Anda di halaman 1dari 6

(Im)Potensi Lelaki Harimau

Giyato, Guru SMAN 1 Karanganyar

Novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan adalah novel yang unik,
nyentrik, dan mengusik. Novel ini banyak mendapat pujian dari pengamat sastra
baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Novel ini dibuka dengan cara yang
unik, yakni dengan menampilkan akhir kisah: Margio membunuh Anwar Sadat,
yang kemudian justru dialihkan pada peristiwa “biasa” berupa kegiatan Kyai Jahro
memberi makan ikan-ikan. Kisah mengalir dengan pengenalan beberapa tokoh,
termasuk tokoh Margio.
Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai Jahro tengah masyuk
dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang terbang di antara
batang kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai jinak merangkak di antara
ganggang, dadap, dan semak lantana. (Halaman 1)
Margio dikenal sebagai pemuda yang lihai memburu babi hutan, sering
nongkrong di pos ronda, dan secara umum baik-baik saja. Tidak ada yang mengira
Margio akan membunuh orang, terlebih dengan cara menggigit putus urat leher
Anwar Sadat. Tidak ada masalah di antara mereka berdua sebab Anwar Sadat juga
tidak menghalangi hubungan cinta anaknya dengan Margio. Rasa penasaran warga
terhadap motif pembunuhan Anwar Sadat ditutup dengan pernyataan Margio yang
semakin meimbulkan keingintahuan. “Bukan aku,” kata Margio tenang dan tanpa
dosa. “Ada harimau di dalam tubuhku.” (Halaman 38) Eka Kurniawan sukses
mengajak pembaca menyelesaikan novel ini guna menyingkap misteri motif
pembunuhan Anwar Sadat oleh Margio.

Harimau: Warisan Kekerasan


Novel Lelaki Harimau menampilkan kondisi keluarga miskin yang sarat
dengan kekerasan fisik dan seksual. Margio adalah anak pertama Komar bin Syueb
dan Nuraeni yang sejak kecil telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT). Dikisahkan bahwa ayahnya sering memukul, menampar, menendang, dan
memarahinya karena alasan-alasan sepele. Kekerasan tersebut menyebabkan benih

1
kebencian pada diri Margio terhadap ayahnya. Margio tidak pernah melawan, ia
hanya diam dan diam ketika dimarahi ataupun disakiti. Kekerasan seksual
dilakukan oleh Komar bin Syuaib kepada istrinya sendiri. Komar digambarkan
sering memukuli dan “memperkosa” Nuraeni. Nuraeni memang suka berkata
pedas, suka menyindir, dan enggan melayani suaminya.
Eka Kurniawan ingin mengkritisi dampak buruk perjodohan yang dapat
mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga. Sesuai tradisi di kampungnya,
Nuraeni dan Komar dijodohkan oleh orang tuanya. Namun, bukan berarti tidak
tumbuh cinta pada mulanya. Ketika pergi bersama melihat keramaian pasar dan
makan bakso bersama, keduanya benar-benar merasakan cinta yang membara.
Cinta Nuraeni mulai luntur karena pada saat Komar bin Syueb merantau, Komar
tidak pernah mengiriminya surat. Hal ini adalah tanda Komar bin Syueb tidak
perhatian dan dianggap tidak tulus mencintai Nuraeni. Setelah menikah, Nuraeni
semakin kecewa karena Komar ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan
keluarga dengan dua anak: Margio dan Mameh. Bahkan Nuraeni harus merelakan
mas kawinnya dijual untuk dapat membeli rumah 131 yang sebenarnya tidak layak
huni.
Tindak kekerasan yang dialami Margio dan Nuraeni semakin menjadi-jadi,
terlebih setelah Nuraeni hamil anak ketiga. Anehnya, Nuraeni justru terlihat riang
dan suka mengelus kandungannya. Hal ini menjadi tanda tanya Mario dan Mameh,
tetapi mereka senang melihat ibunya bahagia. Kebencian Mameh terhadap ayahnya
juga muncul karena tanpa sengaja Komar bin Syueb melihatnya telanjang di kamar
mandi. Ketika Nuraeni melahirkan bayi perempuan, Komar bin Syueb tidak ada di
rumah. Begitu pula ketika upacara pemberian nama, bahkan juga pada saat
kematian bayi yang diberi nama Marian. Komar bin Syueb sama sekali tidak peduli
pada Marian. Inilah yang menyebabkan Margio membanting panci di dekat Komar
bin Syueb lalu pergi tanpa pamit. Komar bin Syueb sadar bahwa Margio kini telah
beranjak dewasa, dia mulai ketakutan Margio akan membalas perlakuan kasarnya.
Komar bin Syueb mulai perhatian pada keluarga dan melaksanakan upacara tujuh
hari kematian Marian.

2
Perjodohan menimbulkan ketidakharmonisan dan melahirkan KDRT.
Kekerasan demi kekerasan mewarnai hari-hari di rumah itu. Kekerasan tersebut
berdampak negatif terhadap perkembangan psikis istri dan anak-anak. Nuraeni
sering berbicara sendiri di depan kompor dan Margio menjadi pribadi yang liar,
bahkan brutal, menjadi lelaki harimau. Lelaki harimau bisa dimaknai sebagai lelaki
yang buas, kasar, dan tidak terkendali. Lelaki bisa menjadi harimau karena
keturunan dan karena lingkungan yang membentuknya.

Bias Moralitas
Moralitas yang digaungkan di sekolah maupun oleh para pemuka agama
seringkali menjadi bias karena berbeda dengan realitas. Sekolah-sekolah begitu
getol menanamkan karakter, etika, dan moral. Namun, doktrin tersebut terkadang
tidak mendapat contoh nyata dari keluarga maupun masyarakat.
Margio tinggal di rumah 131 dengan para tetangga yang heterogen. Ada
yang saleh seperti Kyai Juhro, ada pula tetangga yang memuja syahwat seperti
teman-temannya yang suka nongkrong di pos ronda dan yang utama adalah Anwar
Sadat. Anwar Sadat adalah seorang pelukis yang menikah dengan seorang bidan
bernama Kasia. Anwar sadat seorang lelaki tampan dan gagah yang banyak berburu
perempuan, baik gadis, janda, maupun istri orang lain. Anwar Sadat memiliki anak
sulung bernama Laila yang pada usia 16 tahun sudah hamil di luar nikah dan dua
hari setelah perkawinannya ia kepergok tidur dengan lelaki lain (halaman 18).
Maesa Dewi, anak kedua Anwar Sadat yang cerdas dikirim kuliah, tetapi setahun
kemudian dia pulang membawa bayi hasil pergaulannya dengan seorang
pengangguran. Anak ketiga Anwar Sadat bernama Maharani yang selalu dibangga-
banggakan. Maharani digambarkan tergila-gila pada Margio. Uniknya meskipun
gemar bermain perempuan, Anwar Sadat ini rajin sembahyang ke surau.
Rasa penasaran Margio terhadap perilaku ibunya yang begitu riang ketika
hamil dan sikap tidak peduli Komar bin Syueb terhadap Marian akhirnya terkuak.
Margio curiga Marian bukan saudaranya seayah dan seibu, dan lelaki yang diduga
sebagai ayah Marian adalah Anwar Sadat. Untuk membuktikannya, Margio
membuntuti Nureni ketika berangkat kerja di rumah Anwar Sadat. Margio tidak

3
mendapati ibunya di dapur ataupun di sumur. Dari balik jendela kamar Anwar
Sadat, Margio melihat ibunya selingkuh dengan Anwar Sadat. Margio semula
sedih, kecewa terhadap ibunya dan membenarkan perilaku kasar almarhum
ayahnya. Namun, melihat ekspresi ibunya yang bahagia ketika selingkuh dengan
Anwar Sadat, Margio berpihak pada ibunya. (Halaman 184)
Perselingkuhan antara ibunya dan Anwar Sadat yang menyebabkan Margio
memilih untuk tidak melanjutkan hubungan cintanya dengan Maharani. Lalu,
mengapa Anwar Sadat dibunuh? Ketika itu Margio datang menemui Anwar Sadat
dan meminta agar menikahi ibunya, tetapi permintaan itu ditolak mentah-mentah.
Pemaparan Eka Kurniawan sangat bagus pada akhir kisah ini.
Di depannya, tanpa membuang tempo sebab dirinya sadar waktu
bisa melenyapkan seluruh nyali, ia berkata kepada lelaki itu. “Aku tahu kau
meniduri ibuku dan Marian anak kalian,” katanya. Kalimat itu mengapung
di antara mereka, Anwar Sadat pasi menatap wajahnya. Margio
melanjutkan, “Kawinlah dengan ibuku, ia akan bahagia.”
Tergagap Anwar Sadat menggeleng, dan dengan kata terpatah ia
bergumam. “Tidak mungkin, kau lihat aku ada istri dan anak.” Tatapan itu
jelas mencela gagasan konyol Margio. Dan kalimat selanjutnya memberi
penjelasan melimpah, “Lagi pula aku tak mencintai ibumu.”
Itulah kala harimau di dalam tubuhnya keluar. Putih serupa angsa.
(Halaman, 190)

(Im)potensi Lelaki Harimau


Novel Lelaki Harimau sebagai bagian dari karya sastra pada umumnya bisa
menjadi potret realitas sosial masyarakat. Eka Kurniawan berhasil meramu kisah
dengan cara yang berbeda dari penulis lainnya. Penokohan yang kuat, alur penuh
gairah, meloncat-loncat, dan pemaparan latar yang memikat. Novel ini menyiratkan
amanat bahwa berbagai tindak kejahatan sebenarnya bermula dari kemiskinan, baik
kemiskinan spiritual, emosional, maupun kemiskinan materi.
Keberhasilan Eka juga tampak dari cara dia membuka cerita, mengakhiri
cerita, dan pengungkapan pikiran tokoh yang tidak terduga. Seperti dalam
pemaparan pikiran Mameh yang memberi solusi pada ibunya yang sedih ketika
suaminya meninggal. Mameh bingung, mengapa ibunya sedih padahal ayahnya
sering menyiksa. “Ada baiknya kau kawin lagi, Bu.” Nuraeni tersentak dan
tangannya deras menampar anak permpuannya. (Halaman 76).

4
Terlepas dari keberhasilannya, novel ini memiliki kekurangan, terutama
dalam mengeksplorasi seks. Sebagai potret realitas masyarakat, novel memang sulit
dipisahkan dari urusan seks. Ibarat sayuran dan garam, sastra dan seks menjalin
pertautan yang erat. Terasa hambar jika sastra tanpa seks. Akan tetapi, adakah
sayuran yang komposisinya didominasi oleh garam? Sayur apapun dapat dipastikan
hanya menggunakan sedikit garam. Itu pun garamnya dilarutkan sampai benar-
benar tidak kelihatan. Novel boleh menyinggung urusan seks, agar lebih berasa.
Namun, apa jadinya jika penceritaan seks begitu dominan? Terlebih jika
pemaparannya secara eksplisit, vulgar, bahkan liar?
Dalam novel tersebut, banyak sekali pemaparan adegan seks yang vulgar.
Misalnya pada penceritaan di halaman 70, “Di sana Nuraeni menungging, serupa
kuda, dan Komar bin Syueb menyodok dari belakangnya. Memeh bisa melihat
bokong Komar yang mengguncang ganas, dan setiap guncangan disusul lenguhan
Nuraeni serupa sapi yang digorok leher.” Contoh lain pemaparan yang vulgar
terdapat pada halaman 183, “Ia melihat ibunya telanjang mengangkang diimpit
Anwar Sadat. Tubuh-tubuh itu terguncang, abai terhadap pengintip yang tak
diundang, demikian intim dan tak terpisahkan.”
Pemaparan yang vulgar ini menjadikan novel ini tidak pantas dijadikan
bacaan anak sekolah. Jika siswa membaca novel tersebut, tentu kesan yang muncul
adalah porno. Tidak ada bedanya dengan melihat film atau adegan porno. Siswa
akan terkotori pikirannya, terbayang-bayang, dan dan tidak fokus pada
pengembangan potensi diri.
Novel, sebagaimana karya sastra lainnya, adalah produk olah rasa dan olah
grahita manusia. Sungguh sayang jika novel dibaca tanpa maksud dan tujuan yang
mulia. Novel dan karya sastra lainnya dapat digunakan untuk membangun karakter
siswa. Karakter positif tokoh dalam novel dapat menginspirasi siswa untuk
meneladaninya. Memilih jenis novel yang berkarakter, menggugah jiwa, dan
inspiratif adalah tugas guru. Dengan demikian, guru Bahasa Indonesia wajib sering
membaca novel agar dapat memilah dan memilih yang sesuai dengan
perkembangan siswa. Begitu!

5
BIODATA
Giyato, Guru SMAN 1 Karanganyar dan Dosen Luar Biasa FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Lahir di Karanganyar, 27 Agustus 1983.
Tinggal di Karangan RT002/005, Ngunut, Jumantono, Karanganyar, Jawa Tengah.
Sesekali ke sawah dan ladang sebagai sunnahnya orang kampung.
Memublikasikan opini, esai, cerpen, dan puisi di Suara Merdeka, Solopos,
Joglosemar, Minggu Pagi, Wawasa, Hadila, Intanpari, dan lain-lain. Antologi
puisi dan cerpennya diterbitkan di UNS Press dan Taman Budaya Jawa Tengah.
Email : giyatocokrowijoyo@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai