BERITA TERKAIT
Kisah Da‘i Pedalaman : Ustadz Mawardi Mendadak Haji
Muallaf Krakow Berbagi Kisah (4) : Saya Yakin Bahwa Tuhan
Pasti Ada
Muallaf Krakow Berbagi Kisah (3) : I Want to be a Muslimah
Today!
Muallaf Krakow Berbagi Kisah (2) : Tertarik Islam Karena
Senang Membaca
Muallaf Krakow Berbagi Kisah (1) : Tertarik Islam Karena Hijab
Muslimah
CATATAN PENULIS***)
Tahun 1647, Amangkurat I memancung kepala 6.000
ulama Jawa beserta keluarganya di alun-alun Kraton
Kr aton
Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah Jawa, paska
era Wali Songo, pun mandeg. VOC, sekutu utama Raja
Mataram itu, bergembira.
Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan
jihad fi sabilillah untuk mengusir kaum kafir Belanda dan
menegakkan panji syahadat di Tanah Jawa, dalam
bentuk sebuah negara merdeka berasaskan Islam. Jihad
fi sabilillah ini oleh sejarawan Belanda direduksi hanya
sebagai perang sakit hati, yang hanya disebabkan
perebutan tahta dan persoalan tanah makam leluhur.
Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode
Amangkurat
Kiai I, Pangeran
Modjo, dan Diponegoro,
Patih Danuredjo Sentot Alibasyah,
pun kembali terjadi.
Dalam bentuk yang lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah
sama. Persis sama… []
itu menggotong
kemudian segera panci yang masih panci
menangkupkan membara
itu kedan
kepala
sang pesakitan.
―Allahu Akbar!!!‖
Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan
memilukan. Tak kuat menahan sengatan sakit yang luar
biasa, lelaki itu langsung pingsan. ‗Topi besi panas‘ itu
melumerkan batok kepalanya. Suara gemerisik
terdengar, seiring desis daging terbakar. Semua yang
menonton menjerit ketakutan. Termasuk Dyah
Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat. Perutnya
mual. Pandangan matanya berkunang-kunang.
Kesadarannya mulai hilang. Dyah Jayengsari akhirnya
jatuh tak sadarkan diri.
Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling
sekel iling
ruangan. Tidak ada kerumunan orang. Dia ternyata
sendirian di bilik tidurnya. Mimpi itu ternyata terulang
kembali. Mimpi nyata yang pernah dilihatnya beberapa
pekan lalu.
Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga
menyisakan ruang bagi sorot matahari yang menerobos
ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa hari masih
siang. Arah sinarnya ke timur menandakan Sang Surya
telah mulai tergelincir ke barat.
Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak.
Keringatnya mengucur deras membasahi bajunya.
Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor relung
Alun-alun dengan
alun-alun kraton ada dua,
istana di utara dandengan
dihubungkan selatan.sebuah
Antara
jembatan yang selalu dijaga ketat prajurit kraton. Model
keraton-benteng ini mengingatkan kita pada model
istana-benteng raja-raja Eropa.
Hanya saja, bangunan Keraton Mataram di Plered tidak
dibuat tinggi bertingkat-tingkat.
Dari atas kudanya yang berjalan lambat, Dyah
Jayengsari, Wulung Ludhira, dan Ki Ageng Ludhira baru
memasuki jalan utama menuju alun-alun kraton. Di sisi
kanan dan kiri jalan utama yang lurus terbuat dari tanah
yang dipadatkan, berjejer beringin putih setinggi empat
sampai lima meteran. Di tiap pohon beringin, dua
pasukan kraton bersenjatakan tombak berdiri dalam
sikap siaga seolah tengah bersiap berperang.
―Ada apa gerangan, Nduk?‖ bisik Ki Ageng Ludhira
kepada anaknya yang duduk di belakangnya mengapit
Wulung.
Gadis itu menggelengkan kepalanya, ―Aku ndak tahu,
Pak. Tapi perasaanku ndak enak.‖
―Berdoa saja ya, Nduk. Perasaanku juga tidak enak.
Mudah-mudahan
Mudah- mudahan tidak terjadi suatu apa.‖
Walau berkata begitu, tetapi kedua mata Ki Ageng
Ludhira tidak bisa membohongi anaknya. Dyah
Jayengsari tahu jika sesuatu yang buruk pasti akan
terjadi. Apa yang dilakukan prajurit-prajurit ini pasti atas
perintah Susuhunan Amangkurat I. Dan semua yang
dilakukan raja lalim ini semuanya pasti berakhir tragis.
Karakter raja ini sangat buruk. Dia amat berbeda dengan
ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumah, dan juga
dengan adik-adiknya. (bersambung/rz)
menikmati lautan
yang berada jubahkakinya.
di bawah putih yang memenuhi
Entah alun-alun
apa yang ada di
dalam benaknya ketika itu.
Dyah Jayengsari, Ki Ageng Ludhira, dan ribuan orang
lainnya yang masih duduk di alun-alun melihat dari
kejauhan ketika Susuhunan Amangkurat I mulai
bergerak turun dari singgasananya. Dia berjalan
beberapa langkah ke depan, dan berdiri dengan kedua
tangan berkacak pinggang.
Raja lalim itu terus berdiri dengan tegak. Kedua
tangannya masih berkacak pinggang. Dia mengedarkan
pandangan ke bawah kakinya, menyapu seluruh areal
alun-alun kratonnya. Bibirnya yang menghitam mencibir.
Sorot matanya yang dipenuhi dendam kesumat berbinar-
binar tanda puas. Kepalanya mengangguk-angguk.
Dengan tangan kanan masih berkacak pinggang, tiba-
tiba tangan kirinya diangkat ke atas tinggi-tinggi.
tinggi-ti nggi. Sebuah
perintah yang hanya dipahami seluruh pasukannya yang
sedari sore telah siap dengan senjatanya.(bersambung)
yang menggelegar
Seketika itu juga berlompatanlah para prajurit itu dengan
pedang terhunus ke tengah-tengah lapangan yang
dipenuhi lautan manusia tanpa daya. Dengan teramat
ganas, pasukan Mataram itu menyabetkan pedangnya
ke kanan dan kiri, memenggal leher siapa pun yang ada
tinggi-tinggi.
Buang semua mayat itu ke parit!
Sebagian prajurit yang masih bersiaga dengan pedang
terhunus berjajar satu lapis dalam jarak tiap lima tombak
mengepung alun-alun. Pedang dan badan mereka
belepotan darah. Prajurit yang lain menyambut
Londo anjing!!!
Belanda telah menggali kapak peperangan dengan
dirinya! Sia-sia saja selama ini dia mengabdi pada
mereka, jika balasan yang diterimanya ternyata seperti
ini! Tekadnya telah bulat. Yang dulu kawan mulai malam
ini menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan
bergabung dengan pasukan Kanjeng Pangeran
Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan untuk
memerangi Belanda dari Tegalredjo dan Selarong.
Sebab itu, tidak ada jalan lain. Mulai malam ini, dia akan
mengubah haluan hidupnya seratus delapan puluh
derajat. Dendamnya teramat sangat besar. Darah harus
dibalas dengan darah. Nyawa harus diganti nyawa.
Kedua matanya merah menyala-nyala.
Inilah jalanku!
Tiba-tiba kudanya berhenti dan mengangkat kedua
kakinya tinggi-tinggi. Ringkikannya memecah
keheningan malam yang sepi. Hampir saja Ki Singalodra
terjatuh jika dia tidak kuat menahan tali kekangnya. Dia
segera merapatkan tubuhnya dengan leher kuda
sehingga keseimbangannya tetap terjaga. Sebelah
tangannya tetap kuat mendekap tubuh anaknya. Tak
jauh di depannya, empat lelaki dengan mengenakan
baju wulung hitam dan ikat kepala yang juga hitam
mencegatnya dengan tombak dan pedang terhunus.
Salah satunya membawa obor di tangannya.
―Ya, kita
kita berhenti sampai disini. Kita turun dan berjalan
kaki ke atas sana.‖
―Itu betul. Namun tujuan kami lebih mulia dari itu semua.
Belanda bukanlah musuh kami. Sebagaimana kami tidak
memusuhi Danurejo dan orang-orangnya. Musuh kami
adalah kekufuran dan kezaliman. Itu yang kami perangi.
Kami tidak memerangi orang, tapi kami memerangi
sistem yang melawan perintah Allah. Kami memerangi
sistem thagut.‖
―Thagut…?‖
menangis terisak.
―Dosa--dosaku sudah banyak, Kanjeng Gusti Pangeran…
―Dosa
Apakah ada cara untuk menebusnya agar nanti saya
bisa berkumpul dengan anak dan isteriku di surga?‖
teramat sungkan.
―Pangeran,‖ ujar Taftayani. ―… kita disini sedang
membahas pajak dan Thagut. Apakah ada yang ingin
ditambahkan?‖
―Apakah soal pajak di Tanah Jawa ini sudah disinggung,
Ustadz?‖
Bab 3
SUROMENGGOLO BERSAMA TIGA LELAKI LAINNYA
sudah duduk bersila di ruangan agak besar berdinding
bambu yang tidak dilabur dengan kapur, sehingga bilik-
bilik -
biliki bambu yang mengikat dengan saling-silang itu
menampakkan keasliannya. Sebuah pelita kecil sengaja
diikatkan di pokok bambu, tepat di bagian tengah atas
ruangan. Keempat orang itu merupakan bagian dari
pasukantelik sandi yang sengaja dikirim Diponegoro ke
daerah-daerah musuh untuk menggali informasi
sebanyak-banyaknya tentang berbagai hal.
mengangguk-angguk. ―Alhamdulillah,
Ustadz Taftayani mengangguk-angguk.
ini perkembangan yang baik. Namun ketahuilah, jika
perang yang akan kita lakukan ini adalah perang
sabil, Jihad fi sabilillah. Perang yang semata-mata
bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan
menghapuskan segala kezaliman. Sebab itu, kita harus
mengaktifkan pengajian-pengajian di seluruh negeri,
agar semua yang nantinya bergabung dengan kita
memahami apa tujuan dan hakikat perang ini.
Bagaimana Pangeran?‖
―Insya Allah, saya juga berpendapat sama. Kita akan
memetik kemenangan. Tidak ada sedikit pun rasa takut
Suromenggolo mendengar
mendengar gumamannya, ―Ya, benar
Kanjeng Gusti Pangeran. Mereka berdua telah benar-
benar menjadi kaki tangan bagi Danurejo dan juga kafir
Belanda. Bukankah mereka yang menggantikan Kanjeng
Gusti Pangeran dan Pamanda Kanjeng Gusti
Mangkubumi di dewan perwalian?‖
Diponegoro mengangguk. ―Ya, mereka yang
menggantikanku dan
sepenuhnya.
Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo
melaporkan semua informasi yang diterimanya di
lapangan, baik berkenaan dengan pergerakan pasukan
Belanda dan antek-anteknya, juga kebijakan baru yang
diambil oleh Patih Danuredjo yang kian menyusahkan
rakyat.
Smissaert mengangguk-anggukkan
mengangguk-anggukkan kepalanya, ―Ya, ya,
saya tentu tahu. Ada apa dengan proyek itu?‖
mudah?‖
Smissaert tersenyum lebar, kedua matanya yang besar
menyipit, ―Ha..ha..ha.. betul. Betul
Betul itu. Nah, belokan saja
jalan itu menuju tanah leluhurnya Diponegoro!‖
―Baik, Tuan!‖
minuman keras.
―Patih…, kowe sudah panggil itu Sari?‖ tanya Smissaert
menyebut salah satu penari kraton dari Pacitan yang
terkenal kecantikannya. Smissaert agaknya jatuh hati
pada gadis yang usianya belum genap delapanbelas
tahun itu. Danuredjo tersenyum lebar penuh arti ketika
Bab 5
Puri Tegalredjo, 04.50 wib
kepalanya.
semua pengikutnya.
―Saudara-saudara,
―Saudara -saudara, tenang! Harap tenang! Pengajian
pagi ini kita sudahi dulu. Sekarang, dengan barisan
teratur dan tetap tenang, kita akan bersama-sama
menuju ke tanah makam. Kita akan lihat langsung apa
yang diperbuat kafir Belanda itu kepada leluhur kita,
Bab 6
―Kanjeng Pangeran,
Pangeran, sebaiknya kita menahan diri.
Jangan sampai kita dituding sebagai pihak yang
memulai perang. Kita bertahan saja dahulu. Tentang
pancingan atau mungkin jebakan yang dilakukan
luas.
[2] Panglima Besar.