"Karena tak ada lelaki yang menyukai aku, tak ada yang
bersedia menjadi kekasihku."
Geni tertawa. Ia menganggap Sekar, gadis yang aneh.
Sekar seperti bisa membaca pikiran Geni. "Kamu benar,
memang sulit mencari lelaki yang tidak jijik padaku. Tetapi
alikirnya kan aku menemukan lelaki itu," dia menatap dengan
sinar mata mencinta. Dia melanjutkan sambil memeluk Geni.
"Menurutku, jika lelaki itu tidak jijik padaku, atau dia
menyayangiku, tentu dia akan lebih sayang dan lebih
mencintaiku jika wajah dan tubuhku sembuh dari bercak cacar
ini. Itu sebabnya, aku ingin pulang secepatnya ke Lembah
Cemara agar nenek menyembuhkan bekas cacar ini."
"Jauhkah Lembah Cemara?"
"Tidak jauh, jika perjalanan cepat dengan kuda bisa dua
hari, jika jalan kaki dalam keadaan luka seperti sekarang
mungkin bisa enam han. Geni, kita harus ke sana, nenek akan
mengobati lukamu dan juga mengobatiku, kita berdua bisa
menetap di sana bercinta setiap hari, oh aku akan bahagia."
Geni teringat Walang Wulan, kekasihnya itu. "Tetapi Sekar,
aku sebenarnya punya kekasih, aku sedang mencarinya."
Geni heran melihat Sekar tersenyum Gadis itu memeluk
Geni dan berbisik, "Aku tak akan menyuruh kamu mengusir
dia, kamu tahu Geni, ayahku hidup bersama tujuh isteri. Aku
tak peduli berapa perempuan yang menjadi isterimu, yang
penting aku salah seorang di antara mereka." Sekar tertawa.
Mendadak Sekar diam, Geni juga diam Suasana lengang.
Sesaat kemudian sayup-sayup terdengar derap kuda
mendatangi. Dua muda-mudi itu bergegas mengenakan
pakaian. Seperti bisa membaca pikiran masing-masing,
keduanya cepat bersembunyi di belakang batu besar,
berhimpitan.
Saat berikut rombongan berkuda berhenti di dekat batu
besar itu. Delapan orang. Dari dandanan tampaknya mereka
hulubalang keraton. Geni dan Sekar tak berani bergerak
sembarangan, takut ketahuan.
"Kita istirahat di sini." Yang berkata itu seorang lelaki
bertubuh tinggi kekar. Tampaknya dia pimpinan rombongan.
Mereka melompat dari tunggangan Gerakannya sebat,
dipastikan mereka memiliki ilmu silat yang handal. "Kangmas
Dwi, apa rencanamu Sudah empat hari kita belum juga
menemukan Gusti Puteri Waning Hyun Kurasa kita kehilangan
jejak."
Dwi duduk tepat menghadap batu besar tempat Geni dan
Sekar bersembunyi "Aku tak tahu Dimas Walu. Sebenarnya
dengan ilmunya yang tinggi, puteri Hyun tak perlu terlalu
dikhawatirkan, apalagi ia selalu didampingi gurunya Ki
Bhojana yang aneh. Tetapi yang membuat aku was-was
adalah berita duabelas anggota regu Sinelir keraton Kediri
sedang bertualang di luaran." Ia menoleh ke samping kanan.
"Diajeng Trini, apa pendapatmu?"
Wanita bernama Trini diam sejenak, "Kangmas, kupikir
sebaiknya kita menyebar dalam dua kelompok, siapa lebih
dulu menemukan Paduka Puteri atau ketemu regu Sinelir,
segera memberi tanda."
Usul Trini disetujui semua kawannya. Salah seorang yang
duduk berhadapan dengan Dwi dan Trini, bertanya, "Apa
tanda yang kita gunakan ?" Sambil berkata ia menggores
tanah di dekat kakinya. Ia menulis pesan. "Ada orang di
belakangku."
Ia memang duduk paling dekat dengan batu besar tempat
sembunyi Wisang Geni dan Sekar. Sekitar lima tombak. Ia
1
Wisanggeni
mendengar desah nafas muda-mudi, namun ia tak mau
gegabah. Semua kawannya membaca tulisan itu, mereka
memandang Dwi. Rupanya dalam segala hal, ia yang
memutuskan "Soal tanda itu, nanti saja kita tetapkan di
tengah jalan. Kita tidak punya banyak waktu, ayo berangkat
sekarang. Dimas Panca kamu paling depan," katanya kepada
lelaki yang menulis pesan.
Semua bergerakke kuda masing-masing. Panca sambil
menjawab, "Baik Mas" ia memutar tubuh, maju dua langkah,
dua tangannya mendorong ke depan Tiga gerakan hampir
serempak. Tenaganya membanjir keluar dan menerpa batu.
Batu besar terdorong membentur Geni, dan Sekar yang
terkejut karena tak menyangka akan diserang. Keduanya
terjengkang kebelakang. Panca tidak berhenti sampai di situ.
Ia merangkak maju. Dua tangannya mencengkeram pundak
dan tengkuk Geni.
Wisang Geni merasa angin tajam mengiris kulitnya. Dalam
keadaan biasa serangan itu bisa dikelitnya. Tetapi tubuhnya
tak lagi menyimpan tenaga, membuat ia tak kuasa
menghindar. Lehernya pasti akan patah. "Tak nyana aku mati
di sini." Dalam hati Geni mengeluh. Tetapi sepasang matanya
menatap lawan tanpa kedip. "Mati sekarang atau satu tahun
lagi, sama saja, mengapa harus takut?"
Jari tangan Panca sudah membenam di leher Geni. Sedikit
mengerahkan tenaga, leher akan patah. Mendadak ia
mendorong. Geni terlempar. Ketika serangan pertamanya
dengan mudah menjatuhkan lawan, Panca yakin Geni dan
Sekar bukan orang dari kalangan silat Tapi ia menguji lebih
lanjut. Ternyata Geni bukan saja tak mampu mengelak,
bahkan tenaga menolak dari dalam pun tidak ada. Karenanya
pada saat alehir Panca batal menyerang. "Kau siapa, berani
mengintai kami?"
Sekar cepat menjawab. "Siapa bilang kami mengintai. Kami
lebih dulu berada di sini. Kalian datang belakangan. Kami
bersembunyi karena tak mau jumpa dengan orang. Lalu kalian
berhenti istirahat di sini, apakah kami yang salah?"
Delapan punggawa itu mengurung Sekar dan Geni.
Perempuan yang bernama Trini mendekat dengan ketus
bertanya pada Sekar. "Bocah, kau belum menjawab
pertanyaan tadi, siapa kalian?" Tak kalah ketus, Sekar
menjawab. "Apa perlu tahu nama kami. Kami cuma orang
biasa yang tak beruntung, yang akan mati dibunuh hanya
sebab tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian."
Lelaki bernama Dwi itu tertawa. "Hebat, mulutmu tak kalah
tajam dari pedang. Nduk, kami tak pernah membunuh orang
tak berdosa, kami tak akan membunuh kalian." Ia menoleh
memandang Geni. "Sampean tampaknya luka berat, siapa
namamu dan mengapa berada di sini?"
Dalam hati Geni memuji pandangan jeli lelaki itu. "Namaku
Ambara, dan kawanku ini Suti, kami tidak beruntung ketemu
lawan yang lebih tinggi ilmu silatnya, kami kalah dan terluka."
Dwi tertawa. "Baiklah. Siapa pun namamu, aku mohon
padamu, anggap saja kalian tak pernah melihat kami, tak
pernah mendengar apa yang kami bicarakan, aku yakin kalian
akan penuhi permintaan ini." Ia memberi isyarat kepada
kawan-kawannya. "Kita pergi."
Delapan orang itu menghilang di kejauhan. "Siapa mereka?
Tampaknya mereka pendekar kelas satu. Mereka tak
mengganggu kka, kelihatannya mereka menjunjung tinggi
sikap ksatria," Geni berkata lirih.
Ternyata delapan pendekar tadi para hulubalang
2
Wisanggeni
kepercayaan raja Anusapati dari keraton Tumapel. Seluruhnya
ada delapanbelas. Mereka tak lagi menggunakan nama asli
atau nama julukan. Tetapi menggunakan urutan angka satu
sampai delapanbelas sesuai tingkat kepandaian masingmasing
Delapan hulubalang tadi, Dwi, Trini, Panca, Walu,
Ekadasa, Molas, Sodasa dan Pitulas.
”Tampaknya mereka bergegas mencari puteri Waning
Hyun, putri kesayangan Baginda Raja Parameswara. Ia kini
sedang diburu oleh pihak keraton Kediri. Sudah bukan rahasia
lagi adanya perebutan kekuasan antara keraton Kediri dengan
keraton Tumapel, padahal masih sesama saudara. Tetapi itu
bukan urusan kita, kita harus cepat pergi ke Lembah Cemara."
Geni kagum akan pengetahuan Sekar. "Katamu jika jalan
kaki bisa sampai enam hari, mungkin kita sudah mati di
tengah jalan, kata orang asing itu racun akan membunuh kita
dalam tujuh hari. Buat apa ke sana?"
Sekar memandang Geni. Ia tertawa. "Kau tunggu di sini."
Ia bergegas ke dalam hutan. Ia bersiul. Tak lama kemudian ia
datang menunggang kuda sambil menuntun seekor lainnya.
---ooo0dw0ooo---
indozone.netHome Articles Reviews Literatures Catalog Forums Files Search
kok_hian Logout Preferences Inbox Bookmarks
WISANGGENI (PENDEKAR TANPA TANDING) Bacaan DEWASA
5. JILID 5. Lembah Cemara
Literatures » WISANGGENI (PENDEKAR TANPA TANDING) Bacaan DEWASA » JILID 5. Lembah
Cemara
User Hokijaya
Time 15 hours ago
Previous Chapter 4. JILID 4. Perpisahan
User Hokijaya
Time 15 hours ago
Previous Chapter 5. JILID 5. Lembah Cemara
User Hokijaya
Time 14 hours ago
Previous Chapter 6. JILID 6. Pendekar Lalawa