com/
Karya :
Liang Ie Shen
Diceritakan oleh :
S. D. LIONG
Penerbit :
PUSTAKA SILAT
Semarang, 1962
Sumber :
T.A.H (Indozone.net)
BAGIAN 1
PENDAHULUAN
BAGIAN 2
KEGANASAN KUKU GARUDA
Tapi ternyata hati nona itu seperti ayah bundanya, keras tak
mudah ditaklukkan. Tahu-tahu ia sudat memutar tubuh dan
memberosot lari sembari berteriakteriak:
"Biarlah!"
Kejut Kiau To bukan alang kepalang. Baru dia hendak
mengejarnya, berbondong-bondong penduduk lari kearahnya,
hingga terpegatlah jalannya dan kini sinona sudah menyusup
masuk kedalam lautan api. Saking gelisahnya. Kiau To sampai
banting-banting kakinya: Begitu rombongan orang-orang itu
sudah berlalu, segera Kiau To melihat dengan jelas bahwa
perkampungan itu sudah menjadi sebuah lautan api. Sedang
dalam pada itu, Nyo Kong-lim tetap belum sadar, hingga diapun
tak dapat berbuat apa-apa.
Semenatra sinona tadi, begitu memasuki lingkaran laut api,
matanya segera terasa pedas dihamburi gulungan asap tebal,
hingga ia tak dapat melihat jelas suatu app lebih jauh dari satu
tombak jaraknya. Bagaikan seekor anak rusa tersesat jalan, ia lari
kesana sini dengan membabi buta. Rambut dan pakaiannya,
sebagian hesar sudah termakan letikaa api. Dengan susah payah
barulah ia berhasil menemukan rumah kediamannya. Tapi baru
hendak menobros masuk, ia sudah diseret oleh seseorang.
"Nona Tio.....! In-moay......! Lekas menjingkir dari sini.....!"
seru orang itu.
Nona itu ternyata she Tio dan memakai nama-tunggal In. Ia
adalah puteri kesajangan dari Siau-beng-siang Tio Jiang, tokoh
yang dihormati oleh kaum persilatan patriot. Demi diketahuinya
bahwa orang itu adalah si "penjahat" Tong Ko, ia segera
mengirim dua buah tamparan kemuka orang. Seketika itu juga
kedua belah pipi Tong Ko menjadi bengap matang biru. Tapi dari
BAGIAN 3
MATI KEGIRANGAN
Kala itu hari sudah gelap. Rembulan mulai muncul dari ufuk
timur. Setelah minum dua teguk air. Tong Ko menampungkan
tangan,mengambil air untuk disiramkan ketubuh Tio In. Tak
berapa. lama kemudian, sinona mulai siuman. Tapi begitu
didapatinya Tong Ko berada disampingnya, dengan gemasnya ia
mengirim sebuah jotosan, bluk....., terjerembablah Tong Ko jatuh
kebelakang.
"Bangsat macam kau ini! Sekalian saudara sama mengira
bahwa walaupun kepandaianmu cetek, tapi kelakuanmu jujur.
macam Tio Jiang, dia pasti akan pucat dan hatinya kebat kebit.
Tapi oleh karena Tong Ko berhati bersih, bukannya takut dia
malah balas menatap.
Tukar pandangan itu berlangsung sampai beberapa kejap,
baru sejenak kemudian Tio Jiang membuka mulut: "Tong Ko tadi
kau mengatakan bahwa yang membawa Tok-kak-sin-mo Sin Tok
bertiga adalah kau, benarkah itu?"
Oleh karena merasa bahwa selama ini tak pernah berbuat
jahat, maka pikiran Tong Ko hanya pada Tio In seorang saja.
Bukannya menyahut, dia bahkan balas bertanya: "Apakah nona
In sudah tersusul?"
Tio Jiang menggeram, serunya: "Ketiga durjana itu sudah
lari. Siau Inpun sudah ikut mamahnya kembali ke Giok-li-nia,
sekalian orang gagah dari berbagai daerahpun juga sudah
berkumpul disana. Tong Ko, ketika kau hendak masuk kedalam
perserikatan kami, ada orang yang mengatakan bahwa parasmu
keliwat cakap tentu tak boleh dipercaya. Tapi kuanggap karena
kau benar-benar seorang manusia yang ingin berbakti kepada
negara, maka kululuskan kau kucurkan darahmu selaku masuk
perserikatan. Kau seharusnya percaya akan diriku, kalau ada
persoalan, hendaknya terus terang memberitahukan padaku!"
Ucapan itu walaupun bernada rawan, tapi mempunyai daya
pengaruh sehingga setelah terlongong-lolong sampai sekian saat
barulah Tong Ko menyahut: "Benar, memang Sin Tok dan kedua
saudara Shin itu aku yang membawanya, tetapi .............. "
Baru mendengar kata-kata Tong Ko yang dimuka itu, hati Tio
Jiang sudah mendelu sakit sekali. Tadi bersama Yan-chiu dia
gunakan ilmu berlari cepat untuk mengejar ketiga jagoan itu.
Dengan mengambil jalan pendek, dapatlah dia mendahului
BAGIAN 04
HUKUMAN MATI
BAGIAN 5
SI LIMBUNG DAN SI LINGLUNG
BAGIAN 06
SEBUAH PERTEMUAN
BAGIAN 7
TERTANGKAP LAGI
batok kepalanya, malah hampir saja tepat pada jalan darah peh-
hui-hiat. Sudah sejak kecil mula, Tio In belajar silat, jadi
Iwekangnyapun tinggi. Semburan ludah tadi, ia iring dengan
tiupan Iwekang. Sekalipun kepandaian Hiat-ji lebih tinggi
darinya, tetapi tak urung dia merasakan kesakitan juga. Sudah
tentu dia gusar sekali.
"Siau-ya menghargai dirimu, sebaliknya kau begitu kurang
ajar. Kalau masih melawan, tentu kuhabisi jiwamu. Apa kau
anggap aku ini tak lebih jempol dari kekasihmu si Tong Ko itu?"
bentaknya.
Disamping mendapat latihan silat, pun Tio In dididik ayahnya
dengan budi perilaku yang luhur. Apalagi dalam sehari-harinya ia
selalu bergaul dengan para orang gagah yang berwatak ksatrya,
jiwa patriotnya sudah mendarah daging dalam sanubarinya.
"Fui....., kau seorang budak Ceng yang tak punya muka,
perlu apa banyak bacot!"
Kali ini Hiat-ji hanya mengangkat bahu, sahutnya dengan
mengejek: "Aneh bin ajaib, nona secerdas kau mengapa bisa
menjintai seorang Tong Ko. Apakah dia itu tak sealiran dengan
aku? Nona In, Tong Ko berkepandaian dangkal, kalau dijajarkan
dengan kau, laksana lumpur dengan salju bedanya. Lebih baik
kau ikut aku kekota raja saja.. untuk menunggu kunjungan ayah
bundamu. Kalau mereka itu tahu diri, dapatlah kita bersama
menjadi menteri kerajaan. Bila mereka membangkang itupun
sudah takdir Ilahi, aku tetap akan menjediakan diri agar kau tak
mendapat suatu gangguan apapun"
Kata-kata Hiat-ji makin melantur tak keruan, namun Tio In
tak dapat mencari jawaban. Tanpa menunggu jawaban orang
lagi. Hiat-ji terus ringkus Tio In untuk dikempitnya. Tio In hendak
The Ing terperanjat, tapi ketiga orang itu sudah jauh. Kecuali
memiliki ilmu meringakan tubuh yang lihay, tak mungkin untuk
mengejarnya.
"Ah, tak, mungkin mengejarnya, lebih baik kita susul mereka
kekota, raja!" serunya.
Wajah Tong Ko tampak bersungguh-sungguh, ujarnya: "The-
heng, memang kita harus mengejarnya. Entah bagaimana, nona
In telah diculik lagi oleh si Ce-cing-long Shin Hiat-ji!"
"Nona In? Siapa ia?" The Ing terkesiap kaget.
Dalam saat itu, Tong Ko tak mau menerangkan panjang
lebar, maka dengan ringkas saja dia menyahut: "Sudah lama aku
saling mencinta dengan dia, jadi tak dapat kuberpeluk tangan
melihatnya diculik orang!"
Sekonyong-konyong wajah The Ing berobah pucat dan
termangu-mangu sampai sekian saat.
"Kita sendiri tak nanti dapat mengejar, kecuali menjuruh si
Toa-gin dan Siau-gin!" akhirnya dia berkata dan lalu bersuit.
Sekejap saja kedua ekor kera besar itu melayang datang.
"Bawalah rombongan kera untuk mengejar ketiga
penunggang kuda itu! Ingat, jangan melukai nona itu!" kata The
Ing sembari menunjuk kemuka.
Kedua binatang itu meringkik nyaring, sekali tubuhnya
bergerak, mereka sudah berada tiga empat tombak jauhnya.
Rombongan kera kecilpun sama cuwat-cuwit ber loncat2an lari
dengan pesat sekali. Dalam sekejap sadia, tampak disebelah
muka berpuluh-puluh letikan perak berlincahan dan pada lain
saat sudah menghilang tak kalihatan lagi.
BAGIAN 8
ORANG ANEH DALAM GOA
Kera itu berjalan kemuka, tapi baru beberapa tindak dia sudah
berpaling kebelakang seraya cuwat-cuwit.
"Ngaco, biarpun malaekat dari langit, aku tetap akan
menemuinya" bentak The Ing pada piaraannya. Kemudian The
Ing menerangkan pada Tong Ko bahwa turut kata Siau-gin, orang
itu teramat lihay karena mempunyai sebuah pian panjang (tiang-
pian)
"Luka-luka dibadannya itu, disebabkaa karena hajaran pian
orang Itu. Siau-gin lebih suka menderita daripada, membawa
kita ketempat bahaya itu," kata The Ing.
Tong Ko kagum juga atas kesetiaan binatang kera itu.
Sembari mengelus-elus bulu perak Siau-gin, dia bertanya : "Siau-
gin, jangan kuatir. Sekalipun kita terjerumus dalam bahaya, tetap
kita hendak meacarinya. Adakah kau tahu kemana larinya ketiga
orang itu ?"
Siau-gin membelalakkan matanya, lalu cuwat-cuwit
beberapa kali. Adalah The Ing yang menerangkan pada Tong Ko
bahwa belum berapa jauh kawanan kera itu mengejar, tiba-tiba
terpegat oleh siorang aneh itu. "Heran, itu waktu kita tengah
berbicara dengan Hui-lay-hong Yaa-chiu, biasanya kera itu buas
sekali. Begitu ada orang hendak menangkapnya, mereka tentu
berteriakteriak riuh rendah. Tapi mengapa kita sama sekali tak
mendengarnya? Ah, sudahlah, Siau-gin, ayo lekas tunjukan kita
kepada orang itu!"
Bermula kera itu tetap mengawasi kepada kedua anak muda
itu, seolah-olah dia enggan mengantarkan. Tapi setelah didesak
oleh The Ing, akhirnya terpaksa dia pergi juga. Sejam lamanya
berjalan, kiranya mereka menjurus kejalan tadi, balik kembali
kearah lembah. Tiba-tiba Siau-gin membiluk kesebelah kanan
“Lihat sajalah!" sahut The Ing lalu memutus dahan itu hingga
menjadi setengah meter panjangnya. Dengan jari telunjuk dia
menggurat dahan itu dengan tulisan yang berbunyi begini: "Kita
tak saling kenal, mengapa merampas kera, mohon berkunjung
The Ing.
Kini baru tahulah Tong Ko. Oleh karena dia bukan seorang
yang takut urusan, maka dimintanya supaya namanyapun ditulis
juga.
"Apa kau tak takut?" tanya The Ing. Tong Ko tak menyahut
hanya menyambar potongan kayu ditangan kawannya itu.
Dilihatnya guratan pada kayu itu hampir setengah dim dalamnja.
Diapun menggurat dengan jari telunjuk namania sendiri lalu
disertai kata "menghaturkan hormat". Tapi didapatinya guratan
The Ing lebih dalam. Diam-diam dia kagumi kepandaian
kawannya itu.
Melihat kata-kata "menghaturkan hormat" itu, The Ing
tampak kerutukan kening.
Tong Ko yang mengerti isi hati kawannya itu segera
memberi keterangan bahwa menilik kepandaian orang didalam
goa itu sedemikian saktinya, tiada jeleknya kalau berlaku
menghormat sedikit.
Begitu menyambuti potongan dahan itu, The Ing mundur 3
langkah kebelakang. Setelah kerahkan semangat, dia lempar
dahan itu kearah air terjun. Memang sewaktu baru melayang,
dahan itu pesat sekali layangnya. Tapi begitu tiba dimuka air,
gayanya agak tenang dan ketika menobros, air tidak tampak
tepercik sama sekali. Makin kagum Tong Ko melihat kepandaian
sang kawan itu, dan dia lalu tunjukkan jempolnja selaku memuji.
The Ing hanya ganda tersenjum saja. Tiada berapa lama
Entah terbuat dari apa jaring yang luar biasa besarnya Itu.
Kera-kera gin-si-kau itu bertenaga besar, kukunyapun tajam
sekali. Pagar kayu yang bagaimana kuatnya, tak nanti dapat
mengurung mereka. Tapi anehnya kawanan kera itu seperti tak
berdaya didalam jaring. Disebelah jaring besar itu. tubuh tinggi
besar dari Toagin tampak digantung dengan kaki tangannia
terikat dua buah tali halus. Siau-gin segera lari keatas. Kedua
ekor binatang itu sama menjerit-jerit dengan pilu. Tampaknya
diujung goa situ, kecuali rombongan kera, tiada seorangpun jua.
Sudah sejak kecil The Ing berkawan dengan kawanan kera
itu. Jadi seolah-olah sudah terjalin suatu persahabatan yang
akrab sekali. Lebih-lebih terhadap Toa-gin dan Siau-gin. Maka
demi melihat Toa-gin digantung begitu rupa, bukan kepalang
marahnya The Ing. Tanpa hiraukan suatu apa lagi, dia enjot
tubuhnya loncat keatas terus menarik tali merah pengikat itu.
Pikirnya, tali yang begitu halus tentulah sekali tarik dapat
diputuskan. Tapi diluar dugaan, bukan saja tali tak putus bahkan
kalau dia tak cepat-cepat lepaskan cekalannya, tentulah
tangannya tersajat oleh tali. Ketika diperiksanya, ternyata
telapak tangannya pun tampak menggurat selarik.
"Tong-heng!" serunya dengan kaget. Tong Ko mengiakan
dan menghampiri tapi berbareng pada saat itu, dari arah sudut
goa terdengar suara orang ketawa terbahak-bahak seraya
berkata: "Nona kecil tangannya sudah tergurat jaring ceng-si.
Untuk keluar dari sini, sungguh tak mudahl"
The Ing terkejut bukan kepalang, bukan saja karena kata-
kata jaring ceng-si (jaring percintaan) itu, pun juga karena dirinya
dipanggil "nona kecil" itu. Sebaliknya Tong Ko, menjadi
termangu-mangu. Heran dia dibuatnya adakah didalam goa situ
terdapat seorang nona? Atau Tio Inkah? Begitu rupa perasaan
hidup itu selain boleh keluar dari goa ini pun akan memperoleh
sesuatu dari aku yang luar biasa. Nah, kuberi kalian waktu
setengah jam untuk berpikir. Setelah mengambil keputusan,
kasihlah jawaban padakul"
Habis berkata begitu, orang aneh itu lalu mengatupkan
kedua matanya dan duduk tepekur dengan diam, laksana sebuah
patung bisu yang terpasang disudut goa. Barangsiapa yang tak
meperdatakam tentu takkan menyangkanya kalau dia itu
seorang insan hidup.
Tong Ko dan The Ing sama terbenam dalam kebimbangan.
Adalah pada lain saat tampak The Ing lepaskan kopiah pelajarnya
dan menguraikan rambutnya yang mengkilap bagus. Kedua
belah pipinya bersemu dadu, walaupun mengenakan pakaian
pria, namun nampak jelas akan kecantikan yang menampil.
Diam-diam Tong Ko gelisah dan tak habis herannya mengapa
orang aneh itu mengikrarkan sumpahnya yang sedemikian itu.
Dia sudah menghaturkan hatinya kepada Tio In, bagaimana
dapat dia menjadi suami isteri dengan The Ing? Memikir sampai
disitu, tak berani dia lama-lama mengawasi pada The Ing.
Beberapa saat kemudian, terasa sisi badannya tersembur
oleh semacam hawa hangat. Waktu dia menoleh, kiranya itulah
wajah The Ing yang kemerah-merahan segar bagai sekuntum
bunga tengah mekar, sedang mengangakan mulut hendak
mengatakan sesuatu.
"The............... "
Baru saja Tong Ko mengatakan begitu, The Ing sudah
menukasnya dengan tertawa: "Masih menyebut The-heng
(engkoh The) lagikah?"
sutera itu, tampak ada selarik guratan darah. Sudah tentu gusar
Tong Ko tak terhingga.
"Wanita busuk, kau punya peribudi tidak?" dampratnya.
Wanita aneh itu menengadah tertawa sinis, ujarnya:
"Peribudi? Hm, dikolong langit ini siapakah yang mempunyai
peribudi?"
Dan benang suterapun melayang pula, tepat mengenai
lengan bawah Tong Ko. Kali ini bahkan lebih berat dari yang tadi,
hingga lengan bajunya putus dan guratan pada lengan itu sampai
3 dim dalamnja. Waktu ditarik, lengan Tong Ko mengucurkan
darah. keringat dingin membasahi tubuh. Melihat itu The Ing tak
tega, buru-buru dia mencekal tangan wanita itu seraya meminta
dengan meratap: "Harap cianpwe berhenti mendera. Dia
memang seorang yang beradat keras, mulutnya tak pernah
mohon kasihan, hendaknya cianpwe sudi memberi ampun !"
Tiba-tiba wanita itu menghela napas, ujarnya: "Nona yang
baik, begitu dalam kau tumpahkan hatimu kepadanya, namun
dia begitu tawar terhadapmu. Tiada hal yang paling kubenci
daripada terhadap seorang pria yang mensia-siakan cinta kasih.
Mengapa kau mintakan ampun untuknya?"
Tong Ko bermula tak mengetahui kalau The Ing itu seorang
gadis, disamping itu sebelumnjapun Tong Ko sudah saling
menjinta dengan Tio In. Maka The Ing dapat menerima alain
pikiran Tong Ko dan tak dapat mempersalahkannya.
"Cianpwe, dia tak men-sia-siakan dirikul" tersipu-sipu ia
menerangkan.
"Hm....., memang sudah wajar kalau seorang gadis yang
tengah dimabuk asmara itu selalu melindungi sang kekasih. Saat
ini kau dibutakan oleh cintamu, hingga rasanya kau rela juga
mati untuknya. Tapi coba renungkan, walaupun dia cakap sekali
parasnya, hatinya bagaimana? Pada saat dia tak menyintaimu
lagi, dia nanti akan berbuat bagaimana, sudahkah kau
membayangkannya?" habis menyadarkan pikiran sinona, wanita
itu kebutkan lagi benang suteranya sampai beberapa kali. Dalam
beberapa kejap saya, tubuh Tong Ko telah menerima dera
sampai tujuh delapan kali.
Kecuali menutupi mukanya dengan tangan, Tong Ko tak
dapat berbuat apa-apa lagi dalam jaring itu. Tujuh delapan kali
dera hajaran itu, telah membuat seluruh tubuhnya bertabur luka
yang belumuran darah. Tapi wanita itu bukannya sudah, malah
dengan kertek gigi seolah-olah sedang menghadapi seorang
musuh besar, kembali mengajunkan tangannya sampai beberapa
kali pula. Sampai disini, hati The Ing benar-benar tak tahan.
"Sudahlah, kalau mau pukul, pukul aku sajalahl" serunya
sembari loncat kemuka menubruk jaring itu.
"Nona The, jangan gegabah. Lekas keluar dari goa inil" Tong
Ko menjadi terkejut dan sibuk. Tetapi The Ing tak mau
menghiraukan lagi. Dia enjot kakinya loncat keatas, setelah
menjisih seekor kera yang berada didalam jaring situ, ia lalu
masuk dan memeluk Tong Ko. Air matanya mebanjir turun, butir-
butir ketesannya waktu menjatuhi luka-luka ditubuh Tong Ko,
telah membuat anak muda itu meringis sakit.
Siwanita aneh menjadi terbeliak kaget melihat perbuatan
The Ing, serunya: "Siaucu (budak) dengarlah! Nona itu sangat
menyintaimu, kalau kau meluluskan untuk melangsungkan
pernikahan dengannya, kau tak usah menderita dera siksaan lagi
!"
BAGIAN 9
MELOLOSKAN DIRI
Tio Inpun insjaf akan keadaan yang seruncing itu. "Budi cici
itu, takkan kulupakan seumur hidup!" ia berseru keras-keras lalu
pondong tubuh Tong Ko dibawa lari keluar. Tak antara berapa
lama, dapatlah ia menobros keluar dari air terjun. Masth
terdengar deru kumandang air terjun itu menumpahkan airnya
dan suara gemerincing senjata beradu ditingkah dengan jeritan
ngeri dari kawanan kera. Namun Tio In tak berani hentikan
larinya. Setelah 3 li jauhnya, barulah ia berhenti. Dicarinya
sebuah batu besar untuk meletakkan tubuh sang kekasih. Demi
dilihatnya tubuh pemuda yang menjadi tambatan hatinya itu
bertaburan luka dan noda darah, hati Tio In seperti disajat
sembilu.
Pada lain saat, Tong Ko tersadar. Begitu tampak Tio In
disisinya, dia segera bertanya: "In-moay, bagaimana kita dapat
berada disini? Adakah aku ini sedang bermimpi? Matikah sudah
aku ini?"
Tio In tuturkan apa yang sudah terjadi barusan. Mendengar
itu, tiba-tiba wajah Tong Ko berobah pucat. Serentak loncat
bangun dia berseru: "In-moay, mengapa kaulakukan perbuatan
yang tak selayaknya ini?"
Tio In terkesiap, tanyanya "Kesalahan apa yang kulakukan?"
"Nona The telah korbankan jiwanya untuk menolong aku
dan kau. Baginya, sudah tentu ia rela ichlas, tetapi apakah kita
berpeluk tangan saja membiarkan penolong kita dicelakai orang?
Lekas balik kedalam goa sana, lekas, lekasl Tong Ko beringas
seperti orang kalap.
Tio In terbelalak, sahutnya: "Ko-ko, kalau kita balik kesana,
apakah tidak berarti mengantar kematian juga?"
BAGIAN 10
PUKULAN MAUT
Bahwa dalam saat dan tempat seperti itu sinona masih main
ngambek2an, sebenarnya Tong Ko kurang senang. Namun
terpaksa dia bergeliat bangun untuk mengejarnya seraya
berseru: "In-moay, In-moay, ah mengapa kau tak mengerti isi
hatiku?"
Melihat sang kekasih mengikutinya, Tio In tak tega juga.
Dengan menghela napas ia berputar balik lalu memapah tubuh
Tong Ko. Tapi baru mulutnya hendak mengatakan sesuatu,
"Hal itu sudah kuketahui", sahut Tio Jiang lalu berseru: "Tay-
keng....! Tay-keng....!"
Seorang pemuda mengiakan dan masuk. "Ayah, ada urusan
apa?" serunya. Tong Ko kenal pemuda itu sebagai putera sulung
darl Siau-beng-siang Tio Jiang yang bernama Tio Tay-keng. Anak
muda itu telah memperoleh seluruh pelajaran ilmu pedang to-
hay-kiam-hwat dari ayahnya. Dia tergolong seorang jago muda
yang sangat dimalui. Lama nian Tong Ko taruh perindahan pada
anak muda itu.
Begitu tampak pemuda yang gagah itu, sebenarnya mulut
Tong Ko sudah hendak memberi salam. Tapi tiba-tiba dia
teringat akan kejadian beberapa hari yang lalu.
Malam itu ketika dia bersembunyi didalam sungai, datang
Sin Tok dan kedua saudara Shin. Dalam pembicaraan, Sin Tok
antara lain mengatakan bahwa Tio Jiang tentu tak menduga
sama sekali kalau malapetaka itu adalah perbuatan puteranya
sendiri. Oleh karena putera bungsu Tio Jiang yaitu Siau Seng
sudah binasa, maka yang dimaksudkan oleh Sin Tok itu tentulah
si Tay-keng. Teringat pula waktu hari bahwa adanya dia (Tong
Ko) dapat berkenalan dengan Sin Tok bertiga itu pun karena
dianjurkan oleh Tay-keng.
Itu waktu Tay-keng mengatakan bahwa ada 3 orang gagah
yang rupanya hendak pergi ke Giok-li-nia, sebaiknya dia (Tong
Ko) mengikat persahabatan dengan mereka, tentu akan besar
manfaatnya.
Bukantah itu merupakan suatu perangkap yang
direncanakan lebih dahulu? Teringat sampai disini, lupalah sudah
Tong Ko untuk memberi salam teguran tadi pada Tay-keng. Tapi
rontoknya bulu angsa (artinya: tak berharga). Kalau kali ini dia
harus mati karena disiasati, itu artinya suatu kematian yang tak
berarti atau sama dengan rontoknya bulu angsa. Diapun cukup
tahu, penjelas an yang bagaimanapun tentu takkan diterima oleh
Siau-beng-siang Tio Jiang lagi. Dilihatnya Siau-beng-siang tengah
menatap dirinya tajam-tajam. Asal tokoh itu mengangguk, Tay-
keng tentu akan menyerang. Ilmu pedang to-hay-kiam-hwat
sangatlah lihay, jadi sukar untuk meloloskan diri darl bahaya
maut. Ah, daripada mati penasaran lebih baik dia mencari akal
untuk melarikan diri. Sebelum ajal berpantang maut dahulu.
Kelak tentu ada kesempatan lagi untuk menjeaskan duduk
perkara yang sebenarnya.
Setelah mengambil keputusan tetap, selagi Tay-keng tak
menduga bahwa kini Tong Ko telah menjadi seorang "baru" yang
memiliki dua macam Iwekang istimewa sekonyong-konyong dia
sambar pedang yap-kun-kiam dari atas meya, terus dibabatkan
kearah pedang Tay-keng, tring.... kutunglah pedang Tay-keng
menjadi dua. Membarengi itu dia tamparkan tangan kiri
kekepala anak muda itu.
Mimpipun tidak Tay-keng kalau Tong Ko berani berbuat
senekad itu. Buru-buru dia berkelit lalu timpukkan kutungan
pedangnya kepada Tong Ko. Tapi Tong Ko siang-siang sudah
memperhitungkan hal itu. Dia tendang meja hingga terjungkal
dan seketika itu gelaplah seluruh ruangan situ. Yang terdengar
hanya gerung kemurkaan Tio Jiang dan Tay-keng, diseling
dengan deru sambaran pukulan menghantam kalang kabut. Tapi
Tong Ko sudah menyelinap keluar. Dari situ dia memutar
kebelakang rumah. Dari lubang tembok bekas hantaman Tioc
Jiang tadi, tampak olehnya dari dalam ruangan ada dua sosok
bayangan loncat keluar. Kedua ayah beranak itu tentu mengira
BAGIAN 11
MENDAPAT ILMU
BAGIAN 12
GOLOK YANG MENGGUNCANG DUNIA
(Kian-thian-it-gwan pik-li-to)
Ya, tak salah lagi itulah tempat gua siwanita aneh. Dengan
Plan ditangan kiri dan golok ditangan kanan, dia loncat
menobros masuk kedalam air terjun. Berkat cahaya benderang
dari golok pusaka itu dapatlah dia mengetahui keadaan dalam
gua situ. Lagi-lagi dla disuguhi dengan pemandangan yang aneh.
Bukan saja dalam gua situ kosong melompong tiada terdapat
barang seorangpun, juga jaring ikan yang tergantung disitu,
lenjap entah kemana. Masih Tong Ko tak puas, lalu menuju
kesudut untuk mencari wanita aneh itu, tapi juga wanita bekas
bidadari dunia itu tak kelihatan bayangannya.
Lorong tikungan gua situ, amat banyak. Satu demi satu.
Tong Ko menyusurinya, kecuali beberapa kamar batu, tiada
barang sesuatu yang dijumpainya Didepan sebuah kamar batu
terhampar sebuah papan batu (tempat The Ing dikurung waktu
hari), dia me nemukan sebuah ikat kepala pelajar yang bukan
lain adalah milik The Ing. Tong Ko makin gelisah. Setelah sia-sia
mencarinya, terpaksa dia keluar lagi. Memandang kearah air.
mancur yang. mencuram dari atas karang itu, hati Tong Ko amat
gundah.
"Nona The" dimana kau berada?" tanpa merasa dia berkata
seorang diri.
Sekonyong-konyong didengarnya ada suara berkeresekan
dari semak-semak rumput disebelah. atas. Tatkala diawasinya
seperti ada dua sosok tubuh berbaring ditengah semak rumput
itu.
Bergegas-gegas dia menuju kesana, dan astag, kirania Toa-
gin dan Siau-gin sedang meregang jiwa (sekarat). Begitu tampak
sianak muda, mata kedua binatang itu berkicup-kicup tetapi
tubuhnya tetap tak dapat berkutik. Dada dan punggungnya,
BAGIAN 13
DI GUNUNG SERIBU
Untuk mencari dua orang yang berupa orang tua The Ing, ibarat
seperti mencari sebatang jarum didalam lautan sukarnya.
Tambahan pula nona itu belum pernah menerangkan tentang
ciri-ciri kedua orang tuanya itu.
Menghadapi kesulitan itu, Tong Ko tertegun sejenak dan lalu
turun dari kudanya untuk melepaskan lelah. Beratnya melakukan
pesan seorang sahabat berbudi, biar bagaimana dan betapapun
lamanya, dia tetap hendak mencarinya sampai dapat. Seminggu
lama nja dia menjelayahi daerah gunung itu, machluk buas
maupun bangsa ular yang menghuni dihutan pegunungan situ,
sudah banyak yang dijumpainya, namun seorang manusiapun
belum pernah dilihatnya.
Malam itu dia tengah rebahkan diri diatas sebuah pohon
besar. Sekonyong-konyong didengarnya ada derap kaki
mendatangi. Tong Ko menggeliat bangun, tapi buru-buru
rebahkan diri lekat-lekat pada dahan pohon lagi. Pada lain saat
derap kaki itu makin dekat dan tampaklah 3 orang berjalan
menghampiri. Yang dimuka sendiri, bukan lain adalah Tio Tay-
keng, putera sulung Tio Jiang. Dibelakangnya mengikuti dua
orang, siorang tua kate dan Ci-ceng-long Shin Hiat-ji!
"Tio-heng, ucapan ayahmu, rasanya tentu tak keliru bukan?"
tiba-tiba kedengaran Hiat-ji membuka mulut.
"Sudah tentu benar. Ayahku selalu memegang teguh apa
yang diucapkan, tak pernah dia menelan ludahnya lagi!" sahut
Tay-keng sambil tertawa.
"Bagus, Tio-heng. Bilamana usaha kita kali ini berbasil,
pemerintah Ceng tentu akan memberi pangkat besar padamu.
Kedosaan ayahmu selama ini, tentu juga akan diberi
pengampunan. Orang mengatakan bahwa tiong (setia pada
negara) dan hau (berbakti pada orang tua) itu tak dapat
dikerjakan sekaligus. Tetapi kau, Tio-heng, ternyata
membuktikan ketidak benarnya ujar-ujar usang itu!"
"Ah, Shin-beng terlalu memuji" sahut Tay-keng mengulum
tawa. Mereka bertiga berjalan seenaknya saja sambil pasang
omong, hingga ketika lalu dibawah tempat persembunyian Tong
Ko, mereka tak memperhatikan diatas pohon.
Kini barulah Tong Ko mendapat kepastian sungguh-sungguh,
bahwa Tay-keng, putera Siau-beng-siang Tio Jiang sang patriotik
itu, ternyata bersekongkol dengan kawanan kaki-tangan
pemerintah Tieng. Entah untuk tujuan apa mereka datang ke Sip-
ban-tay-san situ. Mengingat fitnah yang dideritanya dari mereka,
turut kemauan sang hati, ingin benar Tong Ko segera loncat
turun untuk melabraknya. Namun sang kesadaran mencegahnya,
karena insjaf akan kekuatannya sendiri.
Pada waktu ketiga orang berjalan tiga-empat tombak
jauhnya dari tempat persembunyiannya. Tong Ko samar-samar
masih dapat menangkap kata-kata mereka yang antara lain
menyebut-menyebut "Thiat-nia", "Kit-bong-to kepala suku Thiat-
theng-biau", "Apa yang dikatakan ayahku itu, tentulah ilmu golok
It-gwan-to-hwat" dan lain lain. Timbullah dugaan Tong Ko,
bahwa kedatangan ketiga orang kegunung situ tentulah
mempunyai rencana yang tidak-baik, Rupanya mereka itu akan
mencari sumber ilmu golok It-gwan-to-hwat yang sakti itu.
Ah...., inilah suatu kesempatan yang bagus untuk
mengikutinya. Resikonja memang besar apabila sampai
ketahuan, namun Tong Ko tak gentar menghadapinya. Segala
usaha, besar atau kecil tentu mengandung risiko, demikianlah ia
merangkai putusan dan dengan hati-hati dia loricat turun.
lengan dan bahu Tong Ko. Sakitnya bukan alang kepalang. Dalam
pada itu Hiat-ji tampak loncat kebelakang sembari menarik liong-
kau-pian Iawannya.
"Pian yang bagus!" mulut Hiat-ji memuji ketika memeriksa
liong-kau-pian itu.
Dicobanyalah pian itu untuk menghantam tanah.
Tong Ko insjaf bahwa penderitaannya itu disebabkan
campur tangan sikate.
Dalam kalapnya dia benturkan kepalanya kearah Hiat-ji. Tapi
anak mata ungu itu menjeringai, tar...... disongsongnya
kedatangan Tong Ko itu dengan sabetan liong-kau-pian. Tak
ampun lagi, tubuh Tong Ko menggelepar ditanah. Masih si Hiat-ji
itu tak kenal kasihan, dia mengirim pula dua buah cambukan,
kedada dan kebahu Tong Ko. Pakaian Tong Ko compang-
camping, darah mengalir dan orangnyapun tak ingat diri lagi.
Hiat-ji mengekeh iblis. Sementara Tay-keng sebenarnya
sudah siap sedia untuk turun tangan apabila Hiat-ji tak berhasil
membereskan Tong Ko. Karena dalam pikirannya kalau sampai
anak itu lolos dan melapor pada ayahnya (Tio Jiang), celakalah
dia tentu.
"Shin-heng, biar kuhabiskan sekali jiwanya!" serunya dengan
girang kala Tong Ko rubuh. Maju kemuka dia ajunkan pedang
untuk menusuk, hai....., diluar dugaan tubuh Tong Ko itu dapat
menggelundung untuk menghindar.
Memang walaupun terluka sampai pingsan, tapi Tong Ko hanya
menderita luka luar. Berkat kemajuan Iwekang yang
diperolehnya, dalam sekejap saja dia sudah siuman lagi. Baru
membuka mata atau sinar ujung pedang Tay-keng sudah
Dan kejutnya itu makin memuncak, ketika tiba-tiba ada dua buah
angkin pelangi (sabuk kain berwarna) meluncur keluar dari
semak-semak itu. Yang sebuah, seperti ular merayap kebawah
menuju kearah Tong Ko sedang yang satu lagi, laksana seekor
naga melayang menyambar kearahnya. Yang diketahui angkin
itu kurang lebih 2 meter lebarnya, tapi mana pangkalnja tak
kelihatan karena masih berada dalam semak. Warnanya gilang
gemilang, warna yang hanya terdapat pada kain sutera pilihan.
Waktu melayang, benda itu menerbitkan deru angin yang keras.
Sebagai seorang jago lihay, segeralah siorang tua kate itu
mengetahui betapa hebat Iwekang orang yang melepaskan itu.
Masa angkin sepanjang 4 tombak dapat dibuat menyerang
menurut sekehendak hatinya? Insjaf akan bahaya, orang tua
kate itu buru-buru menjingkir, maka jatuhlah angkin itu ketanah.
Tapi begitu jatuh, begitu ujungnya lalu bergerak melayang keatas
lagi untuk menyerang kepadanya. Gila, masakan sebuah kain ikat
pinggang dapat menjerupai seekor ular hidup!
Dengan gemas, siorang kate itu segera ulurkan tangan untuk
menyambarnya, pletek....... seperti meremas sebuah bambu,
begitulah bunyi kain angkin itu ketika dicengkeram siorang kate.
Kini angkin itu menjulai kebawah, lemas lunglai seperti kain
biasa. Buru-buru ditariknyalah angkin itu dari dalam semak.
Kiranya kini hanya tinggal sehelai saya, sedang yang sehelai yang
merayap kearah Tong Ko tadi, sudah tak kelihatan berikut.......
sianak muda itu!
Kini tahulah siorang tua kate itu bahwa dia sudah "kena
tercocok hidungnya" (diakali). "Hiat-ji, cara bagaimana siaocu
tadi menghilang?" tanyanya dengan murka. Tapi tiada
penyahutan.
dari situ, Siao-lan, Tong Ko dan orang ketiga yang misterius itu
tetap hilang. Suatu hal yang meinbuat siorang tua kate
termenung dalam 12 pikiran. Sejak dia muncul dari gurun dan
datang dikota raya, ilmunya dikagumi dan dijerikan oleh
kawanan tay-lwe kochiu (jagoan istana kelas satu). Dalam
perjalanannya kedaerah selatan ini, tokoh-tokoh dari pelbagai
aliran persilatan pernah dia temui semua. Tapi kali ini benar-
benar dia ketemu dengan batunya. Seorang misterius yang tak
mau unjuk diri itu, rupanya mempunyai kepandaian yang
tangguh sekali dan seorang yang cerdik pula!
Dengan hati-hati dia maju menghampiri kemuka untuk
memeriksanya. Kiranya diujung bekas semak-semak itu adalah
sebuah lamping gunung yang tiada jalanannya sama sekali. Jadi
tak murigkin kalau ketiga orang Itu lari dari situ. Dia makin
curiga. Maju pula dua langkah, tiba-tiba kakinya terasa memijak
tanah lunak dan terus terperosok kedalam.
Tahu akan masuk perangkap, buru-buru dia empos
semangat lalu dengan gunakan gin-kang (ilmu meringakan
tubuh) dia melambung sampai satu tombak tingginya. Namun
sekall pun begitu, tak urung betisnya termakan sebuah anak
panah. Dengan menahan sakit, dicabutnya anak panah (paser)
itu. Ketika melongok kebawah kiranya lubang rerangkap itu
hanya sebuah perangkap biasa yang sering dibuat oleh kaum
pemburu. Dia meluncur turun kedalam lubang nerangkap itu
untuk meriksanya. Pun disitu tiada terdapat sesuatu yang
mencurigakan.
Hampir setengah harian, siorang tua kate itu sibuk seorang
diri. Siorang misterius tetap tak kelihatan, sebaliknya dia sendiri
telah menderita luka. Saking marahnya, dia mengaum bagaikan
harimau kelaparan, hingga empat penjuru lembah gunung situ
BAGIAN 14
DI TOLONG CIAN BIN LONG KUN THE GO
mula aku dipelihara oleh keluarga she Tong.... paman The, tadi
kau katakan aku ini mirip dengan Say-hong-hong Bek Lian........."
Adanya Tong Ko mengajukan pertanyaan begitu karena
teringat waktu hari Tio Jiangpun pernah mengatakan begitu
tentang dirinya. Dan ini menimbulkan suatu dugaan dalam
hatinya. Tapi belum lagi dia sempat melaujuntukan kata-
katanya, The Go sudah lantas alihkan pembicaraan kepada sang
isteri, serunya: "Siao-lan, ayo kita segera menuju ke Lo-hu-san.
Gin-si-kau itu mempunyai hidung yang tajam, tentu dapat
membawa kita ketempat mereka berdua!"
Siao-lan berkaca-kaca air matanya. "Benar ia benci padamu,
tapi tiada sangkut pautnya dengan Ing-ji!" katanya dengan suara
sember.
Tong Ko tak mengerti apa maksudnya kata-kata yang
dibawakan ke dua suami isteri itu, karena dia tak mengetahui
riwajat mereka dahulu. Sementara itu The Go mengulangi lagi
maksudnya hendak berangkat ke Lo-hu-san seketika itu juga.
"Kalau jiwi pergi kesana. akupun ikut juga, sekalian untuk
mencari tahu keadaan nona In. Entah apakah Siau-beng-siang
Tio Jiang sudah berangkat meuyusulnja belum?" kata Tong Ko.
Tapi hal itu dicegah The Go.
"Kau masih menjadi orang yang dicurigai, mengapa berjerih
payah begitu? Lebih baik kami saja yang bantu menyirapi berita
itu untukmu dan kau boleh beristirahat meyakinkan ilmu silat
disini. Akan kuberikan padamu kitab pusaka yang kudapatkan
pada belasan tahun berselang. Sekalipun pergi pulang aku hanya
memerlukan kira-kira satu bulan lamanya, tapi mengandal
kecerdasanmu, kupercaya kau tentu akan memperoleh
kemajuan yang pesat. Nah, bagaimana pendapatmu?"
BAGIAN 15
SUKU THIAT TENG BIAU
BAGIAN 16
TIO JIANG MENOLONG PUTRINYA
dihadapan Tio Jiang. Kalau hal itu berhasil, barulah dapat dia
membersihkan diri. Jadi "Disuruh" atau tidak oleh Mo Put-siu
tadi, memang diapun sudah mau lari menghampiri ketempat
Tay-keng.
Tio In yang tak mengetahui duduk perkaranya dan hanya
menjaksikan gerak gerik Tong Ko itu, hatinya seperti diremas. Ia
sudah serahkan hatinya kepada anak muda itu dan bermula
masih belum percaya kalau kekasihnya itu sungguh seorang kaki
tangan Ceng. Tapi apa yang dilihatnya pada saat itu, menjadi
"bukti" yang berbicara. Seketika lenjaplah rasa kasihnya berganti
dengan rasa kedukaan yang hebat, ja lebih hebat lagi daripada
tatkala iIa mendengar berita kematian sang kekasih itu.
Namun Tong Ko tak mendengarnya dan tetap menyerbu
Tay-keng.
Sret...., sret....., dua buah hantaman Iiong-kau-pian dia
serangkan pada Tay-keng. Walaupun hanya bersandiwara,
namun untuk mengelabuhi pandangan Tio Jiang, hebat juga gaya
pertempuran yang dilakukan oleh Tay-keng dan Hiat-ji itu. Ketika
liong-kau-pian Tong Ko menyerang, terperanjat Tay-keng tak
terkira dan hampir saja dia kena disapu oleh pian Hiat-ji.
Lintunglah Hiat-ji tahu gelagat jelek, piannya dibilukkan untuk
menghantam Tong Ko.
Dan justeru tepat pada adegan ini berlangsung, disana Tio
Jiang tepat berpaling mengawasi. Jadi diam-diam Siau-beng-
siang heran tadi, mengapa justeru Tong Ko yang dikerubut dua.
Sayang Liat Hwat keburu menyerang, coba tidak tentu dapatlah
dia mengetahui "baju aseli" dari puteranya itu.
Memang berat bagi Tong Ko untuk melajani kedua orang itu.
Tambahan pula Tay-keng memang sangat bernapsu sekali untuk
BAGIAN 17
REMUK RENDAM
"Dahulu masih tak kupercaya kalau kau ini menjadi kaki tangan
pemerintah Ceng. Tapi apa yang kusaksikan hari ini, masih
dapatkah kau memberi penyangkalan?"
Dan menyusul dengan kata-kata itu, tangannya meninju
kemuka. Karena tak menduga sama sekali, tinju sinona itu tepat
mengenai luka didada Tong Ko. Baru saja luka itu berhenti
mengucurkan darah atau kini kembali menjemburkan darah
segar hingga tangan Tio In pun kelumuran darah. Tio In tertegun,
tiba-tiba tinjunya yang berlepotan darah itu di-usap-usapkan
baju seraya berseru: "Darahmu, budak Ceng, berbau busuk,
mengotorkan tanganku!"
Nona itu sebenarnya sangat mencintai Tong Ko. Tapi ia salah
sangka Tong Ko itu seorang kaki tangan pemerintah Ceng.
Namun sekalipun begitu, gelarrn rasa kasih masih kuat meremas
sanubari Tio In. Melihat keadaan Tong Ko yang terlongong-
longong bermandikan darah itu, hatinya seperti di-sayat-sayat. Ia
buru-buru memutar tubuh membelakangi dan air matanya
bercucuran laksana hujan mencurah
Memang sakit yang ditimbulkan akibat hantaman Tio In itu,
bukan kepalang sakitnya.
Namun Tong Ko rasakan, sakit pada hatinya dicerca sang
kekasih itu, jauh lebih berat.
Dia termangu-mangu sampai sekian saat. Pikirannya serasa
hampa. Fahamnja hilang ditelan penasaran. Ya, sampai Tio In,
nona yang menjadi tambatan jiwanya, pun menuduh dia sebagai
seorang kaki tangan Ceng. Orang mengatakan bahwa empedu
itu pahit. Tetapi adakah hal yang melebihi pahitnya dari dinista
seorang kekasih? Serasa dia kehilangan bumi tempat berpijak,
Sedang pada partai yang lain, pun Tio Jiang tak dapat
berbuat apa-apa terhadap Liat Hwat cousu. Setelah lewat jurus
yang ke 30, gerakan Tio Jiang tampak agak kendor. Serangan
pedang Tio Jiang sepintas pandang seperti sebuah pedang kayu
mainan kanak-anak gayanya. Tapi bagi Liat Hwat cousu,
serangan itu digerakkan dengan suatu tenaga lemas yang
mengandung kekuatan dahsyat. Maka dia (Liat Hwat) pun harus
mengerahkan tenaga dalam untuk menghalau serangan
istimewa itu. Dilain fihak, Tio Jiang juga rasakan kebutan lengan
baju orang tua kate itu, mengandung tenaga lwekana yang
teramat hebatnya. Jika dia tak. mengundang seluruh
kekuatannya, sukarlah rasanya untuk menolak tekanan lawan
itu. Maka dia curahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi
siorang tua kate itu, jadi terpaksa tak dapat menghiraukan Tio In
lagi.
Juga partai si Hiat-ji dengan Tio Tay-keng, walaupun hanya
pura-pura saya, namun tampaknya tak kurang serunya. Hal ini
memang sengaja mereka unjukkan begitu, untuk mengelabuhi
mata Tio Jiang yang tajam itu. Jadi terpaksa merekapun tak
dapat mencegah perginya Tong Ko. Juga rombongan orang Thiat-
Theng-biau, karena mengetahui sikap bersahabat dari anak
muda itu terhadap kepala sukunya tadi, segera memberi jalan
pada Tong Ko. Begitulah dengan tindakan limbung, Tong Ko
menuju kebawah gunung.
Adalah setelah anak muda itu berjalan jauh, barulah Tio In
tersadar. Dan pada saat itu terdengar juga mamahnya (Yan-chiu)
menerlakinya: "In-ji, lekas ambilkan pedang itu untukku!"
Tio In cepat melemparkan pedang itu kearah mamahnya.
Sekonyong-konyong Yan-chiu bersuit nyaring dan tubuhnya
melambung keudara. Begitu menyambar kuan-wi-kiam ia terus
Tubuh Sin Tok menggigil kedinginan dan rasa dingin itu serasa
menusuk sampai keulu hati. Tiba-tiba kakinya yang tinggal satu
itu ditekuk dan tubuhnya segera dibuang untuk bergelundungan
kearah Tio In. Dengan sebatnya nona ini mengirim tendangan.
Rupanya sikaki satu itu lebih suka mendapat persen tendangan
Tio In daripada merasakan tusukan kuan-wi-kiam Yan-chiu.
Benar Tio In tepat sekali menendangnya, namun sikaki satu
dengan membabi buta tetap bergelundung menerjangnya seraya
gerakkan tangan uatuk menyambar kaki sinona. Syukur Tio In
keburu loncat menghindar jauh-jauh dan pada saat itupun Yan-
chiu juga sudah mengejar datang.
Sebenarnya Hiat-ji yang hanya bertempur pura-pura dengan
Tay-keng itu dapat memberi pertolongan pada sikaki satu. Tapi
dari menolong, sebaliknya anak bermata wungu itu malah
tertawa sinis melihati tingkah laku si Sin Tok yang pontang
panting seperti dikejar setan itu. Ya, memang dia benci pada
sikaki satu itu dan diam-diam mendoakan supaya dia lekas
mampus saja.
Dalam gugupnya sikaki satu bergelundungan kesamping.
Dalam kesempatan itu dia mencuri lihat kearah Hiat-ji. Waktu
dilihatnya wajah anak itu mengunjuk senjum sinis, gusarnya
bukan kepalang. Huh, jangan kau bergirang dulu, anak keparat.
Kalau aku mati, Tio Jiang dan isterinya itu tentu bakal dapat
berkelahi bahu membahu untuk melancarkan ilmu pedang Hoan-
kang-kiam-hwat dan to-hay-kilam-hwat yang termasjhur. Pada
kedalam asap sana, juga tak berguna. Diam-diam dia cemas pula
memikirkan kepentingan perjuangan mereka terhadap
pemerintah Ceng. Dengan mempunyai seorang sakti macam Liat
Hwa begitu, nyata pemerintah Ceng telah mempunyai senjata
yang ampuh untuk menindas gerakan para orang gagah dari Lo-
hu-san itu.
Hampir setengah jam lamanya barulah kabut asap itu
menipis. Mata Yan-chiu yang tajam, segera dapat melihat bahwa
ditengah gelanggang pertempuran sana tampak Tay-keng
sedang berputar-putar seperti main udak dengan adiknya.
Kiranya mereka berdua itu saling bertempur. Karena tebalnja
asap, diadi mereka tak dapat membedakan mana lawan mana
kawan lagi. Liat Hwat dan Hiat-ji sudah tak tampak batang
hidungnya lagi. Sementara yang masih disitu, hanyalah sikaki
satu Sin Tok yang bermandikan darah sembari tak henti-hentinya
mengerangerang kesakitan.
"Hai, mengapa kalian bertempur sendiri?" seru Yan-chiu
dengan cemas-cemas girang demi diketahuinya kedua puteranya
tak kurang suatu apa. Kini barulah Tio In melihat jelas bahwa
lawannya itu adalah engkohnya sendiri. Cepat-cepat ia loncat
menghampiri mamahnya.
"Kemana Liat Hwat dan muridnya itu?" tanya Tio Jiang.
"Entahlah, mungkin mereka sudah ngacir pergi!" sahut Tio
In.
"Hawa disini kotor sekali, ayo Tay-keng, kau ikut pada kita
turun gunung!" Tio Jiang berseru kepada puteranya. Tay-keng
mengiakan. Tapi ketika mereka berempat hendak langkahkan
kakinya, sekonyong-konyong kendengaran Sin Tok berseru
setengah mengerang: "Siau-beng-siang, tahan dulul"
BAGIAN 18
MENDAPAT PETUNJUK DARI ANG HWAT CINJIN
siasat itu, dia yakin orang gaib itu tentu akan tampil keluar untuk
memberi pertolongan.
Benar juga ketika dia buktikan ancamannya dengan
benturkan diri kebatu karang, tiba-tiba .............. sesosok tubuh
yang gemuk melayang disebelah muka untuk menghadangnya.
Tepat sekali kepala Tong Ko membentur sebuah daging yang
empuk, tapi pada lain saat daging itu membal (melembung) dan
terlemparlah Tong Ko sampai setombak jauhnya.
Cepat Tong Ko menggeliat bangun dan mengawasi kemuka.
Seorang bhiksu tua yang bertubuh tinggi besar dan rambutnya
merah, tampak berdiri menatap padanya dengan tersenjum.
Ha......, kiranya yang dibenturnya tadi adalah perut bhiksu
tua itu. Melihat rambut bhiksu itu berwarna merah, timbul suatu
dugaan pada Tong Ko.
Tersipu-sipu dia berlutut dan mengucap: "Terima kasih
banyak-banyak ............ "
Bhiksu tua itu kebuntukan lengan bajunya. Serangkum angin
yang membawa tenaga kuat menyampok dan mengangkat Tong
Ko bangun.
"Usah berbanyak terima kasih. Yang mencuri golokmu it-
gwan-pik-li-to itu, adalah aku!"
Tong Ko terbeliak kaget. Bhiksu sakti itu tentu aneh sekali
perangainya.
Dipikir walaupun golok pik-li-to itu suatu pusaka yang jarang
terdapat didunia, namun tak bermanfaat malah sebaliknya
mengundang bahaya baginya.
dilipatnya pula buku dan berkata: "Tempat ini tak sesuai untuk
bicara. Ayo kita menuju ketempat kediaman The Go sana!".
Tampaknya Ang Hwat cinjin yang berada disebelah depan
itu, hanya se-enaknya saja berjalan. Setiap kali ajunkan langkah,
dia tentu berhenti sejenak. Namun bagi Tong Ko yang
mengikutinya disebelah belakang, rasanya berat sekali jalannya.
Besoknya barulah mereka tiba ditempat The Go. Benar juga,
The Go dan Siao-lan masih belum kembali pulang. Begitu berada
dalam rumah. Ang Hwat segera mempelajari lagi buku itu.
Hampir sehari penuh, dia memeriksa buku itu . Hingga hampir
senja hari. Tong Ko masih tetap berdiri disamping bhiksu tua itu.
Wajah Bhiksu itu berseri-seri lalu berbangkit dari tempat
duduknya, "Usiaku sudah lanjut, buku ini tak banyak manfaatnya
bagiku. Bila kau tekun mempelajari buku ini, cukup memahami
sampai 7 bagian saya, maka kau tentu akan dapat bertahan
sampai 300an jurus berhadapan dengan aku!"
Girang Tong Ko melewati yang diharapkan. Ang Hwat cinjin
tak mau simpan rahasia. Apa yang diketahuinya tadi, diturunkan,
pada Tong Ko. Dasar Tong Ko berotak terang, maka makin
mendengarkan dia makin seperti kelelap dalam lautan ilmu
sumber kepandaian yang tiada habisnya.
Singkatnya saya, hampir sebulan lamanya Ang Hwat cinjin
memberi petunjuk pada Tong Ko. Baru dia dapat mempelajari
dua jurus saya, tenaganya serasa bertambah maju, ilmu
Iwekangnya makin hebat. Benar saja tak lepas mengenangkan
The Go yang belum juga pulang serta The Ing yang belum
ketahuan nasibnya itu, namun dia sudah seperti orang yang
kelelap dalam lautanb ilmu. Makin maju, makin tak dapat keluar.
Akhirnya dia percaya bahwa dengan kepandaian yang dimiliki
BAGIAN 19
BIARA KONG HIAU SI
Nona itu bukan lain adalah Tio In, sedang yang dipanggil
koko (engkoh) itu adalah Tay-keng. Saat itu pikiran Tay-keng
tidak pada kain sutera yang diunjukkan adiknya. Dia celingukan
kesana sini, seolah-olah mencari sesuatu. Maka sekenanya saja
dia mengiakan pertanyaan adiknya tadi. Tapi dalam hati dia
memaki Co In: "Hem......, budak perempuan kurangajar,
mengapa berkeras ikut aku ke Kwiciu. Kalau Hiat-ji datang,
bagaimana nanti? Ah, bagaimana aku dapat mengelabuhinya
ya?"
Kiranya sebulan yang lalu, ketika Tio Jiang bersama anak
isterinya tiba di Giok-li-nia, sampailah padanya suatu berita yang
menggembirakan. Berita itu mengenai diri Go Sam-kui.
Penghianat yang karena jasanya memasukkan tentara Ceng
kedalam wilayah Kwiciu, maka oleh pemerintah penjajah
tersebut dia dikerunia pangkat tinggi dan didudukkan sebagal
gubernur yang menjaga wilayah Hunlam. Tapi pada beberapa
tahun yang terakhir itu, tersiar desas-desus bahwa orang she Go
itu hendak memberontak yang membawa berita kepada Tio
Jiang itu, adalah salah seorang kepercayaan Go Sam-kui sendiri.
Tentang keretakan antara Go Sam-kui dengan pemerintah
Ceng itu, memang sudah lama didengar oleh Tio Jiang.
Waktu hari Tio Jiang makanya sudah mengutus Tay-keng ke
Hun-lam itu, perlunya jalah disuruh menjelidiki kebenarannya
desas-desus itu. Tapi setelah mendapat keterangan tentang
cenderungnya gerak gerik Go Sam-kui itu, bukannya
memberitahukan kepada sang ayah, sebaliknya Tay-keng malah
melaporkan pada Shin Hiat-ji dan kawan-kawan.
Maka demi sekarang Tio Jiang mendapat berita itu sendiri,
dia segera mengadakan kontak dengan para orang dari pelbagai
Kembali dia bersangsi baik naik atau tidak. Kalau naik terang ia
bakal mengetahui siapakah orang yang mengadakan janji dengan
engkoh nja itu. Tapi kalau tidak naik, pun belum tentu nanti
engkohnya itu mau memberitahukan bal itu kepadanya. Terang
sipengantar surat itu bukan orang Lo-hu-san, kalau tidak
masakan menyusuh engkohnya itu tinggalkan ia. Ah, hendak
kulihat siapa macamnja orang itu.
Demikian akhirnya Tio In melangkah naik ketangga. Diruang
atas memang benar merupakan tempat penjimpan kitab-kitab
biara. Rak-rakan buku yang penuh dengan deretan kitab-kitab
memenuhi ruangan itu.
"Apa yang datang ini Tio-hengkah? Sudah berjam-jam aku
menunggu disini!" tiba-tiba terderigar tegur seorang.
Tio In terkesiap kaget. Agaknya pernah ia mendengar pada
suara itu, sayang orangnya teraling dengan deretan lemari buku
sehingga tak kelihatan jelas. Dengan membesarkan pada
suaranya, ia memberi penjhutan lalu mengitari rak buku untuk
menjenguk orangnya. Ia, memang yang menunggu dibelakang
lemari buku itu adalah Hiat-ji.
Seperginya dari peaunungan Sip-ban-tay-san, bersama Liat
Hwat Cousu, dia langsung menuju ke Kwiciu. Hiat-ji adalah
seorang ta-lwe si-wi (bayangkari istana Ceng), sudah tentu para
pembesar didaerah Kwiciu sama jeri padanya. Sejak meninggal
kan kampung halamannya di Tibet, Mo Put-siu alias Liat Hwat
cousu itu belum pernah bertemu tandingan, maka selama itu dia
anggap dirinya paling jempol dewek. Adalah ketika bertempur
dtI,1 Tio Jiang suami isteri dan tak berdaya menghadapi ilmu
pedang hoan-kang-kian-hwat dan to-hay-kiam-hwat, barulah
matanya melek. Maka setibanya di Kwicu, dia lalu sekap diri
"Kau adalah yang digelari orang sebagai Ang Hay-ji (si Anak
Merah) bukan?"
Sinona hanya main menerka, tak tahunya kalau hal itu
membuat kejut hati Hiat-ji. Walaupun kecurigaan menjurut,
namun tetap dia tak babis herannya mengapa Tay-Keng tak
datang sendiri.
"Benar, silahkan nona datang kemari!"
Sebenarnya Tio In seorang nona yang cukup berhati-hati.
Tapi mungkin karena kegirangan, saat itu ia agak lengah untuk
meneliti bahwa dalam nada suara orang itu jelas terdapat
perbedaan antara yang tadi dengan yang sekarang. Disamping
itu sedikitpun ia tak menduga bahwa engkohnya bakal
menjumpai seorang kaki tangan macam Hiat-ji. Maka tanpa
curiga apa-apa, sembari melangkah maju, ia masih bertanya:
"Ang Hay-ji, kau berada dimana?.
Meliliat bahwa asal sudah membiluk sebuah deretan rak
buku, nona itu pasti akan sudah muncul dihadapannya, buru-
buru Hiat-ji ambil sebuah kitab pelajaran agama Buddha untuk
menutupi wajahnya, lalu melangkah keluar. Melihat orang main
menutupi muka, oleh karena tak mengira kalau dia itu musuh
yang dibencinya, maka seenaknya saja Tio In menggodanya:
"Biasanya orang menutupi muka dengan sebuah harpa (pi-peh),
tapi aneh mengapa kau memakai sebuah kitab suci menutup
muka, malukah?"
Tio In mengiring olok-oloknya dengan tertawa lepas,
sebaliknya Hiat-ji maju lagi dua langkah seraya menyahut: "Ya,
benar, aku memang malu!"
itu tak boleh hanya mengandal pada mulut manis tapipun harus
disertai paksaan. Maka sebelum Tio In dapat menyahut, anak
muda itu sudah memeluknya. Berulang kali Tio In coba salurkan
jalan darah untuk membuka uratnya yang tertutuk itu, namun
gagal.
Merah padamlah selebar mukanya karena dipeluk orang itu.
Habis memeluk Hiat-ji kembali melongok keluar ruangan dan
memberi isyarat 3 kali tepukan tangan. Waktu ada seorang
datang ke situ, Hiat-ji segera memberi perintah: "Lekas sediakan
sebuah tandu besar yang tertutup rapat. Bawa nona ini
kegedung thayhu. Awas, jagalah hati-hati!"
Agar nona itu jangan sempat berusaha membuka jalan
darahnya yang tertutuk, Hiat-ji hendak menuntut lagi jalan darah
dipundak itiri. Tapi baru tangannya menjulur, tiba-tiba
punggungnya terasa dingin karena dilekati sebuah ujung senjata
tajam.
"Nona Tio jangan takut, ada aku disini!" kedengaran seorang
bernada wanita berseru kepada Tio In. Ketika Tio In berpaling
mengawasi, kiranya orang itu adalah seorang wanita dari
pertengahan umur, kulitnya agak hitam dan mencekal sebatang
samcat-hi-jat (garu penusuk ikan yang beruyung 3). Dilihatnya
Hiaci tak berani berkutik, tapi entah siapa wanita itu.
"Orang she Shin, telah sekian lama kunantikan kau disini.
Nona Tio sudah mempunyai kekasih, apa maksudmu hendak
membawanya kegedung thay-hu, hendak memaksanya untuk
menikah denganmu?" kembali wanita itu berseru.
Wanita itu bukan lain adalah Ciok Siao-lan, istri The Go.
Karena sifatnya yang melasan dan disebabkan menjaga Hiat-ji,
BAGIAN 20
SIASAT SHIN HIAT JI
"Liat Hwat cousu itu kalau bukan muridku, siapa lagi dianya
itu? Apa kau masih belum tahu?" The Go delikkan mata.
Tay-keng terbeliak kaget, serunya: "Siapakah gelaran cinpwe
yang mulia ini?"
"Bu-kak-sian!" sahut The Go dengan ringkas. Bu-kak-sian
artinya si Dewa tanpa kaki.
Tadi Tay-keng telah membuktikan sendiri bagaimana
lihaynja pengemis itu. Benar tak tahu dia bagaimana kalau
dibandingkan dengan Liat Hwat, tapi yang terang dia itu jauh
lebih sakti dari Hiat-ji.
Dengan, masih setengah ragu-ragu dia ikut sipengemis
jembel itu. Tanpa berpaling kebelakang lagi, The Go langsung
masuk kedalam biara Kong Hou Si.
Sebenarnya memang dia sudah berjanji pada Siao-lan suruh
membekuk Hiat-ji.
Begitu dia bawa Tay-keng kesana, nanti dihadapan Tio In,
hendak dia lucuti kedok si Tay-keng itu. Habis itu, dia hendak
bawa anak itu kepada ayahnya (Tio Jiang) di Lo-hu-san.
Menjelang tiba didepan pintu biara, timbullah kecurigaan
Tay-keng.
Mengapa dia bawa aku kedalam biara, demikian Tay-keng
bertanya seorang diri.
Membarengi penuh sesak orang berduyun-duyun masuk
kedalam ruangan biara, dia sengaja perlambat jalannya sampai
ketinggalan dibelakang, lalu memandang kearah perapian dupa
disebelah sana.
lupa daratan, tapi setelah itu akan pulih lagi seperti sediakala.
Apabila ayah bundamu hilang kesadarannya, segera kau boleh
keluarkan perintah bubarkan orang-orang yang berkumpul di Lo-
hu-san itu. Setelah kau dirikan pahala, boleh ikut aku kekota
raya, baginda kaisar teatu akan menganugerahimu suatu
kedudukan yang tinggi. Kalau hal itu sudah terwujut, ayah
bundamupun tentu tak dapat berbuat apa-apa. Bagaimana, baik
tidak rencanaku in!?"
Tay-keng kegirangan sekali dan Hiat-jipun segera
menyuruhnya Iekas-lekas kembali ke Lo-hu-san.
Setelah itu, Hiat-ji lalu balik kegedung thay-hu. Baru Tay-
keng berjalan tak jauh, sekonyong-konyong dari sebelah muka
terdengar orang. berseru keras-keras: "Bangsat busuk, kiranya
kau berada disini!"
Astaga, si Bu-kak-sian! Kejut Tay-keng tak terkira, terus dia
berputar kebelakang dan hendak melarikan diri tapi secepat itu
si Bu-kak-sian sudah menghadang dimukanya.
"Adikmu, kemana ia?" hardik Bu-kak-sian.
Pikir Tay-keng, supaya dapat lekas-lekas lolos, Iebih baik dia
berkata terus terang.
Maka diapun menyahut kalau Tio In sudah dibawa Hiat-ji
kegedung thay-hu.
"Bagaimana kau mengetahuinya?" tanya The Go agak
terkesiap.
Tay-keng mengatakan kalau tadi baru saja dia berbicara
dengan Hiat-ji.
BAGIAN 21
SAY HONG HONG BEK LIAN
Dilihatnya sigemuk itu tiada suatu apa yang luar biasa, kecuali
nada tangisnya yang aneb.
"Tay Siang siansu, orang gemuk ini memang menjemukan, biar
kubantumu mengusirnya!" tanpa banyak pikir lagi Siao-lan lalu
menyerang dengan garunya.
"Siao-lan, jangan!" teriak The Go.
"Tahan!" seru Tay Siang. Tapi Siao-lan sudah terlanjur
menusuk. Serentak berhenti sigemuk menangis, sekali gerakan
sepasang tangannya dia dapat. menangkap garu Siao-lan Dengan
tertawa gelak-gelak, berbangkit dia seraya berseru: "Tay Siang
hweshio, apa katamu lagi?!", lalu menarik garu itu dari tangan
Siao-Ian siapa terpaksa melepaskannya.
Tay Siang siansupun tampak berbangkit menghela napas:
"Ah, kalah menang sudah nasib! Tapi tetap kuharap kau suka
robah sepak terjangmu. Aku tak mau mengganggumu lagi, tapi
kelak tetap ada orang yang mengurusimu. Dimana kejahatan
sudah mencapai ukurannya disitulah timbulnja pembalasan,
pergilah!
Tanpa berkata apa-apa, orang itu segera berputar
kebelakang terus ngacir pergi.
Gerakannya tampak lambat-lambat saya, namun
kecepatannya bukan kepalang. Sekejap saja dia sudah jauh
sekali. Itulah ilmu gin-kang dari kian-gun-toa-na-i-hwat yang
sakti.
Tahu apa yang diartikan oleh ucapan Tay Siang siansu tadi,
buru-buru The Go mintakan maaf untuk isterinya. Tapi belum
habis kata-katanya atau siansu itu sudah menukasnya:
"Kemauan nasib sukar dirobah. Sicu tak usah berbanyak kata,
gadis yang bukan lain The Ing adanya. Saking girangnya, Siao-lan
sampai tegak membisu seperti patung, air matanya bercucuran.
"Ya..., mah....aku tak kurang suatu apa, tapi lekaslah tolong
aku. Nona Bek sudah beberapa hari ini menderita luka parah,
aku tak dapat mengobati, ah...... benar-benar aku cemas sekali!"
seru The Ing dengan gugupnya.
Mendengar puterinya menyebut 'nona Bek', makin berat dugaan
The Go bahwa wanita aneh itu tentulah nona yang pernah
disakiti hatinya pada 20 tahun yang lalu, Tak kunjung habis
sesalnja dan dia tak ada muka untuk bertemu dengan nona itu
lagi.
Namun kalau tak menemuinya, berarti dia tetap
menanggung kesalahannya itu.
"Ia berada dimana?" dia buru-buru menegas.
Sebenarnya dengan Bek Lian Siao-lan itu adalah saingan.
Dulu karena tergila-gila dengan nona itu, maka The Go telah
menolak kasihnya (Siao-lan). Tapi kini setelah diketahuinya nona
itu sakit berat, hilanglah rasa dendamnja. Buru-buru ia ikut The
Ing masuk kedalam rimba. Pada tumpukan daun, tampak
berbaring seorang wanita setengah umur, sepasang matanya
setengah meram dan mulutnya mengerang-erang kesakitan
Masa 20 tahun tetap tak mengaburkan ingatan mereka.
Sekalipun sudah menanyak usia pertengah umur, namun
kecantikan Bek Lian tetap mempesonakan.
"Lian-moay...., Lian-moay.....!" tak kuasa lagi The Go
menahan jeritan hatinya menampak bekas kekasihnya dalam
keadaan sedemikian rupa.
“Yah, beberapa hari yang lalu nona Bek masih sadar, tapi
kini ia sudah tak ingat suatu apa lagil" menerangkan The Ing. The
Go menanyakan, Bek Lian terluka dibagian mana.
Sahut The Ing: "Aku dibawanya kedalam goa......"
"Hal itu Tong Ko telah menceritakan semua, lekas katakan di
bagian mana lukanya itu sajal" tukas The Go.
“Yah, kau sudah bertemu dengan Tong Ko? Dimana dia
sekarang?" nona itu malah lupa menerangkan berbalik bertanya.
Melihat puterinya begitu memperhatikan sekali akan anak muda
itu dan bahkan dari sinar matanya memancarkan tanda-tanda
timbulnja rasa kasih, The Go keruntukan keningnya. Dia hanya
menyahut ringkas kalau Tong Ko berada dirumah.
"Ketika berada didalam goa, tiba-tiba ada seorang tua kate
menorobos masuk. Nona Bek bukan tandingannya, sjukur aku
keburu membantu dan dapat menjelamatkan jiwa nona Bek. Ia
terluka dibagian mana, aku sendiripun tak tahu Beberapa hari
yang lalu ia mengatakan kalau dirinya itu orang she Bek. Pada 20
tahun yang lalu ia telah dichianati cintanya oleh seorang
pemuda, dan sejak itu ia mengasingkan diri. Dari waktu
menawan aku, kini sikapnya terhadap aku berobah baik. Karena
takut kesamplokan dengan setan kate itu, terpaksa kami
bersembunyi disini. Tapi lukanya dari hari kesehari makin beratl"
kata The Ing.
The Go memeriksa dan dapatkan pernapasan Bek Lian
sangat lemah. Dia memasukkan beberapa butir pil kedalam
mulut Bek Lian.
"Ing-ji, apakah kau pernah mengatakan namaku
kepadanya?" tanya The Go.
BAGIAN 22
PENJELIDIKAN THE GO
---ooOoo---
BAGIAN 23
DI TOLONG THE GO
BAGIAN 24
HONG-SIN-SAN …. OBAT ANJING GILA
Ya, kalau The Go yang cerdik itu berada disitu, pastilah dia
(Tio Jiang) tertolong dari kesulitan. Buru-buru dia menanyai
anaknya dimana telah berjumpa dengan The Go.
Sebaliknya Yan-chiu menjadi kurang senang dan menjeletuk:
"Perlu apa dengan orang macam itu?"
"Benar, mah, aku berjumpa dia didalam gedung ti-hu Kwiciu.
Mereka hendak gunakan siasat pinjam mulutku supaya
mengatakan pada ayah kalau engkoh Tay-keng itu bersekongkol
dengan orang-orang Ceng!"
"Tu dia, untuk mengharap orang macam dia kembali kejalan
benar, adalah seperti orang mengharap halilintar berbunyi
ditengah hari!" Yan-chiu memberi bumbu lebih pedas.
Darah Tio Jiang tersirap. Hatinya makin uring-uringan.
Bersama Yan-chiu, dia lalu balik kekamarnya untuk
berkemas-kemas.
Besok pagi mereka hendak berangkat ke Gun-bing.
Seperginya Tio Diiang dari ruang Gi-su-thia disana orang-orang
masih ramai kasak kusuk.
Mereka tetap menjesali sikap Tio Jiang yang tak seharusnya
meminta maaf ke Gun-bing itu.
Ki Ce-tiong berusaha untuk menenangkan mereka, tapi
rupanya mereka tetap tak puas.
Melihat itu, Tay-keng makin girang. Kesana sini dia
menambahi miniak (membakar), hing¬ga orang-orang itu makin
panas. Seorang anak saja bisa mencelah per-buatan ayahnya,
jadi terang kalau tindakan Tio Jiang itu keliwat merendahnya,
BAGIAN 25
TIO JIANG MENOLONG PUTRINYA
----ooOoo---
Demi The Go melihat yang datang itu adalah Liat Hwat, dia
mengeluh dalam hati.
Jadi yang menutuk jalan darahnya tadi, tentulah si Liat Hwat
itu.
Bagaimanapun juga, kini nasibnya sudah dapat dibayangkan.
Saking gusarnya, The Go menjerit keras, mulutnya inenjembur
darah segar.
Sesaat itu Hiat-ji rasakan tindihan The Go agak kendor, maka
sekali meronta bangun dapatlah dia menjengkelit The Go ke
bawah.
Kini kedua suhu dan murid itu tertawa iblis melihati
korbannya.
"Cian-bin-long-kun The Go, kalau saat ini kugerakkan
tanganku, kau pasti akan jadi setan tanpa kepala lagi.
Tadi kumendapat keterangan bahwa pada 20 tahun yang
lampau, kau telah banyak membantu pada kerajaan Ceng.
Nah, kalau sekarang kau mau bekerja pada kerajaan lagi,
tentu akan kuobati lukamu itu" seru Liat Hwat dengan nada
melengking seperti anak kecil.
The Go sudah diambang pintu kematian.
Kalau dia berkeras membangkang, jiwanya pasti melayang.
Tak usah Liat Hwat turun tangan, cukup dibiarkan begitu
saja, dia akan sudah mati karena kehabisan darah.
Tapi kalau menjerah, berarti dia pulang kandang menjadi
kaki tangan pemerintah penjajah lagi. Namun The Go bukan
BAGIAN 26
ILMU TALI CHENG-SI PENINGGALAN ANG SIAN LIHIAP
Tio In, gadis pujaan Tong Ko itu, cantik dan menarik, apalagi
sudah lebih dahulu merebut hati Tong Ko. Benar sekarang ini
mereka berdua sedang retak hubungan, tapi ada satu hari salah
faham itu tentu akan dapat dijelaskan.
Untuk menjauhkan Tong Ko dari Tio In, satu-satunya jalan jalah
menambah lebar jurang keretakan itu. Tapi bagaimana ia hendak
melakukan "siasat itu?"
Gadis The Ing yang dilamun asmara itu, ingin sekali tumbuh
sayapnya agar dapat terbang ke Sip-ban-tay-san sana untuk
menjumpai Tong Ko.
Tapi ayahnya tadi telah melarang ia mengadakan pertemuan
dengan pemuda itu lagi. Entah berapa lama The Ing terbenam
dalam lamunannya itu, atau tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara
erangan dari Bek Lian yang berusaha hendak duduk. Tampak
wajah sisakit itu sudah banyak berobah baik. MaIah dengan rasa
heran. Bek Lian segera menanyainya kalau tadi ia diminumi obat
apa saja.
"Ya, dari ayahku.......baru mulutnya meluncurkan kata-kata
itu, serentak teringatlah The Ing akan pesan ayahnya tadi supaya
jangan mengatakan nama ayahnya itu dihadapan Bek Lian Maka
buru-buru ia menyusuli: "Seorang kenalan ayahku kebetulan
lewat disini dan memberikan 3 butir pil. Memang benar, kau kini
sudah banyak baikan nona Bek!"
"Ai........ kiranya kau masih mempunyai ayah, siapa
namanya? Dan siapa nama kenalan ayahmu itu?"
Dengan gelagapan tak lampias, The Ing menyahut
sembarangan saja.
BAGIAN 27
TIO JIANG KERACUNAN . . . . . . DAN MENGAMUK
Kalau itu hari sudah mulai gelap. Tiba dibawah puncak Giok-
li-nia, mereka berhenti.
Terkenang akan peristiwa 20 tahun berselang dimana untuk
pertama kali berjumpa dengan Cian-bin-long-kun The Go, hati
Bek Lian serasa pilu.
Sebaliknya The Ing yang terkenang akan pertemuannya
dengan Tong Ko, juga ditempat itu, pun terlongong-lolong
seperti orang kehilangan semangat.
Mereka berdua tanpa berjanji, sama termenung
mengenangkan kejadian yang pernah mengambil tempat dalam
tachta hatinya.
Tiba-tiba dari atas puncak sana terdengar suara hiruk-pikuk
dari orang-orang yang sama membawa obor.
The Ing enggan pergi dan merontak dari cekalan Bek Lian,
serunya: "Aku hendak melihat bagaimana sebenarnya
perwujudan suami isteri Siau-beng-siang - Hui-lay-hong itu.
Nona Bek, kau.......", sembari berkata itu The Ing berpaling,
tapi untuk kekagetannya, ternyata Bek Lian sudah tak berada
disitu. Berulang-ulang ia meneriakinya, tetap tiada penyahutan.
Dalam pada itu, suara hiruk-pikuk diatas puntiak itu, makin lama
makin jelas menurun kearah kaki gunung. Jerit siwanita yang
meneriakkan "Jian, suko" itu, sedemikian nyaring dan gelisah.
The Ing. cukup faham akan watak Bek Lian yang aneh, maka
iapun tak kuatir lagi.
Tampak olehnya bagaimana rerotan obor itu sudah tiba
disitu.
Diantara ratusan orang-orang, ada seorang lelaki gagah
tengah mengamuk dengan membolang-balingkan sebatang
pedang pusaka.
Bagaikan seekor kerbau gila dia mengamuk kian kemari.
Kemana dia merangsang, disitu tentu terdengar jeritan
orang mengaduh kesakitan hebat.
Sementara wanita yang meneriaki "Jiang suko" itu, sebaya
umurnya dengan Bek Lian, dan juga mencekal sebatang pedang
pusaka.
Ia tampak gugup gelisah sekali, menghadang kesana,
mencegat kemari.
Terdorong oleh keinginan tahu apa yang telah terjadi itu,
The Ing maju menghampiri. Tampak ada seorang tua bertubuh
lengah saja Yan-chiu pasti celaka. Dalam pada itu mereka saling
tanya menanya, apakah yang sebenarnya terjadi dengan Tio
Jiang itu. Tio In yang melihat ayah bundanya saling bertempur
dengan gigihnya itu, gelisah bukan kepalang. Tapi ia tak tahu,
cara bagaimana dapat melerai mereka itu.
Tak dapat lekas-lekas merobohkan lawan, Tio Jiang menjadi
makin beringas.
Dengan menggerung keras, dia gerakkan tangan kiri untuk
menghantam dada "musuh" nya itu. Dalam kagetnya, Yan-chiu
cepat miring kesamping, tapi tak urung, pundaknya kena
terhantam.
Tio Jiang yang sekarang jauh berbeda dengan Tio Jiang 20
tahun yang lalu dimana dia belum menjadi pemimpin Lo-hu-san
dengan gelar Siau-beng-siang itu.
Apalagi minum obat hong-sin-san, wah, tenaganya menjadi
berlipat ganda saktinya.
Yan-chiu rasakan tulang pundaknya patah, serta menderita
luka dalam yang tak ringan. la terhuyung kebelakang sampai
beberapa langkah, sambatan angin dari pukulan Tio Jiang yang
berikut-nya segera menyusul.
Sebenarnya dapat Yan-chiu mengelakkan diri dari serangan
fatal itu, tapi karena ia mengira Tio Jiang hanya sedang
dirangsang oleh hawa kemarahannya, ia malah maju
menyongsong seraya menangis: "Jiang suko!"
Pukulan kedua dari Tio Jiang, lebih hebat dari yang pertama.
Dapat dibayangkan Yan-chiu pasti akan binasa karenanya.
Tapi pada saat-saat segenting itu, tiba-tiba melayanglah
datang sesosok bayangan hitam.
itu, namun tak urung ketika sudah berdiri jejak disebelah sama,
dia muntah darah.
Begitulah dalam beberapa kejap saya, tiga tokoh lihay: Kiau
To, Ko Thay dan Yan-chiu, terlupa semua.
Sekalian orang menjadi panik lagi. Tapi Ki-Ce-tiong cepat
mengangkat kong-cian berseru nyaring: "Saudara-saudara. Siau-
beng-siang Tio Jiang tentu kena dicelakai orang. Kita tak boleh
panik, kalau panik itu berarti termakan siasat musuh. Lekas
selidiki barangkali ada orang asing disini!"
Selama menjaksikan pengamukan itu, The Ing terpikat sekali
akan permainan pedang Tio Jiang yang sedemikian hebatnya itu.
Ia baru gelagapan ketika Ki-Ce-tiong mengucapkan
perintahnya yang terakhir itu. Kalau sampal ketahuan, bukankah
dirinya bakal celaka nanti.
Buru-buru ia hendak menyelinap kesamping, tapi padat saat
itu ada 3 orang datang menghapiri kedekatnya. dengan
membawa obor.
"Hai, budak perempuan, kau datang dari mana ini?" tegur
mereka.
Tampak oleh The Ing bahwa ketiga orang itu sama tegap-
tegap perawakannya.
Pikir The ing tak berguna untuk memberi penjeIasan pada
orang-orang kasar macam begitu. Maka dengan deliki, mata, ia
mendamprat: "Peduli apa dengan kamu?!"
Ketiga orang itu sama terbelalak. Tapi pada lain saat mereka
segera berteriak keras-keras: "Ki toako, inilah orang yang
mencelakai Siang-beng-siang!"
siang tiba, tak ampun pikulan akan terpapas kutung dan Ma Cap-
citpun tentu celaka.
Untung seketika itu, dari empat jurusan segera meluncur
bantuan berupa bermacam-macam senjata rahasia.
Diantaranya yang paling hebat adalah senjata pelor yang
dilepas oleh Sin-tan Gong Lian, seorang sahabat Sin-thok Ih Liok
yang baru saja setahun yang lalu datang ke Lo-hu-san. Jago yang
berasal dari Shoatang itu seorang achli Panah pelor.
Wut..., wut..., wut..., 8 butir pelor menghujani Siau-beng-
siang.
Orang yang meminum hong-sin-san, walaupun pikirannya sudah
kabur, tapi ilmu silatnya tetap tak terpengaruh.
Tio Jiang putar pedangnya untuk menghalau hujan senjata
rahasia itu. Berturut-turut terdengar suara gemerincing dari
benda logam yang tersampok jatuh.
Siau-beng-biang telah dapat menjapu bersih semua senjata
rahasia itu. Salah sebuah pelor darl Sin-tan Gong Lian telah
mengenai punggung pedang Tio Jiang, tring....., pelor itu mental
kelain arah dan menimpah pundak kawan sendiri.
Pedang Tio Jiang masih berputar, tring...., pikulan Ma Cap-jit
terbabat kutung ujungnya. Membarengi itu, Tio Jiang hendak
teruskan menabas lawannya.
Melihat itu Gong Lian lepaskan lagi 8 buah pelor untuk
menghalang-halanginya.
Sebenarnya kalau semua orang gagah itu maju mengerojok, Tio
Jiang pasti keok. Tapi yang sulit, tiada seorangpun yang tega
untuk melukai Tio Jiang.
BAGIAN 28
MEMBANTU MERINGKUS YANG MENGAMUK
DI BALAS TUDUHAN MENGADU DOMBA
The Ing melihat jelas apa yang terjadi diantara Tong Ko dan
'Tio In tadi.
Walaupun hanya tukar pembicaraan sebentar, tapi nyata
kalau Tong Ko masih berkorbar asmaranya kepada puteri Siau-
beng-siang itu, The Ing tahu bahwa tadi tentulah Tio In
membujuk Tong Ko agar pemuda itu menjuruhnya (The Ing)
mengembalikan pedang yan-kun-kiam itu kepada Tio Jiang.
Hatinya serasa rawan pilu, dan pedang yap-kun-kiam itu segera
dibanting menancap kedalam tanah. Tong Ko berpaling dan
beradu mata dengan puteri The Go itu. Mengacai pancaran sinar
mata Tong Ko, lemas lunglailah sendi perasaan The Ing, bagaikan
sebuah layang-layang putus tali.
Kiranya pada sorot mata Tong Ko itu memancarkan sinar
minta maaf.
Benar permintaan maaf itu dikarenakan Tong Ko terpaksa
memintanya mengembalikan pedang itu, tap-i hal itu tak layak
dilakukan terhadap seorang kekasih.
Jadi nyatalah bahwa perasaan Tong Ko yang dikandung
terhadap Tio In berlainan dengan yang ditujukan kepadanya.
Teringat ia akan pesan ayahnya (The Go), supaya dia jangan
rapat perhubungan dengan Tong Ko. Mungkin ayahnya yang
mempunyai pandangan tajam itu sudah dapat mengetahui
bahwa Tong Ko itu seorang pemuda yang setia-cinta.
Mungkinlah ayahnya itu kuatir jangan-jangan ia (The Ing)
hanya akan menubruk bayangan kosong saja.
Lewat beberapa saat kemudian, harulah Tong Ko ajak The
Ing meninggalkan tempat itu. The Ingpun mengiakan, terus
mendahului berjalan.
menyahut dengan sengit: "Tong Ko, apa kau masih tak mau
lekas-lekas enjah, masih mau mengadu domba lagi?"
Tajam, sekali pengaruh kata-kata Yan-chiu itu. Kecurigaan
sekalian orang, lenjap seketika.
Tong Ko tertawa keras lalu melangkah pergi.
––––––––––
BAGIAN 29
MELUNASI HUTANG
Kira-kira dua jam berjalan dia dan The Ing sudah keluar dari
Lo-hu-san.
Kala itu rembulan purnama.
Lapisan mega tipis sayup-sayup bertebaran melalui dewi
malam itu.
Untuk melonggarkan kemengkelannya, Tong Ko mainkan
goloknya dalam ilmugolok ajaran Ang Hwat cinjin. Lui-tong-in-in,
lui-tian-kiau-co, hong-luiki-seng, 3 jurus lengkap dia mainkan
sampai selesai.
Sewaktu mengakhiri permainannya, Tong Ko papaskan
goloknya kesebuah batu besar. Tring......., terbelah batu besar itu
menjadi dua.
Tong Ko maju mendekati dan menghantam lagi.
Dua belah batu itu, terhantam menjadi empat belah.
Setelah puas, barulah Tong Ko lintangkan goloknya dimuka
dada.
Go sudah dapat merabah-rabah asal usul anak muda itu. Tapi dia
anggap belum tiba saatnya untuk memberi tahu. Hanya dia
larang puterinya supaya jangan bergaul rapat dengan pemuda
itu. Maka sangatlah gelisahnya demi The Ing datang bersama
Tong Ko, suatu tanda bahwa hubungan kedua anak muda itu
tentu sudah makin akrab. Namun dalam saat dan keadaan
seperti itu, dia terpaksa tekan perasaannya dan pura-pura
berseri girang.
"Ha, kiranya tit-li (keponakan perempuan) juga ikut?"
ujarnya.
"Titli ingin menyambangi susiok dan subo!" sahut Tong Ko
dengan nada kecil.
Ternyata anak muda itu juga cakap bersandiwara. Untuk
membuktikan dirinya itu seorang nona sesungguhnya, dia
kerutkan tenggorokannya supaya bisa bersuara kecil.
Adalah Siao-lan yang lamban pikirannya, tak dapat segera
mengetahui sandiwara yang sedang dimainkan oleh suaminya
dan anak muda itu. Wajahnya menampil rasa heran. Buru-buru
The Go menyentuhnya sebagai isyarat jangan bicara apa-apa.
Liat Hwat duduk anteng menerima pemberian hormat dari
kedua gadis itu. Rupanya dia sangat gembira dan tertawa
terbahak-bahak.
"Ha..., ha..., tak kira bisa mendapat tambahan dua orang titli
yang cantik dan gagah," ujarnya, lalu berkata kepada The Go :
"The Go, kau bilang hendak menyumbangkan suatu jasa pada
pemerintah kerajaan, entah bagaimana caranya? Turut
pendapatku, kembalimu kepada kerajaan itu, masih belum
diketahui umum. Bunuhlah beberapa tokoh pemberontak,
barulah kerajaan menaruh kepercayaan penuh padamu!"
––––––––––
BAGIAN 30
AYAHKU
––––––––––
BAGIAN 31
NYARIS TERBUKA KEDOKNYA
––––––––––
BAGIAN 32
ILMU GOLOK KIAN-THIAN-IT-GWAN-TO-HWAT
itu. Setelah tubuh Hiat-ji hancur mumur, barulah puas dia. Untuk
penutupnya, dia kirim sebuah tendangan kearah perut mayat.
Tiba-tiba secarik surat muntah keluar.
Buru-buru Tong Ko mengambilnya. Demi dibacanya, dia
berjingkrak kegirangan.
“Yah!" serunya memanggil The Go.
Saking girangnya, lupa sesaat bahwa kala itu dia hanya
seorang diri. Sesaat kemudian, baru dia insjaf dan tersipu-sipu.
Dibacanya sekali lagi surat itu. Ternyata itu adalah sebuah surat
perjanjian.
Separoh bagian adalah perjanjian hutang Tay-keng kepada
Hiat-ji dan sebagian lagi pembelian sebuah rumah gedung dikota
raja atas nama Tio Tay-keng.
Dalam surat pembelian rumah itu, terlampir sepucuk surat
pernyataan terima kasih Tay-keng kepada Hiat-ji yang sudah
membelikan rumah itu untuknya.
Ah, kalau kemaren lusa dia sudah dapat mengunjuk surat
bukti itu kepada Tio Jiang, tak nanti dia sampai bentrok dengan
orang-orang gagah disana. Sebenarnya pada saat itu, dia terus
hendak menyusul ayahnya ke Kwiciu, tapi serta teringat akan it-
gwan-tohwat, dia ambil putusan hendak ke Thiat-nia lebih
dahulu.
Toh kesana pulang pergi hanya memakan waktu tak berapa
lama.
––––––––
Tak antara berapa lama tibalah dia dipuncak Thiat-nia. Thiat nia.
itu sebenarnya tempat kediaman suku Thiat-theng-biau. Tapi
sejak pemimpin mereka Kit-bong-to binasa, mereka sama
tinggalkan tempat itu. Tiba dilamping gunung, tampak tempat
itu sunyi lelap, hanya kawanan burung alap-alap yang terbang
kian kemari. Hati Tong Ko serasa rawan melihat pemandangan
yang menjajukan itu.
Goa-goa tempat kediaman suku That-theng-biau, berobah
menjadi sarang rumput yang lebat dan tinggi. Disana sini Tong
Ko tak menemukan sesuatu tanda apa-apa. Akhirnya dia
mengambil putusan untuk lekas-lekas menyusul ayahnya. Tapi
pada lain saat tiba-tiba dia teringat, ketika berada disitu waktu
dulu, pernah dia melihat sebuah gua yang pintunya memakai
tirai bambu dan dijaga oleh pengawal.
Ya........, tempat itu memang mencurigakan, baik ia
mencarinya.
Tak lama dia mencari, benar juga ada sebuah gua yang
memakai tirai bambu.
Buru-buru dia melangkah masuk. Dilihatnya ditengah gua
situ, terdapat sebuah ciok-pay (alter batu). Permukaan ciokpay
itu diukir dengan lukisan sebuah golok bengkok, macamnja
persis dengan pi-lik-to. Sedang sebelah belakangnya, terdapat
tulisan yang berbunyi "it-to, cap-to peh-to cian-to ban-to" (satu
golok, sepuluh golok, seratus golok, seribu golok, selaksa golok).
Dibawah tulisan itu, kembali terdapat lukisan sebuah golong
bengkok melayang diudara, berputar melingkar. Lukisannya
tampak hidup sekali.
jurusan, atas bawah dan kanan kiri. Makin lama makin lancar,
lingkaran sinarnya dari besar menjadi kecil dan pada lain saat
pecahlah beribu lingkaran bola sinar, bertaburan disekitarnya.
Guruh angin yang menderu-deru juga makin gencar dan riuh.
Segera Tong Ko dapatkan bahwa sekalipun jurus permainan
golok itu hanya terdiri satu gerakan melingkar, namun
kedahsyatannya jauh berlipat kali dari ilmugolok 3 jurus ciptaan
Ang Hwat cinjin itu.
Benar tokoh Ang Hwat itu seorang gembong persilatan yang
tinggi ilmunya, namun untuk menciptakan suatu ilmu golok yang
menyamainya tak usah melebihi, dari it-gwan-to-hwat, rasanya
masih belum dapat. Sederhana tampak ilmu golok sejurus itu,
namun dia merupakan sumber kelahiran dari segala gerak pe
robahan yang tak terbatas banyaknya!
Tong Ko seperti kerangsokan setan. Dia mainkan gerakan itu
sampai setengah jam dengan non-stop. Angin guruh yang
ditimbulkannya, sampai menggoncangkan gua itu. Sampai disitu
barulah dia berhenti, terus menuju ke Kwiciu.
––––––––––
BAGIAN 33
BUKTI PENGHIANATAN
menimpah diri puterinya juga. Maka lebih dulu dia cari sebuah
tempat penginapan didekat gedung tihu situ.
Siangnya dia tak berani keluar. Setelah malam tiba, baru dia
lakukan penjelidikan kegedung tihu. Tapi sampai 10 malam
berturut-turut menjelidiki, tak berhasil masuk.
Penjagaan disitu teramat kuatnya, jangan kata manusia,
sampaipun kawanan kelelawar tak dapat menobros masuk.
Kecerdikan otak Cian-bin long-kun menghadapi ujian berat.
Dia makin gelisah. Hari makin berlarut panjang, berarti
kecurigaan Liat Hwat makin bertambas besar. Kemungkinan Liat
Hwat akan mendapat laporan tentang peristiwa di Lo-hu-san,
makin besar. Sehari berlalu, sehari itu kemungkinan rahasia itu
akan diketahui Liat Hwat.
Begitu mengetahui, Liat Hwat pasti akan bertindak terhadap
The Ing. Sampai pada malam ke 16, The Go tak dapat menahan
diri lagi. Lewat tengah malam, dia keluar dari penginapan.
Penginapan itu dengan gedung tihu hanya terpisah dua
buah jalan besar.
Dalam sekejap saja dia sudah berada didekat tembok
gedung yang hampir dua tombak tingginya. Dilihatnya lampu
penerangan diatas tembok masih menyala. Kalau sampai jam
lampu itu dimatikan, sukarlah untui: menielinap masuk. Dia
sudah membayangkan suatu pertempuran, apabila memasuki
gedung itu. Tapi masih ada satu kemungkinan, kalau saja Liat
Hwat masih belum mengendus peristiwa di Lo-hu-san itu,
bukantah dia bisa mengelahuhi penjaganya? Untung-ungungan
namanya, tapi biarlah dicobanya, toh sememangnya dia sudah
Orang itu tak berani jalan pintu besar, tapi dari pintu
samping. Tapi baru tiba dimuka pintu itu, didalam ruangan
gedung sana terdengar suara berisik. Ha...., itu tentulah The Go
sedang mengadu biru, maka diapun segera ajak The Ing lekas-
lekas cepatkan langkah. Justeru karena terjadi keributan itu,
maka banyaklah para pengawal yang ber-lari2 masuk kedalam
ruangan, jadi dengan lenggangnya dapatlah mereka berdua
melewati pintu samping, menikung sebuah jalanan kecil terus
menuju keluar kota.
Ya....., memang yang membikin keributan dalam gedung itu
adalah The Go.
Memang dia telah bertekad untuk mengobrak-abrik gedung
tihu. Baru dia melangkah beberapa tindak, dia sudah berpapasan
dengan 3 orang siu-wi (penjaga). Siu-wi itu sudah tentu tak
mencurigai The tayjinnya.
Begitu dekat, tahu-tahu The Go sapukan tongkatnya. Siu-wi
yang berada dimuka segera rubuh, tubuhnya merabuhi
kawannya kedua, membentur tembok dan pingsan. Orang yang
ketiga coba menghantam dengan golok. tapi secepat kilat The
Go sudah menyelinap kebelakang seraya tutukkan ujung
tongkatnya kepunggung orang. Disitulah terdapat jalan darah
leng-ta-hiat atau disebut juga jin-sim-hiat, karena The Go
menutuk keras, maka orang itupun melayang jiwanya.
The Go sudah khilap tampaknya. Tanpa peduli diketahui
orang, dia tinggalkan begitu saja ketiga mayat yang mayang
melintang dijalan itu. Tak lama berjalan masuk, kembali dia
bersua dengan 3 orang siu-wi lagi, berbaris medatangi.
Baru The Go hendak turun tangan, atau siu-wi yang berada
---ooOoo---
kalau sinar kilat itu terjadi dari golok pi-lik-to, tapi dia tak tahu
mengapa puteranya dapat memainkan secara begitu sakti sekali.
Rambut Liat Hwat menebar lempang, sepasang tangannya
bergerak-gerak, tapi tak mempan terhadap anak muda itu.
Menjaksikan kesemuanya itu, girang The Go meluap-luap.
Dan saat itu The Ingpun melayang turun sembari menggerak-
gerakan tangannya.
Belasan wi-su (penjaga) rubuh. Gadis itu menghampiri
kearah ayahnya.
The Go pulih semangat. Dia loncat menerjang dua orang
penjaga. Sekali hantam dia sudah dapat merebut dua batang
tombak. The Go makin garang. Dengan sebuah seruan
mengguntur, kawanan wi-su itu sama menjingkir mundur.
"Ing-ji, kau menghendaki yang mana dulu?" tanyanya
kepada sang anak.
"lni!" sahut The Ing sembari menuding seorang opsir. "Baik,"
kata The Go sembari tekannya ujung tombak kelantai terus
melayang.
Dipartai sana, Liat Hwat tadi terkejut demi sudah
mengetahui bahwa golok yang dimainkan Tong Ko itu bukan lain
adalah golok pusaka kian-thian-it-gwan-pi-lik-to. Maka dia lalu
lepaskan The Go untuk menghadapi anak muda itu. Pada saat itu
dia sudah tumplak seluruh kepandaiannya. Setiap pukulan yang
dilancarkan, panasnya seperti api membakar. Namun it-gwan-to-
hwat itu mempunyai ribuan gerak perubahan yang tak habis-
habisnya. Hawa api itu tak dapat meranggas tubuh Tong Ko,
bahkan kebalikannya, badai kilat yang menderu-deru dan ribuan
pagutan golok, pelahan tapi tentu, makin mendesaknya.
BAGIAN 34
AKHIR SEBUAH PENGHIANATAN
Tapi detik itu Tio Jiang sudah maju dua tindak. Tring.....,
begitu mencabut yap-kun-kiam, dia terus menusuk ulu hati
puteranya. "Aiiii......."Yan-chiu segera menjerit ngeri, sedang
sekalian orangpun tak berani berbuat apa-apa.
"Tahan!" tiba-tiba terdengar ada dua orang berteriak,
menyusul sebatang golok berkelebat menangkis pedang Tio
Jiang.
Ketika Tio Jiang mengawasi kiranya itu tadi Tong Ko yang
berbuat, sedang disampingnya tampak berdiri The Go. "Aku
sudah akan membunuh mati binatang itu, mengapa kalian
menghalangi?" ''
"Ucapan Tio-heng itu salah. Perbuatan puteramu itu,
walaupun tersesat, tapi tetap belum memadai kedosaanku
dimasa muda. Itu waktu aku hanya mendapat hukuman potong
kaki, tapi masih hidup sampai sekarang. Dia masih muda,
masakan tak diberi kesempatan untuk memperbaiki
kesalahannya?" The Go menampilkan dirinya sebagai tauladan
untuk membela Tay-keng. Inilah peribadi The Go yang sekarang!
"Kalau lain orang, aku sih masih dapat memaafkan, terhadap
binatang itu, aku tak dapat mengasih ampun lagi!" Tio Jing
berkeras.
Bahwa dalam saat-saat segenting itu, bahkan sebaliknya The
Go dan Tong Ko yang membela mati-matian pada puteranya,
Yan-chiu bersjukur terharu.
"Jiang suko, luluskanlah permintaan mereka!" buru-buru ia
menghampiri dan membujuk suaminya.
Namun Siau-beng-siang tetap menggelengkan kepala.
Waktu membaca surat yang menyatakan siapa sebenarnya Tay-
––––––––
TAMAT