Danau Cubung.
Di belakangnya, menyusul
pasukan berseragam di atas kuda
yang berjumlah sekitar dua puluh
ekor itu.
"Maksudmu?"
"Siap, Gusti!"
"Hhhh...!"
Tubuhnya gemetar.
Tangannya makin erat memeluk
Rangga Pari.
"lbu...,"
"Serang...!"
"Oh!"
Terpaksa dikeluarkan
pedangnya.
"Uts!"
"Trak!"
Namun....
"Aaaakh...!"
Kebutan yang tiba-tiba itu tak
sempat terhindari.
"Ayah...!"
"Aaaakh...!"
Tubuhnya terhuyung-huyung
dengan darah mengucur dari
tangannya yang telah buntung.
"Keparat!"
"Akh!"
"Kakang...!"
"Dinda, lari...!"
Teriak Adipati yang teringat
akan keselamatan anak istrinya.
"Kakang...!"
"Oh...!"
"Oh!"
"He he he...,"
"Oh, tolooong...!"
Padahal...
"Rangga...!"
"Auw...!"
"He he he...!"
"Akh, lepaskan!"
Pekik Tunjung Melur ketika
tangan Iblis Lembah Tengkorak
memeluk pinggangnya.
"Bocah setan!"
"Rangga...!"
"Ibu...,"
"He he he...!"
"Ibu...,"
"Jangan...!"
Rangga terbelalak.
"Setan cilik!"
"Khraaaghk...!"
Kepalanya terangguk-angguk.
"Ibu...!"
Pelan-pelan dijulurkan
kepalanya seraya mematuk beberapa
bagian tubuh rangga dengan paruh
yang kekar itu.
"Khraaaghk...!"
"Kalahkan aku!"
"Ha ha ha...!"
"Akh...!"
Dirasakan pergelangan
tangannya seperti terbakar.
Panas dan nyeri.
"Cukup!"
Suara bentakan keras disertai
tenaga dalam yang tinggi, membuat
Saka Lintang mengurungkan niatnya
mengeluarkan jurus maut itu.
Tiba-tiba Geti Ireng telah berada
di tengah-tengah arena. Memang
dialah yang mengeluarkan suara
itu.
"Huh!"
"Tidak apa-apa,"
"Hoek!"
"Sedikit,"
Desah Kalingga pelan.
"Penasaran?"
"He he he...,"
"Khraagh...!"
"Kraghk!"
"Krhaghk!"
Rangga berbisik.
"Khraghk!"
Rangga menoleh.
Rangga menoleh.
"Krhaghk!"
Sahut Rangga.
Rangga tersenyum.
"Khraaaghk..!"
"Khraghk!"
"Khraaaghk...!"
"Bagaimana, rajawali?"
Tanya Rangga.
"Khraaaghk!"
Rajawali mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Rajawali menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Khraghk!"
"Mudah-mudahan mendiang
Pendekar Rajawali Sakti juga
menyetujui,"
"Oh!"
"Bertahun-tahun aku
menginginkan seorang murid yang
bisa mewarisi seluruh ilmu-
ilmuku. Akhimya, harapanku
terkabul. Meskipun tak langsung
kau peroleh dariku, namun aku
bangga kau dapat menguasai
seluruh ilmu 'Rajawali Sakti'.
Bahkan kau mungkin lebih sempurna
daripada diriku,"
"Khraagk...!"
Tanya Rangga.
"Khraaaghk!"
Hatinya mantap.
Pikirannya kosong.
"Berhenti...!"
"Empu gila!"
Seluruh murid-murid di
Padepokan itu dibabatnya, karena
tidak bersedia mengakui Panji
Tengkorak sebagai partai terbesar
dan induk seluruh partai.
"Dia cucuku!"
"He he he...!"
"Setan tua!"
*** "Tunggu!"
"Ha ha ha...!"
"Setan busuk!"
Dengus Empu Danuraga geram.
"Setan alas!"
"Baiklah!"
"He he he...!"
Empu Danuraga terkekeh.
"Hey...!"
"Hhhh...!"
Debu-debu beterbangan
diterjang kaki-kaki kuda yang
bagaikan terbang itu.
"Gagal,"
"Ada apa?"
Tanya Saka Lintang.
"Kurang ajar!"
"Mampus kau!"
Masing-masing menggunakan
jurus andalan dan berusaha
menjatuhkan lawan secepatnya.
"Pengecut!"
Hingga tiba-tiba....
"Crab!"
"Aaaakh...!"
Dan kini....
"Mampus!"
"Akh!"
"Racun Merah...,"
"Hiyaaa...!"
Dengan satu teriakan
melengking, Kala Srenggi melompat
bagai kilat menyambar menerjang'
Langlang Pari.
"Edan!"
"Keluarkan seluruh
kesaktianmu, Kala Srenggi!"
Begitu seterusnya.
"Mundur!"
Hati Rangga.
"Baik, Ayah!"
"Setan ! Licik!"
"Terima kasih!"
Sahut Rangga.
Udara dingin.
"Monyet jelek!"
"Awas kepalamu!"
"Ih!"
Ejek Pragola.
Pragola terkejut.
"Mati aku!"
Dengus Pragola.
"Jangan panik!"
Pragola kebingungan.
"Awas kaki!"
Lebih-lebih Pragola
melemparkannya sambil berlarian
mengitari tubuhnya.
Pragola mengingatkan.
Masing-masing menggunakan
jurus-jurus silat tingkat tinggi.
'Tahan!"
Mayat-mayat bergelimpangan di
mana-mana.
"Wah, hebat!"
"Hiyaaa...!"
"Akh!"
"Maaf!"
"Akh!"
Dewi Jerangkong hanya mengeluh
pelan.
"Ugh!"
Barada menambahkan.
Pragola menambahkan.
Matanya berbinar-binar.
"Tuan Pendekar...,"
"Benarkah?"
Rangga cerdas.
Tanya Rangga.
Sahut Pragola.
Dijelaskannya setiap
pertanyaan Rangga dengan lemah
lembut.
Tanya Rangga.
"Binatang!"
Geram Rangga.
"Eh, jangan!"
"Kenapa?"
"Aku...,aku...,"
"Bercinta...?!"
"Hey, tunggu!"
"Lintang...."
"Tentang apa?"
"Tentang kita."
"Lintang!"
Terasa pahit.
"Apa urusanmu?"
"Hey!"
"Anak pungut...,"
"Nini Lintang..,!"
"Dia kabur!"
"Pengecut! Kupecahkan
kepalanya nanti!"
"Awas, Eyang...!"
"Kala Srenggi!"
"Setan alas! Bocah itu harus
mampus!"
'Lintang, berhenti!"
Mereka berguling-guling di
tanah menahan rasa sakit.
"Setan!"
Dengus Rangga.
"Kena!"
"Akh!"
"Ayah...!"
"Lintang, jangan!"
"Akh...!"
"Ayah...,!"
"Pragola, jangan!"
"Dia ayahmu?"
"Selamat tinggal!"
Seru Rangga. Bersamaan dengan
itu, tubuhnya sudah melesat ke
udara, meluncur cepat menembus
hutan dan meng-hilang dari
pandangan mata.
"Rangga....!"