Anda di halaman 1dari 517

www.ac-zzz.

tk
MATAHARI TERBIT
Michael Crichton
Ebook oleh : Hendri K & Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info/
MATAHARI TERBIT
Michael Crichton

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama


Jakarta, 1994

Di lantai 45 Nakamoto Tower di pusat kota L.A. – markas


besar perusahaan konglomerat Jepang di Amerika – sebuah
upacara pembukaan sedang berlangsung dengan meriah.
Di lantai 46, di sebuah ruang rapat yang kosong,
ditemukan sesosok mayat perempuan muda yang cantik.
Penyelidikan pun dimulai, dan berkembang menjadi
konflik besar yang melipatkan pihak Jepang dan Amerika –
konflik yang berakar dari persidangan teknologi dan
keinginan untuk saling menguasai. Bisnis adalah perang,
pepatah Jepang yang menjadi kenyataan menakutkan
dalam kasus pembunuhan di Nakamoto Tower.

RISING SUN
© Copyright (1994)
(1992) by Michael Crichton
All rights rerved induding the rights of
reproduction in whole or in part in any form.

MATAHARI TERBIT
Alihbahasa: Hendarto Setiadi
GM 402 94.942
Hak cipta terjemahan Indonesia:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
JI. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Foto cover ©1993 Twentieth Century Fox
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Januari 1994

Cetakan kedua: Maret 1994

Terima kasih kepada Twentieth Century Fox


atas izin penggunaan foto cover.

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

CRICHTON, Michael
Matahari terbit / Michael. Crichton ; alih bahasa,
Hendarto Setiadi. - Cet. I. - Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 1993.
616 hlm. ilus. ; 18 cm.
Judul asli Rising sun
ISBN 979-511-942-7
1. Judul. II. Setiadi, Hendarto
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia

Untuk ibuku,
Zula Miller Crichton

Kita masuk ke dunia baru di mana aturan main lama


tidak berlaku lagi.
- Phillip Sanders

Bisnis adalah perang.


- Semboyan Jepang
LOS ANGELES POLICE DEPARTMENT
Transkrip Rahasia
Catatan Intern

Isi: Transkrip Interogasi Video


Detektif Peter J. Smith
13-15 Maret

Perihal: Pembunuhan Nakamoto (A8895-404)

Transkrip ini milik Los Angeles Police Department, dan


hanya untuk penggunaan intern. Izin untuk menyalin,
mengutip, mereproduksi, atau mengungkapkan isi
dokumen ini dibatasi oleh undang-undang. Penggunaan
tanpa izin diancam hukuman berat.

Semua permohonan ditujukan kepada:

Pimpinan Divisi Internal Affairs


Los Angeles Police Department
PO Box 2029
Los Angeles, CA 92038-2029
Telepon: (213) 555-7600
Telefax: (213) 555-7812
Interogasi Video: Det. P.J. Smith 13/3-15/3

Kasus: Pembunuhan Nakamoto

Deskripsi interogasi: Yang bersangkutan (Lt. Smith)


diinterogasi selama 22 jam sepanjang tiga hari, mulai Senin,
13 Maret, sampai dengan Rabu, 15 Maret. Wawancara
direkam dengan pita S-VHS/SD.

Deskripsi gambar- Yang bersangkutan (Smith) duduk di


belakang meja di Ruang Video #4, Markas Besar LAPD.
Pada dinding di belakang yang bersangkutan ada jam.
Gambar memperlihatkan permukaan meja, cangkir kopi,
dan yang bersangkutan dari pinggang ke atas. Yang
bersangkutan mengenakan jas dan dasi (hari ke-1); kemeja
dan dasi (hari ke-2); dan keme (hari ke-3). Timecode video
tampak di pojok kanan bawah.

Tujuan interogasi: Klarifikasi peranan yang ber-


sangkutan dalam Pembunuhan Nakamoto (A8895404).
Petugas pelaksana interogasi adalah Det. T. Conway dan
Det. P. Hammond. Yang bersangkutan melepaskan haknya
untuk didampingi pengacara.

Disposisi kasus: Dimasukkan ke dalam arsip sebagai


"kasus belum dipecahkan".

Transkrip: 13 Maret (1)


INT : Oke. Rekaman sudah dimulai. Harap
sebutkan nama Saudara sebagai catatan.
PJS : Peter James Smith.
INT : Sebutkan umur dan pangkat Saudara.
PJS : Umur saya 34 tahun. Letnan, Divisi Special
Services, Los Angeles Police Department.
INT : Letnan Smith, seperti yang Saudara ketahui,
Saudara tidak didakwa sebagai pelaku tindak kejahatan
pada saat ini.
PJS : Saya tahu.
INT : Meski demikian, Saudara berhak didampingi
pengacara.
PJS : Saya tidak ingin menggunakan hak tersebut.
INT : Oke. Apakah Saudara berada di bawah
tekanan, dalam bentuk apa pun, untuk hadir dalam
pertemuan ini?
PJS : (terdiam lama) Tidak, saya tidak berada di
bawah tekanan.
INT : Oke. Sekarang kami ingin membicarakan
Pembunuhan Nakamoto dengan Saudara. Kapan Saudara
mulai terlibat dengan kasus tersebut?
PJS : Pada Kamis malam, 9 Februari, sekitar pukul
sembilan.
INT : Apa yang terjadi saat itu?
PJS : Saya berada di rumah. Kemudian saya terima
telepon.
INT : Dan apa yang sedang Saudara lakukan pada
saat Saudara menerima telepon tersebut?
MALAM PERTAMA

Bab 1

SEBENARNYA ketika itu aku duduk di tempat tidur, di


apartemenku di Culver City. Aku sedang menonton
pertandingan Lakers di TV, dengan suara dimatikan, sambil
mencoba menghafalkan kosakata untuk kursus bahasa
Jepang tingkat pemula yang kuikuti.
Suasananya tenang. Anak perempuanku sudah tidur
sejak jam delapan. Kini aku duduk dengan tape recorder di
sampingku, dan sebuah suara wanita yang ceria
mengucapkan kalimat-kalimat sederhana seperti,"'Halo,
saya petugas polisi. Dapatkah saya membantu Anda?" dan
"Bolehkah saya melihat daftar menu?" Setelah setiap
kalimat, ia berhenti sejenak agar aku dapat mengulangi
kalimatnya dalam bahasa Jepang. Aku berusaha dengan
susah payah. Kemudian ia berkata, "Toko sayur-mayur
sedang tutup. Di mana kantor pos?" Kalimat-kalimat seperti
itulah. Kadang-kadang aku sukar berkonsentrasi, namun
aku tetap mencoba. "Tuan Hayashi mempunyai dua anak."
Aku berusaha menjawab, "Hayashi-san wu koDõmo ga
fur… futur..." Aku mengumpat. Tapi wanita itu sudah mulai
bicara lagi.
"Minuman ini sama sekali tidak enak."
Buku pelajaran bahasa Jepang milikku tergeletak di
tempat tidur dalam keadaan terbuka, di sebelah Mr. Potato
Head yang kurakit kembali untuk anakku. Di samping itu
ada album foto, serta foto-foto dari pesta ulang tahunnya
yang kedua. Pesta Michelle berlangsung empat bulan yang
lalu, tapi aku masih belum selesai menempelkan foto-foto.
Kita harus memaksakan diri agar urusan seperti itu tidak
terbengkalai.
"Jam dua akan ada rapat."
Foto-foto di tempat tidurku sudah tidak sesuai dengan
kenyataan. Dalam waktu empat bulan, penampilan Michelle
sudah berubah sama sekali. Ia lebih tinggi; gaun pesta
mahal yang dibelikan bekas istriku sudah kekecilan
untuknya - beludru hitam dengan kerah renda berwarna
putih.
Dalam foto-foto itu, bekas istriku memainkan peranan
penting: memegang kue ulang tahun saat Michelle meniup
lilin, dan membantunya membuka kado-kado. Ia kelihatan
seperti ibu yang penuh dedikasi. Sebenarnya. Michelle
tinggal bersamaku, dan bekas istriku tidak terlalu sering
bertemu dengannya. Setengah dari kesempatan berkunjung
pada akhir pekan tidak dimanfaatkannya, dan sesekali ia
pun lalai membayar uang tunjangan anak.
Tapi kita takkan mengetahui semuanya itu hanya dengan
mengamati foto-foto pesta ulang tahun.
"Di mana kamar kecil?"
"Saya punya mobil. Kita bisa pergi bersama-sama."
Aku kembali menghafal. Sebenarnya, secara resmi aku
sedang bertugas malam itu. Aku petugas Special Services
yang mendapat giliran standby. Artinya, aku harus siap
dipanggil dari markas divisi di pusat kota. Tetapi tanggal 9
Februari merupakan Kamis yang tenang, dan menurut
perkiraanku aku takkan seberapa sibuk. Sampai jam
sembilan, Aku hanya ditelepon tiga kali.
Divisi Special Services meliputi seksi diplomatik dari
Departemen Kepolisian. Kami menangani masalah-masalah
yang menyangkut para diplomat dan orang-orang terkenal,
serta menyediakan tenaga penerjemah dan petugas
penghubung bagi warga negara asing yang karena satu dan
lain hal berurusan dengan polisi. Pekerjaanku cukup
bervariasi, tetapi tidak menimbulkan stres. Saat bertugas,
aku biasa menerima setengah lusin permohonan bantuan,
dan tak satu pun di antaranya merupakan keadaan darurat.
Jarang sekali aku sampai harus turun ke lapangan.
Pekerjaanku jauh lebih ringan dibandingkan dengati
pekerjaan petugas penghubung pers yang kutangani
sebelum masuk Special Services.
Pokoknya, pada malam tanggal 9 Februari, telepon
pertama yang kuterima menyangkut Fernando Conseca,
wakil konsul Chili. Ia distop oleh sebuah mobil patroli.
Ferny ternyata terlalu mabuk untuk mengemudi, tetapi ia
menuntut hak kekebalan sebagai diplomat. Aku menyuruh
para petugas patroli mengantarnya pulang, lalu membuat
catatan untuk mengajukan keluhan kepada konsulat pada
pagi hari - untuk kesekian kali.
Lalu, satu jam kemudian, aku menerima telepon dari
beberapa detektif di Gardena. Mereka menangkap seorang
tersangka dalam suatu baku tembak di sebuah restoran,
yang mengaku hanya berbahasa Samoa, dan mereka minta
seorang penerjemah. Aku mengatakan pada mereka bahwa
aku bisa mengirim seseorang, tetapi kemudian
menambahkan bahwa semua orang Samoa dapat berbahasa
Inggris; negara tersebut sempat menjadi wilayah perwalian
Amerika Serikat selama bertahun-tahun. Para detektif lalu
memutuskan bahwa mereka dapat menanganinya tanpa
bantuan orang lain. Setelah itu, aku menerima telepon
bahwa mobil-mobil pemancar TV menghalangi jalur
pemadam kebakaran di tempat penyelenggaraan konser
Aerosmith. Aku memberitahu para petugas agar keluhan
tersebut diteruskan kepada Departemen Pemadam
Kebakaran. Dan selama satu jam berikut suasana kembali
tenang. Aku kembali menghadapi buku pelajaran dan
mendengarkan kalimat-kalimat seperti "Kemarin turun
hujan."
Kemudian Tom Graham menelepon.
"Dasar Jepang-Jepang keparat." Graham langsung
marah-marah. "Aku tak percaya mereka berani berbuat
begitu. Sebaiknya kau ke sini, Peteysan. Figueroa seribu
seratus, pojok Seventh Street. Gedung Nakamoto yang
baru."
"Ada apa?" Aku tak sanggup menahan diri. Graham
detektif yang baik, tetapi ia cepat naik darah dan cenderung
membesar-besarkan masalah.
"Masalahnya," ujar Graham, "Jepang-Jepang keparat itu
menuntut untuk bertemu dengan petugas penghubung
Special Services. Yaitu kau, Kawan. Mereka bilang pihak
polisi tidak bisa melanjutkan penyidikan sebelum petugas
penghubung tiba." .
"Tidak bisa melanjutkan penyidikan? Kenapa? Apa yang
terjadi di sana?"
"Pembunuhan," jawab Graham. "Wanita, kaukasoid,
umur sekitar 25, tampaknya enam-nol-satu. Tergeletak
telentang di tengah-tengah ruang rapat direksi mereka.
Cukup menarik. Sebaiknya kau secepat mungkin ke sini."
Aku bertanya, "Apakah ada musik di latar belakang?"
"Hell, ya," kata Graham. "Di sini sedang ada pesta besar.
Malam ini malam peresmian Nakamoto Tower dan mereka
mengadakan resepsi. Pokoknya, kau ke sinilah, oke?"
Aku menjawab bahwa aku akan datang. Kemudian aku
menelepon Mrs. Ascenio di sebelah dan bertanya apakah ia
bisa menunggui anakku sementara aku pergi; ia selalu
memerlukan tambahan uang. Sambil menunggunya, aku
berganti kemeja dan mengenakan setelan jas yang rapi.
Kemudian Fred Hoffmann menelepon. Ia komandan dinas
jaga di DHD di pusat; seorang pria pendek, kekar, dengan
rambut beruban. "Begini, Pete. Rasanya kau butuh bantuan
untuk urusan ini."
Aku bertanya, "Kenapa?"
"Sepertinya kita menghadapi pembunuhan yang
menyangkut warga negara Jepang. Mungkin agak repot.
Sudah berapa lama kau jadi petugas penghubung?"
"Sekitar enam bulan," kataku.
"Kalau aku jadi kau, aku akan minta bantuan dari orang
yang berpengalaman. Jemput Connor dan ajak dia ke sana."
"Siapa?"
"John Connor. Pernah dengar namanya?"
"Tentu," kataku. Semua anggota divisi pernah
mendengar nama John Connor. Ia semacam legenda,
petugas paling berpengalaman di antara semua petugas
Special. Services. "Tapi, bukankah dia sudah pensiun?"
"Dia mengambil cuti tak terbatas, tapi dia masih
menangani kasus-kasus yang menyangkut orang-orang
Jepang. Begini saja, biar aku yang telepon dia. Kau tinggal
ke sana untuk menjemputnya." Hoffmann menyebutkan
alamatnya.
"Oke. Thanks."
"Dan satu hal lagi. Pakai saluran darat untuk urusan ini,
oke, Petey?"
"Oke," jawabku. "Permintaan siapa ini?"
"Pokoknya ikuti saja."
"Terserah kau saja, Fred."

Saluran darat berarti bahwa kami tidak boleh


menggunakan radio komunikasi, agar pembicaraan kami
tidak disadap oleh pihak media yang memantau
frekuensi-frekuensi polisi. Itu merupakan prosedur standar
dalam situasi-situasi tertentu Setiap kaki Elizabeth Taylor
pergi ke rumah sakit, kami menggunakan saluran darat.
Atau jika putra remaja orang terkenal tewas dalam
kecelakaan mobil, kami menggunakan saluran darat untuk
memastikan bahwa orangtuanya menerima berita itu
sebelum kru-kru TV mulai menggedor-gedor pintu mereka.
Untuk hal-hal seperti itulah kami memakai saluran darat.
Setahuku saluran darat belum pernah digunakan dalam
kasus pembunuhan.
Tetapi dalam perjalanan ke pusat kota, aku tidak
menggunakan telepon mobil, dan hanya mendengarkan
radio. Ada laporan mengenai tertembaknya bocah laki-laki
berumur tiga tahun, yang kii lumpuh dari pinggang ke
bawah. Anak itu merupakan saksi perampokan toko
7-Eleven. Tulang punggungnya terkena peluru nyasar, dan
ia...
Aku pindah ke gelombang lain, dan menemukan sebuah
acara talk show. Di depan, aku melihat lampu-lampu
gedung-gedung pencakar langit di pusat kota, menjulang
tinggi sampai tertelan kabut. Aku keluar dari freeway di San
Pedro, pintu keluar untuk menuju rumah Connor.
Yang kuketahui mengenai John Connor adalah bahwa ia
pernah tinggal di Jepang selama beberapa waktu, tempat ia
memperoleh pengetahuannya tentang bahasa dan
kebudayaan Jepang. Dulu, di tahun 1960-an, ia merupakan
satu-satunya petugas polisi yang lancar berbahasa Jepang,
meskipun pada waktu itu Los Angeles memiliki populasi
orang Jepang terbesar di luar negara itu.
Sekarang, tentu saja, Departemen Kepolisian mempunyai
lebih dari delapan puluh petugas yang menguasai babasa
Jepang - dan lebih banyak lagi yang sedang belajar, seperti
aku. Beberapa tahun lalu Connor telah memasuki masa
pensiun. Tetapi para petugas penghubung yang sempat
bekerja sama dengannya sepakat bahwa Connor-lah yang
terbaik. Konon ia bekerja sangat cepat; kadang-kadang ia
hanya memerlukan beberapa jam untuk memecahkan
suatu kasus. Ia memiliki reputasi sebagai detektif yang
terampil dan pewawancara yang luar biasa, tanpa saingan
dalam mengorek keterangan dari saksi-saksi. Tetapi yang
paling dipuji oleh para petugas penghubung yang lain
adalah pendekatannya yang tidak berat sebelah. Salah satu
dari mereka pernah berkata padaku, " Bekerja dengan
orang-orang Jepang itu sama seperti berjalan di atas tali.
Cepat atau lambat kita semua akan jatuh ke kiri atau kanan.
Ada yang menganggap orang-orang Jepang hebat sekali dan
tak mungkin melakukan kesalahan. Ada pula yang meng-
anggap mereka benar-benar brengsek. Tapi Connor selalu
dapat menjaga keseimbangan. Dia tetap di tengah-tengah.
Dia selalu tahu apa yang dilakukannya."

John Connor tinggal di daerah industri di dekat Seventh


Street, di sebuah bangunan gudang yang berdampingan
dengan depot truk. Lift barang di gudang itu tidak
berfungsi. Aku menaiki tangga ke lantai tiga dan mengetuk
pintunya.
"Tidak dikunci," sebuah suara menyahut.
Aku memasuki sebuah apartemen kecil. Ruang
duduknya kosong, bergaya Jepang, ada tikar-tikar tatami,
penyekat-penyekat shoji, dan dinding-dinding dilapisi panil
kayu. Juga ada sebuah lukisan kaligrafi, sebuah meja
dengan upaman berwarna hitam, serta sebuah vas dengan
satu kuntum bunga anggrek berwarna putih.
Aku melihat dua pasang sepatu di depan pintu. Yang satu
sepatu pria, yang satu lagi sepatu wanita dengan hak tinggi.
Aku memanggil, "Kapten Connor?"
"Sebentar."
Sebuah dinding penyekat bergeser dan Connor muncul.
Ia lebih tinggi dari yang kuduga, mungkin satu sembilan
puluh, lebih dari enam kaki. Ia mengenakan yakuta, jubah
tipis ala Jepang yang dibuat dari kain katun berwarna biru.
Aku menaksir usia Connor sekitar 55. Berbahu lebar,
dengan rambut menipis, kumis rapi, dan sorot mata tajam.
Suara berat. Tenang.
"Selamat malam, Letnan."
Kami bersalaman. Connor mengamatiku dari atas ke
bawah, lalu mengangguk-angguk dengan puas. "Bagus.
Sangat rapi."
Aku berkata, "Sebelum ini, saya biasa berurusan dengan
pers. Kita tidak pernah tahu kapan kita harus tampil di
depan kamera."
Ia mengangguk. "Dan sekarang Anda mendapat giliran
bertugas standby?"
"Betul."
"Sudah berapa lama Anda menjadi petugas
penghubung?"
"Enam bulan."
"Bisa berbahasa Jepang?"
“Sedikit. Saya sedang belajar."
“Saya perlu ganti baju dulu." Ia berputar dan menghilang
di balik penyekat shoji. "Apakah kasus ini menyangkut
pembunuhan?"
"Ya."
"Siapa yang menghubungi Anda?"
"Tom Graham. Dia yang memimpin penyidikan di tempat
kejadian. Dia mengatakan bahwa orang-orang Jepang itu
menuntut kehadiran petugas penghubung di sana "
"Hmm, begitu." Hening sejenak. Aku mendengar suara
air mengalir. "Apakah itu permintaan yang biasa?"
"Tidak. Setahu saya, ini belum pernah terjadi. Biasanya
petugas lapangan minta bantuan penghubung jika ada
masalah bahasa. Saya belum pernah mendengar bahwa
orang-orang Jepang menuntut kehadiran petugas
penghubung."
"Sama dengan saya," kata Connor. "Apakah Graham yang
menyarankan agar saya diajak ke sana? Soalnya dia dan
saya tidak selalu akur."
"Bukan," balasku. "Ini usul Fred Hoffmann. Menurut dia,
saya kurang berpengalaman. Dia mengatakan bahwa dia
akan menghubungi Anda untuk saya.”
"Kalau begitu, Anda ditelepon dua kali di rumah?" tanya
Connor.
"Ya."
"Begitu." Ia muncul kembali dengan setelan jas berwarna
biru tua. Ia sedang mengikat dasi. "Kelihatannya masalah
waktu sangat penting. Jam berapa Graham menelepon
Anda?"
"Sekitar jam sembilan."
"Hmm, empat puluh menit yang lalu. Mari kita
berangkat, Letnan. Di mana mobil Anda?"
Kami bergegas menuruni tangga.

Aku menyusuri San Pedro dan membelok ke kiri, ke


Second Street, menuju arah gedung Nakamoto. Permukaan
jalan diselubungi kabut tipis. Connor menatap ke luar
jendela. Ia berkata, "Seberapa baik daya ingat Anda?"
"Lumayan."
"Apakah Anda bisa mengulangi pembicaraan telepon
yang Anda lakukan tadi?" ia bertanya. "Sedetail mungkin.
Kalau bisa, kata demi kata."
"Akan saya coba."
Aku mengulangi semuanya. Connor mendengarkan
tanpa memotong maupun berkomentar. Aku tidak tahu
mengapa ia begitu berminat, dan ia pun tidak
menjelaskannya. Setelah aku selesai, ia berkata, "Hoffmann
tidak memberitahu Anda siapa yang meminta saluran
darat?"
"Tidak."
"Hmm, memang ada baiknya. Saya tidak pernah
memakai telepon mobil, kecuali kalau terpaksa Sekarang
ini terlalu banyak orang yang menguping.”
Aku membelok ke Figueroa. Di depan aku melihat
lampu-lampu sorot bersinar di muka Nakamoto Tower
yang baru. Bangunannya terbuat dari granit abu-abu,
menjulang tinggi ke kegelapan malam. Aku pindah ke jalur
kanan dan membuka laci untuk mengambil beberapa kartu
nama.
Kartu-kartu itu bertulisan Detektif Letnan Peter J. Smith,
Petugas Penghubung Special Services, Los Angeles Police
Department. Dicetak dalam bahasa Inggris di sisi depan,
dan dalam bahasa Jepang di sisi belakang.
Connor mengamati kartu-kartu nama itu. "Bagaimana
Anda ingin menangani situasi ini, Letnan? Anda sudah
pernah bernegosiasi dengan orang Jepang sebelum ini?"
Aku menjawab, "Sebenarnya belum. Saya pernah
mengurus beberapa kasus mengemudi dalam keadaan
mabuk."
Connor berkata dengan sopan, "Kalau begitu, saya
mungkin bisa mengusulkan suatu strategi untuk kita."
"Silakan, saya tidak keberatan," kataku. "Saya justru
berterima kasih atas segala bantuan Anda."
"Baiklah. Karena Anda petugas penghubung, sebaiknya
Anda yang mengambil alih penyidikan setelah kita sampai."
"Oke."
"Anda tak perlu memperkenalkan saya, atau menyatakan
kehadiran saya dengan cara apa pun. Bahkan jangan
menoleh ke arah saya."
"Oke."
"Anggap saja saya tidak ada. Andalah yang memegang
kendali."
"Oke, baiklah."
"Ada baiknya kalau Anda bersikap formal. Berdirilah
dengan tegak, dan biarkan jas Anda selalu dalam keadaan
terkancing. Jika mereka membungkuk, Anda jangan
membalas - Anda cukup menganggukkan kepala. Orang
asing takkan menguasai tata cara membungkuk. Jadi jangan
coba-coba."
"Oke," kataku.
"Kalau Anda mulai membahas situasinya, Anda perlu
mengingat bahwa orang Jepang tidak suka bernegosiasi.
Menurut mereka, itu terlalu konfrontatif. Di kalangan
mereka sendiri, mereka selalu berusaha menghindarinya."
"Oke."
"Perhatikan gerak-gerik Anda. Biarkan tangan Anda
tetap di samping. Orang Jepang merasa diancam jika Anda
melambai-lambaikan tangan di hadapan mereka.
Berbicaralah pelan-pelan. Usahakan agar suara Anda tetap
tenang dan datar."
"Oke."
"Kalau bisa."
"Oke."
"Ini mungkin lebih sukar dari yang Anda duga. Orang
Jepang kadang-kadang menjengkelkan. Kemungkinan
besar, malam ini Anda akan menganggap sikap mereka
sangat menjengkelkan. Tapi apa pun yang terjadi, Anda
jangan sampai naik pitam."
"Baiklah."
"Bagi mereka, itu sangat tidak sopan."
"Baiklah," kataku.
Connor tersenyum. "Saya yakin Anda dapat me-
nanganinya dengan baik," katanya. "Kemungkinan Anda
bahkan takkan memerlukan bantuan saya. Tapi jika Anda
menemui jalan buntu, Anda akan mendengar saya berkata,
'Barangkali saya bisa membantu.' Itu merupakan tanda
bahwa saya mengambil alih. Mulai saat itu, biarkan saya
yang berbicara. Saya lebih suka kalau Anda tidak angkat
bicara lagi, walaupun Anda ditanya langsung oleh mereka.
Oke?"
"Oke."
“Anda mungkin ingin mengatakan sesuatu, tapi jangan
sampai terpancing."
"Saya mengerti."
"Selain itu, apa pun yang saya lakukan, Anda jangan
kelihatan heran. Apa pun yang saya lakukan."
"Oke."
"Begitu saya ambil alih, Anda harus ambil posisi sedikit
di belakang saya, di sebelah kanan. Jangan duduk. Jangan
menoleh. Jangan alihkan perhatian Anda. Ingat, Anda
mungkin berasal dari kebudayaan video MTV, tapi mereka
tidak. Mereka orang Jepang. Segala tindakan Anda memiliki
arti bagi mereka. Setiap aspek dari penampilan dan sikap
Anda akan mencerminkan diri Anda, Departemen
Kepolisian, dan saya sebagai atasan dan sempai Anda."
"Oke, Kapten."
"Ada pertanyaan?"
"Apa itu sempai?"
Connor tersenyum.
Kami melewati lampu-lampu sorot, lalu menuruni jalan
yang melandai, menuju tempat parkir di basement.
"Di Jepang," ia menjelaskan, "sempai adalah seseorang
berkedudukan senior yang membimbing seorang junior,
atau kohai. Hubungan sempai-kohai ini cukup sering
ditemui, dan lazim dianggap ada jika seseorang yang masih
muda bekerja sama dengan orang yang lebih tua. Saya rasa
mereka akan memandang kita seperti itu."
Aku berkata, "Semacam mentor dan murid?"
"Tidak juga," jawab Connor. "Di Jepang, sempai-kohai
mengandung nilai yang berbeda. Lebih seperti orangtua
dan anak. Sampai batas tertentu, sang sempai selalu
menuruti kehendak kohai-nya, dan menerima dengan sabar
segala kesalahan yang terjadi." Ia tersenyum. "Tapi saya
yakin Anda takkan bersikap seperti itu terhadap saya."
Kami sampai di kaki landaian, dan melihat tempat parkir
yang luas terbentang di hadapan kami. Connor menatap ke
luar jendela dan mengerutkan kening. "Di mana mereka
semua?"
Tempat parkir Nakamoto Tower dipenuhi limousine.
Para sopir bersandar pada kendaraan masing-masing, dan
mengobrol sambil merokok. Tetapi aku tidak melihat mobil
polisi. Biasanya, jika ada pembunuhan, tempat kejadian
terang benderang seperti pohon Natal, dengan lampu
berkedap-kedip dari setengah lusin mobil patroli, mobil
petugas pemeriksa mayat, kendaraan tenaga paramedis,
dan sebagainya.
Tetapi malam ini tidak ada apa-apa. Tempat parkirnya
tampak seperti tempat parkir di tempat suatu pesta mewah
sedang berlangsung. Orang-orang berpakaian anggun
berdiri berkelompok, menunggu mobil masing-masing.
"Menarik," aku berkomentar.
Kami berhenti. Para petugas parkir membukakan pintu.
Aku keluar dari mobil dan kakiku menginjak karpet tebal.
Sayup-sayup terdengar alunan musik lembut. Bersama
Connor aku berjalan menuju lift. Orang-orang berbaju rapi
datang dari arah berlawanan: para pria dengan tuksedo,
para wanita dengan gaun malam yang mahal. Dan di depan
lift aku melihat Tom Graham, dengan mantel korduroi yang
lusuh dan dikelilingi asap rokok.

Bab 2

KETIKA Graham bermain sebagai halfback di USE, ia tak


pernah berhasil masuk tim utama. Pengalaman ini
seakan-akan merangkum seluruh perjalanan hidupnya. Ia
selalu gagal meraih promosi penting, langkah berikut
dalam karier sebagai detektif. Ia telah berpindah-pindah
dari divisi ke divisi, tanpa menemukan seksi yang cocok,
atau partner yang dapat bekerja sama dengannya. Karena
selalu bersikap terlalu terbuka, Graham jadi mempunyai
musuh-musuh di kantor Kepala Polisi, dan pada umur 39,
kelihatannya ia takkan maju lagi. Kini ia getir, kasar, dan
bertambah gemuk - seorang pria bertubuh besar yang telah
menjadi berat dan lambat, dan menjengkelkan - ia selalu
menghadapi orang lain dengan cara yang salah. Menurut
Graham, orang yang gagal adalah orang yang memiliki
integritas, dan ia bersikap sarkastik terhadap siapa saja
yang tidak setuju dengan pandangannya itu.
"Bagus juga jasmu," ia berkata padaku ketika aku
menghampirinya. "Kau tampak gagah, Peter." Ia berlagak
menepiskan debu dari kelepakku.
Aku tidak menanggapi. "Bagaimana keadaannya, Tom?"
"Mestinya kalian datang sebagai tamu, bukan untuk
bekerja." Ia berpaling pada Connor dan menggelengkan
kepala. "Halo, John. Siapa yang menyuruh kau ditarik dari
tempat tidur?"
"Aku hanya pengamat," Connor menjawab sambil
tersenyum.
"Fred Hoffmann minta agar aku mengajaknya ke sini,"
kataku.
"Persetan," ujar Graham. "Aku tidak keberatan kau ada
di sini. Aku memang butuh bantuan. Di atas sana
suasananya cukup tegang."
Kami mengikutinya ke lift. Aku tetap belum melihat
petugas polisi yang lain. Aku bertanya, "Di mana yang
lainnya?"
"Pertanyaan bagus," kata Graham. "Mereka berhasil
menahan semua orang kita di belakang, di pintu masuk
barang. Menurut mereka, lift barang yang memberi akses
paling cepat. Dan mereka terus mengoceh mengenai
pentingnya malam pembukaan ini, dan bahwa tak ada yang
boleh mengganggu kelancarannya."
Di depan lift, seorang petugas keamanan Jepang
berseragam mengamati kami dengan saksama. "Mereka
berdua membantu saya," kata Graham. Petugas keamanan
itu mengangguk, namun tetap menatap kami dengan curiga.
Kami masuk ke dalam lift.
"Jepang-Jepang keparat," Graham mengumpat ketika
pintu menutup. "Ini masih negara kita. Kita masih polisi di
negara kita sendiri."
Lift itu berdinding kaca, dan kami bisa melihat pusat
kota Los Angeles ketika kami bergerak naik ke kabut tipis.
Gedung Arco berada tepat di seberang. Terang benderang
pada malam hari.
"Kalian tahu tidak, lift seperti ini sebenarnya ilegal," kata
Graham. "Berdasarkan peraturan bangunan, lift kaca tidak
boleh dipakai pada gedung yang tingginya melebihi
sembilan puluh lantai, dan gedung ini punya 97 lantai,
gedung tertinggi di L.A. Tapi seluruh bangunan ini memang
kasus istimewa. Mereka hanya perlu waktu enam bulan
untuk membangunnya. Kalian tahu bagaimana caranya?
Mereka membawa unit-unit prefab dari Nagasaki, dan
merakit semuanya di sini. Tanpa melibatkan pekerja
konstruksi Amarika. Mereka dapat dispensasi khusus untuk
melangkahi serikat pekerja kita, karena 'masalah-masalah
teknis' yang hanya bisa ditangani oleh tenaga-tenaga
Jepang. Brengsek! "
Aku mengangkat bahu. "Nyatanya mereka berhasil lolos
dari hadangan serikat pekerja."
"Bedebah, mereka berhasil lolos dari hadangan dewan
kota," kata Graham. "Tapi itu cuma soal uang. Dan
mengenai ini, kita tidak perlu ragu. Orang Jepang memang
punya uang, jadi mereka dapat keringanan dalam
ketentuan zoning dan ordinansi gempa. Mereka dapat apa
saja yang mereka inginkan."
Aku mengangkat bahu. "Permainan politik."
"Omong kosong. Kau tahu, mereka bahkan tidak bayar
pajak? Ya, mereka dapat penangguhan delapan tahun untuk
pajak bumi dan bangunan dari dewan kota. Sial. Kita
menghadiahkan negeri ini kepada mereka."
Sejenak semuanya terdiam. Graham memandang ke luar
jendela. Kami berada dalam lift kecepatan tinggi buatan
Hitachi, yang menggunakan teknologi mutakhir. Lift
tercepat dan paling halus di dunia. Kami semakin tinggi
memasuki kabut.
Aku berkata kepada Graham, "Kau akan memberi
penjelasan mengenai pembunuhan ini, atau mau main
rahasia-rahasiaan?"
"Sialan," kata Graham. Ia membuka buku catatannya.
"Oke. Laporan pertamanya masuk pukul 20.32. Seseorang
bilang ada 'masalah disposisi mayat'. Pria, dengan aksen
Asia yang kental, bahasa Inggris-nya tidak bagus. Operator
tidak berhasil mengorek keterangan. selain sebuah alamat.
Nakamoto Tower. Mobil patroli datang ke sini, tiba pukul
20.39, menemukan kasus pembunuhan. Lantai 46, salah
satu lantai kantor di gedung ini. Korbannya wanita
kaukasoid, usia sekitar 25. Cewek cantik. Kalian lihat
sendiri nanti.
"Petugas patroli memasang tali pembatas dan
menghubungi divisi. Aku datang bersama Merino, tiba
sekitar pukul 20.53. IU dan SID datang pada waktu yang
sama untuk PE, sidik jari, dan foto. Oke?"
"Ya," ujar Connor sambil mengantuk.
Graham melanjutkan, "Kami baru mulai bekerja ketika
orang Jepang dari Nakamoto Corporation muncul dengan
setelan jas warna biru seharga seribu. dolar. Dia
mengumumkan bahwa dia berhak mengadakan
pembicaraan dengan petugas penghubung dari L.A.P.D.
sebelum diadakan tindakan apa pun di dalam gedung
keparat ini. Dan dia berkeras bahwa kami tidak punya
alasan untuk melakukan penyidikan.
"Persetan, apa-apaan ini, kataku. Jelas-jelas ada
pembunuhan. Sebaiknya orang itu mundur saja. Tapi
ternyata si Jepang jago bahasa Inggris, dan rupanya dia
tahu banyak tentang hukum. Dan semua orang yang hadir
tiba-tiba, ya, berpikir dua kali. Maksudku, apa gunanya
mendesak agar penyidikan dimulai, kalau itu ternyata
melanggar prosedur yang benar? Dan si Jepang keparat itu
tetap ngotot bahwa harus ada petugas penghubung
sebelum kami melakukan apa pun. Berhubung bahasa
Inggris-nya lancar sekali, aku tidak melihat di mana letak
masalahnya. Kupikir petugas penghubung hanya
membantu orang-orang yang tidak bisa berbahasa Inggris,
sedangkan bajingan itu pasti lulusan Sekolah Hukum
Stanford. Tapi apa boleh buat." Ia mendesah.
"Kau menelepon aku," kataku.
"Yeah."
Aku bertanya, "Siapa orang dari Nakamoto itu?”
"Brengsek." Graham memelototi catatannya. "Ishihara.
Ishiguri. Seperti itulah."
"Kau punya kartu namanya? Dia pasti menyerahkan
kartu namanya kepadamu."
"Yeah, memang. Kuberikan pada Merino."
Aku berkata, "Selain dia, masih ada orang Jepang lagi di
sana?"
"Kau bercanda?" Graham tertawa. "Seluruh tempat ini
penuh sesak dengan mereka. Persis seperti Disneyland."
"Maksudku di tempat kejadian."
“Aku tahu," jawab Graham. "Kami tidak bisa menghalau
mereka. Mereka bilang ini gedung mereka, jadi mereka
berhak hadir. Malam ini malam peresmian Nakamoto
Tower. Mereka berhak hadir. Terus saja begitu."
Aku bertanya, "Di mana resepsinya diadakan?"
"Satu lantai di bawah tempat kejadian, di lantai 45.
Pokoknya ramai sekali. Pasti ada sekitar delapan ratus
orang di sana. Bintang film, senator, anggota Kongres, dan
sebagainya. Katanya Madonna juga datang, dan Tom Cruise.
Senator Hammond. Senator Kennedy. Wali Kota Thomas
ada. Wyland, dari kejaksaan. Hei, mungkin bekas istrimu
juga datang, Pete. Dia masih bekerja untuk Wyland, bukan?"
"Setahuku sih, masih."
Graham mendesah. "Enak juga. Sekarang giliran dia
mengerjai para pengacara."
Aku tidak berminat membicarakan bekas istriku.
"Kami sudah jarang bertemu."
Sebuah bel kecil berdenting, dan liftnya berkata,
"Yonjusan-kai."
Graham menatap angka-angka di atas pintu. "Apa-apaan
ini?"
"Yonjuyon-kai," liftnya mengumumkan. "Mosugu de
gozaimasu."
"Apa katanya?"
"Kita sudah hampir sampai."
"Sial," Graham mengumpat. "Kalau ada lift yang bisa
bicara, dia seharusnya bicara dalam bahasa Inggris. Kita
masih di Amerika."
"Hanya namanya saja," Connor berkomentar sambil
mengamati pemandangan.
" Yonjugo-kai, " elevatornya berkata.
Pintu membuka.
Graham benar, pestanya ramai sekali. Seluruh lantai
disulap menjadi replika sebuah ballroom di tahun empat
puluhan. Para pria dengan jas. Para wanita dengan gaun
koktail. Band-nya memainkan lagu-lagu Glenn Miller
berirama swing. Di samping pintu lift ada seorang pria
berambut kelabu, dengan kulit kecoklatan karena sinar
matahari. Rasanya aku pernah melihatnya. Tubuhnya
atletis, dengan bahu lebar. Ia melangkah ke dalam lift dan
berpaling padaku. "Tolong ke lantai dasar." Aku mencium
bau wiski.
Seketika seorang pria lain, yang lebih muda, muncul di
sampingnya. "Lift ini mau ke atas, Senator."
"Apa?" tanya pria berambut kelabu. Ia menoleh kepada
pembantunya.
"Lift ini mau ke atas, Sir."
"Hmm. Saya mau ke bawah." Ia bicara dengan mengeja
setiap kata, ciri khas orang mabuk.
"Ya, Sir. Saya tahu, Sir," pembantunya menjawab dengan
riang. "Kita tunggu lift berikutnya saja, Senator." Ia
menggenggam sikut laki-laki berambut kelabu dan
menggiringnya keluar dari lift.
Pintu menutup. Lift kembali bergerak naik.
"Uang pajak kita sedang bekerja," kata Graham.
"Kaukenal orang itu? Senator Stephen Rowe. Hebat juga
dia mau datang ke sini, mengingat dia anggota Komite
Keuangan Senat yang menetapkan semua peraturan
mengenai impor dari Jepang. Tapi sama seperti kawan
akrabnya, Senator Kennedy, Rowe penggemar daun muda."
"O, yeah?"
"Kata orang, dia juga kuat minum."
"Itu memang kelihatan."
"Karena itulah dia disertai anak muda tadi. Supaya dia
tidak membuat masalah."
Lift berhenti di lantai 46. Kami mendengar bunyi “ping”
yang lembut. "Yonjurkou-kai. Goriyou arigato
gozaimashita."
"Akhirnya," kata Graham. "Barangkali kita bisa mulai
bekerja sekarang."

Bab 3

PINTU membuka. Kami menghadapi tembok jas biru.


Semuanya membelakangi kami. Kelihatannya ada sekitar
dua puluh orang yang berdesak-desakan di daerah
resepsionis di depan lift. Udara dipenuhi asap rokok.
"Permisi, permisi," ujar Graham. Dengan kasar ia
menerobos kerumunan orang itu. Aku mengikutinya,
Connor di belakangku, diam dan tidak menarik perhatian.
Lantai 46 dirancang untuk menampung ruang-ruang
kerja para eksekutif puncak Nakamoto Industries, dan
hasilnya memang mengesankan. Dari daerah berkarpet di
depan lift, aku bisa mengamati seluruh lantai-ruangannya
terbuka dan berukuran raksasa. Luasnya sekitar enam
puluh kali empat puluh meter, setengah ukuran lapangan
footbalL Segala sesuatu memperkuat kesan lapang dan ang-
gun. Semua perlengkapan terbuat dari kayu dan bahan
berwarna hitam dan abu-abu, dan karpetnya tebal.
Bunyi-bunyi yang teredam dan cahaya remang-remang
menimbulkan suasana lembut dan mewah. Ruangan itu
lebih menyerupai bank daripada ruang kantor.
Bank paling kaya, yang pernah kutemui.
Kita seakan-akan dipaksa, berhenti dan melihat. Aku
berdiri di depan pita kuning yang membatasi tempat
kejadian dan menghalangi akses ke lantai itu, lalu
memandang berkeliling. Tepat di depan ada atrium luas,
semacam tempat penampungan bagi para sekretaris dan
pegawai bawahan. Ada meja-meja yang diatur
berkelompok, dan pohonpohon yang berfungsi sebagai
pembagi ruang. Di tengah-tengah atrium terdapat maket
berukuran besar dari Nakamoto Tower, dan kompleks
gedung-gedung sekitarnya, yang masih dalam tahap pem-
bangunan. Sebuah lampu sorot menerangi maket itu, tetapi
sisa atrium relatif gelap, dengan lampu malam di sana-sini.
Ruang kerja para eksekutif tampak mengelilingi atrium.
Semua ruang kerja dibatasi dinding kaca, ke arah atrium
dan juga ke arah luar, sehingga, dari tempatku. berdiri,
gedung-gedung pencakar langit di Los Angeles kelihatan
jelas. Seluruh lantai seakan-akan melayang di udara.
Aku melihat dua ruang rapat berdinding kaca,
masing-masing satu di sisi kiri dan sisi kanan. Ruang di
sebelah kanan lebih kecil, dan di sanalah aku melihat tubuh
wanita muda itu, tergeletak di meja panjang berwarna
hitam. Ia memakai gaun berwarna hitam. Sebelah kakinya
menggantung. Aku tidak melihat darah. Tapi jaraknya
cukup jauh, sekitar enam puluh meter, sehingga, hal-hal
kecil tidak kelihatan.
Aku mendengar gemeresak radio polisi, dan mendengar
Graham berkata, "Ini petugas penghubung yang Anda
minta, Tuan-tuan. Barangkali penyidikan bisa dimulai
sekarang. Peter?"
Aku berpaling kepada orang-orang Jepang yang berdiri
di dekat lift. Aku tidak tahu yang mana yang harus kusapa;
sejenak suasananya serba kikuk, sampai salah satu dari
mereka melangkah maju. Umurnya sekitar 35 tahun, dan ia
mengenakan setelan jas mahal. Orang itu membungkuk
sedikit, dari leher, sekadar sebagai isyarat. Aku membalas
dengan cara yang sama. Kemudian ia angkat bicara.
"Konbanwa. Hajimemashite, Sumisu-san. Ishiguro desu.
Dozo yoroshiku." Sapaan formal, meskipun diucapkan asal
saja. Tanpa membuang-buang waktu. Namanya Ishiguro. Ia
sudah mengetabui namaku.
Aku berkata, "Hajimemashite. Watashi wa Sumisu desu.
Dozo yoroshiku." Apa kabar. Senang berkenalan dengan
Anda. Basa-basi biasa.
"Watashi no meishi desu - Dozo." Ia menyerahkan kartu
namanya padaku. Gerak-geriknya serba cepat, kasar.
"Dõmo arigato gozaimasu." Aku menerima kartu
namanya dengan kedua belah tangan, yang sebenarnya
tidak perlu. Tetapi atas saran Connor, aku ingin bersikap
seformal mungkin. Kemudian aku memberikan kartu
namaku. Upacara kecil itu menuntut kami berdua
sama-sama mengamati kartu nama yang lainnya, dan
memberikan komentarkomentar singkat, atau mengajukan
pertanyaan seperti, "Apakah ini nomor telepon kantor
Anda?"
Ishiguro menerima kartu namaku dengan sebelah
tangan. "Apakah ini nomor telepon rumah Anda, Detektif."
Aku terkejut. Lafal bahasa Inggris-nya tanpa aksen, dan ini
hanya bisa dipelajari jika seseorang cukup lama tinggal di
sini, sejak usia muda. Salah satu dari ribuan orang Jepang
yang belajar di Amerika pada tahun tujuh puluhan. Waktu
mereka mengirim 150.000 mahasiswa ke Amerika setiap
tahunnya, untuk mempelajari negeri kami. Dan kami
mengirim 200 mahasiswa per tahun ke Jepang.
"Nomor saya paling bawah, ya," kataku.
Ishiguro menyelipkan kartu namaku ke kantong
kemejanya. Aku baru hendak berkomentar sedikit
mengenai kartu namanya, tetapi ia sudah memotong,
"Begini, Detektif. Saya kira kita bisa menyingkirkan segala
formalitas. Hanya ada satu sebab kenapa ada masalah
malam ini, yaitu karena rekan Anda tidak bersedia bekerja
sama."
"Rekan saya?"
Ishiguro memberi isyarat dengan gerakan kepala. "Si
gendut di sebelah sana. Graham. Tuntutannya tidak masuk
akal, dan kami mengajukan protes keras terhadap niatnya
untuk melakukan penyidikan malam ini."
Aku berkata, "Kenapa begitu, Mr. Ishiguro?"
"Anda tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk
mengadakan penyidikan."
"Kenapa Anda berpendapat begitu?"
Ishiguro mendengus. "Saya kira alasannya sudah jelas,
bahkan bagi Anda."
Aku tetap tenang. Lima tahun sebagai detektif, lalu
setahun di seksi pers telah mengajarku agar selalu tenang.
Aku berkata, "Tidak, Sir, saya kira alasannya belum
jelas."
Ia menatapku dengan pandangan meremehkan.
"Kenyataannya, Letnan, Anda tidak mempunyai alasan
untuk mengaitkan kematian wanita muda ini dengan pesta
yang sedang kami selenggarakan di bawah."
"Kelihatannya dia memakai gaun pesta..."
Ishiguro memotong dengan kasar, "Dugaan saya, Anda
akan menernukan bahwa dia mati karena kelebihan dosis
obat bius yang tidak disengaja. Dan karena itu kematiannya
tidak ada sangkut pautnya dengan pesta kami. Anda tentu
sependapat, bukan?"
Aku menarik napas panjang. "Tidak, Sir, saya tidak
sependapat. Apalagi tanpa penyidikan." Aku kembali
menghela napas. "Mr. Ishiguro, saya menghargai
keprihatinan Anda, tetapi..."
"Betulkah?" ujar Ishiguro, sekali lagi memotong
ucapanku. "Saya minta agar Anda mempertimbangkan
posisi perusahaan Nakamoto malam ini. Ini merupakan
malam yang sangat penting bagi kami, malam yang sangat
diperhatikan oleh umum. Tentu saja kami prihatin
mengenai kemungkinan bahwa acara kami akan dinodai
oleh pernyataan tanpa dasar tentang kematian seorang
wanita, apalagi ini, seorang wanita yang tak berarti..."
"Seorang wanita yang tak berarti?"
Ishiguro melambaikan tangan dengan kesal. Rupanya ia
telah lelah berbicara denganku. "Semuanya sudah jelas.
Coba Anda perhatikan dia. Dia tak lebih dari WTS biasa.
Saya bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana dia
berhasil menyusup ke gedung ini. Dan karena alasan ini,
saya mengajukan protes keras atas niat Detektif Graham
yang hendak menginterogasi para tamu resepsi di bawah.
Itu sama sekali tidak masuk akal. Di antara para tamu
terdapat sejumlah senator, anggota Kongres, dan
pejabat-pejabat Los Angeles. Tentunya Anda sependapat
bahwa orang-orang sepenting itu akan merasa heran jika..."
Aku menyela, "Tunggu dulu. Detektif Graham
memberitahu Anda bahwa dia akan menginterogasi semua
orang yang menghadiri resepsi?"
"Itu yang dikatakannya kepada saya. Ya."
Kini aku mulai mengerti mengapa aku dipanggil. Graham
tidak menyukai orang Jepang, dan ia mengancam akan
merusak acara mereka. Tentu saja itu takkan pernah
terjadi. Graham tak mungkin menginterogasi
senator-senator Amerika Serikat, apalagi Jaksa atau Wali
Kota. Itu jika ia masih ingin bekerja pada keesokan harinya.
Tetapi orang-orang Jepang membuat Graham jengkel, dan
ia telah bertekad membalas dengan cara serupa.
Aku berkata kepada Ishiguro, "Kita bisa menyiapkan
meja registrasi di bawah, sehingga tamu-tamu Anda bisa
mengisi daftar hadir pada waktu mereka pulang."
"Saya kira itu sulit," Ishiguro mulai berkelit, "sebab Anda
tentu sependapat bahwa..."
"Mr. Ishiguro, itulah yang akan kita lakukan."
"Tetapi permintaan Anda sangat sukar..."
"Mr. Ishiguro."
"Masalahnya, bagi kami hal ini akan menyebabkan ...“
"Maaf, Mr. Ishiguro, Anda telah mendengar penjelasan
mengenai tindakan yang akan diambil oleh kepolisian."
Ia menegakkan badan. Sejenak tak ada yang angkat
bicara. Ia menghapus keringat dari bibir atasnya dan
berkata, "Saya kecewa, Letnan, karena Anda tidak bersedia
menjalin kerja sama yang lebih erat."
"Kerja sama?" Saat itulah aku mulai naik pitam. "Mr.
Ishiguro, di sebelah sana ada mayat wanita, dan tugas kami
adalah menyelidiki apa yang terjadi dengan..."
"Tetapi Anda tentu menyadari bahwa ini bukan situasi
biasa..."
Kemudian aku mendengar Graham menggerutu, "Oh,
Tuhan, apa-apaan ini?"
Ketika menoleh ke belakang aku melihat pria Jepang
berbadan pendek berdiri sekitar dua puluh meter di balik
pita kuning. Ia sedang memotretmotret tempat kejadian.
Kamera yang digenggamnya sedemikian kecil, sehingga
nyaris tertutup oleh telapak tangannya. Tetapi ia tidak
menutup-nutupi kenyataan bahwa ia telah melewati pita
pembatas untuk mengambil foto. Ketika aku
memperhatikannya, ia bergerak mundur ke arah kami,
sesekali mengangkat tangan untuk memotret, lalu me-
ngedip-ngedipkan mata di balik kacamata berbingkai tipis
sambil memilih sudut berikutnya. Gerak-geriknya sangat
hati-hati.
Graham menghampiri pita pembatas dan berkata, "Demi
Tuhan, keluar dari sana. Ini tempat kejadian perkara.
Saudara tidak boleh memotret di sana." Pria Jepang itu
tidak menanggapinya. Ia tetap berjalan mundur. Graham
berbalik. "Siapa orang itu?"
Ishiguro berkata, "Dia pegawai kami-Mr. Tanaka. Dia
bekerja untuk Nakamoto Security."
Aku hampir tak percaya pada penglihatanku.
Orang-orang Jepang mempunyai pegawai yang
berjalan-jalan di daerah yang dibatasi oleh pita kuning,
mengacaukan tempat kejadian. Keterlaluan. "Suruh dia
keluar dari sana," kataku.
"Dia sedang memotret."
"Dia tidak berwenang."
Ishiguro berdalih," Tetapi demi kepentingan perusahaan
kami."
Aku berkata, "Saya tidak peduli. Dia tidak boleh berada
di balik pita kuning, dan dia tidak boleh memotret. Suruh
dia keluar dari sana. Dan saya terpaksa menyita filmnya."
"Baiklah." Ishiguro cepat-cepat mengatakan sesuatu
dalam bahasa Jepang. Aku segera berbalik dan masih
sempat melihat Tanaka menyelinap di bawah pita kuning,
dan menghilang di antara orang-orang berjas biru yang
berkerumun di dekat lift. Di belakang kepala mereka, aku
melihat pintu lift membuka dan menutup.
Sialan. Aku mulai marah. "Mr. Ishiguro, Anda kini
menghalangi penyidikan resmi dari pihak kepolisian.".
Ishiguro berkata dengan tenang, "Anda harus mencoba
memahami posisi kami, Detektif Smith. Kami tentu saja
percaya penuh pada kemampuan Los Angeles Police
Department, tapi kami harus diberi kesempatan untuk
melakukan penyidikan sendiri, dan untuk itu kami perlu..."
Melakukan penyidikan sendiri? Kurang ajar. Tiba-tiba aku
tak sanggup berkata apa-apa. Aku mengertakkan gigi.
Darahku mulai naik ke kepala. Aku benar-benar marah. Aku
ingin menangkap Ishiguro. Aku ingin membaliknya,
mendorongnya ke dinding, dan memasang borgol di
pergelangan tangannya, dan...
"Barangkali saya dapat membantu, Letnan," sebuah
suara di belakangku berkata.
Aku membalik. John Connor berdiri di hadapanku. Ia
tersenyum dengan ramah.
Aku melangkah ke samping.

Connor menghadap ke Ishiguro, membungkuk sedikit,


dan menyerahkan kartu namanya. Ia berbicara dengan
cepat. "Totsuzen shitsurei desuga, jikoshokai shitemo
yoroshii desuka. Watashi wa John Connor to mashimasu.
Meishi o ddzo. Dozo yoroshiku."
"John Connor?" Ishiguro mengulangi. "John Connor yang
terkenal itu? Omeni kakarete koei desu. Watashi wa Ishiguro
desu. Dozo yoroshiku." Ia berkata bahwa ia mendapat
kehormatan karena bisa bertemu dengan Connor.
"Watashi no meishi desu. Dozo." Ucapan terima kasih
yang sopan.
Tetapi begitu basa-basinya selesai, percakapan
berlangsung sedemikian cepat, sehingga aku hanya
menangkap satu atau dua kata. Aku dituntut untuk tampak
tertarik, memperhatikan mereka dan mengangguk-angguk,
padahal sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu apa yang
mereka bicarakan. Suatu kali aku mendengar Connor
menyebutku sebagai wakaimono, yang berarti anak didik
atau murid. Beberapa kali ia menatapku dengan tajam, dan
menggelengkan kepala seperti seorang ayah yang
menyesal. Rupanya ia sedang minta maaf untukku. Aku juga
mendengar bahwa ia menyebut Graham sebagai bushitsuki,
pria yang tidak menyenangkan.
Tetapi segala permintaan maaf ini ternyata cukup
ampuh. Ishiguro tampak lebih tenang, ia menurunkan
bahunya. Ia mulai bersikap lebih santai. Ia bahkan
tersenyum. Akhirnya ia berkata, "Jadi Anda tidak akan
memeriksa identitas para tamu kami?"
"Sama sekali tidak"' kata Connor. "Tamu-tamu terhormat
Anda bebas keluar-masuk sekehendak hati mereka."
Aku hendak memprotes. Connor langsung memelototiku.
"Identifikasi tidak diperlukan," Connor melanjutkan
dengan nada formal. "Sebab saya yakin tamu-tamu
Nakamoto Corporation tidak mungkin terlibat dalam
kejadian yang patut disayangkan ini."
"Sial," Graham mengumpat dengan suara tertahan.
Ishiguro berseri-seri. Tetapi aku marah sekali.
Connor mengabaikan keputusanku tadi. Ia membuatku
kelihatan seperti orang tolol. Dan selain itu, ia tidak
mengikuti prosedur kepolisian - di kemudian hari kami
semua mungkin mendapat kesulitan karena itu. Dengan
kesal aku memasukkan tangan ke kantong dan memandang
ke arah lain.
"Saya berterima kasih atas sikap Anda yang penuh
pengertian terhadap situasi ini, Kapten Connor," Ishiguro
berkata.
"Saya tidak berbuat apa-apa," balas Connor, sambil
sekali lagi membungkuk dengan sikap formal. "Tapi saya
berharap Anda kini setuju untuk mengosongkan lantai ini,
agar penyidikan polisi dapat dimulai."
Ishiguro berkedip-kedip. "Mengosongkan lantai?"
"Ya," ujar Connor sambil mengeluarkan buku catatan.
"Dan tolong sebutkan nama Tuan-tuan yang berdiri di
belakang Anda, pada waktu Anda mempersilakan mereka
pergi."
"Maaf'?"
“Nama Tuan-tuan di belakang Anda."
"Bolehkah saya bertanya untuk apa?"
Wajah Connor mulai memerah, dan ia menghardik
Ishiguro dalam bahasa Jepang. Aku tidak menangkap
artinya, tetapi muka Ishiguro langsung merah padam.
"Maaf, Kapten, tapi saya tidak melihat alasan mengapa
Anda berbicara begitu..."
Dan kemudian Connor kehilangan kendali diri.
Secara spektakuler dan eksplosif. Ia mendekati Ishiguro,
menuding-nudingkan telunjuk sambil berseru, "Iikagen ni
shiro! Soko o doke! Kiiterunoka!" Ishiguro merunduk dan
berbalik, terkejut oleh serangan verbal ini.
Connor belum selesai. Nada suaranya tajam dan
sarkastik, "Doke! Doke! Wakaranainoka?" Ia membalikkan
badan dan menunjuk orang-orang Jepang yang berdiri di
dekat lift. Dihadapkan dengan kemarahan Connor,
orang-orang Jepang itu mengalihkan pandangan dan
mengisap rokok masing-masing dengan gelisah.
"Hei, Richie," Connor memanggil juru foto unit
kejahatan, Richie Walters. "Tolong ambil foto mereka, oke?"
"Tentu, Kapten," ujar Richie. Ia mengangkat kameranya
dan mulai menyusuri barisan orang itu. Lampu blitznya
menyala beberapa kali berturut-turut.
Ishiguro mendadak sibuk. Ia melangkah ke depan
kamera dan menutup lensa dengan kedua tangannya.
"Tunggu dulu, tunggu dulu, apa ini?"
Tetapi orang-orang Jepang yang lain sudah mulai
menyingkir. Serempak mereka menjauhi blitz, bagaikan
sekawanan ikan. Dalam beberapa detik saja mereka sudah
pergi. Ditinggal seorang diri, Ishiguro tampak serba salah.
la mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang. Rupanya ia
memilih kata-kata yang keliru.
"Oh?" ujar Connor. "Anda yang harus disalahkan," ia
berkata pada Ishiguro. "Anda penyebab semua kesulitan ini.
Dan Anda akan memastikan bahwa detektif-detektif saya
memperoleh semua bantuan yang mereka perlukan. Saya
ingin bicara dengan orang yang menemukan mayat itu, dan
dengan orang yang menghubungi polisi. Saya
menginginkan nama semua orang yang datang ke lantai ini
sejak mayat itu ditemukan. Dan saya minta film dari
kamera Tanaka. Ore wa honkida. Saya akan menahan Anda
jika Anda masih menghalang-halangi penyidikan."
"Tapi saya harus berbicara dulu dengan atasan saya ......”
"Namerunayo." Connor mendekatkan wajahnya ke wajah
Ishiguro. "Jangan cari perkara dengan saya, Ishiguro-san.
Sekarang pergi, dan biarkan kami bekerja."
"Tentu, Kapten," kata Ishiguro. Ia segera pergi setelah
membungkuk dengan kaku. Wajahnya kuyu dan sedih.
Graham terkekeh-kekeh. "Biar tahu rasa dia."
Connor langsung berbalik. "Apa tujuanmu memberitahu
dia bahwa kau akan menginterogasi semua tamu yang
menghadiri pesta mereka?"
"Ah, sudahlah, aku hanya ingin membuat dia jengkel,"
kata Graham. "Mana mungkin aku menginterogasi Wali
Kota? Bukan salahku kalau Jepang-Jepang keparat itu tidak
punya rasa humor."
"Mereka punya rasa humor," kata Connor. "Dan justru
kau yang menjadi korban lelucon mereka. Soalnya Ishiguro
menghadapi suatu masalah, dan dia berhasil
menyelesaikannya berkat bantuanmu."
"Berkat bantuanku?" Graham mengerutkan kening. "Apa
maksudmu?"
"Kelihatan jelas bahwa mereka ingin menunda
penyidikan," ujar Connor. "Taktikmu yang agresif
memberikan alasan yang sempurna pada mereka –
memanggil petugas penghubung Special Services."
“Ah, jangan mengada-ada," kata Graham. "Mereka mana
tahu seberapa lama si petugas penghubung dalam
perjalanan. Bisa saja dia sudah muncul dalam lima menit."
Connor menggelengkan kepala. "Jangan menipu diri
sendiri. Mereka tahu persis siapa yang mendapat gillran
tugas standby malam ini. Mereka tahu persis seberapa jauh
Smith dari sini, dan seberapa lama dia menempuh
perjalanan ke Nakamoto Tower. Dan mereka berhasil
menunda penyidikan selama satu setengah jam. Bagus,
Detektif, bagus sekali."
Graham menatap Connor untuk waktu yang terasa lama.
Kemudian ia berpaling. "Sialan," katanya. "Kau pun tahu
bahwa semua itu cuma omong kosong. Oke, aku mau mulai
kerja. Richie? Cepat sedikit. Kau punya waktu tiga puluh
detik sebelum anak buahku mulai beraksi. Ayo, semuanya.
Aku ingin pekerjaan ini selesai sebelum bau busuk mulai
menyebar."
Dan setelah itu ia melangkah ke tempat kejadian.

Dengan koper-koper dan kereta barang bukti, tim SID


mengikuti Graham. Richie Walters berada paling depan,
memotret kiri-kanan sambil menuju ruang rapat.
Dinding-dinding ruangan itu terbuat dari kaca gelap yang
meredupkan cahaya blitznya. Tapi aku bisa melihatnya di
dalam, mengelilingi mayat. Ia memotret cukup banyak. Ia
sadar bahwa ini suatu kasus besar.
Aku menunggu bersama Connor. Aku berkata,, "Seingat
saya, Anda tadi berpesan bahwa tidak sopan untuk naik
pitam di hadapan orang Jepang."
"Memang,," kata Connor.
"Kalau begitu, kenapa Anda marah-marah tadi?"
"Sayangnya," ia berkata, "itu satu-satunya cara untuk
membantu Ishiguro."
"Membantu?"
"Ya. Saya melakukan semuanya itu demi Ishiguro -
karena dia harus menyelamatkan muka di hadapan bosnya.
Bukan Ishiguro yang paling pentlng tadi. Salah satu orang
Jepang di dekat lift merupakan juyaku, bos sesungguhnya."
“Saya tidak memperhatikannya."
"Mereka biasa menempatkan orang yang kurang penting
di depan, sementara tokoh utama tetap berdiri di latar
belakang, di tempat dia bebas mengamati perkembangan.
Sama seperti yang saya lakukan dengan Anda, Kohai."
"Atasan Ishiguro mengamati kita tadi?"
"Ya. Dan Ishiguro, telah mendapat perintah untuk tidak
membiarkan penyidikan dimulai. Saya harus memulai
penyidikan. Tetapi saya terpaksa melakukannya dengan
suatu cara yang tidak membuat Ishiguro kelihatan tidak
kompeten. Jadi saya bersandiwara sebagai gaijin yang lepas
kendali. Sekarang dia berutang budi pada saya. Ini meng-
untungkan, sebab nanti saya mungkin memerlukan
bantuannya."
"Dia berutang budi pada Anda?" kataku. Pernyataan ini
rasanya tidak masuk akal. Connor baru saja
membentak-bentak Ishiguro. Menurutku, ia benar-benar
mempermalukannya.
Connor mendesah. "Biarpun Anda tidak mengerti apa
yang terjadi, percayalah, Ishiguro
sangat memahaminya. Dia punya masalah, dan saya
membantunya."
Aku benar-benar tak mengerti dan hendak bertanya lagi,
tetapi Connor memberi isyarat dengan tangan agar aku
diam saja. "Sebaiknya kita segera memeriksa tempat
kejadian, sebelum Graham dan anak buahnya mengacaukan
semuanya."

Bab 4

HAMPIR dua tahun telah berlalu sejak aku bekerja di


divisi detektif, dan aku merasa senang karena mendapat
kesempatan menangani suatu kasus pembunuhan.
Berbagai kenangan bangkit kembali - ketegangan pada
malam hari, aliran adrenalin yang disebabkan oleh kopi
yang tidak enak di dalam cangkir kertas, dan semua tim
yang bekerja di sekitar kita - semua itu merupakan
semacam energi aneh yang mengelilingi titik pusat tempat
seseorang tergeletak, mati. Setiap tempat kejadian
pembunuhan mempunyai energi yang sama, serta
menimbulkan perasaan bahwa sesuatu telah berikhir di
sana. Kalau kita mengamati mayat seseorang, kita
menghadapi sesuatu yang amat jelas, tetapi sekaligus
menyimpan misteri yang tak mungkin dipecahkan. Bahkan
dalam kemelut rumah tangga yang paling sederhana pun,
ketika sang wanita akhirnya memutuskan untuk menem-
bak sang pria, kita menatapnya, dengan luka memar dan
luka bakar bekas rokok di sekujur tubuh, dan kita bertanya,
kenapa malam ini? Apa kekhususan malam ini? Segala
sesuatu yang kita lihat selalu begitu jelas, tetapi selalu. ada
sesuatu yang terasa mengganjal.
Dan dalam kasus pembunuhan, kita merasa telah sampai
pada hal-hal hakiki mengenai keberadaan kita, dengan
segala bau, tinja yang berserakan, dan mayat yang mulai
menggembung. Biasanya ada yang menangis, jadi itu yang
kita dengar. Dan segala tetek bengek lainnya terhenti,
seseorang telah mati, dan kenyataan itu tak dapat
disangkal, seperti sebongkah batu di tengah jalan yang
memaksa semua kendaraan bergerak menghindar. Dan
dalam suasana suram dan nyata itu, timbul perasaan
senasib, karena kita bekerja lembur dengan orang-orang
yang kita kenal, bahkan kenal sangat baik, karena kita
selalu melihat mereka. Setiap hari terjadi empat
pembunuhan di L.A.; satu. pembunuhan setiap enam jam.
Dan setiap detektif yang hadir di tempat kejadian masih
harus menangani sepuluh kasus pembunuhan lain yang
belum terpecahkan, yang menyebabkan kasus terakhir ini
terasa seperti beban yang tak tertahankan, sehingga ia dan
semua orang lain berharap bahwa mereka dapat
menyelesaikannya di tempat, bahwa mereka dapat
menyingkirkan rintangan itu. Perasaan bahwa sesuatu
telah berakhir, ketegangan, energi, semuanya itu
bercampur baur.
Dan setelah beberapa tahun, kita akhirnya begitu
terbiasa, sehingga kita menyukainya. Dan di luar dugaanku,
ketika aku memasuki ruang rapat, aku menyadari bahwa
aku. menyukainya.
Ruang rapat itu ditata dengan anggun: meja hitam, kursi
kulit dengan sandaran tinggi, cahaya lampu di
gedung-gedung pencakar langit di luar. Di dalam ruangan,
para teknisi berbicara pelan-pelan, sambil bergerak
mengelilingi mayat wanita muda itu.
Rambutnya pirang, dipotong pendek. Mata biru, bibir
agak tebal. Usianya sekitar 25. Tinggi, dengan kaki panjang,
berpenampilan atletis.
Graham sudah mulai dengan penyidikannya. Ia berdiri di
ujung meja, mengamati sepatu tinggi berwarna hitam di
kaki wanita muda itu, dengan senter kecil di tangan. yang
satu, dan buku catatan di tangan yang satu lagi.
Kelly, asisten petugas pemeriksa mayat, sedang
membungkus tangan mayat itu dengan. kantong plastik
untuk melindungi keduanya. Connor menyuruhnya
berhenti. "Tunggu. sebentar." Connor mengamati sebelah
tangan, memeriksa pergelangan, dan meneliti bagian
bawah kuku. Ia mencium-cium salah satu kuku. Kemudian
ia menyentil-nyentil semua jari, satu per satu.
"Jangan repot-repot," Graham berkata singkat. "Belum
ada rigor mortis, dan tidak ada detritus di bawah kuku, baik
kulit maupun serat kain. Menurutku malah tidak banyak
tanda bahwa dia melakukan perlawanan."
Kelly membungkus tangan itu dengan kantong plastik.
Connor berkata padanya, "Sudah bisa ditentukan jam
berapa dia meninggal?"
"Sedang dikerjakan." Kelly mengangkat pantat wanita
muda itu, untuk memasang alat pengukur suhu di dubur.
"Alat pengukur suhu di ketiak sudah dipasang. Sebentar
lagi kita sudah tahu jawabannya."
Connor menyentuh bahan gaun yang berwarna hitam,
lalu memeriksa labelnya. Helen, salah satu anggota tim SID,
berkata, "Karya Yamamoto."
"Betul." Connor mengangguk.
"Apa itu?" tanyaku.
Helen menjawab, "Desainer dari Jepang, mahal sekali.
Harga gaun hitam ini paling tidak lima ribu dolar. Itu pun
kalau dibeli second hand. Kalau baru, harganya mungkin
15.000."
"Apakah asal usulnya bisa dilacak?" tanya Connor.
"Mungkin. Tergantung apakah dia membelinya di sini,
atau di Eropa, atau di Tokyo. Perlu waktu beberapa hari
untuk memeriksanya."
Connor langsung tidak tertarik lagi. "Lupakan saja.
Terlalu lama."
Ia mengeluarkan senter fiber optic berbentuk pena, yang
digunakannya untuk meneliti rambut dan kulit kepala
wanita muda itu. Kemudian ia memeriksa kedua telinga,
bergumam dengan terkejut ketika mengamati telinga
kanan. Aku mengintip lewat bahunya dan melihat setitik
darah kering di lubang anting. Rupanya aku menghalangi
gerak-gerik Connor, sebab ia menoleh ke arahku. "Permisi,
Kohai."
Aku segera melangkah mundur. "Sori."
Kemudian Connor mengendus-endus bibir mayat itu,
membuka dan mengatupkan rahangnya secara cepat, dan
merogoh-rogoh di dalam mulut dengan senter penanya.
Lalu ia memutar-mutar kepalanya dari satu sisi ke sisi yang
lain, sehingga wanita muda itu seakan-akan menoleh ke
kiri-kanan. Ia menghabiskan beberapa saat dengan
meraba-raba di sepanjang leher, hampir mengelus-elusnya
dengan lembut.
Dan setelah itu, secara tiba-tiba ia menjauhi mayat itu
dan berkata, "Oke, cukup sekian."
Dan ia keluar dari ruang rapat.
Graham menoleh. "Dari dulu dia memang tak hanyak
gunanya di tempat kejadian."
Aku langsung bertanya, "Kenapa kau berpendapat
begitu? Kata orang-orang, dia detektif yang hebat."
"Oh, persetan," ujar Graham. "Kau bisa lihat sendiri. Dia
tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia tidak tahu
prosedur. Connor bukan detekof Connor punya koneksi.
Dengan cara itulah dia menyelesaikan semua kasus yang
membuatnya terkenal. Kau masih ingat kasus Arakawa?
Pasangan muda yang dibunuh waktu mereka berbulan
madu? Tidak? Kurasa kejadiannya sebelum zamanmu,
Petey-san. Tahun berapa kasus Arakawa, Kelly?"
"Tujuh puluh enam," kata Kelly.
"Benar, 76. Kasus besar tahun itu. Mr. dan Mrs. Arakawa,
pasangan muda yang berkunjung ke Los Angeles untuk
berbulan madu. Mereka sedang berdiri di tepi jalan di East
L.A., dan tiba-tiba keduanya ditembak dari sebuah mobil
yang melaju melewati mereka. Persis seperti dalam perang
antargeng. Yang lebih parah lagi, pada saat autopsi
ditemukan bahwa Mrs. Arakawa sedang hamil. Pihak pers
berpesta pora. L.A.P.D. tidak sanggup menangani kekerasan
geng, begitu laporan mereka. Surat-surat dan sumbangan
uang berdatangan dari segala penjuru kota. Semua orang
menyesalkan nasib yang menimpa pasangan muda itu. Dan,
tentu saja, para detektif yang ditugaskan untuk menangani
kasus itu tidak berhasil menemukan apa pun. Maksudku,
kasus pembunuhan yang menyangkut warga negara Jepang.
Mereka tidak memperoleh kemajuan apa pun.
"Nah, setelah satu minggu, Connor dipanggil. Dan dia
memecahkan kasus itu dalam satu hari. Bayangkan, satu
hari! Padahal peristiwanya terjadi satu minggu lalu.
Bukti-bukti fisik sudah lama lenyap, kedua jenazah sudah
berada di Osaka, dan karangan-karangan bunga yang sudah
layu menumpuk di pojok jalan tempat penembakan ber-
langsung. Tetapi Connor berhasil membuktikan bahwa Mr.
Arakawa sebenarnya termasuk tokoh dunia hitam di Osaka.
Dia membuktikan bahwa penembakan di pojok jalan itu
sebenarnya sebuah eksekusi yakuza, yang diperintahkan di
Jepang untuk dilaksanakan di Amerika. Dan dia juga meng-
ungkapkan bahwa sang suami yang jahat sebenarnya bukan
sasaran utama; yang diincar adalah sang istri yang sedang
hamil, sebab ayah Mrs. Arakawa-lah yang hendak diberi
pelajaran. Jadi, Connor membalikkan semuanya. Luar biasa,
hah?"
"Dan kaukira dia bisa melakukan semuanya itu berkat
koneksinya di kalangan orang Jepang?"
"Silakan jawab sendiri," kata Graham. "Aku cuma tahu
bahwa tidak lama kemudian dia pergi ke Jepang selama
setahun."
"Dalam rangka apa?"
"Kabarnya dia bekerja sebagai petugas keamanan untuk
sebuah perusahaan Jepang yang merasa berutang budi.
Pokoknya, mereka mengurus segala kebutuhannya. Dia
mengerjakan sebuah tugas untuk mereka, dan mereka
membayarnya. Begitulah kesimpulanku. Tak ada yang tahu
persis apa yang terjadi. Tapi yang jelas, dia bukan detektif.
Coba lihat dia sekarang."
Di luar, di atrium, Connor menatap langit-langit,
seolah-olah sedang melamun. Pertama-tama ia menoleh ke
satu arah, lalu ke arah lain. Sepertinya ia sedang berusaha
mengambil keputusan. Tiba-tiba ia bergegas ke arah lift,
seakan-akan hendak pergi. Kemudian, tanpa-peringatan, ia
berbalik dan berjalan ke tengah-tengah ruangan, lalu
berhenti. Setelah itu, ia mulai mengamati daun-daun pohon
palem dalam pot yang ditempatkan di sana-sini.
Graham geleng-geleng. "Apa lagi ini, berkebun? Terus
terang, dia memang aneh. Asal tahu saja, dia sudah lebih
dari sekali pergi ke Jepang. Dia selalu kembali. Rupanya dia
tak pernah bisa cocok di sana. Bagi Connor, Jepang seperti
perempuan. Connor tidak bisa hidup dengan dia, dan juga
tidak bisa hidup tanpa dia. Aku sendiri tak habis pikir. Aku
suka Amerika, maksudku, apa yang tersisa dari Amerika."
Ia berpaling kepada tim SID yang mulai bergerak
menjauhi mayat. "Kalian sudah menemukan celana
dalamnya?"
"Belum, Tom."
Aku berkata, "Celana dalam yang mana?"
Graham menyingkap rok wanita muda itu. "Kelihatannya
John tidak berminat menyelesaikan pemeriksaannya, tapi
menurutku di sini ada petunjuk penting. Cairan yang
mengalir dari vagina, kurasa itu sperma. Dia tidak memakai
celana dalam, dan di pangkal paha ada garis merah, tempat
celana dalamnya direnggut. Kemaluan bagian luar tampak
merah dan lecet. Rasanya cukup jelas bahwa dia mengalami
hubungan seks secara paksa sebelum dibunuh. Jadi
kuminta pada anak-anak untuk menemukan celana
dalamnya."
Salah satu anggota tim SID berkata, "Barangkali dia
memang tidak memakai celana dalam."
Graham menyangkal dengan tegas, "Dia pakai."
Aku berpaling kembali pada Kelly. "Bagaimana dengan
obat bius?"
Ia mengangkat bahu. "Kita masih menunggu hasil
analisis lab terhadap semua cairan tubuh. Tapi sepintas lalu
dia kelihatan bersih. Sangat bersih." Aku menyadari bahwa
Kelly tampak sangat gelisah.
Graham pun memperhatikannya. "Ah, kenapa
tampangmu kusut begitu, Kelly? Kau terpaksa
membatalkan kencan larut malam?"
"Bukan," kata Kelly, "tapi terus terang, di sini bukan saja
tidak ada tanda-tanda pergulatan atau obat bius-aku
bahkan tidak menemukan petunjuk bahwa dia dibunuh."
Graham mengulangi, "Tidak ada petunjuk bahwa dia
dibunuh? Kau bercanda?"
Kelly berkata, "Wanita ini memiliki luka di leher yang
mengisyaratkan bahwa dia mengalami sindrom
perbudakan seksual. Di bawah rias wajahnya terdapat
tanda-tanda bahwa dia pernah diikat sebelumnya,
berkali-kali."
"Jadi?"
"Jadi, secara teknis, mungkin saja dia tidak dibunuh.
Barangkali dia meninggal mendadak secara wajar.”
"Oh, Tuhan, yang benar saja."
"Ada, kemungkinan ini suatu contoh dari yang blasa
kami sebut kematian karena kegagalan pada jaringan saraf.
Kematian fisiologis secara seketika."
“Artinya?"
Kelly mengangkat bahu. "Orang yang bersangkutan mati
begitu saja."
"Tanpa alasan sama sekali?"
"Hmm, tidak juga. Pada umumnya terdapat kerusakan
pada jantung atau jaringan saraf Tapi kerusakannya tidak
cukup parah untuk menyebabkan kematian. Aku pernah
menangani kasus anak berumur sepuluh tahun yang
terkena lemparan baseball di dada - tidak seberapa keras -
dan langsung mati di halaman sekolah. Tidak ada siapa
siapa dalam jarak dua puluh meter di sekitarnya. Dalam
kasus lain, seorang wanita mengalami kecelakaan mobil
yang ringan. Dadanya membentur kemudi, juga tidak
terlalu keras, dan ketika dia membuka pintu mobil untuk
keluar, dia tiba-tiba mati. Sepertinya kejadian ini berkaitan
dengan luka di leher atau dada, yang mungkin mengganggu
jaringan saraf yang berhubungan dengan jantung. Jadi,
begitulah, Tom. Secara teknis, kematian mendadak
merupakan kemungkinan yang harus diperhitungkan. Dan
karena berhubungan seks tidak digolongkan sebagai tindak
pidana, berarti itu bukan pembunuhan."
Graham mengedipkan mata. "Maksudmu, mungkin tak
ada yang membunuhnya?"
Kelly mengangkat bahu. Ia meraih dipboardnya. "Aku
tidak akan mencatat semuanya itu. Aku akan
mencantumkan kekurangan zat asam sekunder akibat
cekikan manual sebagai penyebab kematian. Sebab
kemungkinan besar dia memang dicekik. Tapi sebaiknya
kauingat-ingat bahwa tetap ada kemungkinan dia tidak
dicekik. Barangkali dia mati begitu saja."
"Oke," Graham berkata. "Akan kuingat-ingat. Sebagai
khayalan pemeriksa mayat. Ngomong-ngomong, kalian
sudah tahu identitasnya?"
Tim SID, yang masih sibuk memeriksa ruangan,
bergumam belum.
Kelly berkata, "Rasanya aku sudah bisa memastikan jam
berapa dia meninggal." Ia mengamati alat pengukur suhu
dan membandingkan hasilnya dengan sebuah daftar.
"Bagian dalam tubuhnya bersuhu 96,9. Dengan suhu ruang
di sini, itu berarti sampai dengan tiga jam sudah berlalu."
"Sampai dengan tiga jam? Hah, bagus. Hei, Kelly, kita
semua sudah tahu bahwa dia mati malam ini."
"Hanya itu yang bisa kulakukan." Kelly menggelengkan
kepala. "Sayangnya kurva pendinginan kurang teliti untuk
jangka waktu di bawah tiga jam. Aku cuma bisa
memastikan bahwa dia mati dalam tiga jam terakhir. Tapi
aku mendapat kesan bahwa wanita itu sudah agak lama
mati. Rasanya lebih dekat ke tiga jam."
Graham berpaling pada tim SID. "Sudah ada yang
menemukan celana dalamnya?"
"Belum, Letnan."
Graham memandang berkeliling dan berkata, "Tasnya
lenyap, celana dalamnya lenyap."
Aku berkata, "Kaupikir barang-barang itu diamhil
orang?"
"Entahlah," jawabnya. "Tapi bukankah seorang wanita
yang menghadiri suatu pesta dengan gaun seharga 30.000
dolar biasanya membawa tas?" Kemudian Graham menatap
melewati bahuku dan lersenyum. "Wah, ada kejutan
untukmu, Petey-san. Salah satu pengagummu ingin
bertemu."

Yang bergegas menghampiriku adalah Ellen Farley,


sekretaris pers Wali Kota. Farley berusia 15 tahun, rambut
pirang tua dipotong pendek, penampilan sempurna, seperti
biasa. Ia pernah menjadi pembaca berita ketika masih
muda, tetapi kini sudah bertahun-tahun bekerja di kantor
Wali Kota. Ellen Farley cerdas, gesit, dan memiliki tubuh
indah, yang sepanjang pengetahuanku hanya ia gunakan
untuk dirinya sendiri.
Aku menyukainya. Aku membantunya beberapa kali
sewaktu aku masih di kantor pers L.A.P.D. Berhubung Wali
Kota dan Kepala Polisi saling membenci, permintaan dari
kantor Wali Kota kadang-kadang diteruskan dari Ellen
padaku, dan aku menangani semuanya. Biasanya hal-hal
sepele: menunda pengumuman sebuah laporan sampai
akhir pekan, agar dapat dimuat pada hari Sabtu. Atau
mengumumkan bahwa tuntutan untuk kasus tertentu
belum diajukan, padahal sudah. Aku melakukannya karena
Farley selalu berkata apa adanya. Dan sepertinya sekarang
pun ia akan bersikap sama.
"Begini, Pete," katanya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi
di sini, tapi Pak Wali Kota mendapat keluhan dari
seseorang bernama Mr. Ashiguro..."
"Aku tidak heran."
"Dan Pak Wali Kota minta agar aku mengingatkanmu
bahwa tidak ada alasan bagi pejabat kota ini untuk bersikap
kasar terhadap warga negara asing."
Graham berkomentar keras-keras, "Terutama kalau
mereka memberikan sumbangan kampanye yang begitu
besar."
"Warga negara asing tidak bisa menyumbang untuk
kampanye politik Amerika," kata Farley. "Anda pun tahu
itu." Ia merendahkan suaranya, "Ini kasus peka, Pete.
Kuminta, kau berhati-hati. Kau tahu bahwa orang Jepang
sangat sensitif terhadap perlakuan yang mereka terima di
sini."
"Oke, baiklah."
Ia memandang lewat dinding kaca ruang rapat, ke arah
atrium. "Itu John Connor, ya?"
"Ya."
"Kupikir dia sudah pensiun. Sedang apa dia di sini?"
"Membantuku dalam kasus ini."
Farley mengerutkan kening. "Asal tahu saja, perasaan
orang Jepang terhadap dia, tidak menentu. Mereka punya
istilah untuk itu. Untuk seseorang yang tergila-gila pada
Jepang, lalu berballk 180 derajat dan mencaci maki Jepang."
"Connor tidak begitu."
"Ishiguro merasa diperlakukan secara kasar."
"Ishiguro mengatur-atur kami," kataku. "Dan di sini ada
wanita muda yang mati terbunuh, yang rupanya luput dari
perhatian semua orang."
"Pete," ujar Farley, "tidak ada yang berusaha
mengatur-atur kalian. Aku cuma ingin mengatakan bahwa
kau perlu mempertimbangkan situasi khusus yang..."
Ia terdiam.
Ia menatap mayat di ruang rapat.
"Ellen?" kataku. "Kau kenal dia?"
"Tidak." Ia berpaling ke arah lain.
"Kau yakin?"
Kelihatan jelas bahwa perasaannya terguncang.
Graham berkata, "Anda sempat melihatnya di bawah
sebelum ini?"
"Saya tidak... barangkali. Mungkin. Sori, saya harus
kembali sekarang."
"Ellen. Terus teranglah."
"Aku tidak tahu siapa dia, Pete. Aku pasti akan cerita,
kalau aku tahu. Pokoknya, jaga hubungan baik dengan
orang-orang Jepang. Hanya itu pesan Pak Wali Kota yang
harus kusampaikan padamu. Aku harus kembali sekarang."
Ia bergegas menuju lift. Aku memperhatikannya pergi.
Perasaanku tidak enak.
Graham datang dan berdiri di sampingku. "Pantatnya
seksi," katanya. "Tapi dia tidak berterus terang, Kawan,
bahkan dengan kau."
Aku berkata, "Apa maksudnya, bahkan denganku?"
"Semua orang tahu bahwa kau dan Farley pernah intim."
"Apa maksudmu?"
Graham menonjok bahuku. "Ayolah. Kau sudah cerai
sekarang. Mana ada yang peduli."
Aku membantah, "Cerita itu tidak benar, Tom."
"Oke, baiklah." Ia mengangkat kedua tangannya.
"Mungkin aku salah dengar."
Aku memperhatikan Farley di ujung atrium. Ia
membungkuk, lewat di bawah pita. Ia menekan tombol lift,
dan menunggu sampai liftnya datang sambil
mengetuk-ngetukkan kaki dengan tidak sabar.
Aku bertanya, "Kaupikir dia kenal korban ini?"
"Taruhan," kata Graham. "Kau tahu kenapa Wali Kota
menyukai dia? Dia berdiri di sampingnya dan membisikkan
nama-nama orang ke telinganya. Orang yang tidak
ditemuinya selama, bertahun-tahun. Suami-suami,
istri-istri, anak-anak, semuanya. Percayalah, Farley tahu
siapa cewek ini."
"Kalau begitu, kenapa dia tidak memberitahu kita?"
"Entah," kata Graham. "Mungkin karena cewek ini
penting bagi seseorang. Lihat saja bagaimana dia kabur
tadi. Kita harus mencari tahu siapa cewek yang mati ini.
Sebab aku benci kalau menjadi orang terakhir di kota ini
yang mengetabuinya."
Connor berada di seberang ruangan. Ia melambaikan
tangan ke arah kami.
"Mau apa lagi dia sekarang?" ujar Graham.
"Melambai-lambai seperti itu. Apa itu yang dipegangnya?"
"Kelihatannya seperti tas," kataku.

"Cheryl Lynn Austin," Connor membacakan. "Lahir di


Midland, Texas, Iblusan Texas State. Dua puluh tiga tahun.
Dia punya apartemen di Westwood, tapi belum cukup lama,
di sini untuk menukar SIM Texas-nya."
Isi tas bertebaran di sebuah meja. Kami me-
nyodok-nyodok semuanya dengan pensil.
"Di mana kautemukan tas ini?" tanyaku. Tasnya kecil,
gelap, bermanik-manik, dengan jepitan berupa mutiara.
Sebuah tas antik dari tahun empat puluhan. Mahal.
"Tasnya tergeletak di pot palem di dekat ruang rapat."
Connor membuka ritsleting sebuah kantong mungil.
Segulung lembaran seratus dolar menggelinding ke meja.
"Bagus. Miss Austin diurus dengan baik."
Aku berkata, “Tidak ada kunci mobil?"
"Tidak."
"Kalau begitu, dia datang bersama orang lain."
"Dan rupanya dia juga berniat pulang bersama orang
lain. Sopir taksi tidak punya uang kembalian untuk seratus
dolar."
Selain itu masih ada kartu kredit American Express, Gold
Card. Lipstik dan tempat bedak. Sebungkus rokok Mild
Seven Menthol, rokok Jepang. Kartu untuk Daimatsu Night
Dub di Tokyo. Empat butir pil kecil berwarna biru. Hanya
itu.
Dengan menggunakan pensil, Connor membalikkan tas
itu. Bintik-bintik kecil berwrarna hijau jatuh ke meja.
"Kalian tahu apa inii?"
"Tidak," kataku. Graham mengamatinya melalui kaca
pembesar.
Connor berkata, "Ini kacang berlapis wasabi. Wasabi
adalah lobak hijau yang dihidangkan di restoran-restoran
Jepang. Aku belum pernah tahu bahwa ada kacang berlapis
wasabi.
"Aku tidak pasti apakah ada yang menjualnya selain di
Jepang."
Graham menggerutu. "Kurasa sudah cukup. Bagaimana,
John? Apakah Ishiguro akan memanggil saksi-saksi yang
kauminta?"
"Jangan harap mereka muncul dalam waktu dekat," kata
Connor.
"Yeah," kata Graham. "Kita tidak akan ketemu mereka
sebelum lusa, sebelum para pengacara mereka selesai
memberi pengarahan mengenai apa yang harus mereka
katakan." Ia menjauhi meja. "Kalian sadar kenapa mereka
mengulur-ulur waktu? Soalnya cewek ini dibunuh oleh
orang Jepang. Itulah masalah yang kita hadapi."
"Ada kemungkinan," kata Connor.
"Hei, Kawan. Bukan sekadar kemungkinan. Kita di sini.
Ini gedung mereka. Dan tipe cewek seperti itulah yang
cocok dengan selera mereka. Mawar Amerika bertangkai
panjang. Kalian tahu angana-angan orang-orang cebol itu?
Berhubungan seks dengan pemain voli."
Connor mengangkat bahu. "Mungkin saja."
"Ah, jangan pura-pura," kata Graham. "Kau tahu mereka
hidup susah di negeri sendiri. Berdesak-desakan di kereta
bawah tanah, bekerja untuk perusahaan-perusahaan besar.
Terpaksa memendam perasaan. Lalu mereka datang ke sini,
jauh dari segala batasan di rumah, dan tiba-tiba mereka
kaya dan bebas. Mereka bisa melakukan apa saja yang
mereka inginkan. Dan sekali-sekali salah satu dari mereka
agak melewati batas. Ayo, buktikan bahwa aku keliru."
Connor menatap Graham untuk waktu yang cukup lama.
Akhirnya ia berkata, "Jadi, menurutmu, Tom, seorang
pembunuh Jepang memutuskan untuk menghabisi wanita
muda ini di meja di ruang rapat dewan direksi Nakamoto?"
“Yeah."
'Sebagai tindakan simbolis?"
Graham mengangkat bahu. "Astaga, mana aku tahu? Ini
bukan perkara biasa. Tapi satu hal sudah jelas. Tak peduli
bagaimana caranya, aku akan menangkap bajingan yang
melakukan ini."

Bab 5

LIFT turun dengan cepat. Connor bersandar pada


dinding kaca. "Sebenarnya banyak alasan untuk tidak
menyukai orang Jepang," katanya, "tapi Graham tidak
mengetahui satu pun." Ia mendesah. "Anda tahu apa yang
mereka katakan tentang kita?"
“Apa?"
"Mereka mengatakan, orang Amerika terlalu sibuk
membuat teori. Menurut mereka, kita tidak meluangkan
cukup banyak waktu untuk mengamati dunia, sehingga kita
tidak tahu bagaimana keadaan sesungguhnya."
"Apakah itu pemikiran Zen?"
"Bukan." Ia tertawa. "Sekadar pengamatan saja.
Tanyalah bagaimana pendapat salesman komputer
mengenai sejawatnya di Amerika, dan dia akan
memberikan jawaban yang sama. Semua orang di Jepang
yang berurusan dengan orang Amerika berpandangan
demikian. Dan kalau Anda mengamati Graham, Anda akan
mengakui bahwa mereka benar. Graham tidak mempunyai
pengetahuan atau pengalaman langsung. Dia hanya
berpegang pada sekumpulan prasangka dan khayalan
media. Dia tidak tahu apa-apa mengenai orang Jepang - dan
juga tak pernah terpikir olehnya untuk mencari tahu."
Aku berkata, "Jadi, menurut Anda, dugaannya keliru?
Wanita muda itu tidak dibunuh oleh orang Jepang?"
"Saya tidak berkata begitu, Kohai," balas Connor.
"Mungkin sekali Graham memang benar. Tapi saat ini..."
Pintu membuka dan kami melihat suasana pesta,
mendengar band memainkan Moonlight Serenade. Dua
pasang tamu masuk ke dalam lift. Mereka tampak seperti
orang real estate - para pria berambut perak dan
berpenampilan penuh martabat, para wanita cantik dan
agak norak. Salah satu dari kedua wanita itu berkata, "Dia
lebih pendek dari yang kuduga."
"Ya, mungil. Dan laki-laki itu... apakah dia pacarnya?"
"Kelihatannya begitu. Bukankah dia juga tampil dalam
video klipnya?"
"Rasanya memang dia."
Salah satu dari kedua pria bertanya, "Menurutmu,
apakah payudaranya dioperasi plastik?"
"Sekarang ini, siapa yang tidak dioperasi?"
Wanita yang satu lagi tertawa cekikikan. "Aku, tentu
saja.”
"Benar, Christine."
"Tapi aku ada niat. Kaulihat Emily tadi?"
"Oh, dadanya benar-benar busung sekarang."
"Yeah, ini gara-gara Jane. Dia yang mulai. Sekarang
semuanya ingin yang besar."
Kedua pria menoleh dan memandang ke luar jendela.
"Gedung mereka hebat sekali, " salah satu berkata.
"Detail-detailnya! Pasti mahal sekali. Kau sering melakukan
bisnis dengan orang Jepang sekarang, Ron?"
"Sekitar dua puluh persen," jawab pria yang satu lagi.
"Jauh berkurang dibanding tahun lalu. Aku terpaksa giat
berlatih golf, sebab mereka selalu mau main golf."
"Dua puluh persen dari proyek-proyekmu?"
"Yeah. Sekarang ini mereka sedang memborong segala
sesuatu di Orange County."
"Tentu saja. Los Angeles sudah jadi milik mereka," salah
satu wanita berkomentar sambil tertlawa.
"Yeah, hampir. Gedung Arco di seberang sana pastilah
dibeli oleh mereka," pria itu berkata sambil menunjuk ke
luar jendela. "Kurasa sekarang ini sekitar tujuh puluh
sampai tujuh puluh lima persen pusat kota Los Angeles
sudah berada di tangan mereka."
"Apalagi di Hawaii.”
"Wah, mereka pemilik Hawaii - sembilan puluh persen
dari Honolulu, seratus persen dari Pantai Kona. Mereka
membangun lapangan golf seperti orang kesurupan."
Salah satu wanita bertanya, "Apakah pesta ini masuk ET
besok? Kulihat banyak kamera tadi."
"Nonton saja acaranya besok."
Lift berkata, "Mosugu de gozaimasu.
Kami sampai di lantai parkir, dan orang-orang itu keluar.
Connor memperhatikan mereka pergi, dan menggelengkan
kepala. "Tak ada satu negara pun di dunia ini," katanya,
"tempat kita bisa mendengar orang mengobrol santai
mengenal penjualan kota-kota mereka kepada orang asing.
"
"Mengobrol?" kataku. "Merekalah yang menjual
semuanya."
"Ya. Orang Amerika memang giat dalam menjual. Orang
Jepang sampai terheran-heran. Menurut mereka, kita
sedang melakukan bunuh diri ekonomi. Dan tentu saja
mereka benar." Sambil bicara, Connor menekan sebuah
tombol pada panil lift yang bertulisan KHUSUS KEADAAN
DARURAT.
Sebuah alarm berdenting.
"Untuk apa Anda melakukan itu?"
Connor menatap kamera video yang terpasang di sudut
langit-langit dan melambaikan tangan dengan ceria. Sebuah
suara, berkata lewat interkom, "Selamat malam. Apakah
saya bisa membantu?"
"Ya," ujar Connor. "Apakah saya bicara dengan
keamanan gedung?"
"Betul, Sir. Apakah ada gangguan pada lift yang Anda
naiki?"
"Di mana ruang Anda?"
"Kami di lantai lobi, pojok tenggara, di belakang lift.”
"Terima kasih banyak," kata Connor. Ia menekan tombol
lobi.

Bab 6

RUANG keamanan di Nakamoto Tower berukuran kecil,


mungkin lima kali tujuh meter. Ruangan itu dikuasai oleh
tiga panil video yang besar dan datar, masing-masing
terdiri atas selusin monitor. Saat itu, sebagian besar layar
tampak gelap. Tetapi satu deret memperlihatkan keadaan
di lobi dan tempat parkir. Deret lain menampilkan suasana
pesta yang tengah berlangsung. Dan pada deret ketiga
terlihat tim-tim kepolisian di lantai 46.
Petugas keamanan yang giliran jaga bernama Jerome
Phillips. Ia berkulit hitam, berusia empat puluhan. Seragam
Nakamoto Security berwarna abu-abu yang dikenakannya
tampak basah di sekitar kerah dan gelap di bawah ketiak. Ia
minta agar kami tidak menutup pintu ketika kami masuk.
Kelihatan sekali bahwa ia gelisah akibat kehadiran kami.
Aku mencium bahwa ia menyembunyikan sesuatu, tetapi
Connor mendekatinya dengan sikap bersahabat. Kami
menunjukkan lencana dan bersalaman. Connor berhasil
membangun suasana bahwa kami bertiga sama-sama
tenaga profesional dalam bidang keamanan yang hendak
berbincang-bincang. "Anda pasti sibuk sekali malam ini, Mr.
Phillips."
"Yeah. Urusan pesta dan segala macam."
"Dan penuh sesak, di ruang kecil ini."
Phillips mengusap keringat dari keningnya. "Wah, jangan
tanya. Semuanya berdesak-desakan di sini."
Aku berkata, "Semuanya?"
Connor menatapku dan berkata, "Setelah orang-orang
Jepang menyingkir dari lantai 46 tadi, mereka turun ke sini
dan mengawasi kami lewat monitor-monitor. Bukan begitu,
Mr. Phillips?"
Phillips mengangguk. "Tidak semuanya, tapi cukup
banyak. Bergerombol di sini, mengepul-ngepulkan asap
rokok sialan, melotot, terengah-engah, dan saling
membagikan fax."
"Fax?"
"Oh, yeah, setiap beberapa menit ada yang bawa fax
baru. Dengan tulisan Jepang. Semua membacanya dan
memberi komentar. Lalu salah satu dari mereka pergi
untuk mengirim fax balasan. Dan yang lainnya tinggal di
sini untuk mengamati Anda di atas."
Connor berkata, "Juga mendengarkan?"
Phillips menggeleng. "Tidak. Kami tidak punya saluran
audio."
"Masa?" ujar Connor. "Padahal peralatan ini ke-
lihatannya up-to-date."
"Up-to-date? Hah, ini yang paling canggih di seluruh
dunia. Orang-orang ini, wah. Orang-orang ini tidak pernah
setengah-setengah. Mereka punya sistem alarm kebakaran
dan pencegahan kebakaran terbaik, sistem gempa bumi
terbaik, dan tentu saja sistem keamanan elektronik
terbaik-kamera, detektor, semuanya yang terbaik."
"Saya tahu," kata Connor. "Karena itulah saya heran
bahwa mereka tidak punya audio."
"Begitulah. Tidak ada audio, tidak ada warna. Hanya
video resolusi tinggi. Jangan tanya saya kenapa. Saya hanya
tahu bahwa ada hubungan dengan kamera-kamera dan
bagaimana kamera-kamera itu disambungkan."
Pada panil-panil video, aku melihat lima monitor yang
menampilkan pandangan ke lantai 46, masing-masing
diambil dari sudut yang berbeda. Ternyata orang-orang
Jepang telah memasang kamera untuk meliput seluruh
lantai. Aku teringat bahwa Connor berjalan-jalan di atrium
tadi, sambil mendongakkan kepala. Rupanya waktu itu ia
telah melihat kamera-kamera tersebut.
Kini aku melihat Graham di ruang rapat, sibuk memberi
pengarahan kepada semua tim. Ia sedang merokok, yang
melanggar peraturan yang berlaku di tempat kejadian
perkara. Aku melihat Helen meregangkan badan dan
menguap. Sementara itu, Kelly sedang bersiap-siap untuk
memindahkan mayat korban dari meja ke kantong jenazah,
dan ia tengah...
Tiba-tiba aku menyadarinya.
Di atas sana ada kamera.
Lima buah kamera.
Meliput setiap jengkal lantai.
Aku berkata, "Ya Tuhan," dan langsung membalik. Aku
baru hendak mengatakan sesuatu ketika Connor tersenyum
penuh pengertian dan meletakkan tangannya ke bahuku. Ia
meremas bahuku keras-keras.
"Letnan," ia berkata.
Sakitnya luar biasa. Aku berusaha untuk tidak
menggerenyit. "Ya, Kapten?"
"Barangkali Anda ingin mengajukan satu atau dua
pertanyaan pada Mr. Phillips?"
"Tidak, Kapten. Silakan teruskan."
Ia melepaskan bahuku. Aku mengeluarkan buku catatan.
Connor duduk di tepi meja dan berkata, "Sudah lamakah
Anda bergabung dengan Nakamoto Security, Mr. Phillips?"
"Ya, sudah sekitar enam tahun sekarang, Sir. Saya mulai
di pabrik mereka di La Habra, dan ketika kaki saya cedera -
saya mengalami kecelakaan mobil - dan saya tidak bisa
berjalan dengan baik, mereka memindahkan saya ke bagian
ke amanan. Soalnya di sana saya tidak perlu ber-
keliling-keliling. Lalu, waktu mereka membuka pabrik di
Torrance, mereka memindahkan saya ke sana. Istri saya
juga dapat pekerjaan di pabrik di Torrance. Mereka
mengerjakan sub perakitan untuk Toyota. Lalu, ketika
gedung ini didirikan, saya dibawa ke sini, untuk bekerja
malam
"Begitu. Seluruhnya enam tahun.”
"Ya, Sir."
"Anda tentu betah bekerja di sini."
"Hmm, begini saja, kedudukan saya aman. Ini besar
artinya di Amerika. Saya tahu bahwa orang kulit hitam
dianggap rendah oleh mereka, tapi saya selalu
diperlakukan dengan baik. Sebelum ini, saya bekerja untuk
GM di Van Nuys, dan itu... Anda tahu sendiri, itu sudah
tamat."
"Ya," ujar Connor dengan nada simpatik.
"Tempat itu," ujar Phillips sambil geleng-geleng karena
teringat lagi. "Oh. Dan manajer-manajer yang ditugaskan
untuk mengontrol para pekerja. Anda takkan percaya.
Semuanya MBA keparat dari Detroit, anak-anak ingusan
yang tak tahu apa-apa. Mereka tidak tahu tahap-tahap
pekerjaan. Mereka tidak bisa membedakan mesin bubut
dari mesin pres. Tapi mereka tetap saja mengatur-atur
mandor. Mereka dapat 200.000 setahun dan mereka tidak
tahu apa-apa. Dan tak ada yang bekerja dengan benar.
Mobil-mobil yang kami rakit semuanya kacau. Tapi di sini,"
katanya sambil mengetuk-ngetuk meja. "Di sini, kalau ada
masalah, atau kalau ada sesuatu yang tidak berfungsi de-
ngan semestinya, saya tinggal lapor saja. Dan mereka
langsung datang, dan mereka kenal sistemnya - cara
kerjanya - dan kami membahas masalahnya di sini, lalu
masalahnya diatasi. Langsung. Di tempat. Di sini, semua
masalah segera diatasi. Itu bedanya. Orang-orang ini,
mereka benar-benar sigap "
"Jadi, Anda betah di sini?"
"Mereka selalu memperlakukan saya dengan baik," ujar
Phillips sambil mengangguk.
Ucapannya terasa mengambang, kurang bersemangat.
Aku mendapat kesan bahwa orang itu tidak memiliki
tanggung jawab terhadap perusahaan tempatnya bekerja,
dan bahwa kami dapat mengorek lebih banyak informasi
darinya. Kami tinggal memancingnya dengan pertanyaan-
pertanyaan terarah.
"Kesetiaan sangat penting," ujar Connor sambil
mengangguk-angguk.
"Bagi mereka," balas Phillips. "Mereka mengharapkan
agar kami selalu memperlihatkan semangat
menggebu-gebu untuk perusahaan. Jadi, saya selalu datang
lima belas atau, dua puluh menit lebih awal, dan pulang
lima belas atau, dua puluh menit lebih lambat dari yang
seharusnya. Mereka senang kalau kami bekerja lembur.
Saya melakukan hal yang sama di Van Nuys, tapi tak ada
yang memperhatikannya."
"Anda bertugas dari jam berapa sampai jam berapa?"
"Jam sembilan malam sampai jam tujuh pagi."
"Dan malam ini? Jam berapa Anda datang?"
"Jam sembilan kurang seperempat. Saya kan sudah
bilang, saya selalu datang lima belas menit lebih awal."
Laporan mengenai pembunuhan itu direkam sekitar
pukul 20.30. Jadi, kalau orang ini datang pukul 20.45,
berarti dia terlambat hampir lima belas menit untuk
melihat pembunuhannya. "Siapa yang bertugas sebelum
Anda?"
"Hmm, biasanya Ted Cole. Tapi saya tidak tahu apakah
dia masuk malam ini."
"Kenapa?"
Petugas keamanan itu mengusap keringat di keningnya
dengan lengan baju dan memalingkan muka.
"Kenapa begitu, Mr. Phillips?" kataku dengan nada lebih
mendesak.
Petugas keamanan itu mengedip-ngedipkan mata dan
mengerutkan kening, tanpa berkata apa-apa.
Connor berkata dengan tenang, "Karena Ted Cole tidak
ada di sini pada waktu Mr. Phillips tiba tadi, bukan begitu,
Mr. Phillips?"
Si petugas keamanan menggelengkan kepala. "Dia
memang tidak di sini waktu saya datang."
Aku hendak mengajukan pertanyaan lain, tetapi Connor
mengangkat sebelah tangan. "Saya bisa membayangkan,
Mr. Phillips, Anda tentu terkejut ketika masuk ke sini pada
pukul sembilan kurang seperempat."
"Memang," jawab Phillips.
"Apa yang Anda lakukan kemudian?"
"Hmm. Saya langsung tanya pada pria itu, 'Apakah saya
bisa membantu Anda?' Dengan sopan, tapi tegas.
Bagaimanapun juga, ini ruang keamanan. Dan saya tidak
tahu siapa dia, saya belum pernah melihatnya. Dan dia
kelihatan tegang. Sangat tegang. Dia membentak saya,
'Minggir.' Congkak sekali, seakan-akan seisi dunia ini
miliknya. Dia melewati saya, dengan membawa tas
kerjanya.
"Saya bilang, 'Maaf, Sir. Saya perlu memeriksa identitas
Anda.' Dia tidak menjawab, dia terus saja ber jalan. Keluar
dari lobi, lalu turun tangga."
"Anda tidak berusaha mencegahnya?"
"Tidak, Sir."
"Karena dia orang Jepang?"
"Betul. Tapi saya menghubungi ruang keamanan pusat di
lantai sembilan, untuk melaporkan bahwa saya memergoki
seseorang di sini. Dan mereka bilang, 'Jangan khawatir,
tidak apa-apa.' Tapi saya bisa dengar bahwa mereka juga
tegang. Semuanya tegang. Dan kemudian, di layar monitor
saya lihat... wanita yang mati itu. Baru waktu itu saya mulai
mengertl apa masalahnya."
Connor berkata, "Orang yang Anda pergoki, apakah Anda
dapat menggambarkannya?"
Si petugas keamanan mengangkat bahu. "Tiga puluh,
atau tiga puluh lima tahun, tingginya sedang-sedang saja.
Setelan jas warna biru tua, seperti yang dipakai oleh
semuanya. Tapi dia lebih trendi dari yang lain. Dia pakai
dasi bermotif segi tiga. Oh... dan di tangannya ada bekas
luka, seperti bekas luka bakar atau semacamnya."
"Tangan sebelah mana?"
"Tangan kiri. Saya melihatnya waktu dia menutup tas
kerja."
"Anda sempat melihat isi tas itu?"
"Tidak."
"Tapi dia sedang menutupnya ketika Anda memasuki
ruangan?"
"Ya."
"Apakah Anda mendapat kesan bahwa dia mengambil
sesuatu dari ruangan ini?"
"Saya tidak bisa memastlkannya, Sir."
Aku mulai jengkel menghadapi Phillips, yang terus
berusaha menghindar. "Menurut Anda, apa yang
diambilnya?"
Connor langsung memelototiku.
Si petugas keamanan tampak bingung. "Saya
benar-benar tidak tahu, Sir."
Connor berkata, "Tentu saja. Anda tidak mungkin tahu
apa isi tas kerja orang lain. Ngomong-ngomong, apakah
Anda membuat rekaman dari kamera-kamera keamanan di
sini?"
"Ya."
"Anda bisa memperlihatkan caranya pada saya?"
"Tentu." Petugas keamanan itu berdiri dan membuka pintu
di ujung ruangan. Kami mengikutinya ke sebuah ruangan
kecil yang dipenuhi tumpukan kotak, dari lantai sampai
langit-langit. Semuanya dengan huruf-huruf kanji dan
nomor-nomor Inggris. Masing-masing dilengkapi sebuah
lampu merah yang menyala, dan counter LED, dengan
angka-angka yang bergerak maju.
Phillips berkata, "Ini alat-alat perekam kami, yang
menerima sinyal dari semua kamera di gedung ini. Video
delapan milimeter, definisi tinggi." Ia meraih sebuah kaset
kecil, mirip kaset musik. "Setiap kaset ini punya masa
rekam selama delapan jam. Kami ganti kaset jam sembilan
malam, jadi itu hal pertama yang saya kerjakan waktu
mulai bertugas. Saya keluarkan yang lama, lalu
memasukkan yang baru "
"Dan apakah malam ini Anda juga mengganti kaset pukul
sembilan?"
"Ya, Sir. Seperti biasa."
"Dan apa yang Anda lakukan dengan kaset-kaset yang
Anda keluarkan dari alat perekam?"
"Saya simpan semuanya di sini," katanya, sambil
membungkuk untuk memperlihatkan beberapa laci
panjang dan tipis. "Semua rekaman disimpan selama 72
jam. Tiga hari. Kami punya sembilan set kaset,
masing-Masing dipakai tiga hari sekali. Oke?"
Connor tampak ragu-ragu. "Mungkin lebih baik kalau
saya mencatat keterangan Anda." Ia mengeluarkan bolpoin
dan buku catatan kecil. "Nah, masing-masing kaset dipakai
untuk merekam selama delapan jam, Anda mempunyai
sembilan set berbeda..."
"Betul, betul."
Connor menulis sejenak, lalu menggoyang-goyangkan
bolpoin dengan kesal. "Bolpoin brengsek. Tintanya habis.
Ada keranjang sampah di sini?"
Phillips menuniuk ke pojok ruangan. "Sebelah sana."
"Terima kasih."
Connor membuang bolpoinnya. Aku menyodorkan
bolpoinku. Ia meneruskan catatannya. "Jadi, Mr. Phillips,
Anda mempunyai sembilan set..."
"Betul. Setiap set ditandai dengan huruf, mulai dari A
sampai 1. Nah, waktu saya datang pukul sembilan, saya
keluarkan semua kaset dan memeriksa huruf mana yang
sudah dipakai, lalu saya masukkan yang berikut. Malam ini,
misalnya, saya keluarkan set C, jadi saya masukkan set D,
yang dipakai merekam sekarang." -
"Ah, begitu," ujar Connor. "Dan setelah itu Anda
menyimpan set C di salah satu laci di sebelah sana?"
“Betul." Ia membuka sebuah laci. "Yang ini."
Connor berkata, "Boleh saya lihat sebentar?" Ia melirik
deret kaset yang diberi label dengan rapi. Kemudian ia
cepat-cepat membuka laci-laci yang lain, dan mengamati
tumpukan deretan yang ada di dalam. Selain huruf-huruf
yang berbeda-beda, semua laci tampak sama.
"Saya rasa saya mengerti sekarang," ujar Connor. "Anda
melakukan rotasi dengan kesembilan set itu. "
"Persis."
"Jadi masing-masing set digunakan setiap tiga hari
sekali."
"Betul."
"Dan sudah berapa lama sistem ini digunakan oleh
keamanan di sini?"
"Gedung ini masih baru, tapi kami sudah bertugas, ehm,
sekitar dua bulan."
“Kelihatannya sistem ini terorganisasi dengan baik,"
Connor memuji. "Terima kasih atas penjelasan Anda.
Sekarang tinggal beberapa pertanyaan lagi."
"Silakan."
"Pertama-tama, counter-counter ini," ujar Connor, sambil
menunjuk counter-counter LED pada alat-alat perekam.
"Sepertinya counter-counter ini menunjukkan sudah berapa
lama sebuah alat perekam bekerja. Apakah itu benar?
Sebab sekarang hampir jam sebelas, dan Anda
memasukkan kaset jam sembilan, dan pada alat perekam
paling atas terbaca 1:55:30, dan pada yang berikut 1:55:10,
dan seterusnya."
"Ya, itu benar. Saya memasukkan semua kaset
berturut-turut. Tapi di antara masing-masing kaset ada
selang waktu selama beberapa detlk."
"Begitu. Semua counter menunjukkan hampir dua jam.
Tapi satu alat perekam di bawah sini baru menunjukkan
tiga puluh menit. Apakah itu berarti alat perekam ini
rusak?"
"Oh," ujar Phillips. Ia mengerutkan kening. "Ada
kemungkinan. Saya sudah bilang bahwa. saya mengganti
semua kaset berturut-turut. Tapi alat-alat perekam ini
memakai teknologi mutakhir. Kadangkadang ada yang
tidak beres. Atau barangkali sempat ada gangguan listrik.
Mungkin itu."
"Ya. Mungkin saia," kata Connor. "Anda dapat
memberitahu saya kamera mana yang disambungkan ke
alat perekam ini?"
"Ya, tentu saja." Phillips membaca nomor yang
tercantum, lalu kembali ke ruang utama dan mengamati
panil video. "Ini dia, kamera empat enam strip enam,"
katanya. "Monitor yang ini."
Monitor yang ditunjuknya menampilkan pandangan dari
salah satu kamera di atrium. Seluruh lantai 46 kelihatan.
"Tapi," kata Phillips, "hebatnya sistem ini, biarpun salah
satu alat perekam macet, kami masih punya
kamera-kamera lain di lantai ini, dan sepertinya semuanya
berfungsi dengan normal."
"Ya, memang," ujar Connor. "Oh, ya, apakah Anda bisa
memberitabu saya kenapa begitu banyak kamera terpasang
di lantai 46?"
"Sebenarnya ini rahasia perusahaan," jawab Phillips.
"Tapi Anda tahu sendiri bahwa mereka tergila-gila pada
efisiensi. Kabarnya mereka ingin memacu para pegawai
kantor."
"Jadi, pada dasarnya kamera-kamera itu dipasang untuk
memantau para pegawai sepanjang hari, dan membantu
mereka meningkatkan efisiensi?"
"Itulah yang saya dengar."
"Hmm, saya rasa memang begitu," kata Connor. "Oh, satu
hal lagi. Anda tahu alamat Ted Cole?"
Phillips menggelengkan kepala. "Tidak."
"Anda pernah pergi bersamanya, mengunjungi bar,
misalnya?"
"Pernah, tapi tidak sering. Orangnya agak aneh."
"Anda pernah ke apartemennya?"
"Belum. Dia sangat tertutup. Kalau, tidak salah, dia
tinggal bersama ibunya. Biasanya kami mengunjungi
sebuah bar di Palomino, di dekat bandara. Dia suka
suasananya."
Connor mengangguk.- "Pertanyaan terakhir, di mana
telepon umum terdekat?"
"Di lobi, dan di sebelah kanan, di dekat kamar kecil. Tapi
Anda bisa pakai telepon di sini saja."
Connor menyalami petugas keamanan itu dengan sikap
hangat. "Mr. Phillips, terima kasih atas kesediaan Anda
untuk berbicara dengan kami."
"Kembali."
Aku memberikan kartu namaku padanya. "Kalau Anda
nanti teringat sesuatu yang mungkin bisa membantu kami,
Mr. Phillips, jangan ragu-ragu untuk menghubungi saya."
Kemudian aku melangkah pergi

Bab 7

CONNOR berdiri di telepon umum di lobi. Teleponnya


model baru dengan dua gagang, masing-masing satu di
kiri-kanan, yang memungkinkan dua orang melakukan
percakapan secara bersamaan pada satu saluran.
Telepon-telepon semacam itu Sudah bertahun-tahun
digunakan di Tokyo, dan belakangan ini juga mulai muncul
di seluruh Los Angeles. Tentu saja Pacific Bell tidak lagi
merupakan pemasok utama untuk telepon umum di
Amerika. Pasar itu pun sudah ditembus oleh
perusahaan-perusahaan Jepang. Aku memperhatikan
Connor mencacat sebuah nomor telepon di buku
catatannya.
"Sedang apa Anda?"
"Ada dua pertanyaan terpisah yang harus kita jawab
malam ini. Pertama, bagaimana wanita muda itu sampai
terbunuh di sebuah lantai kantor. Tapi kita juga harus
melacak siapa yang menelepon polisi untuk melaporkan
pembunuhan tersebut."
"Dan Anda pikir orang itu menelepon dari telepon umum
ini?"
"Ada kemungkinan."
Ia menutup buku catatan, lalu melirik jam tangannya.
"Sudah malam. Sebaiknya kita segera mulai bergerak."
"Saya rasa kita melakukan kesalahan besar."
"Kenapa Anda berpendapat demikian?" tanya Connor.
"Saya sangsi apakah kita harus meninggalkan
kaset-kaset video tadi di ruang keamanan. Bagaimana kalau
ada yang menukar semuanya sementara kita pergi?"
"Kaset-kaset itu sudah ditukar," kata Connor.
"Dari mana Anda tahu?"
"Saya mengorbankan bolpoin saya untuk
memastikannya," ia berkata. Ia mulal berjalan ke arah
tangga yang menuju tempat parkir di bawah. Aku
mengikutinya.
"Begini," ujar Connor. "Ketika, Phillips menjelaskan
sistem rotasi sederhana tadi, saya segera menyadari bahwa
mungkin ada yang menukar kaset-kaset itu. Masalahnya,
bagaimana saya bisa membuktikannya?"
Suaranya memantul dari dinding-dinding beton di ruang
tangga. Connor terus bergegas turun. Dengan setiap
langkah ia melewati dua anak tangga. Aku berusaha agar
tidak ketinggalan.
Connor berkata, "Jika ada yang menukar kaset-kaset itu,
bagaimana mereka melakukannya? Mereka akan
terburu-buru, takut melakukan kesalahan. Mereka pasti
tidak ingin meninggalkan satu kaset yang dapat
memberatkan mereka. Jadi, kemungkinan besar mereka
mengambil satu set lengkap, dan menggantinya. Tapi
dengan apa? Mereka tak mungkin sekadar memindahkan
set berikutnya. Berhubung hanya ada sembilan set, pasti
ada yang mengetahui kalau satu set hilang. Sebab akan ada
satu laci yang kosong. Karena itu, mereka terpaksa
mengganti set yang mereka ambil dengan satu set baru.
Dua puluh kaset baru. Dan itu berarti saya perlu memeriksa
keranjang sampah."
"Untuk itulah Anda membuang bolpoin Anda?"
"Ya. Saya tidak ingin Phillips mengetahui tujuan saya
yang sebenarnya."
“Dan?"
"Keranjang sampah ternyata penuh bungkus plastik
yang sudah diremas-remas. Jenis bungkus plastik yang
digunakan sebagai pembungkus kaset video baru."
"Ah, saya mengerti."
"Setelah jelas bahwa kaset-kaset itu sudah dilukar,
tinggal satu pertanyaan yang harus dijawab, yaitu set yang
mana? Jadi saya berlagak bodoh, dan membuka semua laci.
Anda tentu melihat bahwa label-label pada set C, set yang
dikeluarkan Phillips ketika mulai bertugas, agak lebih putih
dibandingkan label-label pada set yang lain. Perbedaannya
tidak mencolok, sebab gedung ini baru digunakan selama
dua bulan, namun tetap kelihatan."
"Ah, begitu." Seseorang telah memasuki ruang
keamanan, mengeluarkan dua puluh kaset baru, membuka
bungkus plastik, menulis label-label baru, lalu memasukkan
semua kaset itu ke dalam alat-alat perekam, menggantikan
kaset-kaset semula yang sempat merekam pembunuhan di
lantai 46.
Aku berkata, "Menurut saya, Phillips menutup-nutupi
sesuatu."
"Barangkali," kata Connor, "tapi ada urusan lebih penting
yang harus kita kerjakan. Lagi pula, dia tidak memiliki
informasi yang kita perlukan. Pembunuhan itu dilaporkan
pukul delapan tiga puluh. Phillips tiba pukul sembilan
kurang seperempat, jadi dia tidak melihat langsung
kejadiannya. Kita bisa berasumsi bahwa petugas sebelum
dia, Cole, sempat menyaksikannya. Tapi pukul sembilan
kurang seperempat, Cole sudah pergi, dan seorang pria
Jepang tak dikenal berada di ruang keamanan, sedang
menutup tas kerjanya."
"Anda pikir dia yang menukar kaset-kaset itu?"
Connor mengangguk. "Mungkin sekali Saya bahkan
takkan heran kalau orang itu juga pembunuhnya.
Mudah-mudahan kita bisa mendapatkan jawabannya di
apartemen Miss Austin." Ia membuka pintu, dan kami
keluar ke tempat parkir.

Bab 8

SEJUMLAH tamu sedang menunggu sampai para valet


membawa kendaraan mereka. Aku melihat Ishiguro sedang
berbincang-bincang dengan Wali Kota Thomas dan istrinya.
Connor menggiringku ke arah mereka. Ishiguro berdiri di
samping Wall Kota. Ia bersikap sangat ramah, bahkan
nyaris menjilat. Ketika melihat kami, ia tersenyum lebar.
“Ah, Tuan-tuan, apakah penyidikan Anda berjalan dengan
memuaskan? Barangkali ada lagi yang dapat saya bantu?"
Aku belum marah sebelum itu, sampai aku melihat
bagaimana ia bermanis-manis di depan Wali Kota. Aku
begitu gusar, sehingga wajahku mulal merah padam. Tetapi
Connor menghadapinya dengan tenang.
"Terima kasih, Ishiguro-san," ia berkata sambil
membungkuk sedikit. "Penyidikan kami berjalan dengan
lancar. "
"Anda mendapatkan semua bantuan yang Anda
perlukan?" tanya Ishiguro.
"Oh, ya," jawab Connor. "Semua orang sangat
membantu."
"Bagus, bagus. Saya senang mendengar itu."
Ishiguro melirik ke arah Wali Kota, lalu tersenyum.
Tampaknya ia penuh senyum.
"Tapi," kata Connor, "ada satu hal."
"Katakan saja jika ada yang dapat kami lakukan..."
"Kaset-kaset keamanan rupanya telah diambil."
"Kaset-kaset keamanan?" Ishiguro mengerutkan kening.
Kelihatan jelas bahwa ia terkejut.
"Ya," kata Connor. "Rekaman dari kamera-kamera
keamanan."
Saya tidak tahu apa-apa mengenai itu," ujar Ishiguro.
"Tapi percayalah, jika kaset-kaset itu memang ada, Anda
bebas memeriksa semuanya."
"Terima kasih," kata Connor. "Hanya saja, kaset-kaset
yang menentukan telah diambil dari ruang keamanan
Nakamoto."
"Diambil? Gentlemen, saya yakin telah terjadi
kekeliruan."
Pak Wali Kota memperhatikan percakapan mereka
dengan saksama.
Connor berkata, "Barangkali, tapi saya rasa tidak. Saya
akan senang sekali, Mr. Ishiguro, jika Anda secara langsung
menangani masalah ini."
"Tentu saja," balas Ishiguro. "Tapi sekali lagi, saya tidak
bisa membayangkan, Kapten Connor, bahwa ada kaset yang
hilang."
"Terima kasih atas bantuan Anda, Mr. Ishiguro," ujar
Connor.
"Kembali," katanya, masih sambil tersenyum. "Pokoknya,
saya akan membantu Anda sebisa mungkin."

"Haram jadah!" aku mengumpat. Kami sedang melaju ke


arah barat di Santa Monica freeway. Berani-beraninya dia
bohong di depan kita."
"Memang menjengkelkan," Connor mengakui. "Tapi
Anda harus mengerti, Ishiguro memiliki pandangan yang
berbeda. Karena berada di samping Wali Kota, dia melihat
dirinya dalam konteks yang lain, dengan seperangkat
tuntutan dan kewajiban lain yang harus dipenuhinya.
Karena dia peka terhadap konteks, dia sanggup bersikap
lain, tanpa mengingat-ingat sikapnya sebelum itu. Bagi kita,
dia seperti orang lain. Tetapi Ishiguro merasa bahwa dia
sekadar bersikap sepantasnya."
"Yang membuat saya kesal adalah bahwa dia kelihatan
begitu percaya diri."
"Tentu saja," kata Connor. "Dan dia pasti akan heran jika
mendengar bahwa Anda marah terhadapnya. Anda
menganggapnya tak bermoral. Dia menganggap Anda naif.
Sebab bagi orang Jepang, slkap yang konsisten adalah
sesuatu yang mustahil. Orang Jepang bersikap lain-lain di
hadapan orang dengan kedudukan yang berbeda. Dia
menjadi orang yang berbeda jika dia pindah dari satu
ruangan ke ruangan lain di rumahnya sendiri."
"Yeah," kataku. "Itu boleh-boleh saja, tapi dia tetap
pembohong keparat."
Connor menatapku. "Mungkinkah Anda berkata begitu di
depan ibu Anda?"
"Tentu saja tidak."
"Jadi Anda pun berubah, sesuai dengan konteks," ujar
Connor. "Nyatanya kita semua begitu. Hanya saja orang
Amerika percaya bahwa ada inti kepribadian yang tidak
berubah dari waktu ke waktu. Dan orang Jepang percaya
bahwa kontekslah yang mengatur segala-galanya."
"Bagi saya," kataku, "itu kedengarannya seperti izin
untuk berbohong."
"Dia tidak menganggapnya sebagai bohong."
"Tapi itulah yang dilakukannya."
Connor mengangkat bahu. "Hanya dari sudut pandang
Anda, Kohai. Dari sudut pandang dia, tidak."
"Persetan."
"Oke, terserah Anda saja. Anda bisa berusaha memahami
orang Jepang dan menghadapi mereka apa adanya, atau
Anda bisa menggerutu panjanglebar. Tapi masalah kita di
negeri ini adalah bahwa kita tidak menghadapi orang
Jepang apa adanya.”
Mobil kami masuk ke lubang dalam, dan terguncang
begitu keras, sehingga gagang telepon mobil terlempar.
Connor memungutnya dari lantai dan menggantungkannya
di tempat semula.
Di depan, aku melihat pintu keluar ke Bundy. Aku pindah
ke jalur kanan. "Ada satu hal yang belum jelas bagi saya,"
kataku. "Kenapa Anda menyangka bahwa orang dengan tas
kerja di ruang keamanan mungkin si pembunuh?"
"Karena urut-urutan waktunya. Begini, pembunuhan itu
dilaporkan pukul 20.32. Kurang dari lima belas menit
kemudian, yaitu pukul 20.45 seorang pria Jepang berada di
sana, menukar-nukar kaset, mencoba menutup-nutupi
kejadian tersebut. Itu tanggapan yang sangat cepat. Terlalu
cepat bagi perusahaan Jepang."
“Kenapa?"
“Organisasi-organisasi Jepang sebenarnya sangat lambat
dalam menanggapi sebuah krisis. Proses pengambilan
keputusan mereka mengandalkan preseden, dan jika suatu
situasi tidak memiliki preseden, orang-orang menjadi
bimbang dan tidak tahu harus bersikap bagaimana. Anda
masih ingat kiriman fax yang bertubi-tubi? Saya yakin,
mereka pasti sibuk mengirim fax mondar-mandir ke kantor
Pusat Nakamoto di Tokyo sepanjang malam. Bisa
dipastikan bahwa perusahaan itu masih berusaha
menentukan langkah berikut. Sebuah organisasi Jepang
tidak sanggup bertindak cepat jika menghadapi situasi yang
baru."
"Lain halnya jika seseorang bertindak sendiri?"
"Ya. Persis."
Aku berkata, "Dan karena itu, Anda menduga bahwa
orang dengan tas kerja mungkin si pembunuh."
Connor mengangguk. "Ya. Si pembunuh, atau seseorang
yang berhubungan erat dengannya. Tapi saya rasa kita akan
mengetahui lebih banyak di apartemen Miss Austin. Kalau
tidak salah, apar temennya sudah kelihatan di depan, di
sebelah kanan jalan."
Bab 9

GEDUNG Imperial Arms merupakan gedung apartemen


di sebuah jalan yang diapit pepohonan, kira-kira satu
kilometer dari Westwood Village. Gedung yang meniru gaya
Tudor itu sudah perlu dicat ulang, dan penampilannya
secara keseluruhan tidak terlalu mengesankan, kalau tidak
mau dibilang tak terurus. Tetapi itu tidak aneh bagi gedung
apartemen kelas menengah yang dihuni oleh
mahasiswa-mahasiswa pascasarjana dan keluarga-keluarga
muda. Ciri utama Imperial Arms memang kenyataan bahwa
gedung itu tidak mencolok. Kita bisa lewat setiap hari di
depannya, tanpa sekali pun memperhatikannya.
"Yeah," kata Connor ketika ia menaiki tangga menuju
pintu masuk. "Persis seperti yang mereka sukai."
"Siapa menyukai apa?"
Kami masuk ke lobi, yang telah direnovasi dengan gaya
California yang serba tenang; kertas dinding berwarna
pastel dengan motif bunga, sofa-sofa empuk, lampu-lampu
keramik murahan, dan meja krom. Satu-satunya hal yang
membedakan lobi ini dari seratus lobi apartemen lain
adalah meja keamanan di pojok, tempat penjaga pintu
berbadan pendek gemuk mengalihkan pandangan dari
buku komik yang sedang dibacanya. Ia orang Jepang.
Sikapnya sangat tidak bersahabat. "Bisa saya bantu?"
Connor menunjukkan lencananya, lalu menanyakan
apartemen Cheryl Austin.
"Saya beritahukan kedatangan Anda dulu," si penjaga
pintu berkata sambil meraih gagang telepon.
"Jangan repot-repot."
"Tidak. Saya beritahukan dulu. Barangkali ada tamu
sekarang. "
"Saya jamin dia tidak sedang menerima tamu," ujar
Connor. “Kore wa keisatsu no shigoto da." Ia berkata bahwa
kami sedang menjalankan tugas resmi dari kepolisian.
Si penjaga pintu membungkuk, dengan kaku. "Kyugo
shitu." Ia menyerahkan sebuah anak kunci kepada Connor.
Kami melewati pintu kaca kedua, dan menyusuri selasar
berkarpet. Di masing-masing ujung selasar terdapat sebuah
meja kecil dan dengan segala kesederhanaannya,
interiornya berkesan anggun.
"Ciri khas orang Jepang," ujar Connor sambil tersenyum.
Aku berkata dalam hati, "Gedung apartemen bergaya
Tudor, tak terurus, di Westford? Ciri khas orang Jepang?"
Dari salah satu ruang di sebelah kanan, sayup-sayup
terdengar musik rap, hit terbaru dari Hammer.
"Bagian luarnya tidak memberi petunjuk mengenai
bagian dalamnya," Connor menjelaskan. "Salah satu prinsip
dasar dalam cara berpikir orang Jepang. Citra yang
ditampilkan kepada umum tidak mengungkapkan apa-apa -
dalam arsitektur, wajah orang, semuanya. Dari dulu sudah
begitu. Lihat saja rumah-rumah samurai zaman dulu di
Takayama atau Kyoto. Dari luar tidak kelihatan apa-apa."
"Ini gedung Jepang?"
"Tentu saja. Kalau bukan, kenapa orang Jepang yang
hampir tidak bisa menguasai bahasa Inggris dijadikan
penjaga pintu? Dan dia anggota yakuza. Mungkin Anda
sempat melihat tatonya tadi."
Aku tidak melihatnya. Yakuza adalah kelompok gangster
di Jepang. Aku baru tahu bahwa mereka sudah melebarkan
sayap ke Amerika, dan aku mengatakannya kepada Connor.
"Anda perlu menyadari," ujar Connor, "bahwa ada dunia
bayangan di L.A. sini, di Honolulu, di New York. Biasanya
dunia itu tidak terlihat oleh kita. Kita hidup di dunia
Amerika, mondar-mandir di jalan-jalan Amerika, dan kita
tak pernah sadar bahwa di samping dunia kita masih ada
dunia lain. Sangat rahasia, sangat tertutup. Di New York,
Anda mungkin melihat pengusaha Jepang masuk melalui
sebuah pintu tanpa tanda-tanda khusus, dan sepintas lalu
Anda sempat melihat kelab yang berada di balik pintu itu.
Barangkali Anda mendengar cerita mengenai sushi bar kecil
di Los Angeles, yang mengenakan charge sebesar 1.200
dolar per orang, sebanding dengan harga-harga di Tokyo.
Tapi kedua-duanya tidak tercantum dalam buku panduan.
Kedua-duanya bukan bagian dari dunia Amerika yang kita
kenal. Tempat-tempat seperti itu merupakan bagian dari
dunia bayangan, sebuah dunia yang hanya bisa dimasuki
oleh orang-orang Jepang."
"Dan tempat ini?"
"Ini sebuah benaku. Sebuah pondok cinta untuk para
wanita simpanan. Dan ini apartemen Miss Austin."
Connor membuka pintu dengan anak kunci yang
diberikan penjaga tadi. Kami melangkah masuk.

Apartemen itu memiliki dua kamar tidur, berisi perabot


sewaan gaya Oriental yang mahal, dengan warna pastel
pink dan hijau. Lukisan-lukisan cat minyak yang tergantung
di dinding juga disewa; sebuah tabel di sisi salah satu
bingkai menunjukkan tempat asalnya, Breuner's Rents.
Meja dapur kosong, hanya ada semangkuk buah-buahan.
Lemari es hanya berisi yogurt dan beberapa kaleng Diet
Coke. Sofa-sofa di ruang duduk tampaknya belum pernah
diduduki. Di meja terdapat buku bergambar dengan potret
bintang-bintang Hollywood, serta vas berisi bunga kering.
Asbak-asbak kosong ada di mana-mana.
Satu dari kedua kamar tidur telah diubah menjadi ruang
kerja, dengan sofa dan pesawat TV, dan sebuah exercise
bike di pojok. Semuanya masih baru. Di pesawat TV masih
menempel stiker bertulisan DIGITAL TUNING FEATURE,
melintang di salah satu sudut. Sedang pada exercise bike
masih dibungkus plastik.
Di kamar tidur utama, aku akhirnya menemukan tanda
mengenai kehadiran orang. Sebuah pintu lemari bercermin
terbuka lebar, dan tiga gaun pesta mahal tergeletak di
tempat tidur. Rupanya Miss Austin sempat memilih-milih
gaun mana yang akan dipakainya. Di meja rias terdapat
beberapa botol parfum, kalung berlian, jam Rolex emas,
foto-foto berbingkai, dan asbak dengan beberapa puntung
rokok Mild Seven Menthol. Laci paling atas di meja rias,
yang berisi celana dalam dan pakaian dalam lainnya,
terbuka sebagian. Aku melihat paspor Miss Austin, dan
segera memeriksanya. Ada satu visa untuk Arab Saudi, satu
untuk Indonesia, dan tiga cap kunjungan ke Jepang.
Stereo set di pojok ruangan masih menyala, dengan
kaset di dalamnya. Aku menghidupkannya, dan Jerry Lee
Lewis menyanyi, "You shake my nerves and you ra”le my
brain, too much love Irives a man insane..." Musik Texas,
terlalu kuno bagi wanita muda seperti ini. Tapi mungkin dia
menyukai lagu-lagu kenangan.
Aku kembali menghadap ke meja rias. Beberapa foto
berbingkai memperlihatkan Cheryl Austin di hadapan latar
belakang Asia - pintu gerbang berwarna merah di sebuah
kuil, taman bergaya formal, jalan dengan gedung pencakar
langit berwarna kelabu, stasiun kereta api. Sepertinya
semua foto itu diambil di Jepang. Sebagian besar mem-
perlihatkan Cheryl seorang diri, tetapi dalam beberapa foto
ia tampak bersama pria Jepang setengah baya, dengan
kacamata dan rambut yang mulai menipis. Foto terakhir
memperlihatkan ia di suatu tempat yang mestinya terletak
di wilayah barat Amerika. Cheryl berdiri di dekat mobil
pickup berdebu, tersenyum, di samping wanita tua dengan
kacamata hitam. Wanita itu tidak tersenyum dan bahkan
tampak rikuh.
Terselip di bawah meja rias terdapat beberapa gulungan
kertas berukuran besar. Aku membuka salah satu. Rupanya
sebuah poster, dengan Cheryl berbikini, tersenyum sambil
mengacungkan botol bir Asahi. Semua tulisan di poster itu
berbahasa Jepang.
Aku masuk ke kamar mandi.
Aku melihat celana jeans tergeletak di sudut. Di atas
meja rias ada sweater berwarna putih. Sebuah handuk
basah tergantung di samping tempat shower. Butir-butir air
menempel pada dinding tempat shower. Alat pengeriting
rambut listrik masih tercolok di stopkontak. Terselip di
bingkai cermin, foto-foto Cheryl sedang berdiri bersama
pria Jepang lain di dermaga Malibu. Laki-laki ini berusia
tiga puluhan dan tampan. Di salah satu foto, ia merangkul
bahu Cheryl dengan akrab. Bekas luka di tangannya
kelihatan jelas.
"Bingo," kataku.
Connor melangkah masuk. "Anda menemukan sesuatu?"
Toto seorang laki-laki dengan bekas luka di tangan."
"Bagus." Connor mengamati foto itu dengan saksama.
Aku menatap barang-barang yang tergeletak di kamar
mandi dan barang-barang di tempat cuci tangan. "Rasanya
ada yang tidak beres di sini," kataku.
"Apa itu?"
"Saya tahu dia belum lama tinggal di sini. Dan saya juga
tahu semuanya disewa... tapi, entahlah... saya mendapat
kesan bahwa segala sesuatu sengaja diatur seperti ini. Saya
tidak bisa memastikan kenapa.”
Connor tersenyum. "Bagus sekali, Letnan. Tempat ini
memang sengaja diatur. Dan saya sudah tahu kenapa."
Ia menyerahkan sebuah foto Polaroid padaku. Foto itu
memperlihatkan kamar mandi tempat kami berdiri. Celana
jeans yang tergeletak di pojok. Handuk yang tergantung di
dinding. Alat pengeriting. Tetapi fotonya diambii dengan
kamera berlensa ultrawide yang menimbulkan distorsi
hebat, jenis kamera yang kadang-kadang digunakan oleh
tim SID untuk memotret barang bukti.
"Di mana Anda menemukan foto ini?"
"Di keranjang sampah di selasar, di dekat lift."
"Berarti fotonya diambil malam ini."
"Ya. Anda melihat sesuatu yang berbeda?"
Aku memeriksa foto itu dengan teliti. "Tidak,
kelihatannya sama saja... tunggu dulu. Foto-foto yang
terselip di bingkai cermin. Foto-foto itu tidak ada di foto
Polaroid ini. Foto-foto itu dipasang kemudian."
"Tepat sekali." Connor kembali memasuki kamar mandi.
Ia mengambil salah satu foto berbingkai di meja rias.
"Sekarang perhatikan yang ini," katanya. "Miss Austin dan
seorang teman Jepang di Stasiun Shinjuku di Tokyo.
Barangkali dia tertarik ke daerah Kabukicho - atau mungkin
juga dia sekadar berbelanja. Perhatikan tepi kanan foto ini.
Anda lihat garis tipis yang lebih terang itu?"
"Ya." Aku mengerti apa arti garis itu. Sebelumnya ada
foto lain di depan foto ini. Tepi foto ini menyembul keluar
dan menjadi pucat karena sinar matahari. Foto di depannya
telah diambil."
"Ya," ujar Connor.
"Apartemen ini telah digeledah."
"Ya," kata Connor "Dan mereka bekerja dengan hati-hati
sekali. Mereka masuk, membuat foto-foto Polaroid,
menggeledah semua ruangan, lalu mengembalikan
barang-barang ke tempat semula. Tapi mereka tak mungkin
mengembalikan apartemen ini ke keadaan yang persis
sama. Menurut orang Jepang, kesederhanaan merupakan
seni yang paling sukar. Dan orang-orang ini tak bisa
berbuat lain, mereka terobsesi. Jadi mereka meletakkan
foto-foto sedikit terlalu teratur, begitu juga dengan
botol-botol parfum. Semuanya agak dipaksakan. Mata kita
melihatnya, biarpun tanpa disadari oleh otak kita."
Aku berkata, "Tapi untuk apa tempat ini digeledah? Foto
mana yang mereka bawa? Wanita itu bersama
pembunuhnya?"
"Itu belum jelas," ujar Connor. "Kelihatannya, hubungan
Miss Austin dengan Jepang, dan dengan pria-pria Jepang,
tidak bisa dibilang buruk. Tapi ada sesuatu yang harus
segera mereka ambil, dan itu pasti ......
Kemudian, dari ruang tamu, terdengar sebuah suara
yang memanggil dengan hati-hati, "Lynn? Sayang? Kau di
sana?"
Bab 10

IA berdiri di ambang pintu, memandang ke dalam


apartemen. Bertelanjang kaki, dengan celana pendek dan
singlet. Wajahnya tidak kelihatan jelas, tetapi ia termasuk
yang oleh bekas partnerku, Anderson, disebut penari ular.
Connor memperlihatkan lencananya. Wanita muda itu
mengaku bemama Julia Young. Lafalnya berlogat Selatan,
dan kata-katanya agak ditelan. Connor menyalakan lampu,
dan kami bisa melihatnya dengan lebih jelas. Ia sangat
cantik. Ia tampak ragu-ragu ketika melangkah masuk.
"Saya mendengar musik - dia ada di sini? Cherylynn
tidak apa-apa? Dia pergi ke pesta itu, bukan?"
"Saya tidak tahu apa-apa mengenai itu," ujar Connor,
sambil melirik sekilas ke arahku. "Anda mengenal
Cherylynn?"
"Oh, tentu saja. Saya tinggal di seberang, di nomor
delapan. Kenapa semua orang datang ke tempat dia?"
"Semua orang?"
"Ya, Anda berdua. Dan kedua laki-laki Jepang tadi?”
"Kapan mereka ke sini?"
"Saya tidak tahu persis. Mungkin setengah jam yang lalu.
Ada masalah dengan Cherylynn?"
Aku berkata, "Apakah Anda sempat melihat orang-orang
itu, Miss Young?" Siapa tahu ia mengintip melalui lubang
intip di pintu apartemennya.
"Bisa dibilang begitu. Saya sempat mengobrol dengan
mereka.
“O, ya?"
"Saya kenal cukup baik dengan salah satu dari mereka.
Eddie."
"Eddie?"
"Eddie Sakamura. Kami semua kenal Eddie. Fast Eddie."
Aku berkata, "Anda dapat menyebutkan ciri-cirinya?"
Ia menatapku dengan heran. "Dia ada dalam foto-foto
Cherylynn - laki-laki muda dengan bekas luka di tangannya.
Saya pikir semua orang kenal Eddie Sakamura. Dia selalu
muncul di koran-koran. Acara pengumpulan dana, dan
sebagainya. Dia tukang pesta."
Aku berkata, "Anda tahu di mana kami dapat
menemukan dia?"
Connor berkata, "Eddie Sakamura merupakan salah satu
pemilik sebuah restoran Polynesia bernama Bora-Bora di
Beverly Hills. Dia selalu ada di sana."
"Itu dia," kata Julia. "Tempat itu seperti kantornya. Saya
sendiri tidak betah di sana, terlalu bising. Tapi Eddie selalu
berlari mondar-mandir, mengejar-ngejar cewek-cewek
pirang yang jangkung. Dia paling suka cewek yang lebih
tinggi dari dia."
Ia bersandaran pada meja dan menyibakkan rambutnya
yang coklat dengan sikap menggoda. Ia menatapku sambil
merengut sedikit. "Anda berdua partner?"
"Ya," kataku.
"Dia sudah menunjukkan lencananya. Tapi Anda belum
menunjukkan lencana Anda."
Aku mengeluarkan dompet. Ia mengamati lencanaku.
"Peter," ia membaca. "Pacarku yang pertama bernama
Peter. Tapi dia tidak setampan Anda." Ia menatapku sambil
tersenyum.
Connor berdehem dan berkata, "Anda sudah pernah
masuk ke apartemen Cherylynn?"
"Sudah. Saya kan tinggal di seberang gang. Tapi
belakangan ini dia jarang di rumah. Sepertinya dia
bepergian terus."
"Bepergian ke mana?"
"Ke mana saja. New York, Washington, Sea”le, Chicago...
ke mana saja. Dia punya pacar yang sering bepergian. Dia
yang menemuinya. Tapi saya rasa dia hanya menemuinya
kalau istrinya sedang pergi."
"Pacarnya ini sudah menikah?"
"Pokoknya, ada sesuatu yang menghalangi."
"Anda tahu siapa orangnya?"
"Tidak. Cheryl pernah bilang bahwa pacarnya tak
mungkin datang ke apartemennya. Dia orang penting. Kaya
raya. Mereka kirim jet untuk menjemputnya, dan Cheryl
langsung berangkat Siapa pun orangnya, dia membuat
Eddie marah. Tapi Eddie memang cepat cemburu. Dia mau
jadi iro otoko bagi semua cewek. Kekasih yang seksi."
Connor berkata, "Apakah hubungan Cheryl merupakan
rahasia? Dengan pacarnya itu?"
"Saya tidak tahu. Saya tidak pernah berpikir begitu.
Hubungan mereka hebat sekali. Cheryl tergila-gila pada
laki-laki itu."
"Dia tergila-gila?"
"Pokoknya, Anda takkan percaya kalau belum lihat
sendiri. Dia bisa meninggalkan segala sesuatu yang sedang
dikerjakannya untuk menemui orang itu. Suatu malam, dia
datang ke apartemen saya dan memberikan dua tiket untuk
konser Springsteen kepada saya. Tapi dia malah berseri-
seri, sebab dia hendak pergi ke Detroit. Dia sudah bawa
koper kecilnya. Dan dia pakai gaun anak manis. Sebab
sepuluh menit sebelumnya pacarnya telepon dan berpesan,
'Temui aku.' Wajahnya ceriah, tampangnya jadi seperti
anak umur lima tahun. Saya tidak habis pikir kenapa dia
tidak menyadarinya."
"Menyadari apa?"
"Bahwa orang itu hanya memanfaatkannya."
"Kenapa Anda berpendapat demikian?"
"Cheryl sangat cantik. Dia sudah mengunjungi seluruh
dunia sebagai model, terutama Asia. Tapi di lubuk hatinya,
dia tetap anak kota kecil. Makmid saya, Midland memang
kota minyak, di sana memang banyak uang, tapi tetap saja
kota kecil. Dan Cheryl mendambakan cincin kawin di jari
manis, anak-anak, dan anjing yang berlari-lari di
pekarangan. Dan orang itu takkan mau membelikan
semuanya itu. Tapi Cheryl belum sadar juga."
Aku berkata, "Tapi Anda tidak tahu siapa orangnya?"
"Tidak, saya tidak tahu." Ia tersenyum simpul.
Ia menggeser tubuhnya, menurunkan sebelah bahu,
sehingga payudaranya menonjol ke depan. "Anda tidak
datang untuk membicarakan pacar Cheryl, bukan?"
Connor menggeleng. "Bukan."
Julia tersenyum penuh pengertian. "Pasti karena Eddie."
"Hmm," Connor bergumam.
"Hah, sudah saya duga," kata Julia. "Dari dulu saya sudah
tahu, cepat atau lambat dia pasti dapat kesulitan. Kami
semua sudah pernah membahasnya, semua cewek yang
tinggal di sini." Ia memberi isyarat tak jelas. "Soalnya
gerak-geriknya terlalu gesit. Fast Eddie. Anda takkan
menduga bahwa dia orang Jepang. Penampilannya terlalu
mencolok."
Connor berkata, "Dia dari Osaka?"
"Ayahnya pengusaha besar di sana, di Daimatsu. Orang
tua yang ramah. Kalau dia berkunjung ke sini,
kadang-kadang dia menemui salah satu cewek di lantai
atas. Dan Eddie. Semula, Eddie hanya datang untuk belajar
selama beberapa tahun, lalu kembali dan bekerja untuk
kaisha, perusahaan ayahnya. Tapi dia tidak mau pulang. Dia
senang tinggal di sini. Kenapa tidak? Dia punya apa saja
yang diinginkannya. Dia beli Ferrari baru, setiap kali yang
lama hancur karena tabrakan. Uangnya lebih banyak dari
raja. Dia sudah begitu lama di sini, dia sudah seperti orang
Amerika. Tampan. Seksi. Dan obat bius. Pokoknya, tukang
pesta sejati. Apa yang bisa dia harapkan di Osaka?"
Aku berkata, "Tapi tadi Anda mengatakan bahwa dari
dulu Anda sudah tahu..."
"Bahwa dia bakal dapat kesulitan? Tentu. Karena sisi
buruk dari wataknya. Sisi gelapnya." Ia mengangkat bahu.
"Banyak dari mereka punya sifat serupa. Mereka datang
dari Tokyo, dan biarpun mereka bawa sodkai, surat
pengantar, kita tetap harus waspada. Bagi mereka, 20.000
atau 30.000 semalam tidak ada artinya. Sekadar tip saja.
Ditaruh di meja rias. Tapi, apa yang mereka minta, paling
tidak, sebagian dari mereka..."
Ia terdiam. Pikirannya menerawang. Aku diam saja,
menunggu. Connor menatapnya sambil meng-
angguk-angguk penuh pengertian.
Tiba-tiba saja Julia angkat bicara lagi, seakan-akan tidak
sadar bahwa ia sempat terdiam. "Dan bagi mereka,"
katanya, "segala keinginan mereka, hasrat mereka, itu
wajar-wajar saja. Seperti memberi tip tadi. Saya tidak
keberatan diborgol atau semacamnya, tapi kalau sampai
disayat-nanti duIu. Dipukul di pantat pun masih saya
terima, kalau saya suka orangnya. Tapi saya tidak mau
disayat. Saya tak peduli berapa banyak yang mereka bayar.
Pokoknya, tidak ada yang main pisau atau pedang, tapi
mereka... Banyak dari mereka begitu sopan, begitu baik,
tapi kalau sudah terangsang, mereka jadi jadi aneh. Ia
kembali terdiam, menggelengkan kepala. "Mereka memang
aneh."
Connor melirik jam tangannya. "Miss Young, keterangan
Anda sangat membantu. Mungkin kami perlu menghubungi
Anda lagi. Letnan Smith akan mencatat nomor telepon
Anda."
"Ya, tentu."
Aku membuka buku catatanku.
Connor berkata, "Saya mau bicara sebentar dengan
penjaga pintu tadi."
"Shinichi," ujar Julia.
Connor pergi. Aku mencatat nomor telepon Julia. Ia
menjilat-jilat bibir sambil memperhatikanku menulis.
Kemudian ia berkata, "Anda bisa terus terang kepada saya.
Apakah dia membunuhnya?"
"Siapa?"
"Eddie. Dia membunuh Cheryl?"
Julia memang cantik, tetapi a ku melihat gairah terpancar
dari matanya. Ia menatapku dengan mantap. Suasananya
menyeramkan. Aku berkata, "Kenapa Anda berpikir
begitu?"
"Eddie selalu mengancam untuk membunuhnya. Seperti
tadi sore, dia mengancamnya."
Aku berkata, "Eddle datang ke sini tadi sore?"
"Yeah." Ia mengangkat bahu. "Dia selalu datang ke sini.
Tadi sore dia datang menemui Cheryl, dan sepertinya dia
sedang kesal. Semua dinding di gedung ini dibuat kedap
suara ketika orang-orang Jepang membelinya, tapi suara
mereka tetap terdengar, saling membentak. Eddie dan
Cheryl. Cheryl menyetel kaset Jerry Lee Lewis, kaset yang
diputarnya siang dan malam, dan mereka berteriak-teriak
dan melempar-lempar barang. Eddie selalu hilang,
'Kubunuh kau, kubunuh kau, dasar pelacur.' Jadi, memang
dia?"
"Saya tidak tahu."
"Tapi Cheryl sudah mati?"
"Ya."
"Memang tak terelakkan," ujar Julia. Ia tampak lenang
sekali. "Kami semua sudah tahu. Hanya masalah waktu saja.
Kalau mau, Anda bisa menelepon saya. Kalau Anda perlu
informasi tambahan."
"Baiklah." Aku menyerahkan kartu namaku. Dan jika
Anda teringat sesuatu, Anda bisa menghubungi saya di
nomor ini."
Sambil menggeliat, ia menyelipkan kartu namaku ke
kantong celana. "Saya suka bicara dengan Anda, Peter."
"Ya. Oke."
Aku berjalan menyusuri selasar. Ketika sampai di ujung,
aku menoleh. Julia berdiri di ambang pintu apartemennya.
Ia melambaikan tangan.

Bab 11

CONNOR menggunakan telepon di lobi, sementara si


penjaga pintu menatapnya dengan cemberut, seakan-akan
hendak melarang, tetapi tidak menemukan alasan yang
tepat.
“Betul," Connor sedang berkata. "Semua telepon dari
pesawat itu antara pukul delapan dan pukul sepuluh
malam. Betul." Ia terdiam sejenak, mendengarkan lawan
bicaranya. "Saya tidak mau tahu bahwa data Anda tidak
tertata dengan baik, pokoknya dapatkan informasi itu
untuk saya. Kapan saya bisa memperolehnya? Besok? Saya
perlu dalam dua jam. Nanti saya telepon lagi. Ya." Ia
meletakkan gagang. "Ayo, Kohai."
Kami keluar, ke mobil.
Aku berkata, "Cari info ke koneksi-koneksi Anda?"
"Koneksi?" Ia tampak bingung. "Oh. Graham bercerita
mengenai 'koneksi' saya. Saya tidak punya informan
khusus. Dia saja yang berpikir begitu.”
"Dia menyinggung kasus Arakawa."
Connor mendesah. "Lagi-lagi cerita basi itu."
Kami berjalan ke mobil. "Anda ingin mendengar cerita
itu? Sebenarnya sederhana saja. Dua warga negara Jepang
mati terbunuh. Plhak Departemen menugaskan
detektif-detektif yang tidak menguasai bahasa Jepang.
Akhirnya, setelah satu minggu, kasus itu mereka serahkan
pada saya."
"Dan apa yang Anda lakukan?"
"Suami-istri Arakawa menginap di New Otani Hotel. Saya
mendapatkan catatan mengenai nomor-nomor telepon di
Jepang yang mereka hubungi. Saya telepon ke sana, dan
berbicara dengan beberapa orang. Kemudian saya
menelepon ke Osaka dan berbicara dengan pihak
kepolisian setempat. Sekali lagi dalam bahasa Jepang.
Mereka heran ketika mendengar bahwa kisah pasangan
suami istri itu tidak kami ketahui secara lengkap."
"Oh, begitu."
"Ceritanya belum selesai," ujar Connor. "Departemen
kepolisian di sini sudah sempat dipermainkan. Pihak pers
tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengkritik
Departemen. Orang-orang dari segala kalangan mengirim
karangan bunga. Semuanya telah memperlihatkan simpati
bagi pasangan muda itu, yang kemudian diketahui sebagai
gangster. Banyak orang merasa malu. Akhirnya kesalahan
ditimpakan kepada saya. Saya dituduh berbuat curang
dalam memecahkan kasus itu. Terus terang, waktu itu saya
dongkol sekali."
"Karena itu Anda pergi ke Jepang?"
"Bukan. Itu cerita lain lagi."
Kami sampai di mobil. Aku menoleh ke gedung Imperial
Arms dan melihat Julia Young berdiri di jendela,
memandang ke arah kami. "Dia menggairahkan."
"Orang Jepang menyebut wanita seperti itu shirigaru
onna. Mereka bilang dia memiliki pantat yang ringan." Ia
membuka pintu mobil, dan masuk. "Tapi dia menggunakan
obat bius. Kita tidak bisa mempercayai apa pun yang
diceritakannya. Meski demikian, saya mulai melihat pola
yang tidak saya sukai." Ia melirik jam tangannya dan
menggelengkan kepala. "Brengsek. Kita terlalu banyak
menghabiskan waktu. Sebaiknya kita ke Palomino, untuk
menemui Mr. Cole."
Aku mulai menyetir ke selatan, ke arah bandara. Connor
menyandarkan badan dan melipat tangan di depan dada.
Pandangannya tertuju ke kakinya. Ia tampak gundah.
"Kenapa Anda mengatakan bahwa Anda melihat pola
yang tidak Anda sukai?"
Connor berkata, "Bungkus-bungkus plastik di keranjang
sampah. Foto Polaroid tadi. Barang-barang itu seharusnya
tidak ditinggalkan."
"Anda sendiri bilang mereka terburu-buru."
"Mungkin. Tapi perlu Anda ketahui bahwa orang Jepang
menganggap polisi Amerika tidak kompeten.
Kesembronoan ini salah satu buktinya."
"Hah, siapa bilang kita tidak kompeten?"
Connor menggelengkan kepala. "Dibandingkan dengan
orang Jepang, kita memang tidak kompeten. Di Jepang,
setiap penjahat tertangkap. Untuk kejahatan kelas kakap,
99 persen dari para pelaku dijatuhi hukuman. Jadi, setiap
penjahat di Jepang sejak awal sudah tahu bahwa dia akan
tertangkap. Tapi di sini, hanya tujuh belas persen pelaku
kejahatan dijatuhi hukuman. Tidak sampai satu dari lima
orang. Jadi, penjahat di Amerika tahu bahwa dia
kemungkinan besar takkan tertangkap - dan kalaupun
tertangkap, takkan dijatuhi hukuman, berkat segala
pengamanan legal yang dimilikinya. Dan Anda tahu, semua
penelitian mengenai efektivitas polisi menunjukkan bahwa
detektif Amerika bisa memecahkan sebuah kasus dalam
enam jam pertama, atau tidak sama sekali."
"Jadi, apa yang hendak Anda katakan?"
"Maksud saya, pembunuhan ini dilakukan dengan
perhitungan bahwa kasusnya takkan terpecahkan. Dan saya
ingin memecahkannya, Kohai."

Connor membisu selama sepuluh menit berikut. Ia


duduk tanpa bergerak, dengan tangan terlipat dan dagu
menempel di dada. Napasnya tenang dan teratur. Ia
seakan-akan sedang tidur, hanya saja matanya terbuka.
Aku terus menjalankan mobil, dan mendengarkan suara
napasnya.
Akhirnya ia berkata, "Ishiguro.”
"Ada apa dengan dia?"
"Seandainya kita tahu apa yang menyebabkan Ishiguro
bersikap seperti tadi, kita akan memahami kasus ini."
"Saya tidak mengerti."
"Bagi orang Amerika memang sukar untuk
membayangkan dia secara utuh," ujar Connor. "Sebab di
Amerika, sampai taraf tertentu, kesalahan-kesalahan
dianggap wajar. Pesawat yang terlambat dianggap wajar.
Surat yang tidak diantarkan dianggap wajar. Mesin cuci
yang rusak dianggap wajar. Kita menerima kenyataan
bahwa selalu ada sesuatu yang tidak seperti seharusnya.
"Tapi di Jepang, keadaannya berbeda. Segala sesuatu
berjalan dengan lancar. Di stasiun-stasiun kereta di Tokyo,
kita bisa berdiri di suatu titik di peron yang telah diberi
tanda, dan pada waktu kereta berhenti, pintunya membuka
tepat di depan hidung kita. Semua kereta selalu tepat
waktu. Tidak ada koper yang hilang. Tidak ada yang
ketinggalan pesawat. Semua batas waktu dipenuhi. Segala
sesuatu berjalan sesuai rencana. Orang Jepang adalah orang
yang berpendidikan, selalu mempersiapkan diri, dan
bermotivasi. Tak ada pekerjaan yang terbengkalai. Tak ada
yang mengacau.”
“Hmm.”
"Dan malam ini merupakan malam penting bagi
Nakamoto Corporation. Percayalah, mereka telah
merencanakan segala sesuatu sampai ke detail yang
sekecil-kecilnya. Mereka telah menyiapkan hors d'oeuvres
vegetarian kegemaran Madonna dan mengontrak juru foto
yang paling disukainya. Mereka telah menyusun rencana
untuk keadaan darurat dalam bentuk apa pun. Anda tahu
bagaimana mereka. Mereka duduk mengelilingi meja rapat
dan membahas setiap kemungkinan yang ada – bagaimana
kalau ada kebakaran? Bagaimana kalau terjadi gempa
bumi? Ancaman bom? Gangguan listrik? Hal-hal yang
tampak mustahil pun dibahas sampai tuntas. Memang
berlebihan, tapi pada waktu acaranya dimulai, mereka telah
memikirkan segala sesuatu dan mereka menguasai keadaan
sepenuhnya. Di mata mereka, tidak menguasai keadaan
adalah sesuatu yang sangat tidak pantas. Oke?"
"Oke.”
Lalu ada Ishiguro, wakil resmi Nakamoto, berdiri di
depan mayat wanita muda, dan dia jelas-jelas tidak
menguasai keadaan. Dia rikutsuppoi, melakukan
konfrontasi gaya Barat, tapi dia tidak tenang - Anda tentu
melihat keringat di bibirnya. Dan tangannya lembap; dia
terus-menerus mengusapkan tangannya ke celana. Dia
rikutsuppoi, terlalu banyak berdebat. Dia terIalu banyak
bicara.
"Singkat kata, dia bersikap seakan-akan tidak mengenal
wanita muda itu - padahal bisa dipastikan bahwa dia
mengenaInya, karena dia kenal semua orang yang diundang
untuk menghadiri pesta itu - dan berlagak tidak tahu siapa
pembunuhnya. Yang sesungguhnya juga diketahuinya. "
Mobil kami terguncang karena lubang di permukaan
jalan. "Tunggu dulu. Ishiguro tahu siapa yang membunuh
wanita muda itu?"
“Saya yakin sekali. Dan bukan dia saja. Saat ini, paling
tidak sudah ada tiga orang yang mengetahuinya. Bukankah
Anda sempat menyinggung bahwa Anda pernah bekerja
sebagai petugas hubungan pers?"
"Ya. Tahun lalu."
"Anda masih berhubungan dengan orang-orang siaran
berita pers?"
"Dengan beberapa orang," kataku. "Tapi tidak secara
teratur. Kenapa?"
"Saya ingin melihat rekaman yang dibuat malam ini."
"Hanya melihat? Bukan memberi panggilan tertulis
untuk menghadap ke pengadilan?"
"Betul. Hanya melihat."
"Kalau begitu, rasanya tidak terlalu sulit," kataku. Aku
teringat pada Jennifer Lewis di KNBC, atau Bob Arthur di
KEBS. Mungkin lebih baik Bob.
Connor berkata, "Orang itu harus bisa didekati secara
pribadi oleh Anda. Kalau tidak, stasiun-stasiun TV takkan
membantu. Anda pasti menyadari bahwa tidak ada kru TV
di tempat kejadian tadi. Biasanya kita harus berjuang
menerobos kerumunan kamera agar bisa sampai ke pita
pembatas. Tapi malam ini tak ada kru TV, tak ada reporter.
Tak ada apa-apa."
Aku mengangkat bahu. "Kita menggunakan saluran
darat. Orang-orang pers tidak bisa memantau percakapan
lewat radio."
"Mereka sudah ada di sana," ujar Connor, "meliput pesta
dengan Tom Cruise dan Madonna. Dan kemudian seorang
wanita mati terbunuh, satu lantai di atas tempat pesta. Jadi,
ke mana kru-kru TV itu?”
Aku berkata, "Kapten, tuduhan Anda tidak masuk akal."
Salah satu hal yang kupelajari sebagai petugas hubungan
pers adalah bahwa, tidak ada persekongkolan. Pihak pers
terlalu beraneka ragam, dan bisa dibilang tanpa koordinasi.
Bahkan, dalam kesempatan-kesempatan langka ketika
embargo siaran memang diperlukan - misalnya dalam
kasus penculikan yang sedang dalam tahap negosiasi uang
tebusan - kami harus bersusah payah untuk mewujudkan
kerja sama. "Koran-koran tutup lebih awal. Kru-kru TV
harus mengejar siaran berita pukul sebelas. Kemungkinan
semuanya telah kembali untuk menyunting liputan
masing-masing."
"Saya tidak sependapat. Menurut saya, orang-orang
Jepang menyatakan keprihatinan mengenai citra
perusahaan mereka, dan pihak pers menanggapinya
dengan tidak meliput kejadian itu. Percayalah, Kohai,
mereka telah mulai mengerahkan tekanan. "
"Saya tidak percaya."
"Saya jamin," ujar Connor. "Mereka memanfaatkan
pengaruh yang mereka miliki."
Pada saat itulah telepon mobil berdering.

"Persetan, Peter," sebuah suara serak yang sangat


kukenal berkata. "Ada apa dengan pengusutan
pembunuhan itu?" Suara itu milik atasanku. Sepertinya ia
habis minum.
"Bagaimana maksud Anda, Chief?"
Connor menatapku, dan menekan tombol speaker agar ia
bisa ikut mendengar.
Atasanku berkata, "Kalian melecehkan orang-orang
Jepang itu? Kalian ingin Departemen dituduh bersikap
rasialis lagi?"
"Tidak, Sir," kataku. "Sama sekali tidak. Saya tidak tahu
apa yang Anda dengar ......
"Kudengar si tolol Graham melontarkan penghinaan,
seperti biasa," ujar atasanku.
"Ehm, Sir, saya kira kata penghinaan terlalu keras."
"Tahi kucing. Jangan banyak alasan, Peter. Aku sudah
menegur Fred Hoffmann karena menugaskan Graham
untuk menangani kasus ini. Kuminta dia segera ditarik dari
kasus ini. Mulai sekarang, kita semua harus menjaga
hubungan baik dengan orang-orang Jepang itu. Begitulah
aturan mainnya. Kaudengar itu, Peter?"
"Ya, Sir."
"Sekarang mengenai John Connorr. Dia ada bersamamu,
bukan?"
"Ya, Sir."
"Kenapa kauajak dia untuk urusan ini?"
Dalam hati aku berkata, "Kenapa aku mengajak dia?"
Rupanya Fred Hoffmann mengaku bahwa melibatkan
Connor adalah gagasanku, bukan gagasan dia sendiri.
"Maaf," kataku. "Tapi saya..."
"Aku mengerti," ujar atasanku. "Mungkin kaupikir kau
tak sanggup menangani kasus ini seorang diri. Kau butuh
bantuan. Tapi kurasa kau bakal dapat lebih banyak
kesulitan daripada bantuan. Sebab orang-orang Jepang itu
tidak suka pada Connor. Dan asal tahu saja, aku sudah lama
kenal John. Dia dan aku sama-sama masuk akademi tahun
lima sembilan. Dari dulu dia selalu menyendiri dan
membuat masalah. Kau tahu, kalau ada orang yang pergi
dan tinggal di negara lain, itu karena dia tidak mau
mengikuti peraturan yang berlaku di sini. Jangan sampai
dia mengacaukan penyidikan ini."
"Sir ... “
"Menurutku, masalahnya begini, Pete. Kasus
pembunuhan itu harus kauselesaikan dengan cepat dan
rapi. Pokoknya kau yang bertanggung jawab. Mengerti?"
"Ya, Sir."
"Bereskan, Pete. Jangan sampai aku ditelepon lagi
mengenai urusan ini."
"Ya, Sir."
"Paling lambat besok. Sekian." Dan ia memutuskan
hubungan. Aku mengembalikan gagang ke tempatnya.
"Ya," kata Connor. "Saya rasa mereka sudah mulai
mengerahkan tekanan."

Bab 12
AKU menuju ke selatan di freeway 405, ke arah bandara.
Daerah yang kami lalui agak berkabut. Connor memandang
ke luar jendela.
"Dalam organisasi Jepang, Anda takkan pernah
mendapat telepon seperti itu. Anda baru saja dijadikan
tumbal oleh atasan Anda. Dia lepas tangan - semuanya
dibebankan kepada Anda. Dan dia menyalahkan Anda atas
hal-hal yang tidak berhubungan dengan Anda, seperti
Graham, dan saya." Connor menggelengkan kepala. "Orang
Jepang tidak berbuat demikian. Mereka punya pepatah:
Gunakan waktu untuk mengatasi masalah, bukan untuk
mencari siapa yang salah. Dalam organisasi Amerika, yang
paling penting adalah siapa yang salah. Siapa yang harus
bertanggungjawab. Dalam organisasi Jepang, yang paling di
perhatikan adalah apa yang salah, dan bagaimana cara
untuk mengatasinya. Tidak ada yang dituding. Cara mereka
lebih baik "
Connor kembali membisu, memandang ke luar jendela.
Kami sedang melewati Slausan, Marina freeway tampak
melengkung di atas kami, sebuah lengkungan gelap di
tengah kabut.
Aku berkata, "Atasan saya terlalu yakin, itu saja.”
"Ya. Dan kurang informasi, seperti biasa. Tapi, biarpun
begitu, sebaiknya kasus ini kita rampungkan sebelum dia
keluar dari tempat tidurnya besok pagi.”
“Apakah ada harapan?"
"Ada. Jika Ishiguro menyerahkan kaset-kaset yang saya
minta."
Telepon kembali berdering. Aku mengangkatnya.
Ternyata Ishiguro.
Aku menyerahkan gagang telepon kepada Connor.

Sayup-sayup aku mendengar suara Ishiguro. Suaranya


tegang. Ia berbicara tergesa-gesa, "A, moshi moshi,
Connor-san desuka? Keibi no heyani denwa shitandesugane.
Daremo denaindesuyo."
Connor menutup gagang dengan sebelah tangan dan
menerjemahkan. "Dia sudah menelepon petugas keamanan,
tapi ternyata tidak ada yang menyahut."
"Sorede, chuokeibishitsu ni renraku shite, hito wo oku”e
moraimasite, issho ni tipu o kakunin Shite kimashita."
"Kemudian dia menghubungi ruang keamanan pusat dan
minta agar mereka menyertainya untuk memeriksa
kaset-kaset video."
"Tepu wa subete rekoda no naka ni arimasu. Nakuna”emo
torikaeraretemo imasen. Subete daijobu desu. "
"Semua alat perekam berisi kaset. Tidak ada kaset yang
hilang atau ditukar." Connor mengerutkan kening dan
membalas, "Iya, tepu wa surikaerarete iru hazu nanda. Tepu
o sagase!"
"Dakara, daijobi nandesu, Connor-san. Doshiro to iun desu
ka ?"
"Dia berkeras bahwa tak ada kekeliruan."
Connor berkata, "Tepu o sagase!" Kepadaku, ia berkata,
"Saya bilang bahwa saya minta kaset-kaset brengsek. itu."
"Daijobu da to i”erudeshou. Doshite sonnani tipu ni
kodawarundesuka?"
"Ore niwa waka”e irunda. Tepu wa nakuna”e iru. Saya
tahu lebih banyak dari yang Anda sangka, Mr. Ishiguro.
Moichido iu, tepu o sagasunda!"
Connor membanting gagang telepon. Ia menyandarkan
tubuh dan mendengus dengan kesal. "Sialan! Mereka
bertahan pada posisi bahwa tidak ada kaset yang hilang."
"Apa artinya?"
"Mereka telah memutuskan untuk mengadu kekuatan."
Connor menatap ke luar jendela, mengamati lalu lintas,
sambil mengetuk-ngetuk gigi dengan jari. "Mereka takkan
bersikap seperti ini, kecuali kalau mereka merasa memiliki
posisi kuat. Posisi yang tak tergoyahkan. Ini berarti..."
Connor terdiam, sibuk berpikir. Setiap kali kami lewat di
bawah lampu penerangan jalan, aku melihat pantulan
wajahnya di kaca mobiI. Akhirnya ia berkata, "Bukan,
bukan, bukan," seakan-akan berbicara pada orang lain.
"Apanya yang bukan?"
"Pasti bukan Graham." Ia menggelengkan kepala.
"Graham terlalu riskan - terlalu banyak kejadian di masa
lalu. Dan bukan juga saya. Saya berita basi. Berarti pasti
Anda, Peter."
Aku berkata, "Apa maksud Anda?"
"Sesuatu telah terjadi," ujar Connor, "sesuatu yang
menyebabkan Ishiguro merasa berada di atas angin. Dan
saya rasa hal tersebut berkaitan dengan Anda."
"Saya?"
"Yeah. Pasti sesuatu yang bersifat pribadi. Anda pernah
punya masalah di masa lalu?"
"Seperti apa, misalnya?"
"Anda pernah ditahan, diperiksa oleh internal affairs,
dituduh mabuk-mabukkan, homoseksual, atau
mengejar-ngejar wanita? Atau barangkali Anda pernah
mengikuti program rehabilitasi obat bius? Masalah dengan
partner Anda, dengan atasan Anda. Apa saja yang bersifat
pribadi atau profesional. Apa saja."
Aku mengangkat bahu. "Jeez, saya rasa tidak."
Connor hanya menunggu sambil menatapku. Akhirnya ia
berkata, "Mereka merasa mengetahui sesuatu, Peter."
"Saya bercerai. Saya orangtua tunggal. Saya punya anak
perempuan, Michelle. Umurnya dua tahun."
"Ya ... “
"Kehidupan saya biasa-biasa saja. Saya mengurus anak
saya baik-baik. Saya bertanggung jawab."
"Dan istri Anda?"
"Bekas istri saya pengacara. Dia bekerja di kejaksaan."
"Kapan Anda bercerai?"
"Dua tahun lalu."
"Sebelum anak Anda lahir?"
"Segera sesudahnya."
"Kenapa Anda bercerai?"
"Astaga. Kenapa orang-orang bercerai?"
Connor tidak berkomentar.
"Pernikahan kami hanya bertahan satu tahun. Dia masih
muda waktu kami bertemu. Dua puluh empat tahun. Penuh
khayalan. Kami berjumpa di ruang pengadilan. Dia
menyangka saya detektif yang keras, kasar, setiap hari
menghadapi bahaya. Dia suka kalau saya membawa pistol.
Hal-hal seperti itulah. Lalu kami menjalin affair. Lalu, ketika
dia hamil, dia tidak mau menggugurkan bayinya. Dia justru
ingin menikah. Itu salah satu khayalannya. Tapi dia tidak
memikirkannya dengan matang. Tetapi masa hamilnya
terasa berat baginya, dan waktu itu sudah terlambat untuk
menjalani aborsi, dan tak lama kemudian dia menyadari
bahwa dia tidak suka hidup bersama saya karena
apartemen saya kecil, penghasilan saya tidak memadai, dan
saya tinggal di Culver City, bukannya di Brentwood. Dan
pada waktu bayi kami akhirnya lahir, segala
angan-angannya seolah-olah telah buyar. Dia bilang dia
telah melakukan kesalahan. Dia memilih kariernya. Dia
tidak mau menjadi istri polisi. Dia tidak mai membesarkan
anak. Dia bilang dia menyesal, semuanya merupakan kesa-
lahan. Dan kemudian dia pergi."
Connor mendengarkan penjelasanku dengan mata
terpejam. "Ya..."
"Kenapa semuanya ini begitu penting? Dia pergi dua
tahun yang lalu. Setelah itu, saya tidak sanggup - saya tidak
mau lagi menjalankan jadwal tugas detektif, karena ada
anak kecil yang harus saya besarkan, jadi saya mengikuti
beberapa tes dan pindah ke Special Services, dan saya
bekerja di bagian hubungan pers. Tidak ada masalah.
Semuanya berjalan dengan lancar. Kemudian, tahun lalu,
ada lowongan sebagai petugas penghubung untuk
masyarakat Asia, dan bayarannya lebih besar. Beberapa
ratus dolar lebih banyak per bulan. Jadi saya melamar."
"Hmm."
"Saya betul-betul memerlukan uang itu. Banyak
pengeluaran tambahan yang harus saya tanggung, misalnya
baby sister untuk Michelle. Anda tahu berapa bayaran baby
sister untuk anak dua tahun? Saya juga punya pembantu,
dan Lauren sering lalai membayar uang tunjangan anak.
Dia bilang gajinya tidak mencukupi, tapi beberapa waktu
yang lalu dia beli BMW baru, jadi entahlah. Apa yang bisa
saya lakukan? Mengajukannya ke pengadilan? Dia bekerja
di kejaksaan."
Connor tetap membisu. Di depan, aku melihat pesawat
terbang rendah di atas freeway. Kami sudah di dekat
bandara.
"Pokoknya," kataku, "saya lega ketika diterima sebagai
petugas penghubung. Jam kerjanya lebih menguntungkan,
dan gajinya juga lebih baik. Begitulah ceritanya bagaimana
saya bisa sampai di sini. Duduk semobil dengan Anda."
"Kohai," ia berkata dengan tenang, "saya di pihak Anda.
Katakan saja. Apa masalahnya?"
"Tidak ada masalah apa-apa."
"Kohai."
"Tidak ada."
"Kohai…”
"Hei, John," kataku, "barangkali Anda belum tahu.
Sewaktu kita melamar sebagai petugas penghubung Special
Services, catatan kita diperiksa oleh lima komite berbeda.
Untuk mendapatkan tugas itu, kita harus bersih.
Komite-komite itu sudah meneliti catatan saya. Dan mereka
tidak menemukan sesuatu yang berarti."
Connor mengangguk. "Tapi mereka menemukan
sesuatu"
"Astaga," kataku. "Lima tahun saya bertugas sebagai
detektif. Tak mungkin kita bekerja selama itu tanpa
keluhan sama sekali. Anda tahu itu."
"Dan apa keluhan mengenai Anda?"
Aku menggelengkan kepala. "Biasa. Hal-hal sepele. Saya
menangkap seorang pria dalam tahun pertama saya
bertugas. Dia menuduh saya menggunakan kekerasan
berlebihan. Tuduhan itu dicabut setelah ada pengusutan
lebih lanjut. Saya menangkap seorang wanita karena
perampokan bersenjata. Dia mengaku saya menyelipkan
segram obat bius ke kantongnya. Tuduhan dibatalkan; obat
bius itu ternyata miliknya sendiri. Tersangka pelaku pem-
hunuhan mengaku dipukul dan ditendang oleh saya waktu
diinterogasi. Tapi sepanjang interogasi ada
petugas-petugas lain yang hadir. Seorang wanita mabuk
dalam suatu kasus pertengkaran rumah tangga mengaku
bahwa saya menodai anak perempuannya. Dia mencabut
tuduhannya. Pemimpin geng remaja yang ditahan karena
kasus pembunuhan mengaku diajak melakukan hubungan
homoseksual oleh saya. Tuduhan dibatalkan. Hanya itu."

Sebagai petugas polisi, kita tahu bahwa keluhan-keluhan


seperti itu merupakan bagian dari kehidupan kita. Tak ada
yang dapat kita lakukan untuk menghilangkan suara-suara
sumbang itu. Kita berada di lingkungan yang memusuhi
kita. Kita menuduh orang-orang sebagai pelaku kejahatan.
Mereka balik menuduh kita. Begitulah kenyataannya. Pihak
Departemen tidak memperhatikan keluhan-keluhan itu,
kecuali jika terjadi berulang-ulang atau jika terdapat suatu
pola. Jika Departemen menerima tiga atau empat laporan
selama beberapa tahun bahwa seseorang menggunakan
kekerasan berlebihan, orang itu akan diselidiki. Atau jika
ada serangkaian keluhan yang bermiat rasial, ia akan
diselidiki. Tetapi selain itu, seperti yang selalu dikatakan
oleh Asisten Kepala Jim Olson, pekerjaan polisi adalah
pekerjaan untuk orang berkulit tebal.
Connor membisu cukup lama. Ia mengerutkan kening,
merenung. Akhirnya ia berkata, "Bagaimana dengan
perceraian Anda? Ada masalah?"
"Tidak ada masalah khusus."
"Anda dan bekas istri Anda masih saling menyapa?"
"Ya. Hubungan kami baik-baik saja. Tidak akrab. Tapi
lumayan."
Ia masih mengerutkan kening. Masih mencari-cari
sesuatu. "Dan Anda meninggalkan divisi detektif dua tahun
yang lalu?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Anda sudah mendengar alasan saya tadi."
"Anda bilang Anda tidak sanggup lagi menjalankan
jadwal tugas detektif."
"Ya, itu yang utama."
"Itu, dan apa lagi?"
Aku mengangkat bahu. "Setelah bercerai, saya tidak mau
menangani kasus pembunuhan lagi. Saya merasa...
entahlah. Kecewa, mungkin. Saya punya anak kecil dan istri
saya meninggalkan saya. Dia melanjutkan hidupnya,
berkencan dengan seorang jaksa yang hebat. Saya ditinggal
bersama anak kecil. Saya patah semangat. Saya tak ingin
bekerja sebagai detektif lagi."
"Anda menemui psikiater waktu itu? Untuk menjalani
terapi?"
"Tidak."
"Ada masalah dengan obat bius atau alkohol?"
"Tidak."
"Wanita lain?"
"Beberapa."
"Sewaktu Anda masih menikah?"
Aku terdiam sejenak.
"Farley? Di kantor Wali Kota?"
"Bukan. Itu baru kemudian."
"Tetapi ada wanita lain sewaktu Anda masih menikah."
"Ya. Tapi dia tinggal di Phoenix sekarang. Suaminya
dipindahkan ke sana."
"Dia juga bekerja di Departemen?"
Aku mengangkat bahu.
Connor kembali bersandar. "Oke, Kohai," katanya. "Kalau
memang hanya itu, Anda aman-aman saja." Ia menatapku.
"Memang hanya itu."
"Tapi saya perlu memperingatkan Anda," ia berkata.
"Saya sudah pernah mengalami hal seperti ini, dengan
orang-orang Jepang. Kalau mereka berniat mengadu
kekuatan, mereka bisa membuat hidup Anda tidak
menyenangkan. Sangat tidak menyenangkan."
“Anda ingin menakut-nakuti saya?"
"Tidak. Saya hanya berkata apa adanya."
"Persetan dengan orang-orang Jepang," aku mengumpat.
"Tidak ada yang perlu saya sembunyikan."
"Baiklah. Sekarang Anda sebaiknya menelepon
teman-teman Anda di stasiun TV. Beritahu mereka bahwa
kita akan mampir, setelah kunjungan berikut ini."

Bab 13

SEBUAH 747 bergemuruh di atas kami, lampu-lampu


pendaratannya menyala terang di tengah kabut. Pesawat
itu melewati papan reklame neon yang bertulisan GIRLS!
GIRLS! ALL NUDE! GIRLS! Ketika kami masuk sudah sekitar
pukul 23.30.
Kelab Palomino termasuk tempat hiburan murahan.
Gedung yang ditempatinya merupakan bekas tempat
boling, dengan gambar-gambar kaktus dan kuda di dinding.
Ruang dalamnya berkesan lebih sempit dibandingkan
bayangan kita kalau kita melihatnya dari luar. Seorang
wanita setengah telanjang menari di bawah cahaya jingga.
Ia berusia sekitar empat puluh tahum. Tampaknya ia tak
kalah jemu dari para pengunjung yang duduk membungkuk
di meja-meja kecil yang berwarna pink. Pelayan-pelayan
wanita dengan dada terbuka berjalan mondar-mandir.
Musik dari tape recorder diiringi desis yang keras.
Seorang laki-laki di dekat pintu berkata, "Dua belas
dolar. Minimum dua minuman." Connor memperlihatkan
lencananya. Laki-laki itu berkata, "Oke, masuk saja."
Connor memandang berkeliling dan berkomentar, "Saya
baru tahu bahwa ada orang Jepang yang berkunjung ke
sini." Aku melihat tiga pengusaha dengan setelan jas warna
biru duduk di sebuah meja pojok.
"Hampir tidak pernah," balas si penjaga pintu.
"Mereka lebih suka Star Strip di pusat kota. Lebih
mentereng, barangnya lebih mulus. Menurut aku sih,
Jepang-Jepang itu terpisah dari rombongan tur mereka."
Connor mengangguk. "Saya mencari Ted Cole."
"Di bar. Si kacamata itu."
Ted Cole, sedang duduk di bar. Jaket yang dikenakannya
menutupi seragam Nakamoto Security. Ia menatap dengan
acuh tak acuh ketika kami mendekat dan duduk di
sebelahnya.
Petugas bar menghampiri kami., Connor berkata,
"Dua Budweiser."
"Tidak ada Bud. Asahi saja, oke?"
"Oke.”
Connor menunjukkan lencananya. Cole menggelengkan
kepala dan berbalik Dengan saksama ia mengamati penari
telanjang tadi.
"Saya tidak tahu apa-apa."
Connor berkata, "Mengenai apa?"
"Mengenai semuanya. Saya tidak ada urusan dengan
Saudara. Saya sedang bertugas." Ia agak mabuk.
Connor berkata "Jam berapa Anda selesai tugas?"
"Saya pulang lebih cepat malam ini."
"Kenapa?"
"Sakit mag. Saya kena tukak lambuing, kadang-kadang
kumat. Jadi saya pulang lebih cepat."
"Jam berapa?"
"Sekitar jam delapan lima belas."
"Bisa dibuktikan dengan kartu absensi?"
"Tidak. Di tempat kami tidak ada mesin absensi. “
“Dan siapa yang mengambil alih tugas Anda?"
"Saya digantikan."
"Oleh siapa?"
"Penyelia saya."
“Siapa namanya?"
"Saya tidak tahu. Orang Jepang. Baru tadi saya Iihat dia."
"Dia penyelia Anda, dan Anda belum pernah
melihatnya?"
"Dia orang baru. Orang Jepang. Saya tidak kenal dia. Apa
tujuan Saudara sebenarnya?"
"Saya hanya ingin mengaiukan beberapa pertlanyaan,"
kata Connor.
"Silakan, tak ada yang perlu saya sembunyikan," ujar
Cole.
Salah satu orang Jepang berjalan ke arah kami. Ia
berkata pada petugas bar, "Rokok apa saja yang ada di
sini?"
"Marlboro," jawab si petugas bar.
"Apa lagi?"
"Mungkin Kools. Saya harus periksa dulu. Tapi Marlboro
pasti ada. Anda mau Marlboro?"
Si Jepang dipelototi oleh Ted Cole. Tapi ia tidak
memperhatikannya. "Kent?" ia bertanya. "Anda punya Kent
Light?"
"Tidak. Tidak ada."
"Oke, kalau begitu Marlboro saja," ujar orang Jepang itu.
"Marlboro juga boleh." Ia menoleh dan tersenyum kepada
kami. "Ini Marlboro country, betul tidak?"
"Betul," kata Connor.
Cole meraih botol dan mereguk birnya. Kami semua
membisu. Si Jepang mengetuk-ngetuk meja layan, seirama
dengan musik. "Tempat bagus," katanya. "Meriah."
Aku tak mengerti apa yang dimaksudnya. Tempat itu
benar-benar parah.
Si Jepang duduk di kursi di samping kami. Cole
mengamati botol birnya, seolah-olah belum pernah melihat
botol bir sebelunrnya. Ia memutar-mutarnya dengan
tangan.
Petugas bar membawa sebungkus rokok, dan si Jepang
melemparkan selembar lima dolar ke atas meia. "Ambil saja
kembaliannya." Ia membuka bungkus rokoknya, dan
menarik sebatang. Ia tersenyum kepada kami.
Connor mengeluarkan korrk apinya untuk menyalakan
rokok orang Jepang itu. Ketika si Jepang membungkuk
untuk menyulut rokoknya, Connor berkata, "Doko kaisha
iuenno?"
Orang itu berkedip-kedip. "Maaf?"
"Wakanni no?" ujar Connor. "Doko kaisha i”enno?"
Si Jepang tersenyum dan berdiri. "Soro soro ikanakutewa.
Shitsurei shimasu." Ia melambaikan tangan asal saja, dan
kembali kepada rekan-rekannya di seberang ruangan.
"Dewa mata," kata Connor. Ia pindah ke kursi yang
diduduki orang Jepang itu.
Cole berkata, "Ada apa ini?"
"Saya hanya bertanya di perusahaan mana dia bekerja,"
Connor menjelaskan. "Tapi dia tidak berminat mengobrol.
Sepertinya dia ingin cepat-cepat kembali ke
teman-temannya." Cole meraba-raba di bawah bar.
"Sepertinya bersih."
Connor kembali berpaling pada Cole dan berkata, "Oke,
Mr. Cole. Tadi Anda mengatakan bahwa Anda digantikan
oleh penyelia Anda. Jam beiapa itu?"
"Delapan lima belas."
"Dan Anda tidak mengenalnya?"
"Tidak."
"Dan sebelum itu, waktu Anda bertugas, Anda merekam
gambar-gambar dari kamera-kamera video?"
"Tentu. Bagian keamanan selalu merekam gam-
bar-gambar dari semua kamera."
"Dan apakah penyelia Anda mengambil kaset-kaset itu?"
"Mengambil kaset-kaset itu? Saya kira tidak. Setahu saya,
semuanya masih di sana."
Ia menatap kami dengan heran.
"Saudara berminat pada kaset-kaset itu?"
"Ya," kata Connor.
"Saya sendiri tidak terlalu peduli pada kaset-kaset itu.
Saya tertarik pada kamera-kamera."
"Kenapa?"
"Seluruh gedung dipersiapkan untuk menghadapi pesta
besar, dan sampai saat terakhir memang masih banyak
detail-detail kecil yang harus ditangani. Tapi saya tetap
heran kenapa begitu banyak kamera dipindahkan dari
tempat-tempat lain di dalam gedung, lalu dipasang di lantai
itu."
"Dipindahkan?" aku bertanya.
"Kemarin pagi, kamera-kamera itu belum ada di lantai
46," ujar Cole. "Semuanya masih terpasang di tempat lain.
Rupanya ada yang memindahkan semuanya.
Kamera-kamera itu memang mudah dipindah-pindah,
karena tidak pakai kabel."
"Kamera-kamera itu tidak memakai kabel?"
"Tidak. Di dalam gedung kami memakai transmisi
selular. Memang sudah dirancang begitu. Karena itu kami
tidak pakai audio, dengan sistem selular, kapasitas
transmisinya terbatas. Kamera-kamera itu hanya mengirim
gambar. Tapi semuanya bisa dipindah-pindah sesuai
kebutuhan. Mereka bisa melihat apa saja yang ingin mereka
lihat. Saudara tidak tahu itu?"
"Tidak," kataku.
"Aneh, kenapa tidak ada yang memberitahu Saudara?
Padahal itu salah satu kelebihan Nakamoto Tower yang
paling mereka banggakan." Cole kembali mereguk birnya.
"Satu-satunya hal yang belum jelas bagi saya adalah kenapa
seseorang mengambil lima kamera, lalu memasang
semuanya di lantai di atas tempat pesta. Soalnya, dari segi
keamanan itu tidak perlu. Semua lift bisa diprogram supaya
hanya naik sampai lantai tertentu. Jadi, kamera-kamera
hanya diperlukan di lantai-lantai di bawah tempat pesta.
Bukan di atasnya."
"Tapi lift-lift itu tidak diprogram agar hanya naik sampai
lantai 46."
"Memang. Saya sendiri juga heran." Ia menatap
orang-orang Jepang di seberang ruangan. "Sebentar lagi
saya harus pergi," katanya.
"Baiklah," ujar Connor. "Kami sangat menghargai
bantuan Anda, Mr. Cole. Mungkin kami perlu minta
keterangan tambahan dari Anda."
"Saya akan menuliskan nomor telepon saya untuk
Saudara," kata Cole, sambil mencoret-coret sebuah serbet
kertas.
"Dan alamat Anda?"
"Oh, ya. Tapi sebenarnya saya akan ke luar kota untuk
beberapa hari. Ibu saya tidak enak badan, dan dia minta
agar saya membawanya ke Meksiko untuk beberapa hari.
Kemungkinan besar saya berangkat akhir pekan ini."
"Liburan panjang?"
"Seminggu, mungkin. Saya masih ada jatah cuti, dan
sepertinya sekarang waktu yang tepat untuk
mengambilnya."
"Ya," kata Connor, "tentu saja. Sekali lagi, terima kasih
atas bantuan Anda." Ia bersalaman dengan Cole, dan
menonjok bahunya. "Jangan lupa perhatikan kesehatan
Anda."
"Oh, jangan khawatir."
"Berhentilah minum, dan hati-hati dalam perjalanan
pulang nanti." Ia terdiam sejenak. "Atau ke mana pun Anda
akan menuju malam ini."
Cole mengangguk. "Saya rasa Saudara benar. Itu ide yang
baik."
"Saya tahu bahwa saya benar."
Cole bersalaman denganku. Connor sudah menuju pintu.
Cole berkata, "Saya tidak mengerti kenapa Saudara masih
repot-repot."
"Dengan kaset-kaset itu?"
"Dengan orang-orang Jepang. Apa yang bisa kita
lakukan? Mereka selalu satu langkah di depan kita. Dan
semua orang besar sudah ada di kantong mereka. Kita tak
bisa mengalahkan mereka. Kalian berdua takkan
mengalahkan mereka. Mereka terlalu hebat."
Di luar, di bawah papan reklame neon yang
berkedap-kedip, Connor berkata, "Tepat, waktu tinggal
sedikit."
Kami masuk ke mobil. Ia menyerahkan serbet tadi
padaku. Di atasnya tertulis dengan huruf cetak:

MEREKA MENCURI KASET-KASET ITU.

"Ayo, jalan," kata Connor.


Aku menghidupkan mesin mobil.

Bab 14

BERITA jam sebelas malam telah selesai, dan ruang


wartawan sudah hampir kosong. Connor dan aku
menyusuri selasar menuju studio rekaman, di tempat tanda
Action News masih menyala.
Di dalam studio, siaran malam diputar ulang tanpa
suara. Si pembaca berita menunjuk monitor. "Aku tidak
bodoh, Bobby. Aku memperhatikan hal-hal seperti ltu.
Sudah tiga malam berturut-turut dia yang membacakan
ringkasan berita utama dan penutup." Ia menyandarkan
badan dan menyilangkan tangan. Aku menunggu
jawabanmu, Bobby."
Temanku Bob Arthur, produser berita jam sebhelas yang
berbadan pendek kekar, menghirup scotch dari gelas yang
sebesar kepalan tangannya. Ia berkata, "Jim, ini hanya
kebetulan saja."
"Omong kosong," balas si pembaca berita.
Rekannya yang tengah dibicarakan adalah seorang
wanita cantik berambut merah, dengan bentuk tubuh
menggiurkan. Ia sengaja berlama-lama ketika
membereskan catatannya, untuk memastikan bahwa ia
mendengar seluruh percakapan antara Bob dan Jim
"Begini," ujar Jim. "Kita sudah sepakat Ringkasan dan
penutup dibaca bergantian. Setengahnya dia, setengahnya
aku. Itu tercantum dalam kontrakku."
"Tapi, Jim, berita utama malam ini menyangkut
perkernbangan mode di Paris dan pesta Nakamoto. Human
interest."
"Seharusnya laporan mengenai kasus pembunuhan
berantai itu dijadikan berita utama."
Bob mendesah. “Pembacaan tuduhan terhadap dia
ditunda. Lagi pula masyarakat sudah bosan dengan kasus
pembunuhan berantai."
Si pembaca berita tampak terheran-heran.
"Masyarakat sudah bosan dengan kasus pembunuhan
berantai? Wah, di mana kaudengar itu?"
"Baca saja hasil angket yang lalu, Jim. Pembunuhan
berantai sudah terlalu sering diliput. Penonton kita
khawatir mengenai keadaan ekonomi. Mereka tidak
berminat pada pembunuh berantai."
"Penonton kita khawatir mengenai keadaan ekonomi,
jadi kita membuat berita utama mengenai Nakamoto dan
perkembangan mode di Paris?"
"Betul, Jim," Bob Arthur berkata. "Dalam masa sulit, kita
meliput pesta yang gemerlapan. Itulah yang diminati oleh
para penonton: fashion dan impian."
Si pembaca berita merengut. "Aku wartawan, a ku di sini
untuk meliput berita, bukan fashion."
"Betul, Jim," ujar si produser. "Karena itulah Liz yang
membacakan ringkasan berita utama. Kami berupaya agar
citramu tidak luntur."
"Ketika Teddy Roosevelt mengangkat negeri ini dan
kesulitan ekonomi di tahun 30-an, dia tidak memakai
fashion dan impian.
"Franklin Roosevelt."
"Sama saja. Kau tahu maksudku. Kalau orang-orang
memang khawatir, mari kita liput ekonomi. Mari kita liput
neraca pembayaran atau apa pun masalahnya."
"Betul, Jim. Tapi ini berita jam sebelas untuk pasar lokal,
dan para penonton tidak mau mendengar..."
"Dan itulah yang salah di Amerika," Jim berkata.
"Orang-orang tidak mau mendengar berita sebenarnya."
"Betul, Jim. Kau betul sekali." Bob merangkul si pembaca
berita. "Sekarang istirahat dulu, oke? Besok kita bicara
lagi."
Rupanya itu semacam isyarat, sebab pembaca berita
yang satu lagi segera merapikan catatannya dan pergi.
"Aku wartawan," ujar Jim. "Aku hanya ingin melakukan
pekerjaan yang kupelajari."
"Betul, Jim. Besok kita lanjutkan lagi. Selamat malam."

"Dasar tolol," kata Bob Arthur. Ia menyusuri sebuah


selasar bersama kami. "Teddy Roosevelt. Astaga. Mereka
bukan wartawan Mereka aktor. Dan mereka
menghitung-hitung jumlah kata yang mereka ucapkan,
sama seperti semua aktor lainnya." Ia mendesah, lalu
kembali menghirup scotch-nya. "Oke, tolong ceritakan
sekali lagi apa yang hendak kalian lihat.”
"Rekaman resepsi Nakamoto."
"Maksudnya, rekaman yang mengudara? Berita yang
kami tayangkan tadi?"
"Bukan, kami ingin melihat rekaman yang asli, yang
langsung dari kamera."
"Rekaman lapangan. Jeez. Moga-moga masih ada.
Mungkin sudah dihapus."
"Dihapus?"
"Yeah. Di sini kami merekam empat puluh kaset setiap
hari. Sebagian besar langsung dihapus. Dulu, semua
rekaman lapangan disimpan selama seminggu, tapi
maklum, kami harus menekan biaya. “
Di salah satu sisi ruang wartawan terdapat rak-rak berisi
deretan kaset Betamax. Bob menyusuri deretan itu dengan
jarinya. "Nakamoto... Nakamoto... Hmm, sepertinya tidak
ada." Seorang wanita melewati kami. "Cindy, Rick masih di
sini?"
"Tidak, dia sudah pulang. Kau perlu sesuatu?"
"Rekaman lapangan dari resepsi Nakamoto.
Kaset-kasetnya tidak ada di rak."
"Coba periksa ruangan Don. Dia yang menyuntingnya."
"Oke." Bob mengajak kami ke bilik-bilik penyuntingan d i
seberang ruang wartawan. Ia membuka sebuah pintu, dan
kami memasuki ruangan sempit yang berantakan. Ruangan
itu berisi dua monitor, sejumlah alat perekam, serta meja
penyuntingan. Kaset-kaset video tampak berserakan di
lantai. Bob segera mulai mencari. "Oke, kalian beruntung.
Rekaman yang asli. Ada beberapa kaset. Saya akan minta
Jenny untuk mengamati semuanya. Matanya paling jeli. Dia
kenal semua orang." Ia menyembulkan kepala dari pintu.
"Jenny? Jenny!"

"Oke, coba kita lihat," ujar Jenny Gonzales beherapa


menit kemudian. Ia memakai kacamata, berbadan pendek
tegap, berusia empat puluhan. Ia mengamati catatan
penyunting dan mengerutkan kening. "Sudah berkali-kali
saya beritahu mereka, tapi mereka tidak pernah mau
belajar. Akhirnya. Ini dia. Empat kaset. Dua di pintu masuk,
dua lagi di tempat pesta. Apa yang hendak kalian lihat?"
Connor berkata, "Kita mulai dengan rekaman di pintu
masuk." Ia melirik jam tangannya. "Apakah ini bisa
diselesaikan dengan cepat? Kami sedang terburu-buru. "
"Bisa saja. Saya sudah biasa. Kita putar dengan
kecepatan tinggi saja."
Ia menekan sebuah tombol. Kami melihat limo-limo
berhenti, pintu-pintu membuka, para penumpang turun,
lalu berjalan dengan gerakan tersentak-sentak.
"Kalian cari orang tertentu? Soalnya sudah ada yang
membuat catatan mengenai orang-orang terkenal dalam
proses penyuntingan tadi."
“Kami tidak mencari orang terkenal."
"Sayang sekali. Rasanya cuma itu yang direkam." Kami
memperhatikan gambar di layar monitor. Jenny berkata,
"Itu Senator Kennedy. Dia kelihatan lebih kurus, bukan? Oh,
sudah hilang. Dan Senator Morton. Dia tampak fit. Tidak
mengherankan. Dan itu asistennya yang menakutkan. Gigi
saya selalu gemeletukan kalau melihatnya. Senator Rowe,
tanpa istrinya, seperti biasa. Itu Tom Hanks. Orang Jepang
ini saya tidak kenal."
Connor berkata, "Hiroshi Masukawa, wakil pre siden
Mitsui."
"Oke. Senator Chalmers, transplantasi rambutnya
lumayan sukses. Anggota Kongres Levine. Anggota Kongres
Daniels. Tumben tidak mabuk. Terus terang, saya tak
menyangka Nakamoto bisa menarik begitu banyak orang
dari Washington."
"Kenapa?"
"Hmm, kalau dipikir-pikir, ini hanya acara peresmian
sebuah gedung baru. Acara biasa. Tempatnya di Pantai
Barat. Dan sekarang-ini posisl Nakamoto cukup
kontroversial. Barbara Streissand. Saya tidak tahu siapa
laki-laki yang menemaninya."
"Posisi Nakamoto sedang kontroversial? Kenapa?"
"Karena penjualan MicroCon."
Aku berkata, "MicroCon? Apa itu?"
"MicroCon adalah sebuah perusahaan Amerika yang
membuat peralatan komputer. Kabarnya akan dibeli oleh
perusahaan Jepang bernama Akai Ceramics. Kongres
menentang penjualan itu, karena takut teknologi Amerika
akan jatuh ke tangan Jepang.”
Aku berkata, "Dan apa hubungannya dengan
Nakamoto?"
"Nakamoto adalah perusahaan induk Akai." Kaset
pertama telah tamat. "Belum ketemu yang kalian cari?"
"Belum. Coba yang berikutnya."
"Oke." Ia memasukkan kaset kedua. "Pokoknya, saya
heran bahwa begitu banyak senator dan anggota Kongres
merasa pantas muncul di sini tadi. Oke, ada lagi. Roger
Hillman, deputi menteri negara untuk urusan Pasifik. Itu
asistennya Kenichi Aikou, konsul jenderal Jepang di L.A.,
Richard Meier, arsitek. Dia bekerja untuk Ge”y. Wanita ini
saya tidak kenal. Beberapa orang Jepang..."
Connor berkata, "Hisashi Koyama, wakil presiden Honda
untuk Amerika."
"Oh, yeah," ujar Jenny. "Dia sudah sekitar tiga tahun di
sini. Sebentar lagi dia akan pulang Itu Fena Morris, dia
mengepalai delegasi AS ke perundingan GA” - General
Agreement on Tariffs and Trade. Wah, berani benar dia
muncul di sini, ini jelas-jelas perselisihan kepentingan. Tapi
dia malah penuh senyum. Chuck Norris. Eddie Nakamura.
Semacam playboy lokal. Saya tidak tahu siapa wanita yang
menemaninya itu. Tom Cruise, berikut istri. Dan Madonna,
tentu saja."
Di layar monitor, lampu-lampu kilat seakan-akan
menyala tanpa henti ketika Madonna turun dari
limousine-nya dan bergenit-genit di depan para wartawan.
"Kalian tertarik?"
Connor berkata, "Malam ini tidak."
"Hmm, dia pasti disorot terus," Jenny berkomentar. Ia
menekan tombol fast-forward - kecepatan sangat tinggi -
dan gambar menjadi kelabu bergaris-garis. Ketika
dikembalikan ke kecepatan semula, Madonna sedang
melenggak-lenggok ke tangga berjalan sambil
bergandengan tangan dengan pemuda Latin yang langsing
dan berkumis. Gambar di monitor mendadak kabur karena
kamera kembali diarahkan ke jalanan.
"Itu Daniel Okimoto. Pakar mengenai kebijaksanaan
industri Jepang. Itu Arnold, dengan Maria. Dan di belakang
mereka ada Steve Martin, bersama Arata Isozaki, arsitek
yang merancang Museum..."
Connor berkata, "Tunggu."
Jenny menekan sebuah tombol. Gambarnya membeku.
Jenny tampak heran. "Anda tertarik pada Isozaki?"
"Tidak. Tolong mundurkan."
Gambar bergerak mundur, berkedap-kedip ketika
kamera beralih dari Steve Martin dan kembali mengarah ke
jalanan untuk merekam kedatangan berikutnya. Tapi
sekilas saja, kamera melewati sekelompok orang yang
sudah turun dari limo-limo mereka, dan sedang berjalan di
trotoar yang telah dilapisi karpet.
Connor berkata, "Itu."
Sekali lagi gambar membeku. Agak kabur, aku melihat
wanita pirang dengan gaun koktail warna hitam berjalan di
sebelah pria tampan dengan setelan jas berwarna gelap.
“Oh," kata Jenny. "Anda tertarik pada prianya, atau
wanitanya?"
"Wanitanya."
"Sebentar, saya ingat-ingat dulu," ujar Jenny sambil
mengerutkan kening. "Saya sudah beberapa kali melihat dia
di pesta orang-orang Washington, kira-kira sejak sembilan
bulan yang lalu. Dia Kelly Emberg-nya tahun ini. Atletis,
seperti model. Sophisticated, seperti kembaran Tatiana.
Namanya... Austin. Cindy Austin, Carrie Austin... Cheryl
Austin. Itu dia."
Aku berkata, "Anda mengetahui sesuatu mengenai dia?"
Jenny menggelengkan kepala. "Hei, sudah bagus Anda
mendapatkan namanya. Gadis-gadis seperti ini terus
bermunculan. Mereka ada di mana-mana selama enam
bulan, setahun, lalu mereka hilang lagi. Entah ke mana.
Siapa yang bisa mengingat semuanya?"
"Dan pria yang datang bernmanya?"
"Richard Levi”. Ahli bedah plastik. Dia sering menangani
bintang-bintang terkenal."
"Kenapa dia ada di sini?"
Jenny mengangkat bahu. "Pergaulan. Dia menemani para
bintang di masa-masa sulit. Kalau di antara
pasien-pasiennya ada yang bercerai atau sebagainya, dia
mengawal para istri. Dan kalau dia tidak mengawal klien,
dia mengajak gadis-gadis model, seperti yang ini. Mereka
tampak serasi."
Di layar monitor, Cheryl dan pengawalnya melangkah
tersendat-sendat ke arah kami, satu frame setiap tiga puluh
detik. Pelan-pelan. Aku memperhatikan bahwa mereka tak
pernah saling berpandangan. Cheryl kelihatan tegang,
seakan-akan mengharapkan sesuatu.
Jenny Gonzales berkata, "Oke, seorang ahli bedah plastik
dan seorang model. Kalau saya boleh tahu, kenapa mereka
berdua begitu penting? Soalnya dalam kesempatan seperti
ini, mereka sekadar... ehm... meramaikan suasana."
Connor berkata, "Wanita itu terbunuh tadi."
"Oh, rupanya dia? Menarik."
Aku berkata, "Anda sudah tahu soal pembunuhan itu?"
"Oh, tentu."
"Apakah ada laporan dalam siaran berita?"
"Tidak, berita jam sebelas tidak menyiarkannya," kata
Jenny. "Dan rasanya besok pun takkan disiarkan.
Sebenarnya ini memang bukan berita."
"Kenapa begitu?" aku bertanya sambil melirik Connor.
"Habis, di mana letak nilai beritanya?"
"Maksud Anda?"
“Pihak Nakamoto pasti berdalih bahwa peristiwa itu
dianggap berita hanya karena terjadi di resepsi peresmian
mereka. Mereka tentu akan mengambil sikap bahwa setiap
liputan mengenai kejadian itu merupakan usaha untuk
menjelek-jelekkan mereka Dan pada dasarnya mereka
benar. Maksud saya, seandainya gadis ini tewas di jalan
raya, takkan ada yang meliputnya. Seandainya dia terbunuh
dalam perampokan toko, dia takkan masuk berita. Jadi,
biarpun dia terbunuh di sebuah pesta, siapa yang peduli?
Dia muda dan cantik, tapi tidak istimewa. Dia bukan
pemain film atau semacamnya.”
Connor melirik jam tangannya. "Bagaimana kalau
kaset-kaset yang lain diputar?"
"Rekaman di tempat pesta? Oke. Anda mencari gadis
ini?"
"Ya."
"Oke, kita mulai saja." Jenny memasukkan kaset ketiga.
Kami melihat beberapa adegan dari pesta di lantai 45:
para pemain band, orang-orang berdansa di bawah hiasan
gantung. Dengan bersusah payah kami mencari gadis itu di
tengah keramaian. Jenny herkomentar, "Kalau di Jepang,
pekerjaan seperti ini tak perlu dilakukan secara manual.
Orang Jepang punya video recognition software yang cang-
gih sekarang. Mereka punya program di mana kita
mengidentifikasi sebuah gambar, sebuah wajah misalnya,
dan programnya mencari wajah itu secara otomatis. Kita
diberitahu setiap kali wajah itu muncul. Di tengah-tengah
kerumunan, atau di mana saja. Cukup dengan identifikasi
dari satu sudut pandang saja, setiap objek tiga dimensi bisa
ditemukan, meskipun objek itu tampak dari sudut pandang
lain. Kabarnya program itu cukup bagus. Sayangnya
lambat."
"Kenapa stasiun ini belum memilikinya?"
"Oh, program itu tidak dijual di sini. Perlengkapan video
Jepang yang paling cangglh tidak bisa diperoleh di Amerika.
Mereka membiarkan kita ketinggalan tiga sampai lima
tahun. Itu hak mereka. Mereka yang mengembangkan
teknologi itu, jadi mereka bebas berbuat apa saja. Tapi
dalam kasus seperti ini pasti banyak gunanya."
Adegan demi adegan silih berganti.
Tiba-tiba Jenny mengunci gambar.
"Itu. Kamera latar belakang sebelah kiri. Cheryl Austin
sedang mengobrol dengan Eddie Sakamura. Eddie tentu
saja mengenalnya Dia kenal semua gadis model. Kecepatan
normal?"
"Ya, tolong," ujar Connor sambil menatap layar monitor.
Kamera berputar dengan pelan. Cheryl Austin kelihatan
hampir selama adegan itu berlangsung. Tertawa bersama
Eddie Sakamura, menengadahkan kepala, meletakkan
tangan di lengan Eddie, bergembira karena berada
bersamanya. Eddie membadut. Kelihatannya ia senang
membuat Cheryl tertawa. Tapi sekali-sekali mata Cheryl
berpaling ke arah lain, memandang berkeliling.
Seakan-akan menunggu sesuatu. Atau seseorang.
Sakamura akhirnya menyadari bahwa tidak seluruh
perhatian Cheryl terarah padanya. Ia menggenggam lengan
gadis itu, dan menariknya dengan kasar. Cheryl membuang
muka Eddie mencondongkan badan ke depan dan
mengatakan sesuatu dengan kesal. Kemudian seorang pria
berkepala botak melangkah maju, sangat dekat dengan ka-
mera. Cahaya memantul pada wajahnya, sehingga
tampangnya tidak kelihatan, kepalanya menutupi Eddie
dan Cheryl. Kemudian kamera beralih, Eddie dan Cheryl
menghilang dari pandangan kami.
"Sial."
"Mau diulang?" Jenny memundurkan rekaman dan kami
melihatnya sekali lagi.
Aku berkata, "Eddie tampak dongkol."
"Yeah."
Connor mengerutkan kening. "Sulit sekali mengartikan
ini. Apakah ada rekaman suara?"
Jenny berkata, "Tentu, tapi kemungkinan besar tidak
jelas." Ia menekan beberapa tombol dan mengulangi
adegan itu. Jenny benar. Suaranya memang tidak jelas.
Hanya sesekali kami dapat menangkap sepotong kalimat.
Pada suatu ketika, Cheryl Austin menatap Eddie
Sakamura dan berkata, "...bukan salahku kalau kau
penasaran karena aku."
Jawaban Eddie tenggelam dalam kebisingan di sekeliling
mereka, tetapi kemudian ia berkata dengan jelas, "Tidak
mengerti... mengenai pertemuan Sabtu..."
Dan dalam detik-detik terakhir adegan itu, ketika ia
menarik Cheryl, ia mengucapkan sesuatu yang terdengar
seperti "...jangan bodoh... no cheapie..."
Aku berkata, "Dia bilang 'no cheapie'?"
"Mirip itu," ujar Connor.
Jenny bertanya, "Perlu diulang lagi?"
"Tidak," kata Connor. "Tak ada lagi yang bisa dipelajari
di sini. Teruskan saja."
"Oke," Jenny berkata.
Gambar bertambah cepat, para pengunjung pes” tampak
berjalan mondar-mandir, tertawa, mengangkat gelas untuk
minum sedikit. Dan kemudian aku berkata, "Tunggu!"
Kembali ke kecepatan normal. Seorang wanita pirang
dengan jas sutra buatan Armani sedang bersalaman dengan
pria botak yang kami lihat beberapa saat yang lalu.
"Ada apa?" tanya Jenny sambil menatapku.
"Itu istrinya," kata Connor.
Wanita itu maju sedikit untuk mengecup bibir si Botak.
Kemudian ia mundur lagi dan berkomentar mengenai
setelan jas yang dikenakan pria itu.
"Dia pengacara di kejaksaan," kata Jenny. "Lauren Davis.
Dia ikut membantu dalam beberapa kasus besar. Sunset
Strangler, penembakan Kellermann. Dia sangat ambisius.
Pintar dan banyak koneksi. Katanya, dia punya masa depan
kalau dia tetap bekerja di kejaksaan. Rasanya memang
benar, sebab Wyland tak pernah membiarkan dia tampil di
depan karnera. Anda lihat sendiri, penampilannya cukup
meyakinkan, tetapi Wyland selalu menjauhkannya dari
mikrofon-mikrofon. Laki-laki botak yang sedang mengobrol
dengannya adalah John MeKenna, dari Regis MeKenna,
sebuah perusahaan humas di San Francisco. Sebagian besar
perusahaan high-tech merupakan klien mereka."
Aku berkata, "Sudah bisa dilanjutkan lagi."
Jenny menekan tombol. "Dia benar-benar istri Anda, atau
partner Anda hanya bercanda?"
"Benar, dia istri saya. Bekas istri saya."
"Anda bercerai?"
"Yeah."
Jenny menatapku. Sepertinya ia hendak mengatakan
sesuatu. Namun kemudian ia membatalkan niatnya dan
kembali memperhatikan monitor. Di layar, pesta itu
berlanjut dengan kecepatan, tinggi.
Aku menyadari bahwa aku sedang memikirkan Lauren.
Ketika aku mengenalnya, ia memang cerdas dan penuh
ambisi, tetapi ada banyak hal yang tidak dipahaminya. Ia
berasal dari kalangan atas, ia belajar di sekolah-sekolah
yang termasuk jajaran Ivy League, dan keyakinan khas
kalangan atas telah mendarah daging dalam dirinya, yaitu
bahwa apa pun yang dipikirkannya kemungkinan besar
memang benar. Tak ada yang perlu dibandingkan dengan
kenyataan.
Ia muda, bagian dari dunia yang sedang berputar. Ia
masih meraba-raba, mempelajari cara kerja dunia. Ia penuh
antusiasme, dan dalam menguraikan pandangannya, ia bisa
berapi-api. Tetapi pandangannya selalu berubah-ubah,
tergantung pada siapa yang terakhir berbincang-bincang
dengannya. Ia sangat mudah terkesan. Ia mencoba
gagasan-gagasan baru seperti wanita lain mencoba topi. Ia
selalu tahu trend terbaru. Mula-mula sifatnya itu kuanggap
menarik, lucu, tetapi lama-lama aku mulai jengkel.
Karena ia tidak memiliki isi. Bagaikan pesawat TV, ia
hanya menampilkan pertunjukan terakhir Apa pun
pertunjukannya. Ia tak pernah mempertanyakannya.
Pada hakikatnya, bakat Lauren yang paling besar adalah
menyesuaikan diri. Ia ahli dalam memperhatikan TV, koran,
atasannya - apa saja yang dianggapnya sebagai sumber
otoritas - dan menyimpulkan arah perkembangan dunia.
Dan menempatkan diri, sehingga ia berada di tempat ia
seharusnya berada. Aku tidak heran bahwa kariernya maju
pesat. Tata nilai yang dianutnya, sama seperti pakaiannya,
selalu bagus dan up-to-date.
"...kepada Anda, Letnan, tapi sekarang sudah malam...
Letnan?"
Aku terperanjat. Suara Jenny membuyarkan lamunanku.
Ia menunjuk layar monitor, di mana Cheryl Austin dengan
gaun hitamnya sedang berdiri bersama dua pria setengah
baya.
Aku menoleh ke arah Connor, tapi ia sedang menghadap
ke arah lain dan berbicara melalul telepon.
"Letnan? Apakah Anda tertarik pada adegan ini?"
"Ya, tentu. Siapa mereka?"
Jenny memutar rekaman itu dengan kecepatan normal.
"Senator John Morton dan Senator Stephen Rowe.
Mereka sama-sama anggota Komite Keuangan Senat.
Komite yang mengadakan dengar pendapat mengenai
penjualan MicroCon."
Di layar, Cheryl tertawa dan mengangguk. Ia sangat
cantik, berkesan lugu sekaligus sensual. Sesekali raut
wajahnya tampak keras. Sepertinya ia mengenal kedua pria
itu, walaupun tidak kenal baik. Ia tidak mendekati
keduanya atau menyentuh mereka, kecuali pada waktu
bersalaman. Sedangkan kedua senator itu tampaknya
menyadari kehadiran kamera, dan terus menampilkan
sikap ramah, namun resmi.
"Negara kita sedang menuju kehancuran, tapi pada
malam Jumat, senator-senator AS malah mengobrol dengan
gadis model," Jenny berkomentar. "Pantas saja kita dalam
kesulitan. Dan mereka ini termasuk orang penting. Morton
bahkan disebut-sebut sebagai calon presiden dalam pemilu
berikut. "
Aku berkata, "Apa yang Anda ketahui mengenai pribadi
mereka?"
"Kedua-duanya berkeluarga. Tapi, ya, Rowe sudah pisah
ranjang. Istrinya tinggal di Virginia. Rowe sendiri tukang
pesta. Dia cenderung terlalu banyak minum."
Aku menatap Rowe di monitor. Rowe-lah yang hendak
naik ke lift bersama kami di tempat pesta tadi. Dan waktu
itu ia kelihatan mabuk, nyaris tak sanggup berdiri. Tetapi di
monitor sekarang ia belum tampak mabuk.
"Dan Morton?"
"Kabarnya, dia Mr. Dean. Bekas atlet, gila fitness.
Penggemar health food. Mengutamakan keluarga. Bidang
keahlian Morton adalah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lingkungan hidup. Daya saing Amerika. Tata nilai Amerika.
Hal-hal seperti itulah. Tapi dia tak mungkin sebersih itu.
Saya dengar desas-desus bahwa dia punya pacar gelap yang
masih muda."
"Betul itu?"
Jenny mengangkat bahu. "Katanya, para anggota stafnya
berusaha untuk memutuskan hubungan itu. Tapi siapa yang
tahu mana yang benar mana yang tidak."
Rekaman berakhir dan Jenny memasukkan kaset
berikutnya. "Ini yang terakhir."
Connor meletakkan gagang telepon dan berkata,
"Lupakan saja." Ia berdiri. "Kita harus berangkat,
Koshai."
"Kenapa?"
"Saya baru saja bicara dengan perusahaan telepon
mengenai percakapan-percakapan yang dilakukan dari
pesawat telepon umum di lobi gedung Nakamura antara
jam delapan dan jam sepuluh."
"Lalu?"
"Ternyata pesawatnya tidak dipakai selama dua jam itu."
Aku tahu bahwa Connor menduga seseorang keluar dari
ruang keamanan dan menelepon dari telepon umum itu -
Cole, atau salah satu orang Jepang. Kini harapan untuk
melacak percakapan itu telah pupus. "Sayang sekali,"
kataku.
"Sayang sekali?" ujar Connor dengan nada heran. "Ini
justru sangat membantu. Ruang gerak kita jadi lebih
terbatas. Miss Gonzales, Anda punya rekaman mengenai
orang-orang yang meninggalkan tempat pesta?"
"Meninggalkan tempat pesta? Tidak. Begitu para tamu
sudah datang, semua kru naik untuk meliput pesta. Mereka
sudah kembali ke sini pada waktu pesta masih
berlangsung."
"Baiklah. Saya kira urusan kami di sini sudah selesai.
Terima kasih atas bantuan Anda. Pengetahuan Anda sangat
luar biasa. Kohai, mari berangkat."

Bab 15

KEMBALI naik mobil. Kali ini kami menuju ke sebuah


alamat di Beverly Hills. Aku lelah, jam tanganku
menunjukkan pukul satu dini hari. "Kenapa telepon umum
di lobi itu demikian penting?"
“Karena," ujar Connor, "pandangan kita tentang kasus ini
bertumpu pada pertanyaan apakah ada yang menelepon
dari pesawat itu atau tidak. Masalahnya sekarang,
perusahaan mana di Jepang yang bertikai dengan
Nakamoto."
"Perusahaan di Jepang?" kataku.
"Ya. Dan bisa dipastikan bahwa perusahaan itu termasuk
keiretsu yang lain."
Aku berkata, "Keiretsu?"
"Orang Jepang menyusun bisnis mereka dalam
organisasi-organisasi besar yang mereka sebut keiretsu. Di
Jepang ada enam keiretsu utama, dan keenam-enamnya
berukuran raksasa. Sebagai contoh, keiretsu Mitsubishi
terdiri atas tujuh ratus perusahaan yang bekerja sama, atau
memiliki keuangan yang berkaitan atau berbagai
persetujuan khusus lainnya. Organisasi raksasa seperti ini
tidak ada di Amerika, karena melanggar undang-undang
antitrust, lain halnya dengan di Jepang. Kita menganggap
bahwa sebuah perusahaan berdiri sendiri. Untuk
melihatnya dari sudut pandang orang Jepang, Anda harus
membayangkan gabungan antara, misalnya, IBM dan
Citibank dan Ford dan Exxon, dan semuanya menjalin
hubungan kerja sama secara rahasia, dan berbagi dana atau
riset. Artinya, perusahaan Jepang tak pernah berdiri sendiri
- selalu ada kerja sama dengan ratusan perusahaan lain.
Dan semuanya bersaing dengan perusahaan-perusahaan
yang tergabung dalam keiretsu lain.
"Jadi, kalau Anda bertanya apa yang dilakukan
perusahaan Nakamoto, Anda harus bertanya apa yang
dilakukan keiretsu Nakamoto di Jepang sana. Dan
bagaimana tanggapan dari keiretsu-keiretsu lainnya. Sebab
pembunuhan ini sangat memalukan bagi Nakamoto.
Bahkan bisa dianggap sebagai serangan terhadap
Nakamoto."
"Serangan?"
"Coba pikirkan. Nakamoto merencanakan resepsi
besar-besaran untuk peresmian gedung baru mereka.
Mereka ingin semuanya berjalan dengan sempurna. Lalu,
salah satu tamu mati terbunuh. Pertanyaannya adalah,
siapa yang memberitahu kita?"
"Siapa yang melaporkan pembunuhan itu?"
"Betul. Harap diingat, Nakamoto sepenuhnya
mengontrol tempat itu. Itu pesta mereka, gedung mereka.
Mudah saja bagi mereka untuk menunggu sampai pesta
berakhir dan semua tamu pulang, untuk melaporkan
pembunuhan itu. Seandainya saya sangat memperhatikan
pandangan umum dan, citra saya di masyarakat, itulah yang
akan saya lakukan. Sebab semua tindakan lain dapat
mengancam citra Nakamoto di mata umum."
"Oke."
"Tetapi laporannya tidak ditunda," Connor berkata.
"Justru sebaliknya, laporannya masuk puktil 20.32, pada
waktu pesta tengah berlangsung, dan dengan demikian,
mengancam acara itu. Jadi, kembali ke pertanyaan tadi,
siapa yang melaporkannya?"
Aku berkata, "Anda menyuruh Ishiguro mencari orang
itu. Dan sampai sekarang dia belum melakukannya."
“Betul. Karena dia tidak bisa."
"Dia tidak tahu siapa yang menelepon polisi?"
"Betul."
"Anda pikir peneleponnya bukan orang Nakamoto?"
"Betul."
"Musuh Nakamoto?"
"Hampir pasti."
Aku berkata, "Jadi, bagaimana kita mencari orang itu?"
Connor tertawa. "Untuk itulah saya memeriksa telepon
umum di lobi. Pesawat itu sangat penting dalam mencari
jawaban atas pertanyaan kita."
"Kenapa begitu?"
"Andaikan Anda bekerja untuk sebuah perusahaan
saingan, dan Anda ingin tahu apa yang terjadi di dalam
tubuh Nakamoto. Anda tidak bisa mengetahuinya, karena
perusahaan Jepang mempekerjakan para eksekutif mereka
untuk seumur hidup. Para eksekutif merasa sebagai bagian
dari sebuah keluarga besar. Dan mereka takkan
mengkhianati keluarga sendiri. Jadi, Nakamoto
menampilkan topeng yang tak tertembus kepada dunia,
dan ini menyebabkan detail-detail paling kecil pun
memiliki arti: eksekutif mana saja yang berkunjung dari
Jepang, siapa bertemu dengan siapa, orang-orang yang
datang dan pergi, dan sebagainya. Dan kita bisa
mempelajari detail-detail itu jika kita menjalin hubungan
dengan petugas keamanan Amerika yang sepanjang hari
duduk di depan deretan monitor. Terutama jika petugas itu
sudah mencicipi prasangka orang Jepang terhadap orang
kulit hitam."
"Teruskan," kataku.
"Orang Jepang sering berusaha menyuap petugas
keamanan setempat yang bekerja untuk perusahaan
saingan mereka. Orang Jepang orang terhormat, tetapi
tradisi mereka menghalalkan penyuapan. Dalam cinta dan
perang, semuanya halal, dan orang Jepang memandang
bisnis sebagai perang. Penyuapan boleh-boleh saja, kalau
kita bisa menanganinya."
"Oke."
"Nah, dalam detik-detik pertama setelah pembunuhan
terjadi, kita bisa memastikan kematian gadis itu diketahui
hanya oleh dua orang. Yang pertama adalah pembunuhnya
sendiri. Yang satu lagi adalah si petugas keamanan, Ted
Cole, yang menyaksikannya di layar monitor."
"Tunggu dulu! Ted Cole menyaksikan kejadian itu di
layar monitor? Dia tahu siapa pembunuhnya?"
"Tentu."
"Dia mengaku pulang pukul 20.15."
"Dia berbohong."
"Tapi kalau Anda tahu itu, kenapa kita tidak..."
"Dia takkan memberitahukan apa-apa kepada kita," ujar
Connor. "Sama seperti Phillips. Karena itulah saya tidak
menahan Cole dan membawanya untuk diinterogasi. Sebab
pada akhirnya kita hanya akan buang-buang waktu - dan
waktu sangat penting sekarang. Kita sudah tahu bahwa dia
takkan buka mulut. Pertanyaan saya, apakah dia mem-
beritahu orang lain?"
Aku mulai memahami maksud Connor. "Maksud Anda,
apakah dia keluar dari ruang keamanan dan pergi ke
telepon umum untuk memberitahu seseorang bahwa telah
terjadi pembunuhan?"
"Betul. Karena dia takkan mau menggunakan telepon di
ruang kerjanya. Dia tentu menggunakan telepon umum,
dan menghubungi seseorang - salah satu musuh Nakamoto,
saingan mereka."
Aku berkata, "Tapi sekarang kita sudah tahu bahwa
telepon umum itu tidak dipakai."
"Betul," kata Connor.
"Artinya, kita harus mulai dari nol lagi."
"Oh, tidak. Hal itu justru memperkuat teori saya. Jika
Cole tidak menghubungi orang lain, siapa yang melaporkan
pembunuhan itu? Hanya ada satu jawaban, yaitu
pembunuhnya sendiri."
Aku merinding.
"Dia menelepon untuk mempermalukan pihak
Nakamoto?"
“Saya pikir begitu."
"Tapi dari mana dia menelepon?"
"Itu belum jelas. Tapi dugaan saya, dari dalam gedung
Nakamoto. Dan ada beberapa detail membingungkan yang
belum kita pikirkan
"Misalnya?"
Telepon berdering. Connor menyahut, lalu menyerahkan
gagangnya padaku. "Untuk Anda."

"Bukan, bukan," ujar Mrs. Ascenio. "Si Kecil baik-baik


saja. Saya baru saja menengoknya beberapa menit yang
lalu. Dia baik-baik saja. Letnan, saya ingin memberitahu
Anda bahwa Mrs. Davis menelepon." Itulah sebutan yang
digunakannya untuk bekas istriku.
“Kapan?"
"Kira-kira sepuluh menit yang lalu."
"Apakah dia meninggalkan nomor telepon?"
"Tidak. Dia bilang dia tidak bisa dihubungi malam ini.
Tapi dia ingin memberitahu Anda bahwa ada acara
mendadak, dan bahwa dia mungkin harus ke luar kota. Jadi,
dia mungkin tidak sempat membawa si Kecil selama akhir
pekan."
Aku menghela napas. "Oke."
"Dia bilang, besok dia akan menelepon Anda lagi untuk
memastikannya."
"Oke.”
Aku tidak heran. Begitulah Lauren. Selalu ada perubahan
pada saat terakhir. Kita tak pernah bisa membuat rencana
yang melibatkan Lauren, sebab ia selalu berubah pikiran.
Perubahan terakhir ini mungkin berarti bahwa ia
mempunyai pacar baru dan hendak bepergian dengannya.
Tapi ia belum bisa memastikannya sampai besok.
Tadinya aku beranggapan bahwa sikap Lauren itu
berpengaruh buruk pada Michelle, dan akan membuatnya
tidak percaya diri. Tetapi anak-anak sangat pragmatis.
Tampaknya Michelle mengerti bahwa ibunya memang
begitu, dan ia tidak terganggu.
Akulah yang terganggu.
Mrs. Ascenio berkata, "Anda akan pulang cepat, Letnan?"
"Tidak. Kelihatannya saya baru akan pulang pagi. Anda
bisa menginap?”
"Bisa, tapi jam sembilan besok saya harus berangkat.
Saya tidur di ruang duduk saja, seperti biasa."
Aku mempunyai sofa merangkap tempat tidur di ruang
duduk. Mrs. Ascenio biasa memakainya kalau terpaksa
menginap. "Tentu, silakan."
"Oke, selamat malam, Letnan."
"Selamat malam, Mrs. Ascenio."

Connor berkata, "Ada masalah?" Aku terkejut karena


suaranya bernada tegang.
"Tidak. Bekas istri saya macam-macam, seperti biasa. Dia
belum tahu apakah dia bisa membawa si Kecil selama akhir
pekan. Kenapa?"
Connor mengangkat bahu. "Sekadar tanya saja."
Perasaanku mengatakan bahwa ada sesuatu di balik
sikapnya itu. "Apa maksud Anda tadi, waktu Anda
mengatakan bahwa kasus ini bisa berakibat buruk?"
"Belum tentu," balas Connor. "Jalan keluar yang terbaik
adalah memecahkan kasus ini dalam beberapa jam berikut.
Dan saya rasa ada harapan. Ah, itu restorannya, di depan,
sebelah kiri."
Aku melihat papan reklame neon. Bora Bora.
"Ini restoran milik Eddie Sakamura?"
"Ya. Sebenarnya dia bukan pemilik penuh. Jangan
serahkan kunci pada petugas parkir. Berhenti saja di bawah
tanda larangan. Kita mungkin harus pergi cepat-cepat."

Bora Bora merupakan restoran yang sedang in di L.A.


minggu ini. Dekorasinya berupa topeng-topeng dan
perisai-perisai Polinesia. Perahu dayung berwarna hijau
tergantung di atas bar. Di atas dapur yang terbuka, videoclip
Prince terlihat pada layar selebar lima meter. Makanan
yang dihidangkan adalah makanan Pacific Rim; kebisingan
di sini memekakkan telinga; para pengunjung terdiri atas
orang-orang yang berharap dapat menembus industri film.
Semuanya berpakaian serba hitam.
Connor tersenyum. "Seperti Trader Vic's setelah ada
ledakan bom, bukan? Jangan melotot begitu. Anda tidak
pernah ke luar rumah?"
"Tidak," kataku. Connor berbicara dengan petugas
penerima tamu, seorang wanita peranakan Asia. Aku
memandang ke bar, tempat dua wanita sedang berciuman.
Lebih ke ujung, pria Jepang dengan jaket penerbang tampak
merangkul gadis pirang yang jangkung. Kedua-duanya
sedang mendengarkan seorang pria dengan rambut
menipis dan sikap menantang, yang kukenali sebagai sutra-
dara.
"Ayo," ujar Connor. "Kita pergi."
"Apa?"
"Eddie tidak ada di sini."
"Di mana dia?"
"Dia ada di sebuah pesta di perbukitan. Ayo kita ke sana
saja."

Bab 16

ALAMAT itu berada di sebuah jalan berkelok-kelok di


perbukitan di atas Sunset Boulevard. Seharusnya kota
kelihatan jelas dari sini, tetapi kabut telah
menyelubunginya. Ketika mendekat, kami melihat
mobil-mobil mewah berderet di kedua sisi jalan. Sebagian
besar sedan Lexus, ada juga Mercedes dua pintu dengan
kap terbuka dan sedap Bentley. Para petugas parkir tampak
heran ketika kami muncul naik sedan Chevy, dan menuju
rumah itu.
Seperti rumah-rumah lain di jalan itu, rumah ini
dikelilingi tembok setinggi tiga meter, dan jalan masuknya
terhalang oleh gerbang besi yang di- lengkapi alat
pengendali jarak jauh. Di atas gerbang terdapat kamera
keamanan, satu lagi tampak di jalan menuju rumah.
Seorang petugas keamanan swasta berdiri di sisi jalan dan
memeriksa identitas kami.
Aku berkata, "Rumah siapa ini?"
Sepuluh tahun yang lalu, orang yang menggunakan
pengamanan seperti ini hanya para anggota Mafia, atau
bintang film seperti Stallone, yang melalui film-filmnya
yang keras mengundang perhatian yang juga penuh
kekerasan. Tapi belakangan ini, tampaknya semua
penghuni di lingkungan tempat tinggal orang kaya memiliki
pengamanan serupa. Hal itu telah lazim, bahkan hampir
menjadi mode. Kami menaiki tangga yang melewati taman
kaktus, menuju rumah yang berbentuk modem,
menyerupai benteng. Musik terdengar mengentak-entak.
"Ini rumah pemilik Maxim Noir." Rupanya Connor
melihat bahwa aku terbengong-bengong. "Toko pakaian
mahal yang terkenal karena pelayannya yang congkak. Jack
Nicholson dan Cher biasa berbelanja di sana."
"Jack Nicholson dan Cher," aku mengulangi sambil
geleng-geleng. "Dari mana Anda tahu?"
"Sekarang banyak orang Jepang yang berbelanja di sana.
Maxim Noir sama saja dengan sebagian besar toko Amerika
yang mahal - mereka terpaksa gulung tikar seandainya
tidak ada pengunjung darl Tokyo. Mereka tergantung pada
orang-orang Jepang."
Ketika kami menghampiri pintu depan, seorang pria
tinggi besar dengan jas santai muncul. Ia membawa daftar
nama. "Maaf, pesta ini khusus untuk undangan, Gentlemen."
Connor memperlihatkan lencananya. "Kami ingin bicara
dengan salah satu tamu Anda," katanya.
"Tamu yang mana itu, Sir?"
"Mr. Sakamura."
Orang itu tampak enggan "Silakan tunggu di sini."
Dari pintu masuk, kami bisa melihat ke ruang duduk.
Ruangan itu penuh tamu, yang sepintas lalu sama dengan
orang-orang yang menghadiri resepsi Nakamoto. Seperti di
restoran tadi, hampir semua orang mengenakan pakaian
berwarna hitam. Tapi justru ruangan itu sendiri yang
menarik perhatianku. Semuanya serba putih, sama sekali
tanpa hiasan. Tak ada lukisan di dinding. Tak ada perabot.
Hanya dinding-dinding putih dan karpet polos. Para tamu
tampak canggung. Mereka memegang gelas dan serbet,
memandang berkeliling, mencari tempat untuk meletakkan
semuanya.
Sepasang pria dan wanita melewati kami ketika mereka
menuju ruang makan. "Rod selalu tahu apa yang harus
dilakukannya," ujar wanita itu'.
"Ya," jawab pria yang bersamanya. "Minimalis penuh
keanggunan. Kaulihat detail di ruangan itu? Aku tidak tahu
bagaimana dia bisa mengecat dinding seperti itu.
Sempurna. Tanpa bekas kuas, tanpa belang. Sempurna."
"Memang sudah seharusnya. Ini bagian integral dari
seluruh konsepsinya."
"Sangat berani."
"Berani?" aku berkomentar. "Apa yang mereka sebut
berani? Saya hanya melihat ruangan kosong.”
Connor tersenyum. "Saya menyebutnya faux zen. Gaya
tanpa isi."
Aku mengamati para tamu.
"Senator Morton ada." Ia berdiri di sebuah pojok.
Penampilannya memang pantas sebagai calon presiden.
"Begitu."
Karena penjaga pintu tadi belum kembali, kami maju
beberapa kaki. Ketika aku mendekati Senator Morton, aku
mendengarnya berkata, "Ya, saya bisa menjelaskan
mengapa saya keberatan dengan tingkat kepemilikan
Jepang dalam industri Amerika. Kalau kita kehilangan
kemampuan membuat produk-produk kita sendiri, kita
kehilangan kontrol atas nasib kita. Sederhana saja. Sebagai
contoh, tahun 1987 kita mendapat laporan bahwa Toshiba
menjual teknologi yang menentukan kepada Rusia, yang
memungkinkan Angkatan Laut Soviet mengurangi
kebisingan yang ditimbulkan oleh baling-baling kapal
selam mereka. Sekarang kapal selam nuklir Rusia berada di
lepas pantai dan kita tidak sanggup melacak mereka,
karena mereka memiliki teknologi dari Jepang. Kongres
marah sekali, dan para warga Amerika pun geram. Dan
memang beralasan, sebab kejadian itu sangat keterlaluan.
Pihak Kongres lalu berniat mengenakan sanksi ekonomi
kepada Toshiba. Tetapi rencana itu akhirnya dibatalkan
atas imbauan perusahaan-perusahaan Amerika, sebab
perusahaan-perusahaan Amerika seperti Hewle”-Packard
dan Compaq tergantung pada Toshiba untuk memperoleh.
komponenkomponen komputer. Mereka tak sanggup men-
dukung rencana boikot, karena mereka tidak memiliki
sumber lain. Singkat kata, kita tak sanggup mengambil
langkah balasan. Jepang menjual teknologi vital kepada
musuh kita, dan kita tak dapat berbuat apa-apa. Itulah
masalahnya. Kita, sekarang tergantung pada Jepang, dan
menurut saya, Amerika tidak boleh tergantung pada negara
mana pun."
Seseorang mengajukan pertanyaan dan Senator Morton
mengangguk. "Ya, memang benar bahwa keadaan industri
kita tidak terlalu baik. Upah nyata kini sebanding dengan
upah nyata, di tahun 1962. Daya beli angkatan kerja
Amerika mundur sekitar tiga puluh tahun. Dan itu
berpengaruh, juga terhadap orang-orang berada yang saya
lihat di ruangan ini, sebab itu berarti para konsumen Ame-
rika tidak mempunyai uang untuk nonton film, membeli
mobil, pakaian, atau apa pun yang Anda jual. Kenyataannya
bangsa kita sedang merosot."
Seorang wanita mengajukan pertanyaan lain yang tak
terdengar olehku, dan Morton berkata, "Betul, sebanding
dengan tahun 1962. Saya tahu bahwa ini sukar dipercaya,
tapi coba ingat keadaan di tahun lima puluhan, ketika
pekerja Amerika sanggup memiliki rumah, membiayai
keluarga, dan memasukkan anak-anaknya ke perguruan
tinggi, semuanya dengan gaji yang dia terima. Kini kedua
orangtua terpaksa bekerja, dan sebagian besar orang tetap
tak mampu mendapatkan rumah. Nilai dolar semakin
merosot, segala sesuatu bertambah. mahal. Orang-orang
harus berjuang untuk mempertahankan apa yang mereka
miliki. Mereka tidak bisa maju."
Aku menyadari bahwa aku mendengarkannya sambil
mengangguk-angguk. Sekitar sebulan yang lalu aku mencari
rumah, dengan harapan dapat memperoleh pekarangan
belakang untuk Michelle Tapi harga rumah benar-benar
tidak masuk akal di L.A. Aku takkan pernah sanggup
membeli rumah, kecuali jika aku menikah lagi. Dan itu pun
belum tentu, sebab...
Aku merasakan sebuah sikat mendarat di tulang igaku.
Seketika aku berbalik, dan melihat petugas penjaga pintu.
Ia memberi isyarat kepala ke arah pintu. "Kembali ke sana,
Bung."
Aku marah. Aku menoleh ke arah Connor, tapi ia kembali
ke pintu masuk.
Di ambang pintu, penjaga itu berkata, "Saya sudah
memeriksanya. Di sini tidak ada yang bernama Mr.
Sakamura.
"Mr. Sakamura," kata Connor, "adalah orang Jepang yang
berdiri di belakang sana, di sebelah kanan Anda. Yang
sedang mengobrol dengan wanita berambut merah itu."
Si penjaga pintu menggelengkan kepala. “Maaf, kecuali
jika Anda dapat menunjukkan surat tugas resmi, saya
terpaksa mempersilakan Anda pergi dari sini."
"Sebenarnya tidak ada masalah," ujar Connor. "Mr.
Sakamura teman lama saya. Saya tahu dia mau menemui
saya."
“Maaf, Anda punya surat tugas resmi?"
"Tidak," ujar Connor.
"Kalau begitu, Anda telah masuk tanpa izin. Dan
sekarang saya minta Anda pergi."
Connor tetap berdiri di tempat.
Si penjaga pintu mundur sedikit dan memasang
kuda-kuda. Ia berkata, "Anda perlu tahu bahwa saya
pemegang sabuk hitam."
"Oh, begitu?" ujar Connor.
"Sama halnya dengan Jeff," si penjaga menambahkan
ketika laki-laki kedua muncul.
"Jeff," kata Connor. "Apakah Anda yang akan
mengantarkan rekan Anda ini ke rumah sakit?"
Jeff tertawa sinis. "Hei, saya suka humor. Lucu sekali.
Oke, Mr. Wise Guy. Anda berada di tempat yang salah. Anda
sudah mendengar penjelasan teman saya. Keluar.
Sekarang." Ia menotok dada Connor dengan jari telunjuk.
Connor berkata dengan tenang. "Ini penyerangan.”
Jeff berkata, "Hei, persetan kau. Aku sudah bilang kau di
tempat yang salah ......”
Connor melakukan sesuatu dengan sangat cepat, dan
tiba-tiba saja Jeff sudah tergeletak di lantai,
mengerang-erang kesakitan. Ia berguling-guling sampai
menabrak sepasang kaki yang terbungkus celana berwarna
hitam. Ketika menoleh, aku melihat bahwa orang yang
mengenakan celana itu berpakaian serba hitam-kemeja
hitam, dasi hitam, jas satin hitam. Rambutnya putih, dan ia
menampilkan sikap dramatis yang lazim ditemui di
kalangan Hollywood. "Saya Rod Dwyer. Ini rumah saya. Ada
masalah apa?"
Connor memperkenalkan kami dengan sopan dan
memperlihatkan lencananya. "Kami datang untuk urusan
resmi. Kami ingin bicara dengan salah seorang tamu Anda -
Mr. Sakamura, tuan yang sedang berdiri di pojok sana."
"Dan orang ini?" tanya Dwyer sambil menunjuk Jeff yang
masih terengah-engah dan terbatuk-batuk di lantai.
Connor berkata dengan tenang, "Dia menyerang saya."
"Keparat! Saya tidak menyerang dia!" ujar Jeff sambil
bertumpu pada sikutnya.
Dwyer berkata, "Kau menyentuhnya?"
Jeff diam saja. Matanya mendelik.
Dwyer kembali berpaling pada kami. "Saya minta maaf
atas kejadian ini. Orang-orang ini masih baru. Saya tidak
tahu apa yang mereka pikirkan. Bisa saya ambilkan
minuman untuk Anda?"
"Terima kasih, tapi kami sedang bertugas," kata Connor.
"Kalau begitu, saya akan minta Mr. Sakamura datang ke
sini untuk berbicara dengan Anda. Maaf, nama Anda?"
"Connor."
Dwyer menjauhi kami. Si penjaga pintu membantu Jeff
berdiri. Sambil berlalu, Jeff bergumam, "Setan!"
Aku berkata kepada Connor, "Anda masih ingat dulu,
waktu polisi masih dihormati?"
Tetapi Connor menggeleng-geleng sambil menundukkan
kepala. "Saya malu sekali," katanya.
"Kenapa?"
Ia tak mau menjelaskan.

"Hei, John! John Connor! Hisashiburi dana! Sudah lama


tidak ketemu. Apa kabar? Hei!" Ia menonjok bahu Connor.
Dilihat dari dekat, Eddie Sakamura tidak terlalu tampan.
Kulitnya kelabu, dengan bekas cacar, dan ia berbau
minuman keras. Gerak-geriknya serba tegang, hiperaktif,
bicaranya pun terburu-buru. Fast Eddie bukan orang yang
telah menemukan kedamaian dalam hatinya.
Connor menjawab, "Saya baik-baik saja, Eddie.
Bagaimana denganmu?"
"Yah, lumayanlah, Kapten. Ada satu-dua hal kecil. Saya
dapat lima-nol-satu, mengemudi dalam keadaan mabuk,
sedang berusaha menanganinya, lapi Anda tahu sendiri,
berkas saya sudah menumpuk di kantor polisi, sekarang
semakin sulit. Tapi, hei! Santai saja! Sedang apa Anda di
sini? Lumayan ramai, heh? Mode terbaru, tanpa perabot!
Rod bikin gaya baru. Hebat! Tak ada yang bisa duduk!" Ia
tertawa. "Gaya baru! Hebat!"
Aku mendapat kesan bahwa ia berada di bawah
pengaruh obat bius. Sikapnya terlalu berlebihan. Bekas luka
di tangannya tampak jelas. Wamanya merah
keungu-unguan, berukuran kira-kira empat kali tiga senti.
Sepertinya bekas luka bakar.
Connor merendahkan suara dan berkata, "Sebenarnya,
Eddie, kami datang untuk mengusut yakkaigoto di
Nakamoto tadi."
"Ah, ya," ujar Eddie. Ia pun merendahkan suaranya. "Tak
heran dia bernasib begitu. Dia memang henntai."
"Dia sesat? Kenapa kau berkata begitu?"
Eddie berkata, "Kita keluar sebentar? Saya mau
merokok, tapi Rod melarang orang merokok di dalam
rumah."
"Oke, Eddie."
Kami melangkah ke luar dan berdiri di pinggir taman
kaktus. Eddie menyalakan sebatang Mild Seven Menthol.
"Hei, Kapten, saya tidak tahu seberapa banyak yang sudah
Anda ketahui. Tapi cewek itu... dia tidur dengan sejumlah
orang yang ada di dalam sana. Dia tidur dengan Rod. Dan
beberapa orang lagi. Nah. Jadi lebih mudah kalau kita bicara
di sini, oke?"
"Tentu "
"Saya kenal baik dengan dia. Sangat baik. Anda tahu,
saya hipparidako, heh? Bukan salah saya. Saya memang
populer. Dia terus menempel saya. Terus-menerus "
"Saya tahu itu, Eddie. Tapi kaubilang dia ada masalah?"
l
"Masalah besar, Amigo. Grande'problemos. Sakit, cewek
itu. Dia baru bisa puas kalau kesakitan.”
"Orang seperti itu ada di mana-mana, Eddie.”
Ia mengisap rokoknya. "Hei, bukan," katanya. "Ini lain.
Maksudku, bagaimana dia bisa sampai puas. Kalau
benar-benar disakiti. Dia selalu minta, lagi, lagi. Sekali lagi.
Lebih keras."
Connor berkata, "Lehernya?"
"Yeah. Lehernya. Betul. Cekik lehernya. Yeah. Anda
sudah dengar? Dan kadang-kadang pakai kantong plastik.
Kantong plastik bening. Masukkan ke kepalanya dan jepit
dengan tangan. Cekik lehernya sambil sanggama. Dia
megap-megap, plastiknya menempel di mulut, dan
mukanya jadi biru. Punggung kita dicakar-cakar. Terus
megap-megap. Ya Tuhan! Saya sendiri tidak tertarik. Tapi
asal tahu saja, cewek ini... wow! Kalau dia sampai puncak,
benar-benar luar biasa. Tak bakal lupa. Sumpah. Tapi bagi
saya, terlalu kacau. Selalu menyerempet bahaya. Selalu ada
risiko. Menantang nasib. Mungkin kali ini. Mungkin ini yang
terakhir. Anda mengerti maksud saya?" Ia menjentikkan
rokoknya, yang lalu jatuh di tengah-tengah duri kaktus.
"Kadang-kadang memang seru. Seperti rolet Rusia. Tapi
saya tidak sanggup, Kapten. Sumpah. Tidak sanggup. Dan
Anda kenal saya, saya suka yang liar-liar begitu."
Eddie Sakamura membuatku merinding. Aku berusaha
membuat catatan ketika ia bercerita, tetapi kata-katanya
meluncur begitu cepat, sehingga aku selalu ketinggalan. Ia
kembali menyalakan sebatang rokok, tangannya gemetar.
Ia terus bicara seperti kereta api, melambai-lambaikan
ujung rokok yang membara untuk memberi penekanan.
"Maksud saya, cewek ini, dia jadi masalah," kata Eddie.
"Oke, dia cantik. Cewek cantik. Tapi kadang-kadang dia
tidak bisa keluar rumah, terlalu parah. Kadang-kadang dia
harus pakai rias wajah tebal, karena kulit lehernya sensitif.
Dan di lehernya banyak luka memar. Sekeliling leher.
Gawat. Anda sudah lihat sendiri, mungkin Anda lihat
mayatnya, Kapten?"
"Yeah, saya melihatnya."
"Jadi..." Eddie terdiam sejenak, ragu-ragu. Ia seakan-akan
mundur, mempertimbangkan sesuatu Ia membuang abu
rokok. "Jadi, dia dicekik?"
"Ya, Eddie. Dia dicekik."
Ia mengisap rokoknya. "Yeah. Masuk akal."
"Kau melihatnya, Eddie?"
"Saya? Tidak. Apa maksud Anda? Mana mungkin saya
lihat dia, Kapten?" Ia mengembuskan asap rokok.
"Eddie. Lihat ke sini."
Eddie berpaling kepada Connor.
"Lihat mata saya. Sekarang katakan. Kau melihat
mayatnya?"
"Tidak. Yang benar saja, Kapten." Eddie tertawa kecil,
gelisah, dan memalingkan wajah. Ia menjentikkan
rokoknya, sehingga berputar-putar di udara.
Bunga api beterbangan. "Apa ini? Pengusutan dengan
paksa? Tidak, saya tidak melihat mayatnya."
"Eddie."
"Sumpah, Kapten."
"Eddie. Bagaimana hubunganmu dengan semuanya ini?"
"Saya? Sial. Saya tidak tahu apa-apa, Kapten. Oke, saya
kenal cewek itu. Kadang-kadang saya menemui dia. Saya
tidur dengan dia, memang. Dia agak aneh, tapi asyik. Cewek
asyik. Luar biasa di tempat tidur. Cuma itu, Kapten. Cuma
itu." Ia memandang berkeliling, menyalakan rokok ketiga.
"Bagus, heh, taman kaktus ini? Xeriseape, istilahnya. Mode
terbaru. Los Angeles kembali ke ke hidupan gurun. Ini
haya”erunosa, sangat trendy."
"Eddie."
"Ayolah, Kapten. Ada apa dengan Anda? Kita sudah lama
saling mengenal."
"Tentu, Eddie. Tapi saya ada masalah. Bagaimana dengan
kaset-kaset video dari ruang keamanan?"
Eddie tampak bingung, wajahnya polos. "Kaset-kaset
video?"
"Seorang pria dengan bekas luka di tangan dan dasi
bermotif segi tiga masuk ke ruang keamanan Nakamoto
dan mengambil kaset-kaset video dari sana.”
“Sial! Ruang keamanan? Apa-apaan ini, Kapten?"
"Eddie."
"Siapa yang mengatakannya pada Anda? Itu tidak benar.
Mengambil kaset-kaset video? Saya tidak pernah berbuat
begitu. Anda sudah gila?" Ia membalikkan dasi dan
mengamati labelnya. "Lihat, Polo, Kapten. Ralph Lauren.
Pasti banyak dasi seperti ini."
"Eddie'. Bagaimana dengan Imperial Arms?"
"Ada apa dengan Imperial Arms?"
"Kau pergi ke sana malam ini?"
"Tidak."
"Kau merapikan kamar Cheryl?"
"Apa?" Eddie kelihatan kaget. "Apa? Tidak. Merapikan
kamarnya? Dari mana Anda dapatkan segala omong kosong
ini, Kapten?"
"Dari wanita muda di seberang selasar... Julia Young,"
ujar Connor. "Dia mengaku melihatmu tadi, bersama pria
lain. Di kamar Cheryl di Imperial Arms."
Eddie mengangkat kedua tangannya. "Astaga! Kapten,
dengar baik-baik. Cewek itu takkan tahu apakah dia melihat
saya semalam atau bulan lalu. Dia pecandu heroin. Anda
bisa menemukan bekas suntikan di sela-sela jari kakinya, di
bawah lidah, di kemaluannya. Cewek itu tukang mimpi. Dia
tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Buset. Anda
datang ke sini, menuduh saya macam-macam. Saya tidak
suka." Eddie membuang rokoknya, dan langsung
menyalakan yang berikut. "Saya sama sekali tidak suka.
Anda tidak lihat apa yang terjadi?"
"Tidak," kata Connor. "Coba katakan, Eddie, apa yang
sedang terjadi?" f
"Omong kosong ini tidak benar. Semuanya tidak benar."
Ia mengisap rokoknya beberapa kali. "Anda tahu apa
masalah sebenarnya? Ini bukan mengenai cewek-cewek itu.
Ini menyangkut pertemuan Sabtu. Doyou kai, Connor-san.
Pertemuan rahasia. Itulah masalahnya."
Connor membentak, "Sonna bakana."
"Bukan bakana, Connor-san. Bukan omong kosong."
"Tahu apa wanita muda dari Texas mengenai Doyou
kai?"
"Dia tahu sesuatu. Honto nanda. Dan suka bikin masalah,
cewek ini. Suka bikin onar."
"Eddie, mungkin ada baiknya kalau kau ikut dengan
kami."
"Oke. Silakan. Bantu mereka. Bantu kuromaku." Ia
berbalik dan menghadap Connor. "Tahi kucing. Ayolah,
Kapten. Anda tahu apa yang akan terjadi. Cewek ini
terbunuh di Nakamoto. Anda tahu keluarga saya, ayah saya,
di Daimatsu. Di Osaka mereka akan baca bahwa wanita
muda terbunuh di Nakamoto dan bahwa saya ditangkap
sehubungan dengan itu. Anaknya."
"Ditahan untuk diperiksa lebih lanjut."
"Ditahan. Apa pun namanya. Anda tahu apa artinya ini.
Taihennakoto ni naru zo. Ayah saya akan mengundurkan
diri, perusahaannya harus minta maaf kepada Nakamoto.
Mungkin memberi ganti rugi. Memberi kemudahan dalam
bisnis. Ini osawagi ni naruzo yang hebat. Inilah yang Anda
lakukan kalau Anda menahan saya." Ia mencampakkan
rokoknya. "Hei, kalau Anda pikir saya pembunuhnya,
silakan tangkap saya. Tapi Anda cuma mencari kambing
hitam. Anda bisa sangat merugikan saya, Kapten. Anda tahu
itu."
Connor terdiam untuk waktu lama. Lama ia tidak
mengatakan apa pun. Mereka berjalan-jalan di taman,
berputar-putar.
Akhirnya Eddie berkata, "Na, Connor-san. Ma”e kure yo..."
Suaranya bernada memohon. Sepertinya ia mengharapkan
kebijaksanaan Connor.
Connor menghela napas. "Kaubawa paspormu, Eddie?"
"Yeah, tentu. Selalu."
"Serahkan pada saya."
"Yeah, tentu. Oke, Kapten. Ini dia."
Connor mengamatinya sekilas, lalu menyerahkannya
padaku. Aku menyelipkannya ke dalam saku.
"Oke, Eddie. Tapi awas kalau murina koto. Atau kau akan
dinyatakan persona non grata. Dan aku sendiri yang akan
memasukkanmu ke pesawat berikut ke Osaka. Waka”aka?"
"Kapten, Anda telah melindungi kehormatan keluarga
saya. On ni kiru yo." Dan ia membungkuk dengan formal,
dengan kedua tangan di sisi badan.
Connor membalas dengan cara yang sama.
Aku hanya terbengong-bengong. Aku tak percaya apa
yang kulihat. Connor akan melepaskannya. Aku
benar-benar tak percaya.
Aku menyerahkan kartu namaku kepada Eddie dan
mengulangi pidatoku mengenai bagaimana ia dapat
menghubungi kemudian jika ia teringat pada sesuatu. Eddie
mengangkat bahu dan memasukkan kartu namaku ke
dalam kantong baju, sambil menyalakan rokok. Aku tidak
masuk hitungan, ia berurusan dengan Connor.
Eddie kembali ke rumah, lalu berhenti sejenak.
"Saya ketemu cewek berambut merah di sini, menarik
sekali," katanya. "Setelah pesta ini, saya mau pulang ke
rumah saya di perbukitan. Kalau Anda perlu saya, saya ada
di sana. Selamat malam, Kapten. Selamat malam, Letnan."
"Selamat malam, Eddie."
Kami menuruni tangga.

"Mudah-mudahan Anda tahu apa yang Anda lakukan,"


kataku.
"Mudah-mudahan saja," ujar Connor.
"Sebab di mata saya, dia seperti orang yang bersalah."
"Mungkin."
"Menurut saya, lebih baik kalau dia ditahan Lebih aman."
"Mungkin."
"Kita kembali ke sana untuk membawanya?"
"Tidak." Ia menggelengkan kepala. "Dai rokkan saya
mengatakan jangan."
Aku tahu apa arti kata itu. Artinya indra keenam. Orang
Jepang sangat percaya intuisi. Aku berkata, "Yeah, hmm,
mudah-mudahan Anda benar."
Kami terus menuruni tangga dalam kegelapan.
"Ada sesuatu yang perlu Anda ketahui," ujar Connor.
"Saya berutang padanya."
"Berutang?"
"Suatu ketika, beberapa tahun yang lalu, saya
memerlukan informasi tertentu. Anda masih ingat kasus
keracunan fugu? Tidak? Oke, pokoknya, tak seorang pun
bersedia memberi keterangan. Saya seperti bicara dengan
tembok. Dan saya membutuhkan informasi itu. Eddie yang
memberitahu saya. Dia ketakutan, karena tidak ingin orang
lain tahu. Tapi dia tetap membantu saya. Saya mungkin
berutang nyawa padanya."
Kami sampai di kaki tangga.
"Apakah dia mengingatkan Anda?"
"Dia takkan berbuat begitu. Sayalah yang harus
mengingatnya."
Aku berkata, "Oke, Kapten. Urusan utang budi ini
sungguh mulia. Dan saya mendukung harmoni antarsuku
bangsa. Tapi sementara itu, ada kemungkinan bahwa dia
membunuh Cheryl Austin, mencuri kaset-kaset video, dan
merapikan apartemen wanita muda itu. Bagi saya, Eddie
Sakamura kelihatan seperti pecandu narkotika yang
mengalami korslet. Tingkah lakunya mencurigakan. Dan
kita malah pergi. Membiarkan dia begitu saja."
"Betul."
Kami terus berjalan. Aku merenung, dan semakin cenias.
Aku berkata, "Sebenarnya, secara resmi sayalah yang
memimpin penyidikan ini."
"Sebenarnya Graham yang bertanggung jawab."
"Yeah, oke. Tapi kita akan kelihatan seperti orang tolol
kalau ternyata dia pelakunya."
Connor mendesah, seakan-akan kehilangan kesabaran.
"Baiklah, mari kita bahas kasus ini sesual jalan pikiran
Anda. Eddie membunuh Cheryl Austin, oke?"
"Oke."
"Dia bisa menemuinya kapan saja, tapi dia memutuskan
untuk berhubungan di meja rapat, dan kemudian
membunuhnya. Setelah itu dia turun ke lobi, dan berlagak
sebagai eksekutif Nakamoto, biarpun penampilan Eddie
Sakamura sama sekali bukan seperti eksekutif. Tapi kita
anggap saja penyamarannya sukses. Dia berhasil menyuruh
petugas keamanan pulang lebih awal. Dia mengambil
kaset-kaset video itu. Dia keluar dari ruang keamanan tepat
pada waktu Phillips datang, kemudian dia pergi ke
apartemen Cheryl untuk merapikannya. Tapi entah kenapa
dia menambahkan foto dirinya, menyelipkannya ke bingkai
cermin. Lalu dia mampir di Bora Bora, dan memberitahu
semua orang bahwa dia akan menghadiri sebuah pesta di
Hollywood. Kita menemukannya di sana, di sebuah ruangan
tanpa perabot, sedang merayu wanita berambut merah.
Begitukah Anda membaca kejadian malam ini?"
Aku diam saja. Jika diungkapkan seperti itu,
kecurigaanku tampaknya memang tidak beralasan. Tapi di
pihak lain...
"Saya hanya bisa berharap bahwa bukan dia pelakunya."
"Begitu juga saya."
Kami sampai di tepi jalan. Salah satu petugas parkir
bergegas datang untuk mengambil mobil kami.
"Caranya menceritakan hal-hal tadi," kataku, misalnya
bagaimana dia menutup kepala Cheryl Austin dengan
kantong plastik - mengerikan."
"Oh, itu tidak berarti apa-apa," ujar Connor. "Anda harus
ingat, Jepang tidak terpengaruh oleh ajaran Freud maupun
ajaran Nasrani. Mereka tidak merasa berdosa atau malu
mengenai seks. Tak ada masalah dengan homoseksualitas
atau seks yang menyimpang. Mereka bersikap apa adanya.
Ada orang yang suka ini, ada yang suka itu, apa bedanya.
Orang Jepang tak pernah memahami kenapa kita
ribut-ribut mengenai fungsi biologis yang begitu sederhana.
Mereka menganggap kita tertalu kaku dalam hal seks. Dan
memang ada benarnya." Connor melirik jam tangannya.
Sebuah mobil patroli keamanan swasta berhenti.
Seorang petugas berseragam menyembulkan kepalanya
dari jendela. "Hei, ada masalah di pesta di atas sana?"
"Masalah apa?"
"Perkelahian. Kami menerima laporan mengenai
perkelahian."
"Saya tidak tahu," ujar Connor. "Lebih baik Anda ke sana
untuk memastikannya."
Petugas itu turun dari mobil, menarik celananya yang
agak merosot, lalu mulai menaiki tangga.
Connor menoleh ke belakang, menatap tembok yang
tinggi. "Anda sadar bahwa sekarang ini lebih banyak
petugas keamanan swasta dibandingkan petugas polisi?
Semua orang membangun benteng dan menyewa petugas
satpam. Tapi di Jepang, kita bisa pergi ke taman di tengah
malam buta, duduk di bangku, dan takkan terjadi apa-apa.
Kita aman sepenuhnya, siang dan malam. Kita bisa pergi ke
mana saja. Kita tak perlu takut dirampok, dianiaya, atau
dibunuh. Kita tidak selalu menoleh ke belakang, tidak selalu
dihantui perasaan waswas. Keamanan kita adalah
keamanan seluruh masyarakat. Kita bebas. Perasaan ini
benar-benar menyenangkan. Di sini semua orang harus
mengurung diri. Mengunci pintu. Mengunci mobil. Orang
yang terus-menerus mengurung diri hidup seperti di
penjara. Tidak masuk akal. Tapi keadaan ini sudah
berlangsung begitu lama, sehingga orang Amerika sudah
lupa bagaimana nikmatnya kalau kita merasa benar-benar
aman. Baiklah. Mobil kita sudah datang. Sekarang kita ke
markas divisi."
Kami baru saja mulai menggelinding, ketika operator
DHD memanggil, "Letnan Smith," ia berkata, "ada tugas
untuk Special Services."
"Saya sedang sibuk," kataku. "Apakah bisa ditangani oleh
petugas cadangan?"
"Letnan Smith, beberapa petugas patroli minta bantuan
Special Services untuk kasus TP di wilayah sembilan belas."
Ia sedang memberitahuku bahwa ada masalah dengan
seorang tamu penting. "Saya mengerti," aku membalas,
"tapi saya sedang menangani kasus lain. Serahkan saja
kepada petugas cadangan."
"Tapi lokasinya di Sunset Plaza Drive. Bukankah Anda
berada di..."
"Ya," kataku. Sekarang aku mengerti mengapa ia begitu
ngotot. Kejadian itu berjarak hanya beberapa blok saja.
"Oke, apa masalahnya?"
"Kasus MDKM yang melibatkan TP. Dilaporkan sebagai
tingkat P plus satu. Nama belakang adalab Rowe."
"Oke," kataku. "Kami segera ke sana." Aku
mengembalikan gagang dan memutar mobil.
"Menarik," Connor berkomentar. "Tingkat P plus satu -
apakah itu berarti Pemerintah Amerika?"
"Ya," jawabku.
"Senator Rowe?"
"Sepertinya begitu," kataku. "Mengemudi dalam keadaan
mabuk."

Bab 17

SEDAN Lincoln berwarna hitam itu berhenti di pe-


karangan sebuah rumah di bagian Sunset Drive Plaza yang
curam. Dua mobil patroli berhenti di tepi jalan, dengan
lampu berwarna merah berkedap-kedip. Di pekarangan,
setengah lusin orang herdiri di sebelah sedan Lincoln.
Seorang pria bermantel mandi, dengan tangan terlipat di
depan dada; beberapa gadis dengan rok mini berkilau-
kilau; seorang pria tampan berambut pirang, berusia empat
puluhan, berpakaian tuksedo; serta seorang pria yang lebih
muda dengan setelan jas warna biru, yang kukenali sebagai
pemuda yang ikut masuk ke lift bersama Senator Rowe tadi.
Para petugas patroli telah mengeluarkan kamera video.
Sebuah lampu menyilaukan diarahkan kepada Senator
Rowe. Ia sedang bersandar pada spakbor depan sedan
Lincoln, sambil melindungi wajahnya dari cahaya dengan
sebelah tangan. Ia mencaci maki keras-keras ketika Connor
dan aku mendekat.
Pria bermantel mandi menghampiri kami dan berkata,
"Saya ingin tahu siapa yang akan bertanggung jawab."
"Tunggu sebentar, Sir." Aku terus berjalan.
"Dia tidak bisa menghancurkan pekarangan saya seperti
ini. Saya menuntut ganti rugi."
"Harap bersabar sejenak, Sir."
"Dia mengagetkan istri saya, dan istri saya menderita
kanker."
Aku berkata, "Sir, beri saya satu menit saja, dan setelah
itu saya akan bicara dengan Anda."
"Kanker telinga," ia menegaskan. "Telinga."
"Ya, Sir. Baik, Sir." Aku terus berjalan ke arah sedan
Lincoln dan lampu yang terang benderang.
Ketika aku melewati asisten Senator Rowe, ia ikut
berjalan di sampingku dan berkata, "Saya dapat
menjelaskan semuanya, Detektif " Usianya sekitar tiga
puluh, dengan wajah tampan berkesan lembut yang lazim
ditemui di kalangan anggota staf Kongres.
"Sebentar," kataku. "Saya ingin bicara dengan Senator
Rowe dulu."
"Beliau sedang tidak enak badan," ujar asistennya.
"Beliau sangat letih." Ia menghalangiku. Aku hanya
berputar sedikit. Ia segera bergegas menyusulku. "Jet lag,
itu masalahnya. Beliau terkena jet lag."
"Saya harus bicara dengannya," kataku, lalu melangkah
ke cahaya yang terang. Rowe masih mengangkat sebelah
tangan. Aku berkata, "Senator Rowe?"
"Matikan lampu keparat itu, persetan," Rowe
mengumpat. Ia demikian mabuk, sehingga ucapannya sukar
dimengerti.
"Senator Rowe," kataku. "Kelihatannya saya terpaksa
minta Anda..."
"Ah, persetan kau."
"Senator Rowe," kataku.
"Matikan kamera keparat itu."
Aku menoleh ke arah petugas patroli dan memberi
isyarat padanya. Dengan enggan ia mematikan kamera.
Lampu pun dipadamkan.
"Astaga," ujar Rowe. Akhirnya ia menurunkan tangan. Ia
menatapku dengan mata muram. "Sialan, ada apa ini?"
Aku memperkenalkan diri.
"Kalau begitu, kenapa Anda tidak berbuat sesuatu
mengenai kebun binatang brengsek ini, heh?" balas Rowe.
"Saya mau pulang ke hotel saya.”
"Saya mengerti, Senator."
"Entah apa..." Ia melambaikan tangan asal saja. "Apa
masalahnya di sini'?"
"Senator, apakah Anda yang mengemudikan mobil ini
tadi?"
"Persetan. Mengemudi." ia berbalik badan. "Jerry?
Jelaskan pada mereka!"
Jerry segera melangkah maju. "Saya sangat menyesal
atas semuanya ini," ia berkata dengan lancar. "Bapak
Senator sedang tidak enak badan. Beliau baru kembali dari
Tokyo semalam. Jet lag. Beliau sangat letih."
"Siapa yang mengemudikan mobil itu?" aku bertanya.
"Saya," si asisten berkata.
Salah satu gadis tadi tertawa cekikikan.
"Bukan, bukan dia," pria bermantel mandi berseru dari
seberang mobil. "Dia yang menyopir. Dan dia tidak sanggup
keluar tanpa terjatuh."
"Astaga, persetan semuanya," Senator Rowe berkata
sambil menggosok-gosok kepala.
"Detektif," ujar asistennya. "Saya yang duduk di belakang
kemudi tadi. Anda dapat menanyakannya kepada kedua
wanita ini." Ia menoleh ke arah kedua gadis bergaun pesta.
Memberi isyarat mata.
"Bohong. Dia bohong," seru pria bermantel mandi.
"Tidak, itu memang benar," pria tampan bertuksedo
angkat bicara. Kulitnya kecoklatan dan sikapnya santai,
seakan-akan sudah terbiasa bahwa semua perintahnya
ditaati. Kemungkinan besar orang Wall Street. Ia tidak
memperkenalkan diri.
"Saya yang mengemudikan mobil ini," Jerry menegaskan.
"Semuanya brengsek," Rowe bergumam. "Saya mau
pulang ke hotel."
"Apakah ada yang cedera?" tanyaku.
"Tak ada yang cedera," ujar Jerry. "Semuanya baik-baik
saja."
Aku bertanya pada petugas polisi yang berdiri di
belakangku. "Kejadian ini akan dilaporkan sebagai kasus
satu-sepuluh?" Satu-sepuluh merupakan kode untuk
kerusakan harta tak bergerak akibat kecelakaan kendaraan
bermotor.
"Tidak perlu," salah seorang petugas patroli berkata
padaku. "Yang terlibat hanya satu mobil, dan jumlah
kerugiannya tidak seberapa." Laporan baru dibuat jika
jumlah kerugian melebihi dua ratus dolar. "Ini cuma kasus
lima-nol-satu. Terserah Anda, mau dilaporkan atau tidak."
Aku memutuskan tidak. Salah satu hal yang kita pelajari
di Special Services adalah SAR, situational appropriate
response, tindakan yang sesuai keadaan SAR berarti bahwa
dalam kasus yang melibatkan pejabat terpilih atau orang
terkenal, kita membiarkannya saja, kecuali jika ada yang
hendak menggugat. Dalam praktek, itu berarti tak ada
penangkapan selain untuk tindak pidana yang tergolong
berat.
Aku berkata pada asisten Senator Rowe, "Catat nama
dan alamat pemilik pekarangan ini, agar Anda dapat
mengurus pemberian ganti rugi."
"Dia sudah tahu nama dan alamat saya," ujar pria
bermantel mandi. "Tapi saya ingin tahu, apa yang akan
dilakukan olehnya?"
"Saya sudah memberitahunya bahwa kami akan
membayar ganti rugi atas semua kerusakan yang terjadi,"
kata Jerry. "Hal itu sudah saya katakan padanya. Tapi
rupanya dia masih..."
"Persetan, lihat itu; semua tanamannya rusak tergilas.
Dan dia menderita kanker, kanker telinga."
"Sebentar, Sir," aku berkata kepada asisten Senator
Rowe. "Siapa yang akan mengemudi sekarang?"
"Saya," katanya.
"Dia," ujar Senator Rowe sambil mengangguk.
"Jerry. Kau pegang kemudi."
Aku berkata kepada asistennya, "Baiklah. Saya minta
Anda menjalani tes kadar alkohol dulu."
"Tentu, ya ....”
"Dan tolong perlihatkan SIM Anda."
"Oke."
Jerry meniup alat penguji kadar alkohol dan
menyerahkan SIM-nya padaku. SIM itu dikeluarkan di
Texas. Gerrold D. Hardin, 34 tahun. Beralamat di Austin,
Texas. Aku mencatat keterangan-keterangan itu, lalu
mengembalikan SIM-nya.
"Baiklah, Mr. Hardin. Untuk malam ini saya serahkan
Senator Rowe ke bawah penjagaan Anda."
"Terima kasih, Letnan. Saya menghargai pengertian
Anda."
Pria bermantel mandi berkata, Anda mau melepaskan
dia?"
"Tunggu sebentar, Sir," aku berkata kepada Hardin.
"Tolong berikan kartu nama Anda kepada tuan ini, dan
hubungi dia. Saya minta urusan ini diselesaikan secara
memuaskan."
"Tentu saja. Ya." Hardin meraih ke dalam saku untuk
mengambil kartu nama. Ia menarik sesuatu berwarna
putih, yang tampak seperti saputangan. Cepat-cepat ia
memasukkannya kembali ke dalam saku, lalu menyerahkan
kartu nama kepada pria bermantel mandi
"Anda harus mengganti semua tanaman begonia."
"Baik, Sir," ujar Hardin.
“Semuanya."
"Ya. Baiklah, Sir."
Senator menegakkan badan. Ia terhuyung-huyung di
kegelapan. malam. "Begonia keparat," katanya. "Astaga,
malam yang brengsek. Anda punya istri?”
"Tidak," kataku.
“Saya punya," ujar Rowe. "Begonia keparat. Sialan."
"Lewat sini, Sir," kata Hardin. Ia membantu Rowe duduk
di kursi depan. Kedua wanita muda duduk di bangku
belakang, di kiri-kanan pria tampan bertuksedo. Hardin
menyelinap ke balik kemudi dan minta kunci mobil dari
Rdwe. Aku menoleh dan memperhatikan mobil-mobil
patroli berangkat. Ketika aku berbalik lagi, Hardin
membuka jendela dan menatapku "Terima kasih atas
bantuan. Anda."
"Hati-hati di perjalanan, Mr. Hardin," aku berpesan.
Ia memundurkan. mobil dari pekarangan, melindas
bunga-bunga lain.
"Dan semua bunga iris," seru pria bermantel mandi,
ketika mobil Senator Rowe mulai melaju di jalanan. "Saya
melihatnya dengan. mata kepala sendiri. Orang yang satu
lagi yang pegang setir tadi, dan dia mabuk."
Aku berkata, "Ini kartu nama saya. Kalau Anda merasa
penyelesaian masalah ini tidak memuaskan, silakan
hubungi saya."
Ia mengamati kartu namaku, menggeleng-geleng, lalu
kembali ke dalam rumah Connor dan aku masuk ke mobil.
Kami menuruni bukit.
Connor berkata, "Anda dapat keterangan mengenai
asisten itu?"
"Ya," kataku.
"Apa yang ada di sakunya?"
"Menurut saya, sebuah celana dalam wanita."
"Menurut saya juga begitu," ujar Connor.

Kami tak mampu berbuat apa-apa. Sebenarnya aku ingin


membalikkan bajingan sombong itu, mendorongnya ke
mobil, dan menggeledahnya di tempat. Tapi kami sadar
bahwa tak ada yang dapat kami lakukan. Kami tidak
mempunyai alasan kuat untuk menggeledah Hardin, atau
menangkapnya. Ia laki-laki muda yang mengendarai mobil
dengan dua wanita muda di bangku belakang, yang
masing-masing mungkin saja tidak mengenakan celana
dalam, serta senator AS di kursi depan. Satu-satunya
tindakan yang masuk akal adalah membiarkan mereka
pergi.
Tetapi aku sudah mulai bosan membiarkan orang-orang
pergi begitu saja.
Pesawat telepon berdering. Aku menekan tombol
pengeras suara. "Letnan Smith."
"Hei, Kawan." Ternyata Graham. "Aku lagi di kamar
mayat, dan coba tebak? Ada orang Jepang yang
memohon-mohon supaya boleh mengikuti autopsi. Percaya
tidak, dia mau duduk di sini dan mengamati semuanya. Dia
kalang kabut karena autopsi dimulai tanpa dia. Tapi hasil
pemeriksaan lab sudah mulai masuk. Keadaannya tidak
menguntungkan bagi Nippon Central. Kelihatannya
pelakunya orang Jepang. Jadi bagaimana, kau ke sini,
tidak?"
Aku melirik ke arah Connor. Ia mengangguk.
"Kami segera ke sana," kataku.

Jalan tercepat untuk mencapai kamar mayat adalah


melalui ruang gawat-darurat di County General Hospital.
Ketika kami lewat, seorang pria kulit hitam yang
berlumuran darah duduk di tandunya dan berteriak-teriak,
"Bunuh Sri Paus! Bunuh Sri Paus! Persetan dengan dia!"
Sepertinya ia berada di bawah pengaruh narkotika.
Setengah lusin tenaga paramedik beduang untuk
membaringkannya. Ia mengalami luka tembak di bahu dan
tangan. Cipratan darah membasahi lantai dan dinding-
dinding ruang gawat-darurat. Seorang petugas kebersihan
tampak sibuk mengelap semuanya. Selasar dipenuhi orang
kulit hitam dan Latin. Beberapa dari mereka memangku
anak. Semuanya memalingkan wajah dari lap yang merah
karena darah. Dari ujung selasar masih terdengar
seseorang menjerit-jerit.
Kami masuk ke lift. Hening.
Connor berkata, "Satu pembunuhan setiap dua puluh
menit. Pemerkosaan setiap tujuh menit. Anak kecil
terbunuh setiap empat jam Tak ada negara lain yang tahan
dengan tingkat kekerasan setinggi ini."
Pintu lift membuka. Dibandingkan dengan ruang
gawat-darurat, suasana di selasar kamar mayat di basement
terasa tenteram. Aku mencium bau formaidehida. Kami
menuju meja, tempat Harry Landon yang kurus sedang
membungkuk, mempelajari beberapa berkas, sambil makan
roti. Ia tidak menegakkan badan. "Halo."
"Hei, Harry."
"Apa yang membawa kalian ke sini? Autopsi Austin?"
"Yeah."
"Mereka sudah mulai setengah jam yang lalu. Sepertinya
kasus itu cukup mendesak, ya?"
"Kenapa?"
"Komandan membangunkan Dr. Tim dan minta agar
autopsi dilaksanakan dengan segera. Dia sempat
dibentak-bentak. Kalian tahu sendiri bagaimana Dr. Tim."
Harry Landon tersenyum. "Dan mereka juga memanggil
banyak orang lab. Kalian pernah dengar autopsi lengkap di
tengah malam buta? Coba bayangkan, berapa jumlah uang
lembur yang harus dibayar untuk ini?"
Aku berkata, "Dan bagaimana dengan Graham?"
"Dia ada di sekitar sini. Dia dikejar-kejar oleh orang
Jepang. Terus dibayang-bayangi. Setiap setengah jam, orang
Jepang itu bertanya apakah dia boleh meminjam telepon,
dan dia menelepon seseorang. Bicara dalam bahasa Jepang.
Setelah itu dia kembali mengusik Graham. Dia bilang mau
menyaksikan autopsi. Kalian percaya itu? Terus Memaksa,
Memaksa. Oke, kira-kira sepuluh menit yang lalu si Jepang
menelepon untuk terakhir kah. Aku kebetulan lagi di meja
ini. Aku melihat wajahnya. Matanya tiba-tiba membelalak,
seakan-akan dia tidak percaya pada apa yang baru saja
didengarnya. Dan kemudian dia berlari keluar dari sini.
Benar-benar lari."
"Dan di mana autopsi ini dilaksanakan?"
"Ruang Dua.”
"Thanks, Harry.

"Tutup pintu "


"Hai, Tim," aku berkata ketika kami memasuki ruang
autopsi. Tim Yoshimura, yang dipanggil Dr. Tim oleh semua
orang, berdiri membungkuk, di sebuah meja stainless steel.
Meski sudah pukul 01.40 dini hari, ia berpakaian rapi
sekali, seperti biasanya. Rambutnya tersisir rapi. Dasinya
terikat rapi. Beberapa pena tampak berderet di kantong
baju lab yang terseterika licin.
"Kalian tidak dengar?"
"Akan kututup, Tim." Pintu itu sebenarnya menutup
secara otomatis, tapi rupanya itu masih kurang cepat bagi
Dr. Tim.
"Aku tak ingin orang Jepang itu menuju ke sini. Itu saja."
"Dia sudah pergi, Tim."
"Oh, sudah pergi? Tapi siapa tahu dia kembali lagi nanti.
Dia benar-benar ngotot dan menjengkelkan.
Kadang-kadang orang Jepang memang menyebalkan."
Aku berkata, "Aku tak menyangka kau berpandangan
seperti itu, Tim."
"Oh, aku bukan orang Jepang," ia berkata dengan serius.
"Aku orang Amerika keturunan Jepang. Artinya, di mata
mereka aku termasuk gaijin. Kalau aku pergi ke Jepang, aku
diperlakukan seperti orang asing. Tampangku tidak
penting, aku lahir di Torrance - itulah yang paling
menentukan." Ia menoleh ke belakang. "Siapa yang kauajak
ke sini? John Connor? Sudah lama kita tidak ketemu, John."
"Hai, Tim." Connor dan aku menghampiri meja operasi.
Aku bisa melihat bahwa pembedahan sudah berjalan cukup
jauh. Irisan berbentuk huruf Y sudah dilakukan, dan
sejumlah organ telah dikeluarkan dan diletakkan dengan
rapi pada beberapa baki stainless steel.
"Sekarang tolong beritahukan padaku kenapa kasus ini
begitu penting," ujar Tim. "Graham begitu kesal, sehingga
tak mau menceritakan apa apa. Dia pergi ke lab di sebelah
untuk melihat hasil-hasil yang pertama. Tapi aku tetap
ingin tahu kenapa aku sampai dibangunkan untuk urusan.
ini. Sebenarnya malam ini Mark yang bertugas, tapi
rupanya dia belum cukup senior. Dan petugas pemeriksa
mayat tentu saja sedang di luar kota, mengikuti konferensi
di San Franciseo. Setelah punya pacar baru, dia selalu ke
luar kota. Jadi aku yang dipanggil. Aku bahkan tidak ingat
kapan terakhir kali aku dibangunkan."
"Tidak ingat?" kataku. Dr. Tim selalu sangat teliti, dan
daya ingatnya pun luar biasa.
"Terakhir kali, tiga tahun lalu. Tapi itu untuk membantu.
Sebagian besar staf di sini terserang flu, dan kasus-kasus
sudah mulai menumpuk. Suatu malam kami akhirnya
kehabisan tempat. Mayat-mayat di dalam kantong jenazah
terpaksa dibiarkan tergeletak di lantai. Ditumpuk-tumpuk.
Tak ada pilihan lain. Baunya menyengat sekali. Tapi aku
tidak ingat kapan terakhir kali aku dibangunkan. karena
kasus yang peka dari segi politik. Seperti yang ini."
Connor berkata, "Kami pun tidak tahu persis apa latar
belakang kasus ini."
"Kalau begitu, sebaiknya kalian segera cari jawabannya.
Aku dapat tekanan dari segala arah. Petugas pemeriksa
mayat menelepon dari San Francisco, dan dia terus berkata,
'Kerjakan sekarang juga, malam ini, dan kerjakan sampai
tuntas.' Aku bilang, 'Oke, Bill.' Lalu dia bilang, 'Tim, jangan
sampai ada kesalahan. Kerjakan dengan hati-hati, ambil
foto banyak-banyak, dan buat catatan banyak-banyak. Buat
dokumentasi selengkap-lengkapnya. Pakai dua kamera.
Soalnya aku punya firasat bahwa semua orang yang ber-
hubungan. dengan kasus ini bisa mendapat kesulitan besar.'
Nah, jadi masuk akal, kan, kalau aku bertanya-tanya?"
Connor berkata, "Jam berapa kau dihubungi?"
"Kira-kira jam setengah sebelas, atau sebelas."
"Petugas pemeriksa mayat memberitahumu siapa yang
menelepon dia?"
"Tidak. Tapi biasanya satu dari dua orang: kalau bukan
Kepala Polisi, Wall Kota."
Tim mengamati hati, menarik-narik cupingnya, lalu
meletakkannya di baki stainless steel. Asistennya memotret
setiap organ, Ialu memindahkannya.
"Oke. Apa yang kautemukan?"
"Terus terang, sejauh ini temuan yang paling menarik
berada di bagian luar tubuhnya," kata Dr. Tim. "Dia
memakai rias wajah tebal untuk menutupi serangkaian luka
memar. Umur luka-luka itu berbeda-beda. Tanpa grafik
spektroskopik untuk sisa penguraian hemoglobin di tempat
luka, aku menaksir luka-luka memar itu berumur sampai
dua minggu. Mungkin lebih. Konsisten dengan pola trauma
kronis pada tulang tengkuk. Kurasa sudah jelas: yang kita
hadapi ini adalah kasus asphyxia seksual.”
"Dia mengidap kelainan seksual?"
"Yeah. Begitulah."
Kelly telah menduganya. Dan ternyata ia benar.
"Kelainan ini lebih sering dijumpai pada pria, tapi juga
terdapat pada wanita. Orang yang bersangkutan hanya
terangsang jika mengalami kekurangan oksigen akibat
pencekikan. Mereka minta dicekik oleh partner mereka,
atau kepalanya di tutup dengan kantong plastik. Jika tidak
ada partner, mereka kadang-kadang mengikatkan tali pada
leher, lalu menggantung diri sambil metakukan masturbasi.
Untuk mencapai efek yang diinginkan, mereka harus
dicekik sampai hampir pingsan. Jadi mudah sekali untuk
melakukan kesalahan dan melangkah terlalu jauh. Dan ini
memang sering terjadi."
"Dan dalam kasus ini?"
Tim mengangkat bahu. "Hmm, yang kutemukan di sini
konsisten dengan sindrom asphyxia seksual. yang
berlangsung sudah cukup lama. Aku juga menemukan
sperma di dalam vagina dan luka lecet pada bibir vagina
sebelah luar, yang menunjukkan hubungan seks secara
paksa pada malam kematiannya."
Connor berkata, "Kau yakin luka-luka lecet di vaginanya
terjadi sebelum dia tewas?"
"Oh, ya. Luka-luka itu jelas-jelas terjadi pada waktu dia
masih hidup. Aku bisa memastikan bahwa dia berhubungan
seks dengan paksa sebelum meninggal."
"Maksudmu, dia diperkosa?"
"Tidak. Coba lihat, luka-luka lecet ini tidak parah, dan
tidak ada tanda-tanda yang mendukung dugaanmu pada
bagian-bagian lain dari tubuhnya. Bahkan tidak ada
tanda-tanda bahwa dia melakukan perlawanan.
Berdasarkan temuan ini, aku menyimpulkan bahwa dia
mengalami penetrasi vagina secara dini, tanpa pelumasan
memadai pada labia ekstemal."
Aku berkata, "Maksudmu, dia kurang basah?"
Tim menyeringai. "Hmm. Dengan bahasa orang awam,
ya."
"Berapa lama sebelum dia tewas luka-luka ini timbul?"
"Bisa satu sampai dua jam. Bukan di sekitar waktu
kematiannya. Ini dapat diketahui dari pelebaran pembuluh
darah dan pembengkakan di daerah-daerah yang
bersangkutan. Seandainya dia meninggal tidak lama setelah
mengalami luka, aliran darah terhenti, dan
pembengkakannya terbatas atau bahkan tidak ada sama
sekali. Tapi dalam kasus ini, seperti yang kalian lihat
sendiri, pembengkakannya cukup jelas."
"Dan sperma yang kautemukan?"
"Sampelnya sudah dikirim ke lab. Berikut semua cairan
tubuh yang biasa." Ia mengangkat bahu. "Kita terpaksa
bersabar. Sekarang tolong jelaskan semuanya ini, oke?
Soalnya, aku mendapat kesan bahwa cepat atau lambat
wanita muda ini pasti akan menemui kesulitan. Maksudnya,
dia manis, tapi ada yang tidak beres dengannya. Jadi...
kenapa dia begitu penting? Kenapa aku dibangunkan
tengah malam untuk melakukan autopsi lengkap terhadap
wanita muda dengan kelainan seksual?"
Aku berkata, "Aku juga tidak tahu."
"Ayolah. Kalian tidak adil," ujar Dr. Tim. "Aku sudah
membeberkan apa yang kuketahui. Sekarang giliran
kalian."
"Kau hanya berkelakar," kata Connor.
"Persetan," balas Tim. "Kalian berutang padaku.
Ayolah."
"Peter tidak bohong," Connor berkata. "Kami hanya tahu
bahwa pembunuhan ini terjadi bersamaan dengan resepsi
besar yang diadakan oleh orang-orang Jepang, dan mereka
ingin segera menuntaskannya."
"Pantas," kata Tim. "Terakhir kali kami dibuat kalang
kabut di sini adalah waktu ada kasus yang menyangkut
Konsulat Jepang. Kalian. masib ingat kasus penculikan
Takashima? Barangkali kalian memang tidak ingat; kasus
itu memang tidak sempat masuk koran. Orang-orang
Jepang berhasil meredamnya. Pokoknya, seorang petugas
satpam terbunuh dalam keadaan mencurigakan, dan
selama dua hari, kami dikejar-kejar terus. Aku benar-benar
tak menyangka bahwa pengaruh mereka begitu kuat. Kami
ditelepon oleh Senator Rowe, dengan berbagai instruksi.
Oleh Gubemur. Semua orang menelepon ke sini. Mereka
benar-benar punya pengaruh."
"Tentu saja mereka punya pengaruh. Mereka bayar
cukup banyak untuk itu," ujar Graham sambil memasuki
ruangan.
"Tutup pintu," kata Tim.
"Tapi kali ini segala pengaruh mereka takkan ada
artinya," Graham melanjutkan. "Sebab kali ini mereka
takkan bisa berkelit. Pembunuhan telah terjadi: dan
berdasarkan hasil pemeriksaan lab sejauh ini, kita bisa
memastikan bahwa pembunuhnya orang Jepang."

Bab 18

LAB patologi di sebelah berupa sebuah ruangan besar


yang diterangi oleh beberapa baris lampu neon. Sederetan
mikroskop tampak ditata dengan rapi. Tetapi berhubung
sudah larut malam, hanya dua teknisi lab bekerja di
ruangan besar itu. Dan Graham berdiri di samping mereka,
memperhatikan mereka dengan rasa puas.
“Silakan lihat sendiri. Mereka menemukan bulu pubic
pria, keriting sedang, berpenampang bulat telur, hampir
bisa dipastikan berasal dari orang Asia. Analisis pertama
terhadap air mani adalah golongan darah: AB, relatif jarang
ditemui pada orang kaukasoid, tetapi cukup umum di
kalangan orang Asia. Analisis pertama terhadap protein
dalam cairan sperma menunjukkan hasil negatif untuk
tanda genetik untuk... apa namanya?”
“Etanol dehidrogenase," ujar salah satu Petugas lab.
"Betul. Etanol dehidrogenase. Nama sebuah enzim. Tidak
dimiliki oleh orang Jepang. Dan tidak ditemukan dalam
cairan sperma ini. Lalu ada faktor Diego, yang merupakan
protein darah. Nah, Masih ada beberapa tes lagi, tapi
sepertinya sudah jelas bahwa cewek itu berhubungan seks
secara paksa dengan laki-laki Jepang sebelum dibunuh
olehnya."
"Yang pasti, kau menemukan sperma orang Jepang di
dalam vaginanya," kata Connor. "Itu saja."
"Astaga," ujar Graham. "Sperma Jepang, rambut pubic
Jepang, faktor darah Jepang. Semuanya menunjukkan
bahwa pelakunya orang Jepang."
Ia telah menggelar beberapa foto dari tempat kejadian,
yang memperlihatkan Cheryl terbaring di meja rapat.
Graham mulai berjalan mondar-mandir di depan foto-foto
itu.
"Aku tahu kalian ke mana tadi, dan aku tahu kalian cuma
buang-buang waktu," katanya. "Kalian mencari kaset-kaset
video itu, tapi semuanya sudah hilang, betul, tidak? Lalu
kalian pergi ke apar temennya: tapi ternyata sudah
dirapikan sebelum kalian sampai di sana. Dan ini sudah
sewajarnya terjadi kalau pelakunya orang Jepang.
Semuanya sudah jelas."
Graham menunjuk foto-foto di hadapannya. "Ini
korbannya. Cheryl Austin dari Texas. Cantik. Segar.
Potongan badan bagus. Seorang aktris. Pernah tampil
dalam beberapa iklan. Mungkin iklan Nissan. Sama sajalah.
Dia bertemu beberapa orang. Membuka hubungan. Lalu
dicantumkan di sebuah daftar. Sejauh ini oke?"
"Oke," aku berkata pada Graham. Connor sedang
mengamati foto-foto itu dengan saksama.
"Entah bagaimana caranya, pokoknya keadaan keuangan
Cheryl cukup baik, sehingga dia bisa memakai gaun
Yamamoto untuk menghadiri resepsi peresmian Nakamoto
Tower. Dia datang bersama seorang pria, mungkin
temannya, mungkin penata rambutnya. Berjenggot.
Barangkali dia mengenal beberapa tamu lain, mungkin juga
tidak. Tapi kemudian ada orang penting yang mengajaknya
menyelinap keluar sebentar. Cheryl setuju naik ke lantai
atas. Kenapa tidak? Cewek ini suka petualangan. Dia suka
bahaya. Dia mencari ketegangan. Jadi dia naik - mungkin
dengan orang itu, mungkin sendiri. Pokoknya, mereka
bertemu di atas, lalu mencari-cari tempat. Sebuah tempat
yang menggairahkan. Dan mereka memutuskan -
kemungkinan besar si pria, dia yang memutuskannya -
untuk berhubungan di meja rapat direksi. Mereka mulai
bersanggama, makin lama makin seru, sampai keadaan tak
terkendali lagi. Si pria mungkin terlalu bernafsu, atau
mungkin juga dia punya kelainan... pokoknya, dia mencekik
leher Cheryl sedikit terlalu keras. Dan Cheryl mati. Oke?"
"Ya."
"Pria itu kelabakan. Dia naik untuk berhubungan seks,
tapi sayangnya dia membunuh cewek itu. Jadi, apa yang
dilakukannya? Apa yang bisa dia lakukan? Dia turun lagi,
bergabung dengan para tamu, dan karena dia samurai
penting, dia memberitahu salah satu anak buahnya bahwa
dia punya masalah kecil. Tanpa sengaja dia telah mencekik
seorang pelacur sampai mati. Sangat tidak menguntungkan
dengan jadwal bisnisnya yang padat. Jadi, para anak
buahnya berlari ke sana kemari dan membereskan
semuanya. Mereka mengamankan semua bukti yang
memberatkan dari lantai di atas. Mereka mengambil
kaset-kaset video. Mereka pergi ke apartemen si pelacur
dan menggeledah tempat itu. Semuanya tidak seberapa
sulit, tapi butuh waktu. Jadi, seseorang harus
menghalang-halangi polisi. Dan itu tugas si pengacara
keparat, Ishiguro. Dia menghalang-halangi kita selama satu
setengah jam. Nah. Bagaimana kedengarannya?"
Tak ada yang berkomentar ketika ia mengakhiri
uraiannya. Aku menunggu sampai Connor angkat bicara.
"Hmm, aku angkat topi, Tom," Connor akhirnya berkata.
"Dalam banyak hal, urut-urutan kejadian yang
kaugambarkan memang masuk akal."
“Memang begitu kejadiannya," Graham menggeram.
Pesawat telepon berdering. Salah satu petugas lab
bertanya, "Ada yang bernama Kapten Connor di sini?"
Connor pergi untuk menjawab telepon. Graham berkata
padaku, "Percayalah, orang Jepang yang membunuh cewek
itu. Dan kita akan menemukannya dan mengulitinya. Ya,
mengulitinya."
Aku berkata, "Kenapa kau begitu sentimen terhadap
mereka?"
Graham menatapku sambil merengut. Ia berkata, "Apa
maksudmu?"
"Kenapa kau begitu benci pada orang Jepang?"
"Hei," ujar Graham. "Dengar baik-baik, Petey-san. Aku
tidak benci pada siapa pun. Aku hanya menjalankan
tugasku. Orang hitam, orang putih, orang Jepang, semuanya
sama saja bagiku."
"Oke, Tom." Malam sudah larut. Aku tidak ingin
berdebat.
"Tidak, persetan. Kaupikir aku penuh prasangka
terhadap mereka."
"Lupakan saja, Tom."
"Persetan. Kita tidak akan melupakannya. Apalagi
sekarang. Begini, Petey-san. Kau berhasil mendapat
pekerjaan sebagai petugas penghubung, bukan begitu?"
"Betul, Tom."
"Dan kenapa kau melamar pekerjaan itu? Karena
kekagumanmu terhadap kebudayaan Jepang?"
"Hmm, waktu itu aku bekerja di bagian hubungan pers..."
"Bukan, bukan, omong kosong. Kau melamar," kata
Graham, "karena ada uang tunjangan khusus, itu sebabnya,
bukan? Dua-tiga ribu dalam setahun. Tunjangan
pendidikan. Dananya berasal dari Yayasan Persahabatan
Jepang-Amerika. Dan oleh Departemen digunakan sebagai
tunjangan pendidikan, diberikan kepada para petugas agar
mereka bisa mengikuti pendidikan bahasa dan kebudayaan
Jepang. Nah. Bagaimana kabarnya pendidikan ini,
Petey-san?"
"Aku masih belajar.”
"Berapa kali?"
"Sekali seminggu."
"Sekali seminggu. Dan kalau kau tidak datang, apakah
tunjangannya dihapus?"
"Tidak."
"Memang tidak. Malah tidak ada pengaruh sama sekali
apakah kau muncul di tempat kursus atau tidak. Asal tahu
saja, Kawan, kau sudah terima uang suap. Kau punya tiga
ribu dolar di kantong, dan uangnya datang langsung dari
Negeri Matahari Terbit. Tentu saja jumlahnya tidak
seberapa. Kau tidak bisa dibeli dengan tiga ribu dolar,
bukan? Tentu saja tidak."
"Hei, Tom..."
"Masalahnya, mereka tidak berniat membelimu. Mereka
hanya mempengaruhimu. Mereka ingin agar kau berpikir
dua kali. Agar kau cenderung berada di pihak mereka. Dan
kenapa tidak? Ini memang watak manusia. Mereka
membuat hidupmu sedikit lebih nyaman. Mereka
mengangkat tingkat kesejahteraanmu. Keluargamu. Anak
perempuanmu. Mereka membantumu, jadi kenapa kau
tidak membantu mereka. Bukan begitu, Petey-san?"
"Bukan, bukan begitu," kataku. Aku mulai marah.
"Oh, ya," ujar Graham. "Sebab begitulah aturan mainnya.
Memang, kau bisa saja menyangkal. Kau bisa bilang itu
tidak benar. Tapi nyatanya? Kau hanya bisa bersih kalau
kau memang bersih. Kalau kau tidak mengambil
keuntungan, kalau kau tidak mendapatkan apa-apa, baru
kau boleh bicara. Kalau kau dibayar oleh mereka, kau jadi
milik mereka."
"Brengsek, nanti dulu..."
"Jadi, jangan sok beri ceramah tentang kebencian. Negeri
ini sedang berperang, dan ada yang mengerti, ada yang
berpihak kepada musuh. Seperti di Perang Dunia II,
beberapa orang dibayar oleh Jerman untuk
mempromosikan propaganda Nazi. Koran-koran di New
York memuat tajuk rencana yang berasal langsung dari
mulut Adolf Hitler. Kadang-kadang orang-orang bahkan
tidak menyadarinya. Tapi itulah yang terjadi. Begitulah ke-
adaan di masa perang. Dan kau termasuk kaki tangan
mereka."
Aku bersyukur bahwa Connor kembali pada saat itu.
Graham dan aku hampir saja baku hantam, ketika Connor
berkata dengan tenang, "Nah, sekadar supaya semuanya
jelas, Tom. Menurut skenario yang kaususun, setelah Cheryl
Austin terbunuh, apa yang terjadi dengan kaset-kaset video,
itu?"
"Oh, persetan, kaset-kaset itu sudah raib," ujar Graham,
"dan takkan muncul lagi."
"Hmm, menarik. Sebab aku baru saja menerima telepon
dari markas divisi. Rupanya Mr. Ishiguro sedang berada di
sana. Dan dia membawa sekotak kaset video untukku." -

Connor dan aku segera menuju markas. Graham


menggunakan mobilnya sendiri. Aku berkata, "Kenapa
Anda berpendapat bahwa orang-orang Jepang itu tak
mungkin mendekati Graham?"
"Pamannya," jawab Connor. "Dia tawanan perang dalam
Perang Dunia II. Dia dibawa ke Tokyo, dan setelah itu tak
pernah ada kabar lagi darinya. Seusai perang, ayah Graham
pergi ke sana untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan
saudaranya. Kemudian timbul banyak pertanyaan tidak
menyenangkan mengenai apa yang terjadi. Anda mungkin
tahu bahwa sejumlah prajurit Amerika tewas dalam
eksperimen-eksperimen kedokteran di Jepang. Konon hati
mereka dihidangkan kepada para bawahan mereka sebagai
lelucon, hal-hal seperti itulah."
"Tidak, saya tidak tahu," kataku.
"Saya rasa semua orang lebih suka melupakan masa itu,"
ujar Connor. "Barangkali memang lebih baik begitu. Negeri
itu sudah berubah sekarang.”
“Apa yang diributkan Graham tadi?"
"Tunjangan saya sebagai petugas penghubung."
Connor berkata, "Waktu itu Anda bercerita bahwa
jumlahnya lima puluh dolar seminggu."
"Sedikit lebih banyak dari itu."
"Seberapa banyak?"
"Sekitar seratus dolar seminggu. Lima ribu lima ratus
setahun. Tapi itu sudah termasuk uang kursus, uang buku,
biaya transpor, baby si”er, semuanya."
"Oke, Anda dapat lima ribu dolar," ujar Connor. Lalu
kenapa?"
"Graham menuduh bahwa saya terpengaruh oleh uang
itu. Bahwa saya telah dibeli oleh orang-orang Jepang."
Connor berkata, "Hmm, mereka memang berusaha. Dan
cara mereka sangat halus."
"Mereka juga mencoba mempengaruhi Anda?"
"Oh, tentu." Ia terdiam. "Dan saya sering menerima
pemberian mereka. Memberi hadiah untuk menjaga
hubungan baik sudah mendarah daging pada orang Jepang.
Ini tidak berbeda jauh dari kebiasaan kita mengundang
atasan kita untuk makan malam. Iktikad baik tetap iktikad
baik. Tapi kita tidak mengundang atasan kita jika ada
kesempatan untuk memperoleh promosi. Cara yang tepat
adalah mengundangnya pada awal hubungan kita, pada
waktu belum ada yang dipertaruhkan. Pada waktu itu, kita
hanya menunjukkan iktikad baik. Sama halnya dengan
orang Jepang. Mereka percaya bahwa hadiah harus
diberikan pada saat awal, sehingga tidak merupakan usaha
suap, tapi sekadar hadiah saja. Menjalin hubungan sebelum
ada tekanan."
"Dan menurut Anda itu benar?"
"Menurut saya, itulah kenyataan."
"Apakah orang mungkin jadi korup karena itu?"
Connor menatapku dan bertanya, "Menurut Anda?"
Aku butuh waktu lama untuk menjawabnya.
"Ya, saya kira mungkin saja."
Ia mulai tertawa. "Hmm, syukurlah,” katanya, "sebab
kalau tidak, orang-orang Jepang itu ternyata telah
membuang-buang uang dengan sia-sia."
"Apa yang lucu?"
"Kebingungan Anda, Kohai."
"Menurut Graham, kita sedang berperang." Connor
berkata, "Itu memang benar. Kita sedang berperang
melawan Jepang. Tapi coba kita lihat kejutan apa lagi yang
telah disiapkan Mr. Ishiguro untuk kita."
Bab 19

SEPERTI biasa, suasana ruang tunggu di lantai lima


markas divisi detektif di pusat kota tetap sibuk, meski jam
sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Para detektif
mondar-mandir di antara WTS jalanan dan pecandu
narkotika yang ditahan untuk interogasi; di pojok ruangan,
seorang pria dengan jas santai bermotif kotak-kotak sedang
berseru, "Kubilang diam, brengsek!" berulang-ulang kepada
petugas wanita yang membawa clipboard.
Di tengah-tengah kebisingan dan keramaian itu, Masao
Ishiguro seakan-akan salah masuk. Dengan setelan jas biru
bergaris-garis, ia duduk di pojok, merundukkan kepala,
merapatkan lutut. Ia memangku sebuah kardus.
Ketika melihat kami, ia segera berdiri. Ia membungkuk
rendah-rendah sambil menempelkan kedua tangan ke
paha, suatu sikap yang sangat formal. Selama beberapa
detik ia terdiam dalam posisi itu. Kemudian ia segera
membungkuk lagi, dan kali ini menunggu sambil menatap
lantai, sampai Connor menyapanya dalam bahasa Jepang.
Jawaban Ishiguro, juga dalam bahasa Jepang, bernada
tenang dan penuh hormat. Pandangannya tetap tertuju ke
lantai.
Tom Graham menarikku ke pinggir. "Ya ampun,"
katanya. "Sepertinya dia baru saja memberikan pengakuan
lengkap."
"Yeah, mungkin saja," kataku. Tapi aku tidak yakin. Aku
sudah sempat menyaksikan kepandaian Ishiguro dalam
bersandiwara.
Aku memperhatikan Connor ketika ia berbicara dengan
Ishiguro. Orang Jepang itu masih juga membungkuk.
Matanya tetap tertuju ke bawah.
"Tak kusangka dia orangnya," ujar Graham. "Sama sekali
tak kusangka."
"Kenapa?"
"Kau bercanda? Setelah menghabisi cewek itu, dia tetap
berada di ruangan itu dan malah menyuruh-nyuruh kita.
Bajingan itu punya saraf baja. Tapi coba lihat dia sekarang.
Astaga, dia sudah hampir menangis."
Memang benar, kedua mata Ishiguro mulai berkaca-kaca.
Connor mengambil kardus itu dan berbalik, berjalan
melintasi ruangan ke arah kami. "Tolong urus ini. Saya akan
menerima pernyataan dari Ishiguro."
"Jadi," kata Graham, "dia mengaku?"
"Mengaku?"
"Mengaku membunuh Cheryl Austin."
"Tidak," ujar Connor. "Apa yang membuatmu berpikir
begitu?"
"Habis, dia membungkuk-bungkuk seperti itu."
"Itu hanya sumimasen," Connor menjelaskan.
"Jangan ditanggapi terlalu serius."
"Dia hampir menangis," kata Graham.
"Hanya karena dia merasa itu menguntungkan baginya."
"Dia tidak mengaku?"
"Tidak. Tapi dia akhirnya mengetahui bahwa kaset-kaset
itu memang diambil. Ini berarti dia telah melakukan
kesalahan besar dengan ucapannya yang keras di hadapan
Wali Kota. Sekarang dia bisa dikenai tuduhan
menggelapkan barang bukti. Izin prakteknya sebagai
pengacara bisa dicabut. Perusahaan tempatnya bekerja
akan kehilangan muka. Ishiguro berada dalam kesulitan
besar, dan dia pun menyadarinya."
Aku berkata, "Ah, karena itu dia bersikap merendah?"
"Ya. Di Jepang, kalau kita melakukan kesalahan, tindakan
terbaik adalah mendatangi pihak berwajib dan
menunjukkan penyesalan mendalam, lalu meminta maaf,
dan berjanji takkan mengulangi kesalahan itu. Sebenarnya
hanya proforma, tapi pihak berwajib akan terkesan karena
kita telah menarik pelajaran. Itu yang dinamakan
sumimasen: permohonan maaf tanpa akhir. Versi Jepang
dari memohon kemurahan hati pengadilan. Dianggap
sebagai cara terbaik untuk mendapatkan keringanan. Dan
itulah yang sedang dilakukan Ishiguro."
"Maksudnya, dia hanya berpura-pura," ujar Graham.
Sorot matanya menjadi keras.
"Ya dan tidak. Sulit menjelaskannya. Begini saja. Coba
putar kaset-kaset ini. Ishiguro membawa salah satu alat
perekam, sebab format kaset-kaset ini lain dari yang biasa.
Dia takut kita tidak bisa menyaksikan rekamannya. Oke?"
Aku membuka kardus yang diserahkan oleh Connor. Di
dalamnya terdapat dua puluh kaset delapan milimeter yang
mirip kaset musik. Aku juga melihat kotak kecil, kira-kira
seukuran walkman - alat perekam yang dibawa Ishiguro.
Lengkap dengan kabel sambungan ke pesawat TV.
"Oke," kataku. "Coba kita lihat."

Rekaman pertama yang memperlihatkan lantai 46


diambil dari salah satu kamera atrium, dengan sudut
pandang ke bawah. Pada rekaman itu tampak orang-orang
yang sedang bekerja, seperti pada hari kerja biasa. Kami
melewati bagian itu. Berkas sinar matahari yang masuk
melalui jendela menyapu lantai, membentuk busur,
kemudian menghilang. Berangsur-angsur cahaya yang
mengenai lantai terlihat memudar ketika hari mulai gelap.
Satu per satu lampu meja dinyalakan. Para karyawan mulai
agak santai. Akhirnya mereka mulai meninggalkan rueja
masing-masing, pulang, satu demi satu. Ketika jumlah
orang semakin berkurang, kami melihat hal lain. Kini
kamera bergerak sesekali, mengikuti karyawan yang lewat
di bawah. Tetapi dalam kesempatan lain, kamera itu tetap
diam. Akhirnya kami menyadari bahwa kamera tersebut
dilengkapi sistem fokus dan pelacakan otomatis. Jika terjadi
banyak gerakan di depan lensa-beberapa orang yang
menuju arah yang berbeda-beda, kameranya diam saja.
Tapi jika hanya ada satu orang, kamera akan mengikuti
gerakan orang itu.
"Ajaib," Graham berkomentar.
"Tapi masuk akal untuk kamera keamanan," kataku.
"Mereka harus lebih berhati-hati terhadap satu orang
daripada terhadap sekelompok orang."
Kami melihat lampu malam mulai menyala. Semua meja
telah kosong. Kini rekaman yang kami saksikan
berkedap-kedip dengan cepat, hampir seperti stroboskop.
"Ada apa dengan kaset ini?" tanya Graham curiga.
"Jangan-jangan mereka telah mengutak-atiknya."
"Entahlah. Tunggu, bukan itu. Lihat jam di dinding sana."
Pada dinding di seberang ruangan terdapat sebuah jam.
Jarum menitnya tampak berputar dengan cepat dari pukul
19.30 ke pukul 20.00.
"Mereka memadatkan waktu," aku menyimpulkan.
"Apa-apaan ini? Pemutaran slide?"
Aku mengangguk. "Kemungkinan, kalau dalam jangka
waktu tertentu tidak ada orang yang di deteksi, kameranya
hanya membuat satu frame setiap sepuluh atau dua puluh
detik, sampai..."
"Hei. Apa itu?"
Kedap-kedip di layar mendadak berhenti. Kamera mulai
bergerak ke kanan, memperlihatkan ruangan yang kosong.
Tak seorang pun tampak.
Hanya meja-meja kosong dan sejumlah lampu malam
yang kelihatan terang benderang dalam rekaman itu.
"Mungkin ada sensor lebar," kataku, "dengan daya
pantau melebihi batas gambar. Kalau bukan itu, mungkin
kameranya digerakkan secara manual, oleh petugas satpam
di suatu tempat. Mungkin di bawah, di ruang keamanan."
Kamera kini mengarah ke pintu-pintu lift. Pintu-pintu
terletak di sebelah kanan, di bayang-bayang gelap, di
bawah langit-langit rendah yang menghalangi pandangan
kami.
"Jeez, gelap benar. Ada orang di sana?"
"Aku tidak bisa lihat apa-apa," kataku'
Gambar di layar kabur sejenak lalu jelas kembali,
berulang-ulang.
"Sepertinya sistem autofokusnya kewalahan. Mungkin
karena tidak tahu apa yang harus difokus. Mungkin
langit-langit rendah itu yang mengganggu. Kamera videoku
di rumah juga sering begitu. Fokusnya kacau kalau tidak
jelas apa yang kubidik."
"Jadi kameranya berusaha memfokus sesuatu? Soalnya
aku tidak bisa lihat apa-apa. Semuanya gelap gulita."
"Hei, lihat. Ada orang di sana. Kakinya kelihatan.
Samar-samar."
"Astaga," ujar Graham. "Itu dia. Berdiri di depan lift. Eh,
tunggu. Sekarang dia mulai bergerak."
Sesaat kemudian, Cheryl Austin melangkah maju, dan
untuk pertama kali kami melihatnya dengan jelas.

Ia sangat cantik dan penuh percaya diri. Tanpa ragu-ragu


ia melintasi ruangan. Gerak-geriknya mantap, terarah,
tanpa sikap sembrono yang biasa diperlihatkan anak muda.
"Astaga, cantiknya," kata Graham.
Cheryl Austin bertubuh jangkung dan langsing,
rambutnya yang pirang dan dipotong pendek semakin
memperkuat kesan tinggi. Sikapnya tegak.
Ia berputar pelan-pelan, memandang berkeliling,
seakan-akan ruangan itu merupakan miliknya.
"Aku hampir tak percaya kita bisa melihat ini,” Graham
berkomentar.
Aku mengerti maksudnya. Inilah wanita muda yang mati
terbunuh beberapa jam sebelumnya. Kini kami melihatnya
dalam rekaman video, mengelilingi ruangan, hanya
beberapa menit menjelang kematiannya.
Di layar TV, Chery meraih sebuan pemberian kertas dari
salah satu meja, memutarnya, mengembalikannya ke
tempat semula. Ia membuka tas, menutupnya lagi. Ia
menatap jam tangannya.
"Dia mulai gelisah."
"Dia tidak suka disuruh menunggu," kata Graham. "Dan
kujamin dia juga tidak terbiasa menunggu. Cewek seperti
dia, mana mungkin?"
Ia mulai mengetuk-ngetuk meja dengan irama tetap.
Rasanya aku mengenali irama itu. Ia meng-
angguk-ang,gukkan kepala, mengikuti irama.
Graham menatap layar sambil mengerutkan kening.
"Apakah dia sedang bicara? Dia mengatakan sesuatu?"
"Kelihatannya begitu," kataku. Samar-samar mulutnya
tampak bergerak-gerak. Dan tiba-tiba semuanya menjadi
jelas. Aku menyadari bahwa aku dapat membaca gerakan
bibirnya. "I chew my nails and I twiddle my thumbs. I'm real
nervous but it sure is fun. Oh, baby, you drive me crazy... "
"Astaga," kata Graham. "Kau benar. Dari mana kau tahu?"
"Goodness, gracious, great balls of..."
Cheryl berhenti menyanyi. Ia berbalik ke arah lift.
"Ah. Ini yang kita tunggu-tunggu."
Cheryl berjalan ke lift. Begitu sampai di bawah
langit-langit rendah tadi, ia mendekap pria yang baru
muncul. Mereka berpelukan dan berciuman. Kami melihat
lengan si pria merangkul Cheryl, tapi wajahnya terlindung
dari pandangan.
“Sial," Graham mengumpat.
“Jangan khawatir," kataku. "Sebentar lagi kita akan
melihatnya. Kalau bukan lewat kamera ini, lewat kamera
lain. Tapi aku yakin itu bukan orang yang baru
dijumpainya. Sepertinya dia sudah akrab dengan orang itu."
"Kecuali kalau dia memang benar-benar ramah. Yeah,
lihat. Orang itu tidak buang-buang waktu."
Tangan pria itu bergerak naik, mengangkat rok Cheryl. Ia
meremas-remas pantatnya. Cheryl Austin mendekapnya
dengan erat. Pelukan mereka penuh gairah. Bersama-sama
mereka berjalan ke tengah ruangan, berputar pelan-pelan.
Kini laki-laki itu membelakangi kami. Rok Cheryl telah ter-
angkat sampai ke pinggangnya. Cheryl meraba-raba
selangkangan teman kencannya. Mereka setengah berjalan,
setengah terhuyung-huyung ke meja terdekat. Si laki-laki
memaksanya ke meja, dan tiba-tiba Cheryl memprotes,
mendorong-dorong.
"Eh, eh. Jangan cepat-cepat," ujar Graham. "Rupanya
cewek ini punya harga diri juga."
Aku meragukannya. Cheryl seakan-akan sengaja
mengelabuinya, lalu berubah pikiran. Aku memperhatikan
bahwa sikapnya berubah hampir seketika. Aku mulai curiga
bahwa sejak pertama ia hanya bersandiwara, bahwa
gairahnya hanya pura pura saja. Tapi tampaknya pria itu
tidak terlalu heran. Sambil duduk di meja, Cheryl terus
mendorong-dorongnya. Pria itu mundur sedikit. Ia masih
membelakangi kami. Kami tetap tak dapat melihat
wajahnya. Begitu ia melangkah mundur, sikap Cheryl
berubah lagi. Perlahan-lahan ia turun dari meja dan
merapikan rok, menoleh, menggoyang-goyangkan tubuh
dengan cara menantang. Kami melihat telinga dan bagian
samping wajah teman kencannya. Rahangnya tampak
bergerak gerak. Ia sedang berbicara dengan Cheryl. Cheryl
tersenyum dan melangkah maju, merangkulnya. Kemudian
mereka mulai berciuman lagi, saling meraba-raba. Berjalan
pelan-pelan melintasi ruang an, menuju ruang rapat. .
"Ah. Jadi dia yang memilih ruang rapat?"
"Entahlah."
"Sial, mukanya belum kelihatan juga.”
Kini mereka berada hampir di tengah-tengah ruangan,
dan kamera hampir tepat di atas mereka. Hanya bagian atas
kepala pria itu yang terlihat.
Aku berkata, "Menurutmu, apakah dia kelihatan seperti
orang Jepang?"
"Brengsek. Mana mukanya? Ada berapa kamera lagi di
ruangan itu?"
"Empat."
"Hmm. Berarti mukanya pasti terekam. Bajingan itu tak
mungkin lolos."
Aku berkata, "Tom, sepertinya laki-laki ini cukup tinggi.
Dia kelihatan lebih tinggi dari Cheryl. Dan Cheryl termasuk
jangkung."
"Mana kelihatan dari sudut seperti ini? Aku tidak lihat
apa-apa, kecuali bahwa dia pakai jas. Oke. Mereka sudah
menuju ruang rapat."
Ketika mereka menghampiri ruangan itu, Cheryl
tiba-tiba mulai memberontak.
"Oh-oh," kata Graham. "Dia marah lagi. Angin-anginan
sekali."
Pria itu mendekapnya,dengan erat. Cheryl berbalik,
berusaha rnelepaskan diri. Pria itu setengah
menggendongnya, setengah menyeretnya ke ruang rapat.
Di ambang pintu, Cheryl berbalik sekali lagi, berpegangan
pada kusen, meronta-ronta.
"Tasnya jatuh di situ?"
"Mungkin. Semuanya samar-samar."
Ruang rapat terletak tepat di seberang kamera, sehingga
kami dapat melihat seluruh ruangan. Tetapi bagian
dalamnya gelap sekali, sehingga Cheryl dan teman
kencannya hanya tampak sebagai siluet di hadapan
lampu-lampu gedung-gedung pencakar langit di luar
jendela. Pria itu mengangkatnya dan mendudukkannya di
meja, memutarnya sampai telentang. Cheryl bersikap pasif,
pasrah ketika pria itu menyibakkan roknya. Ia malah
bergerak mendekat. Kemudian teman kencannya membuat
gerakan mendadak, dan sesuatu terlihat terbang.
"Itu celana dalamnya."
Sepertinya celana dalam itu jatuh ke lantai, tetap sukar
untuk memastikannya. Wamanya hitam, atau warna gelap
lainnya. Berarti bukan Senator Rowe, aku berkata dalam
hati.
"Celana dalamnya sudah tidak ada waktu aku sampai di
sana," ujar Graham sambil menatap monitor. "Brengsek, ini
jelas-jelas penggelapan barang bukti." Ia menggosok-gosok
tangan. "Kalau kau punya saham Nakamoto, Kawan,
sebaiknya kaujual saja. Sebab besok sore sudah tak ada
harganya."
Di layar, Cheryl masih menunggu, sementara teman
kencannya mengutak-atik ritsleting celana. Tiba-tiba ia
berusaha duduk tegak dan menamparnya dengan keras.
Graham berkata, "Ah, sudah mulai ramai. Sedikit
bumbu."
Pria itu menangkap tangannya, dan mencoba mencium
Cheryl, tetapi Cheryl melawan, membuang muka. Ia dipaksa
telentang lagi. Ia menahan seluruh berat badan teman
kencannya. Kakinya menendang-nendang.
Kedua siluet itu bersatu dan berpisah. Sukar untuk
mengatakan apa yang sedang terjadi. Sepertinya Cheryl
terus berusaha duduk tegak, sedangkan pria itu terus
mendorong ke belakang. Ia menahan Cheryl dengan
sebelah tangan di dadanya, sementara Cheryl
menendang-nendang sambil meronta-ronta. Cheryl tetap
telentang di meja, tetapi adegan itu lebih melelahkan
daripada merangsang. Pikiranku terusik oleh pemandangan
yang kulihat. Apakah ini memang pemerkosaan? Ataukah
Cheryl hanya berpura-pura? Cheryl terus
menendang-nendang dan meronta-ronta, tetapi ia tidak
berhasil membebaskan diri. Pria itu mungkin lebih kuat
dari Cheryl, tapi aku yakin Cheryl dapat mendorongnya jika
ia memang berniat demikian. Dan kadang-kadang kedua
tangan Cheryl seakan-akan merangkul leher pria itu,
bukannya mendorongnya mundur. Namun memang sukar
untuk memastikannya.
"Oh-oh. Ada masalah."
Pria itu menghentikan gerak maju-mundur yang
berirama. Di bawahnya, Cheryl tampak lemas. Kedua
tangannya merosot, jatuh ke meja. Kakinya terkulai.
Graham berkata, "Ini yang kita tunggu-tunggu?"
"Entahlah."
Pria itu menepuk-nepuk pipi Cheryl, lalu meng-
guncang-guncangkannya dengan lebih keras. Sepertinya ia
berbicara dengannya. Ia tetap di tempat selama beberapa
saat, mungkin tiga puluh detik, dan kemudian ia
menjauhinya. Cheryl tergeletak di meja. Pria itu berjalan
mengelilinginya. Ia bergerak pelan-pelan, seakan-akan tak
percaya.
Kemudian ia menoleh ke kiri, seolah-olah mendengar
sesuatu. Sesaat ia berdiri seperti terpaku, lalu mengambil
keputusan. Ia mulai sibuk, berputar-putar, mencari-cari
secara sistematis. Ia memungut sesuatu dari lantai.
"Celana dalam tadi."
"Dia sendiri yang mengambilnya," ujar Graham.
"Sialan."
Kini pria itu bergerak mengelilingi Cheryl, dan
membungkuk sejenak.
"Sedang apa dia?"
"Entahlah. Aku tidak bisa lihat apa-apa."
"Brengsek."
Pria itu kembali berdiri tegak dan meninggalkan ruang
rapat, kembali ke atrium. Ia tidak lagi tampak sebagai
siluet. Kini ada kesempatan untuk mengidentifikasinya.
Namun ia memandang ke arah ruang rapat. Ke arah wanita
muda yang telah tewas.
"Hei, Bung," kata Graham kepada gambar di monitor.
"Lihat ke sini, Bung. Ayo. Sebentar saja."
Di layar, pandangan pria itu tetap terarah pada Cheryl
ketika ia berjalan beberapa langkah ke atrium. Kemudian ia
cepat-cepat berjalan ke arah kiri.
"Dia tidak kembali ke lift," kataku.
"Tapi aku tidak bisa lihat mukanya."
"Mau ke mana dia?"
"Di ujung sana ada tangga," ujar Graham. "Tangga
kebakaran."
"Kenapa dia ke sana, bukannya ke lift?"
"Mana aku tahu. Aku cuma ingin lihat mukanya. Sekali
saja "
Kini pria itu berada di sebelah kiri kamera, dan
meskipun ia tak lagi memalingkan wajah, kami hanya dapat
melihat telinga kiri dan tulang pipinya. Ia berjalan dengan
terburu-buru. Tak lama lagi ia akan menghilang dari
pandangan, di bawah langit-langit rendah di ujung ruangan.
"Ah, sialan! Sudut ini tidak membantu sama sekali. Kita
lihat kaset lain saja."
"Tunggu sebentar," kataku.

Pria itu mengarah ke sebuah lorong gelap yang mestinya


menuju tangga. Tetapi sebelum memasuki lorong itu, ia
melewati sebuah cermin dengan bingkai bersepuh emas
yang tergantung di dinding. Ia melewatinya, tepat sebelum
ditelan oleh kegelapan di dalam lorong.
“Itu! “
"Bagaimana caranya mengheintikan ini?"
Dengan tergesa-gesa aku meenekan beberapa tombol
pada alat perekam, sampai akhirnya menemukan tombol
stop. Rekaman itu kumundurkan sedikit, lalu kuputar lagi.
Sekali lagi pria itu berjalan ke arah lorong,
langkah-langkahnya panjang, cepat. Ia melewati cermin,
dan sepintas lalu - satu frame saja – kami melihat wajahnya
terpantul - melihatnya dengan jelas sekali - dan aku
menekan tombol untuk membekukan gambar.
"Bingo," kataku
“Jepang keparat," ujar Graham. "Apa kubilang?"
Terpantul di cermin adalah wajah sang pembunuh ketika
ia hendak menuju tangga. Kami tidak mendapat kesulitan
untuk mengenali wajah tegang itu sebagai wajah Eddie
Sakamura.

Bab 20

"BIAR aku saja," Graham berkata. "Ini kasusku. Aku yang


akan menangkap bajingan itu."
"Tentu," kata Connor.
"Maksudnya," ujar Graham, "aku lebih suka pergi
sendiri."
"Tentu," kata Connor. "Ini kasusmu, Tom. Lakukanlah
yang kauanggap terbaik."
Connor menuliskan alamat Eddie Sakamura untuknya.
"Aku bukannya tidak berterima kasih atas bantuanmu,"
kata Graham. "Tapi aku lebih suka menanganinya sendiri.
Nah, biar jelas, kalian sudah bicara dengan orang ini tadi
malam, tapi kalian tidak menahannya?"
"Betul."
"Hmm, jangan khawatir," ujar Graham. "Soal ini takkan
kusinggung dalam laporanku nanti. Pokoknya, kalian tak
perlu cemas, aku janji." Graham sedang bermurah hati. Ia
gembira karena akan menangkap Eddie Sakamura. Ia
melirik jam tangannya. "Wow, kurang dari enam jam sejak
laporan pertama diterima, dan kita sudah mendapatkan
pembunuhnya. Lumayan juga."
"Kita belum mendapatkan pembunuhnya," kata Connor.
"Kalau aku jadi kau, aku akan segera menangkapnya."
"Aku sudah mau berangkat," ujar Graham.
"Oh, Tom," kata Connor ketika Graham menuju pintu.
"Eddie Sakamura memang aneh, tapi dia bukan orang yang
suka menggunakan kekerasan. Aku sangsi bahwa dia punya
senjata. Kemungkinan besar dia bahkan tidak punya pistol.
Dia pulang dari pesta bersama si Rambut Merah tadi.
Kurasa mereka sedang di tempat tidur sekarang. Kurasa dia
sebaiknya ditangkap dalam keadaan hidup."
"Hei," kata Graham, "ada apa dengan kalian berdua?"
"Sekadar usul saja," ujar Connor.
"Kaupikir aku akan menembak bajingan kecil itu?"
"Kau akan ke sana bersama beberapa mobil patroli,
bukan?" balas Connor. "Para petugas mungkin terpancing
emosi. Aku hanya berharap agar kau waspada."
"Hei. Thanks," kata Graham, lalu pergi. Badannya begitu
lebar, sehingga ia terpaksa berjalan agak miring agar dapat
melewati pintu.
Aku memperhatikannya. "Kenapa Anda membiarkannya
pergi sendiri?"
Connor mengangkat bahu. "Ini kasusnya."
"Tapi sepanjang malam Anda terus menangani kasus ini.
Kenapa sekarang Anda berhenti?"
Connor berkata, "Biarkan Graham saja yang menikmati
hasilnya. Lagi pula, apa hubungannya dengan kita? Saya
petugas polisi yang sedang cuti tanpa batas. Dan Anda
hanya petugas penghubung yang korup." Ia menunjuk kaset
video. "Anda bisa memutarnya dulu, sebelum Anda
mengantar saya pulang?"
"Tentu." Aku memundurkan pita sampai ke awal.
"Barangkali kita bisa minum kopi sekalian," kata Connor.
"Orang-orang di lab SID selalu punya persediaan kopi enak.
Paling tidak, dulunya begitu."
Aku berkata, "Bagaimana kalau saya mengambil kopi
sementara Anda menyaksikan rekaman ini?"
“Terima kasih, Kohai," ujar Connor.
“Kembali." Aku mulai memutar rekaman video, lalu
berbalik.
“Oh, Kohai. Mumpung Anda ke sana, tolong tanyakan
pada petugas jaga, fasilitas video apa saja yang dimiliki
Departemen..Sebab semua kaset ini harus digandakan. Dan
mungkin ada frame-frame tertentu yang perlu dicetak.
Terutama jika ada masalah mengenai penangkapan
Sakamura. Siapa tahu ada plhak luar yang menganggapnya
sebagai pelecehan terhadap orang Jepang. Kita mungkin
perlu mengedarkan foto. Untuk membela diri."
Saran itu memang masuk akal. "Oke," kataku "Nanti saya
tanyakan."
"Saya biasa minum kopi tanpa susu, dengan satu sendok
gula." Ia berbalik dan mengamati layar monitor.

Scientific Investigation Division, atau SID, terletak di


basement Parker Center. Ketika aku sampai di sana sudah
pukul dua dini hari, dan sebagian besar seksi sudah tutup.
Jadwal kerja SID tak berbeda dari kantor-kantor pada
umumnya, masuk jam sembilan, pulang jam lima. Memang,
tim-tim SID juga bekerja pada malam hari, mengumpulkan
barang-barang bukti di tempat-tempat kejadian perkara,
tetapi semuanya disimpan di dalam lemari-lemari sampai
keesokan paginya, atau di markas, atau di salah satu divisi.
Aku mendatangi mesin pembuat kopi di kafetaria kecil di
sebelah Kamar Gelap. Di sekitar ruangan itu terdapat
tanda-tanda peringatan bertulisan ANDA SUDAH MENCUCI
TANGAN? dan JANGAN BAHAYAKAN REKAN-REKAN ANDA.
CUCI TANGAN DULU. Peringatan peringatan ini dipasang
karena tim-tim SID kerap memakai zat-zat beracun,
terutama bagian kriminalistik. Begitu banyak air raksa,
warangan, dan krom digunakan, sehingga di zaman dulu
ada petugas yang jatuh sakit akibat minum dari gelas
plastik yang hanya tersentuh oleh petugas lab yang lain.
Tetapi sekarang orang-orang sudah lebih berhati-hati;
aku mengambil dua gelas kopi dan kembali ke meja.
Petugas jaga malam, Jackic Levin sedang bertugas, seorang
wanita berbadan pendek gemuk. Kakinya dinaikkan ke
meja. Ia mengenakan celana ketat dan rambut palsu
berwarna jingga. Meski penampilannya aneh, ia diakui
sebagai pencetak foto terbaik di seluruh Departemen. Ia
sedang membaca majalah Modern Bride. Aku berkata, "Mau
coba sekali lagi, Jackie?"
"Hei, bukan aku," balasnya. "Anakku."
"Siapa calon suaminya?"
"Bagaimana kalau kita bicara tentang hal yang
menyenangkan saja?" katanya. "Kaubawakan kopi
untukku?"
"Sori," jawabku. "Tapi aku ada pertanyaan untukmu.
Siapa yang menangani barang bukti berupa rekaman video
di sini?"
"Rekaman video?"
"Rekaman dari kamera keamanan. Siapa yang
menganalisisnya, mencetak foto, dan sebagainya?"
"Hmm, kami jarang mendapat tugas seperti itu," kata
Jackie. "Dulu pernah ditangani oleh bagian elektronika, tapi
kurasa mereka sudah berhenti. Sekarang semua video
diserahkan ke Valley atau ke Medlar Hall." Ia duduk tegak,
membalik-balik halaman sebuah direktori. "Kalau mau, kau
bisa menghubungi Bill Harrelson di Medlar. Tapi kalau ada
hal khusus, kami biasa minta tolong ke JPL atau ke
Advanced Imaging Lab di U.S.C. Kau mau nomor telepon
mereka, atau mau lewat Harrelson?"
Nada suaranya memberitahuku mana yang harus
kupilih. "Aku minta nomor telepon saja."
"Yeah, aku juga, kalau aku jadi kau."
Aku mencatat nomor-nomor itu, lalu kembali ke markas
divisi. Connor telah selesai menyaksikan rekaman video,
dan sedang memutarnya maju mundur di bagian di mana
wajah Eddie Sakamura muncul di cermin.
"Bagaimana?" kataku.
"Ini memang Eddie." Ia tampak tenang, hampir tak
peduli. Ia meraih gelas plastik yang kubawa dan menghirup
kopinya. "Huh, payah."
"Yeah, memang."
"Dulu jauh lebih enak." Connor meletakkan gelas plastik,
mematikan alat perekam, berdiri, dan meregangkan badan.
"Hmm, rasanya sudah cukup untuk malam ini. Bagaimana
kalau kita tidur dulu? Besok pagi saya ada janji main golf di
Sunset Hills."
"Oke," kataku. Aku mengembalikan kaset-kaset video ke
dalam kardus, lalu memastikan alat perekamnya.
Connor berkata, "Apa yang akan Anda lakukan dengan
kaset-kaset ini?"
"Saya simpan di lemari barang bukti."
Connor berkata, "Ini rekaman asli. Dan kita tidak punya
duplikat."
"Saya tahu, tapi baru besok saya bisa memperoleh
duplikat."
"Justru itu. Kenapa tidak Anda bawa saja?"
"Maksudnya, dibawa pulang?" Pihak Departemen sudah
sering mengeluarkan larangan untuk membawa barang
bukti ke rumah. Singkatnya hal itu melanggar peraturan.
Ia mengangkat bahu. "Saya takkan mau mengambil
fisiko. Bawalah kaset-kaset itu, dan besok Anda sendiri
yang menangani pembuatan duplikat."
Aku menjepit kardus itu di bawah lengan dan berkata,
"Anda khawatir bahwa seseorang di sini akan..."
"Tentu saja tidak," Connor memotong. "Tapi barang
bukti ini sangat menentukan, dan kita tak ingin seseorang
melewati lemari barang bukti sambil membawa magnet
besar sementara kita sedang tidur nyenyak, bukan?"
Akhirnya kuputuskan untuk membawa pulang
kaset-kaset itu. Ketika keluar, kami melewati Ishiguro yang
masih duduk di sana. Tampaknya ia menyesal sekali.
Connor mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang. Ishiguro
langsung berdiri, membungkuk, lalu bergegas pergi.
"Apakah dia benar-benar setakut itu?"
"Ya," kata Connor.
Ishiguro menyusuri lorong, mendahului kami. Kepalanya
tertunduk. Ia hampir menyerupai karikatur seseorang yang
sedang dihantui ketakutan.
"Kenapa?" aku bertanya. "Dia sudah cukup lama tinggal
di sini. Mestinya dia tahu bahwa kita tidak punya dasar
kuat untuk menuduhnya menahan barang bukti, apalagi
untuk menuntut Nakamoto."
"Bukan itu masalahnya," kata Connor. "Dia tidak
merisaukan persoalan hukum. Dia takut menimbulkan
skandal. Sebab itulah yang akan terjadi seandainya kita
berada di Jepang." Kami melewati tikungan. Ishiguro
berdiri di depan deretan lift, menunggu. Kami ikut
menunggu.
Suasananya serba canggung. Lift pertama tiba, dan
Ishiguro melangkah ke samping agar kami bisa masuk.
Ketika pintu menutup, aku masih sempat melihatnya
membungkuk ke arah kami. Lift mulai turunnya dan
Connor berkata, "Dia Jepang, riwayat perusahaannya bisa
tamat untuk selama-lamanya.”
"Kenapa?"
"Karena di Jepang, skandal merupakan cara yang paling
umum digunakan untuk mengubah hierarki. Untuk
menyingkirkan lawan yang kuat. Di sana, itu merupakan hal
biasa. Kita menemukan suatu kelemahan, dan kita
bocorkan kepada pers, atau kepada penyelidik dari pihak
pemerintah. Ini selalu diikuti dengan skandal, dan orang
atau organisasi bersangkutan akan hancur. Dengan cara
inilah skandal Recruit menjatuhkan Takeshita dari
kedudukannya sebagai perdana menteri. Atau
skandal-skandal keuangan menjatuhkan Perdana Menteri
Tanaka di tahun tujuh puluhan. Sama seperti orang-orang
Jepang menggasak General Electric beberapa tahun lalu."
"Mereka menggasak General Electric?"
"Lewat skandal Yokogawa. Anda pernah mendengar
beritanya? Tidak? Hmm, ini contoh klasik mengenai siasat
Jepang. Beberapa tahun lalu, General Electric merupakan
produsen peralatan scanning terbaik untuk rumah sakit di
seluruh dunia. GE lalu membentuk anak perusahaan,
Yokogawa Medical, untuk memasarkan peralatan tersebut
di Jepang. Dan GE menjalankan usaha ini dengan cara
Jepang, menekan biaya lebih rendah dari
saingan-saingannya untuk merebut pangsa pasar,
menyediakan layanan purnajual yang sangat baik, menjamu
klien – termasuk memberi tiket pesawat dan traveller's
checky kepada calon pembeli yang potensial. Kita
menyebutnya suap, tetapi di Jepang ini merupakan hal
biasa. Dalam waktu singkat Yokogawa berhasil meraih
pangsa pasar terbesar, dan mengalahkan
perusahaan-perusahaan Jepang seperti Toshiba.
Perusahaan-perusahaan Jepang tidak menyukainya, dan
mereka mengeluhkan persaingan tidak sehat. Dan suatu
hari petugas-petugas pemerintah melakukan razia di
kantor-kantor Yokogawa dan menemukan bukti-bukti
mengenai penyuapan. Mereka menangkap beberapa
pegawai Yokogawa dan mencoreng nama perusahaan itu
dengan skandal. Tingkat penjualan GE tidak terlalu
terpengaruh. Dan tidak menjadi masalah bahwa beberapa
perusahaan Jepang menempuh cara yang sama. Karena satu
dan lain hal, perusahaan asinglah yang ditindak. Sangat
mengherankan bagaimana itu bisa terjadi."
Aku berkata, "Seburuk itukah keadaannya?"
"Orang Jepang bisa sangat keras," kata Connor. "Mereka
menyamakan bisnis dengan perang, dan mereka tidak asal
bicara saja. Di zaman dulu, jika warga Jepang membeli
mobil buatan Amerika, dia akan diperiksa oleh petugas
pajak. Jadi, dalam waktu singkat tak ada lagi yang membeli
mobil buatan Amerika. Para pejabat hanya mengangkat
bahu, mereka tak berdaya. Pasar mereka terbukti. Bukan
salah mereka bahwa tak ada yang menginginkan mobil
Amerika. Rintangannya seakan akan tanpa akhir. Setiap
mobil impor harus diuji di pelabuhan untuk memastikan
bahwa mobil tersebut memenuhi peraturan mengenai gas
buang. Ski impor dulu dilarang, sebab saIju di Jepan konon
lebih basah dibandingkan dengan salju di Eropa atau
Amerika. Begitulah mereka memperlakukan negara-negara
lain, jadi tidak mengherankan bahwa mereka khawatir
dibalas dengan cara yang sama.”
"Jadi, Ishiguro sedang menunggu skandal? Karena itu
yang akan terjadi di Jepang?"
"Ya. Dia takut riwayat Nakamoto akan tamat dengan
sekali pukul. Tapi saya menyangsikannya. Kemungkinan
besar, besok semuanya akan berjalan seperti biasa di Los
Angeles."

Aku mengantar Connor ke apartemennya. Ketika ia


turun dari mobil, aku berkata, "Pengalaman malam ini
sangat menarik, Kapten. Terima kasih atas waktu yang
Anda sediakan untuk saya."
"Kembali," kata Connor. "Kalau Anda memerlukan
bantuan lagi, silakan telepon saya kapan saja."
"Mudah-mudahan acara golf Anda besok tidak terlalu
pagi. "
"Sebenarnya kami mulai jam tujuh, tapi kebutuhan tidur
orang seusia saya sudah berkurang. Saya akan bermain di
Sunset Hills."
"Bukankah itu klub Jepang?" Pembelian Sunset Hills
Country Club oleh orang Jepang belum lama ini sempat
menggemparkan L.A. Lapangan golf di West Los Angeles
dibeli dengan harga yang luar biasa: 200 juta dolar di tahun
1990. Ketika itu, pemiliknya yang baru berjanji bahwa
takkan ada perubahan. Tapi sekarang jumlah anggota
Amerika pelan-pelan dikurangi dengan cara yang sangat se-
derhana: setiap kali orang Amerika mengundurkan diri,
tempatnya ditawarkan kepada orang Jepang. Di Tokyo,
keanggotaan Sunset Hills dijual seharga satu juta dolar, dan
itu masih dianggap murah; daftar tunggunya panjang
sekali.
"Hmm," ujar Connor, "saya akan bermain dengan
beberapa orang Jepang."
"Seberapa sering Anda bermain golf dengan mereka?"
"Orang-orang Jepang keranjingan golf. Saya berusaha
menyempatkan diri bermain dua kali seminggu.
Kadang-kadang kita mendengar hal-hal yang menarik.
Selamat malam, Kohai."
"Selamat malam, Kapten."
Aku pulang.

Aku baru hendak memasuki Santa Monica freeway ketika


telepon berdering. Ternyata operator DHD. "Letnan, ada
panggilan untuk Special Services. Petugas di lapangan
minta bantuan petugas penghubung."
Aku menghela napas. "Oke." Si operator menyebutkan
nomor telepon mobil.
"Hei, Kawan."
Ternyata Graham. Aku berkata, "Hai, Tom."
"Kau sudah sendirian?"
"Yeah. Aku sedang dalam perjalanan pulang. Kenapa?"
"Aku pikir-pikir," ujar Graham, "mungkin ada baiknya
kalau petugas penghubung ikut dalam penggerebekan ini."
"Kukira kau ingin menanganinya seorang diri."
"Yeah, ehm, mungkin kau bisa ke sini dan membantu.
Sekadar untuk memastikan bahwa semuanya berjalan
sesuai peraturan."
Aku berkata, "Kau butuh perlindungan?"
"Hei, kau mau bantu atau tidak?"
"Beres, Tom. Aku segera ke sana."
"Kami tunggu sampai kau datang."

Bab 21

EDDIE SAKAMURA tinggal di sebuah rumah kecil, di


salah satu jalan sempit dan berkelok-kelok di perbukitan
Hollywood, di atas freeway 101. Pukul 02.45 dini hari aku
melewati sebuah tikungan dan melihat dua mobil patroli
dengan lampu dipadamkan, serta mobil Graham yang
berwarna coklat, berhenti di satu sisi jalan. Graham berdiri
bersama para petugas patroli. Ia sedang merokok. Aku ha-
rus mundur sekitar dua belas meter untuk mendapatkan
tempat parkir. Kemudian aku menghampiri mereka.
Kami menatap rumah Eddie yang dibangun di atas
garasi, sebuah rumah dengan dua kamar tidur, dengan
dinding diplester putih, dari tahun 1940-an. Lampu-lampu
tampak menyala, dan kami mendengar Frank Sinatra
sedang bernyanyi. Graham berkata, "Dia tidak sendirian.
Ada beberapa cewek di atas sana.
Aku berkata, "Bagaimana rencanamu?"
"Para petugas patroli menunggu di sini," ujar Graham.
"Aku sudah mewanti-wanti mereka supaya tidak
menembak, jadi jangan khawatir. Kau dan aku naik ke sana
untuk menangkapnya."
Sebuah tangga terjal naik dari garasi ke rumah.
"Oke. Kau dari depan dan aku dari belakang?“
"Jangan," kata Graham. "Aku ingin kau ikut bersamaku,
Kawan. Dia tidak berbahaya, bukan?"
Aku melihat siluet seorang wanita lewat di salah satu
jendela. Sepertinya ia sedang telanjang. “Seharusnya tidak,"
kataku.
"Oke, kalau begitu, kita mulai saja."
Kami berbaris satu-satu ketika menaiki tangga.
Frank Sinatra sedang menyanyikan My Way Kami
mendengar suara tawa wanita. Sepertinya ada lebih dari
satu. "Moga-moga ada narkotika berserakan."
Menurutku, kemungkinannya cukup besar. Kami sampai
di puncak tangga, membungkuk, agar tidak terlihat dari
jendela.
Pintu depan rumah Eddie bergaya Spanyol, berat dan
kokoh. Graham berhenti sejenak. Aku bergerak beberapa
langkah ke arah belakang rumah, tempat aku melihat
lampu kolam renang memancarkan cahaya kehijauan. Pasti
ada pintu belakang yang menuju kolam renang. Aku
berusaha menemukannya.
Graham menepuk bahuku. Aku kembali ke depan.
Perlahan-lahan ia memutar pegangan pintu. Ternyata tidak
dikunci. Graham mencabut pistol dan menatapku. Aku pun
meraih pistol.
Ia terdiam, mengacungkan tiga jari. Hitungan ketiga.
Graham menendang pintu dan masuk sambil
membungkuk. Ia berseru, "Tahan, polisi! Jangan bergerak!"
Sebelum aku sempat masuk ke ruang duduk, aku
mendengar suara wanita menjerit-jerit.

Mereka berdua, telanjang bulat, berlari ke sana kemari


sambil berteriak-teriak, "Eddie! Eddie!' Eddie tidak ada.
Graham menghardik, "Mana dia? Mana Eddie Sakamura?"
Wanita berambut merah menarik bantal dari sofa untuk
menutupi tubuhnya, dan membentak, "Keluar, bangsat!"
dan kemudian ia menimpuk Graham dengan bantal. Wanita
yang satu lagi, berambut pirang, berlari ke kamar tidur
sambil memekik. Kami mengikutinya, dan si Rambut Merah
melemparkan satu bantal lagi.
Di kamar tidur, si Pirang terjatuh dan meraung
kesakitan. Graham membungkuk sambil menodongkan
pistol. "Jangan tembak aku!" wanita itu meratap. "Aku tidak
berbuat apa-apa!"
Graham menggenggam pergelangan kakinya. Tubuh
telanjang itu menggeliat-geliat. Wanita muda itu histeris.
"Di mana Eddie?" tanya Graham. "Mana dia?"
“Lagi rapat!" si Pirang memekik.
"Di mana!"
"Lagi rapat!" Dan sambil berbalik, ia menendang
selangkangan Graham dengan kakinya yang satu lagi.
"Aduh," Graham mengaduh sambil melepaskannya. Ia
terbatuk-batuk sampai terduduk di lantai. Aku kembali ke
ruang duduk. Si Rambut Merah mengenakan sepatu
bertumit tinggi, tetapi selain itu ia pun telanjang bulat.
Aku berkata, "Di mana dia?"
"Bajingan," balasnya. "Bajingan keparat."
Aku melewatinya dan menuju sebuah pintu di seberang
ruangan. Pintunya terkunci. Si Rambut Merah mengejarku
dan mulai memukul-mukul punggungku dengan tangan
terkepal. "Biarkan dia! Biarkan dia!" Aku berusaha
membuka pintu yang terkunci, sementara punggungku
terus dipukul-pukul. Sepertinya aku mendengar
suara-suara di balik pintu.
Pada detik berikutnya, tubuh Graham yang gempal
membentur pintu sampai pecah. Aku melihat dapur,
diterangi cahaya hijau dari kolam renang di luar.
Ruangannya kosong. Pintu belakang terbuka lebar.
"Sialan.”
Kini si Rambut Merah telah melompat ke punggungku
dan melingkarkan kedua kakinya pada pinggangku. Ia
menjambak rambutku- sambil meneriakkan kata-kata
kotor. Aku berputar-putar, berusaha mengempaskannya. Di
tengah-tengah kekacauan itu, aku masih sempat berpikir,
"Awas, jangan sampai dia cedera." Sebab kesannya kurang
baik jika wanita muda yang cantik mengalami patah tangan
atau retak pada tulang iga. Orang-orang pasti akan
menyalahkan aku, meskipun ia sekarang menjambak
rambutku sampai copot. Ia menggigit telingaku, dan rasa
nyeri menjalar ke seluruh tubuhku. Aku membenturkan
badanku ke dinding dan mendengarnya mengerang. Ia
melepaskan tangannya.
Di luar jendela, aku melihat sebuah sosok gelap berlari
menuruni tangga. Graham juga melihatnya.
"Persetan," ia mengumpat. Ia segera berlari, begitu juga
aku. Tetapi si Rambut Merah rupanya menjegal kakiku,
sebab aku terjatuh ke lantai. Ketika aku bangkit lagi, aku
mendengar sirene mobil-mobil patroli dan suara mesin.
Kemudian aku sudah di luar, bergegas menuruni tangga.
Aku berada sekitar sepuluh meter di belakang Graham,
waktu Ferrari milik Eddie mundur dari garasi,
memindahkan gigi dengan kasar, dan melesat menyusuri
jalan.
“Kedua mobil patroli langsung mengejar. Graham berlari
ke mobilnya. Ia telah mulai melaju sementara aku masih
berlari ke mobilku yang diparkir agak lebih jauh. Ketika
mobilnya melewatiku, aku melihat wajahnya, cemberut dan
geram.
Aku masuk ke mobilku dan menyusul.
Di daerah perbukitan, kita tak mungkin melaju dengan
kencang sambil berbicara melalui telepon. Aku bahkan
tidak mencobanya. Aku menaksir jarak antara aku dan
Graham sekitar setengah kilometer, sedangkan Graham
sendiri tertinggal agak jauh di belakang kedua mobil
patroli. Ketika aku sampai di kaki bukit, di jembatan 101,
aku melihat lampu-lampu yang berkedap-kedip di freeway.
Aku terpaksa mundur dan berputar ke pintu di Mulholland,
dan kemudian aku bergabung dengan lalu lintas yang
menuju ke selatan.
Pada waktu lalu lintas mulai bertambah pelan, aku
memasang lampu di atap, dan pindah ke jalur
pemberhentian darurat di sebelah kanan.
Aku sampai di dinding pembatas beton kurang lebih tiga
puluh detik setelah Ferrari itu menghantamnya dengan
kecepatan sekitar 160 kilometer per jam. Kurasa tangki
bensinnya meledak seketika. Lidah api menjulang setinggi
lima belas meter ke udara. Panasnya luar biasa. Sepertinya
api akan menjalar ke pohon-pohon di lereng bukit. Mobil
yang hancur berantakan itu sama sekali tak dapat didekati.
Mobil pemadam kebakaran pertama tiba, diikuti tiga
mobil patroli. Di mana-mana ada sirene dan lampu
berkedap-kedip.
Aku memundurkan kendaraanku, memberi tempat
untuk mobil-mobil pemadam, lalu menghampiri Graham. Ia
sedang mengisap rokok ketika para petugas pemadam
kebakaran mulai menyemprotkan busa.
"Ya ampun," ujar Graham. "Semuanya kacau-balau."
"Kenapa para petugas patroli tidak menghentikannya
ketika dia berada di garasi tadi?"
"Karena," kata Graham, "aku telah melarang mereka
menggunakan pistol. Dan kita tidak ada di sana. Mereka
sedang bingung harus berbuat apa waktu dia kabur." Ia
menggelengkan kepala. "Bagaimana aku harus melaporkan
ini?"
Aku berkata, "Tapi memang lebih baik kau tidak
menembaknya."
"Mungkin." Ia mematikan rokoknya.
Api telah berhasil dipadamkan. Ferrari itu telah hangus,
ringsek. Bau tajam tercium di udara.
"Hmm," kata Graham. "Percuma saja kita menunggu di
sini. Aku akan kembali ke rumahnya. Barangkali
cewek-cewek itu masih ada di sana."
"Kau butuh bantuanku?"
"Tidak. Pulang sajalah. Besok masih ada hari lain.
Brengsek, urusan administrasi pasti takkan ada
habis-habisnya." Ia menatapku, lalu terdiam sejenak. "Kita
sepaham mengenai ini? Mengenal apa yang terjadi?"
"Tentu," kataku.
"Kita tidak ada pilihan lain tadi," ujarnya.
"Memang," aku berkata. "Hal-hal seperti ini memang
terjadi."
"Oke, Kawan. Sampai besok."
"Selamat malam, Tom."
Kami naik ke mobil masing-masing
Aku pulang ke rumah.

Bab 22

MRS. ASCENIO sedang mendengkur keras di sofa ketika


aku tiba di rumah pukul 03.45 dini hari. Aku
mengendap-endap melewatinya dan mengintip ke kamar
Michelle. Anakku sedang telentang. Ia telah menyingkirkan
selimut dan tidur dengan tangan di atas kepala. Kakinya
menjorok keluar lewat pagar pembatas tempat tidurnya.
Aku menyelimutinya, lalu masuk ke kamarku.
Pesawat TV masih menyala. Aku mematikannya. Aku
mencopot dasi dan duduk di tempat tidur untuk
melepaskan sepatu. Baru sekarang aku menyadari
seberapa lelahnya aku. Aku membuka mantel dan celana,
dan melemparkan keduanya ke atas pesawat TV. Aku
membaringkan diri di tempat tidur, berniat membuka
kemeja yang terasa lengket dan berbau keringat. Aku
memejamkan mata sejenak, merebahkan kepala ke bantal
yang empuk. Kemudian aku merasakan cubitan, serta
sesuatu menarik-narik kelopak mataku. Aku mendengar
bunyi mengerik, dan sejenak aku dicekam ketakutan bahwa
mataku sedang dipatuk-patuk burung.
Aku mendengar sebuah suara berkata, "Bangun, Daddy.
Bangun." Dan aku menyadari bahwa itu anak perempuanku
yang berusaha membuka mataku dengan jemarinya yang
mungil.
"Oooh," kataku. Aku melihat sinar matahari, membalik
badan, dan membenamkan wajahku ke bantal.
"Daddy? Bangun. Bangun, Daddy."
Aku berkata, "Daddy tidak sempat tidur semalam. Daddy
masih capek."
Tapi ia tak peduli. "Daddy, bangun. Bangun, Daddy.
Bangun, Daddy."
Aku tahu bahwa ia akan takkan berhenti mengucapkan
kata-kata yang sama sampai aku hilang ingatan atau
membuka mata. Aku berbalik lagi dan terbatuk-batuk.
"Daddy masih capek, Shelly. Coba cari Mrs. Ascenio saja."
"Daddy, bangun."
"Kenapa kamu tidak bisa membiarkan Daddy tidur
sedikit lebih lama? Daddy masih mau tidur pagi ini."
"Sekarang sudah pagi, Daddy. Bangun. Bangun."
Aku membuka mata. Michelle benar.
Memang sudah pagi.
Apa boleh buat.
HARI KEDUA

Bab 23

"HABISKAN sarapanmu."
"Sudah kenyang."
“Satu suap lagi, Shelly." Sinar matahari masuk melalui
jendela dapur. Aku menguap. Jam dinding menunjukkan
pukul tujuh pagi.
"Mommy mau datang hari ini?"
"Jangan alihkan pembicaraan. Ayo, Shel. Satu suap lagi.
Oke?"
Kami duduk di meja berukuran anak-anak di pojok
dapur. Kadang-kadang aku bisa membujuk Michelle untuk
makan di meja kecil kalau ia tidak mau makan di meja
besar. Tapi hari ini aku tidak beruntung. Michelle
menatapku.
"Mommy mau datang?"
"Barangkali. Tapi Daddy tidak tahu pasti." Aku tidak
ingin mengecewakannya. "Kita masih tunggu kabar dari
Mommy."
"Mommy mau ke luar kota lagi?"
Aku berkata, "Mungkin." Dalam hati aku bertanya-tanya,
apa arti "ke luar kota" bagi anak berumur dua tahun,
gambaran seperti apa yang terbayang olehnya.
"Dia mau pergi dengan Paman Rick?"
Siapa Paman Rick? Aku menyodorkan garpu ke depan
wajahnya. "Daddy tidak tahu, Shel. Ayo, buka mulutmu.
Satu suap lagi."
"Dia punya mobil baru," ujar Michelle sambil
mengangguk-angguk dengan serius. Ia selalu bersikap
seperti itu kalau menyampaikan informasi penting padaku.
"O, ya?"
“He-eh. Wamanya hitam."
"Begitu. Mobil apa?”
"Sades."
"Mobil Sades?"
"Bukan. Sades.”t
“Maksudmu, Mercedes?"
"He-eh. Wamanya hitam."
"Oh, bagus," kataku.
"Kapan Mommy mau datang?”
"Ayo, satu suap lagi, Shel."
Ia membuka mulut, dan aku mendekatkan garpu. Pada
saat terakhir, ia memalingkan wajah sambil merapatkan
bibir. "Tidak mau, Daddy.”
“Oke,” kataku. "Daddy menyerah."
“Aku tidak lapar, Daddy."
"Daddy sudah tahu."
Mrs. Ascenio sedang membereskan dapur sebelum
kembali ke apartemennya. Masih ada lima belas menit
sampai pengurus rumahku, Elaine, datang dan membawa
Michelle ke tempat penitipan anak. Aku masih harus
berpakaian. Aku baru meletakkan piring-piring di tempat
cuci piring ketika telepon berdering. Ternyata Ellen Farley,
pembantu Wali Kota untuk urusan pers
"Kau lagi nonton?"
"Nonton apa9"
"Berita. Channel tujuh. Mereka menyiarkan kecelakaan
semalam."
“O, ya?"
"Nanti telepon aku lagi."
Aku segera masuk ke kamar tidurku dan menyalakan TV.
Sebuah suara sedang berkata, "...melaporkan pengejaran
berkecepatan tinggi di Hollywood freeway ke arah selatan,
yang berakhir ketika Ferrari yang dikemudikan tersangka
menabrak jembatan Vine Street, tidak jauh dari Hollywood
Bowl. Menurut keterangan saksi mata, mobil yang
menghantam pagar pembatas beton dengan kecepatan
lebih dari seratus mil per jam itu terbakar seketika.
Beberapa unit mobil pemadam kebakaran dikerahkan,
tetapi tak ada yang selamat. Tubuh pengemudi terbakar
demikian parah, sehingga kacamatanya sampai meleleh. Pe-
tugas yang memimpin pengejaran tersebut, Detektif
Thomas Graham, mengatakan bahwa pengemudi
bersangkutan, Mr. Edward Sakamura, dicari sehubungan
dengan kematian seorang wanita yang diduga sebagai
korban pembunuhan di pusat kota. Tetapi hari ini
teman-teman Mr. Sakamura mengemukakan kesangsian
mereka mengenai tuduhan itu. Berdasarkan keterangan
mereka, sikap berlebihan yang diperlihatkan pihak
kepolisian menyebabkan tersangka menjadi panik, dan
memaksanya melanikan diri. Menurut beberapa sumber,
insiden ini berlatar belakang rasialis. Sampai saat ini belum
jelas apakah pihak kepolisian semula hendak mendakwa
Mr. Sakamura sebagai pelaku pembunuhan. Peristiwa
semalam konon merupakan pengejaran kecepatan tinggi
ketiga dalam dua minggu terakhir di freeway 101. Sikap
polisi dalam pengejaran-pengejaran ini mulai
dipertanyakan sejak seorang wanita warga Compton tewas
dalam suatu pengejaran kecepatan tinggi Januari lalu. Baik
Detektif Graham maupun asistennya, Letnan Peter Smith,
dapat dimintai keterangan, dan kita masih menunggu
apakah petugas-petugas bersangkutan akan dikenakan
sanksi administratif, atau diskors oleh pihak Departemen.”
Astaga!
“Daddy..."
"Tunggu sebentar, Shel."
Aku memperhatikan gambar yang terlihat di layar TV.
Ferrari yang telah hangus dan ringsek sedang diangkat ke
atas truk. Pada dinding beton yang tertabrak tampak
goresan hitam.
Kamera beralih ke studio. Wanita yang membacakan
berita berkata, "KNBC telah memperoleh informasi bahwa
sebelumnya dua petugas polisi sempat meminta
keterangan dari Mr. Sakamura sehubungan dengan kasus
tersebut, tetapi tidak menahannya. Kapten John Connor dan
Letnan Smith mungkin menghadapi pemeriksaan dari pi-
hak Departemen, untuk memastikan apakah telah terjadi
pelanggaran prosedur. Kabar baik bagi para pengendara
mobil: lalu lintas padafreeway 101 ke arah selatan kembali
lancar. Kini rekan saya akan membacakan berita
selanjutnya. Silakan, Bob."
Aku memandang pesawat TV sambil ter-
bengong-bengong. Pemeriksaan disipliner?
Telepon berdering. Ellen Farley lagi. "Kaudengar
semuanya itu?"
"Yeah. Ini tidak masuk akal. Apa-apaan ini, Ellen?"
"Asal tahu saja, kantor wali kota tidak terlibat. Tetapi
masyarakat Jepang di sini memang tidak suka kepada
Graham. Mereka menganggapnya sebagai rasialis. Dan
sepertinya dia malah memberi angin pada mereka."
"Aku ada di sana tadi. Graham bertindak sesuai
peraturan.”
"Yeah, aku tahu di mana kau tadi, Pete. Terus terang,
kejadian ini patut disesalkan. Aku tak ingin kau ikut kena
getahnya."
Aku berkata, "Graham tidak melanggar prosedur."
"Kaudengar aku bilang apa, Pete?"
"Bagaimana dengan sanksi administratif dan pe-
meriksaan disipliner itu?"
"Baru sekarang aku mendengarnya," ujar Ellen. "Tetapi
itu berasal dari sumber intern, dari departemenmu sendiri.
O, ya, betul tidak, nih? Kau dan Connor menemui Sakamura
semalam?"
"Ya."
"Dan kalian tidak menahannya?"
"Tidak. Ketika bicara dengannya, kami belum memiliki
alasan untuk itu. Tapi kemudian ada perkembangan baru."
Ellen berkata, "Kau benar-benar percaya bahwa dia
pelaku pembunuhan ini?"
"Aku tahu dia pelakunya. Kami punya rekaman
videonya."
"Rekaman video? Kau serius?"
"Yeah. Pembunuhan itu terekam oleh salah satu kamera
keamanan Nakamoto."
Ellen terdiam sejenak. Aku berkata, "Ellen?"
"Begini," katanya, "Off the record, oke?"
"Oke."
"Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, Pete. Banyak
yang tidak kupahami."
"Kenapa kau tidak memberitahuku siapa wanita muda
itu, semalam?”
"Sori. Semalam aku lagi banyak urusan."
"Ellen."
Hening. Kemudian, "Pete, pergaulannya sangat luas. Dia
kenal banyak orang."
"Apakah dia kenal Pak Wali Kota?'"
Hening.
"Seberapa akrab dia dengan Pak Wali Kota?"
"Begini saja," ujar Ellen, "dia cantik dan kenal. banyak
orang di kota ini. Menurutku, dia kurang seimbang. Tapi dia
cantik dan pengaruhnya terhadap kaum pria luar biasa. Kau
harus lihat sendiri supaya bisa percaya. Nah, sekarang
banyak orang mendadak sibuk. Kau sudah baca Times hari
ini.”
"Belum."
"Coba baca dulu. Kalau aku boleh beri saran, selama
beberapa hari berikut ini, sikapmu harus baik-baik. Segala
tindak-tandukmu harus sesuai peraturan. Dan
berhati-hatilah."
"Oke. Thanks, Ellen."
"Jangan berterima kasih padaku. Aku tak pernah
meneleponmu." Kemudian nada suaranya menjadi lebih
lembut. "Jaga dirimu, Peter."
Aku mendengar nada kosong.
"Daddy?"
"Sebentar, Shel."
"Aku boleh nonton film kartun?"
"Boleh, Sayang."
Aku mencari film kartun di TV, lalu masuk ke ruang
duduk. Aku membuka pintu depan dan memungut koran
Times dari keset. Baru setelah beberapa waktu aku
berhasil. menemukan artikel yang kucari, di halaman
terakhir bagian Metro.

TUDUHAN RASIALISME POLISI MEMBAYANGI PESTA


JEPANG

Paragraf pertama kubaca sepintas lalu. Pejabat-pejabat


Jepang dari perusahaan Nakamoto mengeluh mengenai
sikap polisi yang "tanpa perasaan dan tidak peka", yang
menurut mereka mencoreng malam peresmian gedung
pencakar langit mereka yang baru di Figueroa. Paling tidak
satu pejabat Nakamoto mengemukakan pandangan bahwa
tindakan polisi berlatar belakang rasial. Seorang juru bicara
berkata, "Kami tidak yakin L.A.P.D. akan bersikap dengan
cara ini seandainya bukan perusahaan Jepang yang terlibat.
Kami berpendapat bahwa tindakan polisi mencerminkan
standar ganda dalam perlakuan petugas-petugas Amerika
terhadap orang Jepang." Mr. Hiroshi Ogura, ketua dewan
direksi Nakamoto, hadir dalam pesta itu, yang antara lain
dihadiri oleh orang-orang terkenal seperti Madonna dan
Tom Cruise, tetapi tidak dapat dihubungi untuk dimintai
komentar atas kejadian tersebut. Seorang juru bicara
berkata, "Mr. Ogura sangat menyayangkan bahwa sikap
pihak berwenang sempat mencoreng pertemuan ini. Ia
menyesalkan segala kekisruhan yang telah terjadi."
Menurut sementara pengamat, Wali Kota Thomas
mengutus salah satu anggota stafnya untuk berunding
dengan polisi, namun hasiInya tidak menggembirakan.
Pihak polisi tidak mengubah sikap, meski telah didampingi
petugas penghubung khusus Jepang, Letnan Peter Smith,
yang bertugas meredam situasi-situasi yang peka dari segi
rasial...
Dan sebagainya.
Kita harus membaca empat paragraf sebelum
mengetahui bahwa telah terjadi pembunuhan. Sepertinya
detail ini nyaris dianggap tidak relevan.
Perhatianku kembali ke judul artikel. Artikelnya berasal
dari City News Service, sehingga, nama wartawan yang
menulisnya tidak dicantumkan.
Aku begitu marah, sehingga aku menelepon kenalan
lamaku di Times, Kenny Shubik. Ken adalah wartawan
Metro yang paling senior. Sudah lama sekali ia bergabung
dengan koran itu, dan ia mengetahui segala sesuatu yang
sedang terjadi. Karena masih pukul delapan pagi, aku
meneleponnya di rumah.

"Ken. Pete Smith."


"Oh, hai," katanya. "Syukurlah kau terima pesanku."
Di latar belakang, aku mendengar seseorang yang
rupanya seorang remaja putri, "Oh, ayolah, Dad. Kenapa
aku tidak boleh pergi?"
Ken berkata, "Jennifer, jangan ganggu aku dulu."
"Pesan yang mana?" tanyaku.
Ken berkata, "Semalam aku meneleponmu, sebab kupikir
kau tentu ingin tahu dengan segera. Dia pasti diberitahu
oleh seseorang. Kau bisa kira-kira apa yang ada di
baliknya?"
"Di balik apa?" ujarku. Aku sama sekali tidak memahami
maksudnya. "Sori, Ken, pesanmu belum kuterima."
"Benar?" katanya. "Aku menelepon sekitar jam setengah
dua belas semalam. Operator DHD bilang kau sedang
menangani kasus, tapi kau punya telepon mobil. Kubilang
urusannya penting, dan minta agar kau meneleponku di
rumah kalau perlu. Sebab aku yakin kau memang ingin
tahu."
Di latar belakang, gadis tadi berkata, "Dad, ayo, dong.
Aku masih harus pilih baju."
"Jennifer, diam dulu," Ken menghardik. Dan padaku ia
berkata, "Kau juga punya anak perempuan, bukan?"
"Yeah," kataku. "Tapi dia baru dua tahun."
"Tunggu saja," ujar Ken. "Begini, Pete. Kau benar-benar
tidak terima pesanku?"
"Tidak," jawabku. "Aku menelepon karena urusan lain.
Artikel di koran pagi ini."
"Artikel yang mana?"
"Liputan mengenai Nakamoto di halaman delapan.
Artikel mengenai 'polisi yang tanpa perasaan dan tidak
peka' pada malam peresmian gedung."
"Jeez, aku tidak tahu berita itu sudah dimuat. Aku tahu
Jodie meliput pesta mereka, tapi seharusnya baru besok
dimuat. Kau tahu sendirl, pesta-pesta Jepang selalu menarik
kaum jetset. Kemarin jadwal Metro di meja Jeff masih
kosong."
Jeff adalah editor bagian Metro. Aku berkata, "Hari ini
ada artikel mengenai pembunuhan itu."
"Pembunuhan yang mana?" tanya Ken. Suaranya
bernada aneh.
"Semalam terjadi pembunuhan di gedung. Nakamoto.
Sekitar jam setengah sembilan. Salah satu tamu tewas."
Ken terdiam. Merangkai-rangkai informasi. Akhirnya ia
bertanya, "Kau terlibat?"
"Seksi pembunuhan minta bantuanku sebagai petugas
penghubung Jepang."
"Hmm," Ken bergumam. "Begini saja. Tunggu sampai aku
tiba di kantor untuk mencari informasi tambahan. Dalam
satu jam, kita bicara lagi. Dan tolong sebutkan
nomor-nomor telepon di mana kau bisa dihubungi, supaya
aku bisa langsung bicara denganmu."
"Oke."
Ia berdehem. “Eh, Pete," katanya. "Ini antara kita saja.
Kau lagi ada masalah?"
"Seperti apa, misalnya?”
"Misalnya, masalah moral, masalah dengan rekening
bankmu. Penyimpangan mengenai penghasilan yang
dilaporkan... apa saja yang perlu kuketahui. Sebagai
temanmu."
"Tidak," kataku.
"Aku tidak butuh detail-detailnya. Tapi kalau ada
sesuatu yang tidak beres ...”
"Tidak ada apa-apa, Ken."
"Soalnya begini, aku mau membantumu, tapi aku tidak
berminat beli kucing dalam karung."
"Ken. Ada apa sebenarnya?"
"Aku tidak bisa cerita banyak sekarang. Tapi sepintas
lalu kelihatannya ada yang mau menikammu dari
belakang," kata Ken. "Telepon aku satu jam lagi, oke?"
"Kau memang teman yang baik. Aku berutang budi
padamu."
"Dan jangan lupa itu," Ken berkata. Ia meletakkan
gagang.

Aku memandang berkeliling di apartemenku. Segala


sesuatu tetap seperti semula. Cahaya matahari pagi masuk
melalui jendela. Michelle duduk di kursi favoritnya,
menonton film kartun sambil mengisap jempol. Tapi entah
kenapa semuanya terasa lain. Aneh. Sepertinya seluruh
dunia mendadak miring.
Tetapi masih banyak hal yang harus kukerjakan.
Hari semakin siang. Aku harus berpakaian sebelum
Elaine datang untuk membawa Michelle ke tempat
penitipan anak. Aku mengatakannya pada Michelle. Ia
mulai menangis. TV kumatikan dan Michelle berbaring di
lantai sambil menendang-nendang dan menjerit-jerit.
"Jangan, Daddy! Kartun, Daddy! "
Aku mengangkatnya dan menggendongnya ke kamar
tidur untuk mengganti pakaiannya. Ia berteriak-teriak
sekuat tenaga. Pesawat telepon kembali berdering. Kali ini
dari operator divisi.
"Pagi, Letnan. Ada beberapa pesan untuk Anda."
"Sebentar, saya ambil pensil dulu," kataku. Aku
menurunkan Michelle. Tangisnya semakin keras. Aku
berkata, "Sekarang kamu pilih sepatu mana yang akan
kaupakai ke sekolah, ya?" "
"Kedengarannya seperti ada pembunuhan di tempat
Anda," si operator telepon berkomentar.
"Dia tidak mau bersiap-siap untuk pergi ke sekolah."
Michelle menarik-narik kakiku. "Tidak mau, Daddy. Aku
tidak mau sekolah, Daddy."
"Kau harus sekolah," aku berkata dengan tegas.
Michelle kembali menangis. "Silakan," aku berkata
kepada si operator.
"Oke, pukul 23.41 semalam, ada telepon dari seseorang
bernama Ken Subotik atau Subotnik, dari LA Times. Dia
minta ditelepon lagi. Pesannya, 'Si Musang sedang
mengintai Anda.' Dia bilang, Anda tahu artinya. Anda bisa
menghubunginya di rumah. Anda punya nomornya?"
"Ya."
"Oke. Pukul 01.42 dini hari, telepon dari Mr. Eddie Saka
kelihatannya seperti Sakamura. Dia bilang penting, harap
telepon ke rumahnya, 5558434. Mengenai kaset yang
hilang. Oke?"
Sialan.
Aku berkata, "Jam berapa dia menelepon?"
"Pukul 01.42 dini hari. Teleponnya disambungkan ke
County General, dan sepertinya operator di sana tak dapat
menemukan Anda. Anda berada di kamar mayat?”
"Yeah."
"Sori, Letnan, tapi begitu Anda keluar mobil, kami
terpaksa melalui pihak ketiga."
"Oke. Ada lagi?"
"Kemudian pukul 06.43 tadi. Kapten Connor
meninggalkan nomor pager yang dapat Anda hubungi. Dia
bilang dia mau main golf pagi ini.”
"Oke."
"Dan pukul 07.10, ada telepon dari Robert Woodson
yang bekerja di kantor Senator Morton. Senator Morton
ingin bertemu dengan Anda dan Kapten Connor pukul satu
siang nanti di Los Angeles Country Club. Dia minta agar
Anda meneleponnya untuk mengkonfirmasikan bahwa
Anda akan menemui Senator Morton. Saya sudah berusaha
menghubungi Anda, tetapi telepon Anda sedang dipakai.
Anda akan menelepon Senator Morton?"
Aku mengatakan bahwa aku akan meneleponnya.
Kemudian aku minta tolong pada operator itu untuk
menghubungi Connor di lapangan golf, dan berpesan agar
Connor meneleponku di mobil.
Aku mendengar kunci pintu diputar. Elaine melangkah
masuk. "Selamat pagi," katanya.
"Maaf, tapi Shelly belum berganti baju."
"Tidak apa-apa," ujar Elaine. "Jam berapa Mrs. Davis
akan menjemputnya?"
"Kami masih menunggu kabar darinya."
Elaine sudah terbiasa menghadapi keadaan ini.
"Ayo, Michelle. Sekarang kita pilih bajumu untuk hari ini.
Sudah waktunya bersiap-siap berangkat sekolah."
Aku melirik jam tangan. Aku baru saja hendak mengisi
cangkirku dengan kopi ketika pesawat telepon berdering.
"Apakah saya bisa bicara dengan Letnan Peter Smith?"
Ternyata dari Wakil Komandan, Jim Olson.

"Hai, Jim."
"Pagi, Pete." Nada suaranya ramah. Tapi Jim Olson tidak
pernah menelepon orang sebelum jam sepuluh pagi, kecuali
jika situasinya memang genting. Olson berkata,
"Kelihatannya kita menghadapi masalah besar. Kau sudah
baca koran pagi ini?"
"Yeah, sudah."
"Dan kau sempat melihat siaran berita?"
"Sebagian."
Pak Komandan meneleponku dan minta saran untuk
mengendalikan situasi ini. Aku butuh keteranganmu
sebelum memberikan rekomendasi. Oke?"
"Oke."
"Aku baru saja bicara dengan Tom Graham lewat
telepon. Dia mengakui bahwa kejadian semalam memang
kacau-balau. Tak ada yang bisa dibanggakan."
"Sepertinya begitu."
"Dua cewek telanjang menghalang-halangi dua petugas
berbadan sehat dan menggagalkan penangkapan seorang
tersangka. Intinya begitu, bukan?"
Kedengarannya konyol sekali. Aku berkata, "Kau harus
ada di sana untuk memahami duduk perkaranya, Jim."
"He-eh," katanya. "Hmm, sejauh ini ada satu hal yang
menguntungkan bagi kita. Aku telah memeriksa apakah
prosedur pengejaran dijalankan secara benar. Rupanya
memang begitu. Kita punya rekaman dari komputer,
rekaman percakapan radio, dan semuanya sesuai
peraturan. Untung saja. Bahkan tak ada yang mengumpat.
Rekaman-rekaman ini bisa kita berikan kepada pihak
media, seandainya situasi bertambah parah. Jadi, dalam hal
ini posisi kita cukup aman. Tapi sayang sekali Sakamura
tewas.”
"Ya."
"Graham sempat kembali untuk mencari kedua cewek
itu, tapi rumah Sakamura ternyata sudah kosong. Mereka
sudah lenyap."
"Begitu."
"Dan tentunya tidak ada yang sempat mencatat
nama-nama mereka?"
"Tidak."
"Berarti kita tidak punya saksi untuk kejadian di rumah
Sakamura. Ini agak berbahaya."
"He-eh."
"Pagi ini mereka sedang mengeluarkan mayat Sakamura
dari mobil itu, untuk mengirim sisa-sisanya ke kamar
jenazah. Menurut Graham, kasus ini sudah selesai. Kalau
tidak salah, ada rekaman video yang memperlihatkan
bahwa Sakamura membunuh cewek itu, bukan? Graham
bilang, dia sudah siap membuat laporan
lima-tujuh-sembilan. Menurutmu bagaimana? Kasus ini
sudah bisa ditutup?"
"Kelihatannya begitu.”
'Kalau begitu, kita sudahi saja,” ujar Olson. "Masyarakat
Jepang merasa jengkel dam tersinggung oleh penyelidikan
Nakamoto. Mereka ingin penyelidikan tersebut bisa
diakhiri secepat mungkin. Jadi, kalau kasus ini bisa
dianggap selesai, itu akan sangat membantu."
"Aku setuiu," kataku. "Kita akhiri saja di sini."
"Syukurlah kalau begitu, Pete," kata Olson.
"Aku akan bicara dengan Pak Komandan. Mogamoga kita
bisa mencegah tindakan disipliner."
"Thanks, Jim."
"Usahakan agar kau jangan terialu khawatir.
Aku sendiri tidak melihat isu disipliner di sini. Asal saja
kita punya rekaman video yang memperlihatkan Sakamura
pelakunya."
"Yeah.”
"Mengenai rekaman-rekaman ini," katanya, "aku sudah
minta agar Marty mengambil semuanya dari lemari barang
bukti. Tapi sepertinya dia tidak menemukannya."
Aku menarik napas panjang dan berkata, "Memang,
soalnya kubawa pulang."
"Kau tidak menyimpan kaset-kaset video itu di lemari
barang bukti semalam?"
"Tidak. Aku ingin membuat kopinya dulu."
Olson terbatuk-batuk. "Pete. Sebenarnya lebih baik kalau
kau mengikuti prosedur."
"Aku ingin membuat kopinya dulu," kataku sekali lagi.
"Begini saja," ujar Jim, "buat kopinya, lalu bawa semua
rekaman asli ke mejaku sebelum jam sepuluh. Oke?"
"Oke."
"Kadang-kadang memang agak lama sebelum bahan
tertentu bisa ditemukan di lemari barang bukti."
Secara tak langsung ia mengatakan bahwa ia akan
melindungiku. "Thanks, Jim."
"Jangan berterima kasih padaku, sebab aku tidak
melakukan apa-apa," jawabnya. "Sepanjang penge-
tahuanku, semuanya sesuai prosedur standar."
"Betul."
"Tapi kusarankan, selesaikan semuanya dengan segera.
Aku bisa mengulur-ulur waktu selama beberapa jam. Tapi
di sini sedang terjadi sesuatu. Aku tidak tahu persis dari
mana asal-usulnya. Jadi jangan ambil risiko, oke?"
"Oke, Jim. Aku sudah mau berangkat."
Aku meletakkan gagang.

Bab 24

PASADENA tampak seperti sebuah kota di dasar gelas


berisi susu asam. Laboratorium Tenaga Jet terletak di
perbukitan di kaki gunung di pinggir kota, tidak jauh dani
Rose Bowl. Tapi walaupun sudah pukul 08.30, pegunungan
tetap tak tampak, karena terhalang kabut berwarna putih
kekuning-kuningan.
Aku menjepit kardus berisi kaset-kaset video di bawah
lengan, memperlihatkan lencanaku, mengisi daftar tamu di
gardu jaga, dan bersumpah bahwa aku warga negara
Amerika Serikat. Petugas jaga lalu menyuruhku ke gedung
utama, melintasi pekarangan dalam.
Selama beberapa dekade, Laboratorium Tenaga Jet
berfungsi sebagai pusat komando bagi wahana-wahana
ruang angkasa Amerika yang memotret planet Jupiter serta
cincin-cincin planet Saturnus, dan mengirim foto-fotonya
ke bumi dalam bentuk gambar video. LTJ merupakan
tempat peralatan video modern diciptakan. Jika ada yang
sanggup membuat kopi dari kaset-kaset yang kubawa, LTJ--
lah tempatnya.
Mary Jane Kelleher, sekretaris pers LTJ, membawaku ke
lantai tiga. Kami menyusun sebuah selasar berwarna hijau,
melewati beberapa pintu yang menuju ruang-ruang kantor
yang kosong. Aku menyinggung hal itu.
"Memang benar," ia berkata sambil mengangguk.
"Belakangan ini kami kehilangan sejumlah tenaga ahli,
Peter."
"Ke mana mereka pergi?" tanyaku.
"Sebagian besar ditampung oleh industri. Dari dulu
selalu ada beberapa orang yang pindah ke IBM di Armonk,
atau ke Bell Labs di New Jersey. Tapi lab-lab itu sudah tidak
lagi memiliki perlengkapan terbaik atau dana yang paling
besar. Posisi mereka digantikan oleh lab-lab penelitian
Jepang, misalnya Hitachi di Long Beach, Sanyo di Torrance,
Canon di Inglewood. Banyak peneliti Amerika bekerja
untuk mereka sekarang."
"LTJ tidak prihatin mengenai perkembangan ini?"
“Tentu saja kami prihatin,” katanya. "Semua orang tahu
bahwa cara terbaik untuk mengalihkan teknologi adalah di
dalam kepala seseorang. Tapi kami tak dapat berbuat
apa-apa." Ia mengangkat bahu. "Para peneliti ingin
melakukan penelitian. Dan Amerika kini membatasi diri
dalam bidang riset dan pengembangan. Anggaran
diperketat. Jadi memang lebih baik bekerja untuk orang
Jepang. Mereka berani membayar, dan mereka benar-benar
menghargai penelitian. Kalau kita memerlukan per-
lengkapan tertentu, kita akan mendapatkannya. Paling
tidak, itulah yang dikatakan teman-temanku. Nah, kita
sudah sampai."
Ia mengajakku ke sebuah laboratorium yang penuh
sesak dengan peralatan video. Kotak-kotak hitam
ditumpuk-tumpuk di rak-rak logam dan meja-meja logam;
kabel-kabel simpang siur di lantai; ada berbagai jenis
monitor dan layar peraga. Di tengah-tengah semuanya itu
berdiri pria berjanggut bernama Kevin Howzer. Usianya
sekitar 35 tahun. Pada monitor tampak mekanisme gigi,
dengan warna pelangi yang terus berubah-ubah. Mejanya
dipenuhi kaleng-kaleng Coke dan bekas bungkus permen.
Rupanya ia tidak tidur sepanjang malam, bekerja.
"Kevin, ini Letnan Smith dari L.A.P.D. Dia punya
beberapa kaset video yang perlu dikopi."
"Cuma dikopi?" tanya Howzer dengan nada kecewa.
"Kaset-kaset itu tidak perlu diotak-atik?"
"Tidak, Kevin," ujar Mary Jane. "Tidak perlu."
"Beres. "
Aku menunjukkan salah satu kaset pada Howzer. Ia
memutar-mutarnya dan mengangkat bahu.
"Kelihatannya seperti kaset delapan mili standar. Apa
isinya?"
"Rekaman video Jepang, definisi tinggi."
"Maksud Anda, sinyal HDT.”
"Mungkin."
"Mestinya tidak ada kesulitan. Anda punya alat putar
yang bisa saya pakai?"
"Ya." Aku mengeluarkan alat itu dari kotak dan
menyerahkannya.
"Jeez, mereka memang hebat Alat ini benar-benar
bagus." Kevin mengamati tombol-tombol di bagian depan.
"Yeah, memang definisi tinggi. Jangan takut, kalau cuma
begini saja, saya masih sanggup." Ia membalikkan kotak itu
dan memperhatikan colokan-colokan di belakang. Tiba-tiba
ia mengerutkan kening. Ia memindahkan lampu meja dan
membuka tutup kaset, sehingga pitanya kelihatan.
Wamanya keperak-perakan. "Hmm. Apakah isi kaset-kaset
ini menyangkut masalah hukum?"
"Ya."
Ia mengembalikan kasetnya padaku. "Sori, saya tidak
bisa membuat kopi."
"Kenapa tidak?"
"Anda lihat warna perak ini? Itu pita logam yang sudah
menguap. Saya rasa formatnya mencakup kompresi dan
dekompresi real-time. Saya tidak bisa membuat kopi untuk
Anda, karena saya tidak bisa mencocokkan formatnya, yang
berarti saya tidak bisa merekam sinyal dengan cara yang
pasti terbaca. Saya bisa saja membuat kopi untuk Anda, tapi
saya tidak bisa menjamin bahwa hasilnya sempurna,
karena saya tidak bisa mencocokkan fonnatnya. Jadi, kalau
memang ada masalah hukum - dan saya kira ada - Anda
terpaksa membawa kaset-kaset ini ke tempat lain untuk
membuat kopi."
"Ke mana, misalnya.?"
"Ini mungkin format D-empat yang baru. Kalau memang
itu, satu-satunya tempat untuk membuat kopi adalah
Hamaguchi."
"Hamaguchi?"
"Lab penelitian di Glendale, milik Kawakami Industries.
Setiap perlengkapan video yang ada di muka bumi ini ada
di sana."
Aku berkata, "Menurut Anda, mereka akan membantu
saya?"
"Sekadar membuat kopi? Tentu. Saya kenal salah satu
direktur lab, Jim Donaldson. Kalau perlu, saya bisa
meneleponnya untuk Anda."
"Itu akan sangat membantu."
"Beres."

Bab 25

HAMAGUCHI RESEARCH INSTITUTE menempati sebuah


gedung kaca tanpa ciri khas di kawasan industri di sebelah
utara Glendale. Aku memasuki lobi sambil membawa
kotakku. Di balik meja penerima tamu yang bergaya
modern, aku melihat sebuah atrium di bagian tengah
gedung, dengan lab-lab berkaca gelap di semua sisinya.
Aku menanyakan Dr. Jim Donaldson, lalu duduk di lobi.
Sementara aku menunggu, dua pria berjas melangkah
masuk. Dengan gaya akrab mereka menganggukkan kepala
kepada petugas penerima tamu, lalu duduk di sofa di
dekatku. Tanpa memperhatikanku, mereka menggelar
brosur-brosur mengilap di meja.
"Nah, ini," ujar salah seorang dari mereka, "ini yang
kumaksud. Ini adegan terakhir. Adegan penutup."
Aku melirik ke arah mereka dan melihat pemandangan
bunga-bunga liar dan gunung-gunung berselubung salju.
Pria pertama tadi mengetuk-ngetuk foto-foto itu.
"Rocky Mountains. Americana sejati. Percayalah, inilah
daya tarik utamanya Dan lahannya benar-benar luas."
"Seberapa luas katamu tadi?"
"Seratus tiga puluh ribu ekar. Lahan paling luas yang
masih tersedia di Montana. Dua puluh kali sepuluh
kilometer tanah peternakan terbaik, menghadap ke
Rockies. Lahan seluas itu pantas disebut taman nasional.
Bayangkan kemegahannya. Dimensinya. Kualitas terbaik.
Cocok sekali untuk konsorsium Jepang."
"Dan mereka sudah menyinggung harga?"
"Belum. Tapi para peternak, kau tahu sendiri, situasi
mereka pelik. Orang asing kini boleh
mengekspor daging sapi ke Tokyo, dan harga daging sapi
di Jepang sekitar 20 sampai 22 dolar sekilo. Tapi tak
seorang pun di Jepang mau beli daging sapi asal Amerika.
Kalau orang Amerika mengirim daging, dagingnya akan
membusuk di dermaga. Tapi kalau peternakan mereka
dijual kepada orang Jepang, dagingnya bisa diekspor. Sebab
orang Jepang mau beli dari peternakan milik orang Jepang.
Orang Jepang mau melakukan bisnis dengan sesama orang
Jepang. Di mana-mana di Montana dan Wyoming sudah
banyak peternakan yang dijual. Para. peternak yang masih
bertahan kini bisa melihat koboi-koboi Jepang berkuda di
padang rumput. Mereka melihat peternak-peternak lain
melakukan perbaikan, membangun gudang jerami,
menambahkan perlengkapan modern, dan sebagainya.
Sebab peternak-peternak lain itu memperoleh harga tinggi
di Jepang. Nah, para peternak Amerika, mereka tidak
bodoh. Mereka bisa membaca gelagat. Mereka sadar bahwa
mereka tak dapat bersaing. Jadi mereka pun menjual."
"Tapi setelah itu, apa yang dilakukan orang-orang
Amerika itu?"
"Mereka tetap tinggal di tempat dan bekerja untuk orang
Jepang. Tak ada masalah. Orang Jepang membutuhkan
orang untuk mengajarkan cara beternak pada mereka. Dan
semua pekerja memperoleh kenaikan gaji. Orang Jepang
peka terhadap perasaan orang Amerika. Mereka bangsa
yang peka."
"Aku tahu, tapi aku tetap tidak suka. Aku tidak suka
semuanya ini."
"Boleh-boleh saja, Ted. Tapi apa yang akan kaulakukan?
Menulis surat protes kepada anggota Kongres? Mereka
semua bekerja untuk orang Jepang. Asal tahu saja, orang
Jepang menjalankan peternakan-peternakan itu dengan
subsidi dari pemerintah Amerika.” Pria pertama
memutar-mutar gelang emas di pergelangan tangannya. Ia
merapatkan badan ke rekannya. "Begini, Ted. Jangan sok
moralis. Kau dan aku, kita sama-sama butuh kontrak ini.
Ingat, kita bakal dapat lima persen dan pembayaran selama
lima tahun dari transaksi senilai 700 juta dolar. Jangan lupa
itu. Kau sendiri akan memperoleh 2,4 juta, dan itu baru
untuk tahun pertama. Masih ada empat tahun lagi."
"Memang. Tapi tetap saja ada yang terasa mengganjal.”
"Ted, aku yakin hati nuranimu takkan mengganggumu
lagi pada waktu kontrak ini ditandatangani. Tapi sekarang
masih ada beberapa detail yang perlu kita bahas..." Saat itu,
mereka rupanya baru sadar bahwa aku mendengarkan
percakapan mereka. Mereka langsung berdiri dan pindah
ke tempat yang agak jauh. Aku mendengar pria pertama
mengatakan sesuatu mengenai "jaminan bahwa Negara
Bagian Montana menyetujui dan mendukung..." Rekannya
mengangguk pelan-pelan. Pria pertama menonjok bahunya
berusaha menghiburnya.
"Letnan Smith?"
Seorang wanita berdiri di samping tempat dudukku.
"Ya?"
"Saya Kristen, asisten Dr. Donaldson. Kevin dari LTJ
sudah menelepon ke sini. Katanya Anda butuh bantuan
dengan beberapa kaset video?"
"Ya, saya ingin membuat kopi."
"Masalahnya, bukan saya yang menerima telepon dari
Kevin tadi. Dia bicara dengan salah satu sekretaris, dan
orang itu tidak memahami situasinya. "
"Maksud Anda?"
"Dr. Donaldson sedang keluar. Dia memberikan ceramah
pagi ini."
"Oh, begitu."
"Dan ini agak menyulitkan bagi kami. Tanpa dia di lab..."
"Saya hanya ingin membuat kopi dari kaset-kaset ini.
Barangkali ada orang lain yang bisa membantu saya?"
ujarku.
“Biasanya bisa, tapi sayang sekali hari ini tidak.”
Aku menghadapi tembok Jepang. Sangat sopan, namun
tetap sebuah tembok. Aku menghela napas. Memang sudah
dapat diduga bahwa perusahaan riset Jepang takkan mau
membantuku. Biarpun sekadar membuat kopi dari
kaset-kaset video.
"Saya mengerti.”
"Pagi ini belum ada orang di lab. Semalam semuanya
bekerja lembur karena ada proyek yang harus segera
selesai, dan sepertinya mereka baru pulang menjelang dini
hari. Jadi sekarang semuanya masuk agak siang. Inilah yang
tidak diketahui oleh sekretaris tadi. Sayang sekali kami
tidak dapat membantu Anda."
Aku mencoba sekali lagi. "Anda tahu, bukan, saya bekerja
untuk Kepala Departemen Polisi. Ini tempat kedua yang
saya datangi. Saya sudah didesak-desak dari atas agar
kaset-kaset ini segera dikopi."
"Saya ingin sekali membantu Anda. Dan saya tahu Dr.
Donaldson juga begitu. Kami sudah pernah mengedakan
tugas khusus untuk kepolisian. Dan saya yakin, kami
sanggup membuat kopi dari kaset-kaset yang Anda bawa.
Mungkin nanti siang. Atau jika Anda bisa meninggalkan
kaset-kaset itu..."
"Maaf, rasanya tak mungkin."
"Oke. Saya mengerti. Baiklah, saya sangat menyesal,
Letnan. Barangkali Anda bisa kembali nanti siang?"
Aku berkata, "Kelihatannya saya tidak ada waktu lagi.
Mungkin saya memang kurang beruntung, karena semua
orang terpaksa bekerja lembur semalam."
"Ya. Ini memang tidak biasa."
"Ada apa sebenarnya? Masalah mendadak? Masalah
riset?"
"Saya kurang tahu. Peralatan video di sini begitu
lengkap, sehingga kami kadang-kadang menerima
permintaan mendadak untuk mengerjakan tugas khusus.
Iklan TV yang memerlukan efek khusus, misalnya. Video
Michael Jackson yang baru untuk Sony. Atau jika seseorang
ingin memperbaiki rekaman yang sudah rusak. Tapi saya
kurang tahu apa yang mereka kerjakan semalam. Kecuali
bahwa banyak sekali yang harus dikerjakan. Ada sekitar
dua puluh kaset yang perlu ditangani. Dan semuanya harus
selesai cepat. Saya dengar mereka baru selesai setelah
tengah malam."
Dalam hati aku berkata, "Jangan-jangan..."
Aku berusaha mereka-reka tindakan Connor dalam
situasi seperti ini, bagaimana ia akan menanganinya.
Akhirnya aku memutuskan bahwa tak ada salahnya
mencoba-coba. Aku berkata, "Hmm, saya yakin pihak
Nakamoto berterima kasih sekali atas segala jerih payah
Anda."
"Oh, memang. Sebab hasilnya sangat memuaskan bagi
mereka. Mereka senang sekali."
Aku berkata, "Tadi Anda menyinggung bahwa Mr.
Donaldson sedang memberi ceramah..."
"Dr. Donaldson, ya..."
"Di mana dia memberikan ceramahnya?"
"Di sebuah seminar corporate-training di Bonaventure
Hotel. Teknik manajemen dalam riiset. Dia tentu letih sekali
pagi ini. Tapi dia memang penceramah yang hebat."
"Thanks." Kuserahkan kartu namaku. "Anda sangat
membantu, dan bila Anda tiba-tiba teringat sesuatu, atau
jika Anda ingin memberitahukan sesuatu, silakan telepon
saya."
"Oke." Ia membaca kartu namaku. "Terima kasih."
Aku berbalik. Ketika aku hendak pergi, seorang pria
Amerika berusia menjelang tiga puluh, dengan jas Armani
dan penampilan rapi seorang MBA yang gemar membaca
majalah mode, turun dan berkata kepada kedua pria tadi,
"Gentlemen? Mr. Nakagawa sudah siap menerima Anda
sekarang."
Kedua pria itu langsung berdiri, mengumpulkan
brosur-brosur dan foto-foto mereka, lalu mengikuti asisten
yang sedang menuju lift dengan langkah tenang dan
terukur.
Aku melangkah keluar, ke udara yang penuh kabut dan
asap.

Bab 26

PAPAN pengumuman di koridor itu bertulisan: BEKERJA


SAMA: MANAJEMEN GAYA JEPANG DAN AMERIKA. Di
dalam ruang konferensi, aku melihat sebuah seminar bisnis
yang diselenggarakan dalam suasana remang-remang. Pria
dan wanita duduk di meja-meja panjang yang ditutupi
taplak berwarna abu-abu, sibuk membuat catatan;
sementara sang Penceramah berkhotbah di podium.
Ketika aku berdiri di sana, di hadapan sebuah meja
dengan papan nama orang-orang yang datang terlambat,
seorang wanita berkacamata menghampiriku dan berkata,
"Anda sudah mendaftar? Bahan-bahan seminar sudah
diberikan kepada Anda?"
Aku setengah berbalik dan menunjukkan lencanaku. Aku
berkata, Saya ingin bicara dengan Dr. Donaldson."
"Dia pembicara berikut. Dalam tujuh atau delapan menit
dia sudah harus tampil di depan. Barangkali ada orang lain
yang dapat membantu Anda?"
"Saya hanya perlu bicara sebentar.”
Wanita itu tampak ragu-ragu. "Tapi waktunya tinggal
sedikit sebelum dia harus maju..."
"Kalau begitu, sebaiknya Anda segera bertindak."
Ia menatapku, seakan-akan aku baru saia menamparnya.
Aku tidak tahu apa yang diharapkannya. Aku petugas polisi
dan perlu menemui seseorang. Apakah ia mengira
permintaanku bisa ditawar-tawar? Aku merasa jengkel, lalu
teringat pada anak muda dengan jas Armani tadi. Berjalan
dengan langkah terukur, seperti orang penting, ketika
mengantar kedua salesmen real estate. Kenapa ia
menganggap dirinya penting? Barangkali ia memang
memegang gelar MBA, tapi ia tetap hanya petugas
penerima tamu bagi bosnya yang berasal dari Jepang.
Kini aku memperhatikan wanita itu berjalan
mengelilingi ruang konferensi, menuju mimbar tempat
empat pria sedang menanti giliran bicara. Para peserta
seminar masih sibuk membuat catatan ketika pembicara
berambut kuning pasir di podium berkata, "Sebenarnya ada
tempat bagi orang asing dalam perusahaan Jepang. Bukan
di posisi puncak, tentu saja, mungkin juga bukan di
eselon-eselon atas. Tapi yang jelas, ada tempat. Anda perlu
menyadan bahwa sebagai orang asing, Anda menempati
posisi penting di dalam perusahaan Jepang, bahwa Anda
dihormati, dan bahwa ada tugas yang harus Anda kerjakan.
Sebagai orang asing, tentu ada rintangan khusus yang perlu
Anda atasi, tetapi Anda dapat melakukannya. Anda bisa
berhasil jika Anda berpegang pada konsep tahu diri."
Aku mengamati para peserta seminar yang duduk
dengan kepala merunduk, sibuk membuat catatan. Apa
yang sedang mereka tulis? Konsep tahu diri?
Pembicara itu melanjutkan, "Sering kali Anda
mendengar para eksekutif berkata, 'Di perusahaan Jepang
tidak ada tempat bagi saya, dan saya terpaksa berhenti.'
Ada juga yang mengeluh, 'Mereka tidak mau mendengarkan
saya, tidak ada kesempatan untuk mewujudkan
gagasan-gagasan saya, tidak ada peluang untuk maju.'
Orang-orang itu tidak memahami peranan orang asing
dalam masyarakat Jepang. Mereka tidak mampu menye-
suaikan diri, sehingga terpaksa mundur. Tapi itu masalah
mereka. Orang Jepang bersedia menerima orang Amerika
atau orang asing lainnya di dalam perusahaan-perusahaan
mereka. Anda pun akan diterima, asal Anda tahu diri."
Seorang wanita mengacungkan tangan dan berkata,
"Bagaimana dengan prasangka terhadap wanita di
perusahaan-perusahaan Jepang?"
"Tidak ada prasangka terhadap wanita," ujar si
Penceramah.
"Saya mendengar bahwa wanita tidak bisa maju.”
"Itu tidak benar."
"Lalu kenapa ada begitu banyak perkara hukum?
Sumitomo Corporation baru saja berdamai menghadapi
tuntutan antidiskriminasi. Saya pernah
missing
Begitulah ia menjalankan tugasnya. Segala sesuatu siap
di hadapannya, dan ia bisa membuat catatan di
komputernya sambil berbicara. Ketika aku masih bertugas
di bagian pers, kantorku berada di markas polisi di Parker
Center, dua blok dari gedung Times. Namun seorang
wartawan seperti Ken tetap saja lebih suka bicara lewat
telepon daripada berhadapan langsung denganku.
"Kau saja yang mampir, Pete."
Itu sudah cukup jelas.
Ken tidak ingin bicara lewat telepon.
"Oke, baiklah," kataku. "Sepuluh menit lagi aku sudah
sampai di sana."

Bab 27

LOS ANGELES TIMES merupakan koran dengan laba


terbesar di Amerika. Ruang wartawannya menghabiskan
satu lantai di gedung Times, jadi luasnya satu blok.
Ruangan itu dibagi-bagi secara cermat, sehingga kita tidak
sadar akan dimensinya dan bahwa ada ratusan orang yang
bekerja di sana. Tapi rasanya kita bisa berjalan berhari-hari
melewati wartawan-wartawan yang duduk di meja
masing-masing, berhadapan dengan monitor komputer,
pesawat telepon, dan foto anak-anak yang mereka
tempelkan.
Tempat kerja Ken berada di bagian Metro, di sisi timur
gedung. Ketika aku sampai, ia sedang berdiri di dekat
mejanya. Berjalan mondar-mandir. Menunggu. Ia langsung-
menarik sikutku.
"Kopi," katanya. "Kita minum kopi dulu."
"Ada apa ini?" ujarku. "Kau keberatan kalau ada yang
melihatmu bersamaku?"
"Bukan itu. Aku mau menghindari si Musang. Dia lagi
mengganggu cewek baru di bagian Luar Negeri. Cewek itu
belum tahu siapa dia." Ken mengangguk ke ujung ruang
wartawan. Di sana, di dekat jendela, aku melihat sosok
Willy Wilhelm, yang dikenal semua orang sebagai Willy
Musang. Ia sedang bercanda dengan seorang wanita muda
yang duduk menghadapi komputer.
"Cantik juga." ,
"Yeah. Tapi agak keberatan pantat. Orang Belanda," ujar
Ken. "Baru seminggu di sini. Dia belum tahu reputasi si
Musang."
Hampir semua organisasi mempunyai orang seperti si
Musang, seseorang yang dikuasai ambisi pribadi, seseorang
yang pintar mengambil hati orang-orang yang berkuasa,
sementara ia sendiri dibenci oleh semua orang lain. Itulah
Willy Musang. Seperti sebagian besar orang yang tidak
jujur, si Musang selalu berprasangka buruk terhadap orang
lain. Setiap kejadian selalu diceritakannya dari sudut yang
paling tidak menguntungkan, dengan berkeras bahwa ia
sekadar mengungkapkan fakta. Ia mempunyai penciuman
tajam untuk kelemahan manusia, dan cenderung bersikap
melodramatis. Ia tak peduli pada kebenaran, dan
pemberitaan yang seimbang dianggapnya sebagai tanda
kelemahan. Menurut si Musang, kebenaran hakiki selalu
salah. Inilah pedomannya dalam menjalankan profesi. Para
wartawan Times yang lain membencinya. Ken dan aku pergi
ke koridor utama. Aku mengikutinya ke arah otomat kopi,
tetapi ia mengajakku memasuki perpustakaan. Di
tengah-tengah lantai itu, harian Times memiliki
perpustakaan yang lebih luas dan lebih lengkap
dibandingkan dengan perpustakaan di banyak perguruan
tinggi.
"Jadi, ada apa dengan Wilhelm?" kataku.
"Dia ada di sini semalam," ujar Ken. "Aku mampir di sini
setelah nonton teater, untuk mengambil bebempa catatan
yang kuperlukan untuk wawancara jarak jauh yang
kulakukan dari rumah. Dan kulihat si Musang di
perpustakaan. Kira-kira jam sebelas malam. Kau tahu
sendiri betapa ambisius bajingan itu. Aku bisa melihatnya
di wajahnya. Dia telah mencium darah. Bagaimana, kau
ingin tahu lebih banyak mengenai ini?"
"Tentu saja," kataku. Si Musang terkenal pandai
menikam orang dari belakang. Setahun lalu, ia berhasil
mendongkel editor Sunday Calendar, dan baru pada saat
terakhir ia gagal menduduki posisi itu.
Ken berkata, "Jadi, aku berbisik pada Lily, petugas
perpustakaan yang dinas malam, 'Ada apa ini? Apa rencana
si Musang?' Dia berkata, 'Dia lagi memeriksa catatan polisi
mengenai seorang petugas polisi.' Aku langsung lega. Tapi
kemudian aku mulai heran. Sampai sekarang aku masih
wartawan Metro paling senior. Aku masih sering meliput
berita dari Parker Center. Mana mungkin dia mengetahui
sesuatu yang tidak kuketahui? Seharusnya aku yang
meliput berita itu. Jadi aku ber tanya pada Lily, siapa
petugas polisi itu."
"Biar kutebak saja," kataku.
"Betul," ujar Ken. "Peter J. Smith."
"Jam berapa itu?"
"Sekitar jam sebelas."
"Bagus," kataku.
"Kupikir kau ingin diberitahu mengenai ini," kata Ken.
"Memang."
"Jadi aku bilang pada Lily – semalam - aku bilang, Lily,
bahan apa saja yang dia ambil? Dan ternyata dia mengambil
segala sesuatu, apa saja yang ada di dalam arsip.
Kelihatannya dia punya sumber di Parker Center yang
membocorkan informasi rahasia. Ada catatan mengenai
kasus penganiayaan anak kecil beberapa tahun lalu:"
"Ah, brengsek," kataku.
"Apa benar?" tanya Ken.
"Memang sempat ada pemeriksaan," ujarku.
"Tapi semuanya hanya omong kosong."
Ken menatapku. "Coba ceritakan."
"Kejadiannya tiga tahun lalu. Waktu aku masih bertugas
sebagai detektif. Partnerku dan aku menerima panggilan
kekerasan rumah tangga di Ladera Heights. Suami-istri
Latin, bertengkar. Kedua duanya mabuk berat. Wanita itu
mendesak agar aku menahan suaminya, dan waktu aku
menolak; dia bilang suaminya menganiaya bayi mereka se-
cara seksual. Lalu kuperiksa bayi mereka. Tampaknya
baik-baik saja. Aku tetap menolak untuk menahan si suami.
Wanita itu marah-marah. Besoknya dia datang ke markas
dan menuduh bahwa aku melakukan penganiayaan seksual.
Sempat ada pemeriksaan pendahuluan. Akhirnya tuduhan
dibatalkan karena dianggap tidak berdasar."
"Oke," kata Ken. "Sekarang ini, kau pernah melakukan
perjalanan yang tidak jelas tujuannya?"
Aku mengerutkan kening. "Perjalanan?"
"Semalam, si Musang berusaha mengumpulkan catatan
perjalananmu. Perjalanan naik pesawat, perjalanan dinas
sambil berfoya-foya, biaya ditanggung orang lain..."
Aku menggelengkan kepala. "Tidak pernah."
"Yeah, aku memang sudah menduga bahwa dia keliru
mengenai ini. Kau orangtua tunggal, kau takkan
berpelesiran."
"Tidak mungkin."
"Bagus."
Kami menyusuri rak-rak buku. Kami sampai di salah satu
bagian perpustakaan tempat kami dapat melihat bagian
Metro melalui dinding kaca. Sl Musang ternyata masih
mengobrol dengan wanita muda tadi. Aku berkata, "Ada
satu hal yang tidak kumengerti, Ken. Kenapa aku? Aku tidak
punya masalah dengan siapa pun. Tidak ada kontroversi.
Sudah tiga tahun aku tidak bekerja sebagai detektif. Aku
bahkan bukan petugas pers lagi. Aku bekerja sebagai
penghubung. Pekerjaan ku bersifat politik. Jadi, kenapa aku
diincar wartawan Times?"
"Jam sebelas malam pada malam Jumat, maksudmu?"
ujar Ken. Ia menatapku, seakan-akan aku orang paling tolol
di seluruh dunia. Seakan-akan ada ludah yang menetes dari
daguku.
Aku berkata, "Kaupikir ini ulah orang-orang Jepang?"
"Kupikir si Musang menawarkan jasanya kepada umum.
Dia bajingan yang bisa disewa. Dia bekerja untuk studio
film, perusahaan rekaman, perusahaan pialang, bahkan
untuk broker real estate. Dia bertindak sebagai konsultan.
Asal tahu saja, si Musang sekarang naik Mercedes 500SL."
“O, ya?"
"Untuk ukuran wartawan, lumayan juga, bukan?"
"Yeah."
"Nah. Kau pernah menyinggung perasaan seseorang?
Semalam, barangkali?"
"Mungkin."
"Sebab ada yang menelepon si Musang untuk melacak
segala gerak-gerikmu."
Aku berkata, "Ini tidak masuk akal."
"Tapi ini kenyataan," ujar Ken. "Satu-satunya yang
membuatku khawatir adalah sumber informasi si Musang
di Parker Center. Seseorang di sana membocorkan
informasi rahasia. Kau punya musuh di markasmu?"
"Setahuku tidak ada."
"Syukurlah. Sebab si Musang sudah mulai menjalankan
siasatnya. Tadi pagi aku sempat bicara dengan Roger
Roscomb, penasihat kami di sini."
"Dan?"
"Coba tebak siapa yang meneleponnya semalam, serba
genting? Si Musang. Dan kau mau tahu apa yang
ditanyakannya?"
Aku diam saja.
"Pertanyaannya, apakah petugas penghubung pers
termasuk orang yang menjadi milik umum? Orang yang
tidak bisa menuntut karena difitnah?"
Aku bergumam, "Astaga."
"Itulah."
"Dan jawabannya?"
"Masa bodoh dengan jawabannya. Kau tahu sendiri
bagaimana cara kerjanya. Si Musang hanya perlu
menelepon beberapa orang dan berkata 'Halo, ini Bill
Wilhelm dari LA. Times. Besok kami akan memuat berita
bahwa Letnan Smith pernah menganiaya anak kecil.
Bagaimana komentar Anda?' Dengan beberapa kali
menelepon ke alamat yang tepat, artikel itu bahkan tidak
perlu dimuat. Para editor bisa saja membatalkannya, tapi
kau tetap akan kena getahnya."
Aku membisu. Aku tahu bahwa Ken benar.
Sudah lebih dari sekali aku melihat hal itu terjadi.
Aku berkata, "Apa yang bisa kulakukan?"
Ken tertawa. "Kau bisa mengatur insiden kekerasan
polisi L.A. yang terkenal."
"Itu tidak lucu."
"Sumpah, tak seorang pun di harian ini akan meliputnya.
Kalau perlu, kau malah bisa membunuhnya. Dan kalau ada
yang merekamnya dengan kamera video? Hei, orang-orang
di sini bersedia membayar untuk menontonnya."
"Ken."
Ken menghela napas. "Mimpi yang indah. Oke. Ada satu
hal. Tahun lalu, setelah Wilhelm terlibat dalam... ehm...
perubahan manajemen di Calendar, aku terima surat
kaleng. Begitu juga beberapa orang lain. Waktu itu tidak
ada yang bereaksi. Permainannya agak jorok. Kau tertarik?"
"Yeah."
Ken mengeluarkan sebuah amplop coklat dari kantong
jasnya. Amplop itu dilengkapi sepotong tali untuk
menutupnya. Di dalanrnya ada sejumlah foto, dicetak
berurutan. Willy Wilhelm terlihat sedang berhubungan
intim dengan pria berambut gelap. Wajahnya terbenam di
pangkuan orang itu.
"Muka Willy kurang jelas," ujar Ken, "tapi ini memang
dia. Foto seorang wartawan yang sedang menjamu sumber
informasinya. Bisa dibilang, minum-minum bersama."
"Siapa orang itu?"
"Mencari identitasnya ternyata makan waktu agak lama.
Namanya Barry Borman. Dia kepala divisi penjualan Kaisei
Electronics untuk California bagian selatan."
"Apa yang bisa kulakukan dengan foto-foto ini?"
"Mana kartu namamu?" ujar Ken. "Biar kutempel ke
amplop ini. Nanti kusuruh orang mengantarnya kepada si
Musang."
Aku menggelengkan kepala. "Sebaiknya jangan."
"Tapi dia pasti akan berpikir dua kali."
"Jangan," kataku. "Aku tidak suka cara seperti ini."
Ken mengangkat bahu. "Yeah. Mungkin memang tidak
ada gunanya. Biarpun kita tekan si
Musang, orang-orang Jepang itu pasti masih punya jalan
lain. Aku tetap belum tahu bagaimana artikel itu sampai
bisa dimuat semalam. Yang kudengar cuma, 'Perintah dari
atas, perintah dari atas.' Entah apa artinya."
"Tapi pasti ada yang menulisnya."
"Seperti yang kukatakan tadi, aku tidak berhasil
menggali informasi lebih lanjut. Tapi orang Jepang punya
pengaruh besar di harian ini. Bukan hanya karena
iklan-iklan yang mereka pasang. Bukan hanya karena
mereka punya petugas humas yang hebat di Washington,
atau karena mereka jago lobi, atau karena sumbangan yang
mereka berikan kepada tokoh-tokoh dan
organisasi-organisasi politik. Keseluruhannya yang
menentukan. Dan keadaan ini sudah mulai membahayakan.
Bayangkan saja, kadang-kadang kita sedang mengikuti
rapat staf untuk membahas beberapa artikel yang mungkin
akan dimuat, dan tiba-tiba kita sadar bahwa tak ada yang
mau membuat mereka tersinggung. Tak jadi masalah
apakah sebuah artikel benar atau salah, berita atau bukan.
Dan masalahnya juga lebih pelik dari 'Kita tidak bisa
memuat ini, sebab mereka akan membatalkan pemasangan
iklan.' Urusannya jauh lebih rumit. Kadang-kadang aku
memandang para editor di sini, dan aku tahu bahwa
mereka keberatan terhadap cerita-cerita tertentu karena
mereka takut. Mereka bahkan tidak tahu apa yang mereka
takutkan. Mereka cuma takut."
"Tamatlah kebebasan pers."
"Hei," ujar Ken. "Ini bukan waktunya untuk
mengumandangkan idealisme mahasiswa. Kau tahu sendiri
bagaimana situasinya. Pers Amerika memberitakan
pendapat umum. Pendapat umum adalah pendapat
kelompok yang sedang berkuasa. Dan sekarang ini orang
Jepang yang berkuasa. Pihak pers memberitakan pendapat
umum seperti biasa. Tak ada yang perlu dipertanyakan.
Pokoknya, berhati-hatilah."
"Oke.
"Dan jangan ragu-ragu meneleponku jika kau
memutuskan untuk menggunakan jasa pos."

Aku perlu berbicara dengan Connor. Aku mulai paham


kenapa Connor begitu cemas, dan kenapa ia ingin
merampungkan penyelidikan ini secepat mungkin. Sebab
fitnah yang dilontarkan secara cermat merupakan senjata
yang mengerikan. Seseorang yang terampil dalam hal ini -
dan si Musang termasuk terampil - akan mengatur agar se-
lalu ada berita baru, hari demi hari, biarpun tak ada
perkembangan sama sekali. Kita membaca judul berita
seperti JURI AGUNG BELUM SEPAKAT MENGENAI
KESALAHAN PETUGAS POLISI atau JAKSA WILAYAH TIDAK
BERSEDIA MENUNTUT POLISI YANG DITUDUH BERSALAH.
Akibat yang ditimbulkan judul berita seperti itu sama
buruknya dengan keputusan bersalah.
Dan tak ada cara untuk pulih dari pemberitaan negatif
selama berminggu-minggu. Semua orang mengingat
tuduhan yang dilontarkan. Tak seorang pun mengingat
bukti tak bersalah yang terungkap. Begitulah sifat manusia.
Sekali kita menjadi tertuduh, sulit sekali untuk kembali ke
kehidupan normal.
Keadaannya mulai mengkhawatirkan, dan aku dihantui
firasat buruk. Aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri,
ketika aku memasuki lapangan parkir di sebelah
Departemen Fisika di U.S.C. dan telepon mobitku berdering.
Ternyata Jim Olson.
"Peter."
"Ya, Sir."
"Sudah hampir jam sepuluh. Seharusnya kau sudah
datang ke sini untuk menyerahkan kaset-kaset video itu.
Kau sudah berjanji tadi."
"Aku mengalami kesulitan untuk membuat kopinya."
"Itu yang kaulakukan dari tadi?"
"Ya. Kenapa?"
"Sebab berdasarkan telepon-telepon yang kuterima, aku
mendapat kesan bahwa kau belum menutup kasus ini," ujar
Jim Olson. "Dalam satu jam terakhir, kau mencari informasi
di sebuah lembaga riset Jepang. Setelah itu kau
menginterogasi seorang ilmuwan yang bekerja untuk
sebuah lembaga riset Jepang. Kau muncul di sebuah
seminar Jepang. Terus-terang saja, Peter. Penyidikan ini
sudah berakhir atau belum?"
"Sudah," kataku. "Aku hanya ingin membuat kopi dari
kaset-kaset ini."
"Pastikan bahwa kau tidak melangkah lebih jauh dari
itu," ia berpesan.
"Oke, Jim."
"Demi kepentingan seluruh Departemen - dan semua
orang yang ada di sini - kuminta kasus ini ditutup."
"Oke, Jim."
"Aku tak ingin situasi ini sampai lepas kendali."
"Aku mengerti.”
"Mudah-mudahan saja," katanya. "Selesaikan urusanmu,
lalu datang ke sini. Segera." Ia meletakkan gagang telepon.
Aku memarkir mobil dan memasuki gedung fisika.

Bab 28

AKU menunggu di sudut ruang kuliah sementara Phillip


Sanders menyelesaikan kuliahnya. Ia berdiri di hadapan
papan tulis yang dipenuhi rumus-rumus rumit. Ada sekitar
tiga puluh mahasiswa di dalam ruang kuliah, sebagian
besar duduk di bagian depan. Hanya bagian belakang
kepala mereka yang terlihat dari tempatku menunggu.
Dr. Sanders berusia empat puluhan. Ia termasuk orang
yang penuh energi, tak bisa diam, selalu mondar-mandir,
menunjuk-nunjuk persamaan-persamaan di papan tulis
dengan sepotong kapur sambil membahas signal covariant
ratio detennination dan factorial delta bandwith noise. Aku
bahkan tak sanggup menebak apa yang diajarkannya.
Akhirnya aku menyimpulkan bahwa bidangnya adalah
teknik listrik.
Ketika bel tanda kuliah telah usai berbunyi, seluruh
kelas berdiri dan meraih tas masing-masing. Aku
terperanjat; hampir semua peserta berasal dari Asia, baik
para pria maupun para wanita. Mereka yang bukan dari
Timur Jauh berasal dari India atau Pakistan. Dari tiga puluh
mahasiswa, hanya tiga yang berkulit putih.
"Memang benar," ujar Sanders kemudian, ketika kami
menyusuri selasar menuju laboratoriumnya. "Mahasiswa
Amerika tidak berminat pada mata kuliah seperti Fisika
101. Sudah bertahun-tahun begitu. Pihak industri pun
mengalami kesulitan serupa. Kita pasti akan kewalahan
seandainya tidak ada orang-orang Timur Jauh atau
orang-orang India yang datang untuk meraih gelar doktor
dalam bidang matematika atau bidang teknik, lalu bekerja
untuk perusahaan-perusahaan Amerika."
Kami menuruni sebuah tangga, kemudian membelok ke
kiri. Kami berada di selasar di basement. Sanders berjalan
dengan cepat.
"Masalahnya, keadaannya mulai berubah," ia
melanjutkan. "Para mahasiswa saya yang berasal dari Asia
mulai pulang ke tempat asal masing-masing. Orang-orang
Korea kembali ke Korea. Sama halnya dengan orang-orang
Taiwan. Orang-orang India pun mulai pulang ke sana. Taraf
hidup di negara-negara mereka semakin meningkat, dan di
sana sekarang lebih banyak peluang. Beberapa dari
negara-negara asing ini mempunyai tenaga terlatih dalam
jumah besar." Kami kembali menuruni tangga. "Anda tahu
kota mana yang menduduki peringkat pertama dalam
jumlah doktor per kapita?"
"Boston?"
"Seoul, Korea. Ingat itu pada waktu kita lepas landas
menuju abad ke-21."
Kini kami menyusuri selasar lain lagi. Kemudian keluar
sebentar, ke bawah cahaya matahari, melewati selasar
beratap, lalu masuk ke bangunan lain. Berulang kali
Sanders melirik ke belakang, seakan-akan takut aku
tertinggal. Tapi ia tak pernah berhenti berbicara.
"Dan berhubung mahasiswa-mahasiswa pulang ke
negara masing-masing, kini kita menghadapi kekurangan
tenaga untuk melakukan penelitian di Amerika. Jumlah
tenaga terlatih tidak memadai. Bahkan
perusahaan-perusahaan raksasa seperti IBM pun mulai
mengalami kesulitan. Tenaga terlatih benar-benar tidak
dapat ditemukan. Awas, pintu."
Pintu yang dimaksudnya mengayun ke arahku. Aku
melangkah masuk. Aku berkata, "Tapi kalau kesempatan
kerja di bidang high-tech begitu luas, bukankah para
mahasiswa akan tertarik?"
"Tetap kalah dengan bidang perbankan investasi. Atau
hukum." Sanders tertawa. "Amerika mungkin kekurangan
ahli teknik dan ilmuwan, tapi kita tetap nomor satu dalam
mencetak sarjana hukum. Setengah dari pengacara di
seluruh dunia berada di Amerika. Bayangkan itu." Ia
menggelengkan kepala.
"Kita punya empat persen populasi dunia. Kita
menguasai delapan belas persen perekonomian dunia. Tapi
kita punya lima puluh persen - dari seluruh pengacara di
dunia. Dan setiap tahun - ada 35.000 sarjana hukum baru.
Ke sanalah arah produktivitas kita. Itulah fokus nasional
kita. Setengah dari acara TV kita menyangkut pengacara.
Amerika telah menjadi Negeri Pengacara. Semua orang
saling menuntut. Semua orang berselisih paham. Semua
orang lari ke pengadilan. Habis, tiga perempat juta
pengacara Amerika harus mempunyai sesuatu untuk
menyibukkan diri. Mereka harus memperoleh 300.000
setahun. Negara-negara lain pikir kita gila."
Ia membuka kunci pada sebuah pintu. Aku melihat
papan nama LABORATORIUM PENGOLAHAN GAMBAR
TINGKAT LANJUT yang ditulis dengan tangan, serta sebuah
anak panah. Sanders mengajakku menyusuri selasar
panjang di basement.
"Anak-anak kita yang paling cerdas pun dididik secara
buruk. Anak-anak Amerika yang paling pintar kini
menduduki peringkat dua belas di dunia, setelah
negara-negara industri di Asia dan Eropa. Dan ini yang
paling pintar. Di bawah lebih buruk lagi. Sepertiga lulusan
high sehool tidak bisa membaca jadwal keberangkatan bus.
Mereka buta huruf."
Kami tiba di ujung selasar dan membelok ke kanan.
"Dan anak-anak yang saya temui rata-rata malas. Tak
ada yang mau bekerja dengan giat. Saya mengajar fisika.
Untuk menguasai bidang ini diperlukan waktu
bertahun-tahun. Tapi semua anak ingin berpakaian seperti
Charlie Sheen dan menghasilkan sejuta dolar sebelum usia
28. Satu satunya cara untuk mendapatkan uang sebanyak
itu adalah dengan terjun ke dunia hukum, perbankan, atau
Wall Street. Tempat-tempat yang menghasilkan
keuntungan kertas. Tapi itulah cita-cita anak-anak
sekarang."
"Mungkin di U.S.C."
"Percayalah. Di mana-mana. Semuanya nonton.”
Ia membuka sebuah pintu. Lagi-lagi sebuah koridor.
Yang ini berbau apak, lembap.
"Saya tahu, saya tahu. Pandangan saya kuno," ujar
Sanders. "Saya masih percaya bahwa setiap manusia
mempunyai peran tertentu. Anda mempunyai peran
tertentu. Saya mempunyai peran tertentu. Hanya dengan
berada di planet ini, dengan mengenakan baju yang kita
pakai, kita semua mempunyai peran tertentu. Dan di sudut
terpencil ini," ia berkata, "kami berperan mengungkapkan
kebenaran. Kami menganalisis siaran berita untuk
menentukan bagian mana saja yang telah dimanipulasi.
Kami menganalisis iklan-iklan TV dan menunjukkan
trik-trik yang dipakai..."
Sanders berhenti mendadak
"Ada apa?"
"Bukankah ada orang lain tadi?" ia bertanya. "Anda
ditemani orang lain, bukan?"
"Tidak. Saya sendirian."
"Oh, syukurlah." Sanders kembali berjalan dengan cepat.
"Saya selalu khawatir kehilangan orang di bawah sini. Ah,
oke. Kita sudah sampai. Lab saya. Bagus. Pintunya belum
pindah tempat "
Penuh semangat ia membuka pintu itu. Aku menatap
ruangan di hadapanku, kaget.
"Saya tahu, tempatnya kurang mengesankan," ujar
Sanders.
Dalam hati aku berkata, "Kurang mengesankan masih
terlalu bagus."
Aku menghadapi ruang bawah tanah yang penuh
pipa-pipa berkarat dan kabel-kabel listrik yang tergantung
dari langit-langit. Di beberapa tempat, lapisan linoleum
berwarna hijau mulai terkupas di lantai, sehingga beton di
bawahnya kelihatan jelas. Di sekeliling ruangan terdapat
meja-meja reyot, masing-masing dengan peralatan
bertumpuk dan kabel-kabel bergelantungan di kiri-kanan.
Di setiap meja ada mahasiswa yang duduk di depan be-
berapa monitor. Di sana-sini air tampak menetes ke dalam
ember-ember. Sanders berkata, "Satu-satunya tempat yang
tersedia adalah di basement, dan kami tidak punya dana
untuk mengurus hal-hal sepele seperti langit-langit. Biar
saja, itu tidak penting. Tapi awas, jaga kepala Anda. "
Ia melangkah maju. Tinggi badanku sekitar 180 senti,
tidak sampai enam kaki, dan aku terpaksa merunduk agar
dapat memasuki ruangan itu. Dari suatu tempat di
langit-langit di atas, aku mendengar bunyi memarut yang
kasar.
“Pemain ice skate," Sanders menjelaskan.
"Maaf?"
"Kita di bawah gelanggang ice skate. Lama-lama Anda
akan terbiasa. Sebenarnya ini belum seberapa. Nanti sore,
pada waktu mereka berlatih hoki es, nah, itu baru agak
ribut."
Kami masuk lebih jauh. Rasanya seperti berada di dalam
kapal selam. Aku mengamati para mahasiswa di tempat
kerja mereka. Semuanya berkonsentrasi pada tugas
masing-masing; tak ada yang menoleh ketika kami lewat.
Sanders berkata, "Kaset video seperti apa yang hendak
Anda kopi?"
"Delapan milimeter, buatan Jepang. Rekaman keamanan.
Mungkin agak sukar."
"Sukar? Saya rasa tidak," ujar Sanders. "Anda tentu tidak
tahu, dulu, waktu saya masih muda, saya yang menyusun
hampir semua algoritma dasar untuk mempertajam
gambar video. Misalnya menghilangkan titik-titik dan
inversi serta mempertajam garis tepi. Hal-hal seperti itulah.
Dulu semua orang memakai kumpulan algoritma Sanders.
Waktu itu saya masih mahasiswa pascasarjana di Cal Tech.
Dan waktu luang saya manfaatkan dengan bekerja di LTJ.
Jangan khawatir, kami pasti sanggup.”
Aku menyerahkan sebuah kaset. Ia mengamatinya.
"Hmm, manis."
Aku berkata, "Apa yang terjadi? Dengan kumpulan
algoritma Anda, maksud saya."
"Waktu itu belum ada kegunaan komersial," katanya.
"Dulu, di tahun delapan puluhan, perusahaan-perusahaan
Amerika seperti RCA dan GE angkat kaki dari industri
elektronik komersial. Program-program yang saya susun
tidak bermanfaat di Amerika." Ia mengangkat bahu. "Jadi
saya mencoba menjual semuanya kepada Sony, di Jepang."
"Dan?"
"Orang-orang Jepang ternyata telah memegang hak
paten untuk produk-produk itu. Di Jepang."
"Maksud Anda, mereka telah memiliki algoritma yang
sama?"
"Bukan. Mereka hanya memegang hak paten. Di Jepang,
urusan hak paten merupakan semacam perang. Orang
Jepang tergila-gila pada hak paten. Dan mereka punya
sistem yang aneh. Baru delapan tahun setelah permohonan
diajukan kita memperoleh hak paten di Jepang, tetapi
permohonan kita sudah diumumkan setelah delapan belas
bulan. Dan tentu saja mereka tidak mempunyai
kesepakatan lisensi timbal balik dengan Amerika. Ini salah
satu cara agar mereka tetap lebih maju dari kita.”
"Pokoknya, ketika sampai di Jepang, saya menemukan
bahwa Sony dan Hitachi telah memegang hak paten serupa.
Mereka telah melakukan sesuatu yang dinamakan 'paten
borongan'. Artinya, mereka telah mengajukan permohonan
hak paten atas segala kegunaan yang dapat dihubung-
hubungkan. Mereka tidak memiliki hak untuk
menggunakan kumpulan algoritma, tapi ternyata saya pun
tidak memiliki hak itu. Karena mereka telah memegang hak
paten atas penggunaan penemuan saya." Ia mengangkat
bahu. "Memang agak sukar dijelaskan. Tapi itu dulu.
Sekarang orang Jepang telah menciptakan perangkat lunak
video yang jauh lebih rumit, jauh melebihi apa yang kita
miliki. Kita tertinggal beberapa tahun dibandingkan dengan
mereka. Tapi kami masih terus berjuang di lab ini. Ah. Ini
orang yang kita perlukan. Dan. Kau sedang sibuk?"
Seorang wanita muda mengalihkan pandangan dari
monitor komputer. Mata besar, kacamata berbingkai tebal,
rambut gelap. Wajahnya tertutup sebagian oleh pipa-pipa
di langit-langit.
"Kau bukan Dan," ujar Sanders dengan nada heran. "Di
mana Dan, Theresa?"
"Ada ujian tengah semester," jawab Theresa. "Saya
hanya membantu menjalankan progresi realtime ini. Sudah
hampir selesai." Aku mendapat kesan bahwa ia lebih tua
dari mahasiswa-mahasiswa yang lain. Sukar untuk
mernastikan penyebabnya. Yang pasti bukan karena
pakaiannya; ia memakai ikat rambut berwarna cerah, dan
kaus U2 di bawah jaket jeans. Tetapi ia memiliki sikap
tenang yang membuatnya kelihatan lebih tua.
"Kau bisa pindah ke tempat lain?" ujar Sanders sambil
mengelilingi meja untuk menatap monitor. "Ada pekerjaan
mendesak. Kita harus membantu polisi." Aku mengikuti
Sanders, membungkuk agar tidak membentur pipa.
"Bisa saja," kata wanita itu. Ia mulai mernatikan
unit-unit di mejanya. Ia membelakangiku, dan kemudian
aku akhirnya bisa melihatnya. Kulitnya gelap, wajahnya
eksotis, hampir seperti orang Eurasia. Ia cantik, cantik
sekali. Ia tampak seperti gadis model dalam
majalah-majalah. Dan sepintas lalu aku merasa bingung,
karena wanita ini terlalu cantik untuk bekerja di
laboratofiurn elektronik di sebuah basement. Rasanya tidak
masuk akal.
"Ini Theresa Asakuma," kata Sanders. "Satu-satunya
mahasiswa pascasarjana Jepang yang bekerja di sini."

"Hai," kataku. Aku tersipu-sipu. Aku merasa


diberondong oleh informasi baru. Dan pada dasarnya, aku
lebih suka kalau kaset-kaset itu tidak ditangani oleh orang
Jepang. Tapi nama depannya bukan nama Jepang, dan.
wajahnya pun bukan seperti orang Jepang. Ia tampak
seperti orang Eurasia atau mungkin keturunan Jepang,
begitu eksotik, mungkin ia malah...
"Selamat pagi, Letnan," katanya. Ia mengulurkan tangan
kiri, tangan yang salah, untuk bersalaman. Ia
menyodorkannya secara menyamping, seperti seseorang
yang mengalami cedera pada tangan kanan.
Aku bersalaman dengannya. "Halo, Miss Asakuma."
"Theresa."
"Oke.”
"Dia cantik sekali, bukan?" ujar Sanders dengan bangga.
"Luar biasa cantik."
"Ya," kataku. "Sebenarnya, saya heran bahwa Anda
bukan foto model."
Sejenak suasananya serba kikuk. Aku tidak tahu kenapa.
Theresa langsung berbalik.
"Saya tidak pernah tertarik," katanya.
Sanders segera angkat bicara dan berkata,
"Theresa, Letnan Smith punya beberapa kaset video
yang perlu dikopi. Kaset-kaset ini."
Sanders menyerahkan salah satu kaset. Theresa
menerimanya dengan tangan kiri dan mengamatinya di
bawah larnpu. Lengan kanannya tetap tertekuk di sikut,
merapat ke pinggangnya. Kemudian aku melihat bahwa
lengan kanannya buntung. Kelihatannya seperti lengan bayi
thalidomide.
"Hmm, menarik juga," katanya sambil mengamati kaset
itu. "Delapan milimeter high density. Barangkali ini format
digital baru yang belakangan sering dibicarakan. Format
yang langsung meningkatkan mutu gambar."
“Maaf, saya tidak tahu," kataku. Aku merasa seperti
orang tolol karena menyinggung soal foto model tadi. Aku
meraih ke dalam kotak yang kubawa dan mengeluarkan
alat playback.
Theresa segera mengambil obeng dan melepaskan
tutupnya. Ia membungkuk dan mengamati bagian dalam.
Aku melihat circuit board berwarna hijau, motor berwarna
hitam, dan tiga silinder kristal berukuran kecil. "Ya. Ini
memang format yang baru. Benar-benar hebat. Dr. Sanders,
lihatl mereka hanya menggunakan tiga head. Alat ini pasti
menghasilkan sinyal RGB, soalnya di sebelah sini... Menurut
Anda, ini rangkaian kompresi?"
"Kemungkinan rangkaian konversi digital ke analog,"
ujar Sanders. "Bagus sekali. Serba kecil." Ia berpaling
padaku sambil mernegang kotak itu. "Anda tahu kenapa
orang Jepang bisa menghasilkan produk-produk seperti ini
sedangkan kita tidak? Mereka melakukan katzen. Sebuah
proses penyempurnaan yang berulang-ulang, terus-
menerus. Setiap tahun produk bersangkutan menjadi
sedikit lebih baik, sedikit lebih kecil, sedikit lebih murah.
Cara berpikir orang Amerika berbeda. Orang Amerika
selalu mencari terobosan yang gemilang, langkah maju
yang besar. Orang Amerika berusaha membuat home run -
memukul bola keluar dari arena - lalu duduk-duduk dengan
santai. Orang Jepang melakukan langkah-langkah kecil
sepanjang hari, dan tidak pernah merasa puas. Jadi, dengan
barang seperti ini, Anda sekaligus menghadapi perwujudan
sebuah falsafah hidup."
Selama beberapa waktu ia berbicara seperti itu,
memutar-mutar silinder-silinder tadi, terkagum-kagum.
Akhirnya aku berkata, "Anda dapat membuat kopi dari
kaset-kaset ini?”
"Tentu," jawab Theresa. "Setelah melalui alat konversi,
kita bisa mengeluarkan sinyal dari mesin ini dan
merekamnya pada media apa saja yang Anda pilih. Anda
ingin tiga perempat? Opticalmaster? VHS?”
“VHS," kataku.
"Itu mudah," ujarnya.
"Tapi, apakah hasilnya akurat? Orang-orang di LTJ tidak
bisa menjamin hasilnya akurat."
"Oh, persetan LTJ," kata Sanders. "Mereka cuma bilang
begitu karena mereka bekerja untuk pemerintah. Di sini,
kita memecahkan masalah. Betul, Theresa?"
Tapi Theresa tidak mendengarnya. Aku mem-
perhatikannya menancapkan kabel-kabel, bergerak cekatan
dengan tangannya yang sehat, sementara tangannya yang
buntung menjepit alat playback. Seperti kebanyakan orang
cacat, gerak-geriknya demikian lancar, sehingga hampir
tidak ketahuan bahwa tangan kanannya tidak ada. Dalam
sekejap ia telah menyambung alat playback dengan alat
perekam lain, serta beberapa monitor.
"Untuk apa ini semua?"
"Untuk memantau sinyalnya."
"Maksud Anda, untuk memutar rekaman itu?"
"Bukan. Gambarnya akan terlihat pada monitor besar ini.
Yang lain akan saya pakai untuk memantau karakteristik
sinyal dan peta data: bagaimana gambar direkam pada
pita."
Aku berkatal "Ini memang diperlukan untuk membuat
kopi?”
"Tidak. Saya hanya ingin tahu bagaimana mereka
menyusun format high density ini."
Sanders berkata padaku, "Dari mana rekaman ini
berasal?"
"Dari kamera keamanan sebuah gedung kantor."
“Dan kaset ini berisi rekaman asli?"
"Saya pikir begitu. Kenapa?"
"Kalau ini memang rekaman asli, kita harus lebih
berhati-hati," ujar Sanders. Ia berbicara dengan Theresa,
memberikan petunjuk. "Jangan sampai permukaan media
dikacaukan oleh umpan balik. Dan jangan sampai
kebocoran sinyal dari head mengganggu keutuhan aliran
data."
"Jangan khawatir," ujar Theresa. "Saya takkan membuat
kesalahan." Ia menunjuk rangkaian alat yang telah
disiapkannya. "Anda lihat ini? Alat ini akan memberikan
peringatan kalau ada pergeseran impedansi. Dan saya juga
memantau prosesor utama.”
"Oke," kata Sanders. Ia tampak berseri-seri, seperti
orangtua yang bangga akan anaknya.
"Berapa lama sampai semuanya selesai?" tanyaku.
"Tidak lama. Kita bisa merekam sinyal dengan kecepatan
sangat tinggi. Batas kecepatannya ditentukan oleh alat
playback ini, dan sepertinya ada fast-forward scan. Jadi,
sekitar dua sampai tiga menit per kaset."
Aku melirik jam tanganku. "Saya ada janji jam setengah
sebelas, dan saya tidak boleh terlambat. Tapi saya juga
tidak ingin meninggalkan kaset-kaset ini ......
"Semuanya perlu dikopi?"
"Sebenarnya hanya lima yang paling penting."
"Kalau begitu, kita kerjakan yang itu saja dulu."
Kami memutar lima detik pertama dari setiap kaset, satu
per satu, untuk mencari kelima kaset yang berisi rekaman
kamera di lantai 46. Pada waktu masing-masing kaset
mulai diputar, aku melihat gambar yang terekam oleh
kamera pada monitor utama di meja Theresa. Pada
monitor-monitor di samping, jejak-jejak sinyal tampak ber-
gerak naik-turun, melompat-lompat, seperti pada unit
perawatan intensif.
"Memang benar," ujar Theresa. "Perawatan intensif
untuk rekaman video." Ia mengeluarkan sebuah kaset,
memasukkan kaset lain, lalu mulai memutarnya. "Oh, tadi
Anda mengatakan bahwa ini rekaman asli? Ternyata bukan.
Kaset-kaset ini merupakan kopi."
"Dari mana Anda tahu?"
"Sebab ada tanda ancang-ancang." Theresa mem-
bungkuk di atas peralatannya, mengamati jejak-jejak sinyal,
melakukan penyesuaian halus dengan beberapa tombol.
"Kelihatannya memang seperti hasil kopi," Sanders
berkata padaku. "Begini, dengan rekaman video, sulit untuk
menentukan apakah suatu rekaman merupakan kopi atau
bukan berdasarkan gambar yang tampil di monitor. Pada
sistern analog dulu memang terjadi pengurangan mutu
gambar pada generasi-generasi berikut, tapi pada sistem
digital seperti ini sama sekali tidak ada perbedaan. Setiap
kopi boleh dibilang sama persis seperti aslinya."
"Kalau begitu, dari mana Anda tahu bahwa kaset-kaset
ini tidak berisi rekaman asli?"
"Perhatian Theresa tidak terarah pada gambar di
monitor," kata Sanders. "Dia memperhatikan sinyal yang
terbaca. Meskipun tidak ada perbedaan pada gambar yang
tampak, kadang-kadang kita dapat menentukan bahwa
gambarnya berasal dari alat playback yang lain, bukan dari
sebuah karnera."
Aku menggelengkan kepala. "Bagaimana caranya?"
Theresa menjelaskan, "Ini berkaitan dengan cara
sinyalnya direkam selama setengah detik pertama. Jika
video perekam dinyalakan sebelum video playback,
kadang-kadang ada fluktuasi kecil dalam keluaran sinyal
pada waktu alat playback mulai berputar. Ini merupakan
keterbatasan mekanik: motor playback tidak b isa mencapai
kecepatan normal dengan seketika. Memang ada rangkaian
elektronik di dalam alat playback untuk memperkecil
pengaruhnya, tetapi tetap saja selalu ada jangka waktu
tertentu untuk mencapai kecepatan normal.."
"Dan ini yang terbaca oleh Anda?"
Ia mengangguk. "Itu yang disebut tanda ancang-ancang."
Sanders berkata, "Dan itu tidak pernah terjadi jika
sinyalnya berasal dari sebuah kamera, sebab kamera tidak
mempunyal bagian-bagian yang bergerak. Sebuah kamera
selalu bekerja pada kecepatan normal."
Aku mengemyitkan dahi. "Jadi kaset-kaset ini sudah
merupakan kopi."
"Apakah ada pengaruhnya?" tanya Sanders.
"Entahlah. Kalau kaset-kaset ini memang sudah dikopi,
ada kemungkinan rekamannya sudah dimanipulasi,
bukan?"
"Secara teori, ya," ujar Sanders. "Tapi dalam praktek kita
harus mengamatinya dengan cermat. Dan sukar sekali
untuk memastikannya. Kaset-kaset ini berasal dari
perusahaan Jepang?"
"Ya."
"Nakamoto?"
Aku mengangguk. "Ya."
"Sebenarnya saya tidak heran bahwa mereka
memberikan kopi rekaman asli kepada Anda," kata
Sanders. "Orang Jepang sangat berhati-hati. Mereka tidak
percaya pada orang luar. Dan perusahaan Jepang di
Amerika merasakan hal yang sama seperti jika kita
melakukan bisnis di Nigeria. Mereka menganggap bahwa
mereka dikelilingi oleh orang-orang liar."
"Hei," kata Theresa.
"Sori," ujar Sanders, "tapi kau tahu maksudnya. Orang
Jepang merasa bahwa mereka terpaksa bersabar terhadap
kita. Terhadap kebodohan kita, kelambanan kita,
ketidakmampuan kita. Ini menyebabkan mereka selalu
bersikap melindungi diri. Jadi, kalau isi kaset-kaset ini
menyangkut masalah hukum, sudah bisa dipastikan bahwa
mereka takkan menyerahkan rekaman asli kepada petugas
polisi barbar seperti Anda. Mereka pasti akan memberikan
kopi dan menyimpan yang asli, untuk berjaga-jaga kalau
diperlukan untuk membela diri. Dan mereka yakin
sepenuhnya bahwa dengan teknologi video Amerika yang
ketinggalan zaman, Anda takkan pernah tahu bahwa Anda
diberi rekaman kopi."
Aku mengerutkan kening. "Berapa lama diperlukan
untuk membuat kopi dari kaset-kaset ini?"
"Tidak lama," ujar Sanders sambil. gelenggeleng kepal.a.
"Kalau melihat cara kerja Theresa sekarang, sekitar lima
menit per kaset. Saya yakin orang Jepang sanggup
mengerjakannya lebih cepat lagi. Katakanlah, dua menit per
kaset."
"Kalau begitu, mereka punya waktu cukup banyak untuk
membuat kopi semalam."
Sambil bicara, Theresa masih terus menukar-nukar
kaset, menyaksikan bagian awal masing-masing. Setiap kali
gambarnya muncul, ia melirik ke arahku. Aku
menggelengkan kepala. Yang terlihat adalah rekaman dari
kamera-kamera lain. Akhirnya kaset pertama yang berisi
rekaman dari lantai 46 muncul, menampakkan ruang
kantor yang sudah pernah kulihat.
"Ini yang pertama."
"Oke. Langsung saja. Transfer ke VHS." Theresa memulai
kopi pertama. Ia memutar rekaman itu dengan kecepatan
tinggi. Adegan demi adegan silih berganti, cepat, kabur.
Pada monitor-monitor di samping, jejak-jejak sinyal
tampak melompat-lompat. Ia berkata, "Apakah rekaman ini
berkaitan dengan pembunuhan semalam?"
"Ya. Anda sudah mengetahuinya?"
Ia mengangkat bahu. "Saya melihatnya di siaran berita.
Pembunuhnya tewas dalam kecelakaan mobil?"
"Benar," kataku.
Ia memalingkan wajah. Profil tiga perempat dari
wajahnya benar-benar cantik, mempertegas lengkungan
tulang pipinya yang tinggi. Aku teringat reputasi Eddie
Sakamura sebagai playboy. "Anda mengenalnya?" tanyaku.
"Tidak," jawabnya. Sesaat kemudian ia menambahkan,
"Dia orang Jepang."
Sekali lagi suasana menjadi serba kikuk. Rupanya
Theresa dan Sanders mengetahui sesuatu yang tidak
diketahui olehku. Tapi aku tidak tahu cara menanyakannya.
Karena itu aku kemball memperhatikan gambar di monitor.
Sekali lagi aku melihat sinar matahari menyapu lantai.
Kemudian lampu-lampu mulai menyala. Para pegawai
kantor semakin berkurang. Kini ruangannya kosong. Dan
kemudian, dengan kecepatan tinggi, Cheryl Austin muncul,
diikuti seorang pria. Mereka berciuman penuh gairah.
"Ah-ha," ujar Sanders. "Ini yang Anda cari?"
"Ya."
Ia mengerutkan kening ketika menyaksikan per-
kembangan selanjutnya. "Maksud Anda, pembunuhannya
sempat terekam?"
"Ya," kataku. "Lewat beberapa kamera."
"Anda main-main."
Sanders terdiam, menatap monitor. Dengan gambar
yang kabur, sukar untuk melihat lebih dari
kejadian-kejadian dasar. Kedua orang melintas ke ruang
rapat. Pergulatan mendadak. Cheryl dipaksa berbaring di
meja. Si pria melangkah mundur. Meninggalkan ruangan
dengan tergesa-gesa.
Tak ada yang berbicara. Kami semua memandang
monitor.
Aku melirik Theresa. Wajahnya tidak berekspresi.
Gambar video terpantul di kacamatanya.
Eddie berjalan melewati cermin lalu masuk ke selasar
yang gelap. Pitanya masih diputar selama beberapa detik,
dan kemudian kasetnya meloncat keluar.
"Kaset pertama sudah selesai. Anda bilang ada beberapa
kamera? Berapa banyak?"
"Lima, kalau tidak salah," kataku.
Theresa menandai kaset pertama dengan sebuah stiker.
Ia memutar kaset kedua, dan kembali memulai proses kopi
kecepatan tinggi.
Aku berkata, Apakah semua kopi ini persis sama dengan
aslinya?"
"Oh, tentu."
"Jadi sah menurut hukum?"
Sanders mengerutkan kening. "Sah dalam arti?"
"Sebagai barang bukti di pengadilan ...?”
"Oh, tidak," ujar Sanders. "Oleh pengadilan, rekaman ini
takkan diterima sebagai barang bukti."
"Tapi kalau isinya persis sama dengan aslinya..."
"Tidak ada hubungan dengan itu. Semua barang bukti
berupa foto, termasuk video, tidak lagi diterima oleh
pengadilan."
"Ini belum pernah saya dengar," kataku.
"Memang belum pernah terjadl," balas Sanders.
"Undang-undangnya masih kurang jelas. Tapi kita tinggal
tunggu tanggal mainnya saja. Sekarang ini semua foto
dicurigai. Sebab sekarang, berkat sistem digital, semua foto
dapat dimanipulasi secara sempurna. Sempurna. Dan ini
sesuatu yang baru. Anda masih ingat, bertahun-tahun lalu,
ketika orang Rusia menghilangkan tokoh-tokoh politik
tertentu dari panggung kehormatan pada peringatai Hari
Mei? Mereka menggunakan cara gunting-tempel yang
kasar, dan kita selalu langsung melihat bahwa ada sesuatu
yang diubah. Selalu ada celah di antara bahu orang-orang
yang tetap kelihatan. Atau perbedaan warna pada dinding
di balik mereka. Atau bekas goresan kuas dari orang yang
berusaha menutup-nutupi kerusakannya. Tapi yang
penting, perubahannya segera kelihatan. Kita bisa melihat
bahwa fotonya telah dimanipulasi. Usaha mereka
benar-benar menggelikan."
"Saya ingat itu," kataku.
"Dari dulu foto-foto dipandang meyakinkan sebagai
barang bukti, karena tidak mungkin diotak-atik. Jadi, kita
sudah terbiasa menganggap foto sebagai cerminan realitas.
Tapi sejak beberapa tahun terakhir, komputer membuka
peluang untuk mengubah foto secara sempurna. Beberapa
tahun lalu, National Geographic memindahkan Piramida
Besar di Mesir pada gambar sampul mereka. Para editor
tidak suka letak piramida itu; menurut mereka, komposisi
gambar sampul akan lebih bagus kalau piramidanya
digeser. Jadi mereka melakukan manipulasi foto. Tak ada
yang tahu. Tapi kalau Anda pergi ke Mesir dengan
membawa kamera dan mencoba membuat foto yang sama,
Anda akan menemukan bahwa itu tidak mungkin. Sebab di
dunia nyata tidak ada sudut pandang di mana
piramida-piramida tersebut membentuk komposisi seperti
itu. Gambar sampul itu tidak lagi mewakili realitas. Tapi
kita tidak menyadarinya. Ini hanya contoh kecil."
"Dan kaset-kaset ini bisa dimanipulasi dengan cara yang
sama?"
"Secara teori, setiap rekaman video bisa dimanipulasi."
Di layar monitor, aku menyaksikan adegan pembunuhan
untuk kedua kalinya. Kamera ini berada di seberang
ruangan. Adegan pembunuhannya sendirl tidak terialu
kelihatan, tetapi sesudahnya, Sakamura tampak jelas ketika
ia berjalan ke arah kamera.
Aku berkata, "Bagaimana gambar ini bisa diubah?"
Sanders tertawa. "Sekarang ini, Anda bisa mengubah apa
saja yang Anda inginkan."
"Apakah identitas pembunuhnya bisa diganti?"
"Secara teknis, ya," kata Sanders. "Anda bisa memetakan
wajah pada sebuah objek kompleks yang bergerak. Secara
teknis, kemungkinannya ada. Tapi dalam praktek, sukar
sekali."
Aku diam saja. Mungkin memang lebih baik begitu.
Sakamura merupakan tersangka utama, dan ia telah tewas;
Komandan menginginkan kasus ini segera ditutup. Begitu
juga aku.
"Di pihak lain," ujar Sanders, "orang Jepang mempunyai
segala macam algoritma canggih untuk pemetaan
permukaan dan transformasi tiga dimensi. Mereka mampu
melakukan hal-hal yang bahkan tak terbayang oleh kita." Ia
mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. 'Bagaimana urutan
kronologis kaset-kaset ini?"
Aku berkata, "Pembunuhannya terjadi pukul setengah
sembilan semalam, seperti yang terlihat pada jam dinding
di dalam rekaman. Kami diberitahu bahwa sekitar pukul
sembilan kurang seperempat, kaset-kaset ini diambil dari
ruang keamanan. Kami menuntut kaset-kaset ini sebagai
barang bukti, dan kemudian kami terlibat perdebatan
dengan pihak Jepang."
"Seperti biasa. Dan jam berapa Anda akhirnya
memperoleh kaset-kaset ini?"
"Semuanya diserahkan ke markas divisi sekitar pukul
setengah dua dini hari."
"Oke," ujar Sanders. Berarti dari jam 20.45 sampai jam
01.30 kaset-kaset ini berada di tangan mereka."
"Benar. Lima jam kurang sedikit. "
Sanders mengerutkan kening. "Lima kaset, dengan lima
sudut kamera yang berbeda, diubah dalam lima jam?" la
menggelengkan kepala. "Tidak mungkin. Waktunya tidak
cukup, Letnan."
Aku berkata, "Anda yakin?"
"Hmm," Theresa bergumam, "satu-satunya cara mereka
bisa mengerjakannya secepat itu adalah dengan
menggunakan program otomatis, dan dengan
program-program yang paling canggih pun tetap ada
detail-detail yang harus dipoles secara manual. Blur yang
buruk bisa membongkar semuanya."
"Blur buruk?" kataku. Aku mulai ketagihan mengajukan
pertanyaan padanya. Aku suka menatap wajahnya.
"Gambar yang kabur akibat gerakan," Sanders
menjelaskan. "Rekaman video dibuat dengan kecepatan
tiga puluh frame per detik. Setiap frame video bisa
dianggap sebagai foto yang diambil dengan kecepatan
sepertiga puluh detik. Dan ini lambat sekali - jauh lebih
lambat dibandingkan dengan kamera ukuran saku. Jika kita
merekam pelari dengan kecepatan sepertiga puluh detik,
kakinya kelihatan kabur.
"Itu yang disebut blur akibat gerakan. Dan kalau kita
mengubahnya secara mekanis, gambarnya akan kelihatan
ganjil. Gambarnya terIalu tajam. Garis-garis tepi akan
tampak janggal. Kembali ke masalah yang dihadapi orang
Rusia tadi, kita bisa melihat bahwa ada sesuatu yang
diubah. Untuk gerakan yang realistis, kita memerlukan blur
dalam jumlah yang tepat."
"Oh, begitu."
Theresa berkata, "Lalu masih ada masalah pergeseran
warna."
"Betul," ujar Sanders. "Di dalam blur terjadi pergeseran
warna. Sebagai contoh, coba lihat ke monitor Pria itu
memakai jas biru, dan jasnya tampak mengembang pada
waktu dia berputar-putar sambil menggendong teman
kencannya. Nah. Jika kita ambil satu frame dari adegan itu,
kita akan melihat bahwa jasnya berwarna navy blue, tetapi
blur-nya semakin muda, sampai hampir transparan pada
tepinya - kita tidak bisa menentukan batas antara jas dan
dinding dengan mengamati satu frame saja."
Samar-samar aku dapat membayangkannya. "Oke..."
"Jika warna-warna tepi tidak berbaur secara sempurna,
kita langsung bisa melihatnya. Untuk membersihkan
rekaman sepanjang beberapa detik saja, misalnya untuk
iklan, dibutuhkan waktu berjam-jam. Tapi kalau tidak
dilakukan, manipulasinya akan ketahuan secepat ini." Ia
menjentikkan jari.
"Jadi, kalaupun mereka sempat membuat kopi dari
kaset-kaset ini, mereka tak mungkin mengubah isinya?"
"Dalam lima jam, tidak, kata Sanders. "Waktunya tidak
cukup."
"Kalau begitu, adegan itu memperlihatkan kejadian
sesungguhnya."
"Betul," ujar Sanders. "Tapi kami akan terus meneliti
rekaman ini setelah Anda pulang. Theresa pasti ingin
mengotak-atiknya. Dan saya juga. Coba hubungi kami nanti
sore. Kami akan memberitahu Anda jika kami menemukan
kejanggalan. Tapi pada dasarnya, kaset-kaset ini tak
mungkin dimanipulasi secepat itu. Dan yang pasti, bukan di
sini."

Bab 29
KETIKA aku memasuki pelataran parkir Sunset Hills
Country Dub, aku melihat Connor berdiri di depan
clubhouse yang besar. Ia membungkuk ke arah tiga pemain
golf Jepang yang menemaninya, dan mereka membalas
dengan cara yang sama. Kemudian ia bersalaman dengan
semuanya, lalu melemparkan stik-stik golf ke bangku
belakang dan masuk ke mobil.
"Anda terlambat, Kohai."
"Sori. Hanya beberapa menit. Saya tertahan di U.S.C."
"Keterlambatan Anda merepotkan banyak orang. Untuk
menjaga sopan santun, mereka merasa berkewajiban
menernani saya di depan, sementara saya menunggu Anda.
Orang-orang dengan posisi seperti mereka merasa tidak
nyaman kalau terpaksa berdiri menunggu. Mereka orang
sibuk. Tapi mereka merasa berkewajiban dan tidak bisa
meninggalkan saya. Anda sangat mempermalukan saya.
Anda juga menimbulkan citra buruk bagi seluruh
Departemen."
"Maaf. Saya tidak tahu."
"Sudah waktunya Anda mulai sadar, Kohai. Anda tidak
sendirian di dunia."
Aku memasukkan gigi dan mulai menjalankan mobilku.
Aku memperhatikan orang-orang Jepang tadi melalui kaca
spion. Mereka melambaikan tangan. Mereka tidak kelihatan
kesal maupun terburu-buru. "Siapa teman main Anda tadi?"
"Aoki-san kepala Tokio Marine di Vancouver Hanada-san
wakil presiden Mitsui Bank di London. Dan Kenichi Asaka
membawahi semua pabrik Toyota di Asia Tenggara dari
K.L. ke Singapura. Kantornya di Bangkok."
"Sedang apa mereka di sini?"
"Mereka sedang berlibur," kata Connor. "Liburan singkat
di AS untuk bermain golf. Mereka suka bersantai di negara
yang berirama lebih lambat seperti di sini."
Aku menyusuri jalan berkelok-kelok yang menuju Sunset
Boulevard, dan berhenti untuk menunggu lampu hijau. "Ke
mana sekarang?"
"Ke Four Seasons Hotel."
Aku membelok ke kanan, ke arah Beverly Hills. "Kenapa
orang-orang itu mau bermain golf dengan Anda?"
"Oh, kami sudah lama saling mengenal," katanya.
"Sekali-sekali membantu di sana-sini. Saya bukan orang
penting, tapi hubungan baik harus tetap dijaga. Menelepon,
memberi hadiah kecil, bermain golf bersama kalau
kebetulan berkunjung. Karena kita takkan pernah tahu
kapan kita memerlukan jaringan kita. Koneksi merupakan
sumber informasi, katup pengaman, sekaligus sistem per-
ingatan dini. Dalam falsafah hidup orang Jepang."
"Siapa yang mengajak bermain?"
"Hanada-san memang sudah punya rencana bermain.
Saya hanya bergabung. Permainan golf saya cukup baik."
"Kenapa Anda ingin bergabung dengannya?"
"Karena saya ingin tahu, lebih banyak mengenai
pertemuan Sabtu," kata Connor.
Aku masih ingat. Dalam rekaman video yang kami tonton
di ruang wartawan, Sakamura menangkap Cheryl Austin
dan berkata, "Kau tidak mengerti, ini semua menyangkut
pertemuan Sabtu."
"Dan mereka memberitahu, Anda?"
Connor mengangguk. "Rupanya tradisi pertemuan Sabtu
sudah berlangsung lama," katanya. "Sejak sekitar tahun
delapan puluh. Mula-mula diadakan di Century Plaza,
kemudian di Sheraton, dan akhirnya pindah ke Biltmore."
Connor memandang ke luar jendela. Kami
terguncang-guncang karena mobilku masuk ke sebuah
lubang di Sunset Boulevard.
"Selama beberapa tahun, pertemuan-pertemuan itu,
diselenggarakan secara rutin. Pengusaha-pengusaha
terkemuka dari Jepang yang kebetulan berada di sini,
berkumpul untuk mengikuti diskusi mengenai apa yang
harus dilakukan dengan Amerika. Bagaimana
perekonomian Amerika harus ditangani."
"Apa?"
"Ya.”
"Keterlaluan!"
"Kenapa?" tanya Connor.
"Kenapa? Karena ini negara kita. Masa sekelompok
orang asing melakukan pertemuan rahasia untuk
memutuskan bagaimana mereka akan mengelola Amerika!"
"Orang Jepang melihatnya dari sudut lain," ujar Connor.
"Oh, pasti! Saya yakin mereka malah merasa berhak."
Connor mengangkat bahu. "Memang begitu. Dan mereka
percaya bahwa sudah sewajarnya mereka memperoleh hak
untuk memutuskannya."
"Astaga!"
"Karena mereka menopang perekonomian kita dengan
investasi besar-besaran yang telah mereka lakukan. Jumlah
uang yang mereka pinjamkan kepada kita sangat besar,
Peter. Sangat besar. Ratusan miliar dolar. Hampir
sepanjang lima belas tahun terakhir Amerika Serikat
mengalami defisit perdagangan dengan Jepang sebesar satu
miliar dolar per minggu. Artinya, setiap minggu Jepang
memperoleh satu miliar dolar, dan uang itu harus
digunakan untuk sesuatu Mereka kebanjiran uang. Padahal
mereka sebenarnya tidak menginginkan dolar dalam
jumlah sedemikian besar. Apa yang harus mereka lakukan
dengan uang yang berlimpah-limpah itu?
"Akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan
uang itu, kepada kita, dalam bentuk pinjaman. Tahun demi
tahun pemerintah kita mengalami defisit anggaran. Bukan
kita yang membayar program-program kita. Orang Jepang
yang membiayai semuanya. Mereka melakukan investasi.
Dan mereka memberikan pinjaman dana, atas
jaminan-jaminan tertentu dari pemerintah kita.
Washington berjanji kepada orang Jepang bahwa kita akan
membereskan urusan dalam negeri. Kita akan memotong
defisit. Kita akan meningkatkan mutu pendidikan,
memperbaiki prasarana-prasarana, bahkan menaikkan
pajak jika diperlukan. Singkat kata, kita akan membenahi
diri. Sebab hanya dengan demikian investasi di Amerika
dapat dipertanggungjawabkan."
"He-eh," gumamku.
"Tapi kita lalai. Kita membiarkan defisit semakin
membengkak, dan kita melakukan devaluasi dolar. Di tahun
1985, nilai dolar dipotong setengahnya. Anda tahu
bagaimana pengaruh kebijaksaan ini terhadap
investasi-investasi Jepang? Rencana-rencana mereka
berantakan. Semua investasi di tahun 1984 hanya memberi
hasil setengah dari jumlah semula."
Samar-samar aku ingat kejadian itu. Aku berkata, "Saya
pikir, cara itu ditempuh untuk membantu defisit
perdagangan kita, untuk menggalakkan ekspor. "
"Memang, tapi ternyata tidak berhasil. Neraca
perdagangan kita dengan Jepang semakin memburuk.
Biasanya, jika nilai mata uang didevaluasi 50%, harga
barang-barang impor akan menjadi dua kali lipat. Tetapi
orang Jepang langsung memotong harga alat-alat video dan
mesin fotokopi, dan mempertahankan pangsa pasar yang
telah mereka kuasai. Ingat, bisnis adalah perang.
"Efek nyata yang akhirnya dicapai hanyalah bahwa tanah
Amerika dan perusahaan-perusahaan Amerika menjadi
lebih murah bagi orang Jepang, sebab yen kini dua kali
lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Kepemilikan
bank-bank terbesar di dunia pindah ke tangan Jepang. Dan
kita membuat Amerika menjadi negara miskin."
"Apa hubungan semua ini dengan pertemuan Sabtu?"
"Begini," ujar Connor, "andaikata Anda punya paman
yang gemar minum-minum. Dia berjanji akan
menghentikan kebiasaannya itu jika Anda meminjamkan
uang padanya. Tapi kemudian dia mengingkari janjinya.
Dan Anda ingin agar uang Anda kembali. Anda ingin
menyelamatkan sisa-sisa investasi Anda yang buruk. Selain
itu, Anda juga tahu bahwa paman Anda mungkin saja mi-
num sampai mabuk dan mencederai orang lain. Paman
Anda lepas kendali. Anda harus berbuat sesuatu. Dan
kemudian seluruh keluarga berkumpul untuk membahas
tindakan apa yang harus diambil. Itulah yang dilakukan
oleh orang-orang Jepang."
"He-eh."
Connor rupanya menangkap nada sangsi dalam suaraku.
"Kelihatannya Anda curiga bahwa mereka melakukan
persekongkolan. Sebaiknya pikiran itu Anda buang
jauh-jauh. Anda berminat mengambil alih Jepang? Tentu
saja tidak. Negara berakal sehat takkan mengambil alih
negara lain. Melakukan bisnis, ya. Membina hubungan, ya.
Tapi bukan mengambil alih. Tak ada yang menginginkan
tanggung jawab sebesar itu. Tak ada yang mau repot. Sama
halnya dengan paman Anda yang pemabuk - Anda hanya
mengadakan rapat keluarga jika memang terpaksa. Kalau
tidak ada jalan lain."
"Begitukah pandangan orang Jepang?"
"Mereka melihat bermiliar-miliar dolar milik mereka,
Kohai. Ditanam di sebuah negeri yang dililit masalah.
Sebuah negeri yang penuh orang aneh yang individualistis
dan berbicara tanpa titik koma. Yang selalu bentrok. Saling
mendebat. Orang-orang tanpa pendidikan yang baik.
Orang-orang yang tidak tahu banyak mengenai dunia, dan
mengandalkan TV sebagai sumber informasi. Orang-orang
yang tidak bekera keras, yang membiarkan kekerasan dan
penggunaan narkotika merajalela, dan sepertinya tidak
terganggu. Orang Jepang menanam miliaran dolar di negeri
aneh ini, dan mereka ingin mendapat laba yang pantas. Dan
walaupun perekonomian Amerika sedang menuju
kehancuran - sebentar lagi kita akan turun ke peringkat tiga
dunia setelah Jepang dan Eropa - tetap harus ada yang
mencoba bertahan. Dan peran inilah yang dijalankan oleh
orang Jepang."
"Hanya itu?" aku bertanya. "Mereka sekadar membantu
menyelamatkan Amerika?"
"Harus ada yang melakukannya," ujar Connor. "Kita
tidak bisa terus seperti ini."
"Kita pasti berhasil."
"Ini yang dulu biasa dikatakan orang Inggris.”
Ia menggelengkan kepala. "Tapi nyatanya sekarang
Inggris jatuh miskin. Dan tidak lama lagi Amerika akan
menyusul."
"Kenapa kita harus jatuh miskin?" kataku. Tanpa
sengaja, suaraku menjadi keras.
"Sebab, menurut orang Jepang, Amerika telah menjadi
negeri tanpa isi. Kita telah melalaikan industri perakitan.
Kita tidak lagi menghasilkan barang-barang. Kalau kita
membuat produk-produk, kita memberi nilai tambah
kepada bahan-bahan baku, dan dengan demikian kita
menciptakan kemakmuran. Tapi Amerika sudah berhenti
melakukan itu. Kini orang Amerika menghasilkan dengan
manipulasi di atas kertas, yang menurut orang Jepang
merupakan senjata makan tuan, karena keuntungan di atas
kertas tidak mencerminkan kekayaan nyata. Mereka heran
sekali bahwa kita tergila-gila pada Wall Street dan
spekulasi saham."
"Dan karena itu orang Jepang merasa berhak mengatur
kita?"
"Mereka merasa harus ada yang mengatur kita. Mereka
lebih suka kalau kita melakukannya sendiri."
"Astaga."
Connor bergeser sedikit. "Jangan marah dulu, Kohai.
Menurut keterangan Hanada-san, tradisi pertemuan Sabtu
berakhir pada tahun 1991."
"Oh.
"Ya. Waktu itu orang Jepang memutuskan untuk tidak
ambil pusing apakah Amerika membenahi diri atau tidak.
Mereka melihat keuntungan dalam situasi sekarang:
Amerika sedang tidur lelap, dan semakin murah untuk
dibeli."
"Berarti tidak ada pertemuan Sabtu lagi?"
"Sekaii-sekali masih. Karena nichibei kankei: hubungan
Jepang-Amerika yang terus berjalan. Perekonomian kedua
negara ini sudah saling terkait. Kedua-duanya tidak dapat
menarik diri, biarpun mereka menginginkannya. Tetapi
pertemuan-pertemuan itu tak lagi penting. Kini sifatnya
lebih sebagai acara ramah-tamah. Jadi, apa yang dikatakan
Sakamura kepada Cheryl Austin ternyata keliru. Dan
kematiannya tidak berhubungan dengan pertemuan Sabtu."
"Lalu, hubungannya dengan apa?"
"Menurut teman-teman saya tadi, kejadian itu bersifat
pribadi. Chijou no motsure, kejahatan bermotif nafsu.
Melibatkan wanita cantik, irokichigai, dan pria
pencemburu."
"Dan Anda percaya pada mereka?"
"Masalahnya, mereka semua sependapat. Ketiga-tiganya.
Memang, orang Jepang merasa canggung untuk
memperlihatkan perbedaan pendapat di antara mereka,,
bahkan di lapangan golf di sebuah negara miskin. Tapi
berdasarkan pengalaman saya, jika mereka bersikap
seperti itu terhadap gaijin, mungkin ada yang
ditutup-tutupi."
"Maksud Anda, mereka bohong?"
"Tidak juga." COnnor menggelengkan kepala. "Tetapi
saya mendapat kesan bahwa mereka menceritakan sesuatu
kepada saya dengan tidak menceritakannya. Acara tadi pagi
adalah permainan hara no saguriai. Teman-teman saya
tidak membuka diri."
Connor menggambarkan acara main golf tadi. Sepanjang
pagi, semuanya lebih banyak membisu. Semuanya sopan,
tetapi jarang sekali ada yang memberi komentar, dan itu
pun singkat-singkat. Hampir sepanjang waktu mereka
berjalan mengelilingi lapangan golf dalam suasana hening.
"Padahal Anda pergi ke sana untuk mencari informasi?"
kataku. "Bagaimana Anda bisa tahan?"
"Oh, saya tetap memperoleh informasi." Tetapi ketika ia
menjelaskannya, ternyata semuanya dalam bentuk tidak
terucapkan. Karena mereka hidup dengan budaya yang
sama selama berabad-abad, di antara orang-orang Jepang
telah terjalin pengertian yang mendalam, dan mereka
mampu menyampaikan perasaan tanpa kata-kata. Di
Amerika, keakraban serupa dapat ditemui antara orangtua
dan anak-anak kecil sering kali memahami segala sesuatu
hanya dengan "membaca" tatapan orangtuanya. Tetapi
pada umumnya orang Amerika tidak mengandalkan
komunikasi bisu, berbeda dengan orang Jepang. Semua
orang Jepang seakan-akan merupakan anggota sebuah
keluarga, dan mereka sanggup berkomunikasi tanpa
kata-kata. Bagi orang Jepang, sikap membisu mengandung
makna
"Tidak ada yang ajaib atau luar biasa," Connor
melanjutkan. "Pada dasarnya, orang Jepang begitu
terkekang oleh peraturan dan adat kebiasaan, sehingga
mereka akhirnya tak dapat mengucapkan apa-apa. Demi
menjaga sopan santun, untuk menyelamatkan muka, lawan
bicara mereka berkewajiban membaca situasi, membaca
konteks, memahami tanda-tanda yang diberikan melalui
sikap tubuh, dan menangkap hal-hal yang tak terucap.
Sebab orang pertama merasa bahwa ia tak dapat
menuangkan perasaannya ke dalam bentuk kata-kata.
Dalam situasi seperti itu, berbicara dianggap tidak pantas.
Jadi, mereka terpaksa menggunakan cara lain."
Aku berkata, "Dan Anda menghabiskan pagi ini seperti
itu? Dengan tidak berbicara?"
Connor menggelengkan kepala. Ia merasa telah menjalin
komunikasi lancar dengan para pemain golf Jepang itu, dan
sama sekali tidak terganggu oleh keheningan yang terjadi.
"Karena saya bertanya mengenai orang-orang Jepang
lain - sesama anggota keluarga mereka - saya terpaksa
merumuskan pertanyaan-pertanyaan saya dengan
hati-hati. Sama seperti kalau saya bertanya apakah adik
perempuan Anda dipenjara, atau menanyakan hal lain yang
menyakitkan bagi Anda. Saya akan memperhatikan
seberapa lama Anda terdiam sebelum menjawab, nada
suara Anda, dan sebagainya. Hal-hal di balik komunikasi
verbal. Oke?"
"Oke."
"Artinya, kita memperoleh informasi melalui intuisi."
"Dan intuisi apa yang Anda peroleh?"
"Mereka bilang, 'Kami tidak lupa bahwa Anda pernah
berjasa bagi kami di masa lalu. Sekarang kami berkeinginan
membantu Anda. Tetapi pembunuhan ini merupakan
masalah orang Jepang, karena itu ada banyak hal yang tak
dapat kami ungkapkan. Berdasarkan sikap bungkam ini,
Anda dapat menarik kesimpulan yang berguna mengenai
masalah sesungguhnya.' Itulah yang mereka sampaikan
pada saya."
"Dan apa masalah sesungguhnya yang mereka maksud?"
"Hmm," Connor bergumam, "nama MicroCon sempat
disinggung beberapa kali."
"Perusahaan high-tech itu?"
"Ya. Perusahaan yang akan dijual. MicroCon rupanya
sebuah perusahaan kecil di Silicon Valley yang
mengkhususkan diri di bidang peralatan komputer.
Rencana penjualan itu diliputi masalah-masalah politik.
Masalah-masalah itu juga sempat disinggung-singgung tadi
"
"Jadi pembunuhan ini berkaitan dengan MicroCon?"
"Saya kira begitu." Sekall lagi ia bergeser di kursinya. "O,
ya, apa yang Anda peroleh di U.S.C. mengenai kaset-kaset
itu?"
"Pertama-tama, semuanya berisi rekaman kopi."
Connor mengangguk. "Memang sudah saya duga,"
katanya.
“O, ya?”
"Ishiguro tak mungkin menyerahkan rekaman asli.
Orang Jepang menganggap semua orang yang bukan Jepang
sebagai barbar. Dalam arti harfiah: barbar. Bau, vulgar,
bodoh. Mereka tidak menunjukkannya secara
terang-terangan, sebab mereka tahu bahwa bukan salah
kita tidak dilahirkan sebagai orang Jepang. Tapi mereka
tetap berpendapat begitu."
Aku mengangguk. Itu kurang lebih sama dengan apa
yang dikatakan Sanders.
"Kecuali itu," ujar Connor, "orang Jepang memang sangat
berhasil, tapi mereka bukan pemberani. Mereka bersiasat
dan berkomplot. Jadi, mereka tak mungkin menyerahkan
rekaman asli, karena mereka tidak mau ambil risiko.
Informasi apa lagi yang Anda peroleh mengenai kaset-kaset
itu?"
"Kenapa Anda menyangka bahwa masih ada hal lain?"
tanyaku.
"Pada waktu menyaksikan rekaman itu," katanya, "Anda
tentu memperhatikan detail penting yang..."
Dan kemudian percakapan kami terputus oleh telepon
yang berdering.

"Kapten Connor," sebuah suara bernada riang berkata


lewat speaker, "ini Jerry Orr. Di Sunset Hills Country Club.
Anda lupa membawa formulir Anda."
"Formulir?"
"Formulir pendaftaran," kata Orr. "Anda harus
mengisinya, Kapten. Sebenarnya ini hanya formalitas
belaka Saya jamin takkan ada masalah, mengingat siapa
sponsor Anda."
"Sponsor saya?" ujar Connor.
"Ya, Sir," balas Orr. "Saya mengucapkan selamat. Anda
tentu tahu, sekarang ini hampir mustahil untuk
memperoleh keanggotaan di Sunset. Tapi beberapa waktu
lalu perusahaan Mr. Hanada telah membeli keanggotan
corporate, dan mereka memutuskan untuk mencantumkan
nama Anda. Terus terang, teman-teman Anda sangat
berbaik hati."
“Ya, saya Juga sependapat dengan Anda," kata Connor
sambil mengerutkan kening.
Aku menatapnya.
"Mereka tahu Anda senang sekali bermain golf di sini,"
Orr meneruskan. "Anda sudah tahu syarat-syaratnya,
bukan? Hanada akan membeli keanggotaan untuk jangka
waktu lima tahun, tetapi setelah itu, keanggotaannya
menjadi atas nama Anda. Jadi, jika Anda memutuskan untuk
mengundurkan diri, Anda bebas menjualnya. Oke? Anda
akan mengambil formulirnya di sini, atau lebih baik kalau
saya kirim ke rumah Anda?"
Connor berkata, "Mr. Orr, tolong sampaikan ucapan
terima kasih saya kepada Mr. Hanada atas kebaikannya
yang luar biasa. Saya hampir kehilangan kata-kata. Tapi
saya belum bisa memutuskannya sekarang. Saya terpaksa
menghubungi Anda lagi nanti."
"Baiklah. Nanti tolong beritahu kami ke mana formulir
Anda harus kami kirim."
"Nanti saya akan menelepon Anda," jawab Connor.
Ia menekan tombol untuk mengakhiri percakapan, lalu
memandang lurus ke depan. Selama beberapa saat kami
berdua duduk membisu.
Akhirnya aku berkata, "Berapa nilai keanggotaan di klub
itu?"
"Tujuh ratus lima puluh. Mungkin satu juta."
Aku berkata, "Hadiah yang menarik dari teman-teman
Anda." Dan kemudian aku teringat pada Graham, dan
bagaimana Graham menyindir bahwa Connor sudah dibeli
oleh orang-orang Jepang. Kelihatannya kini kebenaran
desas-desus itu tak perlu diragukan lagi.
Connor geleng-geleng kepala. "Saya tak mengerti.”
"Kenapa Anda bingung?" ujarku. "Ah, Kapten. Bagi saya
semuanya sudah jelas."
"Saya benar-benar tak mengerti," Connor berkata sekali
lagi.
Dan kemudian telepon kembali berdering. Kali ini
untukku.

"Letnan Smith? Di sini Louise Gerber. Saya lega sekall


karena bisa menghubungi Anda."
Aku tidak mengenali namanya. Aku berkata,
"Ya?"
"Karena besok hari Sabtu, saya pikir Anda mungkin
punya waktu untuk melihat rumahnya."
Baru sekarang aku teringat siapa wanita itu. Sebulan
sebelumnya, aku sempat berkeliling kota dengan seorang
broker untuk melihat-lihat rumah. Michelle semakin besar,
dan aku lebih suka kalau ia tak perlu tinggal di apartemen.
Kalau bisa, aku ingin menyediakan halaman belakang
untuknya. Tapi harapannya tipis. Walaupun bisnis real
estate sedang lesu, harga rumah-rumah yang paling kecil
pun masih berkisar antara 400.000 sampai 500.000 dolar.
Dan aku tidak memenuhi syarat, dengan gaji yang kuterima.
"Ini situasi yang sangat tidak lazim," ia berkata, "dan
saya langsung teringat pada Anda dan putri Anda.
Rumahnya terietak di Palms, kecil - sangat kecil - tapi di
pojok jalan, dengan halaman belakang yang indah. Ada
bunga-bunga dan rumput yang bagus sekali. Harga yang
diminta 300.000. Tapi saya rasa masih bisa ditawar. Anda
berminat melihatnya'?"
Aku berkata, "Siapa pemiliknya?"
"Saya pun tidak mengenalnya. Situasinya memang tidak
lazim. Rumah itu milik wanita tua yang kini tinggal di panti
werda, dan putranya, yang tinggal di Topeka, ingin
menjualnya. Tapi dia lebih suka menerima sejumlah uang
setiap bulan daripada setumpuk uang sekaligus. Rumah itu
belum dipasarkan secara resmi, tapi saya tahu bahwa
penjualnya serius. Jika Anda ada waktu besok, mungkin
Anda dapat berbuat sesuatu. Dan halaman belakangnya
benar-benar indah. Putri Anda pasti senang sekali."
Kini giliran Connor menatapku. Aku berkata, "Miss
Gerber, saya butuh informasi lebih banyak. Siapa
penjualnya, dan sebagainya."
Wanita itu rupanya merasa heran. "Wah, saya sangka
Anda takkan berpikir dua kali. Situasi seperti ini tidak bisa
ditemui setiap hari. Anda tidak berminat melihat rumahnya
dulu?"
Connor memandangku sambil mengangguk-angguk. Ia
menggerak-gerakkan mulut, katakan ya. "Saya akan
menghubungi Anda lagi mengenai ini," ujarku.
"Baiklah, Letnan," kata wanita itu. Nadanya ragu-ragu.
"Tolong hubungi saya kalau Anda sudah mengambil
keputusan."
"Saya akan menelepon Anda."
Aku meletakkan gagang.
"Persetan, ada apa ini?" tanyaku. Sebab aku tak bisa
menutup mata. Connor dan aku baru saja disodori uang
dalam jumlah banyak. Sangat banyak.
Connor menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu."
"Apakah ada hubungannya dengan MicroCon?"
"Saya tidak tahu. Saya kira MicroCon hanya perusahaan
kecil. Ini tidak masuk akal." Ia tampak gelisah sekali.
"Sebenarnya, ada apa di balik MicroCon?"
Aku berkata, "Saya tahu siapa yang harus kita tanyai."

Bab 30

"MICROCONT?” ujar Ron Levine sambil menyalakan


sebatang cerutu besar. "Tentu, aku bisa bercerita banyak
mengenai MicroCon. Kisahnya tidak menyenangkan."
Kami sedang duduk di ruang wartawan American
Financial Network, sebuah stasiun TV kabel khusus berita,
yang berlokasi di dekat bandara. Melalui jendela-jendela di
ruang kerja Ron, aku melihat sejumlah antena parabola
berwarna putih di atas gedung parkir di sebelah. Ron
mengisap cerutunya dan menatap kami sambil tersenyum.
Ia wartawan keuangan di Times sebelum menerima
pekerjaan di muka kamera di sini. AFN termasuk satu dari
sedikit stasiun TV yang para pembawa acaranya tidak
diberi naskah; mereka harus memahami permasalahannya,
dan Ron sangat memahaminya.
"MicroCon," ia berkata, "dibentuk lima tahun yang lalu
oleh konsorsium perusahaan-perusahaan komputer
Amerika. Perusahaan ini diharapkan untuk
mengembangkan mesin litografi sinar-X generasi berikut
untuk chips komputer. Pada waktu MicroCon didirikan, tak
ada perusahaan Amerika yang membuat mesin litograft -
semuanya terpaksa gulung tikar di tahun delapan puluhan,
karena tak sanggup menghadapi persaingan ketat dari
Jepang. MicroCon mengembangkan teknologi baru, dan
membuat mesin-mesin untuk perusahaan-perusahaan
Amerika. Oke?"
"Oke," kataku.
"Dua tahun lalu, MicroCon dijual kepada Darley-Higgins,
sebuah perusahaan manajemen yang berpusat di Georgia.
Kemudian anak-anak perusahaan mereka yang lain
mengalami masalah, sehingga Darley memutuskan menjual
MicroCon, untuk memperoleh dana baru. Calon pembelinya
adalah Akai Ceramics, sebuah perusahaan dari Osaka yang
sudah membuat mesin-mesin litografi di Jepang. Akai
mempunyai uang tunai berlebih, dan bersedia membeli
perusahaan Amerika itu dengan harga tinggi. Kemudian
pihak Kongres mengambil langkah untuk menghentikan
penjualan tersebut."
"Kenapa?"
"Kongres pun sudah mulai terusik oleh kemerosotan
bisnis Amerika. Sudah terlalu banyak industri dasar yang
jatuh ke tangan Jepang - baja dan perkapalan di tahun enam
puluhan, pesawat TV dan chips komputer di tahun tujuh
puluhan, perkakas mesin di tahun delapan puluhan. Suatu
hari, seseorang terbangun dan menyadari bahwa
industri-industri itu sangat penting bagi pertahanan
Amerika. Kita telah kehilangan kemampuan untuk
membuat komponen-komponen vital untuk keamanan
nasional kita. Kita sepenuhnya tergantung kepada Jepang
sebagai pemasok barang-barang tersebut. Jadi, Kongres
mulai resah. Tapi kabarnya rencana penjualan itu tetap
dilanjutkan. Kenapa? Kalian terilbat dalam penjualan ini?"
"Secara tidak langsung," ujar Connor.
"Beruntunglah kalian," kata Ron sambil menyedot
cerutunya. "Kalau kalian terlibat dalam suatu penjualan
kepada orang Jepang, itu sama saja de ngan menemukan
sumber minyak. Semua pihal menjadi kaya. Kurasa kalian
disodori hadiah hadiah menggiurkan."
Connor mengangguk. "Sangat menggiurkan."
"Pasti," kata Ron. "Mereka akan mengurus kalian dengan
baik, membelikan rumah atau mobil, mengusahakan kredit
dengan bunga ringan, hal-hal seperti itulah."
Aku berkata, "Kenapa mereka berbuat begitu?"
Ron tertawa. "Kenapa mereka makan sushi? Beginilah
mereka menjalankan bisnis."
Connor berkata, "Tapi nilai penjualan MicroCon tidak
seberapa, bukan?"
"Yeah, memang kecil. Perusahaan itu bernilai sekitar
seratus juta dolar. Akai membelinya seharga 150 juta.
Selain itu, mereka mungkin masih menambahkan dua
puluh juta sebagai insentif untuk para eksekutif, sekitar
sepuluh juta untuk urusan hukum, sepuluh juta untuk
dibagi-bagi sebagai fee konsultan di Washington, dan
sepuluh juta lagi untuk berbagai hadiah untuk orang-orang
seperti kalian. Totalnya katakanlah dua ratus juta."
Aku berkata, "Dua ratus juta untuk perusahaan bernilai
seratus juta? Kenapa mereka membayar lebih dari nilai
sesungguhnya?"
"Mereka tidak membayar lebih," kata Ron. "Dari sudut
pandang mereka, harga itu malah masih miring."
"Kenapa begitu?"
"Sebab," ujar Ron, "jika kita menguasai barang-barang
yang digunakan untuk membuat barang lain, chips
komputer, misalnya, kita menguasai industri hilir yang
tergantung pada barang-barang itu. Dengan membeli
MicroCon, mereka akan menguasai industri komputer
Amerika. Dan seperti biasa, kita membiarkan hal itu terjadi.
Sama seperti ketika kita kehilangan industri pesawat TV
dan industri perkakas mesin."
"Apa yang terjadi dengan industri TV?" tanyaku.
Ron melirik jam tangannya. "Seusai Perang Dunia II,
Amerika merupakan produsen TV terbesar di dunia. Dua
puluh tujuh perusahaan Amerika seperti Zenith, RCA, GE,
dan Emerson mempunyai keunggulan teknologi
dibandingkan dengan pesaing-pesaing mereka dari luar
negeri. Perusahaan-perusahaan Amerika menikmati sukses
besar di seluruh dunia, kecuali di Jepang. Mereka tak
sanggup menembus pasar Jepang yang tertutup. Mereka
diberitahu bahwa jika mereka hendak menjual
produk-produk mereka di Jepang, mereka wajib
mernberikan lisensi atas teknologi mereka kepada
perusahaan-perusahaan Jepang. Dan mereka
melakukannya dengan enggan, di bawah tekanan
Pemerintah Amerika yang ingin mempertahankan Jepang
sebagai sekutu terhadap Rusia. Oke?”
"Oke.
"Nah, pemberian lisensi merupakan gagasan buruk. Ini
berarti Jepang bisa menggunakan teknologi kita untuk
kepentingan mereka sendiri, dan kita kehilangan Jepang
sebagai sasaran ekspor. Tak lama kemudian Jepang mulai
membuat TV hitam-putih yang murah, dan melakukan
ekspor ke Amerika - sesuatu yang tak bisa kita lakukan di
Jepang. Tahun 1972, enam puluh persen TV hitam-putih
yang dijual di Amerika rnerupakan TV impor dari Jepang.
Tahun 1976, angkanya meningkat menjadi seratus persen.
Kita kehilangan pasar TV hitam-putih. Pekerja-pPekerja
Amerika tidak lagi merakit TV hitam-putih. Lapangan kerja
itu telah hilang dari Amerika.
"Kita bilang, tak jadi soal. Perusahaan-perusahaan kita
sudah beralih ke TV warna. Tapi Pemerintah Jepang lalu
memprakarsai program intensif untuk mengembangkan
industri TV warna. Sekali lagi Jepang membeli lisensi atas
teknologi Amerika, menyempumakannya di pasar tertutup
mereka, dan membanjiri kita dengan TV ekspor. Sekali lagi
perusahaan-perusahaan terpaksa gulung tikar. Ceritanya
persis sama. Tahun 1980 tinggal tiga Perusahaan Amerika
yang'masih merakit TV warna. Tahun 1987 tinggal satu,
Zenith.”
"Tapi TV buatan Jepang memang lebih baik dan lebih
murah," kataku.
"TV mereka mungkin lebih baik," ujar Ron, "tetapi
harganya bisa lebih murah karena dijual di bawah biaya
produksi, untuk menyapu bersih pesaing-pesaing di
Amerika. Ini disebut dumping. Dan praktek ini dinyatakan
dilarang, baik di bawah hukum Amerika maupun di bawah
hukum internasional."
"Kalau begitu, kenapa kita tidak menghentikannya?"
"Pertanyaan yang bagus. Terutama karena dumping
hanya salah satu di antara sekian banyak teknik pemasaran
Jepang yang ilegal. Mereka juga mengatur harga; mereka
membentuk kelompok bernama Grup Sepuluh Hari. Setiap
sepuluh hari manajer-manajer Jepang berkumpul di sebuah
hotel di Tokyo untuk menentukan harga-harga yang akan
diberlakukan di Amerika. Kita mengajukan protes, tapi
pertemuan-pertemuan itu terus berlanjut. Mereka juga
mendongkrak distribusi produk-produk mereka melalui
cara-cara yang berbau kongkalikong. Kabarnya
orang-orang Jepang memberi komisi berjumlah jutaan
dolar kepada distributor-distributor Amerika seperti Sears.
Mereka melakukan penipuan bea masuk dalam skala besar.
Dan mereka menghancurkan industri Amerika yang tak
mampu bersaing.
"Perusahaan-perusahaan kita tentu saja memprotes, dan
menuntut lewat jalur hukum-puluhan kasus dumping,
penipuan, dan penggabungan industri yang melibatkan
perusahaan-perusahaan diajukan ke meja hijau.
Kasus-kasus dumping biasanya selesai dalam satu tahun.
Tetapi pemerinta kita tidak memberi dukungan, dan orang
Jepang pandai mengulur-ulur waktu. Mereka membayar
jutaan dolar kepada perunding-perunding Amerika untuk
memperjuangkan kepentingan mereka. Pada waktu
kasus-kasus itu disidangkan dua belas tahun kemudian,
pertempuran di pasar telah berakhir Dan selama itu,
perusahaan-perusahaan Amerik tidak dapat menyerang
balik di Jepang. Mereka bahkan tak dapat menjejakkan kaki
di Jepang. "
"Maksud Anda, industri TV diambil alih secara ilegal oleh
orang Jepang?"
"Mereka takkan berhasil tanpa bantuan kita," kata Ron.
"Pemerintah kita memanjakan Jepang, yang dianggap
sebagai negara kecil yang sedang berkembang. Dan industri
Amerika dianggap tidak butuh uluran tangan Pemerintah;
Dari dulu selalu ada perasaan antibisnis di Amerika. Tapi
pemerintah kita rupanya tak pernah sadar bahwa keadaan-
nya berbeda di sini. Waktu Sony mengembangkan
walkman, kita tidak bilang, 'Produk bagus. Sekarang kalian
harus memberikan lisensi kepada GE dan menjualnya lewat
perusahaan Amerika.' Kalau mereka mencari distributor,
kita tidak bilang, 'Maaf, toko-toko di Amerika sudah terikat
perjanjian dengan pemasok-pemasok Amerika. Produk
kalian harus didistribusi melalui perusahaan Amerika'
Kalau mereka minta hak paten, kita tidak bilang, 'Proses
pemberian bak paten makan waktu delapan tahun, dan
selama itu permohonan kalian akan diumumkan secara
terbuka, agar perusahaan-perusahaan kami dapat meneliti
ciptaan kalian dan menjiplaknya tanpa perlu membayar,
sehingga pada waktu kami mengeluarkan hak paten,
perusahaan-perusahaan kami telah memiliki versi sendiri
dari teknologi kalian.'
"Kita tidak melakukan hal-hal seperti itu. Jepang
melakukan semuanya. Pasar mereka tertutup. Pasar kita
terbuka lebar. Medan tempurnya menguntungkan mereka.
Sebenarnya malah tidak ada medan tempur. Ini lebih
pantas disebut jalan satu arah.
"Dan sekarang kita menghadapi iklim usaha yang serba
lesu di negeri ini. Perusahaan-perusahaan Amerika dipaksa
gigit jari dalam kasus TV hitam-putih. Juga dalam kasus TV
warna. Dan Pemerintah AS menolak membantu
perusahaan-perusahaan kita melawan praktek-praktek
perdagangan ilegal yang dilakukan oleh Jepang. Jadi, ketika
Ampex menciptakan video, mereka tidak berusaha
mengembangkannya sebagai produk komersial. Lisensi
atas teknologi tersebut mereka jual ke Jepang, lalu mereka
mengerjakan proyek berikutnya. Dan tidak lama kemudian
kita menemukan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika
tidak melakukan riset. Untuk apa repot-repot
mengembangkan teknologi baru jika pemerintah kita sen-
diri menghalang-halangi usaha kita, sehingga kita tak dapat
memasarkannya?"
"Tapi bisnis Amerika memang lemah dan di kelola secara
buruk, bukan?"
"Itu alasan standar," ujar Ron. "Seperti yang selalu
digembar-gemborkan oleh orang-orang Jepang dan para
juru bicara mereka di sini. Hanya dalam beberapa
kesempatan terungkap bagaimana orang Jepang
sesungguhnya. Dalam kasus Houdaille misalnya. Kalian
tahu kasus itu? Houdaillt merupakan perusahaan perkakas
mesin yang mengaku bahwa paten-paten dan lisensi-lisensi
mereka dilanggar oleh sejumlah perusahaan di Jepang.
Seorang hakim federal mengirim pengacara Houdaille ke
Jepang untuk mengumpulkan bukti. Tetapi orang-orang
Jepang menolak memberikan visa padanya."
"Yang benar?"
"Peduli apa mereka?" kata Ron. "Mereka tahu bahwa kita
takkan membalas. Ketika kasus
Houdaille sampai ke hadapan pemerintahan Reagan,
mereka tidak berbuat apa-apa. Akhirnya Houdaille mundur
dari industri perkakas mesin. Sebab tak ada yang dapat
bersaing melawan produk-produk dumping - dan itulah
tujuan yang hendak dicapai."
"Bukankah kita kehilangan uang kalau kita melakukan
dumping?"
"Untuk sementara waktu, ya. Tapi kita menjual jutaan
unit, sehingga kita bisa menyempurnakan proses produksi
dan memotong biaya. Beberapa tahun kemudian, kita
benar-benar sanggup menghasilkan produk kita dengan
biaya yang lebih rendah. Sementara itu, saingan-saingan
kita telah terpaksa gulung tikar dan kita menguasai pasar.
Masalahnya begini, orang Jepang berpikir secara strategis -
mereka membuat rencana jangka panjang, lima puluh
tahun ke depan Perusahaan Amerika harus
memperlihatkan keuntungan setiap tiga bulan; kalau tidak,
para eksekutifnya akan ditendang. Tapi orang Jepang sama
sekali tidak peduli pada keuntungan jangka pendek. Mereka
ingin merebut pangsa pasar. Bagi mereka, bisnis sama
dengan peperangan. Merebut wilayah musuh. Menghan-
curkan lawan. Menguasai pasar. Itulah yang mereka
lakukan selama tiga puluh tahun terakhir.
"Jadi, orang Jepang melakukan praktek dumping
terhadap baja, pesawat TV, barang elektronik rumah
tangga, chips komputer, perkakas mesin - dan tak seorang
pun mencegah mereka. Dan kita kehilangan
industri-industri tersebut. Perusahaan-perusahaan Jepang
bersama Pemerintah Jepang mengincar industri-industri
tertentu, yang kemudian diambil alih oleh mereka. Industri
demi industri, tahun demi tahun. Sementara kita
duduk-duduk dan sibuk membicarakan perdagangan bebas.
Padahal perdagangan bebas tak ada artinya tanpa
perdagangan adil. Sedangkan orang Jepang tidak berminat
pada perdagangan adil. Kalian tahu, ada alasan kenapa
orang Jepang begitu menyukai Reagan. Di masa
pemerintahannya, mereka melakukan gerakan sapu bersih.
Atas nama perdagangan bebas, dia merentangkan kaki kita
lebar-lebar."
"Kenapa orang Amerika tidak memahami hal ini?"
tanyaku.
Connor tertawa. "Kenapa mereka makan hamburger?
Memang begitu sifat mereka, Kohai."
Dari ruang wartawan, seorang wanita berseru, "Ada
yang bernama Connor di sini? Ada telepon dari Four
Seasons Hotel."
Connor melirik jam tangannya dan berdiri. "Permisi
sebentar." Ia meninggalkan ruang wartawan. Melalui
dinding kaca, aku melihatnya berbicara lewat telepon dan
membuat catatan.
"Anda harus menyadari," ujar Ron, "bahwa hal itu masih
berlanjut sampai sekarang. Kenapa kamera buatan Jepang
lebih murah di New York dibandingkan dengan di Tokyo?
Kamera itu diangkut keliling dunia, ada bea masuk dan
biaya distribusi yang harus dibayar, namun harganya tetap
lebih rendah. Bagaimana mungkin? Turis-turis Jepang
membeli barang-barang buatan Jepang di sini, karena lebih
murah. Sementara itu, produk-produk Amerika di Jepang
tujuh puluh persen lebih mahal dibandingkan dengan di
sini. Kenapa Pemerintah Amerika tidak mengambil sikap
tegas? Saya juga tidak tahu. Sebagian jawabannya ada di
atas sana."
Ia menunjuk monitor di ruang kerjanya. Seorang pria
berpenampilan penuh wibawa tampak berbicara di atas
mesin teleks yang sedang bekerja. Suaranya dipelankan.
"Kalian lihat orang itu? Dia David Rawlings. Profesor bidang
bisnis di Stanford. Spesialis Pacific Rim. Dia contoh khas -
tolong keraskan suaranya. Barangkali dia sedang
membahas rencana penjualan MicroCon."
Aku memutar tombol pada monitor, dan mendengar
Rawlings berkata, "...berpikir sikap Amerika sangat
irasional. Bagaimanapun juga, perusahaan-perusahaan
Jepang membuka lapangan kerja bagi orang-orang
Amerika, sementara perusahaan-perusahaan Amerika
justru hijrah ke luar negeri, menjauhi masyarakat mereka
sendiri. Orang Jepang tidak memahami kenapa kita
berkeluh kesah."
Ron menghela napas. "Omong kosong, seperti biasa,"
katanya.
Di layar monitor, Profesor Rawlin berkata, “Saya
berpendapat bahwa orang-orang Amerika seharusnya
berterima kasih atas bantuan yang diperoleh negeri kita
dari para investor asing."
Ron tertawa. "Rawlings termasuk kelompok yang kami
juluki Pencinta Bunga Krisan. Pakar-pakar akademis yang
menyerukan propaganda Jepang. Mereka tidak punya
pilihan, sebab mereka butuh akses ke Jepang untuk
berkarya, dan kalau ucapan mereka mulai terlalu kritis,
kontak-kontak mereka di Jepang akan terputus. Pintu-pintu
mendadak tertutup. Dan di Amerika, orang Jepang akan
berbisik ke telinga pihak-pihak tertentu bahwa orang yang
bersangkutan tak dapat dipercaya, atau bahwa
pandangannya 'sudah ketinggalan zaman'. Atau lebih parah
lagi, bahwa ia penganut rasialisme. Setiap orang yang
mengkritik Jepang otomatis seorang rasialis. Dalam waktu
singkat pakar-pakar tersebut tidak lagi diundang untuk
memberi ceramah, dan mereka pun kehilangan pekerjaan
sebagai konsultan. Mereka tahu bahwa nasib ini menimpa
rekan-rekan mereka yang melanggar aturan main. Dan
mereka takkan membuat kesalahan yang sama."
Connor kembali memasuki ruangan. Ia berkata, "Apakah
ada segi ilegal pada rencana penjualan MicroCon?"
"Tentu," ujar Ron. "Tergantung pada sikap yang diambil
Washington. Akai Ceramics sudah menguasai enam puluh
persen pasar Amerika. Dengan membeli MicroCon, mereka
akan memegang monopoli. Seandainya Akai perusahaan
Amerika, Pemerintah pasti akan melarang penjualan itu,
dalam rangka mencegah penggabungan industri. Tapi
berhubung Akai bukan perusahaan Amerika, penjualan itu
tidak diawasi secara ketat. Akhirnya takkan ada hambatan
apa pun."
"Maksudnya, perusahaan Jepang bisa memegang
monopoli di Amerika, tapi perusahaan Amerika tidak?"
"Itulah yang biasanya terjadi," kata Ron. "Tapi sistem
hukum Amerika sering kali. mendukung penjualan
perusahaan-perusahaan kita kepada pihak asing. Seperti
waktu Matsushita membeli Universal Studios. Sudah
bertahun-tahun Universal hendak dijual. Beberapa
perusahaan Amerika ingin membelinya, tetapi tidak
diizinkan. Westinghouse mencobanya di tahun 1980. Gagal,
melanggar undangundang anti penggabungan industri. RCA
mencobanya. Juga gagal, pertentangan kepentingan. Tapi
waktu Matsushita muncul sebagai calon pembeli, ternyata
tidak ada undang-undang yang menghalanginya. Baru
kemudian undang-undang kita diubah. Di bawah
undang-undang yang berlaku sekarang, RCA boleh membeli
Universal. Tapi dulu tidak. MicroCon hanya contoh terakhir
dari peraturan-peraturan aneh yang berlaku di Amerika."
Aku berkata, "Bagaimana pandangan perusaha-
an-perusahaan komputer Amerika mengenai penjualan
MicroCon?"
Ron menjawab, "Perusahaan-perusahaan Amerika tidak
suka rencana itu. Tapi mereka juga tidak menentangnya."
"Kenapa tidak?"
"Karena perusahaan-perusahaan Amerika merasa
bahwa sekarang pun gerak-gerik mereka terialu dibatasi
oleh Pemerintah. Empat puluh persen ekspor Amerika
dibatasi oleh peraturan-peraturan keamanan. Pemerintah
kita tidak mengizinkan penjualan komputer ke
negara-negara Eropa Timur. Perang Dingin telah berakhir,
tapi peraturannya masih ada. Sementara itu, orang Jepang
dan orang Jerman melakukan penjualan besar-besaran. Jadi
orang Amerika menginginkan deregulasi. Dan mereka
memandang setiap usaha untuk mencegah penjualan
MicroCon sebagai campur tangan Pemerintah."
Aku berkata, "Tapi itu tidak masuk akal."
"Aku sependapat," ujar Ron. "Dalam beberapa tahun
mendatang, perusahaan-perusahaan Amerik akan dibantai.
Sebab kalau Jepang menjadi produsen tunggal mesin-mesin
pembuat chips, mereka bisa saja memutuskan untuk tidak
menjual mesin-mesin itu kepada perusahaan-perusahaan
Amerika.
"Mungkinkah mereka berbuat begitu?"
"Contohnya sudah ada," kata Ron. "Ion implanters dan
mesin-mesin lain. Masalahnya, perusahaan-perusahaan
Amerika tak dapat bersatu Mereka malah cekeok di antara
mereka sendiri Sementara itu, orang Jepang terus saja
memborong perusahaan-perusahaan high-tech. Setiap
sepuluh hari ada satu yang berpindah tangan. Dan ini
berlangsung selama enam tahun terakhir. Kita dicincang
habis-habisan. Tapi pemerintah kita tidak menaruh
perhatian, sebab kita punya lembaga bernama CFIUS -
Commitee on Foreign Investment in the United States,
semacam badan koordinasi penanaman modal asing di AS -
yang memantau penjualan perusahaan-perusahaan
high-tech. Dari lima ratus penjualan terakhir, hanya satu
yang dihentikan. Perusahaan demi perusahaan dijual, dan
tak seorang pun di Washington angkat bicara. Akhirnya
Senator Morton merasa perlu bertindak, dan berkata,
'Tunggu dulu.' Tapi tak ada yang mendengarkannya."
"Jadi, MicroCon tetap dijual."
"Itulah yang saya dengar hari ini. Mesin humas Jepang
sedang bekerja keras, menampilkan pemberitaan yang
menguntungkan bagi mereka. Dan mereka ulet sekali.
Segala sesuatu telah dikuasai oleh mereka..."
Mendadak pintu diketuk dari luar, dan seorang wanita
berambut pirang menyembulkan kepala. "Maaf
mengganggu, Ron," katanya, "tapi Keith baru saja terima
telepon dari perwakilan stasiun TV nasional Jepang, NHK,
untuk Los Angeles. Mereka ingin tahu kenapa wartawan
kita menjelek-jelekkan Jepang."
Ron mengerutkan kening. "Menjelek-jelekkan Jepang?
Apa maksud-mereka?"
“Menurut mereka, wartawan kita berkata on air,
'Jepang-Jepang keparat itu mengambil alih negeri ini.”
"Yang benar saja," ujar Ron. "Mana mungkin ada yang
berkata begitu - on air. Siapa wartawan yang mereka
maksud?"
"Lenny. Di New York. Lewat backhaul," wanita itu
menjelaskan.
Ron bergeser di kursinya. "Oh-oh," katanya.
"Rekamannya sudah diperiksa?"
"Mereka sedang melacaknya di ruang kendali utama.
Tapi kurasa memang benar."
"Brengsek."
Aku berkata, "Apa itu, backhaul?"
"Sinyal awal yang dikirim lewat satelit. Setiap hari kami
menerima segmen-segmen dari New York dan Washington,
untuk diputar ulang. Selalu ada waktu satu menit sebelum
dan sesudah bahan yang ditayangkan. Kami memotong
bagian-bagian itu, tapi transmisi kasarnya bisa ditangkap
oleh semua orang yang punya antena parabola, asal mereka
mau melacak sinyal kami. Dan hanya yang melakukannya.
Kami selalu memperingatkan para wartawan untuk
berhati-hati di depan kamera Tapi tahun lalu, Louise
membuka kancing blusnya untuk memasang mikrofon, dan
kami ditelepon dari seluruh pelosok negeri."
Telepon Ron berdering. Sejenak ia mendengarkan lawan
bicaranya, lalu berkata, "Oke, aku mengerti," dan
meletakkan gagang. "Mereka sudah selesai memeriksa
rekaman. Lenny bicara di depan kamera sebelum sinyal dan
berkata pada Louise, 'Jepang-Jepang keparat itu bakal jadi
pemilik negeri ini kalau kita tidak segera bertindak.' Dia
memang mengatakannya, meskipun tidak disiarkan." Ron
menggelengkan kepala dengan lesu. "Orang NHK itu sudah
tahu bahwa kita tidak menyiarkannya?"
"Sudah. Tapi dia berdalih bahwa sinyalnya bisa
ditangkap, dan atas dasar itulah dia mengajukan protes."
"Sialan. Jadi mereka juga memantau sinyal awal kita.
Astaga! Apa kata Keith?"
"Keith bilang, dia sudah bosan memperingatkan
orang-orang di New York. Dia minta agar kau yang
menanganinya."
"Dia ingin agar aku menelepon orang NHK itu?”
"Terserah kau, katanya. Tapi kita punya kontrak dengan
NHK untuk acara setengah jam yang kita kirim setiap hari,
dan Keith tidak mau ambil risiko. Dia menyarankan agar
kau minta maaf."
Ron mendesah. "Sekarang aku harus tninta maaf untuk
sesuatu yang bahkan tidak ditayangkan. Persetan." Ia
menatap kami. "Sori, aku harus pergi. Masih ada
pertanyaan lagi?"
"Tidak," kataku. "Selamat berjuang."
"Hei," ujar Ron. "Kita semua harus berjuang. Soalnya
NHK akan membentuk Global News Network dengan modal
awal satu miliar dolar. Mereka akan menyaingi CNN-nya
Ted Turner di seluruh dunia. Dan kalau kita mengamati
sejarah..." Ia mengangkat bahu. "Selamat tinggal, media
Amerika."
Ketika kami meninggalkan ruang kerjanya, aku
mendengar Ron berkata lewat telepon, "Mr. Akasaka? Ini
Ron Levine, dari AFN. Ya, Sir. Ya, Mr. Akasaka. Sir, saya
ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf
yang sebesar-besarnya mengenai ucapan wartawan kami
melalui satelit..."
Kami menutup pintu dan pergi.
"Sekarang ke mana?" tanyaku.

Bab 31

FOUR SEASONS HOTEL biasa dikunjungi oleh para


bintang dan tokoh-tokoh politik, dan mempunyai pintu
masuk yang elegan, tapi kami parkir di bagian belakang, di
dekat pintu untuk mengantar barang. Sebuah truk besar
berhenti di tempat bongkar-muat, dan pegawai-pegawai
dapur sedang menurunkan kardus-kardus susu. Sudah lima
menit kami menunggu di sana. Connor melirik jam ta-
ngannya.
Aku berkata, "Kenapa kita berhenti di sini?"
"Kita harus menaati keputusan Mahkamah Agung,
Kohai."
Seorang wanita dengan setelan jas muncul di tempat
bongkar-muat, memandang berkeliling, dan melambaikan
tangan. Connor membalas lambaiannya. Wanita itu
menghilang lagi. Connor mengeluarkan dompet dan
mengambil beberapa lembar dua puluh dolar.
"Salah satu hal yang paling dulu saya ketahui ketika
mulai bertugas sebagai detektif," ujar Connor, "adalah
bahwa dalam keadaan tertentu, pegawai hotel sangat
memudahkan tugas kita. Terutama karena polisi kini diatur
oleh demikian banyak peraturan. Kita tidak boleh
memasuki kamar hotel tanpa surat perintah. Kalau kita
nekat masuk, segala sesuatu yang kita temukan dalam
penggeledahan itu dianggap tidak sah sebagai barang bukti.
Begitu, bukan?"
"Yeah."
"Tapi para pelayan boleh masuk. Para petugas
kebersihan boleh masuk."
"Hmm."
"Jadi, saya membiasakan diri untuk memelihara
hubungan baik di semua hotel besar." Ia membuka pintu.
"Ini hanya makan waktu sebentar."
Ia berjalan menyusuni tempat bongkar-muat dan
menunggu. Aku mengetuk-ngetuk kemudi. Lirik sebuah
lagu timbul dalam benakku:

I changed my mind, this love is fine.


Goodness, gracious, great balls of fire.

Di tempat bongkar-muat barang, aku melihat seorang


pelayan wanita berseragam berbicara sebentar dengan
Connor. Connor membuat catatan. Wanita itu
menggenggam sesuatu berwarna emas di tangannya.
Connor tidak menyentuhnya, ia hanya mengamatinya dan
mengangguk. Pelayan itu menyelipkannya kembali ke
dalam kantong. Kemudian Connor menyerahkan sejumlah
uang. Wanita itu pergi.

You shake my nerves and you rattle my brain.


Too much love drives a man insane.
You broke my will, but what a thrill...

Seorang pelayan pria keluar ke tempat bongkar muat,


membawa setelan jas pria berwarna biru yang tergantung
pada gantungan baju. Connor mengajukan sebuah
pertanyaan, dan pelayan itu menatap arlojinya sebelum
menjawab. Kemudian Connor membungkuk dan
mengamati ujung bawah jas. Ia membuka jas itu dan
memeriksa celana pada gantungan baju.
Si pelayan keluar sambil membawa setelan jas itu, lalu
masuk lagi dengan setelan jas lain. Yang ini berwarna biru
dengan motif garis-garis. Sekali lagi Connor melakukan
pemeriksaan. Dan rupanya ia berhasil menemukan sesuatu,
yang kemudian dimasukkannya ke dalam suatu kantong
plastik bening berukuran kecil. Ia memberi sejumlah uang
kepada si pelayan dan kembali ke mobil.
Aku berkata, "Cari petunjuk mengenai Senator Rowe?"
"Saya mencari petunjuk mengenai beberapa hal,"
jawabnya, "termasuk Senator Rowe."
"Semalam, asisten Rowe membawa celana dalam wanita
berwarna putih. Tapi Cheryl memakai celana dalam
berwarna hitam "
"Itu benar," ujar Connor. "Tapi sepertinya kita sudah
mulai memperoleh kemajuan."
"Apa yang Anda temukan?"
Ia mengeluarkan kantong plastik tadi. Aku melihat
sejumlah serat berwarna gelap "Saya rasa serat karpet.
Berwarna gelap, seperti karpet di ruang rapat Nakamoto.
Tapi harus dibawa ke lab untuk memastikannya. Sementara
itu, ada masalah lain yang harus kita pecahkan. Nyalakan
mesin."
"Ke mana kita?"
"Darley-Higgins. Pemilik MicroCon."

Bab 32

DI lobi di samping petugas penerima tamu, seorang


tukang sedang memasang huruf-huruf emas berukuran
besar di dinding: DARLEY-HIGGINS INC. Di bawahnya
terbaca KEUNGGULAN MANAJEMEN. Beberapa tukang lain
sedang memasang karpet di selasar.
Kami memperlihatkan lencana masing-masing dan minta
bertemu dengan pimpinan Darley-Higgins, Arthur Greiman.
Lafal si petugas penerima tamu berlogat daerah Selatan.
"Mr. Greiman ada rapat sepanjang hari. Anda sudah
membuat janji?"
"Kedatangan kami menyangkut penjualan MicroCon."
"Kalau begitu, Anda bicara dengan Mr. Enders saja, wakil
presiden kami untuk urusan humas."
"Oke," kata Connor.
Kami duduk di sofa, di dekat meja resepsionis. Di sofa di
seberang ruangan ada wanita cantik dengan rok ketat. Ia
membawa segulungan blueprint. Para tukang terus
memalu. Aku berkata, "Saya pikir perusahaan ini sedang
menghadapi masalah keuangan. Kenapa mereka malah
mengubah interior?"
Connor mengangkat bahu.
Si sekretaris menerima telepon-telepon. "Darley-Higgins,
tunggu sebentar. Darley-Higgins... Oh, mohon ditunggu
sejenak, Senator... Darley-Higgins, ya, terima kasih."
Aku meraih sebuah brosur dari meja. Ternyata laporan
tahunan Darley-Higgins Management Group, dengan
kantor-kantor cabang di Atlanta, Dallas, Seattle, San
Francisco, dan Los Angeles. Aku menemukan foto Arthur
Greiman. Ia tampak bahagia dan puas dengan diri sendiri.
Laporan itu memuat sebuah esai karya Greiman, berjudul
Komitmen terhadap Keunggulan.
Si sekretaris berkata kepada kami, "Mr. Enders akan
segera menerima Anda."
"Terima kasih," ujar Connor.
Sesaat kemudian, dua pria dengan setelan jas melangkah
ke selasar. Wanita dengan gulungan blueprint tadi langsung
berdiri. Ia berkata, "Halo, Mr. Greiman."
"Halo, Beverly," balas pria yang lebih tua. "Tunggu
sebentar, ya."
Connor ikut berdiri. Si sekretaris segera berkata, "Mr.
Greiman, tuan-tuan ini..."
"Sebentar," Greiman memotong. Ia berpaling pada pria
yang menyertainya. Pria itu lebih muda, sekitar tiga
puluhan. "Pastikan agar Roger memahami situasinya."
Pria yang lebih muda menggelengkan kepala. "Dia
takkan suka."
“Aku tahu. Pokoknya, beritahu dia. Enam koma empat
juta sebagai kompensasi langsung bagi EO, tidak kurang
dari itu."
"Tapi, Arthur..."
"Pokoknya, beritahu dia."
"Oke, Arthur," ujar pria yang lebih muda sambil
meluruskan dasi. Ia merendahkan suara. "Tapi Dewan
Komisaris pasti marah-marah karena kauminta kenaikan di
atas enam pada waktu pendapatan perusahaan lagi anjlok
......
"Kita tidak bicara mengenai pendapatan," kata Weiman.
"Kita bicara mengenai kompensasi. Tak ada sangkut
pautnya dengan pendapatan. Dewan harus mengimbangi
tarif kompensasi bagi CEO yang berlaku sekarang. Kalau
Roger tidak bisa meyakinkan Dewan, aku akan
membatalkan pertlemuan Maret dan menuntut perubahan.
Katakan ini padanya."
"Oke, Arthur, aku akan memberitahunya, tapi..."
"Pokoknya, kerjakan saja. Telepon aku nanti malam."
"Oke, Arthur."
Mereka bersalaman. Pria yang lebih muda pergi. Si
penerima tamu berkata, "Mr. Greiman, tuan-tuan ini..."
Greiman berpaling pada kami. Connor berkata, "Mr.
Greiman, kami ingin bicara sebentar mengenai MicroCon."
Kemudian ia berputar sedikit dan memperlihatkan
lencananya.
Greiman meledak. "Oh, demi Tuhan. Lagi? Rupanya
kalian tidak bosan-bosannya menteror saya."
"Menteror?"
"Saya sudah didatangi anggota staf Kongres, saya sudah
didatangi FBI. Dan sekarang polisi L.A.? Kami bukan
penjahat. Kami pemilik sebuah perusahaan dan kami
berhak menjualnya. Mana Louis?"
Si resepsionis berkata, "Mr. Enders sedang menuju ke
sini."
Connor berkata dengan tenang, "Mr. Greiman, maaf
kalau kami terpaksa mengganggu Anda. Kami hanya ingin
mengajukan satu pertanyaan. Takkan makan waktu lama."
Greiman melotot. "Apa pertanyaan Anda?"
"Berapa banyak penawaran yang Anda terima untuk
MicroCon?"
"Itu bukan urusan Anda," balas Greiman. "Lagi pula,
kesepakatan kami dengan Akai menetapkan bahwa
penjualan itu tidak boleh dibahas dengan pihak luar."
Connor berkata, "Apakah calon pembelinya lebih dari
satu?"
"Begini, kalau Anda mau bertanya, bertanyalah pada
Enders. Saya sibuk." Ia berpaling pada wanita dengan
gulungan blueprint tadi. "Beverly? Coba lihat apa yang
kaubawa."
"Saya membawa revisi denah ruang rapat, Mr. Greiman,
dan contoh-contoh tegel untuk kamar kecil. Ada warna
abu-abu yang bagus sekali. Saya pikir Anda akan suka."
"Bagus, bagus." Greiman dan wanita itu menyusuri
selasar, menjauhi kami.
Connor memperhatikan mereka pergi, lalu tiba-tiba
berbalik ke arah elevator. "Ayo, Kohai. Lebih baik kita cari
udara segar saja."

Bab 33

"KENAPA Anda menanyakan apakah ada peminat lain?"


ujarku, ketika kami kembali ke mobil. "Apakah ada
pengaruhnya?"
"Ini berkaitan dengan pertanyaan awal,” kata Connor.
"Siapa berniat mempermalukan Nakamoto? Kita tahu
bahwa penjualan MicroCon punya arti strategis. Itulah
sebabnya Kongres keberatan. Tapi itu hampir pasti berarti
bahwa masih ada pihak-pihak lain yang juga keberatan."
"Di Jepang?"
"Persis."
"Tapi siapa yang bisa memberi informasi mengenai ini.”
"Akai."

Resepsionis Jepang itu tertawa gelisah ketika melihat


lencana Connor. Connor berkata, "Kami ingin bertemu
dengan Mr. Yoshida." Yoshida merupakan pimpinan
perusahaan.
"Mohon tunggu sebentar." Ia berdiri dan bergegas,
nyaris berlari, pergi.
Akai Ceramics menempati lantai lima sebuah gedung
perkantoran yang tidak mencolok di El Segundo. Penataan
interiornya sederhana bergaya industri. Dari meja
resepsionis, kami melihat sebuah ruangan besar yang tidak
disekat-sekat: banyak meja logam dan orang yang sedang
menelepon. Sayup-sayup terdengar suara keyboard
komputer.
Aku mengamati ruangan itu, "Kosong sekali."
"Seperlunya saja," ujar Connor. "Di Jepang, sifat suka
pamer tidak disukai. Anda akan dianggap tidak serius.
Waktu Mr. Matsushita masih menjabat sebagai pimpinan
perusahaan ketiga terbesar di Jepang, dia tetap
menggunakan pesawat komersial biasa untuk
mondar-mandir antara kantor-kantor pusatnya di Osaka
dan Tokyo. Padahal dia pimpinan perusahaan bernilai 50
miliar dolar. Tapi dia tidak memakai jet pribadi."
Sambil menunggu, aku mengamati orang-orang yang
sedang bekerja. Hanya segelintir orang Jepang, sebagian
besar orang kulit putih. Semuanya mengenakan setelan jas
warna biru. Dan hampir tidak ada wanita.
"Di Jepang," Connor melanjutkan, "jika sebuah
perusahaan mengalami kesulitan, tindakan pertama yang
diambil oleh para eksekutif adalah memotong gaji mereka
sendiri. Mereka merasa bertanggung jawab atas sukses
perusahaan, dan mereka menganggap waJar bahwa
keberuntungan mereka mengikuti keberhasilan atau
kegagalan perusahaan."
Resepsionis tadi kembali, dan duduk di balik mejanya
tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Hampir seketika, seorang pria Jepang dengan setelan jas
biru berjalan ke arah kami. Ia berambut kelabu, memakai
kacamata berbingkai tebal, dan bersikap serius. Ia berkata,
"Selamat pagi. Saya Mr. Yoshida."
Connor memperkenalkan kami. Kami semua
membungkuk dan saling menukar kartu nama. Mr. Yoshida
menerima kartu nama kami dengan kedua tangannya, dan
setiap kali ia kembali membungkuk. Kami melakukan hal
yang sama. Aku memperhatikan bahwa Connor tidak
berbahasa Jepang ketika berbicara dengannya.
Yoshida mengajak kami ke ruang kerjanya. Jendelanya
menghadap ke bandara. Perabotnya seadanya saja.
"Anda ingin minum kopi atau teh?"
"Tidak, terima kasih," kata Connor. "Kedatangan kami
untuk urusan resmi."
"Begitu." Yoshida mempersilakan kami duduk.
"Kami ingin membicarakan pembelian MicroCon dengan
Anda."
"Ah, ya. Masalah yang menyusahkan. Tapi saya baru tahu
bahwa hal ini juga melibatkan polisi."
"Mungkin tidak perlu," ujar Connor. "Apakah Anda dapat
memberi keterangan mengenai penjualan itu, atau
kesepakatannya bersifat tertutup?"
Mr. Yoshida tampak terkejut. "Tertutup? Sama sekali
tidak. Semuanya sangat terbuka, sejak awal. Kami
dihubungi oleh Mr. Kobayashi, wakil Darley-Higgins di
Tokyo, bulan September tahun lalu. Waktu itu kami
mula-mula mengetahui bahwa perusahaan tersebut hendak
dijual. Terus terang, kami tidak menyangkanya. Proses
negosiasi dimulai bulan Oktober. Sekitar pertengahan
November, kedua tim perunding berhasil mencapai
kesepakatan secara garis besar. Kami berlanjut ke tahap
akhir negosiasi. Tetapi kemudian Kongres menyatakan
keberatan pada tanggal enam belas November."
Connor berkata, "Anda terkejut bahwa perusahaan itu
hendak dijual'?"
"Ya. Tentu."
"Kenapa begitu?"
Mr. Yoshida meletakkan kedua tangannya di atas meja
dan berkata pelan-pelan, "Kami mengetahui bahwa
MicroCon merupakan perusahaan milik Pemerintah, yang
dibiayai sebagian dengan dana dari Pemerintah Amerika.
Tiga belas persen dari modal keseluruhan, kalau saya tidak
salah. Di Jepang, ini berarti perusahaan tersebut
merupakan perusahaan milik Pemerintah. Jadi, dengan sen-
dirinya kami bersikap hati-hati ketika memasuki
perundingan. Kami tidak ingin menyinggung perasaan
pihak lain. Tetapi kami memperoleh jaminan dari
wakil-wakil kami di Washington bahwa takkan ada masalah
dengan pembelian ini."
Connor mengangguk-angguk.
"Tapi sekarang timbul kesulitan, seperti yang kami
khawatirkan sejak semula. Rupanya ada pihak-pihak di
Washington yang merasa keberatan. Kami tak ingin hal ini
terjadi."
"Anda tidak menduga bahwa Washington akan
menyatakan keberatan?"
Mr. Yoshida mengangkat bahu dengan malu-malu.
"Kedua negara kita berbeda. Di Jepang, kami dapat
menduga apa yang akan terjadi. Di sini, selalu ada
seseorang yang mempunyai pandangan lain, dan
membeberkannya kepada umum. Tapi Akai Ceramics tidak
ingin mencolok. Situasinya serba salah sekarang."
Connor kembali mengangguk-angguk. "Sepertinya Anda
ingin menarik diri."
"Banyak orang di kantor pusat mengkritik saya karena
saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi saya berkata
kepada mereka, memang tidak mungkin mengetahuinya.
Washington tidak mempunyai kebijaksanaan yang tegas.
Setiap hari ada perubahan, tergantung situasi politik." Ia
tersenyum dan menambahkan, "Atau, lebih tepatnya,
begitulah kesan yang kami peroleh."
"Tapi menurut Anda, penjualan ini akan berjalan terus?”
"Ini tidak bisa saya katakan. Barangkali kritik-kritik dari
Washington terlalu gencar. Dan Anda tahu bahwa
pemerintah di Tokyo ingin bersahabat dengan Amerika.
Mereka menekankan pada dunia bisnis, jangan melakukan
pembelian yang akan memancing kemarahan Amerika.
Rockefeller Center dan Universal Studios,
pembelian-pembelian itu menimbulkan kritik pedas. Kami
disuruh bersikap yojinbukai. Artinya..."
"Bijaksana."
"Berhati-hati. Ya. Waspada," Ia menatap Connor. "Anda
bisa berbahasa Jepang?"
"Sedikit."
Yoshida mengangguk. Sejenak ia seakan-akan
mempertimbangkan untuk beralih ke bahasa Jepang, tapi
kemudian ja membatalkan niatnya. "Kami ingin membina
hubungan baik," katanya. "Kritik yang ditujukan kepada
kami, kami anggap kritik itu tidak adil. Perusahaan
Darley-Higgins mengalami banyak masalah keuangan.
Mungkin karena manajemen yang buruk, mungkin karena
alasan lain. Saya tidak tahu. Tapi itu bukan kesalahan kami.
Bukan kami yang bertanggung jawab atas itu. Dan kami
tidak mengejar MicroCon. Kami memperoleh tawaran
Sekarang kami dicela karena ingin membantu." Ia
mendesah.
Di luar, sebuah pesawat besar lepas landas dari bandara.
Jendela-jendela bergetar.
Connor berkata, "Bagaimana dengan pihak-pihak lain
yang berminat pada MicroCon? Kapan mereka
mengundurkan diri?"
Mr. Yoshida mengerutkan kening. "Tidak ada peminat
lain. Perusahaan itu ditawarkan hanya kepada kami.
Darley-Higgins tidak ingin kesulitan keuangan mereka
diketahui umum. Jadi, kami bekerja sama dengan mereka.
Tapi sekarang... pihak pers banyak memutarbalikkan fakta
mengenai kami. Kami merasa sangat... kizutsuita. Sakit
hati?"
“Ya."
Ia mengangkat bahu. "Begitulah perasaan saya.
Moga-moga Anda memaklumi bahasa Inggris saya yang
buruk."
Semuanya terdiam. Selama satu menit berikutnya tak
ada yang angkat bicara. Connor duduk menghadapi
Yoshida. Aku duduk di samping Connor. Sekali lagi ada
pesawat yang lepas landas, dan jendela-jendela kembali
bergetar. Belum juga ada yang memecahkan keheningan.
Yoshida menarik napas panjang. Connor mengangguk. Yos-
hida bergeser di kursinya, melipat tangan di depan perut.
Connor mendesah, dan berdehem. Yoshida mendesah.
Kedua-duanya tampak sedang memusatkan pikiran.
Sesuatu tengah terjadi, tapi aku tidak tahu apa. Aku
menyimpulkan bahwa inilah komunikasi tanpa kata-kata
yang dimaksud Connor.
Akhirnya Yoshida berkata, "Kapten, saya ingin mencegah
salah paham. Akai Ceramics perusahaan terhormat. Kami
tidak terlibat dalam... komplikasi apa pun yang terjadi.
Kami berada dalam posisi sulit. Tapi saya akan membantu
Anda semampu saya."
Connor berkata, "Saya berterima kasih."
"Tidak apa-apa."
Kemudian Yoshida berdiri. Connor berdiri. Aku berdiri.
Kami semua membungkuk, dan setelah itu bersalaman.
"Saya harap Anda tidak segan-segan menghubungi saya,
bila ada yang dapat saya bantu."
"Terima kasih," ujar Connor.
Yoshida mengantar kami sampai ke pintu ruang
kerjanya. Kami membungkuk sekali lagi, dan ia
membukakan pintu.
Di luar berdiri pria Amerika berwajah segar, berusia
empat puluhan. Aku segera mengenalinya. Pria pirang yang
berada di mobil bersama Senator Rowe semalam. Pria yang
tidak memperkenalkan diri.
“Ah, Richmond-san," kata Yoshida. "Beruntung sekali
Anda ada di sini. Tuan-tuan ini mencari informasi mengenai
baisha MicroCon." Ia berpaling kepada kami. "Barangkali
Anda ingin bicara dengan Mr. Richmond. Bahasa
Inggris-nya jauh lebih baik dibandingkan saya. Dia bisa
memberikan lebih banyak detail yang mungkin ingin Anda
ketahui."

"Bob Richmond. Myers, Lawson, dan Richmond." Jabatan


tangannya mantap. Kulitnya kecoklat-coklatan akibat
matahari, dan sepertinya ia sering bermain tenis. Ia
tersenyum cerah. "Dunia memang kecil, bukan?"
Connor dan aku memperkenalkan diri. Aku berkata,
"Apakah Senator Rowe selamat sampai di hotelnya
semalam?"
“Oh, ya," jawab Richmond. "Terima kasih atas bantuan
Anda." Ia tersenyum. "Saya tidak mau membayangkan
perasaannya pagi ini. Tapi saya rasa ini bukan pertama
kali.” Ia berayun maju mundur, seperti pemain tenis yang
sedang bersiap-siap menerima servis. Ia tampak agak
cemas. "Terus terang, saya tak menyangka akan bertemu
Anda berdua di sini. Apakah ada sesuatu yang perlu saya
ketahui? Saya mewakili Akai dalam negosiasi MicroCon "
"Tidak ada," jawab Connor. "Kami hanya mencari
informasi latar belakang."
"Apakah ada hubungan dengan kejadian di Nakamoto
semalam?"
Connor berkata, "Tidak juga. Sekadar latar belakang
saja."
"Kalau Anda mau, kita bisa bicara di ruang rapat."
"Sayangnya," ujar Connor, "kami sudah terlambat untuk
janji lain. Tapi barangkali nanti."
"Boleh saja," kata Richmond. "Dengan senang hati. Satu
jam lagi saya sudah kembali ke kantor." Ia menyerahkan
kartu namanya.
"Baiklah," balas Connor.
Tapi Richmond masih tampak cemas. Ia menemani kami
ke lift. "Mr. Yoshida pengusaha gaya lama," ia menjelaskan.
"Saya percaya bahwa dia bersikap ramah. Tapi sebenarnya
dia marah sekali karena urusan MicroCon ini. Sekarang dia
dicecar oleh Akai Tokyo. Padahal ini bukan kesalahannya
Dia benar-benar dikerjai oleh Washington. Dia sudah
memperoleh jaminan bahwa takkan ada masalah dengan
penjualan itu, dan kemudian Morton menjegalnya."
Connor berkata, "Begitukah kejadiannya?"
Richmond mengangguk. "Saya tidak tahu kenapa Johnny
Morton begitu gencar menyerang kami. Kami telah
mengikuti prosedur permohonan izin. CFIUS tidak
menyatakan keberatan sampai lama setelah negosiasi
selesai. Kita tidak bisa menjalankan bisnis seperti ini. Saya
hanya bisa berharap agar Johnny menyadarinya, dan
mengakhiri kontroversi ini. Sebab sekarang ini masalahnya
sangat berbau rasial."
"Rasial? Masa?"
"Tentu. Persis seperti kasus Fairchild. Anda masih ingat?
Fujitsu ingin membeli Fairchild Semiconductor pada tahun
86, tapi Kongres mencegah penjualan itu dengan alasan
keamanan nasional. Pihak Kongres keberatan Fairchild
dijual kepada perusahaan asing. Beberapa tahun kemudian,
Fairchild hendak dijual kepada perusahaan Prancis, dan
kali ini Kongres diam saja. Rupanya tidak apa-apa menjual
kepada perusahaan asing-asal bukan perusahaan Jepang.
Menurut saya, ini prakiek rasialisme." Kami tiba di lift.
"Pokoknya, silakan hubungi saya. Saya akan menyediakan
waktu."
"Terima kasih," ujar Connor.
Kami masuk ke lift. Pintu menutup. "Dasar bajingan,"
kata Connor.

Bab 34

KAMI sedang mengarah ke utara, menuju pintu keluar


Wilshire, untuk menemui Senator Morton. Aku berkata,
"Kenapa Anda menyebutnya bajingan?”
"Bob Richmond bertugas sebagai asisten juru runding
perdagangan untuk Jepang di bawah Amanda Marden
sampai tahun lalu. Satu tahun kemudian, dia berbalik dan
mulai bekerja untuk orang-orang Jepang. Sekarang dia
dibayar 500.000 setahun, ditambah bonus untuk menutup
transaksi ini. Dan dia pantas dibayar setinggi itu, sebab dia
mengetahui segala sesuatu yang bisa diketahui."
"Apakah itu diperbolehkan oleh undang-undang?"
"Tentu. Itu sudah menjadi prosedur standar. Semua
orang berbuat begitu. Seandainya Richmond bekerja untuk
perusahaan high-tech seperti MIcroCon, dia wajib
menandatangani surat pernyataan bahwa dia takkan
bekerja untuk perusahaan saingan selama lima tahun.
Sebab tidak seharusnya kita membeberkan rahasia
perusahaan kepada para pesaing. Tapi pemerintah kita
punya aturan main yang lebih longgar."
"Kenapa Anda menyebutnya bajingan?"
"Masalah rasialisme itu," balas Connor. "Dia tahu itu
tidak benar. Richmond tahu persis apa yang terjadi dalam
penjualan Fairchild. Itu tidak ada hubungannya dengan
rasialisme."
"Tidak?"
"Dan ada satu hal lagi yang diketahui Richmond. Orang
Jepang orang paling rasialis di seluruh dunia."
"Masa?"
"Benar. Bahkan kalau diplomat-diplomat Jepang ...”
Telepon mobil berdering. Aku menekan tombol pengeras
suara. "Letnan Smith."
Lewat pengeras suara, seseorang berkata, "Oh, akhirnya.
Kemana saja kalian? Kalau begini caranya, kapan aku bisa
tidur?"
Aku mengenali suara itu: Fred Hoffmann. Petlugas piket
semalam.
Connor berkata, "Terima kasih kau mau menelepon
kami, Fred."
"Kalian ada perlu apa?"
"Ehm, aku masih penasaran," ujar Connor, "mengenai
telepon-telepon dari Nakamoto yang kauterima semalam."
"Kau dan semua orang di kota ini," balas Hoffmann. "Aku
diuber-uber separo Departemen gara-gara ini. Jim Olson
sampai berkemah di mejaku. Dia sibuk memeriksa semua
catatan. Padahal waktu itu semuanya cuma tugas rutin."
"Barangkali kau bisa mengulangi apa yang terjadi?"
"Tentu Mula-mula aku dihubungi Metro, mengenai
telepon yang pertama. Mereka kurang paham apa yang
dimaksud si penelepon, karena dia berlogat Asia dan
sepertinya sedang bingung. Atau di bawah pengaruh obat
bius. Dia terus bicara tentang 'mayat yang harus diurus'.
Kukirim mobil patroli ke sana, sekitar jam setengah
sembilan. Lalu, setelah pasti bahwa ada pembunuhan, ku-
tugaskan Tom Graham dan Roddy Merino - dan gara-gara
ini, aku dapat segala macam masalah."
"He-eh."
"Habis, bagaimana lagi. Aku sudah mengamati jadwal
tugas, dan memang mereka yang mendapat giliran berikut.
Kalian tahu, kami wajib memakai sistem rotasi untuk
penugasan detektif. Untuk mencegah kesan pilih kasih.
Perintah dari atas. Aku cuma menjalankannya."
"He-eh."
"Oke. Lalu Graham menelepon sekitar jam sembilan,
untuk melaporkan bahwa ada masalah di tempat kejadian.
Dia minta bantuan petugas penghubung dari Special
Services. Sekali lagi kupelajari jadwal tugas. Ternyata Pete
yang lagi standby. Kuberikan nomor telepon rumahnya
kepada Graham. Dan kurasa dia lalu meneleponmu, Pete."
"Ya," kataku. "Dia memang meneleponku."
"Oke," ujar Connor. "Apa yang terjadi sesudah itu?"
"Kira-kira dua menit setelah Graham menelepon,
mungkin jam sembilan lewat lima, aku terima telepon dari
seseorang berlogat kental. Seperti logat Asia, tapi aku tidak
pasti. Dan orang itu bilang bahwa atas nama Nakamoto, dia
minta agar Kapten Connor ditugaskan untuk menangani
kasus itu."
"Dia tidak menyebutkan namanya?"
"Tentu. Kupaksa dia. Dan aku sempat mencatat
namanya. Koichi Nishi."
"Dan dia bekerja di Nakamoto?"
"Itu yang dikatakannya," ujar Hoffmann. "Aku cuma
duduk di sana, menerima telepon, jadi mana kutahu. Nah,
tadi pagi Nakamoto menyampaikan protes resmi tentang
penugasan Connor dan mengaku bahwa mereka tidak
punya pegawai bernama Koichi Nishi. Menurut mereka,
semuanya itu hanya akal-akalan saja. Tapi percayalah, aku
ditelepon seseorang. Aku tidak mengada-ada."
"Aku percaya," kata Connor. "Kaubilang si penelepon
berlogat kental?"
“Yeah. Bahasa Inggrisnya cukup baik, tapi dengan logat
asing. Satu-satunya hal yang kuanggap aneh adalah bahwa
dia rupanya tahu banyak mengenaimu."
"Oh?"
"Yeah. Hal pertama yang dikatakannya padaku adalah
apakah aku tahu nomor teleponmu, ataukah dia perlu
menyebutkannya. Aku bilang bahwa aku tahu nomormu.
Dalam hati aku berkata, aku tidak butuh bantuan orang
Jepang untuk mendapatkan nomor telepon sesama anggota
kepolisian. Lalu dia bilang, 'Anda perlu tahu, Kapten Connor
tidak selalu mengangkat telepon. Sebaiknya Anda kirim
orang ke sana untuk menjemputnya."'
"Menarik," Connor berkomentar.
"Jadi kutelepon Pete Smith, dan minta agar dia ke
rumahmu untuk menjemputmu. Cuma itu yang kuketahui.
Ini semua pasti berkaitan dengan masalah politik di
Nakamoto. Aku tahu bahwa Graham kesal. Aku menduga
bahwa ada orang lain yang juga kesal. Dan semua orang
tahu bahwa Connor punya hubungan khusus dengan orang-
orang Jepang, jadi permintaan itu kusampaikan saja. Dan
sekarang aku yang menghadapi masalah. Aku benar-benar
tidak mengerti."
"Masalah apa?" tanya Connor.
"Kira-kira jam sebelas semalam, aku ditelepon
Komandan. Kenapa aku menugaskan Graham. Aku
memberitahunya kenapa. Tapi dia tetap marah-marah. Lalu
menjelang akhir shift, munkin sekitar jam lima pagi, timbul
pertanyaan bagaimana sampai Connor dilibatkan. Kapan,
dan kenapa. Dan sekarang ada artikel di Times, mengenai
rasialisme di dinas kepolisian. Aku tidak tahu ke mana
harus berpaling. Aku sudah capek menjelaskan bahwa aku
cuma mengikuti prosedur standar. Sesuai peraturan. Tak
ada yang percaya. Tapi itu memang benar."
"Aku percaya," kata Connor. "Satu hal lagi, Fred. Kau
sempat mendengar telepon pertama yang diterima oleh
Metro?"
"Yeah, tentu. Sejam lalu. Kenapa?"
"Apakah suara si penelepon mirip suara Mr. Nishi?"
Hoffmann tertawa. "Astaga. Mana kutahu, Kapten?
Mungkin. Kalau aku ditanya apakah suara orang Asia mirip
suara orang Asia yang kudengar sebelumnya, terus terang
aku tidak tahu. Suara si penelepon pertama bernada
gelisah. Barangkali karena bingung. Barangkali karena obat
bius. Aku tidak bisa memastikannya. Aku cuma tahu bahwa
siapa pun Mr. Nishi, dia tahu cukup banyak mengenaimu."
"Oke, informasi ini sangat membantu. Beristirahatlah
dulu." Connor mengucapkan terima kasih, dan aku
memutuskan hubungan. Aku keluar dari freeway dan
menyusuri Wilshire, untuk pertemuan kami dengan
Senator Morton.

Bab 35

"OKE, Senator, tolong lihat ke sini... sedikit lagi... ya,


tahan, sangat kuat, sangat jantan, saya suka sekali. Ya,
bagus sekali. Sekarang saya butuh tiga menit lagi." Si
sutradara, seorang pria tegang dengan jaket penerbang dan
topi baseball, menjauhi kamera dan menyerukan
perintah-perintah. Lafalnya berlogat Inggris. "Jerry, bawa
penghalang matahari ke sini. Cahayanya terlalu terang. Dan
tolong tangani matanya. Tambahkan sedikit cahaya ke
matanya. Ellen? Kaulihat pantulan di pundaknya itu?
Hilangkan. Rapikan kerahnya. Mikrofon di dasinya
kelihatan. Dan warna kelabu di rambutnya kurang
mencolok. Tambahkan sedikit. Dan tarik karpet di lantai,
supaya dia jangan tersandung waktu jalan nanti. Ayo,
semuanya, cepat sedikit. Kita bisa kehilangan cahaya yang
indah ini."
Connor dan aku berdiri di pinggir, bersama asisten
produksi yang cantik bernama Debbie, yang membawa
papan catatan dan berkata dengan bangga, "Sutradara itu
Edgar Lynn."
"Siapa itu?" tanya Connor.
"Dia sutradara iklan paling mahal dan paling dicari di
dunia. Dia seniman luar biasa. Edgar membuat iklan Apple
tahun 1984 yang fantastis, dan... oh, masih banyak lagi. Dan
dia juga menyutradarai film-film terkenal. Edgar sutradara
terbaik." Ia terdiam sejenak. "Dan tidak terlalu sintling.
Sungguh."
Di seberang kamera, Senator Morton berdiri dengan
sabar sementara empat orang mengotak-atik dasi, jas,
rambut, serta rias wajahnya. Morton mengenakan setelan
jas. Ia berdiri di bawah pohon, dengan lapangan golf yang
berbukit-bukit dan gedung-gedung pencakar langit Beverly
Hills di latar belakang. Kru produksi telah menggelar
sepotong karpet, tempat ia akan berjalan menuju kamera.
Aku berkata, "Dan bagaimana Senator Morton?"
Debbie mengangguk. "Lumayan. Kelihatannya dia punya
peluang."
Connor berkata, "Maksud Anda, untuk memenangkan
pemilihan presiden?"
"Yeah. Terutama kalau Edgar mengerahkan seluruh
kemampuannya. Senator Morton bukan Mel Gibson, Anda
tahu maksud saya, bukan? Hidungnya besar, rambutnya
sudah menipis, dan dia punya masalah dengan bintik-bintik
di wajahnya, karena kelihatan jelas di kamera. Bintik-bintik
itu mengalihkan perhatian pemirsa dari matanya. Padahal
mata merupakan senjata utama untuk menjual seorang
calon."
“Mata," Connor mengulangi.
"Oh, ya. Orang dipilih berkat matanya." Debbie
mengangkat bahu, seakan-akan hal itu diketahui semua
orang. "Tapi jika Senator Morton mempercayakan
kampanye TV-nya kepada Edgar... Edgar seniman hebat. Dia
bisa mengusahakannya."
Edgar Lynn berjalan melewati kami, berdua dengan juru
kamera. "Ya ampun, bereskan daerah di bawah matanya,"
ujar Lynn. "Dan tonjolkan dagunya. Tambahkan makeup
agar dagunya kelihatan lebih tegas. "
Si asisten produksi berpamitan, dan kami menunggu
sambil menonton. Senator Morton masih berdiri agak jauh
dari kami. Ia sedang ditangani oleh para juru rias dan
penata busana.
"Mr. Connor? Mr. Smith?" Aku berbalik. Seorang pria
muda dengan jas biru bermotif garis-garis berdiri di
samping kami. Ia tampak seperti anggota staf Senat:
berpendidikan, penuh perhatian, sopan. "Saya Bob
Woodson. Dari kantor Senator Morton. Terima kasih atas
kedatangan Anda."
"Sama-sama," ujar Connor.
"Saya tahu bahwa Senator Morton ingin sekali bicara
dengan Anda," kata Woodson. "Tapi saya minta maaf,
kelihatannya kami agak terlambat dari jadwal. Seharusnya
pengambilan gambar sudah selesai pukul satu." Ia melirik
jam tangannya. "Mungkin masih makan waktu agak lama.
Tapi saya tahu Senator Morton ingin bicara dengan Anda."
Connor berkata, "Anda tahu mengenai apa?"
Seseorang berseru, "Tes! Tes suara dan kamera.
Semuanya harap tenang!"
Kerumunan orang di sekeliling Senator Morto bubar, dan
perhatian Woodson beralih ke kamera.
Edgar Lynn kembali mengintip melalui kamera. "Warna
kelabunya tetap kurang menonjol. Ellen Tambahkan warna
kelabu ke rambutnya. Masih kurang kelihatan."
Woodson berkata, "Mudah,mudahan dia tidak kelihatan
tua nanti."
Debbie, si asisten produksi, menjelaskan, "Ini hanya
untuk pengambilan gambar. Warna kelabunya kurang
kelihatan lewat kamera, jadi kami tambahkan sedikit. Lihat.
Ellen hanya menambahkan warna kelabu di sekitar pelipis.
Senator Morton akan tampak lebih berwibawa.”
"Saya tidak mau dia tampak tua. Terutama kalfau lagi
lelah, dia kadang-kadang tampak tua."
"Jangan khawatir," ujar si asisten.
“Oke," kata Lynn. "Cukup sekian. Senator? Bagaimana
kalau kita melakukan uji coba sekarang?"
Senator Morton bertanya, "Dari mana saya harus
mulai'?"
"Naskah?"
Petugas naskah menjawab, "Anda tentu sependapat
dengan saya..."
Morton berkata, "Kalau begitu, bagian pertama sudah
selesai?"
"Sudah," ujar Lynn. "Kita mulai dari sini: Anda berpaling
ke arah kamera, tatapan Anda lurus ke arah kamera,
mantap, jantan. Lalu Anda berkata, 'Anda tentu sependapat
dengan saya.' Oke?"
"Oke," kata Morton.
"Ingat. Jantan. Mantap. Memegang kendali."
Morton bertanya, "Apakah bisa direkam?"
"Lynn bakal marah-marah," bisik Woodson.
Edgar Lynn berkata, "Oke. Kamera, siap! Kita mulai."

Senator Morton berjalan ke arah kamera. "Anda tentu


sependapat dengan saya," katanya, "bahwa erosi posisi
nasional dalam tahun-tahun terakhir ini telah mencapai
tingkat yang memprihatinkan. Amerika masih merupakan
kekuatan militer nomor satu, tetapi keamanan kita
tergantung pada kemampuan membela diri secara militer
dan ekonomi. Dan justru dari segi ekonomi, Amerika kini
telah tertinggal. Seberapa jauh? Well, selama dua masa
pemerintahan terakhir, posisi Amerika telah merosot dari
negara pemberi kredit terbesar menjadi negara pengutang
terbesar di dunia. Industri kita tertinggal jauh. Tingkat
pendidikan para pekerja kita lebih rendah dibandingkan
dengan para pekerja di negara-negara lain. Para penanam
modal kita menginginkan laba jangka pendek, dan mereka
menghancurkan kemampuan industri kita untuk menyusun
rencana jangka panjang. Akibatnya taraf hidup kita
menurun dengan cepat. Masa depan anak-anak kita tampak
suram."
Connor bergumam, "Akhirnya ada juga yang mau
mengakuinya."
"Dan di tengah krisis nasional ini," Morton melanjutkan,
"banyak warga Amerika mulai menyadari ancaman lain.
Seiring dengan semakin berkurangnya kekuatan ekonomi
kita, kita menjadi sasaran invasi model baru. Banyak warga
Amerika cemas bahwa kita akan menjadi koloni ekonomi
Jepang, atau Eropa. Tapi terutama Jepang. Banyak warga
Amerika berpendapat bahwa orang Jepang mengambil alih
industri, lahan rekreasi, bahkan kota-kota kita." Ia
menunjuk ke lapangan golf dengan gedung-gedung
pencakar langit di latar belakang.
"Akibat praktek ini, banyak warga khawatir bahwa
Jepang kini memiliki kemampuan untuk membentuk serta
menentukan masa depan Amerika. “
Morton berhenti sejenak di bawah pohon. Ia memberi
kesan seolah-olah sedang berpikir.
"Berdasarkah kekhawatiran akan masa depan Amerika
ini? Haruskah kita merasa prihatin? Sementara pihak
berkilah bahwa penanaman modal asing merupakan
berkah yang membantu kita. Pihak-pihak lain mengambil
sikap berlawanan, dan merasa bahwa kita sedang menjual
hak asasi yang sangat berharga. Pandangan mana yang
benar? Pandangan mana yang harus... yang sebaiknya...
yang... oh, sialan! Bagaimana kelanjutannya?" .
"Cut, cut!" seru Edgar Lynn. "Istirahat dulu, semuanya.
Saya perlu membereskan beberapa hal. Setelah itu kita
mulai dengan pengambilan gambar sesungguhnya. Bagus
sekali, Senator. Saya suka sekali."
Si petugas naskah berkata, "'Pandangan mana yang
harus kita yakini demi masa depan Amerika,' Senator."
Senator Morton mengulangi, "Pandangan mana yang
harus kita yakini demi masa depan..." Ia menggelengkan
kepala. "Pantas saja saya tidak b isa mengingatnya. Baris itu
diubah saja. Margie? Tolong ubah baris itu. Ah, sudahlah.
Tolong ambilkan naskah. Biar saya saja yang
mengubahnya."
Dan ia kembali dikerumuni para juru rias dan penata
busana.
Woodson berkata, “Tunggu di sini, barangkali dia bisa
meluangkan beberapa menit untuk Anda."

Kami berdiri di samping trailer generator yang


berdengung-dengung. Begitu Morton menghampiri kami,
dua pembantunya mengejarnya sambil menyodorkan
printout komputer yang tebal. "John, ini ada yang perlu
dipelajari."
"John, ada baiknya kalau kau memperhatikan
angka-angka ini."
Morton berkata, "Apa itu?"
"John, ini hasil pengumpulan pendapat Gallup dan
Fielding yang terakhir." "John, ini analisis referensi silang
berdasarkan kelompok umur pemilih."
"Lantas?"
"Kesimpulannya, Presiden benar."
"Aku tidak mau dengar itu. Aku mencalonkan diri untuk
menantang dia."
"Tapi, John, dia benar mengenai kata-K itu. Kau tidak
bisa mengucapkan kata-K dalam iklan televisi."
"Aku tidak bisa bilang 'konservasi'?"
"Jangan, John."
"Jangan cari perkara
"Angka-angka ini membuktikannya."
"Kau ingin melihat angka-angkanya?"
"Tidak," ujar Morton. Ia melirik kepada Connor dan aku.
"Sebentar," katanya sambil tersenyum.
"Coba perhatikan ini duiu, John."
"Semuanya sudah jelas, John. Konservasi berarti
kemerosotan gaya hidup. Sekarang saja orang-orang sudah
mengalami kemerosotan. Mereka tidak menginginkannya."
"Tapi itu salah," kata Morton. "Bukan begitu duduk
perkaranya."
"John, itulah yang ada dalam pikiran para pemilih."
"Tapi mereka keliru."
"John, kalau kau berniat menggurui, silakan."
"Ya, aku berniat mendidik mereka. Konservasi tidak
sama dengan kemerosotan gaya hidup. Konservasi berarti
peningkatan kesejahteraan, kekuasa an, dan kebebasan.
Intinya, kita mencapai hasil yang lebih besar dengan modal
yang lebih kecil. Kita tetap melakukan hal-hal yang kita
lakukan sekarang - menghangatkan rumah, mengemudi
kendaraan - dengan menggunakan lebih sedikit bahan
bakar minyak. Kita butuh alat-alat pemanas yang lebih
efisien di rumah-rumah kita, dan mobil-mobil yang lebih
efisien di jalanan. Kita butuh udara yang lebih bersih,
kesehatan yang lebih baik. Dan kita bisa berhasil.
Negara-negara lain telah melakukannya. Jepang telah
melakukannya."
"John, yang benar saja."
"Jangan sebut-sebut Jepang."
"Dalam dua puluh tahun terakhir," kata Morton, "Jepang
telah memotong biaya energi untuk barang-barang jadi
sebanyak enam puluh persen. Jepang kini sanggup
membuat barang-barang dengan biaya lebih rendah
dibandingkan kita, karena Jepang telah mengarahkan
penanaman modal untuk pengembangan teknologi hemat
energi. Konservasi meningkatkan daya saing. Dan kalau kita
tidak mampu bersaing..."
"Bagus, John. Konservasi dan statist. Benar-benar
menjemukan."
"Tak ada yang peduli, John."
"Para warga Amerika peduli," balas Morton.
"John, mereka sama sekali tidak peduli."
"Dan mereka takkan mendengarkanmu. Begini, John.
Coba perhatikan pendapat rata-rata untuk berbagai
kelompok umur ini, terutama untuk kelompok di atas 55
tahun, yang merupakan kelompok pemilih yang paling
berpengaruh. Semuanya sependapat: mereka tidak
menginginkan pengurangan. Mereka tidak menginginkan
konservasi. Orang-orang Amerika berusia lanjut tidak
menginginkannya."
"Tapi orang-orang itu punya anak dan cucu. Mereka
pasti peduli pada masa depan."
"Mereka tidak peduli sedikit pun, John. Lihat ini, hitam
atas putih. Mereka beranggapan bahwa anak-anak mereka
tidak peduli pada mereka, dan mereka benar. Jadi mereka
juga tidak peduli pada anak-anak mereka. Sederhana saja."
"Tapi tentunya anak-anak itu..."
"Anak-anak tidak ikut memilih, John."
"Percayalah, John. Ikuti saran kami."
“Jangan singgung isu konservasi. Daya saing, oke.
Menatap masa depan, oke. Menghadapi masalah, oke.
Semangat baru, oke. Tapi jangan bawa-bawa konservasi.
Perhatikan saja angka-angka ini. Jangan lakukan itu."
Morton berkata, "Nanti kupertimbangkan lagi."
Kedua pembantunya rupanya menyadari bahwa mereka
takkan berhasil meyakinkan Morton. Mereka langsung
menutup laporan-laporan yang mereka bawa.
"Apa Margie perlu ke sini untuk menyesuaikan naskah?"
"Tidak. Biar kupikirkan dulu."
"Barangkali Margie bisa menyusun beberapa baris.”
Tidak."
"Oke, John. Oke."
"Suatu hari," Morton berkata kepada kami, "politisi
Amerika akan mengatakan apa yang dianggapnya benar,
bukan apa yang disarankan oleh pengumpulan pendapat.
Dan dia akan tampil sebagai pendobrak."
Kedua pembantu tadi kembali lagi. "Ayo, John. Kau pasti
lelah."
"Perjalanannya panjang. Kami mengerti."
"John. Percayalah pada kami, angka-angkanya sudah ada
di tangan kami. Kami bisa membaca perasaan para pemilih
dengan tingkat kepastian sebesar 95 persen."
"Aku tahu perasaan mereka. Mereka merasa frustrasi.
Dan aku tahu kenapa. Sudah lima betas tahun mereka tidak
mempunyai pemimpin."
"John. Kita sudah pernah membahas ini. Kita berada di
abad kedua puluh. Kepemimpinan adalah kemampuan
untuk berbicara sesuai dengan keinginan rakyat."
Mereka pergi.
Seketika Woodson mendekat, membawa handphone. Ia
baru hendak membuka mulut, tetapi Morton keburu
mengangkat tangan. "Jangan sekarang, Bob."
"Senator, saya pikir Anda perlu menjawab..."
“Jangan sekarang."
Woodson mundur. Morton melirik jam tangannya. "Anda
Mr. Connor dan Mr. Smith?"
"Ya," ujar Connor.
I'Mari kita jalan-jalan," kata Morton. Ia mulai menjauhi
rombongan film, menuju bukit di samping lapangan golf.
Hari itu hari Jumat. Hanya segelintir orang sedang bermain.
Kami berdiri sekitar lima puluh meter dari lokasi
pengambilan gambar.
"Saya minta Anda datang," kata Morton, "karena saya
tahu bahwa Anda menangani masalah Nakamoto itu."
Aku baru hendak memprotes bahwa itu tidak benar,
bahwa Graham yang ditugaskan, tetapi Connor keburu
angkat bicara, "Betul, kami yang menanganinya."
"Saya punya beberapa pertanyaan menyangkut kasus
itu. Anda sudah berhasil memecahkannya?"
"Kelihatannya begitu."
"Penyelidikan Anda sudah selesai?"
"Secara praktis, ya," jawab Connor. "Penyelidikan sudah
selesai."
Morton mengangguk. "Saya diberitahu bahwa Anda
berdua memiliki pengetahuan khusus mengenai
masyarakat Jepang. Benar itu? Salah satu dari Anda pernah
tinggal di Jepang?"
Connor membungkuk sedikit.
"Anda yang bermain golf dengan Hanada dan Asaka pagi
ini?” tanya Morton.
"Informasi Anda cukup lengkap."
"Saya sempat bicara dengan Mr. Hanada tadi. Sebelum
ini, kami sudah pernah berhubungan unluk urusan lain."
Morton mendadak berbalik dan berkata, "Pertanyaan saya,
apakah masalah Nakamoto ini berkaitan dengan
MicroCon?"
"Bagaimana maksud Anda?" ujar Connor.
"Masalah penjualan MicroCon kepada orang Jepang telah
diajukan ke hadapan Komite Keuangan Senat yang diketuai
oleh saya. Kami diminta memberi rekomendasi oleh staf
Komite Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang nantinya
harus mengesahkan penjualan tersebut. Anda tentu tahu,
penjualan MicroCon telah menimbulkan kontroversi. Di
masa lalu, saya secara terbuka menentang rencana itu.
Karena berbagai alasan. Anda mengetahui
permasalahannya?"
"Ya," jawab Connor.
"Sampai sekarang pun saya masih keberatan. Teknologi
canggih yang dikembangkan MicroCon antara lain dibiayai
dengan dana yang berasal dari para wajib pajak Amerika.
Saya keberatan bahwa para wajib pajak membayar untuk
riset yang akhirnya dijual kepada orang Jepang - yang
kemudian akan memanfaatkannya untuk menyaingi
perusahaan-perusahaan kita sendiri. Saya berpendapat
bahwa kita harus melindungi kapasitas Amerika dalam
bidang high-tech. Saya berpendapat bahwa kita harus
melindungi sumber daya intelektual yang kita miliki. Saya
berpendapat bahwa kita harus membatasi penanam modal
asing ke dalam perusahaan-perusahaan dan
universitas-universitas kita. Tapi rupanya hanya saya
sendiri yang berpendapat demikian. Saya tidak memperokh
dukungan, baik di Senat maupun di kalangan industri.
Pihak perdagangan juga tidak mau membantu saya. Mereka
tahu bahwa itu akan mengganggu negosiasi beras. Beras.
Bahkan Pentagon pun menentang saya dalam urusan ini.
Dan saya sekadar ingin tahu, mengingat Nakamoto
merupakan perusahaan induk Akai Ceramics, apakah
kejadian semalam berhubungan dengan rencana penjualan
itu."
Ia terdiam dan menatap kami dengan tajam. Sepertinya
ia berharap kami mengetahui sesuatu.
Connor berkata, "Setahu saya tidak ada hubungan
apa-apa."
"Apakah Nakamoto melakukan tindakan curang atau
tidak pantas untuk mensukseskan penjualan itu?”
"Setahu saya tidak."
"Dan penyidikan Anda telah ditutup secara resmi?”
"Ya. "
"Saya ingin menjernihkan permasalahannya. Sebab bila
saya menarik keberatan saya atas penjualan ini, saya tidak
ingin kena getahnya di kemudian hari. Orang mungkin saja
berdalih bahwa pesta di Nakamoto merupakan usaha untuk
membujuk para penentang rencana itu. Perubahan posisi
seperti ini kadang-kadang merisaukan. Gara-gara hal
seperti ini, kita bisa naik daun atau malah tenggelam di
Kongres."
Connor berkata, "Anda hendak menarik keberatan Anda
atas penjualan itu?"
"Hmm." Morton mengangkat bahu. "Saya berjuang
seorang diri. Tak ada yang mendukung sikap saya
mengenai MicroCon. Secara pribadi, saya kira ini ulangan
kasus Fairchild. Tapi kalau pertempuran tak dapat
dimenangkan, lebih baik jangan bertempur. Lagi pula masih
banyak pertempuran lain." Ia menegakkan badan,
merapikan jas.
"Senator? Kalau Anda sudah siap, kita mulai saja. Mereka
cemas mengenai cahayanya."
"Mereka cemas mengenai cahayanya," ujar Morton
sambil geleng-geleng.
"Kami tak ingin menyita waktu Anda lebih banyak," kata
Connor.
"Pokoknya," Morton berkata, "saya memang
membutuhkan masukan dari Anda. Jadi, menurut Anda,
kejadian semalam tidak berkaitan dengan MicroCon.
Orang-orang yang terlibat juga tidak mempunyai hubungan
apa pun. Jangan sampai bulan depan saya membaca bahwa
seseorang kasak-kusuk di belakang layar, untuk
mensukseskan atau menghalangi penjualan tersebut.
Takkan ada hal seperti itu."
"Setahu saya, tidak," jawab Connor.
"Gentlemen, terima kasih atas kedatangan Anda," kata
Morton. Ia bersalaman dengan kami, lalu menuju lokasi
pengambilan gambar. Kemudian ia berbalik sekali lagi.
"Saya akan berterima kasih sekali jika Anda menangani
urusan ini secara rahasia. Sebab, Anda tahu sendiri, kita
harus waspada. Kita sedang berperang melawan Jepang." Ia
tersenyum dengan masam. "Loose lips sink ships."
"Ya," kata Connor. "Dan ingat Pearl Harbor."
"Astaga, itu juga." Ia menggelengkan kepala, lalu
merendahkan suara dan berkata, "Anda tahu, beberapa
rekan saya berpendapat bahwa cepat atau lambat kita
harus menjatuhkan bom lagi." Ia tersenyum. "Tapi saya
tidak sepaham dengan mereka. Biasanya."
Sambil tetap tersenyum, ia menuju ke arah rombongan
film. Orang-orang kembali berkerumun di sekelilingnya.
Mula-mula seorang wanita yang membawa perubahan
naskah, lalu seorang penata busana, lalu seorang pria yang
mengotak-atik mikrofon serta tempat baterai di
pinggangnya, lalu juru rias, sampai akhirnya Senator
Morton menghilang dari pandangan, dan yang terlihat
hanyalah sekelompok orang yang berjalan melintasi
rumput.

Bab 36

AKU berkata, "Saya suka orang itu."


Kami sedang meluncur kembali ke Hollywood. Semua
gedung terselubung asap dan kabut.
"Tentu saia Anda suka dia," ujar Connor. "Dia politisi.
Tugasnya memang membuat Anda suka padanya."
"Kalau begitu, dia berhasil."
"Sangat berhasil."
Sambil membisu Connor menatap keluar jendela. Aku
mendapat kesan bahwa ada sesuatu yang mengganggunya.
Aku berkata, "Anda tidak setuju dengan apa yang
dikatakannya dalam iklan TV tadi? Kedengarannya sama
seperti ucapan-ucapan Anda."
"Ya. Memang."
"Lalu, apa masalahnya?"
"Tidak ada," Ujar Connor. "Saya hanya memikirkan apa
sesungguhnya yang dikatakannya."
"Dia menyinggung Fairchild."
"Tentu saja," kata Connor. "Morton tahu persis apa yang
terjadi dengan Fairchild."
Aku baru hendak bertanya, tapi Connor sudah mulai
menceritakannya.
"Anda pernah mendengar nama Seymour Cray? Selama
bertahun-tahun dia perancang komputer super terbaik di
seluruh dunia. Cray Research menciptakan komputer
tercepat di dunia. Orang Jepang berusaha mengejar
ketinggalan mereka, tapi sia-sia. Cray terlalu gemilang. Tapi
pada pertengahan delapan puluhan, praktek dumping yang
dilakukan orang Jepang dalam bidang chips telah
menyebabkan sebagian besar pemasok Cray di dalam
negeri gulung tikar. Cray terpaksa memesan chips dengan
desain khusus dari perusahaan-perusahaan Jepang. Tak
seorang pun di Amerika sanggup membuatnya. Dan
kemudian para pemasok Jepang itu mengalami
penundaan-penundaan misterius. Pada suatu ketika,
mereka memerlukan satu tahun untuk menyerahkan chips
tertentu yang dipesan oleh Cray - dan selama itu, para
pesaingnya di Jepang mengalami kemajuan pesat. Timbul
pertanyaan, apakah mereka mencuri teknologinya yang
baru. Cray marah sekali. Dia sadar bahwa mereka
mempermainkannya. Dia memutusk.m bahwa dia harus
membentuk persekutuan dengan pabrik Amerika, dan
karena itu dia memilih Fairchild Semiconductor, walaupun
perusahaan tersebut lemah dari segi keuangan. Tapi Cray
tidak lagi bisa mempercayai orang Jepang. Dia terpaksa
bekerja sama dengan Fairchild. Jadi, sejak saat itu Fairchild
membuat chips khusus generasi berikut untuknya, dan
kemudian dia mendapat kabar bahwa Fairchild akan dijual
kepada Fujitsu. Saingannya yang paling besar. Keprihatinan
mengenai situasi seperti inilah, serta implikasinya terhadap
keamanan nasional, yang mendorong Kongres untuk
mencegah penjualan tersebut.
"Dan kemudian?"
"Larangan terhadap penjualan itu tetap tidak mengatasi
masalah keuangan yang menimpa Fairchild. Perusahaan itu
tetap mengalami kesulitan. Tidak ada jalan keluar selain
menjualnya. Menurut desas-desus, Fairchild akan dibeli
oleh Bull, sebuah perusahaan Prancis yang tidak bergerak
dalam bidang komputer super. Rencana itu mungkin saja
disetujui oleh Kongres. Tapi akhirnya Fairchild dibeli oleh
perusahaan Amerika lain."
"Dan MicroCon merupakan ulangan kasus Fairchild?"
"Ya, dalam arti bahwa dengan membeli MicroCon, orang
Jepang akan memegang monopoli atas mesin-mesin
pembuat chips. Begitu mereka memegang monopoli,
mereka bisa menghentikan pengiriman kepada
perusahaan-perusahaan Amerika. Tapi sekarang saya
berpendapat..."
Ketika itulah pesawat telepon berdering.
Ternyata Lauren. Bekas istriku.

"Peter?"
Aku berkata, "Halo, Lauren."
"Peter, aku menelepon untuk memberitahumu bahwa
aku akan menjemput Michelle lebih cepat hari ini."
Suaranya bernama tegang, formal.
"O, ya? Aku tidak tahu bahwa kau mau menjemputnya."
"Aku tidak pernah bilang begitu, Peter," ia menyahut
cepat-cepat. "Tentu saja aku akan menjemputnya."
Aku berkata, "Oke, baiklah. Ngomong-ngomong, siapa itu
Rick?"
Ia terdiam sejenak. "Kau keterlaluan, Peter."
"Kenapa?" kataku. "Aku cuma ingin tahu. Michelle
menyinggungnya tadi pagi. Dia bilang Rick punya Mercedes
hitam. Pacarmu yang baru?"
"Peter. Masalahnya berbeda."
Aku berkata, "Berbeda dengan apa?"
"Jangan main-main," ujar Lauren. "Ini sudah cukup sulit
bagiku. Aku menelepon untuk memberitahumu bahwa aku
akan menjemput Michelle lebih cepat hari ini, karena aku
akan membawanya ke dokter."
"Kenapa? Dia sudah sembuh dari pilek."
"Aku membawanya untuk pemeriksaan, Peter."
"Untuk apa?"
"Pemeriksaan."
"Aku tidak tuli," balasku, "tapi...”
"Dokter yang akan memeriksanya bernama Robert
Strauss. Kata orang, dia paling ahli dalam bidangnya. Aku
sudah tanya pada orang-orang di kantor, siapa yang
sebaiknya kuhubungi. Aku tidak tahu bagaimana hasilnya
nanti, Peter, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku prihatin,
terutama mengingat masa lalumu "
“Lauren, apa maksudmu?"
"Penganiayaan," katanya. "Penganiayaan seksual
terhadap anak-anak."
"Apa?"
"Tak ada jalan lain. Kau tahu bahwa kau pernah
dituduh."
Aku mulai mual. Setiap perkawinan yang gagal selalu
meninggalkan sisa-sisa kebencian, kantong-kantong
kegetiran dan amarah, serta banyak hal pribadi yang kita
ketahui mengenai orang yang satu lagi, yang dapat
digunakan sebagai senjata terhadapnya, jika kita memilih
untuk berbuat demikian. Lauren belum pernah
melakukannya.
"Lauren, kau tahu bahwa tuduhan itu terbukti tak
berdasar. Kau tahu semuanya. Kita sudah menikah waktu
itu."
"Aku hanya tahu yang kauceritakan padaku."
Sepertinya ia sengaja menjaga jarak. Suaranya bernada
moralistik, sedikit sarkastik. Suara sang penuntut umum.
"Lauren, demi Tuhan. Ini benar-benar konyol. Ada apa
sebenarnya?"
"Ini sama sekali tidak konyol. Aku punya tanggung jawab
sebagai ibu."
"Hmm, selama ini kau tidak pernah memikirkan
tanggung jawabmu sebagai itu. Dan sekarang kau ...”
"Memang benar, karierku banyak menyita waktu,,"
katanya dengan nada dingin, "tapi tak pernah ada keraguan
bahwa yang paling penting adalah anakku. Dan aku sangat
sangat menyesal jika tingkah lakuku di masa lalu ikut
mendorong terciptanya situasi yang tidak menyenangkan
ini." Aku mendapat kesan bahwa ia tidak berbicara padaku.
Ia sedang berlatih. Menggunakan kata-kata untuk
mengetahui bagaimana pengaruhnya di hadapan hakim.
"Tentunya, Peter, jika terdapat bukti mengenai
penganiayaan, Michelle tidak bisa tinggal bersamamu lagi.
Atau bahkan menemuimu.”
Dadaku serasa ditusuk.
"Apa maksudmu? Siapa yang memberitahumu bahwa
ada penganiayaan?"
"Peter, kurasa tidak sepatutnya aku berkomentar pada
saat ini."
"Apakah Wilhelm? Siapa yang meneleponmu, Lauren?"
"Peter, tak ada gunanya kita melanjutkan pembicaraan
ini. Aku secara resmi memberitahumu bahwa aku akan
menjemput Michelle pukul empat. Kuminta dia sudah siap
jam empat sore nanti.”
"Lauren..."
"Aku telah minta sekretarisku, Miss Wilson, agar ikut
mendengarkan pembicaraan kita dan membuat catatan
steno. Aku menyampaikan pemberitahuan resmi mengenai
niatku untuk menjemput putriku untuk pemeriksaan fisik.
Ada pertanyaan mengenai keputusanku ini?"
"Tidak."
"Kalau begitu, jam empat. Terima kasih atas kerja
samamu. Dan sebagai catatan pribadi, Peter, aku sungguh
menyesal bahwa ini harus terjadi."
Dan dengan itu ia meletakkan gagang.

Aku pernah terlibat dalam kasus penganiayaan seksual


ketika aku masih bertugas sebagai detektif.
Aku tahu permasalahannya. Pada umumnya,
pemeriksaan fisik tidak mengungkapkan apa-apa. Hasilnya
selalu meragukan. Jika seorang anak dihadapkan pada
psikolog yang memberondongnya dengan pertanyaan, anak
itu akhirnya akan memberikan jawaban yang menurutnya
sesuai dengan apa yang diharapkan. Si psikolog wajib
membuat rekaman video untuk membuktikan bahwa per-
tanyaannya tidak mengarah. Namun situasinya hampir
selalu tetap tidak jelas pada waktu diajukan ke meja hijau.
Karena itu, hakim terpaksa mengambil keputusan secara
hati-hati. Artinya, jika ada kemungkinan bahwa telah
terjadi penganiayaan, anak yang bersangkutan harus
dipisahkan dari orangtua yang dituduh. Atau paling tidak,
tidak diberi izin berkunjung tanpa pengawasan. Tidak
boleh menginap. Atau bahkan tidak...
"Cukup," ujar Connor, yang duduk di sampingku di
dalam mobil. "Sudah waktunya Anda kembali ke dunia
nyata."
"Sori," kataku. "Tapi masalahnya sangat mengganggu."
"Saya percaya. Sekarang, apa yang belum Anda ceritakan
pada saya?"
"Mengenai apa?"
"Tuduhan penganiayaan itu."
"Tidak ada. Tidak ada apa-apa.
"Kohai," ia berkata dengan tenang. "Saya tidak bisa
membantu Anda jika Anda tidak mau berterus terang."
"Saya tidak pernah terlibat penganiayatan seksual,"
kataku. "Bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah uang."
Connor tidak menanggapinya. Ia hanya menunggu.
Menatapku.
"Ah, persetan," kataku.
Lalu aku membeberkan semuanya

Ada saat-saat dalam hidup kita, ketika kita merasa yakin


bahwa kita tahu apa yang kita lakukan. Tapi kemudian, jika
kita pikirkan kembali, kita sadar bahwa tindakan kita sama
sekali tidak benar. Anda terbentur pada suatu masalah, dan
mengambil langkah yang keliru. Tapi pada saat itu Anda
yakin bahwa semuanya beres.
Masalahku adalah, aku sedang jatuh cinta. Lauren
termasuk gadis yang bersikap ningrat, langsing, dan
anggun. Sepertinya ia dibesarkan dalam lingkungan elite. Ia
lebih muda dariku, dan cantik.
Sejak pertama aku sudah tahu bahwa hubungan kami
takkan langgeng, tapi aku tetap berusaha
mempertahankannya. Kami menikah dan tinggal
bersama-sama, dan ia mulai merasa tidak puas. Tidak puas
dengan apartemenku, dengan lokasinya, dengan uang yang
kami miliki. Semuanya. Dan ia terus diganggu mual-mual
dan muntah, yang tidak membantu memperbaiki keadaan.
Ia menyimpan crackers di mobil, di samping tempat tidur,
di mana-mana. Ia begitu menderita dan tidak hahagia,
sehingga aku berusaha menghiburnya dengan hal-hal kecil.
Membelikan hadiah. Membawa oleh-oleh. Memasak.
Melakukan pekerjaan rumah tangga yang ringan. Biasanya
aku tidak begitu, tapi aku sedang jatuh cinta. Aku mulai
terbiasa melakukan hal-hal untuk menyenangkan hati
Lauren.
Lalu masih ada tekanan yang tak reda-reda. Ini harus
lebih banyak, itu harus lebih banyak. Lebih banyak uang.
Lebih banyak, lebih banyak.
Kami juga menghadapi masalah khusus. Polis asuransi
kesehatan Lauren sebagai pegawai kejaksaan tidak
mencakup kehamilannya, sama seperti polis asuransiku.
Pada waktu menikah, kami tidak sempat mengurus polis
yang mencakup bayi kami. Biaya untuk si Kecil mencapai
delapan ribu dolar, dan kami harus mendapatkannya. Kami
sama-sama tidak mempunyai uang. Ayah Lauren dokter di
Virginia, tetapi Lauren tidak ingin meminjam uang dari
ayahnya, yang sejak semula tidak menyetujui hubungan
kami. Keluargaku tidak mempunyai uang. Nah. Tidak ada
uang. Lauren bekerja untuk kejaksaan. Aku bekerja untuk
kepolisian. Ia berutang banyak pada MasterCard, dan
cicilan mobilnya pun belum lunas. Kami harus
mendapatkan delapan ribu dolar. Masalah itu terus
menghantui kami. Bagaimana kami akan mengatasinya?
Dan akhirnya terbentuk kesepakatan tak terucap, paling
tidak dari pihak Lauren, bahwa akulah yang bertanggung
jawab.
Jadi, suatu malam di bulan Agustus, aku mendapat
panggilan untuk menangani kasus pertengkaran rumah
tangga di Ladera Heights. Suami-istri Latin. Mereka
sama-sama mabuk dan bertengkar hebat. Bibir si istri
pecah, mata suaminya bengkak dan anak mereka
menjerit-jerit di kamar sebelah. Tapi tak lama kemudian
kami berhasil menenangkan mereka, dan ternyata tak ada
yang mengalam cedera serius. Si istri melihat bahwa kami
sudah hendak pergi. Ketika itulah dia mulai berteriak-
teriak bahwa suaminya telah melakukan penginiayaan fisik
terhadap anak perempuan mereka. Waktu si suami
mendengar ini, ia tampak marah sekali. Aku juga tidak
percaya. Si istri pasti hanya ingin membalas dendam. Tapi
ia berkeras agar kami memeriksa anak perempuannya, jadi
aku masuk ke kamar anak itu. Umurnya sekitar sembilan
bulan, dan ia menjerit-jerit sampai mukanya merah padam.
Aku menyingkap selimutnya untuk mencari luka memar,
dan kemudian aku melihat sebongkah kokain. Di bawah
selimut, di samping anak itu.
Nah.
Situasinya agak pelik. Mereka suami-istri, jadi si istri
harus memberi kesaksian yang memberatkan suaminya,
penggeledahan yang kami lakukan tidak sah, dan
sebagainya. Suaminya tidak memerlukan bantuan
pengacara hebat agar lolos dari hukuman. Jadi aku keluar
dan memanggil orang itu. Aku sadar bahwa aku tak dapat
berbuat apaapa. Aku hanya membayangkan bahwa kalau
bongkahan tadi sampai digigit-gigit oleh anak perempuan
itu, ia pasti mati. Aku ingin membicarakan hal tersebut.
Sedikit menggertak, menakut-nakutinya.
Laki-laki itu berdua denganku di kamar anaknya.
Istrinya masih di ruang duduk, bersama rekanku. Tiba-tiba
laki-laki itu mengeluarkan amplop setebal dua senti. Ia
membukanya. Aku melihat lembaran-lembaran seratus
dolar. Tumpukan lembaran seratus dolar setebal satu inci.
Dan ia berkata, "Terima kasih atas bantuan Anda."
Amplop itu berisi sekitar sepuluh ribu dolar.
Mungkin lebih. Aku tidak tahu persis. Ia menyodorkan
amplop itu dan menatapku, sambil berharap agar aku
mengambilnya.
Aku memperingatkannya akan bahaya menaruh kokain
di tempat tidur anaknya. Langsung saja ia meraih
bongkahan itu, meletakkannya di lantai, dan
menendangnya ke bawah tempat tidur. "Anda benar.
Terima kasih." Lalu ia kembali menyodorkan amplop itu.
Nah.
Suasananya kacau balau. Di luar, istrinya
membentak-bentak rekanku. Di dalam kamar, anak mereka
masih terus menjerit-jerit. Laki-laki itu memegang amplop.
Ia tersenyum dan mengangguk. Ayo, ambil saja. Dan
kupikir... aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat itu.
Tahu-tahu aku sudah di ruang duduk. Aku berkata
bahwa anak perempuan itu baik-baik saja, dan sekarang si
istri mulai berteriak-teriak bahwa aku yang menganiaya
anaknya - sekarang aku yang dijadikan kambing hitam,
bukan suaminya – bahwa aku bersekongkol dengan
suaminya, bahwa kami sama-sama menganiaya anak
perempuannya. Rekanku sadar bahwa perempuan itu
mabuk berat, dan kami pergi. Titik. Rekanku berkata, "Kau
lama sekali di ruangan itu." Dan aku menjawab, "Aku harus
memeriksa anak itu." Selesai. Tapi keesokan harinya
perempuan itu muncul di markas dan membuat pengaduan
resmi bahwa aku menganiaya putrinya. Pengaruh alkohol
belum hilang benar, dan ia sudah pernah berurusan dengan
polisi, tapi tuduhannya cukup serius, sehingga diposes
sesuai peraturan, sampai ke pemeriksaan pendahuluan,
sebelum akhirnya dibatalkan dengan alasan tidak berdasar.
Hanya itu.
Begitulah kejadiannya.

"Dan uangnya?" tanya Connor.


"Saya pergi ke Vegas untuk berakhir pekan. Saya menang
banyak. Tahun itu saya membayar pajak untuk penghasilan
tambahan sejumlah 13.000.”
"Ide siapa itu?"
“Lauren. Dia bilang, dia tahu cara untuk menanganinya."
"Jadi, dia tahu apa yang terjadi?"
"Tentu."
"Dan pemeriksaan pendahuluan itu? Apakah pibak
Departemen sempat membuat laporan?"
"Saya kira tidak sampai sejauh itu Tuduhan ituhanya
didengar secara verbal, lalu dibatalkan. Mungkin ada
catatan dalam arsip, tapi pasti bukan laporan resmi."
"Oke," ujar Connor. "Sekarang ceritakan sisanya.”

Kemudian aku bercerita mengenai Ken Shubik, harian


Times, dan si Musang. Connor mendengarkanku sambil
mengerutkan kening, tanpa berkata apa-apa. Ia mulai
mengisap udara lewat sela-sela gigi, yang merupakan cara
Jepang untuk menyatakan rasa tidak setuju.
"Kohai," katanya, ketika aku akhirnya selesai, "Anda
sangat merepotkan saya. Anda membuat saya kelihatan
seperti orang bodoh. Kenapa Anda tidak menceritakan ini
sejak awal?"
"Karena ini tidak ada hubungannya dengan Anda."
"Kohai." Ia menggelengkan kepala. "Kohai..."
Aku kembali memikirkan anak perempuanku. Aku
memikirkan kemungkinan baru - kemungkinan bahwa aku
takkan pernah melihatnya lagi - bahwa aku takkan dapat...
"Begini," kata Connor. "Aku sudah memperingatkan
Anda bahwa urusan ini mungkin tidak menyenangkan.
Percayalah, keadaan masih bisa bertambah buruk.
Benar-benar parah. Kita harus bergerak cepat dan mencoba
menuntaskan semuanya."
"Saya pikir semuanya sudah tuntas."
Connor menghela napas dan menggelengkan kepala.
"Belum," katanya. "Dan sekarang kita harus menyelesaikan
semuanya sebelum Anda menemui istri Anda pukul empat
nanti. Kita tak bisa memhuang-buang waktu lagi."

Bab 37

"HMM, kelihatannya tugas kita sudah selesai," ujar


Graham. Ia berjalan mengelilingi rumah Sakamura di
perbukitan Hollywood. Tim SID yang terakhir sedang
bersiap-siap meninggalkan tempat itu.
"Aku tidak mengerti kenapa Komandan begitu sewot
tentang ini," kata Graham. "Anak-anak SID sampai terpaksa
bekerja di sini, karena dia terus mendesak-desak. Tapi
untung saja semuanya saling memperkuat. Sakamura-lah
orang yang kita cari. Tempat tidurnya diperiksa untuk
mencari bulu pubic, dan ternyata cocok dengan bulu yang
ditemukan pada cewek itu. Kami mendapatkan ludah
kering dari sikat giginya. Golongan darah dan penanda
genetiknya sama dengan sperma yang ditemukan pada
cewek yang mati itu. Tingkat kepastiannya 95 persen.
Anak-anak SID menemukan sperma dan bulu pubic
Sakamura pada cewek itu. Sakamura berhubungan seks
dengannya, lalu membunuhnya. Dan waktu kita datang
untuk menangkapnya, Sakamura panik, berusaha
melarikan diri, dan akhirnya tewas. Di mana Connor?"
"Di luar," kataku.
Melalui jendela, aku melihat Connor berdiri di depan
garasi, berbicara dengan dua petugas polisi yang duduk di
dalam mobil patroli. Connor menunjuk ke jalanan; mereka
menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
"Sedang apa dia di sana?" tanya Graham.
Aku berkata bahwa aku tidak tahu.
"Brengsek, aku tidak mengerti orang itu. Berilahu dia
bahwa jawaban atas pertanyaannya adalah 'tidak ada'."
"Pertanyaan apa?"
"Sejam yang lalu dia meneleponku," ujar Graham. "Dia
ingin tahu berapa banyak kacamata baca yang kami
temukan di sini. Kami langsung memeriksanya. Ternyata
tidak ada kacamata baca. Kalau kacamata hitam, banyak.
Beberapa kacamata hitam untuk perempuan. Cuma itu. Aku
tidak tahu apa rencananya. Orangnya aneh. Persetan, apa
lagi yang dikerjakannya sekarang?"
Kami memperhatikan Connor berjalan mondar-mandir
di sekitar mobil patroli, lalu kembali meninjuk ke jalanan.
Satu petugas patroli duduk di d dam mobil, berbicara
melalui radio. "Kau bisa mengikuti jalan pikirannya?" tanya
Graham.
"Tidak."
"Barangkali dia mencoba melacak cewek-cewek tadi,"
ujar Graham. "Hmm, coba kalau kita sempat memeriksa
identitas si Rambut Merah. Kujamin dia juga bersanggama
dengan Sakamura. Seharusnya kita bisa dapat contoh
sperma darinya, untuk membandingkan semua faktor. Dan
aku seperti otrang tolol, membiarkan cewek-cewek itu
lolos. Dasar sial, siapa yang menyangka perkembangannya
bakal seperti ini? Semuanya terjadi begitu cepat.
Cewek-cewek telanjang, berlari ke sana kemari. Laki-laki
normal pasti sempat bingung. Itu wajar. Brengsek, mereka
cantik-cantik, ya?"
Aku membenarkannya.
"Dan tak ada yang tersisa dari Sakamura," Graham
melanjutkan. "Kira-kira sejam yang lalu aku bicara dengan
anak-anak PEO. Mereka ada di markas, mencoba
mengeluarkan mayat itu dari mobil, tapi kurasa dia takkan
bisa diidentifikasi. Petugas-petugas pemeriksa mayat akan
mencoba, tapi selamat berjuang." Ia menatap ke luar
jendela. "Kau tahu? Kita sudah berupaya maksimal dalam
kasus keparat ini," katanya. "Dan kita cukup sukses. Kita
berhasil mendapatkan pelakunya. Dengan cepat, tanpa
buang-buang waktu. Tapi yang kudengar sekarang cuma
keluhan bahwa kita sengaja menjelek-jelekkan orang
Jepang. Sial. Kita selalu di pihak yang salah."
"He-eh," gumamku.
"Astaga, pengaruh mereka semakin kuat saja," kata
Graham. "Aku didesak-desak dari segala arah. Aku
ditelepon Komandan. Dia minta kasus ini segera ditutup.
Ada wartawan Times yang menyelidiki masa laluku. Dia
mengungkit-ungkit tuduhan penggunaan kekerasan tanpa
alasan terhadap pemuda Latin di tahun 1978. Pemuda itu
Cuma mengada-ada. Tapi wartawan ini, dia berusaha
memperlihatkan bahwa aku seorang rasialis, dari dulu.
Coba tebak, apa latar belakang artikelnya, Kejadian
semalam disebutnya sebagai contol rasialisme di kalangan
pollsi. Aku dijadikan contoh buruk. Hah, orang-orang
Jepang itu memang jago bermain kotor."
"Aku tahu," kataku.
"Jadi kau juga sudah mulai dikerjai?"
Aku mengangguk.
"Apa tuduhan mereka?"
"Penganiayaan terhadap anak kecil."
"Astaga," ujar Graham. "Padahal kau punya anak
perempuan."
"Ya."
"Memuakkan. Fitnah dan pencemaran nama baik,
Petey-san. Tak ada hubungannya dengan kenyataan. Tapi
coba saja kaujelaskan ini kepada wartawan."
"Siapa orangnya?" tanyaku. "Siapa wartawan yang
menghubungimu?"
"Namanya Linda Jensen, kalau tidak salah."
Aku mengangguk. Linda Jensen adalah anak didik si
Musang. Pernah ada yang berkata bahwa Linda tidak perlu
membuka baju untuk memacu kariernya. Ia tinggal
membuka rahasia-rahasia orang lain dan merusak reputasi
mereka untuk mencapai tujuannya. Ia bekerja sebagai
pengasuh kolom gosip di Washington sebelum pindah ke
Los Angeles.
"Entahlah," ujar Graham sambil menggeser tubuhnya
yang gempal. "Aku sendiri tak habis pikir. Mereka
mengubah negeri ini menjadi Jepang ke dua. Sekarang saja
sudah ada orang yang takut buka mulut. Takut mengatakan
sesuatu yang membuat mereka tersinggung. Orang-orang
tidak mau berterus terang mengenai masalah ini."
"Seharusnya Pemerintah mengeluarkan undang-undang
baru."
Graham tertawa. " Pemerintah. Pemerintah sudah jadi
milik mereka. Kau tahu berapa jumlah uang yang mereka
habiskan di Washington setiap tahun? Empat ratus juta
dolar setahun. Cukup untuk menutup biaya kampanye
semua anggota Senat dan Kongres. Jumlah yang besar. Nah,
sekarang coba jawab. Mungkinkah mereka mengeluarkan
uang sebanyak itu, tahun demi tahun, kalau tidak ada
manfaatnya bagi mereka? Tentu saja tidak. Brengsek.
Amerika sudah di ambang kehancuran. Hei, sepertinya kau
dicari bosmu."
Aku memandang ke luar jendela. Connor sedang
memanggilku dengan isyarat tangan.
Aku berkata, "Aku pergi dulu."
"Selamat berjuang," ujar Graham. "O, ya, aku mungkin
mau ambil cuti beberapa minggu."
"Yeah? Mulai kapan?"
"Mungkin nanti," kata Graham. "Saran dari Komandan.
Katanya, barangkali ada baiknya, mengingat aku masih
diincar wartawan Times keparat itu. Aku ingin berlibur
seminggu di Phoenix. Ada saudaraku di sana. Aku cuma
ingin kau tahu bahwa aku mungkin akan pergi."
"Oke," kataku.
Connor masih melambaikan tangan padaku. Ia tampak
tidak sabar. Aku bergegas keluar. Ketika menuruni tangga,
aku melihat Mercedes hitam berhenti. Sebuah sosok yang
sangat kukenal turun dari mobil itu.
Ternyata Wilhelm si Musang.

Bab 38

KETiKA aku sampai di bawah, si Musang telah


mengeluarkan buku catatan dan alat perekam. Sebatang
rokok terselip di sudut mulutnya. "Letnan Smith," katanya,
"apakah saya bisa bicara sebentar dengan Anda?"
"Saya sedang sibuk," jawabku.
"Ayo," Connor berseru padaku. "Waktu kita tinggal
sedikit." Ia membuka pintu mobil. untukku.
Aku berjalan ke arah Connor. Si Musang mengikutiku. Ia
menyodorkan sebuah mikrofon kecil berwarna hitam ke
wajahku. "Mudah-mudahan Anda tidak keberatan saya
merekam percakapan kita. Setelah kasus Malcolm, kami
harus lebih berhati-hati. Apakah Anda dapat memberikan
komentar mengenai ejekan bernada rasial yang kabarnya di
lontarkan rekan Anda, Detektif Graham, dalam penyidikan
Nakamoto semalam?"
"Tidak," kataku. Aku terus berjalan.
"Kami mendapat informasi bahwa Detektif Graham
menyebut mereka sebagai 'Jepang-Jepang keparat’”.
"Tidak ada komentar," kataku.
"Dia juga menyebut mereka 'mata sipit'. Menurut Anda,
pantaskah ucapan seperti ini bagi polisi yang sedang
bertugas?"
“Sori, tak ada komentar, Willy."
Ia terus menyodorkan mikrofonnya ke wajahku.
Menjengkelkan sekali. Aku ingin menepisnya, tapi aku
menahan diri. "Letnan Smith, kami sedang mempersiapkan
cerita mengenai Anda, dan kami punya beberapa
pertanyaan mengenai kasus Martinez. Anda ingat kasus itu?
Beberapa tahun lalu."
Aku terus melangkah. "Saya sedang sibuk, Willy," kataku.
"Kasus Martinez menimbulkan tuduhan penganiayaan
anak di bawah umur, yang diajukan oleh Sylvia Morelia, ibu
dari Maria Martinez. Departemen Kepolisian sempat
mengadakan pemeriksaan pendahuluan. Saya ingin tahu,
apakah Anda dapat memberikan komentar?"
"Tidak ada komentar."
"Saya sudah bicara dengan rekan Anda saat Itu, Fed
Anderson. Barangkali Anda dapat memberikan komentar
mengenai ini?"
"Sori. Tidak bisa."
"Kalau begitu, Anda tidak akan menanggapi
tuduhan-tuduhan serius yang dilontarkan terhadap Anda?"
"Setahu saya, satu-satunya orang yang melonfarkan
tuduhan adalah Anda."
"Sebenarnya itu kurang tepat," katanya, sambil
tersenyum padaku. "Saya dengar pihak kejaksaan sudah
mulai mengadakan penyelidikan."
Aku diam saja. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah itu
benar.
"Dalam keadaan seperti sekarang, Letnan, apakah Anda
tidak sependapat bahwa pengadilan telah membuat
kekeliruan dengan memberikan hak asuh atas putri Anda
kepada Anda?"
Aku hanya berkata, "Sori. Tidak ada komentar, Willy."
Aku berusaha agar jawabanku bernada yakin. Aku mulal
berkeringat.
Connor berkata, "Ayo, ayo. Tidak ada waktu."
Aku masuk ke mobil. Connor berkata kepada Wilhelm,
"Maaf, Bung, tapi kami sedang terburu-buru." Ia menutup
pintu. Aku menghidupkan mesin. "Mari kita berangkat,"
ujar Connor.
Willy mengintip darl jendela. "Apakah Anda berpendapat
bahwa penugasan Kapten Connor yang dikenal anti-Jepang
merupakan contoh kecerobohan Departemen Kepolisian
dalam menangani kasus-kasus yang berbau rasial?"
"Sampai jumpa, Willy." Aku menutup jendela, dan mulai
menuruni bukit.
"Saya takkan keberatan kalau kita melaju sedikit lebih
kencang," ujar Connor.
"Oke," kataku. Aku menginjak pedal gas.
Di kaca spion, aku melihat si Musang bergegas ke
Mercedes-nya. Aku membelok tanpa mengurangi
kecepatan. Ban mobilku berdecit-decit. "Bagaimana
bajingan itu bisa menemukan kita? Dengan memantau
gelombang polisi?"
"Sejak awal, kita tidak menggunakan radio," kata
Connor. "Anda tahu, saya selalu berhati-hati.
“Tapi barangkali mobil patroli tadi melaporkan sesuatu
ketika kita tiba. Mungkin ada alat penyadap di mobil ini.
Mungkin juga dia sudah menduga bahwa kita akan muncul.
Dan jangan lupa, bajingan itu menjalin hubungan dengan
orang Jepang. Ia kaki tangan mereka di Times. Biasanya
orang Jepang lebih cermat memilih orang. Tapi saya kira
dia mau melaksanakan semua permintaan mereka.
Mobilnya cukup bagus, bukan?"
"Tapi bukan mobil Jepang."
"Itu terlalu mencolok," ujar Connor. "Dia masih
mengikuti kita?"
"Tidak. Kelihatannya kita berhasil mengecohnya. Ke
mana kita sekarang?"
"Ke U.S.C. Seharusnya Sanders sudah selesai sekarang."
Kami menyusuri jalanan, menuruni bukit, menuju
freeway 101. “O, ya," kataku, "kenapa Anda menanyakan
kacamata baca tadi?"
"Hanya soal kecil yang perlu ditegaskan. Mereka tidak
menemukan kacamata baca di rumah Sakamura?"
"Tidak. Hanya kacamata hitam."
"Sudah saya duga," ujar Connor.
"Dan Graham bilang dia akan ke luar kota. Hari ini. Dia
mau pergi ke Phoenix."
"Hmm." Ia menatapku. "Anda tidak berminat ke luar kota
juga?"
"Tidak," jawabku.
"Oke."
Aku sampai di kaki bukit dan memasuki arah selatan.
Dulu, perjalanan ke U.S.C. hanya makan waktu sepuluh
menit. Kini hampir setengah jam. Terutama sekarang,
menjelang jam makan siang. Tapi aku sudah terbiasa. Lalu
lintas selalu padat, dan kota selalu diselubungi kabut asap.
"Menurut Anda, saya membuat kesalahan?" tanyaku.
"Anda pikir lebih baik kalau saya bawa anak saya dan ikut
kabur?"
"Itu salah satu alternatif," Ia menghela napas. "Orang
Jepang sangat ahli dalam bertindak secara tidak langsung.
Itu sudah menjadi naluri mereka. Di Jepang, jika seseorang
tidak senang kepada Anda, dia takkan mengatakannya
secara terus terang. Mereka memberitahu teman Anda,
rekan Anda, bos Anda. Dan cepat atau lambat beritanya
akan sampai di telinga Anda. Orang Jepang tergantung pada
komunikasi tidak langsung. Itulah sebabnya mereka
demikian getol bersosialisasi, bermain golf, minum-minum
di bar karaoke. Mereka memerlukan jalur-jalur komunikasl
khusus itu, karena mereka tidak bisa berterus terang. Kalau
dipikir, cara mereka sangat tidak efisien. Boros waktu,
tenaga, dan uang. Tapi karena mereka tidak bisa
berkonfrontasi langsung-mereka bisa berkeringat dingin
kalau harus berhadapan langsung - mereka tidak punya
pilihan lain. Jepang adalah negeri jalan memutar. Mereka
tak pernah lewat di tengah-tengah."
"Yeah, tapi..."
"Jadi, tingkah laku yang berkesan licik dan pengecut bagi
orang Amerika merupakan prosedur standar di Jepang.
Tidak ada tujuan khusus. Mereka sekadar ingin
memberitahu Anda bahwa orang-orang dengan kekuasaan
besar merasa tidak senang.”
"Sekadar memberitahu saya? Bahwa saya mungkin
harus maju ke pengadilan untuk memperjuangkan putri
saya? Bahwa hubungan saya dengan anak saya mungkin
putus untuk selama-lamanya? Bahwa nama baik saya
mungkin hancur?"
"Ehm, ya. Itulah sanksi yang umum. Ancaman
dipermalukan merupakan cara yang biasa dipakai untuk
menyampaikan pesan mereka."
"Rasanya saya mulai mengerti," kataku.
"Tidak ada dendam pribadi," ujar Connor. "Memang
beginilah cara mereka."
"Yeah. Dengan menyebarkan fitnah."
"Secara tidak langsung."
"Tidak, bukan secara tidak langsung. Mereka memfitnah
saya."
Connor mendesah. "Saya memerlukan waktu banyak
untuk memahami bahwa perilaku orang Jepang didasarkan
atas tata nilai desa petani. Kita sering mendengar cerita
mengenai samurai dan feodalisme, tapi pada dasarnya,
orang Jepang bangsa petani. Dan jika kita hidup di desa
petani dan membuat petani-petani yang lain tidak senang,
kita akan dibuang. Dan itu berarti kita akan mati, sebab tak
ada desa lain yang mau menerima pembuat onar. Nah.
Kalau kita menyinggung perasaan kelompok, kita akan
mati. Demikianlah pandangan mereka.”
"Artinya, orang Jepang sangat mengutamakan kelompok.
Mereka terbiasa tunduk pada keinginan kelompok. Tidak
ada yang menonjolkan diri, tidak ada yang mengambil
risiko, tidak ada yang bersikap terlalu individualistis. Dan
juga tidak ada yang berkeras pada kebenaran. Orang Jepang
tidak meyakini konsep kebenaran. Mereka menganggapnya
dingin dan abstrak. Seperti ibu dari laki-laki yang dituduh
melakukan kejahatan. Dia tak peduli pada kebenaran. Dia
lebih peduli pada anaknya. Sama halnya dengan orang
Jepang. Bagi orang Jepang, hal terpenting adalah hubungan
antara manusia. Itulah kebenaran sejati. Kebenaran faktual
tidak relevan bagi mereka."
"Yeah, boleh-boleh saja," kataku. "Tapi kenapa mereka
masih terus mendesak-desak sekarang? Apa pengaruhnya?
Pembunuhan itu sudah diusut sampai tuntas, bukan?"
"Belum," ujar Connor.
"Belum?"
"Belum. Karena itulah kita diserang dari segala arah.
Rupanya ada seseorang yang ingin agar kasus ini segera
ditutup. Mereka ingin kita lepas tangan."
"Saya dan Graham sudah diserang oleh mereka, kenapa
Anda tidak?"
"Saya pun mengalami hal yang sama dengan Anda," kata
Connor.
"Dalam bentuk apa?"
"Mereka membuat saya bertanggung jawab atas kejadian
yang menimpa Anda."
Bagaimana caranya? Saya tidak melihat gelagat ke arah
itu."
"Saya tahu. Tapi percayalah, mereka juga mengincar
saya."
Aku menatap barisan mobil yang merayap maju,
menyusup ke kabut yang menyelubungi pusat kota. Kami
melewati billboard elektronik untuk Hitachi (#1
COMPUTERS IN AMERICA!), untuk Canon (AMERICA'S
COPY LEADER), dan Honda (NUMBER ONE RATED CAR IN
AMERICA!). Seperti pada umumnya iklan-iklan Jepang yang
baru, semua billboard itu cukup terang terbaca pada siang
hari. Harga sewanya 30.000 dolar per hari; di luar
jangkauan sebagian besar perusahaan Amerika.
Connor berkata, "Intinya, orang Jepang sadar bahwa
mereka sanggup membuat suasana tidak menyenangkan.
Dengan menyerang Anda, mereka memberitahu saya,
'Tangani urusan ini.' Sebab mereka pikir saya bisa
mengakhirinya."
"Anda mampu?"
"Tentu. Anda mau mengakhirinya? Setelah itu, kita bisa
minum bir dan menikmati kebenaran ala Jepang. Atau Anda
ingin mengusut sampai tuntas kenapa Cheryl Austin
dibunuh?"
"Saya ingin mengusutnya sampai tuntas."
"Saya juga," kata Connor. "Mari, Kohai. Saya rasa Sanders
punya informasi menarik untuk kita. Kaset-kaset itu
merupakan kunci sekarang."

Bab 39

PHILLIP SANDERS berjalan mondar-mandir. "Lab saya


ditutup," katanya. Ia mengayunkan tangan untuk
melampiaskan frustrasinya. "Dan tidak ada yang bisa saya
lakukan."
Connor berkata, "Kapan kejadiannya?"
"Sejam yang lalu. Petugas pengelola kampus datang dan
memberitahu semua orang di lab untuk segera angkat kaki.
Begitu saja. Sekarang ada gembok besar di pintu."
Aku berkata, "Dan alasannya?"
"Ada laporan bahwa kerusakan struktural pada
langit-langit membuat basement tidak aman dan akan
membatalkan polis asuransi universitas jika arena ice
skating tiba-tiba ambruk. Mereka bilang, keamanan para
mahasiswa harus diutamakan. Pokoknya, mereka menutup
lab, dan menunggu pemeriksaan dan laporan oleh insinyur
sipil."
"Dan kapan itu?"
Ia menunjuk pesawat telepon. "Saya sendiri masih
menunggu kabar. Barangkali minggu depan Mungkin juga
baru bulan depan."
"Bulan depan?"
"Yeah. Bulan depan." Sanders mengusap rarnbutnya
yang acak-acakan. "Saya sampai menemui Dekan untuk
urusan ini. Tapi dia juga tidak tahu-menahu. Perintahnya
berasal dari atas. Dari dewan penyantun yang mengenal
orang-orang kaya yang biasa memberi sumbangan
berjumlah jutaan dolar. Perintahnya berasal dari tingkat
paling atas." Sanders tertawa. "Dan di zaman sekarang, kita
tidak perlu bertanya-tanya lagi."
Aku berkata, "Maksud Anda?"
"Anda sadar betapa jauh Jepang telah menyusup ke
dalam struktur universitas-universitas Amerika, terutama
departemen-departemen teknik? Itu terjadi di mana-mana.
Perusahaan-perusahaan Jepang kini mensponsori 25 gelar
profesor di M.I.T., jauh lebih banyak dari negara mana pun.
Sebab mereka tahu, pada dasarnya mereka tidak punya
kemampuan berinovasi seperti kita. Karena mereka mem-
butuhkan inovasi, mereka ambil langkah yang paling
praktis. Mereka membelinya dari perguruan tinggi
Amerika."
"Tentu. Anda tahu, di University of California di Irvine
ada dua lantai di sebuah gedung riset yang tidak bisa
dimasuki, kecuali kalau kita pegang paspor Jepang. Mereka
melakukan riset uniuk Hitachi. Perguruan tinggi Amerika
yang terlutup untuk orang Amerika." Sanders berbalik,
mengayunkan tangan. "Dan di sini, jika terjadi sesuatu yang
tidak berkenan di hati mereka, seseorang akan mengangkat
telepon dan bicara dengan Rektor. Rektor tidak bisa
berbuat apa-apa. Dia takkan berani menyinggung perasaan
orang-orang Jepang. Jadi, apa pun yang mereka inginkan,
mereka pasti akan mendapatkannya. Dan kalau mereka
minta lab ini ditutup, labnya akan ditutup."
Aku berkata, "Bagaimana dengan kaset-kaset video itu?"
"Semuanya terkunci di dalam sana. Kami tidak diizinkan
membawa apa-apa."
"Masa?"
"Mereka sangat tergesa-gesa. Seperti Gestapo saja. Kami
didesak-desak dan didorong-dorong keluar. Anda tak bisa
membayangkan rasa panik di perguruan tinggi Amerika
yang takut kehilangan sumber dana." Ia menghela napas.
"Entahlah. Theresa mungkin sempat membawa beberapa
kaset. Anda bisa tanya dia."
"Di mana dia?"
"Kalau tidak salah, dia sedang ice skating."
Aku mengerutkan kening. "Ice skating?"
"Dia bilang begitu. Coba Anda lihat ke sana."
Dan pandangannya melekat pada Connor. Pandangan
penuh arti.

Theresa Asakuma ternyata tidak sedang ice skating. Ada


sekitar tiga puluh anak kecil di arena, disertai guru muda
yang sia-sia berusaha mengendalikan mereka. Mereka
seperti anak-anak kelas empat. Suara tawa dan teriakan
mereka memantul dari langit-langit yang tinggi.
Bangunan itu hampir kosong, tribun penonton pun
lengang. Sejumlah anak muda duduk di salah satu sudut,
memandang ke bawah dan saling menonjok bahu. Di sisi
kami, di puncak tribun, seorang petugas sedang mengepel.
Beberapa orang dewasa, yang kelihatannya orangtua,
berdiri di pagar, di tepi lapangan es. Di seberang, seorang
pria sedang membaca koran.
Aku tidak melihat Theresa Asakuma.
Connor menghela napas. Dengan letih ia duduk di tribun
kayu dan menyandarkan punggung. Ia menyilangkan kaki,
bersantai. Aku tetap berdiri dan memperhatikannya.
"Kenapa Anda duduk? Dia tidak ada di sini."
"Duduk dulu."
"Tapi Anda selalu bilang bahwa waktu kita tidak
banyak."
"Duduk dulu. Nikmati hidup."
Aku duduk di sebelahnya. Kami menyaksikan anak-anak
tadi meluncur mengelilingi arena. Guru mereka berseru,
"Alexander? Alexander! Tadi sudah kuperingatkan. Tidak
boleh memukul! Jangan pukul dia!"
Aku ikut bersandar, mencoba bersantai. Connor
mengamati anak-anak itu dan tertawa kecil. Ia tampak
tenang, seakan-akan tanpa beban.
Aku berkata, "Anda percaya bahwa keterangan Sanders
benar? Mungkinkah pihak universitas dipaksa bertindak
oleh orang-orang Jepang?"
"Tentu," jawab Connor.
"Dan bagaimana dengan cerita bahwa Jepang membeli
teknologi Amerika? Membeli gelar profesor di M.I.T.?"
"Itu tidak melanggar hukum. Mereka membantu ilmu
pengetahuan. Tujuan yang mulia."
Aku mengerutkan kening. "Jadi, Anda pikir ini benar?"
"Tidak," katanya. "Saya sama sekali tidak
menganggapnya benar. Kalau kita melepaskan kontrol
terhadap lembaga-lembaga kita, kita melepaskan
segala-galanya. Dan pada umumnya, sebuah lembaga
dikuasai oleh orang yang membiayainya. Kalau orang
Jepang mau menyediakan dana - sedangkan Pemerintah
dan pihak industri Amerika tidak - Jepang akan menguasai
pendidikan di Amerika. Anda tahu, sudah ada sepuluh
perguruan tinggi Amerika yang menjadi milik mereka.
Dibeli oleh mereka, untuk melatih generasi muda mereka.
Agar ada jaminan bahwa anak-anak muda dari Jepang bisa
dikirim ke Amerika."
"Tapi sekarang saja sudah banyak pemuda Jepang yang
belajar di sini. Banyak mahasiswa Jepang mendapat
pendidikan di perguruan tinggi Amerika."
"Memang. Tapi seperti biasa, orang Jepang berpikir jauh
ke depan. Mereka sadar bahwa situasinya mungkin
berubah di masa depan. Suatu hari pasti timbul reaksi yang
tidak menguntungkan bagi mereka. Tak peduli betapa
diplomatis sikap mereka - dan sekarang ini mereka berada
dalam tahap perluasan pengaruh, jadi sikap mereka sangat
diplomatis. Masalahnya, tak ada negara yang mau dikuasai
oleh negara lain Tak ada yang sudi dijajah - baik secara
ekonomi maupun militer. Dan orang Jepang yakin bahwa
suatu saat Amerika akan terjaga dari mimpi indahnya."
Aku mengamati anak-anak bermain ice skating. Aku
mendengarkan suara tawa mereka. Aku teringat pada
Michelle. Aku teringat pertemuan jam empat sore.
Aku berkata, "Untuk apa kita duduk-duduk di sini?"
"Karena," ujar Connor.
Jadi kami tetap duduk. Si guru mengumpulkan
murid-muridnya, menggiring mereka keluar arena. "Copot
ski es kalian. Ayo, copot semuanya. Kamu juga, Alexander!
Alexander!"
"Anda tahu," kata Connor, "seandainya Anda ingin
membeli perusahaan Jepang, Anda takkan berhasil.
Pengambilalihan oleh orang asing dianggap sebagai aib
oleh orang-orang di perusahaan itu. Mereka akan merasa
dipermalukan. Mereka takkan mengizinkannya."
"O, ya? Bukankah Jepang telah melonggarkan
peraturannya?"
Connor tersenyum. "Secara teori. Ya. Secara teori, kita
bisa membeli perusahaan Jepang. Tapi dalam praktek, tidak
mungkin. Sebab kalau kita mau mengambil alih suatu
perusahaan, mula-mula kita harus mendekati banknya,
untuk memperoleh persetujuan. Itu syarat pertama yang
harus dipenuhi. Dan bank bersangkutan takkan
menyetujuinya."
"Bukankah Isuzu sudah dibeli oleh General Motors?"
"GM hanya menguasai sepertiga saham Izusu. GM bukan
pemegang saham mayoritas. Dan memang, kadang-kadang
ada perkecualian. Tapi secara. keseluruhan, penanaman
modal asing di Jepang menurun dalam sepuluh tahun
terakhir. Semakin banyak perusahaan melihat Jepang
sebagai pasar yang terlalu sukar ditembus. Mereka bosan
dipermainkan, bosan menghadapi percekcokan,
persekongkolan, dango, kerja sama rahasia untuk
menghalang-halangi mereka. Mereka bosan menghadapi
peraturan Pemerintah dan sistem yang berbelit-belit. Dan
akhirnya mereka angkat tangan. Menyerah. Sebagian besar
negara sudah mundur - Jerman, Itali, Prancis. Semuanya
bosan mencoba melakukan bisnis di Jepang. Sebab, apa pun
yang dikatakan kepada umum, Jepang tetap tertutup.
Beberapa tahun lalu, T. Boone Pickens membeli seperempat
saham sebuah perusahaan Jepang, tapi dia tidak sanggup
masuk dewan direksi. Jepang tetap tertutup."
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
"Kita bisa tempuh jalan yang dipilih orang Eropa.
Membalas dengan cara yang sama. Seluruh dunia
menghadapi masalah yang sama dalam berhubungan
dengan Jepang. Kita tinggal menunggu pemecahan mana
yang paling ampuh. Pemecahan orang Eropa sangat
langsung. Dan cukup berhasil, paling tidak sejauh ini."
Di arena ice skating, beberapa gadis remaja mulai
melakukan pemanasan. Guru sekolah tadi menggiring
murid-muridnya menyusuri selasar. Ketika melewati kami,
ia berkata, "Apakah salah satu dari Anda Letnan Smith?"
"Ya," kataku.
Satu anak bertanya, "Anda punya pistol?"
Gurunya berkata, "Wanita itu berpesan bahwa yang
Anda cari ada di ruang ganti pria."
"O, ya?" ujarku.
Anak itu kembali bertanya, "Boleh saya lihat pistol
Anda?"
Si guru berkata, "Anda tahu, bukan, wanita Asia itu?
Kalau tidak salah, dia orang Asia."
"Ya," ujar Connor. "Terima kasih."
"Tapi saya belum lihat pistolnya."
Anak lain berkata, "Diam, tolol. Mereka lagi menyamar."
Connor dan aku mulai melangkah pergi. Anak-anak itu
mengikuti kami, terus menanyakan pistol. Di seberang
arena, pria yang membaca koran memandang curiga ke
arah kami. Ia memperhatikan kami pergi.

Ruang ganti pria ternyata kosong. Aku mulai memeriksa


lemari-lemari berwarna hijau, satu per satu, mencari
kaset-kaset itu. Connor tidak membantu. Aku
mendengarnya memanggil, "Di sini."
Ia berada di belakang, di kamar mandi. "Anda
menemukan kaset-kaset itu?"
"Tidak."
Ia sedang memegang sebuah pintu terbuka.
Kami menuruni tangga beton. Di bawah ada dua pintu.
Yang pertama menuju tempat bongkar-muat bawah tanah.
Yang satu lagi membuka ke sebuah selasar gelap dengan
balok-balok kayu di atasnya. "Lewat sini," ujar Connor.
Sambil membungkuk, kami menyusuri selasar itu. Kami
berada di bawah arena. Kami melewati mesin-mesin,
kemudian tiba di depan sejumlah pintu.
"Anda tahu tujuan kita?" tanyaku.
Salah satu pintu tidak tertutup rapat. Connor
mendorongnya sampai terbuka. Meski tak ada lampu, aku
menyadari bahwa kami berada di dalam lab. Di salah satu
sudut, aku melihat sebuah monitor menyala.
Kami segera menghampirinya.

Bab 40

THERESA ASAKUMA mendorong tubuhnya menjauhi


meja, menaikkan kacamata ke kening, dan meng-
gosok-gosok matanya yang indah. "Selama kita tidak ribut,
takkan ada masalah," katanya. "Tadi ada penjaga di depan
pintu. Saya tidak tahu apakah dia masih di sana."
"Penjaga?"
"Yeah. Mereka tidak main-main waktu menutup lab tadi.
Luar biasa, seperti penggerebekan pedagang narkotika.
Orang-orang Amerika benar-benar kaget."
"Dan Anda?"
"Pandangan saya mengenai negeri ini tidak sama dengan
mereka."
Connor menunjuk monitor di hadapan Theresa. Yang
terlihat adalah gambar diam dari Cheryl dan teman
kencannya, berpelukan, ketika mereka menuju ruang rapat.
Gambar yang sama, dan sudut-sudut berbeda, tampak pada
monitor-monitor lain di mejanya. Beberapa monitor
menampilkan garis-garis merah yang terpancar dari
lampu-lampu malam. "Apa yang Anda temukan setelah
mengamati rekaman ini?"
Theresa menunjuk monitor utama. "Saya belum yakin
benar," katanya. "Untuk memastikannya, saya perlu
membuat model 3-D untuk mencocokkan dimensi ruangan
dan letak semua sumber cahaya, serta bayangan yang
dihasilkan. Saya belum melakukannya, dan sepertinya
peralatan di ruangan ini memang tidak memungkinkannya.
Pekerjaan itu memerlukan waktu, satu malam dengan
komputer mini. Barangkali saya bisa menggunakan
peralatan Departemen Astrofisika minggu depan. Tapi, da-
lam keadaan seperti sekarang, mungkin juga tidak. Tapi
saya sudah punya firasat mengenai ini."
"Yaitu?"
"Bayangan-bayangannya tidak cocok."
Di dalam kegelapan, Connor mengangguk perlahan.
Seakan-akan ucapan Theresa membenarkan dugaannya.
Aku berkata, "Bayangan mana yang tidak cocok?"
Theresa menunjuk monitor. "Pada waktu orang-orang
ini melintasi ruangan, bayangan mereka tampak janggal.
Entah salah tempat, atau salah bentuk. Sering kali hampir
tidak kelihatan. Tapi saya rasa ada yang tidak beres."
"Dan ini berarti..."
Theresa mengangkat bahu. "Menurut saya, Letnan,
rekaman ini sudah dimanipulasi."
Hening sejenak. "Apa yang mereka ubah?"
"Saya belum tahu persis. Tapi sepertinya sudah jelas
bahwa ada orang lain di ruangan itu, paling tidak selama
sebagian waktu."
"Orang lain? Maksud Anda, orang ketiga?"
"Ya. Ada yang menyaksikan mereka. Dan orang ketiga itu
telah dihapus secara sistematis."
"Brengsek," kataku.
Kepalaku serasa berputar-putar. Aku menatap Connor.
Seluruh perhatiannya terarah pada monitor-monitor. Ia
tampaknya sama sekali tidak terkejut. Aku berkata, "Anda
sudah tahu sebelumnya?"
"Saya menduga ada hal seperti ini."
"Kenapa?" tanyaku.
Connor tersenyum. "Detail-detailnya, Kohai. Hal-hal kecil
yang terlupakan oleh kita." Ia melirik kepada Theresa,
seakan-akan enggan berbicara terIalu banyak di
hadapannya.
Aku berkata, "Tunggu, saya minta Anda
menjielaskannya. Mulai kapan Anda tahu bahwa rekaman
ini telah diotak-atik?"
"Sejak di ruang keamanan Nakamoto."
"Kenapa?"
"Karena kaset yang hilang itu."
"Kaset yang mana?" ujarku. Sebelumnya ia sudah sempat
menyinggung hal ini.
"Coba Anda ingat-ingat lagi," kata Connor. "Waktu kita di
ruang keamanan, petugas di sana mengatakan bahwa dia
mengganti semua kaset ketika mulai berdinas, sekitar jam
sembilan."
"Ya."
"Dan semua alat perekam dilengkapi penunjuk waktu,
yang memperlihatkan masa rekam sekitar dua jam.
Masing-masing alat perekam menunjukkan waktu yang
berbeda sepuluh sampai lima belas detik dari alat perekam
sebelumnya. Sebab itulah waktu yang diperlukan untuk
mengganti satu kaset."
"Betul." Aku masih ingat itu semua.
"Dan saya menanyakan kenapa ada satu alat perekam
yang tidak cocok dengan urutan waktu itu. Alat tersebut
baru bekerja setengah jam."
"Anda bertanya apakah alat itu rusak, dan si petugas
keamanan membenarkannya."
"Ya. Itu kata dia. Saya sengaja tidak bertanya lebih lanjut.
Sebenarnya dia tahu persis bahwa alat itu tidak rusak."
"Alat itu tidak rusak?"
"Tidak. Itu merupakan satu dari sedikit kesalahan yang
dilakukan orang-orang Nakamoto. Tapi mereka hanya
berbuat begitu karena tidak ada pilihan lain. Mereka tak
sanggup mengakali teknologi mereka sendiri."
Aku bersandar ke dinding. Aku menatap Theresa dengan
pandangan menyesal. Dalam cahaya remang-remang, ia
tampak cantik sekali. "Sori, saya tak dapat mengikuti jalan
pikiran Anda."
"Karena Anda menolak penjelasan yang sudah ada di
depan mata, Kohai. Coba ingat-ingat lagi. Kalau Anda
melihat sederet alat perekam, masing-masing
menunjukkan waktu yang berbeda detik dari alat perekam
sebelumnya dan kemudian Anda melihat satu yang
menyimpang dari urut-urutan itu, apa yang Anda
pikirkan?"
"Bahwa kaset di alat itu baru diganti belakangan.”
"Ya. Dan itulah yang terjadi."
"Satu kaset ditukar belakangan?"
"Ya."
Aku mengerutkan kening. "Tapi kenapa? Semua kaset
sudah diganti pukul sembilan, jadi tak satu pun
memperlihatkan adegan pembunuhan itu."
"Benar," ujar Connor.
"Lantas, kenapa ada satu kaset yang kemudian diganti
lagi?"
"Pertanyaan bagus. Ini memang membingungkan. Cukup
lama saya memikirkan pertanyaan ini. Tapi sekarang saya
tahu," Connor berkata. "Anda harus mengingat urut-urutan
waktunya. Kaset-kaset itu diganti pukul sembilan.
Kemudian satu kaset diganti lagi pukul sepuluh
seperempat. Kita bisa berasumsi bahwa ada kejadian
penting antara pukul sembilan dan pukul sepuluh
seperempat, bahwa kejadian itu direkam, dan bahwa itulah
sebabnya kaset tersebut diambil. Lalu saya bertanya pada
diri sendiri: Kira-kira apa kejadian penting itu?"
Aku berusaha mengingat-ingat, tapi tidak menemukan
apa pun.
Theresa mulai tersenyum dan mengangguk, seakan-akan
merasa geli karena suatu hal. Aku berkata, "Anda tahu?"
"Saya bisa menebaknya," jawabnya sambil tersenyum.
"Hmm," gumamku. "Syukurlah kalau semua orang selain
saya sudah tahu jawabannya. Sebab setahu saya tidak ada
kejadian penting yang sempat direkam. Pukul sembilan,
tempat kejadian sudah diamankan dengan pita kuning.
Mayat wanita itu berada di seberang ruangan. Di dekat lift
ada sekelompok orang Jepang, dan Graham menelepon saya
untuk minta bantuan. Tapi penyelidikan baru dimulai
sekitar pukul sepuluh, setelah saya tiba di sana. Kemudian
kami berdebat panjang-lebar dengan Ishiguro. Saya rasa
tidak ada yang melewati pita kuning itu sampai menjelang
pukul setengah sebelas. Jadi, kalau seseorang melihat
rekaman itu, dia akan melihat ruangan kosong, dan seorang
wanita tergeletak di atas meja. Hanya itu."
"Daya ingat Anda cukup baik," ujar Connor. "Tapi Anda
melupakan satu hal."
Theresa berkata, "Apakah ada orang yang melintasi
ruangan? Siapa saja?"
"Tidak ada," ujarku. "Pita kuning sudah ter pasang. Tidak
ada yang melewati batas itu. Malahan..."
Dan kemudian aku teringat. "Tunggu dulu! Ada satu
orang! Laki-laki pendek yang membawa kamera," kataku.
"Dia berada di balik pita, sibuk memotret."
"Betul," kata Connor.
"Laki-laki pendek yang mana?" tanya Theresa.
"Orang Jepang. Dia sibuk memotret. Kami sempat
menanyakannya pada Ishiguro. Namanya, ehm..."
"Mr. Tanaka," kata Connor.
"Ya, Mr. Tanaka. Dan Anda minta pada Ishiguro agar
orang itu menyerahkan film dari kameranya." Aku
mengerutkan kening. "Tapi film itu tak pernah sampai ke
tangan kita."
"Tidak," ujar Connor. "Dan terus terang, sejak semula
saya memang sudah menyangsikannya."
Theresa berkata, "Orang ini, dia mengambil foto?"
"Saya ragu bahwa dia memotret," kata Connor.
"Tapi mungkin juga, sebab dia memakai kamera Canon
yang baru."
"Yang membuat gambar video diam, bukan foto biasa?"
"Benar. Apakah itu ada gunanya, untuk mengubah
rekaman video?"
"Mungkin saja," balas Theresa. "Gambar-gambar itu bisa
dimanfaatkan untuk pemetaan tekstur. Prosesnya lebih
cepat, karena gambar-gambarnya sudah berbentuk digital."
Connor mengangguk. "Kalau begitu, mungkin saja dia
memang memotret. Tapi bukan itu tujuan utamanya. Dia
ingin berjalan di balik pita pembatas. "
"Ah," ujar Theresa sambil mengangguk.
Aku berkata, "Dan mana Anda tahu itu?"
"Coba Anda ingat-ingat lagi," kata Connor.

Aku sedang berdiri menghadap Ishiguro ketika Graham


berseru, "Oh, astaga, apa-apaan ini?" Aku menoleh ke
belakang dan melihat pria Jepang berbadan pendek sekitar
sepuluh meter di balik pita pembatas. Orang itu
membelakangiku. Ia sedang memotret-motret tempat
kejadian. Kameranya kecil sekali, kira-kira seukuran
telapak tangan.
"Anda masih ingat bagaimana dia bergerak?", tanya
Connor. "Gerakannya tidak biasa."
Aku berusaha mengingat-ingatnya. Sia-sial.
Graham menghampiri pita pembatas dan berkata, "Demi
Tuhan, keluar dari sana. Ini tempat kejadian perkara.
Saudara tidak boleh memotret di sana!" Lalu suasana
menjadi hiruk-pikuk. Graham membentak-bentak Tanaka,
tapi Tanaka rupanya berkonsentrasi penuh pada
pekerjaannya. Ia terus memotret dan berjalan mundur ke
arah kami, meski Graham berteriak-teriak. Tanaka tidak
bereaksi seperti orang pada umumnya - berbalik dan ber-
jalan menghampiri pita pembatas. Ia tetap berjalan
mundur, dan masih sambil membelakangi kami,
membungkuk dan lewat di bawahnya.
Aku berkata, "Dia tak pernah berbalik. Dia terus berjalan
mundur."
"Tepat. Itu teka-teki pertama. Kenapa dia berjalan
mundur? Saya rasa kita sudah menemukan jawabannya
sekarang."
“O, ya?”
Theresa berkata, "Dia menyusuri jalur yang dilewati oleh
wanita itu dan pembunuhnya, tapi dari belakang ke depan.
Semuanya direkam, agar mereka bisa mengamati
bayangan-bayangan yang ada
"Benar," ujar Connor.
Aku teringat bahwa ketika aku memprotes, Ishiguro
berkata padaku, "Itu pegawai kami. Dia bekerja untuk
Nakamoto Security "
Lalu aku berkata, "Ini keterlaluan. Dia tidak boleh
memotret di sini."
Dan Ishiguro menjelaskan, "Tapi ini demi kepentingan
perusahaan kami."
Dan sementara itu, Tanaka menghilang di tengah
kerumunan, menyusup di antara orang-orang yang berdiri
di depan lift.
Tapi ini demi kepentingan perusahaan kami.
"Brengsek!" umpatku. "Jadi, setelah Tanaka menghilang,
dia turun ke lantai dasar dan mengambil satu kaset, sebab
kaset itu berisi rekaman yang memperlihatkannya
melintasi ruangan, lengkap dengan bayangan yang
ditimbulkannya?"
"Tepat."
"Dan dia membutuhkan kaset itu untuk mengotak-atik
rekaman yang asli?"
"Tepat."
Akhirnya aku mulai mengerti. "Tapi, biarpun kita bisa
mengusut bagaimana rekaman itu dimanipulasi, pengadilan
takkan menerimanya sebagai barang bukti, bukan?"
"Benar," ujar Theresa. "Pengacara mana pun akan
memastikan bahwa rekaman itu dinyatakan tidak sah."
"Jadi, satu-satunya cara untuk memecahkan kasus ini
adalah mencari seseorang yang bisa memberi kesaksian.
Sakamura mungkin tahu, tapi dia sudah tewas. Artinya, kita
menghadapi jalan buntu, kaecuali kalau kita bisa
menemukan Mr. Tanaka. Saya rasa dia sebaiknya segera
ditahan."
"Jangan berharap terlalu banyak," kata Connor.
"Kenapa? Anda pikir mereka akan menyem-
bunyikannya?"
"Tidak, mereka tidak perlu repot-repot. Kemungkinan
besar Mr. Tanaka sudah mati."

Bab 41
CONNOR segera berpaling pada Theresa. "Anda mahir
dalam bidang Anda?"
"Ya," jawabnya.
"Sangat mahir?"
"Saya kira begitu."
"Waktu kita tinggal sedikit. Saya minta Anda bekerja
sama dengan Peter. Coba lihat apa yang dapat Anda peroleh
dari kaset itu. Gambatte: berusahalah sekeras-kerasnya.
Dan jangan khawatir, jasa Anda takkan dilupakan.
Sementara itu, ada beberapa orang yang perlu saya
hubungl."
Aku berkata, "Anda mau pergi?"
"Ya. Dan saya perlu kendaraan."
Aku menyerahkan kunci mobilku. "Anda mau ke mana?"
"Saya bukan istri Anda."
"Saya cuma bertanya."
"Jangan pikirkan itu. Saya harus menemui beberapa
orang." Ia berbalik untuk pergi.
"Tapi, kenapa Anda mengatakan bahwa Tanaka sudah
mati?"
"Hmm, mungkin juga belum. Kita akan membahas soal
ini kalau waktunya lebih banyak. Sekarang ini, tugas kita
masih menumpuk. Dan semuanya harus selesai sebelum
jam empat sore. Itu batas waktu kita yang sesungguhnya.
Saya rasa saya punya sejumlah kejutan untuk Anda, Kohai.
Anggap saja bisikan chokkan, naluri saya. Oke? Kalau ada
kesulitan, atau perkembangan tak terduga, hubungi saya
lewat telepon mobil. Semoga sukses. Sekarang silakan
bekerja dengan waiiita cantik ini. Urayamashii ne!"
Dan ia pergi. Kami mendengar pintu belakang menutup.
Aku bertanya pada Theresa, "Apa katanya?"
"Dia bilang, dia iri pada Anda." Theresa tersenyum dalam
kegelapan. "Mari kita mulai."
Dengan jemarinya yang lincah ia menekan beberapa
tombol berturut-turut. Rekaman itu kembali ke titik awal.
Aku berkata, "Bagaimana kita akan menanganinya?"
"Ada tiga pendekatan pokok untuk mempelajari
bagaimana rekaman video ini diotak-atik. Yang pertama
adalah blur dan tepi-tepi warna. Yang kedua adalah garis
bayangan. Kita bisa menggunakan elemen-elemen itu, tapi
saya sudah mencobanya selama dua jam terakhir, dan
hasiInya tidak menggembirakan."
"Dan cara ketiga?"
"Elemen pantulan. Saya belum sempat memeriksanya."
Aku menggelengkan kepala.
"Pada dasarnya, elemen-elemen pantulan merupakan
bagian-bagian suatu gambar yang tercermin dalam gambar
itu sendiri. Seperti waktu Sakamura berjalan meninggalkan
ruangan, dan wajahnya terlihat di cermin. Hampir pasti ada
pantulan lain di ruangan itu. Mungkin ada lampu meja
berlapis krom yang memantulkan bayangan orang, meski
dengan distorsi, pada waktu mereka lewat. Dinding-dinding
ruang rapat terbuat dari kaca. Barangkali kita bisa
mendapatkan pantulan dari sana. Atau dari pemberat
kertas di salah satu meja. Atau dari vas kaca berisi bunga.
Apa saja yang cukup mengilap."
Aku mengamatinya ketika ia bersiap-siap untuk
memutar rekaman itu. Tangannya yang utuh ber-
pindah-pindah dengan cepat dari satu mesin ke mesin lain.
Janggal rasanya, berdiri di samping wanita yang begitu
cantik, dan yang begitu tidak sadar akan kecantikannya.
"Dalam hampir semua gambar ada permukaan yang
menimbulkan pantulan. Di luar ada bemper mobil, jalanan
basah, kaca jendela. Dan di dalam ruangan ada bingkai foto,
cermin, tempat lilin dari perak, kaki meja berlapis krom...
Selalu ada sesuatu."
"Tapi pantulan-pantulan itu tentu juga sudah diubah,
bukan?"
"Kalau mereka punya waktu, ya. Sebab sekarang ada
program-program komputer yang dapat memetakan
gambar pada sebuah objek berlekuk-lekuk. Tapi itu butuh
waktu. Nah. Mudah-mudahan saja mereka tidak sempat
melakukannya."
Ia mulai memutar rekaman itu. Bagian pertamanya
gelap. Cheryl Austin muncul di dekat lift. Aku menatap
Theresa. Aku bertanya, "Bagaimana kesan Anda mengenai
urusan ini?"
"Maksudnya?"
"Membantu kami. Polisi."
"Maksud Anda, karena saya orang Jepang?" Ia melirik ke
arahku dan tersenyum. Senyumnya aneh, mencong. "Saya
tidak punya bayangan yang muluk-muluk mengenai Jepang.
Anda tahu di mana Sako?"
"Tidak."
"Sako adalah sebuah kota - sebenarnya sebuah desa - di
utara. Di Hokkaido. Daerah pedalaman. Di sana ada
pangkalan Angkatan Udara AS. Saya lahir di Sako. Ayah
saya ahli mesin, seorang kokujin. Anda tahu kata ini,
kokujin? Niguro. Orang kulit hitam. Ibu saya bekerja di
warung mi yang biasa dikunjungi anggota Angkatan Udara.
Mereka menikah, tapi ayah saya tewas dalam suatu ke-
celakaan waktu saya berumur dua tahun. Sebagai janda, ibu
saya memperoleh pensiun kecil. Jadi kami punya sedikit
uang. Tapi sebagian besar diambil kakek saya, sebab dia
berkeras bahwa dia tertimpa aib karena kelahiran saya.
Saya dianggap ainoko dan niguro. Artinya tidak bagus. Tapi
ibu saya tetap ingin di sana, di Jepang. Jadi saya pun tinggal
di Sako. Di... tempat itu..."
Suaranya bemada getir.
"Anda tahu arti burakumin?" tanyanya. "Tidak? Itu tidak
aneh. Di Jepang, di tempat setiap orang konon dianggap
sama, tak ada yang membicarakan burakumin. Tapi
sebelum pernikahan, keluarga pengantin pria akan
menyelidiki latar belakang keluarga pengantin wanita,
untuk memastikan bahwa tidak ada burakumin dalam
silsilah mereka. Keluarga pengantin wanita akan
melakukan hal yang sama. Dan kalau ada keraguan sekecil
apa pun, pemikahannya batal. Burakumin adalah golongan
paria di Jepang. Orang buangan, golongan paling hina.
Mereka keturunan tukang samak dan pengrajin kulit, yang
dalam ajaran Buddha dianggap najis."
"Begitu."
"Dan saya lebih hina dari burakumin, karena saya cacat.
Bagi orang Jepang, cacat fisik adalah hal yang memalukan.
Bukan menyedihkan, atau menjadi beban. Memalukan.
Tanda bahwa kita berdosa. Cacat membawa aib pada kita,
keluarga kita, dan lingkungan sekitar kita. Orang-orang di
sekeliling kita berharap kita mati saja. Dan kalau kita
setengah berkulit hitam, ainoko dari orang Amerika
berhidung besar..." Ia menggelengkan kepala. "Anak-anak
kejam sekali. Dan ini kota kecil di pedalaman."
Ia menyaksikan rekaman di monitor.
"Jadi, saya bersyukur bisa tinggal di sini. Kalian orang
Amerika tidak menyadari kesentosaan yang ada di negeri
ini. Kebebasan yang kalian nikmati. Anda tidak bisa
membayangkan pahitnya hidup di Jepang, jika Anda
dikucilkan dari kelompok. Tapi saya tahu persis. Jadi saya
tidak keberatan kalau sekarang orang Jepang menderita
sedikit, berkat usaha saya dengan tangan saya yang sehat."
Ia menatapku. Wajahnya tampak bagaikan topeng,
akibat gejolak perasaan di hatinya. "Apakab pertanyaan
Anda sudah terjawab, Letnan?"
"Ya," kataku.
"Ketika saya datang ke Amerika, saya pikir pandangan
orang Amerika mengenai orang Jepang sangat naif - tapi
sudahlah. Ini adegan yang kita tunggu. Anda amati dua
monitor di atas. Saya akan memantau ketiga monitor di
bawah. Carilah benda-benda dengan permukaan mengilap.
Carilah dengan saksama. Oke, kita mulai."

Bab 42

DALAM kegelapan aku mengamati layar-layar monitor.


Theresa Asakuma tidak suka pada orang Jepang, tapi
begitu juga aku. Insiden dengan Wilhelm si Musang telah
menyulut kemarahanku. Kemarahan seseorang yang
sedang diliputi rasa takut. Satu kalimat terus
terngiang-ngiang di telingaku.
Dalam keadaan seperti sekarang, apakah Anda tidak
sependapat bahwa pengadilan telah membuat kekeliruan
dengan memberikan hak asuh atas putri Anda kepada Anda?
Aku tak pernah menuntut hak asuh. Dalam suasana
perceraian, Lauren pindah, mengemasi barang-barang, ini
punyaku, itu milikmu - dalam suasana seperti ltu, hal
terakhir yang kuinginkan adalah hak asuh atas bayi berusia
tujuh bulan. Shelly baru belajar melangkah, dengan
berpegangan pada perabot. Ia bisa bilang "Mama".
Ucapannya yang pertama. Tapi Lauren tak ingin mengem-
ban tanggung jawab dan terus berkata, "Aku tidak sanggup,
Peter. Aku tidak sanggup." Jadi aku yang mengasuh
Michelle. Apa lagi yang dapat kulakukan?
Tapi itu terjadi dua tahun lalu. Aku telah mengubah cara
hidupku. Aku pindah tugas, mengubah jadwal kerjaku.
Michelle sudah menjadi anakku sekarang. Dan bayangan
bahwa aku harus merelakannya terasa seperti pisau yang
diputar-putar di perutku.
Dalam keadaan seperti sekarang, Letnan, apakah Anda
tidak sependapat...
Di monitor, Cheryl Austin menanti kedatangan teman
kencannya dalam kegelapan. Aku memperhatikan caranya
memandang berkeliling.
Pengadilan telah membuat kekeliruan...
Tidak, pikirku, pengadilan tidak membuat kekeliruan.
Lauren tidak sanggup mengatasinya, dan dari dulu ia
memang tak pernah sanggup. Ia sering lalai menjemput
Michelle pada akhlr pekan. Ia terlalu sibuk, hingga tak
sempat menemui putrinya sendiri. Suatu kali ia mengantar
Michelle pulang setelah berakhir pekan. Michelle menangis.
Lauren berkata, "Aku benar-benar kehabisan akal meng-
hadapi anak ini." Aku segera memeriksa Michelle. Ternyata
popoknya basah, dan ia terkena ruam hebat. Michelle selalu
terkena ruam kalau popoknya tidak segera diganti.
Rupanya Lauren tidak cukup sering mengganti popok
selama akhir pekan. Aku langsung mengganti popok
Michelle, dan menemukan sisa tinja di vaginanya.
Bayangkan, anaknya sendiri tidak dibersihkan secara
benar.
Anda tidak sependapat bahwa pengadilan telah membuat
kekeliruan?
Tidak, sama sekali tidak.
Dalam keadaan seperti sekarang, apakah Anda tidak
sependapat..
"Brengsek!" kataku.
Theresa menekan sebuah tombol, menghentikan alat
playback. Gambar pada semua monitor di sekitar kami
langsung membeku. "Ada apa?" tanyanya. "Apa yang Anda
lihat?"
"Tidak ada apa-apa."
Ia menatapku. '
"Sori. Saya memikirkan urusan lain."
"Jangan. “
Ia meneruskan rekaman itu.
Pada beberapa monitor sekaligus, Cheryl Austin sedang
dipeluk teman kencannya. Gambar-gambar dari semua
kamera dikoordinasikan secara menyeramkan. Sepertinya
kami bisa mengamati kejadian itu dari semua sisi-dari
depan dan belakang, atas dan samping. Seperti gambar
arsitektur yang bisa bergerak.
Bulu kudukku berdiri ketika menyaksikan mereka.
Kedua monitor yang kuamati memperlihatkan
pandangan dari seberang ruangan, dan dari atas, lurus ke
bawah. Pada monitor pertama, Cheryl dan teman
kencannya tampak kecil, pada monitor yang satu lagi,
hanya bagian atas kepala mereka yang kelihatan. Tapi aku
terus memantau gerak-gerik mereka.
Theresa Asakuma, yang berdiri di sampingku, menarik
napas secara berirama. Aku meliriknya.
"Perhatikan monitor."
Pandanganku kembali ke layar.
Kedua sejoli itu sedang berpelukan penuh gairah. Si pria
mendorong Cheryl ke sebuah meja. Dari pandangan atas,
aku bisa melihat wajah Cheryl ketika berbaring. Di
sampingnya, sebuah foto berbingkai tersenggol dan jatuh.
"Itu," kataku.
Theresa menghentikan rekaman.
"Apa?" tanyanya.
"Ini." Aku menunjuk foto berbingkai. Foto itu tergeletak
di meja, menghadap ke atas. Terpantul di kaca, kami
melihat cerminan kepala si pria ketika ia membungkuk di
atas Cheryl. Gelap sekali. Hanya sebuah siluet.
"Anda bisa membuatnya lebih jelas?" kataku.
"Entahlah. Tapi bisa dicoba."
Tangannya menyentuh beberapa tombol kontrol.
"Gambar video ini berbentuk digital," ujar Theresa. "Dan
sekarang sudah saya pindahkan ke komputer. Coba lihat
apa yang bisa kita lakukan."
Gambar itu mulai membesar, ketika Theresa memfokus
bingkai foto. Gambarnya melewati wajah Cheryl yang diam,
kepalanya mendongak akibat luapan gairah, lalu menyusuri
bahu dan mendekati bingkai.
Semakin lama gambarnya semakin kasar, sampai
membentuk pola titik-titik, seperti foto di koran yang
diamati dari jarak yang terlalu dekat. Kemudian titik-titik
itu pun membesar, memperlihatkan garis tepi, dan berubah
menjadi kotak-kotak kecil berwarna kelabu. Dalam waktu
singkat aku tak sanggup lagi mengenali gambar yang ada di
hadapan kami.
"Apakah ini akan berhasil?"
"Saya sangsi. Tapi itu tepi bingkai, dan itu wajahnya."
Untung saja Theresa bisa melihatnya. Sebab aku tidak
bisa.
"Sekarang kita pertajam.”
Ia menekan beberapa tombol. Menu-menu komputer
muncul, lalu menghilang lagi. Gambarnya bertambah jelas.
Bertambah kasar. Tapi sekarang aku bisa melihat bingkai
itu. Dan sebuah kepala.
"Pertajam lagi."
Theresa mengusahakannya.
"Oke. Kalau kita bisa menyesuaikan susunan warna
kelabu..."
Wajah di bingkai mulai timbul perlahan-lahan.
Menyeramkan sekali.
Akibat pembesaran berulang-ulang, gambarnya kasar
sekali - setiap pupil mata hanya berupa titik hitam -
sehingga kami tidak dapat melakukan identifikasi. Kami
hanya melihat bahwa mata pria itu terbuka, mulutnya agak
mencong, mungkin karena bergairah, atau terangsang, atau
benci. Tapi kami tak sanggup memastikannya.
"Apakah ini wajah orang Jepang?"
Theresa menggelengkan kepala. "Detailnya tidak cukup."
"Tidak bisa dipertajam lagi?"
"Nanti saya coba. Tapi harapannya tipis. Lebih baik kita
cari pantulan lain."
Gambar di monitor kembali bergerak. Cheryl tiba-tiba
mendorong pria itu, mendorong dadanya dengan telapak
tangan. Wajah di bingkai langsung lenyap.
Kami kembali mengamati kelima monitor.
Pasangan itu saling menjauh. Cheryl marah-marah.
Berulang kali ia mendorong si pria. Ia tampak gusar.
Setelah melihat wajah pria itu terpantul pada bingkai foto,
aku curiga babwa Cheryl mendadak merasa takut. Tapi aku
tak bisa memastikannya.
Kedua sejoli itu berdiri di tengah ruangan, membahas ke
mana mereka akan pergi. Cheryl memandang berkeliling. Si
pria mengangguk. Cheryl menunjuk ke ruang rapat. Teman
kencannya rupanya setuju.
Mereka berciuman, berpelukan. Aku menangkap kesan
akrab dalam cara mereka berangkulan, saling menjauh, lalu
berangkulan lagi.
Theresa juga melihatnya. "Wanita itu mengenalnya.”
"Ya. Saya kira begitu."
Sambil berciuman, mereka melintasi ruangan, menuju
ruang rapat. Monitor-monitor yang kuamati tidak berguna
lagi. Kamera pertama memperlihatkan seluruh ruangan,
dan pasangan itu melintas dari kanan ke kiri. Tapi sosok
mereka terlalu kecil, nyaris tak terlihat. Mereka berjalan di
antara meja-meja, menuju ke...
"Tunggu," kataku. "Apa itu?"
Theresa memundurkan rekaman, frame demi frame.
"Itu, " kataku.
Aku menunjuk monitor. “Anda lihat ini? Apa ini?"
Ketika sepasang sejoli itu melintasi ruangan, kamera
sempat merekam lukisan kaligrafi Jepang berukuran besar
yang tergantung pada dinding di dekat lift. Lukisan itu
berada di balik kaca. Sepintas terlihat pantulan cahaya pada
kaca itu. Itulah yang menarik perhatianku.
Pantulan cahaya.
Theresa mengerutkan kening. "Itu bukan pantulan
mereka," katanya.
"Bukan."
"Mari kita periksa."
Ia kembali memperbesar gambar, bergeser ke lukisan
itu. Dengan setiap langkah, gambarnya bertambah kasar.
Pantulan tadi membesar, terbelah dua. Di salah satu sudut
tampak titik terang yang kabur. Dan sebuah garis vertikal,
hampir setinggi lukisan.
"Sekarang kita goyangkan," ujar Theresa.
Ia mulai memaju-mundurkan gambar itu, setiap kali satu
frame. Bolak-balik di antara dua frame. Di satu frame, garis
vertikal itu tidak tampak. Di frame berikut, ada. Garis
vertikal itu bertahan selama sepuluh frame. Lalu lenyap,
dan tak pernah muncul lagi. Tetapi titik terang di sudut
tetap kelihatan.
"Hmm."
Ia mulai memeriksa titik itu. Di bawah pembesaran
beberapa kali, titik itu terurai sampai menyerupai
sekumpulan bintang di foto astronomi. Tapi sepertinya ada
keteraturan tertentu. Aku hampir bisa membayangkan
bentuk X. Aku mengatakannya kepada Theresa.
"Ya," katanya. "Coba kita pertajam."
Ia menekan sebuah tombol. Komputer-komputer sibuk
mengolah data. Titik kabur itu mulai lebih tajam. Sekarang
kelihatannya seperti angka-angka Romawi.
"Brengsek, apa itu?" tanyaku.
Theresa terus bekerja. "Sekarang kita pertajam bagian
pinggir," katanya. Garis tepi angka-angka Romawi itu mulai
lebih jelas.
Theresa berusaha untuk semakin mempertajam gambar.
Dari beberapa segi, mutu gambar bertambah baik; dari segi
lain malah semakin tidak jelas. Tapi akhirnya kami dapat
mengenalinya.
"Itu pantulan tanda EXIT," ujar Theresa. "Di ujung
ruangan, di seberang lift, ada pintu keluar, bukan?"
"Ya," kataku.
"Tanda itulah yang terpantul. Hanya itu." Ia maju ke
frame berikut. "Tapi garis terang yang vertikal ini. Ini
menarik. Anda lihat? Muncul sebentar, lalu lenyap." Ia
memaju-mundurkan bagian itu beberapa kali.
Dan kemudian aku menemukan jawabannya.
"Di sana ada pintu kebakaran," kataku. "Dan tangga
darurat. Garis itu pasti pantulan cabaya dari tangga pada
waktu seseorang membuka pintu, lalu menutupnya lagi."
“Maksud Anda, ada orang lain masuk ke ruangan itu?"
tanya Theresa. "Lewat tangga belakang?"
"Ya."
"Menarik. Coba kita lihat siapa orangnya."
Ia memutar rekaman. Dengan pembesaran seperti ini,
gambarnya yang kasar tampak meledak-ledak seperti
kembang api. Sepertinya setiap komponen menari-nari
sesuai keinginannya sendiri, tanpa penghiraukan gambar
yang dibentuknya. Aku menggosok-gosok mata. "Astaga."
"Oke. Itu dia."
Aku menatap monitor. Theresa telah membekukan
gambar. Aku tidak melihat apa-apa selain titik-titik hitam
dan putih. Sepertinya ada pola tertentu, tapi aku tak bisa
memastikannya. Tampilan di monitor mirip sonogram yang
kulihat ketika Lauren mengandung. Dokternya
menjelaskan,
"Itu kepalanya, dan itu perut janin..." Tapi aku tidak
melihat apa-apa. Gambarnya terlalu abstrak. Putriku masih
di dalam rahim.
Dokternya berkata, "Nah, Anda lihat itu? Dia baru saja
menggerakkan jari. Dan itu? Jantungnya berdenyut."
Aku melihat itu. Aku melihat jantungnya berdenyut.
Jantungnya yang mungil dan tulang iganya yang kecil.
Dalam keadaan seperti sekarang, Letnan, apakah Anda
tidak berpendapat bahwa...
"Lihat," ujar Theresa. "Itu bahunya. Itu kepalanya.
Sekarang dia bergerak maju - lihat, sosoknya bertambah
besar - dan sekarang dia berdiri di selasar, mengintip dari
balik pojok. Dia berhati-hati. Profil hidungnya kelihatan
pada waktu dia menoleh. Anda lihat itu? Saya tahu,
memang tidak mudah. Anda harus mengamatinya dengan
saksama. Sekarang dia melihat mereka. Dia menonton
mereka."
Dan tiba-tiba saja aku bisa melihatnya. Titik-titik itu
dapat membentuk sebuah gambar. Aku melihat siluet
seorang pria berdiri di selasar, di dekat pintu kebakaran.
Ia sedang menonton.
Di seberang ruangan, Cheryl dan teman kencannya
masih berciuman. Mereka tidak mengetahui kedatangan
orang ketiga itu.
Tapi orang itu menonton mereka. Bulu kudukku berdiri.
"Anda bisa mengenalinya?"
Theresa menggelengkan kepala. “Tidak bisa. Saya telah
mengerahkan seluruh kemampuan peralatan ini.
Gambarnya tidak bisa diperjelas lagi."
"Kalau begitu, kita lanjutkan saja."

Adegan itu kembali diputar dengan kecepatan penuh.


Aku sempat bingung melihat gambar di monitor berubah ke
ukuran normal. Aku memperhatikan sepasang sejoli itu
melintasi ruangan sambil terus berciuman.
"Jadi, sekarang mereka jadi tontonan," ujar Theresa.
"Menarik. Wanita macam apa ini.
Aku berkata, "Kalau tidak salah, istilahnya torigaru
onnai."
Ia bertanya, "Burungnya ringan? Tori apa?"
"Maksud saya, dia perempuan gampangan."
Theresa menggelengkan kepala. "Pria selalu
berkomentar seperti ini. Menurut saya, dia mencintai
laki-laki itu, tapi pikirannya terganggu."
Cheryl dan pasangannya sudah hampir sampai di ruang
rapat, tiba-tiba Cheryl memberontak, berusaha melepaskan
diri.
"Kalau dia mencintainya, dia punya cara aneh untuk
memperlihatkannya."
"Dia sadar bahwa ada yang tidak beres."
"Kenapa Anda berkata begitu?"
"Entahlah. Barangkali dia mendengar sesuatu. Laki-laki
yang satu lagi, mungkin. Saya tidak tahu."
Apa pun alasannya, Cheryl tampak meronta-ronta. Pria
itu merangkul pinggangnya dengan kedua tangan dan
setengah menyeretnya ke ruang rapat. Ketika mereka
sampai di pintu, Cheryl memberontak sekali lagi.
"Mungkin ada sesuatu untuk kita di sini," ujar Theresa.
Dinding-dinding ruang rapat terbuat dari kaca. Melalui
dinding-dinding luar, kami bisa melihat lampu-lampu di
kota. Tapi dinding-dinding bagian dalam, yang menghadap
ke atrium, cukup gelap untuk berfungsi sebagai cermin.
Karena Cheryl dan teman kencannya berdiri di dekat
dinding dalam, bayangan mereka terpantul di kaca ketika
mereka bergelut.
Theresa memajukan rekaman secara perlahan-lahan,
frame demi frame, mencari gambar yang bermanfaat bagi
kami. Sesekali ia memperbesar gambar, mengamati
titik-titik warna, lalu kembali ke ukuran semula. Bukan
pekerjaan mudah. Kedua orang itu bergerak dengan cepat,
dan sering kali mereka tampak kabur. Dan lampu-lampu
dari gedung-gedung pencakar langit di luar kadangkadang
menimpa pantulan yang seharusnya memadai.
Sangat melelahkan.
Sangat lambat.
Berhenti. Perbesar gambar. Cari bagian gambar dengan
detail cukup banyak. Angkat tangan. Maju lagi. Berhenti
lagi.
Akhirnya Theresa menghela napas. "Percuma saja. Kita
hanya membuang-buang waktu."
"Kalau begitu, putar rekamannya lagi."
Aku melihat Cheryl berpegangan pada kusen pintu,
berusaha agar tidak ditarik ke ruang rapat. Pria itu
akhirnya berhasil merenggutnya; Cheryl terseret. Ia tampak
ketakutan. Ia mengayunkan tangan untuk memukul teman
kencannya. Tasnya terpental. Kemudian mereka berada di
dalam ruangan. Siluet-siluet yang bergerak cepat, berputar.
Cheryl didorong ke meja, dan ia muncul di kamera yang
membidik lurus ke bawah di ruang rapat. Rambut
pirangnya yang pendek sangat kontras dengan meja yang
terbuat dari kayu berwarna gelap. Sikapnya berubah lagi.
Selama satu menit ia berhenti meronta-ronta. Ia tampak
berharap. Bergairah. Ia menjilat-jilat bibir. Matanya
mengikuti gerak-gerik pria yang membungkuk di atasnya.
Ia membiarkan roknya diangkat sampai ke pinggang.
Ia tersenyum, merengut, berbisik ke telinga teman
kencannya.
Laki-laki itu menarik celana dalamnya dengan gerakan
menyentak.
Cheryl menatapnya sambil tersenyum. Senyumnya
berkesan tegang - setengah terangsang, setengah
memohon.
Gairahnya bangkit akibat rasa takutnya sendiri.
Tangan pria itu mengelus-elus lehernya.

Bab 43

DI tengah kegelapan di laboratorium, dengan suara para


pemain ice skating di atas kepala, kami menyaksikan
adegan penghabisan itu berulang-ulang. Adegan itu terlihat
pada lima monitor, dari sudut yang berbeda-beda. Cheryl
mengangkat kaki ke bahu teman kencannya. Pria itu
membungkuk, mengotak-atik celana. Setelah kesekian kali,
aku melihat hal-hal kecil yang semula luput dari per-
hatiank-u. Cara Cheryl menggeliat-geliut di atas meja,
menggoyang-goyangkan pinggang. Bagaimana laki-laki itu
mendorong badannya ke belakang pada saat penetrasi.
Perubahan pada senyum Cheryl, bagaikan kucing, penuh
arti. Penuh perhitungan. Bagaimana ia mendesak pria itu
dengan mengatakan sesuatu. Perubahan sikapnya yang
mendadak, kilatan marah di matanya, tamparan yang tak
terduga. Cara ia memberontak, mula-mula untuk
merangsang teman kencannya, dan kemudian
meronta-ronta dengan cara yang berbeda, karena ada
sesuatu yang tidak beres. Bagaimana ia membelalakkan
mata. Ia kelihatan benar-benar takut. Ia berusaha
melepaskan tangan laki-laki itu, mendorong lengan jasnya
sampai mansetnya yang berkilauan kelihatan jelas. Lalu
lengannya terkulai, dengan telapak terbuka. Lima jari pucat
di atas meja yang hitam. Tangannya gemetar, jarinya me-
negang, lalu hening.
Pria itu kebingungan. Ia tidak segera sadar bahwa ada
yang tidak beres. Ia terdiam sejenak, lalu memegang kepala
Cheryl dengan kedua tangannya, menggerak-gerakkannya,
berusaha merangsang Cheryl, sebelum akhirnya mundur.
Dari belakang pun kengerian yang melandanya hampir bisa
dirasakan. Gerak-geriknya serba pelan, seakan-akan tidak
sadar sepenuhnya. Ia berjalan mondar-mandir tanpa
tujuan, mula-mula ke sini, lalu ke sana. Berusaha mencari
akal, memutuskan langkah berikutnya.
Setiap kali adegan itu diulang, perasaanku berbeda. Pada
awalnya ada semacam ketegangan, ketegangan yang
hampir bersifat seksual. Kemudian aku merasa semakin tak
terlibat, semakin analitis. Seakan-akan aku bergerak
menjauhi monitor. Dan akhirnya seluruh adegan itu terurai
di depan mataku, sosok-sosok itu kehilangan identitas
sebagai manusia, berubah menjadi abstraksi, elemen de-
sain, bergeser dan bergerak dalam bidang yang gelap.
Theresa berkata, "Wanita ini sakit."
"Kelihatannya begitu."
"Dia bukan korban."
"Mungkin bukan."
Kami menyaksikannya sekali lagi. Tapi aku tidak tahu
lagi kenapa kami menontonnya. Akhirnya aku berkata,
"Kita lanjutkan saja, Theresa."

Sampai saat itu, kami menyaksikan adegan itu sampai


titik tertentu, lalu mundur untuk mengulanginya.
Penggalan itu telah kami tonton berulang-ulang, tapi
sisanya sama sekali belum kami lihat. Hampir seketika
setelah Theresa kembali memutar rekaman itu terjadi
sesuatu yang menarik perhatian kami. Pria itu terdiam dan
menengok ke samping - seakan-akan melihat atau
mendengar sesuatu.
"Laki-laki yang satu lagi?" tanyaku.
"Mungkin." Theresa menunjuk ke monitor "Di bagian
inilah saya menemukan bayangan-bayangan yang janggal.
Sekarang kita tahu apa sebabnya."
"Karena ada sesuatu yang dihapus?"
Ia memundurkan rekaman itu. Pada monitor pandangan
samping, kami melihat teman kencan Cheryl menoleh ke
arah pintu darurat. Sepertinya ia telah melihat seseorang.
Tetapi ia tidak tampak takut atau bersalah.
Theresa membesarkan gambarnya. Orang itu hanya
kelihatan sebagai siluet. "Apa yang Anda perhatikan?"
"Profilnya."
"Ada apa dengan profilnya?"
"Saya mengamati rahang orang itu. Nah. Anda lihat?
Rahangnya bergerak-gerak. Dia sedang bicara.”
“Dengan orang yang satu lagi?"
"Mungkin, atau dengan dirinya sendiri. Dan sekarang dia
mendadak bersemangat lagi."
Laki-laki itu melintasi ruang rapat. Gerak-geriknya pasti.
Aku teringat betapa membingungkan bagian, ini, ketika aku
melibatnya di markas polisi pada malam sebelunrnya. Tapi
dengan lima kamera, semuanya jelas. Ia memungut celana
dalam Cheryl dari lantai.
Dan kemudian ia membungkuk di atas wanita yang
sudah tak bernyawa itu dan melepaskan jam tangannya.
"Dia mengambil arlojinya," komentarku.
Aku hanya bisa memikirkan satu alasan kenapa ia
berbuat begitu: arloji itu digravir dengan namanya. Pria itu
menyelipkan celana dalam dan arloji ke dalam kantong. Ia
baru saja berbalik untuk pergi, ketika gambarnya membeku
lagi. Theresa menghentikannya.
"Ada apa?" tanyaku.
Ia menunjuk satu dari kelima monitor. "Itu," katanya. Ia
menatap monitor dengan pandangan samping, yang
memperlihatkan ruang rapat dari arah atrium. Aku melihat
siluet Cheryl di atas meja, dan teman kencannya di dalam
ruang rapat.
"Yeah? Jadi?"
“Itu," ujar Theresa sambil menunjuk. "Mereka lupa
menghapus yang ini." Di sudut monitor, aku melihat sebuah
sosok yang tampak samar-samar. Seorang laki-laki.
Si orang ketiga.
Ia telah melangkah maju, dan kini berdiri di
tengah-tengah atrium, memandang ke arah si pembunuh di
dalam ruang rapat. Bayangan orang ketiga itu tercermin
pada dinding kaca. Utuh, namun kabur.
"Bisa diperjelas?"
"Akan saya coba," jawab Theresa.
Ia mulai mernperbesar gambar, memainkan tom-
bol-tombol, melihat bayangan itu terurai. Ia mem-
pertajamnya, meningkatkan kontras. Gambar itu menjadi
pucat. Theresa memperbaikinya, lalu melakukan
pembesaran lagi. Kami hampir dapat mengidentifikasi
orang itu.
Hampir, tapi belum.
"Sekarang saya akan memajukan rekaman frame demi
frame," Theresa memberitahuku.
Bayangan pria itu menjadi lebih tajam, kabur lagi, tajam.
Dan akhlrnya kami dapat melihatnya dengan jelas.
"Ini baru kejutan," kataku.
"Anda tahu siapa dia?"
"Ya," ujarku. "Itu Eddie Sakamura

Bab 44

SETELAH itu tak ada kesulitan lagi. Kini kami


mengetahui dengan pasti bahwa rekaman itu telah
dimanipulasi, dan bahwa identitas si pembunuh telah
diubah. Kami melihat si pembunuh keluar dari ruang rapat
dan menuju pintu darurat. Ia menoleh satu kali dan
menatap Cheryl. Sepertinya ia menyesal.
Aku berkata,, "Bagaimana mereka bisa mengganti
identitas si pembunuh dalam waktu beberapa jam saja?"
"Mereka punya software yang sangat canggih," jawab
Theresa. "Paling canggih di seluruh dunia. Orang Jepang
semakin jago membuat software. Tak lama lagi mereka
akan melampaui Amerika, seperti yang sudah mereka
lakukan dalam. bidang komputer."
"Jadi mereka menggunakan software yang lebih baik?"
"Dengan software yang paling baik pun tetap banyak
masalah risiko. Dan orang Jepang termasuk bangsa yang
lebih suka menghindari masalah. Jadi saya kira pekerjaan
ini tidak terlalu berat. Soalnya si pembunuh terus-menerus
berciuman, atau berdiri di tempat gelap, sehingga wajahnya
tidak kelihatan. Saya rasa, baru belakangan mereka
memutuskan untuk mengganti identitas si pembunuh.
Sebab mereka melihat bahwa mereka hanya perlu
mengganti bagian yang terlihat sekarang ini. Nah, ini.
Waktu dia lewat di depan cermin."
Pantulan wajah Eddie Sakamura kelihatan jelas.
Tangannya mengenai dinding, memperlihatkan bekas
lukanya.
"Anda lihat sendiri," ujar Theresa, "jika mereka
mengubah ini, sisanya tak perlu diapa-apakan. Ini
kesempatan emas, dan mereka tidak menyia-nyiakannya.
Itu dugaan saya."
Di semua monitor, Eddie Sakamura terlihat berjalan
melewati cermin, menuju tempat gelap. Theresa
memundurkan rekaman.
Ia memfokus pantulan di cermin dan memperbesarnya
secara bertahap, sampai wajah itu terurai menjadi
bidang-bidang. "Ah," ujar Theresa. "Lihat titik-titik warna
ini. Semuanya serba teratur. Ini hasil manipulasi. Di sini, di
tulang pipi, di tempat ada bayangan di bawah mata.
Biasanya pertemuan antara dua bidang warna agak
tumpang tindih. Tapi di sini garis tepinya lurus. Sudah
dibersihkan. Dan coba saya lihat..."
Gambar itu bergerak menyamping.
"Ya. Di sini juga."
Aku hanya melihat bidang-bidang kelabu. Entah apa
yang dilihat Theresa. "Apa itu?"
"Tangan kanannya. Bekas luka di tangan kanannya.
Bekas luka ini merupakan tambahan. Itu kelihatan dari
susunan titik-titik warna."
Aku tidak melihatnya, tapi aku percaya penuh pada
Theresa. "Kalau begitu, siapa pembunuh Chery Austin?"
Theresa menggelengkan kepala. "Rasanya sukar untuk
menentukannya. Kita sudah memeriksa semua pantulan
dan belum menemukan petunjuk. Masih ada satu cara lagi.
Saya belum mencobanya, karena ini yang paling mudah,
tapi yang juga paling mudah diotak-atik. Detail bayangan."
"Detail bayangan?"
"Ya. Kita bisa memperbesar daerah-daerah gelap di
dalam gambar, daerah bayang-bayang dan siluet-siluet.
Mungkin ada satu bagian dengan cukup cahaya, sehingga
kita bisa mengenali wajah si pembunuh. Bisa dicoba."
Sepertinya ia tidak berharap terlalu banyak.
"Menurut Anda, ini takkan berhasil?"
Ia mengangkat bahu. "Saya menyangsikannya. Tapi kita
coba saja dulu. Ini pilihan terakhir."
"Oke," kataku. "Mari kita mulai."
Ia memutar rekaman secara terbalik. Eddie Sakamura
tampak berjalan mundur dari cermin ke arah ruang rapat.
"Tunggu dulu," ujarku. "Apa yang terjadi setelah dia
melewati cermin? Kita belum melihat bagian itu."
"Saya sudah sempat mengamatinya. Dia melangkah ke
bawah langit-langit rendah dan bergerak menjauh, ke arah
tangga."
"Bisa saya lihat dulu?"
"Silakan."
Theresa menekan sebuah tombol. Eddie Sakamura
menuju pintu darurat. Wajahnya terpantul di cermin ketika
ia melewatinya. Semakin sering kulihat adegan itu,
kesannya semakin dibuat-buat. Sepertinya orang itu
sempat berhenti sejenak, agar kami lebih mudah
mengenalinya.
Si pembunuh terus berjalan, memasuki selasar gelap,
menuju tangga kebakaran yang terletak di balik pojok,
tidak kelihatan. Dindingnya berwarna terang, sehingga si
pembunuh tampak sebagai siluet. Tetapi siluetnya tidak
memperlihatkan detail-detail. Semuanya serba gelap.
"Hmm," ujar Theresa. "Saya ingat bagian ini. Di sini tidak
ada apa-apa. Terlalu gelap. Kuronbo. Dulu saya biasa
dipanggil begitu. Orang hitam."
"Saya pikir Anda bisa mempertajam detail bayangan."
"Memang, tapi di sini tidak mungkin. Lagi pula, saya
yakin bagian ini sudah diotak-atik. Mereka tahu kita akan
memeriksa bagian sebelum dan sesudah cermin. Mereka
tahu kita akan menelitinya frame demi frame. Jadi, bagian
ini pasti telah dikerjakan dengan saksama. Bayangan orang
ini sudah dibuat hitam."
"Oke, tapi biarpun begitu..."
"Hei!" Theresa mendadak berseru. "Apa itu?"
Gambar di monitor membeku.
Aku melihat sosok si pembunuh, berjalan ke arah
dinding putih di latar belakang. Di atas kepalanya ada tanda
exit.
"Kelihatannya seperti siluet."
"Ya, tapi ada yang janggal."
Rekaman itu diputar mundur dalam gerak lambat.
Sambil menonton, aku berkata, "Machigai no umi oshete
kudasaii." Sebuah ungkapan yang kupelajari dalam kursus
bahasa Jepang.
Theresa tersenyum dalam kegelapan. "Anda harus lebih
giat belajar bahasa Jepang, Letnan. Anda ingin tahu apakah
ada kesalahan?"
"Ya."
"Kata yang tepat adalah umu, bukan umi. Umi berarti
samudra. Umu berarti Anda menanyakan ya atau tidak
mengenai sesuatu. Dan ya, saya kira mereka telah membuat
kesalahan."
Rekaman terus diputar mundur. Siluet si pembunuh
mendekati kami. Theresa menghela napas, terkejut.
"Memang ada kesalahan. Anda melihatnya?"
"Tidak," kataku.
Ia memutar rekaman ke arah yang benar untukku. Aku
memperhatikan sliluet pria itu bergerak menjauh.
"Nah, Anda melihatnya sekarang?"
"Tidak. Sori."
Theresa mulai jengkel. "Jangan melamun. Amati
bahunya. Pusatkan perhatian Anda pada bahu pria itu.
Anda lihat bagaimana bahunya bergerak naik-turun waktu
dia melangkah, berirama, dan kemudian... Nah, itu dia!
Anda melihatnya?"
Ya. Akhirnya. "Sepertinya siluetnya berubah. Jadi lebih
tinggi."
"Betul. Tepat sekali." Ia memutar beberapa tombol.
"Perbedaan tingginya cukup mencolok, Letnan. Mereka
berusaha menutup-nutupinya, tapi sepertinya asal-asalan
saja."
"Dan ini berarti?"
"Ini berarti mereka terlalu takabur," ujar Theresa.
Sepertinya ia marah. Aku tidak tahu kenapa.
Jadi aku menanyakannya.
"Ya. Ini menyebalkan sekali," kata Theresa. Ia sedang
memperbesar gambar di monitor. Tangannya yang sehat
bergerak dengan lincah. "Soalnya mereka membuat
kesalahan mencolok. Mereka yakin kita akan ceroboh. Kita
tidak teliti, tidak cerdas, tidak bersikap Jepang."
"Tapi..."
"Oh, saya benci mereka." Gambar di monitor tampak
bergeser. Theresa sedang memfokus tepi kepala. "Anda
tahu Takeshita Noboru?"
Aku berkata, "Pengusaha Jepang?"
"Bukan. Takeshita mantan perdana menteri. Beberapa
tahun lalu; d ia berkelakar mengenai pelaut-pelaut Amerika
yang sedang berkunjung dengan kapal angkatan laut.
Katanya Amerika sekarang begitu miskin, sehingga para
pelautnya tidak mampu turun ke darat untuk menikmati
Jepang. Semuanya terlalu mahal untuk mereka. Dia bilang,
mereka hanya bisa tinggal di atas kapal dan saling
menularkan AIDS. Semua orang Jepang tahu lelucon itu."
"Dia bilang begitu?"
Theresa mengangguk. "Kalau saya orang Amerika, dan
saya diejek seperti itu, saya akan mengambil kapal saya dan
menyuruh Jepang membiayai sendiri pertahanannya. Anda
tidak tahu Takesbita berkata begitu?"
"Tidak..."
"Pers Amerika." Ia menggelengkan kepala. "Payah."
Ia kesal sekali, dan bekerja dengan tergesa-gesa. Jarinya
salah menekan tombol. Seketika gambarnya menjadi kabur.
"Brengsek."
"Tenang saja, Theresa."
"Omong kosong. Kita akan berhasil sekarang.”
Ia memperbesar kepala siluet, memisahkannya dari sisa
gambar, lalu mengikutinya, frame demi frame.
"Nah, ini sambungannya," katanya. "Di sini gambar yang
telah diubah kembali ke rekaman aslinya. Inilah pembunuh
sebenarnya."
Siluet itu bergerak menuju dinding seberang. Theresa
memajukan gambar frame demi frame. Kemudian sosok itu
mulai berubah bentuk.
"Ah. Oke. Bagus, ini saya harapkan..."
"Ada apa?"
"Dia menoleh untuk terakhir kali. Menoleh ke arah ruang
rapat. Anda lihat? Kepalanya berputar. Itu hidungnya, dan
sekarang hidungnya hilang lagi, karena dia sudah
menengok ke belakang. Sekarang dia melihat ke arah kita."
Siluet itu tampak hitam pekat.
"Tidak banyak gunanya."
"Tunggu saja."
Ia kembali mengotak-atik panil kontrol.
"Detailnya ada di situ," katanya. "Seperti foto yang
terlalu gelap. Detailnya terekam, tapi kita belum bisa
melihatnya. Nah... sekarang lebih jelas. Dan sekarang saya
akan mengatur detail bayangan... Yeah!"
Secara mendadak dan mengejutkan, siluet gelap itu
bertambah jelas. Dinding putih di belakangnya tampak
menyilaukan, menimbulkan semacam lingkaran cahaya di
sekitar kepala. Wajahnya menjadi lebih terang, dan untuk
pertama kali kami dapat melihatnya dengan jelas.
"Huh, orang kulit putih," Theresa berkomentar dengan
nada kecewa.
"Ya Tuhan," kataku.
"Anda tahu siapa dia?"
"Ya," kataku.
Wajah itu tampak tegang. Bibirnya agak mencong. Tapi
identitasnya tak perlu dipertanyakan lagi.
Aku menatap wajah Senator John Morton.

Bab 45

AKU menyandarkan punggung, menatap gambar beku di


monitor. Aku mendengar mesin-mesin berdengung. Aku
mendengar air menetes ke ember-ember, di tengah
kegelapan yang meliputi laboratorium. Aku mendengar
suara napas Theresa di sampingku, tersengal-sengal,
seperti pelari seusai pertandingan.
Aku hanya duduk dan menatap layar monitor. Segala
sesuatu mendadak jelas.
Julia Young: Dia punya pacar yang sering bepergian. Dia
sendiri selalu bepergian. New York, Washington, Seattle...
dia menemuinya. Dia tergila-gila pada orang itu.
Jenny, di studio TV: Morton punya simpanan yang masih
muda. Wanita itu membuatnya cemburu. Dia masih muda.
Eddie: Dia suka membuat masalah, cewek ini. Dia suka
membuat onar.
Jenny: Aku sudah beberapa kali melihat wanita itu di
pesta-pesta orang Washington dalam enam bulan terakhir.
Eddie: Dia tidak waras. Dia menikmati rasa sakit.
Jenny: Morton mengetuai Komite Keuangan Senat.
Komite yang menangani penjualan MicroCon.
Cole, si petugas satpam, di bar: Orang-orang penting
sudah ada di kantong mereka. Sudah dikuasai oleh mereka.
Kita tidak mungkin mengalahkan mereka.
Dan Connor: Seseorang menginginkan penyidikan ini
ditutup. Mereka ingin kita menyerah.
Dan Morton: Jadi penyidikan Anda sudah resmi ditutup?

"Sialan," kataku.
Theresa bertanya, "Siapa dia?"
"Seorang senator."
"Oh." Ia menatap layar. "Dan apa urusan mereka dengan
orang itu?"
"Orang itu menduduki posisi penting di Washington. Dan
saya kira dia ikut berperan dalam penjualan sebuah
perusahaan. Mungkin masih ada alasan lain lagi."
Theresa mengangguk.
Aku berkata, "Apakah gambar ini bisa dicetak dalam
bentuk foto?"
"Tidak. Kami tidak punya peralatannya."
"Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Saya perlu membawa
sesuatu."
"Saya bisa membuat foto Polaroid," ujar Theresa.
"Mutunya tidak terlalu baik, tapi untuk sementara,
lumayan." Ia mulai mencari, meraba-raba dalam gelap.
Akhirnya ia kembali dengan membawa sebuah kamera. fa
mendekat ke layar dan meng ambil beberapa foto.
Kami menunggu hasilnya.
"Thanks," kataku, "atas segala bantuan Anda."
"Sama-sama. Dan saya turut menyesal."
"Kenapa?"
"Saya tahu Anda berharap pembunuhnya orang Jepang."
Aku sadar bahwa ia sedang mengungkapkan
perasaannya sendiri. Aku tidak berkomentar apa-apa.
Foto-foto itu bertambah gelap. Hasilnya cukup baik,
gambarnya kelihatan jelas. Ketika aku menyelipkan
semuanya ke dalam kantong, aku merasakan sebuah benda
keras. Aku segera mengeluarkannya.
"Anda punya paspor Jepang?" tanya Theresa.
"Tidak. Ini bukan milik saya. Paspor ini milik Eddie." Aku
memasukkannya kembali. "Saya harus pergi sekarang,"
kataku. "Saya harus mencari Kapten Connor."
"Oke." Theresa berpaling ke monitor-monitor di
hadapannya.
"Apa yang akan Anda lakukan sekarang?" ujarku.
"Masih ada pekerjaan yang perlu diselesaikan."
Aku meninggalkannya, keluar melalui pintu belakang,
dan menyusuri selasar gelap.

Cahaya matahari yang terang benderang membuatku


berkedip-kedip. Aku mencari telepon umum dan
menghubungi Connor. Ia sedang duduk di dalam mobil.
"Di mana Anda sekarang?" tanyaku.
"Di hotel."
"Hotel mana?"
"Four Seasons," ujar Connor. "Hotel tempat Senator
Morton menginap."
"Sedang apa Anda di sana?" kataku. "Anda tahu bahwa..."
"Kohai," Connor mernotong. "Ingat, saluran terbuka.
Panggil taksi dan temui saya di 1430 Westwood Boulevard.
Kita ketemu di sana dalam dua puluh menit."
"Tapi bagaimana..."
"Jangan banyak bertanya." Dan ia meletakkan gagang-

Aku mengamati bangunan di 1430 Westwood Boulevard.


Tampak depannya berwarna coklat polos, hanya ada satu
pintu dengan nomor bangunan. Di samping kirinya
terdapat toko buku, Prancis. Di sebelah kanan, toko
reparasi jam tangan.
Aku mengetuk pintu. Aku melihat sejumlah aksara
Jepang di bawah nomor bangunan.
Tidak terjadi apa-apa, jadi aku membuka pintu. Aku
memasuki restoran sushi yang kecil dan rapi. Hanya ada
empat kursi untuk para pengunjung. Connor duduk seorang
diri, di ujung meja layan. Ia melambaikan tangan. "Letnan,
ini Imae. Pembuat sushi terbaik di Los Angeles. Imae-san.
Sumisu-san."
Orang itu mengangguk sambil tersenyum Ia menaruh
sesuatu di rak, di depan tempat dudukku. Wore o doszo,
Sumisu-san."
Aku menarik kursi. "Dõmo, Imae-san."
"Hai."
Aku menatap sushi yang tersaji - sejenis telur ikan
berwarna merah muda dengan kuning telur di atasnya.
Selera makanku mendadak lenyap.
Aku berpaling kepada Connor.
Ia berkata, “Kore o tabetakoto arukai?"
Aku menggelengkan kepala. "Sori, saya tidak mengerti."
"Anda harus banyak berlatih bahasa Jepang, demi pacar
Anda yang baru."
"Pacar baru yang mana?"
Connor berkata, "Seharusnya Anda berterima kasih
kepada saya. Saya telah memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada Anda."
"Maksud Anda, Theresa?"
Ia tersenyum. "Masih banyak pilihan yang lebih buruk,
Kohai. Dan sepertinya Anda sudah sering terjebak di masa
lalu. Oke, tadi saya bertanya apakah Anda tahu apa ini." Ia
menunjuk sushi di meja layan.
"Tidak, saya tidak tahu."
"Telur puyuh dan telur ikan salmon," katanya. "Kaya
protein. Energi. Anda akan membutuhkannya."
Aku bertanya, "Haruskah saya memakan ini?"
Imae berkata, "Anda jadi kuat, untuk pacar."
Dan ia tertawa. Ia mengatakan sesuatu dalam bahasa
Jepang kepada Connor.
Connor menjawab, dan keduanya terbahak-bahak.
"Apa yang lucu?" ujarku. Tapi aku ingin mengalihkan
pembicaraan, jadi kusantap saja potongan sushi yang
pertama. Rasanya ternyata enak, hanya agak berlendir.
"Bagaimana, enak?" tanya Imae.
"Enak sekali," jawabku. Aku meraih potongan kedua, lalu
berpaling pada Connor. "Anda tahu apa yang saya temukan
dalam rekaman itu? Anda takkan percaya."

Connor mengangkat tangan. "Tunggu. Anda harus


belajar cara Jepang untuk bersantai. Semua ada waktunya.
Oaiso onegai shimasu."
"Hai, Connor-san."
Tukang sushi itu menyodorkan rekening, dan Connor
mengeluarkan sejumlah uang. Ia membungkuk, lalu mereka
berbicara sejenak dalam bahasa Jepang.
"Kita pergi?"
"Ya," ujar Connor. "Saya sudah makan, dan Anda, Kohai,
Anda tidak boleh terlambat."
"Terlambat untuk apa?"
"Anda ada janji dengan bekas istri Anda, bukan?
Sebaiknya kita segera ke apartemen Anda dan
menemuinya."

Aku kembali menyetir. Connor memandang ke luar


jendela. "Dari mana Anda tahu bahwa Morton
pembunuhnya?"
"Saya tidak mengetahuinya," kata Connor. "Sampai tadi
pagi. Tapi semalam sudah jelas bagi saya bahwa mereka
memanipulasi rekaman itu."
Aku teringat segala jerih payah Theresa dan aku
memperbesar gambar, memeriksanya, dan
mengotak-atiknya. "Maksudnya, Anda sudah tahu bahwa
rekaman itu dimanipulasi, hanya dengan menontonnya?"
"Ya."
"Bagaimana caranya?"
"Mereka membuat satu kesalahan besar. Anda masih
ingat waktu Anda bertemu Eddie di pesta itu? Di tangannya
ada bekas luka."
"Ya. Kelihatannya seperti bekas luka bakar."
"Di tangan sebelah mana lukanya?"
"Di tangan sebelah mana?" Aku mengerutkan kening,
berusaha mengingat-ingat. Eddie di taman kaktus,
merokok, membuang puntung rokok Eddie berbalik,
gerak-geriknya yang serba gelisah. Memegang rokok. Bekas
luka itu ada di... "Tangan sebelah kiri," ujarku.
"Benar," kata Connor.
"Tapi bekas lukanya juga kelihatan dalam rekaman video
itu," kataku. "Jelas sekali, waktu dia berjalan melewati
cermin. Tangannya sempat mengenai dinding ......
Aku terdiam.
Dalam rekaman itu tangan kanannya yang mengenai
dinding.
"Astaga," ujarku.
"Ya," kata Connor. "Mereka telah melakukan kesalahan.
Mungkin mereka bingung, mana yang pantulan, mana yang
bukan. Tapi saya rasa mereka bekerja terburu-buru, jadi
mereka tidak ingat di tangan sebelah mana Sakamura
punya bekas luka, jadi mereka menambahkannya asal saja.
Kesalahan seperti itu bisa saja terjadi."
"Jadi, semalam Anda melihat bekas luka itu di tangan
yang salah."
"Ya. Dan saya langsung tahu bahwa rekamannya telah
dimanipulasi," kata Connor. "Saya perlu menyiapkan Anda
untuk menganalisis kaset-kaset itu pada keesokan paginya.
Jadi saya menyuruh Anda ke SID, untuk mencari tahu
tempat mana saja yang bisa membantu kita. Dan setelah itu
saya pulang dan tidur."
"Tapi Anda membiarkan kami menangkap Eddie.
Kenapa? Waktu itu Anda sudah tahu babwa Eddie bukan si
pembunuh."
"Kadang-kadang kita harus mengikuti permainan
lawan," Connor menjelaskan. "Sudah jelas mereka ingin
agar kita menyangka bahwa Eddie yang membunuh wanita
itu. Jadi saya memutuskan untuk bersikap sesuai harapan
mereka."
"Tapi akibatnya satu orang yang tak berdosa tewas,"
kataku.
"Eddie tidak bisa disebut tak berdosa," balas Connor.
"Dia ikut terlibat dalam urusan ini."
"Dan Senator Morton? Dari mana Anda tahu bahwa
Morton pembunuhnya?"
"Saya belum tahu, sampai dia memanggil kita untuk
menemuinya tadi. Kemudian dia sendiri yang memberi
petunjuk menentukan."
"Yaitu?"
"Dia sangat cerdik. Tapi Anda harus ingat apa yang
sesungguhnya ia katakan," ujar Connor. "Di sela-sela segala
omong kosongnya, dia bertanya tiga kali apakah penyidikan
kita sudah selesai. Dan dia bertanya apakah pembunuhan
itu berkaitan dengan MicroCon. Kalau dipikir-pikir,
pertanyaan itu terasa janggal."
"Kenapa? Dia banyak koneksi. Mr. Hanada. Orang-orang
lain. Dia sendiri yang bilang begitu."
"Tidak," Connor membantah. "Pada dasarnya, yang
diungkapkan oleh Senator Morton adalah jalan pikirannya:
Apakah penyidikan Anda sudah selesai? Dan apakah Anda
bisa mengaitkannya dengan MicroCon? Sebab saya akan
mengubah sikap mengenai penjualan MicroCon."
"Oke."
"Tapi ada satu hal penting yang tak pernah
disinggungnya. Kenapa dia berubah sikap mengenai
penjualan MicroCon?"
"Dia sudah menjelaskannya," kataku. "Dia tidak
memperoleh dukungan, tak ada yang peduli."
Connor menyerahkan selembar fotokopi padaku. Aku
mengamatinya sekilas. Ternyata halaman depan sebuah
koran. Aku mengembalikannya. "Saya sedang menyetir.
Anda saja yang menjelaskannya."
"Ini wawancara dengan Senator Morton yang dimuat di
The Washington Post. Dia menegaskan sikapnya mengenai
MicroCon. Rencana itu melanggar kepentingan keamanan
nasional dan daya saing Amerika. Blah blah. Mengikis
fondasi teknologi kita dan menjual masa depan kita kepada
orang Jepang. Blah blab. Begitulah sikapnya pada Kamis
pagi. Pada Kamis malam, dia menghadiri sebuah pesta di
California. Dan pada Jumat pagi dia berubah pikiran
mengenai penjualan MicroCon. Sekarang dia tidak
keberatan. Menurut Anda, kenapa ini bisa terjadi?"
"Astaga," kataku. "Apa yang harus kita lakukan
sekarang?"
Menjadi petugas polisi memang tidak mudah. Biasanya
kita merasa cukup bangga. Tapi pada saat-saat tertentu,
kita menyadari bahwa kita hanya petugas polisi.
Sebenarnya posisi kita termasuk rendah. Dan kita enggan
menghadapi orang-orang tertentu dan jenis-jenis
kekuasaan tertentu. Kita tak berdaya. Kita tak dapat
menguasai keadaan. Bisabisa malah kita yang menjadi
korban.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku sekali lagi.
"Jangan terburu-buru," ujar Connor. "Apakah itu
apartemen Anda, di depan sana?"

Mobil-mobil pemancar TV tampak berderet di jalanan.


Ada beberapa sedan dengan tanda PERS tertempel di kaca
depan. Segerombolan wartawan berdiri di depan pintu
apartemenku dan di sepanjang jalan. Di antara mereka a ku
melihat Wilhelm si Musang, bersandar pada mobilnya. Aku
tidak melihat bekas istriku.
"Jangan berhenti, Kohai," ujar Connor. "Setelah sampai di
ujung blok, belok ke kanan."
"Kenapa?"
"Saya tidak bermaksud lancang, tapi saya telah
menelepon kantor kejaksaan dan mengatur pertemuan
dengan istri Anda di taman di sana."
“O, ya?"
"Saya pikir itu yang terbaik untuk semua pihak yang
terlibat."
Aku membelokkan mobil. Hampton Park bersebelahan
dengan sebuah sekolah dasar. Pada sore hari seperti ini,
banyak anak kecil bermain baseball. Aku menyusuri jalanan
pelan-pelan, mencari tempat parkir. Aku melewati sebuah
sedan dengan dua penumpang. Seorang laki-laki di kursi
penumpang, merokok. Seorang wanita di balik kemudi,
mengetuk-ngetuk dashboard dengan jarinya. Ternyata
Lauren.
Aku memarkir mobil.
"Saya tunggu di sini saja," ujar Connor. "Semoga sukses.”

Bab 46

DARI dulu ia selalu memilih warna-warna pastel. la


memakai setelan jas berwarna beige dan blus sutra
berwarna krem. Rambutnya yang pirang di ikat ke
belakang. Tak ada perhiasan. Seksi sekaligus meyakinkan,
salah satu bakat yang dimiliki Lauren
Kami berjalan menyusuri trotoar di pinggir taman,
menyaksikan anak-anak bermain baseball. Kami
sama-sama membisu. Pria yang datang bersama Lauren
menunggu di mobil. Satu blok lebih jauh, kami melihat
nyamuk-nyamuk pers berkerumun di depan apartemenku.
Lauren memandang ke arah mereka, "Astaga, Peter.
Apa-apaan ini? Keterlaluan. Kau sama sekali tidak
memikirkan posisiku."
Aku berkata, "Siapa yang memberitahu mereka?"
"Bukan aku."
"Pasti ada seseorang yang memberitahu mereka bahwa
kau akan datang pukul empat sore."
"Pokoknya bukan aku."
"Jadi, hanya kebetulan saja kau muncul dengan makeup
lengkap?"
"Tadi pagi ada sidang di pengadilan."
"Oke. Oke."
"Persetan kau, Peter."
"Aku bilang, oke."
"Selalu menyelidik."
Ia berbalik, dan kami berjalan ke arah berlawanan,
menjauhi para wartawan.
Ia menghela napas. "Begini," katanya, "kita bisa
menyelesaikan masalah ini secara beradab."
"Oke," kataku.
"Aku tidak tahu bagaimana kau bisa terjerumus sepertl
ini, Peter. Aku menyesal, tapi kau terpaksa melepaskan hak
asuh. Aku tidak rela anak perempuanku dibesarkan dalam
lingkungan yang mencurigakan. Aku tidak bisa
membiarkannya. Aku harus memikirkan posisiku.
Reputasiku di kantor."
Lauren selalu repot memikirkan penampilan. "Apa yang
kaumaksud dengan 'lingkungan yang mencurigakan'?"
"Peter, penganiayaan terhadap anak di bawah umur
merupakan tuduhan serius."
"Aku tidak pernah melakukan penganiayaan."
"Tuduhan-tuduhan di masa lalumu tidak bisa
ditutup-tutupi.”
"Kau tahu duduk perkara sesungguhnya," kataku.
"Waktu itu kita sudah menikah. Kau tahu persis apa yang
terjadi."
Ia berkeras. "Michelle harus menjalani pemeriksaan."
"Oke. Hasilnya pasti negatif."
"Saat ini aku tak peduli bagaimana hasilnya. Itu tidak
relevan lagi, Peter. Aku terpaksa mengambil alih hak asuh
atas Michelle. Supaya aku bisa hidup dengan tenang."
"Oh, demi Tuhan."
"Ada apa, Peter?"
"Kau tidak tahu apa-apa mengenai cara membesarkan
anak kecil. Waktumu akan tersita banyak. Bagaimana
dengan karierrnu?"
"Aku tidak punya pilihan, Peter. Kau tidak menyisakan
pilihan lain untukku." Sekarang ia bersikap seakan-akan
telah lama menderita. Lauren memang pandai bersikap
sebagai martir.
Aku berkata, "Lauren, kau tahu tuduhan-tuduhan itu tak
berdasar. Kau mengungkit-ungkit masalah ini hanya karena
Wilhelm meneleponmu."
"Dia tidak menelepon aku. Dia menelepon asisten Jaksa
Wilayah. Dia menelepon atasanku."
"Lauren."
"Sori, Peter. Kau sendiri yang cari masalah."
"Lauren."
"Aku bersungguh-sungguh."
"Lauren, ini sangat berbahaya."
Ia tertawa melecehkan. "Memangnya aku tidak tahu.
Kaupikir aku tidak tahu betapa besar bahayanya, Peter?
Bisa-bisa aku yang kena getahnya."
"Apa maksudmu?"
"Jangan berlagak bodoh," ia berkata dengan gusar. "Las
Vegas, itu yang kumaksud."
Aku diam saja. Aku tak bisa mengikuti jalan pikirannya.
"Begini," katanya, "berapa kali kau berkunjung ke Las
Vegas?"
"Hanya satu kali."
"Dan dalam satu-satunya kunjungan itu, kau menang
banyak?"
"Lauren, kau tahu persis..."
"Ya, aku tahu. Dan berapa lama setelah tuduhan
penganiayaan itu muncul, kau pergi ke Las Vegas?
Seminggu? Dua minggu?"
Jadi itu masalahnya. Ia cemas bahwa seseorang
menghubungkan kedua kejadian itu, bahwa ia akan terlibat.
"Seharusnya tahun lalu kau ke sana lagi."
"Aku sibuk."
"Kalau kau masih ingat, Peter, aku menyuruhmu
mengunjungi Las Vegas setiap tahun, selama beberapa
tahun berikut. Membentuk pola."
"Aku sibuk. Aku harus membesarkan anak kecil."
"Hmm." Ia menggelengkan kepala. "Sekarang kita ada di
sini."
Aku berkata, "Di mana letak masalahnya? Mereka takkan
pernah tahu."
Dan kemudian Lauren benar-benar meledak. "Takkan
pernah tahu? Mereka sudah tahu. Mereka sudah tahu, Peter.
Aku yakin mereka sudah bicara dengan suami-istri
Martinez atau Hemandez atau siapa pun nama mereka."
"Tapi mana mungkin..."
"Ya Tuhan! Menurutmu, bagaimana seseorang
memperoleh pekerjaan sebagai petugas penghubung
Jepang? Bagaimana caranya kau mendapatkan pekerjaan
itu, Peter?"
Aku mengerutkan kening, berpikir. Kejadiannya setahun
yang lalu. "Waktu itu ada iklan lowongan di markas.
Beberapa orang melamar..."
"Ya. Dan sesudah itu?"
Aku terdiam. Sebenarnya aku tidak tahu persis
bagaimana lamaranku ditangani oleh bagian administrasi.
Aku hanya memasukkan lamaran, lalu melupakannya,
sampai aku mendapat jawaban. Waktu itu aku sibuk sekali.
Bekerja di bagian pers benar-benar merepotkan.
"Kau mau tahu bagaimana kelanjutannya?" tanya
Lauren. "Kepala Special Services menentukan calon-calon
yang dianggap cocok, berdasarkan hasil konsultasi dengan
anggota-anggota masyarakat Asia."
"Oke, mungkin memang begitu, tapi aku tidak melihat..."
"Dan kau tahu berapa lama para anggota masyarakat
Asia mempelajari daftar calon? Tiga bulan, Peter. Itu cukup
lama untuk menyelidiki segala sesuatu mengenai
orang-orang yang tercantum dalam daftar itu. Segala
sesuatu. Mereka tahu segala sesuatu, mulai dari ukuran
bajumu sampai keadaan keuanganmu. Dan percayalah,
tuduhan penganiayaan itu takkan luput dari perhatian me-
reka. Begitu juga kunjunganmu ke Las Vegas. Dan mereka
bisa menghubung-hubungkannya. Semua orang bisa
menghubung-hubungkannya."
Aku hendak memprotes, tapi kemudian aku teringat
pada ucapan Ron sebelumnya, "Jadi mereka juga memantau
sinyal awal kita."

Lauren berkata, "Ada apa, Peter? Kau tidak tahu aturan


mainnya? Kau tidak memperhatikan prosesnya? Astaga,
Peter, yang benar saja. Kau tahu konsekuensi pekerjaanmu
yang baru. Kau tergiur oleh uangnya. Sama seperti semua
orang yang berurusan dengan orang Jepang. Kau tahu ba-
gaimana mereka melakukan bisnis. Semua pihak dapat
bagian. Kau dapat bagian. Departemen dapat bagian.
Komandan dapat bagian. Semua orang memperoleh
keuntungan. Dan sebagai imbalan, mereka memilih orang
yang mereka inginkan sebagai petugas penghubung. Sejak
semula mereka sudah tahu bahwa mereka bisa menekanmu
kalau perlu. Dan sekarang mereka juga bisa menekanku.
Gara-gara kau tidak pergi ke Las Vegas tahun lalu dan
membentuk pola, seperti yang kusuruh."
"Dan sekarang kau merasa harus mengambil alih hak
asuh atas Michelle?"
Ia menghela napas. "Sekarang ini kita hanya mernainkan
peranan- yang telah diberikan pada kita."
Ia melirik jam tangannya, lalu memandang ke arah para
wartawan. Aku menyadari bahwa ia sudah tak sabar,
bahwa ia hendak menemui pers dan menyarnpaikan pidato
yang sudah dipersiapkannya. Dari dulu Lauren memang
sudah pandai mendramatisir keadaan.
"Kau yakin bahwa kau tahu apa peranmu, Lauren? Sebab
dalam beberapa jam berikut ini, keadaan mungkin
bertambah gawat. Barangkali kau tidak ingin terlibat."
"Aku sudah terlibat "
"Belum." Aku mengeluarkan foto Polaroid dari kantong
dan menyerahkannya kepada Lauren.
"Apa ini?"
"Ini frame video dari rekaman keamanan Nakamoto
semalam. Pada waktu Cheryl Austin terbunuh."
Ia mengerutkan kening ketika mengamati foto itu. "Kau
bercanda."
"Tidak."
"Kau mengandalkan ini?"
"Terpaksa."
"Kau akan menangkap Senator Morton? Kau
benar-benar sudah tidak waras."
"Mungkin."
"Kau takkan pernah melihat matahari lagi, Peter.
"Mungkin."
"Mereka akan menguburmu begitu cepat dan begitu
dalam, sehingga kau tak sempat tahu apa yang terjadi."
"Mungkin."
"Kau takkan berhasil. Dan kau juga tahu. Akhirnya
Michelle yang terkena akibatnya."
Aku tidak menanggapinya. Semakin lama aku semakin
tidak menyukai Lauren. Kami terus berjalan, sepatu hak
tingginya berceklak-ceklek di trotoar.
Akhirnya ia berkata, "Peter, kalau kau tetap berkeras
untuk menjalankan rencana yang tidak bertanggung jawab
ini, aku tidak bisa berbuat apaapa. Sebagai teman,
kusarankan jangan. Tapi kalau kau berkeras, tak ada yang
bisa kulakukan untuk menolongmu."
Aku tidak menjawab. Aku menunggu dan mem-
perhatikannya. Di bawah sinar matahari, aku melihat
kerut-kerut yang mulai timbul di sekitar matanya. Aku
melihat akar rambutnya yang gelap. Bercak lipstik di
giginya. Ia melepaskan kacamata hitamnya dan menatapku
dengan pandangan cemas. Kemudian ia memalingkan
wajah, memandang ke arah pers. Ia mengetuk-ngetukkan
kacamata ke telapak tangan.
"Kalau memang ini yang akan terjadi, Peter, mungkin
lebih baik kalau aku menunggu satu hari untuk melihat
perkembangan selanjutnya."
"Baiklah."
"Jangan salah paham. Urusan kita belum selesai, Peter."
"Aku mengerti."
"Masalah hak asuh atas Michelle sebaiknya jangan
dicampuradukkan dengan kontroversi yang lain."
"Tentu.
Ia kembali memakai kacamata. "Aku merasa kasihan
padamu, Peter. Sungguh. Dulu kau punya masa depan yang
bagus di Departemen. Aku pernah mendengar namamu
disebut-sebut untuk jabatan di bawah Komandan. Tapi tak
ada yang bisa menyelamatkanmu kalau kau nekat
melakukan ini."
Aku tersenyum. "Apa boleh buat."
"Kau tidak punya bukti selain foto ini?"
"Kurasa tidak pada tempatnya kalau aku membeberkan
semua detail padamu."
"Sebab kalau begitu, kau tidak punya apa-apa, Peter.
Kejaksaan takkan menerima foto sebagai barang bukti.
Terlalu mudah diotak-atik. Pengadilan juga tahu. Kalau kau
hanya punya foto orang ini melakukan pembunuhan, kau
takkan bisa berbuat apa- apa."
"Kita lihat saja nanti."
"Peter," katanya. "Kau akan kehilangan segala-galanya.
Pekerjaanmu, kariermu, anakmu, semuanya. Bangunlah.
Jangan lakukan ini."
Ia kembali ke mobil. Aku berjalan di sebelahnya. Kami
sama-sama membisu. Aku menunggu ia menanyakan kabar
Michelle, tetapi ia diam saja. Aku tidak heran. Banyak hal
lain yang perlu ia pikirkan. Akhirnya kami tiba di mobilnya,
dan ia membuka pintu sopir.
"Lauren."
Ia menatapku lewat atap mobilnya.
"Jangan ada apa-apa selama 24 jam berikut, oke? Jangan
telepon siapa pun mengenai ini."
"Jangan khawatir. Aku tidak ada urusan dengan ini. Dan
sebenarnya aku berharap tak pernah ada urusan
denganmu."
Dan kemudian ia masuk ke mobil dan pergi. Ketika aku
memperhatikan mobilnya menjauh, aku tiba-tiba merasa
terbebas dari suatu ketegangan. Penyebabnya bukan
sekadar karena aku berhasil mencapai tujuanku - aku
berhasil membuat Lauren membatalkan niatnya, paling
tidak untuk sementara waktu. Masih ada hal lain, yang
akhirnya lenyap.

Bab 47

CONNOR dan aku menaiki tangga belakang di gedung


apartemenku, menghindari pers. Aku menceritakan
percakapanku dengan Lauren tadi. Ia mengangkat bahu.
"Anda heran? Anda tidak tahu bagaimana petugas
penghubung dipilih?"
"Saya tidak pernah memperhatikannya."
Ia mengangguk. "Begitulah caranya. Orang Jepang sangat
terampil dalam memberikan yang mereka sebut insentif.
Mula-mula pihak Departemen memang keberatan
membiarkan orang luar ikut campur dalam menentukan
petugas mana yang dipilih. Tapi orang Jepang berdalih
bahwa mereka hanya ingin diajak berkonsultasi.
Rekomendasi mereka tidak bersifat mengikat. Menurut
mereka, justru menguntungkan kalau mereka memberi
masukan mengenai pemilihan para petugas penghubung."
"Hmm..."
"Dan untuk membuktikan bahwa mereka tidak mau
menang sendiri, mereka mengusulkan sumbangan untuk
dana pensiun kepolisian yang akan dinikmati oleh seluruh
Departemen."
"Dan seberapa besar jumlahnya?"
"Saya kira sekitar setengah juta. Dan Komandan
diundang ke Tokyo untuk mengadakan studi banding
mengenai sistem pengarsipan catatan polisi. Kunjungan
tiga minggu. Satu minggu di Hawaii. Semuanya kelas satu.
Dan kunjungan diberitakan secara luas oleh pers, yang
sangat disukai Komandan."
Kami sampai di lantai dua, lalu naik ke lantai tiga.
"Jadi," ujar Connor, "setelah semuanya selesai,
Departemen sukar mengabaikan rekomendasi dari
masyarakat Asia. Terlalu banyak yang dipertaruhkan."
"Rasanya saya ingin berhenti saja," kataku.
"Pilihan itu selalu terbuka," ujar Connor. "Tapi kembali
ke masalah pokok. Anda berhasil menghalau istri Anda?"
"Bekas istri saya. Dia langsung memahami persoalannya.
Lauren punya penciuman tajam dalam urusan politik. Tapi
saya terpaksa mengungkapkan identitas si pembunuh."
Connor mengangkat bahu. "Dia tidak bisa berbuat
banyak dalam beberapa jam mendatang."
Aku berkata, "Tapi bagaimana dengan foto-foto ini?
Lauren bilang, foto-foto ini takkan diterima sebagai barang
bukti. Dan Sanders mengatakan hal yang sama. Zaman foto
sebagai bukti tak terbantah sudah berlalu. Apakah kita
punya bukti lain?"
"Saya sudah memikirkan hal itu," ujar Connor.
"Dan sepertinya kita tidak perlu terlalu khawatir."
“O, ya?"
Connor mengangkat bahu.
Kami tiba di pintu belakang apartemenku. Aku
membukanya, dan kami masuk ke dapur, yang ternyata
kosong. Aku menyusuri selasar ke ruang depan. Pintu ke
ruang duduk tertutup rapat. Tapi aku mencium bau asap
rokok.
Elaine, pengurus rumahku, berdiri di ruang depan,
memandang ke luar jendela, memperhatikan kerumunan
wartawan dt bawah. Ia berbalik ketika mendengar kami. Ia
tampak ketakutan.
Aku berkata, "Michelle tidak apa-apa?"
"Dia baik-baik saja."
"Di mana dia?"
“Sedang bermain di ruang duduk."
'Saya ingin menemuinya."
Elaine berkata, "Letnan, ada sesuatu yang perlu saya
bentahukan kepada Anda "
"Tenang saja," ujar Connor. "Kami sudah tahu
Ia membuka pintu ke ruang duduk. Dan aku mendapat
kejutan yang paling hebat seumur hidup.

Bab 48
JOHN MORTON sedang duduk di kursi rias di studio TV,
dengan tisu kertas terselip di balik kerah, sementara
keningnya diberi bedak. Woodson berdiri di sebelahnya.
Asisten Morton itu berkata, "Ini rekomendasi dari mereka."
Ia menyerahkan selembar fax kepada Morton.
"Intinya," ujar Woodson, "penanaman modal asing
memperkuat Amerika. Amerika bertambah kuat akibat
dana dari luar negeri. Amerika bisa belajar banyak dari
Jepang."
"Dan kita belum belajar apa-apa," Morton berkomentar
dengan lesu.
"Argumen mereka cukup berdasar," kata Woodson.
"Posisi itu bisa dipertanggungjawabkan, dan kaulihat
sendiri, dengan kata-kata yang disusun oleh Madorie, kau
takkan dianggap berubah sikap. Ini lebih merupakan
pengembangan dari pandanganmu semula. Kau sanggup
menanganinya, John. Kurasa takkan ada yang
mempersoalkannya."
"Kau yakin pertanyaan itu akan muncul?"
"Kelihatannya begitu. Aku telah memberitahu para
wartawan bahwa kau bersedia membahas modifikasi
pandanganmu mengenai MicroCon. Bahwa kau sekarang
mendukung rencana itu."
"Siapa yang akan menanyakannya?"
"Mungkin Frank Pierce dari Times."
Morton mengangguk. "Dia lumayan."
"Yeah. Berorientasi bisnis. Mestinya tidak ada masalah.
Kau bisa bicara mengenai pasar bebas, perdagangan adil.
Kecilnya peranan penjualan ini terhadap keamanan
nasional. Semuanya itu."
Si juru rias selesai, dan Morton bangkit dari kursinya.
"Senator Morton, maaf kalau saya merepotkan Anda, tapi
bolehkah saya minta tanda tangan Anda?"
"Tentu," jawab Morton.
"Untuk anak saya."
"Tentu."
Woodson berkata, "Kami sudah menggabung-gabungkan
adegan-adegan iklan, kalau kau berminat melihatnya.
Memang masih kasar sekali, tapi barangkali kau bisa
memberi komentar. Aku sudah menyiapkannya di ruang
sebelah."
"Berapa lama sampai siaran dimulai?"
"Sembilan menit lagi."
"Oke."
Ia mulai menuju pintu dan melihat kami. "Selamat sore,
Gentlemen," katanya. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Kami hanya ingin berbicara sebentar, Senator," kata
Connor
"Saya perlu melihat sebuah rekaman dulu," ujar Morton.
"Setelah itu kita bisa berbincang-bincang. Tapi saya hanya
punya beberapa menit."
"Tidak apa-apa," kata Connor.
Kami mengikuti Morton ke ruangan lain. Di ruang itu
kami dapat melihat studio di bawah. Di bawah sana, di
hadapan latar belakang berwarna beige yang bertuliskan
NEWSMAKERS, beberapa wartawan sedang menyusun
kertas-kertas catatan Petugas-petugas studio sibuk
memasang mikrofon. Morton duduk di hadapan sebuah
pesawat TV dan Woodson memutar sebuah kaset video.
Kami menyaksikan rekaman iklan yang dibuat
sebelumnya. Di bagian bawah layar terlihat penunjuk
waktu. Iklannya dimulai dengan Senator Morton yang
sedang berjalan melintasi lapangan golf. Ia tampak serius.
Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa Amerika
telah kehilangan daya saing dalam bidang ekonomi dan
perlu merebutnya kembali.
"Kita semua harus bahu-membahu," Morton berkata di
layar kaca. "Para politisi di Washington, para pemuka bisnis
dan angkatan kerja, para guru dan anak-anak, kita semua di
rumah masing-masing. Kita harus melunasi semua biaya
berjalan dan memperkecil defisit Pemerintah. Kita harus
meningkatkan jumlah tabungan untuk memperbaiki
jaringan jalan dan membenahi pendidikan. Kita
membutuhkan kebijaksanaan Pemerintah mengenai
konservasi energi-untuk lingkungan hidup kita, untuk
paru-paru anak-anak kita, dan untuk daya saing global
kita."
Kamera membidik wajah Senator Morton, untuk
merekam komentar penutupnya.
"Sementara pihak berpendapat bahwa kita sedang
memasuki era baru, era bisnis global," katanya. "Menurut
mereka, lokasi perusahaan tidak lagi penting, di mana suatu
barang diproduksi tidak lagi relevan. Mereka berpendapat
bahwa konsep ekonomi nasional sudah kuno dan
ketinggalan zaman. Kepada orang-orang itu saya tekankan
bahwa Jepang tidak berpendapat demikian. Jerman tidak
berpendapat demikian. Negara-negara yang paling sukses
di dunia dewasa ini mempunyai kebijaksanaan nasional
yang tegas untuk konservasi energi, untuk mengendalikan
impor, untuk mempromosikan ekspor. Mereka membina
industri mereka, menegakkan perlindungan terhadap per-
saingan tidak adil dari luar negeri. Dunia bisnis dan
pemerintah bekerja sama untuk menjaga kepentingan
masyarakat mereka dan melindungi lapangan kerja. Dan
negara-negara itu lebih berhasil dibandingkan dengan
Amerika, sebab kebijaksanaan ekonomi mereka
mencerminkan dunia nyata. Kebijaksanaan mereka
berhasil. Kebijaksanaan kita tidak. Kita tidak hidup di dunia
yang ideal, dan selama itu, Amerika sebaiknya menghadapi
kenyataan. Kita harus membentuk nasionalisme ekonomi
versi Amerika. Kita harus melindungi kepentingan orang
Amerika, sebab kalau bukan kita, siapa lagi yang akan
melakukannya?
"Ada satu hal yang ingin saya tegaskan: penyebab
masalah-masalah kita bukan para raksasa industri, Jepang
dan Jerman. Negara-negara itu menantang Amerika dengan
kenyataan baru - kita sendiri yang harus menghadapi
kenyataan itu, dan menjawab tantangan ekonomi mereka
Kalau kita melakukan hal ini, negeri kita akan memasuki
era kesejahteraan tanpa bandingan. Tapi kalau kita terus
bersikap seperti sekarang, mengagung-agungkan ekonomi
pasar bebas yang sudah usang, bencana telah menanti. Kita
yang harus menentukan pilihan. Bergabunglah dengan saya
dan hadapilah kenyataan-kenyataan baru itu, demi masa
depan ekonomi yang lebih baik bagi orang Amerika."
Layar menjadi gelap.
Morton menyandarkan badan. "Mulai kapan iklan ini
ditayangkan?"
"Sembilan minggu lagi. Pertama-tama siaran uji coba di
Chicago dan Twin Cities, kelompok-kelompok fokus yang
terkait, modifikasi yang diperlukan, lalu siaran nasional
mulai Juli."
"Lama sesudah MicroCon..."
"Oh, ya."
"Oke, bagus. Kita teruskan saja.”
Woodson mengambil kaset video dan meninggalkan
ruangan. Morton berpaling kepada kami. "Well? Apa yang
dapat saya lakukan untuk Anda?"
Connor menunggu sampai pintu menutup. Kemudian ia
berkata, "Senator, kami ingin memperoleh keterangan
mengenai Cheryl Austin."
Sejenak suasana menjadi hening. Morton menatap kami
berganti-gantian. Pandangannya menerawang. "Cheryl
Austin?"
"Ya, Senator."
"Saya tidak yakin apakah saya pernah..."
"Ya, Senator," ujar Connor. Dan ia menyerahkan sebuah
arloji kepada Morton. Arloji wanita buatan Rolex, dari
emas.

"Di mana Anda mendapatkan ini?" kata Morton.


Suaranya rendah, dingin.
Seorang wanita mengetuk pintu. "Enam menit, “Senator."
Ia menutup pintu.
"Di mana Anda mendapatkan ini?" ulang Morton.
"Bukankah Anda sudah tahu?" balas Connor. "Anda
bahkan belum melihat graviran di bagian belakangnya."
"Di mana Anda mendapatkan ini?"
"Senator, kami berharap Anda dapat memberi
keterangan mengenai wanita muda itu." Connor
mengeluarkan sebuah kantong plastik bening dari saku,
dan meletakkannya di meja di sebelah Morton. Kantong
plastik itu berisi celana dalam wanita berwarna hitam.
"Tak ada yang bisa saya ceritakan kepada Anda,
Gentlemen," ujar Morton. "Sama sekali tidak ada." Connor
mengeluarkan kaset video dari kantong, dan
meletakkannya di sebelah Morton. "Kaset ini berisi
rekaman dari satu di antara lima kamera yang merekam
kejadian di lantai 46. Rekaman ini memang sudah
dimanipulasi, tapi kami berhasil mendapatkan satu gambar
yang memperlihatkan identitas orang yang berada bersama
Cheryl Austin."
"Saya tidak bisa membantu Anda," kata Morton.
"Rekaman video bisa disunting dan diubah dan kemudian
diubah lagi. Ini tidak membuktikan apa-apa. Ini semua
bohong, tuduhan yang tak berdasar."
"Maaf, Senator," ujar Connor.
Morton berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir.
"Saya ingin mengingatkan Anda bahwa tuduhan yang
hendak Anda ajukan sangat serius. Rekaman video bisa saja
dimanipulasi. Dan rekaman ini sempat berada di tangan
sebuah perusahaan Jepang yang berkepentingan untuk
mempengaruhi saya. Apa pun yang terlihat, atau yang tidak
terlihat, saya jamin bahwa rekaman ini takkan diterima
sebagai barang bukti yang sah. Masyarakat tentu akan
menganggapnya sebagai upaya untuk mencemarkan nama
salah satu dari sedikit orang Amerika yang berani bersuara
menentang ancaman Jepang. Dan bagi saya, Anda berdua
merupakan bidak dalam permainan catur kekuatan asing.
Anda tidak memahami konsekuensi tindakan Anda.
Tuduhan Anda tidak berdasar. Anda tidak punya saksi
untuk mendukung dugaan Anda. Sebenarnya saya bahkan
bisa mengatakan..."
"Senator." Suara Connor bernada lembut namun tegas.
"Sebelum Anda melangkah lebih jauh, dan mengatakan
sesuatu yang mungkin akan Anda sesali di kemudian hari,
sudikah Anda menoleh ke studio di bawah? Ada seseorang
yang perlu Anda lihat."
"Apa artinya ini?"
"Lihat saja dulu, Senator. Silakan."
Sambil mendengus geram, Morton menghampiri jendela
dan memandang ke studio. Aku ikut menoleh. Aku melihat
para wartawan di kursi masing-masing, tertawa dan
bersenda gurau sambil menantikan acara tanya-jawab. Aku
melihat si moderator membetulkan letak dasi dan
memasang mikrofon. Aku melihat seorang tukang meng-
gosok-gosok tanda NEWSMAKER. Dan di pojok, persis
seperti disuruh, aku melihat sebuah sosok familier berdiri
dengan tangan terselip ke dalam kantong celana,
memandang ke arah kami.
Eddie Sakamura.

Bab 49

CONNOR tentu saja sudah menduganya. Ketika ia


membuka pintu ruang dudukku dan melihat anak
perempuanku duduk di lantai sambil bermain bersama
Eddic Sakamura, ia bahkan tidak berkedip sebelah mata
pun. Ia hanya berkata, "Halo, Eddie. Aku sudah mulai heran
kenapa kau belum muncul-muncul."
"Sudah darl tadi aku di sini," ujar Eddie. Sepertinya ia
letih sekali. "Kalian ini. Tidak datang-datang. Kutunggu dan
kutunggu. Aku sempat makan roti dengan selai kacang
bersama Shelly. Dia manis sekali, Letnan."
"Eddie lucu," kata putriku. "Dia merokok, Daddy."
"Aku tahu," kataku. Aku merasa lamban dan bodoh. Aku
masih berusaha memahami semuanya.
Michelle menghampiriku dan mengulurkan kedua
tangannya. "Gendong, Daddy." Aku mengangkatnya.
"Manis sekali," ujar Eddie. "Kami sempat membuat kincir
angin. Nih."
Aku berkata, "Saya pikir Anda sudah mati."
"Siapa? Saya?" Ia tertawa. "Belum. Saya belum mati.
Tanaka mati. Dan mobil saya ringsek." Ia mengangkat bahu.
"Mungkin saya kurang cocok pakai Ferrari."
“Sama seperti Tanaka," Connor berkomentar.
Aku berkata, "Tanaka?"
Michelle berkata, "Daddy, boleh nonton Cinderella,
Daddy?"
"Jangan sekarang," jawabku. "Kenapa Tanaka ada di
mobil Anda?"
"Dia gampang panik," jawab Eddie. "Selalu gelisah.
Mungkin juga merasa bersalah. Sepertinya dia ketakutan,
saya tidak tahu persis."
Connor berkata, "Kau dan Tanaka yang mengambil
kaset-kaset itu."
"Ya. Benar. Langsung setelah kejadian. Ishiguro bilang
pada Tanaka, 'Ambil kaset-kaset itu.' Tanaka mengambil
semuanya. Tentu. Tapi saya kenal Tanaka, jadi saya ikut
dengannya. Tanaka membawa kaset-kaset itu ke sebuah
lab."
Connor mengangguk. "Dan siapa yang pergi ke Imperial
Arms?"
"Saya tahu Ishiguro mengutus beberapa orang untuk
beres-beres di sana. Saya tidak tahu siapa."
"Dan kau pergi ke restoran."
"Ya, memang. Habis itu saya pergi ke pesta. Pesta di
rumah Rod. Benar."
"Dan bagaimana dengan kaset-kaset itu, Eddie?"
"Saya sudah bilang, Tanaka yang bawa. Saya tidak tahu
ke mana. Dia pergi. Dia bekerja untu Ishiguro. Untuk
Nakamoto."
"Saya tahu," ujar Connor. "Tapi dia tidak membawa
semua kaset, bukan?"
Eddie tersenyum simpul. "Hei."
"Kausembunyikan beberapa kaset?"
"Tidak. Cuma satu. Biasa, terselip. Di kantong saya." Ia
tersenyum.
Michelle berkata, "Daddy, Daddy, boleh setel saluran
Disney?"
"Boleh," kataku. "Sana, minta tolong Elaine."
Michelle pergi. Connor terus bertanya pada Eddie.
Lambat laun urut-urutan kejadian itu terungkap. Tanaka
pergi dengan membawa kaset-kaset itu, dan kemudian ia
rupanya sadar satu kaset hilang. Ia tahu di mana kaset itu
berada, kata Eddie, dan kembali ke rumah Eddie untuk
mengambilnya. Ia memergoki Eddie dengan kedua wanita
itu. Ia menuntut agar Eddie mengembalikan kasetnya.
"Mula-mula saya tidak tahu, tapi setelah bicara dengan
kalian, saya sadar mereka mau menjebak saya. Tanaka dan
saya berdebat dengan sengit."
"Dan kemudian polisi datang. Graham muncul."
Eddie mengangguk perlahan. "Tanaka-san ter-
kencing-kencing. Kasihan."
"Jadi kau memaksa dia mengakui semuanya ......
“O, ya, Kapten. Dia cerita semuanya, cepat sekali."
"Dan sebagai imbalan, kau memberitahunya di mana
kaset yang hilang itu."
"Tentu. Di mobiI saya. Saya beri dia kunci mobil. Supaya
dia bisa buka pintu. Dia bawa kuncinya."
Tanaka pergi ke garasi untuk mengambil kaset itu. Para
petugas patroli di bawah mencegatnya. Ia menghidupkan
mesin dan melarikan diri.
"Saya lihat dia pergi, John. Dia melaju seperti dikejar
setan."
Jadi Tanaka yang duduk di belakang kemudi ketika
mobil itu menghantam dinding pemisah. Tanaka yang
terbakar sampai hangus. Eddie menjelaskan bahwa ia
bersembunyi di semak-semak di belakang kolam renang
dan menunggu sampai semua orang pergi.
"Dingin sekali di luar sana," katanya.
Aku berkata pada Connor, "Anda sudah tahu semuanya
itu?"
"Saya sudah menduganya. Laporan kecelakaan itu
menyatakan bahwa tubuh korban terbakar hangus, dan
bahwa kacamatanya pun meleleh."
Eddie berkata, "Hei, saya tidak pakai kacamata."
"Persis," ujar Connor. "Namun saya minta agar Graham
menggeledah rumah Eddie pada keesokan harinya. Dia juga
tidak menemukan kacamata. Berarti bukan Eddie yang
tewas dalam kecelakaan itu. Keesokan harinya, ketika kami
mendatangi rumah Eddie, saya minta petugas patroli
memeriksa semua mobil yang diparkir di tepi jalan. Dan
ternyata ada sedan Toyota warna kuning, tidak jauh dari
rumah Eddie, yang terdaftar atas nama Akira Tanaka."
"Hei, boleh juga," ujar Eddie. "Cerdik."
Aku berkata, "Di mana Anda berada selam ini?"
"Di rumah Jasmine. Rumahnya bagus."
"Siapa Jasmine?"
"Si Rambut Merah. Dia ramah sekali. Dan dia juga punya
Jacuzzi."
"Tapi kenapa Anda datang ke sini?"
Connor berkata padaku, "Karena terpaksa. Anda
menahan paspornya."
"Betul," kata Eddie. "Dan saya, saya punya kartu nama
Anda. Anda yang kasih. Alamat rumah dan telepon. Saya
butuh paspor saya, Letnan. Saya harus pergi. Jadi saya ke
sini dan menunggu. Tapi rupanya banyak wartawan.
Kamera. Lengkap. Jadi saya tunggu di sini, main dengan
Shelly." Ia menyalakan sebatang rokok, lalu berbalik
dengan gelisah. "Jadi bagaimana, Letnan? Tolong kemba-
likan paspor saya. Netsutuku. Tidak ada masalah. Saya
sudah mati. Oke?"
"Belum waktunya," kata Connor.
"Ayolah, John."
"Eddie, sebelumnya kau harus membantu kami dulu."
"Hei. Membantu apa? Saya harus pergi, Kapten."
"Tugasmu mudah sekali, Eddie."

Morton menarik napas panjang, dan berpaling dari


jendela studio. Aku mengagumi ketenangannya. Ia tampak
tak terusik. "Kelihatannya," ia berkata, "pilihan saya saat ini
sedikit berkurang."
"Ya, Senator," ujar Connor.
Morton mendesah. "Saya tidak sengaja. Semuanya hanya
kecelakaan."
Connor mengangguk penuh pengertian.
"Saya tidak tahu kenapa saya tertarik padanya," ujar
Morton. "Dia cantik, tentu saja, tapi bukan itu... bukan itu.
Saya belum lama mengenalnya. Empat, lima bulan,
mungkin. Saya pikir dia gadis yang menyenangkan. Gadis
Texas, manis. Tapi... Anda tahu sendiri. Hal seperti ini
terjadi begitu saja. Dia mulai merongrong. Saya bingung,
tidak menyangka. Dan saya terus teringat padanya. Saya
tidak bisa... dia menelepon saya kalau saya sedang
bepergian. Dia bisa tahu kapan saya bepergian, entah
dari mana. Dan tidak lama kemudian, saya tak bisa
menghindarinya lagi. Tidak bisa. Sepertinya dia selalu
punya uang, selalu punya tiket pesawat. Dia sinting.
Kadang-kadang dia membuat saya marah sekali. Seperti...
entahlah, seperti roh jahat. Segala sesuatu berubah kalau
dia muncul. Gila. Saya terpaksa berhenti menemuinya. Dan
akhirnya saya mendapat firasat bahwa dia dibayar. Dia
dibayar oleh seseorang. Seseorang tahu hubungannya
dengan saya. Jadi saya terpaksa mengakhirinya. Bob
menyarankan begitu. Semua orang menyarankan begitu.
Saya tidak bisa. Akhirnya saya memaksakan diri. Tapi
waktu saya datang ke resepsi itu, dia sudah ada di sana.
Brengsek." Ia menggelengkan kepala. "Lalu... Anda tahu apa
yang terjadi setelah itu."
Wanita tadi muncul di pintu. "Dua menit Senator.
Orang-orang di bawah menanyakan apakah Anda sudah
siap."
Morton berkata kepada kami, "Saya ingin menyelesaikan
wawancara ini dulu."
"Tentu," kata Connor.
Senator Morton memiliki kemampuan menguasai diri
yang luar biasa. Ia melakukan wawancara TV dengan tiga
wartawan selama setengah jam, tanpa terlihat tegang
maupun gelisah. Ia tersenyum, berkelakar, bersenda gurau
dengan para wartawan. Seakan-akan tak ada masalah yang
menghantuinya.
Dalam satu kesempatan ia berkata, "Ya, memang benar
jumlah investasi Inggris dan Belanda di Amerika melebihi
investasi Jepang. Tapi kita tidak bisa mengabaikan
kenyataan bahwa Jepang melakukan perdagangan terarah
dan merugikan para pengusaha serta Pemerintah. Jepang
bahu-membahu melancarkan serangan terarah terhadap
salah satu sektor ekonomi Amerika. Orang Inggris dan
orang Belanda tidak melakukan hal ini. Kita tidak
kehilangan industri-industri dasar kepada negara-negara
itu. Tapi kita kehilangan banyak industri dasar kepada
Jepang. Itulah perbedaan sesungguhnya, dan itulah alasan
kenapa kita harus prihatin. "
Ia menambahkan, "Di samping itu, jika kita hendak
membeli perusahaan Belanda atau Inggris, tidak ada yang
menghalangi. Tapi kita tidak bisa membeli perusahaan
Jepang."
Wawancara dilanjutkan kembali, tapi tak seorang pun
mengajukan pertanyaan mengenai MicroCon. Jadi Morton
mengarahkan para wartawan. Ketika menjawab sebuah
pertanyaan, ia berkata, "Orang Amerika seharusnya dapat
mengkritik Jepang tanpa dituduh sebagai penganut
rasialisme atau tukang fitnah. Setiap negara mengalami
konflik dengan negara lain. Itu tak dapat dihindari.
Konflik-konflik kita dengan Jepang seharusnya dibahas
secara terbuka, tanpa komentar-komentar bernada
sumbang. Sikap saya yang menentang penjualan MicroCon
dianggap berlatar belakang rasial, tapi itu tidak benar."
Akhirnya salah satu wartawan bertanya mengenai
penjualan MicroCon. Morton berpikir sejenak, lalu
mencondongkan badan ke depan. “Seperti yang Anda
ketahui, George, sejak awal saya sudah menentang
penjualan MicroCon. Dan sampai sekarang saya belum
berubah pendirian. Sudah waktunya orang Amerika
mengambil langkah untuk mengamankan aset-aset negeri
ini. Aset aset riil, aset-aset keuangan, dan aset-aset intelek-
tual. Penjualan MicroCon bukan langkah yang bijaksana.
Dan saya tetap menentangnya. Karena itu, dengan gembira
saya memberitahu Anda bahwa saya baru saja mendapat
laporan mengenai perkembangan terakhir. Akai Ceramics
ternyata menarik tawarannya untuk membeli MicroCon
Corporation. Saya pikir ini pemecahan terbaik. Akai patut
dipuji atas pengertian yang mereka tunjukkan. Rencana
penjualan itu batal. Dan saya sangat gembira."
Aku berkata, "Apa? Tawaran mereka ditarik kembali?"
Connor berkata, "Kelihatannya mereka tidak punya
pilihan lain sekarang."

Morton tampak cerah menjelang akhir wawancara itu.


"Karena saya dianggap terlampau kritis terhadap Jepang,
barangkali saya bisa diberi kesempatan untuk
mengemukakan kekaguman saya. Orang Jepang
mempunyai sisi yang menyenangkan, dan sisi itu muncul di
tempat-tempat yang paling tak terduga.
"Anda mungkin sudah tahu bahwa para biksu Zen
dituntut menulis sajak menjelang ajal. Itu merupakan salah
satu bentuk seni tradisional, dan sajak-sajak yang paling
terkenal masih dikutip sampai ratusan tahun kemudian.
Jadi, Anda bisa membayangkan bahwa seorang roshi Zen
berada di bawah tekanan besar pada saat ia menyadari
bahwa ajalnya sudah dekat, dan semua orang menunggu
mahakarya yang akan dibuatnya. Selama berbulan-bulan,
hanya itu yang dipikirkannya. Tapi sajak favorit saya adalah
karya seorang biksu yang lelah menghadapi segala tekanan.
Silakan Anda simak."
Dan kemudian ia membacakan sajak itu.

Hidup dan mati,


Hal biasa.
Mengenai sajak,
Mengapa gelisah?

Semua wartawan mulai tertawa. "Jadi, sebaiknya kita


jangan terlampau serius dalam menanggapi masalah Jepang
ini," ujar Morton. "Itu satu hal lagi yang bisa kita peIajari
dari mereka."

Pada akhir wawancara, Morton bersalaman dengan


ketiga wartawan, lalu bangkit dari kursinya. Aku melihat
Ishiguro, yang baru tiba di studio. Wajahnya merah padam.
Ia mengisap udara lewat sela-sela gigi dengan gaya Jepang.
Morton berkata dengan riang, "Ah, Ishiguro-san.
Rupanya berita ini sudah sampai ke telinga Anda." Dan ia
menepuk punggung orang Jepang itu keras-keras.
Ishiguro melotot. "Saya sangat kecewa, Senator. Mulai
saat ini Anda menghadapi masalah besar." Kelihatan jelas
bahwa ia marah sekali.
"Hei," ujar Morton. "Tahi kucing."
"Kita sudah sepakat," desis Ishiguro.
"Ya, memang," kata Morton. "Dan Anda melalaikan
kewajiban Anda, bukan begitu?"
Senator Morton menghampiri kami dan berkata, "Anda
tentu menginginkan pernyataan dari saya. Saya bersihkan
makeup ini dulu, dan setelah iti kita bisa berangkat."
"Baiklah," ujar Connor.
Morton melangkah pergi, menuju ruang rias.
Ishiguro berpaling pada Connor dan berkata "Totemo
taihenna koto ni narimashita ne."
Connor menjawab, "Saya sependapat. Ini memang sulit."
Ishiguro berkata dengan nada mengancam, "Korban
akan berjatuhan."
"Dan Anda korban pertama," balas Connor. "So omowa
nakai. "
Morton berjalan ke arah tangga yang menuju lantai dua.
Woodson menghampirinya dan membisikkan sesuatu.
Morton merangkul pembantunya, dan sejenak mereka
berjalan seperti itu. Kemudian ia naik tangga.
Ishiguro berkata dengan suram, "Konna hazuja nakatta
no ni."
Connor mengangkat bahu. "Rasanya saya tidak bisa
bersimpati pada Anda. Anda mencoba melanggar
undang-undang yang berlaku di negeri ini, dan sekarang
akan ada masalah besar Eraikoto ni naruyo, Ishiguro-san."
"Kita lihat saja, Kapten."
Ishiguro berbalik dan menatap Eddie dengan dingin.
Eddie mengangkat bahu dan berkata, "Hei, aku tidak punya
masalah! Kau tahu maksudku, Compadre? Kau yang punya
masalah sekarang." Dan ia tertawa.

Seorang laki-laki pendek gemuk dengan headset di


kepala menghampiri kami. "Apakah salah satu dari Anda
Letnan Smith?"
Aku memperkenalkan diri.
"Ada telepon untuk Anda dan seseorang bernama Miss
Asakuma. Anda bisa menerimanya di sini." Ia menunjuk ke
tempat wawancara tadi. Sofa dan kursi malas, di depan foto
L.A. di pagi hari. Aku melihat pesawat telepon
berkedap-kedip di samping salah satu kursi.
Aku berjalan ke sana, duduk, dan mengangkat gagang.
"Letnan Smith."
"Hai, ini Theresa," katanya. Aku suka cara ia
menyebutkan namanya. "Begini, saya telah menonton
bagian akhir rekaman itu. Bagian paling akhir. Dan saya
rasa ada masalah."
"Oh? Masalah apa?" Aku tidak memberitahunya bahwa
Morton telah mengaku. Aku memandang ke seberang
studio. Morton telah sampai di atas; ia tidak kelihatan lagi.
Woodson, pembantunya, berjalan mondar-mandir di kaki
tangga, pucat, putus asa. Dengan gelisah ia
memegang-megang ikat pinggangnya.
Kemudian aku mendengar Connor berkata, "Ah, sialan!"
dan ia langsung melesat, berlari melintasi studio, ke arah
tangga. Aku berdiri, terkejut, melepaskan gagang telepon,
dan mengikutinya. Ketika Connor lewat di depan Woodson,
ia berkata, "Bangsat," dan kemudian ia menaiki dua anak
tangga dengan setiap langkah, bergegas ke atas. Aku berada
tepat di belakangnya. Aku mendengar Woodson
mengatakan sesuatu seperti, "Saya terpaksa."
Waktu kami sampai di selasar di lantai dua, Connor
berseru, "Senator!" Saat itulah kami mendengar letusannya.
Tidak keras, seperti kursi yang terbalik.
Tapi aku tahu bahwa itu letusan pistol.

MALAM KEDUA

Bab 50

MATAHARI sedang terbenam di sekitei. Bayangan


batu-batu mengikuti kontur gundukan-gundukan pasir
yang dibentuk menjadi beberapa lingkaran konsentris.
Connor ada di suatu tempat di dalam, masih menonton TV.
Samar-samar aku mendengar suara si pembaca berita. Di
sebuah kuil Zen tentu ada pesawat TV. Lambat laun aku
mulai terbiasa dengan kontradiksi-kontradiksi seperti ini.
Tapi aku tidak berminat lagi nonton TV. Dalam satu jam
terakhir aku belajar cukup banyak untuk mengetahui
bagaimana pihak media akan menangani urusan ini.
Senator Morton mengalami stres berat belakangan ini. Ia
menghadapi banyak masalah keluarga; baru-baru ini
putranya ditangkap karena mengemudi dalam keadaan
mabuk, menyusul kecelakaan yang mengakibatkan seorang
remaja lain mengalami cedera serius. Dan putrinya
dikabarkan menjalani aborsi. Mrs. Morton tidak dapat
dimintai keterangan, walaupun para wartawan
berkerumun di depan rumah keluarga Morton di Arlington.
Para anggota staf Senator Morton sependapat bahwa
atasan mereka berada di bawah tekanan besar akhir-akhir
ini, karena berusaha menyeimbangkan kehidupan keluarga
dengan pencalonannya yang akan datang. Sikap Senator
Morton tidak seperti biasanya; ia murung dan menutup
diri, dan menurut salah satu anggota staf, "Sepertinya dia
dihantui masalah pribadi."
Meski tak seorang pun meragukan kemampuan Senator
Morton, seorang rekannya, Senator Dowling, berkata
bahwa Morton, "...menjadi agak fanatik mengenai Jepang,
yang mungkin merupakan indikasi stres yang dialaminya.
John rupanya tak percaya bahwa kemungkinan
penyesuaian diri dengan Jepang masih terbuka, padahal
kita tahu bahwa semua pihak harus saling menyesuaikan
diri. Hubungan antara Amerika dan Jepang kini sudah
terlampau erat. Sayangnya, kita semua tidak sempat
menyadari tekanan yang dialami John. John Morton
merupakan pribadi yang tertutup."
Aku duduk dan mengamati batu-batu di taman berubah
warna menjadi keemasan, lalu merah. Seorang biksu Zen
asal Amerika bernama Bill Harris keluar dan menanyakan
apakah aku mau minum teh, atau Coke mungkin. Kubilang
tidak. Ia pergi. Ketika menoleh ke dalam, aku melihat
cahaya biru berkedap-kedip dari pesawat TV. Connor tidak
kelihatan.
Aku kembali mengamati batu-batu di taman.
Tembakan pertama belum merenggut nyawa Senator
Morton. Pada waktu kami mendobrak pintu kamar mandi,
darah bercucuran dari luka di lehernya. Ia
terhuyung-huyung ketika berusaha bangkit. Connor
berseru, "Jangan!" tepat ketika Morton memasukkan pistol
ke dalam mulut dan kembali menarik pelatuk. Tembakan
ini fatal. Pistolnya terpental dan meluncur di lantai kamar
mandi, lalu berhenti di dekat sepatuku. Darah segar mem-
basahi dinding.
Kemudian orang-orang mulai kalang kabut. Aku berbalik
dan melihat si juru rias berdiri di ambang pintu. Wanita
muda itu menutupi wajah dengan kedua tangan dan
menjerit-jerit tak terkendali. Ketika para paramedis tiba,
mereka memberikan suntikan penenang kepadanya.
Connor dan aku tetap di tempat, sampai Divisi mengirim
Bob Kaplan dan Tony Marsh. Mereka ditugaskan
menangani kasus itu, dan kami tidak diperlukan lagi. Aku
memberitahu bahwa Connor dan aku siap memberi
keterangan kapan saja, dan kemudian kami pergi. Baru saat
itu aku menyadari bahwa Ishiguro telah menghilang. Begitu
juga Eddie Sakamura.
Hal itu mengusik Connor. "Brengsek," katanya. "Mana
Eddie?"
"Apa pengaruhnya?" kataku.
"Ada masalah dengan Eddie," ujar Connor.
"Masalah apa?"
"Anda tidak memperhatikan sikapnya di depan Ishiguro?
Dia tampak amat percaya diri," Connor berkata. "Terlalu
percaya diri. Seharusnya dia gemetar ketakutan."
Aku mengangkat bahu. "Anda sendiri yang bilang bahwa
Eddie agak sinting. Siapa yang bisa menjelaskan tingkah
lakunya?" Aku sudah lelah menghadapi kasus itu, dan
bosan menghadapi naluri Jepang yang selalu diandalkan
Connor. Aku berkata bahwa aku menduga Eddie telah
pulang ke Jepang. Atau ke Meksiko, seperti yang pernah
disinggungnya.
"Moga-moga saja dugaan Anda benar," ujar Connor.
Ia mengajakku ke pintu belakang stasiun TV.
Connor berkata bahwa ia ingin pergi sebelum pers
datang. Kami masuk ke mobil dan langsung berangkat. Ia
mengarahkanku ke sebuah pusat Zen. Dan sejak itu kami
berada di sana. Aku menelepon Lauren di kantornya, tapi ia
sedang keluar. Aku mencoba menghubungi Theresa di lab,
tapi teleponnya sedang dipakai. Aku menelepon ke rumah.
Elaine memberitahuku bahwa Michelle baik-baik saja,
dan bahwa para wartawan telah pergi. Ia bertanya apakah
ia perlu tinggal lebih lama dan menyiapkan makan malam
untuk Michelle. Kubilang ya, dan menambahkan bahwa aku
mungkin akan pulang larut malam.
Dan kemudian, selama satu jam berikut, aku menonton
TV. Sampai aku tidak tahan lagi.

Hari sudah hampir gelap. Pasir di taman tampak ungu


keabu-abuan. Seluruh badanku terasa kaku karena duduk
terlalu lama,, dan udara semakin dingin. Pager-ku berbunyi.
Panggilan dari markas. Atau mungkin dari Theresa Aku
berdiri dan melangkah masuk.
Di layar TV, Senator Stephen Rowe sedang
menyampaikan ucapan belasungkawa untuk keluarga yang
tertimpa musibah, dan menielaskan bahwa Senator Morton
mengalami stres berlebihan. Senator Rowe juga
mengungkapkan bahwa tawaran dari Akai belum ditarik
kembali. Sepanjang pengetahuan Rowe, rencana penjualan
MicroCon terus berjalan seperti semula, dan ia
memperkirakan takkan ada hambatan serius.
"Hmm," gumam Connor.
"Penjualan itu tidak jadi dibatalkan?"
"Rupanya memang tak pernah ada pembatalan.” Connor
tampak cemas.
"Anda tidak setuju dengan penjualan itu?"
Saya khawatir mengenai Eddie. Ia terlalu congkak tadi.
Yang menjadi pertanyaan adalah langkah yang akan
diambil Ishiguro."
“Apa pengaruhnya?” Aku benar-benar lelah. Cheryl
Austin telah mati, Morton telah mati, dan MicroCon tetap
dijual kepada Akai.
Connor menggelengkan kepala. "Ingat apa yang
dipertaruhkan di sini," katanya. "Taruhannya besar sekali.
Ishiguro tidak akan ambil pusing mengenai pembunuhan
sepele, atau bahkan mengenai pembelian perusahaan
high-tech bernilai strategis. Ishiguro memikirkan reputasi
Nakamoto di Amerika. Nakamoto telah merambah ke
seluruh Amerika dan berniat memperluas jaringannya.
Eddie bisa merusak reputasi mereka."
“Bagaimana caranya?"
Ia menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu pasti.”
Pager-ku kembali berbunyi. Aku menelepon ke markas.
Teleponku diterima oleh Frank Ellis, petugas piket malam
hari.
"Hei, Pete," katanya. "Kami terima telepon untuk Special
Services. Dan Sersan Matlovsky. Dia di tempat
penampungan kendaraan. Ada masalah bahasa."
"Ada apa?"
"Dia bilang, ada lima warga Jepang di sana. Mereka
berkeras untuk memeriksa bangkai mobil itu."
Aku mengerutkan kening. "Bangkai mobil mana?"
“Ferrari yang menabrak dinding pemisah waktu sedang
kejar-kejar. Mobil itu hancur sama sekali, ringsek akibat
benturan, lalu terbakar habis. Mayat pengemudinya
dikeluarkan dengan peralatan las oleh tim VHDV tadi pagi.
Tapi orang-orang Jepang itu tetap berkeras ingin
memeriksanya. Matlovsky sudah mempelajari
berkas-berkas yang ada, tapi dia tidak tahu apakah dia bisa
mengizinkan mereka. Dia takut mobil itu dipakai sebagai
barang bukti dalam penyidikan yang sedang berjalan. Dan
dia tidak bisa berkomunikasi dengan orang-orang Jepang
itu. Salah satu dari mereka mengaku kerabat si pengemudi.
Nah, kau bisa ke sana untuk menangani masalah ini?"
Aku menghela napas. "Malam ini giliranku lagi. Semalam
aku sudah bertugas.”
"Well, namamu tercantum di daftar. Kelihatannya kau
bertukar waktu dengan Allen."
Samar-samar kuingat bahwa aku memang bertukar
waktu dengan Allen, supaya ia bisa mengajak anaknya
menonton pertandingan hoki es. Baru minggu lalu kami
membicarakannya, tapi rasanya sudah lama sekali.
"Oke," ujarku, "biar kuurus nanti."
Aku kembali untuk memberitahu Connor bahwa aku
harus pergi. Ia mendengarkan ceritaku dan tiba-tiba
melompat berdiri. "Tentu saja! Kenapa itu tidak terpikir
olehku? Sialan!" Ia mengepalkan tangan. "Kita berangkat,
Kohai."
"Kita ke tempat penampungan mobil.”
"Penampungan mobil? Tidak sekarang.”
"Kalau begitu, ke mana kita sekarang?”
“Oh, brengsek. Betapa bodohnya aku!" katanya. Ia sudah
menuju mobil.
Aku mengikutinya.

Ketika aku berhenti di depan rumah Eddie Sakamura,


Connor melompat turun dari mobil dan berlari menaiki
tangga. Langit tampak biru tua. Sudah hampir malam.
Connor melewati dua anak tangga dengan setiap
langkah. "Ini salah saya," katanya. "Seharusnya saya
menyadarinya dari awal. Seharusnya saya menangkap
maksudnya."
"Menyadari apa?" tanyaku. Aku agak tersengal-sengal
ketika sampai di puncak tangga.
Connor membuka pintu depan. Kami melangkah masuk.
Keadaan di ruang duduk masih sama seperti tadi, ketika
aku berdiri di sini dan berbicara dengan Graham.
Connor segera memeriksa semua ruangan. Di kamar
tidur, sebuah koper tergeletak dalam keadaan terbuka.
Beberapa jas Armani dan Byblos bertebaran di ranjang,
menunggu dimasukkan ke dalam koper. "Dasar bodoh,"
ujar Connor. "Seharusnya dia tidak kembali ke sini."
Lampu kolam renang menyala di luar, memancarkan
riak-riak cahaya berwarna kehijauan ke langit-langit.
Connor melangkah ke luar.

Mayatnya mengapung di air, menghadap ke bawah,


telanjang, di sebuah kolam renang, sebuah siluet gelap yang
dikelilingi cahaya kehijauan. Connor meraih sebuah tongkat
panjang dan mendorong Eddie ke seberang. Kami
menariknya ke tepi kolam yang terbuat dari beton.
Tubuh Eddie telah membiru dan dingin. Kaku.
Sepertinya ia tidak mengalami luka-luka.
"Mereka takkan gegabah," ujar Connor.
"Maksud Anda?"
"Mereka takkan meninggalkan jejak mencolok. Tapi saya
yakin kita bisa menemukan bukti." Ia mengeluarkan senter
kecil dan menyorot ke dalam mulut Eddie. Ia memeriksa
puting dan alat kelamin. "Ya. Ini. Anda lihat deretan titik
merah di sini? Di kantong kemaluannya. Dan itu, di sisi
dalam paha."
"Jepitan buaya?"
"Ya. Untuk menyambung kumparan listrik. Sialan!" kata
Connor. "Kenapa dia tidak memberitahu saya? Dia punya
kesempatan waktu kita naik mobil dari apartemen Anda ke
stasiun televisi untuk menemui Senator Morton.
Seharusnya dia bisa mengatakan sesuatu. Seharusnya dia
berterus terang pada saya."
"Mengenai apa?"
Connor tidak menjawab. Ia sibuk dengan pi.kirannya
sendiri. Ia mendesah. "Anda tahu, pada akhirnya kita tetap
hanya dianggap sebagai gaijin. Orang asing. Bahkan dalam
keadaan apa pun Eddie tidak mau berpaling pada kita.
Pasti..."
Ia terdiam, menatap mayat Eddie. Akhirnya ia
mendorongnya ke kolam renang. Eddie kembali terapung.
"Biar orang lain saja yang membuat laporannya," ujar
Connor sambil berdiri. "Tak ada gunanya kalau kita disebut
sebagai orang yang menemukan mayatnya." Ia
memperhatikan Eddie mengambang di tengah kolam
renang. Kepala Eddie tertunduk sedikit. Tumitnya bergerak
naik turun di permukaan.
"Saya suka dia," ujar Connor. "Dia menolong saya. Saya
bahkan sempat bertemu dengan keluarganya di Jepang.
Dengan beberapa anggota keluarganya. Bukan ayahnya." Ia
mengamati mayat yang sedang berputar pelan-pelan. "Tapi
Eddie anak baik. Dan sekarang, saya ingin tahu kenapa."
Aku bingung. Aku tidak tahu apa yang dibicarakannya, tapi
aku pun sadar bahwa itu bukan waktu yang baik untuk
bertanya. Connor tampak marah.
"Ayo," katanya akhirnya. "Kita harus bergerak cepat.
Hanya ada beberapa kemungkinan. Dan sekali lagi, kita
terlambat mengantisipasi perkembangan. Tapi saya
bersumpah, saya akan menangkap bajingan busuk itu."
"Bajingan busuk mana?"
"Ishiguro."

Bab 51

KAMI kembali ke apartemenku. "Anda beristirahat saja


nialam ini," ujar Connor padaku.
"Saya ikut dengan Anda," kataku.
"Tidak. Urusan ini akan saya selesaikan sendiri, Kohai.
Lebih baik Anda tidak terlibat."
"Terlibat apa?"
Selama beberapa waktu kami berdebat seperti ini.
Connor tidak mau menceritakannya. Akhirnya ia berkata,
"Tanaka pergi ke rumah Eddie semalam, karena kaset video
adegan tersebut berada di tangan Eddie. Dan saya rasa
kaset itu berisi rekaman yang asli."
"Ya.”
"Dan Tanaka menuntut agar Eddie mengembalikannya.
Karena itu mereka bertengkar. Ketika Anda dan Graham
datang, dan suasana menjadi kacaul balau, Eddie
memberitahu Tanaka bahwa kaset itu ada di Ferrari-nya.
Jadi Tanaka turun ke garasi. Dia panik waktu mellhat polisi,
lalu melarikan diri."
"Oke.”
"Mula-mula saya menduga kasetnya ikut terbakar dalam
kecelakaan itu."
"Ya."
"Tapi rupanya tidak. Sebab Eddie takkan berani bersikap
begitu congkak di depan Ishiguro seandainya kaset itu
sudah tidak ada di tangannya. Kaset itu merupakan jaminan
keselamatannya. Eddie menyadarinya. Tapi kelihatannya
dia tidak tahu bahwa Ishiguro bisa demikian kejam."
"Mereka menyiksanya karena kaset itu?"
"Ya. Tapi Eddie mengejutkan mereka. Dia tidak buka
mulut."
"Dari mana Anda tabu?"
"Karena," ujar Connor, "kalau dia memberitahu mereka,
takkan ada lima warga Jepang yang berusaha keras untuk
memeriksa bangkai Ferrari itu di tengah malam buta.”
“Jadi mereka masih mencari kaset itu?"
“Ya.”
missing
Aku merenungkannya.
"Apa yang akan Anda lakukan?" tanyaku.
"Menemukan kaset itu," kata Connor. "Sebab peranannya
sangat penting. Sudah beberapa orang mati karena kaset
itu. Kalau kita bisa menemukan rekaman yang asli..." Ia
menggelengkan kepala. "Ishiguro akan menghadapi
masalah besar. Dan dia memang patut mendapat ganjaran."
ZZZ
Aku menepi di depan gedung apartemenku. Seperti yang
dikatakan Elaine tadi, para wartawan sudah pergi. Jalanan
tampak lengang. Gelap.
"Saya tetap ingin ikut," aku berkata sekali lagi.
Connor menggelengkan kepala. "Saya sedang cuti tanpa
batas," katanya. "Anda tidak. Anda harus memikirkan uang
pensiun Anda. Dan Anda tak akan mau terlibat dengan apa
yang akan saya akukan malam ini."
"Saya sudah bisa menebaknya," ujarku. "Anda akan
melacak gerak-gerik Eddie sejak semalam. Eddie
meninggalkan rumahnya dan mengunjungi si Rambut
Merah. Mungkin dia juga sempat pergi ke tempat lain."
"Begini," kata Connor. "Saya tidak ingin buang-buang
waktu lebih banyak lagi, Kohai. Saya punya beberapa
koneksi dan beberapa kenalan yang bisa membantu. Itu
saja yang perlu Anda ketahui. Kalau Anda memerlukan
saya, Anda bisa menghubungi saya lewat telepon mobil.
Tapi jangan telepon kalau tidak terpaksa. Sebab saya akan
sibuk."
"Tapi..."
"Ayo, Kohai. Turun. Nikmatilah malam ini bersama putri
Anda. Anda telah melaksanakan tugas dengan baik, tapi
tugas Anda sudah selesai sekarang."
Akhirnya aku keluar dari mobil.
"Sayonara," kata Connor sambil melambaikan tangan.
Dan kemudian ia mulai melaju.

"Daddy! Daddy!" Michelle berlari menghampiriku


dengan tangan terentang. "Gendong, Daddy!"
Aku mengangkatnya. "Hai, Shelly."
"Daddy, boleh nonton Sleeping Beauty?”
"Nanti dulu. Kau sudah makan malam?"
"Dia makan dua hot dog dan es krim," kata Elaine Ia
sedang mencuci piring di dapur.
"Jeez," kataku. "Kita sudah sepakat bahwa dia jangan
diberi junk food lagi. "
"Well, dia cuma mau makan itu," balas Elaine.
Ia tampak lelah. Ia telah menghabiskan satu hari
bersama anak umur dua tahun.
"Daddy, aku boleh nonton Sleeping Beauty?"
"Tunggu dulu, Shelly, Daddy sedang bicara dengan
Elaine. "
"Saya sudah membuatkan sup," ujar Elaine, "tapi dia
tidak mau menyentuhnya. Dia minta hot dog."
"Daddy, aku boleh setel saluran Disney?"
"Michelle," kataku.
Elaine berkata, "Saya pikir, dia harus makan sesuatu.
Mungkin dia bingung. Begitu banyak wartawan yang
berkerumun di sini tadi."
"Daddy? Boleh, ya? Sleeping Beauty?" Ia
menggeliat-geliut dalam gendonganku. Menepuk-nepuk
wajahku untuk menarik perhatian.
"Oke, Shel."
"Sekarang, Daddy?"
"Oke."
Aku menurunkannya. Ia berlari ke ruang duduk dan
menyalakan TV, memencet remote control tanpa ragu-ragu.
"Saya rasa dia terlalu banyak nonton TV."
"Semua anak kecil begitu," ujar Elaine sambil
mengangkat bahu.
"Daddy?"
Aku menyusuinya ke ruang duduk, memasukkan kaset
video, lalu memutarnya- Logo Disney terlihat di layar TV.
"Bukan bagian ini,” ujar michelle dengan tidak sabar.
Jadi aku menekan tombol fast-forward samke awal
cerita. Aku melihat halaman-halaman sebuah buku dibalik.
"Yang ini, yang ini," seru Michelle.
Aku memutar rekaman itu dengan kecepatan normal.
Michelle duduk di kursi dan mulai mengisap jempol. Lalu ia
menarik jempolnya keluar dari mulut dan menepuk-nepuk
tempat di sebelahnya. "Sini, Daddy," katanya.
Ia ingin aku menemaninya.
Aku menghela napas, memandang berkeliling. Ruang
dudukku berantakan sekali. Krayon-krayon dan buku-buku
mewarnai bertebaran di lantai. Juga kincir angin yang
dibuatkan Eddie tadi.
"Daddy mau beres-beres dulu,” kataku. "Di sini saja, di
dekat kamu."
Ia kembali mengisap jempol, dan berpaling ke arah TV.
Seluruh perhatiannya terpusat pada gambar di layar kaca.
Aku memasukkan semua krayon ke tempatnya. Aku
memungut buku-buku mewarnai dan mengembalikan
semuanya ke rak. Tiba-tiba aku merasa letih sekali, jadi aku
duduk di lantai, di sebelah Michelle. Di layar, tiga peri - satu
hijau, satu merah, dan satu biru - sedang terbang ke bangsal
singgasana di puri.
"Itu Merryweather," ujar Michelle sambil menunjuk.
"Yang biru."
Dari dapur, Elaine berkata, "Bagaimana kalau saya
membuatkan sandwich untuk Anda, Letnan?"
"Ya, terima kasih," kataku. Aku hanya ingin duduk
bersama anakku. Aku ingin melupakan semuanya, paling
tidak untuk sementara waktu. Aku bersyukur bahwa
Connor berkeras agar aku tidak ikut. Aku hanya duduk dan
menatap TV.
Elaine membawa sandwich berlapis salami dengan daun
selada dan moster. Aku lapar sekali. Elaine melirik layar TV,
menggelengkan kepala, lalu kembali ke dapur. Aku
menghabiskan sandwich, dan Michelle minta diberl juga. Ia
suka salami. Sebenarnya aku ragu-ragu karena ada zat
pengawetnya, tapi mestinya tidak lebih buruk di-
bandingkan dengan hot dog.
Setelah makan, aku merasa lebih enak. Aku berdirl dan
meneruskan pekerjaanku. Aku memungut kincir angin
mainan dan mulai membongkarnya. Semua bagian
kumasukkan ke dalam tabung karton. Michelle berkata,
"Jangan, jangan!" dengan nada sedih. Kupikir ia tidak mau
aku membongkar kincir anginnya, tapi ternyata bukan itu.
Ia menutup matanya dengan kedua belah tangan. Ia tidak
mau melihat Maleficent, si tukang sihir yang jahat. Aku
melewatkan bagian itu, dan ia kembali tenang. .
Setelah memasukkan semua bagian kincir angin ke
dalam tabung, aku memasang tutup logamnya dan
meletakkan tabung itu di rak paling bawah. Semua mainan
Michelle disimpan di rak paling bawah, supaya ia bisa
mengambilnya sendiri.
Tabung itu jatuh ke karpet. Aku memungutnya. Ternyata
ada sesuatu di rak. Sebuah kotak kecil. Aku segera
mengenalinya.
Sebuah kaset video delapan milimeter, dengan tulisan
Jepang pada labelnya.

Bab 52

ELAINE berkata, "Letnan? Masih ada lagi yang perlu saya


kerjakan?" Ia mengenakan mantel, sudah siap pulang.
"Tunggu sebentar," kataku.
Aku mengangkat gagang telepon dan menghubungi
operator di markas. Aku minta disambungkan dengan
Connor di mobilku. Aku menunggu dengan tidak sabar.
Elaine memandangku.
"Sebentar lagi, Elaine," ujarku.
Di layar TV, sang Pangeran sedang berduet dengan
Sleeping Beauty, diiringi kicauan sekawanan burung.
Michelle masih mengisap jempol.
Si operator berkata, "Maaf, tidak ada jawaban dari mobil
Anda."
"Oke," kataku, "Apakah Anda punya nomor di mana saya
bisa menghubungi dia?"
Hening sejenak. "Kapten Connor sedang tidak berdinas
aktif."
"Saya tahu. Apakah dia meninggalkan nomor telepon?"
"Di sini tidak ada catatan apa-apa, Letnan.”
“Saya harus menghubungi dia."
"Tunggu sebentar." Aku mengumpat.
Elaine berdiri di ambang pintu depan. Ia sudah siap
berangkat.
Suara si operator terdengar kembali. "Letnan? Menurut
Kapten Ellis, Kapten Connor sudah pergi.”
"Pergi?"
"Dia datang ke sini beberapa waktu yang lalu, tapi
sekarang dia sudah pergi."
"Maksudnya, dia datang ke markas?"
"Ya, tapi dia sudah pergi. Dia tidak meninggalkan nomor
telepon. Maaf."
Aku meletakkan gagang. Untuk apa Connor datang ke
markas?
Elairig masih berdiri di ambang pintu. "Letnan?"
Aku berkata, "Sebentar, Elaine."
"Letnan, saya harus..."
"Saya bilang, sebentar."
Aku mulai berjalan mondar-mandir. Aku tidak tahu apa
yang harus kulakukan. Tiba-tiba saja aku dicekam
ketakutan. Mereka telah membunuh Eddie untuk
mendapatkan kaset itu. Mereka takkan ragu-ragu
membunuh sekali lagi. Aku menatap anakku yang sedang
menonton TV sambil mengisap jempol. Aku berkata kepada
Elaine, "Di mana mobil Anda?"
"Di tempat parkir di basement."
"Oke. Dengar baik-baik. Saya minta Anda mengajak
Michelle dan membawanya ke..."
Telepon berdering. Aku langsung menyambar gagang,
dengan harapan bahwa Connor yang menelepon. "Halo."
"Moshi moshi. Connor-san desu ka?"
"Dia tidak di sini," jawabku. Begitu kata-kata itu keluar
dari mulutku, aku langsung memaki dirl sendiri. Tapi
terlambat, aku telah keseleo lidah.
"Baik, Letnan," kata sebuah suara dengan logat kental.
"Anda menyimpan barang yang kami inginkan, bukan?"
Aku berkata, "Saya tidak tahu maksud Anda."
"Saya pikir Anda tahu, Letnan."
Aku mendengar bunyi mendesis. Orang itu
menggunakan telepon mobil. Ia bisa berada di mana saja.
Bisa saja ia berada tepat di depan gedung apartemenku.
Brengsek!
Aku berkata, "Siapa ini?"
Tapi aku hanya mendengar nada panggil.
Elaine bertanya, "Ada apa, Letnan?"
Aku bergegas ke jendela. Aku melihat tiga mobil berjejer
di bawah. Lima orang baru saja turun, sosok-sosok gelap di
tengah malam.

Bab 53

AKU berusaha tetap tenang. "Elaine," kataku, “saya minta


Anda membawa Michelle ke kamar tidur saya.
Bersembunyilah di bawah tempat tidur dan jangan
bersuara apa pun, mengerti?"
"Tidak mau, Daddy!"
"Sekarang, Elaine."
"Jangan, Daddy! Aku mau nonton Sleeping Beauty."
"Nanti saja kamu teruskan lagi." Aku telah mencabut
pistol dan sedang memeriksa tempat peluru.
Elaine membelalakkan mata.
Ia mengangkat Michelle. "Ayo, Sayang."
Michelle menggeliat-geliut. "Jangan, Daddy!"
"Michelle,"
Ia terdiam, kaget mendengar nada suaraku. Elaine
menggendongnya ke kamar tidur. Aku mengisi tempat
peluru kedua, dan menyelipkannya ke dalam kantong jas.
Aku memadamkan lampu di kamar tidur dan di kamar
Michelle. Kupandangi tempat tidurnya, dan selimut dengan
gambar gajah-gajah kecil. Aku mematikan lampu dan pergi
ke dapur.
Aku kembali ke ruang duduk. Pesawat TV masih
menyala. Si penyihir jahat sedang menyuruh burung
gagaknya mencari Sleeping Beauty. "Kau harapanku yang
terakhir, Manis, jadi jangan kecewakan aku," katanya pada
burung itu, yang kemudian langsung terbang.
Aku tetap merunduk dan bergerak ke arah pintu.
Pesawat telepon kembali berdering. Aku merangkak untuk
mengangkat gagang.
"Halo."
“Kohai." Suara Connor. Aku mendengar bunyi mendesis
dari telepon mobil.
Aku berkata, "Di mana Anda?"
"Anda sudah menemukan kaset itu?"
"Ya, saya sudah menemukannya. Di mana Anda?"
"Di bandara."
"Cepat ke sini. Sekarang juga. Dan minta bala bantuan!
Cepat! "
Aku mendengar suara di selasar, di luar apartemenku.
Pelan, seperti suara langkah.
Aku meletakkan gagang. Keringatku mengalir deras.
Ya Tuhan.
Kalau Connor berada di bandara, berarti ia berada dua
puluh menit dari tempatku. Mungkin lebih.
Mungkin lebih.
Urusan ini harus kutangani seorang diri.
Aku memperhatikan pintu, memasang telinga. Tapi aku
tidak mendengar apa-apa lagi di luar.
Dari kamar tidur, aku mendengar anakku berkata, "Aku
mau nonton Sleeping Beauty. Aku mau Daddy." Aku
mendengar Elaine membisikkan sesuatu. Michelle
merengek.
Lalu hening.
Telepon kembali berdering.
"Letnan," ujar suara berlogat kental tadi, "Anda tidak
perlu memanggil bala bantuan."
Ya Tuhan, mereka menyadap percakapanku dengan
Connor.
"Kami tidak bennaksud buruk, Letnan. Kami hanya
menginginkan satu hal. Tolong serahkan kaset itu kepada
kami."
"Kaset itu memang ada pada saya," ujarku.
"Kami tahu."
Aku berkata, "Bawa saja."
"Bagus. Memang lebih baik begitu."
Aku sadar bahwa aku harus menghadapi mereka
seorang diri. Otakku bekerja keras. Satu-satunya pikiran
dalam benakku: Jauhkan mereka dari sini. Jauhkan mereka
dari anakku.
"Tapi tidak di sini," ujarku.
Aku mendengar pintu depan digedor-gedor dari luar.
Brengsek!
Aku merasa terjepit. Segala sesuatu terjadi terlalu cepat.
Aku bertiarap di lantai, di samping pesawat telepon yang
telah kutarik dari meja. Berusaha agar tidak terlihat dari
jendela.
Pintuku kembali digedor-gedor.
Aku berkata, "Silakan bawa kaset. itu. Tapi sebelumnya
anak buah Anda harus ditarik dulu."
"Bisa diulang sekali lagi?"
Astaga, masalah bahasa!
"Suruh anak buah Anda mundur. Suruh mereka kembali
ke jalanan. Saya mau lihat."
"Letnan, kami harus mendapatkan kaset itu!"
"Saya tahu," kataku. "Dan saya akan memberikannya."
Sambil bicara, pandanganku tetap tertuju ke pintu. Aku
melihat pegangan pintu berputar. Seseorang berusaha
membukanya. Perlahan-lahan, tanpa suara. Kemudian
pegangannya dilepas lagi. Sebuah benda putih diselipkan di
bawah pintu.
Sebuah kartu nama.
"Letnan, kami mengharapkan kerja sama Anda."
Aku merangkak maju dan memungut kartu nama itu.
Kartu itu bertuliskan: Jonathan Connor, Los Angeles Police
Department.
Lalu aku mendengar seseorang berbisik dari balik pintu.
"Kohai."
Aku tahu mereka hendak menjebakku. Connor berada di
bandara, jadi ini pasti sebuah jebakan.
"Barangkali saya bisa membantu, Kohai."
Itulah kata-kata yang pernah ia ucapkan sebelumnya,
pada awal kasus. Aku mulai bimbang.
"Buka pintu keparat ini, Kohai."
Ternyata memang Connor. Aku meraih ke atas dan
membuka pintu. Ia menyusup masuk, sambil merunduk. Ia
menyeret benda berwarna biru - sebuah rompi Kevlar. Aku
berkata, "Saya pikir Anda di..."
Ia menggelengkan kepala dan berbisik, "Say tahu mereka
di sini. Mereka pasti ke sini. Saya menunggu di mobil, di
gang di belakang gedun ini. Ada berapa orang di luar?"
"Saya rasa lima. Mungkin lebih."
Ia mengangguk.
Suara beraksen di telepon berkata, "Letnan? Anda masih
di sana? Letnan?"
Aku menjauhkan gagang telepon dari telingaku agar
Connor bisa ikut mendengar. "Saya masih d sini," kataku.
Di TV, si penyihir jahat terkekeh-kekeh.
“Letnan, saya dengar suara orang lain."
"Itu hanya Sleeping Beauty," ujarku.
"Apa? Sreeping Booty?" tanya suara itu dengan nada
bingung.
"TV," kataku. "Hanya acara TV."
Kini aku mendengar lawan bicaraku berbisik-bisik.
Suara mobil lewat di jalanan. Itu mengingatkanku bahwa
mereka berada di tempat terbuka. Berdiri di sebuah jalan di
tengah pemukiman, dengan gedung-gedung apartemen di
kedua sisi. Dengan banyak jendela. Setiap saat ada
kemungkinan seseorang menengok ke luar. Atau lewat di
trotoar.
Mereka harus bergerak cepat.
Barangkali mereka sudah mulai bergerak. Connor
menarik-narik jasku. Memberi isyarat untuk membuka jas.
Aku melepaskannya sambil berbicara lewat telepon.
"Baiklah," ujarku, "apa yang harus saya lakukan?"
"Bawa kaset itu keluar."
Aku menatap Connor. Ia mengangguk. Ya.
"Oke," kataku. "Tapi sebelumnya, suruh anak buah Anda
mundur."
"Maaf."
Connor mengepalkan tangan sambil meringis. Ia ingin
agar aku marah. Ia menutup gagang telepon dan
membisikkan sesuatu ke telingaku. Sebuah ungkapan
Jepang.
"Pasang telinga!" kataku. "Yoku kike!"
Lawan bicaraku menggerutu. Sepertinya ia terkejut.
"Hai. Mereka mundur. Dan sekarang, Anda keluar,
Letnan."
"Oke," kataku. "Saya akan keluar."
Aku meletakkan gagang.

Connor berbisik, "Tiga puluh detik," dan keluar melalui


pintu depan. Aku masih mengancingkan baju setelah
mengenakan rompi antipeluru yang diberikannya. Kevlar
merupakan bahan yang tebal dan panas. Seketika aku mulai
berkeringat.
Aku menunggu tiga puluh detik sambil menatap jam
tanganku. Memperhatikan gerakan jarumnya. Dan
kemudian aku melangkah keluar.

Seseorang telah memadamkan lampu di selasar. Kakiku


tersandung pada tubuh yang tergeletak di lantai. Aku
terjatuh. Ketika aku bangkit lagi, a ku melihat sebuah wajah
Asia yang ramping.
Anak muda, jauh lebih muda dari yang kusangka. Masih
remaja. Ia pingsan, napasnya dangkal.
Perlahan-lahan aku menuruni tangga.
Tidak ada siapa-siapa di lantai dua. Aku turun lagi. Aku
mendengar suara tawa dari sebuah pesawat TV, di balik
salah satu pintu di lantai dua. Seseorang berseru, "Tolong
ceritakan, ke mana kau pergi pada kencan pertama?"
Aku turun ke lantai dasar. Pintu depan gedung
apartemenku terbuat dari kaca. Aku mengintip keluar dan
melihat mobil-mobil yang diparkir di tepi jalan, serta pagar
tanaman. Sebidang rumput di depan gedung. Orang-orang
tadi dan mobil-mobil mereka berada di sebelah kiri.
Aku menunggu. Aku menarik napas panjang. Jantungku
berdenyut kencang. Aku tidak ingin keluar, tapi
satu-satunya pikiranku adalah menjauhkan mereka dari
anakku. Menjauhkan bahaya yang mengancam....
Aku melangkah keluar. Udara dingin menerpa wajah dan
tengkukku yang bermandikan keringat.
Aku maju dua langkah.
Sekarang aku melihat mereka Mereka berdiri sekitar
sepuluh meter di sebelah kiriku, di samping
kendaraan-kendaraan mereka. Mereka berempat Salah satu
dari mereka melambaikan tangan, memberi isyarat untuk
mendekat. Aku tetap berdiri di tempat.
Di mana yang lainnya?
Aku tidak melihat siapa-siapa selain keempat orang itu.
Mereka kembali melambaikan tangan. Aku baru hendak
menghampiri mereka, ketika aku merasa ada hantaman
keras dari belakang. Aku terjungkal ke rumput basah.
Baru sesaat kemudian aku menyadari apa yang terjadi.
Aku ditembak dari belakang.
Dan setelah itu peluru-peluru berdesingan. Se-
napan-senapan otomatis. Seluruh jalan diterangi cahaya
tembakan. Suara letusan terpantul dari gedung-gedung di
kedua sisi jalan. Aku mendengar kaca pecah. Aku
mendengar orang-orang berteriak-teriak. Disusul bunyi
tembakan lagi. Aku mendengar bunyi mesin mobil
dinyalakan, dan beberapa mobil melesat menjauh. Hampir
seketika terdengar raungan sirene polisi dan bunyi ban
berdecit-decit. Lampu-lampu sorot menerangi jalanan. Aku
tidak bergerak, tetap tiarap di rumput. Rasanya seolah-olah
aku sudah satu jam tergeletak. Dan kemudian aku
menyadari bahwa semua seruan dilakukan dalam bahasa
Inggris.
Akhirnya seseorang mendekat, membungkuk di atasku,
dan berkata, "Jangan bergerak, Letnan. Biar saya periksa
dulu." Aku mengenali suara Connor. Tangannya menyentuh
punggungku, meraba-raba. Kemudian ia berkata, "Anda
bisa membalik, Letnan?"
Aku membalik.
Connor disorot lampu-lampu yang terang benderang. Ia
menatapku. "Peluru-peluru mereka tidak tembus," katanya.
"Tapi besok punggung Anda akan pegal sekali."
Ia membantuku berdiri.
Aku menoleh untuk melihat orang yang menembakku.
Tapi ternyata tidak ada siapa-siapa, hanya beberapa
selongsong peluru, berkilap suram di rumput hijau, di dekat
pintu depan.

MALAM KETIGA

Bab 54

JUDUL berita utama itu berbunyi, GENG VIETNAM


BERAKSI DI WESTSIDE. Artikel itu menyebutkan bahwa
Peter Smith, petugas Special Services L.A.P.D., menjadi
sasaran serangan balas dendam sebuah geng asal Orange
County, yang dikenal sebagai Bitch Killers. Letnan Smith
tertembak dua kali sebelum bala bantuan polisi tiba di
tempat kejadian dan membubarkan anak-anak muda itu.
Tak satu tersangka pun berhasil ditangkap dalam keadaan
hidup. Dua anggota geng tewas dalam baku tembak dengan
polisi.
Aku membaca koran sambil berendam di bak mand,
untuk mengurangi rasa pegal di punggungku. Dua luka
memar tampak membiru di kiri kanan tulang belakangku.
Menarik napas pun terasa nyeri.
Aku telah mengirim Michelle ke rumah ibuku di San
Diego selama akhir pekan, sampai urusan di sini berhasil
diselesaikan. Elaine yang mengantarkannya semalam.
Aku kembali membaca.
Menurut artikel itu, geng Bitch Killers diduga juga
bertanggung jawab atas kematian Rodney Howard, seorang
bocah kulit hitam berusia dua tahun yang minggu lalu
ditembak di kepala, ketika ia sedang naik sepeda roda tiga
di pekarangan depan rumahnya di Inglewood. Pembunuhan
itu konon merupakan inisiasi anggota baru geng tersebut.
Kekejaman yang diperlihatkan menyulut debat sengit
apakah L.A.P.D. mampu menangani kekerasan geng di
Califomia bagian selatan.
Wartawan-wartawan kembali bergerombol di depan
pintuku, tapi aku tidak melayani mereka. Pesawat
teleponku tak henti-hentinya berdering, tapi aku
menyalakan mesin penjawab otomatis. Aku hanya
berendam di bak mandi, dan berusaha memutuskan
langkah berikutnya.
Sekitar jam sepuluh pagi, aku menghubungi Ken Shubik
di Times.
"Aku sudah mulai heran kenapa kau belum telepon
juga," katanya. "Kau pasti gembira."
"Kenapa aku harus gembira?"
"Karena kau masih hidup," ujar Ken. "Anak-anak itu
pembunuh berdarah dingin."
"Maksudmu, anak-anak Vietnam semalam?"' tanyaku.
"Mereka bicara dalam bahasa Jepang."
"Yang benar?"
"Benar, Ken."
"Jadi, artikel kami berisi informasi yang salah?"
"Kelihatannya begitu."
"Pantas," katanya.
"Ada apa?"
"Artikel itu ditulis oleh si Musang. Dan si Musang sedang
diimpit masalah. Bahkan ada desas-desus bahwa dia akan
dipecat. Tak seorang pun di sini tahu apa alasannya," Ken
berkata. "Rupanya ada orang di Dewan Redaksi yang
tiba-tiba sewot terhadap Jepang. Pokoknya, dalam waktu
dekat ini kami akan memuat rangkaian laporan investigatif
mengenai perusahaan-perusahaan Jepang di Amerika."
“O, ya?”
"Tapi kau takkan menyangkanya kalau membaca koran
hari ini. Kau sudah lihat bagian bisnis?"
"Belum, kenapa?"
"Darley-Higgins mengumumkan penjualan MicroCon
kepada Akai. Di halaman empat bagian bisnis. Artikel dua
sentimeter."
"Hanya itu?"
"Kurasa itu sudah cukup. MicroCon hanya salah satu dari
sekian banyak perusahaan Amerika yang jatuh ke tangan
orang Jepang. Aku sudah memeriksanya. Sejak 1987, ada
180 perusahaan Amerika yang bergerak di bidang high-tech
dan elektronik yang dijual kepada orang Jepang. Nilai beri-
tanya sudah tidak ada."
"Tapi Times akan melakukan penyelidikan?"
"Kabarnya begitu. Tapi pasti tidak mudah, sebab semua
indikator emosional sedang turun. Neraca pembayaran
dengan Jepang sudah lebih seimbang sekarang. Tapi
sebenarnya itu hanya karena mereka mengurangi ekspor
mobil ke sini. Mobil-mobil mereka sekarang diproduksi di
sini. Pabrik-pabrik mobil mereka dipindahkan ke
negara-negara naga kecil. Jadi defisitnya muncul dalam
neraca negara-negara itu, bukan dalam neraca Jepang.
Mereka juga meningkatkan pembelian jeruk dan kayu
mentah, untuk mempengaruhi pendapat umum. Pada
dasarnya, mereka memperiakukan kita sebagai negara
berkembang. Mereka mengimpor bahan baku kita. Tapi
mereka tidak membeli produk jadi. Mereka bilang, kita
tidak menghasilkan barang-barang yang mereka perlukan."
"Mungkin memang begitu, Ken."
"Yeah." Ia menghela napas. "Tapi aku tidak tahu apakah
masyarakat umum mau ambil pusing. Itulah
pertanyaannya. Termasuk terhadap masalah pajak."
Aku agak bingung. "Pajak?"
"Kami sedang menyusun laporan besar-besaran
mengenai pajak. Pemerintah akhimya sadar bahwa
perusahaan-perusahaan lepang menjalankan bisnis raksasa
di sini, dan bahwa jumlah pajak yang mereka bayar di
Amerika kecil sekali. Beberapa perusahaan malah tidak
bayar sama sekali, dan itu tidak masuk akal. Mereka
mengontrol laba dengan menaikkan harga subkomponen
Jepang yang diimpor oleh pabrik perakitan mereka di
Amerika. Ini memang keterlaluan, tapi Pemerintah Amerika
memang kurang giat menjatuhkan sanksi kepada Jepang.
Dan orang Jepang menghabiskan setengah miliar dolar di
Washington setiap tahunnya, supaya keadaan tetap aman-
aman saja."
"Tapi kalian akan memuat laporan tentang pajak?"
"Yeah. Dan kami menyelidiki-Nakamoto. Sum-
ber-sumberku melaporkan bahwa Nakamoto akan dikenai
tuduhan mengatur harga secara tidak sah. Itulah
permainan perusahaan-perusahaan Jepang. Aku sudah
membuat daftar mengenai siapa saja yang pernah
menghadapi dakwaan serupa. Nintendo di tahun 1991.
Mitsubishi di tahun yang sama. Panasonic di tahun 1989.
Minolta di tahun 1987. Dan itu baru permulaannya saja.”
"Kalau begitu, ada baiknya kalian menyelidikinya."
Ia terbatuk. "Kau bersedia memberi pernyataan?
Mengenai anak-anak Vietnam yang berbahasa Jepang itu?"
"Tidak."
"Kita harus saling membantu," ujar Ken.
"Kurasa tidak ada gunanya," kataku.

Aku makan siang bersama Connor di sebuah sushi bar di


Culver City. Ketika aku menepikan mobil, seseorang
memasang tanda TUTUP di jendela. Kemudian ia melihat
Connor, dan membalikkan tanda itu sehingga berbunyi
BUKA.
"Aku cukup dikenal di sini," Connor menjelaskan.
"Maksudnya, mereka menyukai Anda?"
"Itu sukar dipastikan."
"Mereka mengharapkan uang Anda?"
"Tidak," kata Connor. "Hiroshi mungkin lebih suka
beristirahat. Baginya tidak ada untungnya kalau anak
buahnya harus melayani dua gaijin. Tapi saya sering
berkunjung ke sini. Dia menghormati hubungan kami. Tak
ada sangkut pautnya dengan bisnis, atau dengan suka atau
tidak suka."
Kami turun dari mobil.
"Orang Amerika sering kali tidak memahaminya,"
katanya. "Sebab sistem Jepang berbeda secara mendasar."
"Yeah, well, rasanya saya sudah mulai mengerti," u jarku.
Aku mengulangi cerita Ken mengenai pengaturan harga.
Connor menghela napas. "Memang mudah untuk
mengatakan bahwa orang Jepang tidak jujur. Itu benar, tapi
mereka berpegang pada aturan main yang berbeda. Orang
Amerika saja yang tidak mau mengerti."
"Oke," kataku, "tapi pengaturan harga seperti itu
melanggar hukum."
"Hukum di Amerika," kata Connor. "Tapi di Jepang, itu
merupakan hal biasa. Ingat, Kohai, berbeda secara
mendasar. Kesepakatan berbau kongkalikong, begitulah
cara bisnis mereka. Skandal saham Nomura
membuktikannya. Orang Amerika mengutuk
persekongkolan, padahal itu hanya cara lain untuk
menjalankan bisnis."
Kami memasuki sushi bar. Semua orang sibuk
membungkuk dan bertegur sapa. Connor mengatakan
sesuatu dalam bahasa Jepang, dan kami duduk di meja
layan. Kami tidak memesan makanan.
Aku bertanya, "Kita tidak pesan apa-apa?"
"Tidak," ujar Connor. "Hiroshi akan tersinggung. Dia
akan memutuskan, apa yang dihidangkan untuk kita."
Jadi kami hanya duduk di meja layan. Hiroshi
membawakan piring.
Pesawat telepon berdering. Di ujung meja layan, seorang
pria berkata, "Connor-san, onna no hito ga matteru to
ittemashita yo."
"Dõmo," jawab Connor sambil mengangguk. Ia berpaling
padaku, dan berdiri. "Kelihatannya kita tidak sempat
mencicipi sajian Hiroshi. Sudah waktunya untuk acara
berikut. Anda membawa kaset video itu?"
“Ya."
"Bagus."
"Ke mana kita sekarang?"
"Menemui teman Anda," katanya. "Miss Asakuma.”

Bab 55

KAMI berusaha menghindari lubang-lubang di Santa


Monica freeway dalam perialanan ke pusat kota. Sore itu
langit tampak kelabu; sepertinya akan hujan. Punggungku
masih nyeri. Connor memandang ke juar jendela,
bersenandung pelan.
Dalam segal a hiruk-pikuk yang terjadi, aku lupa bahwa
Theresa sempat menelepon semalam. Ia memberitahu
bahwa ia telah menonton bagian akhir rekaman, dan bahwa
ia menemukan masalah baru.
"Anda sudah bicara dengannya?"
"Dengan Theresa? Hanya sepintas lalu. Saya
memberikan beberapa saran kepadanya."
“Semalam, dia bilang ada masalah."
"Oh? Dia tidak menyinggungnya waktu bicara dengan
saya.”
Aku mendapat kesan bahwa Connor menyembunyikan
sesuatu, tapi punggungku terasa nyeri, dan aku tidak
berminat berdebat dengannya.
Kadang-kadang aku rnerasa Connor sendiri sudah
menjadi orang Jepang. Ia menutup diri, bersikap misterius.
Aku berkata, "Anda belum bercerita kenapa Anda
meninggalkan Jepang."
"Oh, itu." la menghela napas. "Saya mendapat tawaran,
bekerja untuk sebuah perusahaan di sana. Sebagai
penasihat keamanan. Tapi ternyata gagal."
"Kenapa?"
"Well, pekerjaan itu sendiri cukup menarik."
"Lalu apa masalahnya?"
Ia menggelengkan kepala. "Sebagian besar orang yang
pernah tinggal di Jepang, pulang dari sana dengan perasaan
tak menentu. Dalam banyak hal, orang Jepang sangat
mengagumkan. Mereka bekerja keras, cerdas, memiliki rasa
humor. Mereka benar-benar tulus. Tapi mereka juga orang
yang paling memandang rendah suku bangsa lain. Itulah
sebabnya mereka selalu menuduh orang lain melakukan
diskriminasi rasial. Mereka begitu penuh prasangka buruk,
sehingga mereka berasumsi bahwa orang lain juga begitu.
Dan hidup di Jepang... setelah beberapa waktu, saya tidak
tahan lagi. Saya bosan melihat wanita-wanita memilih
menyeberang jalan daripada berpapasan dengan saya pada
malam hari. Saya bosan menghadapi kenyataan bahwa
kedua kursi yang terakhir ditempati di kereta bawah tanah
adalah kursi di kiri kanan saya. Saya bosan mendengar
pramugari-pramugari menanyakan pada penumpang
Jepang apakah mereka keberatan duduk berdampingan de-
ngan gaijin, dengan berasumsi bahwa saya tidak
memahaminya, karena mereka bicara dalam bahasa Jepang.
Saya bosan dikucilkan, dipandang rendah,
dijadikan bahan lelucon. Saya... saya tidak tahan lagi.
Saya menyerah."
“Sepertinya Anda sebenarnya tidak terlalu menyukai
mereka."
“Salah,” ujar Connor. “Saya sangat rnenyukai mereka.
Tapi saya bukan orang Jepang, dan mereka tak pernah
memberi kesempatan untuk melupakannya." Ia kembali
mendesah. "Saya punya banyak teman Jepang yang bekerja
di Amerika, mereka juga merasa dikucilkan. Dan
orang-orang juga tidak mau duduk bersebelahan dengan
mereka. Tapi teman-teman saya selalu minta agar mereka
pertama-tama dipandang sebagai manusia, baru kemudian
sebagai orang Jepang. Sayangnya, berdasarkan pengalaman
saya, hal itu tidak selalu benar.”
“Maksud Anda, yang lebih penting adalah bahwa mereka
orang Jepang.”
Connor mengangkat bahu. "Ikatan kesukuan tetap yang
paling utama.”
Sisa perjalanan kami tempuh sambil membisu.

Bab 56

KAMI berada di sebuah ruang kecil, di lantai tiga sebuah


asrama mahasiswa asing. Theresa Asakuma menjelaskan
bahwa ia bukan penghuni asrama itu. Ruangan itu adalah
tempat tinggal temannya yang sedang belajar di Itali
selama satu semester. Ia telah memasang VCR kecil dan
monitor kecil di sebuah meja.
"Saya pikir lebih baik kalau saya keluar dari lab,"
katanya sambil menekan tombol fast-forward. "Tapi saya
pikir Anda perlu melihat ini. Ini bagian akhir dari rekaman
yang Anda bawa. Tepat setelah Senator Morton
meninggalkan ruangan."
Ia memutar rekaman itu dengan kecepatan normal, dan
kami melihat gambar keseluruhan lantai 46 di gedung
Nakamoto. Ruangan itu kosong. Tubuh pucat Cheryl Austin
tergeletak di atas meja rapat yang gelap.
Selama beberapa waktu tidak terjadi apa-apa.
Aku berkata, "Apa yang perlu kami lihat?"
"Tunggu saja."
Pita rekaman terus berputar. Tetap tidak terjadi apa-apa.
Dan kemudian aku melihat, jelas-jelas, kaki wanita muda
itu bergerak.
"Hei, apa itu?"
"Getaran otot?"
"Saya tidak tahu."
Kini lengan Cheryl bergerak. Tak ada keraguan sedikit
pun. Jemarinya mengepal, lalu membuka lagi.
"Dia masih hidup!"
Theresa mengangguk. "Kelihatannya. begitu. Sekarang
perhatikan jam di dinding."
Jam dinding itu menunjuk pukul 20.36. Aku
memperhatikannya. Tidak terjadi apa-apa. Dua menit
berlalu.
Connor menghela napas.
"Jam itu tidak bekerja."
"Memang," ujar Theresa. "Saya pertama kali
menyadarinya waktu mengamati pola bintik-bintik pada
gambar yang saya perbesar. Bintik-bintiknya bergerak
maju-mundur secara beraturan."
"Artinya?"
"Kami menyebutnya rock and roll. Ini cara yang biasa
digunakan agar gambar yang dibekukan tidak terlalu
mencolok. Pembekuan normal mudah diketahui, karena
komponen-komponen gambar yang lebih kecil tiba-tiba
tidak bergerak. Dalam gambar biasa, selalu ada
gerakan-gerakan kecil, biarpun tidak beraturan. Untuk
menyamarkan kesan diam, adegan selama tiga detik
direkam berulang-ulang. Dengan demikian timbul sedikit
gerakan, dan pembekuan gambar tidak terlalu mencolok."
"Maksud Anda, gambar ini dibekukan pukul 20.36?"
“Ya. Dan sepertinya wanita itu masih hidup waktuitu.
Saya tidak bisa memastikannya. ada kemungkinan."
Connor mengangguk. "Jadi, itu sebabnya rekaman yang
asli begitu penting.”
"Rekaman asli mana?" tanya Theresa.
Aku mengeluarkan kaset video yang kutemukan di
apartemenku padanya.
"Tolong diputar," ujar Connor.

Kami melihat lantai 46 dengan warna cemerlang.


Gambar diambil dari kamera di bagian samping ruangan,
dan ruang rapat terlihat jelas sekali. Kaset itu berisi
rekaman asli. Kami menyaksikan adegan pembunuhan, lalu
melihat Morton meninggalkan Cheryl di atas meja.
Kami memperhatikan wanita muda itu.
"Anda bisa melihat jam dinding?"
"Dari sudut ini tidak kelihatan."
"Menurut Anda, berapa waktu telah berlalu?"
Theresa menggelengkan kepala. "Ini rekaman yang
dipercepat. Saya tidak bisa menentukannya. Beberapa
menit, mungkin."
Kemudian, wanita muda di alas meja tampak bergerak.
Tangannya mengepal, lalu kepalanya bergeser sedikit. Ia
masih hidup.
Dan di dinding kaca ruang rapat, kami melihat sosok
seorang pria. Ia melangkah maju, sepertinya dari sebelah
kanan. Ia memasuki ruang rapat, menoleh sejenak untuk
memastikan bahwa ia seorang diri. Orang itu Ishiguro.
Dengan langkah pasti ia menghampiri tepi meja,
menempelkan tangannya pada leher Cheryl, dan
mencekiknya.
"Ya Tuhan."
Lama sekali ia mencekik wanita muda itu. Menjelang
ajalnya, Cheryl sempat memberontak. Ishiguro tidak
mengendurkan genggamannya, biarpun Cheryl sudah tidak
bergerak.
"Dia tidak mau ambil risiko."
"Ya, dia tidak mau ambil risiko," ujar Connor.
Akhirnya Ishiguro melangkah mundur, menarik lengan
kemeja, dan merapikan jas.
"Oke," kata Connor. "Ini sudah cukup bagi saya.”

Kami kembali berkendaraan. Cahaya matahari harus


berjuang untuk menembus kabut asap yang menyelubungi
kota. Mobil-mobil berlalu lalang. Rumah-rumah di kedua
sisi jalan tampak kumuh, tak terawat.
Kami turun dari mobil.
"Sekarang bagaimana?" tanyaku.
Connor menyodorkan gagang telepon. "Hubungi
markas," katanya, "dan beritahu mereka bahwa kita punya
kaset yang memperlihatkan Ishiguro sebagai pembunuh
Cheryl Austin. Katakan pada mereka bahwa kita pergi ke
Nakamoto sekarang, untuk menangkap Ishiguro."
"Saya Pikir Anda tidak suka memakai telepon mobil.”
"Lakukan saia," kata Connor. "Kita toh sudah hampir
selesai."
Aku menelepon ke markas. Aku melaporkan rencana
kamu dan dan ke mana kami hendak pergi. Mereka
menanyakan apakah kami memerlukan bantuan. Connor
menggelengkan kepala, jadi aku menjawab tidak.
Aku meletakkan gagang telepon.
"Bagaimana sekarang?”
"Mari berkunjung ke Nakamoto."

Bab 57

SETELAH sedemikian sering melihat lantai 46 dalam


rekaman video, rasanya janggal kembali ke sana lagi. Pada
hari Sabtu pun suasana di kantor itu tetap sibuk; para
sekretaris dan eksekutif berjalan mondar-mandir. Dan
ruangan itu kelihatan berbeda pada siang hari; cahaya
matahari masuk lewat jendela-jendela besar di semua sisi,
dan gedung-gedung pencakar langit di sekefiling tampak
dekat, biarpun diselubungi kabut L.A.
Aku menengadah dan melihat bahwa kamera-kamera
keamanan telah dicopot dari dinding-dinding. Di sebelah
kanan, ruang rapat tempat Cheryl Austin dibunuh sedang
ditata ulang. Perabot yang berwarna hitam sudah
dipindahkan. Beberapa tukang sedang memasang meja
kayu berwarna terang dan kursi-kursi berwarna beige.
Ruangan itu kelihatan lain sama sekali.
Di seberang atrium, sebuah pertemuan sedang
berlangsung di ruang rapat yang besar. Sinar matahari yang
masuk melalui dinding kaca menerpa sekitar ernpat puluh
orang yang duduk di kedua sisi meja panjang yang ditutupi
taplak berwarna hijau. Orang-orang Jepang di satu sisi,
orang-orang Amerika di sisi berlawanan. Semuanya
menghadapi setumpuk dokumen. Di antara orang-orang
Amerika, aku segera mengenali Bob Richmond, si
pengacara.
Connor, yang berdiri di samping, menghela napas.
"Ada apa?”
“Inilah Pertemuan Sabtu, Kohai.”
Maksud Anda, ini pertemuan Sabtu yang pernah
disinggung oleh Eddie?"
Connor mengangguk. "Pertemuan untuk menuntaskan
penjualan MicroCon."
Di dekat lift ada seorang resepsionis. Wanita itu
mengamati kami sejenak, lalu bertanya dengan sopan, "Bisa
saya bantul Gentlemen?”
“Terima kasih," kata Connor. "Tapi kami sedang
menunggu seseorang."
Aku mengerutkan kening. Dari tempatku berdiri aku
dapat melihat Ishiguro di ruang rapat, duduk di
tengah-tengah, di sisi Jepang. Ia sedang merokok. Pria di
sebelah kanannya mencondongkan badan dan
membisikkan sesuatu. Ishiguro mengangguk dan
tersenyum.
Aku melirik Connor.
"Tunggu dulu," katanya.
Beberapa menit berlalu, kemudian seorang pria Jepang
yang masih muda bergegas melintasi atrium dan masuk ke
ruang rapat. Setelah berada di dalam, ia berjalan lebih
pelan, mengelilingi meja tanpa menarik perhatian, sampai
ke belakang kursi seorang pria berambut kelabu, dengan
penampilan penuh wibawa, yang duduk di ujung meja. Pria
muda itu membungkuk dan membisikkan sesuatu, kepada
pria yang lebih tua.
"Iwabuchi," kata Connor.
"Siapa itu?"
"Pimpinan Nakamoto, Amerika. Kantornya di New York."
lwabuchi mengangguk, lalu berdiri. Pria muda tadi
menarik kursinya. Iwabuchi menyusuri deretan perunding
dari pihak Jepang. Ketika melewati salah satu dari mereka,
ia menyenggol bahunya dengan pelan. Iwabuchi berjalan ke
ujung meja, kemudian membuka pintu kaca dan melangkah
keluar, ke sebuah balkon di belakang ruang rapat.
Sesaat setelah itu, pria, yang disenggolnya menyusul.
"Moriyama," kata Connor. "Kepala kantor cabang Los
Angeles."
Moriyama juga keluar ke balkon. Kedua pria itu berdiri
sambil merokok. Pria muda tadi bergabung dengan mereka.
Ia bicara dengan cepat, sambil mengangguk-angguk.
Iwabuchi dan Moriyama mendengarkannya dengan
saksama, lalu berbalik. Si pria muda tetap berdiri di tempat.
Tak lama. kemudian, Moriyama. berpaling pada pria
muda itu dan mengatakan sesuatu. Pria muda itu langsung
membungkuk dan kembali ke ruang rapat. Ia menuju kursi
seorang pria berambut gelap dan berkumis, lalu berbisik ke
telinganya.
"Shirai,,, ujar Connor. "Kepala bagian keuangan.”
Shirai berdiri, tetapi tidak pergi ke balkon. Ia membuka
pintu sebelah dalam, melintasi atrium, dan masuk ke
sebuah ruang kerja di seberang.
Di ruang rapat, si pria muda kini menghampiri orang
keempat, yang kukenal sebagai Yoshida, pimpinan Akai
Ceramics. Yoshida juga menyusup keluar, ke atrium.
"Ada apa ini?"
“Mereka mengambil jarak,” Connor menjelaskan.
"Mereka tidak ingin hadir pada saat Ishiguro dibekuk."
Aku memandang ke balkon, dan melihat kedua pria
Jepang di luar berjalan menyusuri balkon, menuju sebuah
pintu.
Aku berkata, "Tunggu apa lagi?"
“Bersabarlah, Kohai. "
Pria muda itu pergi. Pertemuan di ruang rapat terus
berjalan. Namun di atrium, Yoshida memanggil pria muda
itu dan membisikkan sesuatu.
Pria muda itu kembali ke ruang rapat.
“Hmm,” gumam Connor.
Kali ini si pria muda menghampiri sisi Amerika, dan
membisikkan sesuatu kepada. Richmond. Aku tidak bisa
melihat wajah Richmond, karena ia duduk membelakangi
kami, tetapi tubuhnya tampak mengejang. Ia berbalik dan
membisikkan sesuatu kepada pria Jepang itu, yang
mengangguk dan segera pergi.
Richmond tetap duduk di meja. Ia menggelengkan kepala
dengan pelan, lalu membungkuk dan mengamati
catatannya.
Dan kemudian ia mendorong secarik kertas ke seberang
meja. Ishiguro menerimanya.
"Ini aba-aba kita," ujar Connor. Ia berpaling kepada si
resepsionis, menunjukkan lencananya, dan setelah itu kami
segera melintasi atrium, menuju ruang rapat.

Seorang pria Amerika dengan setelan jas bermotif


garis-garis berdiri di depan meja. Ia sedang berkata,
"Sekarang tolong perhatikan pasal tambahan C, kesimpulan
mengenai aset-aset. Dan…"
Connor yang pertama memasuki ruang rapat. Aku
berada tepat di belakangnya. mperlihatkan
Ishiguro menatap kami. Ia tidak merasa terkejut.
“Selamat sore, Gentlemen." Wajahnya bagaikan topeng.
Richmond segera berkata, "Gentlemen, kalau Anda bisa
menunggu sebentar, kami tengah membahas sesuatu yang
cukup rumit…”
Connor memotong, "Mr. Ishiguro,... Anda ditahan
sehubungan dengan pembunuhan Cheryl Lynn Austin," dan
kemudian ia membacakan hak-haknya. Ishiguro
memelototinya. Orang-orang lain di dalam ruangan
membisu semua. Tak seorang pun bergerak. Seperti lukisan
still life.
Ishiguro tetap duduk. “Ini tidak masuk akal.”
"Mr. Ishiguro," ujar Connor, “saya harap Anda berdiri.”
Richmond berkata setengah berbisik, "Semoga kalian
tahu apa yang kalian kerjakan."
Ishiguro berkata, "Saya tahu hak-hak saya, Gentlemen."
Connor berkata, "Mr. Ishiguro, saya harap Anda berdiri."
Ishiguro tidak beranjak dari tempatnya. Asap rokoknya
bergulung-gulung di udara.
Selama beberapa saat tak ada yang berbicara.
Kemudian Connor berkata padaku, "Putar rekaman itu
untuk mereka."
Salah satu dinding ruang rapat berisi peralatan video.
Aku menemukan alat playback yang serupa dengan alat
yang kupakai, dan memasukkan kasetnya. Tapi monitor
utama yang besar tetap gelap. Tak ada gambar yang
muncul. Aku mencoba menekan beberapa tombol, tapi
tanpa hasil.
Dari salah satu sudut belakang, seorang sekretaris
Jepang yang tadinya sibuk membuat catatan bergegas
untuk membantuku. Setelah membungkuk, ia menekan
tombol-tombol yang tepat, membungkuk sekali lagi, dan
kembali ke tempat semula.
"Terima kasihl" kataku.
Sebuah gambar muncul di layar monitor. Meski dalam
cahaya siang yang terang, gambarnya kelihatan jelas -
adegan terakhir yang kami tonton di kamar Theresa;
Ishiguro menghampiri Cheryl dan mencekik wanita muda
yang berusaha melawan itu.
Richmond berkata, "Apa ini?"
“Ini penipuan,” ujar Ishiguro. "Penipuan. “
Connor berkata, "Rekaman ini dibuat oleh kamera
keamanan Nakamoto di lantai 46 pada hari Kamis malam."
Ishiguro berkata, "Ini tidak sah. Ini penipuan.”
Namun tak ada yang mendengarkannya. Semua mata
menatap monitor. Richmond terbengong-bengong.
"Astaga!" katanya.
Dalam rekaman itu, Cheryl cukup lama berjuang untuk
menyelamatkan nyawa, namun akhirnya ia kalah.
Ishiguro memelototi Connor. "Ini hanya sensasi
murahan," katanya. "Upaya untuk memfitnah saya. Sama
sekali tidak ada artinya."
"Astaga!" Richmond kembali berkata. Pandangannya
masih tertuju ke monitor.
Ishiguro berkata, "Rekaman ini tidak mempunyai
landasan hukum. Ini tidak sah sebagai barang bukti.
Rekaman ini takkan diterima sebagai barang bukti. Ini
hanya mengganggu…”
Ia terdiam. Untuk pertama kali ia memandang ke ujung
meja. Dan ia melihat bahwa kursi Iwabuchi telah kosong.
Ia menoleh ke arah berlawanan. Matanya mencari-cari.

Kursi Moriyama telah kosong.


Kursi Shirai.
Kursi Yoshida
Ishiguro mengedip-ngedipkan mata. Ia menatap Connor
dengan terkejut. Kemudian ia mengangguk, berdehem, dan
berdiri. Semua orang lain masih menyaksikan adegan di
layar monitor.
Ia menghampiri Connor. "Saya tidak mau melihat ini,
Kapten. Kalau Anda sudah selesai dengan permainan ini,
Anda bisa menemukan saya di luar." Ia menyalakan
sebatang rokok. "Setelah itu kita bicara. Kicchiirito na." Ia
membuka pintu dan melangkah ke balkon. Pintu
dibiarkannya terbuka.
Aku hendak mengikutinya, tapi Connor mencegahku
dengan memberi isyarat mata. Ia menggelengkan kepala
sedikit, dan aku tetap di tempat.
Aku melihat Ishiguro berdiri di luar, di pagar balkon. Ia
mengisap rokoknya dan menghadap matahari. Kemudian ia
menoleh ke arah kami dan menggelengkan kepala. Ia
mencondongkan badan ke depan dan menaikkan sebelah
kaki ke pagar balkon.
Di dalam ruang rapat, adegan di monitor utama terus
berlanjut. Salah satu pengacara Amerika, seorang wanita,
berdiri, menutup tas kerjanya, dan meninggalkan ruangan.
Yang lainnya tidak beranjak dari tempat masing-masing.
Dan kemudian rekaman itu berakhir.
Aku mengeluarkan kasetnya dan alat playback. Suasana
menjadi hening. Angin lembut menggoyang-goyangkan
kertas-kertas di meja.
Aku menatap ke balkon.
Balkonnya telah kosong.
Ketika kami melangkah keluar samar-samar terdengar
bunyi sirene, jauh di bawah kami.
Di jalanan, debu beterbangan dan suara alat-alat
pelubang beton memekakkan telinga. Nakamoto sedang
membangun gedung tambahan di sebelah, dan pekerjaan
konstruksi sedang giat-giatnya. Mobil-mobil pengaduk
beton tampak berderet di tepi jalan. Aku menerobos
kerumunan orang Jepang berjas biru, dan menatap ke
lubang di tanah.
Ishiguro jatuh ke beton yang baru dicor. Tubuhnya
tergeletak menyamping, hanya kepala dan sebelah
tangannya yang menyembul dari beton yang masih basah.
Darah mengalir di permukaan yang berwarna kelabu itu.
Beberapa pekerja dengan topi pengaman berwarna biru
mencoba mengangkatnya dengan menggunakan galah
bambu dan tali. Namun mereka tidak berhasil. Akhirnya
seorang pekerja dengan sepatu karet setinggi paha masuk
ke dalam lubang dan menarik mayat Ishiguro. Tapi ternyata
tugas itu lebih sukar dari yang dibayangkannya. Ia terpaksa
minta bantuan.
Rekan-rekan kami sudah berada di sana, Fred Perry dan
Bob Wolfe. Bob terpaksa berteriak untuk mengalahkan
kebisingan di tempat pembangunan. "Kau tahu apa yang
terjadi di sini, Pete?"
"Yeah."
"Siapa nama orang itu?"
"Masao Ishiguro."
Wolfe mengedipkan mata. "Bisa dieja?"
Aku mulai mengeja, tapi akhirnya aku merogoh kantong
dan menyerahkan kartu nama Ishiguro.
"Itu orangnya?"
"Yeah."
"Dari mana kaudapat kartu namanya?"
"Ceritanya paniang," kataku. "Tapi dituduh melakukan
pembunuhan."
Wolfe mengangguk. "Biar kuangkat mayatnya dulu, dan
habis itu kita bicara.”
"Oke."
Akhirnya mereka terpaksa menggunakan derek untuk
mengangkat Ishiguro. Mayatnya, yang berlumuran beton,
terayun di atas kepalaku.
Beton yang masih basah itu menetes-netes, mengenaiku
dan papan pemberitahuan yang berada di depan kakiku.
Papan itu menampilkan logo Nakamoto, serta tulisan
dengan huruf-huruf besar yang berbunyi, MEMBANGUN
UNTUK HARI ESOK. Dan di bawahnya, MOHON MAAF ATAS
GANGGUAN INI.

Bab 58

BARU satu jam kemudian semua urusan di tempat


kejadian berhasil diselesaikan. Pak Komandan minta agar
kami menyerahkan laporan pada hari itu juga, sehingga
kami terpaksa pergi ke Parker Center untuk menyusun
laporan.
Pukul empat kami pergi ke kedai kopi di seberang jalan,
yang bersebelahan dengan Antonio's bail bond shop.
Sekadar agar bisa keluar dari kantor. Aku berkata, "Kenapa
Ishiguro membunuh Cheryl Austin?"
Connor menghela napas. "Alasannya masih kabur.
Penjelasan terbaik yang dapat saya berikan adalah sebagai
berikut. Eddie ternyata memang bekerja untuk kaisha
ayahnya. Salah satu tugasnya, adalah menyediakan wanita
untuk orang-orang penting yang berkunjung. Sudah
bertahun-tahun dia melakukannya. Tugas itu mudah
baginya – dia tukang pesta; dia kenal banyak wanita; para
anggota Kongres mencari hiburan, dan Eddie mendapat
kesempatan berkenalan dengan para anggota Kongres. Tapi
Cheryl Austin merupakan peluang istimewa, sebab Senator
Morton, kepala Komisi Keuangan, tertarik padanya. Morton
kemudian mengakhiri affair mereka, tapi Eddie terus
mengirim Cheryl dengan pesawat jet pribadi untuk
menemui Morton secara tak terduga. Eddie pun suka pada
Cheryl; sore itu dia sempat berhubungan seks dengannya.
Eddie-lah Yang mengatur agar Cheryl menghadiri resepsi
Nakamoto, karena dia tahu Morton akan datang. Eddie
mendesak Morton untuk menghalangi Penjualan MicroCon,
jadi dia sibuk memikirkan Pertemuan Sabtu.
"Tapi saya rasa Eddie hanya bermaksud mem-
pertunjukan Cheryl dengan Morton. Saya sangsi dia
tahu-menahu mengenai lantai 46. Dia tentu tak menyangka
Cheryl akan menyelinap ke sana bersama Morton. Gagasan
itu mestinya dicetuskan di tengah pesta oleh seseorang
yang bekerja untuk Nakamoto. Sebab hanya pegawai
Nakamoto yang tahu bahwa di lantai itu ada suite kamar
tidur yang kadang-kadang digunakan oleh para eksekutif.”
Aku berkata, "Dari mana Anda tahu?”
Connor tersenyum. "Hanada-san bercerita bahwa dia
pernah menggunakan suite itu. Rupanya ruangan itu cukup
mewah.”
"Jadi Anda memang punya koneksi?"
"Saya kenal beberapa orang. Dan saya bisa
membayangkan bahwa Nakamoto pun hanya bermaksud
membantu. Kamera-kamera di lantai 46 mungkin dipasang
dengan tujuan pemerasan, tapi sumber informasi saya
mengatakan bahwa tidak ada kamera di suite kamar tidur.
Mengingat ada kamera di ruang rapat, saya cenderung
percaya bahwa Phillips benar - kamera-kamera itu
dipasang untuk memacu semangat keeja para pegawai.
Mereka takkan menyangka bahwa ruang rapat mereka
digunakan sebagai tempat melampiaskan nafsu.
“Pokoknya, ketika Eddie melihat Cheryl meninggalkan
tempat pesta bersama Morton, dia pasti panik. Jadi dia
mengikuti mereka. Dia sempat menyaksikan pembunuhan
itu, yang saya kira terjadi secara tidak sengaja. Dan
kemudian Eddie menolong Morton, kawan baiknya, dengan
memanggilnya dan membantunya menyusup keluar. Eddie
kembali ke pesta bersama Morton.”
"Bagaimana dengan kaset-kaset itu?”
“Ah. Anda ingat kita sempat bicara mengenai
penyuapan? Salah satu orang yang disuap Eddie adalah
seorang petugas keamanan bernama Tanaka. Kalau tidak
salah, Eddie menyediakan obat bius untuk orang itu. Sudah
bertahun-tahun Eddie mengenalnya. Dan ketika Ishiguro
menyuruh Tanaka mengambil kaset-kaset itu, Tanaka
segera melaporkannya kepada Eddie."
"Dan Eddie turun ke lantai dasar untuk mengambil
kaset-kaset itu."
"Ya. Bersama Tanaka."
"Tapi Phillips mengatakan bahwa Eddie datang seorang
diri."
“Phillips bohong, karena dia kenal Tanaka. Karena itu,
dia juga tidak mencegah Eddie - Tanaka mengaku telah
mendapat perintah dari atas. Tapi waktu Phillips kita
mintai keterangan, dia tengaja tidak menyebut nama
Tanaka."
"Dan kemudian?"
"Ishiguro mengirim beberapa orang untuk menggeledah
apartemen Cheryl. Tanaka membawa kaset-kaset itu ke
suatu tempat untuk dikopi. Dan Eddie pergi ke sebuah
pesta."
"Tapi Eddie tetap menyimpan satu kaset."
“O, Ya.“
Aku berpikir sejenak. "Tapi waktu kita bicara dengan
Eddie di tempat pesta, ceritanya lain sama sekall "
Connor mengangguk. "Dia bohong."
"Dia membohongi Anda, temannya?"
Connor mengangkat bahu. "Dia pikir kita takkan
mengetahuinya."
"Bagaimana dengan Ishiguro? Kenapa dia membunuh
Dieryl?"
"Supaya bisa memeras Morton. Dan nyatanya berhasil -
Morton berubah pikiran mengenai penjualan MicroCon.
Untuk sementara waktu, Morton akan membiarkan rencana
itu terlaksana."
"Dan untuk itu Ishiguro tega menghilangkan nyawa
orang lain? Untuk membeli sebuah perusahaan?"
"Saya pikir pembunuhan itu tidak terencana. Ishiguro
sedang bingung. Dia menghadapi tekanan besar. Dia
merasa harus membuktikan diri kepada para atasannya.
Taruhannya begitu besar, sehingga dia bertindak lain dari
orang Jepang pada umumnya dalam situasi yang sama. Dan
di bawah tekanan yang luar biasa itulah dia membunuh
Cheryl Austin. Seperti yang dikatakannya sendiri, Cheryl
wanita tak berarti."
"Astaga."
"Tapi saya rasa masih ada hal lain. Sikap Morton
terhadap orang Jepang sangat tidak jelas. Banyak hal yang
menandakan kebencian terselubung - kelakarnya mengenai
menjatuhkan bom, dan sebagainya. Dan berhubungan seks
di atas meja rapat direksi. Ini... ini sangat menghina.
Ishiguro pasti marah sekali."
"Dan siapa yang melaporkan pembunuhan itu?”
"Eddie."
"Kenapa'?"
"Untuk mempermalukan Nakamoto. Setelah berhasil
membawa Morton ke tempat pesta dengan selamat, Eddie
lalu menelepon polisi. Mungkin dari sebuah pesawat
telepon di ruang resepsi. Waktu menelepon, dia belum tahu
apa-apa mengenai kamera-kamera keamanan. Kemudian
Tanaka menceritakannya, dan Eddie langsung khawatir
kalau Ishiguro akan menjebaknya. Jadi dia menelepon
sekali lagi."
"Dan kali ini dia minta bicara dengan temannya, John
Connor."
"Ya."
Aku berkata, "Jadi Eddie yang mengaku bernama Koichi
Nishi?"
Connor mengangguk. "Eddie memang suka bercanda.
Koichi Nishi adalah nama seorang tokoh dalam sebuah film
terkenal dari Jepang, mengenai korupsi di dunia bisnis.”
Connor menghabiskan kopinya, dan mendorong badan
menjauhi meja layan.
"Dan Ishiguro? Kenapa dia dikucilkan oleh orang-orang
Jepang yang lain?"
"Tindakan Ishiguro dinilai terlalu gegabah. Dia dianggap
melebihi wewenangnya pada Kamis malam. Mereka tidak
menyukai hal itu. Dalam waktu dekat ini, dia pasti akan
dikirim kembali ke Jepang. Dia akan menghabiskan sisa
hidupnya di Jepang di sebuah madogiwa-zoku. Kursi di
pinggir jendela. Seseorang yang tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan penting, dan sepanjang hari hanya
memandang ke luar jendela. Secara tidak langsung, itu
hukuman seumur hidup."
Aku merenungkannya. “Jadi, waktu Anda menggunakan
telepon mobil untuk menghubungi stasiun TV dan
menjelaskan rencana Anda... siapa yang ikut mendengarkan
percakapan Anda?"
“Sulit untuk memastikarinya." Connor mengangkat bahu.
"Tapi saya suka pada Eddie. Saya berutang budi padanya.
Saya tidak rela melihat Ishiguro pulang ke Jepang."

Ketika kami kembali ke markas, ternyata ada seorang


wanita tua yang sedang menungguku. Ia berpakaian serba
hitam dan memperkenalkan diri sebagai nenek Cheryl
Austin. Orangtua Cheryl tewas dalam kecelakaan mobil
ketika ia berusia empat tahun, dan setelah itu ia dibesarkan
oleh neneknya. Wanita tua itu hendak mengucapkan terima
kasih atas bantuanku dalam menyelidiki kematian cucunya.
Ia bercerita mengenai masa kecil Cheryl di Texas.
"Cheryl memang cantik," katanya, "dan dari duIu dia
pintar menarik perhatian laki-laki. Dia selalu dikerumuni
laki-laki." Ia terdiam seienak. "Tapi dari dulu saya sudah
tahu bahwa ada yang tidak beres dengannya. Dia selalu
berusaha agar dikelilingi laki-laki. Dan dia paling senang
kalau mereka bertengkar untuk memperebutkannya. Saya
masih ingat waktu dia berumur tujuh atau delapan tahun,
ada dua anak laki-laki yang berkelahi sampai
berguling-guling di tanah, dan Cheryl menonton sambil
bertepuk tangan. Ketika memasuki usia remaja, dia
semakin menjadi-jadi. Dia tahu persis apa yang harus
dilakukannya. Saya tidak suka melihatnya. Ya, memang ada
yang tidak beres dengan anak itu. Dia bisa bersikap jahat
sekali. Dan lagu itu, dia memutarnya terus-menerus."
"Lagu Jerry Lee Lewis?"
"Saya juga tahu sebabnya. Itu lagu kesukaan ayahnya.
Waktu Cheryl masih kecil, dia suka ikut ayahnya naik mobil
ke kota, dan mereka pasang radio keras-keras. Cheryl pakai
bajunya yang pating bagus. Dia cantik sekali waktu masih
kecil. Mirip sekali dengan ibunya."
Terkenang akan masa lalu, wanita tua itu mulai
menangis. Aku mengambilkan tisu untuknya. Berusaha
menghibur.
Dan tak lama kemudian ia bertanya apa yang terjadi.
Bagaimana Cheryl meninggal. Aku tidak tahu apa yang
harus kukatakan padanya.

Ketika aku keluar dari pintu Parker Center, berjalan


melewati air mancur, aku dicegat oleh pria Jepang yang
mengenakan setelan jas. Umurnya sekitar empat puluh
tahun, berkumis, dengan rambut berwarna gelap. Ia
menyapaku secara formal dan menyodorkan kartu
namanya. Baru sesaat kemudian aku mengenalinya sebagai
Mr. Shirai, kepala bagian keuangan Nakamoto.
“Saya ingin bertemu langsung dengan Anda Sumisu-san,
untuk memberitahu Anda bahwa perusahaan saya sangat
menyesali tindakan Mr. Ishiguro. Perbuatannya tidak
pantas, dan melebihi wewenangnya. Nakamoto merupakan
perusahaan terhormat, dan kami tidak melanggar hukum.
Saya ingin menegaskan bahwa sikap Mr. Ishiguro tidak
mencerminkan kebijaksanaan perusahaan kami, atau
reputasi kami di dunia bisnis. Di negeri ini, pekerjaan Mr.
Ishiguro mengharuskannya banyak berhubungan dengan
bankir-bankir investasi, serta dengan orang-orang yang
biasa mengarnbil alih perusahaan lain. Terus terang, saya
kira Mr. Ishiguro sudah terlalu lama di Amerika. Mr.
Ishiguro banyak terkena pengaruh buruk di sini."-W'%
Nah, itu dia, permintaan maaf sekaligus cercaan.
Aku juga tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya.
Akhirnya aku berkata, "Mr. Shirai, saya sempat
mendapat tawaran kredit lunak untuk membeli rumah
kecil."
“O, ya?"
"Ya. Barangkali Anda belum mendapat kabar mengenai
itu."
"Sebenarnya, saya pernah mendengar hal itu
dibicarakan."
Aku berkata, "Saya ingin menanyakan tawaran itu."
Shirai terdiam cukup lama.
Hanya gemercik air mancur di sebelah kananku yang
terdengar.
Shirai menatapku, berusaha menentukan langkah
berikutnya.
Akhirnya ia berkata, "Sumisu-san, tawaran itu tidak
pantas, dan tentu saja ditarik kembali."
"Terima kasih, Mr. Shirai," kataku.

Connor dan aku kembali ke apartemenku. Kami


sama-sama membisu. Kami meluncur di Santa Monica
freeway. Papan-papan penunjuk jalan telah dicoret-coret
oleh geng-geng anak muda. Aku menyadari bahwa
permukaan jalan tidak rata, karena mobilku
terguncang-guncang. Di sebelah kanan, gedung-gedung
pencakar langit di sekitar Westwood tampak diselubungi
kabut tipis. Pemandangannya gersang.
Akhirnya aku berkata, "Jadi, apa masalah sebenarnya?
Sekadar persaingan antara Nakamoto dan perusahaan
Jepang lainnya? Mengenai MicroCon? Atau apa?"
Connor mengangkat bahu. "Saya kira mereka punya
beberapa tujuan. Cara berpikir orang Jepang memang
begitu. Dan bagi mereka, Amerika kini hanya merupakan
ajang persaingan mereka. Ada benarnya. Di mata mereka,
kita tidak terIalu penting."

Kami tiba di jalan tempat aku tinggal. Dulu aku


menganggap jalan yang diapit pepohonan ini sebagai
tempat yang nyaman, dengan taman bermain untuk anakku
di ujung blok. Tapi sekarang perasaanku berbeda.
Udaranya buruk, dan jalannya tampak kotor, tidak
menyenangkan.
Aku memarkir mobil. Connor turun, lalu bersalaman
denganku. "Jangan patah arang."
"Saya sudah tidak bersemangat."
"Jangan. Masalah ini memang serius. Tapi semuanya bisa
berubah. Segala sesuatu pernah berubah sebelumnya, dan
mungkin saja berubah lagi di masa mendatang."
"Mungkin saja."
“Apa yang akan Anda lakukan setelah ini?" tanya Connor.
"Entahlah," jawabku. "Rasanya saya ingin pergi ke
tempat lain. Tapi tidak ada tempat lain yang bisa saya
datangi."
Ia mengangguk. "Anda akan minta berhenti?"
"Barangkali. Yang pasti, saya akan keluar dari Special
Services. Tempat itu terlalu... terlalu tidak jelas bagi saya."
Ia mengangguk lagi. "Jaga diri Anda, Kohai. Terima kasih
atas bantuan Anda."
"Sama-sama, Sempai."
Aku letih. Aku menaiki tangga ke apartemenku dan
melangkah masuk. Suasananya sunyi, anakku tidak ada.
Aku mengambil sekaleng Coke dari lemari es dan pindah ke
ruang duduk, tapi punggungku kembali nyeri ketika aku
duduk di salah satu kursi. Aku berdiri lagi dan menyalakan
TV. Tapi aku tidak berminat menonton. Aku teringat ucapan
Connor bahwa semua orang di Amerika memusatkan
perhatian pada hal-hal yang tidak penting. Situasi dengan
Jepang pun serupa. Kalau kita menjual negeri kita kepada
Jepang, mereka akan memilikinya, suka atau tidak. Dan
orang yang memiliki sesuatu akan memperlakukannya
sesuka hati mereka. Begitulah kenyataannya.
Aku masuk ke kamar tidur dan berganti pakaian. Di meja
di pinggir tempat tidur, aku melihat foto-foto ulang tahun
anakku yang sedang kuatur-atur ketika urusan ini dimulai.
Michelle pada foto-foto itu tidak mirip Michelle sekarang.
Foto-foto itu tidak lagi sesuai kenyataan. Aku mendengar
suara tawa dari TV di ruang sebelah. Dulu aku beranggapan
bahwa keadaannya baik-baik saja. Tapi ternyata tidak.
Aku melangkah ke kamar anakku. Aku menatap tempat
tidurnya, dan selimut dengan gambar-gambar gajah. Aku
membayangkan Michelle tidur, begitu tenteram, telentang,
dengan tangan ke atas. Aku membayangkan betapa ia
percaya bahwa aku akan membentuk dunianya untuknya.
Dan aku membayangkan dunia yang akan dihadapinya
kalau ia sudah dewasa. Ketika merapikan tempat tidurnya,
aku mulai merasa risau

Transkrip: 15 Maret (99)

INT: Oke, Pete, saya pikir ini sudah cukup. Kecuali


kalau ada lagi yang ingin Anda tambahkan.
PJS: Tidak. Hanya itu yang bisa saya ceritakan.
INT: Saya dapat kabar Anda mengundurkan diri
dari Special Services.
PJS: Benar.
INT: Dan Anda telah menyampaikan rekomendasi
tertulis kepada Komandan Olson, agar program petugas
penghubung Asia diubah. Anda menyarankan agar
hubungan dengan Japan-America Amity Foundation
diakhiri saja?
PJS: Ya.
INT: Alasan Anda?
PJS: Kalau Departemen memerlukan petugas-
petugas terlatih, biaya untuk latihan sebaiknya ditanggung
oleh Departemen sendiri. Saya pikir itu sehat.
INT: Lebih sehat?
PJS: Ya. Sudah waktunya kita rebut kembali
kontrol atas negara kita sendiri.
INT: Sudah ada tanggapan dari Komandan?
PJS : Belum. Saya masih menunggu.
Jika Anda keberatan Jepang membeli sesuatu, jangan
menjualnya.
- Akio Morita

harus menerima kenyataan bahwa negeri seluas Negara.


Bagian Montana. ini, dengan setengah no-

Penutup

"MANUSIA cenderung menolak kenyataan. Mereka


melawan perasaan nyata yang disebabkan oleh keadaan
nyata. Mereka membangun dunia impian yang berisi hal
yang seharusnya terjadi. Perubahan nyata dimulai dengan
penilaian nyata, dan dengan menerima kenyataan. Baru
kemudian ada kemungkinan untuk mengambil tindakan
nyata."
Kata-kata itu diucapkan oleh David Reynolds, eksponen
Amerika dari psikoterapi Morita dari Jepang. Ia berbicara
mengenai tingkah laku perseorangan, tetapi
komentar-komentarnya juga dapat diterapkan pada
tingkah laku ekonomi negara-negara.
Cepat atau lambat, Amerika Serikat harus mengakui
bahwa Jepang telah menjadi negara. industri nomor satu di
dunia. Orang Jepang mempunyai harapan hidup paling
lama di dunia. Mereka mempunyai tingkat pengangguran
paling kecil, kesenjangan sosial paling kecil, dan jumlah
orang yang dapat membaca yang paling besar. Mereka juga
mempunyai makanan terbaik. Kita harus menerima
kenyataan bahwa negeri seluas Negara Bagian Montana ini,
dengan setengah populasi kita, tak lama lagi akan memiliki
perekonomian yang setara dengan kita.
Tapi keberhasilan mereka tidak dicapai dengar cara-cara
kita. Jepang bukan negara industri Barat. Jepang
diorganisasi secara berbeda. Dan orang Jepang telah
menciptakan jenis perdagangan baru - perdagangan
menyerang, perdagangan seperti perang, perdagangan
yang bertujuan menyingkirkan semua saingan - yang
selama beberapa dekade tetap tidak dipahami oleh
Amerika. Amerika Serikat berkeras agar orang Jepang
menggunakan cara-cara kita. Tapi semakin sering mereka
menanggapinya dengan bertanya, kenapa harus kami yang
berubah? Kami lebih berhasil dibanding kalian. Dan
kenyataannya memang demikian.
Bagaimana tanggapan Amerika seharusnya? Tidak
masuk akal kalau kita menyalahkan Jepang karena
keberhasilan mereka, atau menuntut agar mereka
memperlambat gerak langkah. Orang Jepang menganggap
reaksi Amerika semacam ini sebagai tindakan
kekanak-kanakan, dan mereka benar. Seharusnya Amerika
Serikat terjaga dari mimpi indah, memandang Jepang
secara saksama, lalu bertindak secara realistis.
Pada akhirnya, itu berarti Amerika Serikat akan
mengalami perubahan besar-besaran, tetapi partner yang
lebih lemah mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan
tuntutan yang timbul dalam berhubungan dengan partner
yang lebih kuat. Dan Amerika Serikat kini jelas-jelas
merupakan partner yang lebih lemah dalam pembicaraan
ekonomi dengan Jepang.
Satu abad yang lalu, ketika armada Amerika yang
dipimpin Laksamana Perry membuka negeri itu, Jepang
merupakan masyarakat feodal. Orang Jepang menyadari
bahwa mereka harus berubah, dan mereka melakukannya.
Mulai tahun 1860-an, mereka memanggil ribuan ahli dari
Barat sebagai penasihat untuk mengubah pemerintahan
dan industri mereka. Seluruh masyarakat mengalami re-
volusi. Pergolakan kedua, yang tak kalah dramatis, terjadi
setelah Perang Dunia II.
Tetapi dalam kedua kasus itu, orang Jepang menghadapi
tantangan tersebut secara tepat, dan berhasil
mengatasinya. Mereka tidak berkata, "Biarkan orang-orang
Amerika membeli tanah dan lembaga-lembaga kita, dan
berharaplah agar mereka mau mengajarkan cara yang lebih
baik." Sama sekali tidak. Orang-orang Jepang mengundang
ribuan tenaga ahli, lalu mengirim mereka pulang lagi. Tak
ada salahnya kalau kita menggunakan pendekatan yang
sama. Orang Jepang bukan juru selamat kita. Mereka
saingan kita. Dan sebaiknya kita jangan melupakan hal itu.

Riwayat Pengarang

Michael Chrichton lahir di Chicago, pada tahun 1942. Ia


lulusan Harvard College dan Harvard Medical Sehool, pada
tahun 1969 menjadi mahasisiwa postdoctoral di Salk
Institute di La Jolla, California. Novel-novelnya adalah
Jurassic Park, Sphere, Congo, The Andromeda Strain, The
Terminal Man, The Great Train Robbery, dan Easters of the
Dead. Ia juga menulis empat buku nonfiksi: Five Patients,
Jasper Johns, Electronic Life, dan Travel. Film-film yang
disutradarainya antara lain Westworld, Coma, dan film dari
bukunya sendiri, The Great Train Robbery. Pada tahun 1988
ia menjadi penulis tamu di Massachusetts Institute of
Technology.

Anda mungkin juga menyukai