bersih Mafia, ia memerintahkan agar semua dinding batu diruntuhkan hingga paling tinggi satu meter agar para pembunuh tidak bisa menggunakannya sebagai titik penyergapan. Pisciotta memutuskan untuk membunuh Marcuzzi bukan saja karena ia menawarkan diri membantu polisi dengan membunuh Guiliano yang terluka, tapi karena ia menyombongkan hal itu kepada teman-temannya. Dengan membunuh penyelundup itu, ia memberikan peringatan kepada siapa pun yang mungkin akan mengkhianati Guiliano. Selain itu ia juga membutuhkan senjata- senjata yang ia tahu dibawa Marcuzzi. Ia tidak perlu menunggu lama.. Karena Marcuzzi memimpin iring-iringan bagal tak berbeban untuk mengambil barang-barang pasar gelap di Castellammare, ia bertindak ceroboh. Ia mengendarai bagal terdepan menyusuri jalan setapak pegunungan dengan senapan tersandang di bahu, bukannya siap ditembakkan. Sewaktu melihat Pisciotta berdiri di tengah jalan setapak di depannya, ia tidak waspada. Ia hanya melihat bocah pendek langsing berkumis tipis penuh gaya, yang ter- senyum dengan cara yang membangkitkan kejengkelannya. Baru setelah Pisciotta mengarahkan lupara yang diambilnya dari balik jaket, Marcuzzi menaruh perhatian penuh. Ia berkata parau, "Kau mencegatku di jalan yang salah. Aku belum lagi mengambil barang-barangku. Dan bagal-bagal ini dalam perlindungan Friends of the Friends. Jadilah orang pintar dan carilah pelanggan yang lain." Pisciotta berkata lembut, "Aku hanya menginginkan nyawamu." Ia tersenyum kejam. "Suatu hari kau ingin menjadi pahlawan bagi polisi. Hanya beberapa bulan yang lalu, kau ingat?" Marcuzzi ingat. Ia menggerakkan bagalnya menyamping, seakan-akan tidak sengaja, untuk menyembunyikan tangannya dari tatapan Pisciotta. Ia menyelipkan tangan ke sabuknya dan mencabut pistol. Pada saat yang sama ia menyentakkan kekang bagalnya untuk memutar dirinya ke posisi menembak. Hal terakhir yang dilihatnya adalah senyum Pisciotta saat lupara itu mengempaskan tubuhnya dari pelana dan melayang ke tanah berdebu. Dengan puas Pisciotta berdiri di atas mayatnya dan menembak kepalanya, lalu mengambil pistol yang masih berada dalam genggaman Marcuzzi dan senapan yang melilit tabuhnya. Ia mengambil peluru senapan dari saku jaket si penyelundup dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya sendiri. Lalu dengan cepat dan sistematis ia menembak keempat ekor bagal, sebagai peringatan bagi siapa pun yang mungkin membantu musuh-musuh Guiliano, bahkan secara tidak langsung. Ia berdiri di jalan, dengan lupara di tangan, senapan pria yang tewas itu tersandang melintang di bahunya, pistol di sabuknya. Ia tidak merasa iba dan kebuasan-nya justru menimbulkan kepuasan. Karena meskipun ia menyayangi temannya, mereka selalu bersaing dalam banyak hal. Dan walaupun ia mengakui Turi sebagai pemimpinnya, ia merasa harus membuktikan pernyataannya tentang persahabatan mereka dengan bersikap sama berani dan cerdiknya. Kini ia juga melangkah keluar dari lingkaran masa kanak-kanak yang ajaib, lingkaran masyarakat, dan bergabung dengan Turi di luar lingkaran itu. Dengan tindakan ini ia mengikat dirinya untuk selama-lamanya dengan Turi Guiliano. Dua hari kemudian, tepat sebelum makan malam, Guiliano meninggalkan biara. Ia memeluk semua biarawan saat mereka berkumpul di ruang makan dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan mereka. Para biarawan menyesali kepergiannya. Memang benar, ia tidak pernah menghadiri misa-misa mereka, dan tidak membuat pengakuan dosa dan penyesalan atas pembunuhan yang dilakukannya, tapi beberapa di antara para biarawan itu juga memulai masa dewasa mereka dengan kejahatan yang sama dan mereka tidak menghakimi. Kepala Biara mengantar Guiliano ke gerbang biara tempat Pisciotta menunggu. Ia memberikan hadiah perpisahan. Patung Bunda Maria berkulit hitam, duplikat patung milik Maria Lombardo, ibu Guiliano. Pisciotta membawa ransel hijau Amerika dan Guiliano memasukkan patung itu ke dalamnya. Pisciotta mengawasi dengan pandangan sinis saat Kepala Biara dan Guiliano mengucapkan kata-kata perpisahan. Ia tahu Kepala Biara seorang penyelundup, anggota rahasia Friends of the Friends, dan majikan yang kejam bagi para biarawannya yang malang. Jadi ia tidak mengerti sentimentalitas yang ditunjukkan Kepala Biara dalam perpisahan itu. Tak pernah terlintas dalam benak Pisciotta bahwa rasa sayang, kasih, dan penghormatan yang dibangkitkan Guiliano dalam dirinya juga bisa timbul sama kuatnya pada orang setua Kepala Biara. Kendati rasa sayang Kepala Biara tulus, perasaannya dihiasi kepentingan pribadi. Ia tahu bocah ini suatu hari nanti akan menjadi kekuatan yang harus diakui di Sisilia. Rasanya seperti menemukan jejak-jejak kedewaan. Sedangkan bagi Turi Guiliano, ia benar-benar berterima kasih. Kepala Biara telah menyelamatkan nyawanya, tapi lebih daripada itu, ia telah mengajarinya banyak hal dan menjadi teman yang menyenangkan. Kepala Biara bahkan membiarkan ia menggunakan perpustakaannya. Yang menarik, Guiliano menyukai ketidakjujuran Kepala Biara; baginya itu merupakan keseimbangan yang bagus dalam kehidupan, melakukan kebaikan tanpa melakukan kejahatan besar yang kentara, keseimbangan kekuasaan yang menjadikan kehidupan berjalan begitu mulus. Kepala Biara dan Turi Guiliano berpelukan. Turi berkata, "Aku berutang budi padamu. Ingatlah padaku kalau kau membutuhkan bantuan apa pun. Apa pun yang kauminta, akan kulakukan." Kepala Biara menepuk bahunya. "Kedermawanan Kristiani tidak menuntut pembayaran," tegasnya. "Kembalilah ke jalan Tuhan, anakku, dan berikanlah penghormatan." Tapi ia hanya sekadar bicara. Ia tahu benar kepolosan semuda ini Iblis bisa bangkit d kobaran api untuk bertindak berdasarkan kepolosan seperti itu. Ia akan mengingat janu Guiliano. Guiliano menyandang ransel di bahunya tanpa me medulikan protes Pisciotta, dan mereka berjalan melewati gerbang biara bersama-sama. Mereka tidak pernah berpaling. DARI tepi jurang yang menjorok di puncak Monte d'Ora, Guiliano dan Pisciotta bisa memandang kota Montelepre. Hanya beberapa kilometer di bawah mereka, lampu-lampu rumah menyala untuk melawan kegelapan yang turun. Guiliano bahkan membayangkan dirinya bisa mendengar suara musik yang berasal dari pengeras suara di alun-alun, yang selalu melantunkan siaran stasiun radio Roma untuk menghibur para pejalan kaki di kota sebelum waktu makan malam mereka. Tapi udara pegunungan menipu. Butuh waktu dua jam untuk turun ke kota dan empat jam untuk kembali ke pegunungan. Guiliano dan Pisciotta sering bermain- main di sini sewaktu kanak-kanak, mereka mengenal setiap batu di pegunungan, setiap gua, serta setiap terowongan. Di balik tebing ini terdapat Grotta Bianca, gua kesukaan mereka sewaktu kecil, yang ukurannya lebih besar daripada rumah mana pun di Montelepre. Aspanu mematuhi perintah dengan baik, pikir Turi Guiliano. Gua itu dipenuhi kantong tidur, panci masak, berkotak-kotak amunisi, dan berkarung-karung makanan 8erta roti. Ada kotak kayu tempat lampu senter, lentera dan pisau, juga ada beberapa kaleng minyak tanah. Ia tertawa. "Aspanu, kita bisa tinggal di sini selamanya." "Selama beberapa hari," koreksi Aspanu. "Ini tempat pertama yang didatangi carabinieri ketika mereka mencarimu." "Para pengecut itu hanya mencari di siang hari," jawab Turi. "Kita aman di malam hari." Tirai kegelapan yang pekat turun menutupi pegunungan, tapi langit di atas begitu penuh bintang sehingga mereka bisa saling memandang dengan jelas. Pisciotta membuka ranselnya dan mulai mengeluarkan senjata serta pakaian. Perlahan- lahan dan bagai tengah melakukan upacara, Turi Guiliano mempersenjatai diri. Setelah menanggalkan jubah biarawannya, ia mengenakan celana panjang katun tebal, lalu jaket kulit domba besar yang bersaku banyak. Ia menyelipkan dua pucuk pistol di sabuknya dan menyandang senapan mesin di balik jaketnya sehingga tersembunyi tapi bisa segera dikeluarkan untuk beraksi. Ia mengenakan sabuk amunisi di pinggangnya dan memasukkan kotak peluru tambahan di saku- saku jaketnya. Pisciotta memberinya sebilah pisau, yang lalu diselipkannya di sepatu bot tentara yang dikenakannya. Lalu sepucuk pistol kecil lainnya, yang sesuai dengar» sarung yang diikatkan di balik kelepak jaket kulit dombanya. Ia memeriksa semua senjata dan amunisinya dengan hati-hati. Senapannya ia bawa terang-terangan, talinya melintang di bahu. Akhirnya ia siap. Ia tersenyum kepada Pisciotta, yang secara terbuka hanya membawa sepucuk lupara dan pisau dalam sarungnya di punggung. Pisciotta berkata, "Aku merasa telanjang. Kau bisa berjalan de- ngan semua besi di tubuhmu itu? Kalau kau jatuh, aku takkan bisa mengangkatmu." Guiliano terus tersenyum, senyum rahasia seorang anak yang percaya dirinya berhasil menaklukkan dunia. Bekas luka besar di tubuhnya terasa sakit akibat beratnya senjata dan amunisi, tapi ia menerimanya. Rasa sakit itu memicu kebulatan tekadnya. "Aku siap menjumpai keluargaku atau menghadapi musuhku," tegasnya kepada Pisciotta. Kedua pemuda itu mulai menuruni jalan setapak panjang yang berliku-liku dari puncak Monte d'Ora ke kota Montelepre di bawah. Mereka berjalan di bawah kubah bintang-bintang. Bersenjata untuk menghadapi maut dan sesama manusia, menenggak harum kebun lemon dan bunga-bunga liar di kejauhan, Turi Guiliano merasakan kedamaian yang tak pernah dikenalnya. Ia bukan lagi tidak berdaya menghadapi musuh siapa pun. Ia tidak lagi harus menghibur musuh dalam dirinya yang meragukan semangatnya. Seandainya ia memang berhasil memerintah dirinya untuk tidak mati, memerintah tubuhnya yang tercabik-cabik untuk kembali utuh, ia kini percaya dirinya mampu membuat tubuhnya melakukan hal itu berulang-ulang. Ia tidak lagi ragu bahwa dirinya memiliki takdir luar biasa di hadapannya. Ia berbagi keajaiban dengan para pahlawan abad pertengahan yang tidak bisa mati sampai mereka tiba di akhir kisah mereka yang panjang, sampai mereka meraih kemenangan besar. Ia tidak akan pernah meninggalkan pegunungan ini, pepohonan zaitun ini, Sisilia ini. Ia hanya memiliki gagasan samar mengenai masa depannya yang gemilang, tapi ia tidak pernah meragukan kegemilangan itu. Ia tidak akan pernah lagi menjadi pemuda petani miskin 135 yang takut terhadap carabinieri, para hakim, dan korupsi hukum yang merusak. Mereka teJah turun dari pegunungan sekarang dan memasuki jalan-jalan yang menuju Montelepre. Mereka melewati.altar Bunda Maria dan Anak, yang terletak di tepi jalan dan digembok, jubah birunya yang terbuat dari semen tampak berkilau bagai lautan tertimpa cahaya bulan. Perkebunan memenuhi udara dengan keharuman yang menyebabkan Guiliano hampir-hampir pusing. Ia melihat Pisciotta membungkuk dan memetik buah pir yang manis berkat udara malam, dan ia merasakan kasih terhadap teman yang telah menyelamatkan nyawanya itu, kasih yang berakar pada masa kanak-kanak yang mereka habiskan bersama. Ia ingin berbagi keabadian dengan temannya itu. Mereka tidak pernah ditakdirkan mati sebagai dua petani tidak dikenal di bagian Sisilia yang bergunung-gunung. Dalam kegairahan besar Guiliano berseru, "Aspanu, Aspanu, aku percaya, aku percaya," dan mulai berlari menuruni lereng terakhir pegunungan, keluar dari bebatuan putih bagai hantu, melewati altar-altar suci Kristus dan para orang suci yang menjadi martir, yang berdiri dalam kotak-kotak berkurici Pisciotta berlari di sampingnya, tertawa-tawa, dan mereka berlomba memasuki leng-kungan cahaya bulan yang menyirami jalan ke Montelepre. Pegunungan berakhir di padang rumput yang membentang seratus meter menuju dindmg-dinding belakang yang terbentuk dari rumah-rumah di Via Belia. Di balik dinding-dinding itu, masing-masing rumah memiliki kebun tomat sendiri. Dan beberapa rumah juga mempunyai sebatang pohon zaitun atau lemon. Gerbang ke kebun Guiliano tidak dikunci, dan kedua pemuda itu menyelinap masuk diam-diam dan mendapati ibu Guiliano tengah menanti. Ia menghambur ke dalam pelukan Turi Guiliano, air mata mengalir membasahi wajahnya. Ia mencium putranya dengan hangat dan berbisik, "Putraku tersayang, putraku tersayang," dan Turi Guiliano mendapati dirinya berdiri dalam cahaya bulan tanpa membalas kasih ibunya untuk pertama kali seumur hidupnya. Sekarang sudah hampir tengah malam, bulan masih teranig, dan mereka bergegas masuk ke dalam rumah untuk menghindari pengawasan mata-mata. Jendela-jendela ditutup rapat, dan kerabat Guiliano serta keluarga Pisciotta ditempatkan di seluruh jalan untuk memperingatkan kehadiran patroli polisi. Di dalam rumah teman-teman dan keluarga Guiliano telah menunggu untuk merayakan kepulangannya. Pesta yang selayaknya untuk menyambut Paskah Suci telah disiapkan. Mereka hanya memiliki satu malam bersamanya sebelum Turi pindah ke pegunungan. Ayah Guiliano memeluknya dan menampar punggungnya untuk menyatakan persetujuan. Kedua kakak perempuannya ada di sana, dan Hector Adonis. Juga seorang tetangga, wanita yang dipanggil La Venera. Ia janda berusia sekitar 35 tahun. Suaminya dulu bandit terkenal bernama Candeleria, yang dikhianati, lalu disergap oleh polisi, baru setahun yang lalu. Ia menjadi sahabat dekat ibu Guiliano, tapi Turi terkejut akan kehadirannya dalam reuni ini. Hanya ibunya yang bisa mengundangnya. Sejenak ia penasaran, ingin tahu apa alasannya. Mereka bersantap dan minum-minum dan memperlakukan Turi Guiliano seakan- akan ia baru saja kembali dari libur panjang ke negeri-negeri asing. Tapi lalu ayahnya ingin melihat lukanya. Guiliano menarik kemeja dari celana panjangnya dan memamerkan bekas luka besar yang kemerahan, jaringan di sekitarnya biru kehitaman akibat trauma tembakan. Ibunya mulai meratap. Guiliano berkata kepadanya sambil tersenyum, "Kau lebih suka melihatku di penjara dengan bekas-bekas bastinado?" Kendati adegan yang akrab baginya itu menyerupai hari-hari paling bahagia semasa ia kanak-kanak, ia merasa sangat jauh dari mereka. Semua hidangan kesukaannya tersedia, cumi-cumi bertinta, makaroni gemuk dengan saus tomat, daging domba panggang, mangkuk-mangkuk besar berisi zaitun, salad hijau dan merah yang disiram minyak zaitun segar, botol-botol terbungkus bambu berisi anggur Sisilia. Segala sesuatu dari tanah Sisilia. Ibu dan ayahnya menceritakan dongeng tentang kehidupan di Amerika. Dan Hector Adonis menghibur mereka dengan kemegahan sejarah Sisilia. Tentang Garibaldi dan prajurit baju merahnya yang terkenal. Tentang hari-hari Sicilian Vespers, sewaktu orang-orang Sisilia bangkit membantai tentara pendudukan Prancis beratus-ratus tahun lalu. Semua Pemberontakan yang terjadi pada tahun 1282 terhadap pasukan Prancis yang menduduki Sisilia. Ketika itu bunyi bel vesper pada Senin Paskah dijadikan tanda dimulainya pembantaian dan pengusiran pasukan Prancis. kisah tentang penindasan terhadap Sisilia dimulai dengan Roma, diikuti bangsa Moor dan Normandia dan Prancis dan Jerman dan Spanyol. Terkutuklah Sisilia! Tidak pernah merdeka, rakyatnya selalu kelaparan, tenaga mereka dijual begitu murah, darah mereka tertumpah begitu mudah. Jadi sekarang tidak ada satu orang Sisilia pun yang memercayai pemerintah, hukum, ketertiban terstruktur masyarakat yang selalu digunakan untuk menjadikan mereka hewan tunggangan. Guiliano sudah mendengar kisah-kisah ini selama bertahun-tahun, mengukirnya dalam benaknya. Tapi baru sekarang ia sadar dirinya bisa mengubahnya. Ia mengawasi Aspanu mengisap rokok sambil menikmati kopinya. Bahkan dalam reuni yang penuh sukacita ini, Aspanu melontarkan senyum ironis. Guiliano bisa menebak apa yang dipikirkannya dan apa yang akan dikatakannya nanti: Yang perlu kaulakukan hanyalah bertindak cukup bodoh sehingga ditembak polisi, melakukan pembunuhan, menjadi pelanggar hukum, lalu orang- orang yang kaukasihi akan menunjukkan perasaan sayang dan memperlakukan dirimu bagai orang suci dari surga. Meskipun begitu, Aspanu satu-satunya orang yang tidak membuatnya merasa terasing. Dan wanita ini, La Venera. Kenapa ibunya mengundangnya, dan kenapa ia datang? Ia melihat wajah wanita itu masih menarik, tegas dan kuat dengan alis mata hitam pekat dan bibir begitu gelap dan kemerahan sehingga hampir-hampir ungu dalam cahaya yang terhalang asap ini. Mustahil melihat postur tubuhnya, karena ia mengenakan gaun hitam janda Sisilia yang potongannya tidak berbentuk. Turi Guiliano harus menceritakan seluruh kisah penembakan di Simpang Empat kepada mereka. Ayahnya, agak mabuk oleh anggur, menggeram setuju atas kematian si sersan. Ibunya membisu. Ayahnya menceritakan kisah bagaimana si petani datang untuk mencari keledainya dan tentang komentarnya sendiri kepada petani itu: "Bergembiralah karena kau hanya kehilangan keledai. Aku kehilangan anak lelaki." Aspanu berkomentar, "Keledai mencari keledai." Mereka semua tertawa. Ayah Guiliano melanjutkan, "Sewaktu petani itu mendengar ada petugas polisi yang terbunuh, dia terlalu takut untuk mengajukan klaim, takut dihajar dengan bastinado." Turi berkata, "Dia akan mendapat ganti rugi." Akhirnya Hector Adonis menjabarkan rencananya untuk menyelamatkan Turi. Keluarga almarhum akan mendapat ganti rugi. Orangtua Guiliano terpaksa menggadaikan sepetak tanah agar bisa mendapatkan uang itu. Adonis sendiri akan menyumbangkan sejumlah uang. Tapi taktik ini harus menunggu hingga kemarahan mereda. Pengaruh Don Croce yang agung akan digunakan untuk menekan para pejabat pemerintah dan keluarga polisi yang terbunuh. Bagaimanapun juga, kejadian itu kurang-lebih merupakan kecelakaan. Tidak ada niat jahat yang nyata dari kedua belah pihak. Mereka bisa mengaturnya selama keluarga korban dan pejabat pemerintah mau bekerja sama. Satu-satunya kelemahan adalah kartu identitas di lokasi pembunuhan. Tapi dalam waktu setahun Don Croce bisa menyebabkan bukti itu menghilang dari arsip jaksa penuntut Yang paling penting, Turi Guiliano harus menghindari masalah selama setahun ini. Ia harus menghilang ke pegunungan. 140 Turi Guiliano mendengarkan mereka semua dengan sabar sambil tersenyum, mengangguk-angguk, tidak menunjukkan kejengkelannya. Mereka masih menganggap dirinya sama seperti pada Festa lebih dari dua bulan lalu. Ia menanggalkan jaket kulit domba dan senjata-senjatanya; senapannya tergeletak di dekat kakinya di bawah meja. Tapi hal itu tidak mengesankan mereka, begitu pula bekas lukanya yang mengerikan. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana benaknya tercabik-cabik oleh tembakan hebat di tabuhnya, atau betapa ia tidak akan pernah lagi menjadi pemuda yang dulu mereka kenal. Di dalam rumah ini, untuk saat ini ia aman. Orang-orang tepercaya menjelajahi jalan-jalan dan mengawasi barak-barak carabinieri untuk memberinya peringatan akan serangan apa pun. Rumahnya sendiri, dibangun beratus-ratus tahun lalu, terbuat dari batu; jendela-jendelanya, yang daunnya terbuat dari kayu, terkunci dan tebalnya sekitar tiga puluh senti. Pintu kayunya kuat dan didukung palang- palang besi. Tidak seberkas sinar pun bisa membias keluar dari rumah ini, tidak ada musuh yang bisa menerbbos masuk dengan cepat dalam serangan tiba-tiba. Kendati demikian, Turi Guiliano merasakan dirinya dalam bahaya. Orang-orang terkasih ini akan menjebaknya ke dalam kehidupannya yang dulu, membujuknya menjadi petani sederhana, meletakkan senjata dari sesama manusia, dan membiarkan dirinya tidak berdaya di hadapan hukum-hukum mereka. Pada saat itu ia tahu ia harus bersikap kejam terhadap orang-orang yang paling dicintainya Sudah menjadi impiannya sejak dulu untuk mendapatkan cinta dan bukannya kekuasaan. Tapi semua- nya telah berubah. Ia sekarang melihat jelas bahwa kekuasaan menempati urutan pertama. Ia berbicara pelan kepada Hector Adonis dan orang-orang lainnya. "Godfather yang baik, aku tahu kau berbicara karena rasa sayang dan perhatianmu. Tapi aku tidak bisa membiarkan ibu dan ayahku kehilangan sepetak tanah untuk membantuku melepaskan diri dari masalah. Dan kalian semua yang hadir di sini, jangan terlalu mengkhawatirkan diriku. Aku pria dewasa yang harus membayar kecerobohannya sendiri. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun membayar ganti rugi untuk carabinieri yang sudah kutembak itu. Ingat, dia mencoba membunuhku hanya karena aku menyelundupkan sepotong keju. Aku tidak akan pernah menembaknya kalau aku tidak mengira diriku sekarat dan ingin menyamakan kedudukan. Tapi semua itu sudah berlalu. Lain kali aku tidak akan begitu mudah ditembak" Pisciotta berkata sambil menyeringai, "Lagi pula di pegunungan lebih asyik." Tapi ibu Guiliano tidak teralihkan. Mereka semua bisa melihat kepanikannya, ketakutan dalam matanya yang membara. Ia mengeluh putus asa, "Jangan menjadi bandit, jangan merampok orang-orang miskin yang sudah cukup sengsara dalam hidup mereka. Jangan menjadi pelanggar hukum. Izinkan La Venera memberitahumu kehidupan macam apa yang dulu dijalani suaminya." Ia Venera mengangkat kepala dan memandang lurus kepada Guiliano. Guiliano terpesona melihat sensualitas di wajahnya, seakan-akan wanita itu berusaha menarik gairah dirinya terhadapnya. Mata La Venera mantap dan menatap Guiliano hampir seperti mengundang. Sebelumnya Guiliano hanya menganggapnya sebagai wanita yang lebih tua; sekarang ia merasakan keberadaan La Venera secara seksual. Sewaktu La Venera berbicara, suaranya serak oleh emosi. Ia berkata, "Di pegunungan yang sama ke mana kau ingin pergi, suamiku terpaksa hidup seperti hewan. Selalu ketakutan. Selalu. Dia tak bisa makan. Dia tak bisa tidur. Sewaktu kami berada di tempat tidur, suara sekecil apa pun akan mengejutkan dirinya. Kami tidur dengan senapan-senapan di lantai di samping ranjang. Tapi itu tidak membantunya. Sewaktu putri kami sakit, dia mencoba mengunjunginya, dan mereka telah menantikan kedatangannya. Mereka tahu hatinya lembut. Dia ditembak seperti anjing di jalanan. Mereka berdiri di atasnya dan menertawakan diriku." Guiliano bisa melihat seringai pada wajah Pisciotta. Candeleria, si bandit besar, berhati lembut? Ia membantai enam orang yang dicurigainya sebagai mata-mata, mengincar para petani kaya, memeras uang dari para petani miskin, menyebarkan teror di seluruh pedalaman. Tapi istrinya memandangnya dengan cara berbeda. Ia Venera tidak menyadari senyum Pisciotta. Ia melanjutkan, "Kumakamkan dia dan lalu anakku seminggu kemudian. Kata mereka putriku menderita radang paru-paru. Tapi aku tahu dia patah hati. Yang paling kuingat adalah sewaktu mengunjungi suamiku di pegunungan. Dia selalu kedinginan dan kelaparan, dan terkadang sakit. Dia mau memberikan apa saja asalkan bisa kembali ke kehidupan sebagai petani yang 143 jujur. Tapi yang paling buruk, hatinya menjadi sekeras biji zaitun. Dia bukan lagi manusia, semoga dia beristirahat dengan tenang. Jadi, Turi sayang, jangan sebangga itu. Kami akan membantumu dalam kesial-anmu, jangan menjadi seperti suamiku sebelum dia tewas." Semua orang membisu, Pisciotta tidak lagi tersenyum. Ayah Guiliano bergumam ia justru senang bisa menyingkirkan ladangnya; ia bisa tidu& sampai siang Hector Adonis menunduk menatap taplak meja, mengerutkan kening. Tidak satu pun dari mereka berbicara. Kesunyian itu dipecahkan oleh ketukan cepat di pintu, tanda dari salah seorang pengawas. Pisciotta keluar menemui pria itu Sewaktu masuk kembali, ia memberi isyarat kepada Guiliano agar mempersenjatai diri. "Barak-barak carabinieri terang benderang," katanya. "Dan van polisi memblokir ujung jalan Via Belia di pintu masuk lapangan. Mereka bersiap-siap menyerbu rumah ini." Ia diam sejenak. "Kita harus bergegas mengucapkan selamat tinggal." Yang memesona semua orang adalah ketenangan Turi Guiliano dalam mempersiapkan pelariannya. Ibunya menghambur ke dalam pelukannya dan sambil membalas pelukan itu, ia memegang jaket kulit dombanya. Ia mengucapkan selamat tinggal kepada yang lain dan sesaat kemudian telah bersenjata lengkap, jaket dikenakan, senapan disandang, Sekalipun begitu ia tidak bergerak dengan cepat atau tergesa-gesa. Ia berdiri di sana sejenak, tersenyum kepada mereka dan berkata kepada Pisciotta, "Kau bisa tetap di sini dan menemuiku di pegunungan nanti, atau ikut denganku se- karang." Tanpa mengatakan apa-apa Pisciotta melangkah ke pintu belakang dan membukanya. Guiliano memeluk ibunya untuk yang terakhir kali, dan ibunya menciumi dirinya habis-habisan seraya berkata, "Bersembunyilah, jangan bertindak gegabah. Biarkan kami membantumu." Tapi Guiliano sudah melepaskan diri dari pelukannya. Pisciotta yang memimpin perjalanan, menyeberangi ladang-ladang menuju lereng pegunungan. Guiliano bersiul tajam dan Pisciotta berhenti untuk memberi kesempatan pada Turi menyusulnya. Jalan ke pegunungan aman, dan menurut para pengawas tidak ada patroli polisi di jalan itu. Mereka akan aman di Grotta Bianca sesudah mendaki selama empat jam. Kalau carabinieri mengejar mereka dalam kegelapan, tindakan itu entah keberanian atau ketololan luar biasa. Guiliano bertanya, "Aspanu, berapa banyak anggota carabinieri di garnisun mereka?" "Dua belas," jawab Pisciotta. "Dan Maresciallo." Guiliano tertawa. "Tiga belas, angka sial. Dan kenapa kita melarikan diri dari sedikit orang itu?" Ia diam sejenak lalu berkata, "Ikut aku." Ia memimpin jalan kembali melintasi ladang-ladang sehingga mereka memasuki Montelepre lebih jauh lagi. Lalu menyeberangi Via Bella agar mereka bisa mengawasi rumah Guiliano dari lorong sempit yang gelap dan aman. Mereka berjongkok dalam bayang-bayang, menunggu. Lima menit kemudian mereka bisa mendengar deru jip menyusuri Via Belia. Enam carabinieri berjejalan di dalamnya termasuk Maresciallo sendiri. Dua di antaranya segera memasuki jalan-jalan samping untuk mem- blokir pintu belakang. Maresciallo dan tiga anak buahnya melangkah ke pintu dan memukulinya kuat-kuat. Pada saat yang sama sebuah truk kecil tertutup berhenti di belakang jip dan dua carabinieri lagi, dengan senapan siap ditembakkan, melompat turun untuk mengatur jalan. Turi Guiliano mengawasi semuanya dengan penuh minat Penggerebekan polisi berdasarkan anggapan sasaran mereka tidak sedang dalam posisi melancarkan serangan balasan; satu-satunya alternatif mereka hanyalah melarikan diri dari kekuatan yang lebih unggul. Turi Guiliano pada saat itu menetapkan prinsip dasar untuk selalu berada dalam-posisi balas menyerang saat diburu, tidak peduli seberapa tipis peluangnya, atau barangkali semakin tipis kemungkinannya justru semakin baik Ini operasi taktis pertama Guiliano dan ia terpesona melihat betapa mudah baginya mengendalikan situasi kalau ia memilih pertumpahan darah. Benar, ia tidak bisa menembak Maresciallo dan ketiga anak buahnya di pintu karena peluru-pelurunya mungkin menembus ke dalam rumah dan mengenai keluarganya. Tapi ia bisa membantai dengan mudah kedua petugas yang menjaga jalan dan dua pengemudi di kendaraan masing-masing. Kalau mau, ia bisa melakukannya begitu Maresciallo dan anak buahnya masuk ke dalam rumah keluarga Guiliano. Mereka tidak akan berani keluar, dan dirinya serta Pisciotta bisa berjalan ke ladang-ladang dengan santai. Sedangkan van yang memblokir di ujung jalan, jarak mereka terlalu jauh sehingga tak perlu diperhitungkan. Mereka tidak akan memiliki inisiatif menyusuri jalan tanpa perintah. Tapi pada saat ini ia tidak ingin menumpahkan darah. Gerakannya masih merupakan manuver intelektual. Dan ia terutama ingin melihat Maresciallo beraksi, karena inilah orang yang akan menjadi musuh utamanya di masa depan. Pada saat itu pintu rumah dibuka oleh ayah Guiliano, dan Maresciallo meraih lengan pria tua itu dengan kasar dan mendorongnya ke jalan diiringi teriakan, menyuruhnya menunggu di sana. Seorang Maresciallo dari carabinieri Italia merupakan bintara tertinggi dari pasukan Kepolisian Nasional dan biasanya merupakan komandan detasemen kota kecil. Oleh karena itu ia dianggap orang penting dalam masyarakat setempat dan diperlakukan dengan hormat, sama seperti yang diterima wali kota dan pastor setempat. Jadi ia tidak menduga akan mendapat sambutan dari ibu Guiliano ketika wanita itu menerjang ke arahnya dan meludah ke tanah di depannya, untuk menunjukkan kejijikannya. Ia dan ketiga anak buahnya harus menerobos ke dalam rumah dan menggeledahnya sementara dimaki-maki dan dilecehkan oleh ibu Guiliano. Semua orang dibawa keluar ke jalan untuk ditanyai; rumah-rumah tetangga dikosongkan dari orang-orang yang juga mengata-ngatai para polisi. Ketika penggeledahan dalam rumah terbukti tidak menghasilkan apa-apa, Maresciallo mencoba menanyai para penghuninya. Ayah Guiliano tertegun. "Menurutmu aku akan mengkhianati putraku sendiri?" tanyanya kepada Maresciallo, dan raungan persetujuan terdengar dari kerumunan di jalan. Maresciallo memerintahkan keluarga Guiliano masuk kembali ke dalam rumah. Dalam bayang-bayang di lorong, Pisciotta berkata kepada Guiliano, "Mereka beruntung karena ibumu tidak menyimpan senjata kita." Tapi Turi tidak menjawab. Darah mengalir deras ke kepalanya.. Ia harus berjuang keras untuk mengendalikan diri. Maresciallo mengayunkan gada dan memukul pria dalam kerumunan yang berani memprotes perlakuan kasar terhadap orangtua Guiliano. Dua carabinieri lainnya mulai menangkapi penduduk Montelepre secara acak dan melemparkan mereka ke dalam truk yang menunggu, menendangi dan memukuli mereka sepanjang jalan, tanpa mengacuhkan jerit ketakutan dan protes mereka. Tiba-tiba seorang laki-laki berdiri sendirian di jalan menghadapi carabinieri. Ia menerjang Maresciallo. Terdengar tembakan, dan pria itu jatuh ke jalan. Dari salah satu rumah seorang wanita menjerit dan berlari keluar, menghambur ke suaminya yang jatuh. Turi Guiliano mengenali wanita itu, ia teman lama keluarganya yang selalu membawakan kue Paskah yang baru dipanggang untuk ibunya. Turi menepuk bahu Pisciotta dan berbisik, "Ikut aku," dan mulai berlari menyusuri jalan sempit berliku-liku ke arah lapangan kota, di ujung seberang Via Belia. Pisciotta berteriak keras, "Apa yang kaulakukan?" tapi lalu terdiam. Karena tiba- tiba ia menyadari apa yang direncanakan Turi. Truk penuh tahanan itu terpaksa menyusuri Via Belia untuk berputar balik dan kembali ke Barak Bellampo. Saat ia berlari menyusuri jalan sejajar yang gelap, Turi Guiliano merasa tidak kasatmata, bagai dewa. Ia tahu musuh tidak akan pernah bermimpi, tidak akan pernah bisa membayangkan, apa yang dilakukannya. Ia tahu mereka mengira dirinya melarikan diri ke pegunungan. Ia merasakan kegembiraan yang liar. Mereka akan belajar bahwa mereka tidak bisa menyerbu rumah ibunya begitu saja, mereka akan berpikir dua kali sebelum melakukannya lagi. Mereka tidak lagi bisa menembak seseorang dengan darah dingin. Ia akan memaksa mereka menunjukkan penghormatan kepada tetangga dan keluarganya. Ia tiba di seberang alun-alun, dan dalam siraman cahaya satu-satunya lampu jalan yang ada ia bisa melihat van polisi yang memblokir jalan masuk ke Via Belia. Memangnya ia bisa ditangkap dengan jebakan seperti itu? Apa yang mereka pikirkan? Apa itu merupakan contoh kepandaian pejabat? Ia berpindah ke jalan samping yang lain agar bisa menuju pintu belakang gereja yang mendominasi alun-alun, Pisciotta mengikutinya. Di dalam, mereka berdua melompati pagar altar lalu berhenti sejenak di panggung suci tempat bertahun- tahun berselang mereka bertugas sebagai putra-putra altar dan melayani pastor sementara ia melayani Misa Minggu dan Komuni bagi penduduk Montelepre. Sambil menyandang senjata yang siap ditembakkan, mereka berlutut dan membuat tanda salib dengan kikuk; sejenak kekuatan patung-patung lilin Kristus yang bermahkotakan duri, patung-patung Bunda Maria yang berjubah biru, dan sederet patung orang suci, menumpulkan keinginan mereka bertempur. Lalu mereka berlari menyusuri lorong pendek ke pintu kayu ek besar yang memberi mereka bidang tembak ke lapangan. Dan mereka kembali berlutut untuk menyiapkan senjata. 149 Van yang memblokir Via Bella mundur untuk memberi kesempatan truk berisi tahanan memasuki alun-alun supaya bisa berputar balik dan kembali menyusuri jalan. Pada saat itu Turi Guiliano mendorong pintu gereja hingga terbuka dan berkata kepada Pisciotta, 'Tembak ke atas kepala mereka." Pada saat yang sama ia menembakkan pistol otomatisnya ke van yang menghalangi jalan, membidik roda-roda dan mesinnya. Tiba-tiba lapangan itu terang benderang saat mesin van meledak dan van itu terbakar. Kedua carabinieri di kursi depan terhuyung- huyung keluar bagai boneka yang sendi-sendinya lemas, keterkejutan mereka tidak memberi kesempatan pada tubuh mereka untuk mengatasi shock. Di samping Guiliano, Pisciotta menembakkan senapan ke bagian depan truk yang membawa tahanan. Turi Guiliano melihat sopirnya melompat keluar dan jatuh tidak bergerak lagi. Carabinieri bersenjata lainnya melompat keluar dan Pisciotta kembali menembak. Petugas polisi kedua jatuh. Turi berpaling kepada Pisciotta untuk memarahinya, tapi tiba-tiba jendela-jendela kaca berwarna gereja pecah beran-takan akibat tembakan senapan mesin dan serpihan warna-warni jatuh ke lantai gereja bagaikan batu mirah. Turi menyadari tidak ada lagi kemungkinan pengampunan. Aspanu benar. Mereka harus membunuh atau dibunuh. Guiliano menarik lengan Pisciotta dan berlari kembali menerobos gereja,, keluar melalui pintu belakang dan menyusuri jalan-jalan Montelepre yang gelap dan berliku-liku. Ia sadar malam ini tidak ada harapan untuk membantu para tahanan melarikan diri. Mereka menyelinap melewati dinding terakhir kota, melintasi ladang-ladang terbuka, dan terus berlari sampai mereka aman di lereng-lereng menanjak yang dipenuhi bongkahan batu putih. Fajar telah merekah sewaktu mereka tiba di puncak Mpnte d'Ora di Pegunungan Cammarata. Lebih dari seribu tahun lalu Spartacus menyembunyikan pasukan budaknya di sini dan memimpin mereka keluar untuk melawan legiun Romawi. sSaat berdiri di puncak Monte d'Ora ini, mengawasi matahari terbit, Turi Guiliano dipenuhi sukacita belia karena berhasil meloloskan diri dari musuh-musuhnya. Ia tidak akan pernah mematuhi sesama manusia lagi. Ia akan memilih siapa yang tetap hidup dan siapa yang mati, dan tidak ada keragu-raguan dalam benaknya bahwa semua yang akan'dilakukannya adalah demi kejayaan dan kemerdekaan Sisilia, untuk kebaikan dan bukan untuk kejahatan. Ia hanya akan menyerang demi keadilan, untuk membantu orang miskin. Ia akan memenangkan setiap pertempuran, memenangkan cinta orang-orang yang tertekan. Ia berusia dua puluh tahun. Bab 7 DON CROCE MALO dilahirkan di desa Villaba, lubang lumpur kecil yang dijadikannya makmur dan terkenal di seluruh Sisilia. Bagi orang Sisilia, tidaklah ironis ia berasal dari keluarga religius yang menyiapkan dirinya untuk menjadi pastor di Gereja Katolik Suci, dan nama pertamanya yang sebenarnya adalah Crocefisso, nama religius yang hanya diberikan oleh orangtua yang paling saleh. Tentu saja, sebagai pemuda bertubuh ramping ia dipaksa memainkan peran sebagai Kristus dalam drama-drama keagamaan yang diselenggarakan untuk merayakan Paskah Suci dan kesalehan dirinya diakui. Tapi sewaktu tumbuh dewasa di pergantian abad, jelas Croce Malo sulit menerima kekuasaan yang bukan berasal dari dirinya sendiri. Ia menyelundup, ia memeras, ia mencuri, dan akhirnya, yang paling buruk, ia menghamili gadis belia di desanya—pemeran Magdalena dalam drama. Ia lalu menolak menikahinya, berdalih mereka berdua terhanyut dalam semangat religius drama itu, dan oleh karena itu dirinya seharusnya dimaafkan. Keluarga gadis itu mendapati penjelasannya terlalu samar dan menuntut pernikahan atau kematian. Croce Malo terlalu bangga diri untuk menikahi gadis yang begitu ternoda dan melarikan diri ke pegunungan. Sesudah setahun menjalani kehidupan sebagai bandit, ia mendapat nasib baik sehingga bisa berhubungan dengan Mafia. "Mafia," dalam bahasa Arab berarti tempat perlindungan, dan kata itu mendapat tempat dalam bahasa Sisilia sewaktu bangsa Saracen memerintah negeri itu di abad ke-10. Sepanjang sejarah, orang-orang Sisilia ditekan habis-habisan oleh orang-orang Romawi, Ke-pausan, Normandia, Prancis, Jerman, dan Spanyol. Pemerintah memperbudak kelas pekerja yang miskin, mengeksploitasi tenaga mereka, memerkosa para wanita mereka, membunuhi para pemimpin mereka. Bahkan kaum kaya pun tidak luput. Para Inkuisitor Spanyol dari Gereja Katolik Suci merampas harta kekayaan mereka dengan alasan mereka orang sesat. Jadi "Mafia" pun muncul sebagai kelompok rahasia para pembalas dendam. Sewaktu pengadilan kerajaan menolak menghukum bangsawan Normandia yang memerkosa istri petani, sekelompok petani membunuhnya. Sewaktu kepala polisi menyiksa pencuri kelas teri dengan cassetta yang ditakuti, kepala polisi itu ditemukan tewas terbunuh. Pelan-pelan para petani dan kaum miskin yang berkemauan paling kuat mengorganisir diri menjadi kelompok yang mendapat dukungan rakyat dan akhirnya menjadi pemerintah bayangan yang lebih kuat Kalau ada kesalahan yang harus diperbaiki, tidak ada yang mau menemui polisi, mereka menemui pemimpin Mafia setempat, yang menjadi perantara masalah tersebut. Kejahatan terbesar yang bisa dilakukan orang Sisilia adalah memberikan informasi apa pun kepada pihak berwenang mengenai apa pun yang dilakukan Mafia. Mereka menutup mulut. Dan aksi ini kemudian dikenal dengan nama omerta. Selama berabad-abad praktik tersebut berkembang hingga mereka tidak pernah mem-beritahu polisi mengenai kejahatan bahkan yang menimpa diri sendiri. Semua komunikasi antara rakyat dan para penegak hukum terputus sehingga anak kecil pun diajari untuk tidak memberi orang asing petunjuk arah ke desa atau rumah seseorang. Selama berabad-abad Mafia memerintah Sisilia, kehadirannya begitu tersembunyi dan tidak kentara sehingga pihak berwenang tidak pernah benar- benar memahami seberapa besar kekuasaannya. Sampai Perang Dunia H, kaa "Mafia" tidak pernah diucapkan di Pulau Sisilia. Lima tahun sesudah Don Croce melarikan diri ke pegunungan, ia terkenal sebaga "Orang yang Berkualitas". Yaitu orang yang bisa dipercaya untuk menghabisi orang lain. dengan dampak serninimal mungkin. h. "Orang Terhormat", dan sesudah mengatur segala sesuatu, ia pulang kembali ke Villaba, sekitar 65 kilometer arah selatan Palermo. Pengaturan ini termasuk membayar tebusan kepada keluarga gadis yang diper-malukannya. Hal ini kemudian dianggap sebagai ukuran kedermawanannya, tapi sebenarnya lebih merupakan pertanda kebijakannya. Gadis yang hamil itu dikirim ke kerabatnya di Amerika dengan label janda muda untuk menyembunyikan aib, tapi keluarganya ingat. Bagaimanapun juga, mereka orang Sisilia. Don Croce, pembunuh ahli, pemeras brutal, anggota Friends of the Friends yang menakutkan, tidak bisa mengandalkan semua ini untuk melindungi diri dari keluarga yang dipermalukan itu. Ini soal kehormatan, dan kalau bukan . karena tebusan itu, mereka akan terpaksa membunuhnya tidak peduli konsekuensinya. Dengan menggabungkan kedermawanan dan kebijaksanaan, Croce Malo mendapat gelar terhormat "Don". Pada waktu berusia empat puluh tahun ia telah diakui sebagai anggota Friends of the Friends paling terkemuka dan sering dimintai bantuan untuk membereskan perselisihan berat antara cosce-cosce— atau "klan"—Mafia yang bersaing, membereskan vendetta paling sadis. Ia orang yang logis, ia pandai, ia diplomat berbakat, tapi yang paling penting, ia tidak jatuh pingsan kalau melihat darah. Ia kemudian terkenal sebaga "Don Perdamaian" di seluruh Mafia Sisilia, dan semua orang makmur; orang-orang yang keras kepala dibunuh dan Don Croce menjadi kaya. Bahkan adik lelakinya, Benjamino, menjadi sekretaris Kardinal Palermo, tapi darah lebih kental daripada air suci dan kesetiaan pertamanya adalah kepada Don Croce. Ia menikah dan menjadi ayah bocah lelaki yang dipujanya. Don Croce—saat itu tidak sebijaksana sekarang, tidak serendah hati sebagaimana kemudian dipelajarinya melalui lecutan kesengsaraan—merancang kudeta yang menyebabkan ia terkenal di seluruh Sisilia, dan menjadi objek kekaguman masyarakat kelas tertinggi Romawi. Kudeta ini muncul dari ketidakcocokan pernikahan yang bahkan harus dialami orang-orang terhebat dalam sejarah. Don Croce, karena posisinya dalam Friends of the Friends, menikahi anggota keluarga angkuh yang baru-baru ini membeli gelar kebangsawanan dengan sejumlah besar uang sehingga darah mereka pun berubah biru. Sesudah menikah selama beberapa tahun, istrinya memperlakukan dirinya dengan kurang hormat, kesalahan yang menurut Don Croce harus diperbaiki meskipun, tentu saja, tidak dengan gayanya yang biasa. Darah biru sang istri menyebabkan ia menganggap rendah gaya hidup kasar dan sederhana kaum petani, sikap Don Croce yang tidak mengatakan apa-apa kalau tidak ada yang perlu dikatakan, pakaiannya yang biasa, kebiasaannya yang suka memerintah dengan kasar. Istrinya juga teringat betapa para pelamar lainnya seketika mundur teratur begitu Don Croce mengumumkan keinginannya, melamar dirinya. Tentu saja sang istri tidak menunjukkan perasaan tidak hormatnya secara mencolok. Bagaimanapun juga, ini Sisilia, bukan Inggris atau Amerika. Tapi Don memiliki jiwa sangat peka. Ia segera menyadari istrinya tidak memuja cara hidupnya, dan itu sudah menjadi bukti rasa tidak hormatnya. Don Croce membulatkan tekad untuk memenangkan hati sang istri dengan cara sedemikian rupa sehingga bertahan sampai akhir hayat, sehingga ia bisa memusatkan perhatian pada bisnis sepenuhnya. Benaknya yang lincah berjuang keras mencari cara mengatasi masalah itu dan mencetuskan rencana yang menjadikan dirinya layak disejajarkan dengan Machiavelli. Raja Italia akan datang ke Sisilia untuk mengunjungi orang-orang yang setia padanya, dari mereka memang benar-benar setia. Semua orang Sisilia membenci pemerintah Roma dan takut terhadap Mafia. Tapi mereka mencintai keluarga kerajaan karena mereka memiliki hubungan darah dengan Bunda Maria dan Tuhan sen- 156 diri. Festival-festival besar disiapkan untuk kunjungan Raja. Di hari Minggu pertamanya di Sisilia, Raja menghadiri Misa di Katedral Palermo yang agung. Ia akan menjadi bapak permandian bagi salah satu keluarga bangsawan lama Sisilia, Pangeran Ollorto. Raja telah menjadi bapak permandian bagi sedikitnya seratus anak, para putra marsekal, bupati, dan orang- orang paling berkuasa dari partai Fasis. Kesediaan itu merupakan langkah politik untuk mengukuhkan hubungan antara kerajaan dan para eksekutif pemerintahan. Anak-anak baptis kerajaan otomatis menjadi Kesatria Kerajaan dan mendapat dokumen serta ikat pinggang lebar untuk membuktikan kehormatan yang mereka terima. Juga cangkir perak kecil. Don Croce sudah siap. Tiga ratus anak buahnya hadir dalam festival. Adiknya, Benjamino, merupakan salah satu pastor yang melaksanakan upacara itu. Bayi Pangeran Ollorto dibaptis, dan ayahnya yang bangga keluar dari katedral sambil mengangkat bayinya tinggi-tinggi penuh kemenangan. Para penonton berteriak menyatakan persetujuan. Pangeran Ollorto salah satu kaum bangsawan yang tidak begitu dibenci, pria ramping yang tampan; penampilan memang selalu dinilai tinggi di Sisilia. Pada saat itu sekelompok anak buah Don Croce menyeruak maju memasuki katedral dan dengan efektif memblokir jalan keluar Raja. Raja seorang pria kecil dengan kumis lebih lebat daripada rambut di kepalanya. Ia mengenakan seragam lengkap Kesatria berkuda, yang menyebabkan dirinya tampak seperti prajurit mainan. Kendati penampilannya angkuh, ia sangat baik. Jadi sewaktu Pater Benjamino menyodorkan bayi lain lagi, ia bingung tapi tidak memprotes. Kerumunan orang yang mendesak maju, sesuai instruksi Don Croce, menghalanginya dari anggota rombongannya dan Kardinal Palermo sehingga mereka tidak bisa turut campur. Pater Benjamino bergegas memercikkan air suci dari kolam di dekatnya dan menyambar bayi itu dari pelukan Raja dan menyerahkannya kepada Don Croce. Istri Don Croce menitikkan air mata bahagia saat berlutut di depan Raja. Raja menjadi bapak permandian anak mereka satu-satunya. Ia tidak bisa meminta lebih banyak lagi. Don Croce bertambah gemuk dan wajah kurusnya menumbuhkan pipi-pipi bagaikan lempengan kayu mahoni; hidungnya menjadi mirip paruh besar yang berfungsi sebagai antena kekuasaan. Rambutnya berubah menjadi uban seperti warna kawat duri. Tubuhnya menggembung anggun; matanya menjadi berpelupuk dengan daging yang tumbuh bagai lumut lebat di wajahnya. Kekuasaannya meningkat seiring setiap kilogram pertambahan berat tubuhnya sampai ia menjadi bagai tugu yang tak bisa diterobos. Ia tampaknya tidak memiliki kelemahan sebagai manusia; ia tidak pernah menunjukkan kemarahan, tidak pernah menunjukkan keserakahan. Ia penuh kasih pada semua orang tapi tidak pernah menunjukkan cinta. Ia sadar akan tanggung jawabnya yang berat dan karenanya tidak pernah mengutarakan ketakutannya di ranjang istrinya atau di atas payudaranya. Ia Raja Sisilia yang sebenarnya. Tapi putranya—sang putra mahkota—terserang penyakit aneh reformasi sosial religius dan pindah ke Brasilia untuk mendidik dan meningkatkan taraf hidup suku Indian liar di sepanjang Amazon. Don begitu malu hingga tidak pernah menyinggung- nyinggung nama putranya lagi. Di awal naiknya Mussolini ke takhta, Don Croce tidak terkesan. Ia mengamat^ Mussolini dengan hati-hati dan mencapai kesimpulan orang itu tidak cerdik maupun berani. Dan kalau orang seperti itu bisa memerintah Italia, berarti ia, Don Croce, bisa memerintah Sisilia. Tapi lalu bencana menimpa. Sesudah berkuasa selama beberapa tahun, Mussolini mengalihkan perhatiannya ke Sisilia dan Mafia. Ia menyadari Mafia bukanlah sekumpulan penjahat compang-camping melainkan pemerintah bayangan sejati yang mengendalikan sebagian kekaisarannya. Dan ia menyadari bahwa sepanjang sejarah Mafia bersekongkol melawan pemerintahan apa pun yang memerintah Roma. Para penguasa Sisilia selama seribu tahun terakhir telah mencoba dan gagal. Sekarang sang Diktator bersumpah untuk menghancurkan mereka untuk selama-lamanya. Kaum Fasis tidak memercayai demokrasi, aturan hukum masyarakat. Mereka berbuat sesuka hati demi apa yang menurut mereka baik bagi negara. Pendeknya, mereka menggunakan metode-metode Don Croce Malo. Mussolini mengirim menterinya yang paling tepercaya, Cesare Mori, ke Sisilia sebagai Kepala Daerah dengan kekuasaan tanpa batas. Mori memulai dengan membekukan semua pengadilan di Sisilia dan melangkahi semua pengamanan hukum orang-orang di sana. Ia membanjiri Sisilia dengan pasukan yang diperintah- kan menembak terlebih dulu dan bertanya kemudian. Ia menangkap dan mendeportasi seluruh desa. Sebelum masa kediktatoran, Italia tidak memberlakukan hukuman mati, yang merupakan kerugian dalam perlawanan terhadap Mafia yang menggunakan kematian sebagai alat penegak hukum utamanya. Semua ini berubah di bawah pimpinan Kepala Daerah Mori. Anggota Mafia yang bangga—yang mematuhi hukum omerta, bertahan bahkan dalam menghadapi cassetta yang menakutkan— ditembak. Mereka yang dituduh bersekongkol dibuang ke pulau kecil terisolir di Mediterania. Dalam waktu setahun Pulau Sisilia dilumpuhkan, Mafia sebagai kekuatan pemerintahan dihancurkan. Roma tidak peduli ribuan orang tak bersalah terjebak dalam jaring-jaring yang luas ini dan menderita bersama mereka yang bersalah. Don Croce menyukai keadilan demokrasi dan murka melihat tindakan Fascist! kaum Fasis itu. Teman-teman dan kolega-koleganya dipenjara dengan tuduhan dibuat-buat, karena mereka terlalu pandai sampai-sampai tidak meninggalkan jejak kejahatan mereka. Banyak yang dipenjara hanya karena desas-desus, informasi rahasia dari para bajingan yang tidak bisa dilacak dan diajak bicara, karena mereka tidak perlu muncul terang-terangan dan bersaksi. Di mana keadilan hukum? Kaum Fasis kembali ke era Inkuisisi, ke zaman hak istimewa raja-raja. Don Croce tidak pernah memercayai hak istimewa raja, ia sungguh yakin tidak ada manusia waras bersedia memercayai hak itu kecuali ia terancam dicabik-cabik empat ekor kuda liar. Lebih buruk lagi, kaum Fasis menghadirkan kem- bali cassetta, alat penyiksaan abad pertengahan—kotak sepanjang satu meter, lebar 60 sentimeter, yang menghasilkan keajaiban pada tubuh-tubuh yang keras kepala. Bahkan anggota Mafia yang paling gigih pun mendapati lidahnya sama kendurnya sebagaimana moral wanita Inggris bila berhadapan dengan cassetta. Don Croce dengan marah membual ia tidak pernah menggunakan penyiksaan apa pun. Pembunuhan saja sudah cukup. Seperti seekor paus yang agung, Don Croce menyelam dalam perairan keruh dunia bawah tanah Sisilia. Ia memasuki biara sebagai biarawan Fransiskan gadungan, di bawah perlindungan Kepala Biara Manfredi. Mereka memiliki hubungan lama dan menyenangkan. Don, walaupun bangga dengan buta hurufnya, terpaksa mempekerjakan Kepala Biara untuk menulis surat tuntutan tebusan sewaktu menerjuni bidang penculikan di awal kariernya. Mereka selalu jujur satu sama lain. Mereka mendapati selera mereka sama—wanita gampangan, anggur yang enak, dan pencurian yang rumit Don sering mengajak Kepala Biara ke Swiss untuk mengunjungi dokternya dan mencicipi kemewahan damai negara itu. Perubahan yang menenteramkan dan menyenangkan dari kesenangan yang lebih berbahaya di Sisilia. Sewaktu Perang Dunia II pecah, Mussolini tidak lagi bisa memberikan perhatian penuh pada Sisilia. Don Croce segera mengambil kesempatan ini untuk membangun jaringan komunikasi dengan Friends of the Friends yang tersisa, mengirimkan pesan harapan kepada orang-orang kuat Mafia lama yang dibuang ke pulau-pulau kecil Pantelleria dan Stromboli. Ia ber- sahabat dengan keluarga-keluarga pemimpin Mafia yang dipenjarakan oleh Kepala Daerah Mori. Don Croce tahu satu-satunya harapan, pada akhirnya, adalah kemenangan Sekutu, dan ia harus mengerahkan segenap upaya untuk mencapainya. Ia mengadakan kontak dengan kelompok-kelompok partisan bawah tanah dan memerintahkan anak buahnya menolong pilot Sekutu mana pun yang selamat setelah pesawatnya ditembak jatuh. Karena itu, pada saat-saat kritis, Don Croce telah siap. Sewaktu Angkatan Darat Amerika menginvasi Sisilia di bulan Juli 1943, Don Croce mengulurkan bantuan. Bukankah banyak sesama orang Sisilia di antara pasukan penyerbu itu, putra-putra para imigran? Apa orang Sisilia harus bertempur melawan sesama orang Sisilia demi orang Jerman? Anak buah Don Croce membujuk ribuan prajurit Italia untuk desersi dan bersembunyi di tempat yang disiapkan Mafia bagi mereka. Don Croce sendiri mengadakan kontak dengan agen-agen rahasia Angkatan Darat Amerika dan mengantar pasukan penyerang melewati celah-celah pegunungan sehingga mereka bisa mengepung meriam-meriam Jerman. Sementara pasukan Inggris di seberang pulau menderita korban dalam jumlah besar dan hanya bisa maju pelan-pelan, Angkatan Darat Amerika menyelesaikan misinya jauh lebih cepat dari jadwal dan dengan korban sangat sedikit. Don Croce sendiri, meskipun hampir berusia 65 tahun dan luar biasa tambun, memimpin sekelompok partisan Mafioso ke Palermo dan menculik jenderal Jerman yang memimpin pertahanan. Ia bersembunyi bersama tawanannya di kota sampai garis depan hancur dan Angkatan Darat Amerika berderap masuk. Komandan Tertinggi Amerika untuk Italia selatan menyebut Don Croce dalam laporannya ke Washington sebaga "Jenderal Mafia". Dan begitulah ia dikenal oleh para perwira staf Amerika selama bulan-bulan berikutnya. Gubernur Militer Amerika untuk Sisilia adalah Kolonel Alfonso La Ponto. Sebagai politisi tingkat tinggi dari Negara Bagian New Jersey, ia menerima perintah langsung dan dilatih khusus untuk tugas ini. Aset terbesarnya adalah keramahan dan pengetahuannya tentang bagaimana membereskan transaksi politik. Para perwira staf dalam pemerintahan militernya dipilih berdasarkan kualifikasi yang sama. Markas besar Pemerintahan Militer Amerika terdiri atas dua puluh perwira dan lima puluh anggota wajib militer. Banyak di antara mereka keturunan Italia. Don Croce menyambut mereka semua dengan kasih saudara sedarah yang tulus, memperlihatkan setiap tanda pengabdian dan sayang kepada mereka. Terlepas dari fakta di hadapan teman-temannya ia sering menyebut mereka sebagai "Domba kita dalam Kristus". Tapi Don Crcce "selalu menepati janji", seperti sering dikatakan orang Amerika. Kolonel La Ponto menjadikan Don Croce teman baik dan kepala penasihatnya. Sang kolonel sering datang ke rumah Don Croce untuk menikmati hidangan makan malam yang akrab di lidahnya. Masalah pertama yang harus diselesaikan adalah menunjuk wali-wali kota baru di seluruh kota-kota kecil Sisilia- Para wali kota yang dulu tentu saja anggota kelompok Fasis, dan telah ditahan di penjara Amerika. Don Croce merekomendasikan para pemimpin Mafia yang dipenjarakan. Karena catatan mereka dengan jelas menunjukkan mereka disiksa dan dipenjara oleh pemerintah Fasis karena melawan tujuan dan kesejahteraan negara, tuduhan- tuduhan kejahatan mereka pun dianggap hanya dibuat-buat. Don Croce, sambil menikmati ikan dan spaghetti lezat buatan istrinya, menceritakan kisah-kisah indah betapa teman-temannya— semuanya pembunuh dan pencuri—menolak mengingkari kepercayaan mereka akan prinsip-prinsip demokratis keadilan dan kebebasan. Sang kolonel merasa senang bisa menemukan orang-orang ideal dalam waktu secepat itu untuk mengatur masyarakat sipil di bawah pengarahannya. Dalam waktu sebulan sebagian besar kota di Sisilia Barat memiliki wali kota yang terdiri atas para anggota Mafia paling ulet yang bisa ditemukan di penjara Fasis. Dan mereka berfungsi sangat baik bagi Angkatan Darat Amerika. Hanya sedikit pasukan Pendudukan yang ditinggalkan untuk mempertahankan ketertiban di kalangan orang-orang yang ditaklukkan itu. Sementara perang terus berlanjut ke daratan utama, tidak ada sabotase di garis belakang Amerika, tidak ada mata- mata berkeliaran. Pasar gelap oleh rakyat biasa berhasil ditekan hingga minimal. Kolonel menerima medali khusus dan promosi menjadi Brigadir Jenderal. Para wali kota Mafia Don Croce menegakkan hukum penyelundupan dengan sangat ketat dan carabinieri berpatroli di jalan-jalan dan celah-celah pegunungan tanpa henti. Rasanya seperti masa lalu. Don Croce me- merintah keduanya. Para inspektur pemerintah memastikan para petani yang keras kepala menyerahkan padi dan zaitun serta anggur mereka ke gudang- gudang pemerintah dengan harga yang sudah ditentukan— tentu saja, bahan makanan itu akan dibagikan kepada penduduk Sisilia. Untuk memastikan hal ini, Don Croce meminta dan menerima pinjaman truk-truk Angkatan Darat Amerika untuk mengirimkan bahan makanan ini ke kota-kota Palermo, Monreale, dan Trapani, ke Syracuse dan Catania, dan bahkan ke Napoli di daratan utama. Pihak Amerika terheran-heran melihat betapa efisiennya cara kerja Don Croce dan menghadiahinya surat pujian atas layanannya kepada pasukan bersenjata Amerika Serikat. Tapi Don Croce tidak bisa menyantap surat pujian itu, ia bahkan tidak bisa membacanya demi kesenangan dirinya sendiri, karena ia buta huruf. Tepukan di punggung dari Kolonel La Ponto tidak mengisi perutnya yang gendut. Don Croce—tidak memercayai rasa terima kasih orang-orang Amerika atau berkah yang diberikan Tuhan—membulatkan tekad bahwa kebaikannya yang begitu besar dalam melayani kemanusiaan dan demokrasi akan mendapatkan imbalan. Jadi truk-tnk Amerika yang penuh sesak itu, sopir-sopirnya dilengkapi kartu- kartu izin yang ditandatangani Kolonel, bergulir ke tujuan yang agak berbeda sesuai perintah Don Croce. Mereka membongkar muatan di gudang-gudang pribadi milik Don yang terletak di kota-kota kecil seperti Montelepre, Villaba, dan Parunico. Lalu Don Croce dan para koleganya menjual bahan makanan itu lima puluh kali lipat dari harga resminya di pasar gelap. Jadi ia mengukuhkan hubungannya dengan para pemimpin terkuat Mafia yang tengah bangkit kembali. Karena Don Croce percaya keserakahan merupakan kelemahan terbesar manusia, ia pun membagikan labanya dengan murah hati. Ia lebih dari murah hati. Kolonel La Ponto menerima hadiah-hadiah luar biasa berupa patung-patung antik, lukisan-lukisan, dan perhiasan kuno. Ini merupakan kesenangan Don. Di matanya para perwira dan orang-orang detasemen Pemerintahan Militer Amerika adalah anak-anaknya, dan seperti ayah mana pun yang memanjakan ia membanjiri mereka dengan hadiah. Orang-orang ini, dipilih terutama karena pemahaman mereka akan karakter dan kebudayaan Italia, karena banyak di antara mereka yang keturunan Sisilia, membalas kasihnya. Mereka menandatangani izin-izin perjalanan khusus, mereka merawat truk-truk yang dipinjamkan kepada Don Croce dengan perhatian lebih. Mereka menghadiri pesta-pestanya di mana mereka bertemu gadis-gadis Sisilia yang baik dan menjalin hubungan cinta hangat yang merupakan sisi lain karakter Sisilia. Diterima dalam keluarga-keluarga Sisilia ini, menyantap hidangan yang sama seperti buatan ibu mereka yang imigran, banyak di antara mereka menjalin hubungan dengan putri-putri Mafioso. Don Croce Malo memiliki semua pada tempatnya untuk memperoleh kembali kekuasaannya yang dulu. Para pemimpin Mafia di seluruh Sisilia berutang budi padanya. Ia mengendalikan sumur-sumur bor yang menjual air kepada penduduk pulau dengan harga yang memberinya laba yang bagus. Ia menciptakan monopoli bahan makanan ia mengenakan pajak untuk setiap kios di pasar yang menjual buah-buahan, setiap tukang daging yang menjual daging, kafe-kafe yang menjual kopi, bahkan musisi-musisi pengelana. Karena satu-satunya sumber bensin hanyalah Angkatan Darat Amerika, ia juga mengendalikannya. Ia menyediakan pengawas bagi lahan luas para bangsawan, dan pada waktunya merencanakan untuk membeli tanah-tanah mereka dengan harga murah. Ia dalam perjalanan meraih kekuasaan yang dimilikinya sebelum Mussolini mengambil alih Italia. Ia membulatkan tekad untuk menjadi kaya lagi. Dalam tahun-tahun mendatang ia, sebagaimana isu yang beredar, akan memeras Sisilia. Hanya satu hal yang amat mengganggu Don Croce. Putra satu-satunya terobsesi dengan keinginan eksentriknya untuk melakukan kebaikan. Adiknya, Pater Benjamino, tidak bisa berkeluarga. Don tidak memiliki keturunan untuk mewarisi kekaisarannya. Ia tidak memercayai para tangan kanannya, walaupun muda dan terikat hubungan darah, untuk bisa diandalkan saat dirinya gagal. Anak buah Don menandai Salvatore Guiliano, dan Kepala Biara Manfredi mengkonfirmasi potensinya. Sekarang legenda-legenda bocah ini melanda seluruh Sisilia. Don mencium jawaban atas satu-satunya masalahnya. Bab 8 PADA pagi hari sesudah pelarian mereka dari Montelepre, Turi Guiliano dan Aspanu Pisciotta mandi di sungai yang mengalir deras di belakang gua mereka di Monte d'Ora. Mereka membawa senjata-senjata mereka ke tepi tebing dan membentangkan sehelai selimut untuk menikmati fajar yang tercabik-cabik berkas cahaya merah muda. Grotta Bianca merupakan gua panjang yang berakhir di sekumpulan bongkahan batu besar yang mencapai—atau hampir mencapai—langit-langit gua. Sewaktu' kanak-kanak Turi dan Aspanu berhasil menerobos celah-celah batu dan menemukan lorong yang membentang hingga ke sisi lain pegunungan. Lorong itu sudah ada sebelum Kristus, digali pasukan Spartacus, untuk bersembunyi dari legiun Romawi. Jauh di bawah, semungil desa mainan, terletak Montelepre. Sekian banyak jalan setapak yang menuju tebing mereka bagaikan cacing-cacing tipis putih yang menempel di lereng-lereng pegunungan. Satu demi satu rumah-rumah batu kelabu Montelepre berubah keemasan oleh matahari terbit. Udara pagi bersih, buah-buah pir berduri yang bergeletakan di tanah terasa dingin dan manis. Turi memungut satu dan menggigitnya hati-hati untuk menyegarkan mulurnya. Beberapa jam lagi panas matahari akan mengubah buah-buah itu menjadi bola kapuk yang tidak berair. Tokek-tokek, dengan kepala besar bagai balon di atas kaki-kaki serangga yang kecil, merayapi tangannya. Tapi tokek-tokek itu tidak berbahaya walau penampilan mereka menakutkan. Guiliano menjentikkan mereka ke samping. Sementara Aspanu membersihkan senjata, Turi mengawasi kota di bawahnya. Mata telanjangnya menangkap bintik-bintik hitam mungil, orang-orang yang menuju pedalaman untuk menggarap sepetak kecil lahan mereka. Ia mencoba menemukan rumahnya sendiri. Bertahun-tahun ia dan Aspanu mengibarkan bendera Sisilia dan Amerika di atap rumah itu. Keduanya anak-anak cerdas dan ceria, dan mereka menerima pujian sebagai patriot, tapi alasan sebenarnya adalah agar tetap bisa mengawasi rumah itu sementara mereka berkeliaran di puncak-puncak gunung di sekitar kota—penghubung yang menenangkan dengan dunia orang dewasa. Tiba-tiba ia teringat kejadian sepuluh tahun lalu. Para pejabat desa yang merupakan kaum Fasis memerintahkan mereka menurunkan bendera Amerika dari atap rumah Guiliano. Kedua bocah itu begitu marah sehingga mereka menurunkan kedua bendera sekaligus, bendera Amerika dan Sisilia. Lalu mereka membawa keduanya ke tempat persembunyian mereka, Grotta Bianca, dan menguburkannya di dekat dinding bongkahan batu besar. Guiliano berkata kepada Pisciotta, "Awasi jalan-jalan setapak itu," dan masuk ke dalam gua. Bahkan sesudah sepuluh tahun, Guiliano masih ingat dengan tepat di mana mereka menguburkan bendera-bendera itu, di sudut kanan tempat bongkahan-bongkahan batu menyatu dengan tanah. Saat itu mereka menggali tanah di bawah bongkahan batu, lalu menjejalkan tanahnya kembali guna menutupi kedua bendera. Selapis tipis lumut hijau-kehitaman tumbuh di atas tempat itu, Guiliano menggalinya dengan sepatu botnya, lalu menggunakan batu kecil sebagai beliung. Dalam waktu beberapa menit ia menemukan bendera-bendera itu. Bendera Amerika-nya lusuh dan tercabik-cabik, tapi mereka membungkus bendera Sisilia di dalam bendera Amerika, dan bendera Sisilia itu masih utuh. Guiliano mengibarkannya, warna-warna merah dan emasnya masih seterang saat ia kecil. Bahkan tak terdapat satu lubang pun di bendera itu. Ia membawanya keluar dan berkata kepada Pisciotta sambil tertawa, "Kau ingat ini, Aspanu?" Pisciotta menatap bendera itu. Lalu ia juga tertawa, tapi lebih penuh semangat. ""Ini takdir," teriaknya dan melompat serta menyambar bendera itu dari tangan Guiliano. Ia menuju tepi tebing dan melambai-lambaikan-nya ke kota di bawah. Mereka bahkan tidak perlu berbicara satu sama lain. Guiliano mencabut pohon kecil yang tumbuh di permukaan tebing. Mereka menggali lubang dan menegakkan pohon- itu dengan bantu-an batu-batu, lalu mengikatkan bendera ke dahannya sehingga berkibar-kibar bebas untuk dilihat seluruh dunia. Akhirnya, mereka duduk di tepi tebing dan menunggu. Baru pada tengah hari mereka melihat sesuatu. Itu pun hanya pria yang menunggang keledai di jalan setapak berdebu yang menuju tebing mereka. Mereka mengawasinya selama satu jam lagi dan saat keledai itu mulai memasuki wilayah pegunungan dan menyusuri jalan setapak yang mendaki, Pisciotta berkata, "Sialan, penunggang itu lebih kecil daripada keledainya. Pasti bapak baptismu, Adonis." Guiliano menyadari kejijikan dalam suara Pisciotta. Pisciotta—begitu ramping, begitu rapi, begitu bagus sosoknya—memiliki kengerian terhadap cacat fisik. Paru-parunya yang terserang tuberkulosis, yang terkadang mengalirkan darah ke mulurnya, membuatnya jijik, bukan karena membahayakan hidupnya, tapi karena penyakit itu merusak apa yang menurutnya merupakan keindahan dirinya. Orang Sisilia senang memberi julukan sesuai kelemahan atau ketidaknormalan fisik, dan pernah sekali ada teman yang menyebut Pisciotta "Paru-paru Kertas". Pisciotta berusaha menusuknya dengan pisau lipat. Hanya kekuatan Guiliano yang berhasil mencegah pembunuhan itu. Guiliano berlari menuruni lereng pegunungan sejauh beberapa kilometer dan bersembunyi di balik sebongkah batu granit besar. Ini salah satu permainan masa kanak-kanaknya dengan Aspanu. Ia menunggu sampai Adonis melewati tempatnya, lalu melangkah keluar dari balik batu seraya berseru, "Jangan bergerak." Ia mengarahkan lupara-nya.. Sekali lagi tindakan itu merupakan permainan masa kecil. Adonis berbalik pelan-pelan dengan cara sebegitu rupa sehingga menyembunyikan tangannya yang mencabut pistol. Tapi Guiliano, sambil tertawa, melangkah kembali ke balik batu hanya lara? lupara-nya yang berkilau tertimpa cahaya matahari. Guiliano berseru, "Godfather, ini Turi," dan me- nunggu sampai Adonis menyarungkan pistolnya kembali di pinggangnya serta menurunkan ranselnya. Lalu Guiliano menurunkan lupara dan melangkah ke tempat terbuka. Guiliano tahu Hector Adonis sulit turun dari tunggangannya karena kaki-kakinya yang pendek dan ia ingin membantunya. Tapi sewaktu ia muncul di jalan setapak Profesor sudah meluncur turun dengan cepat, dan mereka berpelukan. Mereka berjalan mendaki ke tebing, Guiliano membimbing keledainya. "Well, anak muda, kau sudah memutus jalan pulang," ajar Hector Adonis dengan suara berwibawa. "Dua lagi polisi tewas sesudah semalam. Masalah ini bukan lagi lelucon." Sewaktu mereka tiba di tebing dan Pisciotta menyapanya, Addnis berkata, "Begitu aku melihat bendera Sisilia itu aku tahu kalian ada di atas sini." Pisciotta menyeringai dan berkata riang, "Turi dan aku serta pegunungan ini telah melepaskan diri dari Italia." Hector Adonis menatapnya tajam. Pemuda yang hanya memperhatikan diri sendiri, menegaskan arti penting pribadinya. "Seluruh kota sudah melihat bendera kalian," kata Adonis. 'Termasuk Maresciallo dari carabinieri. Mereka akan naik kemari untuk menurunkannya." Pisciotta berkata menantang, "Selalu kepala sekolah yang memberikan pengetahuan. Mereka boleh saja mendekati bendera kami, tapi hanya itu yang akan mereka temukan di sini Kami aman di malam hari. Butuh keajaiban bagi carabinieri untuk keluar dari barak mereka di malam hari." Adonis tak mengacuhkannya dan menurunkan karung-karung dari keledainya. Ia memberi Guiliano teropong yang kuat dan kotak pertolongan pertama, sehelai kemeja bersih, beberapa pakaian dalam, sehelai sweter rajutan, peralatan cukur dengan silet bertepi lurus milik ayahnya, dan enam potong sabun. "Kau akan memerlukan semua ini di atas sini," katanya. Guiliano merasa senang mendapatkan teropong itu. Teropong berada di urutan teratas dalam daftar benda-benda yang ia butuhkan selama beberapa minggu mendatang. Ia tahu ibunya mengumpulkan sabun-sabun itu sepanjang tahun lalu. Dalam kantong terpisah terdapat sepotong besar keju yang ditaburi merica, sepotong roti, dan dua kue bulat besar yang sebenarnya roti diisi ham prosciutto dan keju mozzarella dan dimahkotai telur-telur rebus. Adonis memberitahu, "La Venera yang mengirimkan kue itu untukmu. Katanya dia selalu memanggangkan kue itu untuk suaminya sewaktu dia tinggal di pegunungan. Kau bisa bertahan seminggu dengannya." Pisciotta tersenyum licik dan berkata, "Semakin lama semakin enak rasanya." Kedua pemuda duduk di rerumputan dan mencabik-cabik roti. Pisciotta menggunakan pisaunya untuk memotong keju. Rerumputan di sekitar mereka dipenuhi serangga, jadi mereka meletakkan karung makanan di atas batu granit. Mereka minum air dari sungai jernih yang mengalir hanya sekitar tiga puluh meter di bawah. Lalu mereka beristirahat di tempat mereka bisa mengawasi tebing. Hector Adonis mendesah. "Kalian berdua sangat puas dengan diri sendiri, tapi ini bukan lelucon. Kalau mereka menangkap kalian, mereka akan menembak kalian," Guiliano berkata tenang, "Dan kalau aku menangkap mereka, akan kutembak mereka." Hector Adonis terkejut mendengarnya. Takkan ada harapan pengampunan kalau begini. "Jangan tergesa-gesa," ujarnya. "Kau masih muda." Guiliano memandangnya lama. "Aku cukup tua bagi mereka untuk ditembak karena sepotong keju. Kau mengira aku akan melarikan diri? Membiarkan keluargaku kelaparan? Membiarkan dirimu membawakan makanan sementara aku berlibur di pegunungan? Mereka datang untuk membunuhku, jadi akan kubunuh mereka. Dan kau, godfather yang baik. Sewaktu aku kecil, kau sering mengajariku tentang kehidupan para petani Sisilia, bukan? Betapa mereka tertekan, oleh Roma dan para pemungut pajaknya, oleh para bangsawan, oleh para tuan tanah yang membayar tenaga kita dengan lira yang tak cukup untuk mempertahankan hidup? Aku pernah ke pasar bersama dua ratus pria penduduk Montelepre dan mereka menawar kami seakan-akan kami ini ternak Seratus lira untuk pekerjaan pagi, kata mereka, terima atau lupakan. Dan sebagian besar orang terpaksa menerimanya. Lalu siapa yang akan menjadi pembela Sisilia, kalau bukan Salvatore Guiliano?" Hector Adonis benar-benar kecewa. Sudah cukup buruk menjadi pelanggar hukum, tapi menjadi revolusioner lebih berbahaya. "Semua itu boleh-boleh saja dalam literatur," jelasnya. "Tapi dalam kehidupan nyata kau bisa masuk kubur lebih cepat." Ia diam sejenak. "Apa gunanya tindakan kepahlawananmu semalam itu? Para tetanggamu masih dipenjara." "Akan kubebaskan mereka," sahut Guiliano pelan. Ia bisa melihat ketakjuban di wajah bapak baptisnya. Ia menginginkan persetujuannya, bantuannya, pengertiannya. Ia bisa melihat Adonis masih menganggap dirinya pemuda desa berhati lembut. "Kau harus mengerti bagaimana keadaanku sekarang." Ia diam sejenak. Bisakah ia menyatakan dengan tepat apa yang dipikirkannya? Apakah bapak baptisnya ini akan menganggap dirinya terlalu sombong? Tapi ia melanjutkan, "Aku tidak takut mati." Ia tersenyum kepada Hector Adonis, senyum kekanak-kanakan yang begitu dikenal dan disukai Adonis. "Sungguh, aku sendiri takjub karenanya. Tapi aku tidak takut terbunuh. Itu tidak mungkin terjadi padaku." Ia tertawa keras. "Polisi mereka, mobil-mobil lapis baja mereka, senapan mesin mereka, seluruh Roma. Aku tidak takut kepada mereka. Aku bisa mengalahkan mereka. Pegunungan Sisilia ini penuh bandit. Passatempo dan anak buahnya. Terranova. Mereka menentang Roma. Apa yang bisa mereka lakukan, aku bisa melakukannya." Hector Adonis geli sekaligus gelisah. Apakah luka memengaruhi otak Guiliano? Atau yang dilihatnya sekarang sama dengan awal kemunculan para pahlawan sejarah, Alexander, Caesar, Roland? Kapan mimpi-mimpi tentang kepahlawanan dimulai, kalau bukan saat duduk seorang diri di lembah kecil, berbicara pada sahabat-sahabat baik. Tapi ia berkata santai, ''Lupakan, Terranova dan Passatempo. Mereka ditangkap dan dipenjara di Barak Bellampo. Mereka akan dikirim ke Palermo beberapa hari lagi." Guiliano melanjutkan, "Akan kuselamatkan mereka, lalu kutuntut rasa terima kasih mereka." Kemuraman yang mengiringi kata-katanya menyebabkan Hector Adonis tertegun dan Pisciotta bersukacita. Mereka terkejut melihat perubahan dalam diri Guiliano. Sejak dulu mereka selaki mencintai dan menghormatinya. Guiliano selalu menunjukkan martabat tinggi dan ketenangan bagi orang semuda dirinya. Tapi sekarang untuk pertama kalinya mereka merasakan semangat Guiliano untuk meraih kekuasaan. Hector Adonis mencela, 'Terima kasih? Passatempo membunuh paman yang memberinya keledai pertamanya." "Kalau begitu aku harus mengajarinya arti berterima kasih," ujar Guiliano. Ia diam sejenak. "Dan sekarang aku harus meminta bantuanmu. Pikirkanlah baik- baik, dan kalau kau menolak, aku akan tetap menjadi putra baptismu yang setia. Lupakan kau teman baik orangtua-ku dan lupakan perasaan sayangmu kepadaku. Aku meminta bantuan ini demi Sisilia yang kauajarkan padaku agar kucintai. Jadilah mata dan telingaku di Palermo." Hector Adonis berkata kepadanya, "Apa yang kauminta .dariku,. sebagai dosen di Universitas Palermo, adalah menjadi anggota kelompok banditmu." Pisciotta mendesak tidak sabar, "Itu bukan hal aneh di Sisilia, di mana setiap orang berhubungan dengan Friends of the Friends. Dan di mana lagi kecuali di Sisilia dosen Sejarah dan Sastra menyandang pistol?" Hector Adonis mengamati kedua pemuda itu dengan teliti sementara mempertimbangkan jawabannya. Ia bisa dengan mudah berjanji hendak membantu dan lalu melupakan janjinya. Ia bisa menolak dengan sama mudahnya dan berjanji untuk kadang-kadang memberi bantuan seperti yang diberikan seorang teman, seperti yang dilakukannya hari ini. Bagaimanapun juga, komedi ini mungkin akan berlangsung singkat. Guiliano mungkin akan tewas dalam pertempuran atau dikhianati. Ia mungkin pindah ke Amerika. Dan masalahnya akan terpecahkan, pikirnya sedih. Hector Adonis teringat suatu hari di musim panas bertanun-tahun lalu, hari yang sangat mirip hari ini, sewaktu Turi dan Aspanu tidak lebih dari delapan tahun usianya. Mereka duduk di padang rumput yang membentang antara rumah Guiliano dan pegunungan, menunggu makan malam. Hector Adonis membawa satu tas buku untuk Turi. Salah satunya adalah Song of Roland, dan ia membacakannya bagi mereka. Adonis hampir hafal puisinya. Itu merupakan puisi istimewa bagi setiap orang Sisilia yang bisa membaca, dan kisahnya disukai oleh yang buta huruf. Puisi itu menjadi kisah utama teater boneka yang dimainkan di setiap kota dan desa, dan karakter-karakter legendarisnya dilukiskan di sisi setiap kereta yang bergulir di sepanjang bukit-bukit Sisilia. Dua kesatria terhebat Kaisar Charlemagne, Roland dan Oliver, membantai bangsa Saracen, melindungi penarikan diri kaisar mereka ke Prancis. Adonis bercerita bagaimana mereka tewas dalam pertempuran besar Roncevalles— bagaimana Oliver sampai memohon tiga kali kepada Roland agar meniup terompetnya untuk memanggil kembali pasukan Charlemagne dan bagaimana Roland menolak karena gengsi. Lalu sewaktu bangsa Saracen berhasil mendesak mereka, Roland meniup terompet besarnya, tapi sudah terlambat. Ketika Charlemagne kembali untuk menyelamatkan para kesatrianya, ia mendapati mayat-mayat mereka di antara ribuan mayat bangsa Saracen dan sangat sedih karenanya. Adonis teringat air mata yang mengalir di pipi Turi Guiliano dan, agak aneh, ekspresi mengejek pada wajah Aspanu Pisciotta. Bagi anak yang satu itu merupakan saat-saat terhebat dalam hidup seseorang, bagi anak yang lain itu kematian amat memalukan di tangan orang kafir. Kedua bocah laki-laki itu bangkit dari rerumputan, berlari masuk ke dalam rumah untuk makan malam. Turi memeluk bahu Aspanu, dan Hector tersenyum melihatnya. Pemandangan itu bagai Roland yang mendukung Oliver agar mereka berdua bisa mati berdiri di hadapan bangsa Saracen yang menyerbu. Roland, sekarat, mengacungkan sarung tangannya ke langit biru yang cerah, dan malaikat mengambilnya dari tangannya. Atau begitulah menurut puisi dan legenda. Kejadian itu berlangsung seribu tahun lalu, tapi Sisilia tetap menderita di tengah alam berupa semak-semak zaitun dan dataran-dataran panas menyengat yang sama, altar-altar di tepi jalan yang dibangun oleh para pengikut Kristus yang pertama, puluhan salib tempat budak-budak pemberontak pimpinan Spartacus disalibkan. Dan putra baptisnya akan menjadi salah satu pahlawan itu, tidak memahami kalau Sisilia mau berubah, harus ada kawah moral yang meluluhlantakkan tanah ini. Sementara Adonis mengawasi mereka sekarang, Pisciotta menelentang di rerumputan, Guiliano menatapnya dengan mata cokelat tuanya diiringi senyuman yang agaknya mengatakan dirinya tahu persis apa yang dipikirkan bapak baptisnya, transformasi adegan yang menggelitik berlangsung. Adonis melihat mereka bagai patung-patung yang diukir dari marmer, tubuh-tubuh mereka tercabut dari kehidupan biasa. Pisciotta menjadi sosok pada sebuah vas, tokek di tangannya berubah menjadi ular berbisa, semuanya diukir dalam cahaya matahari pagi pegunungan yang cerah. Pisciotta tampak berbahaya, orang yang mengisi dunia dengan racun dan belati. Salvatore Guiliano alias Turi, putra baptisnya, merupakan sisi lain vas itu. Ia memiliki keindahan Apollo dari Yunani, tubuh yang terbentuk sempurna, bagian putih matanya begitu cerah hingga mengesankan kebutaan. Wajahnya memancarkan keterbukaan dan keterusterangan dengan kepolosan pahlawan legendaris. Atau lebih tepatnya, pikir Adonis, menolak sentimentalitas yang dirasakannya, kebulatan tekad pemuda yang telah memutuskan untuk bertindak heroik. Tubuhnya berotot bagai patung-patung Mediterania, paha yang penuh, punggung yang kekar. Tubuhnya merupakan tubuh orang Amerika, lebih jangkung dan lebih bidang daripada sebagian besar orang Sisilia. Bahkan sewaktu kanak-kanak, Pisciotta telah menunjukkan kelicikan. Guiliano sangat percaya akan kebaikan manusia, dan bangga akan kejujurannya sendiri. Di masa-masa itu Hector Adonis sering kali membayangkan Pisciotta akan menjadi pemimpin saat mereka dewasa kelak, dan Guiliano menjadi pengikut. Tapi seharusnya ia lebih tahu. Percaya pada kebaikan seseorang jauh lebih berbahaya daripada percaya pada kelicikan seseorang. Suara Pisciotta yang mengejek menerobos lamunan Hector Adonis. "Tolong katakan ya, Profesor. Aku orang kedua dalam kelompok Guiliano, tapi aku tidak memiliki anak buah satu pun untuk kuperintah." Ia tersenyum. "Aku bersedia memulai dari yang kecil." Meski Adonis tidak terprovokasi, mata Guiliano bersinar marah. Tapi ia bertanya pelan, "Apa jawabanmu?" Hector Adonis menjawab, "Ya." Apa lagi yang bisa dikatakan seorang bapak baptis? Lalu Guiliano memberitahukan apa yang harus dilakukannya ketika kembali ke Montelepre nanti dan menceritakan garis besar rencananya besok. Adonis sekali lagi tertegun oleh keberanian dan kenekatan rencana-rencana pemuda ini. Tapi sewaktu Guiliano mengangkatnya ke atas keledainya, ia membungkuk dan mencium putra baptisnya. Pisciotta dan Guiliano mengawasi Adonis menuruni jalan setapak menuju Montelepre. "Dia kecil sekali," komentar Pisciotta. "Dia jauh lebih cocok jadi teman kita bermain bandit-banditan waktu kita kecil." Guiliano berpaling kepadanya dan berkata lembut, "Dan leluconmu pasti lebih baik waktu itu. Bersikaplah serius kalau kita sedang membicarakan masalah serius." Tapi malam itu sebelum mereka tidur, keduanya berpelukan. "Kau saudaraku," kata Guiliano. "Ingat itu." Lalu mereka menyelimuti diri dan melewatkan malam terakhir persembunyian mereka dengan tidur. Bab 9 TURI GUILIANO dan Aspanu Pisciotta terjaga sebelum fajar, sebelum cahaya pertama memancar, karena kendati kemungkinannya tipis, carabinieri mungkin mulai bergerak dalam kegelapan untuk mengejutkan mereka bersama matahari pagi. Mereka melihat kendaraan lapis baja dari Palermo tiba di Barak Bellampo semalam bersama dua jip pasukan tambahan. Sepanjang malam Guiliano berpatroli memeriksa keadaan di lereng pegunungan dan mendengarkan suara apa pun yang mungkin ditimbulkan siapa pun yang mendekati tebing mereka— langkah berjaga-jaga yang ditertawakan Pisciotta. "Sewaktu kecil kita boleh bermain-main seperti itu," katanya kepada Guiliano, "tapi apa kau benar-benar mengira carabinieri pemalas itu akan mempertaruhkan nyawa mereka dalam kegelapan, atau bahkan melewatkan tidur nyenyak malam hari di ranjang- ranjang empuk?" "Kita' harus melatih diri dengan kebiasaan yang baik," kata Turi Guiliano. Ia tahu suatu hari nanti akan datang musuh-musuh yang lebih hebat. Turi dan Aspanu bekerja keras menempatkan senjata-senjata mereka di atas sehelai selimut dan memeriksanya dengan teliti. Lalu mereka menyantap sebagian kue roti pemberian La Venera, meminum anggur yang ditinggalkan Hector Adonis untuk mereka. Kuenya, dengan merica pedas dan rempah-rempah, menghangatkan perut mereka. Kue itu memberi mereka energi untuk membangun tirai dari cabang-cabang pohon kecil dan bongkahan batu-batu di tepi tebing. Dari balik tirai ini, mereka mengawasi kota dan jalan setapak pegunungan melalui teropong. Guiliano mengisi peluru dan memasukkan beberapa kotak amunisi ke dalam saku-saku jaket kulit dombanya sementara Pisciotta berjaga-jaga. Guiliano melakukan pekerjaannya dengan hati-hati dan lambat Ia bahkan menguburkan sendiri semua pasokan dan menutupinya dengan batu-batu besar. Ia tidak pernah memercayai siapa pun untuk memeriksa detail- detail semacam ini. Jadi Pisciotta-lah yang melihat keberangkatan kendaraan lapis baja dari Barak Belampo. "Kau benar," kata Pisciotta. "Kendaraan itu menuju dataran Castellammare menjauhi kita." Mereka saling tersenyum Guiliano diam-diam merasa gembira. Bagaimanapun juga, melawan polisi ternyata tidak sulit Ini permainan anak-anak dengan kecerdikan anak-anak. Kendaraan lapis baja itu akan menghilang di balik tikungan jalan kemudian memutar balik dan mendaki ke pegunungan, menuju belakang tebing tempat mereka berada. Pihak berwenang pasti mengetahui tentang terowongan itu dan menduga mereka akan menggunakannya untuk melarikan diri dan justru mengarah ke kendaraan lapis baja itu. Lengkap dengan senapan-senapan mesinnya. Dalam waktu satu jam carabinieri akan mengirimkan satu detasemen ke Monte d'Ora untuk menyerang dari depan dan mengusir mereka keluar. Ada gunanya polisi menganggap mereka hanyalah pemuda-pemuda Uar, bajingan biasa. Bendera merah dan emas Sisilia yang mereka kibarkan di tepi tebing mengkonfirmasi kecerobohan mereka, atau begitulah pendapat polisi. Satu jam kemudian, van pasukan dan jip yang membawa Maresciallo Roccofino keluar dari gerbang Barak Bellampo. Kedua kendaraan melaju santai ke kaki. Monte d'Ora dan berhenti untuk menurunkan penumpangnya. Dua belas carabinieri yang bersenjatakan senapan dikirim melalui jalan setapak kecil yang menyusuri lereng. Maresciallo Roccofino menanggalkan topinya dan mengarahkannya ke arah bendera merah dan emas yang berkibar-kibar di tebing di atas mereka. Turi Guiliano mengawasi mereka melalui teropong dari balik'tirai cabang- cabang pohon. Sejenak ia mengkhawatirkan kendaraan lapis baja di balik pegunungan. Apa mereka juga menyuruh orang-orang dari lereng belakang naik kemari? Tapi orang-orang itu butuh waktu satu jam untuk mendaki, mereka tidak mungkin berada di dekat sini. Ia mengesampingkan mereka dari pikirannya dan berkata kepada Pisciotta, "Aspanu, kalau kita tidak secerdik anggapan kita, kita tidak akan pulang ke ibu kita dan menikmati sepiring spaghetti malam ini, seperti yang sering kita lakukan sewaktu kecil dulu." Pisciotta tertawa. "Kita selalu benci pulang; ingat? Tapi harus kuakui, ini lebih asyik. Apa sebaiknya kita bunuh beberapa dari mereka?" "Tidak," tegas Guiliano. "Tembak ke atas kepala mereka." Ia teringat bagaimana Pisciotta tidak mematuhi perintahnya dua hari lalu. Ia mengingai "Aspanu, patuhi perintahku. Tidak ada gunanya membunuh mereka. Kali ini tidak ada gunanya membunuh mereka."Mereka menunggu dengan sabar selama satu jam. Lalu Guiliano mendorong senapan taburnya menembus tirai cabang pohon dan menembak dua kali. Mengagumkan sekali melihat bagaimana iring- iringan yang lurus dan percaya diri itu berhamburan begitu cepat, seperti semut- semut yang melesat dan menghilang ke balik rerumputan. Pisciotta menembakkan senapannya empat kali Kepulan asap muncul di tempat-tempat berbeda di lereng saat para carabinieri balas menembak. Guiliano menurunkan senapan tabur dan meraih teropong. Ia bisa melihat Maresciallo dan sersannya menggunakan radio. Mereka menghubungi kendaraan lapis baja di balik pegunungan, memperingatkan bahwa para pelanggar hukum akan menuju ke sana. Ia meraih senapan' tabur lagi dan menembak dua kali, lalu berkata kepada Pisciotta, "Sudah waktunya pergi." Mereka berdua merangkak ke sisi seberang tebing, tidak terlihat oleh carabinieri yang bergerak maju, lalu merosot menuruni lereng yang dipenuhi bongkahan batu, berguling sejauh lima puluh meter sebelum bangkit berdiri, senjata siap ditembakkan. Sambil membungkuk rendah, mereka berlari menuruni bukit, berhenti hanya agar Guiliano bisa mengamati para penyerang melalui teropong. Carabinieri terus menembaki tebing, tidak menyadari kedua pelanggar hukum itu sekarang ada di samping mereka. Guiliano memimpin jalan menyusuri jalan setapak sempit yang tersembunyi di sela-sela bongkahan batu besar dan memasuki hutan kecil. Mereka beristira- hat selama beberapa menit lalu mulai berlari dengan lincah dan diam-diam, menuruni jalan setapak. Dalam waktu kurang dari satu jam mereka sudah tiba di dataran yang memisahkan pegunungan dari Montelepre, tapi mereka telah memutar ke seberang kota; kota itu kini berada di antara mereka dan van pembawa pasukan. Mereka menyembunyikan senjata di balik jaket dan berjalan menyeberangi dataran, tampak seperti dua petani dalam perjalanan ke ladang. Mereka memasuki Montelepre dari ujung Via Belia, hanya seratus meter jauhnya dari Barak Bellampo. Pada saat yang sama Maresciallo Roccofino memerintahkan anak buahnya terus mendaki lereng ke arah bendera di tepi tebing. Selama satu jam terakhir tidak terdengar tembakan balasan dan ia yakin kedua pelanggar hukum itu telah melarikan diri melalui terowongan dan sekarang tengah menuruni lereng pegunungan di baliknya, ke arah kendaraan lapis baja. Ia ingin menutup jebakannya. Anak buahnya memerlukan waktu satu jam lagi sebelum tiba di tepi tebing dan merobek-robek bendera. Maresciallo Roccofino melangkah ke gua dan memerintahkan anak buahnya menggeser bongkahan batu yang menutupi terowongan. Ia mengirim anak buahnya memasuki lorong batu itu ke seberang pegunungan untuk bertemu kendaraan lapis baja. Ia tertegun sewaktu mendapati buruannya telah lolos. Ia menyebar anak buahnya untuk mencari di sekitarnya, merasa yakin mereka akan berhasil mendesak keluar para pelarian dari lubang persembunyian mereka. Hector Adonis mematuhi perintah Guiliano sepenuh- nya. .Di ujung Via Belia terdapat kereta berlukisan legenda kuno yang menutupi setiap jengkalnya, di dalam dan di luar kereta. Bahkan jeruji roda dan tepi- tepinya digambari baju-baju baja kecil sehingga sewaktu rodanya berputar, gambar-gambar itu menampilkan ilusi orang-orang yang tengah bertempur. Porosnya juga dihiasi lengkungan-lengkungan merah berbintik-bintik perak. Kereta itu tampak seperti manusia yang setiap jengkal tubuhnya dipenuhi tato. Di depan kereta berdiri bagal putih yang terkantuk-kantuk. Guiliano melompat ke kursi kusir yang kosong dan memandang ke dalam kereta. Kereta itu penuh guci besar anggur yang dibungkus keranjang bambu. Sedikitnya ada dua puluh guci. Guiliano menyelipkan senapan tabur ke balik sederet gucL Ia memandang ke arah pegunungan sekilas; tidak ada apa pun yang bisa dilihatnya, kecuali benderanya yang masih berkibar. Ia tersenyum ke arah Pisciotta. "Semuanya sesuai rencana," ujarnya. "Pergilah dan perlihatkan tarianmu." Pisciotta memberi hormat sekilas, serius sekaligus mengejek, mengancingkan jaket menutupi pistolnya, dan melangkah ke gerbang Barak Bellampo. Saat melangkah ia melirik jalan yang menuju Castellammare, sekadar memastikan tidak ada kendaraan lapis baja yang tengah melaju pulang dari pegunungan. Tinggi di atas kursi kereta, Turi Guiliano mengawasi Pisciotta berjalan pelan- pelan melintasi lapangan terbuka dan memasuki jalan setapak berlapis batu yang menuju gerbang. Lalu ia memandang ke ujung seberang Via Belia. Ia bisa melihat rumahnya, tapi tidak ada siapa pun yang berdiri di depannya. Tadinya ia berharap bisa melihat ibunya sekilas. Beberapa pria duduk-duduk di depan salah satu rumah, meja dan botol-botol anggur mereka diteduhi balkon yang menjorok. Tiba-tiba ia teringat teropong yang melilit di lehernya dan menanggalkannya, lalu melemparkannya ke bagian belakang kereta. Seorang carabiniere muda berdiri berjaga-jaga di gerbang, bocah berumur tidak lebih dari delapan belas tahun. Pipinya yang kemerahan dan wajahnya yang mulus menyatakan ia lahir di provinsi-provinsi utara Italia; seragam hitam bergaris putihnya kebesaran dan tidak dijahit dengan baik, dan topi militernya menyebabkan penampilannya menyerupai boneka atau badut. Kendati peraturan melarang, sebatang rokok tergantung di mulurnya yang bagai busur Cupid. Saat mendekatinya dengan berjalan kaki, Pisciotta merasakan gelombang rasa jijik sekaligus geli. Bahkan sesudah apa yang terjadi selama beberapa hari terakhir, orang ini tidak memegang senapannya dalam sikap siaga. Si penjaga hanya melihat seorang petani lusuh yang berani menumbuhkan kumis lebih elegan daripada yang selayaknya. Ia berkata kasar, "Kau yang di sana, kau makhluk hina, mau ke mana?" Ia tidak menyandang senapannya. Pisciotta bisa menggoroknya dalam sedetik. Tapi ia malah berusaha tampak penuh minat, berusaha menekan kemarahannya yang timbul akibat kesombongan bocah ini. Ia berkata, "Kalau kau tidak keberatan, aku mau menemui Maresciallo. Aku punya informasi berharga." "Kau bisa menyampaikannya padaku," sahut si penjaga. 186 Pisciotta tidak bisa menahan diri. Ia berkata dengan nada marah, "Dan kau juga bisa membayarku?" Si penjaga tertegun oleh kekasarannya. Lalu ia berkata menghina tapi agak waspada, "Aku tidak akan membayarmu satu lira pun kalau kau memberitahu Yesus datang lagi." Pisciotta tersenyum. "Lebih baik daripada itu. Aku tahu di mana Turi Guiliano berada, orang yang menyebabkan hidungmu berdarah." Penjaga itu berkata curiga, "Sejak kapan orang Sisilia membantu pihak berwenang di negara terkutuk ini?" Pisciotta maju lebih dekat. "Tapi aku punya ambisi," katanya. "Aku sudah mengajukan lamaran menjadi carabiniere. Bulan depan aku akan ke Palermo untuk menjalani ujian. Siapa tahu, kita berdua mungkin akan mengenakan seragam yang sama tak lama lagi." Penjaga itu memandang Pisciotta dengan lebih ramah. Memang benar banyak orang Sisilia menjadi polisi. Itu jalan keluar dari kemiskinan, jalan untuk mendapatkan sepotong kecil kekuasaan. Sudah menjadi lelucon nasional yang populer bahwa orang Sisilia, entah menjadi penjahat atau polisi, menimbulkan kerusakan sama besar di kedua pihak. Sementara itu Pisciotta diam-diam tertawa membayangkan dirinya menjadi carabiniere. Pisciotta orang yang flamboyan; ia memiliki sehelai kemeja sutra yang dibuat di Palermo. Hanya orang bodoh yang bersedia mengenakan seragam hitam bergaris putih dan topi kaku serta konyol itu. "Sebaiknya kau berpikir *dua kali," kata si penjaga, tidak ingin semua orang mendapat keberuntungan. "Bayarannya kecil dan kami semua akan kelaparan kalau tidak menerima suap dari para penyelundup. Dan baru minggu ini dua anggota barak kami, teman-teman baikku, tewas di tangan Guiliano terkutuk itu. Dan setiap hari para petani sombong itu bahkan tidak mau memberitahukan arah menuju tukang cukur di kota." Pisciotta berkata riang, "Kita ajari mereka sopan santun dengai bastinado." Lalu, dengan sikap bersekongkol, seakan mereka telah sama-sama menjadi carabinieri, ia bertanya, "Kau punya rokok?" Yang menggembirakan Pisciotta, saat-saat berbaik hati sudah usai. Penjaga itu murka. "Rokok untukmu?" semburnya tak percaya. "Demi nama Kristus, kenapa aku harus memberikan rokok pada sepotong kotoran Sisilia?" Dan sekarang akhirnya ia menaikkan senapannya. Sejenak Pisciotta merasakan desakan liar untuk menghambur maju dan menggorok lehernya. "Karena aku bisa memberitahukan di mana kalian dapat menemukan Guiliano," jawab Pisciotta. "Kamerad-kameradmu yang mencari di pegunungan terlalu tolol bahkan untuk menemukan seekor tokek." Si penjaga tampak kebingungan. -Kekasaran itu menyebabkan ia hilang akal; informasi yang ditawarkan membuatnya sadar lebih baik ia berkonsultasi dengan seniornya. Ia merasa orang ini terlalu licik dan bisa menyebabkan dirinya mendapat masalah. Ia membuka gerbang dan memberi isyarat dengan senapannya agar Pisciotta memasuki lahan Barak Bellampo. Ia memunggungi jalan. Pada saat itu, Guiliano, seratus meter jauhnya, menendang bagalnya hingga terjaga dan memajukan keretanya ke jalan setapak batu yang menuju gerbang. Lahan Barak Bellampo seluas 1,5 hektar. Di sana berdiri gedung administrasi besar dengan bangsal ber-bentuk L yang merupakan sel-sel penjara. Di belakangnya terdapat barak-barak tempat tinggal carabinieri, cukup besar untuk menampung seratus orang, dengan bagian terpisah yang secara khusus disediakan sebagai apartemen pribadi Maresciallo. Di sebelah kanan terdapat garasi kendaraan yang sebenarnya lumbung dan sebagian masih digunakan untuk itu karena detasemen tersebut meliputi sepasukan bagal dan keledai untuk perjalanan melintasi pegunungan, saat kendaraan tidak berguna. Jauh di belakang terdapat gudang amunisi dan pasokan, keduanya terbuat dari baja bergelombang. Seluruh area dikepung pagar berkawat duri setinggi lebih dari dua meter dengan dua menara tinggi untuk penjaga, tapi menara-menara itu telah berbulan-bulan tidak digunakan. Barak Bellampo dibangun rezim Mussolini lalu diperluas selama masa perang dengan Mafia. Sewaktu melewati gerbang Pisciotta memeriksa tanda-tanda bahaya. Menara- menara kosong, tidak ada penjaga bersenjata berkeliaran. Tempat itu tampak seperti tanah pertanian yang sunyi dan damai. Tidak ada kendaraan di garasi; malah tidak terlihat kendaraan di mana pun, yang mengejutkan dirinya, dan membuatnya khawatir salah satu kendaraan akan segera kembali. Ia tidak bisa memahami Maresciallo begitu bodoh sehingga meninggalkan garnisunnya tanpa kendaraan. Ia harus memperingatkan Turi bahwa mereka mungkin mendapat tamu tidak terduga. Dikawal penjaga muda itu, Pisciotta melewati pintu-pintu lebar gedung administrasi. Ia memasuki ruangan ion luas dengan kipas angin di langit-langit yang hanya sedikit mengusir panasnya udara. Ada meja besar di atas panggung rendah yang mendominasi ruangan, dan di sisi-sisinya terdapat pagar yang melingkupi meja-meja yang lebih kecil bagi para staf; di sekitar ruangan terdapat bangku-bangku kayu. Semua itu kosong kecuali meja besar di atas panggung. Di belakangnya duduk seorang kopral carabinieri yang secara keseluruhan berlawanan dengan penjaga muda itu. Papan nama berukir di meja bertuliskan KOPRAL CANIO SILVESTRO. Bagian atas tubuh kopral itu sangat kekar—bahu-bahu menggembung dan leher tebal dimahkotai kepalanya yang besar. Bekas luka kemerahan, sebaris jaringan mati mengilap, tampak seolah ditempelkan dari telinganya ke ujung rahangnya yang bagai karang. Kumis lebat yang panjang mengembang bagaikan dua sayap hitam di atas mulutnya. Ia menyandang strip-strip kopral di lengan bajunya, pistol besar di sabuknya, dan yang paling buruk ia memandang Pisciotta dengan amat curiga dan tidak percaya sementara si penjaga menceritakan kisahnya. Ketika Kopral Silvestro berbicara, aksennya mengungkapkan ia orang Sisilia. "Kau bajingan pembohong," cacinya kepada Pisciotta. Tapi sebelum ia sempat melanjutkan, suara Guiliano terdengar berteriak dari balik gerbang. "Hei yang. di sana, carabiniere, kau mau anggur atau tidak? Ya atau tidak?" Pisciotta mengagumi gaya suara Guiliano; nadanya kasar, dialeknya begitu kental sehingga hampir-hampir tidak bisa dipahami kecuali oleh penduduk asli provinsi ini, pilihan kata-katanya, sombong, khas petani yang cukup berhasil. Kopral menggerutu jengkel, "Demi nama Kristus, apa yang diteriakkan orang itu?" dan dengan langkah-langkah lebar keluar dari gedung. Penjaga dan Pisciotta mengikutinya. Kereta berhias lukisan dan bagal putih itu ada di luar gerbang. Tidak berbaju, dadanya yang bidang mengilap oleh keringat, Turi Guiliano mengayun-ayunkan seguci anggur. Ia melontarkan seringai lebar yang tolol; seluruh tubuhnya tampak menjulur kikuk. Penan> pilannya menghapus kecurigaan. Tidak mungkin ia menyembunyikan senjata, ia mabuk dan aksennya merupakan dialek paling kasar di seluruh Sisilia. Tangan Kopral menyingkir dari pistolnya, si penjaga menurunkan senapannya. Pisciotta mundur selangkah, siap mencabut pistolnya sendiri dari balik jaketnya. "Aku membawa sekereta anggur untuk kalian," kata Guiliano lagi. Ia meniup hidung dengan jarinya dan membuang ingusnya ke gerbang. "Siapa yang memesan anggur ini?" tanya Kopral. Tapi ia melangkah ke gerbang dan Guiliano tahu ia akan membukanya lebar-lebar agar kereta itu bisa lewat. "Ayahku menyuruhku membawanya ke Maresciallo," kata Guiliano sambil mengedipkan sebelah mata. Kopral menatapnya. Anggur itu merupakan hadiah karena membiarkan seorang petani menyelundup. Kopral berpikir gelisah, bahwa sebagai orang Sisilia sejati si ayah seharusnya mengantarkan sendiri anggurnya agar maksud pemberian hadiah itu lebih jelas. Tapi lalu ia mengangkat bahu. "Turunkan dan bawa ke barak." Guiliano berkata, "Bukan aku yang melakukannya, aku tidak mau." Sekali lagi Kopral tersengat keraguan. Nalurinya memperingatkan dirinya. Menyadari hal ini, Guiliano turun dari kereta dengan cara begitu rupa sehingga bisa menyambar lupara dengan mudah dari tempat persembunyiannya. Tapi pertama-tama ia mengangkat seguci anggur dalam pembungkus bambunya dan berkata, "Ada dua puluh guci untuk kalian." Kopral itu meneriakkan perintah ke arah barak tempat tinggal dan dua carabinieri muda muncul berlari-lari; jaket mereka tidak terkancing dan mereka tidak mengenakan topi. Tak satu pun membawa senjata. Guiliano berdiri di atas kereta dan menyurukkan guci-guci anggur ke dalam pelukan mereka. Ia memberikan seguci anggur kepada penjaga, bersenapan, yang mencoba menolak. Guiliano berkata riang, "Kau nanti pasti membantu menghabiskannya, jadi bawalah." Sekarang sesudah ketiga penjaga dilumpuhkan, lengan-lengan mereka sibuk membawa guci, Guiliano mengamati pemandangan di sekitarnya. Persis seperti yang dtinginkannya. Pisciotta berada tepat di belakang Kopral, satu-satunya prajurit yang tangannya bebas. Guiliano mengamati lereng-lereng pegunungan; tidak terlihat tanda-tanda kembalinya kelompok pencari. Ia memeriksa jalan ke Castellammare; tidak terlihat tanda-tanda kehadiran kendaraan lapis baja. Di Via Belia anak-anak masih bermain-main. Ia mengulurkan tangan ke kereta, mengeluarkan lupara, dan mengarahkannya kepada Kopral yang tertegun. Pada saat yang sama Pisciotta mencabut pistol dari balik kemejanya. Ia menekankannya ke punggung Kopral. "Jangan ber- gerak sedikit pun," ancam Pisciotta, "atau kucukur kumismu yang lebat itu dengan timah." Guiliano tetap mengarahkan lupara pada ketiga penjaga yang ketakutan. Ia berkata, "Jangan lepaskan guci-guci itu dan semuanya masuk ke gedung." Penjaga bersenjata memeluk guci anggurnya dan membiarkan senapannya jatuh ke tanah. Pisciotta memungutnya saat mereka bergerak masuk. Di dalam ruangan, Guiliano meraih papan nama dan mengaguminya. "Kopral Canio Sirvestro. Tolong kuncinya. Semuanya" Tangan Kopral menempel pada pistolnya dan ia memelototi Guiliano. Pisciotta memukul tangannya hingga tersentak maju dan mencabut senjatanya. Kopral berbalik dan menatapnya dengan pandangan dingin mematikan. Pisciotta tersenyum dan berkata, "Permisi." Kopral berpaling memandang Guiliano dan berkata, "Nak, larilah dan jadilah aktor, kau sangat pandai. Jangan melanjutkan perbuatanmu ini, kau tidak akan pernah bisa lolos. Maresciallo dan anak buahnya akan kembali sebelum malam dan akan memburumu ke ujung dunia. Pikirkan lagi, sobat muda, bagaimana rasanya menjadi pelanggar hukum dengan harga atas kepalanya. Aku sendiri akan memburumu dan aku tak pernah melupakan wajah orang. Akan kucari tahu namamu* dan kugali kau keluar kalau kau bersembunyi di neraka." Guiliano tersenyum kepadanya. Entah kenapa ia menyukai orang ini. Katanya, "Tapi kalau kau ingin tahu namaku, kenapa tidak kautanyakan?" Kopral memandangnya marah, "Dan kau akan memberitahuku, seperti orang idiot?" Guiliano menjawab, "Aku tidak pernah berbohong. Namaku Guiliano." Kopral mengayunkan tangannya ke samping, hendak meraih pistol yang telah diambil Pisciotta. Guiliano semakin menyukainya karena reaksi naluriah itu. Orang ini memiliki keberanian dan tanggung jawab. Para penjaga yang lain ketakutan. Ini Salvatore Guiliano yang telah membunuh tiga kamerad mereka. Tidak ada alasan untuk berpikir ia akan membiarkan mereka tetap hidup. Kopral mengamati wajah Guiliano, mengingat-ingat-nya. Lalu, dengan gerak lambat dan hati-hati, mengambil seikat besar kunci dari laci meja. Ia berbuat begitu karena Guiliano menempelkan senapan taburnya keras-keras ke punggungnya. Guiliarto menerima kunci dan melemparkannya kepada Pisciotta. "Bebaskan para tahanan," katanya. Di bangsal penjara gedung aciministrasi, dalam area sel yang luas, terdapat sepuluh warga Montelepre yang ditangkap pada malam Guiliano melarikan diri. Di salah satu sel kecil yang terpisah terdapat dua bandit yang terkenal di kawasan ini, Passatempo dan Terranova. Pisciotta membuka kunci pintu-pintu sel mereka dan mereka mengikutinya ke ruangan administrasi dengan gembira. Warga Montelepre yang ditangkap, semuanya tetangga Guiliano, memasuki ruangan adntinistrasi dan mengerumuninya untuk memeluknya penuh terima kasih. Guiliano membiarkannya tapi mempertahankan kewaspadaannya, pandangannya tetap terpaku pada para carabinieri tawanannya. Para tetangganya gembira melihat perbuatan Guiliano; ia mempermalukan polisi yang mereka benci, ia pembela mereka. Mereka melapor padanya bahwa Maresciallo mengeluarkan perintah agar mereka dihukum bastinado, tapi Kopral menghentikan pelaksanaan hukuman ini hanya dengan kekuatan karakternya dan argumentasi bahwa tindakan seperti itu hanya menciptakan kemarahan lebih besar yang akan .memengaruhi keamanan barak. Sebaliknya, besok pagi mereka akan dikirim ke Palermo untuk diinterogasi hakim. Guiliano mengarahkan moncong lupara ke lantai, takut tembakan yang tidak disengaja mengenai orang-orang di sekitarnya. Mereka semua orang tua, para tetangga yang dikenalnya sejak kecil. Hati-hati ia berbicara kepada mereka sebagaimana caranya berbicara kepada mereka selama ini "Kalian boleh ikut denganku ke pegunungan," katanya. "Atau kalian bisa mengunjungi kerabat di bagian lain Sisilia sampai pihak berwenang menyadari kesalahan mereka." Ia menunggu tapi yang ada hanya kesunyian. Kedua bandit, Passatempo dan Terranova, berdiri terpisah dari yang kin. Mereka sangat waspada, seakan siap menyerang. Passatempo pria pendek kekar dan jelek, dengan wajah menakutkan akibat cacar yang dideritanya sewaktu kanak-kanak, mulurnya tebal dan tidak berbentuk. Para petani di pedalaman menyebutnya "si Kasar". Terranova bertubuh kecil dan berpostur bagai musang. Kendati begitu, raut wajahnya yang kecil tampak menyenangkan, bibirnya selalu membentuk senyuman wajar. Passatempo merupakan bandit khas Sisilia yang serakah dan mencuri ternak serta membunuh sekadar demi uang Terranova petani yang bekerja keras dan memulai kariernya sebagai pelanggar hukum sewaktu dua penarik pajak datang untuk menyita babi kesayangannya. Ia terpaksa membunuh keduanya, menjagal babi untuk disantap keluarga dan kerabatnya, lalu melarikan diri ke pegunungan. Kedua pria itu bergabung dan membentuk gerombolan tapi dikhianati dan ditangkap sewaktu bersembunyi di gudang kosong di ladang padi di Corleone. Guiliano berkata kepada mereka, "Kalian berdua tidak punya pilihan lain. Kita akan ke pegunungan bersama-sama* lalu kalau mau kalian bisa tetap berada di bawah perintahku atau bercliri sendiri. Tapi untuk hari ini aku membutuhkan bantuan kalian dan kalian berdua berutang padaku." Ia tersenyum kepada mereka, mencoba memperlunak tuntutan agar mereka mematuhi perintahnya. Sebelum kedua bandit sempat menjawab, kopral carabinieri itu melakukan tindakan sinting namun berani. Mungkin karena martabat Sisilia yang terluka, mungkin karena kebuasan hewani yang alamiah, atau sekadar fakta bahwa bandit-bandit terkenal tahanannya akan melarikan diri telah memicu kemurkaannya. Ia bercliri hanya beberapa langkah dari Guiliano dan dengan kecepatan mengejutkan maju dalam satu langkah lebar. Pada saat yang sama ia mencabut pistol kecil yang tersembunyi di balik kemejanya. Guiliano mengayunkan lupara untuk menembak tapi terlambat. Kopral menjulurkan pistolnya sejauh setengah meter dari kepala Guiliano. Pelurunya akan telak menghantam wajah Guiliano. Semua orang membeku karena kaget. Guiliano melihat pistol yang diarahkan ke kepalanya. Di belakangnya wajah Kopral yang merah karena marah menegangkan Otot-ototnya bagai tubuh ular. Tapi pistol itu seolah bergerak sangat lambat. Rasanya seperti jatuh dalam mimpi buruk, jatuh selamanya tapi tahu itu hanya mimpi dan ia tidak akan pernah tiba di dasarnya. Dalam waktu sepersekian detik sebelum Kopral menarik picunya, Guiliano merasakan kedamaian luar biasa dan tidak takut sama sekali. Matanya tidak berkedip sewaktu Kopral menarik picunya, ia malah maju selangkah. Terdengar bunyi klik metalik yang keras saat pelatuknya menghantam amunisi yang rusak di larasnya. Sepersekian detik sesudahnya, Pisciotta, Terranova, dan Passatempo menghambur ke arah Kopral. Dan kopral itu jatuh tertimpa berat tubuh mereka. Terranova menyambar pistolnya dan berusaha merampasnya, Passatempo mencengkeram rambut di kepalanya dan berusaha mencungkil matanya, Pisciotta mencabut pisaunya dan siap menghunjamkannya ke leher Kopral Guiliano menghentikannya tepat pada waktunya. Guiliano berkata pelan, "Jangan bunuh dia." Dan menarik mereka dari Kopral yang sekarang tidak bergerak dan tidak berdaya. Ia menunduk dan kecewa melihat kerusakan yang terjadi dalam kemurkaan sesaat itu. Telinga Kopral setengah tercabik dari kepalanya dan menyemburkan banyak darah. Lengan kanannya patah dan terkulai membentuk sudut yang mengerikan di samping tubuhnya. Salah satu matanya memancarkan darah, kulitnya menjuntai di sana. Orang itu tetap tidak takut. Ia berbaring di sana menanti kematian, dan Guiliano merasakan gelombang kasih yang hebat baginya. Inilah orang yang telah menguji dirinya, dan yang menegaskan keabadiannya sendiri; inilah orang yang mengesahkan kelumpuhan kematian. Guiliano menariknya berdiri dan, yang mengejutkan semua orang, memeluknya sesaat. Lalu ia berpura-pura sekadar membantu agar Kopral bisa berdiri tegak. Terranova memeriksa pistolnya. "Kau beruntung sekali," katanya kepada Guiliano. "Hanya satu peluru yang tidak bisa meledak." Guiliano mengulurkan tangan meminta pistol itu. Terranova ragu-ragu sejenak, lalu memberikannya. Guiliano berpaling kepada Kopral. "Jaga sikapmu," katanya ramah, "dan tidak akan terjadi apa-apa pada dirimu dan anak buahmu. Kujamin." Kopral itu, terlalu kaget dan terlalu lemah akibat luka-lukanya untuk bisa menjawab, tampak tidak mengerti apa yang diucapkan. Passatempo berbisik kepada Pisciotta, "Berikan pisaumu dan akan kubereskan dia." Pisciotta berkata, "Guiliano yang memberi perintah di sini dan semua orang patuh." Pisciotta mengatakannya dengan nada biasa agar tidak memberi kesan pada Passatempo bahwa ia sendiri siap membunuh bandit itu dalam sekejap mata. Penduduk Montelepre yang semula ditahan bergegas pergi. Mereka tidak ingin menjadi saksi pembantaian carabinieri. Guiliano mengawal Kopral dan para penjaga ke bangsal penjara dan'mengunci mereka di satu sel yang sama. Lalu ia mengajak Pisciotta, Terranova, dan Passatempo menggeledah gedung-gedung lainnya di Barak Bellampo. Di gudang senjata mereka menemukan senapan, pistol, senapan mesin, dan berkotak-kotak amunisi. Mereka menyandang senjata-senjata itu di bahu dan memuat kotak-kotak amunisinya ke kereta. Dari barak tempat tinggal mereka mengambil beberapa helai selimut dan kantong tidur, dan Pisciotta melemparkan dua seragam carabinieri ke dalam kereta sekadar untuk keberuntungan. Lalu, dengan Guiliano di kursi kusir, kereta penuh sesak oleh barang rampasan, ketiga orang lainnya berjalan dengan senjata siap ditembakkan, menyebar untuk melindungi diri dari serangan apa pun. Mereka bergegas menyusuri jalan menuju CasteUammare. Mereka membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk tiba di rumah petani yang telah meminjamkan keretanya kepada Hector Adonis dan menguburkan barang rampasan di kandang babinya. Lalu mereka membantu si petani mengecat keretanya dengan warna hijau zaitun yang dicuri dari depot pasokan Angkatan Darat Amerika. Maresciallo Roccofino pulang bersama regu pencarinya pada saat makan malam; matahari telah menghilang dari langit dan hari itu sinarnya masih kalah panas dibandingkan kemarahan yang dirasakan Maresciallo begitu melihat anak buahnya dikurung dalam penjara mereka sendiri. Maresciallo memerintahkan kendaraan lapis baja menjelajahi seluruh jalanan untuk mencari jejak para penjahat, tapi pada saat itu Guiliano sudah berada jauh di tempat perlindungan di pegunungan. Koran-koran di seluruh Italia menerbitkan kisah itu secara besar-besaran. Baru tiga hari sebelumnya, pembunuhan dua carabinieri juga menjadi berita halaman pertama, tapi pada saat itu Guiliano hanyalah bandit Sisilia putus asa .dan satu- satunya yang membuat ia terkenal adalah kebrutalan. Kejadian kali ini berbeda. Ia memenangkan pertempuran nyali dan taktik melawan 200 Kepolisian Nasional. Ia membebaskan teman-teman dan tetangganya dari apa yang jelas merupakan penahanan yang tidak adil. Para wartawan dari Palermo, Napoli, Roma, dan Milan pergi ke Montelepre, mewawancarai keluarga dan teman-teman Turi Guiliano. Ibunya dipotret sambil membawa gitar Turi yang menurutnya dimainkan Turi bagaikan malaikat. (Ini tidak benar; Guiliano hanya bisa memainkannya dengan cukup baik, sekadar nadanya bisa dikenali.) Mantan teman-teman sekolahnya mengakui bahwa Turi kutu buku sehingga ia dijuluki "Profesor". Koran-koran menangkap informasi ini dengan gembira. Bandit Sisilia yang benar-benar bisa membaca. Mereka juga menyebut-nyebut sepupunya, Aspanu Pisciotta, yang menggabungkan diri dengannya semata-mata karena persahabatan, dan amat penasaran terhadap Guiliano, orang yang mampu membangkitkan kesetiaan seperti itu. Lalu sehelai potret lama yang diambil sewaktu Guiliano berusia tujuh belas tahun, yang memperlihatkan ketampanan khas Mediterania-nya yang luar biasa, menjadikan seluruh kisahnya sangat memikat. Tapi mungkin yang paling menarik bagi orang-orang Italia adalah pengampunan Guiliano atas kopral yang mencoba membunuhnya. Itu lebih baik daripada opera—lebih mirip sandiwara boneka yang begitu populer di Sisila, di mana sosok-sosok dari kayu tidak pernah meneteskan darah atau tercabik dagingnya atau koyak oleh peluru. Koran-koran hanya menyesalkan tindakan Guiliano membebaskan dua penjahat seperi Terranova dan Passatempo, menyiratkan bahwa dua sekawan jahat itu ini bisa menodai citra pahlawan berbaju besi mengilap ini. Hanya koran Milan yang mengingatkan bahwa Salvatore 'Turi" Guiliano membunuh tiga anggota Kepolisian Nasional dan menyarankan agar diambil langkah-langkah khusus untuk menangkapnya, bahwa pembunuh seharusnya tidak diampuni kejahatannya hanya karena ia tampan, bisa membaca, dan bisa memainkan gitar. Bab 10 DON CROCE sekarang menyadari keberadaan Turi Guiliano sepenuhnya dan sangat mengagumi dirinya. Benar-benar pemuda Mafioso sejati. Tentu saja yang dimaksudkannya adalah penggunaan kata Mafioso dalam tradisi lama, seperti wajah Mafioso, pohon Mafioso, wanita Mafioso, yang berarti yang paling indah, yang paling cantik. Pemuda ini akan menjadi tangan kanan luar biasa bagi Don Croce. Panglima perang yang tangguh di lapangan. Don Croce memaafkan fakta Guiliano saat ini merupakan duri dalam dagingnya. Kedua bandit yang dipenjarakan di Montelepre, Passatempo yang ditakuti dan Terranova yang cerdik, tertangkap berdasarkan persetujuan dan campur tangan Don. Tapi semua ini bisa dimaafkan, yang berlalu biar berlalu; Don tidak pernah menyimpan dendam yang bisa mengacaukan keuntungannya di masa depan. Ia akan melacak Turi Guiliano dengan sangat hati-hati. Jauh di pegunungan, Guiliano sama sekali tidak menyadari ketenarannya. Ia terlalu sibuk menyusun bersalah renCana ulltuk membangun kekuasaannya. Ma- pertamanya adalah kedua pemimpin bandit itu, Terranova dan Passatempo. Ia bertanya secara mendetail bagaimana mereka bisa tertangkap dan mendapat kesimpulan mereka dikhianati, ada yang membocorkan informasi tentang mereka. Keduanya bersumpah anak buah mereka setia dan banyak yang terbunuh dalam jebakan itu. Guiliano mempertimbangkan semua ini dan mendapat kesimpulan Mafia, yang selama ini bertindak sebagai pagar dan perantara bagi kelompok bandit itu, telah mengkhianati mereka. Sewaktu ia menyatakan kesimpulannya kepada kedua bandit, mereka menolak memercayainya. Friends of the Friends tak akan pernah melanggar aturan suci omerta yang merupakan titik pusat pertahanan mereka sendiri. Guiliano tidak berkeras. Sebaliknya ia mengajukan penawaran resmi kepada mereka untuk bergabung dengan kelompoknya. Ia menjelaskan tujuannya bukan hanya bertahan hidup tapi juga menjadi kekuatan politik. Ia menekankan mereka tidak akan merampok orang miskin. Malahan separo keuntungan yang didapat kelompok akan dibagikan kepada kaum miskin di provinsi-provinsi sekitar Montelepre hingga ke pinggiran Palermo. Terranova dan Passatempo akan memimpin kelompok mereka sendiri tapi berada di bawah pimpinan Guiliano secara keseluruhan. Kelompok- kelompok bawahan ini tidak akan melakukan ekspedisi apa pun untuk mendapatkan uang tanpa persetujuan Guiliano. Bersama-sama mereka memegang kekuasaan mutlak atas provinsi-provinsi di mana terletak Palermo, Monreale, Montelepre, Partinico, dan Corleone. Guiliano me-negaskan bahwa mereka akan menyerang carabinieri. Bahwa polisilah yang akan merasa takut, bukan para bandit. Mereka tertegun mendengar keberaniannya. Passatempo, bandit gaya lama yang percaya akan pemerkosaan, pemerasan kecil-kecilan, dan pembunuhan para gembala, seketika mulai mempertimbangkan bagaimana ia bisa mendapat keuntungan dari hubungan ini, lalu membunuh Guiliano dan merampas bagiannya. Terranova, yang menyukai Guiliano dan lebih berterima kasih karena sudah diselamatkan, berpikir-pikir bagaimana cara mengarahkan bandit muda berbakat ini ke jalan yang lebih tepat. Guiliano memandang mereka sambil tersenyum tipis, seakan bisa membaca benak mereka dan geli dengan pikkan-pikiran itu. Pisciotta sudah terbiasa dengan gagasan-gagasan besar teman seumur hidupnya itu. Ia percaya. Kalau Turi Guiliano mengatakan bisa melakukan sesuatu, Aspanu Pisciotta percaya ia bisa melakukannya. Jadi sekarang ia mendengarkan. Dalam cahaya matahari pagi yang menerangi pegunungan dengan warna keemasan, mereka bertiga mendengarkan Guiliano, terpesona sementara ia menceritakan betapa mereka akan memimpin perjuangan memerdekakan orang Sisilia, mengangkat derajat kaum miskin, menghancurkan kekuasaan Mafia, kaum bangsawan, dan pemerintahan Roma. Mereka akan tertawa bila orang lain yang mengatakannya, tapi mereka teringat peristiwa yang disaksikan semua orang—kejadian yang akan selalu diingat mereka: Kopral carabinieri itu mengacungkan pistol ke kepala Guiliano. Tatapan bisu Guiliano, keyakinan mutlaknya bahwa dirinya tidak akan mati sementara menunggu Kopral menarik picunya. Pengampunan yang diberikannya kepada Kopral setelah pistolnya tidak meledak. Semua ini tindakan orang yang memercayai keabadiannya sendiri dan memaksa orang lain juga memercayainya. Dan sekarang mereka menatap pemuda tampan itu, dan terkesan oleh keindahan dirinya, semangatnya, dan kepolosannya. Keesokan harinya Guiliano mengajak ketiga anak buahnya, Aspanu Pisciotta, Passatempo, dan Terranova, menuruni jalan setapak pegunungan yang akan membawa mereka ke dataran-dataran dekat Castelvetrano. Ia turun pada dini hari untuk memeriksa medan. Ia dan anak buahnya mengenakan pakaian pekerja. Ia tahu konvoi truk bahan makanan akan melintasi jalan ini dalam perjalanan menuju pasar-pasar Palermo. Masalahnya bagaimana cara menghentikan truk- truk ku. Mereka akan melaju dengan kecepatan tinggi untuk menghindari pembajakan dan para sopirnya mungkin bersenjata. Guiliano memerintahkan anak buahnya bersembunyi di semak-semak jalanan tepat di luar Castelvetrano, lalu ia sendiri duduk di atas sebongkah batu putih besar di tempat terbuka. Orang-orang yang pergi ke ladang menatapnya tanpa ekspresi. Mereka melihat lupara yang disandangnya dan bergegas melanjutkan perjalanan. Guiliano bertanya-tanya adakah di antara mereka yang mengenalinya. Lalu ia melihat kereta besar berlukiskan legenda muncul menyusuri jalan, ditarik bagal. Guiliano mengenali pria tua yang menjalankannya. Ia salah satu dari para pengusaha penyewaan kereta yang jumlahnya begitu banyak di pedalaman Sisilia. Pria itu menyewakan kereta- keretanya untuk membawa bambu dari desa-desa ke pabrik di kota. Bertahun-tahun lalu ia pernah datang ke Montelepre dan mengantarkan hasil bumi bagi ayah Guiliano. Guiliano melangkah ke tengah jalan. Ijtpara menjuntai dari tangan kanannya. Kusir mengenalinya kendati wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, hanya matanya yang berkilau sejenak. Guiliano menyapanya dengan gaya yang biasa digunakannya sewaktu kecil, memanggilnya Paman. "Zu Peppino," sapanya. "Ini hari keberuntungan bagi kita berdua. Aku kemari untuk memberimu kekayaan dan kau kemari untuk membantuku meringankan beban orang miskin." Ia benar-benar gembira bertemu pria tua itu dan tertawa terbahak-bahak. Pria tua itu tidak menjawab. Ia menatap Guiliano, wajahnya yang bagai batu menunggu. Guiliano naik ke kereta dan duduk di sampingnya. Ia menyembunyikan lupara di dalam kereta dan tertawa lagi penuh semangat Karena Zu Peppino, ia yakin hari ini hari keberuntungannya. Guiliano menikmati kesegaran akhir musim gugur, keindahan pegunungan di kaki langit, pengetahuan bahwa ketiga anak buahnya di semak-semak mengawasi jalanan dengan pistol. Ia menjelaskan rencananya kepada Zu Peppino, yang mendengarkan tanpa kata-kata dan tanpa perubahan ekspresi. Sampai Guiliano mengungkapkan imbalannya: keretanya akan dipenuhi bahan makanan dari truk. Lalu Zu Peppino mendengus dan berkata, "Turi Guiliano, sejak dulu kau pemuda hebat, pemberani. Kau tidak berubah sejak menjadi pria dewasa." Guiliano kini ingat Zu Peppino salah satu murid sistem pendidikan lama Sisilia yang terbiasa 207 dengan kata-kata berbunga-bunga. "Aku akan membantumu dalam hal ini dan yang lainnya. Sampaikan salamku untuk ayahmu yang seharusnya bangga memiliki putra seperti dirimu." Konvoi tiga truk yang dipenuhi bahan makanan muncul di jalan pada tengah hari. Sewaktu berbelok di tikungan yang langsung menuju dataran Partinico, mereka terpaksa berhenti Sekelompok kereta dan bagal menghalangi jalan sepenuhnya. Zu Peppino yang mengaturnya. Semua pengusaha penyewaan kereta berutang budi padanya dan mematuhinya. Sopir truk terdepan membunyikan klakson dan memajukan truknya sehingga menyodok kereta terdekat. Pria di kereta berpaling dan melontarkan pandangan begitu garang sehingga si sopir seketika menghentikan truk dan menunggu dengan sabar. Ia tahu para pemilik kereta sewaan ini—walau profesi mereka sederhana— orang-orang bermartabat yang akan menusuknya hingga tewas lalu melanjutkan perjalanan sambil bernyanyi-' nyanyi, dan dalam hal kehormatan, mereka merasa lebih berhak atas jalanan daripada pengendara kendaraan bermotor. Kedua truk yang lain berhenti. Kedua sopirnya melangkah turun. Salah seorang berasal dari ujung timur Sisilia dan yang satu lagi orang asing; artinya, dari Roma. Sopir Roma itu mendekati kereta-kereta sewaan sambil membuka ritsleting jaketnya, berteriak marah kepada mereka agar memindahkan bagal- bagal sialan dan kotak kotoran mereka dari jalan. Ia membiarkan satu tangan di balik jaketnya. Guiliano melompat turun dari kereta. Ia tidak ber- susah payah mengeluarkan lupara dari dalam kereta ataupun mencabut pistol di sabuknya. Ia memberikan isyarat kepada anak buahnya yang menunggu di semak-semak dan mereka berhamburan ke jalan sambil mengacungkan senjata. Terranova memisahkan diri menuju truk paling belakang agar truk itu tidak bisa di* pindahkan. Pisciotta merosot di tepi jalan dan menghadapi sopir Roma yang marah itu. Sementara itu Passatempo, lebih bersemangat daripada yang lain, menyentakkan sopir truk pertama dari dalam kendaraannya dan melemparkannya ke jalan ke depan kaki Guiliano. Guiliano mengulurkan tangan dan menariknya berdiri. Pada waktu itu, Pisciotta menggiring sopir truk paling belakang untuk bergabung dengan kedua rekannya. Sopir Roma itu telah mengeluarkan tangannya yang kosong dari balik jaket dan menghapus kemarahan dari wajahnya. Guiliano tersenyum tulus dan berkata, "Ini hari keberuntungan kalian bertiga. Kalian tidak perlu bersusah payah melakukan perjalanan ke Palermo. Kereta-kereta sewaanku akan membongkar muatan truk dan membagi-bagikan makanannya kepada kaum miskin di distrik ini, tentu saja di bawah pengawasanku. Izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Guiliano." Ketiga sopir seketika meminta maaf dan bersikap ramah. Mereka tidak tergesa- gesa, jelas mereka. Mereka punya waktu selama-lamanya. Malah, sekarang sudah tiba saatnya makan siang. Truk-truk mereka nyaman. Cuaca tidak terlalu panas. Memang benar, ini kebetulan yang menggembirakan, keberuntungan. Guiliano menyadari ketakutan mereka. "Jangan khawatir," katanya. "Aku tidak membunuh orang yang mencari makan dengan keringatnya sendiri. Kalian akan makan siang bersamaku sementara anak buahku melakukan pekerjaan mereka, lalu kalian akan pulang ke rumah kepada istri dan anak-anak dan memberitahukan tentang keberuntungan kalian. Kalau polisi menginterogasi kalian, bantu mereka sesedikit mungkin dan aku akan berterima kasih kepada kalian." Guiliano diam sejenak. Penting sekali baginya agar orang-orang ini tidak merasa malu atau benci. Penting sekali agar mereka melaporkan perlakuan baiknya. Karena akan ada "korban-korban" lainnya. Mereka membiarkan diri digiring ke keteduhan se-bongfcjfcibam raksasa di tepi jalan. Mereka dengan sukarela menawarkan pistol mereka kepada Guiliano tanpa digeledah. Dan mereka duduk bagai malaikat sementara kereta-kereta sewaan mengambil alih muatan truk Sewaktu kereta-kereta sewaan sudah penuh, masih ada satu truk yang tersisa. Guiliano memerintahkan Pisciotta dan Passatempo menumpang truk itu bersama sopirnya dan meminta Pisciotta mengirimkan bahan makanan itu ke para buruh tani di Montelepre. Guiliano sendiri dan Terranova akan mengawasi pembagian makanan di distrik Castelvetrano dan Partinico. Kemudian mereka akan bertemu di gua di puncak Monte d'Ora. Dengan satu tindakan ini Guiliano akan memenangkan dukungan dari seluruh pedalaman. Adakah bandit lain yang membagikan hasil jarahannya kepada orang miskin? Keesokan harinya koran-koran di seluruh Sisilia memuat kisah bandit Robin Hood itu. Hanya Passatempo yang menggerutu mereka melakukan pekerjaan satu hari dengan sia-sia. Pisciotta dan Terranova memahami kelompok mereka telah memperoleh seribu pendukung melawan Roma. Yang tidak mereka ketahui adalah bahan makanan itu sebenarnya akan dikirim ke gudang Don Croce. Dalam waktu sebulan Guiliano memiliki mata-mata di mana-mana—melapor padanya pedagang kaya mana yang bepergian dengan uang pasar gelap, kebiasaan bangsawan-bangsawan tertentu, dan beberapa penjahat yang bergosip dengan pejabat-pejabat tinggi kepolisian. Dan dengan cara itu sampailah ke telinga Guiliano kabar tentang perhiasaan milik Duchess of Alcamo yang terkadang dipamerkannya. Konon hampir sepanjang tahun perhiasan itu disimpan dalam lemari besi bank di Palermo tapi Duchess sesekali mengambilnya untuk menghadiri pesta-pesta. Untuk mengetahui lebih jauh apa yang menurutnya merupakan sasaran kelas kakap, Guiliano mengirim Aspanu Pisciotta ke rumah Alcamo. Tiga puluh dua kilometer ke arah barat laut Montelepre, lahan Duke dan Duchess of Alcamo dipagari tembok, gerbang-gerbangnya dijaga orang-orang bersenjata. Duke juga membayar "sewa" kepada Friends of the Friends, yang menjamin ternaknya tidak akan dicuri, rumahnya tidak akan dirampok, atau anggota keluarganya tidak akan diculik. Pada masa-masa biasa dan dengan penjahat-penjahat yang biasa, perlindungan ini menjadikan dirinya lebih aman dibandingkan Paus di Vatikan. Di awal bulan November perkebunan-perkebunan luas Sisilia menuai anggur, dan untuk itu para pemilik menyewa para pekerja dari desa-desa sekitarnya. Pisciotta melapor ke balai kota dan membiarkan dirinya direkrut untuk bekerja di lahan Duke of Alcamo. Ia menghabiskan hari pertama bekerja keras, mengisi keranjang-keranjang dengan tumpukan-tumpukan buah ungu kehitaman. Ada lebih dari seratus orang di kebun anggur—pria, wanita, dan anak-anak kecil yang bernyanyi bersama sambil bekerja. Di tengah hari, makan siang disajikan di luar ruangan. Pisciotta duduk seorang diri, mengawasi yang lainnya. Ia melihat gadis muda yang membawa baki berisi roti dari puri. Gadis itu cantik tapi pucat; jelas ia jarang bekerja di bawah matahari. Selain itu pakaiannya juga lebih baik daripada wanita-wanita lainnya. Tapi yang paling menarik Pisciotta adalah raut cemberut menghina di wajahnya, dan caranya menghindari sentuhan dengan para pekerja lain. Ia mendapat informasi gadis ini pelayan pribadi Duchess. Pisciotta seketika menyadari gadis itu sesuai dengan tujuannya, lebih baik daripada siapa pun. Guiliano, yang memahami cara-cara Pisciotta, tegas-tegas memerintahkannya untuk tidak mempermalukan gadis setempat mana pun dalam proses mendapatkan informasi; tapi Pisciotta menganggap Turi terlalu romantis dan polos dalam memandang cara-cara kerja dunia ini. Sasarannya terlalu kaya, gadisnya terlalu cantik. Sewaktu gadis itu keluar lagi membawa baki besar berisi roti, ia mengangkatnya dari tangan si gadis dan membawakannya. Gadis itu terkejut, dan sewaktu Pisciotta menanyakan namanya, ia menolak menjawab. Pisciotta meletakkan baki dan menyambar lengannya. Ia tersenyum liar, "Kalau aku bertanya padamu, jawab. Kalau tidak, akan kukubur kau di tumpukan anggur itu." Lalu ia tertawa untuk menunjukkan ia hanya bergurau. Ia melontarkan senyum paling memesona, berbicara dengan suara paling lembut. "Kau gadis tercantik yang pernah kulihat di Sisilia," pujinya. "Aku harus bercakap-cakap denganmu." Si pelayan ketakutan sekaligus terpesona. Ia memerhatikan pisau pemotong yang berbahaya menjuntai dari pinggang Pisciotta, gaya Pisciotta yang seakan juga seorang duke. Kini ia tertarik. Ia mengatakan namanya Graziella. Ketika hari kerja berakhir, Pisciotta dengan berani mengetuk pintu belakang dapur puri dan menanyakan Graziella. Wanita tua yang membukakan pintu mendengarkan, lalu berkata tegas, "Pelayan tidak diizinkan menerima tamu." Ia membanting pintu di depan Pisciotta. Keesokan harinya Pisciotta mengambil baki yang dibawa Graziella dan berbisik ia ingin menemui Graziella sesudah pekerjaan usai. Diselipkannya seuntai gelang emas ke pergelangan Graziella sambil mengelusnya. Graziella berjanji akan menyelinap keluar sesudah gelap dan menemuinya di kebun anggur yang kosong. Malam itu Aspanu Pisciotta mengenakan kemeja sutra istimewa buatan penjahit Palermo. Ia menunggu Graziella di lembah yang terbentuk dari tumpukan buah anggur di semua sisinya. Ketika Graziella muncul, ia memeluknya, dan sewaktu Graziella mendongak untuk dicium, Pisciotta menyapu bibir gadis itu dengan bibirnya dan pada saat bersamaan meletakkan tangannya di sela-sela kaki Graziella. Graziella mencoba melepaskan diri tapi Pisciotta memeluknya erat- erat. Mereka berciuman lebih dalam dan Pisciotta mengangkat rok wol Graziella, terkejut mendapati gadis itu mengenakan pakaian dalam sutra. Graziella pasti meminjamnya dari Duchess, pikir Pisciotta. Ia benar-benar pemberani, dan pencuri. Ia membaringkan Graziella di atas selimut yang telah dibentangkannya di tanah. Mereka berbaring ber-sama-sama di sana. Graziella menciuminya penuh nafsu dan Pisciotta bisa merasakan reaksinya dari balik celana dalam sutra yang dikenakannya. Dengan satu gerakan cepat ia menanggalkan celana dalam itu dan kulit hangat yang basah pun berada dalam genggamannya. Graziella membuka sabuknya dan sementara mereka terus berciuman, Pisciotta mendorong celana panjangnya turun ke pergelangan kaki. Ia bergulir ke atas tubuh Graziella, menyingkirkan tangannya, dan memasukinya. Graziella mengerang pelan dan meregang ke atas dengan kekuatan mengejutkan. Aspanu Pisciotta merasakan dirinya sendiri bergerak naik-turun, naik-turun, dan tiba-tiba Graziella menjerit pelan dan berbaring tidak bergerak. Sialan, pikir Pisciotta, ia terlalu cepat Tapi tidak masalah. Tujuan utamanya adalah informasi, kepuasannya sendiri bisa menunggu. Mereka menyelimuti diri dan berpelukan. Pisciotta bercerita ia bekerja untuk mendapatkan uang agar bisa kuliah di Universitas Palermo, keluarganya ingin dirinya menjadi pengacara. Ia ingin Graziella mengira dirinya tangkapan yang bagus. Lalu ia bertanya tentang Graziella sendiri, bagaimana pendapatnya tentang pekerjaannya, orang-orang macam apa yang menjadi sesama pelayan di sana? Perlahan-lahan ia mengarahkan pembicaraan mereka ke majikan Graziella, Duchess. Graziella mengembalikan tangan Aspanu ke sela- sela kakinya dan bercerita tentang betapa cantiknya Duchess kalau mengenakan pakaian-pakaiannya yang bagus dan perhiasannya, bagaimana dirinya— Graziella—menjadi pelayan kesayangan dan diizinkan mengenakan gaun ketinggalan mode yang dibuang Duchess. iPf!^ "Aku ingin melihatmu mengenakan barang-barang majikanmu. Apa dia membiarkan kau memakai perhiasannya juga?" "Well, di Malam Natal dia selalu mengizinkan aku mengenakan kalung." Jadi seperti terkaan Guiliano, perhiasan itu ada di rumah pada musim liburan. Ada satu hal lagi yang perlu diketahuinya, tapi tiba-tiba Graziella memeluknya erat- erat, seraya berusaha mempertahankan selimut di bahunya. Aspanu terangsang sepenuhnya, selimutnya jatuh, roknya melayang melewati kepala Graziella dan kekuatan sentakan mereka menyebabkan keduanya bergeser ke dinding anggur. Setelannya tubuh-tubuh mereka yang kelelahan tertutup cairan lengket anggur dan keringat mereka sendiri. Aspanu berkata, "Udara segar memang baik, tapi kapan aku bisa masuk ke dalam rumah dan bercinta denganmu dengan cara yang layak?" 'Tidak selagi Duke di sini. Kalau dia pergi ke Palermo, seisi rumah lebih santai. Bulan depan, dia akan pergi selama beberapa minggu, tepat sebelum Natal." Aspanu tersenyum. Dan sekarang sesudah mendapatkan semua informasi yang dibutuhkannya, ia menaruh perhatian penuh pada tugas di hadapannya. Ia mengempaskan diri ke tubuh Graziella dan menekannya pada selimut, bercinta dengan keliaran begitu rupa sehingga gadis itu tenggelam dalam kenikmatan, dan agak ketakutan. Cukup agar Graziella menginginkan dirinya lagi sepanjang bulan yang akan datang. Lima hari sebelum Natal, Guiliano, Passatempo, Pisciotta, dan Terranova berhenti di depan gerbang Perkebunan Alcamo dalam kereta yang ditarik bagal- bagaL Mereka mengenakan pakaian-berburu petani tuan tanah yang cukup berhasil, dibeli di Palermo dari hasil menjarah truk: celana panjang korduroi, kemeja wol merah, jaket menembak yang tebal dan berisi kotak-kotak peluru. Dua penjaga keamanan menghalangi jalan mereka. Karena saat itu tengah hari, mereka tidak waspada dan membiarkan senjata mereka menjuntai dari bahu. Guiliano melangkah sigap mendekati mereka. Ia tidak bersenjata kecuali sepucuk pistol yang tersembunyi di balik mantel kasar pemilik penyewaan kereta. Ia tersenyum lebar. "Tuan-tuan," sapanya. "Namaku Guiliano dan aku datang untuk menyampaikan selamat Natal kepada Duchess dan memohon sumbangan untuk membantu kaum miskin." Para penjaga tertegun mendengar nama Guiliano. Lalu mereka hendak mengayunkan senjata. Tapi pada saat itu Passatempo dan Terranova telah membidik mereka dengan pistol otomatis. Pisciotta merampas senjata para penjaga dan melemparkannya ke dalam kereta. Passatempo dan Terranova ditinggalkan untuk berjaga-jaga di depan gerbang. Jalan masuk ke rumah mewah itu berupa halaman batu yang sangat luas. Di salah satu sudut segerom-bol ayam sibuk mengerumuni wanita tua yang menye- barkan biji-bijian. Di luar rumah, keempat anak Duchess bermain-main di taman, diawasi pengasuh anak yang mengenakan gaun katun hitam. Guiliano menyusuri jalan setapak menuju rumah, Pisciotta berjalan di sampingnya. Informasinya benar, tidak ada penjaga lain. Di balik taman membentang tanah luas, yang digunakan untuk menanam sayur-mayur dan sekelompok pohon zaitun. Di ladang ini enam pekerja tengah bekerja keras. Ia membunyikan bel dan mendorong pintunya saat pelayan membukakannya. Graziella terkejut melihat kemunculan Pisciotta di pintu depan dan melangkah ke samping. Guiliano berkata lembut, "Jangan terkejut. Beritahu majikanmu bahwa kami kemari atas perintah suaminya untuk masalah bisnis. Aku harus berbicara dengannya." Masih kebingungan, Graziella mengajak mereka ke ruang duduk tempat Duchess tengah membaca. Duchess melambai mengusir pelayan, jengkel karena gangguan tanpa pemberitahuan itu dan berkata tajam, "Suamiku sedang pergi. Ada yang bisa kubantu?" Guiliano tidak bisa menjawab. Ia tertegun oleh keindahan ruangan itu. Ruangan paling luas yang pernah dilihatnya dan, yang lebih mengagumkan, bentuknya bundar dan bukannya persegi. Tirai-tirai keemasan melindungi pintu-pintu kaca- gandanya, langit-langit di atas berceruk di bawah kubah dan dihiasi patung- patung kerubim. Di mana-mana terdapat buku—di sofa, di meja kopi, dan di rak- rak khusus di sepanjang dinding. Lukisan-lukisan besar cat minyak yang kaya warna menggantung di dmding-dinding dan vas-vas bunga besar bertebaran di berbagai tempat. Kotak-kotak perak dan emas tersebar di meja-meja yang ada di depan kursi-kursi dan sofa-sofa empuk. Ruangan itu bisa menampung seratus orang dengan mudah dan satu-satunya yang menggunakannya" hanyalah wanita yang mengenakan gaun sutra putih ini. Cahaya matahari dan udara dan teriakan anak-anak yang bermain di taman menerobos jendela-jendelanya yang terbuka. Untuk pertama kalinya Guiliano memahami rayuan kekayaan, bahwa uang bisa menciptakan keindahan seperti ini, dan ia merasa enggan merusak keindahan itu dengan kekasaran maupun kekejaman. Ia akan melakukan apa yang harus dilakukannya dan tidak meninggalkan satu goresan pun di tempat yang indah ini. Duchess, menunggu jawaban dengan sabar, terpana oleh ketampanan jantan pemuda ini. Ia melihat pemuda ku terpesona oleh keindahan ruangan, dan agak jengkel karena si pemuda tidak menyadari kecantikan dirinya. Ia menyayangkan si pemuda yang jelas-jelas petani dan tidak termasuk golongannya, di mana sedikit cumbuan polos tidak bisa dibilang tidak layak. Semua ku menyebabkan ia berkata dengan lebih menawan daripada biasanya, "Anak muda, maafkan aku, tapi kalau kau datang untuk urusan bisnis, kau harus kembali kin kali Suamiku tidak di rumah." Guiliano memandangnya. Ia merasakan perlawanan yang dirasakan pria miskin terhadap wanita kaya yang dengan cara tertentu memancarkan keunggulan atas dirinya karena kekayaan dan posisinya di masyarakat. Guiliano membungkuk sopan, menyadari cincin spektakuler di jari Duchess, dan berkata dengan kepasrahan yang konis, "Aku punya urusan denganmu. Namaku Guiliano." Tapi ironi kepasrahannya tidak berarti bagi Duchess, yang terbiasa menganggap rendah para pelayannya. Ia menganggap itu sesuatu yang biasa. Ia wanita beradab, tertarik pada buku-buku dan musik, dan tidak berminat pada kejadian sehari-hari di Sisilia. Ia jarang membaca koran setempat; ia menganggap koran- koran itu biadab. Jadi ia hanya berkata sopan, "Senang berkenalan denganmu. Apa kita pernah bertemu di Palermo? Mungkin di opera?" Aspanu Pisciotta, yang mengamati adegan tersebut dengan heran bercampur gembka, tertawa terang-terangan dan melangkah santai ke pintu ganda untuk mencegah pelayan yang mungkin datang dari arah itu. Guiliano, agak marah karena tawa Pisciotta tapi terpesona oleh ketidakpedulian Duchess, berkata tegas, "Duchess yang baik, kita tidak pernah bertemu. Aku bandit. Nama lengkapku Salvatore Guiliano. Kuanggap diriku Pembela Sisilia, dan tujuan kedatanganku kemari adalah menemuimu untuk meminta dirimu menyumbangkan perhiasan kepada kaum miskin agar mereka bisa menikmati dan merayakan kelahkan Kristus di hari Natal." , Duchess tersenyum tidak percaya. Pemuda yang wajah dan tubuhnya membangkitkan hasrat yang asing dalam dirinya ini tidak mungkin berniat jahat terhadapnya. Dan sekarang ditambah sedikit sentuhan bahaya, ia justru semakin tergelitik. Ia akan menceritakan kisah ini pada pesta-pesta di Palermo. Jadi ia berkata sambil tersenyum polos, "Perhiasaanku ada di lemari besi bank di Palermo. Uang tunai apa pun yang ada di rumah ini boleh kauambil. Aku rela." Seumur hidupnya, tak seorang pun pernah meragukan kata-katanya. Bahkan sewaktu kecil ia tidak pernah berbohong. Ini untuk pertama kalinya. Guiliano memandang medalion berlian yang melilit di tenggorokannya. Ia tahu wanita ini berbohong, tapi ia merasa enggan melakukan apa yang harus dilakukannya Lalu ia mengangguk kepada Pisciotta, yang menyelipkan jemari ke sela giginya dan bersiul tiga kali. Dalam waktu beberapa detik Passatempo muncul di pintu ganda. Sosoknya yang pendek, besar, dan jelek, wajahnya yang bopeng menakutkan bisa saja berasal dari sandiwara boneka. Wajahnya lebar seolah hampir tanpa dahi, dan rambut hitamnya yang lebat dan kusut serta alis matanya yang menggembung menyebabkan ia tampak seperti gorila. Ia tersenyum kepada Duchess dan menunjukkan gigi-gigi besar berwarna suram. Kemunculan bandit ketiga ini akhirnya membuat Duchess ketakutan. Ia menanggalkan kalungnya dan memberikannya kepada Guiliano. "Apa itu cukup?" tanyanya. "Tidak," jawab Guiliano. "Duchess yang baik, aku orang berhati lembut. Tapi para kolegaku sama sekali berbeda. Temanku Aspanu, walaupun tampan, sama kejamnya seperti kumis kecilnya yang telah mematahkan hati begitu banyak orang. Dan pria di pintu itu, meski anak buahku, membuatku bermimpi buruk. Jangan sampai aku melepas mereka. Mereka akan melesat ke tamanmu seperti rajawali dan membawa anak-anakmu jauh ke pegunungan. Sekarang bawa kemari semua berlianmu yang lain." Duchess melesat ke kamar tidur dan kembali beberapa menit kemudian sambil membawa sekotak perhiasan. Ia cukup berani menyembunyikan beberapa perhiasan berharga sebelum membawanya keluar. Ia memberikan kotak itu kepada Guiliano. Guiliano mengucapkan terima kasih dengan ramah. Lalu ia berpaling kepada Pisciotta. "Aspanu," katanya, "Duchess mungkin melupakan beberapa barang. Coba periksa kamar tidur sekadar untuk memastikan." Segera Pisciotta menemukan perhiasan yang disembunyikan dan membawanya kepada Guiliano. Sementara itu Guiliano membuka kotak perhiasan dan jantungnya melonjak gembira melihat permata-permata itu. Ia menyadari isi kotak ini bisa memberi makan seluruh Montelepre selama berbulan-bulan. Dan yang lebih menggembirakan lagi, perhiasan-perhiasan itu dibeli Duke dengan uang yang diperolehnya dari keringat para buruhnya. Lalu saat Duchess meremas-remas tangannya, Guiliano menyadari cincin zamrud besar di jarinya. "Duchess yang baik," katanya, "bagaimana kau bisa begitu bodoh mencoba menipuku dengan menyembunyikan perhiasan-perhiasan lain? Aku bisa menerima bila petani miskin yang melakukannya, karena mereka harus bersusah payah memperoleh harta. Tapi bagaimana kau bisa mempertaruhkan keselamatanmu dan anak-anakmu demi dua perhiasan yang tidak akan kaurindukan sama seperti suamimu Duke merindukan topi di kepalanya? Sekarang, tanpa perlu ribut, berikan cincin yang ada di jarimu itu." Duchess menangis. "Anak muda yang baik," katanya, "izinkan aku menyimpannya. Akan kukirimkan uang senilai cincin ini. Tapi suamiku memberikannya sebagai hadiah pertunangan. Aku tidak bisa kehilangan cincin ini Hatiku akan hancur karenanya." Sekali lagi Pisciotta tertawa. Ia sengaja melakukannya. Ia takut Turi akan membiarkan wanita itu menyimpan cincinnya karena perasaannya yang sentimental. Padahal zamrud itu jelas paling berharga. Tap^ Guiliano tidak memiliki sentimentalitas seperti itu. Pisciotta akan selalu mengingat tatapannya sewaktu Turi meraih lengan Duchess dengan kasar dan mencabut cincin zamrud itu dari tangannya yang gemetar. Guiliano bergegas mundur dan mengenakan cincin itu di kelingking kirinya. 1$^/. Turi melihat wajah Duchess memerah dan air mata menggenang di matanya. Sikap Guiliano sekali lagi sopan sewaktu berkata, "Untuk menghormati kenanganmu, aku tidak akan menjual cincin ini—aku akan mengenakannya." Duchess mencari-cari ironi di wajah Guiliano, tapi tidak menemukannya. Tapi saat ku merupakan momen-momen ajaib bagi Turi Guiliano. Karena begitu ia mengenakan cincin itu, ia merasakan perpindahan kekuatan. Dengan cincin itu ia menikahkan dirinya dengan takdir. Cincin itu merupakan simbol kekuasaan yang akan dimenangkannya dari dunia orang kaya. Dalam genangan hijau tua ku, terikat oleh lingkaran emasnya, masih menguarkan harum parfum wanita cantik yang terus mengenakannya selama bertahun-tahun, ia telah menangkap sepotong inti kehidupan yang tidak akan pernah dimilikinya. Don Croce mendengarkan tanpa berkata-kata. Duke of Alcamo tengah menyampaikan keluhannya kepada Don Croce. Bukankah ia sudah membayar "sewa" kepada Friends of the Friends? Bukankah mereka menjamin kekebalan dirinya terhadap segala bentuk pencurian? Apa yang akhknya terjadi? Di masa lalu tidak ada seorang pun yang berani. Dan apa yang akan dilakukan Don Croce untuk mendapatkan kembali perhiasannya? Duke melaporkan pencurian itu kepada pihak berwenang, meski tahu usaha ini sia-sia dan mungkin tidak menyenangkan Don Croce. Tapi ada asuransi yang harus diambil; mungkin pemerintah di Roma akan menganggap serius si bandit Guiliano ini. Don Croce merasa sudah waktunya menganggap serius Guiliano. Ia berkata kepada Duke, "Kalau aku bisa mendapatkan kembali perhiasanmu, kau mau membayar seperempat nilainya?" Duke murka. "Mula-mula aku membayar sewa kepadamu agar aku dan harta milikku aman. Lalu, sewaktu kau gagal melakukan tugasmu, kau memintaku membayar uang tebusan. Bagaimana kau bisa berharap mempertahankan penghormatan dari para klienmu kalau begini caramu berbisnis?" Don Croce mengangguk. "Harus kuakui pendapatmu benar. Tapi anggaplah Salvatore Guiliano sebagai kekuatan alam, seperti kemarahan Tuhan. Jelas kau tidak bisa mengharapkan Friends of the Friends melindungimu dari gempa bumi, gunung meletus, banjir? Pada waktunya Guiliano akan terkendali, kujamin. Tapi coba pikir: Kaubayar tebusan yang akan kuatur. Kau akan mendapatkan perlindungan tanpa membayar sewa seperti biasa selama lima tahun mendatang, dan berdasarkan perjanjian Guiliano tidak akan menyerang lagi. Untuk apa dia menyerang lagi, toh aku dan dirinya menganggap kau pasti punya akal sehat untuk menyimpan barang-barang berhargamu di lemari besi bank di Palermo? Wanita terlalu polos—mereka tidak mengetahui nafsu dan keserakahan pria dalam memburu barang-barang materi dunia ini." Ia diam sejenak agar senyum tipis yang muncul di wajah Duke menghilang. Lalu ia melanjutkan, "Kalau kau menghitung sewa yang harus dibayar untuk melindungi seluruh lahanmu selama lima tahun masa sulit yang akan datang, kau akan melihat kerugianmu sangat sedikit akibat kesialan ini" Duke memang memikirkannya. Don Croce benar mengenai masa sulit yang menanti di depan mereka. Menebus perhiasan itu akan membuat jumlah kerugiannya lumayan besar, kendati ada pengurangan "sewa" selama lima tahun; siapa yang bisa memastikan Don Croce tetap hidup selama itu atau sanggup menahan Guiliano? Tapi tetap saja itu penawaran terbaik yang bisa diperolehnya. Dengan begitu Duchess tidak bisa merengek-rengek meminta perhiasan baru darinya selama bertahun-tahun mendatang dan itu merupakan penghematan luar biasa. Ia terpaksa menjual sepetak tanahnya, tapi para leluhurnya telah melakukannya selama beberapa generasi untuk membayar kebodohan mereka, dan ia masih memiliki ribuan are tanah. Duke setuju. Don Croce memanggil Hector Adonis, Keesokan harinya Adonis mengadakan perjalanan untuk menemui putra baptisnya. Ia menjelaskan misinya. Ia bersikap Hferus terang. "Kau tidak akan mendapat harga yang lebih baik walaupun kau menjual perhiasan-perhiasan itu kepada para pencuri di Palermo," katanya. "Dan ahkan kalau bisa, itu butuh waktu dan kau jelas tidak 'an mendapatkan uangnya sebelum Natal, aku tahu lah harapanmu. Lebih dari itu kau akan mendapat niat baik Don Croce, dan itu penting bagimu. Bagaimanapun, kau menyebabkan dia kehilangan kehormatan, yang akan dimaafkannya kalau kau bersedia membantunya." Guiliano tersenyum kepada bapak baptisnya. Ia tidak memedulikan niat baik Don Croce; bagaimanapun salah satu impiannya adalah membantai naga Mafia di Sisilia. Tapi ia telah mengirim utusan ke Palermo untuk menemui pembeli perhiasan curian itu, dan jelas prosesnya akan memakan waktu lama dan menyiksa. Jadi ia menyetujui penawaran itu. Tapi ia menolak menyerahkan cincin zamrudnya. Sebelum berlalu Adonis akhirnya menanggalkan perannya sebagai guru roman bagi Guiliano. Untuk pertama kalinya ia membicarakan realita kehidupan orang Sisilia. "Putra baptisku yang baik," katanya, "tak seorang pun mengagumi kualitas dirimu lebih daripada aku. Aku menyukai tmgginya cita-citamu, aku berharap turut berperan membangunnya. Tapi sekarang kita harus membicarakan soal bertahan hidup. Kau tak bisa berharap menang menghadapi Friends of the Friends. Selama seribu tahun terakhir, seperti sejuta labah-labah, mereka sudah merajut jaring-jaring raksasa di seluruh kehidupan di Sisilia. Don Croce sekarang berdiri di tengah-tengah jaring itu. Ia mengagumi dirimu, menginginkan persahabatanmu, ia ingin kau menjadi kaya bersamanya. Tapi kau terkadang harus mengikuti keinginannya. Kau bisa memperoleh kekaisaran, tapi kekaisaranmu harus ada dalam jaring-jaringnya. Satu hal yang pasti—kau tidak bisa menentangnya terang-terangan. Kalau kaulakukan, sejarah sendiri akan membantu Don Croce menghancurkan curimu." Jadi perhiasan itu kembali ke tangan Duke. Guiliano menyimpan separo uang penjualan perhiasan itu untuk dibagikan pada Pisciotta, Passatempo, dan Terranova. Mereka mengincar cincin zamrud di jari Guiliano tapi tidak mengatakan apa-apa, karena Guiliano menolak menerima uang hasil penjualan perhiasan. Separo uang sisanya dibagikan Guiliano kepada para penggembala miskin yang menjaga kawanan domba dan ternak milik orang kaya, janda-janda tua dan anak- anak yatim piatu, semua orang miskin di sekitarnya. S%^'': Ia memberikan sebagian besar uang itu melalui perantara, tapi pada suatu hari yang cerah ia mengisi saku-saku jaket kulit dombanya dengan tumpukan lira. Ia juga mengisi karung kanvas dengan uang dan memutuskan berjalan melintasi desa-desa antara Montelepre dan Piani dei Greci, didampingi Terranova. Di satu desa ada tiga wanita tua yang hampir kelaparan. Ia memberi mereka masing-masing seikat Bra. Mereka menangis dan menciumi tangannya. Di desa lain ada pria yang akan kehilangan ladang dan tanahnya karena tidak mampu membayar cicilan pinjaman. Guiliano meninggalkan cukup uang baginya untuk melunasi utang-utangnya. Di desa lain ia memborong habis toko roti dan bahan-bahan pokok, membayar pemiliknya, dan membagi-bagikan roti dan keju dan pasta kepada seluruh penduduk desa. Di kota berikutnya ia memberikan uang kepada orangtua seorang anak yang sakit agar mereka bisa membawanya ke rumah sakit di Palermo dan membayar biaya dokter setempat. Ia juga menghadiri pernikahan pasangan muda dan memberi mereka banyak hadiah perkawinan. Tapi yang paling disukainya adalah memberikan uang kepada anak-anak kecil berpakaian lusuh, yang memenuhi jalan-jalan kota-kota kecil di Sisilia. Banyak di antara mereka mengenal Guiliano. Mereka mengerumuninya sewaktu ia membagi-bagikan uang sambil memberitahu mereka agar memberikannya kepada orangtua masing-masing. Guiliano mengawasi saat mereka berlari-lari pulang dengan sukacita. Ia hanya tinggal memiliki beberapa ikat lira sewaktu memutuskan untuk mengunjungi ibunya sebelum malam turun. Sewaktu melintasi padang di belakang rumahnya, ia bertemu anak laki-laki dan gadis kecil yang menangis. Mereka kehilangan uang yang dipercayakan orangtua mereka kepada mereka dan mengatakan carabinieri merampasnya. Guiliano merasa geli melihat tragedi kecil itu dan memberi mereka salah satu dari dua ikat lira yang tersisa. Kemudian, karena gadis kecil itu begitu cantik dan Guiliano tidak tahan membayangkannya dihukum, ia memberinya sehelai surat untuk orangtuanya. Orangtua gadis kecil itu bukan satu-satunya orang yang berterima kasih. Penduduk di Borgetto, Corleone, Partinico, Monreale, dan Piani dei Greci mulai menyebut dirinya "Raja Montelepre" untuk menunjukkan kesetiaan mereka. Don Croce gembira walaupun kehilangan uang "sewa" dari Duke selama lima tahun. Karena meski Don Croce memberitahu Adonis bahwa Duke hanya bersedia membayar dua puluh persen dari nilai perhiasan itu, ia menarik 25 persen dari Duke, dan mengantongi lima persen selisihnya. Yang lebih menggembirakan lagi adalah kepuasan bahwa ia menemukan Guiliano lebih awal dan menilainya dengan begitu tepat. Benar-benar pemuda luar biasa. Siapa yang percaya orang semuda itu bisa melihat begitu jelas, bertindak begitu bijaksana, mendengarkan dengan begitu sabar pendapat orang yang lebih tua dan lebih bijaksana? Dan semua ini dilakukan dengan kecerdasan yang menjaga kepentingannya sendiri, yang tentu saja dikagumi Don Croce, karena siapa yang mau berhubungan dengan orang bodoh? Ya, Don merasa Turi Guiliano akan menjadi tangan kanan yang hebat Dan seiring berlalunya waktu, menjadi putra angkat terkasih. Turi Guiliano melihat semuanya dengan jelas, menembus segala sesuatu yang berlangsung di sekitarnya. Ia tahu bapak baptisnya benar-benar mengkhawatirkan kesejahteraan (iirinya. Tapi itu tidak berarti ia memercayai penilaian pria yang lebih tua itu. Guiliano tahu dirinya belum cukup kuat menghadapi Friends of the Friends; bahkan ia masih membutuhkan bantuan mereka. Tapi ia sama sekali tidak berilusi tentang jangka panjang. Pada akhirnya, kalau ia mendengarkan nasihat bapak baptisnya, ia akan terpaksa menjadi pelayan Don Croce. Ia membulatkan tekad untuk tidak membiarkan hal itu terjadi. Untuk saat ini, ia harus mengulur waktu. Bab 11 KELOMPOK Guiliano sekarang berjumlah tiga puluh orang. Beberapa di antaranya mantan anggota kelompok Passatempo dan Terranova.. Juga beberapa penduduk Montelepre yang dibebaskan dari penjara sewaktu Guiliano menyerbu ke sana. Mereka mendapati tidak ada pengampunan dari pihak berwenang walaupun mereka tidak bersalah; mereka masih tetap diburu. Mereka memutuskan untuk diburu bersama Guiliano dan bukannya dilacak seorang diri dan tanpa teman. Pada suatu pagi di bulan April yang cerah, para mata-mata Guiliano di MontelerJre mengirim kabar bahwa seorang pria bertampang berbahaya, mungkin mata-mata polisi, bertanya-tanya tentang cara bergabung dengan kelompok. Pria itu tengah menunggu di alun-alun utama. Guiliano mengirim Terranova dan empat anak buahnya ke Montelepre untuk menyelidiki. Kalau pria itu memang mata-mata, mereka akan membunuhnya; kalau ia berguna, mereka akan merekrutnya. Menjelang sore, Terranova kembali dan memberitahu Guiliano, "Kami berhasil menangkap orang itu dan sebelum kami menembaknya, kami merasa kau mungkin ingin mengenalnya terlebih dulu." Guiliano tertawa sewaktu melihat sosok tinggi besar yang mengenakan pakaian tradisional kaum buruh Sisilia itu, "Well, teman lama, kaupikir aku akan melupakan wajahmu. Apa kali ini kau datang membawa peluru yang lebih baik?" Pria itu kopral carabinieri, Canio Silvestro, yang menembakkan pistolnya ke kepala Guiliano sewaktu penyerbuan-penjara yang terkenal itu. Wajah Silvestro yang kokoh dan berbekas luka tampak serius. Wajahnya menarik perhatian Guiliano, entah kenapa- Hatinya mudah tersentuh orang yang telah membantu membuktikan keabadiannya ini. Silvestro berkata, "Aku datang untuk bergabung Aku bisa berguna bagimu." Ia mengatakannya dengan bangga seperti orang yang hendak memberi hadiah. Ini juga menyenangkan Guiliano. Ia membiarkan Silvestro menceritakan kisahnya. Sesudah penyerbuan-penjara, Kopral Silvestro diltirim ke Palermo untuk menghadiri mahkamah tnihter dengan tuduhan melalaikan tugas. Maresciallo murka kepadanya dan menginterogasinya habis-habisan sebelum merekomendasikan hukuman. Anehnya situasi yang memicu kecurigaan Maresciallo adalah upayanya menembak Guiliano. Penyebab luputnya tembakan ditemukan, yakni peluru yang rusak. Maresciallo menuduh Kopral sengaja mengisi pistolnya dengan peluru yang tidak berbahaya, bahwa Kopral tahu peluru itu rusak. Bahwa seluruh upaya perlawanannya hanyalah pura-pura dan Kopral Silvestro telah membantu Guiliano merencanakan penyerbuan-penjara dan sengaja menempatkan para penjaganya untuk membantu keberhasilan penyerbuan itu. Guiliano menyela, "Bagaimana mereka bisa beranggapan kau tahu pelurunya rusak?" Silvestro tampak malu-malu. "Aku seharusnya tahu. Aku bekerja di bagian persenjataan di infanteri, seorang pakar." Wajahnya berubah muram dan ia mengangkat bahu. "Aku memang lalai, itu benar. Mereka menempatkan diriku di belakang meja dan tidak menaruh banyak perhatian pada bakatku yang sebenarnya. Tapi aku bisa berharga bagimu. Aku bisa mengurus persenjataanmu. Aku bisa memeriksa semua senjatamu dan memperbaikinya. Aku bisa memastikan amunisimu ditangani dengan benar sehingga tempat penyimpanannya tidak akan meledak. Aku bisa memodifikasi senjatamu agar sesuai dengan penggunaan yang kauinginkan, di sini di pegunungan ini." "Ceritakan kisahmu sampai selesai," perintah Guiliano. Ia mengamatinya dengan saksama. Bisa jadi orang ini mata-mata yang hendak menyusupi kelompoknya. Ia bisa melihat Pisciotta, Passatempo, dan Terranova sama sekali tidak percaya.. Silvestro melanjutkan. "Mereka semua bodoh dan mereka cuma segerombol wanita yang ketakutan. Maresciallo sadar membawa sebagian besar anak buahnya ke pegunungan, meninggalkan barak, yang penuh tahanan, merupakan tindakan bodoh. Carabinieri menganggap Sisilia negara asing yang terjajah. Aku dulu memprotes anggapan itu, dan aku masuk daftar hitam mereka karenanya. Dan pihak berwenang di Palermo ingin melindungi Maresciallo—bagaimanapun juga mereka bertanggung jawab atas dirinya. Akan lebih baik kalau Barak Bellampo dikhianati dari dalam daripada diambil alih orang yang lebih berani dan lebih cer v Mereka tidak mengadiliku. Mereka memerintahkan aku mengundurkan diri. Kata mereka pengunduran diriku akan diterima tanpa prasangka, tapi aku mengenal mereka dengan baik. Aku tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan di pemerintahan lagi. Aku tidak cocok untuk pekerjaan apa pun, padahal aku patriot Sisilia. Jadi kupikir—apa yang bisa kulakukan dengan hidupku? Jadi aku berkata sendiri—aku akan menemui Guiliano." Guiliano mengajak anak buahnya ke dapur untuk bersantap dan mmum-minum, lalu bercakap-cakap dengan para pemimpin bawahannya. Passatempo menggerutu tapi yakin. "Mereka pikir kita ini bodoh, ya? Tembak dia dan buang mayatnya ke jurang. Kita tidak butuh carabinieri dalam kelompok kita." Pisciotta melihat Guiliano sekali lagi terpesona oleh si kopral Ia mengetahui emosi sahabatnya yang impulsif, jadi ia berkata hati-hati, "Kemungkinan besar ini tipuan. Tapi kalau bukan, kenapa mengambil risiko? Kita jadi khawatir .sepanjang waktu. Selalu ada keraguan. Kenapa tidak Idta suruh kembali saja?" Terranova mengingatkan, "Dia tahu kamp kita. Dia sudah melihat berapa orang kita dan mengetahui jumlahnya. Itu informasi berharga," Guiliano berkata, "Dia Sisilia sejati Dia bertindak berdasarkan martabatnya. Aku tidak percaya dia mau melakukan kegiatan mata-mata." Ia melihat mereka semua tersenyum mendengar kepolosannya. Pisciotta berkata, "Ingat, dia pernah mencoba membunuhmu. Dia menyembunyikan senjata, dia tahanan, dan dia mencoba membunuhmu karena marah padahal tanpa harapan untuk melarikan diri." Guiliano berpikir, Dan itulah yang membuatnya berharga bagiku. Ia menjelaskan, "Bukankah itu membuktikan dia pria terhormat? Dia sudah kalah tapi merasa harus membalas dendam bagi dirinya sendiri sebelum mati. Dan bahaya apa yang bisa ditimbulkannya? Dia bisa menjadi anggota kelompok biasa —kita tidak akan memercayainya. Dan kita akan mengawasinya dengan ketat. Aku sendiri akan khusus memperhatikan dirinya. Pada saatnya nanti kita memberinya ujian yang pasti akan ditolaknya kalau dia carabinieri. Serahkan dia padaku." Malam itu ketika Guiliano memberitahu Silvestro bahwa sekarang ia sudah jadi anggota kelompok, pria itu hanya berkata, "Kau bisa mengandalkan diriku untuk apa pun." Ia memahami Guiliano sekali lagi menyelamatkan nyawanya. Pada hari Paskah Guiliano mengunjungi keluarganya. Pisciotta menentang keinginannya itu, mengatakan polisi mungkin memasang jebakan. Paskah di Sisilia selalu menjadi hari kematian tradisional para bandit. Polisi mengandalkan eratnya ikatan kekeluargaan untuk' memancing para bandit menyusup turun dari pegunungan dan mengunjungi orang-orang yang mereka cintai. Tapi mata-mata Guiliano menyampaikan kabar bahwa Maresciallo akan mengunjungi keluarganya di daratan dan separo garnisun di Barak Belampo mendapat cuti untuk merayakan liburan di Palermo. Guiliano memutuskan membawa cukup banyak anak buah bersamanya supaya aman. Ia menyelinap ke Montelepre pada hari Minggu Suci. Ia mengirim kabar kunjungannya beberapa hari se- belumnya dan ibunya menyiapkan pesta. Malam itu ia tidur di ranjang masa kanak-kanaknya, dan keesokan hatinya, sewaktu ibunya menghadiri Misa pagi, Guiliano menemaninya ke gereja. Ia mengajak enam pengawal yang juga mengunjungi keluarga mereka di kota tapi mendapat perintah untuk menemani Guiliano ke mana pun ia pergi Sewaktu ia keluar dari gereja bersama ibunya, keenam pengawalnya telah menunggu bersama Pisciotta. Wajah Aspanu pucat karena murka sewaktu berkata, "Kau dikhianati, Turi. Maresciallo kembali dari Palermo membawa dua puluh orang tambahan untuk menangkapmu. Mereka sudah mengepung rumah ibumu. Mereka mengira kau di sana." Sejenak Guiliano merasakan kemarahan atas ke-tergesa-gesaan dan kebodohannya sendiri, dan membulatkan tekad untuk tidak bertindak seceroboh itu lagi. Bukan berarti Maresciallo dan kedua puluh anak buahnya bisa menangkap dirinya di rumah ibunya. Para pengawalnya pasti sudah menyergap mereka, dan akan terjadi pertempuran berdarah. Tapi hal itu akan merusak semangat kepulangan Paskah-nya. Hari Kristus bangkit bukanlah hari pertempuran. Ia mencium ibunya sebagai salam perpisahan dan memberitahunya agar pulang serta mengaku kepada polisi bahwa ia meninggalkan Guiliano di gereja. De-an cara begitu ibunya takkan bisa dituduh bersekongkol Ia meminta ibunya agar jangan khawatir, dirinya dan anak buahnya bersenjata lengkap dan bisa melarikan diri dengan mudah; bahkan tidak akan terjadi pertempuran. Carabinieri tidak akan berani mengikuti mereka ke pegunungan. Guiliano dan anak buahnya berlalu bahkan tanpa sepengetahuan polisi Malam itu di kamp di pegunungan, Guiliano menanyai Pisciotta. Bagaimana Maresciallo bisa mengetahui kunjungan itu? Siapa mata-matanya? Harus dilakukan sesuatu untuk menemukannya. "Itu tugas khususmu, Aspanu," katanya. "Dan kalau ada mata-mata yang kautemukan, mungkin ada mata-mata yang lain. Aku tidak peduli berapa lama yang dibutuhkan atau berapa banyak uang yang kita habiskan, kau harus menyelidiki." Bahkan sewaktu kecil, Pisciotta tidak pernah menyukai tukang cukur Montelepre yang sok itu. Frisella salah satu tukang cukur yang memotong rambut sesuai suasana hatinya hari itu, sekali waktu trendi, lain kali serampangan, lain waktu amat kuno seperti petani. Dengan mengubah-ubah gayanya ia membanggakan dirinya seorang artis. Ia juga terlalu akrab dengan para pejabat dan sombong terhadap sesamanya. Terhadap anak-anak ia suka bermain-main dengan gaya kejam ala Sisilia, yang merupakan salah satu sisi kurang menyenangkan karakter penduduk pulau itu; ia menggunting sedikit telinga mereka dan terkadang memotong rambut mereka begitu pendek sehingga kepala mereka tampak seperti bola biliar. Jadi Pisciotta merasa puas sewaktu melapor kepada Guiliano bahwa Frisella si tukang cukur yang menjadi mata-mata polisi dan telah melanggar aturan suci omerta. Jelas Maresciallo tidak melakukan penyerangan secara acak pada hari Paskah itu. Ia pasti sudah mendapat informasi bahwa Turi akan ada di sana. Dan bagaimana ia bisa mendapatkan informasi itu padahal Turi memberitahu keluarganya hanya 24 jam sebelumnya? Pisciotta memanfaatkan para informannya sendiri di desa untuk memeriksa setiap langkah yang dilakukan Maresciallo selama 24 jam itu. Dan karena hanya ibu dan ayah Guiliano yang mengetahui kunjungan itu, ia menanyai mereka dengan santai untuk memastikan apakah mereka secara tidak sengaja menyebarkan informasi. Maria Lombardo segera mencium maksudnya. Ia berkata kepadanya, "Aku tidak berbicara pada siapa pun, bahkan pada para tetanggaku. Aku tinggal di rumah dan memasak agar Turi bisa menikmati pesta Paskah." Tapi ayah Guiliano pergi ke Frisella si tukang cukur pada pagi hari kunjungan itu. Pria tua itu agak putus asa, dan ingin tampil hebat untuk menyambut kesempatan langka putranya berkunjung ke rumah di Montelepre. Frisella yang mencukur dan memotong rambut pria tua itu dan melontarkan leluconnya seperti biasa. "Apa Signor mau pergi ke Palermo mengunjungi wanita-wanita muda khusus di sana? Apa dia menerima tamu penting dari Roma?" Ia, Frisella, akan menjadikan Signor Guiliano cukup tampan untuk menerima "raja". Dan Pisciotta membayangkan adegannya. Ayah Guiliano, sambil tersenyum misterius menggumam bahwa pria boleh saja tampil rapi demi kepuasannya sendiri, tanpa perlu alasan lain. Ia pun merasa dirinya penting mengetahui putranya cukup terkenal untuk disebut "Raja Montelepre". Mungkin sebelumnya ayah Guiliano pernah bercukur pada hari Guiliano berkunjung, dan si tukang cukur menebak kali ini pun ia pasti bercukur untuk menyambut kedatangan putranya. Maresciallo Roccofino singgah ke salon Frisella setiap pagi untuk cukur hariannya. Tampaknya tidak ada percakapan apa pun yang bisa menyampaikan informasi dari si tukang cukur ke polisi itu. Tapi Pisciotta merasa yakin. Ia mengirim mata-mata ke salon untuk berkeliaran di sekitarnya sepanjang hari dan bermain kartu bersama Frisella di meja kecil yang diletakkan di jalan di luar. Mereka minum anggur, membicarakan masalah-masalah politik, dan meneriakkan hinaan kepada teman-teman yang melintas. Selama berminggu-minggu mata-mata Pisciotta mengumpulkan lebih banyak informasi. Frisella selalu menyiulkan lagu salah satu opera kesukaannya sewaktu mencukur dan memotong rambut; terkadang radio besar berbentuk oval melantunkan rekaman-rekaman dari Roma. Selalu begitu situasinya setiap kali ia menangani Maresciallo. Dan selalu ada saat ia membungkuk ke arah petugas polisi itu dan membisikkan sesuatu. Kalau kau tidak sedang curiga, adegan itu tampak seperti tukang cukur yang penuh perhatian terhadap keinginan pelanggannya, sekadar ingin menyenangkan si pelanggan. Tapi lalu salah seorang mata-mata Pisciotta melihat lembaran lira yang digunakan Maresciallo membayar layanan si tukang cukur. Mereka memerhatikan lembaran itu dilipat, dan si tukang cukur menyimpannya dalam saku-j am khusus di rompinya, di balik mantel putihnya. Sewaktu mata-mata dan salah satu pembantunya mengkonfrontasi Frisella dan memaksanya menunjukkan uang itu, ternyata itu lembaran sepuluh ribu lira. Si tukang cukur bersumpah uang itu untuk membayar layanannya selama beberapa bulan terakhir, dan mata- mata Pisciotta berpura-pura memercayai ucapannya. Pisciotta menyajikan bukti kepada Guiliano di hadapan Terranova, Passatempo, dan Kopral Silvestro. Mereka berada di kamp di pegunungan, dan Guiliano menuju salah satu tepi karang yang membentang ke arah Montelepre dan memandangi kota itu. Frisella, si tukang cukur, telah menjadi bagian kota itu sepanjang ingatan Guiliano. Sewaktu kecil ia pernah mengunjungi Frisella untuk memotong rambutnya untuk acara Konfirmasi Suci, dan Frisella memberinya sekeping koin perak kecil sebagai hadiah. Ia mengenal istri dan putra Frisella. Frisella sering meneriakkan lelucon kepadanya di jalan dan selalu menanyakan keadaan ibu dan ayahnya. Tapi sekarang Frisella melanggar hukum suci omerta. Ia menjual rahasia kepada musuh; ia mata-mata bayaran polisi. Bagaimana ia bisa sebodoh itu? Dan apa yang harus dilakukannya terhadap Frisella? Membunuh polisi dalam pertempuran hebat mungkin biasa saja, tapi mengeksekusi—dengan darah dingin —pria lebih tua yang bagaikan pamannya sendiri jelas berbeda. Turi Guiliano baru berusia 21 tahun dan ini pertama kalinya ia harus menggunakan kekejaman luar biasa yang -begitu penting bagi kelangsungan hidupnya. Ia berbalik memandang yang lain. "Frisella sudah mengenalku seumur hidupku. Dia memberiku es jeruk •sewaktu aku kecil, kau ingat, Aspanu? -Dan mungkin dia hanya bergosip dengan Maresciallo, tidak benar-benar memberinya informasi. Bukan seperti kita memberitahunya bahwa aku akan mengunjungi kota dan lalu dia melaporkannya ke polisi. Mungkin dia hanya berteori dan menerima uang karena ditawarkan. Siapa yang akan menolak?" Passatempo memandang Guiliano dengan mata menyipit, seperti yang dilakukan hiena kala memandang singa sekarat, berpikk-pikir apakah sudah tiba waktunya, apakah situasi aman, untuk melesat maju dan mencabik sepotong dagingnya. Terranova menggeleng pelan, ia tersenyum seakan tengah mendengarkan anak kecil memaparkan kisah konyol. Tapi hanya Pisciotta yang menjawab. "Dia sama bersalahnya seperti pendeta di rumah bordil," ujar Pisciotta. "Kita bisa memperingatkannya," sahut Guiliano. "Kita bisa menariknya ke pihak kita dan memanfaatkan dirinya untuk memberikan informasi palsu kepada pihak berwenang, sesuai tujuan kita." Bahkan sementara bicara, ia tahu dirinya keliru. Ia tidak lagi bisa mengambil risiko dengan tindakan-tindakan seperti itu. Pisciotta berkata berang, "Sekalian saja beri dia hadiah, sekarung padi atau seekor ayam! Turi, keselamatan kita dan keselamatan semua orang di luar sana di pegunungan ini bergantung pada keberanian-mu, kemauanmu, kepemimpinanmu. Bagaimana kami bisa mengikutimu kalau kau mengampuni pengkhianat seperti Frisella? Orang yang melanggar hukum omerta. Friends of the Friends pasti sudah menggantung hati dan jantungnya pada tiang salonnya sekarang ini bahkan seandainya bukti yang mereka miliki lebih sedikit daripada bukti yang kita punya. Kalau kau membiarkan dia lolos, maka setiap pengkhianat serakah akan tahu dia bisa membocorkan rahasia sekali tanpa hukuman. Salah satu dari 'sekali' itu bisa berarti kematian kita." Terranova berbicara hati-hati. "Frisella orang sok yang bodoh, serakah, dan pengkhianat. Di waktu-waktu biasa dia sekadar pengganggu. Sekarang dia berbahaya. Membiarkan dirinya lolos merupakan kebodohan—dia tidak cukup cerdas untuk memperbaiki kesalahan. Dia akan menganggap kita bukan orang- orang serius. Dan banyak orang lainnya juga akan berpikir begitu. Turi, kau sudah menekan kegiatan Friends of the Friends di Montelepre. Orang mereka, Quintana, bergerak sangat hati-hati, walaupun dia sempat melontarkan beberapa pernyataan ceroboh. Kalau kau membiarkan Frisella lolos dengan hukuman apa pun selain kematian, Friends of the Friends akan menganggap kau lemah dan mengujimu lebih jauh. Carabinieri akan semakin berani, tidak setakut sekarang, dan lebih berbahaya. Bahkan penduduk Montelepre akan memandang rendah dirimu. Frisella tidak bisa dibiarkan hidup." Ia mengatakan kalimat terakhir hampir-hampir bernada penyesalan. Guiliano mendengarkan pendapat mereka sambil berpikir. Mereka benar. Ia menyadari pandangan Passatempo dan memahami pikirannya. Passatempo takkan pernah bisa dipercaya kalau Frisella dibiarkan hidup. Guiliano takkan bisa lagi membayangkan dirinya menjadi kesatria Charlemagne, takkan bisa lagi mengkhayalkan dirinya membereskan masalah melalui pertempuran terhormat di tengah Fields of the Cloths of Gold. Frisella harus dieksekusi dan dengan cara sedemikian rupa sehingga menciptakan ketakutan maksimal. Guiliano mendapat gagasan. Ia berpaling kepada Kopral Silvestro dan bertanya, "Apa pendapatmu? Jelas Maresciallo pernah memberitahumu tentang para mata-matanya. Apa tukang cukur itu bersalah?" Silvestro mengangkat bahu, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia tidak membuka mulut. Mereka semua menyadari ini masalah kehormatan baginya, untuk tidak bicara, untuk tidak mengkhianati kepercayaan yang pernah diperolehnya. Bahwa ia tidak menjawab merupakan caranya menyatakan tukang cukur itu jelas mengadakan kontak dengan Maresciallo. Meskipun demikian, Guiliano harus merasa yakin. Ia tersenyum kepada Kopral dan berkata, "Sekarang tiba saatnya bagimu untuk membuktikan kesetiaanmu kepada kami. Kita semua akan menuju Montelepre dan kau akan mengeksekusi tukang cukur itu di alun-alun." Aspanu Pisciotta terheran-heran akan kelicikan sahabatnya. Guiliano selalu mengejutkan dirinya. Ia selalu bertindak mulia, tapi bisa memasang jebakan yang layak disejajarkan dengan Iago—tokoh cerdas dan licik dalam drama Othello karya William Shakespeare. Mereka semua mulai mengenal si kopral sebagai orang jujur dan bisa dipercaya, serta adil. Ia tidak akan mau melakukan eksekusi apa pun kalau ia tidak yakin si tukang cukur bersalah, tidak peduli apa pun risikonya bagi dirinya sendiri. Pisciotta melihat Guiliano tersenyum—kalau Kopral menolak, tukang cukur akan dianggap tidak bersalah dan bebas. Tapi si kopral mengelus-elus kumisnya yang lebat dan memandang lurus ke arah mereka. Katanya, "Frisella memotong rambut begitu buruk sehingga untuk itu saja dia pantas mati. Aku akan siap besok pagi." Pada saat fajar Guiliano dan Pisciotta serta mantan Kopral Silvestro menyusuri jalan menuju Montelepre. Satu jam sebelumnya Passatempo berangkat bersama sepuluh orang untuk memblokir seluruh jalan yang menuju alun-alun kota. Terranova bertanggung jawab atas kamp dan bersiap-siap memimpin penyerbuan ke kota bila rekan-rekan mereka menemui masalah serius. Hari masih pagi ketika Guiliano dan Pisciotta memasuki alun-alun. Jalan-jalan yang terbuat dari batu-batu bulat dan trotoar telah disiram air dan beberapa anak tengah bermain-main di panggung tempat keledai dan bagal "bercinta" pada hari yang menentukan beberapa waktu silam. Guiliano memerintahkan Silvestro mengusir anak-anak ku dari alun-alun agar mereka tidak menyaksikan apa yang akan terjadi. Silvestro melakukannya begitu keras sehingga anak-anak itu berhamburan bagai anak ayam. Sewaktu Guiliano dan Pisciotta memasuki salon dengan pistol otomatis siap ditembakkan, Frisella tengah memotong rambut man tanah kaya di provinsi itu. Tukang cukur itu menganggap mereka datang untuk menculik pelanggannya dan ia mengibaskan kainnya sambil tersenyum seakan-akan menyajikan hadiah. Tuan tanah itu, petani tua Sisilia yang menjadi kaya selama masa perang berkat menjual ternak kepada Angkatan Darat Italia, bangkit berdiri dengan bangga. Tapi Pisciotta memberi isyarat agar ia menyingkir dan berkata sambil tersenyum, "Kau tidak memiliki cukup uang untuk membayar kami dan kerja keras yang kami lakukan." Guiliano sangat waspada dan tetap memandang Frisella. Tukang cukur itu masih menggenggam gun- ringnya. "Letakkan," perintah Guiliano. "Kau tidak perlu memotong rambut di tempat kau akan pergi. Sekarang keluarlah." Frisella menjatuhkan guntingnya dan wajahnya yang lebar menyeringai seperti badut sewaktu ia mencoba tersenyum. "Turi," katanya, "aku tidak memiliki uang, aku cuma membuka usaha. Aku orang miskin." Pisciotta menyambar rambutnya yang lebat dan menyeretnya keluar salon ke jalan berbatu-batu bulat, Silvestro telah menanti di sana. Frisella jatuh berlutut dan mulai menjerit-jerit. "Turi, Turi, aku memotong rambutmu sewaktu kau kecil. Kau ingat? Istriku akan kelaparan. Putraku tolol." Pisciotta bisa melihat Guiliano goyah. Ia menendang tukang cukur itu dan berkata, "Kau seharusnya memikirkan hal-hal itu sewaktu kau membocorkan rahasia." Frisella mulai menangis. "Aku tidak pernah mengkhianat Turi. Aku bercerita tentang pencuri domba kepada Maresciallo. Aku bersumpah demi istri dan anakku." Guiliano menunduk memandangnya. Pada saat itu ia merasa hatinya akan hancur, bahwa apa yang akan dilakukannya akan menghancurkan dirinya selama-lamanya. Tapi ia berkata lembut, "Kau punya waktu satu menit untuk berdamai dengan Tuhan." Frisella menengadah memandang ketiga pria yang mengepungnya dan tidak melihat tanda-tanda pengampunan. Ia menundukkan kepala dan menggumamkan doa. Lalu ia mendongak dan berkata kepada Guiliano, "Jangan biarkan istri dan anakku kelaparan." "Aku berjanji mereka akan mendapat roti," kata 941 Guiliano. Ia berpaling kepada Silvestro. "Bunuh dia," perintahnya. Kopral tertegun mengawasi adegan itu. Tapi begitu mendengar perintah, ia menarik picu pistol otomatisnya. Pelurunya mengangkat tubuh Frisella dan mendorongnya sepanjang batu-batu bulat yang basah. Darah menggelapkan genangan-genangan air kecil di sela-sela bebatuan. Darah mengalir kehitaman di retakan-retakan yang tidak tercapai air dan mengusir keluar kadal-kadal kecil. Kesunyian berlangsung cukup lama di alun-alun. Lalu Pisciotta. bedutut di atas mayat dan menjepitkan kertas putih persegi pada dada pria yang tewas itu. Saat Maresciallo tiba, hanya kertas itu yang ia temukan sebagai bukti. Para penjaga toko tidak melihat apa-apa, menurut pengakuan mereka. Mereka tengah bekerja di belakang toko. Atau mengamati awan-awan yang indah di atas Monte d'Ora. Pelanggan Frisella mengaku tengah mencuci muka di baskom sewaktu mendengar tembakan, ia tidak pernah melihat para pembunuhnya. Meskipun demikian, siapa yang bersalah sudah jelas. Kertas persegi di dada Frisella bertuliskan, KEMATIAN BAGI SEMUA YANG MENGKHIANATI GUILIANO. Bab 12 PERANG telah berakhir, tapi perang Guiliano baru saja dimulai. Selama dua tahun, Salvatore Guiliano telah menjadi orang paling terkenal di Sisilia. Ia membangun dominasinya di sudut barat laut pulau. Jantung kerajaannya adalah Montelepre. Ia mengendalikan kota-kota Piani dei Greci, Borgetto, dan Partinico. Dan kota para pembunuh, Corleone, yang penduduknya begitu buas sehingga mereka terkenal buruk bahkan di Sisilia. Jangkauannya nyaris mencapai Trapani, dan ia mengancam Monreale serta ibukota Sisilia sendiri, Palermo. Sewaktu pemerintah demokrasi yang baru di Roma memasang harga sepuluh juta lira atas. kepalanya, Guiliano tertawa dan terus berkeliaran penuh percaya diri di banyak kota. Ia bahkan sesekali bersantap malam di restoran- restoran di Palermo. Setelah makan ia selalu meninggalkan surat di bawah piringnya yang berbunyi, "Ini untuk menunjukkan Turi Guiliano bisa pergi ke mana pun dia mau." Benteng Guiliano yang tidak tertembus adalah kawasan Pegunungan Cammarata. Ia mengenal semua gua dan jalan setapak rahasianya. Ia merasa tidak terkalahkan di sini. Ia menyukai pemandangan Montelepre di bawahnya, dataran Partinico yang membentang hingga ke Trapani dan Laut Mediterania. Saat rembang senja berubah biru, memantulkan laut di kejauhan, ia bisa melihat reruntuhan kuil-kuil Yunani, pepohonan jeruk, perkebunan zaitun, dan ladang biji-bijian yang merupakan Sisilia Barat. Dengan teropongnya ia bisa melihat akar-akar bergembok di tepi jalan yang berisi patung-patung orang suci yang berdebu. Dari pegunungan ini ia memimpin anak buahnya ke jalan-jalan putih berdebu untuk merampok iring-king-an kendaraan pemerintah, meledakkan rel kereta, dan meringankan beban para wanita kaya dari perhiasan mereka. Para petani yang lewat dengan kereta-kereta warna-warni mereka di festival-festival suci memberikan hormat kepadanya dan anak buahnya, mula-mula dengan ketakutan, lalu hormat dan sayang. Tak satu pun dari mereka, tak satu gembala atau buruh pun yang tidak mendapat keuntungan dari pembagian harta rampasannya. Seluruh pedalaman menjadi mata-matanya. Di malam hari sewaktu anak-anak mengucapkan doa, mereka mengikutsertakan permohonan kepada Bunda Maria "untuk menyelamatkan Guiliano dari carabinieri". Pedalamanlah yang memberi makan Guiliano dan anak buahnya. Ada perkebunan zaitun dan jeruk, serta kebun anggur. Ada kawanan domba yang gembalanya menutup mata saat para bandit datang untuk mengambil beberapa ekor. Di kawasan inilah Guiliano ber-eliaran bagai hantu, menghilang dalam keremangan ahaya kebkuan Sisilia yang merupakan pantulan warna ngit di Laut Mediterania. Musim dingin sangat panjang di pegunungan, dan tgat dingin. Kendati demikian kelompok Guiliano bertambah besar. Di malam hari puluhan api unggun bermunculan di lereng- lereng dan lembah-lembah Cammarata. Orang-orang memanfaatkan cahaya api unggun untuk membersihkan senjata-senjata mereka, memperbaiki pakaian, mencuci pakaian di sungai pegunungan di dekat perkemahan. Menyiapkan makan malam bersama terkadang menyebabkan perdebatan. Setiap desa di Sisilia memiliki resep berbeda untuk cumi-cumi dan belut, mereka berdebat soal bumbu-bumbu apa yang tidak boleh dicampurkan dalam saus tomat. Dan apakah sosisnya harus dipanggang atau tidak Orang-orang yang cenderung gampang membunuh memilih mencuci pakaian; para penculik lebih suka memasak dan menjahit. Para perampok bank dan kereta bertahan membersihkan senjata mereka. Guiliano memerintahkan mereka semua menggali parit-parit pertahanan dan mendirikan pos pengamatan yang cukup jauh agar mereka tidak bisa dikejutkan pasukan pemerintah. Suatu hari sewaktu orang-orang tengah menggali, mereka menemukan kerangka hewan raksasa, lebih besar daripada yang bisa mereka bayangkan. Hector Adonis tiba hari itu membawa buku-buku untuk dipelajari Guikano,. karena Guiliano sekarang sangat ingin mengetahui segala sesuatu yang terjadi di dunia. Ia mempelajari buku-buku tentang ilmu pengetahuan, obat- obatan, poktik, filsafat, dan teknik militer. Hector Adonis membawa sekarung penuh buku setiap beberapa minggu sekali. Guikano mengajaknya ke tempat anak buahnya menemukan kerangka hewan itu. Adonis tersenyum melihat kebingungan mereka. "Apa aku belum memberimu cukup banyak buku sejarah?" tanyanya kepada Guiliano. "Orang yang tidak menge- tahui sejarah umat manusia selama dua ribu tahun terakhir adalah orang yang hidup dalam kegelapan." Ia diam selama beberapa saat. Suara Adonis yang lunak adalah suara dosen yang tengah mengajar. "Ini tulang-belulang mesin perang yang digunakan Hannibal dari Kartagena, yang dua ribu tahun silam melewati pegunungan ini untuk menghancurkan kekaisaran Romawi Ini tulang-belulang salah seekor gajah perangnya, terlatih bertempur dan tidak pernah terlihat di benua ini sebelumnya. Gajah-gajah itu pasti sangat menakutkan bagi para prajurit Romawi. Tapi mereka tidak memberi Hannibal keuntungan apa pun; Roma mengalahkannya dan menghancurkan Kartagena. Pegunungan ini dihuni begitu banyak hantu, dan kau menemukan salah satu di antaranya. Pikir, Turi, suatu hari kau akan menjadi salah satu dari hantu-hantu itu." Dan Guiliano memang berpikir sepanjang malam itu. Gagasan suatu hari dirinya akan menjadi salah satu hantu sejarah- membuatnya senang. Kalau ia terbunuh, ia berharap terbunuh di pegunungan; ia berfantasi—dalam keadaan terluka—ia merangkak ke salah satu dari ribuan gua yang ada dan hanya akan ditemukan secara kebetulan, .seperti yang terjadi pada gajah Hannibal Mereka berpindah tempat berkemah berulang kali selama musim dingin. Dan terkadang selama ber-minggu-minggu kelompoknya bubar dan tidur di rumah kerabat, gembala sahabat, atau gudang kosong luas milik kaum bangsawan. Guiliano menghabiskan sebagian besar musim dingin dengan mempelajari buku- bukunya dan menyusun rencana. Ia berbicara panjang-lebar dengan Hector Adonis. Di awal musim semi ia pergi bersama Pisciotta menyusuri jalan yang menuju Trapani. Di jalan itu mereka melihat kereta dengan legenda yang baru dilukiskan di sisinya. Untuk pertama kalinya mereka melihat panel yang menunjukkan legenda Guiliano. Adegan itu digambarkan dengan cat merah manyala, Guiliano tengah merampas cincin zamrud dari jari Duchess sambil membungkuk di hadapannya. Di latar belakang, Pisciotta berdiri menyandang pistol otomatis dan mengancam sekelompok pria bersenjata yang gemetar ketakutan. Pada hari itu juga untuk pertama kali mereka mengenakan gesper bergambar elang dan singa yang diukirkan pada sepotong emas. Gesper-gesper itu buatan Silvestro, yang sekarang" bertugas di bagian persenjataan, dan ia memberikannya pada Guiliano dan Pisciotta. Gesper-gesper itu merupakan lencana kepemimpinan mereka atas kelompok. Guiliano selalu mengenakannya; Pisciotta mengenakannya hanya bila sedang bersama Guiliano. Karena Pisciotta sering masuk ke kota-kota dan desa-desa sambil menyamar, bahkan ke Palermo. Di malam hari di pegunungan, Guiliano—sewaktu menanggalkan sabuknya— mengamati gesper emas persegi itu. Di sisi kiri terdapat ukiran burung elang yang tampak seperti pria berbulu. Sisi kanan berukirkan singa, cakar-cakarnya— seperti sayap-sayap elangnya— mendukung lingkaran di antara keduanya. Tampaknya seolah keduanya bersama-sama memutar roda dunia. Guiliano terutama terpesona pada ukiran singanya, dengan tubuh manusia di bawah kepalanya. Raja udara, raja tanah, diukir di atas emas kuning yang lunak. Guiliano menganggap dirinya elang, Pisciotta singanya, dan lingkaran itu Sisilia. Selama berabad-abad, penculikan orang kaya merupakan salah satu industri rumah tangga di Sisilia. Biasanya penculiknya Mafiosi atau anggota Mafia yang paling ditakuti, yang hanya perlu mengirim surat sebelum menculik. Ini cara sopan, untuk menghindarkan kerepotan, uang tebusan dikirim terlebih dulu. Seperti mendapat diskon kalau membayar tunai, tebusan jadi jauh lebih kecil karena segala macam perincian yang menjengkelkan—seperti penculikan itu sendiri—tidak perlu dilakukan. Karena sejujurnya, aksi semacam penculikan orang terkenal tidaklah semudah anggapan orang. Penculikan bukanlah bisnis yang cocok bagi amatir serakah atau pemalas tolol yang menolak bekerja mencari penghidupan. Penculikan juga tidak sesuai bagi orang tak berakal, yang menyebabkan aksi bunuh diri seperti yang terjadi di Amerika, di mana para pelakunya membuat penculikan mendapat reputasi buruk. Bahkan kata "kidnapping" atau penculikan tidak digunakan di Sisilia, karena "kid" atau anak- anak tidak ditahan guna mendapat tebusan kecuali ditemani orang dewasa. Terserah apa katamu tentang orang Sisilia: mereka penjahat sejak lahir, mereka membunuh semudah wanita memetik" bunga, mereka sama liciknya seperti orang Turki, mereka ketinggalan zaman tiga ratus tahun; tapi tak seorang pun bisa memperdebatkan bahwa orang Sisilia mencintai—oh, tidak—mereka me- muja anak-anak. Jadi tidak ada yang namanya penculikan di Sisilia. Mereka "mengundang" orang kaya menjadi tamu mereka, dan ia tidak akan dibebaskan sebelum menfbayar uang kamar dan pelayanan, sebagaimana di hotel mewah. Industri ini telah mengembangkan peraturan-peraturan tertentu selama ratusan tahun. Harganya selalu bisa dinegosiasikan melalui perantara seperti Mafia. "Tamu" tidak akan diperlakukan kasar selama ia mau bekerja sama. "Tamu" akan diperlakukan amat hormat, selalu dipanggil sesuai kedudukannya, seperti Pangeran atau Duke atau Don atau bahkan Uskup Agung, kalau ada bandit yang mentilih membahayakan jiwanya dengan menangkap anggota gereja. Bahkan Anggota Parlemen pun dipanggil Yang Mulia meskipun semua orang tahu mereka itu mencuri lebih banyak daripada siapa pun. Ini dilakukan semata-mata karena kehati-hatian. Sejarah menunjukkan ini kebijakan yang berguna. Begitu tahanan dibebaskan, ia tidak menunjukkan keinginan membalas dendam selama harga dirinya dipertahankan. Ada cerita klasik tentang seorang Duke yang—sesudah dibebaskan—memimpin carabinieri ke tempat para bandit bersembunyi, lalu membayar pengacara bagi para bandit itu. Meski mereka terbukti bersalah, Duke itu campur tangan untuk mengurangi setengah masa hukuman mereka. Ini karena para bandit memperlakukan dirinya begitu ramah dan sopan sehingga Duke itu menyatakan clirinya belum pernah mendapati sikap begitu hebat bahkan di kalangan teratas Palermo. Sebaliknya tahanan yang diperlakukan buruk, begitu dibebaskan, akan menghabiskan hartanya untuk memburu para penangkapnya, terkadang menawarkan hadiah lebih besar daripada uang tebusan yang dibayarkan. Tapi bila segala sesuatu berjalan lancar, kalau kedua belah pihak bersikap beradab, harganya dinegosiasikan dan tahanan dilepaskan. Kaum kaya Sisilia akhirnya menganggap "penculikan" ini semacam pajak tidak resmi atas kehidupan mereka di tanah yang mereka cintai, dan karena mereka membayar pajak begitu sedikit kepada pemerintah resmi, mereka menanggung beban ini dengan kepasrahan Kristiani. Penolakan keras atau negosiasi berkepanjangan, diselesaikan melalui hukuman ringan. Mungkin salah satu telinga dipotong, atau jari. Biasanya ini sudah cukup untuk menyadarkan semua orang Kecuali dalam kasus-kasus menyedihkan yang sangat jarang terjadi di mana mayat si korban harus dikirimkan, dicincang dan dipenuhi peluru, atau, di masa lalu, ditusuk puluhan kali dalam pola salib. Tetap "Mengundang Tamu" selalu merepotkan. Korban harus diamati selama beberapa waktu agar bisa "diambil" tanpa banyak kekerasan, Bahkan sebelumnya, lima atau enam tempat persembunyian harus disiapkan, diisi pasokan bahan makanan, dan dijaga, karena mereka memahami bahwa selama negosiasi, pihak berwenang akan berusaha mencari korban. Bisnis rumit ini bukan untuk amatiran. Sewaktu Guiliano memutuskan menerjuni bisnis penculikan, ia membulatkan tekad untuk hanya melayani klien-klien terkaya di Sisilia. Malah korban pertamanya adalah bangsawan paling kaya dan paling berkuasa di pulau itu. Ia Pangeran Ollorto, yang bukan saja memiliki lahan terluas di Sisilia tapi juga kekaisaran virtual di Brasilia. Ia man tanah bagi sebagian besar penduduk Montelepre—pemilik ladang-ladang dan rumah-rumah mereka. Secara politis ia orang paling berkuasa di balik layar; Menteri Kehakiman di Roma teman dekatnya, dan mantan Raja Italia menjadi bapak permandian anaknya. Di Sisilia, pengawas atas seluruh lahannya adalah Don Croce sendiri. Tidak perlu dikatakan lagi besarnya gaji yang diterima Don Croce, termasuk perlindungan, terhadap Pangeran Ollorto dari penculikan dan pembunuhan, serta perlindungan terhadap perhiasan dan ternaknya dari pencurian. Aman di purinya, dmdmg-dindingnya dijaga anak buah Don Croce, penjaga gerbang, dan para pengawal pribadinya, Pangeran Ollorto bersiap-siap menikmati malam yang damai dengan mengamati bintang-bintang di langit melalui teleskop besar yang lebih dicintainya dari apa pun di dunia ini. Tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah berat menaiki tangga putar yang menuju menara pengamatan. Pintunya didobrak dan empat orang yang berpakaian kasar dan menyandang senjata menyesaki ruangan mungil itu. Pangeran menutupi teleskopnya dengan tangan, melindunginya, dan berpaling dari bintang-bintang yang tak berdosa untuk menghadapi mereka. Begitu Pangeran melihat wajah Terranova yang bagai musang, ia seketika berdoa kepada Tuhan. Tap Terranova berkata ramah kepadanya, "Yang Mulia, aku diperintahkan membawamu ke pegunungan untuk berlibur bersama Turi Guiliano. Kau akan dikenai biaya kamar dan akomodasi selama kunjunganmu, itu kebiasaan kami. Tapi kau akan dijaga seperti bayi yang baru lahir." Pangeran mencoba menyembunyikan ketakutannya. Ia membungkuk dan bertanya serius, "Boleh aku membawa obat-obatan dan beberapa pakaian?" Terranova menjawab, "Kami akan mengirim orang untuk mengambilnya. Sekarang ini kecepatan yang penting. Carabinieri akan tiba sebentar lagi dan mereka tidak diundang -ke pesta kecil kita. Sekarang silakan turun terlebih dulu. Dan jangan coba-coba melarikan diri. Orang-orang kami ada di mana-mana dan bahkan seorang pangeran tidak bisa mengalahkan kecepatan peluru." l|p|s Di gerbang samping, jauh di bagian bawah dinding, menunggu Alfa Romeo dan jip. Pangeran Ollorto didorong masuk ke Alfa Romeo bersama Terranova, yang lainnya melompat naik ke jip, dan kedua kendaraan itu melesat menyusuri jalan pegunungan. Setelah mereka melaju selama setengah jam dari Palermo dan tidak jauh lagi dari Montelepre, mobil-mobil itu berhenti dan semua penumpangnya turun. Ada altar tepi jalan berisi patung Bunda Maria, dan Terranova berlutut di depannya dan membuat tanda salib. Pangeran, yang religius, menekan dorongan hati untuk berbuat begitu, takut tindakannya dianggap sebagai tanda kelemahan atau permohonan kepada orang-orang ini agar tidak menyakitinya. Kelima orang lainnya berdiri menyebar dalam formasi bintang, Pangeran berdiri di tengah. Lalu mereka mulai berjalan menuruni lereng curam sampai tiba di jalan setapak sempit yang menuju hutan luas di Pegunungan Cammarata. Mereka berjalan berjam-jam, dan sering kali Pangeran meminta istirahat, yang dengan sopan dipenuhi para ptia yang menemaninya. Mereka duduk di bawah batu granit raksasa dan menyantap makan malam. Ada roti, sepotong besar keju, dan sebotol anggur. Terranova membagikannya sama rata kepada semua orang, ter- masuk Pangeran, dan bahkan sambil meminta maaf. "Maaf karena tidak bisa menawarkan yang lebih baik," ucapnya. "Setelah tiba di kamp kami nanti, Guiliano akan menghidangkan makanan panas bagimu, mungkin sup kelinci yang lezat. Koki kami pernah bekerja di restoran-restoran di Palermo." .^^| Pangeran mengucapkan terima kasih dengan sopan dan makan dengan lahap. Malah selera makannya lebih baik dibandingkan saat ia menyantap makan malam mewah yang biasa dinikmatinya. Olahraga menyebabkan ia kelaparan, sudah bertahun-tahun ia tidak pernah merasakan lapar seperti itu. Ia mengeluarkan sekotak rokok Inggris dari sakunya, dan menawarkannya kepada semua orang. Terranova dan anak buahnya masing-masing mengambil sebatang dengan penuh terima kasih dan mengisapnya. Pangeran diam-diam mencatat fakta bahwa mereka tidak menyita sisa rokoknya. Jadi ia memberanikan diri berkata, "Aku harus minum obat-obatan tertentu. Aku menderita diabetes dan harus mendapat insulin setiap hari." Ia terkejut melihat keprmatinan Terranova. "Kenapa kau tidak mengatakannya sejak tadi?" tanyanya. "Kami bisa menunggu sebentar. Tapi tidak perlu khawatir. Guiliano akan mengirim orang untuk mengambilkan obatmu dan kau akan menerimanya besok pagi. Aku berjanji padamu." 'Terima kasih," ujar Pangeran. Tubuh Terranova yang kurus tampaknya selalu membungkuk hormat dan penuh perhatian. Wajahnya yang bagai musang selalu tersenyum dan ramah. Tapi ia bagaikan silet; berguna tapi bisa berubah menjadi sesuatu yang mematikan. Kemudian mereka melanjutkan. perjalanan. Terranova berjalan paling depan dalam formasi bintang itu. Sering kali ia mundur untuk bercakap-cakap dengan Pangeran dan meyakinkannya bahwa ia tidak akan disakiti. Mereka mendaki cukup lama dan akhirnya tiba di dataran di puncak pegunungan. Tiga perapian telah dinyalakan dan meja piknik dilengkapi- kursi- kursi bambu diletakkan di dekat tepi tebing. Di salah satu meja duduk Guiliano yang membaca buku dengan bantuan cahaya lampu baterai Angkatan Darat Amerika. Tas kanvas berisi buku-buku lain berada di dekat kakinya. Tas itu tertutup tokek dan memang terdengar dengungan mantap yang keras mengisi udara pegunungan, yang dikenali Pangeran sebagai suara jutaan serangga. Suara itu tampaknya tidak mengganggu Guiliano. Guiliano beranjak bangkit dari meja dan menyapa Pangeran dengan sopan. Ia sama sekali tidak menunjukkan sikap penahan terhadap tahanannya. Tapi ia melontarkan senyum yang membangkitkan penasaran, karena Guiliano tengah memikirkan seberapa jauh perubahan dirinya. Dua tahun lalu ia hanyalah petani miskinj sekarang ia menguasai orang berdarah paling biru dan berdompet paling tebal di seluruh Sisilia. "Kau sudah makan?" tanya Guiliano. "Apa ada yang kaubutuhkan agar kunjunganmu ke tempat kami lebih menyenangkan? Kau akan bersama kami selama beberapa waktu." Pangeran mengaku lapar dan menjelaskan kebutuhannya akan insulin dan obat- obatan lainnya. Guiliano memanggil ke sisi tebing dan tak lama kemudian anak buahnya bergegas mendaki jalan setapak sambil mem- bawa sepanci setup panas. Guiliano meminta Pangeran menuliskan secara terinci obat-obatan apa yang dibutuhkannya. "Aku punya teman seorang ahli kimia di Monreale yang bersedia membuka tokonya bagi kami, tidak peduli pukul berapa," Guiliano" menjelaskan. "Kau akan mendapatkan obatmu tengah hari besok." Setelah Pangeran selesai bersantap, Guiliano mengajaknya menuruni lereng menuju gua kecil berisi ranjang jerami dan kasur. Dua bandit mengikuti mereka sambil membawa selimut, dan Pangeran terpesona melihat mereka bahkan menyediakan seprai putih dan bantal besar empuk. Guiliano menyadari kekagetannya dan berkata, "Kau tamu terhormat dan aku akan melakukan apa saja agar kau bisa menikmati liburan singkat ini. Kalau ada anak buahku yang bersikap kurang hormat kepadamu, harap melaporkannya padaku. Mereka telah menerima perintah tegas untuk memperlakukan dirimu sesuai kedudukanmu, dan reputasimu sebagai patriot Sisilia. Sekarang tidurlah yang nyenyak, kau akan membutuhkan semua kekuatanmu, karena besok kita akan menempuh perjalanan panjang berjalan kaki. Surat permintaan tebusan sudah dikirim dan carabinieri akan datang kemari dengan kekuatan besar untuk mencari dirimu. Jadi kita harus meninggalkan tempat ini sejauh-jauhnya." Pangeran mengucapkan terima kasih atas keramahannya dan menanyakan berapa tebusannya. Guiliano tertawa dan Pangeran terpesona pada tawanya, pada ketampanan Guiliano yang kekanak-kanakan. Tapi saat Guiliano menjawab pesona itu lenyap. "Pemerintahmu menetapkan harga sepuluh juta lira untuk kepakku. Aku sama saja menghina Yang Mulia kalau menuntut tebusan kurang dari sepuluh kali lipat." Pangeran terkesima lalu berkata ironis, "Kuharap keluargaku menganggap cliriku sama berharganya seperti anggapanmu." "Harga itu bisa dinegosiasikan," sahut Guiliano. Sesudah ia pergi, kedua bandit tadi menyiapkan ranjang lalu duduk di luar gua. Sekalipun dengung serangga terdengar sangat keras, Pangeran Ollorto tidur lebih nyenyak daripada yang didaminya selama bertahun-tahun. Guiliano sibuk sepanjang malam. Ia mengirim orang-orang ke Montelepre untuk mengambilkan obat; ia membohongi Pangeran sewaktu mengatakan tentang Monreale. Lalu ia mengirim Terranova menemui Kepala Biara Manfredi di biaranya. Ia ingin Kepala Biara menangani negosiasi tebusannya, walaupun ia tahu Kepala Biara terpaksa bekerja melalui Don Croce. Tapi Kepala Biara perantara yang sempurna, dan Don Croce akan mendapatkan komisinya. Negosiasinya akan berjalan panjang, dan ia sadar jumlah seratus juta lira tidak bisa dibayarkan semuanya Pangeran Ollorto sangat kaya, tapi, berdasarkan sejarah, tuntutan pertama bukanlah harga yang sebenarnya. Hari kedua penculikan Pangeran Ollorto merupakan hari yang sangat menyenangkan baginya. Ia berjalan kaki menempuh perjalanan panjang tapi tidak menguras tenaga menuju rumah pertanian kosong jauh di pegunungan. Guiliano benar-benar berusaha keras menyenangkan dirinya, seolah ia orang dusun kaya raya yang merasa terhormat akan kunjungan tiba-tiba rajanya. Dengan matanya yang tajam Guiliano melihat Pangeran Ollorto tertekan karena kondisi pakaiannya. Ia menatap penuh sesal setelan mahal buatan Inggris-nya, takut pakaian itu rusak. Guiliano bertanya padanya tanpa maksud menghina, melainkan sekadar ingin tahu, "Kau benar-benar memedulikan apa yang kaukenakan di luar kulitmu?" Pangeran selalu memiliki kecenderungan mengajar. Dan jelas dalam kondisi sekarang mereka berdua memiliki banyak waktu. Jadi ia menceramahi Guiliano mengenai bagaimana pakaian yang tepat, yang dijahit begitu indahnya dan terbuat dari bahan terbaik, bisa memperkaya orang seperti dirinya. Ia menjabarkan tentang para penjahit di London yang begitu sombong sehingga, kalau dibandingkan, para Duke Italia jadi tampak seperti kaum Komunis. Ia bercerita tentang segala macam jenis kain, keahlian luar biasa, waktu yang dihabiskan untuk mengepas. "Guiliano yang baik," kata Pangeran Ollorto, "bukan masalah uang, kendati Santa Rosalie pun tahu harga yang kubayar untuk setelan ini bisa menghidupi satu keluarga Sisilia selama setahun, ditambah membayar mas kawin putri mereka. Tapi aku harus pergi ke London. Aku harus menghabiskan berhari-hari bersama para penjahit yang mendorongku ke sana kemari. Pengalaman yang menjengkelkan. Jadi aku menyesal kalau pakaian ini rusak. Pakaian ini tidak akan pernah tergantikan." Guiliano menatap Pangeran dengan simpatik dan ia bertanya, "Kenapa begitu penting bagimu dan golonganmu untuk mengenakan pakaian mewah, atau, maafkan aku, setepat itu? Bahkan sekarang kau masih mengenakan dasi meski kita berada di pegunungan. Sewaktu memasuki rumah ini, kulihat kau mengancingkan jas seolah seorang Duchess tengah menunggu di sini untuk menyapamu." Walaupun Pangeran Ollorto sangat reaksioner dalam hal politik, dan seperti sebagian besar bangsawan Sisilia, tidak memedulikan keadilan ekonomi, namun ia selalu memiliki perasaan keterkaitan dengan golongan yang lebih rendah. Ia merasa mereka manusia, sama seperti dirinya, dan ia tidak membiarkan orang- orang yang bekerja padanya, menghormatinya, dan menyadari posisinya, mengalami kesusahan. Para pelayan di purinya memuja dirinya. Ia memperlakukan mereka layaknya anggota keluarga. Selalu ada hadiah saat mereka berulang tahun dan sedikit keistimewaan bagi mereka di hari-hari libur. Saat makan malam keluarga, bila tidak ada tamu yang hadir, para pelayan yang menunggu di sisi meja akan turut serta dalam diskusi dan menyampaikan pendapat mereka mengenai masalah yang dihadapi keluarga bangsawan itu. Dan ini bukanlah sesuatu yang tidak umum di Italia. Kelas-kelas bawah diperlakukan kejam hanya apabila mereka berjuang untuk mendapatkan hak-hak ekonomi mereka. Dan sekarang Pangeran mengambil sikap sama terhadap Guiliano. Seakan-akan penangkapnya hanyalah pelayannya yang ingin berbagi pengetahuan tentang kehidupannya, kehidupannya yang glamor dan penuh kekuasaan yang menimbulkan iri hati. Pangeran tiba-tiba menyadari ia bisa mengubah penangkapan dirinya menjadi keuntungan yang mungkin menjadikan pembayaran tebusan memang layak dilakukan. Tapi ia tahu ia harus sangat hati- hati. Ia harus mengerahkan pesonanya habis-habisan tanpa sikap merendahkan sedikit pun. Ia harus terus terang dan tulus dan sejujur mungkin. Dan menunjukkan ia tidak mencoba mendapatkan keuntungan besar dari situasi ini. Karena secepat kilat Guiliano dapat beralih dari kelemahan menjadi kekuatan. Jadi sekarang ia menjawab pertanyaan Guiliano dengan serius dan tulus. Ia berkata sambil tersenyum, "Kenapa kau mengenakan cincin zamrud itu, gesper emas itu?" Ia menunggu jawaban, tapi Guiliano hanya tersenyum. Pangeran melanjutkan. "Aku menikahi wanita yang bahkan lebih kaya daripada diriku. Aku memiliki tanggung jawab kekuasaan dan politik. Aku memiliki lahan di Sisilia ini dan lahan yang bahkan lebih luas lagi di Brasilia berkat istriku. Orang- orang di Sisilia mencium tanganku begitu aku mengeluarkannya dari saku, dan bahkan di Roma aku mendapat penghormatan besar. Karena di kota itu uang berkuasa. Pandangan semua orang terarah kepadaku. Aku merasa konyol—aku tidak melakukan apa-apa untuk mendapatkan semua ini. Tapi kehormatan itu lnimiliki dan aku harus menjaganya, aku tidak bisa mempermalukan pribadi milik publik ini. Bahkan sewaktu pergi berburu dengan mengenakan apa yang tampaknya pakaian kasar penduduk pedalaman, aku harus tampil sempurna. Sebagai orang kaya dan terkemuka yang pergi berburu. Betapa terkadang aku iri pada orang seperti dirimu dan Don Croce, yang memegang kekuasaan dalam kepala dan dalam hati. Yang mendapatkan kekuasaan melalui keberanian dan kepandaian. Konyol bukan, bahwa aku melakukan tindakan yang hampir sama seperti tindakan kalian, hanya saja dalam bentuk mengunjungi penjahit terbaik di London?" Ia menyampaikan ceramah ini dengan begitu indahnya sehingga Guiliano tertawa terbahak-bahak. Malahan Guiliano begitu senang sehingga keduanya bersantap malam dan berbicara panjang-lebar mengenai kesengsaraan Sisilia dan kepengecutan Roma. Pangeran mengetahui harapan Don Croce untuk merekrut Guiliano dan berusaha membantunya. "Guiliano yang baik," katanya, "kenapa kau dan Don Croce tidak menyatukan kekuatan untuk memerintah Sisilia? Dia memiliki kebijakan karena usianya, kau memiliki idealisme orang muda. Tidak diragukan lagi kalian berdua mencintai Sisilia. Kenapa kalian tidak bersatu menghadapi masa-masa sulit yang akan datang, yang berbahaya bagi' kita semua? Sekarang sesudah perang berakhir, situasi berubah. Komunis dan Sosialis berharap bisa merendahkan Gereja, menghancurkan ikatan darah. Mereka berani mengatakan tugas partai politik lebih penting daripada cinta kepada ibumu, pengabdian kepada saudara- saudarimu. Bagaimana kaku mereka memenangkan pemilihan dan melaksanakan kebijakan politik ini?" "Mereka tidak akan pernah menang" kilah Guiliano. "Orang Sisilia tidak akan pernah memilih Komunis," "Jangan seyakin itu," desak Pangeran. "Kau ingat Silvio Ferra, dia teman masa kanak-kanakmu. Bocah-bocah yang baik seperti Silvio pergi berperang dan pulang dalam keadaan terinfeksi gagasan-gagasan radikal. Provokator mereka menjanjikan roti gratis, tanah gratis. Petani yang naif bagaikan keledai yang mengikuti sebatang wortel. Mereka sangat mungkin memilih Sosialis." "Aku tidak menyukai Demokrat Kristen, tapi aku akan berusaha sekuat tenaga mencegah kemunculan pemerintah Sosialis," tegas Guiliano. "Hanya kau dan Don Croce yang bisa memastikan kemerdekaan Sisilia," kata Pangeran. "Kalian harus bergabung. Don Croce selalu berbicara seakan-akan kau putranya—dia sayang kepadamu. Dan hanya dia yang bisa mencegah perang besar antara dirimu dan Friends of the Friends. Dia mengerti kau harus melakukan apa yang harus kaulakukan; aku juga memahaminya. Tapi bahkan sekarang kita bertiga bisa bekerja sama dan mempertahankan takdir kita. Kalau tidak, kita semua akan hancur." Turi Guiliano tidak bisa menahan amarahnya. Orang kaya ini benar-benar keras kepala. Ia berkata dengan ketenangan mematikan, 'Tebusanmu sendiri belum disepakati dan kau sudah menawarkan persekutuan. Kau bisa mati." Malam itu Pangeran tidur sangat gelisah. Tapi Guiliano tidak menunjukkan kemarahan lebih jauh, dan Pangeran menghabiskan dua minggu berikutnya dalam kondisi sangat baik. Kesehatannya meningkat dan tubuhnya mengencang karena olahraga setiap hari dan udara segar. Kendati sejak dulu tubuhnya langsing, ia mulai menumpuk lemak di sekitar pinggang dan sekarang lemak itu lenyap. Secara fisik ia tidak pernah merasa lebih baik. Dan secara mental ia juga gembira. Terkadang sewaktu pindah dari satu tempat ke tempat lain, Guiliano tidak turut dalam rombongan yang menjaga dirinyay dan ia harus bercakap-cakap dengan orang-orang buta aksara dan tidak memahami kebudayaan apa pun Tapi ia terkejut melihat karakter mereka. Sebagian besar bandit ini memang ramah, memiliki martabat penduduk asli, dan sama sekali tidak bodoh. Mereka selalu memanggil obinya sesuai kedudukannya dan mencoba memenuhi setiap permintaannya. Ia belum pernah berhubungan sedekat ini dengan sesama orang Sisilia, dan ia terkejut merasakan timbulnya rasa cinta baru terhadap tanah dan rakyatnya. Tebusannya, akhirnya dicapai kesepakatan sebesar enam puluh juta lira dalam bentuk emas, dibayar melalui Don Croce dan Kepala Biara Manfredi. Pada malam sebelum pembebasannya, Pangeran Ollorto menghadiri pesta yang diselenggarakan Guiliano dan para wakilnya serta dua puluh anggota kelompok yang paling penting. Sampanye dibawa dari Palermo untuk merayakan kesempatan ini dan mereka semua bersulang atas kebebasannya, karena mereka menyukai (lirinya. Pangeran yang terakhir bersulang. "Aku pernah menjadi tamu di sebagian besar keluarga bangsawan di Sisilia," katanya. 'Tapi aku tidak pernah menerima perlakuan sebaik ini, keramahan sebaik ini, atau orang-orang dengan sikap sehalus seperti yang kudapati di pegunungan ini. Aku tidak pernah tidur begitu nyenyak dan bersantap senikmat ini." Ia diam sejenak dan berkata sambil tersenyum, "Tagihannya memang agak tinggi, tapi segala yang baik memang mahal." Kata- kata itu memicu raungan tawa, Guiliano yang tertawa paling keras. Tapi Pangeran menyadari Pisciotta bahkan tidak tersenyum. Mereka semua minum demi kesehatannya dan ber- sorak. Pangeran akan mengingat malam itu sepanjang sisa hidupnya, dan dengan perasaan senang. Keesokan paginya, hari Minggu, Pangeran diantar ke depan Katedral Palermo. Ia masuk ke gereja untuk mengikuti Misa pertama dan mengucapkan doa syukur. Ia mengenakan pakaian yang sama seperti pada hari ia diculik. Guiliano, sebagai kejutan dan tanda kehormatannya, telah memperbaiki dan membersihkan setelan buatan Inggris-nya di penjahit terbaik di Roma. Bab 13 PARA kepala Mafia seluruh Sisilia menuntut pertemuan dengan Don Croce. Walaupun Don Croce diakui sebagai pemimpin tertinggi, ia tidak memerintah mereka secara langsung. Mereka memiliki kekaisarannya sendiri. Mafia bagaikan salah satu kerajaan abad pertengahan, para bangsawan yang berkuasa bersatu padu untuk mendukung peperangan anggota mereka yang paling kuat, yang mereka akui sebagai pemimpin utama. Tapi seperti para bangsawan kuno, mereka harus didorong oleh raja mereka, mereka 'harus mendapat bagian pampasan perang. Don Croce memimpin mereka bukan dengan kekerasan melainkan kecerdasan, karisma, "kehormatan" yang dikumpulkannya seumur hidup. Ia memerintah dengan menggabungkan kepentingan mereka yang berbeda-beda menjadi satu kepentingan bersama, yang menguntungkan mereka semua. Don Croce harus berhati-hati menghadapi mereka. Mereka semua memiliki pasukan pribadi, pembunuh, pencekik, peracun, pencabut nyawa secara langsung dengan menggunakan lupara yang menakutkan. Di bidang ini kekuatan mereka sejajar dengan kekuatannya; itu sebabnya Don ingin merekrut Turi Guiliano sebagai kepala pasukan pribadinya. Orang-orang ini juga pandai, dengan caranya sendiri. Beberapa bahkan orang-orang paling licik yang pernah tinggal di Sisilia. Mereka tidak menyimpan kejengkelan karena Don membangun kekuasaan; mereka memercayainya. Tapi bahkan orang yang paling cerdas di dunia terkadang keliru. Dan mereka percaya perasaan Don terhadap Guiliano merupakan satu- satunya kegagalan yang muncul dari labirin benaknya. Don Croce menyelenggarakan makan siang mewah bagi keenam kepala Mafia di kebun Hotel Umberto di Palermo, di sana kerahasiaan dan keamanannya terjamin. Orang yang paling menakutkan dan vokal di antara para pemimpin ini adalah Don Siano, yang menguasai kota Bisacquino. Ia telah setuju berbicara atas nama yang lain dan ia melakukannya dengan kesopanan kasar yang merupakan peraturan Friends of the Friends di tingkat tertinggi. "Don Croce yang baik," kata Don Siano, "kau tahu kami semua menghormati clirimu. Kau » yang mengangkat kami dan keluarga kami. Kami sangat berutang budi kepadamu. Jadi kami Derbicara terus terang sekarang semata-mata demi keuntunganmu. Si bandit Turi Guiliano sudah terlalu kuat. Kita terlalu meremehkannya. Dia hanya bocah kecil namun dia sudah menantang wewenangmu dan wewenang kami. Dia merampok perhiasan klien-klien kita yang paling kaya. Dia merampas zaitun, anggur, jagung dari man-man tanah kita yang paling kaya. Dan sekarang dia menunjukkan kekurangajaran terbesar yang tidak bisa kita abaikan. Dia menculik Pangeran Ollorto yang dia tahu berada dalam perlindungan kita. Tapi, meskipun begitu, kau terus berbaik hati padanya, kau terus menawarkan persahabatan dengannya. Aku tahu dia kuat, tapi apa kita tidak lebih kuat? Dan kalau kita membiarkan dia bertindak semaunya, apa dia tidak jadi lebih kuat lagi? Kami, semua setuju sekaranglah saatnya memecahkan masalah ini. Kita harus mengambil semua langkah yang mungkin untuk meruntuhkan kekuatannya. Kalau kita tak memedulikan penculikan Pangeran Ollorto, kita semua akan menjadi bahan tertawaan di seluruh Sisilia." Don Croce mengangguk-angguk seakan-akan menyetujui semua ucapannya. Tapi ia tidak berbicara. Guido Quintana, yang kedudukannya paling rendah di antara yang hadir, berkata dengan nada hampir-hampir sedih, "Aku Wali Kota Montelepre dan semua orang tahu aku salah satu Friends. Tapi tidak ada yang datang kepadaku meminta pendapat, ganti rugi, atau hadiah. Guiliano memimpin kota dan mengizinkan diriku tinggal di sana agar tidak memprovokasi pertengkaran dengan kalian. Tapi aku tidak bisa mencari nafkah. Aku tidak punya wewenang. Aku hanya boneka. Selama Guiliano masih hidup, Friends tidak eksis di Montelepre. Aku tidak takut terhadap bocah ini. Aku pernah mengalahkannya sekali. Sebelum dia menjadi bandit Kurasa dia tidak pedu ditakuti. Kalau dewan setuju, aku akan berusaha menyingkirkannya. Aku sudah menyusun rencana dan hanya menunggu persetujuan kalian untuk melaksanakannya." Don Piddu dari Caltanissetta dan Don Arzana dari Piani dei Greci mengangguk. Don Piddu berkata, "Di mana kesulitannya? Dengan sumber daya yang kita miliki, kita bisa mengirimkan mayatnya ke Katedral Palermo dan menghadiri pemakamannya seperti kalau kita menghadiri pernikahan." Pemimpin-pemimpin lain, Don Marcuzzi dari Villamura, Don Buccilla dari Partinico, dan Don Arzana menyuarakan persetujuan mereka. Lalu mereka menunggu. Don Croce mengangkat kepalanya yang besar. Hidungnya yang tinggi seolah menusuk mereka bergantian sewaktu ia bicara. "Teman-temanku, aku menyetujui semua yang kalian rasakan," katanya. "Tapi kupikir kalian merendahkan pemuda ini. Dia lihai melebihi usianya dan mungkin sama beraninya dengan siapa pun di antara kita di sini. Dia tak akan bisa dibunuh semudah itu. Aku juga melihat kegunaan dirinya di masa depan, bukan hanya bagi diriku sendiri tapi bagi kita semua. Para provokator Komunis menghajar orang-orang Sisilia sampai jadi gila sehingga mereka mengharapkan kehadiran Garibaldi yang lain, dan kita harus memastikan Guiliano tidak dipuja sebagai juru selamat mereka. Aku tidak perlu memberitahu kalian apa konsekuensinya kalau orang-orang biadab itu sampai memerintah Sisilia. Kita harus membujuknya agar berjuang di pihak kita. Posisi kita belum lagi aman sehingga kita tidak bisa menyia-nyiakan kekuatannya dengan membunuhnya." Don mendesah, melahap sebongkah roti dan melancarkan jalannya dengan segelas anggur, lalu membersihkan mulut dengan serbet. "Bantu aku. Biar aku membujuknya, terakhir lcalinya. Kalau dia menolak, lakukan apa yang menurut kalian harus kalian lakukan. Akan kuberikan jawabannya dalam waktu tiga hari Hanya saja beri aku kesempatan terakhir untuk mencapai kesepakatan logis." Don Siano yang pertama mengangguk setuju. Bagaimanapun, orang bijak mana yang begitu tidak sabar melakukan pembunuhan sehingga tidak bisa menunggu tiga hari? Setelah mereka berlalu, Don Croce memanggil Hector Adonis ke rumahnya di Villaba. Don bersikap terus terang terhadap Adonis. "Batas kesabaranku terhadap putra baptismu sudah habis," katanya kepada pria kecil itu. "Kini dia harus bergabung dengan kami atau menentang kami. Penculikan Pangeran Ollorto merupakan penghinaan langsung terhadapku, tapi aku bersedia memaafkan dan melupakannya. Bagaimanapun dia masih muda, dan aku ingat sewaktu masih seusianya aku juga sama bersemangatnya. Seperti yang selalu kukatakan, aku mengaguminya karena itu. Dan percayalah, aku menghargai kemampuannya. Aku akan sangat senang kalau dia bersedia menjadi tangan kananku. Tapi dia harus menyadari tempatnya di lingkup kbih luas. Ada pemimpm-pemimpin lain yang tidak sekagum diriku, tidak penuh pengertian seperti aku. Aku tidak akan bisa menahan mereka. Jadi temui putra baptismu dan sampaikan apa yang kukatakan kepadamu. Dan beritahu aku jawabannya paling lambat besok. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi" Hector Adonis ketakutan. "Don Croce, kusadari kedermawananmu dalam hati dan perbuatan. Tapi Turi penuh tekad dan seperti semua anak muda, terlalu yakin akan kekuatannya sendiri. Dan memang benar dia tidak bisa dibilang tidak berdaya. Kalau dia ber- perang melawan Friends of the Friends, aku tahu dia tidak akan menang. Tapi kerusakan yang timbul bisa menakutkan. Apa ada hadiah yang bisa kujanjikan kepadanya?" Don berkata, "Janjikan ini padanya. Dia akan mendapat kedudukan tinggi di Friends, dan dia akan mendapat kesetiaan dan kasih pribadiku. Lagi pula dia tidak bisa tinggal di pegunungan selamanya. Akan ada waktunya dia ingin mengambil tempat di masyarakat, hidup dalam perlindungan hukum di tengah keluarganya. Pada saat hari itu tiba, aku satu-satunya orang di Sisilia yang bisa menjamin pengampunannya. Dan aku sangat senang kalau bisa melakukannya. Aku benar-benar tulus dalam hal ini." Dan memang sewaktu Don berbicara dengan gaya seperti itu, ia tidak bisa tidak dipercayai, ia tidak bisa ditolak. Sewaktu Hector Adonis naik ke gunung untuk menemui Guiliano, ia sangat bingung dan takut akan nasib putra baptisnya dan membulatkan tekad untuk berbicara terus terang. Ia ingin Guiliano memahami bahwa kasih di antara mereka merupakan yang paling utama, bahkan lebih daripada kesetiaannya kepada Don Croce. Saat ia tiba, kursi-kursi dan meja' lipat telah ditata di tepi tebing. Turi dan Aspanu duduk berdua di sana. Adonis berkata kepada Guiliano, "Aku harus berbicara empat mata denganmu." Pisciotta berkata marah, "Orang kecil, Turi tidak merahasiakan apa pun dariku." Adonis tak mengacuhkan penghinaan itu. Ia berkata tenang, "Turi bisa menceritakan padamu apa yang ku- katakan, kalau dia mau. Itu urusannya. Tapi aku tidak bisa memberitahumu. Aku tidak bisa menerima tanggung jawab itu." Guiliano menepuk bahu Pisciotta. "Aspanu, tinggalkan kami berdua. Kalau kau harus mengetahuinya, aku akan memberitahumu nanti" Pisciotta bangkit berdiri dengan tiba-tiba, menatap tajam ke arah Adonis, dan berlalu. Hector Adonis menunggu cukup lama. Lalu ia mulai bicara. 'Turi, kau putra baptisku. Aku menyayangimu sejak kau masih bayi. Aku yang mengajarimu, memberimu buku-buku untuk dibaca, membantumu sewaktu kau menjadi pelanggar hukum. Kau salah satu dari sedikit orang di dunia yang menjadikan hidupku ada gunanya. Tapi sepupumu Aspanu menghinaku tanpa sepatah kata teguran pun darimu." Guiliano -berkata, "Aku memercayai dirimu lebih daripada aku memercayai siapa pun kecuali ibu dan ayahku." "Dan Aspanu," lanjut Hector Adonis menegur. "Tidakkah dia terlalu haus darah untuk bisa dipercaya?" Guiliano menatapnya lurus-lurus dan Adonis terpaksa mengagumi ketulusan damai di wajahnya. "Ya, harus kuakui, aku lebih memercayai Aspanu daripada dirimu. Tapi -aku menyayangimu sejak aku kecil. Kau membebaskan pemikiranku melalui buku-bukumu dan kecerdasanmu. Aku tahu kau membantu ibu dan ayahku dengan uangmu. Dan kau menjadi teman sejati dalam kesulitanku. Tapi kulihat kau terlibat Friends of the Friends, dan firasatku mengatakan itu alasan kedatanganmu kemari hari ini."-- Sekali lagi, Adonis terpesona akan naluri putra baptisnya. Ia menyampaikan masalahnya kepada Turi. "Kau harus mengadakan kesepakatan dengan Don Croce," ujarnya. "Bukan dengan Raja Prancis, bukan dengan Raja Dua Sisilia, bukan dengan Garibaldi, bahkan bukan dengan Mussolini yang pernah menghancurkan Friends of the Friends. Kau tidak bisa berharap memenangkan perang melawan Don Croce. Kumohon buadah kesepakatan. Mulanya kau memang harus tunduk padanya, tapi siapa yang tahu posisimu di masa depan. Kuberitahukan ini demi kehormatan-mu dan demi ibumu yang sama-sama kita puja: Don Croce percaya pada kejeniusanmu dan menyayangimu. Kau akan menjadi pewarisnya, putra kesayangan. Tapi untuk kali ini, kau harus tunduk pada peraturannya." Ia bisa melihat Turi tergerak oleh penjelasannya dan menanggapinya sangat serius. Hector Adonis berkata penuh semangat, "Turi, pikirkanlah ibumu. Kau tidak bisa tinggal di pegunungan selamanya, mempertaruhkan keselamatanmu agar bisa menemuinya beberapa hari setiap tahun. Bersama Don Croce, kau punya harapan mendapat pengampunan." Pemuda itu membutuhkan beberapa lama untuk berpikir, lalu berbicara kepada ayah baptisnya dengan nada lambat dan serius. "Pertama-tama aku berterima kasih atas kejujuranmu," ujarnya. 'Tawaran itu sangat menarik. Tapi aku sekarang terikat untuk memerdekakan kaum miskin di Sisilia, dan aku tidak percaya Friends memiliki tujuan sama. Mereka pelayan orang kaya.dan politisi di Roma, dan merekalah musuh bebuyutanku. Kita tunggu dan lihat saja. Jelas aku sudah menculik Pangeran Ollorto dan menyakiti mereka. Tapi aku membiarkan Quintana tetap hidup padahal aku sangat membencinya. Aku menahan diri karena rasa hormatku kepada Don Croce. Katakan itu padanya. Sampaikan itu dan beritahukan padanya aku berdoa untuk hari ketika kami bisa menjadi mitra sejajar. Pada saat kepentingan- kepentingan kami tidak berselisih jalan. Sedangkan mengenai para pemimpinnya, biarkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Aku tidak takut terhadap mereka." Dengan berat hati Hector Adonis membawa jawaban itu kepada Don Croce, yang menganggukkan kepalanya yang bagai singa, seakan telah menduga jawaban itu. Dalam bulan berikutnya tiga upaya dilakukan untuk menghabisi Guiliano. Guido Quintana diizinkan melakukan upaya pertama. Ia merencanakannya begitu rumit sehingga layak disejajarkan dengan keluarga Borgia— keluarga terkenal di zaman Renaissance yang para anggotanya sangat berbakat, cerdas, namun licik, jahat dan keji Ada jalan yang sering digunakan Guiliano bila ia turun gunung. Di sepanjang tepi jalan terdapat padang-padang subur yang dipenuhi Quintana dengan sekawanan besar domba. Tiga penggembala yang tampaknya tidak berbahaya menjaga kawanan itu, ketiganya penduduk asli kota Corleone dan teman-teman lama Quintana. Selama hampir seminggu, setiap kali Guiliano terlihat menyusuri jalan itu, para penggembala menyapanya penuh hormat dan, sesuai tradisi lama, mencium tangannya. Guiliano mengajak mereka bercakap-cakap ramah; para penggembala sering kali menjadi anggota paro waktu kelompoknya dan ia selalu mencari orang yang bisa direkrut Ia tidak merasakan bahaya apa pun 274 karena ia hampir selalu bepergian bersama pengawal dan sering kali bersama Pisciotta, yang kekuatannya setidaknya sama dengan dua orang. Para penggembala itu tidak bersenjata dan mengenakan pakaian tipis yang tidak bisa digunakan untuk menyembunyikan senjata. Tapi para penggembala itu menyembunyikan lupara dan sabuk peluru di perut beberapa ekor domba di tengah kawanan. Mereka menunggu kesempatan saat Guiliano sendirian atau tidak dikawal seketat itu. Tapi Pisciotta sudah mencurigai keramahan para penggembala itu, kemunculan kawanan domba yang tiba-tiba, dan ia menyelidikinya melalui jaringan mata-mata. Para penggembala itu teridentifikasi sebagai para pembunuh yang dipekerjakan oleh Quintana. Pisciotta tidak membuang-buang waktu. Ia mengajak sepuluh anggota kelompoknya sendiri dan mengepung ketiga penggembala itu. Ia menanyai mereka mengenai pemilik domba, sudah berapa lama mereka menjadi gembala, di mana mereka dilahirkan, nama-nama ibu dan ayah mereka, istri dan anak- anak mereka. Para' penggembala tampaknya menjawab dengan jujur, tapi Pisciotta mendapat bukti mereka berbohong. Penggeledahan menemukan senjata-senjata yang disembunyikan di sela-sela bulu domba. Pisciotta pasti akan membunuh para penipu itu kalau Guiliano tidak melarang. Bagaimanapun tidak ada kerugian yang terjadi dan penjahat yang sebenarnya adalah Quintana. Jadi para penggembala dipaksa membawa kawanan domba ke Montelepre. Dan di alun-alun kota mereka harus menyanyi, "Datang dan ambillah hadiah dari Turi GuiHano. Seekor domba untuk setiap rumah, 275 anugerah dari Turi GuiJiano." Lalu para penggembala itu akan menjagal dan menguliti domba bagi siapa pun yang meminta layanan itu. "Ingat," tegas Pisciotta kepada mereka, "kuminta kalian sepatuh gadis penjaga toko di Palermo, seakan-akan kalian mendapat komisi untuk itu. Dan sampaikan salam serta ucapan terima kasihku kepada Guido Quintana." Don Siano tidak serumit itu. Ia mengirim dua utusan untuk membujuk Passatempo dan Terranova agar menentang Guiliano. Tapi Don Siano tidak bisa memahami kesetiaan yang dibangkitkan Guiliano bahkan dalam diri orang sekasar Pas*satempo. Sekali lagi Guiliano menolak membunuh, tapi Passatempo sendiri mengirim kedua utusan itu kembali dengan bekas-bekas bastinado. Upaya ketiga dilakukan Quintana lagi. Dan ini menghabiskan kesabaran Guiliano. Seorang pastor datang ke Montelepre, pastor pengelana yang menyandang berbagai bekas luka Kristus di tabuhnya. Ia memimpin Misa di gereja setempat pada suatu Minggu pagi dan menunjukkan- luka-luka sucinya. Namanya Pater Dodana, dan ia pria jangkung atletis yang berjalan begitu sigap sehingga jubah hitamnya berkibar-kibar di udara di atas sepatu kulitnya yang pecah-pecah. Rambutnya pirang kusut, wajahnya keriput dan secokelat kacang walaupun usianya masih muda. Dalam waktu sebulan ia telah menjadi legenda di Montelepre, karena ia tidak takut bekerja keras; ia membantu para petani menuai ladang, ia memarahi anak-anak nakal di jalanan, ia mengunjungi wanita- wanita tua yang sakit di rumah mereka untuk mendengarkan pengakuan dosa mereka. Dan suatu hari Minggu sewaktu ia berdiri di luar gereja sesudah memimpin Misa, Maria Lombardo Guiliano tidak terkejut sewaktu sang pater menghentikan dirinya dan menanyakan kalau-kalau ada yang bisa dilakukan untuk putranya. "Jelas- kau menglmawatirkan jiwanya," kata Pater Dodana. "Lain kali kalau dia datang mengunjungimu, panggil aku dan akan kudengarkan pengakuan dosanya." Maria Lombardo^ tidak menyukai pastor meskipun ia religius. Tapi pria ini membuatnya terkesan. Ia tahu" Turi tidak akan pernah melakukan pengakuan dosa, tapi mungkin ia bisa memanfaatkan orang suci yang bersimpati terhadap tujuan perjuangannya. Ia memberitahu sang pastor ia akan meneruskan tawaran itu kepada putranya. Pater Dodana berkata, "Aku bahkan bersedia ke pegunungan untuk membantunya. Beri tahukan padanya. Satu-satunya urusanku adalah menyelamatkan jiwa yang terancam bahaya neraka. Apa yang dilakukan orang adalah urusannya sendiri." Turi Guiliano mengunjungi ibunya seminggu kemudian. Maria Lombardo mendesaknya menemui pastor dan mengaku dosa. Mungkin Pater Dodana bersedia memberikan Komuni baginya. Maria Lombardo akan merasa lebih enak kalau dosa-dosa Guiliano ber- -kurang. Turi Guiliano sangat tertarik, dan ini mengejutkan ibunya. Ia setuju menemui pastor itu dan mengirim Aspanu Pisciotta ke gereja untuk menjemputnya dan mengajaknya ke rumah Guiliano. Seperti dugaan Guiliano, sewaktu Pater Dodana muncul, pria itu bergerak jauh lebih mirip orang yang biasa beraksi; ia terlalu bersemangat dan terlalu bersimpati terhadap tujuan Guiliano Pater Dodana berkata, "Anakku, aku akan mendengarkan pengakuan dosa di kamar tidurmu. Dan sesudah itu aku akan memberimu Jamuan Kudus. Aku membawa semua keperluanku di sini." Ia menepuk kotak kayu di ketiaknya. "Jiwamu akan semurni jiwa ibumu, dan kalau kejahatan menimpamu, kau akan langsung ke surga." Maria Lombardo menyela, "Kubuatkan kopi dan makanan untukmu dan bapa suci." Ia pergi ke dapur. "Kau bisa mendengar pengakuan dosaku di sini," ujar Turi Guiliano sambil tersenyum. Pater Dodana melirik Aspanu Pisciotta. "Temanmu harus keluar" sarannya. Turi tertawa "Dosaku sudah diketahui umum. Dosaku dipublikasikan di setiap koran. Selain itu jiwaku murni, kecuali satu hal. Harus kuakui aku memiliki sifat curiga. Jadi aku ingin melihat apa isi kotak di ketiakmu itu." "Roti untuk Komuni," jawab Pater Dodana. "Akan kutunjukkan." Ia hendak membuka kotak itu, tapi pada saat itu Pisciotta menekankan sepucuk pistol ke belakang lehernya. Guiliano mengambil kotak itu dari tangan Pater. Pada saat itu mereka bertukar pandang. Guiliano membukanya. Sepucuk pistol otomatis biru kehitaman yang ditempatkan di atas beludru bersinar ke arahnya. Pisciotta melihat wajah Guiliano memucat, matanya yang bertepi keperakan menggelap karena kemarahan yang ditekan. Guiliano menutup kotak dan memandang sang pastor. "Kupikir sebaiknya kita ke gereja dan berdoa bersama-sama," ajaknya. "Kita akan mendoakan dirimu dan Quintana. Kita akan berdoa agar Tuhan yang baik mau mengambil kejahatan dari dalam hati Quintana dan keserakahan dari dalam hatimu. Berapa banyak bayaran yang dijanjikannya padamu?" Pater Dodana tidak khawatir. Calon-calon pembunuh lainnya dibebaskan begitu mudah. Ia mengangkat bahu dan tersenyum. "Hadiah dari pemerintah dan tambahan lima juta lira." "Harga yang bagus," puji Guiliano. "Aku tidak menyalahkan dirimu karena berusaha mendapatkan kekayaan. Tapi kau sudah menipu ibuku dan itu tidak bisa kumaafkan. Kau benar-benar pastor?" "Aku?" tanya Pater Dodana menghina. 'Tidak pernah. Tapi kukira takkan ada yang mencurigaiku." Mereka bertiga menyusuri jalanan bersama-sama, Guiliano membawa kotaknya, Pisciotta mengikuti di belakang. Mereka memasuki gereja. Guiliano memaksa Pater Dodana berlutut di depan altar, lalu mengambil pistol otomatis itu dari dalam kotak. "Kau punya waktu semenit untuk berdoa," kata Guiliano. Keesokan paginya Guido Quintana bangun dan berniat ke kafe untuk menikmati kopi paginya. Sewaktu membuka pintu rumahnya, ia terkejut oleh bayangan besar yang menghalangi sinar matahari pagi. Detik berikutnya salib kayu besar yang kasar buatannya jatuh ke dalam, hampir-hampir menimpa dirinya. Di salib itu terpaku mayat Pater Dodana yang dipenuhi peluru. Don Croce mempertimbangkan kegagalan-kegagalan ini. Quintana mendapat peringatan. Ia harus mengabdikan diri pada tugas-tugasnya sebagai wali kota atau Montelepre terpaksa mengatur diri sendiri. Jelas kesabaran Guiliano sudah habis dan mungkin akan melancarkan perang habis-habisan terhadap Friends. Don Croce menyadari keyakinan seorang pakar dalam pembalasan Guiliano. Hanya satu serangan lagi yang bisa dilakukan dan tidak boleh gagal. Don Croce tahu ia harus, aldiirnya, berpihak. Dan kendati bertentangan dengan pendapat dan kemauannya, ia mengirim pembunuhnya yang paling bisa diandalkan, seseorang bernama Stefan Andolini, yang juga dikenal dengan julukan Fra Diavalo. Bab 14 GARNISUN di Montelepre ditingkatkan menjadi lebih dari seratus carabinieri, dan saat Guiliano diam-diam turun ke kota untuk menghabiskan malam bersama keluarganya, yang jarang dilakukannya, ia selalu merasa takut kalau-kalau carabinieri menyergap mereka. Pada suatu malam seperti itu, saat mendengarkan ayahnya membicarakan masa lalu di Amerika, gagasan itu melintas dalam benaknya. Salvatore Senior tengah menikmati anggur dan membahas masa lalu dengan teman lama dan tepercaya yang juga pernah ke Amerika dan kembali ke Sisilia bersamanya, dan mereka saling memarahi karena bertindak begitu bodoh. Pria yang satu lagi, tukang kayu bernama Alfio Dorio, mengingatkan ayah Guiliano akan tahun-tahun pertama mereka di Amerika sebelum bekerja pada Godfather, Don Corleone. Mereka dipekerjakan untuk membangun terowongan raksasa di bawah sungai, entah ke New Jersey atau ke Long Island, mereka memperdebatkannya. Mereka mengenang betapa mengerikannya bekerja di bawah sungai yang mengalir, mereka takut tabung penahan airnya runtuh dan mereka semua akan tenggelam bagai tikus. Dan tiba-tiba gagasan itu melintas dalam benak Guiliano. Kedua orang ini, dibantu be- berapa orang yang bisa dipercaya, mampu membangun terowongan dari rumah orangtuanya ke kaki pegunungan yang hanya berjarak seratus meter. Pintu . keluarnya akan disembunyikan di balik bebatuan granit raksasa dan mulut terowongan di rumah bisa disembunyikan di salah satu lemari pakaian atau di bawah tungku di dapur. Kalau rencana itu terlaksana, Guiliano bisa datang dan pergi sesuka hati. Kedua pria yang lebih tua mengatakan rencana itu mustahil, tapi ibunya begitu gembira membayangkan putranya bisa datang dan tidur di ranjangnya diam- diam selama musim dingin. Alfio Dorio mengatakan bahwa mengingat pentingnya kerahasiaan, jumlah orang yang bisa dipekerjakan terbatas, dan karena pekerjaan itu hanya bisa dilakukan malam hari, butuh waktu sangat lama menyelesaikan terowongan seperti itu. Lalu masih ada masalah-masalah lainnya. Bagaimana membuang tanah galian tanpa terlihat? Padahal tanah di sini penuh batu. Bagaimana kalau mereka membentur sederet batu granit di bawah tanah? Dan bagaimana kalau salah satu penggali terowongan membocorkan keberadaannya? Tapi keberatan paling utama kedua pria lebih tua itu adalah pembangunannya membutuhkan waktu sedikitnya satu tahun. Dan Guiliano menyadari mereka mengajukan keberatan ini karena jauh di lubuk hati mereka percaya dirinya tidak akan hidup selama itu. Ibunya juga menyadarinya. Ia berkata kepada kedua pria yang lebih tua: "Putraku meminta kalian berdua melakukan sesuatu yang mungkin membantu menyelamatkan dirinya. Kalau kalian terlalu malas melakukannya, aku akan turun tangan. Setidaknya kita bisa mencoba. Apa ruginya kecuali tenaga kita? Dan apa yang bisa dilakukan pihak berwenang kalau mereka menemukan terowongan itu? Kita berhak sepenuhnya menggali tanah kita sendiri. Kita katakan saja kita membuat gudang bawah tanah untuk sayur-mayur dan anggur. Coba pikir. Mungkin suatu hari kelak terowongan ini akan menyelamatkan nyawa Turi. Apa itu tidak layak dilakukan?" Hector Adonis juga hadir. Adonis mengatakan ia akan mencari buku-buku tentang penggalian dan perlengkapan yang diperlukan. Ia juga mengusulkan variasi yang menyenangkan mereka semua: mereka akan membangun cabang menuju rumah lain di Via Belia, jalan lain seandainya pintu keluar terowongan diketahui atau dikhianati mata-mata. Terowongan cabang ini akan digali terlebih dulu, dan hanya oleh kedua pria tua dan Maria Lombardo. Tidak boleh ada orang lain yang mengetahuinya. Dan menggali terowongan cabang ini tidak memerlukan waktu lama. Mereka berdiskusi panjang-lebar mengenai rumah mana yang layak. Ayah Guiliano menyarankan rumah orangtua Aspanu Pisciotta. Tapi usul itu segera ditolak .Guiliano. Rumah itu terlalu dicurigai, akan diawasi dengan ketat. Dan ada terlalu banyak kerabat yang tinggal di sana. Terlalu banyak orang yang akan mengetahuinya. Lagi pula, hubungan Aspanu dengan keluarganya kurang baik. Ayah kandungnya telah meninggal, dan sewaktu ibunya menikah lagi, Aspanu tidak pernah memaafkannya. Hector Adonis menawarkan rumahnya tapi letaknya terlalu jauh, dan Guiliano tidak ingin membahayakan bapak baptisnya. Karena kalau terowongan itu ditemukan, pemilik rumah jelas akan ditangkap. Kerabat dan 283 teman-teman lainnya dipertimbangkan dan ditolak, dan akhirnya ibu Guiliano berkata, "Hanya ada satu orang. Wanita ini tinggal seorang diri, hanya empat rumah jauhnya dari kita. Suaminya tewas di tangan carabinieri, dia membenci mereka. Dia teman terbaikku dan dia menyayangi Turi, dia menyaksikan Turi tumbuh dari anak-anak menjadi pria dewasa. Bukankah dia yang mengirimi Turi makanan sepanjang musim dingin yang dihabiskan anakku di pegunungan? Dia teman sejatiku dan aku memercayainya sepenuhnya." Ia diam sejenak sebelum melanjutkan, "La Venera." Dan tentu saja sejak diskusi dimulai, mereka menantikan dirinya menyebutkan nama itu. Sejak awal, La Venera merupakan satu-satunya pilihan logis dalam benak mereka. Tapi mereka pria Sisilia dan tidak bisa mengajukan saran seperti itu. Kalau La Venera setuju dan cerita ini terungkap, reputasinya akan hancur selama-lamanya. Ia janda muda. Ia akan memberikan hak pribadi dan dirinya kepada seorang pria muda. Siapa yang yakin ia tak akan kehilangan kendali? Tak ada seorang pria pun di Sisilia bagian ini yang mau menikahi atau bahkan menghormati wanita seperti itu.-Memang benar La Venera sedikitnya lima belas tahun lebih tua daripada Turi Guiliano. Tapi ia belum lagi empat puluh. Dan meskipun wajahnya tidak cantik, tapi cukup menarik, dan ada daya tarik tertentu dalam matanya. Pokoknya, ia wanita dan Turi laki-laki, dan melalui terowongan itu mereka bisa berduaan saja. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi mereka akan menjadi sepasang kekasih, karena tidak ada orang Sisilia yang percaya seorang laki-laki dan seorang wanita yang berduaan, tidak peduli seberapa besar perbedaan 284 usia mereka, bisa menahan diri. Jadi terowongan ke rumah La Venera, yang mungkin suatu hari kelak menyelamatkan nyawa Turi Guiliano, juga bisa menandai dirinya sebagai wanita bereputasi buruk. Kecuali Turi Guiliano sendiri, mereka semua paham kepolosan seksual Guiliano menimbulkan kekhawatiran. Itu tidak wajar bagi pria Sisilia. Ia hampir-hampir kaku. Anak buahnya pergi ke Palermo untuk mengunjungi pelacur; hubungan asmara Aspanu Pisciotta hampir-hampir merupakan skandal. Pimpinan banditnya, Terranova dan Passatempo dikenal sebagai kekasih janda-janda miskin yang mereka beri hadiah. Passatempo bahkan dikenal sebagai pria yang menggunakan bujuk rayu kasar yang lebih mirip pemerkosa daripada pelamar, walaupun kini ia lebih berhati-hati karena berada di bawah perintah Guiliano. Guiliano menetapkan hukuman mati bagi anak buahnya yang memerkosa. Karena semua alasan inilah mereka terpaksa menunggu ibu Guiliano mengajukan nama temannya, dan mereka agak terkejut sewaktu Maria Lombardo melakukannya. Maria Lombardo Guiliano orang yang religius, wanita kuno yang tidak ragu menyebut gadis-gadis muda di kota sebagai pelacur kalau mereka berjalan-jalan di alun-alun desa tanpa pengawal. Mereka tidak tahu apa yang diketahui Maria Lombardo. Bahwa La Venera—karena kesulitan persalinannya, kurangnya perawatan medis—tidak lagi bisa hamil. Mereka tidak mungkin tahu Maria Lombardo telah memutuskan La Venera bisa menjadi penghiburan terbaik bagi putranya dengan cara yang paling aman. Putranya pelanggar hukum dengan harga atas kepalanya dan bisa begitu mudah dikhianati wanita. Ia masih muda dan rapuh 285 dan membutuhkan wanita—adakah yang lebih baik daripada wanita lebih tua yang tidak bisa memiliki anak, dan yang tidak bisa menuntut pernikahan? Dan La Venera memang tidak ingin menikahi bandit. Untuk itu ia sudah mendapat cukup pengalaman. Suami yang ditembak mati di depan matanya. Pengaturan yang sempurna. Hanya reputasi La Venera yang dipertaruhkan, jadi ia harus mengambil keputusan sendiri. Kalau La Venera setuju, ia akan menanggungnya sendiri. Sewaktu ibu Guiliano mengajukan permintaan itu beberapa hari kemudian, ia terkejut La Venera menjawab ya dengan bangga dan sukacita. Sikap La Venera menegaskan kecurigaan dirinya jatuh hati kepada Turi. Terserahlah, pikir Maria Lombardo sambil memeluk La Venera dan menangis penuh syukur. Terowongan cabang diselesaikan dalam waktu empat bulan; terowongan utama membutuhkan waktu setahun. Secara teratur Guiliano menyelinap ke kota di malam hari dan mengunjungi keluarganya dan tidur di ranjang hangat, sesudah menyantap masakan panas ibunya selalu ada pesta. Baru menjelang musim semi Guiliano mendapati clirinya perlu menggunakan terowongan cabang. Patroli carabinieri menyusuri Via Belia dan melintas di dekatnya. Mereka bersenjata lengkap. Keempat pengawal Guiliano yang bersembunyi di rumah-rumah di dekatnya telah siap bertempur. Tapi mereka berlalu. Kendati begitu masih ada ketakutan bahwa dalam perjalanan kembali, carabinieri memutuskan menyerbu rumah Guiliano. Jadi Turi Guiliano turun ke terowongan melalui tingkap di kamar tidur orangtuanya. Terowongan cabang disembunyikan di balik panel kayu yang ditutupi tanah setebal sekitar tiga puluh sentimeter sehingga para pekerja terowongan utama tidak mengetahui keberadaannya. Guiliano harus menyingkirkan tanah dan mencabut lempengan kayunya Ia memerlukan waktu lima belas menit lagi untuk merangkak melewati lorong sempit yang menuju bawah rumah La Venera. Tingkap terowongan di sana berada di dapur dan tertutup tungku besi besar. Guiliano mengetuknya sesuai sinyal yang disepakati dan menunggu. Ia mengetuk lagi. Ia tidak pernah takut terhadap peluru, tapi ia takut kegelapan ini. Akhirnya terdengar suara samar di atasnya dan tingkap - itu terangkat. Tingkap itu tidak bisa terangkat sepenuhnya karena tungku di atasnya telah mematahkan engselnya. Guiliano harus menerobos celah yang ada dan berguling menelungkup di lantai dapur La Venera. Kendati saat itu tengah malam, La Venera masih mengenakan gaun hitamnya yang kebesaran, tanda dukacita kendati sang suami telah tiga tahun meninggal. Kakinya telanjang. Ia tidak mengenakan kaus kaki, dan sewaktu Guiliano beranjak bangkit dari lantai ia bisa melihat kulit kaki La Venera begitu putih, sangat kontras dengan kulit wajahnya yang kecokelatan terbakar matahari dan rambut hitam pekat kasar yang tebal dijalin. Untuk pertama kalinya Guiliano menyadari wajah La Venera tidaklah selebar sebagian besar wanita lebih tua di kotanya, wajahnya hampir segitiga, dan meskipun matanya cokelat tua, ada sedikit bintik hitam di sana yang belum pernah dilihat Guiliano. La Venera memegang sekop penuh batu bara menyala seakan siap melemparkannya ke dalam terowongan. Sekarang dengan tenang ia mengembalikan batu bara itu ke tungku dan menutupnya. Ia tampak agak ketakutan. Guiliano berusaha menenangkannya. "Hanya patroli yang berkeliaran. Sesudah mereka kembali ke barak, aku akan pergi. Tapi jangan khawatir, ada teman- temanku di jalan." Mereka menunggu. La Venera menyeduh kopi dan mereka bercakap-cakap. Ia menyadari Guiliano tidak menunjukkan gerakan-gerakan gugup sebagaimana suaminya dulu. Turi tidak mengintip ke luar jendela, tubuhnya tidak menegang mendengar suara tiba-tiba dari jalan. Turi tampak tenang sepenuhnya. La Venera tidak tahu Turi melatih diri bersikap begitu karena ceritanya sendiri tentang suaminya dan karena Turi tidak mau orangtuanya khawatir, terutama ibunya. Ia memancarkan kepercayaan diri begitu besar sehingga tidak lama kemudian La Venera melupakan bahaya yang menghadang Turi dan mereka bergosip tentang kejadian-kejadian kecil di kota. La Venera menanyakan apakah Turi menerima makanan yang dikirimkannya sesekali ke pegunungan. Turi mengucapkan terima kasih dan mengatakan betapa ia dan teman-temannya sangat menggemari makanan kiriman La Venera seolah itu pemberian orang Majus. Betapa anak buahnya memuji-muji masakannya. Turi tidak menceritakan lelucon kasar yang dilontarkan beberapa rekannya, bila permainan cinta La Venera menyamai masakannya berarti ia sungguh-sungguh wanita berharga. Sementara itu Turi mengawasinya dengan tajam. La Venera tidak bersikap seramah biasanya ia tidak menunjukkan perasaan sayang seperti yang selama ini ditunjukkannya di depan umum. Turi berpikir-pikir apakah ia telah menyinggung perasaan- nya. Sesudah bahaya berlalu dan tiba waktunya pergi bagi Turi, mereka saling bersikap resmi. Dua minggu kemudian Guiliano mengunjunginya lagi. Musim dingin hampir berakhir, tapi pegunungan masih dilanda hujan badai dan altar-altar para orang suci yang tergembok di sepanjang jalan meneteskan air hujan. Guiliano di dalam guanya memimpikan masakan ibunya, mandi air panas, ranjang empuk di kamar masa kecilnya. Dan bercampur dengan kerinduan itu, yang mengejutkannya, adalah kenangan akan putihnya kulit kaki La Venera. Malam telah turun sewaktu ia bersiul memanggil para pengawalnya dan menyusuri jalan ke Montelepre. Keluarganya menyambut dengan sukacita. Ibunya mulai memasak makanan kesukaannya dan sambil menunggu masakan matang, ia menyiapkan air panas untuk mandi. Ayah Turi tengah menuangkan segelas anisette ketika salah satu mata-mata datang ke rumah dan melapor bahwa patroli-patroli carabinieri mengepung kota dan Maresciallo sendiri akan memimpin satu skuadron gerak cepat dari Barak Bellampo untuk menyerbu rumah Guiliano. Guiliano masuk ke terowongan melalui tingkap di lemari pakaian. Terowongan itu berlumpur karena hujan dan tanah menempel di tubuhnya, dan mempersulit perjalanannya. Sewaktu ia merangkak keluar, ke dapur La Venera, pakaiannya tertutup lumpur, wajahnya hitam. Sewaktu La Venera melihatnya, ia tertawa. Dan seingat Guiliano itu pertama kalinya ia melihat La Venera tertawa. "Kau tampak seperti bangsa Moor," komentarnya. Dan sesaat Turi merasakan kekecewaan anak- anak, mungkin karena bangsa Moor selalu menjadi penjahat dalam sandiwara boneka di Sisilia, dan bukannya pahlawan yang tengah menghadapi bahaya, ia malah dipandang sebagai penjahat. Atau mungkin karena tawa La Venera menyebabkan wanita itu terasa tidak bisa dijangkau keinginan dalam dirinya. La Venera tahu entah dengan cara bagaimana ia telah melukai perasaan Turi. "Akan kuisi bak mandi dan kau bisa membersihkan diri," katanya. "Ada beberapa pakaian suamiku yang bisa kaupakai sementara kubersihkan pakaianmu." Ia menduga Turi akan menolak, bahwa Turi merasa terlalu gugup untuk mandi dalam situasi begitu berbahaya. Suaminya dulu begitu tegang ketika mengunjungi dirinya sehingga tak pernah menanggalkan pakaian, tak pernah meninggalkan pistol di luar jangkauan tangannya. Tapi Guiliano tersenyum dan menanggalkan jaket tebal dan pistolnya dan meletakkannya di atas kotak kayu tempat kayu bakar. Butuk waktu untuk memanaskan berpanci-panci air dan mengisi bak mandi kaleng. La Venera memberinya kopi sementara mereka menunggu. Ia mengamati Turi dengan saksama. Turi setampan malaikat, pikirnya, tapi dirinya tidak tertipu. Suaminya dulu sama tampannya dan juga membunuh orang. Dan peluru yang membunuhnya menyebabkan tampang suaminya lumayan jelek, pikirnya sengsara; jatuh cinta pada wajah bukanlah tindakan cerdas, apalagi di Sisilia. Dirinya dulu menangis, tapi diam-diam lega luar biasa. Kematian suaminya sudah pasti, begitu ia menjadi bandit, dan setiap hari La Venera menanti, berharap suaminya tewas di pegunungan atau kota yang jauh. Tapi suaminya ditembak di depan matanya. Dan sejak dirinya tidak mampu melarikan diri dari perasaan malu, bukan karena suaminya bandit, tapi karena kematiannya sama sekali tidak mengagumkan dan berani. Suaminya menyerah dan memohon ampun, dan carabinieri membantainya di hadapannya. Syukurlah putrinya tidak menyaksikan ayahnya dibantai. Itu anugerah kecil dari Kristus. Ia tahu Turi Guiliano mengamatinya dengan ekspresi tertentu di wajahnya, yang mengisyaratkan keinginan dalam diri semua pria. La Venera tahu benar. Anak buah suaminya sering kali memancarkan ekspresi begitu. Tapi ia tahu Turi tidak akan mencoba merayunya, karena perasaan hormat kepada ibunya, perasaan hormat atas pengorbanan dirinya mengizinkan pembangunan terowongan itu. La Venera meninggalkan dapur dan menuju ruang duduk kecil agar Turi bisa mandi sendirian. Sesudah kepergiannya, Guiliano menanggalkan semua pakaian dan masuk ke dalam bak mandi. Bertelanjang di dekat wanita menyebabkan ia terangsang. Ia mandi dengan sangat hati-hati, lalu mengenakan pakaian suami La Venera. Celana panjangnya agak kependekan dan kemejanya agak ketat di sekitar dada sehingga Turi terpaksa membiarkan kancing teratas terbuka. Handuk yang dihangatkan La Venera di dekat tungku hanya sedikit lebih baik daripada kain lap, tubuh Turi masih lembap, dan untuk pertama kalinya ia menyadari betapa miskin La Venera dan membulatkan tekad untuk memberinya uang melalui ibunya. Ia berseru kepada La Venera, memberitahu dirinya telah berpakaian dan La Venera kembali ke dapur. Wanita itu memandangnya dan berkata, "Tapi kau belum mencuci rambutmu, sepasukan tokek bisa bersarang di sana." Kata-katanya kasar tapi dilontarkan begitu hangat sehingga Turi tidak tersinggung. Seperti nenek tua La Venera mengelus rambut Turi yang kusut, lalu meraih lengannya dan membimbingnya ke wastafel. Guiliano merasakan kehangatan ketika tangan La Venera menyentuh kepalanya. Ia bergegas menyurukkan kepala ke bawah keran dan La Venera menyiram rambutnya dengan air dan mengeramasinya dengan sabun dapur kuning; ia tidak punya sabun lain. Pada saat itu tubuh dan kakinya bersentuhan dengan tubuh Guiliano dan Guiliano tiba-tiba merasakan dorongan kuat untuk menyentuh payudaranya, menyentuh perut La Venera yang lembut Usai mencuci rambut Guiliano, La Venera memaksanya duduk di salah satu kursi enamel dapur yang kehitaman dan mengeringkan rambut Guiliano dengan handuk cokelat kasar yang sudah lusuh. Rambut Guiliano begitu panjang sehingga menutupi kerah kemejanya "Kau tampak seperti bangsawan bajingan Inggris dalam film-film," ujarnya. "Aku harus memotong rambutmu, tapi tidak di dapur. Rambutmu akan beterbangan ke panci-panciku dan merusak makan malammu. Ayo ke ruangan lain." Guiliano geli melihat ketegasan La Venera. Ia bersikap layaknya seorang bibi atau ibu yang menutupi kemunculan perasaan lain yang lebih lembut. Turi menyadari seksualitas yang ada di balik sikap itu, tapi ia waspada. Di bidang ini ia kurang berpengalaman dan tidak ingin tampak bodoh. Rasanya seperti perang gerilya yang dilakukannya di pegunungan; ia tidak akan maju sebelum kemungkinan menang ada di pihaknya. Ini bukan wilayah yang telah dijelajahi. Tapi memimpin dan membunuh orang yang dilakukannya tahun lalu menyebabkan ketakutan alamiah kekanak-kanakan-nya terasa lucu, toh penolakan wanita tidak akan melumpuhkan egonya. Dan meskipun terkenal tidak pernah berhubungan dengan wanita, ia pernah ke Palermo bersama teman-temannya untuk mengunjungi pelacur. Tapi kejadiannya sebelum ia menjadi pelanggar hukum dan mendapat penghormatan sebagai kepala bandit, dan tentu saja pahlawan romantis tidak akan pernah berbuat begitu. La Venera membimbingnya ke ruang duduk kecil yang dipenuhi perabotan, meja kecil yang bagian atasnya terbuat dari kayu bepernis hitam. Di meja-meja ini terdapat foto-foto almarhum suaminya dan anaknya, seorang diri atau bersama- sama. Beberapa foto La Venera bersama keluarganya. Foto-foto itu berbingkai kayu oval hitam, cetakannya agak kecokelatan. Guiliano terkejut melihat kecantikan La Venera sewaktu muda, di hari-hari bahagianya, terutama sewaktu ia mengenakan pakaian yang bagus dan bergaya. Ada foto resmi dirinya seorang diri, mengenakan gaun merah tua, yang sangat memesona Guiliano. Dan sejenak ia teringat akan suami La Venera dan berapa banyak kejahatan yang pasti telah dilakukannya untuk memberikan gaun seindah itu kepada istrinya. "Jangan memandangi potret-potret itu," tukas La Venera sambil tersenyum sedih. "Itu saat aku mengira dunia bisa membahagiakan diriku." Guiliano menyadari salah satu alasan La Venera mengajaknya ke ruangan ini adalah agar ia melihat foto-foto itu. La Venera menendang bangku bulat kecil dari sudut ruangan dan Guiliano duduk di atasnya. Dari kotak kulit, indah buatannya dan dijahit dengan emas, La Venera mengeluarkan gunting, pisau cukur, dan sisir— salah satu hasil kejahatan bandit Candeleria yang dibawa pulang sebagai hadiah Natal. Lalu ia pergi ke kamar tidur dan mengambil sehelai kain putih yang dibentangkan menutupi bahu Guiliano. Ia juga membawa mangkuk kayu yang diletakkannya di meja di sampingnya. Jip melintas di depan rumah. Ia berkata, "Apa sebaiknya kuambilkan pistolmu dari dapur? Kau lebih nyaman kalau begitu?" Guiliano memandangnya tenang. Ia tampak benar-benar damai. Ia tidak ingin membuat La Venera gugup. Mereka berdua tahu jip yang melintas tadi penuh carabinieri dalam perjalanan menyerbu rumah Guiliano. Tapi Guiliano tahu dua hal: Kalau carabinieri datang kemari dan mencoba melewati pintu berpalang, Pisciotta dan anak buahnya akan membantai mereka semua dan sebelum meninggalkan dapur ia telah menggeser tungkunya sehingga tidak seorang pun bisa membuka tingkap terowongan. Ia menyentuh lembut lengan La Venera. "Tidak," katanya. "Aku tidak membutuhkan pistolku kecuali kau merencanakan menggorok leherku dengan pisau cukur itu." Mereka berdua tertawa. Lalu La Venera mulai memotong rambut Turi Guiliano. Ia melakukannya begitu hati-hati dan lambat, meraih segenggam rambut untuk digunting, lalu me- letakkan potongan rambut itu ke mangkuk kayu. Guiliano duduk sangat tenang. Terpesona oleh desir pelan gunting, ia menatap dinding-dinding kamar. Di dinding tergantung potret-potret besar suami La' Venera, bandit hebat Candeleria. Tapi hebat hanya di provinsi kecil Sisilia, pikir Guiliano, harga diri masa mudanya bersaing dengan suami yang tewas itu. Rutillo Candeleria dulu pria yang tampan. Ia memiliki kening lebar yang dikepung rambut cokelat berombak yang dipotong cermat, dan Guiliano penasaran apakah istrinya yang memotong rambutnya. Wajah Candeleria dihiasi kumis kavaleri yang membuatnya tampak lebih tua, kendati baru berusia 35 tahun sewaktu carabinieri menembaknya. Sekarang wajahnya menunduk dari potret oval itu, memandang hampir ramah, memberkati. Hanya mata dan mulutnya yang menunjukkan kekejaman. Namun wajahnya pada saat yang sama memancarkan kepasrahan, seakan-akan tahu nasibnya. Seperti semua orang yang pernah menentang dunia dan mencabik harapan mereka dari dunia itu melalui kekerasan dan pembunuhan, seperti orang-orang lainnya yang menciptakan hukum sendiri dan mencoba mengendalikan masyarakat dengan hukum itu, ia akhirnya harus mati mendadak. Mangkuk kayunya terisi rambut cokelat mengilap, berjejalan bagai sarang burung-burung kecil. Guiliano merasakan kaki La, Venera menekan punggungnya; panas tubuhnya menerobos kain katun kasar gaunnya. Sewaktu La Venera pindah ke depan untuk memotong rambut di sekitar dahinya, ia berdiri agak jauh dari kaki Guiliano, tapi sewaktu harus membungkuk, payudaranya hampir menyapu bibir Guiliano dan aroma bersih tubuhnya menyebabkan wajah Guiliano panas seakan-akan ia tengah berdiri di depan api. Potret-potret di dinding berubah kabur. La Venera memutar pinggulnya yang bulat untuk meletakkan potongan rambut lain di mangkuk kayu. Sejenak pahanya menempel pada lengan Guiliano dan Guiliano bisa merasakan kulitnya yang sehalus sutra dari balik gaun hitamnya yang tebal. Guiliano menegangkan tubuh hingga sekeras batu. La Venera menyandar semakin keras. Untuk menahan diri tidak mengangkat rok La Venera dan mencengkeram pahanya, Guiliano bergurau, "Apa kita ini Samson dan Delilah?" La Venera tiba-tiba melangkah menjauh. Dan Guiliano terkejut melihat air mata mengalir di wajahnya Tanpa berpikir ia menyentuh tubuh La Venera dan menariknya mendekat Perlahan-lahan La Venera mengulurkan tangan dan meletakkan gunting peraknya di atas tumpukan rambut cokelat yang memenuhi mangkuk kayu. Kemudian kedua tangan Guiliano telah berada di balik gaun hitam berkabungnya dan mencengkeram pahanya yang hangat La Venera membungkuk dan menutupi mulut Guiliano dengan mulutnya sendiri seakan-akan hendak menelannya. Kelembutan awal mereka merupakan bunga api kedua yang meraung menjadi nafsu hewani yang dipicu kejandaan La Venera selama tiga tahun, kebangkitan Guiliano dari nafsu pemuda yang tidak pernah merasakan cinta wanita kecuali dari para pelacur yang dibayar. Sesaat Guiliano kehilangan seluruh perasaan tentang dirinya dan dunianya. Tubuh La Venera begitu meng- gairahkan, dan terasa panas hingga menembus tulang belulangnya. Payudara La Venera lebih penuh daripada yang pernah dibayangkan; gaun hitam kejandaannya menyamarkan dan melindunginya dengan baik. Saat melihat kedua bulatan itu, Guiliano merasakan darah menderu di kepalanya. Lalu keduanya berguling di lantai, bercinta, dan menanggalkan pakaian mereka pada saat bersamaan. La Venera terus-menerus berbisik, "Turi, Turi," dengan suara nelangsa, tapi Guiliano diam saja. Ia tenggelam dalam aroma, panas, dan tubuh La Venera. Sesudahnya, La Venera mengajaknya ke kamar* tidur dan mereka kembali bercinta. Guiliano tak bisa memercayai kenikmatan yang ditemukannya pada tubuh La Venera, bahkan merasa jengkel atas kepasrahannya sendiri dan hanya terhibur karena La Venera lebih pasrah lagi. Sewaktu Guiliano tidur La Venera lama menatap wajahnya. Ia mengingat- ingamya karena takut tidak akan pernah melihat Guiliano dalam keadaan hidup lagi. Karena ia teringat malam terakhir dirinya tidur dengan suaminya sebelum sang suami tewas, sewaktu ia memunggunginya setelah bercinta lalu tidur, dan sejak -itu tidak pernah bisa mengingat topeng manis yang memancar di setiap wajah kekasih. Ia memunggungi suaminya karena tidak tahan pada kegugupan dan ketakutan suaminya saat berada di rumah, kengeriannya dijebak sehingga suaminya itu tidak pernah benar-benar tidur, bagaimana suaminya terkejut kalau dirinya turun dari tempat tidur untuk memasak atau melakukan tugas-tugas rumah tangga. La Venera kini bertanya-tanya akan ketenangan Guiliano; ia mencintai Guiliano karenanya. Ia mencintai Guiliano karena, tidak seperti suaminya, Guiliano tidak membawa pistol ke ranjang, Guiliano tidak menyela percintaan mereka untuk mendengarkan suara-suara musuh yang mungkin mengintai, Guiliano tidak merokok atau minum atau menceritakan ketakutan-ketakutannya. Guiliano lembut dalam berbicara, tapi menikmati kesenangannya tanpa takut dan dengan gairah terfokus. La Venera beranjak bangkit tanpa suara dari ranjang dan Guiliano tetap tidak terjaga. Ia menunggu sebentar dan keluar ke dapur untuk memasakkan hidangan terbaik bagi Guiliano. Sewaktu Guiliano meninggalkan rumah La Venera di pagi hari, ia melalui pintu depan, melangkah keluar sembarangan tapi senjata tersembunyi di balik jaketnya. Ia mengatakan pada La Venera bahwa ia tidak akan mampir untuk berpamitan kepada ibunya dan meminta La Venera melakukannya, memberitahu ibunya bahwa dirinya baik-baik saja. La Venera ketakutan melihat keberaniannya, ia tidak tahu Guiliano memiliki sepasukan kecil anak buah di kota, tidak menyadari Guiliano membiarkan pintu terbuka selama beberapa menit sebelum melangkah keluar sehingga Pisciotta tahu niatnya dan menyingkirkan carabinieri mana pun yang kebetulan lewat La Venera menciumnya malu-malu sebagai salam perpisahan, yang menyebabkan Guiliano tergerak, lalu wanita itu berbisik, "Kapan kau datang kemari lagi?" "Setiap kali mengunjungi ibuku, aku akan ke tempatmu sesudahnya," jawab Guiliano. "Di pegunungan aku memimpikan dirimu setiap malam." Dan dengan kata-kata itu La Venera merasakan arus sukacita yang menyebabkan ia bahagia. Ia menunggu hingga tengah hari sebelum menyusuri jalan ke rumah ibu Guiliano. Maria Lombardo hanya perlu melihat wajahnya dan tahu apa yang terjadi. La Venera tampak sepuluh tahun lebih muda. Di mata cokelat tuanya terdapat bintik-bintik hitam menari-nari, pipinya kemerahan, dan untuk pertama kalinya selama hampir empat tahun ia mengenakan gaun yang bukan hitam. Ia mengenakan gaun berenda beludru yang dikenakan gadis yang hendak menjumpai ibu kekasihnya. Maria Lombardo bersyukur terhadap temannya, atas kesetiaan dan keberaniannya, dan juga kepuasan tertentu karena rencananya berjalan begitu baik. Pengaturan ini bagus sekali bagi putranya, wanita yang tidak akan pernah menjadi pengkhianat, wanita yang tidak bisa mengklaim dirinya secara permanen. Sekalipun Maria Lombardo sangat mencintai putranya, ia tidak cemburu. Kecuali ketika La Venera menceritakan bagaimana ia memasak hidangan terbaiknya, pai isi daging kelinci dan potongan-potongan keju keras yang ditaburi merica, dan betapa Turi menyantap habis jatah lima orang dan bersumpah belum pernah menyantap hidangan selezat itu seumur hidupnya. Bab 15 BAHKAN di Sisilia, tanah tempat orang-orang saling bunuh dengan antusiasme sama hebatnya seperti antusiasme orang Spanyol membantai banteng, kesintingan maut penduduk Corleone memicu ketakutan umum. Keluarga- keluarga yang bersaing saling menghabisi dalam pertengkaran yang disebabkan sebatang pohon zaitun, tetangga bisa saling bunuh hanya karena jumlah air yang diambil dari sungai umum, orang bisa tewas karena cinta—yakni jika ia menatap dengan sangat tidak hormat istri atau anak perempuan seseorang. Bahkan Friends of the. Friends yang paling tenang pun pasrah terhadap kesintingan ini dan cabang-cabang mereka yang berbeda berperang sampai mati di Corleone hingga akhirnya Don Croce mendamaikan mereka. Di kota seperti itulah, Stefan Andolini mendapat julukan Fra Diavalo, Saudara Iblis. Don Croce memanggilnya dari Corleone dan memberinya instruksi Ia harus bergabung dengan kelompok Guiliano dan mendapatkan kepercayaan mereka. Ia harus tinggal bersama mereka sampai Don Croce memberikan perintah berikutnya. Sementara itu ia harus mengirimkan informasi mengenai kekuatan Guiliano yang sebenarnya, tentang kesetiaan Passatempo dan Terranova. Karena kesetiaan Pisciotta tidak diragukan lagi, yang tersisa hanyalah mengevaluasi kelemahan pemuda itu. Dan kalau ada kesempatan, Andolini harus membunuh Guiliano. Andolini tidak takut terhadap Guiliano yang agung. Selain itu, karena rambutnya merah, dan rambut merah termasuk langka di Italia, Stefan Andolini diam-diam percaya dirinya telah dibebaskan dari keharusan berbuat baik. Seperti halnya penjudi memercayai sistemnya tidak akan pernah kalah, Stefan Andolini percaya dirinya begitu cerdik sehingga tidak pernah bisa dikalahkan. Ia mengajak dua orang picriotti, atau pembunuh magang, menemaninya. Ini sebutan bagi mereka yang belum diterima di Mafia tapi berharap mendapatkan kehormatan tersebut. Mereka pergi ke pegunungan tempat Guiliano berkeliaran, membawa ransel dan lupara. Dan jelas, mereka pun bertemu patroli yang dipimpin Pisciotta. Pisciotta mendengarkan cerita Stefan Andolini dengan wajah tanpa ekspresi. Andolini mengaku dicari carabinieri dan Polisi Keamanan atas pembunuhan terhadap agitator Sosialis di Corleone. Kisahnya ada benarnya. Yang tidak dikatakan Andolini adalah polisi dan carabinieri tidak memiliki bukti dan mencari dirinya sekadar untuk ditanyai.. Interogasinya akan berlangsung ramah dan tidak melelahkan berkat pengaruh Don Croce. Andolini juga mengatakan kedua picriotti yang menemaninya adalah orang-orang yang dicari polisi sebagai ko-konspirator dalam pembunuhan itu. Ini juga benar. Tapi sementara ia bercerita, Stefan Andolini merasa semakin tidak nyaman. Pisciotta mendengarkan dengan ekspresi orang yang bertemu kenalannya atau orang yang sudah sering didengarnya. Andolini mengatakan ia datang ke pegunungan berharap bisa bergabung dengan kelompok Guiliano. Lalu ia memainkan kartu asnya. Ia telah mendapat persetujuan dari ayah Guiliano sendiri. Ia, Stefan Andolini, adalah sepupu Don Vito Corleone yang agung di Amerika. Pisciotta mengangguk. Andolini melanjutkan. Don Vito Corieone dilahirkan sebagai seorang Andolini di desa Corleone. Setelah ayahnya tewas terbunuh, dan dirinya diburu sewaktu masih kanak-kanak, Don Vito Corleone berhasil, melarikan diri ke Amerika, di sana ia menjadi Godfather yang hebat Sewaktu kembali ke Sisilia untuk membalas dendam kepada para pembunuh ayahnya, Stefan Andolini merupakan salah satu picriotti Don Corleone. Setelah kejadian itu ia pernah mengunjungi Don di Amerika untuk menerima upahnya. Di sana ia bertemu ayah Guiliano yang bekerja sebagai tukang batu di rumah mewah Don yang baru di Long Island. Mereka bersahabat, dan Andolini, sebelum pergi ke pegunungan, singgah di Montelepre untuk mendapatkan persetujuan Salvatore Guiliano Senior. Ekspresi Pisciotta berubah sangat serius selagi mendengarkan kisah ini. Ia tidak memercayai orang ini, rambut merahnya, wajah pembunuhnya. Dan Pisciotta tidak menyukai air muka kedua picriotti yang datang bersama si Malpek itu, begitulah ia menyebut si rambut merah dalam gaya Sisilia. Pisciotta berkata, "Akan kubawa kau menemui Guiliano, tapi biarkan lupara tetap di bahu sampai dia berbicara denganmu. Jangan menurunkannya tanpa izin." Stefan Andolini tersenyum lebar dan berkata sangat gembira, "Tapi aku mengenalmu, Aspanu. Aku percaya padamu. Ambillah lupara dari bahuku dan anak buahmu bisa mengambil lupara para picciotti-ku ini. Sesudah kita berbicara dengan Guiliano aku yakin dia akan mengembalikan senapan kami." Pisciotta berkata, "Kami bukan hewan beban untuk membawakan senjata kalian. Bawa saja sendiri." Dan ia memimpin jalan melintasi pegunungan menuju tempat persembunyian Guiliano di tepi tebing yang menghadap ke Montelepre. Lebih dari lima puluh anggota kelompok bertebaran di sekitar tebing, membersihkan senjata dan memperbaiki peralatan. Guiliano duduk di meja, mengawasi melalui teropongnya. Pisciotta berbicara pada Guiliano sebelum membawa calon anggota baru itu menghadap. Ia menceritakan situasinya dan akhirnya berkata, "Turi, menurutku dia agak berjamur" "Berjamur" merupakan idiom orang Sisilia untuk mata-mata. "Dan menurutmu kau pernah melihatnya?" tanya Guiliano. "Atau mendengar tentangnya," sahut Pisciotta. "Entah bagaimana aku merasa mengenalnya, tapi rambut merah jarang ada. Seharusnya aku ingat." Guiliano berkata pelan, "Kau mendengar tentangnya dari La Venera. Dia menyebut pria itu Malpelo—dia tidak tahu namanya Andolini. La Venera juga menceritakannya padaku. Orang ini bergabung dengan kelompok suaminya. Sebulan kemudian suaminya disergap dan dibunuh carabinieri. La Venera juga tidak memercayainya. Dia penuh tipuan, katanya." Silvestro mendekati mereka. "Jangan memercayai si rambut merah. Aku pernah melihatnya di markas besar Palermo untuk kunjungan pribadi pada Komandan Carabinieri." Guiliano berkata, "Pergilah ke Montelepre dan jemput ayahku kemari. Sementara itu awasi mereka." Pisciotta mengirim Terranova menjemput ayah Guiliano dan ia sendiri menemui ketiga orang itu, yang duduk di tanah. Ia membungkuk dan meraih senjata Stefan Andolini. Anggota kelompok lainnya mengepung ketiganya bagaikan serigala- serigala mengelilingi mangsa yang telah jatuh. "Kau tidak keberatan kalau kubantu membawakan senjatamu sekarang?" tanya Pisciotta sambil tersenyum. Stefan Andolini terkejut sejenak, wajahnya mengerut menyeringai. Lalu ia mengangkat bahu. Pisciotta melemparkan lupara itu ke salah satu anak buahnya. Ia menunggu beberapa saat, memastikan anak buah-nya siap. Lalu ia membungkuk mengambil lupara kedua picciotti Andolini. Salah satu di antaranya, lebih karena takut daripada niat jahat, mendorong Pisciotta menjauh dan memegang senapan taburnya. Detik berikutnya, secepat ular menjulurkan dan menarik kembali lidahnya, sebilah pisau muncul di tangan Pisciotta. Tubuhnya melesat maju dan pisau itu menggorok leher si picdotto. Darah merah segar menyembur ke udara pegunungan yang bersih dan picdotto itu merosot ke samping. Pisciotta menahannya, membungkuk, dan satu tusukan cepat lagi menyelesaikannya. Lalu, dengan serangkaian tendangan cepat, ia menggulirkan mayat itu ke sungai kering Anak buah Guiliano lainnya berlompatan bangkit 304 dan mengarahkan senjatanya. Andolini, duduk di tanah, mengangkat tangan ke udara dan memandang sekitarnya dengan bingung. Tapi picciotta yang satu lagi menerjang ke arah senjatanya dan mencoba mengayunkannya. Passatempo, yang berdiri di belakangnya dan menyeringai gembira, menghabiskan peluru pistolnya ke kepala orang itu. Tembakannya menggema ke seluruh pegunungan. Mereka semua membeku, Andolini memucat dan gemetar ketakutan, Passatempo masih menggenggam pistolnya. Lalu suara Guiliano dari tepi tebing berkata pelan, "Singkirkan mayat-mayatnya dan ikat Malpelo itu ke pohon sampai ayahku tiba." Mayat-mayat itu dibungkus jaring bambu dan dibawa ke jurang yang dalam. Mereka melemparkan batu-batu sesudah mayat-mayat itu agar baunya tidak membubung, menurut kepercayaan kuno. Ini tugas Passatempo, yang merampok mayat-mayat itu sebelum membuangnya. Guiliano harus berjuang terus-menerus mengatasi perasaan jijik terhadap Passatempo. Tidak ada rasionalisasi sebesar apa pun yang bisa mengubah hewan itu menjadi kesatria. Senja telah turun, hampir tujuh jam kemudian, sewaktu ayah Guiliano akhirnya tiba di kamp. Stefan Andolini dibebaskan dari pohon dan dibawa ke gua yang diterangi lampu minyak tanah. Ayah Guiliano marah begitu melihat kondisi Andolini. "Tapi orang ini temanku," katanya kepada putranya. "Kami berdua pernah bekerja untuk Godfather di Amerika. Kuberitahukan padanya dia bisa bergabung dengan kelompokmu, dan dia akan diperlakukan dengan baik" Ia berjabatan dengan Andolini dan berkata, "Aku minta maaf. Putraku pasti salah mengerti atau mendengar gosip tentang dirimu." Ia diam sejenak, perasaannya tidak enak. Ia tertekan melihat teman lamanya begitu ketakutan. Karena Andolini hampir-hampir tidak bisa berdiri. Andolini yakin dirinya akan dibunuh. Bahwa semua ini hanya pura-pura. Bagian belakang lehernya sakit karena otot-otomya menegang, mengantisipasi kedatangan peluru. Ia hampir-hampir menangis karena begitu nekat telah meremehkan Guiliano. Pembunuhan cepat atas kedua picciotti-nya menyebabkan ia terguncang. Signor Guiliano merasa temannya terancam oleh putranya. Ia berkata, "Turi, seberapa sering aku memintamu, melakukan sesuatu untukku? Kalau ada keberatanmu terhadap orang ini, maafkan dan lepaskan dia. Dia baik padaku di Amerika dan dia menguimimu hadiah sewaktu kau dibaptis. Aku memercayainya dan memegang erat-erat persahabatannya." Guiliano berkata, "Sekarang sesudah kau mengidentifikasi dirinya, dia akan diperlakukan sebagai tamu terhormat Kalau dia ingin tinggal sebagai anggota kelompokku, dia diterima." Ayah Guiliano diantar kembali ke Montelepre dengan kuda agar bisa tidur di ranjangnya sendiri. Dan sesudah kepergiannya Guiliano berbicara dengan Stefan Andolini seorang diri. "Aku tahu tentang dirimu dan Candeleria," katanya. "Kau mata-mata Don Croce sewaktu bergabung dengan kelompok Candeleria. Sebulan kemudian Candeleria tewas. Jandanya masih ingat dirimu. Dari apa yang diceritakannya kepadaku, tidak sulit bagiku memperkirakan apa yang terjadi. Kita orang Sisilia 306 pandai memecahkan teka-teki pengkhianatan. Kelompok-kelompok pelanggar hukum mulai menghilang Pihak berwenang harus sangat pintar. Aku duduk di pegununganku dan berpikir sepanjang hari. Aku memikirkan pihak berwenang di Palermo—mereka tidak pernah sepintar itu sebelumnya. Lalu aku tahu Menteri Kehakiman di Roma dan Don Croce bersahabat erat. Dan kita tahu, kau dan aku, Don Croce cukup pandai melihat kepentingan mereka berdua. Jadi Don Croce- lah yang membersihkan bandit-bandit ini untuk Roma. Dan kupikir tak lama lagi giliranku akan tiba untuk mendapat kunjungan mata-mata Don Croce. Dan aku menunggu dan menunggu dan penasaran kenapa Don memerlukan waktu begitu lama. Karena, dengan segala kerendahan hati, akulah hadiah terbesar di antara semuanya. Dan hari ini aku melihat kalian bertiga melalui teropongku. Dan kupikir,Ha, si Malpelo lagi. Aku senang bisa menemuinya.Tapi tetap saja aku harus membunuhmu. Aku tidak ingin menyebabkan ayahku tertekan, jadi mayatmu akan menghilang." Stefan Andolini kehilangan rasa takutnya sejenak karena murka. "Kau menipu ayahmu sendiri?" teriaknya. "Kau mengaku putra orang Sisilia?" Ia meludah ke tanah. "Kalau begitu bunuhlah aku dan pergilah ke neraka." Pisciotta, Terranova, dan Passatempo juga tertegun. Tapi mereka telah tertegun berulang-ulang di masa lalu. Guiliano yang begitu terhormat yang membanggakan diri selalu menepati janji, yang selalu membicarakan keadilan bagi semua orang, bisa tiba-tiba berubah dan mengambil tindakan yang di mata mereka begitu jahat. Bukannya mereka keberatan ia membunuh Andolini—ia bisa membunuh seratus Andolini, seribu malah. Tapi ia melanggar janjinya kepada ayahnya dan menipu ayahnya, rasanya tidak bisa dimaafkan. Hanya Kopral Silvestro yang mengerti dan berkata, "Dia tidak boleh membahayakan keselamatan kita semua hanya karena ayahnya berhati lembut." Guiliano berkata pelan kepada Andolini, "Ber-damailah dengan Tuhan." Ia memberikan isyarat kepada Passatempo. "Kau punya waktu lima menit." Rambut merah Andolini seolah berdiri tegak di seluruh kepalanya. Ia berkata panik, "Sebelum kau membunuhku, berbicaralah dengan Kepala Biara Manfredi." Guiliano tertegun menatapnya dan pria berambut merah itu berbicara tergesa- gesa. "Kau pernah mengatakan kepada Kepala Biara kau berutang budi padanya. Bahwa dia bisa meminta apa saja kepadamu." Guiliano ingat dengan baik janjinya itu. Dari mana orang ini mengetahuinya? Andolini melanjutkan, "Ayo kita temui dia dan dia akan memohonkan ampun bagiku." Pisciotta berkata jijik, "Turi, butuh waktu satu hari lagi untuk mengirim kurir dan mendapat jawaban dari Kepala Biara. Apa Kepala Biara lebih berpengaruh bagimu daripada ayahmu sendiri?" Guiliano kembali menyebabkan mereka tertegun. "Ikat tangannya dan ikat kakinya dengan beban agar dia bisa berjalan tapi tidak bisa lari. Siapkan sepuluh pengawal. Akan kubawa dia ke biara, dan kalau Kepala Biara tidak memohonkan ampun baginya, dia bisa melakukan pengakuan dosa terakhirnya. Akan kuekse-kusi dia dan kuberikan mayatnya kepada para biarawan untuk dimakamkan." Guiliano dan kelompoknya tiba di gerbang biara saat matahari terbit dan para biarawan tengah dalam perjalanan untuk bekerja di ladang. Turi Guiliano mengawasi mereka sambil tersenyum. Bukankah baru dua tahun lalu ia pergi ke ladang bersama biarawan-biarawan ini, mengenakan jubah cokelat dan topi fedora Amerika lusuh di kepalanya? Ia teringat betapa kegiatan ini membuatnya gembira. Siapa yang pada saat itu memimpikan masa depan begini buas? Nostalgia tentang masa damai bekerja di ladang itu melintas. Kepala Biara sendiri keluar ke gerbang untuk menyapa mereka. Sosok jangkung berjubah hitam itu ragu-ragu sewaktu sang tawanan melangkah maju, lalu membentangkan lengannya. Stefan Andolini menghambur ke dalam pelukan pria tua itu, mencium kedua pipinya dan berkata, "Bapa, orang-orang ini akan membunuhku, hanya kau yang bisa menyelamatkan diriku." Kepala Biara mengangguk. Ia mengulurkan tangan ke arah Guiliano, yang melangkah maju untuk memeluknya. Guiliano sekarang memahami segalanya. Aksen yang* aneh pada kata "Bapa" bukanlah cara seseorang memanggil pendetanya, melainkan cara putra memanggil orangtuanya. Kepala Biara berkata, "Kumohon kau mengampuni orang ini, sebagai pembalasan utang budi padaku." Guiliano menanggalkan tali yang mengikat tangan dan kaki Andolini. "Dia milikmu," kata Turi Guiliano Andolini merosot ke tanah; ketakutan yang me- nyembur keluar dari tubuhnya menyebabkan ia lemas. Kepala Biara mendukungnya dengan sosoknya sendiri yang rapuh. Ia berkata kepada Guiliano, "Masuklah ke ruang makanku. Anak buahmu akan kuberi makan dan kita bertiga bisa membicarakan apa yang harus kita lakukan." Ia berpaling kepada Andolini dan berkata, "Putraku yang baik, kau masih belum lolos dari bahaya. Apa pendapat Don Croce kalau tahu semua ini? Kita harus mendiskusikannya atau kau akan salah jalan." Kepala Biara mempunyai ruang kecilnya sendiri dan ketiganya duduk nyaman. Keju dan roti disajikan bagi kedua pria yang lebih muda ini. Kepala Biara berpaling dan tersenyum sedih kepada Guiliano. "Salah satu dari sekian banyak dosaku. Aku menjadi ayah bagi orang ini sewaktu masih muda. Ah, tidak ada yang mengetahui godaan-godaan yang dialami pastor di Sisilia. Aku tidak menolaknya. Skandal itu ditutupi dan ibunya menikah dengan seorang Andolini. Sejumlah besar uang diberikan dan aku bisa mendapat kenaikan jabatan di Gereja. Tapi ironi surga tidak bisa diperkirakan manusia. Putraku tumbuh dewasa menjadi pembunuh. Dan itu salib yang harus kutanggung sekalipun ada begitu banyak dosaku sendiri yang harus ku-pikul." Nada Kepala Biara berubah sewaktu ia berpaling kepada Andolini. Ia berkata, "Dengarkan baik-baik, anakku. Untuk kedua kalinya kau berutang nyawa padaku. Pahamilah kepada siapa kesetiaanmu yang pertama. Sekarang kepada Guiliano. "Kau tidak bisa kembali kepada Don. Dia akan bertanya-tanya, Kenapa Turi membiarkan dirimu tetap hidup dan menghabisi kedua rekanmu? Dia akan mencurigai adanya pengkhianatan dan itu berarti kematian-mu. Yang harus kaulakukan adalah mengabai semuanya kepada Don dan meminta tetap bergabung dengan kelompok Guiliano. Kau akan memberinya informasi dan berfungsi sebagai penghubung antara Friends of the Friends dan pasukan Guiliano. Aku sendiri akan menemui Don dan memberitahukan keuntungan pengaturan ini. Akan kukatakan juga kepadanya kau akan tetap setia kepada Guiliano, tapi bukan berarti merugikan Don Croce. Dia mungkin mengira kau akan mengkhianati orang yang sudah membiarkan dirimu tetap hidup ini. Tapi asal kau tahu, kalau kau tidak setia kepada Guiliano, aku akan mengetukmu selama-lamanya. Kau akan menanggung kutukan ayahmu sampai mati." Ia kembali berpaling kepada Guiliano. "Jadi sekarang aku meminta bantuan kedua padamu, Turi Guiliano yang baik. Terimalah putraku dalam kelompokmu. Dia akan berjuang untukmu dan aku bersumpah dia akan setia kepadamu." Guiliano memikirkannya hati-hati. Ia yakin—seiring perjalanan waktu—dapat memenangkan hati Andolini, dan ia tahu pengabdian orang ini kepada ayahnya, si Kepala Biara. Oleh karena itu kemungkinan ia berkhianat sangat kecil dan bisa diawasi. Stefan Andolini akan menjadi kepala operasi kelompoknya, bahkan lebih berharga lagi sebagai sumber informasi mengenai kekaisaran Don Croce. Guiliano bertanya, "Apa yang akan kaukatakan kepada Don Croce?" Kepala Biara diam sejenak. "Aku akan berbicara kepada Don. Aku memiliki pengaruh terhadapnya. Lalu kita lihat saja. Sekarang, bersediakah kau menerima putraku dalam kelompokmu?" "Ya, aku bersumpah padamu," kata Guiliano. "Tapi kalau dia mengkhianatiku, doa-doamu tidak akan cukup cepat menangkap jiwanya dalam perjalanannya ke neraka." Stefan Andolini telah menjalani kehidupan di dunia di mana hanya ada sedikit kepercayaan, mungkin itulah alasan kenapa wajahnya selama bertahun-tahun ini membentuk semacam topeng pembunuh. Ia paham dalam tahun-tahun mendatang ia akan berakrobat bagaikan artis trapeze, harus terus menjaga keseimbangan di atas tali kematian. Tidak ada pilihan aman. Ia senang semangat pengampunan yang memancar dari diri Guiliano menyelamatkan dirinya. Tapi ia tidak berharap banyak. Turi Guiliano satu-satunya orang yang pernah menyebabkan ia ketakutan. Sejak hari itu Stefan Andolini menjadi anggota kelompok Guiliano. Dan selama bertahun-tahun kemudian ia begitu terkenal akan kebuasan dan kesalehannya sehingga julukannya, Fra Diavalo, termasyhur di seluruh Sisilia. Kesalehannya berasal dari fakta bahwa setiap hari Minggu ia menghadiri Misa. Ia biasanya pergi ke Villaba, tempat Pater Benjamino menjadi pastor. Dan dalam ruang pengakuan dosa ia mengungkapkan berbagai rahasia kelompok Guiliano kepada pendengar pengakuan dosanya, untuk disampaikan kepada Don Croce. Tapi bukan rahasia yang oleh Guiliano dilarang diceritakan. BUKU III MICHAEL CORLEONE 1950 Bab 16 FIAT itu menyusuri tepi kota Trapani dan mengambil jalan di sepanjang pantai. Michael Corleone dan Stefan Andolini tiba di sebuah vila, lebih besar daripada kebanyakan vila lainnya, dengan tiga rumah mencolok di sekitarnya. Vila itu dikepung dinding kecuali celah di sisi yang menghadap pantai. Gerbang vila dijaga dua pria, dan tepat di baliknya Michael bisa melihat pria gendut yang mengenakan pakaian yang kelihatan asing di sini: jas sport dan celana panjang dilengkapi kaus polo rajutan yang terbuka. Saat mereka menunggu gerbang dibuka, Michael melihat senyum di wajahnya yang lebar dan tertegun menyadari pria itu Peter Clemenza. Clemenza tangan kanan ayah Michael Corleone di Amerika. Apa yang dilakukannva di sini? Mchael terakhir kali bertemu dengannya pada malam fatal saat Clemenza membuang pistol yang digunakan Michael membunuh kapten polisi dan si Turki, Sollozzo. Ia teringat ekspresi sedih dan iba pada wajah Clemenza saat itu, dua tahun lalu Sekarang Clemenza benar-benar gembira bertemu michael ia menarik keluar dari Fiat mungil itu dan hampir-hampir meremukkan dirinya dengan pelukanya yang bagaikan pelukan beruang. "Michael, senang bertemu denganmu. Aku menanti bertahun-tahun untuk mengatakan betapa bangga diriku padamu. Kerjamu hebat Dan sekarang semua masalahmu sudah beres. Seminggu lagi kau akan berkumpul bersama keluargamu, akan ada perayaan besar. Semua orang menantikanmu, Mikey." Ia menatap wajah Michael penuh sayang sambil memeganginya sejauh kedua lengannya yang besar, dan sementara itu menilainya. Pemuda ini bukan lagi sekadar pahlawan perang yang belia. Selama keberadaannya di Sisilia, bocah ini telah tumbuh menjadi laki-laki. Maksudnya, wajah Michael tidak lagi memancarkan keterbukaan; wajahnya memancarkan ekspresi bangga yang tersembunyi, khas kelahiran Sisilia. Michael siap mengambil posisi dalam keluarga. Michael gembira melihat sosok Clemenza yang tinggi besar, wajahnya yang lebar. Ia menanyakan kabar keluarganya kepada Clemenza. Ayahnya telah pulih dari usaha pembunuhan, tapi kesehatannya tidak bagus. Clemenza menggeleng sedih. "Tak bagus bagi siapa pun kalau tubuhnya berlubang," kata 1 Clemenza, "tak peduli seberapa baik mereka pulih. Tapi ini bukan pertama kali ayahmu ditembak. Dia seperti banteng. Dia akan pulih. Sonny tewas terbunuh, itu yang merusak ayah dan ibumu. Pembunuhannya brutal, Mikey—mereka mencincang Sonny dengan senapan mesin. Itu tidak benar, mereka tidak perlu berbuat begitu. Itu jahat Tapi kita sedang menyusun rencana. Ayahmu akan memberitahukannya padamu begitu kau pulang Semua senang kau kembali." Stefan Andolini mengangguk kepada Clemenza; mereka jelas pernah bertemu. Ia menjabat tangan Michael dan mengatakan dirinya harus pergi—ada yang harus dilakukannya di Montelepre. "Ingat ini, meski apa pun yang kaudengar," katanya, "aku tetap setia kepada Turi Guiliano dan dia memercayai diriku sampai akhir. Kalau dia dikhianati, bukan aku yang mengkhianatinya." Ia tergagap namun tulus. "Dan aku tidak akan mengkhianati dirimu." Michael memercayainya. "Kau mau masuk, beristirahat, dan makan atau minum terlebih dulu?" tanyanya. Stefan Andolini menggeleng. Ia masuk ke Fiat-nya dan melaju keluar melalui gerbang yang segera ditutup di belakangnya. Clemenza mengajak Michael melintasi lapangan terbuka menuju vila utama. Orang-orang bersenjata berpatroli di dinding-dinding dan di pantai tempat lahan itu membuka ke arah laut. Dermaga kecil membentang ke arah pantai Afrika di kejauhan, dan di sana tertambat perahu motor besar ramping, bendera Italia berkibar di perahu itu. Di dalam vila menanti dua wanita tua berpakaian hitam, tanpa satu pun warna lebih terang pada diri mereka, kulit mereka gelap terbakar matahari, syal hitam menutupi kepala. Clemenza meminta mereka membawakan semangkuk buah- buahan ke kamar tidur Michael. Teras kamar tidur menghadap ke Laut Mediterania yang biru dan tampak seakan terbelah di tengah-tengah sewaktu seberkas cahaya matahari pagi menghantamnya. Kapal-kapal nelayan dengan layar biru dan merah cerah terayun-ayun di kaki langit bagai bola berlompatan di air. Ada meja kecil di teras yang tertutup kain tebal berwarna cokelat tua, dan keduanya duduk di kursi di sekitarnya. Sepoci espresso dan sekaraf anggur merah tersedia di sana. "Kau tampak lelah," ujar Gemenza. "Tidurlah dulu, nanti kuceritakan semua rmtiatinya kepadamu." "Tidur ada gunanya," kata Michael. "Tapi terlebih dulu, katakan, apa ibuku baik- baik saja?" "Dia baik-baik saja," jawab Clemenza. "Dia menunggu kepulanganmu. Kami tidak.ingin mengecewakannya, terlalu berat baginya sesudah apa yang terjadi pada Sonny." Michael bertanya lagi, "Dan ayahku, dia sudah pulih sepenuhnya?" Clemenza tertawa; tawa yang buruk. "Jelas. Lima Keluarga akan mengetahuinya. Ayahmu hanya menunggu kepulanganmu, Mike. Dia punya rencana-rencana besar untukmu. Kita tidak boleh mengecewakannya Jadi jangan terlalu mengkhawatirkan Guiliano— kalau dia muncul kita akan membawanya. Kalau dia terus-menerus mengacau, kita akan meninggalkannya di sini." "Apa itu perintah ayahku?" tanya Michael. Clemenza berkata, "Ada kurir yang datang melalui udara setiap hari ke Tunisia dan aku berperahu ke sana untuk berbicara dengannya. Itu perintah yang kuterima kemarin. Mula-mula Don Croce seharusnya membantu kita, atau begitulah yang dikatakan ayahmu sebelum aku meninggalkan Amerika. Tapi kau tahu apa yang terjadi di Palermo sesudah kepergianmu kemarin? Ada yang mencoba menghabisi Don Croce. Mereka datang menerobos dinding kebun dan membunuh empat pengawalnya. Tapi Croce berhasil lolos. Jadi apa yang sebenarnya terjadi?" Michael berkata, "Ya Tuhan." Ia teringat langkah-langkah penjagaan yang dilakukan Don Croce di sekitar hotel. "Kupikir itu perbuatan teman kita Guiliano. Kuharap kau dan ayahku tahu apa yang kalian lakukan. Aku terlalu lelah untuk berpikir." Clemenza beranjak bangkit dan menepuk bahunya. "Mikey, tidurlah dulu. Setelah bangun nanti kau akan bertemu saudaraku. Orang hebat, sama seperti ayahmu, sama pandainya, sama tangguhnya, dan dia bos di wilayah ini, persetan dengan Croce." Michael menanggalkan pakaian dan naik ke ranjang. Ia belum tidur selama lebih dari tiga puluh jam, tapi benaknya terus melompat-lompat dan tidak membiarkan tubuhnya beristirahat. Ia bisa merasakan panasnya matahari pagi meskipun telah menutup daun jendela yang tebal. Semerbak bunga dan pepohonan lemon mencapai hidungnya. Benaknya bekerja memikirkan kejadian-kejadian yang berlangsung selama beberapa hari ini. Bagaimana Pisciotta dan Andolini bisa berkeliaran sebebas itu?. Kenapa Guiliano seolah memutuskan Don Croce adalah musuhnya di saat paling tidak tepat ini? Kesalahan seperti itu bukanlah ciri orang Sisilia. Bagaimanapun, orang itu telah tujuh tahun hidup di pegunungan sebagai pelanggar hukum. Sudah cukup. Ia pasti menginginkan kehidupan yang lebih baik—tidak mungkin di sini, tapi jelas di Amerika. Dan ia pasti memiliki rencana semacam itu, kalau tidak, ia tidak akan mengirim tunangannya yang hamil ke Amerika, mendului dirinya. Pemikiran yang mencerahkan itu menyatakan padanya bahwa jawaban atas semua misteri ini adalah Guiliano tengah melakukan pertempuran terakhir. Bahwa ia tidak takut mati di tanah kelahirannya ini. Bahwa ada berbagai rencana dan persekongkolan yang tengah menuju titik akhir di mana ia, Michael tidak menyadarinya dan karenanya ia harus waspada. Karena Michael Corleone tidak ingin mati di Sisilia. Ia bukan bagian dari mitos yang satu ini. Michael terjaga di kamar tidur luas itu dan membuka jendela-jendelanya, yang mengayun keluar ke balkon batu putih yang berkilau tertimpa cahaya matahari pagi. Di bawah balkon, Laut Mediterania bergulung-gulung bagai permadani biru tua yang membentang ke kaki langit. Berkas-berkas kemerahan menoreh air, dan di atasnya kapal-kapal nelayan berlayar sampai lenyap dari pandangan. Michael mengawasi mereka selama beberapa menit, terpesona oleh keindahan laut dan keanggunan tebing-tebing Erice yang membentang sepanjang pantai ke utara. Ruangan itu penuh perabotan besar gaya pedesaan. Meja dengan baskom enamel biru dan seguci air di atasnya. Di kursi tersampir handuk cokelat kasar. Di dinding-dindingnya tergantung lukisan para orang suci dan Bunda Maria, yang menggendong bayi Yesus. Michael mencuci muka, lalu meninggalkan kamar. Di dasar tangga Peter Clemenza telah menanti. "Ah, sekarang kau tampak lebih baik, Mikey," ujar Clemenza. "Santapan lezat akan mengembalikan kekuatanmu dan sesudahnya kita bisa membicarakan bisnis." Ia mengajak Michael ke dapur, ke meja kayu panjang. Mereka duduk dan wanita tua bergaun hitam muncul bagai disihir di dekat tungku, menuang dua cangkir espresso dan menyajikannya kepada mereka. Lalu, juga bagai disihir, ia mengeluarkan sepiring telur dan sosis yang diletakkannya di meja. Dari oven muncul sebongkah roti cokelat bundar. Lalu wanita itu menghilang ke ruangan di balik dapur. Ia tidak memedulikan ucapan terima kasih Michael. Pada saat itu seorang pria masuk. Ia lebih tua daripada Clemenza tapi tampak begitu mirip dengannya sehingga Michael seketika mengenali inilah Don Domenic Clemenza, kakak Peter Clemenza. Don Domenic mengenakan pakaian yang jauh berbeda. Ia memakai celana panjang beludru hitam yang dijejalkan ke dalam sepatu bot cokelat kokoh. Ia berkemeja sutra putih yang bagian lengannya berkerut-kerut dan rompi hitam panjang. Di kepalanya bertengger topi berlidah pendek. Tangan kanannya memegang cambuk yang dilemparkannya ke sudut. Michael bangkit berdiri menyapanya dan Don Domenic Clemenza memeluknya hangat. Mereka duduk bersama. Don Domenic memiliki keanggunan alamiah dan memancarkan kewibawaan yang mengingatkan Michael akan ayahnya sendiri. Ia juga menunjukkan keakraban gaya lama. Peter Clemenza jelas sangat mengagumi kakaknya, yang memperlakukan dirinya dengan sikap sayang kakak kepada adiknya yang nakal. Ini menyebabkan Michael heran sekaligus geli. Peter Clemenza adalah caporegme ayahnya yang paling tepercaya dan berbahaya di Amerika. Don Domenic berkata serius tapi matanya berkilau-kilau. "Michael, aku merasa sangat senang dan tersanjung karena ayahmu, Don Corleone, memercayakan dirimu kepadaku. Sekarang kau bisa memenuhi rasa penasaranku. Adikku yang tidak berguna ini, apakah keberhasilannya di Amerika sesuai bualannya? Apa dia sudah menduduki jabatan begitu tinggi, adikku yang aku tak yakin bisa menjagal babi dengan benar? Apa Don Corleone benar-benar memercayainya sebagai tangan kanan? Dan katanya dia memimpin lebih dari seratus orang. Bagaimana aku bisa percaya semua itu?" Tapi sementara mengatakannya, ia menepuk-nepuk bahu adiknya penuh sayang. "Semuanya benar," jelas Michael. "Ayahku selalu mengatakan dia pasti akan berjualan minyak zaitun kalau bukan karena adikmu." Mereka semua tertawa. Peter Clemenza berkata, "Aku akan menghabiskan seumur hidupku di penjara kalau bukan karena ayahmu. Dia mengajariku bagaimana berpikir dan bukannya sekadar menggunakan pistol." Don Domenic mendesah. "Aku hanyalah petani dari negara miskin. Memang benar para tetangga menemuiku untuk meminta nasihat dan di Trapani ini mereka bilang aku orang penting. Mereka menyebutku Si Tidak Setia karena aku tidak bersedia memenuhi keinginan Don Croce. Mungkin tindakanku tidak terlalu cerdas, mungkin Godfather akan menemukan cara agar bisa bergaul lebih baik dengan Don Croce. Tapi menurutku mustahil. Aku mungkin Tidak Setia', tapi hanya kepada mereka yang tidak memiliki kehormatan. Don Croce menjual informasi kepada pemerintah dan bagiku itu infamita—melanggar hukum omerta. Tak peduli sebagus apa pun alasannya. Cara lama masih tetap yang terbaik, MichaeL seperti yang akan kaulihat sesudah berada di sini beberapa hari nanti." "Aku yakin begitu," ujar Michael sopan. "Dan aku harus mengucapkan terima kasih atas bantuan yang kauberikan padaku sekarang" "Ada yang harus kukerjakan," kata Don Domenic. "Kalau ada yang kaubutuhkan, suruh orang memberitahukannya padaku." Ia meraih cambuknya dan keluar melewati pintu. Peter Clemenza menjelaskan, "Michael, ayahmu setuju membantu Turi Guiliano keluar dari negara ini demi persahabatan dan penghormatannya kepada ayah Guiliano. Tapi keselamatanmu lebih utama. Ayahmu masih memiliki musuh di sini. Guiliano punya waktu seminggu untuk menemuimu. Tapi kalau dia tidak muncuL kau harus kembali ke Amerika- Serikat seorang diri. Itu perintah yang kuterima. Kita sudah menyiapkan pesawat khusus di Afrika dan kita bisa pergi setiap saat. Kau tinggal memerintahkannya." Michael berkata, "Pisciotta berjanji akan mengantarkan Guiliano menemuiku secepatnya." Clemenza bersiul. "Kau bertemu Pisciotta? Hell, mereka mencari Pisciotta sama sulitnya seperti mencari Guiliano. Bagaimana dia bisa turun dari pegunungan?" Michael mengangkat bahu. "Dia memiliki salah satu kartu izin khusus bertepi merah yang ditandatangani. Menteri Kehakiman. Dan itu juga membuatku khawatir." Peter Clemenza menggeleng. Michael melanjutkan. "Orang yang membawaku kemari, Andolini, kau mengenalnya, Pete?" "Yeah," kata Peter Clemenza. "Dia bekerja pada kita di New York, pekerjaan pemberesan dua kali, tapi ayah Guiliano orang sederhana dan tukang batu yang hebat. Keduanya bodoh kembali kemari. Tapi banyak orang Sisilia seperti itu. Mereka tidak bisa melupakan rumah kecil mereka yang kumuh di Sisilia. Aku mem- bawa dua orang bersamaku kali ini untuk membantu. Mereka sudah dua puluh tahun tidak kembali kemari. Jadi kami berjalan-jalan di pedalaman dekat Erice, kota yang indah, Mikey, dan kami singgah di ladang-ladang bersama domba- domba milik mereka dan minum anggur. Lalu kami semua harus buang air kecil. Jadi kami melakukannya di sana dan sesudahnya, kedua orang ini melompat sekitar tiga meter ke udara dan berteriak,Panjang umur Sisilia.' Kau mau apa? Begitulah mereka, sampai mati tetap orang Sisilia." Michael mengingatkan, "Yeah, tapi bagaimana dengan Andolini?" Clemenza mengangkat bahu. "Dia sepupu ayahmu. Dia menjadi salah satu tangan kanan Guiliano selama lima tahun terakhir. Tapi sebelumnya dia dekat dengan Don Croce. Siapa yang tahu? Dia berbahaya." Michael berkata, "Andolini yang akan mengantarkan tunangan Guiliano kemari. Gadis itu sedang hamil. Kita harus mengirimnya ke Amerika, lalu dia akan mengirimkan kata sandi kepada Guiliano, menyatakan rutenya aman, setelah itu barulah Guiliano menemui kita. Aku sudah berjanji kita akan melakukannya. Kau tidak keberatan?" Clemenza bersiul. "Aku belum pernah mendengar Guiliano memiliki kekasih. Tentu saja kita bisa melakukannya." Mereka keluar ke kebun yang luas. Michael bisa melihat para penjaga di gerbang dan di pantai sedikitnya enam orang bersenjata mondar-mandir. Perahu motor besar tertambat di dermaga yang pendek. Di kebun sekelompok orang jelas tengah menunggu untuk bertemu Peter Clemenza. Ada sekitar dua puluh orang, semuanya khas orang Sisilia dengan pakaian dan topi mereka yang berdebu, mirip Don Domenic hanya dalam versi yang lebih miskin. Di sudut kebun, di bawah pohon lemon, berdiri meja kayu oval dilengkapi kursi- kursi kayu di sekitarnya. Clemenza dan Michael duduk di dua kursi di antaranya, kemudian Clemenza memanggil orang-orang itu. Salah satunya mendekat dan duduk. Clemenza menanyakan kehidupan pribadi pria itu. Apa ia sudah menikah? Apakah ia punya anak? Berapa lama ia bekerja untuk Don Domenic? Siapa kerabatnya di Trapani? Apa ia pernah berpikir pergi ke Amerika untuk mengumpulkan kekayaan? Jawaban untuk pertanyaan terakhir adalah Ya. Wanita tua berpakaian hitam membawa seguci besar anggur yang dicampur lemon segar, lalu mengeluarkan baki berisi banyak gelas. Clemenza menawarkan minum dan rokok kepada setiap orang yang diwawancarainya. Setelah usai dan orang terakhir berlalu, Clemenza berkata kepada Michael, "Ada di antara mereka yang menurutmu salah?" Michael mengangkat bahu dan berkata, "Mereka semua tampak sama bagiku. Mereka semua ingin ke Amerika." Clemenza berkata, "Kita memerlukan tenaga baru di rumah. Kita kehilangan banyak orang dan mungkin akan kehilangan lebih banyak lagi. Setiap sekitar lima tahun aku pulang kemari dan membawa sekitar dua belas orang ke Amerika. Aku sendiri yang melatih mereka. Pekerjaan-pekerjaan kecil pada awalnya penagihan, tukang pukul, tugas jaga. Aku menguji kesetiaan mereka. Ketika kurasa waktunya tepat dan ke- sempatannya ada, kuberi mereka kesempatan "menuntaskan masalah". Tapi aku sangat berhati-hati dalam hal ini. Begitu mencapai sejauh itu, mereka tahu mereka bisa memiliki kehidupan bagus seumur hidup asal tetap setia. Semua orang di sini tahu aku merekrut untuk Keluarga Corleone dan setiap orang di provinsi ini ingin menemuiku. Tapi kakakku yang memilih mereka. Tidak ada yang bisa bertemu denganku tanpa seizinnya." Michael memandang kebun indah di sekitarnya, berhias bunga-bunga aneka warna, pepohonan lemon yang harum, patung-patung kuno para dewa yang digali dari reruntuhan kuno, patung-patung orang suci dari masa yang lebih baru, dinding-dinding merah di sekeliling vila. Lokasi yang indah untuk menguji dua belas murid pembunuh. Menjelang sore Fiat kecil itu muncul kembali di gerbang vila dan diizinkan masuk oleh para penjaga. Andolini yang mengemudi, dan di sampingnya duduk gadis berambut panjang hitam pekat dan berwajah oval layaknya Madonna dalam lukisan. Sewaktu gadis itu turun, dari mobiL Michael bisa melihat ia hamil; walaupun ia mengenakan gaun longgar sederhana khas wanita Sisilia, gaunnya tidak hitam, tapi merah-putih bermotif bunga-bunga yang buruk. Tapi wajahnya begitu cantik sehingga gaunnya tidak masuk hitungan. Michael Corleone terkejut melihat sosok kecil Hector Adonis turun dari kursi belakang. Adonis-lah yang memperkenalkan mereka. Gadis itu bernama Justina. Ia tidak memiliki sikap malu-malu khas gadis muda; dan di usianya .yang baru tujuh belas, wajahnya me- mancarkan kekuatan wanita yang lebih tua, seakan ia telah mengalami beberapa tragedi kehidupan. Ia mengamati Michael dengan teliti sebelum menundukkan kepala untuk menegaskan perkenalannya. Seolah ia mengamatinya untuk menemukan tanda-tanda pengkhianatan di wajah Michael. Salah satu wanita tua mengajaknya pergi ke kamarnya dan Andolini mengeluarkan bagasinya dari dalam mobil. Bagasinya hanya berupa satu koper kecil. Michael sendiri yang membawanya masuk ke rumah. Malam itu mereka makan malam bersama kecuali Andolini, yang harus pergi bersama Fiat-nya. Hector Adonis tetap tinggal. Di meja makan mereka menyusun rencana untuk mengirim Justina ke Amerika. Don Domenic mengatakan perahu ke Tunisia telah siap; perahu itu selalu siap karena mereka tidak tahu kapan Guiliano tiba dan mereka harus bergerak cepat saat itu terjadi. "Siapa yang tahu teman-teman jahat macam apa yang akan datang mengikutinya," ujar Don Domenic sambil tersenyum kecil. Peter Clemenza mengatakan akan menemani Justina ke Tunisia dan memastikan gadis itu naik ke pesawat khusus dengan dokumen-dokumen khusus yang memungkinkannya masuk ke Amerika Serikat tanpa masalah. Lalu ia akan kembali ke vila. Sesudah Justina tiba di Amerika, ia akan mengirimkan kata sandinya dan operasi terakhir untuk menyelamatkan Guiliano akan dimulai. Justina hanya sedikit bicara selama makan malam. Don Domenic bertanya apakah ia siap berangkat malam ini juga setelah melakukan perjalanan sejauh itu di siang harinya. Ketika gadis itu menjawab, Michael menyadari daya tarik yang dilihat Guiliano pada dirinya. Gadis itu memiliki mata hitam kemilau yang sama, rahang yang menunjukkan kebulatan tekad, mulut wanita Sisilia yang paling kuat, dan bicara dengan sama tegasnya. "Bepergian lebih mudah daripada bekerja dan tidak lebih berbahaya daripada bersembunyi," katanya. "Aku pernah tidur di pegunungan dan di ladang-ladang bersama domba, jadi kenapa aku tidak bisa tidur di kapal atau di pesawat? Jelas tidak akan sedingin di pegunungan atau di ladang, bukan?" Ia mengucapkannya dengan kesombongan orang muda, tapi kedua tangannya gemetar sewaktu mengangkat gelas anggur. "Aku hanya khawatir apakah Turi bisa melarikan diri. Kenapa dia tidak ikut bersamaku?" Hector Adonis berkata lembut, "Justina, dia tidak ingin membahayakan dirimu dengan kehadirannya. Lebih suHt baginya bepergian; lebih banyak langkah penjagaan yang harus diambil." Peter Clemenza menyela, "Perahu akan membawamu ke Afrika sebelum fajar, Justina. Mungkin sebaiknya kau beristirahat dulu." Justina berkata, 'Tidak, aku tidak capek dan aku tedalu bersemangat untuk tidur. Bisa minta anggur lagi?" Don Domenic menuangkan anggur hingga gelasnya penuh. "Minumlah, ini bagus bagi bayimu dan akan membantumu tidur nanti. Apa Guiliano menitipkan pesan untuk kami?" Justina tersenyum sedih. "Aku sudah berbulan-bulan tidak bertemu dengannya. Aspanu Pisciotta satu-satunya orang yang dipercayainya. Bukan berarti dia mengira aku akan mengkhianatinya, tapi akulah titik lemah yang mungkin dimanfaatkan orang untuk menjebaknya. Itu akibat roman-roman yang dibacanya, di mana cinta wanita menyebabkan kejatuhan para pahlawan. Dia menganggap cintanya kepadaku merupakan kelemahan terbesarnya, dan tentu saja dia tidak pernah mengungkapkan rencananya kepadaku." Michael ingin tahu lebih banyak tentang Guiliano. Dirinya, atau Sonny, mungkin menjadi Guiliano seandainya ayahnya tetap tinggal di Sisilia. "Bagaimana kau bertemu Turi?" tanyanya kepada Justina. Justina tertawa. "Aku jatuh cinta kepadanya sewaktu usiaku sebelas tahun," jawabnya. "Itu hampir tujuh tahun lalu dan tahun pertama Turi menjadi pelanggar hukum, tapi dia sudah terkenal di desa kecil kami di Sisilia. Adik lelakiku dan aku bekerja di ladang bersama ayahku, dan Papa memberiku seikat uang lira untuk diberikan pada ibuku. Adikku dan aku masih bodoh dan kami memamerkannya, begitu bersemangat memiliki uang sebanyak itu. Dua carabinieri melihat kami di jalan dan merampas uang kami dan tertawa-tawa sewaktu kami menangis. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan, kami takut pulang dan takut kembali ke ayah. Lalu pemuda ini keluar dari balik semak-semak. Dia lebih jangkung daripada sebagian besar pria di Sisilia dan bahunya jauh lebih lebar. Dia tampak seperti prajurit Amerika yang kami lihat selama perang. Dia menyandang senapan mesin tapi matanya yang cokelat begitu lembut. Dia sangat tampan. Dia menanyai kami, 'Anak-anak, kenapa kalian menangis di hari seindah ini? Dan kau, young lady, kau merusak kecantikanmu, siapa yang mau menikah denganmu?' tapi dia tertawa dan kau bisa melihat, entah kenapa, dia gembira melihat kami. Kami menceritakan apa yang terjadi dan dia tertawa lagi dan memperingatkan kami agar selalu berhati-hati terhadap" carabinieri. Dia bilang kami telah mendapat pelajaran begitu dini dalam kehidupan, dan itu bagus. Lalu dia memberi adikku setumpuk besar lira untuk diberikan kepada ibu kami dan kepadaku dia memberi surat untuk ayahku. Aku masih ingat isi suratnya kata demi kata. Katanya, 'Jangan memarahi kedua anakmu yang cantik yang akan menjadi kesenangan dan penghiburanmu di hari tua. Uang yang kuberikan kepada mereka lebih banyak daripada yang mereka hilangkan. Dan ketahuilah: Mulai hari ini, kau dan anak-anakmu berada di bawah perlindungan GUILIANO.' Menurutku nama itu begitu luar biasa dan dia menulisnya dalam huruf-huruf besar. Aku melihat nama itu dalam mimpiku selama berbulan-bulan. Hanya huruf-huruf itu. GUILIANO. "Tapi yang membuatku jatuh cinta padanya adalah kegembiraannya dalam melakukan kebaikan. Dia benar-benar senang membantu orang lain. Sikap itu tidak pernah berubah. Aku selalu melihat kegembiraan yang sama, seakan-akan dia mendapatkan lebih banyak dengan memberi daripada yang mereka peroleh dengan menerima. Itu sebabnya orang Sisilia menyayanginya." Hector Adonis berkata tenang, "Sampai kejadian di Portella della Ginestra." Justina menunduk dan berkata tegas, "Mereka masih tetap mencintainya." Michael bergegas menyela, 'Tapi bagaimana kau bertemu lagi dengannya?" Justina menjelaskan, "Kakak laki-lakiku adalah teman- 330 nya. Dan mungkin ayahku anggota kelompoknya. Aku tidak tahu. Hanya keluargaku dan para pemimpin utama Turi yang tahu kami sudah menikah. Turi menyuruh semua .orang bersumpah untuk merahasiakannya, takut pihak berwenang menangkapku." Semua orang di meja tertegun mendengar berita itu. Justina memasukkan tangan ke balik bajunya dan mengeluarkan dompet kecil. Dari dalamnya ia menarik dokumen dari kertas kaku berwarna krem dilengkapi segel tebal dan mengulurkannya kepada Michael. Tapi Hector Adonis meraihnya dan membacanya. Lalu ia tersenyum kepada Justina. "Kau akan berada di Amerika besok. Bisa kusampaikan kabar baik ini kepada orangtua Turi?" Wajah Justina memerah. "Mereka selalu mengira aku hamil tanpa menikah," katanya. "Mereka memandang rendah diriku karenanya. Ya, kau bisa memberi- tahu mereka." Michael bertanya, "Kau pernah melihat atau membaca Wasiat yang disembunyikan Turi?" Justina menggeleng. "Tidak," jawabnya. "Turi tidak pernah membicarakannya denganku." Wajah Don Domenic berubah dingin, tapi ia juga tampak penasaran. Ia tahu tentang Wasiat, pikir Michael tapi tidak menyetujuinya. Berapa banyak orang yang mengetahuinya? Jelas bukan orang-orang Sisilia. Hanya anggota pemerintahan di Roma, Don Croce, dan keluarga Guiliano, serta orang-orang kepercayaannya. Hector Adonis berkata, "Don Domenic, kau tidak keberatan aku menjadi tamumu sampai ada kabar dari Amerika bahwa Justina tiba dengan selamat? Sesudah 331 itu aku bisa mengatur agar Guiliano menerima beritanya. Seharusnya tidak lebih dari semalam." Don Domenic berkata tegas, "Aku merasa terhormat, Profesor yang baik. Tinggallah selama kau suka. Tapi sekarang sudah waktunya kita semua tidur. Signora muda kita harus tidur untuk menghadapi perjalanan panjangnya dan aku sudah terlalu tua terjaga sampai selarut ini. Avanti ayo." Ia memberi isyarat mengusir bagai burung besar yang penuh perhatian, agar mereka segera pergi. Ia sendiri meraih lengan Hector Adonis dan membimbingnya ke kamar sambil meneriakkan perintah kepada para wanita pelayan untuk menangani tamu- tamunya yang lain. Sewaktu Michael terjaga keesokan paginya, Justina telah pergi Hector Adonis harus menginap dua malam sebelum kurir tiba membawa surat dari Justina yang melaporkan ia tiba di Amerika dengan selamat. Dalam surat itu tersembunyi kata sandi yang memuaskan Adonis, dan pada pagi hari sewaktu ia hendak pergi, ia meminta berbicara empat mata dengan Michael. Michael melalui dua hari terakhir dalam ketegangan penuh harap, ia sendiri sangat ingin pulang ke Amerika. Penjelasan Peter Clemenza tentang pembunuhan Sonny menimbulkan firasat tentang Turi Guiliano pada dirinya. Dalam benaknya kedua orang itu berkaitan. Entah bagaimana keduanya mirip dan memiliki vitalitas serta kekuatan fisik yang sama. Guiliano sebaya dengan Michael, dan Michael tergelitik akan ketenaran pria itu ia gelisah memikirkan mereka akhirnya akan bertemu muka. Ia penasaran, manfaat apa yang didapat ayahnya dengan membawa Guiliano ke Amerika. Karena ia yakin itulah tujuan ayahnya. Kalau tidak, perintah membawa Guiliano pulang bersamanya tidak masuk akal. Michael menemani Adonis berjalan-jalan di pantai. Para penjaga bersenjata memberi salam kepada mereka berdua, mengucapkan, "Vossia" Yang Mulia. Tak satu pun dari mereka menunjukkan tanda-tanda mengejek melihat Adonis yang bertubuh kecil tapi berbusana anggun itu. Perahu motor telah kembali, dan sekarang saat berada lebih dekat Michael bisa melihat perahu itu hampir sebesar yacht kecil. Orang-orang di atasnya bersenjatakan lupara dan senapan mesin. Matahari bulan Juli panas dan laut begitu biru dan tenang sehingga cahaya matahari memantul di atasnya seolah laut terbuat dari logam. Michael dan Hector Adonis duduk di dua kursi yang ada di dermaga. "Sebelum aku pergi pagi ini, ada instruksi terakhir yang harus kusampaikan padamu," kata Hector Adonis pelan. "Penting sekali bagi Guiliano agar kau bisa melakukannya." "Dengan segenap hatiku," janji Michael. "Kau harus mengirimkan Wasiat Guiliano ke Amerika secepatnya, kepada ayahmu," jelas Adonis. "Dia akan tahu bagaimana menggunakannya. Dia akan memastikan Don Croce dan pemerintah di Roma mengetahui Wasiat sudah aman di Amerika, dan mereka tidak akan berani menyakiti Guiliano. Mereka akan membiarkannya beremigrasi dengan aman." "Kau membawanya?" tanya Michael. Pria kecil itu tersenyum dan tertawa. "Kau yang membawanya," katanya. 1 334 melawan carabinieri, tapi manusia berubah seiring waktu atau karena disiksa. Jadi paling baik mereka tidak mengetahuinya" "Tapi dia memercayai dirimu," kata Michael. "Aku diberkati," kata Hector Adonis. "Tapi kau lihat betapa pandainya Guiliano? Bila menyangkut wasiat, dia hanya memercayaiku, sedangkan mengenai keselamatannya, dia hanya memercayai Pisciotta. Kami berdua harus berkhianat kalau ingin menjatuhkan dirinya." Michael tertegun. "Kau pasti mendapat berita yang salah," tukas Michael. "Belum ada yang memberikannya padaku." "Sudah," tegas Hector Adonis. Ia menyentuh lengan Michael dengan sikap bersahabat dan Michael menyadari betapa kecil dan halus tangan Adonis, seperti tangan anak-anak. "Maria Lombardo, ibu Guiliano, yang memberikannya padamu. Hanya dia dan aku yang tahu di mana dokumen itu berada, bahkan Pisciotta tidak tahu." Ia melihat ekspresi bingung Michael. "Dokumen itu ada di dalam patung Bunda Maria berkulit hitam," ujar Hector Adonis. "Memang benar patung itu sudah berada di tangan keluarga Guiliano selama beberapa generasi dan sangat berharga. Semua orang mengetahuinya. Tapi Guiliano mendapat replikanya, dengan lubang di bagian dalamnya. Wasiat ditulis di kertas yang amat tipis dan setiap lembar ditandatangani Guiliano. Aku yang membantunya menyusun dokumen itu selama beberapa tahun terakhir. Juga ada beberapa dokumen yang memberatkan. Turi sejak dulu tahu apa yang mungkin terjadi padanya dan ingin mempersiapkan diri Bagi seorang yang masih muda, kemampuannya menyusun strategi sungguh luar biasa." Michael tertawa. "Dan ibunya aktris yang luar biasa." "Semua orang Sisilia begitu," kilah Hector Adonis. "Kami tidak memercayai siapa puri dan mengalihkan perhatian semua orang. Ayah Guiliano jelas bisa dipercaya, tapi dia mungkin tidak bisa menyimpan rahasia. Pisciotta sudah menjadi sahabat sejati Guiliano sejak mereka masih kanak-kanak, Stefan Andolini pernah menyelamatkan nyawa Guiliano dalam pertempuran Bab 17 MICHAEL CORLEONE dan Hector Adonis berjalan kembali ke vila dan duduk di bawah pohon lemon bersama Peter Clemenza. Michael sangat ingin membaca Wasiat, tapi Hector Adonis mengatakan Andolini dijadwalkan menjemputnya untuk membawanya kembali ke Montelepre dan Michael menunggu apakah Andolini membawa pesan untuknya. Satu jam berlalu. Hector Adonis memandang arlojinya, wajahnya memancarkan kekhawatiran. Michael berkata, "Mungkin mobilnya mogok. Fiat itu sudah hampir tamat riwayatnya." Hector Adonis menggeleng. "Stefan Andolini memiliki hati pembunuh, tapi jiwanya tepat waktu. Dan bisa diandalkan. Aku khawatir ada yang tidak beres karena dia sudah terlambat satu jam. Padahal aku harus tiba di Montelepre sebelum jam malam." Peter Clemenza berkata, "Kakakku akan memberimu mobil dan sopir." Adonis berpikir sejenak. "Tidak," tolaknya, "akan kutunggu. Penting bagiku bertemu dengannya." Michael bertanya, "Kau tidak keberatan kami membaca Wasiat tanpa dirimu? Bagaimana cara membuka patungnya?" | Hector Adonis menjawab, "Tentu saja—baca saja. Soal membukanya, tidak ada trik khusus. Patung itu diukir dari kayu utuh. Kepalanya dipatri sesudah Turi memasukkan dokumennya. Kau hanya perlu memenggal kepalanya. Kalau ada kesulitan membacanya, dengan senang hati akan kubantu. Suruh salah seorang pelayan memanggilku." Michael dan Peter Clemenza naik ke kamar tidur Michael. Patung itu masih ada di jaket Michael; ia telah melupakannya sama sekali. Begitu ia mengeluarkannya, keduanya menatap patung Bunda Maria berkulit hitam itu. Garis wajahnya jelas wajah orang Afrika, tapi ekspresinya sama seperti Bunda Maria kulit putih yang menghiasi hampir setiap rumah tangga miskin di Sisilia. Michael membolak-baliknya di tangannya. Patung itu sangat berat—kau takkan menerka patung itu berlubang. Peter Clemenza melangkah ke pintu dan meneriakkan perintah kepada salah satu wanita pelayan. Wanita itu muncul sambil membawa golok dapur. Ia menatap ke dalam ruangan sejenak dan menyerahkan golok itu kepada Clemenza. Clemenza menutup pintu untuk menghalangi pandangan ingin tahu si pelayan. Michael memegangi patung Bunda Maria di atas meja rias kayu yang tebal. Ia mencengkeram lempengan yang diukir di bagian dasar patung dengan satu tangan dan menggunakan tangan lain untuk mencengkeram puncak kepala patung. Hati-hati Clemenza menempelkan golok ke leher Madonna, mengangkat lengannya yang kekar, dan dengan satu ayunan cepat yang kuat, memenggal kepala patung dan melontarkannya ke seberang kamar. Segulung kertas yang diikat tali kulit kelabu yang lunak, mencuat dari bagian leher patung yang berlubang. Clemenza menghantam tepat pada sambungan yang dipatri goloknya tak mungkin bisa membelah kayu zaitun yang keras itu. Ia meletakkan golok di meja dan menarik lembaran-lembaran kertas dari dalam patung tanpa kepala. Dilepaskannya ikatannya dan dibentangkannya di meja. Kertas-kertas itu terikat dalam satu bundel, berisi sekitar lima belas helai kertas tipis dengan tulisan tangan rapat-rapat dalam tinta hitam. Bagian bawah setiap halaman ditandatangani Guiliano, tak terbaca mirip coretan cakar ayam raja-raja. Ada juga dokumen-dokumen bersegel resmi pemerintah, surat-surat berkop pemerintah, dan pernyataan yang dilengkapi segel notaris. Kertas-kertas itu kembali menggulung dengan sendirinya, sesuai bentuk tempatnya, dan Michael menggunakan kedua potongan patung dan golok untuk menahannya tetap terbuka di meja. Lalu dengan sikap resmi ia menuang dua gelas anggur dari karaf di meja samping ranjang dan memberikan segelas kepada Clemenza. Mereka minum, kemudian mulai membaca Wasiat. Mereka memerlukan waktu hampir dua jam untuk menyelesaikannya. Michael terpesona bahwa Turi Guiliano, begitu muda, begitu idealistis, menjalani kehidupan di tengah berbagai pengkhianatan ini. Michael cukup mengenal dunia itu untuk membayangkan bagaimana Guiliano mengandalkan kecerdikannya, skema kekuasaannya, untuk tetap mengabdi pada misinya. Michael merasa sangat mengenal dan terikat pada alasan pelarian Guiliano. wasiat bukan sekadar buku harian Guiliano yang menceritakan pengalamannya selama tujuh tahun terakhir, tapi dokumen-dokumen yang melengkapinya jelas bisa meruntuhkan pemerintahan Demokrat Kristen di Roma. Bagaimana orang- orang yang berkuasa ini bisa begitu bodoh, pikir Michael penasaran: surat yang ditandatangani Kardinal, surat yang dikirim Menteri Kehakiman kepada Don Croce menanyakan apa yang bisa dilakukan untuk menghancurkan demonstrasi di Ginestra—tentu saja ditulis dalam kata-kata sandi, tapi jelas sangat memberatkan berkaitan dengan kejadian-kejadian yang berlangsung sesudahnya. Masing-masing dokumen secara terpisah tidak berbahaya, tapi bila disatukan membentuk segunung bukti yang sama mengejutkannya seperti Piramida. Ada surat dari Pangeran Ollorto yang penuh pujian berbunga-bunga kepada Guiliano dan meyakinkannya bahwa semua pejabat tinggi pemerintahan Demokrat Kristen di Roma telah meyakinkan Pangeran bahwa mereka akan berusaha sekuat tenaga agar Guiliano mendapat pengampunan, asal ia bersedia memenuhi permintaan mereka. Dalam suratnya Pangeran Ollorto mengklaim telah mendapatkan kesepakatan dengan Menteri Kehakiman di Roma. . Juga ada duplikat berbagai rencana operasi yang disiapkan para pejabat tinggi carabinieri untuk menangkap Guiliano—rencana-rencana yang diserahkan kepada Guiliano sebagai ganti layanan yang mereka minta. "Tidak heran mereka tidak ingin menangkap Guiliano," komentar Michael. "Dia bisa menghancurkan mereka dengan dokumen-dokumen ini." Peter Clemenza berkata, "Akan kukirim dokumen ini ke Tunisia secepatnya. Besok malam dokumen ini sudah berada dalam lemari besi ayahmu." Ia mengambil patung Madonna tanpa kepala dan menjejalkan dokumen itu kembali ke dalamnya. Dikantonginya patung itu dan berkata kepada Michael "Ayo. Kalau berangkat sekarang, aku bisa kembali kemari besok pagi." Mereka keluar dari vila, Clemenza mengembalikan golok ke pelayan tua di dapur, yang memeriksanya dengan curiga seakan mencari bekas-bekas darah. Mereka mulai berjalan ke pantai dan terkejut melihat Hector Adonis masih menunggu. Stefan Andolini tidak muncul Pria kecil itu telah mengendurkan dasinya dan menanggalkan jasnya; kemeja putihnya yang tadi cemerlang buram oleh keringat meskipun ia berada di bawah keteduhan pohon lemon. Ia juga agak mabuk—karaf besar anggur di meja kebun dari kayu itu sudah kosong. Ia menyapa Michael dan Peter Clemenza dengan nada putus asa. "Pengkhianatan terakhir sudah dimulai. Andolini terlambat tiga jam. Aku harus ke Montelepre dan Palermo. Aku harus mengirim kabar kepada Guiliano." Peter Clemenza berkata dengan selera humor kasar, profesor, mobilnya mungkin mogok, atau dia mungkin terhambat urusan lain yang lebih mendesak, apa saja. Dia tahu kau aman di sini dan akan menunggunya. Menginaplah di sini semalam lagi kalau dia tidak datang hari ini" Tapi Hector Adonis terus-menerus bergumam, "Situasinya akan memburuk, situasinya akan mem- 340 buruk," dan meminta mereka menyediakan transportasi Clemenza memerintahkan dua orang menggunakan salah satu Alfa Romeo dan mengantar Hector Adonis ke Palermo. Ia meminta anak buahnya tiba kembali di vila sebelum malam turun. Mereka membantu Hector Adonis masuk ke mobil dan memintanya agar jangan khawatir. Wasiat akan tiba di Amerika dalam waktu 24 jam dan Guiliano akan aman. Setelah mobil melesat melewati gerbang, Michael berjalan ke pantai bersama Clemenza dan mengawasinya naik ke perahu, dan terus mengamati saat perahu itu memulai perjalanannya ke Afrika. "Aku akan kembali besok pagi," seru Peter Clemenza. Dan Michael bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau Guiliano memutuskan datang malam ini. Kemudian ia makan malam, dua wanita tua melayaninya. Sesudahnya ia berjalan-jalan di pantai sampai diminta berbalik oleh para penjaga di tepi lahan vila. Saat itu beberapa menit sebelum gelap, dan Laut Mediterania berwarna biru gelap bagai beludru, dan di balik kaki langit ia bisa mencium aroma benua Afrika, semerbak bunga liar dan hewan buas. Di sini, di dekat laut, tidak terdengar dengungan serangga; makhluk-makhluk itu membutuhkan tumbuhan yang subur, udara panas lembap pedalaman. Rasanya hampir seperti mesin yang dimatikan. Ia berdiri di pantai merasakan kedamaian dan keindahan malam Sisilia dan merasa iba pada mereka semua yang harus melakukan perjalanan dalam kegelapan; Guiliano di pegunungannya, Pisciotta dengan perisai rapuh kartu izin bertepi merahnya melintasi garis musuh, Profesor Adonis dan Stefan Andolini saling mencari di 341 jalan-jalan Sisilia yang berdebu, Peter Clemenza yan menunggangi laut biru kehitaman menuju Tunisia; dan ke mana perginya Don Domenic Clemenza sehingga tidak muncul saat makan malam? Mereka semua bagai bayang-bayang di malam Sisilia, dan sewaktu mereka muncul kembali panggung akan diatur untuk menentukan hidup atau matinya Turi Guiliano. BUKU IV DON CROCE 1947 Bab 18 RAJA UMBERTO II dari Istana Savoy begitu rendah hati dan dicintai rakyatnya, dan ia menyetujui diadakannya referendum untuk menentukan apakah Italia tetap berbentuk kerajaan. Ia tidak mau tetap menjadi raja kalau rakyatnya tidak menginginkannya. Dan dalam hal ini ia sama seperti para pendahulunya. Raja- raja Savoy selalu merupakan para penguasa yang tidak ambisius; kerajaan mereka sebenarnya demokrasi yang dipimpin Parlemen. Para pakar politik yakin referendum akan menguntungkan kerajaan. Kelompok mayoritas di Pulau Sisilia diperhitungkan akan menuntut dipertahankannya status quo. Pada saat ini dua kekuatan yang paling berkuasa di pulau itu adalah Turi Guiliano—yang kelompoknya mengendalikan ujung barat laut Sisilia—dan Don Croce Malo— yang bersama Friends of the Friends mengendalikan bagian Sisilia lainnya. Guiliano tidak terlibat dalam strategi pemilihan partai politik mana pun. Don Croce dan Mafia berusaha keras memastikan terpilihnya kem-bali demokrat Kristen dan dipertahankannya kerajaan. Tapi yang mengejutkan semua orang, para pemilih italia menolak kerajaan; Italia menjadi republik. Dan °mpok Sosialis serta Komunis nyata-nyata memper- 345 lihatkan Demokrat Kristen sedang goyah dan hampir runtuh. Pemilihan berikutnya mungkin akan memenangkan kelompok Sosialis yang tak ber-Tuhan, memerintah dari Roma. Partai Demokrat Kristen mulai menggalang seluruh sumber daya untuk memenangkan pemilihan berikutnya. Kejutan terbesar adalah Sisilia. Mereka memilih banyak wakil Parlemen yang merupakan anggota partai Sosialis dan Komunis. Di Sisilia serikat dagang masih dianggap pekerjaan ibKs, dan banyak industri serta tuan tanah menolak berurusan dengan mereka. Apa yang terjadi? Don Croce murka. Anak buahnya telah melakukan tugas mereka. Mereka melontarkan ancaman yang menakutkan para penduduk desa di seluruh pedalaman, tapi jelas ancaman-ancaman itu akhirnya gagal. Gereja Katolik memerintahkan pendeta-pendetanya berkhotbah menentang Komunis, dan para biarawati memberikan keranjang spaghetti dan minyak zaitun sumbangan hanya kepada mereka yang berjanji memilih Demokrat Kristen. Hierarki gereja di Sisilia tertegun. Organisasi itu telah membagikan jutaan lira dalam bentuk makanan, tapi para petani Sisilia yang licik menelan roti sumbangan itu dan meludahi partai Demokrat Kristen. Menteri Kehakiman Franco Trezza juga marah terhadap sesamanya orang Sisilia —kumpulan pengkhianat, licik bahkan sewaktu kelicikan itu tidak menguntungkan mereka, bangga akan kehormatan pribadi padahal mereka tidak memiliki kakus untuk menampung air seni mereka. Ia putus asa menghadapi mereka. Bagaimana mereka bisa memilih Sosialis dan Komunis yang pada akhirnya akan menghancurkan struktur keluarga dan memusnahkan Tuhan Kristen mereka dari semua katedral Italia yang memesona? Hanya ada satu orang yang bisa memberinya jawaban atas pertanyaan itu dan solusi untuk pemilihan mendatang, yang akan menentukan masa depan kehidupan politik Italia. Ia menghubungi Don Croce Malo. Para petani Sisilia yang memilih partai-partai sayap kiri dan mengusir raja tercinta mereka pasti tertegun kalau mengetahui kemarahan semua pejabat tinggi ini. Mereka pasti terpesona bahwa negara-negara kuat seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris Raya merasa prihatin Italia akan menjadi sekutu Rusia. Banyak di antara mereka belum pernah mendengar nama Rusia. Rakyat miskin Sisilia, yang mendapat kesempatan memilih secara demokratis untuk pertama kalinya setelah dua puluh tahun, memberikan suara pada kandidat dan partai politik yang menjanjikan pada mereka kesempatan membeli sepetak tanah dengan harga murah. Tapi mereka pasti ngeri bila tahu pilihan mereka akan partai-partai sayap kiri itu akan menentang struktur keluarga mereka, menentang Bunda Maria, dan Gereja Katolik Suci. Gereja yang citra sucinya diterangi lilin-lilin merah menghiasi setiap dapur dan kamar tidur di Sisilia; ngeri kalau tahu pilihan mereka akan mengubah katedral-katedral menjadi museum dan mengusir Paus tercinta dari pantai-pantai Italia. Tidak. Orang-orang Sisilia memilih demi mendapatkan sepetak tanah bagi diri dan keluarga mereka sendiri, bukan untuk partai politik. Mereka tidak bisa mendapatkan sukacita yang lebih besar dalam kehi dupan selain menggarap tanah sendiri, menyimpan apa yang mereka hasilkan dengan susah payah, untuk mereka dan anak-anak mereka sendiri. Impian mereka tentang surga adalah beberapa hektar ladang gandum, kebun sayur-mayur bertingkat-tingkat di lereng gunung, kebun anggur mungil, sebatang pohon lemon, dan sebatang pohon zaitun. Menteri Kehakiman Franco Trezza penduduk asli Sisilia dan anti-Fasis sejati yang menghabiskan waktu di penjara Mussolini sebelum melarikan diri ke Inggris. Ia pria jangkung berpenampilan aristokrat dengan rambut masih hitam pekat walaupun janggutnya yang lebat telah dihiasi uban. Kendati pahlawan sejati, ia juga birokrat dan politisi yang mendarah daging, sungguh kombinasi yang aneh. Kantor Menteri di Roma berukuran luas, dilengkapi perabotan antik besar-besar. Di dindingnya bergantung foto-foto Presiden Roosevelt dan Winston Churchill. Jendela-jendela terbuat dari kaca berwarna dan di baliknya menjulur balkon kecil. Menteri menuangkan anggur bagi tamu terhormatnya, Don Croce Malo. Mereka duduk menghirup anggur dan membicarakan gambaran politik di Sisilia dan pemilihan regional yang akan datang. Menteri Trezza mengungkapkan ketakutannya. Kalau Sisilia meneruskan dukungan kepada sayap kiri di kotak pemilihan suara, partai Demokrat Kristen mungkin akan kehilangan kendali atas pemerintahan. Gereja Katolik mungkin akan kehilangan kendali atas posisi legalnya sebagai agama resmi Italia. Don Croce tidak bereaksi sedikit pun. Ia bersantap dengan tenang, dan harus mengakui hidangan di Roma jauh lebih baik daripada di tanah kelahirannya Sisilia. Don menundukkan kepalanya yang besar bagai kepala kaisar di atas sepiring spaghetti bercampur jamur truffle, rahangnya yang besar mengunyah mantap tanpa bersuara. Sesekali ia mengusap kumis tipisnya dengan serbet. Hidungnya yang bagai paruh berdiri berjaga-jaga di atas setiap piring hidangan yang disajikan pelayan, seakan-akan mengendus keberadaan racun di sana. Matanya menyambar ke sana kemari di meja yang penuh sesak itu. Ia tidak melontarkan sepatah kata pun sementara Menteri terus mengoceh tentang masalah negara saat ini. Mereka mengakhiri acara makan dengan sepiring besar buah-buahan dan keju. Lalu sambil menikmati secangkir kopi dan segelas brendi yang menggembung bagai balon, Don siap-siap berbicara. Ia menggeser tubuhnya yang besar di kursi yang tidak memadai itu, dan Menteri bergegas mengajaknya ke ruang tamu dengan kursi-kursi berlengan yang empuk. Ia memerintahkan pelayan membawakan kopi dan brendi, lalu mengusir mereka. Menteri sendiri yang menuangkan espresso untuk Don, menawarkan cerutu yang ditolak oleh tamunya, lalu mempersiapkan diri untuk mendengarkan kebijakan Don yang ia tahu akan langsung pada pokok persoalan. Don Croce menatap Menteri dengan mantap. Ia tidak terkesan oleh profil aristokratnya, garis-garis wajahnya yang kuat, ketegasannya. Dan ia membenci janggut Menteri yang menurutnya sok aksi. Ini orang yang bisa mengesankan di Roma tapi tidak di Sisilia. Tetapi inilah orang yang bisa mengkonsolidasikan kekuasaan Mafia di Sisilia. Mencibir pada Roma merupakan kesalahan di masa lalu; hasilnya adalah Mussolini dan kaum Fasis. Don Croce tidak berilusi. Pemerintah sayap kiri bisa serius melaksanakan reformasi, menyapu habis pemerintahan bayangan Friends of the Friends. Hanya pemerintah Demokrat Kristen yang mempertahankan proses hukum yang menyebabkan Don Croce tidak terkalahkan, dan ia setuju datang ke Roma dengan kepuasan seorang penyembuh iman mengunjungi segerombolan orang lumpuh yang menderita terutama akibat histeria. Ia tahu dirinya bisa menyembuhkan. "Aku bisa memenangkan Sisilia dalam pemilihan yang akan datang untukmu," katanya kepada Menteri Trezza. "Tapi kita membutuhkan pasukan bersenjata. Kau harus menjamin tidak akan menentang Turi Guiliano." "Aku tidak bisa menjanjikan hal itu," ujar Menteri Trezza. "Kau harus bisa," tegas Don Croce. Menteri mengelus-elus janggut kecilnya. "Orang macam apa si Guiliano ini?" tanyanya enggan. "Dia terlalu muda untuk menjadi begitu menakutkan. Bahkan bagi orang Sisilia." "Ah, tidak, dia bocah yang baik," kilah Don Croce, tak mengacuhkan senyum sinis Menteri dan tidak menyinggung soal dirinya tidak pernah bertemu Guiliano. Menteri Trezza menggeleng "Kurasa itu tidak mungkin," katanya. "Orang yang membunuh begitu banyak carabinieri tidak bisa disebut bocah yang baik." Memang benar. Don Croce merasa Guiliano sangat ceroboh sepanjang tahun lalu. Sejak mengeksekusi "Pater" Dodana, Guiliano telah mengumbar kemurka- annya kepada semua musuhnya, Mafia dan Roma sekaligus. Ia mulai mengirimkan surat ke koran-koran yang menyatakan dirinya penguasa Sisilia Barat, persetan apa yang dilakukan Roma. Ia juga mengirim surat yang melarang carabinieri dari Montelepre, Corleone, dan Monreale berpatroli di jalan-jalan selewat tengah malam. Alasannya, anak buahnya harus mendapat kesempatan mengunjungi teman atau keluarga, dan ia tidak mau anak buahnya ditangkap di ranjang atau ditembak sewaktu mereka keluar dari rumah masing- masing atau sewaktu ia sendiri ingin mengunjungi keluarganya di Montelepre. Koran-koran mempublikasikan surat ini diiringi berbagai komentar meriah. Salvatore Guiliano melarang penggunaan alat penyiksaan cassetta? Bandit ini melarang polisi berpatroli sesuai hukum di kota-kota Sisilia? Benar-benar kurang ajar. Benar-benar ketidaksopanan dalam skala besar. Apa pemuda ini menganggap dirinya Raja Italia? Muncul gambar-gambar kartun yang menggambarkan carabinieri bersembunyi di lorong-lorong Montelepre sementara sosok raksasa Guiliano melangkah anggun menuju alun-alun. Tentu saja hanya satu tindakan yang bisa dilakukan Maresciallo. Setiap malam ia mengirim patroli ke jalan-jalan. Setiap malam garnisunnya, yang ditingkatkan menjadi seratus orang, berjaga-jaga, mengawasi pintu-pintu masuk kota dari pegunungan agar Guiliano tidak bisa menyerang. Tapi pada satu kesempatan ia mengirim carabinieri ke pegunungan, Guiliano dan kelima tangan kanannya—Pisciotta, Terranova, Passatempo, Silvestro, dan Andolini—masing-masing memimpin lima puluh anak buah, menyergap mereka. Guiliano tidak menunjukkan belas kasihan, dan enam carabinieri tewas. Detasemen-detasemen yang lain melarikan diri dari tembakan senapan dan senapan mesin. Roma pun mengangkat senjata, tapi kecerobohan Guiliano inilah yang kini dapat berguna bagi mereka hanya kalau Don Croce bisa meyakinkan Menteri Kehakiman tolol ini. "Percayalah," kata Don Croce kepada Menteri Trezza. "Guiliano bisa memenuhi tujuan kita. Aku akan membujuknya untuk menyatakan perang terhadap partai- partai Sosialis dan Komunis di Sisilia. Dia akan-menyerang markas mereka, dia akan menekan organisasi-organisasi mereka. Dia akan menjadi perpanjangan militerku dalam skala luas. Lalu tentu saja teman-temanku dan aku sendiri akan melakukan pekerjaan yang pedu tapi tidak bisa dilaksanakan terang-terangan." Menteri Trezza tampaknya tidak terkejut mendengar saran itu, tapi ia berujar sombong, "Guiliano sudah menjadi skandal nasional. Skandal internasional. Di mejaku ada rencana Kepala Staf angkatan bersenjata untuk menggerakkan pasukan dan menekannya. Kepalanya dihargai sepuluh juta lira. Seribu carabinieri sudah disiagakan untuk menuju Sisilia dan memperkuat rekan-rekan mereka di sana. Dan kau memintaku, melindunginya? Don Croce yang baik, kuharap kau membantu menangkap dirinya untuk kami, seperti bantuan yang kauberikan untuk menangkap bandit-bandit lainnya. Guiliano merupakan aib Italia. Semua orang menganggap dia harus disingkirkan." 352 Don Croce menghirup espressonya dan mengusap kumisnya dengan jemari. Ia agak tidak sabar menghadap kemunafikan Roma ini. Ia menggeleng perlahan- lahan. "Turi Guiliano jauh lebih berharga bagi kita dalam keadaan hidup dan melakukan tindakan-tindakan kepahlawanan di pegunungannya. Rakyat Sisilia memujanya; mereka mendoakan jiwa dan keselamatannya. Tidak ada seorang pun di pulauku yang akan mengkhianatinya. Dan dia jauh lebih cerdik daripada semua bandit lainnya. Aku sudah menyusupkan mata-mata ke kampnya, tapi kepribadiannya sebegitu rupa sehingga aku tidak tahu seberapa setia mata- mataku sendiri kepadaku. Seperti itulah orang yang kaubicarakan. Dia membangkitkan perasaan sayang semua orang. Kalau kau mengirimkan seribu carabinieri dan angkatan ber-senjatamu dan mereka gagal—dan mereka pernah gagal—lalu apa? Kuberitahu kau: Kalau Guiliano memutuskan membantu partai-partai kiri dalam pemilihan mendatang, kau akan kehilangan Sisilia dan karena itu, seperti pasti sudah kauketahui, partaimu akan kehilangan Italia." Ia diam cukup lama dan mempertajam tatapannya kepada sang menteri. "Kau harus mengadakan semacam kerja sama dengan Guiliano." "Bagaimana mengaturnya?" tanya Menteri Trezza sambil melontarkan senyum sopan dan sok yang di-benci Don Croce. Senyum khas Roma padahal orang ini keklahiran Sisilia. Lalu Menteri melanjutkan. "Aku mendapat kabar yang cukup bisa dipercaya bahwa Guiliano tidak menyukaimu." Don Croce mengangkat bahu. "Dia tidak bisa bertahan selama tiga tahun terakhir kalau dia tidak cukup pandai melupakan masalah sepele. Dan aku punya koneksi dengannya. Doktor Hector Adonis salah satu anak buahku, dan dia juga bapak baptis Guiliano dan teman yang paling dipercayainya. Dia akan menjadi perantaraku dan mengadakan perdamaian antara aku dan Guiliano. Tapi aku harus mendapatkan jaminan yang diperlukan darimu dalam bentuk konkret." Menteri berkata sinis, "Kau mau surat bertanda tangan yang menyatakan aku menyayangi bandit yang hendak kutangkap?" Kekuatan terbesar Don adalah ia tidak pernah memedulikan nada menghina atau kurang hormat, walaupun ia menyimpannya jauh di lubuk hatinya. Ia menjawab terus terang, wajahnya bagai topeng yang tidak tergoyahkan. 'Tidak," katanya. "Cukup beri aku duplikat rencana Kepala Staf angkatan bersenjata yang hendak melawan Guiliano. Juga duplikat perintahmu mengirim seribu carabinieri tambahan ke pulau. Aku akan menunjukkannya kepada Guiliano dan menjanjikan kau tidak akan melaksanakan perintah itu kalau dia membantu kita mendidik para pemilih Sisilia. Duplikat itu tidak akan merugikan dirimu kelak— kau selalu bisa mengklaim duplikatnya dicuri. Aku juga akan berjanji pada Guiliano kalau Demokrat Kristen memenangkan pemilihan mendatang, dia akan mendapat pengampunan." "Ah, tidak bisa," tegas Menteri Trezza. "Kekuasaanku tidak mencukupi untuk memberi pengampunan." "Kekuasaanmu cukup untuk memberi janji" kilah Don Croce. "Dan kalau janjimu tidak bisa ditepati, baguslah. Kalau menurutmu mustahil, akan kusampaikan berita buruk itu kepadanya." Menteri seketika memahami. Ia mengerti, sebagai- mana diinginkan Don Croce, pada akhirnya Don Croce harus menyingkirkan Guiliano. Mereka berdua tidak bisa hidup berdampingan di Sisilia. Dan Don Croce akan mengambil alih seluruh tanggung jawab ini, sehingga Menteri tidak perlu khawatir bagaimana memecahkan masalahnya. Jelas ia bisa memberikan janji-janji. Ia hanya perlu menyerahkan duplikat kedua rencana militer itu kepada Don Croce. Menteri mempertimbangkan keputusannya. Don Croce menunduk dan berkata pelan, "Kalau pengampunannya memang bisa diberikan, aku pasti akan mendesaknya." Menteri mondar-mandir dalam ruangan memikirkan semua komplikasi yang mungkin timbul. Don Croce tidak pernah menggerakkan kepala maupun tubuh untuk mengikuti gerakannya. Menteri berkata, "Janjikan pengampunan atas namaku padanya, tapi kau harus tahu janji itu sulit ditepati. Skandalnya mungkin terlalu berlebihan. Kalau pers tahu kita bertemu, mereka akan memanggangku hidup-hidup dan aku terpaksa pensiun, kerja di lahan pertanianku di Sisilia, menyekop kotoran, dan mencukur domba. Sekarang apa kau benar-benar perlu mendapatkan duplikat rencana dan perintahku itu?" "Tidak ada yang bisa dilakukan tanpa keduanya," jawab Don Croce. Suara tenornya sama kuat dan meyakinkannya seperti suara penyanyi hebat. "Guiliano perlu bukti bahwa kita berteman dan dia butuh bayaran di muka untuk layanannya. Kedua masalah itu akan beres begitu kutunjukkan kedua duplikat tersebut dan berjanji semua itu tidak akan dilaksanakan. Dia bisa beroperasi sebebas sebelumnya tanpa harus melawan angkatan bersenjata atau polisi tambahan. Dengan kedua duplikat di tanganku, itu membuktikan koneksiku denganmu, dan ketika rencana-rencana itu tidak dijalankan, itu akan membuktikan pengaruhku terhadap Roma." Menteri Trezza menuangkan secangkir espresso lagi untuk Don Croce. "Aku setuju," katanya. "Aku percaya pada persahabatan kita. Rahasia adalah segalanya. Tapi aku mengkhawatirkan keselamatanmu. Begitu Guiliano melaksanakan tugasnya dan tidak mendapat pengampunan, jelas dia akan menuntut tanggung jawab darimu." Don mengangguk tapi tidak berbicara. Ia menghirup espressonya. Menteri mengawasinya tajam dan berkata, "Kalian berdua tidak bisa hidup berdampingan di pulau sekecil itu." Don tersenyum. "Akan kusediakan tempat baginya," ujarnya. "Ada banyak waktu." "Bagus, bagus," sambut Menteri Trezza. "Dan ingat ini Kalau aku bisa menjanjikan partaiku bahwa para pemilih Sisilia akan memenangkan mereka dalam pemilihan selanjurnya, dan kemudian aku bisa membereskan masalah Guiliano dengan kemenangan di pihak pemerintah, tak terduga seberapa tinggi kenaikan posisiku dalam jajaran penguasa Italia. Tapi tidak peduli setinggi apa pun, aku tidak akan pernah melupakan dirimu, sobat. Kau akan selalu mendapat perhatianku." Don Croce menggeser tubuhnya yang besar di kursi dan berpikir apakah layak menjadikan orang tolol ini Perdana Menteri Italia. Tapi kebodohannya justru bisa menjadi aset bagi Friends of the Friends, dan kalau ia berkhianat, mudah saja menghancurkan- nya. Don Croce berbicara dalam nada tulus yang menjadikannya terkenal, "Aku berterima kasih atas persahabatanmu dan akan berusaha sekuat tenaga membantumu. Kita sudah sepakat. Aku akan berangkat ke Palermo besok sore dan akan sangat berterima kasih kalau kau mengirimkan rencana dan dokumen lainnya ke hotelku besok pagi. Mengenai Guiliano, kalau kau tidak bisa mengusahakan pengampunan baginya sesudah dia melakukan tugasnya, akan kuatur agar dia menghilang. Ke Amerika, mungkin, atau ke tempat lain di mana dia tidak bisa menyulitkan dirimu lebih jauh." Jadi keduanya pun berpisah. Trezza si orang Sisilia, yang memilih mendukung masyarakat, dan Don Croce, yang menganggap struktur dan hukum di Roma sebagai iblis yang diturunkan ke dunia untuk memperbudak dirinya. Karena Don Croce percaya pada kebebasan, kebebasan miliknya sendiri, yang tidak berutang apa pun pada kekuatan mana pun, yang dimenangkan hanya melalui penghormatan yang diperolehnya dari sesama orang Sisilia. Sial sekali, pikir Don Croce, nasib mempertentangkan dirinya dengan Turi Guiliano, orang yang sangat sesuai dengan keinginannya, dan bukan dengan menteri keparat ini. Begitu tiba di Palermo, Don Croce memanggil Hector Adonis. Ia menceritakan pertemuannya dengan Trezza dan persetujuan yang mereka capai. Lalu ia menunjukkan duplikat rencana yang disusun pemerintah untuk perang menghadapi Guiliano. Pria kecil itu tampak tertekan, dan memang ini yang diharapkan Don. "Menteri berjanji padaku bahwa rencana-rencana ini 357 akan ditolaknya dan tidak akan pernah dilaksanakan," kata Don Croce. "Tapi putra baptismu harus menggunakan semua kekuatannya untuk mempengaruhi pemilihan mendatang. Dia harus tegas dan kuat dan tidak begitu mencemaskan orang miskin. Dia harus memikirkan dirinya sendiri. Dia harus mengerti bahwa persekutuan dengan Roma dan Menteri Kehakiman merupakan peluang. Trezza mengepalai seluruh carabinieri, semua polisi, semua hakim. Mungkin suatu hari kelak dia menjadi Perdana Menteri Italia. Kalau itu terjadi, Turi Guiliano bisa kembali ke tengah keluarganya dan mungkin membangun karier politiknya sendiri. Orang-orang Sisilia mencintainya. Tapi untuk saat ini dia harus memaafkan dan melupakan. Kuandalkan dirimu untuk mempengaruhinya." Hector Adonis berkata, "Tapi bagaimana dia bisa memercayai janji Roma? Turi selalu berjuang demi kaum miskin. Dia tidak akan melakukan apa pun yang bertentangan dengan kepentingan mereka." Don Croce berkata tajam, "Jelas dia bukan Komunis. Atur pertemuan antara diriku dan Guiliano. Akan kuyakinkan dirinya. Kami dua orang paling berkuasa di Sisilia Kenapa kami tidak bisa bekerja sama? Dia pernah menolak, tapi waktu sudah berubah. Sekarang ini akan menyelamatkan dirinya sekaligus kami. Komunis akan menghancurkan kami berdua dengan kesenangan yang sama. Negara komunis tidak bisa menerima pahlawan seperti Guiliano atau penjahat seperti diriku. Aku akan datang menemuinya kapan pun dia mau. Dan beritahu dia, aku menjamin janji-janji Roma. Kalau Demokrat Kristen memenangkan pemilihan yang akan datang, aku bertanggung jawab atas peng- ampunannya. Kupertaruhkan nyawaku dan kehormat-anku." Hector Adonis mengerti. Bahwa Don Croce bersedia menghadapi kemurkaan Guiliano kalau janji-janji Menteri Trezza dilanggar. "Boleh kubawa rencana-rencana ini untuk kutunjukkan pada Guiliano?" tanyanya. Don Croce mempertimbangkannya sejenak. Ia tahu dirinya tidak akan pernah melihat rencana-rencana itu lagi dan dengan menyerahkannya kepada Guiliano, berarti ia memberi Guiliano senjata ampuh untuk masa depannya. Ia tersenyum kepada Hector Adonis. "Profesor yang baik," katanya, "tentu saja kau boleh membawanya." Saat menunggu kedatangan Hector Adonis, Turi Guiliano mempertimbangkan tindakannya selanjurnya. Ia mengerti pemilihan dan kemenangan partai-partai sayap kiri akan memaksa Don Croce meminta bantuannya. Selama hampir empat tahun, Guiliano membagikan ratusan juta lira dan makanan kepada orang miskin di Sisilia yang menjadi wilayahnya, tapi ia baru bisa membantu mereka dengan meraih semacam kekuasaan. Buku-buku ekonomi dan politik yang diberikan Adonis kepadanya untuk dibaca telah membuatnya terganggu. Arah sejarah menunjukkan partai-partai sayap kiri merupakan satu-satunya harapan bagi orang miskin di negara mana pun kecuali Amerika. Kendati begitu, ia tidak bisa berpihak pada mereka. Ia membenci khotbah mereka yang menentang Gereja dan penghinaan mereka terhadap ikatan kekeluargaan yang telah menjadi ciri khas orang Sisilia sejak abad pertengahan. Dan ia tahu pemerintahan Sosialis akan berusaha keras menyingkirkan dirinya dari pegunungannya lebih daripada usaha Demokrat Kristen. Saat itu sudah malam, dan Guiliano mengawasi api-api unggun anak buahnya menyebar hingga ke bawah pegunungan. Dari tebing memandang ke Montelepre di bawahnya, ia sesekali mendengar potongan-potongan musik yang melantun dari pengeras suara di alun-alun desa, musik dari Palermo. Ia bisa melihat kota sebagai pola geometris cahaya yang membentuk lingkaran yang hampir sempurna. Sesaat ia berpikir, sesudah Adonis datang dan menyelesaikan urusan mereka, ia akan menemani bapak baptisnya menuruni pegunungan dan mengunjungi orangtuanya dan La Venera. Ia tidak takut melakukannya. Setelah tiga tahun, ia mengendalikan sepenuhnya pergerakan di provinsi. Detasemen carabinieri di kota diawasi ketat, lagi pula ia akan membawa cukup banyak anggota kelompoknya untuk membantai mereka kalau mereka berani mendekati rumah ibunya. Ia sekarang memiliki pendukung bersenjata yang tinggal di Via Belia. Ketika Adonis tiba, Turi Guiliano mengajaknya ke gua besar tempat meja dan kursi-kursi, dan diterangi lampu-lampu baterai Angkatan Darat Amerika. Hector Adonis memeluknya dan memberikan kantong kecil berisi buku-buku yang diterima Turi penuh terima kasih. Adonis juga memberinya tas atase berisi kertas-kertas. "Menurutku kau akan menganggap kertas-kertas ini menarik. Kau harus segera membacanya." Guiliano membentangkan kertas-kertas itu di meja kayu. Isinya perintah yang ditandatangani Menteri Trezza, mengesahkan pengiriman seribu carabinieri lagi dari daratan induk ke Sisilia, untuk menghadapi bandit-bandit Guiliano. Juga ada rencana yang disusun Kepala Staf angkatan bersenjata. Guiliano mempelajarinya penuh minat. Ia tidak takut; ia hanya perlu pindah lebih jauh ke dalam pegunungan, tapi peringatan dini ini tiba tepat pada waktunya. i "Siapa yang memberikan ini padamu?" tanyanya kepada Adonis. "Don Croce," sahut Adonis. "Dia mendapatkannya dari Menteri Trezza sendiri." Turi tampak tidak terkejut sebagaimana seharusnya begitu mendengar berita itu. Malahan, ia tersenyum tipis. "Apa ini seharusnya membuatku takut?" tanya Guiliano. "Pegunungan sangat luas. Semua orang yang mereka kirim bisa ditelan dan aku akan bersiul-siul sendiri hingga terlelap di bawah pohon." "Don Croce ingin bertemu denganmu. Dia akan datang ke tempat mana pun yang kauinginkan," jelas Adonis. "Rencana-rencana ini merupakan simbol niat baiknya. Ada penawaran yang ingin diajukannya" Turi berkata, "Dan kau, bapak baptisku, apa kau menyarankan aku menemui Don Croce?" Ia mengawasi Hector tajam. "Ya," jawab Adonis. Turi Guiliano mengangguk. "Kalau begitu kami akan bertemu di rumahmu, di Montelepre'. Apa kau yakin Don Croce akan mengambil risiko itu?" Adonis berkata serius, "Kenapa tidak? Aku berjanji dia akan baik-baik saja. Dan aku mendapat janjimu yang lebih kupercayai daripada apa pun di dunia ini." Guiliano meraih tangan Hector Adonis. "Sebagaimana aku memercayai janjimu," katanya. "Terima kasih untuk rencana-rencana ini dan terima kasih untuk buku-buku yang kaubawakan. Kau mau membantuku dengan salah satunya malam ini sebelum kau pergi?" "Tentu saja," kata Hector Adonis. Dan sepanjang sisa malam, dengan suara profesionalnya yang memesona, ia menjelaskan paragraf-paragraf sulit dalam buku-buku yang dibawanya. Guiliano mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Seakan keduanya kepala sekolah dan murid, seperti mereka dulu bertahun-tahun'lalu. Pada malam itulah Adonis menyarankan Guiliano menulis Wasiat. Dokumen yang akan mencatat segala sesuatu yang menimpa kelompoknya, yang akan memerinci perjanjian rahasia apa pun yang dibuat Guiliano dengan Don Croce dan Menteri Trezza. Dokumen itu bisa menjadi perlindungan yang hebat. Guiliano seketika bersemangat. Bahkan kalau dokumen itu tidak memiliki kekuatan, bahkan kalau dokumen itu hilang, ia bermimpi mungkin seratus tahun lagi ada pemberontak yang menemukannya. Sebagaimana ia dan Pisciotta menemukan tulang-belulang gajah HannibaL Bab 19 PERTEMUAN bersejarah itu berlangsung dua hari kemudian. Dan dalam waktu sesingkat itu Montelepre bagai meledak oleh isu Don Croce Malo yang agung akan datang, dengan hormat, untuk menemui pahlawan besar mereka, Turi Guiliano. Bagaimana rahasia ini tersebar, tidak diketahui. Mungkin karena Guiliano melakukan penjagaan luar biasa untuk pertemuan terseGut. Pasukan patrolinya menempati posisi untuk menutup jalan ke Palermo, dan hampir lima puluh anak buahnya yang berhubungan darah dengan penduduk di Montelepre mengunjungi kerabat mereka dan menginap di sana. Passatempo dikirim bersama anak- buahnya untuk memblokir Barak Bellampo dan melumpuhkan carabinieri kalau mereka berkeliaran berpatroli. Anak buah Terranova mengendalikan jalan dari Castellammare dan Trapani. Kopral Canio Silvestro bertengger di atap bersama lima penembak terbaiknya dan sepuguk senapan mesin besar disamarkan di balik bingkai bambu pengering tomat sebelum dijadikan pasta, yang banyak digunakan keluarga-keluarga di Montelepre. Don Croce tiba senja hari mengendarai Alfa Romeo besar yang diparkir di depan rumah Hector Adonis. Ia datang bersama adiknya, Pater Benjamino, dan dua pengawal bersenjata yang tetap berada di mobil bersama sopir. Hector Adonis menunggu mereka di pinta, pakaiannya bahkan lebih anggun daripada biasanya dalam setelan kelabu buatan London dan dasi merah bergaris-garis hitam pada kemeja putihnya yang mengilap. Ia tampak sangat kontras dibandingkan Don, yang tampil lebih serampangan daripada biasanya, sosok besarnya terbungkus celana panjang yang menyebabkannya tampak seperti bebek raksasa berjalan, kemejanya, tanpa kerah dan tidak terkancing pada bagian leher, dan jaket hitam tebal yang bahkan tidak bisa menutup di bagian depan, jadi kau bisa melihat suspender putihnya yang sederhana, satu inci lebarnya, menahan celana panjangnya. Sepatunya lebih tepat disebut sandal tipis. Pater Benjamino mengenakan pakaian keagamaannya dan topi hitam berdebunya yang biasa, yang berhentak mirip panci bulat Ia memberkati rumah itu sebelum memasukinya, membuat tanda salib dan menggumamkan berkat Hector Adonis memiliki rumah terbaik di Montelepre dan merasa bangga karenanya. Perabotannya dari Prancis dan lukisan-lukisannya dibeli hati-hati dari para seniman Italia yang hidup pas-pasan. Piring makannya dari Jerman dan pelayan rumahnya wanita Italia paro baya yang dilatih di Inggris sebelum perang. Si pelayan menyajikan kopi untuk mereka sementara ketiga pria itu duduk di ruang tamu menanti kedatangan Guiliano. Don Croce merasa aman sepenuhnya. Ia tahu Guiliano tidak akan mempermalukan bapak baptisnya dengan mengingkari janjinya sendiri. Don merasa sangat bersemangat. Kini ia akan bertemu dan menilai sendiri kebesaran sejati sang bintang yang tengah menanjak ini. Meski begitu ia agak terkejut menyadari Guiliano menyelinap ke dalam rumah tanpa suara. Tidak terdengar suara apa pun di jalan yang terbuat dari batu-batu bulat. tidak terdengar suara pintu dibuka atau ditutup. Mendadak Guiliano telah berdiri di koridor yang menuju ruang makan. Don Croce tersentak melihat ketampanannya. Kehidupan di pegunungan telah memperlebar dadanya dan merampingkan wajahnya. Bentuk wajahnya masih oval tapi pipi-pipinya lebih kurus, dagunya lebih runcing. Matanya bagai mata patung, cokelat keemasan dengan lingkaran keperakan yang aneh, yang seolah menempelkan bola mata Guiliano ke lubangnya. Pakaiannya pun mempertegas ketampanannya—celana panjang katun tebal, kemeja putih yang baru dicuci dan disetrika. Ia mengenakan jaket berburu longgar dari beludru kemerahan, di baliknya terdapat pistol otomatis yang selalu dibawanya. Di atas semua itu ia tampak begitu belia, tidak lebih dari remaja, walaupun berusia 24 tahun. Bisakah bocah seperti ini menentang Roma, mengalahkan Friends of the Friends, memicu pengabdian dalam diri Andolini yang penuh nafsu membunuh, mengendalikan kebrutalan Passatempo, menaklukkan seperempat Sisilia dan cinta penduduk seluruh pulau ini? Don Croce tahu Guiliano luar biasa berani, tapi Sisilia dipenuhi manusia pemberani yang mati muda, korban pengkhianatan. Dan bahkan sementara Don Croce masih meragukan dirinya, Turi Guiliano mengambil tindakan yang menyenangkan hati Don dan kembali meyakinkannya bahwa keputusannya menjadikan bocah ini sekutunya merupakan keputusan yang benar. Ia masuk ke dalam ruangan dan langsung mendekati Don Croce seraya berkata, "Bacio tua mano" Itu sapaan tradisional petani Sisilia terhadap orang yang jabatannya lebih tinggi, seperti pendeta, man tanah, atau bangsawan. Artinya "Kucium tanganmu." Dan senyum riang merekah di wajah Guiliano. Tapi Don Croce tahu pasti kenapa Guiliano mengatakannya. Sapaan itu bukan untuk menunjukkan kepatuhannya kepada Don atau bahkan penghormatan terhadap usianya. Guiliano mengatakannya karena Don telah menyerahkan dirinya ke dalam kekuasaan Guiliano dan Guiliano menunjukkan penghormatan terhadap kepercayaan itu. Don Croce bangkit perlahan-lahan, pipi-" pipinya yang tembam menjadi semakin gelap karena upayanya. Ia memeluk Guiliano. Pemuda ini mulia dan ia ingin menunjukkan perasaan sayangnya. Saat melakukannya ia bisa melihat wajah Hector Adonis yang tersenyum bangga—putra baptisnya menunjukkan dirinya sebagai kesatria' sejati. Pisciotta muncul di lorong dan mengawasi adegan tersebut diiringi senyum kecil merekah di wajah seriusnya. Ketampanannya juga luar biasa tapi sangat kontras dengan Guiliano. Penyakit paru-parunya menguruskan tubuh dan wajahnya. Tulang-tulang wajahnya bagai hendak mencuat keluar dari balik kulit zaitunnya. Rambutnya disisir hati-hati dan hitam mengilap sementara rambut Guiliano yang cokelat dipotong sangat pendek Sedangkan Turi Guiliano, ia semula menduga akan mengejutkan Don dengan sapaannya dan justru terkejut oleh pemahaman Don dan penerimaannya yang hangat. Ia mempelajari sosok Don Croce yang tinggi besar dan menjadi lebih waspada. Orang ini berbahaya. Bukan hanya berdasarkan reputasinya tapi karena aura kekuasaan yang mengelilinginya. Sosoknya yang besar, yang seharusnya mengerikan, seakan-akan memancarkan energi; energi itu memenuhi ruangan. Dan sewaktu Don berbicara, suara yang berasal dari kepalanya yang besar memancarkan keajaiban hampir-hampir seperti musik paduan suara. Don Croce membangkitkan pesona luar biasa sewaktu ia bertekad untuk memberikan pengaruh, pesona yang timbul dari kombinasi ketulusan, ketegasan, dan keramahan yang aneh pada diri seseorang yang tampaknya begitu kasar dalam semua tindakannya yang lain. "Sudah bertahun-tahun aku mengawasimu dan menanti hari ini. Sekarang setelah hari ini tiba, kau ternyata memenuhi setiap harapan." Guiliano berkata, "Aku tersanjung." Ia mengatur kata-kata selanjurnya, mengetahui apa yang diharapkan darinya. "Aku selalu berharap kita bisa berteman." Don Croce mengangguk dan menjelaskan kesepakatannya dengan Menteri Trezza. Bahwa kalau Guiliano membantu "mendidik" orang-orang Sisilia memilih dengan benar dalam pemilihan mendatang, akan dicarikan jalan agar ia mendapat pengampunan. Guiliano bisa kembali ke keluarganya sebagai warga negara biasa dan tidak lagi menjadi bandit. Sebagai bukti akan kebenaran kesepakatan ini, Menteri Trezza menyerahkan berbagai rencana memerangi Guiliano kepada Don. Don mengacungkan tangan ke udara untuk menekankan kata-kata selanjutnya. "Kalau kau setuju, rencana-rencana ini akan diveto Menteri. Tidak akan ada pengiriman tentara atau seribu carabinieri tambahan ke Sisilia." Don Croce melihat Guiliano mendengarkan penuh perhatian tapi tidak tampak terkejut dengan semua ini. Ia melanjutkan. "Setiap orang di Sisilia mengetahui keprihatinanmu terhadap orang miskin. Orang bisa menganggap dirimu mendukung partai-partai sayap kiri. Tapi aku mengetahui kepercayaanmu kepada Tuhan, bagaimanapun kau orang Sisilia. Dan siapa yang tidak mengetahui pengabdianmu kepada ibumu? Apa kau benar-benar ingin kaum Komunis memimpin Italia? Apa yang akan terjadi pada gereja? Apa yang akan terjadi pada keluarga? Para pemuda Italia dan Sisilia. yang bertempur dalam perang terinfeksi kepercayaan-kepercayaan asing, doktrin-doktrin politik yang tidak memiliki tempat di Sisilia. Orang-orang Sisilia bisa menemukan jalannya sendiri untuk mendapatkan nasib yang lebih baik. Dan apa kau benar-benar menginginkan negara yang berkuasa di segala bidang sehingga tidak memberikan kesempatan bagi warganya untuk memberontak? Pemerintah sayap kiri jelas akan menyelenggarakan kampanye besar-besaran melawan kita berdua, karena bukankah kita pemimpin Sisilia yang sebenarnya? Kalau partai-partai sayap kiri memenangkan pemilihan mendatang, suatu hari akan ada orang-orang Rusia di desa-desa Sisilia yang mengambil keputusan siapa yang boleh pergi ke gereja Anak-anak kita akan dipaksa pergi ke sekolah yang mengajarkan bahwa negara lebih penting daripada ibu dan ayah. Apa gunanya itu? Tidak ada. Sekarang waktunya bagi setiap orang Sisilia sejati untuk membela keluarganya dan kehormatannya melawan negara." Ada yang menyela tanpa terduga. Pisciotta masih bersandar ke dinding lorong. Ia berkata sinis, "Mungkin orang Rusia akan mengampuni kita." Angin dingin mengembus benak Don. Tapi tidak mungkin ia menunjukkan kemarahan yang dirasakannya terhadap pesolek kecil berkumis yang kurang ajar ini. Ia mengamatinya dengan saksama. Kenapa ia menarik perhatian pada dirinya saat ini? Kenapa ia ingin Don menyadari keberadaannya? Don Croce bertanya- tanya apakah bisa memanfaatkannya. Dengan nalurinya yang luar biasa ia mencium kebusukan dalam diri letnan yang paling dipercayai Guiliano ini. Mungkin penyakit paru-parunya, mungkin kesinisan pemikirannya. Pisciotta orang yang tak pernah bisa memercayai siapa pun sepenuhnya dan karena itu tidak bisa dipercayai sepenuhnya oleh siapa pun. Don Croce memikirkan semua ini sebelum menjawab. "Kapan ada negara asing yang membantu Sisilia?" tanyanya. "Kapan ada orang asing yang pernah memberikan keadilan kepada orang Sisilia? Pemuda-pemuda seperti dirimu katanya langsung kepada Pisciotta, "satu-satunya harapan kami. Cerdik dan berani dan membanggakan kehormatan. Selama seribu tahun orang- orang seperti itu bergabung dengan Friends of the Friends untuk melawan para penjajah, untuk mendapatkan keadilan yang sekarang diperjuangkan Turi Guiliano. Ini saatnya bagi kita untuk bersatu dan mempertahankan Sisilia." Guiliano tampak tak terpengaruh kekuatan suara Don. Ia berkata dengan kekasaran yang disengaja, "Tapi kami selalu menentang Roma dan orang-orang yang dikirim untuk mengatur kami. Sejak dulu mereka musuh kami. Dan sekarang kau meminta kami membantu mereka, memercayai mereka?" Don Croce berkata serius, "Ada saatnya kita perlu mencapai tujuan yang sama bersama musuh. Partai Demokrat Kristen musuh paling tidak berbahaya bagi kita kalau mereka memenangkan Italia. Oleh karena itu penting bagi kita agar mereka tetap berkuasa. Apa yang bisa lebih sederhana lagi?" Ia diam sejenak. "Orang-orang sayap kiri tidak akan pernah mengampuni dirimu. Yakinlah. Mereka terlalu munafik, sama sekali bukan pemaaf, mereka tidak memahami karakter orang Sisilia. Jelas kaum miskin akan memperoleh tanah, tapi bisakah mereka menyimpan apa yang mereka tanam? Bisakah kau membayangkan orang-orang kita bekerja dalam sistem kooperatif? Demi Tuhan, sekarang saja mereka saling bunuh hanya karena masalah apakah Bunda Maria akan mengenakan jubah putih atau merah dalam prosesi religius kita." Semuanya ini disampaikan dengan keironisan seseorang yang ingin para pendengarnya tahu ia membesar-besarkan namun paham sikap itu sebagian besar benar adanya. Guiliano mendengarkan sambil tersenyum tipis. Ia tahu suatu hari mungkin ia perlu membunuh orang ini dan hanya perasaan, hormat yang dibangkitkan Don Croce melalui sosok dan kekuatan kepribadiannya-lah yang menyebabkan Guiliano mengesampingkan pemikiran itu. Seolah hanya memikirkan kemungkinan itu ia sudah menentang ayahnya sendiri, perasaan mendalam akan kekeluargaan. Ia harus mengambil keputusan dan itu merupakan keputusan paling penting sejak ia menjadi pelanggar hukum. Guiliano berkata lembut, "Aku setuju dengan pen-dapatmu mengenai kaum Komunis. Mereka tidak cocok bagi orang Sisilia." Guiliano.diam sejenak. Ia merasa sekaranglah saatnya memaksa Don Croce mengikuti kemauannya. "Tapi kalau aku melakukan pekerjaan kotor untuk Roma, aku harus menjanjikan hadiah kepada anak buahku. Apa yang bisa dilakukan Roma bagi kami?" Don Croce telah menghabiskan kopinya. Hector Adonis melesat bangkit untuk mengisinya kembali, tapi Don Croce melambai mengusirnya. Lalu ia berkata kepada Guiliano, "Sejauh ini tindakan-tindakan kami tidak terlalu buruk bagimu. Andolini- memberimu informasi mengenai pergerakan carabinieri sehingga kau bisa selalu mengawasi mereka. Mereka tidak mengambil langkah-langkah drastis untuk mengusirmu dari pegununganmu. Tapi aku tahu itu belum mencukupi. Izinkan aku mengambil tindakan menguntungkan dirimu yang akan menggembirakan hatiku dan membuat ibu dan ayahmu bersukacita. Di hadapan bapak baptismu di sini, di depan teman sejatimu, Aspanu Pisciotta, kuberitahu kau: Aku akan menggerakkan langit dan bumi untuk memastikan pengampunan dirimu dan tentu saja anak buahmu." Guiliano telah memutuskan, tapi ia ingin memastikan jaminan itu sebisa mungkin. Ia berkata, "Aku setuju dengan hampir semua yang kaukatakan. Aku mencintai Sisilia dan orang-orangnya, dan walaupun hidup sebagai bandit, aku percaya akan. keadilan. Aku bersedia me- lakukan hampir segalanya "untuk bisa kembali ke rumah dan orangtuaku. Tapi bagaimana caramu memastikan Roma menepati janjinya kepadaku? Itu kuncinya. Layanan yang kauminta berbahaya. Aku harus mendapatkan upahku." Don mempertimbangkannya. Lalu ia berkata lambat dan hati-hati, "Kau benar bersikap waspada. Tapi kau sudah mendapatkan rencana-rencana yang ditunjukkan Hector Adonis kepadamu sesuai permintaanku. Simpan rencana- rencana itu sebagai bukti hubunganmu dengan Menteri Trezza. Aku akan berusaha mengamankan dokumen-dokumen lain yang mungkin bisa kaugunakan dan yang ditakuti Roma akan kaupublikasikan melalui korespondensi persmu yang terkenal itu. Lalu akhirnya aku menjamin pengampunan itu secara pribadi kalau kau menyelesaikan tugasmu dan partai Demokrat Kristen memenangkan pemilihan. Menteri Trezza sangat menghormati diriku dan tidak akan pernah melanggar janjinya." Hector Adonis tampak sangat bersemangat dan puas. Ia membayangkan kebahagiaan Maria Lombardo saat putranya pulang dan tidak lagi menjadi buronan. Ia tahu tindakan Guiliano memang diperlukan, tapi ia merasa persekutuan antara Guiliano dan Don Croce melawan Komunis ini mungkin merupakan kaitan pertama yang bisa mengikat keduanya dalam persahabatan sejati. Kenyataan bahwa Don Croce yang agung menjamin pengampunan pemerintah bahkan membuat Pisciotta terkesan. Tapi Guiliano melihat kelemahan penting dalam penjelasan Don. Bagaimana ia bisa yakin bahwa semua ini bukan sekadar karangan Don? Bahwa ren- cana-rencana itu tidak dicuri? Bahwa rencana-rencana itu belum diveto Menteri? Ia perlu bertemu langsung dengan Trezza. "Itu meyakinkan diriku," tegas Guiliano. "Jaminan pribadimu menunjukkan kebaikan hatimu dan kenapa orang-orang di Sisilia menjulukimu 'Jiwa yang Baik'. Tapi pengkhianatan Roma sangat terkenal, dan para politisi—kita tahu orang macam apa mereka itu. Aku ingin ada orang yang kupercayai mendengar janji Trezza dari mulurnya sendiri dan dokumen darinya yang memberi jaminan." Don tertegun. Sepanjang percakapan ia merasa sayang terhadap Turi Guiliano. Ia memikirkan betapa hebatnya seandainya pemuda ini putranya. Oh, mereka bisa memimpin Sisilia bersama-sama. Dan dengan anggun ia tadi berkata, "Kucium tanganmu." Don terpesona, sesuatu yang jarang terjadi. Tapi sekarang ia menyadari Guiliano tidak memercayai jaminannya, dan perasaan sayangnya memudar. Ia menyadari mata pemuda im yang seolah mengantuk, yang menatapnya dengan pandangan aneh, menanti bukti lebih jauh, jaminan lebih jauh. Jaminan Don Croce Malo tidak mencukupi. Kesunyian timbul cukup lama, Don mempertimbangkan apa yang harus dikatakannya, yang lain menunggu. Hector Adonis berusaha menutupi kekecewaannya terhadap "kekerasan" Guiliano dan ketakutannya akan reaksi Don. Wajah tembam Pater Benjamino yang pucat tampak seperti buldog yang terhina. Tapi akhirnya Don berbicara dan meyakinkan mereka semua. Ia telah mempertimbangkan apa yang ada dalam benak Guiliano dan apa yang dibutuhkannya. "Penting bagiku kau setuju," katanya kepada Guiliano, "dan mungkin aku hanyut dalam argumentasiku sendiri. Tapi izinkan aku membantumu dalam hal ini. Pertama-tama, izinkan aku mengatakan Menteri Trezza tidak akan memberimu dokumen apa pun—itu terlalu berbahaya. Tapi dia akan berbicara denganmu dan menyampaikan janji yang diucapkannya padaku. Aku bisa menjamin surat-surat dari Pangeran Ollorto dan kaum bangsawan berkuasa lainnya, yang memiliki tujuan sama dengan kita. Mungkin lebih baik dari itu, aku punya teman yang bisa lebih meyakinkan dirimu— Gereja Katolik akan mendukung pengampunanmu. Aku sudah mendapat janji Kardinal Palermo. Sesudah kau berbicara dengan Menteri Trezza, aku akan mengatur pertemuan dengan Kardinal. Dia juga akan memberikan janji secara langsung kepadamu. Dan kau mendapatkan keinginanmu, janji Menteri Kehakiman seluruh Italia, janji Kardinal Gereja Katolik Suci yang suatu hari kelak mungkin menjadi Paus kita, dan janjiku." Mustahil menjelaskan sikap Don saat mengucapkan kedua kata terakhir. Suara tenornya merosot merendah seakan ia tidak berani memasukkan namanya bersama yang lain, dan ada tambahan energi dalam kata-kata "dan janjiku" yang tidak menyisakan keraguan akan pentingnya janji darinya. Guiliano tertawa. "Aku tidak bisa pergi ke Roma." Don Croce berkata, "Kalau begitu kirim orang yang kaupercayai sepenuhnya. Aku sendiri yang akan mengantarnya menemui Menteri Trezza. Lalu aku akan mengantarnya menemui Kardinal. Tentu kau bisa memercayai kata-kata pangeran Gereja Suci?" Guiliano mengawasi Don Croce tajam. Sinyal-sinyal peringatan memancar dalam benaknya. Kenapa Don begitu ingin membantunya? Jelas ia tahu dirinya, Guiliano, tidak bisa pergi ke Roma, ia tidak akan pernah mengambil risiko itu, bahkan seandainya ada seribu kardinal dan menteri yang berjanji. Jadi siapa yang diharapkan Don akan dipilihnya sebagai wakil? "Tidak ada"orang yang lebih kupercayai selain tangan kananku," kata Guiliano kepada Don. "Ajak Aspanu Pisciotta bersamamu ke Roma, dan ke Palermo. Dia menyukai kota-kota besar, dan mungkin kalau Kardinal mendengar pengakuan dosanya, bahkan dosa-dosanya akan. diampuni." Don Croce menyandar ke belakang dan memberikan isyarat kepada Hector Adonis untuk mengisi cangkir kopinya. Itu tipuan lamanya, untuk menutupi kepuasan dan kemenangannya. Seolah masalah yang tengah dihadapinya begitu tidak menarik sehingga keinginan eksternal bisa menggantikannya. Tapi Guiliano, yang telah membuktikan diri sebagai pejuang gerilya cemerlang begitu ia menjadi bandit, memiliki intuisi yang mampu membaca isyarat dan pola berpikir seseorang. Ia seketika merasakan kepuasan im. Don Croce telah memenangkan tujuan yang sangat penting. Ia tidak menduga Don Croce sangat ingin bisa berdua saja bersama Aspanu Pisciotta. Dua" hari kemudian Pisciotta menemani Don-Groce ke Palermo dan Roma. Don Croce memperlakukan dirinya seakan ia keluarga kerajaan. Dan Pisciotta memang memiliki wajah bagai jenderal Borgia, Cesare. Garis wajahnya yang tajam, kumis tipisnya kulitnya yang gelap khas Asia, pandangannya yang kejam dan kurang ajar, begitu hidup dengan pesona dan kecurigaan terhadap segala sesuatu di dunia. Di Palermo mereka menginap di Hotel Umberto, yang dimiliki Don Croce, dan Pisciotta mendapat layanan sangat ramah. Ia diajak membeli pakaian baru untuk pertemuannya dengan Menteri Kehakiman di Roma. Ia bersantap dengan Don Croce di restoran-restoran terbaik. Lalu Pisciotta dan Don Croce diterima Kardinal Palermo. Luar biasa bahwa Pisciotta, pemuda dari kota kecil di Sisilia, dibesarkan dalam iman Katolik, tidak terpesona oleh pertemuan ini, oleh aula-aula agung istana Kardinal, penghormatan terhadap kekuasaan suci yang ditunjukkan semua orang. Sewaktu Don Croce mencium cincin Kardinal, Pisciotta memandang Kardinal dengan tatapan angkuh. Kardinal pria yang jangkung. Ia mengenakan baret merah dan mantel bersabuk lebar merah tua. Garis wajahnya kasar dan berbekas cacar air. Ia bukan orang yang akan terpihh menjadi Paus, tidak peduli celoteh Don Croce. Tapi ia pintar menarik perhatian, ia orang Sisilia. Berlangsung basa-hasi yang biasa. Kardinal dengan serius menanyakan kesehatan spiritual Pisciotta. Ia mengingatkan bahwa dosa apa pun yang dilakukan di bumi ini, orang tidak boleh lupa bahwa pengampunan abadi menantinya kalau ia orang Kristen yang taat. Sesudah meyakinkan Pisciotta akan amnesti spiritualnya, Kardinal langsung membahas inti persoalan. Ia memberitahu Pisciotta bahwa Gereja Suci berada dalam bahaya maut di Sisilia. Kalau Komunis memenangkan pemilihan nasional, siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Katedral-katedral akan dibakar dan dihancurkan dan diubah menjadi pabrik-pabrik. Patung-patung Bunda Maria, salib Yesus, patung-patung semua orang suci akan dilemparkan ke Mediterania. Para pendeta akan dibunuh, biarawati diperkosa. Mendengar yang terakhir, Pisciotta tersenyum. Orang Sisilia mana, tidak peduli seberapa fanatiknya sebagai pengikut Komunis, yang pernah bermimpi memerkosa biarawati? Kardinal melihat senyumnya. Kalau Guiliano membantu menekan propaganda Komunis sebelum pemilihan berikutnya, ia, Kardinal sendiri, akan berkhotbah pada hari Minggu Paskah tentang kebaikan Guiliano dan memintakan pengampunan dari pemerintah di Roma. Dan Don Croce bisa mengatakan hal yang sama kepada Menteri sewaktu mereka bertemu di Roma. Seiring ucapan itu Kardinal menghadiri pertemuan dan memberkati Aspanu Pisciotta. Sebelum pergi, Aspanu Pisciotta meminta surat dari Kardinal yang bisa diberikan kepada Guiliano sebagai bukti pertemuan ini memang terjadi. Kardinal memenuhinya. Don tertegun oleh kebodohan Pangeran Gereja Suci tapi tidak mengatakan apa-apa. Pertemuan di Roma lebih sesuai dengan gaya Pisciotta. Menteri Trezza tidak berpura-pura sesaleh Kardinal. Bagaimanapun ia Menteri Kehakiman dan Pisciotta hanyalah kurir bandit. Ia menjelaskan kepada Pisciotta kalau partai Demokrat Kristen kalah dalam pemilihan, Komunis akan berusaha sangat keras menyapu habis bandit-bandit yang tersisa di Sisilia. Memang benar carabinieri masih mengadakan ekspedisi menentang Guiliano, tapi itu tidak bisa dihindari. Penampilan harus dipertahankan atau koran-koran radikal akan memprotes setinggi langit. Pisciotta menyelanya. "Apakah maksud Yang Mulia partaimu tidak bisa memberikan pengampunan pada Guiliano?" "Sulit," jawab Menteri Trezza, "tapi bukan mustahil. Kalau Guiliano membantu kami memenangkan pemilihan. Kalau selanjutnya dia menahan diri tidak melakukan penculikan atau perampokan selama beberapa waktu. Kalau dia membiarkan namanya tidak seburuk itu. Mungkin dia bahkan bisa beremigrasi ke Amerika untuk sementara dan kembali setelah semua orang memaafkannya. Tapi satu hal bisa kujamin, kalau kami memenangkan pemilihan. Kami tidak akan berusaha keras menangkapnya. Dan kalau dia ingin pindah ke Amerika kami tidak akan menghalanginya atau membujuk pihak berwenang Amerika mendeportasinya." Ia diam sejenak "Secara pribadi aku akan berusaha sekuat tenaga membujuk Presiden Italia agar mengampuninya." Pisciotta kembali berbicara sambil tersenyum tipis, "Tapi kalau kami menjadi warga negara teladan, bagaimana kami bisa makan, Guiliano dan anak buahnya serta keluarga mereka? Mungkinkah ada cara bagi pemerintah untuk membayar kami? Bagaimanapun, kami yang melakukan pekerjaan kotor mereka." Don Croce yang sejak tadi mendengarkan percakapan ini dengan mata terpejam, bagai reptil yang tengah tidur, dengan cepat berbicara untuk menghentikan jawaban marah Menteri Kehakiman yang murka karena bandit ini berani meminta uang kepada pemerintah. "Cuma lelucon, Yang Mulia," sela Don Croce. "Dia pemuda yang baru pertama kali meninggalkan Sisilia. Dia tidak memahami moralitas ketat dunia luar. Pertanyaan mengenai dukungan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirimu. Akan kuatur hal itu dengan Guiliano sendiri." Ia melontarkan lirikan peringatan kepada Pisciotta agar tidak membuka mulut. Tapi Menteri tiba-tiba tersenyum dan berkata kepada Pisciotta, "Well, aku senang melihat pemuda Sisilia belum berubah. Aku dulu juga seperti itu. Kita tidak takut menanyakan hak kita. Mungkin kau ingin sesuatu yang lebih konkret daripada janji." Ia menjulurkan tangan ke balik mejanya dan mengeluarkan kartu bertepi merah yang dilaminasi. Sambil melemparkan kartu kepada Pisciotta ia berkata, "Ini kartu khusus yang kutandatangani sendiri. Kau bisa bepergian ke mana pun di Italia atau Sisilia tanpa diganggu polisi. Nilainya sebesar emas dengan berat yang sama." Pisciotta membungkuk sebagai ucapan terima kasih* dan menyimpan kartu itu di saku-dalam jasnya, di dekat dadanya. Dalam perjalanan mereka ke Roma ia melihat Don Croce menggunakan kartu seperti itu; ia tahu dirinya menerima sesuatu yang berharga. Tapi lalu pemikiran itu melintas dalam benaknya: Bagaimana kalau ia tertangkap membawa kartu tersebut? Akan ada skandal yang mengguncang seluruh negeri. Orang kedua dalam kelompok Guiliano membawa kartu izin keamanan yang diterbitkan Menteri Kehakiman? Bagaimana mungkin? Benaknya berputar cepat berusaha memecahkan masalah itu, tapi ia tidak bisa menemukan jawaban. Hadiah berupa dokumen sepenting itu menunjukkan niat baik dan kepercayaan Menteri. Keramahan Don Croce yang mengagumkan selama perjalanan memang memuaskan. Namun semua itu tidak bisa meyakinkan Pisciotta. Sebelum pulang ia meminta Trezza menulis surat kepada Guiliano yang mengkonfirmasi adanya pertemuan ini Trezza menolak. Sewaktu Pisciotta kembali ke pegunungan Guiliano menanyainya dengan saksama, memaksanya mengulangi setiap kata yang bisa diingatnya. Sewaktu Pisciotta menunjukkan kartu izin bertepi merah dan menyatakan kebingungannya akan alasan pemberian kartu itu serta risiko yang dihadapi Menteri dengan menandatanganinya, Guiliano menepuk bahunya. "Kau saudara sejati," katanya "Kau jauh lebih curiga daripada diriku, namun kesetiaanmu padaku membutakan matamu dari hal-hal yang sudah jelas. Don Croce pasti telah meminta Menteri memberimu kartu izin im. Mereka berharap kau mengadakan perjalanan khusus ke Roma dan menjadi mata-mata mereka." "Licik sekali," seru Pisciotta berang. "Akan kugunakan kartu ini untuk kembali dan menggorok lehernya." "Tidak," bantah Guiliano. "Simpan saja kartu itu. Akan ada gunanya bagi kita. Dan satu hal lagi. Tanda tangan di kartu itu mungkin seperti tanda tangan Trezza, tapi bukan. Tanda tangan itu palsu. Kalau sesuai tujuan mereka, mereka bisa menganggap kartu ku tidak sah. Atau kalau sesuai tujuan mereka, mereka bisa mengatakan kartu itu sah dan mengeluarkan catatan yang menunjukkan kartu itu disahkan oleh Trezza. Kalau mereka mengatakan kartu itu palsu, mereka hanya perlu menghancurkan catatannya." Pisciotta menyadari kebenarannya. Hari demi hari ia semakin terpesona bahwa Guiliano yang perasaannya begitu terbuka dan jujur bisa memperkirakan rencana rumit musuh-musuhnya. Ia menyadari pada dasarnya keromantisan Guiliano adalah paranoia yang merasuk begitu kuat. "Kalau begitu bagaimana kita bisa percaya mereka akan menepati janjinya kepada kita?" tanya Pisciotta. "Kenapa kita harus membantu mereka? Bisnis kita bukan politik." Guiliano mempertimbangkannya. Aspanu sejak dulu selalu sinis, dan agak serakah. Beberapa kali mereka bertengkar mengenai pembagian hasil sejumlah perampokan, Pisciotta mendesak agar anggota kelompok mendapat bagian lebih besar. "Kita tidak punya pilihan," ujar Guiliano. "Komunis tidak akan pernah memberiku pengampunan kalau mereka memenangkan kendali pemerintahan. Sekarang ini Demokrat Kristen dan Menteri Trezza dan Kardinal Palermo serta tentu saja Don Croce harus menjadi sekum dan rekan seperjuangan kita. Kita harus me-netralisir kaum Komunis, itu yang paling penting. Kita akan menemui Don Croce dan membereskan masalahnya." Ia diam sejenak dan menepuk bahu Pisciotta. "Kerjamu bagus dengan mendapatkan surat Kardinal itu. Dan kartu izinnya pasti akan berguna." Tapi Pisciotta tidak yakin. "Kita akan melakukan pekerjaan kotor mereka," katanya. "Lalu kita akan berkeliaran seperti pengemis menanti pengampunan mereka. Aku tidak memercayai satu pun dari mereka—mereka berbicara kepada kita seakan kita ini gadis-gadis tolol, menjanjikan dunia kepada kita kalau kita mau tidur dengan mereka. Menurutku kita berjuang demi diri sendiri, kita simpan uang hasil kerja kita bukannya membagi-bagikannya kepada kaum miskin. Kita bisa menjadi kaya dan hidup seperti raja-raja di Amerika atau Brasilia. Itu solusi kita dan lalu kita tidak perlu mengandalkan para pesgpnovanti itu." Guiliano memutuskan untuk menjelaskan perasaannya. "Aspanu," katanya, "kita harus berjudi dengan Demokrat Kristen dan Don Croce. Kalau kita menang dan mendapatkan pengampunan, rakyat Sisilia akan memilih kita menjadi pemimpin mereka. Kita akan memenangkan segalanya." Guiliano diam sejenak dan tersenyum kepada Pisciotta. "Kalau mereka menipu kita, baik kau dan aku tidak akan pingsan karena terkejut. Tapi seberapa banyak kerugian kita? Kita tetap saja harus melawan Komunis; mereka musuh yang lebih besar daripada kaum Fasis. Jadi mereka harus dihancurkan. Sekarang, dengarkan baik-baik. Kau dan aku berpikiran sama. Pertempuran terakhir akan berlangsung sesudah kita mengalahkan Komunis dan harus berjuang menghadapi Friends of the Friends dan Don Croce." Pisciotta mengangkat bahu. "Kita melakukan kesalahan," ujarnya Guiliano, meskipun tersenyum, berpikir serius. Ia tahu Pisciotta menyukai kehidupan sebagai pelanggar hukum Kehidupan itu sesuai karakternya, dan walaupun berani serta cerdik, Pisciotta tidak punya imajinasi. *Pezzonovanti (Jamak) atau pevgpnovante (tunggal) berarti senjata, namun dalam konteks ini bermakna orang penting atau berkuasa. Ia tidak mampu berpikir jauh ke depan dan melihat nasib tidak terelakkan yang menanti mereka sebagai pelanggar hukum. Malam im juga, Aspanu Pisciotta duduk di tepi tebing dan mencoba merokok. Tapi sakit yang hebat di dadanya menyebabkan ia mematikannya dan mengantongi puntungnya. Ia tahu tuberkulosisnya semakin buruk, tapi ia juga tahu kalau ia beristirahat di pegunungan selama beberapa minggu, ia akan merasa lebih baik. Yang mengkhawatirkannya adalah sesuatu yang tidak diceritakannya kepada Guiliano. Sepanjang perjalanan untuk menemui Menteri Trezza dan Kardinal, Don Croce selalu menemaninya. Mereka makan bersama setiap malam, dan Don menjelaskan tentang masa depan Sisilia, masa-masa sulit yang akan datang. Perlu beberapa lama bagi Pisciotta untuk menyadari Don tengah membujuk dirinya, mencoba membuatnya bersimpati kepada Friends of the Friends, dan dengan halus berusaha meyakinkan Pisciotta bahwa, seperti Sisilia, masa depannya sendiri mungkin lebih baik bersama Don daripada bersama Guiliano. Pisciotta tidak menunjukkan tanda-tanda dirinya memahami pesan Don. Tapi itu menyebabkan ia semakin meragukan niat baik Don. Ia belum pernah takut terhadap siapa pun, kecuali mungkin Turi Guiliano, Tapi Don Croce, yang menghabiskan seumur hidup mendapatkan "penghormatan" berupa lencana pemimpin besar Mafia, membangkitkan ketakutan dalam dirinya. Yang disadarinya sekarang adalah ia takut Don akan mengalahkan dan mengkhianati mereka dan suatu hari kelak mereka akan tewas. Bab 20 PEMILIHAN umum bulan April tahun 1948 untuk memilih anggota legislatif Sisilia merupakan bencana bagi partai Demokrat Kristen di Roma. "Blok Rakyat", kombinasi partai-partai sayap kiri Komunis Sosialis, mengumpulkan 600.000 suara, sementara Demokrat Kristen hanya 330.000. Sisanya sebanyak 500.000 suara terbagi antara Monarki dan dua partai pecahan lainnya Panik mencekam Roma. Harus diambil tindakan drastis sebelum pemilihan nasional, atau Sisilia, kawasan paling terbelakang di negara itu, akan menjadi penentu yang mengubah seluruh Italia menjadi negara Sosialis. Berbulan-bulan sebelumnya Guiliano memenuhi janjinya pada Roma. Ia merobek poster-poster partai-partai oposisi, menyerbu markas-markas besar kelompok sayap kiri dan membubarkan pertemuan mereka di Corleone, Montelepre, Castellammare, Partinico, Piani dei Greci, San Giuseppe Jato, dan kota besar Monreale. Bandit-banditnya memasang poster di seluruh kota-kota ini yang menyatakan dalam huruf-huruf hitam besar, MATI BAGI KAUM KOMUNIS, dan ia membakar beberapa rumah pertemuan yang didirikan kelompok-kelompok Pekerja Sosialis. Tapi kampanyenya terlambat dimulai untuk memengaruhi pemilihan regional, dan ia enggan menggunakan pembunuhan yang merupakan teror paling keji. Pesan-pesan berlalu-lalang antara Don Croce, Menteri Trezza, Kardinal Palermo dan Turi Guiliano. Berbagai teguran dilontarkan. Guiliano didesak meningkatkan kampanyenya agar situasi bisa dipertahankan untuk pemilihan nasional. Guiliano menyimpan semua surat tersebut dalam Wasiat-nya. Perlu ada pukulan hebat, dan otak Don Croce yang cerdaslah yang menemukannya. Ia mengirim pesan kepada Guiliano melalui Stefan Andolini. Dua kota yang paling banyak memiliki pengikut sayap kiri dan paling keras memberontak di Sisilia adalah Piani dei Greci dan San Giuseppe Jato. Selama bertahun-tahun, bahkan di bawah kepemimpinan Mussolini, mereka merayakan tanggal 1 Mei sebagai hari revolusi. Karena tanggal itu juga merupakan hari Santa Rosalie, perayaan mereka disamarkan sebagai festival keagamaan yang tidak dilarang oleh pihak berwenang Fasis. Tapi sekarang parade May Day mereka dipenuhi bendera merah dan ceramah yang menghasut. Parade May Day berikutnya yang akan dilaksanakan seminggu lagi direncanakan sebagai parade terbesar sepanjang sejarah. Sebagaimana biasa, kedua kota akan bergabung untuk merayakannya dan perwakilan dari seluruh Sisilia akan membawa keluarga mereka untuk bersukaria atas kemenangan mereka baru-baru ini. Senator Komunis, Lo Causi, orator yang terkenal berapirapi, akan menyampaikan pidato utama. Parade itu akan menjadi perayaan resmi kelompok Kiri atas kemenangan mereka dalam pemilihan yang baru berlangsung. Rencana Don Croce adalah perayaan ini diserang dan dibubarkan oleh kelompok Guiliano. Mereka akan memasang senapan mesin dan menembak ke atas kepala orang-orang untuk membubarkan mereka. Tindakan itu merupakan langkah pertama dalam kampanye intimidasi, semacam peringatan atau teguran halus. Dengan cara ini Senator Komunis, Lo Causi, akan sadar bahwa terpilihnya dirinya sebagai anggota Parlemen tidak memberinya izin di Sisilia atau menjadikannya orang suci. Guiliano menyetujui rencana ini dan memerintahkan para tangan kanannya, Pisciotta, Terranova, Passatempo, Silvestro, dan Stefan Andolini agar bersiap-siap melaksanakannya. Selama tiga tahun terakhir perayaan itu selalu diselenggarakan di dataran pegunungan antara Piani dei Greci dan San Giuseppe Jato, dilindungi oleh puncak kembar Monte Pizzuta dan Monte Cumeta. Penduduk kedua kota akan mendaki ke dataran itu melalui jalan-jalan berliku yang menyatu di dekat puncak, dengan begitu populasi kedua kota akan bertemu dan membentuk prosesi Mereka akan memasuki dataran tinggi melalui celah sempit, lalu menyebar untuk merayakan hari libur mereka. Celah ini disebut Portella della Ginestra. Desa-desa Piani dei Greci dan San Giuseppe Jato merupakan desa miskin, rumah-rumahnya tua, teknik pertanian mereka kuno. Mereka percaya akan aturan kehormatan kuno; para wanita yang duduk di luar rumah harus duduk diam untuk menjaga reputasi mereka. Tapi kedua desa itu merupakan rumah bagi para pemberontak paling keras di pulau Sisilia. Desa-desa di sana begitu kuno sehingga sebagian besar rumahnya dibangun dari batu, dan beberapa tidak memiliki jendela kecuali lubang-lubang kecil yang ditutup piringan besi. Banyak keluarga memelihara hewan di ruangan-ruangan tempat mereka tinggal. Tukang roti memelihara kambing dan domba-domba kecil di samping oven-oven mereka, dan kalau sebongkah roti yang baru dipanggang jatuh ke lantai, roti im biasanya menimpa kotoran hewan. Para pria penduduk desa-desa itu menyewakan tenaga sebagai buruh pada tuan tanah kaya dengan bayaran satu dolar sehari dan terkadang bahkan kurang, tidak cukup untuk memberi makan keluarga mereka. Jadi sewaktu para biarawati dan pastor, yang dijuluki para "Gagak Hitam", datang membawa paket-paket makaroni dan pakaian sumbangan, penduduk memberikan sumpah yang diperlukan: suara bagi partai Demokrat Kristen. Tapi dalam pemilihan regional di bulan April 1948 mereka justru memberikan suara dalam jumlah mengejutkan kepada partai Komunis atau Sosialis. Ini memicu kemarahan Don Croce yang mengira kepala Mafia setempat mengendalikan kawasan itu. Tapi Don menyatakan kekurangajaran terhadap Gereja Katoliklah yang menyebabkan ia merasa sedih. Bagaimana mungkin orang-orang Sisilia yang saleh begitu tega menipu biarawati-biarawati suci yang dengan kedermawanan Kristen memberikan roti untuk anak-anak mereka? Kardinal Palermo juga jengkel. Ia telah mengadakan perjalanan khusus ke kedua desa untuk menyelenggarakan Misa dan memperingatkan mereka agar tidak me- milih Komunis. Ia memberkati anak-anak mereka dan bahkan membaptis mereka, dan mereka masih tetap berpaling dari Gereja. Ia memanggil para pastor desa ke Palermo dan memperingatkan agar mereka meningkatkan upaya memenangkan pemilihan nasional. Ini bukan saja demi kepentingan politik Gereja tapi juga untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang bodoh dari api neraka. Menteri Trezza. tidak terkejut. Ia orang Sisilia dan memahami sejarah pulau itu. Penduduk kedua desa sejak dulu merupakan pejuang yang bangga dan kejam dalam menentang kaum kaya Sisilia dan tirani Roma. Mereka yang pertama- tama bergabung dengan Garibaldi, dan sebelumnya mereka menentang para penguasa Prancis dan Moor yang menguasai pulau itu. Penduduk Piani dei Greci merupakan keturunan orang Yunani yang melarikan diri ke Sisilia, menghindari para penyerbu Turki. Mereka masih mempertahankan kebudayaan Yunani, berbicara dalam bahasa Yunani dan mempertahankan hari-hari libur Yunani dengan mengenakan kostum kuno. Tapi tempat itu merupakan benteng Mafia yang selalu menimbulkan pemberontakan. Jadi Menteri Trezza kecewa pada prestasi Don Croce, pada ketidakmampuannya mendidik mereka. Tapi ia juga tahu bahwa para pemilih di desa-desa dan kawasan pedalaman sekitarnya telah dihasut oleh satu orang, organisator partai Sosialis bernama Silvio Ferra. Silvio Ferra prajurit Angkatan Darat Italia dalam Perang Dunia II yang banyak menyandang bintang jasa. Ia memperoleh medali-medalinya dalam kampanye Afrika lalu ditangkap oleh Angkatan Darat Amerika. Ia menjadi tawanan perang di Amerika Serikat, di sana ia menghadiri berbagai kursus yang dirancang untuk membuat para tahanan memahami proses demokrasi. Ia tidak begitu memercayainya sampai ia mendapat izin bekerja di luar kamp, pada tukang roti di kota setempat. Ia terpesona melihat kebebasan dalam kehidupan orang Amerika, kemudahan di mana kerja keras bisa diubah menjadi kesejahteraan abadi, kemampuan orang-orang kelas bawah untuk meningkatkan diri. Di Sisilia petani yang bekerja paling keras hanya bisa berharap menyediakan makanan dan perlindungan bagi anak-anaknya; tidak mungkin ada simpanan untuk masa depan. Sewaktu kembali ke tanah kelahirannya di Sisilia, Silvio Ferra menjadi pendukung Amerika yang gigih. Tapi tidak lama kemudian ia melihat partai Demokrat Kristen hanyalah alat orang kaya dan ia bergabung dengan kelompok Pekerja Sosialis di Palermo. Ia haus pendidikan dan sangat senang membaca buku. Tak lama kemudian ia sudah melahap seluruh teori Marx dan Engels, dan bergabung dengan partai Sosialis. Ia mendapat tugas mengorganisir klub partai di San Giuseppe Jato. Dalam empat tahun ia berhasil melakukan apa yang tidak bisa dilakukan para aktivis dari Italia utara. Ia menerjemahkan doktrin Revolusi Merah dan Sosialis ke dalam istilah Sisilia. Ia meyakinkan mereka bahwa memilih Partai Sosialis berarti mendapatkan sepetak lahan. Ia berkhotbah bahwa lahan lahan luas milik kaum bangsawan seharusnya dibagi-bagikan karena para bangsawan membiarkan lahan tersebut tidak terurus, Tanah yang bisa menumbuhkan gandum bagi anak anak mereka. Ia meyakinkan mereka bahwa di bawah pemerintahan Sosialis, korupsi bisa disapu habis. Tidak akan ada penyuapan terhadap pejabat, tidak seorang pun pedu memberi pastor dua butir telur untuk membacakan surat dari Amerika, petugas pos desa tidak perlu diberi satu lira untuk memastikan pengiriman surat, pria-pria tidak perlu melelang tenaganya untuk bekerja di ladang-ladang para bangsawan. Tidak ada lagi upah yang minim, dan para pejabat pemerintah akan menjadi pelayan rakyat, sebagaimana di Amerika. Silvio Ferra mengutip pasal dan ayat untuk menunjukkan para pejabat Gereja Katolik mendukung sistem kapitalis yang tidak terhormat ini, namun ia tidak pernah menyerang Bunda Maria, orang-orang suci yang berguna, atau kepercayaan pada Yesus. Di pagi hari Paskah ia menyapa para tetangganya dengan sapaan tradisional, "Kristus sudah bangkit". Di hari Minggu ia menghadiri Misa. Istri dan anak-anaknya diawasi dengan gaya Sisilia yang ketat karena ia percaya pada semua nilai tradisional, pengabdian mutlak putra kepada ibunya, penghormatan kepada ayahnya, tanggung jawab bagi sepupunya yang paling jauh. Sewaktu cosce Mafia di San Giuseppe Jato memperingatkan bahwa dirinya sudah keterlaluan, ia tersenyum dan dengan rendah hati mengungkapkan di masa depan ia bersedia menerima persahabatan mereka, meskipun dalam hati ia tahu pertempuran terakhir dan terbesar adalah menghadapi Mafia. Sewaktu Don Croce mengirim kurir-kurir khusus untuk mengadakan perjanjian, ia menolak mereka. Seperti itulah reputasi keberaniannya dalam perang, penghormatan yang diberikan penduduk desa serta indikasi ia akan bersikap logis terhadap Friends of the Friends membuat Don Croce memutuskan bersikap sabar, terutama karena ia merasa yakin pemilihan akan dimenangkan. Tapi yang paling utama adalah Silvio Ferra bersimpati terhadap sesama manusia, kualitas yang jarang ada di kalangan petani Sisilia. Kalau ada tetangga yang jatuh sakit ia membawakan makanan untuk keluarganya, ia melakukan tugas- tugas rumah tangga bagi janda-janda tua sakit yang tinggal seorang diri, ia menghibur mereka yang bersusah payah menjalani kehidupan dan takut akan masa depan mereka. Ia memproklamirkan harapan baru di bawah partai Sosialis. Sewaktu menyampaikan pidato-pidato politik ia menggunakan retorika selatan yang begitu disukai orang-orang Sisilia. Ia tidak menjelaskan teori-teori ekonomi Marx tapi berbicara penuh semangat tentang balas dendam yang dirindukan para petani yang tertekan selama berabad-abad. "Sebagaimana roti manis bagi kita," katanya, "begitu pula darah orang miskin bagi orang kaya yang menenggaknya." Silvio Ferra yang mengorganisir kerja sama para buruh tani yang- menolak mengikuti lelang tenaga kerja di mana mereka yang bersedia dibayar paling rendah yang mendapatkan pekerjaan. Ia menetapkan bayaran per hari, dan kaum bangsawan terpaksa memenuhinya pada musim menuai, karena kalau tidak zaitun, anggur, dan biji-bijian mereka membusuk. Dan Silvio Ferra pun terancam bahaya. Yang menyelamatkan dirinya adalah kenyataan ia berada dalam perlindungan Turi Guiliano. Ini salah satu pertimbangan yang menyebabkan Don Croce menahan diri. Silvio Ferra dilahirkan di Montelepre. 390 Bahkan sewaktu muda kualitas dirinya sudah terlihat jelas. Turi Guiliano sangat mengaguminya, walaupun mereka tidak bersahabat dekat karena perbedaan usia — Guiliano empat tahun lebih muda—dan karena Silvio pergi berperang. Silvio kembali sebagai pahlawan dengan banyak bintang jasa. Ia bertemu gadis dari San Giuseppe Jato dan pindah ke sana untuk menikahinya. Dan seiring tumbuhnya ketenaran politik Ferra, Guiliano membiarkan orang-orang mengetahui pria ini temannya meskipun pandangan politik mereka berbeda. Oleh karena im saat Guiliano memulai program "mendidik" para pemilih di Sisilia, ia memberi perintah agar tidak ada yang mengambil tindakan terhadap desa San Giuseppe Jato atatf terhadap Silvio Ferra. Ferra mendengar kabar ini dan cukup cerdas untuk mengirim pe^an kepada Guiliano, mengucapkan terima kasih dan mengatakan ia bersedia melayani di bawah kepemimpinan Guiliano. Pesan im dikirim melalui orangtua Ferra yang masih tinggal di Montelepre bersama anak-anak mereka yang lain. Salah satunya gadis muda bernama Justina, baru berusia lima belas tahun, yang membawa surat im ke rumah Guiliano untuk diberikan kepada ibunya. Kebetulan saat itu Guiliano tengah berkunjung, sehingga bisa langsung menerima pesannya. Di usia lima belas sebagian besar gadis Sisilia telah dewasa, dan ia jatuh cinta kepada Turi Guiliano. Bagaimana tidak? Kekuatan fisik Guiliano, keanggunannya yang sigap begitu memesona Justina sehingga gadis itu menatap Guiliano hampir-hampir vulgar. Turi Guiliano dan orangtuanya serta La Venera tengah minum kopi dan menawari gadis itu. Justina menolak. Hanya La Venera yang menyadari betapa cantiknya gadis itu serta betapa ia terpesona kepada Guiliano. Guiliano tidak mengenalinya sebagai gadis kecil yang dulu ditemuinya menangis di jalan dan diberinya uang. Guiliano berkata kepadanya, "Sampaikan terima kasihku kepada kakakmu atas tawarannya dan katakan padanya untuk tidak mengkhawatirkan ibu dan ayahnya; mereka akan selalu berada dalam perundunganku." Justina bergegas meninggalkan rumah dan melesat kembali ke rumah orangtuanya. Sejak saat itu ia memimpikan Turi Guiliano sebagai kekasihnya. Dan ia merasa bangga akan perasaan sayang Guiliano kepada kakaknya. Maka sewaktu Guiliano setuju menyerang festival di Portella della Ginestra, ia mengirim peringatan bersahabat kepada Silvio Ferra agar ia tidak terlibat dalam pertemuan May Day itu. Ia menjamin Silvio tak satu pun penduduk San Giuseppe Jato akan terbaka tapi ada kemungkinan ia tidak bisa melindungi Silvio kalau berkeras melanjutkan kegiatan partai Sosialisnya. Bukan berarti Guiliano akan menyakitinya, tapi Friends of the Friends telah membulatkan tekad untuk menghancurkan partai Sosialis di Sisilia dan Ferra jelas menjadi salah satu sasaran mereka. Sewaktu Silvio Ferra menerima pesan tersebut ia menganggapnya sebagai satu lagi upaya menakut-nakuti dirinya, yang dipimpin oleh Don Croce. Itu bukan masalah. Partai Sosialis tengah menuju kemenangan, dan ia tidak akan melewatkan salah satu perayaan terbesar atas kemenangan yang mereka peroleh. Pada May Day tahun 1948 itu penduduk Piani dei Greci dan San Giuseppe Jato bangun lebih awal untuk memulai perjalanan panjang menyusuri jalan setapak pegunungan ke dataran tinggi di balik Portella della Ginestra. Mereka dipimpin sekelompok musisi dari Palermo yang disewa khusus untuk acara itu. Silvio Ferra, diapit istri dan kedua anaknya, berada di jajaran depan prosesi San Giuseppe Jato, dengan bangga membawa salah satu bendera merah besar. Kereta-kereta yang dicat memesona, dilengkapi kuda-kuda yang diselimuti kain merah khusus dan warna-warna meriah, dimuati panci- panci masak, kotak-kotak kayu besar berisi spaghetti, mangkuk-mangkuk kayu raksasa untuk salad. Ada kereta yang khusus mengangkut berguci-guci anggur. Kereta lain yang dilengkapi balok-balok es digunakan untuk mengangkut keju- keju bulat, sosis-sosis besar, dan adonan serta oven untuk memanggang roti. Anak-anak menari-nari dan menendang-nendang bola di sepanjang barisan. Para pria yang menunggang kuda menguji tunggangan mereka untuk lomba yang merupakan acara utama pertandingan sore harinya. Saat Silvio Ferra memimpin warga kotanya menuju celah pegunungan sempit yang bernama Portella della Ginestra, para penduduk Piani dei Greci bergabung dari jalan lain, membawa bendera merah dan panji-panji partai Sosialis mereka tinggi-tinggi. Kedua rombongan menyatu, saling menyapa riang sementara berjalan, bergosip tentang skandal-skandal terakhir di desa masing-masing, dan berspekulasi tentang hasil kemenangan dalam pemilihan, bahaya apa yang akan menghadang walaupun terdengar kabar tentang kemungkinan bahaya dalam perayaan May Day ini, me- 394 reka sama sekali tidak takut. Mereka membenci Roma, takut kepada Mafia, tapi tidak pasrah. Bagaimanapun mereka mengalahkan keduanya dalam pemilihan terakhir dan tidak terjadi apa-apa. Pada tengah hari lebih dari tiga ribu orang menyebar di dataran tinggi itu. Para wanita mulai menggunakan oven jinjing untuk merebus air dan memasak pasta, anak-anak menerbangkan layang-layang yang menari-nari bersama sejumlah elang merah Sisilia. Senator Komunis, Lo Causi, mempelajari catatan untuk pidato yang akan disampaikannya; sekelompok pria dipimpin Silvio Ferra mendirikan panggung kayu yang akan menjadi tempat bagi dirinya dan sejumlah warga terkemuka kedua kota. Para pria yang membantunya juga menyarankan agar tidak berlama-lama dalam memperkenalkan Senator—anak-anak mulai lapar. Pada saat itu terdengar letupan-letupan pelan di pegunungan. Beberapa anak pasti membawa petasan, pikir Silvio Ferra. Ia berpaling untuk melihatnya. Pada pagi yang sama tapi jauh lebih awal, bahkan sebelum matahari Sisilia terbit, dua pasukan yang masing-masing terdiri atas dua belas orang berjalan dari markas besar Guiliano di pegunungan di atas Montelepre, ke pegunungan tempat Portella della Ginestra berada. Satu pasukan dipimpin Passatempo dan yang lain dipimpin Terranova. Masing-masing pasukan membawa sepucuk senapan mesin berat. Passatempo memimpin anak buahnya jauh ke atas lereng Monte Cumeta dan hati-hati mengawasi peletakan senapan mesin. Empat orang ditugaskan merawat dan menembakkannya. Anak buahnya yang 395 tersisa menyebar di lerang dengan senapan dan lupara untuk melindungi keempat orang itu dari serangan apa pun. Terranova dan anak buahnya menempati lereng Monte Pizzuta di sisi lain Portella della Ginestra. Dari tempat ini, dataran tinggi yang gersang dan desa- desa di bawahnya berada dalam jangkauan laras-laras senapan mesin dan senapan-senapan anak buahnya. Strategi ini untuk mencegah kejutan dari carabinieri seandainya mereka berkeliaran keluar barak. Dari kedua lereng pegunungan anak buah Guiliano mengawasi para penduduk kota Piani dei Greci dan San Giuseppe Jato berjalan ke puncak yang sedatar meja. Beberapa anak buah Guiliano memiliki kerabat di prosesi itu, tapi mereka tidak gelisah. Karena perintah Guiliano sangat jelas. Senapan mesin hanya ditembakkan ke atas kepala orang-orang sampai mereka membubarkan diri dan kembali ke desa masing-masing. Tidak boleh ada yang dilukai. Guiliano semula merencanakan mengikuti ekspedisi ini dan memimpinnya langsung, tapi tujuh hari sebelum May Day, dada Aspanu Pisciotta yang lemah akhirnya mengalami perdarahan. Ia tengah berlari mendaki lereng pegunungan menuju markas besar kelompok sewaktu darah menyembur dari mulurnya dan ia jatuh ke tanah. Tubuhnya bergulmg-guling turun. Guiliano, mendaki di belakangnya, mengira kejadian itu hanya salah satu lelucon sepupunya. Ia menghentikan tubuh Pisciotta dengan kakinya dan lalu melihat bagian depan kemejanya berlumuran darah. Mula-mula ia mengira Aspanu terkena tembakan penembak jitu dan ia luput mendengar bunyi tembakannya. Ia memanggul Pisciotta dan membawanya mendaki bukit. Pisciotta masih sadar dan terus bergumam, "Turunkan aku, turunkan aku." Dan Guiliano mengerti tidak mungkin Pisciotta tertembak. Suaranya menunjukkan kerusakan dalam, bukan luka hebat akibat terkena peluru. Pisciotta ditempatkan di tandu dan Guiliano memimpin sepuluh anak buahnya menemui dokter di Monreale. Dokter itu sering dimanfaatkan kelompoknya untuk merawat luka tembakan dan bisa diandalkan dalam menyimpan rahasia. Tapi sang dokter melaporkan penyakit Pisciotta kepada Don Croce seperti halnya transaksi-transaksi lainnya dengan Guiliano. Karena ia berharap ditunjuk sebagai kepala rumah sakit Palermo dan ia tahu itu mustahil terwujud tanpa persetujuan Don Croce. Sang dokter membawa Pisciotta' ke rumah sakit Monreale untuk pemeriksaan lebih jauh dan meminta Guiliano tetap tinggal dan menunggu hasilnya. "Aku akan kembali besok pagi/' kata Guiliano kepada dokter itu. Ia menugaskan empat anak buahnya menjaga Pisciotta di rumah sakit dan bersama, anak buah lainnya kembali ke rumah salah satu anggota kelompoknya untuk bersembunyi. Keesokan harinya dokter memberitahunya bahwa Pisciotta membutuhkan obat streptomycin yang hanya bisa diperoleh di Amerika Serikat. Guiliano memikirkannya. Ia akan meminta ayahnya dan Stefan Andolini menulis surat kepada Don Corleone di Amerika dan meminta obat itu dikirimkan. Ia menyatakan rencananya kepada dokter itu dan menanyakan apakah Pisciotta bisa meninggalkan rumah sakit. Sang dokter mengiya- kan, tapi dengan syarat Pisciotta beristirahat di ranjang selama beberapa minggu. Jadi begitulah, Guiliano tengah berada di Monreale mengurus Pisciotta, mengatur rumah baginya untuk menyembuhkan diri, sewaktu serangan di Portella della Ginestra berlangsung.Ketika Silvio Ferra berpaling ke asal suara petasan, tiga hal- berturut-turut tercatat di otaknya. Pertama adalah pemandangan bocah kecil tertegun seraya mengacungkan lengannya. Di ujung lengannya, bukannya tangan yang memegang layang-layang, melainkan tunggul berlumuran darah yang menakutkan, layang-f layangnya melayang ke angkasa di atas lereng-lereng Monte Cumeta. Kedua adalah shock begitu menyadari petasan-petasan itu ternyata suara tembakan senapan mesin. Ketiga adalah kuda hitam menerjang liar menerobos kerumunan, tanpa penunggang, panggulnya menyemburkan darah. Lalu Silvio Ferra berlari menerobos kerumunan, mencari- cari istri dan anak-anaknya. Di lereng Monte Pizzuta, Terranova mengamati kejadian itu dari balik teropongnya. Mula-mula ia mengira orang-orang berjatuhan ke tanah karena ketakutan, kemudian ia melihat tubuh-tubuh tidak bergerak, terkapar dalam posisi aneh dan ia memukul penembak senapan mesinnya agar menjauhi senjatanya. Tapi begitu senapan mesin membisu, ia masih bisa mendengar rentetan tembakan dari Monte Cumeta. Terranova mengira Passatempo belum menyadari bahwa tembakan diarahkan terlalu rendah dan orang-orang terluka. Be- 398 berapa menit kemudian senapan lain juga berhenti dan kesunyian mengerikan mengisi Portella della Ginestra. Lalu lolongan mereka yang masih hidup mengambang ke puncak-puncak kembar pegunungan, jeritan-jeritan mereka yang terluka dan sekarat. Terranova memberikan isyarat kepada anak .buahnya agar berkumpul, memerintahkan mereka membongkar senapan mesinnya, lalu memimpin mereka lari ke seberang pegunungan. Sambil melarikan diri ia berpikir apakah sebaiknya ia kembali ke Guiliano untuk melaporkan tragedi ini. Ia takut Guiliano mengeksekusi dirinya dan anak buahnya seketika. Tapi ia juga yakin Guiliano akan memberinya kesempatan menyampaikan pembelaan, dan ia dan anak buahnya bisa bersumpah bahwa mereka telah menaikkan arah tembakan. Ia akan kembali ke markas besar dan melapor. Ia penasaran apakah Passatempo juga berbuat begitu. Pada saat Silvio Ferra menemukan istri dan anaknya, tembakan senapan mesin telah berhenti. Keluarganya tidak terluka dan hendak bangkit dari tanah. Ia memaksa mereka kembali berbaring dan,tidak bergerak selama lima belas menit lagi. Ia melihat pria berkuda melesat ke arah Piani dei Greci untuk meminta bantuan dari barak carabinieri dan ketika pria itu tidak ditembak jatuh dari kudanya, Silvio tahu serangan telah berakhir. Ia beranjak bangkit. Dari dataran yang menjadi puncak Portella della Ginestra, ribuan orang turun kembali ke desa-desa mereka di kaki pegunungan. Dan mereka yang tewas atau sekarat terkapar di tanah, keluarga mereka ber-" jongkok di sekitar mereka sambil menangis. Bendera meriah yang tadi pagi mereka kibarkan sekarang tergeletak dalam debu, kecemerlangan warna emas gelap, hijau mencolok, dan merahnya tampak mengejutkan tertimpa matahari tengah hari. Silvio Ferra meninggalkan keluarganya untuk membantu mereka yang terluka. Ia menghentikan beberapa pria yang lari dan memaksa mereka menjadi pembawa tandu. Dengan ngeri ia melihat beberapa di antara korban adalah anak-anak dan wanita. Ia merasakan air mata merebak di matanya. Semua gurunya keliru, mereka yang percaya akan tindakan politik. Para pemilih tidak akan pernah mengubah Sisilia. Semuanya hanyalah kebodohan. Mereka harus membunuh untuk mendapatkan haknya. Hector Adonis yang menyampaikan kabar itu kepada Guiliano di samping ranjang Pisciotta. Guiliano seketika menuju markas besarnya di pegunungan, meninggalkan Pisciotta memulihkan diri tanpa perlindungan pribadinya. Di tebing-tebing di atas Montelepre, ia memanggil Passatempo dan Terranova. Kuperingatkan kalian sebelum kalian berbicara," tukas Guiliano. "Siapa pun yang bertanggung jawab akan ditemukan tidak peduli berapa lama waktu yang diperlukan. Dan semakin lama waktunya, semakin berat hukumannya. Kalau kejadian ini kesalahan tidak disengaja, akuilah sekarang dan aku berjanji kalian tidak akan menderita dalam kematian." Passatempo dan Terranova tidak pernah melihat kemurkaan sehebat itu pada Guiliano; Mereka berdiri kaku, tidak berani bergerak sementara Guiliano menginterogasi. Mereka bersumpah senjata-senjata dinaikkan untuk menembak di atas kepala orang-orang, dan sewaktu mereka menyadari orang-orang tertembak, mereka menghentikan tembakan. Guiliano kemudian menanyai anggota pasukan dan orang-orang yang menangani senapan mesin. Ia membayangkan apa yang terjadi. Senapan mesin Terranova menembak selama sekitar lima menit sebelum dihentikan. Senapan Passatempo sekitar sepuluh menit. Para penembak bersumpah mereka menembak di atas kepak orang-orang. Tidak satu pun dari mereka mengakui mungkin melakukan kesalahan atau mengubah arah senapan. Sesudah membubarkan mereka, Guiliano duduk seorang diri. Untuk pertama kalinya sejak menjadi bandit, ia merasakan malu yang tidak tertahankan. Selama lebih dari empat tahun sebagai pelanggar hukum ia bisa menyombongkan diri tidak pernah menyakiti orang miskin. Sekarang hal itu tidak benar. Ia telah membantai mereka. Jauh di lubuk hatinya ia tidak lagi bisa menganggap dirinya pahlawan. Lalu ia mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Kejadian itu mungkin kesalahan: Anak buahnya pandai menggunakan lupara tapi senapan mesin berat itu terlalu asing bagi mereka. Menembak ke bawah, ada kemungkinan mereka keliru memperhitungkan sudutnya. Ia tidak percaya Terranova atau Passatempo membohonginya, tapi selalu ada kemungkinan salah satu atau keduanya telah - disuap untuk melakukan pembantaian tersebut. Selain itu, terlintas dalam benaknya begitu mendengar kejadian itu, mungkin ada kelompok penyergap ketiga. Tapi jelas, kalau kejadian itu disengaja, lebih banyak lagi yang tertembak. Tentu pembantaiannya akan jauh lebih mengerikan. Kecuali, pikir Guiliano, tujuan pembantaian itu untuk mencoreng nama Guiliano. Dan gagasan siapakah penyerangan di Portella della Ginestra itu? Unsur kebetulannya terlalu berlebihan untuk bisa diterima. Kebenaran yang tidak terelakkan dan memalukan adalah dirinya dikalahkan oleh Don Croce. PEMBANTAIAN di Portella della Ginestra mengejutkan seluruh Italia. Koran- koran menjeritkan judul-judul mencolok mengenai pembantaian pria, wanita, dan anak-anak yang tidak bersalah. Lima belas orang tewas dan lebih dari lima puluh terluka. Mula-mula muncul spekulasi Mafia yang melakukannya, dan Silvio Ferra menyampaikan pidato yang membebankan tanggung jawab kejadian itu ke atas bahu Don Croce. Tapi Don telah siap menghadapi hal ini. Para anggota rahasia Friends of the Friends bersumpah di hadapan para hakim bahwa mereka melihat Passatempo dan Terranova menyiapkan penyerangan. Orang- orang Sisilia penasaran kenapa Guiliano tidak mengingkari tuduhan itu melalui salah satu suratnya yang terkenal ke surat-surat kabar. Ia membisu di luar kebiasaan. Dua minggu sebelum pemilihan nasional, Silvio Ferra mengendarai sepedanya dari San Giuseppe Jato menuju kota Piani dei Greci. Ia mengayuh sepedanya di sepanjang tepi sungai Jato dan menyusuri kaki pegunungan. S jalan ia berpapasan dengan dua pria yang berteriak menyuruhnya berhenti, tapi ia terus mengayuh cepat. B berpaling ia melihat kedua orang itu mengikutinya dengan sabar tapi tak lama kemudian ia telah jauh meninggalkan mereka. Saat ia tiba di desa Piani dei Greci, mereka tidak lagi tampak. Ferra menghabiskan waktu tiga jam di gedung pertemuan Sosialis bersama para pemimpin partai dari kawasan di sekitarnya. Sewaktu pertemuan usai senja telah turun, dan ia sangat ingin tiba di rumah sebelum gelap. Ia menuntun sepedanya melewati alun-alun, menyapa riang beberapa penduduk desa yang dikenalnya. Tiba-tiba empat orang mengepungnya. Silvio Ferra mengenali salah satu di antaranya sebagai kepala Mafia Montelepre, dan ia merasa lega. Ia mengenal Quintana sejak kecil, dan Ferra juga tahu Mafia sangat berhati-hati di kawasan ini, agar tidak menjengkelkan Guiliano atau melanggar peraturannya mengenai "menghina orang miskin". Maka ia menyapa Quintana sambil tersenyum dan berkata, "Kau jauh dari rumah." Quintana berkata, "Halo, sobat. Kami akan menemanimu sebentar. Jangan ribut dan kau tidak akan terluka. Kami hanya ingin berbicara denganmu." "Berbicaralah denganku di sini," kata Silvio Ferra. Ia merasakan getar ketakutan yang pertama, ketakutan yang sama seperti yang dirasakannya di medan perang, ketakutan yang ia tahu bisa- dikuasainya. Jadi sekarang ia menahan diri tidak bertindak bodoh. Dua di antara mereka menempatkan diri di sampingnya dan mencengkeram lengannya. Mereka mendorongnya pelan menyeberangi alun- alun. Sepedanya bergulir bebas, lalu jatuh. Ferra melihat para penduduk desa yang duduk di luar rumah mulai menyadari apa yang terjadi. Jelas mereka akan membantunya. Tapi pembantaian di Portella della Ginestra, kengerian yang mencekam semua orang, telah mematahkan semangat mereka. Tidak satu pun memprotes. Silvio Ferra menjejakkan tumitnya ke tanah dan mencoba berbalik ke gedung pertemuan. Bahkan dari jarak sejauh ini ia bisa melihat beberapa rekan kerjanya di ambang pintu. Tidakkah mereka melihat dirinya menghadapi masalah? Tapi tak seorang pun beranjak dari tempatnya. Ia berteriak, "Tolong." Tak ada yang bergerak dan Silvio Ferra merasa malu luar biasa atas sikap mereka. Quintana mendorongnya kasar. "Jangan bodoh," tegasnya. "Kami hanya ingin bicara. Sekarang ikut kami tanpa memicu keributan. Jangan sampai teman- temanmu terluka." Saat itu hampir gelap, bulan telah terbit. Ia merasakan sepucuk senapan disodokkan ke punggungnya dan tahu mereka akan membunuhnya di alun-alun kalau mereka berniat melakukannya. Lalu mereka akan membunuh siapa pun yang berniat membantu. Ia berjalan bersama Quintana ke ujung desa. Ada kemungkinan mereka tidak berniat membunuhnya; ada terlalu banyak saksi dan beberapa di antaranya jelas mengenali Quintana. Kalau ia melawan sekarang mereka mungkin panik dan menembakkan senapan. Lebih baik menunggu dan mendengarkan. Quintana berbicara datar kepadanya. "Kami ingin membujukmu agar menghentikan semua kebodohan Komunis-mu. Kami sudah memaafkan seranganmu terhadap Friends of the Friends sewaktu kau menuduh mereka mendalangi penyerangan Ginestra. Tapi kesabaran kami tidak terbalas dan mulai menipis. Menurutmu itu bijaksana? Kalau kauteruskan, kau memaksa kami membuat anak-anakmu tidak memiliki ayah." Pada saat itu mereka telah meninggalkan desa dan mulai mendaki jalan setapak berbatu-batu yang akhirnya menuju Monte Cumeta. Silvio Ferra berpaling putus asa tapi tidak melihat seorang pun mengikuti. Ia berkata kepada Quintana, "Kau mau membunuh kepala keluarga demi masalah sepele seperti politik?" Quintana tertawa kasar, "Aku pernah membunuh orang hanya karena meludahi sepatuku, ejeknya. Orang-orang yang memegang lengan Silvio Ferra menjauhkan diri dan saat itu Silvio Ferra menyadari nasibnya. Ia berpaling dan berlari menuruni jalan setapak yang diterangi cahaya bulan. Penduduk desa mendengar suara tembakan dan salah seorang pemimpin partai Sosialis menghubungi carabinieri. Keesokan paginya mayat Silvio Ferra ditemukan dibuang di salah satu jurang di pegunungan. Sewaktu polisi menanyai penduduk desa, tak seorang pun mengaku menyaksikan apa yang terjadi. Tak seorang pun menyinggung tentang keempat pria itu, tak seorang pun mengaku mengenali Guido Quintana. Meskipun mereka pemberontak, mereka orang Sisilia dan tidak akan melanggar hukum omerta. Tapi beberapa orang menceritakan apa yang mereka saksikan kepada kelompok Guiliano. Gabungan banyak hal menyebabkan Demokrat Kristen memenangkan pemilihan. Don Croce dan Friends of the Friends melaksanakan tugas dengan baik. Pembantaian di Portella della Ginestra mengejutkan seluruh Italia, tapi kejadian itu lebih dari mengejutkan bagi orang Sisilia—peristiwa itu menyebabkan mereka trauma. Gereja Katolik, penyelenggara pemilihan di bawah nama Kristus, bersikap lebih hati-hati dalam memberikan sumbangan. Pembunuhan terhadap Silvio Ferra merupakan pukulan terakhir. Partai Demokrat Kristen meraih kemenangan luar biasa di Sisilia pada tahun 1948, dan itu membantu kemenangan di seluruh Italia. Jelas mereka akan memimpin dalam waktu lama. Don Croce penguasa Sisilia, Gereja Katolik akan menjadi agama nasional, dan kemungkinan besar Menteri Trezza, tidak dalam waktu dekat tapi juga tidak terlalu lama, akan menjadi Perdana Menteri Italia. Pada akhirnya Pisciotta terbukti benar. Don Croce mengirim kabar melalui Hector Adonis bahwa partai Demokrat Kristen tidak bisa memberikan pengampunan kepada Guiliano dan anak buahnya karena pembantaian di Portella della Ginestra. Pengampunan akan menimbulkan skandal luar biasa; tuduhan bahwa pengampunan itu dipicu kepentingan politik akan kembali mencuat ke permukaan. Pers akan heboh dan akan terjadi demonstrasi besar- besaran di seluruh Italia. Don Croce mengatakan bahwa sudah sewajarnya tangan Menteri Trezza terikat, bahwa Kardinal Palermo tidak lagi bisa membantu orang yang dianggap telah membantai wanita dan anak-anak tidak bersalah; tapi dirinya, Don Croce, akan terus berupaya mendapatkan pengampunan itu. Namun ia menyarankan lebih baik Guiliano pindah ke Brasilia atau Amerika Serikat, dan dalam hal itu dirinya, Don Croce, akan membantu dengan segala cara. Anak buah Guiliano tertegun melihat Guiliano tidak menunjukkan emosi apa pun terhadap pengkhianatan itu, ia seolah menerimanya sebagai kewajaran. Ia mengajak anak buahnya semakin jauh ke pegunungan dan memberitahu para pemimpinnya agar mendirikan per-kemahan di dekat kemahnya sendiri supaya ia bisa mengumpulkan mereka dalam waktu singkat. Seiring berlalunya hari, ia tampak semakin tenggelam dalam dunianya. Berminggu-minggu berlalu sementara para pemimpin kelompoknya menunggu perintahnya dengan tidak sabar. Suatu pagi ia berkeliaran jauh ke dalam pegunungan seorang diri. tanpa pengawalan. Ia kembali dalam kegelapan dan berdiri di dekat api unggun. "Aspanu," katanya, "panggil semua pemimpin." Pangeran Ollorto memiliki lahan seluas ratusan ribu hektar, tempat ia menumbuhkan segala sesuatu yang menjadikan Sisilia kantong makanan Italia selama seribu tahun—jeruk dan lemon, biji-bijian, bambu, pohon zaitun yang menyediakan minyak, anggur untuk minuman, lautan tomat, paprika hijau, terong yang paling ungu dan sebesar kepala bagal. Sebagian lahan ini disewakan kepada para petani dengan sistem bagi hasil sama rata. Tapi Pangeran Ollorto, seperti semua tuan tanah, meraih keuntungan terlebih dulu—mesin yang digunakan, bibit dan transportasi, semua disewakan dengan bunga. Para petani cukup beruntung kalau bisa menyimpan 25 persen dari apa yang telah susah payah mereka tanam. Kendati demikian nasib mereka masih jauh lebih baik daripada orang-orang yang menyewakan tenaganya dengan sistem harian dari menyewakan Tanah di Sisilia subur, tapi sayangnya para bangsawan membiarkan sebagian besar lahannya tidak terurus dan tersia-sia. Pada tahun 1860 Garibaldi yang agung berjanji para petani akan merniliki lahannya sendiri. Namun sekarang pun Pangeran Ollorto masih memiliki seratus ribu hektar lahan yang tidak terurus. Begitu pula para bangsawan lainnya yang memanfaatkan lahan mereka sebagai cadangan uang tunai, menjual sepetak demi sepetak demi kesenangan. Dalam pemilihan yang terakhir semua partai, termasuk partai Demokrat Kristen, berjanji memperkuat dan menegakkan hukum pembagian tanah. Hukum ini menyatakan tanah yang tidak terurus dari lahan-lahan besar bisa diklaim para petani dengan pembayaran minimal. Tapi hukum ini sejak dulu dipatahkan oleh para bangsawan yang menyewa para pemimpin Mafia untuk mengmtimidasi orang-orang yang berniat mengklaim lahannya. Pada hari ketika petani bisa mengklaim lahan, pemimpin Mafia hanya perlu menunggang kuda-nya menyusuri batas lahan dan tak satu petani pun berani mengajukan klaim. Beberapa orang yang memutuskan meneruskan niatnya akan dibunuh, begitu pula para pria anggota keluarganya. Tindakan ini berlangsung selama seabad, dan setiap orang Sisilia memahami peraturan itu. Kalau ada lahan yang dilindungi pemimpin Mafia, tidak ada tanah yang bisa diklaim dari sana. Roma bisa menerbitkan ratusan undang-undang, semua itu tidak berarti sama sekali. Sebagaimana pernah dikatakan Don Croce kepada Menteri Trezza pada saat, senggang, "Apa hubungan undang-undangmu dengan kami?" Tidak, lama seusai pemilihan, tiba harinya lahan Pangeran Ollorto yang tidak terurus bisa diklaim para petani. Seluruh lahan seluas seratus ribu hektar itu telah dipatok oleh pemerintah. Para pemimpin partai sayap kiri mendesak orang-orang mengajukan klaim. Saat harinya tiba hampir lima ribu petani berkumpul di luar gerbang istana Pangeran Ollorto. Para pejabat pemerintah menunggu dalam tenda besar di lahan itu, yang dilengkapi meja-meja dan kursi- kursi, serta para pegawai negeri mencatat secara resmi setiap klaim. Beberapa petani berasal dari kota Montelepre. Pangeran Ollorto, mengikuti saran Don Croce, menyewa enam pemimpin Mafia sebagai gabelloti. Maka pada pagi yang cerah itu, matahari Sisilia memanggang mereka hingga berkeringat, keenam pemimpin Mafia itu menunggang kuda mereka mondar-mandir menyusuri dinding yang mengelilingi lahan Pangeran Ollorto. Para petani yang berkumpul, di bawah pepohonan zaitun yang lebih tua daripada Kristus, mengawasi keenam orang itu, yang terkenal kebuasannya di seluruh Sisilia. Mereka menunggu seakan-akan berharap ada keajaiban, terlalu takut bergerak maju. Tapi keajaiban itu bukan dalam bentuk kekuatan hukum. Menteri Trezza telah mengirim perintah langsung kepada Maresciallo yang mengomandani mereka agar tidak mengeluarkan carabinieri dari baraknya. Pada hari itu, tak satu pun anggota Kepolisian Nasional berseragam terlihat di seluruh provinsi Palermo. Kerumunan di luar dinding lahan Pangeran Ollorto menunggu. Keenam pemimpin Mafia terus menunggangi kuda sekonsisten metronom, wajah mereka datar, senapan mereka tersarung di pelana, lupare tersandang di bahu, pistol dijejalkan di sabuk di balik jaket. Mereka tidak menunjukkan sikap mengancam ke arah kerumunan—malah mereka tak mengacuhkan para petani; mereka hanya menunggang kuda dalam kebisuan. Para petani, seakan berharap kuda-kuda itu kelelahan atau membawa para naga-penjaga ini pergi, membuka kantong- kantong makanan dan botol-botol anggur mereka. Sebagian besar di antara mereka pria, hanya beberapa wanita. Dan di antara para wanita ini terdapat Justina bersama ibu dan ayahnya. Mereka datang untuk menunjukkan kemarahan atas pembunuhan terhadap Silvio Ferra. Namun tak satu pun dari mereka berani melintasi barisan kuda yang melangkah pelan itu, tidak ada yang berani mengklaim tanah yang merupakan milik mereka berdasarkan undang-undang. Bukan hanya rasa takut yang menahan mereka; para penunggang kuda ini adalah "orang-orang terhormat" pembuat undang-undang yang sebenarnya di kota tempat tinggal mereka. Friends of the Friends mendirikan pemerintah bayangan yang berfungsi lebih efektif daripada pemerintah di Roma. Adakah pencuri atau perampok yang mencuri ternak dan domba petani? Kalau korban melaporkan kejahatan itu kepada carabinieri, ia tidak akan pernah mendapatkan miliknya kembali. Tapi kalau ia menemui para pemimpin Mafia ini dan membayar komisi dua puluh persen, fernak yang hilang akan ditemukan dan ia mendapat jaminan kejadian itu tidak akan terulang. Kalau berandalan pemarah membunuh pekerja yang tidak - bersalah karena segelas anggur, pemerintah jarang bisa memvonis pelaku karena kesaksian yang tidak jelas dan hukum omerta. Tapi kalau keluarga korban menemui salah satu dari keenam pria terhormat ini, pembalasan dan keadilan bisa diperoleh. Pencuri-pencuri kelas teri di lingkungan miskin akan dieksekusi, perseteruan diselesaikan secara terhormat, pertengkaran atas batas lahan diselesaikan tanpa biaya pengacara. Keenam orang ini merupakan hakim yang pendapatnya tidak bisa ditentang atau diabaikan, hukuman bagi mereka yang menentang sangat berat dan tidak bisa dihindari kecuali dengan emigrasi. Keenam orang ini memiliki kekuasaan di Sisilia yang tidak bisa diterapkan bahkan, oleh Perdana Menteri Italia. Jadi orang-orang tetap menunggu di luar dinding-dinding lahan Pangeran Ollorto. Keenam pemimpin Mafia tidak berkuda dalam jarak dekat, itu akan dianggap tanda kelemahan. Mereka terpisah, seperti raja-raja yang independen, masing- masing membawa kengerian tersendiri. Yang paling ditakuti, menunggang kuda kelabu berbintik-bintik, adalah Don Siano dari kota Bisacquino. Ia berusia lebih dari enam puluh tahun dan wajahnya sama pucat dan ber-bintik-bintik seperti pantat kudanya. Ia telah menjadi legenda di usia 26 tahun sewaktu membunuh pemimpin Mafia pendahulunya. Pria itu membunuh ayah Don Siano sewaktu Don sendiri masih berusia dua belas tahun dan Siano harus menunggu empat belas tahun untuk bisa membalas dendam. Lalu suatu hari ia melompat dari pohon menerkam korban yang tengah menunggang kuda dan, sambil mencengkeram pria itu dari belakang, memaksanya berkuda melewati jalan utama di kota. Sementara mereka berkuda di depan orang-orang,.Siano mencincang korbannya, memotong hidungnya, bibirnya, telinganya, dan kemaluannya. Lalu, sambil memeluk mayat yang berlumuran darah, Siano mengarahkan kudanya melewati rumah korbannya. Setelah itu ia memimpin provinsinya dengan tangan besi berlumuran darah. Pemimpin Mafia kedua, mengendarai kuda hitam bebercak merah di atas telinganya, adalah Don Arzana dari kota Piani dei Greci. Ia pria yang tenang, hari-hari, yang percaya selalu ada dua pihak dalam perselisihan dan menolak membunuh Silvio Ferra demi tujuan politik. Ia bahkan berhasil mempertahankan keselamatan Silvio selama bertahun-tahun. Ia tertekan oleh pembunuhan itu tapi tidak berdaya mencampurinya, karena Don Croce dan para pemimpin Mafia lainnya berkeras telah tiba waktunya memberi pelajaran bagi kawasan tersebut. Kepemimpinannya diwarnai pengampunan dan kebajikan, dan ia yang paling dicintai dari keenam tiran itu. Tapi sekarang sementara ia menunggang kudanya di depan kerumunan, wajahnya tegas, seluruh keraguan dalam dirinya terhapus. Pria ketiga adalah Don Piddu dari Caltanissetta dan pelananya dipenuhi bunga. Ia terkenal sangat suka pujian dan penuh perhatian terhadap penampilannya, iri terhadap kekuasaan dan senang menghancurkan aspirasi pemuda. Di festival desa, seorang petani muda menyebabkan para wanita setempat terpesona karena mengenakan genta pada tumitnya sewaktu menari, memakai kemeja dan celana panjang sutra hijau yang dijahit di Palermo, dan menyanyi sambil memainkan gitar yang dibuat di Madrid. Don Piddu merasa kesal pada kekaguman yang diperoleh si petani muda, murka karena para wanita mengagumi pemuda banci dan bukan pria sejati seperti dirinya. Pemuda itu tak bisa menari lagi keesokan harinya, ia ditemukan di jalan menuju tanah pertaniannya, tubuhnya tercincang peluru. Pemimpin Mafia keempat adalah Don Marcuzzi dari kota Villamura, yang dikenal bersahaja dan memiliki kapel sendiri di rumah sebagaimana para bangsawan kuno. Don Marcuzzi, terlepas dari pemilikan kapel itu, hidup sangat sederhana, dan secara pribadi miskin karena menolak mendapat keuntungan dari kekuasaannya. Tapi ia sangat menikmati kekuasaan itu; ia tidak kenal lelah dalam usahanya membantu sesama orang Sisilia tapi juga penganut sejati cara- cara lama Friends of the Friends. Ia menjadi legenda sewaktu mengeksekusi keponakan kesayangannya karena melakukan infamita, dengan memberikan informasi kepada polisi yang merugikan pesaing dari fraksi Mafia lain. Orang kelima yang menunggang kuda adalah Don Buccilla dari Partinico, yang datang menemui Hector Adonis atas nama keponakannya bertahun-tahun lalu, pada hari menentukan ketika Turi Guiliano menjadi pelanggar hukum. Sekarang, lima tahun kemudian, beratnya bertambah dua puluh kilo. Ia masih mengenakan pakaian petani gaya operanya walaupun ia menjadi sangat kaya selama lima tahun itu. Kebuasannya tidak berlebihan, tapi ia tidak bisa mengesampingkan ketidakjujuran dan mengeksekusi pencuri dengan keadilan yang sama seperti Hakim Agung Inggris abad kedelapan belas menyatakan hukuman mati atas para pencopet cilik. Orang keenam adalah Guido Quintana, yang, meskipun berasal dari Montelepre, meraih reputasi dengan mengambil alih kawasan maut di kota Corleone. Ia terpaksa melakukannya karena Montelepre berada di bawah perlindungan langsung Guiliano. Tapi di Corleone, Guido Quintana mendapatkan pelampiasan nafsu membunuhnya. Ia menyelesaikan empat perselisihan keluarga dengan menyingkirkan para penentang keputusannya. Ia membunuh Silvio Ferra dan para penggerak organisasi lainnya. Ia mungkin satu-satunya pemimpin Mafia yang lebih dibenci daripada dihormati. Keenam orang inilah yang, melalui reputasi dan penghormatan serta sejumlah besar ketakutan yang bisa mereka bangkitkan, menghalangi lahan Pangeran Ollorto dari tangan para petani miskin Sisilia. Dua jip penuh orang bersenjata melesat menyusuri jalan Montelepre-Palermo dan berbelok ke jalan setapak yang menuju dinding lahan. Hanya dua di antaranya yang tidak mengenakan topeng wol yang hanya menyisakan celah untuk mata. Kedua orang yang tidak bertopeng itu adalah Turi Guiliano dan Aspanu Pisciotta. Mereka yang mengenakan topeng termasuk Kopral Canio Silvestro, Passatempo, dan Terranova. Andolini, juga bertopeng, menghalangi jalan dari Palermo. Saat jip-jip itu berhenti sekitar, lima belas meter dari para pemimpin-Mafia berkuda, orang-orang lain bermunculan menerobos kerumunan petani. Mereka juga bertopeng. Mereka semula berpiknik di bawah pepohonan zaitun. Sewaktu kedua jip muncul mereka membuka keranjang makanan dan mengambil senjata serta topeng mereka. Mereka menyebar membentuk setengah lingkaran panjang dan mengepung para pe-nunggang kuda dengan senjata mereka. Seluruhnya ada lima puluh orang. Turi Guiliano melompat turun dari jip dan memeriksa apakah semua orang telah menempati posisi masing-masing. Ia mengawasi keenam penunggang kuda yang mondar-mandir itu. Ia tahu mereka telah melihatnya, begitu pula kerumunan petani. Matahari Sisilia yang panas bagai memerahkan pemandangan alam yang hijau. Guiliano bertanya-tanya bagaimana ribuan petani tangguh ini bisa dintimidasi sehingga membiarkan enam orang menghalangi roti dari mulut anak-anak mereka. Aspanu Pisciotta menunggu bagai ular yang tidak sabar di samping Guiliano. Hanya Aspanu yang menolak mengenakan topeng; semua orang lainnya takut akan pembalasan dendam keluarga keenam pemimpin Mafia dan Friends of the Friends. Sekarang Guiliano dan Pisciotta yang akan menanggung risiko vendetta. Mereka berdua mengenakan gesper emas berukir singa dan elang. Guiliano hanya menyandang sepucuk pistol besar di sarung yang menjuntai dari sabuknya. Ia juga mengenakan cincin zamrud yang dirampasnya dari Duchess bertahun-tahun lalu. Pisciotta menyandang senapan mesin. Wajahnya pucat akibat penyakit paru-paru dan semangatnya; ia merasa tidak sabar karena Guiliano berlambat-lambat. Tapi Guiliano hati-hati mengawasi sekitarnya untuk memastikan perintahnya telah dilaksanakan. Anak buahnya membentuk setengah lingkaran sehingga menyisakan jalan melarikan diri bagi para pemimpin Mafia itu seandainya mereka memutuskan lari. Kalau mereka lari, mereka akan kehilangan "kehormatan" dan sebagian besar pengaruh mereka; , para petani tidak lagi takut terhadap mereka. Tapi Guiliano melihat Don Siano membelokkan kuda kelabu berbintik-bintiknya dan yang lain mengikuti untuk berparade sekali lagi di depan dinding. Mereka tidak akan lari. Dari salah satu menara istana tuanya, Pangeran Ollorto menyaksikan pemandangan itu melalui teleskop yang digunakannya untuk memetakan bintang. Ia bisa melihat wajah Turi Guiliano dengan jelas dan mendetail— matanya yang oval, wajahnya yang bersih, mulut lebarnya yang sekarang terkatup rapat; dan ia tahu kekuatan yang terpancar di wajah pemuda itu adalah kekuatan kebaikan, namun sayangnya kebaikan bukanlah aset yang bagus. Karena kebaikan semata sangat menakutkan, dan Pangeran tahu kebaikan semacam itulah yang disaksikannya sekarang. Perannya ini membuatnya malu. Ia mengenal baik sesama orang Sisilia ini, dan sekarang ia bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi Keenam manusia hebat yang diikatnya dengan uang itu akan bertempur demi dirinya, mereka tidak akan lari. Mereka mengintimidasi kerumunan yang berdiri di depan dinding "kerajaannya". Tapi sekarang Guiliano berdiri di hadapan mereka bagai malaikat pembalas. Bagi Pangeran, matahari telah memudar. Guiliano menghampiri lintasan yang dilalui keenam penunggang kuda. Mereka orang-orang bertubuh besar dan mereka mempertahankan tunggangannya agar melangkah pelan-pelan. Sesekali mereka memberi makan kuda-kuda dengan gandum yang menumpuk di dinding batu putih bergerigi. Dengan begitu kuda- kuda akan terus membuang kotoran dan meninggalkan jejak rabuk yang menghina; lalu mereka akan kembali berjalan pelan-pelan. Turi Guiliano menempatkan diri sangat dekat dengan lintasan, Pisciotta selangkah di belakangnya. Keenam penunggang kuda tidak berhenti atau memandang ke arahnya. Wajah-wajah mereka sulit ditebak., Meski mereka semua menyandang lupara di bahu, mereka tidak mencoba meraihnya. Guiliano menunggu. Mereka berenam melewatinya tiga kali lagi. Guiliano mundur selangkah. Ia berkata pelan kepada Pisciotta, "Turunkan mereka dari kuda dan bawa mereka ke hadapanku." Lalu ia menyeberangi lintasan dan menyandar ke dinding batu putih. Sambil bersandar ke dinding ia tahu curinya telah melewati garis yang penting, apa yang dilakukannya hari ini akan menentukan nasibnya. Tapi ia tidak ragu, tidak gelisah, hanya merasakan kemarahan dingin terhadap dunia. Ia tahu di belakang keenam orang ini berdiri sosok raksasa Don Croce, dan Don Croce-lah musuh terakhirnya. Dan ia merasa marah terhadap kumpulan orang yang dibantunya ini. Kenapa mereka begitu patuh, begitu penakut? Kalau saja ia bisa mempersenjatai dan memimpin mereka, ia bisa menciptakan Sisilia baru. Tapi lalu ia merasakan gelombang iba terhadap orang-orang miskin ini, para petani yang hampir kelaparan, dan ia mengangkat tangan 'memberi hormat untuk mendorong semangat mereka. Kerumunan orang itu tetap membisu. Sejenak ia teringat akan Silvio Ferra, yang mungkin bisa membangkitkan semangat mereka. Sekarang Pisciotta menguasai panggung Ia mengenakan sweter wol berwarna krem berhias tenunan naga- naga berwarna gelap merajalela. Kepalanya yang ramping hitam, sesempit mata pisau, dikelilingi cahaya merah-darah matahari Sisilia. Ia memalingkan kepala yang bagai bilah pisau itu ke arah enam tugu penunggang kuda dan mengawasi mereka cukup lama dengan tatapan ular berbisa. Kuda Don Siano membuang kotoran di depan kakinya saat keenam orang itu lewat. Pisciotta mundur selangkah. Ia mengangguk ke arah Terranova, Passatempo, dan Silvestro, yang berlari menuju lima puluh orang bertopeng yang membentuk lingkaran pengepung. Orang-orang bertopeng menyebar lebih jauh untuk menutup jalan melarikan diri yang tadi dibiarkan terbuka. Para pemimpin Mafia terus berkuda dengan angkuh seakan tidak terjadi apa-apa, meski tentu saja mereka mengamati dan memahami segalanya. Tapi mereka telah memenangkan ronde pertama pertempuran. Sekarang keputusan berada di tangan Guiliano, apakah ia hendak mengambil langkah terakhir yang paling berbahaya atau tidak. Pisciotta melangkah ke lintasan kuda Don Siano dan mengangkat tangannya ke wajah kelabu yang ketakutan itu. Tapi Don Siano tidak berhenti. Sewaktu kudanya berusaha berbelok penunggangnya menarik tali kekangnya erat-erat, dan mereka pasti akan menginjak-injak Pisciotta kalau pemuda itu tidak menyingkir dan, sambil menyeringai buas, membungkuk kepada Don Siano yang melewatinya. Lalu Pisciotta melangkah tepat ke belakang kuda dan penunggangnya, membidikkan senapan mesinnya ke pantat kelabu kuda dan menarik picunya. Udara yang semerbak wangi bunga dipenuhi bau isi perut, semburan deras darah dan ribuan serpih kotoran. Hujan peluru menyapu kaki-kaki kuda dan hewan itu pun jatuh terempas, Don Siano terperangkap tubuh yang jatuh itu sebelum empat anak buah Guiliano menariknya dan mengikat lengannya ke belakang. Kudanya masih hidup dan Pisciotta melangkah maju dan menyemburkan peluru ke kepala hewan itu. Erang ngeri dan sorak gembira meluap dari kerumunan. Guiliano tetap bersandar ke dinding, pistolnya yang berat masih di sarungnya. Ia berdiri dengan lengan terlipat seolah ia juga mengira-ngira apa yang akan dilakukan Aspanu selanjurnya. Kelima pemimpin Mafia yang tersisa meneruskan parade. Tunggangan mereka melonjak saat mendengar suara tembakan, tapi para penunggang cepat mengendalikan mereka. Mereka berkuda lambat-lambat seperti sebelumnya. Sekali lagi Pisciotta melangkah ke tengah lintasan. Sekali lagi ia mengangkat tangan. Penunggang terdepan, Don Buccilla, berhenti. Rekan-rekannya menahan kuda masing-masing di belakangnya. Pisciotta berseru kepada mereka, "Keluarga kalian akan membutuhkan kuda- kuda ini di masa datang. Aku berjanji akan mengirim mereka. Sekarang turunlah dan sampaikan penghormatan kepada Guiliano." Suaranya menggaung keras dan jelas ke telinga orang-orang yang berkerumun. Kesunyian timbul cukup lama dan kelima orang itu turun dari kuda. Mereka berdiri angkuh menatap kerumunan, pandangan mereka buas.dan marah. Lingkaran besar anak buah Guiliano terpecah sewaktu dua puluh orang di antaranya mendekat, senjata siap ditembakkan. Dengan hati-hati dan lembut mereka mengikat tangan kelima orang itu di belakang punggung masing-masing Lalu mereka menggiring kelima pemimpin ku ke hadapan Guiliano. Guiliano memandang keenam orang itu tanpa ekspresi Quintana pernah menghinanya sekali, bahkan pernah berusaha membunuhnya, tapi sekarang situasinya terbalik. Wajah Quintana tidak berubah selama lima tahun ini— tampang serigalanya masih ada—tapi saat ini matanya kosong dan liar di balik topeng ketakacuhan Mafia. Don Siano menatap hina Guiliano. Buccilla tampak agak tertegun, seakan terkejut oleh besarnya kebencian dalam masalah yang tidak benar-benar melibatkan dirinya. Para Don yang lain memandang Guiliano lurus dan dingin sebagaimana harus dilakukan orang-orang terhormat. Guiliano mengenal reputasi mereka semua; sewaktu kecil ia takut terhadap beberapa di antaranya, terutama Don Siano. Sekarang ia menghina mereka di hadapan seluruh Sisilia dan mereka tidak akan pernah memaafkan dirinya. Mereka akan menjadi musuh mematikan selamanya. Ia tahu apa yang harus dilakukannya, tapi ia juga tahu mereka suami dan ayah tercinta, anak-anak mereka akan menangisi mereka. Mereka menatap angkuh melewati bahunya, tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Pesan mereka jelas. Biarkan Guiliano melakukan apa yang harus dilakukannya, kalau it memiliki keberanian untuk itu. Don Siano meludah ke kaki Guiliano. Guiliano memandang lurus ke wajah mereka, satu demi satu. "Berlutut dan berdamailah dengan Tuhan,'" katanya. Tak satu pun dari mereka bergerak. Guiliano berpaling dan berjalan menjauhi mereka. Keenam pemimpin Mafia itu berdiri berjajar di depan dinding batu putih. Guiliano tiba di jajaran anak buahnya, lalu berbalik. Ia berkata dengan suara keras dan jelas sehingga bisa didengar oleh kerumunan orang, "Kueksekusi kalian atas nama Tuhan dan Sisilia," lalu menyentuh bahu Pisciotta. Pada saat itu Don Marcuzzi hendak berlutut tapi Pisciotta telah menembak. Passatempo dan Terranova dan KopraL tetap bertopeng, juga menembak. Keenam orang yang terikat itu terempas ke dinding akibat badai peluru senapan mesin. Batu putih bergerigi diciprati semburan darah merah keunguan dan serpihan daging yang terlontar dari tubuh yang tercabik-cabik. Mereka seakan tengah menari-nari selagi mereka terempas ke belakang berulang-ulang oleh hujan peluru yang terus mendera. Jauh di menara istananya, Pangeran Ollorto berpaling dari teleskopnya. Jadi ia tidak melihat apa yang terjadi selanjutnya. Guiliano melangkah maju mendekati dinding. Ia mencabut pistol yang berat dari sabuknya dan dengan lambat bagai tengah melakukan upacara ia menembak kepala setiap pemimpin Mafia. Terdengar raungan menggemuruh dari kerumunan yang menonton dan, dalam waktu beberapa detik, ribuan orang menghambur melewati gerbang lahan Pangeran Ollorto. Guiliano mengawasi mereka. Ia menyadari tak satu pun dari mereka mendekati dirinya. Bab 22 PAGI hari Paskah tahun 1949 itu benar-benar meriah. Seluruh pulau bagai diselimuti karpet bunga, dan balkon-balkon di Palermo dihiasi tabung-tabung besar berwarna-warni; retakan-retakan di trotoar menumbuhkan bunga liar merah dan biru dan putih, demikian pula dinding-dinding samping gereja-gereja tua. Jalan-jalan Palermo dipenuhi orang yang hendak menghadiri Misa Kudus pukul sembilan di katedral utama Palermo tempat Kardinal akan memberi Komuni. Penduduk dari desa-desa di sekitar Palermo datang untuk mengikuti Misa, dan dalam pakaian hitam berkabung, bersama istri dan anak-anak mereka, mereka menyapa setiap orang yang mereka temui dengan sapaan tradisional pagi hari Paskah para petani, "Kristus sudah bangkit." Turi Guiliano menjawab dengan jawaban yang sama tradisionalnya, "Diberkatilah NamaNya." Guiliano dan anak buahnya telah menyusup ke Palermo semalam. Mereka mengenakan pakaian hitam petani pedalaman, tapi jas setelan mereka longgar dan menggembung, karena di baliknya mereka menyembunyikan pistol otomatis. Guiliano mengenal jalan-jalan Palermo dengan baik; selama enam tahun karier-nya sebagai bandit ia sering menyelinap masuk ke kota untuk memimpin penculikan bangsawan kaya atau bersantap di restoran terkenal dan meninggalkan surat tantangannya di bawah piring. Guiliano tidak pernah terancam bahaya selama kunjungan-kunjungan itu. Ia selalu berada di jalan didampingi Kopral Ganio Silvestro. Dua orang lainnya berjalan dua puluh langkah di depannya, empat lainnya berjalan di kedua sisi jalan, dua lagi berjalan dua puluh langkah di belakang. Dan dua orang lagi agak jauh di belakang. Kalau Guiliano dihentikan carabinieri dan dimintai kartu identitas, mereka merupakan sasaran empuk bagi orang-orang yang telah siap menembak tanpa ampun ini. Sewaktu ia memasuki restoran, ruang makannya akan dipenuhi para pengawalnya yang duduk di-meja-meja lain. Pagi ku, Guiliano mengajak lima puluh anak buahnya memasuki kota. Mereka termasuk Aspanu Pisciotta, Kopral, dan Terranova; Passatempo dan Andolini ditinggalkan. Ketika Guiliano dan Pisciotta masuk ke dalam katedral, empat puluh' anak buahnya masuk bersamanya; sepuluh orang lainnya bersama Kopral dan Terranova menjaga kendaraan untuk melarikan diri di belakang katedral. Kardinal tengah menyelenggarakan Misa, dan dalam jubah putih dan emasnya, salib besar menjuntai dari lehernya, dan dengan suaranya yang mengalun, ia menciptakan aura kesucian yang tidak bisa dilanggar. Katedral dipenuhi patung besar Kristus dan Bunda Maria. Guiliano mencelupkan jemarinya ke baskom air suci yang didekorasi ukir-ukiran Kisah Sengsara Kristus. Sewaktu berlutut ia melihat langit-langit berbentuk kubah yang luas, dan di sepanjang dinding berbaris lilin merah yang berfungsi sebagai pengingat nazar kepada patung-patung orang suci. Anak buah Guiliano menyebar di sepanjang dinding di dekat altar. Kursi-kursi diisi jemaat yang melimpah, para penduduk desa berpakaian hitam, penduduk kota dalam busana Paskah yang meriah. Guiliano berdiri di dekat patung Bunda Maria dan Dua Belas Murid yang terkenal, dan sejenak ia terpukau oleh keindahannya. Lantunan para pastor dan putra altar, gumam jawaban para jemaat, keharuman bunga-bunga eksotis subtropis di altar, kesalehan para pengikut ini memengaruhi Guiliano. Terakhir kali ia menghadiri Misa adalah pagi Paskah lima tahun lalu sewaktu Frisella, si tukang cukur, mengkhianatinya. Di pagi hari Paskah ini ia merasa tersesat dan ketakutan. Berapa kali ia berkata kepada para musuhnya yang dikalahkan, "Kueksekusi kau atas nama Tuhan dan Sisilia," dan menunggu mereka menggumamkan doa yang sekarang didengarnya. Sejenak ia berharap bisa membangkitkan mereka semua, seperti Kristus telah bangkit, mengangkat mereka dari kegelapan abadi tempat ia melontarkan mereka. Dan kini di pagi Paskah ini ia mungkin harus mengirim Kardinal Gereja bergabung bersama mereka. Kardinal ini telah melanggar janjinya, berbohong dan mengkhianatinya, dan menjadi musuhnya. Tidak peduli seindah apa pun lantunannya dalam katedral yang luas ini. Pentingkah memberitahu Kardinal agar berdamai dengan Tuhan? Bukankah Kardinal selalu dalam keadaan suci? Apa ia cukup rendah hati untuk mengakui pengkhianatannya terhadap Guiliano? akhirnya usai; para jemaat menuju pagar altar untuk menerima Komuni. Beberapa anak buah Guiliano di dekat dinding berlutut untuk menerima Komuni. Mereka mengaku dosa kepada Kepala Biara Manfredi di biaranya kemarin dan dalam keadaan bersih, karena mereka tidak melakukan kejahatan sebelum upacara ini usai. Kerumunan jemaat, bahagia dalam Paskah kebangkitan Kristus, gembira karena telah dibersihkan dari dosa, meninggalkan katedral dan memenuhi yang terhubung dengan jalan besar. Kardinal menuju belakang altar dan pembantunya menekan topi kerucut Uskup Agung-nya hingga ke alis. Dengan hiasan kepala itu Kardinal tampak tiga puluh senti lebih tinggi, hiasan emas rumit di bagian depannya berkilau di atas wajah Sisiha^nya yang kasar; ia lebih memberi kesan orang yang berkuasa dan bukan sosok, penuh kesucian. Ditemani serombongan pastor, ia memulai langkah-langkah doa tradisional di keempat kapel katedral. Kapel pertama berisi makam Raja Roger I, kapel kedua berisi makam Kaisar Frederick II, kapel ketiga berisi makam Henry IV, kapel terakhir berisi abu jenazah Constanzia, istri Frederick II. Makam-makam ku terbuat dari marmer putih yang dihiasi mosaik-mosaik indah. Ada kapel lain yang terpisah, altar perak, berisi patung Santa Rosalie seberat lima ratus kilogram, santa pelindung Palermo, yang diarak pen- * duduk kota pada peringatan hari sucinya. Di altar ini tersimpan jasad seluruh uskup agung Palermo, dan di sinilah Kardinal sendiri akan dimakamkan sesudah meninggal kelak. Di sinilah perhentian pertamanya, dan sewaktu ia berlutut hendak berdoa, di sinilah 426 Guiliano dan anak buahnya mengepung dirinya dan rombongannya. Anak buah Guiliano yang lain menutup semua pintu keluar sehingga tak ada yang bisa meminta pertolongan. Kardinal bangkit berdiri untuk menghadapi mereka. Tapi lalu ia melihat Pisciotta. Ia teringat wajah itu. Tapi bukan seperti sekarang. Sekarang wajah Pisciotta bagai wajah setan yang datang untuk merenggut jiwanya, untuk memanggang dagingnya di neraka. Guiliano berkata, "Yang Mulia, kau tawananku. Kalau kauparahi perintahku kau tidak akan disakiti. Kau akan menghabiskan Paskah di pegunungan sebagai tamuku dan aku berjanji kau akan bersantap di sana sebaik di istanamu." Kardinal marah, "Kau berani membawa orang-orang bersenjata ke dalam rumah Tuhan ini?" Guiliano tertawa; seluruh perasaan terpesonanya lenyap dalam kegembiraan atas tindakan yang akan dilakukannya. "Aku lebih berani lagi," katanya. "Aku berani memarahimu karena kau melanggar kata-katamu yang suci. Kau menjanjikan pengampunan bagiku dan anak buahku dan kau tidak menepati janji itu. Sekarang kau dan gereja akan membayarnya." Kardinal menggeleng. "Aku tidak akan beranjak dari tempat suci ini," tegasnya. "Bunuh aku kalau kau berani dan kau akan kehilangan muka di seluruh dunia." "Aku sudah mendapatkan kehormatan itu," kilah Guiliano. "Sekarang kalau kau tidak mematuhi perintahku, aku akan terpaksa bersikap lebih keras. Aku akan membantai semua pastormu di sini, lalu mengikat dan menyumpal mulutmu. Kalau kau ikut denganku tanpa 427 ribut-ribut, tak akan ada yang terluka dan kau akan kembali ke katedralmu dalam waktu kurang dari seminggu," Kardinal membuat tanda salib dan berjalan ke pintu altar yang ditunjuk Guiliano. Pintu ini menuju belakang katedral tempat anggota kelompok Guiliano yang lain telah menguasai limusin resmi Kardinal dan pengemudinya. Mobil hitam besar itu dihiasi buket-buket bunga Paskah dan menyandang panji-panji gereja di kedua sisi kisi-kisi radiatornya. Anak buah Guiliano juga telah menguasai mobil- mobil pejabat lainnya. Guiliano membimbing Kardinal memasuki limusin dan duduk di sampingnya. Dua anak buahnya duduk di bagian belakang mobil, dan Aspanu Pisciotta duduk di kursi depan di samping sopir. Lalu irmg-iringan mobil itu meliuk-liuk membelah kota, melewati patroli-patroli carabinieri yang memberikan hormat kepada mereka. Atas perintah Guiliano, Kardinal balas melambai. Di jalan yang sepi Kardinal dipaksa meninggalkan mobil. Anggota kelompok Guiliano yang lain telah menunggu dengan tandu untuk mengangkut Kardinal. Setelah meninggalkan kendaraan dan para sopir, mereka lenyap ke dalam lautan bunga di pegunungan. Guiliano menepati janjinya; jauh di dalam gua-gua di Pegunungan Cammarata Kardinal menyantap hidangan selezat yang bisa diperolehnya di istana. Para bandit yang terpesona, penuh hormat terhadap kekuasaan spiritualnya, meminta berkatnya saat mereka menyajikan setiap hidangan. Koran-koran Italia murka, sementara penduduk Sisilia dicekam dua perasaan: ngeri karena pelanggaran kesuci- an itu dan sinis atas ketidakmampuan carabinieri. Di atas semua ini mereka merasa bangga terhadap Guiliano, karena seorang Sisilia berhasil mengalahkan Roma; Guiliano sekarang "orang terhormat" yang tertinggi. Semua orang penasaran, apa yang diinginkan Guiliano sebagai pengganti Kardinal? Jawabannya sederhana: sejumlah besar uang tebusan. Gereja Suci, yang bagaimanapun bertanggung jawab menyelamatkan jiwa, tidak merendahkan diri dengan bernegosiasi seperti para bangsawan dan pedagang kaya. Gereja segera membayar tebusan seratus juta lira. Tapi Guiliano memiliki motif lain. Ia berkata kepada Kardinal, "Aku petani, tidak mendapat pengajaran mengenai cara-cara surgawi. Tapi aku tidak pernah mengingkari janjiku. Dan kau, Kardinal Gereja Katolik, dengan semua pakaian suci dan salib Yesus, membohongiku seperti orang Moor yang kafir. Kantormu yang suci saja tidak akan bisa menyelamatkan hidupmu." Kardinal merasa lututnya lemas. Guiliano melanjutkan. "Tapi kau beruntung. Aku punya tujuan lain terhadap dirimu." Ia lalu memaksa Kardinal membaca Wasiat-nya. Sekarang setelah tahu clirinya tidak akan dibunuh, Kardinal, yang telah dilatih dalam kedisiplinan Tuhan-Bjph tertarik pada dokumen-dokumen Wasiat daripada menegur Guiliano. Sewaktu melihat surat yang ditulisnya untuk Pisciotta, Kardinal membuat tanda salib dalam kemurkaan hebat. Guiliano berkata, "Kardinal yang baik. Bawa pengetahuanmu tentang dokumen ini kepada Gereja dan Menteri Trezza. Kau sudah melihat bukti kemampuanku menghancurkan pemerintahan Demokrat Kristen. Kematianku akan menjadi kesialan terbesarmu. Wasiat akan berada di tempat aman di luar jangkauanmu. Kalau ada di antara mereka yang meragukan diriku, suruh mereka bertanya pada Don Croce bagaimana caraku menangani musuh-musuhku." Seminggu sesudah penculikan Kardinal, La Venera meninggalkan Guiliano. Selama tiga tahun Guiliano merangkak menyusuri terowongan menuju rumahnya. Di ranjang La Venera, ia menikmati kenyamanan tubuh La Venera yang kokoh, kehangatan dan perlindungannya. La Venera tidak pernah mengeluh, tidak pernah meminta lebih selain memberinya kesenangan. - Tapi malam ini berbeda. Sesudah mereka bercinta, ia memberitahu Guiliano dirinya akan pindah ke kerabatnya yang tinggal di Florence. "Hatiku terlalu lemah," katanya. "Aku tidak tahan melihat kehidupanmu yang berbahaya. Aku bermimpi kau ditembak di depan mataku. Carabinieri membunuh suamiku seakan-akan dia binatang, di depan rumahnya. Mereka terus menembak sampai tubuhnya hanya berupa seonggok daging berlumuran darah. Aku bermimpi kau mengalami kejadian yang sama." La Venera meraih kepala Guiliano ke dadanya. "Dengar," katanya, "dengarkan detak jantungku." Dan Guiliano mendengarkan. Dan menjadi iba dan cinta oleh detak jantung yang berdentam-dentam tidak keruan itu. Kulit telanjang di bawah payudara La rasa asin oleh keringat ketakutan yang dirasakan La Venera. Wanita itu menangis, dan Guiliano membelai rambut hitamnya yang tebal. "Kau tidak pernah takut sebelumnya," ujar Guiliano. 'Tidak ada yang berubah." La Venera menggeleng kuat-kuat. "Turi, kau semakin ceroboh. Kau menciptakan musuh, musuh-musuh yang kuat. Teman-temanmu takut akan nasibmu. Ibumu memucat setiap kali ada yang mengetuk pintu. Kau tidak bisa melarikan diri selamanya." Guiliano berkata, "Tapi aku tidak berubah." La Venera mulai menangis lagi. "Ah, Turi, ya, kau sudah berubah. Kau sekarang cepat membunuh. Aku tidak bermaksud mengatakan kau kejam; kau ceroboh dengan kematian." Guiliano mendesah. Ia melihat betapa takutnya La Venera dan hal itu memenuhi dirinya dengan kesengsaraan yang tidak bisa dipahaminya. "Kalau begitu kau harus pergi," katanya. "Akan kuberi uang secukupnya agar kau bisa hidup di Florence. Suatu hari semua ini akan berakhir. Tidak akan ada pembunuhan lagi. Aku sudah menyusun rencana. Aku tidak akan menjadi bandit selamanya. Ibuku akan tidur nyenyak di malam hari dan kita semua akan berkumpul kembali." Guiliano tahu La Venera tidak memercayainya. Di pagi hari sebelum Guiliano pergi, mereka kembali bercinta, penuh nafsu, tubuh mereka saling menyatu liar untuk yang terakhir kalinya. Bab 23 TURI GUILIANO akhirnya berhasil melakukan apa yang tidak pernah bisa dilakukan negarawan atau politisi nasional lainnya. Ia berhasil menyatukan seluruh partai politik di Italia untuk mencapai satu tujuan sama: menghancurkan Guiliano dan kelompoknya. Pada bulan Juli tahun 1949 Menteri Trezza mengumumkan kepada pers pembentukan pastikan carabinieri khusus berjumlah lima ribu orang yang disebut Pasukan Khusus Penekan Bandit, tanpa menyinggung sama sekali nama Guiliano. Koran-koran segera meralat kelicikan pemerintah, yang tidak ingin Guiliano tampak sebagai sasaran utama. Mereka menyetujui dan memberikan ucapan selamat kepada partai Demokrat Kristen yang berkuasa karena mengambil langkah seberani itu. Pers nasional juga heran melihat kejeniusan Menteri Trezza mengorganisir pasukan khusus berjumlah lima ribu orang itu. Pasukan itu terdiri atas para bujangan sehingga tidak akan ada janda, dan keluarga mereka tidak bisa dijadikan sasaran ancaman. Akan ada pasukan komando, pasukan para, kendaraan lapis baja, senjata berat, dan bahkan pesawat Bagaimana mungkin bandit kelas teri bertahan menghadapi pasukan sekuat ini? 432 Dan pasukan itu akan dipimpin Kolonel Ugo Luca, salah satu pahlawan Perang Dunia II Italia, yang bertempur bersama jenderal Jerman yang legen-daris, Rommel. Koran-koran menjulukinya "Serigala Padang Pasir Italia", ahli perang gerilya, yang taktik dan strateginya akan membingungkan Turi Guiliano, bocah pedalaman Sisilia yang kampungan itu. Pers juga mengumumkan dalam paragraf singkat tentang penunjukan Frederico Velardi sebagai kepala seluruh Kepolisian Keamanan Sisilia. Tak banyak yang diketahui tentang Inspektur Velardi kecuali ia ditunjuk langsung oleh Menteri Trezza untuk membantu Kolonel Luca. Hanya sebulan sebelumnya diselenggarakan pertemuan penting antara Don Croce, Menteri Trezza, dan Kardinal Palermo. Kardinal melaporkan tentang Wasiat Guiliano yang dilengkapi berbagai dokumen memberatkan. Menteri Trezza ketakutan. Wasiat harus dihancurkan sebelum pasukan menyelesaikan misinya. Ia berharap bisa membatalkan perintah pembentukan Pasukan Khusus, tapi pemerintahannya berada di bawah begitu banyak tekanan dari partai-partai sayap ktti yang menuduh Guiliano dilindungi pemerintah. Bagi Don Croce, Wasiat memang menambah kerumitan tapi tidak mengubah kebulatan tekadnya. Ia telah memutuskan membunuh Guiliano: pembunuhan ie'enam anak buahnya tidak memberinya alternatif Jain. Tapi Guiliano tidak bisa mati di tangan Friends of the Friends atau dirinya. Ia pahlawan yang terlalu feebat; pembunuhan atas curinya akan menjadi kejahatan 433 yang terlalu hebat bahkan bagi Friends of the Friends. Pembunuhan atas Guiliano akan menyatukan kebencian .Sisilia kepada mereka. Intinya, Don Croce sadar ia harus mengalah dan berusaha memenuhi kebutuhan Trezza. Bagaimanapun, inilah orang yang ingin dijadikannya Perdana Menteri Italia. Ia berkata kepada Menteri, "Tentu saja harus begini Jelas kau tidak punya pilihan lain, kau harus memburu Guiliano. Tapi- jagalah agar dia tetap hidup sampai aku bisa meniadakan Wasiat, yang kujamin bisa kulakukan." Menteri mengangguk muram. Ia menjentik interkom dan memberi perintah, "Suruh Inspektur masuk." Beberapa detik kemudian seorang pria jangkung bermata biru dingin memasuki ruangan. Ia bertubuh kurus, berpakaian rapi, dan berwajah aristokrat. "Ini Inspektur Frederico Velardi," Menteri memperkenalkan. "Aku akan mengumumkan penunjukannya sebagai kepala seluruh Kepolisian Keamanan di Sisilia. Dia akan berkoordinasi dengan kepala pasukan yang kukirim ke Sisilia." Ia memperkenalkan mereka dan menjelaskan kepada Velardi mengenai Wasiat dan ancamannya terhadap rezim Demokrat Kristen. "Inspektur yang baik," kata Menteri. "Kuminta kau menganggap Don Croce sebagai wakil pribadiku di Sisilia. Kau akan memberikan semua informasi yang beliau minta sebagaimana kauberikan padaku. Kau mengerti?" Inspektur memerlukan waktu lama untuk mencerna permintaan yang satu ini. Lalu ia memahaminya. Tugasnya adalah memberkahu Don Croce semua rencana yang disusun pasukan penyerbu dalam perang terhadap 434 Guiliano. Don Croce, pada gilirannya, akan menyampaikan informasi itu kepada Guiliano sehingga ia tidak tertangkap sampai Don merasa situasinya cukup aman untuk mengakhiri karier Guiliano. Inspektur Velardi berkata, "Apa aku harus memberikan semua informasi kepada Don Croce? Kolonel Luca bukan orang bodoh—dia akan segera curiga kalau ada kebocoran dan mungkin akan mengesampingkan curiku dalam setiap sesi penyusunan rencananya." Whr---: "Kalau kau mendapat masalah," tegas Menteri, "suruh dia menghubungi aku. Misimu yang sebenarnya adalah mengamankan Wasiat, dan menjaga agar Guiliano tetap hidup dan bebas selama misi utamamu belum selesai." Inspektur mengalihkan mata birunya yang dingin kepada Doa Croce. "Aku senang bisa melayanimu," katanya. "Tapi aku harus mengerti satu hal. Kalau Guiliano tertangkap hidup-hidup sebelum Wasiat dihancurkan, apa yang harus kulakukan?" Don berkata jujur; ia bukan pejabat pemerintah dan bisa berbicara blak-blakan. "Itu berarti kesialan yang tidak tertanggungkan." Kolonel Ugo Luca, Komandan Pasukan Khusus Penekan Bandit, dipuji pers sebagai pilihan tepat. Mereka membahas prestasi militernya, medali-medali atas keberaniannya, kejeniusan taktiknya, sifatnya yang pendiam dan tenang, dan kebenciannya terhadap segala bentuk kegagalan. Ia bagai buldog kecil, kata media massa, dan akan menjadi lawan tepat bagi kebuasan Sisilia. Sebelum melakukan apa pun, Kolonel Luca mem-pelalari semua dokumen intelijen mengenai Turi Guiliano. Di kantor sang kolonel, Menteri Trezza mendapati dirinya terjepit tumpukan map berisi laporan dan klping koran-koran lama. Sewaktu Menteri bertanya kapan ia membawa pasukannya ke Sisilia, Kolonel menjawab enteng ia sedang menyusun staf, dan ia menegaskan Guiliano pasti masih berada di tempatnya tidak peduli berapa lama waktu yang ia perlukan untuk menyusun para staf itu. Kolonel Luca mempelajari berbagai laporan dan menarik kesimpulan- kesimpulan tertentu. Bahwa Guiliano jenius dalam perang gerilya dan memiliki metode operasi yang unik. Ia hanya memilih dua puluh orang sebagai penerusnya, dan itu termasuk para pemimpin anak buahnya: Aspanu Pisciotta sebagai orang kedua dalam kelompok, Canio Silvestro sebagai pengawal pribadi, dan Stefan Andolini sebagai kepala intelijen serta kurir penghubung dengan Don Croce» dan jaringan Mafia. Terranova dan Passatempo memiliki kelompok mereka sendiri dan diizinkan beroperasi secara independen berdasarkan perintah langsung Guiliano kecuali ada tindakan yang diatur bersama. Terranova yang menjalankan operasi penculikan dan Passatempo melakukan perampokan kereta api serta bank yang direncanakan Guiliano. Jelas bagi Kolonel anggota pasukan Guiliano tidak lebih dari tiga ratus orang. Lalu bagaimana, pikir Kolonel, ia bisa bertahan selama enam tahun, bagaimana ia bisa mengalahkan carabinieri seluruh provinsi dan hampir-hampir mengendalikan seluruh kawasan barat daya Sisilia? Bagaimana ia dan anak buahnya bisa meloloskan diri dari pencarian di pegunungan yang dilakukan sejumlah besar pasukan pemerintah? Ini hanya bisa terjadi kalau Guiliano mendapat tenaga ekstra dari para petani Sisilia setiap kali ia membutuhkannya. Dan ketika pemerintah menggeledah pegunungan, para bandit paro waktu ini akan melarikan diri ke kota-kota dan tanah pertanian untuk hidup seperti petani biasa. Ini juga dikarenakan banyak penduduk Montelepre menjadi anggota rahasia kelompok Guiliano. Tapi yang paling penting adalah kepopuleran Guiliano; kecil kemungkinan Guiliano dikhianati, dan tak ada keraguan bila ia mengajak Sisilia mencetuskan reyblusii; ribuan orang akan menggabungkan diri di bawah panji-panjinya. Aldiirnya, muncul hal lain yang membingungkan: kemisteriusan sosok Guiliano. Ia muncul di satu tempat lalu seakan menghilang begitu saja. Semakin banyak yang dibaca Kolonel Luca, semakin terkesanlah dirinya. Lalu ia menemukan sesuatu yang ia yakin bisa segera dilaksanakan. Mungkin tampaknya tidak berarti, tapi dalam jangka panjang- tindakan ini penting. Guiliano sering menulis surat kepada pers yang selalu diawali dengan, "Seandainya kita bukan musuh, sebagaimana keadaan membuatku percaya, kau akan mempublikasikan surat ini," lalu dilanjutkan dengan penyajian sudut pandangnya mengenai aksi kejahatan terbarunya. Bagi benak Kolonel Luca kalimat pembuka itu merupakan ancaman terselubung. Dan isi suratnya merupakan propaganda musuh. Ada penjelasan mengenai penculikan, perampokan, dan bagaimana uangnya dibagikan kepada kaum miskin di Sisilia. Sewaktu Guiliano bertempur melawan carabinieri dan membunuh beberapa di antaranya, ia selalu mengirim surat yang menjelaskan bahwa dalam perang, prajurit pasti mati. Ada permohonan langsung kepada carabinieri untuk tidak melawan. Dan surat lain dilayangkan sesudah eksekusi keenam pemimpin Mafia, menjelaskan hanya dengan cara itulah para petani bisa mengklaim tanah yang merupakan hak mereka berdasarkan hukum dan moralitas manusia. Kolonel Luca tertegun karena pemerintah membiarkan surat-surat ku dipublikasikan. Ia menulis catatan untuk Menteri Trezza yang isinya meminta kekuasaan undang-undang militer di Sisilia sehingga Guiliano bisa dipisahkan dari publiknya. Hal lain yang dicarinya adalah informasi tentang kekasih Guiliano, tapi ia tidak bisa menemukan apa pun. Meskipun ada laporan bahwa para bandit menggunakan rumah bordil di Palermo dan Pisciotta senang mengumbar nafsu, Guiliano tampaknya menjalani kehidupan tanpa seks selama enam tahun terakhir. Kolonel Luca, sebagai orang Italia, tidak percaya. Pasti ada seorang wanita di Montelepre yang menjadi kekasih Guiliano, dan pada saat mereka menemukannya, separo pekerjaan selesai Hal menarik lain bagi sang kolonel adalah catatan keakraban antara Guiliano dan ibunya. Guiliano putra yang berbakti kepada kedua orangtuanya, tapi ia memuja ibunya. Kolonel Luca juga menulis catatan khusus mengenai hal ini Seandainya Guiliano benar-benar tidak mempunyai kekasih, ibunya bisa digunakan sebagai umpan jebakan. Sesudah semua persiapan ini selesai, Kolonel Luca membentuk stafnya. Penunjukan paling penting adalah Kapten Antonio Perenze sebagai aide-de- camp—perwka pembantu—dan pengawal pribadinya. Kapten Perenze pria bertubuh besar, hampir-hampir gendut, dengan ekspresi wajah riang dan sikap santai, tapi Kolonel Luca tahu pria itu memiliki keberanian luar biasa. Mungkin akan ada saatnya keberanian bisa menyelamatkan nyawa Kolonel. Baru pada bulan September 1949 Kolonel Luca riba di Sisilia bersama pasukan pertama berjumlah dua ribu orang. Ia berharap jumlah ini mencukupi; ia tidak ingin mengagungkan nama Guiliano dengan membawa pasukan lima ribu orang untuk menghadapinya. Bagaimanapun, Guiliano hanyalah bandit yang seharusnya ditangani dengan mudah sejak dulu. Langkah pertamanya adalah memerintahkan koran-koran Sisilia agar tidak lagi mempublikasikan surat-surat Guiliano. Langkah keduanya adalah menangkap ibu dan ayahnya atas tuduhan bersekongkol dengan putra mereka. Langkah selanjurnya adalah menangkap dan menahan untuk ditanyai dua ratus pria di Montelepre dengan tuduhan menjadi anggota rahasia kelompok Guiliano. Semua yang ditangkap ini dikirim ke penjara di Palermo yang dijaga ketat anak buah Kolonel Luca. Semua tindakan ini dilakukan berdasarkan hukum rezim Fasis Mussolini yang masih tercatat dalam buku. Rumah Guiliano digeledah dan terowongan rahasianya ditemukan. La Venera ditangkap di Florence. Tapi ia dibebaskan hampk seketika begitu ia mengklaim dirinya tidak mengetahui keberadaan terowongan itu. Bukan berarti ia dipercaya, tapi Inspektur Velardi ingin ia bebas dengan harapan Guiliano mengunjunginya. Pers Italia memuji-muji Kolonel Luca setinggi akhirnya muncul orang yang benar-benar "serius". Menteri Trezza. gembira atas pilihannya, terutama sewaktu ia menerima surat ucapan selamat yang hangat dari Perdana Menteri. Hanya Don Croce yang tidak terkesan. Bulan pertama, Turi Guiliano mempelajari aksi-aksi Luca, pengiriman pasukan carabinieri. Ia mengagumi kecerdikan Kolonel dalam melarang koran-koran mempublikasikan surat-suratnya, memutus komunikasi vitalnya dengan penduduk Sisilia. Tapi sewaktu Kolonel Luca serampangan menangkapi penduduk Montelepre—bersalah atau tidak—kekaguman itu berubah menjadi kebencian. Dan atas penangkapan orangtuanya, Guiliano murka. Selama dua hari Guiliano duduk di guanya jauh di dalam Pegunungan Cammarata. Ia menyusun rencana dan mengulas kembali apa yang diketahuinya tentang pasukan Kolonel Luca yang terdiri atas dua ribu carabinieri, Sekitar seribu di antara mereka ditempatkan di dalam dan di sekitar Palermo, menunggu dirinya mencoba menolong orangtuanya. Seribu carabinieri lainnya dipusatkan di kawasan sekitar kota-kota Montelepre, Piani dei Greci, San Giuseppe Jato, Partinico, dan Corleone, kota-kota di mana banyak penduduknya menjadi anggota rahasia kelompok yang bisa direkrut untuk bertempur. Kolonel Luca sendiri mendirikan markas besarnya di Palermo dan tidak terkalahkan di sana. Ia harus dipancing keluar. Turi Guiliano melampiaskan kemarahannya dengan menyusun rencana-rencana taktis. Rencana-rencana itu ddf) memiliki pola aritmetis yang jelas baginya, sesederhana permainan anak-anak. Rencana-rencana itu hampir selalu berhasil, dan seandainya gagal ia selalu bisa menghilang kembali ke pegunungannya. Tapi ia tahu segalanya bergantung pada pelaksanaan tanpa kesalahan, setiap detail hingga yang terkecil harus sempurna. Ia memanggil Aspanu Pisciotta ke dalam gua dan memberitahukan berbagai rencana itu kepadanya. Kemudian, para pemimpin lainnya—Passatempo, Terranova, Kopral Silvestro, dan Stefan Andolini—— hanya diberitahu apa yang perlu mereka ketahui berkaitan dengan tugas masing-masing. Markas besar carabinieri di Palermo membayar gaji semua pasukan di Sisilia Barat. Sebulan sekali truk uang yang dijaga ketat dikirim untuk membayar garnisun-garnisun di semua markas besar kota dan provinsi. Pembayaran dilakukan tunai, dan dalam amplop berisi uang lira sejumlah gaji masing-masing prajurit. Amplop-amplop ini dimasukkan ke dalam kotak-kotak kayu berselot yang dikunci ke dalam truk yang dulunya kendaraan pengangkut senjata Angkatan Darat Amerika. Sopirnya bersenjatakan pistol, prajurit kasir berjaga-jaga di sampingnya dengan senapan. Ketika truk berisi jutaan lira ini meninggalkan Palermo, kendaraan itu didahului tiga jip pengawal, masing-masing bersenjatakan senapan mesin dan memuat empat orang, dan kendaraan pengangkut prajurit berisi dua puluh orang bersenjata lengkap senapan mesin dan pistol. Di belakang truk uang itu berjalan dua mobil komando, masing-masing berisi enam orang. Semua kendaraan ini membawa peralatan radio komunikasi untuk menghubungi Palermo atau barak carabinieri terdekat untuk mendapatkan pasukan tambahan. Tak pernah ada rasa takut bahwa bandit-bandit akan menyerang kekuatan sebesar ini. Tindakan itu sama saja bunuh diri. Truk pembayar gaji itu meninggalkan Palermo pada dini hari dan perhentian pertama adalah kota kecil bernama Tommaso Natale. Dari sana irmg-iringan berbelok memasuki jalan pegunungan menuju Montelepre. Kasir dan para pengawalnya tahu ini hari yang panjang dan mereka melaju secepat mungkin. Mereka menyantap potongan-potongan salami dan roti serta minum anggur dari botol selama perjalanan. Mereka melontarkan lelucon dan tertawa-tawa, dan para sopir jip di depan meletakkan senjata mereka di lantai kendaraan. Tapi sewaktu konvoi melewati puncak bukit terakhir yang menurun ke Montelepre, mereka tertegun melihat jalan di depan dipenuhi sekawanan besar domba. Jip-jip yang memimpin irmg-iringan menerobos kawanan domba, dan para pengawal berteriak marah ke arah para gembala yang berpakaian kasar. Para prajurit sangat ingin tiba di barak yang sejuk dan menyantap hidangan panas, menanggalkan pakaian dan bersantai di ranjang atau bermain kartu sepanjang istirahat tengah hari mereka. Tidak mungkin ada bahaya; Montelepre, hanya beberapa mil jauhnya, memiliki garnisun yang terdiri atas lima ratus anggota pasukan Kolonel Luca. Di belakang, mereka melihat truk pengangkut uang memasuki lautan domba yang luas itu, tapi tidak sadar truk itu melambat di sana, tidak ada jalan terbuka baginya. Para gembala berusaha membuka jalan bagi truk itu. Mereka begitu sibuk sehingga seolah tidak menyadari kendaraan pengangkut pasukan menjeritkan klakson, para pengawal berteriak dan tertawa dan memaki- maki. Masih tidak ada tanda-tanda bahaya. Tapi tiba-tiba enam gembala mendesak truk kasir. Dua di antaranya mencabut pistol dari balik jaket dan menendang kasir dan sopir keluar truk. Mereka melucuti kedua carabinieri itu. Empat orang lainnya melempar keluar kotak- kotak berisi uang gaji. Passatempo yang memimpin kelompok ini, dan kebuasan wajahnya, kekerasan yang terpancar dari tabuhnya, menyebabkan para pengawal meringkuk ketakutan. Pada saat bersamaan lereng-lereng di sekitar jalanan tiba-tiba dipenuhi bandit yang rhenyandang senapan dan pistol otomatis. Roda-roda kedua mobil komando di belakang ditembak. Lalu Pisciotta berdiri di depan mobil pertama. Ia berseru, "Turun pelan-pelan, tanpa senjata, dan kalian akan menyantap spaghetti malam ini di Palermo. Jangan jadi pahlawan, bukan uang kalian yang kami ambil." Jauh di depan, kendaraan pengangkut pasukan dan ketiga jip pembuka jalan tiba di kaki bukit terakhir dan hendak memasuki Montelepre sewaktu perwira kepala menyadari tidak ada kendaraan apa pun di belakangnya. Sekarang domba-domba malah bertambah banyak, menghalangi dirinya dengan kendaraan lain dalam konvoi. Ia meraih radio dan memerintahkan salah satu jip kembali. Menggunakan isyarat tangan ia mengarahkan kendaraan-kendaraan lain agar berhenti di tepi jalan dan menunggu. Jip pembuka jalan berputar balik dan kembali mendaki bukit yang baru saja dilewatinya. Di tengah jalan jip itu mendapat sambutan hujan peluru senapan mesin dan senapan. Keempat penumpangnya tercincang peluru, dan tanpa sopir jip itu kehilangan momentum dan pelan-pelan bergulir kembali menuruni bukit, ke arah kendaraan rekan-rekannya. Komandan carabinieri melompat keluar dari jip dan berteriak kepada anak buahnya di kendaraan pengangkut untuk turun dan membentuk barisan. Kedua jip lain melesat pergi bagai kelinci yang ketakutan mencari perlindungan. Tapi pasukan ini telah dinetralisir secara efektif. Mereka tidak bisa menyelamatkan truk gaji karena truk itu berada di balik bukit mereka bahkan tidak bisa menembaki anak buah Guiliano, yang tengah menjejalkan amplop-amplop uang ke dalam jaket mereka. Anak buah Guiliano menguasai tempat yang lebih tinggi dan jelas memiliki senjata untuk membantai penyerang mana pun. Langkah terbaik yang bisa diambil pasukan itu adalah mencari perlindungan dan menembak membabi buta. Maresciallo menantikan si pembayar gaji. Pada akhir bulan ia selalu kekurangan uang dan, seperti anak buahnya, berharap melewatkan malam di Palermo dengan bersantap di restoran bagus bersama wanita-wanita yang memesona dan teman- teman. Sewaktu mendengar suara tembakan ia kebingungan. Guiliano tak akan berani menyerang salah satu patrolinya di siang hari, tidak dengan adanya pasukan tambahan Kolonel Luca yang berjumlah lima ratus prajurit di kawasan ini. Pada saat itu Maresciallo mendengar ledakan hebat di gerbang Barak Bellampo. Salah satu kendaraan lapis baja yang diparkir di belakang telah diledakkan men-dptakan suluh raksasa oranye. Lalu Maresciallo mendengar detak senapan mesin berat dari arah jalan yang menuju Castelvetrano dan kota pantai Trapani, diikuti rentetan tembakan pistol dari kaki pegunungan di luar kota. Ia bisa melihat pasukan patrolinya di Montelepre berhamburan masuk ke dalam barak, dalam jip atau berjalan kaki, berusaha menyelamatkan diri; dan lambat-lambat kesadaran merekah dalam dirinya bahwa Guiliano mengerahkan seluruh anak buahnya untuk .menyerang garnisun Kolonel Luca yang berjumlah lima ratus orang. Di tebing tinggi di atas Montelepre, Turi Guiliano mengamati perampokan uang gaji itu melalui teropongnya. Dengan berputar sembilan puluh derajat ia juga bisa melihat pertempuran di jalan-jalan kota, serangan langsung terhadap Barak Bellampo dan patroli-patroli carabinieri di jalan-jalan pantai. Seluruh pemimpin anak buahnya melakukan tugas dengan sempurna. Passatempo dan anak buahnya berhasil mendapatkan uang gaji, Pisciotta berhasil melumpuhkan carabinieri di belakang truk, Terranova dan kelompoknya, didukung anggota baru, menyerang Barak Bellampo dan para patrolinya. Orang-orang yang berada di bawah pimpinan langsung Guiliano menjaga markas-markas mereka di-kaki pegunungan. Dan Stefan Andolini, Fra Diavalo sejati, tengah menyiapkan kejutan. Di markas besarnya di Palermo, Kolonel Luca menerima kabar hilangnya uang gaji dengan ketenangan yang tidak biasa, menurut anak buahnya. Tapi diam- 445 diam. ia hanya bisa marah terhadap kepandaian Guiliano dan penasaran dari mana dan dengan. cara bagaimana Guiliano bisa mendapatkan informasi mengenai penempatan carabinieri. Empat carabinieri tewas dalam perampokan itu dan sepuluh lainnya tewas dalam pertempuran menghadapi pasukan Guiliano yang lain. Kolonel Luca masih menerima laporan telepon mengenai para korban saat Kapten Perenze menghambur masuk, rahangnya yang besar bergetar penuh semangat. Ia baru saja menerima laporan tentang beberapa bandit yang terluka dan salah satunya tewas dan ditinggalkan di medan tempur. Bandit yang tewas itu telah diidentifikasi melalui dokumen yang ada pada dirinya dan kesaksian dua penduduk Montelepre. Mayat itu tidak lain adalah Turi Guiliano. Bertentangan dengan kewaspadaannya, dengan semua informasi intelijen yang diketahuinya, Kolonel Luca merasakan kemenangan besar merekah dalam dadanya. Sejarah rniliter dipenuhi kemenangan hebat, manuver taktis cemerlang, yang dikalahkan satu kecelakaan kecil. Peluru yang diarahkan nasib secara ajaib telah mencari dan menemukan jiwa licin bandit besar itu. Tapi lalu kewaspadaan kembali. Keberuntungan itu tedalu bagus; mungkin jebakan. Tapi kalau benar begitu, ia bisa masuk ke sana dan menjebak penjebaknya. Kolonel Luca mempersiapkan diri, dan pasukannya disiapkan untuk menghadapi serangan apa pun. Kendaraan-kendaraan lapis baja berangkat terlebih dulu, diikuti mobil antipeluru yang membawa Kolonel Luca dan Inspektur Frederico Velardi, yang berkeras membantu mengidentifikasi mayat tapi sebenarnya hanya untuk memastikan Wasiat tidak ada pada mayat itu. Di belakang mobil Luca melaju pengangkut pasukan berisi para prajurit siaga, senjata siap ditembakkan. Jip-jip pembuka jalan berjumlah dua puluh, dipenuhi prajurit-para bersenjata, mendahului rombongan. Garnisun di Montelepre diperintahkan menjaga jalan-jalan terdekat dengan kota dan mendirikan pos-pos pengamatan di pegunungan di dekatnya. Patroli-patroli berjalan kaki dalam kekuatan besar, bersenjata lengkap, mengendalikan sepanjang tepi jalan. Kolonel Luca dan pasukannya memerlukan waktu kurang dari satu jam untuk tiba di Montelepre. Tidak ada serangan; pameran kekuatan itu berlebihan bagi para bandit. Tapi kekecewaan telah menanti Kolonel. Inspektur Velardi berkata mayat itu, sekarang berada dalam ambulans di "Barak Bellampo, tidak mungkin mayat Guiliano. Peluru yang menewaskannya memang mencabiknya tapi tidak cukup parah sehingga Inspektur tidak mungkin keliru. Penduduk dipaksa melihat mayat itu, dan mereka juga mengatakan itu bukan Guiliano. Mayat itu memang jebakan, Guiliano pasti berharap Kolonel bergegas menuju lokasi dengan sedikit pengawalan dan membuka diri untuk disergap. Kolonel Luca memberi perintah untuk melakukan semua langkah penjagaan, tapi ia tergesa-gesa kembali ke Palermo dan ke markas besarnya; ia mgin melaporkan sendiri ke Roma apa yang terjadi hari itu serta memastikan tidak ada yang menerbitkan laporan palsu mengenai kematian Guiliano. Setelah memeriksa terlebih dulu untuk meyakinkan semua pasukannya siap di tempat sehingga perjalanan kembali tidak disergap, ia menumpang salah satu jip pembuka jalan yang lincah di jajaran paling depan. Inspektur Velardi mendampinginya. Ketergesa-gesaan Kolonel menyelamatkan nyawa mereka berdua. Sewaktu pasukannya mendekati Palermo, dengan mobil komando Luca di tengah, terdengar ledakan menggelegar. Mobil komando itu terlontar lebih dari tiga meter ke udara dan hancur berkeping-keping, terbakar, tersebar di lereng-lereng pegunungan. Kendaraan pengangkut pasukan yang mengikuti dekat di belakangnya kehilangan delapan orang tewas dan lima belas orang terluka dari total tiga puluh korban. Kedua perwira dalam mobil Luca hancur berkeping- keping. Sewaktu Kolonel Luca menyampaikan kabar buruk itu kepada Menteri Trezza, ia juga meminta tiga ribu pasukan tambahan yang telah menunggu segera diberangkatkan ke Sisilia. Don Croce tahu serangan-serangan itu akan terus berlanjut selama orangtua Guiliano dipenjara, jadi ia mengatur agar mereka dibebaskan. Tapi ia tidak bisa mencampuri keterlibatan pasukan baru, dan dua ribu prajurit sekarang menghuni Montelepre dan kawasan di sekitarnya. Tiga ribu lainnya menggeledah pegunungan. Tujuh ratus penduduk Montelepre dan provinsi Palermo telah dipenjarakan untuk ditanyai oleh Kolonel Luca, menggunakan kekuasaan khusus yang diberikan kepadanya oleh pemerintahan Demokrat Kristen di Roma. Jam malam diberlakukan mulai senja sampai subuh, penduduk dilumpuhkan di rumah masing-masing dan orang-orang yang bepergian tanpa kartu izin khusus dipenjarakan. Seluruh provinsi berada di bawah kekuasaan teror resmi. Don Croce mengawasi dengan gelisah sementara arus berubah menentang Guiliano. Bab 24 SEBELUM kedatangan pasukan Luca, sewaktu Guiliano bisa memasuki Montelepre sesuka hatinya, ia sudah sering bertemu Justina Ferra. Kadang- kadang gadis itu datang ke rumah Guiliano untuk menerima tugas atau uang yang diberikan Guiliano kepada orangtuanya. Guiliano tidak pernah sungguh- sungguh menyadari ia telah tumbuh menjadi wanita muda yang cantik hingga suatu hari Guiliano melihatnya di jalan-jalan Palermo bersama orangtuanya. Mereka pergi ke kota untuk berbelanja kebutuhan Festa yang tidak tersedia di kota kecil Montelepre. Guiliano dan anggota kelompoknya pergi ke Palermo untuk membeli persediaan. Guiliano tidak bertemu Justina hampir sekitar enam bulan, dan Justina tumbuh menjadi lebih jangkung dan lebih ramping. Ia jangkung untuk ukuran wanita Sisilia, dengan kaki-kaki panjang terbungkus sepatu berhak tinggi yang baru dibeli. Ia baru berusia enam belas tahun, tapi wajah dan bentuk tubuhnya telah merekah di tanah subtropis Sisilia dan secara fisik ia sudah dewasa. Rambutnya yang hitam mengilap ditarik ke atas kepala dan dijepit tiga sisir bagai permata, menampilkan leher jenjang keemasan bagai gambar wanita Mesir pada vas. Matanya besar, penuh pertanyaan; mulutnya sensual, walaupun demikian, itulah satu-satunya bagian wajahnya yang menunjukkan kemudaannya. Ia mengenakan gaun putih berpita merah melintang di depan. Ia begitu cantik sehingga Guiliano menatapnya untuk waktu cukup lama. Guiliano tengah duduk di kafe, anak buahnya bertebaran di meja-meja di sekitarnya, ketika Justina melintas ditemani ayah dan ibunya. Mereka melihat Guiliano. Ayah Justina mempertahankan ekspresi kaku wajahnya dan tidak menunjukkan tanda-tanda pengenalan. Ibunya bergegas memandang ke arah lain. Hanya Justina yang menatapnya' sambil berlalu. Ia bersikap ala orang Sisilia dan tidak menyapa Guiliano, tapi ia menatap lurus ke matanya dan Guiliano bisa melihat mulut Justina bergetar menahan senyum. Di jalan yang bermandikan matahari Justina bagai kolam cahaya kemilau, kecantikan Sisilia yang sensual dan merekah di usia dini. Sejak menjadi pelanggar hukum Guiliano tidak pernah memercayai cinta. Baginya cinta merupakan tindak penyerahan diri dan menyimpan benih pengkhianatan yang fatal. Tapi pada saat itu ia merasakan apa yang belum pernah ia rasakan—keinginan dalam dirinya untuk berlutut di depan manusia lain dan sukarela bersumpah untuk membaktikan diri dalam perbudakan yang asing. Ia tidak mengidentifikasi perasaan itu sebagai cinta. Sebulan kemudian, Guiliano mendapati benaknya terobsesi kenangan akan Justina Ferra berdiri di kolam cahaya matahari keemasan di jalan di Palermo. Ia menganggap itu hanyalah hasrat seksual, ia sekadar merindukan malam-malam penuh gairah bersama La venera. Lalu dalam lamunannya ia mendapati dirinya bukan hanya memimpikan bercinta dengan Justina, tapi juga menghabiskan waktu bersamanya menjelajahi pegunungan, memperlihatkan padanya gua-guanya, lembah-lembah sempitnya yang penuh bunga, memasakkan makanan baginya di api unggun. Gitarnya masih ada I rumah ibunya dan ia bermimpi memainkannya untuk Justina. Ia menunjukkan kepada Justina puisi-puisi yang ditulisnya selama bertahun-tahun ini, beberapa di antaranya pernah dipublikasikan koran-koran Sisilia. Bahkan terpikir olehnya untuk menyelinap ke Montelepre dan mengunjungi Justina di rumahnya, tidak peduli kehadiran dua ribu prajurit Pasukan Khusus Kolonel Luca. Pada saat ini ia tersadar dan tahu sesuatu yang berbahaya tengah berlangsung dalam dirinya. Semua ini bodoh. Hanya ada dua alternatif dalam hidupnya. Entah ia tewas terbunuh oleh carabinieri atau ia mencari perlindungan di Amerika. Dan kalau ia terus memimpikan gadis ini, hidupnya tidak akan berakhir di Amerika. Ia harus menyingkirkannya dari benaknya. Kalau ia membujuk Justina atau melarikannya, ayah Justina akan menjadi musuh berbahaya, padahal ia sudah memiliki cukup banyak musuh berbahaya. Ia pernah menghukum Aspanu karena merayu gadis yang masih polos dan selama bertahun-tahun ini telah mengeksekusi tiga anak buahnya karena memerkosa. Perasaannya terhadap Justina adalah ia ingin membahagiakan gadis itu, menjadikan Justina mencintai dan mengagumi dan melihatnya sebagaimana ia pernah melihat dirinya sendiri. Ia ingin tatapan Justina dipenuhi cinta dan kepercayaan. Tapi itu hanyalah pikiran taktisnya yang tengah mengeksplorasi berbagai pilihan yang ia miliki. Ia telah memutuskan tindakan yang akan diambilnya. Ia akan menikahi gadis itu. Diam-diam. Tidak ada seorang pun yang tahu kecuali keluarga Justina dan tentu saja Aspanu Pisciotta dan beberapa anggota tepercaya kelompoknya. Setiap kali situasi aman, ia akan memerintahkan anak buahnya menjemput Justina ke pegunungan agar mereka bisa menghabiskan satu atau dua hari bersama-sama; Berbahaya bagi Justina menjadi istri Turi Guiliano, tapi Guiliano bisa mengatur agar ia berangkat ke Amerika, dan Justina akan menunggunya di sana saat ia berhasil melarikan diri. Hanya ada satu masalah. Apa pendapat Justina tentang dirinya? Caesero Ferra telah menjadi anggota rahasia kelompok Guiliano selama lima tahun, semata-mata sebagai pengumpul informasi, tidak pernah terlibat operasi. Ia dan istrinya mengenal dan bertetangga dengan orangtua Guiliano; mereka tinggal sepuluh rumah dari rumah Guiliano di Via Belia. Caesero lebih berpendidikan dibandingkan sebagian besar penduduk Montelepre dan merasa tidak puas dengan bertani. Lalu ketika Justina masih kedi dan menghilangkan uang, Guiliano memberi penggantinya dan menyuruhnya pulang bersama surat yang menyatakan keluarga mereka berada di bawah perlindungannya,- Caesero Ferra mengunjungi Maria Lombardo dan menawarkan jasa. Ia mengumpulkan informasi di Palermo dan Montelepre mengenai pergerakan patroli carabinieri, pergerakan para pedagang kaya yang akan diculik kelompok Guiliano, serta identitas informan polisi. Ia mendapat bagian dari hasil penculikan-penculikan itu dan membuka tavern kecil di Montelepre, yang juga membantu kegiatan rahasianya. Sewaktu putranya Silvio kembali dari perang sebagai aktivis Sosialis, Caesero Ferra mengusirnya. Bukan karena tidak menyetujui pandangannya, tapi karena bahaya yang bisa ditimbulkannya bagi anggota keluarga lainnya. Ia tidak punya gambaran mengenai demokrasi atau para pemimpin di Roma. Ia mengingatkan Turi Guiliano akan janjinya melindungi keluarga Ferra dan Guiliano berusaha sebaik-baiknya melindungi Silvio. Dan setelah Silvio dibunuh, Guiliano berjanji akan membalaskan dendamnya. Ferra tidak pernah menyalahkan Guiliano. Ia tahu pembantaian di Ginestra sangat mengganggu Turi Guiliano, menyebabkan ia berduka, dan masih menyiksa dirinya. Caesero mengetahuinya dari istrinya, yang mendengarkan Maria Lombardo bercerita tentang putranya selama berjam-jam. Bagaimana bahagianya mereka sebelum hari yang mengerikan bertahun-tahun lalu itu, sewaktu putranya ditembak carabinieri dan terpaksa balas membunuh. Dan tentu saja setiap pembunuhan setelah kejadian itu memang harus terjadi, dipaksakan terhadap Guiliano oleh orang-orang jahat. Maria Lombardo memiliki alasan untuk setiap pembunuhan, setiap kejahatan, tapi ia goyah saat membicarakan pembantaian di Portella della Ginestra. Oh, anak-anak kedi yang tercabik tembakan senapan mesin, wanita-wanita tak berdaya yang tewas. Bagaimana orang-orang bisa mengira putranya melakukan perbuatan seperti itu? Bukankah ia pelindung kaum miskin, Pembela Sisilia? Bukankah ia sudah memberikan harta membantu semua orang Sisilia yang membutuh- 452 kan makanan dan tempat tinggal? Turi-nya tidak mungkin memberikan perintah pembantaian seperti itu. Turi bersumpah kepadanya di depan patung Bunda Maria berkulit hitam, dan mereka menangis sambil berpelukan. -Maka selama bertahun-tahun Caesero memburu misteri mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Portella della Ginestra. Apakah para penembak senapan mesin di bawah komando Passatempo telah melakukan kesalahan tak disengaja berkaitan dengan sudut tembakan mereka? Apakah Passatempo, karena sifat haus darahnya yang terkenal, .membantai orang-orang itu demi kesenangan belaka? Mungkinkah seluruh kejadian itu dirancang untuk menghancurkan Guiliano? Mungkinkah ada kelompok lain yang menembak dengan senapan mesin, orang-orang yang bukan di bawah perintah Guiliano melainkan dikirim oleh Friends of the Friends atau bahkan sekelompok anggota Polisi Keamanan? Tak seorang pun luput dari daftar tersangka Caesero kecuali Turi Guiliano. Karena kalau Guiliano bersalah seluruh dunia tempat ia tinggal akan runtuh. Ia mencintai Guiliano seperti mencintai putranya sendiri. Ia menyaksikan Guiliano tumbuh dari anak-anak menjadi pria dewasa, dan tidak pernah sekali pun Guiliano menunjukkan kekejaman, maupun kekerasan. Jadi Caesero Ferra terus membuka mata dan telinga. Ia membelikan minuman bagi para anggota rahasia kelompok yang belum dipenjarakan oleh Kolonel Luca. Ia mendengar potongan-potongan percakapan di antara Friends of the Friends yang tinggal di kota dan sesekali datang ke tavern untuk rninum anggur dan kartu. Suatu malam ia mendengar meteka berbicara sambil tertawa-tawa tentang "Si Hewan" dan "Si Iblis" yang mengunjungi Don Croce, dan bagaimana Don yang agung mengubah kedua orang yang ditakuti itu menjadi malaikat yang berbisik-bisik. Ferra mempertimbangkan informasi itu dan dengan paranoia khas orang Sisilia berhasil mengaitkannya. Passatempo dan Stefan Andolini telah menemui Don. Passatempo sering kali disebut "Si Kasar" dan Fra Diavalo adalah nama bandit Andolini. Apa yang mereka lakukan, mengadakan pertemuan rahasia dengan Don Croce di rumahnya di Villaba, yang jauh dari pangkalan bandit di pegunungan? Ia mengirim putra remajanya ke rumah Guiliano membawa pesan penting dan dua hari kemudian ia dijemput ke pegunungan untuk menemui Guiliano. Ia menceritakan apa yang didengarnya kepada Guiliano. Pemuda itu tidak menunjukkan emosi apa pun dan hanya menyuruhnya bersumpah agar tidak membuka rahasia. Ferra tidak mendengar kabar apa-apa lagi. Sekarang, tiga bulan kemudian, ia menerima panggilan lain dari Guiliano dan menduga akan mendengar kelanjutan informasinya. Guiliano dan kelompoknya berada jauh di pegunungan, di luar jangkauan pasukan Luca. Caesero Ferra berangkat di malam hari dan ditemui Aspanu Pisciotta di tempat perjanjian untuk diantar ke kamp. Mereka baru tiba subuh keesokan harinya dan mendapati sarapan panas di meja lipat yang dilengkapi serbet linen dan peralatan makan perak. Turi Guiliano mengenakan kemeja sutra putih dan celana kulit cokelat yang diselipkan ke dalam sepatu bot cokelat yang disemir mengilap; rambutoya baru saja dikeramas dan disisir, ernah tampil begitu tampan. Pisciotta diperintahkan pergi dan Guiliano serta Ferra duduk bersama-sama. Guiliano tampak kikuk. Ia berkata kaku, "Aku ingin mengucapkan terima kasih atas informasi yang kausampaikan kepadaku. Informasi itu sudah ditindaklanjuti dan sekarang aku tahu pertemuan itu memang terjadi. Dan sangat penting. Tapi aku menyuruh anak buahku menjemputmu untuk membicarakan masalah lain. Masalah yang aku tahu akan mengejutkan dan kuharap tidak membuatmu tersinggung." Ferra terkejut tapi berkata sopan, "Kau tidak akan pernah membuatku tersinggung, aku berutang budi terlalu banyak padamu." Mendengarnya Guiliano tersenyum, senyum polos yang diingat Ferra dari masa kanak-kanak pemuda ini. "Dengar baik-baik," kata Guiliano. "Berbicara padamu adalah langkah pertamaku. Dan kalau kau tidak setuju aku tidak akan bertindak lebih jauh. Lupakan posisiku sebagai pemimpin kelompok; aku berbicara padamu sebagai ayah Justina. Kau tahu dia cantik, pasti banyak pemuda kota yang berkeliaran di dekat rumahmu. Dan aku tahu kau menjaga putrimu dengan hati-hati. Harus kuberitahukan, ini pertama kali seumur hidupku aku memiliki perasaan begini. Aku ingin menikahi putrimu. Kalau kau menolak aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Kau tetap temanku dan putrimu berada dalam perlindungan khusus seperti biasa. Kalau kau setuju, aku akan bertanya pada putrimu apa dia tidak keberatan dengan gagasan ini. Kalau dia menolak, masalahnya selesai sampai di situ." Caesero Ferra begitu terpana sehingga ia hanya bisa tergagap, "Biar kupikir, biar kupikir." Dan lama ia membisu. Saat mulai berbicara lagi nadanya penuh hormat. "Aku lebih suka mendapatkan dirimu sebagai suami putriku daripada pria mana pun. Dan aku tahu putraku Silvio—semoga Tuhan memberkati jiwanya— pasti menyetujui pendapatku." Sekali lagi ia tergagap. "Aku hanya mengkhawatirkan keselamatan putriku. Kalau Justina menjadi istrimu, Kolonel Luca jelas akan menggunakan alasan apa saja untuk menangkap-" nya. Friends of the Friends sekarang menjadi musuhmu dan mungkin akan menyakiti clirinya. Dan kau harus melarikan diri ke Amerika atau tewas di pegunungan ini. Aku tidak ingin putriku menjadi janda di usia semuda itu, maafkan aku karena berbicara terus terang. Tapi menikahinya juga menambah rumit hidupmu dan itu yang paling membuatku cemas. Pengantin yang bahagia tidak begitu waspada terhadap jebakan, dia lengah terhadap musuh-musuhnya. Pernikahan bisa menyebabkan kematianmu. Aku berbicara terus terang begini karena rasa sayang dan hormatku kepadamu. Pernikahanmu bisa diundur menunggu hari yang lebih baik saat kau mengetahui masa depanmu secara lebih pasti dan merencanakannya dengan lebih baik." Seusai berbicara Ferra mengawasi mata Guiliano, mencari-cari tanda apakah ia telah membuat pemuda itu kesal. Tapi ia hanya menyebabkan Guiliano tertekan. Dan Ferra mengenalinya sebagai kekecewaan pemuda yang tengah jatuh cinta. Di matanya hal itu begitu luar biasa sehingga secara naluriah ia berkata, "Aku bukannya berkata tidak kepadamu, Turi." Guiliano mendesah. "Aku sudah memikirkan semua itu. Rencanaku begini. Aku akan menikahi putrimu diam-diam. Kepala Biara Manfredi akan memimpin upacaranya. Kami akan menikah di pegunungan ini. Terlalu berbahaya bagiku melakukannya di tempat lain. Tapi aku bisa mengatur agar kau dan istrimu menemani putrimu sehingga kalian bisa menyaksikan pernikahan. Putrimu akan tinggal bersamaku selama tiga hari, lalu aku akan mengirimnya pulang ke rumahmu. Kalau putrimu menjadi janda dia akan memiliki cukup uang untuk memulai kehidupan baru. Jadi kau tidak perlu mengkhawatirkan masa depannya. Aku mencintai putrimu dan akan menghargai serta melindunginya seumur hidupnya. Aku akan menyediakan dana untuk masa depannya seandainya yang paling buruk terjadi. Tapi tetap saja berisiko menikah dengan orang seperti diriku, dan sebagai ayah yang hati-hati kau berhak menolak putrimu mengambil risiko itu." Caesero Ferra sangat tersentuh. Pemuda ini berbicara begitu gamblang dan blak- blakan. Dan dengan harapan begitu tinggi. Tapi yang terbaik ia berbicara langsung ke pokok persoalan. Ia telah menyiapkan cadangan bagi kesejahteraan putrinya di masa depan seandainya terjadi bencana. Ferra bangkit dari kursinya dan memeluk Guiliano. "Aku meresftiimu," katanya. "Aku akan berbicara pada Justina." Sebelum pergi, Ferra mengatakan dirinya gembira karena informasi yang diberikannya terbukti berguna. Dan ia tertegun melihat perubahan ekspresi wajah Guiliano. Mata Guiliano membelalak, keindahan wajahnya seakan mengeras menjadi marmer putih. "Akan kuundang Stefan Andolini dan Passatempo ke pernikahanku," katanya. "Jadi kita bisa membereskan masalahnya." Baru kelak terlintas dalam benak Ferra bahwa itu tindakan yang aneh, apalagi jika pernikahan Guiliano seharusnya dirahasiakan. Di Sisilia bukan tidak umum bagi seorang gadis untuk menikahi pria yang tidak pernah sekali pun menghabiskan waktu bersamanya. Pada saat para wanita duduk-duduk di luar rumah mereka, gadis yang belum menikah harus duduk tegak, tidak pernah menatap langsung ke jalan, kecuali mereka ingin disebut perempuan jalang Para pemuda yang lewat tidak akan pernah mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan mereka kecuali di gereja, tempat para gadis muda dilindungi patung-patung Bunda Maria dan ibu-ibu mereka yang menatap dingin. Kalau ada pemuda yang jatuh cinta setengah mati pada penampilan si gadis atau pada percakapan singkat di antara mereka, ia harus menyampaikannya secara tertulis, dalam surat yang tersusun dengan baik untuk menyatakan niatnya. Ini masalah serius. Sering kali penulis profesional disewa untuk ini' Nada yang salah bisa mengakibatkan pemakaman dan bukan pernikahan. Maka lamaran Guiliano melalui ayah Justina bukanlah tidak biasa, meski kenyataannya di hadapan Justina ia tidak menunjukkan tanda-tanda tertarik. Caesero Ferra tidak ragu akan jawaban Justina. Sewaktu kecil Justina selalu mengakhiri doanya dengan, "Dan selamatkanlah Turi Guiliano dari carabinieri?' Ia selalu berharap ada pesan yang harus diantarnya ke ibu Guiliano, Maria Lombardo. Lalu sewaktu kabar mengenai terowongan yang menuju rumah La Venera tersiar, Justina marah besar. Mula-mula ayah dan ibunya mengira kemarahan itu karena penangkapan atas La Venera dan orangtua Guiliano, tapi lalu mereka menyadari kemarahan itu disebabkan kecemburuan. Jadi Caesero Ferra bisa mengantisipasi jawaban putrinya; tak ada kejutan. Tapi yang mengejutkan adalah cara Justina menerima berita itu. Ia tersenyum nakal kepada ayahnya seolah ia memang berencana menggodanya, seakan ia sudah tahu dirinya bisa menaklukkan Guiliano. Jauh di pegunungan berdiri puri Normandia kecil, hampir tinggal puing-puing, yang tidak dihuni selama dua puluh tahun. Guiliano memutuskan merayakan pernikahan dan bulan madunya di sana. Ia memerintahkan Aspanu Pisciotta menetapkan batas penjagaan orang-orang bersenjata, untuk mencegah serangan mendadak. Kepala Biara Manfredi meninggalkan biara dengan kereta keledai, lalu diusung dengan tandu oleh anggota kelompok Guiliano, melintasi jalan- jalan setapak pegunungan. Di puri tua itu ia gembira menemukan kapel pribadi, walaupun semua patung dan ukirannya yang berharga telah lama dicuri. Tapi batu-batu polosnya indah, begitu pula altar batunya. Kepala Biara tidak sepenuhnya setuju Guiliano menikah, dan sesudah mereka berpelukan ia berkata dengan nada bergurau kepada Guiliano, "Kau seharusnya memerhatikan pepatah kuno, 'Orang yang bermain sendirian tidak pernah kalah.'" Guiliano tertawa dan berkata, "Tapi aku harus memikirkan kebahagiaanku sendiri." Kemudian ia menambahkan salah satu kata-kata mutiara kaum petani yang paling disukai Kepala Biara, yang selalu digunakannya untuk membenarkan caranya mencari uang; "Ingat, Santo Joseph mencukur janggutnya sendiri sebelum mencukur murid-murid lainnya." Ucapannya menggembirakan hati Kepala Biara, dan ia membuka kotak dokumen serta menyerahkan akte pernikahan Guiliano. Dokumen yang cantik, dihiasi huruf-huruf kaligrafi abad pertengahan yang ditulis dengan tinta emas. "Pernikahan ini akan dicatat di biara," kata Kepala Biara. 'Tapi jangan takut, tak seorang pun akan mengetahuinya." Pengantin wanita dan orangtuanya didatangkan dengan keledai semalam. Mereka tinggal di ruangan-ruangan puri yang telah dibersihkan anak buah Guiliano dan dilengkapi ranjang-ranjang yang terbuat dari bambu dan jerami. Guiliano merasa sedih karena orangtuanya sendiri tidak hadir dalam pernikahan itu, B mereka berada di bawah pengawasan ketat Pasukan Khusus Kolonel Luca. Hanya Aspanu Pisciotta, Stefan Andolini, Passatempo, Kopral Silvestro, dan Terranova yang hadir dalam pernikahan itu. Justina mengganti pakaian bepergiannya dengan gaun putih yang pernah dikenakannya di Palermo, gaun yang telah mencatat sukses besar. Ia tersenyum kepada Guiliano, dan Guiliano terpana melihat senyum berseri-seri itu. Kepala Biara mempersingkat upacara, lalu mereka keluar ke halaman rumput puri, di sana telah disiapkan meja dengan anggur, daging dingin, dan roti. Mereka semua bersantap cepat dan bersulang untuk kedua pengantin. Perjalanan pulang Kepala Biara dan suami-istri Ferra akan berlangsung lama dan berbahaya. Mereka gelisah patroli carabinieri mungkin sampai ke kawasan ini dan para jfehersenjata harus bertempur menghadapi me-reka. Kepala Biara ingin segera pulang, tapi Guiliano menahannya. "Aku ingin mengucapkan terima kasih atas apa yang sudah kaulakukan hari ini," kata Guiliano. "Segera sesudah hari pernikahanku aku ingin melakukan pengampunan. Tapi aku membutuhkan bantuanmu." Mereka berbicara pelan selama beberapa saat, dan Kepala Biara mengangguk-angguk. Justina memeluk orangtuanya; ibunya menangis dan memandang Guiliano dengan tatapan memohon. Lalu Justina membisikkan sesuatu ke telinganya dan ibunya tertawa. Mereka kembali berpelukan, lalu orangtua Justina naik ke keledai masing-masing. Pengantin baru itu menghabiskan malam pertama mereka di ruang tidur utama puri. Ruangan itu semula kosong melompong tapi Turi Guiliano telah mengisinya dengan kasur besar yang diangkut keledai, dilengkapi seprai sutra dan selimut serta bantal bulu angsa yang dibeli dari toko terbaik di Palermo. Ada kamar mandi yang sama luasnya dengan kamar tidur, dilengkapi bak mandi marmer dan wastafel besar. Tentu saja tidak ada air mengalir dan Guiliano harus mengisi bak dengan air yang diambilnya sendiri dari sungai kemilau yang mengalir di samping puri, menggunakan ember. Ia juga mengisi kamar itu dengan perlengkapan kamar mandi dan parfum yang belum pernah dilihat Justina seumur hidupnya. Telanjang, Justina mula-mula merasa malu, menutupi sela kakinya dengan tangan. Kulitnya keemasan. Ia langsing tapi memiliki payudara penuh wanita dewasa. Ketika Guiliano menciumnya, Justina memalingkan kepalanya sedikit sehingga pemuda itu hanya mencium sudut mulurnya. Guiliano bersabar, tidak dengan keahlian pencinta melainkan dengan indra taktis yang selama ini diandalkannya dalam perang gerilya. Justina membiarkan rambutnya yang panjang dan hitam pekat menjuntai menutupi payudaranya dan Guiliano membelai rambutnya serta berbicara tentang saat-saat pertama ia melihat Justina sebagai wanita pada hari yang menentukan di Palermo. Betapa cantiknya Justina saat itu. Ia mengutip sejumlah puisi yang dituUsnya tentang Justina saat ia seorang diri di pegunungan dan memimpikan kecantikannya. Justina bersantai di ranjang, selimut bulu angsa menutupi tubuhnya. Guiliano berbaring di atas selimut, tapi Justina mengalihkan tatapannya. Justina mengungkapkan kepada Guiliano bagaimana ia jatuh cinta kepadanya pada hari ia membawa pesan dari kakak lelakinya dan betapa hancur hatinya sewaktu menyadari Guiliano tidak mengenali dirinya sebagai gadis kecil yang diberi uang pengganti bertahun-tahun lalu. Ia bercerita betapa ia berdoa bagi Guiliano setiap malam sejak berusia sebelas tahun, betapa ia mencintai Guiliano sejak hari itu. Turi Guiliano merasa sangat bahagia mendengarkan cerita Justina. Justina mencintainya, memikirkan dan memimpikan dirinya sementara ia sendirian di pegunungan. Ia terus membelai rambut Justina dan wanita itu menangkap tangannya dan memegangnya, tangannya H hangat dan kering. "Apa kau terkejut sewaktu kuminta ayahmu berbicara kepadamu soal pernikahan?" tanya Guiliano. Justina tersenyum, senyum kemenangan. "Tidak idah kau menatapku begitu rupa di Palermo," ujarnya. "Sejak hari itu aku menyiapkan diri untukmu." Guiliano membungkuk untuk mencium bibir Justina yang penuh, merah tua bagai anggur, dan kali ini Justina tidak memalingkan wajah, Guiliano terkejut menyadari manisnya mulut Justina, tarikan napasnya, dan kepekaan kulitnya sendiri. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa tubuhnya bagai meleleh dan lepas dari dirinya. Ia mulai menggigil, dan Justina menyingkap selimut bulu angsanya sehingga Guiliano bisa berbaring bersamanya. Justina berbaring menyamping agar bisa memeluk Guiliano, sehingga mereka menyatu, dan tubuhnya terasa berbeda dari tubuh mana pun yang pernah disentuh Guiliano. Justina memejamkan mata. Turi Guiliano mencium mulurnya, matanya yang terpejam, dan payudaranya, kulitnya begitu halus sehingga panasnya daging hampir-hampir membakar bibir Guiliano. Ia terpana akan aroma tubuh Justina, begitu manis, tidak terpengaruh pahitnya kehidupan, begitu jauh dari kematian. Ia membelai paha Justina dan kehalusan kulit bagai sutra itu menyebabkan ia terangsang hingga hampir- hampir menyakitkan, pada saat sama ia merasa begitu terpesona hingga tertawa keras-keras. Tapi lalu Justina menyentuh sela pahanya, sangat lembut, dan Guiliano hampir-hampir kehilangan kesadaran. Ia bercinta dengan gairah liar tapi lembut dan Justina membalas belaiannya, pelan-pelan, hati-hati, dan beberapa saat kemudian dengan gairah yang sama. Mereka bercinta sepanjang malam tanpa kata kecuali seruan-seruan singkat penuh cinta, dan saat fajar merekah, Justina tertidur kelelahan. Sewaktu terjaga hampir tengah hari ia mendapati bak mandi marmer besar telah terisi air dingin, dan ember-ember di samping wastafel juga penuh air. Turi tidak terlihat di mana pun. Sejenak ia merasa takut karena sendirian; lalu ia melangkah masuk ke bak mandi dan membersihkan diri. Sesudahnya ia mengeringkan tubuh dengan handuk besar kasar berwarna cokelat dan mengoleskan salah satu parfum di wastafel ke mbuhnya. Lalu ia mengenakan pakaian bepergian, gaun panjang cokelat tua dan sweter putih berkancing. Ia memakai sepatu biasa. Di luar matahari bulan Mei sangat terik, seperti biasa di Sisilia, tapi angin pegunungan menyejukkan udara. Di dekat meja lipat terdapat api unggun, dan Guiliano telah menyiapkan sarapan untuknya—roti kasar yang dipanggang, ham clingin, dan buah-buahan. Ada juga mug-mug susu yang dituang dari wadah logam yang dibungkus dedaunan. Tidak terlihat siapa pun jadi Justina langsung berlari ke pelukan Turi dan menciumnya penuh semangat. Lalu ia berterima kasih karena Turi membuatkan sarapan tapi kemudian memarahinya karena tidak membangunkannya agar ia bisa menyiapkan makanan. Pria Sisilia tidak biasa berbuat begitu. Mereka bersantap di bawah cahaya matahari. Di sekitar mereka, di sekitar pesona mereka, berdiri sisa-sisa dinding puri, di atas mereka menjulang reruntuhan menara Normandia, puncaknya dihiasi mosaik batu berwarna-warni. Di pintu masuk puri berdiri gerbang Normandia yang megah, dan melewati bebatuan yang pecah-pecah itu mereka bisa melihat lengkungan altar Mereka melangkahi reruntuhan dinding puri dan berjalan menerobos pohon-pohon zaitun, di sela-sela pepohonan lemon yang bertebaran. Mereka melintasi kebun bunga yang banyak tumbuh di Sisilia—asphodel yang biasa digunakan penyair Yunani, anemone merah muda, hyacinth ungu, Adonis merah yang menurut legenda ternoda darah kekasih Venus. Turi Guiliano memeluk Justina; rambut dan tubuh gadis itu memantulkan wangi yang dipancarkan bunga-bunga itu. Jauh di belukar zaitun, Justina dengan berani menariknya dan merebahkannya di permadani luas yang terbuat dari bunga aneka warna, dan mereka bercinta. Di atas mereka gerombolan kupu-kupu kuning dan hitam berputar-putar, lalu membubung ke langit biru keunguan. Di hari ketiga dan terakhir mereka mendengar suara tembakan di pegunungan di kejauhan. Justina terkejut, tapi Guiliano menenangkannya. Guiliano selalu berhati-hati sepanjang tiga hari itu agar Justina tidak ketakutan. Ia tidak bersenjata, tidak terlihat senjata di sekitar mereka; ia menyembunyikan senjatanya di kapel. Ia menyembunyikan kewaspadaannya, dan ia memerintahkan anak buahnya bersembunyi. Tapi tidak lama sesudah tembakan itu Aspanu Pisciotta muncul membawa seikat kelinci berlumuran darah di bahunya. Ia melemparkan kelmci-keHnci ini ke kaki Justina dan berkata, "Masaklah ini untuk suamimu, itu hidangan kesukaannya. Dan kalau masakanmu hancur, kita masih punya dua puluh ekor lagi." Ia tersenyum kepada Justina, dan sementara gadis itu sibuk menguliti dan membersihkan kelinci, ia memberi isyarat kepada Guiliano. Keduanya menuju gerbang lengkung yang telah runtuh dan duduk. "Well, Turi," kata Pisciotta, menyeringai, "apa dia memang layak sehingga kita harus mempertaruhkan oyawa?" Guiliano berkata pelan, "Aku bahagia. Sekarang katakan tentang kedua puluh kelinci yang kautembak tadi." "Salah satu patroli Luca, tapi berkekuatan penuh," cerita Pisciotta. "Kami menghadang mereka di perbatasan. Dua kendaraan lapis baja. Salah satunya melewati ladang ranjau kita dan terbakar sama buruknya seperti kelmci-kelinci yang dibakar istri barumu itu. Kendaraan lain menembakkan senjatanya ke batu- batu dan lari pulang ke Montelepre. Mereka akan kembali besok pagi, tentu saja, untuk menemukan rekan-rekan mereka. Dengan kekuatan lebih besar. Kusarankan kautinggalkan tempat ini malam nanti." "Ayah Justina akan menjemputnya fajar besok," kata Guiliano. "Kau sudah mengatur pertemuan kecil kita?" "Ya," jawab Pisciotta. "Sesudah kepergian istriku..." Guiliano tergagap saat mengucapkan "istriku" dan Pisciotta tertawa. Guiliano tersenyum dan melanjutkan, "...ajak orang-orang itu menemuiku di kapel dan kita selesaikan masalahnya." Ia diam sejenak dan berkata, "Apa kau terkejut sewaktu kuberitahukan kejadian yang sebenarnya di Ginestra?" "Tidak," kata Pisciotta. "Kau mau makan malam bersama kami?" tanya Guiliano. "Di malam teraldiir bulan madumu?" Pisciotta menggeleng. "Kau tahu pepatah: 'Hati-hati terhadap masakan pengantin baru.'" Tentu saja maksud pepatah kuno itu adalah kemung-kuian berkhianatnya rekan yang baru diajak bergabung dalam kejahatan. Pisciotta sekali lagi mengatakan Guiliano seharusnya tidak menikah. Guiliano tersenyum. "Semua ini tidak bisa berlangsung lebih lama lagi—kita harus mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang berbeda. Pastikan penjagaan di perbatasan tetap bertahan besok sampai kita menyelesaikan semua urusan." Pisciotta mengangguk. Ia melirik ke api unggun tempat Justina memasak. "Betapa cantiknya dia," pujinya. "Apalagi mengingat dia tumbuh besar tepat di depan hidung kita dan kita tidak pernah menyadarinya. Tapi hati-hatilah, kata ayahnya dia pemarah. Jangan biarkan dia menyentuh senjatamu." Sekali lagi ini keterusterangan kasar khas petani Sisilia, tapi Guiliano seolah tidak mendengarnya dan Pisciotta melompati dinding kebun, menghilang di sela- sela pohon zaitun. Justina mengumpulkan bunga-bunga dan menempatkannya dalam vas tua yang ditemukannya di puri. Sawgkaian itu menyemarakkan meja. Ia menyajikan masakannya, kelinci dengan bawang putih dan tomat, semangkuk salad dengan minyak zaitun dan cuka anggur merah. Menurut Turi ia tampak agak gugup, agak sedih. Mungkin karena suara tembakan, mungkin kehadiran Aspanu Pisciotta di Taman Eden mereka dengan wajahnya yang pucat pasi, senapan tergantung di tubuhnya. Mereka duduk berhadapan sambil makan pelan-pelan. Justina bukan juru masak yang buruk, pikir Guiliano, dan ia sigap memberinya tambahan roti, daging dan mengisi gelas anggurnya; ia sudah dilatih baik oleh ibunya. Guiliano rrienyadari dan mengakui Justina suka makan—ia tampak segar, justina menengadah dan melihat Guiliano tengah mengawasinya. Ia tersenyum dan berkata, "Apa masakannya selezat masakan ibumu?" "Lebih lezat," kata Guiliano. "Tapi jangan pernah bilang padanya." Justina masih memandanginya bagai kucing. "Apa sama lezatnya dengan masakan La Venera?" Turi Guiliano tidak pernah menjalin hubungan cinta dengan gadis muda. Ia terkejut, tapi pikiran taktisnya cepat mencerna pertanyaan itu. Berikutnya Justina akan menanyakan hubungan seksnya dengan La Venera. Ia tak ingin mendengar atau menjawab pertanyaan seperti itu. Ia tidak mencintai wanita lebih tua itu sebagaimana cintanya terhadap gadis muda ini; namun ia sayang dan hormat kepada La Venera. La Venera wanita yang mengalami berbagai tragedi dan penderitaan yang belum pernah dialami gadis muda dengan segala pesonanya ini. Guiliano tersenyum serius kepada Justina. Justina beranjak bangkit untuk membersihkan meja tapi menunggu jawabannya. Guiliano berkata, "La Venera pandai memasak—tidak adil membandingkan dirimu dengannya." Sebuah piring melayang melewati kepalanya dan Guiliano tertawa lepas. Ia tertawa penuh sukacita dan bahagia karena menjadi bagian dari pertengkaran rumah tangga dan karena untuk pertama kalinya topeng kemanisan dan kepatuhan ditanggalkan dari wajah Justina. Tapi begitu ia mulai terisak-isak Guiliano memeluknya. Mereka berdiri di sana, dalam senja keperakan yang 469 turun begitu cepat menyelimuti Sisilia. Guiliano menggumam ke telinga Justina yang mencuat kemerahan dari balik rambutnya yang hitam pekat. "Aku hanya bergurau. Kau juru masak terbaik di dunia." Tapi Guiliano membenamkan wajahnya di leher Justina agar ia tidak bisa melihat senyumnya. Di malam terakhk, mereka lebih banyak bercakap-cakap daripada bercinta. Justina bertanya tentang La Venera dan Guiliano mengatakan wanita itu merupakan masa lalu dan sebaiknya dilupakan. Justina bertanya tentang masa depan mereka berdua. Guiliano menjelaskan ia sedang mengatur untuk mengirim Justina ke Amerika dan akan bergabung dengannya di sana. Tapi ayah Justina sudah memberitahukan hal itu; yang dipertanyakan Justina hanyalah bagaimana mereka bisa bertemu lagi sebelum ia berangkat ke Amerika. Guiliano melihat tidak pernah terlintas dalam benak Justina kemungkinan dirinya gagal melarikan diri; Justina terlalu muda untuk bisa membayangkan akhir yang tragis. Ayah Justina datang saat fajar baru merekah. Justina memeluk Turi Guiliano erat-erat untuk terakhir kali dan pergi. Guiliano pergi ke kapel di reruntuhan puri dan menunggu kedatangan Aspanu Pisciotta bersama para pemimpin anak buahnya. Sementara menunggu ia mempersenjatai diri dengan senapan-senapan yang-disembunyikannya di kapel. Dalam percakapan dengan Kepala Biara Manfredi tepat sebelum pernikahannya, Guiliano menyatakan kecurigaannya bahwa Stefan Andolini dan Passatempo menemui Don Croce dua hari sebelum pembantaian di Portella della Ginestra. Ia meyakinkan Kepala Biara dirinya tidak akan menyakiti putranya, tapi penting baginya mengetahui kebenaran. Kepala Biara menceritakan seluruh kejadiannya. Seperti telah ditebak Turi, Stefan Andolini telah mengaku dosa kepada ayahnya. Don Croce meminta Stefan Andolini membawa Passatempo menemuinya diam- diam di Villaba. Andolini diperintahkan menunggu di luar ruangan sementara keduanya bercakap-cakap. Pertemuan itu hanya dua hari sebelum pembantaian. Sesudah tragedi May Day itu Stefan Andolini mengkonfrontasi Passatempo, yang mengakui Don Croce telah memberinya sejumlah besar uang untuk menentang perintah Guiliano dan mengarahkan senapan mesin ke kerumunan orang. Passatempo mengancam kalau Andolini mem-beritahu Guiliano, ia akan bersumpah menyatakan Andolini ada di dalam ruangan bersama Don Croce sewaktu tawar-menawar terjadi. Andolini terlalu takut memberitahu siapa pun kecuali ayahnya, Kepala Biara Manfredi. Manfredi menasihatinya untuk menutup mulut. Seminggu setelah pembantaian Guiliano dicekam kedukaan begitu hebat sehingga ia yakin akan mengeksekusi keduanya. Sekali lagi Guiliano meyakinkan Kepala Biara ia tidak akan melukai putranya. Guiliano memberikan beberapa perintah pada Pisciotta tapi mengatakan mereka akan menyelesaikan masalahnya sesudah Justina kembali ke Montelepre, sesudah bulan madu. Ia tidak ingin berperan sebagai tukang jagal di depan pengantinnya. Ia sekarang menunggu di kapel reruntuhan puri Normandia, langit-langitnya berupa langit Mediterania yang biru. Ia bersandar ke sisa-sisa altar di belakangnya, 471 dan begitulah posisinya sewaktu menerima para pemimpin anak buahnya yang dibawa masuk Pisciotta. Kopral telah mendapat penjelasan dari Pisciotta dan berdiri di tempat senjatanya bisa dibidikkan ke Passatempo dan Stefan Andolini. Keduanya diajak langsung menghadap Guiliano di depan altar. Terranova, yang tidak tahu apa-apa, duduk di salah satu bangku batu kapel. Ia yang memimpin pertahanan perbatasan di malam hari dan ia kelelahan. Guiliano tidak mem-beritahu siapa pun apa yang akan dilakukannya terhadap Passatempo. Guiliano mengerti Passatempo mirip hewan liar—ia bisa merasakan perubahan atmosfer dan mencium bahaya yang terpancar dari orang lain. Guiliano berhati- hati agar bersikap seperti biasa terhadap Passatempo. Ia selaki lebih menjaga jarak dengannya daripada dengan pemimpin lainnya. Ia bahkan menugaskan Passatempo dan kelompoknya mengendalikan kawasan di sekitar Trapani yang cukup jauh, karena kebuasan Passatempo membuatnya jijik. Ia menggunakan Passatempo untuk mengeksekusi para informan dan juga untuk mengancam "tamu" yang keras kepala sampai mereka membayar tebusannya. Hanya melihat Passatempo biasanya sudah cukup membuat para tahanan ketakutan dan mempersingkat negosiasi. Tapi kalau itu belum cukup, Passatempo akan mengungkapkan apa yang akan dilakukannya terhadap mereka dan keluarga mereka kalau tebusan tidak dibayar. Dan ia bercerita dengan kenikmatan begitu rupa sehingga para "tamu" akan berhenti tawar-menawar agar bisa dibebaskan sesegera mungkin. Guiliano mengarahkan pistol otomatisnya kepada Passatempo dan berkata, "Sebelum berpisah kita harus membereskan utang- piutang di antara kita. Kau tidak mematuhi perintahku, kau menerima uang dari Don Croce untuk membantai orang-orang di Portella della Ginestra." Terranova memandang Guiliano dengan mata menyipit, bertanya-tanya akan keselamatannya sendiri, apakah Guiliano tengah menyeHdiki siapa yang sebenarnya bersalah. Apakah ia mungkin akan dituduh juga. Ia mungkin bisa bergerak membela diri, tapi Pisciotta juga mengarahkan pistolnya kepada Passatempo. Guiliano berkata kepada Terranova, "Aku tahu kau dan kelompokmu mematuhi perintahku. Passatempo tidak. Tindakannya membahayakan nyawamu, karena kalau aku tidak mengetahui kebenarannya, aku akan terpaksa mengeksekusi kalian berdua. Tapi sekarang kita harus menghadapinya." Stefan Andolini tidak bergerak sedikit pun. Sekali lagi ia pasrah pada nasib. Selama ini ia setia kepada Guiliano dan, seperti semua orang yang percaya pada Tuhan tidak akan pernah percaya bahwa Tuhan kejam, dan melakukan kejahatan atas NamaNya, ia percaya penuh dirinya tidak akan disakiti. Passatempo juga tahu. Dengan naluri hewan yang tajam ia merasakan kematiannya sudah dekat. Tidak ada yang bisa membantunya kecuali kebrutalannya sendiri, tapi dua pucuk pistol diarahkan kepadanya. Ia hanya bisa mengulur waktu dan melakukan serangan terakhir. Jadi ia berkata, "Stefan Andolini memberiku uang dan pesan itu—dia juga terlibat," dengan harapan Andolini akan bertindak membela diri dan dengan begitu ada kesempatan menyerang. Guiliano berkata kepada Passatempo, "Andolini sudah mengaku dosanya dan tangannya tidak pernah menyentuh senapan mesin itu. Don Croce menipunya sama seperti ia telah menipu cliriku." Passatempo berkata dengan kebingungan liar, "Tapi aku sudah membunuh ratusan orang dan kau tidak pernah mengeluh. Dan kejadian di Portella itu hampir dua tahun lalu. Kita sudah bersama-sama selama tujuh tahun dan hanya satu kali itu aku tidak mematuhimu. Don Croce membuatku percaya kau tidak akan terlalu menyesali perbuatanku. Bahwa kau terlalu takut melakukannya sendiri. Dan apa artinya kematian beberapa orang dibandingkan orang-orang lainnya yang kita bunuh? Secara pribadi aku tidak pernah tidak setia kepadamu." Pada saat itu Guiliano menyadari betapa sia-sianya membuat orang ini memahami akibat perbuatannya. Lagi pula, bagaimana peristiwa itu bisa begitu menyakiti hatinya? Selama bertahun-tahun ini bukankah ia sendiri pernah memerintahkan tindakan yang hampir sama mengerikan? Eksekusi si tukang cukur, penyaliban pendeta palsu, penculikan-penculikan, pembantaian carabinieri, pembunuhan keji para mata-mata? Kalau Passatempo orang yang kasar, sejak lahir, lalu apakah dirinya ini, Pembela Sisilia? Ia merasakan keengganannya melakukan eksekusi. Jadi Guiliano berkata, "Kuberi kau waktu untuk berdamai dengan Tuhan. Berlutut dan berdoalah." Pemimpin lainnya menjauhi Passatempo, meninggalkan dirinya di tengah-tengah lingkaran kematiannya sendiri. Ia bergerak seakan hendak berlutut dan lalu tubuhnya yang gemuk pendek melesat ke arah Guiliano. Guiliano melangkah maju menyambutnya dan menyentuh picu pistol otomatis. Peluru menghantam passatempo di udara, tapi ia terus maju dan membentur Guiliano ketika tubuhnya roboh. Guiliano menjauhinya. Siang itu mayat Passatempo ditemukan di jalan pegunungan yang dilewati patroli carabinieri. Pada mayatnya dijepitkan surat pendek berbunyi, KEMATIAN BAGI SEMUA YANG MENGKHIANATI GUILIANO. BUKU V TURI GUILIANO DAN MICHAEL CORLEONE 1950 MICHAEL tertidur lelap, lalu tiba-tiba terjaga. Rasanya seperti ia merenggut tubuhnya keluar dari lubang yang dalam. Kamar tidur gelap gulita; ia memang menutup daun jendela kayunya untuk menghalangi cahaya bulan yang laming pucat Tidak terdengar suara, hanya kesunyian menakutkan yang kini dipecahkan debur jantungnya. Ia bisa merasakan kehadiran seseorang dalam kamar. Ia berbalik di ranjang, dan dalam pandangannya ada genangan kegelapan yang lebih terang di lantai di dekatnya. Ia mengulurkan tangan dan menyalakan lampu di samping ranjang. Genangan itu membentuk potongan kepala patung Bunda Maria berkulit hitam. Ia menebak potongan kepala itu jatuh dari meja dan bunyinya membangunkan dirinya. Ia merasa tenang dan tersenyum lega. Pada saat itu ia mendengar geme-resik pelan di pintu. Ia berpaling, dan dalam bayang- bayang yang tidak terjangkau cahaya oranye suram lampu, ia bisa melihat wajah kurus gelap Aspanu Pisciotta. Ia duduk di lantai memunggungi pintu. Mulurnya yang berkumis merekah membentuk senyum kemenangan, seakan hendak mengatakan, percuma saja para penjagamu itu, percuma saja keamanan tempat perlindunganmu ini. Michael memandang arlojinya yang ada di meja samping ranjang. Pukul tiga. "Kau terus muncul di jam-jam yang tidak biasa—apa yang kautunggu?" tanyanya. Ia turun dari ranjang dan bergegas berpakaian, lalu membuka jendela. Cahaya bulan menerobos memasuki ruangan bagai hantu, muncul dan menghilang. "Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Michael. Pisciotta bangkit bagai ular mengangkat kepala siap menyerang. "Aku senang mengamati orang tidur. Terkadang dalam tidur mereka meneriakkan rahasia mereka." "Aku tidak pernah mengungkapkan rahasiaku," kilah MichaeL "Dalam mimpi pun tidak." Ia melangkah keluar ke teras dan menawarkan rokok kepada Pisciotta. Mereka merokok bersama. Michael bisa mendengar dada Pisciotta menggemuruh karena menahan batuk dan wajahnya pucat pasi tertimpa cahaya bulan, tulang-tulangnya menonjol. Mereka membisu. Lalu Pisciotta bertanya, "Kau pernah membaca Wasiat?" "Ya," jawab MichadL Pisciotta mendesah. "Turi memercayaiku lebih daripada siapa pun di dunia ini— dia memercayakan hidupnya padaku. Aku satu-satunya orang yang bisa menemukan dirinya sekarang. Tapi dia tidak memercayakan Wasiat kepadaku. Dokumen itu ada padamu?" Michael ragu-ragu sejenak. Pisciotta tertawa. "Kau mirip Turi," ujarnya. "Wasiat ada di Amerika," kata Michael. "Dokumen itu sudah diamankan ayahku." Ia tidak ingin Pisciotta mengetahui dokumen itu dalam perjalanan ke Tunisia hanya karena ia tidak ingin ada orang lain yang mengetahuinya. Michael hampir-hampir takut mengajukan pertanyaan selanjurnya. Hanya ada satu alasan Pisciotta mengunjunginya diam-diam. Hanya ada satu alasan ia mengambil risiko menghindari para penjaga yang mengepung vila; atau ia memang diizinkan masuk? Kedatangan Pisciotta hanya berarti Guiliano aldurnya siap muncul. "Kapan Guiliano kemari?" ia bertanya. "Besok malam," jawab Pisciotta. "Tapi tidak di sini." "Kenapa tidak?" tanya Michael. "Ini tempat yang aman." Pisciotta tertawa. "Tapi aku bisa menerobos, bukan?" Michael merasa jengkel atas kebenaran itu. Ia kembali bertanya-tanya apakah Pisciotta diizinkan masuk oleh para penjaga berdasarkan perintah Don Domenic, atau bahkan dibawa kemari oleh Don Domenic sendiri. "Hanya Guiliano yang bisa memutuskan," katanya. "Tidak," bantah Pisciotta. "Aku yang memutuskan baginya. Kau sudah berjanji kepada keluarganya dia akan aman. Tapi Don Croce tahu kau di sini, begitu juga Inspektur Velardi. Mata-mata mereka ada di mana-mana. Apa yang kaurencanakan untuk Guiliano? Pesta pernikahan, ulang tahun? Pemakaman? Kekonyolan macam apa yang kaukatakan kepada kami? Kaukira kami di Sisilia ini keledai semua?" Ia mengucapkannya dengan nada berbahaya. "Aku tidak akan menceritakan rencana pelarian ini kepadamu," kata Michael. "Kau bisa memilih memercayaiku atau tidak. Katakan di mana kau akan mengantarkan Guiliano dan aku akan ada di sana. Kalau kau tidak mengatakannya, besok malam aku sudah aman di Amerika, sementara kau dan Guiliano masih berusaha menyelamatkan diri." Pisciotta tertawa dan berkata; "Berbicara seperti orang Sisilia sejati—kau tidak menyia-nyiakan keberada-anmu di sini." Ia mendesah. "Sulit dipercaya semua ini harus berakhir," katanya. "Hampir tujuh tahun bertempur dan melarikan diri, menghadapi pengkhianatan dan pembunuhan. Tapi kami Raja-Raja Montelepre, Turi dan aku—ada cukup banyak kebanggaan bagi kami berdua. Kebanggaan dirinya bagi kaum miskin dan kebanggaanku bagi diriku sendiri. Mula-mula aku tidak pernah percaya, tapi di tahun kedua kami sebagai pelanggar hukum, dia membuktikannya kepadaku dan seluruh anggota kelompok. Ingat, aku orang kedua dalam kelompoknya, sepupunya, orang yang paling dipercayainya. Aku mengenakan sabuk bergesper emas sama seperti dirinya; dia memberikannya padaku. Tapi aku merayu putri petani di Partinico dan niengharnili-nya. Ayahnya menemui Guiliano dan menceritakan masalahnya. Kau tahu apa yang dilakukan Turi? Dia mengikatku ke sebatang pohon dan mencambuki diriku. Tidak di depan petani itu atau salah satu anak buah kami Dia tidak akan pernah mempermalukan diriku sepera itu. Itu rahasia kami. Tapi aku tahu kalau aku menentang perintahnya lagi, dia akan membunuhku. Begitulah Turi kami." Tangan Pisciotta bergetar ketika ia mengangkatnya ke mulut. Dalam cahaya bulan yang mulai memudar kumisnya yang tipis berkilau bagai sepotong tipis tulang hitam. Betapa aneh ceritanya, pikir Michael. Kenapa ia menceritakannya kepadaku? Mereka kembali ke kamar tidur dan Michael menutup daun jendela. Pisciotta mengambil potongan kepala patung Bunda Maria berkulit hitam dari lantai dan menyerahkannya kepada Michael. "Aku melemparkannya ke lantai untuk membangunkanmu," katanya, "wasiat ada di dalamnya, benar?" "Ya," jawab Michael. Wajah Pisciotta berkedut. "Maria Lombardo mem-bohongiku. Aku pernah bertanya apakah Wasiat ada padanya. Dia menjawab tidak. Lalu dia memberikannya padamu di depan mataku." Ia tertawa pahit. "Aku sudah seperti putranya sendiri." Ia diam sejenak lalu berkata, "Dan dia sudah seperti ibuku sendiri." Pisciotta meminta rokok lagi. Masih ada sisa anggur di karaf di meja samping ranjang. Michael menuang segelas untuk mereka berdua, dan Pisciotta meminumnya penuh syukur. "Terima kasih," katanya. "Sekarang kita harus membicarakan bisnis. Akan kuantarkan Guiliano padamu di luar kota Castelvetrano. Gunakan mobil terbuka agar aku bisa mengenalimu, dan datang langsung dari arah Trapani. Aku akan mencegatmu di tempat yang kutentukan. Kalau ada bahaya, pakailah topi dan kami tidak akan muncul. Waktunya segera setelah fajar. Kau bisa mengurusnya?" "Ya," kata Michael. "Semua sudah diatur. Ada satu hal yang harus kuberitahukan padamu: Stefan Andolini tidak menemui Profesor Adonis kemarin. Profesor sangat khawatir." Pisciotta terkejut untuk pertama kalinya. Lalu ia mengangkat bahu. "Pria kecil itu selalu siaL" ujarnya. "Sekarang kita harus mengucapkan selamat berpisah sampai fajar besok." Ia meraih tangan Michael. Michael berkata spontan, "Ikutlah dengan kami ke Amerika." Pisciotta menggeleng. "Aku sudah tinggal di Sisilia seumur hidupku dan aku mencintai kehidupanku. Jadi aku harus mari di Sisilia kalau perlu. Tapi terima kasih." Michael anehnya tergerak mendengar kata-kata itu. Bahkan kendati ia kurang mengenal Pisciotta, ia merasa orang ini tidak akan pernah bisa dicabut dari tanah dan pegunungan Sisilia. Ia terlalu buas, terlalu haus darah; warna kulitnya, suaranya, semua Sisilia. Ia tidak akan pernah bisa memercayai tanah asing. "Akan kuantar kau melewati gerbang," kata Michael. "Tidak," tolak Pisciotta. "Pertemuan kecil kita ini harus tetap dirahasiakan." Setelah Pisciotta berlalu, Michael berbaring di ranjangnya sampai fajar, tidak mampu tidur. Ia akhirnya akan bertemu muka dengan Turi Guiliano; mereka akan pergi ke Amerika bersama-sama. Ia bertanya-tanya seperti apakah Guiliano itu? Apakah ia mencerminkan legenda yang beredar tentang dirinya? Begitu hebatnya sehingga ia mampu mendominasi pulau ini dan memengaruhi arah sebuah bangsa? Ia bangkit dan membuka jendela. Fajar akhirnya merekah dan ia menyaksikan matahari menanjak di langit dan membentuk jalur panjang keemasan melintasi laut, dan di atas berkas cahaya itu ia melihat perahu motor besar melesat ke dermaga. Ia bergegas keluar dari vila dan menuju pantai untuk menyambut Peter Clemenza. Mereka sarapan bersama. Dan Michael menceritakan tentang kunjungan Pisciotta. Clemenza tidak tampak terkejut mengetahui Pisciotta berhasil menerobos penjagaan vila. Mereka menghabiskan sepanjang pagi untuk menyusun rencana menemui Guiliano. Mungkin ada mata-mata yang mengawasi vila, mencatat setiap kegiatan yang tidak biasa; irmg-iringan mobil pasti akan menarik perhatian. Michael juga jelas tengah diawasi. Memang benar, kepolisian Sisilia di bawah pimpinan Inspektur Velardi tidak akan ikut campur, tapi siapa yang tahu pengkhianatan apa yang akan terjadi? Seusai menyusun rencana, mereka makan siang, lalu Michael menuju kamarnya untuk tidur siang. Ia ingin melewati malam panjang nanti dalam keadaan segar. Peter Clemenza harus mengurus begitu banyak hal— memberikan perintah kepada anak buahnya, mengatur transportasi, dan memberikan penjelasan kepada kakaknya, Don Domenic, mengenai kepulangannya. Michael menutup daun jendela kamar tidur dan berbaring di ranjang. Tubuhnya kaku; ia tidak bisa tidur. Dalam 24 jam mendatang banyak kejadian buruk yang mungkin terjadi. Ia mendapat firasat buruk. Tapi lalu ia memimpikan kepulangannya ke Long Island, ibu dan ayahnya menunggu di pintu, pengasingannya yang panjang telah berakhir. Bab 26 SELAMA tujuh tahun menjadi bandit, Turi Guiliano tahu ia harus meninggalkan kerajaan pegunungannya dan melarikan diri ke Amerika, negeri tempat ia tumbuh dalam kandungan ibunya, Amerika yang selalu diceritakan orangtuanya sewaktu ia kanak-kanak. Tanah luar biasa tempat terdapat keadilan bagi orang miskin, tempat pemerintah tidak menjadi antek orang kaya, tempat orang Sisilia miskin bisa menjadi kaya hanya dengan bekerja keras secara jujur. - Mengandalkan persahabatannya, Don menghubungi Don Corleone di Amerika untuk membantu menyelamatkan Guiliano dan memberinya perlindungan di sana. Turi Guiliano cukup memahami bahwa Don Croce berbuat begitu juga demi kepentingannya sendiri, tapi ia tahu dirinya tak punya banyak pilihan. Kekuasaan kelompoknya telah lenyap. Malam ini ia akan memulai perjalanan menemui Aspanu Pisciotta; ia akan menyerahkan diri ke tangan si orang Amerika, Michael Corleone. Kini ia akan meninggalkan pegunungan ini. Pegunungan yang telah memberinya perlindungan selama tujuh tahun. Ia akan meninggalkan kerajaannya, kekuasaannya, keluarganya, dan semua rekannya. Pasukannya telah luluh lantak; pegunungannya telah dikuasai musuh; pelindungnya, rakyat Sisilia, tengah dihancurkan Pasukan Khusus Kolonel Luca. Kalau ia tetap tinggal ia akan meraih beberapa kemenangan, tapi kekalahan finalnya sudah pasti. Untuk saat ini, ia tidak memiliki pilihan. Turi Guiliano menyandang /upara-nya., meraih senapan mesinnya dan memulai perjalanan panjang ke Palermo. Ia mengenakan kemeja putih tanpa lengan, tapi di luarnya ia memakai jaket kulit bersaku besar yang berisi amunisi senjatanya. Ia mempercepat langkah. Arlojinya menyatakan pukul sembilan, dan masih ada sisa-sisa siang hari di langit meskipun bulan malu-malu mulai menampakkan diri. Ada risiko berpapasan dengan patroli Pasukan Khusus Penekan Bandit, namun Guiliano melangkah tanpa takut. Selama bertahun-tahun ini ia mendapatkan semacam kekebalan. Semua orang di pedalaman bagai menyembunyikan dirinya. Kalau ada patroli mereka akan memberitahunya; kalau ada bahaya mereka akan melindungi dan menyembunyikan dirinya di rumah mereka. Kalau ia diserang, para gembala dan petani akan bergabung membelanya. Ia telah menjadi pembela mereka; mereka tidak akan pernah mengkhianati dirinya sekarang. Dalam bulan-bulan setelah pernikahannya, terjadi pertempuran hebat antara Pasukan Khusus Kolonel Luca dan segmen-segmen kelompok Guiliano. Kolonel Luca memperoleh pujian atas kematian Passatempo, dan koran-koran melaporkan dalam judul-judul besar bahwa salah satu pemimpin kelompok Guiliano yang paling ditakuti tewas dalam pertempuran senjata dengan para prajurit heroik Pasukan Khusus Penekan Bandit. 487 Kolonel Luca, tentu saja, telah menyingkirkan surat Guiliano dari mayat itu, tapi Don Croce mengetahuinya dari Inspektur Velardi. Jadi ia tahu Guiliano menyadari sepenuhnya pengkhianatan yang terjadi pada peristiwa Portella della Ginestra.Pasukan Kolonel Luca yang berjumlah lima ribu orang melakukan penekanan besar-besaran terhadap Guiliano. Ia tidak lagi berani memasuki Palermo untuk membeli pasokan atau menyelinap ke Montelepre untuk mengunjungi ibunya dan Justina. Banyak anak buahnya yang dikhianati dan dibunuh. Beberapa pindah atas keinginan sendiri ke Aljazair atau Tunisia. Lainnya menghilang ke tempat-tempat persembunyian yang memisahkan mereka dari kegiatan kelompok. Mafia kini aktif menentangnya, menggunakan jaringannya untuk menggiring anak buah Guiliano ke tangan carabinieri. Dan akhirnya salah satu pemimpin kelompok Guiliano berhasil dibunuh. Terranova bernasib sial, dan justru kebaikannya yang menyebabkan kesialan itu. Ia tidak memiliki kebuasan Passatempo, kelicikan Pisciotta yang berbahaya, karakteristik mematikan Fra Diavalo. Ia juga tidak memiliki kualitas kesederhanaan Guiliano. Ia cerdas tapi juga penyayang Dan Guiliano sering kali menggunakan dirinya untuk berteman dengan korban-korban penculikan mereka, untuk membagikan uang dan barang -kepada kaum miskin. Terranova dan kelompoknya yang memenuhi Palermo dengan poster-poster propaganda Guiliano di tengah malam. Ia jarang terlibat operasi-operasi berdarah. Ia pria yang membutuhkan cinta dan kasih sayang. Beberapa tahun lalu, ia memiliki wanita simpanan di Palermo, janda dengan tiga anak yang masih kecil. Sang janda tidak pernah tahu dirinya bandit; ia menganggap Terranova pejabat pemerintah di Roma yang berlibur di Sisilia. Ia bersyukur atas uang dan berbagai hadiah bagi anak- anaknya yang diberikan Terranova, tapi jelas baginya mereka tidak akan pernah bisa menikah. Maka janda itu memberi Terranova perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkannya. Bila Terranova berkunjung sang janda memasak berbagai hidangan; ia mencucikan pakaian Terranova dan bercinta penuh gairah. Hubungan seperti itu tidak bisa dirahasiakan selamanya dari Friends of the Friends, dan Don Croce menyimpan informasi itu untuk digunakan pada saat yang tepat. Justina sempat mengunjungi Guiliano di pegunungan beberapa kali, dan Terranova menjadi pengawal dalam perjalanannya. Kecantikan Justina membangkitkan kerinduan dalam hatinya, dan walaupun sadar keputusannya ceroboh, ia memutuskan mengunjungi gundiknya untuk yang terakhir kali. Ia ingin memberi sejumlah besar uang yang bisa menjamin kehidupan sang janda beserta anak-anaknya selama bertahun-tahun mendatang. Jadi suatu malam ia menyelinap ke Palermo seorang diri. Ia memberikan uang kepada janda itu dan menjelaskan dirinya mungkin tidak bisa menemuinya dalam waktu lama. Sang janda menangis dan memprotes dan akhirnya Terranova memberitahukan siapa dirinya yang sebenarnya. Wanita itu tertegun. Sikap Terranova sehari-hari begitu halus, sifatnya begitu lembut, namun ia salah satu pemimpin terkenal kelompok Guiliano. Sang janda bercinta dengannya begitu penuh gairah sehingga Terranova merasa senang, dan mereka menghabiskan malam bahagia bersama ketiga anaknya. Terranova mengajari mereka bermain kartu, dan sewaktu mereka menang ia membayar dengan uang sungguhan, yang menyebabkan mereka tertawa-tawa gembira. Sesudah menidurkan anak-anak, Terranova dan sang janda kembali bercinta hingga fajar. Lalu Terranova bersiap pergi. Di pintu mereka berpelukan untuk ter-akhir kali, lalu Terranova bergegas menyusuri jalan kecil dan memasuki alun- alun utama di depan katedral. Tubuhnya puas dan bahagia, dan pikirannya tenang. Ia santai dan lengah. Udara pagi dipecahkan oleh raungan mesin. Tiga mobil hitam melesat ke arahnya. Orang-orang bersenjata bermunculan dari setiap sisi lapangan. Orang- orang bersenjata lainnya berlompatan turun dari mobil. Salah satunya berteriak memerintahkan dirinya agar menyerah, agar mengangkat tangannya. Terranova memandang katedral, ke arah patung-patung orang suci yang bertengger di dindingnya; ia melihat balkon-balkon biru dan kuning, matahari tengah menanjak di langit kebiruan. Ia mengerti inilah terakhir kali ia melihat keajaiban seperti itu, keberuntungan selama tujuh tahun telah berakhir. Hanya ada satu tindakan yang harus dilakukannya. Ia melompat setmggi-tingginya seolah hendak melompati kematian dan melontarkan diri ke alam semesta yang aman. Saat tubuhnya melayang ke satu sisi dan menghantam tanah, ia mencabut pistol dan menembak. Salah satu prajurit terhuyung ke belakang dan jatuh beriutut Terranova mencoba menarik picunya lagi, tapi pada saat itu ratusan peluru menghunjam tubuhnya, mencincangnya, mencabik daging dari tulang- AOCi tulangnya. Satu hal ia beruntung—kejadiannya berlangsung begitu cepat sehingga ia tidak sempat bertanya-tanya apakah gundiknya telah menglduanatinya. Kematian Terranova menghancurkan Guiliano. Ia paham kejayaan kelompoknya telah berakhir. Mereka tidak lagi berhasil membalas serangan, mereka tidak lagi bisa bersembunyi di pegunungan. Tapi ia selalu mengira dirinya dan para pemimpin anak buahnya akan lolos, bahwa mereka tidak akan tewas. Sekarang ia tahu waktu yang tersisa sangat sedikit. Ada satu hal yang selalu ingin dilakukannya, maka ia memanggil Kopral Canio Silvestro. "Waktu kita sudah habis," katanya kepada Silvestro. "Kau pernah bilang ada teman-temanmu di Inggris yang akan melmdungimu. Sekarang waktunya kau pergi. Kau mendapat izinku." Kopral Silvestro menggeleng. "Aku selalu bisa pergi kalau kau sudah aman di Amerika. Kau masih membutuhkan aku. Kau tahu aku tidak akan pernah mengkhianati dirimu." "Aku tahu," kata Guiliano. "Dan kau tahu perasaanku terhadapmu. Tapi kau bukan bandit. Kau selalu menjadi prajurit dan polisi. Hatimu selalu taat kepada hukum. Jadi kau bisa membangun kehidupanmu sendiri sesudah semua ini berakhir. Anggota kelompok kita selebihnya akan sulit mencapai hal itu. Kami selamanya bandit." Silvestro berkata, "Aku tidak pernah menganggap dirimu bandit." "Aku juga tidak," ujar Guiliano. "Tapi apa yang kulakukan selama tujuh tahun ini? Kupikir aku berjuang demi keadilan. Kucoba membantu kaum miskin. Kuharap bisa membebaskan Sisilia. Aku ingin menjadi orang baik. Tapi waktunya salah dan caranya tidak tepat Sekarang kita harus melakukan apa yang kita bisa untuk menyelamatkan diri. Jadi kau harus pergi ke Inggris. Aku akan gembira kalau tahu kau aman." Lalu ia memeluk Silvestro. "Kau teman sejatiku," katanya, "dan itulah perintahku." Saat senja, Turi Guiliano meninggalkan guanya dan pindah ke biara Cappuccini tepat di luar kota Palermo untuk menunggu kabar dari Aspanu Pisciotta. Salah satu biarawan di sana adalah anggota rahasia kelompoknya, dan ia bertanggung jawab atas katakombe atau kuburan bawah tanah biara. Di katakombe inilah terdapat ratusan mayat yang dijadikan mumi. Selama ratusan tahun sebelum Perang Dunia I, sudah menjadi kebiasaan keluarga kaya dan bangsawan untuk menempeli dmdmg-dmding biara dengan kostum yang ingin mereka kenakan saat dimakamkan. Pada saat mereka meninggal, seusai upacara pemakaman, mayat-mayat mereka dikirim ke biara. Para biarawan merupakan pakar dalam seni mengawetkan mayat. Mereka memanasi mayat-mayat itu pelan-pelan selama enam bulan, lalu mengeringkan bagian-bagian tubuh yang lunak. Selama proses pengeringan kulit mengerut, ekspresi wajah berubah menjadi seringai kematian, ada yang ketakutan, ada yang hendak tertawa, sungguh mengerikan bagi yang menyaksikan. Lalu mayat-mayat itu dipasangi kostum yang telah disediakan dan diletakkan dalam peti mati kaca. Peti-peti mati itu ditempatkan di lubang-lubang di dinding atau digantungkan pada langit-langit menggunakan kabel kaca. Beberapa mayat duduk di kursi, beberapa berdiri bersandar ke dinding. Beberapa disandarkan dalam kotak-kotak kaca seperti boneka berkostum. Guiliano membaringkan diri di batu katakombe yang lembap dan menggunakan peti mati sebagai bantal. Ia memerhatikan semua orang Sisilia yang telah meninggal selama ratusan tahun itu. Ada kesatria kerajaan mengenakan seragam sutra biru berkerut, helm, dan menggenggam pedang. Seorang hakim, berjubah gaya Prancis, dengan wig putih dan sepatu bot bersol tinggi. Ada kardinal yang mengenakan jubah merah, uskup agung dengan topi tingginya. Ada putri-putri istana yang gaun keemasannya sekarang tampak bagai sarang labah-labah yang mencekik mayat-mayat yang mengerut akibat pengawetan seolah mayat-mayat itu lalat. Ada gadis muda bersarung tangan putih dan bergaun malam berenda putih dalam kotak kaca. Guiliano tidur gelisah selama dua malam yang dilewatinya di sana. Siapa yang tidak? pikirnya. Mereka ini pria-pria dan wanita-wanita hebat Sisilia selama tiga atau empat abad terakhir. Dan dengan cara begini mereka mengira bisa menghindari cacing-cacing. Kebanggaan dan kesombongan orang kaya, kesayangan nasib. Jauh lebih baik mati di jalan seperti suami La Venera. Tapi yang benar-benar membuat Guiliano tetap terjaga adalah kekhawatiran yang mengganggu. Bagaimana Don Croce bisa lolos dari serangan awal pekan ini? Guiliano tahu operasi itu direncanakan dengan sempurna. Ia telah memikirkan bagaimana cara melakukan-sejak mengetahui kebenaran pembantaian di Portella della Ginestra. Don dijaga begitu ketat sehingga harus ditemukan celah dalam pertahanannya. Guiliano memutuskan kesempatan terbaiknya adalah saat Don merasa aman di Hotel Umberto Palermo yang dijaga ketat. Kelompoknya memiliki mata-mata di hotel itu, salah seorang pramusaji. Ia memberikan jadwal Don, pengaturan penjagaan. Dengan informasi ini Guiliano yakin serangannya akan berhasil. Ia memerintahkan tiga puluh orang berkumpul bersamanya di Palermo. Ia mengetahui kunjungan Michael Codeone dan acara makan siangnya bersama Don, jadi ia menunggu hingga sore setelah menerima laporan bahwa Michael telah pergi. Lalu dua puluh anak buahnya menyerang dari depan hotel untuk menyingkirkan para penjaga dari kebun. Beberapa saat kemudian ia dan sepuluh anak buahnya yang tersisa menanamkan bahan peledak di dinding kebun dan meledakkannya. Guiliano memimpin penyerbuan melalui lubang di dmding itu. Hanya lima penjaga yang tersisa di kebun; Guiliano menembak salah satunya dan keempat penjaga lainnya lari. Guiliano bergegas ke kamar Don tapi kamar itu kosong. Dan ia merasa aneh kamar itu tidak dijaga. Sementara itu detasemen lain dari kelompoknya berhasil menerobos pertahanan dan menggabungkan diri dengannya. Mereka menggeledah kamar-kamar dan koridor-koridor tapi tidak menemukan apa pun. Sosok Don yang tinggi besar menyebabkan ia salk bergerak cepat, jadi hanya ada satu kesimpulan yang bisa ditarik. Don meninggalkan hotel tidak lama sesudah kepergian Michael. Dan sekarang terlintas dalam benak Guiliano untuk pertama kalinya bahwa Don Croce telah diberitahu akan serangan itu. Sayang sekali, pikir Guiliano. Serangan itu seharusnya menjadi pukulan terakhir yang gemilang, di samping menyingkirkan musuhnya yang paling berbahaya. Kenangan akan dirinya pasti luar biasa kalau ia bisa menemukan Don Croce di kebun yang bermandikan cahaya matahari itu. Tapi akan ada hari lain. Ia tidak akan tinggal di Amerika selamanya. Pada pagi ketiga, biarawan Cappuccini, tubuh dan wajahnya hampir sama kisutnya seperti mumi-mumi yang dijaganya, membawa pesan dari Pisciotta. Bunyinya, -jDi rumah Charlemagne." Guiliano seketika memahaminya. Zu Peppino, pemilik kereta sewaan dari Castelvetrano, yang membantu Guiliano membajak truk-truk Don Croce dan sejak itu menjadi sekum rahasia kelompoknya, memiliki tiga kereta dan enam ekor keledai. Ketiga keretanya dilukisi legenda-legenda Kaisar agung, dan sewaktu kecil, Turi dan Aspanu menyebut rumahnya sebagai rumah Charlemagne. Waktu pertemuan telah ditentukan. Malam itu, malam terakhirnya di Sisilia, Guiliano menuju Castelvetrano. Di luar Palermo ia menjemput beberapa gembala yang merupakan anggota rahasia kelompoknya dan menggunakan mereka sebagai pengawal bersenjata. Mereka riba di Castelvetrano dengan begitu mudah sehingga kecurigaan timbul dalam benak Guiliano. Kota tampak terlalu terbuka. Ia membubarkan para pengawalnya, yang menyelinap ke kegelapan malam. Lalu ia menuju ke rumah batu kecil di luar Castelvetrano, di halamannya terdapat tiga kereta berlukis, sekarang semuanya menampilkan legenda kehidupannya sendiri. Itulah rumah Zu Peppino. Zu Peppino tidak tampak terkejut melihatnya. Ia meletakkan kuas yang digunakannya mengecat papan salah satu keretanya. Lalu ia mengunci pintu dan berkata kepada Guiliano, "Ada masalah. Kau menarik perhatian carabinieri bagaikan bangkai bagal menarik kiat" Guiliano terkejut. "Apa mereka Pasukan Khusus Luca?" tanyanya. "Ya," jawab Zu Peppino. "Mereka bersembunyi, tidak berpatroli di jalan-jalan. Aku melihat beberapa kendaraan mereka di jalan sewaktu pulang kerja. Dan beberapa pemilik kereta juga memberitahuku mereka melihat kendaraan- kendaraan lain. Kami mengira mereka menyiapkan jebakan untuk salah satu anggota kelompokmu, kami tidak pernah menduga kau orangnya. Kau tidak pernah bepergian ke selatan sejauh ini, begitu jauh dari pegununganmu." Guiliano berpikir bagaimana carabinieri bisa mengetahui tempat pertemuannya. Apa mereka mengikuti Aspanu? Apa- Michael Corleone dan anak buahnya kurang hati-hati? Atau ada mata-mata? Pokoknya, ia tidak bisa menemui Pisciotta di Castelvetrano. Tapi mereka punya tempat pertemuan cadangan kalau salah satu dari mereka tidak muncul di tempat ini. 'Terima kasih atas peringatanmu," kata Guiliano. "Tolong pasang mata kalau Pisciotta datang kemari dan beritahu dia. Dan bila kau membawa kereta sewaanmu ke Montelepre, kunjungi ibuku dan beritahu dia aku sudah aman di Amerika." Zu Peppino berkata, "Izinkan orang tua ini memelukmu." Dan ia mencium pipi Guiliano. "Aku tidak pernah percaya kau bisa membantu Sisilia, tidak ada yang bisa, tidak akan ada yang bisa, bahkan Garibaldi, bahkan orang tolol II Duce itu. Sekarang kalau kau mau aku bisa memasang bagal-bagalku ke kereta dan mengantarmu ke mana pun kau ingin pergi." Pertemuan Guiliano dengan Pisciotta ditetapkan tengah malam. Sekarang baru pukul sepuluh. Ia sengaja datang lebih awal untuk memeriksa medan. Dan ia tahu pertemuan dengan Michael Corleone dijadwalkan saat fajar. Tempat pertemuan cadangan setidaknya dua jam berjalan cepat dari Castelvetrano. Tapi lebih baik berjalan kaki daripada menggunakan Zu Peppino. Ia mengucapkan terima kasih kepada pria tua itu dan menyelinap pergi. Tempat pertemuan cadangan itu berupa reruntuhan puri Yunani kuno yang disebut Acropolis Selinus. Di selatan Castelvetrano, dekat Mazara del Vallo, reruntuhan itu berdiri di dataran terpencil dekat laut, menjadi titik akhir tempat tebing mulai menjulang. Selinus terkubur akibat gempa bumi sebelum Kristus cWahirkan, tapi sederet pilar marmer dan lengkungan-lengkungan-nya masih ada. Atau lebih tepat dibangkitkan dari kubur oleh para penggali. Jalan utamanya masih ada, meski kini tinggal puing-puing gedung kuno yang menjajari kedua sisinya. Ada kuil dengan atap yang dijalari tanaman dan lubang-lubang menganga bagai tengkorak dan tiang-tiang batu kelabu yang kelelahan akibat termakan usia. AkropoHs itu sendiri, kota benteng Yunani kuno, seperti biasa, dibangun di tanah tertinggi, maka reruntuhan itu menghadap pedalaman yang gersang di bawahnya. Sirocco, angin padang pasir yang mengerikan, bertiup sepanjang hari. Sekarang, di malam hari, begitu dekat dengan laut, angin meniup kabut hingga bergulung- gulung menerobos reruntuhan. Guiliano, kelelahan akibat perjalanan panjangnya, berputar ke tebing laut agar bisa memandang ke bawah dan mengamati keadaan. Pemandangannya begitu indah hingga sejenak ia melupakan bahaya yang mengancamnya. Kuil Apollo telah runtuh menjadi puing-puing pilar saling menjalin. Kuil-kuil lain yang juga telah runtuh berkilau tertimpa cahaya bulan— tanpa dinding, hanya pilar-pilar, sepetak atap dan satu dinding benteng dengan apa yang tadinya merupakan jendela berjeruji dan terletak tinggi di dinding, sekarang kosong kehitaman, cahaya bulan menerobos masuk melewatinya. Di bawahnya, dalam apa yang tadinya merupakan balai kota, di bawah akropolis, satu pilar berdiri sendirian, dikelilingi reruntuhan yang rata, yang selama ribuan tahun tidak pernah runtuh. Inilah "II Fuso di la Vecchia" yang terkenal, Jarum Tenun Wanita Tua. Orang Sisilia begitu terbiasa dengan monumen-monumen Yunani yang bertebaran di seluruh pulau sehingga mereka memperlakukannya dengan campuran antara sayang dan benci, Hanya orang asing yang meributkannya. Dan orang asinglah yang membangkitkan kembali kedua belas pilar raksasa yang sekarang berdiri di hadapan Guiliano. Kemegahan pilar-pilar itu luar biasa, tapi di belakangnya hanya ada panorama reruntuhan. Di kaki kedua belas pilar, berjajar bagaikan prajurit yang menghadap komandan mereka, berdiri panggung anak tangga batu yang seolah tumbuh dari bumi. Guiliano duduk- di anak tangga tertinggi, punggungnya bersandar ke salah satu pilar. Ia memasukkan tangan ke balik mantel dan menanggalkan pistol otomatis dan lupara, dan meletakkan keduanya satu anak tangga di bawahnya. Kabut bergulung-gulung melintasi reruntuhan, tapi ia tahu ia akan mendengar suara siapa pun yang mendekat melewati puing-puing dan ia dengan mudah bisa melihat musuhnya sebelum sang musuh melihatnya. Ia bersandar ke salah satu pilar, senang bisa beristirahat, mbuhnya . merosot kelelahan. Bulan di atas tampak bagai melewati tiang-tiang putih keabuan dan beristirahat di tebing yang menuju lautan. Dan di seberang lautan itu terletak Amerika. Dan di Amerika ada Justina serta anak mereka yang akan cfflahirkan. Tak lama lagi ia akan aman dan tujuh tahun terakhirnya sebagai bandit akan lenyap bagaikan mimpi. Sejenak ia bertanya-tanya kehidupan macam apa yang akan di-jalaninya, apakah ia bisa bahagia tidak tinggal di Sisilia. Ia tersenyum. Suatu hari nanti ia akan kerhbali dan mengejutkan" mereka semua. Ia mendesah kelelahan dan menanggalkan sepatu bornya. Ia melepaskan kaus kaki dan kakinya menyambut dinginnya batu. Ia memasukkan tangan ke saku dan mengeluarkan salah satu dari dua buah pir, dan sari buah yang manis dan disejukkan oleh malam itu menyegarkan dirinya. Dengan satu tangan pada pistol otomatis yang tergeletak di sampingnya, ia menunggu kedatangan Aspanu Pisciotta. Bab 27 MICHAEL, Peter Clemenza, dan Don Domenic makan malam lebih awal. Untuk menepati pertemuan fajar nanti, operasi menjemput Guiliano harus dimulai saat senja. Mereka kembali membahas rencananya dan Domenic menyetujuinya. Ia menambahkan satu detail: Michael tidak boleh membawa senjata. Kalau ada yang tidak beres dan carabinieri atau Polisi Keamanan menangkapnya, tidak ada tuduhan yang bisa dikenakan terhadap Michael, dan ia bisa meninggalkan Sisilia tanpa peduli apa yang terjadi. Mereka menikmati sekaraf anggur dan lemon di kebun, lalu tiba waktunya pergi. Don Domenic men-cium adiknya sebagai ucapan selamat berpisah. Ia berpaling kepada Michael dan memeluknya sejenak. "Sampaikan salamku untuk ayahmu," katanya. "Aku berdoa untuk masa depanmu. Kuharap kau berhasil. Dan di tahun-tahun mendatang, kalau kau butuh bantuanku, beritahu aku." Mereka bertiga berjalan menyusuri dermaga. Michael dan Peter Clemenza naik ke perahu motot yang penuh orang bersenjata. Perahu bergerak menjauh, Don Domenic melambai dari dermaga. Michael dan Peter Clemenza turun ke kabin tempat Clemenza tidur di np satu ranjang susunnya. Ia sibuk seharian tadi padahal mereka akan tiba di tujuan menjelang fajar keesokan harinya. Mereka telah mengubah rencana. Pesawat di Mazara del Vallo yang semula mereka rencanakan untuk terbang ke Afrika akan digunakan sebagai umpan; mereka akan melarikan diri ke Afrika memakai perahu. Clemenza-lah yang keberatan, dengan alasan ia bisa mengendalikan jalanan dan menjaga perahu bersama anak buahnya, tapi ia tidak bisa mengawasi lapangan terbang. Terlalu banyak jalan darat yang bisa dipakai mendekati landasan dan pesawat terlalu berisiko; me-rekjfttisa terperangkap selagi masih di darat. Kecepatan tidaklah sepenting tipuan, dan di laut lebih mudah bersembunyi daripada di udara. Selain itu mereka juga bisa pindah ke perahu lain; kita tidak bisa berpindah pesawat di udara. Clemenza sibuk sepanjang hari mengatur orang-orang dan mobil-mobil di titik pertemuan di jalan menuju Castelvetrano; lainnya mengamankan kota Ma2ara del Vallo. Ia mengirim mereka dalam tenggang waktu satu jam; ia tidak ingin mata-mata melihat konvoi kendaraan yang tidak biasa keluar dari gerbang vila. Mobil-mobil itu melaju ke arah berbeda-beda sehingga semakin membingungkan mata-mata mana pun. Sementara itu perahu motor mengitari ujung barat laut Sisilia untuk bersembunyi di balik kaki langit sampai fajar mulai merekah, saat itulah perahu akan melesat ke pelabuhan Mazara del Vallo. Mobil- mobil dan orang-orang sudah menanti mereka di sana. Dari sana lama $fctjalanan dengan mobil ke Castelvetrano tidak lebih dari setengah jam bahkan meskipun mereka harus memutar ke utara untuk mencapai jalan ke Trapani yang mengarah ke tempat Pisciotta akan mencegat mereka. Michael berbaring di salah satu ranjang susun. Ia bisa mendengar Clemenza mendengkur dan terkagum-kagum karena pria itu mampu tertidur pulas dalam situasi seperti ini. Michael berpikir dalam 24 jam ia akan berada di Tunisia dan dua belas jam sesudahnya ia akan berkumpul kembali dengan keluarganya di rumah. Sesudah dua tahun dalam pengasingan ia akan mempunyai semua pilihan yang layaknya dimiliki pria bebas, tidak lagi melarikan diri dari polisi, tidak lagi diatur-atur para pelindungnya. Ia bisa melakukan apa pun yang diinginkannya. Dengan catatan kalau ia berhasil melewati 36 jam yang akan datang. Sementara ia membayangkan apa yang akan dilakukannya pada hari-hari pertamanya di Amerika, goyangan lembut perahu menenangkan dirinya dan ia pun terlelap dalam tidur tanpa mimpi. Fra Diavalo tidur lebih nyenyak lagi. Stefan Andolini, di pagi hari saat ia seharusnya menjemput Profesor Hector Adonis di Trapani, pergi ke Palermo terlebih dulu. Ia harus menemui Kepala Polisi Keamanan Sisilia, Inspektur Velardi; ini salah satu dari pertemuan yang cukup sering mereka lakukan di mana Inspektur menjelaskan tentang rencana operasional Kolonel Luca hari itu kepada Andolini. Andolini akan menyampaikan informasi itu kepada Pisciotta, yang lalu menyampaikannya kepada Guiliano. Pagi itu indah; padang-padang di kedua sisi jalan dipenuhi bunga. Ia tiba lebih awal dari janji temunya jadi ia berhenti di salah satu altar tepi jalan untuk merokok dan lalu berlutut di depan kotak bergembok berisi patung Santa Rosalie. Doanya sederhana dan praktis, permohonan agar Santa melindunginya dari musuh-musuhnya. Pada hari Minggu yang akan datang ia akan mengakui dosa-dosanya kepada Pater Benjarnino dan menerima Komuni. Sekarang cahaya matahari menghangatkan kepalanya; wangi bunga di udara begitu tajam sehingga membersihkan cuping hidung dan mulurnya dari nikotin, dan ia sangat lapar. Ia menjanjikan sarapan lezat bagi clirinya sendiri di restoran terbaik di Palermo seusai pertemuannya dengan Inspektur Velardi. Inspektur Frederico Velardi, kepala Polisi Keamanan Sisilia, memperoleh kemenangan besar yang hanya dirasakan seseorang yang sabar menunggu, yang selalu percaya Tuhan akhirnya akan menertibkan alam semestanya, dan yang akhirnya mendapatkan upahnya. Karena selama hampir setahun, berdasarkan perintah langsung dan rahasia Menteri Trezza, ia membantu Guiliano meloloskan diri dari carabinieri dan pasukan gerak cepatnya sendiri. Ia telah bertemu Stefan Andolini, Fra Diavalo. Akibatnya, sepanjang tahun itu Inspektur Velardi menjadi anak buah Don Croce Malo. Velardi berasal dari kawasan utara Italia, tempat orang-orang meraih prestasi melalui pendidikan, penghormatan terhadap aturan-aturan masyarakat, kepercayaan kepada hukum dan pemerintah. Pengabdian Velardi selama bertahun-tahun di Sisilia menanamkan kejijikan dan kebencian mendalam terhadap orang-orang Sisilia, baik dari kalangan tinggi maupun rendah. Orang Sisilia kaya tidak memiliki hati nurani sosial dan menekan kaum miskin melalui persekongkolan kriminal mereka dengan Mafia. Mafia, yang berpura-pura melindungi kaum miskin, mempekerjakan diri kepada kaum kaya untuk menekan kaum miskin. Para petani terlalu bangga, mempunyai ego begitu rupa sehingga bersedia membunuh meski harus menghabiskan sisa hidup mereka di penjara. Tapi sekarang situasinya akan berbeda. Tangan Inspektur Velardi akhirnya dibebaskan dan pasukan gerak cepatnya bisa dilepaskan. Dan orang-orang akan melihat lagi perbedaan antara Polisi Keamanan yang dipimpinnya dan badut- badut carabinieri. Yang menyebabkan Velardi heran adalah Menteri Trezza sendiri yang memerintahkan semua orang yang mendapat kartu izin bertepi merah dan bertanda tangan Menteri—kartu izin yang sangat ampuh sehingga memungkinkan pembawanya melewati blokade jalan, membawa senjata api, kebal dari penangkapan rutin— ditahan dalam sel tersendiri. Kartu-kartu itu harus dikumpulkan. Terutama kartu yang diberikan kepada Aspanu Pisciotta dan Stefan Andolini. Velardi siap-siap bekerja. Andolini tengah menunggu di ruang kecil untuk mendapat penjelasan. Ia akan mendapat kejutan hari ini. Velardi meraih telepon dan memanggil seorang kapten dan empat sersan polisi. Ia memberitahu mereka agar bersiap-siap menghadapi masalah. Ia sendiri menyandang pistol pada sarung pinggangnya, sesuatu yang biasanya tidak "dilakukannya di kantor. Lalu ia menyuruh anak buahnya membawa Stefan Andolini menemuinya. Rambut merah Stefan Andolini tersisir rapi. Ia mengenakan setelan hitam bergaris-garis, kemeja putih, dan dasi berwarna gelap. Bagaimanapun, mengunjungi kepala polisi merupakan acara resmi di mana kita harus menunjukkan penghormatan. Ia tidak bersenjata. Berdasarkan pengalaman ia tahu semua orang selalu digeledah bila memasuki markas besar kepolisian. Andolini berdiri di depan meja Velardi, menunggu diizinkan duduk seperti biasa. Izin itu tidak diberikan, jadi ia tetap berdiri dan sinyal peringatan pertama berbunyi dalam kepalanya. "Coba kulihat kartu izinmu," kata Inspektur Velardi kepadanya. Andolini tidak bergerak. Ia mencoba mengira-ngira alasan Velardi mengajukan permintaan yang aneh itu. Dengan tegas ia berbohong, "Aku tidak membawanya," jawabnya. "Lagi pula aku mengunjungi Teman." Ia menekankan secara khusus kata "Teman". Ucapan itu memicu kemurkaan Velardi. Ia mengitari meja dan berdiri berhadapan dengan Andolini. "Kau tidak pernah menjadi temanku. Aku bahkan cuma mematuhi perintah kalau beramah-tamah dengan babi seperti dirimu. Sekarang dengarkan aku baik-baik. Kau ditangkap. Kau akan ditahan dalam selku sampai pemberitahuan lebih lanjut, dan harus kukatakan aku mempunyai cassetta di sel bawah tanah. Tapi kita akan bercakap-cakap sedikit di sini di kantorku besok pagi dan kau tidak perlu menderita, kalau kau pintar." Keesokan paginya Velardi menerima telepon dari Menteri Trezza dan telepon yang lebih eksplisit dari Don Croce. Beberapa menit kemudian Andolini di-dari selnya ke ruangan Velardi. Saat melewati malam sendirian, memikirkan penangkapannya yang aneh ini Andolini merasa yakin dirinya dalam bahaya maut Ketika ia masuk, Velardi tengah mondar-mandir dalam ruangan, matanya yang biru berkilat-kilat, jelas ia marah. Stefan Andolini sedingin es. Ia mengamari segala sesuatu—Kapten dan keempat sersan polisi yang siaga, pistol di pinggang Velardi. Ia tahu Inspektur membencinya sejak dulu, dan ia juga sama bencinya terhadap Inspektur. Kalau ia bisa membujuk Velardi agar menyingkirkan para penjaga, ia mungkin bisa membunuh Velardi sebelum ia sendiri terbunuh. Jadi ia berkata, "Aku mau bicara, tapi tidak di hadapan para sbirri ini." Sbirri adalah idiom vulgar dan menghina bagi Kepolisian Keamanan. Velardi memerintahkan keempat polisi meninggalkan ruangan tapi memberi isyarat agar perwiranya tetap tinggal Ia juga memberinya isyarat agar bersiap- siap mencabut pistolnya. Lalu ia mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Stefan Andolini. "Aku menghendaki informasi apa pun mengenai cara menangkap Guiliano," katanya. "Terakhir kali kau bertemu dengannya dan Pisciotta." Stefan Andolini tertawa, wajah buasnya membentuk seringai jahat Kulitnya yang dipenuhi bakal janggut merah menyala-nyala penuh kekejaman. Tak heran mereka menyebutnya Fra Diavalo, pikir Velardi. Ia memang berbahaya. Ia pasti tidak menduga sedikit pun apa yang akan terjadi. Velardi berkata tenang, "Jawab pertanyaanku atau kurentangkan kau di cassetta." Andolini berkata jijik, "Kau keparat pengkhianat, aku di bawah perlindungan Menteri Trezza dan Don Croce. Setelah mereka membebaskanku, akan kucabut jantung sbirri-mu" Velardi menegakkan tubuh dan menampar wajah Andolini dua kali, sekali dengan telapak, lalu dengan punggung tangan. Ia melihat darah mengalir dari mulut Andolini dan kemarahan di matanya. Ia sengaja ber-balik memunggunginya untuk duduk. Pada saat itu, kemarahan membutakan naluri bertahan hidup, Stefan Andolini merampas pistol dari sarung pinggang Inspektur dan mencoba menembak. Pada saat yang sama perwira polisi mencabut pistolnya dan menembakkan empat peluru ke tubuh Andolini. Andolini terempas ke dinding seberangi dan tergeletak di lantai. Kemeja putihnya memerah dan, pikir Velardi, tampak serasi dengan rambutnya. Ia membungkuk dan mengambil pistol dari tangan Andolini sementara polisi-polisi lain berhamburan masuk. Ia memuji Kapten atas kesiagaannya, lalu di bawah pandangan perwira itu ia mengisi pistolnya dengan peluru-peluru yang telah dikeluarkannya sebelum pertemuan ini. Ia tidak ingin Kapten menyombongkan diri, bahwa dirinya berhasil menyelamatkan nyawa kepala Kepolisian Keamanan yang ceroboh. 'p^§$m Lalu ia memerintahkan anak buahnya menggeledah mayat itu. Sesuai dugaannya, kartu izin keamanan bertepi merah itu ada dalam tumpukan kartu identitas yang harus selalu dibawa setiap orang Sisilia. Velardi mengambil kartu izin itu dan menyimpannya dalam lemari besi. Ia akan menyerahkannya sencliri kepada Menteri Trezza, dan kalau beruntung ia juga akan mendapatkan kartu izin Pisciotta pada saat itu. Di geladak seseorang membawakan cangkir-cangkir berisi espresso panas kepada Michael dan Clemenza, yang mereka nikmati sambil bersandar ke pagar. Perahu itu pelan-pelan meluncur ke darat, motornya tak bersuara, dan mereka bisa melihat lampu-lampu dermaga, berupa bintik- bintik kebiruan yang samar. Clemenza berjalan-jalan di geladak, memberikan perintah kepada orang-orang bersenjata dan nakhoda. Michael mengamati lampu-lampu biru yang seolah tengah berlari mendekatinya. Perahu menambah kecepatan, dan air yang tersibak bagai membelah kegelapan malam. Fajar mulai merekah di langit, dan Michael bisa melihat geladak dan pantai-pantai Mazara del Vallo; payung-payung berwarna-warni di meja kafe tampak temaram di depannya. Sewaktu mereka merapat, tiga mobil dan enam orang telah menunggu. Clemenza mengajak Michael ke mobil terdepan, mobil jelajah kuno yang terbuka dan hanya berisi sopir. Clemenza naik ke kursi depan dan Michael duduk di belakang. Clemenza berkata kepada Michael, "Kalau kita dihentikan patroli carabinieri, tiaraplah di lantai. Kita tidak bisa bermain-main di jalan sini, kita harus menembaki mereka dan melarikan diri." Ketiga mobil jelajah berbadan lebar itu melaju di bawah cahaya matahari fajar yang pucat melalui pedalaman yang hampir-hampir tidak berubah sejak kelahiran Kristus. Saluran-saluran air kuno dan pipa-pipa menyiramkan air ke ladang-ladang. Cuaca hangat dan lembap, dan udara dipenuh wangi bunga yang mulai membusuk akibat musim panas Sisilia yang menyengat. Mereka melintasi Selinunte, reruntuhan kota Yunani kuno, dan Michael kadang-kadang bisa melihat puing pilar-pilar marmer kuil yang ditebar di Sisilia Barat oleh para penjajah Yunani lebih dari dua ribu tahun lalu. Pilar-pilar ku menjulang menakutkan dalam cahaya kekurangan, kepingan-kepingan atapnya seperti tetesan hujan kehitaman di langit biru. Tanah yang hitam pekat meluap pada dinding-dinding tebing granit. Tidak ada rumah, hewan, maupun manusia yang terlihat. Pemandangan itu diciptakan oleh tebasan sebilah pedang raksasa. Lalu mereka berbelok ke utara memasuki jalan Trapani-Castelvetrana Kini Michael dan Clemenza lebih waspada; sepanjang jalan inilah Pisciotta akan mencegat mereka dan mengantar mereka menemui Guiliano. Michael merasakan gairah menyala-nyala. Ketiga mobil jelajah sekarang melaju lebih lambat. Clemenza meletakkan pistol otomatis di kursi di sisi kirinya agar ia bisa mengangkatnya dengan mudah melewati pintu mobil. Kedua tangannya diletakkan di atasnya. Matahari menanjak menempati posisinya, dan sinarnya panas keemasan. Mobil-mobil itu terus melaju pelan-pelan; mereka hampir tiba di kota Castelvetrano. Clemenza memerintahkan sopirnya bergerak lebih pelan lagi. Ia dan Michael mencari-cari tanda kehadiran pisciotta. Mereka sekarang tiba di pinggir kota Castelvetrano, mendaki jalan berbukit, dan berhenti agar bisa memandang ke bawah ke jalan utama kota yang membentang di hadapan mereka. Dari posisi yang menguntungkan itu Michael bisa melihat jalan dan Palermo penuh sesak oleh kendaraan—kendaraan militer jalan-jalan dipenuhi carabinieri dalam seragam hitam dan bergaris putih. Terdengar lolongan sirene -sirene yang agaknya tidak berhasil membubarkan kerumunan orang di jalan utama. Di atas kepala dua pesawat kecil melayang berputar-putar. Sopir memaki dan menginjak rem sambil menepikan kendaraan. Ia berpaling kepada Clemenza dan berkata, "Kau mau terus?" Michael merasa gelisah. Ia bertanya kepada Clemenza, "Berapa orang yang kausiapkan menunggu kita di kota?" "Tidak cukup," jawab Clemenza kesal, Wajahnya hampir-hampir ketakutan. "Mike, kita harus pergi dari sini. Kita harus kembali ke perahu." "Tunggu," kata Michael, sekarang melihat kereta dan keledai yang tengah susah payah mendaki bukit, mendekati mereka. Kusirnya pria tua bertopi jerami yang ditarik rendah menutupi kepalanya. Berbagai legenda dilukiskan pada roda-roda, papan-papan, dan sisi-sisi keretanya. Kereta itu berhenti tepat di samping mereka. Wajah kusirnya keriput dan tidak menunjukkan ekspresi apa pun, dan lengannya, yang sangat berotot, telanjang hingga ke bahu, karena ia hanya mengenakan rompi hitam di. atas celana kanvas lebarnya. Ia bertanya, "Don Clemenza, kaukah itu?" Suara Clemenza terdengar lega, "Zu Peppino, apa yang terjadi di sini? Kenapa anak buahku tidak muncul dan memperingatkanku?" Wajah keriput Zu Peppino yang kaku tidak berubah sedikit pun. "Kalian bisa kembali ke Amerika," katanya. "Mereka sudah membantai Turi Guiliano." Michael mendapati dirinya mendadak pusing. Tiba-tiba pada saat itu cahaya seolah jatuh dari langit. Ia teringat ayah dan ibu Guiliano yang sudah tua, Justina yang menunggu di Amerika, Aspanu Pisciotta, dan Stefan Ajidolini. Hector Adonis. Karena Turi Guiliano merupakan cahaya bintang kehidupan mereka, dan tidak mungkin bila cahayanya tidak lagi ada. "Kau yakin dia yang tewas?" tanya Clemenza parau. Pria tua itu mengangkat bahu. "Itu salah satu tipuan lama Guiliano, meninggalkan mayat atau boneka untuk menarik perhatian carabinieri agar dia bisa membunuh mereka. Tapi sudah dua jam berlalu dan tidak ada kejadian apa pun. Mayat itu masih tergeletak di halaman tempat mereka membunuhnya. Orang-orang pers dari Palermo sudah datang membawa kamera mereka, memotret semua orang, bahkan keledaiku. Jadi terserah apa yang kaupercayai." Michael merasa nelangsa tapi berhasil berkata, "Kita harus ke sana dan melihatnya. Aku harus yakin." Clemenza berkata kasar, "Hidup atau mati, kita tidak bisa membantunya lagi. Aku akan membawamu pulang, Mike." 'Tidak," kata Michael pelan. "Kita harus ke sana. Mungkin Pisciotta menunggu kita. Atau Stefan Andolini Untuk memberitahu apa yang harus kita lakukan. Mungkin itu bukan Guiliano, aku tidak percaya itu Guiliano. Dia tidak bisa mati, tidak sesudah dia begitu nyaris meloloskan diri. Apalagi Wasiatnya sudah aman di Amerika." Clemenza mendesah. Ia melihat ekspresi menderita di wajah Michael. Mungkin mayat itu bukan Guiliano; mungkin Pisciotta sedang menunggu, siap bertemu. Mungkin bahkan kejadian ini bagian dari trik mengalihkan perhatian pihak berwenang dari rencana pelariannya, terutama karena mereka membuntutinya. Sekarang matahari telah naik sepenuhnya. Clemenza memerintahkan anak buahnya memarkir mobil dan mengikutinya. Lalu ia dan Michael menyusuri jalan yang dipenuhi orang itu. Mereka berkumpul di sekitar pintu masuk jalan kecil yang dipenuhi mobil militer dan dihalangi serombongan carabinieri. Di jalan samping ini terdapat sederet rumah yang dipisahkan halaman-halaman. Clemenza dan Michael berdiri di belakang kerumunan, menyaksikan bersama orang-orang lainnya. Perwira carabinieri mengizinkan para wartawan dan pejabat melewati para penjaga sesudah memeriksa kartu identitas mereka. Michael bertanya kepada Clemenza, "Bisakah kau membawa kita melewati perwira itu?" Clemenza meraih lengan Michael dan menariknya meninggalkan kerumunan. Sam jam kemudian mereka berada di salah satu rumah kecil di gang itu. Rumah ini juga memiliki halaman sempit dan jaraknya hanya sekitar dua puluh rumah dari rumah tempat orang-orang berkerumun. Clemenza meninggalkan Michael di sana bersama empat orang, lalu ia dan dua orang lainnya kembali ke kota. Mereka pergi selama satu jam dan ketika Clemenza kembali ia jelas terguncang hebat. "Situasinya buruk, Mike," katanya. "Mereka menjemput ibu Guiliano dari Montelepre untuk mengidentifikasi mayatnya; Kolonel Luca ada di sini, Komandan Pasukan Khusus. Dan wartawan dari seluruh dunia terbang kemari, bahkan dari Amerika. Kota ini akan menjadi gila. Sebaiknya kita pergi dari sini." Besok," tegas Michael. "Kita berangkat besok. Sekarang coba lihat apakah kita bisa melewati para penjaga itu. Kau sudah mencobanya?" "Belum," kata Clemenza. "Well, sebaiknya kita keluar dan lihat apa yang bisa kita lakukan," kata Michael. Bertentangan dengan protes Clemenza, mereka keluar ke jalan. Seluruh kota bagaikan tertutup carabinieri. Pasti sedikitnya ada seribu orang, pikir Michael.' Dan ratusan fotografer. Jalan dipadati van dan mobil dan mustahil mendekati halaman itu. Mereka melihat sekelompok pejabat tinggi memasuki restoran, dan bisik-bisik pun menyebar bahwa mereka adalah Kolonel Luca dan stafnya yang hendak makan siang untuk merayakan peristiwa ini. Michael sekilas melihat sang kolonel. Ia pria kecil bertubuh ramping dan berwajah muram, dan karena panas ia menanggalkan topinya serta mengusap kepalanya yang separo botak dengan saputangan putih. Sekelompok fotografer sibuk memotret dan segerombol wartawan mengajukan pertanyaan kepadanya. Ia melambai mengusir mereka tanpa menjawab dan menghilang ke dalam restoran. Jalan-jalan kota begitu sesak oleh manusia sehingga Michael dan Clemenza hampir tidak bisa bergerak. Clemenza memutuskan sebaiknya mereka kembali ke rumah dan menunggu informasi. Menjelang sore berita disampaikan oleh salah satu anak buahnya bahwa Maria Lombardo telah mengidentifikasi mayat itu sebagai putranya. Mereka makan malam di kafe terbuka. Radio di sana meneriakkan laporan kematian Guiliano. Menurut laporan itu polisi mengepung rumah tempat mereka percaya Guiliano tengah bersembunyi. Pada saat Guiliano keluar ia diperintahkan menyerah. Ia seketika menembak. Kapten Perenze, kepala staf Kolonel Luca, diwawancarai sejumlah wartawan dalam siaran radio itu. Ia menceritakan bagaimana Guiliano melarikan diri dan ia, Kapten Perenze, mengikutinya dan menyudutkannya di halaman itu. Guiliano berbalik bagai singa tersudut, kata Kapten Perenze, dan ia, Perenze, balas "menembak dan menewaskannya. Semua orang di restoran mendengarkan siaran radio itu. Tidak ada yang makan. Para pramusaji tidak berpura-pura melayani mereka juga mendengarkan. Clemenza berpaling kepada Michael dan berkata, "Seluruh situasi ini busuk. Kita berangkat malam ini" Tapi pada saat itu jalan-jalan di sekitar kafe dipenuhi Polisi Keamanan. Sebuah mobil pejabat berhenti di tepi jalan dan dari dalamnya turun Inspektur Velardi. Ia mendekati meja mereka dan memegang bahu Michael. "Kau ditangkap," katanya. Ia menatap Clemenza dingin. "Dan demi keberuntungan kau juga ditangkap. Aku punya satu nasihat. Seratus anak buahku mengepung kafe ini Jangan menimbulkan keributan atau kalian akan bergabung bersama Guiliano di neraka." Van polisi berhenti di tepi jalan. Michael dan Clemenza dikepung Polisi Keamanan, digeledah, lalu didorong kasar ke dalam van. Beberapa fotografer surat kabar yang tengah makan di kafe itu melompat sambil membawa kamera mereka dan seketika dihajar polisi Keamanan agar mundur. Inspektur Velardi mengawasi seluruh kejadian diiringi senyum puasnya yang muram. Keesokan harinya ayah Turi Guiliano berbicara dari balkon rumahnya di Montelepre kepada orang-orang di jalan di bawahnya. Sesuai tradisi lama Sisilia, ia menyatakan vendetta terhadap pengkhianat putranya. Secara spesifik ia menyatakan vendetta terhadap pembunuh putranya. Orang itu, katanya, bukan Kapten Perenze, bukan carabinieri. Orang yang disebutkannya adalah Aspanu Pisciotta. Bab 28 ASPANU PISCIOTTA merasakan ulat hitam pengkhianatan tumbuh dalam hatinya selama setahun terakhir. Pisciotta selama ini setia. Sejak kecil ia menerima kepemimpinan Guiliano tanpa iri. Dan Guiliano selalu menyatakan Pisciotta sebagai pemimpin kedua kelompoknya, bukan salah satu pemimpin anak buah seperti Passatempo, Terranova, Andolini, dan Kopral. Tapi kepribadian Guiliano begitu kuat sehingga pemimpin kedua hanyalah mitos belaka; Guiliano yang memerintah. Pisciotta menerimanya tanpa protes. Guiliano lebih berani daripada semua orang. Taktiknya dalam perang gerilya tidak tertandingi, kemampuannya membangkitkan cinta kasih dalam hati orang- orang Sisilia tidak ada bandingnya sejak Garibaldi. Ia idealis dan romantis, dan memiliki kecerdikan yang begitu dikagumi orang Sisilia. Tapi Pisciotta menemukan kelemahan Guiliano dan berusaha memperbaikinya. Sewaktu Guiliano berkeras memberikan sedikitnya lima puluh persen hasil jarahan kelompok kepada kaum miskin, Pisciotta berkata kepadanya, "Kau bisa menjadi orang kaya atau orang yang disayangi. Me- nurutmu orang-orang Sisilia akan bangkit dan membelamu dalam perang melawan Roma. Mereka tidak akan pernah melakukannya. Mereka akan mencintaimu saat menerima uangmu, mereka akan menyembunyikanmu sewaktu kau memerlukan tempat perlindungan, mereka tidak akan pernah mengkhianati dirimu. Tapi mereka tidak memiliki semangat revolusi." Pisciotta menolak mendengarkan bujukan Don Croce dan Partai Demokrat Kristen. Ia menentang rencana menghancurkan organisasi Komunis dan Sosialis di Sisilia. Ketika Guiliano mengharapkan pengampunan dari Demokrat Kristen, Pisciotta berkata, "Mereka tidak akan pernah mengampunimu, dan Don Croce tidak akan pernah mengizinkan dirimu berkuasa. Takdir kita adalah membeli jalan keluar dan dunia bandit dengan uang, atau suatu hari nanti tewas sebagai bandit. Bukan cara yang buruk untuk mati, paling tidak menurutku begitu." Tapi Guiliano tidak mendengarkan nasihatnya, dan ini akhirnya membangkitkan kemarahan Piscotta dan memulai tumbuhnya ulat pengkhianatan yang tersembunyi. Guiliano sejak dulu orang yang mudah percaya dan polos; Pisciotta selalu melihat jelas segala situasi. Seiring kehadiran Kolonel Luca dan Pasukan Khusus-nya, Pisciotta tahu akhir pemalangan mereka telah tiba. Mereka bisa meraih seratus kemenangan, tapi satu kekalahan memastikan kematian mereka. Sebagaimana Roland dan Oliver bertengkar dalam legenda Charlemagne, Guiliano dan Pisciotta pun bertengkar dan Guiliano menjadi terlalu keras kepala dalam kepahlawanannya. Pisciotta merasa seperti Oliver, berulang-ulang memohon Roland meniup terompetnya. 517 Lalu sewaktu Guiliano jatuh cinta kepada Justina dan menikahinya, Pisciotta menyadari nasibnya dan nasib Guiliano memang berbeda. Guiliano akan melarikan diri ke Amerika, mempunyai istri dan anak. Ia, Pisciotta, akan menjadi buronan selamanya. Ia tidak akan pernah berumur panjang; peluru atau penyakit paru-paru akan mengakhiri riwayatnya. Itulah nasibnya. Ia tidak akan pernah tinggal di Amerika. Yang paling mengkhawatirkan Pisciotta adalah Guiliano—yang menemukan cinta dan kelembutan dalam diri seorang gadis—sebagai bandit bertindak semakin buas. Ia membunuh carabinieri padahal sebelumnya ia hanya menangkap mereka. Ia mengeksekusi Passatempo dalam masa bulan madunya. Ia tidak menunjukkan belas kasihan kepada siapa pun yang dicurigainya menjadi mata-mata. Pisciotta takut orang yang disayangi dan dibelanya selama bertahun- tahun akan berubah sikap terhadapnya. Ia khawatir kalau Guiliano mengetahui beberapa tindakannya baru-baru ini, Guiliano akan mengeksekusi dirinya juga. Don Croce mempelajari hubungan 'antara Guiliano dan Pisciotta dengan teliti selama tiga tahun terakhir. Mereka merupakan satu-satunya bahaya dalam rencananya membangun kekaisaran. Mereka satu-satunya penghalang cita- citanya untuk menguasai Sisilia. Mula-mula ia mengira bisa menjadikan Guiliano dan kelompok bersenjatanya bagian dari Friends of the Friends. Ia mengirim Hector Adonis untuk membujuk Guiliano. Tawarannya jelas. Turi Guiliano akan menjadi pejuang hebat, Don Croce menjadi negarawan hebat. Tapi Guiliano harus merendahkan diri, dan ia menolaknya. Ia memiliki cita-cita sendiri, membantu kaum miskin, menjadikan Sisilia negara merdeka, bebas dari kungkungan Roma. Ini tidak bisa dipahami Don Croce. Tapi dari tahun 1943 hingga 1947, bintang Guiliano terus menanjak. Don masih harus menyatukan Friends. Friends masih belum pulih dari pembantaian habis- habisan, yang dilakukan pemerintahan Fasis Mussolini. Jadi Don menjinakkan kekuatan Guiliano dengan merayunya agar bersekutu dengan Partai Demokrat Kristen. Sementara itu ia membangun kembali kekaisaran Mafia dan mengulur waktu. Pukulan pertamanya, rancangan pembantaian di Portella della Ginestra, dengan kesalahan dibebankan pada Guiliano, merupakan mahakarya, namun ia tidak bisa menuntut penghargaan atas keberhasilan itu. Pukulan itu menghancurkan kemungkinan pemerintah Roma mengampuni Guiliano dan mendukung upayanya menguasai Sisilia. Pembantaian itu juga selamanya menodai mantel kepahlawanan yang dikenakan Guiliano sebagai pembela kaum miskin Sisilia. Dan sewaktu Guiliano mengeksekusi keenam pemimpin Mafia, Don tidak punya pilihan lain. Friends of the Friends dan kelompok Guiliano harus bertempur hingga salah satu hancur. Jadi Don Croce lebih memusatkan perhatian pada Pisciotta. Pisciotta pintar, tapi sama saja seperti semua anak muda yang pintar—ia tidak mempertimbangkan kekejaman dan kejahatan yang tersembunyi dalam hati manusia. Dan Pisciotta juga menyukai kekayaan dan godaan duniawi. Sementara Guiliano tidak menyukai uang, Pisciotta menyukai apa yang bisa dibeli dengan uang. Guiliano tidak memiliki satu sen pun kekayaan pribadi walaupun ia memperoleh lebih dari satu miliar lira dari kejahatannya. Ia membagikan hasil jarahannya kepada kaum miskin dan keluarganya. Namun Don Croce mengamari Pisciotta mengenakan setelan terbaik buatan Palermo dan mengunjungi pelacur-pelacur paling mahal. Selain itu kehidupan keluarga Pisciotta jauh lebih baik daripada keluarga Guiliano. Dan Don Croce tahu Pisciotta menyimpan uang di bank Palermo dengan nama palsu, dan telah mengambil tindakan berjaga-jaga lainnya yang hanya dilakukan orang yang tertarik bertahan hidup. Misalnya dokumen identitas palsu dengan tiga nama berbeda, rumah aman di Trapani. Dan Don Croce tahu semua ini dirahasiakan dari Guiliano. Jadi dengan penuh minat dan kegembiraan ia menunggu kunjungan Pisciotta, kunjungan atas kemauannya sendiri, yang mengerti rumah Don selalu terbuka baginya, dengan minat dan kegembiraan, namun juga dengan kehati-hatian dan pikiran jauh ke depan. Ia dikelilingi para pengawal bersenjata, dan telah memberitahu Kolonel Luca dan Inspektur velardi agar bersiap-siap mengadakan pertemuan kalau semua berjalan baik. Kalau tidak, kalau, ia keliru menuai Pisciotta, atau kalau ini malah merupakan pengkhianatan segitiga yang diatur Guiliano untuk membunuh Don, pertemuan itu akan menjadi pemakaman Pisciotta. Pisciotta membiarkan dirinya dilucuti sebelum diantar menemui Don Croce. Ia tidak takut, karena hanya beberapa hari lalu ia memberikan bantuan luar biasa kepada Don Croce; ia telah memperingatkan Don akan rencana penyerangan Guiliano ke hotel. Mereka hanya berdua. Para pelayan Don Croce telah menyiapkan semeja hidangan dan anggur, dan Don Croce, layaknya tuan rumah gaya lama, mengisi piring dan gelas Pisciotta, • "Saat-saat indah sudah berlalu," ujar Don Croce. "Sekarang kita harus sangat serius, kau dan aku. Tiba waktunya mengambil keputusan yang akan menentukan hidup kita. Kuharap kau siap mendengarkan apa yang harus kukatakan." 'Aku tidak tahu masalahmu," kata Pisciotta kepada Don. "Tapi aku tahu aku harus sangat pandai untuk menyelamatkan nyawaku." I "Kau tidak ingin pindah ke luar negeri?" tanya Don. "Kau bisa pergi ke Amerika bersama Guiliano. Anggurnya tidak selezat di sini dan minyak zaitunnya terlalu cair dan mereka memiliki kursi listrik, lagi pula mereka tidak seberadab pemerintahan kita di sini. Kau tidak bisa gegabah melakukan apa pun. Tapi kehidupan di sana tidaklah buruk." Pisciotta tertawa. "Apa yang akan kulakukan di Amerika? Akan kucari keberuntunganku di sini. Begitu Guiliano lenyap, mereka tidak akan mencariku sekeras sekarang, dan pegunungan sangat dalam." Don berkata cemas, "Kau masih punya masalah dengan paru-parumu? Kau masih minum obat?" "Ya," jawab Pisciotta. "Itu bukan masalah. Kemungkinan paru-paruku tidak akan sempat membunuhku." Ia menyeringai kepada Don Croce. "Mari bicara sebagai orang Sisilia," ajak Don serius. "Sewaktu kecil, sewaktu masih muda, wajarlah kita menyayangi teman-teman kita, bersikap dermawan kepada mereka, memaafkan kesalahan mereka. Setiap hari merupakan hari baru, kita memandang masa depan dengan gembira dan tanpa takut. Dunia sendiri tidak seberbahaya itu saat-saat yang menyenangkan. Tapi seiring bertambahnya usia dan kita harus bekerja mencari nafkah, persahabatan tidak lagi bertahan semudah itu. Kita harus selalu waspada. Orang-orang tua tidak lagi merawat kita, kita tidak lagi puas akan kesenangan-kesenangan sederhana anak kecil. Kebanggaan tumbuh dalam diri kita—kita ingin menjadi orang hebat atau berkuasa atau kaya rap, atau sekadar menghindari kesialan. Aku tahu betapa sayangnya kau kepada Turi Guiliano, tapi sekarang kau harus bertanya pada diri sendiri, apa harga untuk perasaan sayang ini? Dan sesudah sekian tahun ini, apa perasaan itu masih ada atau sekadar kenangannya yang masih bertahan?" Ia menunggu Pisciotta menjawab, tapi Pisciotta memandangnya dengan ekspresi lebih kaku daripada bebatuan di Pegunungan Cammarata dan sama putihnya. Karena wajah Pisciotta berubah sangat pucat. Don Croce melanjutkan. "Aku tidak bisa membiarkan Guiliano tetap hidup atau melarikan diri. Kalau kau tetap setia padanya, kau juga musuhku. Camkan ini Dengan kepergian Guiliano, kau tidak bisa tetap hidup di Sisilia tanpa perlindunganku." Pisciotta berkata, "Wasiat Turi sudah aman di tangan teman-temannya di Amerika. Kalau kau membunuhnya Wasiat akan dipublikasikan dan pemerintah akan jatuhi Pemerintahan baru mungkin akan memaksamu pensiun di tanah pertanianmu di Villaba ini atau bahkan lebih buruk lagi." Don tergelak. Lalu tertawa terbahak-bahak. Ia berkata menghina, "Kau pernah membaca Wasiat-nya yang terkenal itu?" "Ya," jawab Pisciotta, heran melihat reaksi Don. "Aku belum," kata Don. "Tapi aku memutuskan untuk bertindak seakan dokumen itu tidak pernah ada." Pisciotta berkata, "Kau memintaku mengkhianati Guiliano. Kenapa menurutmu itu mungkin terjadi?" Don Croce tersenyum. "Kau memperingatkan diriku mengenai serangan di hotelku. Apa itu bukan tindakan persahabatan?" "Aku melakukannya demi Guiliano, bukan untukmu," kilah Pisciotta. "Turi tidak lagi rasional. Dia merencanakan pembunuhanmu. Begitu kau mati, aku tahu tidak ada harapan lagi bagi kami. Friends of the Friends tidak akan pernah berhenti sampai kami tewas, ada Wasiat maupun tidak. Dia bisa saja meninggalkan negeri ini berhari-hari yang lalu tapi dia bertahan, berharap bisa membalas dendam dan mencabut nyawamu. Aku datang ke pertemuan ini untuk mengadakan perjanjian denganmu. Guiliano akan meninggalkan negeri ini beberapa hari lagi, dia akan mengaldbiri vendetta terhadapmu. Biarkan dia pergi." Don Croce menjauh dari piringnya di meja. Ia menghirup gelas anggurnya. "Kau bersikap kekanak-kanakan," komentarnya. "Kita sudah mendekati akhir sejarah. Guiliano terlalu berbahaya bila dibiarkan hidup. Tapi aku tidak bisa membunuhnya. Aku harus tinggal di Sisilia—aku tidak bisa membunuh pahlawan terbesar negeri ini dan melakukan apa yang harus kulakukan. Terlalu banyak orang yang menyayangi Guiliano, terlalu banyak pengikutnya yang akan membalaskan kematian-nya. Harus carabinieri yang melakukannya. Itulah yang harus diatur. Dan kau satu-satunya yang bisa meng-giring Guiliano ke dalam jebakan itu." Ia diam sejenak lalu berkata hati-hati, "Akhir duniamu sudah tiba. Kau bisa bertahan sampai dunia itu hancur atau kau bisa keluar dan sana dan hidup di dunia lain." Pisciotta berkata, "Aku mungkin saja dilindungi Kristus, tapi aku tidak akan hidup lama kalau orang-orang tahu aku mengkhianati Guiliano." "Kau hanya perlu memberitahukan di mana kau akan bertemu lagi dengannya," kata Don Croce. "Tak akan ada orang lain yang tahu. Aku akan mengatur segalanya dengan Kolonel Luca dan Inspektur Velardi. Mereka yang akan menangani sisanya." Ia diam sejenak. "Guiliano sudah berubah. Dia bukan lagi teman masa kanak-kanakmu, bukan lagi sahabat terbaikmu. Dia orang yang menjaga dirinya sendiri. Kini kau pun harus begitu." Maka pada malam tanggal 5 Juli, sewaktu Pisciotta menuju Castelvetrano, ia telah mengabdikan diri kepada Don Croce. Ia memberitahu Don Croce tempat ia akan menemui Guiliano, dan ia tahu Don akan memberitahu Kolonel Luca dan Inspektur Velardi. Ia tidak memberitahu mereka lokasinya adalah rumah Zu Peppino, ia hanya mengatakan pertemuan akan berlangsung di kota Castelvetrano. Dan ia memperingatkan mereka agar berhati-hati, karena Guiliano memiliki indra keenam dalam mencium jebakan. Tapi saat Pisciotta tiba di rumah Zu Peppino, pria tua itu menyapanya dengan sikap dingin yang aneh. Pisciotta berpikir apakah pria tua itu mencurigai dirinya. Ia pasti menyadari aktivitas tidak biasa para carabinieri di kota dan dengan sifat paranoia orang Sisilia yang tak pernah salah, berhasil menebak apa yang terjadi. Sejenak Pisciotta merasakan kepedihan mendalam. Kemudian melintas pikiran lain yang menyakitkan. Bagaimana kalau ibu Guiliano mengetahui Aspanu tercintanya mengkhianati Guiliano? Bagaimana kalau suatu hari Maria Lombardo berdiri di hadapannya dan meludahi wajahnya dan menyebutnya pengkhianat dan pembunuh? Mereka pernah menangis bersama sambil berpelukan dan ia telah bersumpah melindungi putra Maria Lombardo dan ia malah memberinya ciuman Yudas. Sejenak terlintas dalam benaknya untuk membunuh pria tua itu dan juga dirinya sendiri. Zu Peppino berkata, "Kalau kau mencari Turi, dia sudah datang dan pergi lagi." Ia merasa iba terhadap Pisciotta; wajahnya begitu pucat, seakan kesulitan menghirup udara. "Kau mau anisette?" Pisciotta menggeleng dan berbalik, hendak pergi. Pria tua itu berkata, "Hati-hati, kota penuh carabinieri^ Pisciotta sekejap merasa takut. Betapa bodohnya ia mengira Guiliano tidak akan mencium adanya jebakan. Dan bagaimana kalau sekarang Guiliano tahu peng- khianatnya? Pisciotta berlari keluar rumah, mengitari kota, dan mengambil jalan setapak di ladang yang akan membawanya ke tempat pertemuan cadangan, Acropolis Selinus di kota hantu kuno Selinunte. Reruntuhan kota kuno Yunani itu kemilau tertimpa cahaya bulan musim panas. Di tengahnya, Guiliano duduk di anak tangga batu kuil yang telah runtuh di sana-sini, memimpikan Amerika. Ia merasa begitu nelangsa. Mimpi-mimpi lamanya telah lenyap. Ia semula begitu penuh harap akan masa depannya dan masa depan Sisilia ia semula begitu memercayai keabadiannya. Begitu banyak orang yang menyayanginya. Dulu ia anugerah bagi mereka, dan sekarang, menurut Guiliano, ia adalah kutukan. Entah mengapa ia merasa ditinggalkan. Tapi ia masih memiliki Aspanu Pisciotta. Dan akan riba saatnya mereka berdua membangkitkan kembali semua rasa sayang dan mimpi-mimpi lama itu. Bagaimanapun, pada mulanya hanya mereka berdua. Bulan menghilang dan kota kuno itu lenyap ditelan kegelapan; sekarang reruntuhan itu bagaikan tulang-belulang yang digoreskan pada kanvas malam. Dalam kegelapan itu terdengar desir kerikil dan tanah bergeser, dan Guiliano berguling ke belakang ke antara tiang-tiang marmer, pistol otomatisnya siap ditembakkan. Bulan melayang keluar dengan indahnya dari balik awan, dan ia melihat Aspanu Pisciotta berdiri di jalan lebar yang telah hancur, yang menuju akro-polis. Pisciotta melangkah pelan menyusuri reruntuhan, matanya mencari-cari, suaranya membisikkan nama Turi. Guiliano, bersembunyi di balik pilar-pilar kuil, menunggu sampai Pisciotta melewatinya, lalu muncul di belakangnya. "Aspanu, aku menang lagi," katanya, memainkan permainan masa kanak-kanak mereka. Ia terkejut ketika Aspanu berbalik dengan ngeri. Guiliano duduk di anak tangga batu dan menyingkirkan senjatanya"Kemari dan duduklah sebentar," ajaknya. "Kau pasti capek, dan ini mungkin kesempatan terakhir kita bercakap-cakap berdua." Pisciotta berkata, "Kita bisa berbicara di Mazara del Vallo, kita akan lebih aman di Sana." Guiliano berkata kepadanya, "Kita punya banyak waktu dan kau akan muntah darah lagi kalau tidak beristirahat. Ayo, duduklah di sampingku." Dan Guiliano duduk di puncak anak tangga. Ia melihat Pisciotta menurunkan senjatanya dan mengira hendak meletakkannya. Ia berdiri dan mengulurkan tangan untuk membantu Aspanu menaiki tangga. Lalu ia menyadari temannya itu mengarahkan senapan kepadanya. Ia membeku, untuk pertama kali selama tujuh tahun dirinya lengah. Benak Pisciotta menggemuruh dengan apa yang ditanyakan Guiliano seandainya mereka berbicara. Ia akan bertanya, "Aspanu, siapa Yudas dalam kelompok kita? Aspanu, siapa yang memperingatkan Don Croce? Aspanu, siapa yang membawa carabinieri ke Castelvetrano? Aspanu, kenapa kau bertemu Don Croce?" Dan di atas semua itu, ia takut Guiliano akan berkata, "Aspanu, kau saudaraku." Teror terakhir itulah yang menyebabkan Aspanu menarik picu. Hujan peluru menghancurkan tangan Guiliano dan mencabik-cabik tubuhnya. Pisciotta, ngeri melihat tindakannya sendiri, menunggu Guiliano roboh. Sebaliknya Guiliano pelan-pelan menuruni anak tangga, darah menyembur dari luka-lukanya. Ngeri akan takhayul kemati-an, Pisciotta berbalik dan lari, ia bisa melihat Guiliano berlari mengejarnya dan kemudian roboh. Tapi Guiliano yang sekarat, mengira dirinya masih berlari. Neuron-neuron otaknya yang hancur saling menjerat kusut dan ia mengira dirinya berlari di pegunungan bersama Aspanu tujuh tahun lalu, air segar 527 menyembur dari sumur Romawi kuno, aroma bunga-bunga aneh menghanyutkan, berlari melewati patung-patung orang suci dalam altar mereka yang terkunci, dan ia berteriak, sama seperti pada malam itu, "Aspanu, aku percaya," percaya akan takdirnya yang bahagia, akan kasih sejari sahabatnya. Lalu kebaikan kematian mengantarkan kesadaran akan pengkhianatan dan kekalahan terakhirnya. Ia tewas dalam impiannya. Aspanu Pisciotta melarikan diri. Ia berlari melewati ladang-ladang dan memasuki jalan menuju Castelvetrano. Di sana ia menggunakan kartu izin khususnya untuk menghubungi Kolonel Luca dan Inspektur Velardi Merekalah yang menyebarkan berita Guiliano masuk perangkap dan tewas di tangan Kapten Perenze. Maria Lombardo Guiliano terjaga pada dini hari tanggal 5 Juli 1950 itu. Ia terjaga oleh ketukan di pintu; suaminya turun untuk membukakan pintu. Suaminya kembali ke kamar tidur dan memberitahu Maria Lombardo ia akan pergi dan mungkin sepanjang hari. Maria Lombardo memandang ke luar jendela dan melihat suaminya naik ke kereta keledai Zu Peppino yang dilukisi legenda pada papan-papan dan roda-rodanya. Apa mereka mendapat kabar dari Turi, apa Turi berhasil melarikan diri ke Amerika, atau ada yang tidak beres? Ia merasakan kecemasan yang memuncak menjadi rasa takut yang biasa dirasakannya selama tujuh tahun terakhir. Perasaan itu menyebabkan ia resah, dan setelah membersihkan rumah dan menyiapkan sayur-mayur untuk hidangan hari itu, ia membuka pintu dan memandang ke jalan. Para tetangganya tidak terlihat di sepanjang Via Belia. Tidak ada anak kecil bermain-main. Banyak kaum prianya yang dipenjara karena dicurigai bersekongkol dengan kelompok Guiliano. Para wanitanya terlalu takut untuk mengizinkan anak-anak mereka keluar ke jalan. Pasukan-pasukan carabinieri ada di kedua ujung Via Belia. Para prajurit- dengan senapan melintang di bahu berpatroli di sepanjang jalan. Jip-jip militer diparkir di dekat gedung-gedung. Kendaraan lapis baja menghalangi mulut Via Belia di dekat Barak Bellampo. Dua ribu anggota pasukan Kolonel Luca menduduki kota Montelepre, dan mereka menjadikan penduduk kota musuh mereka dengan melecehkan para wanitanya, menakut-nakuti anak-anak, menyiksa para pria yang tidak dipenjarakan. Dan semua prajurit ini berada di sini untuk membunuh putranya. Tapi putranya telah terbang ke Amerika, ia akan bebas, dan bila saatnya tiba, ia dan suaminya akan bergabung bersamanya di sana. Mereka akan hidup dalam kebebasan, tanpa rasa takut. Ia masuk kembali ke rumah dan menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah tangga. Ia pergi ke balkon belakang dan memandang ke pegunungan. Pegunungan tempat Guiliano mengawasi rumah ini melalui teropongnya. Maria Lombardo selalu merasakan kehadiran putranya; ia tidak merasakannya sekarang. Putranya pasti telah berada di Amerika. Ketukan keras di pintu menyebabkan ia membeku ketakutan. Pelan-pelan ia menghampiri dan membukanya. Yang pertama dilihatnya adalah Hector Adonis, dan Maria Lombardo belum pernah melihatnya seperti itu. Ia tidak bercukur, rambutnya berantakan, ia tidak mengenakan dasi. Kemeja di balik, jasnya kusut dan kerahnya ternoda kotoran. Tapi yang paling disadari Maria Lombardo adalah seluruh kewibawaan lenyap dari wajahnya. Wajahnya kusut memancarkan kedukaan amat dalam. Mata Adonis berkaca-kaca memandangnya. Maria Lombardo menjerit tertahan. Hector Adonis masuk ke rumah dan berkata, 'jangan, Maria, kumohon padamu." Seorang letnan carabinieri yang masih sangat muda menemaninya. Maria Lombardo menatap ke jalan di belakang mereka berdua. Tiga mobil hitam diparkir di depan rumahnya, pengemudinya para carabinieri. Sekelompok orang bersenjata berdiri di kedua sisi pintu. Letnan itu masih muda dan berpipi kemerahan. Ia menanggalkan topi dan menyelipkannya ke ketiaknya. "Kau Maria Lombardo Guiliano?" tanyanya resmi. Aksennya dari utara, tepatnya dari Tuscany. Maria Lombardo membenarkan. Suaranya serak penuh derita. Mulutnya kering. "Aku harus memintamu menemaniku ke Castelvetrano," kata perwira itu. "Mobil sudah kusediakan. Temanmu ini akan menemani kita. Tentu saja, kalau kau setuju." Mata Maria Lombardo membelalak. Ia berkata dengan suara lebih tegas. "Kenapa aku harus' pergi ke sana? Aku tidak tahu apa-apa tentang Castelvetrano atau kenal siapa pun di sana." Suara Letnan menjadi lebih lembut, ragu-ragu. "Kami memintamu mengidentifikasi seseorang di sana. Kami percaya dia putramu." "Itu bukan putraku, dia tidak pernah ke Castelvetrano," kata Maria Lombardo. "Orang itu tewas?" "Ya," jawab perwira itu. Maria Lombardo melolong panjang dan jatuh berlutut. "Putraku tidak pernah pergi ke Castelvetrano," katanya. Hector Adonis mendekatinya dan memegang bahunya. "Kau harus pergi," katanya. "Mungkin ini salah satu tipuannya, dia sudah pernah melakukannya." "Tidak," tegas Maria Lombardo. "Aku tidak mau pergi. Aku tidak mau pergi." Letnan bertanya, "Suamimu di rumah? Kami bisa mengajaknya." Maria Lombardo teringat kedatangan Zu Peppino pagi tadi, memanggil suaminya. Ia teringat firasat buruk yang dirasakannya ketika melihat kereta keledai berlukis itu. "Tunggu," katanya. Ia naik ke kamar tidur dan mengganti pakaiannya dengan gaun hitam dan mengenakan syal hitam menutupi kepalanya. Letnan membukakan pintu baginya. Ia keluar ke jalan. Prajurit bersenjata di mana-mana. Ia memandang Via Belia, tempat jalan itu berakhir di alun-alun. Dalam cahaya matahari bulan Juli yang terik ia melihat jelas Turi dan Aspanu membimbing keledai mereka untuk dikawinkan tujuh tahun lalu, pada hari Turi menjadi pembunuh dan pelanggar hukum. Ia mulai menangis, Letnan meraih lengannya dan membantunya masuk ke salah satu mobil hitam yang menanti. Hector Adonis duduk di sisinya. Mobil melesat melewati serombongan carabinieri yang membisu. Maria Lombardo membenamkan wajah di bahu Hector Adonis, sekarang tidak terisak-isak melainkan dicekam kengerian hebat membayangkan apa yang akan dilihatnya di akhir perjalanannya. Mayat Turi Guiliano tergeletak di halaman selama tiga jam. la seperti sedang tidur, tubuhnya menelungkup dan kepalanya berpaling ke kiri, satu kaki terlipat. Tapi kemeja putihnya hampir-hampir merah tua. Di dekat lengan yang tercincang tergeletak pistol otomatis. Para fotografer dan wartawan dari Palermo dan Roma sudah berada di lokasi. Fotografer majalah Life tengah memotret Kapten Perenze dan fotonya akan muncul dengan keterangan inilah orang yang menewaskan Guiliano yang agung. Wajah Kapten Perenze dalam foto tampak ramah dan sedih, juga agak bingung. Ia mengenakan topi yang membuatnya lebih mirip pedagang, kelontong yang baik hati daripada perwira polisi. Tapi foto-foto Turi Guiliano-lah yang memenuhi koran-koran di seluruh dunia. Di satu tangannya yang terulur terdapat cincin zamrud yang diambilnya dari Duchess. Di pinggangnya melilit sabuk bergesper emas berukir elang dan singa. Darah menggenang di bawah tubuhnya. Sebelum kedatangan Maria Lombardo, mayat itu dibawa ke kamar mayat kota dan diletakkan di atas meja marmer besar berbentuk oval. Kamar mayat itu bagian dari pemakaman, yang dikelilingi pepohonan cypress hitam. Ke sanalah Maria Lombardo dibawa dan diminta duduk di bangku batu. Mereka menunggu Kolonel dan Kapten menyelesaikan makan siang kemenangan di Hotel Selinus di dekat tempat itu. Maria Lombardo mulai menangis melihat para wartawan, penduduk kota yang penasaran, begitu banyak carabinieri yang berusaha mengatur mereka. Hector Adonis berusaha menghiburnya. Akhirnya mereka mengajaknya masuk ke kamar mayat. Para pejabat di sekitar meja oval mengajukan berbagai pertanyaan. Maria Lombardo menengadah dan melihat wajah Turi. Turi tidak pernah tampak begitu muda. Ia bagaikan anak kecil yang kelelahan setelah bermain seharian bersama Aspanu-nya. Tidak ada tanda apa pun di wajahnya, kecuali kotoran halus di tempat keningnya menyentuh halaman. Kenyataan menyadarkan Maria Lombardo, memberinya ketenangan. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. "Ya," katanya, "ini putraku Turi, dilahirkan dari tubuhku dua puluh tujuh tahun lalu. Ya, kuidentifikasi dirinya." Para pejabat masih berbicara kepadanya, memberinya dokumen-dokumen untuk ditandatangani, tapi Maria Lombardo tidak mendengar atau melihat mereka. Ia tidak melihat atau mendengar kerumunan orang yang berdesakan di sekitarnya, para wartawan yang berteriak-teriak, para fotografer yang melawan carabinieri agar bisa memotret. Maria Lombardo mengecup kening Turi, yang seputih marmer berurat kelabu, ia mengecup bibir Turi yang mulai membiru, tangan yang tercabik-cabik peluru. Pikiran Maria Lombardo luluh dalam duka. "Oh darah dagingku, darah dagingku," katanya, "betapa mengerikan kematian yang menimpamu." Ia jatuh pingsan, dan sewaktu dokter yang hadir menyuntiknya serta ia tersadar kembali, Maria Lombardo berkeras pergi ke halaman tempat mayat 533 putranya ditemukan. Di sana ia berlutut dan mencium noda darah di tanah. Setelah dibawa pulang ke Montelepre ia mendapati suaminya tengah menanti kedatangannya. Pada saat itulah ia tahu bahwa pembunuh putranya adalah Aspanu-nya yang tercinta. 534 Bab 29 MICHAEL CORLEONE dan Peter Clemenza dikirim ke penjara Palermo segera setelah ditangkap. Dari sana mereka dibawa ke ruangan Inspektur Velardi untuk diinterogasi. Bersamanya Velardi menyiapkan enam perwira carabinieri, bersenjata lengkap. Ia menyapa Michael dan Clemenza dengan kesopanan yang dingin. Ia berbicara kepada Clemenza terlebih dulu. "Kau warga negara Amerika," katanya. "Kau memiliki paspor yang menyatakan kedatanganmu kemari untuk mengunjungi kakakmu. Don Domenic Clemenza dari Trapani. Orang yang sangat terhormat, kata orang. Pria terhormat." Ia mengucapkan ungkapan tradisional itu dengan kesinisan yang nyata. "Kami mendapati dirimu bersama Michael Codeone, dan kau membawa senjata maut di kota tempat Turi Guiliano menemui kematiannya hanya beberapa jam sebelumnya. Kau mau memberi pernyataan?" Clemenza berkata, "Aku sedang berburu, kami mencari kelinci dan rubah. Lalu kami melihat semua kegemparan di Castelvetrano sewaktu berhenti di kafe untuk menikmati kopi pagi. Jadi kami ke sana untuk melihat apa yang terjadi." "Di Amerika kau menembak kelinci dengan pistol otomatis?" tanya Inspektur VeJardi. Ia berpaling kepada Michael Corleone, "Kita pernah bertemu, kau dan aku, kita tahu untuk apa kau datang kemari. Dan teman gendutmu ini juga tahu. Tapi situasi berubah sejak kita menikmati makan siang yang memesona bersama Don Croce beberapa hari lalu. Guiliano sudah mati. Kau terlibat konspirasi kejahatan untuk membantunya melarikan diri. Aku tidak lagi diwajibkan memperlakukan sampah seperti dirimu sebagai manusia. Pengakuan sedang disiapkan, kusarankan kalian menandatanganinya." Pada saat itu seorang perwira carabinieri masuk dan berbisik ke telinga Inspektur Velardi. Velardi berkata kasar, "Suruh dia masuk." Ternyata Don Croce, dan seingat Michael caranya berpakaian tak lebih baik daripada saat mereka makan siang bersama. Wajah kerasnya tampak tenang. Ia terhuyung-huyung mendekati Michael dan memeluknya. Ia menjabat tangan Peter Clemenza. Lalu ia berbalik dan menatap Inspektur tanpa mengatakan apa pun. Kekuatan kasar memancar dari manusia tinggi besar itu. Kekuasaan memancar dari wajah dan matanya. "Dua orang, ini temanku," katanya. "Atas alasan apa kau memperlakukan mereka dengan tidak hormat?" Tak ada kemarahan dalam suaranya, tak ada emosi. Seolah ia sekadar mengajukan pertanyaan yang menuntut jawaban berdasarkan fakta. Suaranya juga menyatakan tidak ada fakta yang bisa membenarkan penangkapan mereka. Inspektur Velardi mengangkat bahu. "Mereka akan menghadap hakim dan dia akan membereskan masalahnya Don Croce duduk di salah satu kursi berlengan di samping meja Inspektur Velardi. Ia mengusap alis matanya. Ia berkata dengan suara pelan yang lagi-lagi tanpa nada mengancam sedikit pun, "Demi menghormati persahabatan kita, hubungilah Menteri Trezza dan tanyakan pendapatnya dalam hal ini. Kau membantuku dengan berbuat begitu." Inspektur Velardi menggeleng. Mata birunya tidak lagi dingin tapi menyala- nyala penuh kebencian. "Kita tidak pernah berteman," bantahnya. "Aku bertindak atas dasar perintah yang sekarang tidak lagi mengikat karena Guiliano sudah mati. Kedua orang ini akan diadili. Kalau aku memiliki kekuasaan kau juga akan diadili bersama mereka." Pada saat itu telepon di meja Inspektur Velardi berdering. Ia tak mengacuhkannya, menunggu jawaban Don Croce. Don Croce berkata, "Terimalah teleponnya, itu pasti dari Menteri Trezza." Pelan-pelan Inspektur meraih telepon, matanya mengawasi Don Croce. Ia mendengarkan selama beberapa menit, lalu berkata, "Ya, Yang Mulia," dan menutup telepon. Ia merosot di kursinya dan berkata kepada Michael dan Peter Clemenza, "Kalian bebas." Don Croce bangkit berdiri dan menggiring Michael serta Clemenza keluar dengan gerakan seperti mengusir, seolah mereka hanyalah ayam-ayam yang terjebak di halaman. Lalu ia berpaling kepada Inspektur Velardi. "Aku memperlakukan dirimu dengan sangat ramah selama setahun terakhir meskipun kau orang asing di Sisilia-ku. Tapi di depan teman-teman dan sesama perwira kau menunjukkan sikap tidak hormat padaku. Tapi aku bukan orang. pendendam. Kuharap dalam waktu dekat kita bisa makan malam bersama dan memperbarui persahabatan kita dengan pemahaman yang lebih jelas." Lima hari kemudian di tengah hari, Inspektur Frederico Velardi ditembak mati di jalan raya utama Palermo. Dua hari kemudian Michael tiba di rumah. Diadakan pesta keluarga menyambut kepulangannya—kakaknya Fredo terbang dari Vegas, ada Connie dan suaminya Carlo, ada Clemenza dan istrinya, Tom Hagen dan istrinya. Mereka berpelukan dan menyidangi Michael serta mengomentari betapa tampan dirinya. Tak seorang pun membicarakan tahun-tahun pengasingannya, tak ada yang terang- terangan mengatakan wajahnya bertambah cekung, tak seorang pun menyinggung ke-matian Sonny. Ini pesta keluarga seakan ia cuma pergi kuliah atau berlibur panjang. Ia kini berada di sisi ayahnya Akhirnya ia aman. Keesokan paginya ia tidur sampai siang, tidur pertama yang benar-benar nyenyak sejak ia lari dari negara ini. Ibunya telah menyiapkan sarapan dan menciumnya sewaktu ia duduk di meja makan, tanda kasih sayang yang jarang dilakukannya. Ibunya hanya sekali melakukannya sebelum ini, sewaktu ia pulang dari perang Usai sarapan ia pergi ke perpustakaan dan mendapati ayahnya telah menunggu. Ia terkejut melihat Tom Hagen tidak ada di sana, lalu menyadari Don ingin berbicara empat mata dengannya. Don Corleone dengan takzim menuangkan dua gelas anisette dan mengulurkan satu gelas kepada Michael. "Untuk, kemitraan kita/' kata Don. 538 Michael mengangkat gelasnya. "Terima kasih," katanya. "Banyak yang harus kupelajari." "Ya," Don Corleone membenarkan. "Tapi kita punya banyak waktu, dan aku di sini untuk mengajarimu" Michael berkata, "Menurutmu tidakkah kita sebaiknya membereskan soal Guiliano terlebih dulu?" . . Don duduk terenyak dan mengusap mulutnya, membersihkannya dari minuman. "Ya," katanya. "Urusan yang menyedihkan. Aku berharap dia bisa meloloskan diri. Ayah dan ibunya teman baikku." " Michael berkata, "Aku tidak pernah sungguh-sungguh memahami apa" yang terjadi, aku bingung mana pihak yang benar dan mana yang salah. Kau menyuruhku memercayai Don Croce, tapi Guiliano membencinya. Kukira dengan Wasiat di tanganmu mereka tidak akan membunuh Guiliano, tapi mereka tetap saja membunuhnya. Dan sekarang kalau kita sebarkan Wasiat kepada seluruh surat kabar, artinya mereka menggorok leher mereka sencliri." Ia melihat ayahnya menatapnya tenang. "Itulah Sisilia," kata Don. "Selalu ada pengkhianatan dalam pengkhianatan." Michael berkata, "Don Croce dan pemerintah pasti mengadakan perjanjian dengan Pisciotta." "Tak diragukan lagi," ujar Don Corleone. Michael masih bingung. "Kenapa mereka berbuat begitu?- Kita memiliki Wasiat yang membuktikan pemerintah bekerja sama dengan Guiliano. Pemerintah Italia akan jatuh kalau koran-koran mempublikasikan apa yang kita berikan kepada mereka. Tidak masuk akal sama sekali." Don tersenyum tipis dan berkata, "Wasiat akan tetap tersembunyi. Kita tidak, akan memberikannya kepada siapa pun." Michael pedu waktu untuk meresapi apa yang dikatakan ayahnya dan apa artinya. Lalu, untuk pertama kali seumur hidupnya, ia benar-benar marah kepada ayahnya. Wajahnya memucat, ia berkata, "Apa itu berarti selama ini kita bekerja sama dengan Don Croce? Apa itu berarti aku mengkhianati Guiliano dan bukannya membantunya? Berarti aku berbohong kepada orangtuanya? Kau mengkhianati teman-temanmu dan membiarkan putra mereka tewas? Kau memanfaatkan diriku, membodobiku, begitukah? Pop, ya Tuhan, Guiliano orang baik, pahlawan sejati bagi orang-orang miskin di Sisilia. Kita harus menyebarluaskan Wasiat." Ayahnya membiarkan dirinya berbicara lalu bangkit dari kursinya dan memegang bahu Michael. "Dengarkan aku," katanya. "Segala sesuatu disiapkan agar Guiliano bisa meloloskan diri. Aku tidak mengadakan perjanjian apa pun dengan Don Croce untuk mengkhianati Guiliano. Pesawatnya sudah menunggu, Clemenza dan anak buahnya diperintahkan membantumu sepenuhnya. Don Croce memang ingin Guiliano melarikan diri, itu cara paling mudah. Tapi Guiliano bersumpah akan melakukan vendetta kepadanya dan mengulur waktu dengan harapan bisa memenuhinya. Dia bisa saja me-nemuimu dalam beberapa hari, tapi dia tetap tinggal untuk melakukan upaya terakhirnya. Itu yang membuatnya terbunuh." Michael menjauhi ayahnya dan duduk di salah satu kursi kulit berlengan. "Ada alasan kau tidak mem-pubhkasikan Wasiat," katanya. "Kau mengadakan perjanjian." "Ya," sahut Don Corleone. "Kau harus ingat sesudah dirimu terluka oleh bom, kusadari aku dan teman-temanku tidak lagi bisa melindungimu sepenuhnya di Sisilia. Kau bisa menjadi korban usaha pem-Imnuhan lainnya. Aku harus sungguh-sungguh yakin kau bisa kembali dengan selamat. Jadi aku mengadakan perjanjian dengan Don Croce. Dia akan melindungimu dan sebagai gantinya aku berjanji- akan membujuk Guiliano agar tidak mempublikasikan Wasiat saat dia berhasil lari ke Amerika." Dengan perasaan terguncang yang memuakkan Michael teringat dirinyalah yang memberitahu Pisciotta bahwa Wasiat sudah aman di Amerika. Pada saat itu ia telah memutuskan takdir Guiliano. Michael mendesah. "Kita berutang kepada ibu dan ayahnya," katanya. "Dan kepada Justina. Dia baik-baik saja?" "Ya," jawab Don. "Dia dijaga dengan baik. Butuh waktu beberapa bulan sampai dia bisa menerima apa yang terjadi." Ia diam sejenak. "Dia gadis yang sangat pandai, dia bisa menjalani kehidupan di sini dengan baik." Michael berkata, "Kita mengkhianati ayah dan ibunya kalau tidak mempublikasikan Wasiat." "Tidak," bantah Don Codeone. "Ada yang kupelajari selama bertahun-tahun tinggal di Amerika. Kau harus bersikap logis, bisa bernegosiasi. Apa gunanya mempublikasikan Wasiat? Mungkin pemerintah Italia akan jatuh, mungkin juga tidak. Menteri Trezza akan kehilangan jabatan, tapi apa kaupikir mereka akan menghukumnya?" Michael berkata marah, "Dia pejabat pemerintah yang bersekongkol membunuh rakyatnya sendiri." Don mengangkat bahu. "Lalu kenapa? Biarkan aku melanjutkan. Apakah mempublikasikan Wasiat akan membantu ibu dan ayah atau teman-teman Guiliano? Pemerintah akan memburu mereka, memenjarakan mereka, menyiksa mereka dengan berbagai cara. Lebih buruk lagi, Don Croce mungkin akan memasukkan mereka ke daftar hitamnya. Biarkan mereka menjalani kedamaian di usia tua. Aku mengadakan perjanjian dengan pemerintah dan Don Croce untuk melindungi mereka. Dengan begitu keberadaan Wasiat di tanganku ada gunanya." Michael berkata sinis, "Dan berguna bagi kita kalau suatu saat kita membutuhkannya di Sisilia." "Apa boleh buat," kata ayahnya sambil menahan senyum. Setelah membisu cukup lama Michael berkata pelan, "Entahlah, rasanya perbuatan itu tidak terhormat. Guiliano pahlawan sejati, dia sudah menjadi legenda. Kita seharusnya membantu kenangan akan dirinya. Bukannya membiarkan kenangan itu lenyap dalam kekalahan." - Untuk pertama kali Don menunjukkan kejengkelan. Ia menuang segelas anisette lagi untuk dirinya sendiri dan langsung menghabiskannya. Ia menuding putranya. "Kau ingin belajar," katanya. "Sekarang dengarkan aku. Tugas pertama seorang pria adalah bertahan hidup. Berikutnya adalah melakukan segala hal yang disebut kehormatan. Perbuatan yang tidak terhormat ini seperti katamu tadi, dengan senang hati kutanggung sendiri. Aku melakukannya demi menyelamatkan nyawamu karena kau sekali waktu dulu melakukan perbuatan menyelamatkan nyawaku. Kau tidak akan pernah meninggalkan Sisilia hidup-hidup lanpa perlindungan Don Croce. Jadi terserah. Kau mau jadi pahlawan seperti Guiliano, jadi legenda? Dan mati? Aku mencintainya sebagai putra kawan baikku, tapi aku tidak iri akan ketenarannya. Kau hidup dan Sila mati. Ingat selalu hal itu dan jalani kehidupanmu bukan untuk menjadi pahlawan, melainkan untuk tetap hidup. Seiring berlalunya waktu, kepahlawanan tampak konyol." Michael mendesah. "Guiliano tidak punya pilihan," katanya. "Kita lebih beruntung," tegas Don. Itulah pelajaran pertama yang diterima Michael dari ayahnya sekaligus yang paling baik. Pelajaran itu mewarnai kehidupannya di masa depan, mendorongnya mengambil keputusan-keputusan menakutkan yang tak pernah ia bayangkan harus dilakukannya. Pelajaran itu mengubah persepsinya mengenai kehormatan dan keter-pesonaannya akan kepahlawanan. Pelajaran itu membantunya bertahan hidup, tapi menjadikan clirinya tidak bahagia. Karena kendati ayahnya tidak merasa iri terhadap Guiliano, Michael tetap iri. Bab 30 KEMATIAN Guiliano menghancurkan semangat rakyat Sisilia. Ia pembela mereka, perisai mereka melawan kaum kaya dan bangsawan, Friends of the Friends, pemerintah Demokrat Kristen di Roma. Dengan tiadanya Guiliano, Don Croce Malo menempatkan Pulau Sisrha di mesin peras dan memeras kekayaan melimpah baik dari kaum kaya maupun miskin. Sewaktu pemerintah mencoba membangun dam-dam yang menyediakan air murah, Don Croce memerintahkan anak buahnya meledakkan peralatan-peralatan berat yang digunakan membangun dam-dam itu. Dirinyalah yang mengendalikan semua sumur di Sisilia; dam pemasok air murah tidak sesuai dengan kepentingannya. Seusai perang, bisnis pembangunan gedung semakin marak, dan melalui informasi dari dalam dan gaya negosiasi persuasif, Don Croce memperoleh gedung-gedung di lokasi terbaik dengan harga murah; lalu ia menjualnya dengan harga berkali-kali lipat. Ia mengontrol semua bisnis di Sisilia.. Kita tidak bisa menjual sayur artichoke di pasar Palermo tanpa membayar komisi beberapa centesimi kepada Don Croce; orang kaya tidak bisa membelikan perhiasan bagi istri mereka atau kuda balap untuk putra mereka tanpa membayar - asuransi kepada Don Croce. Dan dengan tangan besi ia melenyapkan harapan bodoh para petani yang ingin mengklaim lahan tidak terurus milik Pangeran Ollorto, akibat undang-undang tidak masuk akal yang disahkan Parlemen Italia. Terjepit di antara Don Croce, kaum bangsawan dan pemerintah Roma, rakyat Sisilia berhenti berharap. Dalam dua tahun setelah kematian Guiliano, lima ratus ribu orang Sisilia, sebagian besar pemuda, pindah ke luar negeri. Mereka pergi ke Inggris dan menjadi tukang kebun, pembuat es krim, pramusaji restoran. Mereka pergi ke Jerman dan melakukan pekerjaan kasar, ke Swiss untuk menjaga kebersihan negara itu dan membuat jam kukuk. Mereka pergi ke Prancis sebagai pembantu dapur dan penyapu di rumah-rumah mode. Mereka ke Brasilia untuk menebang pohon membuka hutan. Beberapa pergi ke Scandinavia di musim dingin yang menggigit. Dan tentu saja ada yang beruntung dan direkrut Clemenza untuk melayani Keluarga Corleone di Amerika Serikat. Mereka dianggap yang paling beruntung di antara semuanya. Maka Sisilia pun menjadi tanah para pria tua, anak-anak, dan wanita yang menjadi janda akibat vendetta ekonomi. Desa-desa mati itu tidak lagi memasok buruh bagi lahan orang kaya, dan orang kaya juga menderita. Hanya Don Croce yang makmur. Gaspare "Aspanu" Pisciotta disidang atas kejahatan-kejahatannya sebagai bandit dan dijatuhi hukuman seumur hidup di Penjara Ucciardone. Tapi semua orang tahu ia akan mendapat pengampunan. Satu-satunya kekhawatiran Aspanu adalah dirinya dibunuh dalam penjara. Namun demikian amnesti tidak juga diterima- nya. Ia mengirim kabar kepada Don Croce menyatakan kalau ia tidak segera diampuni, ia akan mengungkapkan semua kontak yang berlangsung antara kelompoknya dengan Trezza, bagaimana Perdana Menteri yang baru bersekongkol dengan Don Croce untuk membunuhi rakyatnya sendiri di Portella della Ginestra. Pada pagi hari setelah kenaikan Menteri Trezza menjadi Perdana Menteri Italia, Aspanu Pisciotta terjaga pukul delapan pagi Selnya besar, berisi tanaman- tanaman dan kain-kain sulaman besar yang dibuatnya untuk mengisi waktu di penjara. Pola-pola sulaman yang cemerlang pada kain sutra itu agaknya menenangkan pikirannya, karena sekarang ia sering terkenang masa kanak- kanak bersama Turi Guiliano, dan cinta kasih antara mereka berdua. Pisciotta menyiapkan kopi paginya dan minum. Ia takut diracun. Jadi segala sesuatu di dalam cangkir kopi itu dibawakan oleh keluarganya. Makanan penjara diberikannya secuil terlebih dulu pada kakatua yang dipeliharanya dalam kurungan. Dan untuk keadaan darurat, di salah satu raknya, bersama tumpukan kain dan jarum-jarum sulam, ia menyimpan sebotol besar minyak zaitun. Ia berharap dengan meminum minyak itu banyak-banyak, ia bisa menetralkan pengaruh racun atau menyebabkan ia muntah. Ia tidak takut kekerasan lainnya- —ia dijaga sangat baik. Hanya para tamu yang disetujuinya yang diizinkan datang ke selnya; ia tidak pernah diizinkan keluar sel. Ia menunggu dengan sabar sementara kakatuanya makan dan mencerna makanannya kemudian ia menyantap sarapannya itu penuh selera. Hector Adonis meninggalkan apartemennya di Palermo dan menggunakan trem untuk menuju Penjara Ucciar-done. Matahari bulan Februari sudah terik kendati hari masih pagi, dan ia menyesal mengenakan setelan hitam dan dasinya. Tapi ia merasa harus berpakaian resmi untuk peristiwa ini. Ia menyentuh selembar kertas penting dalam saku-dada jasnya, yang aman ditempatkan dalam-dalam. Selama perjalanan melintasi kota, hantu Guiliano memaninya. Ia teringat suatu pagi menyaksikan satu trem penuh carabinieri meledak, salah satu pembalasan Guiliano karena orangtuanya ditahan di penjara yang hendak dikunjunginya sekarang. Dan ia kembali bertanya-tanya bagaimana bocah lembut yang diajarinya membaca literatur klasik itu bisa bertindak begitu mengerikan. Kini, walaupun dinding-dinding gedung yang dilewatinya kosong, ia masih melihat dalam imajinasinya tulisan-tulisan cat merah berbunyi PANJANG UMUR GUILIANO yang sering kali dicatkan di sana. Well, putra baptisnya tidak berumur panjang. Tapi yang selalu mengganggu Hector Adonis adalah Guiliano dibunuh orang yang seumur hidup menjadi temannya, teman sejak ia masih kecil. Itu sebabnya ia gembira menerima perintah untuk mengirimkan surat dalam saku jasnya. Surat itu dikirim Don Croce bersama perintah khusus. Trem berhenti di depan bangunan batu bata panjang, itulah Penjara Ueciardone. Bangunannya dipisahkan dari jalanan oleh dinding batu yang dilengkapi kawat berduri di atasnya. Para penjaga mengawasi gerbang, dan batas-batas pagar dijaga polisi bersenjata berat. Hector Adonis, membawa semua dokumen yang diperlukan, diantar masuk oleh penjaga khusus, dan di-kawal menuju apotek rumah sakit. Di sana ia disambut sang apoteker, pria bernama Cuto. Ia mengenakan mantel putih bersih di atas setelan bisnis dan dasinya. Ia juga, melalui proses psikologis yang tidak kentara, memutuskan untuk mengenakan pakaian resmi untuk peristiwa ini. Ia menyapa riang Hector Adonis dan mereka duduk menunggu. "Apakah Aspanu mengkonsumsi obatnya secara teratur?" tanya Hector Adonis. Pisciotta masih harus menelan streptomycin' untuk mengobati tuberkulosisnya. "Oh, ya," jawab Cuto. "Dia sangat hati-hati menjaga kesehatannya. Dia bahkan berhenti merokok. Kusadari ada sesuatu yang menarik dari para narapidana. Ketika bebas mereka mengabaikan kesehatan—mereka merokok berlebihan, minum sampai mabuk, berhubungan seks hingga kehabisan tenaga. Mereka tidak cukup tidur atau berolahraga. Lalu saat mereka harus menghabiskan seumur hidup di penjara, mereka melakukan push-up, mereka menolak tembakau, mereka mengawasi makanan mereka, dan berhati-hati dalam segala hal" "Mungkin karena mereka memiliki lebih sedikit kesempatan," komentar Hector Adonis. "Oh, tidak, tidak," kilah Cuto. "Kau bisa mendapatkan apa saja di Ucciardone. Para sipir di sini miskin dan para narapidananya kaya, jadi wajar ada uang yang berpindah tangan. Kau bisa melakukan segala macam kesenangan di sini" Adonis memandang sekeliling apotek. Ada rak-rak penuh obat dan lemari-lemari kayu ek besar berisi perban dan peralatan medis, karena apotek itu juga berfungsi sebagai ruang gawat darurat bagi para nara- pidana. Bahkan ada dua ranjang tertata rapi di ceruk ruangan yang luas itu. "Kau-punya masalah mendapatkan obatnya?" tanya Adonis. "Tidak, kami punya izin khusus," kata Cuto. "Tadi pagi aku menginminya botol obat yang baru. Dilengkapi semua segel khusus ekspor yang ditempelkan orang Amerika. Obat yang sangat mahal. Aku terkejut pihak berwenang begitu bersusah payah mempertahankan hidupnya." Keduanya saling tersenyum. Dalam selnya Aspanu Pisciotta mengambil botol streptomycin dan merobek segelnya yang rumit. Ia mengukur dosisnya dan meminumnya. Selama sedetik, saat ia bisa berpikir, ia terkejut oleh pahitnya rasa obat itu, lalu tubuhnya terdorong ke belakang dan terlempar ke tanah. Ia menjerit, yang mendatangkan sipir ke pintu selnya. Pisciotta bersusah payah bangun, bergumul melawan sakit yang mencabik-cabik tubuhnya. Tenggorokannya terasa nyeri dan ia terhuyung- huyung menuju botol minyak zaitunnya. Tubuhnya kembali terjengkang dan ia menjerit kepada sipir, "Aku diracuni. Tolong, tolong." Lalu sebelum jatuh lagi, ia merasakan kemurkaan hebat karena akhirnya ia dikalahkan oleh Don Croce. Para sipir yang membawa Pisciotta menerobos apotek sambil berteriak narapidana itu diracuni. Cuto menyuruh mereka membaringkan Pisciotta di salah satu ranjang dan memeriksanya. Lalu ia bergegas menyiapkan obat perangsang muntah dan menuangkannya ke tenggorokan Pisciotta, Bagi para sipir ia tampak berusaha keras menyelamatkan Pisciotta. Hanya Hector Adonis yang tahu obat perangsang muntah itu hanyalah campuran encer yang tidak akan membantu orang sekarat itu. Adonis bergeser ke samping ranjang dan mengeluarkan kertas dari saku-dadanya, memegangnya tersembunyi dalam telapak tangannya. Berpura-pura membantu sang apoteker, ia menyelipkan kertas itu ke dalam kemeja Pisciotta. Pada saat bersamaan ia menunduk memandang wajah Pisciotta yang tampan. Wajahnya bagai berkerut oleh kedukaan, tapi Adonis tahu kerutan itu akibat rasa sakit luar biasa. Sebagian kumis kecil Pisciotta tergigit dalam kesakitannya. Saat itu Hector Adonis berdoa bagi jiwa Pisciotta dan merasakan kesedihan mendalam. Ia ingat ketika orang ini dan putra baptisnya berjalan berangkulan di perbukitan Sisilia sambil mengutip puisi tentang Roland dan Charlemagne. Hampir enam jam kemudian surat itu ditemukan pada mayat Pisciotta, tapi masih cukup pagi untuk dipublikasikan di berita surat kabar mengenai kematian Pisciotta dan dikutip di seluruh Sisilia. Kertas yang diselipkan Hector Adonis ke dalam kemeja Pisciotta bertuliskan KEMATIAN BAGI SEMUA YANG MENGKHIANATI GUILIANO. 550 Bab 31 DI Sisilia, kalau kau punya uang, kau. tidak menguburkan orang terkasih di dalam tanah. Itu kekalahan yang terlalu telak, dan tanah Sisilia telah lama bertanggung jawab atas terlalu banyak penghinaan. Jadi pemakaman dipenuhi batu nisan kecil dan mausoleum marmer—bangunan-bangunan persegi kecil yang disebut congrega^ioni. Pintu-pintu baja berjeruji menghalangi jalan masuknya. Di dalamnya terdapat ceruk-ceruk tempat peti mati diletakkan dan ceruk itu cktutupi semen. Ceruk-ceruk lain disediakan untuk anggota keluarga lainnya. Hector Adonis memilih hari Minggu yang cerah tak lama setelah kematian Pisciotta untuk mengunjungi Pemakaman Montelepre. Don Croce akan menemuinya di sana untuk berdoa di makam Turi Guiliano. Dan karena ada yang harus mereka diskusikan, adakah tempat yang lebih baik—selain pemakaman—bagi pertemuan mereka, orang-orang tanpa pretensi yang saling memahami? Juga bagi pertemuan untuk memaafkan luka-luka lama, pertemuan yang clirahasiakan? Dan adakah tempat yang lebih baik, selain pemakaman, untuk memberikan selamat kepada kolega yang melakukan tugas dengan baik? Sudah menjadi tugas 551 Don Croce menyingkirkan Pisciotta, yang terlalu vokal dan memiliki ingatan terlalu baik. Don Croce memilih Hector Adonis untuk merancang tugas itu. Surat yang ditinggalkan di mayat Pisciotta merupakan salah satu aksi Don yang paling halus. Surat itu memuaskan Adonis, dan pembunuhan politis disamarkan sebagai aksi keadilan yang romantis. Di depan gerbang pemakaman, Hector Adonis mengawasi sopir dan para pengawal mengangkat Don Croce keluar dari mobil. Tubuh Don bertambah besar selama setahun terakhir, seakan tumbuh pesat seiring semakin besarnya kekuasaan yang diraihnya. Kedua orang itu melewati gerbang. Adonis menengadah memandang lengkungan di atas gerbang. Pada kerangka jeruji besinya terdapat tulisan bagi para pelayat. Bunyinya: KAMI TELAH MENJADI SEPERTI KALIAN—DAN KALIAN AKAN MENJADI SEPERTI KAMI. Adonis tersenyum membaca tantangan sinis itu. Guiliano tak akan pernah berperilaku kasar seperti itu, tapi itulah yang akan diteriakkan Pisciotta dari kuburnya. Hector Adonis tidak lagi merasakan kebencian getir terhadap Pisciotta, kebencian yang merasukinya setelah kematian Guiliano. Ia telah membalas dendam. Sekarang ia teringat keduanya saat bermain sewaktu kecil, menjadi penjahat bersama-sama. Don Croce dan Hector Adonis berada jauh di perkampungan batu nisan dan bangunan marmer. Don Croce dan para pengawalnya berjalan berkelompok, saling mendukung di jalan setapak berbatu-batu; sopir membawa buket bunga besar yang diletakkannya di 552 gerbang congrega^one makam Guiliano. Don Croce sibuk menata kembali bunga-bunganya, lalu menatap tajam foto kecil Guiliano yang ditempelkan di pintu batu. Para pengawalnya memegangi tubuhnya agar tidak jatuh. Don Croce menegakkan tubuh. "Dia bocah pemberani,", kata Don. "Kita semua mencintai Turi Guiliano. Tapi bagaimana kita bisa hidup bersamanya? Dia ingin mengubah dunia, menjungkirbalikkannya. Dia menyayangi sesama manusia dan siapa yang lebih banyak membunuh mereka? Dia percaya pada Tuhan dan menculik Kardinal." Hector Adonis mengamati foto itu. Foto itu dibuat sewaktu Guiliano masih tujuh belas tahun, dengan ketampanan Laut Mediterania. Ada sesuatu yang manis pada wajahnya yang menyebabkan orang menyayanginya, dan orang tak bisa membayangkan dirinya akan memerintahkan seribu pembunuhan, mengirim seribu jiwa ke neraka. Ah, Sisilia, Sisilia, pikirnya, kau menghancurkan putra terbaikmu dan menjadikan mereka debu. Anak-anak yang lebih cantik daripada malaikat muncul dari tanahmu dan berubah menjadi iblis. Kejahatan tumbuh subur di tanah ini seperti bambu dan pir. Tapi kenapa Don Croce datang kemari dan meletakkan bunga di makam Guiliano? "Ah," kata Don, "kalau saja aku memiliki putra seperti Turi Guiliano. Aku akan meninggalkan kekaisaran luar biasa untuk dipimpinnya. Siapa bisa menebak kejayaan macam apa yang akan dimenangkannya?" Hector Adonis tersenyum. Tidak ragu lagi Don Croce orang hebat, tapi ia tidak memiliki persepsi sejarah. Don Croce memiliki seribu putra yang akan melanjutkan kepemimpinannya, mewarisi kelicikannya, menjarah Sisilia, mengorupsi "Roma. Dan ia, Hector Adonis, Dosen Terkemuka Sejarah dan Sastra di Universitas Palermo, adalah salah satu di antaranya. Hector Adonis dan Don Croce berbalik pergi. Deretan panjang kereta tengah menunggu di depan pemakaman. Setiap jengkal kereta-kereta itu dilukisi legenda Turi Guiliano dan Aspanu Pisciotta dalam warna-warna cerah: perampokan Duchess, pembantaian para pemimpin Mafia, pembunuhan Turi oleh Aspanu. Dan Hector Adonis merasa ia mengetahui semuanya. Bahwa Don Croce akan dilupakan kendati ia begitu hebat, namun Turi Guiliano akan terus hidup. Bahwa legenda Guiliano akan terus tumbuh, bahwa beberapa orang percaya ia tidak pernah mati melainkan masih berkeliaran di Pegunungan Cammarata dan suatu hari kelak akan muncul kembali untuk membebaskan Sisilia dari rantai pengekang dan kesengsaraannya Di ribuan desa yang penuh tanah dan batu, anak-anak yang belum dilahirkan akan berdoa bagi jiwa dan kebangkitan Guiliano. Bagaimana dengan Aspanu Pisciotta dan benaknya yang licik, yang mengaku tidak mendengarkan sewaktu Hector Adonis menceritakan legenda Charlemagne, Roland dan Oliver, dan karena itu memutuskan pergi ke arah yang berlawanan? Kalau tetap setia, Pisciotta akan terlupakan, Guiliano akan mengisi legendanya seorang diri. Tapi dengan melakukan kejahatan besarnya, Pisciotta akan mendampingi Turi-nya yang terkasih selama-lamanya. Pisciotta akan dimakamkan di pemakaman ini juga. Mereka berdua akan menatap selamanya pegunungan yang mereka cintai, pegunungan yang juga menyimpan tulang-belulang gajah Hannibal, yang sekali waktu menggemakan raungan keras terompet Roland sewaktu ia tewas dalam pertempuran melawan bangsa Saracen, juri Guiliano dan Aspanu Pisciotta mati muda, tapi mereka akan tetap hidup, kalau bukan untuk selamanya, jelas lebih lama daripada Don Croce maupun clirinya, Profesor Hector Adonis. Kedua pria itu, yang satu begitu raksasa, yang lain begitu mungil, meninggalkan pemakaman. Kebun-kebun berteras memenuhi lereng-lereng pegunungan di sekeliling mereka dengan pita-pita hijau, batu-batu putih besar berkilau-kilau, seekor rajawali merah Sisilia melayang ke arah mereka pada seberkas cahaya matahari.