Anda di halaman 1dari 36

UNTOLD HISTORY OF PANGERAN DIPONEGORO

CATATAN PENULIS***)
Tahun 1647, Amangkurat I memancung kepala 6.000 ulama Jawa beserta keluarganya
di alun-alun Kraton Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah Jawa, paska era Wali Songo,
pun mandeg. VOC, sekutu utama Raja Mataramitu, bergembira.

Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan jihad fi sabilillah untuk


mengusir kaum kafir Belanda dan menegakkan panji syahadat di Tanah Jawa, dalam bentuk
sebuah negara merdeka berasaskan Islam. Jihad fi sabilillah ini oleh sejarawan Belanda
direduksi hanya sebagai perang sakit hati, yang hanya disebabkan perebutan tahta dan
persoalan tanah makam leluhur.

Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode Amangkurat I, Pangeran Diponegoro,


Sentot Alibasyah, Kiai Modjo, dan Patih Danuredjo pun kembali terjadi. Dalam bentuk yang
lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah sama. Persis sama… []

Dengan penuh hormat dan kebanggaan,

kupersembahkan kepada anak keturunan

dan keluarga besar Pangeran Diponegoro,

semoga kemuliaan perjuangan Beliau

menginspirasi hidup kita semua…

PROLOG

Plered, Jawa Tengah, 1647

APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri sungguh-
sungguh membuat Dyah Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu, kepala juru masak kraton
menyuruhnya membakar panci besi tebal. Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak
berani bertanya untuk apa panci besi itu dibakar. Sebagai orang baru di kraton, dia harus tahu
diri. Walau diliputi tanda tanya besar, namun gadis dari Krapyak ini tidak berani bertanya
macam-macam.

Setelah panci itu membara, berubah jadi pijar panas yang mengerikan, dua prajurit
Mataram menggotongnya dengan sebuah gerobak kayu ke bagian selatan alun-alun yang
tidak jauh dari tempat Dyah Jayengsari berdiri. Di sana berkerumun banyak orang. Para
prajurit juga berjaga-jaga Menurut kabar burung, seorang pemberontak pengikut Pangeran
Alit tertangkap. Dia akan segera dihukum. Gadis itu tidak tahu apa hubungannya dengan
panci panas itu.

Didorong penasaran, dia berjalan mendekati kerumunan. Dengan susah payah Dyah
Jayengsari menyibak kerumunan orang, hingga akhirnya dia berdiri dekat dengan seorang
lelaki paruh baya, bertelanjang dada, yang sedang duduk bersimpuh dengan tangan terikat.
Kedua matanya ditutup secarik kain hitam. Satu tombak di depan lelaki itu, terdapat sebuah
lubang seukuran badan orang dewasa. Lima prajurit kraton berjaga di sampingnya.

Tanda tanya besar masih memenuhi kepala gadis itu.

Tiba-tiba seorang prajurit Mataram yang bertindak selaku algojo memerintahkan agar
sang pesakitan dipendam di lubang yang ada di depannya. Lima orang prajurit bertubuh besar
yang berjaga di sekeliling lelaki itu bergegas mengangkatnya. Dengan kasar mereka
mengubur tubuh lelaki itu dari leher ke bawah.

Anehnya, lelaki itu tidak meronta-ronta. Ketika kain hitam dibuka, kedua matanya
tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sorot matanya begitu tenang, menyiratkan
kepasrahan yang total pada kehendak Yang Maha Kuasa. Mulutnya terlihat komat-kamit
membaca doa-doa dalam bahasa Arab.

Dari belakang, dua prajurit yang tadi ikut mengubur lelaki itu menggotong panci yang
masih membara dan kemudian segera menangkupkan panci itu ke kepala sang pesakitan.

“Allahu Akbar!!!”

Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan memilukan. Tak kuat menahan
sengatan sakit yang luar biasa, lelaki itu langsung pingsan. ‘Topi besi panas’ itu melumerkan
batok kepalanya. Suara gemerisik terdengar, seiring desis daging terbakar. Semua yang
menonton menjerit ketakutan. Termasuk Dyah Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat.
Perutnya mual. Pandangan matanya berkunang-kunang. Kesadarannya mulai hilang. Dyah
Jayengsari akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling ruangan. Tidak ada
kerumunan orang. Dia ternyata sendirian di bilik tidurnya. Mimpi itu ternyata terulang
kembali. Mimpi nyata yang pernah dilihatnya beberapa pekan lalu.
Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga menyisakan ruang bagi sorot
matahari yang menerobos ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa hari masih siang. Arah
sinarnya ke timur menandakan Sang Surya telah mulai tergelincir ke barat.

Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak. Keringatnya mengucur deras
membasahi bajunya. Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor relung dadanya. Baru saja
dia hendak berdiri, sebuah teriakan keras mengagetkan dirinya.

“Keluar! Atas nama Paduka Yang Mulia, semua yang ada di dalam rumah ini keluar!”

Dyah Jayengsari menggigil ketakutan. Gadis itu tahu, teriakan itu berasal dari prajurit
kraton.

Gerangan apa yang membuat mereka ke sini?

“Cepat keluar! Atau kami dobrak!”

Sambil berjalan, Dyah Jayengsari merenggut kerudung yang tersampir di bilik bambu
dinding kamar dan menutupi kepala sekadarnya. Gadis itu bergegas keluar. Rumah sepi.
Hanya ada dirinya. Benar saja, di depan pintu telah berdiri tiga orang prajurit kraton lengkap
dengan pedang dan tombak. Yang membuatnya kaget, ayahnya dan Wulung Ludhira-adik
satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun-sudah berada di antara pasukan itu dengan
pengawalan ketat.

“Siapa lagi yang ada di dalam!” hardik salah seorang prajurit. Tangan kanannya
menggenggam tombak dengan ujung besi mirip trisula.

“Tidak ada lagi, Tuan. Saya sendirian…,” jawab Dyah pelan. Ketakutan segera
menyergap dirinya. Tapi prajurit-prajurit kraton itu tidak percaya. Mereka mendobrak gubuk
itu lalu menerabas ke dalam. Sesaat kemudian mereka keluar tanpa membawa siapa pun.
Nihil.

“Dia benar. Tak ada lagi orang…”

Seorang prajurit yang sepertinya bertindak sebagai kepala regu memerintahkan


semuanya pergi ke alun-alun. Dyah Jayengsari, ayah, serta adiknya hanya bisa mengikuti
pasukan penjemputnya dengan menaiki seekor kuda yang telah diikat tali. Untunglah gubuk
mereka tidak begitu jauh dengan alun-alun, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah tiba
di lapangan yang luas, di mana di sebelah selatannya berdiri bangunan Kraton Plered yang
belum rampung dibangun. Walau demikian, Raja Amangkurat I sudah menempatinya.

Kraton Mataram Plered merupakan kraton baru. Yang lama berada di Kerto, lima
kilometer selatan Kotagede. Adalah Susuhunan Amangkurat I yang memindahkan pusat
kerajaannya itu dari Kerto setelah dua tahun berkuasa.

Berbeda dengan kraton lama yang hanya berpagar kayu, maka kraton baru ini lebih
mirip sebuah benteng. Bangunannya dikelilingi dinding batubata dan semen, dengan tinggi
lima sampai enam meter. Tebalnya mencapai satu setengah meter. Sebuah parit buatan yang
terhubung dengan Kali Opak dibuat mengelilingi kraton-benteng berbentuk belah ketupat ini,
sehingga pusat kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I tampak seperti sebuah pulau di
kelilingi daratan luas.

Alun-alun kraton ada dua, di utara dan selatan. Antara alun-alun dengan istana
dihubungkan dengan sebuah jembatan yang selalu dijaga ketat prajurit kraton. Model
keraton-benteng ini mengingatkan kita pada model istana-benteng raja-raja Eropa.

Hanya saja, bangunan Keraton Mataram di Plered tidak dibuat tinggi bertingkat-
tingkat.

Dari atas kudanya yang berjalan lambat, Dyah Jayengsari, Wulung Ludhira, dan Ki
Ageng Ludhira baru memasuki jalan utama menuju alun-alun kraton. Di sisi kanan dan kiri
jalan utama yang lurus terbuat dari tanah yang dipadatkan, berjejer beringin putih setinggi
empat sampai lima meteran. Di tiap pohon beringin, dua pasukan kraton bersenjatakan
tombak berdiri dalam sikap siaga seolah tengah bersiap berperang.

“Ada apa gerangan, Nduk?” bisik Ki Ageng Ludhira kepada anaknya yang duduk di
belakangnya mengapit Wulung.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Aku ndak tahu, Pak. Tapi perasaanku ndak
enak.”

“Berdoa saja ya, Nduk. Perasaanku juga tidak enak. Mudah-mudahan tidak terjadi
suatu apa.”

Walau berkata begitu, tetapi kedua mata Ki Ageng Ludhira tidak bisa membohongi
anaknya. Dyah Jayengsari tahu jika sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Apa yang
dilakukan prajurit-prajurit ini pasti atas perintah Susuhunan Amangkurat I. Dan semua yang
dilakukan raja lalim ini semuanya pasti berakhir tragis. Karakter raja ini sangat buruk. Dia
amat berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumah, dan juga dengan adik-
adiknya.

Di awal kekuasaannya,
Amangkurat I melakukan pembersihan
terhadap loyalis ayahnya sendiri yang
berada di dalam lingkungan kraton
maupun di luar. Mereka dibunuh dengan
cara yang sangat keji. Jumlahnya
mencapai tiga ribuan.

Menurut bisik-bisik orang kraton


sendiri, Amangkurat I memiliki
kegemaran yang tidak lazim. Selain memiliki nafsu yang tak pernah terpuaskan terhadap
perempuan-perempuan muda, raja ini juga gemar menyiksa rakyatnya. Bahkan sang raja
menciptakan sendiri cara-cara penyiksaan yang teramat sadis, terlebih kepada orang-orang
yang dicurigai hendak melawan kekuasaannya. Cara-cara penyiksaan ala Amangkurat I di
antaranya adalah:

Pertama, dari bagian atas telinga, kepala pesakitan dikuliti sampai batok kepalanya
terlihat. Orang-orang yang mendapat hukuman ini kebanyakan meninggal dunia. Namun ada
pula yang masih bisa bertahan hidup walau kemudian akhirnya juga menemui ajal dengan
amat menyakitkan.

Kedua, kaki pesakitan diikat, lalu digantung dengan posisi kepala di bawah. Di bawah
kepala, ditaruh panci panas berukuran besar berisi minyak yang mendidih. Kemudian, kepala
orang itu dicelupkan ke dalam minyak yang bergolak sampai sebatas telinga hingga rambut
dan kulit kepalanya mengelupas. Semua yang mengalami siksaan jenis ini menemui ajal
karena sakit yang tak terperikan.

Ketiga, siksaan yang tak kalah menakutkan adalah si terhukum diperintahkan untuk
mengenakan topi besi yang tebal yang telah dipanaskan hingga menjadi merah membara.
Rambut akan hangus, kulit kepala terkelupas dan gosong, dan otaknya akan terbakar. Tak ada
yang selamat dari jenis siksaan seperti ini.

Dan sore ini, sesuatu yang mengerikan sepertinya akan terjadi. Dyah Jayengsari
mendapati dirinya tidak sendirian. Dari berbagai arah, juga berdatangan—mengalir bagai air
bah—ribuan ulama, guru ngaji, anak-anak santri dan santriwati, beserta seluruh keluarganya,
yang seluruhnya digiring dan dijaga ketat pasukan Mataram ke alun-alun. Semuanya
dikumpulkan di lapangan yang luas hingga tercipta lautan jubah putih.

Di tanah lapang itu mereka semua dikumpulkan menjadi satu. Semuanya, tanpa
kecuali, disuruh duduk bersila di atas tanah menghadap ke arah timur di mana sebuah bukit
yang tidak begitu tinggi tampak memanjang searah dengan aliran Kali Opak. Ribuan orang
itu, besar dan kecil, tua dan muda, duduk di atas tanah dalam barisan yang diatur paksa oleh
para prajurit.

Di sekeliling lapangan, tiga lapis pasukan Mataram bersenjata pedang dan tombak
mengepung orang-orang itu dalam formasi siaga. Agaknya Amangkurat I memerintahkan
semua pasukannya mengepung alun-alun dengan rapat, hingga tak ada celah untuk
meloloskan diri.

Ketika hari sudah mulai gelap, ribuan ulama, santri, dan keluarganya dilarang untuk
menunaikan sholat maghrib. Para prajurit mengancam, siapa pun yang ketahuan mengerjakan
sholat, akan langsung ditebas lehenya. Beberapa ulama tidak mengindahkan ancaman itu dan
tetap mengerjakan sholat, walau sambil duduk. Celakanya, hal itu diketahui para prajurit.
Tanpa ampun lagi, mereka memenggal leher beberapa ulama tersebut dengan pedangnya.
Jerit dan tangis segera pecah di tengah kerumunan massa. Namun suasana dengan cepat jadi
senyap kembali karena para prajurit itu lagi-lagi mengeluarkan ancamannya akan melakukan
hal yang sama jika ada yang berani berteriak atau membuat ribut.
Dalam kesenyapan yang mencekam itu tiba-tiba semua mata melihat ke arah pintu
gerbang kraton yang menuju ke bukit di sebelah timur alun-alun yang tanpak bercahaya. Dari
gapura batu kali setinggi enam meteran, serombongan orang dengan membawa tiang obor
keluar dari dalam kraton. Di belakang pasukan obor terlihat sepuluh orang anggota Trisat
Kenya, pasukan khusus pengawal raja yang semuanya terdiri dari perawan cantik dengan
pakaian lelaki bersulam emas, terlihat menyandang pedang dan tombak. Di bawah cahaya
ratusan obor, pasukan itu terlihat begitu anggun dan gagah.

“Trisat Kenya…,” ujar Dyah Jayengsari lirih. Ayahnya hanya mengangguk-anggukan


kepalanya. Bibirnya yang sudah kering karena tidak diberi air minum sejak berada di alun-
alun, terus bergerak-gerak melantunkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Bola kecil di
tenggorokannya terus bergerak-gerak tak pernah berhenti.

Ki Ageng Ludhira dan juga Dyah Jayengsari tahu, Trisat Kenya merupakan pasukan
khusus pengawal Susuhunan Amangkurat Agung I yang semuanya terdiri dari para perawan
cantik yang dibekali olah kanjuragan tingkat tinggi. Disebut sebagai pasukan pengawal
khusus karena tugas seorang Trisat Kenya bukan saja bertanggungjawab terhadap keamanan
dan keselamatan fisik sang raja, namun juga wajib menjaga kewibawaan dan melindungi
rahasia sang raja dalam hal yang paling pribadi sekali pun.

Pasukan ini merupakan hal yang baru dalam tradisi Mataram Islam. Adalah Kanjeng
Ratu Ibu yang membentuk pasukan ini untuk menjaga Amangkurat I. Sang Ibu sungguh-
sungguh paham jika sejak kecil Amangkurat I yang memiliki perangai buruk, memang punya
banyak musuh. Jauh di dalam hatinya, Kanjeng Ratu Ibu sesungguhnya menyesal dan
meratapi keberadaan Raden Mas Sayidin, nama kecil dari Susuhunan Amangkurat I, yang
bersifat kurang baik, beda dengan adiknya, Pangeran Alit.

Raden Mas Sayidin sangat temperamental, kekanak-kanakan, dan memiliki


kegemaran yang tidak masuk akal dan tidak terpuaskan terhadap perempuan. Pada tahun
1637, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, Raden Mas Sayidin sudah terlibat dalam
skandal memalukan yang melibatkan isteri seorang abdi dalem senior, Tumenggung
Wiraguna. Tumenggung kepercayaan Sultan Agung ini melaporkan hal itu kepada Sultan
Agung. Akibatnya Raden Mas Sayidin dihukum. Untuk beberapa lama, dia dibuang ke hutan
larangan.

Kejadian ini kelak menimbulkan dendam membara di dada putera mahkota tersebut,
sehingga di awal kekuasaanya, Raden Mas Sayidin yang telah menjadi Susuhunan
Amangkurat I membunuh Tumenggung Wiraguna dan seluruh pengikutnya.

Namun sebagai seorang ibu, apa dan bagaimana pun juga perangai sang anak, dia
tetaplah harus menjaga dan melindungi anaknya, bahkan walau nyawanya sendiri jadi
taruhan. Itulah yang dilakukan Kanjeng Ratu Ibu yang berinisiatif membentuk pasukan
khusus pengawal raja.

Awalnya, Kanjeng Ratu Ibu—alias Ratu Wetan, puteri dari Tumenggung Upasanta
yang merupakan Bupati Batang keturunan dari Ki Juru Martani—menginginkan sang raja
dijaga prajurit lelaki pilihan. Namun Amangkurat I sendiri menolaknya dan mengatakan dia
tidak bisa mempercayai laki-laki sedikit pun. Anaknya itu meminta agar seluruh anggota
pasukan pengawal khususnya hanya terdiri dari para perempuan muda, masih perawan, dan
tentu saja harus cantik.

“Mereka harus dilatih dengan keras agar terampil menggunakan senjata, dan juga
harus dibekali olah kanuragan yang mumpuni,” ujar Amangkurat I kepada Kanjeng Ratu Ibu.
“…dan tugas atau keanggotaan setiap Trisat Kenya hanya akan berakhir manakala mereka
dihadiahkan kepada para adipati atau bawahanku.”

Sang ibu hanya bisa mengangguk. Setiap keinginan sang raja bagaimana pun adalah
sabda pandhita ratu, yang tidak bisa ditolak sedikit pun. Akhirnya terbentuklah pasukan Trisat
Kenya yang seperti sekarang tengah berjalan dengan langkah tegap menaiki bukit di timur
alun-alun.

Sepuluh Trisat Kenya yang berbaris paling depan adalah pembuka jalan. Di
belakangnya, sepuluh abdi dalem laki-laki bertelanjang dada tanpa dibekali senjata,
menggotong tandu besar berisi kursi raja yang terbuat dari jati yang berat, lengkap dengan
atapnya yang berumbai sutera dan bordiran benang emas. Di sekeliling raja, tigapuluh
anggota Trisat Kenya berjaga. Ada yang membawa pedang, keris, tombak, dan juga tulup,
sejenis sumpit panjang yang diisi dengan panah kecil yang ujungnya beracun. Masing-masing
Trisat Kenya punya keahlian berbeda dalam penggunaan senjata dan juga ilmu kanuragannya.

Pelan tapi pasti, rombongan raja itu bergerak menaiki puncak perbukitan. Beberapa
lelaki tua pembawa tiang obor setinggi dua tombak berada paling depan membuka jalan. Di
bagian paling belakang juga ditutup sejumlah abdi dalem laki-laki sepuh memegang tiang
obor. Ketika singgasana diturunkan di tempat yang paling tinggi, para abdi dalem laki-laki
semuanya langsung turun kembali ke bawah bukit. Demikian pula dengan yang membawa
obor. Sehingga sekarang hanya ada sang raja yang duduk dengan pongahnya di atas
singgasana, dikelilingi empatpuluhan Trisat Kenya lengkap dengan senjatanya.

Suasana kemudian bertambah hening. Kesenyapan selama beberapa menit itu


sungguh-sungguh meremas jantung. Semua mata memandang ke atas bukit, menanti apa
yang hendak dilakukan atau diperintahkan oleh sang raja. Untuk beberapa lama sang raja
hanya duduk diam di atas singgasananya. Mungkin dia tengah menikmati lautan jubah putih
yang memenuhi alun-alun yang berada di bawah kakinya. Entah apa yang ada di dalam
benaknya ketika itu.

Dyah Jayengsari, Ki Ageng Ludhira, dan ribuan orang lainnya yang masih duduk di
alun-alun melihat dari kejauhan ketika Susuhunan Amangkurat I mulai bergerak turun dari
singgasananya. Dia berjalan beberapa langkah ke depan, dan berdiri dengan kedua tangan
berkacak pinggang.

Raja lalim itu terus berdiri dengan tegak. Kedua tangannya masih berkacak pinggang.
Dia mengedarkan pandangan ke bawah kakinya, menyapu seluruh areal alun-alun kratonnya.
Bibirnya yang menghitam mencibir. Sorot matanya yang dipenuhi dendam kesumat berbinar-
binar tanda puas. Kepalanya mengangguk-angguk. Dengan tangan kanan masih berkacak
pinggang, tiba-tiba tangan kirinya diangkat ke atas tinggi-tinggi. Sebuah perintah yang hanya
dipahami seluruh pasukannya yang sedari sore telah siap dengan senjatanya.

“Habisi !!!” teriak para komandan regu dengan suara yang menggelegar

Seketika itu juga berlompatanlah para prajurit itu dengan pedang terhunus ke tengah-
tengah lapangan yang dipenuhi lautan manusia tanpa daya. Dengan teramat ganas, pasukan
Mataram itu menyabetkan pedangnya ke kanan dan kiri, memenggal leher siapa pun yang ada
di dekatnya tanpa pandang bulu, apakah itu laki-laki tua, perempuan, bahkan anak kecil. Jerit
tangis, lolong kesakitan, dan kumandang doa memenuhi angkasa alun-alun kraton malam itu.
Namun tak ada yang sanggup menghentikan kegilaan yang tengah dipertontonkan pasukan
Mataram yang notabene kebanyakan juga sudah memeluk agama Islam.

Di atas bukit, Amangkurat I masih berkacak


pinggang menyaksikan pembantaian besar yang
dilakukan prajuritnya terhadap enam ribuan ulama,
santri, dan seluruh keluarganya. Kepalanya
mengangguk-angguk puas. Sesekali jemarinya
memilin kumisnya yang tebal melintang. Dia benar-
benar menikmati pemandangan di bawahnya.
Betapa ribuan orang yang tengah menanti ajal itu
sebentar lagi akan lenyap dari muka bumi. Musuh-
musuhnya akan semakin sedikit. Dan dia akan bisa
berkuasa dengan tenang, tanpa diusik oleh siapa
pun.

Raja Jawa itu merasa sangat aman berada di


atas bukit. Di sekelilingnya berdiri dengan
kewaspadaan penuh puluhan Trisat Kenya.

Dalam waktu teramat singkat, ribuan nyawa melayang dengan kepala terpisah dari
jasadnya. Tanah alun-alun yang begitu luas seketika berubah menjadi lautan darah. Dari
cahaya ratusan tiang obor yang menyala di sekeliling alun-alun, terlihat pasukan Mataram
yang sudah belepotan darah itu masih saja bergerak buas membunuh ke sana-kemari tanpa
perlawanan. Pasukan yang sebagian pernah ikut menyerang VOC di Batavia semasa
kekuasaan Sultan Agung itu kini berbalik menjadi mesin penjagal bagi bangsanya sendiri.

Pembantaian yang sangat mengerikan itu berlangsung tidak sampai setengah jam!

Tiba-tiba terdengar lengkingan peluit panjang tiga kali yang ditiup para pimpinan regu
pasukan. Penyembelihan telah berakhir. Semua orang yang ada di dalam daftar berikut
keluarganya sudah dihabisi. Mendengar isyarat peluit itu, Amangkurat I mengangkat tangan
kanannya tinggi-tinggi.

Buang semua mayat itu ke parit!


Sebagian prajurit yang masih bersiaga dengan pedang terhunus berjajar satu lapis
dalam jarak tiap lima tombak mengepung alun-alun. Pedang dan badan mereka belepotan
darah. Prajurit yang lain menyambut datangnya gerobak-gerobak dorong yang sudah
dipersiapkan sebelumnya. Gerobak-gerobak itu segera saja diisi dengan mayat-mayat tanpa
kepala dan kepala tanpa jasad hingga penuh. Setelah gerobak penuh, prajurit yang membawa
gerobak itu mendorongnya ke arah parit buatan dan membuang semua isinya ke dalam parit
yang berair deras menuju ke Kali Opak. Berkali-kali mereka melakukan itu, mondar-mandir
bagai kereta maut, hingga tak satu pun jasad tersisa.

Air parit dan Kali Opak yang tadinya jernih berubah menjadi kental berwarna merah.
Bau anyir darah tercium di mana-mana.

Tanpa diketahui siapa pun, Wulung Ludhira, bocah sepuluh tahun adik dari Dyah
Jayengsari, ternyata masih hidup. Tubuhnya yang kecil tertutup oleh mayat-mayat tanpa
kepala yang sebagiannya menindih tubuhnya. Anak yang sudah ditinggal ibunya sejak bayi
itu menggigil ketakutan. Ayah dan kakak satu-satunya sudah meninggal dengan cara yang
sangat mengerikan. Dia ingin menjerit dan menangis. Tapi suaranya tercekat oleh kengerian
yang teramat sangat. Bocah itu hanya bisa diam tak bergerak. Tubuhnya dirasa amat lemas
dan juga kaku. Seluruh badan, kepala, dan rambutnya basah oleh darah kental yang
membanjir di sekitarnya.

Tiba-tiba Wulung Ludhira merasakan tubuh kecilnya ikut digotong dan dilempar ke
dalam gerobak bersama belasan mayat lainnya. Ditumpuk begitu saja menjadi satu. Bocah itu
sungguh-sungguh ketakutan. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Dia nyaris tidak bisa
bernafas.Tapi itu malah menyelamatkan nyawanya.

Bocah kecil itu bisa merasakan jika gerobaknya ditarik dengan kasar oleh sejumlah
prajurit. Roda-rodanya yang terbuat kayu dilapis karet hitam berderak-derak sebentar, lalu
berhenti. Wulung Ludhira bisa merasakan gerobak tiba-tiba miring. Dia bersama belasan
mayat tanpa kepala dan kepala tanpa jasad yang masih hangat itu pun langsung meluncur
bebas ke dalam parit yang deras airnya. Dia pun hanyut di parit yang sudah dipenuhi mayat.

Walau pandai berenang, namun bocah itu kesulitan menggerakkan tubuhnya


disebabkan mayat dan kepala ada di mana-mana. Dengan menahan kengerian yang teramat
sangat, dia berpegangan pada salah satu kaki jasad yang mengambang. Bocah kecil itu terus
mengikut kemana air membawanya.

Pekatnya malam membuatnya tak terlihat oleh pasukannya Amangkurat I yang masih
sibuk membersihkan alun-alun. Bocah kecil itu kelelahan. Semua kejadian malam itu
menguras seluruh tenaga dan perasaannya. Akhirnya Wulung Ludhira pingsan. Dia terus
hanyut dibawa air hingga jauh dari alun-alun. Hingga tubuhnya tersangkut akar beringin yang
menjulur ke Kali Opak, beberapa kilometer ke selatan Kraton Plered.

Entah sudah berapa lama Wulung Ludhira tak sadarkan diri. Ketika siuman, matahari
sudah berada di atas kepalanya. Bocah kecil itu mendapati dirinya masih tersangkut suluran
akar beringin yang tumbuh di pinggir kali. Sebagian badannya masih terendam di bawah air
kali. Di beberapa tempat, jasad tanpa kepala dan kepala tanpa badan juga tersangkut.
Kengerian yang teramat sangat kembali menyergapnya. Walau seluruh tubuhnya sakit, dan
juga lelah, dengan sisa-sisa tenaga bocah kecil itu berusaha merangkak naik ke pinggir kali,
hingga dia tergeletak di atas rerumputan, satu meter dari air kali.

Entah kini dia berada di mana. Bocah itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Tidak ada rumah barang satu pun. Yang ada hanya hamparan rumput dengan tiga pohon
beringin besar yang tumbuh di dekat dirinya. Lainnya hanya berupa semak dan tumbuhan
perdu. Anak kecil itu tidak tahu nama tempat ini. Perutnya yang tidak terisi sejak kemarin
terasa perih. Tubuhnya dirasa makin lemah. Dia menggigil kedinginan. Bocah itu akhirnya
tak sadarkan diri kembali. Dia tergeletak begitu saja di atas rerumputan, dinaungi pohon
beringin besar yang ada didekatnya.

Tak lama kemudian, seorang lelaki tua bertelanjang dada, dengan kepala ditutupi
caping yang sudah kusam, mendekati bocah itu dengan hati-hati. Ketika mendapati ada bocah
kecil yang menggeletak di atas rumput, lelaki tua itu mengusap kepala Wulung Ludhira
dengan lembut. Bibirnya yang sudah sedikit keriput tersenyum tulus. Dengan penuh hati-hati
akhirnya dia menggendong bocah itu dan bergegas pergi menghilang begitu saja ke arah
barat.

Bab 1

178 tahun kemudian…

Gua Selarong, Yogyakarta, 1825

NYALI LEBIH PENTING KETIMBANG OTAK! Walau malam ini gelap gulita, tak
ada bulan dan bintang yang menggantung di atas langit, namun Ki Singalodra tidak perduli.
Lelaki kekar dengan wajah berewokan itu terus memacu kudanya seperti dikejar setan. Derap
kaki kudanya menggetarkan bumi. Kepulan debu yang ditinggalkannya membentuk tabir
pekat yang tak tembus pandang. Semua hewan malam menyingkir dari jalan jika tak ingin
tergilas kegilaan kuda dan penunggangnya itu.

Jagoan dari Dusun Ngampilan ini memegang tali kekang hanya dengan sebelah
tangan. Tangan yang satunya lagi memeluk seorang bocah kecil yang tubuhnya berlumuran
darah. Bocah itu sudah tak bernyawa. Tubuh mungilnya bergerak-gerak, seirama gerak kuda
yang terus berlari dengan amat cepat bagai terbang di atas tanah.
Dada Ki Singalodra sungguh-sungguh sesak, terbakar amarah. Setengah jam lalu
dusunnya dibakar Belanda. Celakanya, saat itu dia tengah berada di dusun tetangga.
Mendengar kabar mengejutkan itu, dia langsung pulang untuk menyelamatkan isteri dan
anaknya. Namun terlambat. Gubuknya sudah terbakar habis. Seluruh isinya tlah jadi arang.
Asap masih mengepul. Bara masih menyala merah di mana-mana. Dengan histeris tanpa
memperdulikan bara yang terinjak kaki dan hawa panas yang masih menyengat kulit, lelaki
itu terus mencari isteri dan anak semata wayangnya itu. Tapi nasi sudah jadi bubur. Isterinya
ditemukan tergeletak tak bernyawa di dekat sumur. Perempuan yang sangat dicintainya itu
terlihat sedang memeluk anaknya yang nyaris seluruh tubuhnya terbakar.

Dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan sekaligus kemarahan yang amat


sangat, lelaki itu berteriak histeris.

Dia segera mengambil anak itu dan memeluknya. Setelah mencium kening isterinya
untuk yang terakhir kali, Ki Singalodra langsung melompat ke atas kuda hitamnya. Dengan
sekali gebrak, kuda itu melesat pergi meninggalkan dusunnya.

Londo anjing!!!

Belanda telah menggali kapak peperangan dengan dirinya! Sia-sia saja selama ini dia
mengabdi pada mereka, jika balasan yang diterimanya ternyata seperti ini! Tekadnya telah
bulat. Yang dulu kawan mulai malam ini menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan
bergabung dengan pasukan Kanjeng Pangeran Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan
untuk memerangi Belanda dari Tegalredjo dan Selarong.

Aku akan menjadi pedang yang paling tajam bagi Gusti Kanjeng Pangeran!

Bagi warga Merapi hingga sekitar Laut Kidul, nama Ki Singalodra sudah tak asing
lagi. Sejak pulang dari bertapa dan berguru di berbagai gua, lembah, dan gunung beberapa
tahun lalu, Ki Singalodra kembali ke dusunnya di Ngampilan dan menantang semua jagoan di
sana. Tidak saja di Ngampilan, lelaki ini juga berkeliling untuk mengadu kesaktian melawan
para jagoan lainnya di sekitar Merapi, Merbabu, Dieng, dan Lawu. Walau sempat beberapa
kali kepayahan dan menderita luka dalam sejumlah perkelahian, namun kecerdikan dan
kenekatannya membuat dirinya keluar sebagai pemenang. Sosok Ki Singalodra menjadi
sosok yang ditakuti. Dia pun akhirnya bisa mempersunting gadis idaman hatinya, bunga
Dusun Ngampilan, yang sejak kecil telah mencuri perhatiannya.

Ketenaran namanya didengar langsung Residen Yogyakarta. Pejabat Belanda ini


akhirnya memerintahkan kepala pasukan setempat untuk merekrutnya. Tetapi karena Ki
Singalodra tidak mau ditempatkan sebagai kepala regu pasukan reguler yang harus bekerja
tiap hari dan wajib memiliki disiplin tinggi, akhirnya dia dipekerjakan sebagai tenaga khusus.

Sekarang, Ki Singalodra sama sekali tidak menyangka. Pengabdiannya yang total


selama ini kepada Belanda, ternyata dibalas dengan sangat menyakitkan.

Ibarat pepatah, air susu dibalas dengan air tuba.


Sebab itu, tidak ada jalan lain. Mulai malam ini, dia akan mengubah haluan hidupnya
seratus delapan puluh derajat. Dendamnya teramat sangat besar. Darah harus dibalas dengan
darah. Nyawa harus diganti nyawa. Kedua matanya merah menyala-nyala.

Belanda, Patih Danuredjo, dan orang-orang kraton cecunguk asing itu sekarang
menjadi musuh terbesarku!

Kedua mata jagoan dari Dusun Ngampilan itu lagi-lagi melotot garang. Dadanya
sesak oleh amarah dan dendam.

Jalan tanah selebar tiga meter di depannya mulai menanjak lurus. Sebentar lagi dia
akan tiba di pelataran menuju Gua Selarong, di mana Kanjeng Pangeran tengah berada.
Mengingat sosok Pangeran Diponegoro, hatinya diliputi perasaan yang aneh. Antara
semangat yang membara dan kerinduan yang teramat sangat.

Inilah jalanku!

Tiba-tiba kudanya berhenti dan mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi.


Ringkikannya memecah keheningan malam yang sepi. Hampir saja Ki Singalodra terjatuh
jika dia tidak kuat menahan tali kekangnya. Dia segera merapatkan tubuhnya dengan leher
kuda sehingga keseimbangannya tetap terjaga. Sebelah tangannya tetap kuat mendekap tubuh
anaknya. Tak jauh di depannya, empat lelaki dengan mengenakan baju wulung hitam dan ikat
kepala yang juga hitam mencegatnya dengan tombak dan pedang terhunus. Salah satunya
membawa obor di tangannya.

“Berhenti!” teriak mereka.

“Hendak kemanakah kisanak dan siapa yang digendong itu!” teriak salah satunya.
Dengan penuh kewaspadaan, lelaki yang satu itu mendekati Ki Singalodra dari sisi kanan.
Sedangkan yang satunya lagi bergerak menyamping ke sisi yang berlainan. Dua lelaki lainnya
masih berdiri menghadang dengan senjata terhunus.

Ketika lelaki itu melihat wajah Ki Singalodra dengan jelas, wajah yang tak asing lagi
dan sangat ditakuti orang-orang kampung, nyalinya agak bergetar. Namun bayangan sosok
Kanjeng Pangeran Diponegoro yang setiap waktu memberinya nasehat keagamaan membuat
dirinya kuat dan berani.

“Takutlah kalian hanya kepada Allah Subhana wa Ta’ala, bukan kepada mahluk-Nya.
Allah Maha Kuat, sedang mahluknya sangatlah lemah…”

Tangan lelaki itu memperkuat genggaman tangannya pada gagang pedangnya,


“Ternyata kau Singalodra. Hendak kemana engkau malam ini dan siapa lagi itu yang kau
bunuh!”

Dengan penuh amarah, Ki Singalodra menjawab, “Ini anakku! Minggir kalian semua!
Isteri dan anakku mati malam ini dibunuh Belanda! Aku mau menghadap Gusti Kanjeng
Pangeran!”
Keempat lelaki yang menghadangnya tak percaya.

“Apa katamu? Bukankah engkau pelayan kafir Belanda! Janganlah berdusta.


Pulanglah sekarang. Kembalilah kepada tuanmu itu sebelum kami membunuhmu!”

“Wahai prajurit, aku bicara jujur. Aku sekarang ingin menghadap Gusti Kanjeng
Pangeran. Aku mau bergabung dengan kalian. Jika kalian masih saja menghadangku, maka
terpaksa tanganku ini yang akan berbicara!” bentak Ki Singalodra dengan suara mengguntur.
Semua orang tahu, Ki Singalodra memiliki ajian Brajamusti, suatu ilmu pukulan yang sangat
mematikan. Bahkan korbannya bisa hangus terkena pukulan itu.

Keempat lelaki bersenjata pedang dan tombak itu bergerak mundur sesaat, namun
mereka masih mengepung Ki Singalodra dengan penuh kewaspadaan. Pedang dan tombak
masih terhunus. Masing-masing terdiam sejenak dalam situasi saling menunggu. Namun tiba-
tiba suara derap kuda terdengar mendekat dari arah Gua Selarong.

“Tunggu! Berhenti! Siapa itu!”

Dalam formasi masih mengepung Ki Singalodra, keempat prajurit itu menoleh ke arah
datangnya suara. Dari pekatnya malam, muncul seorang penunggang kuda dengan wajah
yang sangat berwibawa. Sorot matanya tajam dengan kumis melintang. Ki Singalodra tahu,
lelaki ini pastilah Ki Guntur Wisesa, seorang ulama yang juga pendekar dari lereng utara
Gunung Merapi yang telah bergabung dengan barisan perlawanan Kanjeng Pangeran
Diponegoro sejak dua tahun lalu. Dia belum pernah bertanding dengan orang ini karena Ki
Guntur selalu saja menghindar dan sama sekali tidak tertarik untuk melakukan uji kesaktian
melawannya.

Ketika melihat Ki Singalodra yang berkuda sambil menggendong seorang bocah yang
berlumuran darah, Ki Guntur Wisesa menyapanya lembut, “Assalamu’alaikummusalam
warahmatullahi wabarakatuh, wahai Singalodra. Apa gerangan yang membawamu ke sini!
Anak siapa yang kau bawa itu?”

Ketika mendengar sapaan yang lembut, hati Ki Singalodra yang tadinya panas
mendadak sejuk, bagai bara api tersiram air pegunungan.

“Wa’alaikumusalam… Aku ingin bergabung dengan barisan Kanjeng Gusti Pangeran,


wahai Ki Guntur Wisesa. Ini anakku, Surya Mandriga. Dia mati dibunuh Belanda tadi malam,
juga isteriku… Izinkan aku menghadap Kanjeng Gusti Pangeran sekarang juga.”

Ki Guntur Wisesa bergerak meminggirkan kudanya, memberi jalan pada tamunya.

“Silakan Kisanak. Kami akan mengawal Kisanak sampai di atas sana…”

“Terima kasih, Ki Guntur…”


Ki Singalodra mengangguk takzim pada ulama-pendekar itu dan kembali memacu
kudanya, namun tidak sekencang tadi. Kuda Ki Guntur Wisesa berjalan di depan. Sedangkan
keempat anak buahnya mengapit di kiri kanan dan belakangnya. Mereka beriringan melintasi
jalan utama yang terus menanjak menuju Gua Selarong yang berada di bawah sebuah bukit
batu yang besar.

Setibanya mereka di pelataran yang landai di mana di hadapan mereka terbentang


batu karang yang besar dengan sebuah tangga batu menuju ke atas, Ki Guntur Wisesa
memberi aba-aba dengan sebelah tangannya yang diangkat ke atas.

“Ya, kita berhenti sampai disini. Kita turun dan berjalan kaki ke atas sana.”

Ki Guntur yang mengenakan pakaian serba putih melompat dari kuda dan
menambatkannya pada salah satu pokok pohon yang ada di pinggir pelataran. Ki Singalodra
juga melompat turun dari kudanya sambil masih menggendong Surya Mandriga.

“Mari Kisanak, ikut aku,” ajak Ki Guntur Wisesa. Dia menghampiri Ki Singalodra
dan menawarkan diri untuk membantu menggendongkan anaknya. Namun Ki Singalodra
menolaknya.

“Biar aku saja… Tolong tunjukkan saja jalannya.”

Kemudian Ki Guntur memerintahkan seorang anak buahnya berlari terlebih dahulu ke


atas untuk memberitahukan kedatangan Ki Singalodra kepada Kanjeng Pangeran
Diponegoro. Anak buah itu segera berlari ke atas.

“Sekarang kita tunggu dulu disini, Kisanak…,” ujar Ki Guntur.

Ki Singalodra menganggukkan kepala dan tetap berdiri dengan tegap di ujung bawah
susunan bebatuan yang membentuk anak tangga menuju ke gua yang ada di atasnya.

Tak lama kemudian, anak buah yang tadi ke atas tampak berlompatan menuruni anak
tangga yang sama. Dia langsung melapor kepada Ki Guntur yang berdiri di sisi kanan Ki
Singalodra.

“Kanjeng Gusti Pangeran siap menerimanya….”

Anak buah itu kemudian bergerak menggeserkan badannya ke samping, memberi


jalan kepada Ki Guntur dan Ki Singalodra. Keduanya lalu berlompatan bagai Kijang Kencana
menaiki tangga batu yang cukup curam. Hanya dengan beberapa kali hentakan loncatan,
badan mereka sudah melambung ke atas dengan cepat. Keempat prajurit muda yang
melihatnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub. Mereka segera menyusul
kedua orang itu dengan berlari menaiki tangga.

Setibanya di atas, Ki Singalodra tampak sedang diterima Pangeran Diponegoro.


Ustadz Muhammad Taftayani, Pangeran Ngabehi Jayakusuma alias Pangeran Bei[1], Ki
Guntur Wisesa, dan beberapa alim-ulama lainnya yang seluruhnya berpakaian putih-putih
tampak mendampinginya.
Semuanya menyandang senjata. Ada yang menyelipkan keris di pinggang, ada pula
yang memegang pedang.

Sebagaimana kawulo-alit yang bertemu dengan rajanya, sambil terus memeluk jasad
anaknya, Ki Singalodra segera berlutut. Dengan kepala menunduk, lelaki dengan janggut dan
cambang yang lebat ini berkata pelan, “Kanjeng Gusti Pangeran, hamba….”

Belum selesai lelaki itu mengucapkan perkataannya, Pangeran Diponegoro yang


mengenakan jubah serba putih lengkap dengan surban hijau lembut yang menutupi sebagian
kepalanya menyapa dengan lembut,

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh wahai Ki Singalodra… Semoga


Allah Subhana wa ta’alaselalu melindungi, merahmati, dan memberkati Kisanak…”

Badan Ki Singalodra menggigil mendengar suara yang sangat berwibawa itu. Entah
mengapa, mendengar salam dari orang-orang berjubah itu dia merasakan satu getaran yang
aneh di dalam dirinya. Getaran yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Ki Singalodra
tidak berani mengangkat wajahnya dari tanah. Dia tidak menjawab apa pun. Bibirnya yang
juga bergetar bagaikan terkunci rapat.

[1] Putera Sultan Hamengku Buwono II.


“Bangunlah saudaraku. Tidak perlu berlutut seperti itu. Kita adalah sama. Semua
manusia itu sederajat. Yang membedakan di antara manusia bukanlah keturunan, pangkat,
atau jabatan, melainkan ketakwaannya kepada Allah subhana wa ta’ala…,” ujar Diponegoro
lagi.

Lelaki dengan pakaian serba hitam itu perlahan bangun dan berdiri. Tangannya tetap
memeluk jasad anaknya dengan erat. Ki Singalodra masih saja tidak berani menatap langsung
wajah Diponegoro. Dia hanya melihat ke bawah.

“Gerangan apa yang membuatmu ke sini Kisanak?”

“Maafkan saya Kanjeng Gusti Pangeran… Saya ingin bergabung dengan Kanjeng
Gusti Pangeran…”

Diponegoro tersenyum. Ustadz Muhammad Taftayani yang berdiri di samping


Diponegoro membisikkan sesuatu ke telinga anak didiknya itu, “Sebaiknya kita urus dahulu
jenazah anak itu…”

Pangeran Diponegoro mengangguk dan memanggil dua pengawalnya untuk mengurus


jenazah anak dari Ki Singalodra itu.

“Maafkan saya Kisanak. Sebaiknya jenazah anak Kisanak diurus terlebih dahulu
dengan baik. Sebagai Muslim, kita wajib memperlakukan jenazah dengan layak. Serahkan
saja pada kita…”
Ki Singalodra segera menuruti perkataan Diponegoro. Dengan hati-hati dan berlinang
airmata dia menyerahkan jenazah puteranya itu kepada dua orang pengawal yang segera
menyambutnya.

Setelah jenazah anak itu dibawa, Pangeran Diponegoro berkata kembali, “Nah,
apakah seorang Ki Singalodra sungguh-sungguh ingin berjihad di sisi kami dalam
menegakkan kalimah tauhid di tanah Jawa ini? Mengusir kaum kafir Belanda dari negeri
ini?”

Dengan mantap lelaki itu mengangguk, “Ya, Kanjeng Gusti Pangeran. Saya
bersungguh-sungguh.”

“Apakah Kisanak mengetahui apa yang sedang kami perjuangkan disini?”

“Melawan Belanda…?”

“Itu betul. Namun tujuan kami lebih mulia dari itu semua. Belanda bukanlah musuh
kami. Sebagaimana kami tidak memusuhi Danurejo dan orang-orangnya. Musuh kami adalah
kekufuran dan kezaliman. Itu yang kami perangi. Kami tidak memerangi orang, tapi kami
memerangi sistem yang melawan perintah Allah. Kami memerangi sistem thagut.”

“Thagut…?”

“Ya. Sebelum bergabung dengan kami, sebaiknya Kisanak bisa memahami dengan
benar apa yang harus diperjuangkan oleh kita semua, kaum Muslimin, di dalam hidupnya.
Untuk itu, jika tidak keberatan,Kisanak terlebih dahulu akan mengikuti pengajian yang akan
disampaikan Ki Guntur atau Ustadz Taftayani. Beliaulah yang akan menerangkan kepada kita
semua tentang apa dan bagaimana seharusnya berperang di dalam Islam. Saya pun saat ini
masih selalu belajar memperdalam ilmu agama. Mari kita sama-sama belajar mendalami
ilmu, karena itu adalah perintah agama.”

“Berperang di dalam Islam..?”

“Ya. Itu benar, Kisanak. Jihad fi sabilillah namanya. Semuanya nanti akan diterangkan
oleh ustadz-ustadz yang ada di sini. Dan satu lagi…”

Ki Singalodra mengkerutkan dahinya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang


dimaksudkan dengan perang dalam Islam. Baginya perang adalah membunuh musuh
sebanyak-banyaknya, mengalahkannya, hingga musuh takluk. Itu saja.

Pangeran Diponegoro melanjutkan kalimatnya, “…semua yang ada disini harus


memperbaharui akidahnya. Jika Kisanak bersedia, silakan mengikuti perkataan saya
sekarang. Bagaimana?”

Lelaki berewokan itu menganggukkan kepalanya, “Baik Kanjeng Gusti Pangeran,


saya bersedia.”

“Nah, sekarang ikuti perkataan saya...”


Di depan gua yang gelap pekat tanpa penerangan obor, dengan perlahan namun jelas,
Pangeran Diponegoro berjalan mendekati Ki Singalodra yang masih berdiri mematung. Tanpa
ragu Diponegoro mengangkat kedua tangannya memegang kedua bahu lelaki itu. Kemudian
dia mulai mengucapkan dua kalimah syahadah yang diikuti kata demi kata oleh Ki
Singalodra.

“Asyhadu ala Ilaha Ilallah… wa asyhadu alla Muhammad ar-Rasulullahu... Saya


bersaksi, tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi
Muhammad adalah Rasul utusan Allah…”

Dengan terbata-bata, jagoan dari Dusun Ngampilan yang jika mendengar namanya
saja orang kebanyakan bisa gemetar itu mengucapkan dua kalimah syahadat. Ki Singalodra
cukup cerdas. Sekali saja Diponegoro menuntunnya, dia sudah bisa mengikutinya. Setelah
selesai, semuanya mengucapkan syukur.

“Alhamdulillahi Rabb al’Amien…“

Pangeran Diponegoro kemudian langsung memeluk Ki Singalodra dengan hangat.


Bagai pelukan seorang kekasih yang lama tak berjumpa. Sama sekali tidak ada kecanggungan
tampak di sana. Diponegoro, sang putera Sultan Hamengku Buwono III, dengan sangat akrab
dan hangat memeluk erat seorang jagoan yang tangannya banyak berlumur darah orang lain.
Hal ini langsung membuat hati Ki Singalodra luluh. Lelaki ini lumer dan menangis terisak.

“Dosa-dosaku sudah banyak, Kanjeng Gusti Pangeran… Apakah ada cara untuk
menebusnya agar nanti saya bisa berkumpul dengan anak dan isteriku di surga?”

Pangeran Diponegoro masih memegang kedua bahu Ki Singalodra. Kedua matanya


yang tajam tapi menyejukkan menatap langsung ke dalam mata lelaki itu.

“Saudaraku, Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Semua dosa umat-Nya akan
diampuni asalkan kita mau bersungguh-sungguh bertobat, terkecuali dosa syirik, yaitu dosa
karena menyekutukan Allah dengan sesuatu. Dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni.”

“Bagaimana caranya agar saya bisa kembali berkumpul nanti dengan keluargaku di
surga?” ulang Ki Singalodra.

“Berjihadlah dengan ikhlas, semata-mata demi tegaknya tauhid. Li ila kalimatillah.


Asal kita tidak berhutang pada orang lain, setiap orang yang menemui kematian di jalan
jihad, syahid fi sabilillah, dijamin Allah langsung masuk surga…tanpa dihisab.”

Kedua mata Ki Singalodra berbinar. Wajahnya menjadi cerah. “Terima kasih, Kanjeng
Gusti Pangeran. Terima kasih. Saya akan berjihad disamping Paduka.”

Ustadz Taftayani maju ke depan. Dia kemudian menyalami dan juga memeluk Ki
Singalodra. Setelah itu salah seorang guru dari Pangeran Diponegoro ini berdiri dan
memberikan sambutannya, “Dahulu ketika menghadapi kaum musyrikin Quraisy, Allah
subhana wa ta’ala mengirimkan seorang Hamzah bin Abdul Muthalib, untuk memperkuat
barisan kaum Muslimin. Hamzah adalah Singa Allah dan Rasul-Nya. Dialah yang menjadi
pahlawan Perang Badr dan Uhud. Dan sekarang, Allah subhana wa ta’ala mengirimkan bagi
kita seorang Ki Singalodra yang gagah berani. Insya Allah, dengan izin Allah, dengan
bergabungnya Ki Singalodra, barisa kita akan bertambah kuat. Cahaya kemenangan semakin
dekat. Saya yakin, Ki Singalodra adalah Hamzah yang dikirimkan Allah kepada kita. Allahu
akbar!”

“Amien ya Rabb! Allahu akbar!” teriak semua yang ada disitu.

Bab 2

ISLAM TIDAK PERNAH BERSEKUTU DENGAN THAGUT


Islam tidak pernah bersekutu dengan Thagut, sebagaimana air yang tidak pernah
bersatu dengan minyak, atau pun al-haq yang tidak akan pernah berdamai dengan kebathilan.
Ustadz Muhammad Taftayani menegaskan salah satu prinsip Islam ini di dalam setiap
pengajiannya. Seperti juga malam ini, digelar ‘taklim dadakan’ yang hanya diikuti tujuh
orang anggota pasukan baru, yakni Ki Singalodra dan enam orang lainnya yang di antaranya
para senopati terpilih yang sengaja dikirim oleh Raja Surakarta, Kanjeng Susuhunan Paku
Buwono VI[1] yang juga merupakan keponakan Diponegoro. Hal ini dilakukan Paku
Buwono VI untuk membantu persiapan perjuangannya pamannya itu.

Selain sejumlah senopati pilihan, Susuhunan Paku Buwono VI juga mengirimkan


pasukan-pasukan kraton terlatih dan dana perang yang tidak sedikit.

Di dalam gua dengan penerangan sebuah obor kecil di sudut belakang, terhalang tiga
gundukan batu yang besar, Ustadz Taftayani duduk bersila di atas batu datar menghadap ke
bagian pintu gua. Dari tempat bersilanya, ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di
Tegalredjo tersebut bisa melihat dua sosok prajurit yang berjaga di pintu masuk gua. Walau
hanya duduk, tidak berdiri seperti layaknya orang yang tengah berjaga, namun mereka tetap
waspada.

[1] Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI lahir di Surakarta, 26 April 1807 dan meninggal
dalam pembuangan Belanda di Ambon, pada tanggal 2 Juni 1849. Nama aslinya Raden Mas
Sapardan. Beliau naik tahta dalam usia 16 tahun dan setahun kemudian, dalam usia 17 tahun,
beliau telah menjadi pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro yang loyal walau terikat
perjanjian dengan Belanda. Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849.
Menurut keterangan resmi Belanda, beliau meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut.

Di tahun 1957, jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, kompleks
makam keluarga raja Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak
Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal TNI Pangeran Haryo
Jatikusumo (putera Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle.
Ditinjau dari letak lubang, kematian Pakubuwana VI jelas ditembak pada bagian dahi, bukan
kecelakaan.

Malam ini, setelah bergabungnya Ki Singalodra ke dalam barisan Mujahidin, beserta


sejumlah orang baru, Ustadz Muhammad Taftayani segera menggelar pengajian yang
bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang perjuangan yang tengah dipersiapkan
melawan kafir Belanda dan antek-anteknya. Semua anggota pasukan Diponegoro harus
memiliki persepsi yang sama di dalam jihad fi sabilillah, sebab itu, setiap ada anggota baru
yang bergabung, maka dia setidaknya harus melewati tiga tahapan penting: bertobat dan
memperbaharui syahadatnya, serta memiliki pemahaman yang lurus dan benar tentang makna
jihad di Jalan Allah.
Materi pertama malam ini adalah akidah atau Panji Syahadatain. Salah satu bagiannya
mengupas tentang Thagut atau ‘tuhan yang lain’.

Dengan suara yang pelan namun jelas, Ustadz Taftayani menerangkan, “…Thaghut
merupakan tuhan selain Allah subhana wa ta’ala. Segala pandangan hidup, keyakinan,
hukum, norma, peraturan, tradisi, dan sebagainya yang tidak berasal dari hukum Allah, atau
malah bertentangan dengan syariat dan akidah Allah, maka itulah Thagut… Apakah ada yang
ingin bertanya?”

Ki Singalodra mengacungkan tangannya, “Ustadz, apakah bea kerig-aji[2]juga bisa


dianggap sebagaiThagut?”

“Bea kerig aji, sama saja dengan bea pacumpleng[3], bea pangawang-awang[4], bea
pajigar[5], bea wikah-welit[6], bea pajongket[7], bea bekti[8], bea jalan, bea pertunjukan[9],
bea penimbangan[10], dan banyak lagi yang lainnya.

[2] Pajak atas kepala atau pajak yang dikenakan pada setiap orang, besar dan kecil tanpa
perkecualian. [3] Pajak atas pintu rumah. [4] Pajak atas pekarangan rumah.

[5] Pajak atas hewan ternak.

[6] Pajak atas kepemilikan lahan kebun atau sawah, walau luasnya hanya sedikit.

[7] Pajak yang dikenakan bila hendak pindah rumah.

[8] Pajak jika seseorang bertukar tuan tanah atau majikan.

[9] Pajak pertunjukkan resminya dikenakan pemerintah kepada warga desa jika ada pertunjukkan
kesenian atau hiburan lainnya. Namun nyatanya, walau tidak pernah ada pertunjukkan hiburan,
rakyat tetap diharuskan membayar jenis pajak ini.

[10] Pajak penimbangan padi dilakukan ketika panen. Tapi faktanya, seperti juga pajak
pertunjukkan, padi-padi hasil panen para petani tidak pernah ditimbang, namun tetap dikenakan
pajak. Bahkan banyak petani miskin diwajibkan kerja di lahan pertanian milik bupati tanpa
dibayar sepeser pun.

Semua ini merupakan sebagian kecil dari banyak sekali jenis-jenis pajak yang
dibebankan penjajah kafirin Belanda kepada rakyat kecil. Jika tidak salah, sekarang ini ada
lebih dari 34 jenis pajak yang harus dibayarkan rakyat kepada pemerintah kafir Belanda.
Berbagai pajak ini amat menyusahkan rakyat kecil yang memang hidupnya melarat.
Kezaliman ini tentu bertentangan dengan Islam. Dan sistem kekuasaan seperti ini, dimana
rakyatnya hidup susah, namun para pejabatnya hidup bermewah-mewah, jelas merupakan
sistem Thagut. Sistem ini harus diakhiri, dihancurkan, dan diganti dengan sistem yang
adil….”

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” Tiba-tiba Pangeran Diponegoro


sudah berada di dalam gua bergabung dengan mereka.
“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh...,” jawab Ustadz Taftayani dan
seluruh yang hadir. Sang Pangeran kemudian duduk bersila di belakang Ki Singalodra. Ketika
menyadari siapa yang duduk di belakangnya, lelaki brewokan itu segera bergeser untuk
memberi ruang kepada Diponegoro. Dia benar-benar tidak enak hati jika harus duduk
membelakangi Kanjeng Pangeran. Tetapi Diponegoro dengan lembut malah menahannya.

“Biarlah saya di sini saja. Kisanak tetap di situ…,” bisiknya sambil tersenyum.

Ki Singalodra tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap duduk pada tempatnya semula.
Walau hatinya merasa teramat sungkan.

“Pangeran,” ujar Taftayani. “… kita disini sedang membahas pajak dan Thagut.
Apakah ada yang ingin ditambahkan?”

“Apakah soal pajak di Tanah Jawa ini sudah disinggung, Ustadz?”

“Sedikit. Silakan paparkan…”

Diponegoro terdiam seperti tengah mencari sesuatu. Mungkin kalimat pembuka. Dia
kemudian mulai berbicara. Suaranya terdengar halus, namun mengandung kekuatan.

“Pajak awalnya diniatkan sebagai salah satu cara untuk mengisi pundi-pundi kas suatu
negeri, agar negeri tersebut dapat mengelola dan membangun wilayahnya, termasuk
rakyatnya…,” paparnya.

Kemudian dia melanjutkan, “…Keberadaan pajak sangat penting, jika suatu negeri
memang tidak punya sumber lain yang bisa dimanfaatkan, misalnya sumber daya atau
kekayaan alam. Namun tidak di Tanah Jawa, tidak juga di Nusantara. Allah subhana wa ta’ala
telah menitipkan sebagian kekayaan yang ada di surga di tanah ini. Tanah ini sangat subur.
Emas permata ada di mana-mana. Belum lagi kekayaan alam lainnya, baik yang ada di darat,
laut, maupun udara. Kalau dikelola dengan baik, negeri ini bisa memakmurkan rakyatnya
tanpa memungut pajak sedikit pun. Memungut pajak di negeri yang kaya seperti di Tanah
Jawa ini adalah haram hukumnya…”

Ki Singalodra dan keenam orang lainnya hanya tertegun mendengar kalimat yang
disampaikan Pangeran Diponegoro. Sangat jelas dan tegas.

“Lantas mengapa kafir Belanda memajaki rakyat kita seperti sekarang? Bahkan
orang-orangnya Patih Danuredjo juga memusuhi rakyatnya sendiri…” tanya Pangeran
Diponegoro. Kemudian dia sendiri yang menjawabnya, “Karena kafir Belanda adalah
penjajah bagi bangsa ini. Penjajah selalu melakukan perampokan terhadap bangsa yang
dijajahnya. Baik perampokan yang dilakukan terang-terangan, juga perampokan yang
dilakukan secara diam-diam, atau berkedok macam-macam, ya seperti pajak yang sekarang
ada. Pajak sekarang ini sudah menjadi sumber bagi pejabat untuk memperkaya diri sendiri
dan keluarganya. Para pejabat di negeri ini kian hari kian rakus dengan kelezatan dunia.
Kegilaan mereka ini tidak pernah terpuaskan. Yang menjadi korban adalah rakyat
kebanyakan…”
“Apakah sebab itu kita harus memerangi mereka? Bagaimana berperang atau jihad
fisabilillah itu?” tanya salah seorang senopati yang kemarin baru dikirim Paku Buwono VI.

Diponegoro menengokkan wajahnya ke arah Ustadz Taftayani. Namun ustadz itu


malah mempersilakan Diponegoro untuk menanggapinya, “Silakan Pangeran…”

“Perang di dalam Islam bersifat membebaskan,” jawab Diponegoro, “…sebab itu, jika
suatu kota atau negeri telah ditaklukkan oleh kaum Muslimin, maka istilahnya bukanlah
penaklukan, kalah, dan sebagainya, tetapi Futuh. Futuh berasal dari bahasa arab yang berarti
‘pembebasan’ atau ‘membebaskan’. Membebaskan dari apa? Yaitu membebaskan manusia
dari penghambaan kepada selain Allah subhana wa ta’ala, baik itu ketundukan kepada hukum
yang zalim, sistem yang salah, penguasa yang korup, dan sebagainya. Itulah esensi perang di
dalam Islam, membebaskan manusia dari kebathilan dan kezaliman…”

Mendengar itu, Ustadz Taftayani tersenyum puas. Dia benar-benar menyayangi murid
yang satu ini. Ulama rendah hati dari tanah seberang ini tahu jika Pangeran Diponegoro, yang
terlahir dengan nama Bendoro Raden Mas Mustahar, yang kemudian dikenal sebagai
Bendoro Raden Mas Ontowiryo, pada 11 November 1785 di Kraton Yogyakarta ini memiliki
banyak keistimewaan.

Diponegoro[11] adalah anak tertua dari Sultan Hamengku Buwono III dan Raden Ayu
Mangkarawati. Ketika melihat dan memangku bayi Diponegoro, Sultan Hamengku Buwono I
haqul yaqin jika suatu hari nanti Diponegoro akan tumbuh menjadi pembebas rakyat dari
kezaliman dan kesengsaraan.

“Bayi ini akan menjadi orang yang memimpin perang besar untuk mengusir penjajah
Belanda dari tanah Jawa. Dia akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar pada kafir
Belanda. Dia akan menjelma menjadi orang besar yang dicintai rakyatnya, melebihi diriku,”
tegas Sultan Hamengku Buwono I yang juga kakek buyut dari Diponegoro. Sebab itu, Sultan
secara khusus mengamanahkan agar bayi Diponegoro kelak diasuh dan dididik permaisurinya
sendiri, Ratu Ageng.

Di masa itu, perempuan-perempuan dan laki-laki Jawa-termasuk di kalangan


bangsawan kraton-lazim menikah di usia yang masih relatif sangat muda. Ketika Diponegoro
dilahirkan, Raden Ayu Mangkarawati, sang ibu, masih berusia 14 tahun, dan ayahnya 16
tahun[12]. Dan sudah menjadi kelaziman jika sang anak kemudian diasuh oleh nenek atau
buyutnya. Hal ini merupakan tradisi leluhur agar sang anak mendapatkan pendidikan dan
pengasuhan yang benar dari seseorang kerabat yang jauh lebih matang dan dewasa. Suatu
konversi budaya yang saat ini sudah punah.
[11] Nama asli Diponegoro adalah Bendoro Raden Mas (BRM) Mustahar. Lahir di keraton
Jogyakarta, pada Jum’at Wage, 7 Muharram Tahun Be (11 Nopember 1785). Tahun 1805, Sultan
HB II mengganti namanya menjadi Bendoro Raden Mas (BRM) Ontowiryo. Adapun nama
Diponegoro dan gelar Pangeran baru disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.

[12] Bendoro Raden Mas Mustahar atau Bendoro Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran
Diponegoro dilahirkan 11 November 1785. Ayahnya, Raden Mas Surojo atau yang kemudian
dikenal sebagai Hamengku Buwono III dilahirkan pada 20 Februari 1769.

Sesuai amanah khusus dari Hamengku Buwono I, bayi Diponegoro diasuh oleh nenek
buyutnya, Ratu Ageng. Ratu Ageng dikenal sebagai seorang permaisuri yang sangat taat pada
agama dan luas ilmunya. Sampai tahun 1792, ketika suaminya masih berkuasa, Ratu Ageng
mengasuh Diponegoro di kraton dan kemudian meneruskannya di Puri Tegalredjo setelah
suaminya wafat.

Selain seorang pendidik, Ratu Ageng juga merupakan Panglima Bregada Langen
Kesuma-kesatuan pasukan elit khusus perempuan pengawal raja, seperti hanya Trisat Kenya
di zaman Amangkurat I-pada masa kekuasaan Mangkubumi.

Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus pengawal raja yang sangat
tangguh. Walau semua anggotanya perempuan, namun pasukan berkuda ini dilengkapi
dengan senjata api laras panjang dan pendek, pedang, keris, tombak, trisula, dwisula, dan lain
sebagainya. Keterampilan mereka dalam olah senjata dan olah kanuragan jangan diragukan
lagi.

Ada sebuah kisah yang terjadi pada bulan Juli 1809. Ketika itu Marshall Hermann
Wilhelm Daendels berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam salah satu
jamuan penyambutan, diperlihatkan atraksi dari Bregada Langen Kesuma dan dia terkagum-
kagum melihat atraksi pasukan khusus perempuan ini. Sejarawan Carey mengatakan jika
Langen Kesuma merupakan satu-satunya kesatuan militer pribumi yang mampu membuat
Daendels berdecak kagum ketika melihatnya.

Selain Daendels, J. Greeve bersama Residen Surakarta Hartsinch juga pernah


menyaksikan Bregada Langen Kesuma ini. Mereka disambut dengan salvo senapan dan
meriam yang dipergilirkan dengan amat sempurna.

Markas dari kesatuan istimewa ini berada di Pesanggrahan Madyaketawang.


Lapangan latihan menembak bagi pasukan ini berada di alun-alun Pungkuran, di selatan
kraton. Serat Rerenggan Karaton, Pupuh XXII, Sinom, menyebutkan:

“Sanggrahan Madya Ketawang, lamun miyos Sri Bupati, pratameng Langenkusuma,


lir priya praboting jurit, tinonton saking tebih, saengga priya satuhu, samya munggeng
turangga, myang yen gladhi neng praja di, angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran.”
Artinya lebih kurang sebagai: “Di Pesanggrahan Madyaketawang, dan datanglah Sri
Bupati (maksudnya Sri Sultan) untuk menyaksikan mereka, seorang perempuan yang menjadi
pemimpin pasukan Langen Kesuma, penampilannya mirip prajurit lelaki, dilihat dari jauh,
tampak seperti prajurit laki-laki sungguhan, semua naik kuda, menuju tempat latihan di
ibukota, yaitu di Alun-alun Pungkuran.”

Selain menempa pasukan khusus perempuannya dengan ilmu perang dan kanuragan,
Ratu Ageng juga membekali mereka dengan ilmu agama sehingga pakaian pasukan ini
terbilang sangat sopan, dengan tetap mengedepankan kebebasan gerak untuk berperang. Ratu
Ageng sebagai pengasuh Pangeran Diponegoro adalah panglima pasukan khusus ini. Bukan
hanya sebagai panglima, Ratu Ageng juga merupakan seorang permaisuri raja yang sangat
peduli dengan nilai-nilai keislaman. Sebab itulah, selain menempa seorang Diponegoro
dengan cara-cara seorang ksatria, Ratu Ageng juga membekali cicit kesayangannya ini
dengan ilmu agama yang cukup dalam.

Namun berbeda sikapnya dengan Diponegoro, terhadap anak kandungnya sendiri


Ratu Ageng malah tidak akur. Ini disebabkan karena Raden Mas Sundoro dianggap tidak taat
dalam menjalankan perintah agama, walau Raden Mas Sundoro sendiri dikenal sangat anti
terhadap penjajah Belanda.

Sebab itulah, ketika Hamengku Buwono I turun tahta dan digantikan oleh Raden Mas
Sundoro yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono II di tahun 1792, Ratu Ageng
memilih untuk keluar dari lingkungan kraton yang dianggapnya sudah cemar oleh tradisi
kafir Belanda. Ratu Ageng lebih memilih tinggal di sebuah dusun terpencil yang kelak
dikenal sebagai Tegalredjo, berjarak sekira tiga kilometer barat kraton. Diponegoro ikut
diboyong keluar dari kraton dan tinggal di dusun di tengah-tengah rakyatnya sendiri.

Dari Kraton, Puri Tegalredjo tepat berada di arah barat laut, arah yang dijadikan kiblat
bagi umat Islam di Nusantara untuk sholat. Di dalam kompleks puri, Ratu Ageng juga
membangun sebuah masjid di sebelah barat laut bangunan utama puri yang berupa pendopo
utama.

Karena dibesarkan dalam lingkungan kawulo alit atau rakyat kecil, maka dalam jiwa
seorang Diponegoro tumbuh rasa kepedulian yang sangat besar kepada orang-orang kecil.
Apalagi sejak kecil Diponegoro melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa seorang Ratu
Ageng, permaisuri seorang raja, tidak merasa rendah ketika harus bergaul dengan kawulo alit.
Bahkan Ratu Ageng ikut terjun langsung bercocok tanam di sawah dengan kaki dan tangan
penuh lumpur. Ratu Ageng harus bekerja, karena dia harus menghidupi keluarganya sendiri
disebabkan dia menolak bantuan keuangan dari kraton yang dianggapnya sudah dikotori oleh
kemaksiatan dan kezaliman.

“Akan jauh lebih mulia di hadapan Allah jika aku bekerja dengan tangan dan kakiku
sendiri, ketimbang hidup dengan bertumpu pada uang kotor yang berasal dari memeras
keringat dan darah rakyat!” tegasnya.
Diponegoro juga melihat betapa Ratu Ageng sangat gandrung pada literatur-literatur
keagamaan, sejarah, dan juga sastra, sehingga rumahnya yang sederhana di Tegalredjo
bagaikan sebuah perpustakaan kecil. Sebaliknya, terhadap harta benda, Ratu Ageng tidak
memiliki minat yang besar. Dia hanya memiliki barang-barang primer yang memang
dibutuhkan dalam rumah tangga seperti kebanyakan orang.

Semua pengajaran yang diberikan Ratu Ageng dan para ulama yang dipanggil
maupun yang didatangi langsung oleh Diponegoro muda menyebabkan Pangeran Diponegoro
menjadi seorang pemuda yang bersahaya. Seluruh kehidupannya diusahakan dengan keras
mengikuti teladan Rasulullah SAW. Dia sering menyamar sebagai orang kebanyakan,
mengenakan ikat kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Diam-diam dia sering membaur
bersama para santri di pondok-pondok pesantren di pedesaan dengan menggunakan nama
samaran Ngabdurakhim. Di saat samarannya hampir terbongkar, dia akan segera pindah ke
pondok pesantren yang lain. Selain itu, Diponegoro juga senang mengembara, keluar masuk
hutan, tinggal di gua-gua untuk menyendiri, dan menatap lama-lama deburan ombak dan
langit Laut Kidul.

Pangeran Diponegoro tahu betul, kehidupan para pembesar kraton yang sebagian
besar masih kerabatnya, kian hari malah kian jauh dari tuntunan agama. Para pejabat kraton
yang notabene sudah memeluk Islam, semakin hari malah semakin mesra dengan kafir
Belanda. Islam bagi mereka hanyalah identitas formal, sedangkan kelakuannya sudah tidak
ada beda lagi dengan kelakuan kaum kafir Belanda yang menyukai dansa-dansi sampai pagi,
minum-minuman keras, gila harta dan judi dengan taruhan gadis-gadis penari.

Martabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tadinya begitu tinggi dan mulia
kini sudah cemar, dikotori kafir Belanda dan sebagian besar pembesar kraton sendiri yang
sudah lupa dengan jatidirinya.

Sebab itu, ketika Hamengku Buwono III, ayah kandungnya, hendak menobatkannya
sebagai putera mahkota-walau Diponegoro bukan berasal dari permaisuri, namun selir-
dengan tegas dia menolaknya. Ustadz Taftayani tahu, penolakan Diponegoro lebih
disebabkan ketidaksukaannya terhadap campur tangan Belanda dalam kekuasaan kraton.
Bahkan pengangkatan seorang raja pun harus disetujui Belanda dan Residen Belanda-lah
yang melantik seorang raja. Diponegoro amat muak dengan semua ini. Itulah yang
melatarbelakangi penolakannya untuk menjadi raja di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dengan penuh keikhlasan, dia menunjuk adiknya yang masih belia, Raden Mas Jarot,
untuk menerima posisi sebagai putera mahkota. Dihadapan orang-orang terdekatnya,
Diponegoro ketika itu mengatakan,

“Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, tolong
ingatkan pada saya, bahwa saya bertekad tidak mau dijadikan pangeran mahkota, walau pun
seterusnya akan diangkat menjadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin itu
terjadi. Cukuplah saya menjadi seperti apa yang ada sekarang, dekat dengan Gusti Allah dan
rakyatku. Saya bertobat kepada Allah Yang Maha Besar. Hidup di dunia tiada akan lama dan
saya tidak ingin hidup saya ini nantinya dikotori oleh kafir Belanda. Saya tidak ingin hidup
dengan menanggung dosa…”[13]

Bagi Diponegoro, kehidupan penuh glamor di dalam kraton sama sekali tidak menarik
hatinya. Baginya kraton adalah tempat yang penuh dengan dosa, dan dia tidak mau ikut
terkotori. Diponegoro lebih menyukai hidup dan berada di tempat yang sepi, untuk mencari
kesejatian dan makna hidup, menggali ilmu agama, dan pengetahuan yang bermanfaat.

[13] Kalimat yang diucapkan Pangeran Diponegoro ini tertulis di dalam Babad Diponegoro jilid I
hal.39-40.

Seorang Diponegoro lebih menyukai menjalin silaturahim dengan para alim-ulama


dan rakyat biasa, ketimbang berdekat-dekatan dengan penguasa. Sejumlah ulama besar yang
dekat dengan Diponegoro antara lain Kiai Muhammad Bahwi, penghulu utama kraton, lalu
Haji Baharudin yang menjadi Komandan Pasukan Suronatan, Kiai Kasongan, Kiai Papringan,
juga dengan Kiai Baderan ayah dari Kiai Mojo, dan lain-lain. Dan seorang Ustadz
Muhammad Taftayani merasa bersyukur bisa menjadi salah satu guru bagi orang yang berhati
mulia ini.

“Ustadz… silakan lanjutkan paparannya. Saya hendak keluar dahulu,” ujar Pangeran
Diponegoro membuyarkan semua ingatan Muhammad Taftayani[14] tentang murid
kesayangannya itu.

“Astaghfirullah.. saya melamun. Silakan Pangeran. Dan karena hari sudah semakin
malam, pengajian kali ini kita cukupkan sampai disini dahulu. Mudah-mudahan iman Islam
yang kita miliki mampu untuk mengikat hati kita semua dalam perjuangan yang sebentar lagi
akan mendatangi kita. Cepat atau lambat, semuanya akan diuji oleh perjuangan ini. Saya
berdoa agar Allah subhana wa ta’ala nanti memasukkan dan mengumpulkan kita semua di
dalam jannah-Nya. Amien ya Rabb. Apakah kisanak semua masih ada pertanyaan?”

Ketujuh lelaki dewasa yang ada di hadapan Ustadz Taftayani saling berpandangan dan
kemudian menggelengkan kepala.

“Baiklah. Nanti kita akan berkumpul kembali dalam pengajian berikutnya. Untuk saat
ini saya cukupkan.Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.“

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab semuanya.


[14] Menurut laporan Residen Belanda tahun 1805, Ustadz Taftayani yang berasal dari
Sumatera Barat itu mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah
mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta,
Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa
Jawa. Ini mengindikasikan, Pangeran Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A.
Steenbrink, 1984, “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19″, Penerbit Bulan
Bintang, Jakarta hal. 29).

Pengajian telah berakhir malam itu. Para prajurit ada yang beristirahat, ada pula yang
bertugas jaga. Sedangkan dua senopati, sejumlah sesepuh, dan pimpinan pasukan lainnya
bergabung di sebuah rumah yang cukup besar di bagian bawah Gua Selarong. Seperti yang
dilakukan setiap malam, semuanya akan mendengar pemaparan perkembangan terakhir
situasi Yogyakarta dan juga kraton dari para telik sandiatau mata-mata yang dikirim ke
berbagai tempat. Pangeran Diponegoro akan langsung memimpin pertemuan tersebut.
Bab 3
Suromenggolo bersama tiga lelaki lainnya sudah duduk bersila di ruangan agak besar
berdinding bambu yang tidak dilabur dengan kapur, sehingga bilik-biliki bambu yang
mengikat dengan saling-silang itu menampakkan keasliannya. Sebuah pelita kecil sengaja
diikatkan di pokok bambu, tepat di bagian tengah atas ruangan. Keempat orang itu
merupakan bagian dari pasukantelik sandi yang sengaja dikirim Diponegoro ke daerah-daerah
musuh untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang berbagai hal.

Di luar, suara hewan malam terdengar bersahut-sahutan. Sesekali di kejauhan,


lenguhan monyet menimpali. Suaranya begitu memilukan, bagai meneriakkan nasib rakyat
pribumi yang terus-menerus menderita di bawah kekejaman Belanda dan antek-anteknya.

Suromenggolo sungguh-sungguh kagum dengan Susuhunan Paku Buwono IV.


Keponakan dari Pangeran Diponegoro inilah-bersama Pangeran Mangkubumi[1]-yang
menganjurkan agar pamannya memilih Gua Selarong sebagai basis perlawanan gerilya.
Wilayah Selarong dengan beberapa guanya memang sangat strategis. Tempatnya berada di
ketinggian sebuah bukit, dikelilingi hutan yang masih lebat walau tidak luas. Jalan dari dan
menuju gua hanya satu dan itu pun kecil sehingga sulit dilalui kereta yang ditarik kuda.
Walau berada di ketinggian, namun Gua Selarong yang berada di selatan Yogyakarta ini tak
begitu jauh dengan dengan garis pantai Laut Kidul, tempat yang disukai Diponegoro untuk
tafakur .

Di bawah Gua Selarong terdapat perkampungan yang sudah ramai oleh rumah
penduduk. Walau demikian, kontur daerah ini memang menjadikannya sangat cocok untuk
dijadikan markas komando dalam kacamata militer.

Setelah menyimak dan menimbang saran dari Paku Buwono VI, Pangeran
Diponegoro akhirnya mengakui jika usul keponakannya tersebut memang tepat. Gua
Selarong memang sebuah benteng alami yang cukup tangguh.

[1] Pangeran Mangkubumi merupakan anak dari Sultan Hamengku Buwono II atau yang lebih
populer disebut sebagai Sultan Sepuh. Sultan Hamengku Buwono II ini sangat anti penjajah
Belanda. Sikap ini diwariskan oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Diponegoro sendiri lebih
dekat kepada Sultan Sepuh ketimbang terhadap ayahnya sendiri, Sultan Hamengkubu Buwono III
yang tidak begitu tegas, bahkan beberapa kali dengan jelas mendukung Belanda.

Sebagai seseorang yang dididik dan dibesarkan panglima pasukan khusus pengawal
raja, Pangeran Diponegoro tahu banyak soal strategi perang. Ratu Ageng tidak hanya
memberinya pengetahuan keagamaan, tetapi juga membekalinya dengan dasar-dasar
kepemimpinan dan kemiliteran, pengetahuan tentang taktik perang, penggunaan senjata,
manajemen pasukan, dan lain sebagainya.

Sebab itulah, walau tidak dilakukan tiap malam, selepas pengajian dan di saat yang
lain sudah beristirahat atau kembali berjaga di posnya masing-masing, Pangeran Diponegoro
selalu mengadakan pertemuan terbatas dengan para telik sandi terpilih untuk memantau
perkembangan di luar sana.

Pangeran Diponegoro percaya dengan informasi yang disampaikan para telik


sandinya. Di sisi lain, tanpa sepengetahuan para telik sandinya, Diponegoro juga membentuk
unit kontra intelijen yang mengawasi dan mengecek semua informasi yang diterima dari
bawahannya. Yang terakhir ini direkrut dari orang-orang yang sangat dipercayainya, walau
pun jumlahnya tidak banyak. Ustadz Taftayani sendiri yang telah membaiat mereka dengan
kitab suci al-Qur’an di atas kepala.

Tiba-tiba pintu bilik yang bagian luarnya terbuat dari bambu bergerak terbuka.
Deritnya terdengar pelan. Dari pintu yang terbuka tampak Ki Guntur Wisesa yang pertama
memasuki ruangan, diikuti Pangeran Diponegoro, Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, seorang
pengawal khusus, dan kemudian barulah beberapa orang sesepuh dan para senopati. Salam
pun ditebarkan, dijawab kembali dengan salam saling mendoakan kebaikan bagi semuanya.
Mereka duduk melingkar di tengah ruangan, diterangi temaram satu-satunya pelita kecil yang
diikat di atas dekat wuwungan.

Tidak ada yang bersuara hingga Ustadz Taftayani membuka pertemuan.

“Bagaimana laporanmu Suromenggolo?” bisiknya langsung ke pokok pertemuan.

Lelaki yang disapa Suromenggolo mengangguk pelan. Murid sekaligus orang


kepercayaan Kiai Mojo, ulama kharismatik dari Desa Mojo yang berada di utara Surakarta,
ini tidak segera menjawab. Dia mengedarkan terlebih dahulu pandangannya ke sekeliling
ruangan. Walau nyaris gelap, namun dia bisa merasakan jika seluruh pimpinan pasukan jihad
fi sabilillah Kanjeng Gusti Pangeran berkumpul di sini.

Setelah mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, masih sambil duduk bersila,


Suromenggolo membungkukkan badan dan mulai mengeluarkan suaranya. Terdengar seperti
orang berbisik, namun bisa didengar dengan jelas.

“Alhamdulillah. Semakin banyak ulama dan para pendekar yang menyatakan dengan
tegas jika mereka akan bergabung dengan kita….”

Pangeran Diponegoro dan semua yang ada di dalam ruangan tersebut juga
mengucapkan hamdallahtanda syukur kepada Allah subhana wa ta’ala. Beberapa tahun lalu,
Pengeran Diponegoro dan yang lainnya memang bergerak di segenap penjuru negeri untuk
menggalang kekuatan untuk memerangi dan mengusir Belanda.
Orang pertama yang dikunjungi Diponegoro adalah Kiai Abdani dan Kiai Anom di
Bayat, Klaten. Kedua kiai ini tidak saja menyatakan dengan tegas kesanggupannya untuk
bergabung namun juga memberi Diponegoro tambahan ilmu bela diri. Dari Bayat,
Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi melanjutkan perjalanan ke Sawit, Boyolali,
untuk menemui Kiai Modjo, seorang Kiai kepercayaan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono VI.
Kiai Modjo pun mendukung penuh Pangeran Diponegoro. Lalu dengan diantar Kiai Modjo,
Pangeran Diponegoro menemui Tumenggung Prawirodigdoyo di Gagatan. Tumenggung ini
adalah orang kepercayaan Susuhunan Paku Buwono VI.

Dan atas saran Kiai Modjo dan Tumenggung Gagatan inilah, Pangeran Diponegoro
pun menemui Paku Buwono VI, keponakan Diponegoro sendiri.

“Hampir semua ulama yang saya temui di sekitar Merapi, Dieng, Merbabu, Kulon
Progo, dan lainnya, semua siap bergabung dengan Kanjeng Pangeran. Bukan saja para ulama,
namun juga para pendekar dan jagoan-jagoan setempat. Mereka sudah muak dengan Belanda.
Mereka hanya tinggal menunggu perintah dari Kanjeng Pangeran.”

Ustadz Taftayani mengangguk-angguk. “Alhamdulillah, ini perkembangan yang baik.


Namun ketahuilah, jika perang yang akan kita lakukan ini adalah perang sabil, Jihad fi
sabilillah. Perang yang semata-mata bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan
menghapuskan segala kezaliman. Sebab itu, kita harus mengaktifkan pengajian-pengajian di
seluruh negeri, agar semua yang nantinya bergabung dengan kita memahami apa tujuan dan
hakikat perang ini. Bagaimana Pangeran?”

“Insya Allah, saya juga berpendapat sama. Kita akan memetik kemenangan. Tidak ada
sedikit pun rasa takut dan cemas menghadapi hari esok bagi orang-orang beriman. Kematian
adalah kepastian. Dan hanya orang-orang beriman dan tawakal yang kematiannya akan
benar-benar indah. Insya Allah, Ustadz, dan juga yang lainnya, para senopati dan para ulama,
mulai besok kita akan menggencarkan pengajian kepada semua orang yang bersedia
bergabung dalam kafilah tauhid ini. Insya Allah..,” ujar Diponegoro.

“Lantas, bagaimana dengan Danuredjo, Kisanak?” tanya Ustadz Taftayani kembali


kepada Suromenggolo.

“Danurejo makin tak terkendali, Ustadz. Tadi pagi seorang ibu yang sedang hamil tua
bersama dua orang anak kecil yang dibawanya dilarang lewat jembatan di Desa Jotawang,
hanya karena uang yang dimiliki sang ibu tadi untuk bayar pajak jalannya kurang. Danurejo
ada di sana. Dia tengah menginspeksi pos-pos jalan utama. Dia sendiri yang kemudian
memerintahkan ibu itu dan anak-anaknya untuk menyeberangi Kali Code yang berbatu-batu
yang ada di bawah jembatan. Akhirnya ibu dan anak-anaknya itu pun terpaksa menyeberangi
kali. Dan celaka, mereka jatuh dan terbawa hanyut air kali yang deras. Tidak ada yang berani
menolongnya karena Danurejo dan pasukannya melarang semua orang yang ada di situ untuk
menolong mereka….”

“Astaghfirullah al-adziem....,” desis semua yang ada di sana.


“Dasar anjing Belanda!” umpat Ki Singalodra geram. Giginya sampai terdengar
bergemeletuk saking marahnya.

“Teruskan Kisanak…,” ujar Ustadz Taftayani.

Suromenggolo melanjutkan paparannya, “Danurejo juga telah memerintahkan dua


orang kepercayaannya, Pangeran Murdaningrat dan Pangeran Ponular untuk menaikkan tarif
pajak di beberapa ruas jalan yang makin ramai. Siapa saja yang tidak sanggup bayar, dilarang
melintas di jalan itu…”

Pangeran Diponegoro bergumam, “Murdaningrat dan Ponular, jahat benar mereka…”

Suromenggolo mendengar gumamannya, “Ya, benar Kanjeng Gusti Pangeran. Mereka


berdua telah benar-benar menjadi kaki tangan bagi Danurejo dan juga kafir Belanda.
Bukankah mereka yang menggantikan Kanjeng Gusti Pangeran dan Pamanda Kanjeng Gusti
Mangkubumi di dewan perwalian?”

Diponegoro mengangguk. “Ya, mereka yang menggantikanku dan

Paman Mangkubumi di Dewan Perwalian Kraton.”

Ustadz Taftayani dan semua orang yang berkumpul di ruangan itu tahu benar jika
sesungguhnya Dewan Perwalian Kraton hanyalah alat bagi kepentingan Belanda untuk
menipu rakyat.

Awalnya adalah ketika Sultan Hamengku Buwono III wafat pada tahun 1814. Saat itu
Raden Mas Jarot, adik dari Pangeran Diponegoro, baru berusia sepuluh tahun. Rakyat
menginginkan agar Diponegoro yang menjadi raja. Namun Diponegoro sejak awal menolak.
Dan Belanda pun tidak menyukai Diponegoro yang tidak mau tunduk pada kepentingannya.
Akhirnya Raden Mas Jarot pun naik tahta, menjadi Sultan Hamengku Buwono IV dalam usia
belia. Belanda menunjuk Paku Alam I sebagai wali pemerintahannya.

Pada tanggal 20 Januari 1820, ketika Hamengku Buwono IV sudah hampir berusia
enambelas tahun, Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Namun pemerintahan
mandiri Hamengku Buwono IV hanya berjalan selama dua tahun, karena pada tanggal 6
Desember 1822 tengah hari, ketika baru saja sepulangnya dari tamasya, dia meninggal dunia.
Sebab itulah Hamengku Buwono IV disebut juga sebagai Sultan Seda ing Pesiyar, Sultan
yang meninggal dunia ketika tengah tamasya.

Menurut keterangan Belanda, sakitlah yang menjadi sebab kematiannya. Namun


banyak orang yang percaya, jika Belanda atau orang-orangnya telah meracuni Sultan.
Belanda berbuat itu agar kekuasaan Patih Danuredjo IV bisa lebih besar.[1] Patih Danuredjo
IV, yang berasal dari keluarga Danurejan yang memang sejak lama menjadi kaki tangan
Belanda, kemudian menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di
kraton. Dengan meninggalnya Hamengku Buwono IV, maka otomatis, Raden Mas Gatot
Menol, anaknya yang baru berusia tiga tahun akan naik tahta. Dengan adanya raja balita ini,
maka Patih Danuredjo akan sangat leluasa untuk menguasai seluruh kraton. Dan kepentingan
Belanda pun akan terjamin dalam waktu yang lama.

[1] Peter Carey di dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in
Java 1785-1855 (2007) menulis, “…bagaimana dia wafat sangat mengerikan-tampaknya ia
mendadak kena serangan penyakit ketika sedang makan-dan tubuhnya langsung membengkak,
suatu pertanda menurut dugaan beberapa orang masa itu, bahwa dia telah diracuni… Kematian
itu datang dengan tiba-tiba setelah Hamengku Buwono IV menerima nasi dan makanan Jawa dari
Patih Danuredja IV.”

Dan memang demikian adanya. Raden Mas Gatot Menol yang baru berusia tiga tahun
pun diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Untuk mendampingi raja kecil ini,
Belanda bersama Patih Danuredjo IV membentuk Dewan Perwalian Kraton, yang terdiri dari
orang-orang terdekat dari sang raja. Dewan ini dibentuk salah satunya untuk menghilangkan
kecurigaan rakyat banyak soal sebab kematian Hamengku Buwono IV. Dengan adanya
Dewan Perwalian, maka Patih Danuredjo bisa berlindung di balik dewan ini atas semua
tindak-tanduknya.

Naiknya Raden Mas Gatot Menol menjadi Hamengku Buwono V dan dibentuknya
Dewan Perwalian Kraton menimbulkan dilema tersendiri bagi seorang Pangeran Diponegoro.
Dia sudah curiga jika Dewan Perwalian hanyalah hasil akal-akalan dari seorang Danuredjo.
Karena keputusan final pemerintahan tetap berada di tangan Patih Danuredjo IV bersama-
sama dengan Residen Belanda.

Namun jika dia tidak bergabung di dalamnya, maka kraton akan sepenuhnya dikuasai
Danuredjo dan para penjilat kafir Belanda lainnya. Setelah bertafakur cukup lama di
Parangkusumo, dengan mengucapkan Bismillah, maka Pangeran Diponegoro pun memilih
untuk mau bergabung sebagai anggota Dewan Perwalian, bersama dengan Mangkubumi,
pamannya yang sangat dihormati Diponegoro. Diponegoro berharap dengan bergabungnya
dia dan Mangkubumi di dalam Dewan Perwalian Kraton, maka mereka bisa mewarnai kraton
agar lebih memihak umat ketimbang memihak penguasa kafir Belanda.

Namun kenyataan berkata lain. Hampir setiap hari rapat demi rapat berlangsung,
memutuskan ini dan itu terkait kebijakan kraton terhadap berbagai macam masalah
menyangkut rakyat banyak, namun segala keputusan Dewan Perwalian ternyata tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Semua kebijakan pemerintah ternyata tidak sejalan dengan
hasil musyawarah atau rekomendasi dari Dewan Perwalian. Patih Danuredjo yang sangat
licin dan mahir berbicara ini. bahkan dengan menyitir banyak ayat Qur’an, hadits, dan juga
siroh Rasul, selalu menelikung semua keputusan Dewan ini. Sehingga keberadaan Dewan
seolah tidak ada artinya, kecuali hanya sebagai panggung sandiwara. Danuredjo bisa dengan
mudah dan leluasa memutuskan segala hal walau itu bertentangan dengan hasil musyawarah
Dewan Perwalian Kraton. Patih Danuredjo lebih berkuasa ketimbang Dewan Perwalian itu
sendiri. Dewan yang berfungsi sebagaimana layaknya Dewan Syuro ini tidak memiliki
kekuatan apa-apa jika Danuredjo berkehendak lain.
Semua ini membuat Pangeran Diponegoro bertambah muak. Maka dengan tegas,
Diponegoro-bersama Mangkubumi-menyatakan keluar dari dewan ini dan bersama-sama
umat berjuang dari luar lingkaran kekuasaan yang bertambah korup. Danuredjo sendiri
mengiming-imingi kedudukan dan uang yang banyak kepada Diponegoro, namun Sang
Pangeran tidak goyah dan tetap memilih berjuang dari luar tembok kraton sepenuhnya.

Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo melaporkan semua informasi


yang diterimanya di lapangan, baik berkenaan dengan pergerakan pasukan Belanda dan
antek-anteknya, juga kebijakan baru yang diambil oleh Patih Danuredjo yang kian
menyusahkan rakyat.

Di akhir laporannya, Suromenggolo dan kedua rekan anggota pasukan telik sandi-nya
bersepakat jika perkembangan di luar semakin panas dan bukan tidak mungkin Belanda dan
Danuredjo akan mengambil suatu langkah untuk memprovokasi Pangeran Diponegoro untuk
memulai perang.

“Maaf Kanjeng Pangeran..,” ujar Suromenggolo. “…saat ini Kanjeng Pangeran dan
semua yang ada di sini harap lebih waspada dan hati-hati. Dari berbagai informasi yang kami
dapatkan di lapangan, kami yakin jika Belanda dan Patih Danuredjo tengah menyusun siasat
agar kita semua terpancing . Mereka ingin kita melawan mereka secara terbuka terlebih
dahulu. Semua ini agar mereka memiliki alasan untuk menangkap dan membunuh kita semua
di sini…”

Bab 4
Pertengahan Juli 1825

Malam telah turun menyelimuti langit Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di aula


kraton, musik Ratu Wilhelmina terdengar mendayu-dayu dari piringan hitam yang diputar.
Gelak tawa para pembesar Belanda dan para pejabat kraton yang tengah dimabuk whisky dan
Brandy dalam pesta jamuan makan malam yang mewah terdengar kencang. Diseling
cekikikan genit para Noni Belanda dan perempuan-perempuan muda yang didatangkan
orang-orangnya Patih Danuredjo entah dari mana.

Di salah satu ruangan utama kraton, Patih Dalem Danuredjo IV tampak duduk semeja
dengan Anthonie Hendriks Smissaert, Residen Yogyakarta. Penggila pesta dan minuman
keras itu, dan tentu saja juga wanita, merupakan Residen Belanda ke-18 untuk Yogyakarta.
Sejak bertugas tahun 1823, hampir tiap pekan Smissaert menggelar pesta dansa-dansi dan
minuman keras dengan mengundang koleganya, termasuk para pembesar kraton seperti
halnya Patih Danuredjo IV dan sebagian pangeran serta pejabat lainnya.

Di hadapan meja yang dipenuhi abu cerutu dan beberapa botol Whisky yang sudah
berkurang isinya, Patih Danuredjo tengah berembug dengan residen itu untuk menangkap
Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya yang makin lama makin mencemaskan mereka.

Dari para mata-mata yang disebar Belanda dan juga kraton, mereka mendapatkan
keterangan jika kian hari kian banyak saja orang yang bergabung dengan Diponegoro.
Apalagi di Puri Tegalredjo, tempat kediaman Diponegoro dan Ratu Ageng, sudah lama
tercium adanya pelatihan-pelatihan ilmu bela diri bagi pribumi yang dipimpin oleh sejumlah
ulama pendekar dan para jagoan yang menyatakan setia kepada Diponegoro. Pelatihan itu
tidak saja dilakukan dengan tangan kosong, namun juga menggunakan berbagai macam
senjata.

“Patih, Kowe musti bisa bikin cara supaya Diponegoro itu bisa segera ditangkap!”

Patih Danuredjo tersenyum. Dengan suaranya yang lembut dan kalimat yang teratur
rapi, dia menjawab, “Insya Allah, Tuan Residen tenang saja. Saya dan anak buah saya sedang
mencari jalan supaya dia bisa sesegera mungkin ditangkap.”

“Kapan? Kowe tidak bisa berlama-lama begitu! Apa mau tunggu sampai pengikutnya
banyak? Jadi susah kita nantinya!” sergah Smissaert sambil menenggak sebotol Whisky dari
botolnya langsung. Jakunnya yang besar terlihat bergerak naik turun di lehernya. Dia
kemudian menopangkan sebelah kakinya yang pendek naik di atas meja ke atas kaki yang
lain. Tapak sepatu lars Smissaert kini menghadap lurus ke wajah Danuredjo. Patih Danuredjo
benar-benar direndahkan olehnya. Tapi patih itu hanya berdiam diri sambil tetap tersenyum,
walau hatinya serasa panas diperlakukan seperti itu.

Melihat Danuredjo yang belum juga menjawab pertanyaannya, dengan tidak sabaran
lelaki kecil berwajah bulat dengan rambut tipis berwarna putih keperakan dan bermata biru
itu berkata, “Aah, jangan-jangan kowe berkomplot dengan Diponegoro hah!”

Danuredjo yang ikut minum Whisky, hanya saja dia meminumnya dari sloki, tersedak.
Airnya sampai tumpah membasahi pakaiannya.

“Tidak, bukan begitu, Tuan. Tuan salah besar jika sampai menduga hal itu. Saya
sebenarnya sejak beberapa hari lalu berpikir jika kita sebenarnya punya cara yang bagus
untuk menangkap Diponegoro itu…”
“Kenapa kowe dari tadi diam saja?” ketus Smissaert dengan sinis. Bekas Residen
Rembang yang ditunjuk Gubernur Jenderal Van Der Capellen pada 3 Januari 1823 menjadi
Residen Yogyakarta ini, walau bertubuh kecil dan kikuk, namun sikapnya sangat percaya diri.

“Saya baru mau cerita, Tuan…”

“Ya, cepatlah cerita!”

Danuredjo membetulkan posisi duduknya. Kini punggungnya ditegakkan tanpa


bersandar ke bagian sandaran kursi rotan yang tinggi. Setelah terbatuk-batuk kecil sebentar
dia mulai memaparkan rencana bulusnya.

“Tuan Residen, Tuan pasti tahu proyek jalan lurus dari Yogyakarta ke Magelang yang
sedang kita kerjakan bukan?”

Smissaert mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, ya, saya tentu tahu. Ada apa
dengan proyek itu?”

Wajah Danuredjo mendadak cerah. Dia memang selalu begitu jika sedang
merencanakan sesuatu. Raut wajahnya yang sedemikian licik mengingatkan Smissaert pada
salah satu tokoh penasehat Kurawa dalam epik Bharata Yudha yang pernah dibacanya semasa
masih kecil di Bataaf, kampung kelahirannya.

Ya, orang ini mirip sekali dengan Patih Sasngkuni!

“Tuan Residen, bagaimana jika jalan yang tadinya dibuat lurus itu, melewati
Muntilan, dibelokkan sedikit ke barat, melewati Tegalredjo. Jalan itu kita buat sengaja
menerabas tanah makam leluhur Diponegoro dan juga kebun miliknya. Kita tancapkan saja
patok-patok proyek jalan di sana. Jika kita melakukan itu, Diponegoro pasti akan marah….”

Residen Smissaert menurunkan kedua kakinya dari atas meja. Wajahnya ikutan cerah.
Kedua matanya yang biru terlihat berbinar-binar. “Ha! Ini baru namanya Patih Danuredjo!
Tak sia-sia Belanda punya orang seperti kowe! Ayo, ayo, teruskan ceritamu!”

Disanjung demikian, Danuredjo tersenyum lebar. Dengan sikap yang dibuat-buat dia
merendahkan diri dengan mengatakan jika dirinya biasa saja dan hanya bekerja semaksimal
mungkin demi kemuliaan ratu Belanda.

“Tuan pasti sudah bisa menebak kemana arahnya. Kalau Diponegoro marah, dia pasti
akan mengirim utusannya kesini untuk mengajukan protes. Kita acuhkan saja protesnya dan
tetap mematoki tanah itu untuk dibuat jalan. Bahkan kita kirim saja para kuli ke Tegalredjo
dan mulai mengerjakan proyek ini. Diponegoro pasti akan marah besar. Dia akan kehilangan
akal sehatnya. Bisa jadi dia akan menyerang kuli-kuli kita itu. Atau bisa jadi pula dia akan
menyerang langsung kita di sini. Kalau itu sampai terjadi, kita tinggal menangkapnya. Kita
katakan saja jika Diponegoro mau memberontak terhadap pemerintah. Bukankah itu mudah?”

Smissaert tersenyum lebar, kedua matanya yang besar menyipit, “Ha..ha..ha.. betul.
Betul itu. Nah, belokan saja jalan itu menuju tanah leluhurnya Diponegoro!”
“Kapan rencana kita bisa dilaksanakan, Tuan?”

“Secepatnya. Malam ini saja. Biar kita bisa cepat menangkap orang itu!”

“Baik, Tuan!”

Patih Danuredjo kemudian berdiri dari tempat duduknya. “Sebentar, Tuan. Saya akan
panggil orang proyek jalan itu sekarang.”

“Ya, kowe harus bergerak cepat!”

Danuredjo membungkuk takzim pada Smissaert, kemudian dia keluar ruangan diiringi
pandangan puas dari Smissaert. Dengan langkah agak limbung karena pengaruh minuman
keras, Danuredjo pergi memanggil salah seorang anak buahnya yang sudah duduk menunggu
di teras dekat dengan ruangan pertemuannya dengan Tuan Residen. Agaknya Danuredjo
sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Melihat Patih Danuredjo datang, lelaki
yang duduk menunggu itu segera bangkit dan menyongsong tuannya.

“Joko!” panggil Danuredjo dari pintu ruangan.

“Dalem, Kanjeng Patih!” ujar lelaki yang dipanggil Joko seraya bergegas
menghampiri Danuredjo sambil terbungkuk-bungkuk. Lelaki itu berhenti tepat dua meter di
hadapan Danuredjo dengan sikap tubuh masih sedikit membungkuk dengan kedua tangannya
ditangkupkan ke bawah perut.

“Tuan Residen sudah setuju dengan rencana kita. Bagaimana kalau malam ini juga
rencana itu dilakukan?”

“Inggih, Kanjeng Patih. Saya siap…”

“Bagus. Kerjakan segera dan lapor setiap perkembangan yang ada padaku.”

“Inggih, Kanjeng Patih. Perintah segera saya laksanakan.”

Patih Danuredjo segera kembali ke dalam ruangan di mana Smissaert tengah asyik
menenggak whisky-nya. Dia segera bergabung dengan orang Belanda nomor satu di
Yogyakarta tersebut dan tenggelam dalam pesta minuman keras.

“Patih…, kowe sudah panggil itu Sari?” tanya Smissaert menyebut salah satu penari
kraton dari Pacitan yang terkenal kecantikannya. Smissaert agaknya jatuh hati pada gadis
yang usianya belum genap delapanbelas tahun itu. Danuredjo tersenyum lebar penuh arti
ketika Smissaert menanyakan Sari. (Bersambung ke 11)

Anda mungkin juga menyukai