Anda di halaman 1dari 476

Kolektor E-Book

Kekasih Dari Kubur


Karya Abdullah Harahap
Sumber Image : Awie
Dermawan
Pembuat Djvu : Kang Ozan
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri
Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh
Group Fb Kolektor E-Book
Selesai di edit : 9 Juli 2018,
situbondo
Selamat membaca ya !!!
***

ABDULLAH HARAHAP
KEKASIH DARI KUBUR
ABDULLAH HARAHAP
KEKASIH DARI KUBUR
Novel Karya : Abdullah
Harahap Diterbitkan pertama
kali oleh :
penerbit BINTANG USAHA
JAYA " SURABAYA
Cetakan Pertama : 1998 Lukisan
Cover : Fan Sardy
Dilarang mengutip tanpa seijin
penulis
Hak Cipta dilindungi
undang-undang ALL RlGHTS
RESERVED
***

HUJAN turun menderas disertai


gelagar guntur serta kilatan
petir. Sesekali kilatan petir itu
menerangi permukaan hutan di
lereng gunung. Dan tampak
seperti akan menerpa atap
rumbia sebuah pondok kecil
yang tegak tak berdaya diantara
pepohonan yang
bergoyanggoyang oleh
goncangan badai.
Di dalam pondok.
Rahayuningsih duduk gelisah di
dekat tungku. Untuk
menghangatkan badan.
sekaligus menjaga agar api
tidak sampai padam. Air di
dalam panci sudah mendidih
dari tadi. tetapi Rahayuningsih
sama sekali tidak
memperhatikannya. Ia Juga
terlupa harus segera menanak
nasi sebelum nanti ayahnya
keburu pulang.
Perasaan gelisahnya begitu
kuat. Dan lain dari

biasa.
Rahayuningsih bukan
menggelisahkan hujan badai
yang selama satu minggu
terakhir boleh dikata turun
hampir setiap hari. Dan hanya
sesekali berhenti. itupun paling
lama satu dua jam. la
menggelisahkan dua hal yang
.muncul begitu saja. Dan
membuatnya tiba-tiba merasa
takut. .
Pertama. ayahnva. Yang tadi
sebelum turun hujan dijemput
oleh suruhan lurah. Tidak ada
penjelasan sama sekali." Beliau
bilang. ada urusan sangat
penting", si pesuruh
memberitahu. " Kedatangan
Bapak di tunggu sekarang juga!"

Kemudian ayahnya pergi.


Sambil terheran-heran
Sebaliknya Rahayuningsih. Ia
tidak merasa heran. mengapa
bekas majikan mereka itu
tiba-tiba memanggil ayahnya.
Firasat Rahayuningsih kuat
mengatakan. urusan penting itu
pasti menyangkut rahasia yang
selama ini terus ia pertahankan
dari pengetahuan semua orang.
Termasuk ayahnya sendiri.
Entah nasib apa yang menimpa
Rahayuningsih. jika nanti
ayahnya pulang!
Gemetar. tangan Rahayuningsih
mengusap-usap kandungannya
yang sudah memasuki usia tujuh
bulan. Lalu antara sadar dan
tidak. Rahayuningsih berbisik
lirih. ' Apa boleh buat. anakku.
Jika semua orang akhirnya tahu
siapa ayahmu......!"
Seakan mendengar.
kandungannya tiba-tiba
menggeliat Keras.
ltu adalah yang ketiga kalinya
terjadi semenjak kakek si jabang
bayi pergi meninggalkan
pondok. Dan
setiap kali menggeliat.
Rahayuningsih bukan cuma
menangkap kerasnya bunyi
berdegup jantungnya sendiri.
Tetapi juga degup jantung si
bayi. Yang memukulmukul kuat.
seolah-olah ikut ketakutan
memikirkan reaksi _yang
mungkin nanti datang dari
kakeknya'
Ataukah bayinya sudah ingin
keluar"
ltulah hal kedua yang lebih
menggelisahkan Rahayuningsih.
Ia tidak tahu kapan tetapnya
sang bayi akan lahir. Lebih
mencemskan lagi. ia
benar-benar buta mengenai
proses kelahiran. Beberapa hari
yang lalu. paraji yang dipanggil
ayahnya memang sempat
memeriksa. Dan memastikan
bahwa kandungan
Rahayuningsih betul baru
berusia sekitar tujuh bulan:
"Tetapi sewaktu-waktu mungkin
saja terjadi kelahiran
prematur......". ujar bidan waktu
itu. memperingatkan. " Jika
kelahiran sebelum waktunya itu
tiba dan kalian tidak sempat
memanggilku. maka........"
Tidak ada perasaan mulas yang
terus menerus sebagaimana
dijelaskan oleh paraji tersebut.
Juga tandatanda lainnya. yang
masih diingat Rahayuningsih
satu persatu. Namun bagaimana
seandainya paraji lupa
memberitahu tanda-tanda di
luar kebiasaan yang umum"
Misalnya karena bekerja terlalu
berat. Karena terpeleset sewaktu
berjalan. Atau seperti sekarang
ini. karena perasaan takut yang
terasa kian menjadi-jadi.
Apa saja kata pa'raji yang harus
segera dipersiapkan"
Air hangat. Baskom besar.
Kapas serta pembalut. Gunting,
atau pisau juga boleh asal tajam
serta disterilkan lebih dahulu.
Dan.".."
Pintu pondok tiba-tiba membuka
Terhempas.
Mcnyangka terbukanya pintu
tersebut karena terjangan angin
keras Yang memang sempat
_menyapu tubuhnya.
Rahayuningsih berpaling
setengah hati. Masih dengan
pikiran menerawang.
Detik berikutnya. Rahayuningsih
melompat bangkit. 'ia
terperanjat.
Rembesan angin sudah berhenti.
Pintu juga sudah tertutup
kembali. Dan tahu-tahu
Rahayuningsih sudah
berhadap-hadapan dengan tiga
sosok tubuh bermantel gelap
serta gagah. Dua diantara
mereka langsung melepas
penutup kepala. sementara
orang ketiga diam tak bergerak.
memperlihatkan wajah pucat
serta raguragu.
Lepas dari terperanjatnya.
Rahayuningsih akhirnya
membuka mulut. Bertanya
curiga pada orang terdepan. "
Ada perlu apa kalian tiba-tiba
datang kemari. Hendro?"
Yang ditanya?"....Suhendro.
menyeringai lebar. Sambil balik
bertanya. "-Masa kau tidak tahu.
Ayu?"
"Yang pasti. aku _yakin kalian
bukan sekedar kcbetulan
lewat!". jawab Rahayuningsih
seraya mengawasi dua orang
laki-laki lainnya di belakang
Suhendro. " Jika kalian
bermaksud ketemu dengan
ayahku. dia.......".
"Ayahmu?", Suhendra tertawa.
Parau. " Pak lurah akan
mengurusnya. Sementara kau.
kami yang. akan urus!"
Secara naluriah. Rahayuningsih
melangkah surut. " Aku......aku
tak mengerti ."!"
Orang kedua di belakang
Suhendra. menyela
dengan suara menggigil. Entah
menggigil kedinginan. atau apa
" Rahasiamu. Ayu. Harus tetap
terjaga untuk selama-lamanya!"
"Nah. Kau sudah dengar dari
Badrun. untuk urusan apa kami
ke sini!". Suhendro menyeringai
kembali. seraya melangkah maju
dengan cepat;" tetapi sebelum
itu kami laksanakan..." "
Begitu mendengar maksud
kedatangan mereka. perut Rahay
uningsih terasa melilit. Ia
seketika mengerti makna
kegelisahannya. Dan itu
membuat Rahayuningsih bukan
hanya" takut. tetapi juga panik.
ia-buru-buru mundur menjauh
_tanpa memperhatikan ke
arah'mana kaki melangkah
surut. Akibatnya ia kemudian
menjerit sendiri manakala
tubuhnya tahu tahu sudah
terbanting diatas dipan.
Sementara Suhendro langsung
menyerbu sambil berseru
gembira." Ah. Kau sepertinya
sudah tahu apa yang selama ini
kuinginkan dari dirimu.....!?"
Dengan kasar Suhendra
meluruskan posisi
Rahayuningsih diatas dipan.
Rahayuningsih merontaronta
sekuat tenaga._Sambil
memohon. panik. " Jangan.
Hendro. Jangan lakukan Itu.
Aku sedang hamil!"
"Justru membuatku semakin
ingin tahu bagaimana rasanya",
kata Suhendro seraya
menghimpit keras tubuh
Rahayuningsih. Kesulitan
mengatasi pukulan serta
cakaran tangan mangsanya.
Suhendro berseru marah. "
Bantu aku meringkusnya.
Badrun?" '
Yang disebut Badrun langsung
maju dan memenuhi permintaan
temannya. Seraya mengakak'ia
mengingatkan. ?"Cepatlah.
Hendro. Dan jangan
berlamalama. Aku juga ingin!"
'Tidaaak.....!". Rahayuningsih
menjerit lengking. Tetapi bagian
bawah blus longgarnya sudah
disingkapkan. " Kumohon.
tolonglah Kasihanilah
bayiku.........!"
Tetapi celana dalam Rahayu
sudah direnggut lepas. Lalu
dilemparkan begitu saja. Celana
dalam itu melayang ke arah
orang ketiga yang masih berdiri
diam di dekat pintu. Sedikit pun
ia tidak menghindar ketika
benda tersebut mengenai wajah
pucatnya sebelum terjatuh ke
bawah. Gugup, ia bergumam
gemetar. " Bukan. Bukan seperti
ini yang harus kita lakukan......"
Si muka pucat mencoba
bersuara lebih keras. Tetapi ia
seketika berpaling, manakala
telinganya menangkap jeritan
Rahayuningsih. Jeritan panjang.
Dan menyayatkan hati. .
Di luar pondok, hujan masih
turun. Tetapi badan angin sudah
mulai terhenti. Guntur masih
terdengar menggelegar. Namun
tidak lagi semembahana
sebelumnya. Sementara petir
sudah jarang
menyambarnyambar. Itupun
kilatannya kian lama kian
menjauh. Cahaya siang hari
yang tadinya tertutup,
perlahan-lahan mulai
menampakkan diri.
Lalu suatu saat, pintu pondok
dibuka dari dalam.
Suhendra lebih dulu melangkah
keluar. Diikuti oleh Badrun yang
membawa gulungan selendang
sambil menggerutu. " Mengapa
tidak kita lakukan di dalam
saja?"
Sambil matanya mencari-cari
diantara sapuan hujan.
Suhendro mendenguskan jawab.
" Kau kemanakan otakmu. he"
Penyangga atap bukan dari
balok kayu .Tetapi batangan
bambu Mana kuat menahan dua
tubuh!"
"Dua?"
"Ayu'kan lagi bunting!".
Suhendro menyeringai. Lebar.
Sambil memperhatikan ke arah
sebuah pohon dengan beberapa
cabang yang tidak begitu tinggi
dari tanah. ia kembali
mendengus. " Yang kukira
cocok!"
Merapatkan mantel dan penutup
kepala. mereka berdua
kemudian berjalan menunju
pohon dimaksud.
"Dipikir-pikir. sialan benar".
Badrun menggerutu lagi seraya
melangkah hati-hati di tanah
becek berlumpur. "' Sementara
kita berhujan-hujan. di dalam
sana si Parta lagi
bernikmat-nikmat sendirian.. .!"
"justru harus kita lakukan selagi
hujan masih turun!". Suhendra
berkata. Acuh tak acuh. '"
Dengan begitu. kita tak usah
menghapus jejak!". Ia berhenti
setiba di pohon yang dituju. "
Siapa yang harus naik?"
***
Di dalam pondok. Suparta justru
baru saja naik ke atas tubuh
Rahayuningsih yang sudah
kehabisan tenaga. Karena terus
melihat dan mendengar. ia yang
tadinya ragu-ragu akhirnya
tergoda juga. Namun perut
bunting Rahayuningsih sedikit
menganggu pikirannya. Dan
membuat Suparta sempat
bimbang lagi.
"Tolonglah.".". di bawahnya.
Rahayuningsih berkata
memelas." Aku sudah tak
kuat..."!"
"Cuma sebentar!". Suparta
bergumam gugup.
Air mata Rahayuningsih kembali
turun menderas. Seakan
menyaingi derasnya hujan di
luar pondok.
Suparta lantas semakin
terganggu saja. Beberapa kali ia
gagal membuka pengait tali
pinggang celananya.. ltu
membuat Suparta tidak cuma
ragu. tetapi mulai panik sendiri.
Karena -nafsu birahi masih saja
_menuntut pelampiasan.
Terkutuk benar Mengapa?""
. Suparta tahu-tahu terjengkang.

Tidak siap menerima serangan


mendadak, ia jatuh dari dipan
Lantas terguling-guling di lantai
sambil muka meringis sakit dan
kedua tangan memegangi
selangkangan yang kena
terjangan lutut Rahayuningsih.
Pada gulingan terakhir. kepala
Suparta membentur sisi tungku
perapian. Tungku bergoyang
keras.' Dan' panci berisi air
mendidih di atasnya menjadi
miring dan kemudian terguling.
Suparta tak keburu .menghindar.

Suara jeritannya yang


membahana. membuat Badrun
yang tengah membelitkan salah
satu ujung selendang ke cabang
pohon, nyaris terpeleset jatuh.
"Siapa itu yang menjerit?", omel
nya terkejut.
" ........Parta!". dengus
Suhendro, sama terkejut.
Sekaligus ia tinggalkan
tempatnya di bawah pohon
berlari-lari keeil menuju
pondok.
"Hen......!"_. Badrun berdiri
tegak tanpa sadar. dan jadi
jugalah ia terpeleset. Lantas
jatuh terhempas ke tanah becek
berlumpur: Ia tidak sampai
cidera. Namun maki-makiannya
terus saja terdengar selagi
berlari mengikuti Suhendro. ' '
***
Rahayuningsih juga berlari
Hanya Saja. larinya
sempoyongan. Selain karena
tubuhnya sakit-sakit serta
kehabisan tenaga. juga karena
ia harus menempuh jalan
menurun yang licin. Dengan
bukit terjal di sisi kiri dan
jurang lebar menganga di
sebelah kanan jalan setapak
yang ia lalui. Hanya itu
satu-satunya jalan terdekat ke
sungai di bawah sana. Di
sepanjang pinggiran sungai ada
satu dua rumah penduduk
setempat yang ia bisa mintai
pertolongan. Atau setelah
melewati titian bambu. ia akan
tiba di jalan desa. Dan......".
Rahayuningsih terpekik.
Kakinya salah menginjak tangga
batu. Ia limbung seketika. Reflek
sebelah tangan Rahayuningsih
menyambar ilalang liar yang
tumbuh pada dinding bukit di
sebelah kirinya. Berhasil. Tetapi
gundukan ilalang yang ia
cengkeram malah tercabut.
bersama akarakarnya. Gravitasi
bumi tidak mampu dielakkan
oleh Rahayuningsih. Dan
dengan tangan masih
mencengkeram sejemput daun
ilalang, tubuh Rahayuningsih
terhumbalang ke sebalah kanan
jalan setapak.
Pada kejap berikutnya. tubuh
Rahayuningsih terhumbalang ke
sebalah kanan jalan setapak.
Tubuhnya melayang cepat lantas
lenyap di dalam jurang. Cuma
jeritann-ya saja yang_masih
terdengar. ltupun kemudian ikut
melenyap pula. _
Di ujung jeritan Rahayuningsih,
Suh'endro serta Badrun pas
baru tiba pada bagian atas jalan
setapak. mereka hanya melihat
sekilas keadaanyang menimpa
diri Suparta. Dan tanpa
memperdulikan jerit merit teman
mereka yang bernasib sial itu,
mereka langsung saja
mengejar ke arah mana
Rahayuningsih mereka
perkirakan melarikan diri.
Suhendro yang pertama-tama
menghentikan langkah. Sambil
mendengus pelan." kau dengar
itu, Badrun?"
Badrun yang ikut berhenti
dengan terkejut, balik bertanya.
" Jeritan Ayu" tentu saja aku
dengar. Menurutmu, apakah
dia......"
"Bukan. Bukan itu yang
kumaksud!"
"Lantas?"
"Husst. Diamlah. Dan
dengarkan" ....."
Badrun tidak hanya
mengatupkan mulut. Matanya
pun ikut liar mencari-cari.
Berusaha menerobos terpaan air
hujan yang kembali menderas.
Didahului suara berderak derak
yang terdengar setengah
teredam, tampaklah oleh
sebatang pohon tinggi besar tak
jauh di hadapan mereka. Pohon
yang tumbuh pada dinding bukit
di sebelah kiri jalan setapak itu
tengah bergerak miring dan
terus semakin miring. Untuk
kemudian tumbang dengan
suara gegap gempita ke arah
jurang.
Pada saat bersamaan, baik
Suhendro maupun Badrun sama
merasakan akan adanya getaran
kuat pada bidang tanah tempat
kaki mereka berpijak. Disusul
oleh suara mengguruh, tetapi
jelas bukan suara guntur. Lalu
permukaan jalan setapak
bertangga batu di hadapan
mereka mulai bergerak dan
terus bergerak. Lantas tibatiba
sudah lenyap begitu saja.
Sementara dinding bukit di
sebelah kiri jalan setapak yang
melenyap itu, terlihat menggeliat
hebat.
"Longsor.....", Badrun berbisik.
Kaku.
"Mundur !", Suhendro berteriak
lantang. sambil kakinya
melangkah surut dengan cepat.
Tubuh kemudian diputar sama
cepatnya. Lantas berlari
mendaki ke arah darimana
tadinya mereka datang. Badrun
bahkan melesat lebih cepat.
mendahului Suhendro.
Di belakang mereka, terdengar
suara mengguruh yang
mendirikan bulu roma.
Dibarengi gelegar guntur.
Dan kilatan petir yang kembali
menyambar nyambar .

***

TAHUN demi tahun berlalu


sudah. .
Bersama dengan merambatnya
waktu. populasi manusia terus
pula berjalan. _Di sisi lain.
penambahan jumlah manusia itu
dengan sendirinya ikut
menambah jumlah mereka yang
mati. Maka p0pulasi pun
berlangsung pula di komplek
pemakaman desa, karena
mereka yang mati di kota ikut
pula dimakamkan di sana.
Lambat laun. komplek yang
tadinya cuma sebatas dataran
rendah di pinggiran sungai. kini
telah merambati bukit. Malah
mendekati lereng gunung di_
atasnya. Hal _itu memang
dimungkinkan. karena lereng
gunung yang dahulunya terjal.
kini sudah berubah landai.
Bukan karena gerusan tangan
manusia yang dari waktu ke
waktu.
***

makin membutuhkan lebih


banyak tanah lahan. Melainkan
karena kehendak alam sendiri.
Yang tangantangan gaibnya
pernah mengibas kian kemari.
Dan mengakibatkan longsor
besar yang sampai sekarang
maSih tetap diingat oleh
penduduk desa di sekitar.
Karena selain menimbun
kuburan lama. longsoran
dinding gunung juga menimbun
beberapa buah rumah. Bersama
para penghuni yang pada malam
yang dilanda hujan banjir itu.
sedang tertidur pulas.
Maklum di lereng gunung.
Komplek pemakaman yang
terkena populasi itu di lain pihak
sungguh memenuhi syarat untuk
disebut sebagai tempat
peristirahatan terakhir. Dengan
hijaunya hutan sebagai latar
belakang. Ke depan. hamparan
permadani kuning dari
petak-petak sawah yang siap
panen. sungai yang airnya
mengalir deras serta bening.
Dan di seberang sungai. desa
bersuasana nyaman yang
sebagian bangunannya tidak
mau ketinggalan dengan model
bangunan orang-orang kota.
Kendaraan berbagai jenis
tampak hilir mudik di jalanan
yang telah diaspal.
Dan jalanan aspal yang menuju
komplek pemakaman. terlihatlah
pada siang hari itu deretan
kendaraan sedang menyeberangi
jembatan di atas sungai. Lalu
berhenti satu persatu di sebuah
lapangan terbuka yang memang
disediakan sebagai lahan parkir.
Tak lama kemudian. ratusan
manusia yang turun dari
kendaraan. ganti berjalan kaki
secara berkelompok-kelompok
mengikuti rombongan paling
depan yang menggotong sebuah
keranda jenazah. Dan setelah
berlelah-lelah mendaki diantara
bidang-bidang pekuburan.
iringan
pejalan kaki itu akhirnya
berhenti di daerah ketinggian.
Tidak berapa jauh dari
pepohonan yang tumbuh melatar
depani hutan rimbun yang
bagian dalamnya tampak
remang remang.
Sampai keranda diturunkan di
dekat lubang kubur _ yang
dituju, tidak timbul masalah apa
apa. Kecuali kelelahan pisik
para pengantar. Itupun segera
terhilangkan oleh sapuan angin
sejuk. Mana tersedia pula
banyak tempat berteduh di
bawah naungan pepohonan
rindang.
Masalah, baru timbul setelah
tiba waktunya jenazah si mati
diturunkan ke liang lahat. ,
Sewaktu menerima jenazah yang
diturunkan dari atas, satu dari
tiga orang yang berdiri di
sebalah dalam kuburan, tiba tiba
memprotes. " Lepaskan. Jangan
ditahan begitu!"
"Kami tidak menahannya",
jawab yang di atas sambil
mengembangkan tangan dengan
wajah terheranheran.
"Tetapi kok jadi berat
begini.".-", ujar'yang di bawah,
sementara dua temannya yang
sama sama menerima jenazah,
tampak berdirinya goyah.
"Awas!", seseorang berteriak.
Memperingatkan.
Peringatan yang sia-sia. Karena
salah seorang penerima jenazah
sudah keburu limbung. Dua
temannya ikut ikutan limbung.
Dan tanpa sempat menahan,
jenazah tahu tahu sudah terlepas
dari' pegangan mereka bertiga.
Lantas jatuh terhempas di liang
lahat.
Dengan suara berdebuk.
Mengejutkan.
Sempat ribut dan saling tuding
sebentar, ketiga
orang tersebut akhirnya berhasil
ditenangkan oleh Lurah yang
turun tangan melerai. Posisi
jenazah kemudian dibetulkan
sebagaimana baiknya. Tali
pengikat jenazah diturunkan lalu
dipasang satu persatu. Mungkin
masih terpengaruh oleh insiden
mengejutkan tadi, si pemasang
papan tampak gugup malah
kemudian pucat. Karena
bilah-bilah papan yang ia susun,
beberap kali terlepas dari
tempatnya sebelum semua papan
akhirnya terpasang juga dengan
benar.
Si pemasang papan kemudian
dibantu naik ke atas.
"Aneh!". ia bergumam lirih dan
sedikit gemetar. " Tadi
sepertinya ada yang sengaja
menjatuh jatuhkan papan.
Setelah aku beristigfar, barulah
gangguan itu berhenti!"
Keanehan lain segera menyusul.
Yakni beberapa saat setelah
dimulainya penimbunan tanah
ke lubang kubur. Di bagian
bawah. seorang sukarelawan
yang wajahnya sebagaian cacat
bekas terkelupas, mendadak
tertegak kaku dengan wajah
cacatnya berubah pucat pasi.
yang lain terus saja bekerja
mimmbun dan memadatkan
tanah. Tetapi lurah yang
menyaksikan kesibukan
warganya itu keburu melihat.
Lantas menegur. " Ada apa
denganmu, Parta?"
Yang ditegur, Suparta,menjawab
gugup. " Kaki saya, Pak
lurah........"
Pekerjaan segera dihentikan,
sementara lurah berjalan
mendekat. " Memangnya kakimu
kenapa!"
"Ada yang.....membetot", sahut
Suparta. Menggagap.
"Ah. Yang benar?"
Belasan pasang mata serempak
melihat ke arah kaki Suparta.
Terlihatlah sepasang kaki
Suparta sampai batas
pergelangan, terbenam dalam
timbunan tanah yang sudah
dipadatkan.
Seorang pekerja di samping
Suparta. berkata menyeringai. "
kau sih. Berdiri terus. Jadinya
tertimbun. Untung baru sebatas
pergelangan kaki!"
"Sudah, sudah......!". Lurah
menukas tak senang. " Bantu dia
naik!"
Gemetar Suparta mengulurkan
tangan ke atas.
Namun ternyata diperlukan
tenaga beberapa orang untuk
menariknya bersama-sama
sebelum kaki Suparta terlepas
dari benaman tanah. hanya saja.
terlepasnya sangat tiba tiba.
Dengan akibat, tubuh Suparta
terangkat cepat setengah
melayang. Lantas jatuh
berguling-guling di sebelah luar
lubang kubur. Timpa menimpa
dengan mereka yang tadi
menarik. Termasuk Pak Lurah.
Meskipun pekerjaan selanjutnya
berjalan lancar tanpa gangguan
apa-apa lagi, suasana khidmat
lenyap sudah. Ketegangan serta
perasaan takut datang
menggantikan. Menyambar
diam-diam. Bersama gunjingan
yang disampaikan secara
berbisik-bisik di sana-sini.
Sehingga ajengan Marsudi yang
bertugas membacakan do'a
penutup upacara, tergugah
untuk memberi wejangan yang
bernada sedikit keras.
"Barusan tadi aku mendengar
bisik-bisik. Bahwa almarhum
tidak rela dikebumikan!". begitu
antara lain ajengan'Marsudi
berkata. " Aku tidak akan
mengatakan itu benar atau
salah. Tetapi ingin beri nasehat.
Marilah kita semua yang hadir
di sini sama bermawas diri. Dan

ingat! Ucap kata serta perilaku


semasa hidup, kelak akan ikut
menentukan nasib kita setelah
mati. Juga harap diingat.....!". ia
berhenti sejenak. Untuk memberi
tekanan pada kata-kata
berikutnya. " Tidak mustahil
bukan kitalah yang tidak rela
dikebumikan. Tetapi justru
bumilah yang tidak rela
menerima kehadiran jenazah
kita!"
Semua yang mendengar sama
terdiam. tanpa kata.
Ajengan Marsudi lantas
mengakhiri upacara pemakaman
dengan pembacaan do"a_
Begitu upacara dinyatakan
selesai, semua orang kemudian
berlalu meninggalkan tempat
masing-masing. Sebagian
dengan bergegas karena masih
menyimpan perasaan tegang
atau takut.
' Tinggal gundukan tanah
memerah saja yang masih
berada di tempat. Bersama
tebaran bunga rampai. Dan
kayu nisan sebagai tanda
pengenal.
Di kayu nisan itu terbaca sebuah
nama Badrun.
'Malam pun datang.
'Malam yang sebenarnya tenang
dan damai. Karena langit
tampak membiru lembut.
Sementara rembulan pun
bersinar-sinar penuh kasih
sayang.
Tetapi tidak demikian halnya di
pekuburan desa.
Suasana sunyi di pekuburan
mendadak diganggu oleh
_jeritan sayup-sayup yang
diselang selang oleh
ucapan-ucapan bernada
ketakutan dari seorang laki-laki.
?"Tidak. Biarkan aku sendirian.
Tolonglah......!"
Jerit ketakutan lagi. Lalu tangis
bayi.
Lalu suara si lelaki kembali
terdengar. " Aku memang
bersalah! Aku memang
bersalah! Tolong. ampunilah
aku! Jangan kalian siksa aku
lagi! Tolonglah! Tolooong.._"
.!"
Sebagai jawabannya, terdengar
umpat caci seorang perempuan.
Sementara lengking tangiS' bayi
kian mengeras juga. Dari
gundukan tanah merah
dikuburan Badrun..."dari mana
suara-suara itu terdengar,
perlahanlahan tampak bergetar
dan terus bergetar semakin kuat.

Didahului jerit kemarahan


seorang perempuan. kuburan
Badrun pun terguncang. Lantas
terbongkar dengan hebat. Dan
dari sebelah dalam lubang
kubur yang terbuka menganga.
jenazah yang terbungkus kain
kafan tampak melesat keluar.
Lalu terbang menghilang.
Menembus kegelapan malam.

***

KEMUDIAN, teror pun melanda


penduduk desa.
Keluarga beserta kerabat dekat
Badrun sedang berdzikir di
tengah rumah ketika
sekonyong-konyong terdengar
bunyi atap pecah. Lalu bersama
pecahan genteng serta eternit.
dari langit-langit jatuhlah benda
putih besar. Mendarat keras di
tengah kelompok pedzikir yang
sama terpukau saat mendengar
hingar-bingarnya atap pecah
tadi. Meski ada yang tertimpa
pecahan genteng atau eternit.
tak seorangpun yang mengaduh
apalagi bergerak dari tempat
duduk masing-masing. Semua
menatap terkesima pada benda
putih yang jatuh berdebuk di
hadapan mereka. Dari wujud
benda, mudah diketahui apakah
itu gerangan.
Yakni sesosok jenazah. yang
masih terbungkus kain
kafan!
Belum juga lenyap perasaan
terkesima, dari luar rumah
sudah terdengar jerit lengking
seorang perempuan. ?" manusia
keji dan hina! Tak sudi aku
berdekaman dengan tubuh
najismu...!"
Beberapa orang segera
tersadar. Lantas sama
menghambur dari ruangan.
Berlari saling dahulu
mendahului keluar rumah.
Setelah ribut mencari-cari kian
kemari. seseorang kemudian
berseru sambil menunjuk ke
atas.
"Itu dia! Di atap!"
Semua kepala mendongak
seketika. Dan tampaklah sesosok
tubuh gelap berdiri
mengangkang di wuwungan
atap. Kecuali rambut
panjangnya yang berkibar-kibar
ditiup angin, wajah si
perempuan tidak terlihat jelas.
Namun dari balik wajah
gelapnya. tcrasakan benar
adanya Sorotan mata yang
tajam menghunjam.
"'Kalian!", sang sosok menuding
ke arah orangorang di
bawahnya. "Singkirkan dia dari
sisiku. Atau kalian akan
menerima akibatnya.
Mengerti"!"
Tanpa menunggu komentar.
sosok si perempuan kemudian
melesat dari tempatnya berdiri.
Melompat cepat dari-satu atap
ke atap rumah lainnya Untuk
kemudian lenyap di kejauhan.
Ditelan gelapnya malam.
Sementara di luar rumah
orang-orang pada ribut
berkerumun, bapak ajengan
dibantu beberapa orang
pemberani tengah membukai
dengan hati-hati kain kafan
penutup jenazah. Mula-mula.
tentu saja bagian kepala. Dan
muncullah wajah Badrun yang
pucat membiru. Sepasang
matanya melotot lebar-lebar
sementara mulut pun terbuka
menganga. Dengan tarikan
wajah yang jelas tersiksa seperti
menahan perasaan takut yang
luar biasa. Seolah-olah jenazah
Badrun habis menyaksikan
sesuatu yang jauh lebih
mengerikan dibanding
penampilan dirinya sendiri!
Seseorang terdengar mendesah.
Seram.
Marsudi sendiri juga ribut
merinding. Ia yang dipanggil
buru-buru tidak menyangka
sedikit pun akan menyaksikan
pemandangan yang begitu
mendirikan bulu roma. Sedikit
gemetar. telapak serta jari
jemari tangannya diusapkan ke
mata lalu mulut jenazah. ia tahu
bahwa proses kematian telah
berlangsung belasan jam.
Sehingga kelopak mata serta
mulut yang membuka itu gagal
ia katupkan. Saking sudah
membeku dan seakan mengeras
seperti batu.
"Entah kekuatan gaib apa yang
mampu membuat jenazah ini
membuka mata serta mulutnya!".
Marsudi membatin diam-diam. "
Namun kekuatan Allah tidak
bakal ada yang menandingi!"
Marsudi pun berdo'a sejenak.
Baru setelah itu tangannya
bergerak kembali ke tempat
yang sama. Dan ketika tangan
Marsudi ditarik mundur. kelopak
mata serta mulut jenazah sudah
mengatup. Mesti tidak begitu
rapat. Dan tarikan wajah yang
menyimpan ketakutan itu masih
tetap terlihat. Biarlah. Yang
penting wajah mayat tampak
lebih pantas .Tidak lagi
semengerikan tadi.
Menit demi menit yang
menegangkan berlalu sudah
ketika akhirnya Marsudi selesai
memeriksa bagian lain dari
tubuh' mayat. Hanya dengan
pandangan sepintas lalu. tentu
saja. Sebagaimana yang
kemudian di utarakan oleh
Marsudi dengan suara
bergetar." Kalian sudah lihat.
Tidak ada bagian luar tubuh
yang rusak. Jika pun di dalam
ada tulang-tulang yang patah.
tidak ada manfaat buat kita
membetulkannya!"
Yang lain mengangguk setuju.
Kain kafan yang kotor
berlumpur. dilepas hati-hati.
Lalu jenazah Badrun ditutup
rapat dari ujung kepala sampai
ke ujung kaki dengan memakai
sehelai selendang yang sudah
disediakan untuk keperluan
tersebut. Bau wewangian yang
sebelumnya sudah disemprotkan
untuk meredam bau mayat.
tercium melemah. Seseorang
lantas bangkit dari duduknya
untuk mengambil tabung minyak
wangi yang kemudian ia
Semprotkan kian kemari. Dari
saku ia keluarkan pula beberapa
butir kapur barus yang ia
lemparkan seingatnya saja ke
sana sini. Menambah jumlah
butiran yang lebih dahulu sudah
ditebarkan ke setiap sudut
ruangan.
Orang yang duduk dengan
wajah masih pucat di sebelah
Marsudi. membuka mulut
dengan perasan segan." Apa
tindakan kita. Pak Ajengan?"
"Menguburkan dia kembali......".
sahut Marsudi diiringi senyuman
getir." Tetapi tentu saja hal itu
baru besok dapat kita
laksanakan!" '
"Yang aku maksud." sipenanya
menegaskan." Terhadap setan
yang membongkar kuburan lalu
melemparkan jenazah Badrun ke
rumah ini!"
"Setan. Nak Hendro ?". Marsudi
balik bertanya. Lembut. namun
terdengar tajam.
Suhendro. yang ditanya.
menjawab setengah marah. "
Lantas mahluk apa lagi kiranya
yang mampu berbuat kekejaman
yang mengerikan ini?"
"Hem."!"_ marsudi mendengus.
Sejenak merenung, ia kemudian
membuka mulut. '" Baiklah. Aku
pun sependapat bahwa semua
ini perbuatan setan". ia berujar.
Tenang. " tetapi sebelum kita
berpikir bagai
mana kita harus menindaknya,
adalah lebih baik bila ' kita lebih
dulu berpikir. Setan macam apa
dia itu. Atau persisnya. Apa
yang membuat dirinya berubah
jadi setan!"
"Maksud Bapak?". Suhendro
bertanya. Tak mengerti. Yang
lain ikut mendengarkan. Dengan
tatap mata sama ingin tahu.
"Marilah kita simak apa-apa
yang tadi kudengar dari
pembicaraan orang yang
menjemputku ke rumah......"__
jawab Marsudi. Ada dua hal
yang patut kita kaji dari
ucapan-ucapan setan itu.
Pertama. dia menyebut-nyebut
manusia keji dan hina. Juga
tubuh najis. Yang kesemua
jelas-jelas ditujukan pada
jenazah di hadapan kita
ini........"
Marsudi berhenti sejenak.
Seraya mengawasi selendang.
yang menutupi jenazah. Para
pendengarnya
ikut memperhatikan ke arah
sama. Dengan pandangan
takut-takut.
"Jenazah. " Marsudi
melanjutkan.".......adalah benda
mati yang tidak lagi dapat
berbuat sesuatu apapun juga
yang bisa menyakiti hati orang
atau mahluk lain. Maka .
kita harus tarik ke belakang.
Yakni semasa almarhum masih
hidup. Adakah seseorang dari
kalian yang mengetahui.
Kira-kira perbuatan keji apa
dan sehina apa gerangan yang
telah diperbuat Badrun.
Sehingga dirinya lantas
disamakan dengan najis?"
Tak ada yang mampu menjawab.

Terlebih-lebih lagi, Suhendro.


Mulutnya bungkam membisu.
tetapi sel-sel otak diam-diam
bekerja ekstra keras. Terlalu
banyak yang harus diingat. "
Tetapi yang mana kiranya?".
Suhendra membathin. Bingung
sendiri.
"Hal ke dua.....", Marsudi sudah
berujar lagi." Setan itu berkata
tidak sudi berdekatan dengan
almarhum atau katakanlah,
jenazahnya. Lantas jenazah
almarhum pun dia singkirkan
dari tempatnya terkubur.
Mengapa-mengapanya, nanti
saja kita perdebatkan. Yang
pasti.... menurut hematku,
terlemparnya jenazah Badrun
jelas bersumber di dalam atau di
sekitar kuburannya!"
"Aku sependapat dengan Bapak
Ajengan!", Suhendro
manggut-manggut setuju. " Jadi
yang pertamatama harus kita
lakukan, adalah membongkar
kuburan disekitar lubang kubur
Badrun!"
"Tetapi, kuburan siapa?",
Marsudi bergumam. Pahit. "
Atau kalau kita kembali pada
persoalan semula.
pertanyaannya adalah. Yang
kelak harus kita hadapi
itu.."setan siapa"!"
Sekali lagi tidak ada yang
menyahut.
Menarik nafas pun. takut.

***

K EMATiAN Badrun membuat


Suparta terus saja dihinggapi
perasaan tegang serta gelisah.
Lebih-lebih lagi setelah
terjadinya peristiwa-peristiwa
ganjil di pemakaman. Apapun
juga diomongkan orang. Suparta
hanya menyakini satu hal saja.
Bahwa Badrun tidak mau mati
sendirian. Atau paling tidak
dikubur sendirian. itu maka kaki
Suparta di betot oleh roh Badrun
Karena Badrun tidak mau
ditinggalkan oleh orang yang
ikut pegang andil dalam
kematiannya! Pikiran
menakutkan itulah yang
membuat Suparta merasa tegang
serta gelisah. Dan biasanya.
perasaan demikian dapat
dihilangkan Suparta dengan
menempuh dua cara yang paling
mudah dan praktis. Bermain
cinta. atau berjudi. Tetapi
istrinya ia tinggalkan di kota
bersama dua anak mereka yang
masih duduk di bangku sekolah
dasar Mcngencani pelacur" Di
kota sih, gampang. Di desa
kelahirannya, jangan coba-coba.
Mudah ketahuan, dan
keluargalah yang dapat malu
besar.
Maka sepulang dari
pemakaman, Suparta pun
langsung pergi bermain kartu
domino di rumah salah seorang
teman masa kecilnya. Taruhan
uangnya tidak begitu besar.
Maklum di desa. Biarlah. yang
penting, bisa saling
menertawakan, bisa saling
meledek sampai telinga panas
dibuatnya. Dan tanpa terasa,
hari tiba-tiba sudah jatuh malam
.Istri temannya mengomel, dan
permainan pun bubar.
Setelah berpisah dengan dua
teman lain untuk menempuh
arah pulang masing-masing.
Suparta tiba-tiba kembali
merasa sendirian. Lalu perasaan
tegang serta gelisah itu kembali
pula datang mengusik. Saking
jengkel, ia mengumpat
sendirian. " Sialan kau Badrun!
Kau yang punya ulah, mengapa
aku yang disalahkan"!"
Ah, benar. Mengapa tidak"
Sebagai supir pribadi Badrun,
Suparta tidak bisa menolak
ajakan Badrun untuk pulang ke
desa mereka barang satu dua
hari.
"Aku mendadak rindu keluarga
dan ingin menziarahi makam
ayahku ", kata Badrun.
Dan pada saat berziarah itulah
bencana terjadi!
Sehabis berdo'a di makam
ayahnya, Badrun tibatiba
meringis. " Ya, ampun. Aku tak
bisa menahannya lagi. Dari tadi
aku sudah ingin kencing!"
Sambil mengeluh demikian,
Badrun enak saja
membuka resluiting celananya.
Terkejut, Suparta mencegah. "
Jangan di sini. Pantang!"
"Lantas di mana?", Badrun
mendengus. Tak sabar.
Suparta cepat menyapukan
pandang ke sekitar. Lalu
menunjuk ke sebidang tanah
kosong. " Tuh di sana. Tak
terlalu dekat dengan kuburan
orang!"
Badrunpun membuang hajatnya
sepuas-puas hati. Dan kepada
Suparta ia kemudian
menyeringai gembira. " Terima
kasih, sahabat. Aku merasa lebih
enak sekarang. Tanpa kau, tadi
aku pasti berbuat kualat..."!"
Tetapi semasuk ke mobil,
tahu-tahu Badrun meringis
kembali. Suparta bertanya
sambil tertawa. " Ada apa" Mau
kencing lagi ya?"
Badrun menggeleng." perih
sekali rasanya!"
Sambil terus menjalankan'mobil,
Suparta bertanya heran. "
Apamu yang perih, Drun'?"
"Anu-ku?". Badrun mengerang
sakit." Jangan
jangan kencing batuku kambuh
lagi...." ' Suparta menjadi kuatir
menakala Badrun terus saja
merintih kesakitan di sepanjang
perjalanan. Tiba di rumah
keluarganya, Badrun langsung
menyerbu kamar mandi. Baru
juga masuk sebentar, ia sudah
berteriak memanggil
:"....Partaaaa " '
Seisi rumah kaget oleh teriakan
keras Badrun. lebih-lebih
Suparta. Bukan karena namanya
yang dipanggil. Melainkan,
karena teriakan majikan yang
juga sahabatnya itu. terdengar
bernada panik. Malah seperti
ketakutan. Suparta pun
menghambur ke kamar mandi,
diikuti oleh salah seorang adik
laki-laki Badrun. Dan apa yang
mereka saksikan di kamar
mandi, membuat
Suparta dan adik Badrun
terpana ngeri .Badrun tampak
merapatkan punggung ke tembok
kamar mandi. Sekujur tubuhnya
bergemetar. wajah pun sepucat
kertas. Baru setelah melihat
lebih ke bawah. Suparta
menyadari apa yang membuat
Badrun seperti habis melihat
hantu.
celana panjang serta celana
dalam Badrun menggantung
terbuka pada lututnya. Dan di
kebugilan bagian bawah tubuh
Badrun. terlihatkan
kemaluannya membengkak
besar, begitu pula dengan buah
dzakar. Sudah bengkak,
berdenyut-denyut keras pula.
Setiap kali berdenyut. kemaluan
serta buah dzakar Badrun terus
saja membesar!
Seisi rumahpun gempar.
Seseorang terdengar berteriak.
panik. " Panggil dukun. Cepat!"
Sambil menunggu kedatangan
dukun, Badrun digotong
beramai-ramai ke kamar tidur.
Rintihan dan jerit kesakitannya
kian menjadi-jadi. yang
dipegangi Badrun dengan cepat
ikut pula membengkak, menyusul
kemudian perut. Badrun sampai
meronta-ronta, lantas
kesurupan. Orang-orang yang
memegangi termasuk Suparta.
habis dilemparkan kian kemari.
Begitu terbebas, Badrun
berguling-guling di tempat tidur.
Jatuh ke lantai. -ia_menggelepar
sejenak seperti orang sekarat.
Lalu tiba-tiba saja, tubuhnya
berhenti menggelepar. Diam tak
bergerak-gerak. Sepasang mata
melotot lebar. Dan darah segar
mengalir keluar dari sudut-sudut
mulutnya. _
Badrun sudah mati ketika dukun
datang. Hanya untuk
berkomentar lirih." Dia terkena
guna-guna!"
Dokter Puskesmas yang
buru-buru datang setelah
dijemput Suparta. setalah
melakukan pemeriksaan secara
teliti. juga berkomentar pendek
saja." _Jantungnya
pecah......_.!"
Entah mana yang benar.
Tetapi dalam pandangan
Suparta. penyebab kematian
Badrun sudah jelas ' urusan
kencing!
Namun Suparta tidak berani
mengemukakan pendapatnya itu
pada siapa-siapa" termasuk
pada dukun. Ia tidak punya bukti
pendukung. Yang dikencingi
Badrun adalah bidang tanah
kosong yang tidak ada
kuburannya. Mulut Suparta juga
terkunci oleh satu kenyataan
pahit. Dirinyalah yang
menunjukkan di mana Badrun
harus kencing.
Penasaran. pagi-pagi benar
Suparta pergi kekomplek
pemakaman desa. Memang
benar. tidak ada kuburan di
dekat tempat badrun buang air
kecil .Penelitian seksama yang
dilakukan Suparta. hanya
menghasilkan satu hal saja. Dan
membuat mulut Suparta justru
semakin terkunci.
Bagian tanah di mana persisnya
Badrun kencing. sudah berubah
menjadi sebuah lubang ukuran
dua
persegi panjang. Di situlah
justru Badrun akan dikuburkan!
Atas pertanyaan Suparta. salah
seorang penggali kuburan
memberitahu.".....almarhum
sudah memesan tempat ini
jauh-jauh hari sebelumnya!"
Kesimpulannya. yang kencing
Badrun.
Dan Badrun lupa. bahwa yang
ia kencingi adalah bakal
kuburannya sendiri pula.
Ingin rasanya Suparta
tersenyum memikirkan ironi
tersebut. Sudut-sudut bibirnya
malah sudah mau membuka
untuk tersenyum. ketika tiba-tiba
ia katupkan lagi .Timbul pikiran
lain yang membuat Suparta
terkejut sendiri.
Jika bukan urusan kualat, lantas
apa"
Suara tangis bayi membuyarkan
lamunan Suparta.
Ia menghentikan langkahnya
dengan seketika. Diam
mendengarkan. dan terdengar
lagi suara tangis bayi tadi.
Tersendat-sendat lemah.
Menyayatkan hati. .
Menyapukan pandang sesaat ke
tempat sekitar, Suparta
kemudian memutar tubuh ke
arah kanan. Menghadap ke
hamparan sawah siap panen
yang berwarna kuning ke
abu-abuan di bawah siraman
rembulan.
Ada tegalan di depan tempat
Suparta berdiri. Tegalan itu
berakhir disebuah tempat yang
tampaknya sedikit terbuka. Di
mana terlihat sebuah dangau.
Dan dari arah dangau itu
terdengar lagi tangisan bayi
yang memelas tadi.
Dalam keheranannya. Suparta
langsung teringat pada apa yang
sering dibacanya di surat kabar
atau ia lihat dalam tayangan
televisi. Yakni tentang bayi-bayi
malang yang ditemukan
terlantar di pusat atau di
sudutsudut kota. Dibuang begitu
saja oleh ibu mereka yang tidak
bertanggung jawab. Malah
boleh dibilang. tidak
berperikemanusiaan.
Astaga. pikir SUparta
tercengang .Budaya kota
semacam itukah yang kini sudah
diserap oleh desa kelahirannya"
Tangis bayi lagi. Semakin
tersendat-sendat.
Tanpa berpikir panjang. Suparta
langsung melompat ke tegalan
sawah depannya. Cepat sekali ia
menerobos bebatangan padi
yang ia kuakkan pakai kaki serta
tangan. Ia tidak boleh terlambat.
Mumpung bayi malang itu masih
hidup. Masih bisa diselamatkan!

Dan ia kemudian berdiri


tertegun
Sesosok bayi laki-laki. montok
kemerah-merahan. rebah
menghadap rembulan di langit
malam. Jangankan dibungkus
selimut. Dibaju pun tidak. Lebih
menggiriskan hati. bayi malang
itu juga tanpa alas tubuh.
kecuali rerumputan kering di
bagian luar dangau. Mengawasi
dengan iba sejenak, Suparta
cepat melongok ke sebelah
dalam dangau. Gelap. Tak ada
siapa-siapa di dalam. Setelah
meraba-raba. Suparta juga tidak
menemukan kain' walau secarik
doang .untuk menyelimuti si
bayi. Juga tanpa berpikir
panjang., Suparta langsung saja
menanggalkan baju kaos lengan
panjangnya yang ia selimutkan
ke tubuh bayi. sekaligus
mengangkatnya ke bopongan
lengan.
Sang bayi berhenti menangis.
Diterangi cahaya rembulan.
bibir mungil bayi itu tampak
tersenyum. Seolah-olah
berterima kasih.
"Entah siapa ibumu yang telah
berlaku kejam, Nak!"_ Suparta
bergumam lembut. " Tetapi
ketahuilah. Sepupuku sudah
sepuluh tahun menikah tetapi
belum juga dikarunia anak.
Maka percaya. Kau akan segera
punya orangtua. Yang pasti akan
sangat mengasihi dirimu!"
Sang bayi merengek pelan.
rengekan yang terdengar manja
itu membuat suparta tersenyum.
Diawasinya sosok bayi dalam
bopongan. Dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki. Semua
tampak utuh. Sehat tanpa cacat.
Hanya saja." Astaga. kok tanpa
ari-ari" Apakah bayi ini.....
Seakan menyelami kebingungan
Suparta. terdengar suara tajam
dari belakangnya. " Dia
memang tak punya ari-ari"...."
Terperanjat setengah mati,
Suparta cepat membalikkan
tubuh Dan di hadapannya,
berdirilah sesosok tubuh
perempuan muda belia.
Memakai blus panjang longgar
serta tampak lusuh. Rembulan
menyinari wajahnya yang pucat.
Sementara matanya tampak
menatap dengan sorotan tajam.
Walau tak begitu jelas terlihat
dalam gelapnya malam. sorot
mata itu terasa bagai
menghunjam ke mata Suparta.
Menimbulkan perasaan dingin.
Dan menusuk sampai ke jantung.

"Ari-arinya keburu hancur.


Membusuk!", si perempuan
muda belia itu membuka
mulutnya lagi. Mulut yang juga
pucat. sepucat kulit wajahnya
yang terbilang cantik.
Pasti karena habis melahirkan.
pikir Suparta. Lantas bertanya
gugup. " Kau siapa?"
"Ibunya'. sahut si perempuan.
Dingin dan datar. " Kalau tak
percaya. lihat saja ini.....!"
Si perempuan menyingkapkan
bagian bawah blus
longgarnya. Disingkap lebar,
sehingga terlihat jelas
bagian dalam pahanya yang
bcrlopotan darah, bahkan
sampai ke betis.
"Ya. Ya. Aku percaya.".. .".
Suparta menganggap risi,
sementara si perempuan
menutupkan blusnya kembali. "
Tetapi. Suparta diam sejenak.
Begitu banyak pertanyaan yang
terpikirkan. Namun yang keluar
kemudian. masih yang tadi ju'ga.
Hanya, dengan sedikit
tambahan. " kau siapa" Dan
apakah aku pernah melihatmu?"
"Pernah. si perempuan
mendengus. Tak bersahabat"
Pernah melihat" Aku yakin, kau
malah sangat mengenal siapa
aku!"
Ingatan Suparta dipaksa
bekerja. Keras, tapi gagal.
Si perempuanlah yang kemudian
memberi keterangan tambahan.
" Kau malah bermaksud
memperkosa diriku.
Sebelum.."..dibunuh!"
Suparta mulai kuatir. " Wah.
wah"... ia membathin. "
Jangan-Jangan aku berhadapan
dengan orang gila. Dan... .."
"Aku tidak gila, Suparta !",
suara si perempuan membuat
Suparta semakin terperanjat
saja. " otakku malah jauh lebih
waras dari otakmu!"
"Tunggu dulu!". Suparta
menggeragap lagi. Bagaimana
kau bisa mengetahui namaku?"
Si perempuan tidak cuma
menyeringai kini. Tetapi malah
meringkik. Ringkikan pendek.
Namun terkesan kejam.
"Ah. ya..". " katanya. "Pasti
saking seringnya kau dan
teman-temanmu bercerita pada
semua orang. lama
kelamaan kau lantas menyakini
memang demikianlah kejadian
yang sebenarnya. Aku
dengar-dengar, kalian bercerita
bahwa pada hari yang dilanda
hujan badai itu, kau bermaksud
mandi air hangat. Tetapi kau
terpeleset di kamar mandi.
Lantas panci berisi air mendidih
di tanganmu terlempar jatuh.
Dan sebagian tumpahannya
mengenai wajahmu. Membuat
wajah jelekmu tampak semakin
jelek saja. Begitu, bukan?"
Duk! '
Bukan hanya tertusuk. Jantung
Suparta pun bagai terpukul
sangat keras. Nafasnya sampai
menyesak tibatiba. Di awasinya
si perempuan dengan seksama.
Lantas begitu ia merasa yakin.
sekujur tubuh Suparta langsung
terasa dingin. Membeku. Lutut
pun tiba-tiba bergemetar hebat.
Setelah tiba-tiba menyadari
dengan siapa ia berhadapan.
Tetapi, dengan apa!
Secara naluriah. Suparta
merunduk. Mengawasi bayi-......
yang entah mengapa, masih juga
dibopong kedua lengannya.
Sepasang mata si bayi terbuka
lebar. Balas menatap. Dan lebih
mengejutkan lagi, senyuman di
bibir mungil bayi yang tadinya
lucu. sudah berubah total.
Sudut-sudut bibir mungil merah
itu menggurat lebar ke kiri
kanan pipi montoknya.
Memperlihatkan seringai tipis.
Dan seperti juga
ringkikan-ibunya, seringai di
bibir si bayi pun terkesan kejam.
Malah mendekati buas!
Tak ayal lagi. Suparta menjerit
ngeri. Seraya menjerit,
bopongan lengannya dilepaskan
buru-buru. Bayi pun terlepas.
Tetapi tidak dengan
sendirinya langsung terjatuh.
Begitu terlepas, tubuh montok
sang bayi justru seperti
melompat ke atas. Dan
tahu-tahu sudah hinggap di
pundak Suparta.
Sebelum Suparta sempat berbuat
sesuatu, rambut di kepalanya
sudah terjambak keras serta
menyakitkan. Dan sepasang kaki
mungil tahu-tahu sudah
melingkar di leher. Dan
bergerak menjepit, terus
menjepit. Dengan kekuatan
tenaga yang tak pernah
terbayangkan oleh Suparta. :
Dalam cekaman panik serta
kengerian yang luar biasa.
Suparta lari menyelamatkan
diri. Paling sedikit,
meronta-ronta membebaskan
Leher yang tercekik.
Tetapi lutut berkehendak lain.
Kedua lutut Suparta sudah
keburu tertekuk. Suparta pun
jatuh berlutut. Dan masih
sempat berbisik diantara
nafasnya yang semakin sesak. "
Rahayuningsih. Tolonglah.
Aku"...!"
Bisikan Suparta tidak
terselesaikan.
Tubuhnya dengan cepat sudah
limbung lalu jatuh tersungkur ke
depan. Ada perasaan sakit yang
luar biasa di bagian dalam
tubuhnya. Melebihi perasaan
sakit karena tercekik pada leher.
Seperti siksaan azab yang
merobek-robek tanpa kenal
ampun. Disertai suara
menyembur yang sayup-sayup.
Sebelum wajah Suparta
menyentuh tanah. samarsamar
terlihat eleh pandangan matanya
yang nanar adanya gumpalan
darah merah segar mendahului
jatuh. Menggenangi dan
memerahi rerumputan.
Gumpalan kental itu jelas sekali
terasa, tumpah keluar dari
mulutnya.
Di pelupuk mata Suparta.
terkilas bayangan wajah dokter
yang kemarin malam ia jemput
Puskesmas. Lalu di telinga
Suparta terngiang ucapan
pendek sang dokter. "
Jantungnya pecah.....!" '
Ada suara ringkikan panJang
seorang perempuan. Juga tangis
bayi. Yang kedua-duanya
terdengar menjauh dan terus
menjauh.
Kemudian. gelap pun datanglah.

Kegelapan yang luar biasa


hitam. Dan luar biasa pekat.

***

SUHENDRO bukan seorang


peramal.
Tetapi beberapa waktu
berselang, sebagai sekretaris
desa dan juga sebagai seorang
sahabat. ia pernah menasehati
Badrun. Supaya tidak nekad
-membeli tanah landai yang
dahulunya terbentuk dari
longsoran dinding bukit dimana
mereka saksikan sendiri
Rahayuningsih terkubur
hidup-hidup.
Namun Badrun menanggapi
dengan enteng saja.
"Lokasinya bagus!", tandas
Badrun. " Setelah dikurangi satu
petak untuk kuburanku
sekeluarga kelak. sisanya bisa
kujual dengan harga tinggi pada
mereka yang membutuhkan!"
' "Yang kau beli dan akan kau
jual itu, hmn.".", Suhendra
mengingatkan. " Adalah kuburan

Rahayuningsih!"
"Ya ampun. Suhendro!". Badrun
menggelenggclengkan kepala. "
kau seperti bermaksud
mengatakan bahwa roh gadis itu
sudah mendatangimu. Lalu
bilang begini Pak Sekdes. tolong
deh buatkan sertifikat tanah itu
atas namakul". Badrun tertewa.
Geli. " Dengan apa dia
membayar"u, Hendro"
Tubuhnya?"
"Justru itulah yang aku
kuatirkan, Drun!"
"Itu apa?"
"Yang kau bilang barusan.
Rahayuningsih bangkit dari
kubur. Lalu ia datang: dengan
marah bukan aku. Tetapi kau!"
"Aku siap menghadapinya!".
Badrun tersenyum, melecehkan.
" Dan bila saat mendebarkan itu
tiba... dan semoga saja dia tidak
sedang hamil, dia akan kuseret
naik ke tempat tidur. Dan
percayalah, Suhenro. Begitu_
aku selesai. kau pasti kupanggil.
Untuk ikut menikmati tubuhnya.
Seperti dulu!"
Sungguh takabur'
Dan kini Badrun _harus
menanggung sendiri akibatnya.
Sudah mati sengsara.
jenazahnya di tolak pula oleh
bumi di mana Rahayuningsih
terkubur. Dengan cara
menggemparkan pula :
dipulangkan ke rumah. melalui
atap'
Suhendro tengah
bersantai-santai dengan
keluarga ketika kabar
menggemparkan itu sampai ke
telinganya. ia langsung
bergegas pergi ke rumah
Badrun, di mana ia kemudian
mendengar kabar lain yang
tidak kurang menggemparkan.
Yakni tentang umpatan-umpatan
serta sosok seorang perempuan
yang diduga kuat sebagai
pembuat ulah. Tak seorangpun
yang mengenali suara atau
wajah sosok gelap yang
kemudian lenyap entah kemana
itu.
Tetapi Suhendro langsung tahu.
Dan itu membuatnya takut.
Terlebih-Iebih lagi sewaktu
Suhendro akan meninggalkan
rumah keluarga Badrun, ia
sempat mendengar gumaman
ajengan Marsudi. Yang terlontar
entah sadar entah tidak."
Seberat apa kiranya dosa yang
membebani diri almarhum.." ?"
Di telinga Suhendro. gumamam
sang ajengan seolah ditujukan
langsung pada dirinya." Seberat
apa kiranya dosa yang
membebani dirimu, Suhendra"!"
***
Suhendra menggigil.
Ia paksakan sepeda motornya
supaya melaju lebih cepat di
jalanan mendaki yang
diperkeras dengan batubatu
pecah. Mesin sepeda motor itu
sampai terbatukbatuk,
kepayahan. namun toh sampai
juga di atas dengan selamat.
Jalanan kembali rata, dengan
deretan rumah di kiri kanan.
Rumah-rumah yang tampak
sunyi membeku dalam kegelapan
malam. Tinggal satu belokan
lagi, dan Suhendro akan sudah
tiba di rumah yang ia tuju.
"Semoga saja embah Rasim_
tidak sedang pergi!", Suhendra
membathin. Cemas. "Hanya dia
seorang yang bisa kuandalkan
sekarang ini.."..!"
Sebenarnya, masih ada ajengan
Marsudi.
Tetapi Suhendro tidak berani.
Kalau nantinya cuma
sekedar disuru tobat kepada
Tuhan. Bolehlah. Itu gampang.
Yang. repot, adalah jika
nantinya Suhendro disuruh
melakukan apa yang pernah
dilakukan oleh Jayusman,
seorang rentenir.
Sebagai rentenir yang sudah
karatan, orang yang tengah
menderita sakit parah sekalipun
akan dipaksa Jayusman keluar
dari rumah yang sudah
waktunya dibeslah. Jika tidak
ada yang tega melakukan hal itu
untuknya, Jayusman sendirilah
yang masuk' dan kemudian
menyeret keluar si sakit yang
tidak berdaya.
Tibalah suatu ketika, Jayusman
terkena penyakit. Yang bukan
cuma parah, tetapi juga aneh.
Makanan atau
minuman'apapun..." termasuk
cairan infus, selalu ia
muntahkan keluar.
Dokter-dokter ahli di rumah
sakit dibuat geleng-geleng
kepala. Begitu pula beberap
dukun ternama yang dipanggil
silih berganti. Tak ada yang
berhasil mengobati, Jayusman
terpaksa harus terusmenerus
menggeletak di tempat tidur.
Dengan tulangtulang tubuhnya
dari hari ke hari tampak kian
menyembul di balik kulit yang
semakin tipis dan kering.
Berbicara pun payah. Kalaupun
bisa, yang keluar cuma
bisikan-bisikan lemah. namun
demikian. Jayusman tak
mati-mati juga. Sementara
harapan untuk sembuh, sudah
tidak lagi dipikirkan orang,
Lalu ajengan Marsudi kembali
dari perjalanan Haji ke Mekkah.

Begitu tiba di rumah dan


mendapat kabar tentang
Jayusman, sang ajengan
langsung pergi menemui si sakit.
Setelah berbicara empat mata
sebentar ajengan Marsudi
meminta keluarga si sakit
supaya melaksanakan
kenduri. Disaksikan semua yang
hadir. Jayusman menyatakan
penyesalan mendalam atas
perilakunya yang tidak baik
selama ini. Ia juga menyatakan
bahwa sebagian terbesar harta
kekayaannya akan
dibagi-bagikan kepada mereka
yang pernah menjadi korban
kcserakahannya. Dan cuma
menyisakan sedikit untuk
keperluan keluarga.
Usai kenduri dan amanat pun
sudah terpenuhi secara ajaib
Jayusman berangsur-angsur
sembuh. Ia kemudian
mengabdikan diri menjadi
pengurus masjid yang dikelola
ajengan Marsudi. Dan sudah
mulai disukai semua warga,
manakala suatu hari Jayusman
tiba-tiba mati juga karena
kecelakaan lalulintas.
Entah tobat Jayusman diterima
Tuhan atau tidak. Suhenro tidak
tahu. Yang pasti. Suhendro tidak
sudi melaksanakan kenduri. Di
mana ia harus mengaku pada
semua orang ?".memang kami
tidak jadi bunuh Rahayuningsih.
Akan tetapi dia tetap saja kami
perkosa dengan semena-mena.
Padahal kami tahu dia lagi
bunting besar. Dan dia juga
sudah melolong-lolong minta
dibelas-kasihani!"
Kembali menggigil, Suhendro
turun dari sepeda motor yang ia
standar di halaman rumah yang
dituju. Dan kemudian menarik
nafas lega manakala ia lihat
pintu dibuka oleh seorang lelaki
lanjut usia namun tubuhnya
masih kokoh dengan wajah yang
tampak keras yang kaku. Wajah
itu sedikit melembut setelah
mengenali siapa orang'yang
berdiri di hadapannya.
"Ah. Pak Sekdes kiranya.
Tumben. tiba-tiba berkunjungl".
sambutnya. Dengan suara berat
dan datar.
Dan setelah sang tamu
dipersilahkan duduk. tanpa
berbasa-basi lebih dulu,
langsung mengajukan
pertanyaan. " Apa yang dapat
saya bantu?"
Suhendro menjawab. gemetar. "
Dia sudah bangkit, Embah..."!"
***

Sementara itu. di rumah


Suhendro.
Usai menyelimuti anak mereka
satu-satunya yang tadi tertidur
selagi nonton televisi Kartinah
bergegas kembali ke ruang
tengah. Duduk lagi di depan
televisi. Kartinah langsung asyik
menyaksikan film India yang
memang merupakan acara
pavorit Kartinah. Sunil Dut.
bintang idolanya pas lagi
terbang dengan kaki melayang
ke arah lawannya berkelahi.
Bak-bik-buk sebentar. ternyata
lawan cukup tangguh. Sunil Dut
beberapa kali kena
dipecundangi.
Saking terpengaruhnya Kartinah
menatap tegang ke layar kaca.
Malah suatu saat, kartinah
sempat berseru. kuatir." Awas
dibelakangmu."!"
Seakan mendengar peringatan
Kartinah. Sunil cepat berkelit.
Lawan jatuh terhempas. dan
Sunil pun menghajar
habis-habisan. Saat itulah sang
lawan tahutahu mengangkat
sebelah tangan ke atas. Lalu
dengan wajah berlumur darah
dan suara terdengar sangat
memelas, ia pun
.........bernyanyi!
Kartinah seketika mencibir. "
Dasar. pasti mau merayu!"
Benar saja. Lawan berkelahi
Sunil memang
mendendangkan sebuah lagu
yang mengingatkan
persahabatannya dengan Sunil
di masa lampau. Yang dibuat
rusak hanya kerana urusan
perempuan.
"Salah sendiri!", Kartinah
bergumam cemberut. " Kau yang
mulanya berkhianat. Dan...".."
Dan hawa dingin tiba-tiba
merembes masuk ke dalam
ruangan. saking dinginnya.
Kartina dibuat menggigil.
Ogah-ogahan Kartinah bangkit
dari duduknya. Terus berjalan
ke arah dapur, dari arah mana
hembusan angin itu datang. Dan
terlihatlah jendela dapur
-terbuka menganga
"Kok aku sampai lupa
menutupkannya tadi,
ya?".Kartinah mcmbathin
sambil berjalan ke jendela.
Melihat ke luar jendela sebentar,
Kartinah merasa aneh. Jajaran
singkong yang tumbuh subur di
halaman belakang rumah,
tampak tenang dan diam dalam
siraman rembulan. Jangankan
batang. sehelai daun pun tidak
ada yang bergerak-gerak. Begitu
pula rimbunan pohon mangga di
sudut halaman. Tenang dan
diam, pertanda tidak ada sapuan
angin di luar rumah. Tetapi di
dalam, pusaran hawa dingin itu
terasa begitu keras dan nyata.
Terheran-heran. Kartinah
menutupkan jendela. Selotnya
dikuncikan sekalian. Pusaran
angin menghilang. Tinggal hawa
dinginnya saja yang masih tetap
terasa. Sejuk. menusuk. Sambil
menggeleng-gelengkan kepala,
Kartinah memutar tubuh.
Dengan maksud akan
meneruskan tontonan yang
sempat tertunda.
Lalu. mendadak Kartinah
tertegun
Dalam keremangan dapur yang
lampunya lupa ia
myalakan. tampaklah
bawang-bayang gelap sesuatu
tengah mendekam di depan
tungku perapian. Sebelum
Kartinah teringat membuka
mulut. sesuatu itu bergerak
bangkit lalu melangkah cepat ke
arah Kartinah. Kartinah ingin
menjerit. tetapi lidah tidak mau
bekerjasama. Lidah Kartinah
terasa kelu. Lari. juga tak
mampu. Karena kedua lutut!
terasa membeku. Kaku. kartinah
pun akhirnya cuma bisa tertegak
diam. Menunggu.

***

ITULAH semuanya. Embah !".


Suhendro mengakhiri
penuturannya dengan suara
gemetar Lalu setengah membela
diri. ia menambahkan. "
Maklumlah waktu ttu kami
masih muda-muda. Belum
berpikiran panjang. Mana
niatnya pun ingin membantu
teman dari kesulitan besar yang
dapat menghancurkan nama
baiknya."...!"
Rasimin yang semenjak tadi dia
mendengarkan. tidak langsung
memberi tanggapan. Lebih dulu
ia pelajari dengan seksama
wajah tamunya. Lantas seraya
mengusap-usap jenggotnya
dengan sikap tenang. sama
tenangnya ia kemudian
bertanya. " Cuma itu?"
"Ya. Cuma itu!"
"Hem."....."Rasimin mendehem
pelan. tanpa mengalihkan
pandangan dari wajah sang
tamu. Membuat yang dipandang,
duduknya menjadi resah. "
Kesimpulan nya. gadis itu lolos
dari tangan kalian. Lantas mati
terbunuh karena kesalahannya
sendiri. Begitu?"
"Benar. Embah".
Rasimin menghela nafas. Tak
puas. " Begini, pak Sekdes!".
katanya. Datar. " Saya ini sudah
umuran dalam bidang kehidupan
alam gaib. Dari apa yang saya
ketahui. adalah mengherankan.
Bahwa roh si gadis sampai
harus bangkit dari kubur, hanya
karena urusan niat membunuh
yang tidak jadi terlaksana!"
"Maksud Embah?", desah
Suhendro. Gelisah.
"Pasti ada hal lain yang
mendorongnya untuk bangkit.
Dengan kemarahan yang
sedemikian hebatnya pula!"
Terpojok. Suhendra lantas
memprotes. " Nanti dulu,
Embah. Maksud kedatanganku
ke sini adalah untuk meminta
Embah supaya....'...."
"Mengusir roh jahat
Rahayuningsih. Jika perlu,
memusnahkannya sekalian ",
Rasimin memotong, tak sabar. "
Buat saya, Pak Sekdes. Itu
adalah pekerjaan mudah. Tetapi
akan menjadi sulit, bila saya
tidak mengetahui seluruh
permasalahannya!"
Suhendro terdiam.
Rasimin lantas mendesak. " Pak
Sekdes mau dibantu apa tidak"!"
"......mau, Embah !", bisik
Suhendro. gugup.
"Nah?"
"Kami sempat.."
memperkosanya!"
Terdiam sesaat, Rasimin
kembali bertanya. " Bergantian,
eh?"
suhendro manggut-manggut
dengan terpaksa.
Rasimin menarik nafas panjang.
Merenung sejenak, ia kemudian
membuka mulut dengan rona
wajah mengeras, " Jika
demikian halnya, saya
sependapat dengan apa yang
pak Sekdes kuatirkan tadi. Boleh
jadi dugaan pak Sekdes benar
adanya. Bahwa kematian Pak
Badrun pasti ada kaitannya
dengan kemarahan roh
Rahayuningsih. Dan. dia tidak
akan berhenti pada yang satu
orang itu saja!"
Suhendra menatap tuan
rumahnya dengan pandangan
berharap. " Apa yang harus
kuperbuat. Embah?"
"Tidak ada!"
"Tidak?". Suhendro menatap
bingung.
Tanpa memperlihatkan ekspresi
apapun di wajah tuanya.
Rasimin memberitahu. " Pak
Sekdes pulang dan
tenang-tenang sajalah di rumah.
Roh gadis itu, biar saya yang
mengurusnya!"
Seketika Suhendro menarik
nafas lega. " Terima kasih.
Embah. Memang itulah yang
kuharapkan......" Diam sejenak.
Suhendro kemudian berujar
hati-hati. " tetapi kalau boleh
tahu. Embah. Tindakan apa
yang akan Embah lakukan pada
roh gadis itu?"
"Pertama-tama. tentunya".
Rasimin menjawab. Acuh tak
acuh. Memulangkan dia ke alam
gaib. itu adalah pilihan terbaik
untuknya!"
"Bagaimana kalau dia
menolak?"
"Yah. Terpaksa saya ambil
pilihan kedua. Membakarnya!"
Suhendro menatap tercengang. "
Membakar toh?". ia bergumam.
Takjub. '" Apa iya roh
gentayangan dapat
dibakar?"
"Mengapa tidak" Roh itu mahluk
hidup juga adanya", Rasimin
menjelaskan." Hanya saja.
dalam bentuk serta dalam
kehidupan gaib. Oleh karena itu,
dia pun bisa terbakar. Tetapi
tidak dengan api yang biasa Pak
Sekdes lihat atau pergunakan.
Melainkan dengan......api gaib!"
.
"Api gaib?"
Rasimin melirik ke kantong baju
Suhendra. " Saya lihat Pak
Sekdes ada membawa bolpen.
Bersedia memperlihatkannya
sebentar?"
Terheran-heran, Suhendro
melepas bolpen dari kantong
bajunya, lalu disodorkan ke arah
tuan rumah.
"Pegang saja dulu!", Rasimin
cepat memberitahu. Dengan
cepat pula kelopak matanya
dikatupkan. Dan sebelum sang
tamu sempat berpikir. Rasimin
diam diam sudah
berkonsentrasi.
Tanpa bercuriga apa apa.
Suhendro menurut saja. Bolpen
terus saja dipegang. sambil
matanya menatap silih berganti.
Dari bolpen di tangan. beralih
ke wajah tuan rumah, lalu
kembali lagi ke bolpen. lalu
mendadak, sepasang mata
Suhendra membelalak. Tanpa
memakan adanya hawa panas,
apalagi melihat adanya api,
ujung bolpen di jari jemari
Suhendro tampak mulai meleleh.
Lelehan itu bergerak cepat
semakin ke atas. Dan begitu
lelehan bolpen sudah mendekati
jarinya, Suhendro cepat
menjatuhkan benda tersebut
dengan wajah terkejut.
Bolpen jatuh ke lantai. Cepat
sekali benda tersebut sudah
meleleh keseluruhannya. Untuk
kemudian lenyap. tanpa
meninggalkan bekas apapun
juga. yang tersisa,
hanyalah bau sengit bahan
plastik yang terbakar hangus.
Selagi Suhendro masih
ternganga nganga, Rasimin
membuka kelopak matanya
perlahan lahan. Diawasinya
tamunya sesaat. Lalu
menggumamkan tanya perlahan.
" Bagaimana. Pak Sekdes?"
Suhendro segera tersadar.
Lantas bergumam. takjub. "
Luar biasa...!" Kemudian
barulah teringat pada benda
miliknya yang lenyap. tanpa
bekas. " Bolpenku. Embah. Raib
kemana gerangan?"
"Lupakan saja. Pak Sekded".
jawab Rasimin. Tenang." benda
itu bukan lagi milikmu. Tetapi
sudah menjadi milik alam gaib.
Bersama api yang
menghanguskannya!"
Masih takjub. Suhendro pun
bertanya, ingin tahu. " Dengan
api semacam itukah Embah akan
membakar roh Rahayuningsih?"
"Seperti kubilang tadi. Kalau
terpaksa. ya!"
?"Kalau begitu, Embah ", ujar
Suhendro bernafsu." Jangan
cuma diusir. Karena bila diusir.
sewaktu-waktu rohnya dapat
saja kembali. Maka. sebaiknya
dia langsung dibakar saja!"
"Karena saya bekerja sesuai
permintaan, Pak Sekdes.."..."
Rasimin menyahut datar. " Aku
akan membakarnya!"
Suhendro cepat menyambar
tangan tuan rumah. Digenggam
erat erat. sambil berkata
terharu. " Lakukanlah itu,
Embah. Supaya dia bungkam
untuk selamanya. Dan
percayalah, aku orang yang tahu
berterimakasih. Embah tinggal
menyebutkan saja. Maka......"
"Tanah bengkok desa!", Rasimin
bergumam. Tenang.Dan untuk
pertama kalinya bibir tua
Rasimin memperlihatkan
senyum, sebelum ia melanjutkan.
" Si Nyai, istri saya yang paling
muda sudah berulangkali
berkata ingin membeli!"
Terkejut sebentar, Suhendro
kemudian tersenyum manis. "
Akan kubicarakan hal itu
dengan Pak Lurah. Karena ini
menyangkut keselamatan dirinya
juga, aku pastikan dia bakal
setuju!"
"Tetapi harganya, Pak Sekdes?"
"Itu gampang diatur.!",
Suhendro berkata, meyakinkan.
Tetapi sambil bangkit dari
duduknya, ia merasa perlu
mengingatkan. " Tolong jangan
lupa yang kukatakan semula,
Embah. Apa-apa yang kita
bicarakan di sini, jangan sampai
satu kata pun yang bocor
keluar!"
Rasimin ikut bangkit. Katanya."
Percayalah, Pak Sekdes. Begitu
kaki Pak Sekdes melangkah
keluar dari pintu ranah saya,
maka mulut saya pasti sudah
terkunci rapat-rapat! "
Sambil berjalan menuju sepeda
motornya.. Suhendro membathin
dalam hati. " Pastikanlah itu,
dukun tua bangka. Sebab jika
tidak......"
Jika tidak, Suhenro tinggal
mengumumkan bahwa rasimin
juga seorang tukang santet yang
selama ini punya andil dalam
sejumlah penyakit aneh yang
menghinggapi si Anu dan si Anu.

Lalu Suhendro tinggal


ongkang-ongkang. Tidak perlu
memerintahkan apa-apa. Karena
penduduk desa sendirilah nanti
yang akan berinisiatip. Dan
tahu-tahu Rasimin sudah
dikeroyok sampai mati.
Di pintu rumah. Rasimin
mengawasi sang tamu berlalu
dengan sepeda motornya
menembus kegelapan malam.
Sambil Rasimin juga membathin
dalam hati " Bergembiralah.
Nyai. Akan kupastikan tanah
bengkok desa itu kau peroleh
secara cuma-cuma!"
. Rasimin menyeringai. Lebar
Kemudian menutup pintu.
Didorong kebahagiaan si Nyai
muda belia lagi manja, Rasimin
tua bersegera masuk ke kamar
pribadinya. Sebuah kamar
berukuran kecil yang tidak
dilengkapi jendela maupun
langit-langit.
Begitu masuk. ia langsung
berjalan ke sebuah pedupaan
yang tersedia di salah satu
sudut. dengan bara tampak
masih menyala. Dari dalam
sebuah keranjang bambu.
Rasimin mengambil sejemput
arang yang ditambahkan ke
dalam bara pedupaan. Menyusul
setelahnya ia taburkan beberapa
butir batu menyan. Menghirup
sejenak asap kemenyan berbau
khas itu, Rasimin beralih ke
sebuah peti tua di sudut yang
sejajar.
Dari dalam peti tua dimaksud ia
kemudian mengeluarkan dengan
hati-hati sebuah tengkorak kecil
dan empat potong tulang
tungkai. Tidak jelas apakah itu
tengkorak manusia atau kera.
Begitu pula dengan keempat
potong tulang. sulit memastikan
apakah itu tungkai lengan atau
kaki. Karena bentuk maupun
panjangnya tampak sama.
Sambil duduk mengatur sila.
Rasimin meletakkan
tengkorak di lantai dengan
posisi wajah tengkorak
menghadap ke arah dirinya.
Keempat potong tulang tungkai
disusun dalam bentuk empat
persegi, mengelilingi tengkorak.
Selagi bekerja. bibir tua Rasimin
kumat kamit membaca mantera.
" Turun bumi. naik
langit.......siur bayu bersiur.
Duli. roh leluhur. Bangkitlah
dari kubur. Bangkit dan
tunjukkanlah
padaku."...keberadaan roh gadis
yang bergentayangan itu....!"
Rasimin merapal ulang mantera
serta permintaannya sebanyak
tiga kali. Setelah itu bibirnya
berhenti kumat-kamit. Kelopak
mata pun dikatupkan
rapat-rapat. Rasimin sudah
memasuki semedhi, dengan
wajah serta tubuh tampak
membeku. Kaku.
Untuk beberapa saat lamanya.
tak terjadi apa apa.
Kemudian. bara di pedupaan
terdengar bergemeretak. Asap
mcnyan pun naik
bergumpal-gumpal menuju atap.
terus lenyap melalui celah-celah
genteng. Gumpalan asap lainnya
segera menyusul naik dan
menghilang. Lalu, dimulailah
pergerakan itu. Diawali oleh
getaran pada keempat potong
tulang tungkai, tengkorak di
tengahnya perlahan-lahan
terangkat naik lalu diam
mengapung setelah berjarak
sejengkalan tangan dari
permukaan lantai. '
Di bawahnya, keempat potong
tulang ikut pula bergerak.
Tampak seperti memisahkan diri
satu sama lain, namun dengan
segera sudah menyatu kembali.
Tidak dalam bentuk empat
persegi. Melainkan dalam
bentuk menyilang satu Sama
lain. Timpa menimpa pada
bagian tengah. Sementara
bagian ujung, tahu-tahu sudah
mengarah ke delapan penjuru'
angin! '
Lalu, sepasang rahang
tengkorak perlahan-lahan
membuka. Lebar.
Dan disertai terdengarnya
helaan-helaan nafas berat yang
diselang seling oleh bisikan
bisikan tak jelas namun tajam
menusuk. tengkorak pun
bergerak memutar di tempatnya
mengapung. Sementara ujung
keempat potong tulang di
bawahnya. mulai
melompat-lompat. Keras dan
liar. dengan bagian tengah tetap
bertaut satu sama lain. Bunyi
lompatan tulang menghantam
lantai semen terdengar hingar
bingar. Mengejutkan.
Namun Rasimin tua tidak
bergeming sedikit pun di
tempatnya duduk bersila. Tubuh
maupun wajah tetap kaku
membeku. Kelapak mata serta
bibir tetap mengatup rapat, tak
terpengaruh. Sampai kemudian.
suara-suara itu melenyap
perlahan-lahan, ketika
tengkorak berhenti memutar.
dan keempat potong tulang pun
bergerak kembali ke posisi
semula. menyusun bentuk empat
persegi. di tengah mana
tengkorak kemudian mendarat
perlahan lahan. Sambil kedua
rahangnya mengatup perlahan
pula.
Suasana di ruangan kecil dan
sempit itu, Seketika berubah
senyap. Dan dari pedupaan,
asap kemenyan terus saja
mengepul. tak perduli. Naik ke
atap, untuk kemudian menerobos
hilang melalui celah-celah
genteng.
Seketika. Rasimin melepas
semedhi.
Kelopak matanya dibuka
perlahan-lahan. Menatap ke
tengkorak serta susunan tulang
yang mengitarinya. Rasimin
kemudian bergumam. tegang. "
Ini berbahaya! Dia tidak ada di
liang kubur. Juga tidak
bergentayangan dalam
kegelapan malam......!"
Bangkit sebentar untuk
menambah butiran batu menyan
ke pedupaan. rasimin kembali
lagi ke tempat duduknya.
Merenung sejenak. sekali lagi ia
bergumam. Semakin tegang. "
Tak syak lagi, dia tengah
bersembunyi dan menunggu.
Tetapi. dimana?"
Rasimin kembali bersemadhi.
Dengan wajah tuanya tampak
mengguratkan perasaan kuatir.
***

ANJING.....", Suhendra
menggeram. Marah pada diri
sendiri.
Gara-gara pikiran tak
lepas-lepas dari si dukun tua
Rasimin. Suhendro terlambat
sadar bahwa ia telah salah
mengambil arah. Malas
berbalik. sepeda motor ia
biarkan terus meluncur maju.
tak apalah. Toh setelah
jembatan di depan sana. ada
jalan ke kiri yang nantinya akan
bertemu juga dengan jalan yang
menuju ke rumahnya. Memang
harus memutar lumayan jauh.
Tetapi ada bagusnya juga.
Karena rumah Pak lurah
terlewati. Suhendro dapat
sekalian singgah untuk
membicarakan tentang tanah
bengkok desa yang ia janjikan
pada Rasimin.
Dan janji itulah yang lebih
membuat Suhendro
marah.
Begitu cerobohnya dia tadi!
Semata-mata karena tidak
sedikitpun menyangka bahwa
dukun sialan itu bakal meminta
tanah bengkok desa sebagai
imbal jasa. Lantaran saking
ketakutan oleh pembalasan
Rahayuningsih. hendro langsung
mengiyakan saja. Coba. betapa
enak dia tadi ngomong : " Itu
gampang diatur?". Seolah yang
ia pertaruhkan itu adalah tanah
milik nenek moyangnya! '
Baru setelah meninggalkan
rumah sang dukun. Suhendro
menyesal setengah mati. ia
sudah hapal betul adat
Paramono. yang dulu adalah
sahabatnya tetapi kini telah
menjadi majikannya. Maka
terbayang-bayanglah di pelupuk
mata Suhendro, betapa
berangnya hati Pramono. _
"Cuma untuk mengusir roh!".
begitulah reaksi yang ia
perkirakan bakal dilontarkan
oleh Pramono. " Kau nekad
menjanjikan tanah bengkok desa
pada si tua bangka yang banyak
akal bulusnya itu! Kau
kemanakan otakmu. he"!"
Omelan itu masih bisa
diperdebatkan.
Yang mencemaskan Suhendro
dan inilah yang juga terlambat
ia sadari. adalah jika
majikannya nanti menuntut, "
Apa buktinya kelak. Bahwa
Rasimin memang benar-benar
sudah memusnahkan hantunya
Rahayuningsih"!"
Ya, apa"
Kepercayaan semata! ltupun
dari Suhendro pribadi pula.
Kepercayaan, yang bisa saja
disalah gunakan oleh siapapun
juga. Apalagi oleh seseorang
dukun semacam Rasimin. Yang
dahulu ketika Jayusman berhasil

disembuhkan ajengan Marsudi.


lantas berkoar pada pelanggan
pelanggan setianya. termasuk
Suhendra. Pengobatan yang
kuberikan pada si Jayus
sebenarnya sudah mendekati
penyembuhannya. Tetapi si
Marsudi keburu ikut campur.
Dan dialah yang akhirnya dapat
nama'"
Sekarang. Suhendro bukannya
akan dapat nama. Malah dapat
celaka!
Misalkan besok lusa ia
mendatangi Rasimin. Lalu
menyampaikan tuntutan lurah
Pramono, tak perduli dukun itu
bakal tersinggung atau tidak.
Namun yang pasti. Suhendro
sudah dapat menduga apa
kira-kira jawaban Rasimin. "
Buktinya. kalian yang masih
hidup tidak lagi diganggu
hantunya. bukan?"
Sampai kapan. jangan ditanya.
Karena Rasimin pasti sudah
punya jawaban untuk itu. "
Ucapanku adalah janji mati. Aku
wajib menunaikannya!"
Itu berarti Suhendro harus
menunaikan janjinya pula.
Dan, apabila pak Lurah tetap
menentang. maka."..
Hei!
Apa itu di depan sana" Kok ada
ramai-ramai di tengah sawah"
Suhendro mempercepat laju
sepeda motornya sambil
mengawasi kerumunan manusia
tidak berapa jauh dari jembatan.

"Pasti ada pencuri padi yang


kepergok selagi
beraksi!". Suhendro bergumam.
Menduga-duga.
Namun semakin mendekati
tempat yang dituju. semakin
Suhendro curiga. tak ada
pertanda ribut-ribut
sebagaimana biasa bila ada
pencuri lagi dikeroyok
beramai-ramai. Suasana yang
dilihat Suhendro malah tampak
sunyi. mencekam. Sebelum turun
dari sepeda motornya. Suhendro
langsung mengenali beberapa
wajah warga desanya yang
berkumpul di tepi jalan sambil
berbicara tak jelas satu sama
lain. Wajah-wajah itu terlihat
kaku. Bahkan tegang.
"Ada kejadian apa di sini, en?",
tanya Suhendro. Sembari
matanya di arahkan pada
kerumunan manusia di depan
sebuah dangau yang diterangi
lampu petromak serta beberapa
buah obor.
"Ada orang mati. Pak Sekdes!",
seseorang manyahut. " Bin......"
Entah mengapa, jantung
Suhendro lagi, setengah
berbisik. " Siapa?".
Belum juga .yang ditanya
sempat menjawab. Suhendro
sudah menghambur ke jalan
tegalan menuju dangau. Karena
sudah mengenal siapa dirinya,
kerumunan manusia di hadapan
Suhendro tanpa diminta pada
menyeruak sendiri. memberi
jalan.
Saat berikutnya. Suhendro sudah
tertegak. Menegun.
Diterangi sinar lampu petromak.
tampaklah Suparta tergeletak
pucat dan kaku di rerumputan.
Di sudut-sudut mulutnya yang
seperti meringis, begitu pula di
sekitar bagian bawah lubang
hidung. terlihat dimerahi oleh
genangan darah yang sudah
membeku. Sementara urat
dari wajahnya menggurat nyata.
Pertanda betapa hebat
penderitaan yang harus dialami
sewaktu ajal datang menjemput.
Apa yang membuat Suhendro
tercekam ngeri. adalah
gambaran nyata dari sepasang
mata Suparta.
Sepasang bola matanya yang
pucat serta mati itu. tampak
bagai akan terlompat ke luar
dari dalam rongganya Dan
karena mata itu tengah menatap
ke atas dan kebetulan pula lurus
mengarah ke mata Suhendro.
mau tidak mau membuat
Suhendro seketika menggigil
seram.
Betapa tidak.
Mata itu seolah-olah
menudingkan ancaman langsung
pada Suhendro. " Yang
berikutnya. kau.......!"
"........tidak!". Suhendro
mengerang. sakit. Lantas
kemudian menceracau lebih
keras. " Tidak mungkin! Tidak
mungkin! Tidaaak......!"
Seraya menceracau. Suhendro
membalikkan tubuh. Dan
berlari-lari ketakutan
meninggalkan kerumunan orang
di sekitar dangau. Disaksikan
sekian puluh pasang mata yang
kebingungan Suhendro
menghambur langsung ke tempat
sepeda motornya tadi ia
tinggalkan. Kunci dipasang,
mesin distarter. Namun saking
panik. beberapa kali Suhendro
gagal menghidupkan mesin
kendaraannya, Ketika akhirnya
berhasil tanpa seorangpun yang
teringat untuk membantu,
sebuah mobil sedan sudah
berhenti sekitar satu dua meter
dari sepeda motor Suhendro.
Dicekam panik. Suhendro
mulanya tidak memperhatikan.
Sampai sebuah suara yang ia
kenal. terdengar menegur. " Kau
itu. Hendro" Mau kemana
buru-bum"!"
Suhendra yang sudah duduk di
atas sadel, seketika berpaling.
Begitu mengenali wajah si
penegur, dengan mulut berbusa
Suhendro menjerit histeris. "
Inilah jadinya. Pramono! Kau
yang membuat ulah! Dan kami
bertiga yang terkena getahnya!
Terkutuklah kau. Pramono! Kau
dengar" Terkutuklah kau...!"
lurah desa yang baru saja
menjejakkan kaki di tanah.
langsung tertegak diam. Dengan
wajah dingin membeku. Selama
beberapa saat. para penyaksi
sama terpana. tidak mengerti.
Semua pada menatap
bergantian. dari Suhendro ke
lurah mereka yang terhormat.
Detik berikutnya. satu dua orang
segera tersadar. Apalagi setelah
mendengar umpatan-umpatan
kasar Suhendro. Seketika.
mereka pun bergerak maju
dengan wajah wajah yang sama
memperlihatkan kemarahan.
Akan halnya lurah Pramono.
cepat pula tersadar. Secepat itu
pula ia menguasai diri. Lantas
mengangkat sebelah tangannya
tinggi-tinggi. Sambil berujar
tenang namun tegas." Jangan
..Suhendro tidak tahu apa yang
diucapkannya. Biarkan dia
pergi.......!"
Dalam campuran marah serta
ketakutan. Suhendro
menyeringai.
Dengan suara bergemeretak,
gigi sepeda motornya dipaksa
berpindah dari netral ke gigi
satu. Lantas sambil menyeringai
sekali lagi ' pada orang-orang di
sekililingnya, Suhendro
langsung tancap gas. Ngebut
seperti orang kesurupan.
Disertai raungan mesin sepeda
motornya yang hingar bingar.
Memecah kesunyian malam di
sekitar.

***
TIBA di rumah. Suhendro tidak
lagi mengetuk. Tetapi langsung
main gedor pintu. Yang dibuka
buru-buru oleh istrinya.
"Aduh, Mas kiranya. Bikin kaget
saja!". sambut Kartinah.
Sembari mengurut dada, lega.
Sesaat cuma. Saat berikutnya. ia
sudah bertanya. Cemas.
"Astaga, Mas. Kau tampak
begitu pucat. Ada apa?"
"Cepat tutup dan kunci pintunya.
Tinah !", Suhendro menyahuti
gugup sambil mendorong sepeda
motornya masuk ke dalam. "
Juga semua jendela. Pastikan
semuanya terkunci rapat.
Jangan sampai ada yang bisa
masuk!"
"Lho. Memangnya kenapa......",
desah Kartinah. Heran.
"Lakukan saja apa yang
kusuruh!". Suhendro mendengus
tak senang. " Kau susul aku ke
kamar. Temani aku tidur!"
Tanpa memperdulikan
keheranan istrinya, Suhendro
langsung bergegas masuk ke
ruang dalam. terus ke kamar.
Melompat naik ke tempat tidur.
ia lang5ung menarik selimut.
Menutupi sekujur tubuhnya yang
menggigil. dari ujung rambut
sampai ke ujung jari kaki.
Meringkuk tegang. kelopak
matanya seketika dipejamkan
rapat rapat. Seraya bibirnya
kumat-kamil. memohon." Ya
Tuhan. Datangkanlah kantuk
padaku. Biarkan aku
tidur.....untuk melupakan semua
itu....."!"
Namun, betapapun dipaksa,
perasaan mengantuk itu tak juga
datang. Sementara di dalam
kegelapan mata yang
dikatupkan. bayangan wajah
Suparta tak pula hilang-hilang.
Terutama mata yang melotot
mengerikan itu. Mata yang
berkata mengancam. " yang
berikutnya. kau.."!"
Terdengar ranjang berderit.
Lantas sesuatu terasa
menyelinap ke bawah selimut, di
sebelah tubuhnya.
Tak pelak lagi. sepasang mata
Suhendra terpentang lebar
dalam seketika. Pada ketika
yang sama. bagian atas selimut
ia singkapkan dengan cepat.
Menoleh takuttakut. tampaklah
wajah manis Kartinah. Yang
menatap bingung. Bercampur
kuatir.
"Apa yang kau takutkan. Mas?".
bisik Kartinah. lembut. dalam
upaya menenteramkan hati
suaminya.
Suhendro menyahuti. gemetar. "
Peluklah aku rapat-rapat.
"nah......"
Tanpa berkata, Kartinah
menurut. Berbaring di atas satu
sisi tubuh, sebelah tangannya
dipelukkan erat-erat. Bahkan
Juga sebelah kaki. Dijcpitkan
rapat ke paha sang suami. _
Perlakuan setengah manja itu.
lambat laun membuat Suhendro
merasa tenang. dan akal
sehat-nya pun muncul kembali.
Sementara di sebelahnya. sambil
tetap merangkul. kartinah tetap
pula diam. mengambil sikap
paling bijaksana. Menunggu.
Karena membayangkan saja
sudah takut apalagi
membicarakan, Suhendro
akhirnya memutuskan untuk
mengobrolkan hal lain yang
tidak kurang-kurang
mengganggu pikirannya.
Dan tanpa ujung pangkal, ia pun
bergumam. Mengeluh.".....entah
kenapa aku sampai ngomong
begitu padanya!"
Lembut dan sabar. Kartinah
bertanya. " Pada siapa, Mas?"
"Pak Lurah........."
"Oh!", desah Kartinah. Diam
sejenak. ia meneruskan. '" yang
Mas omongkan?"
"Macam-macam !", jawab
Suhendro. gelisah. " pendeknya,
ucapan-ucapan yang
menyakitkan hati. Dan pasti
membuat orang lain yang ikut
mendengar, akan curiga"."
"Curiga tentang apa?"
".Tentang..........".' Suhendro
berhenti seketika. Tersadar. ia
cepat menghindar. " Ah,
sudahlah! Yang jelas, sebelum
rasimin menyelesaikan tugasnya,
aku tidak akan berani bertemu
muka dengan Pak lurah!"
"Rasimin?"
"Ya. Rasimin. Dukun"...."
Karena ia berbicara dengan
mata menerawang ke
langit-langit kamar. Suhendro
tidak melihat wajah istrinya
seketika berubah dingin dan
kaku.
Sama dinginnya. Kaninah
kemudian berbisik tajam " 0"
dia! "APa yang harus
dikerjakan oleh dukun itu?""
"Mengusir roh jahat!"
Kartinah mendesah. Terkejut. "
Apa?"
"Kau kan sudah dengar kejadian
apa yang menimpa diri Badrun.
Kemudian juga, jenazahnya!".
sahut Suhendro, dengan mata
masih tetap menerawang. " Aku
yakin itu pasti perbuatan roh
jahat adanya. Terbukti barusan
tadi...." _
Suhendro terpejam. Disertai
rintihan sakit " ya Tuhan.
Suparta! Dia pun sudah jatuh
sebagai korban."
"Astaga. Mas. Yang benar!"
"Aku sudah melihat sendiri
mayatnya. Tinah. Dan......"
"Dan?"
Suara Suhendro berubah
mendadak. begitu pula rona
wajahnya. '" Tanganmu, Tinah.
Juga kakimu........!*'
"Hei. Mas ngomongnya kok
ngaco sih!"
Di bawah selimut. tangan
Suhendro meraba-raba. Sambil
mulutnya berbicara. " Benar.
tangan serta kakimu rasanya....
dingin sekali!" .
Perlahan-lahan. bibir Kartinah
memperlihatkan senyuman
samar. " yang dingin itu tubuh
siapa. Mas"
Aku. atau kau"!"
"Ah. Iya juga ..."." Suhendro
manggut-manggut setuju. Tetapi
rona wajahnya masih
memperlihatkan rona
kebingungan.
"Biar kuhangatkan. ya Mas?".
bisik kartinah.
Manja
Sekali lagi Suhendro
manggut-manggut. Makin setuju.
" Betul. Tinah. Buatlah tubuhku
panas. Kemudian lakukan apa
saja. terserah mau pakai gaya
apa. Aku akan menurut. Yang
penting,_ buatlah aku sampai
lelah. Selelah-lelahnya!
Sehingga aku nanti bisa tertidur.
Dan....."."
Sementara mulut Suhendro terus
berkicau dengan bersemangat,
di balik selimut, tangan serta
paha maupun lutut Kartinah
terus pula bereaksi. Dengan
kecepatan dan keterampilan luar
biasa.... namun nyaris tak
diperhatikan oleh Suhendro,
Kartinah sudah menanggalkan
pakaian mereka berdua. Sampai
ke lapis yang terakhir. Semua
dilemparkan tanpa perduli
jatuhnya di mana. Termasuk
kemudian. selimut. Sementara
jari-jemari serta lutut terus saja
aktif bekerja
Namun anehnya. betapapun
Suhendro berharap malah juga
mengalami reaksi dengan cepat,
Kartinah tak juga main cium.
Apalagi lebih dari itu! Yang juga
aneh. meski gerakan Kartinah
semakin liar. kulit tubuhnya
yang bersentuhan dengan kulit
tubuh Suhendro. tetap saja
terasa dingin.
Akan tetapi. apalah artinya
semua keanehan itu dibanding
dengan nafsu birahi yang sudah
melonjak. Dan akhirnya sudah
naik ke otak pula!
Akan tetapi dan juga sangat tak
sabar. Suhendrolah yang
akhirnya mengambil inisiatip.
Sambil mengumpat tak jelas.
Suhendra cepat bergerak naik
dan dengan tepat memasuki
tubuh sang istri. Lantas disertai
dengusan dengusan nafas berat.
Suhendro kemudian berpacu.
Dan terus berpacu. Sementara di
bawah tubuhnya. terjadi hal
yang sebaliknya. Kartinah yang
semula aktip. kini malah diam
membeku. Seperti pasrah.
Dengan suhu tubuh yang
semakin membeku pula.
Sebeku es batu!
Di tengah serbuan gejolak
nafsunya, hal itu lambat laun
terasakan juga oleh Suhendro.
Kelopak matanya yang semula
dikatupkan -untuk lebih
menghayati nikmatnya birahi,
perlahan-lahan dibuka. Dan
dibuka semakin lebar. Untuk
kemudian menatap terkesima.
Apa yang disaksikan dan
sekaligus juga dirasakan oleh
Suhendro adalah. payudara
Kartinah yang aslinya
berukuran sedang-sedang saja.
perlahan-lahan tampak
berdenyut-denyut lantas
membeSar. Bersama waktu. di
bawah payudara juga terjadi
proses pembesaran. Malah lebih
cepat serta lebih mengejutkan.
Dan perut Kartinah yang semula
rata, tahu-tahu sudah
membengkak hebat. Dengan
permukaan yang sekaligus
mengencang. Keras. Tak
ubahnya perut perempuan yang
sedang bunting tua!
Terbelalak ngeri. Suhendro pun
menggeragap. Apa.........!" _
Ia berhenti sampai di situ.
Karena. seraya menatap diam ke
wajah Suhendro. bibir Kartinah
perlahan-lahan mulai
menyeringai.
mengejek !

***
Pada waktu bersamaan. dalam
sebuah rumah terpencil di
pinggiran desa. Samar-samar
terdengar suara berdetak-detak
teratur. Pertanda potongan
tulang-tulang tungkai di lantai
kamar kerja Rasimin sudah
mulai lagi Sibuk mencari-cari ke
delapan arah penjuru angin.
sampai suatu saat. yang
terdengar hanyalah sebuah
detukan tunggal dengan irama
yang monoton : tuk-tuktuk.."! '
Rasimin membuka kelopak mata
tuanya.
"Aku merasakan ada
getaran..".!"_ ia berbisik pelan.
Lantas melihat seksama ke
lantai di hadapannya. hanya ada
satu ujung potongan tulang
tungkai yang bergerak-gerak
mendetuk lantai. Yakni. ujung
tulang yang mengarah ke
tenggara. Ke arah mana
tengkorak di atasnya ikut
menghadap. Sambil dari balik
rongga rahangnya yang terbuka.
terdengar desahan nafas berat
memburu.
"Hem!" rasimin tersenyum
samar. " Dia sudah
menampakkan diri rupanya!"
Lantas. masih tetap dalam posisi
duduk bersila. tangan kanan
Rasimin dikibaskan ke arah
tembok. ke arah mana ujung
tulang maupun tengkorak
terlihat menghadap. terdengar
suara berdetas keras. Dan
tembok di maksud tampak
bagian tengahnya retak
perlahan. lalu terbelah
membuka. tanpa ada sekeping
tembok pun yang pecah. bahkan
juga tidak sebutir pasir pun yang
jatuh
dari belahan tersebut.
"Pergilah!". Rasimin berbisik.
Tajam." bakar tempat
persembunyiannya Paksa roh
gentanyangan itu keluar. Lalu
segera seret dia kehadapanku!"
Detukan tunggal ujung tulang.
berhenti diam. Dan di atasnya.
rongga mata tengkorak yang
tadinya hitam menganga.
seketika menyala merah. Dan
pada saat berikutnya. tengkorak
dengan rongga mata berapi itu
melesat dari tempatnya
mengapung. Langsung ke arah
belahan tembok yang terbuka.
Menembus cepat. untuk
kemudian menyatu dengan
kegelapan malam di luar rumah.

Rasimin pun seketika kembali


memasang semadhi.
Dengan wajah tuanya tampak
berubah tegang.

***
Mengapa berhenti?". Kartinah
menggeram tak senang.
Suaranya pun tidak lagi
terdengar lembut manja. Tetapi
sudah berubah menjadi suara
perempuan lain. Suara dengan
nada kering namun terdengar
berat. " Bukankah dulu kau
pernah bilang. Ternyata ada
enaknya juga memperkosa
perempuan yang lagi bunting
besar..."..!"
Shock berat oleh kejutan
mendadak yang dihadapinya.
Suhendro bukannya melompat
lari untuk menyelamatkan diri.
Ia masih saja membungkuk di
atas tubuh telanjang Kartinah.
Sambil bergemetar hebat
'termasuk selangkangannya.
yang juga masih tampak
menyatu dengan selangkangan
kartinah.
"Rahayu.....ningsih !". ia
menggagap. terpukau"... tidak
mungkin! Kau....."!
Mengapa tidak?", ujar suara
Rahayuningsih. melalui mulut
Kartinah. " Atau kau perlu bukti
tambahan. ya?"
Di akhir ucapan Kartinah,
terciumlah bau busuk yang
menyengat hidung. Bersamaan
waktu, sekujur tubuh telanjang
Kartinah yang bunting
mendadak itu. tiba tiba sudah
berubah sangat kotor Digenangi
tanah berlumpur. Dengan
mahluk-mahluk kecil tampak
menggeliat-geliat hidup di
sana-sini.
Apalagi. kalau bukan ulat!
Kartinah menyeringai. Lebar. "
Ayo. teruskan. Suhendro". suara
kering itu terdengar menggeram.
Berat. " Justru birahikulah yang
sekarang terlanjur naik. Ayo.
teruskan, kubilang!"
Sambil menggeram. kedua
lengan Rahayuningsih yang
kotor berlumpur serta
disana-sini digeliati ulat-ulat
kecil itu, merangkul ketat
pinggang Suhendra. Dengan
gerak memaksa agar pinggang
Suhendro berpacu turun naik
seperti tadi.
Saat itulah. Suhendro yang
terserang shock berusaha
melepaskan diri. Sambil menjerit
keras. tubuhnya ia lengkungkan
ke atas. Tetapi tertahan oleh
rangkulan lengan-lengan
Kartinah yang membetot ke
bawah. Sekali lagi Suhendro
menjerit. lalu menyumpah
serapahkan ucapan-ucapan
kotor dengan suara histeris.
Namun perjuangan keras
Suhendro ternyata sia-sia.
Jangankan pinggang dirangkul
ketat oleh kedua lengan
Kartinah. Selangkangannya pun
tak bergeming-geming
sedikitpun juga. Tidak mau
keluar. menjauhi selangkangan
di bawahnya. Betapa tidak.
Penisnya yang masih terbenam
di sebelah dalam rahim
Kartinah. seakan ada yang
mencengkeram. Lalu ditarik
semakin masuk ke da|am tubuh
Kartinah. sambil dipilit-pilit
pula!
Akibatnya. Suhendro bukan lagi
menjerit. Tetapi melolong-lolong
panjang, sambil berurai air
mata.
"cengeng'". Mulut Kartinah
menggeramkan suara kering
Rahayuningsih. Berang dan
marah alang kepalang. " Kau
membuat nafsuku terbunuh!
Haram jadah sialan, baiklah.
Kita akhiri saja sampai di
sini.........!"
Betotan memilin penis Suhendro
di sebelah dalam rahim
Kartinah. berhenti mendadak.
Lolongan Suhendro dengan
sendirinya melemah pula. Untuk
kemudian hanya rintihan sakit
serta tangisnya saja yang
terdengar.
Kartinah melepaskan
rangkulannya dari pinggang
Suhendro. Kedua lengannya
yang kotor berlumpur. turun
perlahan. Lalu terkulai diam di
kiri kanan tubuhnya. yang juga
mendadak diam terkulai.
Dalam cekaman teror dan
keputusasaan. alam bawah
sadar Suhendra seketika melihat
ada kesempatan terbuka untuk
menyelamatkan diri. Dan ia pun
lantas mengambil
ancang-ancang. Siap untuk
menghambur menjauhi tubuh
Kartinah yang baunya semakin
membusuk saja. Kartinah hanya
diam. Mengawasi. Sambil
bibirnya tampak mengguratkan
seringai misterius.
Lalu. pada saat Suhendro mulai
bergerak menarik
selangkangannya menjauhi
selangkangan Kartinah.
terjadilah sesuatu yang sangat
di luar dugaan
Perut bunting Kartinah tampak
berdenyut-denyut hebat. Seakan
ada benda hidup mendorong ke
luar. dan sebelum Suhendro
sempat menyadari sesuatu.
lengkungan atas perut Kartinah
tiba-tiba sudah merobek di dua
tempat. Dan dari dua robekan
yang disertai semburan darah
segar itu. Sepasang
tangan-tangan kecil mungil
berwarna pucat kemerahan
tampak menyembul lalu
menggapai-gapai keluar.
Melihat itu. habislah sudah
semangat Suhendro dari pukau
yang selama beberapa saat telah
melumpuhkan seluruh otot serta
Jaringan syaraf dl dalam
tubuhnya. Menjerit sengasara.
secara naluriah Suhendro
melambungkan tubuh sendiri ke
belakang. Gerakan reflek itu
berhasil. memang, Suhendro
terlepas dari daya betot tubuh
Kartinah. Akan tetapi
lambungan tubuh Suhendro
melayang jatuh dari tempat tidur
lantas mendarat di lantai.
kepalanya tiba lebih dulu.
Mulut Suhendra terbuka, namun
suaranya tak keluar. walau pun
cuma keluhan lemah saja. Apa
yang terdengar hanyalah suara
berdetuk keras pada saat
kepalanya tiba di lantai. Disertai
dengan bunyi berderaknya
tulang-tulang leher yang patah.
Suhendra pun seketika rebah
terkulai. Dengan kepala
tergeletak miring ke satu sisi.
Dan. lambung yang robek
menganga. Memperlihatkan
tumpukan usus yang
berdenyut-denyut liar dalam
genangan darah yang memerah
segar.
Sementara di atas tempat tidur.
sepasang tangan tangan mungil
yang telah merobek lambung
Suhendro,
cepat sewaktu menyembul keluar
tadi. dalam seketika. sudah
menyelinap masuk kembali ke
sebelah perut kembung
Kartinah. Dan begitu sepasang
tangan tersebut melenyap
hilang. robekan di lengkung atas
perut Kartinah pun merapat
pelan. Lalu kemudian menyatu
kembali. Tanpa meninggalkan
sedikit pun bekas luka, Walau
cuma goresan keeil saja!
Pada detik berikutnya. perut
Kartinah yang bunting besar.
dengan cepat sudah mengempes
menjadi rata kembali. Begitu
pula payudara. kembali pula ke
ukuran semula Sepasang
gumpalan kenyal. namun
berukuran sedang-sedang saja.
Kotoran tanah berlumpur
maupun gerakan ulat-ulat kecil
yang menggeliat-geliat hidup
itu. sirna perlahan-lahan. Begitu
juga dengan bau busuk yang tadi
sangat menyengat. Seluruh kulit
tubuh Kartinah dengan segera
sudah putih bersih kembali.
Bersinar-sinar segar Hanya
saja. disana-sini tampak
dibanjiri oleh keringat.
Menyeringai kaku. Kartinah
perlahan-lahan bangkit dari
rebahnya di tempat tidur.
Dengan gerak bangkit yang
tampak sangat kaku pula.
Menggeliat-geliat sejenak untuk
mengendurkan otot-otot,
Kartinah kemudian meluncur
turun ke lantai. Sedikit lunglai
karena kelelahan. kaki telanjang
Kartinah melangkah
tersuruk-suruk. Mendekat lantas
tertegak lesu mengawasi tubuh
Suhendro. Yang menggeletak di
lantai .Membeku diam. Dengan
sepasang matanya yang
membelalak_ tampak pucat dan
mati.
Mulut Kartinah membuka
perlahan. " Ketahuilah,
Suhendro......"_ ia bergumam
kering. Dengan nadanya
_yang berat. " Tidak sedikit pun
aku berbahagia dengan semua
ini. Akan tetapi......."
Gumaman lirih Kartinah.
mendadak terputus oleh bunyi
hingar bingar yang
mengejutkan. Seketika, Kartinah
berpaling. Persis pada saat
jendela kamar pas lagi pecah.
Berantakan.
Lantas sebuah benda
menakjubkan. menerobos ke
_dalam.
Tengkorak kecil. Dengan rahang
mengatup rapat. namun
sepasang rongga matanya
tampak memerah saga.

***

JANGAN menyia-nyiakan
kesempatan!
Itu adalah prinsip Rasimin tua
dalam segala hal. Dan si
penorobos pun melaksanakan
prinsip tersebut secara tuntas.
Selagi lawan terkejut lantas
lengah oleh serbuannya yang
mendadak. sang tengkorak
langsung beraksi. Dari rongga
matanya yang memerah saga. ia
menyemburkan sepasang lidah
api yang langsung menyerbu ke
arah sosok Kartinah. Dengan
suara berdesus. ganas.
Begitu mengenai sasaran, kedua
ujung lidah api bertaut satu
sama lain. Membentuk lingkaran
yang dengan cepat sudah
mengurung'lalu membakar sosok
telanjang Kartinah. Saat itu juga
terdengarlah jeritan sengsara
seorang manusia : jeritan
Kartinah yang asli.
tubuh telanjangnya meronta lalu
melompat-lompat liar dalam
usaha melepaskan diri dari
kobaran api. Usahanya itu
mengakibatkan nyala api justru
semakin marak dan mulai
menjilati benda apa saja yang
tersentuh atau terkena terjangan
Kantinah.
Dan tempatnya mengapung.
sang tengkorak masih terus
menyemburkan lidah-lidah api
ke arah manapun juga sosok
Kartinah bergerak. Semburan
lidah api itu baru ia hentikan
setelah Kartinah tampak
tersuruk-suruk lumbung dan
kemudian temungkur jatuh ke
lantai. Dan bersama
tersungkurnya Kartinah.
kobaran api yang mengurung
tubuhnya pun perlahan-lahan
mengecil kemudian padam
dengan cepat. Meninggalkan
sosok telanjang yang tampak
berkelejotan sebentar. sebelum
akhirnya diam terkulai. Dengan
sekujur tubuh yang sudah
melepuh hangus.
Sambil mengatupkan rahangnya
rapat-rapat. sang tengkorak
mengawasi korban
kebrutalannya.
Diam tak bergeming Menunggu.
Detik demi detik berlalu.
Sementara api yang timbul dari
terjangan-terjangan liar
Kartinah tadi. mulai marak di
sana-sini. Lalu diterangi
maraknya api. dari sekujur
tubuh yang hangus melepuh itu
perlahan-lahan tampaklah
adanya cahaya biru yang
samar-samar membias keluar.
Sambil bergerak naik
meninggalkan tubuh hangus
Kartinah. bias samar-samar itu
saling merapat dan terus
merapat. Sampai akhimya
membentuk wujut menyerupai
ular kecil berwama biru pekat
dengan sinar yang tajam
menyilaukan. Meliuk-liuk naik.
Dengan liukan lemah. seperti
kelelahan.
Di tempatnya mengapung,
sepasang mata merah sang
tengkorak seketika
bersinar-sinar tajam.
Rahangnya membeku
perlahan-lahan. Saat berikutnya,
sang tengkorak pun menyerbu ke
depan.
Sambil menyerbu. mulutnya
terbuka semakin mangap.
Siap mencaplok mangsa
Namun seakan menduga
datangnya serangan, sinar biru
menyerupai ular kecil itu keburu
berkelit dengan kecepatan tak
terduga. Dan meliuk hilang
entah kemana!
Mencaplok udara hampa. sang
tengkorak sempat melesat ke
depan. Lalu berhenti menyentak.
hanya sejengkel sebelum
membentur tembok di
hadapannya. Sempat goyah
sebentar karena mengerem
dengan tibatiba. sang tengkorak
kemudian berputar di tempatnya
mengapung. Mencari-cari ke
arah mana mangsa yang nyaris
mencelakakan dirinya itu lari
bersembunyi.
Dan ia pun tertegun seketika.
Terlihat olehnya cahaya biru
menyerupai ular kecil itu sudah
berpindah tempat Dari atas
tubuh Kartinah. kini tampak
sudah berada di atas tubuh
Suhendro. Yang mengherankan.
cahaya biru tersebut bergerak
keluar masuk lambung Suhendro
yang robek menganga. Dengan
liukan-liukan liar. setengah
histeris. mengakibatkan
gundukan usus maupun
genangan darah di lambung
terbuka Suhendro ikut
bergerak-gerak dan berubah
warna menjadi kebiru-biruan.
Bergetar sesaat. sang tengkorak
turun mendekat.
Gerakannya kini lebih perlahan
dan hati-hati. Agaknya tidak
sudi dipencundangi sampai dua
kali.
Mendekat dan terus mendekat,
dengan rahang terus pula
membuka semakin lebar.
pada saat itulah. lambung
Suhendro tampak terguncang
dengan hebat. Menyenai
guncangan itu, sinar biru
melesat naik dari celah-celah
gundukan usus Suhendra. Darah
segar menciprat kian kemari.
Dan dari tengah cipratan itu.
segumpal benda merah
kecoklatan ikut melesat keluar
dan melayang lurus ke arah
sang tengkorak.
Berhenti menyentak, sang
tengkorak seketika mengatupkan
rahang.
Sayang, terlambat. Karena
benda asing itu sudah keburu
berada di sebelah dalam
mulutnya.
Dalam sebuah rumah kecil di
pinggiran desa, Rasimin berseru
tersentak. " Apa..........!"
Semadhinya buyar berantakan.
Pucat saking terkejut. Rasimin
berusaha menguasai diri. Sambil
merapal mantera. ia berjuang
keras mengatur semadhinya
kembali. Namun dengan segera
terlihat bahwa usahanya itu
sia-sia belaka. Karena wajah
tuanya tampak semakin pucat.
sementara dari mulutnya yang
kumat-kamit. mulai terdengar
rintihan kesakitan.
Pada waktu bersamaan.
dirumah Suhendro.
Sang tengkorak tampak
terbang-terbanting kian kemari.
dengan sinar merah pada
rongga matanya tampak
berkedap-kedip kian meredup.
Dan tidak jauh dari tubuh
Suhendro yang terkulai diam di
lantai. cahaya
biru yang meliuk-link seperti
ular itu bergerak-gerak
membesar lalu membentuk
sebuah ujut. Dari wujud cahaya
biru menyilaukan. ke wujud
bayang-bayang sesosok
perempuan muda belia.
Mengenakan baju panjang yang
tampak semakin longgar karena
sudah robek disatu-sisi.
Sambil mengusap usap perutnya
yang tampak bunting besar.
bayang-bayang menggeram.
kering dan berat. " Agaknya kau
lupa. Karena kita sesama
penghuni alam gaib. tentu saja
aku meiagetahui. Bahwa
ginjal.... adalah pantangan
terbesarmu!"
Usai mengeluarkan
uneg-unegnya, sang
bayangbayang meringkik keras
lalu melesat terbang ke arah
jendela. Lantas lenyap
menghilang dalam kegelapan
malam. bersama ringkikannya
yang terdengar kian menjauh.
Di tempat yang ia tinggalkan.
sang tengkorak terus saja
terbuntang-banting diantara
kobaran api yang semakin
marak. sampai suatu saat
terdengar bunyi meletup yang
setengah teredam.
Dan di kamar pribadinya di
pinggiran desa, Rasimin tua
jatuh tersungkur ke lantai.
Dengan kepala tampak
meremuk. Pecah.

***

SEKITAR pukul dia dinihari.


kobaran api berhasil diatasi.
Semuanyaitu berkat adanya
tetangga yang keburu
mengetahui terjadinya
kebakaran sejak dari awal. Dan
di rumah berdekatan terdapat
pula scpetak besar kolam ikan
yang airnya lebih dari cukup
untuk memadamkan kobaran
api. ditambah bantuan dari
sumur-sumur sekitar.
Keseluruhan rumah Suhendro
memang cuma menyisakan
puing-puing menyedihkan.
Sementara dua bangunan
bersebelahan. sebagaian
terpaksa dirusak untuk
mencegah kebakaran jangan
sampai menjalar lebih luas.
Namun. paling tidak-. satu jiwa
berhasil diselamatkan. yakni
anak satu-satunya Suhendro,
yang
ditemukan pingsan dalam
kamarnya oleh seorang tetangga
yang masuk secara berjibaku.
Menjalarnya kobaran api,
memang berhasil dicegah.
Akan tetapi api lain kemudian
menjilat kemanamana, tanpa
seorang pun mampu menahan.
Api tanpa wujud. yang menjalar
cepat dari telinga ke telinga.
Dan membuat si pemilik telinga,
langsung tercekam, ketakutan.
"Hangus terbakar. masih bisa
kuterima". demikian awal
tersulutnya api desas-desus itu. "
Tetapi dengan lambung robek
menganga seperti itu.......!"
"Suara jeritannya itu!". kata
yang lain. " Lebih mendirikan
bulu roma ketimbang waktu aku
kemudian melihat adanya jilatan
api!"
Dan. yang paling mencekam. "
Sumpah mati! Aku melihat
sendiri perempuan itu melesat
keluar dan jendela kamar
Suhendro. Sambil meringkik.
mengerikan!"
Dua sosok tubuh menyingkir
diam-diam menjauhi
desas-desus yang kian
mencekam. Atau lebih tepat
dikatakan, yang seorang ditarik
menyingkir oleh yang lain.
Pramono _yang menarik.
kemudian menjalankan mobilnya
dengan wajah yang tampak
tegang. Sementara orang yang
ia tarik. Ajengan Marsudi.
duduk diam-diam di jok
belakang. sambil terus berdoa
untuk keselamatan seluruh
warga desanya. Baik yang masih
hidup, maupun yang sudah mati.

Marsudi baru saja


menyelesaikan do'anya
manakala mobil berhenti di
sebuah tempat gelap dan sunyi.
serta
jauh pula dari rumah penduduk.
Namun ia tetap memilih diam,
menunggu. Sampai orang yang
mengajaknya menyingkir,
akhirnya membuka mulut juga.
Lebih dulu mengawasi
kegelapan malam di luar mobil,
Pramono menghela nafas
panjang. Baru kemudian
berkata. " Semoga saja di sini
cukup aman. Tidak ada yang
mendengar pembicaraan
kita......"
Marsudi tetap diam.
Menunggu.
"Aku yakin......". Pramono
membuka mulutnya lagi." Bapak
tentunya telah mendengar
tentang kematian Suparta!"
Dalam kegelapan di jok
belakang. Marsudi
manggut-manggut mengiyakan.
Lalu membuka mulutnya untuk
pertama kali. Dengan suara
getir. " Kabar menyedihkan itu
kudengar dari orang-orang yang
datang semobil denganmu ke
lokasi kebakaran......"
"Apa saja yang mereka
ceritakan?"
"Cuma itu. Bahwa Suparta
sudah mati. Ditemukan oleh
petugas ronda yang bermaksud
tidur-tiduran barang sejenak di
dalam dangau!" _
"Mereka tidak cerita yang
lainnya?"
"Tidak!"
"Kalau begitu......", Pramono
kembali menyela nafas. "
Biarlah bapak kuberitahu saja.
Di tempat yang sama, aku
sempat disumpah-serapahi oleh
Suhendra?"
_ Menceritakan peristiwanya
secara ringkas. Pramono
kemudian menambahkan dengan
suara bergetar: " Saat
mendengarnya. Pak Marsudi.
Aku masih meraba-raba.
Pikiranku baru terbuka setelah
kusaksikan sendiri
Suhcnaro pun ikut mati...!"
"Jika ada yang ingin kau
sampaikan, Nak Pram", Marsudi
berujar. Lembut, dan tenang. "
Katakan sajalah. Selagi kita
maSih punya waktu!"
Promono seketika menoleh ke
belakang. Disertai pertanyaan
bernada gugup " Waktu?"
Tetap tenang. Marsudi
menjelaskan. " jangan lupa.
Tadinya jenazah Badrun
dilempar pulang ke rumahnya.
Lalu Suparta ditemukan mati.
Kini. Suhendra. Siapa atau
apapun juga pelakunya. Nak
Pram. Dia jelas tidak ingin
menunda-nunda waktu!"
"Tetapi..". mengapa?"
"Bukan itu pertanyaanku!",
Marsudi berujar, ketus. Rupanya
mulai tak sabar. " Dan lagi, aku
mengikuti ajakanmu ke tempat
sunyi ini. Bukanlah untuk
dudukduduk menunggu matahari
terbit!"
"Maaf....", Pramono mengeluh. "
Aku....".".."
Gugup sesaat. Pramono
mengambil bungkusan rokok
beserta pemantik apinya dari
dashboard. Disulut sebatang,
dengan jari jemari gemetar.
Baru setelahnya teringat untuk
menawarkan pada Marsudi.
yang ditolak dengan gelengan
kepala. Setelah tiga hisapan
panjang dan bernafsu. Pramono
akhirnya berujar tegang. "
Semua ini menyangkut masa lalu
yang teramat memalukan. Dan
waktu itu. aku sedikit pun tidak
menyangka dia akan begitu
nekad......."
"Dia?"
"Ya. dia. Rahayuningsih......!"
Rahayuningsih baru menginjak
usia 10 tahun ketika ia mengikuti
ibunya tinggal menetap bersama
keluarga Pramono. sebagai
pembantu rumah tangga.
Sementara parjo, ayah
Rahayuningsih memilih tinggal
disebuah pondok yang ia bangun
di tepi hutan. Dengan demikian
sang ayah dapat lebih leluasa
menjalankan pekerjaannya
sebagai pencari rotan liar. yang
dijual murah ke rumah industri
penghasil kerajinan tangan.
Penghasilan sang ayah yang
tidak seberapa itulah yang
mengharuskan ibu
Rahayuningsih bekerja sebagai
pembantu rumahtangga. Dan
setelah ibunya meninggal lima
tahun kemudian, tugas itu
diteruskan oleh Rahayuningsih
yang sudah memasuki usia
remaja.
Pramono yang usianya lebih tua
lima tahun dan sudah pindah
menetap di kota untuk mengikuti
di sebuah akademi, bukannya
tidak tahu bahwa Rahayuningsih
diam-diam menaruh hati
kepadanya yang ia perlihatkan
pada anggota keluarga Pramono
yang lain. Dan setiap kali
Pramono pulang berlibur ke
desa. tampak benar
Rahayuningsih memperlihat-kan
kerinduan yang sangat.
Tetapi Pramono tidak
menanggapi walau dengan
sebelah mata. Selain karena risi
oleh perbedaan status. juga
karena Pramono sudah menjalin
hubungan cinta dengan gadis
teman satu kuliah. Maka untuk
menghindari tatapan mata
Rahayuningsih yang membuat
Pramono menjadi salah tingkah,
Pramono pun membatasi diri
pulang ke desa. Atau kalau
harus pulang, ia lebih banyak
menghabiskan waktu dengan
teman temannya bermain
semenjak masa kecil. Terutama
dengan tiga sekawan Suhendro.
Badrun dan Suparta.
Dari ketiga orang teman
akrabnya itulah Parmono
mendengar bahwa sudah tak
terhitung pemuda-pemuda
sedesa yang berminat untuk
memperistri Rahayuningsih.
namun kesemuanya ditolak
mentah-mentah.
"Jangan kata kuajak kencan!"_
kata Badrun. " Baru kudekati
saja. dia sudah keburu ngacir!"
"Aku pernah nekad. Main paksa
mencium bibirnya Suhendro
mengaku terus terang. "
hasilnya. selain kena gampar.
bibirku nyaris sumbing karena
tergigit!" _
Mendengar semua itu. Pramono
lantas terusik untuk bertanya
pada Rahayuningsih. "
Mengapa. Ayu" Apakah kau
tidak ingin kawin seperti halnya
perempuan lain yang sudah
seumurmu?"
"Ingin sih ingin; Juragan
Muda!". jawab Rahayuningsih.
"Lantas?"
"Janganlah mendesak saya...".
jawab Rahayuningsih lagi.
Dengan wajah serta suara
berubah sendu. "' Karena
Juragan Muda pasti sudah tahu
jawabannya!"
Semenjak itu. Pramono tidak
lagi berani bertanya.
Dan akhirnya. apa yang tidak
pernah dibayangkan Pramono.
tiba-tiba terjadi juga!
Menjelang ujian kelulusannya di
akademi. Pramono pulang ke
desa untuk meminta do'a restu
dari orangtua. Lalu seperti
biasa. waktu luangnya'ia isi
dengan pergi memancing ke
sungai. Siapa nyana, lewat
tengah hari Rahayuningsih
muncul membawakan makan
siang
"Juragan Muda belum makan
dan tadi pagi......". kata
Rahayuningsih seraya membuka
susunan rantang yang
dibawanya dari rumah. "
Juragan Muda pasti sudah
lapar!"
Juga tak dinyana,
Rahayuningsih menghidangkan "
makan siang " lainnya. Yakni,
payudara yang menonjol
kencang di balik blus
Rahayuningsih yang kancing
atasnya terbuka. Tidak jelas
apakah terbukanya kancing itu
karena disengaja atau bukan.
Pramono tidak bertanya.
sementara Rahayuningsih
berlagak tidak tahu. Tak pelak
lagi. selagi bersantap sambil
mengobrol. ekor mata Pramono
tergoda untuk terus mencuri
lirik. Selain ke payudara, juga ke
bibir Rahayuningish. Bibir
dengan bentuk yang khas.
Mungil penuh. dan belahan
atasnya sedikit mencuat ke
depan.
"Bibirnya itu. Pram!", Suhendro
pernah berkata. " Setiap kali
teringat pada bibir SI Ayu.
pastilah aku susah tidur.
Percayalah. Pram. Bibir
semacam itu pasti mengandung
keliaran yang tersembunyi!"
Lalu setan pun datang merasuk.
Entah bagaimana mulainya,
Pramono sudah mengulum bibir
yang merangsang itu. Menyusul
kemudian, tubuh mereka berdua
sudah menyatu tanpa di halangi
walau oleh sehelai benang pun
juga. Dan Pramono memang
merasakan keliaran yang tak
terkendali di dalam tubuh
Rahayuningsih. Membuat
Pramono ingin dan ingin lagi,
sementara Rahayuningsih tetap
melayani dengan keliaran yang
sama. Pramono baru berhenti.
setelah ia benar-benar
kehabisan tenaga.
Setan pun menyingkir
diam-diam.
Sama-sama membisu beberapa
saat lamanya. barulah akal
sehat datang. Pramono terkejut
sendiri. Lantas bertanya.
setengah menuntut. " Mengapa.
Ayu" Mengapa kau biarkan aku
melakukannya"!"
"Karena saya
menginginkannya......".
Rahayuningsih berbisik lirih. "
Dan. karena saya sudah lama
mencintai Juragan Muda!"
Takut oleh jawaban gadis itu.
Pramono kemudian
mengultimatum secara halus. "
Jangan sampai ada seorang pun
keluaragaku yang mendengar.
Sekali itu terjadi. kau bakal
diusir. Dan ujianku pasti hancur
berantakan!"
"Selama ini. Juragan Muda...?".
Rahayuningsih menjawab.
Tenang." Tiap kali ditanya
mengapa saya tidak mau kawin.
saya selalu diam. Cintalah yang
membuat saya diam. dan saya
akan tetap diam. demi cinta saya
pada Juragan Muda!"
"Aku bukannya tidak mau
bertanggung-jawab, Pramono
berkilah. " Tetapi..."
Rahayuningsih cepat menyala,
Disertai senyuman polos."
Semoga ujiannya berjalan
lancar, Juragan Muda!"
Pramono tidak pernah tahu.
ujian mana yang dimaksudkan
oleh Rahayuningsih Apakah
ujiannya di akademi. atau ujian
bathin karena merenggut
keperawanan seorang gadis
yang berstatus sebagai
pembantu rumahtangga. Yang
pasti meski sedikit mengganggu.
peristiwa itu cepat terlupakan
setelah Pramono memusatkan
perhatian pada ujian akhir di
akademi tempat kuliah.
Lulus Ujian, Pramono tidak
berani pulang ke desa dengan
berbagai alasan. keluarganyalah
yang ia minta datang ke kota.
untuk merayakannya
bersama-sama. Sambil mencari
gelagat. Tampaknya aman-aman
saja. Karena tak seorangpun
yang menyinggung-nyinggung
tentang Rahayuningish. Sebagai
bukti, gadis itu memang
memenuhi janji.
Dengan perasaan aman itulah
Pramono kemudian
menyibukkan diri dengan
kegiatan meraih kehidupan
untuk masa depan. Mencari
lowongan kerja yang sesuai
dengan ijazah di tangan. Untuk
kemudian lambat laun
menyadari. bahwa ijazah
akademi di tangannya itu
ternyata tidak menjamin dapat
pekerjaan dengan mudah.
Mentok dan mentok lagi,
sementara kekasih tercinta mulai
ribut berbicara soal pernikahan.

Ketika Pramono mulai frustasi.


sang ayah datang memberi dua
pilihan. Dimodali berdagang.
Atau pulang ke desa mereka
untuk ikut dalam pemilihan
lurah, karena masa jabatan
lurah lama sudah habis. Sadar
tidak punya bakat dagang,
Pramono mengambil pilihan
kedua. Terutama mengingat
ayahnya sendiri pernah jadi
lurah. sehingga Pramono tahu
betul bahwa jabatan itu lumayan
enak.
Ketimbang nganggur!
Pramono pun pulang ke desa.
Dan dibuat terkejut ketika
mengetahui Rahayuningsih
sudah tidak ada lagi di 'rumah. "
Parjoko mengajak puterinya
tinggal bersama dalam pondok
di tepi hutan", sang ayah
memberitahu. "Lebih baik
begitu, daripada membuat malu
keluarga kita...."!"
Pramono sempat ngeri.
Tetapi kemudian menjadi tenang
setelah diberitahu. bahwa
bagaimanapun dipaksa.
Rahayuningsih tetap tidak
bersedia mengatakan siapa yang
bertanggungjawab atas bayi
yang dikandungnya. Saat itulah
Pramono baru menyadari.
bahwa sudah sekian bulan ia
tidak pulang ke desa Dan lupa.
bahwa bersama waktu yang
terus saja berlalu. kehidupan
terus saja berjalan. Tidak
terkecuali benih-benih
kehidupan yang ia tinggalkan
begitu saja di dalam tubuh
Rahayuningsih!
Pramono pun dihadapkan pada
buah Simalakama.
Minggat lagi ke kota tanpa
alasan yang jelas. pasti
membuat keluarganya curiga.
Mengakui perbuatannya. sama
dengan bunuh diri. Selain nama
baik keluarga tetap tercemar.
adat yang dipegang teguh
secara turun temurun jelas
mengharuskan Pramono tercoret
sebagai ahli waris diusir. dan
tidak lagi diakui sebagai
anggota keluarga.
Kepalang basah. Pramono tatap
nekad mencalonkan diri dalam
pemilihan lurah. Ia lulus testing.
bahkan menjadi calon terkuat
karena memiliki nilai plus ia
tamatan akademi. ayahnya
mantan lurah yang dihormati
dan masih tetap disegani. Tetapi
dua orang saingan beratnya.
juga sama-sama punya nilai
plus. Yang'satu. didukung oleh
finansial lebih dari cukup.
Satunya lagi. masih ada
pertalian kerabat dengan camat
setempat.
Keputusan akhir ada di tangan
Bupati.
Dan tentu saja
juga......Rahayuningsih!
Sekali rahasia terbongkar,
Pramono bukan saja tersingkir
dari tengah keluarga. Ia pun
bakal tersungkur
sebagai calon lurah. Maka
disela-sela pemilihan. Pramono
pun mengamankan posisinya.
bicara sembunyi-sembunyi ia
pergi ke tepi hutan Lalu
berpurapura kebetulan tersesat
jalan Parjoko tidak menaruh
curiga Lantas membiarkan
puterinya berbicara empat mata
dengan Pramono. karena
Pramono punya alasan sang
kuat " Apapun yang terjadi. Ayu
tetap punya hak pilih. Dan siapa
tahu. ia Juga mau berbicara
tentang asah hayu dalam
kandungaannya .......!"
Begitu ditinggalkAn berdua saja.
Rahayuningsih langsung
mencucurkan air mata .Isak
tangisnya baru berhenti setelah
Pramono menegaskan. "
Tetaplah diam. nanti setelah aku
resmi diangkat sebagai lurah,
tak seorangpun yang dapat
mencegah kita untuk berbicara!"

"Tetapi. orang akan


bertanya-tanya!". bisik
Rahayuningsrh.
tersendat-sendat.
"Gampang'". Pramono
berbicara seingatnya saja. " Aku
akan bilang. selama kau tinggal
dengan kami. kau sudah
kuanggap sebagai adik
kandungku sendiri. Lalu kau
akan kubawa pulang ke rumah.
Dengan alasan. tak tega
membiarkan adik kandungku
menderita oleh perbuatan orang
lain yang tidak
bertanggung-jawab...."
Omongan yang enak.
Tanpa Pramono memdapati.
Dirinyalah yang tidak
bertanggung-jawab itu!
"Setelah itu. apa?".
Rahayuningsih mendesak.
"Tunggulah sampai anak kita
lahir". jawab Pramono Enteng "
setelah itu aku akan bilang pada
semua orang. Bahwa anak itu
memerlukan seorang ayah. Aku
bersedia menjadi ayahnya.
sekaligus mengawini
ibunya!"
"Peganglah janjimu, Juragan
Muda!". Rahayuningsih tiba-tiba
berkata menanggapi." Jika
tidak. aku akan menggantung
diri. tetapi sebelum itu
kulakukan......."
Meskipun Rahayuningsih tidak
melanjutkan katakatanya,
maksud gadis itu jelas serta
gamblang. Sempat terkejut,
Pramono cepat berkata
membujuk. " Percayalah. Ayu.
Selama ini, bukannya aku
melupakan dirimu. Kau toh tahu
sendiri bagaimana kerasnya
adat di keluargaku. Itulah
sebabnya aku tak pernah pulang
menjengukmu ke sini. Aku sibuk
mencari pekerjaan. .jadi
meskipun nantinya aku terusir,
aku tetap mampu menghidupi
anak istriku .?""
Rahayuningsih percaya.
Dan kemudian melepas
kepergian Pramono dengan
cucuran air mata bahagia.
Lalu setan yang dulu pergi,
kembali datang merasuk.
Dari hari ke hari, ucapan
Rahayuningsih terus saja
terngiang. " Aku akan gantung
diri.......!"
Mengapa tidak"
Gantung diri karena tak kuat
menanggung malu, adalah
alasan paling masuk akal yang
bisa diterima semua orang.
Tentu saja, tanpa Rahayuningsih
sempat membuka mulut!
Maka begitu keputusan Bupati
akhirnya turun juga dan
Pramono kemudian resmi
diangkat sebagai lurah. maka
yang diajaknya berembuk
bukanlah Rahayuningsih.
Melainkan tiga sekawan
Suhendra"
Badrun dan Suparta sang
selama ini saling bela dengan
Pramono.
Hasil rembukan itu jelas dan
pasti.
Nasib Rahayuningsih sudah
ditentukan. Sebagai imbal jasa.
Suhendra akan diangkat sebagai
sekretaris Desa merangkap
ketua koperasi. Badrun diberi
modal berdagang. sekaligus
sebagai penyalur tunggal
barangbarang kebutuhan
koperasi yang bawahi Suhendro.
Suparta yang tak berpendidikan.
juga diberi modal usaha sendiri
belakangan. usahanya bangkrut
dan Suparta bekerja pada
Badrun.
Untuk amannya. seseorang
disuruh memanggil Parjoko
agar datang menghadap
Pramono di balai desa. Dan
sementara Parjoko yang lugu ilu
dicekoki Pramono dengan
obrolan tentang kemungkinan
membuka lahan untuk
mengembang-biakkan rotan. tiga
sekawan Pramono diharapkan
sudah selesai menjalankan tugas
mereka dengan lancar.
Siapa sangka. tiga sekawan itu
berbuat lain diluar kesepakatan.
lebih tak disangka-sangka lagi.
Rahayuningsih berhasil lolos.
Tetapi kemudian terpeleset ke
jurang dan tertimbun longsoran
dinding bukit. Ironisnya lagi.
seminggu kemudian cabang
pohon di mana Rahayuningsih
rancananya akan digantung
mati. ternyata jadi juga
mengambil korban. Putus asa
mencari kian kemari lantas
yakin anaknya sudah mati
tertimbun tanah longsor.
Parjoko akhirnya nekad gantung
diri.
Dan sebagaimana halnya pada
waktu Parjoko ribut mencari
anak perempuannya yang
hilang. ketika mendengar kabar
pencari rotan itu telah mati
membunuh
diri. tak seorang pun penduduk
desa yang mau
berpusing-pueing,
memikirkannya. Paling-paling.
Cuma ada komentar yang
bernada
menggurui. '" begitulah jadinya.
jika punya anak yang
suka membuat aib! .
Rahasia pun semakin terkubur.
Dengan aman..

BEGITULAH semuanya. Pak


marsudi."..". Pramono
mengakhiri. Dengan suara letih.
Selama beberapa saat ia biarkan
waktu berlalu dalam sunyi.
Sambil dengan gelisah.
mengawasi kegelapan yang
menghitam di luar mobil. Di jok
belakang. Marsudi duduk diam
dengan sekujur tubuh kaku.
Berusaha menguasai bulu
romanya yang semenjak tadi
pada berdiri tegak.
"Jika Bapak ingin menyebutkan
manusia terkutuk. silahkan!"
Pramono kembali membuka
mulut. Pasrah. " Barangkali
memang demikianlah diriku
sebenarnya. Yang selama ini
hanya memandang dari satu sisi.
Bahwa ternoda serta hamilnya
Rahayuningsih adalah karena
kemauannya sendiri. Dan
satu-satunya kejahatan
yang kuperbuat hanyalah
berniat jahat untuk membunuh.
untungnya tidak
terlaksana"....?"Tidak, Pak
lurah'?". Marsudi bergumam
datar. Dan dengan sengaja
menyebut jabatan resmi
Pramono.
Tetapi Pramono tidak
menangkap sudah terciptanya
jarak dalam hubungan mereka
berdua. Ia dibuat sibuk oleh
pikiran untuk membela diri.
Yang dengan tandas langsung ia
lontarkan. " Sebagaimana
kuceritakan tadi. Pak Marsudi.
Alamlah yang kemudian
membunuh gadis itu!"
"Oke. Tetapi marilah kita
berandai-andai!". sahut
Marsudi. Ketus. " Andaikata
tidak ada perintah membunuh.
orang-orangmu tidak akan pergi
ke pondok di tepi hutan. Parjoko
pun tidak akan meninggalkan
puterinya begitu saja. Dia akan
tetap terlindung. Dan mungkin
masih hidup sampai sekarang.
Begitu pula dengan bayinya.
Yang. nota bene adalah darah
dagingmu sendiri!"
Pramono terdiam.
Dan semakin terdiam. sewaktu
Marsudi meneruskan. " Aku
tidak perlu menyebut siapa
pembunuh sesungguhnya. Aku
cuma bermaksud memberitahu.
Bila dijadikan kambing hitam.
alam bisa marah. Dan
kemarahan itu sudah
diperlihatkannya dengan
kematian teman-temanmu.
sebagai pertanda!"
Terpojok, Pramono akhirnya
bertanya. Memelas." Apa yang
harus kulakukan, Pak Marsudi."
"Tidak ada!"
Pramono berpaling terkejut.
Dan tanpa sadar. mendengus
marah. " Lantas apa gunanya
semua itu

kuceritakan padamu. Pak


Marsudi?"
"Kegunaannya tetap ada!"
jawab Marsudi. Acuh tuk acuh.
Paling tidak. dengan lebih
jelasnya keseluruhan masalah.
aku dapat mengetahui kira-kita
apa Yang harus dilakukan!"
?"Tetapi tadi Bapak bilang........"
"Untukmu. Pak Lurah. Memang
tidak ada yang bisa kusarankan.
pulanglah ke rumah. tunaikan
sholat malam. Lalu berbicaralah
dengan keluargamu. Dan ajak
mereka untuk bertahlil."."
"Cuma itu?"
"Sementara ini. cuma itu!"
"Bagaimana dengan Bapak
sendiri?"
"Aku tetap akan membantu. Tapi
camkan. Aku membantu
semata-mata karena niat
menenteramkan roh mereka
yang sudah mati. Dan sedapat
mungkin menyelamatkan mereka
yang masih hidup. Entah itu
dirimu. Atau Kartinah-Kartinah
lain. Yang mungkin akan jatuh
pula sebagai korban tak
berdosa!
Kemarahan Pramono menyurut
seketika Lega campur terharu. ia
berujar gemetar. " Terima kasih.
Pak Marsudi. Entah bagaimana
aku harus...?"
"Jangan padaku". Marsudi cepat
menyela." Berterimakasihlah
pada Tuhan. Karena kau masih
dibiarkan hidup sampai saat ini.
Dan semoga demikian
seterusnya!"
Mendengar kalimat terakhir
Marsudi, diam-diam Pramono
menggigil Takut. Di
belakangnya. Marsudi menarik
nafas dalam-dalam. lalu
berkata. " Nah. Selagi masih ada
waktu yang tersisa. jalankanlah
mobilmu
kamu. juga. Dan nanti. turunkan
aku di komplek makam!"
Tidak berapa lama kemudian.
Marsudi yang berdiri sendirian
di pintu gerbang pekuburan
desa. menatap prihatin ke mobil
yang meninggalkannya
perlahan-lahan. Lantas
menggelengkan kepala.
manakala melihat mobil tersebut
melaju dengan kecepatan tinggi.
Seolah dikejar hantu.
Tersenyum 'getir. marsudi
kemudian memutar tubuh.
Memasuki komplek kuburan
dengan langkah langkah
panjang. Semakin jauh kakinya
melangkah. semakin kaki
Marsudi tidak menjejak di tanah.
Dalam beberapa tarikan nafas
saja. ia sudah melewati blok
demi blok kuburan menuju sudut
terjauh dalam kegelapan malam
yang menghitam.
Dan ketika kakinya menjejak
kembali di tanah Marsudi sudah
berdiri di dekat sebuah kuburan
baru yang namun bagian
tengahnya tampak seperti habis
dibongkar paksa. Sebuah kayu
nisan tegak setengah rebah di
tempatnya tertanam. Diterangi
sinar pucat sang rembulan.
samar-samar terbaca sebuah
nama Badrun.
Marsudi kemudian bersujud.
sampai dahinya rata dengan
tanah. Lalu memanjatkan do'a
dengan suara lirih bergetar. "
Apapun kehendak-Mu ya Allah.
Perkenankanlah hamba-Mu
yang hina ini untuk bekerja
sama dengan alam
ciptaanmu........!"
Usai berdoa. Marsudi kemudian
duduk mengatur sila. Kelopak
matanya di pejamkan
perlahan-lahan.
Sambil mulai berdzikir
*****
PRAMONO memacu mobilnya
bukan karena dikejar hantu.
Melainkandikejar dosa.'Saking
ketakutan. dosadosa itu telah
diakuinya pada Marsudi. Dan
setelah mereka berpisah mata
tajam ajengan itu seakan terus
mengikuti Pramono dari
belakang. Mata yang menuding.
" kaulah si pembunuh! Kaulah si
pembunuh! Kau.."!"
Pramono benar-benar
kehilangan muka. Apalagi
barusan tadi. ajengan itu
tiba-tiba mengingatkan
Pramono pada satu hal yang
selama ini tidak pernah
dipikirkan.".......Rahayuningsih
mungkin masih hidup. Juga
bayinya. yang nota bene adalah
darah dagingmu!"
Darah daging.
Berarti yang ia bunuh. adalah
anak kandungnya sendiri.'
Pramono menggigil ngeri
sendiri.
Lamunan Pramono mendadak
buyar ketika mesin mobil
mendadak mati sendiri.
kendaraan tesebut masih
bergerak main sesaat. sebelum
berhenti menyenlak Dengan
bunyi gigi ber-gemeretuk.
Pramono Memindahkan tongkat
pensenelling ke gigi normal.
terkejut Pramana melirik ke
speedometer. bensin cukup.
temperatur pun normal .ada apa
ini. Ia coba menstater. Dua tiga
kali. Mesin tetap diam. Tanpa
reaksi apapun juga.
Terheran-heran. Pramono
menarik alat pembuka kap
depan. Jengkel karena
perjalanannya
terganggu.Pramono keluar dari
mobil. kap diangkat. Lalu
dengan mempergunakan lampu
senter. ia memeriksa apa
kirakira penyebab mesin mati
mendadak. padahal kendaraan
itu belum lama diservis dan
rsebelumnya tidak ada
gangguan apa-apa.
Semua tampak normal-normal
saja. Pramono mengencangkan
setiap sambungan mungkin
longgar termasuk penutup busi.
Masuk lagi ke dalam mobil.
starter ia coba sekali lagi.
mula-mula tak ada reaksi. tetapi
pada putran kedua. mesin hidup.
dengan bunyi normal.
Menggeleng-geleng tak_
mengerti dan Sekaligus lega.
Pramono keluar lagi sambil
membiarkan mesin tetap hidup.
kap depan ditutupkan. Lalu pada
saat ia akan berjalan ke pintu
mobil. Pramono pun tertegun.
Diantara suara mesin mobil
yang berbunyi lembut halus.
terdengar ada suara lain.
Pramono menelengkan kepala
Mempertajam telinga. Suara
asing itupun terdengar lebih
jelas.
Itu adalah suara perempuan.
Yang menangis sesenggukan!
Seketika itu Juga, Pramono
memutar tubuh. Lampu senter ia
sapukan ke arah semak belukar
di seberang jalan. Mula-mula ia
tidak melihat apa-apa, kecuali
mendengar suara tangis yang
semakin jelas. tangis yang
teramat memilukan hati. _
Tergerak oleh perasaan curiga.
Pramono melangkah ke
seberang jalan. Sambil sorot
lampu senternya digerakkan
mencari-cari. Lantas Pramono
pun berhenti menegun.
manakala sorot lampu senternya
menangkap sosok seorang
perempuan. duduk menyandar
ke batang sebuah pohon dengan
posisi membelakangi Pramono.
"Siapa di situ?". Pramono
menegur
Jawabannya, adalah tangis yang
semakin mengeras. Dan pundak
si perempuan yang tampak
terguncang guncang.
"Apa yang terjadi denganmu"*',
tanya Pramono. Seraya berjalan
mendekat ke pohon di mana si
perempuan menyandar.
tampaknya. perempuan itu
masih berusia muda. Memakai
gaun panjang dengan motip
kembang-kembang. Blus yang
terlihat kotor dan robek
disana-sini. Sehingga terlihat
sebagian kulit tubuh si
perempuan. Putih dan sangat
pucat.
Astaga. pikir Pramono; pasti
sudah terjadi kejahatan di sini!
Lalu ia bergerak memutari si
perempuan yang. masih saja
sesenggukan. Sorot lampu
senternya mula-mula menerangi
perut di perempuan yang tampak
bunting. Lebih ke atas lagi,
terlihatlah seraut wajah pucat
yang berurai air mata. Sorot
lampu senternya berhenti diam
di wajah tersebut. Pramono
mengawasi sejenak.
mengingat-ingat. Lalu
membelalak tiba-tiba.
"Rahayuningsih'. Pramono
berkata menggagap." Kau.
"Suara tangis segenggukan
berhenti. Si perempuan
mengangkat wajahnya yang
sepucat _kertas. Lantas berujar
lirih. setengah berbisik." Benar.,
Juragan Muda Ini aku
Rahayuningsih........". Sambil
sebelah tangan mengelus-elus
perut buntingnya,
Rahayuningsih menambahkan. "
Dan ini........anakmu!"
Telinga Pramono memang
mendengar. Tetapi di pelupuk
matanya, yang terlihat bukanlah
sosok Rahayuningsih. Melainkan
beberapa bayangan yang
berkelebat cepat namun jelas.
Jenazah Badrun jatuh dari atap.
lengkap memakai kain kafan.
ganti berganti dengan bayangan
tubuh Suhendra, yang hangus
terbakar dengan lambung robek
menganga. Terakhir. sosok
Suparta. dengan pelototan
matanya yang seperti menuntut.
" _yang berikutnya. kau.".".!"
Tanpa sadar. lampu senter
terjatuh dari tangan Pramono.
Mulutnya berujar. kelu. Tidak!
Jangan ganggu aku!
.Jangan......!"
Sambil menceracau ngeri.
Pramono melangkah surut.
berbalik" lantas berlari lintang
pukang menerobos
semak belukar. Dalam'beberapa
kejap ia sudah tiba di mobilnya.
naik. lalu dengan gugup dan
ketakutan tangannya
menghentakkan tongkat
persnelling. Untuk dipindahkan
ke gigi satu. Macet. Pramono
memaksa tongkat berpindah.
sambil matanya melihat ke
seberang jalan.
Bias lampu mobil menerangi
sosok Rahayuningsih yang
muncul dari kegelapan. Di
wajahnya yang sepucat kertas.
terlihat bibir Rahayuningsih
menyeringai.
Seringai marah.
"Oh tidak. Tidaaak."!". Pramono
menjerit.
Tongkat persneling ia sentak
sekuat tenaga. Berhasil. Gigi
masuk. Mesin mobil meraung
keras. mengalahkan jeritan
keras Pramono. Terlompat
sesaat, kendaraan tersebut
kemudian terbang menembus
kegelapan malam. Pramono
menghela nafas panjang. la
sedikit lebih tenang. Apalagi
sudah lebih banyak rumah yang
terlihat di kiri kanan jalan.
Sesekali matanya melirik ke
kaca spion. Tentu saja yang
terlihat hanyalah kegelapan
_yang menghitam semata. ,
* Semakin dekat ke rumah.
Pramono semakin lebih
tenang .Di belokan terakhir.
kecepatan mobil ia kurangi
agar ia
tidak sampai celaka. Keluar dari
belokan. ia kaget setengah mati.
Sekian belas meter di
hadapannya. lampu mobil
tampak menerangi sesosok tubuh
yang berdiri menghadang di
tengah jalan. Sosok
Rahayuningsih.
Yang menyeringai. Kejam.
Secara naluriah. kaki kanan
Pramono menginjak
rem. Disertai suara bayi yang
menjerit ribut. mobil bergetar
lalu berhenti mendekam hanya
sekitar satu dua meter di depan
Rahayuningsih. yang sambil
tetap menyeringai. melangkah
maju perlahan-lahan.
Mundur. bisa saja. tetapi
mundur dalam kegelapan dan di
jalanan yang sempit pula. itu
cari celaka namanya! Hanya
ada satu jalan untuk lolos.
Menerjang maju.
"Oke. Ayu!" Pramono
menggeram. takut bercampur
marah. " Jika itu maumu.........!"
Kembali tongkat persnelling
beraksi. Pedal gas diinjak
sedalam-dalamnya. Lantas
disertai bunyi mesin _yang
meraung keras. kopling dilepas.
Seketika itu juga mobil
menerjang ke depan.
Setengah terbang.
Sekilas. tampak Rahayuningsih
terperanjat. Lalu pada kilas
berikutnya. tubuh gadis itu
terbanting hebat untuk kemudian
lenyap di depan mobil. Terus
meluncur. Pramono melirik ke
kaca spion. Diterangi sinar
rembulan dan cahaya lampu
rumah-rumah di kiri kanan.
tampak sesuatu
terbuntang-banting pada
jalanan aspal di bekalangnya.
Yang setelah suatu saat terlontar
keras ke atas. lantas jatuh
terhempas. Diam. membeku.
Dorongan ingin tahu. membujuk
Promono supaya berhenti.
la kemudian keluar dari mobil.
Tegak di samping mobil yang
mesinnya ia biarkan tetap
menyala. Pramono
memanjangkan leher. Sesuatu
yang tergeletak di tengah jalan
itu. tetap membeku. Diam. dan
mati.
Penasaran. Pramono berjalan
mendekat. Selangkah demi
selangkah. Lalu pada langkah
yang ke sekian, Pramono
berhenti. Karena dari tempatnya
berdiri. apa yang tergeletak itu
sudah dapat dilihat dengan
jelas. Apalagi sewaktu berjalan.
Pramono melihat adanya
serpihan-serpihan kayu. dan
memang demikianlah adanya.
yang diam membeku di tengah
Jalan itu. adalah seonggok besar
patahan batang pohon. Yang
hancur berantakan.
Terkejut setengah mati.
Pramono melangkah surut.
sambil matanya disapukan ke
sekitar. Mencari-cari. ketakutan.
Selain rumah-rumah yang
tampak membeku diam seolah
tak perduli. yang tampak
hanyalah kegelapan dan
lagi-lagi hanya kegelapan.
Disertai hembusan angin, yang
dingin menusuk. '
Mulut Pramono menggagap.
tanpa mampu mengeluarkan
suara. takut alang kepalang, ia
berbalik dan berlari-lari masuk
ke mobil. Untuk ke sekian
kalinya. tongkat persnelling
dipaksa bekerja keras. Dan
ketika gigi masuk. mesin malah
membisu. Diam.
"Tidak. jangan lagi.......!".
Pramono menceracau. setengah
menjerit. Sambil tangannya
menstarter.
Tak ada reaksi.
Dan bukan itu saja. Pramono
juga merasakan sesuatu yang
tak biasa di dalam mobil. yakni.
apa di luar tadi sempat ia
rasakan. Serbuan hawa dingin
menusuk. Sedemikian dingin.
sampai tengkuk Pramono
membeku kaku. Tetapi, dengan
bulu roma pada tegak berdiri.
Pramono menangkap sesuatu di
dalam mobil. Sesuatu yang
bergerak menggeliat di jok
belakang'
takut-takut. Pramono berpaling.
Ia." melihat Rahayuningsih
duduk mencangkung di jok
belakang.. Sambil menyeringai.
Tanpa kata.
Tak ayal lagi, Pramono menjerit
lengking. " Tolooonng....!"
Sambil menjerit. Pramono
menghambur keluar mobil.
Lantas secepat kakinya mampu
bergerak. lari dan terus lari.
Semakin cepat dan cepat.
Sampai kemudian rumahnya
terlihat di kejauhan. Berharap ia
akan segera selamat.Pramono
pun menambah kecepatan
larinya.
Tetapi. astaga. '
Semakin kaki dipacu, semakin
rumah Pramono menjauh dan
tampak kian menjauh.
"Tidak! Tidak mungkin.
Tidaaak......!", Pramono
menjerit tak percaya. "Jangan
tinggalkan aku......!"
Pramono mengejar. Dan terus
mengejar rumahnya yang
tampak semakin jauh saja.
sampai akhirnya Pramono
kehabisan tenaga. Lututnya
bergetar. Goyah. Kemudian
tertekuk tanpa mampu ia tahan.
Berjuang keras untuk bisa tetap
berdiri tegak lalu berlari
menjauhi bayangan maut di
belakangnya.Pramono akhirnya
menyerah.
Tubuhnya limbung ke depan.
Lantas tersungkur mencium
aspal.
Ada suara-suara. Seperti suara
kaki yang berlari lari mendekat.
Pramono seketika mengerahkan
tenaga yang masih tersisa.
Sambil mulutnya menceracau.
panik
Dan putus asa. " Jangan.". ..!
Aku tak mau! Aku.....l"
Suara-suara itu lebih jelas
sekarang.
"Astaga. Dia.....Pak Lurah!"
Suara laki-laki. Bukan suara
Rahayuningsih!
"Benar. Memang dia!". sahut
suara lain.
Masih ada lagi. "Tetapi,
mengapa dia tadi berlarilari.
Lari di tempat pula! Dan......"
Pramono memberanikan diri
untuk mengangkat muka.
Menatap berkeliling. Nanar,
mula-mula. Lantas
bayang-bayang tubuh yang
mengelilinginya tampak semakin
jelas dan jelas. Juga
wajah-wajah yang ia kenali.
Wajah para tetangganya.
Tak percaya. Pramono
mengeluh. tersengal " Tolong.
Jauhkan aku......dari dia!"
?"Dia siapa. Pak Lurah?". ada
yang bertanya.
?"Dia.."....". Pramono merayap
duduk. Seraya matanya
mencari-cari. Lantas
membelalak terperanjat
manakala melihat mobilnya
hanya berjarak sekian meter
dari tempatnya jatuh tersungkur.
" Di sana!". ia menjerit histeris."
Dia di sana. Dalam
mobilku....".!"
Beberapa dari tetangganya itu
pergi ke mobil Dengan sikap
waspada, mereka memeriksa
dan memeriksa. Bertukar
pandang sebentar. menggeleng
gelengkan tak mengerti. lalu
mereka kembali mengerubungi
Pramono.
Salah seorang dari mereka
kemudian memberitahu." Tak
ada siapa-siapa di dalam mobil
Bapak.?"."
"'Tidak mungkin!", Pramono
mengerang. Takut.
"Kalau Bapak tak percaya.
silahkan periksa sendiri!"
Pramono menggeleng dengan
wajah ngeri. " Tidak. Aku tidak
mau!"
"Tetapi. Pak Lurah...."
:"Sudah. sudah......!", Pramono
berujar cepat. " Tolong kalian
bantu aku pulang ke rumah!"
Kembali para tetangga saling
menukar pandang. Lantas
seseorang dari mereka
bergumam tak mengerti. '
Pulang. Pak Lurah" Tetapi..?" Si
pembicara tidak menerUSkan
kata-katanya. Kepala saja yang
ia gerakkan. Melihat ke sebelah
kiri jalan. Reflek, Pramono
mengikuti dengan pandangan
matanya.
Itu dia, rumahnya.
Persis di depan mata!
"Ya Tuhan........!", Pramono
mengeluh. Sakit. Entah apa yang
terjadi dengan diriku!"
Ia kemudian merayap bangkit.
Satu dua orang segera
membantu. lantas memapah
Pramono memasuki halaman
rumahnya. Pintu depan rumah
tampak terbuka. Diambang
pintu. tegak seorang perempuan.
Mengawasi diam-diam, sambil
sebelah tangannya
mengusap-usap perut yang
tampak besar, membunting.
Pramono pun terpekik seketika.
" Tidaak."!"
"Tidak apa, Pak Lurah?", tanya
seseorang. Bingung.
Pramono meronta-ronta dalam
pegangan para tetangganya.
Sambil meronta. ia menuding ke
sosok perempuan di ambang
pintu.
"itu dia hantunya......"! ia
mcnggigil. Panik.
Rahayuningsih!" .
Para tetangga semakin
ternganga .
Si perempuan diambang pintu
yang ikut tercengang adalah
Sumiati. istri Pramono sendiri.
Saat itu" sumiati memakai gaun
hamil.
karena ia memang lagi bunting
tua.

***

MARSUDI masih berdzikir.


Lalu suatu saat. kayu nisan yang
tertegak miring di salah satu
ujung kuburan Badrun bergerak
miring lantas rubuh kebelakang.
Sisa gundukan tanah di kuburan
itu perlahan-lahan tampak
bergetar. Disertai getaran
tersebut. sebongkah besar tanah
kubur terangkat dari tempatnya.
Lalu melayang Jatuh ke bagian
luar tepi kubur yang
berseberangan dengan bagian
tepi di mana Marsudi duduk
berdzikir.
Tanah kuburan bergetar
semakin kuat Lalu bongkahan
demi bongkahan menyusul
terangkat lalu jatuh menumpuk
di atas bongkahan pertama.
Begitu terus menerus. Cepat dan
tanpa berhenti. Seakan-akan
ada tangan-tangan gaib yang
sibuk bekerja menggali dan
membuang sisa-Sisa gundukan
tanah yang memadati lubang
kuburan Badrun. Dari
bungkahan-bungkahan besar ke
bungkahan kecil. lalu
serpihan-serpihan. Sampai
akhirnya tidak ada lagi gerakan
apa-apa. Sepi menyentak.
sementara lubang kubur tampak
menganga .Hitam.
Barulah pada saat itu Marsudi
menghentikan dikirnya.
Membuka kelopak mata di wajah
yang berpeluh. Marsudi
kemudian bangkit dari
tempatnya bersila. la melangkah
ke depan Lalu tegak diam di
pinggir lubang kubur.
Mengawasi kehitaman di
dalamnya. Sinar rembulan yang
menembus miring. menerangi
samarsamar dasar liang lahat di
mana sebelumnya tertanam
jenazah Badrun. Tidak tampak
apapun juga di liang Iahat
tersebut. kecuali permukaan
tanah yang rata dan diam
membeku.
"Tetapi aku merasakan adanya
getaran!". Marsudi bergumam
pelan." Hem. Baiklah........!"
Ia kemudian melangkah mundur.
Dan terus mundur. melewati
tempat di mana Marsudi
sebelumnya duduk bersila.
Setelah memperkirakan dirinya
cukup jauh dari lubang kubur
Badrun. Mersudi pun berhenti
melangkah.
Bertafakur sejanak. ia kemudian
duduk di rerumputan.
Kembali mengatur sila. Dengan
kelopak mata kali ini dibiarkan
tetap nyalang terbuka. Menatap
lurus ke lubang kubur menganga
di hadapannya, bibir Marsudi
kumat-kamit perlahan.
Kembali berdzikir.
Detik demi detik berlalu dalam
kesunyian yang mencekam.
Bahkan angin malam pun ikut
diam. Seakan tak berani
berhembus. Lalu keseluruhan
tepi lubang kubur Badrun, mulai
bergetar. Permukaan tanah di
keempat sisi kubur. tampak
bergerak. Seperti menggeliat,
hidup. Muncul rekahan
disana-sini. Rekahan yang
melebar, lalu memanjang. Dan
seakan ada kekuatan gaib
bertenaga luar biasa tengah
menggeliat di kedalaman bumi,
permukaan tanah berumput di
sekeliling kuburan Badrun
sebagian demi sebagian mulai
terbongkar dari tempatnya.
Dan kejadian yang sama
kembali terulang.
Tanah yang terbongkar
bukannya runtuh ke sebelah
dalam. Melainkan terangkat ke
atas. Lalu melayang jatuh
menjauhi masing-masing sisi
kuburan. Lubang kubur pun
perlahan-lahan tampak semakin
menganga lebar. Sinar rembulan
menerobos masuk lebih luasa.
Dan menerangi dasar liang
lahat yang tampak bergetar lalu
terbongkar dengan hebat.
Bongkaran tanah liang lahat itu
pun sebagian demi sebagian
terangkat dari tempatnya
melayang ke atas, lalu jatuh
menumpuk di sisi luar.
Marsudi mengawasi, tanpa
bergeming. Hanya mulutnya
saja yang terus kumat-kamit.
Sementara peluh semakin
membajiri wajahnya. Dari
lubang-lubang hidung Marsudi,
nafas yang menghembus ke luar
tampak mengeluarkan asap tipis.
Menyerupai kabut. Di setiap
tarikan nafas, urat-urat wajah
Marsudi terus
menggariS semakin kencang.
Sementara bola matanya mulai
bersemu merah karena terus
melotot. Tanpa sekalipun
mengedip,
Sampai akhirnya kesunyian
yang. mencekam itu datang lagi.
Diam yang sangat tiBa-tiba,
Seperti menghentak"
Kelopak mata Marsudi terlihat
mengerjap,
Lalu tubuhnya menggeliat
perlahan. mengendurkan
ototaotot yang semenjak tadi
mengencang kaku. Bersamaan
dengan itu, dari mulutnya
terlontar keluhan lemah, *" Ya
Allah. Tuhanku. Betapa sakit
dan melelahkannya pekerjaan
ini."
Gontai, Marsudi bangkit dari
duduknya.
Lalu maju tersuruk-suruk ke
depan. Dengan nafas
tersengal-sengal, lelah, Tiba di
tempat yang dituju, Marsudi
naik lalu berdiri tegak di atas
tumpukan tanah. Menatap ke
depan, tampaklah olehnya
lubang kubur Badrun ukuran
aslinya. Karena kini, yang
terlihat adalah tumpukan tanah
yang seperti menggunung,
mengelilingi sebuah lubang
besar menganga yang
menyerupai sebuah kawah mini.
Dengan dasar kawah mencapai
kedalam sekitar tiga meter lebih,

Mersudi kemudian menatap ke


dasar lubang.
Diterangi sinar rembulan,
tampaklah adanya benda
keputih-putihan. Yang. menurut
perkiaraan Marsudi, kira
kira terletak bersebelahan
dengan dasar liang lahat
Badrun sebelumnya. Tentu saja
dengan kedalaman berbeda.
Terngiang di telinga Marsudi
ucapan si perempuan misterius
yang ia dengar dari kerabat
Badrun. " Manusa keji dan hina.
Tak sudi aku berdekatan dengan
tubuh najismu....!"'
itulah dia jawabannya.
Benda keputih-putihan di bawah
sana!
Mengehala nafas dalam sejenak,
Marsudi kemudian menuruni
tanah landai di hadapannya.
Tiba di dasar lubang lebar itu,
ia melangkah hati-hati
mendekati apa yang tertampak
olehnya dari atas. Benda
keputihputihan tadi kini terlihat
lebih jelas. Yakni tengkorak
serta tulang belulang manusia,
yang setengah terbenam di
tanah.
Mengawasi sejenak, Marsudi
juga melihat sesuatu yang tidak
lazim.Ia pun merunduk, untuk
dapat memperhatikan lebih
seksama. Dan apa yang tidak
lazim itu lantas ia ketahui
dengan segera setelah teringat
cerita lurah Pramono, bahwa
ketika menemui ajal,
Rahayuningsih dalam keadaan
hamil. Karena di sekitar belikat
paling bawah tulang belulang
berukuran manusia dewasa itu,
tampak sebuah tengkorak serta
tulang belulangnya, boleh dikata
sudah setengah hancur.
Sebagian malah sudah
menyerupai serpihan bubuk.
Adalah merupakan keajaiban,
bahwa bagian dari sisa bayi
dalam kandungan
Rahayuningsih _yang mestinya
teramat lembut dan rapuh,
masih tetap meninggalkan
sisa-sisa dalam bentuk nyata.
"Maha Besar Allah....".!"
Marsudi bergumam dengan
suara bergetar. ia kemudian
duduk mengatur sila. Berdo'a
khusuk untuk memohon
ampunan Tuhan. Marsudi
segera mengosongkan pikiran.
Dengan kelopak mata terpejam.
Berkonsentrasi sejenak.
Lantas berbisik tajam. "'
Baiklah, Rahayuningsih. Dengan
tidak mengurangi hormatku
pada niatan rohmu yang
bergentayangan.
Sunyi yang tenang. Tetapi
menekan.
Tekanan kesunyian itu terasa
pula di bagian atas lubang
Gundukan tanah membeku diam.
Begitu pula bayang-bayang kayu
maupun batu nisan di blok-blok
kuburan yang berdekatan. Diam
mematung. Sediam ujung-ujung
ilalang di sekitarnya. Diam yang
misterius.
Namun tidak demikian halnya di
tepi hutan yang letaknya tidak
begitu jauh dari lubang besar di
dalam mana Marsudi duduk
menunggu. Dalam kegelapan
yang menghitam di tepian hutan
tersebut. perlahan-lahan
terdengar suara bisikan-bisikan
tajam. Bisikan yang setengah
berdesis-desis kacau balau. Dan
terdengar sangat berisik.
Lalu di beberapa tempat.
barisan terdepan dan rimbunan
ilalang tampak tersibak
perlahan-lahan. Dan dari balik
sibakan itu muncullah
berpasang-pasang mata yang
menyerupai titik-titik kecil.
Titik-titik berwarna merah. Dan
bersinar-sinar tajam.
menyilaukan.
Di dasar lubang lebar
menganga. Marsudi mengerjap
terkejut.
Menatap ke tulang belulang di
hadapannya. ia
kemudian bergumam kuatir. "
Oh. oh. Tidak ada jawabban!
Pasti ada sesuatu yang tidak
beres di sini.......!"' Di
keheningan malam. gumam
terkejut Marsudi agaknya
terdengar sampai ke tepi hutan.
Karena titiktitik merah di balik
rimbunan ilalang. seketika
tampak sama bergerak Dengan
sinar yang semakin tajam.
Lantas didahului suara
bisik-bisik yang semakin kacau
dan berisik. rimbun ilalang di
sana sini tampak semakin
terkuak. Kemudian. sosok-sosok
kecil berwarna semerah darah.
satu persatu bermunculan
Kesemuanya merangkak pelan
dan hati-hati. Langsung menuju
tanah galian yang tampak
menggunung dalam kegelapan
malam. Maju serempak. Tanpa
mengeluarkan suara.
DI desa. penduduk mengunci
diri di rumah masing masing.
Perasaan takut mencekam
dimana-mana setelah kabar
demi kabar menyebar dengan
cepat dari rumah ke rumah.
Apalagi setiap datang kabar
yang baru. selalu terdengar
lebih menakutkan dari kabar
sebelumnya.
Ketika Badrun dikabarkan mati
mendadak karena terkena
guna-guna. penduduk memang
dibuat gempar. Tetapi kemudian
menganggap hal itu sebagai
kejadian biasa yang tidak perlu
diributkan. Namun setelah
jenazah Badrun di"pulang'kan
secara brutal. barulah penduduk
tersentak. Dan perasaan takut
pun mulai datang melanda
.Terutama oleh munculnya
sesosuk perempuan misterius.
Yang konon selain dapat terbang
. 'u_|.__:n_ n....: u..-__._w
melewati atap-atap rumah. juga
berwajah sangat mengerikan.
kabar menyebut mata
perempuan itu semerah api. gigi
taringnya pun mencuat panjang.
Penduduk masih bertanya-tanya
hantu siapa gerangan yang
melecehkan jenazah Badrun.
sudah datang kabar baru yang
tidak kurang mengejutkan. Dua
orang petugas siskamling yang
berkeliling di pinggiran desa.
secara kebetulan menemukan
seseorang yang tengah bersujud
sendirian di depan sebuah
dangau. Menyangka orang itu
sedang bersembahyang.
.....walau tidak di tempat yang
semestinya. ia dibiarkan
sebentar. Namun
ditunggu-tunggu. orang itu tak
juga bangkit bangkit'dari
sujudnya. Malang.. tidak
bergerak-gerak sama sekali.
Curiga. salah seorang petugas
siskamling menegur. Tak ada
sahutan. Petugas satunya lagi
menjadi tak sabar Lantas
menyentuh punggung orang
tersebut. sambil bertanya. " Hei!
Apa yang kau....."
Si petugas tidak jadi meneruskan
pertanyaannya. Karena begitu
disentuh, tubuh yang bersujud
itu langsung terjungkir jatuh.
Tubuh yang sudah setengah
kaku. Dingin dan mati. Ia
kemudian dikenali sebagai
Suparta, tangan kanan Badrun.
Kabar menyebut. wajah Suparta
bersimbah darah. Bola matanya
terbetot keluar. sampai ke
akar-akarnya!
Kabar terakhir, menyangkut
kebakaran di rumah Suhendro.
Hantu perempuan itu terlihat
terbang keluar dari jendela
salah satu kamar, sebelum
kebakaran terjadi. Orang tidak
lagi meributkan dari mana
asalnya kobaran

api. Juga mengapa sampai


Kartinah ikut teibakar. Orang
lebih banyak membicarakan
tentang mayat Suhendro. Yang
lambungnya robek menganga.
Konon menurut kabar. sisa
lambung. Suhendro tidak sedikit
pun tersisa. Pasti sudah disantap
habis. OIeh siapa lagi. kalau
bukan sang hantu yang: diduga
masih terus berkeliaran mencari
mangsa untuk santap malamnya
vang belum tcrkenyangkan.
Penduduk semakin mengunci
diri.
Namun agaknya. teror belum
ada niat berhenti.
lni terbukti dengan
berlangsungnya tiga peristiwa
mengejutkan. terjadi pada waktu
yang hampir bersamaan. di tiga
tempat yang berbeda.
Mayat Suparta sedang digotong
beramai-ramai untuk diantarkan
ke rumah keluarganya.
manakala peristiwa mengejutkan
itu terjadi. Tubuh kaku Suparta
tahu-tahu bergerak sendiri.
Menggeliat hidup begitu saja.
orang-orang yang membopong
mayatnya terkejut setengah mati.
Lantas tanpa sadar,
menjatuhkan mayat itu dari
tangan mereka. Begitu jatuh di
tanah. mayat Suparta dengan
cepat menggeliat bangkit.
Sambil menatap kejam. Dengan
pelototan matanya yang putih
pucat mengerikan.
Perintah tidak lagi diperlukan.
Para penggotong maupun
pengiring. seketika itu iuga pada
minggat serabutan. Sebagian
lari ke tengah sawah. Lantas
rebah mendekam dibalik
rimbunan batang-batang padi.
Sebagian lainnya
mcnggedor-gedor rumah
terdekat sambil berteriak-teriak
histeris. Belum juga pintu
terbuka seluruhnya. mereka
sudah menerjang
masuk dan langsung
menguncikan pintu.
Dalam tempo Singkat. suasana
sekitar sudah sunyi senyap.
Mayat Suparta menyeringai.
Lalu berjalan meninggalkan
tempatnya. Dengan kaki nyaris
tak menjejak di tanah. Pada saat
berikutnya, mayat Suparta pun
lenyap ditelan kegelapan malam.
Di rumah keluarga Badrun. juga
berlangsung peristiwa yang
nyaris sama. Kerabat pemberani
yang ditugaskan menunggui
jenazah Badrun, 'untuk ke sekian
kalinya kembali bergerak-gerak.
" Ah. mungkin cumam mimpiku
saja?". pikirnya. Ragu-ragu.
Tetapi sewaktu ia mengawasi
lebih seksama, gerakan pada
kain penutup jenazah tersebut
tampak semakin jelas dan nyata.
Si kerabat pun mengucek-ucek
mata. untuk meyakinkan ia tidak
salah lihat. Dan begitu matanya
ia buka kembali. di hadapannya
sudah duduk tegak jenazah
Badrun. Sambil menyeringai di
bawah matanya yang pucat dan
mati.
Tak ayal lagi. si kerabat
pemberani menjerit seketika.
Habis menjerit. ia jatuh
tersungkur di lantai. Tak
sadarkan diri.
Jeritannya yang memecah
keheningan malam itu. tentu saja
membuat terkejut mereka yang
ada di dalam mau pun di luar
rumah. Yang sudah tidur.
langsung terjaga. Dan yang
masih bangun. langsung
menghambur masuk ke ruang
tengah rumah. Tetapi secepat
mereka masuk, secepat itu pula
mereka menghambur lagi
keluar. Lari ke tempat mana saja
yang dapat menyentbunyikan
diri mereka. Lantas dari tempat
persembunyiannya."
mereka pun mengintip
takut-takut.
Mayat Badrun yang pucat
membiru, tampak melangkah
keluar rumah sambil tangan
membelitkan kain selendang
menutupi tubuh bugilnya.
Mengawasi sekitarnya sejenak.
mayat Badrun kemudian
meneruskan langkah. Tiba di
jalan, ia memutar tubuh dengan
gerakan kaku. Terus berjalan
menuju ke pusat desa. Dengan
langkah acuh tak acuh.
Tidak seorang pun yang berani
mengikuti.
Satu-satunya peristiwa yang
berlangsung tenang tanpa ada
ribut-ribut. adalah di sekitar
puing-puing reruntuhan rumah
Suhendro yang hangus terbakar.
Di situ. tak seorang manusia
hidup pun yang masih terlihat,.
Ratusan manusia yang tadinya
ikut bekerja memadamkan api
atau cuma menonton
beramai-ramai, sudah pulang ke
rumah masing-masing. Karena,
begitu melihat lurah mereka
menyingkir diam-diam. sebagian
demi sebagian kerumunan
manusia itu menyingkir pula
diamdiam. Dengan segera,
tempat itu sudah sunyi sepi.
Siapa pula yang sudi menunggui
puing-puing di dalam mana
tergeletak dua sosok mayat.
Yang salah satunya dengan
lambung robek menganga pula.
Memperlihatkan gundukan usus
yang putih kehitam-hitaman.
Melepuh, terbakar.
Tetangga sekitar langsung pula
mengunci diri.
Takut pada sang hantu.
Di tengah kesunyian itulah
terdengar Suara berkeriutnya
puing reruntuhan manakala
terdorong ke samping. Lalu dari
balik puing, mayat Hendro
bangkit perlahan-lahan. Kelopak
matanya yang melepuh
membuka. Mayat Suhendra
kemudian melangkahi puing
puing. Sambil sebelah tangan
mencakup lambung yang, robek
menganga.
tiba di jalan. mayat Suhendro
melangkah tersuruksuruk
dengan arah yang pasti.
Menembus kegelapan malam
yang sunyi mencekum. tidak
berapa lama kemudian Suhendra
berhenti di depan sebuah rumah.

lalu berdiri diam.


Menunggu.
Rumah di depan mana mayat
Suhendro berdiri menunggu.
adalah rumah Pramono. Sebuah
rumah mentereng. untuk ukuran
desa. Awalnya, rumah
mentereng itu adalah sebuah
rumah sederhana. Dibeli oleh
orangtua Pramana sebagai
hadiah perkawinan untuk putera
bungsu mereka tersayang.
Putera satu satunya yang
berpendidikan tingkat akademi.
Belum dua tahun menduduki
jabatan lurah. Pramono sudah
merenovasi rumahnya menjadi
tempat kediaman yang lebih
nyaman dan patut dibanggakan.
Dilengkapi perabotan yang
serba mahal. menyusul
kemudian sebuah mobil yang,
terhitung mewah untuk ukuran
desa mereka. Kemajuan pesat
yang dialami Pramono. di lain
pihak mengakibatkan
kemunduran dalam
hubungannya dengan keluarga.
Terutama dengan ayahnya. yang
meski cuma mantan lurah tetapi
masih tetap dihormati dan
disegani banyak orang. Tidak
heran.
Apabila rumah yang menterang
itu selalu tampak sunyi. Karena
hanya dihuni oleh Pramono
berdua dengan istrinya. Di
tambah tukijem, pelayan mereka
yang sudah lanjut usia. "
Malam menjelang subuh itu pun
rumah Pramono tampak sunyi
sepi, jauh lebih sunyi dari biasa.
Sebelumnya, Pramono telah
diberi minum lantas menjadi
tenang dan yakin bahwa
perempuan yang bersamanya
adalah Sumiati. istrinya sendiri.
Para tetangga kemudian pamit,
sambil berpesan. " Jika terjadi
apa-apa, jangan segan-segan
berteriak memanggil kami!"
Cuma omongan pemanis bibir,
tentu saja.
Karena begitu masuk ke rumah
masing_masing. sebagaimana
penduduk lainnya para tetangga
itu pun langsung mengunci diri.
Tidak seorangpun yang berniat
untuk keluar, biar apapun juga
yang terjadi pada lurah mereka.
Bukan karena mereka tidak suka
pada lurah yang korup..
Melainkan terutama, karena
takut. Pada sang hantu, yang
diduga kuat masih terus mencari
korban untuk memuaskan
perilaku kejamnya yang tidak
berperi.
Para tetangga berpinsip sama. '"
Terserah hantu terkutuk itu akan
memangsa siapa saja. Asal
bukan aku dan keluargaku!"
Begitu pula Pramono.
Tanpa memperdulikan sekitar,
setelah para tetangganya pergi
ia langsung meringkuk di kamar
tidur. Jangn kata menguatirkan
nasib penduduk desanya.
Amanat ajengan Marsudi pun ia
abaikan begitu saja. Pramono
sudah sedemikian lelah dan
ketakutan.
sehingga tidur adalah
satu-satunya pilihan yang ia
pikirkan.
"Siapa pun vang mengetuk pintu.
jangan perdulikan!" ia berpesan
pada istrinya sebelum menarik
selimut menutupi tubuh sendiri.
Di kamar tidur lain"Tukijem
melakukan hal sang sama.
Pelayan lanjut usia itu
sebelumnva sudah terlalu
banyak mendengar. dan itu
membuatnya terus menerus
gemetar. Jangankan untuk
keluar dari kamarnya. Untuk
turun dari tempat tidur pun.
perempuan malang itu sudah tak
mampu.
Jadilah Sumiati terjaga
sendirian.
Tak berani memejamkan mata.
_ Sebagaimana perempuan lain
pada umumnya. Sumiati pun
juga takut pada hantu. Tetapi
saat itu. ada hal lain yang. ia
cemaskan. Yakni. suami dan
kandungannya.
Sumiati sudah mencintai
Pramono semenjak mereka
masih duduk di bangku akademi.
Cinta itulah yang menguatkan
hatinya untuk tinggal menetap di
desa. terpencil dari kehidupan
kota yang telah ia geluti
semenjak lahir. Kini.........untuk
pertama kali sepanjang
pernikahan mereka. orang yang
dicintainya tampak begitu
goyah. Dan itu membuat Sumiati
cemas.
Sebelumnya. Pramono tidak
pernah terguyahkan oleh apapun
juga. Tidak oleh men-jauhnya
sanak keluarga. atau sorotan
dari kiri kanan. Juga tidak
tergoyahkan oleh persaingan
ketat sewaktu tiba masanya
Pramono mencalonkan diri
untuk menduduki jabatan lurah
periode ke dua. Bahkan pun
tidak goyah.

manakala pada tahun kedua


pernikahan mereka. Sumiati
keguguran. Padahal Pramono
sangat mendambakan anak
untuk meramaikan rumah serta
cinta mereka berdua.
" Masih banyak waktu.....". kata
Pramono selalu. ' Kita dapat
menunggu!"
Dan Pramono memang
menunggu dengan sabar. Nleski
Sumiati oleh dokter sudah
diperbolehkan untuk hamil
kembali tetapi rejeki tak
kunjung. datang.
"Cuma belum waktunya saja!".
jawab Pramono tegar. tiap kali
ada yang bertanya.
Sembilan tahun sudah berlalu
.Masa pemilihan iurah untuk
periode berikutnya sudah
diambang pintu. Ada
tanda-tanda Pramono bakal
tidak terpilih lagi. Tetapi
Pramono masih saja tidak
tergoyahkan.
"Bukan karena aku tak bernafsu
lagi menduduki jabatan lurah".
katanya. bahagia. "Melainkan.
karena tak lama lagi aku akan
menjadi seorang ayah!"
Dinihari tadi. Sumiati sudah
merasakannua. Merasakan
adanya konstraksi beruntun.
dengan jumlah menit yang
semakin menurun .Sumiati baru
saja akan menyuruh Tukijem
pergi memanggil bidan. ketika
terdengar ribut-ribut di luar.
Dan Sumiati menemukan
suaminya tidak saja berperilaku
aneh. bercerita yang aneh-aneh.
tetapi juga mendadak tampak
sangat goyah.
Sumiati meringis sakit.
Perasaan mules itu datang lagi,
Perlahan-lahan Sumiati
menggeliat bangun dari
rebahnya. Dan ia masih
menimbang-nimbang apakah
suaminya perlu diberitahu atau
langsung saja menyuruh Tukijem
pergi menjemput bidan. ketika
terjadi hal yang
tidaK terduga-duga.
Yakni" terdengarnya sura hingar
bingar yang mengejutkan
.Seperti ada pintu ditendang.
lalu terhempas membuka.
Dengan suara berdebam.
Membuat seantero rumah terasa
bergetar.

***

PRAMONO dan sumiati


terlonjak bangun dalam waktu
serempak.
_ Sambil terlonjak lantas duduk
gemetar dengan wajah pucat
pasi, Pramono terpekik. Ngeri."
Suara apa..."itu"!"
Sumiati yang sama pucatnya,
diam membisu. Hanya
tangannya saja yang terlihat
menekap dada. Berusaha
menahan deburan jantungnya
yang seakan terasa copot.
Sementara suara hingar bingar
tadi. dengan segera disusul oleh
kesunyian yang menyentak.
Sunyi yang berkepanjangan.
Seolah-olah disengaja oleh si
pendobrak pintu. Supaya
getaran di sekeliling rumah
berhenti
perlahan-lahan. Dengan begitu.
penampilannya nanti di depan si
penghuni, akan lebih berkesan.
Kesan itu sudah lebih dulu
merasuki Pramono. Selsel
otaknya bekerja cepat dan
langsung merangkai sebuah
gambaran menakutkan. Yang
kemudian terlontar keluar dari
celah-celah bibirnya. Berupa
bisikan lirih dan panik. "' Pasti
itu........hantunya
Rahayuningsih!"
Alangkah fatal akibat bisikan
yang sembrono itu.
Kelopak mata Sumiati seketika
meraih-melek. Lantas didahului
keluhan lemah tubuh Sumiati
dengan cepat sudah rebah
kembali di tempat tidur. Rebah
terhempas Tak sadarkan diri.
Melihat istrinya jatuh pingsan.
Pramono pun histeris. Lantas
menjerit-jerit kalang kabut. "
Tolong! Ada hantumu!
Toloong.."!"
lolongan minta tolong Pramono
terdengar sampai sejauh belasan
rumah. Tanpa satu rumah pun
yang memperlihatkan reaksi.
Rumah-rumah para tetangga
malah tampak semakin sunyi.
Semakin membeku. Janji tinggal
janji. Yang pasti, para tetangga
yang tadi berkata " Jika ada
apa-apa jangan segan-segan
berteriak.-....". justru semakin
meringkuk di tempat
masing-masing. Tanpa berani
mengeluarkan suara. apalagi
bergerak. Seakan setiap suara
atau gerakan yang mereka
perbuat, sama artinya dengan
mengundang kedatangan sang
maut.
Jerit Pramono akhirnya berhenti
sendiri
Bukan karena kecewa pada
tetangganya yang

berjanji palsu. Akan tetapi


lebih-lebih dikarenakan
munculnya suara-suara lain di
luar kamar tidurnya. Suara yang
kembali hingar bingar. Kali ini
bukan lagi suara pintu didobrak.
Melainkan suara kursi meja dan
perabotan. yang
dijungkir-balikkan 'dengan
kasar dan semena-mena. Semua
hingar bingar itu terdengar
semakin dekat dan dekat saja.
Lalu pintu kamar tidur menderit
terbuka.
Di tengah cekaman teror, bathin
Pramono masih teringat untuk
mengutuk Sumiati yang lupa
mengunci pintu kamar tidur.
Dan membiarkan lampu tetap
pula menyala. Sehingga apa
yang kemudian terjadi pada
saatsaat berikutnya, terlihat
jelas oleh Pramono yang sudah
kehilangan kendali diri.
Mengikuti terkuaknya pintu
kamar, yang muncul bukanlah
sosok Rahayuningsih. Namun
Pramono tak harus bernafas
lega karenanya. Karena yang
tampak berdiri di ambang pintu,
sungguh pemandangan yang
Jauh lebih mengerikan. yakni
sesosok tubuh tinggi besar.
Tubuh yang hangus menghitam
serta melepuh_hebat disana-sini.
Sambil sebelah tangan kulit
serta dagingnya nyaris menyatu,
terlihat menekap lambung.
Namun tak cukup lebar untuk
menutupi robek menganga pada
lambung tersebut. Sehingga
sebagian isi lambungnya tampak
sedikit menyembul. Seperti mau
memaksa untuk keluar.
"Su-hen-drooo......!", Pramono
menggagap. Ngeri. " Apa
yang..."
suhendro perlahan-lahan
menyeringai. Lebar. Matanya
yang setengah hangus tampak
berputar-putar. Liar. Menatap
bukan ke wajah Pramono.
Melainkan lurus ke SOSOk
Sumiati yang terkapar pingsan,
dengan perut yang tampak
menggunung. Tetapi perut
menggunung itu tampaknya
tidak mengganggu Suhendra.
Karena matanya yang bergerak
liar itu lebih tertarik untuk
menikmati pemandangan dibalik
gaun hamil Sumiati yang
tersingkap lebar.
Seraya mendesahkan nafas
berat, Suhendro melangkah
masuk ke dalam kamar. Tanpa
sedikit pun melirik pada
Pramono yang terlompat dari
tempat tidur. lantas mundur ke
sudut dengan mata membelalak
ketakutan. Di sudut mana.
Pramono kemudian berhenti
karena punggungnya tertahan
oleh tembok
Detik-detik berikutnya, semakin
melengketkan punggung ke
tembok. Manakala ia lihat
munculnya dua sosok lain di
belakang sosok Suhendra. Yakni
sosok mayat Badrun yang pucat
membiru. Dan sosok mayat
Suparta, yang mata putihnya
terus melotot setengah keluar.
tanpa sekalipun berkedip. Mata
yang selain kejam. juga tampak
sangat buas.
Tak satu pun dari ketiga mayat
tersebut yang melihat ke arah
Pramono. Walau hanya dengan
sebelah mata! Namun demikian.
lutut Pramono toh terasa goyah
dan terus goyah. Sampai
akhirnya tubuh Pramono
melorot turun. Lantas jatuh
terduduk di lantai. Menyandar'
ke tembok. Tanpa daya pun.
tetap tidak ada
yang ambil perduli .
Seolah-olah Pramono dianggap
tidak ada!
Dan dalam ketidak perduliannya
pada si empunya rumah. tubuh
tinggi besar Suhendro kemudian
merayap naik ke tempat tidur.
Dengan mempergunakan
tangannya yang bebas. kasar
serta brutal ia tarik lepas celana
dalam Sumiati yang tetap
terkulai diam tak sadarkan diri.
ia" dengan nafas menggebu,
tubuh tinggi besar Suhendro
berjongkok di sebelah bawah
tubuh Sumiati Lututnya ia
gerakkan kuat-kuat, memaksa
paha Sumiati terbuka lebih
melebar. _
Dan pada saat berikutnya,
Suhendra tampak sudah sibuk.
Bukan sibuk menggenjot tubuh
Sumiati yang tak berdaya.
Melainkan sibuk memasukkan isi
lambungnya yang rupanya
terburai ke luar. Namun begitu
masuk, usus Suhendra lagi-lagi
terburai dan terburai
Mayat Badrun yang
memperhatikan dengan tak
sabar, tidak lagi tinggal diam. Ia
pun naik ke tempat tidur. Mayat
Suhendra ia dorong ke samping.
Yang didorong tidak
mengajukan protes. Karena
sedang sibuk mengurus ususnya
yang terus saja membuat ulah.
Saat berikutnya, tempat yang
ditinggalkan mayat Suhendra
dengan cepat _sudah digantikan
oleh mayat Badrun.
Sibuk mengangkangi tubuh
Sumiati.
Yang tetap diam. Terkulai.
Pada waktu sama, di komplek
makam.
"Aku tahu rohmu
bergentayangan sengsara.......",
Marsudi berbisik tajam sambil
matanya mengawasi tengkorak
serta tulang belulang yang
setengah terbenam di tanah. "
Maka, bila kau ingin rohmu
tenteram dalam kedamaian.
datanglah. Dan mari kita
berbicara disertai itikad
baik"...!"
Sama saja. Tetap tidak ada
getaran, yang ada. ialah
suara-suara berisik. Datangnya
dari sekitar permukaan lubang
galian.
Tanpa melepaskan-konsentrasi
bathin, Marsudi mendongak
perlahan. Mcnyapukan pandang
ke sekitar. maka tampaklah di
atas gundukan tanah
menggunung yang mengelilingi
lubang besar itu,
berpasang-pasang mata merah
yang bersinar-sinar tajam.
Wujud pemilik mata yang
jumlahnya belasan pasang itu.
tidak terlihat jelas. Karena
selain bentuknya samar-samar,
warnanya pun hitam pula.
Sehingga wujud mahluk-mahluk
tersebut. kecuali sinar matanya.
tampak bagai menyatu dengan
hitamnya malam.
Bisuk-bisik di atas Marsudi
terdengar semakin ramai.
Semakin tajam. Dan bising
alang kepalang. menulikan
telinga. Marsudi bangkit dengan
tenang dari silanya Tegak
mengawsi gundukan tanah
menggunung di atasnya.
Marsudi kemudian berujar.
lembut " Bukan kedatangan
kalian yang kuharapkan. Maka.
pulanglah secara baik-baik...!"
Permintaan Marsudi seketika
membuat bisikan
bisikan lengking yang mampu
menyayat kendang telinga.
Marsudi tak tahan, lantas
berteriak marah. " Enyah.
kubilang. Enyalah.?"!"
Belasan pasang mata merah itu
justru semakin bersinar-sinar.
Menimbulkan kesan kejam dan
buas. Malah beberapa sosok
hitam mereka, satu persatu
merangkak turun ke dalam
lubang. Sambil mengeluarkan
bisikan tajam mereka yang
lengking menyayat.
"Hem!", Marsudi menggeram. "
Baiklah".."!"
Seraya menggeram. Marsudi
membungkuk cepat. Ia rahup
segumpal tanah dengan
masing-masing tangan. Secepat
di rahup, secepat itu pula tanah
dalam kepalan tangan ditiup
bergantian Usai ditiup, langsung
di lontarkan bergantian pula.
Dilontarkan sekeras-kerasnya.
Sosok mahluk hitam yang
merayap turun di sebelah kiri
depan Marsudi, seketika
menjerit-jerit lantas lenyap dari
pandangan mata. Hal yang sama
kemudian terjadi pada sosok
mahluk di sebelah kanan depan.
Menjerit lengking, kemudian
melenyap hilang
Tanpa terpengaruh. Marsudi
sudah membungkuk kembali.
Merahup tanah di dekat kakinya.
Akan tetapi, ketika ia berdiri,
Marsudi melihat sosok-sosok
lainnya yang sudah keburu
merayap turun. dengan cepat
sudah pada merayap naik
kembali. Naik dengan gerakan
mundur. sambil mata merah
tetap mengawsi Marsudi. Tidak
lagi dengan sinar kejam dan
buas.-Melainkan. dengan sinar
yang tampak melemah. mungkin
ketakutan.
Mundur dan terus mundur.
Menjauhi bahaya yang
menyerang balik! Marsudi dian
Mengawasi.
Di tengah desa. dalam rumah
Pramono.
Mayat Suparta merayap turun
dari tempat tidur. Lantas berdiri
di sebelah Badrun yang sudah
lebih dulu turun.
"Sialan !". mayat Suparta
mendengus. lesu bercampur
kecewa. " Aku tak bisa. Anu-ku
tak mau bangkit.......l"
"Sama denganmu". timpal mayat
Badrun. tak kurang lesu dan
kecewa.
Di seberang tempat tidur. mayat
Suhendro menggerutu kesal. "
Dan ususku yang terkutuk
ini....".!" Sibuk sebentar dengan
lambungnya yang robek
menganga. Suhendra kemudian
menggumam. Tak senang. "
Sudahlah. Kita teruskan saja
rencana semula. Ayo kita
gantung dia di batang pohon
terdekat!"
Dua mayat lainnya. sama
mengangguk. Setuju.
"Kebetulan aku bawa kain
selendang......!" gumam mayat
Badrun. Menguatkan
persetujuannya.
Mayat Badrun lantas melepas
kain selendang yang dibelitkan
asal-asalan ke tubuhnya.
Dengan tubuh bugilnya yang
semakin pucat membiru. mayat
Badrun melangkah keluar
kamar. Diikuti oleh mayat
Suhendro
yang terus sibuk mengurus
ususnya yang lagi-lagi mau
tumpah keluar. Sambil
memaki-maki tanpa henti.
Mayat Suparta yang ditinggal
sendirian. sekali lagi bergumam
lesu. " Terkutuk benar. Nafsuku
saja yang besar. Tetapi
anuku.....".!"
Seraya bergumam. kedua
tangannya dijulurkan ke tempat
tidur. Tubuh Sumiati yang masih
juga tak sadarkan diri, kemudian
dirangkul. Lalu di panggul
dengan gerakan enteng. Seakan
tubuh yang lagi bunting tua itu
tak lebih dari sekarung kapas.
Mayat Suparta dengan segera
sudah menghilang dari kamar.
Membawa Sumiati.
Untuk digantung hidup-hidup!
Hebat nian Pramono. Tetapi
hebat yang teramat sangat
menyedihkan. Betapa tidak.
Semua adegan maupun dialog
yang ia lihat maupun ia dengar.
"Tak kuasa dihindari Pramono.
Selama teror mengerikan itu
berlangsung, Pramono terus
tersadar. Meski betapa ia ingin
lebih baik pingsan. kalau perlu
mati saja. Sehingga ia tak harus
menyaksikan mimpi buruk yang
berlangsung di depan mata.
Mimpi di mana istrinya tercinta
yang sedang hamil tua, akan
diperkosa dan diperkosa lagi.
Usaha keras para pemerkosa itu
kemudian memang gagal total.
Namun toh Sumiatinya tercinta
tetap saja sudah diperhinakan.
Dilecehkan.
Selain ingin pingsan atau kalau
perlu mati. Pramono sebenarnya
juga ingin memberontak lantas
melawan sebisa-bisanya Namun
keinginan tetaplah
tinggal keinginan. Karena
semua jaringan saat di sekujur
tubuh Pramono bagai lumpuh
total. Menjerit saja pun sudah
tak mampu. Karena lidah
bagaikan kelu. Membeku.
Yang aneh, kesadaran dirinya
tetap tidak terganggu.
Tetapi keanehan itu dengan
segera sudah terjawab. Yakni
oleh bisikan tajam yang tiba-tiba
menyentuh telinganya. Bisikan
seorang perempuan yang sudah
sangat ia kenal.
"Mereka cuma pelaksana",
demikian bisikan itu. " kaulah
yang memberi perintah, Juragan
Muda..".!"
Dan di pinggiran tempat
tidur......._tepat di depan mata
Pramono yang masih terkulai
menyandar di sudut kamar,
sudah duduk Rahayuningsih.
Kedua kakinya bersijuntai di
lantai. Benar-benar tampak
santai.
"Tak perlu cemas!",
Rahayuningsih menyeringai
pada Pramono. Seringai
sukacita. " Semuanya akan
segera berakhir. Lalu hanya
tinggal aku dan kau!"
Diam sejenak mengawasi
Pramono yang terdiam tanpa
daya., Rahayuningsih kemudian
melanjutkan. " Tubuh
ini...........". ia menunjuk kedada
sendiri. " Akan kuhidupkan.
Juga yang ini......?",
Rahayuningsih menunjuk ke
perut buntingnya. " Anakmu.
Yang berarti. anak kita. Dia juga
akan kuberi kehidupan. Setelah
itu..........."
Sekali lagi, Rahayuningsih
berhenti.
Hanya kali ini, terhenti
mendadak. Dengan wajah
pucatnya tiba-tiba tampak
mengeras. Kaku. Sepasang
matanya bergerak-gerak liar
pula. lantas dari mulutnya
terlontar gumaman terkejut. "
Hei! Apa ....... !"
Dalam cekaman teror, Pramono
menatap. Tak mengerti.
***
Pada waktu sama. di komplek
makam.
Mahluk-mahluk kecil bermata
merah itu sudah pada
menghilang dari pandangan
mata Marsudi. Yang tampak
hanyalah gundukan tanah
menggunung di sekeliling
permukaan lubang.
Namun dari balik gundukan
tanah menggunung itu masih
terdengar suara-suara bisikan
tajam. Bisikan kacau_
mendesing-desing. Yang
menakjubkan. semakin menjauh
suara bisikan itu justru nadanya
terdengar semakin meninggi.
Sampai akhirnya terdengar
bagaikan jeritan-jeritan
lengking yang tidak hanya
teramat bising. Tetapi juga
terdengar bagaikan memanggil,
beramai ramai.
Semacam panggilan gaib dan
mistis.
Yang membuat Marsudi seketika
menjadi waspada.
***
Dan, di dalam rumah Pramono.
Sosok Rahayuningsih tiba-tiba
menggeram. Buas. " Siapa
kiranya manusia tak tahu diri.
Yang coba-coba
mengganggu kesenanganku.
eh"!"
Di ujung geramannya. sosok
Rahayuningsih pun melenyap.
Hilang begitu saja, seperti juga
pemunculannva tadi. Tanpa
pertanda tanpa meninggalkan
bekas. Kecuali sapuan angin
dingin menusuk. Yang itu pun
kemudian melenyap hilang pula.
Pada saat itulah, sel-sel otak
Pramono berdentangdenting.
Melompat-lompat tak sabar.
Jaringan syaraf di sekujur
tubuhnya sedikit demi Sedikit
mulai bereaksi.Sesuatu tadi yang
menyihir Pramono,
perlahanlahan mengendur. Lalu
mengabur hilang.
Untuk pertama kalinya. Fisik
Pramono bisa bereaksi.
Dimulai dengan kelopak mata
yang mengerjap kerjap. Disusul
jari jemari tangan serta kaki.
ikut berkejat-kejat. Detik-detik
berikutnya, Pramono sudah
mampu
menggeliat.Termenung-menung
sebentar, Pramono kemudian
meloncat berdiri
Lantas lari menghambur keluar
kamar tidur. Terus keluar
rumah. Sembari mulut Pramono
terus pula menjerit-jerit.
Histeris. " Jangan! Jangan
kalian bunuh Sumiati! Kalian
keliru. sesaat. Lalu diakhiri oleh
jeritan panjang menggetarkan. "
Tidaaak.......!"
Jeritan panjang berkesan seram
itu bergaung kemana-mana.
Penduduk sekitar, apalagi para
tetangga dekat sama dibuat
gemetar di tempat mereka
meringkuk ketakutan.
Tidak terkecuali sosok tubuh
malang di salah satu
kamar dalam rumah Pramono.
Tukijem si petayan lanjut usia,
mendekam semakin dalam di
bawah selimut. Tak perduli
kasur yang ia tiduri terasa
semakin lembab danbasah.
Dibasahi oleh air kencingnya
sendiri.

***
SEBELUMNYA, di luar rumah.
Pada saat sosok Rahayuningsih
melenyap hilang. bukan cuma
Pramono seorang terbebas dari
pengaruh sihir. Tiga sosok
mayat di luar rumah juga
mengalami hal yang sama.
Salah satu Ujung kain selendang
sudah tersimpul dengan
lingkaran yang cukup untuk
menjerat leher seseorang. Ujung
lain dari selendang tengah
diikatkan, ia mendadak limbung
lantas jatuh terguling dari
cabang pohon mangga tersebut.
Mayat Badrun terhempas
menjerembab di tanah
Mayat hendro yang tengah sibuk
mengurus USusnya_ limbung
pada waktu bersamaan. lantas
ikut menjerembab diam. Tak
bergerak-gerak. Dengan usus
tumpah. Terburai kaku.
Membeku dalam seketika.
Tidak berbeda halnya dengan
mayat Suparta.
Ia baru saja tiba di dekat
gantungan kain selendang. Dan
sedang sibuk memasukkan
kepala Sumiati ke lingkaran
simpul selendang, ketika
tubuhnya mendadak jatuh
tersungkur bersama tubuh
Sumiati yang masih setengah
dipanggul. Sebagaimana dua
mayat temannya. mayat Suparta
langsung membeku kaku setiba
di tanah.
Adapun Sumiati yang terlempar
karena jatuh tersungkurnya
Suparta, sempat mengeluh
tersadar. Namun hempasan
keras tubuhnya sewaktu Jatuh
terlempar. menimbulkan
perasaan sakit yang hebat.
Terutama pada kandungannya.
Sewaktu mengeluh. kelopak
mata Sumiati sempat mengerjap
terbuka. Untuk kemudian
mengatup kembali. Tubuhnya
pun terbanting diam. tak
bergerak-gerak.
Tidak jelas apakah Sumiati
masih hidup atau sudah mati.
Yang pasti. dari Celah-celah
pahanya yang mengangkang
terbuka, tampak ada rembesan
darah kental mengalir lalu
memerahi tanah di sekitarnya.
Tak ada yang lain. kecuali
genangan darah.
Dan itulah yang kemudian
dilihat Pramono. Dan seketika
membuat Pramono menjerit
panjang dengan sekujur tubuh
bergemetar hebat. Lantas jatuh
berlutut di samping tubuh
Sumiati.
Seraya menangis sesenggukan.

***
Jeritan-jeritan lengking itu
tiba-tiba melenyap hilang.
Sebelumnya. Marsudi sudah
mulai curiga. Bahwa yang Ia
hadapi bukanlah sekedar hantu
Rahayuningsih. Melainkan
sesuatu yang lain. Sesuatu, yang
jauh lebih berbahaya dibanding
roh mantan manusia. Maka
ketika lengkingan bising itu
melenyap hilang, Marsudi pun
bergegas naik ke'atas.
Lalu berdiri digundukan tanah
galian.
Diam. menunggu.
Beberapa saat kemudian.
tampaklah adanya sinar merah
melesat di atas sungai yang
membatasi desa dengan komplek
makam .Sinar merah itu
langsung lewat di atas Marsudi
yang seketika memutar
tubuhnya. memperhatikan.
Dengan sikap tetap waspada.
Sinar merah terbang
berputar-putar sejenak di sekitar
permukaan lubang besar. Naik
sedikit lebih ke atas untuk
sesaat. Lalu meliuk turun sambil
perlahanlahan membentuk
sebuah wujut _Pada kejap
berikutnya. diatas gundukan
tanah yang berseberangan
dengan tempat Marsudi berdiri,
sudah tegak sesosok tubuh.
Yakni, sosok Rahayuningsih.
Dengan 'blus panjangnya yang
tercabik-cabik. Dan perutnya
yang membunting nyata.
Dua Pasang mata seketika
beradu pandang tanpa kata.
Lalu di seberang sana
Rahayuningsih tampak membuka
mulut. Dan terdengarlah
suaranya yang berat dan kering.
" Siapa kau ini. eh"'
"Marsudi . .!"
Sosok Rahayuningsih melongok
lubang besar menganga di
hadapan mereka. Lantas seraya
menyeringai tipis. ia berkata
memuji. ' Hebat Tuan
pekerjaanmu"
Marsudi diam saja.
Sosok Rahcyuningsih menetap
tajam. Lalu bertanya. tak
senang. " Apa hakmu merusak
tempat kediamanku?"
Jadi itulah dia. pikir Marsudi.
dan di mulut ia menjawab.
Tenang. " Aku tidak tahu daerah
ini tempat kediamanmu. Lagi
pula, aku tidak bermaksud
merusaknya Tujuanku
semata-mata untuk mencari
itu"..!". Marsudi menunjuk pada
kerangka yang setengah
terbenam di dasar lubang. " Jika
pekerjaanku kau anggap
merusak. sudilah memaafkan!"
"Hem ...' gumam sosok
Rahayuningsih. Sempat terdiam
oleh kesantunan Marsudi. Lalu.
" Jika hanya untuk itu. Mengapa
tidak kau lakukan sejak
dulu-dulu .Ketika raga itu mula
terbenam di sini?"
"Aku terhitung pendatang baru
di desa ini" Marsudi
memberitahu. " Baru
belakangan aku mendengar
tentang dirimu. Itu pun yang
kudengar. kau dinyatakan
hilang. Minggat tanpa kabar
berita!"
"Hem". suara bergumam lagi.
Berpikir-pikir. segan, nada
bicara sosok Rahayuningsih
terdengar berubah. Tak
bersahabat. " Kau seperti sudah
tahu siapa diriku!"
"T erus terang, tidak!", Marsudi
menjawab sejujurnya. " Aku
cuma mendengar-dengar. Itu
pun sekilas sekilas. Dan tidak
pernah menanggapinya secara
serius..
"Lalu, apa hakmu mencampuri
urusanku?"
"Ini tidak menyangkut
_hak!"jawab Marsudi. Tandas. "
tetapi tentang keharusan. Untuk
menolong sesama!" '
Sinar rembulan yang semakin
pucat, menerangi wajah sosok
Rahayuningsih yang tampak
mengeras. Kaku. Bibirnya
menyeringai. Juga, seringai
kaku. Lalu tibatiba suaranya
yang berat dan kering terdengar
menghardik.
"Kamu", katanya. seraya
menuding Marsudi. Ganti
menuding ke arah desa ia
melanjutkan. " dan mereka yang
di bawah sana! Kalian tidak
patut di tolong!"
"Alasannya?". Marsudi
bertanya. Kalem.
"Kalian telah merampas
wilayahku. Sejengkal demi
sejengkal!" sahut sosok
Rahayuningsih. marah. " Dulu.
aku membiarkan. Karena kalian
belum begitu rakus. Dan kalian
pun masih rajin memberi
sesembahan padaku. Tetapi
kalian rupanya pantang diberi
hati. Dari Sejengkal, kalian
terus mengambil sehasta demi
sehasta. Sambil semakin lalai
memberi sesembahan Sudah
begitu. bangkai-bangkai kalian
bukannya dibuang ke tempat
lain. Tetapiditumpuk di halaman
kediamanku!"
Mencerna sejenak, Marsudi
kemudian bertanya. Dengan
meminjam kata-kata yang tadi
diucapkan lawan. " Jika
memang itu permasalahannya.
Mengapa tidak kau beritahu
semenjak dulu-dulu?"
"Aku sudah mencoba!", jawab
sosok Rahayuningsih. Dengan
nafas tersengal-sengal oleh
kemarahan. " Tetapi kalian
malah berbalik memerangi
diriku. Dan beberapa diantara
kalian membuatku sakit. Lantas
sekarat berkepanjangan.
Puluhan tahun yang teramat
menyiksa. Mati tidak. hidup pun
bukan!"
"Lantas", Marsudi terus
mencoba. Ingin tahu.
"Lantas dia pun datang!", sosok
Rahayuningsih menunjuk ke
arah kerangka di dasar lubang.
" Datang ke tempatku berkubang
selama ratusan tahun.
Mengantarkan jiwa!"
"Mengantarkan jiwa?"
"Tepatnya. dia jatuh dari langit
di atasku !", sosok
Rahayuningsih menyeringai.
Sinis. " Dan itulah untuk
pertama kalinya ada sosok
manusia meregang nyawa di
hadapanku!"
"Kau apakah dia. " Jika aku
boleh tahu?", Marsudi bertanya
membujuk. Sambil diam-diam
mulai mereka reka kemungkinan
apa yang terjadi. Dan apa yang
harus ia lakukan nanti. .
"Kuapakan?", jawab sosok
Rahayuningsih. Bernafsu. " Roh
manusia. Itulah sesajianku
semenjak dulu
kala. Yang memberi aku energi
kehidupan! Dan yang dahulu
selalu kalian persembahkan
untuk memperoleh
pengampunan atau pertolongan
apapun yang kalian butuhkan
dariku!"
Menyeringai sesaat sosok
Rahayuningsih kemudian
melanjutkan dengan gembira. "
Bukan main ! Setelah cukup
lama aku menunggu. salah
seorang dari kalian. datang
sendiri untuk menyerahkan
energi yang kubutuhkan. Roh
yang tengah merayap keluar
dari tubuh sekaratnva. Roh_
yang masih hangat!"
Diam-diam. Marsudi merinding.
"Syeitan.....", ia membathin.
"Memang tidak akan pernah
berhenti untuk memenuhi nafsu
angkara murkanya. Jika perlu.
dengan melanggar kodrat!"
"Apa yang kau pikirkan. eh?".
sosok Rahayuningsih mendengus
tiba-tiba. Curiga.
Marsudi cepat menggeleng. "
Ah. Bukan apaapa........."
"Bohong!"
"Ya. sudah!", jawab Marsudi.
Enteng. Ia merasa semakin lelah
saja. Dan jika hal itu ia biarkan
berlarut larut, bukan hanya
tenaga pisik tetapi juga tenaga
bathinnya akan ikut terkuras
melemah. Dan itu berbahaya!
"Karena tidak ada lagi saling
percaya diantara kita.....". kata
Marsudi lagi. '" lebih baik kita
akhiri sampai di sini. Tetapi
sebelumnya, kalau aku boleh
meminta. Tolong hentikan
sepak-terjangmu yang
semakin keterlaluan itu. Juga,
roh yang kau perbudak.
Lepaskan sajalah dia........!"
Sosok Rahayuningsih tertawa
meringkik.
Tawa bergetar. Disertai hawa
dingin menusuk. Jauh lebih
menusuk dibanding dinginnya
udara subuh yang sudah datang
menjelang. Marsudi pun
diam-diam mulai memompa
tenaga bathinnya. Sadar, lawan
dengan licik sudah memulai
serangan.
Dalam tempo sekejap, hawa
panas segera mengalir dari
sebelah dalam tubuh Marsudi.
Hawa panas itu merembet
keluar. Lalu mengusap-usap
lembut kulit di sekujur tubuh
Marsudi, yang sempat membeku
kaku oleh serangan lawan.
Namun hanya dikerahkan
seperlunya saja. Agar lawan
tidak sampai mengetahui. Dan
tetap menyangka diri Marsudi
sudah terkuasa!
Ringkikan magis itu mereda
perlahan.
"Dilepaskan, eh?", sosok
Rahayuningsih menggeram
berat. " Enak saja! Dilepaskan!
Setelah keinginan roh yang
raganya akan terus kupakai.
sudah kupenuhi" Dan. setelah
kesempatan yang lama
kutunggu-tunggu kini terbuka
lebar di depan mata"!"
Seketika, Marsudi terkesiap."
Kesempatan?"
"Benar. Kesempatan untuk
mengambil kembali wilayahku
yang selama ini kalian rampas.
Melalui raga ini!" sosok
Rahayuningsih menunjuk ke diri
sendiri " Dengan raga mana aku
telah beradaptasi cukup lama.
Tentu saja dibantu oleh raga
satunya lagi. Raga kekasihnya
tercinta!"
Pemberitahuan itu diakhiri
dengan ringkikan panjang.
bergetar. Dan kembali
menyemburkan hawa dingin
menusuk. Semburan yang lebih
hebat dari sebelumnya
Beruntung. Marsudi tetap dalam
siaga. Tenaga bathinnya masih
terus memompa.
Sekali lagi. memompa
secukupnya saja.
Lalu. tiba-tiba ia menjadi
waspada.
Ada suasana sunyi yang muncul
sekilas. Sunyi yang
mencurigakan. Dan sewaktu
Marsudi menajamkan pandang
ke seberang lubang galian.
jawabannya segera ia ketahui.
Sosok Rahayuningsih
samar-samar tampak
merenggangkan kaki di
tempatnya tegak. Gerakan
diamdiam itu ditutupi oleh sang
Sosok dengan terus berkicau
sebagai pelengah lawan.
"Ah. aku sudah terlalu banyak
bicara.... " katanya. Dengan
nada hambar. " Dan kau
memang benar. Semua ini
memang sudah waktunya
diakhiri!"
Di ujung kalimatnya. mulut di
wajah pucat sosok
Rahayuningsih mendadak
terbuka. Dan dari lubang mulut
itu memancarkan keluar sinar
merah tebal. yang dengan cepat
sudah menyerbu ke depan .
Sinar merah itu menyerbu
sambil terus memanjang.
Melebihi panjangnya garis lurus
lubang galian. Dan menjelang
tiba di seberang, sinar merah itu
tahu-tahu pecah menjadi empat
bagian. Setiap pecahan sinar,
tampak meliuk-link liar. Sambil
masing-masingnya membentuk
sebuah wujud!
Dengan pangkal sinar tetap
bermuara di mulut si pemilik.
ujung sinar yang terpecah
menjadi empat bagian itu sudah
berubah bentuk. Tetap dalam
Wujud sinar merah. Namun
dengan meminjam bentuk raga
setengah badan dari korbar
korban kebiadaban sosok
Rahayuningsih.
Ujung sinar sebelah kiri.
membentuk wujud Badrun dari
wajah sampai sebatas pinggang.
Sinar merah menyerupai wujud
Suparta menyerang dari ujung
kanan. Dengan mengapit dua
wujud setengah badan lainnya.
Yakni. wujud setengah badan
Suhendro dan Kartinah.
Begitu wujud mereka terbentuk.
tangan-tangan mereka pun
langsung menggapai-gapai ke
depan. Delapan tangan
berwujud sinar merah itu meliuk
liar serta kacau. Agaknya saling
berebut untuk lebih dulu
meringkus Marsudi.
Untuk kemudian direngkah.
Oleh rahang-rahang mereka
yang terbuka menganga!

***

Pada saat kaki lawan tampak


merenggang. Marsudi sudah
mempersiapkan diri.
Kakinya diam-diam ikut
merenggang pula. Bertumpu
kokoh ke permukaan tanah
tempatnya berpijak. Dengan
tekanan ringan. agar kakinya
tidak sampai melesak terbenam.
dan ketika sinar merah
menyembur keluar dari mulut
sosok Rahayuningsih. Cepat dan
sigap kedua lengan sudah
ditempatkan Menyilang di depan
wajah. kesepuluh jari
dirapatkan. Terkecuali ibu jari
yang dibiarkan merenggang.
bebas.
Marsudi tidak langsung
memapak serangan.
Tanpa terpengaruh oleh ujung
sinar yang terpecah menjadi
empat ujud mengerikan itu.
Marsudi kumat
kamit membaca do'a. Sambil
menunggu. Setelah hawa gaib
dari delapan tangan yang
menggapai gapai itu nyaris
menyentuh dirinya. Matsudi
bertindak. Cepat dan sangat tiba
tiba. kedua lengannya mengibas
ke kiri kanan. Kibasan cepat itu
dilakukan berulang-ulang.
Secara beruntun. Dengan jarak
kibasan yang satu dengan
lainnya nyaris tak ada sama
sekali. Yang terlihat hanyalah
putaran samar lengan Marsudi.
yang menimbulkan bunyi
berdesas-desus keras
menghunjam.
Keempat ujung sinar berwujud
setengah badan manusia itu
meraung berkepanjangan. Lalu
pecah dalam seketika. Buyar
berantakan. Sisanya bergerak
menyatu ke bentuk semula. Sinar
merah tebal. yang terus surut,
memendek. Sampai akhirnya
melenyap hilang di sebelah
dalam mulut sosok
Rahayuningsih.
Sempat terkejut, sosok
Rahayuningsih tidak lantas diam
begitu saja. Serangan pertama
ditarik mundur, serangan kedua
sudah langsung disusulkan.
Jurus yang ini. lebih menyerupai
jurus manusia. Agaknya. hasil
beradaptasi dengan raga yang
ia tempati. Yakni dengan
melompat tinggi dari tempatnya
berdiri. Lantas dengan tubuh
membujur rata. ia melesat ke
depan. Dengan kedua kaki
merapat. Dan telapak yang putih
pucat menerjang lurus ke arah
kepala Marsudi.
"Sebuah tipuan gaib !", bisik
bathin Maraudi yang sudah
menyilangkan kembali kedua
lengannya di depan wajah.
Marsudi menyebut tipuan gaib.
karena yang tampak menyerang
adalah telapak kaki manusia
biasa.
Namun serbuan telapak kaki itu
jelas disertai kekuatan
membunuh yang tersembunyi.
Karena mendahului datangnya
telapak kaki terasa adanya
serbuan hawa panas melebihi
panasnya bara api.
"Hem!". Marsudi mendengus.
Sumber panas diketahuinya
sudah. Dan begitu hawa panas
terasa menyengat kulit lengan
yang melindungi wajah. Marsudi
pun seketika melancarkan
serangan balik. Kali ini lengan
tidak lagi mengibas. Kedua
lengan malah menyatu rapat.
Begitu pula dengan kedua
telapak tangan beserta ke
sepuluh jari,
Tampak seperti akan menangkis
serangan, kedua telapak tangan
yang sudah menyatu rapat itu
meliuk sedikit lalu dengan
kecepatan tak terduga menyerbu
ke depan. Dan langsung
menyelinap masuk pada celah
sempit diantara kedua telapak
kaki yang datang menerjang.
Sosok Rahayuningsih menjerit
Kaget.
Ia'berusaha menarik mundur
serangannya. Sayang ia sedikit
terlambat. Karena kedua belah
kaki lalu pahanya sudah keburu
tersibak oleh tangan Marsudi.
Tangan itu terus menyerbu
masuk ke sebelah dalam rahim
sosok Rahayuningsih. Di mana
kedua telapak tangan Marsudi
dengan sangat cepat sudah
merengkuh, mencengkeram.
lantas menggenggam kuat.
Dan pada saat sosok
Rahayuningsih berhasil juga
Menarik serangan lantas
melesat mundur, semuanya
sudah terjadi. Diantara kedua
telapak tangan
Marsudi sudah tergenggam
segumpal benda lembut basah
bewarna kemerah-merahan.
Mirip gumpalan darah kental.
Yang bersinar-sinar redup tajam
menyilaukan.
Terenggutnya gumpalan gaib itu
dari sebelah dalam tubuhnya.
ternyata berakibat fatal pada
sosok Rahayuningsih. Bagaikan
mesin yang kehilangan motor
penggerak. sosok Rahayuningsih
melunglai seketika. Lantas jatuh
terbanting di dasar lubang.
Persis di dekat kerangka yang
roh serta mantan raganya telah
di perbudak dengan
semena-mena.
DI lain pihak. Marsudi tidak
membuang-buang tempo.
Begitu serangan baliknya
membuahi-hasil. gumpalan yang
tergenggam di telapak tangan.
langsung di dekatkan ke mulut.
Setelah diludahi tiga kali
berturut-turut. secepat kilat
gumpalan merah besar itu
dilontarkan ke bawah. Dijaga
segenap kekuatan pisik yang
tersisa.
Gumpalan gaib itu jatuh
menimpa perut Rahayuningsih.
Saking kuat dilontarkan.
gumpalan itu melesak masuk,
sementara sosok Rahnyuningsih
tidak keburu menghindar.
Akibatnya segera terlihat.
Disertai jeritan sengsara yang
mendirikan bulu kuduk. sekujur
tubuh sosok yang menggeletak
itu seketika tampak merah
membara dari ujung rambut
sampai ke ujung jari kaki. Dari
merah membara. terus
hangus menghitam. Lantas sirna
perlahan-lahan. Meninggalkan
gumpalan asap hitam yang
berbau sengit. busuk alang
kepalang
Pada detik berikutnya.
gumpalan asap hitam itu tampak
membentuk sebuah wujud,
Tetapi sebagaimana dengan
mahluk-mahluk kecil
sebelumnya ujud yang ini pun
tidak terlihat jelas. meski dengan
postur yang jauh lebih besar.
Dan yang terlihat cuma wujud
hitam legam semata. Yang
menggeliat-geliat hidup. Sambil
terus meraung-raung. Dengan
suara membahana.
Raungan itu segera disambut
oleh jeritan-jeritan lengking dan
bising dari tengah kegelapan
hutan nun jauh di sana. Suara
mendirikan bulu roma yang
sahut bersahut itu baru
melenyap hilang. setelah sosok
hitam legam di dasar lubang.
berhenti menggeliat Lantas
sosok tak nyata itu
pun.......sebagaimana halnya
tadi dengan sosok
Rahayuningsih. perlahan-lahan
mengabur pula Lantas sirna
tanpa meninggalkan bekas.
Yang tampak di dasar lubang.
hanyalah pemandangan yang itu
itu juga. Tengkorak serta
kerangka yang setengah
terbenam di tanah. Dengan
sebuah tengkorak yang lebih
kecil .serta setengah hancur.
disekitar tulang belikat yang
paling bawah.
Namun ada sedikit perbedaan.
yang membuat Marsudi sempat
tertegun. Kedua tengkorak serta
tulang belulang yang semula
pucat dan kusam itu. kini tampak
lebih putih. Lebih bersih.
bersinar-sinar. Seakan ada
tangan tangan gaib yang telah
mencucinya dengan penuh
kaSih sayang.
Marsudi pun tersenyum. Lembut.

"Tidurlah dalam damai,


Rahayuningsih", ia berbisik
dengan lembutnya. " Jangan
lupa titip salamku pada
anakmu!" Tersenyum sekali lagi,
Marsudi cepat menambahkan. "
Percayalah. Sisa raga kalian
akan kami urus dan makamkan
kembali sebagaimana mestinya.
Tetapi itu nanti. Sekarang ini,
ada tugas lain yang harus
kutunaikan..."!"
Marsudi kemudian berlalu
meninggalkan lubang. Seperti
datangnya. kini pun kaki
Marsudi melangkah dengan kaki
nyaris_tak menjejak di tanah.
Blok demi blok kuburan
terlewati dengan cepat.
Menyeberangi jembatan. tubuh
Marsudi pun kemudian lenyap
diantara keremangan subuh
menyelimuti alam sekitar.
Lenyap bersama datangnya bias
fajar.
Dan tak berapa lama kemudian,
sudah_terdengar suara orang
membaca adzan dari masjid
raya desa setempat. '
Suara siapa lagi.
Jika bukan suara Marsudi.
Dengan terdengarnya
kumandang adzan, satu dua
orang penduduk desa mulai
keluar dari rumah masing
masing. Berjalan cepat menuju
masjid. dimana perasaan takut
mereka dengan segera
digantikan oleh perasaan
tenteram.
Satu dua lainnya, kemudian
mengikuti. Takut-takut.
Namun yang terbanyak diantara
mereka. tetap saja meringkuk
bersembunyi Tetap dalam
ketakutan. Yang entah kapan
akan berakhir.
Dan di depan salah satu rumah,
Pramono bangkit dengan wajah
murung dan putus asa. Masuk
sebentar ke dalam rumahnya. ia
kemudian sudah keluar lagi
dengan sebuah kursi yang ia
angkut dari ruang makan. Kursi
diletakkan di bawah pohon
mangga. Melirik sekilas ke sosok
Sumiati yang masih terkapar di
hadapannya, Pramono
terdengar mengisak. Sambil
mengisak. ia kemudian naik ke
atas kursi. Lingkaran selendang
bersimpul ia belitkan pada
lehernya.
Setelah itu, kursi ditendang
kuat-kuat.
Pagi pun datang menjelang
Desa kembali hidup. Meski
dengan denyut yang jauh lebih
lemah dari hari-hari
sebelumnya. itu tetap saja
sebuah denyut kehidupan. Begitu
pula dengan denyut lemah di
dada Sumiati. Denyut yang
lambat laun terasa bertambah
kuat.
Kelopat mata Sumiati kemudian
mengerjap terbuka .
Pada kerjapan yang kesekian.
semuanya terlihat lebih jelas.
Tak terkecuali sosok tubuh yang
tergantung tak jauh dari
tempatnya berbaring. Sosok
yang tampak kaku membeku. _
Mengerjap sekali lagi, Sumiati
kemudian mengenali Wajah
pucat di atasnya.
Sumiati terdengar mengeluh.
lalu air matanya kemudian
menetes satu persatu.
Mcmbasahi pipi.
catatan :

Buat pembaca kisah misteri ini


yuk gabung ke Group Fb
Kolektor E-Book untuk
mendapatkan ebook ebook
misteri terbaru lainnya yang
tentunya tak kalah seru..
dan buat pembaca yang suka
baca cerita silat dan novel
secara online bisa kunjungi
http://cerita-silat-novel.blogspot.
com
Sampai jumpa di lain kisah ya !
situbondo,9 juli 2018
Terimakasih

**. SEKIAN .**


(http://cerita-silat-novel.blogspot.co

Anda mungkin juga menyukai