Anda di halaman 1dari 158

-- Halaman 1 Kolektor E-Book --

Kolektor E-Book

Tarian Iblis
(Novel ini lanjutan Misteri Anak Anak Iblis)
Karya Abdullah Harahap
Ocr by Yoza Upk
Edit teks : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 31 Agustus 2018,Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan
Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya !!!

***

TARIAN IBLIS
Novel Karya : Abdullah Harahap
Lukisan Cover : Fan Sardy
Diterbitkan oleh: BINTANG USAHA JAYA Surabaya

***

SATU

-- Halaman 2 Kolektor E-Book --


Nafsu amarah menghasut Zulham untuk menghajar saja pintu gerbang warna oranye
yang tegak menantang di depannya. Masukkan persnelling ke gigi satu,injak pedal gas
dalam-dalam, lalu naikkan kopling dengan satu hentakan. Lonjakan keras mobil
Zulham ak-an merobohkan pintu gerbang yang pongah itu. Dan unsur kejutan yang ia
ciptakan akan membuyarkan konsentrasi gerombolan pemuja setan di dalam
sana,sekaligus mencegah niat mereka untuk menjadikan Ta-rida sebagai korban sebuah
upacara berdarah.
Tetapi sia-sia akal sehat berhasil membujuk Zulham agar tetap tenang dan bertindak
hati-hati. Belum tentu gerombolan itu sedang berkumpul di dalam sana, dan lebih sial
lagi Tarida mungkin mereka sekap di tempat lain. Zulham datang ke tempat ini hanya
untuk menca-ri jawab atas sebuah pertanyaan yang membingung-kan,
"Mengapa harus Tarida?"
Rani Pusparini mungkin tidak bersedia menjawab. Tetapi setidak-tidaknya
pertanyaan itu ada gunanya. Agar Rani dan teman-temannya yang misterius itu
menyadari bahwa Zulham tahu siapa yang mendalangi penculi-kan Tarida.
Agar lebih mengesankan.
Zulham sekalian akan memberitahu langkah-langkah apa saja yang te-lah
ditempuhnya sebelum mendatangi Rani Pusparini.Bahwa pihak berwajib atau
sekurang-kurangnya Kap-ten Parluhutan Siagian dan koneksi Zulham di MabesPolri
menaruh minat khusus terhadap kasus Tarida bahkan pemberitahuan itu antara sesama
mereka.
Lalu siapa tahu, mereka kemudian akan melepaskan Tarida,tak perduli bagaimana
caranya!
Zulham pun turun dari mobil, berjalan menuju pintu gerbang. Melalui lubang persegi
di daun pintu gerbang besi itu, dia memijit bell dengan keyakinan penuh bah-wa

-- Halaman 3 Kolektor E-Book --


usahanya akan berhasil. Sambil menunggu, ia menimbang-nimbang kenyataan yang
mungkin terpaksa ia harus hadapi. Parluhutan dengan tegas sudah mengingatkan,
"Kita jangan bertindak sebelum ada bukti-bukti yang kuat!".
Zulham tidak mau mengalah. Jawabnya,
"Aku lebih mengutamakan keselamatan Tarida!"
Koneksinya di Mabes Polri menguatkan,
"Zulham tahu apa yang harus ia lakukan. Paling tidak, perlu diambil tindakan
pencegahan. Sebelum peristiwa-peristiwa mengerikan yang telah kalian ceritakan
padaku, terulang kembali."
Zulham pun teringat bagaimana mereka bertiga bersi-lang pendapat mengenai satu
pertanyaan,
mengapa harus Tarida?
Koneksi Zulham di Mabes Polri itu berpen-dapat,
"Tarida mengetahui sesuatu!".
Tetapi Parluhutan lebih dulu sudah mengorek semua keterangan yang diperlukan
dari Asep maupun isteri-nya, Sumirah.
Ia malah setengah menginterogasi suami isteri pelayan itu. Memeras semua ingatan
mereka ten-tang apa yang mereka ketahui mengenai Tarida, sejauh mana hubungan
Tarida dengan Maria.
Dan kesimpul-an Parluhutan adalah,
"Tampaknya Tarida bahkan tidak tahu apa-apa."
Zulham punya kesimpulan sendiri,
"Jangan lupa, kita berhadapan dengan para pemuja setan. Menurutku,Tarida
diperlukan untuk suatu pengorbanan berdarah."
Pendapat Zulham itu justru mengembalikan mereka bertiga pada pertanyaan semula.
Jika diperlukan sebu-ah pengorbanan berdarah, mengapa harus Tarida?
Pertanyaan yang benar-benar sulit untuk dijawab. Tidak semudah menjawab

-- Halaman 4 Kolektor E-Book --


pertanyaan lain, ketika ia tahu dirinya diculik, mengapa Tarida tidak berusaha
melo-loskan diri?
Karena menurut Asep, ketika ia keluar dari pintu mobil ia yakin betul pintu mobil
tidak dalam ke-adaan terkunci. Lalu lintas di luar pintu gerbang rum-ah majikannya
pun dalam keadaan ramai. Si penculik tidak mungkin tancap gas begitu saja.
"Keluar dari pintu gerbang, ia harus membelok dan tentunya dengan:kecepatan
lambat pula. Jadi mestinya Tarida punya kesempatan untuk melompat keluar dari
mobil.Kesimpulan Parluhutan,
"Kami telah memeriksa lokasi peristiwa. Ada satu dua saksi mata, yang ternyata
tidak menaruh kecurigaan apa-apa. Mobil itu berlalu dengan santai-santai saja. Tidak
tampak sesuatu yang mencurigakan. Tidak ada penumpang yang ribut atau berteriak
minta tolong. Berarti, Tarida telah dibujuk, di-kelabui, atau lebih masuk akal lagi,
sudah keburu di-bius. Dengan Chloroform, itu sudah pasti!"
Tarida lantas tidak berdaya.
Tarida yang malang, pikir Zulham, teringat pada keluhan bibinya, Latifah,
"Aku telah lepas omong mengenai hal-hal tertentu tentang dirimu dan Maria. Dan itu
membuatnya tampak frustrasi.Sudah frustrasi, malah akan dikorbankan pula.Oleh para
pemuja setan laknat itu!
Kemarahan Zulham bangkit kembali.
Dan ia sudah bersiap-siap untuk menggedor, ketika pintu gerbang itu berderit
terbuka, selebar-lebarnya. Lantas Johan mun-cul dengan sebuah pertanyaaan
mengejutkan,
"Masuk sajalah. Bung sudah ditunggu dari tadi oleh Non Rani!"
Padahal Zulham tadinya hanya bermodalkan nekad.Untung-untungan dapat dapat
bertemu Rani Puspari-ni, semoga pula tengah berkumpul dengan teman-temannya yang
misterius itu. Zulham sengaja bermaksud surprise. Ingin membuat kejutan, sehingga
tidak mem-beritahu kedatangannya lebih dulu. Dan Johan tenang-tenang saja berkata,

-- Halaman 5 Kolektor E-Book --


kehadiran Zulham malah sudah ditunggu.Situasi terbalik yang dihadapinya, membuat
kepercayaan diri Zulham melemah. Lesu dan nyaris patah sema-ngat, ia naik lagi ke
mobilnya dan memacunya melewati pintu gerbang, tanpa ada gairah untuk bertanya
pa-da Johan, bagaimana Rani Pusparini sampai tahu ia akan datang. Apapun jawaban
Johan hasilnya toh sa-ma saja, Zulhamlah yang mendapat kejutan lebih dulu,bukan
gadis itu.
Seperti halnya kedatangan Zulham pertamakali di ru-mah itu, Esih sudah menanti di
teras depan. Bedanya kali ini pelayan itu tidak didampingi oleh Rudi, mahluk yang
mengerikan itu. Zulham pun tak lagi perduli apa-kah mahluk itu diam-diam menunggu
di balik pintu lalu tiba-tiba menerkam dengan buasnya. Perhatiannya lebih tertuju pada
suasana tenang dan sepi di sekitar mau pun di dalam rumah. Tidak ada kegiatan
misteri-us seperti yang ia lihat pada malam sebelumnya.
Dan entah mengapa, tiba-tiba firasatnya mengatakan bah-wa jika ia bermaksud
menyelamatkan Tarida, maka ia telah mendatangi alamat yang salah.Kejutan lain
diterima Zulham setelah ia turun dari mo-bil dan berjalan naik ke teras. Esih
menyambutnya de-ngan sebuah permintaan,
"sebelum Tuan saya antar menemui majikan saya, boleh saya minta sehelai kartu
nama?"
Tak pelak lagi, Zulham bertanya jengkel,
"Untuk apa?"
Dingin dan sabar perempuan itu menyahuti,
" Ada ba-nyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Tuan. Te-tapi tidak sekarang,
dan tidak di sekitar rumah."
Mendengar itu semangat Zulham kembali bangkit. Esih mengetahui sesuatu dan ingin
membicarakanya. Di ba-wah empat mata dengan Zulham. Tidak di rumah ini,berarti
sesuatu itu menyangkut kehidupan majikan Es-ih.
Mengapa tidak, pikirnya seraya mengeluarkan, sehelai kartu namanya dari dompet

-- Halaman 6 Kolektor E-Book --


yang, ia serahkan ke tangan Esih. Akan banyak hal rahasia yang kelak dapat ia korek
dari mulut perempuan itu, pikirnya lagi seraya memperhatikan bagaimana Esih dengan
cepat dan tangkas langsung saja menyelipkan kartu nama yang ia terima ke balik
kutangnya pertanda niat dan mak-sudnya memang sungguh-sungguh.
"Mari saya tunjukkan jalannya." perempuan itu mengajak masuk ke dalam rumah.
Kemudian meneruskan de-ngan suara rendah sebagai permulaan,
"Sudilah kira-nya Tuan memenuhi satu lagi permintaan saya."
"Katakan saja."
Zulham ikut latah merendahkan suara-nya. Sambil terheran-heran karena melewati
saja kamar tamu bahkan kemudian kamar duduk yang luas dan megah. Sekilas ia
melihat sebuah bar yang mewah, lalu meja pojok di atas mana tampak sebuah foto
besar dal-am bingkai indah, dikelilingi kalungan bunga dengan sebuah lilin menyala di
depannya.
Ingatan Zulham dengan cepat memastikan, itu adalah foto Tenny puspa-sari. Dan
kalungan bunga serta lilin menyala jelas me-lambangkan pertanda berkabung.
Diam-diam Zulham mulai merasakan suasana mistis di sekitarnya.
"Bimbing dan bantulah majikan saya."
Esih barkata serius.
"Dari apa?"
Zulham menyahuti, setengah terkejut.
"Nanti tuan akan tahu sendiri."
Mereka memasuki koridor, melewati ruangan-ruangan lainnya di sepanjang koridor
itu, yang tidak lagi me-naruh perhatian Zulham. Ke mana ia akan dibawa, itu
perhatiannya yang pertama. Perhatiannya yang kedua,ia utarakan secara lisan,
"Mengapa harus aku, Bi Esih?"
"Karena dua hal." jawab Esih dengan suara semakin rendah, malah setengah
berbisik.

-- Halaman 7 Kolektor E-Book --


"Pertama hanya Tuan satu-satunya orang yang diterima berkunjung oleh ma-jikan
saya, tanpa janji temu lebih dulu. Hal kedua, ka-rena saat ini tuan ditunggu majikan
saya di tempat yang tidak boleh dimasuki sembarang orang. Konon pula orang yang
baru dikenal, dan bukan pada Anggota Keluarga sekte yang dianutnya!"
Semangat Zulham bertambah mekar jadi dugaannya se-lama ini mengenai Rani
Pusparini serta teman-temannya yang misterius itu tidak keliru adanya, jangan-jangan
laki-laki misterius dengan lagak seperti nabi itu ter-masuk anggota keluarga atau bukan
tidak mustahil, di-alah justru yang bertindak sebagai kepala keluarga.
Dugaan itu mau tidak mau mendebarkan jantung Zul-ham. Ia begitu bernafsu untuk
menayakan kebenaran dugaannya pada Esih dengan pernyataan tadi, tidak sekarang
dan tidak di rumah ini!
Untuk menenangkan jantungnya, Zulham iseng-iseng berbisik,
" Aku tidak melihat atau mendengar suara Rudi!"
Esih berhenti tiba-tiba. Zulham yang berjalan di bela-kangnya hampir saja menubruk
perampuan itu. Ia me-nahan langkah, sambil mengambil sikap waspada.Jangan-jangan
mahluk yang ia tanyakanlah yang jus-tru telah menghentikan Esih dengan tiba-tiba.
Ternyata bukan.
Mereka berdiri di teras belakang darimana tampak kebun dan taman yang luas
mengham-par. Esih menunjuk ke jalan setapak menuju sebuah cottage besar dan
arsitekturnya tampak lebih indah da-lam jilatan sinar rembulan.
"Tuan ditunggu di dalam sana. Silahkan..."
Sesaat, Zulham bimbang. Esih lantas menambahkan dengan senyum,
"Lupakan mengenai Rudi. Majikan telah mengurungnya di kamar tersendiri agar
pertemuan Tuan dengannya tidak terganggu."
Zulham pun melangkahkan kaki.Dengan jantung semakin berdebar. Di depan cottage
langkahnya sempat menegun, mengawasi dua patung marmer yang mengawal di kiri
kanan pintu, dan masing-masingnya dilengkapi lilin besar yang sudah dinyalakan.

-- Halaman 8 Kolektor E-Book --


Tirai-tirai jendela cottage tampak menutup untuk menghalangi pemadangan dari luar.
Di balik tirai itu keadaannya tampak tenang dan remang-remang, jelas sinar
samar-samar yang dilihat Zulham bu-kanlah berasal dari lampu listrik, melainkan dari
kelap-kelip lampu lilin pula.
Apakah yang nanti yang dihadapi Zulham masih tetap seorang wanita muda
berwajah cantik jelita dengan so-sok tubuh seronok menggairahkan ataukah telah
beru-bah wujut seperti nenek-nenek sihir atau barang kali seperti mahluk-mahluk
mengerikan yang sering dilihat Zulham dalam film-film horor atau pernah ia baca
dalam novel-novel misteri?
Jangan lupa pada jawab Esih atas pertanyaannya tadi.
" Nanti Tuan akan tahu sendiri."
Zulham menelan ludah.
Maju satu dua langkah.
Lantas dengan tangan agak gemetar, pelan-pelan ia mengetuk pintu. Tak ada
sahut-an apa-apa dari dalam. Zulham ragu-ragu sejenak, ke-mudian membulatkan
tekad, sebelum ke rumah ini ia sudah menghadapi begitu banyak kejutan dan
peristiwa-peristiwa mengerikan. Mungkin ia akan menghadapi sesuatu yang lebih dari
semua itu. Ia siap dan sudah terlambat untuk surut.Maka dengan jantung memukul
semakin keras, pintupun dia buka perlahan-lahan.[]
***

DUA

Yang pertama-tama dilihat Zulham di keremangan ca-haya lilin yang menerangi


satu-satunya ruangan dalam cottage itu, adalah punggung seseorang perempuan
bergaun hitam, berlutut di ujung sebuah altar. Karena perempuan itu membelakangi
pintu masuk, dengan sendirinya Zulham tidak dapat memastikan apakah yang ia lihat

-- Halaman 9 Kolektor E-Book --


itu sosok Rani Pusparini, atau bukan.
Te-tapi pastilah dia itu bukan seorang nenek sihir. Terbukti dari sepasang lengannya
yang terjulur ke atas, menyatukan dua telapak tangan di mana terjepit sebatang lilin
menyala. Lengan itu kenyal, mulus, jari jemari yang menjepit lilin pun tampak lentik
dan halus.Namun begitu Zulham patut merasa cemas, selain nyala lilin di antara
tangan si perempuan, nyala belasan lilin-lilinnya yang diletakkan disekitar ujung altar
yang berlawanan menerangi sebuah sosok lain yang tampak sedang disembah oleh si
perempuan. Sosok yang tegak membeku itu memperlihatkan dua wujut makhluk yang
kontras, yang menyatu mulai dari kepala, pung-gung, sampai kaki.
Sosok seekor hewan menyerupai anjing entah jenis apa dan sosok seorang lelaki
berwa-jah tampan dan lembut. Perasaan cemas Zulham baru mereda setelah menyadari
bahwa sosok berwujut gan-da itu ternyata sebuah berhala terbuat dari batu pualam,
sama halnya dengan altar panjang di atas mana siperempuan masih tetap berlutut
tanpa bergerak-gerak.Sewaktu Zulham masih menimbang-nimbang apakah ia akan
terus masuk atau kembali saja ke rumah induk,terdengarlah suara rendah dan lunak
yang sudah ia kenal.
Suara Rani pusparini,
"Masuklah dan tutup pintunya, bung Zulham. Sebelum dia lebih banyak melihat dan
mendengar."
"Dia?" desah Zulham, tersedak.
Tanpa bergerak di tempatnya, gadis itu memberitahu,
"Musuh kita bersama."
Pernyataan itu sudah cukup untuk mendorong lang-kah Zulham masuk ke dalam,
setelah mana ia kemudi-an menutup pintu. Ia menangkap dua hal dari pernya-taan si
gadis.
Pertama, kebenaran dari firasatnya bah-wa ia tidak akan menemukan Tarida di
tempat ini. Bahkan tidak mustahil, Rani pusparini sama sekali tidak tahu menahu

-- Halaman 10 Kolektor E-Book --


mengenai diculiknya gadis itu.
Hal kedua,lebih penting dari urusan Tarida. Zulham sadar betul bahwa musuh yang
harus dihadapinya bukanlah mu-suh sembarangan. Ia belum tahu bagaimana harus
me-nempurnya, kecuali barang kali lewat adu phisik.
Tetapi melawan kekuatan gaibnya yang bukan hanya dahsyat namun juga kejam dan
biadab?
Bahkan Mama Eyang pun tidak sanggup menghadapinya. Konon pu-la Zulham!
Jelas Zulham memerlukan seorang pendamping yang ilmu gaibnya melebihi apa
yang dimiliki Mama Eyang,dan entah mengapa kekuatan pendamping itu diyakini
Zulham telah ia temukan kini. Kekuatan gaib yang ter-sembunyi di balik sosok tubuh
perempuan yang berlu-tut membelakanginya.
Sosok bergaun hitam, seorang penyembah berhala yang seketika mengingatkan apa
yang dikatakan oleh Mama Eyang,
"Kau dirangkul oleh kabut hitam...."
Kabut hitam yang dimaksud Mama Eyang tentulah Ra-ni pusparini, yang kini tampak
mulai bergerak. Masih tetap dalam posisi berlutut diujung altar, sosok tubuh dibalik
gaun hitam itu meliuk pelan mula mula ke kiri lalu ke kanan, dilakukan berulang ulang
dengan gerakan tenang dan teratur seperti seekor ular sedang menari dengan
liukan-liukan indah dari perpaduan gerak pinggang yang berlawanan arah dengan
gerakan sepasang lengan. Nyala api lilin hitam ditangannya ikut pula meliuk-liuk
dengan kelipan ritmis dan sekaligus menebarkan suasana mistis yang kian nyata
dirasakan oleh Zulham.
Tontonan gratis itu disaksikan Zulham dengan mata terpesona, sampai akhirnya
tarian ular itu berhenti de-ngan didahului tiga kali gerakan membungkuk lurus
kekanan. Setelah itu, dengan lilin tetap terjepit diantara kedua telapak tangan. Rani
Pusparini bergerak turun dari altar. Dengan bibir kumat kamit menggumamkan
mantra-mantra yang tidak begitu jelas di telinga Zul-ham, gadis itu berjalan ke sudut

-- Halaman 11 Kolektor E-Book --


ruangan di sebelah kiri pintu masuk.
Lantas membungkuk untuk menyalakan sebuah lilin hitam besar yang rupanya sudah
tersedia sebelumnya di sana, dan tak sempat diperhatikan oleh Zulham.
Ketika nyala lilin itu membesar, sinarnya seketika menerangi lebih jelas sosok tubuh
Rani Pusparini, dan seketi-ka membuat Zulham terpana. Barulah saat itu ia menyadari
bahwa si gadis ternyata memakai gaun hitam yang bukan hanya tipis, melainkan juga
tembus pan-dang. Tubuh di balik gaun itu membayang samar-samar. Dan jelas tanpa
pelapis tambahan karena tampak payudara gadis itu menggantung indah ketika
mem-bungkuk, lantas berayun lebih indah lagi sewaktu Rani Pusparini bangkit untuk
berpindah ke dekat jendela,menyalakan lilin kedua di atas lantai.
Tanpa bisa ditahan lagi, birahi Zulham terlonjak keras.Pipinya memerah sementara
jantung berdegap degup tak teratur. Untuk menahan gejolak nafsu yang diam-diam
membangkitkan kelelakiannya, Zulham berpaling ke arah lain. Memandangi patung
pualam berwujut ganda di kepala altar. Dengan susah payah ia pusat-kan pikiranya
pada berhala itu.
Ia bayangkan tentulah memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk
membuatnya. Si pemahat, selain memiliki imajinasi me-nakjubkan, pastilah memahami
betul apa makna dari pahatannya. Suatu paduan nafsu hewani atau angka-ra murka
dengan kelembutan yang mungkin diartikan sebagai cinta kasih.Perpaduan yang
kontras itu mengingatkan Zulham pa-da sosok seseorang yang seakan terus bercokol
dalam pikirannya, melekat seperti lintah. Orang yang oleh Ra-ni Pusparini barusan tadi
disebut sebagai musuh kita bersama.
Bayangan lelaki misterius itu memaksa Zul-ham untuk berpaling memperhatikan
Rani Pusparini,yang telah berpindah ke sudut lain untuk menyalakan lilin ketiga.
Lagi-lagi, sebuah lilin hitam. Seraya berusa-ha menghindari pandangannya dari
bayangan samar-samar di balik gaun hitam si gadis, Zulham menggu-mamkan apa
yang semenjak tadi mengganggu pikiran-nya.

-- Halaman 12 Kolektor E-Book --


"Jadi.. kau mengenal bangsat sialan yang berlagak seperti nabi itu, Nona Rani?"
"Dia bukan lagi sekedar berlagak, bung Zulham!" sahut Rani Pusparini dengan nada
serius sambil berpindah ke belakang patung. Membungkuk di sana, pasti untuk
menyalakan sebuah lagi lilin hitam yang tidak terlihat dari tempat Zulham berdiri.
"Dia malah telah menabi-kan diri. Sebagai utusan iblis!"
Zulham tercengang.
"Sebagai...apa?"
"Utusan iblis, Bung Zulham!" gadis itu menegaskan tanpa melihat pada lawan
bicaranya.
Ia terus saja berpin-dah ke sudut lain untuk menyalakan lilin kelima.
"Dan kukira tak ada salahnya aku menasihatimu.." lanjutnya dengan nada lebih
serius.
"Tidak baik meremehkan dia.Karena aku tahu betul, kau sendiri tentunya telah
me-nyaksikan bencana-bencana mengerikan yang sengaja ia demonstrasikan di
hadapanmu. Untuk membukti-kan siapa dirinya sebenarnya. Tanpa perduli apakah
bencana yang ia timbulkan akan memakan korban nyawa orang-orang tak berdosa
yang tidak berurusan apa-apa dengannya!"
Zulham kini terdiam.
Semuanya semakin jelas kini. Penusukan yang gagal terhadap dirinya, bis antar kota
yang menabrak pantat truk, gedung yang berantakan di dalam satu blok percetakan,
dan terakhir sosok hangus mengeriput salah seorang pasien Mama Eyang, pasi-en lain
yang mendadak buta total, sementara Mama Eyang sendiri hanya tinggal tulang
belulang!
"Bagaimana kau mengetahui semua itu?" desah Zul-ham, tersedak.
Rani Pusparini bangkit setelah menyalakan lilin keenam lalu berpindah pada lilin
ketujuh di sudut sebe-lah kanan pintu.
"Alam gaib, Bung Zulham. Alam gaiblah yang me-nyampaikannya padaku."

-- Halaman 13 Kolektor E-Book --


Ia masih belum juga memandang ke arah Zulham, seakan menghindari
sesuatu.Terdengar lagi ia berkomat kamit ketika ia kemudian menyalakan lilin ketujuh.
Lalu,
"Melalui cara itu pula,aku tahu betul, kau telah gagal menyelamatkan wanita malang
itu, tengah malam tadi..."
"Maria..."
"Hem. Jadi namanya, Maria."
Rani Pusparini berdesah tanpa makna apa-apa. Ia bergerak ke belakang Zulham
membungkuk di sana untuk meletakkan lilin hitam yang semenjak tadi ia pegang dan
dijadikan sebagai sumber nyala dari tujuh lilin hitam lainnya. Setelah ia berdiri tegak
di sebelah Zulham, seraya menarik nafas lega.
"Selesai sudah..."
"Apa?"
"Aku telah menutup pintu di delapan penjuru angin.Dengan demikian, terputuslah
sudah komunikasi ke dalam dan ke luar dari ruangan ini. Melalui kekuatan roh jahat
terkutuk yang kau bawa masuk bersama dirimu."
Zulham mengawasi wajah jelita itu dengan terheran-heran.
"Maksudmu..."
"Ini!"
Rani Pusparini mendadak sudah tegak di depan Zulham, merangkulkan kedua lengan
kepundak si pe-muda yang masih terbengong-bengong itu. Tubuh me-reka seketika
menyatu rapat. Kelembutan dan kehangatan tubuh gadis itu dalam sekejap telah
menimbulkan bara api di sekujur tubuh Zulham. Mata mereka bera-du untuk pertama
kali semenjak Zulham memasuki cottage.
Gadis itu tersenyum samar-samar, mendekat-kan bibirnya ke bibir Zulham yang tidak
kuasa untuk mengelak.Seperti malam sebelumnya, ciuman itu berlangsung singkat saja.
Namun telah melonjakkan kelelakian Zul-ham sebegitu keras sehingga ketika ciuman itu

-- Halaman 14 Kolektor E-Book --


berakhir lutut Zulham serasa goyah.
Ia masih terpesona sebelum akhirnya menyadari bahwa Rani Pusparini dengan
ce-pat sudah menjauh sambil menggenggam sesuatu di tangannya. Kalung dengan
liontin berlambang ular ke-pala ganda yang sebelumnya melingkari leher Zulham.
Dan rupanya diam-diam telah dicopot Rani Pusparini selagi mereka berciuman
tadi.Tanpa membuang tempo, gadis itu membawa benda tersebut kebelakang patung,
dan kemudian meletakkannya di lantai, di antara belasan lilin warna-warni yang
mengelilingi kaki patung.
"Lihatlah kemari, Bung Zulham!"
Zulham mendekat seraya berjuang keras menekan naf-su birahinya. Kemudian ia
melihat apa yang dimaksud oleh Rani Pusparini.Dari lambang ular berkepala ganda
pada liontin yang diletakkan gadis itu di lantai, muncul perlahan-lahan dua larik
cahaya merah redup tetapi dengan sinar ta-jam menyilaukan mata. Sepasang garis
merah itu ke-mudian menebar ke sekitar liontin, membuat lantai dibawahnya tampak
seperti menyala merah.
Melihat itu Zulham nyaris terlonjak mundur karena seketika teringat apa yang ia
saksikan di rumah Mama Eyang, serta akibat yang ditimbulkan oleh sinar merah redup
tetapi tajam itu. Namun ia terpaksa menahan diri karena merasa malu setelah melihat
Rani Pusparini tampak tenang-tenang saja. Mana keingin tahuannya mendesak pula
begitu kuat.Takut-takut, ia melihat cahaya merah redup itu terus menebar semakin
lebar, lalu mendadak berhenti mene-gun sewaktu mendekati batang-batang lilin yang
me-ngelilinginya. Zulham menatap takjub, dan tanpa sad-ar menggumamkan
keheranannya dengan bertanya pada si gadis.
"Mengapa ia seperti takut pada batang-batang lilin di sekitarnya?"
Rani Pusparini menyahuti pelan dan datar.
"Bukan lilinnya Bung Zulham. Tetapi nyala apinya. Seperti kau pasti tahu, iblis
tercipta dari api. Oleh karenanya, si Penghujat yang menamakan dirinya utusan sang

-- Halaman 15 Kolektor E-Book --


iblis tidak berani mengusik apalagi melangkahinya. Kita ak-an tetap aman Bung
Zulham, selama kita berada diluar lingkaran nyala api lilin."
Kejadian berikutnya lebih menakjubkan lagi.Setelah berhenti menegun sejenak,
tebaran cahaya me-rah itu bergerak surut Mundur ke arah berlawanan,mendekati kaki
patung di kepala altar. Diam lagi seje-nak, cahaya merah itu kemudian membelah dua
lalu bergerak maju dan semakin panjang saja sewaktu sepasang cahaya merah
berbentuk seperti lengan itu mera-yap naik ke atas. Ujung masing-masing lengan merah
itu lambat laun membelah dua, untuk kemudian mem-bentuk jari jemari.Jari jemari di
lengan sebelah kiri meraba-raba sosok pa-tung berwujut manusia, sementara yang
kanan meraba sosok patung yang berwujut hewan. Diraba bagian de-mi bagian seakan
meneliti sambil terus saja naik ke atas sampai akhirnya berhenti di masing-masing
wajah pa-tung. Cahaya merah berbentuk telapak tangan dan jari jemari itu kemudian
bergerak lagi, meraba, lalu mengu-sap lembut di masing-masing wajah ganda pada
berhala dan pualam itu.
"Apa yang dilakukannya?" bisik Zolham, ingin tahu.
Tanpa perubahan emosi di wajah maupun suaranya,Rani Pusparini menjelaskan.
"Tampaknya Si penghujat merasa puas dengan apa yang dirabanya. Kelembutan dan
cinta kasih pada bagian patung berwujut manusia ia rasakan sebagai citra dirinya.
Citra yang ia tampil-kan di hadapan para pengikutnya. Citra kharismatik yang
menuntut kepatuhan, kesetiaan, dan pengabdian mutlak."
"Dan, wujut hewani?"
"Itulah dirinya yang sebenarnya. Angkara murka!"
Ra-ni Pusparini mendengus dengan campuran nada sinis serta perasaan muak.
"Oh!"
Zulham manggut-manggut meski tidak memaha-mi keseluruhan penjelasan si gadis.
Tetapi setidak-tidaknya ia telah merasakan gambaran itu, dalam dua kali pertemuannya
dengan orang yang disebut Rani seba-gai si penghujat iblis. Sembari manggut-manggut

-- Halaman 16 Kolektor E-Book --


deng-an mata tak berkedip, ia terus mengamat-amati cahaya merah yang membentuk
lengan dan jari jemari itu ke-mudian bergerak lagi, turun perlahan-lahan ke
lantai.Menyatu kembali, lantas bergerak surut dengan bentuk semakin mengecil.
Sampai kembali tampak tak lebih dari dua larik cahaya yang akhirnya menghilang
le-nyap di masing-masing lambang kepala ular pada lion-tin. Zulham menunggu
sebentar dengan jantung masih berdebar, namun tidak terjadi suatu apa pun lagi.
Rani Pusparini menarik nafas lega. Katanya,
"Andaikata aku tidak lebih dulu menutup arus komunikasi di dela-pan penjuru angin,
situasinya akan berbeda. Si penghujat akan mengetahui bahwa ia telah dikelabui. Jika
itu yang terjadi, aku tidak yakin apakah kita berdua akan sanggup menghadapi bencana
mengerikan yang mungkin akan terjadi."
Zulham mengawasi wajah si gadis dengan kagum. Ka-gum pada kemampuan ilmu
gaibnya dan diam-diam sekaligus kagum pada kecantikan wajahnya yang tam-pak lebih
alami tanpa polesan kosmetik.
"Bagaimana kau mengetahui semua hal-hal yang menakjubkan itu. Nona Rani?"
Gadis itu menarik nafas panjang dengan wajah beru-bah gundah.
"Dengan bantuan roh saudara kembarku.Tenny Puspasari."
"Oh..."
"Beberapa waktu setelah Tenny meninggalkan rumah ini terakhir kali, rohnya
tiba-tiba muncul sewaktu aku menghadiri sebuah jamuan makan malam."
Rani Pus-parini menjelaskan.
"Buat aku, pemunculan rohnya adalah sebagai suatu pertanda bahwa saudara
kembarku itu telah mengalami bencana mengerikan, entah dimana. Pertanda itu sempat
membuatku shock. Tetapi selama masa berkabung, aku selalu mengusahakan
ber-hubungan dengan roh Tenny yang bergentayangan.Rohnyalah yang memberitahu
aku mengenai apa yang telah terjadi pada dirinya. Dan bagaimana caranya aku
menolongnya, jika mungkin membawanya pulang kembali ke rumah dalam keadaan

-- Halaman 17 Kolektor E-Book --


selamat."
Seraya mengeluh dan dengan wajah memperlihatkan duka cita yang dalam, gadis itu
bangkit perlahan-lahan dan berjalan lunglai meninggalkan lingkaran lilin disekitar
kaki berhala, lalu terduduk lesu di atas altar. Si-nar lilin yang menerangi dari sekitar
ruangan memper-lihatkan getaran samar-samar pada tubuh di balik ga-un hitamnya
yang tipis dan tembus pandang itu. Zul-ham ikut bangkit, lalu duduk di sebelah gadis itu
sam-bil berusaha menghindari pandangannya dari bayang-an payudara si gadis.
Terutama, menghindari keingintahuan yang lebih memalukan lagi, untuk memastikan
apakah gadis itu pun sama sekali tidak memakai ce-lana dalam di balik
gaunnya.Namun demikian, birahi Zulham sudah bangkit lagi perlahan-lahan tanpa
mampu ia cegah. Ia berjuang ke-ras menguasai lonjakan birahi itu dengan memusatkan
konsentrasinya pada apa pun yang akan dituturkan oleh Rani Pusparini.
"Atas kehendak Yang Maha Pencipta, Bung Zulham.Secara kebetulan liontin terkutuk
milik saudara kembarku itu jatuh ke tanganmu. Kau telah begitu baik deng-an berusaha
mengantarkan barang milik Tenny ke ala-mat kami. Tanpa kau sadari, niat baikmu
itulah justru yang akan membantuku menolong saudara kembar-ku." diam sejenak
untuk menekan perasan berduka,gadis itu meneruskan lagi.
"Aku sangat berterima kasih untuk niat baikmu itu, Bung Zulham. Kalau pun toh
liontin Tenny pada akhirnya lenyap, itu bukanlah atas kehendakmu. Aku tidak akan dan
tidak pernah mem-persalahkanmu. Aku menganggapnya tak lebih dari ketidak
beruntungan belaka..."
Ungkapan isi hati gadis itu tidak menarik perhatian Zulham. Perhatiannya lebih
terusik pada penjelasan sebelumnya. Bahwa kalung Tenny Puspasari dapat
menyelamatkan Tenny.
Mengapa tidak dengan Maria?
Satu hal lagi dan terasa begitu mengganjal, ia utarakan dengan lisan.
"Bangsat itu telah merampas milik Tenny lalu mengapa ia tidak merampas pula milik

-- Halaman 18 Kolektor E-Book --


Maria?"
"Karena Mariamu itu maaf, tidak lagi dibutuhkan oleh si penghujat. Maria
dianggapnya tak lebih sebagai kor-ban sampingan. yang setelah sarinya dihisap habis
se-pahnya lantas akan dibuang begitu saja. Berbeda hal-nya dengan Tenny."
Rani Pusparini lagi-lagi berhenti.Payudara di balik gaun hitamnya tampak naik
turun menahan gejolak kemarahan yang terpendam di seba-liknya.
"Tenny, sebagaimana dibisikan oleh rohnya, di-kutuk selagi berhubungan badan
dengan calon suami-nya. Tubuh mereka berdua dibiarkan tetap menyatu, selagi kutuk
itu berproses dan kemudian berubah wujut mereka berdua menjadi..."
"Seekor ular berkepala ganda!" cetus Zulham tak sadar.
Terbayang di pelupuk matanya peristiwa yang ia alami pada tengah malam buta di
hutan berantara Sumatera itu, ketika ia menemukan sebuah mobil tak bertuan.Masih
segar dalam ingatannya, bagaimana ia iseng-iseng meneliti tumpukkan pakaian di jok
belakang mobil lalu tiba-tiba dikejutkan oleh munculnya seekor ular hi-tam legam yang
menggeliat ke luar dari bawah tum-pukkan pakaian itu.
Ia begitu terpana sampai tidak siap menghadapi jika sewaktu-waktu ular mengerikan
itu tiba-tiba mematuk.Nyatanya ular berkepala ganda itu hanya tegak
memandang.Dengan bintik-bintik sepasang mata di masing-masing kepala ular itu,
tampak meneteskan butir-butir air be-ning.
Tahulah Zulham sekarang bahwa ular itu mena-ngis dan sorot dua pasang mata di
kepala ganda itu jelas bukan sedang memohon pertolongan untuk dise-lamatkan dari
orang yang mereka takuti. Orang misterius yang kemudian muncul dan membawa pergi
ular itu yang ia sebut sebagai anak-anaknya.
"Si Penghujat,"
Rani Pusparini bergumam getir di sebelah Zulham.
"Masih membutuhkan Tenny dan calon suaminya dalam wujut mereka yang
sekarang. Untuk maksud angkara murka. Memutuskan hasrat bejat,menjijikan,

-- Halaman 19 Kolektor E-Book --


sekaligus betapa keji."
Getaran suara si gadis membuat Zulham berpaling.Tampak olehnya pipi gadis itu
dilinangi lelehan butir-butir air mata. Namun suara yang keluar dari mulut-nya
terdengar masih tetap tegar dan tidak kenal menyerah.
"Aku harus mencegahnya, bung Zulham! Paling sedikit, jika pun toh akhirnya Tenny
harus mati, aku mesti mengusahakan agar kematian saudara kembarku itu sesuai
dengan kodratnya yang menjadi hak dan miliknya. Mati sebagai manusia, bukan
sebagai..."
Ia tidak meneruskan, jelas, Rani tak tega menyebut perwujutan saudara kembarnya.
Diam diam Zulham didatangi perasaan menyesal karena barusan tadi terlanjur
mengutarakan wujut dimaksud seekor ular berkepala ganda, ia semakin menyesal
sewaktu teringat apa sebenarnya maksud ular yang di temukan di hutan belantara
Sumatera itu. Mohon diselamatkan, tetapi Zulham yang salah mengerti malah
membiarkan mahluk malang itu jatuh ke tangan sang angkara murka.Zulham sudah
siap untuk menawarkan bantuan untuk menolong sewaktu Rani Pusparini menatap
lurus kematanya dan mendahului Zulham menayakan apa yang justru ingin ditawarkan
oleh Zulham.
"Apakah kau bersedia membantuku, Bung Zulham?"
"Dengan sepenuh hati!"
Zulham menjawab tanpa ragu ragu.Sepasang mata yang indah di wajah cantik itu
bersinar sinar penuh harapan.
"Percayalah..."katanya.
"Aku pun akan membantumu untuk menyelamatkan roh Maria..."
"Apalagi?"
Zulham mendengus bersemangat.
"Katakanlah bagaimana caranya kita akan saling menolong."
Tiba tiba pipi gadis itu memerah.

-- Halaman 20 Kolektor E-Book --


"Mudah saja..." katanya.
"Hanya.. ah. Aku harap kau nanti menyukainya..."
"Demi Maria dan saudara kembarmu, mengapa tidak?"
Zulham bersiteguh.Rani Pusparini berdiri tegak.
"Pertama tama, aku harap nanti kau tidak bertanya atau mengganggu mantera yang
ku ucapkan selama... itu kita lakukan..."
Tekanan kata Rani Pusparini mau tidak mau mendesak Zulham untuk bertanya.
"Itu...apa?"
Gadis itu tersenyum samar samar.
"Belum apa apa kau sudah bertanya."
"Maaf."
"Sebuah janji lagi. Janganlah menolak apa yang nanti kuminta kau lakukan."
"Tidak. Jika aku mampu, tentu saja."
Setelah berujar demikian, si gadis kembali naik ke altar.Bukan untuk duduk seperti
semula, melainkan untuk rebah menelentang di sepanjang altar dengan wajah
menghadap ke sosok wajah ganda di kepala berhala. Bibirnya komat kamit sebentar
dengan nada tak menentu, diakhiri dengan suara memohon yang jelas dan tegas,
"Datang dan memasukilah diriku, Maruta..."
Lalu gadis itu diam menunggu dengan kelopak mata terpejam.Zulham menatap
bingung.
Ia menunggu pula.
Menunggu Rani Pusparini mengatakan sesuatu yang harus ia lalukan sambil
sepenuhnya sadar posisi rebah si gadis telah merangsang birahinya sedemikian hebat.
Gugup dan gemetar, ia akhirnya bertanya,
"Apa yang harus kuperbuat, nona?"
Tanpa membuka kelopak matanya si gadis berdesah lirih,
"Datang dan masukilah tubuhku."

-- Halaman 21 Kolektor E-Book --


Zulham terkejut dan mulai gelisah.
"Nona Rani..."
Gadis itu mengepalkan tangan sebagai jawaban. Ada perasaan bersalah dan
keinginan untuk menolak dalam diri Zulham tetapi sesuatu dorongan gaib yang
didukung oleh tuntutan birahi menggerakan tangannya untuk menyambut tangan si
gadis yang seketika menggengam kuat, lalu menarik tangan Zulham untuk diletakkan ke
payudaranya.Seketika telapak tangan Zulham merasakan lembut dan kenyalnya
payudara gadis itu, memancarkan baraapi yang membakar dengan cepat, menempur
dan mendobrak benteng pertahananya yang semula ingin menentang. Tetapi lonjakan
birahinya menyerang lebih hebat, dan Zulham tidak dapat lagi membendungnya.
Perlahan lahan ia membungkuk, lalu mencium bibir Rani Pusparini yang memekar
terbuka. Tangan si gadis yang masih bebas meliuk naik untuk merangkul pundak
Zulham sekaligus menarik tubuh Zulham untuk naik ke atas tubuhnya. Di antara ciuman
yang menggebu, si gadis terdengar merintihkan ucapan samar samar,
"Maruta.. lakukanlah. Oh dewi Durga, tolonglah."
Zulham tidak tahu siapa yang menanggalkan pakaian di tubuhnya.
Dirinya atau si gadis.
Begitu pula dengan gaun hitam Rani Pusparini yang telah terbang lebih dulu ke
lantai di bawah altar. Ia hanya tahu, jiwanya seakan serasa mengambang ketika bagian
dari raganya perlahan lahan mencari bagian tertentu di raga itu berusaha saling
menyongsong, kemudian saling mendesak ke depan.Dan tiba tiba Rani Pusparini
terpekik sayup.
Zulham lantas menyadari tabir yang memisahkan raga mereka terpecah dan di
tengah gejolak nafsunya, diam diam Zulham sempat terkejut.Rani Pusparini ternyata
masih perawan!
[]

-- Halaman 22 Kolektor E-Book --


***

TIGA

Penyesalan selalu datang terlambat. Setelah apa yang semestinya tidak boleh terjadi,
telah terjadi. Akibatnya adalah Zulham telah melanggar pendirian yang selama ini
dipegang dengan teguh bahwa ia tidak akan menyetubuhi seorang perempuan di luar
nikah.
Zulham tidak akan mencari kambing hitam.Dengan berdalih bahwa ia berada di
bawah pengaruh gaib Rani Pusparini. Atau karena gadis itu dengan sengaja telah
merangsangnya dan ajakan persetubuhan datang dari pihak gadis itu dan pula Zulham
hanya bersandar pada kenyataan bahwa sejak semula ia telah terangsang.
Ia telah berusaha mengendalikan diri tetapi hawa nafsunyalah yang kemudian
menang.Dengan dihantui perasaan bersalah itu, Zulham diam diam mengenakan
pakaiannya kembali. Ia tidak tahu bagaimana menebus dosa yang telah ia perbuat.
Tetapi paling kurang, ia tahu bagaimana harus mempertanggung jawabkannya.
Ia mesti menikahi Rani Pusparini,terlepas dari apakah mereka saling menyintai atau
tidak. Yang pasti, sampai perbuatan itu selesai mereka lakukan, Zulham tetap saja tidak
merasakan adanya gairah cinta dalam sanubarinya.
"Barangkali cinta itu mungkin datang belakangan."bathin Zulham membujuk.
Namun demikian, masih ada dua hambatan yang harus ia hadapi. Ia tidak tahu
apakah Rani Pusparini bersedia menikah dengannya. Dan yang lebih terpenting lagi,
agama yang dianut Zulham melarangnya untuk menikahi seorang penyembah berhala.
Maka yang pertama tama harus ia lakukan adalah mengajak gadis itu meninggalkan
sekte anutannya dan pada suatu hari kelak bersedia pindah agama. Mungkin itulah
tujuan dari permohonan Esih,

-- Halaman 23 Kolektor E-Book --


"Bimbing dan bantulah dia..."
Lalu, bagaimana ia harus memulai?
Zulham masih dilanda kebingungan dan kegelisahan,sewaktu tiba tiba ia mendengar
bisikan pelan dari mulut Rani Pusparini,
"Terima kasih, dewi Durga..."
Zulham berpaling terkejut. Mengawasi si gadis yang masih rebah menelentang di
altar, masih belum mengenakan gaunnya. Gaun itu hanya sekedar ditutupkan secara
serampangan saja sehingga sebagian dari tubuh Rani Pusparini tetap menonjol dengan
jelas dan nyata di depan mata Zulham.
Entah karena birahinya sudah terlampiaskan, entah karena sebab sebab lain yang
tidak ia ketahui, Zulham tiba tiba merasa heran pada dirinya sendiri. Ia bukan hanya
tidak lagi terangsang. Ia bahkan tidak merasakan pengaruh apa apa, sekalipun itu
hanya perasaan tertarik, pada tontonan yang mempesonakan di altar terkutuk itu.
Yang lebih mengherankan Zulham adalah gadis itu sendiri.
Semenjak Zulham meninggalkan tubuhnya, Rani Pusparini masih tetap rebah tanpa
bergerak. Dengan sepasang kelopak mata terpejam dan mulut mengatup rapat. Tidak
sekali pun ia melihat ke arah Zulham atau mengutarakan sesuatu sebagai ungkapan
hatinya. Selain simbahan keringat, tidak pula tampak emosi apa apa di wajahnya.
Tidak penyesalan, tidak kegembiraan apalagi rona bahagia. Wajah tanpa emosi dan
tampak dingin itu seperti memberitahukan pada Zulham bahwa apa yang telah mereka
lakukan tidak lebih dari semacam keharusan.
Bukan suatu kebutuhan.
Ketika bibir indah yang terus mengatup itu akhirnya terbuka juga, ucapan pertama
yang ia keluarkan sungguh menggiriskan perasaan Zulham,
"Terimakasih Dewi Durga". Sebagai pertanda bahwa pemujaan pada sang dewilah
yang paling utama, bukan kenikmatan yang ia peroleh dari persetubuhan dengan
Zulham!

-- Halaman 24 Kolektor E-Book --


Merasa disepelekan, kemarahan Zulham pun bangkit.Ia mendekat ke altar, lantas
mendengus tak senang,
"Bangunlah sekarang. Kita harus berbicara!"
Tanpa membuka matanya, gadis itu berujar tenang,
"Selamat jalan, Bung Zulham."
Zulham pun membelalak mendengarnya.
"Apa?"
"Jangan lupakan benda milik gadismu. Tanpa itu, kau tidak mungkin menyelamatkan
rohnya."
"Hei!"
"Kau akan mendapatkan petunjuk petunjuk dalam sebuah amplop tertutup yang nanti
akan diberikan Bi Esih padamu. Pergilah. Masih ada upacara lain yang harus
kujalani."
"Aku tidak sudi angkat kaki sebelum..."
Gadis itu tidak terusik apalagi tergoyahkan.
"Demi hubungan baik kita Bung Zulham. Terutama demi roh dan nyawa orang orang
lain yang masih mungkin kita selamatkan. Aku memohon."
Nyawa orang lain.
Tak perduli siapa, yang pasti Zulham tiba tiba diingatkan pada seseorang : Tarida!
Zulham menahan diri agar tidak merenggut bangun gadis itu, lantas memutar ke
belakang altar. Mengambil kalung dan liontin milik Maria, kemudian dia bergegas
keluar dari dalam cottage tanpa sekali pun menoleh kebelakang.
Ia hanya tertegun sejenak, sewaktu di belakangnya ia dengar bisikan lirih Rani
Pusparini.
"Waktunya sudah tiba, Maruti."
Zulham tidak tahu apa maksud gadis itu, dan pada siapa katakata itu ditujukan. Ia
pun tidak tahu mengapa sebelumnya gadis itu menyebut Maruta lalu kini menyebut

-- Halaman 25 Kolektor E-Book --


Maruti. Timbul sekejap desakan untuk bertanya tetapi hati kecilnya mengingatkan ia
hanya akan melakukan kesiasiaan belaka. Kehadirannya tidak lagi dipentingkan oleh si
gadis.
Masih ada upacara lain,katanya.
Entah upacara apa pula...
Zulham menggeleng gundah dan berjalan melintasi kebun menuju rumah induk.
Menjelang pintu masuk, Zulham tertegun. Ia mendengar bunyi langkah langkah samar
mendatangi dari sebelah dalam rumah. Disertai bunyi geraman samar samar. Sebelum
Zulham sempat berpikir, makhluk besar hitam setinggi pinggangnya itu sudah muncul
di ambang pintu. Mahluk itu menatap ke arahnya dengan sorot mata yang tampak
menyala kemerahmerahan. Gigi gigi taringnya berkilat kilat.
Mengancam.
Zulham tidak berani bergerak.Mahluk itulah yang lebih dulu bergerak. Disertai
geraman pendek, mahluk itu turun dari pintu. Turun dengan tenang, bukan melompat
untuk menerkam seakan kehadiran Zulham tidak dianggapnya sama sekali,mahluk itu
terus saja lewat menuju pintu cottage yang ditinggalkan Zulham dalam keadaan tetap
terbuka.
Ketika Zulham berpaling dengan segan, sang mahluk sudah lenyap di dalam cottage.
Zulham sempat melihat bayangkan sosok tubuh Rani Pusparini, hanya sekilas, ketika
gadis itu menutup pintu.
Sebuah upacara lain.
Kali ini bersama Rudi.
Upacara apa, kiranya?
"Biarkan saja mereka, Tuan Zulham."
Zulham kembali berpaling, tersentak. Ternyata Esih sudah tegak di tempat dari mana
tadi mahluk itu muncul dengan sebuah amplop besar dan tebal di tangannya.
"Non Rani telah berpesan agar saya menyerahkan ini pada Tuan, jika sudah

-- Halaman 26 Kolektor E-Book --


waktunya Tuan pulang.." desah Esih dengan mata setengah terpicing mengawasi
penampilan Zulham.
Zulham menerima amplop besar yang disodorkan pelayan itu, sambil diam diam
merasa malu karena menyadari arti pandangan mata Esih. Zulham tahu
betul,penampilannya tidak lagi serapih ketika mula mula ia memasuki cottage. Dan
usianya sudah cukup untuk memahami apa yang telah terjadi selama Zulham berduaan
dengan Rani Pusparini di dalam cottage. Terbukti dari sikap dan suara Esih mendadak
terdengar dingin. Tidak lagi seramah dan sehangat tadi
"Mari saya antar ke depan, Tuan."
Esih mengantar Zulham sampai ke teras depan. Tanpa menunggu sampai Zulham
masuk ke dalam mobil, dengan segera ia sudah masuk lagi ke dalam rumah dan
menutup pintu sekaligus. Perubahan sikap dan tindakan pelayan itu buat Zulham hanya
mempunyai sebuah makna. Sikap dan tindakan Esih itu dimaksudkan sebagai pengganti
sebuah kalimat yang tak sudi ia utarakan secara lisan.
"Aku telah keliru menilai dirimu!"
Zulham bertambah malu.
Sambil memacu mobilnya menuju pintu gerbang, Zulham lantas membathin;
"Aku sudah mulai dihukum...untuk dosa dosa yang telah kulakukan di dalam sana!"
Dan di dalam sana Esih sudah berada diruang tengah.Dengan tangan gemetar ia
mengusap foto besar Tenny Puspasari yang dilingkari bunga rampai. Kepada foto itu
Esih berbisik lelah dan getir,
"Katakanlah Tenny.Upaya apa lagi yang harus kulakukan untuk menebus dosa
dosaku di masa silam?"
Esih kemudian jatuh berlutut.
Dengan air mata berlinang.
Putus asa.

-- Halaman 27 Kolektor E-Book --


***

Di balik pintu cottage, Rani Pusparini juga tengah berlutut di lantai. Gadis itu sudah
mengenakan gaun hitamnya namun membiarkan gaun itu dalam keadaan tidak
terkancing. Jari jemarinya mengusap wajah sang mahluk dengan lembut.
"Kau tahu bukan, resiko apa yang akan menimpa dirimu?" bisiknya dengan getaran
kasih sayang.
Mahluk hitam itu mendengking lemah.Rani Pusparini tersenyum menghibur.
"Kuharap Rudi,Reinkarnasimu di masa datang, lebih baik dari wujutmu sekarang..."
Dengkingan Rudi lebih kuat.
Lebih bersemangat.
Rani Pusparini merangkul anjing besar itu kuat kuat,menciumi moncongnya, lantas
berbisik lirih di telinganya yang tegak untuk mendengarkan.
"Selamat berpisah Rudi. Bantulah aku melalui rohmu."
Rani Pusparini kemudian bangkit dan merebahkan diri di altar dengan paha
mulusnya yang putih padat dan dibercaki darah perawannya akibat persetubuhan
dengan Zulham. Ia kembangkan terbuka selebar lebarnya. Kelopak matanya dipejam
rapat lalu bibirnya menggumamkan sebuah permohonan bernada ritual.
"Dengarkanlah aku Maruti, Menyatulah dengan Maruta di dalam rahimku yang
suci."
Seakan menerima perintah gaib, anjing besar di dekat pintu melangkah mendekati
altar. Sepasang matanya menyala semakin memerah, semerah darah. Darah yang
membercak di bagian dalam paha serta selangkangan Rani Pusparini. Darah yang
kemudian dijilati Rudi perlahan lahan dengan gerakan lidah yang lembut,membelai
lunak.Setelah bercak darah itu tidak lagi bersisa, Rudi menggeram pelan seranya
menaikkan kaki depanya yang kuat kokoh ke atas altar, menempatkannya di kiri kanan
pinggang Rani Pusparini. Raganya yang bawah kemudian ia rapatkan ke raga si gadis

-- Halaman 28 Kolektor E-Book --


disertai gerakan panjang pendek pertanda birahinya sudah siap untuk meledak.Bibir
Rani Pusparini kumat kamit lebih cepat.
"Lengkapilah wujutmu berdua Maruta Maruti. Oh dewi Durga atas kehindakmu.
Jadikanlah!"
Mantera itu diucapkan si gadis berulang ulang menyertai gerakan maju mundur raga
Rudi, sampai akhirnya suatu saat mahluk hitam itu melengkungkan tubuhnya dengan
keras dalam suatu getaran hebat, disusul oleh suara lolongan panjang mendayu
dayu.Setelah lolongan makhluk itu melemah berhenti kemudian berhenti terputus
barulah Rani Pusparini berhenti komat kamit. Kelopak matanya dibuka,
memperhatikan. Tubuh anjing hitam besar itu sudah terkulai tanpa bergerak. Dari perut
sampai kepala jatuh di bawah tubuh Rani Pusparini dan sisanya setengah tertekuk
dilantai.Perlahan lahan Rani Pusparini bangkit dari rebahnya.
Tubuhnya di tarik mundur menjauhi tubuh sang makhluk. Seranya merapikan dan
mengancingkan gaunnya,ia kemudian menyandar pada sosok berhala untuk mengatur
napas, kemudian duduk bersila.
Menunggu.
Tubuh hitam besar itu tetap saja tidak memperlihatkan gerakan apa apa. Sepasang
matanya yang terbuka pun tampak hampa, tanpa sinar kehidupan.
Mahluk itu jelas sudah mati.
Gemetar, Rani Pusparini membungkuk ke depan.Bangkai mahluk itu diseretnya
sekuat tenaga sampai naik seluruhnya ke atas altar, lalu di dekapkan ke tubuhnya
sendiri. Dengan mendekapkan kepala Rudi kedadanya, Rani pusparini pelan pelan
meliuk liukkan tubuh dengan gerakan memutar secara ritmis sambil kepala
ditengadahkan ke langit langit, perlahan lahan pula ia mulai bersenandung.
Senandung tanpa kata.
Ia terus saja bersenandung sampai semua lilin di dalam cottage itu kemudian padam
dengan sendirinya. Ruangan dalam cottage seketika berubah gelap gulita. Senandung

-- Halaman 29 Kolektor E-Book --


Pusparini terdengar melemah, semakin lemah, dan akhirnya berubah menjadi tangis.
Tangisan dukacita.
[]

***

EMPAT

Tarida membuka kelopak matanya perlahan lahan karena tidak melihat apa apa
kecuali kegelapan yang menghitam pekat. Kelopak mata ia kerjap kerjapkan.Lalu
gerakan kelopak matanya ia hentikan.
Ia memandang nyalang di sekitarnya.
Sama saja gelap gulita.
Tangannya lantas meraba raba, lantas mengetahui bahwa ia rebah di tempat tidur
besar dan empuk, hangat,pasti ia tidak sedang berbaring di kamar kostnya karena
tempat tidurnya di sana adalah sebuah ranjang kecil dan sederhana. Juga bukan di
kamar tidur yang ia tempati di rumah Maria karena tangannya sempat meraba kepala
tempat tidur yang terbuat dari besi ukir,bukan kayu jati.
Tarida mengeliat bangun.
Sekujur tubuhnya terasa lemas, dan kepalanya sedikit pening. Ia terpaksa harus
merebahkan diri kembali sambil berpikir pikir dimana kiranya ia berada, mengapa
suasana di sekitarnya selain gelap gulita juga hening. Teramat hening sebab yang
terdengar oleh telinga Tarida hanyalah desahan nafasnya sendiri. Setelah mencubit
pahanya keras keras dan yakin ia tidak sedang bermimpi. Tarida berkonsentrasi untuk
menyingkirkan pikiran yang kacau balau dan perasaan cemas yang diam diam mulai
mengerogoti.

-- Halaman 30 Kolektor E-Book --


Ia peras daya ingatannya, kemudian dirangkai dari awal. Terbayang di pelupuk
matanya sosok seorang laki laki berpenampilan rapi dan sopan yang datang bertamu
dengan cerita mengejutkan tentang Maria.
Tarida dan Asep terbujuk untuk meninggalkan rumah Maria bersama laki laki yang
mengaku dokter itu. Dan dengan cara yang lihai telah mengelabui Asep agar keluar
dari mobil sehingga hanya tinggal Tarida soorang yang ada di dalam mobil bersama
tamu tidak dikenal itu. Teringat pula Tarida bagaimana ia dibuat terkejut oleh apa yang
kemudian terjadi selagi Asep berlari lari masuk kembali ke rumah untuk mengambil
pakaian Maria. Telinga Tarida menangkap bunyi dengingan halus,lalu sesuatu tampak
muncul dari sandaran tempat duduk depan mobil. Lembaran kaca yang naik dengan
cepat ke lelangit mobil dan seketika memisahkan kabin depan dengan kabin belakang.
Bersamaan dengan itu tercium bau tajam yang menyengat hidung di kabin belakang.
Mobil pun dijalankan perlahan lahan keluar dari pintu gerbang, membelok memasuki
jalan raya.
Saat itulah Tarida baru menaruh curiga.
"Hei, apa...!"
Kecurigaan yang sayangnya sudah terlambat. Ia tiba tiba merasa pusing, perut mual,
dan pandangan matanya mulai nanar. Sadar bahwa dirinya diculik, Tarida bergerak ke
depan pintu mobil untuk membukanya dan melompat ke luar selagi mobil itu masih
dalam kecepatan lambat. Tetapi pintu mobil di sebelah kirinya terkunci tak dapat ia
buka. Begitu pula pintu sebelah kanan yang ketika ditinggalkan oleh Asep, ia yakin
tidak dalam keadaan terkunci.
Tarida pun panik setelah menyadari mobil kecil dan sederhana itu ternyata
dilengkapi peralatan canggih yang serba elektris.Usaha terakhir yang dapat dilakukan
Tarida adalah memukuli kaca jendela di sampingnya sambil berteriak teriak minta
tolong.
Malang, tangan bahkan sekujur tubuhnya sudah keburu lemas. Suara yang keluar

-- Halaman 31 Kolektor E-Book --


dari mulut Tarida pun tidak lebih dari sebuah erangan lemah.
Ia lantas tak sadarkan diri.
Satu hal yang terpikirkan olehnya sebelum jatuh pingsan adalah bahwa ia telah
dibius.Agaknya Tarida pingsan dalam posisi duduk menyandar di jok belakang dengan
kepala miring ke salah satu jendela belakang mobil. Karena sewaktu pengaruh obat
bius itu mulai menghilang dan Tarida pelan pelan membuka kelopak mata, samar
samar terlihat olehnya sebuah rumah besar dan megah. Mobil kecil itu membelok ke
halaman yang luas di depan rumah mentereng tersebut, dan langsung menuju sebuah
garasi pintunya menganga terbuka.
Di garasi besar itu, terlihat adanya sebuah mobil mewah. Dengan kelopak mata
sengaja ia buat setengah terpicing. Tarida mengawasi sosok tubuh seorang laki laki
perlente yang berdiri menunggu di samping mobil mewah itu. Tarida segera mengenali
kepala botak yang khas dari laki laki itu.Sumadi, si pengacara!
Tarida nyaris melonjak kegirangan, jika tidak keburu ingat bahwa ia telah diculik.
Sumadi terlihat, dan bukan mustahil justru si pengacara itulah dalangnya. Ketika mobil
kecil yang membawanya berhenti di samping mobil mewah di dalam garasi. Tarida
berusaha menguasai perasaan pening untuk memikirkan jalan meloloskan diri. Dengan
berpura pura tetap pingsan, diam diam ia mendengarkan saat mesin mobil yang
membawanya dimatikan.
Pintu bagian depan dibuka, dan penculiknya tentulah sedang melangkah ke luar
tanpa adanya suara yang menandakan pintu itu telah ditutup kembali. Berarti, sistim
elektris di mobil itu tidak lagi dioperasikan.Tarida mendengar pembicaraan pelan dan
samar samar. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan, dan ia pun tidak perduli. Inilah
saatnya untuk kabur mumpung ada kesempatan. Diam diam Tarida menaikkan tombol
kunci pintu mobil di sampingnya, lalu membuka pintu itu dengan hatihati. Sambil
berdo'a semoga ia cukup kuat untuk berlari melintasi halaman yang luas tadi,paling
sedikit ia akan berteriak teriak minta tolong dan berharap ada yang melihat dan

-- Halaman 32 Kolektor E-Book --


mendengar suaranya.
Tarida yang malang.
Ia kurang memperhitungkan pengaruh obat bius di tubuhnya sehingga ketika ia
meloncat ke luar dari pintu mobil, ia sedemikian pening dan lemah. Tak pelak lagi ia
malah jatuh terhuyung. Seseorang tahu tahu sudah menangkap tubuhnya dan lamat
lamat ia mendengar suara Sumadi menggeramkan perintah,
"Pindahkan ia ke mobilku. Cepat!"
Tarida berusaha meronta.
Rontaan lemah.
Ia pun coba menjerit tetapi mulutnya di sekap. Dan ketika ia sudah dipindahkan ke
mobil satunya lagi, sesuatu yang lain agaknya telah pula disekapkan ke mulut dan
hidungnya. Saputangan dengan bau sengit yang sama.
Obat pembius.
Tarida pun jatuh pingsan untuk kedua kalinya.
Dan di sinilah dia sekarang.Di sebuah tempat yang asing baginya. Sebuah ruangan
yang gelap gulita, sendirian, dengan kesunyian yang terasa begitu menekan.

***

Tarida menarik nafas panjang, lantas menggeliat bangun.Perasaan pusing di


kepalanya sudah hilang, namun sekujur tubuhnya masih terasa lemas. Ia duduk sejenak
di tempat tidur, memulihkan kondisi pisik sebisa bisanya sambil otaknya terus
bekerja.Ia telah diculik, itulah kenyataannya.Pertanyaan pertama adalah menngapa
dan untuk apa?
Uang?
Motivasi itu ia singkirkan jauh jauh. Keluarganya di Solo bukanlah orang kaya dan
ia sendiri masih kuliah.

-- Halaman 33 Kolektor E-Book --


Sentimen pribadi juga bukan.
Tarida merasa tidak punya musuh. Atau pun jika di luar sepengetahuannya ada
orang yang benci kepadanya, maka menculik Tarida sungguh terdengar berlebih
lebihan.
Seks?
Itu kedengarannya lebih masuk akal.
Dan itu membuatnya bergidik seram. Ngeri memikirkan ia akan dijadikan pemuas
nafsu bejat seseorang.
Entah Sumadi, entah siapa.
Lebih ngeri lagi memikirkan kemungkinan setelahnya. Tarida sempat mengenali
Sumadi di garasi rumah besar dan megah itu, dan apa yang diketahui Tarida harus
ditutup rapat rapat dengan cara menghabisi nyawa Tarida!
Seraya mengawasi kegelapan di sekitarnya dengan wajah pucat dan sekujur tubuh
terasa dingin membeku karena takut, Tarida memcoba menghibur diri sendiri.Asep dan
isterinya Sumirah pastilah kebingungan karena Tarida tahu tahu menghilang, bersama
tamu misterius yang mengaku dokter itu.
Semoga saja Asep menaruh curiga lantas memberitahu seseorang.
Entah Zulham (di mana dan sedang apa Zulham sekarang?) atau entah siapa saja,
polisi kemudian dipelopori, yang kemudian akan...
Akan apa?
Misalkan mereka tahu Tarida diculik.
Setelahnya?
Jangankan Asep, Tarida pun tidak tahu siapa dan dimana alamat lakilaki yang
mengaku telah menemukan dan merawat Maria yang terluka parah, di
rumahnya.Mungkin saja Asep mengenali jenis plat nomor mobil?
Jika pun ia sempat dan masih ingat, belum tentu plat nomor itu asli.
Besar kemungkinan, palsu.

-- Halaman 34 Kolektor E-Book --


Lebih celaka lagi, Tarida telah dipindahkan ke mobil lain untuk dibawa lagi
berkeliling, entah ke mana!
Berpikir sampai di situ, Tarida bertambah ketakutan.Tubuhnya semakin dingin,
malah pelan pelan mulai menggigil. Sesuatu pun terasa mendesak minta dikeluarkan.
Yang tanpa sadar, terlontar sendiri dari mulut Tarida,
"Aku ingin kencing!"
Ia terkejut mendengar suaranya sendiri yang seketika memecah kesunyian di
sekitarnya. Lebih terkejut lagi ketika tanpa suara, ia melihat sesuatu bergerak dan
perlahan tetapi pasti muncul sinar terang dari salah satu bagian ruangan. Ternyata
yang bergerak itu adalah sebuah pintu. Pintu yang membuka sendiri, ada penerangan
di dalam, dan Tarida melihat sebuah kamar mandi di balik pintu yang menganga
terbuka itu.
Bagaimana pintu itu bisa membuka sendiri?
Ataukah seseorang telah membukanya, dan orang itu dari tadi berembunyi di
dalamnya?
Tarida menelan ludah.
Takut takut, ia bertanya,
"Siapa di situ?"
Tak ada sahutan. Juga tidak terdengar suara atau terlihat gerakan maupun bayangan
seseorang di dalam kamar mandi. Tarida memberanikan diri turun dari tempat tidur.
Selagi turun ekor matanya diam diam mencuri alat ke sekitar ruangan yang dengan
sendirinya memperlihatkan bentuk ketika pintu kamar mandi terbuka dan cahaya lampu
menerobos ke luar.Tarida berjalan ragu ragu menuju ke kamar mandi sambil
memastikan beberapa hal yang dilihatnya sekilas sekilas. Bahwa ia ada di sebuah
kamar tidur yang dilengkapi dengan lemari dan seperangkat kursi meja.Bahwa di
sebelah kanannya tampak dinding yang keseluruhan terbuat dari kaca serta tidak
terlihat apa apa di luar dinding kecuali kegelapan yang menghitam pekat. Sesaat

-- Halaman 35 Kolektor E-Book --


sebelum melangkahkan kaki memasuki kamar mandi, Tarida juga sempat menangkap
bayangan samar samar sebuah pintu lain di sisi tembok sebelah kiri tempat tidurnya,
pintu ke luar masuk ruangan, itu sudah pasti!
Tidak ada siapa siapa di dalam kamar mandi.Tadi jelas pintu itu telah membuka
sendiri. Seseorang telah mendengar keinginannya untuk buang air kecil,lalu orang itu
lantas membuka pintu kamar mandi dengan bantuan peralatan elektronik di luar
ruangan tempat Tarida disekap.
Berati pula, apapun yang diucapkan Tarida di kamarnya dan bukan mustahil apa pun
yang ia lakukan akan didengar dan diketahui orang itu. Mungkin ia Sumadi sendiri,
mungkin pula orang suruhannya.Tarida menutup pintu kamar mandi. Sempat
mengagumi suasana kamar mandi yang mewah dan lengkap dengan semua keperluan
yang dibutuhkan. Tarida lebih dulu meneliti sekitar. Mencari cari barangkali saja ada
lensa kamera yang sering ia lihat di pasar swalayan. Tetapi Tarida tidak menemukan
apa yang ia cari,kalau pun ada lensa kamera, tentunya telah disembunyikan dengan
rapi sekali. Barangkali kaca cermin dengan bingkainya yang indah, siapa tahu adalah
kaca tembus pandang dua arah dengan pandangan dari dalam kamar mandi adalah
pandangan satu arah sebagaimana lazimnya sebelah cermin.
Tarida sering melihat hal hal semacam itu dalam sebuah film atau membacanya
dalam cerita cerita fiksi.
Tarida mendekat ke cermin itu.
Mengawasi rambutnya yang kusut masai dan wajahnya yang tampak kuyu dan pucat.
Seraya membenahi rambutnya, Tarida bersungut sungut sendirian,
"Silahkan mengintip dan terkutuklah kau!"
Lalu ia melangkah ke kloset, dan kencing dengan posisi terbalik. Menghadap ke
tembok kamar mandi. Selagi kencing itu, tanpa sengaja terlihat arloji di
lengannya,iseng iseng ia meneliti.
Pukul sembilan lewat tujuh menit.

-- Halaman 36 Kolektor E-Book --


Malam atau pagi?
Ia diculik menjelang maghrib, dibius dan tentunya telah tidur berjam jam
lamanya.Dan sebagai seorang muslimat yang taat, hal pertama yang diingat Tarida
adalah ia telah ditinggalkan waktu lohor, asyar, lantas magrib. Jika sekarang sudah
malamhari.
Ditambah shubuh, jika sudah pagi, yang agaknya mustahil ia telah tidur selama
itu.Ia yakinkan diri tentunya sekarang adalah malam hari.Namun toh sama saja, ia
telah melewatkan dua waktu sholat. Itu membuatnya sedih dan merasa bersalah
meskipun ia tahu kesalahan itu di luar kehendaknya. Ia akan menunaikan sholat magrib
dijamak dengan isya,kemudian memohon ampunan Tuhan untuk dua waktu yang telah
ia tinggalkan. Ia juga akan memohon perlindungannya atas nasib yang menimpa
diri.Tetapi Tarida perlu sarana untuk sholat.
Hem.. mudah mudahan saja disekap ada telekung dan sajadah tersedia di kamar
tempatnya disekap. Jika tidak ada, ia akan meminta pada penjaga di luar pintu kamar
untuk mengambilkannya. Kalau permintaannya tidak pula dikabulkan, ia akap sholat di
tempat tidur atau di lantai. Dan mempergunakan kain apa saja yang tersedia selama
kain itu dapat di pakai sebagai pengganti telekung.Tarida selesai buang air kecil.Ia
bersihkan auratnya dengan air dari kran di dekat closet. Air mengucur deras, bening
dan rasanya sejuk sekali. Tarida memutuskan untuk sekalian berwudhu disitu saja, ia
lalu mempersiapkan diri.
Berniat, membaca ta'awudz lalu Basmallah, dan...
Air sekonyong konyong berhenti menguncur!
Tarida terheran heran. Ia putar kran di depannya,membuka lebih besar.
Sama saja.
Tak ada air yang keluar walau hanya tetesan sisa.
Ia berpindah ke kranbak mandi.
Baik kran penyedia air dingin mau pun kran untuk air panas pun sama saja tidak

-- Halaman 37 Kolektor E-Book --


meneteskan air. Demikian pula halnya setelah Tarida membuka lebar lebar kran untuk
shower.
Tarida tertegak, bingung.
Hal pertama yang teringat olehnya adalah kebiasaan menjengkelkan yang sering ia
alami di rumah tempatnya kost, giliran air mati.
Dikamar mandi semewah ini?
Disebuah rumah atau gedung yang yang pasti mewah pula, mana mungkin mereka
tidak punya sarana atau persediaan sumber air sendiri?
Tarida memandang ke sekitarnya dan berhenti searah cermin. Ia melihat wajahnya
yang pucat menahan marah. Tarida tidak sudi beramah tamah dengan para
penculiknya. Namun toh pertanyaan yang keluar dari mulut Tarida masih terdengar
cukup sopan meski disertai kesal:
"Mengapa air kalian hentikan?"
Sepi.
Tak ada suara.
Tak ada reaksi.
Tarida bertambah kesal.
"Aku perlu air untuk berwudhu, kalian dengarkan? Atau kalian memang tidak pernah
bisa menghormati orang lain yang hendak menunaikan ibadah agamanya?!"
Masih tetap sepi.
Masih tetap tidak ada reaksi.
Atau barangkali memang tidak ada orang yang mengintip,tidak pula mendengarkan?
Dan di tempat ini memang berlaku pula sistim pembagian air?
Sewaktu Tarida kebingungan itulah, tiba tiba terdengar suara untuk pertama kalinya.
Bukan suara seseorang.
Melainkan suara pelan dan halus berasal dari kran di samping closet. Tarida
menoleh berharap itu suara akan munculnya air kembali. Tetapi apa yang ia lihat

-- Halaman 38 Kolektor E-Book --


sungguh mengejutkan membuat tarida tidak mempercayai pandangan matanya
sendiri.Kran itu bergerak Memutar pelan ke posisi menutup.Suara suara yang sama
kemudian menyusul. Sewaktu Tarida memutar tubuh, tampaklah kran lainnya yang tadi
ia putar membuka, kini sama bergerak menutup tanpa ada yang menyentuh. Belum
pernah Tarida mendengar, melihat, membaca bahwa ada kran air yang bisa beroperasi
secara otomatis dengan bantuan elektris.Ketakutan pun mulia menghinggapi Tarida. Ia
mundur dengan tubuh gemetar ke arah pintu kamar mandi sambil matanya tak lepas
mengawasi kran kran air yang terus saja memutar kini ke arah semula.
Membuka, menutup lagi, membuka... sampai akhirnya Tarida menginjakkan kakinya
di luar pintu.
Dan pemandangan mengejutkan itu tak terlihat lagi. Karena lampu dikamar mandi
mendadak sudah padam pula.Gelap gulita seketika di sekitarnya.
Tarida menahan nafas.
Kemudian terpekik kaget sewaktu pintu kamar mandi di depan batang hidungnya
menutup dengan hempasan keras. Begitu kerasnya sehingga telinga Tarida sedetik
terasa pekak dan lantai yang diinjaknya terasa bergetar.Tanpa berpikir panjang lagi
Tarida menghambur ketempat tidur. Karena gelap ia tidak tahu jalan. Menjeritlah
Tarida sewaktu kakinya melanggar kursi dan ia terhuyung jatuh ke depan. Untungnya
bagian atas tubuh Tarida justru jatuh di tempat tidur. Seketika itu juga ia merayap naik,
rebah dengan sekujur tubuh bergemetaran. Ia tarik selimut menutupi tubuhnya dan
hanya menyisakan sebatas hidung ke atas.Masih ketakutan Tarida memandang
jelalatan ke sekitar ruangan. Ia hanya melihat kegelapan yang menghitam pekat.Dan
merasakan kehingan telah kembali. Hening yang teramat sangat menekan sampai dada
Tarida sesak dan ia merasa susah bernafas. Lalu suara suara itupun muncul perlahan
lahan. Mulanya sayupsayup saja,tetapi makin lama makin jelas terdengar semakin
dekat.
Langkah langkah kaki.

-- Halaman 39 Kolektor E-Book --


Tarida melipat tubuhnya di bawah selimut.Langkah langkah kaki itu menghilang
diganti oleh desah desah nafas berat, rengekan bayi yang terputus putus, lalu tiba tiba
jeritan lengking perempuan. Jeritan itu semakin sengsara, lalu berubah menjadi
lolongan panjang yang menciutkan jantung.Saking tidak tahan, Tarida melemparkan
selimut. Melompat turun dari tempat tidur dan berlari ke arahpintu yang tadi sempat ia
lihat. Kali ini selamat, tidak menabrak sesuatu dan lomapatan lompatan panjang
kakinya memang mengarah langsung ke pintu yang ia cari.
Ia coba membuka pintu, namun terkunci.
Jelas dari luar.
Sementara di dalam ruangan yang ia tempati, suara suara menakutkan itu semakin
keras bahkan satu sama lain saling mengatasi. Langkah kaki hilir mudik, rengekan
terputus seorang bayi, lolongan sengsara seorang perempuan, kini ditambah pula oleh
tawa meringkik yang sangat dekat dengan telinga Tarida.Tak ayal lagi Tarida
menggedori pintu. Seraya berteriak teriak panik.
"Keluarkan aku dari sini! Tolonglah...Siapa pun di luar sana bukalah pintu!
Tolooong...!"
Sia sia saja.
Pintu tetap saja terkunci dan tak ada orang yang datang menolongnya. Sementara
suara suara mengerikan di dalam kegelapan kamarnya semakin menggila saja. Lelah
memukuli dan menendangi pintu, tubuh Tarida kemudian meluncur ke lantai. Jatuh
berlutut dengan telapak tangan menutupi kedua telinga. Dan mulut menjeritkan
permohonan setengah menangis.
"Hentikan, Hentikan semua ini!"
Dan suara suara mengerikan itu lenyap seketika.Suasana sekitarnya kembali seperti
semula.
Tetap gulita.
Dengan kesunyian yang terasa lebih menyiksa.

-- Halaman 40 Kolektor E-Book --


Tarida terduduk di lantai.
Lemas.
Kedua lengan ia lepaskan dari telinga, lalu jatuh terkulai di sisi tubuh Tarida. Ia
terisak isak menyedihkan. Perasaannya begitu sakit karena sadar ia tengah
dipermainkan. Apapun tujuan Sumadi beserta komplotannya untuk menculik dirinya,
jelas lebih dulu mereka ingin bersenang senang.Dengan mempermalukan Tarida
sekaligus meruntuhkan daya tahan pisik dan mentalnya secara perlahan lahan.
Tarida berhenti mengisak.
Ia kuatkan dirinya dan membulatkan tekad untuk tidak menyerah.
Ia tahu kini, ada komunikasi ke dalam dan keluar kamar tempatnya disekap. Ada
pendengar dan ada speaker yang tersembunyi entah mana yang mengeluarkan
suarasuara ke dalam kamarnya. Tarida juga yakin apa yang ia dengar tadi, tak lebih
dari sebuah rekaman.Tarida juga yakin, mereka di luar sana tengah menertawakan
dirinya dan barangkali juga tengah mempersiapkan permainan lain. Dan pasti mereka
memiliki peralatan serba canggih. Termasuk untuk menutup dan membuka kran air di
kamar mandi secara otomatis.Tarida inginnya rebah kembali di tempat tidur.
Tetapi lututnya masih gemetar.
Persendiaannya terasa kaku.
Ia lalu menyandar di pintu.
Mengatur nafas, mengumpulkan tenaga. Kemudian ia pun teringat untuk berdo'a:
"Ya Allah, tolonglah. Tanpa engkau, tiada aku berdaya."
Belum habis ia berdo'a, Tarida sudah menjerit lagi seraya memejamkan kelopak
matanya. Sinar menyilaukan muncul entah dari mana, tak ubahnya sorot lampu dengan
kekuatan beribu ribu watt. Ia juga merasakan tubuhnya gerah, kemudian panas sampai
banjir keringat.Tarida pun mengeluh,
"Apa pula, ini?"
Sebagai jawaban atas keluhan Tarida, hawa panas menggerahkan itu tiba tiba saja

-- Halaman 41 Kolektor E-Book --


berhenti. Digantikan oleh hawa dingin sejuk, menusuk. Tarida membuka kelopak
matanya, takut takut, dan menyadari sekelilingnya kembali sudah gelap gulita. Apakah
sinar menyilaukan tadi itu hanya halusinasi belaka?
Tetapi merasa begitu nyata.
Seperti halnya kini ia merasakan hawa sejuk menusuk. Peluhnya sampai seakan
membeku menjadi es, dan tubuhnya menggigit keras.
"Oh.. jangan lagi." tanpa bisa ditahan,
Tarida mengisak kembali.
"Kumohon...!"
Hawa dingin itu pelan pelan menghilang.Tubuh Tarida pelan pelan pula terasa
hangat dan udara di sekitarnya tercium segar menyenangkan. Tercium pula
semerbaknya wangi bunga bunga yang secara ajaib memulihkan kekuatan pisik
Tarida walau belum seluruhnya.
Namun setidak tidaknya Tarida dapat bernafas dengan leluasa, mampu pula
menggerak gerakkan tangan dan kakinya untuk mengendorkan otot ototnya yang
kejang.Menyertai harum semerbak bunga bunga itu, terdengarlah suara lembut
menyapa.
"Merasa lebih nyaman sekarang. Anakku?"
Tarida tertegun. Menahan nafas.
Itu adalah komunikasi pertama dengan para penculiknya. Yang aneh, suara itu
seperti datang dari tempat yang sangat jauh namun terdengar begitu jelas dan nyata.
Itu bukan pula suara Sumadi karena selain amat lembut, suara orang itu pun terdengar
kharismatik.Tergerak hati Tarida untuk melunakkan sikap. Lantas bertanya:
"Siapa... Anda?"
Pertanyaan Tarida tidak ditanggapi. Tetap lembut setengah membujuk. Suara itu
berkata lagi.
"Supaya lebih enak, keluarlah dari kamarmu. Kau perlu hiburan."

-- Halaman 42 Kolektor E-Book --


Tarida membelalak tidak percaya.
[]

***

LIMA

Kecuali menyangkut kematian orang yang dikasihi, Zulham tidak suka berlarut larut
dalam perasaan.
Roda kehidupan terus berjalan.
Zulham tidak mau tertinggal apalagi sampai tergilas, jika masih ada sesuatu upaya
yang dapat dilakukan. Dan sudah merupakan adat Zulham, bila ia ingin mengerjakan
sesuatu maka Zulham tidak suka menunda nunda.Tidak berapa lama setelah
meninggalkan rumah Rani Pusparini, Zulham sudah duduk di pojok salah satu rumah
makan menjelang pintu masuk jalan toll Ciawi.Ia pesan segelas kopi beserta snack lalu
melepas benang pengikat tutup amplop besar pemberian Esih atas perintah majikannya.
Di dalamnya ada sepucuk surat yang di tulis tangan oleh Rani Pusparini, sebuah
amplop lebih kecil yang menggembung berisi seikat uang kertas yang masih dilengkapi
label bank yang mengeluarkannya. Tercetak pula di label angka penunjuk satu juta
rupiah.Dahi Zulham berkerut melihat uang itu. Untuk sepersekian detik lamanya
Zulham merasa dirinya menjadi seorang gigolo, pemuas nafsu sex kaum wanita yang
bersedia membayar mahal. Dan itu membuat Zulham merasa terhina.Tetapi kemudian
teringat olehnya bahwa ikatan uang itu seperti ia kenal. Zulham juga tidak percaya
bahwa Rina Pusparini bermaksud merendahkan harkatnya.Uang itu cepat cepat
dimasukkan lagi ke amplop, lalu ia alihkan pikirannya pada dua buah dokumen tebal
yang terjilid rapi. Satu atas nama yayasan Tridharma yang seketika mengingatkan

-- Halaman 43 Kolektor E-Book --


Zulham pada Maria. Satunya lagi dibuat oleh sebuah kantor pengacara terkemuka atas
nama Tenny Puspasari.Diperlukan tempo tidak sedikit untuk menelaah isi kedua
dokumen. Jadi Zulham pun mendahulukan surat Rani Pusparini. Tulisan tangannya
indah dan rapi, dengan bahasa yang enak dibaca. Gadis itu mendahului dengan
pembukaan berupa sebuah perkataan pendek, Salam.
Tidak ada basa basi pemanis tetapi Rani Pusparini langsung kemasalah masalah.
Pertanda gadis itu mempunyai persamaan sifat dengan Zulham, tidak suka
berteletele.Bung Zulham, Rani Pusparini memulai isi suratnya.
Tundalah dulu menelaah isi dua dokumen terlampir. Dokumen dokumen itu tidak
penting buatmu, kecuali sebagai bukti bahwa kita tidak bersilang jalan.
"Hem!"
Zulham membatin seraya menyeringai.
"Halus juga caranya menyatakan bahwa ia tahu aku menaruh curiga atas dirinya.
Bung Zulham.
Aku berharap kita sependirian mengenai apa yang terjadi hari ini. Yakni, tidak ada
dorongan emosional bernama cinta dalam hubungan kita berdua. Bahkan puntidak,
ketika pada akhirnya kita menyatu raga. Kita melakukannya sematamata atas kehendak
Yang Maha Pencipta.
Tanpa sadar Zulham mengerang tak setuju. Itu namanya mengkambing hitamkan
Tuhan. Zulham berpendapat manusialah yang berkehendak, Tuhan hanya menjadikan.
Itulah yang sudah terjadi. Zulham menuruti kehendak sesuatu yang diam diam
bercokol dalam diri setiap manusia, menunggu saat manusia itu lengah atau tidak
mampu mengendalikan diri. Saat mana sesuatu itu serempak keluar untuk mengambil
alih kekuasaan.
Dan Zulham telah terkuasai, kemudian terbujuk menuruti kehendaknya. Kehendak
setan!
Lalu setan apa pula kiranya yang telah mendorong Rani Pusparini untuk

-- Halaman 44 Kolektor E-Book --


menyerahkan keperawanannya pada seorang lakilaki yang hanya ia kenal sepintas
lalu?
Seingat Zulham, gadis itu hanya tahu nama dan sosok orangnya. Rani Pusparini
belum atau mungkin tidak akan pernah bertanya, apa dan siapa sesungguhnya Zulham.
Lebih mengherankan lagi, setan apa yang telah membantu Rani Pusparini menulis
sepucuk surat yang kini ada di tangan Zulham. Surat yang jelas dan nyata telah lebih
dulu dipersiapkan, dan Rani Pusparini sepenuhnya yakin bahwa Zulham akan datang
menemuinya, kemudian bersedia memenuhi ajakannya untuk melakukan persetubuhan.
Padahal tidak ada komunikasi sebelumnya di antara mereka berdua!
Janganlah merepotkan dirimu dengan memikirkan bagaimana aku tahu mengenai
semua itu.
Bung Zulham.
Tulis Rani Pusparini pada Zulham seakan tidak sedang membaca surat si gadis,
penulisnya seolah olah duduk di depannya dan menyelami jalan pikiran Zulham.
Bukan main,pikir Zulham.
Takjub.
Buanglah pula niat untuk mempertanggung jawabkan apa yang sudah kita perbuat!
"Ah!"
Zulham lagi lagi terjengah.
Aku merasa pasti niat itu ada dalam hatimu. Karena aku tahu kau seorang lakilaki
yang baik .
Akan tetapi, Bung Zulham.
Kiranya kau yang perlu kuberi tahu bahwa kenangan manis yang berlangsung di atas
altar pemujaanku itu aku lakukan dengan sukarela, Kau boleh saja menganggap telah
merenggut keperawananku. Namun, sesungguhnya, itu kupersembahkan bukan
untukmu, melainkan untuk Dewi Durga.Zulham terpaksa harus menyicipi kopinya
sebentar seraya mengamati suasana sekitar. Sematamata untuk menyakinkan diri

-- Halaman 45 Kolektor E-Book --


bahwa ia ada di sebuah restoran, bukan di sebuah kuil tua yang sunyi menyeramkan.
Dikunyahnya sepotong dua snack, kemudian meneruskan bacaanya.
Dewi Durgalah penunjuk jalanku, Bung Zulham. Terutama ketika aku berkenalan ke
Amerika.
Suatu ketika di San Fransisco, aku hilang pegangan, terjerumus dalam puncak
keputus asaan... dan nyaris bunuh diri.
Tetapi Dewi Durga telah bermurah hati mengirimkan seseorang untuk mencegah
niatku yang kekanak kanakan itu. Ia membawaku ketempatnya, dibimbing dengan
ajaran Hare Krishna yang digabung dengan ajaran Guru Maharaj Ji.
Jiwaku pun hidup kembali.
Jiwa yang sudah sempat kuanggap mati tercabik cabik oleh hinaan yang tidak
tertanggungkan.Sebagai imbalan dari pertolongannya, Bung Zulham.
kuberserah diri padanya.
Apapun kehendaknya akan kulakukan,karena raga dan jiwaku adalah miliknya. Maka
ketika aku dikenai larangan untuk menikah, maka aku pun patuh.Apalagi setelah Dewi
Durga memberitahu bahwa keperawananku dibutuhkan untuk sebuah tujuan yang mulia
di kemudian hari.
Hari itu telah datang.
Bung Zulham.
Hari yang mengantarkan dirimu ke altar pemujaanku, membawa serta roh suci dari
Maruta diiringkan oleh abdinya yang setia, Maruti.
Dan siapa nyana tujuan yang mulia itu ternyata menyangkut kepentinganku dan
saudara kembarku, Tenny Puspasari.
Tetapi yang pasti, hari itu telah datang.Hari untuk menghentikan si penghujat iblis!
Seketika terbayang di pelupuk mata Zulham, tampang memuakkan seorang lakilaki
setengah umur dengan suara dan gaya yang kontras lembut, memukau. Yang mau tidak
mau mengingatkan Zulham kembali pada Maria. Maria yang telah berubah wujut, dan

-- Halaman 46 Kolektor E-Book --


entah bagaimana nasibnya sekarang. Zulham masih memiliki kesempatan untuk
menyelamatkan roh Maria. Jika masih hidup, dibawa pulang ke rumah. Jika toh harus
mati biarlah ia mati menurut kodrat semestinya sebagai manusia. Itulah yang di
katakan Rani Pusparini mengenai tekadnya untuk menolong saudara kembarnya.
Itu berlaku pula untuk Maria.
Tetapi mana janji Rani Pusparini?
Dia bilang, dia akan memberi petunjuk petunjuk. Tetapi apa yang telah dibaca
Zulham dari tadi belum sekalipun menyebut nyebut tentang janjinya. Jangan jangan
gadis itu hanya memikirkan saudara kembarnya. Dewi Durganya dan tujuannya
sendiri!
Merasa tak enak hati, Zulham membaca lanjutan surat Rani Pusparini. Dan baru
juga ia membaca kalimat pertama, ia sudah malu hati. Dan diam diam harus mengakui
kemampuan batin gadis itu membaca pikiran orang tanpa melihat tempat dan waktu.
Mengenai gadismu itu...
Zulham membaca.
Aku telah meminta bantuan roh saudara kembarku sebagai mediator kealam gaib
dari jenis... perwujutan mereka sekarang ini.
Lalu sewaktu aku bermeditasi, kepadaku diperlihatkan gambaran gedung gedung
menjulang, gemuruhnya pesawat yang berputar putar turun dari langit, suasana di
sebuah terminal bis antar kota, lalu sebuah jalan raya dengan lalu lintas lengang. Ada
sebuah bangunan artistik yang dipelataran parkirnya tampak beberapa mobil mewah.
Di bagian depan bangunan, terukir gambaran seekor ular kobra dikelilingi lampu
warna warni. Dan tulisan dengan hurup hurup besar :
HIDUP BAHAGIA.
Sayangnya hubungan kemudian terputus sehingga aku gagal mencari petunjuk
tambahan.
Tenny yang memutuskan.

-- Halaman 47 Kolektor E-Book --


Katanya, ia tidak tahan melihat lebih ke dalam.
Mama Eyang sempat melihat, pikir Zulham takjub.
Kotak kotak kaca, liukan gelisah sejumlah ular dan tongkat dengan simpul tali di
ujungnya.Dari logo yang sempat kuperhatikan pada gedung gedung menjulang dan
gemuruhnya bunyi pesawat yang nyaris tanpa henti...
kuat dugaanku, Bung Zulham.
Bahwa tempat itu berada di Cengkareng. Setidak tidaknya, di seputar bandara
Soekarno Hatta!
Rani Pusparini memberi tahu dalam suratnya.Tidak tahu mengapa tetapi Zulham
menganggap serius semua petunjuk yang dalam situasi lain, pasti akan ia tertawakan
saking tak masuk di akal. Apalagi telah gadis itu mempersempit lokasi pencarian.
Masih mirip peta buta memang, tetapi Zulham tidak mengeluh. Ia dapat menanyai
supir supir taksi yang biasa mangkal disana. Atau ia dapat meminta bantuan koneksi
koneksinya.
Bung Zulham.
Karena apa yang nanti kau minta di sana berkaitan dengan halhal gaib, dapat
kupastikan mereka akan pasang harga. Lebih lebih mengingat mereka punya pelanggan
yang tampaknya bukan orang orang sembarangan. Maka beserta surat ini, kulampirkan
keperluan untuk itu agar kau tidak usah repot repot pulang atau menelpon entah ke
mana untuk dapat membayar sesuatu harga permintaan. Kau tidak pula harus
membuang buang tempo.
Ingatlah, setiap detik yang berlalu akan sangat berharga.Bukan mustahil, sewaktu
waktu orang lain mendahului...mengambil gadismu.
Bukan mustahil pula si penghujat iblis keburu tahu langkah langkah yang kita
lakukan.
Rani Pusparini seterusnya mengingatkan pula, bahwa tidak ada keharusan Zulham
mengganti uang yang disertakan dalam suratnya.

-- Halaman 48 Kolektor E-Book --


Itu milik Tenny. Kau pula penemunya, bersama tas tangannya.
Tenny tidak lagi membutuhkannya.
Firasatku mengatakan, saudara kembarku itu tak akan pernah kembali hidup
hidup.Pada kalimat itu, tampak tulisan Rani Pusparini tidak begitu rapi. Jelas
dipengaruhi perasaan berduka cita.
Tetapi yah... mari kita sudahi tetek bengek itu.
Kembali kepokok masalah, Bung Zulham.
Aku tahu kau pasti dapat menemukan gadismu itu. Dan nanti di sana aku akun
memberi petunjuk petunjuk tambahan.
Kuperingatkan, Bung Zulham.
Nanti di sana, jangan sekali kali berpikir apalagi sampai menyebut nyebut si
penghujat...
Zulham tertegun.
Bukan peringatannya, tetapi
"Nanti di sana aku akan.." dapat diartikan Rani Pusparini ada di tempat yang harus
dicari Zulham. Lalu mengapa gadis itu bersusah payah menulis surat, tidak ikut saja
sekalian dengan Zulham, dan Zulham tidak pula harus memeriksa petabuta.
Tak habis mengerti, Zulham meneruskan membaca.
Sebelum kututup suratku ini, Bung Zulham.
Kiranya perlu kuulangi bahwa kita menyatu raga untuk tujuan yang mulia. Berhasil
atau tidaknya tujuan itu tercapai, bukan kita yang menentukan tetapi Yang Maha
pencipta.
Kita hanya menjalankan tugas.
Dan setelah itu... secara pisik kita tidak lagi saling membutuhkan. Kau tentunya
cukup arif untuk memahami apa yang aku maksud!
Tentu saja.
Secara pisik tidak lagi saling membutuhkan,itu adalah penganti untuk sebuah kalimat

-- Halaman 49 Kolektor E-Book --


pendek dan lebih sederhana pengucapannya:
"Selamat berpisah!"
Zulham menggelengkan kepala dengan senyuman samar di bibir. Lalu membaca
penutup surat Rani Pusparini.
Sukses untukmu, Bung Zulham.
Dan lupakanlah si penghujat iblis.
Dia bukan tandinganmu!
Tandatangan yang indah, lalu...
Rani Pusparini, pelayan sang Dewi.
Pelayan Dewi Durga, itu terserah Rani Pusparini tetapi membuang Zulham begitu
saja untuk duduk diam sebagai penonton sungguh tidak disukai Zulham. Bagaimana
mungkin Zulham melupakan begitu saja bangsat terkutuk yang berlagak seperti nabi
itu. Penghujat iblis atau bukan, ia bertanggung jawab untuk kematian Bobby.
Ia permainkan Maria secara keji.
Dan kini,Tarida yang tidak berdosa apa apa entah telah diapakannya pula. Sekali
Zulham tahu bahwa bangsat itu menjamah apalagi sampai menciderai Tarida.
Zulham meraih gelas di depannya.
Dengan tangan gemetar saking marahnya. Namun di tengah kemarahan itu, telinga
Zulham toh diusik oleh peringatan beruntun mengenai apa atau dengan siapa
berurusan.
"Kumpulkan seratus orang dengan ilmu hitam mereka yang tangguh." kata Mama
Eyang.
Suara Agus, sahabatnya malah setengah menjerit;
"Dia manusia, tetapi bukan manusia!"
Dipertegas oleh peringatan Rani Pusparini,
"Dia bukan tandinganmu!"
Zulham mendekatkan gelas ke bibir. Sisa kopinya ia minum dengan wajah membeku.

-- Halaman 50 Kolektor E-Book --


Seakan ia tengah dipaksa meminum racun.
[]

***

ENAM

Tarida menunggu cukup lama, namun komunikasi telah terputus atau tepatnya
diputuskan oleh orang yang memiliki suara kharismatik itu. Tarida sudah mengulangi
pertanyaannya, siapa orang yang berbicara dengannya.
Tak ada tanggapan.
Juga tidak setelah ia memberitahu bahwa sebelumnya ia telah berusaha
membuka;pintu, tetapi pintu itu terkunci dari luar.
Tarida tidak segerah menyerah.
Ia coba sekali lagi.
"Kalau Anda memang ingin menghiburku, tolonglah nyalakan lampu kamar ini!"
Tak ada sahutan.
Sunyi lengang.
Pemintaannya tidak dikabulkan karena kamar tempatnya disekap tetap dalam
keadaan gelap gulita. Setelah menimbang nimbang sejenak, akhirnya Tarida
memutuskan untuk mengikuti saja orang misterius memukau itu.
Ia bangkit dari lantai.
Mencari pegangan pintu seraya membathin,
"Hiburan apa kiranya yang menungguku di luar sana?"
Pegangan pintu itu bergerak, lalu ia dorong ke depan.
Terbuka.

-- Halaman 51 Kolektor E-Book --


Pasti kuncinya telah digerakkan secara elektris pula, pikir Tarida. Sementara pintu
kamar ia buka semakin lebar. Ia belum percaya sepenuhnya bahwa ia akan dihibur.
Kalau pun hiburan itu memang ada, ia juga tidak tahu bentuknya dan belum tentu akan
melipur duka laranya. Bagaimana pun juga ia akan tetap;disekap entah untuk apa dan
mengapa.Di depan pintu kamarnya, tampaklah koridor panjang yang kosong
melompong. Lantainya berlapis karet merah hati, begitu pula warna dinding di kiri
kanan. Tampak pula satu lantai hotel atau barangkali juga sebuah flat yang dihuni oleh
kaum berduit.
Tetapi tunggu dulu.
Mengapa semua pintu itu tertutup?
Mengapa takada orang yang lalu jalang?
Suasananya begitu sunyi sepi, bagai tak berpenghuni. Koridor panjang yang terang
benderang itu, malah tampak seperti mati.Tetapi siapa tahu ada jalan dan kemungkinan
untuk lolos.Tarida mengumpulkan keberaniannya dan melangkahkan kaki ke luar pintu.
Mula mula ia hanya berjingkat.Kemudian langkahnya semakin tegas dan pasti. Ia
melewati pintu demi pintu sambil berharap ia bertemu seseorang untuk tempat bertanya
atau mendengar apa saja, misalnya alunan musik. Pendeknya apa saja yang mampu
membantunya untuk merasakan bahwa ia tidak datang sendirian.
Kemudian ia berhenti dengan terkejut.Koridor itu berakhir di sebuah tembok yang
tegak membeku, buntu. Tak ada lorong ke kiri atau ke kanan.
Tak ada jalan keluar masuk.
Tarida bergumam takjub,
"Mustahil!"
Pasti harus ada jalan keluar masuk ke lantai di mana ia berada. Barangkali ia telah
melewatinya tanpa sadar.Atau barangkali juga, jalan keluar masuk itu letaknya
tersembunyi di balik salah satu pintu tertutup yang telah ia lewati.
Bimbang.

-- Halaman 52 Kolektor E-Book --


Tarida memutar tubuh.
Diawasinya koridor panjang dihadapannya. Yang berakhir di pintu kamar yang ia
tinggalkan tadi. Pintu yang masih terbuka lebar. Memperlihatkan kegelapan yang gulita
di sebelah dalamnya dan kesunyian yang menekan di sekitarnya.Diawasinya pula pintu
demi pintu lain sepanjang koridor. Lalu menyadari bahwa semua pintu bentuk dan
warnanya sama, tanpa nomor:nomor dan tanpa petunjuk yang mana dari salah satu
pintu itu menutupi jalan keluar masuk ke lantai tempatnya berada sekarang ini.
Apa boleh buat.
Tarida harus nekad membuka pintu demi pintu. Ia dekati pintu pertama di sebelah
kiri. Diketuk dan karena tak ada sahutan, pegangan pintu ia gerakan.
Terkunci.
Begitu pula pintu sebelah kanan, ia berjalan pada pintu berikutnya. Kali ini ia tidak
lagi mengetuk. Ia langsung menggerakkan pegangan pintu,mendorongnya dan pintu itu
pun terbukalah.
Tarida seketika terpana.
Tampak sebuah kamar besar di hadapan. Kamar tanpa perabotan apaapa, kecuali
karpet lebar yang digelar pada lantainya. Dan di atas orang dewasa, dan dua tubuh
anak tanggung. Tiga dari mereka adalah lakilaki, dua lainnya berjenis perempuan.
Kelima orang itu sama telanjang bulat dan yang paling mengejutkan adalah mereka
semua tengah bersenggama tanpa mengeluarkan suara. Dua di antaranya terlihat
melakukan oral sex.Tarida pucat pasi menyaksikan pemandangan yang menjijikkan,
yang membuatnya malu dan ngeri sekaligus. Sebelum salah seorang dari mereka
mengetahui pintu telah ia buka. Tarida mundur perlahan lahan,bersijingkat menjauh,
punggungnya membentur pintu lain yang tahu tahu membuka sendiri sehingga Tarida
hampir saja terjungkal ke sebelah dalam.Sambil menutup mulut untuk menahan seruan
terperanjat, Tarida meluruskan tegaknya lantas memandang ke dalam melalui pintu
yang sudah terbuka itu.Wajah Tarida seketika pucat seperti kertas, nafasnya,dan

-- Halaman 53 Kolektor E-Book --


jantung bagai terhenti tak berdenyut. Apa yang dilihatnya bukanlah sebuah kamar
tidur, tetapi lebih menyerupai sebuah ruangan tempat menjagal. Lantainya basah,
kotor, di sana sini tampak tulang belulang dan daging berserakan. Darah membercak
dan mengalir dimana mana.Seorang lakilaki bertubuh tinggi besar dengan tampang
menakutkan, tengah sibuk mengampaki sesuatu di atas sebuah meja jagal yang terbuat
dari marmer.
Marmer itu bergelimang darah.
Dan diatasnya, sesosok tubuh perempuan telanjang, rebah terkulai dalam keadaan
yang nyaris kehilangan bentuk, sementara si lelaki terus saja menghujamkan kampak
yang memerah oleh genangan dan tetesan darah.Pemandangan itu sungguh di luar
daya tahan Tarida.
Tanpa bisa lagi dicegah ia mengeluh,
"Astaga, apa..."
Mendadak si tukang jagal menoleh ke pintu. Begitu melihat Tarida, matanya tampak
membelalak marah. Tubuhnya yang memerah oleh darah kemudian bergerak
meninggalkan meja jagal. Korbannya si perempuan yang tadi ia kampaki entah
bagaimana tiba tiba menggeliat bangun, lalu turun dari meja jagal dengan tubuh
tampak hancur di sana sini. Berjalan mengikuti penjagalnya mendekati Tarida dengan
mulut menyeringai lebar.
Mimpi buruk atau bukan, Tarida harus lari.Maka, dengan sekujur tubuh
bergemetaran dan lutut goyah alang kepalang, ia mundur tersuruk suruk menjauhi
pintu, memutar tubuh dengan susah payah, lantas berlari menyelamatkan diri. Satu
satunya arah yang mungkin ia itu tuju adalah pintu kamarnya sendiri yang masih
menganga terbuka. Namun sambil berlari, ia coba juga membuka pintu demi pintu
lainnya,berharap menemukan jalan tersembunyi. Tiga dan pintu itu terkunci
rapat.Tetapi pintu berikutnya terbuka. Tarida melihat ada tangga menurun diterangi
nyala lampu yang bersinar redup.

-- Halaman 54 Kolektor E-Book --


Akhirnya, pikir Tarida.
Akhirnya...
Antara takut dan harapan yang berbunga, ia mencoba ke belakang secara naluriah.
Si penjagal dan korbannya yang nyaris tak berbentuk itu sudah semakin dekat.
Masih ada lagi.
Sosok sosok tubuh lainnya lima sosok tubuh bugil yang tadinya dilihat Tarida sibuk
bersenggama, kini mengikuti untuk mengejarnya.
Wajah mereka semua tampak beringas. Dan karena mereka bergerak maju tanpa
menimbulkan suara, tanpa sepatah kata pula, ketujuh sosok tubuh itu tak ubahnya
zombie.
Mayat mayat yang bangkit dari kubur.
Tarida menjerit.
Tetapi lidahnya kelu, tersekat tanpa suara pula. Secara membabi buta, ia melompati
pintu terbuka di depannya, lalu berlari menuruni anak tangga demi anak tangga
meninggalkan para pengejarnya. Semakin ke bawah tangga itu semakin remang remang
dan melingkar bagai spiral tanpa ujung.
Tetapi Tarida tidak peduli.
Ia terus saja berlari turun, membelok, dengan jantung yang sudah mulai sesak dan
paru paru seakan sudah akan meledak.Suatu saat, Tarida merasa ia tidak sanggup lagi
berlari lebih jauh. Kecuali bila ia berhenti dan istirahat sejenak. Ia pun menyandar ke
tembok, dengan nafas terputus putus dan lutut setengah tertekuk menahan bobot
tubuhnya yang seakan berat luar biasa.Namun baru juga dua tiga tarikan nafas, bayang
bayang itu sudah muncul. Bayangan sosok tubuh menuruni tangga ke arahnya, dan
tampak pula bayangan kampak terayun ayun menyeramkan. Seketika Tarida
mengabaikan jantung serta paruparunya. Ia kembali berlari turun, melompati anak
tangga demi anak tangga yang mulai tampak remang remang saja.
Tiba di sebuah belokan, keadaannya malah lebih gelap lagi.Tetapi untuk pertama

-- Halaman 55 Kolektor E-Book --


kali semenjak menuruni tangga,ia merasakan adanya tiupan angin segar dari arah
depan. Ia juga melihat kelap kelip cahaya menerangi lantai nun di bawah.
Dan suara suara!
Suara percakapan yang samar samar diselang seling tawa riang gembira.Semangat
Tarida kembali berbunga, ia pun berlari turun semakin cepat. Tinggal beberapa anak
tangga lagi ia akan selamat.Lalu sekonyong konyong anak tangga terakhir dan lantai di
bawahnya, tahu tahu saja lenyap. Begitu pula suara suara dan kelap kelip cahaya tadi.
Dalam keterkejutannya, Tarida terlambat menyadari bahwa kakinya sudah keburu
melompat, tubuh pun sudah condong ke depan. Tanpa dapat lagi dicegah,
Tarida pun terhuyung jatuh. Dengan ngeri ia membayangkan tubuhnya terjun lalu
terhempas di lantai beton yang keras.Tetapi siapa nyana, lantai itu memang tidak
pernah ada.Tubuh Tarida melayang, dan terus saja melayang menuju kegelapan yang
menganga hitam di bawahnya.Memasuki ruang kosong, hampa dan gelap gulita yang
seakan tanpa akhir. Saat itulah tiba puncak kengerian Tarida. Diikuti antiklimaks,
Tarida akhirnya mampu juga mengeluarkan suara jeritan.
Dengan mata terpejam pasrah. Tarida menjeritkan sebuah nama :
"YaAllah...!"
Tubuhnya masih terus melayang semakin cepat. Sampai tiba tiba, semuanya berakhir.

Dalam seketika.
[]

***

TUJUH

-- Halaman 56 Kolektor E-Book --


Keluar dari jalan tol Jagorawi, Zulham berhenti sebentar di tempat telepon umum
pertama yang ia temukan.Ia segera menghubungi rumah Maria yang diterima oleh
Asep.
"Sudah ada kabar mengenai Tarida?"
"Belum, Oom."
"Bagaimana dengan Parung?"
"Sesuai dugaan semula, Om. Hanya isapan jempol. Ohya, Pak Kapten menanyakan
Oom. Juga tiga telepon lainnya..."
"Dari?"
"Dari rumah Oom. Bergantian. Mereka sangat kuatir..."

Zulham mengucapkan terimakasih pada Asep, lalu kembali ke mobilnya. Kapten


Parluhutan pasti ingin membicarakan sesuatu, tetapi itu nanti aja. Seperti dikatakan
Rani Pusparini, Zulham harus mengejar setiap detik yang tersisa. Selagi memacu
minibusnya menuju Cengkareng. Zulham berpikir tentang keluarganya dirumah.
Mereka menguatirkan Zulham, itu pasti. Tetapi mereka lebih-lebih menguatirkan
Tarida.
"Terutama bibi Zulham."
"Selama tidak ada kabar bahwa Tarida baik-baik saja,aku tidak akan pernah tidur
dengan nyenyak!" bibir-nya berkata serius.
Dan yang tidak habis dimengerti Zulham adalah kalimat lainnya,
"Dia mencintaimu.Dengan sangat!"
Tarida?
Bibi Zulham barangkali telah melihatnya mela-lui nalurinya sebagai seorang
perempuan. Tetapi mungkinkah Tarida jatuh cinta secepat itu?

-- Halaman 57 Kolektor E-Book --


Zulham menghitung-hitung dan kemudian terkejut sendiri. Baru dua tiga hari tetapi
rasanya sudah begitu lama ia mengenal Tarida. Masih ada lagi.
Begitu sudah dapat dipastikan bahwa Tarida memang telah diculik, Zulham langsung
terpukul. Sesuatu seakan direnggut lepas dari sanuba-rinya.Zulham
membanding-banding dengan apa yang telah ia alami bersama Rani Pusparini. Gadis
itu tidak hanya cantik, bertubuh seksi, dan masih perawan tulen sam-pai saat-saat
terakhir Zulham masuk ke dalam cottage gadis itu. Rani Pusparini juga berpenampilan
mena-wan, jelas berpendidikan dan kaya pula. Tetapi ketika Zulham membaca dalam
surat gadis itu :
'Tidak ada dorongan emosionil bernama cinta..."
Zulham membenarkan yang ada hanya dorongan nafsu syahwat yang kemudian
berakhir begitu saja, setelah nafsu syahwat itu tersalurkan.Tidak pula Zulham kecewa
apalagi terpukul, setelah dalam surat itu Rani Pusparini menegaskan :...
"secara pisik kita tidak lagi saling membutuhkan!"
Selamat berpisah!
Dan.
Zulham tidak merasa kehilangan apa-apa!

***

Setelah enam kali gagal, Zulham akhirnya mendapat reaksi mengembirakan dari
supir taksi ke tujuh yang ia tanyai.
"Hidup Bahagia? Tentu saja! Dengan tip meng-gembirakan dari pelanggan yang
sering kuantarkan kesana, tentu saja aku bisa menikmati hidup bahagia..."
Zulham memutuskan untuk meninggalkan saja mini-busnya di pangkalan setempat.
Setelah menyimpan amplop berisi uang milik Tenny di balik bajunya, ia
minta:diantarkan oleh supir taksi tersebut, dari siapa ia kemudian memperoleh

-- Halaman 58 Kolektor E-Book --


informasi tambahan yang benar-benar menarik.
"Bukan, Oom!" si supir menjawab salah satu pertanya-an Zulham.
"Memang banyak orang menduga bahwa itu tempat ibadah atau rumah para
penginjil, dan en-tah apa lagi. Sebenarnya, itu adalah sebuah rumah makan eksklusip.
Mereka punya pelanggan tetap, begitu-lah menurutku. Umumnya dari kalangan
bisnis..."
"Sesuai logo di depan bangunannya, Oom!" supir taksi itu menjawab pertanyaan
lainnya.
Tetapi menunya bu-kan hanya berasal dari ular kobra saja. Ada misalnya,bistik ular
sanca... katanya untuk menjaga kebugaran tubuh. Mau tetap awet muda?
Pilih saja cocktail darah ular hijau. Dan..." si supir menyebut sejumlah menu lainnya
yang kesemuanya mencengangkan Zulham.Menu apa pun, dan sebagian besar dari
jenis ular pa-ling berbisa, khasiatnya lebih ditonjolkan ketimbang cita rasanya sebagai
makanan atau minuman spesifik.
"Tetapi ada sejenis menu yang mereka tidak pernah mau membicarakannya secara
terbuka." supir taksi itu masih terus saja berkicau.
"Menu untuk teman tidur.Entah apa maksudnya, dan..."
"Itulah yang harus kau pesan. Teman tidur!"
Zulham mendengar bisikan samar-samar. Terkejut ia memandangi si supir taksi di
jok depan. Orang itu asyik terus bercerita tentang apa saja yang ia ketahui atau dengar
mengenai rumah makan Hidup Bahagia. Suaranya lan-tang dan jelas bukan supir itu
yang berbisik barusan.Barangkali ia sudah sedemikian terpengaruh oleh ce-rita si supir
dan bisikannya sendirilah yang telah ia de-ngar.
Bisikan yang terlontar tanpa sadar.
Taksi melambat Zulham pun melihatnya. Sebuah bangunan artistik di sebelah kiri
jalan dengan lampu warna warni mengelilingi ukiran gambar seekor ular kobra dengan
tulisan besar disebelahnya :

-- Halaman 59 Kolektor E-Book --


HIDUP BAHA-GIA.
Taksi sempat berhenti untuk memberi kesempa-tan sebuah mobil lain keluar lebih
dulu dari pintu ger-bang halaman parkir.Mobil itu sudah keluar dan taksi sudah akan
membelok masuk, sewaktu Zulham tiba-tiba menyadari sesuatu lantas berkata setengah
berseru,
"Tunggu!"
Taksi tidak jadi membelok. Zulham mengawasi mobil yang berlalu di depannya,
kemudian meminta supir:taksi cepat-cepat mengikuti mobil di maksud.
"Dahului saja!" katanya memberitahu.
Setelah taksi sudah berdampingan dengan mobil terse-but Zulham mengeluarkan
tangannya keluar jendela:untuk memberi tanda. Melihat apa yang dilakukan oleh
penumpangnya, supir taksi secara naluriah ikut pula memberi tanda dengan lampu
sign, sambil terus berpacu mendahului.
"Menepilah..."
Zulham memerintahkan.
Taksi menepi di pinggir jalan diikuti oleh mobil lainnya.

***

Parluhutan keluar dengan wajah gusar dari dalam mo-bilnya. Ia melangkah panjang
menuju taksi di depan,sambil menggeram,
"Apa-apaan..." lalu ia melihat Zul-ham keluar dari taksi.
"Bah. Kau, rupanya!"
Zulham memandang ke bangunan berlogo ular kobraitu sambil bertanya
keheran-heranan,
"Bagaimana An-da mengetahuinya, Kapten?"
Omelanlah yang ia terima.

-- Halaman 60 Kolektor E-Book --


"Hem, Mau berburu sendiri-an, ya? Setelah aku terpaksa memulung sekian banyak
sampah yang kau tinggalkan di belakangmu?"
Zulham menyeringai.
Kecut.
"Panjang ceritanya,kapten..."
"Aku siap mendengarnya! Dengan catatan. Sekali lagi kau coba-coba melangkahi
aku..."
Parluhutan bernafas panjang pendek, tampak benar-benar sedang marahbesar. Ia
menyandar ke taksi di sebelah Zulham.
Lantas menggeram:
"Haram jadah!"
Zulham membisu saja.
"Maksudku yang di sana itu..."
Parluhutan berujar lu-nak seraya menggerak-gerakkan dagu ke arah tempat yang
barusan ia tinggalkan.
"Di sanalah aku baru tahu.Bahwa seorang penjaga pintu adakalanya masih lebih
berkuasa dari seorang perwira polisi!"
Tanpa diminta, ia lalu bercerita dari awal.Setelah berpisah dengan Zulham, ia
menelaah apa-apa yang ia dengar dari Asep. Ia menaruh minat khusus pada Sumadi
karena sebelumnya Tarida diculik, pengaca-ra itulah orang terakhir yang ditemui
Tarida. Ia juga memikirkan kecelakaan lalu lintas yang terjadi di de-pan kantor si
pengacara. Lalu korban kecelakaan, dokumen misterius yang diterima Asep dari si
pemuda ber-celana jean lusuh, setelah mana pemuda itu mengak-hiri hidupnya secara
mengerikan.
"Sumadi lagi-lagi terkait!" dengusnya
"Maka kusuruh anak-anak untuk mengawasi dan menguntit Sumadi.Dengan
perkiraan Tarida tentunya mengetahui sesu-atu. Si pengacara tahu bahwa Tarida tahu,

-- Halaman 61 Kolektor E-Book --


begitulah.Lalu Tarida tiba-tiba menghilang..."
Salah satu laporan yang masuk, dengan seketika meng-gugah perhatian dan
ingatannya, dilaporkan, Sumadi terlihat memasuki sebuah bangunan dengan logo
se-ekor ular kobra, lengkap dengan rincian lainnya yang mengingatkan Parluhutan
pada petunjuk yang pernah diberikan Mama Eyang. Sumadi hanya sebentar di da-lam
untuk seterusnya pulang. Informasi berikutnya masuk dengan rincian baru Hidup
Bahagia adalah sebuah rumah makan dengan menu sesuai logonya:
ular.
Maria, pikir Parluhutan, terkejut.
Ia lalu menghubungi Zulham pertelepon.
"Tetapi karena kau tidak munculdi rumah Maria maupun di rumahmu sendiri,
kuputuskan untuk tidak membuang tempo!" katanya, sementa-ra Zulham mendengarkan
dengan penuh minat
"Tahu apa hasilnya?"
Parluhutan dihentikan di pintu masuk Hidup Bahagia.Penjaga yang menunggui pintu
tertutup itu menyambut kedatangannya dengan sebuah permintaan lembut.
"Tanda pengenal, Tuan?"
" Apakah itu sebuah keharusan?"
"Tidak, bila Tuan adalah pelanggan lama..."
Mau tidak mau Parluhutan memperlihatkan kartu identitasnya. Sipenjaga pintu
meneliti sekilas, tersenyum manis kemudian berujar sopan,
"Terimalah penyesalan saya Kapten. Tetapi sesungguhnya, saya tidak dapat
membantu Anda."
"Aku memang tidak perlu bantuan siapa-siapa, hanya untuk masuk kedalam!" dengus
parluhutan jengkel.
"Tentu saja, setelah lebih dulu aku menendangmu keluar!"
Penjaga pintu itu tetap tenang.

-- Halaman 62 Kolektor E-Book --


"Saya percaya, Anda mampu melakukannya!"
Penolakan yang santun itu mengendorkan kemarahan Parluhutan yang sudah sempat
naik ke kepala.
"Coba andaikata ia ikut marah. Urusannya pasti akan lain!"
Parluhutan bersungut-sungut.Zulham menahan tawa di perut.
"Pasti akan lain. Bila Kapten membawa surat perintah..."
"Atas dasar apa? Petunjuk seorang dukun, eh... aku kesini kan bermodalkan nekad
saja!"
"Andaikata anda diperbolehkan masuk"
Zulham ber-kata setelah berpikir-pikir.
"Apa, setelahnya?"
"Menanyai mereka. Apakah selama 24 jam terakhir,mereka menerima kiriman stock
baru, stock ular, tentu! Kalau ada, aku akan membeli seekor diantaranya bera-pa pun
harga yang mereka minta. Sepanjang ular itu ada lukanya, dan luka itu bekas di tembus
peluru!"
"Ide yang menarik! "cetus Zulham, tertarik.
"Mau mencoba?"
"Tetapi... Tanda pengenal."
"Siapa tahu, penjaga pintu di sana tiba-tiba jatuh cinta pada wartawan!" parluhutan
memberi jalan.
Kartu pers.
Dari media cetak yang kini di ambil alih oleh Tridharma. Mengapa tidak, pikir
Zulham yakin bahwa rumah makan itu tentunya salah satu jenis usa-hanya yang
dikelola oleh Tridharma pula.
"Sebagaimana anda katakan, Kapten. Bermodalkan ne-kad!"
Zulham memutuskan.
"Aku akan menunggu di sini." parluhutan mendorong semangat Zulham.

-- Halaman 63 Kolektor E-Book --


"Dan bertepuk tangan dengan me-riah, begitu kulihat pintu terbuka untukmu!"
Zulham tertawa.
Dengan perasan mendadak gelisah.Setelah pamit pada parluhutan, ia masuk ke taksi
yang seketika memutar arah. Tak sampai satu menit berikut-nya, taksi itu pun berhenti
di halaman parkir Hidup Bahagia. Lebih dulu Zulham meyakinkan bahwa Kartu
pers-nya ada didompet. Ia rapihkan penampilannya sebentar, kemudian keluar dari
dalam taksi.Pada langkah pertama, perasaan gelisah itu terus me-ngikuti. Saking
gelisah, Zulham tanpa sadar melepas kancing paling atas kemejanya. Kemudian
meneruskan langkah ke pintu di mana terlihat seorang penjaga berpenampilan menarik,
berdiri menunggu.Selama satu detik, Zulham dan si penjaga pintu saling menaksir.
Detik berikutnya Zulham sudah akan mero-goh dompetnya, ketika si penjaga pintu
melihat ke da-da Zulham yang setengah terbuka. Saat itu juga, sipenjaga pintu
mendekuk pundak untuk memberi hor-mat. Kemudian dengan senyuman lebar ia
membuka pintu untuk Zulham.
"Silahkan, Tuan..."
Dari jauh, Kapten Parluhutan Siagian menyaksikan sampai Zulham masuk kemudian
menghilang dibalik pintu yang segera sudah di tutupkan lagi.
Parluhutan tidak bertepuk tangan.
Ia tercengang!
[]

***

DELAPAN

"Bangunlah..."

-- Halaman 64 Kolektor E-Book --


Tarida tidak segera membuka matanya.
Suara siapa itu?
Ada di mana dia?
Tangan digapaikan meraba-raba.
Ah, sebuah tempat tidur empuk dan hangat. Ia se-perti mengenalinya, tetapi yakin itu
bukanlah ranjang dimana ia biasa tidur.
"Ayolah. Sudah waktunya makan!"
Suara itu terdeng-ar lagi. Lembut, menyenangkan.
Makan?
Benar.
Karena hidung Tarida membaui menu kesuka-anya yang biasa dihidangkan Esih jika
ia menginap dirumah Maria. Ayam panggang dengan aroma bumbu ramuan khas Esih
yang Tarida pernah mencobanya namun gagal. Juga tercium aroma lain yang tidak
kurang juga merangsangnya Tetapi, bagaimana mungkin?
Tarida pun menggeliat bangun.
Bersamaan waktu de-ngan menyalanya lampu sehingga Tarida terkejut dan sempat
silau karena matanya tiba-tiba diterpa cahaya terang benderang, setelah matanya
terbiasa, bingung ia memandang berkeliling.
Tarida ada di sebuah kamar ti-dur mewah.
Tampak lemari besar di sepanjang satu sisi tembok. Lalu sebuah meja rias antik
dengan cermin be-sar dimana tersedia seperangkat kosmetik dari merk id-aman Tarida
yang ia hanya mampu membeli sesekali..
Ini pun tidak sekaligus.
Kemudian Tarida seakan mengenali pula tirai tinggi dan lebar dengan bentuk
melengkung ke arah luar. La-lu pintu kamar mandi, ke dalam mana ia merasakan
pernah masuk dan menggalami hal-hal mengejutkan.Teringat sampai di situ, seketika
Tarida berpaling kearah lain, pintu keluar dari kamarnya.

-- Halaman 65 Kolektor E-Book --


Dan tiba-tiba tubuhnya merinding.
Apakah benar ada lorong pan-jang di luar sana?
Lalu pintu-pintu tertutup, sekelom-pok orang sedang bersenggama, tukang jagal yang
se-dang mengampaki tubuh seorang perempuan. Mereka:semua tahu-tahu ke luar untuk
mengejarnya, termasuk perempuan yang nyaris tak berbentuk karena habis dikampaki
penjagalnya. Tarida pun teringat bagaima-na ia melarikan diri menuruni tangga
panjang berbelok-belok sampai akhirnya...
Ataukah Tarida telah tertidur lantas bermimpi yang bukan-bukan?
Tetapi semua kejadian itu serasa masih se-gar dalam ingatannya.
Semua itu seperti nyata.
Malah saat ini pun sekujur tubuhnya lunglai, lelah alang-kepalang!
Dengan perasaan takut, Tarida menghindari matanya dari pintu tersebut. Kembali
berpaling dan melihat kemeja duduk. Di situ terhidang apa yang aromanya tadi sudah
tercium olehnya. Bekakak ayam, panggang ikan,kakap goreng, sambal kecap, lalap, dan
tentu saja nasi yang masih mengumpulkan uap harum semerbak. Ba-gaimana mungkin
semua itu tahu-tahu sudah terhi-dang di atas meja duduk?
Padahal ia tak mendengar ada orang keluar masuk. Satu-satunya jawaban adalah
bahwa ia telah tidur. Dan sewaktu Tarida diteror mim-pi buruk, salah seorang dari
penculiknya telah masuk ke dalam mengantarkan makanan untuk Tarida.
Ragu-ragu sejenak.
Tarida kemudian turun dari tempat tidur. Bau makanan yang begitu kuat merangsang
pe-rasaan laparnya. Dan ia harus makan, jika tenaganya ingin pulih kembali.
Persetan dengan gengsi!
Ia duduk di kursi terdekat dan meraih air putih bening untuk membasahi
kerongkongannya yang kering seba-gai permulaan. Gelas didekatkan ke bibir, dan
sebagai-mana kebiasaan yang sudah mendarah daging, Tarida pun membaca
Basmallah. Dan mendadak Tarida me-lompat berdiri dengan wajah pucat pasi.

-- Halaman 66 Kolektor E-Book --


Serempak de-ngan itu, gelas di lepaskan seketika.
Gelas jatuh ke lan-tai.
Pecah.
Isi gelas membercik kian kemari, menggenang. Me-mang itulah yang dilihat Tarida,
saat ia membaca basmallah. Air putih bening, tahu-tahu saja berubah sang-at merah,
kental,dan menebarkan bau amisnya darah!
Secara naluriah, Tarida ganti memandang hidangan diatas meja. Bekakak ayam
tampak meleleh mengeluar-kan cairan seperti nanah. Sesuatu tampak menggeliat keluar
dari bagian dalam bekakak.
Ulat.
Warnanya ku-ning kemerahan dalam jumlah yang mengerikan dan dalam tempo
singkat bekakak itu sudah berubah jadi tumpukan ulat. Sama halnya dengan ikan kakap
go-reng. Sementara lalap dikerubungi ratusan ulat hijau.Dan tempat nasi sudah
dipenuhi tumpukan cacing yang bergulung-gulung menggelupur dengan suara be-risik,
ribut.
Perut Tarida bergolak, mual.
Tubuhnya menekuk, lalu Tarida muntah dengan hebat.Setengah terbungkuk menahan
isi perut yang bergolak.Tarida mundur ke arah tempat tidur. Dan ia terus mundur
sampai kemudian punggungnya membentur tem-bok di mana ia kemudian berdiri
menyandar. Bingung sesaat ia menduga bahwa ia telah mundur kearah yang salah, saat
berikutnya ia tertegak seram ka-rena didatangi pikiran bahwa otaknya sudah tidak
wa-ras lagi.
Betapa tidak!
Setelah matanya yang sempat nanar akibat muntah-muntah dapat memandang
nor-mal kembali, ia segara menyadari bahwa bukan arah-nyalah yang salah.
Melainkan, segala sesuatu benda dikamar itu. Tempat tidur sudah tidak tampak di
tempatnya.

-- Halaman 67 Kolektor E-Book --


Lenyap,entah kemana.
Demikian pula lemari-lemari pakaian, meja rias dan segenap
perlengkapannya,kursi-kursi maupun meja duduk beserta apapun yang tadi ada di
atasnya. Termasuk ribuan mahluk-mahluk menjijikkan itu. Kesemuannya lenyap.
Sirna, tanpa bekas.
Tarida kini ada di sebuah ruangan kosong me-lompong.
Terang benderang masih, namun teramat su-nyi menakutkan.Saat Tarida
terbengong-bengong hilang akal itulah, su-ara itu muncul lagi.
Suara yang khas.
Lembut, kharis-matik.
"Siap menerima kenyataan Anakku?"
Tarida menatap berkeliling.
Namun seperti yang sudah-sudah, sia-sia saja matanya mencari petunjuk apalagi
sosok orang yang berbicara kepadanya. Tarida menahan nafas, lantas menggagap
dalam rintihan sakit.
"Apa maksud semua ini?"
"Maksudnya, Anakku. Untuk mengingatkan bahwa kau ada di tempatku..."
Suara lembut itu menyahut tenang.
"Apapun yang ada dan terjadi di sini, berlaku atas kehendakku. Siapapun tidak
kuperkenankan me-nyebut nama lain di sini, kecuali, namaku..."
"Nama lain?"
Tarida merintih tak mengerti.
"Aku tidak tahu apa..."
Ada desahan nafas samar.
Desahan tak senang.
Lalu ketika suara itu tak terdengar lagi, nadanya sudah be-rubah. Apa yang didengar
Tarida adalah umpatan marah.

-- Halaman 68 Kolektor E-Book --


"Terkutuk! Gangguan apa pula ini?!"
Lantas sepi.
Suara itu terdengar lagi walau desahan nafasnya saja.Tetapi kamar kosong
melompong di mana Tarida bera-da terasa ditebari hawa nafas menggerahkan yang
tiba tiba telah berubah dengan cepat menjadi dingin menu-suk.
Lampu pun padam.
Gelap gulita seketika di sekeliling Tarida. Dalam kege-lapan yang teramat menekan.
Tarida mengeluh. Tak tahan oleh serbuan hawa dingin yang semakin menghe-bat.
Perlahan-lahan, tubuhnya meluncur.
Jatuh ke lan-tai.
Menggelepar.
[]

***

SEMBILAN

Setelah dibuat heran atas sambutan si penjaga pintu,


Zulham kemudian dibuat takjub pula setelah menyaksikan suasana ruangan yang ia
masuki. Seketika Zulham merasa berada di restoran sebuah hotel berbintang li-ma.
Bukan di rumah makan biasa sebagaimana semu-la. Belum habis ia mengagumi segala
sesuatu yang tam-pak serba wah, seorang pramulayan berseragam rapi dengan dasi
kupu-kupu pada lehernya sudah mendatangi dengan cepat. Membungkuk sopan dan
kemudian bertanya dengan suara ramah menyenangkan.
"Sudah pesan meja Tuan?"
"Belum." jawab Zulham seraya mengawasi sebagian besar meja di ruangan itu sudah

-- Halaman 69 Kolektor E-Book --


terisi oleh para pengun-jung yang sedang bersantap dengan santai.
Alunan musik klasik dengan volume lunak, terasa menambah ke-santaian di
sekitarnya.
"Bila demikian. Tuan. Mari saya antarkan ke salah satumeja yang belum dibooking.
Silahkan."
Pramulayan itu membungkuk sopan dan mengajak Zulham untuk mengikuti.Bagai
kerbau dicucuk hidungnya, Zulham hanya menurut patuh karena ia belum tahu apa
yang harus diper-buatnya, bahkan apa yang mesti dipesan nantinya. Se-waktu menuju
meja yang ditunjukkan pramulayan itu-lah Zulham melihat gerakan seseorang di salah
satu meja. Orang itu melihat pada Zulham dengan panda-ngan tercengang, kemudian
berbicara sebentar dengan suara rendah pada teman-temannya satu meja. Salah
seorang dari mereka dikenali Zulham sebagai seorang perwira tinggi yang kariernya
tengah menanjak sehingga nama maupun wajahnya akhir-akhir ini acapkali muncul di
media cetak atau televisi.Baru saja Zulham menghenyakkan pantat di kursi, or-ang
yang memandangnya dengan tercengang tadi sud-ah berada di hadapan Zulham. Ia
mengulurkan tangan sambil berujar takjub.
"Bung Zulham. Tak kusangka."
"Apanya yang surprise, Pak Alek?" desah Zulham me-nyimpan gejolak perasaan
seraya bangkit untuk me-nyambut uluran tangan orang tersebut.
Di dalam ia membathin.
"Dia inilah pengacara terkemuka yang na-manya kulihat dalam dokumen Tenny
Puspasari..."
Pramulayan berdiri dengan sopan.
Tidak berani mengusik karena pengacara itu masih berceloteh.
"Jika sejak dulu aku tahu kau termasuk."
Ia tidak meneruskan, ru-panya kewaspadaan pengacara itu belum sepenuhnya
hilang. Lanjutnya, dengan suara rendah,

-- Halaman 70 Kolektor E-Book --


"Rapikan ke-mejamu, Bung. Sebelum mereka yang lain menganggapmu urakan!"
Sewaktu memasang kancing atas kemejanya yang tan-pa sadar di luar tadi telah ia
lepas terbuka, barulah Zulham menyadari dua hal.
Pertama, surprises pengacara.
Dan sebelum itu si penjaga pintu.
"Jadi inilah tanda pengenal itu?" ia membatin.
"Liontin dengan lambang ular berkepala ganda."
Teringat pada liontin, mau tidak mau Zulham teringat pula pada pemilik
sesungguhnya, Maria magdalena.Bagaimana caranya ia memastikan Maria ada di
seki-tar tempat ini?
Dan bagaimana pula ia harus mengusir si pengacara agar bisa berpikir tanpa
terganggu. Zul-ham kembali gelisah, sementara si pengacara dengan suara tetap
rendah memberitahu bahwa ia dijamu rela-si, jadi tidak punya hak untuk mengundang
Zulham bergabung di meja mereka.
"Meski aku sebenarnya ingin memperkenalkanmu...."
Semua itu didengarkan Zulham, sambil melihat acuh pada daftar menu yang
sebelumnya telah ia terima dari si pramulayan. Sebelum pengacara itu semakin la-rut,
Zulham memotong pembicaraannya dengan perta-nyaan asal-asalan saja. Sambil
menunjuk ke salah satu daftar,
"Gelang-gelang capcay. Belum pernah kucoba."
"Harus, Bung!"
Si pengacara menanggapi.
"Untuk orang muda dan masih bujangan sepertimu, gelang-gelang cap-cay pasti
sesuai. Capcay dengan campuran sosis alami."
"Sosis alami?"
"Hanya bentuknya seperti sosis"
Si pengacara menjelas-kan dengan bersemangat.

-- Halaman 71 Kolektor E-Book --


"Tetapi yang ini lebih panjang. Diiris menuruti susunan gelang-gelang pada
tu-buhnya. Dengan sendirinya, kulitnya dibiarkan utuh.Tidak dikelupas lebih dulu.
Alami, bukan? Dan jangan sia-siakan bagian kepala, Bung. Kepala ular belang
ber-khasiat untuk membuat inimu..."
Si pengacara menun-juk selangkangan sendiri.
"Kencang dan tahan lama."
Zulham merinding pucat. Terbayangkan Maria diiris-iris, dipotong-potong, kemudian
dimasukkan ke oven atau penggorengan.Alex, si pengacara keliru menafsirkan
perubahan di wajah Zulham.
Tertawa kecil, ia berkata,
"Agaknya, kau baru pertama kali kemari, ya?"
Zulham manggut saja sambil diam-diam mengingatkan diri sendiri bahwa wujud
Maria sekarang ini tentulah bukan seekor ular belang. Kepingan sisik-sisik yang ia
tinggalkan di rumah sakit, warnanya hitam legam.
Polos.
Tetapi apa bedanya?
Tetap saja Maria akan atau sudah?
"Untuk orang pemula, Bung Zulham. Mengapa tidak kau pesan empedu kobra saja.
Toh..."
Ia menoleh lalu bangkit dari kursinya.
"Astaga. Aku telah melupakan relasi-relasiku. Datanglah ke kantorku
kapan-kapan,Bung Zulham. Banyak yang akan kita perbincangkan setelah aku tahu
bahwa kau juga.."
Ia melirik sambil lalu ke arah dada Zulham, tersenyum riang, kemudian berlalu.
Zulham menarik nafas panjang.
Lalu menyadari bah-wa pramulayan masih menunggu.
Zulham kembali gelisah.

-- Halaman 72 Kolektor E-Book --


Pesan apa dia?
Daftar menu itu sungguh mendirikan bulu roma. Dan Maria harus diambilnya
utuh-utuh dari tempat ini. Dan Zulhamyharus menyebut nama. Tentu saja bukan nama
Maria,tetapi nama jenis wujutnya sekarang ini. Yang mana-kah dari daftar menu itu?
Atau ah... sebaiknya ia pesan minuman botol saja dulu sambil berpikir-pikir lagi.Ada
suara tawa lembut dan terdengar samar-samar.Zulham berpaling pada si pramulayan,
menyangka orang itulah yang menertawakannya. Pramulayan ter-senyum, dengan sikap
sopan.
Bukan dia.
Dan menga-pa pula dia harus tertawa?
Zulham kan belum sempat menyebutkan pesanannya, minuman botol, yang jelas
terdengar menggelikan di tempat semacam ini.
"Teman tidur!"
Suara itu terdengar lagi.
Sayup-sayup tetapi jelas dan nyata.
"Bukankah sudah kukatakan tadi, Bung Zulham?"
Zulham terkesiap.
Itu adalah suara Rani Pusparini!
Zulham mengitarkan pandang ke sekitar, tetapi kema-na pun matanya mencari tetap
saja ia tidak melihat Rani Pusparini. Sampai bisikan itu terdengar lagi ber-nada tak
sabar.
"Bersegeralah, Bung Zulham. Waktuku sangat sempit. Aku khawatir ada yang
menguping suara batinku yang kukirim ke batinmu!"
Telepati!
Dan Zulham membayangkan sebuah cottage dengan seorang gadis duduk di sebuah
altar, menghadap ke sebuah berhala berwujut ganda. Jadi itulah yang dimaksud-kan
Rani Pusparini dengan isi suratnya.

-- Halaman 73 Kolektor E-Book --


"Disana nanti,aku akan memberi petunjuk-petunjuk tambahan..."
Zulham membulatkan hati.
Tersenyum pada pramulayan, ia bertanya :
"Bagaima-na dengan... teman tidur? Masuk daftar ini tidak?"
Pramulayan membungkuk sopan dan menunjuk kesalah satu daftar.
"Yang ini. Tuan."
"N,N. snack"
Zulham membaca.
Lantas menggumam dengan dahi mengerut.
"No Name Snack. Snack tanpa nama?"
"Bukan snacknya, Tuan. Tetapi bahan bakunya. Dari jenis baru dan belum diketahui
apa namanya. Stock terakhir baru masuk tadi pagi. Dijamin masih segar-segar.Tuan."
"Pagi tadi..."
Zulham berdebar. Semoga belum ada yang mendahuluinya. Harap-harap cemas ia
bertanya:
"Boleh melihat dulu... barangnya?"
"Dengan senang hati. Silahkan, Tuan..."
Pramulayan itu berjalan di depan menuju sebuah pintu dorong, masuk ke sebuah
gang. Untuk menahan deburan jantung dan perasaan was-wasnya, Zulham iseng
bertanya.
"Kok dinamai teman tidur, ya?"
"Saya sendiri tidak tahu, Tuan." jawab pelayan.
"Kon-on, akan menolong untuk mendapatkan teman tidur dengan mudah. Di mana
dan kapan saja. Apalagi jika dimakan mentah-mentah, tentu saja dengan bumbu..."
Sementara si pramulayan menjelaskan bumbu khasmodel tempura.
Zulham bergidik di belakangnya.
Di-makan mentah-mentah.

-- Halaman 74 Kolektor E-Book --


Seekor ular saja, memang.
Te-tapi bagamana jika ular itu adalah Maria?
Mereka membelok dan tiba di depan sebuah pintu yang setengah terbuka. Ada pintu
tembus di seberang menuju sebuah taman terbuka, dan tampak suasana sebuah dapur
yang sibuk di balik jendela-jendela kacasebelah kanan taman terbuka itu. Pramulayan
berbica-ra dengan seseorang di dalam pintu yang setengah ter-buka, kemudian ke luar
dan mempersilahkan Zulham masuk. Membungkuk sesaat, pramulayan itu kemudi-an
berlalu.
Kembali ke ruang utama.
Adapun ruangan yang dimasuki Zulham, mirip sebuah gudang. Ada tumpukan
peti-peti kayu, serakan rumput-rumput kering, serpihan tanah, dan kemudian ter-cium
bau yang terasa agak memualkan perut. Zulham kemudian melihat sejumlah
kotak-kotak kaca yang me-nyatu ke dinding. Dan bau yang tercium oleh Zulham
tentulah berasal dari balik kotak-kotak kaca itu. Ber-bagai ragam jenis ular yang
mendirikan bulu kuduk Zulham.
Tiap jenis disimpan dalam satu kotak.
Kotak terbesar dengan mudah bisa ditebak.
Berisi ular Sanca.
Dan salah seekor ular sanca itu terkapar di atas salah satu meja panjang sedang
dikuliti oleh dua orang penjagal.Meja itu, bersimbah darah...
Perut Zulham bergolak hebat.
Ia harus berjuang kerasa gar tidak sampai muntah.
Lantas dengan perasaan ngeri melihat seekor ular hijau yang lehernya tercekik tali
diujung sebuah tongkat, oleh penjagal lain dicem-plungkan seenaknya ke sebuah bejana
besar berisi laru-tan berbau sengit.
Entah mau diapakan.
"Tanpa nama, Tuan?"

-- Halaman 75 Kolektor E-Book --


Zulham terkejut dan berpaling pada petugas yang tadi diajak bicara oleh
pramulayan. Bingung sesaat.
Zul-ham kemudian menganggukkan kepala.
"Sebelah sini, Tuan..."
Mereka memutari sebuah meja kosong.
Dan melewati kotak-kotak kaca berisi mahluk-mahluk yang berpe-nampilan indah
namun entah mengapa menjijikkan banyak orang dan malah dari sudut pandang
Zulham saat ini mengibakan. Mereka akan dijagal, namun toh mereka masih diberi
tontonan gratis melihat sesama teman mereka dijagal lebih dulu. Atau mungkin
ton-tonan itu yang membuat setiap ular di balik kotak kaca, tampak jinak?
Zulham kembali mau muntah waktu melihat ke sebuah keranjang yang ia lewati. Di
dalamnya, penuh dengan tumpukan berbagai bentuk dan ukuran kepala ular.Hanya
kepala!
"Silahkan, Tuan..."
Lagi-lagi Zulham berhenti, terkejut.
Ia tidak sadar diwajahnya yang sudah sepucat kertas malah sudah ber-simbah peluh
dingin. Si petugas memperhatikan deng-an senyuman arif. Katanya, sopan,
"Memang, Tuan.Hanya sedikit pelanggan yang punya keberanian un-tuk masuk ke
tempat kami bekerja."
Zulham mengawasi wajah si pembicara.
Mengingat pekerjaannya, dan apa yang disaksikan Zulham sebelum-nya, wajah yang
ramah itu tampak seperti hantu saja di mata Zulham.
Ia bergidik, lalu berpaling ke sebelah kirinya. Dibalik kaca tampaklah dua ekor ular
saling belit dengan liukan ringan. Dua lainnya merayap pelan sepanjang sisi kotak,
salah satunya menjulurkan kepa-la.
Merapat setengah naik ke permukaan kaca.
Diakah Maria?

-- Halaman 76 Kolektor E-Book --


Zulham mengamati sejenak.
Ular itu menurunkan ke-palanya dari kaca, kemudian ekornya melingkar
diam.Tampak mengerikan karena sisiknya yang hitam legam ekor tumpul, kepala pun
tidak selancip yang semesti-nya.
Malah kepala ular-ular hitam di depan Zulham tampak mendekati bulat, nyaris
sebesar bola kasti. De-ngan titik kuning kemerah-merahan, bersinar redup.Mata yang
seakan menyimpan kesedihan.
"Yang mana, Tuan?"
Zulham memperhatikan lagi dan menunjuk ke ular ke-lima yang tampak melingkar
diam di sudut yang pa-ling jauh dengan kepala bulatnya rebah di rerumputan kering
berlapis pasir. Ular yang satu itu, tak bergerak tampak sepertinya sudah mati.
"Mengapa dia?" tanya Zulham, terdorong gerak naluri.
"Sakit, Tuan. Masih dalam proses penyembuhan. Tidak menular dan tidak
menimbulkan akibat apa-apa mem-ang, pada pelanggan. Namun khasiat ajaibnya
dengan sendirinya tidak sehebat jika ia nanti sudah sehat."
"Sakit apa?"
"Tampaknya bekas luka, Tuan. Luka tertusuk. Mung-kin di perjalanan ke tempat ini,
dan..."
Zulham berpikir lain.
Bukan luka tertusuk.
Melainkan tertembus.
Oleh peluru!
Dengan jantung berdetak ke-ras, Zulham berkata setengah berbisik
"Boleh aku lihat? Aku tamatan fakultas kedokteran hewan..." tambah-nya sambil,
diam-diam mengeluh, tak apa berbohong sedikit.
"Tak perlu repot-repot. Tuan. Kami punya dokter sendiri.."
"Boleh?"

-- Halaman 77 Kolektor E-Book --


Zulham menatap tajam.
"Demi langganan" orang itu tersenyum.
Diambilnya se-buah tongkat dengan tali pengait yang melingkar diujungnya. Empat
ular yang sehat tampak menaikkan kepala, curiga. Sementara yang di kait menggeliat
sedi-kit, namun tidak memperlihatkan perlawanan ketika lehernya dijepit tali simpul
yang seketika mengencang.Si petugas mengeluarkannya dengan sangat hati- hati dari
kotak kaca. Dan lebih berhati-hati lagi sewaktu meletakkan ular itu di atas sebuah meja
kosong. Bahkan sempat ia usap-usap seraya berkata membujuk dengan ucapan yang tak
jelas di telinga Zulham.
Tali simpul dilepas. Lalu:
"Silahkan, Tuan..."
Tanpa sadar, Zulham nyeletuk.
"Diakah?"
"Ya, Tuan?" desah si petugas, sementara batin Zulham menangkap bisikan tajam.
"Liontin itu. Bung Zulham!"
Zulham menanggalkan kalung milik Maria dari leher-nya. Diperhatikan oleh si
petugas yang keheranan. Zulham kemudian melingkarkan kalung itu ke leher ular di
atas meja. Dengan liontin secara naluriah ia simpan dalam posisi menghadap ke wajah
atau persisnya ke-pala sang ular. Disertai desahan bergetar:
"Maria?"
"Ya Tuan?" Si petugas tambah bingung. Zulham mem-perkeras suaranya.
"Kaukah itu, Maria? Ini aku Zul-ham!"
Tiga orang petugas lain yang tengah sibuk bekerja, sa-ma berhenti lalu memandang
ke arah Zulham, terus kearah ular di meja, lantas kembali memandang Zulham.
Terheran-heran.
Kemudian terdengar suara berisik yang ribut. Di ham-pir setiap kotak kaca, mahluk-
mahluk penghuninya sama bergerak liar. Beberapa diantaranya malah

-- Halaman 78 Kolektor E-Book --


memukul-mukulkan kepala lancipnya dengan keras ke per-mukaan kaca tebal itu. Para
petugas setempat terkesi-ma, kemudian sibuk mendatangi setiap kotak
kaca,berkata-kata membujuk. Namun gerakan mahluk-mahluk didalamnya malah
bertambah liar. Beberapa dari permukaan kaca sudah mulai basah digenangi
darah.Lalu para petugas itu berdiri terpukau. Kebanyakan darah yang terlihat di
permukaan kaca, warnanya bukan merah. Tetapi hitam...
Seseorang berseru ditahan. Yakni petugas di sebelah Zulham. Matanya memandang
ke arah mana Zulham tak berpaling oleh keributan mendadak itu. Diatas me-ja yang
terlihat bukan lagi seekor ular hitam legam, melainkan sesosok tubuh perempuan
telanjang.
[]

***

SEPULUH

Untungnya posisi Maria saat itu menelungkup sehing-ga penampilanya tidaklah


terlalu memalukan.
Wajah-nya tergeletak miring.
Pucat dan tampak kurus.
Meng-hadap ke liontin yang tergantung pada kalung yang melingkari lehernya.
Zulham memandang wajahnya dengan terpukau dan sekujur tubuh seakan
lumpuh.Sadar bahwa ia telah menemukan Marianya.
Tangan-nya terulur kedepan, menyentuh wajah Maria. Dengan bibir menggerimitkan
ucapan syukur kepada Ilahi.Ia raih tubuh telanjang itu, dibawa ke pelukan agar tu-buh
Maria yang dingin sekali dapat merasakan kehangatan dadanya yang bergetar. Pada

-- Halaman 79 Kolektor E-Book --


petugas disebelah-nya, Zulham memohon dengan suara bisikan saking tidak kuat
menahan perasaan yang terharu biru.
"To-longlah... Ambilkan apa saja untuk menutupi tubuh Maria.."
Yang diminta tolong hanya tegak mematung dengan mulut ternganga dan sepasang
mata dilanda teror, taklepas mengawasi sosok tubuh bugil dalam pelukan ta-munya.
Dari arah lain,salah seorang rekannya terdeng-ar menggagap:
"Apakah mataku tidak salah lihat?"
Tetapi seorang lainnya, setelah mengatur nafasnya yang sesak sebentar kemudian
bergerak menuju pintu sambil berkali-kali memandang ke tempat yang ia ting-galkan
dengan pemandangan yang tak percaya. Sementara di balik kotak-kotak kaca,
pemberontakan mahluk-mahluk itu telah berhenti mendadak.
Beberapa di anta-ranya tampak terkulai, mati.
Dalam pelukan Zulham, terasa tubuh Maria bergetar lemah. Kelopak matanya
membuka pelan tetapi hanya mampu sebatas setengah mengatup. Namun sorot matanya
yang pudar tampak berusaha mengenali.Kemudian terdengar rintihannya yang
mengenaskan hati,
"Zul?"
Zulham pun menangis.
Sekaligus amarahnya bangkit.Dan ia melampiaskannya dengan kata-kata gemetar,
"Terkutuklah bangsat keji yang memperlakukanmu se-biadab ini, Maria. Akan kucari
dia, dan..."
"Zulham. Jangan!" terdengar seruan peringatan di teli-nga Zulham. Diakhiri keluhan
pendek bernada kuatir.
"Oh... terlambat sudah..."
Siapa yang berseru sayup-sayup itu?
Mariakah?
Pertanyaan-pertanyaan itu seketika terjawab oleh wa-jah Maria yang tampak

-- Halaman 80 Kolektor E-Book --


berubah kejang, kaku. Begitu pula anggota tubuhnya yang masih setengah
menggantung di atas meja.
Sepasang matanya membuka lebar.
Dan sinar mata itu, hampa.
Lantas dengan buas, sosok tubuh bugil dalam pelukan Zulham memberontak lepas.
Sebelum Zulham sempat mengelak, dua telapak tangan yang halus tetapi sedingin es
tahu-tahu sudah menjepit leher Zulham. Menjepit kuat seraya dari mulut Maria yang
menyeringai, ter-dengar geraman keras.
Hiiihhh...!!
Petugas yang tadinya berdiri kaku di sebelah Zulham,tak tahan lagi. Setelah
menjerit, orang itu pun jatuh kelantai.
Pingsan.
Dua rekannya lebih bermental baja.
Serempak mereka menyerbu ke depan untuk memban-tu tamu mereka yang terancam
bahaya.
Dua-duanya menerima nasib sial. Satu terlempar ke pintu, memben-tur tubuh
rekannya yang saat itu berlari-lari masuk membawakan kain yang tadi diminta Zulham.
Pekerja satunya lagi terlempar ke salah satu kotak kaca-kaca pemisah sampai berderak
pecah dan tubuh si pekerja menembus masuk ke dalam. Disambut oleh segerombolan
ular kobra yang seketika menggelupur liar.Zulham pun mulai didesak mundur ke salah
satu kotak lainnya Seekor ular sanca besar di belakang kaca pemi-sah, seketika
mengangkat kepala dengan liukan men-unggu. Zulham mulai susah bernafas, sementara
keduatangannya gagal untuk melonggarkan sepasang tang-an yang menjepit lehernya
semakin kuat. Dalam panik ia menyadari siapa yang tadi berseru memperingatkan.Dan
ia tahu apa yang dimaksud. Rani Pusparini jelas mengatakan,
"Disana nanti, jangan sampai berpikir apalagi menyebut-nyebut si penghujat..."
Punggung Zulham kini mendarat di permukaan kaca.

-- Halaman 81 Kolektor E-Book --


Ular sanca di balik kaca menyerbu ke depan.
Kepala lancip itu membentur kaca sedemikian keras sehingga kepala lancip itu retak
seketika mengeluarkan darah hitam. Ular sanca itu pun menggelupur ribut di
dalam.Dan di luar kaca sepasang mata Zulham sudah akan terloncat ke luar manakala
alam bahwa sadar Zulham bereaksi. Membayang seketika peristiwa mengejutkan di
kantor polisi, ketika Maria dikeluarkan dari sel tahanan, lantas tiba-tiba mengamuk
seperti banteng ketaton.Reflek, Zulham melepaskan cengkeramannya dari per-gelangan
tangan Maria dan dengan satu sentakan, ka-lung di leher Maria terenggut lepas. Maria
membelalak,biji matanya yang hampa terbalik menampakkan ha-nya warna putihnya
saja. Lalu tubuhnya melemas dan jatuh melorot untuk kemudian terhempas di
lantai.Zulham tengah mengatur nafasnya yang sesak, sewak-tu bisikan peringatan
menyentak telinganya.
"Lempar-kan ke api. Cepat!"
Zulham percaya pada peringatan Rani Pusparini. Ia kuatkan tenaga yang seakan
sudah luluh lantak.
Deng-an sisa-sisa yang ada ia menghambur ke pintu di mana dua pekerja yang saling
bertubrukan tadi tengah menggeliat bangun.
Api, pikir Zulham.
Dan api hanya ada di dapur. Tuhan telah menolongnya untuk lebih dulu melihat letak
dapur sewaktu Zulham masuk ke ruangkandang-kandang ular itu.Zulham nyaris
menubruk seorang koki yang berlari-lari keluar dari dapur karena keributan yang
terjadi. Koki-koki lainya tengah bersiap mengikuti ke luar dapur manakala mereka di
buat tertegun oleh munculnya seso-sok tubuh berwajah pucat tetapi dengan pandangan
beringas.
Zulham mencari-cari dengan matanya.
Dan karena semua kompor terisi, ia menendang panci yang terjerang pada kompor
terdekat, panci itu terlempar.Isinya berhamburan kian kemari, para koki yang

-- Halaman 82 Kolektor E-Book --


me-nyaksikan pada menjerit dan masing-masing menjauh untuk menyelamatkan
diri.Zulham melemparkan kalung dan liontin milik Mariake kobaran api.
Kemudian, ia menunggu.
Tetapi Rani Pusparini tiba-tiba menegur keras,
"Keluar. Cepat! Aku aku melihat ada pintu di sebelah kananmu!"
Zulham berpaling ke kanan.
Benar ada sebuah pintu dalam keadaan terbuka.
Menghadap ke halaman bela-kang gedung.
Diterangi lampu-lampu, ia melihat jalan keluar masuk mobil, sebuah pintu gerbang
dan ada kendaraan melintas di sebelah sananya, jalan raya.Zulham berpaling ke arah
lain, pintu dari mana sebe-lumnya ia masuk.
Ia ragu-ragu.
Tetapi keraguannya di-putus oleh bisikan tajam Rani Pusparini,
"Lupakan Maria!"
Zulham mengeluh.
"Tidak."
Bisikan gaib itu terdengar nyaris putus asa;
"Maria su-dah mati, dengar? Aku bahkan sudah melihat rohnya mengambang pergi.
Aku juga melihat kemarahan sipenghujat iblis!"
Api kompor di mana kalung dan liontin itu dilempar-kan Zulham, tampak memarak
hebat. Nyala hijau me-nebar bercampur dengan sinar merah redup, mengata-si biru
merahnya api kompor.
Zulham merasa silau.
Dan ketika api kompor ia dengar berdesas-desas mengejutkan, sementara kompor itu
sendiri seakan berderak-derak, Zulham bergerak ke pintu terbuka di sebelah ka-nannya.

Sambil berteriak keras-keras.

-- Halaman 83 Kolektor E-Book --


"Kebakaran! Kebakaran! Semua Keluar!"
Zulham sadar bukanlah kebakaran yang akan menim-pa. Tetapi hanya itu
satu-satunya penjelasan yang pa-ling mungkin untuk memberi peringatan pada
siapapun yang masih ada di dalam gedung Hidup Bahagia.
Teriak peringatan Zulham terlontar hanya karena naluriah semata.Dan begitu ia tiba
di pintu Zulham pun melompat keluar. Kemudian berlari secepatnya menuju ke pintu
gerbang. Sambil dengan pikiran seram membayang di pe-lupuk matanya peristiwa
Condet dan nasib yang me-nimpa Mama Eyang.
Ia bayangkan sinar merah me-ngejar di belakangnya.
Menerkam mengunyah dan setelahnya Zulham tinggal tulang belulang dengan
sisa-sisa serpihan daging.
Ia juga teringat pada Maria.
Lalu di belakangnya ter-dengar bunyi ledakan membahana.
Seketika Zulham menjatuhkan diri di tanah.
Bumi terasa bergetar di ba-wah tubuhnya.
[]

***

SEBELAS

SEKUJUR tubuh Zulham terasa sakit-sakit. Matanyapun perih dan lelah. Ia tengah
menyandar dikursi un-tuk beristirahat sejenak ketika ia dibuat terkejut oleh bunyi
ketukan di pintu kamarnya.Terdengar suara bibinya dari luar pintu.
"Zul?"
"Aku masih hidup, Bi Ipah!"

-- Halaman 84 Kolektor E-Book --


Zulham setengah berseru seraya bangkit dengan lunglai. Ia pergi ke pintu,
mem-bukanya dan seketika berhadapan dengan bibinya.Latifah memperhatikan sejenak
ke wajah ponakannya dengan mata kuatir. Sepasang mata Zulham tampak merah
karena kurang tidur, wajahnya pun kusut ma-lah mendekati layu.
"Ada telepon untukmu," Latifah memberi tahu.
"Aku akan ke dapur untuk menyiapkan makan siangmu.."
Zulham bergegas pergi ke meja telepon dengan sebuah harapan muluk, ada petunjuk
mengenai Tarida.Sebagaimana ia duga, yang menelepon adalah kapten Parluhutan
Siagian. Tetapi kalimat pertama yang me-nyentak telinga Zulham adalah,
"Seharusnya aku lem-parkan kau ke penjara!"
Habis berujar sengit begitu Parluhutan diam. Jelas dengan sengaja.
Untuk memberi kesempatan berpikir pada Zulham bahwa sang Kapten tidaklah
mengada-ada.Hanya satu orang saja yang keluar hidup-hidup daridalam gedung Hidup
Bahagia.
Dia adalah Zulham.
Pe-ngunjung terakhir yang masuk ke dalam gedung mela-lui pintu depan, tetapi
keluarnya dari pintu belakang.Ada dua saksi mata yang jika dikehendaki bersedia
mengangkat sumpah. Parluhutan sendiri dan supir taksi yang beruntung selamat
semata-mata karena terdo-rong gerak hati untuk berkenalan dan jika mungkin menjalin
persahabatan dengan seorang perwira polisi ia meninggalkan taksinya lalu bergabung
dengan Parluhutan di tempat Kapten itu menunggu.
Ledakan itupun kemudian terjadi.
Menghancurkan tidak hanya gedung Hidup Bahagia, pelataran parkir serta apapun
yang ada di sana dan menimbulkan kerusakan berat pada gedung-gedung atau rumah
di sekitarnya.
"Tetapi nasib baik agaknya senantiasa menyertaimu."
Parluhutan menggerutu ditelepon tetapi dengan suara lebih lunak.

-- Halaman 85 Kolektor E-Book --


"Hasil penelitian dari tim Laboratorium Kriminal mengambil kesimpulan, sumber
bencana adalah meledaknya salah satu kompor gas di bagian dapur. Pengusutan
sementara menambahkan belum ada petun-juk sabotase."
Zulham menelan ludah.
Tanpa perasaan gembira.
Bangkai-bangkai ular itu, tak apalah.
Tetapi sekian be-las mayat manusia, ditambah sekian orang lainnya yang toh
meninggal juga dalam perjalanan atau sete-lah tiba di rumah sakit... Zulham lebih tidak
gembira lagi setelah teringat pada salah satu mayat yang dite-mukan.
Maria.
Satu-satunya yang agak menghibur hati hanyalah keajaiban apa pun yang menyertai
akhir per-jalanan hidup Maria.
Ia meninggal sesuai kodratnya sebagai manusia. Mengiang di telinga Zulham bisikan
ga-ib Rani Pusparini setelah ledakan dan bunyi gemuruh yang menyertainya, berhenti.
"Tugasmu sudah tuntas, bung Zulham!"
Begitu Ranipusparini membisikan lewat kekuatan ilmu telepatinya.
"Kini, saatnya aku bermeditasi dengan tenang. Untuk menuntaskan apa yang menjadi
tugasku sendiri. Sela-mat tinggal."
Dan tak ada lagi hubungan, sejak itu.Zulham menarik nafas panjang, lalu
menanyakan apa yang terus mengusik pikirannya semenjak bencana itu kemudian
berakhir.
"Bagaimana dengan kalung dan liontin Maria?"
Sang Kapten ikut latah, menarik nafas panjang.
"Jika itu kusebut-sebut, aku pasti ditertawakan. Maka, dibantu anak buahku,
diam-diam aku melakukan pemeriksa-an sendiri. Tak ada petunjuk, tak ada
bekas-bekas. Itu sebab aku bilang, kau bernasib baik. Ditambah kenyataan saksi mata
lainnya yang mengetahui kehadiranmu membawa kesaksiannya ke dalam kubur! "

-- Halaman 86 Kolektor E-Book --


Alex, pikir Zulham.
Pengacara Tenny Puspasari.
Dan Parluhutan telah bertindak bijaksana.
Sadar bah-wa mereka berhadapan dengan kekuatan gaib yang akan ditertawakan
orang.
Parluhutan menasehatkan Zulham untuk buru-buru menyingkir sebelum pihak
berwajib setempat tiba untuk melakukan pemeriksaan.
"Selain itu..''
Parluhutan berbicara lagi di telepon.
"Aku masih disibukkan pula untuk mencari penjelasan yang masuk akal,
keberadaanku dilokasi peristiwa ada kait-an dengan kasus penculikan Tarida.Kasusnya
tetap ge-lap dan tak tahunya aku malah menemukan korban kasus penculikan
sebelumnya."
"Maria." desah Zulham terenyuh.
"Lalu Sebentar, Kap-ten. Anda menelepon tentunya bukan sekedar ingin berbual-bual
mengenai semua tetek bengek itu?"
"Persis!"
Parluhutan mendengus lega.
"Sebagaimana te-lah kukatakan, aku tidak suka dilangkahi."
Zulham menyeringsi kecut.
"Masih kuingat, Kapten."
"Satu hal lagi. Laporan selengkapnya, Bung. Tidak ada yang disembunyikan.
Kutunggu di kantorku."
"Oke, Kapten! "

Kembali lagi ke kamarnya, Zulham meneliti sekali lagi sejumlah catatan yang
dibuatnya. Rangkuman dari dokumen-dokumen yang yang telah ia pelajari sejak

-- Halaman 87 Kolektor E-Book --


dini-hari, dan dikombinasi dengan informasi yang masuk pagi hari ini dari
koneksi-koneksinya.Zulnam meneliti setiap lembar catatan yang ia buat.
Pertama,. konglomerat Tridharma. 1. Perseroan maupun yayasan berkantor pusat di
pemukiman elite 3-P. Pantai pasir putih.2. Sarana untuk sebuah kota pemukiman
tersedia leng-kap ke arah satu tempat ibadah. Tak ada masjid, takada gereja, tak ada
kelenteng, atau tempat sejenisnya.3. Lokasi tertutup untuk umum. Pendatang dari luar
baru boleh melewati pintu gerbang satu-satunya jalan keluar masuk, setelah
memperoleh persetujuan melalui pos jaga, dari penghuni atau pemilik tempat yang
akan didatangi.4. Pejabat teras baik peseroan maupun yayasan, bertempat tinggal di
3-P. Begitu pula mereka yang disebut-sebut sebagai Anggota Kehormatan. Selebihnya,
boleh pi-lih di mana suka dengan catatan. Siap hadir sewaktu-waktu ada pertemuan di
3-P.5. Negosiasi: perampok bertopeng hukum? 6. Tridharma terdiri dari: a. Dharma
kepada diri sen-diri. b. dharma kepada sesama Anggota Keluarga. c.dharma kepada
Kepala Keluarga.7. Anggota Keluarga jelas, perorangan, atau badan hukum. Tetapi,
siapa Kepala Keluarga?
Zulham tercenung sejenak. Semua dokumen dan infor-masi telah ia lalap habis,
beberapa di bulak-balik dua tiga kali. Tidak disebut-sebut siapa yang dimaksud de-ngan
Kepala Keluarga satu-satunya petunjuk adalah dari berkas Tenny Puspasari. Dokumen
mengenai Ya-yasan hanya menyebut pengunduran diri sukarela dari Tenny Puspasari
sebagai pendiri sekaligus merangkap Direktris Kehormatan dari yayasan. Tenny juga
menyatakan persetujuan untuk menyerahkan kedudukannya pada seorang pengganti
yang akan ditentukan kemu-dian oleh pengurus lengkap Yayasan.Siapa?
Zulham mengutip lengkap keterangan tambahan dari koneksinya :
"Dokumen dimaksud, tidak berhasil dite-mukan dalam arsip resmi. Dua
kemungkinan: Hilang atau sengaja dihilangkan!"
Ada bunyi bel terdengar sayup ke kamar Zulham.Mungkin Rosida atau Nurmala
sudah pulang dari sekolah. Atau barangkali ayah mereka.

-- Halaman 88 Kolektor E-Book --


Zulham kembali mengingat-ngingat catatan apa yang masih kurang atau perlu ia
lengkapi.
Ada memang.
Jumlah atau jenis usa-ha Tridharma termasuk anak perusahaan melalui negosiasi.
Atau kegiatan Yayasan panti asuhan dengan pri-oritas anak yatim piatu. Tetapi semua
itu tidak terlalu menarik perhatian. Semua berjalan sah menurut hu-kum. Tetap ada hal
lain yang menarik minat Zulham.Maka ia tambahkan dalam catatannya,
"Bonus: Dian-tara Anggota Keluarga, tercatat nama beberapa tokoh terkemuka di
luar usahawan. Dari lapisan masyarakat kelas atas, kalangan politikus, dan beberapa
dari kala-ngan militer dan kepolisian. Daftar, menyusul.
Zulham sendiri masih menunggu daftar dimaksud dari koneksinya di dinas intelijen
Markas Besar Kepolisian RI. Zulham pun maklum apa maksud catatan penutup dari
koneksinya.
"Semua informasi terlampir, tidak me-nyangkut rahasia negara. Selebihnya,
disimpan untuk arsip dengan kemungkinan ada penyelidikan resmi dan sah."
Untuk kepentingan negara tentunya.
Zulham memasti-kan dengan perasaan agak kecewa. Lalu ia beralih pa-da
catatan-catatan berikutnya. Haruskah ini ia terus-kan pada Parluhutan?
Tidak ada yang disembunyikan.
Amanat dan Zulham merasa bimbang sewaktu ia me-nelaah kembali catatan kedua
yang telah ia buat infor-masinya masuk tadi malam, justru ketika Zulham ada di rumah
gadis itu. Catatan itu lebih banyak berdasar pengetahuan Zulham sendiri.
Data pribadi dan kegiatan bisnis Rani Pusparini ia le-watkan saja. Data yang
diperoleh koneksinya dari Di-rektorat Jendral imigrasi, Zulham hanya menulis satu
kesimpulan saja:
R.P lebih banyak berdiam di luarnegeri, dengan Madras (India) tercatat sebagai
tempat terakhir.Catatan berikutnya adalah:1. R.P dan T.P. diambil dari rumah yatim

-- Halaman 89 Kolektor E-Book --


piatu oleh se-orang hartawan bergelar Raden. Diadopsi sebagai cucuangkat, kemudian
dinyatakan sebagai pewaris yang sah.2. Orang tua asli, tidak diketahui. Begitu pula ke
luarga atau kerabat dekat. NB : Idem dito dengan Maria Mag-dalena.3. Pengikut sekte
atau aliran kepercayaan. NB nama sekte, belum diketahui. Ada kaitannya dengan aliran
Hare Krishna dan Guru Maharaj Ji. penyembah berhala 4. Diduga mengetahui apa
atau siapa oknum yang ter-libat dalam kasus Maria dan bukan mustahil juga Ta-rida.
Zulham menyandar lagi di kursinya.
Dengan mata ter-pejam, menahan perih.
Tarida...
Dimana dia? Baik-baikkah dia?
Masih hidupkah, atau...Latifah, bibinya, muncul di pintu.
"Ada tamu untukmu Zul."
Zulham menggeliat, lelah.
" Siapa?"
Latifah angkat bahu.
" Dia hanya mau menyebut nama. Esih, kalau tak salah. Oh ya, makan siangmu
Zul..."
Zulham seketika melompat dari kursiya. Latifah ia lewatkan begitu saja.
Ia langsung bergegas ke ruang tamu dengan perasaan lebih bergairah dari
sebelumnya,bahkan kelelahan pisik maupun mentalnya seakan mendadak terobati.
Bagaimana tidak, ada beberapa pertanyaan dan ia merasa pasti Esih mampu dan
bersedia menjawabnya.Begitu Zulham muncul di hadapannya, Esih yang tam-pak pucat
langsung saja terisak-isak.
Tanpa ujungpangkal.
Diantara isak tangisnya pelayan bertubuh tinggi kurus itu berkata terputus-putus:
"...Rani. Hanya Oom yang dapat... menolong Rani!"
[]

-- Halaman 90 Kolektor E-Book --


***

DUA BELAS

Dan demikianlah adanya.


Rani Pusparini seorang avonturir.
Bakatnya itu sudah terlihat semasih tinggal di panti asuhan. Sementara saudara
kembarnya nyaris setiap tahun merebut predikat anak teladan, maka Rani pusparini
tidak pernah kehilangan gelar sebagai anak favorit. Tentu saja gelar tak resmi dan
bertendensi negatip. Ibu asrama sampai sering pusing memikirkan hukuman apa lagi
kiranya yang pantas dijatuhkan pada Rani Pusparini. Karena kapan saja ada
kesempatan, gadis itu pasti minggat diam-diam. Hanya sekedar untuk memuaskan
perasaan ingin tahunya tentang dunia di luar panti asuhan.Belum lagi hukuman untuk
sifat tidak kapok bermain jaelangkung atau permainan sejenis yang bukan hanya
membuat gempar, tetapi acap kali membuat teman-temannya seasrama, termasuk
saudara kembarnya takut tidur sendirian, atau takut berada di tempat gelap. Sampai
kemudian, datanglah lelaki tua renta bergelar Raden itu. Membawa pergi si anak
teladan si anak favorit memasuki dunia lain. Dunia yang sering menjadi lamunan Tenny
Puspasari. Namun tidak pernah diharapkan oleh Rani Pusparini, walaupun hanya
dalam mimpi. Beberapa tahun kemudian, si tua yang memang sakit-sakitan itu
meninggal dunia. Dan meninggalkan pula hartanya. Warisan yang berlimpah untuk
kedua cucu angkatnya.
"Apa tidak ada pewaris lain?"
Zulham menyeling cerita Esih yang berkali-kali harus diarahkan agar kisah yang ia
ceritakan tidak kacau balau.

-- Halaman 91 Kolektor E-Book --


Esih terkejut.
Sempat menerawang, lantas cepat- cepat menjawab:
" Tidak. Tidak ada. Kakek angkat mereka memang berasal dari generasi yang minus
keturunan..."
"Hem, Terus?"
Sementara Tenny Puspasari bergigih menamatkan stu-dinya di bidang manajemen,
Rani Pusparini dengan leluasa melampiaskan bakatnya. Terutama setelah usianya
mencapai usia yang tercantum dalam surat wasiat untuk mengelola sendiri harta
bagiannya. Mengunjungi tempat-tempat yang sudah lama ia impikan, termasuk di luar
negeri. Untungnya, sebagian kekayaan Rani ia gabungkan dengan kepunyaan Tenny
Puspasari di-kelola oleh Tenny dengan sistem bagi hasil. Rumah peninggalan kakek
angkat mereka lebih mirip tempat istirahat ketimbang tempat menetap untuk Rani
Pusparini.Sesuatu mengusik pikiran Zulham, dan diutarakan seketika.
"Kok tahu semua itu?"
Esih hanya perlu tempo singkat untuk berpikir, lalu menjawab tandas:
"Mereka memang berbeda karakter yang langka pada diri saudara kembar. Tetapi
Rani dekat dengan Tenny. Dan Tenny dekat dengan saya.Dan saya, adalah tumpahan
isi hati Tenny!"
"Bi Esih tentunya cukup lama sebagai pelayan mereka berdua..."
Esih mengangguk.
"Sejak hari pertama mereka diambil dari panti!"
"Sebelum ceritanya berlanjut, satu pertanyaan lagi." tu-kas Zulham cepat-cepat,
teringat pada isi surat Rani Pusparini.
"San Fransisco. Dia bilang waktu ia di SanFransisco dia pernah hilang pegangan
bahkan kemudian nyaris bunuh diri. Tahu tentang itu?"
Pundak kurus perempuan itu tampak bergetar. Wajahnya tampak semakin tua saja,
selama ia melamun dan kemudian memberi penjelasan.

-- Halaman 92 Kolektor E-Book --


"Pertama, Tenny melakukan kekeliruan dalam bisnisnya. Mestinya Tenny berhenti
seketika ia mengambil keputusan mundur dari yayasan Tridharma. Eh sebaliknya, ia
bernegosiasi de-ngan mereka. Katanya ada perasaan jenuh. Hal yang mengherankan,
mengingat ia masih muda dan sebelumnya termasuk ulet."
Tidak mengherankan, pikir Zulham, jika diingat siapa orangnya di belakang
konglomerat Tridharma. Di mata Zulham dia adalah bangsat yang berlagak seperti
nabi.
Di mata Rani Pusparini, penghujat iblis. Dan di mata Tenny Puspasari. tak salah
lagi, jelas adalah Kepala Keluarga. Tiba di situ, benak Zulbam kembali mumet. Siapa,
Kepala Keluarga itu?"
"Agak berat hati saya mengungkapkan penyebab lain-nya..."
Esih masih berbicara.
"Tetapi karena persoalannya sudah terlanjur sejauh ini... Biarlah saya akui
saja.Saya tak tahu darimana Rani tahu. Tetapi ia punya uang lebih dari cukup untuk
mencari tahu, bukan? Belum lagi jiwanya yang memang selalu ingin tahu. Dan
akhirnya dia mengetahui, tetapi aku bersikeras menentang."
Zulham menyeringai.
"Agak berbelit di telingaku.Coba diringkas!"
Esih gemetar lagi, menelan ludah sesaat, kemudian,
"Rani meminta pengakuan saya di bawah sumpah.Bahwa saya adalah... ibu
kandungnya!"
Zulham terpesona.
Selama beberapa saat ia hanya ternganga memandang. Adapun Esih, air mata
menetes lagi di pipinya.
Air mata tua.
Di pipi yang sudah tua.
Setelah menguasai diri, Zulham mendesak halus,

-- Halaman 93 Kolektor E-Book --


"Dan?"
" Saya menolak keras..."
"Sebentar. Bi Esih dari tadi menyebut nama-nama. Tanpa Non. Menurut dugaanku.
Bi Esih sebenarnya adalah...."
Esih manggut-manggut.
Dengan leher yang tampak seperti kaku.
"Betul Saya memang ibu kandung mereka."
"Lalu, mengapa..."
"Saya terikat pada sumpah sebelumnya. Sumpah yang saya niatkan dibawa sampai
ke alam kubur. Tetapi...."
Esih kembali terisak-isak.
Zulham membiarkan sampai kemudian Esih sanggup melanjutkan sendiri tanpa
di-tanya.
"Tenny tiba-tiba lenyap. Mungkin sudah mati...dan saya bertanggung jawab untuk
itu. Karena sayalah yang menganjurkan agar ia menyembunyikan diri di sebuah
kampung terpencil. Tanpa ia pernah tahu bahwa pada siapa ia kusuruh datang, adalah
nenek kandungnya sendiri. Dari pihak ibu..."
Jadi, itulah tabir misteri mengapa Zulham menemukan sebuah mobil tak bertuan di
hutan belantara Sumatera.Ia belum bisa mengungkap misteri lainnya: ular berkepala
ganda yang menggeliat keluar dari tumpukah pakaian di dalam mobil. Ular yang
mencucurkan airmata!
Zulham sependapat dengan Esih. Bahwa Tenny Puspasari lenyap.
Entah masih hidup atau sudah mati.
Yang pasti saudara kembar Tenny sudah bertekad untuk menyelamatkan roh Tenny
Puspasari. Dan itu bukanlah petunjuk bahwa gadis itu masih hidup atau sudah mati.
Kecuali bahwa Tenny Puspasari telah memasuki kehidupan lain. Kehidupan yang sudah
sempat dimasuki Maria Magdalena.

-- Halaman 94 Kolektor E-Book --


Zulham bergidik.
Seram.
Dan sekaligus marah.
Lamat- lamat ia mendengar suara Esih yang setengah merintih,
"Jika sejak semula kuakui semuanya. Tenny mungkin masih ada di sampingku. Juga
Rani. Tetapi sekarang..."
"Pada siapa Bi Esih terikat sumpah mati itu?"
"Kakek angkat mereka..."
"Karena..."
Zulham berdebar.
"Orangtua yang malang itu,"
Esih bergemetar hebat.
"Sesungguhnyalah, kakek kandung Tenny dan Rani!"
Luar biasa, Zulham membatin. Luar biasa tabahnya Esih mengingat apa yang
kemudian diceritakan Esih secara ringkas bagaimana semua itu sampai terjadi. Esih
memang sudah berstatus pelayan, ketika putera satu-satunya majikannya menaruh hati
padanya. Esih yang tahu diri berusaha menjauh bahkan minta berhenti.Tetapi putera
majikan terus mengejar, sampai akhirnya Esih menyerah dan kemudian hamil.
Lalu tiba-tiba,muncul lah calon isteri yang sudah ditentukan jauh hari sebelumnya.
Masih dari keluarga ningrat pula.Setelah sempat ribut dengan orangtuanya, maka ayah
jabang bayi dalam perut Esih akhirnya menyerah.
Esih tidak menyalahkan.
Dia juga mencintai laki-laki itu.
Atau menurut Esih, dia bahagia aku pun ikut bahagia.Kenyataannya Esih tak pernah
bisa hidup berbahagia.Ia harus menyingkir jauh-jauh karena kehadirannya maupun
kehadiran jabang bayinya merupakan aib buat keluarga si tercinta. Esih kemudian
melahirkan tanpa bantuan bidan apalagi dokter, di rumah seorang penarik becak yang

-- Halaman 95 Kolektor E-Book --


ada hubungan kerabat dengan Esih. Bekal yang diberikan oleh ayah si tercinta, lama
kelamaan habis. Untuk tetap mengurus sendiri anak-anaknya, Esih tidak mungkin.
Karena ia harus bekerja apalagi jika bukan sebagai pelayan dari satu ke lain rumah.
Dan tidak ada majikan yang bersedia meneri-ma pembantu, sekaligus dua bayi merah
yang harus dirawat dan dihidupi. Dikirim ke orangtuanya di Sumatera pun tak
mungkin. Esih tak akan jadi pembantu dirumah orang, kalau orangtuanya di Sumatera
mampu berbuat lebih dari itu.Satu-satunya jalan adalah menitipkan anak kembarnya di
rumah yatim piatu.
"Tepatnya..." rintih Esih, sakit.
"Mereka kubuang. Terpaksa kubuang!"
Benar.
Esih terpaksa.
Terpaksa meninggalkan bayi kembarnya terbungkus selimut di pintu rumah pemilik
sebuah panti asuhan ditengah malam buta. Hanya dengan pesan pendek :
"Tolonglah, demi Tuhan. Rani Pusparini dan Tenny Puspasari harus hidup. Tanpa
mereka boleh tahu, betapa ibu mereka seorang yang hina dina.
Itu saja.
Esih tidak pernah tahu bahwa ayah bayi kembar itu hi-dup sengsara di dunianya
sendiri. Isterinya mandul,bercerai tak sampai hati. Mengangkat anak orang lain tak
sudi karena mengapa tidak, anak atau darah daging sendiri?
Setelah pertengkaran yang berlarut-larut,akhirnya semua terbuka. Dan sang isteri
bersedia menahan hati. Bahkan ia ikut mendampingi si suami, mencari kian kemari di
mana gerangan Esih dan anak-anaknya yang terbuang. Lalu, kecelakaan lalu lintas
menyu-dahi usaha mereka yang tak pernah berhasil itu.Tinggallah sang lelaki tua renta
sendirian dan mulai sakit-sakitan. Bersama penyesalan yang tak kunjung habis. Disusul
usaha yang tak kenal lelah, sampai akhir-nya berhasil menemukan Esih. Setelah saling
memaafkan dan saling bertukar cerita. Esih bersedia memberitahu di mana anak

-- Halaman 96 Kolektor E-Book --


kembarnya berada. Dengan syarat,
"Saya boleh mendampingi mereka sampai akhir khayat saya tiba. Atau karma
berbalik, mereka tak suka lalu membuang saya!"
Si tua renta sepakat, tetapi juga dengan syarat : Ber-sumpahlah, kau tidak akan
membuka rahasia bahwa kau ibu kandung mereka!
"Alasannya memang tidak bisa dibantah. Rani Pusparini dan Tenny Puspasari tidak
boleh tahu mengapa mereka sampai terbuang di panti asuhan. Terutama tahu ibu
mereka adalah bekas dan nyatanya memang selamanya seorang pelayan. Dikuatirkan,
jika mereka tahu akan merusak jiwa atau masa depan anak kembar itu.Esih menyetujui
dengan serta merta.

***
Kisah itu diselang makan siang atas desakan Latifah.Namun kecuali untuk
menghidangkan penganan ring-an dan makan siang.
Latifah tetap memisahkan diri. Ia cukup bijaksana untuk mengetahui. Walau tanpa
dikatakan kapan ponakannya ingin dibiarkan sendirian.Nurmala, puterinya, sering
memisalkan dengan sindir-an.
"Lihat dahinya. Satu lipatan, boleh nimbrung. Dualipatan, jagalah tutur kata. Dan
tiga lipatan di dahi si Abang, minggat-lah...!"
Untuk menyingkirkan urusan dan perasaan sentimen-til, selesai makan siang Zulham
pun mengarahkan Esih kembali ke inti masalah. Katanya,
"Mula-mula datang tadi, Bi Esih bilang, Rani boleh jadi akan mengalami nasib
serupa dengan Tenny. Mengapa?"
Esih tampak mau menangis lagi, tetapi mampu menahan diri. Terbata-bata ia
menjelaskan,
"Sebelum ia me-ninggalkan rumah. Rani menyuruh aku dan Johan menghadap, kami
berdua dianjurkan menikah. Katanya lagi, rumahnya adalah rumah kami berdua

-- Halaman 97 Kolektor E-Book --


pula.Ia belum pernah menaruh perhatian besar seperti itu.Apalagi kemudian ia
merangkul dan menciumiku sebe-lum pergi. Saya lantas ketakutan. Takut, ia... tak akan
pernah kembali!"
"Ah. Itu kan cuma prasangka..."
Esih menggeleng.
"Ada lagi, ketika saya tanya dia akan pergi ke mana, jawaban Rani membingungkan.
Namun entah bagaimana, membuat jantung saya berdetak.."
"Apa katanya?"
Esih menirukan kata-kata Rani Pusparini:
"Aku mau jalan-jalan sebentar ke kampung asal. Melongok biawak yang konon telah
berganti rupa menjadi seekor buaya raksasa!"
Zulham berdebar.
"Kampung asal. Di mana itu?"
"Mula-mula, saya pun bingung," sahut Esih.
"Tetapi setelah bertukar pikiran dengan Johan, kami melihat hanya satu
kemungkinan. Yakni panti asuhan dimana ia pernah tinggal bersama Tenny..."
"Oh..."
Zulham ikut bingung.
Tetapi ia mulai punya gambaran.
Dengan bernafsu, ia pun bertanya:
"Dimanakah itu?"
Esih menyebut nama dan alamat sebuah panti asuhan yatim piatu.
"Tetapi itu nama dan alamat lama. Sebelum panti itu terancam bangkrut, lalu Tenny
mengambil alih. Dengan uang pensiun dalam jumlah besar untuk pengurus lama, yang
memang sudah pada lanjut usia."
"Yang kubaca dalam dokumen Tenny adalah Panti Asuhan Tridharma. Itukah?"
"Barangkali Oom membacanya selintas saja. Atau terpengaruh oleh nama besar

-- Halaman 98 Kolektor E-Book --


Tridharma. Pasti di dokumen itu tertulis dengan benar... walau barangkali hanya dalam
satu dua alinea saja dicantumkannya. Nama yang benar, adalah Yayasan Dwidharma.
Sebagai cikal bakal dari..."
Dwidharma atau Dwi Dharma?
Tak ada bedanya, hanya penyederhanaan selera. Tetapi Zulham seperti pernah
dengar.
Kapan?
Di mana?
Dalam urusan apa?
Ada bayang-bayang pembunuhan ataukah pemerkosaan?
Terhadap siapa?
Mengapa?
Ba-gaimana?
Zulham berkeringat dingin ketika ingatan-nya sampai pada seseorang.
Tetapi gairahnya seketika meledak-ledak.
"Buaya raksasa.. ah. biawak itu. Siapa gerangan?"
"Dwidharma..."
Zulham tersenyum, sabar.
"Orangnya, Bi. Nama orangnya!"
"Memang itulah namanya. Dwidharma namanya saya sering dengar dalam
pembicaraan mereka, ia satu-satunya orang lama yang diajak Tenny bergabung setelah
panti asuhan itu ia ambil alih..."
Zulham terhenyak.
Bagaikan lumpuh mendadak.
Itulah dia.
Panti asuhan yatim piatu dan Dwidharma.
Kasus kriminal pertama yang ia liput dalam awal perjalanan kariernya sebagai

-- Halaman 99 Kolektor E-Book --


wartawan.
Kasus pertama,dan tentu saja meninggalkan kesan mendalam yang sulit dilupakan.
Terutama.
kasusnya sendiri.
Terbayang di pelupuk mata Zulham sosok seorang gadis kurus kecil, diturunkan dari
sebuah truk dinas Jawatan Sosial. Zulham tertarik pada apa yang oleh mereka yang
lain diremehkan dan dicap sebagai cerita isapan jempol seorang anak gelandangan
setengah waras. Pengakuan si anak bahwa ia bekas penghuni sebuah panti asuhan yang
katanya,
"Hidup di sana, sama dengan hidup di neraka!"
Tidak banyak yang menarik dan dapat dirangkai dan ceritanya yang kedengaran asal
cuap itu. Kecuali dua hal perzinahan masal. Dan hukuman cambuk terhadap yang
membuka rahasia. Dengan satu tambahan,yang membuat petugas pemeriksa
menyingkirkan kasus si anak. Bocah perempuan yang tampak setengah waras itu
menyebut-nyebut ia orang normal, hanya Kebetulan saja aku dijadikan korban sihir..."
Kasus si bocah perempuan semakin dipetieskan setelah ia menyebut nama panti
asuhan dimaksud. Sebuah panti dengan nama terhormat, dikelola oleh orang-orang
terhormat. Lebih-lebih lagi bukan sekali dua mere-but medali penghargaan baik dari
organisasi massa.maupun dari pemerintah. Tetapi Zulham penasaran.
Justru yang tampak remeh acapkali tidak boleh disepe-lekan. Justru yang terdengar
menggelikan ternyata mengejutkan. Zulham pun tidak selalu berpatokan pada logika
kriminologi kejahatan di balik rupa yang buruk.Zulham sering membuktikan sebaliknya
sifat keji, dibalik seraut wajah lembut.
Zulham bergerak sendirian.
Informasi yang menguatkan ia kutip di sana sini, beberapa sangat menyakinkan.
Kelemahannya tidak ada bukti otentik. Lebih fatal lagi, Zulham punya tiga orang saksi
yang malah bersumpah untuk kebenaran informasi yang mereka berikan. Tetapi hanya

-- Halaman 100 Kolektor E-Book --


di hadapan Zulham, tidak di depan pihak berwajib apalagi sampai ke pengadilan.
Dalih mereka tidak terbantah.
"Aku masih ingin bernafas! Aku punya keluarga yang perlu dihidupi! Dan, Bercerita
pada Bung pun sudah mengandung bahaya."
Satu dari tiga saksi Zulham itu kemudian mati secara mengerikan dalam peristiwa
penodongan yang misterius. Dua lainnya semakin ketakutan dan akhirnya menutup
pintu untuk Zulham. Sampai di situ, barulah Zulham memutuskan untuk menyerah.
Tetapi sebelum ia menyerah, ia sempatkan mendatangi kepala panti asuhan hanya
untuk memberitahu,
"Waktu akan ber-bicara."

***

"Oom?"
Zulham tersentak.
Bangun dari masa lalunya yang menyakitkan.
"Oom sakit?"
Zulham menyeka keringat di dahinya, namun toh se-kujur tubuhnya tetap terasa
dingin, teramat dingin.
Sampai-sampai ia menggigil.
Dan suaranya lepas dari mulutnya pun suara gigilan,
"Aku..baik-baik saja, Bi Esih..."
"Tetapi..."
"Ada hal lainnya yang dapat atau Bi Esih ingin untuk peganganku?"
Zulham menukas.
Lalu mereka masih berbincang-bincang sekitar bebera-pa menit setelah mana Esih
pamit dan Zulham lang-sung menghambur ke kamarnya. Dibukanya dokumen Tenny

-- Halaman 101 Kolektor E-Book --


Puspasari mengenai Yayasan Tridharma. Esih memang benar, Nama Tridharma
sedemikian sering tertulis sehingga nama Dwidharma seakan terlewatkan dan Zulham
pun salah teliti.
Tertulis pula alamat jelasnya.
Yang membuat Zulham kembali berpeluh dingin. Teringat, dia sendiri yang
mengatakan:
"Waktu akan berbicara!"
Dan waktu, memang kemudian telah berbicara. Tahun demi tahun berlalu, dan waktu
akhirnya mempertemu-kan mereka. Sekali, di hutan belantara Sumatera.
Kali yang kedua di koridor rumah sakit.
Dua pertemuan yang seolah-olah dimaksudkan sebagai kelanjutan per-temuan
mereka yang pertama.Pada pertemuan pertama mereka, Zulham hanya me-ngucapkan
satu kalimat pendek. Dijawab oleh hanya satu kalimat pendek pula: Dengan suaranya
yang lem-but, kharismatik.
"Kau mendatangi alamat yang keliru.Anakku!"
Zulham bangkit dari kursinya sambil berdesah,
"Lahaulaa".
Ketika ia berganti pakaian, dia berbisik yakin
"Aku datang ke alamat yang benar!"
Ia tahu ke mana Rani Pusparini pergi.
Ia tahu, ke mana ia sendiri harus pergi.
Dan ia kini tahu di mana Tarida!
[]

***

-- Halaman 102 Kolektor E-Book --


TIGA BELAS

GAUNG suara riuh berisik membangunkan Tarida dari tidur yang resah dan sangat
melelahkan, ia dengar campur aduk suara orang berbincang, teriak memang-gil, canda
ria, tawa mengakak, cekikikan manja dan entah apa lagi. Mirip suasana di sebuah bar
yang dipa-dati oleh pengunjung.
Tarida menggeliat bangun dari lantai.
Lantai di mana sebelumnya ia berulangkali terjaga lantas tertukar lagi,masih terasa
dingin. Tetapi hawa sebeku es itu sudah hilang dari ruangan tempatnya disekap. Lalu,
mata Tarida yang nanar menangkap adanya bias cahaya.Menembus dari dinding kaca
yang sebelumnya ia lihat tertutup tirai. Dari sekian banyak lampu yang menyala terang
benderang pada ruangan di seberang dinding kaca pemisah.Dan tampaklah sebuah
ruangan besar dan luas, sebe-sar dan seluas sebuah lapangan basket.
Tidak tampak adanya meja.
Namun terlihat banjaran tempat duduk di Kiri kanan ruangan disusun bertingkat.
Makin kebelakang letaknya semakin tinggi. Semuanya memakai jok dan sandaran tebal
dan pasti empuk dan nyaman diduduki.Anehnya semua tempat duduk dibarisan kosong
melompong. Ratusan manusia yang ada di ruangan itu entah mengapa lebih suka
berdiri atau duduk sesukanya diasas kata Berkelompok-kelompok. dan sebagian
dianta-ranya berjalan kian kemari untuk pindah dan berga-bung dengan kelompok lain.
Tampak pula belasan anak-anak tanggung berpakaian rapi hilir mudik mengedarkan
minuman yang seketika membuat kerongkongan Tarida bagai tercekik. Belum setetes
air pun masuk me-lalui kerongkongannya semenjak ia diculik.
Entah su-dah berapa lama pula.
Tarida tidak tahu.
Ia tidak lagi memperhatikan waktu.
Tarida menggeliat lagi memulihkan tenaga dan semangatnya yang sudah hancur

-- Halaman 103 Kolektor E-Book --


berantakan.
Ia merangkak dengan susah payah.
Diantara bekas muntah.
Dan bau air seni yang ia tahan-tahan dikala terjaga, namun toh keluar juga sewaktu
ia tertidur.
Jatuh bangun bahkan sampai merayap.
Ia sampai ke dinding kaca.
Lalu me-lihat adanya kejanggalan Di kelompok terdekat, seo-rang bocah perempuan
berusia paling juga 12 tahunan sedang beradu bibir dengan seorang lelaki manula.Dan
tangan bocah perempuan menyelinap di balik celana si manula. Di kelompok lain, lebih
mengejutkan lagi.Seorang lelaki dewasa merangkul dan menciumi seo-rang bocah
lelaki sambil sebelah tangannya terus menerus mengusap-usap pantat si bocah.
Beberapa orang dewasa juga brcumbu dengan bebas sesama mereka. Se-mentara yang
lain asyik terus bersenggama seolah-olah apa yang berlangsung disekitar mereka
adalah sesuatu yang lazim dan tidak perlu diributkan. Padalah hampir keseluruhan
orang yang ada di ruangan itu berbusana dan berpenampilan seperti orang-orang
terhormat.
Tetapi Tarida terus merangkak maju.
Berbeda dengan sebelumnya.
Tarida tidak lagi menu-tup mata, menjauh, atau bahkan lari menghindar.
Ia harus melakukan kontak dengan mereka, paling tidak satu dari mereka. Untuk
memastikan apa yang telah menimpa dan lalu menyiksa pisik serta mental Tarida
sedemikian rupa. Apakah benar ia terperangkap oleh halusian mengerikan. Atau
terjebak dalam penamaan sihir yang selama ini tidak pernah ia yakini
kebenaran-nya.Mulanya Tarida hanya mampu mengetuk-ngetuk kare-na tangan yang
lemah. Ia pun hanya bisa merintih ka-rena lidah yang mengeras, kaku. Namun kemauan
yang keras sedikit demi sedikit memulihkan tenaganya. Ia akhirnya mampu

-- Halaman 104 Kolektor E-Book --


memukul-mukul kaca sambil berteriak-teriak histeris. Bahkan berdiri, lari
menendang-nendang.
Satu dua orang tampak menoleh memandang heran ke arahnya, kemudian kembali
pada keasyikannya semula.
Seakan tak pernah melihat apa-apa.
Tarida tidak menyerah.
Ia terus saja memukul dan menendangi kaca. Terus sa-ja berteriak ke arah mereka.
Sampai suarannya parau,kemudian habis.
Buku-buku tangannya bukan hanya sakit, tetapi pada lecet dan berdarah.
Begitu pula deng-an kaki.
Hanya tinggal nafas yang terputus-putus.
Sampai akhirnya tubuh Tarida melorot pada kaca, jatuh berlutut di lantai. Dahi
Tarida membentur-bentur lem-ah pada kaca di depan tempatnya berlutut sebagai upaya
terakhir.
Sambil menangis terisak -isak.
Gaung suara itu, tiba-tiba berhenti.
Tarida baru menyadari setelah telinganya hanya mendengar suara orang mengisak.
Dan itu ternyata isak tangisnya sendiri. Ia tertegun dengan sedikit harapan
membersit:
"Mereka mendengarku! Mereka akan meno-longku, dan..."
Akan tetapi, seketika itu juga pikiran lain datang me-nebas. Ratusan manusia di
seberang kaca barangkali sudah tidak ada di tempatnya. Sebagaimana peristiwa
peristiwa mengerikan sebelumnya, mereka telah sirna.
Dan Tarida telah sendirian lagi.
Kembali pada kesunyi-an.
Tenggelam dalam gelap gulita.
Harap-harap cemas, Tarida mengangkat muka. Diapun melihat.

-- Halaman 105 Kolektor E-Book --


Melihat ratusan manusia di balik dinding kaca masih memenuhi lantai ruangan.
Namun tidaklagi berdiri, duduk, atau hilir mudik. Ratusan manusia itu kini sama
bersujud mencium lantai. Baik itu lelaki atau perempuan, tua atau muda, semuanya
bersujud tanpa kecuali. Menghadap ke ujung ruangan yang berhadapan dengan ruang
kosong tempat Tarida disekap.Ternyata bagian dalam gedung dimana Tarida berada,
berbentuk oval.
Tarida di ujung oval yang satu.
Dan di ujung lainnya tampak tirai putih yang semula disangka Tarida adalah
tembok, menutup perlahan-lahan ke samping kiri dan kanan.Tampak sebuah panggung
besar dan lebar, di atas mana terlihat sesuatu yang mencengangkan Tarida. Sebuah
singgasana emas berbentuk ular dengan kepala ganda. Tempat untuk duduk terletak di
bagian mana tubuh ular raksasa itu terbelah dua, sementara dua sosok kepala ular
masing-masing meliuk ke depan menyerupai tangan-tangan kursi. Besar dan tinggi
maupun ukuran singgasana itu dapat dibayangkan, karena sosok tubuh laki-laki dewasa
yang berdiri di kaki singgasana,tampak menjadi kecil tak berarti.Yang terutama
mencengangkan Tarida adalah sinar berwarna kebiru-biruan yang meliuk-liuk
hilang-hilang timbul di sekitar singgasana, membuat sosok ular berkepala ganda itu
tampak bagaikan ikut meliuk-liuk hidup. Apalagi sepasang mata di masing-masing
kepala,berkeriap-keriap mengeluarkan sinar merah menyerupai nyala api terus
membara.Tarida mengalihkan perhatiannya pada sosok tubuh dikaki singgasana.
Siapakah orang itu?
Pangerankah?
Seorang Raja atau Sultan?
Mungkin salah satu diantara-nya. Yang pasti, dimana Tarida orang itu tampak biasa
biasa saja. Berpenampilan parlente dengan busana mengikuti selera zaman, tanpa
jubah kebesaran, tanpa tongkat komando di tangan. Posturnya malah tampak
menggelikan. Sulit memastikan apakah dia itu bertu-buh tinggi besar atau saking gemuk

-- Halaman 106 Kolektor E-Book --


malah terlihat jadi pendek. Raut muka tak terlihat jelas, kecuali bahwa ia tampaknya
mempunyai wajah bundar yang berlemak pula.
Apa sih istimewanya orang itu?
Tarida segera memperoleh jawaban sewaktu telinga-nya menangkap gaung suara
serempak dari ratusan orang yang bersujud mencium lantai itu,
"Selamat untukmu, Api dari kegelapan..."
Api dari kegelapan.
Apa maksudnya?
Nama atau sebuah julukan?
Lalu mengapa api dari kegelapan?
Secara instingtif naluri Tarida membisikkan sesuatu, dan seke-tika membuatnya miris
seakan udara di ruangnya kem-bali sedingin es. Apalagi ketika mendengar gaung
berikutnya dari para pemuja sang Api dari kegelapan itu.
"Cahayamu menyinari hidup kami... Melindungi kami..dari musuh-musuh yang
terlihat dan tidak terlihat..."
Ritual.
Itulah yang,telah dirasakan oleh Tarida.
Setelah gaung suara itu menjauh lalu hilang, sosok dikaki singgasana itu
perlahan-lahan menapaki anak-anak tangga yang juga berlapis emas, atau hanya
warna-nya saja berwarna emas. Dalam setiap langkahnya, or-ang itu meninggalkan
sinar merah redup di tiap anak tangga. Ia kemudian duduk dengan nyaman di
singgasananya yang empuk dan di tata mewah serta artistik tanpa menghilangkan kesan
wujud ularnya. Dia mena-tap ke bawah, kemudian mengangkat tangan sambil angkat
bicara.
"Berdirilah, Anak-anakku. Dan kembali-lah ketempatmu masing-masing..."
Tarida gemetar.
Itulah dia orangnya.

-- Halaman 107 Kolektor E-Book --


Yang berbicara kepadanya dan pernah memperlihatkan sosok dirinya. Orang
bersuara lembut, kharismatik. Bahkan Tarida sendiri nyaris bangkit berdiri jika tidak
perasaan linu, perih dan sakit ti-dak keburu mencegah. Perasaan yang merayap dan
menggerogoti tidak hanya pisik, tetapi juga jiwa Tarida.Tanpa bersuara, ratusan
manusia yang bersujut itupun berdiri untuk seterusnya secara tenang dan tertib
mengambil tempat di banjaran kursi bersusun di kirikanan ruangan. Kecuali belasan
anak-anak tanggung yang duduk bersila di bawah panggung tempat sing-gasana, dan
balasan lainnya duduk bersila membelakangi dinding kaca yang memisahkan mereka
dengan Tarida.
Semuanya duduk diam.
Menunggu.
Tarida terpenga-ruh.
Diam-diam ikut menunggu Dengan jantung ber-debar. Dalam keheningan yang
mendebarkan jantung itu, ter-dengar lagi suara lembut tadi di telinga Tarida.
Terasa begitu dekat.
Seakan-akan si pembicara duduk di dep-annya, sedang berbicara kepadanya penuh
welas asih.
"Anak-anak terkasih."
Orang yang duduk di singgasana menakjubkan itu memulai,
"Sebagaimana kalian semua sudah mengetahui, malam tadi musibah telah menim-pa
beberapa orang anggota kehormatan dari keluarga kita. Sekaligus mengambil korban
tenaga-tenaga teram-pil yang telah sekian lama mengabdi dengan setia. Aku tidak akan
menyebut jumlah karena itu hanya akan menambah kepiluan hati dan membangkitkan
kemarahan yang sia-sia saja. Apalagi, tidak seorangpun dari mere-ka yang dapat
diselamatkan."
Tak ada suara komentar.
Semua diam membisu deng-an wajah tanpa ekspersi.

-- Halaman 108 Kolektor E-Book --


Tarida lantas bertanya-tanya, siapa korban musibah di-maksud. Musibah apa, dan
berapa orang yang jatuh sebagai korban. Menyimak kata-kata si pembicara, ten-tunya
dalam jumlah yang mengejutkan.
Mereka semua mati, dan...
"Kita tidak boleh larut dalam kesedihan!"
suara kharis-matik itu bergaung di seantero ruangan.
"Karena airmata tidak akan mengembalikan mereka yang telah pergi. Namun
demikian, Anak-anakku. Untuk mengenang mereka, silahkan mengangkat toast.."
Setiap orang di semua tempat duduk mengangkat se-rempak minuman yang tersedia
di kursi masing-masing. Bagai dikomando, ratusan tangan teracung ke atas kemudian
setiap orang menyicip minuman masing-masing dengan tenang dan tanpa bersuara.
Sementara pembicara di singgasana, tidak minum apa-apa.
Ia hanya memperhatikan.
Dan di balik dinding kaca tempatnya disekap.
Tarida terpaksa hanya bisa mengusap-usap kerongkongan dan menelan air liur
sebagai pe-ngisi dahaga yang kian menjadi-jadi.
"Anak-anakku terkasih..." si pembicara meneruskan tanpa sekalipun menatap ke
seberang ruangan.
Ke dinding kaca. Seolah-olah Tarida tidak ada atau tidak ia ketahui kehadirannya.
"Untuk pelipur lara dan pengendor dukacita, hari ini aku bermurah hati melimpahi
kalian semua kegembiraan untuk menyaksikan dua pertunjukan menarik. Sekaligus
sebagai pengadilan dengan anakku sekalian kuperkenankan bertindak sebagai
hakimnya."
Ratusan wajah di balik dinding kaca perlahan-lahan memperhatikan emosi,
kegembiraan, dan ketidak sabaran. Wajah bundar di singgasana tampak tersenyum
samar-samar.
"Pertunjukan pertama," katanya.

-- Halaman 109 Kolektor E-Book --


"Justru ada kaitannya dengan musibah dimaksud. Akan kuperlihatkan pada kalian
semua oknum yang bertanggung jawab atas musibah itu, untuk mana ia harus menebus
dosa..."
Suara bisik-bisik terdengar disana sini.
Di mana-mana terlihat wajah-wajah yang penasaran. Dan dari singgasana terdengar
suara lantang.
"Naikkan dia!'
Tarida menunggu sambil mencari-cari dengan matanya. Siapa yang disebut-sebut,
dinaikan dari mana dan ke mana. Kemudian ia sadari bahwa semua wajah da-lam
ruangan di balik dinding kaca, sama memandang ke bawah. Yakni ke lantai di mana
sebelumnya mereka berkeliaran dan kemudian bersujud memuja orang yang mereka
sebut sang Api dari kegelapan.Diiringi bunyi dengungan halus, sebidang lantai yang
letaknya cukup dekat dengan dinding kaca tampak se-perti membuka ke samping kiri
dan kanan. Tampak kemudian sebuah lubang besar menganga hitam. Sesuatu terlihat
naik ke atas, menuju permukaan lantai yang terbuka. Mula-mula, ujung sebuah balok
lebih pendek terletak menyilang di sepertiga bagian atas balok panjang tadi.
Tarida berbisik terperanjat.
"Kayu salib!"
Dan pada kayu salib itu terikat tubuh seorang laki-laki berpakaian santai dengan
kedua tangan terentang kekiri ke kanan. Ia setengah terbungkuk menahan berat-nya
bobot balok-balok tebal itu. Kepalanya merunduk tertekuk memandang ke arah bidang
papan berbentuk bundar tempat dia menginjakkan kaki, dan akhirnya menutupi lubang
besar di permukan lantai.Alam bawah sadar Tarida mengucap istigfar manakala
pemandangan yang ia saksikan mengingatkan Tarida pada kisah Nabi Isa sebagaimana
tertulis dalam kitab-kitab suci. Yang membedakan dengan suasana di jam-an Romawi
Kuno itu adalah selain pakaian si lelaki,juga kepalanya tidak dilingkari dengan
kalungan akar-akar berduri. Rambut tebal bergelombang itu, terurai lepas,

-- Halaman 110 Kolektor E-Book --


awut-awutan.Tarida belum tahu siapa orang itu, berapa usianya, ba-gaimana wajahnya
diperlakukan sedemikian rupa. Karena balok-balok kayu di punggung orang itulah
yangmenghadap ke dinding kaca. Si pemanggul kayu salib menghadap lurus ke ujung
ruangan di seberang. Kepanggung, dan singgasana menakjubkan di atasnya terdengar
bunyi desahan nafas berat.Lalu
"Tuhanku..."
Suara itu pelan dan lirih, jelas di antara penderitaan-nya ia tersentak melihat
pemandangan di depan mata-nya. Orang yang duduk di singgasana tersenyum
lebar.Katanya,
"Aku anjurkan anak muda. Putarlah tubuhmu, dan lihatlah siapa di belakangmu.."
Tubuh di bawah balok-balok kayu tampak seperti menegang. Kaku, lantas
perlahan-lahan, dan dengan gerakan susah payah, sosok tubuh itu memutar. Salib
kayudi punggungnya ikut memutar ke arah berlawanan sampai tubuh itu menghadap
langsung ke dindingkaca dan berhenti menegun.
Sejenak, Tarida terkesima.
Kini ia tahu, bahwa kehadirannya di balik dinding kaca memang sudah diketahui
oleh orang yang duduk di atas singgasana.
Sikap tak acuhnya disengaja, dan inilah dia sebuah surprise yang nyaris mencopot
jantung Tarida.
Diawali seruan getir, tertahan,
"Tari!"
Si pemanggul salib tidak perlu mengangkat muka agar Tarida dapat melihat lebih
jelas. Hanya dengan mende-ngar suara dan sebutan untuk namanya, Tarida sudah bisa
menebak. Tubuhnya yang kaku dan didera sakit disana sini, toh masih kuat juga untuk
merinding. Melalui bibirnya yang terbuka Tarida mendesahkan sebuah nama. Yang tak
terdengar, bahkan oleh telinganya sendiri.
Zulham.

-- Halaman 111 Kolektor E-Book --


[]

***

EMPATBELAS

MEMANG betul, Zulham mendatangi alamat yang be-nar. Di mana ia berharap akan
bertemu dengan musuh lamanya. Lelaki misterius yang berlagak seperti nabi.Yang oleh
Rani Pusparini disebut-sebut, bukan lagi se-kedar berlagak tetapi malah sudah
menabikan dirinya sebagai utusan iblis.Dan seperti halnya Parluhutan, dalam diri
Zulham su-dah lama tertanam sebuah prinsip:
jika keadaan memaksa, modal nekad pun jadilah. Namun begitu Zulham
menyempatkan diri juga menyinggahi kantor polisi. Ia perlu seorang pendamping yang
dapat dipercaya sebagai teman sekaligus pelindung. Tetapi Parluhutan tidak ada
dikantornya karena ada tugas mendadak kelapangan. Tidak seorang pun yang dapat
memberi penjelasan kemana kapten itu pergi, dimana bisa dihubungi, kap-an akan
kembali. Parluhutan sendiri rupanya menjalankan aksi tutup mulut. Zulham
memperoleh kesan dari pembicaraannya di kantor polisi bahwa Parluhutan membawa
serta beberapa orang anak buah yang sudah terlatih dan berkemampuan tinggi.
"Seperti mau ke medan tempur saja."
Zulham sempat berseloroh.
Dan apa boleh buat, ia tinggalkan saja am-plop berisi catatan-catatan yang telah ia
buat dan janji diserahkan. Amplop itu ia masukkan catatan tambah-an, kemana ia akan
pergi dan untuk urusan apa. Ber-harap Parluhutan segera kembali ke kantor, kemudian
menyusul belakangan. Itulah modal kedua Zulham yang lebih parah dan modal nekad
modal angan-angan.Kemudian Zulham pun tiba di pintu gerbang keluar masuk

-- Halaman 112 Kolektor E-Book --


pemukiman elite 3-P, Pantai Pasir Putih yang bangunan-bangunan maupun sarana
pelengkapnya serba wah itu. Pada petugas jaga ia utarakan niatnya untuk menyumbang
Yayasan Tridharma berencana pula sebagai donatur tetap.
"Hanya sumbangan kecil." Katanya.
Satu-satunya ke-benaran dari sekian kebohongan yang ia utarakan untuk dapat
menembus ke 3-P.
"Yang saya rela dan iklas-kan setulus hati."
Tentu saja.
Toh yang akan ia sumbangkan dan hanya untuk pertama dan terakhir kali adalah
uang orang lain yang tidak lagi dibutuhkan pemiliknya, Tenny Puspasari.Berlangsung
sebentar kontak ke kantor induk Yayasan.Seterusnya Zulham diantar ke tempat yang
dituju. Di-sambut dengan ramah tamah, yang berlanjut ke kasak-kusuk antara sesama
pengurus di dekat Zulham.
Dikarenakan Zulham menegaskan,
"Saya harus serahkan langsung ke tangan Tuan Dwidharma!"
Di mulut Tuan, di sanubari bangsat.
Salah seorang pengurus kemudian masuk ke balik sebuah pintu tertutup. Keluar lagi
dengan segera lalu me-ngajak Zulham memasuki gang berbelok-belok melintasi sebuah
taman yang di tata artistik dengan bukit-bukit mini berair terjun. Menuju ke gudang
lainnya yang jauh lebih besar, lebih megah. Tetapi bukannya masuk lewat pintu utama.
Melainkan lewat pintu belakang yang lebih menyerupai sebuah pintu darurat.
Zulham tidak banyak cincong.
Tidak ribut memprotes,ia mengikuti dengan patuh saja. Suatu keharusan jika kita
hanya bermodal nekad doang, Zulham pun tidak bertingkah. Setelah menuruni tangga
ke ruang bawahtanah dan masuk ke sebuah gudang, tahu-tahu saja beberapa jagoan
sudah mengurung lalu mengikat diri-nya. Sambutan yang tidak ia duga-duga sama
sekali.

-- Halaman 113 Kolektor E-Book --


Namun ia meyakini betul, semua itu toh akan berakhir ke tujuan semula juga,
bertemu muka dengan si misterius yang berlagak nabi itu.Setelah harapan itu nanti
terpenuhi, barulah Zulham masuk ke tahap berikutnya.
"Perlakukan aku sehendak hatimu. Tetapi, lepaskanlah Tarida!"
Tahap penutup, Zulham tidak berani membanyang-kan. Kecuali satu hal, apa yang
akan terjadi, terjadilahl!
Dan memang kemudian terjadi.
Ia melihat musuh lamanya.
Ia tersentak sekaligus terpesona, bukan karena melihat sosok orang yang sudah
menabikan diri itu. Me-lainkan, setelah melihat sosok singgasana yang didudu-kinya.
Singgasana berbentuk lambang yang sudah iakenal betul, ular berkepala ganda. Dalam
ukuran luarbiasa besar dan tampak menggeliat hidup karena pe-ngaruh sinar biru yang
meliuk-liuk dan sinar merah membara di masing-masing matanya.
Setelah itu terjadilah anti klimaks.
Zulham sejak semula sudah yakin ia akan sampai ke tahap kedua. Namun begitu ia
memutar tubuh yang tersiksa oleh beban berat balok-balok kayu salib, manakedua
lengan diikat terentang pula, Zulham toh akhirnya tidak mampu bertahan.Tari-nya
tampak terkurung di balik sebuah dinding ka-ca. Belum sampai 30jam semenjak Tarida
menghilang,tubuhnya tampak sedemikian kurus, wajah pucat layu,sepasang matanya
nyaris tanpa sinar kehidupan.
Tubuh itu pun tampak terus menerus gemetar. Tak ubah-nya seekor tikus yang
terperangkap di dalam lubang yang di huni oleh ratusan ekor ular-ular ganas dan
ber-bisa.Suara yang keluar dari mulutnya terasa amat menyakitkan,
"Tari!"
Tidak sanggup melihat pemandangan yang memilukan hati itu, Zulham pun meronta
dengan marahnya. Ia balikan tubuh sekaligus untuk melontarkan sekeran-jang kutuk ke
alamat orang yang duduk di singgasana.Tingkah emosionil itu pun berakibat fatal

-- Halaman 114 Kolektor E-Book --


dalam seke-tika. Zulham limbung, lantas ambruk dengan kerasnya di lantai.
Terhimpit balok-balok kayu salib.
Yang se-akan meremukkan tulang belulangnya.Menyaksikan kekasih yang dicintai
tergeletak di bawah himpitan balok-balok kayu yang berat itu, entah ping-san atau
sudah mati, Tarida mengerang dan merintih.Segenap perasaan sakit dan penderitaan
yang dia tanggung sekian puluh jam tanpa berbenti, sekonyong-konyong lenyap entah
kemana. Tenaga maupun semang-atnya tiba-tiba muncul kembali dengan kekuatan
berli-pat ganda.Tarida serempak bangkit dan menjerit lantang ke arah singgasana di
seberang sana.
"Biadab! Apa sesungguh-nya yang kau mau, hai kau api neraka yang terkutuk?"
Wajah bundar di atas singgasana, tidak memperlihat-kan reaksi apa-apa. kecuali,
seulas senyum tipis. Lain halnya dengan ratusan manusia di balik dinding kaca,belum
hilang gaung jeritan Tarida, ratusan kepala se-rempak terangkat, berpaling dari
tontonan mengasyi-kan di lantai ke sosok yang tampak kecil tak berdaya dalam ruang
besar tetapi kosong, di balik dinding kaca.Tarida melihat ratusan wajah-wajah yang
marah. Lan-tas seseorang, entah siapa, tiba-tiba berseru seraya me-nuding Tarida.
"Rajam mulutnya yang kotor, Ooo...Api dari kegelapan!"
Seorang lainnya mengikuti,
"Seret dan paksa dia merangkak ke hadapan yang mulia!"
Disusul,
"Salibkan saja bersama si pembunuh!"
Dan,

"Berikan aku sebilah pedang! Akan kutebas..."


Umpat cerca, kemarahan, serta teriakan-teriakan nista datang dari segenap penjuru.
Bukan hanya dari kalangan orang dewasa dan penampilannya tampak terhor-mat,
tetapi juga dari kelompok anak-anak tanggung yang membelakangi dinding kaca, kini

-- Halaman 115 Kolektor E-Book --


pada membalikan tubuh dan ribut memukuli kaca searah Tarida.
Tarida tidak bergeming di tempatnya.
Ia jelas takut.
Tetapi setelah menit-menit serta jam-jam yang penuh ke-takutan telah ia jalani, rasa
takut yang muncul se-karang ini, tidaklah berarti. Terlebih lagi, ia membayangkan
Zulham sudah mati, ia pun bertekad, rela untuk menyusul!
Pikiran setengah sadar itu membantu Tarida untuk te-tap tegar, siap menanggung
resiko apa pun juga. Ia putarkan pandang ke seantero ruangan dengan sepasang mata
tak berkedip dan mulut terkatup rapat. Ia bahkan dapat menikmati suasana panas dan
hiruk pikuk da-lam kemarahan yang membuta itu. Lalu ia melihat tidaklah seluruh
hadirin ingin mencincang dirinya habis habisan. Ada walau hanya segelintir yang
terlihat tetap duduk diam di tempat. Tanpa beraksi apa-apa, malah berpaling untuk
tidak melihat ke dinding kaca. Disudut sebelah kanan luar dinding kaca itu, Tarida
tiba-tiba beradu pandang dengan sepasang mata kaum sejenisnya. Sepasang mata sejuk
bening, di seraut wajah cantik rupawan. Mata itu seakan ingin meneduhi Tari-da. Bibir
ranum yang mengguratkan senyuman samar-samar itu, seakan memancarkan simpati.
Dan tersen-diri pada Tarida.
Terasa membersit kekaguman yang melintas di tengah perasaan
kekuatannya.Pertukaran pandang itu berlangsung hanya sekilas dua. Setelah itu si
cantik rupawan bermata bening se-juk itu, menatap ke sosok tubuh Zulham yang
terhim-pit salib kayu.
Aneh, wajahnya seketika dingin membe-ku.
Saat berikutnya ia duduk dengan sikap tenang, terkendali, dan penuh penguasaan
diri. Saat mana terde-ngar suara lunak.
Lembut, kharismatik, datang dari jauh tetapi terdengar begitu dekat.
"Kuasailah diri kalian, Anak-anakku..."
Luar biasa.

-- Halaman 116 Kolektor E-Book --


Di tengah gemuruhnya jerit dan teriak kemarahan, suara lembut itu tetap terdengar
nyata di telinga setiap orang yang hadir. Terbukti dari pengaruh yang kemudian timbul.
Amukan membuta itu perlahan lahan mereda, dan semua orang kemudian sudah duduk
tenang dengan sikap tertib di kursi atau tempat duduk masing-masing.
Dan ratusan pasang mata, terpu-sat ke satu titik.
Orang yang duduk di singgasana.
Dikitari oleh sinar biru yang melingkar dan meliuk hilang-hilang timbul menambah
kharismatik penampilannya,dan memberikan pengaruh gaib yang menakjubkan pada
setiap orang pengikutnya.
Sunyi hening, seketika.
Semua menunggu.
Tanpa ada yang berani merusak keheningan di sekitarnya. Tetapi orang yang duduk
di singgasana belum juga memperdengarkan suaranya yang berdaya tarik istimewa
itu.Duduknya pun tenang dan diam, tampak seperti berpikir-pikir.
Lalu suatu saat, tangan kirinya meraih sesuatu dari bawah pegangan kursi
singgasana.
"Tangkap ini!" ujarnya lembut dan melemparkan sesuatu ke bawah panggung.
"Dan lakukan tugasmu sebaik baiknya!"
Seorang bocah tanggung menangkap apa yang dilemparkan.
Tampaknya kantong kain entah berisi apa.
Bocah lelaki itu kemudian berjalan melintasi ruangan menuju ke tempat Zulham
rebah tergeletak di bawah himpitan balok kayu salib. Pada waktu bersamaan,beberapa
anak tanggung lainnya yang duduk membelakangi dinding kaca segera bangkit.
Mereka pun berjalan ke arah yang sama.
Dan kemudian membungkuk,lalu bergotong royong membalikkan tubuh Zulham yang
tergeletak.
Terdengar bunyi kayu beradu.

-- Halaman 117 Kolektor E-Book --


Keras mengejutkan, tubuh Zulham kini berubah posisi, menghadap ke langit-langit
ruang oval dengan balok-balok kayu salib berada di antara lantai dan punggungnya.
Tarida mengawasi harap-harap cemas.
Seketika ia merapatkan tubuh kedinding kaca manakala terlihat gerakan lemah pada
pundak Zulham. Bibir Zulham yang tampak bengkak pasti karena akibat mencium lantai
ketika tubuhnya am-bruk, pelan-pelan menggerimit mengeluhkan sesuatu.Ingin rasanya
Tarida mendobrak kaca pemisah, kemudian lari untuk memeluk dan melindungi kekasih
hati-nya. Tetapi ia sudah mengetahui kekuatan dinding itu.Dan jika pun mampu ia
pecahkan, yang tentunya hanya angan-angan kosong belaka, apa yang dapat ia perbuat
sendirian. Sementara di sekelilingnya ada ratusan manusia yang siap untuk menahan
maksud Tarida lan-tas menyeretnya sejauh mungkin dari Zulham?
Bocah tanggung dari bawah panggung singgasana kini sendirian bersama Zulham
yang tetap rebah di ataskayu Salib. Ia berlutut dengan tenang, wajah tampan-nya yang
lembut kekanak-kanakan tidak memperlihat-kan emosi apapun juga. Kantong kain yang
dibawa-nya, dibuka acuh tak acuh.
Isinya ditumpahkan ke lan-tai .
Beberapa buah paku-paku besar dan panjang dan sebuah palu.
Tarida hampir terlompat.
Di luar sadarnya ia kembali meninju-ninju kaca sambil menjerit panik,
"Apa mau kalian Apakan dia..?"
Bocah itu bekerja cepat dan tangkas sekali, belum juga jeritan panik Tarida berakhir,
sebuah paku besar sudah menancap kokoh di palang salib, menembus telapak tangan
kiri Zulham.
Darah merah kental, seketika me-ngalir membasahi lantai.
Tubuh Zulham terlonjak dalam pingsannya kemudian ia tersadar dan mengaduh
kesakitan.Di sana sini terdengar desahan nafas mengungkapkan perasaan campur
aduk. Terbanyak desah kegembiraan,karena wajah mereka tampak bersinar-sinar

-- Halaman 118 Kolektor E-Book --


senang.Apalagi setelah menyaksikan sosok tubuh gadis di balikdinding kaca jatuh
berlutut di lantai.
Dengan mulut ternganga dan mata membelalak. Tarida tidak mempercayai apa yang
telah disaksikannya!
Sebelum paku kedua ditancapkan ke telapak tangan kanan Zulham, dari arah
singgasana terdengar bisikan rendah:
"Tunggu.."
Bergaung desahan nafas kecewa.
Namun tidak ada yang memprotes.
Si bocah tanggung pun hanya diam merunduk dan menunggu dengan patuh. Tarida
mengangkat muka, menatap jauh ke seberang. Akan mereka hentikankah penyiksaan
biadab atas diri Zulham?
Ba-gaimana pun jahat serta kejamnya orang yang mempunyai suara kontras itu,
demikian Tarida berharap, dia itu tetap saja manusia adanya. Dia tetap memiliki rasa
iba terhadap sesama walau itu tak lebih tipis dan sehe-lai rambut.
"Kau, Anakku!"
Terdengar suara dengan sepasang ma-ta di wajah bundar itu menatap turus ke wajah
Tarida.
"Dapat saja menghentikan penderitaan kekasihmu...Selama kau berjanji dan
melaksanakan satu hal yang kukehendaki."
Kepala Tarida tertegak, mendongak.
"Apa.... apakah itu? Sebutkanlah."
Bisiknya bernafsu.
Sadar bisikan itu mungkin tidak terdengar ke seberang sana, ia sudah si-ap
mengulangi dengan suara yang lantang, ketika terdengar jawaban atas pertanyaannya.
"Seperti kukatakan padamu sebelum ini!"
"Aku..aku lupa.."

-- Halaman 119 Kolektor E-Book --


"Tak apa. Biarlah kusegarkan daya ingatmu. Niatmu berwudhu tak terlaksana.
Makan malammu yang sebetulnya bercita rasa tinggi, berubah wujut atas kehen-dakku.
Sama seperti kehendakku memberimu hiburan di luar kamarmu. Nah..."
Tarida beigidik, Seram.
Jalan pikirannya kacau seketika, segala sesuatu sulit ia rangkai.
"Baiklah,"
Orang yang duduk di singgasana itu berusa-ha membantu.
" Biar kuulangi lagi. Kau ada di tempat-ku. Segala sesuatu dengan sendirinya
berlaku atas ke-kuasaanku pula. Kau tidak kuperkenankan menyebut nama lain di
tempatku. Satu-satunya nama yang bolehkau sebut, bila kau menghendaki sesuatu
adalah nama-ku!"
Tarida mulai bisa merangkai .
Masih belum terarah, na-mun tidak lagi sekacau tadi. Ia beranikan diri untuk
bertanya.
"Dan...siapa engkau ini?"
Hening yang menekan, seulas senyuman manis, dan ditutup oleh suara rendah,
menekan.
"Iblis."
Saking terperanjat,
Tarida berucap dengan keras.
"Na-udzubillah...!"
Dalam seketika itu juga, si bocah tanggung yang jelas mengetahui apa dan kapan ia
harus menjalankan tug-as tanpa menunggu adanya perintah sudah memaku telapak
tangan kanan Zulham ke palang kayu.
Saat itu-lah Zulham tersadar sepenuhnya.
Saat paku tertanam semakin dalam karena dipalu semakin keras.
Zulham meronta.

-- Halaman 120 Kolektor E-Book --


Dan meraung-raung kesakitan.
[]

***

LIMA BELAS

RAUNG kesakitan itu lagi-lagi merupakan titik balik.


Dalam diri Tarida.
Alam bawah sadar gadis itu menahan Tarida supaya tidak ikut meraung apalagi
sampai jatuh pingsan.
Jika itu terjadi, dia akan ikut hancur bersama Zulham. Ak-an sama-sama runtuh
dalam ketidak berdayaan.
Itu bukanlah bukti cinta kasih. Karena cinta berkehendak,bila yang seorang jatuh
maka ia harus dibantu oleh yang seorang lagi.
Agar tegak kembali.
Paling sedikit,tidak sampai jatuh semakin dalam.
Tarida harus bertahan.
Ia berjuang mencegah ratap tangis yang nyaris meled-ak. Ia kuatkan hati serta
imannya.
Dan berseru geme-tar dari balik dinding kaca ditujukan pada Zulham.
"Sebutlah nama Allah!"
"Bandel!"
Suara mengeram itu datang dari arah singgasana. Pe-lan saja, tetapi dinding kaca
bahkan lantai di bawah kaki Tarida, terasa bergetar dengan hebat. Ratusan orang yang
berada di luar tampak menjadi gelisah. Di sana sini terlihat wajah-wajah ketakutan.

-- Halaman 121 Kolektor E-Book --


Tanpa ada yang berani membuka mulut atau bergerak di tempatnya duduk.
Kemudian getaran itu berhenti sendiri.
Terdengar desahan nafas panjang dari arah singgasa-na. Yang mengherankan, suara
yang kemudian disusul sebaliknya dari murka, suara orang yang duduk santai pada
singgasana, terdengar gembira.
"Luar biasa. Ini dia permainan sesungguhnya! Bukan sekedar bersenang-senang.
Tetapi juga dihadapkan pa-da tantangan. Dan aku menyukainya!"
Tarikan nafas lega berkumandang di sana sini.
Di balik dinding kaca, Tarida justru bertambah tegang.Apa maksud orang misterius
itu?
Terdengarlah bunyi perintah lunak.
"Singkirkan anak hina itu.Dan bersihkan lantai dari darahnya yang kotor..!"
Gerombolan anak-anak tanggung yang membelakangi kaca,serempak bangkit. Sekali
lagi mereka membantu temannya. Si anak yang telah menyalib Zulham deng-an wajah
dan sikap tetap tenang, seolah-olah yang ba-rusan ia lakukan adalah memaku sebilah
papan yang terlepas dari dinding.Bergotong royong mereka angkat balok kayu panjang
di mana tubuh Zulham bagai menyatu. Zulham sendiri dibantu supaya tegak, sekalian
dituntun meninggalkan tempat penyiksaannya. Supaya ia tidak terjatuh, bebe-rapa anak
memegangi kayu balok, sisanya membersih-kan darah yang menggenangi lantai. Bukan
memper-gunakan kain lap. Melainkan,mempergunakan lidah mereka masing-masing.
Menjilat bahkan tampak sete-ngah menghirup darah yang ditinggalkan Zulham sampai
lantai kembali bersih dan licin berkilat.Sayang, pemandangan yang mengejutkan itu
tidak sempat disaksikan Tarida. Gadis itu perhatiannya lebih tertuju pada sang pemuda
tercinta, ia lihat bagaimana Zulham dituntun tersuruk-suruk menuju sebuah tiang.Balok
kayu ditegakkan beramai-ramai, supaya letaknya vertikal rapat ke tiang beton yang
kokoh itu.
Akibatnya pada Zulham sungguh menyedihkan.

-- Halaman 122 Kolektor E-Book --


Kare-na kakinya tidak lagi memperoleh tempat berpijak, tu-buh Zulham tentu saja
tergantung-gantung sekitar satu meter dari permukaan lantai. Bila dapat disebut
kemu-juran, maka bermujurlah Zulham. Karena setelah tang-annya dipaku, tali
pengikat pergelangan tetap dibiar-kan terikat ke palang kayu. Dengan cepat dan
terampil pula anak-anak tanggung itu telah membelitkan tali tambang ke tiang salib
sekaligus tubuh Zulham untuk diikat kencang ke tiang beton. Tubuh Zulham lantas tidak
lagi tergantung- gantung.Namun tentunya upaya anak-anak tanggung ini tidak-lah
dimaksudkan untuk mengurangi penderitaan Zul-ham. Dan kenyataannya, selama
mereka bekerja, Zul-ham tidak berhenti-henti mengerang.
Sengsara.
Tarida hanya mampu menggigit bibir.
Sambil berurai air mata.
Dalam pada itu, orang yang mengaku diri sang Api dari kegelapan, bahkan
kemudian lebih hebat lagi .sang iblis mengalihkan perhatiannya pada yang lain. Mata
disapukan ke seantero ruangan dengan mulut tebal diwajah bundarnya yang lemak,
mengulas senyuman puas.
"Aku tahu, Anak-anakku. Kulihat wajah-wajah yang kecewa di sana sini. Tetapi tidak
usah kuatir. Pertun-jukan mengasyikkan tadi, pada waktunya nanti akan kita teruskan.
Aku harap kalian semua nanti akan ter-puaskan. Karena selain bakal menjadi
pertunjukkan puncak sekaligus penutup .kalian semua akan ikut ber-peran di dalamnya.
Terserah kalian menentukan apa-kah cukup memaku kedua punggung telapak kaki
an-ak hina itu ke kayu salib. Atau barangkali beramai-ramai memaku bagian demi
bagian tubuh lainnya. Kare-na, kalianlah hakim-hakimnya!"
Kali ini, di mana-mana terdengar desahan nafas sukacita.
Tidak demikian halnya dengan Tarida.
Ia terbelalak ngeri, merintih pelan, lantas duduk terhenti di balik dinding kaca.
Sekujur tubuhnya menggigil di alas lantai yang terasa semakin dingin. Puncaknya

-- Halaman 123 Kolektor E-Book --


adalah Tarida tidak kuasa mencegah keluar apa yang semestinya ke-luar.
Roknya kembali melembab basah.
Dibasahi air seninya.
Namun demikian, alam bawah sadar Tarida tetap ber-tahan. Alam bawah sadar itu
menyadari dirinya tidak dalam keadaan suci bersih. Biar begitu ia yakin Tuhan Maha
Pengampun.
Jauh di sanubari Tarida berdoa.
Berserah diri memohon kekuatan dan perlindungan-Nya.
Agaknya orang yang menduduki singgasana tahu betul apa yang sedang diperbuat
Tarida. Sepasang ma-tanya yang bersinar dingin menatap lurus ke dindingkaca seakan
ingin menembusnya, kemudian menembus pula ke sanuburi Tarida. Untuk membisikkan
isi hati-nya,
"Aku pun ingin tahu, sejauh mana engkau mam-pu bertahan!"
Setelah satu dua kali helaan nafas panjang, orang itu berujar dengan suaranya yang
khas. Lembut, kharismatik, dan ditujukan pada semua yang hadir.
"Baiklah...sementara kita menanti kelanjutan dan puncak pertun-jukan yang tertunda
itu, marilah kita menyaksikan per-tunjukan kedua yang telah kujanjikan. Hanya sebuah
pertunjukan kecil. Dan anggap saja sebagai selingan menggembirakan setelah dari tadi
kalian semua sempat gelisah dan takut."
Tarida terusik untuk merintih, siapa lagi, yang berikut ini?
Ia memperhatikan ke luar dinding kaca.
Masih tak ter-dengar suara perintah.
Rupanya orang yang duduk disinggasana itu tengah menikmati reaksi tak sabar
daripara pengikut yang memujanya dengan kepatuhan mutlak itu. Tarida ikut-ikutan
memutar pandang, sela-in ketidak sabaran di sana sini ia juga kegelisahan.
Be-berapa malah tampak tegang dan pucat.
Pandangan Tarida berakhir pada sosok si cantik rupa-wan. Wanita molek bertubuh

-- Halaman 124 Kolektor E-Book --


aduhai itu, lagi-lagi men-datangkan kekaguman di hati Tarida. Si cantik rupa-wan
duduk begitu tenang, tetap dengan sikap terken-dali. Namun dengan jarak yang cukup
dekat ke din-ding kaca, Tarida dapat melihat jakun di leher mulus dan jenjang itu.
Jakun itu turun naik tidak teratur,seperti turun naik payudaranya yang mencuat
ken-cang dan indah di balik gaun siangnya yang hitam pekat.
Tampak tidak teratur pula.
Di balik ketenangan wajah dan pengendalian sikap yang mengagumkan itu, jelas
tersembunyi sesuatu yang bertentangan dengan penampilannya. Terbukti dari sinar
matanya, ketika terdorong gerak naluri ia berpaling ke arah Tarida, dan seketika
mereka kembali beradu pandang.Sinar mata itu memperlihatkan kemarahan malah
seperti menyimpan dendam. Saking takut melihatnya, Tarida seketika berpaling. Ia
kembalikan perhatiannya kelantai ruangan berbentuk oval itu. Bidang lantai persis di
tengah-tengah seperti terjadi sebelumnya, perlahan-lahan membuka diiringi bunyi
dengungan halus. Lub-ang hitam menganga sepersekian detik, lalu sesuatu naik ke atas
dari dalam kegelapan.Awalnya Tarida hanya melihat adanya gerakan sinar merah
seperti darah, redup namun menimbulkan efek silau.
Tarida sempat terpejam.
Kemudian membiasa-kan lalu menyesuaikan tatap, matanya untuk dapat melihat
jelas.
Lantai itu sudah menutup kembali.
Dan di atasnya dalam lingkaran sinar merah darah, Taridapun melihat sesuatu.
Mulanya ia sangka adalah sebuah simpul tambang yang bekas terputus. Lalu
pelan-pelan ia lihat tambang hitam pekat itu bergerak.
Menggeliat hidup.
Bagian yang tampaknya seperti terputus itu kemudian meliuk naik, lalu tertegak diam
menatap ke singgasana.
Orang yang ditatap tersenyum lembut, lalu menyapa lebih lembut lagi.

-- Halaman 125 Kolektor E-Book --


"Aku harap kalian baik-baik saja. Anakku!"
Tambang-tambang tegak itu seketika meliuk-liuk liar.Tarida lantas akhirnya
menyadari dengan terpana bahwa apa yang ia lihat itu adalah seekor ular bersisik
hi-tam pekat dan berkepala ganda. Masing-masing kepala itu tampak berusaha
melepaskan diri dari kungkungan sinar. Meliuk ke sini, meliuk ke sana.
Seperti akan me-matuk.
Sinar merah redup itu ikut meliuk, menjauhkan diri dari setiap serangan
kepala-kepala ular itu.
Seakan mempermainkan.
Dengan sinarnya yang semakin me-rah, semakin redup, semakin menyilaukan.Sampai
akhirnya dua sosok kepala bermoncong lancip itu kembali tertegak diam, seperti putus
asa.
Di balik dinding kaca, Tarida diam-diam tersentak.
Lingkaran sinar merah dan sosok kepala ganda dan ular yang setengah tegak itu
mengingatkannya pada liontin dikalung Maria.
Liontin itu ternyata lambang pemujaan kepada sang Api dari kegelapan yang juga
mengaku diri iblis itu, dan kini tampak duduk dengan gembira disinggasananya.Dan di
balik dinding kaca pemisah, Tarida kemudian menyaksikan peristiwa yang selain
mendebarkan jan-tung juga mendatangkan pesona yang mencengangkan.Sosok ular
berkepala ganda itu tahu-tahu bergerak tumbuh semakin besar, semakin tinggi. Sinar
merah redup yang melingkarinya tidak lantas pecah, tetapi menam-bah lebar dan tinggi
lingkaran sehingga tetap mengu-rung sosok ular yang pertumbuhannya berhenti setelah
tingginya kira-kira mencapai ukuran tinggi manusia dewasa. Dengan kepala dan
bagian tubuh sebesar ling-karan paha orang dewasa pula.Wujut kepala lancip
perlahan-lahan merebak, terkelupas. Demikian pula sisik-sisik hitamnya yang pekat.
Lalu dari bagian yang terkelupas itu, menggeliat keluar wujut lain yang lebih besar
dengan bentuk yang lebih pantas untuk dilihat. Dalam tempo singkat, muncullah dua

-- Halaman 126 Kolektor E-Book --


sosok kepala dan wajah manusia yang semakin jelas dan jelas, sampai tampak bersih
dan utuh. Yang satu, wajah seorang lelaki muda dan gagah.
Dan satu-nya lagi wajah cantik rupawan seorang wanita.
Perubahan wujud itu terus berproses semakin kebawah.
Tetapi Tarida tidak lagi terlalu memperhatikan pada proses, melainkan memusatkan
pandang ke wajah yang wanita.
Setelah yakin, ia terkejut, dan pelan-pelan berpaling ke satu arah di luar dinding
kaca. Ketempat duduk perempuan yang semenjak tadi menarik perhatiannya.
Dan, ia melihat raut wajah yang sama.
Bagai pinang dibelah dua.

***

Rani Pusparini tidak memenemui hambatan yang ber-arti untuk dapat menembus
penjagaan ketat di pintu gerbang masuk pemukiman elite Pantai Pasir Putih.Dari
beberapa kali pembicaraan dengan Tenny Puspa-sari sebelum saudara kembarnya itu
menghilang dari rumah, cukup banyak keterangan yang berhasil ia kumpulkan. Salah
satunya adalah liontin yang menjadi lambang kebanggan keluarga Tridharma,
pemiliknya sang-at terbiasa. Pengurus teras, pribadi pemilik perusahaan dengan siapa
Tridharma bernegosiasi dan anggota ke-hormatan. Relasi yang mempunyai pengaruh
luas diluar kalangan bisnis.Selebihnya konon pula berstatus pegawai rendahan,tak
lebih dari sekedar abdi. Yang kesetiaannya selain dibeli dengan kemewahan duniawi,
diperteguh oleh sumpah setia dibawah pengaruh gaib kepala keluarga.
Termasuk mereka yang bertugas di pos jaga pintu ger-bang atau penerima tamu di
pintu gedung pertemuan yang disebut ruang oval.Hambatan kecil yang harus ditangani
Rani Pusparini hanyalah menyangkut teman-teman terdekat dalam sektenya yang ikut
mendampingi.

-- Halaman 127 Kolektor E-Book --


Rani Pusparini lebih du-lu harus menunggu sampai teman-temannya masuk
sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil. Sementara Rani mengawasi dari dalam
mobil yang ia parkir tidak terlalu jauh sambil terus mengerahkan kemampuan
bertelepati dengan sedikit pengaruh hipnotis agar para petugas jaga di pos jaga
berpikir dan merasa yakin betul bahwa orang di dalam mobil yang menunggu palang
pintu gerbang diangkat adalah penghuni setempat.
Atau relasi yang disebut-sebut sebagai anggota kehor-matan itu.
Di pintu masuk ruang pertemuan, tidak ada masalah.Lolos dari pos jaga, berarti oke
untuk Ruang Oval.
Didalam pun ternyata aman-aman saja.
Seperti pernah dikatakan Tenny Puspasari, kursi di Ruang Oval tidak selalu penuh
terisi. Sama halnya dengan kehidupan dibidang atau dunia lain, ada saja yang bolos.
Kewajiban hadir, lambat laun diketahui Tenny Puspasari, tak lebih dari sekedar
formalitas. Selama sumbangan rutin un-tuk yayasan tidak dilewati, sang Api dari
kegelapan konon masih bersifat pemaaf.Kesulitan terbesar adalah kehadiran Rani
Puspanni sendiri!
Teman-temannya beres karena kepala keluarga tidak terlalu mengenali siapa saja
anak-anaknya.
Lain hal-nya Rani Pusparini.
Wajahnya adalah wajah Tenny Puspasari.
Sementara si penghujat tahu betul di mana dan bagaimana wujut Tenny Puspasari
sekarang ini.
Dengan segera ia akan dikenali, dan si penghujat tahu betul siapa Rani Pusparini.
Satu-satunya harapan ada-lah duduk di sudut terjauh dari singgasana.
Mudah-mudahan saja si penghujat tidak mendadak tergoda untuk meminta,
berdirilah kalian satu persatu.
Rani Pusparini mustahil pada bermeditasi Ruang di ru-ang oval karena pancaran

-- Halaman 128 Kolektor E-Book --


gaib dari meditasinya akan tertangkap oleh kekuatan gaib yang lebih dominan, ka-rena
sang Api dari kegelapan ada di lingkungan sen-diri. Siapa nyana, Rani Pusparini hanya
perlu membu-ang muka sesekali saja karena perhatian sang Api dari kegelapan lebih
tercurah pada yang lain (sosok kecil tak berdaya, di balik dinding kaca). Rani Pusparini
tidak tahu mengapa, untuk apa, dan siapa tikus yang tertangkap itu. Ia juga tidak kuasa
untuk berbuat apa-apa karena bukan haknya, bukan pula urusannya. Ia baru tersentak,
setelah muncul kejutan yang ia sendiri tidak menyangka-nyangka itu.
Zulham!
Memang benar, buat Rani Pusparini, Zulham tidak pu-nya arti khusus lagi, selesai
mereka bersenggama.
Namun mau tidak mau, hatinya toh tertusuk.
Apalagi mengingat sesuatu di dalam kandungannya.
"Sesesuatu yang tidak akan pernah ada tanpa adanya Zulham.Rani Pusparini
terpaksa harus berkutat melawan sifat manusiawinya untuk membantu Zulham. Ia
berhasil mengendalikan diri.Tetapi sewaktu si penghujat mengumumkan akan ada
pertunjukan kecil sebagai selingan, Rini Pusparini ter-sentak dan kendali dirinya agak
mengendur. Semula ia berharap bahwa selingan menggembirakan itu hanya untuk
ditonton sendirian oleh si penghujat, saat mana barulah Rani Pusparini keluar dari
persembunyiannya.Siapa nyana saudara kembarnya bakal ditampilkan didepan semua
orang. Dijadikan bahan tertawaan, cemoohan atau apa yang oleh si penghujat pasti
ditekankan sebagai contoh ketidak setiaan!
Kemarahan Rani Pusparini pun bangkit seketika, tetapi lirikan tajam dari kursi-kursi
di tempat terpisah, meno-long Rani Pusparini untuk pelan-pelan kembali pada kendali
diri.
Lirikan teman-temannya itu jelas memperingatkan agar Rani Pusparini
berkonsentrasi penuh pada apa yang ada dalam kandungannya. Bukan padahal-hal
sepele di depan mata. Rani Pusparini kembali pada ketenangannya semula.Perhatian

-- Halaman 129 Kolektor E-Book --


dan inti tenaga gaib si penghujat sedang ter-curah pada ular berkepala ganda dalam
lingkaran me-rah redup. Jadi kesempatan pun terbuka untuk bermeditasi diam-diam,
Rani Pusparini mengonsentrasikan inti tenaga gaibnya pula, sepenuhnya tercurah pada
kandungannya. Sementara itu di tempat mereka masing-masing teman-temannya
serempak berbuat sama.
Meditasi.
untuk menciptakan tabir pelindung. Yakni memasukkan warna warni gaib sebagai
kamuflase, kecelah-celah tipis yang memisahkan inti tenaga gaib Rani Pusparini
dengan inti tenaga gaib si penghujat.Pertumbuhan dan perubahan proses ular
berkepala ganda dalam lingkaran merah masih tetap terlihat oleh mata kasat Rani
Pusparini. Tetapi mata hatinya sudah lebih dulu menutup diri.
Demikian pula dengan telinga.
Telinga kasat terus mendengar, tetapi telinga hati menulikan diri. Rani Pusparini
terbebaskan sudah dari pengaruh-pengaruh emosionil yang datang dari luar.Lalu,
tiba-tiba si penghujat menghentikan konsentrasi dan menarik mundur inti tenaga
gaibnya. Berakibat celah-celah tipis itu tahu-tahu terkuak menganga lebar
selebar-lebarnya. Warna-warni gaib sebagai tabir selu-bung seketika melemah,
kemudian buyar. Teman-teman Rani Pusparini terkejut, dan seketika menghentikan
meditasi. Dengan sendirinya inti tenaga gaib Rani Pus-parini tidak lagi terlindungi. Inti
tenaga gaibnya menja-di terbuka untuk dilihat dan diserang.Duduk tegang di kursi
masing-masing, teman-temannya melirik kuatir ke arah Rani Pusparini.
Gadis itu tetap bertahan.
Ia sudah merasakan bukan denyut, melainkan getar kehidupan dalam kandungannya.

Getaran itu berhawa panas, tetapi ia tidak perlu takut. Selama masih beradadi
dalam, hawa panas itu akan tetap menyesuaikan diri dengan suhu panas pada
tubuhnya.

-- Halaman 130 Kolektor E-Book --


Entah nanti sesudah keluar.
Rani Pusparini tidak tahu dan tidak berani membayangkan.Ia juga sadar, si
Penghujat tiba-tiba menarik mundur inti tenaga gaibnya.
Ia kini tanpa perlindungan.
Terbu-ka untuk di serang, dan jika itu terjadi dia akan mati.
Untuk menghindari serangan itu. Meditasi harus dihentikan, tetapi resikonya tetap
sama.
Mati.
Dan kematian itu datangnya berlambat-lambat menyakitkan.
Menghentikan meditasi, getar kehidupan yang sudah berproses dalam kandungannya
akan ikut berhenti. Pa-dahal getar kehidupan itu sudah setangah jadi untuk
memperoleh kesempurnaan bentuk getar kehidupan itu akan menyedot habis suhu panas
di tubuh Rani Pusparini tanpa ia bisa mencegah. Akibatnya sangat fatal karena yang
tersisa pada tubuhnya hanyalah suhu di-ngin semata, tanpa ada suhu pengimbang.
Organ-organnya lambat laun akan membeku, lalu mengeras se-perti batu atau seperti
gumpalan-gumpalan es.Tak ada jalan lain dari dua pilihan yang sama-sama buruk
menakutkan itu. Ia memilih yang terbaik, tetap bermeditasi karena jika ia diserang
kematian itu akan terjadi seketika. Sambil berharap ada keajaiban yang akan
menolongnya.Keajaiban itu tak pernah muncul, tetapi Rani Pusparini tertolong juga,
justru oleh si Penghujat sendiri.
Tampak jelas ia tidak menyadari kehadiran inti tenaga gaib yang asing disekitarnya.
Santai-santai saja ia dud-uk di singgasana. Berpuas diri menikmati hasil kerjaan-nya
yang sengaja tidak dituntaskan. Saking puasnya,ia malah sampai bertepuk tangan yang
serempak disam-but membahananya tepuk tangan diseantero ruangan.Dari para
pemujanya yang bertepuk tangan untuk menggembirakan hati sang Api dari
kegelapan.Dengan wajah bangga ia memandang ke lingkaran sinar merah redup dan
apa yang terkandung di dalam-nya. Hasil pekerjaannya yang sengaja dibuat tang-gung.

-- Halaman 131 Kolektor E-Book --


Dari kepala sampai lutut, dua sosok tubuh bugil dan berlainan jenis itu sempurna
wujud sebagai ma-nusia, namun lutut kedua orang dewasa dan berlainan jenis itu
jumlahnya tetap satu.
Bentuknya tetap bulat.
Tetap pula bersisik hitam pekat.
Itulah ekor.
Yang meliuk-liuk lemah tak berdaya.
[]

***

ENAMBELAS

AZAB yang menyiksa tidak begitu terasa lagi setelah Zulham menyaksikan peristiwa
mencengangkan yang berlangsung tidak jauh dari tiang beton tempatnya di-ikat. Tema
horror masuk urutan ketiga film favoritnya setelah detektip dan spionase. Yang biasa ia
lihat dalam film-film horror itu, umumnya adalah perubah-an wujud seorang manusia
ke wujut hewan buas atau mahluk lainnya yang mendirikan bulu roma.Tetapi apa yang
sekarang ia saksikan didepan mata sendiri justru kebalikannya. Setelah perasaan
takjub-nya mereda perlahan-lahan, ia curahkan perhatian pada sosok tubuh yang
wanita yang tampak belum se-penuhnya sadar pada apa yang terjadi pada dirinya dan
lelaki yang satu lutut dengannya.
Ia amati wajah si wanita dengan terkejut. Selama beberapa saat ia menyangka telah
melihat Rani Pusparini. Hanya garis wa-jahnya tampak lebih lembut, lebih mendekati
keibuan.Baru satelah teringat bahwa sosok itu muncul dari wu-jut seekor ular
berkepala ganda dan ekornya pun ma-sih tersisa, Zulham sadar siapa wanita yang

-- Halaman 132 Kolektor E-Book --


dilihatnya.Untuk pertama kali setelah sekian hari yang rasanya melalui masa yang
sekian panjang, Zulham melihat wujut nyata dari seorang yang ia hanya tahu nama dan
hanya melihat potonya.
Tak syak lagi.
Wanita itu adalah Tenny Puspasari, dan laki-laki yang satu lutut dengannya tentulah
orang yang disebut-sebut Rani Pusparini sebagai calon suami saudara kembarnya.
Zulham menghela nafas.
Akan diapakan kedua sosok tubuh malang ini oleh manusia haram jadah di
singga-sana itu?
Dan mengapa proses perubahan wujud tidak sempurna?
Zulham merasa yakin, si haram jadah itu pasti mampu melakukannya.

Jelas, dia punya maksud-maksud tertentu. Zulham teringat apa yang dikatakan Rani
Pusparini,
"Maksud angkara murka. Memuaskan hasrat bejat, menjijikkan."
Andaikata Rani Pusparini sekarang ada disini dan me-lihat...
Atau memang sudah?
Zulham sudah akan menebar pandang ke sekitar un-tuk mencari kehadiran gadis
yang ia pikirkan sewaktu tiba-tiba ia dibuat miris oleh suara jerit tangis ngeri
ber-campur putus asa.Rupanya Tenny Puspasari sudah sepenuhnya sadar dan telah
melihat ke wujud dimana tubuhnya tegak bertumpu. Sekujur tubuh gadis itu gemetar
hebat, se-mentara wajah calon suaminya tampak dilanda teror.
Mereka lantas saling memeluk ketakutan.
Dan menggemalah suara lembut dari arah singgasana,
"Kuasai dirimu, anakku. Tenanglah, kau sudah pulang ke rumah."
Pengaruh suara jelas bukan kata-kata yang diucapkan,segera terlihat. Ratap tangis
Tenny Puspasari mereda perlahan-lahan. Tinggal isak tangis yang ditahan, nam-un

-- Halaman 133 Kolektor E-Book --


tubuh bugilnya masih gemetar. Dan calon suami-nya masih tetap dilanda teror.
Sementara yang hadir diseantero ruangan oval itu, tak seorangpun yang be-rani
membuka suara. Bahkan juga tidak untuk bergeser pada kursi yang mereka duduki.
Khawatir, bunyi se-lembut apapun akan membangkitkan kemarahan or-ang yang duduk
santai di singgasana. Dikitari sinar bi-ru misterius yang meliuk-liuk hilang timbul. Dan
se-akan dijaga oleh sepasang ular besar bermata merah membara yang merupakan
sandaran tangan singgasa-na.
"Untuk tidak berlarut-larut..." suara lembut itu terdengar lagi.
"Baiklah kuberitahu. Aku akan bermurah hati untuk menerimamu kembali sebagai
anggota keluarga kita. Mungkin sekalian dengan lelakimu itu. Lelaki yang masih asing
buat kami semua. Tentu saja dengan wujud lebih sempurna, tanpa ekor."
Tenny Puspasari seketika terdongak penuh harap.
Begitu pula calon suaminya.
Terdengar helaan nafas berat.
Lalu,
"Namun anakku,untuk memperoleh pengampunan sekaligus juga mem-peroleh
kesempurnaan bentuk tubuh kalian, engkau dan lelakimu itu lebih dulu harus menebus
dosa, ka-rena telah minggat tanpa pamit. Dan dosa yang lebih besar lagi, kau serahkan
kesucian dirimu yang agung kepada lelaki asing, bukan kepada salah seorang ang-gota
keluarga kita yang mulia."
"Oh!"
Tenny Puspasari merintih.
"Apa yang harus ku-lakukan Api dari kegelapan?"
"Menari..."
Kedua orang yang terkurung dalam lingkaran sinar merah redup itu saling bertukar
pandang sesaat. Ke-mudian kembali berpaling ke arah singgasana di atas panggung
Tenny Pusparini mendesah tak yakin.

-- Halaman 134 Kolektor E-Book --


"Me...Menari?"
"Sederhana bukan?" jawab orang yang ditatap, terse-nyum.
"Menari. Cuma itu! Sebagaimana engkau dan lelakimu pernah menari di jok
belakang mobil kalian."
Tenny Pusparini menyentak, tertegun.
Kemudian sete-lah sekilas ke arah ratusan tempat duduk di sekitar ru-ang oval,
tubuhnya bergidik keras. Calon suaminya menundukkan kepala seraya menggigil. Entah
karena takut, atau karena marah. Tenny Puspasari sudah ak-an mengajukan protes
ketika ia didahului oleh orang yang duduk di singgasana.
"Bila kalian menolak..." suara lembut itu berubah ding-in menusuk.
"Ada pilihan kedua sebagai penebus dosa.Kau, Anakku, akan kulepas dari lelakimu.
Dengan resiko untuk lelakimu akan hidup selamanya tidak diatas kaki. Melainkan di
atas ekor ularnya. Dan..."
Calon suami Tenny Puspasari tambah menggigil.
Mungkin terdorong naluri ekor ular di bawah lutut mereka berdua mengibas dalam
satu sentakan, kemudian me-ngulai lemah di permukaan lantai.
"Resiko untukmu, Anakku tentunya ada pula. Kau ak-an hidup seterusnya pun juga
tanpa kedua kakimu. Karena bila kau kulepas dari lelakimu dalam kondisi kali-an
sekarang ini... sama halnya dengan diamputasi!"
Seketika Tenny Puspasari mengerang putus asa.
Sedang calon suaminya mendadak punya keberanian.
Ia terdongak, lantas berteriak berang.
"Kau...!"
Hanya itu, karena lingkaran sinar merah redup yang mengurung tubuh mereka
berdua tahu-tahu sudah meliuk, lalu dengan gerakan cepat pundak si lelaki di-patuk
oleh ujung liukkan sinar.
Dia pun melolong seke-tika.

-- Halaman 135 Kolektor E-Book --


Lolongan sengsara.
Dan setelah sinar merehre-dup itu kembali membentuk lingkaran semula, tampak-lah
pundak si lelaki melepuh kehitam-hitaman. Sebagi-an daging pundaknya terpanggang
hangus.Lelaki itu menggelepar dan nyaris jatuh jika Tenny Puspasari tidak segera
merangkulnya lalu dipeluk, erat-erat.
Sempat menjerit melihat pundak calon suaminya.Tenny Puspasari kemudian
memohon dengan suara setengah meratap.
"Jangan melawan dia. Ayolah kita lakukan saja supa-ya..."
Dan sambil menangis terisak-isak,
Tenny Puspasari mulai mengusap lalu menciumi calon suaminya.
Gerakan-nya kaku, terburu-buru, jelas ia tanpa birahi karena terpaksa. Calon
suaminya merintih, bukannya karena te-rangsang, melainkan karena sakit yang masih
mende-ra. Dalam ketakutannya Tenny Puspasari terus saja menggoyang-goyangkan
pinggul. Tangannya mencari,memegang dan melakukan apa saja untuk membangkitkan
birahi calon suaminya. Tindakan yang panik, dan tampaknya akan sia-sia belaka.
Tak tega melihat, Zulham berpaling.
Terpandang olehnya dinding kaca pemisah.
Dan Tarida yang berlutut disebaliknya dengan kedua telapak tangan menutupi muka.
Tangan gadis itu tampak putih saking pucatnya. Lantas tanpa melepaskan telapak
tangan dari wajahnya,
Tarida pelan-pelan membalik-kan tubuh.
Memunggungi dinding kaca.
Dengan pun-dak bergetar.
Kepalanya terangguk-angguk. Rupanya ia sudah menangis tersedu-sedu.
Seketika Zulham berpaling lagi. Menatap lurus ke orang yang duduk di singgasana,
jauh di depannya. De-ngan pandangan berang alang kepalang. Sumpah serapah
menumpuk sudah di mulutnya.

-- Halaman 136 Kolektor E-Book --


Siap untuk ditumpahkan.
Semuanya terdiri dari kata-kata paling kotor yang dapat diingatnya. Namun tak
pernah terbayangakan dilontarkannya pada siapa pun juga, Akan tetapi kata-kata dan
kalimat yang terdengar diseantero ruang oval itu justru berirama lembut danmanis
pula.
"Aku akan menari atas nama mereka berdua."
Zulham sampai terkejut sendiri.
mustahil ia telah ber-bicara selembut itu dengan tutur kata yang manis pula.
Tetapi tunggu dulu!
Ia memang sudah mantap, tapi belum satu huruf pun yang sempat ia keluarkan.
Suara barusan pasti bukan pula suaranya. Jika tidak salah dengan itu, mestinya suara
seorang perempuan.Yang aneh, mengapa semua mata tertuju serempak kearah dirinya?

Kesurupan setankah dia?


Pertanyaan mencemaskan itu seketika terjawab waktu sesosok tubuh semampai berisi
melewati tiang beton tempat Zulham dan kayu salibnya terikat kencang. Da-tang dari
arah barisan tempat duduk di belakang tiang beton.
"Oh... jadi dialah yang angkat suara tadi."
Zulham membatin. Lega karena ia terbukti bukan kemasukan setan. Diawasinya
sosok tubuh yang lewat dekat dengan kakinya. Karena posisi Zulham di tiang beton
berada diatas, maka yang terlihat mulanya hanyalah rambut,pundak dan lengan-lengan
putih halus. Disusul sosok tubuh bergaun hitam yang lekak-lekuk maupun irama
langkahnya sekan sudah dikenali Zulham.Baru setlah perempuan itu memutar tubuh
untuk berjalan di lantai arena menuju ke panggung singgasana,Zulham dapat melihat
orangnya lebih jelas. Meski tak sekalipun perempuan muda bersosok menawan itu
berpaling ke arahnya dan berlagak sekan-akan Zulham tak pernah ada disana. Zulham
dengan segera menge-tahui siapa dia gerangan.

-- Halaman 137 Kolektor E-Book --


Rani Pusparini.
Yang berjalan tenang, dan semakin jauh ia melangkah,semakin pinggulnya
bergoyang.Tarian itu sudah dimulai.
[]

***

TUJUH BELAS

MUNCULLAH seketika reaksi beraneka ragam.


Zulham terpana.
Terpana oleh kehadiran Rani Puspa-rini.Dan terpana setelah baru sekarang ia
menyadari,betapa indahnya goyang pinggul gadis itu. Coba saja Zulham tidak dalam
kondisi normal.
Badan pun ter-siksa.
Otot-otot kejang karena diikat ke tiang beton tan-pa ada tempat kaki berpijak. Kedua
lengan terus mene-rus pula terentang. Dengan telapak tangan terpaku kebalok kayu.
Kedua-duanya sudah bengkak kebiru-biruan. Jari-jari pun sudah mulai memutih.
Mana darah masih menetes ke luar.
Kurang apa lagi siksaan yang diderita Zulham?
Dan toh, nafsu birahinya masih sempat untuk terlon-jak. Terbayang seketika saat ia
berduaan dengan gadis itu dalam cottage, di atas sebuah altar.Di balik dinding kaca,
Tarida merasakan adanya perubahan suasana. Telapak tangan pelan-pelan diturun-kan
pula ia kembali membalikkan tubuh. Mulanya dengan risih, setengah hati, lantas
kemudian menatap terpesona.Dia menyaksikan seorang perempuan bergaun hitam
berjalan menyusuri lantai arena, lurus menuju ke arah panggung singgasana, pinggul

-- Halaman 138 Kolektor E-Book --


perempuan itu bergo-yang gemulai. Tangan terangkat pelan, menggerai lep-as rambut
hitamnya yang bersinar-sinar. Dan gerakan tangan-tangan itu sewaktu mengurai
rambut, tak kurang pula gemulainya. Lengan kirinya kemudian meliuk setengah
putaran. dengan arah ke atas tangan kanan memutar ke arah berlawanan.
Pinggang ditekuk,dan....
Ah!
Tarida seperti mengenali sosok tubuh bergaun hitam itu.Ia pun berpaling, melihat ke
satu arah yang sudah di hapalnya.
Kursi yang dilihatnya kosong.
Jadi dialah pe-rempuan yang menakjubkan itu. Perempuan misterius,satu-satunya
orang yang seingat Tarida, memperlihat-kan reaksi berbeda dengan ratusan yang lain.
Tarida berpaling lagi!
Dan tanpa disengaja matanya menangkap sosok tubuh Zulham yang terpaku ke
kayusalib, terikat di tiang beton. Sepasang mata Tarida ma-sih cukup awas untuk
melihat mentalnya yang semakin merosot, masih mampu menganalisa situasi di dep-an
mata.
Ia melihat emosi.
Di wajah dan bagian tertentu di tubuh Zulham. Emosi seksuil.
Seketika itu juga, Tarida membuang muka.
Dengan berang.
Karena cemburu.
Terkurung oleh lingkaran sinar merah redup, Tenny Puspasari dan calon suaminya
menghentikan gerakan panik mereka yang memang sia-sia. Sentuhan-sentuhan terpaksa
itu tetap saja tidak menghasilkan apa-apa.Perhatian mereka berdua lantas teralih pada
orang yang telah berbaik hati untuk menolong.
Si lelaki masih tampak menderita. Ia tahu siapa dan sedang apa si pe-nolong itu,
namun sedikit pun ia tak tertarik. Yang menghantui pikirannya hanya satu, ekor ular di

-- Halaman 139 Kolektor E-Book --


bawah tubuhnya.
Tenny puspasari menangis.
Bukan lagi tangis panik atau putus asa.
Melainkan ta-ngis terenyuh, ketika ia melihat kembali saudara kem-barnya. Ada
banyak hal dari saudara kembarnya itu yang tidak disukai Tenny Puspasari.
Karakternya, teman-temanya, terutama si Rudi, anjing berperilaku menakutkan itu.
Lalu berhala-berhalanya.
Dan entah apalagi.
Namun demikian Tenny Puspasari tetap mengasi-hi saudara kembarnya
sebagaimana ia juga dikasihi oleh Rani Pusparini. Sebagai saudara kembar mereka
tetap merasa dekat satu sama lain.Tak perduli apa yang menimpa dirinya, tak perduli
bagaimana dan dengan apa si saudara kembar akan me-nolong, hanya ada satu reaksi
di wajah dan sepasang mata Tenny Puspasari.
Kerinduan yang sangat.
Namun tanpa menoleh kearahnya, si saudara kembar terus saja berjalan.
Terus saja menari.
Ratusan orang yang duduk di kursi empuk bersusun,begitu pula kelompok anak-anak
tanggung di dua ujung ruang oval pun memberi reaksi bermacam-macam. Ada yang
hanya terpana saja, ada yang ditambah mulut ternganga segala.
Umumnya berdecak-decak ka-gum.
Sebagian besar dari mereka duduk resah.
Diam-diam terangsang.
Beberapa yang lebih berani dengan mata tak beralih dari arena menggapaikan
tangan untuk meraba ke kiri atau ke kanan. Tanpa mempeduli-kan apakah yang meraba
itu pasangan sendiri atau pa-sangan orang lain.
Mana yang diraba memberikan sambutan hangat pula.
Pengaruh birahi gaib yang ditimbulkan Rani Pusparini membuat ratusan orang itu

-- Halaman 140 Kolektor E-Book --


sama sekali tidak teringat untuk bertanya-tanya siapa gerangan wanita rupawan
bertubuh seronok dan di setiap langkahnya menebar aroma erotis itu. Hanya segelintir
pula yang teringat untuk membanding-bandingkan dengan gadis satunya lagi yang
terkurung sinar merah redup. Lantas sempat dibuat terkesima melihat persamaan wajah
yang bagai pinang dibelah dua.Tetapi ada beberapa orang yang tampak tetap
tenang,tidak terpengaruh atau memang mereka orang-orang yang mampu
mengendalikan diri dengan baik. Duduk di kursi masing-masing, di tempat
terpisah-pisah, mereka hanya diam mengawasi setiap langkah maju Rini Pusparini.
Dibalik sikap tenang mereka tersirat pan-dang bertanya,
"sudah siapkah gadis itu?"
Tampak gadis dengan gemulai mengurai rambut, per-tanda ia sudah siap!
Lalu diam-diam mereka melakukan meditasi awal.
Sambil berjaga-jaga menghadapi setiap kemungkinan yang tidak
dikehendaki.Samar-samar,bibir mereka berkomat-kamit.
Sang Api dari kegelapan yang kepada Tarida telah mengaku diri sebagai iblis itu,
reaksinya sukar ditebak.
Ia sempat terkejut, itu sudah pasti.
Yakni, ketika ada suara perempuan angkat bicara,
"Aku akan menari..."
Lalu perempuan itu bangkit dari kursinya.
Telah sekian tahun berjalan, sekian ratus kali pula ia menampakkan diri di hadapan
mereka tetapi baru satu kali ini terjadi,ada orang yang berbicara atau bertindak bukan
atas perintahnya, atau atas kehendak gaibhya. Tidak perduli siapa dan apa status sosial
mereka di mata umum,tetapi di sini dia adalah hamba?
Kini, ada yang berani!
Tentu saja dia terkejut.
Tetapi dia adalah api dari ke-gelapan.

-- Halaman 141 Kolektor E-Book --


Api sebesar atau sekecil apapun tidaklah me-miliki perasaan.
Dan kegelapan adalah misteri yang tidak pernah terungkap.
Ia ditakuti atau dihindari teta-pi sekaligus merupakan tempat berlindung yang paling
aman.Maka, bila pun sang Api dari kegelapan terkejut, keter-kejutannya tidaklah lebih
dari kerutan dahi dan tersiratnya pikiran sambil lalu,
"Koq dia berani!"
Oh, oh dia kini mengerti.
Lihatlah perempuan yang berjalan sambil menari itu.
Ah bukan.
Bukan berjalan sambil menari, tetapi berjalan seperti menari!
Itulah dia, si anak perempuan kecil yang omongannya lucu tetapi berani.
"Aku mengumpul sumbangan paling banyak. Boleh dong, minta tambah uang jajan."
Atau,
"Bila aku keluar baik-baik dari pintu depan, pasti disuruh kembali. Maka aku kabur
lewat jendela!"
Perempuan itu masih teus berjalan menyusuri lantai kepanggung di bawah
singgasananya. Ia kini melangkah di samping sinar merah redup.
Oh, oh, ada wajah yang sama tetapi...
Aah tentu saja itu adalah sepasang bayi merah di depan, pintu.
Ia sendiri yang menemu-kannya tengah malam terbungkus selimut dan kain-kain
usang.
Yang satu tersenyum padanya.
Kencing didadanya.
Ia tertawa.
Ia tidak suka yang satunya lagi. Kerjanya cuma menangis. Itu bukan pertanda
kelembutan tetapi kelemahan. Ia lebih suka pada yang kencing di dadanya.Apalagi
setelah anak itu tumbuh dan bisa merangkak,ia merangkak seperti menari. Setelah bisa

-- Halaman 142 Kolektor E-Book --


berjalan, ia berjalan seperti menari.
Bukan main itu anak.
Mana berani dan kuat pula.
Bah-kan meringis pun dia tidak sewaktu dicambuk ibu asrama pakai sapu lidi. Pun
sewaktu menjatahi hukuman di depan kelas dengan berdiri diatas satu kaki selama jam
pelajaran, anak perempuan kecil itu masih bisa se-nyum.
Oh... oh... dia memang sedang tersenyum di bawah sana sudah terhenti menyusuri
lantai, dan kini berdiri sekitar empat atau lima meter dari panggung. Berkata dengan
berani,
"aku masih akan menari untukmu. Dan aku pun akan memperlihatkan yang lainnya."
Lalu kedua lengannya terangkat gemulai, menggapai resluting gaun hitamnya di
punggung.
Oh... oh... tangan-tangan kecil mungil yang ketika membuka bajunya di kamar mandi
pun tampak seperti menari. Lantas kemudian ia kan dikejutkan oleh jeritan marah anak
perempuan,
"Bapak mengintipku lagi ya? Awaslah kuadukan nanti ke ibu asrama!"
Dia suka sedih bila anak perempuan itu marah karena anak itu tidak akan mau nanti
berjalan di depannya,tidak mau menari untuknya. Maka untuk menyenang-kan hati
anak perempuan itu, dia buru-buru berjanji akan kapok sambil pura-pura ketakutan
setengah mati.
Dia toh takut diadukan.
Apalagi diadukan ke ibu asra-ma karena jika ibu asrama menghukum, konon pula
sampai memecatnya. Berarti ibu asrama akan kehilang-an satu-satunya orang yang
mampu membuat ibu asrama menggelinjang liar di tempat tidur. Yang mampu pula
membuat ibu asrama mengalami orgasme duatiga kali berturut-turut sampai ibu
asrama lelah sendiri,lantas terlelap puas.Dia selalu berangan-angan, suatu hari kelak
ia akan melakukan melakukan hal yang sama dengan si anak perempuan yang kalau

-- Halaman 143 Kolektor E-Book --


berjalan seperti menari itu.Tetapi sebelum waktu itu datang, muncullah orang kaya
bergelar Raden itu untuk membawa pergi si anak perempuan kesayangannya dan anak
satunya lagi itu.
Dia sebenarnya ingin ikut dengan mereka. Tetapi orang yang angkuh itu berkata
dengan sombongnya,
"Oh. pembantu di rumahku sudah lebih dari cukup!"
Ibu asrama bersikeras pula menahan dirinya, terlepas dari urusan di tempat tidur,
apa yang dijadikan dalih oleh ibu asrama memang benar,
"Kau lebih dibutuhkan disini. Anak-anak segan padamu, senang mendengar
suaramu."
Maka itulah yang dia lakukan.
Menjaga dan mengurus semua anak-anak yang masih tinggal. Membuat mere-ka
bukan hanya segan, tetapi juga takut pada dirinya.Lalu menguasai mereka dan kapan
saja suka ia mempermainkan mereka karena memang ia tidak pernah menyukai mereka
semua!
Demikian pula halnya dengan ratusan orang tolol yang sekarang ini berkumpul
dihadapannya.
Tak lebih dari ratusan boneka mati.
Belum lagi ribuan lainnya di luarsana, yang dapat ia permainkan sekehendak hati.
Tak sekalipun dari mereka ada yang berani mengatakan tidak.
Dan itu mulai membuat dirinya bosan, jenuh, lalu...
Ah, sudahlah!
Lupakan saja ratusan lintah-lintah tolol itu. Lihatlah ke bawah sana, anak
perempuan kecil itu sudah mulai bersiram diri di kamar mandinya.
Tubuh kecilnya yang telanjang.
Ai! tubuh itu jauh lebih dewasa, lebih besar dan tubuh telanjang yang indah itu
meliuk-liuk, berputar, terhempas-hempas, menggelinjang erotis. Hembusan nafas

-- Halaman 144 Kolektor E-Book --


birahinya tercium sampai ke singgasana.
Tampak sudah tidak sabar menunggu.
Sekan mendesahkan rintih-an,
"sekian tahun kau merancang angan-angan. Seka-rang lakukanlah. Buat
angan-angan indah itu menjadi kenyataan."
Sang Api dari kegelapan pun turunlah dari singgasananya dengan langkah-langkah
teratur, anggun.
Di bibir panggung ia berhenti sejenak.
Menimbang-nimbang apakah ia turun saja ke lantai di bawah sana atau sebaiknya
memerintahkan anak perempuan itu naik ke atas panggung, dimana mereka akan
menari bersama-sama.
Hei, suara apa itu yang mengganggu?
Mulanya hanya desiran sayup-sayup,
"Maruta....Maruti..."
Lalu....Oh... oh... ada beberapa sosok tubuh lainnya. Orang-orang yang berani
berdiri di kursi masing-masing dan bersuara lebih keras, lebih kompak.
"Oh Dewi Durga...bantulah. Oh Maruta Maruti, keluarlah...."
Dan di lantai, tubuh telanjang itu tampak melonjak-lonjak, mengerang, merintih,
menghempas-hempas dengan hebatnya. Dan tiba-tiba ia mengejat keras seraya menjerit
lengking terputus-putus.Bersamaan dengan itu, dari celah diantara dua paha telanjang
itu menyemburlah keluar.
Bukan cairan da-rah, bukan pula bayi merah.
Suaranya berdesas-desus,sinarnya terang benderang menyilaukan mata.
Benar,memang itulah yang melesat keluar dari rahim si perempuan.
Sinar terang berwarna ganda.
Sinar yang seakan membelah dua tetapi terdiri dari satu.
Perpadu-an warna yang mengejutkan.

-- Halaman 145 Kolektor E-Book --


Hijau dan hitam pekat.
Yang dengan cepat meliuk untuk kemudian membesar dan semakin membesar dengan
cepat sekali.
Hanya memakan tempo tidak lebih dari satu helaan nafas pendek. Dan, tahu-tahu
saja ia sudah berdiri tegak di lantai.
Sesosok mahluk tinggi besar.
Sehingga meskipun ia teg-ak di lantai, tingginya sejajar dengan sang Api dari
ke-gelapan yang berdiri terpana di atas panggung. Mah-luk itu semata-mata terbentuk
dari sinar semurni-murninya sinar. Terdiri dari satu tubuh tetapi dengan dua wujut.
Sinar hijau bersosok serta berwajah manusia dengan mata putih hampa. Dan sinar
hitam pekat bersosok hewan buas raksasa, dengan mata kuning kemerah-merahan.
Mahluk itu menggeram.
Suara geramnya seketika membuat bangunan Ruang Oval, bagai bergetar.
Sang Api dari kegelapan, tersentak.
Diam membeku dengan wajah pucat pasi.
Tercelentang letih di lantai,
Rani Pusparini yang bersimbah peluh memandang ter-sentak pula. Bukan ke sosok
mahluk yang telah melesat keluar dari rahimnya lantas berproses cepat dan
sede-mikian rupa mengejutkan.
Rani Pusparini tersentak setelah ia melihat reaksi sang Api dari kegelapan.
Reaksi yang benar-benar manusia-wi.
Dan itu adalah mustahil.
Telah terjadi kekeliruan.
Ada sesuatu yang salah!
[]

-- Halaman 146 Kolektor E-Book --


***

DELAPANBELAS

Kesalahan itu terasa kian nyata sewaktu ia mendengar suara ribut diseantero
ruangan. Campur aduknya seru-an, takjub, terkejut, jeritan panik dan juga tangis
keta-kutan. Kesemuanya itu sesungguhnyalah reaksi yang sangat manusiawi, bukan
dari reaksi ratusan manusia yang jiwa dan pikirannya telah kosong dan diganti ol-eh
jiwa dan pikiran yang sesuai dengan kehendak or-ang yang telah menjadikan mereka
semua sebagai hamba sahaya.
Tiba-tiba Rani Pusparini menyadari dimana letak kesa-lahan itu.Yakni ketika ia
mengamati dengan lebih seksama dan melihat bahwa sinar biru yang meliuk-liuk di
sekitar singgasana telah lenyap entah kemana. Merahnya bara api pada sepasang mata
di masing-masing kepala ular ganda yang menjadi sandaran lengan kursi
singgasanapun juga tidak terlihat lagi.
Walau hanya sekelipan saja.
Secara naluriah, Rani Pusparini berpaling ke belakang.
Tampak olehnya Tenny Puspasari dan calon suaminya sedang berdiri dengan
pandangan takjub di atas kaki mereka masing-masing. Bukan lagi di atas ekor ular
yang menyedihkan itu. Saudara kembarnya dan lelaki tampan di sebelahnya tampak
belum menyadari keadaan itu. Dan Rani tidak merasa perlu memberitahu apa-lagi
menyatakan kegembiraan dikarenakan sinar merah redup yang sebelumnya mengurung
ke dua orangitu, ikut pula menghilang.
Hanya dengan melihat, Rani Pusparini sudah mengerti.
Seketika itu juga ia menggeliat bangun dengan susah payah seraya berteriak
memperingatkan,
"Awas...!"

-- Halaman 147 Kolektor E-Book --


Ia terlambat.
Mahluk berwujut ganda yang sepenuhnya terbentuk dari sinar berwarna ganda itu
pula itu sudah lebih dulu beraksi. Lengan hijaunya yang berwujut seperti lengan
manusia sudah meraih lalu mencengkeram pinggang serta rusuk sang Api dari
kegelapan. Diangkat naik, dibawa berputar sehingga punggung-sang Api dari
kegelapan kini menghadap ke arah para pengikut-nya yang keadaannya semakin kacau.
Pada saat Rani Pusparini meneriakkan peringatan, lengan hitam yang sinarnya seperti
berbulu-bulu tebal dan panjang telah menebas.
Lurus dari kepala sampai ke antara dua paha.
Dan tubuh sang Api dari kegelapan yang tampak kecil tak berdaya dalam genggaman
mahluk tinggi besar itu,seketika terbelah dua. Sebelah masih tetap dicengkram lengan
hijau sementara sebelahnya lagi langsung jatuh terhempas di lantai. Darah pun
menyembur, muncrat,lantas mengalir seperti anak sungai di permukaan lan-tai. Tetapi
mengalirnya darah itu hanya berlangsung sedetik dua. Pada detik berikutnya, genangan
darah tahu tahu menggumpal sendiri kemudian terangkat naik.Meninggalkan tubuh
yang cuma sebelah di lantai. Dan menyatu dengan sisa darah yang masih
menyembur-nyembur dari sisa tubuh lainnya yang masih diceng-kram sang mahluk.
Pada saat itu, mahluk tinggi besar berbentuk sinar hi-jau lembut dan hitam berbulu,
ikut menyadari apa yang telah lebih dulu disadari Rani Pusparani. Ia jatuhkan bagian
tubuh yang tersisa di lengan hijaunya disertai geraman terkejut. Ia kemudian
meluruskan tegak seraya menggeram-geram dahsyat. Mata putih hampa di bagian
wajah hijau serta mata kuning kemerah-merahan di bagian wajahnya yang hitam
berbulu menatap bingung.Gumpalan darah itu terus naik dan bentuknya pun se-makin
membesar dan membesar, kemudian dengan cepat bergulung-gulung seperti kabut atau
awan merah yang mengapung di permukaan lantai dan bagian atasnya hampir
mencapai lelangit ruang Oval. Tak ada suara yang menyertai proses pembentukan diri
itu. Bahkan semua orang yang ada di dalam ruangan seakan disentakkan oleh seruan

-- Halaman 148 Kolektor E-Book --


marah dan gaib untuk diam.
Dan sebelum ada yang sempat mengerdipkan kelopak mata, gumpalan awan darah
itu bergerak melalui tubuh makhluk berwujud tak karuan itu. Makhluk itu menjeritkan
suara yang menulikan telinga, lantas menyongsong datangnya serangan.
Sejenak terjadi gerak saling mendorong.
Terdengar suara yang mendirikan bulu kuduk. Geram sang makhluk yang begitu
menggetarkan jantung serta desah nafas berat yang menyertai lonjakkan-lonjakkan
awan darah. Kemudian tubuh makhluk bersinar-sinar hijau dan hitam itu bagaikan
lenyap ditelan awan merah segar yang menggeliat dengan gumpalan-gumpalannya
menaiki panggung.
Singgasana yang kokoh dan megah seketika berderak patah kemudian hancur
berkeping-keping.
Lantas disertai teriakkan marah yang parau, gumpalan awan darah itu tampak
seperti akan meledak. Cipratan darah segar menetes jatuh atau terlempar kian ke-mari.

Cipratan tetes darah ternyata berakibat mengerikan.


Tembok yang terkena langsung hancur. Panggung seketika hangus menghitam, begitu
pula lantai, dari kursi-kursi di dekat panggung terdengar jeritan-jeritan sengsara.
Beberapa sosok tubuh tumbang dari kursi-nya.
Tubuh-tubuh yang menghitam hangus.
Tubuh-tubuh lain yang setengah hangus apalagi yang masih se-gar bugar dengan
seketika berlarian kian kemari untuk menyelamatkan diri. Teriakan panik dan jerit
tangisanpun kian menggila.Di tengah kekacauan dan histerisnya manusia
itu,menggemalah seruan parau dalam kemarahan yang sangat. Gumpalan awan darah
menggelembung hebat,kemudian seperti mengempiskan diri sebentar. Lalu ketika
gelembung itu kembali menjadi gumpalan-gumpalan awan, sesuatu melesat ke luar dan
terbang menyebrangi ruangan.

-- Halaman 149 Kolektor E-Book --


Sosok bersinar-sinar hijau dan hitam pekat Melesat di sepanjang permukaan lantai
ke arah dinding kaca yang terletak di ujung lain ruang Oval itu.
Zulham berteriak ngeri,
"Menghindar, Tarida!"
Di balik dinding kaca, Tarida yang dalam posisi setengah berlutut tidak menunjukkan
tanda-tanda untuk menghindar. Ia melihat datangnya bahaya dan ia sesungguhnya
memang ingin melompat sejauh mungkin,namun sekujur persendian tubuhnya bagai
lepas satu sama lain. Semangatnya pun ikut rontok sehingga ia tak mampu lagi
mengeluarkan jeritan minta tolong yang terkilas di benak.
Lemah, pucat dan tak berdaya,ia hanya mampu menyaksikan datangnya sang mahluk
yang terlempar keras itu menuju dinding kaca didepan mata.
Mata yang membelalak.
Pasrah.

***

Dengan derasnya tubuh mahluk besar yang sepenuh-nya terbentuk dari sinar itu
mendarat di permukaan dinding kaca. Tepat di depan batang hidung Tarida.
Anehnya, tak terdengar suara benturan.
Juga tidak bu-nyi dinding kaca yang meledak, pecah. Apa yang terdengar adalah
bunyi meleleh dan kepulan asap tipis.
Dinding kaca tampak meleleh, lantas menganga terbuka.
Sosok mahluk yang sepersekian detik tampak seperti menempel di bagian luar
dinding kaca melotot jatuh kelantai.
Sesaat mahluk itu rebah terkulai.
Saat berikutnya, tubuh tinggi besar dengan wujutnya yang menyeramkan itu
merangkak bangun.

-- Halaman 150 Kolektor E-Book --


Kepala menggeleng-geleng pusing.
Lalu diam, memandang kedepan.
Lurus ke wajah Tarida!
Mata putih hampa dan kuning kemerahan itu seperti heran.Sepersekian detik cuma
mata itu menatap.Kemudian sinar yang menjadi bagian pada tubuhnya meredup.
Meredup, semakin meredup. Tak ubahnya voltase listrik yang tegangnya turun secara
drastis.
Un-tuk kemudian, padam.
Tak tampak apa-apa lagi.
Tidak sinar.
Tidak pula sosok mahluk atau wajah yang memiliki dua rupa yang sedemikian
kontras: lembutnya ma-nusia dan buasnya hewan.Apa yang tampak kemudian oleh
Tarida, baik lewat dinding kaca yang sudah terbuka menganga maupun dari dinding
sisa lantai ruangan yang kosong melompong sebagian terbesarnya, begitu pula dengan
banjaran kursi-kursi bersusun di kiri kanan arena kebanyak-an sudah kosong. Dan jika
pun masih ada yang men-empati, hanyalah mayat yang hitam mengeriput atau tubuh
yang menggeliat-geliat sengsara. Sementara yang di satu- satunya pintu keluar masuk
ruangan masih terlihat gerombolan manusia yang saling desak, sa-ling dorong, dan
saling tindih, sambil melompat atau menginjak-injak tubuh-tubuh yang tertumpuk
dibawah mereka.
Dengan ngeri, Tarida berpaling ke tiang beton di dekat-nya.Zulham masih tersalib
dan terikat ke tiang beton itu.Matanya yang kemerah-merahan, menatap ke arah Tarida
dengan mulut masih ternganga.
Tak percaya bah-wa Tarida masih ada di depan mata, utuh, dan hidup pula. Bahkan
pelan-pelan tampak bangkit berdiri terhuyung-huyung. Lantas dengan langkah limbung
berjalan ke luar menuju tiang beton di mana Zulham teri-kat.
Dan pada saat gadis itu merangkul erat kedua kaki Zulham, terdengarlah suara berat

-- Halaman 151 Kolektor E-Book --


parau bergaung membahana.
"Bodoh, sungguh bodoh!"
Zulham dan Tarida berpaling seketika.
Dan menyadari, mahluk itu masih ada di ujung lain ruang oval. Mahluk yang
berbentuk gumpalan awan merah basah. Bergulung-gulung memenuhi bagian dimana
tadinya terletak panggung serta singgasana. Dari beberapa bagian gumpalan awan
merah basah itu tampak di sana sini menetes-netes darah merah segar.
Ada seseorang beringsut menjauh mengikuti dua tiga orang lainnya yang tampak
menyeret sosok tubuh te-lanjang, mundur menjauh.
Di tempat yang mereka tinggalkan, terlihatlah dua bagian sosok tubuh yang kering
mengeriput, sang Api dari kegelapan.
Lalu dua sosok yang telanjang bulat dalam keadaan setengah hancur dan jelas sudah
mati. Tenny Puspasari dan lelaki pendampingnya.
"Dua-duanya bodoh!'
Suara berat dan parau membahana itu terdengar lagi. Datang dari arah gumpalan
awan darah. Karena di setiap bunyi kata atau desah nafas tersengal-sengal terlihat
gerakan-gerakan yang seirama.
"Yang satu, takabur! Mentang-mentang selama ini semua kehendaknya kuturuti... Eh,
lantas menyangka aku inilah budak, dan dia... iblisnya!"
Tarida seketika menyadari siapa yang dimaksud.
Zulham baru saat-saat setelahnya.
Yakni sosok tubuh yang terdiri dan dua belahan itu. Lalu siapa yang satunya lagi?
Tadi disebut-sebut dua.
Dua-duanya bodoh!
"Yang satunya lagi," gumpalan awan darah itu tampak hidup berdenyut-denyut.
"Emosionil, dan beri aku kekanak-kanakan!"
Terdengar tawa berat dan parau. Gumpalan awan darah itu berdenyut lebih keras,

-- Halaman 152 Kolektor E-Book --


seirama dengan bunyi tertawanya.Secara naluriah Zulham mencitrakan perhatiannya
pa-da Rani Pusparini. Sosok telanjangnya tampak sangat menyedihkan.
Hampir sebagian dari tubuhnya sebelah bawah sudah hancur dan hangus melepuh.
Bagian-bagian lebih ke atas juga mengalami cacat-cacat kecil, te-tapi wajahnya masih
sepenuhnya utuh. Dan wajah itu tengah memandang ke arah gumpalan awan
merah.Seraya rebah di haribaan seorang lelaki berpakaian ser-ba hitam. Tiga lainnya,
juga memakai warna yang sama walau pun model berbeda sesuai selera, tentunya.
Rani Pusparini nyatanya tidaklah ditinggalkan oleh para pengikut sektenya yang
setia. Mereka pun tampak ada yang terluka. Tetapi masih lebih beruntung diban-ding
lima sosok lainnya. Zulham sempat menghitung jumlah mereka yang tadi berdiri
serempak. Dan di tempat terpisah, ia melihat lima yang lain itu terkulai,
mati.Gumpalan awan merah itu berdenyut agak lemah.
"Dia meski kekanak-kanakan sebenarnya memiliki ba-kat. Aku sudah mulai
berpikir-pikir untuk berpindah ketempatnya. Tetapi kemudian, oh... sungguh permainan
anak-anak. Sungguh bodoh! Andai saja dia sedikit bersabar. Ini menganggap roh dari
dunia terasing ada-lah aku. Roh-roh kerdil yang senang melarikan diri,roh-roh yang
suka usil! Dan yang tadi itu entah sudah berapa kali telinganya kujewer. Barangkali
saja dia akan kapok!"
Ada suara batuk-batuk.
Gumpalan awan darah itu se-akan mau pecah karenanya. Lantas suara lelah dan
denyut-denyut kehidupan yang lemah, sementara tetes-tetes darah segar terus saja
berjatuhan.
"Aku begitu jenuh! Muak pula. Semuanya hanya kesenangan duniawi. Tak satupun
dari mereka berdua atau para pengikut mereka yang memberi tantangan. Kecuali,kau,
anak manis..."
Tarida merasa tubuhnya dingin membeku.
Nalurinya membisikkan, dialah yang dimaksud.

-- Halaman 153 Kolektor E-Book --


"Sebenarnya aku masih ingin bermain-main dengan-mu. Kau memiliki keyakinan.
Dan kekuatan tersembunyi yang tidak pernah kau ketahui. Aku masih tergoda untuk
meruntuhkannya. Tetapi anak nakal tadi mem-buatku sempat terluka. Aku lelah, ingin
istirahat.Dan..."
Batuk-batuk lagi.
Kemudian sunyi.
Gumpalan awan darah itu tampak tidak bergerak sedi-kit pun. Malah warnanya
mulai menghitam, semakin hitam, kemudian menggelap dan hilang.
Di bekas gumpalan awan darah itu tampak bagian dari sebuah panggung yang
hancur runtuh rata dengan permukaan lan-tai yang tampak menganga
berlubang-lubang. Demiki-an pula halnya dengan singgasana. Tak ada lagi bentuk
kecuali sepotong batu pualam, berbentuk kepala ular. Dengan lubang-lubang mata,
bolong dan hitam.
Iblis atau siapa pun sesungguhnya dia telah pergi.
Tanpa pamit.
Dengan cara yang sangat sederhana pula.
Tidak spektakuler seperti saat pemunculannya.
[]

***

SEMBILANBELAS

ATAS permintaan Bi Esih dan disetujui pula oleh Johan, Cottage dibongkar habis.
Dan di bekas cottage itulah dimakamkan Rani Pusparini beserta saudara kembarnya.
Tenny Puspasari. Kemudian dilakukan upaca-ra kecil oleh bekas para pengikut

-- Halaman 154 Kolektor E-Book --


sektenya.
Zulham dan Tarida tentu saja tidak mengikuti. Mereka memisahkan diri bersama
beberapa pelayat lain yang tak seberapa jumlahnya. Saat memisahkan diri itulah
Zulham melihat sebuah kuburan baru di sudut paling jauh. Terpancang batu nisan
bertuliskan:
"Rudi. Telah bereinkarnasi, tgl..."
Zulham bergidik.
Teringat pada mahluk hitam legam dengan mata ku-ningnya yang kemerah-merahan
itu. Sosok itulah yang ia lihat di Ruang Oval. Bentuk muka dan wujut tubuh Rudi dalam
bentuk sinar berwarna hitam pekat.
Ia merasa pasti akan itu.
Sepasti ia yakin pada belahan lainnya yang berwarna hijau. Bahkan Tarida pun tidak
terkelabui. Pada Nurmala dan Rosida ia bahkan berani angkat sumpah.
"Wajah hijau itu, persis Zulham!"
Zulham memutar tubuh dengan gelisah.
Memandang ke kuburan dua bersaudara kembar itu.Di sebelah mana tadinya ada
sebuah altar. Dan setelah ia meninggalkan tubuh Rani Pusparini, untuk apakah Rudi
dipanggil masuk ke dalam cottage?
Masih terbayang di pelupuk mata Zulham, Rani Pusparini menutup pintu cottage
begitu Rudi masuk ke dalam. Dan gadis itu tidak berbusana.Terngiang apa yang
diucapkan si gadis:
"Masih ada upacara lain..."
Di atas altar, tentu !
Zulham bergidik lagi, lantas menggapai tangan Tarida.Berkata dengan gemetar:
"Ayo. Kita pulang!"
"Tunggulah sampai mereka selesai!"
Tarida menentang dengan suara lembut.

-- Halaman 155 Kolektor E-Book --


"Setidak-tidaknya hanya dengan cara itulah kau dapat menghormati dan
berterimakasih pada Rani."
Tarida benar.
Dan Zulham mengalah.
Menghormati orang yang meninggal tidak ada salah-nya. Dan berterimakasih,
Zulham pun harus.Sambil duduk di bangku taman yang rindang. Zulham diam-diam
memperhatikan kedua telapak tangannya.Dua-dua telapak tangan itu masih terasa
perih, kadang kadang. Tetapi dokter Anwar berkata meyakinkan,
"Nanti juga akan hilang sendirinya..."
Petugas di laboratorium menguatkan.
"Hasil rontgen memang memperlihatkan bekas tanda-tanda keretakan. Tetapi
bagaima-na pun, tulang-tulangnya utuh, begitu urat. Ada pun mengenai..."
Rani Pusparinilah yang telah melakukannya.Sebelum bala bantuan datang,
teman-temannya yang setia telah berjuang keras melepaskan dua telapak tangan
Zulham dari palang kayu salib. Tentu saja dengan Zulham berkutat habis-habisan agar
tidak sampai melolong-lolong kesakitan.Kemudian ia dibawa mereka ke tempat gadis
itu berbaring.
Rani Pusparini tersenyum.
Lemah dan pucat, ia berbisik.
"Cjumlah aku..."
Tentu saja Zulham bingung, apabila setelah ia lihat sepasang mata Tarida
membelalak. Tetapi atas anggukan teman-teman Rani Pusparini, permintaan gadis itu
kemudian ia turuti.Lebih dulu gadis itu memastikan bahwa ibu dan jari telunjuk tangan
kiri dan kanannya, benar-benar telah menutupi dan mengusap lubang menganga dan
darah di dua telapak tangan Zulham. Setelahnya baru Zul-ham mendekatkan bibirnya
ke bibir Rani Pusparini.
Te-rasa bibir itu seperti mengulum terasa masih hangat,sebelum bibir itu tiba-tiba

-- Halaman 156 Kolektor E-Book --


dingin membeku. Zulham ti-dak akan lupa bagaimana ia terheran- heran melihat
lubang menganga di kedua telapak tangannya tidak tampak lagi. Memang masih
bengkak tetapi sepertinya tidak pernah ada bekas luka di situ.Namun yang paling sulit
ia lepaskan dari ingatan adalah saat-saat ia menjauhkan bibirnya dari bibir Rani
Pusparini. Dan menyadari bahwa selagi mereka berciu-man, gadis itu pun pamit untuk
selamanya.
"Zul?"
Zulham terperanjat.
Lamunannya buyar.
Sewaktu ia menoleh, matanya seketika beradu dengan sepasang mata sejuk bening,
dengan sudut-sudut yang membentuk spesifik itu.Tarida seakan bukan hanya
memandang, tetapi juga ingin menembus ke dalam melalui mata Zulham untuk
membongkar apa yang tersembunyi di sebaliknya. Baru kemudian bertanya,
"Pernahkah kau sebelumnya men-cium dia?"
Nyaris saja Zulham menjawab.
"Mencium? Bahkan lebih dari itu."
Beruntung, ia keburu sadar dengan siapa ia berhadapan. Selain itu, ia pun
dihinggapi semacam perasaan bersalah. Setelah berpikir-pikir sejenak Zulham balik
bertanya,
"Mana yang kau inginkan. Tarida! Aku berdus-ta atau berkata sebenarnya?"
Tarida tersentak.
Lalu kemudian tersenyum.
Manis.
Di-gapainya tangan Zulham.
Dibelai hangat, lalu berbisik lebih hangat lagi,
"Berdustalah!"
[]

-- Halaman 157 Kolektor E-Book --


Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan
Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,31 Agustus 2018
Terimakasih
TAMAT

(KOLEKTOR E-BOOK)

-- Halaman 158 Kolektor E-Book --

Anda mungkin juga menyukai