Anda di halaman 1dari 198

Kolektor E-Book

Penunggu Jenazah
Karya Abdullah Harahap
Pembuat Djvu : Syauqy_Arr
Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Dibuat : 3 Agustus 2018, Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan
Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya !!!
***

PENUNGGU JENAZAH
ABDULLAH HARAHAP
SARANA KARYA JAKARTA
Apabila ada nama, tempat kejadian ataupun cerita yang bersamaan, Itu hanyalah
suatu kebetulan belaka. Cerita ini adalah fiktif.
PENUNGGU JENAZAH Karya : Abdullah Harahap
Diterbitkan oleh : Sarana Karya. Jakarta
Cetakan pertama : 1992
Setting oleh : Trias Typesetting
Hak penerbitan ada pada Sarana Karya
Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk apapun tanpa ijin tertulis dari
penerbit.
***

SATU
Sepi menyentak waktu jam dinding berdentang dengan suara yang mengejutkan.
Lebih keras dari biasa. Meninggalkan gaung memanjang di ruang depan yang sempit,
di mana beberapa orang lelaki tengah duduk bersila dalam bentuk lingkaran. Gaung itu
seperti bersatu dengan asap dari dupa menyan yang mengepul di tengah-tengah
lingkaran. Meliuk liuk liar, biarpun tidak ada angin yang bertiup. Pintu terkunci rapat.
Demikian pula jendela. Pengap bukan main. Dan asap menyan yang bertemperasan di
langit langit ruangan, benar benar menimbulkan bau tidak enak. Namun tidak seorang
pun yang bangkit untuk membuka jendela. Agar hawa segar masuk ke dalam .
Apalagi, menyingkapkan tirai ruang tengah. .
Tidak. Tak seorang pun yang bergerak dari tempat duduknya.
Sampai :
"sudah jam sepuluh" salah seorang di antara mereka berbisik.
Pelan. Tetapi begitu tiba tiba .Semua kepala tertengadah, menatap orang itu.
Berpasang pasang mata memancarkan kecemasan .
"Ya Sudah jam sepuluh lebih. Mengapa orang itu belum datang"'' keluh laki-laki yang
lebih muda di dekat pintu keluar. Suaranya resah. Ia bergerak sedikit. Gelisah. Ia baru
saja akan membuka mulut untuk meneruskan keluhannya waktu sayup terdengar
gonggongan anjing. Bukan! Bukan gonggongan. Tetapi lolongan. Mula-mula rendah.
Lalu tinggi. Rendah lagi Memanjang.
Reflex, mereka saling berpandangan.
Dan. seperti dikomando, pandangan semua laki-laki
itu beralih ke gorden pintu yang menutupi pemandangan ke ruang tengah. Kain gorden
itu bergerak perlahan lahan. Nafas-nafas berat seketika meluncur dari mulut salah
seorang di antara mereka. Laki laki pertama tadi. yang rambutnya sudah ubanan dan
tulang pipinya kempot dimakan usia.
Enggan, ia bergumam:
"Sayang. Anak-anak dan ibunya sudah mengungsi ke rumah Bu Enjuh..." Ia menoleh
pada laki laki di dekat pintu." Mengapa tak kau buatkan kopi lagi. Parjo?"
Yang dipanggil dengan nama Parjo menelan ludah. Dengan kecut matanya
memandangi gelas demi gelas di depan mereka. Ada yang sudah kosong. Ada yang
masih berisi setengah. Bahkan ada yang penuh. Belum disentuh sama sekali. Tentunya
sudah teramat dingin karena sudah dihidangkan semenjak lepas Isya. sebelum nyonya
rumah hijrah ke rumah sebelah .
"Ah, tak usah repot repot. " untung ada suara-suara mendesah
Paijo menarik nafas lega.
Lalu sepi lagi.
Seseorang yang duduknya paling dekat dengan pedupaan. menambahkan biji batu
batu menyan kepedUpaan. Berkeratak bunyinya. Berpercik perCik apinya. Seperti
mercon. Meledak ledak memecah kesepian yang mencekam di dalam ruangan. Helaan
helaan nafas lagi. Lalu diam.
Suara bergemerasak yang keras terdengar di luar rumah.
Diiringi lolongan anjing yang menyayatkan hati.
Semua kepala menengadah lagi Kali ini, menatap ke arah pintu.
"Apa itu?" Seseorang berbisik. Gemetar.
"Entah..." rungut Parjo Kecut.
"Pergilah lihat!" kata laki laki bertulang pipi kempot dengan mata marah ke arah
Paijo.
Yang diperintah secara halus. Menelan ludah. Berkali-kali. Lalu pelan pelan bangkit.
Kakinya agak gontai"
waktu berjalan ke arah pintu. Di sana. ia tertegun sebentar. Diam. Mendengarkan.
Lantas menoleh ke belakang. pada orang orang yang masih duduk bersila di tempat
masing-masing. Mereka juga sama memerhatikan dirinya, sehingga dengan rikuh Parjo
terpaksa memutar anak kunci dengan jari jemari gemetar. Tangannya berkeringat
keluar. Dan:
"Hek!" Suaranya seperti tercekik waktu ia tiba tiba melompat mundur.
Yang lain terperanjat.
"Ada apa?" desah seseorang .
Parjo menghela nafas panjang.
"Ah, bukan apaapa. Hanya kaget." rungutnya. Lantas berjalan lagi ke pintu. Ia
membukanya lebih lebar. Dan berpasang pasang mata di belakangnya. juga terpontang
lebih lebar. malah ada yang seperti mau terloncat ke luar. Engsel pintu berderit nyaring
dan kemudian terhempas keras. menghantam tembok. Angin dingin berhembus masuk.
Sesosok tubuh bermuka pucat. berdiri di muka pintu
Ia mengenakan celam hitam, kemeja kotak-kotak berwarna gelap dengan kain sarung
yang juga hitam melingkar dari pundak sampai batas pinggang. Ia rupanya tidak
mengenakan alas kaki sehingga langkah langkahnya tidak terdengar waktu berjalan ke
teras lantas berdiri di pintu waktu Parjo tiba tiba membukanya.
Aku Kurdi. ' gumamnya dengan suara berat.
"Ooooh" cetus Parjo. lalu menyingkir memberi jalan. "Malam, Pak Kurdi. Kami
sudah lama menunggu.
Laki Laki setengah umur bermuka pucat itu masuk ke dalam tubuhnya sedang" tidak
tinggi, tidak pula pendek. Tidak gemuk, namun tak bisa dikatakan kurus. Gerak
geriknya tenang, bahkan tampak lamban sehingga ia bukanlah tipe seorang lelaki yang
patut diperhatikan secara khusus. Tetapi ketika bibirnya yang tipis memperlihatkan
seulas senyum kering disertai sinar mata yang tajam berkilat kilat, semua orang yang
berada di ruang depan itu seolaholah melihat makhluk asing yang kehadirannya
tidak boleh dilepaskan sekejap mata pun jua.
Lakilaki beruban dekat pintu ruang tengah. berdiri menyongsong. Yang lain mengikuti
"Kami senang Nak Kurdi datang," ujarnya seraya menjabat tangan tamu yang datang
kemalaman itu.
"terima kasih. Mana mayatnya" '
Orang tua yang rUpanya adalah penghuni rumah. menggerakkan dagu ke arah ruang
dalam.
'Di sana! ' sungutnya Menguatkan.
"Hem," Kurdi memperhatikan dupa menyan yang mengepulkan asap di atas tikar
pandan. Ia menghirup asap menyan itu dengan perasaan nikmat, dan sepasang matanya
yang berkilat kilat tampak kesenangan. Angin dingin bertiup semakin kencang lewat
pintu yang menganga.
"Tutupkan, Parjo," kata orang tua tadi dengan muka memberengut.
Parjo bergerak ke pintu demikian malas. dan sebelum menutupkannya ia sempat
meninjau ke luar. Lewat pekarangan sempit berpintu pagar kecil ia melihat bayangan
sesuatu dalam gelap. Sebentuk kereta yang aneh. Dengan seekor kuda yang berdiri di
atas keempat kakikakinya yang kukuh, dengan kepala tegak. memandang ke arah
rumah. Parjo tak dapat melihat sinar mata kuda itu dalam kegelapan, namun ia bisa
menangkap suara mendengusnya yang keras dan kering. Tak jauh dari kereta, sesosok
makhluk berbaring diatas tanah berumput. Juga dengan kepala tegak memandang ke
arah rumah. Sinar matanya tampak samar samar membentuk sepasang bintik bintik
kecil berwarna kuning kemerahan.
"Anjing..." desis Parjo kecut. seraya menutupkan pintu buru buru.
Berderak bunyinya, karena tergesa gesa.
Sementara yang lain termasuk Parjo duduk kembali di tempat masing masing, Kurdi
masuk ke ruang dalam ditemani oleh tuan rumah. Lewat tirai garden yang terbuka
sebagian waktu mereka masuk, kedua orang itu berjalan pelan pelan ke tengah ruangan
yang diterangi lampu bervoltase kecil. Di antara perabotan perabotan yang
disingkirkan ke tepi. tergelar tikar lebar di atas mana digelarkan sebuah kasur ukuran
kecil. Selendang batik dari harga murahan menutupi sesosok tubuh mulai dari ujung
kaki sampai ke ujung rambut. Meskipun lampu ruang tengah cukup untuk menyinari
mayat itu. di sekelilingnya masih dipasang lilin lilin yang tinggal puing-puingnya saja
lagi. menyala lemah. Bau menyan campur baur dengan bunga rempah-rempah di dekat
kepala mayat.
Setelah kumat kamit sebentar, Pak Kurdi memerintah:
"Bukalah."
Orangtua itu berjongkok. lalu dengan tangan gemetar pelan-pelan ia menyingkapkan
Ujung kain yang menutupi bagian kepala. Pelan pelan pula wajahnya ia tolehkan ke
arah lain. dengan mata yang terpejam. Didekatnya. tamu bermuka pucat itu
memandang ke baWah dengan mata terbuka lebar. Mula mula ia melihat rambut yang
ikal, panjang bergerai. lebat dan hitam. Disusul oleh dahi yang rekah di bagian pelipis,
meninggalkan bengkak berwarna merah kebiru biruan. Di bawah alis tipis, lentik dan
bagus bentuknya. sepasang mata tampak melotot di antara kelopak kelopak yang
hancur bercampur darah mengering.
"terus!" sungut Kurdi Waktu gerakan tangan yang membuka kain penutup agak
tersendat .
Orang tua itu terkejut. lantas menyingkapkan kain selendang sekaligus sehingga
wujud mayat itu tampak lebih jelas. Orang orang yang berada di ruang depan sama
sama menarik nafas. Lantas sama sama pada memalingkan muka dari arah ruang
tengah. Orangtua yang berjongkok di sebelah Kurdi, mulai menangis. Tersendat sendat.
Diantara suara tangisnya ia berkata.
" anak malang. Ia ia "
Kurdi manggut manggut. Bergumam'
"Ya Ya .Aku maklum. Aku belum mengenal menantu bapak ini. Kalaupun ia pernah
bertemu denganku. ia tak akan kukenali kembali. Wajahnya begitu rusak. Boleh dikata
anggota anggota tubuhnya hampir hancur. Anak malang' Hem. Apa yang menyebabkan
ia mati dalam
keadaan sedemikian rupa. Pak Marto?"
Orang tua yang sudah ubanan itu sesenggukan.
"... nekad" jawabnya 'Ningsih nekat. Tak bisa menahan diri. Kami tidak tahu mengapa
ia tiba tiba menghilang tadi siang dari rumah, lalu sore hari ada orang mengabari
bahwa... bahwa ia... ia..." Pak Marto tiba-tiba berteriak histeris:
"Mengapa. Ningsih" Mengapa" Mengapa kau lakukan itu, anakku" Mengapa?"
"Apa yang ia lakukan, Pak Marto"'
"Ia... oh!" orangtua itu menahan sedu sedannya. Suara berat Pak Kurdi memberikan
pengaruh aneh pada dirinya. 'Ia bunuh diri!"
"Bunuh diri?"
"Ya. Terjun ke rel pada saat kereta api barang lewat... Aduh! Orang itu bilang ada
yang melihat... melihat Ningsih berdiri begitu lama di pinggir rel. Mulamula disangka
mau menyeberang, sampai kereta itu datang dan Ningsih tiba tiba berlari ke arah maut
itu datang. Ia tak sempat terjun ke tengah tengah rel ketika tubuhnya disambar oleh
lokomotip dan "
Kurdi manggut manggut lagi. Dalam
"Ia terhempas ke pinggir rel, begitu" Orang yang menjemputku ke rumah telah
menceritakannya padaku. Sangat tergesa gesa, sehingga aku tidak mendengar seluruh
kejadiannya "
'Ia mati seketika. Kurdi! Lalu kami buru buru kesana. dan...."
"Tentu. Tetapi yang ingin kutanyakan, mengapa ia melakukannya?"
Orang tua itu tertengadah. memandang tamu asing itu.
Matanya tampak tidak senang
"Anakku telah mati." Sungutnya, dingin. "Tak sempat kami kuburkan hari ini. Lalu
kau kami panggil untuk menjaganya. itu saja. Jadi" "
Seraya geleng geleng kepala, Kurdi bergumam:
"Lihatlah pandangan matanya. Ia mati penasaran. Karena itulah aku kalian panggil.
Pak Marto!" Kurdi tersenyum renyah. Dan erang kaku:
"Kalian penakut! '
"Nak...."
'Kalian penakut. Karena kalian merasa bersalah, kalian jadi penakut!"
Berkata demikian. sepasang mata Kurdi berkilau kilauan di wajahnya yang pucat.
Pak Marto terbungkam. lalu merundukkan kepala dengan patuh, seolah-olah mengakui
tuduhan yang dilemparkan padanya.
'Perempuan ini punya kamar Sendiri?" tanya Kurdi kemudian.
Orangtua itu manggut manggut.
"Tidak bisakah kalian memberi penghormatan padanya barang sedikit" Baringkanlah
anak bapak di atas ranjangnya sendiri!"
Pak Marto memandang Kurdi dengan heran.
Matanya beradu dengan sepasang mata yang bersinar ganjil.
Dengan kecut. Pak Marto bangkit lalu memanggil orang-orang di ruang depan .
Bersama sama mereka masuk ke dalam. Enggan. Bersama sama pula mereka
pindahkan mayat yang sudah rusak wajah dan bagian bagian tubuhnya itu ke kamar
tidur. Teramat enggan. Selesai melakukan tugasnya orang orang itu cepat cepat berlalu
ke ruang depan. Kepada Parjo yang duduk termangu tanpa ikut masuk ke dalam,
orang-orang itu pamit Tak lama kemudian .Pak Marto menyusul. Ia menggamit Parjo,
mengajaknya ke luar seraya menjelaskan:
"Orang itu minta dibiarkan sendirian. Ia ada di kamar tidur bersama mayat isterimu."

***
DUA
Wajah Kurdi yang pucat diam tak bergerak-gerak setelah ia mengambil tempat duduk
di sebuah kursi dekat kepala tempat tidur. Dihadapannya. terbaring mayat yang baru
saja dipindahkan dari ruang tengah. Bagian-bagian wajah yang masih utuh tampak
lebih pucat lagi. Di beberapa tempat malah sudah kebiru-biruan. demikian pula
sebahagian lehernya yang jenjang. Seraya bibirnya yang kering kumat kamit membaca
mantera. perlahan-lahan Kurdi membungkukkan badannya ke depan.
Kain selendang yang menutupi mayat itu ia singkapkan seluruhnya.
Mata Kurdi terpejam.
Mulutnya kumat kamit lebih cepat. Terkadang disertai keluhan-keluhan berat dan
rintihan rintihan seperti kesakitan. Waktu ia buka matanya kembali. dua berkas sinar
hijau kemerah merahan membersit dari sepasang mata Kurdi. menatap langsung ke
arah di mana seharusnya terletak sepasang mata di wajah mayat yang sudah rusak itu.
Tubuh Kurdi mulai bergetar.
Keringat sebesar jagung membercik dari jidatnya waktu pelan-pelan ia berbisik:
"... kembalilah. Kembalilah kau. wahai arwah yang telah pergi!"
Sepi sejenak.
Kurdi menggeram.
"Kubilang, kembalilah! Aku tahu kau masih gentayangan di sekitar jasadmu. Kau
belum tiba di padang yang semestinya. karena kau tak rela. Kembalilah. arwah yang
telah hilang. kembalilah!"
Sosok tubuh yang hampir hancur di atas kasur
bergerak sedikit.
Hanya sedikit.
"Jangan enggan. Kembalilah!" Kurdi membentak dengan suara kesal.
Tiba-tiba. gelembung-gelembung payudara di tubuh perempuan telanjang yang sudah
menjadi mayat itu. naik turun dengan gerakan gerakan lambat mula mula, lantas makin
lama makin kencang. lambat lagi, kencang kembali dan setelah helaan nafas berat
terluncur dari bibir pecah-pecah yang sebagian sudah somplak dagingnya sehingga
tampak beberapa buah gigi bertonjolan ke luar, gerakan naik turun dada mayat itu
mulai teratur. Tanda tanda kehidupan sudah terlihat nyata, biarpun anggota-anggota
tubuh lainnya masih diam. tidak bergerak gerak. Orang orang yang telah memandikan
mayat itu senja hari-harinya tampaknya tergesagesa atau demikian ketakutan sehingga
pekerjaan mereka tidak sempurna.
Darah kering masih melekat di bahu yang bengkak kebiru-biruan. Juga
dipertengahan lengan kanan yang hampir putus. Lutut kanan yang pecah. letaknya
menyimpang. Mungkin tidak ada yang teringat untuk membetulkannya. Mungkin pula
karena tulang-tulang lutut itu sudah hancur berantakan sehingga sukar
membetulkannya dalam posisi semula.
"Anak malang!" desah Kurdi. Serak.
Ia menelan ludah.
Dan:
?" mereka benar-benar mentelantarkan engkau. Tentu kau begitu penasaran, bukan?"

Helaan nafas berat keluar dari mulut mayat yang rusak itu.
Dadanya bergelombang. Cepat. Seperti marah.
"Tidak!" gumam Kurdi seraya menyeringai. "Aku tidak bermaksud menyakiti dirimu."
Wajah mayat yang rusak itu. terangkat dari bantal.
Sekejap cuma, karena kemudian terhempas kembali dengan keras.
Kurdi tertawa kecil.
"Tulang lehermu patah" Nah. Jadi, diamlah. Kau tidak bisa bergerak. Kau akan
menurut segala perintahku. Sekarang jawablah. Siapa namamu, anak manis?"
Helaan nafas dari mulut mayat berubah jadi desau angin.
Sayup-sayup terdengar suara memelas. Suara seorang perempuan Setengah marah.
setengah menangis.
M a r n i...."
"Umurmu?"
buat apa... kau tahu"'
"Harus kuketahui yang sekecil kecilnya mengenai mayat-mayat yang kutunggui."
tiga puluh tahun. dua bulan dan. dan..
"Cukup. Tak usah kau sebutkan harinya. Lahirmu?"
"Ya?"
"Siang" Atau malam?"
senja."
"Patut. Patut matimu penasaran. Orang yang lahir senja hari seperti kau. umumnya
berhati penasaran. Apa yang terjadi pagi" Mengapa begitu cepat datangnya malam"
Kau tak tahu. Karena kau lahir senja hari lalu kau ingin tahu. Itulah sifatmu yang lebih
menonjol dari sifat sifat lain. Sangat penasaran, Serba ingin tahu. dan tidak sabaran!"
Dada mayat itu berbuncah bungah.
Kurdi memperhatikannya. Dan mulutnya tersenyum senang.
'Sifat jelek itulah yang menyebabkan kematianmu. Benar. bukan?"
Suara sayup sayup itu bersungut-sungut kini:
"He eh. Lantas apa perdulimu?"
Kurdi angkat bahu.
"Sudahi pertanyaan-pertanyaanmu, manusia terkutuk. Sudahilah.aku sangat lelah dan
kesakitan..." Tubuh mayat itu bergerak gerak kekiri kanan menyertai permintaannya
yang teramat memelas "Aku telah memenuhi panggilanmu. Karena itu, sudahilah
siksaan ini. Cukuplah sudah siksaan yang kuterima menjelang saat saat terakhir
hidupku. Jangan tambah tambah lagi. Hentikan. hentikan, kau manusia pengabdi setan.
Aku telah datang. Kau tentunya puas, pengabdi setan. Karena itu, katakanlah sekarang.
Maukah kau menolongku?"
Kurdi menyeringai lebar
"Tentu," sahutnya.
"Bangkitkan aku kembali. Bangkitkan aku. untuk membalas sakit hatiku'"
"Sakit hati'" Pada siapa kau sakit hati"'
"Perempuan laknat itu'"
Alis mata Kurdi yang berbentuk golok. menyipit.
"Kau dimadu?"
"Ya. Aku dimadu. Haram jadah benar, aku dimadu. Perempuan laknat itu telah
merenggut kebahagiaanku. Merenggut cintaku. Merenggut suamiku. Kemudian
merenggut hidupku!"
"Ia tak bersalah apa apa terhadapmu," Kurdi keberatan. "Tak patut aku libatkan
dirinya. siapapun juga perempuan itu...."
"Tolonglah." Suara sayup sayup itu berubah jadi jeritan sayup-sayup. "Tolonglah
.Kau bangkitkan aku dan biarkan aku yang melakukannya. Kau tak usah turun tangan"
'Hm Caranya?"
"Lewat tangan suamiku! '
"Tetapi '
"Demi setan yang kau puja.tolonglah aku!"
Kurdi mengeluh. Lalu terdiam lama.
' Bagaimana" Bersediakah kau'"
Lama pula baru Kurdi menjawab.
"Boleh. Tetapi dengan satu syarat"
Suara sayup sayup itu berubah jadi suara tertawa pahit. Dan:
"Terkutuk kau. Najis dirimu .Tetapi apa boleh buat. Apa syaratmu?"
"Dari duniamu. kau sudah bisa menebak keinginanku."
"Jadah. Jadah. Seleramu terlalu rendah. Masihkah nafsu bejatmu bisa terbangkit
melihat keadaan tubuhku yang begini rusak" Melihat dirimu saja aku sudah tidak
bergairah. Padahal kau manusia yang utuh. Masih hidup. Dan aku tahu. kau seorang
laki-laki yang bisa memuaskan seorang perempuan, bisa saja yang kau setubuhi
perempuan yang masih bernyawa..." Mayat itu cekikian lewat bibir sobek dan gigi gigi
depannya yang bertonjolan keluar. "Tidak jijikkah kau melihatku?"
Kurdi tersenyum.
Ia meraba kantong kemejanya yang hitam.
Sebuah pisau cukur ia letakkan dipinggir tempat tidur. Lalu sehelai daun kdapa muda.
dan seutas tali dari pelepah pisang.
'Untuk apa itu?"
"Diam sajalah kau." sungut Kurdi
Matanya yang hijau kemerah merahan menatap kebagian mata wajah mayat. Lama.
Tubuh mayat itu tergetar.
Dan suaranya berubah ubah menyayatkan hati:
"Kau... kau tak serius dengan maksudmu!"
"Mengapa tidak?"
"Tetapi aku... aku tidak bergairah!"
"Perduli!"
"Aku jijik melihatmu. pengabdi setan. Aku jijik. Aku hanya mau disentuh oleh
suamiku. Aku...."
Kurdi membuka pisau cukur, lalu mulai menyayat urat nadi lengan kirinya sendiri.
Mayat itu berteriak:
"Aku benci melihat darah. Aku benci melihatmu!"
Tetapi tubuh mayat di tempat tidur tidak bergerak sama sekali untuk melawan. waktu
dari urat nadi Kurdi mengucur darah deras yang oleh Kurdi kemudian diteteskan tepat
di bagian mana jantmg mayat terletak. Payudara perempuan itu naik turun dengan
gelisah ketika darah merah yang segar dan hangat itu mengenai
bagian kulitnya. Terdengar suara seperti belerang disiram air.
Seperti belerang pula. dari sekujur tubuh mayat berkebul asap putih ke langit langit,
bercampur dengan asap dupa menyan yang memenuhi empat pojok kamar tidur. Bau
tak enak menusuk hidung. namun Kurdi menghisapnya dengan perasaan nikmat.
Wajahnya yang pucat justru jadi kemerah merahan kini, dan tubuhnya mulai basah oleh
peluh.
Ia dengar suara si perempuan yang memohon:
'Jangan..."
Tetapi ia tak perduli.
'Jangan'"
Kurdi tetap tidak perduli. Darah semakin banyak mengucur. Asap semakin banyak
terkepul. Lalu tubuh mayat di atas tempat tidur mulai berubah wujud. Bagian bagian
yang telah rusak ditabrak lokomotip kereta api yang merenggut kematian si
perempuan, kembali dalam wujud semula yang terbaring di atas tempat tidur bukanlah
lagi sosok tubuh yang mengerikan, akan tetapi sosok tubuh telanjang seorang
perempuan berwajah manis meskipun tidak begitu cantik, namun liku liku tubuhnya di
mata Kurdi tampak begitu indah dan sempurna.
Lakilaki itu mulai mengerang.
Si mayat mengeluh:
"Tidak... tidak.." disusul teriakan lengking "Tidaaaaaakk!"
Ia terus berteriak sementara Kurdi membuka pakaiannya. Berteriak dan berteriak
memilukan selagi Kurdi naik ke tempat tidur dengan nafsu binatang meronai wajahnya
yang berubah mengerikan. Jeritan arwah yang kembali menghuni mayat di rumah itu,
terbawa angin lewat celah celah pintu lewat celah celah jendela, lewat celah celah
atap. Mdam yang sepi menyentak, jadi terlonjak.
Di rumah sebelah. Pak Marto terloncat dari tempat duduknya.
"... dengar" gunamnya. Serak. Dengan wajah pucat pasi. Dan tubuh gemetar.
orang-orang lain di rumah itu, terpaku diam.
"itu jeritan Marni!" desis Pak Marto.
Di kursinya. Parjo duduk meringkuk.
Peluh dingin mengalir dari seluruh pori-pori kulitnya. membasahi wajahnya.
menguyupi pakaiannya. Ketika akhirnya ia bangkit dengan seluruh tubuh gemetar. dari
selangkangannya mengucur air hangat berbau pesing. Ia kemudian berlari masuk ke
salah sebuah kamar sambil terkencing-kencing, melompat ketempat tidur di samping
salah seorang adiknya yang sedang berusaha menahan kantuk. lau merintih dengan
suara ketakutan:
"Kau dengar" Kau dengar itu?"
Si adik tak menjawab.
Dan Parjo menggulung tubuhnya di bawah selimut.
Di ruang tengah, Bu Marto jatuh pingsan dalam pelukan suaminya .
Namun tak seorangpun yang berani keluar rumah, untuk memastikan suara jeritan
itu. Tidak seorang pun. Di luar. malam semakin kelam. Udara semakin dingin Dan
angin bertiup kencang. Gersang. Dan kering!
***

TIGA
Ketika pagi datang, Kurdi meluncur turun dari tempat tidur.
Sesaat. ia berdiri gontai. Sekujur tubuhnya letih dan basah oleh peluh. Pelan pelan ia
mengenakan pakaiannya. Setelah itu duduk di kursi, terpekur. Kedua telapak tangan
menekan di wajahnya yang pucat. Lengan kirinya yang sebelum naik ke pembaringan
lebih dari dua jam berselang ia balut dengan daun kelapa muda dan diikat pakai tali
pelepah pisang. bergetar hebat.
'Wahai." keluhnya Lirih 'Kapan kutuk ini akan berakhir'?"
Lantas ia tersedu.
Habis tersedu. kedua telapak tangannya ia buka.
Matanya yang berjam jam sebelumnya berkilau merah kehijau hijauan, kini tampak
lesu dan pucat. Sepasang mata yang bersinar lemah itu. memandang sosok tubuh yang
terbaring di atas tempat tidur. Sesosok mayat perempuan, dengan wajah hampir rusak.
lengan dan lutut hancur dan darah kering melekat di sana sini. Ia tak tahu yang mana
darah si perempuan dan yang mana darahnya sendiri. Hidungnya mencium bau anyir
dari tubuh mayat. dan bau pengap dari dupa menyan yang memenuhi ruangan.
"Aduh!" desahnya dengan perut melilit.
Lalu:
"Aaaghhh!" terbungkuk bungkuk. Muntah.
Habis muntah, ia terpekur lagi di tempat duduknya .
Wajahnya kian pucat. Matanya kian pucat. Lengan kirinya jauh lebih pucat. Lengan
itu ia gerak gerakkan dengan hati hati. Sementara itu. lengan kanan ia pergunakan
untuk membersihkan darah yang melekat di
sekujur tubuh mayat dengan mempergunakan sarung hitam miliknya. Setelah ia rasa
cukup bersih, sarung hitam itu ia belitkan di pinggang. Kain selendang yang tertumpuk
di kaki tempat tidur ia selimutkan menutupi mayat mulai dari rambut sampai ke ujung
kaki. Kemudian duduk diam diam. Menunggu.

***

Pintu rumah sebelah baru terbuka ketika matahari telah muncul di ufuk timur. Pak
Marto adalah orang pertama yang keluar. Tiba di halaman mmahnya sendiri ia melihat
beberapa orang tetangga, telah menunggu dengan peralatan masing masing .Mereka
mengangguk pada orangtua yang beruban itu dengan wajah menyatakan ikut prihatin .
Sementara tetangga tetangganya sibuk membuat peti mati di luar. Pak Marto
bergegas masuk ke dalam rumah.
Ruang depan kosong.
Juga ruang tengah
Resah, ia masuk ke kamar tidur. Dan melihat Kurdi masih menunggui mayat dengan
kepala menekuk setengah mengantuk, dan wajah kian memucat. Langkah langkah kaki
Pak marto membuat kantuknya terenggut. Ia mengangkat wajah, memandang tuan
rumah.
kau baik baik saja, Nak Kurdi?" sapa Pak Marto
Kurdi manggut-manggut.
Pak Marto memandang ke tempat tidur.
Lantas menghela nafas Lega.
"Syukurlah, ' gumamnya.
"Kenapa?" tanya Kurdi
Pak Marto mengernyitkan kening. "Kami dengar jeritan Marni tadi malam." "Oh ya?"
desah Kurdi Seperti orang bodoh. Dan tak
berdosa.
Pak Marto duduk di pinggir tempat tidur menatap selendang yang menutupi wajah
mayat.
'Mungkin kami begitu ia benci disaat saat menjelang kematiannya." ia mengeluh.
"Hingga kami dikejar kejar oleh perasaan bersalah. Ah! Ia menarik nafas. Berat. Dan
panjang. "Mengapa aku begitu tolol" Marni sudah mati. Tak mungkin kami mendengar
jeritannya lagi'"
"Bapak mengkhayal! ' gumam Kurdi.
"Ya. Ya. Aku mengkhayal. Juga isteriku. Dan Parjo." Wajah orangtua itu tampak
kebingungan. "Mungkin... mungkin juga perasaan bersalah itu yang membuat isteriku
begitu lelah sampai pingsan, dan Parjo terbirit birit ke kamar sambil terkencing
kencing ..."
"Ah?" Kurdi tersenyum. Kecut.
"Anak malang," desah Pak Marto, seperti pada dirinya sendiri. "Kasihan Marni.
Seharusnya. semua ini tidak terjadi padanya."
'Hem'." Kurdi acuh tak acuh.
Dan Pak Marto tak perduli .Ia terus berkata-kata seperti pada dirinya sendiri
.Suaranya penuh dengan punyesalan.
" Ia yatim piatu. Masih termasuk sanak keluargaku sendiri. Ayahnya terbenam di laut
waktu perahu mereka dilanda topan. Nelayan-nelayan lain pulang tanpa ikan tanpa
ayah Marni dan dua orang nelayan lainnya. Marni masih bayi waktu itu .Dan masih
menyusu ketika dia ditinggal mati pula oleh ibunya yang meninggal karena busung
lapar. Marni lalu kami ambil. Kami hidupi seperti kami menghidupi anak anak kami
sendiri. Tetapi kehidupan di pantai semakin kering. Ikan-ikan semakin habis. Kapal
kapal besar milik orang orang asing merampas kehidupan kami. Lalu pantai di mana
kami lahir dan dibesarkan, terpaksa kami tinggalkan. Bertahun tahun kami hidup di
tempat ini. Membesarkan anak-anak kami. Membesarkan Marni. dengan susah
payah...."
Pak Marto menggeleng gelengkan kepala tiba-tiba.
"Sayang." keluhnya. "Semua itu ternyata sia-sia."
"Sia-sia?" Kurdi berminat.
"Heeh." Setelah Marni tumbuh jadi perawan belasan tahun. kecantikan wajah dan
kemontokan tubuhnya telah menarik banyak mata lakilaki. Termasuk Parjo sendiri...."
"Parjo suaminya sebelum Marni meninggal. Begitukah?"
"He eh. Celakanya Parjo anak kandungku sendiri."
"Lho Apa salahnya?"
"Salahnya?" Wajah Pak Marto berubah merah padam. "Setelah ibunya meninggal,
Marni menyusu pada isteriku!"
"Maksud bapak, Parjo dan Marni satu susu?"
Orangtua itu tak menjawab
Ia menggeram, sehingga giginya bergemeretakkan.
"Terlalu benar. Seharusnya tidak kami beritahu pada anak anak itu. bahwa mereka
bukan saudara kandung. Seharusnya kami rahasiakan. sehingga mereka tidak saling
jatuh cinta dan lantas?"
'lantas?"
Kepala Pak Marto menekuk Lesu .
Tetapi suaranya geram dan marah .
"Lantas sementara adik adik mereka ke sekolah... Sementara isteriku ke sawah dan
aku ke hutan untuk menebang kayu... mereka melakukannya. Terkutuk! Mereka
melakukannya! '
"Zinah'?"
Pak Marto menoleh ke arah Kurdi. sehingga yang belakangan ini agak terkejut.
Sudut-sudut mata Pak Marto berkilau oleh butir butir air. Bibirnya kering waktu
bersungut-sungut'
"Adakah kata lain yang lebih nista dari ' itu?"
Kurdi angkat bahu.
Pak Marto memalingkan muka. Menahan tangis.
"Yah!' keluhnya Sakit "Memang itulah kata yang tepat. Zinah. Zinah. Zinaah'" Ia
tekapkan telapak tangan ke wajah, lantas mulai tersedu. "Seharusnya aku membenci
mereka. Mengusir mereka. Melupakan mereka. Tetapi mereka tetap anak-anakku. Yang
seorang lahir dari darah dagingku sendiri. Yang lain dibesarkan oleh susu isteriku.
Kami terlalu mencintai mereka. Dan terpaksa menutup mata, ketika mengetahui apa
yang mereka lakukan. Sampai mereka berdua memaksa untuk kawin...!"
"Wah...!"
"Begitulah. Petuah apa pun tak masuk di kepala anak-anak bodoh ini. Akhirnya
mereka lari ke kota lain. Menikah diam diam di sana. Pada keluarga dan tetangga
tetangga yang bertanya tanya. kami bilang saja anak anak itu mencari hidupnya sendiri
sendiri di kota. Mereka percaya. Dan kami pun percaya. anak-anak kami akan hidup
tenang dan tenteram. Biarlah dosadosa mereka kami tanggungkan di neraka.
Tetapi.Tuhan juga yang Maha Kuasa"."
Pak Marto menarik nafas. Letih .
"Kutuk itu menimpa rumah tangga mereka." ia melanjutkan. 'Tiga kali Marni bunting.
Tiga kali ia keguguran. Kali keempat. anak mereka lahir dalam keadaan cacat dan
sudah tak bernyawa. Kehidupan ekonomi mereka seret. Mereka pindah dari satu rumah
kontrakan ke rumah kontrakan lain, dari satu usaha ke usaha lain, dari satu kota ke
kota lain. Selalu menemui. Gagal Dan gagal lagi. Dan kesadaran itu perlahan lahan
datang. Bahwa mereka sesusu. Mereka seharusnya tidak jadi suami isteri. Dan Parjo
mulai berpaling ke perempuan lain ?"
"Mengapa Marni sampai mati di sini?" tanya Kurdi.
"ia sadar akan dosanya. Tapi tidak bisa melepaskan cintanya. Ketika Parjo dan
perempuan itu menikah, Marni kabur ke mari. Parjo ia tinggali surat di mana ia
katakan ia mengancam akan bunuh diri kalau Parjo tidak menceraikan perempuan
madunya. Marni kami terima baik baik. dan satu dua kali usahanya untuk bunuh diri
berhasil kami gagalkan. Nasihat nasihat kami masuk juga dihatinya. Tetapi ....
Wajah Pak Marto menggambarkan kesedihan bercampur kegembiraan .
"... suatu hari, kami dengar Parjo telah punya anak!"
Ia geleng-geleng kepala.
"Akhirnya aku punya cucu. Tetapi kegembiraan itu. lenyap begitu saja, karena hal
yang sebaliknya justru terjadi pada Marni. Ia semakin susah dan pemurung. Ia tahu.
dengan lahirnya anak itu, cinta Parjo padanya semakin berkurang. Perempuan
madunya itu ia anggap telah merenggut segalagalanya dari dirinya. Wajahnya begitu
polos. Sikap sikapnya begitu wajar. Tak tahunya, jiwanya begitu hancur. Kami tidak
menduga apa apa ketika kemarin siang ia menghilang dari rumah tanpa ada yang
mengetahui. Kami sangka ia ke sawah untuk menemani ibunya membersihkan
rumput...."
Langkah langkah kaki di ruangan itu mengejutkan keduanya.
Parjo telah berdiri di samping Pak Marto.
'Mereka sudah siap. ayah.' katanya.
Laki laki itu sama sekali tidak berani memandang mayat di atas tempat tidur.
Ketika salah seorang tetangga menginterlokalnya kemarin sore dari kantor polisi
desa. ia sedang berada dalam pelukan isterinya di rumah mertua mereka yang besar
dan mewah. Isteri dan mertuanya telah memberikan segala galanya pada Parjo.
Pekerjaan, hidup senang, dan anak laki laki yang mungil. Ia tahu cintanya pada Marni
telah redup perlahan lahan. Tetapi selama ngebut dengan mobil pulang ke kampung
orangtuanya. ia pun tahu cinta Marni justru kian berkobar didorong oleh kecemburuan
dan sakit hati. Cinta yang berkobar itu telah merenggut nyawa Marni. Parjo merasa
berdosa. Dosa yang lebih besar dari dosa yang ia perbuat ketika mulai pertama ia
menyetubuhi adik angkatnya itu.
Masih tanpa memandang ke mayat. Parjo kemudian bergegas ke luar.
Kurdi mendengus. Perlahan.
Perlahan pula ia berjalan ke jendela. Jendela itu berhadapan dengan sebuah
lapangan kosong dan ditumbuhi semak belukar. Ia melihat kereta kudanya di sana.
Melihat anjingnya yang bertubuh besar dan berkulit hitam legam berkilat kilat.
meringkuk di samping roda kereta. Seekor kuda tinggi besar dengan kulit berwarna
coklat kehitaman. tengah merumput dengan rakus, masih mengenakan tali kekang kuda
yang disimpulkan pada cagak kayu di samping tempat duduk kereta. Kurdi tersenyum.
Binatang binatang itu tadi malam tentu telah berpindah sendiri dari halaman depan.
'Kawan kawanku yang baik, ' gumamnya. Pelan.
Tetapi anjing itu seperti mendengar. Matanya memandang tuannya di jendela.
Berkilat kilat. Ekornya berkibas ke kiri ke kanan. Kuda itu juga mendengar. Ia menoleh
ke jendela. dan mendengus dengan keras.
Kurdi tersenyum lagi.
Lengan kirinya ia acungkan ke arah matahari terbit sehingga balutan dari daun
kelapa itu berkilau kilau bersiram mandi matahari. Beberapa orang tetangga yang
bekerja di samping rumah. melihat apa yang ia lakukan. Dengan tenang, Kurdi
membuka tali pengikat balutan lengan kirinya. Luka bekas sayatan di urat nadi lengan
kinnya telah mengatup .Dan waktu luka itu ia hadapkan langsung ke arah matahari,
mulutnya kumat kamit membaca mantera. Hanya dalam beberapa detik, luka itu
perlahan lahan Sirna. lalu tidak meninggalkan bekas sama sekali. Seorang yang berdiri
di dekat peti mati yang hampir siap, bergumam heran
"Sedang apa orang itu"
"Entahlah," jawab temannya di sampingnya.
"Mungkin si penunggu mayat sedang berdo'a dengan jimat di tangan."

***

EMPAT
Roda kereta berdetak waktu terantuk ke sebuah batu tepat di depan pintu pekuburan.
Kurdi tersentak dari kantuk yang membuatnya terangguk angguk semenjak tadi di
tempat duduk. Ia menggelengkan kepala. Sepasang matanya yang sempat bersinar
tajam menembus kegelapan malam. Memandang berkeliling. Gelap semata. Sepi.
Menyentak. Pandangannya kemudian beradu dengan mata besar berkilat kilat dari
kepala kudanya yang menoleh ke belakang.
Kurdi tersenyum
"Terima kasih, anak baik." ia bergumam.
Kuda itu mendengus. Senang. Kurdi meloncat turun dan membiarkan tali les berjuntai
menyentuh tanah berbatu. Seekor anjing besar dan hitam. mendekat dengan mengibas
ngibaskan ekor. lalu lidahnya yang lembut kemerahan menjilati betis Kurdi yang
telanjang .
"Ala. biyung." Sungut Kurdi seraya memandangi anjing itu. 'Aku berani bertaruh. kau
tak akan sudi masuk ke dalam," ia tolehkan kepala ke arah pekuburan. Anjing itu
melolong kecil, kemudian meringkuk di samping roda kereta. Kurdi memeluk meluk
punggung kuda, kemudian mengusap moncong anjingnya. "Kalian akan sabar
menunggu. bukan?" _
Sekali lagi ia memandang berkeliling.
Setelah merasa puas, ia lalu memasuki kompleks pekuburan. Dengan bantuan sinar
rembulan dan cahaya bintang gumintang melangkah tenang-tenang di jalan tikus yang
dibagian kiri dan kanannya dipenuhi gundukan gundukan tanah serta batu-batu nisan.
Dibantu ingatannya ketika ikut mengantarkan jenazah yang dimakamkan tadi siang.
Kurdi kemudian tiba di tempat yang ia tuju. Ia pandangi gundukan tanah yang masih
baru dengan nisan yang juga baru. terbuat dari kayu, tak jauh dari kakinya.
Ada suara berkepak tiba tiba.
Kurdi menoleh. Seekor kelelawar rupanya terkejut oleh kedatangan Kurdi. lantas
terbang dengan suara ribut dari rimbunan dedaunan sebuah pohon kemboja yang
tumbuh subur. Burung itu seakan-akan melejit ke langit yang biru. berputar putar
sebentar di atas tempat Kurdi berdiri. terbang lagi. Kian tinggi. akhirnya hanya tampak
seperti bintik kecil yang seakan akan menerobos masuk ke perut rembulan.
Kurdi menghela nafas.
Ia rogoh saku kemejanya yang lebar. mengeluarkan sesuatu yang kemudian ia
letakkan tepat di depan kayu nisan. di atas gundukan tanah makam. Bau harum yang
semerbak menusuk hidung Kurdi Ketika mancis ia nyalakan. tampak bunga rampai
beraneka ragam berserakan di sekitar pedupaan yang barusan ia letakkan. Dengan
mempergunakan ranting ranting kering yang juga ia bawa. ia kemudian menyalakan isi
dupa. Cahaya api membersit-bersit Kuning kemerahan. Setelah nyala api itu padam.
kini tinggal asup putih berkebul, meliuk liuk ditiup angin malam yang dingin menusuk
tulang. Sesaat. Kurdi menggigil. Ia kencangkan kain syaal tebal yang membelit di leher
lalu dengan nikmat menghirup asap yang berkebul dari pedupaan. Perlahan lahan.
kepalanya bergeleng-geleng Ke kiri ke kanan. Lama lama makin cepat. sementara
tangannya terus membubuhkan serbuk halus ke pedupaan. Bau menyan yang keras
dengan cepat memenuhi udara di sekitar tempat Kurdi duduk bersila. Matanya terpejam
rapat. Dan bibirnya komat-kamit membaca mantera.
Tak lama kemudian. tubuh Kurdi berguncang guncang dengan keras.
Butir butir keringat sebesar jagung mulai membasahi jidatnya. Mantera yang keluar
dari bibirnya kian keras dan nyaring pula...
"yaa bardaa. ya guru, ya Marni.?" Berulang kali ia membacakan mantera yang sama.

Lalu:
"Kudatang. Kudatang. Kudatang'"
Asap menyan membubung semakin banyak.
Keringat di wajahnya semakin membanjir. Tubuhnya bergoyang goyang.
berguncang-guncang, gemetar dengan hebat sedangkan kedua lengan yang menekan di
dada jadi kaku dan tegang.
Tiba tiba ia berhenti membaca mantera.
Mata Kurdi pelan pelan membuka. Kepala ia tengadahkan. Menatap langsung ke
arah rembulan yang entah semenjak kapan tau tau telah bersembunyi di balik awan
putih perak yang mengapas di langit. Sinar lemah dari balik awan itu beradu dengan
sinar tajam yang terpancar keluar dan sela kelopak kelopak mata Kurdi yang tidak
berkedip sekejap pun juga. lama ia bersikap seperti itu. tanpa bergeming dari
duduknya, tanpa mengerdipkan mata. bahkan tanpa bernafas sama sekali. Kulit
mukanya mulai kemerahan dan terasa panas. Uap tipis sedikit demi sedikit keluar dari
kulit wajah Kurdi yang basah oleh peluh. beradu dengan asap menyan yang juga
semakin menipis karena Kurdi tidak lagi mengisi dupa dengan serbuk baru.
"Huuuuu'" Kurdi tiba tiba mengeluh dengan suara seperti menangis .
Ia renggutkan wajahnya dari rembulan. menatap ke tanah makam. tepat ke kayu
nisan. Setelah meludah tiga kali ke kayu nisan itu. matanya kembali terpejam. Seketika.
tubuh Kurdi kembali terguncang. Dari mulutnya lepas erang yang tersendat sendat.
"Bangkitlah. Bangkitlah, demi kepuasan hatimu. demi cinta kasihku pada tubuhmu
yang telah sempat menyatu dengan tubuhku. Bangkitlah Marni, sempurnakanlah
kepenasaran jiwamu yang melayang-layang di langit kelam. yang terlunta lunta di alam
baka. yang terkapar di tanah kering". Bangkitlah, Marni. bangkitlah lalu cepatlah kau
kembali. Yaa bardaa. ya guruu. ya Marniiiiii!"
Asap menyan telah habis.
Tetapi pedupaan itu kini tak lagi diam. Dupa kecil itu bergoyang pelan pelan, pelan,
lalu makin keras, kemudian berguling ke sisi waktu tanah yang penuh oleh bunga
rampai tempat dupa tadi terletak. mulai rekah, kemudian terbongkar dengan hebat
seperti ada pacul dan sekop sekop yang tidak terlihat menggerakkan tanah-tanah
makam itu sehingga berhamburan ke sekitar nya. Pada waktu rembulan keluar dari
balik awan, sinar nya kembali menerangi bumi, menerangi makam di depan Kurdi.
Kayu nisan terbalik. kemudian jatuh menganga lebar dan hitam tepat di tempat mana
tadi dupa menyan terletak.
Lalu suara mendesah mulai terdengar.
Bukan dari mulut Kurdi yang kini mengatup rapat. Tetapi suara mendesah itu
terdengar keluar dari lubang besar itu. disusul oleh suara tangis yang pilu menyayat.
tersendat-sendat Suara seorang perempuan!
Sayup sayup. terdengar suara anjing melolong.
Jerit lengking dari lubang menganga, seketika menyentak kesepian malam yang
menyelimuti kompleks pekuburan yang besar dan luas itu. Pada detik yang sama.
sesosok makhluk muncul dari dalam lubang. Sosok tubuh yang terbungkus kain kafan
putih yang telah dikotori tanah. Kain kafan itu robek disana sini pada saat tubuh yang
terbungkus di dalamnya bergerak gerak dengan hebat. Beberapa saat berikutnya dari
bagian atas kain tersembul keluar sesosok tubuh yang pucat dengan pelipis yang
hancur. sepasang mata terpentang lebar seakan akan mau terloncat keluar dari
tahanan sisa sisa kelopak yang hancur.
Kurdi tidak bergerak di tempatnya.
Tubuhnya diam. Kaku Dan dingin. Hanya mulutnya yang kumat kamit membaca
mantera. ia sama sekali tidak melihat bagaimana makhluk itu kemudian berjalan
menjauh dari tempat itu. dengan langkah langkah kaki yang seperti melayang layang di
atas permukaan tanah. .
Makhluk itu pun seperti tidak melihat bahkan tidak perduli pada Kurdi. Berjalan
terus, cepat sekali, makin lama makin jauh, makin lama makin samar dan tiba-tiba telah
lenyap ditelan kegelapan malam.
Angin keras tiba-tiba bertiup dengan kencang.
Kurdi menggigil.
Dari kejauhan. lolongan anjing terdengar kembali. Halus. Menyayat. Lalu tiba tiba
"guuuk. guuuk. guuuk"!" lolongan itu berubah. Pelan mula mula lalu makin keras.
Kurdi membuka matanya, terloncat berdiri pada saat yang sama. Ia melihat ke lubang
menganga. gemetar sesaat, lalu memandang berkeliling. Yang tampak hanya
gundukan-gundukan tanah, semak belukar, batu batu dan kayu kayu nisan yang
berserakan. pohon pohon yang berdiri diam dengan rimbunan dedaunan menunduk
menatap bumi dan" kelap-kelip lampu petromak dikejauhan.
'Hem!" Kurdi memberengut,
Lalu merunduk. Matanya mencari cari. Kemudian juga tangannya. Tak lama. tangan
itu telah menggenggam pedupaan. Sekali lagi ia memandang kekejauhan. ke arah kelap
kelip petromak itu mendatang. Lalu bergegas ia berjalan di antara batu-batu nisan,
meloncati satu dua dari nisan nisan itu dan dengan cepat telah tiba di pintu makam.
Kudanya mendengus keras dengan salah satu kaki belakang berdetak detak dihentak
hentakkan ke tanah berbatu batu. Anjing yang tadi meringkuk di samping roda kereta.
menyambut Kurdi di pintu makam dengan ekor berkibas kibas tak sabar .
Kurdi menyambar tali les.
Tanpa menaiki kereta, ia menarik tali les itu hati hati. Kudanya maklum, lalu berjalan
di atas keempat kakinya hampir-hampir tanpa menimbulkan suara. Roda kereta
berputar. Pelan. Dan anjing itu tak lagi melolong waktu mereka telah bersembunyi
dibalik pepohonan dan semak belukar yang memenuhi pinggir jalan yang
berseberangan dengan kompleks pemakaman. Cahaya pe tromak itu menerangi
beberapa sosok tubuh yang berjalan dengan rapat satu sama lainnya. Waktu akan
memasuki makam. Kurdi mengenal orang yang berjalan paling depan. Ia adalah Pak
Marto. yang mendampingi isterinya seraya memeluk pinggang perempuan itu. Suami
isteri yang sudah tua itu ditemani oleh beberapa orang tetangga dan salah seorang
anak mereka.
Lamat-lamat telinga Kurdi menangkap suara tangis si perempuan yang tersendat
sendat.
Lalu suara Pak Marto yang kesal:
"Sudah. Hentikanlah tangismu. Kita telah tiba di makam...."
Justru sesenggukan perempuan itu kian menjadi.
Suaranya kering dan putus asa waktu mengeluh:
"... biarkan aku. pak. Biarkan aku... "
"Wah, kau bikin suasana duka cita jadi kacau. Tidakkah kau ingin menghormati"
"Pak! Justru... justru karena aku ingin menghormati roh Marni, maka kuminta kalian
menemaniku ke sini malam ini. Oh. Pak. Aku mencintai Marni seperti aku mencintai
anak anak kita yang lainnya. Ia anak baik. Tetapi bernasib malang " suara itu kian
sayup setelah sosok sosok tubuh mereka berjalan di antara batu batu nisan,
menimbulkan bayangan bayangan hitam memanjang dan menari nari kian ke mari.
Namun telinga Kurdi yang ditajamkan masih mendengar keluh kesah si perempuan.
"aku nyesal pak. Tak seharusnya anak kita yang malang itu kita biarkan terbaring
sendirian tadi malam!"
'Wah! Ia kan ditemani Nak Kurdi "
"Penunggu jenazah itu bukan sanak saudara kita. Bukan sanak saudara Marni Pak,
aku .. oh, pak. Percayalah. firasat aneh sepanjang hari ini membuat perasaanku tak
enak. Tidakkah kau pernah memikirkan. dosa-dosa yang telah diperbuat Marni mungkin
membuat rohnya tak diterima oleh bumi' Tidakkah..."
"Hem!" Ditempat persembunyiannya. Kurdi mendengus. 'Celaka. Apa maunya orang
tua itu" Menemani anaknva tidur di kuburan?"
Sambil bersungut sungut. Kurdi menarik tali les kuda. kembali ke jalan dan menjauh
dari tempat itu. Setelah merasa aman. ia kemudian naik ke tempat duduk. Kuda itu
berjalan cepat di atas jalaran yang tak lagi berbatu batu. Anjingnya berlarilari
mengikuti dengan lidah terjulur-julur dan ludah berlendir menetes satu persatu.
berpencaran ditiup angin sebelum jatuh membasahi tanah yang lembab oleh embun.
Dan....
Kurdi menghentikan kereta kudanya waktu jeritan itu terdengar
Jauh sekali.
Tetapi Kurdi bisa mengenal suaranya. Dan malah bisa membayangkan. bagaimana
ibu Marni yang malang, jatuh pingsan dalam pelukan suaminya. Bahkan. mungkin
bersama sama dengan Pak Marto sendiri. Kurdi tengadah. Menatap rembulan. yang
kembali bersembunyi di balik awan. Lalu. dengan sekali pecut yang tak terlalu keras.
kuda di depan tempat duduknya berjalan semakin cepat menembus malam yang pekat di
antara pohon pohon raksasa di kiri kanan jalan....

***

Hartati berbaring gelisah di tempat tidurnya.


Bayinya baru saja tidur di box. setelah menyusu. Entah mengapa, Hartati lebih
senang andaikata bayi itu tidak tidur saja. Biarlah tangisnya memekakkan telinga, asal
Hartati tidak kesepian. Ah. Seharusnya ia tidur di rumah orang tuanya saja. Akan
tetapi. waktu akan pulang ke kampung malam kemarin. Parjo sudah mengatakan bahwa
ia akan kembali malam ini langsung ke rumah mereka. ia tak akan lama di kampung
untuk menghadiri pemakaman adiknya yang bernama Ningsih Sumarni itu. Katanya ia
akan pulang malam ini juga. Tak kuat lama berpisah dengan Hartati. Apalagi dengan
bayi mereka.
Baiklah. Hartati bisa memaklumi perasaan suamiuya. Lebih-lebih setelah Parjo
menegaskan dengan katakata:
"Lagipula. Tati. aku tak ingin nantinya suasana berkabung yang kubawa dari
kampung. ikut mengganggu ketenangan keluargamu."
Kalau memang hanya sekedar itu. memang benar. Tetapi patutkah Parjo menolak
keinginan keluarga Hartati, agar ada salah seorang di antara mereka, yang ikut ke
kampung untuk menemani Parjo" Hartati sendiri. betapa ingin. Ia belum pernah
bertemu dengan keluarga suaminya, demikian pula kedua orangtua Hartati. Selama ini,
mereka terpaksa menyerah pada kemauan Parjo. Karena perkawinan laki laki itu
dengan Hartati, tanpa setahu kedua orangtuanya. Konon, parjo telah dicalonkan
dengan salah seorang anak famili, dan orangtua Parjo berulangkali menekankan agar
pilihan Parjo tidak jatuh pada perempuan lain. Bahkan persiapan Untuk perbesanan itu
telah lama, tinggal menunggu Parjo memberikan lampu hijau saja .
"Selama ini kuulur ulur waktu saja. Aku tak setuju dan tidak mencintai sama sekali
calon orangtuaku itu. Dengan alasan aku belum punya pekerjaan dengan penghasilan
yang bisa menghidupi rumah tanggaku. orangtuaku dan besan mereka terpaksa
mengalah. Jadi. bisa kau bayangkan bagaimana murkanya mereka kalau tahu pilihanku
telah jatuh pada perempuan lain." demikian Parjo pernah menjelaskan,
"Lantas. kapan aku kau perkenalkan pada orangtuamu?" tanya Hartati.
'Tunggulah. Semurka murkanya orang tua, kalau sudah disodorin cucu, toh akan
menyerah juga."
Dan kini. Parjo dan Hartati telah punya bayi. Orangtua laki laki itu telah punya cucu.
Tinggal menunggu waktu saja. Sampai kesehatan Hartati pulih setelah melahirkan. Dan
bayi mereka cukup kuat mereka rencanakan akan berangkat bersama sama ke kampung
ditemani oleh kedua orangtua Hartati. bahkan dengan beberapa sanak keluarga lain.
Biar ramai. Biar orangtua Parjo tidak sempat marah dan bikin ribut sehingga malu
sendiri di hadapan sekian banyak tamu. Yang telah jadi besannya pula lagi. Dan telah
membawa kado yang paling menarik, hadiah yang tiada duanya dari anak sulung
mereka: seorang cucu yang mungil dan manis seperti ibunya. tetapi tak seperti
ayahnya!
Hartati tersenyum kecut.
Memandang ke box. ia lihat bayinya tertidur dengan lelap.
Betapa nikmat. Makhluk kecil yang polos itu. tidak tahu apa yang harus dihadapi
orangtuanya. Tidak tahu, apa yang membuat ibunya malam ini begitu gelisah. Hartati
sendiri memang tidak tahu juga Mengapa" Kecewa" Karena sebelum rencana untuk
beranjang sana tercapai, telah terjadi musibah yang memilukan itu" Demikian
memilukan. sehingga waktu menerima interlokal dari kampung, Parjo sampai sempat
pingsan dengan butir butir air melelehi sudut sudut matanya!
Apakah arti Nengsih Sumarni buat Parjo"
Sekedar adik"
Tetapi Parjo pernah menceritakan, Nengsih atau Marni itu adalah adik angkat.
Pertalian itu tidak wajar. Tampaknya kalau dihubung-hubungkan dengan suasana
ganjil yang berlangsung selama perkawinan mereka. Parjo yang suka mengigau waktu
tidur. Menyebut nyebut nama adiknya, Marni, disertai kata kata "kasih" atau "sayang".
Yang bila ditanya Hartati setelah suaminya terbangun, dijawab Parjo dengan tandas:
"Ia anak malang. Ditinggal mati kedua orangtuanya. Wajar toh kalau tidak saja
orangtuaku. tetapi aku juga mengasihi dan menyayangi Marni?"
Demikian merasa wajarnya Parjo. sampai kadang kadang diwaktu mereka berada di
meja makan dan Hartati menghidangkan sesuatu. Parjo tiba tiba nyeletuk.
'Wah. sayur asam itu kesukaan Marni."
Atau, waktu terbangun karena impian buruk di tengah malam. Parjo menyentuh
pundak Hartati seraya berbisik.
'Marni, Marni sayang. Aku mellhat kita...."
Betapa kasihnya Parjo pada Marni.
Dan betapa sakitnya hati Hartati!
Suara berderit dari box menyadarkan Hartati dari lamunannya. Ia menoleh. Melihat
bayinya menggeliat. dan tiba tiba menangis. Hartati bangkit cepat cepat dari tempat
tidur. Berjalan ke box. menepuk-nepuk paha bayi itu dengan lembut dan penuh kasih,
mengusap usap wajahnya dengan rasa cinta. Tetapi sang bayi terus menangis. Malah
semakin keras. Kedua kaki dan kedua tangannya menyentak nyentak Waktu Hartati
mengangkatnya, ia lihat kain lapis kasur box. basah kuyup. dan juga merasakan hal
yang sama di popok anaknya.
"Hussy. pipis saja kok ribut banget!" celetuk Hartati.
Ia merasa agak tenang setelah memangku bayinya.
Cepat-cepat p0pok anak itu ia ganti. Meskipun ia ingin kesepian malam itu diusir oleh
tangis anaknya, toh akhirnya ia tidak sampai hati. Ia susui juga bayi itu. Untuk tidak
sampai resah sendiri, bayi itu tidak ia tidurkan kembali di box, melainkan di atas
tempat tidurnya sendiri. Setelah merasa mulutnya menempel di putik susu ibunya. sang
bayi rupanya merasa nyaman dan enak. lantas tertidur kembali. Hartati melepaskan
mulut bayi dari putik susu. Lalu merebahkannya di sampingnya Ia pandangi bayi itu
berlamalama. Dan sekali, tercetus tanya dari mulut:
"Sungguh sungguhkah ayahmu mencintaiku, nak"'
Habis berkata begitu. mata Hartati terasa perih. Ia memejamkannya.
Dan kegelisahan itu kembali menerpa.
Ia coba memejamkan mata. Gagal. Melirik ke jam antik yang terletak diatas buffet
kamar, ia lihat jam sudah menunjukkan pukul dua lewat tengah malam. Mengapa Parjo
belum kembali" Apakah ia mengalami sesuatu di jalan" Atau" ya. Barangkali, kematian
adik angkatnya yang bernama Nengsih Sumarni "terkasih" dan "tersayang" itu
membuat Parjo betah tinggal di kampung.
dan lupa kata-katanya sendiri bahwa ia tidak bisa berjauhan lama-lama dengan isteri
dan anaknya. Sekujur tubuh Hartati tiba tiba terasa dingin.
"Hem." ia bergumam sendirian. "Kalau ia tak pulang malam ini, baiklah. Aku akan
nekad menyusulnya besok. Kalau perlu. anaknya akan kubawa serta. Biar dia sadar
dan...."
Dan kecemburuan melecut lecut hatinya dengan cepat.
Tetapi. bukankah Marni itu adik Parjo"
Mengapa ia harus cemburu"
Mengapa Hartati harus didera oleh prasangka buruk dan takut yang tidak beralasan"
Hartati mengerang sendiri .
Hatinya teramat sakit. Sakit sekali. Celakanya. matanya tidak juga mau terpejam.
Kesal. ia duduk mencangkung di tempat tidur. Berpikir keras. Dan tiba tiba tersenyum.
Dan berbisik pada dirinya sendiri.
"Bodohnya aku ini. Tentu saja aku tidak bisa tidur. Bukankah aku harus membukakan
pintu untuk Parjo?"
Persis ia habis berkata begitu. terdengar ketukan ketukan halus di pintu depan.
Hartati terkejut karena ketukan itu begitu tiba tiba.
"Parjo!" bisiknya kemudian, lantas meluncur cepat cepat dari tempat tidur. berjalan
ke luar kamar dan bergegas ke ruang depan. Sebelum membuka pintu. terlebih dahulu
ia menekan tombol lampu. Tetapi ia salah pijit. Yang tertekan adalah tombol lampu
ruang depan di mana ia berada sehingga jadi terang benderang seketika. Padahal yang
ia maksud adalah menerangi terras di luar. Tetapi apa perdulinya" Yang penting Parjo
telah pulang. Lampu tak akan jadi persoalan!
Ketukan itu tak terdengar lagi.
Sesaat, Hartati ragu. Jangan jangan, tadi ia salah dengar. Bukankah kalau pdang ke
rumah, selain mengetuk pintu. Parjo selalu memanggil manggil namanya" Barusan.
ketukan itu begitu halus. tidak keras seperti biasa. Tiada suara memanggil. Dan ketukan
itu sendiri."
tidak berulang lagi. Atau. memang tidak ada ketukan sama sekali.
"Ah. mungkin suamiku teramat lelah. dan lupa kebiasaannya..." pikir Hartati.
Pada saat itu. kecemburuan yang tidak beralasan dan kerinduan yang teramat sangat
pada suami. telah membuat Hartati lupa akan keselamatan dirinya sendiri. Ia yakin
suaminya telah kembali .Ia yakin Parjo yang mengetuk pintu. Dan ia merasa kasihan.
tentulah Parjo teramat lelah sehingga kini hanya tersandar diam di bendul bagian luar
dengan tubuh lesu, lelah dan kedinginan. Tak ayal lagi. kletak! Kunci diputarkan. Lalu.
brai! Pintu ia buka.
Angin dingin menerobos masuk ke dalam.
Dingin sekali.
Hartati menggigil. Dan keberaniannya ciut seketika. waktu ia tidak melihat siapapun
di depan pintu. kecuali sinar lampu yang menerobos keluar menerangi terras. menjilati
vas dan bunga kaktus. lalu kerikil kerikil putih kekuningan. Selebihnya. gelap semata.
Gelap gulita. Tidak. Bukan saja kegelapan. Tetapi juga angin yang teramat dingin itu.
meniupkan semacam bau tak enak. Mula mula hanya sedikit. Tetapi setelah ia hirup bau
tak enak itu lebih banyak. perutnya terasa mulas. Ia mencium bau busuk. Bau bangkai!
Dan sesosok bayangan tau tau telah berdiri di hadapannya .
Bayangan itu menyeringai. Di mulutnya yang rusak. dan disepasang mata yang
terpentang lebar, tanpa kelopak, serta pelipis yang hancur....

***
LIMA
Parjo membelokkan mobil memasuki pekarangan rumahnya dengan suara ban
berdecit nyaring dan kerikil yang ribut waktu mobil itu berhenti tepat di depan teras.
Sejak ngebut dari kampung selama berjam jam. Parjo dihinggapi perasaan ganjil yang
tidak menentu. Kehilangan Marni yang tidak ia sangka sangka seakan telah merenggut
sebagian jiwanya. Tetapi kematian adik angkat yang sempat hidup sebagai suami isteri
dengannya. yang begitu mengerikan. membuat Parjo tidak saja tak sanggup melihat
mayat Marni. akan tetapi juga tidak kuat berlama lama di kampung. Segera setelah
pemakaman selesai. ia langsung mengebut mobilnya pulang ke kota. Semakin dekat ke
rumah, semakin cepat mobil ia larikan. Dan anehnya, Sesuatu perasaan ganjil itu kian
menggila.
Mesin mobil sudah ia matikan .
Tetapi lampu depan. masih Ia nyalakan. Lampu mobil yang terang benderang itu.
menangkap sesosok bayangan tubuh langsing dan padat dengan liku liku tubuh yang
menggiurkan terbayang di balik kimono tidur yang tipis, tengah berdiri tegak di
ambang pintu. Parjo berusaha menekan perasaan ganjil yang menghantuinya semenjak
dari kampung, lantas mematikan lampu dan keluar dari mobil. Lalu berjalan di atas
kerikil dengan suara ribut yang ditimbulkan oleh sepatunya. Angin malam yang dingin
membuat kulit wajah Parjo terasa kaku. Ia melangkah ke teras. berjalan ke arah sosok
tubuh itu masih tetap berdiri di tempatnya. Terpaku diam. dengan wajah pucat pasi.
dan sepasang mata memandang jauh ke depan. Teramat jauh. Melewati bahu Parjo.
melewati mobil di depan. melewati pekarangan. melewati pagar halaman, melewati
jalan raya yang sepi. bahkan seperti
melewati kegelapan yang tidak bertepi..
Parjo tercengang.
Ia sentuh lengan perempuan itu.
"Tati?"
Tak ada sahutan.
Bingung, Parjo kemudian menepuk nepuk pipi Hartati. Dari menepuk, lantas
memeluk. Sambil memeluk. juga mencium. Barulah kemudian ia merasakan gerakan
pada tubuh si perempuan. Ia harapkan. gerakan itu adalah gerakan kerinduan. Lengan
lengan halus mulus yang balas memeluk, dan bibir hangat berapi yang balas memagut.
Tetapi. yang diperoleh Parjo adalah apa yang sama sekali tidak ia duga.
"Plak!" Sebuah tamparan deras hinggap di pipi Parjo.
Hartati meronta dari pelukan sang suami, dan sambil menjauh mulutnya melepas
cerca:
"Jadah!"
"Tati!" Parjo terkejut dan bengong. Ia cepat cepat masuk, menutupkan pintu lalu
berjalan mendekati isteri nya dengan pikiran bahwa Hartati hanya bersandiwara.
sedang mengajak guyon. Baru juga selangkah. Hartati sudah berdesis:
"Jadah. Diam di situ. Jangan sentuh aku. laki laki berjiwa kotor!"
"Hen..."
"Apa" Mau merayu" Terkutuk! Pencinta yang palsu dan menjijikkan! Setelah puas
mencicipi tubuhku, kau lari ke perempuan lain!" perempuan itu mendengus. Parjo
menyadari sesuatu di antara rasa kejut dan panik yang menyerangnya tiba tiba. Sesuatu
yang membuat darahnya tiba tiba dingin. Matanya melihat tubuh Hartati, namun
telinganya menangkap suara Nengsih Sumarni! Belum juga ia bisa mempercayai
penglihatan dan pendengarannya. tau tau perempuan itu telah berlari masuk ke kamar
tidur. Waktu keluar. bayi mereka telah berada di tangan Hartati. Bayi itu terpekik dan
menangis keras "
karena dibangunkan dengan kasar dan secara paksa.
"Gumpalan daging dan darah kotor inikah yang mengguna gunaimu, eh?" jerit si
perempuan seraya mengangkat bayi itu tinggi-tinggi.
Parjo terkesiap.
'Jangan sakiti anak itu!" teriaknya. lalu meloncat ke depan. ia berusaha menyambar
bayi dari tangan Hartati. akan tetapi isterinya berkelit dengan cepat. Sambil menjauh,
si perempuan tertawa mengikik, membuat bulu roma di pundak Parjo pada berdiri.
Sesaat ia kehilangan keseimbangan badan, tetapi waktu melihat bagaimana Hartati
kembali mengangkat bayi yang menangis menjerit jerit itu tinggi tinggi lalu siap untuk
dihempaskan ke lantai, maka Parjo menjadi nekad. Seraya menerjang, ia tendang salah
satu lutut si perempuan .
Hartati terpekik kesakitan.
"Jadah! Jadah' Kau menyiksaku'" ia memaki maki. Badannya agak lunglai oleh
tendangan itu sehingga waktu Parjo mengembangkan kedua lengan ke depan. Hartati
tidak sempat lagi mempertahankan anak yang ia pegang. Parjo telah merenggutnya
seketika. memeluk dan mendekapkannya ke dada seraya membujuk sang bayi dengan
kata kata manis dan penuh kasih sayang .Akan tetapi tangis si bayi tidak juga reda.
Kulit bayi itu pucat, dan anggota-anggota tubuhnya melejat lejat keras. Dengan panik
Parjo terus membujuknya. Ia sama sekali tidak memperhatikan bagaimana Hartati telah
berdiri tegak kembali.
Dengan seringai lebar di mulutnya. si perempuan mengumpat:
"Berikan dia padaku Parjo. Ia anakku!"
Parjo tak perduli.
"Berikan padaku. Parjo. Berikan..." suara si perempuan melemah kini. Suara yang
letih, suara yang minta dibelas kasihani. Suaranya yang asli. Parjo memperhatikan
isterinya. ragu ragu sebentar maju kemudian menyodorkan si bayi untuk diambil
kembali oleh Hartati. Si perempuan maju dengan wajah masih memelas. Namun begitu
jari-jarinya menyentuh tubuh anak itu. seketika seringai di mulutnya melemparkan
bayangan muak yang mengerikan. Ia cengkeram salah satu kaki bayi itu. berusaha
menariknya. dan di antara tawanya yang mengikik ia menjerit:
"Lepaskan! Biar kubunuh dia. Lepaskan. Parjo. Lepaskan!"
Parjo tersentak mundur.
Malang. salah satu kaki sang bayi masih dibetot oleh isterinya. Anak itu menjerit
lengking oleh siksaan yang teramat sangat itu. Jeritannya menggugah hati Parjo
sebagai lelaki. Sebagai seorang ayah yang memiliki naluri untuk membela darah
dagingnya.
"Perempuan tak tahu diri" Ia bersunguta Bersamaan dengan itu, kakinya menendang
sekali lagi. Pegangan Hartati mengendur. Parjo menendang sekali lagi. Pegangan itu
lepas kini. Parjo berharap si perempuan meringkuk atau menjauh kesakitan sehingga ia
bisa berlari ke kamar untuk menyelamatkan si bayi dari amukan ibunya yang
bertingkah laku aneh itu. Tetapi Hartati masih berdiri tegak di atas kedua kakinya
dengan seringai yang semakin mengerikan di mulut. Sepasang matanya merah berapi
api. Dengan kaki terpincang pincang akibat kena tendang. ia merangsek ke depan.
Kedua lengan terjulur memperlihatkan jari jemarinya yang dalam keadaan lain lentik
dan manis akan tetapi saat itu di mata Parjo tampak bagai cakar kera dengan kuku
kuku panjang yang mengancam.
Dalam keadaan panik oleh perubahan yang aneh pada tingkah laku isterinya, Parjo
masih punya kesadaran untuk berusaha tenang. Sambil mundur perlahan-lahan menuju
ke kamar. ia mencoba tersenyum.
Kaku memang. tetapi bagaimanapun ia harus tersenyum.
'Tati. ada apa dengan kau?"
"Hhheeeegghhh...!" geram si perempuan.
"Tati. dengarlah. Kautak sadar dengan apa yang kau perbuat, bukan?"
"Hiii'"
"Hartati. sayangku kau?"
"Sayangku! Sayang nenek moyangmu. babi terkutukl' jerit si perempuan begitu
mendengar ucapan yang lemah lembut dan penuh rasa sayang keluar dari mulut Parjo.
Seluruh tubuh perempuan itu gemetar dengan hebat. Peluh tidak saja telah membanjiri
wajahnya. akan tetapi juga menguyupi kimono tidur yang ia kenakan. Lekak lekuk tubuh
yang menggairahkan terlebih lebih karena baru melahirkan anak pertama itu, sama
sekali tidak lagi menarik di mata Parjo. Perempuan itu tak ubahnya makhluk yang
menteror diri dan bermaksud menciderai bahkan ingin membunuh anaknya. Anaknya!
Darah dagingnya sendiri!
Dalam hati, ia berbisik dengan perasaan ciut' "Kau kesurupan, sayangku. Kau
dimasuki setan... setannya Nengsih Sumarni '
Tiba pada pikiran itu. rasa takut menggerogoti jiwa Parjo.
'Tidaaaak!' ia berteriak. 'Kau adalah Hartati. Kau adalah isteriku. Kau adalah ibu
anak ini. Dengan ini anakmu. Tati. Ini anakmu. Ingatlah! Ingatlah. Tati! ini anakmu!"
"Yiiiieeeee'" Si perempuan memekik lengking lantas menerkam ke depan.
Reflex saja. Parjo menghindar.
Gerakan tubuh si perempuan demikian keras dan cepat. sehingga waktu Parjo
mengelak. tak ayal lagi Hartati doyong ke depan, meluncur ke tembok. Terdengar suara
berdebuk yang lembab dan keras. disusul oleh keluhan lirih. suara tubuh terjerembab
jatuh ke lantai. Dengan dahi remuk oleh hantaman tembok. perempuan itu masih
berusaha berdiri. Darah merah mengalir dari luka menganga di dahinya, menetes
membasahi kelopak dan membuat bola matanya semakin menyala nyala. Parjo menelan
ludah.
Ia terpukau diam di tempatnya berdiri.
ia ingin lari. Tetapi kakinya bagai terpacak ke lantai. Ia ingin menjerit minta tolong.
Tetapi lidahnya kelu membeku.
Akhirnya. dengan tangan gemetar memeluk bayinya yang tiba tiba terdiam dengan
tanpa sesuatu sebab. ia memasrahkan dirinya pada Tuhan. Apapun yang akan terjadi,
ia tampaknya tidak bisa lagi mengelak. la ingin mencubit pipinya keras keras untuk
meyakinkan bahwa semua ini hanya impian buruk belaka. Tetapi tidak saja ia tak ingin
melepaskan pelukannya yang kencang pada tubuh anaknya yang sudah diam tak
bergerak gerak lagi, akan tetapi juga, karena ia sama sekali tidak bisa meng gerakkan
apa pun lagi dari anggota anggota tubuhnya. Bahkan. bernafas pun Parjo seperti tidak
mampu:
Lalu:
"Parjo..." suara Hartati yang memelas. menyentuh tekak telinganya.
Parjo tergugah.
'Apa yang terjadi denganku Parjo" Apa. sayangku" Aku ..'aku. ." tubuh si perempuan
lunglai. Ia berlutut di lantai, dengan darah yang semakin banyak menetes memerahi
wajahnya, memerahi kimononya. memerahi iubin. "Parjo. Mendekatlah ke mari,
suamiku. Ini aku. Hartati! Demi Tuhan, Parjo, ini aku Hartati. Mengapa kau
memandangku seperti itu...?"
Perlahan lahan kesadaran Parjo muncul kembali.
"Tati..." bisiknya.
"Kemarilah. Parjo. Tolonglah aku."
Parjo melangkah. Berusaha melangkah. Dan ia berhasil. Satu Dua. Tiga. Dan ia kini
berdiri di depan isterinya yang masih berlutut di lantai. Pandangan mata si perempuan
sangat memelas. Begitu putus asa. Begitu kebingungan. seolah-olah rasa sakit yang
tengah ia derita.
sama sekali tidak ia rasakan. Tangan si perempuan terangkat. Lemah. Dan gemetar.
Pucat. Jari jemarinya lentik dan lembut. Tak berdaya. Berusaha membelai paha
suaminya. dan berusaha mendekapnya.
Parjo ikut berjongkok.
Mereka bertatapan sesaat Kemudian. pada waktu yang bersamaan. menatap pula bayi
dalam pelukan Parjo. Anak itu diam. Tiada gerakan sama sekali. Lengan lengannya
terkulai. Kaki-kakinya terkulai. Wajahnya masih menekap didada Parjo. Menekap
rapat. sedari tadi. Demikian rapat. sehingga anak itu tidak bisa bernafas sama sekali.
Seketika. darah Parjo tersirap. Ia kembangkan kedua lengannya. Seolah olah ia ingin
menempatkan bayi itu di antara dia dengan isterinya. Untuk mereka peluk bersama.
Untuk mereka kasihi bersama.
Namun yang keluar dari mulut Parjo. bukan bujukan sayang.
Melainkan:
mati!"
Hartati tengadah. Menatap tajam ke mata suaminya.
"Ya?" suaranya hilang hilang timbul .
"Anak kita telah mati. Mati oleh tanganku sendiri"
Wajah Hartati yang letih dan pucat, mengapas kini.
"Tidak..." desahnya. Lalu: "Tidaaaaak!" jeritnya. Ia sambar anak itu. Ia perhatikan
dengan sepasang mata terpentang lebar. Memandang tidak percaya. Mulutnya
menceracau panik: "Anakku. bangunlah. Bangunlah nak... ini ayahmu. Ini ayahmu.
anakku. Ia telah pulang. Ia telah kembali padaku. padamu. pada kita.... Anakku,
mengapa kau tak menjawab" Mengapa" Mengapaaa?" Ia goncang goncangkan tubuh
bayi yang masih hangat di tangannya. Diam. Tetap diam. Jangankan bergerak. Tangis
pun tidak. Nafaspun tak lagi terhela.
Parjo berdiri.
ini hanya impian buruk. bukan" Tanyanya pada diri sendiri. Katakanlah. Ini hanya
impian buruk, bukan"
Hartati mengerang
"Tidak. Tidak mungkin." lalu. belakang kepalanya ia
bentur-benturkan ke tembok. Ia benturkan berulang kali.
Sambil menangis terisak-isak. Setelah puas membenturkan kepala ke tembok. ia peluk
bayinya rapat-rapat. Ke dada. Kancing atas kimononya dibuka. Dadanya segera
tersembul keluar. Keras dan kencang.
"ini, nak. Menyusulah. Hayo. jangan menangis lagi ya. Ini, ayo. menyusulah..." lantas
seraya memaksakan putik payudaranya masuk ke dalam mulut mayat bayi itu. ia
tertawa. Tertawa terkekeh-kekeh. Habis tertawa, ia menangis. Puas menangis, ia
tertawa. Makin lama. suaranya makin lemah. Makin lama. tubuhnya makin lemah.
Akhirnya. tubuh perempuan malang itu, lunglai. Terjerembab di lantai. Pingsan.
Sekujur tubuh Parjo dingin. Dingin. Teramat dingin.
Lehernya menekuk.
Memandang ke bawah. Ke tubuh isterinya. Ke tubuh anaknya.
Sepi menyentak.
Lama
Lalu lagi:
"Parjo?""
Tubuh isterinya terdiam. Masih bernafas. Akan tetapi. mulutnya mengatup
"Kang Parjo?" desah itu terdengar lagi. Lirih. Sayup sayup. "Aku di sini, kekasih "
Pelan-pelan Parjo memutar tubuh.
Dan ia melihatnya.
"Nengsih . ."
"Aku bukan adikmu. Aku kekasihmu.?"
"Marni...."
"Nah, begitu. Aku lebih menyukai kau memanggilku dengan nama itu. Sekarang.
marilah kita tinggalkan tempat ini. sayangku..."
"Tetapi... tetapi?"
"Mengapa heran" Aku toh selalu menyimpan pakaian pengantin yang selalu
kukenakan pada malam malam pertama kita hidup Serumah dulu... apakah aku masih
tetap cantik, Parjo?"
Perempuan itu berputar-putar. Perlahan sekali gerakannya, seperti digerakkan oleh
gemulainya Pakaian pengantinnya yang putih gemerlapan, berkibar lembut kian
kemari. Tubuhnya penuh daya pesona. Wajahnya yang cantik, tampak amat cemerlang.
Dan sinar ajaib mengelilingi dirinya. Sinar cinta. Sinar kasih. Paijo menelan ludah.
Kekuatan gaib menarik dirinya untuk mendekati perempuan itu, berusaha memeluknya.
Akan tetapi Marni mundur ke pintu. Parjo tertegun. Di sana. ia menoleh ke belakang. Ia
berada antara sadar dan tidak. Ia dipengaruhi kemunculan Nengsih Sumarni.
Ia justru juga melihat, Hartati dan anaknya .
Terbaring diam di lantai.
"Sudahlah. Kang Parjo. Anak itu lebih baik mati, daripada hidup terlunta lunta.
Bukankah kita tidak diperkenankan punya anak selama ini'" Biarkan ia. sayangku.
Biarkan ia tidur tenang dan abadi...."
Mata Parjo terpantul ke tubuh Hartati.
"Ah. Kau masih sayang padanya" Jangan membuatnya cemburu dan kembali sakit
hati, kekasih. Hartati masih hidup. Sayang. Ia berlaku bodoh. Syaraf mata dan otaknya
rusak. Ia tidak akan melihat apa apa lagi, bila ia sadar. ia tidak ingat apa-apa lagi. bila
kesehatannya pulih. Ia akan melupakanmu. Melupakan anaknya. Sudahlah, mari kita
tinggalkan tempat terkutuk ini !.."
Parjo menoleh ke arah bayangan putih cemerlang di antara kegelapan itu.
"Kau memasuki jasadnya tadi, Marni?"
Nengsih Sumarni tersenyum .
Lembut sekali .
"Aku hanya meminjamnya sebentar.' jawabnya.
Parjo menelan ludah.
"Kudengar suaramu tadi....'
"Sudah kubilang, aku meminjamnya sebentar. Sayang, Hartati tak begitu kuat. Aku
berhasil menguasainya. pada saat pertama kali berpandang mata di sini. Di ambang
pintu ini. Ia menunggumu waktu itu. Mengira kau yang pulang dan...."
"Dan kau mendahului aku!"
"Salahkah aku. sayangku?" senyum di bibir merah merekah itu mengembang.
Parjo menarik nafas. Salah, jerit hatinya dengan nyeri.
"Kemana aku akan kau bawa?" tanyanya.
"Kemana" Jauh. sayangku. Jauh. Ke tempat di mana, kita hanya hidup berdua Ke
tempat di mana, cinta kita akan abadi selamanya. Tidak ada orang yang akan melarang
kita untuk memadu kasih. Tidak ada orang yang akan mengurut dada. karena ingat kau
dan aku satu susu. dari seorang ibu.... O. tidakkah semua ini begitu menyakitkan,
Parjo" Tidakkah?" suaranya berubah ke cewa. "Kau lari ke perempuan lain. Aku tak
mampu berpisah denganmu. Tak sanggup melihat kau dalam dekapan perempuan itu.
Lalu aku pergi ke rel itu. Sudah kau dengar ceritanya, bukan" Sesaat, aku masih
raguragu. Dan ketika kereta api itu datang, aku tidak terjun ke depan, tetapi juga tidak
mau mundur. Maka aku disambar oleh moncong lokOmOtip yang mengerikan itu. dan...
dan.?"
Sepasang mata perempuan yang masih berputar melayang layang itu. berkilat kilat.
"Sesuatu yang lebih mengerikan telah menimpaku. kekasih."
"Sesuatu yang lebih mengerikan" Pario mengulang, dan tidak sadar ia terus
melangkah menembus kegelapan subuh di luar rumah. Sepi dan dingin. Tetapi ia tidak
merasakannya. Ia hanya melihat bayangan kekasihnya yang mengenakan pakaian
pengantin yang cemerlang itu. Ia mengikutinya, dan tidak teringat sama sekali untuk
bertanya lagi. kemana mereka akan pergi.
Marni merintih. Sedih. Katanya
"Laki-laki itu telah menjamah tubuhku."
Kecemburuan meledak di dada Parjo.
"Laki-laki" Laki-laki yang mana?"
Marni tertawa Kecut.
"Ah. Tak usah kau berprasangka buruk. Aku hanya
mencintai dirimu seorang. Hanya mau dijamah oleh kau seorang. Tetapi laki laki itu...
aku tidak sanggup melawan kekuatan dahsyat yang terpancar dari sorot mata. yang
mengalir lewat tetes-tetes darahnya.... Lagipula. aku terpaksa menyerah. Dengan
syarat, ia mau membangkitkan aku kembali untuk bisa menemuimu dan.?"
"Siapa laki-laki itu, Marni?"
"Kurdi...."
Parjo tertegun. Waktu itu. ia tertegun. Tepat di tengah jalan besar yang lengang, tak
jauh dari sebuah pengkolan. Ada suara mengguruh dari kejauhan. Lalu sinar lampu
yang samar-samar....
'Maksudmu, si penunggu jenazah?" dengus Parjo.
Marni mengangguk.
"Tetapi. kapan, Marni" Bukankah kau belum pernah"."
'Malam itu. kekasih. Malam di mana kau tidak mau melihat jenazahku. Malam di
mana kau justru lari bersembunyi di rumah lain. meninggalkan aku dikamar. Sendirian,
dengan si penunggu jenazah. Seharusnya kau melindungiku. Ia tak akan berani berlaku
tak senonoh. andaikata kau ada di dekatku... "
"Bangsat!" Parjo memaki "Akan kubunuh binatang itu!"
' "Kita. sayangku. Kita akan sama sama membunuhnya. Arwah kita harus bersatu.
Kutuk yang menimpa diri kita, akan merupakan kekuatan ampuh yang tidak akan
mampu ia tolak"."
"Arwah" Maksudmu, aku
Marni mengikik.
Dan sinar lampu itu mulai berputar di pengkolan. Suara mengguruh itu kian menderu,
disertai suara mendecit decit lengking. Bunyi ban beradu dengan aspal oleh tekanan
kekuatan berlari yang tidak dikurangi. Parjo mendengarnya. mengetahui bahaya yang
mengancam. Tetapi sesuatu membuat ia tetap tertegun di tempatnya berdiri. Sesuatu
yang mengerikan. Perwujudan Nengsih Sumarni yang cantik jelita dalam pakaian
pengantin yang
berkibarkibar cemerlang. tau-tau saja telah berubah jadi perwujudan mayat marni yang
rusak. terbungkus kain kafan yang porak poranda .
"Ikutlah denganku sekarang. Parjo!' jerit si perempuan, lengking, disusul oleh tawa
mengikik.
Bayangan makhluk itu lenyap. Dan bayangan lain muncul.
Sebuah benda besar. Besar dan hitam. Tak ubahnya makhluk raksasa yang kejam dan
tidak kenal ampun. Parjo menjerit. Bunyi rem, terdengar mendecit decit. Terdengar
suara benturan keras. Dan sebuah truck pengangkut kayu, tiba tiba berhenti setelah
lebih dulu menyeret tubuh Parjo yang luluh lantak sepanjang beberapa meter....
Seseorang melompat turun dari dalam truck.
Berlari ke belakang. dan melihat mayat yang hancur berlumur darah itu.
"Ada apa?" seru seorang lainnya yang ikut turun.
"Celaka?" bisik orang pertama.
Sebuah pintu dari rumah terdekat, dibuka dengan tiba tiba. Ada cahaya lampu
menerjang ke arah jalan.
"Wah...." dengus orang pertama yang keluar dari truck, dengan suara cemas "Ayo,
cepat naik kembali."
Dan begitu mereka telah berada di tempat duduknya masing-masing. mesin truck
kembali menderum. Dan makhluk raksasa yang besar dan berat itu, kabur dengan
kecepatan tinggi .

***

ENAM
Senja baru saja jatuh. Penduduk kampung seperti biasanya tengah berkumpul dengan
keluarga masing masing. Pak tani baru saja pulang dari sawah. dengan pacul
terpanggul di bahu. Ternak ternak telah bermasukan ke kandang. Warung-warung yang
masih buka telah mulai menyalakan lampu, Dan adzan baru saja hilang dari mesjid.
meninggalkan gaung yang seolah olah masih menggema di anak telinga. Jalanan
kampung mulai sepi. Hanya satu dua orang yang masih lalu lalang. dan sekelompok
anak-anak muda tanggung tengah bercengkerama di dekat balai desa. Seorang
perempuan setengah baya dengan suntil di mulut dan kemben membelit sebatas dada,
berseru memanggil nama beberapa orang anak anaknya yang masih main kelereng di
depan rumah tetangga.
Temarampun turun.
Lengang sudah jalan, ketika kereta berbentuk aneh itu muncul memasuki mulut desa.
Meskipun ditarik seekor kuda, jelas itu bukan kereta atau andong. Karena tempat
duduknya hanya satu, di depan Seorang laki laki setengah umur, mengenakan kemeja
gunting cina dan celana katun warna hitam sampai batas setengah betis dengan kaki
telanjang. duduk kaku di atasnya. Sebelah tangannya bersembunyi di balik sarung yang
melingkari punggung sampai perut, untuk menahan udara senja yang teramat dingin.
Sebelah tangannya yang lain, memegang tali les yang menjuntai seenaknya.
Di depannya, kuda besar berkulit hitam legam itu, berjalan di atas keempat kakinya
tanpa tergesagesa. Di belakang tempat duduknya. di bak kereta. terbaring diam sebuah
peti empat persegi panjang yang lebar serta panjangnya hampir sama dengan bak
kereta. Peti itu tertutup. Terbuat dari kayu jati yang peliturnya telah mulai luntur di
sana-sini, sehingga tampak kesat dan kusam.
Roda-roda kereta berderak waktu melalui jalanan berbatu. Dan menimbulkan bunyi
lembut yang aneh ketika berputar di atas jalan bertanah keras dan licin berdebu.
Di antara debu-debu yang beterbangan, berlari-lari seekor anjing yang juga berkulit
legam dan hitam sebesar anak macan. Ekornya meringkuk di belakang kedua kaki
belakangnya, sementara dari moncongnya yang bergigi-gigi tajam kekuningan, terjulur
keluar lidah panjang kemerahan yang basah berlendir.
Benar-benar sebuah pemandangan yang tak bisa dikatakan nyaman. Namun
orang-orang hanya sepintas lalu memperhatikannya. Karena pendatang berkereta kuda
dikawal anjing besar itu, sudah cukup dikenal oleh seantero penduduk daerah di sekitar
itu. Dan mereka pun sudah tahu maksud kedatangannya senja hari itu. Acuh tak acuh
saja kusir kereta duduk di tempatnya, dan sang kuda seperti tidak perduli akan suasana
di sekitarnya. Kereta itu melaju tidak terlalu cepat namun tak pula lambat, membelah
jalan desa, memecah kesepian senja.
Setelah satu belokan, kereta itu kemudian berhenti di depan sebuah rumah sederhana
berpekarangan sempit. Demikian sempitnya, sehingga halaman rumah satu-satunya
yang masih menerima kehadiran banyak-orang yang hilir mudik keluar masuk, jadi
penuh sesak. Orang-orang itu menyingkir waktu laki-laki bermuka pucat tadi turun dari
kereta.
Seseorang datang menyongsong.
"Besar sekali terima kasih kami, Pak Kurdi mau datang." Kurdi mengangguk seraya
tersenyum. Sedikit, cuma. Ia masuk ke dalam rumah diikuti pandangan semua orang.
Masih acuh tak acuh. Ia membalas anggukkan beberapa orang yang beradu pandang
dengannya, berjalan terus ke ruang tengah di tempat mana segelintir orang sedang
melingkari kain selendang yang menutupi sesuatu di atas tikar pandan yang lebar.
Kurdi tertegun menatap gundukan berselubung kain selendang itu. Sepasang matanya
mengecil, dan mulutnya melontarkan desah yang aneh. Setelah beberapa saat lamanya
berlaku demikian, ia memandangi orang-orang yang duduk bersila, kemudian
bergumam:
"Kalau diperkenankan, biarlah saya hanya sendirian saja di sini, bersama ayah dari
anak ini...." Orang-orang itu saling bertukar pandang, saling mengangguk dan
kemudian sama-sama berdiri.
Setelah semua orang menyingkir, yang duduk bersila di atas tikar pandan hanyalah
seorang laki-laki muda. Ia mengenakan pakaian yang letak kancingnya tidak teratur,
dengan kain sarung yang membelit sekenanya di pinggang. Rambutnya kusut. Matanya
lesu menatap selubung bergunduk di depannya. Dan wajah itu, tampak kaku. Demikian
pula sekujur tubuhnya. Desah nafasnya menghendus-hendus keras, menahan emosi
yang terpendam. Dari ruangan dalam, terdengar isak tangis saling bersahut dengan
suara perempuan membujuk-bujuk, menyabarkan. Dan tentu saja, dengan kata-kata
yang sudah lumrah terdengar:
"Sudahlah. Tabahkan hati Neng Yuyu...."
Jadi perempuan yang menangis itu bernama Yuyu. Orang mudah saja berkata,
karena tidak mengalami sendiri. Tetapi Neng Yuyu tentu saja tidak bisa menerima
kata-kata membujuk itu begitu saja.
Tidak.
Karena andaikata orang yang membujuk itu yang tengah terkena musibah, tentulah ia
sendiri akan menangis tersendat-sendat, melolong meraung-raung.
Kurdi memandangi laki-laki yang duduk bersila itu sejenak. Kemudian:
"... bagaimana terjadinya" Laki-laki itu menggeleng. Patah-patah. Tanpa menoleh
pada yang bertanya.
"Hem. Kapan mayatnya diketemukan"
"Dua jam yang lalu. Tersangkut di akar kayu di pinggir sungai." Kurdi
manggut-manggut. Ia maklum, mengapa suara laki-laki itu begitu sakit, letih dan putus
asa.
"Anak ke berapa"
"Empat..."
"Ah. Masih ada tiga yang lain, bukan"
Barulah laki-laki itu mengangkat dagu. Ia memandang tajam pada tamunya. Yang
dipandang, tidak mengelak. Tidak pula memperlihatkan wajah cerah atau senyum
bersahabat untuk menghibur. Dan lakilaki yang duduk bersila itu, kembali menatap ke
gundukan berselubung kain selendang. Butir-butir air bening mulai berjatuhan satu
persatu dari sudut-sudut matanya.
"Si bungsu yang malang..." ia berdesah.
Sakit.
"Boleh aku melihatnya" Laki-laki itu menatap Kurdi lagi. Lalu, mencondongkan
badan ke depan. Wajahnya kaku, dan tatapan matanya keras, waktu tangan tangannya
yang gemetar menyingkapkan kain selendang itu.
Sekaligus, seluruhnya.
Di depan biji mata Kurdi, tergeletak sesosok mayat anak kecil berusia kira-kira enam
tahun. Berkaki telanjang. Bercelana pendek, yang masih lembab bekas basah dan agak
kotor oleh lumpur. Demikian pula kemejanya yang berlengan pendek. Ada sisa-sisa
darah mengering di bagian kerah. Dan warna merah kehitaman berbentuk lingkaran
selebar piring kecil tempat gelas teh. Hanya sampai di situ saja bagian tubuh itu. Kurdi
menarik nafas. Panjang. Lalu:
"Kau cukup kuat, kulihat. Jadi, aku dipanggil tidak untuk sekedar menunggui mayat
anakmu saja, bukan?"
"Ya..." angguk lelaki itu. Suaranya memelas.
"Kudengar, Pak Kurdi punya ilmu..." ia tengadah, menatap ke mata tamunya.
Mendengar permintaan ayah yang bernasib malang itu, Kurdi tercenung. Lama berpikir
dengan dahi berkerut. Baru:
"Itu bukan pekerjaan yang gampang," gumamnya dengan suara berat.
"Diperlukan ketabahan..."
"Apa yang harus saya lakukan". Kurdi memandang mayat anak kecil tanpa kepala itu.
Lalu:
"Dia yang akan melakukannya." Ayah yang masih muda itu tercengang. Ia
memandang ganti berganti. Ke si anak, ke Kurdi, ke mayat anaknya lagi, ke Kurdi
kembali. Beberapa kali ia menelan ludah. Beberapa kali pula ia menarik nafas.
Panjang.
Membuangnya berkali-kali. Teramat panjang. Pada tarikan nafas yang kesekian, ia
basahi bibirnya yang pucat dan kering, lantas berkata dengan nada tidak percaya:
"Anak ini yang... ah, Pak Kurdi berseloroh."
"Aku bersunguh-sungguh."
"Tetapi...."
"Sudah kukatakan, dia yang akan melakukannya. Tetapi untuk itu, ia perlu bantuan
dari seseorang yang bisa mengerti perasaannya sebagai seorang anak. Maka itu aku
bilang, diperlukan ketabahan. Yang tidak tanggung-tanggung. Adakah orang lain di sini
yang sanggup"
Tanpa berpikir panjang, tuan rumah menjawab tandas:
"Saya bersedia." Kurdi manggut-manggut.
"Memang sebaiknya begitu. Anak ini tanpa kepala. Tetapi, dalam dadanya masih
tersimpan hati dan jantung. Di situ terletak perasaannya. Dan perasaan anak ini, hanya
bisa dipertemukan dengan orang yang paling dekat dengannya. Yakni ibu, atau ayah..."
ia memandang ayah muda yang malang itu dengan tajam.
"Kuharap kau tidak menyesal." Tatapan itu dibalas tuan rumah dengan bernafsu.
"Demi kesempurnaan jasad anakku, apapun akan kulakukan!" Kurdi
manggut-manggut lagi. Kemudian:
"Suruhlah orang-orang yang tidak berkepentingan pulang ke rumahnya
masing-masing. Yang tinggal, diharap tidur selekasnya." Meskipun masih bingung,
yang disuruh melakukan perintah itu dengan cepat. Terdengar suara orang bergumam
ramai di ruang depan, demikian juga di dapur. Lalu langkah-langkah bergegas,
suara-suara bergumam yang kian menyepi, pintu-pintu kamar yang ditutup dan nafas
lelah tuan rumah waktu kembali ke dalam dan duduk di samping Kurdi yang tengah
mempersiapkan pedupaan serta menyan. Sambil membakar kemenyan itu, ia bertanya:
"Siapa nama anak ini"
"Dudung."
"Ayahnya"
"Aku Sumantri."
"Dengan panggilan apa Dudung menyebutnya"
"Bapak." Asap kemenyan mulai mengepul ke atas. Kurdi menghirupnya dengan
lubang-lubang hidung mengembang, seakan ingin memasukkan asap menyan itu
sebanyak-banyaknya ke dalam dada. Setelah kumat kamit sesaat, ia memandangi
laki-laki bernama Sumantri itu. Mata Kurdi kelihatan berwarna kelabu
kehitam-hitaman.
"Ambil nafas yang panjang." Sumantri menghirup udara di kamar itu
sebanyakbanyaknya.
"Buang sekarang." Sumantri melepaskan nafas panjang.
"Ambil lagi. Lebih panjang. Dua kali!" Setelah tarikan nafas yang ketiga, Kurdi
kemudian mengeluarkan pisau cukur dari kantong bawah kemejanya yang lebar, daun
kelapa muda, tali dari pelepah pisang, yang ia letakkan hati-hati di samping mayat.
Sumantri memperhatikan dengan penuh minat. Ia lihat Kurdi menghirup asap menyan
lagi, lagi dan lagi, sambil terus kumat kamit membaca do'a-do'a serta mantera-mantera
yang tidak dimengerti oleh Sumantri. la mendengar kata-kata yang aneh mengalir
keluar dari mulut Kurdi, lalu tubuh dukun setengah baya itu gemetar perlahan-lahan,
makin lama makin keras disertai dengan percikan-percikan keringat sebesar butir-butir
jagung dari pori-pori kulit wajahnya.
Waktu kumat kamit itu dari mulut Kurdi didengar sesekali oleh Sumantri kalau
namanya dan nama anaknya disebut-sebut, disertai erang dan rintih yang silih berganti.
Butir-butir keringat semakin banyak membasahi wajah Kurdi, sampai suatu saat ia
bergumam. Parau suaranya:
"... ikuti ucapanku. Dung, ini aku, bapakmu..." Sumantri yang dari tadi asyik
memperhatikannya, melongo saja.
Kurdi menyentak:
"Ikuti, kubilang!"
"Ya, Pak Kurdi?"
"Dung, ini aku, bapakmu." Sumantri menelan ludah. Lalu:
"Dung, ini aku bapakmu..."
"Bangkitlah." Terperangah Sumantri membetulkan letak duduknya kembali, lantas
sambil kepalanya dipenuhi tandatanya oleh maksud si penunggu jenazah, pelan-pelan
ia menggerimit:
"... bangkitlah..."
"Lebih keras!"
"Bangkitlah!"
"Sekarang, pikiranmu pusatkan. Buang jauh-jauh pikiran lain kecuali untuk
berhubungan dengan hati dan perasaan anak ini. Apapun yang akan terjadi, jangan
sampai kau lupa akan ketabahanmu. Ingat, dalam pikiran yang akan kau salurkan
dalam perasaanmu, bahwa kau adalah bapaknya, yang mengasihinya yang tetap
menganggapnya sebagai anakmu yang dalam keadaan hidup..."
"Tetapi, anak ini sudah...."
"Kau ingin aku pergi saja?" dengus Kurdi, tersinggung. Sumantri menelan ludah.
"Maafkan saya, Pak Kurdi," rungut Sumantri dengan suara kering. Tanpa
memperdulikan ucapan Sumantri, Kurdi kemudian kumat kamit dengan kedua mata
mengatup rapat. Sesekali ia meludah, ke kiri ke kanan, sesekali menghembuskan asap
menyan ke arah tubuh mayat terbaring. Kumat kamit lagi, ia lalu pegang sebelah
tangan Sumantri yang diletakkan di atas dada mayat yang sudah dingin dari beku itu.
Ya, Sumantri yakin dada itu dingin dan beku karena anaknya telah menjadi mayat
semenjak beberapa jam yang lalu, dan ia pun telah beberapa kali menyentuhnya. Tetapi
kini. Kini dada mayat itu terasa hangat. Memang masih diam, tetapi hangat!
Sumantri terbelalak, dan hampir saja menarik tangannya mundur kembali saking
kaget, kalau tidak segera matanya beradu dengan mata Kurdi yang marah. Dengan
menguat-nguatkan hati, Sumantri tetap meletakkan tangannya di dada mayat anaknya.
Maklum arti pandangan mata si penunggu jenazah yang dikenal juga punya ilmu gaib
itu,
Sumantri kemudian memusatkan pikiran sebulat-bulatnya. Dengan menarik nafas
berulang-ulang seperti yang diperintahkan Kurdi tadi, pelan-pelan pikirannya mulai
terpusat. Dimatanya terbayang anaknya yang bungsu, terbaring dalam keadaan tidur
yang nyenyak, dengan dada naik turun teratur.
Dudung hidup, anakku hidup, anakku terkasih, anakku sayang... jerit hati Sumantri.
Pada saat pikiran itu tersalur ke hati Sumantri, samarsamar ia sempat melihat
bayangan tangan Kurdi bergerak mengambil pisau cukur. Lipatan pisau ia buka tanpa
suara. Lalu matanya yang tajam berkilatkilat, ia goreskan ke urat nadi lengan kirinya.
Wajah Sumantri memucat memperhatikan tingkah laku dukun itu.
Tetapi perhatiannya segera tertuju ke arah darah Kurdi yang mulai mengucur keluar,
lantas menetes jatuh membasahi punggung tangan Sumantri, meleleh di sana,
menyelusup di antara celah-celah jari, lantas membasahi dada mayat anaknya. Bau
menyan bercampur bau darah membuat Sumantri merasa puyeng. Namun ia
kuat-kuatkan juga hati, sambil berpikir-pikir apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kurdi mendesis perlahan:
"Pikiranmu terpecah, Sumantri!" Desisan itu memperingatkan Sumantri pada
tekadnya semula.
Lantas, pikirannya kembali ia pusatkan pada anaknya. Ia rasakan darah itu mulai
mengaliri dada mayat itu, membuat warna merah mengorak di sana sini, seakan
menyelusup masuk menembus kulit mayat dan...
Dada mayat itu bergerak.
Bergerak!
Hampir saja Sumantri terlonjak. Tetapi ia ingat kembali tekadnya semula. Lantas,
dengan mata terpejam untuk bisa lebih memusatkan pikiran serta perasaannya yang
agak tergoncang, ia dengar Kurdi memerintahkan untuk mengucapkan kembali kalimat
kalimat tadi:
"Dung, ini aku... bapakmu... Bangkitlah!"
Gerakan-gerakan di dada lebih keras. Tetapi tubuh mayat itu masih diam. Sumantri
mengulang lagi. Kali ini, tanpa ragu-ragu:
"Dung, ini aku, bapakmu. Bangkitlah!"
Dan, tangan si anak mulai ikut bergerak. Demikian juga kakinya. Seolah-olah
menggeliat-geliat. Tak ubah dengan keadaannya waktu ia dibangunkan dari tidur yang
nyenyak. Hanya bedanya, ia tidak menguap seperti biasa.
Namun Sumantri yang matanya nyalang terbuka oleh sentuhan-sentuhan kaki yang
melejat lejat di pahanya, tidak perduli lagi apakah anaknya menguap atau tidak. Ia
tiba-tiba menjatuhkan diri, memeluk anak itu seraya menangis tersedu-sedu:
"Anakku, anakku, kau hidup, anakku. Kau belum mati, anakku... ini aku, bapakmu.
Dung, ayoh peluk aku, nak. Peluk bapakmu,... Mari kucium pipimu."
Ketika itulah, ketika akan mencium arah pipi si anak, mulut Sumantri yang manyun
tidak menemukan apaapa, kecuali angin yang dingin, serta dagunya menyentuh leher
yang rata dan berselemak darah mengering. Rasanya ia ingin jatuh pingsan, tetapi
ingatan bahwa Kurdi hadir di sampingnya segera membuat ia sadar kembali, bahwa
tubuh yang ia pegang adalah tubuh mayat, bukan tubuh yang hidup sesungguh
sungguhnya. Seraya menarik nafas, ia lepaskan pelukannya di tubuh mayat itu.
"Bantulah ia berdiri," Ia dengar suara Kurdi. Setelah menyeka air matanya. Sumantri
membantu anaknya berdiri. Andaikata, ya, andaikata di atas leher itu masih terdapat
kepala, Sumantri pasti sudah terlepas dari pikiran semula, dan akan mengira anaknya
benar-benar hidup seperti sediakala. Dengan hati yang hancur, ia gapaikan tangannya
ke arah tangan Dudung yang terangkat seperti minta tolong. Air mata Sumantri menetes
lagi, waktu anak itu berdiri sempoyongan. Sumantri memegang pinggang Dudung agar
tidak sampai terjatuh. Ia kemudian menoleh pada Kurdi.
Penunggu jenazah itu tengah sibuk membalut lengan kirinya dengan daun kelapa
muda yang kemudian ia ikat pakai tali pelepah pisang.
"Biarkan ia," gumam Kurdi. Hati-hati, Sumantri menarik tangannya dari pinggang
mayat anaknya. Dudung berdiri tegak kini. Tegak diam, seolah-olah menanti perintah.
"Suruh tunjukkan tempat di mana kepalanya ditanam orang." Sumantri terkesiap. Ia
menatap Kurdi.
"Di tanam orang Maksud Pak Kurdi...."
"Jangan berlama-lama. Kita harus mengejar waktu matahari terbit esok hari...!"
Sumantri mengalihkan perhatiannya ke tubuh anaknya. Suaranya gemetar waktu
bertanya:
"Duh, biyung. Kejam nian orang... duh, biyung. Dimana gerangan kepalamu
tersimpan, anakku".Tangan kanan itu terangkat, lalu jari telunjuknya membentuk garis
lurus ke arah utara.
"Bisa kau katakan...."
"Tak bisa. Mulutnya ada di kepalanya," potong Kurdi. "Suruh ia tunjukkan jalan!"
"Biyung, anak manis, si bungsu sayang. Maukah kau bawa bapak ke sana, nak?"
Tangan kecil mungil dan pucat kebiru-biruan itu, turun perlahan-lahan. Kemudian
kakinya mulai bergerak. Mayat tanpa kepala itu berjalan dengan langkah langkah
seorang bocah menuju pintu keluar, diikuti oleh Kurdi dan Sumantri. Di ruang depan,
seseorang yang rupanya tidak bisa tidur, melihat mayat itu lewat. Sesaat, mulut dan
matanya terbuka lebar, disaat berikutnya mulut dan mata itu terkatup, disusul oleh
suara tubuhnya yang jatuh terhempas ke lantai.
Pingsan.
***
Lolongan anjing menyambut mereka tiba di luar rumah. Malam telah mulai larut.
Kampung itu sepi. Jangankan makhluk-makhluk hidup. Angin pun seperti enggan
berhembus. Anjing itu berdiri tegak di atas keempat kaki-kakinya yang kukuh,
mendengus sesaat. Matanya yang bulat dan besar, berkilat memperhatikan makhluk
yang baginya sangat aneh, dan kini berjalan di sampingnya kearah tempat duduk
kereta. Makhluk itu tampaknya adalah manusia seperti juga majikanku, mungkin begitu
pikiran yang terlintas di kepala kuda itu.
Tetapi... mana kepalanya" Setelah mereka bertiga duduk di atas tempat duduk kereta,
Kurdi menggerakkan tali kekang menyuruh kudanya mulai berjalan. Terdengar suara
berderak roda kereta di antara depak-depak kaki kuda, lalu angin mulai berhembus.
Dingin menusuk tulang. Di samping kereta, anjing berkulit hitam legam tetapi dengan
sepasang mata berkilat-kilat terang itu, berlari-lari mengikuti. Sebuah pengaruh aneh
dari malam yang gelap tanpa bulan dan angin yang dingin serta makhluk-makhluk
misterius di dekatnya, membuat sekujur tubuh Sumantri dialiri peluh.
Peluh dingin, tentu.
Hanya tekad dan keinginan yang kuat untuk memakamkan mayat anaknya dalam
keadaan yang sempurna yang membuat ia tetap betah duduk di tempatnya. Meski
sesekali terlintas juga ingatan untuk terjun saja dari kereta, berlari-Iarian pulang,
menjerit minta tolong, melompat ke tempat tidur dan meminta isterinya menyelimuti
tubuhnya yang gemetar ketakutan.
Bulan pucat di langit kelam, berpegangan kepinggir pinggir awan hitam waktu
tangan Dudung bergerak lurus ke arah kiri. Jalan yang ia tunjuk adalah jalan menuruni
bukit terjal, jauh ke bawah, di mana sebuah sungai mengalir. Mereka berada di mulut
sebuah jembatan besar yang tinggal puing-puingnya saja. Seingat Sumantri, jembatan
itu runtuh minggu yang lewat dilanda banjir yang dahsyat. Di kiri kanan jalan
bertumpuk-tumpuk bahan-bahan untuk membangun sebuah jembatan baru.
Sebuah truck kosong di parkir tak jauh dari bukit-bukit pasir. Nun jauh di belakang
mereka, terlihat kelap kelip lampu sayup-sayup dari perkampungan yang tadi mereka
lalui. Tadi, di sana, truck lebih banyak, ada satu dua orang yang masih tertawa-tawa di
warung kopi ditemani perempuan-perempuan yang berdandan berlebihan.
Tentu pekerja-pekerja yang sudah siap akan membangun jembatan baru, tidur di
perkampungan itu. Mereka turun dari kereta. Lalu bergerak ke bawah bukit. Tiada rasa
takut dan cemas lagi dalam diri Sumantri. Melihat anaknya sempoyongan waktu
menuruni bukit, timbul rasa kasih dan sayangnya. Ia bimbing Dudung menuruni bukit,
berjalan di antara batu-batu besar, sesekali tergelincir oleh tanah longsor, bangun lagi,
berjalan terus ke bawah dengan mayat anak tanpa kepala itu tetap berjalan paling
depan.
Adakalanya, karena jarak lompatan terlalu jauh, Sumantri dengan tabah membopong
anaknya. Dalam kepala ayah yang masih berusia muda itu, hanya terpikir satu hal:
kepala anaknya akan segera mereka temukan, dan si bungsu itu akan mereka
makamkan dengan anggota tubuh yang lengkap. Tak jauh dari pinggir sungai,
Dudung berhenti. Tangannya menunjuk ke tanah, tak jauh dari kakinya. Dengan
mempergunakan sekop yang mereka bawa dari rumah Sumantri, tanah di dekat kaki
Dudung mulai mereka gali. Di atas, anjing Kurdi melolong panjang, mengalunkan
nada-nada lirih menusuk ke tulang, menggetarkan hati.
Sumantri menoleh ke atas. Ia lihat anjing besar itu mengangkat kepalanya
tinggi-tinggi sambil terus melolong. Seakan-akan meratap ke arah rembulan. Waktu
mendengar hendusan nafas yang keras, ia menoleh pula ke samping, dan melihat Kurdi
juga tengah menatap rembulan. Wajahnya yang kelam, keras seperti batu. Sepasang
matanya yang kecil dan menjorok jauh di balik kelopak, berkilat-kilat dengan ganjil.
Dari mulut Kurdi terluncur ucapan-ucapan mantera yang tidak bisa dimengerti oleh
Sumantri.
Ia sendiri gemetar dan pucat. Di sampingnya, berdiri anaknya, Dudung, yang masih
berusia enam tahun itu.
Tegak dengan diam. Kedua lengannya terjuntai lemas disisi tubuhnya. Mayat anak itu
tak bergerak sama sekali. Terpaku ditempatnya. Sumantri mengerti. Semacam
pengertian yang aneh. Dalam pikirannya, ia lihat anak itu dengan wajahnya yang
manis, lugu dan kekanak-kanakan, tengah memperhatikan sang ayah bekerja.
Sumantri terus menggali. Sampai kemudian tubuh anak itu bergerak ke kiri kanan,
dan Kurdi mendesah:
"Hentikan!"
Sumantri berhenti menggali.
"Sekarang, gali dengan tangan."
Dengan bernafsu, Sumantri menggaruk tanah dengan tangannya. Jari jemarinya
berubah jadi cakar besi yang keras dan tajam, didorong oleh keinginan yang amat
sangat untuk melihat wajah anaknya. Sambil menggaruk-garuk tanah, mulutnya tidak
berhenti henti menceracau:
"Anakku, anakku... Biyung, anakku. Dung, anakku...."
Dan air mata menetes tak berhenti, mengaliri kedua belah pipi. Ia tertegun sesaat
waktu tangannya menyentuh benda yang dingin dan lunak. Sumantri mengerling ke
arah Kurdi. Orang itu membalas kerlingannya dan mengangguk. Sumantri
mempergunakan kedua belah tangannya untuk mengeluarkan benda itu dari dalam
tanah. Ia kemudian naik dari lubang, berdiri di antara Kurdi dan mayat anaknya.
Dengan mata berlinang dan tubuh gemetar oleh berbagai perasaan, ia perhatikan
benda itu dibawah jilatan rembulan yang pucat.
Sebentuk kepala kecil berlumpur. Ia usap dengan jari jemari bagian wajahnya, dan
ketika mengenali wajah dari kepala ditangannya, seketika Sumantri bergumam:
"Ya Tuhan-ku!"
Lantas, ia sempoyongan mau jatuh. Kurdi cepat menangkap tubuh Sumantri dengan
sebelah tangan, sementara tangan yang lain menyambar potongan kepala itu.
"Ayoh. Ingat. Tabahkan hatimu. Kita sudah berhasil, bukan"
Ia menghibur. Nada suaranya kini sudah sympathi. Sumantri mengeluh panjang
pendek, tidak berani memandang potongan kepala itu, juga tidak berani memandang
mayat anaknya. Ia kemudian berjalan mendahului naik ke atas. Kurdi mengikuti dengan
susah payah, karena ia tidak saja harus memegang potongan kepala Dudung, akan
tetapi juga harus membimbing dan sesekali memangku mayat Dudung yang tanpa
kepala. Tiba di atas, mereka disambut oleh lolongan panjang sang anjing. Kurdi
mengangguk puas.
Anjing itu mengibas ngibaskan ekornya. Dan sang kuda mendengus dengus keras.
Tidak seorang pun diantara mereka yang berbicara ketika kereta itu mulai bergerak,
dengan bunyi roda yang berderak-derak. Tanpa dipecut, kuda itu berlari dengan
teratur. Sementara Kurdi menatap ke langit kelam dengan sinar mata berkilat-kilat
ganjil. Mukanya tampak semakin keras, dan beberapa kali ia mengeluh. Bukan keluh
letih, tetapi keluh yang seakan-akan kesakitan. Ia geleng gelengkan kepala ke kiri
kanan, sesekali mengibas ngibaskan tangan ke udara seolah mengusir sesuatu yang
tidak tampak oleh mata.
Sumantri yang telah agak pulih kesadarannya, bertanya enggan:
"Ada apa, Pak Kurdi"
"Ada yang marah."
"Siapa"
"Entahlah."
Habis berkata begitu, Kurdi kumat-kamit dengan keras. Kemudian ia melihat ke arah
anjing yang berlari-lari di samping kereta.
"Bantu aku, kawanku," pintanya.
Anjing itu seperti mendengar. Hati Sumantri menciut waktu melihat bagaimana
seekor anjing bisa berlari sambil melolong-lolong. Setahunya, anjing hanya melolong
selirih itu dalam posisi tubuh duduk di atas kedua kaki belakang atau berdiri tegak di
atas keempat kakinya, dengan kepala tertengadah. Kuda di depan kereta
mendengus-dengus keras, sekali meringkik dengan suara menyeramkan, sehingga
Sumantri terpaksa menelan ludah, sambil memandang berkeliling dengan mata
ketakutan.

***
Begitu sadar dari pingsannya, orang yang tadi melihat mayat Dudung berjalan ke
luar memandang seputar ruangan dengan mata melotot dan wajah pucat seperti kapas.
Ada tiga orang lainnya yang tertidur di ruang depan itu. Ketiga orang itu tampak
nyenyak. Seperti tidak terjadi apa-apa.
"Ataukah hanya mimpi jelekku saja?" orang itu berbisik pada diri sendiri. Ia mencoba
tidur. Tetapi tidak berhasil. Suara dengkur kawan sebelahnya membuat ketakutan.
Seingatnya, tadi juga ia tidak tertidur.
Sumantri sudah menyuruhnya pulang, demikian juga tiga orang lainnya,
tetangga-tetangga sudah pada pergi, mungkin juga kini tengah tertidur nyenyak seperti
orang-orang di sebelah kiri kanannya. Akan tetapi, mereka berempat adalah sanak
keluarga yang wajib menunggui rumah, dan begitu bangun pagi-pagi besok, harus
mempersiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman, ya, pemakaman Dudung.
Tetapi tadi...
Ah, sekedar mimpikah" Ia tajamkan telinga.
Tidak.
Tak terdengar suara apa-apa di ruangan dalam yang... ah, pintunya terbuka!
Ketika Sumantri masuk tadi, pintunya ia tutupkan. Dan dari dalam ia dengar suara
sepupunya itu tengah berbicara dengan tamu mereka.
Penunggu jenazah yang konon punya ilmu gaib yang masyhur itu. Pak Kurdi, yang
hidup menyendiri di sebuah rumah kecil, tanpa orang lain untuk menemani, kecuali
seekor anjing, seekor kuda, dan sebuah kereta di mana ia lebih banyak diam untuk
berkeliling memenuhi panggilan orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Dan,
kehadiran Kurdi malam ini, adalah atas permintaan Sumantri, dengan maksud untuk
minta tolong menemukan kepala mayat keponakannya Jadi, tadi...
Seraya menelan ludah, ia berjingkat-jingkat ke arah pintu ruang tengah. Lalu
mengintai ke dalam.
Sepi.
Tak ada suara-suara.
Tak ada Sumantri tak ada Pak Kurdi. Dan... juga mayat itu tidak lagi ada di
tempatnya.
"Astaga!"
ia tersentak. Semakin pucat. Lalu melihat pada kawan-kawannya yang masih
mendengkur. Dan tiba-tiba menjerit:
"Hai, kalian. Bangun! Bangun! Bangun!"
Ia goncang tubuh mereka satu persatu. Yang seorang menggeliat. Yang lain
menggerutu, lantas tidur lagi. Yang ketiga, bangun seraya bersungut-sungut. Ia
mendengarkan penuturan orang pertama dengan setengah sadar setengah mengantuk.
Setengah mengantuk pula, ia mengintai ke ruang dalam. Dan apa yang dilihatnya,
membuat suara bersungutnya semakin menjadi.
"Lantas itu, apa, eh" ejeknya, seraya menunjuk. Yang ditanya, melongokkan kepala ke
dalam. Matanya seakan mau terloncat ke luar. Di atas tikar, di tempat di mana barusan
ia melihat hanya ada kain kain selendang menutup mayat, ia lihat kain-kain selendang
itu memang menutupi sesosok tubuh kecil.
Sesaat, ia memandang temannya dengan bingung. Tatap dan seringai ejekan yang ia
peroleh. Puas mengejek, sang teman lantas tidur kembali, tak lupa meninggalkan
umpatan:
"Dasar penakut!"
Yang diejek sakit hati. Memang, ia takut. Tetapi, ia ingat apa yang pertama kali
dilihatnya. Mayat berjalan ke luar. Ia pingsan. Bangun kembali, ia lihat ruangan
tengah yang kosong. Lalu membangunkan teman-temannya yang lain, dan kini...
mayat itu telah ada di tempatnya semula.
Mungkinkah.
Dan ke mana Sumantri. Ke mana dukun itu. Ya, ya, ia takut. Tetapi ia tidak mau
menyerah begitu saja. Dengan kaki gemetar, ia merangkak hati-hati masuk ke ruang
dalam. Kain selendang ia singkapkan.
Itu memang mayat Dudung, beku dan dingin tanpa.....
Seraya memejamkan mata, ia bergerak mundur kembali ke ruang depan, lantas
membaringkan tubuh di samping temannya yang telah mendengkur kembali. Ia
berbaring di sana diam-diam, tidak berani bergerak, apalagi untuk membuka matanya.
Di luar rumah, Sumantri bergumam:
"Ia sudah tidur kembali!" Kurdi menarik pandangannya

Bab 2
Dengan matanya yang menembus pintu depan terus ke ruang dalam, ke arah kain
selendang terhampar. Perhatiannya berpindah pada orang yang baru saja
membaringkan tubuh, lewat kaca jendela. Lantas bersungut:
"Untung aku berhasil menyesatkan pandangan mata mereka,"
lalu seraya menimang potongan kepala anak kecil di tangan yang satu dan
menggenggam telapak tangan kecil Dudung di tangan yang lain, ia melanjutkan dengan
perasaan lega:
"Kalau tidak, penyempurnaan jasad anakmu ini akan gagal kita lakukan...."
Mereka kemudian membuka pintu, masuk ke dalam dan berharap orang tadi tidak
bangun kembali. Orang itu memang tidak bangun, tidak pula membuka mata untuk
melihat apa yang didengar telinga: suara langkah-langkah kaki membuka pintu rumah.
Langkah-langkah kaki orang dewasa. Dan langkah-langkah kaki anak kecil...
Begitu berbaring, tubuh si kecil Dudung, diam tidak bergerak-gerak. Waktu
menutupkan selendang sampai pertengahan dada mayat, tangan Sumantri terasa
menyentuh tubuh yang beku dan dingin. Tidak lagi kehangatan. Tiada lagi gerakan.
Sosok tubuh itu memang telah mati. Dengan air mata berlinang, ayah yang malang itu
memperhatikan kepala anaknya yang masih terpisah dengan leher. Ia telah mencoba
menyatukannya, namun toh masih jelas terlihat garis pemisah berwarna pucat
kebiru-biruan diselemaki oleh darah mengering.
"Dudung, betapa malang nasibmu, nak," keluh Sumantri. Lirih dan sakit.
"Apa dosamu, sehingga harus engkau yang dijadikan tumbal untuk jembatan terkutuk
itu" Habis berkata begitu, Sumantri menangis terisak-isak. Kurdi menghela nafas.
"Sudah ah," katanya.
"Ditangisi pun anakmu tidak akan hidup kembali. Yang penting, harus kita
sempurnakan jasadnya. Untuk itulah aku kau minta datang, bukan?" Sumantri
mengangguk. Patah-patah. Kurdi meneruskan:
"Sudah kita temukan kepalanya. Sekarang, tinggal penyempurnaannya. Ketabahan
masih diperlukan."
Dengan mata basah, Sumantri memandang Kurdi.
"Apalagi yang harus kulakukan" tanyanya dengan bersemangat.
"Tak ada."
"Tidak?"
"Ya. Kecuali ketabahan. Dan hati yang ikhlas."
"Maksud bapak"
"Relakan kematian anak ini." Sumantri menangis lagi. Sesenggukan.
"Dudung yang malang," isaknya.
"Mengapa ia.."
"Kau relakan" Lama baru terdengar sahutan:
"Demi anakku, aku rela."
"Tak ada dendam?" Sumantri diam.
"Camkanlah," ujar Kurdi mengingatkan.
"Tidak ada orang yang bisa kau tuduh. Tidak ada bukti, anakmu dijadikan tumbal.
Orang pasti angkat bahu. Mungkin mentertawakan. Lantas mengelak dengan alasan,
toh anak ini bisa mati di mana saja .Oleh siapa saja. Hanya kebetulan yang
menyebabkan kepala anak ini tertanam di bawah jembatan. Begitulah yang sering
terjadi. Apa sebabnya ia mati, orang tidak peduli. Memang diselidiki, tetapi
penyelidikan akan berhenti suatu ketika. Dengan dua kemungkinan. Penyelidikan
dihentikan berkat pengaruh sejumlah uang. Atau kalau pun si pembunuh diketemukan,
hanya ia yang dihukum, terpantang bagi seorang dukun pencari tumbal, untuk
mengakui bahwa ia melakukan pembunuhan itu atas permintaan seseorang..." Kurdi
berhenti sebentar.
Ia memperhatikan Sumantri, untuk melihat reaksi ayah yang malang itu, akan tetapi,
perhatian Sumantri hanya tertuju pada bagian tubuh anaknya yang terpisah. Begitupun,
apa yang diutarakan oleh Kurdi, jelas terdengar di telinganya. Kurdi yakin akan hal itu,
dan dengan keyakinan itu ia melanjutkan:
"Jadi begitulah. Sekali ucapan itu terlontar dari mulut si dukun, ia akan
mencelakakan diri sendiri. Toh orang lain hanya meminta ia agar membantu
keselamatan pembangunan jembatan, bukan untuk membunuh seorang anak yang tidak
berdosa. Ada dukun yang minta tumbal kambing atau kerbau. Tetapi ada pula yang
menjadikan tumbal nyawa manusia. Sayangnya, pemborong jembatan itu minta bantuan
ke alamat yang keliru. Dan jangan lupa. Mayat anakmu akan kita sempurnakan. Bila itu
terlaksana, mana ada yang percaya bahwa kepala anakmu pernah dijadikan tumbal.
Sukar membuktikannya. Kecuali, bila kau rela anakmu kita makamkan seperti keadaan
yang sekarang..."
Sumantri memperhatikan mayat anaknya lagi. Lagi dan lagi. Lalu:
"Tidak. Anakku harus dimakamkan dalam keadaan yang utuh."
"Kalau begitu, lupakanlah dendammu."
"Dan membiarkan dukun terkutuk itu tidak menerima akibat perbuatannya?" dengus
Sumantri, tajam.
"Dukun itu akan menerima akibatnya. Percayalah."
"Bagaimana Pak Kurdi tahu. Bahkan kita tak tahu siapa orangnya." Kurdi
memandang mayat Dudung:
"Anak ini tahu siapa orangnya." Sumantri ikut pula memperhatikan mayat anaknya.
"Tetapi ia...."
"Jasadnya. Memang jasadnya sudah mati. Tidak rohnya. Roh anakmu masih
hidup...." Pengertian yang ganjil membersit di kepala Sumantri. Wajahnya memucat.
Lantas dengan suara kering, ia bergumam:
"Anakku mau kau suruh membunuh" Kurdi tersenyum. Tipis. Jawabnya:
"Anakmu tidak akan membunuh dengan tangannya sendiri. Percayalah..."
"Bagaimana mungkin"
"Kalau tidak, tak akan kau memintaku datang!" Sumantri menelan ludah. Lalu
tercenung, lama, memandangi mayat anaknya. Airmatanya menetes pula. Kurdi berkata
dengan suara menghibur:
"Tidurlah sekarang. Ada yang harus kukerjakan. Bila kau bangun pagi-pagi, mayat
anakmu sudah dalam keadaan utuh. Aku berjanji...!"
Tuan rumah menatap penunggu jenazah itu. Kemudian, bangkit, dan berjalan masuk
ke kamarnya, menutupkan pintu dengan enggan, lantas berbaring di samping isterinya
yang rupanya karena letih tubuh dan jiwanya, sudah tertidur resah dengan mata
bengkak bekas menangis.
Sepeninggal Sumantri, Kurdi mengheningkan cipta. Dari pedupaan, mengepul asap
menyan dengan baunya yang khas. Berulang kali asap menyan itu ia hirup, berulang
kali pula ia kumat-kamit membaca mantera. Sekali, tubuhnya tergoncang keras dan
keringat menetes ke lantai. Dengan mata liar, Kurdi memandang seputar ruangan. Dari
mulutnya lepas ucapan membantah:
"... memang aku. Memang aku yang mengambil anak ini. Tetapi aku tidak bermaksud
mencelakakan engkau!"
Diam lagi.
Tergoncang lagi tubuhnya. Lantas:
"Terkutuk! Pekerjaan kita memang sama-sama terkutuk. Kita sama-sama pengabdi
setan. Tetapi aku tidak pernah mencabut nyawa-nyawa orang yang hidup. Aku hanya
mengganggu orang-orang yang telah mati. Dan kau! Kau!"
Ia meludah. Tiga kali. Ke udara!
Terdengar angin bersiuran kencang. Jendela terhempas membuka. Dan, rembulan
yang pucat, mengintai ke dalam. Ada lolongan anjing. Keras. Dan dengus kuda.
Keras.
Kurdi menggoyang-goyangkan kepala dengan keras, kumat kamit lagi. Menambah
menyan ke dupa, berpercik-percik apinya. Pakaian yang ia kenakan basah oleh peluh,
demikian pula rambut dikepalanya. Ketika gerakan tubuhnya perlahan berhenti,
tatapan matanya terpusat ke kepala yang terpisah dari leher Dudung.
"Demi kesempurnaan jasadmu, bergeraklah, arwah anak yang tersiksa!"
Tiada gerakan.
Tapi, ada suara.
Suara seorang anak,
suara bocah yang menangis. Sayup-sayup sampai, terdengar dari mulut di kepala
Dudung. Suara tangis yang memilukan itu mengaung di seluruh ruangan.
Kurdi memejamkan mata rapat-rapat.
Di kamarnya, Sumantri terlonjak duduk. Di ruang depan, saudara Sumantri yang
disesatkan pandangan matanya oleh kekuatan gaib Kurdi, terpentang lebar matanya,
tetapi segera memejamkan matanya kembali seraya mengerang:
"Celaka. Mimpi buruk lagi!"
Tangis bocah itu menyayup, kemudian lenyap dibawa angin yang bertiup lewat
jendela.
***
Puluhan kilometer letaknya dari kampung Sumantri, seorang laki-laki setengah umur,
tersentak dari duduknya yang resah. Di atas meja yang ia hadapi, terletak sebuah
baskom besar berisi air bening. Di dasar baskom, terbenam segumpal darah yang telah
dibekukan. Darah yang telah beku itu, secara berangsur-angsur mulai mencair. Warna
air berubah jadi merah, merah dan semakin merah. Permukaan air bergolak seperti
digerakkan oleh tangan-tangan yang tak mau diam. Meja sama sekali tidak bergerak,
demikian pula laki-laki setengah baya itu.
Diam di tempat duduknya dengan tubuh tegang, ia dengar tangis bocah yang
sayup-sayup sampai. Ia tutup telinga dengan kedua telapak tangan. Namun suara tangis
itu malah semakin jelas di telinganya. Ia berteriak, marah:
"Siapa kau, yang telah kurang ajar mengganggu tumbalku!"
Tangis bocah itu lenyap seketika. Orang itu menarik nafas.
"Celaka," keluhnya.
"Aku harus memeriksa kesana...!"
Ia bergegas ke luar rumah. Setengah berlari ke kandang, mengeluarkan seekor kuda
berkulit coklat kehitaman dengan tubuh yang kurus. Tetapi waktu ia naiki dan pecut,
kuda itu berlari dengan keempat kakinya yang kurus seperti melayang di permukaan
tanah. Tiba di dekat reruntuhan jembatan, ia turun dari kuda. Subuh hampir datang,
ketika ia meluncur ke bawah bukit berlari naik kembali, meloncat ke punggung kuda
seraya mencaci maki:
"Sialan, aku gagal kali ini!"
Bergegas ia pacu kudanya kearah perkampungan di mana para pekerja yang akan
mulai membangun jembatan keesokan harinya, menginap. Sayup-sayup ia lihat kelap
kelip lampu, dan sayup sayup suara itu kembali memenuhi telinganya. Suara tangis
seorang bocah. Ia sudah berhari-hari berkeliling waktu menemukan seorang anak
bermain-main sendirian di tengah sawah, tak jauh dari sebuah perkampungan. Anak itu
mungkin menemani ayahnya ke sawah, lantas berkeliaran sendirian selagi orangtuanya
bekerja. Ia rupanya mengejar seekor kupu-kupu yang bersayap warna warni, indah
sekali. Kupu-kupu itu ia tangkap, lalu diberikan pada si anak.
"Mau lebih banyak lagi. Yang lebih bagus, biyung?" bujuknya.
Anak itu mengangguk. Tertawa senang sewaktu menerima kupu-kupu yang ia
inginkan. Bocah yang tidak ia tahu namanya itu, ia bawa menjauh dari sawah, lalu
dinaikkan ke atas kuda. Anak itu terkejut. Tetapi kuda sudah berlari. Tiba di pinggir
sungai, anak yang mulai ketakutan itu ia turunkan. Tiada lagi wajah kebapakan, tiada
lagi ucapan membujuk. "Biyung." Yang ada hanyalah wajah kejam, kilatan golok yang
melayang, darah yang memercik kian kemari, tubuh bocah yang didorongkan jatuh ke
kali... tanpa kepala. Sesaat sebelum kilatan golok itu melayang kebawah, terdengar
suara tangis yang memilukan hati. Kemudian diam, disusul oleh bunyi benda berat
jatuh tercebur ke dalam sungai...
"Celaka. Mengapa tangis bocah itu terdengar lagi?" pikirnya selagi memacu kuda ke
arah perkampungan dimana para pekerja itu menginap. Ia harus membangunkan
kepala rombongan pekerja itu secepatnya, untuk memberitahukan agar pembangunan
jembatan ditunda untuk sementara.
Tentu saja, ia tidak boleh mengatakan bahwa ia harus mencari tumbal baru. Katakan
saja, harinya yang tidak cocok, perhitungannya agak meleset. Dan....
Dan suara tangis bocah itu semakin menyayat juga. Di antara suara tangis,
seolah-olah ia dengar si bocah berkata:
"Aku tak mau jadi tumbal. Aku tak...."
Dan ketika ia berhadapan dengan pemimpin rombongan pekerja yang bangun
tergopoh-gopoh, dari mulut dukun setengah umur itu terlontar ucapan yang oleh
kekuatan yang luar biasa ditelinganya merupakan ucapan sang bocah:
".... cari tumbal anak lain. Cari tumbal anak lain. Cari... !"
Ucapan sang dukun terputus sampai di situ. Tadi, waktu ia bangunkan, orang yang
berhadapan dengannya adalah mandor para pekerja jembatan. Tetapi bersamaan
waktunya dengan ia mengucapkan kata-kata panik diluar kemauannya sendiri itu,
tibatiba terjadi perubahan. Yang berdiri di hadapannya, memang tubuh... Paniknya
kian menjadi.
"Si... apa... Kk-kau...?" ia bertanya.
Gugup.
Wajah bocah di atas leher tubuh si mandor yang tegap perkasa itu menyeringai. Dari
mulutnya tidak keluar jawaban, melainkan suara tangis yang sangat menghiba:
"Jangan bunuh aku... jangan!"
Sang dukun bermaksud memusatkan pikirannya. Akan tetapi, mandor yang heran
melihat sikap tamu yang membangunkannya subuh-subuh itu, telah bergerak dengan
perasaan tak senang. Ia maju ke depan untuk menampar laki-laki yang ia kenal sebagai
dukun penyelamat pembangunan jembatan, namun kini bersikap ganjil setelah dengan
kurang ajar membangunkannya dari tidur yang nyenyak di samping seorang perempuan
pelacur.
"Jadah!" ia memaki sambil maju. Konsentrasi pikiran sang dukun buyar seketika. Ia
bergerak mundur.
"Jangan coba-coba dekati aku..." desisnya.
Tetapi sang mandor bergerak pula maju. Tak perduli. Untuk pertama kali selama
sekian ratus kali melakukan pengorbanan tumbal seorang anak, dukun itu benar-benar
panik. Untuk pertama kali selama hidupnya, ia menjadi ketakutan. Belum pernah arwah
korbannya muncul untuk membalas dendam. Dan sekarang,...
Sekarang, tubuh laki-laki dewasa berkepala anak kecil yang terus menangis dengan
suara menghiba-hiba itu, dengan cepat telah berada di hadapannya kembali.
Wajah bocah di atas leher yang perkasa itu, menyeringai. Menyeringai kejam.
"Tidak!" jerit sang dukun.
Lantas, golok yang senantiasa terselip di balik pinggang, berkilap waktu melayang di
udara.
"Kubunuh kau. Kubunuh kau!" ia menjerit-jerit seraya menghunjamkan goloknya
berkali-kali.
Sang mandor yang tidak menduga datangnya serangan itu, tidak bisa mengelak. Ia
terpekik kaget dan kesakitan, waktu mata golok menebas salah satu lengan yang tadi
terangkat mau menampar dukun itu. Sebelum kesadarannya muncul kembali, mata
golok telah menyerang bagian tubuhnya yang lain. Ia terpekik dan terpekik keras,
meraung-mung kesakitan. Suaranya membahana di subuh itu, membangunkan
penduduk, membangunkan para pekerja dari tidur yang nyenyak. Seseorang berseru:
"Hai, siapa itu."
Lalu langkah-langkah kaki berlari. Disusul:
"Eh, apa yang kau lakukan"
Dukun itu memandang orang-orang yang mengerumuninya. Ia tidak mengenal
mereka, tetapi ia melihat wajah-wajah mereka yang marah. Panik, ia menunjuk kearah
korbannya yang menggelepar di tanah:
"Anak ini...."
Ia tidak meneruskan kata-katanya. Yang dilihatnya telah kembali pada ujudnya
semula. Tubuh dan wajah seorang mandor yang sudah ia kenal. Mandor itu
melejat-lejat sesaat, kemudian menghembuskan napas yang terakhir dalam sebuah
lejatan yang keras. Ketika tubuh itu telah diam, mati, dukun memperhatikan
orang-orang yang mengerumuninya.
"Pembunuh!" maki mereka, lantas mulai bergerak.
Sang dukun mundur seraya mengamang-amangkan goloknya.
"Jangan mendekat!" ia menceracau.
"Atau golokku...."
Pekerja-pekerja itu ragu-ragu. Dan sang dukun mempergunakan kesempatan itu
sebaik-baiknya. Ia berlari ke arah kudanya, duduk diatas punggung kuda yang kurus itu
dengan sekali loncatan, lantas:
"Hyyyaaaaa!"
ia pecut kuda itu keras-keras. Binatang itu meringkik, kedua kaki depannya terangkat
ke atas, lantas waktu menyentuh tanah kembali, keempat kaki kuda itu telah berlari.
"Hei, ia kabur!" teriak seseorang.
"Kejam. Jangan biarkan dia lepas!" sambut yang lain.
"Bunuh dia. Bunuh!" dimeriahi oleh teriakan-teriakan yang menggema memecah
kesepian subuh, memecah gendang telinga sang dukun yang terus memacu kudanya
dengan panik. Tali kekang di tangannya tegang, tidak terarah. Pikirannya kacau oleh
kejadian yang ia alami, kegagalan tumbal yang ia lakukan, dan pembunuhan yang
barusan ia lakukan. Selama ia berlari, diantara teriakan bergemuruh dari orang yang
mengejarnya, juga ia dengar suara tangis yang menyayat menghiba-hiba.
Dukun mengangkat kedua tangan menutupi telinga.
"Pergi Pergi. Pergiiii...!" makinya.
Ia pejamkan kedua mata.
"Pergil Jangan dekati aku lagi. Pergiiiii!"
Kuda tunggangannya meringkik keras. Kedua kaki depannya terangkat ke udara.
Dukun itu terperanjat oleh ringkikan kuda yang tidak berhenti. Mata ia pentangkan
lebar-lebar, menembus remang-remang cahaya subuh. Mula-mula ia hanya melihat
kegelapan.
Kemudian, ia lihat jurang besar yang menganga. Jauh di bawah, tampak sungai
mengalir dengan suara ribut. Cepat tali kekang ia sentakkan. Tetapi sentakan itu tidak
tepat. Kuda terus bergerak, berputar-putar dengan ditumpu kedua kaki belakang, makin
lama makin sempoyongan dan ketika salah satu dari kaki belakang itu menginjak kayu
jembatan lama yang sudah lapuk, terdengar ringkikan ngeri dari mulut kuda. Kendali
tidak lagi ada gunanya. Bagaikan sebongkah batu gunung yang besar dan hitam, kuda
itu melayang jatuh ke bawah membawa tubuh tuannya.
Pekik ngeri dukun itu menggema di udara, disambut oleh si pongang, memantul dari
bukit ke bukit, kemudian terenggut oleh suara hempasan-hempasan yang keras, benda
besar jatuh ke sungai, lalu suara air mengalir yang acuh tak acuh.
Orang-orang yang mengejar saling susul ke bibir jembatan, memandang ke bawah.
Lama baru terdengar gumaman:
"Manusia biadab itu telah menebus dosanya!"

***

Dari ufuk timur, matahari pagi itu mengintai. Cahayanya putih kekuningan, hangat
gemerlapan. Orang-orang bergerak meninggalkan tempat mengerikan itu dengan diam,
tak ada yang mengeluarkan sepatah katapun juga. Cahaya matahari pagi menjilat
sosok tubuh mandor mereka yang tergeletak berlumur darah. Mereka menggotongnya
beramai-ramai, masuk ke salah satu rumah...
***
Di rumah Sumantri, cahaya matahari pagi itu masuk lewat jendela. Orang pertama
yang meloncat dari tempat tidur, adalah Sumantri. Tidak bisa tidur, penasaran,
bercampur baur jadi langkah-langkah bergegas menuju ruang tengah. Ia lihat Kurdi
masih duduk bersila di samping tubuh mayat anak Sumantri.
Penunggu jenazah itu tampak amat letih, pucat dan berkeringat. Ia sedang
mengusapkan telapak tangan kanannya ke bagian leher mayat Dudung. Setelah itu, ia
bangkit.
Gontai.
Lalu berjalan kearah jendela. Gontai. Sumantri berjongkok di dekat mayat anaknya.
Leher Dudung ia perhatikan. Tidak ada guratan. Yang ada hanya selemukan
darah-darah kering. Sumantri mengusap darah kering itu. Lalu memperhatikan dengan
tajam. Kepala anaknya telah bersatu dengan leher. Bersatu seperti tidak pernah
berpisah sebelumnya. Bahkan sama sekali tidak meninggalkan bekas diperlakukan
dengan kejam. Anak itu terbaringdalam keadaan mati, seolah-olah terbaring dalam
keadaan tidur yang nyenyak dan nyaman.
Ada senyum halus di bibir sang anak.
Tersenyum.
Sumantri memeluk tubuh mayat itu, menangisinya dengan suara tersedu.
Orang-orang lain di rumah itu, bergegas masuk mendengar tangis Sumantri. Mereka
berkerumun di sekeliling mayat. Isteri Sumantri menjerit:
"Anakku! Anakku sayang..."
lantas memeluk anaknya, meratap. terus pingsan.
Orang yang tadi malam melihat mayat Dudung berjalan, melongo sesaat. Lalu:
"Apa kubilang. Aku tidak bermimpi. Dudung memang keluar untuk... untuk mengambil
kepalanya!"
Gumam bergaung di ruang itu, bercampur tangis. Sumantri menoleh pada sanak
keluarganya. Mendesah, haru:
"Jangan. Jangan ada lagi yang menganggap Dudung mati dengan kepala berpisah
dari badannya. Anak ini mati sempurna. Mati wajar. Harap kalian camkan!" dan ia
menangis pula.
Tersendat-sendat. Sekilas, matanya menangkap bayangan tubuh di jendela. Kurdi
tersadar di sana. Lengan kirinya teracung ke udara, menyambut terbitnya matahari
pagi. Hati-hati, tangan kanannya membuka pembungkus dari daun kelapa muda pada
bagian luka di urat nadi lengan kiri itu.
Sumantri tidak terlalu jauh untuk bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri. Ketika
pembalut dari kelapa muda itu terbuka, sempat ia lihat bekas luka oleh goresan pisau
cukur. Luka itu dicium oleh cahaya matahari, mengabur lalu sirna perlahan-lahan.
Ketika Kurdi menarik tangannya dari luar jendela, tiada lagi bekas luka di lengan
kirinya.
Ia tersenyum puas. Memandang ke arah kuda, kereta serta anjingnya di luar. Anjing
itu menggonggong, lembut. Kuda itu mendengus.
Lembut.
Dan kereta itu bergerak kearuh pintu depan.
"Sudah waktunya aku pulang... " gumam Kurdi kearah Sumantri.
Di bawah siraman matahari pagi, kereta kuda itu bergerak sepanjang jalan
perkampungan demi perkampungan, diikuti pandangan orang-orang yang kebetulan
melihatnya. Kereta kuda yang aneh, dengan sebuah peti mati di bak belakang, kuda
besar yang hitam legam, serta anjing bertubuh seram berlari-lari di sampingnya
dengan lidah terjulur-julur keluar. Kurdi memegang tali kekang seenaknya saja. Ia
biarkan kuda berjalan tanpa tuntunan. Betapa inginnya ia tidur. Istirahat yang panjang.
Kurdi amat letih. Pekerjaan mencari kepala anak itu tidaklah sukar.
Yang sukar, adalah menyempurnakan jasadnya agar utuh seperti semula. Ia harus
berjuang melawan pengaruh gelap selama pemusatan pikirannya meminta bantuan
kepala Dudung mengalahkan kekuatan dukun yang telah memenggal kepala itu putus
dari lehernya. Dan ketika kepala itu akhirnya tidak mengeluarkan suara tangis lagi, ia
tahu pengaruh yang mengitari dirinya telah lenyap. Dengan beberapa kali usapan,
leher dan kepala itu telah bersatu.
Utuh.
Benar-benar pekerjaan yang meletihkan. Setelah didahului oleh rasa kecewa yang tak
tertahankan.
Ya, betapa ia kecewa. Arwah Nengsih Sumarni bangkit dari kuburnya. Kurdi tahu
arwah itu telah berhasil melaksanakan niatnya. Akan tetapi, arwah Nengsih Sumarni
tidak mau kembali masuk ke dalam kubur. Betapa Kurdi sangat kecewa, waktu dalam
pemusatan pikiran di sebelah kubur yang terbongkar hebat itu, ia dengar suara
cekikikan Sumarni:
"... kembali! Aku tak bisa. Aku tak bisa!"
Waktu itu, Kurdi masih berusaha membujuk.
"Demi kebaikanmu, Marni. Kembalilah."
"Tidak. Aku tidak bisa kembali. Bumi tidak menerimaku, manusia pengabdi setan.
Tidak mengertikah kau. Bumi tidak mau menerima jasadku. Mereka akan segera
menguburkan jasad kekasihku. Tetapi aku tahu, bumi pun tidak akan sudi menerimanya.
Aku tidak mau membiarka n ia terkatung-katung sendirian. Aku akan ikut dengannya,
berkelana di alam yang penuh kegelapan ini. Kami orang-orang yang dikutuk, tahukah
kau. Kami orangorang yang dikutuk. Kami kawin, meski kami sadar bahwa kami adik
kakak satu susu. Bumi tidak mau menerima orang-orang terkutuk seperti kami..." suara
Marni berbaur dengan tangis yang memilukan.
"Kami tidak menyesal. Karena kami saling mencintai. Dengarlah, laki-laki pengabdi
setan. Kau telah menodai tubuhku. Kau telah menjamah perempuan yang bukan hakmu.
Kau telah melakukan apa yang hanya berhak dilakukan suamiku atas tubuhku. Ingatlah
ini: kami akan kembali pada suatu saat. Kami akan melawanmu, membalaskan sakit
hatiku...."
Suara Nengsih Sumarni tertawa nyekikik, membuat bulu roma Kurdi berdiri. Ia tidak
pernah mengenal takut, tetapi pelanggaran yang dilakukan Nengsih untuk segera
kembali masuk ke dalam kubur, membuatnya harus berhati-hati. Semenjak saat itu ia
tidak pernah bisa merasa tenteram lagi.
"Huh!" rutuknya, di antara derak-derak roda kereta.
"Mengapa harus kupikirkan benar. Mungkin ia tidak kembali memang karena bumi
tidak sudi menerima orang berdosa seperti perempuan itu!"
Lalu ia sentak tali kekang kuda.
***
Matahari sudah sepenggalah langit ketika kereta mayat yang dikendarai Kurdi
memasuki mulut sebuah desa. Dengan mata setengah mengantuk ia melihat beberapa
orang penduduk tergopoh-gopoh berjalan kearah sungai yang mengalir di pinggir desa
itu serta membatasinya dengan desa lain. Dari desa yang bersebelahan Kurdi juga
melihat beberapa penduduk berlari-larian melalui sebuah titian bambu ke tempat yang
sama.
Mula-mula Kurdi acuh tak acuh.
"Paling-paling ada anak tenggelam," ia berkesimpulan.
"Mereka sudah cukup banyak untuk menolong. Dan ah... betapa berat rasanya kantuk
yang menggantung di kelopak mata!"
Ia sentakkan tali kekang kuda. Binatang berkulit hitam legam itu mendengus.
Keras.
Kepalanya bergerak ke samping, seolah memperhatikan majikannya. Enggan,
kaki-kaki kuda itu bergerak maju. Dari mulutnya yang berbuih, beberapa kali terdengar
hendusan-hendusan keras yang tidak berkeputusan.
"Hem. Kau tentu sudah letih." rungut Kurdi ditujukan pada kudanya.
"Sabarlah. Tidak sampai lima kilometer lagi, kita akan segera tiba di rumah...."
Anjing yang berlari-lari kecil di samping kereta, tibatiba melolong halus. Kurdi
mengernyitkan dahi. Itu bukan kebiasaan si hitam bermata kemerah-merahan itu.
Dengan lidah terjulur-julur keluar, anjing itu berlari bukan lurus ke arah menuju jalan
yang membelah desa, akan tetapi justru menyimpang ke arah orang orang semakin
banyak berlarian ke pinggir sungai. Kurdi bermaksud memanggil anjingnya kembali,
waktu salah seorang dari yang berlari-lari itu, keluar dari kelompoknya dan bergegas
ke arah kereta yang berhenti tanpa dikehendaki Kurdi.
"Ingin dipecut kau rupanya!" geram Kurdi kepada kudanya. Namun pecut itu tidak
sempat terangkat. Karena orang tadi telah berada di samping kereta. Ia adalah seorang
laki-laki tua dengan muka keras dan hitam dipanggang matahari. Blangkon menutup
kepala orang itu sampai batas pertengahan dahi yang kulitnya sudah berlipat-lipat.
"Kebetulan!" seru orang itu begitu ia berhadapan dengan Kurdi yang masih duduk
dengan kesal di atas kereta.
"Kebetulan sekali kau lewat, Nak Kurdi...." Kurdi memperhatikan jenggot yang sudah
ubanan di dagu lancip orang itu, dan mencoba tersenyum seramah mungkin.
"Apa yang terjadi, Pak Suryo?" tanyanya.
"Ada mayat terdampar di pinggir sungai..."
"Oh!" cetus Kurdi, seraya tengadah menatap langit,
"Hari masih belum begitu siang. Saya kira waktu untuk mengurus dan menanam
mayat itu cukup banyak. Bukankah...."
"Kalau cuma itu soalnya," si orangtua memotong cepat-cepat sambil mengusap-usap
jenggotnya yang menjuntai sampai ke batas dada.
"Aku tak perlu mencegahmu pulang, meskipun kulihat kau sudah ingin mengukur alas
tempat tidur..." orangtua yang dipanggil Pak Suryo oleh Kurdi itu, tersenyum kecil.
"Ketahuilah, Nak Kurdi. Penduduk desa ini tidak ada yang merasa kehilangan. Juga
desa tetangga di sana..." ia menunjuk ke seberang sungai.
"Hem!" Kurdi menghela nafas.
"Jadi mayat itu terbawa hanyut dari desa lain"
"Benar. Dan itupun tak perlu kita persoalkan, andaikata mayat itu mayat orang
biasa."
"Orang biasa?" Kurdi menggernyitkan dahi.
"Maksudku, kami mengenalnya dengan baik, seperti kami mengenal diri sendiri. Ia
bernama...."
"Peti mati tak pernah bertanya soal nama orang yang akan ditampungnya. Apa
pekerjaan orang itu semasa, hidupnya"
"Dukun."
"Melihat sinar mata Pak Suryo yang gusar, saya bisa menduga tentunya orang itu
penganut ilmu hitam..." Kurdi menghela nafas sekali lagi. Panjang dan pasrah.
"Baiklah," ia melanjutkan seraya meloncat turun dari atas kereta.
"Saya bisa membayangkan betapa orang orang di sini tidak menyukai orang itu selagi
hidupnya, dan membenci orang itu setelah kematian merenggut nyawanya...."
"Tepatnya, tidak seorang pun yang sudi untuk mengurus mayatnya," timpal orangtua
itu seraya berjalan mendahului Kurdi ke arah orang-orang berkerumun beberapa ratus
meter dari jalan desa. Kurdi menepuk-nepuk punggung kuda sambil bersungut-sungut:
"Jadi ini sebabnya kau memaksa kereta berhenti, eh?"
Ia kemudian berjalan mengikuti orangtua itu ke pinggir sungai. Dari jauh, anjingnya
yang hitam legam dengan matanya yang kemerah-merahan serta lidahnya yang
berlendir berlari lari menyongsong. Setelah dekat dengn Kurdi, kedua kaki belakang
anjing itu merapat dengan posisi merendah, menjepit ekornya yang melingkar di bawa
perut. Sesaat, Kurdi tertegun. Sikap ganjil yang diperlihatkan anjing itu, jelas
merupakan suatu pertanda buruk. Ia mencoba mengerti arti gonggongan halus serta
pandangan mata sahabatnya itu. Namun suara hiruk pikuk di pinggir sungai telah
menyita perhatiannya. Orang-orang menyisi memberi jalan waktu Kurdi dan Pak Suryo
tiba. Sesosok tubuh terlentang di rerumputan yang basah. Ia berkaki telanjang.
Celananya dibagian lutut robek besar memperlihatkan kulit yang memar dan tulang
yang tersembul ke luar. Putih seperti salju di antara warna merah kehitam-hitaman.
Darah beku. Memar yang mengerikan terdapat hampir di seantero bagian tubuhnya
yang lain.
Yang membuat kerumunan orang-orang itu tidak berani terlalu dekat, adalah posisi
tubuhnya. Orang yang telah menemukan mayat itu telah menyeretnya dari pinggir
sungai dimana mayat terdampar. Karena ingin tahu, tentu mayat itu telah dibalikkan.
Jelas kelihatan, mayat itu seolah olah merangkak ke pinggir sungai dan berusaha
mencakar rumput untuk naik. Kedua tangannya berkembang dengan jari jemari
ditempeli rumput dan lumpur, seakan ingin mencakar langit di atas mereka. Yang
paling menakutkan adalah wajah mayat itu. Pucat kebiru-biruan, kaku dan memar di
sana sini. Kedua tulang pipinya rekah berdarah yang sudah membeku. Demikian pula
dagu. Bibir sobek memperlihatkan gigi gigi kuning kehitam-hitaman yang mencuat dari
dalam gusi. Hidung remuk.
Tetapi ajaib. Kedua belah matanya masih tetap utuh. Sepasang mata itu terbelalak
lebar. Tidak ada cahaya sama sekali di sepasang mata itu. Akan tetapi, Kurdi
merasakan jantungnya berdenyut. Mata itu seperti menatap lurus ke mata Kurdi.
Menuduh.
Kurdi mengerdipkan matanya sendiri. Menarik nafas berkali-kali, lantas meludah ke
tanah. Juga berkalikali.
"Kau juga mengenalnya?" tanya Pak Suryo. Kurdi manggut-manggut. Sahutnya:
"Siapa yang tak mengenal Ki Sanca ini.
Ia bisa membuat perempuan jelek tampak jadi cantik di mata orang lain yang diingini.
Bisa menjadikan orang yang sehat dan segar bugar tiba-tiba jatuh sakit bahkan mati.
Aku jarang bertemu dengannya, tetapi sudah sering mendengar tentang sepak
terjangnya. Sebenarnya... sebenarnya aku tidak suka mengantarkan mayat ini pulang ke
rumah keluarganya."
Orang-orang yang berkerumun bergumam dengan suara menggaung. Pak Suryo
mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Gaung itu lenyap serentak seperti debu tertimpa
hujan.
"... kami tahu Nak Kurdi sudah dekat ke rumah," ujar Pak Suryo.
"Desa Ki Sanca setengah hari perjalanan dari sini. Memang suatu siksaan. Tapi Nak
Kurdi, tak bakalan seorang pun penduduk desa ini yang sudi pemakaman mereka dihuni
oleh Ki Sanca. Juga demikian desa-desa di sekitar sini. Jadi, tak ada jalan lain.
Mayatnya harus dipulangkan ke keluarganya, atau kita buang kembali ke sungai. Saya
tahu, Nak Kurdi tidak tega untuk melakukan hal yang terakhir...." Kurdi menggelengkan
kepala. Katanya, lesu:
"Bukan itu maksudku. Aku... ah, mata Ki Sanca ini benar-benar tidak kusukai sama
sekali." Orang-orang bergumam lagi. Ramai.
"Baiklah!" akhirnya Kurdi berkata dengan suara dikeraskan untuk menenteramkan
orang-orang itu.
"Aku bersedia mengantarkannya!"
Wajah-wajah pucat dan layu di sekelilingnya, seketika berubah cerah. Meskipun
enggan, mereka kemudian bersedia mengangkat mayat yang sudah tidak karuan
bentuknya itu menggotongnya beramai ramai ke jalan dan kemudian memasukkannya
ke dalam peti mati di bak kereta Kurdi. Penunggu jenazah itu meludah berkali-kali
dengan pandangan tidak senang melihat peti matinya diisi oleh mayat Ki Sanca.
Perasaan tidak senang itu dalam hati kecilnya bercampur baur dengan perasaan cemas
yang tidak berujung pangkal. Pandangan mata dari mayat itu tidak lepas dari
benaknya. Seolah-olah sepasang mata yang terbuka lebar di wajahnya pucat serta
rusak itu, berusaha menembus papan penutup peti mati, berusaha menjilati sekujur
tubuh Kurdi yang sudah naik ke tempat duduk kereta. Kurdi merasa kuduknya bergidik.
Seolah ada yang mencakar. Jari jemari yang mencengkeram, keras, kaku serta dingin.
Ia belum pernah secemas ini menghadapi mayat seseorang. Tak perduli orang itu
seorang haji atau seorang pemuja setan. Ia coba menenteramkan hatinya dengan
ingatan bahwa ia merasa tidak ada hubungan apa-apa dengan Ki Sanca, tidak pernah
berbuat sesuatu yang melukai hati dukun itu semasa hidupnya.
"Diamlah baik-baik di tempatmu kini terbaring,"
Kurdi menoleh ke arah penutup peti mati sebelum menggerakkan keretanya
meninggalkan tempat itu.
"Aku toh mau mengantarmu pulang. Mana gratis!" ia tersenyum sendiri, lantas mulai
memecut kuda. Binatang itu menggerakkan kedua kaki-kaki depannya dengan
serempak. Kereta bagai terlonjak, kemudian berlari tanpa tergesa-gesa.
Di sampingnya, sang anjing mengikuti dengan enggan. Lolongannya sudah tidak
terdengar lagi. Lidah tak lagi terjulur, demikian pula dengan ekor, kini
mengibas-ngibas ke kiri ke kanan. Kerumunan orang-orang yang mereka tinggalkan
tidak beranjak dari tempat masing-masing berdiri terpaku. Makhluk-makhluk yang
berlari menjauh itu tetap ganjil di mata mereka.
Sebuah kereta tua dengan peti mati berisi mayat, seorang laki-laki bermuka tirus dan
pucat di tempat duduk, kuda yang mendengus-dengus serta anjing bermata kemerah
merahan. Penduduk desa itu memang membenci mayat yang terbaring dalam peti mati.
Namun itu tidak berarti, bahwa mereka semua menyukai orang yang dikenal di seantero
daerah itu sebagai penunggu jenazah. Konon, jenazah-jenazah orang-orang yang mati
penasaran. Itu bukan pekerjaan yang enak untuk dipegang, dan bukan jabatan yang
mudah memperolehnya. Kurdi itu senantiasa bergaul dengan mayat, dan mayat
senantiasa bergaul dengan setan. Bukankah tidak mungkin Kurdi sendiri dalam
tugasnya sering juga melakukan hubungan dengan setan. Dan setan memang tengah
merajalela di kepala Kurdi. Setan kantuk. Saking tidak tahan, di kaki sebuah bukit
kereta ia hentikan. Setelah memandang acuh tak acuh ke arah peti mati, ia meloncat
turun dari tempat duduk. Kereta ia tinggalkan di pinggir jalan, dan membiarkan
kudanya yang seluruh tubuhnya sudah basah oleh peluh, merumput di antara semak
belukar. Kurdi berjalan ke bawah sebuah pohon yang berdaun rimbun, diiringi oleh
anjing kesayangannya. Waktu Kurdi merebahkan tubuh di rerumputan, anjing itu
menjilati tangannya. Kurdi menepiskan mulut binatang itu. Terdengar lolongan kecil
yang sayup sayup, dan sinar mata kemerah-merahan di bawah kelopak berbulu hitam
legam itu memperhatikan perasaan hatinya kepada Kurdi.
"Apa yang kau khawatirkan?" rungut Kurdi pada anjingnya, dan acuh tak acuh
mengatupkan kelopak matanya. Dedaunan yang rimbun, rumput yang sejuk dan angin
yang berhembus dari pegunungan, membuai Kurdi sehingga ia terlelap dalam seketika.
Ia tidur dengan nyenyak. Tidak perduli pada waktu. Tidak perduli pada rintihan
anjing, serta dengus-dengus resah dari sang kuda. Tidak perduli pada matahari yang
tak lama kemudian tergelincir di ufuk barat. Malam telah jatuh. Bersamaan dengan itu,
tutup peti mati pelan-pelan bergeser terbuka....
Tiada suara apa pun yang terdengar waktu tutup peti mati itu bergeser ke samping.
Perlahan sekali. Kuda yang berdiri tak jauh di depan kereta mengangkat kepalanya
sedikit. Matanya berkilat-kilat memandang ke arah peti mati yang tutupnya bergeser
semakin lebar. Binatang itu mengangkat kepalanya lebih tinggi, dengan bibir-bibirnya
yang tebal ternganga memperlihatkan gigi-gigi panjang, besar-besar dan kuning.
Rupanya kuda itu ingin meringkik, namun yang keluar dari mulutnya hanya hendusan
halus semata. Lambungnya kembang kempis dengan hebat pertanda betapa ia tersiksa
oleh keadaan itu. Binatang itu kemudian menoleh ke arah tuannya yang berbaring di
bawah pohon. Dalam kegelapan, Kurdi tampak seperti seonggok kayu mati. Hanya
suara dengkurnya yang jelas terdengar memecah kesepian di kaki bukit itu yang
memberi petunjuk bahwa si penunggu jenazah masih hidup adanya.
Tutup peti itu bergeser semakin lebar. Kemudian sebuah tangan tampak menjulur ke
luar. Pucat bagai kapas, seakan merahup angin malam yang berhembus enggan.
Tangan itu menggapai tepi tutup peti mati, menggerakkannya lebih cepat sampai
benar-benar menganga lebar. Dengan sedikit dorongan, tutup peti itu terjatuh ke
samping. Terdengar suara berderak yang lembut. Di bawah naungan dedaunan pohon
yang rimbun, Kurdi menggeliat. Mulutnya berkecap-kecip tidak menentu, menggeliat
lagi lalu diam tidak bergerak gerak.
Suara dengkur kembali menggema mengisi kesepian malam.
Dari dalam peti mati yang menganga, pelan-pelan terjulur ke luar sebuah kepala
yang memar-memar dan luka. Bulan yang baru saja muncul menjilati cahaya
kemerah-merahan yang menetes dari lukaluka itu, mengalir membasahi leher yang biru
lembab bekas benturan benda keras, lalu kemudian mengendap di kain kemeja yang
kotor oleh lumpur. Ki Sanca kini terduduk dalam peti mati. Sepasang matanya
mengedip. Berkali-kali. Mata itu ia seka dengan tangannya. Menghilangkan rasa perih.
Kemudian ia seka juga darah yang menetes dari dahinya, bergumam setengah marah
lantas memandang berkeliling. Mula-mula ia melihat jalan yang lengang dan hitam,
semak belukar di kiri kanan serta batang-batang pohon yang tegak menjulang dengan
kukuh, tak ubahnya raksasa-raksasa yang diam tidak bergerak-gerak, balas menatap
pandangannya. Malam pun jadi ikut terdiam. Juga kuda tak jauh di depan kereta. Dan
seekor anjing meringkuk dengan kepala menempel di atas rerumputan, ekor menyipat
diantara kedua kaki belakang, serta mata kemerah-merahan tidak berkedip sedikitpun
juga.
Ki Sanca kemudian melihat sesosok tubuh yang berbaring di sebelah anjing itu.
Sepasang mata di atas pipi-pipi yang pecah-pecah berdarah itu, mengecil tiba tiba.
Dari mulutnya tercetus desisan lemah:
"Kurdi. Si penunggu jenazah!"
Desisan itu disusul oleh geram yang tidak berketentuan. Mulut Ki Sanca yang sobek
dengan susah payah berusaha mengeluarkan mantera mantera. Bunyinya seperti suara
nyinyir seekor monyet tua yang cerewet, diiringi gerak tangan yang berulang-ulang
menebas ke kiri kanan. Dengkur Kurdi tenggelam ditelan oleh suara Ki Sanca yang
terus membaca mantera tanpa berhenti walau setarikan nafas sekalipun. Suaranya
makin lama makin tinggi. Anjing Kurdi pelan-pelan menggeram. Geramannya pun
tenggelam ditelan suara mantera Ki Sanca. Kepala anjing itu terangkat. Terdengar
lolongan lirih lepas dari moncongnya. Lolongan itu terhenti waktu Ki Sanca
pelan-pelan berdiri.
Tepatnya, merangkak dalam usahanya untuk bisa berdiri tegak. Tetapi tempurung
salah satu lututnya yang remuk, menggagalkan keinginannya. Ki Sanca meringis oleh
rasa sakit yang hebat, dan berusaha menahan sakit itu dengan menyumpah-nyumpah
tidak menentu. Ia terus merangkak, keluar dari peti mati, turun dari kereta dan setelah
kakinya menginjak tanah, tubuhnya yang letih serta sakit-sakit ia sandarkan pada bak
kereta. Berdiri dalam posisi serupa itu, mulutnya kembali kumat-kamit membaca
mantera. Sesekali ia tujukan pandangan kedua matanya kearah Kurdi. Sesekali pula
terdengar ia bertanya.
Tajam.
"Mengakulah!" Kurdi mengerang dalam tidurnya.
"Mengakulah!" Kurdi bergumam dalam tidurnya:
".... aku... aku...."
"Kaukah orangnya?"
"... ya!"
"Jadah!"
Tidak ada sahutan dari mulut Kurdi. Hanya keringat berbutir saja yang menetes
keluar dari ujung hidungnya. Hidung itu kembang kempis dengan cepat, berusaha
menghirup udara sebanyak mungkin. Mulut Kurdi terbuka, melepas nafas panjang
berkali-kali. Kedua belah matanya masih terkatup rapat, waktu Ki Sanca menyeringai
kejam lewat bibirnya yang sobek dan bengkak-bengkak.
"Kau beruntung. Kekuatanku tidak seberapa dalam keadaanku yang serupa ini. Tetapi
suatu waktu, kelak...."
Ki Sanca meludah. Lalu bergerak menjauhi kereta, menjauhi tempat itu dengan
menyeret sebelah kakinya yang hancur. Ia berjalan tersuruk-suruk tanpa menoleh lagi
ke belakang, sesekali terjatuh tanpa mengaduh, bangkit juga tanpa mengaduh, lalu
berjalan terus, tersuruk-suruk. Tubuhnya kemudian lenyap dalam kegelapan malam di
antara bayang bayang pepohonan. Barulah pada saat itu, kuda yang berdiri di depan
kereta, tiba-tiba menggerakkan seluruh tubuhnya yang kejang kaku. Kedua kaki
depannya terangkat tinggi, kemudian menjejak dengan suara keras dan ribut ke tanah.
Dengusannya yang ribut disambung oleh raungan anjing yang melengking tinggi.
Anjing itu berlari-larian ke arah sosok hitam tadi menghilang di antara pepohonan.
Lalu menyalak berkali-kali. Menyalak ribut, tanpa berusaha untuk mengejar. Suara
yang riuh rendah itu seketika membangunkan Kurdi dari tidurnya yang nyenyak namun
gelisah. Begitu matanya terbuka, begitu ia terlonjak berdiri. Perhatiannya langsung
tertuju ke atas kereta. Ia melihat peti mati sudah terbuka. Tutupnya terkapar di samping
peti. Dengan kaki-kaki yang gontai, Kurdi berjalan ke arah kereta. Di sana, ia tertegun,
dengan wajah mendadak pucat. Tanpa melihat ke dalam peti mati, ia telah tahu apa
yang terjadi.
"Hem!"
Kurdi mendengus. Lantas bersiul. Anjing yang masih menyalak-nyalak ke arah
pepohonan berlari larian mendatangi Kurdi. Ia menjilati kaki tuannya dengan
erang-erangan lirih tidak berkeputusan. Kurdi mengangguk.
"Aku tahu. Aku tahu," katanya.
"Kalian telah berusaha membangunkan aku.... Biarlah. Ki Sanca sudah pergi. Jadi ia
belum mati. Hem. Sudah, sudah. Kalian jangan ribut lagi. Sudah waktunya kita pulang,
sekarang. Biarin manusia yang bangkit dari kematiannya itu menempuh jalannya
sendiri. Itu lebih baik. Kita tak usah bersusah payah lagi mengantarkannya...."
Akan tetapi, ketika Kurdi sudah menghenyakkan pantat di atas tempat duduk dan
kereta itu mulai bergerak ke arah mereka semula datang, belakang kepala Kurdi terasa
berdenyut-denyut. Dahinya melipat, dan mataya mengecil tanpa sinar, memandang
lurus ke depan, ke arah kegelapan. Jalan yang mereka lalui kadang-kadang bersiram
sinar rembulan, kadang-kadang seperti lenyap ditelan bumi. Tetapi kuda yang menarik
kereta sudah tahu ke mana jalan pulang. Kurdi tidak perlu merasa gelisah. Yang ia
gelisahkan, adalah bau tak enak dari udara yang berhembus ke kiri kanan tubuhnya. Ia
mencium adanya pandangan mata tersembunyi dari tengah kegelapan, tanpa Kurdi bisa
melihatnya. Hanya nalurinya yang merasakan. Naluri itu mengatakan padanya.
"Ki Sanca telah berhasil menarik keterangan dari mulutmu." Keterangan! Keterangan
apakah itu gerangan?"
Dalam tidurnya, Kurdi tidak merasa bermimpi. Ia begitu nyenyak oleh karena letih,
kurang istirahat dan tidak kuat menahan kantuk yang begitu hebat menyerangnya.
Diam-diam ia menduga, kantuk itu semakin menjadi begitu tubuh Ki Sanca yang mereka
sangka sudah menjadi mayat, dinaikkan ke atas kereta, dan terbaring dalam peti mati
selama perjalanan mengantarkan dukun itu pulang ke kampungnya.
"Ia tidak mati," geram Kurdi.
"Ia tersiksa hebat, entah kecelakaan apa yang menimpa dirinya. Tetapi sebelum
kematian datang, Ki Sanca pasti masih keburu bersemedi. Semedinya itu berhasil
menolongnya dari cengkeraman malaikat maut yang sudah mengulurkan tangan.
Pantas... Pantas pandangan matanya seperti mengandung arti. Siapakah yang
dituduhnya.Orang-orang kampung itu" Atau... aku?"
Kurdi menghela nafas. Belakang kepalanya berdenyut semakin keras. Otaknya
bekerja lembur. Lalu tiba-tiba ia berhasil menyimpulkannya. Dan kesimpulan itu,
membuat Kurdi terhenyak di tempat duduknya, dengan wajah semakin pucat, dan bibir
gemetar dan kering kerontang. Dengan liar matanya memandang ke kegelapan.
Mencari-cari.
Ia tidak menemukan apa yang ia cari. Otaknya yang masih kerja lembur, memberikan
kesimpulan kedua. Kurdi menyeringai.
Kecut.
"... bahaya itu tidak akan muncul sekarang," gumamnya sendirian.
"Kalau Ki Sanca mau, ia bisa mencelakakan aku selagi tidur.... Terkutuk, mengapa
sebelum rebah dibawah pohon itu, aku lupa membaca mantera-mantera penjaga diri"
Ah. Di tempat yang begitu sepi dan nyaman, masih juga berhembus angin jahat.
Salahku sendiri. Tidak memperhitungkan kemungkinan Ki Sanca belum mati!"
Ia sentak tali kekang.
"Hiiiaaaaa!" bentaknya.
Malam seperti berderak. Dan roda-roda kereta ikut berderak.
***
Menjelang Subuh, Ki Sanca tiba di rumahnya. Isterinya yang membuka pintu
untuknya. Perempuan setengah baya itu menjerit lirih waktu melihat sosok tubuh
mengerikan yang terhuyung-huyung jatuh kearahnya, waktu pintu ia buka. Kalau tidak
mengenali pakaian suaminya yang sudah robek-robek dikotori lumpur bercampur darah
itu, tentulah ia sudah meninggalkan pintu depan dan menghambur masuk kembali ke
kamar tidurnya, bergulung di bawah selimut.
"Ki...!" jeritnya,
lalu membungkuk untuk memeriksa tubuh itu.
"Ki! Apa yang terjadi denganmu" Apa Ki" Apa?" Dengan air mata bercucuran, si
perempuan menyeret tubuh suaminya ke kamar, membaringkannya diatas tempat tidur
dan dengan ribut menangis di samping tempat tidur itu. Mulut Ki Sanca yang robek
mengeluarkan suara tersendat-sendat:
"... ambilkan ramuan-ramuan itu. Jangan cuma menangis. Cepat..."
Yang disuruh cepat-cepat berdiri. Cepat-cepat pula berlari ke luar, masuk ke sebuah
kamar lain yang terkunci. Ia ribut mencari anak kunci, membongkar isi lemari,
menggapai-gapai ke bagian atas bendul pintu dan jendela, meraba-raba dalam rak,
sampai akhirnya ia berlarian lagi ke kamar tidur untuk menanyakan di mana suaminya
menyimpan anak kunci.
"Bodoh!" rungut Ki Sanca.
"Ludahi saja pintu itu!" Si isteri berlari lagi ke luar. Ia ludahi pintu berkali-kali.
Setelah itu daun pintu ia dorong. Demikian keras, sampai terhempas membuka.
Berdebam bunyi daun pintu menghantam dinding. Si perempuan menerobos masuk.
Dalam jilatan lampu minyak, matanya mengitari ruang sempit dan berbau pengap itu.
Sebuah meja yang diatasnya terletak baskom, panci-panci berisi darah yang sudah
dibekukan, golok berkilat-kilat terselip di antara tumpukan tulang belulang manusia,
kemudian sekaranjang rempah-rempah di bawah meja. Ia rahup sebagian
rempah-rempah itu, memasukkan ke baskom yang kemudian dicampurnya dengan
segumpal darah, diisi air gentong, kemudian membawanya ke kamar tidur. Susah
payah, Ki Sanca berhasil duduk.
"Segera setelah aku sembuh, si penunggu jenazah itu akan tau rasa!" umpatnya,
lalu mulai membaca mantera. Di luar, angin subuh bertiup dengan kencang.
Perempuan yang berdiri dengan muka pucat di samping tempat tidur, menggigil
seketika. Ia berjalan ke luar, dan menutupkan pintu cepat-cepat.
***
Tak ubahnya sebuah meja jagal yang bundar dan bidang, langit di ufuk barat tampak
berwarna merah darah kekuning-kuningan. Matahari baru saja merangkak ke balik
bukit. Warna merah darah kekuning-kuningan itu berpadu dengan kehijauan dedaunan
rimbun sebuah pohon beringin yang tumbuh telah beratus-ratus tahun lamanya di
pinggir hutan.
Percikan-percikan sisa-sisa sinar matahari mengintip lewat celah dedaunan, menerpa
akar-akar beringin yang berjuntai seperti ratusan ekor ular-ular raksasa yang saling
berpagut, mengelilingi bagian samping dan belakang sebuah rumah kecil beratap ijuk.
Sebagian dari cabang pohon beringin itu menyapu dinding setengah papan tepas
dengan daun-daunnya yang beriak-riak ditiup angin senja, menimbulkan suara berisik
lembut ditengah-tengah kesepian yang mencekam di sekelilingnya.
Seekor kuda mendengus keras di sebuah kandang. Dari kejauhan, di dekat pintu
masuk kelihatan sebongkah benda berwarna hitam Legam bagai melata di tanah.
Semakin dekat, bongkah itu semakin berbentuk dan tiba-tiba berdiri tegak di atas
keempat kaki-kakinya yang ramping dan kukuh. Ekor di belakang tubuhnya mengibas ke
kiri dan ke kanan. Benda yang tidak lain dari seekor anjing itu menggereng dengan
suara mengilukan tulang. Kepalanya tegak dengan mata yang merah memandang tajam
pada seorang laki-laki yang muncul di pekarangan.
Nafas orang itu terengah engah. Pakaiannya basah oleh peluh, demikian pula
wajahnya yang tampak legam. Selama beberapa saat, laki-laki itu bersandar ke batang
kayu pagar pekarangan, berusaha mengatur nafas. Matanya tidak beranjak dari anjing
yang sebaliknya tidak pula mau melepaskan pandangannya dari tamu asing yang baru
muncul itu.
Sesaat, jantung si laki-laki menciut melihat warna darah di mata anjing itu.
"Ehem!"
Ia terbatuk. Atau sengaja batuk. Keras. Anjing itu tiba-tiba menggonggong. Keras. Si
lelaki mundur setapak. Ia memandang ke kiri kanan. Tak tau apa yang akan ia cari.
Tetapi andaikata ia harus berjuang, sebuah kayu atau sebongkah batu mungkin bisa
menolong. Akan tetapi, setelah menggonggong keras, anjing bertubuh kekar hitam itu
kemudian mengibas-ngibaskan ekornya perlahan-lahan, lalu meringkuk kembali di atas
kedua kaki belakangnya.
Sepasang telinganya yang panjang,jatuh lunglai di kedua samping kepala. Lidahnya
terjulur keluar, memperdengarkan suara mendengus dengus. Sepasang matanya
berkilat-kilat, namun sikapnya yang diam membuat jantung laki-laki tadi kembali
berkembang.
"Ehem!" ia batuk lagi.
Tidak sekeras tadi. Dan anjing itu diam saja. Tetap diam, selagi si lelaki bergerak
maju dengan hati-hati dan mata awas, berjalan ke arah pintu, berusaha membuang
bayangan anjing yang menakutkan itu jauh-jauh dari kepala, lantas mengangkat tangan
kanan, yang kemudian ia gedorkan ke daun pintu.
Sekali. Dua kali. Tiga.
Setelah itu diam menunggu. Tidak ada sahutan. Tidak ada suara gerakan dari dalam.
Sekali lagi orang itu menggedor, kali ini secara beruntun.
Lalu tiba-tiba gedoran itu ia hentikan. Anjing hitam yang dari tadi duduk meringkuk
diam diam, mulai melolong. Nyaring, lengking dan panjang.
Laki-laki itu mundur dari pintu, dengan bulu kuduk bergidik. Untung senja begitu
redup. Kalau tidak, ia lebih suka untuk terpencil dengan makhluk-makhluk menakutkan
itu. Lolongan anjing memantul sampai ke dalam rumah. Suasana lengang di dalam,
pelan-pelan diisi oleh suara bergerit yang lembut. Sebuah peti mati yang terletak di
tengah-tengah ruangan, bagian atasnya bergerak terbuka. Dari dalamnya, bangkit
seorang laki-laki setengah baya, dengan wajah pucat dan mata kecil berkilat-kilat.
Kumisnya yang besar bergerak sedikit waktu ia menguap, merenggangkan otot-otot lalu
berdiri. Setelah berada di luar peti mati, ia tutupkan kembali bagian atas peti itu, lalu
berjalan terseok-seok ke arah pintu.
Gedoran tadi sudah tidak terdengar lagi, namun lolongan anjing itu semakin lirih
juga di telinga.
"Hem!" ia bergumam sendiri.
Lalu membuka pintu. Melebarkannya. Laki-laki yang masih berpeluh wajahnya itu,
sesaat termangu memandangi tuan rumah. Lalu di saat berikutnya, dari bibirnya yang
pucat terdengar suara menggeletar:
"... Pak Kurdi"
"He-eh!"
"Syukurlah bapak ada di rumah. Jauh-jauh saya datang hanya dengan bekal sepercik
harapan saja. Kami dengar Pak Kurdi amat sibuk akhir-akhir ini...."
"Biasanya. Ada orang lagi yang sudah putus asa menghadapi hidup ini"
Sang tamu tersenyum. Ia heran tidak dipersilahkan masuk. Tetapi ia merasa itu lebih
baik, karena sekilas lewat bahu Kurdi ia lihat ruangan yang lengang itu hanya diisi
oleh sebuah peti mati, persis di tengah tengah. Tidak ada perabotan lain. Tidak ada
makhluk lain.
Entah, dibalik sebuah pintu kecil yang tertutup, tak jauh dari peti mati itu terletak.
Bukan sebuah ruangan yang menyenangkan untuk duduk sebagai tamu yang dihormati.
Pelan-pelan ia bergumam:
"Yang ini bukan karena putus asa, Pak Kurdi!"
"Oh!"
Merasa ia ditunggu untuk menjelaskan sendiri, lakilaki itu melanjutkan:
"Nyi Ijah mati setelah melahirkan."
"Nyi Ijah?"
"Bapak kenal?"
"Ah. Tidak!"
"Oh...."
Diam setelah itu. Kaku. Di luar pintu, anjing tadi menggereng lirih. Dengus kuda
terdengar memecah disamping rumah, dari arah kandang. Hanya ketiga makhluk itu
saja yang berdiam di pinggir hutan ini, terpencil dari kampung-kampung lainnya
maupun dari kehidupan orang-orang sekitarnya. Seekor anjing, seekor kuda, seorang
penunggu jenazah, ditambah sebuah kereta dan sebuah peti mati. Mual perut
mengingatnya, lebih-lebih melihat betapa rumah di mana semua itu berada, terletak di
bawah pohon beringin yang sudah ratusan tahun umurnya.
"Kampung bapak?" tanya Kurdi tiba-tiba setelah melihat tamunya berdiam diri saja
dengan sikap kaku.
"Cikadut...."
"0h. Cuma beberapa kilo dari sini. Syarat-syaratnya"
Orang itu membuka sebuah keranjang yang dari tadi ia kepit di bawah ketiaknya. Ia
keluarkan sekantong kecil beras putih, sekantong kecil pula beras merah, bangkai
seekor ayam jantan besar dan gemuk berbulu putih berkaki merah, dan sebuah botol
kecil berisi cairan kental berwarna merah. Sambil menyerahkan benda-benda itu ke
tangan Kurdi, sang tamu menjelaskan:
"Darah ayam ini masih segar. Saya tidak memotongnya di rumah, melainkan tadi
ditengah perjalanan..."
"Lebih baik begitu!" rungut Kurdi, setengah ramah, setengah enggan.
"Syukur kalian tahu aku tidak suka menyembelih makhluk hidup.... Hem, jadi di
Kampung Cikadut, dan perempuan itu bernama ljah. Sanak keluargamu?"
"0h. Bukan. Nyi Ijah tak punya sanak keluarga."
"Maksud saya, tidak, setelah ia ditinggal mati suaminya beberapa bulan yang laju...."
"Hem. Lantas?"
"Sebelum meninggal, Nyi Ijah sempat berpesan. Ia ingin dikuburkan berdampingan
dengan kuburan suaminya."
"Tempatnya?"
"Justru itu. Tak seorang pun yang tahu, kecuali Nyi Ijah. Sayangnya, ia lupa
memberitahukannya sesaat sebelum ia menghembuskan nafas yang terakhir...."
"Ah...."
"Kami sangat memerlukan bantuan Pak Kurdi."
"Tentu, Tentu. Pulanglah. Lewat Isya, aku telah berada di sana..."
Ketika orang itu telah bergerak menjauh, Kurdi memanggil:
"Hei...!"
"Ya, Pak Kurdi?"
"Anak Nyi Ijah. Bagaimana keadaannya sewaktu dilahirkan?"
"... mati!"
Kurdi menghela nafas. Lantas mengangguk. Patah patah. Orang tadi menunggu
sebentar, tetapi rupanya tidak ada hal-hal lain yang ingin ditanyakan Kurdi. Setelah
mengangguk sekali lagi, Kurdi kemudian menutupkan pintu, tercenung sesaat di
tempatnya berdiri, dengan telinga melebar cupilnya waktu mendengar anjing di luar
melolong lirih dan panjang. Cepat-cepat Kurdi membuka pintu kembali. Ia memandang
sebentar ke luar.
Dikejauhan, ia lihat laki-laki tadi berlari-lari kecil menuruni bukit. Mungkin orang itu
tergesa-gesa. Tetapi biasanya, memang begitulah selalu tiap orang yang telah
berkunjung ke rumahnya. Pulang dengan sikap anjing baru dilempar dengan kayu. Lari
terbirit birit.
Ketakutan.
Lagi Kurdi menarik nafas.
"Nasibku," gumamnya. Lesu.
"Orang-orang membutuhkanku, tetapi tidak pernah merasa tenteram berada di
dekatku. Apakah aku demikian menakutkan bagi mereka?"
Setelah tercenung lama, ia keluarkan bangkai ayam dari dalam keranjang. Ia
mengamat-amatinya sesaat. Membaca beberapa kalimat mantera dengan suara lirih,
meludahi bangkai itu tiga kali, kemudian mencabuti bulunya dengan tangan yang
terlatih. Maklum baru disembelih, tidak pula disepuh dengan air mendidih terlebih
dahulu. Tak ayal, sebagian kulit bahkan sayap ayam itu ikut terlepas bersama bulu
bulunya. Bagian daging yang masih utuh, kemudian dilemparkan Kurdi ke tanah.
Dalam sekejap mata, anjing kesayangannya telah melompat menerkam bangkai ayam
itu, lalu dengan taring-taringnya yang tajam diboyong ke samping rumah. Kurdi
mengikuti anjing itu sampai ke kandang. Di sana, ia lemparkan bulu-bulu ayam
bercampur kulit berdarah itu ketumpukan jerami.
Dengan rakus, kuda yang ada dalam kandang segera mengunyah hidangan yang pasti
asing dan menjijikkan buat makhluk sejenisnya yang lain. Ia memperhatikan sebentar
bagaimana binatang binatang kesayangannya bersantap dengan nikmat. Selera Kurdi
ikut terbangkit. Ia masuk ke dalam rumah. Setelah menutupkan pintu, ia berjalan
melewati peti mati ke arah kamar kecil yang tertutup di dekatnya. Pintu kamar kecil ia
buka dengan hati hati. Ia masuk ke dalam, lantas menutupkan pintu di belakangnya
tanpa menimbulkan suara yang sehalus apapun juga. Ia berjingkat ke atas sebuah tikar
yang terhampar di lantai. Cahaya remang remang yang masuk lewat jendela,
menerangi sebuah benda berwarna putih kekuning-kuningan yang terletak di atas tikar,
dikelilingi oleh talam berisi kembang serta rempah-rempah, serta beberapa buah
pedupaan yang mengepulkan asap. Bau menyan memenuhi ruangan sempit itu. Andai
saja tidak berjendela, asap tentulah mengurung ruangan serta segenap isinya, menutup
jalan pernafasan dengan tidak mengenal ampun.
Kurdi duduk bersila memandangi benda putih kekuningan itu. Bentuknya bulat, sedikit
pipih dan panjang di bagian bawah. Bagian atas sampai ke belakang, licin
berkilat-kilat, dan di bagian depan memperlihatkan dua buah lubang sebesar telur, dan
tepat di tengah-tengah sedikit di bawah antara kedua lubang itu, terdapat pula lubang
lain berbentuk kerucut dengan ukuran yang sedikit lebih besar. Lebih ke bawah, lubang
menganga yang lebih lebar, memanjang ke samping kiri dan kanan.
Sebuah tengkorak kepala manusia!.
Setelah kumat kamit sebentar, Kurdi bergumam:
"Kakek, bantu aku lagi!"
Lalu darah ayam ia tuangkan dari botol melalui kedua belah mata tengkorak. Dalam
sekejap, darah itu telah mengucur keluar dari lubang di mana seharusnya hidung
terletak, juga dari mulut tengkorak. Tikar pandan di bawah tengkorak segera digenangi
darah tersebut. Kurdi membungkuk. Ia geser tengkorak kepala itu sedikit ke belakang,
sehingga terpisah dari genangan darah, yang kemudian ia hirup dengan mulutnya, tak
ubahnya seekor anjing yang menjilati madu yang tertumpah ditanah.
"Terima kasih kakek," gumam Kurdi setelah menjilati habis darah ayam itu sampai
kering.
Ia kemudian berdiri, berjalan ke luar. Otot-ototnya bertonjolan waktu peti mati ia
pindahkan dari lantai ke bak kereta mayat. Kereta itu ditarik ke luar dari kandang,
disusul oleh kuda serta anjingnya. Setelah naik ke tempat duduk kereta, Kurdi tidak
segera menggerakkan tali kekang. Dengan membungkuk sedikit, ia tepuk-tepuk
punggung kudanya. Binatang itu menggerakkan kepala ke samping, kemudian
mendengus.
Pelan.
Kaki kirinya yang depan ia hentak-hentakkan ke tanah.
Kesenangan.
Di samping kereta, anjing hitam legam dengan matanya yang berwarna
kemerah-merahan itu, menyalak keras. Kurdi tersenyum padanya. Dan anjing itu
menggerak-gerakkan ekor, mengibas ke kiri kanan seraya menjulurkan lidahnya yang
panjang berlendir ke arah tempat duduk.
Kurdi melonjorkan kaki kanannya yang panjang. Anjing itu menjilatinya kesenangan.
"Jangan suka cemburu!" gumam Kurdi.
Ia pun merasa senang. Dan agak kemerahan mukanya, tersipu, sewaktu sadar bahwa
ucapan yang keluar dari mulutnya telah membuka kedoknya sendiri. Ia berkata begitu,
karena si anjing tidak suka kalau hanya si kuda yang dimanja. Maka ia lonjorkan kaki
untuk meredakan kecemburuan binatang hitam legam bermata merah itu.
Cemburu.
Hem!
Biarlah kedua ekor binatang itu saling mencemburui satu santa lain. Betapa tidak.
"Pasien" yang akan mereka kunjungi, adalah seorang perempuan. Baru beranak satu
pula.
Bayangkan!
Kurdi tersenyum lagi. Memandang ke bawah bukit. Bermandi cahaya matahari senja,
tampak rumah-rumah dari desa terdekat di lembah sana, tak ubahnya peti-peti kayu
yang berserak tidak beraturan. Peti-peti itu mengecil jadi kotak-kotak korek api di
desa-desa yang berikutnya. Sebagian terletak di lapangan terbuka, dikitari oleh sawah
berselimut beludru hijau. Sebagian terlindung di balik pohon-pohon yang tumbuh subur
selama sekian kurun tahun.
Sekian kurun tahun pula, desa-desa di lembah sana, dan tempat Kurdi memandang,
selalu tampak diam. Bukan acuh tak acuh. Melainkan, sebuah kebisuan yang
menimbulkan kekakuan serta ketidaksukaan. Tidak terlihat suasana cerah dari bawah
sana. Yang ada hanya kediaman yang mengilukan tulang.
Begitu pulalah penghuni penghuni desa-desa di seantero lembah itu. Kaku serta tidak
pernah memperlihatkan wajah suka, tiap kali Kurdi datang. Bahkan walau cuma
sekedar lewat saja. Desa-desa itu baru bersikap ramah, apabila kehadiran Kurdi
dibutuhkan.
Bila tidak...
Dengan senyum yang terenggut hilang dari bibir, Kurdi mengalihkan matanya ke
arah perginya laki-laki itu ia lihat tersenyum ramah, bersikap penuh kekeluargaan
sewaktu mereka berhadapan. Dan begitu laki-laki itu memperlihatkan punggung, maka
ia pun lantas lari terbirit-birit menuruni bukit, pasti dengan wajah dibayangi ketakutan
serta ketidaksukaan. Padahal, ia tidak perlu lari sifat anjing begitu. Toh ia bisa jalan
bertenang tenang. Kalau takut terlambat tiba di desanya, ia bisa naik kereta. Tetapi,
puih. Mana ada pemilik kereta kuda yang mau naik sampai ke atas bukit ini, selama
mereka tahu yang menghuni tempat ini adalah orang yang bernama serta mempunyai
pekerjaan semacam Kurdi.
"Persetan!" Kurdi memaki.
Lalu.
"Hiyaaaaaa!"
Pecutnya naik ke udara, mendarat di punggung kuda.
"Tasss!"
Kuda penarik kereta meringkik keras. Kaki-kakinya menjompak ke depan dengan
suara berdetak-detak di tingkah bunyi roda-roda kereta berderak-derak di atas jalan
berbatu. Hingar bingar. Kurdi tidak perduli. Pecutnya terus mendera. Kereta berpacu.
Tak tertahan. Di sebuah Pengkolan menurun, roda kereta menghantam sebuah batu
besar yang menonjol dari pinggir jalan. Bak kereta terlonjak ke udara. Kurdi terangkat
pantatnya, kemudian terhempas kembali di tempat duduk waktu roda-roda kereta
kembali melaju di jalan rata.
Namun sebuah suara yang menghempas dengan ribut, membuat Kurdi menolehkan
kepala ke belakang. Peti mati yang ia letakkan di bak kereta, terbuka tutupnya. Kurdi
cepat-cepat menarik tali kekang kuda. Pelan pelan kereta itu berhenti. Kurdi turun ke
bak, memungut tutup peti mati yang hampir jatuh lalu bermaksud menutupkannya
kembali, di saat itulah ia tertegun. Peti mati itu kosong melompong.
Memang!
Memang kosong. Tadi malam, di rumah, ia tidur di dalam peti mati itu. Tak sampai
satu jam berselang, ia keluar dari dalamnya untuk menyambut tamu yang datang sore
itu. Kemudian peti mati ia naikkan ke bak kereta, di tempatnya yang sekarang. Jadi, ia
yakin benar, peti mati itu memang kosong. Akan tetapi, kenapa waktu mau ia tutup
sekarang, terasa uap dingin keluar dari dalam peti menyambar tangannya".
Itu belum penah terjadi. Mungkinkah karena tutup peti mati telah terbuka semenjak
tadi dan ruangannya diisi oleh udara dingin"
Kurdi memusatkan pernafasan.
Benar. Udara senja itu memang teramat dingin. Tidak ada suatu keanehan, kalau
begitu. Ia membungkuk, bermaksud meneruskan niatnya. Dan otot-otot Kurdi seketika
mengencang. Keringat membersit dari jidat. Ia kerahkan terus tenaganya. Namun jelas,
ada dorongan menolak dari dalam ruangan peti mati.
Dorongan yang sangat keras, dan uapnya teramat dingin. Menusuk-nusuk, menembus
kulit-kulit lengannya, merambat liar seperti tusukan ribuan jarum yang secara teratur
ditusukkan oleh tangan tangan ahli. Kurdi meringis kesakitan, lantas cepat cepat
menarik mundur tutup peti mati.
Sesaat, ia tegak dengan muka kaku dan dingin. Lalu, di saat berikutnya, tutup peti
mati ia letakkan di dekat kakinya. Setelah mana ia kemudian duduk bersila, di atas
permukaan tutup peti mati itu. Matanya terpejam.
Rapat.
Kedua telapak tangan ditekap menutup dada. Sementara mulut Kurdi kumat kamit
membaca mantera, kain sarung yang melingkari punggungnya berkibar-kibar ditiup
angin kencang yang tiba-tiba melanda tempat sekitar kereta berhenti. Kuda di depan,
berdiri kaku di atas keempat kaki-kakinya yang kokoh, dengan kepala tegak.
Diam.
Uap putih berpencar-pencar keluar dari lubang hidung yang kembang kempis tak
teratur. Anjing di belakang, memperlihatkan sikap yang sama. Keempat kaki berdiri
kaku, kepala tegak, hidung mengendus-endus. Lalu, saat majikannya
mengggoyang-goyangkan kepala ke kiri kanan, mula-mula pelan, kemudian makin lama
makin cepat, anjing itu mulai melolong. Mula-mula sayup-sayup. Sampai, kemudian
panjang melengking.
"Puah!"
Kurdi tiba-tiba meludah ke dalam peti mati di depannya. Kuda di depan meringkik.
Anjing di belakang menyalak. Kurdi berdiri, memungut tutup peti mati, kemudian
menempatkannya di tempat yang seharusnya. Tiada uap dingin lagi. Tiada dorongan
aneh lagi. Peti mati itu memang kosong. Kosong melompong. Kurdi menarik nafas
panjang berulang-ulang, mengulangi ketegangan otot-otot tubuhnya. Pelan pelan
mulutnya melepas seringai hambar.
"Ada orang mau mengusik ketenangan kita,"
ia bergumam sedikit keras. Kuda dan anjing itu sama-sama mendengus. Kurdi
kembali naik ke tempat duduk kereta, lantas mulai menarik tali kekang.
"Hiyyyaaaaa!"
Roda-roda kereta mulai berputar. Berderak-derak.
Pelan.
Lalu cepat.
Dan malam pun segera jatuh.
***
Gemeretak roda-roda kereta mayat itu menarik perhatian orang-orang yang sedang
berada di luar rumah waktu Kurdi memasuki desa yang ia tuju. Dalam jilatan
lampu-lampu minyak di pintu-pintu pekarangan, gambaran kereta itu tampak amat
menakutkan. Di depan, berjalan terengah-engah seekor kuda berkulit hitam yang
berkilat-kilat mandi keringat, sementara binatang sejenisnya telah pada masuk kandang
karena tidak biasa ke luar malam. Di atas tempat duduk kereta, tampak bayangan
laki-laki berpakaian hitam dengan sarung membelit pundak sampai sebatas pinggang,
terhenyak diam dengan wajah acuh tak acuh, serta mata yang lurus memandang ke
depan.
Di belakangnya, berlari-larian seekor anjing besar juga berkulit hitam legam, akan
tetapi dengan mata yang merah seperti darah tiap kali terpantul pada sinar lampu.
".... siapa dia?" seseorang mendesah.
Temannya menunjuk:
"Lihat saja apa yang ada di bak kereta. Kau akan tahu siapa dia."
"0h. Diakah si penunggu jenazah yang tersohor itu?"
"He-eh!"
"Orang misterius. Dengan makhluk-makhluk menakutkan sebagai teman-teman
setianya. Kudengar, orang itu adalah penjelmaan setan...."
"Husy! Pelan-pelan sedikit kalau ngomong. Bila ia dengar...."
orang yang satunya lagi dengan tangan gemetar menarik tangan temannya agar
menyingkir jauh-jauh. Gemeretak roda-roda kereta menyayup, dan bayangan
tamu-tamu asing itu semakin pudar ditelan malam. Hanya sesekali tampak merupakan
makhluk makhluk ganjil yang samar-samar terlihat melewati lampu demi lampu minyak
di pinggir jalan.
"Jadi benar ia penjelmaan setan?"
orang pertama masih penasaran.
"Setan tidak muncul di siang bolong. Kalau orang bertamu ke rumahnya, tak pernah
ada yang berani malam hari. Orang-orang itu bertemu dia, jadi dia bukan penjelmaan
setan. Menurutku, ia ada sering berhubungan dengan setan. Kalau tidak, tak akan ia
berani bekerja sebagai penunggu mayat. Konon lagi mayat-mayat yang diakibatkan
mati karena penasaran. Seperti Nyi Ijah itu misalnya...."
"Benarkah Nyi Ijah akan menjelma jadi kuntilanak?"
"Entahlah. Ia mati bersama bayi yang ia lahirkan. Jadi..." yang menyahut menggigil.
Cepat-cepat masuk ke rumah yang mereka tuju, dan cepat-cepat pula menutupkan
pintu. Di luar, angin malam mendesau-desau, keras tetapi kering. Mengerang-ngerang.
Merintih-rintih.
Lirih.
Hanya sebuah pintu rumah yang masih terbuka di desa itu. Dan hanya beberapa
orang yang masih tinggal di sana. Satu dua diantaranya keluar masuk untuk mengurusi
sesuatu. Tetapi semakin larut malam, semakin sedikit orang yang masih tinggal. Satu
persatu mereka kembali ke rumahnya masing-masing, cepat-cepat menutup pintu,
mungkin cepat-cepat pula menggulung diri di bawah selimut, biarpun yakin sampai
pagi esoknya mata tidak akan sudi terpejam.
Kurdi menghentikan kereta di pekarangan rumah yang pintunya masih terbuka itu.
Seseorang menyongsong keluar waktu ia turun. Setelah melihat siapa tamu yang
datang, orang yang baru keluar dari rumah sesaat tertegun, lalu:
"... Pak Kurdi?" sapanya.
"He-eh!"
Orang itu mendekat untuk lebih seksama mengenali tamu desanya. Mulutnya melepas
sebuah senyuman, tampak amat ramah dan senang didatangi. Tetapi mata Kurdi yang
awas, menangkap bayangan yang sebaliknya di mata orang itu. Gambaran curiga, takut
dan tidak senang. Selalu begitu. Dan selalu pula Kurdi harus menyabarkan diri. Sudah
kodratnya untuk bekerja seperti apa yang segera harus ia laksanakan. Setelah sekilas
melirik ke arah peti mati di bak kereta, orang tadi bergumam:
"Masuk. Masuklah, Pak Kurdi. Kami sudah lama menunggu...."
"Maaf. Ada gangguan di jalan, sehingga aku terlambat."
"Ah, pokoknya Pak Kurdi datang!" Ucapan terakhir itu bernada senang.
Tentu saja, pikir Kurdi.
Dengan kehadiranku, orang itu tidak lagi harus duduk diam-diam di samping mayat
yang mati karena melahirkan. Orang ini takut mayat itu bangkit lalu mencekik lehernya
seraya tertawa mengikik...
"Puah!"
"Boleh minta beras putih?"
Orang tadi yang sedang memperhatikan kuda serta anjing Kurdi, terjengah.
"Ya, Pak Kurdi?"
"Beras putih!"
"Oh. Ada di dalam. Mari, masuk. Nanti akan...."
"Ambilkan sekarang saja."
"Tak masuk dulu?"
Kurdi tak menjawab. Dan orang itu tahu, ia tidak akan memperoleh jawaban lisan,
karena mata Kurdi yang mengecil memandang dengan dingin ke arahnya. Mata yang
sangat pucat... sehingga mengingatkan orang itu pada mata Nyi Ijah yang terbaring
diam di ruang tengah rumah. Dalam satu helaan nafas, ia telah membalikkan tubuh lalu
bergegas masuk ke dalam rumah. Terdengar suara berbisik-bisik di dalam, diikuti suara
berbisik orang-orang sedang sibuk. Kurdi tak perduli. Ia tengadah. Menatap langit
kelam digantungi mendung mendung hitam. Tiada sekerlip bintang pun. Yang tampak
hanya rembulan yang berwajah pucat, mengintip dengan enggan dari awan pekat yang
berarak ke arah utara. Pantas desa ini sepi. Hujan akan turun. Pasti. Yang tidak pasti,
hanya bahwa malam ini desa itu akan diganggu oleh makhluk bernama kuntilanak.
Biarpun kehadiran kuntilanak itu belum bisa dipastikan, mereka toh lebih baik
mengunci pintu rumahnya masing-masing dari pada memberanikan diri ke luar rumah
dan tiba-tiba....
Tiba-tiba sesosok tubuh sudah berdiri di samping Kurdi.
***
Desah nafas orang itu menyadarkan Kurdi. Ia melepas nafas panjang, kemudian
bertanya:
"Mana?"
Orang itu menyodorkan sebuah baskom berisi penuh dengan beras putih. Kurdi
tersenyum kecil.
"Tidak perlu sebanyak ini!"
Lantas ia comot beberapa butir beras dari baskom, didekatkan ke mulutnya yang
kemak-kemik membaca mantera. Ia memerlukan hanya beberapa detik untuk melakukan
itu. Setelah ia semburkan dengan sedikit ludah, butir-butir putih itu ia taburkan satu
persatu mengelilingi rumah dengan jarak masing masing satu tombak. Waktu ia
mengakhiri putaran mengelilingi rumah dan tiba di depan kembali, orang tadi masih
berdiri termangu-mangu. Ia memegang baskom berisi beras putih dengan tangan
terangkat, sikapnya tetap seperti menyodorkan benda tersebut seperti tadi.
"Hei!"
tegur Kurdi seraya menyentuh bahunya. Orang itu tersentak kaget. Hampir saja
baskom jatuh dari tangan. Tetapi tak urung beberapa jumput beras ikut tertumpah.
"Ya Pak Kurdi?" tanyanya gagap.
"Ah. Enggak apa-apa. Mari kita, masuk sekarang!"
Kurdi berjalan duluan. Orang itu mengikuti kemudian. Wajahnya pucat, dan tubuhnya
masih gemetar. Berkecamuk pikiran dibenaknya. Betapa tidak. Begitu butir beras
pertama jatuh ke tanah dari tangan Kurdi, ia merasa sekujur tubuhnya dingin dan kaku.
Semula ia kira karena pengaruh udara malam. Tetapi ketika ia mau menggerakkan
kaki, ternyata kakinya terpaku di tanah. Demikian pula dengan kedua tangannya. Ia
sadar penunggu jenazah itu berkeliling rumah menaburkan butir beras, akan tetapi ia
tidak dapat menggerakkan leher untuk bisa melihat dengan mata kepalanya. Yang ia
tahu, hanyalah, tiba-tiba bahunya disentuh oleh Kurdi, dan segala kejadian ganjil yang
menjalari dirinya, seketika menghilang. Karena tak kuat menahan hati, ia bertanya
takut takut:
"Apa yang Pak Kurdi lakukan tadi?"
"Menaburkan beras," jawab Kurdi. Tenang-tenang saja.
"Untuk apa?"
"Di jalan tadi ada yang mengusikku. Di sini, aku tak mau diusik lagi. Kalau diusik,
tidak saja pekerjaanku gagal, akan tetapi juga keselamatanku bisa terancam..."
"Oh!"
"Itukah mayatnya?"
Kurdi menunjuk pada sesosok tubuh yang ditutupi kain selendang batik, terbujur
diatas permadani kecil dengan rajutan-rajutan warna yang semarak. Satu-satunya
orang yang ada di ruangan itu selain Kurdi dan laki-laki yang menyongsongnya,
hanyalah seorang perempuan tiga perempat umur, yang duduk bersimpuh di dekat
bagian kaki mayat. Kepalanya tegak waktu Kurdi masuk. Mulutnya yang keriput
mencoba mengeluarkan senyum ramah. Namun ia gagal. Karena kesedihan yang
terbayang di matanya, telah memukul habis keinginan yang sangat bertentangan itu.
"Dia Bu Enjuh," menjelaskan laki-laki di samping Kurdi.
"Ia yang punya rumah ini. Nyi Ijah indekost di sini semenjak almarhumah mula-mula
datang ke desa kami."
"Hem..."
Kurdi mengangguk pada perempuan tua itu, yang dibalas dengan anggukkan
samar-samar, sekedar untuk basa basi.
"Ia sendirian tinggal di sini?"
"Ya."
"Dan...?"
Kurdi menyidik dengan matanya ke arah lakilaki di sampingnya.
"Oh. Saya lurah."
"O, Pak Lurah. Mana orang-orang lainnya?"
Laki-laki itu kelihatan sangat gugup. Lama baru ia menjawab dengan suara
terputus-putus:
"Mereka... mereka... Ah. Bagaimana ya"
Siang tadi sih banyak yang melayat. Tetapi begitu matahari turun... Oh ya. Keamanan
di desa belakangan ini kurang terjamin. Maka lumrah kalau mereka cepat-cepat
menutup pintu."
Kurdi tertawa kecil. Ia tahu laki-laki itu berdusta, maka ia nyeletuk seenaknya:
"Tak aman kok malah mengunci diri. Bukan berjaga jaga...."
Lurah tertawa. Pahit. Ia tak suka berbantah dengan tamu mereka. Dan ia lebih tidak
suka untuk tinggal berlama-lama di tempat itu. Oleh karenanya ia segera mendekati Bu
Enjuh, berbisik di telinganya. Perempuan itu bangkit dengan enggan.
"Bu Enjuh ada baiknya menginap di rumahku saja malam ini. Ada sesuatu yang Pak
Kurdi perlukan sebelumnya..."
"Jangan pergi dulu!"
Lurah menyeringai. Kurdi juga menyeringai. Bu Enjuh tampak agak senang.
Kelihatan dari nada suaranya waktu ia berkata enggan:
"Biarlah aku tinggal, Nak Ibing."
Lurah bernama Ibing itu kelihatan ragu-ragu, akan tetapi pandangan mata yang tegas
dari tuan rumah membuatnya tidak berdaya. Oleh karena itu ia angkat bahu seraya
berkata.
"Saya maklum betapa sayang ibu pada Nyi Ijah. Tadinya saya khawatir kalau-kalau
ibu...."
"Ah," potong Bu Enjuh.
"Aku sayang pada Nyi Ijah seperti kau katakan, bukan" Jadi, karena Nyi Ijah pun tau
aku sayang padanya, maka arwahnya tidak akan mengganggu ibu!"
Lurah Ibing jadi tersipu. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera ke luar. Juga tanpa
menoleh ke belakang, biarpun hanya satu kali. la berjalan seperti orang yang sedang
diburu setan. Barangkali kalau punya sayap, ia ingin terbang saja. Hanya beberapa
detik, ia telah berada di luar rumah, disambut oleh kepekatan malam, udara dingin sepi
yang memekik, dan ditengah jalan...
sebuah bayangan keputih-putihan keluar dari dalam kegelapan. Bayangan
samar-samar itu bergerak cepat ke arah lurah Ibing. Ia terpaku diam ditempatnya,
dengan wajah pucat-pasi, ketiak bersimbah peluh, tubuh gemetar dan mulut terkatup
rapat, berbeda dengan sepasang mata yang terpelotot lebar-lebar. Lurah Ibing ingin
menjerit, waktu bayangan itu tiba tiba melalui lampu minyak di pintu pagar terdekat.
Ternyata bukan arwah Nyi Ijah yang penasaran, melainkan sosok tubuh seorang
laki-laki yang berjalan dengan nafas tersengal-sengal dan baju basah kuyup oleh
keringat.
"... Kau itu, Dung?" seru Lurah lbing. Suaranya masih gemetar.
"Saya, pak lurah."
"Wah, kenapa tak bilang-bilang dari tadi...."
Ketegangan otot-otot Lurah Ibing mengendur.
"Dari mana kau?" Orang itu tercengang.
Ia mengatur nafas sebentar. Lalu:
"Lho, kan menjemput dukun turunan set...."
"Sssst,"
Lurah Ibing menekan jari telunjuk ke bibir, dengan wajah semakin pucat.
"Pelan-pelan, jangan main tuduh. Ia sudah di dalam dan...dan...."
Kalimatnya terputus sampai di situ. Matanya jelalatan memandang kearah kereta.
Diikuti oleh orang yang baru datang. Mereka melihat kuda dan anjing si penunggu
jenazah, berdiri resah di dekat kereta. Secara kebetulan pada saat yang bersamaan
pandangan mata anjing serta kuda itu, tertuju pula kearah lurah dan temannya.
"Nah. Apa kubilang," bisik Lurah, sengau.
"Bahkan binatang-binatang itu pun telah jadi mata-matanya. Ayo, kita cepat
pulang...."
Lurah kemudian bergerak kearah utara. Temannya ke arah selatan.
"He, kau mau ke mana?" seru lurah. Temannya berhenti.
"Pulang."
"Jalannya ke sini, Dung."
"Rumah saya di sana, pak Lurah."
"Jangan bertingkah. Kau tidur di rumahku malam ini. Hayo!"
Mau tak mau, orang itu menurut. Ia berjalan disamping pak Lurah yang melangkah
tergopoh gopoh. Dan waktu tiba-tiba anjing Kurdi melolong dengan suara halus tetapi
tinggi menyayat tulang, tanpa berkata ba atau bu lagi, Lurah Ibing kabur mengambil
langkah seribu kearah rumahnya. Tak ayal pula, temannya ikut berlari dengan kaki
bagai tak menginjak tanah samasekali....
Lolongan anjing itu sayup-sayup sampai ke telinga Kurdi yang sudah duduk bersama
Bu Enjuh di samping mayat Nyi Ijah. Kepala Kurdi tegak. Matanya berkilat kilat,
menatap ke arah pintu luar, sementara cupil telinganya bergerak-gerak. Lama ia
berlaku demikian, sampai lolongan anjing itu mereda, kemudian lenyap sama sekali.
Barulah ia menghela nafas, seraya bergumam:
"Hem. Si pengusik itu mengikuti aku rupanya.... "
Bu Enjuh memandang Kurdi, bertanya lewat sinar mata. Cepat-cepat Kurdi
tersenyum.
"Ah, bukan siapa-siapa," katanya, maklum arti pandangan mata Bu Enjuh.
"Tak usah dicemaskan. Si pengusik tak bakal mengganggu sampai ke sini..." ia
menghela nafas lagi. Berulang ulang. Lantas:
"Jadi Nyi Ijah indekost dengan ibu...."
"Benar, Nak Kurdi. Rumahku ini tadinya gubuk bobrok. Ketika Nyi Ijah datang ke
desa, kebetulan akulah orang pertama yang bertemu dengannya. Setelah ia tahu aku
menjanda dan hidup sendirian, ia lantas memaksa untuk diberi tempat tinggal
dirumahku. Mula-mula aku menolak karena maklumlah, tidak saja rumahku sudah
bobrok dan jelek, akan tetapi juga aku tak sanggup menerima tamu. Maklum, untuk satu
dua suap nasi, aku peroleh dari belas kasihan orang. Yaitu, orang-orang yang mau
dipijit karena otot-otot pegal-pegal atau sakit-sakit pusing..."
"Hem. Lantas?" Bu Enjuh tampak senang karena tamunya serba ingin tahu.
"Nyi Ijah tetap memaksa ikut tinggal denganku. Setelah masuk ke rumah, ia tidak
kecewa. Ia punya uang banyak, dan sekali dua pergi meninggalkan desa. Kalau
kembali, ia membawa uang lebih banyak lagi, dan persediaan makanan yang tidak
sedikit.... Malah kemudian ia membantu memperbaiki rumahku yang jelek. Hasilnya,
seperti kau lihat sekarang..."
Bu Enjuh menoleh berkeliling ruangan dengan mata bangga. Untuk memuaskan
hatinya, Kurdi ikut melihat berkeliling sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Nyi Ijah benar-benar anak semang yang baik," gumamnya mengomentari, seraya
menatap sosok mayat berselimut kain selendang batik yang terbujur di depan mereka.
"Anak semang" Nyi Ijah sudah kuanggap anak sendiri...." Mata perempuan itu tiba-tiba
basah.
"Sayang, ia pergi terlalu cepat..."
"Kudengar ia mati ketika melahirkan. Pendarahan?" Bu Enjuh lama baru menjawab.
"He-eh."
"Bayinya?"
"Sudah dikubur di belakang rumah, sesaat setelah dilahirkan..!"
"Koq...?" Setelah mengigit bibir sesaat, Bu Enjuh menjelaskan:
"Ijah tak mau dipanggilkan bidan. Ia minta agar aku yang mengurus pada saat-saat
yang mencemaskan itu. Pernah sekali dua aku membantu bidan menolong orang
yang melahirkan, jadi apa boleh buat. Kupikir toh aku bisa. O, Nak Ijah, Nak Ijah
manis. Kau toh tak akan menuduh ibu yang mencelakakanmu, bukan?"
Perempuan tua itu tiba-tiba sesenggukan. Kurdi menghela nafas.
"Sudahlah, Ibu sayang pada Nyi Ijah. Tentu ia tau, bukan ibu yang menyebabkan
kematiannya...." Bu Enjuh manggut-manggut.
"Memang...." sedunya.
"Memang bukan aku. Melainkan...."
Tangisnya tiba-tiba terhenti. Ia menelan ludah, berkali kali. Lantas:
"Ah, begitulah. Ia kemudian mati. Dan anaknya... Aku cuma melaksanakan amanat.
Untung Lurah Ibing mau mengerti...."
"Amanat?"
"Sebelum meninggal, Ijah sempat berpesan. Kalau anaknya terus hidup, harus
cepat-cepat kusingkirkan ke tempat jauh. Kalau anaknya mati agar cepat-cepat
ku-kuburkan, sebelum dilihat orang... "
"Mengapa harus begitu?"
"Anak itu... lahir cacat. Kepalanya besar. Mata indah dan sempurna seperti ibunya.
Akan tetapi... mulut dan hidungnya bersatu. Dan... tangan-tangannya panjang sampai
ke tumit kaki, serta.... serta berbulu pula. Ibu hampir pingsan waktu melihatnya..." dan
wajah perempuan itu tiba-tiba pucat pasi.
Ia memandang Kurdi dengan mata menyesal. Lalu, seraya menakupkan wajah di
kedua telapak tangan, ia menangis dan berkata tersendat-sendat:
"Oh. Mengapa! Mengapa kuceritakan musibah mengerikan itu pada orang lain?"
Kurdi membuang muka. Semenjak tadi ia menatap mata perempuan tua itu
sedemikian rupa sehingga dengan kekuatan batinnya, ia berhasil memaksa si
perempuan untuk mengeluarkan perasaan hatinya. Tentu saja ia tidak sampai hati
untuk menerangkan hal itu. Namun melihat rasa penyesalan di wajah Bu Enjuh mau
tidak mau Kurdi ikut pula menyesali diri sendiri. Tidak patut ia mengusik duka cita
yang dikandung Bu Enjuh dengan menimbulkan perasaan berdosa. Akhirnya Kurdi
berusaha menghibur:
"Yang sudah, ya sudahlah, bu. Tak usah ditangisi..."
"Tetapi," ratap Bu Enjuh.
"Aku telah berjanji pada Nak Ijah agar tidak...."
Ia kemudian merahup mayat di hadapan mereka seraya menangis tersedu-sedu.
"Anakku. Anakku. Maafkan ibu, nak. Ibu telah lancang mulut. Ibu telah melanggar
janji, nak. Ooo, andaikata kau masih hidup, ibu bersedia kau tempeleng. Katakan, Ijah.
Katakan. Kau bersedia memaafkan perempuan tua renta itu. Ijah, katakanlah. Ijah...!"
Tanpa sadar tangannya telah menggerakkan kain selendang penutup mayat sehingga
tersingkap bagian atasnya. Seketika, mata Kurdi mengecil. Di hadapannya, terbujur
sesosok tubuh perempuan berumur sekitar dua-puluh limaan. Berhidung bangir, dagu
tergantung lembut di bawah sepasang gondewa bibir mungil yang penuh mencuat.
Meskipun sudut-sudut bibir itu bergaris tajam dengan kerut-kerut halus pertanda
betapa ia menderita di saat elmaut datang untuk mencabut nyawanya, namun jelas
terbayang betapa indah bentuk mulut itu bila dia masih segar dan hidup. Kurdi sampai
menahan nafas.
Dalam.
Teramat dalam....
Berulang-ulang. Tarikan nafasnya terdengar semakin kentara manakala sepasang
matanya yang mengecil dan bersinar pucat itu, terpandang pada sepasang bola mata
yang bundar dengan manik manik yang sudah mati. Bukan putih mata yang ia lihat.
Sungguh. Sepasang bola mata dalam lingkaran hitam yang besar. Mata itu terpentang
lebar. Dengan ta'jub, Kurdi menyingkapkan seluruh kain penutup mayat. Semakin jelas
terlihat keadaan perempuan muda bernama Nyi Ijah itu. Tubuhnya montok berisi.
Kulitnya berwarna putih kemerah merahan. Benar. Putih, tidak pucat sama sekali,
malah kemerah-merahan. Yang jadi tanda ia telah mati, hanyalah denyut jantung yang
sudah berhenti serta manik-manik mata yang sudah tidak bercahaya sama sekali.
"... kematian yang aneh," Kurdi bergumam.
Ia mencoba memusatkan konsentrasi. Tetapi tangis Bu Enjuh yang tersendat-sendat
mengganggu konsentrasinya. Kurdi memegang bahu si perempuan. Memintanya berdiri
dan kemudian menuntunnya berjalan keluar dari rumah. Di halaman, kegelapan malam
yang sehitam pekat tak ubahnya tabir tebal dari sebuah kehidupan yang tidak mengenal
ampun. Lampu-lampu minyak berkelap-kelip dengan lemah di sana-sini. Sesaat Kurdi
tertegun. Biasanya, bila penduduk takut akan mereka perbesar sumbunya, sehingga
kampung jadi terang benderang dan hantu takut menampakkan diri. Benar, waktu ia
datang, jalan utama di kampung itu diterangi oleh lampu-lampu minyak, akan tetapi
sekarang jalan utama itu bagaikan hilang.
Bangunan bangunan rumah penduduk di kiri-kanan jalan tak ubahnya barisan
raksasa-raksasa yang berjongkok diam-diam dalam kegelapan. Kurdi tidak merasakan
angin bertiup kala itu. Akan tetapi, lampu-lampu minyak menari-nari liar, makin lama
makin lemah, dan mulai berpadaman satu demi satu. Kurdi mencoba menembus
kegelapan malam di sekelilingnya. Tetapi ia tidak melihat sesuatu apapun. Tidak
dengan matanya. Ia melihat lewat perasaannya. Seringai pendek terukir di bibir Kurdi.
"Si pengusik itu lagi," cetusnya serak.
"Kau tak akan berhasil. Tak akan....!"
Lalu pada si perempuan yang memandang heran pada sikap Kurdi, ia bertanya
dengan suara ramah:
"Ibu tahu letaknya rumah pak lurah?" Bu Enjuh manggut-manggut.
"Ibu berani jalan sendirian?" Anggukan lagi. Tegas.
"Syukurlah. Nah, sekarang pergilah ke sana, dan tidurlah di rumah pak lurah malam
ini. Ia akan senang, karena tadi ia pun berkata demikian. Tenangkan pikiran ibu.
Tidurlah. Bila ibu terbangun esok pagi, mudah-mudahan segalanya berjalan selamat.
Aku bisa mengetahui di mana kubur suami Nyi Ijah, dan ibu boleh berlega hati arwah
Nyi Ijah tak akan gentanyangan sebagai... sebagai kuntilanak!"
Dahi perempuan tua itu mengerut.
"Anakku tak akan jadi kuntilanak," desisnya.
"Mereka yang mengatakan begitu. Mereka terlalu..." Kurdi mengangguk setuju.
"Oleh karena ituah, mereka harus kita yakinkan, bukan?"
Bu Enjuh ragu-ragu, kemudian mengangguk. Ia memegang tangan Kurdi sejenak.
Memegangnya erat erat. Hati Kurdi terenyuh. Tak biasanya ia diperlakukan oleh
"langganan-langganannya" seakrab itu. Hati Kurdi jadi tergoncang. Lama setelah Bu
Enjuh menghilang ditelan kegelapan malam, Kurdi baru mengerti. Perempuan itu tidak
bermaksud ramah terhadapnya. Perempuan itu berlaku demikian, karena ia benar
benar berharap Kurdi bisa mengabulkan apa yang ia inginkan. Agar arwah anak
angkatnya tidak gentayangan jadi kuntilanak. Tak lebih dari itu!
"Hem," desah Kurdi, lalu memutar tubuh masuk kedalam rumah kembali.
Ia kemudian menutupkan pintu. Telinganya masih menangkap sempat dengus kuda
dan lolongan anjing yang lirih di halaman. Tetapi ia tidak sempat melihat, bagaimana
lampu-lampu minyak yang masih menyala, padam seketika. Seolah-olah ada orang
yang meniupnya dengan keras. Kurdi langsung ke tengah rumah, duduk bersimpuh
menghadapi mayat Nyi Ijah yang terbujur di atas permadani. Goncangan-goncangan
dalam dirinya menyentak-nyentak kembali, waktu memandangi sekujur tubuh Nyi Ijah,
memandangi bibir mungil yang mencuat itu, memandangi gelembung dada yang diam
tak bergerak-gerak itu. Sukar bagi Kurdi untuk menahan diri agar tidak segera
melaksanakan hajat tiap kali ia berhadapan dengan mayat perempuan. Bila saja
sepasang mata Nyi Ijah itu terpentang lebar, tentulah Kurdi tidak bisa menahan diri.
Memandang mata yang seolah-olah hidup itu, Kurdi merasakan pengaruh ganjil dalam
dirinya.
Sesuatu yang menimbulkan perasaan tidak enak, serta kecemasan yang tersembunyi.
Tangan Kurdi gemetar waktu mengeluarkan dupa dan menyan dari saku bawah yang
lebar dari kemejanya. Ia letakkan benda-benda itu di antara lututnya dengan tubuh
mayat, di tempat mana kemudian ia juga meletakkan sebuah pisau cukur, sehelai daun
kelapa muda dan tali dari pelepah pisang yang sudah kering. Setelah ia rasa sudah
tersedia segala peralatan, Kurdi memasukkan bubuk menyan ke dalam dupa, lalu
menyalakannya dengan sebatang korek api. Terdengar suara membersit halus,
percikan-percikan kuning berpencaran dari dupa, nyala korek api padam, nyala di dupa
membesar. Benggol dupa sebesar anak jari kemudian ia sorongkan ke tengah-tengah
nyala api dupa. Percikan-percikan lagi, nyala api yang padam, disusul oleh kebulan
asap yang kian lama kian menebal. Asap menyan itu ia hirup dalam-dalam, berulang
ulang. Lantas mulut Kurdi mulai kumat kamit membaca mantera. Suaranya terdengar
sangat perlahan mulanya, kemudian makin keras dan di saat berikutnya tubuh Kurdi
tergoncang-goncang ke kiri dan ke kanan. Dari mulutnya, mantera-mantera itu
terdengar seperti rentetan derak-derak roda kereta yang terdengar sayup-sayup,
sementara butir-butir keringat sebesar jagung mulai berlelehan dari pori-pori
wajahnya.
Pada saat asap menyan memenuhi ruangan tengah rumah yang tidak begitu lebar itu,
Kurdi tiba-tiba membentak:
"Jangan pergi!"
Dengan sepasang mata tertutup rapat dan mulut kembali kumat kamit membaca
mantera, Kurdi bergerak bersamaan dengan terdengarnya suara bentakan yang kedua:
"Kembali!"
Kedua lengannya terpentang ke depan, dengan jari jemari terkembang. Suatu saat
jari jemari itu seperti menyentuh sesuatu di atas sosok tubuh mayat Nyi Ijah, yang ia
cengkeram kuat-kuat lalu ia tekan sebisa-bisanya ke bawah. Sesuatu yang tidak terlihat
itu rupanya melakukan perlawanan sehingga beberapa kali tubuh Kurdi doyong mau
jatuh dan pegangannya terlepas. Baru setelah ia berlutut, sesuatu yang ia pegang
rupanya tidak bisa lepas lagi. Otot-otot dan urat-urat lengan Kurdi bersembulan,
demikian pula urat-urat lehernya yang banjir oleh peluh. Bertumpu pada lutut, ia
tekankan telapak tangannya kembali seperti tadi. Terarah ke bawah, makin lama makin
dekat ke bagian dada si perempuan. Seinci demi seinci, disertai dengan nafas lelah dari
hidung Kurdi, lalu:
"Hap!"
Kedua telapak tangannya mendarat malah sedikit terbenam di sepasang gelembung
payudara Nyi Ijah. Masih tanpa membuka mata, Kurdi kemudian meludahi.
"Cuh!"
Langsung ke dada Nyi Ijah. Tubuh mayat Itu tersentak, kemudian diam. Kurdi
menarik kedua telapak tangannya, membuka matanya, memandangi mayat di
hadapannya dengan muka tegang. Wajah Kurdi yang pucat kini berubah merah padam,
berkilat-kilat oleh keringat. Ia tatap sepasang mata yang terpentang lebar di wajah
mayat itu, lalu seraya menyeringai lebar Kurdi mendesah:
"Diamlah di jasadmu, roh perempuan manis. Kau tak boleh lari lagi seperti tadi. Kau
tak akan bisa. Tak akan bisa...."
Ia hirup lagi asap menyan. Lalu mengatur nafas. Baru berkata:
"Rohmu masih berada di tubuhmu, perempuan manis. Jadi aku tidak bersusah payah
untuk memanggilkan kembali. Mengapa" Mengapa rohmu tidak mau pergi, tatkala kau
sudah mati?"
Mula-mula tidak ada reaksi. Baru setelah Kurdi membentak:
"Jawablah!"
Bibir Nyi Ijah mulai bergerak-gerak. Menggerimit. Seperti desau angin, terdengar
suara lemah seorang perempuan:
"... aku... aku tak mau... aku... aku tak sudi."
"Itu tak patut!"
"Aku ingin... berada di jasadku... di jasad anakku..."
"Anakmu telah dikubur."
"Jasadnya. Tidak rohnya. Kami... kami tidak mau berpisah. Kami... kami masih ingin
hidup... tetapi kematian... kegelapan yang mengerikan... kenistaan yang menyakitkan,...
O, kau pengabdi setan... ketahuilah, aku... aku masih ingin memperkenalkan hidup ini
pada anakku... aku... aku ingin ia merasakan arti... hidup ini. Tetapi ia... ia mati. Dan
aku... aku ia bawa mati..."
"Biarkan roh anakmu hidup tenteram di alam baka. Biarkan ia tetap suci seperti
ketika ia masih kau kandung."
"Tetapi... aku ingin membopongnya. Aku ingin... ingin memperlihatkan pada semua
orang... inilah anakku, inilah anakku. Aku ingin... anakku tahu... keadaan dunia ini...
siapa-siapa yang kukenal dan harus ia kenal..."
"Biarpun untuk itu kau harus terbang dari satu pohon ke pohon lain di kala malam,
dengan anakmu dalam gendongan?"
"... ya!"
"Orang-orang tak akan sudi melihat anakmu. Mereka melainkan menjauhi anakmu."
"... oh... Tak mungkin. Mereka kejam."
"Bukan. Bukan karena mereka kejam. Tetapi karena mereka takut... takut pada rohmu
yang bergelantungan di pohon-pohon rindang, takut pada tangis anakmu yang
menyayat-nyayat tanpa terlihat.... Tahukah kau sebutan apa yang mereka berikan
padamu, kalau kau teruskan niatmu itu?"
Kurdi menyeringai, lantas melanjutkan dengan suara kejam:
"Kuntilanak! Kuntilanak! Kuntilanak!"
Mulut mayat Nyi Ijah terbuka lebar. Terdengar jerit memilukan memecah kesepian
malam itu:
"Tidaaaaaaakkkkk!"
Seluruh kampung terenggut diam. Malam terpaku diam. Kuda dan anjing di halaman
rumah Bu Enjuh, tegak dengan diam. Pohon-pohon diam. Angin diam. Gunung-gunung
diam. Bahkan awan pekat yang bergulung-gulung di langit, ikut terdiam. Tidak seorang
pun manusia yang ada di kampung itu, yang tidak terdiam kala jerit memilukan itu
terdengar, biarpun ada di antara mereka yang saat itu tengah bermain kartu dengan
suara ribut untuk mengendurkan rasa takut yang telah timbul semenjak mereka tahu Nyi
Ijah telah mati di saat perempuan itu melahirkan. Mereka sudah menduga Nyi Ijah akan
gentayangan sebagai kuntilanak. Tetapi mereka tidak pernah menduga, demikian
memilukan dan mengerikan suara jeritannya. Jeritan yang kemudian disusul oleh isak
tangis-isak tangis yang bagai merangkak dari satu rumah kelain rumah, disertai suara
memohon yang lirih:
"Kasihanilah aku. Kasihanilah anakku...!"
***
Suara Kurdi merendah.
"Kalau begitu, tinggalkan dunia ini. Tinggalkan dengan perasaan aman dan
tenteram..."
"Tidak!"
Suara yang lepas dari mulut mayat Nyi Ijah seperti suara orang sakit.
"Aku tidak bisa. Aku...."
"Hem. Yang kau maksud sudah dikatakan oleh mereka padaku. Kau Ingin
dimakamkan disamping makam suamimu, bukan?" Mulut mungil itu renyai sedikit.
Malah sepasang kelopak matanya, sempat mengerjap. Lalu:
"Ya.... Tetapi mereka... mereka tidak tahu. Aku sendiri tidak pernah tahu di mana
letaknya makam itu."
"kau akan menunjukkannya padaku, perempuan manis," ujar Kurdi seraya tersenyum.
Manis.
"Maksudku, rohmu...." Mulut Nyi Ijah meringis.
"Kalau kau melakukannya, aku... aku akan sangat menderita, dan..."
"Kau ingin disemayamkan di samping suamimu?"
"... ya!"
"Kalau begitu, kau harus tabah!"
"Bukan itu saja. Aku...aku...."
"Jangan membantah!" Suara Kurdi berubah tajam.
"Kalau tidak, akan kubiarkan mereka menyebut kau kuntilanak, dan menyebut
anakmu anak kuntilanak!"
"Aaaa, tidaaaaak!" jerit Nyi Ijah, nyaring.
"Hussyyy, jangan menjerit lagi. Geger orang sekampung kau buat!"
Wajah Nyi Ijah berubah memelas. Kurdi menghembuskan asap menyan ke wajah
perempuan muda itu. Nyi Ijah terengah-engah. Kemudian terbatuk-batuk. Keras.
Sampai tubuhnya terangkat dari permadani, seakan menghindar.
"... bau apa ini?" Jerit Nyi Ijah tertahan.
"Aku tak tahan. Aku... aku tak kuat. Tolong bukakan pintu. Bukakan jendela. Biar bau
busuk ini pergi,... Tolonglah!"
"Dan rohmu ikut pergi?" Kurdi menyeringai.
"Tidak. Rohmu akan tetap ada dalam jasadmu, karena rohmu yang akan menunjukkan
di mana terletak makam suamimu.... Bukan pekerjaan mudah. Tetapi selagi kau hidup,
kau beramanat pada mereka, agar mayatmu dimakamkan di samping makam suamimu.
Amanat itu adalah tutur katamu. Amanat itu adalah sumpahmu. Kau tidak mungkin
mundur lagi..."
"Sudah kubilang, aku tidak tahu..."
"Dengan bantuanku, kau pasti tahu!" tukas Kurdi, tegas.
"Sungguh?"
"Aku berjanji. Tetapi diperlukan kerjasama..."
"Aku mencintai suamiku... Hanya ia... ia seorang yang... yang memperhatikan dan
memperlakukan aku... sebagaimana layaknya ia memperhatikan dan memperlakukan
orang yang... yang ia kasihi. Hanya ia seorang. Banyak laki-laki... ah. Banyak orang,..
aduh! Aku tidak berani mengatakannya. Aku hanya bisa mengatakan padamu, aku
mencintainya dengan segenap jiwa ragaku. Malah ketika keluarganya menentang keras
hubungan kami... ia... ia berontak. Ia bersedia mati... kemudian ia berjanji untuk
sehidup semati denganku, kalau tidak... Ia, ia pasti mencintaiku. Ia pasti menungguku
dipersemayamannya. Ia...."
"Kau ragu terhadap cintanya, bukan?"
"Aku... aku tidak perduli."
"Kau ragu. Berkatalah jujur. Kalau tidak, aku tidak mungkin membantumu...."
"Kau harus membantuku!"
"Karena itu, perempuan manis, ceritakanlah sejujur jujurnya!"
"Mengapa kau ingin tahu?"
"Supaya aku mengetahui bagaimana perkembangan jiwa dari rohmu di saat-saat
terakhir hidupmu. Keadaan jiwamu itu penting sekali, agar aku bisa menyesuaikan diri
dengan kemampuanku...."
"Kau memperalatku. Memperalat roh orang yang sudah mati!" sungut Nyi Ijah.
Tubuhnya gemetar.
"Apa boleh buat. Coba kau mati dalam keadaan tenang, tidak penasaran seperti ini.
Sudahlah. Tak perlu lagi hal itu diungkit-ungkit. Ceritakan saja, apa yang dialami jiwa
dari rohmu semasa hidupmu, menjelang kau mati..."
Kurdi duduk bersila, seperti layaknya seorang anak yang siap mendengar dongeng
dari sang nenek. Tetapi sebelum Nyi Ijah membuka mulut kembali .Kurdi cepat-cepat
memperingatkan:
"Camkan. Hanya yang ada hubungan dengan suamimu. Karena kearah dia-lah
pekerjaanku akan kulakukan...!"
Nyi Ijah manggut-manggut. Benar-benar mengangguk!

***
Gara-gara persoalan harta, ayah Nyi Ijah yang keturunan tuan tanah, menceraikan
ibu Nyi Ijah yang lahir dari keluarga penggarap sawah orang. Ayahnya kemudian
kawin dengan salah seorang anak sanak famili yang tinggal di kota. Nyi Ijah serta
ibunya ditinggalkan begitu saja di kampung, dan hanya boleh bersyukur telah
menerima sebuah rumah gubuk dan dua kotak sawah sebagai tanda putus hubungan.
Tentu saja memiliki sawah sendiri meskipun cuma dua kotak merupakan suatu
kebanggaan dari keluarga ibu Nyi Ijah yang selama hidup mereka hanya
menggantungkan hidup dari menggarap sawah orang lain. Tetapi apalah artinya sawah
dua kotak dan sebuah rumah gubuk yang dimakan dan ditempati bersama-sama oleh
kakek nenek dan sanak keluarga ibu Nyi Ijah yang jumlahnya belasan orang. Dengan
cepat harta kekayaan yang tidak seberap a itu, ludas tanpa bersisa sedikitpun. Ibunya
kembali bekerja sebagai penggarap di sawah orang, dan Nyi Ijah yang masih bocah
terpaksa ikut belajar bergumul dengan lumpur yang mengotori kulitnya yang putih
bersih dan "gagang ketam padi meleceti telapak tangannya yang halus. Dengan suara
memelas, ibunya kemudian berkata:
"Nak, kau di rumah saja. Memasak nasi untuk ibu, atau menangkap kupu-kupu..."
Meningkat remaja, ibunya yang tampak jauh semakin tua mengeluh:
"Melihat wajah dan pembawaanmu, anakku, mengingatkan ibu pada ayahmu. Orang
memandang wajahmu seraya tersenyum kagum. Orang memperhatikan tingkah lakumu
seraya geleng-geleng kepala. Kau tidak pantas jadi anak petani. Pantasnya kau jadi
anak tuan tanah...!"
Ketika ibunya mau meninggal, tiada lagi harta kekayaan yang bersisa untuk diberikan
pada Nyi Ijah yang sedang ranum-ranumnya. Dari pembaringan di mana perempuan
tua yang malang itu tergeletak lemah dengan nafas yang tinggal satu-satu, ibu Nyi Ijah
mengulurkan tangan untuk mengusap wajah anaknya.
"Anakku," ia berpesan.
"Di kampung ini, kau akan terlunta-lunta. Ibu tak punya apa-apa yang bisa
ditinggalkan untuk kau makan dan kau pakai. Paman paman dan bibi-bibi serta
uwa-uwamu yang masih hidup, berkelana dari satu kampung ke lain kampung untuk
mengharap belas kasihan pemilik-pemilik sawah yang membutuhkan para pekerja.
Orang-orang seperti kita tidak ada yang sanggup membelamu. Paling-paling
orang-orang kaya, yang ibu tahu dan arif, suka mengganggumu. Ibu malah sering
ditawari bantuan. Ibu tahu maksud mereka. Tetapi ibu lebih tahu pengalaman apa yang
telah ibu jalani. Mereka akan tetap menganggapmu anak melarat, yang hanya patut
dibelas kasihani, tetapi tidak patut untuk duduk sejajar dengan mereka. Suatu ketika,
kau akan mereka lemparkan semenamena sebagaimana mereka pernah melempar
ibu...."
Di antara isak tangisnya, Nyi Ijah mendengar pesan terakhir sang ibu:
"Anakku, hanya kepada satu oranglah kau bisa pergi. Ayahmu."
Lalu ibunya pun mati, tidak dengan tenang.
***
Dengan sedikit bekal yang dikumpulkan bersusah payah oleh sanak famili ibunya, Nyi
Ijah pun berangkat ke kota. Ia naik bus yang lewat menjelang hari siang tak jauh dari
kampung, dan tiba bersamaan dengan datangnya malam ditengah-tengah kota. Untuk
beberapa saat lamanya Nyi Ijah hanya terbengong-bengong memandangi terminal bus,
kagum dan suasana di sekelilingnya. Pertokoan yang ramai, gedung-gedung yang
megah, pasar yang tidak pernah diam, manusia yang hilir mudik dengan pakaian aneka
ragam yang bagus-bagus semuanya di mata Nyi Ijah. Terpandang sandal jepit di kaki
dan rok dari bahan tetrex murahan di tubuhnya, Nyi Ijah tersipu sendiri. Wajahnya
merah padam tiap kali beradu pandang dengan orang-orang di terminal.
Barulah ketika seseorang menegur:
"Cari siapa, Neng?" Nyi Ijah tersentak.
Ia pandangi si penanya. Ternyata petugas de-el-el-de-terminal yang memandangi
penuh perhatian pada perawan ranum yang tampak sekali baru pertama kali
menginjakkan kaki di kota besar itu. Dengan wajah menunduk malu dan tangan
mempermainkan kuku, Nyi Ijah menjawab gemetar:
"Cari ayah, Pak...."
"Oo, sama-sama datang dari kampung?"
"Siapa?" Nyi Ijah gugup.
"Ayah eneng."
"Nama saya Ijah, bukan Eneng...."
Petugas berkemeja putih bercelana biru itu terkekeh kekeh. Habis kekehnya, ia
berkata:
"Ayahmu. Aku bertanya, apakah ayahmu tadi datang bersama-sama dengan Eneng...
eh, Neng Ijah." Semakin Ijah tersipu.
"... tidak," katanya. Lambat. Hampir-hampir tidak terdengar. Tetapi geleng kepalanya
cukup jelas terlihat oleh si petugas.
"Ayah saya tinggal di kota ini...."
"Tahu alamatnya?"
Ijah menyebutkan alamat ayahnya dengan mata mengharap, semoga orang yang
berhadapan dengannya tahu di mana letaknya alamat ayahnya tinggal, semoga orang
itu kenal baik dengan ayahnya pula. Tentulah sebagai orang kaya, ayahnya cukup
terkenal. Tetapi waktu ia sebut alamat dan kemudian juga nama ayahnya, petugas
de-el-el-de itu hanya manggut-manggut, hampir-hampir tanpa perhatian. Setelah
menatap sejurus pada tubuh perawan yang baru jadi di hadapannya, petugas terminal
itu memegang tangan Nyi Ijah. Si gadis tersentak kaget.
"Jangan takut," rungut si laki-laki sambil membalas pandangan beberapa orang
lainnya di terminal itu, yang memperhatikan mereka semenjak tadi.
"Akan kuantarkan kau ke luar terminal, di sana banyak becak yang bisa
mengantarkan kau ke rumah ayahmu...!"
Dan kepada abang becak yang kendaraannya kemudian dinaiki Nyi Ijah, petugas
de-eI-el-de itu berpesan:
"Sampai ketemu orang yang dicari, mang!"
Sepanjang jalan, abang becak itu banyak bertanya tanya. Dari mana asal Nyi Ijah,
siapa namanya, berapa kali sudah ke kota, berapa umurnya dan sebagainya dan
sebagainya, yang hanya dijawab Nyi Ijah dengan kata-kata pendek-pendek.
Ia lebih tertarik pada jalan-jalan lebar yang diterangi lampu-lampu mercury,
kendaraan-kendaraan hilir mudik, rumah rumah megah, toko-toko yang menjual banyak
ragam pakaian dan makanan. Nyi Ijah semakin malu pada apa yang ia kenakan di
tubuh, dan semakin merungkut pada perut yang melilit. Ia sudah lapar sekali. Tadi
dijalan, bus berhenti di rumah makan. Banyak penumpang yang turun untuk makan.
Tetapi Nyi Ijah lebih suka duduk diam-diam, karena dari rumah ia sudah makan
banyak-banyak agar tidak kelaparan di jalan.
Toh, nanti di kota, ayahnya pasti akan memberi makanan yang banyak dan lezat-lezat.
".... nomor berapa rumahnya, Neng?" Pertanyaan abang becak itu menyadarkan Ijah
dari lamunannya.
"Tiga dua...." sahutnya.
"Inikah jalannya?"
"Benar, Neng. Nah yang ini tiga belas, nomor ganjil. Sebelah kanan, nah, nomor dua
puluh dua. Barangkali itu tuh, yang ada mobil diparkir di depannya..."
Bukan bayangan ayahnya punya mobil bagus yang membuat jantung Ijah berdenyut.
Melainkan bayangan ayahnya sendiri. Ia masih bocah ingusan ketika ditinggalkan oleh
ayahnya. Ijah sudah lupa-lupa ingat, bagaimana rupa sang ayah. Apakah ayahnya juga
demikian" Dan bagaimana sikap ayahnya nanti, bila ia tahu Ijah, anak yang
merindukan dan sangat mengharapkan pertolongannya, tiba-tiba berdiri di
hadapannya. Dada Ijah berdebar kencang waktu becak berhenti di depan rumah
bernomor tiga puluh dua.
Bersebelahan dengan rumah yang ada mobil bagus di pekarangannya tadi. Di sini
tidak ada mobil. Tetapi pekarangannya luas. Ada taman bunga. Dan patung seorang
perempuan dari pualam putih gemerlapan di jilat lampu neon bundar tersembul di
antara rerumputan. Dengan menjinjing tas kecil yang ia bawa dari kampung berisi dua
helai pakaian ganti serta foto lama ketika ia masih bayi dipangku ibu disebelah
ayahnya, Nyi Ijah melangkahi jalan masuk pekarangan yang dilapisi batu koral. Rumah
gedung itu sepi. Tidak ada orang di teras depan. Lewat jendela kaca bertirai kain
gorden putih yang tipis, ia melihat ruangan depan yang megah serta cemerlang, juga
tidak ada orang. Sesaat, Ijah menoleh ke belakang. Becak tadi sudah berangkat. Hanya
samar-samar terlihat melaju ditelan kegelapan malam, menghilang di sebuah
pengkolan. Tiada teman untuk berbicara. Tiada tempat lagi untuk bertanya.
Tinggal pada diri sendiri: bolehkah aku masuk" Ada ayah dirumah" Masihkah ia
mengakui aku datang bersandal jepit, ber-rok yang sudah lusuh sepanjang perjalanan
dari kampung, serta muka kotor oleh debu" Apa pula kata isteri ayahnya nanti" Istri
ayahnya. Ia itu ibu tiri Nyi Ijah. Ibu tiri. Wahai, seperti apa gerangan rasanya beribu
tiri" Dari radio Nyi Ijah sering mendengar lagu lagu sedih tentang ibu tiri yang....
Salak seekor anjing membuat Nyi Ijah tersentak. Ia terpaku ditempatnya berdiri, tepat
di depan pintu, di teras. Tangannya baru saja akan mengetuk pintu tanpa melihat, atau
kalaupun melihat tidak tahu bagaimana menggunakan bel di dekat pintu itu, ketika
salak anjing yang lantang itu terdengar, jantungnya sampai berhenti berdenyut, dan
jalan darahnya bagai terputus.
Dengan wajah pucat ia memandang berkeliling. Liar matanya mencari. Tetapi ia
tidak melihat anjing datang mengejar, atau menerkam. Ia hanya mendengar
gonggongannya yang tidak putus-putus, semakin lama semakin lebar. Ia tak tahu itu
garasi samping. Nyi Ijah menghela nafas. Kejutnya mereda, tetapi takutnya tidak. Ia
bergerak mundur. Siapa tau sewaktu-waktu pintu lebar itu terbuka dan....
Dan pintu lebar itu memang terbuka tiba-tiba, disertai bentakan:
"Bruno! Masuk!"
Gonggongan keras itu berhenti. Jantung Nyi Ijah berdenyut kembali. Darahnya
kembali pula mengalir. Didahului oleh seorang perempuan gadis seumur Nyi Ijah
sendiri tampak anjing itu menjulurkan kepalanya lewat sela-sela daun pintu. Sebentuk
kepala yang hampir sebesar kepala Ijah sendiri, berbulu hitam pekat, bermata merah
menyala-nyala, bermoncong sempit dengan gigi taring yang mencuat ke luar dari
mulut. Seekor boxer besar, yang membuat Nyi Ijah bergerak mundur menjauh.
"Hayo, Bruno masuk!" membentak lagi gadis yang keluar dari pintu lebar itu, yang
segera ia tutupkan begitu anjing boxer tadi menarik kepalanya mundur dari sela-sela
daun pintu. Gadis itu kemudian memandangi Nyi Ijah dengan mata penuh selidik, dari
ujung rambut yang awut-awutan, sampai ke ujung kakinya yang telanjang, berdebu.
Sebaliknya, Nyi Ijah balas memandangi gadis tersebut. Bedanya, alangkah jauh. Sandal
si gadis bagus. Bajunya berwarna-warni, indah sekali di mata Ijah. Tubuhnya tampak
manis. Telinganya pakai anting-anting. Bibirnya merah bersepu, pipinya semua putih
berbedak.
"... cari siapa?" tanya si gadis, waktu mereka beradu pandang.
Nyi Ijah mengatur nafas. Berusaha tenang:
"Ayah," sahutnya.
"Ya?"
"Cari ayah."
Kembali gadis itu memandangi sekujur tubuh Nyi Ijah, dari ujung rambut ke ujung
kaki. Kembali pula Nyi Ijah membalas, memperhatikan si gadis. Tentulah ia ini anak
ayahnya dari isterinya yang sekarang. Jadi, saudara tiri Nyi Ijah. Pantaslah ia penuh
selidik. Pantas. Ia tentu tidak mau mengaku bahwa...
"Ayahmu Siapa?"
Nyi Ijah dongkol. Ia sebutkan nama ayahnya keras keras. Dari ruang tengah, tampak
bayangan seorang laki-laki berjalan keluar. Nyi Ijah dan si gadis serempak menoleh
waktu pintu yang tadi mau diketuk Ijah, terbuka.
"Mirah!" seru laki-laki itu setelah ke luar.
"Apakah taksi itu belum...." kalimatnya terputus begitu melihat ada orang lain di
samping gadis yang ia panggil dengan nama Mirah. Lalu:
"Siapa anak ini?" Setengah membungkuk, gadis di dekat Nyi Ijah menyahut:
"Entah, Tuan. Katanya ia mencari ayahnya." Dahi laki-laki berpakaian perlente itu
mengerut.
"Ayahnya?"
"Saya, Tuan," Ijah kini yang menyahut, mengikuti panggilan si gadis terhadap
laki-laki itu, malah juga mengikuti gerak membungkuk yang sedikit kaku.
"Keluarga saya memberi tahu alamat ini pada saya...." Laki-laki perlente itu
memandangi Nyi Ijah sejurus. Lantas:
"Benar nama jalannya?"
"Benar, Tuan."
"Nomor rumahnya?"
"Saya, Tuan."
"Apa?"
"Benar, Tuan. Nomornya sama."
"Eh. Kok... siapa namanya?"
Ijah menyebutkan nama ayahnya. Laki-laki itu berpikir sebentar, kemudian
tersenyum. Jelas tidak ramah sama sekali. Dipaksakan. Tetapi Nyi Ijah tidak merasakan
senyuman yang terpaksa itu. Ia sudah putus harapan karena tampaknya ia terbentur ke
alamat yang salah. Lebih-lebih lagi waktu si laki-laki tiba-tiba berujar:
"O, baru aku ingat. Memang dulu ia pemilik rumah ini, sebelum kami beli..."
"Oh"
"Kau siapa?"
"Anaknya, Tuan."
"Oh, ya, ya. Tadi sudah kau bilang...." lantas pada Mirah ia bersungut:
"Eh, kenapa masih berdiri di situ" Si boy lagi berak di kamar mandi. Ayo tunggui
sana!"
Mirah membuka pintu lebar tadi, disambut salak anjing, kemudian pintu tertutup
kembali. Si laki-laki perlente ikut pula memutar tubuh mau masuk ke dalam rumah.
"Tuan...." Laki-laki itu memandangi Nyi ljah dengan malas.
"Apa lagi?"
"Ke mana pindahnya ayah saya?"
"Wah. Mana aku tahu. Kalaupun tahu, aku sudah lupa. Ia sudah pindah sepuluh
tahun yang lewat... !" lantas seraya bersungut-sungut sendirian:
"Brengsek benar taksi itu. Sudah sejam menunggu...."
dan pintu dihempas tertutup. Nyi Ijah berdiri termangu-mangu. Wajahnya semakin
pucat. Bukan karena salak anjing boxer mengerikan itu masih terdengar dari balik
pintu lebar disertai suara kuku menggaruk-garuk daun pintu, akan tetapi karena
kepastian yang menghancurkan sisa-sisa harapannya. Bahwa ayahnya telah lama
pindah. Dan tidak seorang pun tahu alamatnya yang baru. Seharusnya aku tanyakan
pada keluarga ayahku di kampung, pikir Ijah seraya berjalan meninggalkan rumah itu.
Tetapi, ah. Mereka terlalu pongah. Baru saja aku tampak di kejauhan, mereka sudah
menutup pintu. Padahal aku cuma sekedar lewat di depan rumah. Diperlakukan seperti
pengemis saja.
Aduh, ibu, ibu! Kau beruntung. Tidak mengalami nasib seperti aku. Kemana ayah
akan kucari" Kemana, ibu" Tanpa terasa lagi, air mata Nyi Ijah jatuh bercucuran, ia
berjalan dengan gontai. Kakinya lemah sekali, kebingungan membuatnya lupa diri.
Tiba-tiba matanya silau oleh cahaya silau, lantas telinganya menangkap bunyi rem
mendecit-decit nyaring, sebuah mobil berhenti didepannya lalu dari kegelapan ia
dengar suara supir menyumpah-nyumpah:
"Jadah! Mau bunuh diri, bukan di sini tempatnya!"
Lalu mobil itu melaju lagi, setelah Nyi Ijah buru-buru menepi. Selintas ia masih
sempat melihat bagaimana mobil tadi membelok memasuki pekarangan rumah yang
baru ia tinggalkan. Tentulah taksi yang ditunggu tunggu laki-laki itu sehingga tampak
sangat begitu kesal. Yang ia tahu, adalah hal yang sangat bertentangan. Ketidaktahuan.
Ke mana akan pergi!
"Becak, Neng?"
Lagi-lagi Nyi Ijah tersentak. Sebuah becak melaju perlahan-lahan di sampingnya. Nyi
Ijah memperhatikan pengendaranya, berharap mudah-mudahan ia adalah abang becak
yang tadi. Ternyata bukan. Yang tadi sudah tua, berwajah kelimis. Yang ini masih
muda, bertubuh kekar, dengan kumis melintang di atas bibirnya yang tebal. Seram juga,
tetapi Nyi Ijah perlu seseorang untuk bertanya:
"Benarkan jalan ini jalan Pandu, Kang?" Dipanggil akang, abang becak itu tampak
senang.
"Benar. Mengapa?" Kalau begitu, nomor rumah tadi juga benar. Tentulah laki-laki
parlente itu tidak berdusta. Ayahnya sudah pindah. Entah ke mana.
"Cari seseorang, Neng?" Nyi Ijah tiba-tiba punya harapan lagi.
"Ya," katanya.
"Mencari ayah saya," lantas ia sebut nama ayahnya, berharap semoga abang becak
itu kenal.
"Di mana tinggalnya ayahmu?" tanya abang becak, sama sekali tanpa perhatian pada
nama ayah Nyi Ijah. Jadi, orang inipun tidak tahu. Tidak kenal. Ijah semakin lemas.
Lututnya mulai goyah. Tidak saja tubuh, akan tetapi juga jiwanya mulai letih. Abang
becak itu menghentikan kendaraannya.
"Naik saja, Neng. Kita cari bersama-sama...." Ijah menurut saja. Ia tak tau mau ke
mana pergi, tetapi mudah-mudahan si abang becak bisa menanyakan alamat ayahnya
kesana kemari. Mereka berputar-putar di bagian kota, namun perhatian Ijah pada
suasana cemerlang dan megah disekelilingnya sudah hilang. Tiada kekaguman lagi.
Tiada rasa takjub. Yang ada hanya kecemasan pikiran kalut, dan keringat dingin yang
berlelehan di ketiak. Sampai tiba-tiba becak berhenti, dan pengendaranya berkata:
"Kita turun di sini saja, Neng." Seketika, Ijah melihat berkeliling. Mereka berada di
sebuah jalan aspal yang sudah rusak berat, tanpa lampu-lampu mercury, tanpa
gedung-gedung megah, tanpa toko-toko yang gemerlapan. Gelap sepanjang jalan, dan
bau busuk yang pengap terlempar dari sebuah selokan besar yang airnya
kehitam-hitaman di pinggir jalan.
"Di sinikah ayahku tinggal?" tanya Nyi Ijah, memandang ke rumah-rumah
disekitarnya. Rumah rumah dari dinding papan dengan atap-atap genteng yang sudah
lumutan. Ayahnya kan orang kaya, tidak mungkin dia....
"Kita tak tahu di mana ayahmu tinggal, Neng. Aku yang tinggal di sini. Mau ikut?"
Ijah kebingungan. Abang becak itu tersenyum lebar, seraya memperhatikan sekujur
tubuh dan wajah Ijah dengan mata lebar.
"Kau tentu lelah. Perlu istirahat. Mandi, makan, lalu tidur..."
Ya, ya, orang ini benar, pikir Ijah, lantas turun dari becak, berjalan mengikutkan
laki-laki itu memasuki salah sebuah rumah petak tak jauh dari selokan. Rumah itu
berlantai tanah ruang depan yang sempit hanya diisi kursi rotan yang sudah reot,
diterangi lampu 25 watt. Ruang tengah merangkap ruang makan dan ruang dapur,
dengan perabotan ala kadarnya, lalu sebuah kamar berpintu kayu yang kapurnya sudah
luntur. Orang itu mengatakan ia tinggal sendirian dirumah ini, jadi Ijah tak usah malu
malu. Ia menyuruh Ijah mandi ke sumur di belakang. Tertawa dengan ramah di mulut,
dan tersenyum nakal di matanya yang tak berkedip memandangi perawakan tubuh serta
raut wajah Nyi Ijah.
***
"Kau bertele-tele," rungut Kurdi memotong cerita Nyi Ijah yang terbujur diam
dihadapannya.
Mulut si mayat kumat-kamit melontarkan sumpah serapah yang samar-samar
kedengaran. Kemudian:
".... aku menceritakan..." Nafasnya terdengar berat dan lelah.
"Menceritakan apa yang... yang ada hubungannya dengan suamiku, seperti yang
kau... kau minta!"
"Langsung saja!"
"Tidak. Kau harus tahu bagaimana mulanya aku bertemu dia. Kau harus tahu
bagaimana baiknya ia padaku. Kau harus!" Suara Nyi Ijah terdengar penuh semangat.
"Ia benar-benar seorang lelaki yang patut didambakan wanita manapun di dunia ini.
Ia...."
"Baik. Ia laki-laki terbaik. Tetapi ceritakan tentang dia saja. Tak usah bawa-bawa
nama tukang becak yang tidak karuan itu."
"Tanpa abang becak itu, tak akan aku bertemu dengan suamiku!" desis mayat Nyi
Ijah. Marah.
"Hem!"
Beberapa saat hanya terdengar nafas-nafas lelah saja. Kurdi membiarkan. Kebulan
dari dupa telah menipis. Ia tambahkan sebonggol kecil lagi batu menyan. Membersit
bunyinya. Karena asap dupa tidak membesar juga, Kurdi mengipas-ngipas dupa itu
dengan sarung hitam. Asap dengan cepat berkebul, membawa bau khas yang
mendirikan bulu roma orang-orang yang tidak menyukainya. Dan Ijah! Ia
terbatuk-batuk.
"Asap itu!" katanya setengah merintih, di antara suara batuk yang
menguncang-goncang tubuhnya.
"Asap itu. Hentikan!"
"Akan kuhentikan, begitu selesai ceritamu!"
"Baik. Baik. Akan kuteruskan. Tetapi asap itu, aduh... huk... Uhuuk! Uhuuk...!" Suara
batuk Nyi Ijah terdengar sampai ke luar rumah. Bu Enjuh yang beberapa saat
berselang mendengar jeritan anak angkatnya yang sudah mati itu, kembali tertegun di
dekat sebuah batang pohon besar, hanya beberapa meter lagi dari rumah pak lurah. Ia
memutar tubuh, memandang ke arah rumahnya di kejauhan. Tetapi yang ia lihat hanya
malam yang pekat, kehitaman yang mencekam. Suara batuk-batuk barusan tidak
sekeras jeritan tadi. Namun, di malam sesunyi sekarang, disaat mana jangankan
tetangga tetangganya, bahkan jengkerik pun pada takut untuk menimbulkan suara.
Suara batuk-batuk itu terdengar sangat jelas memecah kesepian malam.
"Anakku...." bisik Bu Enjuh. Parau.
"Apakah kau...." Ia ingin berlari. Pulang. Untuk membuktikan bahwa anak angkatnya
tersayang tidak mati, akan tetapi masih hidup. Atau si dukun penunggu jenazah itu telah
menghidupkannya kembali. Bu Enjuh ingin berlari ke sana, secepatnya, sekuatnya. Tak
perduli apa nanti kata Kurdi. Tetapi waktu ia gerak-gerakkan kaki, aduh, lemasnya.
Otot-otot Bu Enjuh teramat kejang. Tidak, ia tidak sanggup berlari ke rumah. Tidak
pula ia sanggup memandang muka Kurdi yang pasti akan marah besar karena merasa
diganggu. Lebih baik ia teruskan perjalanan ke rumah pak lurah. Bahkan untuk
memutar tubuh kembali pun, otot-otot kaki Bu Enjuh terasa lemah sekali. Ia tahu rumah
pak lurah tinggal beberapa langkah lagi. Ia kuat-kuatkan hati. Ia kuat-kuatkan pula
kaki. Suara kaki-kakinya menjejak di tanah, biasanya tidak terdengar sama sekali.
Tanah terlalu lembut untuk memantulkan jejak-jejak kaki tua dan lemah, setua dan
selemah kaki Bu Enjuh. Namun di telinga perempuan tua itu, suara-suara jejak kakinya
di tanah terdengar berdebum-debum, seperti langkah-langkah kaki raksasa. Ia cemas
memikirkan nasib anak angkatnya di rumah. Tetapi kecemasan itu, perlahan-lahan
dirayapi perasaan takut oleh bunyi langkahnya sendiri.
Benar-benar berisik. Arwah-arwah yang selama ini terbaring tenang dalam
kegelapan, bisa bangkit karena marah. Termasuk arwah anak-angkatnya. Ah
" Arwah anak-angkatnya" Bu Enjuh tertegun sesaat. Bagaimana kalau arwah
anak-angkatnya yang bangkit. Bila itu terjadi, tentu ia tidak melihat Nyi Ijah berjalan
lemah gemulai mendatanginya, melainkan berjalan tanpa menjejak di tanah. Mungkin
terbang, seraya menyeringai, tertawa terkikik-kikik, menggendong mayat bayinya yang
berbentuk aneh itu....
Hiiii!
"Tidak!" bisik Bu Enjuh, menghibur dirinya.
"Ijah tak akan jadi kuntilanak. Tak...." Suaranya terputus sampai disitu. Ia mendengar
sebuah suara. Suara yang aneh. Seperti orang batuk. Bukan batuk Nyi Ijah, melainkan
batuk lelaki. Kering dan serak. Jelalatan mata Bu Enjuh melihat ke kiri ke kanan,
menembus kegelapan malam, ia menoleh ke belakang terus membesarkan mata
memandang ke depan. Kegelapan semata. Paling-paling tampak bayang-bayang pagar
bambu...
Ah, mungkin hanya lamunanku saja, pikir Bu Enjuh lalu melangkah lagi. Pelahan,
agar tak terdengar suara kakinya, agar tak berisik membangkitkan arwah-arwah
dikegelapan malam, agar....
"Hheeeeiii...!"
Suara berat itu jelas sekali terdengar. Dekat di telinganya. Sebelah kiri, Bu Enjuh
menggigil.
"Lihat ke mariii...!"
"Ap... appaaa?" sentak Bu Enjuh, sengau, lalu menoleh ke kiri.
"... mendekatlah!"
Bu Enjuh mendekat. Ada kekuatan gaib yang menyuruh mendekat, melewati
pepohonan yang hitam, memasuki kegelapan yang lebih hitam lagi. Semakin dekat,
semakin ia dengar suara ganjil itu. Suara yang berat, letih, serak, desah-desah nafas
yang tersentak-sentak, mirip desah nafas kerbau yang sekarat dengan leher yang putus
disembelih...

***
Di rumah Bu Enjuh, mayat Nyi Ijah melanjutkan ceritanya dengan desah nafas yang
sama letihnya; Sebagai gadis kampung, hatinya polos tanpa prasangka. Abang becak
itu ia anggap sebagai penolong, dan besok pasti bersedia mencarikan alamat yang baru
dari ayahnya. Laki-laki ini begitu baik. Membolehkannya ikut dengan becaknya tanpa
membayar. Coba kalau Nyi Ijah harus jalan kaki! Membawanya ke rumahnya. Coba,
kalau tidak, di mana Ijah harus tidur" Disini, sebelum tidur ia malah diberi makan
sekenyang-kenyangnya. Sehingga begitu ia baringkan tubuh di dipan kecil dalam kamar
satu-satunya di rumah petak itu, ia lantas terlelap seperti seorang puteri yang habis
bermain yang melelahkan sepanjang hari. Dalam tidurnya ia bermimpi. Ia lihat
ayahnya datang. Ia lupa-lupa ingat wajah ayahnya, hanya tahu dari potret. Setahunya,
ayahnya bermuka kelimis. Tetapi yang datang ini, berkumis, dengan rambut awut
awutan tak terurus. Ia mendekati Ijah, mengulurkan tangannya. Ijah berharap ayahnya
memeluknya seraya mengucapkan kata-kata:
"Anakku. Anakku yang malang, syukurlah kita bertemu, Nak." Ijah ingin berkata:
"Ayah! Ayah. Dari mana kau ayah" Di mana kau tinggal dan mengapa..." Ijah
tersentak. Laki-laki yang ia sangka ayahnya itu, memang memeluknya. Kuat sekali.
Tetapi, laki-laki itu berbuat lebih dari sekedar memeluk. Ia juga mencium Ijah. Bukan
saja di pipi, tetapi juga di leher, di bibir, bahkan jari jemarinya yang kasar
meremas-remas dada Ijah yang baru tumbuh. Ijah terlonjak. Bangun dengan kaget.
Ternyata abang becak yang mengajaknya tidur di rumah petak itu yang tengah
menggeluti tubuhnya.
"Kang!" katanya.
"Mau apa kau, Kang?"
"Hem, diam-diamlah, anak manis. Kau akan senang."
"Kang, aduh!" Abang becak itu merenggut pakaian yang melekat di tubuh Nyi Ijah.
Gadis itu mau menjerit, tetapi mulutnya keburu di bungkam oleh si laki-laki.
"Kalau kau menjerit lagi, kupukul kau. Mengerti?" Dengan mata melotot ketakutan.
Nyi Ijah mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah, berlakulah seperti anak manis. Kau telah kutolong, dan aku akan terus
menolongmu...!" Tetapi Ijah sempat juga memekik tertahan, manakala laki-laki durjana
itu berhasil merenggut keperawanannya. Gadis itu menangis, tidak saja oleh rasa
kesakitan, akan tetapi juga rasa sedih dan takut. Laki-laki itu berulang kali melakukan
hal yang sama atas tubuh Nyi Ijah, sehingga gadis itu hampir jatuh pingsan. Ia tak bisa
bangkit dari tempat tidur, sewaktu pagi harinya abang becak itu keluar setelah lebih
dulu meninggalkan ancaman:
"Jangan coba-coba lari. Kau akan kubunuh, bila kutemukan!" Jangankan lari. Turun
saja dari tempat tidur Ijah tak sanggup. Mana pintu dikunci pula dari luar. Ia hanya
menangis sampai matanya bengkak terus menerus. Akhirnya laki-laki itu datang,
menyuruhnya mandi dan berganti pakaian, memberinya makan nasi bungkus. Tetapi
Ijah tidak bisa menikmati makanan yang dalam keadaan lain pasti sangat enak itu. Ada
goreng ayam, ada gulai hati dan petai rebus.
"Bawa aku pergi dari sini. Bawa aku ke ayahku," tangisnya. Laki-laki itu tertawa.
"Kau memang akan kubawa pergi. Tetapi mana tahu aku, di mana ayahmu tinggal"
Tetapi, senangkanlah hatimu. Kau akan kubawa ke sebuah rumah di mana kau bisa
hidup senang...." Dan laki-laki itu membawanya ke sebuah rumah yang lumayan megah.
Perempuan setengah baya pemilik rumah itu berwajah manis, bersenyum manis. Leher,
pergelangan tangan, jari jemari, telinga bahkan pergelangan kakinya penuh dengan
perhiasan emas yang bagus-bagus. Rumahnya mempunyai banyak kamar, dengan
perabotan yang bagus-bagus. Anak anaknya, semua anak gadis, berperawakan,
berwajah dan berpakaian bagus-bagus. Ijah pun kemudian diberi pakaian dan kamar
yang bagus. Perasaan sedih dan sakit hatinya akan perbuatan si abang becak,
perlahan-lahan lenyap, sampai suatu malam, seorang laki-laki datang ke kamarnya,
menutup pintu bahkan menguncinya sekalian. Dan laki-laki itu, berbuatlah hal yang
sama terhadap Ijah.
Memperkosanya!
"Telah kubeli kau dengan harga mahal dari penarik becak itu!" rungut induk
semangnya, ketika Ijah mengeluh keesokan harinya.
"Karena itu, kau harus menurut dengan patuh, apa saja pun yang diperbuat laki-laki
yang datang ke rumah ini, pada dirimu. Mengerti"!" Dan laki-laki demi laki-laki, silih
berganti menikmati tubuh Nyi Ijah. Di kamarnya, atau ke luar dari rumah, naik mobil
ke hotel atau ke luar kota. Begitu terus dari hari ke hari, minggu ke minggu, sampai
berbilang tahun. Ia sudah melupakan ayahnya. Tetapi ia tidak bisa melupakan sakit
hatinya. Abang becak itu telah menjual tubuhnya, dan hanya memberi sedikit bagian
saja, sekedar makan enak, dan bisa membeli pakaian bagus serta sedikit perhiasan. Ijah
tak boleh memiliki banyak uang, dan tiap kali menerima pembayaran dari laki-laki yang
mencarternya, harus menyetorkan uangnya pada perempuan bermuka manis namun
berhati busuk itu.
"Aku ingin keluar!" Pernah ia berkata dengan marah.
"Pergilah. Dan tukang-tukang pukulku akan menyilet mukamu yang cantik biar cacat
seumur hidupmu. Lalu kau mereka lemparkan ke pinggir jalan supaya hidup sebagai
seorang pengemis. Masih mau pergi, oh?" Tidak. Ijah tak mau mukanya disilet. Ia tak
sudi dilempar ke pinggir jalan.
"Kau harus pindah. Perempuan itu memerasmu. Kau pantas untuk hidup senang, dan
diperlakukan sebagai perempuan terhormat!" seseorang tiba-tiba berkata begitu
padanya. Dan orang itu terus menerus menekankan hal demikian. Dan ia memang
memperlakukan Ijah sebagai. perempuan terhormat. Diajak keluar rumah makan
minum di restoran, masuk nite club, nonton, piknik, semua tanpa memperlakukan
tubuhnya sebagai mana diperlakukan oleh laki-laki lain. Paling-paling laki-laki itu...
yang juga membayar sebagaimana laki-laki lain membayar Ijah, hanya memeluk
dengan lembut, dan mencium dengan penuh kasih sayang, diakhiri dengan sebuah
kalimat pendek yang membuat Nyi Ijah merasa hidup kembali:
"Aku akan memperisteri kau, sayangku!" Dan laki-laki itu menebus Ijah dengan harga
yang mahal. Tetapi, ia juga kemudian hari terpaksa harus menebus tekadnya untuk
memperisteri Ijah, dengan harga yang jauh lebih mahal.
"Dia kan laki-laki yang kau maksud makamnya harus harus kita Cari?" Lagi-lagi
Kurdi menukas cerita Nyi Ijah dengan tidak sabar.
"He-eh...."
"Ceritakan kenapa ia mati. Ceritakan mengapa kau tidak tahu di mana jenazahnya
dimakamkan. Kau menghabis-habiskan waktuku dengan kisahmu yang berlarut-larut
itu!" Kembali mulut mayat yang terbujur di lantai bergerak gerak melontarkan sumpah
serapah pertanda ia sangat marah.
"Ia laki-laki yang baik. Ia laki-laki yang harus dihormati. Ia...."
"Ya, aku tahu. Aku tahu!" rungut Kurdi.
"Bagaimana kematiannya terjadi?"
"Mana aku tahu?" Suara mayat itu, letih dan marah.
"Sebabnya?" Kalau saja jasad itu hidup, tentulah sudah tergoncang goncang
menahan amarah. Tetapi karena jasad itu jasad mati, hanya mulut kemak-kemiknya
saja yang sanggup melontarkan sumpah serapah tidak berkeputusan, sampai Kurdi ikut
marah.
"Hentikan menghinaku, atau kau kubiarkan gentayangan jadi kuntilanak
menggendong mayat bayimu kemana-mana!" bentaknya.
Mayat itu terbatuk.
"Baiklah. Baiklah.... Kaulah yang harus bersabar sedikit."
"Eh, mayat terkutuk. Mau tawar menawar pula lagi!"
"Kumohon...."
"Hem, lanjutkanlah."

***
Jauh di luar rumah, Bi Enjuh mendengar lanjutan dari ucapan-ucapan aneh dari
dalam kegelapan di depannya:
"Kau kembalilah ke rumah itu!" Bu Enjuh membesarkan mata. Tetapi ia tidak melihat
apa-apa.
"Kau, siapa?" tanyanya, takut.
"Tak perlu tahu. Kembalilah kesana, dan lihat apa yang dilakukan oleh Kurdi laknat
itu pada mayat anak angkatmu!"
"Mengapa... kau tidak pergi sendiri melihatnya?" Terdengar suara orang meludah.
Lalu gerutuan marah:
"Jadah. Beras putih yang ia tebarkan mengelilingi rumah itu. Aku tidak bisa
mencarinya malam-malam begini, dan memungutinya satu persatu. Aku tak bisa
menerobos ilmu sihir yang...."
"Sihir?" Bu Enjuh menggigil.
"Jadah!" makian lagi, lalu:
"Hufff", seperti suara orang meniup. Angin dingin menampar wajah Bu Enjuh,
sampai beku rasanya kulit mukanya. Begitu angin dingin itu lenyap, Bu Enjuh tidak
ingin berkata apaapa lagi. Malah tidak ingat apa-apa lagi, siapa dirinya, di mana ia
berada, siapa orang itu, apa maunya. Ia berdiri kaku, wajah kaku, pandangan mata
kaku.
"Salahmu!" Terdengar lagi suara dari kegelapan.
"Terlalu ceriwis. Dasar nini-nini! Pergi sana, dan lakukan apa yang kuperintahkan!"
Angin bertiup lagi. Bu Enjuh memutar tubuh. Kaku. Dan perlahan sekali. Ia melangkah.
Kaku. Juga perlahan sekali. Ia telah dijadikan robot hidup oleh makhluk asing yang
mempengaruhi jalan darah dan pikirannya. Dalam keadaan biasa, dalam beberapa
menit ia akan bisa sampai di rumah. Tetapi dalam keadaan serupa itu, mungkin banyak
waktu yang ia perlukan.
"Nenek sialan!" maki suara dalam kegelapan.
"Tulang tulangnya bisa bercopotan dipengaruhi ilmuku. Apa boleh buat. Aku harus
tahu apa yang dikerjakan musuhku itu. Mudah-mudahan saja si nenek ini tidak mundur
dan berlari menjauh dari rumahnya, begitu pengaruhku hilang di saat ia menginjakkan
kaki melewati garis ilmu si penunggu jenazah itu!"
***
Penunggu jenazah itu mendengarkan dengan sabar. Ijah kemudian menikah dengan
lak-laki yang mengangkatnya dari dunia hitam yang nista itu, dengan mendapat
tantangan keras dari orangtua si laki-laki. Suaminya bukan saja tidak diaku anak lagi,
malah dikutuk agar hidup sengsara dan menderita, selama ia bersikeras untuk
berumah-tangga dengan bekas pelacur bernama Ijah itu.
"Mula-mula kutuk itu kami anggap sepi," ujar Ijah lirih.
"Tetapi usaha suamiku, kekayaan yang kami miliki, ludas dengan cepat. Kami
berusaha menghemat, tetapi ada saja pengeluaran yang tidak terduga. Suamiku
seringkali jatuh sakit, dan aku semakin disingkirkan tiap kali ia mulai sehat kembali..."
Karena panasaran, Nyi Ijah mendatangi seorang dukun.
"Suamimu diguna-gunai keluarganya," ujar dukun itu.
"Tolonglah aku melawan guna-guna itu," mohon Ijah.
"Wah. Berat. Orang yang dipakai keluarga suamimu bukan kaliberku. Ilmunya tinggi.
Kau harus mencari guru yang lebih tinggi dari dia."
"Siapa" Di mana tempatnya" Berapa biayanya?" desak Nyi Ijah tidak sabar.
"Hampir-hampir tanpa biaya. Ia hanya memberikan syarat-syarat tertentu. Akan
kuberitahukan tempatnya padamu!" Tempatnya jauh. Di lereng sebuah gunung yang
jarang dijamah manusia. Gurunya bukan sembarang guru. Ijah harus menyerahkan
tubuhnya untuk ditiduri sebagai syarat utama, meskipun...
"Wah, telah larut malam!" protes Kurdi tiba-tiba sewaktu ia dengar lolongan anjing
yang lirih menyayat tulang di luar rumah. Lolongan itu disertai dengus kuda yang
keras.
"Persingkat ceritamu. Hanya tentang suamimu, sudah kubilang berkali-kali padamu!"
Mayat Nyi Ijah terdiam sebentar. Sepasang matanya yang terbuka lebar dengan
manik-manik yang sudah mati, memandang langi-langit kamar dengan kosong. Lalu:
"... aku pulang ke rumah, setelah apa yang kukehendaki kuperoleh. Tetapi di sana
telah ada mertuaku, dan banyak sekali orang. Ternyata suamiku telah mati waktu
mereka tiba dirumahku." Ijah dikutuk tidak saja oleh mertuanya, tetapi juga
kebanyakan orang di tempat itu. Ia dituduh telah meninggalkan suami yang tengah
sakit, dituduh mencari laki-laki lain, melacurkan diri. Ia kemudian diusir, dan mayat
suaminya dibawa pergi oleh mertuanya, betapa pun Ijah bersikeras untuk memakamkan
sendiri suaminya. Dalam keputusasaan, Ijah lari pada gurunya ditengah hutan, dan
memperoleh jawaban:
"Lawanku kalah. Ia marah, dan lupa diri. Gunagunanya ia rubah jadi sumpah
kematian. Itulah sebabnya begitu kau pulang, suamimu telah tiada." Ijah jadi putus asa.
Ia ingin bunuh diri. Tetapi gurunya berkata dengan tegas:
"Kematian itu akan datang sendiri. Tetapi bukan sekarang waktunya...!" Dan
kandungan di perut Nyi Ijah, memberi dorongan untuk menunda datangnya kematian
itu.
"Anakku... harus hidup...." desis mayat Nyi Ijah.
"Ia satu-satunya peninggalan suamiku. Satu-satunya yang paling berharga di dunia
ini. Karena itu aku pun... harus hidup... demi anakku. Aku lalu meninggalkan hutan, dan
terdampar di kampung ini...." Mayat itu menghentikan ceritanya dengan nafas lirih dan
teramat letih.
"Tetapi ketika anakku lahir... ternyata anakku... anakku...." Suara tangis menyayatkan
hati, menggaung di dalam rumah.
"Hem!" Berengut Kurdi. Ia mengembangkan kedua tangannya. Ia putarkan secara
bersilang di atas wajah mayat Nyi Ijah. Suara tangis itu perlahan-lahan hilang, mulut
yang kemak-kemik itu kemudian berhenti. Yang terdengar adalah suara Kurdi membaca
mantera, gerakan tangannya yang semakin liar, kemudian bentakan yang halus:
"Sekarang, sebagai imbalan bantuanku, kau harus memenuhi syarat yang
kukehendaki." Mulut mayat itu bergerak-gerak:
"... ap-paaa?"
"Kau harus bersedia kusenggamai!" Terdengar pekik halus. Lalu:
"Tidak... aku tak sudi!"
"Harus!" Kurdi terkekeh.
"Bukankah kau sudah biasa begitu dengan banyak lelaki lain?"
"Aku... aku tak keberatan. Tetapi kau harus tahu... aku sedang kotor.... darahku,
kotor... Lagipula, kau harus tahu siapa guruku dan apa yang ia tentukan sebagai..."
"Aku tak perduli siapa gurumu. Kau telah mati jadi kau bukan muridnya lagi." Suara
memelas dari mayat Nyi Ijah, tiba-tiba berubah jadi suara mengikik. Ya. Nyi Ijah
tertawa mengikik.
"Kau...." katanya seraya terkikik-kikik.
"Kau tak tahu sumpahku yang segera akan terjadi... kau... penunggu jenazah terkutuk.
Teruskan niatmu, teruskanlah, dan kau akan menyesal. Aku mengutukmu, aku...."
"Arwah yang kembali!" seru Kurdi keras mengatasi suara ketawa mengikik dan
sumpah serapah mayat Nyi Ijah.
"Hangatilah jasadmu yang diam ini. Isilah jalan darahnya kembali...!" Habis berkata
begitu,
"Jress!" Kurdi menyayat urat nadi lengan kirinya pakai pisau cukur. Darah
menyembur, bersimbah di dua jantung mayat. Terdengar pekik nyaring,
melengking-lengking. Di luar rumah, penduduk kampung meringkuk dibalik selimut
masing-masing. Takut dan ngeri. Tidak ada yang bergerak dari tempatnya. Termasuk
Bu Enjuh, yang sudah berada dalam garis pengaruh ilmu si penunggu jenazah.
Begitulah ia tiba di garis itu, lenyaplah pengaruh ilmu dari orang yang bersembunyi
dalam kegelapan nun tak jauh dari rumah pak lurah. Bu Enjuh tersadar dari kesima. Ia
dengar pekik Nyi Ijah yang memilukan hati. Ia dengar lolongan anjing didekatnya,
panjang dan lirih, dengus kuda yang keras dan menyembur nyembur, lantas merasakan
ketakutan dalam dirinya. Lama ia tertegun di tempatnya berdiri, sementara jeritan itu
perlahan-lahan menurun kemudian tidak terdengar sama sekali. Yang terdengar hanya
lolongan anjing, dengan kuda, bersahut-sahutan, lalu terlihat bayangan kereta dan peti
mati di atasnya, hanya beberapa langkah dari tempat Bu Enjuh berdiri. Tubuhnya
menggigil dengan hebat.
"... apa... apa yang harus kulakukan?" ia berbisik ketakutan, memandang berkeliling,
ke arah kegelapan. Tidak. Ia tidak berani mengganggu Kurdi. Tetapi di sana... dalam
kegelapan, makhluk yang tidak terlihat itu, suaranya yang mendirikan bulu roma, dan
pengaruh gaibnya yang membekukan tubuh dan perasaan...
Tidak, Bu Enjuh juga tidak berani kembali kesana. Ia harus masuk ke dalam rumah.
Rumah yang terdekat, adalah rumahnya sendiri. Tak ada jalan lain. Perlahan-lahan, ia
masuk ke dalam rumah dengan berjingkat-jingkat, berharap Kurdi tidak mendengar
lantas terusik pekerjaannya. Tetapi lolongan anjing si penunggu jenazah yang
kemudian menyentak nyentak tinggi membuatnya terkejut.
"Tolong!" Bu Enjuh menjerit tertahan, lantas menghambur ke ruang tengah. Di sana,
ia tertegun. Dan terkesima kembali. Dia melihat sebuah pemandangan yang sangat
ganjil di lantai, di atas hamparan permadani, ia lihat dua sosok tubuh yang tidak
mengenakan pakaian selembar pun tengah bergelut. Masih sempat ia perhatikan baik
baik, apa yang sebenarnya terjadi. Tubuh Nyi Ijah, anak angkatnya yang sudah mati,
tergeletak diam, sementara Kurdi dengan liar menggagahinya....
"Ya Allah!" keluh Bu Enjuh, lantas dengan rona ngeri tiada tara di wajahnya,
perempuan itu seketika menghambur ke luar rumah.
"Aaaak!" Kurdi menjerit mendengar seruan Bu Enjuh, meloncat berdiri, menyambar
pakaian dan sarung, mengenakannya buru-buru. Ia terus berteriak kesakitan seraya
memegangi kedua telinga, menutupnya rapat-rapat dengan telunjuk, sampai kemudian
tubuhnya menjadi tenang kembali. Pada waktu matanya ia buka ia masih sempat
melihat tubuh Bu Enjuh yang berlari ke luar. Ia hampir saja berlari menyusul kalau
saja suaranya tidak menangkap perubahan pada mayat Nyi Ijah, yang tergeletak
dengan posisi tidak karuan di lantai. Tadi, kulit tubuh itu halus dan licin. Kini tampak
kasar, berbulu kehitam-hitaman, makin lama makin lebar, memenuhi seluruh tubuh
kecuali bagian-bagian tertentu. Dahi Nyi Ijah menyempit, hidung dan mulutnya
melebar. Dari sudut-sudut mulutnya keluar taring-taring tajam dan panjang.
***
Kurdi jatuh terduduk di lantai. Sekujur tubuhnya lemas dan gemetar. Ya, tidak
perduli lagi apakah Bu Enjuh lari ke salah sebuah rumah dan dengan ribut
menceritakan apa yang tadi ia saksikan. Ia tidak perduli. Bahkan bila pun penduduk
nanti datang beramai-ramai untuk membunuhnya, Kurdi juga tidak perduli. Toh nanti
ia bisa mempengaruhi pikiran perempuan itu agar bercerita lain di hadapan semua
orang. Ia akan gunakan dan ia percaya, orang-orang akan mengiyakan bila ia tuduh:
"Perempuan tua mengatakan!" Ia akan mempengaruhi mereka semua. Akan membuat
mereka percaya. Kini, ia sendiri yang terpengaruh. Tidak percaya dengan apa yang ia
saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Perempuan muda yang terbujur mati di lantai,
payudaranya basah oleh darah bercampur keringat Kurdi, tengah menistanya!
Terdengar suara mengekeh berat dari mulut mayat:
"... muridku... sudah memperingatkan kau. Tetapi kau tidak mau dengar. Kau...."
Kurdi memusatkan pikiran. Memusatkan jiwa. Kala, seraya memejamkan mata, ia
menyenggak:
"Katakan, siapa kau gerangan!"
"Aku gurunya!"
"Mengapa kau mengusik pekerjaanku" Bukankah muridmu sudah mati dan tidak layak
lagi kau ganggu gugat?"
Suara terkekeh itu menggema lebih berat. Lalu:
"Kau yang mengusikku. Mengusik jasad muridku. Pengabdiku, bila mati, tepat tengah
malam dan berubah jasad seperti jasadku. Tetapi kau menggagalkan pekerjaanku. Kau
menggoda muridku. Aku terpaksa memunculkan wujudku pada jasadnya. Supaya kau
tahu kau tidak patut menjamah tubuhnya. Hanya aku. Hanya aku yang berhak
menjamahnya...."
"Pantas. Pantas bayi Nyi Ijah yang sudah mati, berujud sebagian manusia, sebagian
kera, demikian menurut yang kudengar...."
"Terkutuk. Bayi itu percampuran kasihku dengan benih suami perempuan ini. Ia lahir
membawa jiwa ayahnya, tetapi membawa perwujudanku sekaligus. Untunglah ia mati.
Orang akan membencinya bila ia hidup dan aku tidak bersedia didekatinya sebagai
ayah kedua itu akan membuatku celaka. Biarlah ia mati serupa itu. Mati tanpa terusik
oleh kekuatan apapun, kecuali penciptanya. Hanya yang ini pengabdiku yang muda,
cantik dan patuh ini, harus kubawa. Sekarang juga!"
"Tidak. Itu tidak boleh kau lakukan!" dengus Kurdi.
"Aku berhak!"
"Tetapi kita harus saling menghormati pekerjaan kita satu sama lain. Aku
melaksanakan amanat. Amanat orang yang mau meninggal. Amanat Nyi Ijah. Aku
harus memenuhinya karena aku telah berjanji..."
"Apa amanatnya itu, ?"
"Ia ingin dimakamkan di samping makam suaminya!"
"Hem..."
"Pergilah. Kumohon, pergilah. Waktuku tinggal sedikit...!"
"Tetapi...."
"Kumohon padamu, siapapun jua kau adanya. Manusia biasa seperti aku, atau setan
seperti yang kuabdi. Aku tidak tahu muridmu masih menjadi hakmu, setelah ia mati.
Sungguh, aku tidak tahu... kini, pergilah. Jangan mengusik pekerjaanku, dan akupun
tidak akan mengusik keinginanmu. Kau boleh ambil muridmu ini kembali, apabila
tugasku telah kuselesaikan."
Lama tak terdengar jawaban. Kurdi hampir-hampir tak sabar. Mantera-manteranya
ia bacakan sekuat-kuat ia bisa, asap pedupaan menyan ia hembus semampu ia dapat.
Terdengar suara batuk-batuk, suara helaan nafas berat, lantas suara seperti igauan:
"... kukira kau benar. Aku akan mengambil muridku dari makamnya nanti. Tugasmu
tidak gampang, bukan?"
"Aku akan berusaha. Kau telah mengusikku, danmasih ada orang lain di luar sana
yang bermaksud mengusikku. Orang itu tidak menghormatiku, mungkin karena aku juga
ia kira tak pernah tidak menghormati pekerjaannya. Tetapi aku menghormatimu. Aku
telah meminta maaf. Kumohon, agar kaupun menghormatiku barang sedikit...."
Terdengar tawa parau. Mengakak, diselang-seling oleh suara mengik-ngik-ngik-ngik,
suara kera besar yang banyak berkeliaran di hutan-hutan terlarang. Kurdi merasakan
sekujur tubuhnya bersimbah peluh dingin, kemudian angin gersang menyapu ruangan
itu, dan ketenangan kembali pada dirinya. Ia membuka matanya, memperhatikan
berkeliling ruangan, menembus asap menyan yang berkebul, baru kemudian
memusatkan pikiran kembali seraya bergumam lemah lembut:
"Nyi Ijah, perlihatkanlah wujudmu yang asli." Lalu:
"Puah!"
Ia meludah ke dada mayat. Terdengar rintihan kesakitan, suara erang yang
terengah-engah, lalu sepi menyentak. Kurdi membuka matanya. Di lantai, terbaring
jasad Nyi Ijah. Tiada bulu-bulu hitam yang lebat, tiada kening yang sempit, hidung dan
mulut yang lebar, ataupun taring tajam mengerikan. Yang ada hanyalah sesosok tubuh
lemah, berkulit halus dan licin, berbibir bagus, berdahi manis, berhidung indah...
dengan sepasang mata yang masih tetap terpentang lebar lebar, persis seperti mata
yang dilihat Kurdi atau dilihat orang-orang, dikala perempuan muda yang malang itu
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kurdi terperangah. Lelah.
"Sekarang." bisiknya lemah, ditujukan ke arah jantung Nyi Ijah.
"Hai kau roh yang telah sempat gentayangan, pergilah. Tunjukkanlah di mana letak
mayat suami perempuan ini, tunjukkanlah kedalam pikiranku. Tunjukkanlah, hai kau
roh yang penasaran...!" Ia bersimpuh, membaca mantera perlahan-lahan sambil
memusatkan jalan pikirannya. Ada hentakan- hentakan halus di belakang kepala, pada
otak Kurdi, kemudian lecutan-lecutan keras sehingga tubuh Kurdi terombang-ambing
ke kiri dan ke kanan. Angin keras bertiup dalam ruangan, membuyarkan asap menyan
yang berkebul-kebul, berputar seperti angin puyuh di atas ubun-ubun Kurdi. Ketika
desau angin itu berhenti dengan sendirinya, Kurdi menganggukkan kepala.
"Aku tahu. Aku tahu sudah..." desahnya. Lirih. Dan letih. Kemudian, ia membaca
mantera lagi, lalu diam. Tiada suara apa-apa lagi yang terdengar dalam ruangan.
Apalagi di luar rumah. Anjing Kurdi merintih perlahan. Kuda didekatnya
menghentak-hentakkan kaki dengan enggan. Lolongan anjing dan hentakan kaki kuda
itu demikian halusnya sampai-sampai tidak terdengar oleh telinga biasa. Apalagi
telinga penduduk desa itu, yang sedang menciutkan tubuh sekecil mungkin, agar tidak
terlihat dan terjamah oleh hantu mengerikan yang sewaktu-waktu bisa muncul. Namun,
sayup-sayup telinga mereka menangkap suara asing.
Suara teriakan minta tolong, suara orang berlari-lari, mengarah ke rumah pak lurah.
"..... Bu Enjuh sudah ketemu kuntilanak Nyi Ijah," bisik semua orang ketakutan.
Memang Bu Enjuh yang berlari-larian seraya menjeritjerit minta tolong itu. Ia
menggedor pintu rumah demi pintu rumah, yang tidak satupun penghuni nya bersedia
membuka. Akhirnya, dalam keputusasaan, Bu Enjuh berlari dalam kegelapan ke arah
rumah pak Lurah. Beberapa kali kakinya terantuk pagar, terantuk batu, terantuk
akar-akar pohon yang melintang jalan. Tetapi ia terus berlari, jatuh bangun. Sampai
suatu saat, tepat di tempat di mana ia tadi mendengar suara ganjil, tubuhnya terpaku
diam, dan suara itu kembali terdengar:
".... h h e e i i i, kemarilah...!" Tiupan angin dingin itu menyapu wajah Bu Enjuh. Ia
mendekat, digerakkan oleh kekuatan gaib.
".... apa yang kau lihat di rumahmu?" Perempuan tua yang malang itu,
menceritakannya. Lebih tepat dikatakan, mengeja kata demi kata, tentang apa yang
disaksikannya.
"Puih," suara meludah.
"Aku tahu sudah. Pergi, pergi kau sana, perempuan tua renta!" Tiupan angin dingin
kembali, dan Bu Enjuh sadar dari kesima. Begitu sadar, ia menjerit lagi, dan berusaha
lari. Tetapi jeritan itu tertahan di kerongkongan, lututnya goyah tak mau digerakkan.
Dalam sekejap, tubuh perempuan tua yang malang itu limbung. Ia jatuh ke tanah tanpa
suara, kecuali erang sakit dan ngeri yang terlontar dari mulutnya, sesaat sebelum
kepalanya membentur benda keras di permukaan tanah.
"Wah, celaka!" gumam suara dalam kegelapan.
Cemas.
"Aku harus cepat-cepat menyingkir dari tempat ini!" Lolongan anjing, menggema
dikejauhan. Tinggi, mendaki ke balik awan pekat, di mana rembulan sedang
menyembunyikan diri dengan segala kecemasannya. Awan hitam itu mulai bergerak,
perlahan, kemudian makin cepat. Petir tiba-tiba menyambar. Guntur menggelegar. Tak
lama kemudian, hujan deras pun turun menyiram bumi yang masih diam
ternganganganga itu....
Hujan baru berhenti pada waktu pagi datang. Tetapi penduduk kampung itu baru
berani ke luar rumah masing-masing, setelah matahari terbit dan ternak ternak ribut
berkeliaran mencari makan. Orang-orang melupakan pekerjaannya, dan
bergerombol-gerombol menuju rumah Bu Enjuh. Mereka ingin tahu, peristiwa apa saja
yang terjadi sepanjang malam yang mengerikan itu. Dan bagaimana halnya dengan
Kurdi, si penunggu jenazah" Penunggu jenazah itu sedang berdiri di luar rumah, ketika
orang-orang berdatangan. Ia baru saja melepas pembalut dari daun kelapa muda di
pergelangan tangan kiri yang ia rentangkan ke arah matahari terbit. Tiada luka
sayatan, tiada bekas sama sekali. Ia menarik nafas lega, memperhatikan orang-orang
yang datang dengan wajah dingin dan sukar dibaca. Sepi mencekam seketika
orang-orang itu berhadapan dengan Kurdi. Sampai pak lurah yang memulai:
"... Pak Kurdi selamat?"
Barulah Kurdi tersenyum. Ramah, dan sedikit kecut.
"Berkat do'a kalian," ujarnya, lemah.
"Wajah-wajah kalian membuat aku bertanya-tanya. Gerangan apa yang membuat
kalian cemas?"
"Kunti...." seseorang membuka mulut, tetapi segera menutupnya kembali dengan
wajah yang pucat pasi.
"Maksud saya, apakah mayat Nyi Ijah masih di tempatnya...."
"Oh. Masih. Masih."
"Syukurlah."
"... rohnya?" seseorang nyeletuk pula. Dan terkejut sendiri oleh pertanyaannya,
sementara beberapa orang lain menyesali si pembicara yang terlanjur buka mulut
tanpa dipikir panjang itu. Kurdi mengernyitkan dahi.
Heran.
"Bukankah kalian semua tahu, orang mati ditinggalkan oleh rohnya?" Orang tadi
mengangguk. Yang lain-lain pun ikut mengangguk.
"Nah, rohnya pergi. Ke alam baka, tentu. Aku mengerti apa yang tersirat di balik
kepala beberapa orang di antara kalian. Percayalah. Aku berjanji roh itu tidak akan
kembali atau gentayangan di antara kalian. Bukankah untuk tujuan itu kalian
memanggilku ke mari?"
Orang-orang mengangguk lagi. Dan pak lurah mengiyakan dengan mulut:
"Memang benar, Pak Kurdi. Juga kami ingin meyakinkan, bahwa mayat perempuan
malang itu disemayamkan di samping makam suaminya." Kurdi manggut-manggut.
"Memang itulah tugasku," katanya.
"Kalau begitu, kami percaya. Pak Kurdi Istirahatlah dulu. Kami akan memandikan
jenazah, sebelum Pak Kurdi bawa pergi." Kurdi mau melangkah masuk ke rumah,
waktu pak lurah nyeletuk:
"Mana Bu Enjuh?" Kurdi angkat bahu.
"Ia tinggalkan aku semalam. Katanya mau ke rumahmu. Tidakkah ia ke sana malam
tadi?" Orang-orang pada bengong. Kemudian ribut mencari. Dan tak jauh dari rumah
pak lurah, di antara batang batang pohon kelapa, orang menemukan Bu Enjuh. Ia
rebah di atas tanah berlumpur, dengan belakang kepala tepat berada di permukaan
sebuah batu besar dan tajam. Perempuan itu telah mati. Pada wajahnya tidak terlihat
gurat-gurat kesakitan melainkan penderitaan yang ditimbulkan oleh rasa takut yang
luar biasa.
***
Mayat Nyi Ijah sudah dimasukkan ke dalam peti mati, ketika Kurdi mendengar
tentang kematian Bu Enjuh. Orang-orang menjadi gempar seketika. Kurdi menghela
nafas.
Lega.
Mati adalah pilihan yang paling terbaik bagi perempuan itu. Ia sudah tua renta, tidak
punya sanak famili, serta anak angkat kesayangannya telah pula mendahuluinya.
Setidak tidaknya, kematian perempuan itu jelas sangat menguntungkan Kurdi. Bu Enjuh
bisa membahayakan dirinya, karena perempuan tua itu adalah satu satunya saksi hidup
yang pernah melihat dengan mata kepala sendiri apa yang diperbuat Kurdi terhadap
jenazah perempuan yang ia tunggui. Hanya satu-satunya orang. Dan orang itu kini
telah mati. Dengan menyimpan keinginan untuk tersenyum, Kurdi kemudian bergegas
mengikuti orang-orang yang berlari-larian kearah mana mayat Bu Enjuh diketemukan.
Dalam hati ia bertanya-tanya. Mengapa perempuan itu kembali lagi ke rumah, malam
tadi" Kekuatan apa yang mendorongnya" Takut ke luar sendirian" Atau karena ingin
berdekatan dengan anak angkat kesayangannya, meski Nyi Ijah sudah tak mungkin ia
ajak tertawa dan bersenda gurau"
Kepenasaran Kurdi terpenuhi setelah ia menyeruak di antara orang banyak dan
melihat raut wajah Bu Enjuh. Lagi-lagi Kurdi menarik nafas. Gumamnya:
".... perempuan malang!" Orang-orang di dekatnya menoleh. Mata mereka
memancarkan keinginan agar Kurdi mengulangi ucapannya yang samar-samar mereka
dengar. Tetapi Kurdi hanya berdiam diri, lantas satu dua orang di antara mereka yang
berkerumun itu ikut mengulang apa yang diucapkan Kurdi:
"Perempuan malang!" Pak lurah berbisik:
"Perempuan ini tidak mati begitu saja. Tentu ada sebab-sebabnya?" Seorang
menyahut:
"Benar, Ia terjatuh. Kepalanya menimpa batu. Pecah. Lalu ia mati."
"Ah, kau. Kau kira semudah itu" Tak kau lihat raut wajahnya yang mengerikan"
Sebelum matinya, ia pasti telah melihat sesuatu yang dahsyat. Sesuatu yang menteror
jiwanya. Aku kira, ia malah telah mati sebelum kepalanya jatuh menghantam batu!" pak
lurah menoleh pada Kurdi. Ia pandang penungu jenazah itu dengan sorot mata tajam,
lantas mendesah.
"Apakah dugaan saya salah, Pak Kurdi?" Kurdi geleng-geleng kepala.
"Tidak!" jawabnya.
"Kau benar. Ia telah melihat sesuatu yang mengerikan... dan itu adalah apa yang
kulakukan atas mayat Nyi Ijah tadi malam, pikirannya, seraya melanjutkan:
"Ada makhluk asing berkeliaran disekitar tempat ini tadi malam...!" Sepi menyentak
seketika. Lalu:
"Kuntil..." ucap seseorang, seperti tidak disengaja.
"Bukan!" potong Kurdi.
"Mayat Nyi Ijah tak lepas dari penjagaanku sepanjang malam. Ia tak mungkin
berkeliaran di luar...."
"Jadi...?"
"Makhluk asing. Dan yang ia kehendaki sebenarnya bukan perempuan malang ini.
Tetapi aku!" Lalu Kurdi bergegas meninggalkan tempat itu. Pak lurah mengikutinya,
setelah memerintahkan warganya mengangkat mayat Bu Enjuh ke rumahnya. Ia tidak
mengerti kenapa mayat Nyi Ijah tahu-tahu telah berada dalam peti mayat, dan
ketidakmengertiannya itu ia ungkapkan terang-terangan pada Kurdi.
"Apa tak sebaiknya almarhumah kita sembahyangkan lebih dahulu?" Kurdi membalas
pandangan tak enak dari pak lurah. Tanyanya:
"Apakah mayat Nyi Ijah kalian sembahyangkan pula sebelum dikuburkan?" Pak lurah
terdiam. Kemudian, dengan gelisah ia menyahut:
"ltu... lain soalnya. Amanat dan...."
"Anaknya lain. Ibunya pun lain," rungut Kurdi, lalu:
"Hys, heiyyaaa," Tali kekang ia sentak, disusul pukulan pecut sekali dua. Kuda di
depan kereta meringkik. Kedua kaki depannya terangkat tinggi ke atas, kemudian
menjompak dengan dahsyat di permukaan tanah yang lembab dan basah. Beberapa
saat kemudian... hampir-hampir tak disadari orang-orang yang ada di tempat itu, Kurdi
dengan sahabat-sahabatnya yang setia itu telah menghilang membawa mayat Nyi Ijah
dalam peti mati. Kurdi acuh tak acuh saja terhadap setiap orang yang ia lalui dan
mengangguk padanya. Itu bukan anggukan hormat. Melainkan anggukan takut. Dan
mata mereka! Mata yang penuh kecurigaan! Mata yang menggambarkan
ketidaksukaan.
Persetan!
Karena tidak ingin berpapasan dengan muka-muka yang ia benci seperti itu. Kurdi
mengambil keputusan meninggalkan jalan besar. Sebenarnya dengan mudah ia
mengikuti jalan utama desa. Jalannya lebar, halus dan rata meskipun tidak diaspal dan
agak becek di sana sini bekas hujan. Tetapi, sekali lagi dan senantiasa selalu begitu, ia
pastilah akan berpapasan dengan penduduk yang tidak akan melepaskan perhatian
mereka pada dirinya, sahabat-sahabatnya, kuda dan anjing yang setia itu, serta
terutama peti mati di bak belakang kereta. Tidak, ia tidak suka pandangan mereka,
seperti mereka juga tidak suka memandangnya. Ia ambil jalan memintas.
Berlubang-lubang, permukaannya seperti habis dilanda gempa, ditumbuhi onak dan
duri, melalui semak belukar, anak-anak sungai bahkan air sungai yang sedang meluap,
tanpa ada jembatan diatasnya di mana ia bisa melaju dengan santai. Ia menyukai jalan
memintas yang buruk serta menyiksa itu. Dengan demikian, ia bisa menghindari
penduduk, menghindari pandangan-pandangan tidak suka serta menjijikkan itu.
Mungkin ia akan tiba lebih lama dibanding dengan bila ia menempuh jalan utama,
tetapi ia tidak perduli. Soal waktu, adakalanya menentukan, adakalanya boleh
diabaikan. Menunggui jenazah, waktu Kurdi terbatas. Tetapi membawa jenazah untuk
dikuburkan di tempat yang semestinya, ia tidak perlu tergesa-gesa. Pokoknya sampai di
tempat tujuan. Maklum akan kebiasaan tuannya, kuda penarik yang gagah itu terus
berpacu tanpa kenal lelah, diikuti oleh anjing besar berkulit hitam legam dengan
matanya yang hijau kemerah-merahan itu tidak sekalipun meredup kecapaian.
Ternak-ternak yang sedang merumput tak jauh dari kampung demi kampung yang
mereka lewati, terpaku diam memperhatikan makhluk-makhluk asing itu lewat.
Binatang-binatang hutan menjauhkan diri. Ada pengaruh aneh keluar dari sorot mata
sahabat-sahabat Kurdi yang mentakjubkan itu, terhadap binatang lain. Pengaruh yang
jangankan makhluk-makhluk sejenis, bahkan manusia yang sempat melihatnya pun
tidak akan pernah tahu, apa...
Hanya Kurdi yang tahu. Karena yang memberi makan anjing itu dengan bangkai
ayam yang telah ia jampe. Ia yang memberi kuda itu memamah bulu-bulu ayam yang
telah diludahi. Terutama karena sebelum meninggal, ayahnya telah mengamanatkan:
"Makhluk-makhluk ini warisan turun temurun. Apa yang kuberikan pada mereka,
adalah apa yang diberikan ayahku pada mereka, atau moyangku pada mereka. Kau pun
harus memberikan itu pada mereka...."
Warisan turun temurun!
Dan satu-satunya yang tidak diketahui Kurdi, sudah berapa puluh atau ratus
tahunkah umur kedua ekor makhluk itu. Anjing dan kuda itu telah sebesar sekarang,
ketika Kurdi dilahirkan, dan kemudian menjadi sahabat-sahabatnya, ketika ia
menangisi mayat ibunya yang meninggal waktu ia masih bocah ingusan. Anjing dan
kuda itu juga yang menemaninya, ketika ayahnya mati meninggalkan pesan:
"Kita mewarisi kutuk yang ditimpakan pada nenek moyang kita, anakku. Kau
ditakdirkan jadi penunggu jenazah seperti juga telah ditakdirkan padaku, pada
kakekmu, pada moyangmu. Takdir kedua yang harus kau jalani: membujang seumur
hidupnya, atau isterimu mati ketika kau masih sayang-sayangnya padanya, ketika
anak-anakmu masih memerlukan bimbingannya. Tetapi moyangmu manusia biasa.
Kakekmu manusia biasa. Aku pun manusia biasa. Sebagai manusia, moyangmu,
kakekmu, ayahmu ini, merindukan teman untuk bersenda, teman untuk bercumbu.
Karena itu, anakku. Sebagai manusia, aku tahu suatu ketika kau akan berusaha
menolak takdir. Sebelum kau melakukan itu, anakku, ingatlah, suatu ketika kau akan
kehilangan orang yang paling kau sayangi dan cintai di dunia ini. Kau akan sendirian
kembali. Kesepian kembali. Tak ada yang melindungimu. Tak ada yang mengasihimu.
Hanya dirimu sendiri, anakku. Dirimu sendiri...!"
Lalu ayahnya mati. Dan Kurdi tidak ingin menolak takdir itu. Ia masuk ke kamar
tempat selama ini ayahnya bersemedi, kakeknya bersemedi, dan moyangnya bersemedi.
Ia bakar menyan di dupa. Ia tebarkan ramu-ramu kembang di atas tikar yang ia duduki.
Lalu ia bersimpuh, menyembah tengkorak yang tidak pernah ia tahu milik siapa tetapi
ia tahu telah ada di situ semenjak ia lahir ke dunia ini. Kemudian menghaturkan
sumpah:
"Kuikuti takdirku, suatu ketika aku akan mati. Kutolak takdir, aku pun mati, tetapi
orang lain akan ikut mati. Karena itu, aku tak mau orang lain ikut mati karena aku.
Biarlah aku mati dalam kesepianku, dalam kesendirianku. Kuterima takdirmu!"
Ia kemudian menyembelih seekor ayam jaman berbulu putih, berparuh putih, bertaji
putih. Darahnya ia masukkan ke dalam rongga telinga tengkorak, mengalir di antara
kedua baris gigi benda itu, membasahi tikar yang kemudian ia jilati dengan jijik, dan
lama kelamaan dengan bernafsu. Bulu-bulu ayam itu ia ludahi, demikian pula
bangkainya, yang kemudian ia berikan sebagai santapan sahabatnya yang misterius itu.
Ayam putih itulah, satu-satunya makhluk yang pernah dibunuh Kurdi, sepanjang
hidupnya ia biarkan ular menyelinap di semak belukar, biarpun kakinya telah dipatuk.
Ia biarkan nyamuk menggigit kulit, biarpun itu berarti darah terhisap dari tubuh serta
kulitnya menjadi gatal-gatal. Bahkan ia biarkan seekor kijang melarikan diri meskipun
sudah terperangkap di dalam rumah dan ia sudah teramat lapar serta ingin mengunyah
daging. Dengan sabar ia bersemedi di bawah pohon-pohon, menunggu buahnya jatuh
untuk dimakan. Dengan sabar, ia menanti kabar seseorang telah mati, menunggu ada
orang mengirim darah bangkai ayam. Godaan paling dahsyat yang hampir-hampir
tidak bisa ia lewatkan, adalah kehadiran seorang perempuan.
Mira nama perempuan itu. semasih kecil, Kurdi sesekali bermain ke tengah kampung
meskipun dilarang ayahnya. Penduduk di mana ia datang, menjauhi bahkan sering
mengusirnya. Tetapi tidak Mira. Gadis kecil itu sering mengantarkan makanan
untuknya tanpa setahu orang-tuanya. Mereka selalu bertemu diam-diam, bermain
diam-diam, bercinta pula, dengan diam-diam, sampai tiba-tiba ayah Kurdi mati, dan ia
harus melepaskan Mira untuk diboyong oleh lelaki lain. Ia tahu betul. Mira tidak
pernah mencintai laki-laki itu, ia hanya mencintai Kurdi, melebihi cintanya kepada
orangtuanya sendiri. Hanya karena Kurdi ingat pada kutuk yang menimpa keluarganya,
ia kemudian rela melepaskan Mira untuk dijamah laki-laki lain. Mira kemudian kawin
dengan laki-laki lain itu. Tetapi kekasih Kurdi yang malang itu, tidak bisa melepaskan
kenang-kenangan manisnya dengan laki-laki yang ia cintai. Pada saat suaminya
menjamah tubuhnya, ia merasa jijik, marah, benci, sakit hati. Ia merasa orang telah
menodai tubuhnya. menodai jiwanya. Ia merasa ia telah menodai cintanya. Mira putus
asa, melarikan diri dari rumah. Kemudian terjun ke sungai yang sedang meluap oleh
banjir. Alam dan cinta mereka yang tulus jualah yang mempertemukan Kurdi dengan
mayat Mira yang terdampar di muara. Sebelum mayat itu disambar buaya, Kurdi yang
panik mengikuti arus sungai setelah mendengar Mira bunuh diri, cepat-cepat
menariknya ke pinggir. Ia tangisi kekasihnya. Ia peluk dan cium kekasihnya. Ketika
itulah, sebuah naluri yang ganjil merasuk dalam diri Kurdi. Ia tidak saja menangisi,
memeluk, menciumi tubuh Mira yang telah menjadi mayat itu. Ia kemudian melakukan
apa yang pernah ia ingin lakukan bersama kekasihnya namun telah jadi mayat itu, ia
gauli. Mula-mula dengan segenap rasa cinta serta dendam rindu, namun lama
kelamaan semata mata karena didorong birahi. Tetapi dari hari ke hari, mayat Mira
mengalami proses alami. Mira mulai membusuk, kemudian daging di seluruh tubuh
perempuan itu mulai dimakan ulat. Betapa pedihnya hati Kurdi, karena ia tidak boleh
membunuh ulat-ulat yang telah merusak keindahan tubuh kekasihnya. Ia biarkan ulat
itu melampiaskan nafsu biadabnya, ditemani oleh cacing tanah, binatang melata,
sampai Mira tinggal tulang-tulang berserakan belaka dan dengan sudut-sudut mata
yang basah, Kurdi melemparkan tulang belulang Mira kembali ke tengah sungai, seraya
bergumam lirih:
"Selamat jalan, kekasihku. Pergilah, ke mana kau ingin pergi. Kurelakan kau kini...."
Bahkan hanya dengan bercinta... tanpa pernah menikah... orang yang paling
disayangi pun harus mati!
***
Roda kereta beradu dengan batu besar, membuat peti mati di bak belokan bergerak
dengan suara berisik. Kurdi menoleh. Hari telah mulai senja ketika itu, dan
samar-samar ia lihat tubuh peti mati agak tersingkap, ia melihat paha mayat itu
tersembul. Mulus, putih dan halus. Kurdi menelan ludah. Birahinya datang tibatiba.
Kereta segera ia hentikan. Kudanya mendengus kesenangan.
***
Setelah mengganjal bagian depan kereta pakai sepotong kayu agar posisi bak
belakang tetap rata, Kurdi membiarkan kudanya menjauh ke semak belukar, mencari
rumput-rumput segar. Kurdi menggeliat, mengendurkan otot-ototnya yang kejang.
Rintihan anjing di dekat kakinya membuat ia tersenyum.
"Kau cemburu lagi!" berengut Kurdi.
"Kalalu tak suka, kau boleh menghindar, sahabatku yang baik..." Anjing itu
mengibas-ngibaskan ekor, lalu menjilati kaki Kurdi yang telanjang setelah mana
kemudian berlari-lari kecil, menjauh ke tempat di mana tadi kuda penarik kereta
menghilang di balik semak belukar diantara pohon-pohon raksasa yang menjulang
menjangkau langit. Sesaat Kurdi menghirup udara senja yang segar. Ia menatap ke
arah bukit di balik bayangan pepohonan. Bukit itu berwarna kelabu, berpeluk sisa-sisa
kehangatan matahari yang baru saja kembali ke peraduan. Angin berhembus
sepoi-sepoi basah, membuat mata Kurdi terasa berat.
"Hem," pikirnya.
"Malam belum jatuh." Lalu ia duduk dengan merebahkan punggung ke roda kereta.
Dalam sekejap, matanya telah rapat, dan dengkur yang keras lepas dari hidungnya.
Rupanya ia tidak kuat menahan kantuk dan tidak berwaspada. Kurdi baru tersentak
bangun waktu kudan ya mendengus dengan keras, dan anjingnya melolong tinggi,
mengalun tanpa irama, memecah kesepian di sekeliling mereka, menusuk-nusuk sampai
sumsum Kurdi. Tersentak, ia bangkit berdiri. Bulan mengintai di sepenggalahan langit,
diantara rimbunan dedaunan. Awas, mata Kurdi tajam memandang ke sekitanya. Tak
ada apa-apa, kecuali kegelapan bayangan pepohonan dan dedaunan yang menimbulkan
bercak bercak hitam di atas rerumputan. Dari balik semak belukar, dengus kuda itu
terdengar lagi, disambut oleh lolong anjing yang lirih. Kurdi melirik ke atas bak kereta.
Peti mati itu masih terletak di sana. Dan waktu ia meloncat naik, mayat Nyi Ijah pun
masih terbaring di dalam, tutup peti yang sedikit terbuka menyingkap kain yang
menutupi paha perempuan itu. Warna putih yang mulus itu, tampak samar-samar.
Kurdi menelan ludah, tubuhnya menggigil sesaat. Semenjak ia menyetubuhi mayat
kekasihnya, Kurdi selalu bergairah tiap kali melihat tubuh mayat yang lain.
Perempuan, tentu, muda. Baru beranak satu. Banyak darahnya yang keluar waktu
melahirkan anaknya yang kemudian mati itu, akan tetapi bentuk tubuhnya tidak
terpengaruh karenanya. Kurdi telah melihatnya. Bahkan telah menjamahnya, tadi
malam. Kini, hasrat untuk menjamah mayat itu, kembali bergolak. Tutup peti mati ia
geser sampai lepas, kemudian ia letakkan di samping. Tubuh Nyi Ijah jelas-jelas kini
terbaring di hadapannya. Menantang. Kurdi menelan ludah untuk kesekian kalinya, lalu
tengadah menatap rembulan. Ia kumat kamit membaca mantera, setelah mana
kemudian ia keluarkan pisau lipat dari saku kemeja. Mentera-mentera yang keluar dari
mulutnya kian keras, kian cepat, hampir-hampir tanpa aturan, diiringi oleh
gerakan-gerakan tubuhnya yang bergoyang keras, ke kiri dan ke kanan.
"Kembalilah, roh yang telah pergi. Hangatilah jasadmu yang terbaring ini!" tiba-tiba
ia berseru tertahan. Lalu,
"jres," urat nadi lengan kirinya ia sayat. Dari lengan kirinya itu, luka segera
menganga, darah mengucur jatuh langsung di arah jantung mayat Nyi Ijah. Angin
tiba-tiba berhembus keras. Ada suara orang menangis. Suara perempuan. Lirih, seperti
sedang sakit hati, lalu tubuh perempuan di dalam peti mati tersentak-sentak, tak
ubahnya orang yang terkejut di kala tidur tetapi tidak dapat bangun untuk melepaskan
diri dari kejutan-kejutan yang menyiksa itu. Dari semak belukar, terdengar kuda
meringkik berkali-kali, sahut bersahut dengan lolongan anjing yang lengking dan
nyaring. Jidat Kurdi basah oleh peluh ketika ia tutup lengan kirinya yang luka dengan
helai daun kelapa kering yang telah dilemaskan dan selalu sudah tersedia di saku
kemejanya. Setelah membalut lengan kirinya dengan pelepah daun kelapa, ia kemudian
mengikatnya erat-erat mempergunakan tali pelepah pisang.
Mulutnya berhenti kumat kamit, dan matanya yang terpejam sementara membaca
mantera, kini terbuka.
Nyalang. Ia menyeringai waktu memperhatikan gerakan-gerakan halus di dada Nyi
Ijah yang menggelembung padat. Tanpa sadar, lidah Kurdi membasahi bibirnya yang
kering. Ia kemudian masuk ke dalam peti mati. Kedua kakinya rapat diantara kedua
kaki Nyi Ijah. Dengan gerakan tidak sabar ia lepaskan pakaian yang melekat di
tubuhnya, kemudian merebahkan diri di atas tubuh Nyi Ijah. Dari balik semak belukar,
anjing dan kuda itu memperhatikan dengan dua pasang mata mereka yang
bersinar-sinar menembus kegelapan malam. Binatang-binatang itu melihat peti mati di
bak kereta, bergerak-gerak liar. Binatang-binatang itu kembali memperdengarkan
suara, sahut bersahut, sampai tak lama kemudian peti mati diatas bak kereta tiba-tiba
tidak bergerak, dan angin pun seperti berhenti berhembus. Tau-tau saja, Kurdi telah
meloncat berdiri dari peti mati, seraya mengenakan pakaiannya buru buru.
".... Siapa kau?" tanyanya, keras dan lirih. Anjing dan kuda di balik semak belukar,
memandang tajam ke sesosok bayang-bayang yang keluar dari kegelapan, tak jauh dari
kereta.
Tampaknya seperti sebatang pohon tua yang buntung dengan akar-akar mencakar
kian ke mari, merayap di antara pepohonan. Kurdi melihat munculnya sosok hitam itu.
Persis bayangan asing itu berada di tempat terbuka sehingga wujudnya bersiram
cahaya rembulan, segera Kurdi mengenalinya.
"Ki Sanca!" ia mendengus. Anjing dan kuda di balik semak belukar, ikut puIa
mendengus. Ki Sanca menolehkan wajahnya yang tanpa hidung serta kedua belah
tulang pipinya menganga oleh bekas luka, ke arah semak belukar. Ia meludah, jijik,
acuh tak acuh pada sahabat-sahabat Kurdi, dan lebih mementingkan berhadapan muka
dengan si penunggu jenazah yang kini sudah meluncur turun dari kereta. Suara sengau
yang berat. keluar dari mulut Ki Sanca:
"... jadi, kau ternyata manusia yang lebih busuk dari aku!" Kalaulah waktu itu siang,
Ki Sanca akan melihat bagaimana kulit muka Kurdi merah padam sampai ke daun daun
telinganya, sekujur tubuhnya gemetar marah dan malu luar biasa. Seseorang telah
mengetahui rahasianya, itu tidak boleh terjadi. Kalau sampai terjadi, tidak akan ada
lagi penduduk yang datang untuk minta tolong. Tidak akan ada lagi mayat-mayat yang
harus ia tunggui. Tidak akan ada lagi sesajen-sesajen dari orang-orang yang
membutuhkan bantuannya menunggui mayat sanak keluarga mereka. Bahkan, penduduk
kemudian akan beramai-ramai mencarinya. Beramai-ramai membunuhnya. Barangkali
juga, mereka tidak berani turun tangan. Takut, itu pun tidak berarti, Kurdi akan
terlepas dari siksaan. Tidak ada lagi darah-darah sesajen untuk memuaskan nafsu
lapar serta dahaga. Tidak ada bangkai untuk disantap sahabat sahabatnya.
Tidak ada mayat perempuan untuk...
Kurdi mungkin bisa menggali kuburan-kuburan, mencari mayat-mayat yang ia
kehendaki. Tetapi ia tidak menyukai pekerjaan itu. Dan di dalam kuburan-kuburan yang
ia gali, tidak ada darah sesajen. Tidak ada bangkai untuk sesajen.
"Terkutuk! Haram jadah! Setan hina dina!" ia menyumpah serapah. Ki Sanca
tertawa. Bergelak. Ia melangkah lebih dekat. Gerakannya pincang. Ia menyeret sebelah
kakinya.
"... kau telah membuatku jadi manusia yang tidak sempurna wujudnya," ia balas
menyumpah.
"Perbuatanmu tidak akan kubiarkan, Kurdi. Kau harus mengalami bagaimana sakit
dan menderitanya jadi laki-laki yang tidak punya hidung, laki-laki yang punya pipi
rusak menakutkan, laki-laki yang tergantung gantung tanpa tenaga dari kaki-kakinya.
Sesudah itu, aku akan membuatmu malu. Membuatmu tersiksa, dengan apa yang
kusaksikan barusan..."
"Hem. Hem." Ki Sanca menyeringai lebar.
"Sudah kesampaiankah hajatmu pada tubuh mayat itu. Kalau belum, kau boleh
meneruskan. Siapa tahu, aku bukannya jijik dan mau muntah, tetapi ikut pula
bergairah..."
Lantas ia tertawa. Terkekeh-kekeh.
"Bangsat!" maki Kurdi.
"Kita sama-sama bangsat. Aku membangsati orang hidup, dan kau membangsati
orang mati. Jadi, tak usah kau tamatkan kata-kata terpuji itu kepadaku, karena
bisa-bisa kembali ke alamat si pengirim!"
"Mau apa kau?" Kurdi berusaha menyabarkan diri.
"Sudah kukatakan tadi. Membalas perbuatanmu, setelah itu...."
"Jadah. Kau tak akan bisa menjamahku!"
"Tidak! Kau laki-laki. Tetapi, aku juga laki-laki, bukan?"
"Jangan coba!"
"Justru aku ingin...."
"Kubunuh kau!"
"Kau tak akan! Setahu yang kudengar, kau tak akan membunuh, apalagi melukai
makhluk apapun di dunia ini. Kalau kau lakukan, matamu akan buta, otot-otot tubuhmu
akan berhenti bekerja, dan otakmu akan membatu di kepalamu. Kau akan tersiksa detik
demi detik, sampai maut menggerogoti tubuhmu. Atau kalau tak salah pula, sampai
binatang-binatang peliharaanmu, mengoyak-ngoyak kemudian mengunyah-ngunyah
jasadmu. Betulkah itu?" Kurdi menggigil.
"Kau tahu banyak," desisnya.
"Tetapi kau pun tentu tahu aku bisa membunuhmu, tanpa menurunkan tangan..."
Kembali Ki Sanca melepas tawa mengekeh. Ia tampaknya amat senang, sehingga ia
terbungkuk bungkuk oleh kesenangan serta tawanya yang tidak berhenti-henti. Mungkin
air matanya sampai jatuh bercucuran, karena ketika ia kemudian berhenti tertawa
lantas tengadah menatap lawannya, kedua belah pipinya yang rusak mengerikan itu,
berkilat-kilat oleh butir-butir air. Ia terengah-engah waktu mengejek:
"Kau akan menggunakan kekuatan bathinmu, bukan" Kau lupa, Kurdi. Bathinku akan
melawanmu. Dan kalau bathinku kalah, serta aku sampai terbunuh karenanya, maka itu
pun, berarti kau telah membunuhku juga, jadi, kau tak akan menggunakan ilmumu yang
terkutuk. Aku" ia tertawa lagi, bergelak, kemudian melanjutkan dengan suara rendah
dan tajam.
"Aku bebas mempergunakan senjata apa saja yang kumaui. Ilmu yang meresap dalam
di bathinku, dan ini..." Ia mencabut sebuah golok dari balik kemejanya.
"Dengan ilmuku aku akan membuat kau tidak berdaya. Dengan golokku, aku akan
mengeluarkan hidung, mencercah pipi, membuntungkan kakimu...."
Habis berkata begitu, ia tengadah menatap bulan. Dari mulutnya lepas rintihan
sengau. Kurdi pucat pasi seketika. Tanpa mengerahkan kekuatan ilmunya, orang tua
yang menakutkan itu dengan mudah akan menaklukkan Kurdi. Sementara Ki Sanca
kumat kamit membaca mantera dan meludah kian kemari seperti orang yang punya
persediaan berember-ember. Lendir busuk di mulutnya, Kurdi mulai panik. Ia
terumbang-ambing oleh dua pilihan. Turun tangan langsung, dan ia yakin ia bisa
mengalahkan musuhnya...
atau membiarkan dirinya dicacah Ki Sanca. Kedua alternatip itu akan berakibat
sama. Turun tangan, ia akan mati tersiksa. Tidak turun tangan, juga akan lebih tersiksa.
Kurdi sudah lama ingin mati, terutama semenjak ia ditinggal mati oleh Mira. Tetapi
kematian itu tidak pernah datang dengan sendirinya.
Kini, kematian itu muncul didepan mata. Kematian yang menyiksa. Ia ingin mati,
tetapi juga ia ingin tidak tersiksa menjelang kematiannya. Pada saat Kurdi bimbang
oleh kepanikannya, sekonyong-konyong semak belukar di belakang Ki Sanca, terkuak.
Dari kegelapan, muncul dua sosok makhluk hitam dengan mata yang berkilat-kilat.
Buas dan mengerikan. Terdengar dengus marah yang aneh. Lalu salah satu dari
makhluk itu yang terkecil, tahu tahu telah terbang di udara. Gerakan makhluk hitam
yang menerpa dengan sekonyong-konyong itu seketika membuat konsentrasi Ki Sanca
menjadi buyar. Suara aneh disertai desir angin menyentuh selaput telinganya yang
peka. Dengan melupakan sama sekali tujuan utamanya untuk melumpuhkan kekuatan
ilmu Kurdi, laki-laki setengah umur yang sebelah kakinya hampir lumpuh itu masih
sempat mengelak dengan gesit. Sedikit memiringkan bahu, bayangan makhluk hitam itu
meluncur melewati tubuhnya dan jatuh bergulingan di tanah yang berbatu. Terdengar
suara menggeram marah bersamaan waktunya mahluk itu kembali berdiri di atas
keempat kaki-kakinya yang kukuh.
"Anjing hina dina!" maki Ki Sanca, lantas mengamang amangkan golok.
"Ayo, maju lagi kalau kau mampu!" Sepasang mata anjing milik Kurdi yang setia itu,
bernyala-nyala dengan hebat. Hijau kemerah merahan, seakan ingin membakar
kegelapan malam yang mencekam itu. Tiba-tiba kedua kaki depannya menekuk. Dari
moncongnya yang menganga lepas geram dahsyat yang sesaat membuat jantung Ki
Sanca menciut. Nalurinya segera menyadari, bahwa yang ia dengar bukan geraman
seekor anjing biasa. Dan tatapan sepasang mata berwarna ganjil itu menguatkan
dugaannya. Dengan waspada ia mundur beberapa langkah sambil menyilangkan golok
di depan tubuh. Lalu, dengan sebuah loncatan yang hampir-hampir tidak kelihatan
saking cepatnya, anjing besar dan hitam itu tau-tau telah meluncur sekali lagi di udara.

Moncongnya menjurus langsung ke arah leher Ki Sanca. Dukun yang sedang dimakan
rasa dendam itu cepat cepat mengayunkan golok.
Meleset.
"Celaka!" cetusnya, terkesiap. Ia berusaha menghindar. Malang baginya, gerakan
makhluk yang dahsyat itu tak ubahnya terror yang tidak kenal ampun. Moncongnya
gagal menyambar leher Ki Sanca, namun tidak urung kuku-kuku kakinya yang tajam
menggurat batang leher dan sebelah pipi Ki Sanca. Luka di pipi yang belum sembuh itu
menganga kembali, mengeluarkan darah. Ki Sanca meringis sambil memutar tubuh dan
mengatur posisi untuk menghadapi serangan berikut dari lawannya.
Namun, makhluk yang diwarisi Kurdi turun temurun itu memperlihatkan dirinya
bukan sembarang binatang, bukan anjing yang gampang dipecundangi. Begitu kakinya
menjejak di tanah ia telah berputar dan kali ini tanpa pasang ancang-ancang langsung
menyerang. Mengira serangan ketiga itu ditujukan kepada lehernya sebagaimana
kebiasaan anjing yang sedang dilanda nafsu ingin membunuh, Ki Sanca kembali
menyilangkan golok di depan muka, seraya sebelah tangan yang bebas berusaha
menyambar tubuh makhluk itu sedapat-dapatnya.
Ternyata dugaan Ki Sanca keliru. Serangan anjing itu justru ditujukan ke kaki Ki
Sanca. Laki-laki itu tiba-tiba merasakan daging betisnya bagai ditusuk dengan sembilu,
kemudian dicapit oleh gegep yang tajam, seterusnya daging betisnya itu terenggut lepas
disertai perasaan sakit yang alang kepalang. Saking sakitnya, Ki Sanca menjerit marah:

"Kubunuh kau! Kubunuh kau, anjing buduk!"


Sambil menjerit-jerit dan menyumpah serapah, kakinya yang utuh menyepak-nyepak
dengan membabi-buta. Gerakan reflek yang tidak diperhitungkan itu rupanya
menolong. Salah satu tendangannya mengenai perut anjing Kurdi yang baru saja mau
menerkam untuk kesekian kalinya. Anjing itu mengaing seketika, berusaha mundur,
tetapi tendangan berikutnya membuat tubuhnya yang besar dan kokoh terkumbalang
dengan dahsyat, melayang di udara kemudian membentur pohon. Sempat merapalkan
beberapa ajian yang ia miliki, karena sadar bahwa anjing yang ia hadapi tidak bisa
dianggap sepele. Kurdi yang dari tadi terpaku diam dalam kepanikannya, ketika melihat
sahabatnya yang setia muncul pada waktu yang tepat, sempat merasa lega. Lebih-lebih
setelah Ki Sanca ia lihat jadi repot bahkan terluka kakinya. Barangkali kaki yang
terseret-seret itu kini benar-benar sudah lumpuh. Namun kakinya yang masih utuh
ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa pula. Sekali sepak, anjingnya sudah
mengaing, dan sepakan berikutnya anjingnya sudah terhantar setelah membentur
batang pohon. Kelegaan Kurdi lenyap seketika, dan kepanikan muncul kembali pada
dadanya. Apa yang harus ia lakukan"
Melawan"
Berarti ia akan hidup tersiksa, karena ia harus melumpuhkan Ki Sanca dan
membunuhnya sekaligus demi nama baik dan pekerjaannya. Berdiam diri saja, dan
menerima sambaran golok Ki Sanca begitu saja, juga tetap merupakan kematian yang
tersiksa. Ia sadar Ki Sanca akan melaksanakan dendamnya untuk melukai sebelah kaki
Kurdi sampai lumpuh kemudian merusak wajahnya sampai cacat menakutkan, dan
Kurdi akan tidak bisa bekerja, kalaupun bisa, orang orang yang sudah takut akan
semakin takut lagi padanya, bahkan mungkin tidak mau lagi meminta bantuannya.
Hilanglah kesempatan untuk memperoleh sesajen-sesajen yang bisa meneruskan
kelanjutan hidupnya. Selagi Kurdi masih belum bisa menentukan alternatip mana yang
harus ia pilih, dengan menyeret sebelah kakinya Ki Sanca telah berada satu langkah di
depan Kurdi. Di dalam jilatan cahaya rembulan yang samar samar, dari sepasang
matanya terpancar keluar sinar kebuasan dan dendam yang menyala-nyala.
"Rasakanlah sekarang!" teriak Ki Sanca.
Goloknya melayang. Langsung ke wajah Kurdi. Kurdi terkesiap, tetapi sempat
mengelak mundur. Tampaknya Ki Sanca benar-benar sangat bernafsu melaksanakan
niatnya. Kurdi tidak melihat jalan lain, kecuali melawan. Dalam hatinya, ia bertekad
untuk melakukan perlawanan yang sehebat-hebatnya, sehingga Ki Sanca tidak hanya
akan merusak wajah atau memotong kakinya, akan tetapi didorong oleh dendam dan
nafsu amarahnya, akan membunuh Kurdi sekaligus. Itu merupakan angan-angan yang
paling manis untuk bisa diharap dalam keadaan segawat itu, dan Kurdi akan terlepas
dari tekanan jiwa yang menghantui dirinya selama ini.
Menunggui jenazah orang lain, melahap darah yang mengalir dari tengkorak
manusia di kamar semedi, menzinahi mayat-mayat.
"Hem!" ia menggeram.
"Apa boleh buat!" Ia kumat kamit membaca ajian-ajian yang ia miliki. Tubuhnya
tergoncang dengan hebat, seluruh darah di tubuh itu naik ke kepala, membakarnya
menghanguskan segenap kesukaran, lalu dengan mata merah bersinar-sinar ia tegak
menunggu datangnya serangan lawan! Namun serangan itu tidak pernah tiba. Ketika
Kurdi membaca ajiannya, Ki Sanca mempergunakan kesempatan yang hanya beberapa
detik itu untuk membacokkan golok. Ia sama sekali tidak melihat bahkan tidak
mendengar bagaimana sesosok makhluk lain yang jauh lebih besar dan lebih kuat dari
anjing yang sedang berusaha bangkit dari tanah, berlari dari semak belukar. Sebuah
ringkikan yang keras memecah kesepian malam. Disusul oleh hantaman dahsyat yang
menerpa punggung Ki Sanca. Ia terjerembab jatuh seketika. Goloknya terlepas,
menghunjam di tanah tak jauh dari kepalanya. Masih untung, tidak jatuh menimpa
kepalanya sendiri sehingga bisa-bisa senjata makan tuan. Kaget dan panik, ia
menggulingkan tubuh lalu berusaha berdiri dengan susah payah. Namun hantaman
yang mirip palu godam menimpa itu, telah mematahkan beberapa tulang-tulang di
tubuhnya, ia menggeliat, meliuk dan kemudian jatuh kembali. Makhluk ganas itu
meringkik sekali lagi, maju pula sekali lagi. Kedua kaki depannya terangkat tinggi di
udara. Ki Sanca terbeliak, terpana oleh bayangan tubuh yang nampaknya seperti
raksasa sebesar gunung yang siap terjun ke bawah.
"... jangan!" ia mengerang lirih.
"Jangan!" Tetapi kaki-kaki kuda itu telah terhunjam jatuh. Tak ubahnya batang pohon
yang dipacakkan ke tubuh Ki Sanca. Salah satu hunjaman kaki itu menghancurkan
dadanya, dan yang satu lagi hanya seinci melewati pinggangnya. Ki Sanca menjerit
histeris menggelepar gelepar liar, sambil matanya tidak beranjak dari kuda yang
berdiri di atas keempat kaki-kakinya yang kukuh, memandang musuhnya dengan
tatapan yang mengerikan. Kejadian itu pun tidak lepas dari perhatian Kurdi. Ia
terpesona, dan jantungnya seperti luluh melihat nasib apa yang menimpa diri Ki Sanca.
Ia tahu, sahabat sahabatnya ingin menolongnya dari bahaya maut, melepaskan dirinya
dari kesulitan yang menggerogoti jiwa. Akan tetapi, sama sekali tidak ia nyana, akan
begitu buasnya makhluk-makhluk yang selama ini belum pernah ia lihat membunuh
makhluk lain apalagi membunuh manusia. Kurdi tegang kaku menyaksikan kebuasan
binatang-binatang kesayangannya, tak kuasa berkata apa-apa. Lidahnya kelu.
Kelu sekali.
Rasanya, tubuhnya yang dihantam kaki-kaki yang kukuh itu, bukan tubuh Ki Sanca.
"... Kurdi!"
Kurdi tersentak. Ia menoleh ke arah Ki Sanca yang sudah berhenti menggelepar.
Dalam kegelapan malam, tampak mata laki-laki malang itu menatap langsung ke mata
Kurdi.
Tajam.
Menusuk.
Api dendam bersinar-sinar dari kilatan matanya. Hanya itu sajalah yang bisa ia
lakukan kini. Berbaring diam, menahan azab yang menyiksa, namun masih mampu
untuk menumpahkan dendam kesumatnya.
"Aku akan mati!" rintih Ki Sanca
"Tertawalah, Kurdi. Tertawalah melihat kematianku yang mengerikan ini. Tetapi
rohku akan bangkit. Kau bisa menahan roh orang-orang lain, tetapi tidak rohku. Aku
akan bangkit, Kurdi... untuk melaksanakan... dendamku. Aku akan menyiksa engkau...
membangkitkan roh-roh orang orang yang pernah sakit hati padamu, pernah... berniat
balas dendam atas perbuatanmu...."
Ia mengerang kesakitan sesaat, lalu melanjutkan:
"Darahku, Kurdi... darahku yang mengalir... akan menjelmakan roh-roh mereka di
sekitarmu... di depan biji matamu... sehingga... sahabat-sahabatmu yang terkutuk itu,
akan mati di tanganmu. Aku bersumpah!" Sehabis berkata begitu, kepalanya terkulai.
Andaikata matanya ikut terpejam oleh kematian, Kurdi tidak akan tergoncang. Tetapi
sepasang mata itu, terbelalak liar dan langsung menatap ke mata Kurdi. Mata yang
sudah tidak bersinar lagi.
Mati.
Namun pengaruhnya, terasa sampai ke sumsum. Kurdi tidak tahan, memalingkan
muka, kemudian berjongkok. Beban berat di selangkangannya lepas tanpa bisa ia
tahan. Ia terkencing di tempat itu juga. Entah beberapa lama ia dalam keadaan shock.
Kurdi tidak tahu, dan tidak mau tahu. Ia baru bangkit, setelah warna subuh yang
temaram muncul dari balik bukit di kejauhan. Angin dingin menerpa tubuhnya. Ia
menggigil, dengan gigi yang gemeletuk. Erangan halus menggerakkan kepalanya. Ia
lihat anjingnya yang setia... dan tidak akan ia lupakan kebuasannya... meringkuk
didekat roda kereta. Waktu Kurdi bangkit, anjing itu melolong lirih. Tampaknya
makhluk bersinar mata ganjil itu telah lepas dari sakit yang menerpa tubuhnya oleh
tendangan Ki Sanca. Kurdi menarik nafas. Gersang di udara yang lembab. Embun
mulai naik, mengapur di udara. Kuda penarik kereta yang tidak beranjak dari samping
mayat Ki Sanca semenjak manusia yang malang itu menerima nasibnya, mendengus
perlahan, kemudian meringkik tertahan, seolah-olah berusaha menyambut datangnya
pagi dengan pikiran yang masih kalut. Kuda itu memperhatikan tuannya dengan
diam-diam, dan Kurdi menyadari kalau ia diperhatikan. Ia tidak ingin membalas
pandangan kuda itu. Karena, betapapun, sahabatnya yang juga setia ini, telah
melakukan suatu pekerjaan yang paling mengerikan dari segala macam
kejadian-kejadian buruk yang selama ini pernah dilihat oleh Kurdi. Selama beberapa
saat, ia masih termangu-mangu memikirkan kejadian itu. Akan diapakan mayat Ki
Sanca"
Betapa rusak dan porak porandanya tubuh laki-laki itu. Tentulah rohnya teramat
penasaran. Lebih dari apapun di dunia ini. Penasaran Kurdi menggigil lagi. Selama ini
ia bertugas menunggui orang-orang mati yang diperkirakan rohnya penasaran. Tadi
malam pun ia melakukan hal yang sama. Bedanya, kali ini terpaksa. Tanpa ada yang
meminta. Tanpa ada sesajen. Ia punya persediaan menyan di kantong. Bunga-bunga
rampai banyak terdapat di sekeliling tempat itu, tetapi semua itu tidak berguna. Sumpah
Ki Sanca sebelum kematiannya, tergurat dalam di benak Kurdi. Diam diam ia mengakui
rasa takut yang mengaliri seluruh pembuluh darahnya. Roh Ki Sanca, tidak akan
mudah ditaklukkan.
Hem.
Jadi, ia akan membangkitkan roh-roh orang yang pernah dibuat sakit hati oleh Kurdi.

"Jadah!" maki Kurdi.


"Aku tak sudi mengingat-ingat itu!"
Lalu ia menghardik pada sahabat-sahabatnya! Ia kemudian menutupkan peti mati
yang menganga terbuka semenjak tadi malam. Kurdi tidak berselera lagi untuk
memperhatikan tubuh mayat perempuan di dalam peti mati itu, ketika ia menutupinya.
Ia bahkan tidak melihat perubahan di kulit tubuh yang putih mulus serta halus itu. Bulu
yang panjang bermunculan disana-sini, banyak sekali bulu-bulu berwarna coklat
kehitam-hitaman. Kedua belah tangan Nyi Ijah memanjang. Demikian pula
kuku-kukunya. Perubahan yang lebih dahsyat terlihat lebih jelas di wajahnya yang
tadinya manis dan penuh daya pesona. Andaikata Kurdi mau memperhatikannya.
***
Setelah menghenyakkan punggung yang letih di tempat duduk kereta, Kurdi
termangu-mangu memandangi mayat Ki Sanca. Akan dibiarkan sajakah tubuh laki-laki
yang sudah tidak berketentuan wujudnya itu terhampar di tanah"
Atau lemparkan ke dalam jurang"
Biar tubuh itu remuk atau terpotong potong, berserakan tak dikenali lagi sehingga
penduduk yang kebetulan melalui jalanan hutan ini tidak berlari terbirit-birit ketakutan
pulang ke rumah untuk kemudian jatuh pingsan atau meriang dan membuat panik di
mana-mana.
Tetapi ah... buat apa susah-susah menggotong tubuhnya ke pinggir jurang. Sudah
saja di sana. Toh nanti burung-burung pemakan bangkai akan membereskannya. Atau
binatang binatang hutan lainnya. Mereka tidak perlu banting tulang untuk mendapatkan
santapan pagi. Mengingat umurnya, daging-daging tubuh Ki Sanca mungkin agak
sedikit liat. Tetapi bagaimanapun, makanan gratis selalu menarik selera...
Tetapi ketika kereta sudah berjalan meninggalkan tempat itu, serta hamparan
sawah-sawah penduduk mulai tampak hijau keputih-putihan dalam pelukan embun pagi
nun dibawah sana, Kurdi berbalik pikir. Alangkah bahagianya penduduk yang hidup di
kampung sana. Alangkah bahagianya. Manusia yang bisa menikmati cucuran
keringatnya. Mereka bisa meninggalkan sesuatu untuk keturunan mereka kelak. Dan
kalau mereka mati, akan ada yang menangisi serta mengurus.
Kurdi"
Atau Ki Sanca"
Benar, mereka juga menikmati hasil cucuran keringat sendiri, meskipun
kenikmatannya sangat jauh berbeda dengan orang-orang lain yang tidak perlu
memenggal leher anak-anak seperti Ki Sanca atau meretanya. Tetapi apa boleh buat. Ia
harus mengejar waktu, setelah itu pulang kembali ke rumah membersihkan peti bekas
ditiduri mayat Nyi Ijah lalu tidur di dalamnya setelah lebih dahulu menutupnya.
Alangkah menyenangkan tidur dalam peti mati itu. Tidak terdengar suara apapun
yang mengganggu. Tak ada cahaya yang masuk. Bahkan udara pun, hampa. Ia bisa
tidur tanpa gangguan, bisa memusatkan pernafasan tanpa harus membuat lelah
paru-parunya. Sejam dua jam. Atau sehari dua hari. Bahkan ia kuat tidur dalam peti
selama berminggu-minggu, sampai ada orang datang mengetuk pintu rumahnya, dan
nalurinya menyuruhnya bangun karena ada yang harus dikerjakan.
Di sebuah mata air, Kurdi berhenti. Ia membersihkan golok, tangan dan kakinya yang
dikotori tanah. Mulutnya kering, namun ia sama sekali tidak berselera untuk meminum
air itu. Apa yang ia makan, apa yang ia minum, hanya darah sesajen. Darah
semata-mata. Itu adalah ketentuan yang harus ia jalankan.
Kutuk, tepatnya, tanpa mengetahui kapan kutuk itu akan berakhir. Ia hanya tahu
ayahnya telah melatih dirinya menjalankan hal itu semenjak ia lahir ke dunia, tanpa
sekalipun mengenal apa artinya susu ibu. Itu pula sebabnya Kurdi tidak mungkin
menikah dengan Mira. Mira akan heran mengapa Kurdi hanya meminum dan memakan
darah. Kalaupun Mira tahu dan mengerti, Mira tak akan tega membiarkan anaknya
nanti hidup semata-mata dari meminum darah sesajen pula. Mira akan tersiksa, dan
mati menderita, seperti moyang perempuannya. Wajah-wajah curiga menyambut Kurdi
ketika ia membawa kereta melewati jalan utama sebuah desa.
Mula-mula orang tertarik untuk memperhatikan peti di bak belakang. Anak kecil pun
tahu, buat apa peti itu. Meskipun mereka tidak tahu apakah peti itu berisi atau kosong,
namun orang-orang yang berpapasan, dengan Kurdi memicingkan mata dengan dahi
berkerut, dan beberapa diantaranya menghindari cepat-cepat. Kalau pun ada yang
berani untuk mendekat, orang itu segera mundur setelah anjing yang berjalan di
samping kereta menaikkan kepala untuk memperlihatkan sinar matanya yang hijau
kemerah-merahan, moncong lebar dengan gigi-gigi taring yang runcing serta lidah
terjulur keluar berwarna lebih merah lagi. Merah darah. Ia menggoyang-goyangkan
ekornya dengan liar, seolah olah memberi isyarat agar orang-orang jangan coba coba
mendekat.
"Puah!" umpat Kurdi, kemudian meludah ke tanah. Ia terus memacu keretanya. Roda
berderak ribut, hampir melabrak seorang anak yang berlari ke jalan untuk mengejar
seekor ayam burik, sehingga seorang laki-laki setengah umur terpekik kaget dan
buru-buru menyeret anaknya ke tepi. Namun tak urung lepas caci maki dari mulutnya
yang ditempeli tembakau:
"Setan! Ngebut! Ia kira kereta reot itu mobil, eh?"
Kurdi acuh tak acuh. Selalu begitu. Juga ketika di ujung desa seseorang yang duduk
mencangkring dalam lindungan bayang-bayang pohon beringin menyapa:
"Tergesa-gesa benar, mau ke mana, Pak?" Sapaan yang ramah itu menarik hati
Kurdi.
"Biasa. Ada urusan," jawabnya. Jawaban lumrah, sambil membalas anggukan orang
tersebut. Namun tiba-tiba hatinya terkesiap. Ia menoleh ke belakang. Orang itu tertawa.
Tawa yang tersendat sendat, membuat wajahnya yang rusak tampak mengerikan
dengan mata melotot lebar, mengingatkan Kurdi pada seseorang Pilot tertawa, orang
itu berdiri lalu bertumpu ke batang pohon. Kakinya pincang sebelah, sementara dari
dadanya yang rusak berlumur darah, bersembulan tulang belulang yang patah-patah.
"Kaget" Memang akulah ini, kau.... Mengapa tidak turun dari kereta supaya kita
berbincang-bincang barang sesaat dua saat?"
Kurdi menarik tali kekang kuda seketika. Kaki-kaki depan kuda terangkat tinggi,
kemudian menjompak jatuh ke tanah keras, menimbulkan suara berdebuk mirip
batang-batang kelapa tumbang dengan dahsyat, kuda meringkik, berdiri dengan gelisah
di atas keempat kaki-kakinya yang kukuh, Kurdi hampir saja terlempar dari tempat
duduk kereta. Sekali lompat, ia sudah menjejakkan kakinya di tanah. Seraya berseru
lantang melontarkan sumpah serapah, ia mendekat ke bawah bayangan pohon beringin
besar itu dengan marah.
"Sialan kau, Ki Sanca. Kau mau kita selesaikan di sini sekarang, eh?"
lantas lupa pada kutuk yang ditimpakan atas dirinya, ia keluarkan golok dari balik
kemeja yang langsung ia sambarkan ke tempat di mana tadi ia lihat orang itu berdiri.
"Clep!" terdengar suara mata golok menghunjam ke sebuah benda. Bukan lunak
semacam leher, tetapi keras. Tangan Kurdi tegang, dengan jari jemari semutan tiba
tiba. Matanya melotot memperhatikan apa yang telah dimakan oleh mata goloknya.
Batang pohon beringin. Tidak ada orang. Tidak ada suara apa-apa, kecuali helaan
nafasnya sendiri, yang terengah-engah menahan amarah. Di belakangnya, terdengar
suara mendengus. Kurdi memutar tubuh dengan cepat seraya menarik goloknya
kuat-kuat dari batang pohon. Golok itu lepas, dan ia sudah siap menerima serangan.
Tetapi yang berada di hadapannya, hanyalah kereta mayat yang sudah reot itu, serta
kuda penarik yang menolehkan kepala kearah Kurdi, memperlihatkan sorot mata tajam
dan seperti mencemooh. Ternyata kuda itu yang mendengus.
"Jadah!" maki Kurdi perlahan. Ia mengurut dadanya yang sakit. Liar, matanya
mencari kian kemari. Tidak ada siapa-siapa. Dari rumah penduduk yang terdekat, ia
lihat ada orang memperhatikan. Meskipun jauh, Kurdi bisa menebak pancaran di mata
orang tersebut. Seraya angkat bahu, ia naik kembali ke tempat duduk kereta. Menghela
nafas berulang kali, kemudian melecut punggung kuda.
"Hiyyyaaa...!"
Tidak.
Ia tidak percaya, bayangan tadi hanyalah kosong semata. Ia yakin ia melihat
bayangan Ki Sanca, ia yakin mendengar suaranya pula. Kalau tidak, amarahnya tidak
akan begitu meluap sehingga ia lupa diri. Selama ini ia cukup berhati-hati menghindari
pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar kemauannya. Tetapi kali ini...
"Hebat dia!" diam-diam Kurdi memuji.
"Siang bolong, bisa memperlihatkan diri. Benar-benar penasaran arwah Ki Sanca.
Jangan-jangan mayatnya pun ikut bangkit dari kubur, dan ia seret sepanjang
perjalanan ke mana ia pergi.... Kalau tidak, mana mungkin ia muncul dalam wujud
yang sempurna" Ilmu yang luar biasa. Arwah yang muncul di siang bolong. Hem!"
Ia geleng-geleng kepala. Hampir-hampir tidak yakin sekarang, pada dirinya sendiri.
Ia bayangkan, mayat Ki Sanca bangkit dari kuburnya di pagi buta itu. Sementara kereta
melaju, ia pusatkan jiwa. Semedhi, dengan mulut kumat kamit membaca aji-aji dan
mantera-mantera yang ia miliki, sambil tidak lupa memohon kepada arwah pemilik
tengkorak kepala di rumah yang ia tinggalkan, agar memberinya kekuatan dan
petunjuk. Samar-samar di antara kabut yang menutupi kegelapan dibalik kelopak
matanya yang mengatup, ia melihat gerakan dan suara. Gerakan tanah rekah, dan
batu-batu besar yang ia susun, bergelinding jatuh dengan suara yang bising sehingga
tekak telinganya terasa sakit. Dari rekahan tanah dan lubang dibawah mana tadinya
batu-batu itu terletak, mayat Ki Sanca berusaha duduk, kemudian bangkit. Kabut
semakin menebal. Mata Kurdi perih. Ia berusaha bertahan, tetapi kabut itu mengeras
seperti batu sehingga kelopak matanya cepat-cepat ia pentang lebar-lebar. Ia melihat
kudanya berhenti dengan dengus gelisah seraya menelengkan kepala ke samping kiri.
Perasaan tidak enak menyentuh uluh hati Kurdi.
***
KURDI sangat terkejut waktu menyadari apa yang menyebabkan kuda menjadi
demikian gelisah. Ternyata anjingnya yang setia itu tengah tergeletak di pinggir jalan,
dengan dua kaki belakangnya melejat lejat liar. Sepasang matanya yang besar hampir
hampir terloncat ke luar dari rongga menahankan rasa sakit. Dari moncongnya keluar
darah berwarna merah kehitam-hitaman, diantara lendir yang berbusa. Dengan cemas
Kurdi melompat dari tempat duduk kereta, bergegas mendapatkan sahabatnya itu.
"Mengapa...." pertanyaan itu tidak ia teruskan. Mata Kurdi menangkap bengkak yang
besar di selangkangan anjingnya. Ucapan kaget lepas dari mulut Kurdi:
"Wah. Baru kuingat. Kau terkena sepak Ki Sanca tadi malam!" Ia rahup anjing itu
dalam pelukannya. Ia elus-elus kepalanya seraya menghibur dengan kata-kata manis
yang disambut oleh anjing itu dengan erangan halus. Matanya yang hijau
kemerah-merahan menatap ke mata Kurdi. Entah apa yang ingin disampaikan anjing
itu, Kurdi tidak tahu. Tetapi jantungnya sempat berhenti berdenyut waktu menyadari
betapa tatapan mata anjing itu teramat ganjil. Antara minta dibelas kasihani, dan
ditinggalkan begitu saja. Ada perintah samar-samar tersembunyi dibalik sinar mata itu.
Agar Kurdi menjauh. Menjauh, dan jangan memperdulikan sahabatnya.
"Tidak!" berengut Kurdi.
"Kau tak akan kutinggalkan. Kau akan sembuh," katanya, memelas. Anjing itu
merintih. Kemudian melolong. Kurdi menoleh waktu mendengar suara orang berlari
larian. Ternyata laki-laki yang tadi memperhatikan waktu Kurdi membacok pohon
beringin. Orang itu adalah seorang laki-laki yang sudah lanjut usianya. Kaki dan
tangannya kurus sekali, demikian pula wajahnya yang tirus. Kurdi heran ia bisa berlari
secepat itu, tetapi keheranannya segera lenyap setelah melihat tatapan mata laki-laki
tua tersebut. Pandangannya yang tajam dan berpengaruh, membisikkan ke hati Kurdi
kalau ia sedang berhadapan dengan seorang manusia yang punya ilmu. Diam-diam ia
merasakan uap dingin pada tubuhnya dan segera sadar orangtua ini berasal dari
kalangan magi putih.
"... boleh kubantu?" sapanya begitu ia berjongkok disamping Kurdi. Si penunggu
jenazah termangu beberapa helaan nafas. Ia tidak menyukai orang asing. Seperti kata
hatinya menegaskan orang lain lebih tidak menyukai dia lagi. Tetapi suara ramah itu
agak mendinginkan pula hatinya, sehingga seraya mencoba tersenyum ia menyerahkan
anjingnya untuk diperiksa oleh orangtua yang aneh itu.
"... hem!" rungut si orangtua. Ia mengusap jenggot putihnya sejenak, memandang ke
arah luka di selangkangan anjing.
"Siapa yang menganiaya makhluk malang ini" Tadi waktu keretamu melewati
rumahku aku sudah lihat anjing ini berlari-lari seraya menyeret kaki-kaki belakangnya.
Itu makanya aku terus mengikuti dengan mataku, sampai kulihat anjing itu tersentak
menggelepar di pinggir jalan tanpa kau sadari..."
"0h!.." cetus Kurdi. Itu saja.
"Namaku Jumena..." orangtua itu memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangan,
karena ia tengah sibuk memijit-mijit bagian yang bengkak di selangkangan anjing,
sehingga binatang itu melolong-lolong dengan suara lirih. Mendengar suara lolongan
memilukan itu hati Kurdi memelas. Ia lupa untuk balas memperkenalkan diri.
"... apakah bisa sembuh?" tanyanya dengan bernafsu. Jumena manggut-manggut.
"Agak lama. Terapi untuk sementara, bengkaknya bisa dibuat hilang. Hem. Yang
menendang bagian ini tentu seseorang yang sangat kuat. Tulang selangkangan anjing
ini patah. Namun, aduhai, anjing ini ternyata lebih kuat lagi. Anjing-anjing lain pasti
sudah mati!" Ia menoleh pada Kurdi.
"Mau kau ambilkan akar ilalang dan getah daun embacang?" Tumbuh-tumbuhan
yang diminta si tua Jumena itu banyak terdapat di pinggir jalan sehingga dalam waktu
beberapa detik Kurdi telah memperoleh dan memberikan segenggam akar ilalang dan
berapa helai daun embacang yang getahnya bertetesan.
"Kau rupanya enggak mau susah-susah memanjat, mau cepat-cepat saja," rungut
Jumena seraya menerima benda-benda itu.
"Daun embacang ini sudah tua-tua." Kurdi mau berlari lagi ke batang embacang
terdekat, tetapi orangtua itu keburu meneruskan:
"Sudahlah. Yang ini juga memadai!" Ia kemudian meletakkan akar-akar itu di atas
sebuah batu berpermukaan rata. Lalu, akar itu ia gilas dengan tangannya sampai lumat
dan mengeluarkan cairan putih kecoklat-coklatan. Cairan itu segera ia sodorkan ke
mulut anjing sementara getah dedaunan ia oleskan ke bagian yang membengkak.
Mulutnya kumat-kamit, namun tidak ada suara apa pun yang didengar oleh Kurdi
kecuali hembusan angin serta helaan nafasnya sendiri. Tidak lama kemudian rintihan
anjing itu berhenti, matanya mengatup dengan tenang. Orang tua itu berhenti kumat
kamit. Barulah ia mendesah:
"Aneh," katanya.
"Darah yang keluar dari mulut binatang malang ini, merah kehitam-hitaman. Kupikir,
ini bukan darahnya sendiri..." Kurdi gelagapan. Ingatan selintas pada saat-saat anjing
itu menerkam lalu merengut betis Ki Sanca membuat ia kehilangan kata-kata. Lama
baru ia bergumam:
"Di tengah jalan ia menerkam binatang lain..."
"Oh ya?" Orangtua itu menoleh ke arah kuda didepan kereta. Salah satu kaki kuda itu
dilekati oleh darah kering bercampur lumpur.
"Apakah kudamu juga melakukan hal yang sama?" Kurdi terjengah. Namun cepat ia
memperoleh jawaban:
"Tadi malam seekor macan kumbang mau menerkamku. Tetapi keburu
sahabat-sahabatku yang setia ini menolong. Macan itu telah mati sebelum
kuku-kukunya sempat menjamah tubuhku...."
"Hem!" orangtua itu mendehem. Ia serahkan anjing yang sakit itu ke tangan Kurdi.
"Setahuku darah macan tidak hitam... entah kalau macan jadian..." Ia geleng-geleng
kepala dengan dahi mengernyit dan sudut-sudut mulutnya menggurat tajam.
"Pergilah. Bengkak di tubuh anjingmu akan lenyap, serta tulangnya yang patah akan
bersambung kembali. Jangan biarkan bergerak untuk sementara." Kurdi mau
mengucapkan terimakasih, tetapi si tua Jumena buru-buru menjauh seraya
mengibaskan sebelah tangannya.
"Pergilah. Aku mencium bau tidak enak di sini...." Dan setelah kereta Kurdi menjauh.
Jumena bersungut sungut sendirian:
"Makhluk terkutuk. Jasadnya saja anjing, tetapi rohnya..... Kuda itu juga! Dan
tampaknya orang yang duduk di tempat duduk kereta itu tidak mengetahui makhluk apa
yang selama ini ia anggap sahabat sahabatnya. Hem. Orang ini pun tidak memiliki
mata yang jernih. Apakah ia yang dijuluki si penunggu jenazah bernama Kurdi itu"
Kalau ya, huh. Menyesal aku mengurangi penderitaan salah seekor makhluk
peliharaannya!" Kemudian ia mengurut dada. Dan berucap:
"Jauhkan hamba-Mu ini dari cengkeraman setan, ya Tuhanku!" Lalu ia memutar
tubuh. Kembali ke rumahnya. Dengan langkah tertatih-tatih. Tidak biasanya ia
melakukan pekerjaan mengobati orang atau binatang berakibat hampir lumpuhnya
persendian-persendian tubuhnya. Oleh sebab itulah ia menyadari binatang yang ia
jamah tadi, bukan binatang yang terlihat pada wujudnya saja. Ada sesuatu kekuatan
atau makhluk lain bersembunyi didalam tubuh binatang itu. Sesuatu yang ia duga,
tentulah manusia adanya, seperti dirinya sendiri. Ah, ia letih benar. Untunglah
kesadarannya muncul segera, sehingga ia tidak perlu menjamah makhluk terkutuk itu
berlama-lama. Makhluk itu telah ia lepaskan dari siksaan sakit, tetapi ia tak yakin
apakah perbuatan itu perlu ia lakukan....
***
Kurdi merasa berterima kasih sekali. Ia biarkan kereta berjalan dengan lambat, agar
goncangannya tidak menimbulkan rasa sakit kembali di tubuh anjing yang kini
meringkuk diam-diam di sampingnya. Tampaknya anjing itu telah jatuh tertidur.
Selintas Kurdi memperhatikan moncong binatang kesayangannya. Benar, warna darah
yang keluar dari mulut anjing itu, agak kehitam-hitaman. Ia mencoba mempertajam
matanya untuk memperhatikan darah kering diantara lumpur yang mengotori salah
satu kaki depan kuda penarik kereta. Juga darah itu tentulah kehitam-hitaman, karena
setelah mengering telah berubah warnanya seperti arang.
"Darah Ki Sanca. Darah membusuk!" sungutnya. Terngiang kembali sumpah Ki
Sanca:
"Darahku yang mengalir akan menjelmakan roh-roh...! Darahnya yang mengalir!
Apa maksud Ki Sanca" Mereka tinggal menempuh satu desa lagi sebelum tiba di
pinggir kota kecamatan di mana makam suami Nyi Ijah terletak. Ia telah menyuruh roh
Nyi Ijah mencari makam itu, dan roh itu memastikan tempat di mana suaminya
dikuburkan oleh sanak keluarga mereka. Lengkap dengan petaknya, bagian keberapa
dari petak itu, serta pohon apa yang terdapat di dekat nisannya yang berbatu pualam
putih, satu-satunya nisan berbatu pualam di pemakaman yang akan didatangi Kurdi.
Mudah sekali mengenali makam itu, akan tetapi sekarang sudah keburu datang malam.
Kalau saja anjingnya yang malang tidak terluka, sehingga kereta harus berjalan
lambat....
"Mudah-mudahan saja mayat Nyi ljah tidak keburu membusuk," sungutnya, tak lupa
menoleh ke belakang. Tutup peti mati terletak rapat di tempatnya. Peti Itu tidak
bergerak-gerak. Alangkah damainya mayat itu berada disana. Tetapi alangkah
tersiksanya roh dan jasad mayat itu nantinya. Begitu ia menemukan makam suaminya,
berbaring sejenak di sana untuk melampiaskan kerinduan yang lama terpendam, maka
Nyi Ijah akan pergi lagi. Pergi dalam bentuk yang lain. Bentuk yang seorang manusia
pun tidak akan pernah menyukainya... seburuk-buruknya kematian Kurdi, ia masih
termasuk orang yang beruntung. Jasadnya akan mati dalam keadaan sempurna sebagai
manusia, dan rohnya akan tetap roh seorang manusia pula. Sedang Nyi Ijah....
Roda kereta terantuk ke akar sebatang pohon. Kurdi agak terlonjak, dan anjing yang
meringkuk disebelahnya terbangun.
"Pelan, sahabatku," bujuk Kurdi seraya membungkuk dan mengelus-elus punggung
kuda.
"Pergunakan matamu yang menakjubkan itu dalam gelap malam... tak usah
tergesa-gesa. Terlambat beberapa jam, tak ada salahnya...." Kuda itu meringkik. Halus.

Ah. Halus"
Ia tajamkan telinganya.
Bukan.
Kuda itu tidak meringkik. Tetapi bersorak. Sorak kegembiraan yang tertahan,
seolah-olah senang melihat munculnya rembulan yang retak-retak diantara gumpalan
gumpalan awan berarak.
Bulan retak.
Itu adalah pertanda tidak baik, pikir Kurdi.
Tetapi kuda ini.... Kurdi terkesiap. Kuda ini masih terus berlari perlahan-lahan
menarik kereta.
Tetapi... kaki-kaki depannya tampak lebih pendek, dan menekuk berlawanan dengan
tekukan biasa. Juga kedua kaki belakangnya. Menekuk di lutut, ke arah depan. Apa
yang terjadi dengan kudanya" Ia coba menahan tali kekang. Tetapi kuda itu terus
berlari. Hanya sedikit menggoyangkan kepala oleh tarikan tali, tetapi terus berlari
seraya bersorak.
Ya.
Jelas kini.
Bersorak.
Senang. Dalam cahaya bulan, kulit kuda yang hitam legam berkilat-kilat itu
perlahan-lahan mulai berubah warna, bahkan berubah bentuk. Tiba-tiba Kurdi
menyadari, bahwa yang menarik kereta bukanlah seekor binatang. Melainkan sesosok
tubuh lain. Tubuh manusia yang hancur mengeluarkan darah di sana sini,
memperlihatkan tulang belulangnya yang putih remuk sama sekali. Sekali kuda itu
menoleh ke belakang. Menyeringai.
Bukan seringai kuda. Tetapi seringai seseorang. Seseorang manusia yang juga hancur
wajahnya. Bukan pula wajah Ki Sanca. Melainkan wajah seorang laki-laki yang belum
pernah ia kenal...,
Laki-laki yang menyeringai liar, dengan mata buas memandang Kurdi di tempat
duduk kereta, serta kedua tangan dan kakinya bukan berlari, tetapi mencakar-cakar
tanah, berusaha menahan berat beban yang dibawanya. Tanpa sengaja, Kurdi
menyentuh anjing yang setahunya berbaring meringkuk di sebelahnya. Tetapi
tangannya menyentuh udara hampa yang dingin, ia menoleh.
Tersirap darahnya seketika. Di sampingnya duduk sesosok tubuh yang juga sudah
rusak di sana sini. Sosok tubuh perempuan. Benar. Sesosok tubuh perempuan, akan
tetapi tangannya tidak merasa menyentuh sesuatu meskipun tangan Kurdi berada tepat
di bagian tengah dada perempuan itu.
***
Kaget, tangan Kurdi tersentak mundur. Sikapnya berubah jadi hati-hati. Betapa tidak.
Bukan saja perubahan telah terjadi pada wujud binatang kesayangannya. Akan tetapi
juga, barusan tadi Kurdi tidak menyentuh tubuh yang hangat, melainkan udara hampa
yang dingin. Dengan mata terpentang lebar, ia perhatikan sosok tubuh yang berjongkok
di sampingnya itu, bergoyang-goyang hebat oleh guncangan kereta yang berlari
dengan kecepatan tinggi. Mata Kurdi yang tajam segera mengenali wajah makhluk itu:
"... kau!" cetusnya, hampir-hampir tidak percaya pada pandangan matanya.
"Hi... hi... hi...."
Mulut yang mengerikan itu menyeringai lebar, memperdengarkan suara mengikik.
Bersamaan dengan terdengarnya suara mengikik itu, hidung Kurdi mencium bau busuk
dan hanyir, yang keluar dari sekujur tubuh perempuan itu. Lamat-lamat mata Kurdi
menangkap genangan darah membeku di bagian bagian tubuh si perempuan yang rusak
hebat terhantam benda berat yang tidak kenal ampun. Kurdi ingat betul perempuan ini
mati karena menerjunkan diri ke atas rel persis pada waktu sebuah kereta api kilat
lewat di kampung mereka.
"Mau apa kau?" rungut Kurdi. Hati-hati.
"Hih... hi... hi...."
"Apa maksudmu menggangguku, Marni?" Arwah perempuan yang telah mengambil
alih wujud anjing Kurdi itu, hanya tertawa menyeringai. Dalam bayangan bulan yang
retak-retak di makan gerhana, sepasang matanya tampak berkilat-kilat, seolah-olah
semburan api yang menyambar-nyambar ke wajah Kurdi.
Penunggu jenazah itu mengelakkan pandangan si perempuan, kemudian berusaha
memusatkan pikiran. Ia melakukan semedi, membaca segala macam mantera yang
pernah ia miliki. Namun sampai otot-otot tubuhnya kejang dan bulir-bulir keringat
sebesar jagung membanjiri pakaiannya sehingga basah kuyup, Kurdi tidak berhasil
memusatkan pikiran. Ingatannya melayang ke saat-saat ia dipanggil oleh keluarga
Nengsih Sumarni untuk menunggui jenazah perempuan muda yang mati bunuh diri itu.
Tidak bisa ia lepaskan sama sekali bayangan waktu mana ia menggeluti perempuan itu,
membangkitkan si perempuan dari kuburnya, dan tidak pernah kembali lagi... Ingatan
itu benar-benar mengganggu konsentrasinya.
Lebih-lebih lagi goncangan-goncangan kereta. Derak derak roda, serta berciutnya
engsel-engsel. Ribut sekali.
"Celaka!" rutuknya dalam hati. Lantas:
"Hiyaaaaa. Berhenti, kau. Berhenti!"
Ia berseru lantang. Namun apa daya. Makhluk aneh yang kini menarik kereta itu
malah mempercepat larinya. Lari yang terombang-ambing di atas kedua kaki-kaki
depan yang lebih pendek dengan kedua kaki-kaki belakangnya itu. Kuda yang telah
berganti wujud itu malah balas menoleh ke belakang, menyeringai kearah Kurdi
kemudian tertawa membahana. Sungguh, tertawa membahana. Tidak lagi meringkik.
Kurdi menjadi marah.
"Setan!" umpatnya, lalu menyambar pecut. Baru saja pecut itu akan ia derakkan ke
punggung makhluk penarik kereta, terdengar suara menggereng liar, lalu suara angin
keras menyambar. Dalam sekejap pecut di tangan Kurdi telah lenyap. Yang tinggal
hanyalah rasa kebas akibat renggutan yang sekonyong-konyong itu. Ia sampai terpekik
lirih. Dan kemarahannya benar-benar telah naik sampai ke kepala.
"Biadab!" ia berteriak, lantang, memecahkan kesepian malam di tengah rimba
belantara itu.
"Aku tahu, kalian berada dibawah perintah!" Lantas, ia meluadah ke kiri ke kanan,
berkali-kali, sambil kumat kamit membaca mantera. Namun, sekali kepalanya
tertengadah ketika meludah itu, dengan maksud mengusir bau busuk dari udara
diatasnya. Matanya terpaut pada bulan. Bulan yang retak-retak dan buruk itu, ia tidak
menyukai bulan dalam keadaan seperti itu. Pengaruh ilmunya jadi berkurang. Tak
pelak lagi, Kurdi menarik tali kekang kuat-kuat, seraya berdiri tegak di tempat duduk
kereta. Ia pacakkan kuat-kuat kedua tumit kakinya, dan mengerahkan segenap
kekuatan-kekuatan otot-ototnya menarik ke belakang sehingga tubuhnya miring sampai
45 derajat. Usahanya tidak membawa hasil. Diam-diam ia menyadari, bahwa yang
menarik kereta masih tetap kudanya, hanya wujudnya saja yang berubah. Tetapi
kebinatangan kuda itu telah dipengaruhi oleh suatu kekuatan yang dahsyat, kekuatan
yang berada di luar pengaruh Kurdi. Kekuatan dari alam barzah. Kekuatan dari roh.
Roh orang yang berilmu. Tak salah lagi. Arwah Ki Sanca tengah mempermainkan
dirinya, dengan mempergunakan arwah-arwah manusia yang pernah sakit hati pada
Kurdi. Ki Sanca telah menjanjikannya. Lewat darah-darahnya. Kurdi tibatiba
menyesal. Mengapa ia tidak membersihkan darah Ki Sanca dari moncong anjing serta
kuku-kuku kudanya. Tenaga Kurdi kian lama kian melemah. Dalam keadaan demikian,
makhluk yang dari tadi tetap berjongkok di sampingnya, bergerak untuk kedua kalinya.
Salah sebuah tangan makhluk itu, Kurdi tak tahu apakah itu anjing atau manusia,
terangkat ke arah tali-tali kekang, menjepitnya dengan jari-jari serta kuku-kukunya,
kemudian mendekatkannya ke arah gigi taring, lantas merencah-rencah tali kekang
makhluk itu. Tau-tau saja, salah satu dari tali itu telah putus. Segenap kekuatan Kurdi
kini berbalik total melawan kemauannya. Ia terhumbalang ke belakang, menimpa peti
mati di atas bak kereta, terlontar ke samping, jatuh di atas jalanan yang untunglah
hanya tanah. Akan tetapi, tanah itu keras, dan di beberapa tempat dihunjani batu- batu.
Tak pelak lagi, Kurdi terhempas hempas di jalan, sementara tangannya yang memegang
seutas tali lain berputar-putar sehingga tali itu membelit lengannya. Ia tidak bisa
melepaskannya sama sekali, dan hanya mampu untuk berusaha agar tubuhnya tidak
sampai hancur terseret.
Ia tumpukan kekuatan pada ujung-ujung jari kakinya, satu-satunya bagian tubuhnya
yang tidak mungkin ia elakkan dari torehan tanah keras dan hantaman batu-batu. Lama
kelamaan ia menyadari kalau kaki-kakinya itu mulai luka memar disana sini, berdarah,
dan menimbulkan rasa sakit yang alang kepalang. Ia menggigit bibirnya keras-keras,
agar tidak sampai mengeluarkan jerit kesakitan.
Dan tiba-tiba siksaan yang dahsyat itu berakhir. Ia dengar ringkikan kuda. Dan
lolongan anjing yang sayup-sayup sampai ke telinga. Ia coba menajamkan pandangan
matanya, menembus kegelapan malam. Kereta itu berhenti tak jauh dari sebuah jalan
besar, beraspal serta rumah-rumah yang diterangi lampu listrik.
Mereka telah tiba di pinggir kota kecamatan itu. Tetapi mengapa makhluk-makhluk
itu menghentikan siksaan atas dirinya" Bukankah dengan menyeret Kurdi di atas
jalanan beraspal itu, kematian akan datang lebih cepat"
"Hem!"
Kurdi bersungut pada dirinya sendiri. Makhlukmakhluk itu, atau arwah-arwah itu,
tidak mengingini kematian Kurdi yang begitu mudah. Kurdi berharap ada orang lewat
di jalan. Atau bus. Atau apa saja. Yang bisa melihat keadaannya, dan datang untuk
membantu, sehingga arwah-arwah itu melarikan diri. Kurdi tahu betul. Mereka
menginginkan dirinya. Bukan orang lain. Dan mereka, hanya terlihat oleh Kurdi
seorang. Tidak oleh orang lain. Tetapi orang lain akan melihat Kurdi.
Mula-mula mereka tentu heran, kemudian setelah melihat luka-luka Kurdi, akan
cepat-cepat datang menolong...
Tidak.
Tiak ada orang lewat.
Tidak ada bendi.
Tidak ada bus.
Bahkan tidak ada suara apa-apa sama sekali, kecuali kesunyian malam, kegelapan
yang menghantui, serta dengus nafas terengah-engah. Nafas Kurdi. Nafas anjing. Nafas
kuda. Ia menelan ludah. Membasahi bibirnya yang kering. Harapannya timbul lagi.
Untuk melihat anjing serta kudanya yang setia. Sempoyongan ia coba berdiri. Dengan
sebelah tangannya yang bebas, ia seka mata yang basah oleh peluh bercampur debu.
Perih rasanya. Tetapi ia bisa melihat dengan lebih jelas kini. Melihat, makhluk makhluk
itu tidak beranjak dari binatang-binatang kesayangannya. Makhluk-makhluk itu
bergerak-gerak dengan liar, berjumpalitan, menggereng, melolong, meringkik. Kurdi
segera menyadari. Jika anjing serta kuda itu melakukan perlawanan. Namun kekuatan
dari alam barzah, dari roh- roh itu, tidak mampu mereka lawan. Kurdi menggeram:
"Enyah, kalian makhluk-makhluk busuk. Enyah kau, Parjo. Aku telah membantu
kalian agar bisa bertemu kembali. Bersatu di dunia lain. Karena itu, enyahlah.
Anggaplah sebagai balas jasa!"
"Hih... Hi... Hii...."
Nengsih Sumarni menyeringai.
"Balas jasamu telah kau ambil. Kau telah menodai tubuhku. Melanggar
kehormatanku. Kau makhluk terkutuk, manusia berhati busuk...!"
Pengaruh Ki Sanca rupanya menang. Tiada lagi perlawanan dari jiwa anjing itu.
Yang ada hanya kepatuhan kini. Anjing yang telah berubah wujud jadi Nengsih
Sumarni itu, menerkam ke depan. Disusul hentakan-hentakan kaki kuda. Hentakan
hentakan kaki yang menggebu-gebu hebat mendatangi tempat Kurdi berdiri
sempoyongan, disertai sumpah serapah dari mulut makhluk itu, menyumpahi kelakuan
Kurdi, melepaskan rasa sakit hati karena kekasihnya telah dinodai Kurdi, mengutuk
perbuatan Kurdi yang katanya telah mengakibatkan ia kehilangan anak serta isterinya
yang kedua. Kurdi mulanya pasrah. Ia tidak perduli kematian bagaimana yang harus ia
alami. Tetapi pandangan matanya yang tajam segera melihat sosok-sosok tubuh lain
dibalik penjelmaan arwah-arwah itu. Sosok tubuh anjing serta kudanya yang setia.
Binatang-binatang itu tidak boleh tersiksa jiwanya. Kurdi tidak tega. Ia harus
melepaskan siksaan itu, bagaimanapun juga caranya. Kurdi hanya memerlukan tempo
tak sampai tiga detik untuk berpikir. Tangannya yang bebas mengeluarkan golok dari
sarung yang terikat di pinggangnya. Ia tidak pernah membunuh makhluk hidup, tetapi
ia pun tidak sampai hati membiarkan makhluk-makhluk setia yang selama ini
melindunginya itu, terlunta-lunta arwahnya.
"Matilah dengan tenang!"
bisik Kurdi, lirih, dan goloknya dengan cepat telah terayun. Kilatan golok itu
membersitkan bayangan lain di mata Kurdi. Bayangan dirinya. Dengan mata buta,
otot-otot lumpuh, otak tidak mau bekerja, dan kematian yang datang secara lambat,
siksaan yang akan menggerogoti hidupnya detik demi detik. Pengorbanan itu ternyata
tidak sampai terjadi. Golok Kurdi hanya memapas angin. Angin keras yang lewat di
sampingnya, oleh lontaran tubuh yang berat. Terdengar suara berdebuk yang lunak,
lalu lolongan anjing yang lirih. Waktu Kurdi menoleh ke arah suara itu, tahulah ia
bahwa makhluk pertama yang menerkam dirinya, telah gagal melaksanakan niatnya.
Pada detik terakhir, kesadaran anjing itu akan kesetiaannya sebagai binatang
pelindung tuannya, muncul. Binatang itu mengelakkan sambaran golok Kurdi.
Akibatnya, tubuhnya yang sudah keburu terbang ke udara, meluncur deras ke bawah,
dengan kepala terlebih dahulu tiba di tanah keras dan berbatu.
Pada detik peristiwa itu berlangsung, wujud makhluk itu telah kembali pada wujud
semula. Anjing besar, berkulit hitam legam, namun kekokohan tubuhnya telah tidak
berdaya sama sekali.
Jumena, dukun berilmu putih dari desa yang mereka lewati senja tadi telah
mengisyaratkannya. Goncangan sedikit saja, akan membuat anjing itu mati. Apalagi,
hempasan keras dari kepalanya ke atas batu. Kurdi tersentak ke bak kereta dengan hati
yang luluh. Ia sama sekali tidak memperhatikan bagaimana sosok tubuh lain yang jauh
lebih besar serta lebih perkasa dari anjing itu melakukan tindakan ganjil pula.
Rentakan-rentakan kaki keras menghempas di tanah. Wujud Parjo menghilang. Yang
ada hanyalah wujud seekor kuda tinggi besar, dengan tubuh yang kuat kokoh. Kulitnya
yang hitam berkilat-kilat membasahi keringat. Kilatan lain membersit lebih nyata dari
sepasang matanya. Kuda itu memandang anjing yang sedang sekarat di tanah,
kemudian berjalan mendekat, berdiri sebentar di dekat anjing itu, kemudian kepalanya
menekuk ke bawah. Kuda itu menjilati anjing itu dengan gerakan-gerakan yang di mata
Kurdi jelas hanya berarti satu hal: kasih sayang!
Habis menjilati bangkai anjing, sang kuda menoleh kearah Kurdi. Dalam
remang-remang malam, mata Kurdi menangkap cairan bening di sudut-sudut mata
kuda.
"... kau menangis," bisik Kurdi.
Ta'jub.
Dan ia sendiri pun, sebenarnya ingin menangis. Belum lagi air mata Kurdi mengalir
keluar, sahabatnya yang tinggal satu-satunya di dunia itu, telah melakukan gerakan
tidak terduga. Binatang besar itu berjalan kearah sebatang pohon besar, mengangkat
kedua kaki depannya tinggi-tinggi, kemudian dengan satu hentakan kuat pada kaki-kaki
belakangnya, kuda itu menghempaskan tubuhnya ke depan. Kepalanya dengan dahsyat
melanda batang pohon. Terdengar suara berderak. Kurdi tidak tahu apakah suara
berderak itu berasal dari kepala kuda atau batang pohon, atau barangkali juga
kedua-duanya. Yang ia tahu hanyalah, binatang bertubuh besar dan kokoh itu,
terhempas ke tanah, keempat kaki-kakinya menyepak-nyepak dengan liar. Tak lama
kemudian tinggal lejotan-lejotan perlahan serta dengus-dengus napas lemah.
***
Kejadian yang susul menyusul itu berlangsung sangat cepat. Kurdi belum sempat
mengatur nafasnya yang memburu, ketika binatang-binatang kesayangannya itu telah
terkapar di hadapannya.
Ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang ia saksikan, sehingga merasa sangat
terpukul manakala telinganya menangkap bayangan-bayangan tubuh yang sekarang
sekarat itu. Sekujur tubuhnya seolah-olah mendadak lumpuh, sehingga ia jatuh melorot,
terduduk di tanah. Golok di tangannya terlepas tanpa ia sadari, gagangnya menimpa
punggung kaki kanannya yang memar-memar, berdarah. Ia tidak merasakan kesakitan
dan perih yang ditimbulkan oleh luka-luka di kaki serta lecet-lecet berdarah pada
tangannya yang masih dibelit tali.
"Apa... apa yang kalian perbuat?" bisiknya, lirih.
Ia berusaha memikirkannya. Kemudian teringat sekilas pandang mata mereka yang
diarahkan pada Kurdi, sebelum sahabat-sahabatnya itu berbuat nekad. Dan Kurdi
semakin runtuh, manakala ia sadari apa maksud semuanya itu.
"Mengapa?" ia tiba-tiba menjerit tertahan.
"Mengapa kalian lakukan itu" Mengapa justru kalian yang harus berkorban"
Bukankah mati di tanganku bagi kalian berarti sama saja" Kematian" Kematian"
Mengapa" Mengapa?"
Lalu perlahan-lahan, ia kembali menangis. Hancur hatinya. Bukan saja karena kini
tinggal sendirian. Tetapi juga, karena terharu oleh pengorbanan sahabat-sahabatnya
yang setia itu. Di antara kehancuran hati yang tengah melanda Kurdi, diam-diam
sanubarinya diselinapi perasaan ta'jub. Binatang-binatang kesayangannya itu
seakan-akan tahu apa akibat yang terjadi pada Kurdi apabila Kurdi melakukan sesuatu
yang bisa mematikan bahkan cuma melukai makhluk lain. Mereka seperti tahu. Atau
mereka memang tahu. Itu sebabnya mereka menerjang Ki Sanca malam kemarin, dan
kini nekad pula bunuh diri.
"... belum cukupkah lindungan yang kalian berikan padaku" Belum cukupkah?"
keluhnya.
Terbayang di matanya saat-saat di mana binatang binatang itu selalu bertindak
sebagai pelindung. Anjing itu pernah menggigit putus leher seekor ular Sanca yang
hampir saja mematuk Kurdi. Seekor macan tutul yang hampir saja menerkam Kurdi,
lumat kepalanya di tendang kudanya.
Dulu, ketika penduduk kampung Mira mengetahui gadis itu bercinta-cintaan dengan
Ki Sanca, pernah beberapa orang pemuda mau mengeroyoknya. Tetapi mereka lari
serabutan begitu anjing dan kuda Kurdi menggeram-geram di dekat mereka. Anjing
dan kuda itu pun selalu mengawasi dari kejauhan tatkala Kurdi dan Mira sedang
memadu janji di tempat-tempat tersembunyi. Seakan-akan anjing dan kuda itu mengerti
apa yang tengah melanda dada muda mudi yang masih remaja itu serta...
Kenangan-kenangan manis itu terputus tiba-tiba. Sepasang mata Kurdi yang dari tadi
terpaut ke tubuh binatang-binatang kesayangannya itu, kini terbelalak lebar. Mata yang
sudah terbiasa dengan kegelapan malam itu, bergulat dengan bathin Kurdi yang masih
bimbang.
Tidak.
Ia tidak tengah bermimpi.
Ia tidak tengah membayangkan pemandangan-pemandangan ganjil. Ia tidak percaya.
Itu saja, karena apa yang tengah berlangsung di hadapannya, mungkin merupakan
peristiwa aneh yang pernah ia saksikan seumur hidupnya. Ia sekali dua mendengar
bahkan pernah menyaksikan proses manusia berubah jadi binatang, karena si manusia
itu "munjung" atau pengabdi setan berwujud binatang.
Tetapi kini...
yang ia lihat adalah sebaliknya. Anjing dan kuda, dua ekor binatang yang paling
dekat dengannya selama ini, pelan-pelan tetapi pasti berubah wujud seorang
perempuan, sementara kuda berubah jadi wujud seorang laki-laki!
"Demi roh-roh yang melindungiku!" Kurdi bergumam, serak.
"Apa artinya semua ini?"
Laki-laki yang berasal dari wujud kuda, rupanya mendengar erangan Kurdi. Ia
mengangkat kepalanya. Perlahan. Kepala yang rusak berat karena di hantam pohon.
Darah mengalir di sana sini. Kurdi tidak mengenal laki-laki itu. Biarpun wajahnya
misalnya utuh, Kurdi yakin ia juga tidak akan mengenalinya. Dengan terheran-heran ia
mendengar suara patah patah:
"Kurdi.... Kami adalah moyangmu. Itulah artinya...!"
Kurdi jadi tegang. Ia pandangi laki-laki yang sedang sekarat itu.
"Mo... moyangku..." Kalian berdua?"
Matanya kemudian berpindah ke tubuh si perempuan. Juga rusak wajahnya.
Terhantam batu. Tiada gerakan dari perempuan itu. Tiada sama sekali. Kurdi
menajamkan pandangannya, mempergunakan seluruh kekuatan bathinnya. Kemudian ia
menyadari mengapa si perempuan kini tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda hidup.
Kepalanya pecah. Di bagian belakang ada bercak-bercak putih. Otak.
"Moyangku!" Kurdi mendengus. Segenap kekuatan kemudian kembali pada dirinya. Ia
bangkit, dan bermaksud mendapatkan kedua orang yang mengaku moyangnya itu.
Tetapi si laki-laki kembali menggerakkan kepalanya, seakan-akan memprotes sehingga
Kurdi urung niatnya. Ia kemudian hanya berdiri, tegang dan gemetar, mendengar
ucapan laki-laki yang sekarat itu:
"Jangan! Jangan kau... sentuh kami ini. Jangan, Kurdi. Percuma saja... isteriku sudah
mati. Ajalku pun akan segera tiba. Jangan kau sentuh jasad kami. Biarkan jasad kami
ini... meneruskan takdir..."
Ada batuk-batuk serak sebentar, kemudian helaan helaan nafas tersengal-sengal, dan
dilanjutkan suara terputus-putus:
"Tajamkan telingamu, Kurdi. Dengarkan apa yang akan kuceritakan..."
Kurdi mengerahkan kekuatan bathin. Ia kemudian mendengar, bahkan seolah-olah
bisa menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepalanya sendiri. Kedua suami isteri itu
lebih dari seratus tahun yang lalu pernah sama-sama bertapa. Mereka ingin kebal, dan
juga ingin tetap awet muda. Keinginan itu ditentang habis-habisan oleh ayah si suami,
yang dengan tandas menegaskan:
"Yang maha kuasa sudah mengguratkan kekuatan phisik serta keampuhan usia
manusia melawan alam!"
Si suami memberi dalih:
"Kami cuma menuntut ilmu, untuk menjaga diri. Tidak ada tujuan-tujuan lain."
"Bohong. Kalian terdorong nafsu birahi, dan ingin perkasa seumur hidup kalian."
"Kami tak akan pergunakan untuk maksud-maksud jahat, ayah. Hanya untuk
kelanjutan hidup kami berdua saja. Kami berjanji!"
Karena mereka bersikeras juga, akhirnya sang ayah tidak kuasa lagi menahan.
Dengan lesu, ia mengingatkan:
"Baiklah. Teruskanlah maksud kalian yang bagiku tetap berbau busuk itu. Tetapi,
tanggunglah sendiri sendiri resikonya!"
Banyak resiko-resiko berat yang harus mereka lampaui. Tetapi demi ilmu kebal serta
keinginan awet muda sampai mati, mereka terima saja semua cobaan-cobaan serta
resiko-resiko itu. Termasuk keharusan mereka meninggalkan menu sehari-hari. Dari
nasi dan lauk pauk, menjadi hanya darah ayam putih. Itu pun, ayamnya harus
dipotongkan orang. Dengan lain perkataan, resiko yang lebih berat adalah, mereka
tidak boleh melukai makhluk lain, apalagi membunuhnya. Celakanya lagi, darah itu
harus mengalir dari lubang lubang hidung serta mulut sebuah tengkorak manusia. Serta
tengkorak itu, haruslah tengkorak orang yang sama-sama telah melahirkan mereka ke
dunia ini. Dengan hati berat, mereka laksanakan semua syarat syarat itu. Memang,
mereka jadi kebal. Terhadap senjata tajam. Akan tetapi, tidak terhadap penyakit. Sang
isteri, yang orangtuanya masih hidup kedua-duanya tidak bertahan cukup lama untuk
menunggu ibunya mati. Ia diserang penyakit asthma. Penyakit itu menyiksa selama
menjalani sisa-sisa hidup yang tidak pernah lagi berbahagia. Sementara si suami,
ketika ketahuan oleh ayahnya yang fanatik itu telah membongkar kuburan ibunya
kemudian mengambil tengkorak kepalanya, dikutuk dan disumpah, serta tidak diaku
anak, dan tidak akan mendapat warisan. Anak dan ayah itu bertengkar hebat.
Kedua-duanya jadi emosi. Si ayah karena merasa terhina, tengkorak isterinya diangkat
dari kuburan, sementara si anak kecewa dengan keputusan ayahnya, disamping sudah
putus asa menghadapi penyakit sang isteri. Tak dapat menahan emosi, keduanya
berkelahi. Sebuah tinju yang deras dari sang anak, menerpa mata sang ayah, sehingga
pecah berdarah. Si ayah kalap, menyambar sebilah pedang dan bermaksud membunuh
anaknya. Tetapi pedang itu tidak berhasil melukai sang anak. Ia kebal. Dan tau-tau saja
senjata telah makan tuan. Sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, sang ayah
sempat menyumpah serapah:
"Kukutuk kalian, kalian akan menunggu jasadku seumur hidup kalian berdua. Dan
turun-temurun kalian berdua, akan menunggui jasad orang-orang yang mati penasaran
seperti diriku!"
Seperangkat kutuk masih ia tambahkan dalam sumpah serapahnya. Setelah merasa
puas, sang ayah pun mati. Meskipun jasad sang ayah telah membusuk, tetapi sang anak
tidak pernah berhasil mereka lenyapkan. Di kubur, tanah terbongkar dan jasad itu
kembali berada di rumah. Dilempar ke sungai, tenggelam, tetapi malam harinya sudah
hadir kembali di rumah.
Kengerian serta bau busuk tidak kuat mereka tahan. Suami isteri yang durhaka itu
meninggalkan rumah untuk pindah ke tempat lain. Kemana pun mereka pergi, mayat itu
tetap mengikuti, sampai tinggal tulang belulangnya saja. Akhirnya mereka
meninggalkan rumah untuk terakhir kalinya, kembali ke tempat di mana dulu mereka
pernah bertapa. Tempat itu adalah tempat dimana sekarang berdiri rumah yang
didiami turun temurun oleh anak dan cucu-cucu mereka, tempat Kurdi sebagai turun
terakhir tinggal. Ketika mereka tiba di pertapaan itu, kerangka sang ayah sudah
menunggu di sana. Namun karena mereka sudah terbiasa, mereka membiarkannya saja.
Tidak panik. Tidak pula terpengaruh. Apalagi mundur. Terpantang bagi keduanya.
Mereka meletakkan tapa brata bersama-sama, diganggu oleh siksaan bathin. Si isteri,
oleh siksaan asthma. Mereka satukan kekuatan bathin. Mereka minta:
"Jauhkan kami dari pohon beringin tua, pohon yang menaungi rumah kediaman
mereka dan keturunan mereka kemudian di tempat itu, pohon yang mereka sembah
adalah:
"Pisahkah tulang belulangnya. Lempar ke dalam penjuru angin!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kerangka sang ayah mereka luluh lantakkan,
kemudian dilempar lemparkan ke delapan penjuru angin. Habis melakukan perbuatan
itu, mereka kembali bertapa brata.
Pohon keramat itu berkata:
"Kalian tak akan diganggu oleh kerangka-kerangka itu lagi. Tetapi, kalian telah
melanggar peraturan yang kuberikan. Kau, perempuan! Kau tidak berhasil memperoleh
tengkorak kepala ibumu. Kau gagal. Dan kau, laki-laki. Kau peroleh tengkorak ibumu.
Tetapi kau lukai, bahkan kemudian kau bunuh ibumu. Kau pun telah gagal!"
Mereka mengaku bersalah, dan mohon ampun.
"Tidak. Jangan menjilat ludah. Jangan melanggar janji. Kalian seharusnya malu!"
"Tolonglah...!"
"Tidak! Aku tidak sudi menolong manusia-manusia tak berguna seperti kamu berdua.
Kukutuk kalian, untuk tetap tinggal di tempat ini sampai keturunan kalian yang paling
akhir. Hehehe... jangan keburu berlega hati, mengira hukumanku terlalu ringan. Ilmu
kalian hilang, akan tetapi tidak berani syarat-syaratku juga kucabut. Kamu berdua
harus tetap menyembah tengkorak yang diambil dari kubur itu. Kamu berdua pun harus
tetap menjalani peraturan-peraturan yang telah kalian setujui bersama. Hidup dari
darah ayam putih, ayam yang disembelihkan orang lain!"
Harta peninggalan sang ayah cukup banyak. Dengan itu mereka bisa mendatangi
penduduk di berbagai desa, membeli ayam putih dan minta tolong menyembelihkannya
sekalian. Semua mereka jalankan dengan terpaksa, sampai anak mereka seorang
laki-laki, lahir, bertumbuh lambat, dan kemudian mereka berdua cepat menjadi tua.
Ketika kematian mereka rasa tak akan terelakkan lagi, kedua suami isteri itu kembali
melakukan tapa brata.
"Anak kami belum cukup besar. Tetapi kami akan mati. Sedangkan kami ingin tetap
merawat dan melindunginya. Tunjukkanlah pada kami, hal apa yang harus kami
perbuat?"
kedua suami isteri itu memohon dengan sangat.
"Malah kalau kau perbolehkan, ingin sekali kami jadi pelindung keturunan kami
sampai yang paling akhir. Betapa malangnya mereka, telah termakan sumpah yang
dijatuhkan ayah!"
Pohon menjawab:
"Ada dua makhluk yang bisa melakukan hal-hal itu. Yang satu, anjing. Yang kedua,
kuda. Mau kalian berubah wujud jadi binatang-binatang itu?"
Lama waktu yang mereka perlukan untuk berpikir. Sampai ajal kian mendekat, dan
siksaan tak tertahankan lagi. Mereka menyembah pohon beringin itu, dan berujar:
"Demi keselamatan darah daging kami, isteriku bersedia ganti rupa jadi dengan
anjing. Jadikanlah aku seekor kuda!"
"Demikianlah yang terjadi, Kurdi...." kata laki-laki itu dengan nafas terengah-engah,
serta batuk-batuk yang kian menjadi. Sesaat, bibirnya yang terluka menyeringai seulas
senyum. Katanya:
"Ah, batuk ini. Rupanya aku sempat terjangkit oleh penyakit isteriku!" Kurdi tidak
menganggap ucapan itu sebagai hal yang lucu.
"Lalu..." ia bergumam. Hati-hati.
"Kenapa moyang berdua berganti wujud jadi manusia lagi?"
Laki-laki itu tertawa. Terkekeh-kekeh. Parau.
"Begini," jawabnya.
"Pohon keramat yang melindungi rumah kita selama ini, berkata bahwa aku dan
isteriku akan mati wajar sebagai manusia, apabila salah seorang keturunan kami rela
mengorbankan diri untuk ketenangan jiwa kami berdua. Dan itu telah kau lakukan,
Kurdi.... Betapa besar terimakasih kami padamu."
"Lantas mengapa moyang berdua harus bunuh diri" Bukanlah dengan golok
ditanganku...."
"Kurdi!" tukas si laki-laki.
"Meskipun aku dan isteriku telah berganti rupa jadi anjing, tetapi kutuk ayahku tetap
kami ingat baik-baik. Maka, lebih baik kami bunuh diri daripada meninggalkan kau
harus mati dengan cara mengerikan serta tersiksa di setiap helaan nafas serta detikan
jantung, yang akan makan waktu cukup lama...."
Kurdi memelas:
"Mengapa aku tidak mati saja seperti kalian" Seperti orang-tuaku" Seperti Mira?"
"Bila gerhana bulan... ilmu dan kutuk itu..." Suara si lelaki terputus sampai di satu.
Kurdi lebih mendekatkan telinganya lagi. Tetapi tidak ada ucapan apapun yang ia
dengar sebagai lanjutan kalimat yang terputus itu. Bahkan juga tidak tarikan nafas. Ia
perhatikan wajah laki-laki itu. Kaku. Pucat. Dan diam. Ia ingin
menggoyang-goyangkan tubuh si laki-laki, ingin memaksa agar ia teruskan ucapannya
yang tidak selesai. Tetapi segera teringat akan peringatan moyangnya, agar jangan
menyentuh jasad mereka. Apa yang akan terjadi dengan jasad kedua orang moyangnya
itu" Dan apa maksudnya dengan kata-kata,
"BiIa gerhana bulan...." Reflex, Kurdi tengadah. Dan melihatnya. Semenjak datang
malam, ia telah melihatnya. Bulan retak-retak.
Gerhana!
Lalu kutuk dan ilmu. Serta hubungannya dengan hidup Kurdi. Dengan hati yang
penasaran, Kurdi merundukkan mukanya lagi. Berharap, moyangnya belum mati dan
masih mau melanjutkan kata-katanya. Tetapi untuk kesekian kalinya, mata Kurdi
terbelalak sangat lebar...
Moyang perempuannya. Kedua tubuh yang tadi berkulit halus itu, dengan cepat telah
menjadi keriput. Keriput disekujur tubuh keduanya, diiringi oleh warna rambut yang
hitam berubah jadi putih. Belum lagi Kurdi sempat mengatur nafas, peristiwa
berikutnya dengan cepat telah berlangsung. Tubuh yang tadi tinggal kulit, kini tinggal
tulang belulang serta tengkorak tanpa biji mata, tanpa telinga, tanpa daun hidung,
tanpa bibir.
"Demi roh..." bisiknya, tersendat. Dan, tulang belulang serta tengkorak itu pun lenyap
dengan tiba-tiba. Tinggal debu belaka, yang tertangkap jelas oleh sinar mata Kurdi
yang masih dibantu kekuatan bathin. Pelan-pelan, tetapi pasti, ia merasa kekuatan
bathin itu pun menurun. Angin dingin bertiup disekelilingnya, mula-mula perlahan,
kemudian keras. Ia menggigil. Tidak pernah ia merasa sedingin ini. Tidak pernah ia
merasa segemetar ini. Rasa-rasa sakit pada kaki serta tangannya, muncul pula
tiba-tiba. Tidak pernah ia merasa sesakit ini. Matanya terasa perih, tetapi ia paksakan
juga untuk melihat apa yang terjadi dengan debu-debu keputihan-keputihan itu. Dengan
sinar mata yang kian melemah, ia lihat bagaimana debu kedua orang moyangnya
bertemperasan ditiup angin, bertemperasan kian ke mari. Kemudian lenyap sama
sekali.
Hilang.
Ke arah delapan penjuru angin!
Angin dingin itu kian kencang bertiup. Kegelapan menghantu dengan tiba-tiba. Kurdi
tengadah. Bulan retak-retak itu telah hilang. Mendung berlari-lari di langit kelam.
Mendung hitam. Lalu guntur tiba-tiba menggelegar, sehingga Kurdi terlonjak berdiri
saking kagetnya. Ketika kemudian petir menyambar ia tutupkan kedua tangannya diatas
kepala. Aneh ia juga belum pernah merasa setakut ini. Apa yang terjadi dengan
dirinya"
Apa" Apa"
Kurdi berusaha mengatur nafas. Diantara hutan yang mulai turun rintik-rintik, ia
coba memusatkan pikiran. Tetapi tidak berhasil. Pikirannya terpecah. Kacau balau.
Bingung.
Ia coba membaca mantera. Namun hanya satu dua yang berhasil ia ucapkan.
Kebanyakan, kacau susunannya, terganggu oleh kebingungan dan kekalutan pikiran.
Suatu perasaan ganjil menyentuh ulu hatinya.
"Apakah ilmuku telah..."
Ia merasa kecewa. Hanya sekejap, tapi. Karena tibatiba ia merasa kegembiraan
menyelinap pula di dada.
Pikirnya:
"Apakah ini juga berarti, kutuk atas diriku juga telah sirna?"
Petir menyambar lagi. Dalam cahaya yang bersinar hanya sekejap saja itu. Kurdi
melihat sebuah benda besar dan hitam tak jauh dari tempatnya berdiri. Peti mati di bak
kereta itu. Butir-butir hujan yang kian menderas, menerpa tutup peti mati itu,
menimbulkan warna-warni putih keperak-perakan, serta suara berdetak-detak yang
teratur. Mungkin juga suara detak-detak itu berasal dari dalam tubuh Kurdi. Dari
jantungnya.
"Ah," ia bergumam.
"Seperti kata moyangku aku tidak boleh melanggar janji. Harus kuselesaikan tugasku.
Kalau benar ilmu dan kutuk atas diriku akan berakhir mulai sekarang, maka ini pun
tentulah merupakan tugas yang paling akhir pula. Entah apa yang terjadi setelah ini
padaku. Tetapi yang penting, aku tidak boleh menjilat ludah. Aku tidak boleh melanggar
janji...."
Kemudian tali kekang yang sudah putus-putus itu ia sambung-sambung dibawah
siraman air hujan. Ditambah dengan segulung tali lain yang ia ambil dari bawah
tempat duduk kereta, ia kemudian membuat ikatan yang kuat di sekeliling peti mati itu,
menarik simpul. Ujung yang lain ia belitkan dari dada sampai ke punggung dengan
simpul besar yang bisa ia pegang dibagian depan. Setelah menyelesaikan pekerjaan itu,
ia kemudian berusaha menurunkan peti mati. Dengan susah payah usaha itu berhasil ia
lakukan, meski salah satu ujung peti itu terhempas dengan keras ke tanah ketika
mula-mula ia turunkan dengan cara mengangkat bagian depan bak kereta tinggi-tinggi
sehingga peti meluncur ke belakang dan jatuh dengan deras ke jalan bertanah yang
becek. Setelah itu, ia berdiri terengah-engah. Mengatur nafas.
"Sekarang, Nyi Ijah," bisiknya kearah peti mati.
"Kau akan kuantar ke kuburan suamimu. Akan kugali kuburan disebelahnya, sehingga
kau bisa berbaring dengan tenang di samping pembaringan suamimu..."
Ia kemudian memandang berkeliling.
"Dimana letaknya kuburan itu?" Ya. Tiba-tiba ia sadar. Dimana letaknya kuburan itu,
pernah ia catat baik-baik di otaknya. Itu, dengan bantuan roh Nyi Ijah sendiri. Tetapi
kini, otaknya menemui jalan buntu. Otaknya seperti tidak mau berpikir, karena
mengalami perubahan total yang tidak ia mengerti. Ingatannya yang berhasil diberi
petunjuk oleh roh perempuan yang kini terbaring di dalam peti, entah mengapa telah
hilang begitu saja.
"Celaka," pikirnya.
"Ilmuku benar-benar hilang kini!" Ia memandangi peti mati itu. Kemudian:
Nyi Ijah. Bangkitlah. Tunjukkan padaku dimana kubur suamimu..." Tetapi peti mati
itu tidak bergerak-gerak. Hanya menimbulkan suara detak-detuk. Aneh. Suara itu keras
sekali. Seperti suara sesuatu yang digedor gedorkan pada tutup peti. Lalu ia melihat
butir-butir hujan yang sebesar-besar jagung, berpercikan di sekitar peti mati.
"Hem. Suara itu tentu ditimbulkan oleh hujan. Buktinya, kepalaku juga terasa perih
ditimpa oleh butir-butir air sebesar besar jagung ini. Wahai, sakit sekali. Dinginnya,
ampun!"
Ia coba berpikir. Dari pengalamannya selama ini, ia ingat bahwa penduduk biasanya
menyediakan tempat untuk orang-orang yang sudah mati, di pinggir desa atau
kampung. Tentu kuburan yang dimaksud oleh Nyi Ijah selama ini, juga terletak di
pinggir kota kecil ini. Tetapi pinggir sebelah mana" Kurdi memandang ke arah jalan
raya. Yang ada hanya kegelapan, dan sinar lemah dari lampu-lampu rumah di
kejauhan. Apakah ia harus berjalan menempuh jalan besar itu, menarik peti mati tanpa
tujuan"
Ia coba memperhitungkan waktu. Sekarang sudah menjelang subuh. Syukur kalau
pekuburan itu ia temukan sebelum satu jam. Kalau tidak"
Bukan saja ia akan tersiksa oleh usaha menarik peti mati itu, akan tetapi orang-orang
akan sudah bangun, dan apa kata mereka kala melihat seorang laki-laki asing terlihat
menyeret peti mati sepanjang jalan"
Benar benar mengerikan. Itu berarti, percuma saja. Kutuk atas diri Kurdi hilang.
Padahal, diam-diam ia sudah membayangkan, bagaimana rasanya mencicipi nasi,
mencicipi lauk pauk, dari hangatnya tubuh seorang perempuan yang masih hidup.
Bukan tubuh sesosok mayat yang sudah dingin membeku...
Mau muntah rasanya Kurdi ingat sampai di situ.
"Hem," ia menemukan jalan keluar. Setelah melepaskan tali pengikat pada tubuhnya,
ia kemudian berjalan tersuruk-suruk ke arah rumah terdekat, yang letaknya beberapa
ratus meter dari tempat itu. Kesakitan yang amat sangat menderita kedua kakinya, ia
sampai terjatuh berulang-ulang. Tetapi ia segera bangkit lagi, dan berusaha berjalan,
sesekali merangkak ke arah rumah yang ia tuju. Betapa sukarnya menempuh perjalanan
yang begini pendek. Bagaimana nanti bila ia harus menyeret sebuah peti mati sebagai
tambahan beban"
Peti"
Mengapa pula ia harus membawanya"
Peti itu bisa ia buka, dan mayat Nyi Ijah ia panggul.
"Hem... dengan begitu, mungkin bebanku agak ringan," cetusnya dengan perasaan
puas, tepat ketika ia berhasil mendekati pintu rumah yang ia tuju, kemudian
mengetuknya perlahan-lahan. Tidak ada sahutan.
"Ah, hujan badai menelan suara ketukan..." gumamnya, lantas pintu itu ia gedor.
Sekali. Dua kali. Tiga. Tiap kali lebih keras, sampai lampu ruang depan menyala,
pintu terbuka tiba-tiba dan mata Kurdl silau oleh cahaya.
"Ada ap..." Pertanyaan dari penghuni rumah itu tidak diteruskan. Kurdi membiasakan
matanya pada cahaya, kemudian memperhatikan orang yang berdiri dihadapannya.
Orang itu, seorang laki-laki setengah baya, bertubuh sedang, berkain sarung dengan
kaus singlet tampak gemetar dan pucat wajahnya. Sebelum Kurdi membuka mulut untuk
menerangkan siapa dirinya, orang itu telah berusaha menutupkan pintu. Kurdi cepat
menahan dengan tangannya. Tangan yang lecet-lecet, luka dan berdarah. Orang itu
pun melihatnya, sebagai extra dari pemandangan sebelumnya, yakni tubuh sesosok
manusia asing, berlumur darah dan basah kuyup oleh hujan serta wajah yang tampak
seram karena demikian pucatnya. Penghuni rumah itu lebih terpesona lagi waktu Kurdi
bertanya:
"Di mana letaknya kuburan daerah ini?" Mendengar itu, si laki-laki setengah baya
menjerit:
"Hantu. Kau... hanttuuuuuuuuu!"
Lantas ia berlari masuk ke rumah dengan suara ribut, tanpa menutupkan pintu
kembali. Orang-orang lain di rumah itu segera pada bangun. Sebelum mereka keluar.
Kurdi sudah mengundurkan diri cepat-cepat.
Celaka, rutuknya, mengumpat-umpat. Haruskah ia pergi ke rumah lain dan menerima
perlakuan yang sama"
Fuih. Penakut benar, aku disangka hantu.
Puih! ia meludah, dan terseok-seok berlari ke tempat semula. Sudah. Ia cari saja
kuburan itu, dengan berusaha menghindarkan bertemu dengan penduduk. Tetapi, apa
yang terjadi. Tali pengikat peti telah putus-putus, dan tutup peti mati itu terbuka
perlahan-lahan. Mula-mula Kurdi tidak melihat apa-apa. Tetapi bersamaan dengan
menyambarnya kilat di udara, tutup peti mati terhempas membuka, dan sesosok tubuh
besar berbulu coklat kehitam-hitaman bangkit dari peti mati.
"Nyi...." Kurdi tidak melanjutkan suaranya yang terengah. Itu bukan Nyi Ijah.
Melainkan sesosok makhluk tinggi besar dan mengerikan, yang hanya terdapat ditengah
rimba belantara. Seekor mawas, yang menyeringai lebar di wajahnya yang buruk,
memperlihatkan gigi gigi taring yang panjang-panjang. Mawas itu menggeram.
"... kau," bathin Kurdi seolah-olah mendengar.
"Kau gagal menguburkan jasadku di samping suamiku!"
"Tidak!" jerit Kurdi.
"Aku tidak..."
"Geeeeerrrr!"
Dan makhluk itu telah menerjang Kurdi. Mencekik lehernya, kemudian taring-taring
yang panjang serta runcing merengkah kepalanya. Kurdi tak sempat berteriak lagi.
Dan, ketika penghuni rumah terdekat dari tempat itu, datang berlari-lari disertai oleh
tetangga-tetangga setelah hujan berhenti dan matahari mulai muncul, laki-laki
setengah baya itu terpaku di dekat peti mati yang menganga terbuka. Di dalam peti,
terbaring tubuh Kurdi yang sudah menjadi mayat. Lama tak terdengar suara. Bahkan
helaan nafas. Sampai seseorang tiba-tiba bertanya dengan suara kecut:
"Inikah... hantu yang katamu subuh tadi datang ke rumahmu?" Laki-laki setengah
baya berkain sarung dan berkaos singlet itu, tidak kuasa menjawabnya.
Tidak. Tentu saja. Hantu tidak pernah muncul di siang bolong! Atau, arwahnya-kah
yang muncul di rumahnya"
"Ia..." ujarnya kemudian.
"Ia bertanya di mana letaknya kuburan..." Beberapa jam kemudian, penduduk
setempat menggali sebuah kuburan di komplex pemakaman mereka. Mayat Kurdi
mereka tanam di sana, bersebelahan dengan sebuah kuburan lama. Di alam lain, roh
Kurdi bertemu dengan roh pemilik kuburan tetangganya. Ternyata tetangganya itu
adalah laki-laki yang sewaktu hidupnya pernah menjadi suami Nyi Ijah. Sementara
orang-orang sibuk menutup kembali kuburan Kurdi, dari kejauhan, bergelantungan di
sebuah pohon besar dan rimbun, sepasang mata ikut memperhatikan. Setelah
orang-orang menyelesaikan tugasnya, makhluk itu pun menggeram, kemudian
menyeringai lebar memperlihatkan gigi-gigi taring yang panjang. Sudut-sudut matanya
yang kecil-kecil, dibasahi oleh butir-butir air bening. Lama makhluk itu berlaku
demikian, sampai kemudian ia berpaling. Setelah itu, ia menyelinap, masuk ke dalam
hutan...

Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book


https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan
Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,3 Agustus 2018
Terimakasih
-TAMAT-

(KOLEKTOR E-BOOK)

Anda mungkin juga menyukai