JILID 2
Hari ketiga adalah hari terakhir dari pertemuan besar,
tetamu-tetamu yang datang lebih banyak lagi. Di
antaranya yang paling menarik perhatian Leng-hong
ialah Ciangbun Jing-sia-pay yang bernama Sin In-long
serta kedua belas muridnya. Jing-sia-pay merupakan
salah satu dari enam besar di Tionggoan, memang dalam
kemasyhuran nama, kalah dengan Siau-lim-pay dan Butong-
pay. Perhatian Leng-hong terhadap Jing-sia-pay
bukan karena kedudukan cabang itu, melainkan
disebabkan karena saudara angkatnya, Siau Ci-wan,
orang Jing-sia-pay. Ketika tahun yang lalu ia berpisah
dengan Siau Ci-wan, adalah karena Siau Ci-wan hendak
pulang ke Sujwan untuk membantu gerakan menentang
pemerintah Cing yang dibentuk oleh Leng Thian-lok.
Leng-hong ingin sekali mencari keterangan mengapa
Siau Ci-wan tak datang.
"Kabarnya di gunung Siau-kim-san, Leng Thian-lok
telah menggerakkan pemberontakan terhadap
pemerintah Cing. Sekarang bagaimana kesudahannya?"
tanya Kok Tiong-lian.
"Semula mendapat kemajuan, Leng Thian-lok dan
keponakannya berpencar dalam dua jurusan. Mereka
dapat merebut Kong-gwan, memukul pecah Bian-tiok
dan menekan Seng-to. Wilayah Sujwan gempar. Sayang
sejak musim semi tahun ini, kedudukan mereka berubah
jelek, pemerintah Cing telah mengutus gubernur Siamkam
Yap To-hu ke Sujwan. Dia membawa seratus ribu
serdadu masuk ke Sujwan, laskar pejuang kalah banyak
jumlahnya, terpaksa mereka melepaskan tempat-tempat
hatiku dua tahun yang lalu dan yang penting pula dapat
merampas anak Li Bun-sing itu lagi," pikirnya.
Lok Khik-si boleh merangkai keinginan, tapi Nyo Hoan
tak membiarkan dia cepat-cepat memberi bantuan.
"Budak itu nanti saja kita ringkus, yang penting ambil
kembali karung itu lebih dulu!" bentak Nyo Hoan pada
saat Lok Khik-si mencabut senjata hendak menerjang
Kong-he.
Nyo Hoan tetap mempertahankan keangkuhannya,
sekalipun ia terdesak, namun ia yakin tentu dapat
merebut kemenangan. Sekurang-kurangnya ia masih
dapat bertahan sampai setengah jam lamanya. Ia kuatir
kalau-kalau To-kan dapat melarikan diri, maka
disuruhnya Lok Khik-si mencari karung itu saja.
Memang ketika turun di muka kedai tadi, sepertinya
Lok Khik-si melihat di tengah jalan terdapat sebuah
karung, tetapi hal itu tak diperhatikannya. Barulah
setelah mendengar perintah Nyo Hoan, ia agak tertegun,
ia anggap Nyo Hoan takut kalau dia yang akan mendapat
pahala, maka ia tak mau keluar, sebaliknya bertanya lagi,
"Apa perlunya dengan karung itu? Budak ini adalah putra
Li Bun-sing, salah seorang tokoh Thian-li-kau yang
penting, jauh lebih berharga dari emas berlian!" Ternyata
Lok Khik-si mengira karung itu paling banyak hanya
berisi harta benda saja.
"Budak tolol!" bentak Nyo Hoan dengan marah sekali.
"Kusuruh kau pergi, mengapa membantah! Karung itu
berisi putra Lim Jing, ketua Thian-li kau! Jauh lebih
berharga dari budak ini, tahu!"
"Astaga ..." demikian mulut Lok Khik-si menjerit kaget,
terus ia melompat lari keluar.
tapi tak sampai jatuh. Hanya saja Ginkang nona itu kalah
dari Ceng-hoa, ia dapat bertahan diri tapi tak mampu
melompat menerobos keluar seperti Ceng-hoa tadi.
Hanya dalam beberapa jurus saja, si Lamma sudah
membentak, "Lepas!" Berbareng dengan gerakan
jubahnya, pedang Siangkoan Wan pun terlepas dari
tangan.
Ternyata Lamma itu adalah jago nomor satu atau dua
golongan Ang-kau di Secong (Tibet), namanya
Songpupa. Kepandaiannya lebih tinggi sedikit dari Nyo
Ceng. Bersama Nyo Ceng ia mendapat tugas menjaga
To-kan. Tadi ketika Nyo Hoan digusur Siangkoan Wan,
Lamma itu sengaja tak mau mengeluarkan
kepandaiannya yang sebenarnya. Dia hanya
menggunakan tiga bagian tenaganya untuk menimpuk
senjata rahasia, agar Siangkoan Wan mengira kalau dia
mudah dihadapi dan kemudian mau melepaskan Nyo
Hoan. Apa yang direncanakan itu ternyata berhasil.
Setelah dapat merebut pedang pusaka Siangkoan
Wan, Songpupa tertawa gelak-gelak, "Nyo Hoan,
bukankah kau menghendaki nona ini? Baik, terimalah
nonamu itu!" Waktu ia hendak maju menangkap
Siangkoan Wan, tiba-tiba Siangkoan Thay datang.
Melihat putrinya terancam bahaya, sebelum orangnya
tiba, Siangkoan Thay lebih dulu melontarkan sebuah
hantaman. Gentarlah hati Songpupa menyaksikan
kepandaian Siangkoan Thay itu, tanpa menghiraukan
Siangkoan Wan lagi, ia terus melontarkan pedang
Siangkoan Wan tadi ke arah Siangkoan Thay. Jago she
Siangkoan itu menghindar sambil menyambar tangkai
pedang dengan jarinya, kemudian pedang itu diberikan
tentu tak akan kuberi ampun lagi. Kali ini aku pun telah
memaksanya supaya mengantar kemari."
"Cici Wan, begitulah selayaknya! Tahukah kau apa
yang kucemaskan tempo hari? Tiada lain ialah kalau kau
sampai terpikat oleh Nyo Hoan. Terus terang, sebelum
ketahuan belangnya, aku pun sudah tak senang
padanya. Hanya kala itu tak berani kubilang padamu,"
kata To-kan. Mungkin dia tak mengerti bagaimana
perasaan antara gadis dan jejaka, tetapi yang
dikatakannya itu adalah suara hatinya, hati yang masih
kekanak-kanakan.
Siangkoan Wan tergerak hatinya, "Adik Kan, tak nyana
kau begitu memperhatikan diriku. Ah, sayang kau bukan
adik kandungku."
To-kan memakai papan besi, setelah Siangkoan Wan
membuka sangkar besi, To-kan masih belum dapat
bergerak. Waktu Siangkoan Wan menariknya keluar,
hampir saja To-kan jatuh ke tubuh si nona. Siangkoan
Wan mengangkatnya, didapatinya anak itu sudah jauh
lebih besar dari dua tahun yang lalu. Walaupun baru
berusia 15 tahun, tapi tingginya sudah sama dengan si
nona yang sudah berumur 18 tahun. Ketika mengangkat
bahu anak itu, Siangkoan Wan menyentuh sebuah bahu
yang kokoh kekar. Suatu perasaan timbul dalam hati si
nona bahwa itulah bahu yang diandalkan, jauh berlainan
dengan Nyo Hoan. Entah bagaimana, seperti ada suatu
perasaan yang membangkitkan keinginan Siangkoan Wan
untuk menyandarkan diri pada bahu itu. Keinginan itu
hanya terlintas sekejap saja dan merahlah wajah si nona.
Papan besi yang merangkap kaki To-kan itu terdiri dari
dua bilah besi, pedang pusaka Siangkoan Wan hanya
sudah tak tahan. Ini saja belum apa-apa, bila perlu aku
masih ada lagi berbagai macam rasa lain yang lebih enak
untukmu."
Hong Jong-liong sampai berkelojotan saking tidak
tahan akan siksa sakit dan gatal itu, akhirnya terpaksa ia
minta ampun, "Baiklah, kakek kecil, hilangkan dulu
siksaan ini, aku akan mengaku ... akan mengaku!"
"Memangnya kau berani tidak mengaku?" ejek Yap
Boh-hoa sambil menepuk perlahan sekali di tubuh Hong
Jong-liong untuk mengurangi rasa sakitnya agar dia
dapat bicara dengan lancar, lalu mulailah dia
mengajukan pertanyaan, "Untuk apa kau ditugaskan ke
kotaraja kali ini, lekas katakan!"
Sesudah menghela napas lega, Hong Jong-liong
menjawab, "Aku ditugaskan oleh Yap-tayjin agar
memberi laporan situasi militer, pula mohon Sri Baginda
memberi tambahan pasukan."
Boh-hoa cukup cerdik, segera ia mendesak, "Situasi
militer bagaimana? Mengapa tidak pakai laporan tertulis,
tapi suruh kau menyampaikan secara lisan?" .
Untuk sejenak Hong Jong-liong tergagap dan raguragu
untuk bercerita. Segera Yap Boh-hoa
mengancamnya, "Apakah kau ingin merasakan siksaan
lebih keji lagi?" Berbareng sebelah tangannya lantas
diangkat dan siap menabok.
Dengan takut lekas Hong Jong-liong menjawab,
"Tentang ... tentang beberapa kali kekalahan pasukan
Yap-tayjin yang sebenarnya disengaja itu. Beliau suruh
aku melaporkan dan mohon Sri Baginda jangan kuatir."
"Sebab apa dia sengaja pura-pura?" desak Boh-hoa.
"Tentang ini ... tentang ini ..." kembali Hong Jongliong
merandek.
Siau Ci-wan dengan gusar. "Hm, hari ini kalau bukan kau
yang mampus biarlah aku yang mati." Dengan murka
segera ia menerjang maju, sungguh kalau dapat ingin
sekali tabas ia kutungi badan Yap Leng-hong menjadi
dua potong.
Sebenarnya semangat dan tenaga Yap Leng-hong
sudah lemas sesudah seharian menerjang ke sana
kemari, tapi dalam waktu singkat Siau Ci-wan juga sukar
mengalahkan dia. Dalam pertempuran ini akhirnya anak
buah Yap Leng-hong kena dibunuh semua oleh pasukan
Siau Ci-wan, namun Leng-hong dan Bong Ing-ping
sempat meloloskan diri.
Dengan murka Siau Ci-wan segera mengejar, ia pacu
kudanya secepat terbang dan terus mengudak, tanpa
terasa ia telah meninggalkan anak buahnya jauh di
belakang. Kini tinggal dia seorang diri yang sedang
mengejar, tapi jaraknya dengan Yap Leng-hong dan
Bong Ing-ping juga semakin dekat.
"Yap-kongcu, kita kerubut dia!" ajak Bong Ing-ping.
"Baik, marilah kita melabraknya," sahut Leng-hong.
"Boleh coba kalian labrak!" teriak Ci-wan dengan gusar
sambil menyiapkan busurnya, dua anak panah
dipasangnya terus dibidikkan susul menyusul mengarah
kuda tunggangan lawan. Bukan saja ilmu golok Siau Ciwan
cukup lihai, bahkan ia pun terkenal sebagai jago
panah di dalam pasukan pergerakan.
Mendengar suara jepretan busur, lekas Bong Ing-ping
miringkan tubuh ke samping dan memberosot ke bawah
perut kuda, goloknya siap digunakan untuk menyampuk
panah. Tak terduga yang diincar oleh Siau Ci-wan
bukanlah orangnya, tapi adalah kudanya. Goloknya
menyampuk tempat kosong, sebaliknya perut kudanya
lolos lagi, tapi untuk membunuh diri saja dia tidak punya
keberanian.
Melihat keadaan sudah pasti, segera Siu-hong berseru,
"Hoa-ko, semoga kau membunuh musuh dengan tangan
sendiri, aku pun hendak pergi menuntut balas!"
Cepat ia melarikan kudanya ke bawah sana untuk ikut
dalam penumpasan laskar Kui Koh-ku. Anak buah Kheng
Siu-hong sudah dilebur ke dalam pasukan pergerakan di
bawah pimpinan Ubun Hiong, maka adalah tepat jika dia
ikut pergi membantu Ubun Hiong.
Yap Leng-hong yang pengecut itu tidak jadi
membunuh diri, terpaksa ia putar balik dan bertempur
mati-matian dengan Yap Boh-hoa. Dari putus asa Yap
Leng-hong menjadi nekat dan benci kepada Yap Bohhoa.
Bagai srigala yang kepepet, secara kalap ia
menyerang Boh-hoa.
Boh-hoa tidak berani sembrono menghadapi lawan
yang kalap itu, dengan tenang dan sabar ia melayani
perlawanan Leng-hong yang terakhir itu.
Sementara itu medan pertempuran di bawah gunung
sana sedang berlangsung dengan sengit sesudah Kheng
Siu-hong ikut menyerbu. Ia mencari kedua saudara Cu
dan memerintahkan agar mengumumkan bahwa para
anak buah Kui Koh-ku diharapkan lekas menyerah, yang
akan ditangkap dan dihukum adalah biang keladinya,
orang-orang yang ikut-ikutan saja takkan diusut lebih
lanjut.
Kedua saudara Cu adalah penduduk Kui-tek-po dan
banyak mengenal anak buah Kui Koh-ku. Hasil seruan
mereka itu ternyata sangat memuaskan, tidak terlalu
lama sudah ada lebih separoh laskar Kui Koh-ku
membuang senjata dan meninggalkan barisannya,