Anda di halaman 1dari 37

Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Oleh : Daeng Mangesa Datupalinge


Tahun 1888 : Pertempuran di Kayumalue
Memenuhi Undangan
Kisah perlawanan rakyat Kayumalue terhadap serdadu VOC/Belanda, di dukung oleh para
Tadulako (Perajurit pemberani, pemuka-pengembleng) dari Singampa/Kaleke, pusat kerajaan Dolo.
Raja (Magau bahasa Kaili) Dolo, bertiga dengan seorang putranya dan seorang kemenakannya,
turut serta ke Kayumalue bersama beberapa orang perajuritnya, untuk membantu keluarga yang
sedang berlaga melawan serdadu VOC. Rakyat Kayumalue sebagai sekandungnya rakyat kerajaan
Dolo waktu itu.
Penguasa Kerajaan Dolo, selaku pemimpin regu bernama Yolulemba, adalah cucu Magau
Sarudu/Doda bernama Lasakumbili 1).
Pukul 09.00 malam bulan Nopember 1888, 2 buah kapal serdadu VOC masuk di teluk Palu
dengan perlengkapan perangnya. Seminggu sebelumnya, Magau Dolo Yolulembah bersama
pengiringnya, dan seorang putra : Datupamusu (19) dan kemenakannya bernama : Datupalinge (16)
yang merupakan putra dari adik kandungnya bernama : Andi Rasiah sudah berada di Kayumalue,
setelah pergi-pulang sigampa (Kaleke) – Kayumalue dengan menunggangi kuda mengungsikan
keluarga ke sana. Salah seorang keluarga yang membongceng dipunggung kuda Datupalinge,
adalah Ina Randa, ibunda Daeng Mawasa. Dan begitulah untuk menyambut kedatangan serdadu
VOC itu di laut segalanya telah siap, telah pula dikawal oleh 4 orang pemuda yang ikhlas dijadikan
umpan. Sejurus, terjadinya perkelahian di atas kapal, antara awak kapal dengan pemuda pemberani
itu.
Dan, dalam situasi begini, Belanda mendaratkan serdadunya dikawal dengan dentuman
tembakan-tembakan meriam, yang dimuntahkan dari kapal ke arah rumah-rumah penduduk pantai.
Di saat itu pulalah Belanda menganggap tak akan ada perlawanan rakyat menjemput pendaratan
mereka, padahal begitu serdadu ini menginjakkan kakinya di pantai, serbuan serempak mendadak
terjadi, dan terjadilah baku hantam satu lawan satu, antara “To na bia mpapu langi” dengan
serdadu VOC yang mengakibatkan nyaris seluruh serdadu Belanda itu mati konyol kena bacok,
tombak, golok, sumpit dan panah. Desingan peluru dukungan dari kapal, tidak dihiraukan, malah
dibalas dengan gemerincing golok, keris sakti, beradu tangkis dengan bedil milik serdadu Belanda
yang mendarat itu.
Tak tahan kulit tubuh mereka bila kena senjata sakti peninggalan kakek dan nenek moyang Kaili
tempo dulu.
Hulubalang perang ditangani oleh Magau Dolo Yolulembah, dibantu oleh keponakannya
Daeng Mambani serta keluarga lainnya, seperti Radjamaili dan lain-lain. Yolulembah, ingin benar

1
) Lasakumbili ini lahir di Desa Kumbili (sekarang bernama Kayumalue). Kumbili adalah nama sejenis
pohon kayu, yang cuma satu-satunya tumbuh dan hidup sejak jaman dahulu., hingga hari ini sekitar
satu kilometer sebelah timur Mesjid. Pohon Kumbili yang aneh itu, buahnya sebesar buah jeruk
mempunyai sebutir biji yang bakal tumbuh namun. Namun sejak berabad yang telah silam sampai hari
ini, penduduk disini tidak pernah lagi melihat pohon tersebut berganti hidup. Menurut cerita, ketika
Permaisuri Raja selaku penguasa tinggi di tempat itu sedang mengidam buah Kumbili, inilah menjadi
makanan makanan lezat sang Permaisuri. Permaisuri melahirkan bayi kembar tiga, dua laki dan
seorang bayi perempuan. Seminggu setelah bayi tersebut lahir maka diadakanlah pesta besar-besaran
menyambut hari baik “penamaan”. Maka diberikanlah nama buat putra pertama : Lasakumbili; Putra
kedua : Daeng Matallu, dan seorang putri diberi nama : Daeng Masisih. Kedua orang tua kembar tiga
itu, ayah berasal dari Kabonga/Ganti, sedang ibu berasal dari Kumbili (Kayumalue ), yang menurut
legenda turunan Togelele berasal dari kayangan. Demikian sekilas kisah sebatang pohon aneh dan
Permaisuri yang memakan buahnya ketika mengidam.
1
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

melihat keberanian serta kekebalan kulit putra dan kemenakannya, yang masih berusia remaja itu,
ikut berlaga di tengah api peperangan menghalau musuh yang sedang memporak-porandakan
harkat manusiawi keluarga orang tua mereka. Melihat kegesitan putra dan kemenakannya itu,
Yolulembah sudah merasa yakin, bolehlah suatu hari kelak kedua anak muda ini dilepas pergi
membela kebenaran karena gangguan musuh terhadap kehidupan keluarganya.
Karena itu semua, rakyat Kayumalue yang dikenali “rumpun manusia baja”, bertambah
kadar semangat juangnya, mengamuk diselah-selah desingan peluru, menebas dan menghujamkan
tombak dengan berbagai macam jenis senjata tradisional mereka, ketubuh serdadu VOC. Dan,
dalam suasana seperti itu, semangat juang rakyat Kayumalue dibakar oleh bunyi gendrang bertalu-
talu yang ditalu oleh adik perempuan si jantan Lasangkara bernama Hatjide.
Hatjide adalah petugas khusus penabuh genderang yang ditempatkan di puncak Malinge
(menara) yang sengaja didirikan sebagai alat komunikasi menyampaikan berita perang keseluruh
pelosok desa. Menara tersebut sebelumnya, jauh – juah hari telah disiapkan dan dibangun sebagai
puncak komando serbu habis-habisan, biar berkalang tanah. Itulah sebuah motto, dibangunnya
secara terburu-buru sebuah Malige setelah berita akan datangnya serdadu VOC membumi
hanguskan kampung Kayumalue. Dan, dipuncak itulah gadis Hatjide berada, diketinggian pucuk
sekitar 25 meter, disanalah ia bertugas, selaku penabuh.
Siapa jejaka tak akan berani, mempertaruhkan nyawanya jika penabuh genderang seorang
dara manis Kaili nan jelita, berambut panjang bagaikan mayang terurai berdiri dipucuk sana itu !?
Sang gadis itulah salah satu diantara bahan pendorong utama membuat tabrakan keras
membangkitkan semangat patriotisme tak mungkin mereda dalam dada para prajurit perang ketika
itu. Memang, Hatjide pun mengerti, betapa jiwa para pemuda bila melihat sang gadis bagai dia,
melilitkan rambut dipinggang seraya melakukan tugas suci membela kebenaran hakiki.
Menurut cerita ayahanda Datupalinge, salah seorang pelaku perang waktu itu, Hatjide tidak
terlalu cantik, namun tidak pula jelek, amat. Ia wanita sederhana, tapi cukup mempesona pria
karena keberaniannya yang luar biasa itu barangkali. Dalam pertempuran malam itu, Lamandituru
kena tembak dikakinya, dan karenanyalah ia disebut; Ikejo, artinya Si pincang.
Yang paling gila-gilaan nampaknya dalam pertempuran ini adalah para jantan; Irimbalau,
Isula, Iganaovo, Ilapele, dan si kecil Isarovelo. Mereka seperti kesurupan menggoloki, menebas
serta memutuskan organ-organ tubuh serdadu VOC yang menurut cacatan ayah, serdadu VOC
tersebut dipimpin oleh seorang opsir, bernama Van Vuur. Dan untuk membantu keluarga
Kayumalue dalam perlawanan itu, lelaki bernama Yunda seorang Tadulako dari Besusu, membawa
pula seregu prajuritnya. (Menurut kisah ayah dan beberapa pengisah lainnya bahwa, Yunda adalah
turunan Magau Dolo ke-8 bernama; Tumbuhlangi, yang amat molek parasnya, yang pelantikannya
diadakan di Besusu. Magau (Raja) perempuan ini, lalu kawin dengan seorang jejaka tampan yang
sungguh mempesona hati sang ratu. Diceritakan pula, pemuda tampan itu tidak jelas identitasnya.
Ada yang mengatakan berasal dari rimba sebelah timur kampung Besusu ini sendiri, dan ada pula
yang mengatakan berasal dari Sigampa atau Pesaku dan masih memiliki hubungan keluarga sang
Magau cantik itu sendiri, yang bernama Andi Maya 2). Korban berjatuhan, serdadu VOC musnah
sebanyak yang didaratkan. Dan bedil-bedil lengkap dengan amunisinya, dapat diperoleh dengan
mudah oleh para prajurit Kayumalue, dan rakyat Kayumalue seolah mendapat durian runtuh !.

2
). Selain Tadulako Yunda, di Besusu sampai kini banyak turunannya seperti : Tomodu sekeluarga, orang
tua Ali Abdurasid sekeluarga, orang tua Nasarudin Pakedo sekeluarga, orang tua Arsyad sekeluarga,
dan masih banyak lagi.

2
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Hal itu merupakan modal besar bagi mereka, guna menantang kezaliman, andai serdadu
Belanda itu datang pula kemari entah kapan, untuk membawa nyawanya dicabut malaikat maut,
dari tangan prajurit-prajurit Kayumalue.
Suasana malam jadi hening, dan sepi mencekam. Kapal VOC itu sudah pergi jauh ke arah
utara, serta tidak lagi nampak kedipan lampunya. Dan Kayumalue, seakan membeku, dan dalam
kebekuan seperti ini, hanya jilatan apilah menimbulkan bunyi, mematahkan ramuan kekayuan
kerangka rumah-rumah penduduk. Sebab, sang apilah kini, selaku penggati lakon, membuat
klimaks cerita drama perang yang barusan tadi begitu gaduh. Api itu tak perlu dipadamkan, biarlah
ia mati sendiri seusai membuat debu-debu rumah rakyat, namun juga menerangi relung hati rakyat,
serta membakar semangat juang demi mempertahankan hak, untuk mau perang lagi jika besok, atau
lusa, dan kapan saja serdadu VOC itu datang kembali mengganggu.

Kapal Perang Itu Datang Lagi.


Keesokan harinya, kapal perang itu datang lagi. Para prajurit Kayumalue bergegas
menyiapkan segala keperluan perang, sebelum musuh mendekat. Dan gadis Hatjide, wanita besi itu
(istilah ayah), segera pula naik tangga Malige, tempat dia bertugas sebagai tukang pukul genderang
perang, seperti dilakukannya semalam pada pertempuran pertama. Magau Yolulembah bersama
putranya, prajurit Kayumalue dengan para Tadulakonya, sudah pula usai merapikan posisinya
masing-masing. Mereka berlindung di sebuah gundukan tanah membukit kecil, yang di depannya
ada pohon bakau tumbuh padat di tepi laut. Belanda tidak mengira, sebagian rakyat berlindung
disitu. Karenanyalah, serdadu VOC merasa aman ketika hendak turun di pantai. Disitu beberapa
pemberani menanti dengan bedil siap ditembakan untuk membunuh pemiliknya semula, (senjata
rampasan semalam itu). Seperti tak sabar lagi nampaknya, pemberani itu ingin lekas mencoba
menembakkan peluru bedil, sebagai pembunuh balik kepada serdadu Belanda itu. Mereka tak perlu
lagi menunggu aba-aba dari gadis berdiri di atas menara, dan menembaklah mereka ketika serdadu
itu baru turun dari sekocinya. Bentrokan besar dahsyat, terjadi sudah untuk kedua kalinya,
dibarengi genderang bertalu-talu. Serbuan diawali oleh para prajurit yang berlindung di pohon
bakau, dan mengawali jatuhnya korban satu demi satu hilangnya nyawa manusia setelah
mengalirkan darah menyatu dengan air laut.
Baku hantam satu lawan satu, saling rampas spontan terjadi, seiring dentuman meriam dari
kapal sebagai kawal serbuan yang ditujukan pada gundukan tanah bukit tempat rakyat berlindung
dan bertahan.
Digundukan tanah berbukit inilah, para prajurit Kayumalue bersama Magau Yolulembah
bertahan mati-matian, menyebabkan serdadu VOC yang masih belum suka mati, karena merebut
hak orang lain, lari terbirit-birit menuju sekocinya untuk menyelamatkan jiwanya kembali ke kapal.
Perolehan senjata bagi rakyat Kayumalue, bertambah akibat senjata yang di tinggalkan serdadu
Belanda dalam dua kali perkelahian itu.
Sejak peristiwa itu, Pemerintah VOC/Belanda yang sudah lama memerintah di Manado,
menganggap bahwa, tinggal kawasan ini belum terjangkau masuk Hindia Belanda seperti daerah-
daerah lain telah puluhan bahkan ratusan tahun dijajah. Belanda sudah tentu berpikir, daerah ini
pun penting segera di taklukkan dari kekuasaan Raja-Raja yang menguasainya.
Ketika Magau Yolulembah bersama putra dan kemenakannya serta beberapa orang
pengawal, juga Tadulako Yunda bersama para prajuritnya kembali ke kampung mereka masing-
masing, rakyat Kayumalue yang rumahnya telah terbakar habis karena api perang, ikut serta pula

3
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

kesana, sebagian langsung pergi bersama Magau ke Dolo, yang lain tinggal di Besusu bersama
Tadulako Yunda. Daeng Mambani (ayah Lamakasusa) dengan banyak tokoh perang lainnya merasa
terharu melepas kepergian sesepuh mereka kembali di kampung seusai perang.
Keberangkatan tersebut dengan iringan genderang mengiringi penari perang (topeaju),
meloncat-loncat seraya mengayunkan golok dan perisai berjalan didepan Raja Dolo bersama
rombongan, hingga berakhir di sungai Taipa-Mamboro. Rakyat Kayumalue meneteskan air mata.
Apalagi Daeng Mambani selaku pengundang utama, disamping amat terharu ia pun merasa sangat
bersyukur kehadirat Tuhan karena sehari semalam bertempur, keluarga yang dilepas pergi pulang
itu, tidaklah menderita luka atau cedera walau sedikit pun jua. Radjamaili salah seorang diantara
pengundang, turut pula melepas kepergian keluarganya, namun antara dia dengan Daeng Mambani,
tidak saling menegur karena ada persoalan pribadi agak serius yang belum terselesaikan.
Demikianlah sekelumit ceritera perlawanan rakyat Kayumalue terhadap serdadu
VOC/Belanda, sebagai awal mula Belanda ingin menginjakkan kakinya di bumi Kaili ini
menjelang akhir abad 19 (Nopember 1888). Kedatangan Belanda itu, pada dasarnya untuk
memenuhi undangan dari salah seorang penguasa kerajaan negeri terdekat dengan Kayumalue.
Sebagai salah satu bukti peristiwa berdarah itu terjadi seperti telah diutarakan di atas, yang hampir
setiap detik disebut orang, ialah : Loji. Loji adalah bahasa Belanda yang artinya, benteng, atau
tempat pertahanan.
Jika orang mengenang kembali, awal kehadiran tentara VOC di Kaili ini, sekaligus orang
menyebut: “Kapapu Nu Kayumalue” atau terbakarnya kampung Kayumalue, akibat perang
tersebut.
Berdasarkan kisah ayahanda Datupalinge yang pernah merasakan langsung peristiwa itu
:
“Yang mati yah, matilah sudah ! Dan, kami yang masih hidup serta tidak mendapat
cedera walau sedikit, hampir semua bertelanjang bulat. Pakaian di badan habis
dimakan api peluru”. Ayahanda melanjutkan : “Besok harinya, pada suatu sore di
hari Sabtu bulan Nopember, dalam suasana hujan lebat, sebuah sekoci penuh serdadu
Belanda, masih di tengah perjalanan menuju pantai, tiba-tiba disambar petir dan
semua isinya mati tenggelam. Sementara yang sudah berada di darat, kami tantang
mati-matian demi membela keluarga kami disana. Karena tembakan meriam kapal
tidak putusnya mengawal pendaratan, kearah bukit tempat kami berlindung dan
bertahan (Loji disebut Belanda), kami lari ke arah Selatan dan bertahan disitu.
Akhirnya, disebutlah tempat itu Lai. Alhamdulillah, sampai hari ini saya dan
pamanmu masih segar “.
Demikianlah ayah berbicara mengenang masa silam yang mesra dengan keluarga di
Kayumalue dalam membela kehormatan, ketika mendapat hinaan dari orang berhati penjajah, serta
mengandalkan kekuatan serdadu Belanda.

41 TAHUN PENJAJAHAN BELANDA

Pada awal Maret 1901, kolonial Belanda telah berada di Donggala dan sudah pula berhasil
mengadakan perjanjian-persahabatan, serta perdagangan dengan beberapa daerah kerajaan tepi
pantai, kecuali kerajaan Bulu-Bale, yang sedang ditahtai oleh Raja (Magau) Malonda yang
mempunyai wilayah pantai kekuasaan yang luas, masih belum mau bersahabat dengan bangsa
penjajah itu. Demikian pula kerajaan Moutong di pantai timur (Teluk Tomini) yang ditahtai oleh
Raja Tombolotutu, sama halnya dengan kerajaan Bulu-Bale yang tidak mau tunduk kepada
Kolonial Belanda.
4
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Selain kerajaan-kerajaan lekas takluk di atas, dua kerajaan tertua di lembah Kaili ini, ada
satu diantaranya sejak awal kehadiran Belanda, pucuk pimpinannya sudah kibarkan bendera putih.
Jadi senada dengan kerajaan-kerajaan takluk, seperti yang telah disebutkan di atas. Kerajaan mana,
itu ! Kerajaan Sigi-Biromaru. Meskipun, Madika Lamasatu, selaku penguasa di Sigi, tak
menyetujui tindakan Magau sebagai pimpinan kerajaan. Maka, tinggallah kerajaan Dolo satu-
satunya, di lembah ini berdiri kokoh.
Malonda tidak mau bermurah hati, dan diam-diam ia bersiaga untuk nanti akan bangkit
melawan bangsa penjajah. Dan, untuk maksud itu, beliau menghubungi keluarganya Raja
Tinombo/Moutong Tombolotutu, dan Raja Dolo di Sigampa (Kaleke), Datupamusu, Raja (Magau)
Dolo XI menggantikan ayahandanya, Yolulembah. Datu itu dinobatkan jadi Raja; 1 Februari 1901
oleh lembaga hadat “kota pitu nggota”. Kian hari bertambah eratlah hubungan antara, tiga kerajaan,
karena saling kunjung-mengunjungi. Hasil dari sikap saling berkunjung itu, terjadilah suatu tekad
saling bantu bila kelak timbul musibah di daerah masing-masing.
Hubungan mesra ketiga Raja di atas segera diketahui Belanda. Sebab ada laporan para
penjilat, dan laporan mereka itulah mengalihkan pandangan kompeni pada pertempuran 12 tahun
lampau di Kayumalue, dimana yang jadi Magau Dolo kini adalah salah seorang pelaku utama
dalam peristiwa berdarah itu, yaitu seorang yang palig disegani, baik kawan maupun lawan, kala
ia mengamuk dengan goloknya, memutuskan bagian-bagian organ tubuh serdadu VOC saat itu.
Banyak leher serdadu VOC ditebasnya sampai putus. Dan bukan hal mustahil jika pada suatu
ketika Magau Dolo itu akan mengajak rakyatnya untuk bangkit mengadakan perlawanan terhadap
Belanda dan antek-anteknya. Selain hubungan baik sudah agak lama tercipta di tiga kerajaan
seperti disebutkan di atas, tak pula ketinggalan kerajaan Sausu/Parigi (Pantai Timur), serta kerajaan
Kulawi yang ditantai oleh Raja Tovualangi, sudah pula bersiap siaga melawan jika kapan saja
Belanda mulai mengganggu.
Pada saat jalan dari Siranindi/Palu kearah selatan sedang dikerjakan, Belanda melihat cara
kerja seperti ini yang tidak seberapa banyak rakyat mau bekerja giat sebab kurang pengaruhnya
Magau Siranindi. Untuk itulah Magau Dolo diperintahkan datang membantu menggiatkan pekerja.
Magau Dolo segera berangkat ke Palu bersama seorang teman bangsa Inggris –Australia bernama
Willys alias tuan Doda, sbg juru gambar guna pembuatan tata kota. Tuan Willys adalah seorang
pengusaha minyak bumi yang gagal, di kerajaan Sarudu/Doda wilayah perwakilan kerajaan besar
Dolo 1886, dan kini masuk wilayah Kabupaten Mamuju/ Sulsel.
Demikian otak Belanda menyimpulkan demi kesegeraan penyelesaian, sehingga bukti
jelas nampak dimata. Juga selaku imbalan kelaki-lakian Magau Dolo yang sebelumnya telah
banyak membunuh serdadu VOC seperti telah diungkapkan terdahulu. Namun tindakan Belanda
seperti itu dimengerti pula Magau bahwa sikap Kompeni Setan ini, cuma suatu hukuman halus
belaka, pada dirinya. Olehnya Magau menerima dengan segala senang hati, tindakan Belanda itu.
Karena ia yakin, suatu waktu kelak rakyat yang dipimpinnya akan menjadi pengikutnya ber kelahi
melawan Bangsa Penjajah.
Setelah berjalan beberapa lama pembukaan jalan raya tersebut dan telah pula nampak
buktinya yang memuaskan seluruh pekerja. Rakyat Siranindi dan sekitarnya, rakyat tetangga dan
sekitarnya, juga rakyat Tagari dan sekitarnya, amat simpati atas atas kepemimpinan Magau Dolo.
Bahkan, ketiga negeri tertua itu mengaggap rakyat di kerajaan Dolo yang dikepimpin Magau Datu
ini, adalah sekandung dengan rakyat di negeri mereka. Begitulah tatapan dalam wujud kata, hati
nurani masyarakat disitu terhadap kerajaan Dolo, dipimpin seorang Magau nan bijak. Sementara,

5
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

itu di wilayah kerajaan Dolo telah lebih dahulu pembukaan jalan raya yang dimulai dari Sibonu,
sebelah utara, batas kerajaan Dolo dengan Siranindi wilayah selatan. Dan yang memimpin
pekerjaan disini magau serahkan pada adik sepupunya, Datupalinge, yang juga termasuk pelaku
pertempuran di Kayumalue Tahun 1888. Setelah Belanda tahu kerajaan Dolo lebih dahulu bekerja
memperluas jalan disana, Datupalinge dipanggil datang ke Palu menggantikan Datu. Serta
diperintah untuk membantu Magau Dolo memimpin dan menghimpun seluruh rakyat dari kerajaan
Dombu turun melaksanakan kerjasama untuk kepentingan bersama. Karena jalan raya yang akan
dikerjakan itu bukan milik orang Belanda. Demikian Datupalinge beri pengertian dengan cara
kekeluargaan kepada masyarakat Dombu, yang sebelumnya ada diantaranya menolak gagasan itu.
Suatu ketika ada pertanyaan mengapa bukan Magau Siranindi/Palu dipaksa Kompeni
Belanda untuk meyelesaikan pekerjaan jalan raya ini ? Jawab oleh Datupalinge sebagai berikut :
“Kami berdua selaku orang hukumam. Ini disebabkan kami ikut bertempur melawan
serdadu Belanda di Kayumalue pada waktu dulu. Dan jalan yang kita semua kerjakan ini
bukan untuk orang lain. Kompeni tidak akan bawa ke negeri Belanda jalan ini. Tetapi
untuk kita sendiri, kalau suatu waktu penjajah itu sudah kalah. Hal itu apabila Tuhan
sudah menghendaki“.
Demikian Datupalige menjawab tegas pertanyaan keluarga dari tetangga, dalam sebuah Notes tua
yang sudah robek-obek bertuliskan huruf bugis tertanggal 12 November 1901 di Siranindi. Notes
tersebut diketemukan tahun 1948.

TAHUN 1902 : PERANG BALE

Malonda adalah Raja Bale ke VI menggantikan pamannya Raja Makagili alias Pue Nggeu
yang telah dibuang ke Makassar karena dituduh menyembunyikan Raja Tombolotutu. Sekalipun
hubungan ketiga penguasa kerajaan itu sangat baik, seperti kerajaan Ganti oleh Lamarauna, dan
Donggala oleh Wali Kota Pettalolo, akan tetapi Raja Bulu Bale La Malonda, sama sekali tidak
merasa terikat dengan hubungan serta perjanjian-perjanjian yang ditanda tangani bersama dengan
Kompeni (Kompania yang lazim disebut). Dalam hubungannya dengan Belanda, Raja Bulu Bale
adalah seorang pembenci kelas wahid. Acapkali ia diundang guna menghadiri konfrensi lembaga
Adat “Kota Pitu Nggota” malah ditolaknya, jika yang menghadiri pertemuan itu terdapat orang
Belanda.
Bertambah kebencian Raja terhadap Belanda setelah pengasingan pamannya Makagili ke
Makassar. Karena kekerasan hati Raja Malonda, Raja Ganti Lamarauna berulang kali menasihati
agar jangan bersikap terlalu keras terhadap Belanda. Demikian juga Pettalolo, sering menasihati,
namun nasihat itu bukan tidak dihormatinya, tapi jiwanya benar-benar tidak mau menerima adanya
kekuasaan Belanda di dalam wilayah yang sedang dibinanya. Ada tekat bulat dalam hati Malonda
“lebih baik berkelahi dahulu”. Untuk mewujudkan tekadnya, Raja Malonda mengirim utusan ke
Sigampa menemui Raja Dolo bersama keluarga, juga ke Moutong/Tinombo untuk menemui Raja
Tombolotutu.
Undangan Raja Malonda diterima dengan senang hati oleh kedua Raja tersebut, dan
mereka siap berangkat guna membantu keluarga. Pada hari yang telah ditetapkan Raja akan
mengadakan serangan, para undangan perang sudah berada di Bulu Bale dan bertahan/bersiap-siap
di Lumbuganti, sebelum kapal perang Belanda yang ditumpangi Residen Makassar itu berlabuh.
Kedatangan residen, atas undangan tuan Petoro untuk menangkap Raja Bale, karena dianggap
sangat membahayakan kedudukan Belanda.

6
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Datupamusu berdua Datupalinge dengan beberapa orang prajuritnya bertemu di


Lumbuganti dengan rekannya Raja Tombolotutu bersama para prajuritnya. Demikianlah dibulan
maret 1902 pagi-pagi sekali masuklah sebuah kapal perang Belanda di Donggala dari Makassar
membawa residen Bernama J.A.G Brugman.
Tuan Petoro (sebutan Lazim waktu itu) segera memerintahkan kepada Pettalolo sebagai
Walikota Donggala dan berpangkat Kapten der Buginezen untuk memanggil Haji Nontji, seorang
pengawal terpercaya dan tangan kanan Pettalolo, sewaktu melihat Pettalolo telah tersungkur
berlumuran darah, ia berpendapat bahwa kematian Pettalolo tidak lain disebabkan tindakan kotor
dan biadabnya penjajah. Untuk itu, ia tidak lagi berfikir panjang dan langsung melompat menyerbu
kearah residen untuk membunuh Belanda itu, yang berada di ruang kantor tuan Petoro.
Namun malang nasibnya serdadu Belanda menembaknya, membuat Haji Nontji tersebut jatuh
terkapar sekitar 3 meter dekat residen, sementara pertempuran sengit tengah berlangsung.
Banyak serdadu Belanda menemui ajalnya, terdiri dari Ambon dan Minahasa kendati bukan gugur
sebagai kusuma bangsa.
Magau La Malonda kembali ke Istana bersama prajuritnya dengan selamat. Malamnya
bertemu dengan regu bantuan dari kerjaan Dolo dibawah pimpinan Datupamusu bersama adik
sepupunye Datupalinge dengan beberapa Tadulakonya. Juga Raja Tombolotutu. Lumbuganti
sebelah selatan istana Raja sebagai pertahanan bila sewaktu-waktu serbuan Belanda menerobos
kesana.
Seusai bermusyawarah dengan para regu dari penguasa kerajaan Dolo dan Tinombo,
Magau La Malonda merasa lebih baik menyingkir dulu dari istananya, dan malam itu juga ia
menyeberang ke Tawaeli, ia merasa tidak ada teman seide, karenanya Raja Bale ini, segera
tinggalkan tempat menuju Sindue.
Residen perintahkan tuan Petoro dan Raja Ganti Lamarauna untuk selekas bertindak agar
La Malonda ditangkap dan terus dibawa ke Makassar guna menemani pamannya disana, yang lebih
dulu meringkuk di dalam penjara. Perintah itu sungguh memusingkan otak Magau Ganti
Lamarauna, sebab kerja yang tidak mudah dilaksanakan, sebab Malonda bukan cuma seorang diri,
sebab La Malonda didukung oleh dua kerajaan besar dari dua jantan yang tak mungkin mau damai
itu.
Sehubungan dengan perintah residen itu, Lamarauna berpendapat akan lebih baik
menghubungi dahulu anak Pettalolo bernama Mohammad Amir barulah ia bisa menentukan sikap
untuk melaksanakan perintah Residen. Maka bertemulah Lamarauna Raja Ganti dengan
Muhammad Amir. Sungguh bijak pendapat Muhammad Amir :
“Kematian seorang hamba Tuhan tidaklah mungkin jika tidak seizin-Nya. Olehnya, sebaiknya
Raja Bale segera dipanggil pulang untuk memimpin kerajaan Bale kembali. Sudah pasti
suatu ketika kelak, Raja bakal mau berdamai dengan Kompeni, bila tidak, Belanda itu akan
bermain kasar terhadap anak pribumi. Sebab yang sudah mati tidak bakalan hidup pula”
Mendengar pendapat Muhammad Amir yang sangat menyenangkan itu, Raja Ganti bersyukur.
Betapa tidak, Muhammad Amir adalah seorang pemuda berpandangan jauh dan positif. Dia pun
mengerti betapa banyaknya usaha untuk membujuk Belanda agar bertindak spontanitas terhadap
Raja Bale yang keras itu, sebab jalan damai masih bisa diusahakan demi menghindari pertumpahan
darah. Namun Belanda tetap perinsip penjajahannya.
Tidak lama setelah itu, Raja Bulu Bale bertahta kembali dengan hati gunda mengenang
peristiwa kematian Pettalolo. “Engkau tidak bersalah saudaraku” demikian Raja Bale Malonda
berseru dalam hati.
7
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

SUASANA JADI CERAH


Karena bertahta kembali Raja Bale La Malonda, suasana nampak ceriah di tiga wilayah, La
Malonda merasakan pula sikap serta tindakan keterlaluannya beberapa waktu silam membuat
Pettalolo telah mengucapkan isi hatinya, untuk sehidup semati dan bila perundungan dengan
Belanda itu akan gagal pula? Mengenang peristiwa itu yang agak jauh berlalu itu, Raja La Malonda
berjernih hati dan pada suatu hari berkunjunglah ia bersama putranya almarhum bersama
Muhammad Amir, kemakam Pettalolo seraya bermohon kehadirat Tuhan Yang Maha Rahman
kiranya menerima Pettalolo sebagaimana ia menerima orang-orang saleh disisinya. Demikian do’a
Raja Bale saat berziarah di Pusara sahabatnya Pettalolo bekas Walikota Donggala, yang berniat
menghadiri agar tidak terjadinya pertumpahan darah sia-sia, sebab jalan damai begitu luas kelak
bisa diperoleh. Dan jalan damai itulah ia ingin ciptakan, selaku alat pertahanannya berdebat dengan
tuan Petoro dan Residen Makassar, hingga berucap sehidup semati dengan rekannya Raja Bale,
seperti teruraikan diatas. Sebagai wujud ketulusan hati inilah, tergambar pada ucapan puteranya
ketika ditemui Raja Ganti Lamarauna, Muhammad Amir itu.

PERLAWANAN RAJA TOBOLOTUTU

Akan halnya Raja Tombolotutu, sekembalinya dari Bale-Banawa. Raja ini sejak kehadiran
Belanda pertama di Pantai Timur, dari Poso sudah mulai dikejar-kejar. Dan itulah sebabnya, hingga
kini Raja tersebut belum pernah dilihat Belanda mukanya. Beliau tinggalkan istana, dan bergerilya
di hutan bersama pengikutnya. Masyarakat Tinombo/Moutong jadi resah karenanya. Ia berada di
Pantai Barat, dari satu tempat ketempat lainnya di wilayah Dampelas Sojol. Suatu peristiwa yang
naas dalam keadaan kakinya sakit/luka dalam perjalanan kembali dari Bale-Donggala,
Tombolotutu berada di gunung Sojol bersama anak buahnya. Waktu itu ia sedang mandi, sambil
membersihkan luka pada kakinya disebuah sungai kecil di lereng tiba-tiba serdadu Belanda
mengepung serta memerintahkan angkat tangan, kepada Raja Tombolotutu.
Tombolotutu yang sejak mula mengharamkan matanya melihat Belanda dalam sebuah
semboyang berbunyi “Baru demo vataku, pade rakita nu Balanda” kelak bangkaiku baru boleh
dilihat Belanda. Dengan tiada sedikitpun diduga Belanda Raja Tombolotutu lenyap seketika dari
tempat permandian itu, dan serdadu Kompeni penasaran dan seraya memberondong menembak
berputar-putar hingga mengenai anak buahnya sendiri. Pada detik-detik seperti itulah Tombolotutu
bagai anak panah lepas dari busur dengan kerisnya ia menerjang kian kemari menikam dan
menggoloki bagian-bagian organ tubuh serdadu Belanda, dalam wujud sebentar-sebentar hilang.
Pada pertempuran yang amat sengit itu, Raja Tombolotutu menemui ajalnya dengan
beberapa orang prajuritnya disamping dipihak Belanda hampir seluruh tewas, serupa hewan
dipotong-potong, akibat bacokan berbagai macam senjata tajam yang digunakan prajurit Raja dari
pantai timur tersebut . Gunung Sojol sebagai markas dan disitulah pahlawan Tombolotutu hidup,
hingga pada akhir hayatnya, setelah lama bertahan atas nilai dan harkat diri sebagai hamba Allah
yang sungguh cinta akan hak dan kebebasan, selaku juga bangsa berbudaya laksana bangsa lain
yang berada dijagat raya ini.

8
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

1903 PERLAWANAN KERAJAAN DOLO

Kerajaan Dolo melakukan perlawanan terhadap serdadu Kompeni. Serangan Belanda


sekonyong-konyong itu mengakibatkan Baruga (bangunan khas Kaili) tempat anggota adat
berwusyawarah jadi terbakar kena peluru. Banyak tokoh adat yang hadir disitu, selain Magau
sendiri dan masyarakat lainnya. Pertemuaan diadakan atas prakarsa Magau Dolo dengan maksud
menyatukan tekat untuk tidak begitu mudah saja menerima ajakan Belanda ingin bersahabat.
Politik liciknya Kompeni memang demikian. Hal ini sejak semula telah tertanam dan ratusan tahun
sudah menghancurkan martabat bangsa kita. Kita harus coba dulu melawan dengan persenjataan
apa adanya. Ingat bahwa kita bukan bayasa (banci) demikian kata Magau Dolo Datupamusu .
Sementara musyawarah sedang berlangsung, sergapan musuh tiba-tiba mendadak datang
dari berbagai arah utara, dan perang tanding satu lawan satu terjadilah sudah, seorang yang digelari
Tadulako bernama ”Tagintina” mengamuk laksana banteng menebas batang tubuh serdadu
kompeni, dan karena kekebalannya ia sanggup membunuh beberapa orang serdadu Belanda, serta
mengejar serdadu Belanda yang masih mau menyelamatkan jiwanya. Sebab masih ingin hidup
nikmat di bawah telapak kaki bangsa Belanda. Banyak benar serdadu Belanda yang tewas selain
beberapa orang dapat meloloskan diri membawa lari nyawanya.
Dalam perkelahian ini, Gantulembah mati (hilang), namun mayatnya tidak ditemukan.
Gantulembah diperkirakan mati hangus bersama terbakarnya Baruga. Dan Loulembah luka kena
sebutir peluruh sesudah membunuh. Magau dan adik sepupunya Datupalinge menyingkir, bersama
para paman-paman mereka antara lain : Givilembah, Gantalembah, Tavalembah, dan seorang
keponakannya yang bernama Yanggo (kakak DR. Hj. Huzaima Tauhid), mereka menyingkir ke
pegunungan Bunggu Dolo (sebelah barat kampung Beka). Banyak benar yang bernama akhir
Lembah, yang kesemua masih kena paman Magau Dolo beradik. Tiga lembah yang menyingkir
bersama itu, sekandung. Guvilembah mertua Datupalinge. Dan Yanggolembah kena ipar (ketianya
dari Sibonu).
Sungguh sedikitpun tak ada dugaan kalau pada saat mulai menyatakan pendapat, tatkala
orang belum bersapa, serangan tiba-tiba datang dari pihak Kompeni. Peristiwa itu timbul
sekonyong-koyong akibat ulah Intje Dahlan dan Inje Mohammad, sebab keduanya melapor kepada
Belanda di Palu, bahwa di Dolo sedang diadakan musyawarah (Libu bahasa Kaili) bertempat di
Baruga Kota Palu. Karena serdadu Belanda banyak tewas digolok dan diparangi ditombak dan
ditikam, sedang dipihak anak negeri tak mampan peluru merobek dagingnya, Kompeni lalu
mempersalahkan si pelapor celaka itu yang banyak membawa maut itu.
Akan hal Magau Dolo Datupamungsu itu, seperti tak mau berdiam diri. Sebab barulah
beberapa waktu lampau ketika perlawanan Raja Bale, beliau bersama Datupalinge, Penelawi,
Sasaralembah, I Tolembah, dan Ipeparante, ikut pula membantu seperti sudah diutarakan terdahulu.
Justeru itulah kompeni bersama antek-anteknya jadi pusing tujuh keliling. Belanda kemudian
berfikir Magau itu masih angkatan rakyat, dan sudah tentu masih bebas dia berbuat atas wilayahnya
sendiri. Belum ada ikatan dari Kompeni, padanya.
Jika orang kembali mengenang peristiwa tempo dahulu itu, orang menyebut ; “Kapapu Nu
Baruga” artinya, terbakarnya Baruga. Dan disebut orang jua “I Pue Mpobela” artinya, Madika
Loulembah terkena tembak (I Puang Tembak).

9
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

1904 RAJA DOLO DINOBATKAN

Maret 1904 Magau Dolo dinobatkan. Sebuah siasat kompeni melunakkan hati Magau
dengan dalil bersahabat. Dan terciptalah kerjasama yang baik untuk membantu serdadu. Namun,
orang yang bernama Datupamusu ini, tetap merasa datupamusu memerintah “Kota Pitunggota”
sejak bermula dia jadi magau pengusa kerajaan Dolo. Hatinya memang sejak lama membeku dan
kebekuan hati sentana itulah, membentuk rasa tak mungkin ikhlas membeo saja kepada apa yang
diperintahkan bangsa penjajah kepadanya. Meskipun kompeni sudah menjamah daerah kerajaan
asuhannya. Dan, magau tahu benar politik licik kompeni, ingin melumpuhkan semangat juang
rakyat dengan cara melantik lagi magau, walau magau tersebut sejak semula usai dilantik dan itu
lebih bersih, bahkan lebih mutlak. Suatu taktik Belanda guna melunakkan hati pejabat pribumi
yang satu ini untuk tidak berniat pula melakukan perlawanan kapan saja. Secara lahiriyah, magau
Dolo nampak baik dan ramah terhadap kompeni. Dan kompeni tahu itu. Sikap begitu memang
Cuma ada pada diri magau yang keras kepala dan tidak suka kepada penjajah. Sebab itu, Belanda
nekatmembunh magau, namun tidak berani melakukannya, karena rakyat se kerajaan tetap berdiri
tegak dibelakang Raja. Dan untuk segera melenyapkan hidup magau dari bumi ini, diambil
kesimpulan setiap ada timbul perlawanan rakyat di kerajaan lain, Raja Dolo harus dikirm ke garis
depan sebagai pengamanan, biar lekas terbunuh.

TAHUN 1905 : PERANG RAKYAT KERAJAAN KULAWI

11 Januari 1905, meledaklah pertempuran antara rakyat Kulawi melawan serdadu Belanda
di Bulomomi. Tertahan disini pertempuran berminggu-minggu. Terobosan-terobosan spontanitas
belum lagi sanggup mematahkan perlawanan tanggu prajurit Magau Kulawi, Tovualangi alias Wa I
Torengke. Palang kokoh perajurit sebelumnya telah siaga memalang pintu masuk serta
menempatkan seluruh prajurit Raja yang bersenjatakan bedik selain senjata tradisional. Belum
sanggup serdadu Belanda menerobos benteng pertahanan itu untuk seterusnya masuk Kulawi
mencari jalan tembus. Puluhan serdadu Belanda bergelimpangan menjadi mayat, karena dosa
membela penjajah membuat air sungai Miu sedikit lama tidak bisa dipakai orang.
Akibat dari kehancuran telah berjumlah banyak korban manusia itu, Madika Tuva (batas
wilayah kerajaan Dolo arah Selatan), bernama Yarabat, disiksa oleh serdadu Belanda karena tidak
mau memberi tahu jalan tembus ke Kulavi dengan aman. Dan, untuk mendapatkan jalan tembus
yang dimaksud, seorang Opsir Belanda bernama Van Often, memerintahkan kepada Intje Dahlan
memanggil Magau Dolo Datupamusu sebab dia salah seorang mengerti benar jalan rahasia itu
tembus Kulavi. Dan, Magau Kulavi jauh sebelumnya memang sudah tahu bahwa, Belanda akan
menggunakan tenaga Magau Dolo untuk membawa mereka lolos kemari. Tahu pula Belanda, kalau
Magau Datu ini, sudah mengirim 3 orang ahli temabk masing-masing: tuan Willys alias tuan-doda
(angsa Inggris), Penelawi Sasalembah, dan I Lambere alias toma Into manuru berjalan melalui
sungai Lariang, tembus Banggaiba langsung Kulavi.
Prajurit Magau Kulavi sejak lama mempertahankan pintu msauk di Bulumomi, mengerti
bahwa serdadu Belanda akan menyerang, melalui sungai Miu. Karenanyalah, dari
Bulumomi=gunung-manis, segera dikirim 70 orang prajurit andalan ke Pedoa, dan tak ketinggalan
ahli tembak dari Dolo sebagai persiapan menyambut kehadiran serdadu kompeni kelak tembus
disana. Magau Kulavi, memberi tahu pula kepada seluruh jajaran angkatan bersenjata bersama

10
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

rakyat, supaya hati-hati dan melindungi Magau Dolo bersama pengawalnya, juga Madika Tuva I
Yaraba. Sementara dalam perjalanan menyusuri sungai kehulu, Magau Dolo kadang terbahak pahit
ketika bergurau dengan serdadu Belanda, dengan seorang opsirnya. Dia girang, semoga
mendapatkan kesaktiannya lagi dalam medan, disamping Belanda pun berniat busuk, akan
melumatkan kekelaki-lakian seorang jantan dari Sigampa, penguasa kerajaan Dolo itu. Kemudian,
setelah melalui sungai berliku-liku, tembuslah mereka di Boteha.
Akan halnya Magau Dolo, ketika berhadapan dengan prajurit megau Kulavi, demi
persahabatan kental jangan sampai rusak, Magau Kulavi tak putus-putus berseru kepada
prajuritnya: hati-hati jangan salah lihat! Ingat bantuannya ada ditengah kita! Sebenarnya dia
kemari, untuk membantu kita. Kalian lihat sendiri, setiap kali ia lenyap sekonyong-konyong secara
misterius, detik itu pula pasti ada terjerembab serdadu kompeni itu di tanah akibat tusukan jari-
jarinya berbisa, dan peluru senjatanya. Padahal is diapit di tengah, namun Belanda tidak mengira
jika beberapa orang serdadu terkapar itu, adalah korban kejantanan Datupumusu, Magau Dolo
sahabat kita semua ini! Demikian Magau Kulavi menyakinkan anak buahnya. Akan tetapi masih
ada seorang diantaranya tetap ngotot, menganggap Raja Dolo itu, sebagai penghianat dan wajar
dikenakan Givu/sompo (hukum adat).
Hambatan besar bagi Serdadu Belanda untuk segera memenangkan perang, akibat medan
terlalu sulit dan berbahaya buat serdadu Belanda, yang anak-anak pribumi itu.
Tuduhan tersebut akhirnya, didengar oleh Magau Dolo Datupamusu. Magau ini balik
menuntut kepada Magau Kulavi, atas kesalahan yang dibuat oleh rakyatnya menghina Magau Dolo
yang sesungguhnya telah banyak berjasa menghancurkan musuh yang ingin segera menduduki
istana Raja. Karenanyalah Magau Kulavi yang patuh pada aturan yang telah diadatkan yang tak
lagi lapuk kena hujan, dan tak pula lekang kena panas, ikhlas mengeluarkan Sompo/Givu kepada
Magau Dolo yang teman seperjuangan baik baginya, dengan beberapa ekor Kerbau. Itulah wujud
hukum adat berlaku waktu perang, (hingga hari ini hukum tersebut masih berlaku pada kasus
lainnya).
Betapa kecewa sang Opsir Belanda, bersama kaki tangannya Intje Dahlan karena Magau
Dolo Datupumusu belum jaga mati tertembak sewaktu berlaga ditengah medan. Sedang membunuh
terang-terangan terhadap Magau Dolo, Opsir itu tidak berani sebab rakyat terlalu banyak berdiri
dibelakangnya.
Awal bulan Maret 1905 Magau Kulawi menyerah kalah. Beliau ditangkap ketika turun dari
gunung tempat perlindungan, untuk memeriksa istana yang sudah agak lama ditinggalkan
mengungsi. Begitu ia keluar dari dalam istananya, pengepungan segera dilakukan oleh serdadu
kompeni. Dan peristiwa ini, lekas pula diketahui oleh tuan Willys bertiga teman (utusan Magau
Dolo), seraya memberondong dengan senjata dari atas bukit tidak seberapa jauh dengan istana, dan
sempat pula menumbangkan 3 orang serdadu kompeni bantuan dari Manado.
Magau Kulawi dipaksa untuk mengumumkan kepada seluruh rakyatnya agar segera
kembali dari pengungsian, dengan meletakkan semua persenjataan sebagai tanda menyerah tanpa
sarat kepada pemerintah Belanda.
Kembali sebentar pada cerita hukum adat di atas, baru Magau Kulavi keluarkan setelah
selesai perang, dan wilayah kerajaan sudah tenang, dan aman kembali.
Saat menyerah kalahnya Magau Kulawi, persis 30 hari sesudah serdadu Kompeni ini
berada disitu seusai pertempuaran mati-matian menyambut kedatangan mereka dibawah oleh
Magau Dolo bersama Igurante (pengawal Magau) dihadang di Bulu Momi oleh serdadu Belanda

11
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

yang memang ditempatkan disitu. Disini terjadi perkelahian antara Toma Igurante dengan beberapa
orang serdadu Kompeni, hingga terbununya Toma Igarante tersebut, kena tembakan. Toma
Igurante dianggap melarikan diri dari dalam pertempuran tengah berkecamuk, setelah membunuh
serdadu Belanda beberapa orang. Kematian Toma Igurante tersebut menimbulkan rasa berang
Datupalinge. Dan segera ia mengumpul para Tadulakonya pergi menghadang serdadu Kompeni
yang sebagian sudah menuju kembali ke Palu, masih sedang dalam perjalanan. Magau segera pula
mendengar, kemudian pergi mencegahnya di hutan bagian utara kampung Sidondo, dekat jalan
akan dilaluinya serdadu kompeni itu. Terjadilah baku tantang antara dua bersaudara yang nyaris
menimbulkan perkelahiaan akibat perbedaan prinsip. Akhirnya Datupalinge mengalah atas
penjelasan kakaknya; tidak ada manusia mati, jika bukan karena jalan sudah tiba. Datupalinge
merasa puas dan mereka kembali bersama dengan perasaan legah.
Sesudah perlawanan Raja Kulawi pada tahun-tahun inilah Magau Dolo nampak semakin
sulit. Setiap kebijakansanaannya selalu diawasi dan dicurigai. Menghadiri pesta keluarga saja,
difitna dan dianggap mendirikan perserikat gela hendak melawan pemerintah Hindia Belanda.
Magau Dolo dituduh membantu atau terlibat langsung dalam pemberontakan –pemberontakan
bersenjata selama ini.
Tahun 1907 perundingan diadakan di Donggala dan dihadiri oleh semua Raja. Dikandung
maksud agar disini nanti kelak diketahui Raja-Raja mana yang dianggap menentang pemerintah
Belanda. Terutama sekali Magau Dolo.
Sementara perundingan tengah berlangsung tiba-tiba baruga yang ditempati berlangsung
perundingan terbakar. Maka terjadilah huru-hara yang sama sekali tidak diduga semula serta
menimbulkan korban. Perundingan batal dan para peserta rapat meninggalkan tempat. Akibat
peristiwa tersebut Magau Datupamusu ditahan selama 41 hari, kemudian dibebaskan karena protes
berulang-ulang oleh Madika matua Dolo bernama Maudju.
Diceritakan pula bahwa ketika penangkapan dengan Datupamusu, Datupalinge ikut kesana
bersama Tadulako Laratu, spontan hendak mau mengamuk menuntut bela namun dicegat oleh
kedua Raja Bale La Malonda, dan Ganti Lamarauna. Kedua Raja menasihati secara kekeluargaan
hingga Datupalinge bersama Laratu jadi lembut meskipun dalam hati sungguh menjerit oleh
karenanya.
Magau Datupamusu telah agak lama berada di Sarudu/Doda, bekas kerajaan yang ditahtai
oleh kakeknya Tirolembah dan Lasakumbili terakhir 1882.(sekarang Kab. Mamudju Sul-Sel).
Disana ia bersama kedua adiknya Datupalinge dan Gagaramusu, yang pergi lebih dahulu dengan
ibunda mereka, Andi Rasiah alias Rasiah dengan maksud berlibur. Sepeninggalan beliau kerajaan
menjadi menurun ketertibannya. Dan oleh karenanya menyusulah kesana, orang tua-tua adat untuk
memanggil pulang Magau Dolo yang sedang menyenangkan hatinya disana, di Sarudu itu.

TAHUN 1910 : RAKYAT LANDO/TOMPU MEMBERONTAK

Perlawanan suku terasing di Lando/Tompu sungguh membingungkan Belanda yang


terpaksa mencari nama Raja yang besar pengaruhnya untuk mengamankan. Maka pilihan Kompeni
jatuh pada Magau Dolo, sebagai satu-satunya orang yang bisa mengamankan, walau dikandang
maksud agar segera terbunuh oleh musuh atau kena tembak Belanda itu sendiri, dan jika sudah
demikian terwujudlah cita-cita Belanda selaku bangsa penjajah disini. Rupanya pemberontak
hampir seluruh mengenal baik kalau siapa Raja Dolo Datupamusu itu dan mereka tidak sampai hati

12
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

berbuat biadab, seperti diharapkan oleh Belanda dengan antek-anteknya, Belanda hitam untuk
membunuh Datupamusu.
Dalam pertemuan disini, dua orang Tadulako bernama Latove dan Laberesi sikebal itu
ditangkap dan dibuang ke pulau jawa sampai akhir hayatnya, karena dituduh melindungi Raja
Dolo, Datupamusu.

PERLAWANAN RAKYAT DOMBU

Perlawanan rakyat dibekas kerajaan Dombu di Matantimali memakan korban banyak


dikedua belah pihak. Pertempuran disini Magau Dolo diperintahkan untuk pergi mengamankan.
Belanda bersiasat buruk lagi demi kelekasan Magau Dolo tertembak mati oleh musuh atau serdadu
kompeni itu sendiri. Niat jelek kompeni sejak lama diketahui Raja Dolo serta masyarakat
sekerajaan. Dan oleh karena itu, setiap Raja berangkat ke medan laga selalu diiringi doa selamat
setulus hati rakyat, untuk keselamatan Magau dan seluruh pengikutnya. Keberadaan Magau Dolo
dengan pengawalnya disini, di ketahui oleh para tokoh pelaku perang, yang menganggap Magau
Dolo tersebut adalah keluarganya sendiri. Karena itu mereka tak sampai hati membunuh, malah
cuma dianggap teman pendukung, guna memusnahkan musuh (kompeni).
Cara serdadu Belanda menyerang prajurit Magau Dombu, mengapit dan menempatkan
Magau Dolo ditengah barisan penyerang. Taktik seperti ini, sangat disenangi oleh Magau, dan
olehnya kesaktian Magau seperti perang Kulawi, yang sudah dibicarakan di atas kembali nampak
berwujud pula. Akhirnya, Magau ditangkap oleh serdadu Belanda sambil dirantai diikat di sebatang
pohon dengan maksud dianiaya, agar segera mati. Namun, Tuhan belumlah mengizinkan
penganiayaan itu berlaku atas diri hamba-Nya yang tak berdosa. Dan Magau lenyap seketika, rantai
berubah jadi minyak, membasahi pohon tempat ia disandarkan.
Sebelum habis rasa heran serdadu kompeni, atas kehilangan secara misterius seorang
manusia tengah dirantai disebatang pohon guna menerima penganiayaan, sekoyong-konyong
Magau Dolo tersebut sudah berada di tengah-tengah para pendukungnya, seperti: Tadulako Yunda
dari Besusu, Yodjovuri dari Siranindi, Tandalonggo dari Pevunu/Kaleke, dan Likenono, Toma
Ipete, dan Iyuva, asal kerajaan Dombu sendiri.
Betapa terkejutnya Magau Datupamusu, seketika melihat adiknya Madika Datupalinge
berada pula disitu, diapit oleh Toma Ibua, dan Tadulako Laratu sedang istirahat melepas lelah,
duduk agak jauh sedikit sebelah barat medan pertempuran dalam belukar yang rimbun.
“Kamu tidak luka. . . .?” tanya Datupamusu, setelah melihat baju Datupalinge sedikit
robek-robek.
“Cuma pakaian saja, dan semoga Tuhan tetap melindungi kita semua!” jawab adiknya
Datupalinge, dan keduanya berpelukan erat dan penuh haru. Yang ada disitu ikut semua terharu.
Lebih-lebih keluarga kerajaan Dombu yang ikut dan sedang dibantu itu dengan darah itu !
“Rantai pengikat diri saya, jadi minyak. Rupanya Tuhan belum membenarkan saya harus
mati hari ini ”, begitu bisik Magau Datupamusu itu pada adiknya, sementara masih berpelukan.
Tidak seberapa lama bentrokan bersenjata disini, usailah sudah dengan kemenangan di
pihak kompeni yang bersenjatakan tiada tara bandingnya itu ! Beberapa bulan kemudian,
Datupamusu dan Datupalinge, dua penguasa kuat kerajaan Dolo yang dijuluki pula oleh Belanda,
“Si Jantan Yang Misterius” ini, diperintahkan lagi untuk segera mengamankan daerah kerajaannya,
yang sedang diamuk perlawanan rakyat terhadap kompeni di Vaturalele sebelah barat kampung

13
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Pevunu. Tidak sulit baginya, serta tidaklah memerlukan mental baja untuk mengamankannya.
Sebab wilayahnya sendiri, dan rakyatnya sendiri, juga atas perintahnya Magau itu sendiri, untuk
memerangi Belanda selalu. Perlawanan rakyat disini dipimpin oleh Toma Isimaua, dan dibantu
oleh Tandalonggo alias, Toma Ilanusu, sepupu Magau Dolo sendiri. Korban yang diderita serdadu
kompeni, tidak terbilang jumlahnya. Belanda berniat jahat, untuk menculik dua Datu yang dicap
bajingan, dan tidak patut memimpin rakyat. Mendengar itu, Magau beradik buru-buru memberi
latihan ilmu kebal kepada rakyat Balumpeva, agar bulan Desember nanti angkat senjata lagi,
melawan serdadu Belanda di dua tempat yakni, di Bulunti. Sebenarnya mendengar ancaman
menculik dan dicap banjingan, dua beradik ini sebaiknya membatalkan niat untuk tak lagi hendak
melawan serdadu kompeni, dan sangat baik hidup damai saja. Demikian kehendak pemerintah
Belanda, seperti dengan Raja-Raja yang sudah lama takluk, dan Raja-Raja yang sama sekali tidak
pernah mau melawan walau sebentar pun.
Watak dan sikap dua penguasa kerajaan Dolo, memang tak mau surut dari prinsip semula :
“ boleh merasa tunduk, namun sewaktu-waktu harus menanduk pula hingga pada suatu ketika
bangsa penjajah ini, lari dari negeri kita !”.

TAHUN 1911 : PERANG RAKYAT KERAJAAN DOLO

Pada bulan Desember, rakyat Balumpeva, (sebelah barat kampung Kaleke) mengadakan
perlawanan atas perintah Raja Dolo terhadap Belanda. Belum lagi selesai disini meletus pula
perlawanan di Bulunti/Tambaga (Mantikole).
Serdadu Belanda yang baru saja kembali mengamankan Lando dan Dombu terpaksa
dikerahkan lagi bertempur menerima kematian dari tangan rakyat pegunungan dipimpin dua
beradik penguasa kerajaan Dolo yaitu Magau Datupamusu dan Madika Malolo Datupalinge yang
tak pernah mau tobat itu, karena penguasa tersebut, menyembunyikan diri seolah-olah tidak
mengerti peristiwa berdarah itu terjadi. Yang menampakan diri dikedua tempat pertempuran ini
adalah Tandalonggo. Seperti juga perlawanan rakyat di Vaturalele bulan maret awal 1911,
Tandalonggo membawa keluarga dari Sibedi. Bentrokan di Balumpeva itu dipihak musuh korban
terlalu banyak akibat medan terlalu sulit untuk bisa ditembus. Sama sulitnya dengan medan
pertempuran di Kulawi.
Pertahanan rakyat dibuat di puncak tepat di hulu Sungai Vera diatas air terjun. Mendaki
melalui jalan setapak dari kaki gunung. Dari atas banyak pohon rotan menjulur kebawah dan rotan
itulah dilele naik keatas oleh serdadu Kompeni. Dan bila sudah sampai dipertengahan pendakian
rakyat yang ada disana sengaja memutuskan sambil sambil menggulingkan batu-batu gunung,
bergulir tindih-menindih membuata tulang belulang serdadu Belanda menjadi lumat sampai
kebawah tempat mereka bermula mendaki. Ambruklah tubuh manusia-manusia penjajah akibat
senjata tradisional yang paling ampuh meskipun sesen pun, tak ada keluar biaya. Rakyat yang
berada diatas gunung melihat kejadian yang membuat kapok serdadu Belanda, jadi bersorak
sebagai tanda girang, seraya berebutan turun mengumpulkan bedil-bedil tinggal tercecer karena
pemiliknya sudah berada dibawah disana itu.
Perkelahian di Bulunti tidak seberapa hebatnya. Tidak sama hebatnya, seperti di
Balumpeva. Masih awal, seperti dibicarakan di atas, serdadu Belanda yang Ambon-ambon itu
semuanya sudah jadi luluh. Olehnya Belanda segera mengerahkan tenaga rakyat, melalui Magau
Dolo agar membangun rumah sakit darurat, untuk tempat menampung para korban yang jatuh

14
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

tergulir dari gunung akibat kena jerat ampuh, rakyat pegunungan, yang salah seorang pimpinan
perlawanan adalah, pemberani bernama: Tandalongga. Perlawanan rakyat disini, berlangsung agak
lama sehingga bangunan darurat yang sudah berdiri di Wera/Kaleke penuh dengan serdadu-serdadu
yang patah tulang.
Dua manusia bernama DATU, selaku penguasa kerajaan Dolo dipanggil menghadap
Residen Donggala. Keduanya pergi dengan menunggang kuda piaraan, yang jika ia jalan berlari-
lari jejak teratur, ( no eda bah. Kaili) sungguh menyenangkan hati penunggang sedang berada
dipunggungnya. Disana, dua orang pejabat kerajaan ini, diberi ultimatum oleh residen, segera
mengamankan daerah kerjanya. Jika tidak, kalian berdua akan selekasnya pula diasingkan ke
Nusakambangan atau Digul. Menurut Madika Datupalinge, ancaman yang diucap sang Belanda itu,
tidak berbeda dengan ucapan perampok masuk rumah guna menghabisi harta pemiliknya.
Dalam pertempuran di dua tempat tersebut, dalam tahun yang sama, seorang Tadulako
Balumpeva bernama, Sumalemba di tawan. Sementara pertempuran di Bulunti Belanda berhasil
menangkap 2 orang, masing-masing: Ipeti dan Itambi, yang kedua-duanya dibuang ke pulau Jawa,
untuk tidak kembali selama-lamanya. Yang luka Cuma beberapa orang, 2 diantaranya sempat
diingat yakni: Lasaseke dan Laparumpa.

1912 : PERANG RAKYAT SIGI

Sigi, adalah salah sebuah bekas kerajaan tertua di lembah Kaili ini, selain kerajaan Dolo
setelah air laut surut kearah utara dan sesudah berakhirnya pula kerajaan/kekuasaan Sawerigading
di tanah Kaili (Kabupaten Donggala sekarang). Pada saat perlawanan rakyat timbul disini, dipimpin
oleh Madika Lamasatu, selaku pejabat Madika Malolo. Sigi, tinggal merupakan ibukota distrik,
semenjak akhir abad ke-19 setelah Magau Sigi-Dolo bernama, Daeng Masiri salah seorang putera
Raja Dolo Lolontomene, wafat. Kemudian berpisah kembali dua kerajaan yang sejak lama bersatu,
disatukan oleh Magau Dolo bernama; Lolontomene ketika beliau kawin dengan Magau perempuan
Sigi bernama, Intobongo. Dan setelah wafat Magau Sigi-Dolo di atas, diangkatlah gadis bernama
Royambulava alias Intondei (salah seorang cucu Lolontomene puteri Dinggulembah saudara
kandung, Daeng Masiri), sebagai Magau Sigi berkedudukan di Biromaru. Sedang kerajaan Dolo
diangkat pula sebagai Magau, Yolulembah.
Pertempuran terjadi, atas kemauan Madika Lamasatu, cucu Magau Dolo Lolontomene,
juga. Dan, salah seorang putera Magau Sigi-Dolo, Daeng Masiri. Mengapa Madika Lamasatu
begitu berani bertindak jadi hakim sendiri, sedang Magau (Raja) selaku kepala wilayah kerajaan
Sigi di Biromaru sana, juga sebagai atasan tidak diberi tahu lebih dahulu ? Memang Madika
Lamasatu berpikir, apa pula perlunya diberi tahu kepada orang yang sejak semula kehadiran
Belanda, telah menerima dengan mesra. Lamasatu tersebut bertekad bulat; “saya akan coba dulu
berkelahi dengan kompeni, Saya tidak mau menyerah begitu saja, tanpa memperlihatkan lebih
dahulu kesetiaan dan kecintaan terhadap hak, sebagai manusia mengerti nilai hidup”. Dan, itulah
sebabnya Madika Lamasatu, memerintahkan agar Tadulako Lasoso selaku komandan pertempuran.
Perlawanan rakyat yang herois menantang serdadu kompeni bersenjata moderen, dapat
mengakibatkan korban besar di pihak serdadu penjajah, bulan September ketika itu !
Tentang pertempuran yang barusan diceritakan di atas, Tadulako Lasoso mengungkapkan,
ketika ditemui di rumah Om Habibu 12 Maret 1958 sebagai berikut :

15
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

“Saya masih ingat bulan tiga (maksudnya Maret) kami dari Bora ini masing-masing; saya
(Lasoso), Madika Lamasatu, Madika Ponulele dari Besoa, dan Tadulako Tanjepalu asal
Sigampa/Kaleke, juga berpihak pada Besoa, pergi menemui/berunding dengan dua
penguasa kerajaan Dolo, di hutan Tamotumpu/Sigampa. Disitu kami temui Magau,
Madika Datupalinge, dan Tadulako Laratu berdua Lamakasau. Hasil pertemuan kami,
dua penguasa kerajaan Dolo itu, bersedia membantu kami/saudaranya Madika Lamasatu
dan Madika Ponulele, mengadakan perlawanan bersenjata terhadap bangsa penjajah
bersama pengikut-pengikutnya.Magau Dolo Datupamusu berdua adiknya Datupalinge,
menetapkan secara rahasia, pertempuran dimulai bulan sembilan (maksudnya,
September). Dan, seminggu sebelumnya …..dari Dolo sudah akan membawa
perlengkapan perang dan tenaga, untuk membantu kami di Sigi/Bora, dan Besoa. Waktu
baku bunuh sedang berlangsung, Magau Dolo beradik bertahan di Tanah-Mate (batas
wilayah Dolo dan Sigi). Tak ada seorangpun Madika dari lain kampung datang
mambantu selain Madika dari Sigampa/Kaleke ntali sampe suvu dea-dea. Sebab kami
disini turunan dari Magau Dolo, Lolontomene, terutama Madika Lamasatu pemimpin
perlawanan”.
Demikian Lasoso, secara terbuka setelah dimengertinya bahwa yang berhadapan
dengannya adalah seorang putera dari pelaku perang itu sendiri dan wajar mendengarnya keterus-
terangan kisah, yang 46 tahun jauh silam, masih tetap tersembunyikan. Semula, Tadulako Lasoso
hampir saja tidak mau mengungkapkan kisah perlawanan Sigi ini, dengan pimpinan Lamasatu.
Katanya cerita itu, masih tetap merupakan rahasia mereka tempo dulu, bersama Magau Dolo. Kalau
anak, mau mendapatkan kejelasan lebih lengkap, pergilah temui Madika tua di Kaleke, sebab dia
mencatat semua kejadian mposipatesika Balanda. Begitu Lasoso, sebelum mengenal orang tengah
berhadapan dengan dia.
Perlawanan rakyat Sigi, ada hubungannya dengan perlawanan rakyat Bodongkaia/Besoa,
melalui Lore/Palolo. Dalam perang Besoa, yang dipimpin oleh Tadulako Ponulele dan Tanjepalu
alias Toma Ibua, dua penguasa kerajaan Dolo mengirim pula bantuannya, beberapa orang patriot
kesana. Sebab kebanyakan di tempatkan bantuan di Sigi. Namun, perlawanan di Besoa ini tidak
lama sifatnya. Sebab Kulawi, sebagai basis strategis untuk menaklukan pegunungan Lore selatan,
telah dikuasai Belanda sejak beberapa tahun silam. Perlawanan di kedua wilayah Distrik, daerah
kekuasaan Madika tersebut, memakan korban bukan sedikit dipihak musuh. Walaupun serdadu
kompeni, menggunakan senjata moderen.
Akibat segala itu, Madika Lamasatu selaku penguasa distrik Sigi bekas ibukota kerajaan,
dikutuk habis oleh kompeni Belanda terutama Magau (Raja), sebagai atasan. Dan, olehnya Magau
tersebut ada niat, untuk memecat Madika itu dan lebih baik. Mengasingkannya. Bertambah tidak
disenangi Magau dan tuan Controleur, Lamasatu itu, karena bersepakat dengan penguasa kerajaan
Dolo yang belum juga mau tobat! Dan, sepakat juga dengan Madika dari Besoa untuk bersama-
sama memerangi Belanda dengan menggunakan persenjataan tradisional yang ampuh, seiring
kesaktian ilmu. Itulah, sebuah prinsip bernafaskan kejantanan yang dianut para tokoh tempo dulu,
ketika Belanda baru menginjakkan kakinya di bumi Kaili ini. Dan, prinsip seperti ini, tak pernah
ada pada manusia-manusia banci. Dan, si banci itu, sifatnya menunggu lalu amat mudah menerima
rayuan. Siapa gerangan sang perayu itu, dan siapa pula si penerima gombalan tadi ?
Tentu bangsa penjajah, dan yang menerima secara gampang rayuan itu, adalah
tokoh/pejabat anak negeri yang tidak bernaluri bening. Dalam pertempuran di Sigi (Bora lazim
disebut kini), yang amat dahsyat itu, hanya beberapa orang prajurit pimpinan Madika Lamasatu
menemui ajalnya, masing-masing ; 1. Ramumpole, 2. Lahapanta (Bora), 3. Suranadji (Palolo),

16
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

4.Nabisura alias Toma I Rabia (Kaleke/Tulo) salah seorang diantara Tadulako bantuan dari Magau
Dolo untuk membantu keluarga sedang dilanda perang, melawan serdadu kompeni.
Mengertilah Magau bahwa, wakilnya Madika-Malolo Sigi tidak loyal pada atasan. Namun
Madika Lamasatu pun, tetap lebih merasa berhak membela kepentingan kerajaan, yang sejak
ratusan tahun silam memang beridentitas Sigi. Bukan Biromaru, meskipun Magau Biromaru
tersebut, adalah cucu dua-lapis-nya Magau Dolo, Lolontomene. Raja Dolo bernama, Lolontomene
itulah mempersatukan, dua kerajaan tertua di lembah Kaili ini, dipertengahan abad ke-19, hingga
bernama kerajaan Sigi-Dolo. Dan, Madika Lamasatu/pemimpin perang Sigi itu, cucu lapisan
pertama Raja Dolo Lolontomene. Putera Magau Sigi-Dolo, Daeng Masiri.
Memang, Madika Lamasatu merasa juga lebih berhak mempertahankan nama baik serta
menonggak kebenaran yang sudah diadatkan oleh lembaga “kota pitu nggota” bahwa tidak boleh
bangsa penjajah berbuat semaunya. Lamasatu marah, bukan semata-mata kepada Belanda, tapi juga
kepada Magau, sebab ibukota kerajaan tidak lagi boleh kembali ke Sigi.
Seperti diketahui, kompeni Belanda datang memerintah disini awal abad ke XX yang
sebelumnya berusaha mengadakan perjanjian-perjanjian persahabatan dengan para Magau (Raja)
serta penguasa lainnya. Namun, pada hakekatnya telah menyusun kekuatan-kekuatan yang tak lagi
mudah rapuh, guna meneruskan kerakusannya seraya dibantu oleh para kaki tangannya dari
Sulawesi Selatan.
Datang disini pun, Belanda disambut gembira oleh beberapa orang pejabat Raja atau
penguasa kerajaan. Kecuali Raja Bulu-Bale Malonda, Raja Kulawi, RajaMoutong Tombolotutu,
Raja Dolo Datupamusu, Madika Sigi Lamasatu, Madika Dombu, Madika Parigi dan Madika Besoa
Ponulele, yang tidak merasa melihat kehadiran bangsa penjajah, mempermudah rakyat anak negeri.
Setelah perlawanan di beberapa wilayah kerajaan, sudah dapat ditekan oleh pihak kompeni dengan
para pengikut (pejabat pribumi), dan situasi telah pula dianggap aman seluruhnya, maka Belanda
mengadakan perundingan-perundingan dengan semua Raja karena alasan demi keamanan, dalam
negeri.
Dengan jalan demikian, Belanda segera mengetahui Raja-Raja mana yang masih merasa
kontra dan yang sudah pro benar, terhadap pemerintah kompeni.

1915 : MASUKNYA SYAREKAT ISLAM

Sejak tahun silam, dua penguasa kerajaan Dolo, bertiga dengan adiknya Gagaramusu mulai
berhubungan dengan organisasi Syarekat-Islam (SI) di Jawa, dengan perantaraan Hi. Laborahima
asal Mamuju (Sulsel), ketika haji itu mengunjungi di Sarudu/Doda setelah belum lama haji ini
tesebut kembali dari Gresik-Surabaya. Perjumpaan mereka di Sarudu/Doda terjadi pada tanggal 12
Juli 1915, pada saat Magau Dolo bersama dua adiknya bersiap-siap hendak kembali ke Dolo.
Haji Laborahima (Ibrahim) mengharapkan agar tiga bersaudara ini, dapat segera
menyebarluaskan kepada rakyat paham SI tersebut, di seluruh lembah Palu kelak, bila nanti sudah
berada disana !
Bulan Nopember setelah mereka telah berada kembali disini (Dolo), Hi. Patimbang yang
belum seberapa lama kembali dari menunaikan rukun Islam kelima di tanah suci (Mekkah), datang
di Kaleke menemui Magau di istananya. Dalam istana Raja, Hi. Patimbang berbincang-bincang
tentang bagaimana cara segera ditempuh, untuk kelekasan tersebar luasnya paham Syarekat-Islam.
Hal ini bagi Magau Dolo bersama adik-adiknya, serta seluruh keluarga, mudah saja ikhwal

17
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

dimaksud dapat disebar luaskan bila pemimpin SI yang ada di Jawa sana, bisa datang kemari guna
memberi mandat.
Dalam pembicaraan dengan Magau, Hi. Patimbang berjanji akan berusaha menghubungi
pemimpin besar SI, HOS Tjokroaminoto di Solo, untuk mengirim utusannya tiba kesini.
Nampak seluruh kerajaan Tanah Kaili ini, bekerja secara harmonis dengan kompeni.
Namun pejabat kerajaan Dolo yang peka terhadap segala gejolak terpapar di depan kehidupan
rakyatnya, teringat lagilah si jantan penguasa kerajaan Dolo pada ucapannya, pada Madika (Ipue
Bakabivi) di Sidondo untuk mengadakan perlawanan kembali kepada Belanda, di bulan Januari
1916 mendatang. Terngiang lagi ditelinganya pembicaraan bersama Madika-Malolo Lamasatu jika
perang Sigi selesai, nanti diakhiri perlawanan besar di Sidondo. Tertumpah disitu lagi perhatian
Magau, juga Madika Datupalinge berpikir dan mengkaji, sebelum timbul pertempuran.
Bulatlah tekad hati nurani kedua pemimpin kerajaan Dolo yang berdarah panas itu, kelak
suatu ketika pasti akan lahir pula bentrokan besar terhadap serdadu kompeni, yang sangat angkuh
dan sombong itu. Akan hal Madika-Matua, yang sudah berusia jompo itu, beliau tinggal merupakan
pemberi nasihat/petuah guna dihargai dan dihormati oleh pejabat yang masih muda-muda. Tetapi
yang muda-muda ini tak lagi sanggup merubah bentuk jiwa yang acap membisik di telinganya :
“Belanda, tetap kita musuhi selama hayat!” demikianlah suara hati mereka menggaung selalu
membangkitkan gejolak sukma.
Telah hampir tiga tahun ini (seusai perang di Sigi), Magau Dolo Datupamusu dan Madika-
Malolo Datupalinge bersama para Tadulakonya, tidak lagi melihat darah meleleh keluar dari tubuh
manusia-manusia perang tanding antara golok, tombak, keris, sumpit, dan panah lawan bedil
berbagai macam jenis. Melawan bangsa penjajah bagi kedua yang bernama awal; DATU itu, telah
merupakan naluri bagi kedua penguasa kerajaan tersebut.

TAHUN 1916 : PERANG RAKYAT KERAJAAN DOLO

Bulan Januari. Atas kehendak bersama dengan para tokoh rakyat Sidondo, maka
meletuslah pertempuran sengit dipinggir utara kampung Sidondo (waktu itu Sidondo wilayah
kerajaan Dolo sampai Tuva). Pimpinan perlawanan disini ialah, Irapangaya alias Ipue Bakabivi,
Ivuntanjobu, dan anaknya bernama, Irompopande. Raja Kulawi bersama para Tadulakonya, ikut
serta datang meramaikan bentrokan atas undangan balasan dari Magau Dolo. Disini, berlaku
gotong-royong antara Magau Kulawi dengan Magau Dolo. Barangkali inilah, disebut gotong-
royong bersabung nyawa.
Karena peristiwa berdarah tersebut, Belanda pun cepat mengetahui siapa penganjur utama
perlawanan. Dan wajarlah kalau pada suatu ketika, dua pemimpin kerajaan Dolo itu, harus dipecat
dan disingkir jauh-jauh dari kedudukan, yang berarti adalah imbalan setimpal harus ditimpakan
oleh penjajah kepadanya. Kolonial bilang, dua pembandel yang bernama Datu itu, sejak semula tak
pernah mau merundukkan kepala pada pemerintah Hindia Belanda. Pemimpin kerajaan ini, sudah
amat peka dan tegak pada prinsip serta keyakinan bahwa, suatu ketika kelak kebebasan dan
kelepasan pasti terwujud.
Peristiwa berdarah serta memakan korban jumlah besar itu, berkaitan dengan pertempuran
September 1912 di Sigi sebagai perwujudan tekad bersama antara Magau Dolo, dengan Ipue
Bakabivi (I Rapangaya) yang berbulat hati; “Selesai perlawanan di Sigi, istirahat 3 tahun lalu
angkat senjata lagi menghadapi kompeni Januari 1961 di Sidondo. Perlawanan di Sidondo,

18
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

menampung hampir semua pemberani dari Kulawi dan Besoa. Magau Kulawi Tovualangi, cuma
tiba bersama prajuritnya kemudian disuruh pulang oleh Magau Dolo Datupamusu. Kepada Madika
Ponulele pun demikian pula halnya.
Diluar kawasan Tanah Kaili (Kab. Donggala sekarang), telah 300 tahun dijajah, dihina,
diporak-porandakan harkat bangsanya. Dan karena merasakan betapa amat beratnya sudah
penderitaan telah dialami ratusan tahun tersebut, maka lahirlah Budi Utomo 1902. Kemudian
disusul pula lahirnya organsospol Syarekat Islam (SI) 1912 di Solo oleh HOS. Tjokroaminoto.
Telah banyak dibincangkan kepada pembaca sebelumnya, tentang pasang surutnya
penentangan kepada kompeni oleh rakyat di Kaili ini. Dan jelaslah, rakyat kerajaan Dolo yang
paling lama bertahan pada prinsipnya, tidak suka dijajah oleh bangsa asing manapun juga.

MERUBAH CARA
Menjelang akhir Tahun 1916, Abdul Muis tiba di Palu dari Jawa. Kehadirannya di
Donggala dan Palu, disambut gembira oleh para tokoh masyarakat pendukung Partai Syarekat
Islam (SI). Dalam waktu singkat, tersusunlah pengurus-pengurus partai dan untuk pelantikannya
kelak, HOS. Tjokroaminoto akan datang tahun pada berikut,. Setelah beberapa waktu sekembalinya
Abdul Muis ke Jawa, Magau Dolo Datupamusu ditangkap dan ditahan di penjara Donggala selama
2 bulan, akibat beberapa fitnah yang dilontarkan oleh oknum pejabat kaki tangan Belanda. Selama
itu pula, jabatan Magau dirangkap oleh Madika-Malolo Datupalinge. Sekembalinya Magau
Datupamusu dari tahanan, berkatalah Datupalinge kepada kakaknya:
“Lebih baik kita berusaha merubah sikap keras kita, terhadap pemerintah Belanda.
Sebab, sudah beberapa orang rakyat kita, berada di pengungsian di pulau Jawa,
termasuk adik sepupu kita sendiri, Tandalonggo sesudah perlawanan rakyat di
Vaturalele. Pertempuran di Dombu yang juga kita pergi bantu, tertangkap juga
Yojovuri dan kini berada di Probolinggo, yang nasib mereka disana kita sudah
tidak tahu lagi. Baiklah kita hindari saja pertumpahan darah, dan sangat baik
perjuangan ini melaui wadah partai Islam saja !” (perlawanan rakyat Dombu,
dipimpin Madika Likenono sekeluarga).
Magau Dolo, menerima semua pendapat Madika Datupalinge. Dan dibenarkannya bahwa,
darah sudah banyak tertumpah. Kompeni makin lama, kian lengkap persenjataannya. Baru bulan
Januari lalu pertempuran besar melawan kompeni di Sidondo.
Pada bulan Juli 1917, HOS Tjokroaminoto, presiden SI se Indonesia (Hindia Belanda) tiba
di Donggala dan terus Palu guna meresmikan/melantik para pengurus yang telah dibentuk oleh
Abdul Muis tahun silam. Menuju ke Palu, pemimpin besar SI tersebut menumpang perahu yang
dihiasi aneka kembang bunga, milik nakoda Ahmad (ayah M.Rady Ahmad). Di Palu beliau
diterima oleh para tokoh kerajaan Siranindi/Palu dan tokoh kerajaan Dolo, yang dipimpin
Magaunya sendiri. Maka resmilah dilantik para tokoh/pemimpin SI masing-masing kerajaan Palu;
Presiden dan Vice Presiden adalah, Palimuri (adik tiri Magau Palu), dan Abd. Rahim Pakamundi.
Sebagai Sekjen : Daeng Pawindu, dan Advisor Hi. Muda bersama Hi. Patimbang.
Dari Dolo 4 bersaudara usai dilantik dengan seorang teman dari Minangkabau sebagai
berikut : Datupamusu, dan Datupalinge selaku; Presiden dan Vice/wakil presiden. Gagaramusu,
dan Lapasere, sebagai Sekjen dan Bendahara. Sedang wakil Sekjen, adalah Radjamuda Tengku Ali
(bekas buangan Belanda). Selesai pelantikan, beberapa hari kemudian HOS. Tjokroaminoto
kembali ke Jawa dengan membawa seorang remaja Mohamad Saleh untuk dibina disana, sebagai
kader jadi pemimpin partai kelak.
19
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Sudah jelas, akibat paling buruk akan menimpa dua orang pejabat/penguasa kerajaan Dolo,
kelak. Magau dan Madika-Malolo Dolo, sebagai pemimpin suatu lembaga yang paling dikutuk
Belanda. Sebab itulah pada Desember 1917 Magau Dolo tersebut, diasingkan ke pulau
Ternate/Tidore. Beliau pergi di pengasingan berdua dengan putera pertama bernama, Andi Tagunu.
Selain ada pula dua orang masing-masing: wanita hamil dari Tatanga bernama; Raninggamagi, dan
lelaki dari Sibedi bernama; Kundulembah. Keduanya masih kena keluarga Magau Dolo
Datupamusu. Karena dianggap bersalah, mendukung sikap/tindakan keras Magau Dolo tersebut
sejak memerangi kompeni, sampai pada menerima masuknya Syarekat Islam sebagai organsospol,
alat pelanjut perjuangan menentang bangsa penjajah.
Fitnah yang ditimpakan kepada Magau Dolo antara lain sebagai berikut: menghasut rakyat
untuk memberontak, mendirikan perserikatan gelap, dan membunuh bestur asisten bernama Sondak
di Bobo, menipu rakyat, dan menggelapkan uang pajak (blasting). Itulah tuduhan/fitnah sungguh
kejam, yang sungguh dikutuk Tuhan ditimpakan padanya. Sebab semuanya adalah bohong besar
sang kaki tangan Belanda, Controleur Wehman. Sondak yang dikatakan telah dibunuh, nampak
segar bugar sekembalinya dia dari Manado, setelah Magau Datupamusu beberapa bulan sudah
berada di pembuangan.
Dikisahkan pula sewaktu hendak berangkat kepengasingannya, Magau Datupamusu
diperintahkan untuk menunjuk isteri sendiri sebagai pejabat pengganti, adalah suatu siasat liciknya
Belanda atas saran salah seorang penguasa, di kerajaan Sigi Biromaru. Sebab dikandung maksud,
dengan demikian mudahlah kerajaan Dolo yang sudah dipimpin Magau perempuan, segeralah
diambil alih oleh kerajaan lain yang memang sudah lama merindukan bertambah luasnya wilayah
kekuasaannya. Tahu apalah perempuan, demikian cemoh penjajah terhadap Tjayalangi, istri Magau
Datupamusu.
Berpikir tentang hal itu, para tokoh dalam Lembaga Hadat “Kota Pitu Nggota” selekasnya
mengangkat Madika-Malolo Datupalinge, merangkap selaku pejabat Magau menggantikan kakak
Datupamusu, atas restu juga Tjayalangi kaum hawa yang lemah itu. Datupamusu, kalah siasat dan
ini disebabkan pada saat ia sedang mendekam rasa amarah, ia diajak tunjuk saja siapa tuan suka,
sebagai pengganti Raja.
Oleh itu, Belanda berkata dalam hati, apa toh jeleknya andai kata Datupamusu
memilih/menunjuk adiknya Datupalinge merangkap sebagai pejabat Magau, disamping ia selaku
Madika-Mmalolo, yang follow-up-nya kelak jadi Magau. Wajar, kan ! Dan didukung lembaga
hadat kota pitu nggota, malah lebih tegak dan kokoh kerajaan ini, berdiri sendiri serta tidak berani
Magau lain kerajaan, hendak melampiaskan kerakusannya untuk ingin merangkulnya, atau
menguasainya sebagai politik carimuka.
Demikian otak Belanda Controleur Wehman, berpikir tentu ! Setelah melihat dan
mengertikan cara kerja Madika Datupalinge yang merangkap jadi Magau (Raja), angkatan orang
tua-tua hadat, yang bagi Belanda menyenangkan, itu ! Tetapi beberapa penguasa (Magau) dalam
kerajaan terdekat dengan kerajaan Dolo, malah sebaliknya. Mereka menganggap bahwa, Magau
yang diangkat oleh rakyat ini, lebih berbahaya dan mencelakakan kedudukan Belanda. Karena dia
lebih cakap berpolitik daripada Magau beberapa bulan lalu, telah dibuang itu. Ungkapan pemikiran
Magau serupa ini, sudah tentu terdorong oleh nafsu serakah, ingin secepat mungkin mengambil alih
Kerajaan Dolo kedalam kekuasaan feodalnya.
Pejabat Magau Datupalinge, sudah pula tahu segala rasa jengkel penguasa di kerajaan
tetangga padanya. Karenanya ia berkata dalam hati; andai kata masih jaman berkelahi seperti

20
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

beberapa tahun silam, akan ketemui orang-orang itu serta kuberi hadiah sebuah bogem mentah.
Dan, andai belum ada wadah organsospol SI sebagai landasan perjuangan kita, guna mendapatkan
kebebasan entah kapan nanti, sudah pasti rasa sabar meledak bagaikan api dalam sekam”.
Demikianlah Datupalinge, perangkul dua jabatan sekaligus, dibantu oleh adiknya Madika-Matua
Lapasere, bertugas serta mencipta kerjasama yang baik dengan pemerintah Belanda, sementara
keduanya pun selaku pengurus besar Syarekat Islam Kerajaan Dolo, yang organisasi ini, sudah pula
direstui Belanda, walau Belanda hitam (pejabat/aparat)nya, belum setuju.
Begitulah, pemerintahan kerajaan Dolo berjalan lancar, aman, dan tertib dipimpin oleh dua
beradik, selaku pemimpin SI hingga seluruh rakyat kerajaan menyatakan diri masuk anggota
Syarekat Islam, dalam beberapa bulan saja.
Akibat dari perkembangan, serta perubahan suasana politik dalam tubuh SI sepeninggal.
Datupamusu ke pembuangan bukan berarti semangat juang S.I. mengalami kemelorosan. Malah
semakin menjalar segar dalam kehidupan rakyat kerajaan. Dan telah segera pula masuk ke bekas
ibu kota kerajaan Sigi, langsung pula diterima oleh pejabat Madika Malolo, Lamasatu (Penguasa
Wilayah Disterik) tokoh utama pelaku perang Sigi 1912. sikap Madika Lamasatu, selaku pejabat
penguasa kerajaan Dolo kian dicaci serrta dikutuk karena mempengaruhi Madika Lamasatu
menjadi pimpinan Syarekat Islam di sana. Mengamati itu semua, sudah tentu para pejabat anak
negeri yang berkuasa dibawah pengaruh pemerintahan Belanda sejak semula tidak mau tinggal
diam.
Tidak beberapa lama kemudian, Datuplinge diundang menghadap Controleur Palu. Di
ruangan kerja tuan Controleur beliau dikawal seorang serdadu, disitu ia menerima peringatan
segera berangkat ke Manado dengan alasan untuk di sekolahkan di sana. Mengertilah Datuplinge
bahwa itu siasat buruknya sang penjilat Belanda. Semula Controleur tidak menyetujui gagasan
rekannya pejabat/penguasa kerajaan terdekat itu. Berangkatlah Madika Datupalimge ke Manado
1923 untuk menemui residen, dengan perasaan koyak. Dan terbukalah kesempatan bagaikan
mendapat durian runtuh, demi merangkul wilayah yang luas kerajaan Dolo, yang telah lama
didambakan oleh mereka yang ingin memperlihatkan budi pekerti pada penjajahan, mesikipun
pekerti yang rapuk. Datupalinge/vice presiden S.I ke Manado atas undangan residen akibat gagasan
pejabat pribumi yang berhati penjajah. Tinggalah Madika Lapasere seorang diri selaku penguasa,
sementara diam-diam tuan Controleur meresmikan kerajaan Dolo bergabung dengan kerajaan
Siranindi/Palu yang sedang dipimpin oleh Magau Parampasi.
Memang sejak awal pengasingan Magau Datupamusu, harapan besar bagi kerajaan –
tetangga dekat ini, sudah jelas meleleh depan mata. Cuma terhalang sedikit pada Madika Malolo
Datupalinge yang segera diangkat “Kota pitu nggota” jadi pejabat Magau yang meskipun tidak
direstui kompeni itu.
Entah beberapa bulan berlalu, kerajaan ini berputar lagi kesebelah kanan kearah timur
karena disitulah lagi pusat pemerintahan penjajah yang tenteram, untuk menguasai dua buah bekas
kerajaan tertua di lembah Kaili ini, Sigi dan Dolo. Dan dua bekas kerajaan inilah yang tokoh-tokoh
masyarakatnya bersama pejabat /penguasa pribumi sangat dikutuk serta dihina oleh Kolonial. Dan
bersatu kembali dua kerajaan tertua ini seperti dimasa jayanya Raja Dolo bernama Lolontomene,
kemudian berganti dengan puteranya bernama; Daeng Masiri bertahta (menjelang akhir abad 19).
Kerajaan Dolo, ikut kerajaan Sigi berkiblat di Biromaru merundukkan kepala pada Magau disana
dengan versi lain.

21
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Agustus 1924, Datupalinge kembali dengan kawalan dua orang serdadu Belanda dari
Manado, sebagai orang tawanan akibat ledakan emosi tak terkendalikan, pecahlah sebuah meja
tulis residen, terbuat dari kayu jati, cuma dengan sekali pukul. Dan, sebagai orang hukuman beliau
langsung ditempatkan pada lokasi pembukaan jalan di Dampelas/Sojol, jadi mandor jalan jurusan
Palu. Berkat kerja keras sang mandor itu, dan mendapat dukungan besar dari masyarakat disana,
terwujudlah apa yang dikehendaki pemerintah kolonial. Rakyat disini amat simpati padanya
pimpinan Lamide dan Kalewalangi, juga kedua Tadulako ini memimpin perlawanan rakyat
Dampelas, Sojol 1910 kepada serdadu Belanda, yang mendapat bantuan pula dari dua orang
penguasa kerajaan Dolo saat itu yang salah seorang diantaranya, adalah yang dijadikan mandor
jalan itu.
Syarekat Islam, terus berkembang melaju di Dampelas. Rakyat di Dampelas tahu, tawanan
dikirim dari Manado ini adalah vice presiden Syarekat Islam, serta salah seorang pejabat/penguasa
kerajaan Dolo yang sangat disegani, juga sangat dibenci. Oleh sebabnya, ia tak putus-putusnya
dicurigai oleh pejabat pribumi pemerintah Belanda. Dan rakyat disini belum lagi lupa, ketika
bentrokan terjadi dengan serdadu kompeni, oknum bernama DATU yang satu lagi yang berjabatan
mandor jalan sekarang ini, datang bersama DATU yang sudah beberapa tahun lalu dipengasingan
itu, bertempur mati-matian bersama-sama rakyat melawan kesombongan serdadu penjajah.
Demikian pula meletusnya pertempuran rakyat di Parigi 1913 melawan kompeni Belanda,
dua Datu selaku penguasa kerajaan Dolo itu pergi jua kesana bersama beberapa orang Tadulako
andalan, seperti; Lamakasau dan Laratu, guna membantu keluarga mereka disana. Pimpinan
perlawanan rakyat di Parigi, yaitu: Hanusu, Surapalu, dan Tadulako Lantigau asal Labuan.
Beberapa hari seusai pertempuran, Lantigau tersebut tertangkap di Labuan dan dibuang ke pulau
Borneo, sampai pada akhir hayatnya, setelah tiga bulan ia dalam tahanan. Sebabnya begini, setiap
kali ia buang hajat atau hendak mandi, Lantigau tersebut selalu minta diantar oleh petugas
bersenjata. Ini siasat liciknya, untuk menghilangkan keragu-raguan serdadu Belanda kepadanya.
Begitu tiap hari, dilakukannya. Serdadu pengawalnya akhirnya percaya, bahwa dia orang baik budi,
dan tak akan mau berbuat sebagai penghianat pula. Maka tibalah hari terakhir buat hidupnya dan
kehidupan serdadu Belanda pengawalnya. Waktu Lantigau mandi bersama dengan lima orang
pengawal, asyik berenang-renang di tengah sungai, tiba-tiba dia terburu-buru berenang ke tepi serta
langsung naik darat. Dilihatnya senjata otomatik berpeluru banyak, seraya dipegangnya dan terus
dimuntahkannya ke arah serdadu tengah berenang girang, itu. Kelimanya tewas seketika, dan
dibawa arus kelaut dan si penembak pun tewas di berondong dari belakang oleh seorang serdadu
yang sejak tadi ikut mematai mereka.
Ada orang bertanya heran, ketika di Dampelas, mengapa begitu berani Madika langsing
kecil badan ini, menghancurkan meja tulis residen, cuma sekali tinju saja, sudah jadi berkeping-
keping dan berantakan? Begini kisahnya; suatu hari jam dinas, beliau dipanggil menghadap residen
di ruang kerjanya. Disini, residen melontarkan berbagai macam tuduhan/fitnah, yang sama sekali
tidak masuk akal. Seperti juga tuduhan-tuduhan palsu yang sebelumnya telah ditimpakan kepada
Magau Dolo, yang mengakibatkan Magau tersebut berada di pembuangan.
Selain tuduhan gila, membunuh asisten Sondak yang sekoyong-koyong sudah berada
kembali di Bobo, setelah baru beberapa bulan Magau Datupamusu dipengasingan. Dan, yang
paling menimbulkan perasaan jengkel Datupalinge ini, akibat paksaan berulang-ulang oleh residen,
agar beliau harus mau menandatangani “Korte Verklaring No. 1 tanggal 12 Februari 1908”.

22
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Datupalinge tetap menolak tidak akan menandatangani (Surat Perjanjian Pendek) itu, apa pun
risiko yang dilimpahkan padanya oleh tuan residen.
Ia mengerti, surat perjanjian itu berulang kali pula telah ditolak oleh Magau Datupamusu,
setiap kali, disodorkan padanya untuk di tanda-tangani. Karenanyalah Magau itu, sudah menjalani
ganjaran dari semua tuduhan dan paksaan seperti dialami Madika Datipalinge, kini! Serasa tak
sanggup lagi, Madika itu menerima tekanan batin yang kian menyakitkan serta merobek-robek
perasaan.
Klimaks dari paksaan-paksaan residen tersebut, oleh pesakitan terpaksa membuat suatu
penyelesaian sadis dengan cara memukul roboh lawan tangguh yang ada di depan residen atau
ditengah mereka berdua sedang berhadapan yaitu, sebuah meja tulis amat kokoh terbuat dari kayu
jati berukir indah bermotif Jepara, pecah berkeping-keping cuma sekali pukul/tinju saja. Dan
pecahannya terpencar meloncat sekeping tepat kena dahi residen. Darah mengalir membasahi
seragam putihnya sang Belanda itu! Datupalinge dicap sebagai penjahat dan segera digiring masuk
sel.
Seusai kerja paksa di Dampelas barulah Datupalinge bertugas kembali sebagai Madika
Malolo. Sedang jabatan rangkapnya tempo hari, telah dipundaki oleh Magau Sigi Biromaru, walau
bukan dikehendaki oleh rakyat kerajaan Dolo. Dan di saat itu pulalah kerajaan sigi Biromaru
berubah menjadi kerajaan Sigi Dolo berpusat di Biromaru, meskipun Biromaru tidak termasuk
salah/sebuah kampung diantara kota Pitu Nggota dalam wilayah kerajaan Sigi. Sekembalinya
Madika Datupalinge dari menunaikan tugas besar di Dampelas Sojol, di Sigampa (Kaleleke) ia
menerima kunjungan rombongan asal Bugis yang dipimpin oleh Lamadjido. Ketua rombongan
Bugis itu menyatakan bersedia menjadi anggota kesatuan Syarikat Islam. (yang sekarang Puangku-
Datu (bahasa adat Bugis), yang artinya pemimpin. Di Palu kami tidak berani menjadi anggota
karena dilarang pejabat pribumi. Berbeda disini kesatuan ini dipimpin sendiri oleh pejabat
pemerintahnya. Kemudian Lamadjido menyodorkan daftar nama-nama rombongannya sebanyak 26
orang dengan tulisan Lontara kepada Datupalinge (catatan 16 September 1925).
Tidak lama setelah kejadian itu, Datupalinge dipanggil menghadap tuan Controleur karena
laporan Magau Biromaru. Kemarahan Belanda itu tidak bedanya marah terhadap anak tolol.
Sedang yang dimarahi yang juga didampingi oleh Lamadjido, seorang yang mengerti benar nilai
hidup dan budaya bangsanya sendiri. Menurut cerita, hampir saja Lamadjido melampiaskan darah
bugisnya yang sudah nulai mendidih dan membuih, jika bukan Datupalinge melunakinya.
Demikianlah sifat hidup Datupalinge bersaudara, disamping berpengaruh luas keseluruh
masyarakat yang tidak pernah ikhlas menerima sikap kejam penjajah sejak bangsa asing itu mulai
bercokol di kawasan Tanah Kaili ini khususnya, dan umumnya seluruh persada bunda pertiwi
tercinta.
Datupalinge sekeluarga kian merasakan betapa pahit-getihnya tekanan-tekanan yang timbul
dari keangkuhan bangsa sendiri selaku pejabat-pejabat penjajah, juga sebagai pelanjut sikap
sombong bangsa kolonial itu. Keadaan dan perubahan bergejolak dalam hidup pada saat ini, seolah
berdaulat khusus atas diri pejabat pribumi untuk memandang hina serta menindas bangsa sendiri
yang sejak lama mereka kenal anti penjajah.
Pejabat Belanda itu, menganggap telah sangat murah martabat dan nilai kehidupan manusia
lain. Dan naluri bagai itu tentu bakal menurun kepada anak cucu. Dan bila sudah demikian tentu
boleh dinamakan penyakit turunan dalam-dalam direlung hati, dan dilubuk. Itulah sebabnya

23
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Datupalinge bersama keluarga hanya tunduk pada tubuh, sedang jiwanya serta semangat mengusir
penjajah tetap menyalah-nyalah ingin memberontak kapan saja selama hayat.
Akan hal Maddika Matua Lapasere, sepeninggalan Madika Datupalinge ke Manado, sesaat
sebelum pengambil alihan kerajaan Dolo bersatu dengan kerajaan Siranindi. Kemudian berpindah
tangan lagi ke Magau Biromaru, Madika itu berulang kali menunjukkan protes kepada Controleur,
namun tidak mendapat tanggapan menggembirakan.
Justru itulah, kadang Madika Lapasere yang tinggal seorang diri penguasa di eks kerajaan,
keinginan pula menghimpun rakyat untuk mencoba membangun perlawanan kembali terhadap
pemerintah Belanda, seperti berkali-kali dilakukan oleh kedua penguasa terdahulu. Dan bila
maksud demikian sampai pula ditelinga Tjayalangi Magau Perempuan yang ditunjuk sendiri oleh
suaminya atas anjuran kompeni, segeralah ibunda itu memberi tahu kepada Madika Lapaser, agar
bersabarlah lebih baik karena itulah sikap terpuji pada saat menerima kenyataan pahit.
Tahun 1917-1926 selama sembilan setengah tahun di pengasingan, Datupamusu telah
berada kembali di Kampung halamannya seorang diri. Beliau tidak pulang bersama puteranya Andi
Tagunu, sebab Tagunu tersebut telah beberapa tahun berpisah dengan ayahnya. Dia pergi mencari
nafkah hidup sendiri untuk tidak usah bergantung pada ayah yang hanya menerima jaminan
alakadarnya dari pemerintahj Belanda.

SEBUAH PENDAKIAN
Tahun 1926 Syarekat Islam (SI) berubah menjadi Partai Syarekat Islam. Ini berarti
selangka mengarah menyingkapkan selubung kegelapan. Rakyat Kaili yang 98% beragama islam
ini, seluruhnya menjadi simpatisan partai sebab disini baru ada satu partai saja, meskipun di Jawa
sudah berdiri Partai Nasional Indonesia(PNI) asuhan Ir. Soekarno, bekas anak anak mantunya
pemimpin besar HOS Tjokroaminoto Presiden Partai Syarikat Islam Indonesia
Pada Tahun 1928 Datupalinge berhenti dari jabatan Madika Malolo Kaleke/Dolo. Tak
seberapa lama setelah itu menyusul Madika Matua Lapasere. Keberhentian kedua pejabat distrik
itu membuat dua kursi lowong. Kehendak rakyat begitu Datupalinge berhenti dari jabatannya terus
langsung diangkat adiknya Gagaramusu. Tetapi suara rakyat atau keinginan rakyat tidak berlaku
dijaman kejam ini, dan dalam suasana kerajaan Sigi Dolo yang hitam. Dan yang berdaulat saat ini
bekas kerajaan Dolo, adalah Magau sendiri selaku Khalifatullah. Diwaktu sentana ini tampaklah
situasi kian menekan kehidupan rakyat. Dan oleh karenanya para bekas pejabat kerajaan sekaligus
top pimpinan dua partai; PSII dan Sigi Dolo yang kesemuanya bermukim di Kaleke, kirim protes
keras kepada Magau (Raja), agar jangan berbuat sewenang-wenang dan harus merestui segera
Gagaramusu diangkat selaku penggangti kakaknya jadi Madika Malolo Dolo di Kaleke.
Pada September Tahun 1929 dilantiklah Gagaramusu menjadi Madika Malolo Dolo
menggantikan dua orang pejabat Distrik, yang sudah hampir setahun mengalami kekosongan
karena ulah Magau yang tidak suka kepada pejabat pemerintah yang kebetulan sebagai Sekjen
partai Politik Syarikat Islam. Demikianlah dari tahun ketahun Madika Malolo (kepala distrik)
Gagaramusu menjalankan pemerintahan disamping dukungan seluruh rakyat dalam wilayah
sungguh luas ini (batas wilayah sampai Tuva/batas dengan Kulawi Utara), sementara curiga Magau
pun kian bertambah padanya. Hal itu disebabkan kegiatan dalam partai seiring tugas dinas sebagai
pemerintah. Gagamusu acap sudah mendapat teguran dari atasan. Namun ia tidak mau peduli,
malah bertambah giat setelah bekerjasama dengan rekannya Sekjen PSII dalam kerajaan

24
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Siranindi/Palu. H. Y. Daeng Pawindu yang sejak beberapa tahun belakangan ini sudah menetap di
Kaleke-Bambaru.
Swapraja pengganti istilah kerajaan pada saat ini sudah mulai populer dikalangan
masyarakat muda, sedang dikalangan yang tua masih sering mengatakan kerajaan Dolo atau Sigi
Dolo, misalnya Swapraja Sigi Dolo bertambah lagi satu partai PNI yang sejak 1926 didirikan Ir.
Soekarno. Sekembalinya H.Daeng Pawindu 1933 dari pengasingan di Sukamiskin ia boyong
kemari partai itu setelah usai menjalani hukuman mulai Juli 1932, karena menjadi Sekjen Partai
Syarekat Islam.
Tahun itu pula, partai baru ini langsung diserahkan oleh H. Daeng Pawindu kepada
keluarganya di Kaleke yaitu tiga bersaudara masing-masing; Datupamusu, Datupalinge,
Gagaramusu yang pejabat, Madika-malolo Kaleke-Dolo. Dan, murka pula Magau Biromaru
mendengar bahwa, bawahannya Madika Gagaramusu selaku aparat pemerintah Belanda, masih
mau menambah lagi kegiatan politiknya melalui partai baru, yang dibawah kemari pula oleh Hi.
Daeng Pawindu dari Jawa, selesai ia menjalani hukuman disana. Kehendak Magau, tidak usahlah
dengan pejabat mengadakan kegiatan tersebut: Biarkan saja orang-orang yang bukan pejabat,
menangani ini semua. Dalam waktu tidak terlalu lama, partai baru PNI itu, terbentuklah
pengurusnya dalam Swapraja Sigi-Dolo. Dan sepasang partai politik ini mencipta kerjasama yang
baik sekali, dalam pengembangannya. Hal itu disebabkan, karena pimpinan utamanya diambil dari
tokoh pemimpin Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) yang orangnya sudah dilantik sejak 1917
oleh HOS Tjokroaminoto, seperti telah diugkapkan diatas. Perubahan suasana, serasa kian menekan
batin aparat pemerintah Belanda. Akibatnya, Hi. Daeng Pawindu kembali ditangkap dan diasingkan
ke Sukabumi, 1933-1934.
Akan hal Madika Gagaramusu, selaku penguasa yang tinggal satu-satunya dibekas
kerajaan Dolo ini, sesudah beberapa tahun silam melakukan kerja dinas sebagai pejabat Kepala
Distrik, dengan tidak diduga, seusai membangun kantor Distrik, telah pula didesas desuskan bakal
akan diasingkan jauh, entah kemana. Mendengar desus bagai itu, Madika Matua Datupalinge, dan
Datupamusu pergi menemui adiknya di kantor Distrik, lalu bertanya :
“Apa adik sudah dengar berita bahwa engkau akan dibuang ?” –
“Yah, sudah”. jawab Gagaramusu tenang.
“Senang kamu menerimanya?” tanya Datu itu lagi pada adiknya.
“Senang, kalau sudah itu takdir” –
“Kalau begitu kamu menyerah saja, pada takdir yang dibikin sendiri oleh Magau, itu”
potong Datupalinge merasa berang, pada bicara adiknya,
“Tidak. . . . . . kita harus lawan dengan protes keras. Karena itu, cuma maunya Magau
sendiri”.
Mendengar kata emosi kakaknya, Gagaramusu yang berwatak tenang, kalem penuh
wibawa, tapi lembut pula, menjawab;
“Saya harap tidak usah! Sebab teori politik penjajah, memang demikian. Pejuang
politik anak negeri, kadang-kadang dihadapkan pada suatu beban dan resiko yang maha
berat, dan itulah nilai, dan tanggung jawab pribadi”. –
“Tapi, kita ditekan terus menerus sepanjang hidup ini, apakah begitu mau-mu, Gaga,
.?”
Begitu Datupalinge murka pada adiknya yang nampak amat ikhlas menerima kenyataan
akan datang, menjumpai dirinya.

25
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Kakak yang satu ini, eks.Magau Datupamusu ini yang sejak tadi diam-diam saja dengar
kedua adiknya berdebat, tiba-tiba bangkit dari duduk seraya memukul meja tulis, dan mengajak
Datupalinge pulang, dengan sekeping kata :
“Tak ada gunanya, membela juru-damai itu!”
Melihat kedua kakaknya, Madika Gagaramusu geleng kepala, merasa heran, sambil
senyum mencibir. Demikianlah watak Gagaramusu yang penyabar memang! Dan, selalu menjadi
pendamai, bila kedua kakak tadi acap baku salah paham, dalam lingkungan keluarga sendiri.
Dua partai bergerak seiring, semakin melebarkan sayapnya dalam satu kelompok
pimpinan, yang sejak semula berpusat di Kaleke bekas ibukota kerajaan Dolo. Bertambah meluas
lagi gerakan politik itu, setelah sering kunjungan pemimpin dari Swapraja Parigi, bapak Toana dkk.
bertemu pimpinan partai di Kaleke. Pejabat Madika-Malolo Gagaramusu, sebagai pejabat
pemerintah, tak akan mau surut dari kegiatan melindungi lajunya pertumbuhan partai, walau sering
sudah ditegur tuan Magau Biromaru. Olehnya, tuan Magau telah acap dibentak tuan Contoleur,
sebab dianggap tak sanggup memimpin dua wilayah eks.kerajaan yang sudah jadi dua wilayah
Distrik. Magau, jadi pusing tuju-keliling , menghadapi para tokoh pejuang politik yang dulunya
penganjur dan pelaku utama dalam perlawanan bersenjata melawan serdadu kompeni. Magau Sigi-
Dolo merasa khawatir berkunjung ke Kaleke, salah sebuah kampung dalam wilayah kerjanya,
karena disana berkumpul semua pemimpin partai, bekas pejabat, dan bekas buangan, juga bekas
pemberontak bersenjata. Ia segan ke Kaleke, karena disitu masih segar bugar dua orang top
pimpinan bekas kerajaan, yang dijuluki oleh tuan Contoroleur Wehman sebagai; “Dua DATU
Yang Tak Pernah Mau Jinak”.
Juli 1936. Suatu hari, Madika-Malolo (Kepala Distrik) Kaleke Gagaramusu dipanggil
menghadap tuan Controleur Palu, dan magau Sigi-Dolo (magau Biromaru lazim disebut) berada
pula disitu, mendampingi Controleur. Madika Gagaramusu dimarahi. Untuk menantang murka tuan
Controleur itu padanya, madika ini berbicara lantang tegas dan minta dimengerti :
“bahwa manusia hidup diatas bumi Tuhan ini, haknya sama. Dan itulah sebabnya ,
Tuhan tidak membenarkan serta tidak membolehkan berlakunya penjajahan, atas diri
manusia lainnya. Tuan Controleur dan tuan magau, sama-sama berdosa jika menekan
dan menindas kami, buat selama-lamanya. Saya, dan madika-malolo Sigi Lamasatu,
penuh ber-hak guna membina serta memimpin rakyat kami, untuk berbuat lebih baik
melepaskan diri dari tekanan tuan Controleur dan magau, yang selama ini kami sangat
rasakan pahit getirnya!”
Demikian madika Gagaramusu, dengan suara lembutnya namun menyayat rasa, menyindir
dua pejabat pemerintah atasan oenjajah itu !
Sungguh pahit dirasakan oleh Controleur dan Magau, ucapan Madika Gagaramus, disaat
sedang berhadapan seperti itu. Namun, dasar bangsa kolonial tetap sebagai bangsa yang tidak mau
perduli, budaya besarnya bangsa lain serta hak asasinya manusia jajahan. Dan, sikap seperti itulah
suatu kebiadaban, amat dikutuk Tuhan! Kata perduli syetan semua itu, dan Madika Gagaramusu
lebih baik tetap harus disingkirkan jauh dari sini, buat Madika Gagaramusu yang kepala batu itu!
Memang Controleur merasa berutang budi pada magau, sebab bangsa penjajah tersebut
jauh sebelumnya, telah menerima sebuah “Upeti” yang sangat tinggi nilainya, berupa secerek-emas
berbentuk Taiganja/Emas –Hadat, hingga kerajaan Dolo di pindahkan kesana, menjadi kerajaan
Sigi-Dolo beribunegeri Biromaru sepeninggal dua penguasa kerajaan Dolo bernama awal ; DATU
digeser jauh ke Ternate dan Manado, seperti sudah diungkap di atas. Lazimnya situasi ketika dulu

26
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

itu, masih demikian adanya. Namun, tak mengapalah dijadikan sejarah sekedar ilmu pengetahuan,
generasi tengah bergantian hadir di Bumi sang bunda pertiwi, ini .
Pada minggu pertama Agustus 1936, datanglah sebuah Jeep di Kaleke. Di dalamnya, ada
Jaksa Manopo atas perintah Controleur menjemput Madika Gagaramusu, diantar ke Palu karena
kapal penjemput sudah menanti disana, selanjutnya di tumpang ke pengasingan. Dari rumah
menuju mobil, ia diantar oleh kakaknya madika tua Datupalinge. Mesin mobil dihidupkan seraya
menginjak gas, entah mengapa roda mobil itu tidak sanggup berputar. Sopir segera turun,
memeriksa mesin serta semua kabel-kabel, ternyata tiada gangguan sedikitpun. Jaksa Manopo
heran dan bertanya :
”Bagaimana, dan apa sebabnya mobil ini nda jalan, madika ?”
“Mana, saya tahu sebab apa.” Jawab Gagaramusu singkat.
“Barangkali, madika terlalu berat !” kata Manopo lagi bergurau, seraya menoleh pada madika
tua yang berdiri disamping adiknya.
Dan, madika tua memberi isyarat agar adiknya itu, turun sebentar, kemudian naik kembali duduk
ditempat semula, bagian depan.
“ Nah, silahkan pergi !” seru Datupalinge, “dan mobil ini sudah mau berjalan”. Kata madika tua
itu pula, kepada Manopo. Manopo tersenyum, sambil mengucapkan banyak terima kasih kepada
Madika Datupalinge, yang sudah membebaskan mobil jeep itu berputar lagi rodanya sebagai biasa,
lalu bergerak pergi.
Gagaramusu diasingkan ke pulau Siau, bersama dua puteranya; Daengmangeran dan k
Daengmatadjo, dengan seorang lelaki.pengawal pribadi bernama Lakadera alias si kursi . . . . . !
Daengmangeran, acap kembali ke kampung bila sewaktu-waktu kehabisan biaya makan, disana.
Daengmatadjo, tetap mendampingi ayah sedang menjalani hukuman, sebagai mandor kerja rodi.
Beberapa hari sebelum keberangkatan Madika Gagaramusu kepengasingan, masyarakat Dolo
umumnya mengadakan unjuk rasa keliling kota Palu, lalu masuk dipekarangan istana kediaman
tuan Controleur. Selain memprotes kekejaman pemerintah penjajah, menuntut keras agar kerajaan
Dolo berdiri sendiri kembali melepaskan diri dari tekanan-tekanan raja selama ini. Setelah
demonstrasi tersebut masuk tahananlah beberapa orang totua-hadat antara lain; Makanu
Guvilembah, Lamakarumpa, Toma Ipayu, dan Magalatu/kepala kampung Tulo.
Radjamuda (Keponakan) segera menggantikan pemannya Gagaramusu selaku Madika
Malolo (Kepala Distrik) Kaleleke Dolo . Maka tersenyumlah Magau Sigi Dolo dan tuan controleur
karena Gagaramusu salah seorang pemimpin partai kembar yakni ; PSII dan PNI (sebagai sekjen)
Se Sigi Dolo, telah pula digeser dari jabatannya selaku kepala Distrik. Keduanya merasa gembira
sebab menganggap terakhirlah Madika Gagaramusu itu sebagai penguasa bekas kerajaan Dolo
yang giat melaksanakan kewajiban partai politik. Karena Belanda itu kenal benar bahwa tiada
duanya dari semua bekas kerajaan setanah Kaili ini, hanya satu-satunya pejabat pemerintah
(pribumi) turut memimpin gerakan politik dibekas kerajaan Dolo, Belanda akan tahu kelak siapa
Radjamuda Datupamusu Pejabat. Kepala Distrik yang baru ini.
Pada Bulan Desember Tahun 1940, setelah 32 tahun menjalani hukuman, Madika
Gagaramusu dibebaskan dan kembali dengan selamat di Kaleke dan. Kantor kepala distrik sudah
dipindahkan keseberang di Kota Palu, dengan memakai gedung kantor RU, yang pemakaiannya
diresmikan tahun 1938 (kini digunakan oleh Kepala.Kandep. P dan K Kecamatan Dolo). Kehadiran
mereka dikampung asal, disambut hangat dan gembira bercampuran haru, oleh masyarakat. Hal

27
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

demikian, masyarakat merasa bahwa seolah Madika ini terhindar dari maut dan kembali sebagai
patriot menang di medan laga.
Suatu hari ayah bilang bilang begini :
Ada masanya nanti, negeri kita ini akan diperintah atau dijajah oleh satu bangsa berkulit
kuning. Matanya sipit, sama seperti orang cina, orangnya pendek-pendek, dan berbadan
kekar. Lamanya memerintah, hanya berumur jagung.
Mendenganr perkataan seperti itu, orang-orang pada heran, bercampur bingung karena mana
mungkin bangsa penjajah hanya mau menjajah bangsa lain sesingkat itu saja, kemudian pergi,
pamit pulang, sudah tentu tidak masuk akal sehat. Padahal mereka tidak mengerti jika itu sebuah
kiasan, namun, dalam hati mereka yakin biasanya Madika Tua itu jarang meleset apa yang ia
katakan atau ramalkan, baik , kita semua lihat nanti Begitu pendengar tadi, merasa lengah berharap.
Hari-hari bergerak melaju meraih bulan dan bulan pun telah jua berlalu bergantian. Dengan
tiada terasakan, sudah pula berganti tahun, dan di tahun ini pun manusia-manusia berpacu
menoggak kehidupan, dan kehidupan ini, terus berlangsung bersama irama gejolaknya dunia.
Kemudian, diseputar tahun 1942, dimana bumi in sedang dilanda perang dunia I dan II. Ada juga
yang bilang perang pasifik, tiada beberapa lama, timbul desas-desus ada serdadu dai Nipon
mendarat di Tanjung Periok Betawi, sejak bulan maret bulan empat baru berlalu. Orang-orang kita
disini belum kenal benar kalau Dai Nipon itu orang darimana asalnya.
Mendengar berita tersebut, sekilas ingatan tertuju pada Madika Tua Datupalinge yang pernah
mengatakan seperti yang telah diungkapkan di atas
Menjelang subuh pada Bulan Mei Tahun 1942, dalam kesepian seperti ini, disaat rasa dingin
menusuk tulang sum-sum, penghuni lembah ini sekonyong-konyong dikejutkan oleh dentuman
beberapa kali pemboman, dijatuhkan di atas lapangan terbang Sidera. Sudah tentu musuh tahu, ada
serdadu Belanda beberapa hari ini, bersiaga. Akibat pemboman itu, banyak serdadu Belanda tewas
kena senjata beracun itu, orang tahu itu meskipun pemerintah Belanda merahasiakan sebelumnya.
Belanda pun tahu sudah banyak daerah Hindia Belanda ini diduduki Tentara Dai Nipon.
Karenanyalah Belanda seperti telah kejangkitan penyakit depresi yang gawat. Sementara di Toli-
Toli sudah mendarat tentara Dai Nipon itu tanggal 2 Juli 1942. Sudah pasti tidak akan lama lagi,
segera menerobos masuk ke teluk Palu. Hal ini jelas membuat debaran jantungnya kolonial
semakin bertambah parah, apa lagi jantung para Magau/pimpinan swapraja yang paling setia.
Di tengah-tengah berita itu sedang ramai dibincangkan, berkata pula Madika Tua Datupalinge,
ketika duduk di Balae Masjid, lewat bangsa Jepang ini, barulah kita menjadi mulia. Demikian
madika Tua ini seperti berbicara untuk didengarkannya sendiri dan orang disitu saling menoleh
satu sama lainnya mendengar sebab seolah-olah Madika tua itu sudah menggambarkan sesuatu
kelak datang, sebuah kepastian. Sore hari kala menanti magrib, tidak seorang pun mau bertanya
dan orang cuma merasa kagum sambil mengharap-harap cemas sebab biasanya jarang meleset
ucapan seperti itu bila telah mengalir dari mulutnya dan merupakan suatu yang pasti bakal terbukti.
Beberapa hari kemudian setelah mendarat di Toli-Toli seperti barusan diceritakan di atas, tiba-
tiba datanglah serdadu Dai Nipon itu di Palu dengan sebuah kapal perang pada tanggal 6 juli 1942
bersandar dipelabuhan Limbuo/Talise-Palu. Tak ada perlawanan sedikit pun. Dan tuan kontroleur
cuma takut setengah mati dengan para aparatnya. Kehadiran tentara Nipon tersebut membuat
Belanda menadahkan tangan mohon ampun karena terlampau banyak dosa, melecut diri. Para
magau yang warna kulitnya kaya tembaga, selaku pecinta utama sang penjajah Belanda kontan
kulit wajahnya berubah, laksana abu rokok. (Kasihan juga ya !).
Melihat ketakutan Magau seperti ini, berkatalah seorang Nipon :
28
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

“Suco-suco jangan takut pada saudara tua, kami kemari cuma usir Belanda.
Sejenak orang yang mendengar jadi bingung. Rupanya huruf L tidak ada pada abjad bangsa
Nipon. Bangsa Nipon itu, mulai menghibur. Orang masih menunggu dan melihat motivasi model
apa pula yang diterapkan oleh penjajah baru ini kepada bangsa jajahannya bekas jajahan kolonial
Belanda yang lapuk, yang sudah 3,5 abad mengisap habis darahnya hidup dibawah telapak kaki
bangsa Belanda.
Bukan suatu hal yang mustahil jika para Magau (Suco-suco menurut Militer Jepang) yang
tadinya merasa khawatir dan takut, akibat pergantian pemerintah, dari tangan pemerintahan sipil
Belanda ketangan pemerintahan fasisme militer Dai Nipon sebagai pemenang merebut kekuasaan
pada suatu ketika nanti, pasti para Magau itu akan menjadi sahabat baik dengan pemerintahan baru
ini.
Sebagai pejabat yang memang sejak lama merupakan kaki tangan penjajah kolonial Belanda
yang sangat baik, besar kemungkinan pula kelak membahayakan bagi hidup pribadi musuh-musuh
Belanda. Sekarang masih ada masih masih segar bugar dikampungnya masing-masing dan terkenal
sebagai pemimpin perlawanan rakyat.
Demi memperlihatkan rasa setia kawan dengan penjajah baru, mereka (pejabat itu) akan
membuat tekanan-tekanan baru pula kepada bekas-bekas pahlawan-pahlawan besar pada waktu itu,
dengan menunjuk ; itulah musuh-musuh Belanda dan pemberontak bekas buangan, dan pimpinan
partai politik, orang-orang itulah sementara pangkat Belanda dipundaknya, tidak habis-habisnya
mengadakan perlawanan terhadap bangsa yang sudah memimpin kita hingga jadi pintar, begitulah
sikap hidup manusia tidak mau berterima kasih kepada bangsa penjajah.
Demikian kira-kira cemohan diantara pejabat-pejabat (Pribumi), melampiaskan rasa
dendamnya kepada bekas para pelaku perlawanan bersenjata terhadap kompeni ketika baru belasan
tahun, datang menjajah. Makian seperti di atas sudah tentu pada suatu hari kelak, akan disampaikan
oleh mereka pula kepada tuan militer pemerintahan/penjajah baru. Pengganti bangsa penjajah lapuk
itu. Cara serupa itu bakal pasti pejabat ini mengungkapkan pada bos yang baru sebagai perisai
tempat mereka berlindung, supaya Nipon itu tidak balik menuduh mereka. Selaku teman karibnya
bangsa Belanda yang amat dibenci tentara Dai Nipon itu. Dan inilah sikap yang paling mereka
anggap mujarab guna menyembunyikan penyakit lama.
Sikap ke Belanda-Belandaan itu, akan menurun pula pada pribadi putra-putri pada pejabat itu
kelak, sebab mereka disamping kerjasama dengan belanda secara mesra, juga merasa lebih tinggi
martabat hidupnya. Mereka lebih cakap dan terhormat, karena hidupnya dan tumbuh tetap dalam
pelukan bangsa asing ditengah kerjasama mereka dengan penjajah Jepang.

MASA PENDUDUKAN JEPANG –

Pada tanggal 6 juli 1942 jepang menginjakkan kakinya di bumi Kaili ini, untuk
menggantikan kedudukan pemerintah Hindu Belanda. Pagi hari waktu itu sebuah kapal armada
jepang merapat dan bersandar di dermaga Limbuo/Talise Palu, bersama suatu kompi bala
tentaranya di pimpin seorang perwira bernama Takuda Myamoto. Mneurut cerita, sebelum jepang
itu kemari, lebih dahulu mendarat di Toli-Toli secara singkat saja serdadu jepang ini mengadakan
konsolidasi hingga dalam waktu tidak berapa lama tentara Dai Nipon itu telah dapat membentuk
pemerintahan sipil dan dikepalai oleh seorang Bunken Kanrikan setingkat wedana bernama Obano,
perwira angkatan laut. Orang kedua selaku pimpinan administrasi adalah seorang bintara berbaju

29
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

sipil bernama Murayama berusia 25 thn. Menurutnya, dia baru selesai ikut pendidikan militer, terus
dikirim ke medan tempur untuk kepentingan Asia Timur Raya. Seorang lagi bintara berbadan tinggi
semampai bernama Katagiri, tugasnya di bidang pertanian (Toyobo), dan seorang militer bernama
Tajima, kadang mewakili Toyobo selain mengurusi seni nyayi, dengan anggota-anggota pujinkai.
Acap pula, dia mengadakan latihan baris-berbaris pada pujinkai dimaksud
Amat senang si Tajima ini bergaul dengan gadis-gadis alam penghuni kampung ini, yang menurut
Tajima, nona-nona tahu adat dan budaya. (Kategori tentara jepang seperti itu, cuma bisa buat
tempo doloe, saja tentu tidak untuk sekarang).
Di bidang kepemudaan khusus wilayah Distrik (Gunco) Dolo, Bunken Kanrikan
mengangkat Daeng Mangerang-Gs sebagai Bun Danco (kepala pemuda).Bun Danco ini berhasil
membina para pemuda (Seinendan), dan kepada kader pemuda-pemuda Bun Danco tersebut sering
memberi pengertian ,tentang perlunya kita melatih fisik dan mental, tidak selamanya kita semua
ini, hidup dalam tekanan lahir dan batin, disebabkan sikap dan tindakan penjajah, demikian Bun
Daco Daeng Mangerang. Berarti ia pun telah mengisi rohani para Sinendan agar mulai mengerti
nilai hidup serta martabat bangsa.
Tahun 1943, Rakyat sudah mulai panen kapas, dan ulat sutera, kedua jenis hasil panen itu
seluruhnya diserahkan pada pemerintah Jepang dengan harga yang minim, sesuai berat timbangan.
Berapa puluh pikul kapas kering jika cuma setengah hektar, beberapa pikul pula berat kekompong-
kepompong kering andai hanya sekarung dua?. Melihat keadaan begitu kadang kita merasa prihatin
terhadap para petani yang nampak tinggal berwajah hampa dan muram ketika menerima hasil jerih
payah cuma sekian puluh rupiah, sementara seusai dibayar, barang produknya diangkut.. Tidak
seluruhnya buah kapas tersebut dibeli atau ditimbang, sebab cuma yang putih bersih. Sedang yang
kuning-kuningan (afker), itulah yang bakal ditunggu oleh sang pemiliknya, guna dijadikan benang
tenun untuk pakaian.
Amang (nama panggilan penulis kisah ini) lebih lagi merasa bila mengerti hasil hasil panen
kapas dan ulat sutra ayah bundanya tidak jadi. Artinya kalau sepuluh karung kapas kering yang
ditimbang 5 karung. Sementara ulat sutra tidak sempat membungkus diri dengan air liurnya melalui
sel jaringan tubuhnya kemudian binatang itu mati, bila sudah demikian halnya, Jepang lalu berang
dan membentak petani dengan; Bagero .......! memang serdadu Dai Nipon sangat kejam, sekejam
macan tutul, kata orang..
Suatu petang pada Bulan Desember di Mantikole. Disitu banyak anggota perajin kain, dan
entah dari mana semua, sedang mandi dalam kolam sumber air panas di sebut Mapane. Tengah
para bidadari Pujinkai sedang santai mencelup diri, duduk tidak jauh dari tepi permandian itu ada
tuan Tajima. Tajima duduk di sebelah kursi kayu tua membelakangi kolam mandi kira-kira sejauh
empat meter. Serdadu Jepang yang sudah dahaga benar ini sesekali menoleh kebelakang mencuri
pandang pada gadis pemandi yang montok-montok asli buatan alam itu, membuat serdadu Jepang
tinggal menelan ludah seraya darah tersirat.
Amang yang mandi sebelah Utara dari pemandian para Punjinkai, yang jaraknya sekitar
empat puluh meter dengan kaum hawa itu, selesai mandi dia beranjak hendak pulang bersama
teman, berjalan di bawah bukit tempat Tajima duduk disana diatas bukit itu. Berjalan disitu agak
jauh dari kaki bukit tempat sigalak itu duduk, Amang tengah memberi hormat lalu ia di.panggil
naik menemui Jepang yang sudah membentaknya. Sesampainyai di situ Jepang beranjak dengan
mengucap Bagero seraya melepas sekali tempelengan keras di pelipis kiri Si Amang. Amang

30
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

berpura-pura menjatuhkan diri sebagai siasat untuk jangan mendapat aprokat beruntung kiri kanan
dari si keparat itu.
Sikap dan tindakan kasar serupa itu sengaja Jepang terapkan di Indonesia . Jadi bukan
cuma Amang seorang. Peristiwa itu disampaikan pada ayahnya, ayah marah besar dan mengutuk
habis, celaka Nippon itu nanti tahun mendatang. Bila begini jelas mata ayah nampak merah.
pertanda bahwa orang tua ini merasa robek perasaannya karena anaknya ditampar penjajah .
Karena itu dalam batinnya telah yakin benar kelak tahun depan pemerintah Fasisme Jepang akan
gulung tikar. Dikiranya kekerasan serdadu itu membuat bangsa jajahan kian ikhlas bersimpuh di
duli kaki maha raja Tenno Heika. Sungguh keliru malah cuma menimbulkan kian bertambah
jengkelnya masyarakat.
Kehidupan rakyat telah semakin perih dan compang-camping, diantaranya sudah banyak
berpakain kulit kayu mengingatkan kita seolah hidup dijaman purbakala. Selama ini orang tak lagi
melihat pedagang kain. Semuanya telah bersembunyi. Anak-anak sekolah malas belajar akibat
rasa malu pakaian penuh tambal sulam. Bagi orang tua anak, yang masik menyimpan alat tenun ,
anaknya sudah bisa berpakain kain kapas pergi sekolah, meskipun kadang digerayapi banyak
tuma, hidup disela jahitan pakaian. Kata orang, tuma (kutu) pakaian muncul disebabkan abu dapur
digunakan sebagai pengganti sabun, untuk mencuci pakaian.
Syukurlah, bagi Amang yang sekolah di Palu kelas IV masih sedikit beruntung ketika
orang, banyak sudah pakaian tambal-tambal. Kakaknya, banyak pakaian sejak zaman Belanda.
Kadang ia bercelana wool pergi sekolah, walau bukan sembarang wool. Apa artinya itu? Artinya,
celana wool terbuat dari petongan kaki celana panjang kakak, Intje Arbe.(Intje Arbe yang sangat
dibenci Belanda karena tak pernah mau bayar blasting, diangkat Jepang jadi menteri Nantako.
Sekolah di Palu, Amang duduk di kelas IV B sebangku dengan Azis cuma 2 bulan lamanya,
kemudian pindah kekelas IV A diasuh oleh guru klas bernama Mamondo yang bersikap sebagai
pemimpin itu. Berbeda dengan guru kelas IV B namanya Sandok yang galak itu. Bila ada murid
salah menerangkan hitungan di papan tulis, mulut orang disembur dengan air ludahnya sang guru
itu). Itulah sebabnya Amang tinggalkan teman sebangkunya Azis (mantan Bupati
Donggala/Gubernur Sulteng).
Masih dikenang pula bula September 1943. Petang hari sebuah kereta mayat mengangkut
calon jenazah dua orang haji berasal dari Toli-Toli menuju kampung Tatura ke tempat
pembantaian. Seorang diantaranya yang namanya masih ingat adalah H. Laili. Keduanya di tuduh
sebagai mata-mata musuh (sekutu) Amerika, dan amat berbahya bagi Asia Timur Raya. Banyak
anak-anak sekolah ikut manyaksikan sebab kata Jepang harus disaksikan oleh umum, pelaksanaan
potong leher tersebut. Sadis benar kejadian itu. Orang pertama disuruh duduk ditepi lahat, ialah H.
Laili, sementara Kenpe Tai/tukang potong itu melompat-lompat dengan samurainya dileher H.
Laili, lebih dahulu menebas batang pisang. Cuma sekali tebas terjerembatlah H. Laili tersebut jatuh
masuk dalam liang. Lalu menyusul yang satunya sebagai kambing saja layaknya hamba Allah ini,
dibuat oleh manusia kafir dan jahannam. Dia ditarik dan dipaksa duduk di tepi lubang, walau pun
menyeringai ketakutan yang amat sangat. Sekali sikat saja batang lehernya, kendati tidak putus
benar disertai tendangan dan terhujamlah korban itu jatuh kedalam lubang kubur.
Mengerikan sekali peristiwa potong leher itu, yang disaksikan sendiri Amang bersama
teman-teman sekolahnya seperti; Ismail, Djaro, dan banyak lagi lainnya. Kemudian dua jenaza
tersebut ditutupi daun pisang seraya ditimbuni tanah bekas galian semula. Kenpe Tai

31
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

mengharuskan anak sekolah supaya hadir, meskipun itu bukan upacara sarasehan potong tumpeng
serupa adat Jawa.
Beberapa bulan kemudian setelah tebas leher diatas, hari sabtu siang bulan juli Tahun
1944, udara kota Palu dipenuhi pesawat tempur Amerika menggetarlah kota, dan terus langsung
menuju ke arah selatan. Sejurus kemudian terdengarlah dentuman berulang kali. Lapangan udara di
Sidera dijatuhi bom, sementara pekerja di lapangan udara ini masih istirahat seusai makan tengah
hari. Dalam peristiwa pengeboman itu, dua orang pekerja dari desa Kaleke tewas masing-masing
Lapareke dan Tipadongga sedang seorang luka berat bernama ; Lasangki, tulang pahanya patah dan
pincanglah ia setelah sembuh dari rumah sakit. Pelabuhan udara yang sedang diperbaiki itu, akibat
kerusakan karena pemboman pesawat tempur Jepang, di malam menjelang subuh, bulan Mei 1942
sebagai pertanda bakal Jepang segera mendarat merebut kota Palu. Maka, dua bulan setelah itu
mendaratlah serdadu Jepang, seperti telah diutarakan sebelumnya. Seusai peristiwa di atas,
spontan muncul perhitungan bahwa sebaiknya pindah sekolah saja di Biromaru. Sebab bukan
mustahil, kota Palu kelak akan mendapat giliran pemboman oleh tentara sekutu.
Di sinilah Amang akan menammatkan sekolah kelas V, Amang tinggal di rumah paman – Madika
Matua (Toma I Daengmaria).
Perang Pasifik kian berkecamuk. Seiring opsir-opsir Jepang berkunjung ke Kaleke , antara
lain Kenpe Tai Sirabayasi. Perkunjungan opsir serdadu Nippon ini, dengan maksud tertentu, sebab
mereka sudah mengerti bahwa disini masih ada bekas anti penjajah, bekas buangan, dan bekas
pembunuh berpuluh serdadu kompeni, yang utama sekali dua pejabat,yang menurut istilah jaman
Belanda tempo dulu: “Datu yang tak Pernah Mau Jinak”. Sudah Tentu bukan hal mustahil, pada
suatu hari ketika kelak, bangsa kita pun akan mereka benci lalu mengusirnya dari sini, sebab
menganggapnya juga sebagai bangsa penjajah sama dengan penjajah bangsa Belanda demikian
otak jepang itu berpendapat.
Ken Petai Sirabayasi telah mencurigai Gunco Dolo Rajamuda Datupamusu. Sirabayasi
tahu Gunco Dolo menyembunyikan adiknya Radjagunu setelah dapat meloloskan diri sewaktu
hendak disembelih/dipotong lehernya oleh Jepang, sesaat mertuanya raja Todjo Tadjombulu
sedang dilaksanakan penebasan batang lehernya. Kenpe Tai mengerti bahwa Radjagunu algojo
Sirabayasi itu paham benar kalau Gunco bersama adik-adik sepupunya tak pernah mau bermesra,
menggauli bangsa penjajah sejak penjajah kolonial Belanda sampai pada penjajah baru tentara
fasisme Jepang kini. Justeru itu mereka tetap siap menantang, terutama moral kaum wanita yang
tergabung dalam organisasi pujinkai.
Di atas Madika Tandjombulu telah dibicarakan sebagai penguasa kerajaan Todjo. Pembaca
mungkin bertanya mengapa bangsawan dari Tanah Kaili bisa diangkat jadi raja (Magau)
Todjo/Ampana waktu itu, sedang sekarang ini kawasan tersebut adalah wilayah Kabupaten Poso.
Jawabnya, memang kisah ini berlaku waktu dahulu di jaman kekuasaan raja-raja (Swapraja) di
bawah pengawasan bangsa penjajah Belanda. Kkarena Todjo/Ampana dan sekitarnya termasuk
wilayah Kaili menurut sejarah, sudah tentu Madika dari tanah Kaililah yang merasa berhak jadi
penguasa di sana dan terakhir raja Todjo, Tandjombulu (cucu dari raja Dolo-Sigi Lolontemene
sekandung raja Lolu Arungtasik, alias Aruntasi) ditebas batang lehernya oleh samurai Kenpe Tai
Jepang.

32
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Dirembang petang
Hari selasa minggu pertama November, Amang bersama teman-teman sedang asyik
memandang dari kejauhan, beberapa buah pesawat tempur sekutu merajai angkasa kota Palu.
Pesawat berwarna hitam itu sesekali nampak terbang menukik dan bila begitu terdengarlah
dentuman dahsyat mengerikan Amang bersama teman-temannya menyaksikan peristiwa itu, berada
di bawah pohon kelapa sebelah barat rumah paman tempat ia menumpang selama sekolah di
Biromaru. Bebas benar pesawat tempur Amerika membom toko dan rumah penduduk. Tiada
hambatan karena Jepang tidak memiliki meriam penangkis udara walau sebuah pun juga.
Atas perintah guru Winerungan, Amang membawa anak-anak sekolah dari Biromaru ke
Palu untuk memadamkan api akibat pembomam sekutu petang tadi. Pukul 07.00 malam Amang
dengan barisan remaja teman sekolahnya tiba di kota. Kota yang gelap karena selama 40 tahun
kurang lebih dijajah Belanda, penjajah itu tidak sanggup mengadakan perlistrikan. Apalagi
penjajah pengganti ini sudah tiga tahun rakyat cuma pakai lampu berasal dari buah jarak (poindo
pelo Bahasa Kaili), akibat telah bersembunyinya pedagang minyak tanah dan lain-lain barang
dagangan.
Sedang menuju kota seberang kota pusat pertokoan yang dibumi hanguskan bom tentara
udara sekutu, sekonyong-konyong barisan pelajar itu dibentak; “kuraa .... pigi mana, kaa.. ?” dan
bentakan keras seperti itu membuat betapa terperanjatnya Amang bersama rekan-rekannya. Sekilas
mereka terpencar berhamburan cari perlindungan dalam belukar jati kecil-kecil, yang tumbuh
sebelah kiri kanan jalan (sebelah timur kantor CPM sekarang), Amang melompat ke Arah kanan
berlindung di sebatang pohon besar yang kebetulan disitu tempat si pembentak tadi.
Ternyata yang membentak adalah Nurayama dengan seragam militer Jepang, hebat juga
dia kali ini. Dan setelah saling mengerti, Amang bicara langsung bersama kawannya ke tempat
tujuan. Tiada seorang pun lagi penghuni kota dan semua sudah membawa nyawanya berlari-lari
pergi entah kemana saja karena takut yang amat.
Yang ditemui disini cuma ada dua orang serdadu Jepang Hitachi dan Mioru, keduanya bisa
menjinakkan sebuah bom sampai tidak meledak ketika jatuh didepan rumah eks Asisten H. Sunusi.
Selesai mengumpul mayat serta mencari korban-korban lainnya anak-anak sekolah ini pamit
pulang pada serdadu yang sedang mengawasi bom terlentang di tengah jalan itu. Kagum benar aku
melihat keberanian serdadu Jepang itu. Masa senjata bembunuh maha dasyat ledakannya bisa
digagalkan begitu saja sampai di tanah, demikian Amang memuji sahabatnya, sahabat ketika ia
masih sekolah di Palu tempo hari sebelum pindah sekolah di Biromaru.
Banyak betul manusia Cina tewas. Di depan Mesjid Arab seorang korban tewas dalam
selokan badannya tidak lagi utuh. Kepalanya terbang entah kemana tidak lagi diketemukan. Cuma
yang menggelikan serdadu Jepang tadi, melihat Amang terjerat masuk got berair limbah busuk
akibat terkejut yang amat sangat . dia membuka daun kelapa penutup korban di tepi jalan. Ternyata
sosok mayat terlentang menengadah dengan mulut terbuka lebar. Sebab itulah kedua serdadu
Nippon tertawa setengah mati seraya memapah Amang bangkit berdiri basah kuyup dan penuh
lumpur yang berbau bukan main.
Pemboman kedua kalinya berlangsung siang hari. Anak sekolah dari Biromaru pergi
memadamkan api . tidak seorang pun teman sekolah Amang tempo doloe bertemu dia. Entah
kemana mereka pergi mengungsi dan selama berpisah sekolah tak pernah lagi jumpa.
Di Biromaru pun sekolah di bawah pohon mangga di tengah belukar rimbun sebelah timur
agak sekilometer lebih dari gedung sekolah semula. Bersekolah disini seperti tak ada waktu lowong

33
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

untuk tenang belajar. Sebab hampir tiap hari udara penuhi pesawat-pesawat udara sekutu. Tak ada
sebutir peluruh Jepang pun keluar menembaki pesawat musuh meskipun musuh tersebut sering
memberaki batok kepala mereka dari udara.
Amang kembali mengingat-ingat ramalan ayahnya tiga tahun yang lalu, yang mengatakan
Jepang menjajah lamanya cuma seumur jagung, kemudian pergi lari dari sini semoga ada benarnya.
Sebab jika tidak benar dia pasti dikirim kependidikan militer yang dikatakan orang Kai In Yosei Jo
entah dimana nanti, sementara yang lulus testing itu sudah diperintahkan siap-siap saja menunggu
keberangkatan . Amang lulus bersama beberapa teman sekolah antara lain Lahasim dan Husen.
Andai kata jadi berangkat kependidikan sementara disitu perang semakin berkecamuk begini,
berarti sebuah kematian bakal ditemukan.
Bertambah gelisah Amang setelah mendengar desas desus orang bahwa ayahnya empat
bersaudara serta seorang keponakan (Goncu Dolo) telah dileshitamkan untuk menerima hukuman
pancung, sebab dianggap selaku mata-mata musuh Amerika. Mereka adalah Datupamusu,
Datupalinge, Gagaramusu, Lapasere dan Goncu Radjamuda (putra Datupamusu eks Magau Dolo).
Mendengar berita tersebut Goncu Dolo cuma bilang begini :
“sudah tentu hal itu karena laporan dan fitnah penjilat-penjilat pantat Belanda dahulu dan
pantatnya Nippon sekarang ini. Sejak jaman dulu orang tua kita takan dijajah” demikian Gunco
Dolo R.M Datupamusu kepada adik sepupunya Amang sesaat Goncu berada di rumah pamannya
Datupalinge.
Begitulah sifat hidup manusia pendendam, memfitnah itu amatlah mudah baginya seperti
saja dilihatnya sendiri orang bakal difitnah itu, sudah menerima tugas dari tentara sekutu. Sudah
begitukah manusia dilaknat Tuhan. Begitulah tentara Jepang mengerti dan mengerti benar siapa
dan bagaimana kekerasan kepada pemimpin yang sudah tua. Selama keberadaan bangsa Belanda di
daerah ini. Yang jelas mereka hanya tunduk pada tubuhnya saja namun jiwa mereka bersama
seluruh rakyat dalam wilayah kekuasaan mereka, tetap bergejolak ingin selalu memberontak
menghalau penjajah bangsa asing.
Jiwa patriotisme para pemimpin itu tidak pernah kendur sementara Magau sebagai pejabat
pribumi di kerajaan terdekat dengan kerajaan Dolo kian mengandalkan kekuatan serdadu kompeni
guna menaklukkan perlawanan bersenjata dan berlanjut dengan pengasingan para tokoh pejuang
penyebar paham partai politik. Karena menganggap wadah perjuangan bagai itu sungguh
merupakan sembilu tajam yang sangat mudah mengoyak-ngoyak batin serta menyelusup keseluruh
relung hati manusia-manusia pejabat pribumi berhati penjajah.
Bekas penguasa kerajaan Dolo inilah yang paling lama dan berulang-ulang mengadakan
perlawanan bertempur dengan serdadu Belanda di wilayah kekuasaannya. Bahkan pertempuran
atau perlawanan rakyat di kawasan lain mereka pergi secara suka rela membantunya bersama-sama
dengan para Tadolako harapan seperti perlawanan Raja Bulu Bale, Malonda, Raja Tombolotutu
Moutong, Rakyat Dampalas-Sojol, Dombu, Raja Kulawi, perlawanan rakyat Sigi dipimpin Madika
Malolo Lamasatu atas prakarsa bersama dengan dua orang yang bernama awal Datu penguasa
kerajaan Dolo yang bersikap tunduk dulu tapi selamanya tetap menanduk pula.
Tindakan zalim yang diperlihatkan oleh pemerintah fasisme tentara Dai Nippon kepada
bangsa jajahannya telah sering terjadi dimana-mana terutama di pulau Jawa. Dari sini ratusan
romusha dikirim ke daerah lain di pekerjakan secara paksa membuat manusia romusha menjadi
kurus kering tinggal kulit pembalut tulang.

34
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

JEPANG SUDAH MULAI LOYO.

Pemerintah atau penguasa yang gemar melakukan kezaliman biasanya cepat mendapat
kutukan serta palu godamnya yang maha kuasa, benar demikian dan bila hal serupa itu akan terjadi.
Nah, berpasrahlah kepada-Nya kepastian akan datang dengan sendirinya jika yang maha adil telah
menepati janji-Nya Tuhan akan menghapus kekejaman manusia akan manusia lainnya di atas
dunia ini. Dan untuk menghilangkan dan menyelamatkan kesewenangan serupa iti kita harus terus
berusaha dan bekerja demi untuk itu semua.
Pemerintah Jepang seperti tidak lagi mempedulikan hidup dan kehidupan rakyat, kendati
rakyat sudah semakin compang-camping terutama rakyat petani selama tiga tahun ini, telah
berbagai macam bentuk penderitaan yang dialami menerjang kehidupan masyarakat. Suatu
terjangan nan sungguh memilukan hati dan barangkali karena itu semua kepada Madika tua
Datupalinge salah seorang calon pancung leher itu, orang-orang selalu datang bertanya apakah
masih lama Nippon ini memerintah. Kalau masih lama baiklah kita memberontak seperti kita
lakukan acapkali di zaman Belanda. Memang semakin nampak nilai kehidupan masyarakat seolah
mulai rapuh dan semuanya sudah porak-poranda oleh penguasa pemerintah Jepang secara habis-
habisan. Apa saja kehendak sang penjajah itu pada bangsa jajahannya dengan dukungan penjilat
boleh saja mereka buat seperti hewan sembelihan demikian pikir Amang. Amang lalu berpikir
tentang masa depannya yang kelabu, hendak kemana dan sampai dimana kelak ia bisa bertahan
dalam hidup ini dibawah pergi tentara Nippon ke pendidikan “Kai In Yosewi Jo” di tengah dunia
dilanda perang semakin gila ini. Terpikir olehnya bagaimana nanti nasib ayah dan pamannya serta
kakak sepupunya Gunco Dolo RM. Datupamusu yang semuanya sudah bakal dimakan samurai
algojo Nippon.
Amang membayangkan semua kejadian sangat mengerikan itu bakal datang, bila sudah
terpikir demikian hatinya serasa menjadi luluh lantak semangatnya sekilas jadi buyar. Disisi lain
khawatir pula dia andai kata perintah berangkat kependidikan tiba-tiba diterimanya. Bila sudah
demikian hendak mau bilang apa. Sudah amat jauh Amang merenung lalu merasa ngeri sendiri. Dia
renungi peristiwa silam yang sungguh kejam dan sadis menimpa batang leher H. Laili dengan
seorang temannya dari Toli-Toli yang mana penebasan leher manusia itu ditonton banyak orang.
Karena saking resah tak terkendalikan lagi, Amang pergi kePalu hanya karena hal ikhwal
yang menggelisahkan selama ini. Ditemuinya sahabatnya bangsa Nippon itu Hiroshin dan Mitsuo
di Tangsi Besusu. Atas penjelasan kedua orang Heiteisan (serdadu) ini, Amang merasa sungguh
menjadi lega seketika olehnya itu seakan dia mau melompat karena girang. Tapi Amang tidak
sampai begitu sikapnya. Sebab diketahuinya pula pasti Heitaisan tersebut merasa tersinggung
jadinya. Menurut Hirochin semua keputusan Bunken Kanrikan dibatalkan atas perintah Jenderal
Hitosyi Imamura dan perdana Menteri Hideki Tojo yang tahun 1944 datang di Betawi.
Pemerintah militer Jepang ini nampaknya seperti daun layu, barangkali itulah sebab
mereka melampiaskan dengan cara main pukul tempeleng terhadap rakyat. Kekasaran serupa ini
dianggapnya sebagai cendra mata buat daerah jajahan untuk selalu dikenang sewaktu-waktu
walaupun sudah puluhan tahun berpisah. Seperti tidak lagi mereka hiraukan rombongan pesawat-
pesawat pergi dan datang berakrobatik di angkasa kota Palu, memancing kalau-kalau ada peluru
meriam penangkis udara disemprotkan Jepang dari bawah, ternyata tak ada sama sekali. Memang
Jepang menyerbu kemari cuma pakai senjata ringan disamping keberanian yang luar biasa.

35
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Tak ada gairah lagi Jepang itu, suatu petanda bahwa kekalahan perang sudah hampir dan
sudah pula meleleh di depan mata. Walau demikian Amang tetap perihatin terhadap nasib ayahnya
dan pamannya serta kakak sepupunya Gunco. Siapa bisa menyangka kalau Kenpe Tai Sirabayasi
hendak ingin ambil kesempatan melampiaskan rasa dendamnya terhadap oknum anti penjajah dan
juga bekas pejuang jaman Belanda. Sudah tentu Jepang juga tahu segalanya, pemurka serta
pembenci pada penjajah Belanda diantara bekas raja selaku penguasa kerajaan di jaman Hindi
Belanda adalah penguasa kerajaan Dolo yang paling lama dan barulang kali mengadakan
perlawanan berdarah terhadap penjajah. Itulah sebabnya hanya bekas penguasa kerajaan Dolo
masuk calon pemenggalan leher.
Sanggupkah ayah bersama para calon lainnya akan melawan bila munculnya tiba-tiba
seperti tempo dulu, ketika mereka selalu membawa rakyatnya bersatu melawan serdadu Kompeni.
Barangkali benar juga kata ayah beberapa waktu lalu bahwa Jepang tidak akan berani melakukan
kekejaman atas mereka, begitu kata ayah. Sesaat mendengar berita yang santer di desas-desuskan.
Hanya tukang fitnah itu saja disembelihbatang lehernya kata ayah, sembari geram
Apakah ayah tahu siapakah pelaku yang tampil sebagai tukang fitnah itu. Tapi beliau
tidak kabarkan. Cukup mereka saja sebagai calonnya saja mengetahuinya. Tentu itu musuh kami
jaman Belanda dulu, kata ayah pula yakin. Siapa lagi kalau bukan mereka! Sambung Ayah tambah
yakin.
Bunken Kanrikan yang telah beberapa bulan tinggal di Dolo, beberapa hari lalu telah
kembali ditempat semula (Palu). Ini berarti, atau petanda bahwa Jepang tidak lagi datang mampu
meneruskan perang Dai Toesenso-nya, melawan tentara sekutu himpunan dari beberapa negara
besar eropa.
Angkasa kota Palu sekitarnya telah sepi selama beberapa minggu lewat ini. Pesawat sekutu
tidak lagi datang sebab mungkin sudah menganggap percuma karena perlawanan Jepang tidak
pernah ada. Petang itu hari minggu tanggal 15 Juni 1945, Amang baru kembali ke Kaleke dari
Biromaru setelah pagi tadi kesana untuk mohon pamit pada paman Madika Matua seisi rumah
tempat dia numpang selama sekolah menamatkan SD-nya disana.
Untuk melepaskan lelahnya, Amang duduk di kursi jati tua milik khusus tempat duduk
ayahnya, dekat jendela menghadap jalan. Amang duduk tenang disitu, menelentangkan kakinya
kakinya di atas palang jendela. Tak ada seorang pun dalam rumah ketika ia datang beberapa orang
lalu-lalang di jalan seperti tidak dihiraukannya. Di antaranya ada orang-orang Jepang seperti
Katairi, Tajima dan seorang lagi yang masih asing bagi Amang karena mungkin serdadu Jepang
kesasaran mereka itu, tentu dari rumah om Danco Daeng Mangeran.
Ketika serdadu Jepang itu lewat, Amang cuma membuang mukanya kearah lain karena tak
mau lagi memberi hormat kepada Jepang itu, jawab hatinya telah dijangkiti oleh perasaan jengkel,
mendengar orang tuanya bakal dipancung itu.
Suatu pagi awal bulan Juli, ayahnya berkata begini ;”tidak lama lagi bangsa kita dapat
rejeki besar dan mulia, ini mimpiku tadi malam, dan semoga ada buktinya nanti!” begitu bicara
ayah selesai shalat subuh. Mendengar ayahnya, Amang bertanya dalam hati, apakah ayah takut
mengatakan kebebasa atau kemerdekaan bangsa. Tapi tidak! Ayahku tidak pernah takut sejak
penjajahan Belanda tempo dulu. Kalau takut, cuma ayah mungkin ikut-ikutan bertempur bersama
kakaknya Datupamusu berkali-kali melakukan perlawanan sampai akhirnya karena digencet dan
diasingkan agar tak boleh lagi menguasai wilayah Dolo sampai kerajaan mereka kuasai.

36
Sekilas Sejarah Perlawanan Rakyat di Tanah Kaili

Kalimat mulia keluar dari mulut ayah tadi, mengandung kehendak memuliakan kami dan
generasi bangsa. Sedang kemulian itu sendiri, bagi suatu bangsa dan negara, sudah tentu berada di
dalam bangsa dan negara yang sdh merdeka serta berdaulat.
Begitulah kiranya arti mimpi ayah si Amang yang merenung ini. Dan Amang lalu mencatat
tanggal 5 Juli 1945 peristiwa mimpi ayahnya. Memang sejak pertengahan tahun lalu dikalangan
sipil dan militer Jepang telah mendapat firasat bahwa kekalahan sudah tak bisa lagi dihindarkan.
Cuma bagaimana caranya ditempuh, hingga kekalahan itu bisa disebut, kalah terhormat. Ucapan
seperti itulah mereka inginkan. Sementara ada seorang perwira Kolonel Makoto Mitsutani, anggota
staf umum angkatan darat berusaha menyakinkan P.M. Hideki Tojo agar Jepang minta berdamai
saja lebih baik. Akibat usul perwira tersebut, besok harinya dia digiring ke medan perang di daerah
cina.
Puluhan kota-kota besar kecil di Jepang telah hancur bersama korban manusia dan salah
satu diantaranya kota Nagoya. Jepang menderita parah dan rapuh akibat timpahan kelaparan yang
melanda negeri Sakura No Hana itu.
Tanggal 22 Juni lalu, kota Okinawa diduduki oleh tentara sekutu Amerika dan semakin
membawa malapetaka bagi negeri, saudara tua. Berkaitn dengan penghancuran hampir semua
wilayah Jepang sana, di Indonesia pun sudah pula mengalami bencana serupa. Berkali-kali telah
mengalami pemboman dan penghancuran termasuk moral bangsa penghuni ribuan pulau ini. Telah
amat banyak tugas yang sudah dapat diselesaikan, teristimewa negeri Jepang. Ya, kalau negeri
Jepang saja, biar lebur jadi laut, masa bodoh.
Sebagai akhir dan setelah ribuan liter darah mambasahi bumi negeri Jepang dan bumi
Indonesia selaku negeri jajahan tentar Nippon, maka tentara sekutu menjatuhkan bom atom di atas
kota Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 –9 Agustus 1945. Pada hari penghancuran itu, di
Indonesia segera pula tersebar berita tersebut, sehingga makin loyolah Bun Ken Kanrikan Palu.
bersama serdadunya.
Tanggal 15 Agustus tahun yang sama, kaisar Hirohito selaku Tenno Heika menyerah kalah
tanpa syarat pada tentara sekutu. Mendengar itu semua pemimpin bangsa Indonesia yang sejak
lama merindukan kemuliaan, kebersamaan seperti bangsa yang tidak pernah mengalami
penjajahan, mengucapkan “Alhamdulilah”. Yang paling gembira ketika itu ialah mereka yang
sudah jadi calon tebas leher seperti Datupalinge, Datupamusu, Gagaramusu dan Goncu Dolo R.M.
Datupamusu, tinggallah si pelapor serta pendendam pada mereka itu, menggigit bibir.
Benar juga kata ayah bahwa Jepang menjajah lamanya hanya seumur jagung, tafsiran ayah
seperti itu telah banyak di bicarakan diatas jauh sebelum cerita perang pasifik ini berakhir hingga di
sini. Dua hari kemudian kemerdekaan bangsa Indonesia di proklamasikan oleh Bung Karno Dan
Bung Hatta.

37

Anda mungkin juga menyukai