com
Djilid ke 1
Penerbit :
Kisah Silat – Djakarta
Kolektor e-Book
Sumber Buku: Aditya Indra Jaya
Kontributor Foto: Awie Dermawan
Arsip dan distribusi: Yons
Editor dan penulisan ulang: Dr. Ing. Alexander Halim
DJILID 1
PEMBUKAAN CERITA
“Hai, nona cilik, kau pernah apa dengan Hie Kok?“ akhirnya
ia menegur dengan bengis. “Cepat
kau sebutkan namamu, supaya kau tidak menjadi setan tidak
bernama diujung pedangku ini!“
“Eh, setan alas!“ si nona membalas membentak, “kau telah
mengetahui nama besar dari Hie Kok,
cara bagaimana kau tidak mengenal nonamu ini?“
Si jangkung itu tertawa menghina.
“Ah, memang telah aku duga kau adalah bocahnya si
pemberontak itu!“ mengejeknya lagi.
“Sungguh kau manis sekali!“
Alisnya si nona berdiri, karena perkataan yang ceriwis itu.
“Bangsat, sebutkan namamu yang busuk itu!” dia berteriak,
“supaya nonamu dapat mengantarkanmu untuk mencatat namamu
dalam daftar iblis!“
“Sungguh mulut besar!“ mengejek lagi si jangkung, dengan
tertawa jumawa. “Baiknya kau panggil saja tua bangka bangsat
itu! Di Selatan dan Utara, siapakah yang tidak mengenal Tiat-
ciang Phang Kun San?“
Hie Nio mengenal orang ini, ayahnya pernah menceritakan
tentang orang ini sebagai ketua dari Oey Long Pang, Kawanan
Serigala Kuning, dari Shoatang, satu gerombolan rimba hijau
yang biasanya mengganas di tiga propinsi Shoasay, Shoatang dan
Siamsay, terutama orang bermarga Phang ini adalah sangat
kejam, siapa saja yang tertawan olehnya, jiwanya sudah pasti
tidak dapat diharapkan untuk hidup lebih lama lagi. Cara dia
membinasakan lawannya pun sangat istimewa, korbannya akan
disembelih bukan hanya dengan menghancurkan kepalanya
dua jago tua yang sangat lihai. Karena ini ia menjadi sangat
bingung, maju salah, tetapi mundurpun ia merasa malu…….
Melihat itu Lie Sun lalu mengejek lagi. “Apakah ilmu toya
Peh-bie-kun tidak dapat digunakan lagi?
Tanyanya, “mengapa kau sekarang terdiam?“
Chong Tee Liong menjadi malu. “Tua bangka, jangan
sombong!” ia berteriak. “Lihat toyaku!“
Segera ia maju untuk menyerang dengan pukulannya Tay
San Ap Teng (Gunung Tay San menindih kepala).
Berbarengan dengan datangnya toya itu, Bwee Hoa Sin-souw
mendengar sambaran angin diarah belakangnya. Ia menduga
adanya bokongan senjata rahasia, karenanya ia sambil berkelit, ia
menolong diri dari dua-dua serangan, toya dan senjata rahasia
bokongan itu. Tetapi ia masih sempat meneruskan menusuk
iganya Lo Kun, sehingga Chong Tee Liong menjadi terkejut dan
berusaha berkelit.
Dengan menerbitkan suara desiran angin, senjata itu
melewati Lie Sun, terus mengenai musuh yang berada di arah
sasarannya, sehingga ia itu menjerit, jeritan mana didengar juga
oleh Lo Kun, yang sedang berkelit, sehingga ia ini terkejut. Sebab
tahulah ia, bahwa ada satu kawannya yang roboh sebagai korban.
Hilanglah nafsu berkelahi dari Chong Tee Liong, ia tidak lagi
mendesak Lie Sun, sebaliknya ia melompat kepada kedua
kawannya yang terluka, untuk menyambar mereka, untuk terus
dibawanya lari.
Bwee Hoa Sin-souw tidak mengejar, ia melainkan tertawa,
habis mana ia bertindak kearah rimba, untuk menyusul Hie Nio.
Putrinya Hie Kok yang menyusul Phang Kun San dan si
pendek hanya sia-sia saja. Pohon-pohon disana begitu lebat, maka
BAB II
Cu Ceng Liam biasa hidup tenang dan senang, tidak pernah
ia melakukan perjalanan jauh yang meletihkan, segala apa yang
dikehendakinya, senantiasa selalu tersedia, untuk keperluan ini
dan itu, sembarang waktu ia dapat memerintahkan orang, akan
tetapi kali ini, akibat dari terembetnya ia akan masalah keluarga
Lu, ia harus mengalami perubahan hidup yang hebat, ialah ia
harus meninggalkan rumah tangga, harta milik, hingga iapun
harus berdiam didalam sebuah perahu saja, kekurangan banyak
kebutuhan. Beruntung untuknya, selama beberapa hari ini, ia
tidak kesepian, karena Hong Jiam Kong beramai dapat menemani
ia, dengan bercakap-cakap, minum arak, atau bermain catur, dan
juga merundingkan syair-syair juga. Adalah setelah sampai di
Tonglouw, dengan niatan dapat beristirahat sepanjang malam,
Hie Kok berlabuh ditempat yang sepi itu. Ia sudah menetapkan,
pada jam empat pagi, perjalanan akan dilanjutkan lagi. Tetapi ia
gagal dengan niatnya itu, ia telah keliru dalam perhitungan sepak
terjang pembesar negeri serta kaki tangannya. Ternyata orang
langsung mencurigai padanya dan mengikutinya secara diam-
diam.
Sejak siang-siang, Cu Ceng Liam telah tercatat sebagai salah
seorang yang dicurigai pemerintah, karena ia adalah sahabat
keluarga Lu, kalau tadinya terhadapnya belum diambil tindakan
sesuatu apapun, itu disebabkan ia tidak melakukan gerakan
apapun. Disamping itu pembesar negeri telah mengatur
berhubungan satu dengan lainnya, agar setiap waktu mereka bisa
memberikan masukkan, untuk melakukan pengintaian dan
penangkapan terhadap siapa saja yang dicurigai pemerintah,
untuk itu mata-mata telah dilepas di pelbagai tempat, tempat
ramai maupun sepi, dipelabuhan darat maupun air. Demikianlah
sudah terjadi, walaupun Hie Kok mengendarai perahunya secara
diam-diam, ia tidak lepas dari perhatian, sehingga tanpa
Hong Jiam Kong telah dilawan oleh Goan Tay Hoa, piauwsu
tua ini telengas ingin cepat-cepat ia merobohkan musuhnya.
Demikian ketika ia satu kali mendekam lalu terus memutarkan
tubuh, dalam gerakannya sebagai harimau mendekam dan
jumpalitan, tiba-tiba pit besinya menyambar jalan darah khie-hay-
hiat dari lawannya.
Dengan berkelit Hong Jiam Kong menggerakan pedangnya
dari bawah keatas, lau ia meneruskan pedangnya itu dipakai
untuk menyerang kepala musuhnya, untuk satu pembalasan.
Tay Hoa pun menangkis sambil berkelit dengan begitu,
kedua senjata bentrok dengan memperdengarkan suara nyaring.
Hong Lui Cu tidak berhenti sampai disitu, dengan gesitnya ia
terus menyerang lagi untuk mendahului musuh, maka dengan
mendadak saja terdengarlah jeritan kesakitan dari Goan Tay Hoa,
telinga siapa sudah terbang sebelah dengan memuncratkan darah
segar.
Tay Hoa kaget dan kesakitan. Ia kaget sebab ketika pitnya
ditangkis, bentrokan terjadi dengan sangat hebat, sampai ia
merasakan tangannya kesemutan, hampir saja pitnya terlepas,
justru itu pedang lawan memapas telinganya, maka dengan tidak
ayal lagi dengan berjumpalitan, ia melompat menjauhkan diri.
Ketika meraba telinganya, baru ia ketahui, daun telinganya
lenyap separuhnya. Untuk menahan sakit dan menghentikan
kucuran darah, cepat-cepat ia mengeluarkan obat yang ia bekal
dan sangat manjur, sebab begitu ia memberikan obat tersebut,
darah segera berhenti mengucur dan sakitnyapun berkurang.
Dalam keadaan seperti itu ia sulit untuk meneruskan
pertempuran, dengan menahan malu ia lalu angkat kaki untuk
melarikan diri. Akan tetapi kekalahan ini membuat ia
mendendam terhadap Hong Jiam Kong.
“Ya, aku ingat sekarang,” kata Hie Kok selagi tuan rumah
berhenti sebentar. “Ketika perahu kami mendekati kemari,
ditengah jalan kami telah bicara-bicara sambil tertawa, rupanya
suara kami inilah yang telah menerbitkan onar ini.“
“Jikalau begitu, benarlah dugaanku,“ Ie Long menambahkan.
“Tempat kami ini, See Cu-pa namanya, biasanya tidak pernah
menarik perhatiannya pembesar negeri, sedangkan belasan rumah
penduduk sini, semua penghuninya biasanya menghargai aku si
orang tua, jadi tidak ada alasan untuk mereka menjadi mata-mata
negara. Ketika tadi muridku pergi mencari barang hidangan, dia
telah melihat seorang asing muncul diantara pohon-pohon lebat,
maka itu baru saja aku perintahkan dia pergi untuk memasang
mata. Kalau sebentar lagi dia kembali, kita akan mendapatkan
keterangan.“
“Chung Toako,“ memotong Hie Kok, “dengan kepandaian
yang kau miliki, mustahillah kau jeri
terhadap segala anjing itu!“
“Soalnya bukan demikian saudaraku!“ Ie Long tertawa.
“Peribahasa umum toh berkata, semut yang banyak dapat
membinasakan seekor gajah. Demikian halnya kamu ini.
Sekarang kau telah melewatkan satu pintu kota, tetapi didepan
penjagaan masih berlapis-lapis, disana pasti sekali ada musuh-
musuh yang lihai. Bicara sebenarnya aku sangat berkuatir
untukmu………….“
“Pandanganmu benar, Chung Loo-enghiong, cocok kata-
katamu,“ bilang Bwee Hoa Sin-souw.
“Telah aku dengar halnya banyak pahlawan istana yang
menuju ke Selatan, diantara mereka tentulah tidak sedikit yang
lihai, maka itu kalau kita hanya mengandalkan tenaga kita saja,
dalam hal mengantarkan Cu Loosianseng, benar-benar
Dua-dua guru dan murid itu berlaku waspada dan gesit, hebat
juga tangan mereka, karena sewaktu golok datang, mereka
masing-masing menangkapi sebatang setelah mana, dengan tidak
menyia-nyiakan waktu lagi mereka menimpuk balik kepada
penyerang mereka.
Siauw Tiu Ong tidak mengira musuhnya dapat menangkap
goloknya itu, oleh sebab itu setelah menyerang ia memutar
tubuhnya, untuk meneruskan kaburnya, ia baru kaget ketika ia
mendengar ada sambaran angin dibelakangnya. Tetapi sudah
terlambat, tahu-tahu kedua goloknya itu sudah menyambar
belakang pundaknya. Beruntung ia mempunyai ilmu kebal, golok
itu tidak mempan, tidak membuat lecet juga, hanya terkena dan
langsung jatuh. Maka ia lalu memungut goloknya itu untuk terus
dibawa pergi.
Ho Siang mendelong mengawasi orang menghilang diantara
pepohonan.
“Mengapa ia dibiarkan pergi begitu saja, suhu?“ dia tanya
gurunya.
“Tidak ada gunanya untuk mencelakai orang,” jawab sang
guru dengan sabar. “Manusia itu sangat galak dan jumawa,
dibelakang hari harus ada satu orang yang bakal memberikan
pelajaran kepadanya. Mungkin sekali bakal terjadi lagi sesuatu,
oleh sebab itu baiklah kau waspada dan siap sedia!“
Setelah mengucap demikian, jago tua ini menuntun muridnya
pulang.
Hie Kok dan yang lainnya tetap menantikan didalam rumah,
tidak peduli hati mereka bekerja, mereka tokh harus menyabarkan
diri, untuk menanti terus. Mereka dengan dan lihat begitu cepat
pintu dibuka dan Chung Ie Long bertindak masuk bersama
muridnya, dengan si murid tertawa- tawa.
orang yang lebih besar lagi, oleh sebab itu, sudah selayaknya kita
harus menghadapinya.”
“Itupun benar,” kata Ie Long setelah ia berpikir sejenak.
“Hanya, kalau ia datang berdua atau bertiga, lebih baik kalian
tetap tidak memperlihatkan diri.“
“Tetapi anjing yang sakit jiwa itu dapat berbuat segala hal!“
menjelaskan Hong Jiam Kong. “Aku kuatir ia akan menggunakan
api! Apabila itu sampai terjadi, walaupun kita menghendakinya,
tidak dapat kita main sembunyi terlebih lama lagi…………..“
“Baiklah kita memecahkan diri,“ Hie Kok memberi saran.
“Kita menjaga didepan dan dibelakang. Bagusnya rumah ini tidak
terlalu besar, kita dapat memasang mata agar mereka tidak
mendapatkan kesempatan untuk turun tangan.“
“Untuk malam ini, baiklah kita mengatur demikian,“ Bwee
Hoa Sin-souw menyatakan setuju.
“Aku anggap kita baiklah merubah dandanan, agar kita
sembarang waktu dapat berangkat.“
“Mengenai hal itu, aku sudah mengaturnya,“ Ie Long
berkata.
Waktu itu Ho Siang muncul dengan membawa bubur, untuk
Cu Ceng Liam semua.
Chung Ie Long memerintahkan muridnya mengeluarkan
pakaian, untuk mereka dapat menukarnya, maka dilain saat
mereka tertawa sendirinya melihat wajah mereka yang telah
bersalin rupa.
Ceng Liam berdandan sebagai seorang desa, Lu Su Nio
menyamar menjadi seorang laki-laki, Lie
hati. Tetapi waktu ia maju mendekati tibuh yang jatuh itu, dia
berseru kaget, begitupun Kim Boan dan Hui Peng yang maju
berbarengan. Ketiga-tiganya berdiri menjublak.
Sesaat kemudian, Kim Boan menghampiri tubuh itu, ialah
tubuh kawannya, mulut siapa telah tersumpal rapat. Orangnyapun
tidak bergerak, karena jalan darahnya telah tertotok, sehingga ia
tidak sadarkan diri.
“Ini tokh Thio Kim?“ kata Hui Peng. “Mengapa ia kena
dibokong orang?“
“Dia jalan disebelah belakang, entah bagaimana ia tertawan
musuh,“ sahut Kim Boan.
“Sudahlah!“ kata Gui Eng, yang terus mengangkat
tubuhnya Thio Kim, untuk menotok
punggungnya dijalan darah hui-tie-hiat, maka sebentar
kemudian kawannya itu sadar dirinya.
––––––––
DJILID 2
Sang kusir merasa sangat heran, sebab kereta itu waktu itu
sudah ada diambang pintu timur, tetapi ia tidak berani
menanyakan apa-apa.
Untuk bisa masuk dari pintu selatan, orang harus mengambil
jalan memutar yang agak jauh. Terlebih dahulu mereka harus
keluar dari jalanan dusun yang berada diluar tembok kota.
Sesudah melewatkan jalanan dusun, mereka baru tiba di jalan
raya, dimana terdapat satu cabang jalanan yang menerus kepintu
kota selatan. Biarpun begitu, sang kusir tidak berani membantah.
Mereka memutar kereta dan berbalik kejalanan yang barusan
dilewati.
Setelah melewati jalanan dusunyang panjangnya kurang
lebih lima li, kereta membelok kekanan dan masuk kejalan raya.
Pada saat itu, disebelah belakang mendatangi dua ekor kuda
dengan dua penunggangnya berpakaian seperti pegawai negeri.
Begitu menoleh, Hie Kok terkejut, sebab mereka adalah lauw
Kim Boan dan Thio Kim, kepala opas Tonglouwkoan, yang
pernah dipermainkan oleh Ho Siang dan Hie Nio die Hiecun.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua sudah menyusul
rombongan kereta. Jiam Kong dan Yong Keng yang duduk diatas
kereta buru- buru melengoskan mukanya.
Hatinya Hie Kok tidak enak. Ia tidak tahu, kartu apa yang
sedang dipegang oleh pihak musuh. Sesudah memerintahkan
kusir untuk memperlambat jalannya kereta, ia menghampiri Hie
Nio dan Yong Keng untuk memesan agar mereka berlaku hati-
hati. Kemudian ia bicara sebentaran dengan Hong Jiam Kong.
“Dari Tonglouw dikirim dua orang. Tidak tahu apa
sebabnya,“ berkata Hie Kok kepada Bweee Hoa Sin-souw yang
menongolkan kepalanya dari kereta. “barusan di pintu timur
sudah muncul dua musuh. Aku rasa Huncunkoan bukanlah
tempat yang aman. Kita juga tidak tahu berapa jumlahnya musuh.
Apa tidak lebih baik, sekarang kita terus saja pergi ke Kongkouw
dan beristirahat disana?“
“Aku setuju,“ kata Jiam Kong. Bwee Ho Sin-souw juga tidak
keberatan.
Hie Kok lalu meneriaki kusir agar mereka langsung
menujukan kereta kearah Kongkouw dan baru beristirahat setelah
tiba disana. Kedua kusir kaget dan satu diantaranya berkata
dengan mendongkol: “Omongan tuan-tuan mengapa selalu
berubah-ubah?” Dipintu timur tidak mau masuk, katanya mau
masuk dari pintu selatan. Sekarang dipintu selatan juga tidak jadi
dan ma
uterus ke Kongkouw! Keledai kita sudah berjalan seharian
dan sudah payah sekali. Kalau tidak
diberi makan dan beristirahat, mana mereka dapat berlari
terus?“
Selagi Hie Kok mau menjawab, mendadak Lauw Kim Boan
dan Thio Kim terlihat berbalik lagi. Biarpun mulutnya berkata
tidak setuju, kedua kusir terus melarikan keretanya. Saat itu
kereta
sudah melewati jalan dusun yang terus menuju pintu selatan.
Kim Boan dan Thio Kim membedal
kudanya terlebih cepat lagi dan rasanya kedua kereta akan
tersusul dijalanan bercabang.
“Celaka,“ Hie Kok berseru dengan suara di tenggorokan.
“Kusir!“ ia berteriak. “Aku tidak mau berebut omong. Sekarang
lari secepatnya dan jangan berhenti biarpun ditahan oleh siapapun
juga. Ongkos sewa akan aku tambah satu kali lipat!“
Hong Jiam Kong yang duduk diatas kereta lalu merogo
sakunya dan mengeluarkan sepotong perak, yang disusupkan
yang keluar dari sarangnya. Pikirannya jagi tua itu kusut sekali. Ia
tidak tahu, apakah Hong Jiam Kong dan yang lainnya sudah tiba
di Kongkouw atau belum. Ia kuatir, kalau-kalau mereka bertemu
halangan. Ia terutama merasa jengkel, sebab sesudah kena
diperdayai, kedua musuhnya sekarang tidak kelihatan batang
hidungnya lagi. Dalam kejengkelan itu, Hie Kok kembali
mementang kedua kakinya dan berlari dengan sekuat tenaganya.
Dalam tempo sekejap, ia sudah memutari hutan dan jalanan
sekarang membelok kesebelah barat. Mulai dari situ, jalanan
gunung menjadi lebih lebar, dan setelah berlari limabelas li lagi,
kota Kongkouw sudah berada didepan mata. Hie Kok
mengempos terus semangatnya, untuk berlari terlebih cepat lagi,
tetapi baru saja ia sampai pada satu tanjakan, ia keget sebab
perdengarannya yang tajam dapat menangkap sambaran satu
senjata rahasia! Hie Kok menundukkan kepalanya dan melompat
kesamping. Satu panah tangan lewat disampingnya dan
membentur batu gunung, sehingga mengeluarkan percikan api.
Hie Kok membalikkan badannya dan Cio Hui Sian kelihatan
berdiri didepannya sambil menyengir!
Bukan main gusarnya Hie Kok. “Orang marga Cio!” ia
membentak. “Aku Hie Kok dengan kau tidak mempunyai
permusuhan, mengapa kau mendesak sampai begini?”
“Hie Kok,“ kata Hui Sian dengan tertawa dingin. “Bukankah
kalian ingin lari keluar Giok-leng-koan dan kemudian akan
bersembunyi di Oey-san? Ha..ha..! Rasanya biarpun kalian punya
sayap, kalian tidak akan mudah untuk terbang pergi!“
Hie Kok terkesiap mendengar Hui Sian mengetahui
rencananya. Sementara itu Hui Sian sudah meraba punggungnya
dan mencabut Kunlunkiam yang mengeluarkan sinar putih yang
gilang gemilang.
berniat untuk pergi ke Limkie untuk mencari Hie Kok dan lalu
akan terus pergi ke Ouwlam.
“Kam loote, di Ouwlam ada urusan apa?“ tanya Koan-toa-
ma.
“Menurut berita, Can Ceng ditangkap sunbu dan akan diantar
kekotaraja,” jawab Hong Tie. “Siapakah Can Ceng? Apa
dosanya?” tanya Koan-toa-ma.
“Ia adalah seorang sastrawan kenamaan didaerah Ouwlam,”
menerangkan Hong Tie. “Oleh karena ia menyalin surat
peninggalan Lu Liu Liang dan belakangan muridnya yang
bernama Thio Hie pergi ke Sucoan untuk membujuk Gak Ciong
Kie agar supaya memberontak maka muncullah kecelakaan hebat
yang menyeret juga keluarga Lu.”
Koann-toa-ma menghela napas panjang. “Kalau begitu
kecelakaan keluarga Lu adalah gara-gara kawanan sastrawan
tolol. Jika kau tidak memberitahukan aku, aku tidak tahu latar
belakangnya,“ katanya.
Hong Tie pun menarik napas. “Yah!,“ katanya. “Kaisar
anjing Yong Ceng benar-benar menyusahkan rakyat. Satu hari
aku orang bermarga Kam masih hidup, satu hari aku tidak akan
melepaskan dia!“
“Ssst! Suara tindakan kuda!“ Koan-toa-ma berbisik perlahan
sambil memegang bajunya Hong Tie. Hong Tie menempelkan
telinganya diatas tanah dan beberapa saat kemudian bangun
berdiri
sambil berkata: “Koan-toa-ma, banyak yang datang. Mari
kita pergi ke tanjakan.“
Mereka berlari-lari ke tanjakan, bersembunyi di belakang
batu besar dan mengawasi jalanan. Tidak lama kemudian, satu
“Yah, tahun ini aku banyak rugi,“ sahut Hong Tie. “Itu
sebabnya aku menjadi malas keluar. Eh, Siauw Sam Cu, kau
sedia ikan dan daging apa yang enak? Coba tolong buatkan
beberapa sayur untuk kita.“
Selagi Hong Tie menulis pesanan makanan, sang pelayan
menunggu dengan sikap hormat sekali. Sesudah itu, ia membawa
satu theekoan Say-hong-liong-ceng-thee. “Tian toaya,” katanya
sambil tertawa. Daun teh ini segar sekali. Baru kemarin dipetik.
Katanya teh ini dapat menghilangkan
panas dalam dada, maka itu aku bawakan agar tuan-tuan
sekalian dapat mencobanya.“ Ia
menuangkan tiga cangkir yang langsung disuguhkan kepada
ketiga tamu itu.
“Eh, disini sedia arak apa yang bagus?” tanya Hong Tie.
“Kita mempunyai arak Hoa-tiauw yang terohor, yang telah
disimpan selama duapuluh tahun lamanya. Tian toaya adalah
langganan lama, tidak perlu aku berduata,” kata sang pelayan.
“Baiklah, panaskan dulu lima kati Hoa-tiauw,“ memesan
Hong Tie. “Kalau ada kue-kue, kau boleh
bawa sekalian.“ Pelayan itu menganggukkan kepalanya dan
berlalu.
“Bagaimana dia bisa kenal kau? Dan mengapa dia
memanggilmu Tian Toaya?“ tanya Koan-toa- ma dengan
berbisik.
Hong Tie meliriknya dan menjawab: “Kalau senggang aku
sering datang disini. Waktu mereka
bertanya, aku bilang margaku Tian.“
Taysitsan untuk mencari nona Su Nio, dan jika benar Potee Taysu
barulah ia tidak kuatir lagi.
Sesudah tiba dikaki gunung, Jiam Kong mendadak merandek
dengan perasaan kaget, sebab ia salah jalan. Sebetulnya ia harus
terus mendaki puncak gunung dan turun dari lamping gunung
sebelah sana. Tetapi sekarang ia mengambil jalanan yang sudah
dilaluinya dan berbalik lagi kekaki gunung yang tadi. Ia tidak
mengerti, mengapa ia seperti orang yang melindur. Ia berdiri
disitu beberapa alama dan melihat cuaca yang sudah menjadi
gelap. Sesudah berpikir sebentaran, ia mengambil keputusan
untuk berbalik ke Tongkewan dan bermalam disitu dan besoknya
baru akan mendaki gunung itu lagi.
Setibanya di Tongkewan, lampu-lampu sudah mulai menyala
dan ia terus pergi kesatu rumah makan untuk mengisi perutnya.
Sesudah kenyang, ia keluar untuk mencari tempat menginap.
Selagi enak berjalan, mendadak dibelakangnya terdengar
orang membentak: “Bangsat! Jangan
lari!“
Jiam Kong terkejut. Ia membungkuk sambil melompat
kedepan, akan kemudian berbalik sambil mencabut Hong-lui-
kiam. Didalam jarak lima langkah, berdiri seorang laki-laki
tampan yang berusia kurang lebih 30 tahun dengan bibir yang
merah dan giginya putih laksana Mutiara, sedang tangannya
menyekall sebatang pedang.
Sambil mengawasi dengan mata tajam, Jiam Kong berkata
dengan suara dingin: “Loohu (Aku si tua) sangat repot kesana-
sini, sehingga melupakan kau paduka pahlawan dari tantara, yang
terus membayangi diriku!”
Orang itu merengut sambil mengeluarkan suar dari hidung.
“Bangsat tua!“ ia membentak.
––––––––
DJILID 3
Hiantopng? Aku adalah Cio Hui Sian, pengawal nomor satu dari
ketentaraan dikotaraja. Dengan menerima firmannya Kaisar, aku
datang kesini untuk membekuk kawanan pemberontak. Janganlah
mengira, disebabkan kau memakai bajunya hweesio, kau dapat
enak-enakan berdiam disini. Kalau kau dapat melihat Selatan,
sekarang juga kau ikut aku pergi kekotaraja, dimana aku nanti
menolongmu, agar kepalamu nanti tidak sampai putus menjadi
dua. Jika kau membandel, kau dapat melihat contohnya si bangsat
tua bermarga Hong yang badannya sudah terbelah menjadi dua!“
“Aduh! Pintar sekali kau menggertak orang!“ berkata
Hiantong sambil tertawa. “Apakah kau tidak tahu, Hong
looenghiong berada didekatmu?“
Mendengar perkataannya Hui Sian yang tidak mengenal
malu, Jiam Kong tidak dapat menahan amarahnya lagi. Dengan
sekali menggenjot badannya melayang turun dari atas tebing dan
menyabet dengan pedangnya sambil membentak: “Anjing!
Rasakan pedangku!“
Hui Sian melompat mundur, sedangkan Jiam Kong lalu
menerjang lagi. Bagaikan kilat Hiantong menyelak disama
tengahdan mengebaskan tangan bajunya untuk menahan
pedangnya Jiam Kong. “Hong looenghiong,“ ia berkata. “Istirahat
saja dahulu sebentaran. Berilah aku kesempatan untuk menjajal
kepandaiannya manusia temberang ini!“
“Anjing gundul!“ membentak Hui Sian dengan sangat
gusar. “Jangan sombong! Jalanan ke akherat sudah sangat
dekat, biarlah aku antar kau kesitu!“ Sehabis berkata begitu,
pedangnya langsung menyambar kepalanya Hiantong. Dengan
tenang Hiantong menunggu sampai pedangnya musuh hampir
mengenai dirinya, barulah ia menyampok dengan tangan bajunya.
Hui Sian terkesiap, sebab ia merasakan tangannya kesemutan dan
pedangnya hampir-hampir terlepas. Baru saja ia berniat untuk
suara. Waktu itu sudah jam dua lewat tengah malam, sedangkan
keadaan disitu sunyi senyap.
Hati-hati sekali Hong Tie menghampiri sebuah kamar yang
mempunyai beberapa jendela terukir dengan kaca yang indah
sekali. Ia mendekati satu jendela kaca dan mengintip kedalam
kamar yang lampunya masih terang benderang. Kamar itu
ternyata adalah kamar tulis. Satu orang yang berpakaian indah
kelihatan sedang menulis surat, dan tanpa melihat mukanya Hong
Tie segera dapat memastikan, bahwa dialah tiekoan Kam Teng
Kong.
Sesudah mencabut golok pendeknya, Hong Tie membuka
pintu, menyingkap tirai dan melompat kebelakangnya tiekoan.
Melihat api ili bergoyang, Kam Teng Kong meletakkan pitnya
dan berniat untuk memanggil orang. Tetapi pundaknya sudah
dicekal dengan tangan yang kuat, sedangkan sebatang golok
berkelebat didepan matanya. Teng Kong bergidik sebab ia
merasakan dinginnya hawa golok yang sudah menempel pada
tenggorokannya.
“Mau mati atau mau hidup?“ tanya Hong Tie dengan suara
perlahan.
Dengan gemetaran sekujur badan dan keringat dingin keluar
dari dahinya, Kam Teng Kong mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Beberapa hari yang lalu, bukankah ada satu kimchee
(utusan kaisar)?“ tanya Hong Tie.
Kam Teng Kong kembali menganggukkan kepalanya.
“Dimana adanya kimchee itu?“ Hong Tie menanya lagi. Si
tiekoan ternganga untuk sementara tidak dapat menjawab.
“Kalau kau bisu, tulis saja diatas secerik kertas,“ kata Hong
Tie sambil tertawa.
Kam Teng Kong tahu, ia sekarang sedang berhadapan
dengan orang yang berkepandaian tinggi. Ia tahu, jika ia
membandel, jiwanya bisa melayang. Mengingat begitu, ia lalu
mengangkat pitnya dan menulis diatas kertas.
Hong Tie lalu membaca bunyinya tulisan yang seperti
berikut: “Kimchee Lie Eng Kui sekarang
berdiam di paseban dalam gedungnya congtok Hangciu,“
“Tandatangani!“ Hong Tie memerintah.
Mukanya Kam Teng Kong menjadi pucat. Melihat ia ayal-
ayalan, Hong Tie menekan golok pada lehernya dan membentak:
“Cepat!”
Disebabkan takut mati, ia terpaksa mengangkat lagi pitnya
dan menulis perkataan “Tiekoan Leng- an Kam Teng Kong,
dibawahnya kertas itu.
Sambil tersenyum Hong Tie melipat kertas itu yang lalu
dimasukkannya kedalam kantongnya.
“Tiekoan Tayjin,“ katanya seraya mengebaskan golok
didepan mukanya. “Sekarang aku mau meminta pertolonganmu.
Apa kau dapat menyanggupi?“
“Bisa, bisa,“ kata sang tiekoan.
“Bagus!“ kata lagi Hong Tie. “Sekarang aku mau bertanya,
apakah kau yang memerintahkan untuk menangkap Thio Siok
Kian dan putrinya yang bernama Thio Tiok Kun?”
Kam Teng Kong menganggukkan kepalanya.
“Mereka berbuat kedosaan apa?“ tanya lagi Hong Tie.
dia. “Aku beri batas waktu tiga hari! Dalam tiga hari, kalian harus
mencari dan membekuk orang itu. Kalau tidak, setiap orang akan
aku hadiahkan 30 pukulan cambuk rotan! Ayo, semua pergi!”
Mendengar makian dan batas tempo itu, belasan opas tersebut
tentu saja menjadi sangat ketakutan. Tetapi apa yang mereka bisa
perbuat?
Sambil menunjang janggutnya, Kwan Giok Lin memikirkan
nasibnya yang buruk. Mendadak ia ingat, bahwa dikota Hangciu
ia mempunyai satu saudara angkat yang berkepandaian tinggi.
Semangatnya menjadi terbangun dan lalu ia mengambil
keputusan untuk mengunjungi saudara angkatnya itu untuk
dimintai pertolongan. Kejengkelannya mulai berkurang dan
sesudah menenggak lagi dua mangkok arak, ia lalu keluar dari
kamar kerjanya.
Sekarang mari kita tengok Kam Hong Tie, yang sesudah
memotong telinganya tiekoan, lalu cepat- cepat pergi kepintu
kota sebelah timur, dimana Hie Kok, Hong Jiam Kong dan Kie
Ciat Seng sedang menunggu. Tanpa berbicara apa-apa lagi,
mereka segera lari menuju kota Hangciu. Jarak antara kota Leng-
an dan Hangciu masih ada seratus li lebih. Dari kira-kira jam tiga
sampai terang tanah, mereka dapat melalui kurang lebih delapan
puluh li. Pagi-pagi mereka beristirahat terlebih dahulu disatu
dusun kecil dan diwaktu tengah hari, barulah mereka melanjutkan
perjalanannya. Kira-kira sore hari mereka tiba diluar kota
Hangciu.
Tersorot sinar matahari yang hampir silam dibarat, telaga
See-ouw yang indah bagaikan seorang gadis cantik yang
mukanya dipoles dengan yan-cie. Hong Tie berempat segera
mengambil tempat penginapan di hotel “Thian Gwa Thian” di
Leng-in, ditepinya See-ouw. Mereka memilih sebuah kamar besar
diatas loteng sebelah timur. “Thian Gwa Thian” adalah sebuah
tang?“
“Setuju,“ sahut Hong Tie. “Besok pagi kita pergi kepasar
untuk membeli barang-barang yang kita butuhkan, lalu masuk
kedalam kota.”
“Dan bagaimana dengan penyamaran kita?” Tanya Ciat Seng
sambil mengawasi Hong Tie.
“Kita jadi paman dan keponakan,“ kata Hong Tie. “Apa kau
lupa, aku biasa menyamar sebagai pedagang kain sutra?“
Ciat Seng tertawa. Waktu berpaling, mendadak mulutnya
mengeluarkan suara “ih“ dan iapun berkata: “Ada bayangan abu-
abu berlalri kearah utara disepanjang telaga. Coba lihat siapakah
dia?”
Hong Tie, Hie Kok dan Jiam Kong segera saja berdiri dan
melongok keluar jendela. Benar saja diantara Cuaca yang
remang-remang, satu bayangan manusia berlari-lari disepanjang
telaga dengan memutari pohon-pohon liu. Gerakannya orang itu
luar biasa cepatnya.kakinya seperti tidak menginjak tanah. Dalam
sekejap mata ia sudah lenyap dari pandangan mata. Mereka
semua terkejut disebabkan oleh ilmu meringankan tubuh orang
itu, pasti tidak dibawah mereka berempat.
Hong Tie mengetahui bahwa diujung selatan dan ujung utara
pinggiran telaga terdapat tentara Boan dari Lek-kie-eng (Benteng
Bendera Hijau). Apa nyalinya orang itu begitu besar, ataukah, ia
tidak tahu bahwa disitu terdapat benteng tentara Boan? Hong Tie
tidak habis pikir dan ia duduk kembali tanpa berkata sesuatu
apapun. “Disitu sarangnya tentara Boan. Apakah dia mata-mata?“
Hie Kok menggerendeng seorang diri. Hong Tie sendiri tidak
menaruh kecurigaan, bahwa orang itu adalah mata-mata, sebab ia
lari dengan mengendap-endap, seolah-olah kuatir dilihat orang. Ia
Kena ditiup angin, api itu menjadi semakin besar, dan dilain
saat, telinga mereka mendengar suara gembreng pertanda adanya
bahaya api.
Hie Kok dan Jiam Kong lari ketembok sebelah selatan,
dimana dengan sekali menggenjot badan, mereka sudah hinggap
diatas tembok. Jiam Kong mencabut Hong-lui-kiam, sedangkan
Hie Kok pun sudah mencabut sebatang pedang pendek yang
diselipkan pada kaos kakinya.
Begitu melompat turun, mereka melihat kurang lebih
duapuluh penjaga penjara sedang repot menimba air disatu sumur
dan mengangkut air kepenjara sebelah utara untuk memadamkan
api.
Sementara itu, Hong Tie dan Ciat Seng sudah masuk
disebelah barat. Dengan sekali sabet dengan Thaykek Lie-hun-
kiam, rantai puntu satu kamar penjara (sel) lalu putus berserakan
diatas lantai. Ciat Seng pun lalu bekerja dengan Mo-in-kiam yang
dengan beruntun membuat putus rantai- rantai dari beberapa pintu
sel. Hie Kok dan Jiam Kong juga langsung bekerja dipenjara
sebelah selatan dan mendobrak enam-tujuh pintu dengan pedang
mereka. Mereka lalu masuk kedalam kamar-kamar itu dan
memutuskan belengunya semua tahanan yang berada disitu.
“Apa Kie Teng Peng loosianseng berada disini?” Hie Kok
berteriak. Tetapi para tahanan yang sedang berebut keluar tidak
meladeni pertanyaan Hie Kok.
Melihat pembongkaran penjara yang luar biasa berani,
ditambah dengan terjadinya kebakaran, serdadu-serdadu dan
sipir-sipir menjadi pada kebingungan. Sambil mencekal
goloknya, kepala penjara mencoba untuk menahan gelombang
tahanan yang lagi menerobos keluar. Diantara sekian banyak
tahanan terdapat bukan sedikit penjahat-penjahat besar yang
nekat. Mereka menyerbu penjaga-penjaga penjara dan dapat
Dilain pihak, Hong Tie sudah diterjang oleh satu musuh yang
bersenjatakan dua gaetan. Orang itu adalah pahlawan dari
ketentaraan, bermarga Giam bernama Pek Song dan
kepandaiannya tidak berada dibawahnya Cio Hui Sian. Hong Tie
mengetahuinya dengan jelas, ia tidak boleh lagi sungkan-
sungkan, oleh sebab itu, begitu bergebrak, ia lalu mengeluarkan
Thaykek Kiamhoat dan pedangnya menyambar-nyambar
bagaikan hujan dan angin. Satu ketika, dengan gaetan kiri Giam
Pek Song mencoba menyampok pedangnya Hong Tie, sedangkan
gaetan kanannya manyambar pundak kiri orang. Hong Tie
memutar badannya dan berbareng menikam dengan pedangnya.
Giam Pek Song mengeluarkan seruan kaget, sebab Lie-hun-kiam
sudah hampir menempel pada dadanya.
Pada saat itulah mendadak Hong Tie merasakan kesiuran
angin tajam dibelakang kepalanya. Tidak malu Hong Tie
mendapat gelar Kanglam Tayhiap. Dibokong secara begitu, ia
masih keburu memutar badannya dan pedangnya menyabet
kebelakang secara tepat sekali menyampok senjata musuh. Orang
yang membokong ternyata Un Kim Lun adanya. Dan apa yang
lebih luar biasa adalah, pada waktu memutar badan, ia masih
dapat mengerjai kakinya yang mengenakan tepat pada pundak
Giam Pek Song, yang langsung terpental beberapa tombak
jauhnya dan jatuh terlentang. Hong Tie dan Kim Lun langsung
saja saling serang menyerang dengan sangat sengitnya. Baru ewat
beberapa gebrakan, Giam Pek Song yang rupanya sudah hilang
rasa sakitnya, sudah menyerbu pula kedalam gelanggang.
Walaupun dikerubuti oleh dua musuh yang tangguh, sedikitpun
Hong Tie tidak merasa keder. Lie-hun-kiam menyambar-nyambar
keempat penjuru untuk memunahkan serangan-serangan dan
berbarengan membalas untuk menyerang. Mendadak pedangnya
Kim Lun menyambar pundak kanannya Hong Tie secara cepat
sekali. Hong Tie mengegos pundaknya sambil mengebaskan Lie-
Giam Pek Song sudah menerjang lagi. Baru lewat beberapa jurus,
satu musuh baru yang bersenjatakan golok turun juga ke
gelanggang untuk membantu Giam Pek Song. Orang itu adalah
Hap Sat To. Hong Tie tidak memberikan hati lagi kepada kedua
musuhnya itu dan terus mengirim serangan-serangan berbahaya.
Belum berapa lama, dengan gerakan Hun- sauw-cian-kun
(Menyapu ribuan serdadu), Lie-hun-kiam sudah dapat membabat
putus satu gaetannya Giam Pek Song, yang kalau tidak keburu
melompat tentu sudah mendapat nasib seperti gaetannya itu.
Saat itu matanya Hong Tie yang jeli, dapat melihat dua
bayangan melayang turun kebawah bukit. “Celaka!” ia berkata
didalam hatinya. Ia tahu kedua orang itu mempunyai maksud
yang tidak baik. Sebagaimana diketahui tadi Hie Kok telah
melompat turun untuk menolong Siauw Thian yang dilemparkan
oleh Sat Bok Kek. Hong Tie pun mengenali, bahwa salah satu
orang yang melayang turun itu adalah Moh-ma-ta sendiri.
Mengingat lihainya pendeta lhama itu yang mempunyai arit
terbang yang beracun, Hong Tie menjadi sangat menguatirkan
keselamatan Hie Kok dan Siauw Thian. Ia berniat untuk
menyusul, tetapi Hap Sat To sudah menerjang dia berulang-
ulang.
Mengetahui lihainya Kanglam Tayhiap, Hap Sat To lalu
menyerang dengan ilmu golok Kiebun Tohoat yang mempunyai
tujuh puluh tiga jurus. Goloknya berkelebatan saling susul
menyusul seperti hujan deras. Hong Tie lalu langsung melayani
dengan ilmu silat Thaykek, yang dengan kelunakan melawan
kekerasan dan berubah-ubah tidak henti-hentinya membuat
goloknya Hap Sat To selalu berada didalam jarak tiga kaki dari
dirinya. Hap Sat To yang adatnya sangat berangasan menjadi
sangat jengkel dan lalu menyerang secara membabi buta dan ini
tentunya
baling dan menyerang hebat dari tiga arah, atas, tengah dan
bawah.
Dilain pihak, melihat kawnnya belum juga dapat
menjatuhkan Pek Thay Koan, sambil membentak Lo Kun
menyabet dengan toyanya. Hong Tie yang menonton dipinggiran
tidak dapat menahan sabar lagi. Dengan sekali enjot, badannya
sudah berada dihadapan Lo Kun, dan dengan gerakan Kin-na-
chiu (ilmu menangkap), kedua tangannya menangkap toya musuh
yang langsung digentak. Lo Kun merasakan kedua tangannya
kesemutan dan toyanya terlepas. Hong Tie
mengerahkan tenaganya dan melemparkan toya itu yang lalu
amblas diantara batu-batu dilamping bukit.
Bukan main kagetnya Lo Kun yang tidak menyangka Hong
Tie mempunyai ilmu silat yang begitu tinggi. Ia membalikkan
badannya dan langsung kabur. Tetapi baru saja ia berlari belasan
langkah, ia berbalik lagi sebab mengingat senjatanya, dan tanpa
mempedulikan rasa malunya, ia pergi kelamping bukit untuk
mengambil pulang toyanya. Beberapa kali ia membetot, dengan
sepenuh tenaga, tetapi toya itu tidak bergeming. Malu dan jengkel
bercampur menjadi satu. Sambil menggertakkan gigi, ia
mengerahkan seluruh tenaganya, dan membetot sekuat-kuatnya.
Dengan satu suara keras dan baru-batu pada berhamburan, toya
itu akhirnya dapat dicabut dan Lo Kun sendiri jatuh terduduk
tanpa bisa langsung bangun kembali.
Hong Tie yang mengawasi laganya musuh dari kejauhan,
segera menghampirinya sambil menjinjing pedang. Ia melihat
mukanya Lo Kun pucat sekali, sedangkan napasnya tersengal-
sengal. Ternyata, dikarenakan menggunakan tenaga melewati
batas, ia menjadi pusing kepalanya dan kaki tangannya lemas.
Hong Tie adalah satu kesatria yang tidak pernah menarik
Thay Koan menjadi sangat girang hatinya dan, tanpa berkata apa-
apa lagi, ketiga orang itu segera berlari- lari kearah Lengin-shan
dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Beberapa saat
kemudian Yo Tian Kong juga sudah dapat bangun berdiri, dan
dengan gregetan ia segera menyusul mereka.
Sesudah berlari-lari beberapa lama, Hong Tie bertiga sudah
tiba diujungnya jalanan jurang itu. Disitu mereka dapat
mendengar suara beradunya senjata diatas gunung. Ia segera
mendaki keatas tanjakan dan berseru: “Pek sutee, ayo cepat!
Kawan-kawan kita sedang dikepung musuh diatas gunung!“
Thay Koan menggenjot badannya yang lalu terbang keatas
batu dilamping gunung. Disitu tidak terdapat jalanan untuk naik
keatas. Lamping gunung itu penuh dengan batu-batu yang pada
berlumut dan rumput tinggi. Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh dan kegesitannya, Thay Koan terus naik.
Waktu sudah mendekat punggung gunung yang terletak
dibawahnya puncak, dimana pertempuran sedang berlangsung,
dari antara rumput-rumput yang tinggi mendadak melompat satu
bayangan orang yang langsung menubruk kearahnya.
Thay Koan melihat orang itu sangat gesit gerakannya. Dari
jarak 5-6 kaki, ia melihat musuhnya berbadan kurus tinggi,
sedangkan tangannya mencekal senjata pusut (jarum) besar yang
terbuat dari baja.
“Siapa kau?“ Thay koan membentak sambil mengebaskan
pedangnya.
Orang itu tertawa dingin dan menyahut: “Bocah! Ko Jin Kiat
sudah menunggu lama untuk
membekuk kawanan penghianat!“
Mendengar nama itu Thay Koan segera mengetahui, bahwa
ia adalah salah satu pahlawan kelas satu dari congtok. Dilain saat,
musuh kita yang paling kuat. Lihat arit terbangnya! Kalau tidak
mengenakan sasarannya dapat balik pulang sendiri. Kita harus
hati-hati!“
“Ya, senjata itu memang sangat sulit untuk dipecahkan,“ kata
Thay Koan.
Baru saja Thay Koan mengucapkan begitu, Moh-ma-ta
terlihat mengayunkan tangannya dan sejunlah arit terbang
menyambar kearah mereka bersembunyi. Berbarengan dengan
menyambarnya sinar-sinar hijau, rumput tinggi yang
mengelilingi Thay Koan dan Ciat Seng terbabat kutung!
Disebabkan sudah tidak berguna bersembunyi lagi, dengan
menggunakan Hui-niauw-cut-lim (Burung Terbang Keluar
Hutan) Ciat Seng keluar sambil menikam pundaknya Moh-ma-ta.
Sambil menggeser badannya, pendeta itu mengebut dengan
lengan bajunya dan badannya Ciat Seng terhuyung tujuh delapan
langkah disebabkan kena terdorong oleh semacam tenaga yang
luar biasa besarnya. Moh-ma-ta mengeluarkan suara tertawa
seram dan mengayunkan tangannya. Tiga batang arit terbang
segera menyambar, dari atas, tengah dan bawah. Sambil
melompat tinggi, Ciat Seng memutar Mo-in-kiam untuk
melindungi seluruh tubuhnya. Begitu kebentrok dengan Mo-in-
kiam, dua arit lalu terbang balik kepada Moh-ma-ta, tetapi
arit yang ketiga menyambar terus. Pek Thay Koan yang selalu
waspada segera melepaskan golok terbangnya. Arit itu kena
terpukul miring, tetapi didalam bentrokan golok terbangnya Thay
Koan ternyata kena dibuat putus oleh arit itu! Hal ini hanya bisa
terjadi disebabkan arit tersebut dilepaskan dengan tenaga dalam
yang luar biasa besarnya.
Tiba-tiba Moh-ma-ta meluruskan tangan kanannya dan
kemudian telapak tangannya yang terpentang ditarik masuh
kedalam. Sungguh mengherankan, arit terbangnya yang barusan
––––––––
DJILID 4
yang tidak terlalu jauh. “Nah disana ada satu kelenteng, dimana
kita dapat meneduh,” katanya dengan suara girang. Mereka
mempercepat langkah dan baru saja masuk kedalam kelenteng
rusak itu, hujan sudah mulai turun.
Sesudah makan ransum kering, mereka segera bersila diatas
meja sembahyang untuk beristirahat. Kira-kira tengah malam,
tiba-tiba Hong Tie melompat bangun dan memburu kearah pintu.
Semua orang yang tidak tidur dengan pulas, langsung
mengetahui, bahwa mereka sedang didatangi oleh tamu yang
tidak diundang.
“Thay Koan!“ bisik Hie Kok, “ada orang!“ Thay Koan
menganggukkan kepalanya dan lalu bangun berdiri. Saat itu, ia
melihat berkelebatnya bayangan hitam, yang agaknya sedang
meraba-raba dalam ruangan yang gelap gulita itu. Ia mencekal
sebatang golok terbang dan begitu bayangan itu berkelebat lagi,
ia langsung menyambit.
“Ikan dalam jaring! Jangan bertingkah!“ demikian terdengar
bentakan yang diiringi dengan suara
tertawa. Suara itu agaknya seperti suara wanita. Sambil
mencabut pedangnya, Pek Thay Koan
melompat keluar, tetapi sebelum kakinya menginjak tanah, ia
disambut dengan suara bentakan: “Bocah, kau berani melawan
nyonyamu? Sambutlah!” Satu sinar berkeredepan menyambar.
Senjata itu adalah golok terbangnya sendiri! Dengan gerakan
Gan-lok-peng-see (Belibis Jatuh di Pasir Rata), Thay Koan
membuang dirinya kesamping dan menyambut golok terbangnya.
Mereka saling maju lagi beberapa langkah dan dari jarak dekat,
barulah Thay Koan dapat melihat, bahwa ia sedang berhadapan
dengan seorang wanita setengah tua yang parasnya cantik sekali.
“Bocah, apa aku bilang?“ kata Tong Sam Nio dengan tertawa
nyaring. “Kalau kau masih tidak tahu diri, kau bakalan mampus
didalam tanganku!“ Thay Koan yang kena diejek sedemikian
rupa, menjadi merah matanya dan dengan tidak memperdulikan
segala apa, ia langsung mengejar terus.
Baru saja mengejar belasan tombak, dari atas pohon
mendadak menyambar satu bayangan manusia yang langsung
mencengkeram pundaknya Thay Koan. Sebelum ia dapat berbuat
suatu apa, badannya sudah terangkat naik dan berbareng dengan
satu bisikan: “Sute, lekas menyingkir, jangan menganggu dia!“
Itulah suaranya Kam Hong Tie yang langsung melepaskan
cekalannya.
“Suheng, apa kau bertemu dengan musuh yang lain?“ tanya
Thay Koan.
“Disini bukan tempat untuk berbicara, lekas kita
menyingkir!“ sahutnya.
Baru saja mereka ingin mengangkat kaki, tiba-tiba terdengar
sambaran peluru yang meledak diatas pohon didekat mereka.
Berbarengan dengan munculnya asap, hidung mereka menyedot
semacam bau wangi yang sangat luar biasa. “Celaka!“ seru Hong
Tie sambil mengerahkan tenaga dalamnya, sedangkan tangannya
menyambar pundaknya Thay Koan yang lalu dibawa lari keluar
hutan.
“Suheng, mengapa kau begitu takut terhadap peluru itu?“
tanya Thay Koa yang merasa kepalanya
agak pusing.
“Sute, jika aku datang terlambat, kau bisa celaka.“ Sahut
Hong Tie sambil membuang napasnya. Oleh karena melihat
saudara seperguruannya masih belum mengerti, Hong Tie segera
menyelidiki keadaan kedua orang tua itu dan jika perlu ia ingin
menyusul kekotaraja.
“Hiantit, tidak perlu terburu-buru,“ berkata Hong Tie. “Dua
hari lagi, kita juga akan berangkat ke
Anhui, dan jika Hiantit ingin terus kekotaraja, kita juga boleh
pergi bersama-sama!“
Ciat Seng tidak berani membantah dan menunggu lagi dua
hari dalam kelenteng itu. Ketika itu, Siauw Thian sudah banyak
sembuh, hanya untuk mendapatkan kembali kesehatannya seperti
dahulu, ia harus beristirahat lagi untuk waktu yang lebih lama
lagi. Pek-tiang-hong bukannya tempat yang aman, sebab letaknya
Sip-hong-sie sudah diketahui oleh kaki tangannya kaisar Boan.
Hong Jiam Kong yang memikirkan rombongan Cu Yong
Keng dan tidak tahu apakah mereka sudah tiba di Hong-san atau
belum, juga menyatakan keinginannya untuk langsung berangkat.
Oleh karena merasa kelenteng Sip-hong-sie sembarang waktu
dapat disatroni musuh, maka Hiantong juga tidak mencegah
keberangkatan para tamunya itu dan hanya memesan supaya
mereka berlaku hati-hati ditengah jalan.
Demikianlah pada hari keduabelas, mereka semuanya
bersiap-siap untuk berangkat.
Pada waktu sebelum berangkat, Hiantong menyerahkan
sepucuk surat kepada Jiam Kong seraya
berkata: “Inilah surat kiriman Su Nio.“
“Siapa yang mengantar surat itu?“ tanya Jiam Kong.
“Muridku yang baru, Hoat Beng, yang baru datang dari
Siongsan,“ jawabnya. Sekarang semua orang baru tahu, bahwa
pendeta kecil itu adalah Hoat Beng, muridnya Hiantong. Jiam
Ciat Seng.
“Yong-ko tolong aku!“ sinona berteriak sambil
menggapaikan tangannya.
Mendengar teriakan itu, cepat-cepat mereka berlari
menghampiri dan menjadi sangat terkejut melihat kondisi si nona.
“Kau kenapa, adikku?” tanya Yong Keng. “Semalam kau
pergi kemana? Dimana Pek-koko?“
“Pek-koko diculik orang!“ jawabnya sambil bercucuran air
mata.
Yong Keng dan Ciat Seng manjadi pucat mendengar warta
yang buruk itu. “Cara bagaimana Pek-kok kena diculik orang?”
tanya Ciat Seng.
“Musuh menggunakan bie-hio,” menerangkan Hie Nio. “Pek
koko dibawa pergi, tidak tahu oleh siapa!“
Mereka tercengang dan mencoba menduga-duga, siapakah
penculiknya. “Apakah bukan si anjing bermarga Cio?“ kata Yong
Keng sesudah berpikir beberapa saat. Perlahan-lahan Hie Nio
bangun berdiri. Dengan kedua tangan memegangi tebing dan
napas yang tersengal-sengal, ia menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Bagaimana kau tahu, bukan pekerjaannya Cio Hui Sian?“
tanya lagi Yong Keng.
“Aku yakin pasti bukannya dia, hanya tidak tahu siapa?“
jawab si nona.
Mukanya Hie Nie terlihat merah panas dan sekujur badannya
gemetaran, seperti orang yang diserang malaria. Yong Keng
memegang dagunya si nona, yang panas bagaikan bara.
“Aku turut saja,” sahut Ciat Seng yang lalu makan dengan
lebih cepat.
Sesudah beres dengan makannya, Hong Tie dan Ciat Seng
lalu menuju kepintu kota sebelah barat dengan langkah-langkah
yang cepat. Tidak lama kemudian, mereka melihat dua orang tadi,
yang mengenakan pakainan warna hijau, sedang berlari-lari
keluar dari pintu kota. Hong Tie dan Ciat Seng lalu menguntit
dari jarak yang tidak terlalu jauh.
Sekeluarnya dari pintu kota, kedua orang itu membelok
kearah utara, kejurusan gili-gili Sungai Kuning. Belum jalan
beberapa lama, kereta yang tadi sudah kelihatan. Hong Tie
melihat sang kusir adalah seorang tinggi besar yang mukanya
kuning dan berbaju hitam, sedangkan pada punggungnya terselip
sepasang tongkat besi. Gerak-gerik orang itu kelihatannya seperti
kaum kepala opas, tetapi ia mengenakan pakaian piauwsu.
Dengan cepat kereta itu ditujukan ketempat penyeberangan.
“Cepat sedikit!” kata Hong Tie sambil menarik tangannya
Ciat Seng. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, dalam
sekejap mereka sudah tiba dipinggiran sungai. Disitu diantara
pohon- pohon yangliu, mereka menemukan kedua orang yang
berbaju hijau itu, sedangkan sang kusir, yang sudah melompat
turun dari keretanya, lalu memanggil perahu penyeberang.
Melihat laganya sang kusir yang agak bingung dan seperti
orang yang terburu-buru, Hong Tie menjadi curiga dan sangat
ingin tahu apa isinya kereta itu. Ia berlari-lari ketempat
penyeberangan sambil berteriak: “Tahan!“ Kami juga ingin ikut
menyeberang!“
Sebelum si tukang perahu menjawab, kusir itu sudah
membentak: “Jalan! Kau tidak boleh memuat orang lain lagi. Kau
tahu apa isinya kereta ini? Didalamnya berisi perak untuk
diangkut kekotaraja!“
mengucurkan air mata, Kie Teng Peng memesan agar supaya Ciat
Seng menjaga dirinya baik-baik.
Sesudah meninggalkan Liok-ho-kouw, Hong Tie bertiga
memacu kudanya kearah Pakkhia.
Selang beberapa hari, mereka tiba di Ciok-kee-chung.
Sesudah melewati pasar, disatu lapangan mereka melihat
berkerumun banyak orang yang kadang-kadang bersorak.
Mereka mendekati dan melihat satu anak kecil sedang
mempertunjukkan kepandaiannya berjalan diatas tali. Sesudah
berjalan bolak-balik beberapa kali, ia mengangkat keatas satu
kakinya dalam gerakan Kim-kee-tok-lip (Ayam Emas berdiri
dengan satu kaki), ia memberi hormat dengan menyoja kepada
semua penonton. Selagi orang-orang bertepuk tangan, si bocah
dengan menggaetkan salah satu kakinya pada tali dan melepaskan
badannya, sehingga semua penonton terkesiap. Sebelum orang-
orang dapat melihat dengan nyata gerakannya yang luar biasa
cepatnya, ia sudah berdiri tegak diatas bumi sambil tertawa
ha..ha..haa..hi…hi…hi…. Satu sorakan yang bergemuruh segera
terdengar, dan para penonton semuanya melemparkan uang
kedalam gelanggang pertunjukkan.
Sibocah lalu memunguti uang itu bersama dengan seorang
tua yang rambut dan alisnya sudah putih semua. Begitu melihat
siorang tua, Hong Tie menjadi kaget bercampur girang, sebab ia
itu bukan lain daripada Peng-ho Chung Ie Long. Selagi ia ingin
memanggilnya, satu benda kecil tiba- tiba menyambar kearahnya.
Hong Tie kaget, sebab menduga satu senjata rahasia. Ia
menyambuti benda itu, yang ternyata hanya segumpal kertas. Ia
membuka kertas itu yang berisi tulisan seperti berikut: Aku dan
muridku Ho Siang menyamar sebagai penjual silat, agar terlepas
dari perhatian. Disini terdapat banyak sekali kuku garuda, kita
Hong Tie merasa kagum dan tidak menduga orang tua itu
mempunyai ilmu meringankan tubuh yang begitu tinggi. Ia lalu
memperkenalkan Kie Ciat Seng kepada Peng-ho, sedangkan Hie
Kok lalu memerintahkan putrinya untuk langsung menjalankan
perahu.
Hie Nio mengayuh perahu, sampai pada satu tempat yang
sepi, dimana ia lalu enurunkan jangkar. Pertemuan antara orang-
orang gagah itu, sudah sangat menggembirakan hatinya semua
orang dan mereka makan dan minum sepuas hati mereka, sambil
merundingkan rencana menyateroni keraton kaisar. Sesudah
diadakan pembicaraan panjang lebar, diambil keputusan untuk
menunggu Hiantong dua hari lagi, dan jika pendeta itu belum
juga datang, mereka akan menyatroni istana dengan berpencar.
Tujuan yang paling utama ialah membunuh Yong Ceng, tetapi
apabila sampai tidak berhasil, sedikitnya mereka akan
membongkar penjara keraton untuk menolong orang-orang gagah
yang dipenjarakan disitu. Sesudah selesai perundingan, mereka
lalu beristirahat.
Pada keesokan harinya, Ho Siang terus mendesak gurunya
supaya dia diajak melihat empat paseban termasyhur dikota
Terlarang. Selama dalam perjalanan Chung Ie Long pernah
menuturkan keindahannya empat paseban tersebut yang
bentuknya seperti kurungan katak dan sudah menjanjikan
muridnya untuk melihat-lihat bangunan yang luar biasa itu.
Sepanjang cerita, empat paseban tersebut, yang berdiri diempat
sudut KoTa Terlarang, sudah dibuat pada jaman dinasti Beng atas
perintahnya Kaisar Englok.
Pagi itu, utuk memenuhi janjinya, Chung Ie Long mengajak
muridnya masuk kedalam kota. Akat tetapi, mereka tidak dapat
masuk kedalam Kota Terlarang dan hanya dapat memandang dari
sebelah luar sungai yang mengitari kota tersebut. Ho Siang
lari sampai disini,” berkata Hong Tie. “Paling baik kita pergi
ke jembatan itu!”
Baru saja Hong Tie habis mengucapkan perkataannya itu,
dari balik sebuah batu besar mendadak melompat satu bayangan
manusia, sehingga semua orang menjadi terkesiap dan memegang
gagang pedang masing-masing.
“Loosu ada disini, tidak usah dicari jauh-jauh!” kata orang
itu, yang ternyata Hie Kok adanya.
Semua orang menjadi girang sekali. “Loosu, cara bagaimana
kau dapat mengetahui, bahwa kita bakalan kabur kesini?“ tanya
Hong Tie.
“Aku sudah dapat menduga, kalian pasti akan mendapatkan
sambutan hangat di istana,“ menerangkan Hie Kok. “Penjagaan
dipintu tengah ada sangat kuat, sehingga jika kalian sampai harus
bertempur, kalian tentunya tidak akan mengambil jalan dari pintu
itu, Menurut perhitunganku, pintu Sin-bu-bun adalah tempat satu-
satunya dari mana kalian dapat meloloskan diri dan apabila kalian
mengambil jalan dari pintu itu, maka kalian pasti akan sampai
ditempat ini. Itulah sebabnya aku membawa perahu kesini untuk
menunggu kalian!“
Mendengar keterangan itu, semua orang menjadi merasa
kagum akan kecerdasan otak orang tua itu. Barusan mereka tidak
dapat melihat perahunya Hie Kok oleh karena perahu itu
ditempatkan dipinggir tebing. Tingginya tebing itu tidak kurang
dari tiga tombak, tetapi dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuh, semua orang melompat turun keatas perahu dengan tidak
menemui kesulitan.
Perlahan-lahan perahu itu dibiarkan berlayar kearah selatan.
Sesudah diadakan perundingan, semua orang berpendapat, bahwa
––––GS––––
TAMAT