Kolektor E-Book
Tarian Iblis
(Novel ini lanjutan Misteri Anak Anak Iblis)
Karya Abdullah Harahap
Ocr by Yoza Upk
Edit teks : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 31 Agustus 2018,Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan
Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya !!!
***
TARIAN IBLIS
Novel Karya : Abdullah Harahap
Lukisan Cover : Fan Sardy
Diterbitkan oleh: BINTANG USAHA JAYA Surabaya
***
SATU
DUA
TIGA
Penyesalan selalu datang terlambat. Setelah apa yang semestinya tidak boleh terjadi,
telah terjadi. Akibatnya adalah Zulham telah melanggar pendirian yang selama ini
dipegang dengan teguh bahwa ia tidak akan menyetubuhi seorang perempuan di luar
nikah.
Zulham tidak akan mencari kambing hitam.Dengan berdalih bahwa ia berada di
bawah pengaruh gaib Rani Pusparini. Atau karena gadis itu dengan sengaja telah
merangsangnya dan ajakan persetubuhan datang dari pihak gadis itu dan pula Zulham
hanya bersandar pada kenyataan bahwa sejak semula ia telah terangsang.
Ia telah berusaha mengendalikan diri tetapi hawa nafsunyalah yang kemudian
menang.Dengan dihantui perasaan bersalah itu, Zulham diam diam mengenakan
pakaiannya kembali. Ia tidak tahu bagaimana menebus dosa yang telah ia perbuat.
Tetapi paling kurang, ia tahu bagaimana harus mempertanggung jawabkannya.
Ia mesti menikahi Rani Pusparini,terlepas dari apakah mereka saling menyintai atau
tidak. Yang pasti, sampai perbuatan itu selesai mereka lakukan, Zulham tetap saja tidak
merasakan adanya gairah cinta dalam sanubarinya.
"Barangkali cinta itu mungkin datang belakangan."bathin Zulham membujuk.
Namun demikian, masih ada dua hambatan yang harus ia hadapi. Ia tidak tahu
apakah Rani Pusparini bersedia menikah dengannya. Dan yang lebih terpenting lagi,
agama yang dianut Zulham melarangnya untuk menikahi seorang penyembah berhala.
Maka yang pertama tama harus ia lakukan adalah mengajak gadis itu meninggalkan
sekte anutannya dan pada suatu hari kelak bersedia pindah agama. Mungkin itulah
tujuan dari permohonan Esih,
Di balik pintu cottage, Rani Pusparini juga tengah berlutut di lantai. Gadis itu sudah
mengenakan gaun hitamnya namun membiarkan gaun itu dalam keadaan tidak
terkancing. Jari jemarinya mengusap wajah sang mahluk dengan lembut.
"Kau tahu bukan, resiko apa yang akan menimpa dirimu?" bisiknya dengan getaran
kasih sayang.
Mahluk hitam itu mendengking lemah.Rani Pusparini tersenyum menghibur.
"Kuharap Rudi,Reinkarnasimu di masa datang, lebih baik dari wujutmu sekarang..."
Dengkingan Rudi lebih kuat.
Lebih bersemangat.
Rani Pusparini merangkul anjing besar itu kuat kuat,menciumi moncongnya, lantas
berbisik lirih di telinganya yang tegak untuk mendengarkan.
"Selamat berpisah Rudi. Bantulah aku melalui rohmu."
Rani Pusparini kemudian bangkit dan merebahkan diri di altar dengan paha
mulusnya yang putih padat dan dibercaki darah perawannya akibat persetubuhan
dengan Zulham. Ia kembangkan terbuka selebar lebarnya. Kelopak matanya dipejam
rapat lalu bibirnya menggumamkan sebuah permohonan bernada ritual.
"Dengarkanlah aku Maruti, Menyatulah dengan Maruta di dalam rahimku yang
suci."
Seakan menerima perintah gaib, anjing besar di dekat pintu melangkah mendekati
altar. Sepasang matanya menyala semakin memerah, semerah darah. Darah yang
membercak di bagian dalam paha serta selangkangan Rani Pusparini. Darah yang
kemudian dijilati Rudi perlahan lahan dengan gerakan lidah yang lembut,membelai
lunak.Setelah bercak darah itu tidak lagi bersisa, Rudi menggeram pelan seranya
menaikkan kaki depanya yang kuat kokoh ke atas altar, menempatkannya di kiri kanan
pinggang Rani Pusparini. Raganya yang bawah kemudian ia rapatkan ke raga si gadis
***
EMPAT
Tarida membuka kelopak matanya perlahan lahan karena tidak melihat apa apa
kecuali kegelapan yang menghitam pekat. Kelopak mata ia kerjap kerjapkan.Lalu
gerakan kelopak matanya ia hentikan.
Ia memandang nyalang di sekitarnya.
Sama saja gelap gulita.
Tangannya lantas meraba raba, lantas mengetahui bahwa ia rebah di tempat tidur
besar dan empuk, hangat,pasti ia tidak sedang berbaring di kamar kostnya karena
tempat tidurnya di sana adalah sebuah ranjang kecil dan sederhana. Juga bukan di
kamar tidur yang ia tempati di rumah Maria karena tangannya sempat meraba kepala
tempat tidur yang terbuat dari besi ukir,bukan kayu jati.
Tarida mengeliat bangun.
Sekujur tubuhnya terasa lemas, dan kepalanya sedikit pening. Ia terpaksa harus
merebahkan diri kembali sambil berpikir pikir dimana kiranya ia berada, mengapa
suasana di sekitarnya selain gelap gulita juga hening. Teramat hening sebab yang
terdengar oleh telinga Tarida hanyalah desahan nafasnya sendiri. Setelah mencubit
pahanya keras keras dan yakin ia tidak sedang bermimpi. Tarida berkonsentrasi untuk
menyingkirkan pikiran yang kacau balau dan perasaan cemas yang diam diam mulai
mengerogoti.
***
***
LIMA
Kecuali menyangkut kematian orang yang dikasihi, Zulham tidak suka berlarut larut
dalam perasaan.
Roda kehidupan terus berjalan.
Zulham tidak mau tertinggal apalagi sampai tergilas, jika masih ada sesuatu upaya
yang dapat dilakukan. Dan sudah merupakan adat Zulham, bila ia ingin mengerjakan
sesuatu maka Zulham tidak suka menunda nunda.Tidak berapa lama setelah
meninggalkan rumah Rani Pusparini, Zulham sudah duduk di pojok salah satu rumah
makan menjelang pintu masuk jalan toll Ciawi.Ia pesan segelas kopi beserta snack lalu
melepas benang pengikat tutup amplop besar pemberian Esih atas perintah majikannya.
Di dalamnya ada sepucuk surat yang di tulis tangan oleh Rani Pusparini, sebuah
amplop lebih kecil yang menggembung berisi seikat uang kertas yang masih dilengkapi
label bank yang mengeluarkannya. Tercetak pula di label angka penunjuk satu juta
rupiah.Dahi Zulham berkerut melihat uang itu. Untuk sepersekian detik lamanya
Zulham merasa dirinya menjadi seorang gigolo, pemuas nafsu sex kaum wanita yang
bersedia membayar mahal. Dan itu membuat Zulham merasa terhina.Tetapi kemudian
teringat olehnya bahwa ikatan uang itu seperti ia kenal. Zulham juga tidak percaya
bahwa Rina Pusparini bermaksud merendahkan harkatnya.Uang itu cepat cepat
dimasukkan lagi ke amplop, lalu ia alihkan pikirannya pada dua buah dokumen tebal
yang terjilid rapi. Satu atas nama yayasan Tridharma yang seketika mengingatkan
***
ENAM
Tarida menunggu cukup lama, namun komunikasi telah terputus atau tepatnya
diputuskan oleh orang yang memiliki suara kharismatik itu. Tarida sudah mengulangi
pertanyaannya, siapa orang yang berbicara dengannya.
Tak ada tanggapan.
Juga tidak setelah ia memberitahu bahwa sebelumnya ia telah berusaha
membuka;pintu, tetapi pintu itu terkunci dari luar.
Tarida tidak segerah menyerah.
Ia coba sekali lagi.
"Kalau Anda memang ingin menghiburku, tolonglah nyalakan lampu kamar ini!"
Tak ada sahutan.
Sunyi lengang.
Pemintaannya tidak dikabulkan karena kamar tempatnya disekap tetap dalam
keadaan gelap gulita. Setelah menimbang nimbang sejenak, akhirnya Tarida
memutuskan untuk mengikuti saja orang misterius memukau itu.
Ia bangkit dari lantai.
Mencari pegangan pintu seraya membathin,
"Hiburan apa kiranya yang menungguku di luar sana?"
Pegangan pintu itu bergerak, lalu ia dorong ke depan.
Terbuka.
Dalam seketika.
[]
***
TUJUH
***
Setelah enam kali gagal, Zulham akhirnya mendapat reaksi mengembirakan dari
supir taksi ke tujuh yang ia tanyai.
"Hidup Bahagia? Tentu saja! Dengan tip meng-gembirakan dari pelanggan yang
sering kuantarkan kesana, tentu saja aku bisa menikmati hidup bahagia..."
Zulham memutuskan untuk meninggalkan saja mini-busnya di pangkalan setempat.
Setelah menyimpan amplop berisi uang milik Tenny di balik bajunya, ia
minta:diantarkan oleh supir taksi tersebut, dari siapa ia kemudian memperoleh
***
Parluhutan keluar dengan wajah gusar dari dalam mo-bilnya. Ia melangkah panjang
menuju taksi di depan,sambil menggeram,
"Apa-apaan..." lalu ia melihat Zul-ham keluar dari taksi.
"Bah. Kau, rupanya!"
Zulham memandang ke bangunan berlogo ular kobraitu sambil bertanya
keheran-heranan,
"Bagaimana An-da mengetahuinya, Kapten?"
Omelanlah yang ia terima.
***
DELAPAN
"Bangunlah..."
***
SEMBILAN
***
SEPULUH
***
SEBELAS
SEKUJUR tubuh Zulham terasa sakit-sakit. Matanyapun perih dan lelah. Ia tengah
menyandar dikursi un-tuk beristirahat sejenak ketika ia dibuat terkejut oleh bunyi
ketukan di pintu kamarnya.Terdengar suara bibinya dari luar pintu.
"Zul?"
"Aku masih hidup, Bi Ipah!"
Kembali lagi ke kamarnya, Zulham meneliti sekali lagi sejumlah catatan yang
dibuatnya. Rangkuman dari dokumen-dokumen yang yang telah ia pelajari sejak
DUA BELAS
***
Kisah itu diselang makan siang atas desakan Latifah.Namun kecuali untuk
menghidangkan penganan ring-an dan makan siang.
Latifah tetap memisahkan diri. Ia cukup bijaksana untuk mengetahui. Walau tanpa
dikatakan kapan ponakannya ingin dibiarkan sendirian.Nurmala, puterinya, sering
memisalkan dengan sindir-an.
"Lihat dahinya. Satu lipatan, boleh nimbrung. Dualipatan, jagalah tutur kata. Dan
tiga lipatan di dahi si Abang, minggat-lah...!"
Untuk menyingkirkan urusan dan perasaan sentimen-til, selesai makan siang Zulham
pun mengarahkan Esih kembali ke inti masalah. Katanya,
"Mula-mula datang tadi, Bi Esih bilang, Rani boleh jadi akan mengalami nasib
serupa dengan Tenny. Mengapa?"
Esih tampak mau menangis lagi, tetapi mampu menahan diri. Terbata-bata ia
menjelaskan,
"Sebelum ia me-ninggalkan rumah. Rani menyuruh aku dan Johan menghadap, kami
berdua dianjurkan menikah. Katanya lagi, rumahnya adalah rumah kami berdua
***
"Oom?"
Zulham tersentak.
Bangun dari masa lalunya yang menyakitkan.
"Oom sakit?"
Zulham menyeka keringat di dahinya, namun toh se-kujur tubuhnya tetap terasa
dingin, teramat dingin.
Sampai-sampai ia menggigil.
Dan suaranya lepas dari mulutnya pun suara gigilan,
"Aku..baik-baik saja, Bi Esih..."
"Tetapi..."
"Ada hal lainnya yang dapat atau Bi Esih ingin untuk peganganku?"
Zulham menukas.
Lalu mereka masih berbincang-bincang sekitar bebera-pa menit setelah mana Esih
pamit dan Zulham lang-sung menghambur ke kamarnya. Dibukanya dokumen Tenny
***
GAUNG suara riuh berisik membangunkan Tarida dari tidur yang resah dan sangat
melelahkan, ia dengar campur aduk suara orang berbincang, teriak memang-gil, canda
ria, tawa mengakak, cekikikan manja dan entah apa lagi. Mirip suasana di sebuah bar
yang dipa-dati oleh pengunjung.
Tarida menggeliat bangun dari lantai.
Lantai di mana sebelumnya ia berulangkali terjaga lantas tertukar lagi,masih terasa
dingin. Tetapi hawa sebeku es itu sudah hilang dari ruangan tempatnya disekap. Lalu,
mata Tarida yang nanar menangkap adanya bias cahaya.Menembus dari dinding kaca
yang sebelumnya ia lihat tertutup tirai. Dari sekian banyak lampu yang menyala terang
benderang pada ruangan di seberang dinding kaca pemisah.Dan tampaklah sebuah
ruangan besar dan luas, sebe-sar dan seluas sebuah lapangan basket.
Tidak tampak adanya meja.
Namun terlihat banjaran tempat duduk di Kiri kanan ruangan disusun bertingkat.
Makin kebelakang letaknya semakin tinggi. Semuanya memakai jok dan sandaran tebal
dan pasti empuk dan nyaman diduduki.Anehnya semua tempat duduk dibarisan kosong
melompong. Ratusan manusia yang ada di ruangan itu entah mengapa lebih suka
berdiri atau duduk sesukanya diasas kata Berkelompok-kelompok. dan sebagian
dianta-ranya berjalan kian kemari untuk pindah dan berga-bung dengan kelompok lain.
Tampak pula belasan anak-anak tanggung berpakaian rapi hilir mudik mengedarkan
minuman yang seketika membuat kerongkongan Tarida bagai tercekik. Belum setetes
air pun masuk me-lalui kerongkongannya semenjak ia diculik.
Entah su-dah berapa lama pula.
Tarida tidak tahu.
Ia tidak lagi memperhatikan waktu.
Tarida menggeliat lagi memulihkan tenaga dan semangatnya yang sudah hancur
***
EMPATBELAS
MEMANG betul, Zulham mendatangi alamat yang be-nar. Di mana ia berharap akan
bertemu dengan musuh lamanya. Lelaki misterius yang berlagak seperti nabi.Yang oleh
Rani Pusparini disebut-sebut, bukan lagi se-kedar berlagak tetapi malah sudah
menabikan dirinya sebagai utusan iblis.Dan seperti halnya Parluhutan, dalam diri
Zulham su-dah lama tertanam sebuah prinsip:
jika keadaan memaksa, modal nekad pun jadilah. Namun begitu Zulham
menyempatkan diri juga menyinggahi kantor polisi. Ia perlu seorang pendamping yang
dapat dipercaya sebagai teman sekaligus pelindung. Tetapi Parluhutan tidak ada
dikantornya karena ada tugas mendadak kelapangan. Tidak seorang pun yang dapat
memberi penjelasan kemana kapten itu pergi, dimana bisa dihubungi, kap-an akan
kembali. Parluhutan sendiri rupanya menjalankan aksi tutup mulut. Zulham
memperoleh kesan dari pembicaraannya di kantor polisi bahwa Parluhutan membawa
serta beberapa orang anak buah yang sudah terlatih dan berkemampuan tinggi.
"Seperti mau ke medan tempur saja."
Zulham sempat berseloroh.
Dan apa boleh buat, ia tinggalkan saja am-plop berisi catatan-catatan yang telah ia
buat dan janji diserahkan. Amplop itu ia masukkan catatan tambah-an, kemana ia akan
pergi dan untuk urusan apa. Ber-harap Parluhutan segera kembali ke kantor, kemudian
menyusul belakangan. Itulah modal kedua Zulham yang lebih parah dan modal nekad
modal angan-angan.Kemudian Zulham pun tiba di pintu gerbang keluar masuk
***
LIMA BELAS
***
Rani Pusparini tidak memenemui hambatan yang ber-arti untuk dapat menembus
penjagaan ketat di pintu gerbang masuk pemukiman elite Pantai Pasir Putih.Dari
beberapa kali pembicaraan dengan Tenny Puspa-sari sebelum saudara kembarnya itu
menghilang dari rumah, cukup banyak keterangan yang berhasil ia kumpulkan. Salah
satunya adalah liontin yang menjadi lambang kebanggan keluarga Tridharma,
pemiliknya sang-at terbiasa. Pengurus teras, pribadi pemilik perusahaan dengan siapa
Tridharma bernegosiasi dan anggota ke-hormatan. Relasi yang mempunyai pengaruh
luas diluar kalangan bisnis.Selebihnya konon pula berstatus pegawai rendahan,tak
lebih dari sekedar abdi. Yang kesetiaannya selain dibeli dengan kemewahan duniawi,
diperteguh oleh sumpah setia dibawah pengaruh gaib kepala keluarga.
Termasuk mereka yang bertugas di pos jaga pintu ger-bang atau penerima tamu di
pintu gedung pertemuan yang disebut ruang oval.Hambatan kecil yang harus ditangani
Rani Pusparini hanyalah menyangkut teman-teman terdekat dalam sektenya yang ikut
mendampingi.
Getaran itu berhawa panas, tetapi ia tidak perlu takut. Selama masih beradadi
dalam, hawa panas itu akan tetap menyesuaikan diri dengan suhu panas pada
tubuhnya.
***
ENAMBELAS
AZAB yang menyiksa tidak begitu terasa lagi setelah Zulham menyaksikan peristiwa
mencengangkan yang berlangsung tidak jauh dari tiang beton tempatnya di-ikat. Tema
horror masuk urutan ketiga film favoritnya setelah detektip dan spionase. Yang biasa ia
lihat dalam film-film horror itu, umumnya adalah perubah-an wujud seorang manusia
ke wujut hewan buas atau mahluk lainnya yang mendirikan bulu roma.Tetapi apa yang
sekarang ia saksikan didepan mata sendiri justru kebalikannya. Setelah perasaan
takjub-nya mereda perlahan-lahan, ia curahkan perhatian pada sosok tubuh yang
wanita yang tampak belum se-penuhnya sadar pada apa yang terjadi pada dirinya dan
lelaki yang satu lutut dengannya.
Ia amati wajah si wanita dengan terkejut. Selama beberapa saat ia menyangka telah
melihat Rani Pusparini. Hanya garis wa-jahnya tampak lebih lembut, lebih mendekati
keibuan.Baru satelah teringat bahwa sosok itu muncul dari wu-jut seekor ular
berkepala ganda dan ekornya pun ma-sih tersisa, Zulham sadar siapa wanita yang
Jelas, dia punya maksud-maksud tertentu. Zulham teringat apa yang dikatakan Rani
Pusparini,
"Maksud angkara murka. Memuaskan hasrat bejat, menjijikkan."
Andaikata Rani Pusparini sekarang ada disini dan me-lihat...
Atau memang sudah?
Zulham sudah akan menebar pandang ke sekitar un-tuk mencari kehadiran gadis
yang ia pikirkan sewaktu tiba-tiba ia dibuat miris oleh suara jerit tangis ngeri
ber-campur putus asa.Rupanya Tenny Puspasari sudah sepenuhnya sadar dan telah
melihat ke wujud dimana tubuhnya tegak bertumpu. Sekujur tubuh gadis itu gemetar
hebat, se-mentara wajah calon suaminya tampak dilanda teror.
Mereka lantas saling memeluk ketakutan.
Dan menggemalah suara lembut dari arah singgasana,
"Kuasai dirimu, anakku. Tenanglah, kau sudah pulang ke rumah."
Pengaruh suara jelas bukan kata-kata yang diucapkan,segera terlihat. Ratap tangis
Tenny Puspasari mereda perlahan-lahan. Tinggal isak tangis yang ditahan, nam-un
***
TUJUH BELAS
DELAPANBELAS
Kesalahan itu terasa kian nyata sewaktu ia mendengar suara ribut diseantero
ruangan. Campur aduknya seru-an, takjub, terkejut, jeritan panik dan juga tangis
keta-kutan. Kesemuanya itu sesungguhnyalah reaksi yang sangat manusiawi, bukan
dari reaksi ratusan manusia yang jiwa dan pikirannya telah kosong dan diganti ol-eh
jiwa dan pikiran yang sesuai dengan kehendak or-ang yang telah menjadikan mereka
semua sebagai hamba sahaya.
Tiba-tiba Rani Pusparini menyadari dimana letak kesa-lahan itu.Yakni ketika ia
mengamati dengan lebih seksama dan melihat bahwa sinar biru yang meliuk-liuk di
sekitar singgasana telah lenyap entah kemana. Merahnya bara api pada sepasang mata
di masing-masing kepala ular ganda yang menjadi sandaran lengan kursi
singgasanapun juga tidak terlihat lagi.
Walau hanya sekelipan saja.
Secara naluriah, Rani Pusparini berpaling ke belakang.
Tampak olehnya Tenny Puspasari dan calon suaminya sedang berdiri dengan
pandangan takjub di atas kaki mereka masing-masing. Bukan lagi di atas ekor ular
yang menyedihkan itu. Saudara kembarnya dan lelaki tampan di sebelahnya tampak
belum menyadari keadaan itu. Dan Rani tidak merasa perlu memberitahu apa-lagi
menyatakan kegembiraan dikarenakan sinar merah redup yang sebelumnya mengurung
ke dua orangitu, ikut pula menghilang.
Hanya dengan melihat, Rani Pusparini sudah mengerti.
Seketika itu juga ia menggeliat bangun dengan susah payah seraya berteriak
memperingatkan,
"Awas...!"
***
Dengan derasnya tubuh mahluk besar yang sepenuh-nya terbentuk dari sinar itu
mendarat di permukaan dinding kaca. Tepat di depan batang hidung Tarida.
Anehnya, tak terdengar suara benturan.
Juga tidak bu-nyi dinding kaca yang meledak, pecah. Apa yang terdengar adalah
bunyi meleleh dan kepulan asap tipis.
Dinding kaca tampak meleleh, lantas menganga terbuka.
Sosok mahluk yang sepersekian detik tampak seperti menempel di bagian luar
dinding kaca melotot jatuh kelantai.
Sesaat mahluk itu rebah terkulai.
Saat berikutnya, tubuh tinggi besar dengan wujutnya yang menyeramkan itu
merangkak bangun.
***
SEMBILANBELAS
ATAS permintaan Bi Esih dan disetujui pula oleh Johan, Cottage dibongkar habis.
Dan di bekas cottage itulah dimakamkan Rani Pusparini beserta saudara kembarnya.
Tenny Puspasari. Kemudian dilakukan upaca-ra kecil oleh bekas para pengikut
(KOLEKTOR E-BOOK)