YAMIN
Ketika kecil , Muhammad Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat
dan agama hingga tahun 1914. Di zaman penjajahan, ia termasuk segelintir orang
yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat
pendidikan itulah, ia sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan
Belanda.
Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang
peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar
kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun.
Peran Muhammad Yamin bisa dilihat dalam Kongres Pemuda II. Muhammad
Yamin termasuk tokoh yang ikut merumuskan sumpah pemuda. Disana disepakati
penggunaan bahasa Indonesia.
Pada tahun 1938 hingga 1942, ia tercatat sebagai anggota Pertindo, yang
merangkap sebagai anggota Volksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’.
Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku
Muhammad Yamin dalam pemerintahan Indonesia antara lain sebagai Menteri
Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955),
Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara
(1961-1962).
Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya.
Barangkali hal ini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibunya
adalah keturunan kepala adat di Minangkabau.
Dengan demikian, dapat dipahami apabila ia tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal
yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah
dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan
Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari
tradisi sastra yang melingkunginya pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan
syair.
Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian
digunakannya sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk
soneta yang murni.
Karena itu, soneta Yamin bukanlah suatu adopsi bentuk eropa dalam
keseluruhan kompleksitas strukturalnya, tetapi lebih merupakan suatu pengungkapan
yang visual, sesuatu yang bersifat permukaan saja dari soneta Belanda, yang masih
memiliki ekspresi puitis yang khas Melayu.
Berikut ini ditampilkan sebuah soneta Yamin yang masih dilekati tradisi sastra
Melayu dan yang menggambarkan kerinduan dan kecitaan penyair pada tanah
kelahiran.
Di Lautan Hindia
Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku
Sebelah Timur pada pinggirku
Diliputi langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku
Di mana laut debur-mendebur
Serta mendesir tiba di papsir
Di sanalah jiwaku, mula bertabur
Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi barissan sebuah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku berkubur
Dalam kumpulan sajak ini, Yamin tidak lagi menyanyikan Pulau Perca atau Sumatera
saja, melainkan telah menyanyikan kebesaran dan keagungan Nusantara.
Keagungan dan keluhuran masa silam bangsanya menimbulkan pula kesadaran pada
diri Yamin bahwa:
Hal ini dapat dikatakan berpengaruh pada pandangan Yamin sebagai penyair
dan peranannya yang ingin disumbangkannya untuk kejayaan bangsa dan negaranya.
Sebagai pemuda yang mencita-citakan kejayaan masa depan bangsanya, ia tetap
mengenang kegemilangan masa silam bangsanya:
Penggalan sajak berikut ini juga memperlihatkan adanya kesadaran untuk memelihara
hasi-hasil yang pernah dicapai oleh para pendahulu bangsa dan menjadikannya
sebagai modal untuk meraih kegemilangan masa depan:
Di samping menulis sajak, misalnya Ken Arok dan Ken Dedes (1943) dan
Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932?). Yamin memang banyak menaruh minat
pada sejarah, terutama sejarah nasional.
Baginya sejarah adalah salah satu cara dalam rangka mewujudkan cita-cita
Indonesia Raya. Dengan fantasi seorang pengarang roman dan dengan bahasa
yang liris, ia pun menulis Gadjah Mada (1946) dan Pangeran Diponegoro (1950).