tk
MATAHARI TERBIT
Michael Crichton
Ebook oleh : Hendri K & Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info/
MATAHARI TERBIT
Michael Crichton
RISING SUN
© Copyright (1994)
(1992) by Michael Crichton
All rights rerved induding the rights of
reproduction in whole or in part in any form.
MATAHARI TERBIT
Alihbahasa: Hendarto Setiadi
GM 402 94.942
Hak cipta terjemahan Indonesia:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
JI. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Foto cover ©1993 Twentieth Century Fox
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Januari 1994
CRICHTON, Michael
Matahari terbit / Michael. Crichton ; alih bahasa,
Hendarto Setiadi. - Cet. I. - Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 1993.
616 hlm. ilus. ; 18 cm.
Judul asli Rising sun
ISBN 979-511-942-7
1. Judul. II. Setiadi, Hendarto
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia
Untuk ibuku,
Zula Miller Crichton
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 11
Bab 12
AKU menuju ke selatan di freeway 405, ke arah bandara.
Daerah yang kami lalui agak berkabut. Connor memandang
ke luar jendela.
"Dalam organisasi Jepang, Anda takkan pernah
mendapat telepon seperti itu. Anda baru saja dijadikan
tumbal oleh atasan Anda. Dia lepas tangan - semuanya
dibebankan kepada Anda. Dan dia menyalahkan Anda atas
hal-hal yang tidak berhubungan dengan Anda, seperti
Graham, dan saya." Connor menggelengkan kepala. "Orang
Jepang tidak berbuat demikian. Mereka punya pepatah:
Gunakan waktu untuk mengatasi masalah, bukan untuk
mencari siapa yang salah. Dalam organisasi Amerika, yang
paling penting adalah siapa yang salah. Siapa yang harus
bertanggungjawab. Dalam organisasi Jepang, yang paling di
perhatikan adalah apa yang salah, dan bagaimana cara
untuk mengatasinya. Tidak ada yang dituding. Cara mereka
lebih baik "
Connor kembali membisu, memandang ke luar jendela.
Kami sedang melewati Slausan, Marina freeway tampak
melengkung di atas kami, sebuah lengkungan gelap di
tengah kabut.
Aku berkata, "Atasan saya terlalu yakin, itu saja.”
"Ya. Dan kurang informasi, seperti biasa. Tapi, biarpun
begitu, sebaiknya kasus ini kita rampungkan sebelum dia
keluar dari tempat tidurnya besok pagi.”
“Apakah ada harapan?"
"Ada. Jika Ishiguro menyerahkan kaset-kaset yang saya
minta."
Telepon kembali berdering. Aku mengangkatnya.
Ternyata Ishiguro.
Aku menyerahkan gagang telepon kepada Connor.
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
"HABISKAN sarapanmu."
"Sudah kenyang."
“Satu suap lagi, Shelly." Sinar matahari masuk melalui
jendela dapur. Aku menguap. Jam dinding menunjukkan
pukul tujuh pagi.
"Mommy mau datang hari ini?"
"Jangan alihkan pembicaraan. Ayo, Shel. Satu suap lagi.
Oke?"
Kami duduk di meja berukuran anak-anak di pojok
dapur. Kadang-kadang aku bisa membujuk Michelle untuk
makan di meja kecil kalau ia tidak mau makan di meja
besar. Tapi hari ini aku tidak beruntung. Michelle
menatapku.
"Mommy mau datang?"
"Barangkali. Tapi Daddy tidak tahu pasti." Aku tidak
ingin mengecewakannya. "Kita masih tunggu kabar dari
Mommy."
"Mommy mau ke luar kota lagi?"
Aku berkata, "Mungkin." Dalam hati aku bertanya-tanya,
apa arti "ke luar kota" bagi anak berumur dua tahun,
gambaran seperti apa yang terbayang olehnya.
"Dia mau pergi dengan Paman Rick?"
Siapa Paman Rick? Aku menyodorkan garpu ke depan
wajahnya. "Daddy tidak tahu, Shel. Ayo, buka mulutmu.
Satu suap lagi."
"Dia punya mobil baru," ujar Michelle sambil
mengangguk-angguk dengan serius. Ia selalu bersikap
seperti itu kalau menyampaikan informasi penting padaku.
"O, ya?"
“He-eh. Wamanya hitam."
"Begitu. Mobil apa?”
"Sades."
"Mobil Sades?"
"Bukan. Sades.”t
“Maksudmu, Mercedes?"
"He-eh. Wamanya hitam."
"Oh, bagus," kataku.
"Kapan Mommy mau datang?”
"Ayo, satu suap lagi, Shel."
Ia membuka mulut, dan aku mendekatkan garpu. Pada
saat terakhir, ia memalingkan wajah sambil merapatkan
bibir. "Tidak mau, Daddy.”
“Oke,” kataku. "Daddy menyerah."
“Aku tidak lapar, Daddy."
"Daddy sudah tahu."
Mrs. Ascenio sedang membereskan dapur sebelum
kembali ke apartemennya. Masih ada lima belas menit
sampai pengurus rumahku, Elaine, datang dan membawa
Michelle ke tempat penitipan anak. Aku masih harus
berpakaian. Aku baru meletakkan piring-piring di tempat
cuci piring ketika telepon berdering. Ternyata Ellen Farley,
pembantu Wali Kota untuk urusan pers
"Kau lagi nonton?"
"Nonton apa9"
"Berita. Channel tujuh. Mereka menyiarkan kecelakaan
semalam."
“O, ya?"
"Nanti telepon aku lagi."
Aku segera masuk ke kamar tidurku dan menyalakan TV.
Sebuah suara sedang berkata, "...melaporkan pengejaran
berkecepatan tinggi di Hollywood freeway ke arah selatan,
yang berakhir ketika Ferrari yang dikemudikan tersangka
menabrak jembatan Vine Street, tidak jauh dari Hollywood
Bowl. Menurut keterangan saksi mata, mobil yang
menghantam pagar pembatas beton dengan kecepatan
lebih dari seratus mil per jam itu terbakar seketika.
Beberapa unit mobil pemadam kebakaran dikerahkan,
tetapi tak ada yang selamat. Tubuh pengemudi terbakar
demikian parah, sehingga kacamatanya sampai meleleh. Pe-
tugas yang memimpin pengejaran tersebut, Detektif
Thomas Graham, mengatakan bahwa pengemudi
bersangkutan, Mr. Edward Sakamura, dicari sehubungan
dengan kematian seorang wanita yang diduga sebagai
korban pembunuhan di pusat kota. Tetapi hari ini
teman-teman Mr. Sakamura mengemukakan kesangsian
mereka mengenai tuduhan itu. Berdasarkan keterangan
mereka, sikap berlebihan yang diperlihatkan pihak
kepolisian menyebabkan tersangka menjadi panik, dan
memaksanya melanikan diri. Menurut beberapa sumber,
insiden ini berlatar belakang rasialis. Sampai saat ini belum
jelas apakah pihak kepolisian semula hendak mendakwa
Mr. Sakamura sebagai pelaku pembunuhan. Peristiwa
semalam konon merupakan pengejaran kecepatan tinggi
ketiga dalam dua minggu terakhir di freeway 101. Sikap
polisi dalam pengejaran-pengejaran ini mulai
dipertanyakan sejak seorang wanita warga Compton tewas
dalam suatu pengejaran kecepatan tinggi Januari lalu. Baik
Detektif Graham maupun asistennya, Letnan Peter Smith,
dapat dimintai keterangan, dan kita masih menunggu
apakah petugas-petugas bersangkutan akan dikenakan
sanksi administratif, atau diskors oleh pihak Departemen.”
Astaga!
“Daddy..."
"Tunggu sebentar, Shel."
Aku memperhatikan gambar yang terlihat di layar TV.
Ferrari yang telah hangus dan ringsek sedang diangkat ke
atas truk. Pada dinding beton yang tertabrak tampak
goresan hitam.
Kamera beralih ke studio. Wanita yang membacakan
berita berkata, "KNBC telah memperoleh informasi bahwa
sebelumnya dua petugas polisi sempat meminta
keterangan dari Mr. Sakamura sehubungan dengan kasus
tersebut, tetapi tidak menahannya. Kapten John Connor dan
Letnan Smith mungkin menghadapi pemeriksaan dari pi-
hak Departemen, untuk memastikan apakah telah terjadi
pelanggaran prosedur. Kabar baik bagi para pengendara
mobil: lalu lintas padafreeway 101 ke arah selatan kembali
lancar. Kini rekan saya akan membacakan berita
selanjutnya. Silakan, Bob."
Aku memandang pesawat TV sambil ter-
bengong-bengong. Pemeriksaan disipliner?
Telepon berdering. Ellen Farley lagi. "Kaudengar
semuanya itu?"
"Yeah. Ini tidak masuk akal. Apa-apaan ini, Ellen?"
"Asal tahu saja, kantor wali kota tidak terlibat. Tetapi
masyarakat Jepang di sini memang tidak suka kepada
Graham. Mereka menganggapnya sebagai rasialis. Dan
sepertinya dia malah memberi angin pada mereka."
"Aku ada di sana tadi. Graham bertindak sesuai
peraturan.”
"Yeah, aku tahu di mana kau tadi, Pete. Terus terang,
kejadian ini patut disesalkan. Aku tak ingin kau ikut kena
getahnya."
Aku berkata, "Graham tidak melanggar prosedur."
"Kaudengar aku bilang apa, Pete?"
"Bagaimana dengan sanksi administratif dan pe-
meriksaan disipliner itu?"
"Baru sekarang aku mendengarnya," ujar Ellen. "Tetapi
itu berasal dari sumber intern, dari departemenmu sendiri.
O, ya, betul tidak, nih? Kau dan Connor menemui Sakamura
semalam?"
"Ya."
"Dan kalian tidak menahannya?"
"Tidak. Ketika bicara dengannya, kami belum memiliki
alasan untuk itu. Tapi kemudian ada perkembangan baru."
Ellen berkata, "Kau benar-benar percaya bahwa dia
pelaku pembunuhan ini?"
"Aku tahu dia pelakunya. Kami punya rekaman
videonya."
"Rekaman video? Kau serius?"
"Yeah. Pembunuhan itu terekam oleh salah satu kamera
keamanan Nakamoto."
Ellen terdiam sejenak. Aku berkata, "Ellen?"
"Begini," katanya, "Off the record, oke?"
"Oke."
"Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, Pete. Banyak
yang tidak kupahami."
"Kenapa kau tidak memberitahuku siapa wanita muda
itu, semalam?”
"Sori. Semalam aku lagi banyak urusan."
"Ellen."
Hening. Kemudian, "Pete, pergaulannya sangat luas. Dia
kenal banyak orang."
"Apakah dia kenal Pak Wali Kota?'"
Hening.
"Seberapa akrab dia dengan Pak Wali Kota?"
"Begini saja," ujar Ellen, "dia cantik dan kenal. banyak
orang di kota ini. Menurutku, dia kurang seimbang. Tapi dia
cantik dan pengaruhnya terhadap kaum pria luar biasa. Kau
harus lihat sendiri supaya bisa percaya. Nah, sekarang
banyak orang mendadak sibuk. Kau sudah baca Times hari
ini.”
"Belum."
"Coba baca dulu. Kalau aku boleh beri saran, selama
beberapa hari berikut ini, sikapmu harus baik-baik. Segala
tindak-tandukmu harus sesuai peraturan. Dan
berhati-hatilah."
"Oke. Thanks, Ellen."
"Jangan berterima kasih padaku. Aku tak pernah
meneleponmu." Kemudian nada suaranya menjadi lebih
lembut. "Jaga dirimu, Peter."
Aku mendengar nada kosong.
"Daddy?"
"Sebentar, Shel."
"Aku boleh nonton film kartun?"
"Boleh, Sayang."
Aku mencari film kartun di TV, lalu masuk ke ruang
duduk. Aku membuka pintu depan dan memungut koran
Times dari keset. Baru setelah beberapa waktu aku
berhasil. menemukan artikel yang kucari, di halaman
terakhir bagian Metro.
"Hai, Jim."
"Pagi, Pete." Nada suaranya ramah. Tapi Jim Olson tidak
pernah menelepon orang sebelum jam sepuluh pagi, kecuali
jika situasinya memang genting. Olson berkata,
"Kelihatannya kita menghadapi masalah besar. Kau sudah
baca koran pagi ini?"
"Yeah, sudah."
"Dan kau sempat melihat siaran berita?"
"Sebagian."
Pak Komandan meneleponku dan minta saran untuk
mengendalikan situasi ini. Aku butuh keteranganmu
sebelum memberikan rekomendasi. Oke?"
"Oke."
"Aku baru saja bicara dengan Tom Graham lewat
telepon. Dia mengakui bahwa kejadian semalam memang
kacau-balau. Tak ada yang bisa dibanggakan."
"Sepertinya begitu."
"Dua cewek telanjang menghalang-halangi dua petugas
berbadan sehat dan menggagalkan penangkapan seorang
tersangka. Intinya begitu, bukan?"
Kedengarannya konyol sekali. Aku berkata, "Kau harus
ada di sana untuk memahami duduk perkaranya, Jim."
"He-eh," katanya. "Hmm, sejauh ini ada satu hal yang
menguntungkan bagi kita. Aku telah memeriksa apakah
prosedur pengejaran dijalankan secara benar. Rupanya
memang begitu. Kita punya rekaman dari komputer,
rekaman percakapan radio, dan semuanya sesuai
peraturan. Untung saja. Bahkan tak ada yang mengumpat.
Rekaman-rekaman ini bisa kita berikan kepada pihak
media, seandainya situasi bertambah parah. Jadi, dalam hal
ini posisi kita cukup aman. Tapi sayang sekali Sakamura
tewas.”
"Ya."
"Graham sempat kembali untuk mencari kedua cewek
itu, tapi rumah Sakamura ternyata sudah kosong. Mereka
sudah lenyap."
"Begitu."
"Dan tentunya tidak ada yang sempat mencatat
nama-nama mereka?"
"Tidak."
"Berarti kita tidak punya saksi untuk kejadian di rumah
Sakamura. Ini agak berbahaya."
"He-eh."
"Pagi ini mereka sedang mengeluarkan mayat Sakamura
dari mobil itu, untuk mengirim sisa-sisanya ke kamar
jenazah. Menurut Graham, kasus ini sudah selesai. Kalau
tidak salah, ada rekaman video yang memperlihatkan
bahwa Sakamura membunuh cewek itu, bukan? Graham
bilang, dia sudah siap membuat laporan
lima-tujuh-sembilan. Menurutmu bagaimana? Kasus ini
sudah bisa ditutup?"
"Kelihatannya begitu.”
'Kalau begitu, kita sudahi saja,” ujar Olson. "Masyarakat
Jepang merasa jengkel dam tersinggung oleh penyelidikan
Nakamoto. Mereka ingin penyelidikan tersebut bisa
diakhiri secepat mungkin. Jadi, kalau kasus ini bisa
dianggap selesai, itu akan sangat membantu."
"Aku setuiu," kataku. "Kita akhiri saja di sini."
"Syukurlah kalau begitu, Pete," kata Olson.
"Aku akan bicara dengan Pak Komandan. Mogamoga kita
bisa mencegah tindakan disipliner."
"Thanks, Jim."
"Usahakan agar kau jangan terialu khawatir.
Aku sendiri tidak melihat isu disipliner di sini. Asal saja
kita punya rekaman video yang memperlihatkan Sakamura
pelakunya."
"Yeah.”
"Mengenai rekaman-rekaman ini," katanya, "aku sudah
minta agar Marty mengambil semuanya dari lemari barang
bukti. Tapi sepertinya dia tidak menemukannya."
Aku menarik napas panjang dan berkata, "Memang,
soalnya kubawa pulang."
"Kau tidak menyimpan kaset-kaset video itu di lemari
barang bukti semalam?"
"Tidak. Aku ingin membuat kopinya dulu."
Olson terbatuk-batuk. "Pete. Sebenarnya lebih baik kalau
kau mengikuti prosedur."
"Aku ingin membuat kopinya dulu," kataku sekali lagi.
"Begini saja," ujar Jim, "buat kopinya, lalu bawa semua
rekaman asli ke mejaku sebelum jam sepuluh. Oke?"
"Oke."
"Kadang-kadang memang agak lama sebelum bahan
tertentu bisa ditemukan di lemari barang bukti."
Secara tak langsung ia mengatakan bahwa ia akan
melindungiku. "Thanks, Jim."
"Jangan berterima kasih padaku, sebab aku tidak
melakukan apa-apa," jawabnya. "Sepanjang penge-
tahuanku, semuanya sesuai prosedur standar."
"Betul."
"Tapi kusarankan, selesaikan semuanya dengan segera.
Aku bisa mengulur-ulur waktu selama beberapa jam. Tapi
di sini sedang terjadi sesuatu. Aku tidak tahu persis dari
mana asal-usulnya. Jadi jangan ambil risiko, oke?"
"Oke, Jim. Aku sudah mau berangkat."
Aku meletakkan gagang.
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
KETIKA aku memasuki pelataran parkir Sunset Hills
Country Dub, aku melihat Connor berdiri di depan
clubhouse yang besar. Ia membungkuk ke arah tiga pemain
golf Jepang yang menemaninya, dan mereka membalas
dengan cara yang sama. Kemudian ia bersalaman dengan
semuanya, lalu melemparkan stik-stik golf ke bangku
belakang dan masuk ke mobil.
"Anda terlambat, Kohai."
"Sori. Hanya beberapa menit. Saya tertahan di U.S.C."
"Keterlambatan Anda merepotkan banyak orang. Untuk
menjaga sopan santun, mereka merasa berkewajiban
menernani saya di depan, sementara saya menunggu Anda.
Orang-orang dengan posisi seperti mereka merasa tidak
nyaman kalau terpaksa berdiri menunggu. Mereka orang
sibuk. Tapi mereka merasa berkewajiban dan tidak bisa
meninggalkan saya. Anda sangat mempermalukan saya.
Anda juga menimbulkan citra buruk bagi seluruh
Departemen."
"Maaf. Saya tidak tahu."
"Sudah waktunya Anda mulai sadar, Kohai. Anda tidak
sendirian di dunia."
Aku memasukkan gigi dan mulai menjalankan mobilku.
Aku memperhatikan orang-orang Jepang tadi melalui kaca
spion. Mereka melambaikan tangan. Mereka tidak kelihatan
kesal maupun terburu-buru. "Siapa teman main Anda tadi?"
"Aoki-san kepala Tokio Marine di Vancouver Hanada-san
wakil presiden Mitsui Bank di London. Dan Kenichi Asaka
membawahi semua pabrik Toyota di Asia Tenggara dari
K.L. ke Singapura. Kantornya di Bangkok."
"Sedang apa mereka di sini?"
"Mereka sedang berlibur," kata Connor. "Liburan singkat
di AS untuk bermain golf. Mereka suka bersantai di negara
yang berirama lebih lambat seperti di sini."
Aku menyusuri jalan berkelok-kelok yang menuju Sunset
Boulevard, dan berhenti untuk menunggu lampu hijau. "Ke
mana sekarang?"
"Ke Four Seasons Hotel."
Aku membelok ke kanan, ke arah Beverly Hills. "Kenapa
orang-orang itu mau bermain golf dengan Anda?"
"Oh, kami sudah lama saling mengenal," katanya.
"Sekali-sekali membantu di sana-sini. Saya bukan orang
penting, tapi hubungan baik harus tetap dijaga. Menelepon,
memberi hadiah kecil, bermain golf bersama kalau
kebetulan berkunjung. Karena kita takkan pernah tahu
kapan kita memerlukan jaringan kita. Koneksi merupakan
sumber informasi, katup pengaman, sekaligus sistem per-
ingatan dini. Dalam falsafah hidup orang Jepang."
"Siapa yang mengajak bermain?"
"Hanada-san memang sudah punya rencana bermain.
Saya hanya bergabung. Permainan golf saya cukup baik."
"Kenapa Anda ingin bergabung dengannya?"
"Karena saya ingin tahu, lebih banyak mengenai
pertemuan Sabtu," kata Connor.
Aku masih ingat. Dalam rekaman video yang kami tonton
di ruang wartawan, Sakamura menangkap Cheryl Austin
dan berkata, "Kau tidak mengerti, ini semua menyangkut
pertemuan Sabtu."
"Dan mereka memberitahu, Anda?"
Connor mengangguk. "Rupanya tradisi pertemuan Sabtu
sudah berlangsung lama," katanya. "Sejak sekitar tahun
delapan puluh. Mula-mula diadakan di Century Plaza,
kemudian di Sheraton, dan akhirnya pindah ke Biltmore."
Connor memandang ke luar jendela. Kami
terguncang-guncang karena mobilku masuk ke sebuah
lubang di Sunset Boulevard.
"Selama beberapa tahun, pertemuan-pertemuan itu,
diselenggarakan secara rutin. Pengusaha-pengusaha
terkemuka dari Jepang yang kebetulan berada di sini,
berkumpul untuk mengikuti diskusi mengenai apa yang
harus dilakukan dengan Amerika. Bagaimana
perekonomian Amerika harus ditangani."
"Apa?"
"Ya.”
"Keterlaluan!"
"Kenapa?" tanya Connor.
"Kenapa? Karena ini negara kita. Masa sekelompok
orang asing melakukan pertemuan rahasia untuk
memutuskan bagaimana mereka akan mengelola Amerika!"
"Orang Jepang melihatnya dari sudut lain," ujar Connor.
"Oh, pasti! Saya yakin mereka malah merasa berhak."
Connor mengangkat bahu. "Memang begitu. Dan mereka
percaya bahwa sudah sewajarnya mereka memperoleh hak
untuk memutuskannya."
"Astaga!"
"Karena mereka menopang perekonomian kita dengan
investasi besar-besaran yang telah mereka lakukan. Jumlah
uang yang mereka pinjamkan kepada kita sangat besar,
Peter. Sangat besar. Ratusan miliar dolar. Hampir
sepanjang lima belas tahun terakhir Amerika Serikat
mengalami defisit perdagangan dengan Jepang sebesar satu
miliar dolar per minggu. Artinya, setiap minggu Jepang
memperoleh satu miliar dolar, dan uang itu harus
digunakan untuk sesuatu Mereka kebanjiran uang. Padahal
mereka sebenarnya tidak menginginkan dolar dalam
jumlah sedemikian besar. Apa yang harus mereka lakukan
dengan uang yang berlimpah-limpah itu?
"Akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan
uang itu, kepada kita, dalam bentuk pinjaman. Tahun demi
tahun pemerintah kita mengalami defisit anggaran. Bukan
kita yang membayar program-program kita. Orang Jepang
yang membiayai semuanya. Mereka melakukan investasi.
Dan mereka memberikan pinjaman dana, atas
jaminan-jaminan tertentu dari pemerintah kita.
Washington berjanji kepada orang Jepang bahwa kita akan
membereskan urusan dalam negeri. Kita akan memotong
defisit. Kita akan meningkatkan mutu pendidikan,
memperbaiki prasarana-prasarana, bahkan menaikkan
pajak jika diperlukan. Singkat kata, kita akan membenahi
diri. Sebab hanya dengan demikian investasi di Amerika
dapat dipertanggungjawabkan."
"He-eh," gumamku.
"Tapi kita lalai. Kita membiarkan defisit semakin
membengkak, dan kita melakukan devaluasi dolar. Di tahun
1985, nilai dolar dipotong setengahnya. Anda tahu
bagaimana pengaruh kebijaksaan ini terhadap
investasi-investasi Jepang? Rencana-rencana mereka
berantakan. Semua investasi di tahun 1984 hanya memberi
hasil setengah dari jumlah semula."
Samar-samar aku ingat kejadian itu. Aku berkata, "Saya
pikir, cara itu ditempuh untuk membantu defisit
perdagangan kita, untuk menggalakkan ekspor. "
"Memang, tapi ternyata tidak berhasil. Neraca
perdagangan kita dengan Jepang semakin memburuk.
Biasanya, jika nilai mata uang didevaluasi 50%, harga
barang-barang impor akan menjadi dua kali lipat. Tetapi
orang Jepang langsung memotong harga alat-alat video dan
mesin fotokopi, dan mempertahankan pangsa pasar yang
telah mereka kuasai. Ingat, bisnis adalah perang.
"Efek nyata yang akhirnya dicapai hanyalah bahwa tanah
Amerika dan perusahaan-perusahaan Amerika menjadi
lebih murah bagi orang Jepang, sebab yen kini dua kali
lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Kepemilikan
bank-bank terbesar di dunia pindah ke tangan Jepang. Dan
kita membuat Amerika menjadi negara miskin."
"Apa hubungan semua ini dengan pertemuan Sabtu?"
"Begini," ujar Connor, "andaikata Anda punya paman
yang gemar minum-minum. Dia berjanji akan
menghentikan kebiasaannya itu jika Anda meminjamkan
uang padanya. Tapi kemudian dia mengingkari janjinya.
Dan Anda ingin agar uang Anda kembali. Anda ingin
menyelamatkan sisa-sisa investasi Anda yang buruk. Selain
itu, Anda juga tahu bahwa paman Anda mungkin saja mi-
num sampai mabuk dan mencederai orang lain. Paman
Anda lepas kendali. Anda harus berbuat sesuatu. Dan
kemudian seluruh keluarga berkumpul untuk membahas
tindakan apa yang harus diambil. Itulah yang dilakukan
oleh orang-orang Jepang."
"He-eh."
Connor rupanya menangkap nada sangsi dalam suaraku.
"Kelihatannya Anda curiga bahwa mereka melakukan
persekongkolan. Sebaiknya pikiran itu Anda buang
jauh-jauh. Anda berminat mengambil alih Jepang? Tentu
saja tidak. Negara berakal sehat takkan mengambil alih
negara lain. Melakukan bisnis, ya. Membina hubungan, ya.
Tapi bukan mengambil alih. Tak ada yang menginginkan
tanggung jawab sebesar itu. Tak ada yang mau repot. Sama
halnya dengan paman Anda yang pemabuk - Anda hanya
mengadakan rapat keluarga jika memang terpaksa. Kalau
tidak ada jalan lain."
"Begitukah pandangan orang Jepang?"
"Mereka melihat bermiliar-miliar dolar milik mereka,
Kohai. Ditanam di sebuah negeri yang dililit masalah.
Sebuah negeri yang penuh orang aneh yang individualistis
dan berbicara tanpa titik koma. Yang selalu bentrok. Saling
mendebat. Orang-orang tanpa pendidikan yang baik.
Orang-orang yang tidak tahu banyak mengenai dunia, dan
mengandalkan TV sebagai sumber informasi. Orang-orang
yang tidak bekera keras, yang membiarkan kekerasan dan
penggunaan narkotika merajalela, dan sepertinya tidak
terganggu. Orang Jepang menanam miliaran dolar di negeri
aneh ini, dan mereka ingin mendapat laba yang pantas. Dan
walaupun perekonomian Amerika sedang menuju
kehancuran - sebentar lagi kita akan turun ke peringkat tiga
dunia setelah Jepang dan Eropa - tetap harus ada yang
mencoba bertahan. Dan peran inilah yang dijalankan oleh
orang Jepang."
"Hanya itu?" aku bertanya. "Mereka sekadar membantu
menyelamatkan Amerika?"
"Harus ada yang melakukannya," ujar Connor. "Kita
tidak bisa terus seperti ini."
"Kita pasti berhasil."
"Ini yang dulu biasa dikatakan orang Inggris.”
Ia menggelengkan kepala. "Tapi nyatanya sekarang
Inggris jatuh miskin. Dan tidak lama lagi Amerika akan
menyusul."
"Kenapa kita harus jatuh miskin?" kataku. Tanpa
sengaja, suaraku menjadi keras.
"Sebab, menurut orang Jepang, Amerika telah menjadi
negeri tanpa isi. Kita telah melalaikan industri perakitan.
Kita tidak lagi menghasilkan barang-barang. Kalau kita
membuat produk-produk, kita memberi nilai tambah
kepada bahan-bahan baku, dan dengan demikian kita
menciptakan kemakmuran. Tapi Amerika sudah berhenti
melakukan itu. Kini orang Amerika menghasilkan dengan
manipulasi di atas kertas, yang menurut orang Jepang
merupakan senjata makan tuan, karena keuntungan di atas
kertas tidak mencerminkan kekayaan nyata. Mereka heran
sekali bahwa kita tergila-gila pada Wall Street dan
spekulasi saham."
"Dan karena itu orang Jepang merasa berhak mengatur
kita?"
"Mereka merasa harus ada yang mengatur kita. Mereka
lebih suka kalau kita melakukannya sendiri."
"Astaga."
Connor bergeser sedikit. "Jangan marah dulu, Kohai.
Menurut keterangan Hanada-san, tradisi pertemuan Sabtu
berakhir pada tahun 1991."
"Oh.
"Ya. Waktu itu orang Jepang memutuskan untuk tidak
ambil pusing apakah Amerika membenahi diri atau tidak.
Mereka melihat keuntungan dalam situasi sekarang:
Amerika sedang tidur lelap, dan semakin murah untuk
dibeli."
"Berarti tidak ada pertemuan Sabtu lagi?"
"Sekaii-sekali masih. Karena nichibei kankei: hubungan
Jepang-Amerika yang terus berjalan. Perekonomian kedua
negara ini sudah saling terkait. Kedua-duanya tidak dapat
menarik diri, biarpun mereka menginginkannya. Tetapi
pertemuan-pertemuan itu tak lagi penting. Kini sifatnya
lebih sebagai acara ramah-tamah. Jadi, apa yang dikatakan
Sakamura kepada Cheryl Austin ternyata keliru. Dan
kematiannya tidak berhubungan dengan pertemuan Sabtu."
"Lalu, hubungannya dengan apa?"
"Menurut teman-teman saya tadi, kejadian itu bersifat
pribadi. Chijou no motsure, kejahatan bermotif nafsu.
Melibatkan wanita cantik, irokichigai, dan pria
pencemburu."
"Dan Anda percaya pada mereka?"
"Masalahnya, mereka semua sependapat. Ketiga-tiganya.
Memang, orang Jepang merasa canggung untuk
memperlihatkan perbedaan pendapat di antara mereka,,
bahkan di lapangan golf di sebuah negara miskin. Tapi
berdasarkan pengalaman saya, jika mereka bersikap
seperti itu terhadap gaijin, mungkin ada yang
ditutup-tutupi."
"Maksud Anda, mereka bohong?"
"Tidak juga." COnnor menggelengkan kepala. "Tetapi
saya mendapat kesan bahwa mereka menceritakan sesuatu
kepada saya dengan tidak menceritakannya. Acara tadi pagi
adalah permainan hara no saguriai. Teman-teman saya
tidak membuka diri."
Connor menggambarkan acara main golf tadi. Sepanjang
pagi, semuanya lebih banyak membisu. Semuanya sopan,
tetapi jarang sekali ada yang memberi komentar, dan itu
pun singkat-singkat. Hampir sepanjang waktu mereka
berjalan mengelilingi lapangan golf dalam suasana hening.
"Padahal Anda pergi ke sana untuk mencari informasi?"
kataku. "Bagaimana Anda bisa tahan?"
"Oh, saya tetap memperoleh informasi." Tetapi ketika ia
menjelaskannya, ternyata semuanya dalam bentuk tidak
terucapkan. Karena mereka hidup dengan budaya yang
sama selama berabad-abad, di antara orang-orang Jepang
telah terjalin pengertian yang mendalam, dan mereka
mampu menyampaikan perasaan tanpa kata-kata. Di
Amerika, keakraban serupa dapat ditemui antara orangtua
dan anak-anak kecil sering kali memahami segala sesuatu
hanya dengan "membaca" tatapan orangtuanya. Tetapi
pada umumnya orang Amerika tidak mengandalkan
komunikasi bisu, berbeda dengan orang Jepang. Semua
orang Jepang seakan-akan merupakan anggota sebuah
keluarga, dan mereka sanggup berkomunikasi tanpa
kata-kata. Bagi orang Jepang, sikap membisu mengandung
makna
"Tidak ada yang ajaib atau luar biasa," Connor
melanjutkan. "Pada dasarnya, orang Jepang begitu
terkekang oleh peraturan dan adat kebiasaan, sehingga
mereka akhirnya tak dapat mengucapkan apa-apa. Demi
menjaga sopan santun, untuk menyelamatkan muka, lawan
bicara mereka berkewajiban membaca situasi, membaca
konteks, memahami tanda-tanda yang diberikan melalui
sikap tubuh, dan menangkap hal-hal yang tak terucap.
Sebab orang pertama merasa bahwa ia tak dapat
menuangkan perasaannya ke dalam bentuk kata-kata.
Dalam situasi seperti itu, berbicara dianggap tidak pantas.
Jadi, mereka terpaksa menggunakan cara lain."
Aku berkata, "Dan Anda menghabiskan pagi ini seperti
itu? Dengan tidak berbicara?"
Connor menggelengkan kepala. Ia merasa telah menjalin
komunikasi lancar dengan para pemain golf Jepang itu, dan
sama sekali tidak terganggu oleh keheningan yang terjadi.
"Karena saya bertanya mengenai orang-orang Jepang
lain - sesama anggota keluarga mereka - saya terpaksa
merumuskan pertanyaan-pertanyaan saya dengan
hati-hati. Sama seperti kalau saya bertanya apakah adik
perempuan Anda dipenjara, atau menanyakan hal lain yang
menyakitkan bagi Anda. Saya akan memperhatikan
seberapa lama Anda terdiam sebelum menjawab, nada
suara Anda, dan sebagainya. Hal-hal di balik komunikasi
verbal. Oke?"
"Oke."
"Artinya, kita memperoleh informasi melalui intuisi."
"Dan intuisi apa yang Anda peroleh?"
"Mereka bilang, 'Kami tidak lupa bahwa Anda pernah
berjasa bagi kami di masa lalu. Sekarang kami berkeinginan
membantu Anda. Tetapi pembunuhan ini merupakan
masalah orang Jepang, karena itu ada banyak hal yang tak
dapat kami ungkapkan. Berdasarkan sikap bungkam ini,
Anda dapat menarik kesimpulan yang berguna mengenai
masalah sesungguhnya.' Itulah yang mereka sampaikan
pada saya."
"Dan apa masalah sesungguhnya yang mereka maksud?"
"Hmm," Connor bergumam, "nama MicroCon sempat
disinggung beberapa kali."
"Perusahaan high-tech itu?"
"Ya. Perusahaan yang akan dijual. MicroCon rupanya
sebuah perusahaan kecil di Silicon Valley yang
mengkhususkan diri di bidang peralatan komputer.
Rencana penjualan itu diliputi masalah-masalah politik.
Masalah-masalah itu juga sempat disinggung-singgung tadi
"
"Jadi pembunuhan ini berkaitan dengan MicroCon?"
"Saya kira begitu." Sekall lagi ia bergeser di kursinya. "O,
ya, apa yang Anda peroleh di U.S.C. mengenai kaset-kaset
itu?"
"Pertama-tama, semuanya berisi rekaman kopi."
Connor mengangguk. "Memang sudah saya duga,"
katanya.
“O, ya?”
"Ishiguro tak mungkin menyerahkan rekaman asli.
Orang Jepang menganggap semua orang yang bukan Jepang
sebagai barbar. Dalam arti harfiah: barbar. Bau, vulgar,
bodoh. Mereka tidak menunjukkannya secara
terang-terangan, sebab mereka tahu bahwa bukan salah
kita tidak dilahirkan sebagai orang Jepang. Tapi mereka
tetap berpendapat begitu."
Aku mengangguk. Itu kurang lebih sama dengan apa
yang dikatakan Sanders.
"Kecuali itu," ujar Connor, "orang Jepang memang sangat
berhasil, tapi mereka bukan pemberani. Mereka bersiasat
dan berkomplot. Jadi, mereka tak mungkin menyerahkan
rekaman asli, karena mereka tidak mau ambil risiko.
Informasi apa lagi yang Anda peroleh mengenai kaset-kaset
itu?"
"Kenapa Anda menyangka bahwa masih ada hal lain?"
tanyaku.
"Pada waktu menyaksikan rekaman itu," katanya, "Anda
tentu memperhatikan detail penting yang..."
Dan kemudian percakapan kami terputus oleh telepon
yang berdering.
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
"Peter?"
Aku berkata, "Halo, Lauren."
"Peter, aku menelepon untuk memberitahumu bahwa
aku akan menjemput Michelle lebih cepat hari ini."
Suaranya bernama tegang, formal.
"O, ya? Aku tidak tahu bahwa kau mau menjemputnya."
"Aku tidak pernah bilang begitu, Peter," ia menyahut
cepat-cepat. "Tentu saja aku akan menjemputnya."
Aku berkata, "Oke, baiklah. Ngomong-ngomong, siapa itu
Rick?"
Ia terdiam sejenak. "Kau keterlaluan, Peter."
"Kenapa?" kataku. "Aku cuma ingin tahu. Michelle
menyinggungnya tadi pagi. Dia bilang Rick punya Mercedes
hitam. Pacarmu yang baru?"
"Peter. Masalahnya berbeda."
Aku berkata, "Berbeda dengan apa?"
"Jangan main-main," ujar Lauren. "Ini sudah cukup sulit
bagiku. Aku menelepon untuk memberitahumu bahwa aku
akan menjemput Michelle lebih cepat hari ini, karena aku
akan membawanya ke dokter."
"Kenapa? Dia sudah sembuh dari pilek."
"Aku membawanya untuk pemeriksaan, Peter."
"Untuk apa?"
"Pemeriksaan."
"Aku tidak tuli," balasku, "tapi...”
"Dokter yang akan memeriksanya bernama Robert
Strauss. Kata orang, dia paling ahli dalam bidangnya. Aku
sudah tanya pada orang-orang di kantor, siapa yang
sebaiknya kuhubungi. Aku tidak tahu bagaimana hasilnya
nanti, Peter, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku prihatin,
terutama mengingat masa lalumu "
“Lauren, apa maksudmu?"
"Penganiayaan," katanya. "Penganiayaan seksual
terhadap anak-anak."
"Apa?"
"Tak ada jalan lain. Kau tahu bahwa kau pernah
dituduh."
Aku mulai mual. Setiap perkawinan yang gagal selalu
meninggalkan sisa-sisa kebencian, kantong-kantong
kegetiran dan amarah, serta banyak hal pribadi yang kita
ketahui mengenai orang yang satu lagi, yang dapat
digunakan sebagai senjata terhadapnya, jika kita memilih
untuk berbuat demikian. Lauren belum pernah
melakukannya.
"Lauren, kau tahu bahwa tuduhan itu terbukti tak
berdasar. Kau tahu semuanya. Kita sudah menikah waktu
itu."
"Aku hanya tahu yang kauceritakan padaku."
Sepertinya ia sengaja menjaga jarak. Suaranya bernada
moralistik, sedikit sarkastik. Suara sang penuntut umum.
"Lauren, demi Tuhan. Ini benar-benar konyol. Ada apa
sebenarnya?"
"Ini sama sekali tidak konyol. Aku punya tanggung jawab
sebagai ibu."
"Hmm, selama ini kau tidak pernah memikirkan
tanggung jawabmu sebagai itu. Dan sekarang kau ...”
"Memang benar, karierku banyak menyita waktu,,"
katanya dengan nada dingin, "tapi tak pernah ada keraguan
bahwa yang paling penting adalah anakku. Dan aku sangat
sangat menyesal jika tingkah lakuku di masa lalu ikut
mendorong terciptanya situasi yang tidak menyenangkan
ini." Aku mendapat kesan bahwa ia tidak berbicara padaku.
Ia sedang berlatih. Menggunakan kata-kata untuk
mengetahui bagaimana pengaruhnya di hadapan hakim.
"Tentunya, Peter, jika terdapat bukti mengenai
penganiayaan, Michelle tidak bisa tinggal bersamamu lagi.
Atau bahkan menemuimu.”
Dadaku serasa ditusuk.
"Apa maksudmu? Siapa yang memberitahumu bahwa
ada penganiayaan?"
"Peter, kurasa tidak sepatutnya aku berkomentar pada
saat ini."
"Apakah Wilhelm? Siapa yang meneleponmu, Lauren?"
"Peter, tak ada gunanya kita melanjutkan pembicaraan
ini. Aku secara resmi memberitahumu bahwa aku akan
menjemput Michelle pukul empat. Kuminta dia sudah siap
jam empat sore nanti.”
"Lauren..."
"Aku telah minta sekretarisku, Miss Wilson, agar ikut
mendengarkan pembicaraan kita dan membuat catatan
steno. Aku menyampaikan pemberitahuan resmi mengenai
niatku untuk menjemput putriku untuk pemeriksaan fisik.
Ada pertanyaan mengenai keputusanku ini?"
"Tidak."
"Kalau begitu, jam empat. Terima kasih atas kerja
samamu. Dan sebagai catatan pribadi, Peter, aku sungguh
menyesal bahwa ini harus terjadi."
Dan dengan itu ia meletakkan gagang.
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
CONNOR segera berpaling pada Theresa. "Anda mahir
dalam bidang Anda?"
"Ya," jawabnya.
"Sangat mahir?"
"Saya kira begitu."
"Waktu kita tinggal sedikit. Saya minta Anda bekerja
sama dengan Peter. Coba lihat apa yang dapat Anda peroleh
dari kaset itu. Gambatte: berusahalah sekeras-kerasnya.
Dan jangan khawatir, jasa Anda takkan dilupakan.
Sementara itu, ada beberapa orang yang perlu saya
hubungl."
Aku berkata, "Anda mau pergi?"
"Ya. Dan saya perlu kendaraan."
Aku menyerahkan kunci mobilku. "Anda mau ke mana?"
"Saya bukan istri Anda."
"Saya cuma bertanya."
"Jangan pikirkan itu. Saya harus menemui beberapa
orang." Ia berbalik untuk pergi.
"Tapi, kenapa Anda mengatakan bahwa Tanaka sudah
mati?"
"Hmm, mungkin juga belum. Kita akan membahas soal
ini kalau waktunya lebih banyak. Sekarang ini, tugas kita
masih menumpuk. Dan semuanya harus selesai sebelum
jam empat sore. Itu batas waktu kita yang sesungguhnya.
Saya rasa saya punya sejumlah kejutan untuk Anda, Kohai.
Anggap saja bisikan chokkan, naluri saya. Oke? Kalau ada
kesulitan, atau perkembangan tak terduga, hubungi saya
lewat telepon mobil. Semoga sukses. Sekarang silakan
bekerja dengan waiiita cantik ini. Urayamashii ne!"
Dan ia pergi. Kami mendengar pintu belakang menutup.
Aku bertanya pada Theresa, "Apa katanya?"
"Dia bilang, dia iri pada Anda." Theresa tersenyum dalam
kegelapan. "Mari kita mulai."
Dengan jemarinya yang lincah ia menekan beberapa
tombol berturut-turut. Rekaman itu kembali ke titik awal.
Aku berkata, "Bagaimana kita akan menanganinya?"
"Ada tiga pendekatan pokok untuk mempelajari
bagaimana rekaman video ini diotak-atik. Yang pertama
adalah blur dan tepi-tepi warna. Yang kedua adalah garis
bayangan. Kita bisa menggunakan elemen-elemen itu, tapi
saya sudah mencobanya selama dua jam terakhir, dan
hasiInya tidak menggembirakan."
"Dan cara ketiga?"
"Elemen pantulan. Saya belum sempat memeriksanya."
Aku menggelengkan kepala.
"Pada dasarnya, elemen-elemen pantulan merupakan
bagian-bagian suatu gambar yang tercermin dalam gambar
itu sendiri. Seperti waktu Sakamura berjalan meninggalkan
ruangan, dan wajahnya terlihat di cermin. Hampir pasti ada
pantulan lain di ruangan itu. Mungkin ada lampu meja
berlapis krom yang memantulkan bayangan orang, meski
dengan distorsi, pada waktu mereka lewat. Dinding-dinding
ruang rapat terbuat dari kaca. Barangkali kita bisa
mendapatkan pantulan dari sana. Atau dari pemberat
kertas di salah satu meja. Atau dari vas kaca berisi bunga.
Apa saja yang cukup mengilap."
Aku mengamatinya ketika ia bersiap-siap untuk
memutar rekaman itu. Tangannya yang utuh ber-
pindah-pindah dengan cepat dari satu mesin ke mesin lain.
Janggal rasanya, berdiri di samping wanita yang begitu
cantik, dan yang begitu tidak sadar akan kecantikannya.
"Dalam hampir semua gambar ada permukaan yang
menimbulkan pantulan. Di luar ada bemper mobil, jalanan
basah, kaca jendela. Dan di dalam ruangan ada bingkai foto,
cermin, tempat lilin dari perak, kaki meja berlapis krom...
Selalu ada sesuatu."
"Tapi pantulan-pantulan itu tentu juga sudah diubah,
bukan?"
"Kalau mereka punya waktu, ya. Sebab sekarang ada
program-program komputer yang dapat memetakan
gambar pada sebuah objek berlekuk-lekuk. Tapi itu butuh
waktu. Nah. Mudah-mudahan saja mereka tidak sempat
melakukannya."
Ia mulai memutar rekaman itu. Bagian pertamanya
gelap. Cheryl Austin muncul di dekat lift. Aku menatap
Theresa. Aku bertanya, "Bagaimana kesan Anda mengenai
urusan ini?"
"Maksudnya?"
"Membantu kami. Polisi."
"Maksud Anda, karena saya orang Jepang?" Ia melirik ke
arahku dan tersenyum. Senyumnya aneh, mencong. "Saya
tidak punya bayangan yang muluk-muluk mengenai Jepang.
Anda tahu di mana Sako?"
"Tidak."
"Sako adalah sebuah kota - sebenarnya sebuah desa - di
utara. Di Hokkaido. Daerah pedalaman. Di sana ada
pangkalan Angkatan Udara AS. Saya lahir di Sako. Ayah
saya ahli mesin, seorang kokujin. Anda tahu kata ini,
kokujin? Niguro. Orang kulit hitam. Ibu saya bekerja di
warung mi yang biasa dikunjungi anggota Angkatan Udara.
Mereka menikah, tapi ayah saya tewas dalam suatu ke-
celakaan waktu saya berumur dua tahun. Sebagai janda, ibu
saya memperoleh pensiun kecil. Jadi kami punya sedikit
uang. Tapi sebagian besar diambil kakek saya, sebab dia
berkeras bahwa dia tertimpa aib karena kelahiran saya.
Saya dianggap ainoko dan niguro. Artinya tidak bagus. Tapi
ibu saya tetap ingin di sana, di Jepang. Jadi saya pun tinggal
di Sako. Di... tempat itu..."
Suaranya bemada getir.
"Anda tahu arti burakumin?" tanyanya. "Tidak? Itu tidak
aneh. Di Jepang, di tempat setiap orang konon dianggap
sama, tak ada yang membicarakan burakumin. Tapi
sebelum pernikahan, keluarga pengantin pria akan
menyelidiki latar belakang keluarga pengantin wanita,
untuk memastikan bahwa tidak ada burakumin dalam
silsilah mereka. Keluarga pengantin wanita akan
melakukan hal yang sama. Dan kalau ada keraguan sekecil
apa pun, pemikahannya batal. Burakumin adalah golongan
paria di Jepang. Orang buangan, golongan paling hina.
Mereka keturunan tukang samak dan pengrajin kulit, yang
dalam ajaran Buddha dianggap najis."
"Begitu."
"Dan saya lebih hina dari burakumin, karena saya cacat.
Bagi orang Jepang, cacat fisik adalah hal yang memalukan.
Bukan menyedihkan, atau menjadi beban. Memalukan.
Tanda bahwa kita berdosa. Cacat membawa aib pada kita,
keluarga kita, dan lingkungan sekitar kita. Orang-orang di
sekeliling kita berharap kita mati saja. Dan kalau kita
setengah berkulit hitam, ainoko dari orang Amerika
berhidung besar..." Ia menggelengkan kepala. "Anak-anak
kejam sekali. Dan ini kota kecil di pedalaman."
Ia menyaksikan rekaman di monitor.
"Jadi, saya bersyukur bisa tinggal di sini. Kalian orang
Amerika tidak menyadari kesentosaan yang ada di negeri
ini. Kebebasan yang kalian nikmati. Anda tidak bisa
membayangkan pahitnya hidup di Jepang, jika Anda
dikucilkan dari kelompok. Tapi saya tahu persis. Jadi saya
tidak keberatan kalau sekarang orang Jepang menderita
sedikit, berkat usaha saya dengan tangan saya yang sehat."
Ia menatapku. Wajahnya tampak bagaikan topeng,
akibat gejolak perasaan di hatinya. "Apakab pertanyaan
Anda sudah terjawab, Letnan?"
"Ya," kataku.
"Ketika saya datang ke Amerika, saya pikir pandangan
orang Amerika mengenai orang Jepang sangat naif - tapi
sudahlah. Ini adegan yang kita tunggu. Anda amati dua
monitor di atas. Saya akan memantau ketiga monitor di
bawah. Carilah benda-benda dengan permukaan mengilap.
Carilah dengan saksama. Oke, kita mulai."
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
"Sialan," kataku.
Theresa bertanya, "Siapa dia?"
"Seorang senator."
"Oh." Ia menatap layar. "Dan apa urusan mereka dengan
orang itu?"
"Orang itu menduduki posisi penting di Washington. Dan
saya kira dia ikut berperan dalam penjualan sebuah
perusahaan. Mungkin masih ada alasan lain lagi."
Theresa mengangguk.
Aku berkata, "Apakah gambar ini bisa dicetak dalam
bentuk foto?"
"Tidak. Kami tidak punya peralatannya."
"Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Saya perlu membawa
sesuatu."
"Saya bisa membuat foto Polaroid," ujar Theresa.
"Mutunya tidak terlalu baik, tapi untuk sementara,
lumayan." Ia mulai mencari, meraba-raba dalam gelap.
Akhirnya ia kembali dengan membawa sebuah kamera. fa
mendekat ke layar dan meng ambil beberapa foto.
Kami menunggu hasilnya.
"Thanks," kataku, "atas segala bantuan Anda."
"Sama-sama. Dan saya turut menyesal."
"Kenapa?"
"Saya tahu Anda berharap pembunuhnya orang Jepang."
Aku sadar bahwa ia sedang mengungkapkan
perasaannya sendiri. Aku tidak berkomentar apa-apa.
Foto-foto itu bertambah gelap. Hasilnya cukup baik,
gambarnya kelihatan jelas. Ketika aku menyelipkan
semuanya ke dalam kantong, aku merasakan sebuah benda
keras. Aku segera mengeluarkannya.
"Anda punya paspor Jepang?" tanya Theresa.
"Tidak. Ini bukan milik saya. Paspor ini milik Eddie." Aku
memasukkannya kembali. "Saya harus pergi sekarang,"
kataku. "Saya harus mencari Kapten Connor."
"Oke." Theresa berpaling ke monitor-monitor di
hadapannya.
"Apa yang akan Anda lakukan sekarang?" ujarku.
"Masih ada pekerjaan yang perlu diselesaikan."
Aku meninggalkannya, keluar melalui pintu belakang,
dan menyusuri selasar gelap.
Bab 46
Bab 47
Bab 48
JOHN MORTON sedang duduk di kursi rias di studio TV,
dengan tisu kertas terselip di balik kerah, sementara
keningnya diberi bedak. Woodson berdiri di sebelahnya.
Asisten Morton itu berkata, "Ini rekomendasi dari mereka."
Ia menyerahkan selembar fax kepada Morton.
"Intinya," ujar Woodson, "penanaman modal asing
memperkuat Amerika. Amerika bertambah kuat akibat
dana dari luar negeri. Amerika bisa belajar banyak dari
Jepang."
"Dan kita belum belajar apa-apa," Morton berkomentar
dengan lesu.
"Argumen mereka cukup berdasar," kata Woodson.
"Posisi itu bisa dipertanggungjawabkan, dan kaulihat
sendiri, dengan kata-kata yang disusun oleh Madorie, kau
takkan dianggap berubah sikap. Ini lebih merupakan
pengembangan dari pandanganmu semula. Kau sanggup
menanganinya, John. Kurasa takkan ada yang
mempersoalkannya."
"Kau yakin pertanyaan itu akan muncul?"
"Kelihatannya begitu. Aku telah memberitahu para
wartawan bahwa kau bersedia membahas modifikasi
pandanganmu mengenai MicroCon. Bahwa kau sekarang
mendukung rencana itu."
"Siapa yang akan menanyakannya?"
"Mungkin Frank Pierce dari Times."
Morton mengangguk. "Dia lumayan."
"Yeah. Berorientasi bisnis. Mestinya tidak ada masalah.
Kau bisa bicara mengenai pasar bebas, perdagangan adil.
Kecilnya peranan penjualan ini terhadap keamanan
nasional. Semuanya itu."
Si juru rias selesai, dan Morton bangkit dari kursinya.
"Senator Morton, maaf kalau saya merepotkan Anda, tapi
bolehkah saya minta tanda tangan Anda?"
"Tentu," jawab Morton.
"Untuk anak saya."
"Tentu."
Woodson berkata, "Kami sudah menggabung-gabungkan
adegan-adegan iklan, kalau kau berminat melihatnya.
Memang masih kasar sekali, tapi barangkali kau bisa
memberi komentar. Aku sudah menyiapkannya di ruang
sebelah."
"Berapa lama sampai siaran dimulai?"
"Sembilan menit lagi."
"Oke."
Ia mulai menuju pintu dan melihat kami. "Selamat sore,
Gentlemen," katanya. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Kami hanya ingin berbicara sebentar, Senator," kata
Connor
"Saya perlu melihat sebuah rekaman dulu," ujar Morton.
"Setelah itu kita bisa berbincang-bincang. Tapi saya hanya
punya beberapa menit."
"Tidak apa-apa," kata Connor.
Kami mengikuti Morton ke ruangan lain. Di ruang itu
kami dapat melihat studio di bawah. Di bawah sana, di
hadapan latar belakang berwarna beige yang bertuliskan
NEWSMAKERS, beberapa wartawan sedang menyusun
kertas-kertas catatan Petugas-petugas studio sibuk
memasang mikrofon. Morton duduk di hadapan sebuah
pesawat TV dan Woodson memutar sebuah kaset video.
Kami menyaksikan rekaman iklan yang dibuat
sebelumnya. Di bagian bawah layar terlihat penunjuk
waktu. Iklannya dimulai dengan Senator Morton yang
sedang berjalan melintasi lapangan golf. Ia tampak serius.
Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa Amerika
telah kehilangan daya saing dalam bidang ekonomi dan
perlu merebutnya kembali.
"Kita semua harus bahu-membahu," Morton berkata di
layar kaca. "Para politisi di Washington, para pemuka bisnis
dan angkatan kerja, para guru dan anak-anak, kita semua di
rumah masing-masing. Kita harus melunasi semua biaya
berjalan dan memperkecil defisit Pemerintah. Kita harus
meningkatkan jumlah tabungan untuk memperbaiki
jaringan jalan dan membenahi pendidikan. Kita
membutuhkan kebijaksanaan Pemerintah mengenai
konservasi energi-untuk lingkungan hidup kita, untuk
paru-paru anak-anak kita, dan untuk daya saing global
kita."
Kamera membidik wajah Senator Morton, untuk
merekam komentar penutupnya.
"Sementara pihak berpendapat bahwa kita sedang
memasuki era baru, era bisnis global," katanya. "Menurut
mereka, lokasi perusahaan tidak lagi penting, di mana suatu
barang diproduksi tidak lagi relevan. Mereka berpendapat
bahwa konsep ekonomi nasional sudah kuno dan
ketinggalan zaman. Kepada orang-orang itu saya tekankan
bahwa Jepang tidak berpendapat demikian. Jerman tidak
berpendapat demikian. Negara-negara yang paling sukses
di dunia dewasa ini mempunyai kebijaksanaan nasional
yang tegas untuk konservasi energi, untuk mengendalikan
impor, untuk mempromosikan ekspor. Mereka membina
industri mereka, menegakkan perlindungan terhadap per-
saingan tidak adil dari luar negeri. Dunia bisnis dan
pemerintah bekerja sama untuk menjaga kepentingan
masyarakat mereka dan melindungi lapangan kerja. Dan
negara-negara itu lebih berhasil dibandingkan dengan
Amerika, sebab kebijaksanaan ekonomi mereka
mencerminkan dunia nyata. Kebijaksanaan mereka
berhasil. Kebijaksanaan kita tidak. Kita tidak hidup di dunia
yang ideal, dan selama itu, Amerika sebaiknya menghadapi
kenyataan. Kita harus membentuk nasionalisme ekonomi
versi Amerika. Kita harus melindungi kepentingan orang
Amerika, sebab kalau bukan kita, siapa lagi yang akan
melakukannya?
"Ada satu hal yang ingin saya tegaskan: penyebab
masalah-masalah kita bukan para raksasa industri, Jepang
dan Jerman. Negara-negara itu menantang Amerika dengan
kenyataan baru - kita sendiri yang harus menghadapi
kenyataan itu, dan menjawab tantangan ekonomi mereka
Kalau kita melakukan hal ini, negeri kita akan memasuki
era kesejahteraan tanpa bandingan. Tapi kalau kita terus
bersikap seperti sekarang, mengagung-agungkan ekonomi
pasar bebas yang sudah usang, bencana telah menanti. Kita
yang harus menentukan pilihan. Bergabunglah dengan saya
dan hadapilah kenyataan-kenyataan baru itu, demi masa
depan ekonomi yang lebih baik bagi orang Amerika."
Layar menjadi gelap.
Morton menyandarkan badan. "Mulai kapan iklan ini
ditayangkan?"
"Sembilan minggu lagi. Pertama-tama siaran uji coba di
Chicago dan Twin Cities, kelompok-kelompok fokus yang
terkait, modifikasi yang diperlukan, lalu siaran nasional
mulai Juli."
"Lama sesudah MicroCon..."
"Oh, ya."
"Oke, bagus. Kita teruskan saja.”
Woodson mengambil kaset video dan meninggalkan
ruangan. Morton berpaling kepada kami. "Well? Apa yang
dapat saya lakukan untuk Anda?"
Connor menunggu sampai pintu menutup. Kemudian ia
berkata, "Senator, kami ingin memperoleh keterangan
mengenai Cheryl Austin."
Sejenak suasana menjadi hening. Morton menatap kami
berganti-gantian. Pandangannya menerawang. "Cheryl
Austin?"
"Ya, Senator."
"Saya tidak yakin apakah saya pernah..."
"Ya, Senator," ujar Connor. Dan ia menyerahkan sebuah
arloji kepada Morton. Arloji wanita buatan Rolex, dari
emas.
Bab 49
MALAM KEDUA
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Bab 53
MALAM KETIGA
Bab 54
Bab 55
Bab 56
Bab 57
Bab 58
Penutup
Riwayat Pengarang