Anda di halaman 1dari 12

Diceritakan kembali oleh Teja Purnama

Siang mulai menghilang. Mendung pecah di Deli, hujan pun tumpah. Kilat dan petir laksana
cambuk cahaya melecut sebuah istana. Walau sekilas, kelebat kilat memperjelas kecemasan di
wajah Raja Kelewang Santana. Lama sudah dia berdiri di lorong istana yang berjendela-jendela
besar itu. Hatinya tak henti berdoa. Hanya satu keinginannya saat itu, Permaisuri Indah Kemala
Dewi, kuat dan selamat menghadapi persalinan pertamanya.

Bertahun-tahun sudah Raja Kelewang mengharapkan anak. Sekuat jiwa dia menahan malu saat
bertemu dengan raja-raja dari kerajaan lain. Dia hanya bisa tersenyum getir mendengarkan
mereka mengeluh atau membanggakan anak-anaknya. Pembicaraan soal anak membuatnya
merasa tidak berharga.

Tidak sekali pula terbersit keinginan untuk menyunting perempuan lain. Namun cintanya
kepada Indah Kemala Dewi teramat besar. Lagi pula tidak seorang tabib pun mengatakan, dia
atau istrinya yang mandul. Segera dia bunuh keinginan itu. Raja Kelewang tetap setia beristrikan
Indah Kemala Dewi.

Kesetiaan berbuah indah. Permaisuri mengandung. Harapannya mulai terwujud. Raja Kelewang
merasa harga diri kembali naik. Perhatiannya pada Permaisuri pun bertambah, bahkan terkadang
berlebihan. Selalu dia mengingatkan Permaisuri agar berhati-hati menjaga kandungannya.
Permaisuri tidak boleh lambat makan juga minum ramuan penyehat kandungan racikan tabib
istana. Sering pula dayang-dayang jadi pelampiasan kemarahannya, hanya karena Permaisuri
lupa waktu istirahat siang hari.

Wajar saja, saat Permaisuri menghadapi persalinan, Raja Kelewang dilanda ketegangan yang
sangat. Erang Permaisuri bagai tusukan tusukan jarum di hatinya. Tadi Raja Kelewang sempat
berada di dalam kamar. Namun dia tidak tega melihat istrinya melaui titian hidup atau mati itu.
Dia memutuskan keluar, menunggu di lorong-lorong istana bersama hujan, petir, dan kilat yang
sesekali menerangi wajah cemasnya.

Akhirnya, yang diharap pun terwujud. Persalinan berakhir. Permaisuri berhasil melewati
perjuangan hidup-mati saat melahirkan. Berbagai rasa berbaur jadi satu. Dengan dada berdebar
Raja Kelewang masuk ke kamar. Dia cium kening Permaisuri. Senyum letih dan getir pun
menghiasi wajah Permaisuri. Melihat itu, Dukun beranak dan para dayang yang menemani
Permaisuri melewati persalinan hanya terdiam menunduk. Setelah itu, Raja Kelewang pun
bertanya tentang bayi.

“Ampun, Paduka. Permaisuri telah melahirkan bayi kembar, perempuan dan lelaki,” ucap dukun
beranak yang rambutnya telah putih semua itu.

Raja Kelewang tertawa gembira. Dia tidak menyangka bakal mendapat bayi kembar. “Mana,
mana kembarku itu?” tanyanya penasaran.

Dukun beranak itu tidak menjawab. Dua dayang, masing-masing menggendong bayi. Dayang
pertama memperlihatkan bayi perempuan jelita, beralis dan berambut tebal dengan mata
bercahaya.

“Manisku, bayiku,” ucap Raja Kelewang saat melihat bayi perempuan itu. “Mana saudara
lelakinya?” tanya lagi Raja Kelewang tak sabar.

Dayang yang kedua pun mendekat.

Raja Kelewang pucat pasi. Detak jantung seolah terhenti melihat bayi lelaki itu. Rupanya sangat
bertolak belakang dengan saudara kembarnya. Sepasang mata bayi itu besar sebelah. Hidungnya
teramat pesek, hampir mirip dengan hidup beruk. Tumbuh pula daging berlebih di kening
sebelah kirinya.

Raja Kelewang memandangi seluruh orang di dalam kamar. Pikiran dan perasaannya bergaduh.
Akhirnya keputusan pun diambil.

“Camkan! Hari ini, Permaisuri Indah Kemala Dewi hanya melahirkan seorang bayi perempuan
jelita. Mayang Segar Sari kuberikan dia nama. Dia tidak punya saudara kembar. Siapa pun di
antara kalian bermulut panjang, pedangkulah yang akan menebas lehernya!” ancam Raja
Kelewang.

Tak ada yang berani membantah. Permaisuri hanya bisa menangis. Kamar itu terasa begitu
tegang.

Ketegangan itu menjalar dinding-dinding istana. Ketegangan yang terus berdenyut bersama laju
waktu. Belasan tahun telah berlalu. Selama itu pula, satu-satu orang di kamar persalinan itu mati
mendadak. Hanya tiga tersisa, Raja Kelewang dan Indah Kumala Dewi, serta anak perempuan
mereka, Mayang Segar Sari
Di atas batu besar, di tengah sebuah sungai, pemuda belasan tahun itu hanyut dalam galau.
Gemilang namanya. Terlihatnya lagi wajahnya sendiri di jernih air. Hatinya serasa tertusuk
puluhan duri. Sepasang mata yang besar sebelah, hidung nyaris rata dengan pipi. Dan daging
lunak yang bergelantung di kening kirinya seolah terus mengejek hidupnya. Wajah apa ini!
Demikian hatinya selalu berteriak saat berkaca di sungai.

Tanpa sadar, dia membasuh wajahnya dengan air sungai yang sejuk. Berulang-ulang, sampai
kesejukan itu mengalir ke hatinya. Dia kembali ingat tujuannya ke sungai ini. Ya, dia ingin
memeriksa bubu yang semalam dipasangnya.

“Kenapa tidak ada lagi ikan yang terjerat?” tanyanya dalam hati saat melihat bubunya kosong.
Dia heran, sudah beberapa hari ini tidak seekor ikan pun terperangkap di dalam bubunya. Ini
bukan kejadian yang biasa. Pemuda itu merasa ada sesuatu yang terjadi. Sambil terus berpikir,
Gemilang kembali memasang bubu di sungai itu.

Tiba di rumah, menceritakan soal bubu itu kepada ayahnya. Ayahnya yang biasa disapa
Jerangkong itu lebih banyak mendengar, tidak banyak komentar.

“Belum rezeki. Sabar, usaha jangan berhenti,” hibur ayahnya.

Ya, belum rezeki. Itu benar, pikir Gemilang dalam hati. Usaha jangan berhenti, itu juga benar.
Dan usaha yang harus dilakukan adalah mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi pada bubu
yang dipasang di sungai. Gemilang pun memutuskan pergi kembali ke sungai, mengintai bubu
yang dipasangnya di sana.

“Aku ke sungai lagi, Yah,” ucapnya meminta izin.

Ayahnya juga tidak banyak komentar. “Ya, hati-hati,” kata ayahnya.


Gemilang bersembunyi di balik sebuah pohon yang tidak jauh sungai. Dari balik pohon itu, dia
bisa mengintai dengan aman. Dia bisa melihat dengan jelas ke arah sungai.

Sembari mengingat jurus-jurus silat yang diajarkan ayahnya, Gemilang terus mengintai. Sejak
kecil dia memang sudah berlatih silat. Berbagai jurus dia kuasai. Jurus Harimau dengan berbagai
pecahannya, Jurus Monyet, sampai Jurus Ular telah menyatu dengan tubuhnya. Tenaga dalamnya
pun telah pula teruji setelah melewati berbagai latihan keras yang diberikan ayahnya.

Walau pun telah menguasai berbagai ilmu silat, Gemilang selalu berusaha menyembunyikan
kemampuannya. Tidak pernah sekalipun ia menunjukkannya, kecuali dalam keadaaan terpaksa.
Suatu hari pernah seekor gajah mengamuk di ladang. Dengan kekuatan dan keahliannya,
Gemilang berhasil menggiring gajah tersebut masuk ke hutan. Pernah pula dia bertarung dengan
harimau untuk menyelamatkan nyawa seorang anak kecil. Tidak sekali pula dia menghajar
perompak yang beraksi di kampung dekat tempat tinggalnya.

Tak terasa, malam pun tiba. Gelap menyergap hari. Cahaya bulan temaran. Hanya ada satu dua
bintang di langit. Gemilang masih mengintai. Sesaat-saat, dia melihat satu sosok yang bertubuh
bongkok masuk ke sungai dan mengambil bubu yang dipasangnya. Tanpa merasa bersalah sosok
bongkok itu mengambil ikan-ikan yang terjerat di bubunya. Gemilang geram. Hanya dengan dua
kali lompatan, Gemilang sudah mencengkeram leher sosok yang ternyata seorang kakek itu.

“Maaf, maafkan aku, anak muda. Aku terpaksa,” pinta kakek bongkok itu.

Gemilang melepaskan cengkeramannya. Kakek bongkok itu pun terduduk lemas. Dengan nafas
yang masih memburu, kakek mengeluhkan hidupnya yang sebatang kara dan terpaksa mencuri
ikan yang terperangkap di bubu Gemilang.

“Kakek tidak perlu mencuri. Minta saja padaku,” kata Gemilang pada kakek tersebut.

Kakek itu tersenyum tersenyum. Ada keanehan dalam senyum itu.

“Buruk wajahmu, indah hatimu,” ujar kakek itu, suaranya berubah berwibawa.

Berdebar dada Gemilang mendengar suara kakek tersebut. Tidak hanya itu, Gemilang juga
melihat tubuh kakek yang tadinya bongkok, kini telah tegak dan tegap. Wajah tua itu begitu
berkharisma.

Dengan lembut, kakek menepuk-nepuk dan memegang lama bahu Gemilang. Telapak tangan
Kakek itu begitu bertenaga namun lembut. Ada sesuatu yang menerobos masuk ke dalam
tubuhnya. Semacam hawa hangat, yang membuat tubuhnya begitu ringan namun penuh bobot.
Gemilang dipenuhi energi.

“Kini kau telah menjadi pemuda paling kuat kini. Tetaplah merunduk. Dan ingat, jangan pernah
tenggelam dalam kesedihan tak berdasar,” kata kakek itu seraya mengeluarkan tiga buah uncang
dari saku celana. “Terimalah tiga gundu ini. Pergunakanlah di saat yang tepat,” pesannya lalu
dalam sekejap menghilang dari hadapan Gemilang.
Setelah kejadian itu, menyala semangat baru dalam diri Gemilang. Semangat itu pula yang
mendorongnya untuk bertualang, mencari pengalama ke dunia baru. Dengan berbekal kesaktian
dan restu ayahnya, Gemilang pun mulai bertualang.

Petualangan menorehkan berbagai pengalaman berharga dalam kehidupan. Dia selalu membela
kebenaran dan membela orang lemah. Kiprahnya di dunia kependekaran kian mengkilap ketika
dia mengalahkan Kepala Bajak Laut yang kebal dan kejam, Bajonggir.

Waktu itu, Gemilang sedang berlayar sendiri. Dia melihat Bajonggir dan anak buahnya
menyerang sebuah kapal. Ternyata di kapal itu milik salah satu kerajaan di Malaka. Dan saat itu
Raja beserta keluarga berada di dalam kapal.

Gemilang membantu para pengawal kerajaan melawan Bajonggir dan anak buahnya. Dengan
kesaktiannya yang tinggi, Gemilang dapat menghalau seluruh anak buah Bajonggir. Dalam
sebuah pertarungan yang singkat, Gemilang dengan mudah melumpuhkan Bajonggir. Gemilang
tidak membunuh bajak laut tersebut. Dia merangkul mereka dan mengajak para bajak laut itu
untuk hidup dalam kebenaran.

Usai aksi panyelamatan itu, Gemilang diajak ke Malaka. Dia menjadi orang kepercayaan Raja
dan kemudian diangkat menjadi Panglima Perang. Gemilang semakin gemilang. Disegani
kawan, ditakuti lawan. Orang-orang menjulukinya Pendekar Buruk Rupa.

Suatu hari, setelah bertahun-tahun hidup di Malaka, Gemilang mendengar kabar buruk dari Deli.
Kerajaan yang dipimpin Kelewang Santana dalam bahaya. Ini berarti ayahnya yang tinggal di
Kerajaan itu juga terancam. Bahaya datang dari Kerajaan Belantara yang dipimpin seorang
gergasi, Raja Bantulan Bahap.

Tanpa berpikir panjang lagi, Gemilang pun meminta izin kepada Raja untuk pulang ke Deli.
Awalnya Raja agak berat. Namun setelah melihat kekhawatiran yang begitu mendalam di wajah
Gemilang, Raja pun mengizinkan Panglima Perangnya itu pulang ke Deli.

Kesedihan melanda Gemilang. Gubuk tempat tinggalnya sejak kecil hingga besar telah rata
dengan tanah. Lebih mengiris hati, dia tidak menemukan ayah yang begitu dirindukannya.
Sudah bolak-balik dia keluar masuk hutan, namun tidak ditemukannya juga. Lama pula dia
mencari di sungai, tetap tak ada hasilnya.

Gemilang pun berjalan menuju pusat kerajaan. Sepanjang jalan dia melihat puing-puing rumah
yang baru saja terbakar. Pengemis bertambah banyak. Beberapa orang yang ditanyanya
menyebutkan ini semua ulah dari Raja Bantulan Bahap. Bahap dan anak buahnya mengambil
sebagian besar hasil ladang warga. Para gergasi itu juga tidak segan membunuh jika ada orang
yang berani melawan. Kabar terbaru, Mayang Segar Sari, yang merupakan putri Raja Kelewang
Santana telah diculik gerombolan gergasi itu.

Kecemasan dan kegeraman berkembang pada diri Gemilang. Dia cemas karena belum mendapat
kabar soal ayahnya, Jerangkong. Dia geram karena gerombolan gergasi itu telah menabur
penderitaan pada kehidupan orang-orang kampung halamannya.
Dia juga langsung melihat anak buah Bahap tengah mengamuk di sebuah warung. Dengan penuh
kegeraman, Gemilang menghajar gergasi itu. Sekali pukul, gergasi itu jatuh. Dia angkat tubuh
gergasi itu, dilemparkannya sekuat tenaga. Mendapat lawan yang kuat, gergasi itu pun melarikan
diri, masuk ke hutan.

Orang-orang kampung bersorak gembira. Mereka merasa Pencipta telah mengirimkan seorang
penyelamat. Wajah Gemilang tidak lagi mengerikan bagi mereka. Bahkan bagi mereka Gemilang
adalah harapan, adalah semangat untuk membabat habis penderitaan yang ditaburkan Raja
Bantulan Bahap.

Kabar tentang kehebatan Gemilang pun sampai ke Raja Kelewang Santana. Segera Raja
Kelewang mengutus pengawal untuk membawa Gemilang ke istana.

Ada yang berdegup di dada Raja Kelewang saat memandang Gemilang. Dia merasa tidak asing
dengan wajah mengerikan itu. Tetapi perasaan itu segera dihalaunya. Raja Kelewang segera
menyampaikan hajatnya kepada Gemilang. Dia ingin Gemilang mencari putrinya, Mayang Segar
Sari yang sudah sepekan ini ditawan Raja Bantulan Bahap.

“Bawalah pengawal sebanyak engkau mau. Selamatkan dan bawa kembali Putriku,” ucap Raja
Kelewang.

“Siap, Paduka. Hamba akan berusaha menyelamatkan Tuan Putrri Mayang Segar Sari,” balas
Gemilang.

“Bawa kembali Mayang ke istana ini, basmi para gergasi itu, dan pintalah apa yang kau mau,”
janji Raja Kelewang.

“Ampunkan hamba, Paduka. Hamba tak ingin Paduka berjanji. Biarlah hamba berjuang untuk
negeri ini. Izinkan hamba membawa lima puluh laskar,” ungkap Gemilang.

Terdiam Raja Kelewang mendengar perkataan Gemilang. Sungguh baik dan polos hati pendekar
ini, pikirnya. Kemudian Raja Kelewang memerintahkan laskarnya untuk ikut berjuang bersama
Gemilang. Tujuan mereka hanya dua: basmi gergasi dan bawa kembali Mayang Segar Sari ke
istana.

Dengan restu Raja Kelewang dan doa orang-orang kampung, bergeraklah Gemilang dan
pengawalnya. Berkendara kuda-kuda terbaik, mereka masuk ke hutan. Para gergasi ini memang
membangun istana dalam hutan. Tidak seorang pun manusia biasa selamat jika tersesat di
wilayah gergasi itu.

Tiba di tengah hutan, kedatangan Gemilang dan pengawal disambut geraman para gergasi.
Berdiri bulu kuduk mendengar geraman itu. Tiba-tiba, muncullah para gergasi dari balik
pepohonan. Serangan mendadak ini membuat pengawal Gemilang tidak sempat mengelak.
Korban di kubu Gemilang pun berjatuhan.
Gemilang tidak dapat menahan diri lagi. Segenap kesaktian dikeluarkannya. Satu per satu gergasi
pun jadi korban pukulan dan terjangan Gemilang. Tetapi, tidak sedikit pula pengawal Gemilang
yang jadi korban. Tetapi sudah kadung basah! Gemilang terus menyerang. Tidak satu pun anak
buah Bantulan Bahap tersisa. Begitu juga pengawalnya.

Dengan menggunakan tenaga dalam, Gemilang berseru memanggil Bantulan Bahap.

“Bahap. Aku di tengah hutan. Jangan jadi pengecut. Hadapilah mautmu!” serunya kuat sampai-
sampai daun-daun pohon di hutan itu bertanggalan.

Tidak lama kemudian terdengar suara menderu. Tanah yang dipihak Gemilang seperti
bergoyang. Bantulan Bahap telah berada di hadapan Gemilang.

“Akulah mautmu. Telah kucium wangi nyawamu. Ayo, biar kuisap nyawamu!” seru Bantulan
Bahap dengan suara seraknya namun gemanya terdengar sampai ke luar hutan.

Gemilang mendongak, menatap tajam Bantulan Bahap. Gergasi itu sangatlah tinggi dan besar.
Namun, sedikit pun tidak ada rasa takut di hati Gemilang.

“Buktikan kalau kau memang mautku!” tantang Gemilang.

Bahap menyerang. Dia mengeluarkan pukulan melingkar dari atas ke bawah. Pukulan itu teramat
kuat. Untung Gemilang sigap mengelak. Hanya angin pukulan itu terasa menampar pipi
Gemilang dan mematahkan dahan-dahan pepohonan di sekitar tempat mereka bertarung.

Gemilang membalas dengan terjangan cepat dan kuatnya. Dia terkejut. Gergasi itu bukannya
menangkis, bukan pula mengelak. Bahap malah memberikan perut untuk menerima terjangan
itu.

Bug! Terjangan Gemilang menohok keras. Bahap seolah tidak merasa apa-apa. Gergasi itu malah
tertawa.

“Cuma sekuat itu tenagamu? Ayo! Hantam aku!” kata Bahap lagi.

Gemilang kembali memasang kuda-kuda. Dia berpkir, mencari kelemahan gergasi itu. Ketika
merasa ada kesempatan, Gemilang pun melompat seraya memukul ke arah dada Bahap.
Dikerahnya tenaga dalam sekuat mungkin. Lagi-lagi Bahap tak menangkis ataupun mengelak.
Gergasi itu menerima pukulan pendekar itu dengan dada terbuka.

Bug! Gemilang semakin terkejut. Bahap hanya terdorong dua langkah ke belakang lalu kembali
tawanya pecah, membahana dan meniup daun-daun pepohonan hutan.

Bahap memang sengaja tidak mengelak, tidak pula menangkis. Dia ingin mengukur kekuatan
tenaga dalam Gemilang, baru akan benar-benar menyerang, tanpa takut mendapat serangan
balasan. Setelah membiarkan perut dan dadanya dihantam, Bahap pun kembali menyerang.
Bukan memukul atau menendangs. Dengan kecepatan tinggi, gergasi itu menangkap lengan
Gemilang. Lalu sekuat tenaga mengayun-ayun tubuh Gemilang dan melemparkan ke udara
setinggi mungkin.

Gemilang tak berdaya. Dia terlempar tinggi dan jatuh di antara cabang-cabang pohon. Bukan
Gemilang namanya kalau menyerah. Kembali dia menerjang Bahap. Dengan cepat pula Bahap
menangkap kaki Gemilang dan melemparkanny ke pohon. Sangking kuatnya lemparan itu, akar
pohon itu tampak terangkat ke permukaan tanah.

Gemilang mengeluarkan berbagai jurus. Tetap saja gergasi yang ternyata sangat berpengalaman
itu dapat mematahkan serangannya.

Bahap mulai mendesak. Pukulannya menusuk ulu hati Gemilang. Terpentallah Gemilang.
Tubuhnya menghantam sebuah pohon.

Sakit mendera tubuh. Gemilang tidak ingin menyerah. Dia berusaha bangkit dan saat itulah
sebuah ingatan menyentak benaknya. Gundu pemberian kakek sakti. Ya, gundu itu. Dia meraba
sakunya. Uncang-uncang itu masih ada. Diambilnya sebuah uncang, dikeluarkannya sebuah
gundu pemberian kakek sakti.

Kini Gemilang telah berdiri tegak menggengam gundu yang merebakkan cahaya biru muda.
Dengan penuh konsentrasi, Gemilang melemparkan gundu itu ke arah Bahap. Bagaikan
bersayap, gundu itu melesat, mengelilingi Bahap. Seketika cahaya biru muda menutupi tubuh
Bahap. Beberapa saat, terdengar jerit Bahap dan terpentallah gundu itu ke pohon, lalu kembali
menghantam tubuh gergasi itu. Begitu terjadi berulang-ulang. Sampai pada hantaman kelima
Bahap roboh dan gundu itu pun terpental jauh, menghilang entah ke mana.

Gemilang melihat Bahap terlentang seperti tak berdaya. Dia pun melangkah mendekati gergasi
itu. Namun baru selangkah, Bahap bangkit kembali sambil berteriak keras. Tubuhnya pun
bertambah besar. Gemilang mundur selangkah. Dia mengambil sebuah gundu lagi. Gundu itu
mengeluarkan cahaya merah, bagai kobaran api.

Melihat gundu bercahaya kobaran api itu, Bahap melompat-lompat. Tujuannya memecahkan
konsentrasi Gemilang. Namun Gemilang sudah terbiasa bermeditasi, daya konsentrasinya sudah
terlatih. Sekali lemparan saja, gundu itu menghantam kepala Bahap. Seketika terbakarlah
dedengkot gergasi itu. Bahap nanar menahan panas yang mulai melepuhkan daging dan organ-
organ tubuhnya. Gergasi itu meraung dan terus meraung sampai maut merenggut nyawanya.

Mayang Segar Sari yang sejak awal menyaksikan pertarungan itu keluar dari persembunyian.
Didekatinya Gemilang. Seketika Gemilang menunduk. Dia malu memperlihatkan wajahnya pada
Mayang.

“Kau Mayang Segari Sari, Putri Raja Kelewang Santana?” tanya Gemilang dengan terus
menunduk.

“Iya, Kanda. Budi baikmu takkan pernah kulupa. Dan tolong, jangan menghindar dari
pandanganku,” pinta Mayang.
Gemilang mengabaikan permintaan Mayang. Sambil terus menunduk dia mengajak Mayang
kembali ke istana Raja Kelewang.

Berita kemenangan Gemilang membasmi gerombolan gergasi dan menyelamatkan Mayang


Segar Sari menyebar dengan cepat. Sebagai ungkapan terima kasih, Raja Kelewang Santana pun
berencana menikahkan Mayang Segar Sari dengan Gemilang.

Walaupun berhutang budi, terang saja Mayang Segar Sari tidak ingin bersuamikan orang yang
buruk rupa. Namun dia tidak berani menolak perintah Raja Kelewang. Gemilang tahu perasan
Mayang. Maka dengan halus dia berusaha menolak permintaan Raja Kelewang. Sayangnya, Raja
Kelewang sudah bulat niatnya untuk bermenantukan Gemilang.

Penduduk juga mendukung pernikahan Mayang dengan Gemilang. Mereka tidak peduli dengan
buruknya rupa Gemilang. Kebaikan hati Gemilang telah membuat penduduk terpesona.

Kabar tentang Gemilang ini pun sampai ke telinga Jerangkong yang selama ini mengungsi ke
kampung di sebelah hutan. Jerangkong sangat yakin, Pendekar Buruk Rupa itu adalah Gemilang.
Ya, Gemilang, bayi yang diasuhnya sejak kecil. Bayi yang bukan darah dagingnya. Bayi anak
kandung Raja Kelewang.

Jerangkong tidak akan pernah lupa kejadian malam itu. Raja Kelewang datang ke gubuknya
tanpa pengawal. Hanya sendirian. Raja menggendong bayi berwajah buruk. “Rawat bayi ini
bagai anak kandungmu sendiri. Jangan sampai ada yang tahu, dia saudara kembar putriku,
Mayang Segar Sari,” ucap Raja Kelewang malam itu.

Bergegas Jerangkong berangkat ke istana Raja Kelewang Santana. Kebenaran asal-usul


Gemilang harus diungkapkan. Mayang Segar Sari dan Gemilang adalah saudara kandung. Tidak
boleh terjadi pernikahan sedarah. Alam akan murka. Bencana bakal melanda negeri ini.

Tiba di sana, Jerangkong melihat orang-orang bergerombolan ke halaman istana menuju


lapangan. Ternyata hari itu Raja Kelewang ingin mengumumkan secara resmi pernikahan
Mayang Segar Sari dengan Gemilang. Jerangkong pun mempercepat langkahnya.

Halaman istana sudah dipadati penduduk. Raja Kelewang masih berada di dalam istana.
Jerangkong meminta izin kepada pengawal untuk menjumpai Raja Kelewang. Pengawal
mulanya tidak mengizinkan, karena memang Raja Kelewang bakal keluar juga menemui
penduduk.

“Justru itu. Sebelum semua terjadi, izinkan aku bertemu dengan Raja. Katakan, Jerangkong
membawa kabar bayi yang malang,” pinta Jerangkong.

Melihat kesungguhan Jerangkong, pengawal itu memberanikan diri menjumpai Raja Kelewang.
Apalagi Jerangkong menyebutkan soal kabar bayi yang malang. Pengawal berpikir, tentu ada
sesuatu antara Jerangkong dengan Raja Kelewang.
Tidak lama kemudian, pengawal mengizinkan Jerangkong masuk. Di dalam istana, Jerangkong
melihat Raja Kelewang dengan seorang anak muda kekar berwajah buruk. Tidak mungkin dia
melupakan wajah itu. Ya, itu Gemilang, bayi merah yang dulu dititipkan Raja Kelewang
kepadanya.

Demikian pula halnya dengan Gemilang saat melihat Jerangkong. Tidak mungkin dia melupakan
Jerangkong. Dia langsung menunduk dan mencium tangan Jerangkong.

“Maafkan aku, Ayah. Telah kucari ayah ke mana-mana... Tapi ayah pula yang menjumpaiku di
sini. Sungguh anak tak berbudi aku,” ucap Gemilang pada Jerangkong.

Jerangkong mengusap-usap bahu Gemilang.

“Sudahlah. Biarkan ayah bicara dengan Raja kita,” ujar Jerangkong sambil memandang kepada
Raja Kelewang.

Raja Kelewang yang sedari tadi tidak berkedip melihat adegan itu tergagap dan langsung
memerintah semua orang di ruang itu keluar, kecuali Jerangkong.

Tinggallah Raja Kelewang dan Jerangkong di ruang itu. Tajam tatapan Raja Kelewang ke
Jerangkong.

“Benarkah?” bergetar suara Raja Kelewang.

Jerangkong tertunduk. Tapi hatinya sudah bulat untuk menyampaikan kebenaran. “Ampun,
Paduka. Benar. Dialah bayi itu...” ucapnya lirih.

Pucat pasi wajah Raja Kelewang. Kenyataan itu begitu menguncang perasaannya. Dia
membayangkan orang-orang mencibir di bekalang dirinya. Mendadak berkobar marah di hatinya.
Dia lampiaskan kemarahan itu pada Jerangkong.

“Rahasia kita harus dibawa mati. Kau ingat itu?” ucap Raja Kelewang.

“Ampun, Baginda. Bencana bakal datang jika pernikahan itu terjadi...” kata Jerangkong.

“Kau bukan dewa!” bentak Raja Kelewang seraya melayangkan kakinya menendang perut
Jerangkong.

Jerangkong tersungkur.

“Ampun, Baginda. Hamba mohon, batalkan pernikahan itu. Gemilang dan Mayang sedarah.
Mereka saudara kandung. Hamba mohon, batalkan, batalkan...” pinta Jerangkong lagi.

Mendidih hati Raja Kelewang. Dicabutnya pedangnya. Orang tua ini harus segera kuhabisi agar
borokku tidak terbongkar, pikirnya. Lalu dengan cepat Raja Kelewang mendekati Jerangkong.
Dia menusukkan pedang ke arah jantung Jerangkong. Pada saat yang tepat, pedang Gemilang
melesat menghantam pedang Raja Kelewang dengan keras. Melesetlah sasaran Raja Kelewang.
Jerangkong luput dari maut.

Raja Kelewang memandang nanar ke Gemilang.

“Kurang ujar!” makinya lalu menyerang Gemilang dengan pedangnya.

Gemilang tidak memberikan perlawanan. Dia hanya mengelak dari sambaran maupun tusukan
pedang Raja Kelewang.

Jerangkong berusaha melerai, tapi Raja Kelewang sudah terbakar amarah. Dia ingin menghabisi
Gemilang dan Jerangkong.

Keributan di ruangan ini membuat Mayang Segar Sari dan pengawal datang. Melihat
pertarungan itu, Mayang dan pengawal pun ikut bertarung membantu Raja Kelewang. Mayang
mengira Gemilang ingin merebut kekuasaan ayahnya. Perkiraan yang salah itu membuat Mayang
emosi. Tanpa perhitungan dia menyerang Gemilang dengan pedangnya. Pada sebuah serangan,
pedang Mayang malah tertusuk kepada Raja Kelewang, ayahnya sendiri. Maut pun menjemput
Raja Kelewang.

Gemilang tidak ingin melanjutkan pertarungan. Kesedihan menyerangnya. Dia merasa


kehadiran di dunia ini hanya membuat ayah dan saudaranya menderita. Secepat kilat, Gemilang
memanggul Jerangkong dan melesat menghilang di balik kerumuman orang.

Setelah jauh dari keramaian, Gemilang menurunkan Jerangkong. Dia pamit untuk menenangkan
diri ke puncak gunung.

“Jaga dirimu. Jangan biarkan kesedihan menenggelamkanmu,” pesan Jerangkong.

Gemilang hanya mengangguk, namun pikirannya entah ke mana. Dia berlari cepat menuju
gunung. Sampai di puncak, Gemilang termangu memandang langit. Dia ingin berontak pada
takdirnya. Tapi apalah daya. Dia hanya mahluk. Ada Pencipta yang mengatur segala.

Kesedihan kian dalam menusuk hati Gemilang. Dia menjerit. Jeritan itu mebuat hewan-hewan
yang ada di hutan menghindar sejauh mungkin dari gunung. Burung-burung pun terbang
menghindari gunung tersebut. Tidak hanya menjerit, Gemilang juga menendang pohon-pohon
yang ada di sekitarnya. Berpatahan pohon-pohon tersebut.

Pada kesedihan dan kemarahan berbaur, saat itulah jatuh uncang dari sakunya. Itu adalah uncang
ketiga pemberian kakek “pencuri ikan”. Menggelinding gundu berwarna merah darah dari
uncang tersebut. Gemilang mengutipnya. Saat berada di genggaman Gemilang, gundu itu
memanas dan kian memanas hingga melepuhkan telapak tangannya. Spontan Gemilang
melemparkan gundu itu ke sembarang arah. Kuatnya lemparan Gemilang, membuat Gundu itu
jatuh ke dalam kawah gunung. Bumi seperti berdenyut-denyut. Ada yang menggelegak di perut
gunung berapi itu. Gemilang menyadari apa yang akan terjadi. Tapi sayang... terlambat! Gunung
berapi itu telah meletus.
Gemilang hilang disapu lahar. Hilang bersama kesedihannya. Hilang meninggalkan kenangan-
kenangan yang murung.

***

Anda mungkin juga menyukai