Anda di halaman 1dari 948

Geger Dunia Persilatan (Hong Lui Tjin Kiu Tjiu)

Judul Asli : Fenglei Zhen Jiuzhou


(Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah)
(Hong Lui Tjin Kiu Tjiu)
Karya : Liang Yusheng (Liang I-Shen)
Saduran : Gan KL

Denyut kehidupan sembilan wilayah diambang badai


petir,
Selaksa kuda bungkam rintihkan getir lewat kebisuan,

Kupohonkan berkat semangat melimpah dari


penguasa langit,
Berikut limpahan patriot bijak cendekia tanpa
pembatasan.
JILID 1
Guntur menggelegar di puncak Thay-san (pegunungan
Altai), hujan lebat seakan dituangkan dari atas langit,
topan menderu menerbangkan batu pasir, seluruh
puncak gunung seolah-olah tertutup rapat oleh awan
hitam tebal. Setitik cahaya subuh yang baru muncul di
ufuk timur juga lenyap tertelan oleh awan gelap.
Tapi di tengah hujan badai itu terdengarlah suara
senandung seorang laki-laki tegap berewok dan
bermantel. Menggelegarnya guntur yang gemuruh itu
ternyata tidak dapat melenyapkan suara orang laki-laki
yang keras itu.
Di bawah gemuruh suara geledek dan kilat yang
berkelebat memecah lapisan awan menyinari bumi itu,
tiba-tiba tertampak ada sesosok bayangan seorang lain
lagi yang sedang menyongsong ke arah si lelaki berewok
tadi sambil berseru memuji, "Syair bagus! Siau-toako,
tampaknya engkau riang benar!"
Berkelebatnya sinar kilat hanya dalam sekejap saja
sudah lenyap, namun wajah pendatang itupun sudah
tertampak jelas, dia seorang pemuda yang tampan,
berdandan sebagai kaum terpelajar.

"Aha, kau pun sudah datang, saudara Yap," sahut si


berewok dengan tertawa. "Maksud kita ingin melihat
matahari terbit di puncak gunung Thay-san ini, tapi
matahari terbit tidak kelihatan, sebaliknya kita sudah
basah kuyup mirip ayam tercemplung kali."
Kiranya laki-laki berewok itu bernama Siau Ci-wan,
seorang murid Jing-sia-pay dari keluarga partikelir yang
bercita-cita tinggi dan suka mengembara untuk mencari
kawan yang sepaham.
Sebaliknya si pelajar yang bernama Yap Leng-hong itu
adalah kawannya yang baru dikenalnya. Walaupun
kenalan baru, tapi rupanya mereka mempunyai
kecocokan satu sama lain sehingga persahabatan mereka
sudah hampir mirip saudara sekandung saja. Mereka
mengembara bersama dan berjanji akan melihat
matahari terbit dari puncak Thay-san yang terkenal indah
itu. Tak terduga sebelum fajar tiba mereka sudah
tersiram dulu oleh air hujan yang lebat.
Sambil berteduh di bawah pohon Siong yang rindang,
kedua orang saling menjabat tangan dengan tertawa.
Kata Yap Leng-hong, "Siau-toako, kiranya bukan melulu
ilmu silatmu sangat hebat, bahkan kau pun pandai
bersyair."
"Ah, mana aku pandai bersyair?" sahut Ci-wan. "Syair
yang kudendangkan tadi hanya kupetik dari gubahan
penyair Kiong Ting-am yang patriotik itu."
Sementara itu cuaca juga sudah berubah, hujan angin
tadi sudah lenyap, udara mulai terang, sang surya yang
baru muncul laksana bola bara raksasa telah mulai
memancarkan cahaya yang gilang-gemilang dari ufuk
timur.

"Inilah matahari terbit yang indah, walaupun sudah


agak kasip," ujar Siau Ci-wan dengan tertawa.
Sebaliknya Yap Leng-hong tampak termenungmenung
saja, bahkan mendadak menghela napas.
"Sebab apakah mendadak Yap-hiante menghela
napas?" tanya Ci-wan dengan heran.
"Ya, suasana yang tenang indah ini tiba-tiba
mengingatkan padaku akan nasib tanah air kita yang
terjajah selama ratusan tahun ini," sahut Leng hong.
"Selama ini entah berapa banyak patriot-patriot yang
telah berkorban dalam perjuangan mereka mengusir
penjajah Boan-jing keluar dari negeri kita ini Akan tetapi
sudah turun temurun dari Kaisar-kaisar Sun-ti, Khong-hi
Yong-cing dan Kian-liong, selama ratusan tahun ini
pondasi pemerintahan sudah sangat kukuh, berbareng
penindasan mereka kepada bangsa Han kita juga
semakin kejam di samping politiknya memecah belah
serta penyuapan sehingga tidak sedikit pahlawan
pahlawan yang telah terperosot ke dalam perangkap
mereka, hal ini telah banyak mematahkan semangat
perjuangan bangsa kita, rakyat jelata hanya bisa
mengeluh belaka dan tak dapat berbuat apa-apa. Semua
ini apakah tidak cukup membuat kita kesal dan menghela
napas?"
"Uraian Hiante juga tidak betul seluruhnya," ujar Ciwan.
"Lihatlah hujan topan tadi. Sebelum hujan suasana
tenang-tenang belaka, tapi sesudah hujan topan, segala
kotoran di muka bumi ini tersiram bersih, tetumbuhan
bertambah segar, semangat hidup berkobar-kobar."
"Namun demikian, entah bilakah akan datangnya
hujan topan sebagai tadi untuk menyapu bersih segala

kelaliman di dunia ini?" kata Leng-hong. "Pula kalau kita


bicara tentang manusianya, karena kita adalah orang
persilatan, maka biarlah kita bicara tentang tokoh
persilatan saja. Pada ratusan tahun yang lalu pernah
muncul seorang pendekar besar Leng Bwe-hong yang
tersohor di daerah perbatasan dan mengguncangkan
pemerintah Boan, 50 tahun yang lalu terjadi pula
pendekar wanita Lu Si-nio yang menyelundup ke dalam
istana dan memenggal kepala kaisar Yong-cing. Pada 20
tahun yang lalu juga terdapat pendekar besar Kim Si-ih
yang namanya menggetarkan pihak musuh, sesudah
pertarungan sengit di atas Bin-san, sampai sekarang
kawanan bayangkara kerajaan Boan tidak berani muncul
lagi di dunia Kangouw. Namun sekarang para pahlawan
angkatan tua itu sudah wafat atau sudah tua, semangat
juang mereka sudah lenyap, teringat demikian ini apakah
kita tidak terharu? Untunglah selama berkelana dan
mencari sahabat, dapatlah aku berkenalan dengan Siautoako,
tapi lebih dari itu tiada seorang pun pahlawan
atau ksatria sejati yang pernah kutemukan."
"Meski ksatria angkatan tua sudah sama wafat atau
sudah tua, tapi hal ini tidak berarti tiada lagi tunas muda
yang akan meneruskan perjuangan mereka. Maka
hendaklah Hiante tidak perlu gegetun," kata Ci-wan.
"Tapi sayang pengalamanku masih terlalu jelek,
sekalipun di dunia ini masih banyak ksatria-ksatria sejati,
toh tiada yang kukenal," demikian kata Leng-hong.
"Toako, engkau adalah keturunan keluarga ternama dan
murid dari golongan termuka, pergaulanmu juga sangat
luas, tentu dalam pandanganmu ada banyak tokoh-tokoh
ksatria yang berharga untuk menjadi sahabat atau guru
kita."

Ci-wan merenung sejenak, akhirnya berkata, "Aku pun


tidak dapat dikatakan luas bergaul. Tapi sesungguhnya
perjalananku ini ada maksud untuk mengunjungi seorang
Tayhiap (pendekar besar). Meski paling akhir ini Tayhiap
ini telah mengundurkan diri dari khalayak ramai dan tiada
melakukan sesuatu yang menggemparkan, tapi beliau
tetap terhitung seorang ksatria sejati pada masa kini."
"Siapakah beliau?" tanya Leng-hong.
"Beliau adalah ahli-waris pendekar besar Kim Si-ih
yang baru saja kau sebut tadi, yaitu Kang Hay-thian,
suaminya Kok Tiong-lian, Ciangbunjin dari Bin-san-pay."
"O, apakah Toako sudah kenal baik padanya?"
"Aku dan keluarga Kang ada sedikit hubungan
kekeluargaan," tutur Ci-wan. "Kalau diurutkan, Kangtayhiap
masih terhitung saudara sanakku, cuma saja
kami belum pernah bertemu muka. Memang sudah lama
ayahku menyuruh aku pergi berkunjung kepadanya, tapi
karena beliau jarang tingggal di rumah dan kabarnya
akhir-akhir ini baru saja pulang dari daerah perbatasan."
Kiranya kakek Siau Ci-wan ini adalah tokoh kawakan
dari Jing-sia-pay yang bernama Siau Jing-hong. Siau
Jing-hong boleh dikata adalah guru pertama Kang Lam,
ayah Kang Hay-thian. Maka dari itu kalau dihitung, Siau
Ci-wan adalah satu angkatan dengan Kang Hay-thian.
Namun Ci-wan lantas berkata pula, "Kang-tayhiap itu
sekarang sudah berusia empat puluhan, beliau telah
terkenal sejak masih muda belia, maka sekali-kali aku
tidak berani mengaku sesama derajat dengan beliau."
"Dimanakah kediaman Kang-tayhiap?" tanya Leng
hong.

"Di Nyo-keh-ceng, terletak di kabupaten Tong-pengkoan


dalam propinsi Soatang, kira-kira tiga ratus li di
sebelah timur Thay-san ini," sahut Ci-wan.
Kiranya nenek-luar Kang Hay-thian adalah putri
tunggal Nyo - Tiong-eng, tokoh persilatan yang paling
terkemuka kelima propinsi di daerah utara, namanya Nyo
Liu-jing dan bersuamikan Tje Sik-kiu, dari perkawinan
mereka itu hanya mendapat keturunan seorang putri
yang kemudian menikah dengan Kang Lam, ayah Kang
Hay-thian.
Kang Lam semula adalah seorang kacung yang tidak
diketahui asal-usulnya, maka dia ikut sang istri tinggal di
rumah keluarga Nyo ini, istri Hay-thian, Kok Tiong-lian,
adalah ketua Bin-san-pay. Karena dia sudah menikah,
maka dia jarang tinggal di atas Bin-san, hanya kalau ada
upacara dan hari raya tertentu barulah dia datang ke Binsan
untuk menerima laporan-laporan dari para murid Binsan-
pay. Adapun urusan sehari-hari mengenai Bin-sanpay
telah diserahkan kepada paman gurunya, yaitu Cia
In-cin, istri almarhum Tiat-koay-sian (cerita tentang Nyo
Tiong-eng, Tje Sik-kiu, Lu Si-nio, Kim Si-ih dan lain-lain
silakan membaca Tiga Dara Pendekar/Kang Ouw Sam Li
Hiap dan Bidadari Sungai Es/Peng Tjhoan Thian Li, sudah
terbit).
Begitulah sesudah mendengar uraian ringkas Siau Ciwan
itu, tiba-tiba Leng-hong berkata, "Siau-toako, ada
sesuatu permohonanku, entah Toako suka membantu
atau tidak?"
"Hubungan kita bagaikan saudara sekandung, kenapa
main sungkan-sungkan segala, ada urusan apa silakan
bicara saja," sahut Ci-wan.

"Tentang Kang-tayhiap itu memang sudah lama aku


mendengar namanya, cuma sayang aku tiada sempat
mengenal ksatria sejati bagai beliau itu. Sekarang
kebetulan Toako adalah sanak-kadangnya, maka Siaute
(adik) ingin ikut kau berkunjung padanya, entah Toako
suka meluluskan atau tidak?"
Permohonan Yap Leng-hong memang sudah dalam
dugaan Siau Ci-wan, maka dengan ikhlas ia lantas
menyanggupi, katanya, "Baiklah. Walaupun aku belum
pernah bertemu dengan Kang-tayhiap, tapi aku
mengetahui beliau sangat suka kepada kaum muda yang
bercita-cita luhur, maka beliau tentu suka menemui kau.
Marilah kau ikut saja padaku."
Leng-hong sangat girang, katanya, "Pagi yang cerah
ini sangat cocok untuk meneruskan perjalanan, marilah
sekarang juga kita berangkat saja."
Giok-hong-teng (puncak batara Guru) adalah puncak
tertinggi pegunungan Thay-san dimana mereka
menikmati matahari terbit. Baru saja mereka hendak
turun ke bawah, tiba-tiba terdengar suara suitan yang
amat panjang, suara suitan melengking tajam.
Ci-wan terkejut, pikirnya, "Siapakah orang ini?
Sedemikian hebat tenaga dalamnya!"
Belum hilang rasa kejutnya, sekonyong-konyong
terdengar pula suara-suara suitan tajam susul menyusul
dari empat penjuru. Lwekang Siau Ci-wan adalah dari
golongan silat asli Jing-sia-pay, namun anak telingganya
toh sampai mendaiging-denging karena suitan-suitan
yang tajam mengerikan itu.

Didengar dari suara-suara suitan itu, agaknya


kekuatan kelima orang itu sembabat, masing-masing
mempunyai kesaktian sendiri-sendiri dan susah
ditentukan mana yang lebih unggul atau asor.
Lenyapnya keempat suitan panjang tadi segera disusul
dengan suara seruan semang yang lantang, "Kalian
benar-benar orang yang dapat dipercaya dan telah
datang seluruhnya. Orang she Lim telah menantikan
kedatangan kalian di atas Giok-hong-teng ini."
Bayangan orang yang bicara itu tidak nampak, tapi
Siau Ci-wan merasa suara orang itu seakan-akan
mendengung di tepi telinganya. Keruan ia terkejut, cepat
ia membisiki Yap Leng-hong, "Agaknya ada orang yang
bermusuhan hendak mengadakan pertarungan
penyelesaian di sini, persoalan demikian adalah paling
pantang diketahui oleh orang luar yang tak
bersangkutan. Namun untuk menyingkir juga sudah
terlambat, lebih baik kita lekas bersembunyi saja."
Dan baru saja mereka berdua bersembunyi di
belakang sebuah baru cadas yang besar, terlihatlah dua
orang yang tak dikenal telah datang ke tempat dimana
mereka berdiri tadi. Seorang di antaranya memakai
mantel berkerudung kepala sehingga sebagian mukanya
teraling-aling dan wajahnya kurang jelas. Tapi dari
potongan rubuhnya dapat diduga adalah seorang laki-laki
setengah umur. Adapun seorang lainnya adalah satu
bocah yang berumur 11 atau 12 tahun.
"Ayah, izinkanlah aku membantu engkau," demikian
terdengar anak kecil itu berkata. "Aku sudah mahir Kiukong-
poh-hoat (langkah cepat menurut Kiu-kong), pula

Ngo-hou-toan-bun-to (ilmu golok panca harimau) juga


sudah kulatih dengan masak."
Namun si lelaki menghela napas, sahutnya, "Nak,
apakah kau sangka ini permainan menarik? Ketahuilah
bahwa musuh-musuh yang datang ini semuanya sangat
lihai. Sebentar bila mereka sudah tiba semua, begitu aku
bergebrak dengan mereka, maka selekasnya kau harus
pergi. Di Nyo-keh-ceng kabupaten Tong-peng-koan
tinggal seorang ksatria besar bernama Kang Hay-thian,
kita bukan sanak-kadangnya, tapi aku percaya beliau
akan melindungi kau, maka bolehlah kau mengungsi ke
sana."
Diam-diam Ci-wan membatin, "Kang-tayhiap benarbenar
seorang ksatria sejati. Orang ini mengaku tidak
pernah kenal Kang-tayhiap, tapi toh sedemikian
mempercayai beliau. Dia suruh anaknya mengungsi ke
tempat Kang-tayhiap, ini menandakan dia sendiri juga
bukan orang jahat."
Namun demikian Ci-wan masih tetap sangsi. Jika
orang itu sudah tahu susah melawan musuh sehingga si
anak disuruh melarikan diri, lalu apa sebabnya dia
membawa anaknya untuk memenuhi janji pertarungan
sengit ini? Sebaliknya sebabnya dia minta si anak
melarikan diri bilamana musuh-musuhnya sudah tiba
semua, hal ini mudah dipahami, yakni bila sekarang juga
si anak melarikan diri tentu akan kepergok musuh yang
sudah mengepung dari berbagai penjuru itu, tapi kalau
musuh-musuh itu sudah tiba semua dan mulai
bergebrak, tentu bocah itu akan gampang untuk lolos.
Namun seorang anak sekecil itu apakah dapat melarikan
diri, harapan inipun mungkin sangat tipis.

Demikian selagi Ci-wan menyangsikan kelakuan si


lelaki dan menguatirkan si bocah, tiba-tiba terdengar
anak kecil itu sudah berkata, "Tidak, ayah, sekali-kali aku
takkan lari. Ayah adalah seorang ksatria, maka aku pun
ingin menjadi seorang pahlawan."
Mendadak si lelaki menarik muka.
Melihat itu si anak menyangka ayahnya tidak
mengetahui permintaannya, cepat ia menambahkan lagi,
"Ayah, aku takkan menyalahkan kau, selamanya juga aku
takkan menyalahkan kau. Janganlah kau kira aku tidak
paham apa-apa, aku cukup paham untuk apa engkau
berbuat demikian. Ayah, pendek kata, mati atau hidup
kita akan bersama, pula kita toh belum tentu akan
dikalahkan musuh."
Ci-wan tambah heran dan bingung mendengar ucapan
si anak, masakah terhadap sang ayah, ada soal
"menyalahkan" segala? Namun demikian, meski dia tidak
paham apa yang dimaksudkan dalam ucapan si anak, ia
merasa bocah ini terang adalah bocah yang sangat
pintar.
Si lelaki agaknya melengak juga karena perkataan si
anak tadi, tiba-tiba ia bergelak tertawa dan berkata,
"Hahahaha! Bagus, bagus ayah ksatria dan anak
pahlawan, kata-kata yang sangat bagus! Baiklah, sarang
yang terbalik tentu tak ada telur yang utuh, biarlah aku
meluluskan permintaanmu. Semoga mendiang ibumu
akan dapat memaafkan daku.“
„Sssst, jangan bersuara lagi, musuh sudah datang."
Benar juga, hampir pada saat yang sama dari empat
penjuru telah muncul empat orang musuh. Yang datang

dari sebelah timur adalah seorang Hwesio, dari arah


barat datang seorang Tosu, dari selatan adalah seorang
Busu (jago tempur pemerintah) berbaju hitam,
sedangkan yang datang dari jurusan utara adalah
seorang laki-laki yang bermuka bengis, mukanya penuh
daging-daging lebih. Di antara keempat pendatang ini
hanya laki-laki bengis inilah yang dikenal Siau Ci-wan,
namanya Peng-hong, seorang bandit besar dan terkenal
di dunia Kangouw.
Setiba di atas Giok-hong-teng, keempat orang itu
masih tetap berada dalam posisi mengepung. Segera
Hwesio dan Tosu berseru berbareng, "Lim-thocu benarbenar
sangat berani. Tapi karena sekaligus kau telah
berjanji dengan kami berempat, maka hendaklah
maafkan bila kami pun tidak dapat mentaati peraturan
Kangouw lagi. Hari ini kami hanya bertindak atas
perintah dan terpaksa harus membunuh kau. Sesudah
mati tentu kami akan memanjatkan doa bagimu agar
arwahmu tidak gentayangan tak keruan tempat."
"Hahaha!" si lelaki berewok tertawa. "Jika mati, tentu
aku akan naik ke surga, sebaliknya kalian mengaku
beribadat, tapi perbuatan kalian sewenang-wenang,
kalau mati tentu akan masuk ke neraka."
"Hm, tidak perlu banyak bicara lagi," jengek si Busu
baju hitam. "Jadi kau sudah pasti tidak mau menyerah?
Apakah kau tidak merasa kasihan kepada anakmu ini?"
"Bandit anjing!" mendadak si bocah mendamprat
dengan mata melotot. "Ayolah maju sini. Biarpun mati
juga aku tidak sudi minta ampun padamu, siapa ingin
belas kasihanmu."
"Hehe, keras juga tulang anak ini," kata si Busu
dengan menyeringai. "Baiklah, biar kami memenuhi citacita
kalian ayah dan anak. Babat rumput harus seakarakarnya!"
Begitu komando "babat rumput harus seakar-akarnya"
diberikan, serentak si Hwesio mengangat tongkatnya dan
si Tosu mencabut pedangnya, dengan cepat mereka
mengambil tempat yang menguntungkan dan mendesak
maju siap menggempur si lelaki berewok.
Sebaliknya si bandit Peng Hong tetap diam berdiri di
tempatnya, mendadak ia berseru, "Nanti dulu!"
Si Hwesio dan Tosu melengak serta menghentikan
langkah, tanya mereka, "Peng-toako tidak mau
melabraknya, sekarang ingin tunggu kapan lagi?"
Namun Peng Hong tidak menjawab, tiba-tiba ia
melangkah maju dua tindak sambil membentak, "Siapa
kau sebenarnya?"
Busu tadi ikut terkejut, serunya, "Ha, apakah orang ini
bukan Lim Jing?"
Belum lenyap suaranya, si berewok sudah membuka
mantelnya, katanya dengan bergelak tertawa, "Hahaha,
baru sekarang kalian tahu, ya? Lim-thocu sudah terang
tak dapat kalian ketemukan lagi, lebih baik aku orang she
Li ini main-main beberapa jurus saja dengan kalian."
Perubahan secara mendadak ini bukan saja membikin
pihak Peng Hong berempat terkejut, bahkan Siau Ci-wan
yang bersembunyi di balik batu itupun terperanjat.
Kiranya di dunia Kangouw terdapat sebuah
perkumpulan rahasia yang bernama "Thian-li-hwe",

sebuah organisasi yang bekerja di bawah tanah untuk


melawan kerajaan Boan. Lim Jing yang disebut-sebut itu
adalah pemimpin nomor dua organisasi itu.
Walaupun Ci-wan tidak kenal orangnya, tapi sudah
lama nama Lim Jing didengarnya, bahkan adalah tokoh
yang sangat dikaguminya. Ia berpikir, "Melihat
gelagatnya, beberapa orang itu tentu adalah antek-antek
pemerintah Boan. Mereka telah menguber-uber Lim Jing,
apakah barangkali markas besar Thian-li-hwe telah
terbongkar oleh mereka. Lelaki yang mengaku she Li ini
sungguh sangat mengagumkan sikap kejantanannya."
Dalam pada itu terdengar si Hwesio dan si Tosu telah
berseru terkejut berbareng, "Ha, kau adalah Li Bun-sing!"
"Benar, hal ini tentu sangat di luar dugaan kalian,
bukan?" sahut Li Bun-sing dengan tertawa. "Dan aku pun
tidak menyangka kalian berdua ini, Hek-bok Taysu,
paderi agung dari Jian-hu-si dan Pek-tiu Totiang,
pemimpin Ban-biau-koan, ternyata semuanya telah rela
menjadi anjing pemburu kerajaan Boan-jing."
Siau Ci-wan tidak kenal siapakah Li Bun-sing itu, tapi
nama Hek-bok Taysu dan Pek-tiu Totiang adalah dua
tokoh terkenal yang dikenalnya. Jika tokoh-tokoh seperti
Hek-bok dan Pek-tiu sampai terkejut demi mengenali Li
Bun-sing, maka dapat diduga Li Bun-sing tentu juga
bukan orang sembarangan.
Peng Hong yang pertama-tama mengenali suara Li
Bun-sing itu masih coba membujuk, "Li-toako, buat apa
engkau bersusah payah menanggung resiko buat orang
lain?"

Tapi "sret", mendadak Li Bun-sing membentak sambil


mencabut goloknya terus membacok ke arah Peng Hong,
dampratnya, "Orang she Peng, kau telah merusak setia
kawan kaum Lok-lim dan rela menjadi budak kaum
penjajah, hidup seperti dirimu adalah lebih baik mati
saja, masakah kau masih ada muka bertemu dengan
aku!"
Sebagai bandit yang tersohor di daerah utara dengan
sendirinya ilmu silat Peng Hong tidaklah lemah. Justru
pada saat sinar golok Li Bun-sing menyambar tiba,
secepat kilat ia pun sudah mencabut senjata yang
berbentuk sepasang Boan-koan-pit (senjata tajam bentuk
potlot). "Jreng", ia tangkiskan potlot baja sebelah kiri
atas bacokan golok lawan sehingga lelatu meletik,
berbareng potlot sebelah kanan dengan cepat menusuk
dari samping, sekaligus ia incar tujuh tempat Hiat-to
berbahaya di tubuh Li Bun-sing.
Tak terduga permainan golok Li Bun-sing terlebih
cepat daripadanya, ketika'golok Kui-thau-to (golok
berkepala setan) terbentur potlot baja lawan, dengan
daya pental itu segera ia mengayun goloknya ke samping
sehingga tepat potlot baja sebelah kanan Peng Hong
kena disampuk pergi, menyusul secepat kilat goloknya
lantas menabas lagi.
Kalau Peng Hong berani mengambil resiko, jika ia
mendesak maju dan menyerang pula dengan potlotnya,
maka Li Bun-sing pasti akan kena terserang olehnya.
Tapi bacokan Li Bun-sing itu sedikitnya juga akan
membikin sebelah lengan Peng Hong terkurung mentahmentah.
Biarpun bandit yang biasanya membunuh orang
dengan tak berkedip, tapi pada saat-saat antara mati dan
hidup itu Peng Hong toh tidak berani mengadu jiwa
dengan Li Bun-sing.
Terdengarkan suara mendering yang nyaring. Peng
Hong telah menggunakan potlot bajanya untuk menahan
tabasan Li Bun-sing itu sampai tergetar mundur
beberapa tindak, hampir-hampir saja jatuh terjerembab.
Li Bun-sing juga tidak mendesak lebih jauh, tapi ia
lantas melompat ke samping, dimana sinar goloknya
berkelebat, kembali ia sudah bergebrak dengan Pek-tiu
Tojin yang sedang menyerang dari samping.
Pek-tiu Totiang adalah ahli-waris Ban-biau Cinjin dari
Ban-biau-koan di Sohciu, ilmu pedangnya sangat lihai.
Begitu maju segera menusuk perut Li Bun-sing dengan
tipu 'Ki-hwe-liau-thian' (mengangkat obor menerangi
langit).
Namun dengan cepat sekali Li Bun-sing telah
memelompat, kedua kakinya menendang susul menyusul
dengan cepat. Sambil memiringkan tubuhnya segera Pektiu
memutar kembali pedangnya untuk menabas lutut Li
Bun-sing.
"Bagus!" seru Li Bun-sing sambil berputar tubuh
menghindari tabasan lawan, menyusul goloknya bekerja
dengan cepat, terdengarlah suara "crang-cring", suara
menderingnya golok dan pedang berbenturan, dalam
sekejap saja Li Bun-sing telah melontarkan 6 x 6 = 36
kali serangan dengan cepat luar biasa.
Di tengah berkelebatnya sinar golok dan pedang itu
mendadak terdengar suara jerit kaget Pek-tiu Tojin,

orangnya terus melompat mundur dua-tiga meter


jauhnya. Kiranya rambut yang terikat di atas kepalanya
telah kena dipapas oleh Li Bu-sing sehingga rambut
bertebaran, untung dia sempat berkelit, kalau tidak,
mungkin separoh kepalanya sudah terpapas.
Serangan kilat 36 kali itu baru saja selesai dilontarkan
oleh Li Bun-sing, pada saat itulah si Hwesio pun sudah
memburu tiba.
"Baik, sekarang kubelajar kenal dengan Hong-motiang-
hoat Hek-bok Taysu!" bentak Li Bun-sing.
"Hek-bok Taysu adalah ahli Gwakang, yaitu
mengutamakan tenaga luar. beeitu tongkat paderinya
berputar, biarpun air hujan juga tak dapat menembus.
Segera Li Bun-sing berganti siasat, ia keluarkan Yusin-
pat-kwa-to-hoat, yaitu permainan golok dengan
berganti tempat kian-kemari, dalam sekejap saja kedua
orang telah saling bergebrak lebih 20 jurus dan sama
kuat.
Si bocah cilik yang sejak tadi hanya menonton saja di
samping, mendadak mendekat ke belakang Hek-bok
Taysu, terus melolos golok dan menusuk kaki kanan
paderi itu.
"Hehe, setan cilik ini juga berani main gila, mengingat
keberanianmu ini, biarlah jiwamu kuampuni," ujar si Busu
baju hitam dengan tertawa. Dan sebelum dia memburu
maju, lebih dulu senjata cambuknya yang panjang sudah
lantas menyabet ke arah si bocah dengan maksud
menangkap anak itu hidup-hidup.
"Awas, anak He!" seru Li Bun-sing.

Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong sebelah


kaki Hek-bok Taysu telah mendepak ke belakang.
Sebagai seorang jago silat kelas wahid, sudah tentu
panca indranya teramat tajam, mana dia kena disergap
oleh seorang anak kecil?
Depakan Hek-bok Taysu itu dengan tepat mengarah
dada si anak sehingga merupakan serangan yang sangat
ganas dan berbahaya. Bocah itu baru berusia 11-12
tahun, pertumbuhan tulangnya belum sekeras orang
dewasa, kalau kena depakan itu tentu jiwanya bisa
melayang.
Pada detik yang mendebarkan itu, Siau Ci-wan yang
bersembunyi di balik batu itu sampai hampir-hampir
berteriak, baru saja ia bermaksud memburu keluar, di
luar dugaan keadaan di tengah kalangan pertempuran
sudah berubah mendadak.
Bocah itu ternyata sangat cerdik, pada saat jiwanya
terancam itu, sekonyong-konyong ia mendak ke bawah
terus menerobos lewat melalui selangkangan Hek-bok
Taysu.
Betapapun lihainya Hek-bok Taysu juga sekali-kali tak
tersangka olehnya akan perbuatan anak kecil itu, keruan
ia kaget. Lebih celaka lagi si bocah tidak hanya
menerobos lewat saja, bahkan goloknya ikut bekerja
sehingga betis Hek-bok tertusuk.
Walaupun usia bocah itu masih sangat muda dan
tenaganya kecil, namun dimana terkena goloknya juga
kontan lantas terluka dan sebuah urat sampai terputus.
Saking kesakitan sampai Hek-bok berjingkrak-jingkrak
terus roboh ke belakang.

Pada saat itu cambuk si Busu tadi sedang menyabet,


maksudnya hendak meringkus si bocah dari jarak jauh,
tak terduga mendadak si bocah menerobos pergi melalui
selakangan Hek-bok Taysu, sebaliknya Hek-bok yang
roboh terjengkang dan kebetulan ujung cambuknya
sudah menyambar tiba sehingga tepat melilit kaki Hekbok
yang terluka itu.
Karena kakinya terlibat oleh cambuk sehingga Hek-bok
tertahan dan tidak jadi roboh, ia menjadi malu dan
gusar, ia mendamprat, "Apa kau buta, kawan sendiri
diserang?"
Wajah si Busu menjadi merah, ia kendorkan
cambuknya, segera ia menyabet pula ke arah si bocah,
serangan ini sudah tidak kenal ampun lagi, yang diincar
adalah leher anak kecil itu, yaitu jurus yang disebut 'Sokan-
pian' (cambuk pencekik leher).
Hek-bok Taysu juga tidak kurang murkanya, dengan
menahan kakinya yang sakit, mendadak ia gunakan
tongkatnya untuk menahan di atas tanah, tubuhnya
lantas melayang ke udara, bagaikan elang menyambar
kelinci, dari atas tongkatnya terus mengemplang batok
kepala si bocah.
Melihat itu, Li Bun-sing menjadi gusar, bentaknya,
"Bandit terkutuk, terhadap seorang anak kecil juga
sekejam itu, dasar binatang!" Bersamaan tangannya
lantas memukul dari jauh, dengan tenaga pukulannya si
bocah didorongnya ke samping sehingga terhindar dari
serangan cambuk dan tongkat musuh.
Karena menyingkirnya si bocah, Li Bun-sing berbalik
menjadi sasaran kemplangan tongkat Hek-bok Taysu,
serangan itu jatuh dari atas ditambah tenaga Hek-bok

yang memang sangat hebat, maka dahsyatnya tak


terkatakan. Cepat Bun-sing melintangkan goloknya untuk
menangkis. "Trang", karena tenaga benturan senjata itu
Li Bun-sing lantas sekalian memelompat ke samping,
sinar golok berkelebat, kontan ia tabas si Busu.
Dengan gugup si Busu berkelit, cambuknya bekerja,
"sret-sret-sret", dengan gerakan 'Hwe-hong-sau-yap'
(angin lesus menyapu daun), secara berantai ia
menyabet beberapa kali. Namun dengan gesit Li Bunsing
dapat memelompat dan menghindar. Sekali Busu itu
memutar cambuknya, dalam jarak tiga meteran
tertampak bayangan cambuk melulu sehingga Li Bunsing
susah mendekatinya, sebaliknya cambuknya juga
tak dapat menyentuh tubuh Bun-sing.
Kiranya Busu baju hitam ini adalah jago pilihan
kerajaan Boan-jing, tampak kepandaiannya sekali-kali
tidak di bawah Pek-tiu, Hek-bok dan Peng Hong.
Sekonyong-konyong sebelah tangan Li Bun-sing ikut
bermain di samping goloknya, ketika ujung cambuk
menyambar tiba, ujung cambuk dapat ditahan olehnya,
bersamaan goloknya lantas menabas ke depan
menyerempet batang cambuk panjang musuh dalam tipu
'Sun-cui-tui-ciu' (mendorong perahu menurut arus). Tipu
serangan ini sangat berbahaya, karena tak mendugaduga,
seketika permainan cambuk si Busu menjadi
kacau.
Namun Busu itu memang bukan jago sembarangan,
dalam keadaan berbahaya ia pun tidak bingung, cepat ia
menyendal cambuknya sehingga berwujud sebuah
lingkaran untuk bertahan sambil menyerang bila perlu, ia
pasang sebuah jiratan, asal golok Bun-sing menabas tiba,

segera ia menarik kencang cambuknya untuk merampas


golok lawan itu.
Tapi Li Bun-sing tidak mau terlibat lebih lama dengan
Busu itu, tujuannya hanya untuk mematahkan permainan
cambuk lawan untuk melepaskan diri, segera ia putar
kembali goloknya dan secepat terbang melayang ke
samping, sekali ini yang dijegat adalah Peng Hong yang
sedang menguber si anak kecil tadi.
"Kalau mau menangkap maling harus tangkap dulu
gembongnya, ayolah yang tua ini dibekuk dahulu saja,"
seru Peng Hong.
"Baik, biar kubelajar kenal pula dengan ilmu golok Lithocu,"
kata Pek-tiu Tojin.
Pek-tiu Tojin sebenarnya adalah orang golongan Cingpay,
golongan orang baik-baik, walaupun ia telah dapat
dibeli kerajaan Boan, tapi sedikit banyak ia masih
mempunyai rasa malu, ia tidak ingin mempersulit
seorang bocah cilik, pula tadi dia telah kalah satu jurus,
ia merasa penasaran, maka ingin bertanding pula dengan
Li Bun-sing, walaupun menang dengan mengeroyok
bukan perbuatan yang terpuji, tapi ia tidak
memikirkannya lagi, pokoknya asal dapat merobohkan
dan meringkus Li Bun-sing.
Sebaliknya Hek-bok Taysu yang kakinya dilukai si anak
tadi, kejadian ini merupakan kekalahan yang memalukan
selama hidupnya, dalam gusarnya ia masih terus
mengudak bocah itu. Tapi karena sebelah kakinya
terluka, jalannya jadi pincang sehingga susah menyusul
bocah yang lincah dan cerdik itu.

"Hek-bok Taysu, buat apa mengurusi seorang anak


kecil?" ujar si Busu baju hitam dengan tertawa. "Lebih
baik kita mengincar peran utamanya saja."
Diam-diam Hek-bok sangat mendongkol, "Hm, yang
suruh babat rumput harus seakar-akarnya adalah kau,
sekarang kau sok ksatria, pura-pura bermurah hati,
semuanya ini apa bukan lantaran tadi aku telah memaki
kau, maka sekarang kau sengaja main kuasa dan
memberi perintah kepadaku?"
Walaupun demikian pikirnya, tapi karena Busu baju
hitam ini memang pemimpin rombongan mereka, pula ia
pun tidak sanggup membekuk anak kecil itu, lagi pula ia
pun perlu menjaga harga dirinya. Maka biarpun dalam
hati sangat mendongkol terpaksa ia tunduk kepada
perintah Busu itu, ia berputar balik untuk membantu
Peng Hong dan Pek-tiu Tojin mengeroyok Li Bun-sing.
Saat itu Bun-sing sudah terlibat dalam kerubutan
sepasang Boan-koan-pit Peng Hong dan pedang Pek-tiu
Tojin sehingga susah melepaskan diri, meski Ginkangnya
sangat tinggi juga susah dikeluarkan. Sekarang ditambah
lagi seorang Hek-bok Taysu, keruan Bun-sing bertambah
payah, namun sedikitpun ia tidak gentar dan pantang
mundur.
Pertarungan sengit itu membuat Siau Ci-wan yang
mengintip di tempat persembunyian itu berdebar-debar.
Ia merasa ilmu silat setiap orang yang ikut bertempur itu
jauh lebih tinggi daripada dirinya, ada maksudnya
hendak keluar untuk membantu, tapi kuatir
kepandaiannya yang rendah itu tidak dapat meringankan
Li Bun-sing, sebaliknya akan merepotkan malah. Tibatiba
terpikir olehnya, "Sekarang mereka telah

membiarkan anak kecil itu, lebih baik aku


menyelamatkan bocah itu dengan membawanya lari saja
untuk menjaga keturunan keluarga Li. Tapi bocah itu
tampaknya sangat keras kepala, entah dia mau menurut
kepada perkataanku atau tidak?"
Belum selesai ia berpikir, tiba-tiba tampak si Busu
telah mengayun cambuknya untuk merintangi si bocah.
"Anak He, lekas lari!" seru Li Bun-sing.
Namun sudah terlambat, cambuk panjang si Busu
yang berputar-putar di udara bagai ular hidup itu sudah
membayangi si bocah, kemana pun dia hendak
menerobos senjata lincah toh selalu tak terlepas dari
ancaman cambuk.
"Tar, tarr!", cambuk berbunyi beberapa kali disertai
robekan baju si bocah yang bertebaran, tampaknya anak
itu pasti akan babak-belur di bawah hajaran cambuk itu.
Li Bun-sing menjadi gusar dan kuatir. sekonyongkonyong
ia membentak keras, "Bangsat yang tidak tahu
malu, biarlah aku mengadu jiwa dengan kalian!"
Saking murkanya tenaganya mendadak juga
bertambah, dengan gagah perkasa ia menyerang ke
kanan dan menabas ke kiri, membacok ke depan dan
memapas ke belakang, setiap serangan adalah serangan
mematikan. "Crat", dimana sinar golok berkelebat,
kontan si Hwesio yang kurang gesit karena kakinya
terluka telah terkena bacokan Li Bun-sing sehingga
lengan kirinya terbelah menjadi dua dimulai dari batas
pundak.
Tapi pada saat yang hampir sama juga, dengan jurus
'Pek-hong-koan-jif (pelangi putih menembus sinar

matahari), pedang Pek-tiu Tojin telah menusuk dari


samping, karena tidak sempat menangkis, kontan bahu
Li Bun-sing juga terluka dan darah bercucuran.
Pertarungan sengit dan mengerikan tanpa kenal
ampun itu bukan saja menegangkan kedua pihak yang
bertempur, bahkan Siau Ci-wan dan Yap Leng-hong yang
mengintip di tempat persembunyian mereka pun ikut
berdebar-debar dan menahan napas.
Karena kedua orang berdempetan di tempat
persembunyian mereka maka Ci-wan dan Yap Leng-hong
agak gemetaran, pikirnya, "Rupanya Yap-hiante belum
berpengalaman di dunia Kangouw, pantas dia menjadi
takut menyaksikan pertarungan sedahsyat ini."
Sesungguhnya diam-diam Siau Ci-wan juga merasa
takut, tapi bila melihat keadaan Li Bun-sing dan anaknya
yang berbahaya itu, tak tertahan juga timbul jiwa
luhurnya sebagai pendekar silat.
Melihat perubahan air muka Siau Ci-wan itu, segera
Yap Leng-hong dapat menjajaki juga pikirannya, ia coba
membisikinya, "Siau-toako, apa ... apakah kau akan
keluar membantunya?"
"Betul," sahut Ci-wan dengan suara tertahan.
"Hendaklah mengingat persaudaraan kita, sukalah kau
memberitahukan kepada
Kang-tayhiap tentang kejadian ini, beritahukan kepada
beliau bahwa Pek-tiu dan Hek-bok berdua sekarang
sudah menjadi anjing pemburu pemerintah Boan."
Kiranya Siau Ci-wan insyaf bila sudah menerjang
keluar, maka kematian sudah pasti akan dihadapinya,
maka lebih dulu ia memberi pesan, maksudnya supaya

sahabatnya ini tidak perlu ikut bertempur, tapi lebih baik


melarikan diri.
Pada saat itulah terdengarlah suara cambuk si Busu
telah menyambar, sekali libat dan sekali tarik, kontan
tubuh si anak kecil sudah terangkat ke atas, sambil
memutar tawanannya itu si Busu berseru dengan
tertawa, "Haha, Li Bun-sing, kau masih menginginkan
putramu atau tidak?"
Rupanya Busu itu menjadi kuatir melihat Li Bun-sing
bertempur dengan nekat, biarpun mereka main keroyok
dan besar kemungkinan akan menang, tapi kerugiankerugian
berat pasti juga susah dihindarkan, yang terang
Hek-bok Taysu juga sudah terluka parah. Maka dia
sengaja menggunakan rencana semula, yaitu menawan
si anak kecil untuk memaksa Li Bun-sing menyerahkan
diri.
Tak terduga olehnya, belum lenyap suara si Busu,
sekonyong-konyong Siau Ci-wan menerjang keluar dari
tempat persembunyiannya sambil membentak.
Walaupun sadar kepandaian musuh-musuh itu jauh
lebih tinggi daripadanya, tapi rupanya Siau Ci-wan sudah
tidak memikirkan mati-hidupnya sendiri dan serentak
menerjang musuh. Sebaliknya Yap Leng-hong merasa
sangsi, pikirnya, "Usiaku baru 20-an tahun, hari depanku
masih penuh harapan, buat apa aku mesti
mengorbankan jiwa bagi seorang yang tak pernah
kukenal?"
Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Siau-toako juga
tidak kenal orang she Li itu, dia rela mengorbankan
dirinya sendiri guna membela sesamanya, mengapa aku
sendiri takut mati dan membiarkan Siau-toako sendiri

yang berkorban? Ah, sudahlah, seorang laki-laki sejati


harus berani mati demi kebenaran dan keadilan, kenapa
aku mesti takut? Kalau sekarang aku tidak berani maju,
kelak biarpun aku mempunyai kedudukan tinggi dan
nama baik juga akan merasa malu untuk selamanya."
Karena pikiran terakhir itu, dengan nekat serentak ia
pun ikut menerjang keluar dari tempat
persembunyiannya.
Ketika mendadak melihat dari balik batu cadas berlari
keluar dua orang, si Busu menyangka mereka adalah
kawan Li Bun-sing yang sudah disembunyikan di situ,
keruan ia terkejut.
Dalam pada itu dengan cepat luar biasa Siau Ci-wan
sudah menubruk ke arahnya lebih dulu, tangannya
bergerak, sejalur sinar mengkilat lantas menyambar ke
jurusan si Busu, kiranya adalah sebuah belati yang amat
tajam.
"Bagus, boleh coba kau serang!" si Busu tertawa
mengejek. Mendadak bocah yang terlibat pada
cambuknya dan sedang diputar di udara itu telah
digunakan sebagai tameng dan diayun ke depan.
Tak tersangka kepandaian Siau Ci-wan menyambitkan
senjata rahasia ternyata sangat bagus. Ia sudah
memperhitungkan akan perbuatan Busu itu. Ia menaksir
berat badan bocah itu sedikitnya ada 20-30 kilo sehingga
ujung cambuk pasti melambai ke bawah.
Benar juga, biarpun kepandaiannya Busu itu amat
tinggi juga tidak cukup untuk memainkan cambuknya
yang ujungnya membawa badan seorang bocah.

Terdengarlah suara "sring" yang nyaring, maksud


Busu itu hendak menggunakan badan si bocah untuk
menangkis Am-gi (senjata rahasia), tak terduga Hui-to
(pisau terbang) yang disambitkan Siau Ci-wan itu justru
tepat memotong ujung cambuk bagian yang melilit di
panggang si anak, maka putuslah cambuk itu tanpa
sedikitpun melukai anak kecil itu.
Karena ujung cambuk putus, dengan sendirinya tubuh
bocah itu lantas mencelat pergi dan tampaknya segera
akan terbanting di atas sepotong batu cadas, jika hal ini
sampai terjadi, tentu kepala bocah itu bisa pecah
berantakan.
Saking kagetnya sampai Li Bun-sing menjerit kuatir,
cepat ia melompat untuk menyusulnya. Akan tetapi
jaraknya terlalu jauh, terang tidak keburu lagi.
Tampaknya dengan segera bocah itu akan terbanting
mati di atas batu, syukurlah pada detik yang menentukan
itu tiba-tiba dari samping batu telah melompat maju satu
orang, begitu ia pentang kedua tangannya, dengan tepat
bocah itu kena dirangkulnya. Kiranya orang itu adalah
Yap Leng-hong.
Tapi Yap Leng-hong sendiri juga lantas terhuyunghuyung,
"bluk", punggung tertumbuk pada sebatang
pohon sehingga tidak sampai terjatuh. Ia merasa kedua
lengannya kaku pegal, ruas tulang seluruh tubuh serasa
retak semua. Nyata tenaga cambuk si Busu tak
terkatakan hebatnya.
Sebabnya Yap Leng-hong berlari keluar untuk
menolong anak kecil itu adalah karena dorongan
spontanitas saja, sesudah punggungnya tertumbuk
pohon, semangat keberaniannya menjadi hilang seketika,

pikirnya, "Aku telah menyelamatkan bocah ini, hal ini


boleh dikata aku sudah berusaha sekuat tenagaku."
Segera ia melepaskan anak itu ke bawah, lalu berseru,
"Siau-toako, bolehlah kau membawa anak ini pergi dari
sini saja!"
Rupanya dia merasa tidak enak melarikan diri
sendirian, tapi dengan alasan menyelamatkan anak itu ia
suruh Siau Ci-wan membawanya lari, kedengarannya dia
tidak mementingkan diri sendiri, padahal dia hanya cobacoba
memancing saja, sebab adalah tidak mungkin Siau
Ci-wan yang saat itu sedang menerjang ke kalangan
pertempuran itu disuruh melarikan diri, apalagi Siau Ciwan
pun tidak nanti melarikan diri dengan meninggalkan
Yap Leng-hong. Jadi sesungguhnya seruan Leng-hong itu
pada hakikatnya adalah untuk kepentingannya sendiri
dengan harapan kalau-kalau Siau Ci-wan lantas balas
berseru menyuruhnya lari dengan membawa si bocah.
Di luar dugaan bocah itu sangat gagah berarti, begitu
berdiri di atas tanah, sambil memberi hormat kepada
Leng-hong ia lantas berteriak, "Banyak terima kasih atas
pertolongan tuan. Aku takkan melarikan diri, ayah tidak
lari aku pun tidak mau lari!" Habis berkata, sambil
memutar goloknya yang pendek segera ia menerjang
maju pula ke tempat sang ayah.
Saat itu Li Bun-sing sedang memburu ke arah si
bocah, di belakangnya menyusul Pek-tiu Tojin dan Peng
Hong berdua yang terus membayangi. Tubuh Li Bun-sing
sudah terluka dua tempat, walaupun masih gesit dan
cekatan, tapi larinya sudah tidak secepat tadi.
Di lain pihak Siau Ci-wan tengah kepayahan melawan
cambuk panjang si Busu, berulang-ulang ia terancam

bahaya, asal ayal sedikit saja tentu jiwanya bisa


melayang.
Cambuk si Busu ada tiga-empat meter panjangnya,
sesudah terpapas sebagian juga masih tertinggal
sepanjang tiga meter, sesudah dia lepaskan libatan si
bocah, permainan cambuknya telah kembali hidup seperti
semula, ia menyabet, melibat, menarik dan macammacam
serangan cambuk lainnya, serentak dikeluarkan
secara membadai. Dalam keadaan demikian, untuk
melayani saja kewalahan, jangan lagi Ci-wan hendak
memapas kutung pula cambuk lawan.
Memangnya kepandaian si Busu juga jauh lebih tinggi
daripada Ci-wan, untunglah di samping ilmu pedang, Ciwan
masih memiliki sejenis kepandaian tunggal yang
lain, yaitu 'Thian-lo-poh-hoat (ilmu langkah ajaib) yang
merupakan kepandaian rahasia kaum Jing-sia-pay, bila
tidak kepepet ilmu langkah ajaib itu tidak sembarangan
dikeluarkan, maka orang Kangouw jarang mengetahui
adanya langkah ajaib itu.
Ci-wan adalah cucu lelaki Siau Jing-hong, tokoh Jingsia-
pay yang terkenal, dengan sendirinya Thian-lo-pohhoat
telah dilatihnya dengan sangat sempurna. Kalau si
Busu dengan enteng dapat mematahkan ilmu
pedangnya, tapi ilmu langkah ajaib ini sama sekali belum
pernah dilihat si Busu sehingga seketika ia tidak tahu
cara bagaimana menghadapi langkah Ci-wan yang aneh
itu.
Begitulah Ci-wan telah mainkan ilmu pedangnya
dengan menggunakan langkah Thian-lo-po-hoat, tibatiba
berada di depan, tahu-tahu menyelinap ke belakang,
mendadak berada di sebelah kanan, pada saat lain sudah

berada di sebelah kiri. Betapapun dahsyat seranganserangan


cambuk si Busu juga tak dapat menyentuh
ujung bajunya. Sebaliknya terkadang Ci-wan malah
sempat balas menyerang beberapa kali dengan
pedangnya.
Namun demikian sesungguhnya Siau Ci-wan masih
tetap terancam bahaya, ia harus melangkah dengan hatihati
sekali, sedikitpun tidak berani lengah.
Dalam pada itu Leng-hong merasa malu sendiri atas
sikap gagah perwira anak kecil itu. Segera ia perbaharui
semangatnya dan menyusul ke depan sambil berseru,
"Adik cilik, aku akan membantu kau! Li-enghiong, Siautoako,
ayolah kita terjang bersama ke bawah gunung!"
Waktu itu Li Bun-sing sedang dikerubut Pek-tiu Tojin
dan Peng Hong berdua, sambil bertempur sambil
mundur, masih belasan meter lagi baru bisa bergabung
dengan putranya.
Mendadak Hek-bok Taysu menyerobot ke depannya,
sambil mengayun tongkatnya ia membentak, "Anak
jadah, biarlah Taysu mengantar nyawamu pulang
menyusul kakek-moyangmu!" Berbareng tongkatnya
terus ditimpukkan.
Cepat anak itu menjauhkan dirinya ke tanah sehingga
tongkat itu menyambar lewat di atas kepalanya. Yang
berada di belakang bocah itu adalah Yap Leng-hong,
maka dia yang menjadi sasaran tongkat paderi yang
antap itu, tampaknya susahlah baginya untuk
menghindarkan diri.
Diam-diam Leng-hong mengeluh, sekali ini jiwanya
pasti akan melayang, untunglah mendadak terdengar

suara "trang" yang keras, tertampak Li Bun-sing telah


melayang tiba secepat kilat dan tepat pada waktunya
dapat menyampuk tongkat baja itu dengan goloknya.
Li Bun-sing sendiri sudah terluka dua tempat,
walaupun bukan tempat yang berbahaya, tapi darahnya
bercucuran sejak tadi, dengan sendirinya tenaganya
telah banyak berkurang, sekarang dia telah menerjang
tiba dan menyampuk tongkat itu dengan sekuatnya, hal
ini boleh dikata sudah hampir memakan segenap sisa
tenaganya yang masih ada. Meski tongkat musuh kena
disampuk jatuh, tapi ia sendiri pun tidak dapat berdiri
tegak lagi, ia sempoyongan dan akhirnya roboh.
Di tengah suara bentakan-bentakan, berbarengan
Hek-bok, Pek-tiu dan Peng Hong telah memburu tiba
juga. Hek-bok Taysu yang lengan kirinya terpapas
separoh, dendamnya kepada Li Bun-sing boleh dikata
sampai ke tulang sumsum, maka bagitu melihat Li Bunsing
roboh di atas tanah, segera ia menubruk maju terus
menghantam dengan sekuatnya.
Kemahiran Hek-bok Taysu adalah jenis Gwakang,
tenaganya sangat kuat, walaupun lengannya sudah
kutung, tapi kekuatan tangan kanan masih cukup
dahsyat untuk menghancurkan batu sekalipun. Ketika
punggung Li Bun-sing kena dihantam olehnya, keruan ia
meringis kesakitan, berkat Lwekangnya yang tinggi,
sekuatnya ia bertahan, walaupun mata berkunangkunang,
syukur tidak sampai pingsan.
Dalam keadaan kesakitan, tiba-tiba Bun-sing teringat,
"Memangnya aku tiada berharap akan pulang dengan
hidup, tapi sekali-kali aku tidak boleh merembet kedua

ksatria yang berbudi luhur dan telah membantu padaku


ini."
Seketika ia mengertak gigi, entah darimana timbulnya
tenaga, mendadak ia melompat dengan gerakan 'Yau-cuhoan-
sin' (burung merpati membalik tubuh), secepat kilat
dia tarik Hek-bok Taysu terus dibanting ke bawah sambil
membentak, "Orang beragama mengapa sedemikian
kejamnya, Buddha tentu tidak mengampuni dosamu!"
Bersamaan kedua tangannya sekuatnya mencekik,
"krek", seketika tulang leher Hek-bok kena diremas
patah.
Cepat Li Bun-sing menjemput pula goloknya terus
melompat bangun, dalam pada itu tertampak Peng Hong
telah memainkan sepasang Boan-koan-pitnya dengan
gencar sehingga Yap Leng-hong terdesak mundur dan
keadaannya sangat berbahaya. Di sebelah lain Pek-tiu
Tojin juga sedang mengudak putranya.
Sambil menyerang dengan gencar Peng Hong
membentak, "Yap Ting-cong, kau bocah inipun berani
ikut campur urusan orang lain? Lekas letakkan pedangmu
dan minta ampun!"
Leng-hong terkesiap, "Mengapa dia tahu nama
asliku?" Tapi dalam keadaan jiwa terancam, biarpun
nama aslinya tidak ingin diketahui orang juga tak dapat
dipikirkan lebih jauh lagi, terpaksa ia harus memilih mati
menjadi seorang ksatria atau hidup sebagai seorang
pengecut.
Tengah Leng-hong merasa ragu-ragu, tiba-tiba
terdengar suara mengerang gusar Siau Ci-wan. Rupanya
dia melihat Yap Leng-hong lagi terancam bahaya, maka
buru-buru ia menerjang untuk bergabung dengan LengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong, tapi ia lupa bahwa keadaannya sendiri jauh lebih
berbahaya daripada Yap Leng-hong, sebab kepandaian
Busu baju hitam itu sesungguhnya lebih tinggi daripada
Peng Hong, cambuknya menari-nari kian-kemari bagai
naga hidup sehingga sekeliling Siau Ci-wan terkurung
rapat, hanya berkat Thian-lo-poh-hoat saja Ci-wan masih
dapat bertahan. Tapi sekali dia mulai gelisah, langkahnya
sedikit ayal, seketika ia kena cambuk sekali oleh si Busu
sehingga bajunya robek dan punggungnya babak-belur.
Kejadian ini dapat dilihat pula oleh Yap
Leng-hong yang berada belasan meter jauhnya di
sebelah sana.
Walaupun sudah terluka, Siau Ci-wan menjadi semakin
nekat, ia bertempur mati-matian, pedangnya berputar
dengan kencang, setiap jurus serangannya selalu
mengajak gugur bersama sehingga membuat si Busu
mau tidak mau merasa jeri juga.
Rupanya kenekatan Siau-Ci-wan itu telah menggugah
semangat Yap Leng-hong, pikirnya, "Siau-toako
bertempur dengan mati-matian dan pantang menyerah,
sebagai sahabatnya mana boleh aku membikin malu
padanya."
Karena begitu pikirnya, seketika lenyaplah rasa
takutnya kepada musuh, mendadak ia membentak, "Kau
budak kaum penjajah yang tidak kenal malu ini, masalah
aku orang she Yap sudi minta ampun segala padamu?"
Peng Hong melengak atas kegarangan Yap Leng-hong,
rupanya hal ini agak di luar dugaannya, sebab semula ia
menganggap Yap Leng-hong adalah satu orang yang
telah dikenalnya, maka dia telah menggertaknya agar
suka menyerah. Sekarang ia menjadi sangsi, pikirnya,

"Jangan-jangan aku telah salah mengenalnya, dia


bukanlah tuan muda keluarga Yap-tihu (bupati Yap) itu?
Sebab kalau benar tuan muda keluarga Yap, mustahil dia
tidak takut mati?"
Kiranya pada belasan tahun yang lalu Peng Hong
pernah bertemu dengan putra Yap-tihu yang
dimaksudkan, Yap Leng-hong sekarang adalah pemuda
berusia 20-an tahun, sudah tentu usianya jauh lebih tua,
tapi raut mukanya ia merasa banyak persamaannya.
Begitulah, dalam keadaan ragu-ragu di pihak lain Yap
Leng-hong telah menyerang sekuatnya sehingga Peng
Hong tidak sempat banyak berpikir atau menegur lagi,
diam-diam dia sangat mendongkol, pikirnya, "Peduli
apakah dia tuan muda Yap atau bukan, yang terang dia
berada bersama buronan pemerintah, untuk dosanya ini
aku sudah boleh membunuhnya."
Meski kepandaian Peng Hong tidak setinggi si Busu
baju hitam, tapi ilmu silat Yap Leng-hong juga jauh di
bawah Siau Ci-wan, sekalipun dia bertempur dengan
mati-matian juga tak mampu melawan Peng Hong.
Sekarang Peng Hong sudah bertekad akan
membunuhnya, maka sepasang Boan-koan-pitnya lantas
bekerja lebih ganas lagi, sekonyongkonyong
kedua potlot baja itu menusuk ke depan
secara bersilang, tahu-tahu sudah berada di depan dada
Yap Leng-hong, "Bret", baju Leng-hong sudah terobek,
seketika perasaan pemuda itu menjadi hampa, sekilas itu
ia menyesalkan kematiannya yang dianggapnya tak
berharga itu selagi usia masih begitu muda.
Tapi pada detik berbahaya itulah tiba-iba terdengar
suara bentakan yang menggelegar. Saat itu Li Bun-sing

telah memburu tiba untuk menolongnya, Li Bun-sing


baru saja membunuh Hek-bok Taysu, begitu menjemput
goloknya dan melompat bangun, segera ia melihat
putranya dan Yap Leng-hong sama-sama terancam
bahaya. Tapi tanpa berpikir lagi segera ia memburu ke
arah Yap Leng-hong.
Biarpun sisa tenaga Li Bun-sing sudah hampir ludes,
tapi suara bentakan yang menggeledek itu membuat
Peng Hong tergetar, ujung Boan-koan-pit lantas meleset
mengenai Soan-ki-hoat di dada Yap Leng-hong, tapi
hanya melukai dada pemuda itu sehingga berdarah.
Leng-hong menjerit kesakitan sambil melompat ke
samping sekuatnya. Waktu ia memandang pula, tampak
Li Bun-sing dengan langkah sempoyongan sedang
menerjang maju dengan kalap, "trang", golok Li Bun-sing
telah beradu dengan Boan-koan-pit milik Peng Hong.
Dengan hati berdebar-debar, Leng-hong merasa malu
diri pula, pikirnya, "Ternyata dia tidak memikirkan
keselamatan putranya, tapi lebih dulu aku yang
diselamatkan olehnya." Untuk sejenak ia tertegun, meski
darah bercucuran keluar dari luka di dadanya, tapi aneh,
sedikit pun ia tidak merasa kesakitan lagi. Sebaliknya
dengan penuh semangat ia putar pedangnya dan
menerjang maju pula ke medan pertempuran.
Dalam pada itu "sret-sret-sret", Li Bun-sing telah
membacok tiga kali dengan segenap sisa tenaga yang
dikumpulkannya untuk mengadu jiwa dengan musuh,
pendek kata kalau bukan musuh yang mati biarlah
dirinya yang gugur. Pilihan lain tidak ada.
Peng Hong adalah bandit besar yang biasanya
membunuh orang tak kenal ampun, tapi demi melihat

kekalapan Li Bun-sing dengan suara gertakannya yang


menggeledek, sinar goloknya berkelebat laksana kilat,
mau tak mau ia menjadi jeri dan gugup.
Di tengah suara bentakan Li Bun-sing, mendadak
terdengar suara jeritan Peng Hong yang mengerikan,
batok kepalanya telah terbacok pecah dan roboh
terkapar. Rupanya dengan serangan yang ketiga kalinya,
Li Bun-sing telah berhasil membinasakan lawannya, pada
saat itu Yap Leng-hong belum lagi memburu tiba.
Selama hidup Yap Leng-hong belum pernah
menyaksikan pertarungan yang mengerikan seperti
sekarang ini, saking takutnya sampai ia melongo seperti
patung. Sesudah pikirannya agak tenang kembali barulah
ia berkata, "Li ... Li-enghiong, engkau..”
"Aku tidak apa-apa, lukamu sendiri hendaklah dibalut
dahulu," sahut Bun-sing. Habis berkata mendadak ia
putar balik dan berlari ke arah Pek-tiu Tojin sambil
membentak, "Huh, menganiaya seorang anak kecil, kau
tahu malu atau tidak? Marilah, kalau berani boleh kita
bertempur untuk menentukan mati atau hidup!"
Sesungguhnya di antara keempat orang musuh, hanya
Pek-tiu Tojin seorang saja yang sedikit banyak masih
punya rasa malu. Sebabnya dia menguber putra Li Bunsing
bukanlah karena dia hendak membunuh anak kecil
itu, tapi maksudnya ingin menangkapnya hidup-hidup.
Tak terduga karena Pek-tiu sendiri sudah terluka, bocah
itu sangat lincah dan gesit pula, sebentar melompat ke
sana, lain saat sembunyi ke situ. Dengan kepandaian
Pek-tiu Tojin, kalau hendak membunuh anak kecil itu
adalah sangat mudah, sebaliknya untuk menangkapnya

hidup-hidup dalam keadaan Pek-tiu sendiri terluka,


soalnya menjadi tidak mudah.
Sebagai seorang tokoh terkenal, memangnya Pek-tiu
sudah merasa malu diri karena menguber-uber seorang
anak kecil, sekarang kena digertak dan disindir pula oleh
Li Bun-sing, keruan ia bertambah malu sehingga
mukanya merah padam.
Di antara empat orang itu, kini Hek-bok Taysu dan
Peng Hong berturut-turut sudah dibinasakan oleh Li Bunsing,
Pek-tiu Tojin sendiri pun sudah terluka, sekarang
melihat Li Bun-sing sedemikian kalapnya, mau tak mau ia
menjadi jeri. Cepat ia berkata, "Kedatanganku ini hanya
menurut perintah saja, aku sendiri tidak berkuasa dan
bukan ingin bermusuhan dengan Li-thocu. Baiklah,
sekarang kita pun sudah sama-sama tahu kekuatan
masing-masing, kau telah membacok aku sekali, aku pun
telah balas menusuk kau sekali, kita sama-sama tiada
punya hutang, buat apa mesti mengadu jiwa pula?
Anggaplah aku telah mengenal seorang sahabat seperti
kau. Sekarang aku mohon diri saja, sampai jumpa pula”
Habis berkata, ia simpan kembali pedangnya dan
memberi hormat, lalu buru-buru berlari ke bawah
gunung.
Bahwasanya Pek-tiu Tojin merasa jeri dan
menghindari pertarungan lebih lanjut, hal ini boleh dikata
sangat beruntung bagi Li Bun-sing, Pek-tiu tidak tahu
bahwa luka Li Bun-sing jauh lebih berat daripadanya.
Sedangkan Siau Ci-wan dan Yap Leng-hong juga sudah
terluka, walaupun tidak parah, tapi tidak juga enteng.
Kalau Pek-tiu tidak kabur dan bergabung dengan si Busu
untuk melawan Li Bun-sing bertiga yang sudah terluka
semua beserta seorang anak kecil, maka pihak Li BunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sing pasti bukan tandingan mereka dan tentu akan
tertawan semua.
Sekarang di pihak lawan sudah mati dua dan kabur
satu, tertinggal si Busu baju hitam yang masih belum
terluka dan sedang bertarung sengit melawan Siau Ciwan.
Berulang-ulang Ci-wan telah kena dicambuk beberapa
kali, tubuhnya sudah babak-belur dan tampaknya tak
sanggup bertahan lebih lama lagi.
Yap Leng-hong menjadi tabah demi nampak musuh
hanya tinggal seorang saja, ia buru-buru membalut
lukanya, lalu menerjang maiu untuk membantu Ci-wan.
Maksud Li Bun-sing juga ingin membantu, tapi kedua
kakinya sudah tidak mau diperintah lagi karena
kehabisan tenaga.
Namun Busu baju hitam itu sudah mulai gugup ketika
melihat Yap Leng-hong menerjang tiba, Li Bun-sing juga
sedang mengawasi dirinya dengan mata mendelik,
walaupun orangnya tidak bergerak, tapi sikap Li Bun-sing
yang gagah perkasa dan berwibawa itu jauh lebih
menakutkan si Busu daripada Yap Leng-hong yang
menerjangnya dengan senjata.
Mendadak cambuk si Busu menyabet, Leng-hong yang
tak menduga-duga itu menjadi kaget, kakinya
terserempet oleh ujung cambuk dan jatuh terguling,
cepat Ci-wan melompat maju untuk membangunkannya.
Kesempatan itu tidak disia-siakan si Busu, cepat ia putar
tubuh dan angkat langkah seribu tanpa memikirkan
untuk melukai lawannya lagi. Ci-wan juga tidak sempat
mengejarnya.

Tapi masih ada seorang Li Bun-sing yang sedang


mengawasi di samping, pikirnya, "Aku tidak boleh
meninggalkan bibit bencana bagi Yap-toako." Mandadak
ia gigit lidah sendiri, karena kesakitan, tiba-tiba timbul
tenaganya, secepat kilat ia timpukkan Kui-thau-to.
Golok yang ditimpukkan itu tahu-tahu sudah
menyambar sampai di belakang si Busu, "cret", kontan
bahu jago bayangkara itu tertembus golok, dibarengi
dengan jeritan keras, Busu itu terguling-guling ke bawah
gunung.
Pertarungan sengit yang mendebarkan itu telah
diakhiri dengan jerit ngeri si Busu baju hitam. Di antara
empat musuh, dua terbunuh, Pek-tiu Tojin kabur dengan
menderita luka, Busu baju hitam itupun terluka parah
dan terguling ke bawah gunung, tampaknya juga akan
binasa, andaikan hidup juga akan menjadi cacad karena
tulang pundaknya tertembus oleh golok Kui-thau-to.
Saat itu Yap Leng-hong baru saja berdiri kembali, ia
seperti baru sadar dari mimpi buruk atau boleh dikata
baru lolos dari lubang jarum. Ketika angin pegunungan
meniup silir-silir barulah ia merasa luka di dadanya sakit
dan perih, baru sekarang juga ia sadar pertempuran
sudah berakhir dan dia sendiri masih hidup. Bila
terbayang kembali pertarungan sengit tadi, mau tak mau
hatinya berdebar-debar pula, tapi dalam hatinya juga
timbul semacam rasa bangga yang susah dijelaskan, rasa
bangga karena untuk pertama kalinya dirinya telah ikut
pertempuran seru sebagai seorang ksatria, walaupun
musuh bukan dikalahkan olehnya sendiri, tapi ia benarbenar
merasa bangga, merasa dirinya sesuai untuk
disebut sebagai seorang ksatria, seorang pendekar.

Dalam pada itu Li Bun-sing sedang berdiri tegak di


puncak gunung sambil memandang jauh ke depan sana,
perasaannya tenang dan lega, ia tahu pertempuran tadi
adalah pertempuran terakhir selama hayatnya, walaupun
jiwa pahlawannya masih menyala-yala, tapi jiwanya
susah dipertahankan lagi, bayangan maut sudah
menghampiri dirinya. Tapi ia tidak gentar menghadapi
bayangan maut itu, ia sudah melakukan apa yang harus
dilakukannya, sebaliknya ia menyesal tak dapat berjuang
lagi sejajar dengan kawan-kawan seperjuangannya yang
lain. Namun manusia pada akhirnya harus mati, mati
dengan berharga, hal ini adalah jamak dan tidak menjadi
soal.
Begitulah Li Bun-sing mengenangkan kembali
suka-duka perjuangannya selama ini, mendadak ia
bergelak tertawa, di tengah suara tertawanya tiba-tiba
darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
"He, kenapakah kau, Li-enghiong?" seru Ci-wan
dengan kuatir sambil berlari mendekatinya.
Anak kecil tadi juga mendekati ayahnya, serunya
sambil memegangi sang ayah, "Tiatia (ayah), janganlah
engkau meninggalkan aku!"
Dengan napas terengah-engah Li Bun-sing berkata
sambil tertawa, "Bagus, bagus sekali! Sungguh tak
terduga empat musuh hanya dapat lolos seorang saja
dengan terluka pula. Anak He, kau punya Lim-pepek dan
engkoh Han pasti dapat lolos dengan selamat dari
kejaran musuh!" Habis berkata mendadak ia muntah
darah pula, seketika mukanya pucat-pasi sebagai kertas.
"Aku membawa obat luka," kata Ci-wan.

Tapi sebelum ia mengeluarkan obatnya, Bun-sing


sudah lantas berkata, "Tidak perlu lagi, manusia pada
akhirnya pasti akan mati, asal mati dengan berharga,
kenapa mesti dibuat sedih? Keadaanku sekarang biarpun
ada obat dewa juga susah menyambung nyawaku lagi.
Luka kalian berdua juga tidak ringan, silakan coba aku
punya obat Kiu-coan-hoan-yang-san, mungkin.akan lebih
manjur daripada obat kepunyaan kalian sendiri."
Ci-wan sedikit memahami ilmu pertabiban, ia coba
memegang nadi Li Bun-sing, ia merasa denyut nadinya
sangat lemah dan tak teratur, percaya apa yang
dikatakan Li Bun-sing adalah memang sebenarnya, kalau
dia masih tahan untuk sementara adalah berkat
Lwekangnya yang sangat tinggi. Menghadapi keadaan
demikian, Ci-wan menjadi muram dan tak dapat bicara
lagi.
"Ini, terimalah obatku ini, cobalah, tentu manjur," kata
Bun-sing pula. "Kalian harus sayang kepada badan
sendiri untuk melanjutkan perjuangan. Lekas kalian
membubuhkan obat luka ini, aku masih ingin bicara lagi
dengan kalian."
Dengan penuh rasa terima kasih, diam-diam Lenghong
terharu pula atas jiwa ksatria Li Bun-sing yang
cuma memikirkan kepentingan orang lain walaupun
jiwanya sendiri sudah hampir tamat. Segera ia
membubuhkan obat pemberian Li Bun-sing itu di atas
lukanya, dalam sekejap saja rasa sakit pada luka itu
lantas lenyap.
Ci-wan mengetahui keadaan Li Bun-sing memang
tidak dapat diselamatkan lagi, terpaksa ia pun minum

obat pemberian itu sambil menahan air mata, lalu ia


bertanya, "Apakah Li-enghiong masih ada pesan lain?"
"Atas bantuan kalian berdua, budi kebaikan ini rasanya
aku tak bisa membalas lagi," kata Bun-sing. "Aku
memang masih ada sedikit urusan dan terpaksa harus
membikin susah kalian berdua
"Sayang kepandaian kami terlalu rendah sehingga tak
dapat banyak memberi bantuan apa-apa," cepat Ci-wan
menukas. "Tapi kalau Li-enghiong ada sesuatu pesan,
asal dapat kami laksanakan, tentu sekuat tenaga akan
kami lakukan sekalipun mesti terjun ke lautan api atau
masuk ke dalam air mendidih."
"Kita tak perlu bicara secara sungkan-sungkan lagi,"
ujar Bun-sing. "Mohon tanya, kedua Gisu (tuan budiman)
...”
"Namaku Siau Ci-wan dari Jing-sia, kakekku ialah Siau
Jing-hong. Dan ini adalah saudara angkatku, Yap Lenghong."
"O, kiranya adalah Siau-toako, sudah lama kudengar
namamu," puji Bun-sing. Ia percaya Siau Ci-wan adalah
seorang ksatria benar-benar, maka ia lebih-lebih lega dan
tidak kuatir untuk menguraikan apa-apa yang hendak
dipesankan padanya.
Segera Bun-sing, menutur, "Cotho (markas besar)
Thian-li-kau kami berada di kota Poting, kali ini markas
besar kami telah dihancurkan oleh kaum pengkhianat
dari anggota sendiri, Kaucu (ketua) kami Thio Ting-ki
terbinasa, Hukaucu (wakil ketua) Lim Jing dapat
meloloskan diri, untuk perjuangan selanjutnya, tugas ini
terletak pada pundak Lim-toako seorang, tapi kerajaan

Boan telah menyebarkan jago-jago istana untuk


mengubernya, keadaanya sungguh sangat berbahaya.
"Aku sendiri juga seorang Thaubak (kepala bagian),
tugasku adalah penghubung rahasia antara markas pusat
dengan cabang-cabang di berbagai tempat. Di kota
Poting sehari-hari aku menyaru sebagai tukang kayu.
Kedudukanku di dalam organisasi ini juga dirahasiakan,
dengan sendirinya orang luar lebih-lebih tidak tahu,
terutama pihak kerajaan. Kali ini Lim-hukaucu berhasil
meloloskan diri bersama seorang putranya yang bernama
Lim To-han, usia To-han sebaya dengan putraku ini.
Putraku ini bernama Li Kong-he.
"Lim-hukaucu adalah saudara angkatku, beliau lebih
tua setahun daripadaku, perawakan kami hampir sama.
Aku dan He-ji sengaja , menyaru sebagai Lim-toako dan
anaknya dengan menggunakan kata-kata sandi Thian-likau
agar menimbulkan kecurigaan pihak anjing pemburu
kerajaan Boan, kami telah diikuti sepanjang jalan,
beberapa musuh telah kami bunuh, akhirnya empat jago
istana di bawah pimpinan Busu baju hitam itu yang
masih terus menguntit jejak kami, rupanya mereka yakin
aku adalah Lim-toako yang hendak mereka cari.
"Untuk lebih mengalihkan perhatian mereka, aku
sengaja menggunakan nama Lim-toako dan mengirim
surat tantangan melalui kawan Kay-pang untuk
mengadakan pertarungan menentukan di puncak Thaysan.
Rupanya mereka cukup kenal perangai Lim-toako
yang gagah berani, mereka menyangka Lim-toako sudah
kepepet dan susah menyembunyikan diri, maka terpaksa
menantang pertandingan kepada mereka. Mereka
ternyata tidak menaruh curiga apa-apa, seterima surat
tantangan, benar juga mereka telah kena kupancing ke

puncak Giok-hong-teng. Apa yang terjadi sesudah itu


kalian sendiri sudah menyaksikan, maka tidak perlu
kuceritakan lagi. Di antara empat musuh hanya lolos
seorang Pek-tiu Tojin dengan menderita luka. Hahaha,
bukankah hasil kejadian hari ini jauh lebih bagus
daripada dugaanku semula?"
Li Bun-sing berhenti sejenak, sorot matanya perlahanlahan
beralih ke arah putranya, lalu sambungnya dengan
tersenyum simpul, "Syukurlah anak ini walaupun usianya
masih muda, tapi tahu juga ajaran nabi tentang
'berkorban bagi kebenaran, betapapun dia tidak mau
berpisah dengan aku dan terus ikut padaku dengan
menyaru sebagai Lim-toako beserta putranya sehingga
kawanan anjing kerajaan Boan itu terjebak. Sungguh aku
sangat bersyukur dan girang karena bocah ini tidak
terluka apa-apa, sekalipun aku akan mati juga dapatlah
mangkat dengan hati lega."
Baru sekarang Ci-wan dan Leng-hong mengetahui
sebabnya Li Bun-sing membawa serta anaknya ke
puncak Thay-san untuk memenuhi janji 'pertemuan
maut' ini. Mereka menjadi kagum tak terkatakan
terhadap jiwa ksatria dan budi luhur Li Bun-sing itu.
"Apakah Li-enghiong ingin aku menyampaikan sesuatu
berita kepada Lim-hukaucu?" akhirnya Ci-wan bertanya
dengan nada terharu.
"Aku sudah membunuh tiga orang musuh yang kuat,
mati pun aku tidak menyesal lagi, maka aku pun tidak
perlu orang membalaskan sakit hatiku," ujar Bun-sing,
"karena itu aku pun tidak ingin Lim-toako mengetahui
kejadian hari ini, apabila beliau bertanya tentang
kematianku, hendaklah kalian ceritakan sekedarnya dan

tidak perlu menguraikan apa yang terjadi dengan


sesungguhnya, supaya beliau tidak ikut sedih. Aku pun
tiada mempunyai harapan apa-apa sehingga tiada
sesuatu urusan yang minta dibereskan. Tapi ada suatu
hal yang menyangkut rahasia organisasi kami, untuk
inilah mohon Gisu sukalah menyampaikan kepada
mereka yang bersangkutan."
"Banyak terima kasih atas kepercayaan Li-enghiong
kepada kami dan tentu kami takkan mengecewakan
maksud baikmu, silakan Li-enghiong mengatakan saja,"
sahut Ci-wan.
"Hujan topan tadi apakah kalian berdua juga
menyaksikannya?" tiba-tiba Bun-sing bertanya.
Ci-wan dan Leng-hong melengak, mereka heran
mengapa Li Bun-sing menanyakan hujan topan apa
segala pada saat ajalnya sudah mendekat?
Maka Leng-hong yang menjawab, "Ya, kami
mengalami hujan topan tadi, ada apakah?"
"Situasi sekarang justru mirip sekali dengan sebelum
hujan topan tadi," kata Bun-sing. "Agaknya bangsa kita
sudah tak bisa bernapas lagi karena penindasan
pemerintah Boan-jing, tampaknya saja dimana-mana
tenteram, semuanya serba aman, tapi di dalam hati
setiap orang sebenarnya penuh dendam dan bergolak
siap meledak setiap saat, sehingga mirip dengan akan
tibanya hujan topan tadi.
"Tugas dalam Thian-li-hwe ialah penghubung antara
pusat dengan cabang-cabang di berbagai tempat, aku
sering berkelana di dunia Kangouw, selain menghubungi
orang-orang sendiri, tidak sedikit pula para pahlawan dan

kaum ksatria di luar Thian-li-hwe yang telah kukenal,


banyak pula perkumpulan Kangouw yang telah berserikat
dengan kami untuk mengadakan pergerakan.
Perkumpulan-perkumpulan yang telah mengadakan
serikat dengan kami ini sebagian besar telah diketahui
oleh Lim-toako, tapi ada juga sebagian yang belum
sempat kulaporkan sehingga pimpinan pusat sendiri
belum mengetahui. Sekarang aku hendak
memberitahukan kepada kalian beberapa pimpinan dari
berbagai tempat yang paling penting, hendaklah kalian
ingat dengan baik di luar kepala dan janganlah dicatat di
atas kertas. Mereka ini adalah: Thia Pek-gak dari Bu-sing
di Soatang, Kwe Su-oh dari Go-sing di Holam, Hau Kokliong
dari Ki-si di Soasay, Chi Thian-tik dari Kong-goan di
Sucwan utara, Leng Thian-lok di Siau-kim-jwan, tiga jago
she Thio dari Bici di Siampak, yaitu Thio Su-liong, Thio
Han-tiau dan Thio Thian-lun
Begitulah ia mengulangi beberapa kali nama orang
dan tempat kediamannya, sesudah Ci-wan dan Lenghong
ingat betul-betul barulah Bun-sing menyambung
pula, "Aku telah berjanji dengan beberapa tokoh yang
kusebut tadi dengan menggunakan kata-kata sandi
sebagai tanda penghubung, asal dapat menyebutkan dua
kata kode, kedua pihak akan segera mengetahui adalah
kawan sendiri. Inilah yang paling penting dan harus
diingat dengan baik serta tak boleh bocor." Sampai di
sini, entah sengaja atau tidak, tiba-tiba ia memandang
sekejap ke arah Yap Leng-hong, tampaknya agak raguragu
sedikit.
Sebagai pemuda yang cerdik, melihat sikap Li Bunsing
itu segera Leng-hong dapat menerka pikiran orang,
pikirnya, "Jangan-jangan Li Bun-sing menaruh curiga

padaku? Tidaklah baik mengetahui rahasia orang lain.


Biarlah kata-kata kode ini aku tidak perlu ikut
mendengarkan saja."
Segera ia pura-pura mengintai ke sana kemari dan
bermaksud mencari sesuatu alasan untuk menyingkir.
Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Kali ini aku telah ikut
membantu dia dengan mati-matian, memangnya aku
tidak mengharapkan balas budi apa-apa, tapi kalau dari
sini dapatlah aku berkenalan dengan ksatria-ksatria di
dunia ini kelak ikut-ikut di medan perjuangan, boleh jadi
aku pun dapat mencurahkan sedikit tenagaku, untuk ini
ada manfaatnya juga bila aku ikut mengetahui kata-kata
kode mereka, paling sedikit akan dapat digunakan
berkenalan dengan para gembong organisasi rahasia itu,
sekalian biar mereka tahu bahwa aku adalah orang
kepercayaan ksatria Li Bun-sing, kawan yang telah diberi
pesan terakhir pada saat ajalnya."
Tengah ragu-ragu, tiba-tiba Bun-sing sudah berkata,
"Aku mengetahui dengan jelas, selain keempat tadi tiada
begundal mereka yang lain, maka saudara Yap tidak
perlu kuatir ada orang luar lagi. Adapun kedua kata kode
itu ialah: 'Menunggu sungai utara kembali kepada raja
Han, bumi raya Kian-khun akan terus berputar-putar'.
Kata-kata Kian-khun di sini dimaksudkan kaisar Kianliong,
artinya bila sampai pada pemerintahan Kian-liong,
maka nasib kerajaan Boan mereka pun akan segera
tamat. Ini adalah kata-kata kiasan untuk mendorong
semangat juang para pahlawan kita."
Demikianlah secara mudah Li Bun-sing telah
menghindarkan rasa sangsi dan salah paham Yap Lenghong
tadi. Semula ia lihat Leng-hong adalah pemuda
yang masih hijau, boleh jadi adalah keturunan keluarga

hartawan atau pembesar, orang demikian kalau sampai


tertawan musuh, bukan mustahil akan terus mengaku
segala rahasia yang telah diketahuinya karena tidak
tahan siksaan. Tapi lantas teringat olehnya bahwa
pemuda she Yap ini telah menyelamatkan jiwa anaknya
tanpa memikirkan keselamatannya sendiri, kalau aku
menyangsikan kejujurannya tentu akan sangat
mengecewakan dia. Karena itu akhirnya ia toh
menceritakan juga kode-kode rahasia tadi.
Yap Leng-hong sendiri menjadi hilang juga rasa
sangsinya, segera ia pun bertanya, "Dan apa artinya
sungai utara kembali kepada raja Han?"
"Itu adalah kata-kata kiasan di dalam organisasi kami,
bila didengar Lim-toako, tentu beliau akan tahu sendiri,"
sahut Bun-sing. "Kalau kedua Gisu tidak dapat
menemukan Lim-toako, di dalam Thian-li-kau masih ada
dua orang Thocu yang bernama Liap Jin-kiat dan Khu
Giok, kalian boleh menyampaikan rahasia ini pada
mereka. Dan ini adalah 'Hay-te' dari Thian-li-kau kami,
sesudah kalian hapalkan tentu kalian dapat bertanya
jawab dengan lancar antar sesama anggota dan kalian
akan dianggap sebagai kawan sendiri."
Apa yang dimaksudkan 'Hay-te' (dasar laut) itu adalah
kumpulan kata-kata sandi setiap organisasi rahasia pada
waktu itu yang biasanya digunakan untuk membuktikan
diri sebagai sesama anggota.
Ci-wan dan Leng-hong bukan anggota Thian-li-hwe,
mestinya Li Bun-sing tidak layak menyerahkan buku kecil
yang berisi kata-kata rahasia itu, tapi urusan sekarang
dalam keadaan luar biasa, terpaksa ia lakukan dengan
penuh kepercayaan kepada kedua kenalan baru itu.

Ci-wan sendiri cukup kenal peraturan-peraturan


JKangouw, dengan penuh hormat ia menerima buku kecil
itu, tapi lantas diserahkan kepada putra Li Bun-sing,
katanya, "Lebih baik Hay-te ini dipegang oleh putramu
saja, di tengah jalan kami dapat minta pelajaran lisan
dari saudara cilik ini."
Dengan berbuat demikian, pertama Ci-wan
menyatakan tulus ikhlas menerima pesan Li Bun-sing
tadi, kedua memperlihatkan bahwa dia sebagai orang di
luar Thian-li-kau tidak berani mengangkangi benda
berharga yang tidak layak dipegang olehnya.
"Baik juga," ujar Bun-sing dengan tertawa. "Anak ini
mestinya baru boleh masuk menjadi anggota bila telah
mencapai usia 16 tahun, sekarang biarlah dia diterima
lebih cepat beberapa tahun. Anak He, sekarang kau telah
terima 'Hay-te' dari ayah, kelak kalau bertemu dengan
Lim-pepek barulah kau minta beliau mengadakan
upacara resmi bagimu."
"Apakah Li-enghiong ada pesan lain lagi?" tanya Ciwan
pula. "Anak He, lekas menjura kepada kedua paman
ini," kata Bun-sing. "Ah, mana kami berani menerima
penghormatan ini," ujar Ci-wan dan Leng-hong.
"Jika kedua Gisu tidak sudi menerima penghormatan
bocah ini, maka kata-kata yang masih akan kusampaikan
tak berani ku teruskan lagi," kata Bun-sing.
Melihat kesungguhan Li Bun-sing itu, terpaksa Ci-wan
dan Leng-hong menerima penghormatan Li Kong-he.
"Mungkin aku tidak sanggup menjaga anak ini lagi,
untuk itu terpaksa mohon kedua Gisu sukalah
menjaganya," kata Bun-sing lebih jauh. "Kalian baru saja

kenal, tapi kalian sudah lantas diminta memikul beban


seberat ini, budi kebaikan ini hanya dapat dibalas
sesudah anak ini dewasa."
Sambil membangunkan Li Kong-he, Ci-wan berkata,
"Kami merasa beruntung dapat menjadi kawan Lienghiong
masakah kami berani menolak mencurahkan
sedikit tenaga kami. Aku malah ada suatu usul, entah Lienghiong
setuju atau tidak?"
Melihat Ci-wan adalah orang jujur, Bun-sing menjadi
sangat percaya padanya, ia menjawab, "Usul Siau-toako
tentulah sangat baik. Silakan Siau-toako menerangkan."
Di kala menyebut mereka berdua, Bun-sing memakai
panggilan Gisu ( tuan budiman), tapi sekarang memangil
Siau Ci-wan sendiri dengan sebutan "Toako", terang
nadanya agak lebih mesra. Walaupun ini tidak disengaja,
tapi tidaklah enak bagi pendengaran Yap Leng-hong
sendiri.
Dalam pada itu Ci-wan telah berkata pula, "Aku ada
sedikit hubungan kekeluargaan dengan Kang-tayhiap,
Kang Hay-thian, perjalananku ini justru hendak
berkunjung padanya. Maka aku bermaksud membawa
serta putramu ke sana dan biar saudara cilik ini
mengangkat Kang-tayhiap sebagai guru. Pertama, agar
mendapat didikan. Kedua, kita menjadi tidak perlu kuatir
akan gangguan dari anjing-anjing pemburu kerajaan.
Entah bagaimana pendapat Li-enghiong atas usulku ini?"
"Bagus, sudah tentu sangat bagus," sahut Li Bun-sing
dengan girang. "Bicara terus terang, aku belum kenal
Kang-tayhiap, tapi sudah lama aku kagum kepada beliau
dan ada maksud sebagaimana usulmu ini. Sekarang
engkau suka menjadi perantara, sungguh suatu hal yang

sangat menguntungkan bagi anak ini. He-ji, coba


kemari!"
"Ada pesan apakah ayah?" sahut Kong-he.
"He-ji," kata Bun-sing. "Sejak kecil kau sudah berbeda
dari anak-anak lain, kau jarang merengek dan menangis.
Sesudah ayah meninggal hendaklah kau ingat baik-baik
harapan ayah atas dirimu yang sering ayah katakan
padamu itu. Selain itu, sekali lagi ayah melarang kau
mengucurkan air mata. Lim-pepek sudah terhindar dari
bahaya, kau pun sudah ada tempat berlindung yang baik,
sekarang apa yang kuharapkan lagi? Haha, apa yang
kuharapkan lagi?"
Habis berkata, ia tertawa tiga kali, lalu tidak bersuara
lagi. Waktu Ci-wan memegang nadinya, ternyata Li Bunsing
sudah berhenti bernapas alias wafat.
"Ayah, ayah!" teriak Kong-he sambil merangkul tubuh
ayahnya, air mata berlinang-linang di kelopak matanya,
tapi katanya, "Ya, ayah. aku akan taat kepada pesanmu,
aku tetap dendam kepada musuh yang telah menjajah
tanah air kita, aku akan berbuat seperti engkau, akan
menjadi seorang patriot sejati. Aku takkan menangis, aku
akan menuntut balas!" Katanya tidak menangis, tapi
akhirnya air matanya menetes juga.
Dengan mengembeng air mata Ci-wan
membangunkan Kong-he, katanya, "Mati dengan berat
bagai Thay-san, hari ini ayahmu gugur bagi kepentingan
negeri dan berkorban bagi kawan, nama beliau tentu
akan harum sepanjang masa, maka hendaklah saudara
cilik suka menurut pada pesannya tadi agar janganlah
berduka, tapi lekas membereskan layonnya saja."

"Ya, Siautit (keponakan) masih terlalu muda dan tidak


tahu apa-apa, segala sesuatu masih mengharapkan
petunjuk-petunjuk kedua paman," sahut Kong-he.
Ci-wan berkata pula, "Ketua kuil Giok-hong-koan di
atas gunung ini, Ham-hi Tbtiang adalah sahabatku,
walaupun beliau adalah orang beribadat, tapi orangnya
sangat simpatik dan suka membantu kepada kawan. Di
dalam kuilnya ada tersedia peti jenazah sumbangan dari
para dermawan yang berkunjung ke kuilnya, maka kita
dapat minta bantuannya agar mencarikan orang untuk
mengebumikan jenazah ayahmu."
"Baiklah, banyak terima kasih atas perhatian Siausioksiok
Tapi apakah luka Siau-sioksiok sendiri tidak
berhalangan?" tanya Kong-he.
"Sesudah dibubuhi obat luka pemberian ayahmu yang
mujarab, lukaku sekarang sudah tak terasa sakit lagi dan
cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan," kata Ci-wan.
"Rupanya kau buru-buru ingin pergi dari sini, biarlah
nanti sesudah kita bertemu dengan Ham-hi Totiang dan
minta bantuannya, lalu kita boleh turun gunung.
Mengenai nisan makam ayahmu, biarlah kelak kalau kau
sudah dewasa dan tamat belaiar barulah kau laksanakan
kewajibanmu sebagai seorang putra berbakti."
"Baiklah, memangnya kedua paman juga perlu
berganti pakaian yang bersih, supaya kita dapat
berangkat dengan baik," ujar Kong-he.
Maklum, sesudah mengalami pertempuran sengit tadi,
baju Ci-wan dan Leng-hong sudah kumal dan bernoda
darah. Diam-diam Ci-wan memuji ketelitian dan
kecerdikan anak yang pandai berpikir ini.

Kedatangan Siau Ci-wan dan Yap Leng-hong untuk


menikmati pemandangan matahari terbit di atas Thaysan
memangnya mondok di kuil Giok-hong-koan. Ham-hi
Totiang itupun seorang tokoh persilatan yang baik hati,
bahkan juga sesama orang pergerakan yang diam-diam
bekerja di bawah tanah untuk melawan kerajaan Boan,
hanya saja dja jarang menonjolkan diri, maka hanya
terbatas beberapa orang kawan karibnya saja yang tahu
akan seluk-beluknya. Sebelum mengetuai kuil Giok-hongkoan,
pernah juga Ham-hi bertapa di Jing-sia-san
sehingga ada hubungan baik dengan keluarga Siau, kalau
diurutkan masih terhitung angkatan tua dari Siau Ci-wan,
sebab itulah Ci-wan menaruh kepercayaan kepadanya
untuk menyelesaikan penguburan jenazah Li Bun-sing
dan kawanan bayangkara kerajaan Boan yang terbunuh
di atas gunung itu.
Begitulah mereka bertiga lantas kembali ke Giok-hongkoan.
Sebelum tiba di depan kuil itu, tertampak Ham-hi
Tojin sudah menantikan kedatangan mereka dengan
wajah agak gelisah dan kuatir.
Selagi Ci-wan hendak menegur, tiba-tiba Ham-hi
memberi tanda agar jangan bersuara sambil menggeleng
kepala, lalu membawa mereka memutar ke samping kuil
dan masuk dari pintu belakang dan menuju ke suatu
kamar yang biasanya dipakai bertapa oleh Ham-hi.
Ci-wan dan Leng-hong merasa heran atas kelakuan
imam itu, tapi Ham-hi juga terperanjat melihat pakaian
kedua tamunya itu, ia mendahului bertanya, "Mengapa
demikian keadaan kalian?"
Segera Ci-wan menceritakan apa yang terjadi tadi.

Sambil mengelus-elus kepala Li Kong-he, berkatalah


Ham-hi, "Anak baik, janganlah kuatir. Tentang ayahmu
itu boleh serahkan padaku saja. Tapi saat ini aku belum
dapat keluar kuil, sebab masih harus mengerjakan
sesuatu urusan."
"Apakah terjadi sesuatu di dalam kuilmu ini?" tanya Ciwan
cepat.
"Hal ini tiada sangkut-pautnya dengan Giok-hongkoan,
sebaliknya menyangkut urusan kalian berdua,"
sahut Ham-hi.
Leng-hong terkejut dan mendahului bertanya, "Urusan
apakah?"
"Ada dua orang yang tak kukenal telah datang kemari
untuk mencari kalian berdua," tutur Ham-hi.
"Siapa nama mereka?" tanya Ci-wan
"Seorang di antaranya she Leng, dia meninggalkan
'kotak penghormatan' untukmu, boleh jadi di dalamnya
tertulis namanya," tutur Ham-hi. "Dan seorang lagi tak
mau memberitahukan namanya, dia juga lebih aneh
daripada orang she Leng itu."
"Mereka tidak datang bersama?" tanya Ci-wan.
"Tidak, orang she Leng itu datang lebih dulu," kata
Ham-hi. Lalu Ham-hi mengeluarkan sebuah kotak kayu
kecil, katanya lebih jauh, "Lebih dulu biarlah kuceritakan
orang she Leng ini, tampaknya dia adalah seorang
Kangouw yang suka berterus terang begitu datang dia
lantas menyatakan ada urusan penting ingin mencari
Siau Ci-wan, Siau-toaya. Aku menjawab tidak tahu
siapakah Siau Ci-wan. Namun aku pun kuatir kalau-kalau

dia benar-benar adalah kawanmu, maka aku menjawab


bahwa di dalam kuilku memang terdapat beberapa orang
tamu yang sedang keluar pesiar di atas gunung dan
entah di antaranya adakah terdapat seorang she Siau.
Kutanya apakah dia ada sesuatu urusan yang perlu
disampaikan, biarlah nanti kalau para tamu sudah pulang
dan ternyata ada tuan Siau yang dimaksudkan, maka
akan kusampaikan pesannya. Tapi orang she Leng itu
menyatakan belum pernah bertemu muka dengan kau,
tapi ada urusan penting yang harus dibicarakan
berhadapan. Dia meninggalkan kotak ini, katanya bila
engkau sudah melihat kotak ini dan ada maksud
menemuinya dengan sendirinya inilah yang dia harapkan,
sebaiknya kalau kau tidak mau bertemu dengan dia,
maka kotak ini boleh dikembalikan padanya dan dia iuga
takkan memaksa. Sekarang aku menyilakan dia
menunggu di kamar tamu."
"Kiranya adalah kawan yang belum pernah bertemu,
tapi darimanakah dia mengetahui jejakku ini, sungguh
agak aneh," ujar Ci-wan. Segera ia menaruh kotak itu di
atas meja, lalu mundur beberapa langkah, cepat
mengeluarkan sebilah belati terus disambitkan dari jauh.
Ternyata mahir sekali sambitannya itu, tepat kotak itu
kena tertimpuk bagian sela-sela tutupnya sehingga
terbuka dan tiada terlihat sesuatu yang mencurigakan.
Diam-diam Leng-hong memuji ketelitian saudara
angkatnya itu.
Kemudian Ci-wan mengeluarkan sehelai kartu dari
dalam kotak. di atas kartu itu terlukis sebuah matahari
dan sabit (rembulan muda), di bawahnya ada empat
huruf yang artinya: "Tertanda tahu sendiri."

"Aneh, disangka tertulis apa-apa, kiranya toh tiada


sesuatu namanya," ujar Leng-hong dengan heran.
Sebaliknya Siau Ci-wan lantas bergelak tertawa,
katanya, "Kiranya Leng-cecu yang telah mengirim orang
untuk mencari diriku, ini benar-benar kawan yang sudah
lama saling mengagumi nama masing-masing."
"Siapakah Leng-cecu itu?" Leng-hong.
"Dia adalah seorang ksatria termuka di Sucwan utara,
yaitu satu di antara tokoh-tokoh yang disebut Li Bun-sing
tadi, namanya Leng Thian-lok, Cecu dari Tay-bong-nia di
Siau-bong-nia di Siau-kim-jwan. Dia menganggap
perlawanan kepada kerajaan Boan dan memulihkan
kerajaan Beng sebagai tugasnya yang suci, simbul
matahari dan sabit adalah huruf 'Beng' (dalam huruf
Tionghoa) huruf 'Beng' terdiri dari gabungan huruf-huruf
Jit (matahari) dan Gwat (rembulan) dan ini adalah panji
pengenalannya. Meski aku tidak pernah bertemu dengan
dia, tapi di rumah beberapa orang kawan aku pernah
melihat tulisan tangannya dan beberapa huruf ini
memang benar adalah tulisannya. Orang yang
menyampaikan kotak ini juga she Leng, tentunya adalah
anak atau keponakannya. Dia datang dari tempat jauh,
tentu adalah urusan penting, maka aku harus
menemuinya."
"Nanti dulu!" tiba-tiba Ham-hi Tojin mencegah.
"Adakah sesuatu nasehat Totiang?" tanya Ci-wan.
"Bukankah masih ada seorang tamu lagi," ujar Ham-hi.
"Ya, benar," kata Ci-wan. "Aku justru hendak bertanya
bagaimana dengan tamu yang lain itu? Tadi kau
mengatakan dia jauh lebih aneh daripada orang she Leng
ini?"

"Benar, orang she Leng itu begitu datang lantas


menyatakan ingin mencari kau. Tapi tamu yang lain itu
sangat pendiam dan mirip seorang pengunjung biasa,
begitu masuk kuil langsung menyulut dupa dan
bersembahyang, habis itu tampak longok ke sana dan
intip ke sini, aku menjadi curiga dan segera keluar untuk
melayaninya. Tiada lama dia bicara dengan aku, tanpa
diminta dia lantas memberikan derma 30 tahil perak. Dia
sangka aku adalah imam yang mata duitan, dengan
menerima dermanya tentu akan mudah memberi
keterangan yang dia hendak tanya. Benar juga, sesudah
memberi derma, dengan cengar-cengir dia lantas
bertanya padaku tentang wajah dan perawakan kalian, ia
bertanya apakah kalian berdiam di sini atau tidak?"
"Lalu bagaimana jawabmu?" tanya Ci-wan. .
"Karena merasa curiga, maka aku pun menjawab tidak
tahu dan menyatakan suka menyampaikan pesannya jika
di antara tamu-tamu pengunjung kami adalah orangorang
yang dia cari. Dia juga menyatakan ada sesuatu
urusan yang harus dibicarakan berhadapan dengan
kalian. Tapi dia tidak memberi tanda pengenal apa-apa
juga tidak mau mengatakan namanya. Terpaksa aku pun
minta dia menunggu di kamar tamu."
"Apakah dia berada di suatu kamar tamu yang sama
dengan orang she Leng itu?" tanya Ci-wan.
"Kau jangan kuatir. Masakah sedikit pengetahuan
umum kalangan Kanggouw aku tidak paham? Aku justru
telah memisahkan mereka dengan cukup jauh, yang satu
di kamar timur, yang lain di kamar barat, keduanya juga
tidak mengetahui satu sama lain."

Ci-wan tertawa lega, katanya, "Memangnya jahe tua


selalu lebih pedas, cara Totiang melayani mereka
memang sangat baik, pertanyaanku barusan terlalulah
berlebihan."
Ia kuatir Leng-hong tidak paham, maka ia lantas
memberikan penjelasan, "Jika kedua tamu itu adalah
sama-sama kawan seperjuangan, tentu tidak menjadi
soal. Kuatirnya kalau satu di antaranya adalah anjing
pemburu kerajaan, hal ini tentu bisa menjadi urusan.
Pula, bila di luar tahu tuan rumah ternyata di antara
mereka pernah bermusuhan, lalu mereka kepergok di
sini, hal inipun dapat menjangkitkan keonaran yang tak
terduga. Sebab itulah adalah sangat bijaksana bahwa
Totiang telah memisahkan mereka di kamar yang
berlainan."
"Asal-usul orang she Leng itu sudah jelas, tapi tamu
yang satu lagi itu belum terang" demikian Ham-hi
berkata pula. "Menurut pandanganku, orang itu jauh
lebih pendiam daripada orang she Leng mungkin bukan
orang dari kalangan baik. Malahan dia meyakinkan
sesuatu ilmu berbisa dari golongan jahat."
"Darimana Totiang tahu?" tanya Leng-hong dengan
terkejut.
"Waktu dia menuliskan dermanya pada buku
sumbangan, diam-diam aku memperhatikan di telapak
tangannya terdapat tujuh titik bintik merah, ini adalah
ilmu pukulan Chit-poh-cu-seh-ciang. Siapa saja yang
terkena pukulannya, tidak sampai melangkah tujuh
tindak segera akan binasa. Tapi kalau tidak memiliki
Lwekang yang tinggi, dengan sendirinya pukulannya
yang berbisa itu takkan manjur untuk mencabut nyawa

sang korban dalam tujuh tindak. Walaupun demikian,


juga perlu berhati-hati menghadapi orang yang melatih
pukulan berbisa begitu. Siau-hiantit, coba kau pikir dulu,
apakah di antara sahabatmu terdapat seorang yang
meyakinkan Chit-poh-cu-seh-ciang (pukulan pasir merah
pencabut nyawa dalam tujuh langkah)?"
Pergaulan Siau Ci-wan memang sangat luas dan
meliputi berbagai golongan dan lapisan, makanya Ham-hi
bertanya padanya.
Ci-wan merenung sejenak, katanya kemudian sambil
mengerut kening, "Aneh, aku merasa tidak pernah
mempunyai seorang kenalan yang mahir ilmu pukulan
demikian itu."
"Bagaimana wajah orang itu?" tiba-tiba Leng-hong
bertanya.
"Setengah tua dan agak gemuk, tiada sesuatu yang
luar biasa," sahut Ham-hi. "Ya, hanya ada satu tempat
yang agak berbeda daripada orang lain, yaitu alisnya tipis
dan jarang-jarang, pula berwarna kemerah-merahan."
"Alisnya tipis dan jarang, warna kemerah-merahan?"
Leng-hong menegas.
"Apakah saudara Yap kenal dia?" tanya Ci-wan.
"Aku seperti pernah melihat seorang yang berciri
demikian," sahut Leng-hong. "Tapi aku pun tidak berani
memastikan, harus melihatnya dahulu baru bisa tahu
apakah dia atau bukan?"
"Bagaimana asal-usulnya dan dari kalangan mana?"
tanya Ci-wan.

"Siaute sama sekali tidak tahu, aku pun menyangsikan


dia bukanlah orang baik-baik. Orang itu pernah cekcok
sedikit urusan denganku, agak panjang juga untuk
menceritakan, biarlah nanti saja kututurkan. Kukira besar
kemungkinan akulah yang hendak dicari olehnya. Maka
lebih baik begini saja, silakan Siau-toako pergi menemui
orang she Leng itu, orang ini biarlah aku yang
menghadapinya." Dari ucapannya ini terang Leng-hong
bermaksud menemui sendiri tamu yang aneh itu.
Melihat sikap Leng-hong yang agak aneh dan tuturkatanya
yang rada ragu-ragu itu, diam-diam Ci-wan
menyangka saudara angkatnya itu sungkan untuk
menerangkan sesuatu urusannya di hadapan Ham-hi
Totiang, maka bukannya dia mencurigai Leng-hong,
sebaliknya dia agak kuatir baginya. Segera ia berkata,
"Baiklah, kita boleh menemui tamu masing-masing.
Cuma Yap-hiante hendaklah berlaku hati-hati sedikit."
Leng-hong lantas berbangkit. Tiba-tiba Ci-wan berkata
pula, "Totiang, silakan kau membawa aku menemui dulu
orang she Leng itu, habis itu barulah kau membawa Yaphiante
kepada tamu yang lain. Kedua tamu itu toh bukan
satu rombongan, maka kita pun tak perlu menemui
mereka bersama."
Rupanya Siau Ci-wan lebih berpengalaman dan juga
lebih dapat menyelami perasaan orang lain. Dia sengaja
minta bantuan Ham-hi Tojin untuk diam-diam membantu
Yap Leng-hong bilamana perlu, cuma ia tidak ingin
menyinggung perasaan Leng-hong tapi sengaja memakai
alasan.
Begitulah sesudah Siau Ci-wan keluar dengan diantar
Ham-hi. Leng-hong sendiri menjadi tidak tenteram di

dalam kamar, pikirannya bergolak, pikirnya, "Orang ini


pasti adalah pesakitan she Cu dahulu itu. Sejak kecil aku
telah meninggalkan rumah, masakah dia masih dapat
mengenali diriku? Dahulu ayahku sengaja hendak
membebaskan dia, mungkin kemudian maksud ayah itu
telah dilaksanakan, maka dia sekarang dapat
mengembara di Kangouw lagi. Kabarnya dari pentolan
bandit dia telah berganti bulu menjadi anjing pemburu
kerajaan yang selalu bermusuhan dengan ksatria kaum
Kangouw, entah berita ini benar atau tidak? Jika benar,
ai, ini adalah dosa ayahku."
Lalu terpikir pula olehnya, "Wajahku sudah banyak
berubah, aku pun sudah berganti nama, pula berada
bersama Siau-toako, boleh jadi dia menganggap aku
adalah kawan perjuangan Siau-toako, maka dia sengaja
membikin susah padaku? Ya, atau barangkali ayah
mengetahui kepulanganku ke selatan ini, maka dia
dikirim kemari untuk memapak? Hm, aku sekarang sudah
berubah menjadi orang baru, mana dapat aku pulang ke
rumah? Aku pun tidak ingin orang lain mengetahui asalusulku
yang sebenarnya serta namaku yang asli."
Tengah bergolak pikirannya, sementara itu Ham-hi
Tojin sudah kembali. Ia membuka lemari obat dan
mengeluarkan sebutir pil, katanya, "Obat ini dapat
menolak hawa berbisa, bolehlah kau meminumnya."
Leng-hong juga tidak sungkan-sungkan lagi, sesudah
menghaturkan terima kasih ia lantas menerima
pemberian obat itu.
Lalu Ham-hi berkata pula, "Orang yang melatih
pukulan berbisa itu, di atas tubuhnya tentu ada tiga
tempat titik kelemahan, pertama adalah di Leng-yan-hiat

di bagian iga, kedua di Lau-kiong-hiat di telapak tangan


dan ketiga adalah Tan-tian-hiat di bagian pusar. Asal
ketiga tempat itu diincar, biarpun ilmu silatnya jauh lebih
tinggi juga terpaksa ia harus menangkis dan
menghindari."
"Biar kulihat dulu apa maksud kedatangannya, toh
belum tentu mesti bergebrak," ujar Leng-hong.
"Kalau tak perlu bergebrak, itulah paling baik," kata
Ham-hi. "Baiklah, sekarang akan kuantar kau ke sana."
Komplek kuil Giok-hong-koan itu sangat luas, dari
kamar pertapaan Ham-hi itu masih harus melalui
beberapa susun ruangan barulah dapat sampai di ruang
tamu. Ruang tamu itupun mempunyai belasan buah
kamar tamu yang jarak satu sama lain cukup jauh dan
terletak di kedua samping pendopo.
Ketika dekat dengan pendopo utama Tay-hiong-potian,
tiba-tiba Leng-hong berhenti dan berkata, "Totiang,
orang itu menunggu di kamar tamu mana, silakan kau
beritahukan padaku saja."
Melihat Leng-hong mempunyai maksud menemui
sendiri tamunya, sebagai orang yang berpengalaman,
dengan sendirinya Ham-hi merasa di antara mereka
tentu ada sesuatu rahasia yang tidak ingin didengar oleh
orang lain. Walaupun agak kurang senang, terpaksa ia
menunjukkan sebuah kamar dan berkata, "Di kamar
tamu itu, kau boleh melongok dulu dari luar, coba lihat
apakah tamu itu sudah kau kenal atau belum."
Leng-hong mengiakan. Setiba di depan kamar, benar
juga ia mengintip dulu dari luar, tampaknya agak raguTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ragu sejenak dan memandang sekejap ke belakang, tapi
akhirnya ia masuk juga ke dalam kamar.
Ham-hi tidak lantas tinggal pergi, ia bersembunyi di
balik sebuah gunung-gunungan untuk mengawasi, dia
memang orang simpatik karena mendapat pesan Siau Ciwan
tadi, maka diam-diam ia ingin melindungi Yap Lenghong.
Sebenarnya tiada maksud Ham-hi hendak mencuri
dengar percakapan orang. Tapi selang tak lama
mendadak terdengar teriakan orang "Sam-koan, apa
yang kau lakukan? Baik ... baik sekali caramu ini Suara
itu agak kasar dan menyeramkan, sampai di sini
mendadak suara itu terputus.
Terang suara itu bukan suara Yap Leng-hong hal ini
benar-benar di luar dugaan Ham-hi. Sejak tadi ia kuatir
Leng-hong akan mengalami sesuatu cidera dari tamu
aneh itu, siapa duga justru terbalik, tamu aneh itu yang
telah cidera di tangan Yap Leng-hong.
Sesudah suara orang itu terputus mendadak, tapi
lantas terdengar suara gedubrakan jatuhnya macammacam
benda, mungkin orang itu telah kena serangan,
tapi tidak mengenai tempat berbahaya dan telah
bergebrak sengit dengan Yap Leng-hong.
Sebagai tuan rumah, dengan sendirinya Ham-hi tidak
dapat tinggal diam. Cepat ia berlari dan menerjang ke
dalam kamar sambil berseru, "Ada urusan apakah, harap
kalian bicara dengan baik-baik saja!"
Ia lihat tamu aneh itu dengan mata melotot dan
secara kalap sedang menubruk dan menyerang Lenghong
sambil mengeluarkan suara "uh-uh". Tapi tak dapat

bicara. Setiap pukulannya selalu membawa angin yang


berbau busuk. Pada Leng-yan-hiat di bagian iganya
tertampak luka tusukan, cuma tidak tepat mengenai Hiatto
itu, maka lukanya tidak parah. Tapi karena
kekuatannya jauh di atas Leng-hong maka pemuda itu
sudah terdesak sampai di dinding. Untung sebelumnya
Leng-hong sudah minum pil anti hawa berbisa pemberian
Ham-hi sehingga ia masih tahan pukulan lawan.
Sebaliknya atas petunjuk Ham-hi tadi, maka pedangnya
selalu mengincar titik-titik kelemahan musuh sehingga
tamu aneh itupun tidak berani terlalu mendesak maju.
Walaupun demikian, keadaan Leng-hong terang juga
terancam bahaya.
Diam-diam Ham-hi heran melihat keadaan itu. Tamu
aneh itu hanya megeluarkan suara "ah-uh-ah-uh" saja,
terang dia punya Ah-hiat (Hiat-to yang membikin bisu)
tertotok. Mengapa begitu berhadapan
Leng-hong lantas menotok Hiat-to bisu lawannya?
Tengah Ham-hi bersangsi, tiba-tiba terdengar suara
"creng" sekali, selentikan jari tamu aneh itu telah
mementalkan pedang Leng-hong ke samping, menyusul
telapak tangan kiri terus membelah ke atas kepala
pemuda itu.
Sebagai tuan rumah dan sebelum tahu jelas duduknya
perkara, dengan sendirinya Ham-hi tidak enak membela
salah satu pihak. Tapi demi nampak Leng-hong terancam
oleh pukulan maut tamu itu, terpaksa Ham-hi harus
bertindak, tanpa pikir lagi kebutnya lantas menyabet ke
arah tamu aneh itu.
Kepandaian Ham-hi dengan sendirinya sangat tinggi,
tujuannya hendak menolong Yap Leng-hong pula, maka

serangannya yang lihai ini telah memakai hampir seluruh


tenaganya.
Dengan cepat sekali tampaknya pukulan tamu aneh itu
sudah hampir mengenai sasarannya, di luar dugaan
mendadak kebut Ham-hi juga sudah menyambar tiba dan
Lau-kiong-hiat yang merupakan salah satu titik
kelemahannya tepat kena tersabet oleh ujung kebut.
Tanpa ampun lagi tamu aneh itu bersuara tertahan,
tenaganya jadi buyar dan terhuyung-huyung mundur.
Dan belum lagi Ham-hi sempat melerai, kesempatan itu
tidak disia-siakan lagi oleh Yap Leng-hong, secepat kilat
ia menubruk maju dan pedangnya lantas menikam.
Baru saja Ham-hi hendak berseru mencegah, namun
pedang Leng-hong sudah menembus perut tamu aneh
itu melalui pusarnya, terang jiwanya tak bisa tertolong
lagi.
Melihat itu Ham-hi menjadi bertambah curiga, ia heran
mengapa Yap Leng-hong begitu terburu-buru
membinasakan tamu aneh itu, jangan-jangan ada
sesuatu rahasianya yang dipegang tamu itu sehingga
perlu membunuhnya untuk menutup mulutnya?
Dalam pada itu terdengar juga seruan Siau Ci-wan di
luar, "Yap-hiante jangan kuatir, aku sudah datang!"
Menyusul tertampaklah dia telah menerobos masuk, di
belakangnya mengikut seorang laki-laki setengah umur,
yaitu tamu yang mengaku she Leng itu.
Tapi waktu Ci-wan masuk kamar, sementara itu Lenghong
sudah mencabut kembali pedangnya dan tamu
aneh itupun sudah menggeletak di lantai dengan
berlumuran darah.

"Yap-hiante, kiranya bangsat ini sudah kau bunuh, kau


sendiri terluka atau tidak?" tanya Ci-wan dengan girang
dan terkejut Ia menaruh kepercayaan penuh kepada
kawannya, kalau tamu aneh itu sampai dibunuh Lenghong
maka pastilah tamu itu adalah seorang penjahat,
demikian anggapan Ci-wan.
Leng-hong menggosok noda darah pedangnya di atas
bajunya sendiri dan menyimpan kembali senjata itu, lalu
berkata, "Banyak terima kasih atas bantuan Ham-hi
Totiang untung Siaute tidak sampai terluka. Hanya saja
kuil Ham-hi Totiang yang suci ini menjadi ikut ternoda."
Sedikitpun Ci-wan tidak menaruh curiga apa-apa,
sebaliknya Ham-hi tetap merasa sangsi, tiba-tiba ia
bertanya, "Siapakah orang ini?"
Belum lagi Leng-hong menjawab, sekonyong-konyong
tamu she Leng itu telah menyela, "Aku kenal orang ini!
Bagus, bagus sekali!"
Leng-hong memandang bingung kepada tamu she
Leng itu, sedang Ci-wan lantas memperkenalkan mereka,
"Saudara ini adalah keponakan Leng-cecu dari Siau-kimjwan,
namanya Tiat-jiau. Dan ini adalah saudara
angkatku, Yap Leng-hong." Habis itu ia lantas bertanya,
"Siapakah orang ini, mengapa Leng-toako mengatakan
bagus sekali?"
"Bangsat ini adalah pengkhianat golongan Hek-to
(kaum bandit) yang dosanya tak terampunkan," sahut
Leng Tiat-jiau. "Dengan membinasakan dia, paling tidak
Yap-enghiong telah ikut membasmi satu penyakit bagi
dunia Kangouw kita."
Baru sekarang Ci-wan dan Ham-hi paham, kiranya
"bagus sekali" yang dimaksudkan Leng Tiat-jiau ialah
memuji Yap Leng-hong karena orang yang dibunuh
olehnya itu adalah tepat.
"Hahaha!" Leng-hong bergelak tertawa. "Aku hanya
tahu dia adalah anjing pemburu pemerintah Boan yang
kejam, tapi tidak jelas nama dan asul-usulnya. Jika
demikian aku memang tidak salah membunuhnya."
Kiranya Leng-hong juga cukup cerdik, walaupun
kurang pengalaman. Ia pun merasa dirinya telah
dicurigai oleh Ham-hi Tojin, maka ucapannya
sesungguhnya ditujukan kepada Ham-hi. Imam itu
ternyata diam saja seperti sedang berpikir.
Namun Leng-hong juga masih kebat-kebit, ia tidak
tahu sampai dimana pengetahuan Leng Tiat-jiau atas
tamu aneh yang telah dibunuhnya itu. Sebab itulah ia
pura-pura tidak kenal nama dan asal-usul korbannya itu
dan membiarkan Leng Tiat-jiau yang bercerita lebih dulu.
Maka Leng Tiat-jiau telah menutur, "Kira-kira belasan
tahun yang lalu di kalangan Hek-to terdapat seorang
bandit besar yang sangat terkenal, namanya Cu Goan
dan berjuluk 'Chit-poh-tui-hun-jiu' (pukulan maut dalam
tujuh langkah). Dia bukan lain adalah orang yang sudah
mati ini."
"O, kiranya dia adalah iblis yang pernah seorang diri
membinasakan 13 gembong Cecu di daerah Siamsay
dahulu itu," kata Ci-wan.
Apa yang dikatakan itu adalah peristiwa yang
mengguncangkan kalangan Lok-lim yang terjadi pada 20
tahun yang lalu, tatkala itu Ci-wan sendiri belum lagi

dewasa, tapi ia pernah mendengar cerita dari kakeknya,


yaitu Siau Jing-hong.
"Ya, betul, memang dia ini," sahut Tiat-jiau, lalu
tuturnya pula, "Sesudah peristiwa itu, seketika Cu Goan
lantas menjadi gembong yang disegani di kalangan Hekto.
Beberapa tahun kemudian, mendadak dia menghilang
dari dunia Kangouw. Ada orang mengatakan dia sengaja
menyembunyikan diri untuk menghindari pencarian
musuh, tapi ada juga yang mengatakan bahwa dia sudah
kaya raya, maka sudah cuci tangan dan kembali ke
masyarakat ramai untuk menikmati hasilnya. Padahal
kedua macam dugaan itu semuanya tidak betul."
"Tidak betul semua? Habis mengapa dia menghilang?"
tanya Ci-wan.
"Masakah dia dengan suka rela menghilang? Adalah
karena terpaksa, dia telah ditangkap pihak yang berwajib
dan dijebloskan ke dalam penjara," kata Tiat-jiau.
"Aneh, begitu tinggi kepandaiannya juga kena
ditangkap oleh yang berwajib?" Ci-wan menegas dengan
heran. "Pembesar macam apakah itu sehingga mampu
menangkapnya?"
"Kabarnya dia tertangkap di kota Siangyang," tutur
Tiat-jiau lebih jauh. "Waktu itu yang menjabat Tihu
(walikota) Siangyang adalah seorang she Yap juga,
namanya aku sudah lupa. Walaupun seorang pembesar
sipil, tapi terdapat beberapa orang bawahannya yang
pandai, malahan ada orang mengatakan dia sendiri pun
memiliki ilmu silat yang lihai. Cuma saja dia tidak pernah
menonjolkan diri, maka tiada orang yang tahu persis
sampai dimana kepandaiannya yang sebenarnya. Dan

kabarnya adalah dia sendiri bersama beberapa


pembantunya yang telah menangkap Cu Goan."
"Apakah Yap-tihu itu adalah Yap Siau-ki yang sekarang
menjabat sebagai gubernur Siamsay dan Kamsiok itu?"
tiba-tiba Ham-hi Totiang bertanya.
"Itulah aku kurang jelas," sahut Tiat-jiau. "Tatkala itu
aku masih kecil, hanya dari obrolan kakek dengan para
tamu kudengar tentang peristiwa itu. Apakah Totiang
sendiri mengetahuinya juga?"
"Aku hanya menduga-duga saja, sebab pembesarpembesar
she Yap yang berkedudukan lebih tinggi
daripada Tihu sekarang hanya Yap Siau-ki saja," sahut
Ham-hi.
Leng-hong merasa lega, pikirnya, "Untung mereka pun
tidak terlalu jelas tentang seluk-beluk Cu Goan."
Lalu Leng Tiat-jiau menyambung pula ceritanya,
"Sesudah itu kabarnya Cu Goan telah menyerah kepada
pembesar she Yap dan berubah menjadi antek
pemerintah Boan yang khusus memusuhi kawan-kawan
Kangouw, akhirnya Cu Goan naik pangkat dan mencari
bayangkara kerajaan, sering pula dia ditugaskan menjadi
mata-mata pemerintah di kalangan Kangouw. Pernah
sekali dia kepergok oleh pamanku, maka terjadilah
pertarungan sengit, dia kena dilukai paman, tapi berhasil
melarikan diri. Tak terduga hari ini dia bisa muncul di sini
dan mati di ujung pedang saudara Yap."
"Tanpa bantuan Ham-hi Totiang, mungkin Siaute
sendiri sudah binasa di bawah pukulan bangsat ini,"
sahut Leng-hong rendah hati.

Baru sekarang rasa sangsi Ham-hi mulai lenyap,


pikirnya, "Kiranya orang ini adalah Cu Goan yang telah
dibuktikan oleh Leng Tiat-jiau sebagai kaki tangan
kerajaan Boan. Jika demikian Yap Leng-hong memang
tidak salah membunuh orang, kalau tidak, tentu akulah
yang berdosa."
"Dan sebab apakah Yap-hiante bermusuhan dengan
orang she Cu ini, jika engkau tidak kenal nama dan asalusulnya?"
tiba-tiba Ci-wan bertanya.
Leng-hong memang sudah menduga akan adanya
pertanyaan demikian, maka ia lantas menjawab,
"Permulaan tahun ini, waktu Siaute dalam perjalanan
tiba-tiba merasa telah dikuntit orang. Malam itu aku
menginap di sebuah hotel, pada saat terakhir mendadak
aku telah ganti kamar, kamar yang pertama kemudian
juga telah, disewa orang. Siapa duga malam itu benarbenar
ada orang menyatroni aku, untung aku telah ganti
kamar sehingga yang menjadi korban adalah tamu
penghuni bekas kamarku itu. Ketika semua orang
terkejut oleh jeritan ngeri dan beramai-ramai mendatangi
kamar itu, kulihat tamu itu sudah mati dengan dada
terbuka dan terdapat bekas luka pukulan dengan tujuh
titik bintik merah."
"Ya, betul, itulah ciri bekas kena pukulan Chit-poh-cuseh-
ciang" kata Tiat-jiau. "Keadaan saudara Yap pada
waktu itu sungguh berbahaya sekali."
"Benar, aku menjadi sangat menyesal telah
mengakibatkan korban orang lain," sahut Leng-hong
dengan gegetun. "Sungguh aku tidak paham, aku toh
tiada pernah kenal dia, mengapa dia menguntit aku dan
hendak menyergap diriku secara keji?"

"Soalnya cukup jelas," ujar Ci-wan. "Bangsat ini kan


suka memusuhi pahlawan-pahlawan yang anti kerajaan
Boan? Mungkin kau telah dicurigai dia, maka kau hendak
dibunuh olehnya. Tapi dalam kegelapan bangsat ini telah
keliru membunuh orang tanpa sadar."
"Ya, memang sesudah itu aku pun tidak dikuntit orang
lagi," kata Leng-hong. Lalu ia menghela napas dan
menyambung pula, "Walaupun demikian aku merasa
tidak enak karena telah menyebabkan kematian orang
lain yang tak berdosa. Diam-diam aku telah mengingat
baik-baik wajah bangsat ini. Siapa duga ajalnya mungkin
sudah ditakdirkan akan tamat, maka dia telah
mengantarkan sendiri ke sini. Untung juga ada bantuan
Ham-hi Totiang sehingga dapatlah membunuhnya."
Meski Ci-wan dan Tiat-jiau dapat mempercayai cerita
yang dikarang Yap Leng-hong ini, tapi rasa curiga Ham-hi
Tojin masih belum lenyap seluruhnya, pikirnya, "Jika
menurut ceritanya, jadi dia tidak pernal kenal Cu Goan
ini, tapi mengapa tadi Cu Goan terdengar memanggilnya
'Sam-koan' apa? Sebutan demikian lazimnya adalah
panggilan seorang hamba terhadap tuan mudanya.
Pula, begitu menyerang Yap Leng-hong lantas menotok
Ah-hiatnya, terang dia sengaja membikin Cu Goan agar
tidak dapat bicara. Apa sih yang dikuatirkanYap Lenghong
atas diri Cu Goan?"
Begitulah sedikit banyak.Ham-hi dapat menerka, di
antaranya Cu Goan dan Yap Leng-hong pasti ada sesuatu
hubungan yang tak ingin diketahui orang lain. Terpikir
pula olehnya, "Tak peduli apa hubungan antara Cu Goan
dan Yap Leng-hong, yang terang Cu Goan adalah kaki
tangan kerajaan, matinya tidak perlu disayangkan lagi.
Kalau melihat tindakan Yap Leng-hong hari ini yang telah

menolong Li Bun-sing dan putranya dengan mati-matian,


betapapun dia juga tergolong seorang pendekar yang
berbudi. Kalau ada rahasia pribadinya yang tidak ingin
diketahui orang lain, buat apa aku mesti menyelidikinya?"
Kemudian Ham-hi lantas menyuruh beberapa anak
muridnya membereskan mayat Cu Goan. Begitu pula
beberapa murid yang lain disuruh mengubur jenazah Li
Bun-sing serta beberapa korban lain di Giok-hong-teng.
Dan baru sekarang Ci-wan dapat bicara baik-baik
dengan Leng Tiat-jiau, tadi karena terburu-buru ingin
membantu Yap Leng-hong, maka mereka belum sempat
bicara. Ci-wan mulai bertanya maksud kedatangan Leng
Tiat-jiau.
"Tentang pemupukan kekuatan pamanku yang hendak
mengadakan pergerakan melawan kerajaan, hal ini tentu
sudah kau ketahui," tutur Tiat-jiau. "Sekarang sudah tiba
waktunya, Pek-lian-kau telah mengacau di daerah Oulan
dan Oupak, laskar rakyat di daerah Holam di bawah
pimpinan Liap Jin-kiat juga mulai bergerak dan
menduduki beberapa kota. Pemerintah Boan sekarang
sedang memusatkan pasukannya untuk menghadapi Peklian-
kau dan laskar rakyat Holam sehingga tidak sempat
lagi mengawasi propinsi-propinsi yang terletak agak jauh
seperti Sucwan, Hunlam, Kuiciu dan lain-lain. Jadi
menurut pamanku, sekarang ini merupakan kesempatan
paling bagus untuk ikut bergerak, terutama dapat
memencarkan kekuatan Boan, secara tidak langsung juga
berarti membantu gerakan pemberontakan bersama
pasukan sekawan. Paman sudah mengadakan perjanjian
dengan pahlawan-pahlawan lain di berbagai tempat
untuk bergerak bersama. Siau-toako adalah orang
Sucwan dan anak murid

Jing-sia-pay yang terkenal, tentunya luas juga


hubungannya dengan orang-orang Bu-lim, maka paman
sengaja mengutus aku untuk mengundang Siau-toako
agar sudi pulang kampung untuk membantu pergerakan
kita ini."
"Aku mengucapkan banyak terima kasih ajas perhatian
pamanmu yang sedemikian menghargai diriku," sahut Ciwan
dengan bersemangat. "Cuma saja aku masih ada
sedikit urusan harus berkunjung dulu ke Nyo-keh-ceng di
Tong-peng-koan."
"Nyo-keh-ceng di Tong-peng-koan? Bukankah
kediaman Kang Hay-thian, Kang-tayhiap?" Tiat-jiau
menegas. "Ya, kabarnya keluarga Siau kalian mempunyai
hubungan baik dengan keluarga Kang-tayhiap."
"Kunjunganku ke sana ini tidak melulu menyambangi
keluarga Kang saja, tapi lebih penting lagi adalah karena
pesan seorang pahlawan," sahut Ci-wan. Lalu ia pun
menuturkan hal ikhwal Li Bun-sing dan putranya.
Tiat-jiau ikut terharu atas jiwa kepahlawanan Li Bunsing
itu, katanya, "Membela keturunan Li-enghiong
adalah suatu tugas suci. Baiknya Tong-peng-koan
terletak tidak jauh dari sini, hanya perjalanan dua hari
saja akan dapat sampai. Aku pun ingin sekali
mengunjungi Kang-tayhiap, biarlah aku mengiringi kalian
pergi ke sana."
"Bagus sekali jika Leng-toako suka ikut pergi ke sana,"
sambut Ci-wan dengan girang.
Begitulah mereka bertiga lantas bebenah seperlunya
dan mohon diri kepada Ham-hi untuk berangkat dengan
membawa Li Kong-he.

Hari pertama tiada terjadi apa-apa, hari kedua mereka


sudah memasuki wilayah Tong-peng-koan, kira-kira
beberapa puluh li lagi sudah dapat sampai di Nyo-kehceng.
Diam-diam Ci-wan merasa lega, pikirnya, "Sampai di
sini rasanya aku telah memenuhi tugasku
menyelamatkan keturunan Li Bun-sing ini. Biar
betapapun ganasnya antek-antek kerajaan Boan, rasanya
juga tidak berani main gila di wilayah pengaruh Kangtayhiap
ini."
Siapa duga belum lenyap pikirannya, tiba-tiba
terdengar suara mendering nyaring suara dua batang
anak panah yang melayang di udara.
Panah bersuara adalah tanda peringatan yang
biasanya digunakan oleh kaum bandit pada saat akan
melakukan pembegalan. Yang berani menggunakan
panah bersuara biasanya adalah bandit besar yang
ternama.
Ci-wan agak terkejut ia heran kaum bandit
darimanakah yang berani melakukan kejahatan di
wilayah pengaruh Kang-tayhiap? Apakah mereka tidak
takut mati?
Sebaliknya Leng Tiat-jiau lantas tertawa, katanya,
"Sejak dilahirkan aku lantas hidup di sarang bandit, tak
terduga hari ini bandit telah ketemukan pembegal,
sungguh lucu dan menarik."
"Mungkin bukan bandit sembarang bandit," ujar Ciwan.
"Biarlah kita mencari tahu maksud kedatangannya
dahulu."

Dalam pada itu tampak lima penunggang kuda sedang


mendatangi secepat terbang, lalu berhenti di depan
mereka. Pemimpin pendatang-pendatang itu adalah
seorang wanita cantik berusia 30-an, keempat lainnya
adalah wanita-wanita muda berbaju hijau semua,
tampaknya adalah dayang-dayang wanita cantik itu.
Mau tak mau Ci-wan dan Tiat-jiau terperanjat. Ci-wan
menjadi sangsi apakah mungkin kaum wanita ini adalah
kaki tangan kerajaan Boan. Sebaliknya Tiat-jiau mestinya
hendak bicara menurut peraturan sesama kaum bandit.
Selama hidupnya tidak pernah bergaul dengan wanita,
maka ia menjadi kaku, terpaksa ia tampil ke depan dan
menegur, "Kalian, kalian ini kawan dari garis manakah?"
"Hihi," tiba-tiba salah seorang dayang muda itu
mengikik tawa, katanya, "Siapa mengaku kawanmu?
Huh, mestinya kau harus berkaca dahulu, siapa yang sudi
berkawan dengan lelaki hitam kasar macammu ini?"
"Hus, Siau Kiok, jangan sembarangan omong!" bentak
si wanita cantik. Namun demikian ia lantas berkata
kepada Leng Tiat-jiau dengan sikap dingin, "Hm, kau
bicara tentang garis apa segala, aku tidak paham.
Pendek kata, apakah kau ingin minta ampun padaku
saja?"
Dasar watak Leng Tiat-jiau memang kaku dan keras,
belum pernah ia dihina orang sedemikian rupa, dengan
gusar ia lantas menjawab, "Kau adalah bandit dan aku
pun bandit, kau paham tidak?"
"O, kiranya demikian. Ya, aku paham," sahut wanita
cantik itu sambil manggut-manggut.

"Jika kau sudah mengerti, apakah pantas kau


merintangi jalan kami?" tanya Tiat-jiau.
Mendadak air muka wanita cantik itu berubah kereng
katanya, "Kau mengaku sebagai bandit, mengapa
peraturan bandit sendiri kau tidak paham?"
"Peraturan yang mana?" tanya Tiat-jiau.
"Jika kaum bandit mengadakan operasi, apakah boleh
pulang dengan tangan kosong?"
"O, jadi kau ingin minta uang jalan padaku?" Tiat-jiau
menegas. Segera ia mengeluarkan sebuah mata uang
tembaga, sekali menjentik, "jreng", mata uang itu lantas
menyambar ke arah si wanita cantik, katanya, "Ini, tiada
uang receh, hanya ada segobang saja!"
Dalam hati Leng Tiat-jiau lantas mencaci-maki, coba
kalau bukan kaum wanita, tentu sudah dilabraknya.
Maklumlah bahwa adalah hal terlarang bagi kaum begal
makan sesama kaum begal, apalagi wanita cantik itu
sekarang terang-terangan menyatakan hendak
membegal sesama kaumnya, terang ini suatu penghinaan
besar, pantaslah kalau Leng Tiat-jiau merasa gusar.
Maka dia telah menimpukkan mata uang tadi dengan
cara menggunakan senjata rahasia dengan maksud
menakut-nakuti wanita itu.
Tujuan mata uang Leng Tiat-jiau itu ialah ingin
menimpuk anting-anting yang dipakai si wanita cantik.
Tak terduga wanita itu dengan mudah sekali telah dapat
menangkap uang itu, waktu tangannya menggenggam,
lalu dibuka, ternyata mata uang itu sudah hancur
berkeping-keping kecil. Maka dapatlah dibayangkan

betapa lihai kekuatan tangannya itu, apalagi dia hanya


seorang wanita.
"Hm, bicara padaku tentang peraturan Lok-lim segala,
tapi kau sendiri ternyata tidak kenal peraturan," jengek si
wanita cantik. "Kaum bandit mengadakan operasi, apa
yang diincar itulah yang diambil, masakah kau boleh
memberi sesukamu?"
Tiat-jiau menjadi murka, baru saja dia hendak
mendamprat, tiba-tiba Ci-wan mencegahnya, katanya
kepada bandit wanita itu, "Habis, apa yang kau
inginkan?"
Hendaklah maklum bahwa Ci-wan ingin bisa lekas
mengantar Li Kong-he ke rumah Kang Hay-thian dengan
selamat, maka sedapat mungkin ingin menghindarkan
kesulitan-kesulitan di tengah jalan. Apalagi pihak lawan
adalah kaum wanita, biarpun menang juga kurang
mentereng.
"Sekali sudah kukatakan, maka tidak dapat ditarik
kembali lagi. Sebaliknya kalian pikirkan dahulu, apakah
kalian berani menyanggupi?" sahut si wanita cantik.
Nyata dia ingin kepastian dahulu dari pihak Ci-wan
barulah mau menjelaskan apa yang dia inginkan, dan
sekali dia sudah mengatakan, maka harus terlaksana
tujuannya.
Ci-wan terkesiap, ia membatin, "Aneh sekali ucapan
wanita ini. Seaakan-akan sengaja hendak mencari
perkara padaku. Jangan-jangan nanti dia menyatakan
anak ini yang diminta, lalu cara bagaimana aku harus
menjawabnya?"

Di sebelah lain Leng Tiat-jiau menjadi gusar juga,


katanya, "Sungguh aku tidak pernah melihat orang yang
main menang-menangan seperti dia ini. Siau-toako, tak
perlu kau banyak omong dengan dia, lihat saja
kepandaian apa yang dimilikinya sehingga ia berani
omong besar?"
"Kita adalah sama-sama sekaum, buat apa mesti
bercekcok?" ujar Ci-wan dengan tertawa. "Nyonya,
saudara Leng ini adalah keponakan Leng-cecu dari Siaukim-
jwan. Nama Leng-cecu tentu sudah pernah kau
dengar juga?"
Maksud Ci-wan ialah ingin wanita itu segan kepada
nama kebesaran Leng Thian-lok, paman Tiat-jiau,
dengan demikian selisih paham ini dapat diselesaikan.
Tak tersangka wanita itu lantas mendengus, "Huh,
peduli apakah dingin (Leng artinya dingin) atau panas,
ataukah goreng atau panggang, pendek kata sasaran ini
sudah pasti akan kumakan. Ya, kecuali kalau kalian
menerima dua syaratku barulah kalian boleh lewat."
Karena ingin mencari tahu maksud si wanita, maka Ciwan
mengedipi Tiat-jiau agar bersabar dulu.
Dengan menahan perasaannya Tiat-jiau lantas
bertanya, "Syarat apa? Coba, aku ingin tahu."
"Kalian datang dari jurusan sana, tentunya kalian
melalui Thay-san, bukan?" tanya si wanita cantik.
Hati Ci-wan tergetar, ia kuatir jangan-jangan wanita
ini sudah tahu apa yang terjadi di atas gunung itu?
Segera ia bertanya, "Apa maksud pertanyaanmu ini?"

Wanita itu menjawab, "Kalian melalui Thay-san,


tentunya kalian tahu ada pameo yang mengatakan
bahwa punya mata tapi tidak kenal Thay-san
"Huh, hanya seorang wanita macam kau juga berani
menganggap dirimu sebagai Thay-san?" ejek Tiat-jiau.
Thay-san di sini hanya dipakai sebagai perumpamaan
saja bagi seorang besar atau tokoh ternama.
Namun wanita cantik ini tidak menggubris olok-olok
Tiat-jiau itu, katanya dengan dingin, "Nah, karena kalian
punya mata tapi tidak kenal Thay-san, maka bolehlah
kalian mencungkil sendiri biji mata kalian!"
Saking gusarnya Leng Tiat-jiau lantas bergelak tertawa
malah. Tapi sebelum dia membuka suara, si wanita
cantik sudah lantas berkata pula dengan seenaknya,
"Jika kalian berlutut dan menyembah padaku. Boleh
kalian pilih satu di antara kedua syarat ini, habis itu
barulah kalian boleh berangkat."
Sampai di sini, betapapun sabarnya Siau Ci-wan juga
tidak tahan lagi atas hinaan itu. Lebih-lebih Leng Tiatjiau,
saking gusarnya segera ia melolos senjata.
"Bagus!" ejek wanita itu. "Jika kalian mau berkelahi,
maka bolehlah kalian maju sekaligus!"
Namun Ci-wan tak meladeni ejekan itu, melihat Leng
Tiat-jiau sudah maju, segera ia mengundurkan diri.
Leng Tiat-jiau juga lantas membentak dengan gusar,
"Betapa tinggi kepandaianmu sehingga berani
menantang Jing-sia-kiam-hoat Siau-toako? Ini, boleh kau
berkenalan dulu dengan aku punya sepasang 'Hou-jiau'

(senjata bentuk cakar harimau) ini. Nah, lekas kau


keluarkan senjatamu?"
"Apa yang kau ributkan?" sahut si wanita cantik.
"Boleh kau mainkan dua jurus dulu, ingin kulihat apakah
aku perlu menggunakan senjata atau tidak?"
Tiat-jiau bertambah murka, bentaknya pula, "Bagus,
kau ingin lihat, nah, lihatlah yang jelas!" Bersamaan
senjatanya terus mencakar ke Gi-hay-hiat di dada
lawannya.
Senjata berbentuk cakar harimau yang jarang terdapat
itu memakai gagang sepanjang satu meteran, dapat
digunakan merebut senjata lawan dan dapat pula dipakai
menotok Hiat-to lawan. Walaupun Leng Tiat-jiau tidak
ingin membikin celaka seorang wanita, tapi serangannya
itu juga sangat lihai, maksudnya hanya akan membikin
kelabakan wanita itu sehingga menjadi malu.
Tak terduga, ketika senjatanya secepat kilat
menyambar ke depan dan tampaknya pasti akan
mengenai sasarannya, sekonyong-konyong tubuh si
wanita menggeliat, seperi main sulap saja, hanya dalam
sekejap saja tubuh sebesar itu tahu-tahu sudah lenyap
dari pandangan Leng Tiat-jiau.
Karena menubruk tempat kosong, tiba-tiba Tiat-jiau
merasa ada angin menyambar dari belakang kiranya
wanita cantik itu sudah berada di sisinya dan telah
menyerangnya dengan cambuk.
Keruan Tiat-jiau terkejut, untung dia sudah banyak
berpengalaman sehingga tidak gugup menghadapi
serangan mendadak itu, cepat Hou-jiau sebelah kiri
menahan di atas tanah dan tubuhnya lantas melompat

pergi. Bahkan pada saat tubuhnya melayang naik itu


Hou-jiau sebelah kanan sempat balas mencakar ke
belakang untuk merampas cambuk panjang lawan.
Wanita itu bergelak terawa, dengan mudah ia menarik
kembali cambuknya sehingga cakar Tiat-jiau menangkap
angin. Tapi ia pun sempat menghindarkan cambuk si
wanita dan melompat pergi sejauh dua-tiga meter.
Waktu Tiat-jiau turun ke bawah dan putar balik, ia
lihat wanita itu sudah berdiri di depannya pula, dengan
tersenyum wanita itu berkata, "Tampaknya kau juga
mahir sejurus dua. Baiklah, biar kulayani kau dengan
cambuk kuda ini saja!"
Cambuk kuda gunanya untuk memecut kuda,
walaupun juga dapat dipakai menyabet manusia, tapi tak
dapat dianggap sebagai senjata secara resmi. Maka
perbuatan si wanita cantik ini boleh dikata terlalu
memandang hina kepada Leng Tiat-jiau.
Namun Tiat-jiau sudah tidak berani main garang lagi,
baru sekali gebrak saja dia sudah hampir termakan,
diam-diam ia sudah mulai keder.
Melihat Tiat-jiau tertegun, dengan tertawa si wanita
berkata pula.
"Bagaimana, apa kau sudah kapok? Jika demikian,
belumlah kasip jika sekarang kau mau menyembah dan
minta ampun padaku!"
"Huh!" Tiat-jiau mendengus. "Walaupun hebat
kepandaianmu, tapi apa kau kira orang she Leng lantas
takut padamu? Baiklah, silakan kau memberi petunjuk
beberapa jurus lagi." Walaupun tidak mau mengaku
kalah, tapi nada ucapannya sudah mulai merendah diri

dan tidak berani memandang enteng lagi kepada


lawannya sebagai wanita.
"Boleh juga. Nah, awas, terimalah seranganku ini!"
sahut si wanita. Bersamaan pecutnya diayunkan ke udara
terus menyabet ke depan.
Cepat Tiat-jiau putar sepasang cakar harimau, yang
sebelah digunakan melindungi tubuh sendiri, senjata
sebelah lain dipakai balas menyerang.
"Hah, kau benar-benar tidak tahu diri dan berani juga
membalas seranganku!" ejek si wanita cantik dengan
tertawa. Bersamaan pecutnya lantas berputar-putar
dengan cepat laksana beratus-ratus ular hidup, seketika
Leng Tiat-jiau seakan-akan terkurung rapat di bawah
bayangan pecutnya.
Keruan Tiat-jiau kelabakan menghadapi seranganserangan
itu sehingga cuma mampu menjaga diri dan tak
sanggup balas menyerang laei. Terpaksa kedua batang
Hou-jiau harus diputar sekencangnya untuk membela
diri.
Ci-wan ikut kebat-kebit menyaksikan perarungan seru
itu. Jika maju membantu, rasanya tidak pantas dua lelaki
mengembut seorang wanita. Kalau tidak membantu,
terang Tiat-jiau akan keok dalam waktu singkat.
Tengah ragu-ragu, tiba-tiba si wanita telah berkata,
"Kepandaian Hoau-jiau dari keluarga Leng sudah kulihat
sekarang, kiranya hanya sekian saja. Sekarang silakan
kau melihat aku punya!" Mendadak ia membentuk,
"Kena!" Menyusul terdengarlah pecut berbunyi, Leng
Tiat-jiau telah terlempar pergi beberapa meter jauhnya,
sepasang cakarnya kena dirampas oleh pecut si wanita.

Ci-wan menjadi kuatir, cepat ia melompat maju untuk


merintangi jika wanita itu menyerang pula. Tapi wanita
cantik itu telah bergelak tertawa, pecutnya menyendal,
sepasang Hou-jiau yang terlilit oleh cambuk itu terlempar
ke depan dan tepat menancap di kanan-kiri Leng Tiatjiau,
lalu katanya, "Jika aku mau mencabut nyawanya
tentu sudah sejak tadi kulakukan. Nah, bagaimana,
apakah kau anggap aku pantas untuk belajar kenal
dengan Jing-sia-kiam-hoat kalian atau tidak?"
Di sebelah sana Yap Leng-hong sudah lantas
membangunkan Leng Tiat-jiau yang kedua matanya
tampak melotot, urat-urat hijau sampai menonjol di
jidatnya, tapi tak dapat bersuara dan bergerak. Maka
tahulah Leng-hong bahwa Hiat-to Tiat-jiau telah tertotok,
ia menjadi terkejut akan kelihaian si wanita cantik yang
mampu menotok dengan ujung cambuk itu.
Sebisa mungkin Leng-hong coba berusaha membuka
Hiat-to kawannya itu, tapi sedikitpun tidak mempan.
Malahan terdengar si wanita telah mengolok-oloknya,
"Lebih baik kau jangan membuang tenaga percuma,
sesudah belajar kenal dengan Jing-sia-kiam-hoat boleh
jadi kau akan mendapat giliran untuk mencicipi pecutku
ini."
Dalam pada itu Ci-wan sudah siap siaga, katanya,
"Kepandaianku terlalu rendah, mohon Lienghiong (ksatria
wanita) sudi memberi petunjuk!" Pedangnya berputar,
terus siap di depan dada dengan ujung pedang sedikit
menjurus ke bawah. Gaya ini adalah jurus pembukaan
dan sebagai penghormatan kepada pihak lawan.
Hanya melihat jurus pembukaan Siau Ci-wan saja
segera wanita cantik itu mengetahui bahwa kepandaian

Ci-wan terang di atas Leng Tiat-jiau. Ia tidak berani


terlalu memandang enteng lagi, ia simpan kembali
pecutnya dan lantas melolos pedang juga, katanya,
"Jing-sia-kiam-hoat adalah satu di antaranya empat ilmu
pedang terkemuka, sungguh sangat beruntung hari ini
aku dapat belajar kenal dengan jago Jing-sia-pay. Nah,
silakan mulai, Siau-enghiong!"
"Silakan dulu!" sahut Ci-wan dengan rendah hati. Si
wanita cantik juga tidak sungkan-sungkan lagi, "sret",
dengan tipu 'Giok-li-tau-soh' (gadis ayu melempar tali),
secepat kilat ia menusuk ke dada Siau Ci-wan.
Ci-wan tidak berani ayal, dengan hati-hati sekali ia
menghadapi lawannya. Cepat ia menangkis dengan jurus
'Ting-ho-lah-jit" (sinar mentari menghiasi sepanjang
sungai), pedangnya melingkar ke depan, ini adalah jurus
ilmu pedang Jing-sia-pay yang lihai, menangkis sambil
menyerang, biasanya dengan mudah sekali senjata lawan
dapat terpuntir dan terlepas.
Tak terduga ilmu pedang wanita cantik itu ternyata
lain daripada yang lain, perubahannya susah diraba, jelas
kelihatan dia menusuk dari depan, tapi pada saat Ci-wan
membalas serangannya itu, entah bagaimana sedikit
ujung pedangnya menggetar, sinar hijau berkelebat,
tahu-tahu senjatanya telah berganti tempat, seperti
hendak menusuk dari kiri dan agaknya juga hendak
membacok dari kanan.
Karena perubahan jurus serangan wanita itu, seketika
Ci-wan berubah menjadi di pihak terserang. Keruan Ciwan
terkejut, cepat ia mengeluarkan 'Thiat-lo-poh-hoaf
dan berputar ke samping sehingga terhindar dari
ancaman pedang musuh.

Akan tetapi secepat kilat si wanita masih


membayanginya, tahu-tahu pedangnya menyambar tiba
pula. Ketika mendengar sambaran senjata dari belakang,
tanpa pikir Ci-wan menyampuk ke belakang dengan
pedangnya dalam tipu 'Kim-tiau-tian-ih' (garuda emas
pentang sayap), tujuannya untuk memotong pergelangan
tangan lawan.
Serangan Ci-wan ini mestinya sangat bagus, tak
tersangka toh tetap didahului musuh, tiba-tiba terdengar
suara "trang" yang nyaring, pedang Ci-wan mengenai
tempat kosong, sebaliknya pedang si wanita telah
menepuk dari atas sehingga tepat menindih di atas
batang pedangnya, tenaganya ternyata sangat kuat.
Sebagai murid golongan ternama, biarpun terdesak
juga Ci-wan tidak menjadi bingung, dengan tenang ia
kerahkan tenaganya untuk menarik, pedang bersama
orangnya dengan cepat berputar setengah lingkaran,
dengan demikian barulah dapat terlepas dari tekanan
wanita cantik itu.
"Bagus, kau tidak malu sebagai murid Jing-sia-pay,
ternyata pedangmu tidak sampai terlepas!" puji si wanita
dengan tertawa. Berbareng ia melancarkan seranganserangan
lagi sehingga Ci-wan terdesak dan main
mundur terus.
Di sebelah sana Yap Leng-hong tetap tidak mampu
membuka Hiat-to Tiat-jiau yang tertotok tadi, sekarang
dilihatnya Ci-wan juga hampir kalah, keruan Leng-hong
menjadi gelisah dan serba susah.
Tiba-tiba terdengar Li Kong-he membisikinya, "Yapsioksiok,
boleh kau pergi membantu Siau-sioksiok saja.
Biar aku mencoba membuka Hiat-to Leng-sioksiok yang

tertotok ini." Habis berkata ia lantas menggunakan


jarinya yang kecil-kecil itu untuk menotok beberapa kali
di tubuh Leng Tiat-jiau.
Terdengar tenggorokan Leng Tiat-jiau mengeluarkan
suara "krok-krok", tampaknya sangat menderita, tapi
tubuhnya tetap belum dapat bergerak.
Diam-diam Leng-hong mengerut kening, pikirnya,
"Bocah ini benar-benar tidak kenal gelagat, masakah
Hiat-to yang aku tidak sanggup buka dia berani mencoba
apa segala."
Melihat Yap Leng-hong belum maju, tiba-tiba Kong-he
membisiki lagi, "Tenagaku kurang kuat, biarlah kuajarkan
caranya padamu dan boleh kau menolong Leng-sioksiok.
Ai, celaka, hendaklah kau membantu Siau-sioksiok lebih
dulu saja!"
Belum selesai ucapannya, tiba-tiba terdengar suara
tertawa si wanita cantik dan berseru, "Sekali ini kau
haruslah melepas pedangmu!" Berbareng sinar pedang
telah menyambar ke depan waktu Ci-wan menangkis,
sekonyong-konyong pedang si wanita cantik menyampuk
ke atas terus dipuntir sekalian.
"Trang", benar juga Ci-wan tak dapat menguasai
senjatanya lagi, pedangnya mencelat ke udara.
Sambil tertawa panjang, mendadak wanita cantik itu
melayang ke atas, secepat terbang dia telah melompat
ke arah Yap Leng-hong.
Dengan kaget, cepat Leng-hong melolos pedang untuk
menyambut musuh. Tapi sebelum mendekat si wanita
cantik sudah mengeluarkan pecutnya lagi, "ser-ser" dua
kali, cambukan pertama membikin ikat kepala Yap LengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong terlepas, pecutan kedua secepat kilat telah
menyabet ke mukanya.
Segera Leng-hong mengayun pedangnya untuk
menangkis, tapi mengenai tempat kosong, sedangkan
pecut lawan masih terus menyambar tiba, untuk berkelit
terang tidak keburu lagi, tampaknya mukanya pasti akan
babak-belur.
Pada saat berbahaya itulah sekonyong-konyong Lenghong
merasa angin dingin menyambar lewat di ujung
hidungnya, berbareng terdengar wanita cantik itu sedang
tertawa dan berkata, "Melihat wajahmu yang tampan ini
aku menjadi sayang untuk merusaknya. Baiklah, asal kau
sudah tahu rasa, biarlah aku mengampuni kau." Habis itu
cambuk lantas ditariknya kembali.
Dalam keadaan masih melenggong tanpa terasa Lenghong
menggunakan lengan baju untuk mengusap
hidungnya, maka tertampaklah di atas lengan baju ada
setitik warna merah dan sedikit kotoran tanah. Kiranya
ujung cambuk wanita cantik itu tadi telah menyerempet
lewat di ujung hidungnya, dari ujung cambuk tergesut
setitik kotoran tanah sehingga melekat di hidungnya,
berbareng ujung hidungnya juga lecet sedikit.
Betapa hebat kepandaian memainkan cambuk si
wanita itu sungguh susah untuk dibayangkan. Keruan
Leng-hong lebih-lebih terkejut sehingga kakinya terasa
lemas.
Dalam pada itu si wanita cantik telah memutar tubuh,
"serr", kembali cambuknya menyabet ke depan pula.
Tapi sekali ini yang dituju adalah Li Kong-he.

Mendadak anak itu memelompat ke atas dan


berjumpalitan sehingga cambuk itu mengenai tempat
kosong. Si wanita cantik bersuara heran, katanya,
"Kiranya kau setan cilik ini cukup gesit juga!"
"Ser-ser-ser", kembali cambuknya menyabet tiga kali
pula. Meskipun Li Kong-he sangat gesit dan cepat, tapi
apa mau dikata, betapapun dia adalah seorang anak
kecil, ketika dia berjumpalitan untuk ketiga kalinya, tanpa
ampun lagi tubuhnya sudah terlilit oleh cambuk si wanita,
terus ditarik ke sana.
Saat itu Ci-wan baru menjemput kembali pedangnya
yang terlepas tadi, ia menjadi kaget melihat Kong-he
tertawan musuh, dengan mati-matian ia menerjang maju
untuk menolong.
Tiba-tiba si wanita berkata dengan tertawa, "Apa yang
aku inginkan sekarang sudah kudapatkan. Kau adalah
jago yang sudah keok, aku pun tidak ingin membikin
susah padamu. Tapi kau sendiri apa masih ngotot dan
ingin cari penyakit?"
Habis berkata cambuknya lantas mengayun ke
belakang, Kong-he terlempar pergi dan disambut oleh
seorang dayangnya, lalu melarikan kudanya dengan
menggondol bocah itu.
Si wanita cantik juga lantas menyemplak ke atas
kudanya, sekali bersuit, keempat orang dayangnya lantas
kabur dengan terpencar ke empat jurusan. Si wanita
cantik tetap merintangi kejaran Siau Ci-wan dengan
memutar cambuknya.
Melihat anak yang harus dilindunginya telah diculik
orang Ci-wan menjadi gugup, maka hanya beberapa

jurus saja kembali pedangnya sudah terlilit pula oleh


cambuk si wanita dan terlempar jatuh ke tanah.
"Hahaha, apakah kau masih ingin bertanding untuk
ketiga kalinya? Tapi aku tiada tempo untuk melayani kau
lagi," seru si wanita dengan tertawa. Ia putar kudanya
terus kabur pergi dengan cepat. Hanya dalam sekejap
kelima wanita itu sudah tak tertampak lagi bayangannya.
Untuk kedua kalinya Ci-wan menjemput kembali
pedangnya, ia menjadi terlongong-longong bingung,
sungguh tak terduga bahwa sudah hampir sampai di
rumah Kang Hay-thian toh masih ketemukan peristiwa
aneh dan mengalami kekalahan habis-habisan.
Yap Leng-hong juga merasa serba susah, tapi diamdiam
ia pun bersyukur bahwa musuh tidak mengganggu
keselamatan mereka. Segera ia menghibur Ci-wan, "Siautoako,
kepandaian begal wanita itu terlalu tinggi, apa
mau dikata lagi jika kita dikalahkan?"
Ci-wan berdiam saja. Baru saja ia hendak memeriksa
keadaan Leng Tiat-jiau, sekonyong-konyong Tiat-jiau
telah melompat bangun sambil berteriak-teriak
penasaran.
"He, Leng-toako, kiranya kau sendiri dapat membuka
Hiat-to yang tertotok," seru Yap Leng-hong.
Tapi muka Tiat-jiau menjadi merah padam, ia
menghela napas dan berkata, "Ah, sungguh memalukan.
Kepandaian Tiam-hiat wanita jahanam itu teramat lihai,
darimana aku mampu membuka Hiat-to sendiri? Adalah
si Kong-he itulah yang telah melancarkan urat nadiku.
Sayang, dia telah menolong aku sebaliknya aku tidak

mampu menolongnya sehingga dia telah diculik oleh


musuh."
Diam-diam Leng-hong terkejut dan terasa malu pula,
tadinya ia menyangka kelakuan Kong-he hanya
permainan anak-anak saja, siapa kira bahwa dari
ayahnya serta sahabat sang ayah yang sering
berkunjung ke rumahnya, bocah itu telah banyak
mempelajari kepandaian-kepandaian yang tinggi, soalnya
usianya masih terlalu muda, tenaga dalamnya masih
belum cukup, maka dia tak dapat membuka Hiat-to Leng
Tiat-jiau yang tertotok itu dalam waktu singkat Tapi
sesudah Tiat-jiau merasa darahnya berjalan lancar,
segera ia mengerahkan tenaganya sendiri, dengan
demikian Hiat-to yang tertotok itu akhirnya terbuka
dengan sendirinya.
"Leng-toako, sekali ini kita benar-benar telah
terjungkal habis-habisan," ujar Ci-wan dengan muram.
"Lebih celaka lagi asal-usul dan nama pihak lawan juga
tidak kita ketahui, lalu kemana kita akan mencari anak
itu?"
"Ya, jahanam wanita itu benar-benar keterlaluan, tapi
akhirnya kita pasti akan dapat menemukan jejaknya
serta membikin perhitungan dengan dia," sahut Tiat-jiau
dengan marah-marah. "Sungguh perbuatan jahanam
itupun agak aneh, apakah Siau-toako memperhatikan
bahwa sesudah Kong-he digondol mereka, segera
keempat dayangnya lantas melarikan diri dengan
berpencar ke berbagai jurusan?"
"Benar, " seru Ci-wan sambil menepuk paha. "Tempat
ini sudah dekat dengan rumah Kang-tayhiap, sebabnya
mereka melarikan diri dengan berpencar tentu karena

kuatir kepergok oleh orang-orang dari keluarga Kang.


Sungguh nyali mereka pun terlalu besar dan berani main
gila di wilayah pengaruh Kang-tayhiap ini."
"Sudahlah, kita jangan urus dia lagi, jalan paling baik
sekarang marilah kita lekas pergi ke rumah Kang-tayhiap
dan melapor kepada beliau," ujar Tiat-jiau.
Begitulah berramai-ramai mereka lantas meneruskan
perjalanan. Tiada setengah jam kemudian, tibalah
mereka di tempat tujuan.
Tempat kediaman Kang Hay-thian itu adalah bekas
rumah Nyo Tiong-eng, kemegahan Nyo-keh-ceng masih
tetap seperti dahulu kala. Pemandangan indah permai
dengan gunung dan telaga mengapit di belakang dan di
muka perkampungan itu.
Karena ada urusan penting, Ci-wan bertiga tiada
pikiran buat menikmati pemandangan indah itu. Sesudah
mendaki beberapa tanjakan, akhirnya dari semak-semak
pohon sana kelihatan beberapa buah rumah. Sesudah
dekat, tertampak di depan deretan rumah-rumah itu
adalah sebuah tanah lapang, seorang anak dara sedang
berlatih silat di situ.
Usia anak dara itu kurang lebih 16 atau 17 tahun.
Mata Yap Leng-hong terbeliak seketika, pikirnya, "Di
dunia ini ternyata ada nona secantik ini. Bangsat wanita
tadi juga sangat cantik, kalau dibandingkan nona cilik ini
terang bukan apa-apanya. Konon istri Kang-tayhiap
adalah seorang wanita cantik pula, besar kemungkinan
anak dara ini adalah putri mereka?"

Kalau Yap Leng-hong hanya memperhatikan


kecantikan si anak dara, adalah yang diperhatikan Siau
Ci-wan justru ilmu silat yang dilatihnya itu.
Sementara itu mereka sudah lebih dekat lagi, jelas
terlihat oleh Ci-wan bahwa yang dilatih anak dara itu
adalah semacam ilmu pukulan 'Yu-sin-pat-kwa-ciang',
ilmu pukulan yang sangat umum, apa yang diperlihatkan
anak dara itupun tiada sesuatu yang luar biasa. Tapi
yang membikin Siau Ci-wan tidak habis mengerti adalah
kebagusan cara si anak dara menguasai tenaga
pukulannya.
Di sisi tanah lapang sana tumbuh sebatang pohon
yang berbunga merah. Waktu si anak dara memukul
sekali, selalu setangkai bunga merah rontok jatuh ke
tanah. Semula Ci-wan mengira hal itu hanya kebetulan
saja. Tapi sesudah beberapa jurus, setiap kali pukul tentu
rontok setangkai bunga, dengan sendirinya hal ini
bukanlah secara kebetulan lagi. Yang lebih hebat ialah
bunga-bunga lainnya sama sekali tidak terguncang dan
bergerak, bahkan tangkai pohon itupun tiada bergoyang
sedikitpun.
Mau tak mau Ci-wan melongo kagum, pikirnya,
"Betapa bagus caranva menguasai tenaga pukulannya,
benar-benar sudah sempurna sekali."
Selagi Ci-wan merasa kagum dan terkejut, sebaliknya
Yap Leng-hong sama sekali tidak ambil pusing, bahkan ia
mendekati anak dara itu.
Mendadak anak dara itu menghentikan latihannya dan
menegur dengan nada dingin, "Siapakah kalian ini?"
"Apakah di sini tempat kediaman Kang-tayhiap?" sahut
Leng-hong sambil bersoja. "Kedatangan kami ini adalah
untuk menemui beliau."
"Kepandaian apa yang kau miliki? Silakan coba
beberapa jurus dahulu, jika mampu melawan aku barulah
kalian boleh bertemu dengan Kang-tayhiap," kata si anak
dara tiba-tiba.
Leng-hong melengak. "Apakah ini peraturan yang
ditentukan oleh Kang-tayhiap? Jika demikian sekali-kali
kami tidak berani berlaku kasar kepada nona."
Belum habis ucapannya, tanpa peduli lagi secepat kilat
anak dara itu sudah memukul, keruan Leng-hong
terkejut, sama sekali tak terduga olehnya bahwa sekali
bilang mencoba, kontan anak dara itu lantas menyerang.
Cepat ia hendak berkelit, namun sudah terlambat.
Untung pukulan anak dara itu tidak sungguh-sungguh
diteruskan, tapi hanya melayang lewat di sebelah
pipinya.
"Kenapa tidak lekas menangkis? Hm, hanya, sedikit
kepandaianmu saja apa kau sangka dapat menangkan
aku? Hayo, lekas tangkis, sekali ini aku tidak sungkansungkan
lagi!" seru si anak dara. Menyusul ia lantas
memukul pula, sekali ini datangnya agak perlahan dan
tertampak jelas hendak menampar Yap Leng-hong.
Walaupun Leng-hong suka kepada anak dara yang
cantik itu, tapi tidaklah rela dirinya dihina, katanya di
dalam hati, "Biar kuparahkan kesombonganmu agar kau
pun tahu bahwa aku bukanlah kaum keroco." Segera
telapak tangannya menangkis miring ke atas, berbareng

terus mengait dengan maksud hendak menyeret


lawannya ke depan.
"Tangkisanmu ini sih betul caranya, hanya saja masih
terlalu kaku," ujar si anak dara. sekonyong-konyong ia
tarik kembali tangannya, berbareng tubuhnya menggeser
ke samping, menyusul lengan bajunya lantas menyabet.
Waktu Leng-hong berkelit sambil balas menyerang
pundak si nona dengan tipu 'Heng-in-toan-hong' (awan
terapung memotong puncak), telapak tangannya terus
memotong ke bawah.
Namun perubahan serangan si anak dara ternyata
sangat cepat, sedikit tubuhnya menggeliat, kontan
tangannya membalik untuk memotong pergelangan
tangan Yap Leng-hong. Ketika Leng-hong buru-buru
menarik kembali tangannya, secepat kilat si anak dara
sudah mengganti serangan lagi, dengan tipu 'Kim-liongtam-
jiau' (naga emas menjulur cakar), ia melangkah
maju terus mencakar muka Yap Leng-hong.
"Tahan dulu, nona!" seru Ci-wan dengan kuatir.
Belum lagi dia memburu maju, terdengarlah suara
"plak" sekali, Leng-hong dapat menghindarkan mukanya
dari cakaran si nona, tapi dadanya tidak urung kena
ditonjok sekali. Inipun untung baginya karena .anak dara
itu tidak ingin melukainya dan hanya menggunakan satudua
bagian tenaga saja, kalau tidak, tentu Leng-hong
bisa menggeletak seketika. Walaupun demikian toh tidak
urung Leng-hong terhuyung-huyung mundur dan hampirhampir
jatuh kalau Leng Tiat-jiau tidak lantas
memeganginya.

Dengan kuatir Ci-wan juga buru-buru hendak


memeriksa keadaan Yap Leng-hong, namun si anak dara
sudah datang ke hadapannya dan berkata dengan
tertawa, "Kawanmu ini sudah terang tiada memenuhi
syarat untuk menemui Kang-tayhiap. Sekarang coba kau
ini?" Habis berkata, kontan ia terus meninju dada Siau Ciwan.
Cepat Ci-wan menangkis sambil membuka telapak
tangan untuk menangkap kepalan si nona, "Plak", Ci-wan
merasa telapak tangannya pedas kesakitan.
"Baik, kepandaianmu memang lebih tinggi sedikit.
Silakan menerima lagi serangan ini," seru si nona dengan
tertawa. Berbareng kepalan lantas menjotos pula dari
depan, sekali ini tenaganya telah bertambah kuat pula.
Cepat Ci-wan menggeser ke samping dengan Thian-lopoh-
hoat.
Si nona bersuara, katanya, "Eh, pintar juga caramu
menghindarkan diri!" Menyusul ia lantas mendesak maju
dan hendak menyerang lagi.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan
seorang, "Anak Hu, jangan sembrono!"
Si nona terkejut, cepat ia berhenti menyerang,
katanya sambil berpaling, "Ayah, aku tiada maksud
membikin susah mereka, aku hanya ingin mengenyahkan
mereka saja!"
Kiranya anak dara ini bernama Kang Hiau-hu, putri
tunggal kesayangan Kang Hay-thian.
Karena nama Kang Hay-thian teramat besar dan
sering orang ingin minta petunjuk ilmu silat padanya
sehingga sedikit membikin repot. Maka Kang Hiau-hu
lantas menggunakan caranya sendiri di luar tahu
ayahnya untuk menghalau tetamu yang berkunjung,
kecuali kalau sang tamu dapat menangkan dia barulah
diperbolehkan menemui sang ayah.
Perbuatan Kang Hiau-hu yang jahil ini mengakibatkan
sekian lamanya Kang Hay-thian tidak mendapat
kunjungan tamu, hal ini sangat mengherankan, diamdiam
ia pun menduga pasti putrinya yang nakal itulah
yang main gila. Betul juga hari ini telah dipergokinya.
Begitulah selagi Ci-wan hendak mulai bicara, tiba-tiba
Kang Hay-thian sudah menegur lebih dulu, "Apakah
saudara ini dari Jing-sia-pay? Numpang tanya, Siau Jinghong
Siau-loyacu itu pernah apa dengan kau?"
Kiranya sekali lihat saja segera Kang Hay-thian
mengenali Thian-lo-poh-hoat yang dimainkan Siau Ciwan
tadi, yang merupakan kepandaian turun-temurun
dari keluarga Siau.
Cepat Ci-wan memberi hormat dan menjawab, "Beliau
adalah kakekku, beliau yang telah menyuruh aku
mengunjungi Kang-tayhiap."
Hay-thian terkejut, cepat ia membalas hormat. Lalu
dengan kereng ia membentak putrinya, "Hiau-hu, benarbenar
keterlaluan kau ini, hayo lekas menjura kepada
Siau-sioksiok serta meminta maaf."
Dengan sendirinya Kang Hiau-hu juga tahu riwayat
engkongnya, yaitu Kang Lam, dan tahu hubungan apa
antara keluarganya dengan keluarga Siau, keruan ia
terkejut dan merasa perbuatannya sekali ini benar-benar
telah menerbitkan onar. Ia menjadi takut dan malu,

terpaksa ia melangkah maju dan menjura kepada Siau


Ci-wan.
"Ah, apa yang terjadi tadi juga tak bisa menyalahkan
adik cilik ini, aku sendiri tidak memberitahukan namaku,
darimana dia kenal aku? Sudahlah, adik cilik jangan
banyak adat," demikian kata Ci-wan dan hanya
menerima penghormatan sekadarnya dari Kang Hiau-hu.
Diam-diam Hiau-hu merasa berterima kasih atas
ucapan Ci-wan itu. Sebab sesungguhnya dia yang salah,
begitu berhadapan tanpa bertanya nama sang tamu
segera ia mengajaknya bertanding.
Air muka Kang Hay-thian tampak tenang kembali dan
berkata pula, "Untung Siau-sioksiok suka bermurah hati
padamu, kalau tidak, tentu kau harus terima rangketan
yang setimpal. Sekarang lekas minta maaf juga kepada
tuan tamu itu."
Sebenarnya Yap Leng-hong juga sangat
mendongkol dan penasaran, tapi demi melihat anak dara
itu dimarahi sang ayah, ia menjadi merasa kasihan, cepat
dia berkata, "Ah, atas petunjuk beberapa jurus dari nona
tadi aku justru merasa berterima kasih, masakah aku ...
aku berani menyalahkan dia."
Watak Kang Hiau-hu memang suka dipuji sanjung,
diam-diam ia merasa senang atas perkataan Yap Lenghong
itu, segera ia berkata, "Engkau terlalu rendah hati.
Akulah yang salah, harap engkau suka memberi maaf."
Habis berkata ia lantas memberi hormat. Dengan
gembira cepat Leng-hong membalas hormat. "Anak Hu,
lekas memberitahukan kakek, katakan Siau-sioksiok telah
datang" kata Hay-thian.

Ci-wan sendiri karena ada urusan penting, tanpa


menunggu lagi ia lantas menutur, "Kang-tayhiap,
kunjunganku ini selain kunjungan kekeluargaan biasa,
juga secara kebetulan ingin memohon bantuan kepada
Kang-tayhiap berhubung dengan sesuatu peristiwa yang
kami alami di tengah perjalanan."
"Kita adalah orang sendiri, seharusnya kita jangan
sungkan-sungkan dan menyebut Tayhiap apa segala.
Numpang tanya, berapa usia Siau-heng tahun ini?" tanya
Hay-thian.
"Siaute tahun ini berumur 33 tahun," terpaksa Ci-wan
menjawab. "Jika demikian aku ada lebih tua beberapa
tahun, maka aku tak sungkan-sungkan lagi akan
memanggil Laute (adik) padamu," kata Hay-thian dengan
tertawa. "Ada urusan apakah yang Laute inginkan
bantuanku, sedapat mungkin tentu akan kubantu.
Marilah kita bicara di dalam rumah saja. Kedua sobat
inipun silakan masuk ke dalam sana." Diam-diam Ci-wan
memuji atas baik budi Kang Hay-thian itu. Sesudah
masuk ke ruangan tamu dan mengambil tempat duduk,
baru saja Ci-wan hendak membuka suara, tiba-tiba
terdengar suara seruan seorang, "Wah, benar-benar
tamu yang jarang terdapat. Saudara cilik keluarga Siau
yang manakah yang datang ini?"
Kiranya orang ini adalah Kang Lam, ayah Kang Haythian.
Kang Hiau-hu tampak mengiring di samping sang
kakek.
Cepat Ci-wan berbangkit dan memperkenalkan
namanya sendiri. "Ai, sang tempo benar-benar berlalu
dengan cepat," demikian Kang Lam menerocos pula,
"waktu melihat kau tempo dulu, kau masih anak yang

ingusan, tapi sekarang kau sudah berubah menjadi


seorang jago gemilang di dunia Kangouw. Apa kakekmu
sehat-sehat saja? Bagaimana dengan Toakomu! Apa kau
sendiri sudah berkeluarga?"
Meski usia Kang Lam sudah hampir 60 tahun, tapi
tabiatnya masih tetap belum berubah, masih suka ceriwis
dan suka membual. Padahal dulu waktu dia datang ke
Jing-sia dan bertemu dengan Ci-wan, tatkala mana umur
Ci-wan juga sudah belasan tahun dan bukan anak kecil
yang masih ingusan.
Demi sopan santun terpaksa Ci-wan menjawab dulu
pertanyaan-pertanyaan Kang Lam, "Kakek sehat-sehat
saja, tahun yang lalu beliau baru mengadakan ulang
tahun ke-80 dan hanya dirayakan secara sederhana
bersama anggota keluarga saja. Toako sendiri sudah
meninggalkan rumah dan menjadi Hwesio di Siau-Iim-si
pada tiga tahun yang lalu. Siautit sendiri belum
berkeluarga."
Kiranya ayah Siau Ci-wan sudah lama meninggal
dunia, dia punya seorang kakak laki-laki dan kakak
perempuan. Kakak perempuannya diperistri oleh Kam
Cong-hoa, murid pertama Lui Cin-cu, ketua Bu-tong-pay
yang sekarang. Kakak laki-laki Ci-wan bernama Siau Cihong
dan telah mencintai adik perempuan Kam Cong-hoa
yang bernama Kam Tiau-hoa. Tapi Kam Tiau-hoa sudah
mempunyai kekasih sendiri, karena patah hati, akhirnya
Siau Ci-hong masuk ke Siau-lim-si dengan mengangkat
Tay-pi Siansu sebagai guru.
"Tanpa sebab mengapa engkohmu mendadak menjadi
Hwesio? Jika demikian kau harus lekas berumah tangga,"
ujar Kang Lam. "Apakah kau sudah mempunyai pilihan

sendiri? Baiklah biar aku ingat-ingat apakah ada seorang


nona yang cocok untukmu
Keruan Ci-wan menjadi serba runyam, cepat ia
menjawab, "Ah, soal ini tidak perlu buru-buru, aku
"Hahaha! Usiamu sudah 30 lebih, buat apa kau masih
malu-malu segala?" kata Kam Lam dengan tertawa. "Ya,
mungkin kau terlalu tekun belajar silat sehingga
melupakan soal maha penting bagi orang hidup ini. Ilmu
silat memang perlu dipelajari juga, misalnya aku, waktu
umurku sebaya dengan Hiau-hu sekarang, sama sekali
aku belum kenal ilmu silat segala. Tatkala itu kakekmu
menjadi guru sekolah Tan-kongcu dari saudara angkatku.
Setiap kali mereka berlatih silat di taman belakang, diamdiam
aku lantas mengintip dan ikut belajar
"Cerita ayah ini masakah Siau-hiante tidak
mengetahui?" ujar Hay-thian dengan tersenyum.
"Ya, cerita ini entah sudah berapa kali kudengar dari
Yaya (kakek)," Hiau-hu menambahkan juga dengan
tertawa.
"Baiklah, asal kalian tahu saja," kata Kang Lam
dengan sungguh-sungguh. "Aku justru ingin kalian
mengetahui betapa susah payahku dahulu itu. Kalian
sekarang sih gampang saja, belajar silat sudah ada
gurunya. Namun demikian, belajar silat dan berumah
tangga adalah dua hal yang sama pentingnya. Sesudah
berumah tangga toh tidak menghalangi belajar silat.
Pada waktu berumur 20 lebih aku sudah berumah
tangga, tapi ilmu silatku makin berlatih makin baik.
Ayahmu (kata-kata ini ditujukan kepada Hiau-hu) belum
berusia 20 juga sudah menikah dengan ibumu dan ilmu

silatnya bahkan jauh lebih hebat daripadaku. Sebab


itulah, Siau-hiantit
Diam-diam Ci-wan mengeluh, ia tahu watak Kang
Lam, kalau sudah menerocos, maka susahlah untuk
dihentikan. Tapi demi sopan santun terpaksa ia harus
berlagak seperti kaum muda yang sedang menerima
petuah dengan hormat dari orang tua.
Sebaliknya Kang Hay-thian lantas merasa sikap Ci-wan
itu agak kaku-kaku, mendadak, ia teringat dan cepat
berkata, "Siau-hiante, bukankah kau mengatakan ada
sesuatu urusan penting? Jika demikian bolehlah kau
menjelaskan dulu urusan pokoknya."
Dengan demikian barulah 'pidato' Kang Lam yang
panjang lebar itu dapat dihentikan. Rupanya Kang Lam
menjadi rikuh juga, segera ia berkata dengan tertawa,
"Benar, bila kau ada urusan penting bolehlah kau
terangkan kepada Hay-thian. Habis itu barulah kita bicara
pula tentang urusanmu yang tidak kurang pentingnya."
Sesudah Ci-wan meminta maaf kepada Kang Lam, lalu
ia berpaling kepada Kang Hay-thian dan mulai menutur,
"Di dalam Thian-li-hwe ada seorang Hiangcu yang
bernama Li Bun-sing, apakah Kang-toako kenal
namanya?"
"O, apa kau maksudkan Pat-kwa-to Li Bun-sing? Aku
tahu dia adalah seorang laki-laki sejari. Ada apakah
mengenai dia?"
"Beberapa hari lalu aku telah bertemu dia di atas
Thay-san, dia sudah terbunuh oleh kawanan anjing
pemburu kerajaan," tutur Ci-wan.

Hay-thian terkejut, "Ha, dia terbunuh? Sayang,


sungguh sayang! Ilmu silatnya toh tidak lemah, kenapa
kawanan alap-alap dan anjing pemburu kerajaan mampu
membunuhnya?"
"Selain itu, dia meninggalkan pula seorang putra ..."
lalu secara singkat Ci-wan menceritakan apa yang terjadi
di puncak Thay-san tempo hari.
"Usiaku belum terlalu tua, tokoh Bu-lim yang jauh
lebih terkemuka daripadaku masih sangat banyak, sebab
itulah sampai saat ini aku belum punya pikiran untuk
menerima murid, aku telah banyak menolak permohonan
orang," demikian kata Hay-thian. "Tapi putra Li Bun-sing
ini pastilah akan kuterima sebagai murid agar tidak
mengecewakan harapan ayahnya. Dan dimanakah anak
itu? Kenapa tidak kau bawa ke sini?"
"Tadi di tempat beberapa puluh li dari sini, bocah itu
telah diculik oleh seorang penjahat wanita!" tutur Ci-wan.
"Ha, bisa terjadi demikian?" seru Hay-thian dengan
kaget dan gusar. "Ada orang berani melakukan kejahatan
di depan mataku sini? Penjahat wanita macam apakah
dia?"
Lalu Ci-wan menceritakan peristiwa tadi.
"O, kiranya dia pandai menotok Hiat-to dengan ujung
cambuk?" Hay-thian menegas. Sekilas terbayanglah jagojago
silat yang terkemuka dari berbagai cabang dan
golongan, tapi seketika itu susah juga menyelidiki asalusul
penjahat wanita itu.
Setelah berpikir sejenak, kemudian Hay-thian berkata
pula, "Sekarang sudah lewat dua jam, kawanan penjahat
itu tentu sudah meninggalkan wilayah Tong-peng-koan.

Hai, Hiau-hu, semuanya gara-garamu, coba kalau kau


tidak membikin onar, tentu kita ..."
"Ayah, biarlah kukejar bangsat wanita itu dengan Jikliong-
ki (si naga kuning, nama kuda) untuk menebus
kesalahan anak tadi," kata Hiau-hu cepat sambil
berbangkit.
"Boleh juga, tapi belum tentu dapat menyusulnya,"
kata Hay-thian. "Kau boleh membawa serta beberapa
kartu namaku untuk disampaikan kepada pemimpin
cabang Kay-pang (organisasi kaum pengemis) di Tekciu
serta para Cianpwe di dunia persilatan, mintalah bantuan
mereka agar menyebarkan Eng-hiong-tiap (undangan
para pahlawan) dan Lok-lim-cian (panah pengenal para
begal) untuk menyelidiki jejak bangsat wanita itu. Setiba
di Tekciu lantas boleh kau tinggal pulang saja."
Hati Ci-wan merasa lega demi mendengar ucapan
Hay-thian itu. Ia tahu nama Kang Hay-thian sangat
tersohor dan disegani di dunia persilatan, pula
hubungannya sangat luas. Bilamana Eng-hiong-tiap dan
Lok-lim-cian itu sudah tersebar, tentu akan sangat
mudah mendapatkan berita tentang orang yang akan
dicarinya.
Sebabnya Kang Hay-thian memberi kesempatan
kepada putrinya untuk keluar rumah adalah sekalian
ingin menggembleng anak dara itu agar mendapat
pengalaman di dunia Kangouw.
Jik-liong-ki yang dikatakan itu adalah satu di antara
dua ekor kuda bagus pemberian Danu Cu-mu dahulu.
Kuda itu sehari dapat berlari ribuan li jauhnya, maka
untuk pulang pergi ke Tekciu paling-paling hanya
diperlukan waktu tiga hari saja. Menurut perkiraan HayTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
thian, biarpun kepandaian penjahat wanita itu sangat
tinggi, tapi ia yakin putrinya itu tentu sanggup
melawannya, apalagi dia membawa kartu namanya,
sepanjang jalan tentu gampang meminta bantuan tokohtokoh
persilatan.
Tapi inipun merupakan pertama kalinya Kang Hiau-hu
berkelana di Kangouw, dengan sendirinya Hay-thian
memberi pesan-pesan seperlunya. Ia menyuruh putrinya
membawa pedang pusakanya serta baju kutang wasiat
milik ibunya. Dipesankan pula bila ketemukan musuh
lihai, kalau tak mampu melawan hendaklah lekas lari
pulang saja. Kalau tidak kepergok musuh, setiba di
Tekciu dan menyampaikan kartu namanya kepada Nyothocu
dari Kay-pang, selekasnya juga putrinya
diharuskan pulang.
Dengan aleman Hiau-hu mengiakan, katanya, "Aku
sudah bukan anak kecil lagi, mengapa ayah menganggap
aku seperti anak yang tidak tahu apa-apa saja. Harap
ayah janganlah kuatir."
"Aku pun sudah lama tidak pernah keluar, maka aku
juga ingin ikut-ikut melemaskan otot," demikian tiba-tiba
Kang Lam berkata.
Hay-thian melengak. "Apakah engkau juga ingin pergi,
ayah?" tanyanya.
"Aku toh belum terlalu tua, apa kau ingin aku hidup
menganggur di rumah saja?" sahut Kang Lam. "Sekarang
aku ingin pesiar keluar, hendaklah kau tidak merintangi
aku."
"Anak tidak berani," kata Hay-thian, "cuma

"Cuma apa? Kau kuatirkan ilmu silatku tidak cukup?"


Kang Lam menegas. "Kau toh tahu juga pengalamanku di
masa lampau. Sekarang aku telah berlatih pula selama
20 tahun, andaikan tidak dapat mengungguli kau juga
tidak sampai dikalahkan orang lain. Apa kau kuatir aku
membikin malu dirimu?"
"Ah, mana anak berani berpikir demikian?" sahut Haythian
cepat.
Kang Lam tidak peduli lagi, ia bicara terus, "Betapapun
aku toh lebih kuat daripada Hiau-hu, pengalamanku juga
lebih luas. Kalau Hu-ji dapat pergi, tentu aku pun boleh
pergi. Pula aku tidak ingin didampingi olehmu, jika
bersama kau, tentu musuh akan menyingkir jauh-jauh,
kawan-kawanmu pun cuma kenal aku sebagai ayah
Kang-tayhiap, Kang Hay-thian, dengan demikian
perjalananku menjadi tiada artinya lagi. Maka sebaiknya
kau tinggal di rumah saja menemani tamu, kau tidak
boleh menguntit perjalananku. Hanya sedikit urusan kecil
saja masakah kau kuatir aku tidak sanggup
membereskannya?"
Hay-thian cukup kenal watak ayahnya. Meski suka
berkelakar, tapi kalau sudah sungguh-sungguh, maka
tidak dapat dibantah lagi. Apalagi yang diucapkan Kang
Lam juga ada benarnya, sesudah berlatih puluhan tahun,
tokoh Bu-lim yang dapat menandingi dia sesungguhnya
juga tidak banyak lagi.
Terpaksa Hay-thian tunduk dan berkata, "Jika ayah
ingin pergi, bolehlah silakan menunggang Pek-liong-ki (si
naga putih, nama kuda) saja."
Kang Lam menjadi girang, katanya kepada Hiau-hu
dengan tertawa, "Hu-ji, biarlah kita masing-masing

mengambil satu jurusan, bukankah kawanan penjahat


wanita itu melarikan diri dengan berpencar? Maka kau
mencari ke jurusan timur dan selatan, aku menguber ke
barat dan utara, coba siapa lebih beruntung menemukan
jejak musuh. Siapa yang ketemukan musuh lebih dulu
harus segera melepaskan Coa-yam-cian (panah berapi)
sebagai tanda, dengan demikian kita akan selalu
berhubungan dengan baik."
"Ya, cara demikian sangat baik, aku justru kuatir
kakek menganggap aku sebagai anak kecil dan tidak
memberi kesempatan padaku untuk memperlihatkan
ketangkasanku," ujar Hiau-hu dengan tertawa.
Kang Hay-thian tahu ayahnya paling sayang kepada
Hiau-hu, dengan cara membagi tugas itu diam-diam
orang tua itu dapat melindungi si anak dara, tapi
tampaknya saja anak dara itu telah dibiarkan keluar
sendirian.
Begitulah, kalau Kang Lam dan Kang Hiau-hu
bergembira ria, adalah sebaliknya Siau Ci-wan merasa
sangat rikuh, ia berkata, "Karena urusanku ini terpaksa
mesti membikin repot kepada adik cilik, bahkan
membikin susah kepada paman pula, sungguh aku
merasa tidak enak sekali
"Janganlah Hiantit bicara demikian," segera Kang Lam
memotong. "Kau telah membela kawan yang tak pernah
kau kenal, masakah kami tak dapat menolong kau?
Kenapa bicara tentang urusanmu dan urusanku apa
segala. Apalagi Hay-thian sudah berjanji akan menerima
anak itu sebagai murid, dengan sendirinya bocah itu
adalah cucu-muridku pula, dan bukankah inipun
terhitung urusanku juga. Sudahlah, kau baru pertama

kali berkunjung ke sini, bolehlah kau bicara baik-baik


dengan Hay-thian, tidak sampai tiga hari kami pasti akan
pulang. Andaikan tidak dapat menangkap penjahat
wanita itu, paling sedikit persoalan ini akan dapat
diselidiki juga seluk-beluknya
Hiau-hu kuatir kalau sang kakek sudah menerocos
tentu takkan ada habis-habisnya lagi, cepat ia
menariknya dan diajak berangkat, katanya, "Yaya,
lihatlah hari sudah hampir petang!"
"Ya, benar, kita harus berangkat sekarang juga," sahut
Kang Lam dengan tertawa.
Sambil mengantarkan bayangan perawakan Hiau-hu
yang ramping menggiurkan keluar pintu, diam-diam Yap
Leng-hong menjadi linglung.
Dalam pada itu Ci-wan telah berbangkit dan
memperkenalkan kawannya kepada Kang Hay-thian,
katanya, "Kang-toako, akan kukenalkan kedua sahabatku
ini. Yang ini adalah teman sekampungku bernama Leng
Tiat-jiau, keponakan Leng-cecu dari Siau-kim-jwan."
Dan sesudah Kang Hay-thian beramah-tamah sejenak
dengan Leng Tiat-jiau, lalu Ci-wan memperkenalkan
Leng-hong, "Dan yang ini adalah saudara angkatku, Yap
Leng-hong."
Leng-hong tersentak dari lamunannya, cepat ia
melangkah maju . dan mendahului berlutut di hadapan
Kang Hay-thian.
Keruan Hay-thian terkejut, serunya, "He, mana boleh
saudara Yap menjalankan penghormatan setinggi ini?"

Dan baru saja ia hendak membangunkan orang,


namun Leng-hong sudah menjura sambil berkata, "Harap
Kohu (paman, suami saudara perempuan ayah)
menerima penghormatan keponakanmu ini."
Untuk sejenak Kang Hay-thian tertegun bingung,
katanya, "Kau ...kau siapa? "
"Ini adalah surat ayah," sahut Leng-hong.
Dengan heran dan ragu-ragu Hay-thian menerima
surat yang diangsurkan Yap Leng-hong itu, ia coba
membacanya, baru beberapa baris membaca tangannya
tampak sedikit gemetar, tiba-tiba ia berseru, "Lian-moay
(adik Lian), lekas keluar, putra Toakomu telah datang!"
Buru-buru ia membaca habis surat itu, lalu dengan
rasa terharu ia memeluk Yap Leng-hong, katanya, "O,
kiranya kau adalah keponakanku. Kami sudah 20 tahun
lebih tak bertemu dengan ayah-bundamu. Selama ini
bibimu sangat merindukan kalian!"
Kiranya istri Kang Hay-thian, yaitu Kok Tiong-lian,
mempunyai dua saudara laki-laki, kakak kedua, Danu Cumu
adalah raja negeri Masar. Kakak tertua Yap Tiongsiau,
karena di waktu mudanya ditipu musuh sehingga
salah mengaku musuh sebagai ayah dan banyak berbuat
kejahatan, kemudian setelah mengetahui rahasia asalusulnya
sendiri, Yap Tiong-siau kembali ke jalan yang
benar dan berkumpul dengan saudara-saudaranya.
Namun di dalam hati kecilnya ia tetap merasa malu, ia
sengaja menghilang ketika Danu Cu-mu hendak
menyerahkan tahta kerajaan kepadanya (cerita ini dapat
dibaca dalam KISAH PEDANG DI SUNGAI ES, sudah
terbit).

Sesudah menghilang selama 20 tahun, siapa duga


sekarang mendadak muncul seorang Yap Leng-hong
yang membawa surat ayahnya, yaitu Yap Tiong-siau.
Surat itu ditanda tangani oleh Tiong-siau, tapi jelas
adalah tulisan tangan Auyang Wan, istri Tiong-siau
sendiri.
Hay-thian masih kenal tulisan Auyang Wan. Saking
girangnya ia terus memanggil sang istri.
Yap Leng-hong mendadak mengaku keluarga Kang
sebagai famili, sudah tentu hal ini membuat Siau Ci-wan
terkejut dan heran, tapi juga rada mendongkol, pikirnya,
"Kiranya dia adakan keponakan Kang-tayhiap, terang
hubungan mereka jauh lebih dekat daripadaku. Tapi
mengapa dia membohongi aku, bahkan minta aku
memperkenalkan dia?"
Tapi Ci-wan adalah seorang jujur, segera ia anggap
perbuatan Yap Leng-hong itu tentu ada alasannya,
mungkin karena dia sengaja rendah hati dan tidak mau
mengaku sebagai sanak famili Kang-tayhiap, maka tidak
mau sembarangan dikatakan kepada orang lain. Jika
demikian halnya juga tak dapat menyalahkan dia.
Dalam pada itu Kok Tiong-lian telah berlari keluar
ketika mendengar seruan sang suami. Tapi dia lebih teliti
daripada Kang Hay-thian, begitu keluar ia lantas berkata,
"Dimanakah surat Toako, coba kuperiksa dulu!"
Mestinya Yap Leng-hong hendak memberi salam
hormat kepada sang bibi, tapi demi melihat Kok Tionglian
asyik membaca surat, terpaksa ia menunggu di
samping.

Terdengar Kang Hay-thian telah memberi penjelasan


kepada istrinya, "Surat ini adalah tulisan tangan Toa-soh
(ipar, istri saudara) sendiri."
"O, aku tidak pernah kenal tulisan tangan Toa-soh,
syukurlah kau masih mengenalnya," ujar Tiong-lian
dengan tertawa.
Wajah Hay-thian menjadi merah, diam-diam ia
mengomeli sang istri yang masih ingat pada urusan di
masa lampau, padahal mereka sekarang sudah samasama
tua.
Kiranya di masa mudanya dahulu Kang Hay-thian
pernah dicintai oleh Auyang Wan. Tapi sejak Auyang
Wan menikah dengan Yap Tiong-siau, selama itu mereka
tidak pernah datang menjenguk keadaan Kang hay-thian
dan Kok Tiong-lian, mungkin salah satu sebabnya adalah
karena hubungan asmara yang gagal di masa dahulu itu.
Sebenarnya maksud Kok Tiong-lian hanya ingin
mengetahui dengan pasti surat itu tulen atau palsu. Surat
itu ditulis oleh Auyang
Wan, tapi nadanya adalah nada Yap Tiong-siau. Surat
itu memberitahukan bahwa Tiong-siau dan istrinya sudah
bertekad akan menyingkir keluar lautan untuk mencari
tempat tinggal yang baru agar maksud menyerahkan
tahta dari Danu Cu-mu dapat diredakan. Untuk
selanjutnya mereka terang takkan pulang ke tanah air
lagi, maka putranya sengaja disuruh datang pada
bibinya, untuk itu diminta Kang Hay-thian berdua suka
menjaga keponakannya itu. Di dalam surat Tiong-siau
juga menyatakan penjelasannya berhubung di masa
dahulu pernah sesat jalan, maka diharapkan putranya

kelak akan menjadi seorang yang berguna di bawah


pendidikan Kang Hay-thian.
Tiong-lian menjadi terharu dengan air mata berlinanglinang,
katanya dalam hati, "Tak nyana watak Toako
ternyata sedemikian keras, semua orang sudah
memaafkan dia, tapi dia sendiri yang tetap tak mau
mengampuni dirinya sendiri. Mungkin Jiko (kakak kedua,
Danu Cu-mu) berulang-ulang menyebarkan orang untuk
mencarinya, hal ini malah memaksa Toako menyingkir
pergi sejauh mungkin."
Bagaimanapun pikiran sang Toako dengan sendirinya
dapat dipahami Kok Tiong-lian, maka ia tidak ragu-ragu
lagi sesudah membaca surat itu. Ia simpan baik-baik
surat itu, lalu bertanya kepada Leng-hong, "Hiantit,
apakah kau pernah pulang ke negeri leluhur (maksudnya
negeri Masar)?"
Baru sekarang Leng-hong sempat memberi hormat
kepada sang bibi, lalu menjawab, "Ayah menyuruh Titji
(keponakan) langsung datang kepada paman dan bibi,
bahkan beliau memberi sesuatu larangan pula padaku."
"Larangan apa?" tanya Tiong-lian dengan heran.
"Katanya harus menunggu sesudah putra mahkota
kerajaan Masar naik tahta barulah Titji boleh pulang
untuk menjenguk sanak famili di sana," tutur Leng-hong.
"Malahan ayah juga meminta bibi suka merahasiakan
urusan ini agar Jicek (paman kedua) tidak mengetahui
keberadaan diriku di sini."
"Ya, aku paham," kata Tiong-lian sambil manggutmanggut.
"Ai, sesungguhnya Toako juga terlalu. Dia
kuatir kalau-kalau Jicekmu akan memaksa kau

menggantikan tahtanya. Tapi, baiklah, aku pasti akan


menuruti keinginannya."
"Menjadi seorang pendekar pengelana sesungguhnya
juga jauh lebih bebas dan merdeka daripada menjadi
seorang raja," ujar Kang Hay-thian dengan tertawa.
"Tapi kepandaian Titji terlalu rendah, mungkin tak
dapat melakukan kewajiban untuk menolong sesama dan
membela kaum lemah sebagaimana diharapkan oleh
ayah," kata Leng-hong. "Sebab itulah, maka maksud
ayah ... maksud ayah ..."
"Apakah maksud ayahmu menyuruh kau mengangkat
pamanmu ini sebagai guru?" Tiong-lian menegas.
Leng-hong terdiam, ia merasa kikuk untuk
menjawabnya.
Tapi Kang Hay-thian yang berwatak tulus itu sudah
lantas berkata dengan ikhlas, "Titji, sekarang kau sudah
berada di sini, sudah tentu aku akan memenuhi harapan
ayah-bundamu itu. Selanjutnya bolehlah kau belajar
padaku bersama Hiau-hu. Haha, sungguh tidak nyana
bahwa selama 20 tahun aku tiada punya murid, tapi
sekali terima dalam sehari lantas dapat dua. Cuma
sayang putra Li Bun-sing itu adalah muridku yang belum
pernah bertemu, entah dia ada jodoh atau tidak untuk
menjadi muridku."
Orang persilatan paling menghormati perguruan, guru
dipandang lebih penting daripada ayah. Sebab itulah Yap
Leng-hong menjadi girang sekali demi mendengar Kang
Hay-thian telah suka menerimanya sebagai murid, cepat
ia memberi hormat pula dan menyatakan terima kasih.

"Hay-thian-ko, untuk pertama kalinya kau menerima


murid, sejak kini kau terhitung telah mendirikan suatu
cabang persilatan tersendiri, maka upacara penerimaan
murid ini harus dilakukan dengan selayaknya, sekalian
memberi petuah-petuah seperlunya."
Kang Hay-thian menjadi serba susah. Maklum dia
sendiri tidak berpengalaman tentang upacara segala.
Gurunya, yaitu Kim Si-ih, adalah seorang yang tidak suka
pada ikatan adat kebiasaan, hakikatnya dia belum pernah
menerima petuah atau sesuatu larangan perguruan. Ia
lihat ucapan sang istri itu sangat sungguh-sungguh,
terpaksa ia menjawab dengan tertawa, "Baiklah, harap
kau bantu mengatur selaku ibu guru."
Tiong-lian juga tidak membantah, segera ia
menyiapkan sebuah meja sembahyangan darurat sebagai
tanda abu para Cosu (leluhur perguruan). Sebenarnya
Kang Hay-thian hanya mempunyai dua orang Cosu,
pertama adalah Tok-liong Cun-cia yang sudah lama wafat
dan angkatan kedua adalah gurunya, Kim Si-ih, yang
pada belasan tahun yang lalu telah mengasingkan diri
bersama Kok Ci-hoa. Kalau dihitung usianya sekarang
juga sudah 60 lebih dan entah masih hidup atau sudah
meninggal dunia.
Sesudah itu lalu Tiong-lian menyuruh Yap Leng-hong
berlutut, segera ia membuka upacara dan berseru,
"Murid baru hendaklah mendengarkan dengan baik.
Perguruan kita melarang, pertama, tidak boleh
berkhianat dan durhaka kepada perguruan, kedua, tidak
boleh membunuh orang yang tak berdosa, ketiga,
dilarang mengganggu dan memperkosa kaum wanita,
keempat, tidak boleh ..." Begitulah berturut-turut ia
mengucapkan sepuluh pasal larangan yang paling

penting yang dipetiknya dari peraturan Bin-san-pay,


kemudian menyambung pula, "Jika melanggar kesepuluh
larangan ini, hukuman yang akan dijatuhkan adalah
hukuman mati atau kalau ringan sedikitnya ilmu silatnya
akan dipunahkan. Apa kau sanggup tunduk kepada
undang-undang perguruan ini?"
Leng-hong menjura berulang-ulang, akhirnya
menjawab, "Tecu menerima peraturan perguruan dengan
sepenuh hati, jika melanggarnya rela menerima
hukuman."
"Selain itu masih ada pula larangan-larangan yang
tidak terlalu penting, hendaklah kau pun mendengarkan
dengan baik," kata Tiong-lian pula. "Dilarang
mengumpulkan harta secara tidak jujur, tidak boleh
berhubungan dengan kaum pembesar, dilarang menjadi
pengawal kaum hartawan tanpa izin perguruan, dilarang
Begitulah ia uraikan beberapa pasal lagi, akhirnya
ditambahkannya, "dan dilarang menipu dan berdusta.
Kalau melanggar larangan-larangan ini, hukumannya
ialah ilmu silat dipunahkan atau kaki-tangan dipatahkan
serta diusir keluar dari perguruan. Apa kau sanggup taat
kepada semua peraturan ini?"
Leng-hong sampai berkeringat dingin terutama
mendengar larangan terakhir ini. Cepat ia menjura dan
menjawab, "Tecu akan tunduk dan taat sepenuhnya,
pasti tak berani melanggar undang-undang perguruan
ini."
"Bagus," kata Tiong-lian. "Sekarang ada lagi suatu
peraturan khusus, untuk ini aku hanya minta kau
mentaati setengahnya saja."

Dengan perasaan tak tenteram dan ragu-ragu Lenghong


menjawab dengan hormat, "Silakan Subo (ibu
guru) menjelaskan."
Maka berkatalah Tiong-lian, "Suhumu adalah bangsa
Han, ibu angkat merangkap guruku juga orang Han,
sekarang aku pun sudah ikut suami dan sudah lama aku
pun menganggap diriku sebagai orang Han. Para ksatria
dan pahlawan Han walaupun belum pernah berserikat
dan mengangkat sumpah, tapi di dalam hati setiap orang
telah mempunyai suatu janji setia, yaitu harus mengusir
bangsa Boan dan menegakkan kembali kerajaan Beng.
Namun kau bukanlah bangsa Han, maka aku tidak
memaksa kau harus bertindak seperti pahlawanpahlawan
bangsa Han untuk melawan kerajaan Boan.
Tapi paling sedikit kau pun dilarang menjadi antek
pemerintah Boan dan membikin celaka ksatria-ksatria.
Sebab itulah aku hanya minta kau mentaati setengahnya
peraturan ini. Undang-undang perguruan kita ini tidak
diadakan untuk kau seorang saja, kau masih punya Sute
dan Sumoay, mereka pun harus tunduk sepenuhnya
kepada undang-undang perguruan kita ini."
Mendadak Leng-hong mendongak dan berkata,
"Ucapanmu salah Subo!"
Tiong-lian melengak, "Salah? Apakah kau tidak mau
..."
"Ibuku sendiri juga bangsa Han, jadi paling sedikit
separoh dari darahku ini adalah orang Han," kata Lenghong.
"Sebab itulah Tecu bersedia mentaati sepenuhnya
peraturan perguruan ini. Tecu akan berbuat sepenuh
tenaga seperti para ksatria bangsa Han untuk melawan

pemerintah Boan. Bila melanggar sumpah ini, Tecu rela


menerima hukuman."
"Hahaha! Rupanya Lian-moay belum mengetahui
bahwa Leng-hong adalah orang sekaum kita," kata Haythian
dengan tertawa. "Dia bersama Siau-hiante telah
menyelamatkan putra Li Bun-sing di puncak Thay-san
dan sudah bertempur dengan anjing-anjing pemburu
kerajaan Boan di sana." Habis ini ia lantas menceritakan
yang didengarnya dari Siau Ci-wan tadi.
Tiong-lian sangat girang mendengar keterangan itu, ia
membangunkan Leng-hong dan berkata, "Keponakan
yang baik, murid yang bagus, sejak kini kau adalah
Ciangbun-tecu (murid ahli-waris) perguruan kita."
Menurut peraturan Bu-lim, yang diangkat menjadi
pewaris biasanya adalah murid pertama. Tapi peraturan
inipun tidak mutlak, misalnya Lu Si-nio, begitu pula Kok
Tiong-lian sendiri, dia adalah murid terbuncit dari Binsan-
pay, tapi toh diangkat menjadi pewaris ketua.
Sudah tentu Yap Leng-hong sangat girang, tapi
lahirnya ia memperlihatkan rasa gugup dan berkata, "Ah,
tentang ini ... tentang ini sebaiknya tunggu dulu kepada
Kong-he Sute saja, dia adalah keturunan pahlawan dan
bangsa Han. Pula masih ada Hiau-hu Sumoay."
Hay-thian bergelak tertawa, katanya, "Sudahlah, apa
yang dikatakan ibu gurumu memang cocok dengan
pikiranku. Tentang Kong-he belum lagi diketahui apakah
dia ada jodoh sebagai muridku atau tidak, pula usianya
juga masih terlalu kecil. Lebih-lebih Sumoaymu itu, dia
adalah nona yang nakal, tidak mungkin dapat diangkat
menjadi Ciangbunjin."

Dengan girang Leng-hong lantas menghaturkan terima


kasih pula.
Dan baru sekaranglah Siau Ci-wan dan Leng Tiat-jiau
sempat memberi selamat kepada Leng-hong. Lalu Ci-wan
memberitahukan maksudnya akan segera pulang untuk
membantu pergerakan Leng Thian-lok yang telah
disiapkan itu.
Tapi Kang Hay-thian telah menahan mereka agar
tinggal lagi beberapa hari, terutama mengenai Li Konghe
yang belum diketahui kabar beritanya itu, maka
terpaksa Ci-wan menurut, ia pikir akan menunggu
pulangnya Kang Lam dan Kang Hiau-hu yang tentu akan
membawa kabar tentang diri Li Kong-he.
Tak terduga, tiga hari telah berlalu dengan cepat, tapi
Kang Lam dan cucu perempuannya itu belum tampak
pulang. Padahal jarak Tekciu tidak terlalu jauh, kuda
tunggangan mereka pun kuda-kuda pilihan, sepantasnya
dalam waktu tiga hari mereka dapat pergi dan pulang.
Walaupun yakin ayah dan putrinya itu pasti tidak
mengalami sesuatu bahaya, tapi Kang Hay-thian rada
berkuatir juga. Ia tahu sang ayah biasanya suka bergaul
dan suka kepada keramaian, setiba di Tekciu boleh jadi
orang tua itu telah ditahan untuk tinggal lebih lama oleh
kawan-kawan dari Kay-pang. Sedangkan Hiau-hu yang
juga baru pertama kali mengembara, di bawah lindungan
kakeknya boleh jadi juga ingin pesiar beberapa hari lebih
lama.
Maka Hay-thian lantas berunding dengan sang istri,
mereka mengambil keputusan untuk menunggu tiga hari
lagi, bila yang dinantikan tetap tidak pulang barulah Haythian
sendiri akan berangkat mencarinya.

Karena kejadian luar biasa itu, terpaksa Ci-wan dan


Tiat-jiau mesti tinggal tiga hari lagi di rumah Kang Haythian.
Begitulah dengan cepat tiga hari yang kedua telah
berlalu pula. Pada malam terakhir, tatkala itu sudah
lewat tengah malam, dengan rasa kuatir Hay-thian asyik
bicara bersama Ci-wan dan Tiat-jiau di ruang tamu. Tibatiba
terdengar suara meringkiknya kuda di luar. Dengan
girang Hay-thian berseru, "Ha, tentu mereka sudah
pulang!"
Dengan cepat mereka lantas memburu keluar untuk
menyambut. Malam itu kebetulan malam terang bulan.
Tapi mereka menjadi terkejut ketika melihat yang pulang
hanya Kang Lam seorang saja.
"Ayah, hanya ... hanya engkau sendiri saja?
Dimanakah Hu-ji?" tanya Hay-thian dengan kuatir.
Ternyata Kang Lam juga tidak kurang kagetnya
mendengar pertanyaan itu. "He, apa Hu-ji belum pulang?
Kukira dia sudah pulang lebih dulu," demikian Kang Lam
balas bertanya.
"Eh, mengapa kuda ayah telah berganti?" tiba-tiba Kok
Tiong-lian berseru.
Dan baru sekarang Kang Hay-thian dapat melihat jelas
bahwa kuda tunggangan itu memang bukan Pek-liong-ki
yang dibawa sang ayah ketika berangkat tempo hari,
yang dibawa pulang sekarang ternyata adalah seekor
kuda hitam. Perbedaan kuda itu sebenarnya sangat
mencolok, soalnya Kang Hay-thian hanya menguatirkan
keselamatan putrinya sehingga tidak memperhatikan
kuda tunggangan Kang Lam itu.

Karena pertanyaan Tiong-lian itu. Kang Lam tampak


kikuk dan serba susah, akhirnya ia bicara juga, "Sekali ini
aku benar-benar kena diingusi anak kecil. Aku telah
ditipu oleh seorang penjahat wanita."
"O, apakah ayah telah ketemukan penjahat wanita
itu?" tanya Hay-thian. Diam-diam ia bersyukur bahwa
paling sedikit persoalannya telah ada petunjuk-petunjuk
yang menguntungkan.
Sambil berjalan masuk ke dalam ruangan tamu dan
ambil tempat duduk, Kang Lam menghela napas dan
berkata pula, "Aku memang memergoki seorang
penjahat wanita, tapi bukan orang yang kita cari."
"Apa bukan komplotan penjahat-penjahat wanita itu?"
Ci-wan menegas.
"Ya, memang komplotannya, tapi bukanlah
pentolannya, hanya seorang dayangnya saja," sahut
Kang Lam.
Kiranya pada hari kedua sesudah Kang Lam
berangkat, di tengah jalan ia lantas berjumpa dengan
seorang wanita muda berkuda yang mencurigakan. Usia
dan dandanannya cocok dengan keterangan Siau Ci-wan,
hanya saja tidak membawa anak kecil.
Sudah tentu kuda yang ditunggangi wanita muda itu
tidak dapat menandingi Pek-liong-ki yang ditunggangi
Kang Lam, maka dengan cepat Kang Lam dapat
menyusul wanita itu dan menegurnya.
Semula wanita muda itu hendak melawan, tapi Kang
Lam tidak ingin membikin susah padanya, hanya dengan
tenaga pukulan dari jauh ia membinasakan kuda
tunggangan wanita itu. Melihat kelihaian Kang Lam itu

rupanya si wanita muda lantas dapat menerka dengan


siapa dia sedang berhadapan.
Segera dengan lagak penasaran dan marah-marah ia
mengomel, "Bukankah engkau adalah Kang-loyacu yang
tersohor itu? Kau adalah jago tua, ksatria besar,
mengapa menganiaya seorang wanita lemah seperti
diriku ini?"
Tapi Kang Lam menjawab, "Kau tidak perlu
menyangkal. Aku tahu kau adalah komplotan penjahatpenjahat
wanita yang kemarin telah menculik seorang
anak laki-laki di wilayah Tong-peng-koan ini. Terang kau
pun paham ilmu silat, mengapa bilang seorang wanita
lemah?"
"Ai, Kang-loyacu, engkau adalah jago tua yang
dikagumi setiap orang Kangouw, semula aku percaya
engkau adalah seorang jujur dan baik hati, tapi ternyata
engkau sedemikian tidak bijaksana."
"Aku tidak bijaksana? Dimana letak kesalahanku? Coba
katakan!" sahut Kang Lam.
"Tentang kesalahanmu sih terlalu banyak," ujar si
wanita muda. Rupanya ia sengaja mengulur tempo,
maka bicaranya sengaja mengadaada
dan bertele-tele. "Kau ingin tahu kesalahanmu?
Baiklah, coba dengarkan. Pertama, kau tidak tahu
siapakah kami ini dan ada hubungan apa dengan bocah
itu, mengapa kau berani menuduh kami adalah kawanan
penjahat? Kedua, seumpama benar kami adalah
kawanan penjahat, orang menangkap penjahat harus
ada bukti, tanpa bukti masakah kau boleh sembarang
menuduh aku sebagai penjahat? Padahal aku hanya

seorang diri, dimana anak laki-laki yang kau maksudkan


itu? Ketiga, walaupun aku juga paham sedikit ilmu silat,
tapi kalau dibandingkan Kang-loyacu yang tergolong jago
kelas satu, maka perbedaannya adalah mirip kambing
melawan harimau, di hadapanmu bukankah aku boleh
disebut sebagai wanita lemah?"
Hati Kang Lam merasa syur karena dipuji dan diumpak
oleh wanita muda itu, diam-diam ia merasa apa yang
dikatakannya itu juga ada benarnya. Segera ia berkata,
"Aku tidak ingin mempersulit dirimu, tapi lantaran anak
laki-laki she Li itu adalah cucu muridku, maka aku harus
meminta kembali dari tangan kalian. Bukankah
komplotanmu yang telah menculik bocah itu? Tentang ini
kau masih coba menyangkal?"
"Bilakah aku menyangkal?" sahut wanita itu dengan
tertawa. "Akan tetapi orang yang telah merampas bocah
itu dari tangan kawanmu itu adalah Siocia (nona
junjungan) kami. Aku cuma salah seorang dayangnya
saja."
"Bagus, sedikitnya aku telah mendapatkan beritanya,"
kata Kang Lam dengan girang. "Nah, coba terangkan,
siapakah Siocia kalian itu? Mengapa dia menculik putra Li
Bun-sing? Hayo lekas mengaku!"
"Tentang Siocia kami, beliau bernama Ki Seng-in,
berjuluk Jian-jiu-koan-im (si dewi Koan Im bertangan
seribu). Loyacu sudah banyak berpengalaman, tentu
pernah mendengar nama Siocia kami, bukan?"
"Jian-jiu-koan-im apa segala? Tidak, tidak pernah
kudengar nama demikian," sahut Kang Lam sambil
menggeleng. "Bagaimana asal-usulnya? Tidak, coba kau

katakan dulu untuk apa dia menculik anak itu? Tentang


asal-usulnya boleh disambung nanti."
"Ai, rupanya Kang-loyacu ini sudah pikun?" tiba-tiba
wanita itu menghela napas.
"Hus, mengapa kau mengatakan aku pikun?" semprot
Kang Lam.
"Habis, engkau tentunya sudah tahu bahwa aku cuma
seorang pelayan saja, apa yang hendak diperbuat oleh
sang majikan, darimana seorang pelayan dapat tahu?"
"Tapi menurut nadamu tadi bukankah kau hendak
mengatakan di antara Siocia kalian ada hubungan apaapa
dengan anak itu? Sebaliknya kau mengatakan aku
tidak boleh sembarangan menuduh Siociamu sebagai
penjahat."
"Ai, Kang-loyacu rupanya benar-benar sudah pikun!"
sahut si wanita dengan tertawa. "Memang tadi aku
mengatakan kau jangan sembarangan menuduh Siocia
kami sebagai penjahat, sebabnya aku berkata demikian
adalah lantaran aku tahu benar beliau bukan penjahat,
sebab itu pula aku berani memastikan bahwa beliau
tentu ada hubungan sesuatu dengan anak she Li itu.
Kalau tidak, buat apa lagi beliau mesti bersusah-susah
merampasnya dari kawalan temanmu? Adapun tentang
hubungan apa di antara Siocia dan bocah itu, karena
Sioacia tidak memberitahu padaku, darimana aku dapat
mengetahui?"
Begitulah wanita muda itu sengaja bicara putar-kayun
ke sana-kemari, kesimpulan terakhir tetap sama, yaitu
"tidak tahu".

"Sudahlah, kau tidak perlu melantur lagi. Aku hanya


ingin tanya, sebenarnya siapakah Siocia kalian itu?"
"Siocia ialah Siocia, jika kau ingin tahu asal-usulnya,
wah, untuk ini aku harus mengingat-ingat dulu. Ya,
sebaiknya harus diceritakan mulai kakek-moyangnya saja
supaya jelas. Tapi, ai, bicara sekian lamanya mulutku
menjadi kering, marilah kita mencari suatu tempat
minum, biarlah aku mengobrol lebih asyik dengan
Loyacu."
"Busyet!" demikian Kang Lam menggerutu dalam hati.
"Sejak kecil aku dinamakan orang sebagai 'Si Kang Lam
yang ceriwis', tapi tampaknya budak setan ini jauh lebih
ceriwis daripadaku. Kan bisa runyam kalau aku mengikuti
obrolannya yang bertele-tele dan akan membuang tempo
belaka."
Dalam pada itu senja sudah tiba, suara burung gaok
ramai di angkasa sedang pulang ke sarang.
Betapapun polosnya Kang Lam juga sudah punya
pengalaman berpuluh tahun, sudah tentu ia tidak mudah
terjebak oleh tipu mengulur waktu si wanita muda. Cepat
ia menyela dan berkata, "Sudahlah, aku
tidak ingin tahu asal-usul Siociamu itu. Menuju ke
jurusan mana Siociamu, coba katakan. Sesudah kususul
dia, dengan sendirinya aku akan tanya asal-usulnya."
"Untuk memberitahukan ke jurusan mana Siocia kami
telah pergi adalah soal gampang," sahut si wanita muda
dengan licin. "Tapi apakah Kang-loyacu tidak kuatir akan
dibohongi olehku?"
"Benar, maka biarlah kau yang menunjukkan jalannya
padaku," kata Kang Lam. "Jika kau suka bicara, maka

bolehlah di tengah jalan kau menceritakan asal-usul


Siociamu, boleh kau mulai dari sejarah kakek-moyangnya
tiga turunan atau tujuh turunan, asal saja perjalanan
tidak terhambat."
"Baik, Kang-loyacu, masakah aku berani menolak
untuk menjadi penunjuk jalan bagi seorang jago tua
yang termasyhur? Bahkan aku merasa sangat
terhormat!"
"Sudahlah, jangan banyak mulut lagi. Lekas
berangkat!" seru Kang Lam dengan tak sabar.
"Tam ... tapi ada suatu kesulitan pula!" tiba-tiba
dayang itu berkata.
"Kesulitan apa lagi?" Kang Lam menegas dengan
kurang senang.
"Habis, Kang-loyacu telah memukul mati kudaku, apa
sekarang aku disuruh berlari mengikuti kau? Padahal
kudamu sedemikian cepat larinya, sebaliknya tenagaku
terlalu lemah!"
"Ya, ini, ini Kang Lam menjadi bingung sendiri sambil
menggaruk-garuk kepala. Sesudah berpikir sejenak,
akhirnya ia berkata, "Baiklah, kau boleh naik ke atas
kudaku sekalian."
"Ah, mana boleh jadi begini!" seru si dayang dengan
tertawa genit. "Meski engkau cocok untuk menjadi
kakekku, tapi apapun juga engkau adalah seorang lelaki.
Untuk mengatakan terus terang, meski usiaku baru 18
tahun, tapi aku sudah bertunangan. Calon suamiku itu
justru sangat cemburu, bila dia melihat aku menunggang
kuda bersama seorang lelaki, wah, tentu bisa runyam."

Sesudah berpikir, akhirnya terpaksa Kang Lam


berkata, "Ya, sudahlah, boleh kau menunggang kudaku
ini. Tapi awas, kau harus menurut pada perintahku. Ini,
lihat!"
Mendadak ia memukul ke depan, kontan sebatang
pohon yang tanggung besarnya dalam jarak tiga-empat
meter lantas tumbang oleh tenaga pukulannya.
Dayang itu terkejut, tapi pura-pura tertawa dan
berkata, "Kang-loyacu, apa sih maksudmu ini? Bukankah
sudah kukatakan bahwa aku merasa terhormat dapat
mengabdi kepada seorang Locianpwe dan seorang jago
tua, masakah aku berani membangkang lagi kepada
perintahmu?"
Walaupun merasa syur karena disanjung-puji, tapi
Kang Lam pura-pura kereng, katanya, "Aku tidak suka
dipuji, kau tidak perlu bicara muluk-muluk. Awas, kau
boleh menunggang kudaku ini dan aku akan ikut dari
belakang. Tapi awas, jangan kau main gila, jarakmu
dariku tidak boleh jauh-jauh, bila kukatakan berhenti dan
kau harus lantas berhenti. Kalau tidak, sekali pukul dari
jauh tentu akan mampus, pohon tadi adalah sebagai
contoh!"
"Ai, Kang-loyacu benar-benar terlalu banyak curiga,
masakah aku akan menipu seekor kudamu?" demikian
sahut si wanita. "Apalagi cara bagaimana aku
mengetahui jarakmu tertinggal jauh atau tidak. Apa kau
suruh aku berulang-ulang menoleh untuk melihat kau?"
"Kudaku ini sudah terlatih baik, kau tidak perlu
mencambuknya, asal dia berlari dalam kecepatan biasa
saja tentu aku dapat menyusulnya," kata Kang Lam.

Kiranya Ginkang Kang Lam sekarang sudah sangat


tinggi, kalau kuda biasa saja takkan lebih cepat daripada
dia. Hanya saja kalau berlari jarak jauh, terutama
dibandingkan Pek-liong-ki ini, tentu payah juga bagi Kang
Lam untuk menyusulnya.
"Kudamu ini tampaknya sangat tangkas, cuma janganjangan
tidak mau menurut perintah orang yang tak
dikenalnya?" ujar si dayang.
"Tidak, dia sangat menurut padaku," kata Kang Lam.
Lalu ia tepuk-tepuk punggung Pek-liong-ki. Kuda itu
ternyata sangat cerdik segera ia berjongkok hingga si
dayang dapat naik ke atas punggungnya dengan mudah
sekali.
Begitulah, karena buru-buru ingin menyusul pentolan
penjahat wanita itu, maka Kang Lam suka mengalah dan
membiarkan dayang itu menunggang kudanya, ia pikir
dirinya toh akan mengintil dari belakang, pula kuda itu
sangat menurut pada perintahnya, tentu takkan terjadi
sesuatu yang di luar dugaan.
Siapa tahu, begitu si dayang sudah berada di atas
kuda, mendadak cambuknya bekerja, "tarr", seketika
Pek-liong-ki pentang keempat kakinya dan berlari ke
depan secepat terbang.
Keruan Kang lam terkejut, cepat ia mengejar sambil
membentak, "Berhenti! Lekas berhenti! Awas, segera aku
akan memukul!"
Tapi si dayang menjawab dengan suara nyaring,
"Kang-loyacu, engkau adalah seorang ksatria
termasyhur, jika kau tidak takut ditertawai orang,

bolehlah kau memukul mati seorang wanita lemah


seperti diriku ini!"
Kang Lam sudah angkat tangannya dan siap memukul
dari jauh. Tapi ia menjadi ragu-ragu, kalau dia
membinasakan kuda saja, rasanya sayang karena kuda
itu adalah kuda mestika kesayangannya.
Lantaran ragu-ragu itulah dalam sekejap saja jaraknya
dengan kuda putih itu sudah belasan meter jauhnya.
Cepat Kang Lam berteriak, "Naga putih, bantinglah dia,
perosotkan dia!"
"Tarrr!", dayang itu mengayun cambuknya ke udara,
ia pun berteriak, "Naga putih, jangan mau! Larilah lebih
cepat, larilah lebih cepat!"
Dan benar juga Pek-liong-ki itu larinya bertambah
cepat malah, maka dengan tertawa si dayang telah
mengejek, "Hihi, Kang-loyacu, kudamu ini tak mau
tunduk pada perintahmu, sebaliknya menurut padaku,
memang pantasnya aku yang menjadi majikannya!"
Karena tak mampu menyusulnya, keruan Kang Lam
mendongkol setengah mati, tapi tak bisa berbuat apaapa.
Begitulah terpaksa Kang Lam melanjutkan perjalanan
ke Tekciu dengan berjalan kaki. Sehari semalam
kemudian akhirnya dia sampai di tempat tujuan, namun
capainya sudah tak terkatakan, apalagi usianya sudah
tua dan tenaga sudah berkurang. Semula ia menyangka
Kang Hiau-hu sudah tiba lebih dulu di Tekciu, siapa duga
anak dara itu sama sekali belum kelihatan bayangannya.
Sesudah menunggu sehari di Tekciu dan Hiau-hu tetap
tidak muncul, diam-diam Kang Lam menjadi gelisah dan

kuatir, segera ia minta seekor kuda kepada sahabat Kaypang


dan berangkat pulang melalui jurusan yang
ditempuh Kang Hiau-hu. Sepanjang jalan ia pun mencari
kabar, tapi tiada diperoleh sesuatu keterangan tentang
diri anak dara itu.
Demikian Kang Lam menceritakan pengalamannya itu
dengan mengurangi sedikit kejadian, yaitu tentang
dirinya dipermainkan oleh dayang muda itu.
Untuk sejenak Kang lam merenung, katanya
kemudian, "Nama Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in rasanya
belum pernah kudengar selama ini."
"Tapi kita menjadi tidak sulit untuk menyelidiki
sesudah mengetahui namanya," ujar Tiong-lian. "Hanya
saja aku kuatir kalau nama yang disebut dayang itu cuma
omong kosong belaka, jika demikian urusan menjadi sulit
pula."
"Ai, kalian ini benar-benar terlalu, Hiau-hu sampai saat
ini belum lagi pulang, kenapa kalian tidak lekas pergi
mencarinya, tapi masih bicara tak habis-habisnya?" desak
Kang Lam. Biasanya dia paling sayang kepada Hiau-hu,
dengan sendirinya ia pun paling gelisah.
"Harap ayah jangan kuatir," kata Hay-thian. "Hiau-hu
sampai saat ini belum pulang, sudah tentu kita akan
mencarinya. Bahwasanya dia baru mulai berkecimpung di
dunia Kangouw, dengan sendirinya mesti mengalami
gemblengan-gemblengan yang mungkin juga ada
manfaat baginya. Biarlah besok pagi-pagi segera anak
berangkat mencarinya."
Di sebelah sana Siau Ci-wan menjadi serba susah
juga. Dia telah dipasrahi putra Li Bun-sing, sepantasnya

dia mesti ikut mencari. Tapi di samping itu dia sedang


ditunggu pula oleh Leng Tiat-jiau yang mengajaknya
pulang ke kampung.
Rupanya Kang Hay-thian dapat merasakan kesukaran
Siau Ci-wan itu, dengan tulus ia berkata, "Siau-hiante,
tentang putra Li Bun-sing ini, biarpun dia belum menjura
dan mengaku guru padaku, tapi sudah terang aku telah
menganggap dia sebagai muridku, mana boleh aku
membiarkan muridku jatuh di tangan orang jahat. Maka
Siau-hiante tidak perlu kuatir, dengan sepenuh tenaga
aku pasti akan mencarinya kembali. Bila engkau sudah
berjanji pulang kampung untuk membantu Leng-cecu,
urusan yang maha penting ini harus kau utamakan lebih
dulu, tentang mencari Kong-he boleh kau serahkan
padaku saja, begitu ada berita tentang ini tentu aku akan
mengirim surat padamu."
Sudah tentu Siau Ci-wan percaya penuh kepada Kang
Hay-thian, katanya, "Kang-toako, asal engkau sendiri
sudah ikut campur urusan ini, biarpun lebih sukar
berpuluh kali lipat juga pasti akan dapat diselesaikan
dengan baik. Hanya ada sesuatu yang kusangsikan, yaitu
muka si Kong-he toh belum pernah kau kenal
"Hahahaha! Masakah kau melupakan si Leng-hong?"
seru Hay-thian dengan tertawa. "Aku justru ingin
menggunakan kesempatan ini untuk membawa Lenghong
keluar agar dia bertambah pengalaman dan lebih
banyak mengenal jago-jago angkatan tua dunia
persilatan."
"Bagus sekali jika demikian halnya," sahut Ci-wan
dengan tertawa. "Yap-hiante, semoga kau lebih giat
belajar kepandaian, bila ketemukan bangsat wanita itu

harap kau mewakilkan aku membalas sakit hati tempo


hari?"
Diam-diam Yap Leng-hong merasa sangat girang.
Betapa bahagianya jika nanti di luaran dia diperkenalkan
sebagai murid pewaris dari tokoh utama dunia persilatan
sekarang ini. Segera ia menjawab dengan kata-kata yang
merendah hati serta mengucapkan terima kasih atas
perhatian sang guru.
Begitulah, besok paginya masing-masing lantas
berpisah. Ci-wan dan Leng Tiat-jiau berangkat pulang ke
Sucwan. Sedangkan Kang Hay-thian dan Kok Tiong-lian
membawa serta Yap Leng-hong menuju ke Tekciu lebih
dulu untuk mencari kabar tentang Kang Hiau-hu dan Li
Kong-he. Hanya Kang Lam yang ditinggal untuk menjaga
rumah.
Marilah kita mengikuti pengalaman Kang Hiau-hu.
Apakah yang telah terjadi atas dirinya? Untuk ini harus
diceritakan mulai dari Li Kong-he.
Pada hari itu Kong-he telah dibawa lari oleh seorang
dayang Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in. Pada waktu
melemparkan Kong-he kepada dayangnya, sekalian Ki
Seng-in telah menotok Hiat-to anak itu.
Kong-he hanya bocah berusia 11 atau 12 tahun saja,
kini sudah ditotok dengan ilmu Tiam-hiat tunggal yang
dimiliki Ki Seng-in, sedangkan dayangnya itu juga bukan
orang bodoh, dengan sendirinya Ki Seng-in tidak kuatir
kemungkinan Kong-he akan meloloskan diri.
Ia tidak tahu bahwa meski Kong-he masih kecil, tapi
kepandaian-kepandaian dari berbagai golongan dan
aliran telah banyak yang dipelajari. Kebetulan ilmu TiamTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hiat yang digunakan Ki Seng-an itupun diketahui cara
membukanya. Maka dengan sedikit demi sedikit Kong-he
telah menghimpun tenaga dan perlahan-lahan Hiat-to
yang tertotok itu dapatlah terbuka sendiri.
Sementara itu hari sudah gelap, Ki Seng-in sudah
dapat menyusul dayangnya sesudah menghalau Siau Ciwan
bertiga.
Tatkala itu mereka berada di jalan pegunungan yang
curam dengan di sebelahnya adalah jurang yang
berbahaya.
Kuatir kalau terjadi kecelakaan, segera Ki Seng-in
berseru kepada dayangnya yang berada di depan, "Hari
sudah gelap, jalanan ini sangat berbahaya, boleh kau
serahkan anak itu padaku saja!"
Si dayang mengiakan dan segera menghentikan
kudanya. Tapi baru saja ia hendak memondong Kong-he
ke bawah, sekonyong-konyong Kong-he menjerit keraskeras
di tepi telinganya. Keruan dayang itu kaget, pada
saat itulah sekuatnya Kong-he mendorong dan sekalian
menotok pula Hiat-to si dayang.
"He, kenapa? Lekas bangunkan bocah itu!" seru Sengin
dari belakang. Dalam keadaan gelap ia menyangka si
dayang terperosot jatuh dari kudanya sehingga Kong-he
ikut terbanting ke bawah.
Tapi pada saat sebelum Seng-in mendekat, dengan
cepat Kong-he menutupi kepala sendiri dengan kedua
tangan, lalu menjatuhkan diri dan menggelinding ke
bawah lereng.
Sesudah dekat dan menyalakan geretan api barulah Ki
Seng-in mengetahui yang menggeletak di situ adalah

dayangnya sendiri, sedangkan Kong-he sudah tergelincir


ke bawah gunung. Sebagai seorang ahli ilmu silat, sekali
lihat saja Ki Seng-in lantas tahu Hiat-to si dayang telah
tertotok, ia terkejut, tapi segera paham pula duduknya
perkara. Ia menggeleng-geleng kepala, katanya, "Bocah
ini benar-benar terlalu berani, aku pun terlalu gegabah
dan melupakan dia adalah putra Li Bun-sing. Wah,
celaka, lereng gunung setinggi ini, dengan menggelinding
ke bawah, kalau tidak mampus sedikitnya juga akan luka
parah." Segera ia membuka Hiat-to si dayang yang
tertotok, lalu dengan cepat ia mencari Kong-he ke bawah
lereng gunung.
Lereng gunung itu sangat terjal, hari sudah gelap
pula, terpaksa Ki Seng-in berjalan dengan hati-hati, ia
mencari secara teliti kalau-kalau Kong-he tersangkut di
batu cadas atau batang pohon. Tapi sebelum sampai di
dasar lembah, api yang dinyalakan Ki Seng-in sudah
padam.
Untunglah Kong-he tidak sampai terluka parah, hanya
bajunya saja yang robek dan babak-belur karena duri
belukar. Ketika menggelinding sampai di dasar lembah,
terus saja ia berlari sekuatnya. Tapi di tengah malam
gelap itu, ia pun tidak tahu harus lari ke jurusan mana.
Dalam pada itu Ki Seng-in telah melepaskan sebatang
Coa-yam-ci (panah berapi) ke udara sambil berseru,
"Jangan lari lagi, anak baik, aku tidak akan membikin
susah padamu!" Mendengar suara tindakan orang di
dasar lembah, maka legalah hatinya, ia yakin andaikan
Kong-he terluka tentu juga tidak parah.
Di dasar lembah gunung itu penuh tumbuh rumput
alang-alang yang tingginya melampaui manusia. Kong-he

cukup cerdik, ia tahu Ginkang Ki Seng-in tentu sangat


tinggi, jika dia sudah menyusul tiba, biarpun dirinya
berlari betapa cepatnya akhirnya pasti akan tersusul
juga. Karena itu ia tidak main lari lagi, tapi begitu melihat
sinar api panah, segera ia menyusup ke tengah rumput
alang-alang.
Cahaya api Coa-yam-ci itu hanya sekilas saja sudah
lenyap di udara, meski Seng-in tidak melihat dimana
beradanya Kong-he, tapi telah dapat mengikuti jurusan
lari bocah itu. Terpaksa ia menggunakan cambuk untuk
menyingkap alang-alang dan mencari dengan hati-hati.
Dengan meringkuk di balik segundukan batu-batu
yang dikelilingi alang-alang yang tinggi, hati Kong-he
menjadi kebat-kebit, sampai bernapas pun tidak berani
keras-keras.
"Anak yang baik," demikian Ki Seng-in berseru pula
dengan suara ramah. "Aku adalah sanak familimu yang
lebih tua, ayah-bundamu telah wafat semua, hidupmu
menjadi sebatang kara, maka aku sengaja mencari dan
ingin membesarkan kau, hendaklah kau jangan takut."
Walaupun masih anak-anak, tapi sejak kecil Kong-he
sudah sering mendengar cerita ayahnya tentang tipu
muslihat orang-orang Kangouw, pengetahuannya
cukuplah luas. Diam-diam ia membatin, "Darimana sih
munculnya sanak familiku ini? Huh, apa kau mengira aku
gampang ditipu?" Maka ia tetap diam saja.
Dalam pada itu terdengar Ki Seng-in berseru pula,
"Nenekmu berasal dari keluarga Ki bukan? Ayahku adalah
saudara sekandung nenekmu dan aku adalah adik misan
ayahmu, jadi terhitung kau punya Piaukoh (bibi).

Namaku Ki Seng-in, apa ayahmu tidak pernah


mengatakan padamu?"
Kong-he terkesiap dan agak heran. Sebab neneknya
memang benar she Ki, hanya saja ayahnya tidak pernah
menceritakan sejarah dan keluarga leluhur itu. Sekarang
mendadak muncul seorang bibi, sudah tentu ia ragu-ragu
apa bibi tulen atau palsu?
Karena Kong-he tetap diam saja, maka Ki Seng-in
telah menghela napas dan berkata pula, "Rupanya
ayahmu sama sekali tak pernah menyebut namaku
padamu? Aku mempunyai nama julukan 'Jian-jiu-koanim',
apa kau juga tidak pernah mendengar julukan ini?"
Mendengar nama julukan itu, tiba-tiba Kong-he
teringat sesuatu kejadian pada waktu hari ulang tahun
ayahnya dua-tiga tahun yang lalu. Seorang sahabat
ayahnya telah membawakan kado sebuah patung dewi
Koam-im porselen yang sangat indah. Entah mengapa
ketika melihat patung Koam-im itu, tiba-tiba ibunya
menjadi marah dan membanting patung itu hingga
hancur berantakan.
Tapi dengan tertawa ayahnya telah memberi
penjelasan-penjelasan yang tak dipahaminya, maklum
Kong-he sendiri masih sangat kecil dan tidak tahu selukbeluk
orang hidup. Hanya saja kemudian ibunya lantas
ikut tertawa dan peristiwa itupun berakhir. Kalau dipikir
sekarang, jika julukan penjahat itu adalah Jian-jiu-koanim,
dan tanpa sebab ibunya telah membanting hancur
patung Koam-im yang indah itu, jangan-jangan yang
dibenci ibunya adalah bangsat wanita ini? Peduli apa dia
bibiku atau bukan, jika ibu sudah tidak suka kepada

"Koan-im", maka Jian-jiu-koan-im inipun adalah orang


jahat. Demikian Kong-he berkata dalam hati.
Di sebelah sana agaknya Ki Seng-in menjadi
mendongkol karena Kong-he tetap tidak memberi
jawaban dan memperlihatkan diri, tiba-tiba ia berkata
dengan mendengus, "Hm, jadi ayah-ibumu benar-benar
tidak pernah menyebut namaku? Mereka benar-benar
tidak mau mengaku famili lagi padaku? Biarpun begitu
aku tetap akan melindungi hidupmu. Sudahlah, anak
yang baik, harap kau keluar saja!"
Namun Kong-he tetap diam saja, ia hanya
mendengarkan dan tidak bersuara.
Lama-lama Ki Seng-in menjadi gusar, katanya, "Anak
kurangajar! Hm, apa kau kira aku tidak mampu membikin
kau keluar. Ini rasakan nanti! Hayo, lekas tutupi
mukamu!"
Maka terdengarlah suara mendesis-desis ramai, Ki
Seng-in telah menaburkan segenggam Bwe-hoa-ciam
(senjata rahasia bentuk jarum kecil).
Pikir Ki Seng-in, betapapun bandelnya Kong-he, kalau
terkena jarum lembut itu tentu juga akan menjerit
kesakitan walaupun jiwanya takkan terancam. Dan lebih
dulu ia telah memperlihatkan rasa kasih sayangnya
kepada si Kong-he.
Begitulah bagaikan hujan saja Ki Seng-in menebarkan
Bwe Hoa-ciam segenggam demi segenggam sambil
melangkah maju ke arah tempat persembunyian Konghe.
Dalam lingkaran seluas beberapa meter sudah
terancam di bawah hujan jarumnya. Terdengar pula
suara "cring-cring" yang ramai, batu-batu yang

mengaling-aling di depan Kong-he itu sudah terkena


jarum-jarum halus itu.
"Nah, kau bersembunyi di belakang batu itu, bukan?
Hayo, lekas keluar! Aku sudah melihat kau, tak perlu
bersembunyi lagi!" tiba-tiba Seng-in berseru.
Kong-he terkejut, tanpa terasa ia meringkukkan
tubuhnya dengan lebih ringkas. Lapat-lapat Seng-in
dapat mendengar suara keresekan rumput alang-alang
itu, ia menduga si Kong-he mungkin bersembunyi di situ.
Segera ia mencobanya lagi dengan menghamburkan
Bwe-hoa-ciam, sekali ini ia menggunakan cara yang
istimewa, jarum-jarum itu melayang dulu ke samping,
lalu membalik. Dengan sendirinya Kong-he tidak mampu
menghindarkan diri, kontan bahu, lengan dan betisnya
terkena jarum-jarum lembut itu, rasanya sakit pedas dan
mengilukan.
Diam-diam Kong-he menjadi murka, pikirnya,
"Sedemikian kejamnya kau ini. Tapi kau masih mengaku
sebagai bibiku apa segala. Hm, andaikan kau betul
adalah bibiku juga tidak sudi aku ikut padamu." Maka
dengan menahan rasa sakit ia tetap diam saja. Meski
masih kecil, tapi ia cukup cerdik. Ia yakin Ki Seng-in pasti
belum tahu pasti tempat persembunyiannya, ucapannya
tadi yang mengatakan telah melihat tempat
persembunyiannya tentu hanya tipu muslihat saja. Sebab
kalau benar-benar sudah melihatnya mustahil wanita itu
tidak memburu ke situ dan menangkap dirinya.
Sama sekali Ki Seng-in juga tidak menduga bahwa
kecil-kecil cabe rawit, watak Kong-he ternyata
sedemikian bandelnya. Padahal kalau ada orang
bersembunyi di belakang batu itu, tentulah terkena

jarum-jarumnya dan tentu pula akan bersuara. Tapi


keadaan toh sunyi-sunyi saja, tampaknya bocah itu tidak
bersembunyi di situ. Sedangkan sisa jarumnya hanya
tinggal sedikit saja, dengan mendongkol ia lantas
membentak pula, "Apa benar-benar kau tidak mau
keluar? Biarlah aku menyalakan api untuk membakar
kau, ingin kulihat kau mampu bersembunyi lebih lama
lagi atau tidak?"
Tapi Kong-he juga sudah nekat. Biar terbakar mati
juga aku takkan keluar, demikian pikirnya.
Akhirnya Ki Seng-in menjadi murka juga, bentaknya,
"Setan cilik, biar kuhitung sampai tiga kali, bila kusebut
tiga masih juga kau belum keluar, segera aku akan
menyalakan api? Nah, satu... dua
Baru saja "tiga" hendak diucapkan, sekonyongkonyong
ada suara seorang telah mengejeknya, "Jian-jiukoan-
im, apa kau tidak malu menganiaya seorang anak
kecil?"
Seng-in terkejut, tertampak sesosok bayangan orang
sedang memburu tiba secepat terbang.
"Huh, kukira siapa, tak tahunya adalah Lok-lotoa,"
jengek Ki Seng-in. "Lok-lotoa, apa kau tidak salah ikut
campur urusan ini? Tahukah kau pernah apa bocah ini
dengan diriku?"
Orang yang dipanggil "Lok-lotoa" atau si tua she Lok
itu mengekeh tawa, sahutnya, "Mengapa aku tidak tahu?
Tentu saja aku tahu bocah itu adalah anak Li Bun-sing
dan Lo Ki-wan. Dahulu kau urung menjadi istri Li Bunsing
sehingga kau sedemikian bencinya kepada Lo Kiwan,
apa kau merasa tidak cukup membacok sekali di

mukanya dan sekarang kau ingin membikin celaka pula


anak kandungnya? Hm, hm, apa kau kira aku tidak tahu
pikiranmu? Kau pura-pura baik hati dan sengaja menipu
anak ini agar suka ikut padamu, habis itu dengan bebas
kau akan menyiksanya. Tapi untunglah keponakanku ini
cukup cerdik dan tidak kena ditipu olehmu!"
Sesungguhnya Kong-he juga tidak tahu apakah
ayahnya mempunyai seorang sahabat she Lok atau tidak,
yang terang pergaulan
Li Bun-sing memang sangat luas, sekarang orang she
Lok mengaku dia sebagai keponakan, apa yang dikatakan
juga beralasan, maka diam-diam Kong-he berdoa,
"Semoga arwah ayah di alam baka suka membantu
paman Lok mengalahkan bangsat wanita ini."
Kiranya ibu Kong-he memang benar bernama Lo Kiwan
dan di bagian pipi kiri di bawah telinga memang
juga terdapat sebuah bekas luka. Di waktu kecilnya,
Kong-he pernah bertanya pada sang ibu mengapa
terdapat bekas luka itu. Ibunya menjawab bahwa dia
jatuh terkena pisau di masa kecilnya. Tapi sekarang baru
diketahui luka itu adalah gara-gara perbuatan Ki Seng-in.
Keruan hal ini makin menambah rasa benci Kong-he,
pikirnya, "Kau telah melukai ibuku dan beliau berusaha
menutupi perbuatanmu ini, tapi sekarang kau malah
hendak menangkap aku pula. Hm, Hm, hatimu benarbenar
teramat kejam."
Dalam pada itu terdengar Ki Seng-in telah
mendamprat orang she Lok tadi dengan gusar, "Kau ...
kau benar-benar mengaco-belo belaka! Darimana Li Bunsing
bisa mempunyai seorang sahabat seperti kau? Tapi
tanpa malu-malu kau telah berani mengaku anaknya
sebagai keponakan?"
"Hahaha!" Lok-lotoa itu bergelak tertawa. "Karena Li
Bun-sing kenal kekejamanmu, sesudah dia menikah
dengan Lo Ki-wan lantas tak mau menggubris lagi
padamu. Tentang sahabat-sahabatnya masakah dia perlu
memberitahukan padamu? Hm, seumpama aku tiada
punya hubungan persaudaraan dengan Li Bun-sing, tapi
dia adalah ksatria yang terkenal di dunia ini, betapapun
aku tidak dapat tinggal diam membiarkan anaknya jatuh
di bawah cengkeramanmu! Apalagi aku memang pernah
mengangkat saudara dengan dia."
Ucapan Lok-lotoa ini kedengarannya ditujukan untuk
mendamprat Ki Seng-in, tapi sesungguhnya sengaja
diperdengarkan kepada Li Kong-he yang bersembunyi di
sekitar situ.
Lalu terdengar Ki Seng-in telah membantahnya,
"Persetan dengan ocehanmu itu! Huh, kau binatang Tokkak-
lok (menjangan bertanduk satu) yang bernama
busuk ini juga berani mengaku sebagai ksatria di
hadapanku? Huh, benar-benar tidak tahu malu!
Ocehanmu ini terang hanya ingin menipu dan merebut
anak Li Bun-sing saja."
"Huh, kau sendirilah yang mengukur dirimu sendiri
dengan diri orang lain," Lok-lotoa balas mendengus.
"Pendek kata, hendaklah kau lekas pergi dari sini, urusan
keponakanku ini selanjutnya kau tidak boleh ikut campur
lagi!"
"Lok-lotoa, jadi kau berani main gila padaku!" bentak
Ki Seng-in dengan gusar.

"Peduli kau adalah Jian-jiu-koan-im segala, habis mau


apa?" jawab Lok-lotoa dengan tertawa dingin.
"Ini, rasakan!" bentak Ki Seng-in. Seketika senjata
rahasia berhamburan laksana hujan ke arah Lok-lotoa.
Dia berjuluk Jian-jiu-koan-im atau si Dewi Koan-im
bertangan seribu, dengan sendirinya dalam hal
menggunakan senjata rahasia adalah lain daripada yang
lain.
Maka terdengarlah suara "tring-tring" yang ramai, Loklotoa
menggunakan sebatang senjata berbentuk aneh,
yaitu mirip tanduk menjangan yang bercabang-cabang,
ditambah kegesitan dan kelincahannya, seluruh senjata
rahasia Ki Seng-in seperti panah kecil, pisau, batu dan
lain sebagainya telah kena disampuk jatuh atau
dihindarkannya. Bahkan dengan terbahak-bahak Loklotoa
lantas mengolok-olok, "Hahaha! Kau adalah Dewi
Koan-im bertangan seribu, aku adalah Dewa sakti
bertubuh baja. Biarpun senjata rahasiamu sangat
banyak, tapi apa yang kau mampu perbuat atas diriku?!"
Habis berkata, sebelum Ki Seng-in menghamburkan
seluruh senjata rahasia, dengan cepat ia lantas
mendesak maju dan menyerang dari dekat agar lawan
tidak sempat menebarkan lagi senjata rahasianya.
Seng-in terkesiap dan diam-diam mengaku kecerdikan
"menjangan bertanduk satu" itu. Terpaksa ia
menimpukkan sisa senjata rahasianya, lalu melepaskan
cambuk dan pedangnya sambil membentak, "Baik. Boleh
kita coba-coba lagi dengan bersenjata!"
Kepandaian memainkan cambuk dan pedang secara
kombinasi adalah ilmu silat keluarga Ki yang tiada
bandingannya. Dengan cambuknya dia pernah

mengalahkan Leng Tiat-jiau, dengan pedang juga telah


mengalahkan Siau Ci-wan, sekarang cambuk dan pedang
dimainkan bersama, maka betapa lihainya dapatlah
dibayangkan.
Tapi senjata yang dipakai Lok-lotoa juga senjata yang
aneh, namanya "Lok-kak-jat" (garpu tanduk menjangan),
bentuknya memang mirip tanduk menjangan, tapi
sesungguhnyaa dibuat dari tanduk sejenis binatang
badak yang hanya terdapat di daerah Tibet, kerasnya
melebihi baja, pada ujungnya ditambahkan dua cabang
tajam sehingga kelihatannya lantas mirip tanduk
menjangan.
Senjata aneh ini memang serba guna, dapat dibuat
Tiam-hiat (menotok), dapat dipakai menusuk dan bahkan
dapat digunakan membacok bagai golok. Senjata aneh
ini digunakan untuk melawan cambuk dan pedang Ki
Seng-in menjadi sangat cocok dan sama kuatnya.
Karena tahu lawannya cukup lihai, maka Ki Seng-in
tidak berani ayal, begitu mulai lantas melancarkan
serangan-serangan kilat, cambuknya selalu mengincar
bagian kaki, sedangkan pedang selalu mengarah bagian
atas tubuh lawan.
"Permainan kombinasi yang jahat, hari ini aku benarbenar
bertambah pengalaman!" seru Lok-lotoa.
Berbareng senjata tanduk menjangannya terus memapak
ke atas.
"Brek", kebetulan cambuk Ki Seng-in menyabet di atas
tanduk yang bercabang itu, karena terlilit dan diseret
pula oleh Lok-lotoa, tanpa kuasa Ki Seng-in tertarik maju
dua tindak. Cepat pedangnya membacok sekalian,

"trang", dengan tepat kedua senjata beradu dan


meletikkan lelatu api.
Ternyata sedikitpun tanduk menjangan lawan tidak
berkurang apa-apa, sebaliknya pedang Ki Seng-in sendiri
yang gumpil sebagian, bahkan tangannya terasa pegal
kesemutan, keruan Seng-in terkejut. Cepat ia ganti
haluan, ia gunakan kelincahannya untuk menempur
lawan dan tidak mau beradu senjata lagi.
Sebenarnya bukanlah kepandaian Ki Seng-in kalah
tinggi, soalnya dia belum kenal senjata Lok-lotoa yang
aneh itu, maka begitu bergebrak ia lantas mengalami
kerugian senjata. Sebaliknya meski Lok-lotoa lebih ulet
dan senjatanya yang aneh itu lebih menguntungkan,
namun sepasang senjata cambuk dan pedang Ki Seng-in
juga tidak kalah lihainya, yang satu panjang dan yang
lain pendek, kombinasi permainan dua senjata yang
berbeda ini juga sangat bagus. Sebab itulah keadaan
menjadi sama kuat dan susah menentukan menang atau
kalah dalam waktu singkat.
Di tengah pertarungan sengit itu, mendadak Ki Sengin
bersuit panjang sekeras-kerasnya.
Lok-lotoa tertawa, katanya, "Jian-jiu-koan-im apa kau
berani memanggil lakimu ke sini? Apa kau tidak kuatir dia
akan minum cuka (cemburu) bila melihat putra Li Bunsing
ini? Menurut pendapatku, ada lebih baik kau lepas
tangan saja atas diri bocah ini. Kau toh masih muda,
masakah kuatir takkan melahirkan anak sendiri?"
"Dasar mulut kotor!" semprot Ki Seng-in. "Hm,
menurut pendapatku ada lebih baik kau lekas ngacir
dengan mencawat ekor saja! Kalau tidak, bila suamiku

sudah datang, mustahil menjangan tanduk satu


macammu ini takkan dipotong olehnya!"
Maksud Lok-lotoa mestinya ingin membikin Ki Seng-in
marah, dengan demikian dia dapat menundukkan
lawannya itu. Tak terduga Ki Seng-in tetap bisa
menguasai perasaannya dan tetap tenang, sebaliknya
Lok-lotoa sendiri malah menjadi gugup dan kena ditakuttakuti
tentang kedatangan suami Ki Seng-in nanti.
Kiranya di masa mudanya Ki Seng-in pernah
mengalami patah hati dalam soal asmara sehingga
enggan untuk kawin. Sesudah usianya melampaui 30
barulah dia mulai merasa kesepian dan ingin mencari
seorang teman hidup, dengan demikian barulah dia
menerima lamaran seorang bandit terkenal.
Perkawinan mereka sampai kini belum ada dua tahun
lamanya, tapi di dunia Kangouw sudah tersiar bahwa
kehidupan suami-istri mereka kurang rukun, soalnya
adalah suaminya terlalu cemburu dan merasa sirik karena
sang istri tetap terkenang kepada kekasihnya yang lama,
yaitu Li Bun-sing.
Lok-lotoa menjadi sangsi, apabila Ki Seng-in tidak
mendapat persetujuan suaminya, rasanya tidak mungkin
berani mencari putra Li Bun-sing ini? Wah, celaka, boleh
jadi suami istri ini'sudah rukun kembali. Suami Ki Seng-in
terkenal sangat keji dan gapah di kalangan Hek-to, maka
Lok-lotoa agak jeri padanya.
Karena gelisah tak bisa mengalahkan Ki Seng-in
dengan cepat, pula jeri kepada kedatangan suami Sengin,
coba kalau bukan urusannya terlalu penting tentu dia
sudah melarikan diri. Tapi putra Li Bun-sing ini sudah
menjadi tekadnya harus direbut, kesempatan sekarang

adalah sangat bagus karena bocah itu bersembunyi di


sekitarnya, dengan sendirinya ia tidak rela tinggal lari.
Setelah berpikir sekejap, segera ia berteriak,
"Keponakan He yang baik, lekas kau lari saja! Tidak nanti
kubiarkan kau ditangkap dan disiksa orang jahat ini, biar
jiwaku melayang juga aku akan menyelamatkan kau!"
Perasaan Li Kong-he menjadi terharu, tanpa pikir lagi
ia lantas melompat keluar dari tempat persembunyiannya
sambil berteriak, "Paman Lok, jika mau lari biarlah kita
lari bersama saja!"
"He-ji, orang ini adalah penipu, jangan mau kau
masuk perangkapnya!" seru Ki Seng-in.
Tapi sekarang Kong-he sudah tidak mau percaya
kepada Seng-in lagi, pikirnya, "Kau telah menyerang aku
dengan Bwe-hoa-ciam, hendak membakar aku pula
dengan api, sekalipun kau benar-benar adalah familiku
yang lebih tua juga aku tidak sudi mengakui kau lagi."
Dan baru saja Ki Seng-in hendak berseru pula, dalam
pada itu Kong-he sudah lantas menerjang ke arahnya,
bocah ini melolos golok, dengan gerakan 'Tiat-niu-kengte'
(kerbau baja meluku sawah), kontan ia menabas
kedua kaki Ki Seng-in. Perawakan Kong-he masih kecil,
memang paling cocok kalau menyerang bagian bawah
musuh.
Jika dalam keadaan biasa sudah tentu Ki Seng-in tidak
pandang sebelah mata kepada seorang anak kecil. Tapi
sekarang dia sedang melabrak Lok-lotoa dengan sengit,
bahkan ia sendiri yang terdesak, ditambah lagi bocah
yang cerdik dan tangkas ini, keruan ia meniadi
kelabakan.

Dengan mendongkol Seng-in terpaksa membentak


pula, "He-ji, lekas mundur! Jangan kau paksa aku
melukai kau!"
Kong-he tambah gemas, jawabnya kontan,
"Memangnya sedari tadi kau juga ingin membikin celaka
padaku!"
Sebagai putra seorang ksatria yang berjiwa luhur,
Kong-he menyangka si Lok-lotoa itu benar-benar ingin
menyelamatkan dia dengan mati-matian, maka ia pun
tidak dapat tinggal diam. Walaupun diketahui setiap
serangan Ki Seng-in dapat membinasakan dia, tapi hal ini
sudah tak terpikir lagi olehnya.
Begitulah Ki Seng-in telah menggeser dengan cepat ke
samping, sebelah kakinya terus menendang. Tujuannya
hendak menendang tangan Kong-he yang memegang
golok itu supaya senjatanya terlepas.
Tak terduga Kong-he masih terus menyeruduk saja
bagai banteng kecil tanpa menghiraukan tendangan
Seng-in, dengan cepat tabasan Kong-he tetap diarahkan
ke betis lawannya. Dengan demikian ujung kaki Ki Sengin
menjadi tepat menjurus ke batok kepala anak itu,
kalau tendangan ini diteruskan tentu kepala kecil itu akan
pecah berantakan.
Hubungan Ki Seng-in terhadap Kong-he adalah sangat
ruwet. Bocah itu adalah anak lawan asmaranya, yaitu Lo
Ki-wan, tapi juga putra kekasihnya (Li Bun-sing).
Lantaran patah hati, maka Seng-in baru menikah tatkala
usianya sudah lebih 30 tahun, tapi pernikahannya
ternyata tidak bahagia sehingga membuat eksentrik
pikirannya, dia benci kepada lawan asmaranya dan juga
benci kepada kekasihnya, tapi betapapun dalam lubuk

hatinya masih tersisa rasa cintanya kepada kekasih yang


pertama itu.
Karena perasaan cinta dan bencinya kepada ayah-ibu
Kong-he itulah, maka perasaannya kepada Kong-he juga
sangat ruwet. Tapi betapapun tidak nanti dia membikin
celaka jiwa seorang anak kecil sebagaimana dikatakan
Lok-lotoa tadi.
Demikianlah tendangan Ki Seng-in tadi menjadi urung
diteruskan, terpaksa ia menghindari saja, dengan cepat
ia miringkan tubuh terus berputar ke belakang sehingga
sebelah kaki yang mestinya sudah melayang ke depan itu
ditarik kembali mentah-mentah.
Gerakan Ki Seng-in itu sudah tentu sangat memakan
tenaga. Kesempatan bagus ini tidak dilewatkan oleh Loklotoa,
senjata Lok-kak-jat kontan menjojoh ke depan.
Segera Ki Seng-in hendak menangkis, namun terlambat
sedikit, lengannya tertusuk dan darah bercucuran.
"Hahaha!" Lok-lotoa terbahak-bahak. "Jian-jiu-koanim,
meski kau terkenal sangat kejam, tapi aku Lok-lotoa
selamanya mengingat persahabatan, sekarang aku
mengampuni jiwamu, bolehlah kau pergi saja dan
merawat lukamu itu."
Padahal dia sendiri kuatir akan kedatangan suami Ki
Seng-in, mumpung sekarang lawannya sudah terluka,
setelah membual sedikit, segera ia tarik Li Kong-he terus
dibawanya lari.
Ki Seng-in memaki-maki dengan gusar, tapi tak bisa
berbuat apa-apa, cepat ia mengobati lukanya dan duduk
untuk mengaso. Untung lukanya tidak parah, tapi
lengannya sudah terasa kaku dan susah bergerak lagi.

Tengah uring-uringan sendiri, tiba-tiba Seng-in


mendengar suara kuda meringkik, menyusul ada suara
orang turun dari lereng gunung sana. Saking gemasnya
terus saja Ki Seng-in memaki, "Laki bangsat, baru
sekarang kau datang! Aku sudah kecundang, kau tahu
tidak? Hayo, lekas kau mengejar, bekuk jahanam Tokkak-
lok itu!?" demikianlah ia sangka pendatang itu pasti
suaminya.
Tak terduga suara seorang anak dara lantas
menjawabnya dengan mendengus, "Huh, siapa urus apa
menjangan tanduk satu atau kambing kaki tiga? Aku
hanya ingin tanya, dimanakah putra Li Bun-sing itu?"
Kiranya pendatang itu bukanlah suaminya, tapi adalah
Kang Hiau-hu.
Karena Kang Hiau-hu menunggang kuda Jik-liong-ki,
maka jalannya menjadi sangat cepat. Ketika sampai di
jalan pegunungan itu, di malam yang gelap dan sunyi itu
sayup-sayup didengarnya di bawah lembah seperti ada
suara beradunya senjata, maka ia lantas menyelidiki ke
arah situ.
Di tengah malam yang gelap, hanya bintang-bintang
berkelip-kelip di cakrawala, untunglah sejak sejak kecil
Hiau-hu sudah terlatih sehingga ketajaman matanya
boleh diandalkan biarpun di waktu malam. Remangremang
ia telah dapat melihat pihak lawan adalah
seorang wanita, perawakan dan mukanya juga
mendekati apa yang diceritakan Ci-wan, maka segera ia
membentak.
Dari suaranya Ki Seng-in dapat menduga Hiau-hu baru
berusia belasan tahun saja, tak terduga olehnya bahwa
orang keluarga Kang yang mengejarnya itu adalah

seorang anak ingusan saja. Ia tidak tahu bahwa anak


dara itu adalah putri Kang Hay-thian.
Memangnya Ki Seng-in lagi mendongkol karena habis
mengalami kekalahan dari Lok-lotoa, segera ia
mendengus dan menjawab, "Hm, siapa kau? Hanya
seorang budak ingusan seperti kau juga berani ikut
campur urusan orang lain?"
Hiau-hu pertama kali keluar rumah dan ingin sekali
mencari kesempatan buat menguji kepandaiannya, ia
pikir kalau nama ayahnya disebut tentu pihak lawan akan
takut untuk bergebrak dengan dirinya. maka ia lantas
menirukan lagak orang Kangouw dan berkata, "Buat apa
kau urus siapa diriku? Manusia sudah seharusnya ikut
campur urusan manusia! Kau bangsat wanita busuk ini
telah menculik anak orang. Sekarang aku sengaja
menuntut keadilan. Nah, kemana perginya anak yang
kau culik itu? Lekas katakan terus terang jika kau tidak
ingin kulabrak."
Ki Seng-in menjadi murka, tanpa pikir lagi cambuknya
lantas menyabet secepat kilat ke arah Hiau-hu.
Keruan anak dara itu kaget. Dengan kepandaiannya
mestinya Hiau-hu tidak sukar menghindarkan serangan
itu. Tapi karena dia kurang pengalaman, pula tidak
menduga-duga, maka ia menjadi kelabakan, cepat ia pun
hendak berkelit, namun sudah sedikit terlambat,
badannya telah tersabet cambuk sehingga baju bagian
punggung robek. Untung dia memakai baju kutang
wasiat dari ibunya sehingga tidak sampai terluka.
"Nah, budak busuk, sudah tahu rasa belum? Lekas
enyah!" damprat Ki Seng-in pula.

"Kurangajar! Kau berani menyerang aku?" bentak


Hiau-hu dengan gusar.
"Memangnya kau mau apa? Ini, rasakan lagi!" jengek
Seng-in sambil mencambuk lagi.
Tapi sekali ini Hiau-hu sudah siap siaga, sekonyongkonyong
sinar tajam berkelebat, pedang pusakanya, Cayin-
pokiam sudah terlolos keluar. "Sret", kontan ujung
cambuk musuh terpapas sebagian.
"Pedang bagus! Serahkan padaku saja!" seru Ki Sengin.
Berbareng cambuknya berputar terus menyambar
pula ke pergelangan tangan Kang Hiau-hu. Berbareng
ujung cambuk menjengkit untuk menotok urat nadi
sasarannya itu.
Permainan cambuk Ki Seng-in memang sangat lihai,
menotok Hiat-to dengan ujung cambuk lebih-lebih adalah
kepandaian tunggal keluarganya, dengan jurus serangan
'Leng-coa-jiau-wan' (ular hidup melilit tangan) yang lihai
ini ia yakin pedang anak dara itu pasti dapat
dirampasnya.
Tak tersangka mendadak Kang Hiau-hu telah
menggunakan langkah yang aneh untuk menggeser ke
samping sehingga cambuk Ki
Seng-in ini hanya terpaut beberapa senti saja dari
sasarannya. Bahkan dimana sinar pedang berkelebat
pula, tahu-tahu ujung cambuk Ki Seng-in kembali
terpapas sepotong kecil lagi.
Kiranya ilmu silat Hiau-hu yang sebenarnya adalah
lebih bagus daripada Ki Seng-in, soalnya dia belum
berpengalaman di medan pertempuran, walaupun
sebelumnya ia pun sering bertanding untuk menghalau

tamu-tamu yang berkunjung kepada ayahnya, tapi


pertandingan demikian itu ada batasnya, pula para tamu
juga sungkan-sungkan mengingat dia adalah putri Kang
Hay-thian. Maka pertarungan dengan musuh yang
sesungguhnya sekarang ini adalah untuk pertama
kalinya. Sebab itulah permulaan tadi dia telah kena
dicambuk musuh, tapi lama kelamaan ia pun dapat
mengikuti keadaan dan bertempur dengan tenang.
Sebaliknya Ki Seng-in sudah berpengalaman, keji dan
licin pula. Begitu melihat gelagat jelek, segera tubuhnya
berputar, "tarr", cambuk berbunyi, tapi tidak lantas
disabetkan.
Dalam keadaan gelap, Hiau-hu mendengar suara
cambuk itu datang dari sebelah kiri, tanpa pikir lagi
pedang pusaka lantas ditabaskan ke kiri.
Tak terduga bahwa di sinilah letak kelihaian permainan
cambuk Ki Seng-in. Dia sengaja membunyikan cambuk di
sebelah kiri, begitu pedang Kang Hiau-hu terpancing dan
digunakan menangkis, mendadak cambuknya menyendal
ke atas terus menyabet ke bahu kanan anak dara itu.
Karena pedang Hiau-hu sudah telanjur ditabaskan ke
sebelah kiri, sesaat susah untuk ditarik kembali, "plak",
tanpa ampun lagi bahunya tercambuk sekali pula.
Biasanya Hiau-hu sangat dimanjakan, sekarang
berulang-ulang kena dihajar orang, keruan ia naik pitam,
bentaknya dengan murka, "Kurangajar! Kau berani
mencambuk aku? Akan kubunuh kau."
Berkat baju kutang wasiat yang dia pakai di bagian
dalam, biarpun dicambuk beberapa kali lagi juga takkan

terluka. Maka tanpa menghiraukan resiko apa-apa lagi,


terus saja ia menubruk maju.
Selama malang melintang di dunia Kangouw belum
pernah Ki Seng-in melihat lawan yang nekat sedemikian
rupa, apalagi Kang Hiauhu menggunakan pedang
pusaka, kalau sampai terkena senjatanya tentu bisa
runyam. Maka Ki Seng-in sendiri menjadi gugup juga
menghadapi serudukan Hiau-hu itu. Segera ia bermaksud
angkat langkah seribu saja.
Akan tetapi Ginkang Kang Hiau-hu lebih tinggi pula
dari dia, karena dia ingin melarikan diri, hal ini
membuatnya lebih celaka lagi. Walaupun cambuknya
menyabet untuk menghalang-halangi kalau-kalau Hiauhu
menubruk maju pula, tapi tahu-tahu sinar pedang
anak dara itu sudah menyambar ke mukanya.
Sungguh kaget Ki Seng-in tidak kepalang, untuk
menghindar terang tidak keburu lagi. Terpaksa ia berbuat
sebisanya dengan sedikit menganggukkan kepalanya.
Pada saat jiwa Ki Seng-in terancam itulah, tiba-tiba
terpikir oleh Hiau-hu, "Meski jahanam wanita ini pantas
dihukum, tapi asal-usulnya belum terang bagiku, bila aku
membunuhnya begini saja mungkin ayah akan marah
padaku."
Waktu itu, bila ujung pedangnya terus menurun ke
bawah tentu jiwa Ki Seng-in akan amblas. Tapi karena
pikiran demikian itulah, sekonyong-konyong ujung
pedang Hiau-hu berputar terus menabas ke samping
sehingga sebagian rambut Ki Seng-in terpapas,
kepalanya menjadi botak.

"Hahaha!" Hiau-hu bergelak tertawa. "Kau bangsa


wanita ini terlalu banyak melakukan kejahatan, maka
sekarang aku telah mencukurkan rambutmu, bolehlah
kau menjadi Nikoh (paderi wanita) saja untuk bertobat."
Dasar masih anak-anak, sesudah memapas rambut
lawan Hiau-hu lantas menertawainya. Ia lupa betapa
kejam pihak lawannya itu. Maka belum lenyap
ucapannya, dengan murka cambuk Ki Seng-in sudah
lantas menyabet, betis Hiau-hu tepat dimakan.
Betis adalah tempat yang tak terlindung oleh baju
kutang pusaka, keruan Hiau-hu menjerit dan berjingkrak
kesakitan.
"Hm, ingin kulihat apa kau masih berani main garang?
Biar kuhajar kau sampai merengek minta ampun!" jengek
Ki Seng-in, menyusul cambuknya berputar-putar dan
menyambar ke arah kaki Hiau-hu pula.
Rupanya Ki Seng-in sekarang telah menduga, pada
tubuh Kang Hiau-hu tentu memakai sesuatu benda
pelindung sehingga beberapa kali cambuknya tidak dapat
membuat anak dara itu terluka apa-apa, maka sekarang
ia lantas ganti siasat, yang selalu diincar adalah bagian
kaki saja.
Sudah tentu Hiau-hu juga berkaok-kaok gusar,
"Kurangajar! Aku sengaja mengampuni kau, sebaliknya
kau malah tidak tahu diri. Sekali ini aku harus membunuh
kau!"
Segera ia mainkan Si-mi-kiam-hoat dari Thian-san-pay
yang lihai. Meski usia Hiau-hu masih muda, tapi sejak
kecil yang dilatihnya adalah Lwekang yang bagus, tenaga

pukulannya kuat, sekalipun kaum jantan di kalangan


persilatan juga jarang yang dapat menandingi dia.
Kekuatan Ki Seng-in sesungguhnya juga tidak lemah,
tapi sebelah tangannya tadi sudah dilukai Lok-lotoa.
Tinggal tangan kiri yang hanya menggunakan cambuk
saja, jadi kepandaiannya yang diandalkan, yaitu
permainan kombinasi cambuk dan pedang tak dapat
digunakan lagi. Sekarang di bawah serangan Hiau-hu
yang gencar, ia menjadi terdesak dan cuma sanggup
menangkis saja.
Karena kaki Kang Hiau-hu sudah tercambuk sehingga
terluka ringan juga, dengan sendirinya gerak-geriknya
menjadi kurang gesit pula. Namun begitu tidaklah mudah
bagi Ki Seng-in untuk melarikan diri di bawah kurungan
sinar pedangnya.
Makin lama makin payah keadaan Ki Seng-in, diamdiam
ia mengeluh, "Sungguh sialan! Belum dapat
membalas sakit hati tusukan Lok-lotoa tadi, sekarang aku
terjungkal pula di tangan seorang bocah ingusan. Aneh
juga, siapakah dara ingusan ini, mengapa begini lihai?"
Sampai di sini Ki Seng-in sudah mulai meragukan diri
Kang Hiau-hu dan menduga besar kemungkinan adalah
putri Kang Hay-thian. Tapi selamanya dia berwatak
angkuh dan tinggi hati, sekarang rambutnya telah
digunduli seorang anak dara, tentu saja dia tidak rela
mengaku kalah.
Begitulah tengah Ki Seng-in merasa gelisah dan serba
susah, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang lakilaki,
"Bagaimana, apa terjadi sesuatu kesukaran? Bagus,
biarlah aku saja yang berkenalan dengan sahabat lihai
ini!"

Ki Seng-in sudah mandi keringat dan napas tersengalsengal,


ia sudah tak lancar bicara lagi, terpaksa ia
berseru menjawab dengan terputus-putus, "Lelaki bang...
bangsat, le... lekas kemari!"
Maka tahulah Hiau-hu bahwa pihak lawan telah
kedatangan bala bantuan, tapi ia pun tidak gentar,
dengan suara melengking ia mengejek, "Hah, kau adalah
suami perempuan ini, ya? Hm, binimu adalah bangsat
wanita, rasanya kau pun setali tiga uang. Baiklah, lekas
datang kemari jika kau pun ingin merasakan betapa
lihainya pedangku!"
Didamprat oleh Kang Hiau-hu, bukannya marah,
sebaliknya pendatang itu malah tertawa, "Hahaha! Adik
In, sekarang ada orang memaki kau sebagai bangsat
wanita juga. Sekali ini kau barulah tahu rasa. Maka lain
hari janganlah kau merasa menyesal karena bersuamikan
seorang bandit!"
Kiranya Ki Seng-in itu berasal dari keluarga persilatan,
sesudah dia menikah dengan Utti Keng, seorang tokoh
kalangan Lok-lim (kaum bandit), dengan sendirinya ia
tidak sudi membantu suami, sebaliknya membujuk sang
suami agar cuci tangan dan kembali ke jalan yang baik.
Rupanya ini pula yang merupakan salah satu selisih
paham di antara suami-istri ini.
Dalam pada itu Utti Keng sudah mendekat. Ia menjadi
terheran-heran melihat lawan sang istri hanya seorang
anak dara yang masih hijau. Semula ia menyangka
adalah tokoh persilatan, makanya dia berseru ingin
belajar kenal.
Ki Seng-in merasa lega juga dengan kedatangan sang
suami. Tapi baru saja ia hendak menegur, "sret",

mendadak pedang Hiau-hu telah menabas kutung


sebagian cambuknya lagi sehingga cambuk itu kini
tinggal setengahnya saja.
Sebaliknya Kang Hiau-hu tidak mau ayal-ayalan lagi
karena pihak lawan kedatangan bala bantuan. Di tengah
berkelebatnya sinar pedangnya mendadak ia
membarengi pula dengan pukulan.
Saat itu Ki Seng-in belum lagi lenyap rasa kagetnya,
ketika mendadak merasa angin pukulan lawan tahu-tahu
sudah menyambar tiba, tanpa pikir lagi ia memelompat
mundur sekuatnya. Memangnya ia sudah payah,
sekarang luka lengannya pecah lagi dan mengeluarkan
darah, sakitnya tidak kepalang, tak tertahan lagi ia jatuh
tersungkur.
Namun hampir pada saat yang sama Utti Keng juga
sudah melancarkan pukulan untuk menangkis serangan
Hiau-hu. "Brak", kedua tenaga pukulan kebentur. Diamdiam
Utti Keng tergetar dan merasakan betapa hebat
tenaga anak dara itu. Pantas adik In mengalami
kekalahan, demikian pikirnya.
Sementara itu Utti Keng telah dapat melihat keadaan
sang istri yang serba runyam itu, kepalanya kelihatan
botak, sebagian rambutnya terpapas, bajunya belepotan
darah pula, agaknya tidak ringan lukanya. Keruan Utti
Keng kaget dan gusar pula, disangkanya Kang Hiau-hu
yang melukai sang istri. Dengan murka terus saja ia
menghantam dengan kuat sambil membentak, "Anak
kecil sudah sedemikian kejinya, jangan kau harap akan
pengampunanku!"
"Brak", kembali kedua tangan beradu. Betapapun
Kang Hiau-hu masih terlalu muda dan kalah ulet.

Seketika ia merasa dadanya sesak dan mundur dua-tiga


tindak barulah menenangkan diri pula.
"Ini, rasakan lagi!" bentak pula Utti Keng, menyusul ia
menubruk maju dan menghantam lagi.
Hiau-hu menjadi kuatir, "Lelaki sedemikian bengisnya,
kalau aku tidak membunuhnya boleh jadi aku yang akan
dibunuh olehnya!" Cepat ia berputar ke samping dengan
langkah Thian-lo-poh-hoat, menyusul pedangnya lantas
menyerang tiga kali beruntun.
Yang digunakan Hiau-hu adalah 'Tui-hong-kiam-hoat',
yang terkenal dari Thian-san-pay, ilmu pedang itu
mengutamakan kecepatan dan ketangkasan, seketika
sinar pedang lantas bertebaran bagai berpuluh-puluh
pedang yang menusuk sekaligus ke arah lawan.
Biar betapapun tabahnya Utti Keng, mau tak mau ia
menjadi gugup menghadapi serangan luar biasa itu.
Cepat ia menggeser mundur, beruntun ia" pun
melontarkan pukulan-pukulan dahsyat sehingga pedang
Kang Hiau-hu terguncang melenceng.
Dengan mundurnya Utti Keng, maka sempatlah Hiauhu
melonggarkan napasnya yang sesak tadi. Ia sadar
kekuatan lelaki itu lebih unggul sedikit daripada dirinya,
namun dengan mengandalkan pedang pusakanya ia
masih terus menyerang dengan gagah berani.
Ada dua macam barang yang paling disukai orang
persilatan, yaitu kuda bagus dan pedang mestika. Jikliong-
ki milik Hiau-hu sudah dilihat Utti Keng ketika di
atas lereng tadi. Sekarang dilihatnya pula pedang anak
dara itu ternyata jauh lebih bernilai daripada kuda bagus,
maka timbul seketika dalam pikiran Utti Keng untuk

merebut kuda dan merampas pedang, malahan sekaligus


anak dara ini dapat dibunuh untuk membalas sakit hati
sang istri.
Begitulah, karena kedua pihak sama-sama timbul
pikiran membunuh, maka pertarungan bertambah sengit.
Pada suatu ketika dengan nekat Hiau-hu mendadak
menusuk sambil membentak, "Ini, kau pun rasakan
pedangku!" Dengan cepat pedangnya menusuk ke dada
lawan.
Saat itu Ki Seng-in sudah dapat menenangkan diri dan
sedang membalut lukanya, ia sampai menjerit kaget
demi nampak sang suami terancam bahaya.
Tak terduga justru Utti Keng mengharapkan serangan
Hiau-hu itu. Ketika ujung pedang anak dara itu sudah
menyambar tiba, secepat kilat ia menggeser ke samping,
berbareng terdengarlah suara "plok" sekali, tahu-tahu
Utti Keng sudah bersenjatakan sesuatu. Kiranya dia telah
melepaskan sabuknya dan digunakan sebagai cambuk
untuk menangkis, bahkan batang pedang Hiau-hu lantas
terlilit oleh sabuk yang lemas itu.
"Serahkan pedangmu!" bentak Utti Keng, berbareng ia
terus menarik.
Hiau-hu juga kaget, tapi ia pun balas membentak,
"Jangan harap!" Berbareng sebelah tangannya terus
memotong ke tengah sabuk lawan.
Tebasan tangan Hiau-hu ini tidak kalah daripada pisau
yang tajam, kalau kena tentu sabuk lawan akan terputus,
tapi tenaga dalam Utti Keng terlebih kuat daripada anak
dara itu, dengan imbangan tenaga kedua pihak, sabuk

Utti Keng tidak sampai tertabas putus, tapi pedang Kang


Hiau-hu juga dapat ditarik kembali.
Diam-diam Utti Keng mengakui kegesitan anak dara
itu. Tapi segera ia tertawa dan berseru, "Apa yang sudah
kuincar masakah dapat kau elakkan? Lihatlah dalam tiga
puluh jurus pasti akan kurebut pedangmu! Adik In,
sebentar pedang anak dara ini akan kuberikan padamu
sebagai hadiah!"
Ia telah mengambil keputusan akan menghabiskan
dulu tenaga Hiau-hu, maka ia menaksir dalam 30 jurus
pasti akan tercapai tujuannya, yaitu merebut pedang
anak dara itu.
Segera Utti Keng mempergencar tenaga pukulannya,
sabuk di sebelah tangannya juga diputar sebagai cambuk
seperti sang istri.
Walaupun Hiau-hu berpedang pusaka, tapi tenaga dan
pengalamannya jauh di bawah lawannya. Maka dalam
waktu tidak terlalu lama daya serangan pedangnya
menjadi tak bisa berkutik di bawah tekanan sabuk Utti
Keng. Bahkan hendak menabas sabuk itupun tidak
gampang.
Begitulah, mendadak Utti Keng membentak dengan
suara mengguntur sambil melontarkan pukulan kilat.
Dasar Hiau-hu baru pertama kali ini keluar rumah, sudah
tentu ia belum pernah menghadapi serangan lihai
dengan suara gertakan demikian, ia menjadi gugup.
Menurut taksiran Utti Keng, anak dara itu paling
banyak akan dapat menangkis tiga puluh jurus
serangannya, dan ternyata benar, belum lagi 36 jurus
ilmu pukulan 'Thian-cing-ciang-hoaf miliknya dimainkan

habis, Hiau-hu sudah kewalahan karena getaran tenaga


pukulan disertai gertakan tadi, kontan Hiau-hu
menumpahkan darah segar.
"Serahkan pedangmu atau tidak?" bentak Utti Keng
pula.
Namun Hiau-hu bukanlah anak pengecut, wataknya
juga keras, biarpun tubuhnya sudah sempoyongan tetap
ia pantang menyerah. Ketika tubuhnya sudah hampir
jatuh, ia masih sempat menahaskan pedangnya ke
depan. Saat itu Utti Keng lagi menubruk maju, karena tak
menduga, hampir saja kedua kakinya tertabas. Untung
dia masih keburu memelompat ke atas, tapi tidak urung
sebelah tungkak kakinya juga terserempet sehingga luka
lecet, coba telat sedetik saja tentu kakinya sudah
buntung.
Utti Keng menjadi gusar, sabuknya terus menyabet
sehingga pergelangan tangan Kang Hiau-hu tercambuk
dan berdarah, saking sakitnya pedang lantas terlepas
dari cekalan dan tubuhnya juga tersungkur.
Sambil menjemput pedang anak dara itu, Utti Keng
berkata dengan mendengus, "Hm, keji betul budak ini.
Biarlah kau sendiri merasakan betapa enaknya
pedangmu ini!" Segera ia acungkan ujung pedang ke
tenggorokan Kang Hiau-hu, mirip kucing
mempermainkan tikus yang ditangkapnya, ia bermaksud
menggoda anak dara itu sebelum membunuhnya.
"Nanti dulu, Toako!" tiba-tiba Ki Seng-in meneriaki
sang suami.
Utti Keng tertegun, lalu menjawab dengan tertawa,
"Adik In, kenapa kau menjadi menaruh kasihan padanya?

Aku justru hendak membunuhnya untuk membalaskan


sakit hatimu!"
Sementara itu Seng-in sudah selesai membalut
lukanya sendiri, dengan napas masih terengah-engah ia
memburu maju, katanya, "Budak cilik ini mungkin
bukanlah sembarang orang, hendaklah Toako jangan
membunuhnya dulu." Lalu ia membangunkan Hiau-hu
dan bertanya padanya, "Siapa namamu dan siapa orang
tuamu? Lekas katakan!"
Luka Hiau-hu cukup berat, dalam keadaan setengah
tak sadar ia berpikir, "Toh aku sudah tertawan dan
takkan hidup lagi. Betapapun aku takkan mengatakan
nama ayah agar nama beliau tidak tercemar!" Karena itu
hanya diam saja.
"Ai, pukulan Toako tadi tidaklah enteng! Lihatlah
apakah dia tidak perlu diberi obat lebih dulu?" demikian
kata Seng-in.
Rupanya Utti Keng lantas teringat sesuatu, segera ia
pun berkata, "Apakah... apakah kau kuatir dia adalah ..."
"Ya, besar kemungkinan adalah putri Kang Hay-thian,"
ujar Seng-in.
"Hahaha! Apa kau takut aku tidak berani menghadapi
lawan sebesar itu?" tanya sang suami dengan tertawa.
Namun tidak urung dalam hati menjadi jeri juga demi
mendengar anak dara itu besar kemungkinan adalah
putri Kang Hay-thian.
"Soalnya bukan takut atau tidak, Toako," kata Seng-in
dengan suara halus. "Tapi musuhmu sudah cukup
banyak, buat apa mesti menambah seorang musuh
pula?"

Utti Keng sebenarnya adalah seorang bandit yang


tidak kenal apa artinya ampun. Tapi sekarang demi
mendengar ucapan sang istri yang lemah lembut itu,
hatinya menjadi syur, seketika ia berubah seperti seekor
kucing yang jinak, ujung pedang lantas diturunkan, lalu
katanya dengan suara perlahan, "Adik In, kiranya di
dalam hatimu juga selalu memperhatikan
keselamatanku."
"Kalau tidak memperhatikan kau, habis
memperhatikan siapa?" sahut Ki Seng-in dengan sorot
mata yang sayu menawan, suaranya seakan-akan
mengomel dan setengah aleman.
"O, kiranya kau hanya memikirkan anak itu, karena ...
karena dia adalah putra Li Bun-sing," kata Utti Keng
dengan tersenyum getir.
"Li Bun-sing sudah mati, apa yang sudah lalu biarlah
hapus seluruhnya, apalagi ia pun tiada permusuhan apaapa
dengan kau. Apakah kau ... kau ..." sampai di sini ia
menjadi tidak enak untuk meneruskan.
Tapi sang suami lantas mengatakannya, "Bukannya
aku cemburu kepada orang yang sudah mati, aku hanya
kuatir kalau ... kalau bayangan Li Bun-sing masih tetap
tumbuh di lubuk hatimu."
Air muka Ki Seng-in berubah mendadak, alisnya
menjengkit, katanya dengan tidak senang, "Toako, jika
kau tidak dapat mempercayai dan memaafkan aku,
sampai seorang anak kecil juga tidak dapat kau terima,
maka biarlah aku tak menginginkannya lagi, toh anak itu
juga sudah dirampas orang ..." Bicara sampai di sini
mendadak ia memuntahkan darah segar.

Cepat Utti Keng merangkul bahu sang istri, katanya,


"Adik In, janganlah marah, dengarkan dulu penjelasanku.
Sesudah peristiwa kematian Li Bun-sing, waktu kau
meninggalkan aku, segera aku mengetahui kau hendak
pergi menolong putranya itu. Terus terang saja, pada
masa hidup Li Bun-sing aku memang selalu cemburu
padanya. Tapi sesudah ia meninggal, diam-diam aku pun
telah berpikir bahwa betapapun dia adalah seorang
pahlawan yang kukagumi, sekarang putranya tinggal
sebatang kara, masakah aku meski bersikap bermusuhan
dengan seorang anak kecil yang harus dikasihani?
Padahal kalau kau bicara terang-terang padaku, juga aku
akan membantu kau menolong anak itu. Sesudah kau
meninggalkan rumah, diam-diam aku lantas menguntit
dari belakang, tapi aku pun tidak ingin diketahui olehmu,
yang kukuatirkan ialah terjadi apa-apa atas dirimu."
Seng-in menjadi terharu, dari marah berubah menjadi
girang. "Ya, aku pun sudah tahu jejakmu, kalau tidak,
masakah tadi aku berseru memanggil kau?" katanya
dengan tertawa.
Utti Keng menggunakan lengan bajunya untuk
mengusap darah yang menetes di sudut mulut sang istri,
lalu katanya pula, "Sebabnya aku tidak menampakkan
diri ialah ingin kau sendiri yang menyelamatkan
bocah itu agar tercapailah maksud tujuanmu. Aku sudah
mengambil keputusan, asal di kemudian hari kau bicara
terus terang padaku, tentu aku akan menganggap bocah
itu sebagai anak kandungku. Jika toh kau tidak percaya
padaku dan diam-diam mengatur hidup anak itu, maka
aku pun akan pura-pura tidak tahu."
Ki Seng-in menjadi terharu dan merasa malu pula,
pikirnya, "Sungguh tidak nyana bahwa sesungguhnya

Toako sedemikian baik padaku. Padahal aku pun tidak


menyayangi bocah itu sebagaimana diduganya. Aku
benci kepada ibunya, maka di antara kasih-sayangku
padanya juga ada rasa dendam dan benci. Ya, dadaku
sesungguhnya tidak selapang Toako."
Karena rasa pedih hatinya, tanpa terasa Seng-in
menghela napas.
Utti Keng menyangka sang istri merasa berduka
karena kehilangan anak yang hendak dicarinya itu, cepat
ia bertanya, "Siapakah yang telah merebut anak itu? Aku
pasti akan merampasnya kembali bagimu."
"Lok-lotoa yang melakukannya, luka di lenganku
inipun adalah perbuatannya," sahut Seng-in.
"Lok-lotoa?" Utti Keng menegas dengan heran. "Aneh,
ia pun ikut campur urusan ini? Bahkan berani melukai
kau. Semula aku mengira adalah perbuatan budak liar
inilah."
Bicara sampai di sini barulah mereka ingat bahwa
masih ada seorang Kang Hiau-hu yang menggeletak di
situ, dengan menjinjing pedangnya Utti Keng lantas
berkata, "Biar kubereskan budak busuk ini, baru nanti
kita mencari Lok-lotoa untuk membikin perhitungan."
Seng-in terkejut, cepat ia menarik sang suami, "He,
kau tetap akan membunuh dia? Auuuh ____" Ia berseru
kesakitan karena luka di lengannya terguncang.
"Lukamu tidaklah ringan, marilah kita lekas
meninggalkan tempat ini saja," ujar Utti Keng. "Tentang
budak busuk ini apakah kita harus membawanya pula?
Jika kita bereskan dia barulah perjalanan kita tidak
terganggu."

"Boleh kau bubuhkan obat pada lukanya, toh takkan


makan waktu terlalu lama," kata Seng-in.
"Adik In, kau toh bukan bocah hijau yang baru muncul
di Kangouw, mengapa kau tidak paham," ujar sang
suami.
"Tidak paham apa? Anak dara ini kan putri Kang Haythian!"
sahut Seng-in.
"Justru karena putri Kang Hay-thian, maka dia harus
dibunuh saja," kata Utti Keng dengan tertawa. "Apa kau
melupakan peribahasa yang mengatakan bahwa
'menangkap harimau adalah lebih mudah daripada
melepaskan harimau'. Kita telah melukai putri Kang Haythian
dengan parah, jika dia dibiarkan pulang, bukankah
kita sendiri yang bakal celaka. Kang Hay-thian adalah
jago terkemuka di dunia persilatan, apakah dia mandah
begitu saja membiarkan anaknya dianiaya orang? Nah,
makanya anak dara ini harus dibunuh, bahkan aku
hendak melenyapkan mayatnya untuk menghilangkan
bukti, dengan demikian takkan lagi ada orang yang
mengetahui perbuatan kita ini."
"Tapi aku pernah merebut anak Li Bun-sing dari
tangan Siau Ci-wan, dia mengenali aku, kelak mereka
juga akan mencurigai kita," ujar Seng-in.
"Hanya dicurigai saja toh tiada bukti yang nyata, hal
ini akan lebih baik daripada membiarkan budak ini hidup
untuk menjadi saksi yang kuat," kata Utti Keng.
Apa yang dikatakan sang suami juga ada benarnya
juga, Seng-in menjadi bingung, sambil menarik lengan
sang suami, ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya,

yang terang ia merasa tidak tega membunuh anak dara


yang tak berdosa itu.
Namun Utti Keng sudah tidak sabar lagi, katanya,
"Sudahlah adik In, daripada buang tempo percuma,
marilah kita lekas berangkat saja!" Habis berkata
pedangnya terus menikam ke arah Kang Hiau-hu.
Dalam kuatirnya tiba-tiba terdengar oleh Seng-in suara
"tring" sekali, entah darimana datangnya, tahu-tahu
ujung pedang sang suami tertimpuk oleh sepotong batu
kecil sehingga tusukannya meleset, batu itupun mencelat
lewat dan menyerempet jidat Ki Seng-in sehingga lecet.
Utti Keng menjadi gusar, bentaknya, "Siapakah kau,
keluarlah kalau berani, mengapa main sembunyi?" Ia
terkejut juga karena kejadian di luar dugaan itu, apalagi
ia harus menjaga sang istri yang terluka. Karenanya ia
tidak sempat mengurus mati-hidup Kang Hiau-hu lagi.
Dalam pada itu batu-batu kecil telah berhamburan
pula. Utti Keng menjadi kerepotan, ia harus menjaga
istrinya dan memutar pedang untuk menyampuk batubatu
itu. Di tengah hujan batu-batu kecil itulah tertampak
sesosok bayangan orang sedang melayang tiba secepat
terbang.
Waktu diperhatikan, dalam keadaan remang-remang
dapatlah Utti Keng melihat pendatang itu adalah seorang
pemuda, berusia kira-kira dua puluhan. Ketika
mengetahui Kang Hiau-hu menggeletak terluka, pemuda
itu rupanya sangat terkejut, tidak terpikir lagi olehnya
akan menyerang Utti Keng lebih jauh, tapi cepat-cepat
mendekati Hiau-hu.

Utti Keng menjadi terkesiap, sama sekali tak terduga


olehnya bahwa seorang pemuda muda belia ternyata
sudah memiliki kepandaian sedemikian tingginya. Tapi
sesudah melihat jelas bahwa pemuda itu ternyata tak
terkenal, ia manjadi lega. Ia menaksir pemuda itu pasti
bukan orang dari keluarga Kang. Sebab diketahuinya
keluarga Kang hanya terdiri dari empat orang saja, yaitu
dua orang lelaki tua dan dua wanita. Umur mereka tiada
yang cocok dengan umur pemuda ini, teranglah pemuda
ini bukan anggota keluarga Kang Hay-thian.
Setelah merasa lega, kembali pikiran membunuh
timbul lagi dalam benak Utti Keng, pikirnya, "Jika sampai
putri Kang Hay-thian ditolong pergi olehnya, tentu akan
menimbulkan malapetaka di kemudian hari. Sekali sudah
berbuat, biarlah aku membunuh pula pemuda ini."
Sebagai seorang tokoh Kangouw yang sudah ternama,
ia tidak mau main menyergap, maka lebih dulu ia
membentak, "Kalau menerima harus membalas. Ini, kau
pun coba rasakan aku punya senjata rahasia!" Berbareng
dua buah Tau-kut-ting (paku penembus tulang) lantas
disambitkan.
Cara Utti Keng menyambitkan senjata rahasia ternyata
sangat keji. Sebuah Tau-kut-ting yang langsung
mengarah si pemuda itu mengeluarkan suara
mendenging untuk menarik perhatian sasarannya, tapi
sebuah paku yang lain tanpa suara telah menuju ke arah
Kang Hiau-hu yang tergeletak di atas tanah itu.
Kepandaian pemuda itu juga tidak lemah dan mampu
'mendengarkan suara angin untuk membedakan
datangnya serangan', cuma sayang pengalamannya

terlalu cetek, sama sekali tak terduga olehnya cara


serangan keji Utti Keng itu.
Maka waktu mendengar senjata rahasia lawan
menyambar tiba, segera ia meloloskan senjata sendiri
untuk menangkis, yaitu Boan-koan-pit, senjata berbentuk
potlot baja. "Trang", dengan tepat paku yang
menyambar tiba itu kena disampuk sehingga mencelat
kembali ke depan.
Tapi hampir pada saat yang sama juga terdengar
suara "ering" sekali, menyusul terdengar suara rintihan
Kang Hiau-hu, rupanya telah terkena senjata rahasia
musuh. Padahal jarak pemuda itu dengan Hiau-hu tatkala
itu masih lebih dua meter jauhnya.
Kuatir dan gusar sekali pemuda itu, dampratnya, "Utti
Keng, kau bangsat keparat ini berani mencelakai putri
Kang-tayhiap?!"
Utti Keng menjadi kaget karena namanya dengan jitu
kena disebut si pemuda. Padahal dia adalah seorang
bandit yang selamanya malang-melintang di daerah
Kwan-gwa (di utara tembok besar), orang persilatan di
daerah Tionggoan jarang ada yang mengenal namanya,
apalagi mengenal orangnya. Tak tersangka dari mulut
seorang pemuda asing namanya telah disebut.
Untuk sejenak Utti Keng tertegun, tapi mendadak ia
menjadi nekat, segera pedangnya menusuk ke hulu hati
si pemuda tanpa menanyakan lagi asal-usul lawannya.
Kiranya Utti Keng merasa lebih baik tidak mengenal
asal-usul si pemuda agar tidak ragu-ragu untuk
membunuhnya, ia pikir sekalipun pemuda itu adalah
putra seorang sahabat-karibnya juga pasti akan

dibinasakannya daripada rahasianya tentang dibunuhnya


Kang Hiau-hu sampai diketahui oleh Kang Hay-thian.
Ternyata Utti Keng adalah jago silat yang serba
pandai, walaupun ilmu pedang bukan kepandaiannya
yang utama, tapi dengan menggunakan pedang pusaka
yang tiada bandingannya yaitu Cay-in-pokiam yang
dirampasnya dari Kang Hiau-hu tadi, ternyata seranganserangannya
juga tidak kurang dahsyatnya daripada
jago-jago pedang ternama.
Cepat pemuda itu berkelit ke samping, berbareng
Boan-koan-pit lantas mencungkit ke atas, "trang", lelatu
api meletik, tahu-tahu potlot bajanya yang tergurat.
Untunglah dia yang mencungkit ke atas sehingga potlot
baja itu tidak sampai tertabas kutung.
Namun pemuda itu juga teramat lihai, sebelah Boankoan-
pit digunakan mencungkit pedang lawan, Boankoan-
pit yang lain berbareng lantas menikam ke depan.
Di tengah malam yang gelap itu cara mengincar Hiat-to
lawan ternyata tidak kurang jitunya. Hanya dalam
sejurus saja tiga tempat Hiat-to terpenting di dada Utti
Keng telah diserangnya.
Belum lagi Utti Keng sempat menarik pedangnya
untuk menangkis, tahu-tahu ujung Boan-koan-pit si
pemuda sudah menyambar tiba. Untunglah Lwekang Utti
Keng sudah cukup sempurna, pada saat berbahaya itu
mendadak ia menahan napas dan menarik perutnya
sehingga mendekuk, ujung Boan-koan-pit hanya
merobek sebagian bajunya saja dan tidak sampai
melukainya.
Dan baru saja pemuda itu hendak mendesak maju
untuk menotok pula, namun Utti Keng sudah mundur

selangkah, pedangnya berputar, dengan gerakan 'Hengin-


toan-hong' (awan terapung memotong puncak),
pedangnya terus menabas ke batang Boan-koan-pit
lawan.
Si pemuda cukup mengetahui betapa lihainya Pokiam
itu, cepat ia menggeser langkah dan ganti serangan,
kedua Boan-koan-pit menotok berulang-ulang untuk
mencari urat nadi penting di tubuh musuh. Untuk
menjaga diri, terpaksa juga Utti Keng menarik pedangnya
untuk bertahan.
Begitulah, kedua orang sama-sama waspada sekali,
sepasang Boan-koan-pit melawan sebatang pedang
pusaka, keadaan lantas berubah saling bertahan.
Gerakan si pemuda benar-benar sangat gesit dan cepat,
kedua Boan-koan-pitnya bekerja dengan rapi sekali untuk
memaksa lawan terpaksa harus menjaga diri, maka
dalam sekejap saja 30 jurus lebih sudah berlalu, selama
itu kedua Boan-koan-pitnya tidak pernah disentuh pula
oleh pedang Utti Keng.
Sebaliknya permainan pedang bukanlah kepandaian
yang diandalkan Utti Keng, walaupun Lwekangnya lebih
kuat, menang senjata pula, tapi bicara tentang bagusnya
tipu serangan ternyata si pemuda lebih lihai. Apalagi Utti
Keng harus memikirkan keadaan sang istri yang terluka
itu, ia merasa sungkan untuk bertempur lebih lama lagi.
Mendadak ia membentak, sebelah tangannya lantas
menghantam.
Tapi dengan gesit pemuda itu dapat mengegos ke
samping, dan pada saat Utti Keng belum sempat
mengganti serangan lagi, segera sepasang Boan-koanpitnya
balas menyerang.

Walaupun demikiah toh tidaklah mudah bagi Utti Keng


untuk membunuh si pemuda. Ki Seng-in sendiri tidak
mampu membantu sang suami, ia menjadi gelisah dan
berseru, "Toako, fajar sudah hampir tiba, biarlah kita
tinggalkan dia saja!"
Desakan istri membuat Utti Keng menjadi ragu-ragu.
Saat itu ia sudah berada di atas angin, si pemuda sudah
mandi keringat karena dicecar berpuluh jurus serangan,
napasnya juga sudah memburu, kemenangan Utti Keng
terang sudah pasti, tapi ia tidak berani yakin apakah
dapat membinasakan pemuda itu sebelum fajar
menyingsing.
Begitulah Utti Keng menjadi serba susah. Kalau hari
sudah terang, tentu akan kedatangan orang-orang dari
keluarga Kang, pula ia pun menguatirkan luka sang istri
yang parah dan harus lekas mencari suatu tempat
istirahat yang baik untuk mengobati istrinya. Tapi ia pun
kuatir meninggalkan saksi-saksi hidup sebab hal ini
berarti akan mendatangkan malapetaka di kemudian
hari. Apalagi sekarang keadaannya sudah unggul, mana
dia mau mengakhiri pertarungan ini dengan demikian
saja?
Tiba-tiba Utti Keng mendapat akal, cepat serunya,
"Adik In, coba kau periksa dulu budak busuk itu. Kalau
belum putus napasnya boleh kau tambahkan lagi tusukan
padanya."
Menurut dugaan Utti Keng, sesudah Kang Hiau-hu
terkena paku Tau-kut-ting yang disambitkannya tadi
besar kemungkinan sudah binasa. Tapi ia pun masih
sangsi, maka sang istri disuruhnya memeriksanya lagi. Ia
menaksir istrinya masih kuat untuk membinasakan anak

dara yang sudah menggeletak itu, walaupun dalam


keadaan terluka.
Keadaan Kang Hiau-hu memang sangat payah, tapi ia
masih hidup. Ia memakai baju kutang pusaka yang tak
tertembus oleh paku musuh. Tapi luka sebelumnya
memang sudah parah, ditambah lagi hulu hatinya
tersambit pula oleh Tau-kut-ting, walaupun tidak sampai
terluka lagi, tapi jantungnya juga terguncang sehingga
lukanya bertambah parah.
Demikianlah Ki Seng-in lantas mengiakan permintaan
sang suami. dengan pedang terhunus ia lantas
mendekati Kang Hiau-hu.
Keruan takut Kang Hiau-hu tak terkatakan demi
mendengar suara tindakan orang yang makin mendekat
itu. Lekas ia menahan napas dan pura-pura mati.
Tak diketahui bahwa sesungguhnya Ki Seng-in sendiri
juga sangat bingung dan kuatir. Ia coba memeriksa
napas Hiau-hu dan memegang nadinya pula. Walaupun
anak dara itu telah menahan napas, namun tidak urung
nadinya masih berdenyut dengan perlahan. Maka sekali
pegang saja segera Seng-in tahu sandiwara yang
dimainkan Hiau-hu.
Segera ia mengangkat pedangnya, tapi entah
mengapa, tangan dan kakinya terasa lemas dan gemetar
sehingga tidak kuat menusukkan pedangnya. Sekilas itu
timbul macam-macam pertentangan batin Ki Seng-in,
kalau mengingat keselamatan mereka suami-istri kelak
rasanya tiada jalan lain kecuali membinasakan saksi dan
menghilangkan bukti. Tapi dasar hati nurani Ki Seng-in
bukanlah orang jahat, betapapun ia merasa tidak tega
membunuh seorang dara remaja yang tak berdosa.

Selagi Ki Seng-in merasa ragu-ragu, mendadak


terdengar si pemuda menggerung kalap, sekonyongkonyong
orangnya memelompat mundur dan menerjang
ke arah Ki Seng-in.
Tak tersangka bahwa Utti Keng justru menghendaki si
pemuda berbuat demikian, segera ia menguber dengan
rapat dan melontarkan pukulan dari jauh.
Karena tubuh pemuda itu tengah terapung di udara,
dengan sendirinya ia tidak mampu berkelit, "biang",
tanpa ampun lagi pemuda itu berguling dan jatuh tidak
jauh di sebelah Kang Hiau-hu.
Dalam pada itu secepat kilat pedang Utti Keng juga
sudah menyambar tiba. Karena tak sempat berdiri tegak
lagi, terpaksa pemuda itu menggunakan gerakan 'Kihwe-
liau-thian' (mengangkat obor menerangi langit),
Boan-koan-pit digunakan menangkis ke atas. Tapi lantas
terdengar suara "trang" pula yang nyaring, kembali
Boan-koan-pitnya telah tertabas kutung.
Utti Keng terbahak-bahak, jengeknya, "Nah, ingin
kulihat apakah kau masih berani bersikap berandal dan
berlagak garang? Lebih baik kau menemani budak busuk
itu pergi melapor kepada Giam-lo-ong (raja akhirat)
saja."
Di tengah tertawanya itu, pedang Utti Keng lantas
membacok ke bawah. Ia mengira jiwa pemuda itu pasti
akan melayang tak terampunkan. Siapa tahu mendadak
pemuda itu telah menggunakan gerakan 'Le-hi-tah-ting'
(ikan lele melejit ke atas), tahu-tahu orangnya membalik
tubuh dan tepat serangan Utti Keng itu dapat
dihindarkan. Malahan Boan-koan-pit yang kiri secepat
kilat lantas menikam juga.

Adalah salah Utti Keng sendiri karena dia terlalu


gegabah, ia mengira besar kemungkinan pemuda itu
akan binasa terkena tenaga pukulannya tadi, tak terduga
pemuda itu masih mampu memberikan serangan
balasan. Karena tak tersangka-sangka itulah tanpa
ampun lagi perutnya lantas tertikam oleh Boan-koan-pit,
sakitnya tak terkatakan. Seketika suara tawa Utti Keng
tadi berubah menjadi jeritan ngeri, tapi ia pun benarbenar
tangkas, sesudah terluka ia tidak mundur,
sebaliknya sebelah kakinya lantas melayang sehingga
pemuda itu kena ditendangnya terjungkal pula dan
terpental beberapa meter jauhnya.
"He, kenapakah kau, Toako?" seru Seng-in dengan
kuatir.
"Tidak apa-apa, hanya terluka sedikit saja," sahut Utti
Keng. "Hm, anak keparat, apa kau masih dapat hidup
lagi?"
"Benar, aku memang tidak ingin hidup lagi," demikian
kata si pemuda dari jauh. "Hayolah maju sini, mari kita
mengadu jiwa lagi. Hm, sekalipun mati juga aku akan
ajak kau sebagai teman ke pintu akhirat."
Sungguh kejut dan heran Utti Keng tak terhingga,
pikirnya, "Sudah terluka parah demikian bocah busuk itu
toh masih dapat bicara. Tampaknya dia masih sanggup
bertahan untuk sekian lamanya walaupun sudah terluka
dalam. Sungguh aneh, usianya masih muda belia,
mengapa memiliki Lwekang setinggi ini? Apa barangkali
dia tadi belum mengeluarkan segenap kepandaiannya
dan aku yang telah salah menilai dia?"

Dengan menahan sakit Utti Keng lantas mencabut


Boan-koan-pit yang menancap di perutnya itu dan cepat
membubuhi obat luka.
Ki Seng-in lantas mendekati sang suami hendak
membalut lukanya, tapi dia sendiri terluka parah dan
sangat payah, ketika melihat suaminya bermandikan
darah, ia menjadi kuatir, tanyanya dengan suara berbisik,
"Bagaimana? Parah tidak lukamu, Toako?"
"Tidak," sahut Utti Keng. "Budak busuk itu telah kau
bunuh?"
"Dia benar-benar sudah mati, aku tiada tempo buat
memotong mayatnya, biarkan dia mati dengan mayat
sempurna saja," sahut Seng-in.
Apa yang dikatakan Ki Seng-in rupanya didengar oleh
si pemuda, ia tidak tahu kalau Seng-in berbohong, maka
ia menjadi kuatir dan gusar, namun sudah tidak kuat
untuk mendamprat lagi.
Maka terdengar Utti Keng tertawa dan berkata pula,
"Haha, bagus, bagus! Anak keparat itupun tidak sayang
mengorbankan nyawanya untuk membela putri Kang
Hay-thian, maka tak perlu aku membunuhnya, biarkan
dia mati sendiri dengan mayat sempurna saja. Apabila
Kang Hay-thian menerima kebaikanmu atas diri putrinya,
mungkin dia akan menguburkan kalian di dalam liang
yang sama."
Kiranya luka Utti Keng sendiri sesungguhnya tidaklah
ringan. Biarpun dia beromong besar, tapi di dalam hati
benar-benar takut kalau-kalau si pemuda masih kuat
melabraknya lagi. Ia sengaja bergelak tertawa dan
omong besar, semuanya ini hanya untuk menutupi lukaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
parahnya sendiri, padahal ia benar-benar tidak kuat
bertempur pula. Cuma saja dia punya obat luka yang
bagus, lukanya itu diperkirakan harus dirawat dua tiga
hari baru dapat sembuh. Sebaliknya ia menaksir luka
pemuda itu pasti juga tidak enteng. Di tengah lembah
sunyi itu, tanpa pertolongan orang, pemuda itu pasti
akan mati sendiri. Maka ia merasa tidak perlu mengadu
jiwa pula dengan pemuda itu.
Begitulah, dengan mengumpulkan sisa tenaganya Utti
Keng lantas menolong sang istri dan berjalan pergi. Ia
tahu istrinya juga mengetahui keadaannya yang parah,
maka ia telah membisikinya, "Adik In, kau jangan kuatir.
Kuda budak itu adalah seekor kuda bagus, kita justru
dapat menggunakannya untuk melarikan diri. Biarpun
terluka rasanya aku masih sanggup menjinakkan seekor
binatang tunggangan."
Dalam pada itu, dengan kuatir si pemuda juga sedang
memperhatikan gerak-gerik Utti Keng, ia bertiarap dan
menempelkan telinganya di atas tanah, sesudah
mendengar suara derap kuda yang makin menjauh
barulah ia menghela napas lega. Tapi sesudah merasa
lega seketika ia pun tidak sadarkan diri.
Kiranya pemuda itu terluka dalam sangat parah, ia
berteriak hendak mengadu jiwa pula dengan Utti Keng
sebenarnya juga serupa tujuannya dengan Utti Keng,
yaitu untuk menutupi keadaannya sendiri yang payah.
Padahal keadaan pemuda ini jauh lebih payah daripada
dugaan Utti Keng, maka sesudah hilang rasa tegangnya,
segera ia pun jatuh pingsan.
Entah sudah berapa lama, dalam keadaan sadar tak
sadar tiba-tiba si pemuda mendengar suara jatuhnya
sepotong batu di sebelahnya. Disangkanya kedatangan
musuh lagi, segera ia terjaga bangun. Ia merasa silau
oleh cahaya sang surya, kiranya waktu itu sudah siang
hari. Ia mendengar suara berkresekan di semak-semak
sana, waktu diperhatikan kiranya adalah satu orang yang
sedang merangkak ke arahnya. Tak usah dijelaskan lagi
orang itu tentu Kang Hiau-hu adanya.
Keadaan Kang hiau juga tidak kurang payahnya
daripada si pemuda, ia sudah merangkak sekian lamanya
dan baru dapat mencapai sejauh beberapa meter. Batu
tadi adalah dia yang menyambitkan ke samping si
pemuda dengan sisa tenaganya yang ada.
Ketika melihat si pemuda sudah sadar, ia merasa
bersyukur sekali, tadinya ia sangka pemuda itu sudah
mati. Ia bermaksud bicara, tapi suaranya sedemikian
lemah hingga mirip suara nyamuk mendenging.
Namun samar-samar si pemuda dapatlah mendengar
suara Hiau-hu yang berkata padanya, "Lekas kau
kemari!"
Walaupun sama-sama terluka parah, tapi si pemuda
lebih kuat daripada Hiau-hu, semangatnya lantas
terbangkit ketika mengetahui anak dara itu sedang
menantikan pertolongannya, perlahan-lahan ia lantas
merangkak dan mendekati Hiau-hu.
Dengan suara yang agak lemah seakan-akan cuma
mendesis Hiau-hu berkata pula, "Di dalam bajuku ada
Siau-hoan-tan, harap kau bantu mengeluarkannya."
Untunglah pemuda itu sekarang sudah dekat dengan
Hiau-hu sehingga suara yang sangat lirih itu dapatlah
didengar.

Siau-hoan-tan adalah obat mujarab bagi luka dalam,


yaitu obat buatan tabib sakti dari Hoa-san, Hoa Thianhong,
ayah angkat Kang Hay-thian. Dengan sendirinya
dalam perjalanan Kang Hiau-hu ini ia pun membawa obat
asal pemberian Hoa Thian-hong itu. Cuma sayang ia
sangat lemah sehingga untuk mengambil obat di baju
sendiri pun tidak kuat lagi, maka terpaksa harus minta
bantuan orang lain.
Si pemuda juga tahu khasiat Siau-hoan-tan, ia sangat
girang demi mendengar adanya obat itu. Tapi ia lantas
menghadapi suatu persoalan sulit, obat itu tersimpan di
dalam saku Kang Hiau-hu, apakah dirinya boleh
sembarangan menggagap-gagap di atas badan seorang
dara remaja.
"Bagaimana, apa kau pun tidak punya tenaga lagi?
Lekas ambil obatku ini dan akan kubagikan sebutir
untukmu," kata Hiau-hu ketika melihat pemuda itu
tertegun.
Dalam keadaan terpaksa si pemuda juga tak dapat
memikirkan peraturan-peraturan adat lagi. Segera ia
pejamkan mata, sekuatnya ia angkat tangan dan
menggagap-gagap di baju Hiau-hu. Selama hidupnya
baru pertama kali ini ia menyentuh tubuh kaum wanita,
keruan ia menjadi merah jengah, hatinya berdebardebar.
Lebih runyam lagi karena di dalam saku Kang
Hiau-hu itu ternyata terisi macam-macam barang, meski
sudah menggagap-gagap sekian lamanya tetap tidak
tahu Siau-hoan-tan itu tersimpan dimana?
Hiau-hu sendiri adalah dara remaja yang masih
kekanak-kanakan. Ia minta bantuan seorang pemuda
asing karena terpaksa, ia pun baru pertama kali ini

tubuhnya disentuh oleh seorang lelaki, maka ia merasa


malu-malu dan risi. Akhirnya berkatalah ia, "Mengapa
tidak lekas kau keluarkan Siau-hoan-tan?"
Si pemuda terkejut dan sedikit menarik tangannya,
jawabnya dengan gelagapan, "Aku ... aku tidak tahu
Siau-hoan-tan tersimpan dimana?"
Muka Hiau-hu menjadi merah, baru sekarang ia ingat
dirinya sendiri yang teledor karena tidak menjelaskan
dimana beradanya obat itu. Cepat ia berkata, "Tersimpan
di dalam sebuah kotak kecil."
Maka dengan segera si pemuda dapatlah menemukan
kotak kecil itu dan diambil keluar. Ia menjejalkan sebutir
obat itu ke dalam mulut Kang Hiau-hu.
Setelah menelan obat, sejenak kemudian barulah
Hiau-hu berkata, "He, mengapa kau termangu-mangu,
lekas kau pun minum obat ini."
"Ya, banyak terima kasih atas pemberian obat nona
ini," sahut si pemuda.
Setelah minum obat Siau-hoan-tan, rasa sesak di dada
Hiau-hu lantas banyak berkurang, dengan cepat
semangatnya juga mulai pulih, katanya dengan tertawa,
"Kau yang telah menyelamatkan jiwaku dan sampai
sekarang aku belum lagi mengucapkan terima kasih
padamu."
Sesudah si pemuda minum sebutir Siau-hoan-tan, ia
menutup kotak obat itu, lalu dikembalikan kepada Hiauhu
sambil memandang sekejap kepada nona itu. Seketika
jantungnya memukul keras, pikirnya, "Sungguh suatu
pengalaman aneh, belum bertemu dengan Kang-tayhiap
aku sudah bertemu dulu dengan putrinya. Adalah tidak

heran jika dia memiliki kepandaian tinggi karena dia


mempunyai seorang ayah seperti Kang-tayhiap, yang di
luar dugaan adalah dia sedemikian cantiknya, belum
pernah kulihat wanita yang lebih cantik dari dia.
Untunglah dia tidak terbinasa di tangan Utti Keng dan
istrinya."
Kiranya di tengah malam yang gelap semalam
hakikatnya dia belum melihat jelas wajah Kang Hiau-hu.
Sebabnya dia termangu-mangu tadi rupanya adalah
lantaran terkesima terhadap kecantikan anak dara itu.
Hiau-hu sendiri pun cemas-cemas girang, pikirnya,
"Usia pemuda ini tampaknya cuma beberapa tahun lebih
tua daripadaku, tapi ilmu silatnya agaknya jauh lebih
tinggi daripadaku. Ibu selalu kuatir usiaku muda dan
pengalamanku cetek, maka aku dipesan agar selalu
waspada terhada kepalsuan orang Kangouw, tapi
pemuda ini tampaknya seperti seorang ksatria yang
sopan-santun. Ya, dalam keadaan tak berdaya seperti
sekarang ini, tentu celakalah aku bilamana dia adalah
seorang jahat."
Begitulah, kedua muda-mudi itu sama-sama
mempunyai prasangka sendiri-sendiri dan sama-sama
memejamkan mata sambil merebah untuk menghimpun
tenaga. Selang dua jam kemudian, lambat-laun Siauhoan-
tan telah memperlihatkan khasiatnya, rasa sakit
Kang Hiau-hu sudah lenyap, baru sekarang ia merasakan
perut lapar.
Badan si pemuda lebih sehat daripada Hiau-hu, maka
pulihnya tenaga juga lebih cepat, ia membawa kantong
rangsum kering, di situ masih ada sisa beberapa gempal

nasi goreng. Segera ia mengeluarkannya dan diberikan


kepada Hiau-hu.
"Kau sendiri bagaimana, mengapa diberikan semua
padaku?" ujar Hiau-hu.
"Aku akan mencari sedikit makanan lain, pula kita
harus berdaya untuk meninggalkan lembah sunyi ini,"
sahut si pemuda. Lalu ia mendapatkan setangkai kayu
untuk digunakan sebagai tongkat, dengan jalan
berincang-incut ia lantas pergi mencari makanan.
Hiau-hu sangat terharu melihat cara jalan pemuda itu
sangat dipaksakan. Selang sejam kemudian barulah
pemuda itu tampak kembali, pada ranting kayunya
tersunduk dua ekor ikan, keadaan pemuda itu tampak
lesu dan letih.
Perut Hiau-hu memangnya sudah 'keroncongan' saking
laparnya, katanya dengan tertawa, "Kedua ekor ikan ini
walaupun agak kecil, tapi juga lumayan daripada tidak
ada, mengapa kau lesu? Untung juga kau masih punya
tenaga untuk menangkap ikan, aku sendiri sudah tidak
kuat untuk memegang sepotong batu sekali pun."
"Aku sudah memeriksa keadaan di sekitar sini," tutur
si pemuda. "Sekeliling sini adalah lereng-lereng yang
terjal, kecuali kalau luka kita sudah sembuh, kalau tidak,
tentu takkan dapat keluar dari sini. Kedua ekor ikan ini
adalah secara kebetulan dapat kutangkap di sungai kecil
di sebelah sana, apakah besok kita dapat menemukan
makanan atau tidak belumlah diketahui!"
Hiau-hu menjadi sedih mendengar keterangan itu.
Maklumlah keadaan mereka benar-benar parah, hanya
berkat Siau-hoan-tan barulah jiwa mereka dapat

dipertahankan. Tapi bilakah luka mereka akan sembuh,


hal ini susah diramalkan.
"Jika demikian harapan kita hanya kalau-kalau ada
orang mencari ke sini dan dapat menolong kita ke atas
sana," kata Hiau-hu kemudian.
"Harapan demikian pun sangat tipis," sahut si pemuda.
"Di lembah yang sunyi seperti ini masakah ada orang
datang ke sini?"
"Aku telah berjanji kepada ayahku akan pulang rumah
dalam waktu tiga hari, jika aku tidak pulang tentu beliau
akan mencari aku," tutur Hiau-hu.
"Sebenarnya kau hendak kemana?" tanya pemuda itu.
"Aku justru sedang menguber bangsat wanita itu. Aku
telah mengatakan kepada ayah, bilamana tidak dapat
menyusul bangsat wanita itu, aku akan datang ke Tekciu
untuk minta bantuan Nyo-pangcu dari Kay-pang. Karena
kudaku adalah Jian-li-ma (kuda seribu li sehari).
untuk pulang ke Tekciu rasanya cukup tiga hari saja,
hari ini kebetulan hari ketiga. Cuma sayang kudaku telah
dibawa lari oleh bangsat itu."
Si pemuda tidak sempat bertanya lebih jauh, ia
menghela napas dan berkata, "Jika demikian, ayahmu
tentu akan pergi ke Tekciu untuk mencari dirimu,
rasanya beliau juga takkan menduga bahwa kau akan
terluka di tengah lembah yang sunyi ini."
Hiau-hu pikir benar juga ucapan pemuda itu, katanya
kemudian, "Ya, jika begitu, apa boleh buat, terpaksa kita
pasrah nasib. Sudahlah, paling perlu kita panggang
kedua ekor ikan itu dulu, perutku sudah sangat lapar.
Apakah kau membawa batu api?"

Si pemuda lantas menyalakan segunduk api unggun.


Di bawah cahaya api unggun, wajah Hiau-hu yang putih
pucat itu tampak semakin cantik dan menggiurkan.
Hati si pemuda kembali berdebar-debar, pikirnya,
"Sesudah dia terlepas dari bahaya ini, dia adalah putri
Kang-tayhiap, perbedaan kedudukan ini apakah akan
memungkinkan aku berdekatan dengan dia lagi? Ya,
lebih baik aku dapat mendampingi dia di lembah sunyi
ini, biarpun mati kelaparan juga aku rela."
"He, kenapa kau merasa gembira pula, apakah kau
telah menemukan sesuatu akal yang memungkinkan kita
keluar dari lembah ini?" tanya Hiau-hu tiba-tiba ketika
melihat si pemuda mengulum senyum, tapi tidak tahu
apa yang sedang dipikirkannya.
"Ah, tidak!" sahut si pemuda, "Ini, ikannya sudah
hampir hangus, lekaslah makan!"
"Silakan kau makan juga!"
"Tidak, aku tidak lapar."
"Hayolah makan, kalau kau tidak makan aku pun tidak
mau makan lagi," kata Hiau-hu sambil menikmati ikan
panggang.
Namun pikiran si pemuda ternyata sedang melayanglayang,
"Sesudah pergi dari sini, entah kelak dia masih
sedemikian baik padaku atau tidak?"
Sejenak kemudian, tiba-tiba Hiau-hu berkata, "He, aku
mendapatkan suatu akal!"
"Akal apa?" tanya si pemuda.
"Begini, api unggun kita kobarkan sebesar-besarnya,
siang malam jangan dipadamkan. Kalau ada orang

berlalu, andaikan tidak berani turun juga akan


menyiarkan berita tentang apa yang dilihatnya ini."
"Ya, cara ini memang sangat baik. Cuma di sekeliling
kita ini adalah rumput alang-alang belaka, bila kita
kurang hati-hati sehingga api menjalar, maka kita pasti
akan berubah seperti kedua ekor ikan panggang tadi."
Hiau-hu menjadi lemas lagi karena akalnya ternyata
kurang sempurna, katanya kemudian, "Habis, apakah
kita harus menyerah begini saja?"
"Sebenarnya kita masih ada akal lain," ujar si pemuda
sesudah berpikir sejenak.
Hiau-hu menjadi girang, cepat ia menanggapi, "Jika
demikian, hayolah lekas katakan! Kenapa mesti main
teka-teki lagi?"
"Akalku ini sih tetap akalmu tadi, hanya saja kita harus
bekerja dulu dengan membersihkan rumput alang-alang
di sekitar api unggun ini, dengan demikian kita tidak
perlu kuatir akan terjadi kebakaran lagi. Dan agar tidak
terjadi sesuatu yang di luar dugaan, bolehlah kita berjaga
secara bergiliran."
"Ya, bagus! Mengapa cara yang sederhana ini tadi
tidak terpikir olehku?" seru Hiau-hu.
Walaupun sederhana akal mereka itu, tapi untuk
dilaksanakan ternyata tidaklah mudah. Maklum, tenaga
Kang Hiau-hu belum lagi pulih, dia baru saja bisa
bergerak sedikit. Keadaan si pemuda masih mendingan,
tapi tenaganya juga belum pulih seperti biasa.
Namun demikian mereka tidak pasrah nasib, mereka
berjuang sedapat mungkin, dengan susah payah, dari

siang sampai petang barulah mereka dapat membikin


bersih tanah lapang seluas beberapa meter. Sementara
itu Hiau-hu sudah lapar dan letih, ia terkapar lemas
dengan napas tersengal-sengal.
"Bangsat itu benar-benar membikin celaka kita,"
katanya dengan gemas. "Sudah membawa lari kudaku,
pedangku dirampasnya juga. Kalau tidak, tentu aku
dapat menggunakan pedangku untuk memotong rumput
dan takkan payah seperti sekarang ini."
"Hahaha! Biasanya orang memotong rumput dengan
arit, tapi kau ingin membabat rumput dengan pedang
pusaka, sungguh bahan cerita yang baik. Untunglah kau
tidak menggunakan pedangmu itu, kalau tidak, tentulah
aku akan merasa sayang bagi pedang pusaka itu,"
demikian si pemuda berkelakar.
"Orang lagi mendongkol, kau justru bicara
seenaknya," omel Hiau-hu dengan tersenyum. "Baiklah,
bila kelak pedang sudah kurebut kembali, tentu lebih
dulu akan kupenggal kepala bangsat itu."
Begitulah mereka bicara sambil bergurau sehingga
melupakan rasa letih tadi.
Kemudian si pemuda pergi pula mencari makanan
dengan bantuan tongkatnya. Hiau-hu merasa tidak enak
demi melihat jalan si pemuda yang terpincang-pincang
itu. Dekat maghrib barulah pemuda itu kembali. Sekali ini
lebih beruntung, ia dapat memburu seekor kelinci,
malahan dapat memetik beberapa buah-buahan yang
sekadar dapat dibuat tangsal perut.

Setelah mengumpulkan bahan-bahan bakar dan


membuat api unggun pula, mereka lantas membikin
kelinci panggang dan memakannya dengan lahap.
Selesai makan, semangan Hiau-hu tampak lebih segar
lagi, dengan tertawa ia berkata, "Ai, sudah seharian aku
masih belum tahu namamu."
"Aku she Ubun, bernama Hiong, berasal dari Pakkhia,"
sahut pemuda itu.
"Dan mengapa kau bisa datang ke sini?" tanya Hiauhu
pula.
"Kalau kau menguber bangsat itu, maka yang kucari
adalah suaminya," tutur si pemuda alias Ubun Hiong.
"Dia bernama Utti Keng, adalah seorang bandit besar
Kwan-gwa."
"Aneh, kau masih begini muda, mengapa sudah
bermusuhan dengan seorang bandit besar?" tanya Hiauhu
dengan heran.
"Ayahku adalah seorang Piausu (jago kawal) dari
Hong-lui-piau-kiok di Pakkhia," tutur Ubun Hiong. "Ada
satu kali ayah telah mengawal suatu partai barang ke
daerah Kwan-gwa. Tapi barang kawalan itu dirampas
oleh Utti Keng. Walaupun ayah tidak mendapat cidera
apa-apa, tapi karena kerugian yang terlalu besar itu
terpaksa Piau-kiok (perusahaan pengawalan) harus tutup
pintu alias bangkrut. Sebagai orang yang bertanggungjawab,
ayah bermaksud menjual harta bendanya untuk
mengganti kerugian yang diderita perusahaan, namun
Congpiauthau (kepala perusahaan) cukup bijaksana
dan tak mau menerima maksud baik ayah."

"Jika demikian, ayahmu hanya mengalami sedikit


kegagalan, hal ini toh tidak menjadi soal," ujar Hiau-hu.
"Kau tidak paham," kata Ubun Hiong. "Sebagai Piausu,
yang paling diutamakan adalah nama. Barang kawalan
hilang, perusahaan bangkrut, pukulan-pukulan demikian
membikin ayah jatuh sakit dan tidak lama kemudian
lantas meninggal dunia. Meninggalnya ayah walaupun
tidak dibunuh sendiri oleh Utti Keng, tapi pangkal
utamanya adalah karena perbuatan Utti Keng. Pada
sebelum menghembuskan napas penghabisan, ayah
telah menyerahkan sepucuk surat padaku yang sudah
disiapkannya lebih dulu, beliau berpesan agar aku
menyampaikan surat ini kepada Kang-tayhiap."
"Apa kau maksudkan ayahku?" tanya Hiau-hu. "Siapa
lagi kalau bukan ayahmu? Masakah di dunia ini ada
Kang-tayhiap yang kedua?" sahut Ubun Hiong dengan
tertawa.
"Jika begitu, jadi ayahmu sudah lama mempunyai
hubungan baik dengan ayahku?" kata Hiau-hu dengan
girang dan heran.
"Entahlah, ayah tak pernah mengatakan padaku
bahwa beliau kenal Kang-tayhiap, aku pun tidak tahu
bagaimana bunyi surat ini."
Hiau-hu agak kecewa mendengar jawaban itu, tapi
lantas terpikir olehnya, "Ya, nama ayah sangat tersohor
sehingga setiap orang apakah kenal atau tidak selalu
suka minta bantuannya, mungkinkah ayah Ubun Hiong
termasuk juga orang demikian itu. Seperti halnya Li Bunsing
yang juga tidak kenal ayah, tapi dia mempercayakan
putra yang ditinggalkannya itu, untuk itu ayah lantas
menerimanya dengan suka hati hanya dengan

perantaraan Siau-sioksiok saja. Malahan sebabnya aku


terluka seperti sekarang ini juga lantaran ingin mencari
putra yatim keluarga Li yang belum kukenal itu."
Hiau-hu tersenyum, ia membesarkan api unggun
dengan tangkai kayu, lalu berkata pula, "Kau belum kenal
ayahku, hal inipun tidak menjadi soal. Bangsat itu adalah
musuhmu dan juga musuhku, biarlah nanti aku bantu
bicara dengan ayah, tentu beliau akan dapat
membalaskan sakit hatimu."
"Baiklah, untuk itu sebelumnya aku harus berterima
kasih," sahut
Ubun Hiong dengan tertawa. "Tapi entah aku
mempunyai rezeki untuk bertemu dengan ayahmu atau
tidak?"
"Ai, bicaramu selalu bernada putus asa, masakah kita
benar-benar akan mati konyol di lembah sunyi ini?" ujar
Hiau-hu sambil mengamat-amati lereng pegunungan
yang curam itu.
"Aku justru berharap demikian adanya," pikir Ubun
Hiong. Kemudian ia menyambung pula ceritanya,
"Sesudah menyelesaikan layon ayah, segera aku
berangkat ke selatan dan kemarin tiba-tiba memergoki
bangsat Utti Keng di tengah jalan, meski sebelumnya aku
tidak kenal dia, tapi ayah pernah menceritakan padaku
tentang ciri-ciri mukanya yang penuh berewok, kepala
besar dan pundak lebar, maka dengan mudah saja aku
lantas mengenali dia, segera aku menguntit jejaknya dan
akhirnya sampai di lembah sunyi ini. Dari percakapan
mereka aku mendengar bahwa kau adalah putri Kangtayhiap,
dengan sendirinya aku lebih-lebih harus

menolong kau meskipun dia bukan Utti Keng yang kucari


itu."
Hiau-hu sangat berterima kasih, tanpa terasa ia
memegang tangan Ubun Hiong, katanya, "Ubun-toako,
bilamana kita dapat menyelamatkan diri, tentu aku akan
membalas budi kebaikanmu ini."
"Sekarang pun kau sudah membalas kebaikanku," ujar
Ubun Hiong dengan tertawa.
"Apa arti ucapanmu ini?" tanya Hiau-hu dengan
tercengang.
"Sedemikian baiknya kau bicara padaku, hal ini sudah
cukup bagiku," sahut Ubun Hiong.
Muka Hiau-hu menjadi merah jengah dan melepaskan
tangannya, cepat ia mengalihkan pokok pembicaraan,
"Sekali melihat bangsat itu kau lantas menyebut
namanya, semula aku mengira kau sudah kenal dia
sebelum ini."
"Aku sengaja menegurnya secara mendadak, tak
tersangka memang betul adalah Utti Keng."
"Pintar juga kau ini," puji Hiau-hu.
"Dan mengapa kau menguntit juga istri Utti Keng,
apakah kau juga ada permusuhan dengan dia?" tanya
Ubun Hiong.
Karena sudah dipesan oleh ayahnya agar jangan
sekali-kali membocorkan kepada orang luar tentang
penitipan anak yatim O Bun-sing, maka Hiau-hu menjadi
ragu-ragu untuk menceritakannya. Tapi demi teringat
pemuda itu telah menceritakan segala apa yang

menyangkut dirinya, masakah sekarang ia berbalik tidak


bicara secara terus terang?
Dengan pertimbangan itu, akhirnya ia menceritakan
segala sesuatu mengenai maksud tujuan perjalanannya
ini, bahkan ditambahkannya, "Lantaran pergerakan
Thian-li-hwe sudah terbongkar, banyak pemimpinnya
tertawan atau terbunuh, namun ayah telah bertekad
akan melindungi putra yatim Li Bun-sing itu. Sekarang
anak itu meski dibawa lari orang, namun akhirnya pasti
dapat diketemukan kembali. Mengingat betapa penting
dan berbahayanya persoalan ini, maka ayah telah
berpesan padaku agar tutup mulut rapat-rapat. Oleh
sebab itulah aku Dun minta kau tutuD rahasia ini dan
ianean sekali-kali dibocorkan."
"Aku toh bukan anak kecil, tentu aku mengetahui
urusan yang penting ini, harap kau jangan kuatir, tidak
nanti aku katakan pada orang lain," sahut Ubun Hiong
dengan tertawa. "Tapi sekarang kau telah
memberitahukan urusan ini padaku, bukankah kau telah
mengingkari dahulu pesan ayahmu?"
"Ayah hanya melarang aku memberitahukannya
kepada orang luar. Kau telah menolong jiwaku, sekarang
sama-sama menghadapi kesukaran pula, masakah aku
dapat menganggap kau sebagai orang luar?"
Sungguh nikmat sekali perasaan Ubun Hiong, tanpa
terasa ia memegang kencang-kencang kedua tangan
anak dara itu, katanya, "Banyak terima kasih kau tidak
menganggap diriku sebagai orang luar."
Selagi asyik bicara, tiba-tiba terdengar suara guntur
bergemuruh, awan tebal, hujan sudah hampir tiba.

Cepan Ubun Hiong berkata, "Wah, segera akan hujan


lebat, lekas ikut padaku!"
"Tapi terlalu sayang api unggun yang kita nyalakan
dengan susah payah ini," ujar Hiau-hu.
"Badanmu harus diutamakan," kata Ubun Hiong. Lalu
ia tarik si nona dan diajaknya berangkat dengan cepat.
Rupanya pada siang harinya waktu Ubun Hiong
mencari bahan makan telah dipenujuinya suatu tempat
berteduh yang baik. Yaitu suatu tempat yang terdiri dari
dua potong batu cadas raksasa yang saling
berdempetan, di bawahnya terdapat sela-sela seluas satu
meteran sehingga cukup dibuat bersembunyi satu orang.
Baru saja Ubun Hiong dan Kang Hiau-hu sampai di
tempat itu, saat itulah hujan lebat mulai menuang. Cepat
Ubun Hiong mendorong si nona ke tengah sela-sela batu
itu untuk bernaung.
"Ubun-toako, kau ... kau sendirikata Hiau-hu dengan
rikuh.
"Lukaku jauh lebih ringan daripadamu, badanku juga
lebih kuat, hanya terkena air hujan saja tidak menjadi
soal," ujar Ubun Hiong.
Lalu ia melepaskan baju luar sendiri untuk dipakai
mengerudung di atas kepala sambil bersandar di dinding
batu, dengan demikian bagian sela-sela yang terluang itu
dapat tertutup rapat sehingga dapat mengaling-alingi air
hujan yang menyiram masuk.
Mestinya Hiau-hu ingin menyuruh pemuda itupun
berteduh di dalam, tapi sela-sela batu itu terlalu sempit,
pula ia merasa malu untuk meringkuk berdempetan,

maka terpaksa membiarkan Ubun Hiong kehujanan di


luar. Saking lelahnya tanpa terasa kemudian ia terpulas.
Ketika terjaga bangun pula, ia mendengar gigi Ubun
Hiong gemertukan menggigil kedinginan.
Sungguh Hiau-hu sangat terharu, cepat ia berkata,
"Toako, silakan kau masuk ke dalam sini saja."
"Tidak apa-apa, aku masih kuat bertahan, hujan pun
sudah berhenti," sahut Ubun Hiong dengan suara
gemetar dan lemah.
Hiau-hu melihat hari sudah remang-remang, fajar
sudah menyingsing, hawa sehabis hujan terasa lebih
dingin daripada malamnya. Segera ia keluar dari tempat
bernaungnya, katanya, "Toako, di dalam akan lebih
hangat, semalam tentu kau tidak tidur dengan baik,
silakan masuk mengaso di dalam saja. Biar kunyalakan
api, tolong pinjam batu apimu."
Walaupun badan Ubun Hiong menggigil dingin, tapi
hatinya terasa hangat sekali demi mendengar si nona
memanggilnya dengan "Toako" tanpa menyebut she, ia
merasa tidak sia-sia pengorbanannya bagi anak dara itu.
Dalam pada itu Hiau-hu sudah mulai pulih tenaganya,
walaupun cahayanya masih lemah, tapi jauh lebih segar
daripada kemarin. Ia lihat bekas api unggun kemarin itu
sudah basah dan tidak dapat dinyalakan lagi. Terpaksa ia
harus menunggu terbitnya sang surya, ia pikir lebih
penting mencari bahan makanan dahulu.
Akan tetapi dia kurang mujur, pula tidak
berpengalaman, sesudah mencari kian-kemari tetap tiada
sesuatu binatang kecil yang diketemukan. Akhirnya ia
hanya memetik beberapa buah hutan yang tak diketahui
namanya, lalu dibawa kembali.
Cuaca pagi itu sangat bagus, sang surya
memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Semangat
Hiau-hu menjadi terbangkit sehingga rasa lapar pun
berkurang.
Setiba kembali di tempat api unggun kemarin, ia pikir
akan membiarkan Ubun-toako tidur lebih lama lagi, ia
lantas mengumpulkan sisa-sisa kayu dan rumput kering
yang masih agak lembab. Dengan susah payah akhirnya
api dapat dinyalakan.
Sementara itu hari sudah dekat lohor, dengan gembira
ria, Hiau-hu lantas kembali ke gua, serunya sambil
berlari-lari, "Toako, api sudah kunyalakan! Kau sudah
bangun belum, lekas keluar untuk mengeringkan
bajumu!"
Tiba-tiba dilihatnya Ubun Hiong duduk bersimpuh di
atas tanah tanpa bergerak, terhadap seruannya tadi
seperti tidak mendengar. Dikiranya pemuda itu sedang
melatih diri, segera ia mendekatinya dengan tindakan
perlahan-lahan.
Mendadak terdengar tenggorokan Ubun Hiong
mengeluarkan suara "krok-krok" yang aneh, sekonyongkonyong
dia melompat bangun, dengan mata merah
membara ia melotot ke arah Kang Hiau-hu dengan lagak
hendak mencengkeramnya.
Keruan Hiau-hu terkejut, cepat ia melompat mundur
sambil berseru, "He, kenapakah kau, Toako!"
Namun Ubun Hiong tidak menjawabnya, sebaliknya
bersuara mengerang dan berkata, "Bangsat, biarlah

kumampuskan kau!" Habis itu ia terus menerjang maju


dan menghantam.
"He, Toako, ini akulah adanya!" seru Hiau-hu sambil
berkelit. Akan tetapi dengan mata mendelik merah
kembali Ubun Hiong menubruk dan menghantam pula
berulang-ulang. Terpaksa Hiau-hu berkelit kian-kemari
dan menyingkir mundur, untuk menangkis tidak berani
karena kuatir melukai pemuda itu.
Sekonyong-konyong Hiau-hu keserimpet dan jatuh.
Dengan terbahak-bahak Ubun Hiong lantas menubruk
maju dan dapat . mencengkeramnya. "Hahaha! Hendak
lari kemana lagi kau?!" Habis ini ia lantas pentang mulut
hendak menggigit.
Hiau-hu meronta sekuatnya, sebelah tangannya
menampar "Plok," dengan tepat Ubun Hiong kena
ditempeleng sekali.
Untuk sejenak pemuda itu tertegun, pikirannya seperti
agak sadar. Ia menggumam, "O, aku ... aku ..."
"Apa kau sudah sadar, Toako? Aku telah memukul
kau, apakah sakit?" kata Hiau-hu dengan menyesal demi
nampak pipi si pemuda berjalur-jalur merah karena
tamparannya tadi.
"Kau ... kau jangan kabur lagi ya?" demikian Ubun
Hiong menggumam pula.
Hiau-hu menjadi malu dan takut pula, seketika
pikirannya menjadi kusut dan tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan
orang, "Bangsat kurangajar! Lekas lepaskan Sumoayku!"

"Darimana datangnya Suhengku? Tapi suara ini seperti


sudah kukenal!" pikir Hiau-hu dengan heran.
Dan sebelum dia sempat menoleh, terdengar suara
bentakan ayahnya dari jauh, "Siapa itu berani menghina
putriku?!"
Kiranya Kang Hay-thian suami-istri dan Yap Leng-hong
kebetulan melihat asap mengepul dari dasar lembah,
mereka merasa heran dan coba menyelidiki ke bawah.
Tak tersangka di sinilah mereka dapat menemukan Kang
Hiau-hu, tatkala itu tertampak Hiau-hu sedang dipegang
oleh Ubun Hiong dan keadaannya sangat terancam.
Mestinya Kang Hay-thian akan merunduk maju untuk
menolong putrinya, tak terduga Yap Leng-hong sudah
lantas mendahului bersuara. Sebab itulah terpaksa Kang
Hay-thian juga bersuara menggertak pihak lawan dengan
ilmu 'Say-cu-hau' (auman singa).
Karena Lwekang Kang Hiau-hu berasal dari ajaran
ayahnya, maka suara Lwekang Say-cu-hau itu hanya
membikin anak telinganya mendenging saja, sebaliknya
Ubun Hiong tidak tahan lagi, ia sudah terluka parah dan
sakit demam pula, demi mendengar getaran suara
Lwekang yang maha kuat itu, seketika ia memuntahkan
darah.
Dalam pada itu Kang Hay-thian sudah memburu tiba
secepat terbang, sebelum dekat, dimana dia berlalu,
dengan ujung kaki telah dicungkilnya beberapa potong
batu kecil dan disiapkan di tangan. Waktu jarinya
menjentik, sepotong batu kecil lantas disambitkan lebih
dahulu.
Ketika mendengar suara mendesirnya senjata rahasia,
Hiau-hu cukup kenal betapa lihai tenaga ayahnya, kalau

batu itu mengenai Ubun Hiong, mustahil jiwa pemuda itu


takkan melayang. Cepat ia rangkul Ubun Hiong dan
mengaling-alinginya dengan tubuh sendiri, berbareng itu
ia pun berteriak memanggil "ayah" dengan suara yang
gemetar.
Kang Hay-thian terkejut, cepat ia susulkan sambitan
batu kedua dengan tenaga lebih kuat sehingga batu
pertama tersusul dan terbentur melenceng dan lewat di
samping Hiau-hu tanpa melukainya.
Dalam pada itu secepat terbang Kang Hay-thian sudah
memburu tiba sampai di depan Kang Hiau-hu, perlahanlahan
ia mendorong pergi putrinya, lalu Ubun Hiong
dipegangnya.
"Ayah, jangan baru saja Hiau-hu hendak mencegah,
namun sebelah tangan Kang Hay-thian sudah
digaplokkan ke punggung Ubun Hiong.
Saking kuatirnya sampai Hiau-hu terpaku di
tempatnya. Dilihatnya tubuh Ubun Hiong Hiong rada
menggigil, tapi tidaklah seperti dugaannya dihantam
roboh oleh ayahnya.
"He, siapakah dia ini?" tanya Hay-thian dengan heran.
"Dia telah terluka parah, kemudian kena demam, lalu
berlatih secara paksa sehingga hawa murninya tersesat,
untunglah belum terlalu kasip, hanya pikirannya yang
sudah kacau."
Baru sekarang Hiau-hu tahu bahwa ayahnya tidak
bermaksud menghantam Ubun Hiong, sebaliknya telah
menggunakan tenaga saktinya untuk menolong pemuda
itu.

"Harap ayah suka bantu menyembuhkan dia," pinta


Hiau-hu. "Dia adalah penolong jiwaku."
Sementara itu Kok Tiong-lian juga sudah menyusul
tiba, ketika melihat keadaan Kang Hiau-hu, dengan kuatir
ia terus memeluknya sambil berkata, "O, anakku,
siapakah yang telah melukai kau sedemikian rupa?"
"Bukan dia ini, tapi adalah seorang penjahat yang
bernama Utti Keng," tutur Hiau-hu.
"Hay-ko, kau tidak memeriksa dulu putrimu?" seru
Tiong-lian.
"Sudah kuperhatikan sejak tadi," sahut Hay-thian.
"Anak Hu walaupun terluka, tapi tidak berbahaya, paling
sebulan kesehatannya pasti akan pulih. Tapi pemuda ini,
ai, rasanya rada-rada susah ..."
Hiau-hu menjadi cemas, katanya dengan suara kuatir,
"Yah, jiwaku ini adalah berkat pertolongan Ubun-toako
ini, maka sedapat mungkin ayah harus ... harus
menolongnya pula."
"Siapakah pemuda ini? Cara bagaimana kau bertemu
dengan dia? Coba ceritakan padaku," tanya Kok Tionglian
dengan ragu-ragu.
Maka berceritalah Hiau-hu tentang apa yang telah
terjadi ketika dia memergoki Ki Seng-in sehingga
akhirnya dia terluka bersama Ubun Hiong sesudah
mengalami pertarungan sengit dengan Utti Keng. Meski
dia telah bercerita sekian lamanya, tapi Ubun Hiong
masih belum sadar juga.
Diam-diam Tiong-lian mengakui juga Ubun Hiong
memang betul adalah tuan penolong putrinya dan

terhitung ksatria muda yang berjiwa luhur. Cuma


sebelum mengetahui asal-usulnya betapapun pemuda ini
masih harus disangsikan.
Tengah Hiau-hu bercerita, sementara itu Yap Lenghong
juga sudah datang. Meski dia tidak lengkap
mengikuti cerita si nona, tapi telah diketahuinya juga
bahwa pemuda yang tak dikenal ini adalah tuan
penolong sang Sumoay, bahkan dari nada Sumoaynya
dapat diketahui bahwa si nona sangat berterima kasih
kepada pemuda itu, malahan memperlihatkan pula
semacam perasaan yang susah dikatakan. Diam-diam
Leng-hong merasa cemburu, tapi lahirnya tidak
memperlihatkan sesuatu tanda, katanya kemudian, "Ya,
budi kebaikan Ubun-toako ini kita harus membalasnya
dengan baik."
"Menurut pendapatmu cara bagaimana kita harus
membalas budinya?" tanya Tiong-lian.
"Sesudah Suhu menyembuhkan dia, aku bersedia
mengantar dia pulang ke rumahnya," sahut Leng-hong.
"Untuk membalas budinya,
Suhu dapat memperkenalkan dia kepada Piau-kiok
besar kenalannya di kotaraja, bukankah dia berasal dari
keluarga tokoh Piau-kiok? Untuk urusan ini boleh
serahkan kepadaku saja."
"Bagus, usulmu ini sangat baik," ujar Tiong-lian.
"Bagaimana pendapatmu, Hay-ko, apakah lukanya
berhalangan? Bagaimana kalau dia diantar pulang oleh
Leng-hong? Anak Hu, sisa Siau-hoan-tan yang masih ada
padamu boleh kau bawakan kepada Suhengmu sekalian."

Belum lagi Kang Hay-thian menanggapi pertanyaan


istrinya, dengan cepat Hiau-hu sudah berkata, "Tidak,
menurut pesan ayahnya, dia dilarang berkecimpung di
kalangan Piau-kiok lagi. Kita tidak boleh membikin ...
membikin susah padanya
"Habis menurut pendapatmu cara bagaimana kita
harus mengurus dia?" tanya Tiong-lian dengan mengerut
kening.
Kiranya Kok Tiong-lian mempunyai perhitungan
sendiri. Sejak kedatangan Yap Leng-hong yang pintar
mengambil hatinya itu, maka diam-diam ia ada maksud
menjodohkan putrinya kepada sang keponakan.
Sekarang tiba-tiba muncul seorang Ubun Hiong yang
telah menyelamatkan putrinya, mau tak mau ia menjadi
repot menghadapi persoalan ini. Apalagi melihat sikap
Hiau-hu yang begitu gugup mendengar Ubun Hiong akan
diantar pulang, diam-diam Tiong-lian membatin, "Melihat
gelagatnya, agaknya anak Hu telah jatuh hati kepada
pemuda ini. Walaupun anak muda ini tampaknya boleh
juga, tapi mana dapat dibandingkan dengan
keponakanku sendiri?"
Dalam pada itu Kang Hiau-hu menjadi kikuk atas
pertanyaan ibunya tadi, dengan muka merah ia tidak
dapat menjawab.
"Biarlah aku menyembuhkan dia dahulu, segala urusan
dapat dibicarakan kelak," demikian kata Kang Hay-thian.
Hiau-hu menjadi girang. "Ya, betul, sesudah Ubun
Hiong-toako sembuh barulah kita bicara lebih jauh.
Sekarang belum lagi diketahui keadaan lukanya," katanya
cepat.

"Anak Hu, ini, beri hormat dahulu kepada Suhengmu,"


kata Tiong-lian.
Tempo hari karena Hiau-hu buru-buru berangkat,
maka dia tidak mengetahui tentang asal-usul Yap Lenghong.
Dengan heran ia bertanya, "Apakah paman Yap
ini?"
"Dia bukan pamanmu, tapi dia adalah kakakmisanmu,"
Tiong-lian menerangkan.
Pada saat itulah mendadak terdengar tenggorokan
Ubun Hiong mengorok, terus memuntahkan sekumur
darah mati.
Hiau-hu terkejut, sebaliknya Hay-thian merasa lega,
katanya, "Baiklah, akhirnya dia dapat tertolong." Namun
demikian, terlihat keningnya masih mengerut, suatu
tanda sedang memikirkan sesuatu.
Perlahan-lahan Ubun Hiong telah siuman, ketika
melihat banyak orang mengelilinginya, ia menjadi kaget.
"Toako, ayah-ibuku telah datang, ayahku yang telah
menyelamatkan kau," seru Hiau-hu.
"Ah, kiranya adalah Kang-tayhiap, terimalah hormat
Wanpwe," seru Ubun Hiong dan bermaksud memberi
sembah hormat. Akan tetapi kaki-tangannya sudah tidak
mau diperintah lagi.
Cepat Hay-thian menahannya, katanya, "Jangan
banyak adat. Kau telah menolong putriku, untuk inipun
aku belum mengucapkan terima kasih padamu. Kau she
Ubun, apakah kau berasal dari Kongciu?"
"Betul," sahut Ubun Hiong. "Darimana Kang-tayhiap
mendapat tahu?"

"Ubun Long pernah apamu?" tanya Hay-thian pula.


"Beliau adalah ayahku," sahut Ubun Hiong.
"Haha, ketika aku bantu menguatkan tenagamu, aku
merasa Lwekangmu ini berasal dari golongan Kim-kongdang,
diketahui pula kau she Ubun, aku menduga kau
pasti keluarga Ubun Long dan ternyata memang benar.
Jika demikian kita bukan lagi orang luar!"
Mendengar ucapan ayahnya ini. Kang Hiau-hu
bertambah girang, serunya, "He, Ubun-toako, kiranya
kita ada hubungan kekeluargaan, mengapa tidak kau
katakan sejak mula. Yah, dia membawa pula surat
tinggalan ayahnya yang dialamatkan kepadamu."
Kiranya Ubun Long adalah murid pertama In Ciau, Incengcu
dari Cui-in-ceng di Kengciu. In Ciau mempunyai
seorang putra dan seorang putri. Putranya, In Khing,
memperistri saudara angkat Kang Hay-thian, yaitu putri
tabib sakti Hoa Thian-hong dari Hoa-san. Sedangkan
putri In Ciau yang bernama In Bik adalah istri kakak
kedua Kok Tiong-lian, yaitu Danu Cu-mu yang kini
menjadi raja Masar. Sebab itulah hubungan kekeluargaan
antara Kang Hay-thian dan In Ciau cukup akrab {tentang
In Ciau dan putra-putrinya dapat dibaca dalam cerita
Peng Ho Swe Kiam/Kisah Pedang di Sungai Es).
Dahulu waktu Kang Hay-thian masih bujangan dan
bertemu di rumah In Ciau, di situ dia berkenalan dengan
Ubun Long. Habis itu mereka tidak pernah berjumpa
pula. Walaupun ucapan Kang Hiau-hu agak berlebihan
tentang "hubungan kekeluargaan" segala, tapi sedikit
banyak memang boleh dikata ada hubungan
persahabatan. Namun bagi pendengaran Yap Leng-hong
tentu saja menimbulkan perasaan tak enak. Tapi lantas

terpikir olehnya, "Biarpun dia pernah ada sedikit


hubungan dengan keluarga Kang tapi mana dapat
dibandingkan aku yang masih terhitung keponakan ibu
guruku sendiri."
Sementara itu Ubun Hiong telah bicara, "Sungguh
malang ayah telah meninggal dunia, beliau meninggalkan
surat dan suruh Siautit berkunjung kepada Kangtayhiap."
"Tentang kemalangan ayahmu, tadi aku sudah
mendengar dari cerita anak Hu," kata Hay-thian.
"Dimanakah suratnya?"
"Di dalam bajuku," sahut Ubun Hiong. Karena tidak
leluasa bergerak, maka Kang Hay-thian lantas mengambil
sendiri surat itu.
Kiranya surat Ubun Long itu menyatakan bahwa dia
menginsyafi hayatnya tidak lama lagi di dunia fana ini,
maka mohon Kang Hay-thian suka memupuk putranya.
Tentang barang kawalannya yang dirampas orang itu
adalah soal biasa di dunia Kangouw, maka bukan
maksudnya menyuruh putranya menuntut balas, hanya
saja putranya diharapkan akan dapat mengalahkan
musuh dan merebut kembali barang kawalan, untuk itu
diharapkan Kang Hay-thian mengingat hubungan baiknya
dengan gurunya, yaitu In Ciau, dan suka membantu
serta mendidik putranya supaya cita-citanya itu dapat
terkabul.
Jadi maksud isi surat ini sebenarnya Ubun Long minta
agar Kang Hay-thian suka menerima putranya sebagai
murid, cuma saja hal ini tidak dikemukakan secara tegas.

Diam-diam Hay-thian berpikir sesudah membaca surat


itu, "Keadaan Ubun Long berbeda dari Li Bun-sing.
Persengketaan orang Kangouw seperti dia itu
sesungguhnya aku tidak ingin ikut campur. Hanya secara
kebetulan begal yang merampas barang kawalannya itu
justru adalah penjahat yang menculik pula putra Li Bunsing,
maka terpaksa aku tidak dapat tinggal diam."
Sekilas dilihatnya pula keadaan Ubun Hiong yang
payah itu, maka terpikir lagi olehnya, "Dia telah
menolong jiwa putriku, tentang membantu dia menuntut
balas adalah soal kemudian, paling perlu sekarang aku
harus menyelamatkan dia dulu."
Maka kemudian ia berkata, "Tentang wafatnya
ayahmu, apakah pernah kau beri kabar kepada kakek
gurumu?"
"Kakek guru sekeluarga sudah pindah dan bermukim
di negeri Masar, karena perjalanan terlalu jauh, maka
belum mengirim kabar," sahut Ubun Hiong.
"Kakek gurumu terkenal dengan Tay-lik-kim-kongciang
yang tiada bandingannya, cuma saja sangat
memakan tenaga untuk melatihnya, entah ilmu kakek
gurumu itu sudah berapa lama kau latih?" tanya Haythian.
"Sudah delapan tahun lamanya," sahut Ubun-Hiong .
"Dan berapa umurmu tahun ini?" tanya Hay-thian.
"Tepat berumur delapan belas," sahut Ubun Hiong.
"Jika demikian kau sudah berlatih sejak berumur
sepuluh. Untuk melatih Kim-kong-ciang diperlukan
tenaga yang kuat, ayahmu membiarkan kau melatihnya

sejak masih anak-anak, hal ini menandakan


pembawaanmu memang lain daripada yang lain."
"Di waktu kecil tenagaku memang mampu
membandingi orang dewasa, tapi sekarang, ai bila
teringat keadaan sendiri yang payah sekarang, seketika
Ubun Hiong menjadi muram.
"Ayahmu menginginkan kau berlatih ilmu dengan lebih
tinggi agar dapat mengalahkan musuh dan merebut
kembali barang kawalan yang hilang itu," kata Hay-thian.
"Cuma saja keadaanmu sekarang agaknya tidaklah cocok
untuk berlatih Kim-kong-ciang yang memerlukan tenaga
kuat."
"Ya, entah kapan kesehatanku baru dapat pulih
kembali, tentang menuntut balas kukira tiada harapan
lagi," sahut Ubun Hiong dengan tersenyum getir karena
insyaf Lwekang sendiri yang telah lumpuh sekarang.
"Kim-kong-ciang adalah ilmu yang mengutamakan
kekerasan tenaga, dalam ilmu pedang Thian-san ada
semacam Si-mi-kiam-hoat yang mengutamakan
kelemasan, jika dilatih bersama Kim-kong-ciang, maka
perseimbangan antara keras dan lemas itu akan sangat
berguna bagi yang melatihnya untuk menghemat
tenaga," demikian Hay-thian menutur. "Kau telah
menolong jiwa putriku, sebagai balas budimu, entah kau
suka belajar ilmu dari golongan lain atau tidak? Jika kau
suka, maka bolehlah aku mengajarkan Si-mi-kiam-hoat
padamu sebagai balas jasa kebaikanmu."
"Jadi kau bersedia menerima Ubun-toako sebagai
murid ayah?" seru Hiau-hu dengan girang.

"Aku cuma membalas budi kebaikannya saja, Ubunsuheng


mempunyai perguruan sendiri, mana boleh aku
merebut cucu murid In-loenghiong," ujar Hay-thian
dengan tertawa.
Tiba-tiba Ubun Hiong berkata, "Aku hanya secara
kebetulan memergoki dan menghalau musuh bersamasama
putri Kang-tayhiap, soal membela keadilan di dunia
Kangouw adalah hal-hal yang jamak, iika menginginkan
balas jasa apa-apa, itu bukan lagi perbuatan seorang
ksatria!"
Kang Hay-thian berbalik rikuh mendengar jawaban si
pemuda, tanyanya, "Jadi kau tidak sudi menerima
hadiahku, tidak mau belajar Si-mi-kiam-hoat?"
"Bila Kang-tayhiap mengajarkan kepandaian kepadaku
dalam kedudukan sebagai Suhu, sudah tentu akan
kuterima dengan senang hati, tapi kalau dimaksudkan
sebagai balas jasa apa segala, maka sekali-kali aku tidak
berani menerimanya."
Hay-thian tertawa mendengar ucapan yang jitu itu,
katanya, "Baiklah, jika demikian, sementara ini bolehlah
kau menjadi calon muridku, bilamana kakek gurumu
nanti mengizinkan barulah kelak kau mengadakan
upacara pengangkatan guru secara resmi padaku."
Semula Kok Tiong-lian merasa kurang senang melihat
sang suami bermaksud menerima Ubun Hiong sebagai
murid, pikirnya, "Aku justru ingin menjauhkan mereka,
tapi Hay-ko malah menerimanya sebagai murid, apakah
ini takkan membikin susah?"
Namun Kok Tiong-lian juga seorang yang berjiwa
luhur, sesudah melihat keadaan Ubun Hiong yang parah,

akhirnya ia dapat pula memahami maksud baik sang


suami. Tentang hubungan Hiau-hu di antara kedua
Suhengnya nanti, mau tak mau terserahlah kepada
keadaan dan nasib masing-masing.
Hiau-hu sendiri sangat senang ketika sudah terang
ayajmya telah mengakui Ubun Hiong sebagai murid,
segera ia berkata, "Ubun-toako, mulai sekarang aku akan
memanggil kau sebagai Jisuko (kakak seperguruan
kedua)."
Sudah tentu hati Yap Leng-hong sangat tidak enak,
tapi ia terpaksa tersenyum dan memanggil "Sute" juga
kepada Ubun Hiong.
Kok Tiong-lian lantas berkata pula, "Leng-hong adalah
murid pewaris perguruan, selanjutnya harus memberi
bimbingan kepada Sute dan Sumoaynya. Dan kau, anak
Hu, Leng-hong adalah Piaukomu, Hiong-ji juga ada
hubungan kekeluargaan turun temurun dengan kita,
kalian bertiga sekarang adalah saudara seperguruan
pula, maka selanjutnya kalian harus bergaul lebih akrab
sebagai sesama anggota keluarga sendiri."
Leng-hong dan Ubun Hiong sama-sama mengiakan.
Lebih-lebih Hiau-hu, dengan senang ia berkata, "Ibu
jangan kuatir, aku tidak punya kakak, maka aku akan
menganggap kedua Suheng ini sebagai kakakku sendiri,
takkan berkelahi dan takkan bertengkar dengan mereka."
Sebenarnya dengan ucapan Kok Tiong-lian tadi secara
samar-samar ia telah sengaja menonjolkan hubungan
Yap Leng-hong dengan keluarga Kang yang lebih rapat
daripada Ubun Hiong. Sudah tentu Ubun Hiong tidak
pernah memikirkan maksud lain di balik kata-kata ibu
gurunya itu. Sebaliknya Yap Leng-hong adalah pemuda

yang cerdik, diam-diam ia merasa senang, pikirnya,


"Bocah itu tidak lebih cakap daripadaku, entah
bagaimana ilmu silatnya, tapi sekarang dia dalam
keadaan payah, bilamana keadaannya pulih kembali,
tatkala itu kepandaianku tentunya juga sudah maju dan
di atasnya. Sumoay tampaknya rada rapat dengan dia,
hal ini adalah karena dia telah menolong jiwa Sumoay.
Tapi kelak lama kelamaan Sumoay tentu akan merasa
segalanya aku lebih baik daripada bocah ini dan mustahil
dia takkan penujui diriku? Apalagi ibunya juga berdiri di
pihakku. Haha, dapat menangkan sainganku dan
merebut hati si cantik, cara demikianlah baru benarbenar
menyenangkan."
Kang Hay-thian sendiri tidak mempunyai pikiran
panjang dan berbelit-belit sebagaimana sang istri, yang
dia harapkan hanya tenteramnya hati saja. Maka sesudah
menerima murid baru, terasa senanglah hatinya, katanya
kemudian kepada istrinya, "Sekarang kita sudah
ketemukan anak Hu, maka rencana kita semula harus
berubah sedikit. Kau boleh pulang dahulu bersama anak
Hiong dan anak Hu, rawatlah luka mereka. Keadaan anak
Hu rasanya tidak berhalangan, tapi luka anak Hiong
harus diperhatikan, selain diberi obat, sekalian ajarkan
dia berlatih Lwekang. Sebatang Jinsom tua yang masih
tersimpan di rumah itu bolehlah diminumkan padanya.
Nanti sesudah aku pulang baru akan kuajarkan dia Si-mikiam-
hoat."
Setelah memberi pesan kepada istrinya, lalu ia
berpaling kepada Yap Leng-hong dan berkata pula, "Kau
punya Samsute berada di cengkeraman penjahat, kita
masih harus menemukannya kembali. Kau boleh ikut aku
ke Tekciu lebih dulu untuk menemui Nyo-pangcu dari

Kay-pang. Kita telah minta bantuannya, sesudah sekian


hari boleh jadi dia sudah mendapatkan kabar-kabar yang
berfaedah bagi kita."
Karena mesti berpisah dengan Kang Hiau-hu, dengan
sendiri timbul iri dalam hati Yap Leng-hong. Tapi demi
teringat akan menambah pengalaman Kangouw dengan
ikut serta dalam perjalanan sang guru, kesempatan
bagus ini susah untuk dicari lagi, maka ia pun menjadi
senang dan menurut saja.
Begitulah segera Kang Hay-thian menggendong Ubun
Hiong dan Kok Tiong-lian menggendong Kang Hiau-hu,
dengan Ginkang mereka yang tinggi, mereka terus
mendaki ke atas melalui tebing-tebing yang curam.
Walaupun bertangan kosong dan sudah mengeluarkan
segenap tenaga toh Yap Leng-hong masih tak dapat
menyusul mereka dan terkadang Kang Hay-thian harus
berhenti dahulu untuk menunggunya.
Diam-diam Leng-hong merasa malu dan senang pula,
ia merasa beruntung mendapatkan seorang guru pandai,
bilamana kelak ia dapat memperoleh setengah dari
kepandaian gurunya, maka sudah puaslah baginya.
Sambil berjalan Kang Hay-thian bertanya pada Ubun
Hiong tentang asal-usul dan muka Utti Keng. Kang Hiauhu
juga menceritakan pula pengalamannya ketika
bertempur melawan Utti Keng dan istrinya.
Sesudah jelas Kang Hay-thian menanyakan
keterangan mereka, lalu katanya, "Jian-jiu-koan-im Ki
Seng-in itu pernah menyampaikan pesannya kepada
kakekmu melalui dayangnya, katanya dia tidak
bermaksud jahat terhadap putra Li Bun-sing.
Tampaknyahal ini tidaklah dusta."

"Darimana ayah mengetahui?" tanya Hiau-hu.


"Kau telah memapas rambutnya, tapi sesudah kau
terluka parah, kesempatan itu dapat digunakan olehnya
untuk membunuh kau, bukankah hal ini tak dilakukan
olehnya.?"
"Ini disebabkan dia jeri kepada keluarga Kang kita,"
kata Hiau-hu.
"Tapi kau tak dibunuhnya, bukankah ini lebih
membahayakan dia di kemudian hari?" ujar Hay-thian.
"Maka menurut pendapatku tentu ada sebab-sebabnya
dia menculik putra Li Bun-sing, dan tak dapat disamaratakan
dengan anjing pemburu kerajaan yang
bermaksud membikin celaka bocah itu. Pula, dia tak
membunuh kau, hal ini menandakan dia sesungguhnya
bukan manusia yang kejam."
"Tapi mereka telah merampas pedang dan kudaku,
Jisuko telah dilukai pula separah ini, masakah ayah
bermaksud mengampuni mereka," kata Hiau-hu dengan
uring-uringan.
Karena ingin mengambil hati sang Sumoay, segera
Leng-hong menimbrung, "Betul, Suhu, kedua bangsat itu
terlalu kurangajar, masakah berani main gila kepada
Suhu, jangan sekali-kali Suhu mengampuni dosa mereka
itu."
"Aku sudah berjanji akan membela putra Li Bun-sing
itu, mana boleh aku tinggal diam tanpa bertindak?" sahut
Hay-thian dengan sungguh-sungguh. "Tentang pedang
dan kudamu yang hilang itu sudah tentu aku akan
berusaha menemukannya kembali dari pihak penjahat
itu. Tapi hendaklah kalian ingat, tindakanku ini bukanlah

demi martabat keluarga Kang kita. Segala sesuatu harus


bicara tentang kebenaran, kalau benar tak perlu gentar
kepada siapa pun juga, kalau salah harus mengaku salah
dan jangan main menang-menangan meski kalian adalah
putri dan murid Kang Hay-thian. Memangnya apakah
lantaran kalian adalah putri dan murid Kang Hay-thian,
lalu orang lain harus mengalah padamu? Jika demikian
jalan pikiran kalian, tentu kelak kalian akan mengalami
kesukaran sendiri dan aku pun tak sudi membela orang
yang salah, bahkan aku yang lebih dulu akan memberi
hukuman yang setimpal. Untuk ini hendaklah kalian
camkan betul-betul."
Hiau-hu menunduk dan terdiam dengan mengembeng
air mata atas petuah sang ayah. Sebaliknya Yap Lenghong
menjadi lebih kenal siapakah Kang Hay-thian
sebenarnya, diam-diam ia bertambah prihatin dan
merasa lebih sukar mengambil hati gurunya daripada ibu
guru.
Tengah bicara, mereka pun sudah keluar dari lembah
sunyi itu. Hay-thian menyuruh Yap Leng-hong mencari
sebuah kereta ke kampung yang berdekatan, dengan
kereta itu Hiau-hu dan Ubun Hiong dikirim pulang di
bawah pengawalan Kok Tiong-lian. Sedangkan Hay-thian
sendiri bersama Leng-hong lantas menuju ke Tekciu.
Melihat kedatangan Kang Hay-thian, pemimpin Kaypang
di Tekciu, Nyo Pit-tay, menyambutnya dengan
gembira dan menahannya untuk tinggal beberapa hari di
situ. Hay-thian juga tahu dalam Kay-pang adalah cara
mengirim berita dengan burung merpati, maka ia pun
tidak menolak dan tinggal sementara di markas Kay-pang
daripada mencari berita sendiri tanpa arah tujuan. Dan
benar juga dua hari kemudian, datanglah sebuah berita.

Berita ini dikirim dari cabang Kay-pang di Khayhong


dengan merpati dan mengatakan bahwa tokoh Kay-pang
yang bernama Goan It-tiong telah melihat penjahat yang
dicari dalam perjalanan di sekitar Ting-to-koan, yang
memergoki penjahat itu terdapat pula Kam Jin-liang dan
Lim Seng dari Bin-san-pay, mereka telah bergebrak
dengan musuh, adalah keterangan yang lebih jelas akan
disampaikan sendiri oleh Goan It-tiong bertiga yang kini
sedang menuju ke Tekciu untuk menemui Kang Haythian.
Nyo Pit-tay terkejut mendapat laporan itu, katanya,
"Goan-hiangcu sudah mewarisi kepandaian Tiongpangcu,
ditambah bantuan Kam-cianpwe dan Limcianpwe
dari Bin-san, tapi mereka toh tak dapat
membekuk musuh, agaknya mereka malah kecundang.
Jika demikian jelaslah musuh teramat lihai. Sekarang
musuh sudah berada di wilayah Holam, rasanya harus
minta paderi sakti Siau-lim-si ikut turun tangan."
Bahwasannya Utti Keng telah melukai Kang Hiau-hu,
sudah tentu Kang Hay-thian dapat menilai betapa
kepandaiannya, maka ia tidak kaget sebagaimana Nyo
Pit-tay, hanya saja ia pun merasa di luar dugaan bahwa
kepandaian Utti Keng suami-istri ternyata melampaui
perkiraannya semula.
Tatkala itu Kay-pang sekte utara dan sekte selatan
sudah berfusi, sudah bergabung menjadi satu. Pangcu
sekte selatan semula, Ek Tiong-bo, kini sudah pensiun
dengan gelar Tianglo (sesepuh), segala urusan organisasi
telah dipegang semua oleh Pangcu sekte utara yang kini
sudah merupakan Kay-pang kesatuan, yaitu Tiong Tiangthong.

Goan It-tiong itu adalah murid pertama Tiong Tiangthong


dan sudah berhasil meyakinkan Kun-goan-it-khikang
dan ilmu silatnya sekarang terhitung jago nomor
tiga di dalam Kay-pang, hanya lebih rendah daripada
gurunya serta wakil Pangcu Ko Thian-hong.
Adapun Kam Jin-liong adalah putra Kam Hong-ti,
pendekar besar termasyhur di masa beberapa puluh
tahun yang lalu, sedangkan Lim Seng adalah murid
angkatan ketiga dari Bin-san-pay. Usia kedua orang
itupun sudah lanjut dan juga sudah lama merupakan
sesepuh Bin-san-pay.
Pendek kata mereka bertiga adalah tokoh-tokoh
terkemuka dari dunia persilatan. Tapi dengan tenaga
gabungan mereka bertiga toh masih kecundang, tentu
saja hal ini membuat Nyo Pit-tay terkejut dan agak di
luar dugaan Kang Hay-thian.
Maka Hay-thian lalu berkata, "Ting-to-koan terletak di
perbatasan Holam dan Soatang, berita itu diterima
cabang kalian di Khayhong, lalu diteruskan ke sini,
rasanya peristiwa itu sedikitnya terjadi pada dua-tiga hari
yang lalu. Sekarang mereka bertiga sedang menuju
kemari, tentu akan dapat tiba besok atau lusa. Biarlah
kita tunggu mereka dulu untuk mengetahui duduk
perkara yang sebenarnya dan tidaklah perlu membikin
repot para paderi sakti Siau-lim-si."
Karena itu maka urunglah maksud Nyo Pit-tay hendak
minta bantuan kepada Siau-lim-si.
Benar juga, besoknya waktu lohor, Goan It-tiong
bertiga sudah datang. Tatkala itu Kang Hay-thian sedang
asyik bicara dengan para tokoh persilatan kota Tekciu.

Maka Goan It-tiong bertiga segera dikerumuni untuk


ditanya mengenai pengalaman mereka.
"Kami telah menerima Eng-hiong-tiap dari Kangtayhiap,"
demikian Kam Jin-liong mulai bicara, "maka
anak murid Bin-san-pay lantas kami kerahkan untuk
mencegat ke berbagai jurusan untuk menghadang
musuh. Aku satu jurusan bersama Lim-sute dan
kebetulan di daerah Ting-to-koan kami melihat Goanhiangcu
sedang bergebrak dengan penjahat itu."
"Kedua penjahat itu terdiri dari suami-istri, tapi tidak
membawa anak kecil," sambung Goan It-tiong. "Semula
aku merasa ragu-ragu apakah mereka itulah sasaran
yang dimaksudkan Kang-tayhiap atau bukan. Belakangan
kami menjadi yakin karena mengenali kuda mereka
adalah milik keluarga Kang-tayhiap, berdasar itu pula
kami lantas menghadang dan menegur mereka."
Yang paling diperhatikan Hay-thian adalah putra Li
Bun-sing, maka ia menjadi kecewa demi mendengar
penjahat-penjahat itu tidak membawa serta anak kecil.
"Penjahat berewok itu benar-benar sangat ganas,"
demikian Goan It-tiong meneruskan. "Begitu ditegur
tentang putra Li Bun-sing, serentak ia menjawab aku
dengan cambukan, dengan bertangan kosong aku lantas
melayani dia. Maksudku hendak menangkapnya hiduphidup
untuk ditanyai, maka aku tidak berani
sembarangan menggunakan Kun-goan-kang. Kepandaian
bangsat itupun sangat lihai, aku tidak dapat merebut
cambuknya, sebaliknya malah kena tercambuk dua kali.
Bangsat wanita itu bahkan lantas membentak, 'Anak Li
Bun-sing bukan urusan kalian, kalau ingin hidup
hendaklah lekas enyah!', sedangkan bangsat berewok itu

juga membentak, 'Mana boleh membiarkan dia enyah,


bunuh dan habis perkara!', lalu ia menerjang dengan
kudanya, beruntun cambuknya menyabet pula. Aku
menjadi murka, kontan aku menghantamnya dengan
Kun-goan-kang. Bangsat itu tergeliat di atas kudanya,
tapi tidak sampai terperosot jatuh. Pada saat itulah
pedang si bangsat wanita juga telah menyambar ke
arahku, saking cepatnya aku tidak sempat menghindar.
Ai, benar-benar memalukan!"
Sampai di sini ia lantas menanggalkan kopiahnya,
maka tertampaklah sebagian rambutnya tercukur sampai
kelihatan kulit kepalanya.
"Sejak berkecimpung di dunia Kangouw, belum pernah
aku mengalami kecundang seperti ini," kata It-tiong pula
"Tapi harus diakui pula, tebasan bangsat wanita yang
sangat cepat itu sebenarnya dapat membikin jiwaku
melayang, tapi rupanya dia sengaja bermurah hati
padaku."
Mendengar itu, semua orang ikut terperanjat. Diamdiam
Kang Hay-thian membatin pula, "Untunglah Utti
Keng itu telah mengalami cidera lebih dulu di lembah
sunyi itu, kalau tidak, pasti Goan It-tiong akan menderita
lebih hebat lagi. Rupanya Ki Seng-in telah terpapas
rambutnya oleh anak Hu, maka ia pun membalas dengan
cara yang sama atas diri Goan It-tiong, dasar pikiran
wanita yang sempit."
Dalam pada itu Kam Jin-liong lantas menyambung
lagi, "Pada saat berbahaya itu, kebetulan aku dan Limsute
menyambitkan Tau-kut-ting (paku penembus
tulang) dan sebuah di antaranya mengenai bangsat
berewok itu, cuma sayang tidak kena di tempat yang

mematikan. Pedang yang digunakan bangsat wanita itu


adalah pedang pusaka, paku-paku Lim-sute itu kena
disampuk jatuh olehnya dan hancur. Pedang pusaka itu
tampaknya mirip ... mirip dengan..."
"Ya, memang betul aku punya Cay-in-pokiam yang
telah dirampas oleh bangsat berewok itu dari tangan
putriku," kata Hay-thian.
"Dengan kuda dan pedang rampasan yang hebat itu,
kedua bangsat itu benar-benar seperti harimau tumbuh
sayap, mungkin sukar untuk diburu lagi," sambung Kam
Jin-liong. "Waktu itu kami bertiga mestinya dapat
menangkan mereka berdua. Dengan Pek-poh-sin-kun
(pukulan sakti dalam seratus langkah) aku telah
mencoba pukulan Pik-khong-ciang si bangsat berewok,
boleh jadi lantaran telah kehilangan tenaga ketika
mengadu pukulan dengan Khun-goan-kang dari Goansuheng,
ia telah menyemburkan darah, sebaliknya aku
terjatuh dari kudaku. Cuma kudanya teramat cepat,
begitu terluka ia lantas kabur bersama istrinya."
Setelah mendengarkan kisah Goan It-tiong bertiga,
akhirnya Nyo Pit-tay berkata, "Sekarang terpaksa kita
mengirimkan berita kepada kawan-kawan Kangouw
untuk mencari tahu jejak bangsat itu. Bilamana
mendapat kabar, segera Kang-tayhiap akan
membekuknya sendiri."
Diam-diam Kang Hay-thian merasa susah juga, Jikliong-
ki dan Pek-liong-ki, kedua kudanya yang bagus itu
teramat cepat larinya, untuk mencari jejak musuh benarbenar
tidaklah gampang.
Tengah bicara, tiba-tiba terdengar suara kuda
meringkik disertai suara derapan yang berdetak-detak

cepat, semula kedengaran masih jauh, tapi dalam waktu


singkat saja sudah sampai di depan pintu.
Nyo Pit-tay terkejut, "Cepat amat kedua ekor kuda
itu!" pujinya.
Kang Hay-thian juga rada heran, katanya, "Leng-hong,
coba kau keluar melihat siapakah yang datang itu?"
Waktu Leng-hong sampai di luar, di situ sudah ada
beberapa anak murid Kay-pang yang sedang pasang
mata. Tertampaklah dua ekor kuda sedang mendatangi
secepat terbang, setiba di depan pintu mendadak lantas
berhenti.
Leng-hong sangat terperanjat ketika mengenali kedua
penunggang kuda itu. Kiranya pendatang itu adalah
seorang laki-laki dan seorang wanita. Yang lelaki itu
penuh berewok, yang wanita adalah Ki Seng-in yang
pernah mengalahkannya tempo hari. Walaupun laki-laki
berewok itu belum dikenalnya, namun dari cerita Kam
Jin-liong dan Ubun Hiong tadi dapatlah diduga dia pasti
suami Ki Seng-in, yaitu Utti Keng adanya. Dan kedua
ekor kuda yang mereka tunggangi itu tak lain tak bukan
adalah milik Kang Hay-thian, yaitu Jik-liong-ki dan Pekliong-
ki.
"Kang-tayhiap berada di sini, bukan?" segera Utti Keng
bertanya dengan suara lantang sambil mengacungkan
pecutnya.
Karena tidak tahu siapa dia, maka anak murid Kaypang
itu tidak berani memberi jawaban. Sebaliknya Yap
Leng-hong merasa dijagoi gurunya, hatinya menjadi
tabah, segera ia mencabut pedang dan membentak,
"Bangsat kurangajar, kami justru ingin mencari kau,

sekarang kau datang cari mampus sendiri. Ini, lihat


pedang!"
Akan tetapi dengan tenang-tenang saja Utti Keng dan
Ki Seng-in turun dari kuda sambil kebut-kebut debu yang
memenuhi pakaian, terhadap teriakan Yap Leng-hong itu
mereka tak menggubrisnya.
"Siapakah bocah ingusan ini?" demikian Utti Keng
bertanya kepada istrinya dengan acuh tak acuh.
Di sebelah lain, meski sikapnya garang, tapi
sebenarnya hatinya jeri. "Apakah Suhu tidak mendengar
suaraku tadi?" demikian pikir Leng-hong. Rupanya ia
memperhitungan pada saat dia mulai bergebrak dengan
musuh, pada saat itu pula gurunya juga sudah muncul,
dengan demikian dia akan kelihatan gagah berani, tapi
juga tidak sampai dikalahkan musuh.
Karena itu sambil memutar pedangnya, Yap Lenghong
hanya memburu maju dua-tiga langkah, lalu
berhenti dengan maksud mengulur tempo.
Tiba-tiba terdengar Ki Seng-in berkata, dengan
tertawa pada suaminya, "Bocah ini adalah orang yang
mengawal anak itu ke rumah keluarga Kang bersama
Siau Ci-wan tempo hari. Melihat sikapnya ini terang sekali
Kang Hay-thian tentu berada di sini."
Rupanya Yap Leng-hong sudah kapok terhadap Ki
Seng-in suami-istri itu yang mulai memapak ke arahnya.
Leng-hong menjadi gugup dan segera berteriak-teriak
pula, "Suhu, Su
"Kedatangan kami bukan untuk berkelahi. Apakah
Kang-tayhiap adalah gurumu? Bagus, sangat kebetulan!"
kata Utti Keng dengan tertawa.

Dan sebelum Yap Leng-hong sempat meneruskan


teriakannya, tiba-tiba genggaman tangannya terasa
kesemutan, tanpa terasa pedangnya terlepas dari
cekalan dan jatuh ke atas tanah.
"Terimalah ini!" bentak Utti Keng pula sambil
mengayun sebelah tangannya, suatu benda kehitamhitaman
secepat kilat lantas menyambar ke arah Yap
Leng-hong.
Karena tidak sempat membedakan benda apakah itu,
secara otomatis Leng-hong lantas menangkap benda itu
dengan cara seperti menangkap senjata rahasia musuh.
Ia merasa benda itu sangat keras, tapi tidak menyakitkan
tangannya, rupanya musuh tidak menimpuk dengan
tenaga yang kuat. Waktu diperiksanya, kiranya benda itu
adalah sebuah kotak persegi yang biasanya berisi kartu
nama untuk dipersembahkan kepada tuan rumah.
Kiranya Utti Keng telah membersihkan sebutir tanah
liat yang melekat pada berewoknya, tanah itu lalu
digunakan untuk menimpuk tangan Yap Leng-hong
sehingga pedangnya terlepas, menyusul kotak kecil itu
lantas dilemparkan pula kepada pemuda itu.
"Kau bocah ini sesungguhnya tidak kenal adat, tapi
mengingat gurumu, tidak perlu kuperkarakan lebih jauh.
Hendaklah kotak itu lantas kau sampaikan kepada
gurumu saja," kata Utti Keng.
Muka Yap Leng-hong menjadi merah. Tapi kotak kecil
itu adalah untuk gurunya, ia tidak berani membuangnya.
Sementara itu seorang murid Kay-pang telah menjemput
pedangnya yang jatuh tadi dan berkata padanya, "Tamu
yang datang ini ingin bertemu dengan Kang-tayhiap,
maka biarlah kita laporkan saja kepada beliau."

"Bagus, anak murid Kay-pang memang lebih tahu


aturan Kangouw daripada bocah ingusan yang tengik
ini," kata Utti Keng dengan tertawa. "Nyo-thocu adalah
tuan rumah di sini, sebagai tamu, kami harus
menghormatinya pula. kotak kecil itu tolonelah dibawa
masuk sekalian."
Keruan Yap Leng-hong sangat mendongkol karena
diolok-olok, bahkan didengarnya kedua tamu suami-istri
itu sedang bicara sendiri dan menyindirnya pula
mengapa Kang-tayhiap menerima seorang murid yang
demikian tengik dan tak becus?
Ia kuatir mendengar sindiran-sindiran dan olok-olok
yang lebih menyinggung lagi, cepat saja ia putar tubuh
dan berlari masuk ke dalam.
Dan baru saja dia bersama murid Kay-pang tadi
mempersembahkan kotak kecil itu, tiba-tiba terdengar
suara Utti Keng berkumandang dari luar, "Utti Keng dari
Liautang mohon bertemu dengan Kang-tayhiap!" Nyata
yang digunakan adalah ilmu mengirimkan gelombang
suara dan secara tepat diucapkan pada saat kotak kartu
namanya dihaturkan.
Para ksatria terkejut semua. "Hahaha, besar juga nyali
sobat Kangouw ini, kukira boleh juga ditemui," ujar Kam
Jin-liong sambil tertawa.
Cepat Leng-hong ikut membuka suara, "Suhu,
penjahat ini Belum sempat dia bicara lebih lanjut, Kang
Hay-thian sudah memberi tanda agar semua orang diam.
"Jika sobat ini minta bertemu secara terhormat, maka
kita juga harus menerimanya dengan baik-baik," kata

Hay-thian, lalu ia pun berseru, "Orang she Kang berada


di sini, silakan masuk!"
Ucapan Kang Hay-thian ini kedengarannya perlahan,
tapi nyaring berkumandang jauh, bukan saja Utti Keng
suami istri dapat mendengar dengan jelas, bahkan
segenap anggota Kay-pang yang berada di sekitar
perumahan Kay-pang itupun dapat mendengarnya.
Teranglah Lwekang Kang Hay-thian itu entah betapa
jauh lebih tinggi kalau dibandingkan Utti Keng.
Dengan langkah lebar segera Utti Keng dan istrinya
masuk ke dalam. Dengan perasaan tegang para ksatria
menantikan kejadian selanjutnya, entah cara bagaimana
Kang Hay-thian akan menghadapi tamunya?
Begitu masuk segera Utti Keng merasa perhatian
semua orang dipusatkan kepada dirinya dan Kang Haythian.
Maka langsung ia menuju ke arah Kang Hay-thian,
dengan penuh hormat ia menyapa, "Yang ini apakah
Kang-tayhiap adanya?"
Hay-thian cepat berdiri dan balas menghormat,
sahutnya, "Terima kasih atas sebutan kehormatan itu.
Entah Utti Thocu ada petunjuk apa?"
Mendadak Utti Keng melolos pedang. Itulah Cay-inpokiam
milik Kang Hay-thian yang dirampasnya dari
Kang Hiau-hu tempo hari.
Semua orang terkejut. Sebaliknya Kang Hay-thian
tenang-tenang saja, ia membiarkan dan ingin tahu apa
yang hendak diperbuat orang.
"Cret", mendadak Utti Keng menggunakan pedang itu
untuk menusuk lengannya sendiri, lalu berseru lantang,
"Utti Keng pernah melukai putri kesayangan KangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tayhiap, hari ini aku sengaja datang untuk menerima
hukuman, sekarang lebih dulu aku hukum diriku sendiri,
apabila Kang-tayhiap sudi memberi ampun barulah aku
akan bicara, kalau tidak, terserahlah kepada Kangtayhiap
untuk melaksanakan hukuman apa padaku."
Tindakan tamunya ini benar-benar di luar dugaan
Kang Hay-thian, cepat ia menjawab, "Ah, setiap
pertarungan sudah tentu tidak terhindar dari terluka,
tentang kejadian itu, putriku juga telah membikin susah
nyonya Utti dan muridku pernah melukai Utti Thocu,
maka masing-masing tidak perlu salah menyalahkan.
Cara Utti Thocu menghukum diri sendiri ini membikin aku
merasa tidak enak. Bahkan aku ingin mengucapkan
terima kasih kepada nyonya Utti yang telah bermurah
hati kepada putriku yang sembrono itu."
Mestinya Ki Seng-in masih mendongkol karena
sebagian rambutnya telah terpapas oleh pedang Kang
Hiau-hu sehingga sekarang dia terpaksa memakai ikat
kepala. Demi mendengar kata-kata Kang Hay-thian itu,
mau tak mau ia membalas hormat dan berkata, "Kangtayhiap
benar-benar seorang besar dan berjiwa besar
pula."
Tiba-tiba Kang Hay-thian mengeluarkan sebutir obat,
sekali pencet terus menjentik, obat pil itu terus melayang
dan menempel di atas luka lengan Utti Keng yang
mengalirkan darah itu, seketika darah lantas mampet.
Dengan pemberian obat ini, hal ini menandakan
persengketaan kedua pihak telah dapatlah diselesaikan.
Segera Utti Keng menghaturkan Cay-in-pokiam pula
dan berkata, "Banyak terima kasih atas kebijaksanaan
Kang-tayhiap yang telah sudi mengampuni kesalahanku.

Pedang dan kuda dengan ini kami pulangkan kembali.


Kedua ekor kuda itu berada di luar tanpa kurang sesuatu
apapun."
"Hahaha, pedang dan kuda hanya benda-benda sepele
saja, betapapun nilainya juga tak dapat dibandingkan
manusianya," kata Kang Hay-thian dengan terbahakbahak.
"Utti Thocu, maafkan kalau aku bicara secara
blak-blakan saja. Yang aku ingin minta kembali adalah
manusianya."
"Tentang urusan ini memangnya aku pun ingin bicara
dengan Kang-tayhiap, bagaimana kalau kita mencari
suatu tempat lain?" sampai di sini mendadak Utti Keng
memberi hormat kepada para hadirin, lalu menyambung,
"Aku pun tahu para hadirin di sini adalah sobat-sobat
baik semua dan bukanlah orang luar. Tapi karena urusan
ini terlalu ruwet serta menyangkut pribadi kami suamiistri,
maka terpaksa aku hanya ingin bicara empat mata
dengan Kang-tayhiap saja."
Utti Keng kenal watak kaum ksatria Kangouw,
daripada main sembunyi-sembunyi dan dicurigai, lebih
baik ia bicara secara terus terang saja.
"Baiklah, jika demikian harap Nyo-thocu sudi memberi
pinjam suatu tempat lain," kata Hay-thian kemudian.
Segera Nyo Pit-tay membawa Kang Hay-thian dan Utti
Keng suami-istri ke suatu kamar yang rapat, lalu ia
sendiri menyingkir pergi dan melarang anak murid Kaypang
mendekati kamar itu.
Sesudah menutup pintu kamar, berkatalah Hay-thian
dengan tertawa, "Sekarang bolehlah Utti Thocu bicara,
tanggung takkan didengar oleh orang luar."

"Adik In, silakan kau bicara dulu," kata Utti Keng.


"Kang-tayhiap, kedatangan kami ini adalah untuk
menyatakan isi hati kami," demikian Ki Seng-in memulai.
"Meski suamiku biasanya melakukan pekerjaan-pekerjaan
tanpa modal (maksudnya membegal), tapi maksud
tujuan kami merampas anak kecil itu dari tangan Siau Ciwan
bukanlah karena menginginkan sesuatu keuntungan
"Untuk ini aku dapat mempercayai kalian," sela Haythian,
"cuma
"Ya, mungkin Kang-tayhiap ingin tahu apa sebabnya,"
potong Ki Seng-in. "Biarlah kukatakan terus terang, Li
Bun-sing sebenarnya adalah aku punya Piauko (kakak
misan), dia mengalami nasib malang, maka aku ingin
memelihara putra yatimnya itu."
"Bukanlah maksudku hendak berebut anak itu dengan
kalian," ujar Hay-thian. "Soalnya pada saat ajalnya, Li
Bun-sing telah memberi pesan kepada Siau Ci-wan agar
anak itu dibawa kepadaku dan minta aku menerimanya
sebagai murid. Aku belum pernah kenal muka Li Bunsing,
tapi seorang laki-laki sejati harus pegang janji. Li
Bun-sing sedemikian mempercayai diriku dan
memasrahkan nasib putra yatimnya padaku, mana boleh
aku mengecewakan harapannya? Jika bocah itu sudah
berada di rumahku, terkadang kalian pun dapat
menjenguknya."
"Kang-tayhiap sudi menerima bocah itu sebagai murid,
sudah tentu bocah itu sangat beruntung, cuma sayang
bocah itu mungkin tiada mempunyai rezeki demikian,"
kata Seng-in dengan tersenyum getir.
"Apa maksud ucapanmu ini?" tanya Hay-thian.

"Sungguh memalukan, kami tak dapat


mempertahankan bocah itu sehingga telah diculik oleh
musuh lagi," kata Seng-in.
"Ya, kekuatan musuh teramat besar, merasa tidak
sanggup merebutnya kembali, maka kami sengaja
datang kemari untuk minta bantuan kepada Kangtayhiap,"
demikian Utti Keng menambahkan.
"Baik, coba kalian ceritakan seluk-beluk persoalannya,"
sahut Hay-thian. "Tak peduli tokoh macam apakah pihak
lawan itu, sekali aku sudah ikut campur urusan ini, maka
sudah pasti aku tetap akan ikut campur."
Maka berceritalah Utti Keng dan Ki Seng-in suatu
kejadian yang mengejutkan, juga pada Kang Hay-thian.
Apa yang diceritakan ini akan diceritakan lebih lanjut di
bagian belakang.
Sementara itu para ksatria sedang menunggu di luar
dan sampai sekian lamanya masih belum nampak Kang
Hay-thian keluar. Seketika ramailah mereka
membicarakannya.
"Utti Thocu itu meminta maaf dengan mengalirkan
darahnya, perbuatannya itu sungguh harus dipuji, benarbenar
seorang ksatria sejati," ujar Kam Jin-liong.
"Dan Kang-tayhiap sendiri tidak kehilangan gaya
seorang pendekar besar," ujar Goan It-tiong.
"Tapi hati manusia susah diduga, kita belum kenal
asal-usul Utti Thocu itu dan jangan terburu
mempercayainya dahulu," ujar Lim Seng. "Aku justru
kuatir Kang-tayhiap terlalu baik hati sehingga gampang
ditipu orang."

Yap Leng-hong sudah teramat benci kepada Utti Keng


dan Ki Seng-in, kesempatan ini segera digunakan
olehnya untuk membakar, "Benar, ilmu silat Suhu
teramat tinggi, musuh tidaklah mudah menjebaknya, aku
hanya kuatir beliau kena ditipu oleh kata-kata manis
penjahat. Aku mempunyai suatu akal, bilamana Suhu
melepaskan penjahat begitu saja, kita dapat
mencegatnya di tengah jalan sana dengan sedikit
permainan."
"Tidak, kukira kurang baik," ujar Goan It-tiong.
"Terhadap kaum jantan kita harus pakai aturan, terhadap
kaum pengecut barulah kita boleh memakai tipu
muslihat. Sekarang kita belum kenal apakah Utti Keng itu
seorang jantan atau seorang pengecut, mana boleh kita
mendahului berbuat licik dengan tidak mengindahkan
kepada Kang-tayhiap?"
Dan baru saja Yap Leng-hong ingin menghasut lebih
jauh, tiba-tiba terdengar suara Utti Keng yang keras
sedang berkata, "Maaf, membikin susah saudara-saudara
menunggu terlalu lama!"
Ternyata Utti Keng suami-istri sudah keluar kembali
dengan diiringi Kang Hay-thian.
"Nyo-thocu harap kau menyumbangkan dua ekor kuda
kepada Utti Thocu sebagai tanda persahabatan," seru
Hay-thian.
"Hahaha! Aku sudah mengatakan Utti Thocu adalah
sahabat sejati, nyatanya memang tidak salah," seru Kam
Jin-liong sambil bergelak tertawa. "Haha, tidak berkelahi
tidak saling kenal, kita sudah lebih dulu mengikat
persahabatan."

"Ya, Kam-tayhiap punya Pek-poh-sin-kun (pukulan


sakti seratus lanekaru benar-benar sangat
mengagumkan," ujar Utti Keng dengan rendah hati
sambil memberi salam.
"Utti Thocu punya Pik-khong-ciang (pukulan kosong
dari jauh) juga tidak kurang lihainya," demikian Kam Jin-
Iiong balas memuji.
Lalu bergelak tertawalah kedua orang itu. Sementara
itu anggota Kay-pang sudah menyiapkan dua ekor kuda,
segera Utti Keng dan Ki Seng-in memberi hormat dan
mohon diri.
Sesudah Utti Keng berdua berangkat, para ksatria
lantas merubungi Kang Hay-thian untuk minta
keterangannya.
"Sekarang sudah selesai semuanya, tidak perlu kuatir
lagi," kata Hay-thian.
"Bagaimana dengan anak itu?" tanya Nyo Pit-tay.
"Dimana beradanya bocah itu sudah diketahui dan
tidak perlu mengerahkan orang banyak lagi," kata Haythian.
"Sekarang silakan Nyo-thocu menyampaikan berita
agar kawan-kawan kita jangan mempersukar lagi kepada
Utti Keng suami-istri. Atas bantuan kalian ini aku pun
merasa sangat berterima kasih, biarlah kelak akan
kubalas kebaikan saudara-saudara."
Mestinya Nyo Pit-tay dan lain-lain meminta Kang Haythian
tinggal beberapa hari lagi di situ, akan tetapi Kang
Hay-thian menjadi ragu-ragu.
Tiba-tiba Yap Leng-hong menyela, "Mungkin para
paman tidak tahu bahwa Sumoayku telah mengalami

sedikit luka ketika bertarung melawan penjahat itu tempo


hari, maka ..."
"Ya, aku benar-benar sudah pikun sampai melupakan
luka keponakan perempuanku itu," ujar Nyo Pit-tay
sambil menepuk kening sendiri. "Jika demikian, sudah
tentu Kang-tayhiap ingin lekas-lekas pulang ke rumah."
Kang Hay-thian juga tidak menyangkal atau
membenarkan alasan Yap Leng-hong itu. Padahal Lenghong
sebenarnya cuma mencari alasan saja agar dirinya
bisa ikut gurunya lekas pulang ke rumah untuk
mendekati sang Sumoay.
Begitulah Hay-thian lantas mohon diri kepada para
ksatria. Jik-liong-ki dan Pek-liong-ki yang sekarang telah
pulang kandang itu kebetulan dapat digunakan oleh
mereka guru dan murid. Maka dengan cepat mereka
sudah belasan li meninggalkan kota Tekciu.
"Suhu, mengapa jalan ini yang dituju, ini bukan jalan
untuk pulang ke rumah?" tanya Leng-hong tiba-tiba.
"Ya," jawab Hay-thian sambil menahan kudanya. "Aku
justru ingin mengatakan padamu, kita memang tidak
akan pulang ke rumah."
Leng-hong tercengang. "Tidak pulang? Habis akan
kemana?" tanyanya.
"Kita harus selekasnya menuju ke Pakkhia," sahut
Hay-thian.
"Untuk apa. Suhu?" tanya Leng-hong dengan bingung.
"Kau punya Samsute telah jatuh ke tangan antekantek
kerajaan, sekarang dia sedang digelandang ke
kotaraja," demikian Hay-thian menjelaskan. "Cuma kita

tidak tahu arah mana yang mereka ambil, bilamana di


tengah jalan dapat memergoki mereka, terpaksa kita
harus menyusul ke kotaraja untuk menolongnya!"
Kiranya Li Kong-he sebenarnya telah dibohongi oleh
orang yang melarikannya dan mengaku bernama Loklotoa
itu. Sesungguhnya Lok-lotoa itu sama sekali tidak
pernah bertemu dengan Li Bun-sing, apalagi
mengenalnya, lebih-lebih bicara tentang mengangkat
saudara apa segala.
Habis untuk apakah Lok-lotoa itu membohongi Li
Kong-he? Hal ini memang ada maksud tujuan tertentu.
Nama asli Lok-lotoa itu sebenarnya ialah Lok Khik-si,
dia punya dua saudara angkat, masing-masing bernama
Yo Tun-hou dan Be Sing-liong, mereka bertiga adalah
kaum bandit yang biasa beroperasi di lereng gunung Kilian-
san. Orang-orang Lok-lim di daerah barat-laut
menyebut mereka sebagai 'Ki-lian-sam-siu' (tiga binatang
dari pegunungan Ki-lian), yaitu berhubungan dengan
nama mereka, Lok-Khok-si berarti menjangan
menjatuhkan badak, Yo Tun-hou berarti kambing
menelan harimau dan Be Sing-liong berarti kuda
menangkan naga.
Akhir-akhir ini Ki-lian-sam-siu diam-diam telah kena
dipelet oleh kerajaan Boan-jing sehingga mereka telah
menjadi antek pemerintah dan langsung di bawah
perintah Tay-lwe-congkoan (komandan pasukan
pengawal istana) Bok Ting-ca.
Peristiwa penggrebegan organisasi rahasia Thian-lihwe
sekali ini adalah hasil kerja sama antara Bok Ting-ca
dengan komandan Ham-limkun (pasukan ibukota) Sat
Hok-khong.

Karena Li Bun-sing telah mati, maka Bok Ting-ca telah


memberi perintah agar putra yatim Li Bun-sing harus
ditangkap. Maksud tujuannya bukanlah melulu ingin
"babat rumput seakar-akarnya', yang lebih penting lagi
adalah dari bocah ini diperoleh keterangan-keterangan
lebih lanjut untuk menangkap seorang pemimpin Thianli-
hwe yang lebih penting dari Li Bun-sing, yaitu Lim Jing,
wakil ketua Thian-li-hwe.
Hubungan Lim Jing dan Li Bun-sing melebihi saudara
sekandung, kali ini mereka telah meloloskan diri
bersama-sama, kemudian Li Bun-sing yang telah
menyaru sebagai Lim Jing serta putranya untuk
memancing pengejaran kerajaan. Jadi dengan jiwanya
sendiri Li Bung-sing telah berhasil menyelamatkan Lim
Jing. Menurut perhitungan Bok Ting-ca dan Sat Hokkhong,
hanya Li Bun-sing saja yang mengetahui tempat
persembunyian Lim Jing, sebelum mati, besar
kemungkinan pula Li Bun-sing telah menyerahkan
dokumen-dokumen Thian-li-hwe yang penting kepada
putranya. Sebab itulah bilamana ingin menangkap Lim
Jing dan memperoleh rahasia-rahasia Thian-li-hwe, maka
titik tolaknya harus dimulai atas diri putra Li Bun-sing,
yaitu Li Kong-he.
Begitulah, maka sesudah menerima perintah Bok Tingca
itu, segera Ki-Iian-sam-siu mulai mencari jejak Li
Kong-he. Lok Khik-si tahu sejarah Ki Seng-in yang pernah
main asmara dengan Li Bun-sing dan diketahui pula
bahwa Ki Seng-in juga sedang mencari bocah ini. Maka
sepanjang jalan ia lantas menguntit Ki Seng-in dan
akhirnya dapat merebut Kong-he dari tangan Ki Seng-in.
Sesudah Ki Seng-in dan Utti Keng meninggalkan
lembah sunyi itu, makin dipikir mereka makin curiga,

sebab sama sekali tiada alasan Lok Khik-si berebut anak


Li Bun-sing dengan mereka.
Utti Keng adalah bandit yang tersohor di daerah
Liautang dan mempunyai hubungan luas dengan sesama
golongannya. Tentang Ki-lian-sam-siu telah menjadi
antek kerajaan dengan sendirinya gampang diselidiki.
Keruan suami-istri itu sangat terkejut ketika mengetahui
seluk-beluk Lok-lotoa yang kini telah mengekor kepada
pemerintah kerajaan.
"Bagaimana kita harus bertindak, Toako?" tanya Ki
Seng-in dengan kuatir kepada sang suami, walaupun dia
mempunyai perasaan cinta dan benci kepada ayah-bunda
Li Kong-he, namun apapun juga dia tidak dapat
membiarkan putra orang yang pernah dicintainya itu
jatuh ke dalam cengkeraman musuh.
Meski iri juga karena sang istri tidak pernah
melupakan kekasihnya yang dahulu, namun Utti Keng
toh seorang jantan, dengan ikhlas ia lantas menjawab,
"Biarpun jiwa Toakomu harus melayang juga pasti akan
menemukan kembali bocah itu."
Ki Seng-in sangat terharu, katanya, "Toako, kau ...
kau "Li bun-sing toh sudah mati, aku pun tahu kau
sesungguhnya juga cinta padaku, masakah aku mesti
cemburu padanya lagi?" sahut Utti Keng dengan tertawa.
"Bocah itu kau yang menghilangkan, kalau kita tak
menemukannya kembali tentu akan berdosa terhadap Li
Bun-sing. Sejak dulu juga sudah kukatakan padamu,
meski di hidupnya aku menaruh cemburu kepada Li Bunsing,
tapi dia memang benar-benar seorang ksatria, di
dalam lubuk hatiku sesungguhnya aku sangat
mengagumi dia."

"Toako," kata Ki Seng-in dengan muka merah "Yang


kukuatirkan bukanlah persoalanmu, tapi adalah
keselamatan bocah itu. Ki-lian-sam-siu saja susah
dilayani, apalagi mereka sekarang berkomplot lagi
dengan jago-jago pengawal kerajaan."
Kiranya Lok Khik-si meski termasuk orang pertama
dari Ki-lian-sam-siu, tapi kepandaiannya masih kalah
daripada saudara angkatnya yang kedua, yaitu Yo Tunhou,
juga bagi Utti Keng akan merupakan seorang lawan
tangguh.
Namun dengan ikhlas Utti Keng lantas berkata, "Siau
Ci-wan yang sebelumnya tidak pernah kenal pada Li Bunsing
juga rela membela putra yatimnya, masakah kita
malah kalah daripada dia? Pendek kata kita akan
bertindak sekuat tenaga, soal berhasil atau tidak biarlah
terserah pada nasib saja."
"Kau sungguh baik, Toako," kata Ki Seng-in dengan
tersenyum senang. "Jalan yang terbaik untuk menolong
bocah itu paling tepat kalau minta bantuan kepada Kangtayhiap,
cuma Toako sendiri yang terpaksa mesti
menanggung malu."
"Kita sudah membunuh putrinya, masakah dia sudi
membantu kita?" ujar Utti Keng.
"Toako, sesungguhnya pada malam itu aku tidak
menuruti permintaanmu untuk membunuh anak dara itu,
kita hanya melukai putrinya, rasanya Kang-tayhiap masih
dapat memaafkan kita," kata Seng-in.
Menurut watak Utti Keng, selamanya dia tidak pernah
merendahkan diri dan memohon sesuatu kepada orang
lain. Tapi sekarang demi untuk memenuhi keinginan sang

istri, pula Kang Hay-thian sudah menyebarkan Enghiong-


tiap agar orang-orang Kangouw mengepung dan
menangkapnya, dimana-mana dia tentu akan ketemu
musuh, kalau persoalan ini tidak diselesaikan, tentu dia
akan sukar berkecimpung lagi di dunia Kangouw,
jangankan lagi hendak menolong putra yatim Li Bun-sing.
Lantaran itulah maka Utti Keng suami-istri akhirnya
datang menemui Kang Hay-thian.
Sesudah mengetahui duduknya perkara, Kang Haythian
sendiri menjadi pusing juga.
Maklumlah kedudukan Kang Hay-thian berbeda
daripada Utti Keng. Walaupun Kang Hay-thian juga anti
kerajaan Boan-jing, tapi resminya dia masih seorang
penduduk yang terang asal-usulnya, berbeda dengan Utti
Keng yang pekerjaannya memang merampok dan
membegal, selalu menjadi buronan pemerintah.
Tapi yang dipikirnya Kang Hay-thian bukanlah soal
kepentingannya sendiri, dia justru kuatir merembet
kawan-kawannya seperti orang-orang Bin-san-pay dan
Kay-pang yang bergerak di bawah tanah melawan
kerajaan. Padahal untuk menolong putra Li Bun-sing
boleh jadi Kang Hay-thian terpaksa harus bertempur
dengan jago-jago istana, apabila dalam urusan ini orangorang
Bin-san-pay dan Kay-pang ikut campur, tentu
akibatnya akan meluas dan mungkin akan merugikan
gerakan anti pemerintah Boan-jing itu.
Sebab itulah maka sesudah dipikir Hay-thian
mengambil keputusan akan memikul sendiri persoalan ini
dan tidak menerangkan kepada para ksatria di Kay-pang
itu.

Yap Leng-hong adalah murid pewaris, ia pikir


kesempatan ini dapat digunakan untuk menggembleng
pemuda itu. Maka Leng-hong lantas diajaknya serta dan
persoalannya dengan sendirinya harus dijelaskan pula
kepadanya.
Diam-diam Yap Leng-hong mengeluh setelah
mendapat keterangan dari sang guru.
"Bagaimana, apakah kau merasa takut?" tanya Haythian
ketika melihat air muka Yap Leng-hong mengunjuk
rasa ragu-ragu.
Sudah tentu Yap Leng-hong bukannya lantaran takut,
tapi yang dipikirkan hanya mengenai Sumoaynya.
Kepergiannya ini entah akan makan tempo berapa lama,
kesempatan ini bukankah akan menguntungkan Ubun
Hiong yang setiap hari dapat berdekatan dengan sang
Sumoay? Pula Leng-hong juga kuatir kalau-kalau di
kotaraja akan ketemukan orang yang mengenalnya, di
waktu kecil dia pernah tinggal di sana, ayahnya juga
telah mengirim orang untuk mencarinya, seperti halnya
Cu Goan, apabila di kotaraja ketemu kenalan lagi, apakah
dirinya dapat membunuhnya seperti apa yang telah
dilakukannya atas diri Cu Goan itu?
Begitulah Yap Leng-hong terus memeras otak, tapi
segera ia membusungkan dada dan menjawab
pertanyaan Kang Hay-thian tadi, "Sebagai murid Suhu,
masakah aku mesti takut? Tempo hari di puncak Thaysan
juga aku telah membela Li Bun-sing dengan matimatian
dari kerubutan jago-jago istana. Tapi....”
"Tapi apa?" Hay-thian menegas.

"Tapi perjalanan jauh yang akan makan tempo cukup


lama ini apakah tidak perlu mengirim sesuatu berita dulu
kepada Subo (ibu guru)? Apalagi Sumoay dan Sute juga
terluka semua, apakah Suhu tidak perlu pulang dulu
untuk menjenguk mereka?" demikian Leng-hong
mengada-ada. Ia berharap sang guru akan mengirim dia
pulang untuk menyampaikan berita yang dimaksudkan,
dengan demikian dia ada kesempatan untuk bertemu
dengan Kang Hiau-hu.
"Menolong orang laksana menolong kebakaran, mana
boleh kita tunda hanya untuk urusan tetek-bengek ini?"
sahut Hay-thian. "Tentang luka Sumoay dan Sute itu
sudah kuserahkan kepada ibu gurumu untuk
merawatnya, untuk ini kita boleh tidak perlu kuatir.
Sebaliknya aku malah menguatirkan dirimu."
Leng-hong menjadi terkejut, ia pikir apakah ada
sesuatu tanda-tanda mencurigakan yang telah diketahui
sang guru?
Ia dengar Kang Hay-thian telah menyambung pula,
"Kepergian kita ini setiap saat ada kemungkinan
bergebrak dengan musuh. Padahal kau baru masuk
perguruan kita, kau belum lagi mulai belajar apa-apa,
dengan kepandaianmu sekarang ini rasanya masih jauh
daripada cukup bila ketemukan lawan tangguh."
Baru sekarang Leng-hong merasa lega karena bukan
maksud gurunya mencurigainya. Segera ia menanggapi,
"Berada bersama Suhu, apa yang kutakutkan lagi?"
"Bukan begitu soalnya," ujar Hay-thian. "Maksudku
pada kesempatan ini kau akan mendapat sedikit
gemblengan. Sekarang akan kuajarkan teori-teori
Lwekang dari perguruan kita, di waktu malam pada saat

mengaso bolehlah kau melatihnya sendiri. Berbareng


akan kubantu pula dengan kekuatanku agar kau bisa
cepat jadi. Untuk ini kau sendiri perlu belajar dengan
tekun, apakah kau sanggup?"
"Banyak terima kasih atas budi kebaikan Suhu,
betapapun juga Tecu berjanji akan belajar dengan
sungguh-sungguh," sahut Leng-hong dengan girang.
Baru sekarang ia benar-benar rela ikut sang guru dalam
perjalanan jauh ini, sampai-sampai Kang Hiau-hu juga
terlupa olehnya
Kita kembali kepada Li Kong-he yang dibohongi dan
dilarikan Lok-lotoa itu.
Walaupun Kong-he adalah anak yang cerdik, tapi
apapun juga ia baru berumur 11-12 tahun saja. Karena
Lok Khik-si telah menyelamatkan dia dari tangan Ki Sengin,
dengan sendirinya dianggapnya paman Lok ini
sebagai tuan penolong. Apalagi Lok Khik-si mengaku
pernah mengangkat saudara dengan ayahnya, keruan
Kong-he bertambah percaya dan menurut.
Setelah setengah harian Lok Khik-si membawanya
pergi, ketika melihat jalan yang diambil bukan jalan raya
umumnya, segera Kong-he bertanya, "Paman Lok,
mengapa kita mengambil jalan pegunungan begini?
Apakah kita tidak salah ambil jalan yang menuju ke
Tong-peng-koan? Penjahat wanita itu telah membawa
aku menuju ke barat, sekarang kita pun mengarah
jurusan matahari terbenam, apakah ini tidak salah,
bukankah seharusnya kita putar balik ke arah sana?"
Lok Khik-si terkesiap, diam-diam dia mengakui
kecerdikan bocah itu, segera ia menjawab dengan

tertawa, "Hiantit, apakah kau tetap ingin menjadi murid


Kang-tayhiap?"
"Ayah yang berpesan agar aku melakukan hal
demikian," sahut Kong-he.
"Rupanya waktu itu ayahmu terluka parah sehingga
pikirannya seketika itu menjadi kurang sehat," ujar Lok
Khik-si.
"Apakah maksud ucapanmu, paman Lok?" tanya Konghe
dengan mata membelalak lebar. "Apakah kau anggap
Kang-tayhiap bukan orang baik-baik?"
"Sudah tentu Kang-tayhiap adalah orang baik," sahut
Lok Khik-si. "Tapi dia bukan sanak bukan kadang dengan
ayahmu."
"Siau-sioksiok yang berbudi yang telah
menyelamatkan jiwaku itu menyatakan bahwa Kangtayhiap
pasti akan menerima aku dengan suka hati," kata
Kong-he.
Sebelumnya Lok Khik-si sudah bertanya jelas tentang
pengalaman-pengalaman Kong-he selama beberapa hari
ini, maka ia tahu nama-nama Siau Ci-wan, Yap Lenghong
dan lain-lain. Dengan tertawa ia menjawab,
"Walaupun Siau-sioksiok berbudi luhur, tapi ia pun baru
saja kenal ayahmu. Di dunia Kangouw ini segala
kepalsuan selalu dapat terjadi, biarpun kita percaya
penuh kepada Siau-sioksiok, tapi kita juga harus
senantiasa waspada. Pula ayahmu adalah buronan
pemerintah kerajaan, kau adalah putra buronan, Siausioksiok
bilang Kang-tayhiap pasti akan menerima kau,
ini kan cuma kata-katanya saja, diterima atau tidak juga
belum tahu dengan pasti. Apalagi kau masih banyak

sanak-kadang yang lain, buat apa mesti menumpang


kepada orang yang tak dikenal?"
Kong-he menjadi bingung atas uraian yang panjang
lebar itu, sahutnya, "Paman Lok, aku masih terlalu kecil
dan tidak tahu urusan, harap suka memberi petunjuk."
"Aku adalah saudara angkat ayahmu, meski
kepandaianku tidak tinggi, aku bersumpah akan
membalaskan sakit hatinya. Aku tahu cita-citamu yang
tinggi, cuma sayang kepandaianku tak dapat
dibandingkan dengan Kang-tayhiap dan tidak sesuai
untuk menjadi gurumu." Sampai di sini Lok Khik-si
sengaja menghela napas.
Kong-he memang ingin ikut guru yang pandai agar
kelak dia dapat membalas sakit hati ayahnya. Tapi ia pun
berterima kasih kepada Lok Khik-si, maka tidak ingin
membikin kikuk padanya. Ia pikir jelek-jelek paman Lok
juga dapat mengalahkan Jian-jiu^koan-im, andaikan tak
dapat mengungguli Kang-tayhiap, namun kepandaiannya
juga sudah lumayan, apalagi dia adalah saudara angkat
ayah, sudah tentu lebih rapat hubungan kami daripada
Kang-tayhiap.
Maka katanya kemudian, "Paman Lok, asal aku dapat
memiliki kepandaian seperti engkau, aku pun sudah
merasa puas. Jika paman Lok sekiranya tidak menolak
"Nanti dulu," potong Lok Khik-si. "Kau adalah putra
buronan pemerintah, untuk memberi bimbangan padamu
harus dicari di antara kawan-kawan sendiri yang
berkepandaian tinggi, orang yang demikian inilah yang
sekarang sukar dicari. Aku sendiri merasa tidak sesuai
untuk menjadi gurumu. Tapi aku menjadi teringat kepada
seorang, cuma sayang

"Siapakah dia paman?" tanya Kong-he cepat.


Lok Khik-si menghela napas, lalu menjawab, "Dia juga
saudara angkat ayahmu, sekarang ia pun sedang diuberuber
yang berwajib, entah dia telah melarikan diri dan
bersembunyi dimana?"
"O, apakah yang kau maksudkan ialah ... ialah paman
Lim?" Kong-he menegas.
"Paman Lim" yang dimaksudkan tak lain tak bukan
adalah Lim Jing, pejabat ketua Thian-li-hwe yang buron
bersama Li Bun-sing itu.
"Ya, benar, maksudku memang paman Lim," sahut
Khik-si. "Ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripadaku, dia
juga saudara angkat ayahmu dalam pergerakan, jika kau
dapat mengangkat dia sebagai guru tentulah sangat baik.
Cuma sekarang dia sedang buron, tempat
persembunyiannya tentu sangat dirahasiakan, darimana
kita dapat mencarinya?"
Kong-he tidak tahu tipu muslihat orang, ia sangka
paman Lok ini toh orang sendiri, apa halangannya kalau
kukatakan padanya? Maka ia lantas berkata, "Lim-pepek
pernah berjanji pada ayahku, bahwa .... Eh, paman Lok,
jika sudah kukatakan padamu jangan sekali-kali kau
bocorkan pula kepada orang lain lho!"
"Paman kan orang lebih tua, masalah dapat
sembarangan membuka mulut kepada orang lain?" ujar
Lok Khik-si dengan tertawa
"Ya, kuanggap paman adalah saudara sendiri dengan
ayah dan paman Lim, makanya aku mau mengatakan
padamu," sahut Kong-he. "Paman Lim pernah berjanji
dengan ayah bilamana ayah dapat menyelamatkan diri,

maka boleh mencari kabar tentang jejaknya ke tempat


Thio-samsiok (paman Thio ketiga) di Cong-liong-poh,
Bici."
Mata Lok Khik-si seketika bersinar, cepat ia bertanya
pula, "Siapakah Thio-samsiok itu?"
Kong-he menjadi heran. "Masakah Lok-pepek tidak
kenal Thio-samsiok?" ia menegas.
"O, aku memang tahu ayahmu mempunyai beberapa
kawan she Thio, cuma tidak tahu yang mana yang nomor
tiga dan tinggal di Bici," cepat Lok Khik-si menutupi
kesalahannya. Lalu ia sengaja mengucapkan beberapa
nama, "Apakah Thio Hong-piau? Atau thio Tiong-gak?
Atau
"Bukan," sahut Kong-he tanpa curiga apa-apa. "Thiosamsiok
adalah Thio Su-liong yang sering disebut-sebut
oleh ayah, aku sendiri belum pernah bertemu dengan
beliau."
"Ai, aku memang sudah pikun, masakah Thio Su-liong
saja sampai terlupa," seru Lok Khik-si sambil menabok
kepala sendiri. "Benar, benar, memang dia, kenapa aku
tidak ingat padanya sedari tadi?"
"Sebenarnya aku pun ingin mencari Lim-pepek, tapi
ayah telah berpesan padaku agar jangan membikin susah
padanya, kelak kalau sudah dewasa dan tamat belajar
barulah boleh mencari beliau. Maka sekarang aku pun
tidak ingin berguru padanya."
"Ya, pertimbangan ayahmu memang betul juga," ujar
Lok Khik-si. "Lebih baik begini saja, kau ikut aku pulang
dahulu, kemudian aku sendiri akan pergi ke Bici untuk
mencari kabar tentang Lim-pepek, bila sudah mendapat

kabar pasti, barulah kita mengambil keputusan lagi.


Sementara itu kau boleh belajar dengan giat. Aku
mempunyai beberapa teman yang berkepandaian tinggi,
kita bersama-sama akan mengajar kau, tentu kau akan
mendapatkan kepandaian yang luas dan sempurna."
"Pertimbangan paman tentulah sangat baik, Titji
menurut saja," sahut Kong-he.
"Selain itu, sebelum mangkat apakah ayahmu tiada
pesan-pesan lain lagi atau meninggalkan apa-apa
kepadamu?" Khik-si bertanya pula.
Kong-he terkesiap atas pertanyaan ini, pikirnya,
"Menurut pesan ayah, 'Hay-to' (buku kode) Thian-li-kau
itu hanya dapat diserahkan kepada sesama anggota
perkumpulan, Lok-pepek toh bukan anggota."
Dalam pada itu Lok Khik-si telah meneruskan,
"Maksudku bila ayahmu meninggalkan apa-apa
kepadamu, mengingat usiamu masih terlalu kecil, maka
lebih baik aku saja yang menyimpannya bagimu. Bila
ayahmu ada pesan apa-apa tentang tugas Thian-li-kau,
aku pun dapat melakukan baginya. Walaupun aku belum
menjadi anggota, tapi aku adalah saudara angkat Limkaucu,
sesungguhnya aku pun bukan orang luar."
Akan tetapi Kong-he cukup cerdik, jawabnya, "Ayah
tiada meninggalkan apa-apa kepadaku. Beliau cuma
memberikan goloknya padaku, dan pesan yang
terpenting ialah Siau-sioksiok membawa aku serta
menyuruhku berguru kepada Kang-tayhiap."
Khik-si sangat kecewa karena tidak dapat mengorek
sesuatu dari bocah ini, katanya dalam hati, "Entah setan

cilik ini berdusta atau tidak. Biarlah kelak kalau sudah


sampai di kotaraja barulah akan kugeledah badannya."
Sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda
dari jauh. Segera Lok Khik-si bersuit panjang, lalu
membisiki Kong-he, "Yang datang ini adalah dua adik
angkatku. Tapi mereka tiada hubungan rapat dengan
ayahmu, maka jangan kau ceritakan tentang ayahmu dan
Lim-pepek kepada mereka."
Kong-he mengiakan, tapi diam-diam heran mengapa
sedemikian banyak saudara angkat paman Lok ini?
Dalam pada itu tertampaklah dua penunggang kuda
sedang mendatangi dengan cepat, di belakangnya
mengikut seekor kuda tanpa penunggang. Ketika melihat
Lok Khik-si bersama Li Kong-he, kedua penunggang kuda
itu kelihatan sangat senang, cepat mereka melompat
turun dari kuda mereka sambil berseru, "Selamat,
selamat! Lotoa, kau sudah berhasil!"
Kedua orang ini bukan lain daripada Yo Tun-hou, si
kambing mencaplok macan, dan Be Sing-liong, si kuda
mengalahkan naga, dua saudara angkat Lok Khik-si.
Rupanya mereka sudah berjanji untuk bertemu di
tempat ini. Melihat Lok Khik-si membawa serta Kong-he,
Yo Tun-hou dan Be Sing-liong menganggap Lotoa
mereka telah merampasnya dari tangan Ki Seng-in,
mereka tidak tahu bocah itu adalah hasil berbohong yang
dilakukan Lok-lotoa secara licik.
Meski mereka bertiga adalah saudara angkat, tapi
masing-masing mempunyai perhitungan dan kepentingan
sendiri-sendiri. Sebab itulah Lok Khik-si telah berpesan
kepada Kong-he agar tidak menceritakan rahasia tentang

Lim Jing. Maksud Lok Khik-si ingin melaporkan sendiri


rahasia itu kepada komandan jago pengawal, yaitu Bok
Ting-ca, lalu Lim Jing akan digrebek secara diam-diam.
Jika berhasil, maka jasanya tentu tidaklah kecil.
Begitulah, maka cepat Lok Khik-si mengedipi kedua
kawannya sambil berkata kepada Kong-he, "Ini dia kedua
pamanmu, lekas Hiantit memberi hormat kepada
mereka!" Lalu ia pura-pura menghela napas dan
menyambung pula, "Sungguh malang nasib Bun-sing,
syukurlah keponakanku ini dapat kuselamatkan sehingga
sekadar dapat memenuhi kewajibanku sebagai saudara
angkat Bun-sing. Selanjutnya masih diharapkan saudarasaudara
sekalian untuk membantu memberi bimbingan
kepada Kong-he agar dia dapat meneruskan cita-cita
ayahnya dan menjadi seorang ksatria yang gagah
perkasa, dengan demikian barulah harapanku benarbenar
terkabul."
Yo Tun-hou dan Be Seng-liong lantas paham maksud
Lok Khik-si, cepat mereka tertawa dan berkata,
"Persahabatan kami dengan Li-toako juga cukup kuat,
keponakanmu ini berarti keponakan kami pula. Tanpa
diminta juga kami akan mengajarkan segenap
kepandaian kami yang tak berarti ini."
Biar usianya masih muda, tapi Kong-he sangat cerdik
dan dapat berpikir. Tadi begitu datang Yo Tun-hou dan
Be Seng-liong lantas mengucapkan selamat kepada Loklotoa
serta mengatakan dia telah "berhasil". Walaupun
Kong-he tidak tahu apa maksud mereka, tapi ia merasa
kata-kata itu sangat menusuk telinga. Pula ia merasa
heran mengapa kedua paman yang baru datang ini
menyatakan ada hubungan rapat dengan ayahnya,

padahal menurut Lok-pepek, katanya mereka kenalan


biasa ayahnya.
Melihat Kong-he seperti sedang merenungkan sesuatu,
cepat Lok Khik-si berseru pula, "Kepandaian kedua
paman ini jauh lebih tinggi daripadaku, menurut
penilaianku tidaklah terlalu jauh kalau dibandingkan
dengan kepandaian Kang-tayhiap, asal Hiantit dapat
memperoleh kepandaian mereka, maka cukuplah dan
tidak perlu susah-susah mencari guru lain lagi."
Di antara Ki-lian-sam-siu, tiga binatang dari
pegunungan Ki-lian itu, ilmu silat Yo Tun-hou terhitung
yang paling tinggi. Untuk menarik hati anak kecil dan
agar dikagumi, segera Yo Tun-hou bergelak tertawa,
katanya, "Lotoa, saudara sendiri kenapa dipuji-puji? Ilmu
silat Kang-tayhiap tiada bandingannya di kolong langit
ini, kau membandingkan diri kami dengan beliau,
bukankah membikin malu kami saja? Hahahaha!"
Begitulah ia lantas terbahak-bahak, makin tertawa
makin keras, ia tertawa menghadap sebatang pohon
besar, setelah tertawa sekian lamanya, tiba-tiba
tertampak daun pohon itu rontok bertebaran. Ketika dia
berhenti tertawa, daun pohon itu sudah jarang-jarang,
hampir menjadi gundul seperti habis disapu angin puyuh.
Kong-he terkejut dan bergirang pula, pikirnya,
"Kepandaian Yo-sioksiok ini benar-benar sangat tinggi,
agaknya lebih tinggi daripada ayahku."
Dalam pada itu Be Seng-liong juga ingin pamer,
katanya, "Pohon ini sudah gundul, lebih baik ditebang
saja." Dia membawa golok, katanya "tebang", tapi toh
tidak melolos goloknya, sebaliknya ia menggunakan
telapak tangannya untuk menabas batang pohon,

berturut-turut ia memotong empat kali, mendadak ia


membentak, "Roboh!" Benar juga, pohon itu lantas roboh
menurut perintahnya.
"Sungguh pukulan yang hebat!" seru Kong-he memuji.
Meski Kong-he masih kecil dan bukan ahli ilmu silat,
tapi untuk membedakan kepandaian yang tinggi atau
rendah tidaklah sukar baginya. Batang pohon itu cukup
besar, ditebang dengan senjata tajam saja makan
tempo, tapi sekarang Be Seng-liong menabas dengan
telapak tangan empat kali dan pohon itu terus tumbang,
kepandaian ini walaupun tidak selihai Lwekang Yo Tunhou
yang menggunakan suara tertawanya untuk
mengguncang dan merontokkan daun pohon itu, namun
Gwakang Be Seng-liong ini boleh juga dikatakan sudah
hampir mencapai puncaknya.
Betapapun Kong-he adalah anak kecil, ia menjadi
senang dan kagum oleh pertunjukan Lwekang dan
Gwakang itu, pikirnya, "Benar juga kata Lok-pepek, bila
aku dapat memperoleh kepandaian kedua paman ini
rasanya sudah cukuplah bagiku."
Di lain pihak Yo Tun-hou dan Be Sing-liong juga tidak
kurang terkejutnya. Pikir Yo Tun-hou, "Usia anak ini baru
belasan tahun, sama sekali dia tidak menutup telinga
ketika mendengar suara tertawaku, masakah sedemikian
kuat dasar Lwekangnya? Apa barangkali begitu dilahirkan
dia sudah berlatih Lwekang?"
Sudah tentu bukan begitu dilahirkan Li Kong-he lantas
belajar Lwekang, soalnya ayahnya mempunyai hubungan
yang luas, banyak kawan-kawannya tergolong tokoh
dunia persilatan yang terkemuka, sebab itulah Kong-he
sering mendapat petunjuk Lwekang dan Gwakang dari

paman-paman dan mamak-mamak yang sering


berkunjung ke rumahnya, dengan demikian Lwekangnya
sudah terpupuk sejak kecil.
Maka Yo Tun-hou berkata dengan tertawa, "Ayahmu
adalah ksatria yang gagah perkasa, putranya tentu juga
bukan anak sembarangan, tentu sedikit kepandaianku ini
tidak menarik perhatianmu."
Dasar masih anak-anak, karena dipuji, Kong-he
menjadi lupa untuk memikirkan tanda-tanda yang
mencurigakan dari kedua orang itu. Cepat ia berkata,
"Ah, kepandaian kedua paman sedemikian tingginya, aku
justru sangat kagum dan sangat berterima kasih
bilamana kedua paman mengajarkan padaku."
Sementara itu Lok Khik-si sudah mengajak berangkat.
Dia bersatu kuda dengan Kong-he dan sengaja sedikit
menjauh di belakang. Lalu membisiki Kong-he, "Kau
harus ingat kepada pesanku tadi. Betapapun juga jangan
kau katakan hal-hal yang penting kepada kedua paman
ini."
Kong-he mengangguk. Dan baru saja Lok Khik-si
bermaksud memberi pesan apa-apa lagi, mendadak Yo
Tun-hou telah berpaling dan berseru kepadanya, "Lotoa,
apakah kudamu tak dapat berlari karena terlalu berat
dibebani dua orang?"
"Ah, tidak," cepat Khik-si menjawab. "Kalau terlalu
cepat, aku kuatir Titji (keponakan) akan cepat lelah."
Habis berkata ia lantas pecut kudanya dan menyusul ke
depan.
Diam-diam Kong-he merasa heran, "Lok-pepek
berpesan padaku agar jangan bicara tentang hal-hal

rahasia kepada mereka. Tapi mereka kan juga saudara


angkat Lok-pepek, mengapa di antara mereka diam-diam
saling bertengkar?"
Begitulah mereka melanjutkan perjalanan secara
terburu-buru, mereka jarang berhenti, di tengah jalan
hanya makan rangsum kering sekadarnya, lalu kuda
dilarikan pula, yang ditempuh selalu jalan pegunungan.
Dekat maghrib, kuda mereka sudah terlampau lelah.
Tiba-tiba Yo Tun-hou menunjuk sebuah kelenteng rusak
di atas bukit di sebelah depan sana, katanya, "Kali ini
biarlah kita menginap di kelenteng itu. Mumpung
matahari belum terbenam, harap Lotoa pergi ke kota di
depan sana, belilah seekor kuda serta bawa sekalian dua
ekor ayam sebagai daharan malam nanti. Kudamu
mungkin sudah payah, bolehlah pakai kudaku ini."
Untuk sejenak Lok Khik-si ragu-ragu, katanya,
"Tidaklah lebih baik Losamsaja..."
"Tidak, lebih baik Lotoa sendiri saja," potong Yo Tunhou.
Habis ini mendadak ia mengucapkan beberapa kata
rahasia orang Kangouw.
Sebagai putra seorang tokoh Kangouw, walaupun
Kong-he tidak paham kata-kata rahasia orang Kangouw,
tapi lapat-lapat ia pun dapat menangkap beberapa kata
di antaranya yang berarti "menyampaikan berita",
"pemimpin", "pengintai" dan sebagainya.
Karena itulah Khik-si buru-buru menjawab, "Baiklah,
Loji, biarlah aku lantas berangkat!"
Kiranya maksud Yo Tun-hou adalah meminta Lok-lotoa
menyampaikan berita tentang hasil usaha mereka kepada

pemerintah setempat yang berdekatan serta minta berita


penting ini diteruskan secara kilat ke kotaraja.
Selain itu mereka minta jago-jago pengawal yang
tersebar dimana-mana itu mengadakan pengintaian dan
menyambut kedatangan mereka di sepanjang jalan.
Sebagai kepala Ki-lian-sam-siu, Lok Khik-si yang
berkewajiban mengadakan hubungan dengan pihak
kerajaan. Kali ini jago-jago istana yang dikirim untuk
menangkap Li Bun-sing dipimpin oleh seorang komandan
seksi yang bernama Wi Hoan. Orang ini tinggal di
gubernuran Soatang, maka Lok Khik-si harus
mengadakan hubungan dengan dia bilamana usahanya
sudah berhasil. Dengan alasan inilah Yo Tun-hou
mendesak Lok Khik-si sendiri yang menyampaikan berita
hasil usaha mereka ini.
Begitulah walaupun dengan rasa enggan, terpaksa
juga Lok Khik-si berangkat. Dengan tertawa ia berkata
kepada Tun-hou, "Loji, untuk selanjutnya kita tidak perlu
bicara memakai kode, toh Titji bukan orang luar, di
antara kita tiada apa-apa yang perlu dirahasiakan." Lalu
ia meninggalkan pesan pula kepada Kong-he, "Hiantit,
segera aku akan kembali dengan membawa daharan
yang enak, kau boleh tunggu di sini bersama kedua
paman ini."
Sudah tentu Yo Tun-hou lantas sadar akan ucapan Lok
Khik-si tadi agar kata-kata rahasianya tidak menimbulkan
curiga Kong-he, maka cepat ia membenarkan teguran
sang Lotoa. Lalu ia pura-pura berkata kepada Kong-he,
"Walaupun kata-kata rahasia Kangouw jangan
sembarangan digunakan, tapi perlu juga dipelajari.

Apakah Hiantit pernah mempelajarinya? Jika belum,


kelak akan kuajarkan padamu sedikit demi sedikit."
Ia tahu sekarang bahwa Kong-he adalah seorang anak
cerdas, tapi tidak menduga bahwa bocah itu jauh lebih
cerdik daripada sangkaannya. Saat itu Kong-he sedang
berpikir, "Aku hanya paham sedikit saja kata-kata rahasia
yang diucapkan Yo-sioksiok, tapi artinya berlainan
dengan penjelasan Lok-pepek tadi? Mereka hendak
menyampaikan berita apa sih? Pemimpin yang
dimaksudkan Yo-sioksiok itu siapa lagi?"
Betapapun Kong-he masih terlalu kecil, walaupun
sudah merasa curiga, tapi pikirannya belum mampu
menyelami kepalsuan orang Kangouw seperti ketiga
pamannya ini.
Sesudah Yo Tun-hou dan Be Seng-liong membawa
Kong-he sampai di kelenteng rusak itu, segera Tun-hou
berkata, "Kelenteng yang terpencil ini sangat cocok untuk
kita. Eh, Losam, pergilah kau mengambil air!"
"Air? Bukankah persediaan air kita masih cukup/'
Seng-liong menegas dengan tercengang.
Tapi Yo Tun-hou lantas menarik muka. "Tidak cukup!"
sahutnya dengan nada dingin.
Biasanya Seng-liong memang jeri kepada sang Jiko,
walaupun tahu maksud Yo Tun-hou itu hanya untuk
menyingkirkan dirinya saja, terpaksa ia pun menurut.
Sesudah Be Seng-liong keluar, tiba-tiba Yo Tun-hou
menghela napas, katanya, "Hiantit, hatiku selalu
memikirkan suatu urusan sehingga rasanya tidak
tenteram."

"Ada urusan apakah, paman?" tanya Kong-he.


"Tiada lain ialah urusan Lim-pepekmu itu!"
"Lim-pepek? Apa kau maksudkan Lim-kaucu?"
"Ya, siapa lagi kalau bukan dia?" sahut Tun-hou.
"Ayahmu dan Lim-kaucu laksana saudara sekandung
saja, aku dan Lim-kaucu juga mempunyai hubungan
persahabatan yang rapat. Walaupun aku belum masuk
menjadi anggota, tapi biasanya bila bertemu dengan
Lim-kaucu, beliau selalu suka membicarakan urusanurusan
penting perkumpulan dengan aku."
Kembali Kong-he sangat heran, pikirnya, "Lok-pepek
mengatakan kedua paman ini tidak kenal Lim-pepek,
mengapa sekarang dia mengaku mempunyai
persahabatan rapat dengan beliau? Ah, mustahil ini.
Salah satu di antara mereka tentu ada yang berdusta."
Yo Tun-hou mengira Kong-he adalah anak kecil yang
gampang dibohongi, tidak tahunya diam-diam bocah itu
sudah mencurigainya. Namun ia menghela napas dan
menyambung lagi, "Entah Lim-kaucu sekarang berada
dimana, sungguh aku sangat menguatirkan
keselamatannya. Ayahmu mengalami nasib malang,
berita ini juga perlu selekasnya disampaikan kepadanya.
Cuma sayang ... eh, Hiantit, apakah kau tahu ...?"
"Apa paman maksudkan tempat tinggal Lim-pepek,
tapi ayah ..." "Benar," sela Tun-hou. "Tentu ayahmu
mengetahui, sebelum wafat tentu beliau telah
memberitahukan kepadamu."
"Tidak, ayah tidak memberitahukan padaku," sahut
Kong-he. Tun-hou mengerut kening. "Apakah Lok-pepek

yang melarang kau mengatakan padaku?" ia coba


memancing.
Karena teringat kepada pesan Lok Khik-si, pula dalam
hati kecilnya Lok Khik-si juga lebih rapat dengan dia,
maka ia lantas mengadakan pembelaan bagi paman Lok
itu, jawabnya, "Tidak, tidak, aku pun tidak pernah
mengatakan kepada Lok-pepek."
Yo Tun-hou merasa lega. "O, ya, memang soal ini
tidak boleh diberitahukan kepada Lok-pepek. Jadi kau
memang tahu dimana keberadaan Lim-pepek, masakah
kau tak mempercayai aku?"
Baru sekarang Kong-he merasa lubang kelemahan
ucapannya tadi. Syukurlah ia cukup cerdik, segera ia
menghindarkan pokok pembicaraan, ia pura-pura
mengunjuk rasa keheran-heranan dan balas bertanya,
"Mengapa tidak boleh memberitahukan kepada Lokpepek,
apakah kita tidak dapat mempercayai dia?"
"Dalam hal ini .... O, bukannya tidak mempercayai dia,
soalnya dia ... dia tidak terlalu kenal Lim-pepekmu, pula
dia mempunyai penyakit suka minum arak, bila mabuk
dia suka mengoceh tak keruan. Maka tentang rahasia
Lim-pepekmu itu sebaiknya jangan dikatakan padanya
agar tidak sampai bocor sehingga membikin celaka Limpepek."
Ocehan Yo Tun-hou yang sengaja dibuat-buat ini
sama sekali tidak cocok dengan apa yang dikatakan Loklotoa,
keruan semakin menambah rasa curiga Kong-he,
pikirnya, "Aneh, Lok-pepek mengaku pernah mengangkat
saudara dengan Lim-pepek, tapi Yo-sioksiok ini
mengatakan mereka tidak saling kenal. Aha, pasti di
antara mereka ada salah satu yang berdusta."

Dalam pada itu Yo Tun-hou telah membujuk, "Anak


yang baik, coba katakan padaku tentang keadaan Limpepek.
hatiku baru tenteram bilamana aku sudah
menemukan dia."
'Tapi aku ... aku benar-benar tidak tahu, ayah tidak
pernah memberitahukan padaku," jawab Kong-he.
"Ah, anak kecil janganlah berdusta," ujar Tun-hou.
"Bukankah tadi kau sudah menyatakan mengetahui
berita tentang Lim-pepekmu, mengapa tidak kau katakan
padaku? Anak baik, ceritakanlah, lekas! Besok juga akan
kuajarkan kepandaianku padamu."
Kepandaian Yo Tun-hou memang lebih tinggi daripada
Lok Khiksi, tapi tabiatnya lebih gopoh dan kurang sabar.
Semakin dia mendesak, semakin membikin curiga Konghe.
Apalagi dia memancing dengan ajaran
kepandaiannya, hal ini bukanlah perbuatan seorang
ksatria sejati.
Pada waktu Kong-he merasa kagok untuk menjawab
pertanyaan Yo Tun-hou, saat itulah tiba-tiba Be Sengliong
sudah kembali dengan membawa sekantong besar
air jernih.
Yo Tun-hou mengerut kening. "Mengapa sedemikian
cepat kau sudah kembali? Apakah itu air sumber yang
bersih?" tanyanya.
"Ya, kebetulan tidak jauh dari sini ada sumber air, aku
kuatir Jiko menunggu terlalu lama, maka buru-buru aku
berlari kembali," sahut Seng-liong.
Walaupun mendongkol, terpaksa Tun-hou tidak
leluasa untuk menanyai Kong-he pula.

"Jiko, baru saja aku melihat dua bayangan orang yang


melayang lewat secepat terbang, jangan-jangan kita
dikuntit musuh," demikian kata Be Seng-liong. "Apakah
Jiko tidak perlu memeriksa keluar, biarlah aku yang
membuatkan teh bagimu."
"Mengapa kau sendiri tidak menyusul bayanganbayangan
orang itu?" tanya Tun-hou.
"Gerakan mereka teramat cepat, tampaknya
kepandaian mereka jauh di atasku, maka buru-buru aku
kembali untuk melapor padamu, rasanya cuma Jiko saja
yang mampu menandingi mereka."
"Tapi juga belum pasti apakah kawan atau lawan,
mengapa mesti geger?" ujar Tun-hou.
"Ya, toh tiada jeleknya kita berlaku waspada," sahut
Seng-liong. "Sebaiknya Jiko berjaga-jaga menghadapi
mereka, bila musuh yang datang, tentu mereka tak bisa
lolos di tangan Jiko."
Dasar watak Yo Tun-hou juga suka disanjung puji,
setelah diumpak, ia pikir kata-kata Be Seng-liong itupun
beralasan. Tapi ia pun tidak lantas pergi, katanya,
"Baiklah, aku akan meronda keluar. Anak He, tentu kau
sudah lelah, bolehlah kau tidur lebih dulu. Sebentar bila
Lok-pepek sudah pulang dan membawa daharan enak
tentu akan kubangunkan kau."
Memangnya Li Kong-he enggan melayani pembicaraan
mereka lagi. Sambil mengiakan segera ia merebah,
dalam waktu tidak lama ia pura-pura sudah terpulas.
Dengan demikian barulah Yo Tun-hou tidak ragu-ragu
lagi dan lantas keluar.

Tapi begitu Yo Tun-hou sudah pergi, segera Be Sengliong


membangunkan Kong-he. Seperti juga Tun-hou,
sebelum bicara Be Seng-liong pura-pura menghela napas
dahulu.
Diam-diam Kong-he merasa geli, tapi ia pura-pura
tidak tahu, sebaliknya dengan lagak sungguh-sungguh ia
bertanya, "Sebab apakah paman menghela napas?"
"Ai, berada bersama kau aku jadi teringat kepada
seorang sobat baik yang pernah menjadi saudara
angkatku itu," kata Seng-liong.
"Siapakah orang itu, paman?" tanya Kong-he.
"Ya, siapa lagi kalau bukan Lim-kaucu dari Thian-likau?"
sahut Seng-liong. "Kabarnya dia telah meloloskan
diri bersama dengan ayahmu. Cuma, ai, sayang...."
Geli-geli mendongkol Kong-he melihat permainan
sandiwara Ki-lian-sam-siu itu. Dengan tak sabar segera ia
memotong ucapan orang, "Paman Be, apakah kau
maksudkan sayang tidak tahu dimana beradanya Limpepek
bukan?"
"Ah, memang benar, kau sungguh pintar, Hiantit,
sekali tebak lantas kena," sahut Be Seng-liong.
"Bukanlah aku pintar, soalnya tadi Yo-sioksiok juga
menghela napas dan mengajukan pertanyaan demikian
kepadaku."
"O, lantas sudah kau katakan belum kepada Yosioksiok?"
Seng-liong menegas dengan terkejut.
Kong-he tidak menjawab langsung, tapi berkata, "Besioksiok,
jika kau benar-benar sangat ingin tahu keadaan

Lim-pepek, mengapa di tengah jalan siang tadi tidak kau


tanyakan padaku?"
"Lim-pepekmu itu adalah buronan yang sedang dicaricari
pemerintah kerajaan, masakah beritanya boleh
sembarangan dibicarakan di hadapan orang?"
"Apakah Lok-pepek dan Yo-sioksiok juga orang luar?"
tanya Kong-he.
"Meski mereka bukan orang luar tapi mereka tidak
kenal Lim-kaucu, buat apa mereka diberitahu mengenai
soal ini?" ujar Seng-liong.
"Harus diketahui bahwa urusan penting ini harus
dirahasiakan, apalagi menyangkut keselamatan Limpepek.
Eh, apakah kau telah mengatakan kepada mereka
mengenai diri Lim-kaucu?"
"Aneh, mengapa ucapan Yo-sioksiok tadi sama sekali
berlainan dengan apa yang dikatakan paman Be
sekarang?" sahut Kong-he. "Dia menyatakan Lim-pepek
adalah saudara angkatnya, katanya kau dan Lim-pepek
selamanya tidak saling kenal."
Padahal Lok Khik-si juga berkata demikian, cuma
perasaan Kong-he lebih condong kepada Lok-lotoa itu,
maka dia hanya menyebut Yo Tun-hou saja.
Rupanya Be Seng-liong terpancing, ia menjadi marah.
"Huh, Yo-sioksiok telah membohongi kau," katanya
cepat.
"Masakah demikian, mengapa Yo-sioksiok
membohongi aku?"
"Kau tidak tahu bahwa pihak kerajaan telah
menjanjikan hadiah besar dalam usaha menangkap LimTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kaucu. Siapa yang mengetahui jejak Lim Jing dan
memberi laporan sehingga buronan itu dapat ditawan,
bila harta yang diinginkan akan diberi hadiah seribu tahil
emas murni, jika yang diharapkan adalah kedudukan,
maka orang itu akan diangkat menjadi Congpeng
(setingkat mayor). Ya, mungkin aku terlalu berlebihan
menguatirkan urusan ini, tapi watak Yo-sioksiokmu
biasanya paling tamak harta, penyakitnya ini cukup
kuketahui, betapapun kita harus berjaga-jaga."
"Jika demikian, lantas bagaimana dengan Lok-pepek?
Apakah Lok-pepek juga mempunyai penyakit tamak
harta?"
"Lok-pepek sih tidak tamak harta, tapi aku pun kenal
tabiatnya yang kemaruk pada kedudukan dan pangkat.
Sebab itulah kita juga harus berjaga-jaga atas dirinya.
Nah, sebenarnya sudah kau katakan kepada mereka atau
belum? Wah, jika sudah, tentu urusan bisa runyam, kita
harus lekas mencari akal untuk memecahkan persoalan
ini."
Kong-he sampai berkeringat dingin, pikirnya, "Ya,
benar, harus mencari akal untuk memecahkan persoalan
ini. Bukankah aku sudah memberitahukan tempat
persembunyian Lim-pepek kepada paman Lok? Wah, jika
ditilik dari pembicaraan mereka ini, boleh jadi Lok-pepek
sendiri juga bukan manusia baik-baik."
Dalam pada itu Be Seng-liong telah menggoyanggoyangkan
tangan Kong-he dan mendesak pula,
"Bagaimana? Apakah kau menjadi takut? Jangan takut,
lekas katakan terus terang padaku. Aku dapat mencari
jalan untuk mengirim kabar kepada Lim-pepekmu agar

dia lekas menyingkir dari tempat persembunyiannya


serta mengirim orang untuk memapak kau."
Kong-he coba menenangkan diri, lalu menjawab,
"Tidak, aku tidak tahu apa-apa, maka aku pun tidak
pernah mengatakan sesuatu kepada Lok-pepek maupun
Yo-sioksiok."
Untuk sejenak Be Seng-liong tercengang atas jawaban
Kong-he. "Ai, bicara sekian lamanya, rupanya kau bocah
ini masih tetap tidak mau percaya padaku?" kata Sengliong
kemudian. "Sungguh, aku benar-benar saudara
angkat Lim-pepekmu, sungguh aku sangat menguatirkan
keselamatannya, juga aku benar-benar ingin
menyelamatkan dirimu Sampai di sini tiba-tiba terdengar
suara derapan kuda yang makin mendekat, air muka
Seng-liong tambah berubah, cepat ia membisiki Kong-he,
"Ingat, apa yang kita bicarakan barusan ini janganlah
kau katakan kepada siapa pun, awas, jika kau katakan
kepada mereka, tentu kau sendiri bisa celaka."
Kong-he diam saja. Seng-liong menjadi kuatir, ia
remas tangan bocah itu dan mengancam pula, "Nah,
ingat betul-betul. Jika mereka sampai mengetahui
pembicaraan kita ini, andaikan kau tidak dibunuh mereka
juga aku akan memuntir putus lehermu!"
Ternyata Be Seng-liong jauh lebih kasar daripada
kedua kawannya, bukan saja dia telah menjelek-jelekkan
kedua saudara angkatnya itu, bahkan dia telah
menggertak dan menakut-nakuti Kong-he. Dengan
demikian sama juga dia telah merobek kedoknya sendiri.
Dasar masih anak-anak, dengan sendirinya Kong-he
menjadi takut. Terpaksa ia menjawab, "Baiklah, takkan
kukatakan kepada mereka."

Dan belum lagi Be Seng-liong melepaskan tangan


Kong-he, terlihat Lok Khik-si sudah melangkah masuk.
"Eh, kau belum tidur, Kong-he? Apa yang sedang
kalian bicarakan?" demikian Lok-lotoa lantas menegur.
"O, dia ... dia kelaparan dan tidak bisa tidur. Aku
sedang membujuknya bahwa sebentar juga kau akan
kembali dengan membawa daharan enak. Haha, benar
juga sekarang kau sudah datang/' kata Seng-liong.
"Baiklah, segera akan kusembelih ayam yang kau bawa
ini."
"Tidak perlu disembelih lagi, panggang saja biar
cepat!" ujar Lok-lotoa sambil melemparkan dua ekor
ayam gemuk yang dibelinya itu. "Eh, dimanakah Loji?"
"O, Loji sedang pergi, pergi meronda belum habis
Seng-liong menjawab, tiba-tiba terdengar suara auman
harimau.
"Meronda apa? Namanya saja 'kambing mencaplok
macan', masakah dia malah takut kepada macan?" ujar
Lok Khik-si.
"Bukan macan, tapi mungkin sekali musuh" kata Sengliong.
"Tengah malam buta di pegunungan sunyi ini masakah
ada musuh segala?" semprot Lok-lotoa. "Biasanya dia
tidak sedemikian cermat kerjanya, tentu kau ... kau yang
Selagi Be Seng-liong kuatir rahasianya terbongkar,
tiba-tiba terdengar suara tindakan orang, kiranya Yo
Tun-hou.

Air muka Yo Tun-hou tampak mengunjuk rasa kuatir,


begitu masuk lantas berseru, "Ya, memang terdapat
jejak orang yang mencurigakan di pegunungan ini!"
Diam-diam Seng-liong bergirang, katanya dalam hati,
"Ha, sebenarnya aku cuma membohongi, tak tersangka
dia benar-benar menemukan jejak musuh. Dengan
demikian kebohonganku menjadi tepat malah."
"Orang macam apa yang kau lihat?" Khik-si ikut
terperanjat. "Kulihat seekor harimau kumbang!" sahut Yo
tun-hou. "Katanya manusia?" Khik-si menukas.
"Begini, kulihat binatang itu terluka dan darah
berceceran, maka kuyakin itu tentu dilukai manusia. Lalu
kudengar pula derapan kuda> kuatir kedatangan musuh,
maka buru-buru aku kembali. Tak tahunya kaulah yang
telah pulang."
Lok Khik-si saling pandang sekejap dengan Be Sengliong.
Mereka tahu harimau adalah binatang buas yang
paling ganas, jika binatang itu benar-benar dilukai
manusia, maka orang itu tentulah tidak rendah ilmu
silatnya.
Maka Khik-si berkata, "Baiklah, malam ini kita harus
meronda secara bergilir. Losam, sekarang kau yang dinas
jaga lebih dulu."
Seng-liong mengiakan dan segera hendak
meninggalkan api unggun yang telah dinyalakan itu.
Mendadak Yo Tun-hou bertanya, "Losam, sejak tadi
kau memasak teh, sudah sekian lamanya mana itu teh
yang kau buat?"

"O, tadi, tidak lama sesudah kau pergi, He-ji lantas


terjaga bangun oleh suara harimau yang menakutkan,
maka aku telah mendampingi dia dan ... dan tidak
sempat membuat teh," demikian Seng-liong memberi
alasan.
"Apa benar kau terjaga bangun oleh suara harimau
itu, He-ji?" tanya Khik-si karena ucapan Be Seng-liong itu
ternyata tidak cocok dengan apa yang dikatakannya tadi.
Kong-he menjadi serba susah, ia tidak tahu pasti
ketiga "paman" ini sesungguhnya orang baik atau orang
jahat, dengan sendirinya ia tidak berani menganggapnya
sebagai musuh. Pula dia masih ingat ancaman Be Sengliong
tadi, maka terpaksa ia menjawab, "Ya, memang
tadi aku kaget dan mendusin karena suara auman
harimau yang menakutkan itu."
Karena kuatir menimbulkan curiga Kong-he kalau
terlalu mendesak kepada Be Seng-liong, maka mereka
pun tidak menegur lagi. Segera Yo Tun-hou berkata,
"Baiklah, boleh kau potong setengah ekor ayam itu dan
jagalah di luar." Saat itu kedua ekor ayam panggang
sudah matang.
Dan baru saja Seng-liong melolos golok hendak
memotong ayam panggang itu, tiba-tiba terdengar suara
tindakan orang. Lalu ada suara anak dara yang nyaring
sedang berseru, "O, alangkah sedapnya bau ini!"
"Siapa itu?" bentak Yo Tun-hou segera. Sungguh ia
sangat terkejut, mengapa seorang anak dara kecil
memiliki Ginkang setinggi ini, maka kepandaian
temannya itu tentu terlebih lihai lagi.

Hendaklah maklum bahwa kepandaian Yo Tun-hou,


bilamana yang datang tadi hanya dua orang biasa, tentu
sedari jauh suara tindakan mereka sudah didengar
olehnya. Tapi sekarang kedua orang itu sudah dekat
barulah diketahui, maka dapatlah diduga Ginkang kedua
pendatang ini tentu tidak rendah.
Di tengah bentakan Yo Tun-hou itu kedua pendatang
itupun sudah melangkah masuk. Ternyata seorang di
antaranya sudah berusia
50-an, perawakannya tinggi kurus, berbaju biru dan
berkopiah kecil, itulah dandanan yang mirip seorang
pengabdi rumah tangga. Seorang lagi adalah dara cilik
yang masih kekanak-kanakan, usianya paling-paling baru
sepuluhan tahun, sebaya dengan Kong-he. Rambutnya
dikepang menjadi dua kuncir kecil, pipinya lesung,
matanya hitam besar, lincah dan menyenangkan.
Lelaki tinggi kurus itu lantas memberi salam hormat
dan berkata, "Maaf, jika kami telah mengganggu tuantuan.
Perjalanan kami ini telah melampaui tempat
bermalam, terpaksa mesti mencari suatu tempat
mengaso dan kebetulan terdapat kelenteng ini."
Sebaliknya yang terus diincar oleh dara cilik itu
ternyata adalah ayam panggang yang mengeluarkan bau
sedap itu, tampaknya dia sangat kepingin, katanya,
"Wah, ayam panggang yang gemuk sekali. Apakah boleh
membagi sebuah pahanya untukku?"
Namun Yo Tun-hou telah menatap tajam kepada lelaki
jangkung itu, tanyanya, "Apakah saudara juga yang tadi
melukai harimau?"

"Ah, sungguh memalukan," sahut lelaki itu.


"Kepandaianku terlalu rendah sehingga binatang itu tidak
dapat kubinasakan dengan timpukan Piau tadi, harap
Loheng (saudara) jangan menertawakan diriku."
"Haha, sama-sama orang Kangouw tidak perlu
merendahkan diri," seru Tun-hou dengan terbahak.
"Nona cilik ini tampaknya sudah lapar? Baiklah, ayam
panggang yang sudah masak ini boleh kalian makan lebih
dulu."
Anak dara itu menjadi girang. "Engkau sangat baik
hati, terima kasih ya!" serunya dan segera hendak
menerima ayam panggang yang dikatakan itu.
Tapi si lelaki jangkung telah mengadang di depannya
dan berkata, "Ayam panggang ini masih sangat panas,
biar aku menyobeknya untukmu." Nyata lelaki ini seorang
kawakan Kangouw, dari sorot mata Yo Tun-hou tadi
segera ia menduga orang tak bermaksud baik.
"Ini, ambil!" mendadak Yo Tun-hou membentak, ayam
panggang itu terus dilemparkan ke muka si lelaki
jangkung, berbareng telapak tangannya lantas
memotong ke batok kepalanya pula.
Cepat lelaki jangkung itu menunduk kepala sehingga
ayam panggang itu melayang lewat ke belakang. Tapi
saat itu pukulan Yo Tun-hou juga sudah menyambar tiba.
Lelaki itu cuma mengangkat tangan kanan ke atas, jari
tengahnya menegak tepat mengarah Leng-yan-hiat di
telapak tangan Yo Tun-hou. Hiat-to yang diarah itu
adalah titik pangkal urat nadi Siau-yang-meh, kalau
sampai tertotok maka lengan Yo Tun-hou itu pasti akan
lumpuh untuk selamanya.

Melihat ilmu totokan lihai lawannya itu, Tun-hou tidak


berani ayal, cepat ia merapatkan tangannya dan berbalik
menggantol, jika jari lawan tergantol dan terpegang,
segera ia dapat mematahkannya.
Akan tetapi lelaki jangkung itupun tidak kalah
gesitnya, sebelum jarinya terpegang, ia pun sudah ganti
serangan, tangan terbuka, dari menotok berubah
meniadi memukul, kontan ia memotong tangan Yo Tunhou.
Karena kedua tangan sudah berdekatan, untuk
mengelak juga tidak sempat lagi. Terpaksa Tun-hou
mengadu tenaga, tangannya juga cepat dibuka, "plak",
pukulan ketemu pukulan, Yo Tun-hou tergetar mundur
dua tindak, lelaki jangkung itupun tergeliat. Dari kejadian
itu nyatalah kekuatan lelaki jangkung itu masih sedikit di
atas Yo Tun-hou.
Dalam pada itu ayam panggang yang ditimpukkan Yo
Tun-hou ke belakang tadi kebetulan melayang ke depan
si dara cilik. Segera ia sambut ayam panggang itu
dengan tangannya yang kecil itu, katanya, "Aku hanya
minta sebuah paha saja, mengapa kau memberi seekor
penuh kepadaku?"
Karena melayangnya ayam panggang itu ke
hadapannya, maka pandangannya menjadi teralih, maka
nona cilik itu tidak melihat jelas pengiringnya yang tua itu
sudah mulai bergebrak dengan Yo Tun-hou.
"Lekas lari saja, Siocia!" seru si lelaki jangkung
berbaju biru kepada si dara.
Tapi Be Seng-liong lantas menanggapi, "Huh, jangan
harap budak cilik ini dapat melarikan diri lagi!" Berbareng

ia terus merintangi jalan keluar serta hendak menawan si


nona.
Lelaki itu ingin menolong anak asuhannya itu, tapi
kena dirintangi Yo Tun-hou. Walaupun kekuatan lelaki
baju biru itu sedikit lebih lihai daripada Tun-hou, tapi
dalam waktu singkat ia pun tidak dapat berbuat apa-apa
atau mengalahkannya.
Sementara itu Be Seng-liong telah mendesak maju
mendekati si nona cilik dengan menyeringai iblis.
"Kau berani mengganggu seujung rambutku saja,
tentu ayahku akan mampuskan kalian seluruhnya!"
bentak anak dara itu tanpa gentar.
"Hehehe! Siapa sih ayahmu?" tanya Be Seng-liong
dengan menyengir ejek.
"Tidak perlu menyebut nama ayahmu Siocia!" seru si
lelaki jangkung tadi.
"Ya," sahut si dara cilik. "Untuk membunuh beberapa
bangsat begini memangnya juga tidak perlu membikin
capai ayahku."
Be Seng-liong menjadi gusar. "Kurangajar! Anak kecil
seperti kau juga berani membual? Sekalipun kau adalah
putri Kang Hay-thian juga tetap akan kusembelih kau!"
"Haha, putri Kang Hay-thian sudah dilukai oleh Jianjiu-
koan-im, darimana bisa muncul seorang putrinya
lagi," ujar Lok Khik-si dengan tertawa. "Bereskan saja,
Samte, tak perlu kau takut."
Rupanya Lok Khik-si hanya memperhatikan si lelaki
baju biru saja. Diam-diam ia telah mengambil keputusan
bila nanti lawan dan Yo Tun-hou sudah sama-sama

payah, barulah dia sendiri akan turun tangan, dengan


demikian dia .akan dapat menarik keuntungan tanpa
susah-susah. Perihal nona cilik itu hakikatnya tidak
diperhatikan olehnya.
Tak tersangka, ketika Be Seng-liong mencaci-maki si
dara cilik tadi, sebelum mulutnya terkatup kembali,
sekonyong-konyong anak dara itu telah menimpukkan
ayam panggang yang dipegangnya itu ke arah Be Sengliong
sambil mendamprat, "Kalian ini memang bangsat
busuk semua, aku tidak sudi makan barangkalian ini!"
Bilamana lawan adalah orang dewasa, boleh jadi Be
Seng-liong akan berlaku hati-hati, tapi karena sekarang
yang dihadapinya cuma seorang anak kecil yang
dianggapnya masih ingusan, maka sedikitpun tidak
dipandang sebelah mata olehnya. Siapa tahu justru
kelengahannya ini telah mengakibatkan dia menelan pil
pahit.
"Plok ... hauuuup tahu-tahu mukanya telah tertimpuk
ayam panggang, celakanya kepala ayam panggang yang
panjang itu persis menyelonong masuk ke dalam
mulutnya. Keruan ia tersedak dan kelabakan. Dalam
kalapnya ia bermaksud mencaci-maki namun tidak bisa
lagi.
"Huuh, enak ya rasanya?" demikian si dara cilik itu
malah mengejek dengan mengikik geli.
"Lekas, lekas lari!" si lelaki jangkung meneriakinya
lagi.
Setelah ayam panggangnya berhasil hinggap di muka
Be Seng-liong, mestinya kesempatan baik itu dapat
digunakan si nona untuk melarikan diri. Tapi dasar masih

anak-anak, karena geli melihat ayam panggang itu


tergantung di mulut Be Seng-liong yang menjadi
kelabakan dan lucu itu, ia menjadi lupa melarikan diri.
Ia baru sadar dan kaget ketika kemudian Be Sengliong
mendadak memelompat ke atas terus menubruk ke
arahnya.
Melihat tubrukan yang beringas ini, cepat nona cilik itu
menyambar sebatang kayu berapi, katanya dengan
tertawa, "Ayam panggang itu belum lagi matang, ini, biar
kutambahi apinya!" Berbareng tangkai kayu itu terus
ditimpukkan ke depan.
Akan tetapi sekali ini Be Seng-liong sudah berjagajaga,
sudah tentu tidak gampang kecundang lagi. "Krek",
mendadak kepala ayam telah dikertaknya hingga putus,
menyusul lantas disemburkan sehingga tangkai kayu
berapi itu dengan tepat terbentur jatuh.
Baru sekarang si nona cilik terkejut dan mengetahui
lawannya itu tidak empuk.
"Budak setan, kau berani mempermainkan Locu
(bapakmu) ini, rasakan kepalanku!" maki Be Seng-liong,
dengan murka ia terus menguber maju, kedua tangannya
yang lebar itu lantas mencengkeram.
Namun si nona cukup gesit, beberapa kali tubrukan Be
Seng-liong hanya mengenai tempat kosong sehingga dia
berkaok-kaok murka.
Rupanya Lok Khik-si merasa geli juga melihat kelakuan
saudara angkatnya itu, katanya dengan tertawa, "Losam,
kenapa mesti gugup menghadapi seorang anak kecil?
Asal kau jaga pintu saja masakah dia mampu kabur?"

Perhatiannya masih tetap dipusatkan atas diri si lelaki


baju biru yang saat itu sudah bergebrak belasan jurus
dengan Yo Tun-hou dan masih tetap sama kuatnya,
walaupun Yo Tun-hou lebih asor sedikit, namun Lok Khiksi
tetap belum mau ikut turun tangan.
Di antara Ki-lian-sam-siu memang kepandaian Be
Seng-liong terhitung yang paling lemah, sekarang dia
tidak mampu menangkap seorang nona cilik, tentu saja
ia merasa malu dan penasaran. Dalam murkanya ia terus
mencabut golok dan main bacok.
Dengan demikian keadaan si nona menjadi berbahaya,
berulang-ulang ia harus menghindarkan bacokan dan
tabasan musuh, untunglah dia masih cukup gesit untuk
menyelamatkan diri.
Melihat itu, timbul juga rasa keadilan Li Kong-he.
Mendadak ia melompat maju sambil berseru, "Hei, Besioksiok
mana boleh kau menggunakan golok
Baru sekian dia bersuara, tiba-tiba Be Seng-liong telah
memperingatkannya, "Awas, kau jangan maju, nanti kau
yang terkena golokku!" Berbareng senjatanya terus
menabas ke sana dan kemari dua kali. Ini adalah 'Hwehwe-
to-hoat', ilmu golok bolak-balik, yang terkenal dari
keluarga Be mereka.
Di sebelah lain, si lelaki baju biru menjadi kautir juga,
bentaknya gusar, "Bangsat yang tidak kenal malu! Kalian
cuma berani menganiaya seorang anak kecil saja, dasar
pengecut!"
Saking murkanya serentak ia mengerahkan segenap
tenaganya, kedua tangannya menghantam sekaligus ke
arah musuh.

"Plak", terpaksa Yo Tun-hou menangkis serangan


dahsyat ini, namun ia sendiri tergetar mundur, dadanya
terasa sesak seperti digodam, pandangannya menjadi
gelap.
Maksud si lelaki baju biru menghantam mundur Yo
Tun-hou adalah ingin menolong si nona cilik yang
terancam bahaya itu. Namun ketika dia sempat membalik
tubuh, keadaan sudah agak kasip, tertampak sinar golok
Be Seng-liong berkelebat dan sedang menabas ke arah
leher si nona.
Syukurlah pada saat itu Kong-he yang berdiri lebih
dekat itu lantas melompat maju pula ke belakang Be
Seng-liong. Kontan ia depak belakang lutut 'kuda
mengalahkan naga' itu. Maka terdengarlah suara
gedebukan, tanpa ampun lagi tubuh Be Seng-liong yang
gede laksana kerbau itu terus roboh terjungkal.
Kiranya dengan tepat depakan Kong-he itu telah
mengenai Hiat-to di belakang lutut sasarannya. Cara
mendepak Hiat-to ini adalah ajaran ayahnya, tenaga
Kong-he meski kecil toh Be Seng-liong juga tidak tahan,
seketika terkulai dan tak bisa berkutik.
Perubahan kejadian ini benar-benar sangat di luar
dugaan dan mendadak. Ketika Lok Khik-si sempat
memburu maju, sementara itu si . lelaki baju biru sudah
lantas menyeret si nona cilik dan dibawa lari keluar
kelenteng.
Sebenarnya dengan mengerahkan segenap tenaga
pukulannya dan membikin mundur Yo Tun-hou, maka si
lelaki baju biru itupun sudah sedikit terluka dalam, cuma
Lok Khik-si tidak tahu hal ini, maka dia tidak berani
mengejarnya.

Ketika ditarik lari keluar kelenteng, si dara cilik itu


masih sempat menoleh sambil tertawa manis sehingga
dua lekuk kecil di pipinya kelihatan, dia berkata kepada
Kong-he, "Terima kasih ya atas pertolonganmu!"
Baru sekarang Kong-he merasa perbuatannya tadi
tentu akan membawa akibat celaka. Benar juga, selagi
dia bingung tindakan apa yang harus dilakukan
selanjutnya, saat itu Hiat-to Be Seng-liong yang terdepak
tadi sudah lancar kembali, sambil menggerung gusar ia
lantas melompat bangun terus mencengkeram ke atas
kepala Kong-he dan memaki, "Kau anak jadah
Belum sempat dia menjamah bocah itu, tahu-tahu Lok
Khik-si sudah menghadang di depannya untuk
melindungi Kong-he, serunya, "Sabar dulu, Losam,
hendaklah kau memaafkan maksud baik He-ji tadi."
"Maksud baik? Dia membela orang lain masakah
bermaksud baik?" Seng-liong menegas dengan marahmarah.
Dalam pada itu Yo Tun-hou sedang berdiri
membelakangi ke sana dan memuntahkan sekumur
darah segar. Dengan keras lawan keras ia telah
menyambut pukulan si lelaki baju biru tadi sehingga
terluka dalam. Sudah tentu diam-diam ia dendam kepada
Lok Khik-si yang sejak tadi hanya menonton saja dan
tidak mau membantu.
Lalu ia mendekati mereka dan ikut menegur, "Ya,
Losam, buat apa kau mesti marah kepada seorang anak
kecil?"
Biasanya Be Seng-liong paling takut kepada saudara
angkat kedua itu. Sebenarnya ia pun tahu apa sebabnya

kedua kawannya itu membela Kong-he, maka dengan


menyengir segera ia menjawab, "Masakah aku marah
kepada anak kecil? Hehe, aku justru sangat sayang
padanya!" Dan untuk memperlihatkan kesungguhannya
itu ia pura-pura menepuk-nepuk pundak Kong-he.
Sudah tentu bukannya senang, sebaliknya Kong-he
mengkirik mendengar suara tertawa iblis Be Seng-liong.
Dalam pada itu Yo Tun-hou telah berkata, "Jejak kita
telah diketahui orang luar, besok pagi-pagi kita harus
lekas berangkat. Eh. Lotoa, apakah urusanmu sudah
beres?"
"Sudah, aku sudah berjanji untuk bertemu kawankawan
kita di tengah jalan, rasanya tidak perlu takut
apa-apa lagi," sahut Lok-lotoa.
Kawan yang dia maksudkan adalah jago istana yang
telah dihubunginya itu. Yo Tun-hou dan Be Seng-liong
lantas paham maksudnya.
"Bangsat tadi telah melarikan diri, rasanya dia takkan
berani datang lagi," kata Tun-hou. "Cuma kita masih
perlu waspada, malam ini kita harus berjaga secara
bergiliran. Hiantit, kau pun perlu lekas tidur supaya besok
pagi-pagi dapat berangkat."
Akan tetapi mana Kong-he dapat pulas? Dalam
benaknya selalu timbul suatu pertanyaan, "Lok-pepek
dan kedua paman ini apakah benar-benar orang baik?"
Adegan Be Seng-liong mengayun goloknya hendak
membunuh si nona cilik tadi lantas terbayang olehnya,
dampratan si lelaki baju biru atas perbuatan keji Yosioksiok
dan Be-sioksiok itupun mengiang pula di tepi
telinganya. Pikir Kong-he, "Ya, Yo-sioksiok dan BeTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sioksiok pastilah bukan manusia baik-baik, caci-maki
lelaki itu memang benar."
Hanya saja apakah Lok-pepek orang baik atau jahat,
untuk ini dia masih belum yakin betul. Namun Lok-pepek
telah bersaudara dengan dua orang manusia busuk,
betapapun baiknya Lok-pepek rasanya juga terbatas.
Begitulah makin dipikir makin takut hati Kong-he,
akhirnya timbul juga keinginannya untuk melarikan diri.
Akan tetapi ia dijaga oleh tiga orang dewasa yang
berkepandaian tinggi, apakah mudah baginya untuk
kabur? Begitulah karena pikirannya yang kacau itu, tanpa
terasa fajar sudah menyingsing.
Sebenarnya luka dalam Yo Tun-hou tidaklah ringan,
dia telah makan obat yang dibawanya sendiri serta sudah
mengaso semalam, tapi dadanya masih terasa sakit.
Namun wataknya yang tidak mau kalah itu membuatnya
berlagak gagah, dia tetap berangkat pagi-pagi menurut
rencana.
"Kau tetap bersatu kuda dengan aku, Hiantit," kata
Lok-lotoa kepada Kong-he.
Baru sekarang Yo Tun-hou ingat bahwa Lok-lotoa
ternyata tidak membeli kuda baru sebagaimana
pesannya kemarin. Baru saja dia hendak menegur, tibatiba
Lok Khik-si sudah memberi penjelasan, "Kemarin
sudah terlalu malam, setiba di kota keadaan sudah sunyi,
semua pedagang sudah tutup pintu, terpaksa aku tak
dapat membeli kuda baru."
Mestinya Yo Tun-hou hendak mengomel, tapi demi
teringat Kong-he sedang memperhatikan percakapan
mereka, agar tidak menimbulkan curiga, terpaksa TunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hou urung membuka suara lagi. Segera ia memegang
pelana dan memanjat ke atas kudanya. Walaupun dia
sudah bertahan, namun tidak urung dia meringis
kesakitan.
Lok Khik-si lantas mengetahui bahwa kawannya
terluka dalam yang tidak ringan, ia pura-pura menghela
napas dan berkata, "Aku menjadi teringat kepada suatu
hal yang agak berbahaya, betapapun juga kita harus
berhati-hati."
"Bahaya apa?" tanya Yo Tun-hou melengak.
"Loji, lelaki yang bergebrak dengan kau kemarin itu,
kepandaiannya tidak rendah bukan?" tanya Khik-si.
Tun-hou pura-pura berlagak tidak menghargai
kepandaian orang, sahurnya, "Ya, tapi untuk bisa
menangkan aku paling sedikit dia harus berlatih sepuluh
tahun lagi. Untung dia dapat melarikan diri, tapi tidak
urung dia juga sudah terluka kena pukulanku."
Diam-diam Khik-si menertawai kawannya yang punya
bacot besar itu, namun ia berkata pula, "Loji,
memangnya siapa yang tidak kagum kepada
kepandaianmu. Tapi lelaki itu mampu bergebrak sampai
puluhan jurus dengan kau, mau tak mau harus diakui
kepandaiannya bukanlah kaum keroco."
Yo Tun-hou menjadi senang, katanya dengan tertawa,
"Ya, memang demikian!"
"Tapi, Loji, kau jangan lupa, menurut pembicaraan
orang itu dengan si dara cilik, bukankah dia hanya
seorang hamba saja?" ujar Khik-si.

"Hamba atau majikan, apa soalnya?" tanya Yo Tunhou.


"Kepandaian hambanya saja begitu lihai, maka
dapatlah dibayangkan bagaimana kepandaian
majikannya," sahut Khik-si. "Bukankah budak cilik itu
pernah menggertak kita, katanya kita akan dibinasakan
semua oleh ayahnya?"
"Lantas kau takut, Lotoa?" Tun-hou mendengus. Dia
pura-pura tenang, padahal ia sendiri pun agak kuatir.
"Takut sih tidak, tapi tiada jeleknya kalau kita berjagajaga,"
ujar Khik-si. "Maksudku adalah paling baik kalau
kita membikin dia tidak mampu pulang untuk melapor ke
majikannya. Sekarang fajar baru saja menyingsing, dia
pun terluka, rasanya takkan lari terlalu jauh dan boleh
jadi masih berada di lereng bukit ini. Maka lekas kita
mengejarnya, mungkin kita masih dapat membabat
rumput sampai akar-akarnya."
Kong-he terkejut, "Ha, kiranya Lok-pepek juga bukan
manusia baik-baik. Dia mau babat rumput sampai akarakarnya,
bukankah ia pun bermaksud membunuh si nona
cilik pula?"
Rupanya Khik-si juga kuatir dicurigai Kong-he, maka ia
lantas memberi penjelasan, "Hiantit, apa yang kami
lakukan ini adalah untuk kepentinganmu, yaitu agar
berita tentang dirimu tidak sampai bocor."
"Aku lebih suka ditangkap daripada membikin celaka
nona cilik itu," kata Kong-he. "Lok-pepek, harap kau
mengampuni saja nona itu."
"Hatimu memang baik, tapi apakah terpikir olehmu
bilamana kau tertangkap, maka kami bertiga juga akan
ikut celaka?"

"Toh nona cilik dan pengiringnya itu belum pasti


adalah orang-orang pemerintahan?" ujar Kong-he.
"Betapapun juga, yang pasti permusuhan kita dengan
mereka sudah terjadi," kata Lok Khik-si. "Jika sekarang
membiarkan mereka melarikan diri, kelak kalau ayahnya
mencari balas, tentulah aku dan kedua pamanmu yang
akan dicarinya. Maka daripada meninggalkan penyakit di
kemudian hari, ada lebih baik sekarang juga kita
dianggap kejam. Sebagai orang Kangouw, kau masih
harus belajar lebih banyak."
Kong-he tahu tiada gunanya banyak bicara lagi, ia
menjadi nekat. katanya, "Jika kalian bersikeras mau
membunuh nona cilik itu, bolehlah kalian pergi, aku tak
mau ikut."
Melihat kebandelan Kong-he, mau tak mau Yo Tunhou
bertiga menjadi ragu-ragu.
"Eh, Loji," tiba-tiba Lok Khik-si membuka suara pula.
"Mengapa kita menjadi pikun. Untuk membunuh lelaki itu
kan tidak perlu kita sendiri yang turun tangan. Bukankah
kita masih banyak kawan-kawan yang berjanji akan
bertemu dengan kita di tengah jalan sana?"
"O. ya betul!" seru Tun-hou. "Lotoa. silakan kau
memapak mereka lebih dulu."
"Kukira Titii Derlu perlindunganku, rasanya lebih baik
Loji sendiri....”
Belum lanjut ucapan Khik-si, cepat Yo Tun-hou lantas
memotong, "Sudahlah, kau saja yang pergi dulu, Losam!"
"Aku!" Be Seng-liong terkejut. "Tapi aku...”

"Sudahlah jangan rewel lagi," bentak Tun-hou. "Lelaki


itupun sudah terluka, masakah kau takut?"
Biasanya Seng-liong paling jeri kepada Yo Tun-hou,
terpaksa ia menjawab, "Baiklah, aku yang berangkat!"
Diam-diam Kong-he mengeluh, terpaksa ia hanya
berdoa saja agar dara cilik itu tak mengalami cidera apaapa
di tengah jalan. Lalu ia ikut berangkat bersama Lok
Khik-si dan Yo Tun-hou.
Jika di sini Kong-he berkuatir bagi si nona cilik, maka
saat itu si nona cilik juga lagi berkuatir bagi keselamatan
Kong-he.
Semalam sesudah lelaki itu menyeret lari si nona cilik,
sekeluarnya dari kelenteng segera ia gendong anak dara
itu terus dibawa lari secepat terbang dan sekuat mungkin
walaupun dengan menahan luka.
"Lau-taysiok, kita kan tidak boleh terus melarikan diri
dengan begini saja?" demikian si nona cilik berseru
kepada pengiringnya itu.
"Sebab apa?" tanya si lelaki baju biru.
"Orang lain telah menyelamatkan jiwaku, mana boleh
aku membiarkan dia jatuh di tangan orang-orang jahat
itu?" kata si nona. "Apakah kau maksudkan anak laki-laki
itu?"
"Benar, apakah kau tidak tahu bocah itu tadi telah
menyelamatkan jiwaku? Tapi siapa namanya aku pun
lupa bertanya padanya."
"Kita sendiri hampir-hampir celaka, masakah masih
memikirkan orang lain? Bocah itu memanggil mereka
sebagai paman, betapapun dia adalah begundal mereka."

"Tidak, aku yakin bocah itu pasti bukan sanak


keluarga orang-orang jahat itu. Aku menyaksikan sendiri
seorang penjahat itu melotot dan mendampratnya. Jika
benar paman sekeluarga, tentu bocah itu takkan
diperlakukan secara begitu galak."
"Ah, sudahlah," ujar si lelaki baju biru. "Apakah dia
sanak keluarganya atau bukan, mau tak mau kita tak
dapat mengurusnya lagi. Terus terang kukatakan, aku
telah terluka dalam pertarungan tadi. Kita harus lekas
meninggalkan tempat ini."
"Ha, kau terluka?" si nona cilik menegas dengan
kuatir. "Ya, memangnya kau anggap Lau-taysiokmu ini
tiada tandingannya di dunia ini? Yang benar-benar tiada
tandingannya di kolong langit ini hanyalah ayahmu
seorang. Maka sesudah kita pulang bolehlah kau minta
ayahmu yang mencari tahu asal-usul bocah lelaki itu.
Sekarang jangan banyak bicara, aku akan berlari lebih
cepat lagi."
Segera anak dara itu mendekam di punggung Lautaysiok
(paman Lau) itu, terdengarlah suara angin
mendesir-desir, pohon dan tumbuh-tumbuhan di kedua
samping secepat kilat berkelebat ke belakang. Diam-diam
dara cilik itu membatin, "Ginkang Lau-taysiok masih
begini hebat, rasanya luka yang dideritanya tidaklah
terlalu parah."
Ia tidak tahu bahwa sesungguhnya luka dalam abdi
pengiringnya itu tidaklah enteng, soalnya Lau-taysiok itu
ingin cepat-cepat membawa anak dara itu meninggalkan
tempat yang berbahaya itu sejauh mungkin, maka ia
telah mengerahkan segenap sisa tenaganya.

Selagi mereka kabur ke depan secepat terbang,


sekonyong-konyong di depan sana berjangkit angin, dari
dalam hutan mendadak melompat dua ekor harimau
kumbang. Seekor di antaranya adalah binatang yang
terkena Piau si baju biru tadi, hal ini tampak pada
pinggulnya yang masih berdarah.
Kiranya kedua ekor harimau kumbang itu adalah
jantan dan betina. Yang jantan terluka oleh Piau yang
ditimpukkan lelaki baju biru tadi, maka dia telah
mengundang yang betina untuk membalas dendam.
Harimau adalah rajanya binatang, daya ciumnya sangat
tajam, maka ia dapat mengenali musuhnya.
Melihat ada harimau menghadang, kontan si baju biru
menyambitkan sebuah Piau lagi. Rupanya harimau jantan
itu sudah kapok, cepat ia mendak ke tanah sehingga
terhindar dari serangan Piau. Dalam pada itu dengan
cepat luar biasa harimau betina itu sudah menggerung
sambil menubruk dari atas.
Tapi sedikit mengegos, bersamaan telapak tangan si
lelaki baju biru lantas menghantam dan tepat mengenai
kepala raja hutan itu. Harimau betina itu terguling ke
samping, tapi cakarnya sempat menggaruk sehingga kulit
lengan Lau-taysiok terbeset dan berlumuran darah.
Untuk meringankan beban abdi pengiringnya itu, cepat si
nona melompat ke atas pohon.
Pada saat itulah harimau jantan juga sudah menubruk
tiba. Sebenarnya luka cakaran itu tidak terlalu parah,
namun si lelaki baju biru menjadi kaget juga. Sebab
tenaga pukulannya biasanya dapat menghancurkan pilar
batu, tapi sekarang batok kepala harimau betina itu toh
tidak sampai pecah, bahkan tidak dapat

membinasakannya, hal ini mempelihatkan bahwa tenaga


dalamnya sudah sangat lemah.
Untunglah pada saat yang berbahaya itu, si nona yang
berada di atas pohon sempat mematahkan setangkai
ranting pohon, segera ia menimpukkannya sebagai anak
panah. Walaupun tenaganya kecil, namun timpukannya
cukup jitu. Saat itu harimau jantan itu sedang menubruk
ke arah si lelaki baju biru, maka sebelah matanya dengan
cepat tertimpuk ranting kayu itu sehingga buta seketika.
Sesudah tidak menggendong si nona lagi, gerak-gerik
si lelaki baju biru menjadi lebih enteng dan gesit, cepat ia
pun mengegos ke samping dan jarinya secepat kilat
lantas digunakan mencolok sebelah mata harimau yang
lain, kontan biji mata binatang itu kena dikoreknya keluar
sehingga buta semua. Habis itu cepat Lau-taysiok
melompat ke belakang pohon.
Karena kedua matnya sudah buta, harimau jantan itu
lantas mengamuk, sambil menggerung kalap ia terus
menyeruduk maju sehingga kepalanya tepat menumbuk
batang pohon, kontan kepalanya pecah dan menggeletak
tak berkutik lagi.
Dalam pada itu harimau betina juga ikut menyerang
lagi, ekornya menegak, mulutnya menyeringai buas,
terpaksa lelaki baju biru mengitari pohon untuk
menghindari tubrukan harimau itu sehingga binatang itu
menjadi pusing.
Pada suatu kesempatan, lelaki baju biru itu cepat
mencengkeram kulit tengkuk raja hutan itu terus ditekan
ke bawah sehingga mencium tanah, bersamaan sebelah
kepelan cepat menghujani binatang itu dengan pukulanpukulan.
Setelah beberapa puluh kali gebukan barulah

harimau betina itu menggeletak tak berkutik, sementara


itu si lelaki baju biru sendiri juga sudah kembang-kempis
napasnya.
Melihat kedua ekor harimau itu sudah binasa, cepat si
dara cilik melompat turun dari pohon dan segera si lelaki
baju biru menggendongnya berlari pula.
"Lau-taysiok, engkau tentu sudah lelah, biarlah aku
berlari sendiri saja," kata dara cilik itu.
"Tidak, kita sudah terhalang sekian lamanya, maka
kita harus berlari lebih cepat," jawab lelaki baju biru.
"Pula hari sudah gelap dan jalanan licin, tentu kau tidak
dapat mengikuti aku. Aku tidak lelah, tenagaku masih
cukup."
Walaupun begitu, namun si dara mendengar napasnya
sudah terengah-engah. Sampai di sini lelaki itu tidak
tahan lagi, langkahnya mulai sempoyongan dan hampirhampir
jatuh.
Cepat si nona cilik meronta turun, katanya, "Lautaysiok,
kau tidak kuat berjalan lagi. Marilah aku
memajang engkau saja."
"'Tidak perlu," sahut si lelaki sambil duduk di atas batu
di tengah jalan, "kita boleh mengaso sebentar di sini, jika
hari sudah terang, tentu kawan-kawan kita sendiri sudah
keluar pula dan aku akan memberikan tanda minta
pertolongan kepada mereka."
"Apakah ayah menyebarkan banyak orang untuk
mencari aku?" tanya si nona cilik.
"Sudah tentu, karena kau pergi tanpa omong sehingga
ayahmu sangat kuatir."

"Ya, akulah yang salah sehingga membikin susah Lautaysiok


pula."
"Selanjutnya kau jangan nakal lagi. Jika mau mainmain
ke Cong-lam-san juga mesti minta izin dulu kepada
ayahmu."
"Aku telah berjanji akan main-main ke rumah Nyokoko,
jika ayah tahu tentu akan melarang diriku."
"Ai, sungguh nakal kau ini. Keluarga Nyo itu
tampaknya lelaki baju biru itu ingin mengatakan apa-apa,
tapi napasnya sudah memburu. Dan sebelum dia
melanjutkan ucapannya, tiba-tiba terdengar suara
derapan kaki binatang, dua ekor kuda secepat terbang
sedang mendatangi.
Lelaki itu terkejut, ia pikir, "Hebat sekali kedua ekor
kuda ini, penunggangnya tentu juga bukan orang
sembarangan. Celakalah jika mereka adalah sekomplotan
dengan ketiga bandit semalam itu." Mestinya ia inein
berbangkit. taDi badan terlalu lemas dan terpaksa duduk
kembali.
Dalam sekejap saja kedua penunggang kuda itu sudah
sampai di depan mereka. Penunggang-penunggang itu
terdiri dari seorang laki-laki setengah umur berwajah
kereng dan seorang pemuda tampan. Begitu sampai di
depan mereka segera melompat turun.
"Siapa kalian?" segera si nona cantik menegur.
"Jangan kuatir nona cilik, kami adalah orang baikbaik,"
sahut pemuda dengan tertawa.

Mendadak si lelaki setengah umur itu bersuara kaget,


segera ia mendekati si lelaki baju biru dan bertanya,
"Siapakah saudara ini? Mengapa terluka dalam?"
Hanya sekali pandang saja orang lantas tahu dirinya
terluka dalam, terang sekali orang ini adalah tokoh yang
memiliki kepandaian tinggi, keruan si lelaki baju biru
terkejut. Karena tidak tahu asal-usul penanya itu, ia
menjadi ragu-ragu untuk menjawab.
Tapi si nona cilik sudah lantas mewakilkan menjawab.
"Dia adalah Lau-taysiok, dia adalah pengiringku. Kau
mengetahui dia terluka, tentunya kau pun bisa
mengobati?"
Lelaki setengah umur itupun terheran-heran,
dilihatnya lelaki baju biru itu terang memiliki Lwekang
yang lumayan, tak dinyana hanya seorang pengiring,
seorang hamba saja. Lalu siapakah majikannya yang
pasti jauh lebih hebat itu? Segera ia pun menjawab, "Ya,
jika kalian sudi, Cayhe suka saja melakukan sebisanya."
"Terima kasih," ujar si lelaki baju biru. "Tampaknya
kalian buruburu dalam perjalanan ini, kita selamanya
juga belum kenal, tak perlulah membikin susah padamu."
"Ah, sama-sama orang pengembaraan sudah
seharusnya saling membantu dan tidak perlu mesti saling
kenal," ujar si lelaki setengah umur dengan tertawa. "Ini
adalah Siau-hoan-tan..."
"O, Siau-hoan-tan?" si nona cilik menegas. "Ayahku
bilang..."
"Tidak perlu banyak omong, Siau Hoa!" bentak si lelaki
baju biru. Lalu ia memberi hormat kepada lelaki setengah

umur, katanya, "Maksud baikmu biarlah kuterima di


dalam hati. Silakan engkau melanjutkan perjalanan saja."
Si pemuda menjadi kurang senang, serunya, "Suhu,
orang tidak mau terima maksud baik kita, buat apa kita
mesti memaksa. Hm, benar-benar tidak tahu diri."
"Apa katamu?" rupanya si lelaki baju biru menjadi
aseran juga. "Mati atau hidup adalah urusanku sendiri,
buat apa kau ikut pusing? Aku tidak mau terima obat
kalian, lantas kalian memaki orang sesukanya?"
"Diam, Leng-hong!" bentak si lelaki setengah umur
sebelum si pemuda buka suara pula. Lalu katanya
kepada si lelaki baju biru, "Ucapan muridku ini mungkin
menyinggung perasaanmu, harap dimaafkan. Kau tidakkenal
asal-usulku, tidaklah heran kalau engkau merasa
sangsi. Aku adalah..."
"Suhuku adalah Kang-tayhiap, tentu kau pun pernah
mendengar nama beliau!" sela si pemuda. "Dia memberi
obat padamu, masakah kau kuatir malah?"
Kiranya kedua orang ini memang Kang Hay-thian dan
Yap Leng-hong adanya.
"O, engkau adalah Kang Hay-thian Kang-tayhiap!" si
lelaki baju biru menegas walaupun kelihatannya di luar
dugaan, tapi juga tidak begitu terkejut atau heran.
"Sebutan Tayhiap sesungguhnya aku tak berani
terima," sahut Hay-thian dengan rendah hati. "Selama
hidup aku hanya suka bersahabat, maka Siau-hoan-tan
ini bolehlah kau terima saja."
Dengan memperkenalkan namanya. Kang Hay-thian
mengira orang tentu takkan curiga lagi padanya. Di luar

dugaan lelaki itu tetap menjawab, "Terima kasih. Obat itu


silakan Kang-tayhiap simpan kembali. Aku menerimanya
di dalam hati saja."
Diam-diam Kang Hay-thian merasa heran dan
menganggap lelaki itu terlalu tidak kenal kebaikan orang.
"Lau-taysiok, obat itu ...” demikian si nona cilik
tampaknya hendak menganjurkan lelaki itu menerima
obat pemberiannya.
Tapi si lelaki baju biru sudah lantas memutus
ucapannya, "Siau Hoa, apakah kau sudah melupakan
peraturan rumah?"
Kang Hay-thian menjadi heran, tapi mengingat
pantangan orang Kangouw, tidaklah enak untuk bertanya
kepada mereka.
Agaknya lelaki itupun merasa sikapnya itu terlalu kaku,
segera ia berkata pula dengan menyesal, "Kang-tayhiap,
maafkan aku telah mengecewakan maksud baikmu,
sesungguhnya ini adalah peraturan majikan yang harus
kupatuhi. Dendam dan budi selamanya dipisah-pisahkan
secara tegas oleh Cujin (majikan) kami, beliau melarang
bawahannya bermusuhan dengan orang, tapi juga
melarang anak buahnya sembarangan menerima budi
kebaikan orang. Lebih-lebih engkau adalah Kang-tayhiap,
jika aku sudah menerima budi pertolonganmu, maka
entah cara bagaimana Cujin harus membalas
kabaikanmu, bukankah aku akan menambah susah
kepada Cujin?"
"Tapi lukamu tidaklah ringan, kalau tidak lekas
disembuhkan mungkin tidak tahan sampai besok," ujar
Hay-thian.

"Memang, yang kukuatirkan hanya di dalam beberapa


jam ini saja, jika di dalam beberapa jam ini aku dapat
bertahan, tentu juga kawanku sudah datang."
"O, kiranya demikian. Siapakah nama majikanmu yang
terhormat itu, dapatkah kau menerangkannya?"
"Maafkan, Cujin sudah lama mengasingkan diri dan
tiada hubungan dengan orang Kangouw. Sudah tentu
Kang-tayhiap tak dapat disamakan dengan orang
Kangouw biasa, tapi untuk memberitahukan nama Cujin,
sebelumnya Cayhe harus minta izin dahulu kepada
beliau."
Melihat lelaki baju biru ini semakin gagah dan tegas
tutur katanya, namun dia hanya seorang pengabdi saja,
maka Kang Hay-thian menjadi tambah mengindahkan
majikan yang belum dikenalnya itu. Segera ia berkata,
"Jika demikian, terpaksa aku harus menyesalkan diriku
sendiri yang tiada kesempatan untuk berkenalan dengan
Cujinmu."
Dan baru saja ia hendak tinggal pergi, tiba-tiba si nona
cilik membuka suara, "Kang-tayhiap, menurut ayahku,
katanya ilmu silatmu terhitung nomor satu di dunia ini,
maka ayah juga sangat ingin berkenalan dengan kau."
"Hah, bagus," sahut Hay-thian dengan girang.
"Dimanakah tempat kediamanmu, bolehkah kau
menerangkan? Sesudah urusanku selesai tentu aku akan
berkunjung kepada ayahmu."
"Biasanya ayahku yang berkunjung kepada tamunya,
beliau tidak suka kalau dikunjungi tamu," sahut si dara
cilik. "Jika engkau ingin bertemu dengan ayah, biarlah

sesudah pulang nanti akan kuberitahukan beliau, engkau


boleh tunggu akan kunjungannya kelak."
Hay-thian agak kecewa dan merasa aneh benar
perangai ayah si nona itu, katanya kemudian, "Rumahku
berada di Nyo-keh-ceng, kabupaten Tong-peng-koan di
Soatang, harap disampaikan kepada ayahmu bahwa tiga
bulan kemudian tentu aku akan menantikan
kunjungannya di rumah."
"Apakah ayah akan mencari engkau atau tidak,
sekarang aku belum tahu pasti," kata dara cilik. "Tapi
ada sesuatu permohonanku, entah Kang-tayhiap suka
meluluskan atau tidak?"
"Silakan bicara, .nona cilik, asal dapat kulakukan tentu
akan kuhaluskan," sahut Hay-thian. Diam-diam ia pun
heran, menurut si lelaki baju biru tadi, katanya mereka
dilarang mohon bantuan kepada orang luar, mengapa
sekarang nona cilik ini berani melanggar peraturan
ayahnya?
Benar juga terlihat si lelaki baju biru sedang mengerut
kening dan melotot kepada si nona jelita. Tapi nona itu
lantas berkata, "Jangan marah dulu, Lau-taysiok.
Permohonanku ini adalah demi orang lain, mana dapat
dianggap pelanggaran atas larangan ayah."
"Orang lain siapa?" tanya Hay-thian dengan
tersenyum.
"Dia adalah seorang anak laki yang baik hati," tutur si
nona. "Cuma sayang dia berada di dalam cengkeraman
orang jahat. Apakah Kang-tayhiap suka menolongnya?"
Semangat Kang Hay-thian seketika terbangkit, cepat ia
bertanya, "Bukankah anak itu she Li?"

"Entah aku tidak tahu," sahut si nona cilik. "Yang


kutahu adalah di antaranya namanya terdapat huruf He,
sebab di antara penjahat-penjahat itu ada yang
memanggil dia anak He."
"Aha, benar, dia pasti Li Kong-he adanya," seru Haythian
dengan girang. "Lekas ceritakan, nona cilik,
dimanakah penjahat-penjahat itu sekarang?"
"Jangan bilang, Siau Hoa!" tiba-tiba si lelaki baju biru
berseru pula.
Tapi si nona cilik menjawab, "Lay-taysiok, kau telah
dilukai penjahat-penjahat itu, masakah kau malah ingin
melindungi mereka."
"Apakah kau sudah melupakan peraturan rumah?"
kata lelaki itu, "Dengan tegas ayahmu membedakan
antara dendam dan budi. Kalau hutang budi membalas
budi, kalau dendam harus balas dendam, selamanya
beliau tak pernah pinjam tenaga orang lain. Sekarang
kita telah dilukai orang, berarti mereka adalah musuh
ayahmu. Sakit hati ini harus kita sendiri yang menuntut
balas."
Hay-thian menjadi dongkol dan geli pula oleh
peraturan-peraturan tengik yang dikatakan itu,
majikannya benar-benar seorang yang tinggi hati, segera
ia berkata, "Aku hanya ingin menyelamatkan laki-laki itu,
tentang penjahat-penjahat itu boleh dibiarkan tetap
hidup supaya kelak kalian dapat menuntut balas
padanya. Dengan demikian tentu bolehlah?"
"Tidak bisa," sahut lelaki baju biru. "Penjahat-penjahat
itu takkan tunduk begitu saja padamu, tentu mereka

akan melawan. Dan sekali sudah bergebrak mustahil


takkan terluka atau binasa."
"Tapi anak laki-laki itu adalah putra seorang sahabatku
yang harus kurebut kembali," kata Hay-thian.
"Kau jangan kuatir. Kudengar bocah itu memanggil
mereka sebagai paman, rasanya mereka takkan
membikin susah anak itu. Kelak kalau kami menuntut
balas kepada mereka, tentu bocah itu akan jatuh juga di
tangan kami. Tatkala itu tentu kami akan minta kepada
majikan agar berkenan menyerahkan kembali bocah itu
kepadamu."
Karena lelaki itu tetap ngotot tentang peraturan
majikannya. Kang Hay-thian menjadi kewalahan.
Terpaksa ia bertanya, "Kawanan penjahat itu terdiri dari
berapa orang? Dapatkah kau menjelaskan?"
"Tentang ini tidaklah menjadi halangan untuk
dikatakan," ujar lelaki itu sesudah merenung sejenak.
"Mereka bertiga orang."
"Apakah seorang di antaranya pada jidatnya terdapat
sebuah daging menonjol?" tanya Hay-thian.
"Betul," sela si nona cilik. "Rupanya kau juga kenal
kawanan penjahat itu?"
Karena Hay-thian pernah mendengar cerita Utti Keng
tentang ciri-ciri Lok Khik-si yang berjuluk Tok-kak-lok
atau menjangan tanduk satu, maka yakinlah dia
sekarang bahwa ketiga penjahat itu tentu Ki-lian-sam-siu
adanya.
Sementara itu sang surya sudah memancarkan
sinarnya yang terang cemerlang. Sayup-sayup terdengar
suara kaki kuda dari jauh. Mendadak lelaki baju biru itu
mengeluarkan beberapa buah 'Liu-sing-bau' (sebangsa
petasan kembang api) dan dilepaskan ke udara sehingga
menimbulkan cahaya kemilauan. Tidak lama kemudian
ada tujuh atau delapan penunggang kuda secepat
terbang berlari mendatangi.
"Kawan-kawanku telah datang, Kang-tayhiap, banyak
terima kasih atas perhatianmu tadi, sekarang kau tidak
perlu kuatir lagi bagiku," kata si lelaki baju biru.
Tapi rombongan pendatang-pendatang itu tidak kenal
siapakah Kang Hay-thian. Mereka menyangka si lelaki
baju biru dilukai olehnya, maka begitu melompat turun
dari kuda mereka lantas mengadakan pengepungan dan
siap bertempur.
"Ini adalah Kang-tayhiap yang bermaksud menolong
aku, kalian jangan sembrono!" cepat si lelaki baju* biru
menerangkan.
Hay-thian hanya tersenyum saja, katanya, "Kami akan
berangkat saja. Harap sampaikan salamku kepada
majikan kalian!" Habis itu bersama Yap Leng-hong
mereka lantas mencemplak ke a'tas kuda masing-masing
dan dilarikan ke depan.
"Orang itu benar-benar tidak kenal kebaikan orang,
Suhu juga terlalu sabar kepadanya," demikian Leng-hong
mengomel di tengah jalan.
"Dia sangat setia kepada majikannya, pula terluka,
masakah aku mesti memaksa pula pengakuannya?" ujar
Hay-thian. "Tapi kita pun sudah mendapat berita yang
cukup dari mereka. Lelaki baju biru itu baru terluka
semalam, boleh jadi Ki-lian-sam-siu itu masih berada di

dalam lingkungan seratus li dari sini. Marilah kita mencari


mereka ke jurusan datangnya tadi, jika tidak ketemu
barulah kita ganti haluan. Kuda kita menang bagus,
rasanya tidak susah untuk menyusul mereka."
Nyata Kang Hay-thian telah salah hitung. Lelaki baju
biru itu berpapasan dengan Ki-lian-sam-siu di atas
gunung semalam, sekarang dia mencari mereka ke
jurusan datangnya tadi, dengan sendirinya menjadi
berlawanan arah dan dengan sendirinya dia takkan
ketemukan Ki-lian-sam-siu atau tiga binatang dari
pegunungan Ki-lian....
Dalam pada itu Lok Khik-si dan Yo Tun-hou sudah
sampai di bawah gunung dengan membawa Li Kong-he.
Cuma si lelaki baju biru berada di selatan gunung,
sebaliknya mereka turun ke sebelah utara, dengan
sendirinya kedua pihak takkan kepergok lagi.
Lok Khik-si bersatu kuda dengan Li Kong-he. Dasar
orang licik, ia sudah tahu bocah itu telah menaruh curiga,
maka diam-diam ia telah mengambil keputusan, jika dari
mulut Kong-he sukar dikorek keterangan-keterangan dan
rahasia-rahasia tentang Thian-li-kau, maka akan
digunakan cara kekerasan untuk menggeledah badan
bocah itu atau bila perlu akan disiksanya supaya
mengaku, jika tetap tidak berhasil, sedikitnya dia toh
sudah tahu dimana jejak Lim Jing, laporan ini saja sudah
merupakan jasa yang tidak kecil baginya bila sampai di
kotaraja. Yo Tun-hou sudah terluka, tentu akan
ketinggalan atau mungkin sekali akan jatuh sakit di
tengah jalan, Be Seng-liong sudah dienyahkan pula,
maka jasanya itu dapatlah dimakannya sendiri.

Yang masih dikuatirkan adalah kemungkinan dicegat


musuh di tengah jalan. Tapi dia sudah berjanji dengan
jago-jago pengawal istana yang akan memapaknya di
tengah jalan, rasanya takkan terjadi apa-apa.
Begitulah Lok Khik-si terbenam dalam pikirannya
sendiri yang membuatnya sebentar kuatir dan sebentar
senang itu. Di lain pihak ' sepanjang jalan Li Hong-he
juga terus berusaha mencari jalan untuk meloloskan diri
dari cengkeraman iblis mereka.
Keadaan Yo Tun-hou memang benar cukup payah.
Sesudah sekian jauhnya mengaburkan kudanya mengintil
di belakang Lok Khik-si, akhirnya ia benar-benar tidak
tahan, napasnya mulai terengah-engah. Segera ia
berkata, "Di depan ada sebuah warung minum, marilah
kita mengaso dahulu dan makan sekadarnya."
Diam-diam Khik-si menertawakan kawannya itu,
sahutnya, "Baru saja belasan li jauhnya, kenapa kita
tidak mengaso di kota kecil di depan sana."
"Tapi... tapi aku sudah lapar," demikian kata Yo Tunhou
dengan menahan gusarnya.
Khik-si pikir paling-paling kau hanya tahan sampai
besok saja, maka ia pun tidak mau mempermainkannya.
Setiba di warung minum, segera mereka menambat kuda
dan mengaso ke dalam warung.
Rupanya tempat itu sangat terpencil, maka warung itu
tidak banyak tamunya, hanya dua orang tua tampak
sedang minum secara adem-ayem sambil mengobrol ke
timur dan ke barat.
Tiba-tiba Kong-he terkejut ketika tanpa sengaja dari
percakapan kedua orang tua itu diketahui bahwa letak

warung itu adalah di wilayah Bu-pok yang berbatasan


dengan kota Tit-lik dan sama-sama termasuk di dalam
propinsi Soatang.
Tempat kelahiran Thian-li-kau memangnya berada di
Tit-lik, markas besarnya berada di kota Bu-ting. Di Bupok
juga terdapat cabang rahasia yang dipimpin oleh
seorang tokoh bernama Thia Pek-gak. Dari ayahnya,
Kong-he pernah mendengar tentang paman Thia ini, tapi
belum pernah bertemu.
Dalam pada itu. Lok Khik-si telah memesan arak dan
daging, ia makan sekenyang-kenyangnya. Sebaliknya Yo
Tun-hou tidak berani minum arak, daging pun hanya
mencicipi sekadarnya saja. Kuatir kalau keadaannya yang
payah itu diketahui Lok Khik-si, segera ia mengajaknya
berangkat lagi.
"Katanya kau lapar, mengapa hanya makan sedikit?"
tanya Khik-si sengaja.
"Sudah cukup, masakan ini tidak cocok dengan
seleraku, biarlah kita makan lagi di kota depan sana,"
sahut Tan-hou.
"Haha, aku justru cocok makan dengan daging masak
ini," kata Khik-si dengan tertawa sambil melalap habis
daharannya. "Tapi baiklah, mari kita berangkat." Diamdiam
ia menertawai Yo Tun-hou, dengan perut kosong
tentu kau akan lebih payah dalam perjalanan jauh ini.
Karena sudah makan kenyang, semangat Lok Khik-si
menjadi bertambah kuat, segera ia larikan kudanya
terlebih kencang. Sekuat mungkin Yo Tun-hou menyusul
dari belakang, walaupun kepala pusing tujuh keliling dan

pandangan kabur, terpaksa ia pertahanan sebisanya,


namun lambat-laun ia menjadi ketinggalan agak jauh.
"Lok-pepek semalam aku tidak bicara dengan
sesungguhnya padamu," tiba-tiba Kong-he bisik-bisik
kepada Lok Khik-si.
"Tentang apa?" tanya Khik-si.
"Yo-sioksiok dan Be-sioksiok pernah bertanya padaku
tentang keadaan Lim-kaucu," tutur Kong-he. "Tapi
mereka minta aku membohongi kau, kalau tidak, aku
akan dibunuh oleh mereka. Sebab itulah aku tidak berani
mengatakan padamu."
"Dan apakah kau sudah memberitahukan kepada
mereka?"
"Mana bisa kukatakan kepada mereka? Ya, baru
sekarang aku tahu paman Yo dan paman Be itu bukan
orang baik, hanya engkau Lok-pepek sendiri adalah
orang baik."
"Asal kau tahu saja," ujar Khik-si dengan senang.
Dan baru saja kesempatan itu akan digunakan olehnya
untuk membohongi Kong-he agar mau menceritakan
rahasia Thian-li-kau, mendadak Kong-he berkata pula,
"Lok-pepek, kau sedemikian baiknya padaku, sungguh
aku sangat malu, aku ... aku berdosa padamu."
Khik-si mengira bocah ini benar-benar terharu atas
sikap baik dirinya selama beberapa hari, maka dengan
suara ramah ia menghiburnya, "Ada urusan apakah,
boleh katakan saja. Tidak nanti aku marah padamu."
"Sebab sesungguhnya aku pun tidak ... tidak bicara
sejujurnya padamu," kata Kong-he.

"Apa katamu?" Khik-si menegas dengan terperanjat.


"Ya, sebab berita tentang Lim-pepek yang kukatakan
kemarin dulu itu sesungguhnya hanya omong kosong
belaka," sahut Kong-he. '
Khik-si terkejut, cepat ia bertanya, "Habis bagaimana
berita yang sesungguhnya? Dimana tempat
persembunyian Lim-pepek sekarang?"
"Lim-pepek tidak bersembunyi di Cong-liong-poh, Bici,
tapi dia berada di rumah Thia-pepek di Bu-pok," kata
Kong-he.
Khik-si tambah kaget. "Jika begitu, kan berada di
sekitar sini?" ia menegas.
"Benar," sahut Kong-he sambil menganguk. "Apa yang
kukatakan sebelumnya juga tidak bohong seluruhnya.
Sebab ketika Lim-pepek berpisah dengan ayahku, beliau
mengatakan lebih baik bersembunyi di tempat yang
dekat daripada di tempat jauh, hal ini tentu di luar
dugaan pihak kerajaan yang menyangkanya telah lari
sejauh mungkin. Beliau berjanji pula dengan ayah
bilamana dalam setengah bulan tidak terjadi apa-apa,
maka ayah diminta datang ke rumah Thia-pepek untuk
menemuinya. Lebih dari setengah bulan barulah Limpepek
akan berpisah tempat persembunyian dan
mungkin pergi ke Bici."
Karena uraian Kong-he itu cukup masuk akal, maka
Khik-si percaya tanpa sangsi, segera ia bertanya pula,
"Siapakah nama Thia-pepekmu itu? Dimana tempat
tinggalnya? Apakah kau masih ingat sejak kapan Limpepek
berpisah dengan kalian?"

Kong-he pura-pura bingung dan lupa, kemudian ia


menjawab, "Kalau ... kalau tidak salah tangal 23 bulan
yang lalu."
Waktu Khik-si menghitung-hitung, ternyata tepat baru
14 hari. "Apakah kau tidak kenal Thia-pepek?" Kong-he
sengaja bertanya. "Dia tinggal di tempat kecil ini, aku
hanya pernah mendengar cerita ayahmu, tapi ... tapi
belum pernah bertemu," sahut Khik-si. Ia ingin
memancing Li Kong-he membawanya ke Bu-pok untuk
menangkap Lim Jing, maka dia tidak berani mengaku
sudah kenal, sebab setiba di Bu-pok tentu harus bertemu
dulu dengan Thia Pek-gak.
"Lok-pepek," kata Kong-he, "kemarin dulu aku belum
penuh mempercayai kau karena mengingat pesan
ayahku. Tapi semalam kau telah melarang paman-paman
Yo dan Be memaki dan memukul aku, nyatalah engkau
adalah orang baik, maka aku mau mengatakan terus
terang padamu. Sekarang kita kebetulan lewat di Bu-pok
sini, aku ingin bertemu dulu dengan Lim-pepek, apakah
engkau suka*mengantar aku ke sana?"
Diam-diam Khik-si menimang-nimang, bahwasanya
Lim Jing adalah Kaucu Thian-li-kau, tentu ilmu silatnya
tidak lemah, kalau pergi seorang diri mungkin tidak
sanggup melawannya. Tapi kalau tidak berani
menyerempet bahaya, kuatirnya besok juga gembong
Thian-li-kau itu sudah akan berpindah tempat
persembunyian dan tentu akan susah dicari lagi, berarti
akan kehilangan suatu jasa besar.
Akhirnya rasa ambisi menangkan pertimbangan yang
lain, ia memutuskan akan mengambil resiko itu dan
berangkat. Segera ia berkata, "Baiklah, kalau Lim-pepek

berada di sana, sudah seharusnya aku pergi ke sana


menemuinya. Dan selanjutnya apakah kau ingin ikut dia
atau tetap ikut padaku boleh terserah kepada dirimu."
Kuatir dicurigai, lalu Kong-he pura-pura menjawab,
"Untuk seterusnya Lim-pepek masih harus berlari kiankemari,
aku tidak ingin menambah kesukarannya, sudah
tentu lebih baik ikut Lok-pepek saja."
"O, anak baik, kau memang pintar," puji Khik-si.
"Sesudah sampai di rumah Thia-pepek, ada dua hal yang
harus kau ingat baik-baik, kau harus menurut kepada
pesanku ini."
"Urusan apa, silakan paman katakan," tanya Kong-he.
"Karena aku belum kenal Thia-pepek itu, setibanya di
sana dia tentu tak mau segera mengundang Lim-pepek
untuk menemui kita, boleh jadi asal-usulku akan
ditanyakan lebih dulu. Maka hal pertama harus kau ingatingat
dengan baik ialah jangan mengatakan namaku
yang sebenarnya. Biarlah kita mengarang suatu kisah,
katakan saja dua-tiga hari yang lalu secara kebetulan aku
telah menyelamatkan dirimu dari tawanan antek-antek
kerajaan."
Dasar Kong-he memang sangat cerdik, dari ucapan
Lok Khik-si ini segera ia tambah yakin bahwa apa yang
dikatakan Khik-si sebelumnya itu semuanya adalah
bohong belaka. Karena itu Lok Khik-si merasa perlu
mengarang cerita lain untuk menipu lagi dan tidak berani
mengaku sebagai saudara angkat ayahnya pula.
"Buat apa kita harus berdusta kepada Thia-pepek,
paman Lok?" demikian Kong-he pura-pura tidak paham.

"Ai, kau tidak tahu bahwa hati manusia susah diduga,


tiada jeleknya kita berjaga-jaga sebelumnya," ujar Khiksi,
"Kita juga belum tahu pasti apakah Lim-pepek betulbetul
berada di sana, pula belum pasti Thia-pepekmu
akan tetap setia kepada kawan sendiri, bukan mustahil
dia telah terpancing dan akan menjual Lim-pepek kepada
pihak kerajaan. Dan bila datang-datang kita lantas
memberitahukan asal-usulku, bukankah kita akan cari
penyakit sendiri? Maka kita harus bertemu muka dengan
Lim-pepek dulu baru boleh bicara yang sebenarnya.
Paham tidak sekarang?"
"Ya, paham," sahut Kong-he pura-pura. "Dan hal yang
kedua?"
"Setiba di rumah Thia-pepek, sekali-kali kau jangan
meninggalkan sampingku, jangan mau jika kau diminta
bertemu sendirian dengan Lim-pepek. Maklumlah, aku
kuatir kau akan tertipu. Tapi jika kau berada di
sampingku, setiap saat aku dapat melindungi kau."
Rupanya Lok Khik-si akan menggunakan Kong-he
sebagai sandera untuk memaksa Lim Jing menyerahkan
diri jika betul berada di rumah Thia Pek-gak. Ia cukup
kenal watak ksatria Kangouw yang sangat
mengutamakan setia kawan, asalkan bocah ini tetap
berada dalam cengkeramannya, mau tak mau Lim Jing
akan mati kutu dan menyerah.
Diam-diam Kong-he mengeluh, sebab hakikatnya Lim
Jing tidak berada di rumah Thia Pek-gak, apalagi ia pun
tidak kenal tuan rumah itu. Sekarang Lok Khik-si
melarangnya berhadapan sendirian dengan Thia Pek-gak

sehingga tiada kesempatan untuk bicara. Akan tetapi


tiada jalan lain, terpaksa ia mengiakan saja.
Kemudian Lok Khik-si melambatkan kudanya dan
berseru, "Loji, lekas! Aku ingin bicara padamu."
Saat itu Yo Tun-hou lagi pusing kepala dan napas
memburu, karena didesak, dalam gugupnya darah lantas
tersembur keluar dari mulutnya, kontan ia terperosot
jatuh ke bawah kuda.
Khik-si terkejut dan bergirang pula, tapi ia lantas
mendekati dan pura-pura bertanya, "Kenapakah kau,
Loji?"
Karena keadaannya memang payah, terpaksa Yo Tunhou
tak bisa berdusta lagi, jawabnya "Lotoa, aku tidak
sanggup naik kuda lagi, boleh kau membawa diriku dan
menumpang pada rumah petani di sekitar sini saja."
"Wah, agak repot juga kalau begini," kata Khik-si.
"Untuk urusan penting ini kita harus segera menuju ke
Bu-pok. Jika kau merasa payah, bolehlah kau mengaso
saja di sini. Toh sebentar Losam juga akan menyusul tiba
dengan kawan-kawan yang lain. Nanti kau boleh minta
bantuan seorang agar tinggal di sini untuk membantu
kau, sisanya hendaklah kau suruh mereka memapak
kami ke Bu-pok." Habis itu ia lantas menambahi
beberapa kalimat istilah-istilah rahasia yang hanya
dipahami Ki-lian-sam-siu sendiri tentang usahanya
hendak menangkap buronan.
Walaupun mendongkol karena dirinya ditinggal begitu
saja di tengah jalan, kalau ketemu musuh tentu bisa
celaka. Tapi ia pun tahu tiada gunanya minta belas
kasihan Lotoa yang keji itu. Terpaksa ia lantas membakar

dupa isyarat yang hanya dimiliki Ki-lian-sam-siu, yaitu


berasal dari semacam tumbuh-tumbuhan di Ki-lian-san,
bilamana dinyalakan, asap dupa itu akan terus
bergerombol di udara tanpa buyar. Ia harap rombongan
Be Seng-liong akan melihat dupa isyarat itu dan akan
segera memburu datang.
Khik-si sendiri lantas membelokkan kudanya. Ia kuatir
Kong-he merasa curiga, maka di tengah jalan ia coba
memberi penjelasan bahwa segala usahanya itu adalah
untuk kebaikan Kong-he belaka. Untuk menyenangkan
orang, Kong-he juga pura-pura mengiakan saja.
Thia Pek-gak cukup terkenal di daerah Bu-pok, ia
tinggal di Sehiang, dusun barat di kota itu. Dari
penduduk setempat dengan mudah Khik-si mendapat
keterangan tentang perkampungan keluarga Thia itu.
Ketika melihat gerbang rumah Thia Pek-gak tertutup
rapat di siang bolong, diam-diam Khik-si bergirang dan
yakin Lim Jing pasti bersembunyi di situ.
Sesudah pintu diketuk, keluarlah seorang penjaga tua
mengamat-amati sejenak Lok Khik-si, lantas berkata,
"Thia-samya sangat sibuk, sementara itu tidak menerima
orang sakit."
"Kami bukan minta pengobatan ke sini, tapi kami
adalah sesama anggota," kata Khik-si.
"Anggota? Anggota apa?" penjaga tua itu menegas.
Diam-diam ia merasa sangsi, sebab di antara temanteman
majikan belum pernah terdapat orang seperti
pendatang ini.

"Boleh kau katakan kepada Samya bahwa putra


seorang sahabat lama she Li ingin bertemu dengan
beliau," ujar Khik-si.
"Engkau she Li?" penjaga itu mengulangi lagi.
"Bukan, anak ini she Li, aku she Lok, sungguh malang
ayahnya telah meninggal, karena hidup sebatangkara,
maka aku sengaja membawanya untuk minta
menumpang di tempat Samya kalian ini. Laporkan saja
kepada Samya, tentu beliau sudah tahu."
Penjaga tua itu tampak ragu-ragu sejenak, kemudian
berkata, "Baiklah, harap tunggu sebentar." Dan tidak
terlalu lama ia pun keluar kembali, pintu dibuka dan
Khik-si berdua dipersilakan masuk.
Setelah mempersilakan tamunya duduk di ruang tamu
dan menuangkan dua cangkir teh, lalu penjaga itu
mengundurkan diri.
"Ingat, anak He, sebelum munculnya Lim-pepek,
jangan kau berpisah dari sampingku," demikian Khik-si
membisiki Kong-he.
Tidak lama, terdengarlah suara gemericingnya logam,
seorang laki-laki berusia sekitar 50-an tampak keluar
dengan memainkan dua buah cakram besi, tampaknya
seperti seorang guru silat.
Cepat Khik-si berdiri menyambut sambil menyapa,
"Thia-samya, aku membawa keponakanmu ini untuk
datang menyambangi engkau."
"Keponakanku?" laki-laki itu seperti agak heran. "O,
siapakah ayahmu?"

"Ayahku adalah Li Bun-sing," sahut Kong-he. "Thiapepek,


aku ada kesukaran dan ingin minta
pertolonganmu."
Dan selagi Lok Khik-si diam-diam menggerutu atas
ucapan Kong-he itu, tiba-tiba terdengar lelaki itu telah
berkata, "Nanti dulu, sebenarnya bagaimana urusannya?
Siapa ayahmu? Li ... Li Bun-sing, nama ini belum
kukenal, rupanya kalian telah salah alamat!"
Jawaban ini membikin Khik-si dan Kong-he melengak
semua. Tapi Kong-he cukup cerdik, segera terpikir
olehnya, "Dia menyangsikan diriku ini. Wah, cara
bagaimana aku harus membuatnya percaya?"
Sebaliknya Khik-si lantas berseru, "Li Bun-sing, Lithocu
dari Thian-li-kau masakah Thia-samya tidak
mengenalnya?"
"Thian-li-kau apa segala?" laki-laki itu tampak kurang
senang. "Aku adalah rakyat biasa yang hidup prihatin,
selamanya tiada hubungan dengan segala agama atau
kumpulan apa-apa. Kalian tentu salah alamat, silakan
mencari ke lain tempat saja." Habis berkata ia lantas
berbangkit, inilah tanda menyilakan tamunya pergi saja.
Tiba-tiba Kong-he mendapat akal, cepat ia melangkah
maju sambil berteriak, "Menanti sungai utara kembali
kepada raja Han, bumi raya Kian-khun akan terus
berputar." Bersamaan secangkir teh panas yang
dipegangnya itu terus dilemparkan ke belakang, sedang
tubuhnya lantas mencelat ke depan.
"Apa katamu?!" seru laki-laki itu dengan melengak.
Sebaliknya Lok Khik-si menjadi kelabakan karena di
luar dugaan mukanya tersiram teh panas yang

dilemparkan Kong-he itu, segera ia pun menjambret ke


depan, namun Kong-he sudah menjatuhkan diri dan
menggelinding ke depan laki-laki itu sambil berseru,
"Tolong, Thia-pepek!"
Kedua kalimat yang diucapkan Kong-he itu adalah
ajaran ayahnya, yaitu kode rahasia Thian-li-hwe yang
hanya diketahui oleh para Hiangcu dan para pemimpin
Thocu dari pusat dan cabang. Ternyata lelaki ini tidak
paham kedua kalimat itu, tapi ia menjadi terkejut dan
berpikir, "Jangan-jangan bocah ini memang benar putra
Li Bun-sing?"
Di sebelah lain Lok Khik-si menjadi murka, sambil
menggerung ia terus melompat maju hendak
mencengkeram Kong-he, namun dengan gesit Kong-he
sudah menyusup ke belakang laki-laki itu. Pada saat itu
kedua buah cakram besi laki-laki itupun sudah melayang
ke depan.
Khik-si menyambut dengan memukulkan kedua
tangannya sehingga kedua buah cakram itu tertolak
jatuh. Legalah hati Khik-si karena kepandaian Thia Pekgak
ternyata hanya sekian saja, segera pukulannya
menyul pula.
"Samya, lekas ..." belum selesai laki-laki itu berseru,
kedua tangan masing-masing sudah terbentur, "biang",
laki-laki itu tidak tahan oleh tenaga pukulan Lok Khik-si
yang dahsyat, kontan ia terjungkal dan muntah darah
Keruan kaget Kong-he tidak kepalang. Ia pernah
mendengar cerita dari ayahnya bahwa di antara kawankawannya
antara lain kepandaian Thia-pepek kira-kira
sama kuatnya dengan beliau, makanya dia sekarang
berani memancing Lok-khik-si ke rumah Thia-pepek.

Siapa duga sang paman ternyata begini lemah, hanya


sekali gebrak saja sudah dirobohkan oleh Lok Khik-si.
"O, Thia-pepek, akulah yang telah membikin celaka
engkau!" seru Kong-he sambil menangis.
"Hahaha! Setan cilik, kau berani menipu aku ya?" kata
Lok Khik-si sambil terbahak-bahak dan mendesak maju.
Dengan cemas Kong-he mundur-mundur hingga
mepet dinding, untuk lari terang tidak bisa lagi dan
segera akan ditangkap kembali oleh Lok Khik-si.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara gemuruh,
daun jendela telah didobrak dan mencelat, seorang
tampak melayang masuk sambil membentak, "Berhenti!
Siapa yang berani main gila di rumahku?!"
Kiranya orang inilah Thia Pek-gak yang sesungguhnya,
lelaki tadi hanya seorang hambanya saja. Maklumlah
bahwa Thia Pek-gak adalah pemimpin cabang Thian-likau
di Bu-pok, dengan sendirinya dia tidak dapat terlalu
menonjol di depan umum. Ia belum pernah kenal Konghe,
dengan sendirinya ia kuatir masuk perangkap musuh.
Sebab itulah ia sendiri bersembunyi di luar jendela untuk
mengintip. Ketika Khik-si dan Kong-he menganggap
hambanya sebagai Pek-gak sendiri, tentu saja ia lebihlebih
curiga.
Tak tersangka bahwa kewaspadaan Thia Pek-gak itu
berbalik membikin urusan menjadi runyam. Mestinya
ilmu silatnya masih di atas Lok Khik-si, tapi sekarang dia
sudah rada terlambat. Ketika dia melayang masuk, saat
itu Khik-si sudah dapat menjambret dada Kong-he.
Tanpa pikir Kong-he lantas menggigit tangan Khik-si
sehingga berdarah, tapi cengkeraman itu tidak menjadi

kendur, sebaliknya semakin kencang sehingga bocah itu


tak bisa berkutik lagi.
Ketika Thia Pek-gak menghantam dan terpaksa Khik-si
menangkis, kontan Khik-si tergetar mundur beberapa
tindak, dadanya seperti kena digodam, tak ampun lagi
darah segar lantas menyembur keluar dari mulutnya.
Namun dengan kencang ia tetap mencengkeram Konghe.
Serangan Thia Pek-gak itu bernama 'Siang-liong-cuthay7
(sepasang naga keluar dari laut). Pukulan satu
disusul lagi dengan pukulan yang lain, terpaksa Khik-si
menarik "Kong-he ke depan untuk dipakai sebagai
tameng, bentaknya, "Boleh coba pukul saja, orang she
Thia!"
Sudah tentu Thia Pek-gak tidak dapat menyerang
seorang anak kecil, apalagi sekarang sudah jelas bocah
itu adalah putra Li Bun-sing.
"Hehe, setan cilik ini licik benar, tapi kau tetap tak bisa
lolos dari tanganku," kata Khik-si sambil terkekeh-kekeh
dan mengusap darah yang masih meleleh dari mulutnya.
"Nah, Thia Pek-gak, marilah kita berunding saja. Kau
ingin setan cilik ini hidup atau mati?"
"Kau berani mengganggu seujung rambutnya, kau pun
jangan harap mampu pergi dari sini dengan hidup,"
sahut Pek-gak dengan gusar.
"O, jadi kau ingin dia hidup?" ujar Khik-si dengan
tertawa ejek. "Bagus marilah kita mengadakan tukar
menukar."
"Jiwa anak itu terletak di tanganmu, tapi jiwamu juga
tergantung padaku. Jika bocah itu kau lepaskan, segera

aku pun melepaskan kau. Pertukaran demikian bukankah


cukup adil?"
"Dengan apa aku dapat mempercayai omonganmu?"
"Huh, memangnya kau anggap orang she Thia ini
manusia apa? Masakah aku sudi menipu kau? Aku akan
mengantar kau keluar pintu rumahku dan kau baru
melepaskan anak itu. Nah, bagaimana?"
"Biarpun kau tidak menipu aku, urusan ini juga tidak
dapat diselesaikan semudah itu."
"Habis bagaimana keinginanmu?" tanya Thia Pek-gak
dengan mendongkol.
"Silakan kau menyerahkan Lim Jing dari Thian-li-hwe,
biarlah dia berangkat bersama aku. Sesudah Lim Jing
berada di kotaraja barulah bocah ini akan kulepaskan."
"Apakah kau melamun? Siapa yang bilang Lim-kaucu
berada di tempatku sini?"
"Putra Li Bun-sing ini yang bilang, masakah dia
berdusta?"
"O, dia yang bilang?" Pek-gak melengak. Tapi ia lantas
paham juga maksud tujuan Kong-he, diam-diam ia
mengaku kecerdikan bocah itu.
"Nah, bagaimana, kau setuju tidak usulku tadi?" Khiksi
mendesak pula.
Selagi Pek-gak ragu-ragu dan merenungkan cara
bagaimana harus menghadapi persoalan sulit ini, di
sebelah sana Kong-he yang tak bisa berkutik karena
dicengkeram kencang oleh Lok Khik-si itu sudah lantas
berteriak sekeras-kerasnya, "Kau manusia jahanam ini,
jangan kau harap bisa menangkap Lim-pepek. Huh, biar

kukatakan terus terang padamu bahwa apa yang


kukatakan sebelumnya ini semuanya adalah bohong
belaka! Dia tidak berada di sini, juga tidak di Bici, aku
sengaja menipu kau supaya kau mau membawa aku ke
sini."
Khik-si menjadi murka karena merasa dirinya telah
diingusi oleh seorang anak kecil. "Kurangajar, kau anak
jadah ini berani menipu aku?" dampratnya.
"Huh, kau sendiri telah menipu seorang anak kecil,
kaulah yang tidak tahu malu?" Kong-he balas memaki.
"Thia-pepek, jangan kau pikirkan diriku, lekas kau bunuh
dia saja."
"Apa susahnya jika kau ingin mampus? Tapi
sementara ini aku belum ada minat untuk membunuh
kau," ujar Khik-si sambil menotok Hiat-to Kong-he. "Nah,
Thia Pek-gak, bolehlah kau ikut aku ke kotaraja dan
menyerahkan diri saja. Hm, luput menangkap pemeran
utama, tokoh kelas dua juga bolehlah!"
"Hm, jangan kau mentang-mentang di sini, kau tidak
nanti dapat keluar dari rumah ini!" kata Pek-gak dengan
geram.
"O, kau ingin membunuh aku?" Khik-si menegas
dengan tertawa. "Sedikit kau bergerak saja tentu anak ini
akan mampus lebih dulu. Apalagi kau pun belum tentu
mampu menangkan aku, bahkan sebelum kau dapat
berbuat apa-apa mungkin segenap keluargamu ini sudah
kami sapu bersih! Kau ingin lihat bukti bukan?" Habis
berkata mendadak ia bersuit keras-keras dan panjang.
Hanya sebentar saja terdengarlah suara riuh ramai
orang dan kuda. Penjaga tua tadi tampak masuk melapor

bahwa di luar ada serombongan laki-laki bengis sedang


menggedor pintu dan minta bertemu dengan Thiasamya.
Kiranya rombongan itu adalah Be seng-liong dan
jago-jago pengawal istana yang sudah menyusul tiba.
"Bagaimana Thia Pek-gak?" desak Khik-si pula. "Kau
mau menyerahkan diri saja atau minta disapu bersih?"
"Bunuh dia saja, Samya, kita segera melarikan diri!"
usul si penjaga tua dengan gusar. Kiranya di rumah Thia
Pek-gak ada sebuah jalan rahasia di bawah tanah yang
bisa menembus keluar.
"Hahaha! Apakah kau ragu-ragu, Thia Pek-gak?" Khiksi
mendesak pula sambil mengeluarkan senjatanya,
tanduk menjangan.
"Baik, aku akan ikut kau dan menyerahkan diri!"
mendadak Pek-gak menjawab dengan suara berat.
Khik-si lantas mengeluarkan sebuah borgol baja,
katanya, "Suruhlah budak tua itu membelenggu kedua
tanganmu sendiri!"
"Jangan, Samya! Lekas bunuh saja dia!" sela si
penjaga tua dengan geram.
"Tak perlu banyak bicara, Lau Ong, lekas belenggu
tanganku," kata Pek-gak. "Betapapun juga aku akan
menghadapi segala resiko. Bocah ini benar-benar adalah
putra yatim Li Bun-sing."
Tiada jalan lain terpaksa penjaga tua itu menurut dan
memasang borgol di tangan sang majikan.
"Sudahlah, kalian boleh menyelamatkan diri sendirisendiri
saja!" kata Pek-gak dengan pedih. Tanpa pamit
lagi dengan anggota keluarganya segera ia mendahului

berjalan di depan, seperti pesakitan saja ia digiring pergi


oleh Lok Khik-si.
Akan tetapi sebelum mereka keluar, terdengarlah
suara gemuruh yang ramai, pasukan pegawai istana
sudah berhasil menjebol dinding pintu gerbang dan
menyerbu masuk. Pasukan pengawal itu dipimpin oleh
wakil komandan Ham-lim-kun yang bernama Ho Lan-bing
yang merupakan atasan langsung Lok Khik-si.
Begitu melihat Lok Khik-si, Ho Lan-bing lantas
bergelak tertawa, katanya, "Lok-lotoa, hebat benar kau!
Apakah bocah ini putra Li Bun-sing?"
"Benar, berkat rezeki Tayjin (paduka tuan) kita telah
dapat menangkapnya," sahut Khik-si.
"Dan siapa lagi orang ini?" tanya pula Ho Lan-bing.
"Dia adalah pemimpin cabang Thian-li-kau di Bu-pok
sini."
"Lalu bagaimana dengan Lim Jing?"
"Sementara ini belum jelas, tapi kita akan mendapat
keterangan dari kedua orang tua dan muda ini,"
demikian jawab Khik-si. Padahal dia sudah mendapat
berita tentang beradanya Lim Jing di Bici, namun dia
sengaja jual mahal dan merahasiakannya dahulu. '
"Hahaha, tidak kecil juga jasamu ini!" Lan-bing
tertawa. "Baiklah, coba geledah rumah ini, tawan seluruh
penghuni rumah ini."
Namun anggota keluarga Thia Pek-gak sudah
meloloskan diri melalui jalan rahasia di bawah tanah,
sudah tentu pasukan pengawal itu tidak menemukan
seorang pun

"Rasanya kedua pesakitan ini harus lekas-lekas


digiring ke kotaraja saja daripada tertunda lama-lama di
sini, begundalnya tidak sedikit, untuk menangkapnya
biarlah kita berdaya pula secara teratur," demikian usul
Khik-si.
Ho Lan-bing setuju, segera ia memberi perintah untuk
segera berangkat dan membakar rumah Thia Pek-gak.
Dalam perjalanan Khik-si menambahkan pula borgol di
kaki Thia Pek-gak dan diserahkan di bawah pengawasan
Be Seng-liong.
Hanya sekejap saja api sudah berkobar-kobar.
Penduduk setempat menjadi ketakutan dan tidak berani
memadamkan kebakaran itu ketika melihat serombongan
pasukan kerajaan yang galak membakar rumah dan
menangkap orang.
Dengan gembira karena hasil usahanya itu, sepanjang
jalan Lok Khik-si terus membual tentang kecerdikannya
sendiri dan cara bagaimana seorang diri telah
membongkar cabang Thian-li-hwe di Bu-pok. Di samping
itu ia pun tidak lupa menyanjung kecekatan Ho Lan-bing
yang telah datang tepat pada waktunya untuk
membantu.
Akan tetapi rasa gembira mereka itu tidak berlangsung
lama karena tidak jauh sesudah mereka meninggalkan
tempat kediaman Thia Pek-gak, tiba-tiba terdengar suara
derapan dan keleningan kuda yang ramai, dari depan
tampak mendatangai secara berbondong-bondong
serombongan penunggang kuda. Hanya dalam sekejap
saja tujuh atau delapan penunggang kuda itu sudah tiba,
seorang di antaranya adalah laki-laki berbaju biru bersatu
kuda dengan seorang nona cilik.

Karena Lok Khik-si sendiri sudah lemas akibat pukulan


Thia Pek-gak tadi, pula ia harus menjaga Li Kong-he,
maka cepat ia membawa Kong-he melompat turun dan
membiarkan Ho Lan-bing dan anak buahnya maju ke
depan untuk menghadapi pendatang-pendatang itu.
Pasukan pengawal Ho Lan-bing'itu berjumlah 13 orang
belum terhitung Be Seng-liong dan Lok Khik-si. Sudah
tentu ia pandang enteng pihak lawan yang cuma
berjumlah 7-8 orang itu. Segera Lan-bing bergelak
tertawa dan membentak, "Hai, kawanan bandit yang
buta, kau berani merintangi perjalanan tuan besarmu,
apakah kau tahu siapakah tuan besarmu ini?"
Jika Lan-bing masih berlagak garang, adalah
sebaliknya Lok Khik-si menjadi kaget dan kuatir ketika
mengenalikan si lelaki baju biru dan si nona cilik itu
bukan lain adalah orang-orang yang diketemukan di
kelenteng semalam, dimana Yo Tun-hou telah menderita
luka dalam akibat pukulan lelaki baju biru itu. Sekarang
mereka datang lagi dengan membawa kawan-kawannya,
terang maksud tujuan mereka adalah menuntut balas
kejadian semalam. Padahal betapa tinggi ilmu silat si
baju biru yang lihai itu sudah disaksikan sendiri oleh
Khik-si.
"Peduli apakah kau tuan besar atau tuan kecil?" balas
bentak si lelaki baju biru. "Lekas enyah kau, yang hendak
kucari bukanlah kau! Jika kau masih rewel, tentu kau
akan celaka sendiri!"
Ho Lan-bing menjadi gusar, baru saja dia hendak
bertindak, sekonyong-konyong terdengar seruan si nona
cilik sambil menuding, "Nah, itu dia, lelaki bermuka kuda
itulah yang semalam hendak membunuh aku!"

Baru selesai ucapannya, secepat kilat seorang dari


rombongannya lantas memelompat meninggalkan
kudanya, bagaikan elang menyambar kelinci saja, dari
atas dia terus pentang tangan hendak mencengkeram Be
Seng-liong.
Buru-buru Seng-liong mencabut golok dan membacok
tangan lawan. Dalam keadaan terapung di udara,
mestinya orang itu tidak dapat menghindar, sebelah
lengannya seharusnya akan terpapas kutung oleh
serangan Be Seng-liong itu.
Namun gerakan orang itu ternyata gesit luar biasa,
mendadak ia berjumpalitan di udara sehingga bacokan
Seng-liong mengenai tempat kosong, menyusul kakinya
terus menendang sehingga golok Be Seng-liong berbalik
mencelat ke udara. Sesudah berjumpalitan dan menurun
ke bawah, gayanya tetap masih menubruk seperti tadi,
tanpa ampun lagi kuduk Be Seng-liong kena
dicengkeram.
Apa yang terjadi ini sungguh cepat luar biasa sehingga
sebelum Ho Lan-bing sempat memberi pertolongan,
tahu-tahu Be Seng-liong sudah terseret turun dari
kudanya.
"Nona Hoa, cara bagaimana orang ini harus diberi
hukuman yang setimpal?" tanya laki-laki itu kepada si
nona cilik.
"Mengingat dia belum sempat membikin susah
padaku, bolehlah jiwanya diampuni dan cukup patahkan
kedua tangannya saja," kata si nona.

"Baik!" laki-laki itu mengiakan. Maka terdengarlah


suara "krakkrak" dua kali, kontan kedua lengan Be Sengliong
telah dipuntir patah oleh orang itu.
Keruan semangat Lok Khik-si hampir-hampir terbang
ke awang-awang saking takutnya. Cepat ia menyeret
Kong-he dan diam-diam hendak mengeluyur pergi.
Namun Thia Pek-gak mendadak membentak, rantai
borgol kakinya tiba-tiba digunakan untuk menyabet ke
arahnya.
Mestinya rantai borgol kaki Thia Pek-gak itu dipegang
oleh seorang jago pengawal, tapi karena terkesima
menyaksikan pertarungan sengit itu, tanpa terasa rantai
borgol itu kena dibetot oleh Thia Pek-gak. Sungguh
mimpi pun Khik-si tidak menduga bahwa mendadak Thia
Pek-gak dapat menyerangnya. Maka tangannya menjadi
pecah kena disabet oleh benda keras itu, terpaksa ia
harus melepaskan Kong-he.
Dan pada saat itu juga terdengar si nona cilik lagi
berseru, "Engkoh cilik itu adalah tuan penolongku, siapa
yang berani mengganggu dia boleh kalian membunuhnya
saja!"
Kejut dan gusar pula Ho Lan-bing menghadapi lawanlawan
yang tangguh itu, cepat ia memberi perintah, "Li
Tay-cin, kalian berlima tangkap kembali buronanburonan
itu. Sisanya ikut aku melabrak musuh!"
Li Tay-cin adalah salah seorang kapten pasukan
pengawal, ilmu silatnya cukup tinggi dan merupakan
wakil Ho Lan-bing maka rasanya tidaklah susah untuk
menawan kembali seorang pesakitan yang masih
terborgol dan seorang anak kecil yang tak bisa berkutik
karena tertotok.

Namun di pihak lain si lelaki baju biru juga lantas


membentak, "Rupanya pembesar anjing ini ingin cari
mampus juga!" Ketika dia memberi tanda, serentak
kawan-kawannya lantas menerjang maju.
Saat itu dua jago pengawal baru saja hendak
mencengkeram Li Kong-he. Mendadak laki-laki baju biru
itu membentak, "Roboh!" Berbareng itu dari atas
kudanya dua buah Tau-kut-ting (paku penembus tulang)
terus disambitkan secepat kilat, kontan kedua perwira itu
terjungkal sambil menjerit ngeri, terang jiwanya sudah
melayang.
Tiga jago pengawal yang lain sedang mengembut Thia
Pek-gak yang masih diborgol, terpaksa Pek-gak hanya
menggunakan tenaga jarinya untuk memutar rantai
borgol kaki laksana ruyung sehingga ketiga perwira itu
tidak berani mendekat.
Pada saat lain, si lelaki baju biru dan si nona cilik
sudah memburu tiba. Seru lelaki itu, "Entah siapakah
pesakitan ini, coba kau tanya engkoh cilik itu apakah
kawannya atau bukan?"
Kiranya rombongan orang-orang ini sangat
mengutamakan perbedaan antara budi dan dendam serta
tidak ambil pusing kepada urusan orang lain, mereka
bukanlah kaum pendekar yang suka membela keadilan,
terhadap urusan negara juga tidak mau tahu/ sebaliknya
mereka juga tidak mau membantu kejahatan dan
membunuh secara ngawur, asal mereka tak diganggu,
maka mereka pun tidak mau mengganggu.
Karena Kong-he pernah menolong si nona cilik, maka
lebih dulu si lelaki baju biru membinasakan kedua
perwira yang hendak menangkap bocah itu. Sedangkan

ketiga perwira yang mengembut Thia Pek-gak tidak


diapa-apakan olehnya.
Dengan tertawa si nona cilik lantas membangunkan
Kong-he, katanya, "Semalam kau telah menolong aku,
maka sekarang aku pun balas menolong kau. Eh, apakah
lelaki yang diborgol itu adalah kawanmu?"
Karena tertotok, Kong-he tidak bisa bergerak dan
berbicara. Namun ketiga perwira yang mengeroyok Thia
Pek-gak sudah menjadi ketakutan kalau-kalau Kong-he
menerangkan duduknya perkara, apalagi mereka sadar
bukan tandingan si lelaki baju biru, maka tanpa ayal lagi
mereka lantas lari terbirit-birit menyelamatkan diri.
Ho Lan-bing menjadi gusar, segera ia menerjang maju
dengan kudanya. Tapi kontan si lelaki baju biru
menyambutnya dengan enam buah Tau-kut-ting. Sudah
tentu kepandaian Lan-bing jauh di atas perwira-perwira
tadi, sekali ruyungnya berputar, terdengarlah suara
mendering nyaring, sekaligus keenam buah paku si lelaki
baju biru telah kena disampuk jatuh semua. Menyusul
ruyungnya terus menyabet pula ke arah Kong-he.
Syukurlah si nona cilik keburu merangkul Kong-he
terus menggelinding ke samping sehingga ruyung Ho
Lan-bing mengenai tempat kosong.
"Lau-taysiok, lekas kau maju untuk menghajar bangsat
busuk ini!" seru si nona cilik.
Sungguh gusar Lan-bing tak terkatakan, sebagai
pembesar tinggi masakah dimaki si nona sebagai
bangsat. Dengan menggertak murka segera ruyungnya
menyabet pula.

"Bangsat anjing, berani kau mengganggu seujung


rambut Sioda kami, segera kucincang hancur-luluh
badanmu!" mendadak seorang membentak dan tahutahu
sebuah ruyung lain juga telah menyambar tiba.
Segera terjadilah ruyung lawan ruyung dengan serunya.
"Plak", kedua ruyung emas itu mendadak terlibat menjadi
satu.
"Lepas!" bentak si lelaki she Lau.
Tapi Ho Lan-bing juga lantas membetot sekuatnya
sambil melarikan kudanya dengan maksud menyeret
jatuh lelaki she Lau itu. Tak terduga tenaga orang she
Lau ternyata luar biasa hebatnya, kuda Ho Lan-bing
berbalik terseret mundur beberapa langkah. Keruan Lanbing
terkejut, sekuatnya ia mengerahkan tenaga ke
ujung ruyungnya dengan maksud melepaskan libatan
kedua senjata itu.
Sekonyong-konyong ruyung Ho Lan-bing putus
menjadi dua, kiranya Lwekangnya tetap kalah setingkat
dengan lelaki she Lau itu, begitu kedua kekuatan
dikerahkan dan dipuntir, ruyung Ho Lan-bing lantas
patah. Tetapi hal ini malah menguntungkan dia, karena
tiada halangan lagi, segera kudanya membedal secepat
terbang ke depan dan selamatlah dia.
Melihat komandannya sudah kabur, dengan sendirinya
anak buahnya ikut kacau-balau dan melarikan diri
sendiri-sendiri, untuk ini rombongan si nona cilik juga
tidak mengejar. Hanya Lok Khik-si saja yang tidak
sempat mencemplak kudanya, dia telah kena dibekuk
oleh si lelaki baju biru.

"Nona Hoa, orang ini adalah salah seorang bangsat


kemarin malam itu, apakah dibunuh saja?" tanya lelaki
itu
Si nona cilik sedang sibuk dan tidak mampu membuka
Hiat-to Kong-he yang tertotok, maka dia menjawab acuh
tak acuh, "Semalam dia tidak terlalu jahat, engkoh cilik
inipun memanggil paman padanya, maka bolehlah
dilepaskan saja."
"He, jangan, jangan dilepas! Justru jahanam ini adalah
biang keladi dari kejadian ini, dia telah membohongi anak
He dan bersekongkol dengan pihak kerajaan untuk
menangkap Lim-kaucu, maka jangan kalian melepaskan
dia!" demikian seru Pek-gak cepat.
Ia mengira orang-orang ini tentu adalah golongan
pendekar Kangouw dan tentu ada hubungan baik dengan
Li Bun-sing, makanya beramai-ramai mereka datang
menolong putranya. Tak tahunya sama sekali dugaannya
telah meleset, orang-orang itu tidak ambil pusing kepada
seruannya. Orang she Lau itu adalah pemimpin
rombongan, segera ia menjawab dengan dingin, "Aku
tidak peduli urusan Kaucu kalian. Sekali Siocia kami
bilang lepaskan, maka tidak perlu kau ikut campur
bicara."
Sebagai seorang ksatria, sudah tentu Pek-gak sangat
mendongkol atas sikap orang yang kasar itu, terpaksa ia
pun tidak bersuara lagi. Sementara itu Lok Khik-si sudah
lantas mencemplak ke atas kudanya dan melarikan diri.
Kemudian orang she Lau itu melolos golok seorang
kawannya dan mendekati Thia Pek-gak, hanya dua kali
bergerak saja ia telah memutus borgol kaki dan tangan
Pek-gak, katanya, "Kita tak perlu saling bertanya, kulihat

kau juga seorang laki-laki sejati, maka bolehlah kau pergi


saja."
"Dan bagaimana dengan bocah ini?" tanya Pek-gak.
"Engkoh cilik ini telah menolong Siocia kami, sudah
tentu majikan kami akan memperlakukan dia dengan
baik, kau jangan kuatir," sahut orang she Lau.
"Tidak bisa," kata Pek-gak. "Dia adalah putra yatim
sahabatku, kalian tidak dapat membawanya pergi."
Dalam pada itu tiba-tiba si nona cilik telah berseru,
"Lau-taysiok, lekas kemari! Dia seperti kena ditotok
orang, aku tidak mampu membukanya!"
Rupanya ilmu Tiam-hiat merupakan kepandaian
tunggal Lok Khik-si sehingga orang lain tidak
sembarangan dapat membuka Hiat-to yang ditotoknya.
Meski si nona cilik dan pengiring-pengiringnya juga tidak
mampu membuka totokan di atas tubuh Kong-he itu.
Pek-gak juga tidak berani coba-coba, dengan nada
dingin ia berkata, "Nah, ini adalah perbuatan jahanam
she Lok itu, cuma sayang orangnya sudah kalian
lepaskan!"
"Huh, jika mampu mengapa kau tidak menolongnya?
Apa gunanya menyindir saja?" si lelaki she Lau
mendengus. "Hm, ilmu Tiamniat demikian rasanya juga
tidak sukar bagi kita, tentu kita dapat menolongnya
nanti. Marilah kita berangkat!"
Berulang kali Pek-gak diperlakukan secara kasar,
sungguh tak terkatakan mendongkolnya. Ia lihat Kong-he
telah dibopong ke atas kuda oleh orang she Lau itu,

segera ia berteriak pula, "He, mengapa kalian tidak tahu


aturan begini?"
"Siapa sebenarnya kau ini? Sudahlah, jangan banyak
rewel lagi!" kata si orang she Lau sambil memberi tanda
untuk berangkat.
Dalam pada itu Kong-he sendiri juga sangat gelisah,
celakanya dia tidak mampu bicara, hanya sepasang
matanya saja berulang-ulang mengedipi si nona cilik.
"Engkoh cilik ini rupanya ingin berkata apa-apa," ujar
si nona. "Ya, baiklah, tampaknya orang ini merasa berat
meninggalkan kau, maka biarlah dia ikut ke rumahku
saja."
"Eh, rumah kita mana boleh didatangi sembarangan
orang?" Cepat si orang she Lau mencegah. "Kau
membawa pulang seorang asing mustahil ayahmu takkan
mematahkan kedua kakinya. Jika terjadi demikian,
maksud baikmu bukankah berbalik akan membikin celaka
padanya?"
Orang she Lau itu adalah pengurus rumah tangga, si
nona terpaksa tak berani membantah, katanya kepada
Pek-gak, "Kuminta dia menjadi temanku, sudah tentu
akan kulayani baik-baik, harap jangan kuatir. Paman Lau
adalah pengurus rumah tangga kami, dia tak mau
menyambutmu, maka jangan kau memaksanya."
"Mari kita pergi, ayahmu menunggumu," kata lelaki
baju biru itu.
"Siapa sudi ke rumahmu? Kumaukan anak ini
ditinggal!" sahut Thia Pek-gak murka.

Orang she Lau itu sudah menjunjung Kong-he ke atas


kuda dan terus hendak melarikan kudanya. Tiba-tiba Thia
Pek-gak memelompat maju dan menariknya.
"Kau sungguh tak tahu tingginya langit dan dalamnya
bumi, hm, rupanya mau cari mampus ya?" bentak lelaki
itu sambil menyabetkan cambuknya.
Thia Pek-gak memakai rantai untuk menangkis. Tapi
permainan cambuk lelaki itu lincah laksana naga bermain
di air. Thia Pek-gak terkena dua kali cambukan, dia
menggerung keras, rantai ditarik terus melibat cambuk.
Tenaga mereka berimbang, lawan tak dapat ditarik jatuh,
tapi kudanya tetap berjalan sehingga Thia Pek-gak pun
terseret sampai beberapa langkah.
Si lelaki baju biru putar kepala kudanya, katanya
dengan tertawa, "Bahwa nona kami mau bersahabat
pada anak itu, itulah suatu rezeki besar baginya. Taruh
kata omonganmu benar seluruhnya, seharusnya kau
bergirang untuk keponakanmu, mengapa sebaliknya kau
terus menerus cari perkara saja. Baik, rantaimu tadi aku
yang memutusnya, sekarang biar kutambahi sebuah
papasan lagi!"
Sekali golok diayun, rantai itu putus. Hanya tinggal
beberapa dim yang digenggam dalam tangan Thia Pekgak.
Golok lawan tampaknya menyentuh tangan Thia
Pek-gak tapi ternyata tak melukainya.
"Paman An, hebat sekali permainan golokmu!" si nona
kecil bertepuk tangan memuji.
Begitu Thia Pek-gak terputus rantainya, ketujuh orang
dan kedua anak itupun sudah dibawa lari oleh kudanya.
Masih terdengar dari jauh yang dipanggil paman An itu

tertawa, "Rupanya anak ini mempunyai riwayat juga,


pagi tadi Kang Hay-thian juga cari perkara padaku. Tak
lain tak bukan juga hendak menyelidiki anak ini. He,
sedang Kang Hay-thian saia tak kupedulikan, apalagi
segala macam Lim-kaucu atau Bok-kaucu."
Thia Pek-gak terkejut, pikirnya, "Bukankah yang
dimaksudkan itu Kang-tayhiap? Mengapa Kang-tayhiap
juga mencari anak itu? Orang-orang itu berkepandaian
tinggi, percuma saja aku mengejarnya. Biarlah, begitu
kubereskan urusan di rumah, aku segera akan menuju ke
Nyo-keh-ceng di Soatang untuk menemui Kang-tayhiap.
Benar aku tak begitu kenal dengannya, tapi mengingat
dia seorang pendekar yang budiman, tentu suka
membantuku."
Kembali ke dalam desa, dilihatnya beberapa rumah
sudah terbakar habis. Api masih menyala, para tetangga
sedang sibuk memadamkan kebakaran itu. Begitu
melihat kedatangannya, mereka segera mengerumuni
dengan berbagai pertanyaan, Thia Pek-gak tak punya
banyak waktu luang. Dia mencari seorang murid Thian-likau,
setelah memintanya supaya menyampaikan berita
pada keluarga di rumah, Thia Pek-gak segera bergegas
meninggalkan tempat itu.
Tengah berjalan, tiba-tiba dua ekor penunggang kuda
berlari mendatangi. Diam-diam Thia Pek-gak memuji
kepesatan kuda mereka di samping kuatir jangan-jangan
kawanan orang tadi datang lagi. Tepat pada saat itu,
kedua penunggang kuda sudah berhenti di hadapannya.
Seorang lelaki pertengahan umur yang berwibawa dan
seorang pemuda cakap memelompat turun. Thia Pek-gak
kembali terkejut. Mata lelaki pertengahan umur itu

bersinar tajam sekali, suatu tanda bahwa dia tentu


seorang tokoh silat yang berkepandaian tinggi.
Sebaliknya setelah mengawasi Thia Pek-gak, lelaki
itupun agak heran, lekas ia memberi hormat, ujarnya,
"Maaf, saudara. Aku hendak mohon bertanya padamu."
"Silakan," sahut Pek-gak.
"Ada tiga lelaki dan seorang anak yang naik kuda.
Entah apakah saudara pernah melihatnya," orang itu
memberi uraian tentang wajah dari orang-orang yang
ditanyakan itu. Terang yang dimaksudkan itu ialah Kilian-
sam-siu dan Li-Kong-he.
Thia Pek-gak tergerak hatinya dan buru-buru balas
bertanya, "Bukankah saudara ini Kang-tayhiap?"
"Ah, tak berani kuterima pujian sedemikian tinggi itu.
Tetapi aku memang benar Kang Hay-thian. Saudara
tentu juga kaum Bu-lim, sudikah memberitahukan nama
saudara yang mulia?"
Kiranya melihat pada siang hari di desa itu timbul
kebakaran, Kang Hay-thian mengajak muridnya, Yap
Leng-hong, melarikan kudanya ke situ. Siapa tahu nanti
akan mendapat berita apa-apa dan secara kebetulan
mereka berjumpa dengan Thia Pek-gak
Kang Hay-thian juga tahu kalau orang di hadapannya
itu mempunyai Lwekang tinggi. Pula dari sikap dan
pakaiannya yang penuh debu, nyata orang itu baru saja
habis berkelahi, maka ia lalu turun dari kudanya.
"Kang-tayhiap, aku justru hendak mencarimu!" seru
Thia Pek-gak dengan kegirangan. Ia segera menuturkan
apa yang telah dialaminya tadi. Kang Hay-thian pun

menceritakan juga tentang Li Bun-sing menitipkan anak


yang sudah sebatang kara itu.
"Apakah rombongan orang-orang itu sudah lama
perginya?" tanya Kang Hay-thian pula.
"Kira-kira baru satu jam dengan mengambil jalan ini.
Gerombolan itu tetap hendak membawa He-ji pulang,
katanya untuk teman nona majikan mereka."
Segera Kang Hay-thian menyanggupi akan merebut
kembali anak itu.
"Baik, jika ada berita apa-apa harap Kang-tayhiap
suruh orang menyampaikannya pada Thio Su-liong,
kepala Cong-liong-poh di Bici. Kudoakan mudahmudahan
Kang-tayhiap berhasil. Rumahku sudah dibakar
habis oleh kaki tangan kerajaan, aku pun tak dapat
tinggal lama-lama di sini," kata Thia Pek-gak.
Setelah menimbang-terimakan urusan, legalah hati
Thia Pek-gak. Ia anggap sebagai jago nomor satu di
dunia persilatan tentu mudahlah bagi Kang Hay-thian
untuk merebut kembali anak itu, apalagi kalau Kang haythian
suka memunggut anak itu sebagai murid. Mengenai
ia sendiri karena sudah ketahuan siapa dirinya, ia tak
dapat menunggu berita di Bu-pok lagi, maka ia ambil
keputusan menuju saja ke Bici menemui Kaucu mereka,
Lim Jing, untuk melaporkan tentang berita Li Bun-sing
dan putranya.
Sekarang marilah kita ikuti Kang Hay-thian. Jago itu
segera mengajak muridnya melakukan pengejaran
menurut arah yang ditunjukkan Thia-Pek-gak. Memang
benar di sepanjang jalan terdapat bekas-bekas tapak kaki
kuda. Dari jejaknya, rombongan itu terdiri dari 7-8 ekor

kuda. Ini sesuai dengan keterangan Thia Pek-gak tadi.


Diam-diam Kang Hay-thian merasa lega. Ia yakin
menjelang petang, berkat kudanya yang tergolong kuda
Jian-li-ma (kuda yang sehari dapat menempuh seribu li),
tentu dapat menyusul mereka.
Di luar dugaan, Kang Hay-thian berhadapan dengan
sebuah jalan simpang tiga dan jejak perburuannya itupun
hilang.
"Eh, apakah orang-orang itu bisa main sulap?
Mengapa jejaknya hilang?" Leng-hong berseru heran.
Sebagai seorang tokoh persilatan yang
berpengalaman, setelah merenung sejenak, tahulah Kang
Hay-thian musababnya, "Mereka tentu sudah mengira
akan dikejar, maka dibuatnyalah sedikit muslihat. Mereka
tentu telah membungkus kaki kudanya dengan kain tebal
agar tak kelihatan bekas tapaknya."
"Kita tak mengetahui mereka mengambil jalan yang
mana. Siapa tahu simpang tiga ini masih mempunyai
persimpangan lagi. Ini tentu menyulitkan sekali! Suhu,
menurut pendapatku
"Kau takut menghadapi kesulitan?" tukas Suhunya.
"Murid bukan takut kesulitan, tetapi hanya berpikir ..."
"Berpikir apa, lekas bilang yang jelas!" kembali Haythian
menegurnya.
"Kukira karena hendak membalas budi maka nona itu
menyuruh orangnya mengambil Li-sute dan tentu takkan
mencelakai Li-sute. Si orang baju biru itu juga pernah
mengatakan kepada Suhu, bahwa begitu pulang ia akan
melapor pada majikannya untuk menyampaikan

kehendak Suhu. Di dunia ini siapakah yang tak ingin


berkenalan dengan Suhu? Kelak dia pasti akan membawa
Li-sute berkunjung pada Suhu. Menurut pendapatku,
daripada mengikuti jejak orang yang tiada menentu,
lebih baik kita pulang dan menunggu kunjungan
mereka," sahut Leng-hong.
Ternyata Leng-hong mempunyai pertimbangan sendiri.
Kali ini dia ikut keluar bersama Suhunya dengan harapan
nanti dapat berkenalan dengan tokoh-tokoh yang
ternama. Tetapi ternyata selama mengadakan perjalanan
itu, Suhunya tak pernah berkunjung pada seorang pun
tokoh persilatan. Bahwa kini putra Li Bun-sing dilarikan
orang yang tak diketahui asal-usulnya, tentu akan
memakan waktu yang panjang untuk mencarinya. Ia
tetap memikirkan Ubun Hiong yang sedang merawat diri
di rumah keluarga Kang. Jika Ubun Hiong siang malam
bergaul dengan Kang Hiau-hu, bukankah pemuda itu
nanti yang menang dalam memperebutkan hati Kang
Hiau-hu?
Usul Leng-hong itu walaupun berdasarkan
kepentingan pribadi, tampaknya memang beralasan.
Tetapi setelah berpikir sejenak. Kang Hay-thian menolak,
"Tidak, kalau menunggu di rumah mungkin kita akan siasia
belaka. Lebih baik kita teruskan perburuan kita ini."
"Walaupun dengan jalan tak berujung dan tak
berpangkal begini?" Leng-hong mengeluh putus asa.
"Bukan sama sekali tiada ujung-pangkalnya. Bukankah
mereka berjumlah 7-8 orang? Kalau kita bertanya-tanya
di sepanjang jalan, masakah tak dapat memperoleh
beritanya. Li Bun-sing telah minta tolong padaku. Kalau

aku tak mampu lekas membawa pulang anaknya, hatiku


tentu tak enak."
Leng-hong tak berani membantah lagi dan terpaksa
ikut Suhunya. Pertama mereka mengambil jalan simpang
yang di sebelah kiri. Sampai 50-an li jauhnya dan sudah
bertanya pada beberapa orang yang dijumpainya bahkan
pada pemilik-pemilik kedai di pinggir jalan, tetap mereka
mengatakan tak pernah melihat rombongan penunggang
kuda itu. Kang Hay-thian balik dan mengambil jalan di
tengah. Di situ pun mereka bertanya pada beberapa
orang, ada yang takut mengatakan karena tak tahu siapa
Kang Hay-thian itu. Akhirnya dari seorang pak tani yang
sedang meluku di sawah, berhasillah mereka mendapat
berita. Rombongan penunggang kuda yang ditanyakan
itu memang tengah hari tadi lewat di situ. Padahal saat
itu sudah menjelang petang.
Malam tak leluasa meneruskan perjalanan karena tak
dapat bertanya orang, terpaksa guru dan murid itu
menginap di sebuah hotel. Keesokan harinya, pagi-pagi
sekali mereka sudah berangkat. Tak lama berjalan, ah,
lagi-lagi bertemu dengan jalan simpang tiga. Mereka
melakukan penyelidikan seperti kemarin, karena banyak
membuang waktu, mereka makin kehilangan jejak.
Dari Tit-lik mereka masuk ke wilayah Soasay. Waktu
bertanya pada orang, ternyata sudah lima hari yang lalu,
rombongan penunggang kuda itu lewat di situ. Ya, biar
lambat asal tepat. Tetapi apa lacur, beberapa hari
kemudian pada waktu tiba di daerah pedalaman gunung
yang sunyi, mereka tak memperoleh keterangan tentang
rombongan berkuda itu.

Sampai di sini tak tahan lagi Leng-hong untuk


membisu, lagi-lagi ia memperdengarkan lagu lama
supaya menghentikan pengejaran yang sia-sia itu.
Kang Hay-thian menghela napas, "Ya, kita ganti jalan
yang satunya, nanti beberapa hari lagi akan
kupertimbangkan. Taytong adalah pangkalan Kay-pang
utara. Kita ke sana meminta bantuan pada Tiongpangcu."
Dalam putus-asanya. Kang Hay-thian tetap masih
memiliki setitik harapan. Hari itu ketika sedang berjalan,
tiba-tiba di sebelah depan ada dua ekor kuda sedang
dilarikan dengan cepat. Rupanya kuda-kuda itu juga kuda
istimewa.
"Penunggang kuda itu tentu bukan orang
sembarangan. Ayo, kita kejar," kata Hay-thian.
Kuda merah Kang Hay-thian dan kuda putih Lenghong
amat tajam sekali perasaannya. Melihat jenis
kawannya, timbullah nafsu untuk mengalahkan. Tanpa
dicambuk lagi, kuda-kuda itu mencongklang pesat.
Namun lewat sepenyulutan dupa lamanya baru jarak
mereka makin dekat. Saat itu Kang Hay-thianlah yang
terkejut. Ternyata kedua penunggang kuda yang
dikejarnya itu perwira-perwira militer. Kuda mereka
memakai cap bakar kerajaan. Hay-thian pernah melihat
milik istana, sepintas pandang tahulah ia kalau tanda itu
merupakan pertandaan dari pihak istana.
"Terang kedua orang itu utusan dari pihak Taylwe
(istana). Tak enak untuk bertanya pada mereka. Entah
ada urusan apa mereka sampai begitu terburu-buru,"
pikir Hay-thian.

Kebetulan saat itu kedua perwira itu sedang bercakapcakap.


Beberapa patah ucapannya terdengar oleh Kang
Hay-thian.
"Apakah berita dari Tok-kak-lok itu dapat dipercaya
atau tidak?" tanya salah seorang perwira.
Sahut kawannya, "Baik sungguh atau bohong, toh kita
tetap harus meringkus anak naga itu, kemudian..."
Sampai di situ kuda Kang Hay-thian dan Leng-hong
sudah menyusul tiba. Kedua perwira itu terkesiap dan
berpaling, percakapan mereka pun terhenti. Lain saat
kuda Kang Hay-thian dan Leng-hong sudah melampaui
mereka.
"Sungguh binatang luar biasa!" tanpa terasa kedua
perwira itu berseru memuji.
Percakapan tadi telah menimbulkan kecurigaan Kang
Hay-thian, pikirnya, "Yang disebut Tok-kak-lok itu
tentulah gelar dari seseorang. Dalam kawanan Ki-liansam-
siu memang Lok Khik-si mempunyai daging
menonjol pada dahinya, apakah bukan dia yang
dimaksudkan itu? Berita tentang diculiknya He-ji oleh
gerombolan itu tentu sudah sampai pada pembesar
negeri. Apa saja yang dilaporkan oleh Lok Khik-si itu? Eh,
siapakah yang dimaksudkan dengan 'anak naga' itu?"
Saat itu Kang Hay-thian dan Leng-hong sudah jauh
meninggalkan kedua pewira itu di belakang. Diam-diam
Hay-thian merasa menyesal, mengapa tak mengikuti saja
mereka dari belakang. Tapi kalau sekarang melambatkan
kudanya menunggu, tentu akan ketahuan oleh mereka.
Lok Khik-si adalah orang yang merancang penculikan
Kong-he, walaupun anak itu kena diculik oleh lain

gerombolan, tapi mungkin yang dilaporkan Lok Khik-si itu


tentulah mengenai diri Kong-he. Sudah tentu Kang Haythian
tak mau menyia-nyiakan usaha pencariannya,
walaupun jejaknya itu masih merupakan setitik
bayangan.
Sebenarnya dia tak biasa bersandiwara, tapi dalam
saat seperti itu, apa boleh buat ia terpaksa mencari akal
main aksi. Pada waktu kudanya berlari pesat, tiba-tiba ia
menjerit dan pura-pura jatuh terlempar beberapa tombak
ke tanah. Kuda Cik-tiong-ma sudah terlatih baik, begitu
majikannya jatuh, binatang itupun melambatkan jalannya
dan menghampiri sang tuan.
Leng-hong tak kurang kagetnya, buru-buru ia
menghentikan kuda dan menghampiri Suhunya. Ia
seorang pemuda cerdas, dalam kejutnya ia bercuriga
juga. Ilmu silat dan kepandaian naik kuda Suhunya
jarang ada tandingannya. Mana bisa mendadak sontak
jatuh dari kudanya? "Suhu, kenapa kau?" tanya Lenghong.
"Mendingan, tak sampai terluka berat," sahut Haythian.
Tak berapa lama kedua opsir tadi pun tiba, melihat
keadaan Kang Hay-thian, mereka tergelak-gelak dan
berseru, "Hebat memang kudamu itu, tapi tabiatnya liar
sekali. Ha, ha, kuda bagus tentu memilih tuan,
tampaknya binatang itu tak suka kau naiki."
Cepat sekali kuda perwira itu, baru orangnya berkata,
kuda sudah berlari jauh sekali ke depan.
Kang Hay-thian pura-pura mengerang kesakitan dan
tak menyahut kata-kata mereka. Setelah kedua perwira
tak kelihatan, barulah Kang Hay-than naik kudanya lagi.
Kali ini ia mengambil jarak tertentu, tidak terlalu cepat
pun tidak sampai ketinggalan jauh.

Petang harinya kedua opsir itu bermalam di sebuah


hotel kecil. Kang Hay-thian dan muridnya pun masuk.
Saat itu tepat kedua perwira tadi baru turun dari
kudanya, mereka heran melihat kedatangan guru dan
murid itu.
"Eh, kudamu benar-benar hebat sekali larinya. Apa
tadi kau tak terluka?" seru salah satu dari perwira itu.
"Untung, untung, hanya kaget saja," sahut Kang Kaythian.
Pemilik hotel tersipu-sipu menyambut kedua perwira
itu, dengan berlagak sekali perwira-perwira itu memberi
perintah supaya kudanya dirawat yang baik karena besok
pagi mereka akan meneruskan perjalanan lagi.
"Kuda kami itu tak perlu disikat, cukup diberi rumput
saja," Kang Hay-thian berkata kepada pemilik hotel itu.
Rupanya orang itu sedikit-sedikit mengerti tentang
merawat kuda. Ia bersangsi sejenak, katanya, "Istal kuda
kami tak cukup lebar, keempat ekor kuda kalian dijadikan
satu, kalau sampai ada salah satu kuda yang binal dan
menyepak kawannya, aku tak berani tanggung."
Si perwira yang bertubuh tinggi besar tertawa gelakgelak,
"Tak apalah. Jika kudaku sampai tersepak luka,
ganti saja dengan kudanya, kedua kuda mereka itu juga
kuda bagus, harus dirawat yang baik."
Diam-diam Kang Hay-thian merasa geli karena
ternyata orang-orang berminat pada kudanya. Karena
ucapan si perwira, pemilik hotel baru mau menerima
kuda Suhu dan muridnya itu.

Lewat tengah malam, Kang Hay-thian bangun. Ia


berpesan pada muridnya, "Aku hendak keluar sebentar.
Jika terjadi apa-apa lekaslah bersuara!"
Ginkang jago itu sudah mencapai tingkat tertinggi.
Tanpa diketahui, ia sudah mendekam di luar kamar
kedua perwira tadi untuk mencuri dengar pembicaraan
mereka. Sampai lama sekali tak terdengar suara apa-apa.
"Apa mereka sudah tidur pulas? Baik, akan kutotok
jalan darah mereka. Barangkali mereka membawa surat
penting," akhirnya Hay-thian mengambil putusan.
"He, kau juga belum tidur?" tiba-tiba salah seorang
perwira menggeliat dan bertanya pada kawannya.
"Ehm, begitulah. Aku mempunyai urusan yang
terkatung-katung maka tak bisa pulas, marilah kita
bicarakan," sahut kawannya.
"Apakah Li-heng kuatir tentang perjalanan kita ke
Cong-liong-poh ini?" tanya perwira pertama.
"Benar, Liok-heng. Bagaimana, besok kita teruskan
perjalanan atau tidak?" kata si perwira she Li.
Perwira she Liok heran, "Aku sungguh tak mengerti
apa yang kau maksudkan meneruskan perjalanan atau
tidak itu!"
"Jika kita genjot kuda, dalam tiga hari tentu sudah tiba
di Bici. Tapi yang lain-lain belum datang, hanya kita
berdua. Ini... ini..”
Perwira she Liok cepat menukasnya, "Oh, mengerti
aku sekarang. Jadi kau kuatir tak dapat menundukkan
naga jahat itu?"

Jawab perwira she Li, "Benar, Thio Su-liong itu


namanya menggetarkan daerah Sepak, tapi aku masih
tak jeri padanya. Yang kucemaskan adalah Lim
"Sst, bicara perlahanlah, tembok punya telinga lho!"
cepat sang kawan memutus.
Memang waktu mendengar kata-kata "Lim" tadi. Kang
Hay-thian tergerak hatinya. Dia mempunyai pergaulan
luas, asalkan yang agak ternama saja, tentu dikenalnya,
pikirnya, "Kiranya yang dimaksudkan mereka dengan
'Naga jahat' itu adalah Thio Su-liong di Bici. Dengan
pukulan Pik-lik-ciang dan ilmu tongkat Loan-hi-hongkoay-
hoat, orang she Thio itu menjagoi daerah Siamsay
dan Kamsiok. Dia termasuk seorang jago kelas satu juga.
Kedua perwira itu tak takut pada Thio Su-liong,
sebaliknya jeri terhadap orang she Lim. Tentulah orang
itu jauh lebih tangguh dari Thio Su-liong. Ah, celaka,
orang she Lim yang begitu tangguh itu siapa lagi kalau
bukan Lim Jing, ketua Thian-li-kau?"
Dalam pada itu terdengar perwira she Li tadi sedang
tertawa, katanya, "Siapa yang berani mencuri dengar di
sini? Dengan kepandaian Thing-hong-pian-ki (mendengar
angin dapat mengenal senjata) kita berdua, masakah kita
tak dapat mendengar suara orang yang berani mengintai
kemari?"
"Tapi tak ada jeleknya kita berhati-hati," sahut si
perwira Liok. Rupanya walaupun mulut membantah,
tetapi perwira Li itu menuruti nasehat kawannya juga. Ia
tak jadi menyebut nama orang she Lim itu, kini mereka
bicara dengan perlahan. Betapapun Kang Hay-thian coba
mempertajam pendengarannya, namun tak dapat
mendengar apa-apa lagi.

Lewat beberapa saat kemudian, kembali perwira Li itu


tertawa,
"Bagus, sungguh rencana yang bagus sekali! Liok-lote,
ternyata kaulah yang lebih terang pikiran. Kita bekerja
menurut rencanamu itu. Jika gagal, kita tunggu sampai
mereka datang baru bergerak."
Agaknya mereka sudah merencanakan sesuatu dan
tak perlu bicara bisik-bisik lagi.
"Sekarang mari kita rundingkan urusan lain lagi," kata
si perwira Liok.
"Kau sendiri sudah cerdik, masakah perlu berunding
dengan aku?" sahut perwira Li.
"Urusan berbelit tetapi kalau dirunding berdua rasanya
lebih baik lagi agar dapat menemukan pemecahan yang
bagus," kata perwira Liok. "Yaitu tentang dua orang yang
kita jumpai siang tadi. Makin membayangkan kuda
tunggangan mereka makin besar keinginanku. Terang
kedua ekor kuda mereka itu jauh lebih baik dari kuda
kita."
Perwira Li tertawa gelak-gelak, "O, kiranya kau
kepincut pada kuda orang? Apanya yang perlu
dirundingkan lagi? Rebut sajalah. Ya, terus terang aku
sendiri juga mempunyai minat begitu."
"Lelaki setengah tua itu rupanya berisi. Apakah kau
tak melihatnya?" tanya perwira Liok.
"Tapi rasanya tak begitu 'keras'. Bukankah tadi dia
dilempar jatuh oleh kudanya? Seorang yang benar-benar
berkepandaian tinggi masakah dapat disengkelit kuda?"
sahut perwira Li.

"Tapi begitu jatuh, begitu cepat mereka sudah


menyusul kita. Tidakkah ini hanya pura-pura saja? Dan
telah kuperhatikan, sepasang matanya bersinar tajam
sekali, terang Lwekangnya tinggi."
Mendengar itu diam-diam Kang Hay-thian memuji
ketajaman mata orang she Liok itu.
Tetapi si perwira Li hanya ganda tertawa saja.
"Eh, Li-heng, mengapa kau tertawa?" tegur Liok.
"Kutertawakan kau yang begitu penakut."
"Karena aku tak mau banyak cari perkara!"
"Kalau begitu, aku ada akal. Kita gunakan cara halus
kemudian baru pakai kekerasan."
Atas pertanyaan perwira Liok, perwira Li menerangkan
lebih lanjut, "Sekarang kita pergi ke kamar mereka,
suruh mereka menyerahkan kudanya. Jika minta uang,
kita kasih saja sepuluh tahil emas. Jika minta pangkat,
kita janjikan mereka tingkat 'Chit-bin-koan-tay. Jelas
orang belajar silat, kalau kita mencita-citakan nama dan
pangkat bukankah mereka akan kepincut? Apalagi kalau
mereka tahu siapa diri kita ini, tentu mereka mendapat
muka terang. Masakah mereka tak mau? Jika mereka
menolak, saat itu barulah kita jalankan siasat. Kau yang
mengajaknya bicara, begitu kudengar mulurnya
mengatakan 'tidak', segera akan kupersen dengan panah
beracun."
"Biang", karena tak dapat menahan perasaannya lagi,
Kang Hay-thian serentak menerjang masuk dari jendela
dan tertawa gelak-gelak.

Kejut kedua perwira itu bukan kepalang, cepat mereka


melolos pedang dan memutarnya untuk membela diri.
"Ser, ser, ser", perwira Li melontarkan tiga batang
panah. Tapi panah beracun itu tak mengeluarkan suara
apa-apa hingga tak ketahuan apakah mengenai sasaran
atau tidak. Yang terdengar hanya goresan api dan Kang
Hay-thian pun sudah menyalakan lampu.
"Haha, harap kalian berdua jangan kaget. Kutahu Tayjin
berdua menginginkan kudaku. Tak berani aku
membikin repot Tayjin, maka kuperlu datang kemari
untuk berunding dengan kalian," seru Kang Hay-thian.
"Jadi kau mencuri dengar di luar kamar?" seru kedua
perwira itu dengan masih bingung.
"Sewaktu di jalan tadi Tayjin berdua toh sudah memuji
kudaku, masakah aku tak dapat menerka hati kalian?
Untung kalian tak membunuh aku, jika sampai
membunuh, tentu urusan ini tak dapat kita rundingkan
dan kedua pihak tak dapat manfaat apa-apa!" Kang Haythian
tertawa gelak-gelak. Ia mengeluarkan tiga batang
panah beracun dan ditancapkan di atas meja dalam
bentuk segi tiga.
Tahu kepandaian Kang Hay-thian menyambuti panah
beracun tadi, kedua perwira itu insyaf kalau bukan
tandingannya. Cepat mereka meramahkan air muka dan
bertanya, "Entah apakah maksud tuan?"
"Aku tak mau emas dan pangkat. Bahkan aku
mempunyai harta kekayaan besar yang hendak
kuhadiahkan padamu," sahut Hay-thian.
Kedua perwira itu saling berpandangan.

"Lalu apa yang kau inginkan?" akhirnya perwira Liok


bertanya.
"Aku telah belajar ilmu sastra dan silat dengan tujuan
untuk kupersembahkan pada kerajaan. Sekarang aku
hendak mohon Tayjin berdua supaya aku dapat diterima
menjadi hamba baginda!"
Perwira Liok itu tertawa keras, "Oh, kiranya kau
anggap pangkat Chit-bin-koan itu masih kelewat rendah
dan menginginkan yang lebih tinggi lagi. Baik, baik, akan
kuusulkan kau pada Tay-lwe Congkoan agar dapat
diterima menjadi Si-wi (pengawal istana). Coba
katakanlah, apa yang hendak kau haturkan padaku?"
Kata Kang Hay-thian, "Lim Jing, Kaucu dari Thian-likau
memang bersembunyi di rumah Thio Su-liong di Bici.
Aku sendirian tak berani menangkapnya, aku akan
membawa kalian untuk menangkap pesakitan itu.
Bukankah itu suatu kekayaan yang besar? Setelah hal itu
selesai, kudaku dan kuda muridku akan kuberikan pada
kalian. Aku hanya minta supaya kalian mengusulkan
diriku pada kerajaan. Dalam buku pahala supaya namaku
yang ditulis."
Kedua perwira itu terbeliak kaget, malah perwira Li
yang tak sabaran wataknya sudah lantas berteriak
tertahan, "Jadi kau sudah mengerti hal itu juga?"
"Oh, jadi Tayjin berdua juga akan ke Bici untuk
menangkap Lim Jing? Tahu begitu, aku tak perlu kemari
menyampaikan berita. Kalau begitu, rundingan kita ini
"Congsu, siapakah namamu yang mulia?" cepat
perwira Liok menukas kata-kata Kang Hay-thian.

Kang Hay-thian mengaku orang she Kang, tapi


memakai nama palsu.
"Kang-congsu, ilmu silatmu hebat sekali. Jika benar
kau ingin menghamba pada baginda, marilah kau ikut
kami," kata perwira Liok.
Tetapi sebenarnya orang she Liok itu hanya manis di
mulut saja karena diam-diam dia sudah mempunyai
rencana jahat. Begitu selesai menggunakan Kang Haythian,
dia akan membunuhnya. Sudah tentu sebelum
dibunuh akan ditanyai dulu mengapa dia (Kang Haythian)
tahu tentang urusan penangkapan Lim Jing.
Sebenarnya Kang Hay-thian yang hanya mendengar
orang menyebut kata-kata Lim tadi masih belum yakin
kalau yang dimaksudkan adalah Lim Jing, maka ia
sengaja memancing orang dan berhasil. Kini setelah tahu
jelas, sudah tentu ia tak mau melepaskan kedua perwira
itu.
Masih dengan air muka tak berubah. Kang Hay-thian
menjawab, "Terima kasih atas kebaikan Tayjin berdua,
tetapi aku masih merasa sedikit cemas. Kepandaian Lim
Jing itu bukan olah-olah hebatnya. Kita bertiga mungkin
tak mudah menghadapinya. Entah apakah Tayjin berdua
"Jangan kuatir, aku mempunyai akal yang bagus,"
kata perwira Li.
"Ya, sampai pada saatnya cukup asal kau menurut apa
yang kuperintahkan saja. Sekarang tak perlu banyak
bertanya," perwira Liok turut menambahi.
Melihat perwira Liok itu agaknya sudah menaruh
curiga. Kang Hay-thian tertawa tawar, serunya, "Tayjin

berdua, sekarang kalian juga harus menurut apa yang


kuperintahkan!"
"Apa, kau ..." kedua perwira itu berteriak kaget, tapi
sebelum menyelesaikan kata-katanya, mereka sudah tak
dapat berkutik lagi. Kang Hay-thian tak memberi
kesempatan lagi, sekali bergerak, ia totok jalan darah
kedua perwira itu.
"Harap kalian berdua beristirahat dulu. Dua belas jam
kemudian, kalian tentu akan dapat bergerak lagi," kata
Kang Hay-thian. Sebenarnya tadi ia hendak mengorek
keterangan tentang rencana mereka terhadap Lim Jing.
Tetapi setelah dipikir-pikir, mereka tentu tak mau
mengatakan sejujurnya, percuma saja ditanyai, maka ia
mengambil putusan, lebih baik menotok jalan darah
mereka saja, lalu ia hendak mendahului memberi kabar
pada Lim Jing. Ia gunakan totokan Ciong-chiu-hwat.
Hanya orang yang kepandaiannya sederajat, baru dapat
membuka jalan darah itu. Jika tidak, harus menunggu
dua belas jam lagi baru dapat terbuka sendiri. Dalam dua
belas jam itu, kuda Kang Hay-thian tentu sudah dapat
menempuh 300 li.
Kembali ke dalam kamar, Kang Hay-thian segera
mengajak muridnya berangkat ke Bici. Rupanya Lenghong
enggan karena rindu pada si jelita yang di rumah.
"Mengapa begini terburu-buru? Bagaimana dengan
kedua antek itu?" tanyanya.
Kang Hay-thian menyahut kalau mereka sudah dibikin
tak berdaya. Apa boleh buat terpaksa Leng-hong segera
berkemas.

Baru mereka melangkah keluar kamar, tiba-tiba


didengarnya suara kuda meringkik.
"Hai, ada orang mencuri kuda!" Hay-thian terkejut.
Dalam malam yang tak berbulan itu, remang-remang dia
melihat dua sosok tubuh tengah mencemplak ke atas
kuda.
"Hai, turun!" bentuk Hay-thian seraya melontarkan
dua buah pukulan. Jaraknya ada 10-an langkah, tapi
pukulan Pik-khong-ciang Kang Hay-thian dapat mencapai
12 langkah. Kuatir mereka mati. Kang Hay-thian hanya
menggunakan tujuh bagian tenaganya, tetapi sekalipun
begitu, jarang ada orang yang mampu menerima
pukulannya.
Kedua orang itu menggerakkan tangan menangkis.
"Hebat sekali!" teriak mereka, tetapi mereka tak sampai
jatuh. Dalam pada itu, kedua ekor kuda itupun sudah
melesat belasan tombak jauhnya, suatu jarak yang tak
terjamah oleh pukulan Kang Hay-thian.
Tiba-tiba dua ekor kuda yang lain meringkik dan
melesat menyusul kedua penunggang tadi.
"Oh, kiranya kuda kita tak mereka curi. Yang dicuri itu
kuda kedua perwira itu!" Kang Hay-thian berseru girang.
Tetapi sekalipun begitu, tetap ia hendak mengusut siapa
kedua orang pencuri itu. Orang yang kuat menerima
pukulan Pik-khong-ciangnya tentu bukan sembarangan
orang. Ia harus mengetahui mereka itu kawan atau
lawan. Cepat ia memelompat ke atas kudanya dan
mengajak Leng-hong mengejar.
Tapi heran, semula kedua kuda mereka itu berlari
pesat tetapi lama kelamaan menjadi macet.

"Ada yang tidak beres ini!" kata Hay-thian sambil


memelompat turun dan menyuruh Leng-hong mencari
ranting kering. Ia menyulut korek api kemudian
menyuluhi kudanya.
Kang Hay-thian sudah banyak makan asam garam
dunia persilatan. Hanya beberapa kejap saja sudah dapat
menemukan ciri penyakitnya. Jik-liong-ma kaki depannya
pincang sehingga tak berani menginjak tanah, sedang
Pek-liong-ma kaki belakangnya yang pincang dan tak
dapat diinjakkan ke tanah.
Kang Hay-thian menghela napas longgar, "Masih
untung, mungkin hanya terkena senjata gelap lembut
semacam Bwe-hoa-ciam, tapi tak beracun."
Ia mengambil besi sembrani untuk menyedot, ternyata
memang benar, dari kaki depan dan kaki belakang kedua
kuda itu dapat dikeluarkan dua batang Bwe-hoa-ciam.
Jik-liong-ma dan Pek-liong-ma berwatak keras. Kedua
pencuri itu terpaksa memilih kuda si perwira yang mudah
ditundukkan, tapi tak lupa memberi persen Bwe-hoaciam
kepada Jik-liong-ma dan Pek-liong-ma.
Kang Hay-thian segera mengobati kedua kudanya.
Leng-hong menanyakan apakah kuda mereka masih
dapat digunakan.
"Bisa sih bisa, tapi tak dapat berlari cepat seperti
biasanya. Cuma saja tetap lebih pesat dari kuda biasa,"
sahut sang Suhu.
Kesempatan itu tak dilewatkan Leng-hong yang
kembali mengajukan usul, "Kalau begitu apakah kita
tetap pergi ke Bici?"

"Pemerintah kerajaan sudah mengirim beberapa Kochiu


(jago) untuk menangkap Lim Jing, apakah kita
hanya melihat saja? Sekalipun agak lambat jalannya, kita
harus tetap ke sana," sahut Hay-thian.
"Lim Jing?" Leng-hong tersentak kaget. "Bukankah
Kaucu Thian-li-kau itu?"
"Ya, dia mempunyai kepentingan besar sekali,
terpaksa kutunda dulu urusan mencari Li-sutemu itu,"
sahut Hay-thian.
Leng-hong terpaksa menurut saja. Memang benar apa
yang dikatakan Suhunya, walaupun sudah dicabut jarum
dan diobati lukanya, kuda mereka tetap berkurang
kecepatan larinya. Tengah hari mereka baru mencapai
100-an li, sedang napas kuda-kuda itu sudah terengahengah,
mulutnya berbuih.
Leng-hong yang kurang tidur merasa tak enak badan.
Ia menguap dan mengeluh, "Suhu, orangnya sudah lesu
dan kudanya pun lelah. Marilah kita berhenti dulu."
Bukan Kang Hay-thian tak sayang pada murid dan
kudanya, tetapi karena harus lekas menyampaikan kabar
pada Lim Jing, terpaksa ia tak dapat menunda
perjalanan. Tapi kenyatan yang dihadapinya itu tak dapat
diabaikan, kalau diteruskan orang sakit kuda pun bisa
ambruk.
"Biar bagaimana tak dapat kubiarkan kawanan budakbudak
kerajaan itu mendahului ke Bici. Kedua lelaki
semalam itu juga tak diketahui lawan atau kawan. Jika
mereka juga hendak menangkap Lim Jing, ah, sungguh
runyam benar. Kedua kuda ini rupanya memerlukan
istirahat beberapa hari. Tapi kalau kubeli kuda lain,

kepada siapa kupasrahkan kuda ini? Biar bagaimana


kuda yang jarang terdapat seperti ini tak boleh kusiasiakan.
Ya, agaknya Leng-hong juga sudah lelah sekali,"
demikian Hay-thian menimang-nimang.
Setelah dipikir-pikir, akhirnya Kang Hay-thian
mendapat suatu cara yang walaupun terpaksa harus
dijalankan, tapi sesuai dengan kebutuhan. Ia turun dari
kudanya dan berseru, "Baik, kita beristirahat di sini."
Leng-hong duduk di tanah menjalankan Lwekang
untuk memulihkan tenaga. Ia tahu Suhunya buru-buru
hendak melanjutkan perjalanan. Meskipun ia tak setuju,
tapi ia harus mencari muka pada gurunya. Ia
menghampiri kuda, serunya, "Tampaknya kedua kuda ini
juga sudah baik. Suhu mari kita berangkat lagi."
"Nanti dulu!" sebaliknya Hay-thian menolak. Suatu hal
yang membuat Leng-hong tercengang dan menanyakan
sebabnya.
"Selama lebih dari sebulan kau ikut aku, tiap hari
dalam perjalanan aku selau mengajarkan uraian-uraian
tentang ilmu silat dan ilmu pedang. Apakah kau masih
ingat?"
"Semua ingat," sahut Leng-hong.
"Baik, kau memang pandai dan tak mengecewakan
harapanku. Lwekangmu tampaknya juga ada kemajuan,
tapi sampai berapa jauh belum kuketahui. Sekarang
cobalah sambut pukulanku ini," sambil berkata Kang Haythian
sudah melontarkan sebuah pukulan yang cukup
dahsyat-
"Mengapa Suhu menurunkan pukulan ganas? Haya,
apakah dia sudah mengetahui kelemahan Leng-hong

terkejut, tapi karena pukulan Suhunya sudah melayang di


atas kepalanya, ia tak sempat banyak pikir lagi. Ia lantas
menangkis dengan jurus pukulan ganas yang baru saja
dipelajarinya.
Begitu kedua tangan saling berbentur. Kang Hay-thian
tertawa gelak-gelak, "Bagus, bagus! Pelajaran selama
sebulan, sudah boleh juga!"
Leng-hong merasa kepalanya berat dan tubuhnya
ringan. Dia seperti dilanda oleh suatu tenaga tak
kelihatan yang menerbangkannya sampai beberapa
langkah. Tapi tenaga itu terasa lunak dan tak
menyakitkan. Leng-hong merasa lega, ia insyaf Suhunya
itu hanya hendak mencoba kepandaiannya, sekali-kali
tidak bermaksud lain.
"Leng-hong, tak perlu ragu-ragu. Aku memang
sengaja melancarkan pukulan ganas untuk mencoba
kepandaianmu. Rupanya sekarang kau kuat menerima
pukulan dari dua bagian tenagaku. Tenagaku sudah
berlipat ganda dari dulu, hanya masih belum mahir cara
memainkannya, tetapi asal lawanmu itu bukan seorang
Ko-chiu kelas satu, kau tentu mampu menghadapinya.
Ah, dengan kemajuan yang kau peroleh ini, aku tak usah
kuatir lagi untuk meninggalkan kau di sini."
"Apa Suhu? Kau ... kau tak menghendaki aku ikut?"
Leng-hong tersentak kaget.
"Bukan begitu, justru aku memikirkan dirimu dan
kedua ekor kuda ini. Tak jauh dari sini adalah kota Jiokoh-
koan. Di sana kau nanti boleh mencari sebuah hotel,
setelah aku menemui Lim Jing di Bici, akan kujemput kau
di hotel itu," kata Kang Hay-thian. Ternyata ia sudah
mengambil putusan. Kalau seorang diri, siangnya naik

kuda, malamnya menggunakan ilmu berlari cepat. Ini


jauh lebih cepat jika harus membawa Leng-hong, apalagi
Leng-hong dan kudanya bisa beristirahat secukupnya.
Sebenarnya Leng-hong bergirang dengan keputusan
Suhunya itu, namun ia pura-pura lebih suka ikut sang
Suhu. Kang Hay-thian tetap pada keputusannya, ia suruh
Leng-hong tinggal di hotel dan merawat kedua ekor kuda
itu, tapi jangan lupa harus berlatih tiap harinya.
Demikianlah setelah masuk ke kota Jiok-oh-koan,
Kang Hay-thian menempatkan Leng-hong di sebuah
hotel. Setelah memesan seperlunya, Hay-thian segera
pergi, lebih dulu ia membeli seekor kuda. Sebagai
seorang ahli kuda dapatlah ia memilih seekor yang
larinya lebih cepat dari kuda Jik-liong-ma yang pincang
kakinya itu.
Dia pun membekal rangsum secukupnya, maka
sepanjang perjalanan tak perlu beristirahat lagi.
Menjelang petang hari, kuda itu sudah letih sekali sampai
mulutnya berbusa, segera ia melepaskan kuda itu. Dan
begitu malam tiba, ia lalu menggunakan Ginkang dan
berlari.
Walaupun Lwekangnya tinggi, tapi karena larinya
secara 'ngebut" mau tak mau pada waktu hampir terang
tanah ia menjadi lelah juga. Ia masuk ke hutan untuk
beristirahat.
Hari kedua ia masuk ke kota, membeli kuda baru dan
menambah rangsum. Seterusnya ia menempuh
perjalanan dengan cara begitu. Bici yang jaraknya 2000-
an li hanya ditempuh dalam waktu tiga hari tiga malam.
Hari keempat menjelang tengah hari dia sudah tiba di
tempat itu. Ketika melintasi sebuah sungai kecil, ia

tertawa sendiri karena wajahnya yang tampak di


permukaan air itu penuh dengan brewok seperti orang
yang baru keluar dari penjara.
"Eh, kalau begini rupa, aku sendiri juga tak mengenali
wajahku. Jika Lian-moay melihat, tentu akan ketakutan.
Entah orang Cong-liong-poh apakah mau menerima
kedatanganku nanti?" pikirnya. Tapi kenyataannya ketika
masuk kota ia tak memikirkan lagi untuk mencari tukang
cukur, karena yang penting ialah harus lekas mengujungi
Cong-liong-poh.
Cong-liong-poh terletak di barat daya kota Bici. Ketika
ke sana. Semula di sepanjang jalan masih ada orangorang
berjalan, tapi makin lama makin sedikit. Kang Haythian
tak memperhatikan hal itu, baru ketika dia tiba di
perkampungan Cong-liong-poh dan hendak bertanya
kepada orang, ia terkejut heran. Bukan saja jalanan di
situ tiada barang seorang manusia pun, bahkan
sekelilingnya tiada tampak sesosok bayangan pun. Saat
itu baru ia merasa heran.
Tempat kediaman Thio Su-liong disebut Cong-liongpoh,
ini diketahui oleh Kang Hay-thian. Tapi dimana letak
yang sebenarnya dari gunung itu, dia tak tahu. Adakah
karena Thio Su-liong itu cukup terkenal di daerah Bici,
maka pada waktu ia bertanya pada orang, dengan
mudah orang dapat memberitahu. Dia kira setiba di desa
itu tentulah juga akan mudah mencari keterangan. Siapa
tahu hanya belantara sunyi senyap yang dijumpainya.
"Sekarang bukan waktunya orang bercocok tanam,
tapi sekalipun begitu di sawah tentu terdapat petani yang
membersihkan rumput. Tapi mengapa begini sepi?
Kemana saja orang-orang di desa ini?" pikirnya.

Ketika dia hendak menuju ke desa sekitar situ, tibatiba


dilihatnya dua orang berjalan. Cepat Kang Hay-thian
menghampiri dan memberi hormat, tanyanya, "Tolong
tanya dimanakah rumah Thio Su-liong?"
Melihat roman Kang Hay-thian yang menyeramkan itu,
kedua orang tadi terkejut, "Siapa kau? Perlu apa mencari
Thio-toaya?"
Karena tak leluasa memberitahu, terpaksa Kang Haythian
berbohong, "Thio-toayalah yang mengundang aku
datang karena ada sedikit urusan. Aku perlu berjumpa
padanya."
Rupanya kedua orang itu sudah biasa melihat orangorang
persilatan mencari Thio Su-liong, maka mereka
pun akhirnya mau juga membawa Kang Hay-thian ke
Cong-liong-poh. Semula Hay-thian tak mau merepotkan
orang, tapi kedua orang itu mengatakan bahwa mereka
toh menganggur.
"Eh, mengapa tiada tampak orang bekerja?" tanya
Hay-thian. "Karena kau sahabat Thio-toaya, biarlah
kuberitahu. Menurut kabar angin, katanya ada seorang
buronan penting bersembunyi dalam desa kami sini. Tak
lama lagi pihak yang berwajib akan melakukan
pembersihan, gerakan pembersihan itu selamanya
merupakan bencana. Jika tak dapat menangkap buronan,
rakyatlah yang menjadi korban. Ada yang dirampas
hartanya, ada yang kehilangan jiwanya. Hal itu sungguh
bukan main-main, oleh karena itulah maka penduduk
desa mengungsi, selesai pembersihan baru mereka
berani pulang kembali."
Kang Hay-thian terkejut, pikirnya, "Apakah pihak
pembesar negeri sudah mencium tentang Lim Jing

bersembunyi di sini. Tapi pesakitan yang begitu penting


masakah pihak pemerintah mau mengeluarkan berita
kemana-mana. Lalu siapa yang dimaksudkan ini?"
"Apakah Thio-toaya masih di rumah?" tanyanya.
"Pembesar negeri selamanya tak berani mengusik Thiotoaya.
Berita itu disampaikan pada Thio-toaya oleh
muridnya yang bekerja sebagai pegawai di kantor Koangi-
bun (kantor residen). Thio-toaya segera menyuruh
penduduk desa mengungsi, tapi dia sendiri tetap tinggal
di sini," kata orang itu.
"Keluhuran budi Thio Su-liong sungguh tak bernama
kosong. Kalau begitu, Lim Jing tentu sudah
meninggalkan tempat ini. Tapi karena sudah telanjur tiba
di sini, aku harus menanyakan hal itu kepadanya," pikir
Kang Hay-thian.
Kedua orang itu agaknya memperhatikan gerak-gerik
Kang Haythian, sebaliknya Kang Hay-thian pun mulai
memperhatikan mereka. Sebagai ahli persilatan, cepat ia
mengetahui kalau mereka berdua memiliki ilmu silat yang
tidak lemah.
"Tapi mengapa saudara berdua tak menyingkir?"
tanyanya pula.
"Kami ikut pada Thio-toaya dan sudah sebatang kara
jadi tak usah kuatir memikirkan rumah tangga. Thiotoaya
tidak pergi, kami pun tidak."
Kini Kang Hay-thian baru tahu bahwa kedua orang itu
ikut belajar silat pada Thio Su-liong. Tak berapa lama
tibalah mereka di Cong-liong-poh.

Cong-liong-poh (benteng naga bersembunyi) didirikan


di lamping gunung. Letaknya strategis sekali, maka
gedung itu benar-benar menyerupai sebuah benteng.
Kedua orang itu menarik genta di muka gedung sambil
berseru, "Ada tetamu jauh datang, sahabat yang
diundang Thio-toaya!"
Tak berapa lama pintu besi dibuka, seorang penjaga
keluar dan menatap tajam-tajam pada Kang Hay-thian,
tegurnya, "Kau mengaku sahabat dari Pohcu kami?
Tetapi Pohcu tak memberi pesan apa-apa kalau hari ini
bakal menerima tetamu. Siapakah namamu yang mulia?"
Tahu orang curiga, terpaksa Kang Hay-thian
memberitahukan sejujurnya, "Aku yang rendah ini ialah
Kang Hay-thian dari Soatang. Aku mempunyai urusan
penting hendak berjumpa dengan Pohcu."
Penjaga itu beraksi kaget, "Astaga, kiranya Kangtayhiap.
Harap tunggu sebentar, aku hendak melapor
pada Pohcu dulu."
Penjaga dan kedua orang tadi masuk ke dalam. Tak
berapa lama, pintu terbuka kembali, seorang lelaki yang
berjenggot cabang melangkah keluar. Dia mengawasi
Kang Hay-thian dari ujung kaki sampai ke atas kepala,
kemudian mengulurkan tangan, "Sungguh beruntung
dapat menerima kunjungan Kang-tayhiap. Maaf, maaf
terlambat menyambut!"
Berjabatan tangan sudah lazim dalam kalangan orang
persilatan. Kang Hay-thian pun segera mengangsurkan
tangannya. Tiba-tiba dia terkejut karena tangan tuan
rumah melancarkan tenaga Lwekang yang kuat sekali. Ia
memang belum kenal Thio Su-liong.

"Mungkin karena takut berhadapan dengan orang


yang mengaku sebagai diriku, maka dia lantas menguji
kepandaianku," pikirnya seraya mengerahkan tenaga
untuk menghalau Lwekang lawan. Tapi hanya menghalau
saja dan tidak diteruskan balas menyerang.
Waktu Lwekangnya hilang sirna seperti kelelap dalam
lautan, terkejutlah orang itu. Buru-buru ia menarik
pulang tangannya dan berseru, "Kepandaian Kangtayhiap
sungguh hebat sekali, aku orang she Thio
merasa kagum benar. Dunia persilatan penuh dengan
orang-orang jahat, terpaksa tadi aku berbuat begitu.
Harap Kang-tayhiap suka memaafkan."
Kang Hay-thian balas tertawa, "Ilmu Pik-lik-ciang Thiopohcu
benar-benar tak bernama kosong. Marilah kita
bicara dengan hati terbuka."
Setelah saling menguji Lwekang tadi. Kang Hay-thian
yakin bahwa orang yang berhadapan itu tentu Thio Suliong.
Thio Su-liong segera mengajak tetamunya masuk
ke dalam kamar pribadinya. Setelah menyuguhkan teh
wangi, segera ia menanyakan maksud kedatangan sang
tetamu.
"Apakah Lim-kaucu masih berada di sini?" Kang Haythian
menyahut dengan pertanyaan.
Tho Su-liong tersentak kaget, serunya, "Kang-tayhiap
mendapatkan berita darimana?"
"Harap Thio-pohcu jangan menaruh curiga.
Kedatanganku ini dengan maksud
Thio Su-liong menukas ucapan sang tamu dengan
tertawa gelak-gelak, "Mana aku berani mencurigai Kangtayhiap,
hanya saja urusan ini penting sekali. Entah

mengapa berita itu sampai bocor keluar, maukah Kangtayhiap


memberitahukan?"
Kang Hay-thian segera menuturkan apa yang
didengarnya dari kedua perwira tempo hari, juga tentang
Li Kong-he yang ditipu oleh Liok Khik-si dan kemalangan
yang menimpa diri Thia Pek-gak diceritakan juga.
"Menurut dugaanku, berita itu tentu diperoleh Lok
Khik-si dari putra Li Bun-sing itu dan Lok Khik-si
mengirim laporan pada pihak kerajaan. Dikuatirkan
dalam beberapa hari ini kawanan Ko-chiu istana akan
berdatangan kemari. Dalam rangka itulah aku datang
kemari untuk menyampaikan beritanya," kata Kang Haythian.
Thio Su-liong tampaknya menyesal atas kemalangan
yang menimpa Li Bun-sing dan putranya yang hilang tak
berbekas itu. Rupanya orang itu baru pertama kali
mendengar tentang berita Li Bun-sing.
"Untuk sementara ini anak itu tentu tidak berbahaya
keselamatannya. Kelak kita akan melanjutkan lagi
mencarinya, tetapi yang kita hadapi sekarang adalah
keselamatan diri Lim-kaucu. Kabarnya pihak yang
berwajib akan mengadakan razia, apakah mereka sudah
menciumnya? Apakah Lim-kaucu sudah meninggalkan
tempat ini?"
"Ini ... ini ... hm, ada sedikit perkembangan dalam
urusan ini. Kang-tayhiap, silakan minum dulu. Nanti
kuceritakan sejelas-jelasnya." sahut tuan rumah.
Setelah menempuh perjalanan yang sedemikian
jauhnya, tenggorokan Kang Hay-tian serasa kering sekali,
jangankan teh wangi, sekalipun air tawar, tentu akan

diteguknya habis. Maka tanpa dipersilakan untuk kedua


kali, dia terus menenggaknya dan terasalah teh yang
segar itu.
"Hebat, teh yang hebat!" ia memuji.
"Itulah Hun-bu-teh yang dibawa seorang sahabat. Jika
Kang-tayhiap suka, minumlah semangkuk lagi," kata tuan
rumah.
"Mangkuk pertama untuk menghapus dahaga.
Mangkuk kedua, boleh perlahan-lahan dinikmati. Thiopohcu,
bagaimana sebenarnya keadaan Lim-kaucu?"
"Baik-baik saja. Sebenarnya dia bersembunyi di sini,
tapi di luar dugaan dua hari yang lalu telah terjadi suatu
perubahan. Hehe, benar-benar suatu kejadian yang tak
tersangka-sangka tuan rumah terbatuk-batuk dan
menghela napas.
"Hal yang tak tersangka-sangka bagaimana?" Kang
Hay-thian makin gelisah. Diam-diam ia mendongkol
melihat sikap tuan rumah yang begitu seenaknya.
Orang she Thio itu mengatupkan matanya dan berkata
dengan perlahan-lahan, "Kang-tayhiap tak perlu gelisah.
Biarlah kuceritakan yang jelas. Hm, kejadian tak
tersangka-sangka itu ..." "
Kang Hay-thian melihat sorot mata tuan rumah itu
agak tidak wajar, tiba-tiba ia merasakan perutnya sakit.
Ia mengerutkan alis, sengaja pura-pura ia terhuyunghuyung.
Thio Su-liong segera berseru, "Kejadian yang tak
tersangka-sangka itu ... haha, roboh, robohlah!"

"Siapa kau ini, bangsat?! Berani mencelakai diriku!"


serentak sambil memelompat Kang Hay-thian lantas
menghantamnya. "Biang", rupanya lelaki yang mengaku
sebagai Thio Su-liong itu sudah siap sedia. Ia
menghindar dan meja segi delapanlah yang hantur
berkeping-keping.
Lelaki brewok itu tertawa gelak-gelak, "Berjalan tak
mengganti nama, duduk tak perlu merubah she. Aku
adalah Co Bong, wakil pemimpin Gi-lim-kun. Kangtayhiap,
kau telah minum teh wangi istimewa istana yang
terbikin dari Ho-ting-hong dan Khong-jiok-tan.
Pantangannya tak boleh marah! Kalau kau mau berkelahi
berarti mempercepat kematianmu. Haha, yang kumaksud
sebagai kejadian tak tersangka-sangka itu ialah ini,
mengertikah kau?"
"Bangsat anjing, kau akan kumampuskan dulu!" teriak
Kang Hay-thian seraya mengejar dan melepaskan
beberapa pukulan. Tetapi karena beberapa hari ini dia
terus menerus melakukan perjalanan, maka biarpun
berotot kawat bertulang besi, dia letih juga. Sambil
mundur, Co Bong dua kali menangkis dengan tenaga
penuh, tapi herannya. Kang Hay-thian tetap tak roboh.
"Dia minum racun yang jarang terdapat, toh masih
begitu hebat. Sungguh tak bernama kosong!" pikirnya,
kemudian ia tertawa, "Kang-tayhiap, tenagamu sudah tak
memenuhi kehendakmu! Lebih baik kita bersahabat saja.
Apakah kau tak menghendaki obat pemunahnya?"
Sebenarnya ia hendak mengulur waktu agar racun di
tubuh Hay-thian lebih keras bekerjanya, tetapi Hay-thian
tak kena ditipu. "Aku menghendaki jiwamu!" serunya
sembari mengejar dengan pukulan.

Tiba-tiba terdengar orang tertawa, "Kang-tayhiap,


sudah lama kami menantikan kedatanganmu di sini.
Sungguh beruntung sekali kau sudi kemari, harap kau
suka memberi petunjuk dua-tiga jurus padaku!"
Segera dua arus tenaga menyambar dari sebelah
kanan kiri. Telinga Kang Hay-thian yang tajam dapat
membedakan bahwa penyerangnya dari sebelah kiri
menggunakan Bian-ciang (pukulan kapas), sedang yang
dari kanan menggunakan semacam senjata tajam.
"Biang", Kang Hay-thian membalikkan tangan
menggempur mundur penyerang dari kiri, kemudian
secepat kilat menotokkan jari tengah untuk menjatuhkan
senjata si penyerang dari kanan. Sekali gerak Kang Haythian
dapat menghalau dua penyerang gelap. Dari
gebrakan itu dapatlah ia mengukur tenaga kepandaian
orang. Orang yang menyerang dengan senjata itu
kepandaiannya biasa saja, sebaliknya penyerang dari
sebelah kiri itu hebat sekali kepandaiannya. Paling tidak
tentu tak di bawah wakil pemimpin Gi-lim-kun, Co Bong.
Walaupun dapat menggagalkan serangan kedua
penyerang itu, ia tetap tak menghentikan serangannya
kepada Co Bong. Cepat Co Bong mendorong kedua
tangannya untuk menangkis, setelah itu ia cepat
menyingkir ke samping.
"Apakah kalian yang mencuri kuda pada malam itu,"
Kang Hay-thian berpaling ke arah kedua penyerang tadi.
"Kang Hay-thian, sungguh tajam pandanganmu.
Tetapi ucapanmu itu salah, kami hanya meminjam kuda
kawan kami, bagaimana dapat dikatakan mencuri? Hanya
karena kami terpaksa juga melukai kudamu, biarlah kami
minta maaf," sahut orang itu.

Pada malam itu Kang Hay-thian hanya melihat


bayangan mereka, sekarang barulah ia dapat mengetahui
jelas wajah mereka. Yang memakai senjata itu seorang
bertubuh gemuk, berusia 50-an tahun dan dahinya
terdapat daging menonjol (uci-uci).
Senjatanya menyerupai Boan-koan-pit yang ujungnya
bercabang, warnanya hitam.
Segera Kang Hay-thian berseru, "Kaulah Tok-hak-lok
yang menipu anak Li Bun-sing, kau ..."
"Yo Tun-hou dari Ki-lian-san beruntung dapat bertemu
Kang-tayhiap, Sam-te kami telah jatuh di tangan
orangmu. Hehehe, orang yang sempit hati bukan ksatria,
orang yang tidak ganas bukan orang lelaki. Kangtaythiap,
sekarang kau jatuh ke tangan kami, lekas kau
serahkan jiwamu saja!" tukas lelaki tinggi yang lain.
"Kawanan manusia srigala! Hm, ha, boleh coba-coba
mencelakai aku dengan cara keji, mungkin takkan
kesampaian maksudmu!" bentak Kang Hay-than.
Tangannya bergerak-gerak, menotok ke timur dan
menghantam ke barat, menotok ke selatan menghantam
ke utara. Co Bong dan Yo Tun-hou masih dapat
menghadapi, tapi Lok Khik-si hanya memutar senjatanya,
Lok-kak-jat, dan tak berani mendekati.
Di antara ketiga orang itu adalah Lok Khik-si yang
paling culas dan licik. Karena tak dapat merapat, ia
mengerut dahi. Sesaat ia mendapat akal, serunya sambil
tertawa, "Kang-tayhiap bukankah kedatanganmu ini
adalah karena Lim Jing? Kau ingin mengetahui dirinya
tidak? Ai, sayang, sayang."

Kang Hay-thian menggerung keras, dengan gerak


Eng-hik-tian-khong atau elang menyambar dari langit, ia
memelompat menyambarnya. Buru-buru orang she Lok
itu memijat Lok-kak-jat, senjata itu ternyata berisi anak
panah beracun. Secepat kilat anak panah itu mengarah
muka Kang Hay-thian.
Karena di atas udara, Hay-thian tak dapat
menghindar. Cepat ia mengangakan mulut dan menggigit
tangkai panah. Tapi pada saat itu Co Bong sudah
menghantam punggungnya, Hay-thian melontarkan
sebuah Pik-khong-ciang yang membuat Lok Khik-si
jungkir balik. Untung karena sedang menggigit anak
panah, gerakan Kang Hay-thian agak tak leluasa. Coba
jika tidak, tentu Lok Khik-si sudah amblas jiwanya.
Saat itu pukulan Co Bong pun sudah tiba. Walaupun
sudah terkena racun, tapi tenaga dalam Kang Hay-thian
masih cukup kuat. Co Bong seperti menghantam papan
besi. Kang Hay-thian hanya bergoyang sekali, sebaliknya
Co Bong terhuyung mundur sampai tiga langkah. Belum
lagi ia berdiri tegak, tiba-tiba Kang Hay-thian berputar
tubuh dan menyemburkan panah yang digigit di
mulutnya tadi.
"Tak apa aku bertambah sedikit racun lagi, kau pun
harus turut merasakan racun itu!" Kang Hay-thian
tertawa dingin.
Karena masih terhuyung, Co Bong tak dapat
menghindari bahunya termakan anak panah beracun itu.
Meskipun tak sehebat racun di tubuh Kang Hay-thian,
tapi juga racun yang mematikan. Kalau Kang Hay-thian
seolah-olah tak menghiraukan, sebaliknya Co Bong
ketakutan setengah mati.

"Lok-lotoa, lekas berikan obat penawar padaku!" ia


gugup sekali.
Tapi saat itu Lok Khik-si masih belum berbangkit
akibat hantaman Kang Hay-thian tadi, sedang Kang Haythian
setelah berhasil menghantam mundur Yo Tun-hou,
cepat berputar rubuh terus menyambar tangan Co Bong.
"Berikan obat penawar padaku, baru nanti kulepas!"
bentak Kang Hay-than dengan bengis.
Diam-diam Co Bong mengeluh, kiranya racun itu ia
peroleh dari Thay-kam yang mengurus gudang obatobatan
istana, racun boleh diberikan pada para menteri,
baik untuk keperluan bunuh diri atau membunuh orang,
tetapi obat penawarnya tidak boleh diminta. Sudah tentu
Co Bong tak dapat memenuhi permintaan Kang Haythian.
Setelah berdiri tegak, Lok Khik-si berseru mengejek,
"Kau masih menghendaki jiwa Lim Jing atau tidak?"
"Apa?" bentak Hay-thian.
"Obat penawarnya tidak ada, tetapi dengan
kepandaiannya, belum tentu kau akan mati. Kini aku
hendak melakukan barter denganmu. Lim Jing memang
sudah kami tawan, jika kau menghendaki jiwanya, kita
saling tukar, Lim Jing kuberikan padamu, kau berikan Cocujin
padaku," kata Lok Khik-si.
"Kasih aku lihat Lim Jing dulu!" sahut Kang Hay-thian.
"Sudah tentu. Kita tukar menukar secara adil,
masakah aku akan menipumu lagi. Tunggu, segera akan
kubawa Lim Jing keluar," ujar orang she Lok itu.

Kang Hay-thian memperhatikan lirik mata Lok Khik-si


yang mencurigakan. Tiba-tiba ia mendapat pikiran, "Ah,
tidak. Jika Lim Jing sudah jatuh ke tangan mereka,
masakah mereka tidak lekas mengirim ke kotaraja tetapi
malah mengeramnya di sini?" Maka ia lantas mendengus,
Co Bong dijinjingnya terus digusur keluar.
"Kang-tayhiap, mengapa kau tak bisa pegang
perkataanmu itu? Bukankah kau datang kemari hendak
menyampaikan berita pada Lim Jing? Mengapa sekarang
tidak mau memyelamatkannya?"
"Menyingkirlah! Siapa yang berani bergerak, Cotayjinmu
ini tentu akan kubunuh lebih dulu!" Hay-thian
mengancam sambil menggusur Co Bong keluar.
Yo Tun-hou yang kepandaiannya tinggi segera tahu
kalau hawa dalam Kang Hay-thian itu sudah tak penuh.
Nadanya agak gemetar, ia menimang, "Rupanya racun
dalam tubuhnya sudah mulai bekerja. Jika sekarang tak
turun tangan, di kemudian hari tentu menjadi bahaya
besar. Jiwa Co Bong tak usah dihiraukan."
Sekonyong-konyong Kang Hay-thian merasakan
kepala puyeng, tindakannya terhuyung. Yo Tun-hou
cepat melesat, menggerung keras sembari mengait
dengan kaki, tapi Kang Hay-thian terjerembab ke
belakang. Jatuhnya tepat membentur dada Yo Tun-hou,
orang she Yo itu mencelat terjungkir ke atas. Tetapi
karena jatuhnya itu, tangan Kang Hay-thian pun agak
kendor. Co Bong bukan jago lemah, melihat kesempatan
itu, ia segera meronta sekuat-kuatnya dan berhasillah ia
terlepas dari cengkeraman Kang Hay-thian. Cepat ia
berlari ke tempal Lok Khik-si dan meminta obat.

Kang Hay-thian menggerung keras terus mengejar,


tetapi matanya makin gelap. Dalam pandangannya ia
hanya melihat segumpal bayangan hitam. "Brak", ia
menghantam, tapi yang hancur hanyalah sebuah bangku
panjang. Tenyata bangku itu memang didorong ke muka
oleh Lok Khik-si. Celakanya, Kang Hay-thian mengangap
bangku sebagai orang.
Setelah mendapat obat, Co Bong cepat meminumnya.
Teringat hampir saja jiwanya amblas di tangan Kang
Hay-thian, ia menjadi jeri. Buru-buru ia hendak merat
keluar, tapi Yo Tun-hou cepat melompat menghadang,
"Jangan takut, dia lebih parah lukanya. Co-tayjin,
kesempatan baik sukar didapat. Jika melepaskan harimau
pulang ke gunung, kelak tentu menjadi bahaya besar!"
Co Bong berpikir, dengan kepandaiannya yang sakti,
jika Kang Hay-thian sampai lolos, belum tentu akan mati
karena racun Ho-ting-hong dan Khong-jiok-tan. Begitu
sembuh tentu akan melakukan pembalasan, Sekalipun ia
bersembunyi di dalam istana juga tak terjamin jiwanya.
Akhirnya ia mengambil keputusan. Daripada hidup
dalam ketakutan, lebih baik sekarang mengadu jiwa saja.
"Ayo, majulah kawan-kawan!" teriaknya kepada orangorangnya.
Kiranya sehari sebelum Kang Hay-thian datang, Congliong-
poh sudah diserang dan diduduki, yang
merencanakan penangkapan Kang Hay-thian itu ialah Lok
Khik-si.
Kali ini yang datang hendak menangkap Lim Jing
dibagi menjadi tiga gelombang, semuanya menuju ke
Cong-liong-poh. Dua perwira yang dijumpai Kang Haythian
di hotel tempo hari adalah salah satu regu mereka.

Mereka mendapat tugas untuk lebih dulu datang ke Bici


memberitahukan pada pembesar setempat supaya
mempersiapkan gerakan razia itu.
Yo Tun-hou dan Lok Khik-si sebenarnya termasuk
anggota regu itu, tetapi karena kuda mereka tak sehebat
kuda perwira itu, apalagi karena perwira-perwira itu
temaha hendak merebut jasa, mereka meninggalkan Yo
Tun-hou dan Lok Khik-si di belakang. Yo Tun-hou dan
Lok Khik-si baru malamnya tiba di hotel itu. Sebelum
masuk, lebih dulu mereka melihat adanya dua ekor kuda
bagus. Lok Khik-si mengenali kuda putih Pek-liong-ma
itu, yang pernah dinaiki oleh putri Kang Hay-thian.
Bahwa Kang Hiau-hu menderita luka berat dan sedang
beristirahat di rumah, diketahui pasti oleh Lok Khik-si,
maka ia yakin yang naik kuda putih itu tentulah Kang
Hay-thian sendiri. Maka ia buru-buru mengajak Yo Tunhou
menukar kudanya dengan kuda kedua perwira itu,
terus dibawa kabur lebih dulu. Dan ketika Kang Hay-thian
mengejar keluar serta melontarkan pukulan Pik-khongciang,
Lok Khik-si menduga kedua perwira temannya itu
tentu sudah diganyang oleh Kang Hay-thian.
Rombongan kedua terdiri dari Co Bong dan tujuh
orang Wi-su istana. Rombongan itu adalah regu inti
untuk menangkap Lim Jing, sedang rombongan ketiga
hanyalah disiapkan sebagai bala bantuan, mereka datang
belakangan.
Lok Khik-si dan Yo Tun-hou siang-malam melakukan
perjalanan. Begitu tiba di Bici mereka segera
mengerahkan tentara setempat, lalu menyerang Congliong-
poh, tetapi mereka tak berhasil menangkap Lim
Jing dan Thio Su-liong. Lok Khik-si tak mau berhenti
sampai di situ, segera ia mengatur rencana untuk

meringkus Kang Hay-thian. Para serdadu disuruh


menyaru sebagai penjaga untuk menunggu kedatangan
Kang Hay-thian atau sahabat-sahabat Thio Su-liong dan
Lim Jing yang datang.
Memang pukulan Co Bong dahsyat sekali, apalagi ia
pernah belajar ilmu pukulan Pik-lik-ciang, maka dia yang
menyaru menjadi Thio Su-liong. Dahulu Thia Pek-gak
pernah menyuruh bujang rumahnya untuk menyaru
menjadi dirinya (Thia Pek-gak) untuk menghadapi Lok
Khik-si, sekarang Lok Khik-si hendak meniru siasat itu.
Hanya saja bedanya ia hendak membunuh Kang Haythian,
maka caranya pun lebih keji.
Ketujuh Wi-su itu menjaga di delapan penjuru sudut
gedung. Ketika mendengar teriakan Co Bong, enam Wisu
segera muncul dan mengepung Kang Hay-thian.
Karena matanya pudar. Kang Hay-thian hanya
mengandalkan suara angin untuk menghindari serangan
musuh dan balas menyerangnya. Sekalipun tenaganya
sudah banyak berkurang, namun tetap masih jauh lebih
kuat dari kawanan Wi-su itu. Co Bong dan Yo Tun-hou
karena sudah terluka, mereka tak mau bertempur matimatian,
mereka hanya menyuruh kawanan Wi-su untuk
mengurung Kang Hay-thian.
Dua Wi-su yang coba-coba maju merapat, telah kena
disambar dan dibanting oleh Kang Hay-thian. Yang
empat hanya berani main gertak dan berlagak saja, tapi
tak berani maju mendekat.
"Kini tiba saatnya, Co-tayjin, mari kita maju
berbareng!" akhirnya Yo Tun-hou mengajak kawannya
setelah jelas mengetahui tenaga Kang Hay-thian mulai
lemah.

Sekonyong-konyong Kang Hay-thian duduk di tanah


dan berseru tawar, "Benar, memang sudah tiba saatnya,
majulah kalian!"
Co Bong dan Yo Tun-hou terkesiap, pikirnya, "Apakah
tenaganya masih belum habis dan hanya pura-pura
hendak menjebak musuh?" Keduanya ragu-ragu tak
berani maju.
Kang Hay-thian menggigit jari tengahnya, darah
memancur keluar, warnanya hitam. Habis itu ia
menggerung keras terus memlompat menghantam dua
orang Wi-su sehingga terjungkir balik. Kiranya dengan
kepandaiannya yang sakti. Kang Hay-thian dapat
mengerahkan darahnya yang beracun ke ujung jari dan
dipancurkan keluar. Memang hal itu merupakan
pertolongan darurat, tapi hawa dalam tubuhnya terluka.
Ini berarti ia kehilangan sepuluh tahun pemupukan
tenaga dalam. Dan toh dengan berbuat begitu ia tetap
hanya dapat bertahan untuk sementara dan tak dapat
bertempur lama.
Co Bong yang pernah merasakan hajaran orang,
begitu melihat Kang Hay-thian semangatnya menyala
kembali, kejutnya bukan kepalang. Tanpa banyak pikir
lagi, bahkan tanpa mengajak kawannya, ia lari sipatkuping.
Untung Kang Hay-thian lebih membenci Lok
Khik-si daripada Co Bong, ia tak menghiraukan Co Bong,
sebaliknya maju selangkah lantas menghantam Lok Khiksi.
Lok Khik-si buru-buru menusuk dengan senjatanya.
Hay-thian membentaknya dan dengan suatu gerakan
yang luar biasa, direbutnya senjata itu terus ditusukkan.
Lok Khik-si tak berani menangkis, ia menghindar ke

belakang Yo Tun-hou, tapi Tun-hou pun tak berani


menangkis. Karena kepandaiannya lebih tinggi dari Lok
Khik-si, ia masih dapat menolak tangkai Lok-kak-jat itu
ke samping. Yang celaka adalah Lok Khik-si, ia tak
sempat menghindar dan bahunya tertancap senjatanya
sendiri. Untung karena tolakan Yo Tun-hou tadi tenaga
tusukan Kang Hay-thian sudah berkurang. Coba kalau
tidak, tentu tulang pundaknya akan tertembus dan dia
tentu akan menjadi seorang cacad.
Ancaman maut itu membuat Lok Khik-si dan Yo Tunhou
berantakan nyalinya. Juga keenam Wi-su itu, karena
ada beberapa yang terluka, mereka juga lari kabur.
Ketika Kang Hay-thian mengejar keluar, dari kejauhan
terdengar Co Bong berseru, "Lekas bawa pesakitan itu!"
Kang Hay-thian terkesiap, pikirnya, "Apakah
prasangkaku keliru? Apakah Lim Jing benar sudah jatuh
di tangan mereka?"
Para Wi-su itu mengikuti jejak Co Bong berlari keluar
pintu besar, hanya ada seorang Wi-su yang berlari
dengan mengambil jalan dari pintu belakang. Buru-buru
Kang Hay-thian mengejar, pada saat hanya tinggal
beberapa langkah saja akan dapat membekuk Wi-su itu,
tiba-tiba Lok Khik-si menimpukkan sebatang panah
beracun ke punggung si Wi-su. Ketika Kang Hay-thian
tiba, Wi-su itu sudah tak bernapas lagi.
Kang Hay-thian marah sekali, ia putar tubuh dan
mengejar mereka lagi. Tapi baru beberapa langkah, ia
merasa tenaganya makin lemah, ia himpun semangatnya
dan berseru sekuat-kuatnya, "Hai, kalian harus segera
meninggalkan Bici, kalau kutemukan masih di sini, satu
pun tak akan kuberi hidup!"

Dia menggunakan ilmu Say-cu-hwe-kang atau ilmu


auman singa, meskipun tenaga dalamnya berkurang tapi
gerungan itu cukup membuat telinga mereka serasa
pecah. Sebenarnya tanpa Kang Haythian berteriak begitu
toh mereka sudah lari sekuat-kuatnya. Serdadu-serdadu
yang menyamar menjadi bujang Cong-liong-poh, karena
melihat Co Bong dan lain-lain sudah lari, mereka juga
lantas lari mencari selamat sendiri-sendiri.
Di, dalam gedung Cong-liong-poh menjadi sunyi
senyap. Diam-diam Kang Hay-thian bersyukur, coba
musuh kembali mengurungnya, ia tentu akan mati.
Segera ia minum sebutir pil yang meskipun bukan obat
penawar, tapi dapat dibuat mengembalikan tenaganya
yang habis. Ia sudah menyalurkan keluar darahnya yang
kena racun. Kalau la mau beristirahat menyalurkan
Lwekang, dalam tiga hari tentu akan bisa sembuh.
"Mereka lari ke Koang-seng, tentu akan mengirim
pasukan kemari pula. Aku tak boleh tinggal lebih lama di
sini. Tetapi siapakah yang disebut pesakitan oleh Co
Bong tadi? Aku harus memeriksanya!" Habis berpikir
begitu, ia segera mengheningkan cipta. Tiba-tiba dari
bawah tanah seperti terdengar suatu suara. Ia
mengerutkan kening, pikirnya, "Tentu ada terowongan
rahasia, tapi entah dimanakah pintunya?"
Ia bimbang memikirkannya. Meninggalkan tempat itu
karena kemungkinan datangnya tentara pemerintah atau
berusaha mencari terowongan di bawah tanah ataupun
meninggalkan tempat itu lebih dulu untuk merawat
sakitnya, begitu sudah baik baru kembali ke situ?
Selagi ia menimang-nimang, tiba-tiba terdengar suara
keresekan dari kamar penyimpanan kayu bakar dan

muncullah seorang. Umurnya di antara 50-an tahun,


rambutnya banyak beruban, punggungnya sedikit
bungkuk.
"Kau siapa?" tegur Hay-thian.
"Kudengar mereka menyebut kau sebagai Kangtayhiap.
Benarkah kau adalah Kang Hay-thian Tayhiap
dari Soatang?" orang tua itu balas bertanya.
"Sebutan Tayhiap, aku merasa tak pantas memakai.
Memang benar akulah Kang Hay-thian," sahut Hay-thian.
Orang tua itu mengganguk, "Kau dapat mengusir
kawanan bangsat itu, aku percaya kau tentu Kang Haythian.
Aku adalah bujang tua keluarga Thio!" Habis
berkata orang tua itu lantas menjura memberi hormat
tiga kali.
Hay-thian tersipu-sipu mengangkatnya bangun.
"Mohon Kang-tayhiap suka menolong Lim-siauya,"
kata bujang tua itu.
"Apa? Lim-siauya?" Kang Hay-thian tersentak kaget.
"Ya, putra Lim-kaucu," sahut bujang tua itu. "Apa? Putra
Lim Jing jatuh ke tangan mereka? Cara bagaimana
menolongnya?" seru Hay-thian.
"Ikutlah padaku," kata bujang itu.
Sambil mengikuti, Kang Hay-thian bertanya apakah
Lim Jing berada di Cong-liong-poh situ.
Bujang tua itu menghela napas, lalu katanya, "Waktu
tentara pemerintah menyerang Cong-liong-poh, dengan
membawa putranya, Lim-kaucu sebenarnya sudah
berhasil menerobos keluar. Tetapi karena Thio-pohcu
kami masih di belakang dan terkepung, Lim-kaucu masuk

kembali untuk menolong Pohcu. Kasihan, karena tak


dapat melindungi keduanya, akhirnya putra Lim-kaucu
jatuh ke tangan mereka. Pohcu kami menderita luka,
namun beliau tetap mengajak Lim-kaucu masuk kembali
untuk menolong Lim-siauya. Tetapi Lim-kaucu lantas
menotok jalan darah Thio-pohcu dan memanggulnya lari.
Untuk kepentingan Pohcu kami, Lim-kaucu rela
mengorbankan putranya sendiri!"
Kang Hay-thian menghela napas, "Itulah baru
sepasang sahabat yang sejati. Pak tua mengapa kau
masih berani tinggal di sini?"
Bujang tua itupun menghela napas, "Aku tak dapat
lolos dan ditangkap. Yang turut ditangkap berjumlah 6-7
orang dan dimasukkan ke dalam tahanan. Aku pura-pura
berlaku sebagai orang gagu tuli. Kawanan perampok itu
membiarkan aku tinggal di sini untuk mencari air dan
membelah kayu."
Saat itu mereka tiba di ujung lorong. Bujang tua itu
membuka sebilah papan batu dan terbukalah sebuah
mulut terowongan. Ujarnya, "Di dalam terowongan ini
terdapat penjara di bawah tanah. Eh, apakah kau
mendengar suara gemerincing senjata? Kuduga Limsiauya
tentu dimasukkan dalam penjara bawah tanah
sini."
Kang Hay-thian menyulut api, bersama bujang tua itu
bergegas mereka menuju ke sebuah kamar batu. Suara
orang bertempur makin terdengar jelas. Kang Hay-thian
coba mendorong pintu batu, tapi sedikltpun tak
bergeming.
Bujang itu terengah-engah, ujarnya, "Celaka, celaka!
Pintu batu ini dipalang dari dalam!"

Sayang pedang pusaka Cay-in-po-kiam milik Kang


Hay-thian sudah diberikan kepada putrinya. Coba ia
masih membawanya, tentu tak sukar untuk membelah
pintu batu itu. Sesakti-saktinya, ia tetap tak mampu
mendobrak pintu itu, apalagi kini tenaganya masih belum
oulih kembali.
"Lim-siauya, apakah kau di dalam? Apakah kau
mendengar suaraku? Jawablah!" bujang tua itu berteriak.
"Ya, akulah paman Thio! Bagaimana dengan ayahku?"
terdengar suara seorang anak kecil menyahut dari dalam.
Kang Hay-thian menyatakan kelegaannya karena anak
itu masih sehat-sehat saja, tapi sekonyong-konyong
terdengar anak itu menjerit kesakitan. Kiranya waktu
menyahut pertanyaan bujang tua tadi, perhatian anak itu
terganggu dan pundaknya kena dimakan ujung golok
lawan.
"Lim-siauya, lekas buka pintu. Aku dan Kang-tayhiap
datang menolongmu!" karena kuatir bujang tua itu
berteriak-teriak lagi.
Dari sebelah dalam terdengar dering senjata makin
riuh Nyata anak itu didesak makin gencar sehingga tak
sempat lagi membuka pintu. Tiba-tiba terdengar seorang
Wi-su tertawa mengejek, "Aha, kiranya Kang-tayhiap
juga datang. Bagus, lekas suruh setan kecil itu
menyerah, kalau tidak, boleh dibereskan saja!"
Kang Hay-thian hanya menggigit giginya kencangkencang.
Beberapa saat kemudian, kembali Wi-su itu berteriak,
"Pesakitan cilik, lemparkan rantai itu ke tanah. Kuhitung

tiga kali, jika membangkang, akan kukutungi tubuhmu.


Satu, dua
"Lim, Lim ..." bujang tua berseru terguguk-guguk.
Kang Hay-thian segera mendekap mulut bujang itu
dan membisikinya, "Jangan takut, tak nanti dia berani
membunuhnya!"
"Tiga ..." terdengar mulut si Wi-su berseru.
Kemudian terdengar suara anak itu menggeram,
"Kalau kau membunuh aku, ayahku tentu akan
membalasmu! Aku tak takut!"
Langkah kaki memburu, dering senjata beradu.
Benarlah, anak itu tak dibunuh. Diam-diam Kang Haythian
terkejut girang, pikirnya, "Anak ini serupa dengan
anak Li Bun-sing, nyalinya besar sekali. Harimau tentu
beranak harimau, kiranya memang benari"
Ia menduga Wi-su itu tentu tak berani membunuh
putra Lim Jing dan hanya akan dijadikan sebagai barang
tanggungan. Karena Wi-su itu tak mengetahui keadaan
di luar, dia merasa kuatir kalau-kalau Thio Su-liong
datang ke Cong-liong-poh lagi. Kalau mengerahkan
orang untuk menghancurkan pintu batu itu, tentu dalam
setengah hari saja akan sudah terbuka.
Sudah tentu ia tak mengetahui bahwa sebenarnya
Kang Hay-thian juga gelisah untuk lekas meninggalkan
tempat itu, karena kuatir tentara pemerintah akan
datang. Dua macam perasaan mencengkeram hati Kang
Hay-thian. Pertama, ia girang akan kegagahan putra Lim
Jing itu, tapi dia pun gelisah, juga karena tak dapat
menolongnya.

Selagi ia dalam kegelisahan itu, tiba-tiba terdengar


suara berkeretak keras, semacam benda yang terpapas
golok. Tahu-tahu bujang tua itu menjerit dan menangis
gerung-gerung. Kiranya ia mengira tentulah kepala putra
Lim Jing sudah dipenggal.
"Hanya membacok kayu, jangan menangis. Aku punya
akal!" bisik Kang Hay-thian. Rupanya karena percaya
akan ucapan Kang Hay-thian, bujang tua itu berhenti
menangis.
Seru Kang Hay-thian, "Miring ke kanan tiga langkah
gunakan Pah-ang-pian-ciok. Benar, lalu jurus Poan-liongyu-
poh dan cepat-cepat Thiat-so-heng-kang. Ganti jurus,
Hwe-liong-soh-liu, Lian-hoan-sam-si
Kiranya walaupun tenaganya berkurang, tapi
kepandaian mendengar angin membedakan senjata
masih lihai. Jelas didengarnya bahwa putra Lim Jing itu
menggunakan rantai untuk melawan golok si Wi-su. Anak
itu menggunakan permainan Utti-pian-hwat (ilmu pian
dari keluarga Utti), sedang si Wi-su menggunakan ilmu
golok Ngo-toan-bun-to. Sebenarnya permainan anak itu
cukup lihai, hanya sayang kurang pengalaman, tak tahu
bagaimana harus memecahkan permainan golok lawan.
Anak itu bernama Lim To-kan, umurnya baru 12
tahun. Tapi bagaimana ia dapat memperoleh rantai besi
itu? Sebenarnya rantai besi itu digunakan untuk merantai
kakinya. Wi-su yang menjaganya berpangkat Si-wi kelas
dua dari Gi-lim-kun. Karena terlalu menyombongkan
kepandaiannya yang tinggi, ia tak memandang sebelah
mata sama sekali terhadap anak itu. Karena sehari
suntuk menjaga Lim To-kan, ia merasa sebal dan
mengantuk. Lebih dulu ia ikatkan ujung rantai pada

tiang, kemudian tangan Lim To-kan diborgol. Ia anggap


sudah kuat penjagaannya.
Tetapi borgolan itu sebenarnya diperuntukkan orang
besar, maka waktu dipasang di tangan To-kan tak begitu
kencang. Semasa kecil To-kan pernah belajar ilmu Sutkut-
kang (menyurutkan tulang) dari seorang anggota
rombongan sulap, permainan 'menerobos lingkaran'
adalah menggunakan ilmu Sut-kut-kang itu. Waktu Kang
Hay-thian bertempur seru di atas tadi, kebetulan si Wi-su
sedang tidur pulas, sebaliknya To-kan mendengar jelas.
Lim To-kan bernyali besar dan berotak cerdas. Ia
menduga tentu ayah dan paman Thio Su-liong yang
kembali. Tak mau ia sia-siakan kesempatan itu dan
berhasillah ia meloloskan tangan dan kaki dari rantai
borgol. Waktu si Wi-su bangun, To-kan sudah siap
melawannya dengan rantai kaki yang dimainkan seperti
pian.
Bagaimanapun tenaga anak itu kalah dengan orang
tua. Untung ia tangkas dan mempunyai senjata hingga
dapat bertahan lama, tapi akhirnya ia pun terdesak,
bahkan terluka. Dalam detik-detik berbahaya dimana dia
terancam, tiba-tiba terdengar Kang Hay-thian dari
sebelah luar memberi petunjuk gerak-gerak jurus yang
harus dimainkan. Semangat To-kan timbul kembali,
tanpa banyak berpikir, ia ikuti petunjuk-petunjuk Kang
Hay-thian itu untuk melawan musuh. Hal itu tak ubahnya
seperti Kang Hay-thian meminjam tangan si bocah untuk
menyerang Wi-su itu. Setiap gerakannya tentu selalu
mendahului gerakan lawan, sekalipun tenaganya lemah
dan pengalaman kurang, tapi dengan menyerang dulu,
To-kan dapat mengatasi lawannya. Hanya sepuluh jurus,

lutut Wi-su kena sabetan rantai hingga terhuyunghuyung.


"Ayo, berlututlah di hadapan leluhur cilik!" teriak Tokan.
Pada lain saat paha si Wi-su menerima tiga kali
sabetan rantai yang cukup keras. "Bluk", robohlah jago
istana itu.
To-kan lalu mencari kunci di tubuh si Wi-su, kemudian
membuka pintu mempersilakan Kang Hay-thian dan
bujang tua masuk. Setelah bertempur seru dan
mendapat luka, pakaian To-kan sudah berlumuran darah,
dia seperti habis mandi darah.
Bujang tua memeluknya erat-erat, dia menangis
karena girangnya, "Syukur Tuhan maha adil sehingga
jiwamu tertolong. Lekas haturkan terima kasih pada
Kang-tayhiap. Astaga, lukamu begini berat, darah masih
terus mengalir!"
"Jangan terburu-buru menghaturkan terima kasih, sini
kuperiksa lukamu," kata Kang Hay-thian dan dengan
bantuan lentera di kamar situ segera ia memeriksa.
"Untung tak sampai kena tulang. Nanti setelah kulumuri
obat tak sampai tiga hari tentu sembuh."
"Paman Thio. dimana ayah dan paman Thio Su-liong?"
tanya To-kan.
"Jangan kuatir, Siauya, mereka tak apa-apa dan sudah
meloloskan diri," sahut bujang tua.
Waktu To-kan menanyakan tempat beradanya sang
ayah, bujang tua itu tertawa getir, ujarnya, "Mana aku
tahu, Siauya, rawatlah lukamu baik-baik, kelak kita cari
beritanya."

"Keponakan Kan, kita tak boleh tinggal lama-lama di


sini. Thio-pohcu menderita luka, ayahmu bersamanya
bersembunyi di lain desa, kapan kalian ayah dan anak
akan berjumpa sukar diketahui. Maukah kau ikut padaku?
Akan kuajarkan seluruh kepandaianku kepadamu,
maukah kau menjadi muridku yang keempat?" akhirnya
Kang Hay-thian membuka mulut.
"Tidak, aku tak boleh merembet dan membikin susah
padamu," sahut To-kan tegas.
Melihat anak itu bisa memikirkan kepentingan lain
orang, makin besarlah rasa suka Kang Hay-thian. Dia
tertawa, "Jika aku takut terseret, masakah aku datang
kemari menolongmu?"
"Kepandaian Kang-tayhiap ini sungguh hebat sekali.
Kawanan bangsat itu dapat dikocar-kacirkan Kangtayhiap
seorang diri," bujang tua memberi komentar.
"Memang aku sudah tahu, ayah sering mengatakan
tentang Kang-tayhiap. Kau mau menerima aku sebagai
murid, jika ayah mengetahui tentu akan bergirang hati.
Suhu, terimalah hormat muridmu," begitulah To-kan
merubah pikirannya dan berlutut menjura tiga kali.
Diam-diam Kang Hay-thian geli dalam hati,
"Sebenarnya aku tak mau menerima murid. Tapi dalam
setengah tahun ini berturut-turut telah menerima empat
orang murid."
"Suhu, aku mempunyai suatu persoalan," setelah
berbangkit Lim To-kan lalu mengajukan usul.
"Eh, kecil-kecil sudah punya soal?" Kang Hay-thian
tertawa.

"Aku mempunyai seorang kawan yang baik sekali,


namanya Li Kong-he. Ayahnya dan ayahku mengangkat
saudara, aku dan dia pun ikut-ikutan angkat saudara.
Aku pernah berj'anj'i padanya kelak akan sama-sama
belajar. Maka dari itu, Suhu, maukah kau menerimanya
sebagai murid juga?"
Kang Hay-thian tertawa gelak-gelak, "Haha, kawanmu
yang baik itu bukan lain adalah Sam-suhengmu sendiri!"
Girang sekali To-kan, serunya, "Kalau begitu, tak lama
lagi aku tentu akan berjumpa padanya!"
"Tidak, aku sekarang sedang mencarinya, tetapi aku
sudah berjanji akan menerimanya sebagai murid.
Meskipun belum resmi tapi karena sudah kuterima, maka
dia tetap menjadi Suhengmu. Nanti bila senggang tentu
kuceritakan padamu. Sekarang gantilah pakaian dulu."
"Dengan mendapat janjimu, Kang-tayhiap, Li-siauya
tentu akan diketemukan. Sepasang anak ini tentu bisa
berkumpul," kata si bujang tua.
Dapat menolong putra Lim Jing itu, hati Kang Haythian
susah-susah senang, wajahnya berseri girang tapi
hatinya berat. Tenaganya sekarang ini jauh berkurang
dari beberapa jam yang lalu, terang ia tak dapat
membawa lari anak itu. Dia memerlukan tiga hari untuk
menyembuhkan lukanya, anak itupun memerlukan waktu
yang sama untuk sembuh. Tetapi bagaimana caranya
melewatkan tiga hari itu dengan selamat? Inilah yang
membuatnya prihatin sekali.
Rupanya si bujang tua mengetahui kesulitan Kang
Hay-thian, ujarnya, "Di dalam Cong-liong-poh sini tiada
seekor kuda pun. Kang-tayhiap, jika kau hendak

membawa pergi anak ini, kalau sampai kesamplok


tentara pemerintah tentu akan berbahaya sekali.
Rasanya lebih baik kau menyingkir dulu."
Bujang itu memikirkan bahayanya tapi tak mengerti
kalau Kang Hay-thian terluka berat, sahut Hay-thian,
"Aku justru hendak bertanya padamu, apakah di sekitar
tempat ini terdapat tempat sepi yang cocok untuk
persembunyianku?"
"Tujuh-delapan li di belakang gunung ini, terdapat
sebuah gua karang yang dahulu secara tak sengaja telah
kutemukan. Penemuan itu tetap kupegang rahasianya.
Lebih baik Kang-tayhiap dan Lim-siauya bersembunyi di
situ untuk sementara waktu, setelah keadaan agak
longgar nanti kusediakan dua ekor kuda."
Kang Hay-thian setuju. Setelah Lim To-kan ganti
pakaian, si bujang tua memanggul sebuah buntalan
rangsum dan mengajak kedua orang itu menuju ke
belakang gunung. Kala itu matahari sudah condong di
balik gunung. Tiba-tiba kang Hay-thian mendengar suara
belasan napas dari dalam sebuah gubuk di tepi jalan.
"Siapa itu? Lekas keluar!" bentaknya.
Dari gubuk itu menongol kepala orang, "Aku orang
desa yang sedang mencari rumput."
Si bujang tua menggeram, "Hm, penduduk dusun ini
semua kukenal, tapi tak pernah aku melihatmu. Tentu
bangsa serdadu yang menyaru. Kang-tayhiap, bunuhlah
dia!"
Orang itu menjatuhkan diri berlutut di tanah dan
meratap, "Kasihanilah aku. Aku masih mempunyai

seorang ibu yang sudah 80 tahun umurnya dan


mempunyai
"Anak yang baru berumur tiga tahun, bukan?"
sambung si bujang tua. "Ucapan orang persilatan
semacam itu masakah dapat mengelabui Kang-tayhiap?"
Kang Hay-thian tahu juga bahwa jika orang itu
dibiarkan hidup tentu di kemudian akan menimbulkan
bahaya, tetapi ia mempunyai rasa kasihan juga. Orang
itu hanya ditotok jalan darahnya supaya pingsan,
ujarnya, "Tak usah pedulikan dia, mari kita lanjutkan
perjalanan lagi."
"Mengapa Kang-tayhiap mengampuninya?" tanya
bujang tua.
"Dia, hanya seorang biasa yang tak mengerti ilmu
Lwekang. Setelah kutotok jalan darahnya, tiga hari
kemudian dia baru dapat sadar, setelah tiga hari
andaikata tentara pemerintah mengetahui tempat
persembunyianku, mereka Juga takkan dapat berbuat
apa-apa."
Tak berapa lama mereka melihat di atas karang
terdapat sebuah air terjun, air yang mencurah ke bawah
itu merupakan selembar tirai air. Kang Hay-thian menarik
anak itu untuk diajak mengikuti si bujang tua yang
merangkak ke atas lamping gunung dan melintasi air
terjun itu dari samping. Tiba di belakang air terjun, si
bujang tua memindahkan sebuah batu besar, ujarnya,
"Di sinilah, Kang-tayhiap, cocok tidak tempat ini?"
Ternyata di belakang batu itu terdapat sebuah gua,
mulut gua sempit tapi dalamnya cukup luas. Dinding gua
terdapat dua buah lubang angin sebesar tinju manusia.

"Bagus benar tempat ini. Orang luar tentu sukar


mengetahuinya," Hay-thian memuji.
"Karang ini berisi rangsum yang cukup untuk empat
hari. Semua penduduk desa ini waktu terjadi penyerbuan
tentara pemerintah sudah melarikan diri. Jika bukan aku
sendiri, kalau di luar ada orang memanggil tentulah
kawanan kaki tangan musuh, maka jangan sekali-kali
dijawab. Benar orang luar sukar mengetahui tempat ini,
tapi tiada jeleknya untuk berhati-hati," demikian si
bujang memberi pesan.
Kang Hay-thian tertegun, "O, jadi kau tak tinggal
bersama kami disini!"
"Aku masih perlu pulang, siapa tahu Pohcu nanti diamdiam
pulang juga dan tentulah memerlukan orang untuk
menyampaikan berita kemari," sahut si bujang.
"Tentara pemerintah tentu akan datang ke Cong-
Liong-poh lagi, harap kau menyingkir saja. Kurasa Limkaucu
dan Pohcumu itu tentu takkan gegabah pulang,"
kata Hay-thian.
Namun bujang itu masih berkeras hendak pulang, ia
mengatakan di dalam Cong-liong-poh harus ada orang
yang menjaga. Sekalipun tentara pemerintah datang, ia
dapat mencari tempat persembunyian yang rapat,
andaikata kepergok juga belum tentu tentara pemerintah
akan membunuhnya.
Akhirnya Kang Hay-thian melepaskan juga di samping
memuji kesetiaan bujang itu, pesannya, "Kalau begitu
harap kau berhati-hati. Untuk menjaga bahaya, lebih baik
kau tak usah menjenguk kemari. Tiga hari kemudian, jika
tak terjadi apa-apa, aku dengan anak ini pada malam

harinya tentu akan masuk ke Cong-liong-poh untuk


menjumpaimu."
Setelah bujang itu pergi, Kang Hay-thian segera
menyuruh To-kan tidur, sedang ia sendiri mengadakan
penyaluran Lwekang untuk mengobati lukanya. Keesokan
harinya, semangat To-kan sudah banyak pulih, hanya
tinggal lukanya yang belum sembuh. Kang Hay-thian
memberinya pelajaran yang praktis-praktis dan mudah
yang bisa segera digunakan, misalnya melepas senjata
rahasia pada jalan darah, merebut senjata lawan dengan
tangan kosong. Lim To-kan anak cerdas, apa yang
diajarkan cepat dapat diterimanya.
Kang Hay-thian membiarkan anak itu berlatih sendiri,
kemudian ia duduk semadi. Malamnya ia rasakan hawa
dalamnya mulai terpusat, sembuhnya agak lebih cepat
dari yang dikiranya semula. Dalam pada itu ilmu tangan
kosong Siau-kim-na-jiu-hoat yang dipelajari To-kan pun
sudah mahir.
Hari kedua Kang Hay-thian memberinya pelajaran
Thian-lo-poh-hoat. Pelajaran langkah kaki ini memang
paling berguna untuk menghadapi lawan yang kuat, tapi
juga sulit dipelajari. Kang Hay-thian mengira paling tidak
dalam tiga hari anak itu baru bisa. Siapa tahu pada
malamnya ketika menyaksikan To-kan berlatih, ternyata
sudah boleh juga, yang masih kurang hanya dalam gerak
perubahan posisi dan latihan. Diam-diam Kang Hay-thian
bergirang hati, "Anak ini pintar sekali. Tampaknya dia tak
di bawah Leng-hong. Orang bu-lim mengatakan mencari
Suhu pandai sukar, memilih murid baik juga tak mudah,
tak terduga kedua muridku ini mempunyai bakat bagus
semua. Jauh lebih baik dari aku sewaktu kecil."

Hari ketiga merupakan saat-saat yang penting. Dia


hendak menjalankan penyaluran istimewa dari Toa-jiutho-
na-hoat untuk memasukkan hawa Cin-gi ke dalam
perut. Jika berhasil, racun dalam tubuhnya akan hilang
semua, tenaganya pun akan pulih seperti semula.
Pantangannya, di waktu menjalankan penyaluran tak
boleh berhenti setengah jalan, karena salah-salah bisa
menjurus ke dalam keadaan Cau-hwe-jip-mo, dimana
separuh tubuhnya akan mati. Luka To-kan sudah
sembilan bagian sembuh, untuk menjaga kemungkinan
yang tak diingini, ia berjaga di mulut gua.
Kira-kira tengah hari, tiba-tiba To-kan melihat cahaya
merah timbul dari gunung di sebelah muka. Tak lama
kemudian awan langit berubah merah membara. Angin
yang meniup membawa hawa panas.
"Suhu, celaka, Cong-liong-poh timbul kebakaran!
Paman Tio entah kemana?" teriak To-kan.
Kang Hay-thian juga merasakan angin panas itu.
Melihat dari arahnya, ia percaya tentulah terjadi
kebakaran di Cong-liong-poh. Yang membakar tentu
pihak tentara pemerintah.
"Tutup mulut gua. Malam nanti kita menyelidiki ke
sana," sahutnya. Penyaluran Lwekangnya tengah dalam
saat-saat yang genting. Jangankan lari, sedang
pikirannya terpencar saja tak boleh. Apa boleh buat, ia
menyerahkan diri pada nasib. Mudah-mudahan musuh
jangan mengetahui gua tempat persembunyiannya itu.
To-kan menutup pintu gua dengan sebuah batu besar.
Dia pun tahu bahwa keadaan Suhunya sedang genting.
Jika sampai ketahuan musuh, tentu celaka. Hatinya
berdebar-debar. Dalam kegelapan malam kedua Suhu

dan murid itu duduk berhadapan. Entah lewat berapa


lama, tiba-tiba terdengar suara gonggongan anjing, pada
lain saat terdengar suara orang berkata, "Apakah
bersembunyi di sini? Di sini kan tak ada suatu gua.
Masakah di dalam air terjun ada orang bersembunyi?"
Suara itu berasal dari Co Bong, wakil pemimpin
barisan Gi-lim-kun.
"Apakah lusa malam kau benar-benar melihat tiga
orang? Bagaimana rupanya?" tanya seorang lain yang
ternyata Tun-hou.
"Masakah hamba berani berbohong? Malam itu hamba
benar melihat tiga orang? Seorang anak laki-laki, seorang
laki pertengahan umur dan seorang tua. Pak tua itu
memanggil si lelaki pertengahan umur sebagai Kangtayhiap,"
sahut seseorang. Dia ialah orang yang menyaru
jadi orang desa dan ditotok jalan darahnya oleh Kang
Hay-thian kemarin lusa. Mestinya dalam waktu tiga hari
baru dia sadar, jadi masih kurang setengah hari. Tentu
karena ditolong Co bong atau Yo Tun-hou.
"Ya, tentu benar. Menilik bagaimana dahsyatnya racun
Ho-ting-hong dan Khong-jiok-tan, selihai-lihainya Kang
Hay-thian, juga harus memerlukan waktu paling sedikit
sepuluh hari sampai setengah bulan baru dapat sembuh.
Dia tentu bersembunyi di sini," kata Co Bong
"Apakah di belakane air teriun itu ada guanya?" tanya
Yo Tun-hou.
Belum habis pertanyaan itu diucapkan, kedua anjing
pemburu sudah menyusur dari samping untuk mengitari
air terjun. Di situ mereka menyalak sambil memandang
pada karang curam.

Co Bong menemukan jalan yang dilintasi anjing


pemburu itu terdapat bekas-bekas rumput terpijak rubuh,
segera ia tertawa, "Ai, tak salah lagi!"
Demikian rombongan itu segera mengikuti jejak anjing
mereka. Rumput berdiri dibabat, mereka tiba di tanah
lapang belakang air terjun, itulah jalanan yang dilalui
Kang Hay-thian. Selain Co Bong dan Yo Tun-hou, dalam
rombongan tentara pemerintah itu masih terdapat lima
orang perwira Gi-lim-kun. Mereka ialah regu cadangan
atau rombongan ketiga yang bertugas menangkap Lim
Jing, karena tempo hari terluka berat Lok Khik-si
terpaksa tak dapat ikut.
"Aneh, anjing terus-terusan menyalak tetapi tak ada
suatu gua pun," Yo Tun-hou menggerutu.
"Kedua anjing pemburu itu adalah persembahan dari
negeri Secong, terlatih sekali. Jika membau hawa orang
barulah mereka menggonggong begitu. Coba pindahkan
batu itu," perintah Co Bong.
Kedua ekor anjing itu ternyata mendekam persis di
muka gua. Batu yang dimaksud Co Bong adalah batu
yang diangkat To-kan. Seorang perwira yang kuat segera
mendorong dan ternyata berhasil mengisar batu itu. Kini
terbukalah mulut gua, hanya saja ketika mereka
menjenguk ke dalam, ternyata hanya gelap pekat yang
kelihatan, tiada terdapat barang apa-apa lagi.
To-kan bersembunyi di balik batu, hatinya melonjaklonjak.
Co Bong menempelkan telinga ke tanah, sekonyongkonyong
ia tertawa, "He, sedikitpun tak meleset. Di

dalam memang ada orangnya!" Ternyata ia dapat


menangkap napas To-kan.
Anak itu gemetar, bukan saja karena memikirkan
jiwanya, juga keselamatan Suhunya. Rasa ngeri
membuatnya menggigil, sebaliknya Yo Tun-hou dan Co
Bong pun kuatir, mereka ragu-ragu untuk masuk.
"Coba kalian dua orang, papas mulut gua dan
masuklah," kata Co Bong.
Kedua perwira bertenaga kuat itu memang sudah
mendengar nama Kang Hay-thian tapi belum pernah
melihat kepandaiannya. Mendengar bahwa jago she
Kang itu sudah terkena racun buatan istana, nyali
mereka pun bertambah besar. Apalagi atasannya yang
menyuruh, mereka buru-buru hendak mencari pahala,
mereka segera ayunkan sekop untuk memapas tanah
dan menghancurkan batu-batu, kemudian selangkah
demi selangkah berjalan masuk.
Tiba-tiba seorang menjerit dan rubuh, jalan darahnya
termakan batu yang ditimpukkan To-kan. Kawannya
yang di belakang sudah siap. Ketika To-kan menimpuk
lagi, perwira itu dapat menangkisnya dengan sekop. Batu
mencelat balik ke arah To-kan, dia melompat
menghindar dan ketahuanlah dirinya.
Perwira itu menggerung keras, segera melompat ke
muka dan menyodok dengan sekopnya. Kerucut batu
dimana To-kan bersembunyi tadi hancur seketika.
Untung To-kan sudah pergi, tetapi sekop pun
melengkung tak bisa digunakan lagi.
"Harus ditangkap hidup-hidup!" teriak Co Bong.
Semula perwira itu mengira yang membokong tadi

tentulah Kang Hay-thian, setelah mengetahui ternyata


hanya seorang bocah, diam-diam ia malu dalam hati. "Ah
melawan seorang anak saja mengapa harus begini
ngotot!" pikirnya. Sekop dilempar, dengan mementang
kedua lengannya ia terus menubruk To-kan.
Karena sudah mempelajari Siau-kim-na-jiu, To-kan
membalikkan tangannya menyambar. Mimpi pun tak
nyana perwira itu kalau anak sekecil ini ternyata lihai
juga. Belum dapat menerkam To-kan, lengannya sudah
kena dicengkeram anak itu. Sekali memelintir, "krek", Tokan
dapat mematahkan tulang lengan perwira itu.
Perwira itu mengaum seperti harimau kelaparan, ia
ayunkan sebelah tangannya menghantam sekuatkuatnya.
Karena merapat dekat, To-kan sukar
menghindar, "Bluk", dia terlempar sampai setombak
lebih. Habis menghantam, perwira itupun roboh ke
tanah.
Semula Co Bong terkejut, tapi pada lain saat ia girang
sekali. Kalau Kang Hay-thian sudah sembuh, tentu tak
nanti menyuruh seorang anak kecil menghadapi musuh.
Masakah rombongannya yang begitu banyak orangnya
tak mampu menghadapi seorang anak kecil saja?
Apa yang dipikir Co Bong serupa dengan Yo Tun-hou.
Nyali keduanya seketika menyala, mereka menyerbu
masuk. Ketiga perwira yang berada di luar juga ikut
masuk, lebih dulu mereka menolong kawannya yang
tertimpuk jalan darahnya tadi.
Tampak Kang Hay-thian duduk bersila dengan anteng,
dia termenung bagai patung, sama sekali tak
menghiraukan kejadian di sekelilingnya. Penyaluran Toajiu-
thian-tho-na-hoat sedang mencapai titik yang

tergenting. Sekali tubuhnya berkisar, hawa dalamnya


menyungsang balik dan jadilah dia seorang cacad
selama-lamanya.
Co Bong dan Yo Tun-hou pernah merasakan kelihaian
tangan Kang Hay-thian, walaupun tahu saat itu Kang
Hay-thian sedang tak berdaya, namun mereka masih
cemas juga. Kalau sampai hal yang di luar dugaan
terjadi, menyesal di kemudian pun tak berguna.
Lebih dulu Co Bong mencari tahu keadaan, dia
tertawa, "Kang-tayhiap, sekarang kau sudah ibarat kurakura
dalam perigi. Tiada gunanya melawan, kuhormati
kau sebagai seorang Hohan. Marilah kita menjadi
sahabat, suruhlah anak itu ikut kami, nanti kami takkan
mengganggu kau lagi."
Namun Kang Hay-thian tenang laksana sebuah
patung.
Yo Tun-hou sebagai seorang ahli silat, segera berbisik,
"Menilik keadaannya, dia sedang mencapai klimaks
dalam mengobati lukanya dengan Lwekang. Tentu tak
dapat bertempur."
Co Bong mengiakan, namun mereka tetap ragu-ragu.
Kepandaian jago she Kang itu memang sukar diduga,
mereka pernah jatuh ke dalam tangannya, maka tetap
merasa jeri. Sampai sekian saat mereka hanya kasakkusuk
tanpa mengambil keputusan.
Perwira yang paling kuat tenaganya, agaknya tak
sabar lagi, pikirnya, "Masakah seorang yang sudah
terkena racun saja masih begitu ditakuti?" Dia penasaran
dan maju menghampiri, begitu tiba terus mengulurkan

tangan mencengkeram tulang Pi-peh-kut di bahu Kang


Hay-thian.
"Hai, jangan melukai Suhuku!" Lim To-kan
memaksakan diri merangkak bangun. Tapi baru mau
berdiri sudah dipersen sebuah Pik-khong-ciang oleh Yo
Tun-hou, hingga anak itu terpental mundur sampai tiga
langkah.
Berbareng dengan jatuhnya To-kan, terdengarlah
sebuah jeritan keras. Yang roboh bukan Kang Hay-thian,
melainkan ... si perwira. Ternyata walaupun tak dapat
berbangkit melawan, tetapi Kang Hay-thian telah
menyalurkan Lwekang istimewa untuk menyelimuti
tubuh. Makin keras pukulan si perwira makin hebat reaksi
yang dideritanya, pukulan tadi telah menyebabkan kepala
si perwira mengucurkan darah.
Seorang perwira lain terkejut, serentak ia
mengayunkan tombak menusuk Kang Hay-thian. Ia telah
memperhitungkan, "Kalau tanganku tak menyentuh
tubuhnya, betapa tinggi kepandaiannya, tubuhnya itu
tetap terdiri dari darah dan daging. Coba saja apakah dia
tetap duduk diam menghadapi tombakku ini?"
Ternyata Kang Hay-thian tetap duduk mematung,
hanya telinganya yang bekerja untuk mendengarkan
kesiurnya sambaran angin. Ia agak mengisarkan tubuh,
"Cret", ujung tombak menembus bawah iga dan merobek
bajunya, tetapi dengan begitu tombak pun kerta
dikempitnya. Kang Hay-thian mempunyai suatu ilmu
yang dinamakan Kek-but-coan-kang (menyalurkan
Lwekang melintasi sebuah benda). Hawa murninya
segera menyalur di sepanjang batang tombak dan
merangsek balik. Seketika itu juga si perwira jungkir

balik, tetapi karena tenaga yang digunakan Kang Haythian


tak begitu keras, maka setelah terbanting jatuh,
perwira itupun hanya kesakitan saja tak sampai terluka
seperti kawannya tadi. Begitu ia mengendorkan kepitan,
tombak perwira itupun jatuh ke tanah.
Beberapa perwira lainnya saling berpandangan sendiri,
serunya, "Orang itu mempunyai ilmu sihir, jangan
diusik!" Salah seorang yang bernyali kecil serentak
memutar tubuh terus hendak ngacir.
Co Bong membentaknya, lalu dia tertawa gelak-gelak,
serunya, "Jangan kuatir, orang she Kang itu hanya
mempunyai tenaga untuk menangkis serangan saja,
tetapi tak mampu balas menyerang. Kalian tak usah
menyerangnya dan dia pun tak nanti mencelakai kalian.
Tangkap anak itu saja, kemudian bakar dia!"
Sebagai tokoh-tokoh silat kelas satu, Co Bong dan Yo
Tun-hou dapat melihat jelas bahwa ilmu Kek-but-coankang
yang digunakan Kang Hay-thian itu hanya separoh
kekuatannya. Artinya hanya dapat dibuat melindungi diri
tapi tak mampu dipakai menyerang. Hanya satu hal yang
tak dimengerti kedua orang itu ialah bahwa sekalipun
hanya berkisar sedikit tadi, seharusnya hawa murni Kang
Hay-thian itu tentu sudah buyar. Mengapa tidak apa-apa?
Justru karena kesangsian Itu, maka Kang Hay-thian
terlepas dari bahaya besar. Coba Co Bong dan Yo Tunhou
bersatu serempak menyerang, dengan tingkat
kepandaian mereka berdua, tentulah Kang Hay-thian
akan binasa.
Sebenarnya Kang Hay-thian tadi juga harus berusaha
keras untuk mengendalikan agar hawa murni dalam
tubuhnya itu jangan membinal. Dalam keadaan begitu,

sudah tentu sama sekali ia tak dapat melindungi To-kan


lagi.
"Bangsat kedi, apakah kau mau lari ke langit?" Yo
Tun-hou tertawa sinis. Selangkah demi selangkah ia
mendesak maju. To-kan memusatkan seluruh perhatian
dengan menatap orang itu.
Co Bong tertawa, "Heh, setan cilik ini besar sekali
nyalinya Baru ia mengucap begitu, sekonyong-konyong
To-kan menyerbunya.
"Setan cilik, kau masih mau bertempur dengan aku?"
Yo Tun-hou tertawa gelak-gelak. Ia mengulur tangannya
yang besar hendak mencengkeram To-kan, ia yakin
dengan gerak Kim-na-jiu itu pasti akan dapat meringkus
si bocah.
Di luar dugaan tumit To-kan berputar. Sebenarnya ia
menyerbu ke arah kiri, tapi tiba-tiba berputar ke arah
kanan. Tahu-tahu sebatang belati berkilat hijau menikam
ke lutut Yo Tun-hou. Tun-hou kaget sekali, tapi
bagaimanapun kepandaiannya jauh berlipat beberapa
ganda dari To-kan. Secepat kilat kakinya mengisar
beberapa centi, "Cret", tak urung bajunya termakan
belati juga. Yo Tun-hou mengayunkan tinjunya, tetapi
To-kan sudah melompat menyingkir.
Heran Co Bong dibuatnya. Mengapa baru dua hari ikut
Kang Hay-thian anak itu sudah mempunyai kepandaian
yang istimewa? Segera ia berkata, "Yo-heng, jagalah
supaya dia jangan sampai lolos. Biarlah aku yang
menangkapnya."
Co Bong menggunakan kedua tangannya, yang satu
untuk melindungi diri, yang satu untuk menyerang. Tapi

setiap kali Co Bong hendak menangkapnya, selalu


menangkap angin saja. Lincah dan cepat sekali anak itu
menghindar, selalu menyelinap dari bawah ketiak. Bila
berada di belakang lantas menikam punggung lawan
dengan belati.
Kalau sudah dalam keadaan begitu, barulah Co Bong
terpaksa berganti cara. Tangan yang Semula dibuat
melindungi diri tadi, kini diayunkan ke belakang untuk
menyambar belati. Suatu saat belatinya kena terampas
dan To-kan pun kehilangan imbangan badan, terhuyunghuyung
mau jatuh.
Melihat itu Yo Tun-hou tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan bagus itu, ia melompat menubruk, tetapi
sekonyong-konyong To-kan berjumpalitan. Jari tangan
Yo Tun-hou yang sudah menyentuh punggung anak itu,
tahu-tahu mencekal angin kosong.
Co Bong tertawa gelak-gelak, "Setan cilik ini ternyata
sudah mempelajari suatu ilmu langkah kaki yang aneh.
Ayo, kita ramai-ramai menjalanya."
Di antara lima perwira yang ikut rombongan itu, ada
seorang yang patah tulang lengannya karena dipelintir
To-kan, perwira itu sedang mengobati lukanya. Tinggal
empat perwira, kini mereka menjaga di empat penjuru
dengan melintangkan senjata masing-masing. Co Bong
dan Yo Tun-hou berada di dalam lingkaran pagar senjata
itu. Yang satu di belakang, yang satu di muka. Dua tokoh
ternama kini berusaha menangkap seorang anak kecil.
Sebenarnya tadi sewaktu lingkaran pagar senjata itu
masih belum merapat, To-kan dapat meloloskan diri.
Tetapi ternyata anak itu tak sampai hati meninggalkan

Suhunya seorang diri. Karena sedikit ayal itu, kini dia


terkurung.
Dengan menggunakan ilmu Thian-lo-poh-hoat yang
baru saja dipelajarinya dari Kang Hay-thian, To-kan
dengan lincah kian-kemari main udak dengan kedua
penyergapnya. Sampai sekian lama, Co Bong dan Yo
Tun-hou masih belum mampu menangkapnya.
"Pukul dulu sampai pingsan baru kita rundingkan lagi,"
akhirnya Yo Tun-hou hilang kesabarannya.
"Baik, tetapi harus hati-hati agar jangan
membahayakan jiwanya. Kalau dia tertangkap hidup,
lebih baik," sahut Co Bong.
Kedua jago itu sudah mengetahui sampai dimana
kepandaian To-kan. Segera mereka menggunakan
pukulan Lwekang Pik-khong-ciang untuk membuat kepala
To-kan puyeng.
"Lihat, lihat, siapa yang berkelahi di sebelah bawah
itu?" sekonyong-konyong terdengar suara melengking
nyaring.
Tekanan Lwekang Pik-khong-ciang telah membuat
kepala To-kan pusing dan mata berkunang-kunang. Ilmu
permainan Thian-Io-poh-hoatnya juga mulai rancu. Sekali
ulurkan jari, dapatlah Yo Tun-hou menotok jalan darah
To-kan, akhirnya To-kan menyerah juga. Habis itu
mereka putar tubuh hendak menjenguk siapakah orang
yang berseru di luar gua tadi.
Sepasang bocah laki dan perempuan yang umurnya
masing-masing baru 15-16 tahun melangkah masuk.
Yang laki memakai gelang emas dan rambutnya diikat.

Sedang yang perempuan parasnya berseri gemilang.


Mereka tak ubah sepasang Kim-tong-giok-li (dewa-dewi).
Si dara cilik mencibirkan bibir menyeringai, "Uh,
mengapa begini banyak lelaki tua menghina seorang
anak? Sungguh tak tahu malu!"
Perwira yang patah tulang lengannya sudah selesai
mengobati lukanya, dia merasa geram sekali tak sempat
menumpahkan kemarahannya. Kini melihat bocah laki
perempuan yang bermulut besar itu, dia lantas melompat
bangun dan mendamprat, "Hai, darimana saja kamu
berdua anak jadah ini? Ayo, enyah!"
"Plak", tahu-tahu sebuah tangan kecil menampar
mulut si perwira itu. Dan bocah lelaki berseru dingin,
"Lekas berlutut dan menyebut 'kakek kecil' sampai tiga
kali, baru nanti kuampuni!"
Perwira itu menggerung keras terus menyambar
tombak dan menyerang. Sebenarnya ia tahu bahwa
kedua anak itu tentu bukan anak sembarangan, tapi
karena ditampar di hadapan orang banyak, ia menjadi
mata gelap juga.
Ternyata bocah laki itu bergerak luar biasa cepatnya.
Tombak si perwira menemui tempat kosong, tahu-tahu
bocah laki itu sudah tiba di sisinya dan mendengus, "Hm,
kau tak mendengar omonganku, ya? Karena tadi aku
sudah mengatakan lebih dulu, terpaksa sekarang tak
dapat mengampunimu!"
"Plak, plak", kedua lengan perwira itu seperti putus
rasanya, sakitnya jangan ditanya. Pemuda cilik itu
merampas tombaknya, disumbatkan ke tenggorokan si
perwira dan dipaku ke tanah. Seorang bocah yang baru

berumur belasan tahun ternyata begitu kejam sekali.


Keempat perwira lainnya kaget dan murka.
Tampak bocah itu bercekak pinggang, sikapnya
jumawa sekali. Tiba-tiba dia menjerit keras, perwira yang
pertama-tama dekat padanya menjerit kesakitan. Waktu
si bocah membuka tangannya, ternyata di dalam
genggamannya terdapat dua biji bola mata yang masih
berlumuran darah....
"Kau punya kelopak mata tapi tak ada bolanya, perlu
apa?" bocah itu tertawa dingin. Dan secepat ia sudah
melolohkan kedua biji bola mata itu ke mulut si perwira,
si perwira roboh tak sadarkan diri.
Betapa kejam perwira-perwira itu, tapi demi melihat
kejadian yang begitu mengerikan, menggigil juga nyali
mereka. Tanpa bersepakatan, mereka berhenti.
Karena kepandaiannya jauh lebih tinggi dari ketiga
perwira itu, Co Bong tak mudah digertak oleh si bocah.
Meskipun dia juga terkejut melihat kepandaian anak itu,
namun ia percaya tentu dapat mengatasinya. Kontan
saja ia hendak menggunakan pukulan Kim-kong-cianglat,
tiba-tiba dicegah Yo Tun-hou.
"Nanti dulu. anak siapakah kau ini?" tegur Yo Tun-hou
kepada anak itu.
"Kau tak kenal padaku, sebaliknya aku kenal padamu.
Bukankah kau ini si 'kucing sakit' dari kawanan Ki-liansam-
siu?" bocah itu mengejek.
Kucing sakit benar-benar merupakan hinaan besar
bagi Yo Tun-hou. Dalam Ki-lian-sam-siu (tiga binatang
buas gunung Ki-lian-san), Yo Tun-houlah yang paling
tinggi kepandaiannya dan paling buas wataknya.

Co Bong mengira kawannya itu tentu akan murka


sekali, tapi di luar dugaan ternyata Yo Tun-hou diam saja
dengan muka merengut.
Kiranya hal itu disebabkan karena tiba-tiba saja ia
teringat akan seseorang yang membuat gentar hatinya.
Buru-buru ia tahan kemarahannya dan bertanya,
"Apakah kau Siauya dari keluarga Nyo?"
Pemuda tanggung itu tertawa gelak-gelak, "Matamu
boleh juga, tahu siapa aku. Kau tahu dosamu?"
"Entah dalam hal apa aku menyalahi Nyo-siauya?"
tanya Yo Tun-hou.
"Bukan kepadaku, tetapi kepada piaumoayku. Hehe,
bilanglah sendiri bagaimana hukumanmu?" sahut si anak
lelaki.
"Piaumoaymu? Bagaimana urusannya?" Yo Tun-hou
terkejut. "Yang kau goda di biara tua itu ialah adik
misanku," balas anak Itu.
Yo Tun-hou terkejut sekali, mukanya berubah dan
nadanya gemetar, "Piaumoaymu, si gadis dari keluarga
Tiok itu?"
"Benar, dan masih untung kau hanya jatuh ke
tanganku saja. Menurut peraturan keluarga pamanku,
musuh dari keluarga harus dia yang membunuhnya. Aku
tak dapat melanggar peraturannya itu, maka aku dapat
membebaskanmu dari kematian. Hanya saja kau harus
memotong kedua telingamu dan mengorek sebuah biji
matamu."
Dara itu tertawa mengikik, "Engkoh Hoan, tak kuduga
kau dapat mencarikan buah tangan untuk Siau-hoa. Tapi

entah apakah ia suka dengan benda-benda yang


berlumuran darah itu. Hm, kau memang pandai
mengambil muka Siau-hoa!"
Pemuda tanggung yang dipanggil engkoh Hoan itu,
lengkapnya bernama Nyo Hoan. Dia tertawa juga, "Juga
kepadamu akan kuberi hadiah, kau suka tidak dengan
mainan Hoa-leng (bulu burung) yang dipasang di atas
kopiah pembesar itu? Nanti kupetikkan untukmu."
Co Bong berpangkat Ji-bin-hu-koan (pembesar militer
tingkat dua), Raja telah menghadiahkan kopiah yang
memakai mainan Song-gan-hoa-leng. Itu suatu
kehormatan besar, bahwa sekarang seorang bocah
tanggung berani kurangajar hendak merampas benda
itu, sudah tentu membuat Co Bong berjingkrak seperti
orang kebakaran jenggot.
"Budak busuk yang tak tahu mati, akan kubeset kulit
kepalamu!" teriaknya dengan penuh kemarahan.
"Co-tayjin..”
Baru Yo Tun-hou hendak mencegah, Co Bong sudah
mendampratnya, "Yo Tun-hou, jangan takut terhadap
seorang bocah yang masih belum hilang bau pupuknya,
apakah kau tidak kuatir ditertawai orang gagah seluruh
dunia? Persetan dia itu anak siapa, masakah lebih
berkuasa dari baginda raja yang sekarang."
"Wut", dia lantas menghantam.
Nyo Hoan tertawa dingin, "Kau akan membeset kulit
kepalaku? Hm, hm, karena kau mengatakan begitu,
sekarang aku harus mengambil kantong otakmu. Rajamu
yang sekarang ini juga tak nanti mampu menolong kau."

Nyo Hoan mencabut sebatang belati, dia hanya


setinggi bahu Co Bong, maka ia harus meloncat ke atas
ketika hendak memotong kepala Co Bong.
Dengan tanpa mengeluarkan banyak tenaga tadi si
anak muda dapat membunuh dua orang perwira. Dia
mengira Co Bong tentu tak banyak bedanya, tak terlintas
dalam pikirannya bahwa sebagai wakil Demimoin Gi-limkun
sudah tentu Co Bong tak seperti anak buahnya tadi.
"Lepas!" teriak Co Bong sambil menggunakan jurus
Te-to-mo-sing. Kelima jarinya mencengkeram lengan Nyo
Hoan, ibu jari dan telunjuk memijat pergelangan
tangannya, "Tring", jatuhlah belati anak itu.
Tadi Nyo Hoan melompat untuk menusukkan
belatinya, karena tangan kanan kena dicengkeram, dia
menggerakkan tangan kirinya untuk menampar batok
kepala Co Bong.
"Budak kejam, biar kau tahu kelihaianku! Kau tunduk
tidak?" bentak Co Bong sembari menangkis dengan
tangan kanan, "Plak", ketika tangan saling berbentur,
dengan sebarnya Co Bong sudah membalikkan tangan
dan mencengkeram pergelangan anak itu. Kini kepala
Nyo Hoan terjungkir di bawah kaki di atas, sedang kedua
tangannya kena dicekal Co Bong. Dia tak dapat berkutik
lagi.
Co Bong tertawa lebar, tapi sesaat kemudian dia
terkejut karena tubuh Nyo Hoan makin lama makin
terasa berat. Seorang pemuda tanggung yang baru
berumur lima-enam belas tahun, paling banyak berat
badannya tentu hanya 100-an kati. Tapi Co Bong
merasakan tangannya seperti diganduli sebuah bukit.

Begitu berat hingga pinggang orang she Co itu sampai


melengkung. Dia tak lagi bisa tertawa.
Ia merasa heran sekali. Padahal pergelangan kedua
tangan anak itu sudah dicengkeramnya, bukan saja Nyo
Hoan tidak lemas, sebaliknya masih dapat mengeluarkan
kepandaian Jian-kin-tui yang sedemikian hebatnya.
Walaupun Co Bong masih dapat bertahan, tapi tak urung
ia bingung juga memikirkannya.
Beberapa perwira yang melihat Nyo Hoan dapat
diringkus sang pemimpin, serempak bersorak
kegirangan. Ada yang berseru supaya membeset uraturatnya,
mencungkil hatinya untuk dibuat sembahyang
kawannya yang binasa tadi. Ada juga yang mengusulkan
supaya menanyakan siapa orang tua anak itu, kemudian
dihukum pancung seluruh keluarganya.
Kalau perwira-perwira itu riang gembira, adalah Co
Bong yang terpaksa menahan kegelisahan. Hanya Yo
Tun-hou seorang yang tak buka suara melainkan
mengerutkan alis. Jelas dilihatnya bahwa Co Bong itu
hanya menahan tekanan tenaga dari Nyo Hoan, sama
sekali bukan karena sudah menang. Oleh karena dia tahu
jelas siapa pemuda tanggung itu, maka dia pun tak
merasa begitu heran.
Kiranya ayah dari anak tanggung itu adalah seorang
momok durjana yang luar biasa ganasnya, Yo Tun-hou
sendiri tak begitu jelas tentang asal-usulnya. Tiga tahun
yang lalu, karena terpikat alam lembah Siau-lui-im di
gunung Ki-lian-san, durjana itu lalu berpindah tempat di
situ. Ki-lian-sam-siu sebenarnya bermarkas di gunung itu
juga, durjana itu hendak memaksa mereka jadi
budaknya, jika tak menurut akan diusir dari Ki-lian-san.

Jangankan terhadap durjana itu, sedang melawan


pengurus rumah tangganya saja Ki-lian-sam-siu tak bisa
menang. Karena tahu diri, terpaksa mereka pergi dari Kilian-
san. Mereka berhamba pada kerajaan, selain temaha
dengan pangkat dan kekayaan, juga sekalian hendak
menyingkir dari gangguan durjana itu.
Teringat pada peristiwa yang lampau, dengan
mengotak gigi Yo Tun-hou berpikir, "Durjana she Nyo itu
sudah sedemikian lihainya, kakak orang she Tiok itu jauh
lebih ganas lagi. Aku sudah membuat kesalahan pada
putrinya, tentu tak ada ampun lagi. Jika tak kubantu Co
Bong, bocah itu tentu akan mengiris daun telingaku dan
mengorek biji mataku. Hm, hm, lebih baik anak itu
dihabisi jiwanya saja, lalu ikut Co Bong berlindung pada
kerajaan, mungkin masih ada jalan hidup!"
Mata Tun-hou berapi-api, setelah mempersiapkan
Lwekangnya, dia lantas menghantam. Pukulan Bian-ciang
itu dapat menghancurkan batu, jika pukulan itu jatuh di
tubuh Nyo Hoan yang sedang tergantung itu, anak itu
tentu akan mati atau luka berat.
Belalang menerkam tonggoret, burung pipit sudah
menunggu di belakangnya. Dara kawan Nyo Hoan tadi
tahu kalau Yo Tun-hou musuh lamanya, maka ia selalu
memperhatikan gerak-geriknya. Pada saat Yo Tun-hou
mengangkat tinjunya, dara itupun sudah mencabut tusuk
kundainya, terus dijentikkan ke arah telapak tangan Yo
Tun-hou.
Jalan darah Lo-kiong-hiat di telapak tangan
merupakan jalan darah yang berbahaya, jika sampai
kena tertusuk, kalau tidak mati tentu akan terluka parah.
Untung Yo Tun-hou cepat dapat memiringkan telapak

tangannya, tetapi dengan berbuat begitu, pukulannya


pun melenceng. Bukan Nyo Hoan yang kena, sebaliknya
menyasar pada tubuh Co Bong, untung tidak mengenai
dada, hanya bahunya saja. Namun sekalipun begitu,
pukulan itu cukup membuat Co Bong menjerit dan
terpaksa melepaskan cengkeramannya, Nyo Hoan
terlempar sampai satu tombak.
Dengan gerak Le-hi-ta-ting (ikan lehi meletik), Nyo
Hoan berjumpalitan dan kemudian berdiri tegak. Tapi
sebelum kakinya berdiri tegap, Yo Tun-hou sudah
menyusuli pula dengan sebuah hantaman. Terpaksa Nyo
Hoan mengacungkan tangannya untuk menangkis, tapi
dia kena terdorong oleh pukulan Yo Tun-hou hingga
terhuyung-huyung ke belakang sampai beberapa tindak
dan hampir jatuh.
Si dara menjemput beberapa butir batu kecil untuk
dijentikkan ke arah Yo Tun-hou, tapi karena Yo Tun-hou
sudah berjaga-jaga, dengan mengebutkan lengan
bajunya dapatlah ia menghalau batu-batu itu. Kemudian
ia mengisar tubuh hingga batu-batu itu melayang ke arah
Nyo Hoan. Tapi Nyo Hoan sudah berdiri tegak, ia dapat
menyingkir.
"Hai, apakah kalian ini orang mati semua? Mengapa
tak lekas meringkus anak perempuan itu!" Co Bong
mendamprat anak buahnya yang masih tinggal tiga
orang perwira.
Mereka bukannya tak mau menangkap dara itu, hanya
tadi pikirannya tercurah pada Nyo Hoan, maka mereka
agak meremehkan dara itu. Dampratan pemimpinnya
tadi membuat mereka gelagapan, terus saja mereka
maju menerjang si dara. Si dara mencabut pedang,

sambil tertawa mengejek katanya, "Kawanan manusia


yang hanya berani menindas kaum lemah, bertemu aku
jangan harap kalian bisa hidup lagi!" Pedang berkelebat
dan seorang perwira dapat dilukai.
"Jangan menyerang tapi pertahankan diri. Pakai
senjata berat untuk menahan pedang budak itu.
Pertahankan sampai sepuluh jurus, nanti aku yang
menangkapnya!" teriak Co Bong. Ternyata dia sedang
memulangkan semangat, sebelum tenaganya pulih ia tak
mau turun tangan.
Setelah mendapat petunjuk, ketiga perwira itu lalu
menggunakan tombak dan Khik panjang untuk
mengepung si dara. Mereka tak mau menyerang
melainkan bertahan, benar juga dara itu menjadi gugup
dan tak dapat mengalahkan mereka.
Kalau di sini si dara sibuk melayani ketiga perwira, di
sana Nyo Hoan pun repot menghadapi serangan Yo Tunhou.
Bagaimanapun Nyo Hoan adalah seorang anak
berumur belasan tahun, setelah habis bertempur seru
dengan Co Bong dia harus melayani seorang jago seperti
Yo Tun-hou yang kepandaiannya lebih tinggi setingkat
dari Co Bong. Lewat jurus yang kesepuluh, Nyo Hoan
kehabisan tenaga.
Yo Tun-hou tertawa ejek, "Dengan membunuhmu
barulah penasaranku dapat terlampias!" Setelah
merangsek dengan kedua tangannya untuk menyergap,
ia lantas mengayunkan tinjunya mengemplang ubunubun
kepala Nyo Hoan.
"Ayah, kau datang!" sekonyong-konyong Nyo Hoan
berteriak.
Yo Tun-hou kaget tertegun, tahu-tahu Nyo Hoan
menyelusup ke bawah ketiaknya dan mencengkeram
jalan darah di punggungnya, Yo Tun-hou memiliki ilmu
kebal Kim-ciong-coh. Tapi dicengkeram Nyo Hoan, ia
merasakan separoh badan bagian bawah menjadi
kesemutan. Buru-buru ia balikkan tangan menghantam,
namun Nyo Hoan sudah menghindar ke samping.
Kini baru tahulah Yo Tun-hou telah kena diingusi.
"Bagus, budak! Sekalipun kau panggil ayahmu kemari,
aku tetap tak akan mengampuni kau lagi!" Ia melompat
menghadang dan menyerang Nyo Hoan lagi.
Kalau tadi datangnya dengan sikap jumawa, sekarang
diam-diam Nyo Hoan mengeluh, "Ayah hendak
menjadikan bangsat ini sebagai tukang kuda. Kalau aku
tidak dapat mengalahkannya, sungguh memalukan!"
Dia hanya memikirkan tentang malu, sedang Yo Tunhou
memikirkan hendak mengambil jiwanya.
Serangannya tak kunjung surut, Nyo Hoan kaget dan
marah, "Bangsat kau berani membunuh aku? Ayahku
tentu akan membeset kulitmu, mencincang dagingmu!"
Yo Tun-hou tertawa, "Suruh ayahmu datang kemari!
Hm, ayahmu ganas dan kejam, biarlah dia putus
turunan!"
"Plak", kembali Yo Tun-hou menghantam, tapi kena
ditangkis Nyo Hoan. Dalam benturan itu Nyo Hoan
mengetahui tenaga lawan mulai berkurang, kini dia tak
begitu gelisah lagi.
Ternyata karena cengkeraman jalan darahnya tadi,
meskipun Yo Tun-hou mempunyai ilmu Kim-cong-coh,
tapi urat-uratnya yang kaku itu tak segera dapat normal

kembali. Itulah sebabnya maka tenaganya tinggal


delapan bagian saja, tapi dengan tenaga itu sudah cukup
untuk mengatasi Nyo Hoan. Waktunya makin panjang,
tenaga Nyo Hoan pun makin lemah, sebaliknya urat-urat
Yo Tun-hou makin lancar dan tenaganya makin penuh.
Menghindar ke sana menyingkir kemari, akhirnya Nyo
Hoan terdesak dalam sebuah posisi yang berbahaya.
Melihat itu si dara menjadi gelisah, tiba-tiba ia menjadi
nekat dan menggunakan jurus yang berbahaya.
Tubuhnya mengendap ke bawah terus menyelinap di
bawah golok seorang perwira, gerakannya cepat sekali.
Pada saat si perwira menurunkan goloknya, si dara
sudah berada di hadapannya, "Ces", pedangnya segera
bersarang di tenggorokan perwira itu.
"Co-tayjin, lekaslah kemari!" dua orang perwira
lainnya ketakutan dan berteriak memanggil Co Bong.
Tadi Co Bong minta mereka supaya bertahan sampai
sepuluh jurus, sampai saat itu mereka sudah bertahan
lebih dari sepuluh jurus. Tetapi rupanya Co Bong kelewat
mementingkan diri sendiri, tenaganya baru pulih 7-8
bagian. Ia taksir belum dapat mengalahkan dara itu,
maka ia hendak membiarkan anak buahnya
menghabiskan tenaga dara itu lebih dulu, baru nanti
mudah menangkapnya. Apa anak buahnya itu nanti
celaka atau tidak, dia tidak mau tahu.
"Jangan takut, jangan takut! Aku segera datang!"
demikian sahutnya, tetapi sekalipun mulut mengatakan
begitu, dia tetap enggan maju.
Dengan dapat membunuh seorang perwira, rantai
kepungan dapat diterobos si dara. Kini kedua perwira itu
tak dapat saling memberi bantuan, sebaliknya si dara

dapat mengembangkan permainannya. Hanya dalam


beberapa jurus saja, ia dapat memberesi kedua perwira
itu.
Sekarang barulah Co Bong melompat bangun, sambil
mencabut sepasang Ho-chiu-kau ia tertawa gelak-gelak,
"Budak perempuan, kau cantik sekali, ikut aku menjadi
pelayan kesayanganku saja. Beberapa tahun lagi tentu
akan kujadikan pengisi kamarku!"
Belum pernah si dara mendengar kata-kata sekotor
itu, ia mengerutkan alis dan memaki, "Bangsat jahanam,
jika tak kubunuh kau aku bersumpah takkan berhenti!"
Bagaikan rantai, pedangnya dimainkan dalam jurus Giokli-
tho-soh dan menusuk ke dada Co Bong.
"Haha, kau hendak membunuh aku? Tetapi aku
senang padamu," mulut Co Bong tertawa, tangannya
tetap bekerja. Serangan dara itu hebat sekali, benar Co
Bong dapat menangkis, tapi banyak menghabiskan
tenaganya. Akhirnya ia mengambil keputusan membunuh
dara itu dulu baru nanti membakar Kang Hay-thian.
Si dara buru-buru hendak menolong Nyo Hoan, untuk
itu ia harus membereskan Co Bong dulu. Karena
serangannya selalu kandas, ia menjadi bingung,
kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Co Bong
yang segera berganti dengan menyerang. Sepasang
kaitnya menari-nari melibat pedang si dara, memang
senjata itu gunanya khusus untuk menundukkan pedang.
Apalagi kepandaian Co Bong lebih tinggi dari si dara,
dalam sekejap saja dara itu menjadi kelabakan.
Untung ilmu pedang dara itu ajaran pusaka dari
keluarganya, menghadapi ancaman bahaya maut itu,
terpaksa ia curahkan seluruh perhatiannya, tak lagi ia

memikirkan menolong Nyo Hoan. Karena Co Bong tak


kenal sampai dimana kelihaian ilmu pedang si dara, ia
mempunyai kekuatiran juga, dengan begitu dia tidak
dapat lekas mengakhiri pertempuran.
Si dara dengan susah payah masih dapat bertahan,
tapi Nyo Hoan Hoan makin berbahaya keadaannya. Yo
Tun-hou sudah pulih tenaganya, pukulannya makin
keras, sebaliknya Nyo Hoan makin habis tenaganya,
bahkan untuk bertahan saja, sudah setengah mati
sukarnya. Kembali Yo Tun-hou dapat mengurung dan
mengayunkan tinju ke batok kepala Nyo Hoan, ini serupa
keadaannya yang tadi dimana dia kena ditipu Nyo Hoan.
Pada saat serangan ulangan itu dilakukan, Yo Tun-hou
berseru mengejek, "Ayo coba panggil lagi ayahmu!"
"Mati aku sekarang!" diam-diam Nyo Hoan menjerit
dalam hari. tapi bagaimanapun ia tetap pantang ayal.
Walaupun tahu tiada berguna, ia tetap menangkis juga.
Pukulan yang dilancarkan Yo Tun-hou itu keras dan
cepat sekali, ketika hampir tiba di ubun-ubun kepala Nyo
Hoan, entah apa sebabnya tiba-tiba ia merasa menggigil
dan tinjunya pun berhenti. Justru pada saat itu, tangan
Nyo Hoan yang bergerak dalam jurus Thian-cut-tho-ta
tadi meluncur datang, "Bluk", Yo Tun-hou terlempar
jatuh jungkir balik.
Nyo Hoan sendiri tercengang dengan kejadian itu.
Karena curiga jangan-jangan Yo Tun-hou hendak
menggunakan tipu, kembali ia susuli dengan sebuah
tendangan yang membuat Yo Tun-hou jungkir balik lagi.
Sepasang mata Yo Tun-hou mendelik, terang dia sudah
tak mampu berkutik lagi.

Ternyata yang memberi bantuan secara diam-diam itu


ialah Kang Hay-thian, penyaluran Lwekang Ta-sengthian-
tho-na-hoat tadi sudah selesai. Hawa murni yang
terpencar dalam tubuhnya hanya kurang sedikit yang
masih belum terpusat ke perut. Tapi dikarenakan hendak
menolong Nyo Hoan, terpaksa ia coba-coba
menggunakan Kek-khong-tiam-hiat (menotok jalan darah
dari jauh). Yang ditotok jalan darah di bahu Yo Tun-hou,
karena terkena totokan itu, pukulan maut Yo Tun-hou
pun menjadi macet.
Nyo Hoan tak tahu hal itu, ia mengira tenaganya
sendiri yang berhasil mengalahkan lawan, maka dengan
bangga ia lantas tertawa mengejek, "He, kiranya kau
juga tak punya guna!" Diambilnya belati yang jatuh di
tanah tadi, ia mengorek sebiji mata Yo Tun-hou dan
mengiris kedua daun telinganya, lalu bentaknya,
"Enyahlah, biarlah paman yang mengambil jiwamu
kelak!"
Sakit Yo Tun-hou tiada taranya. Karena menahan sakit
yang hebat, jalan darahnya pun terbuka. Dia tahu
tentulah Kang Hay-thian yang mencelakainya tadi, kuatir
orang she Kang itu akan mengambil jiwanya, begitu
diperintah pergi oleh Nyo Hoan, ia lantas lari sipat kuping
sambil mendekap kedua telinganya. Begitu keluar gua
barulah ia menjerit sekuat-kuatnya untuk menumpahkan
rasa kesakitannya.
Kang Hay-thian berhati welas asih, mendengar jeritan
Yo Tun-hou tadi, ia merasa kasihan, pikirnya, "Lebih baik
dibunuh saja daripada disiksa begitu. Anak itu memang
lihai, tetapi kelewat kejam!"

Penyaluran Lwekangnya belum selesai, karena


menggunakan Kek-khong-tiam-hiat tadi, sebagian hawa
murninya menyalur keluar dari perutnya lagi. Untung
saat itu tenaganya sudah pulih 8-9 bagian, jadi tak
begitu menjadi halangan. Dia tahu Nyo Hoan dan dara
itu dapat mengalahkan Co Bong, maka ia tak mau
memikirkan. Ia menundukkan kepala, memejamkan mata
dan menjalankan penyaluran lagi.
Co Bong ngeri mendengar jeritan Yo Tun-hou, buruburu
ia hendak melarikan diri, tapi sebelum dapat keluar
gua sudah diburu oleh Nyo Hoan.
"Kau menghina Taci misanku, apakah kau masih mau
hidup?" bentak Nyo Hoan yang melompat melampaui
kepala dan menusuknya.
Sebenarnya kepandaian Co Bong lebih tinggi dari
pemuda tanggung itu, tapi karena mengira anak muda
itu yang mengalahkan Yo Tun-hou, maka nyali Co Bong
pun pecah. Dengan sepasang Siang-kau ia hendak
merebut belati Nyo Hoan, gerakannya tepat sekali,
sayang dia sudah gentar, maka tangannya pun agak
gemetar sehingga kurang sempurna. Nyo Hoan cepat
menerobos lewat lubang kelemahan lawan, belati
diguratkan pada lengan orang dan berbareng itu si dara
pun sudah tiba dengan sebuah tikaman ke punggung,
kontan Co Bong jatuh terkulai ke tanah.
"Pembesar anjing itu telah menghinamu, maukah
engkau membunuhnya sendiri?" tanya Nyo Hoan.
"Aku tak ingin membunuh orang, tulang punggungnya
sudah putus, dia akan menjadi cacad selamanya, rasanya
sudah cukup bagiku, biarkan dia pergi," sahut si dara.

"Enci Wan, hati nuranimu baik sekali. Baiklah, dengan


memandang mukamu, kubebaskan dia dari kematian.
Bulu ini boleh kau ambil sebagai mainan," kata Nyo Hoan
yang telah mencabut bulu burung di kopiah Co Bong,
terus melemparkannya keluar gua.
Dara itu melengking tawa, "Bagus juga ini, terima
kasih. Tapi lebih baik kau berikan pada Siau-hoa saja,
biar dia tahu bahwa engkau sudah membalaskan rasa
penasarannya."
"Huh, apa kau kira aku hanya pandai mengambil hati
Siau-hoa saja? Umurnya masih kecil, biarpun kuberdaya
mengambil hatinya, dia toh takkan mengerti hatiku."
"Mengerti apa? Kau mempunyai hati apa?" tegur si
dara. "Kau sendiri yang berhati sempit, aku toh hanya
bergurau, kemana pikiranmu melayang? Baiklah,
sekarang mari kita bicara sungguh-sungguh. Tampaknya
anak itu pintar dan lincah, kau mau mengambilnya
pulang untuk dijadikan kacung tidak?"
"Aku tak mau meniru Siau-hoa, tak senang
mempunyai kacung laki-laki, tetapi kepandaian silat dan
nyali anak itu memang boleh. Coba bukalah jalan
darahnya yang tertotok dan tanya namanya. Masih
begitu kecil mengapa bermusuhan dengan Ki-lian-samsiu?"
"Aku enggan mengajukan begitu banyak pertanyaan
dan aku pun tak ingin bersahabat dengannya. Ah, hari
sudah sore, kita harus lekas pergi," sahut Nyo Hoan.
"Eh, menolong orang jangan kepalang tanggung, kan
hanya tambah sedikit pekerjaan saja," protes si dara.

"Aku bukan mengatakan takkan menolong dia. Baik,


akan kubuka jalan darahnya dan kita lantas pergi," sahut
Nyo Hoan.
Dia mengira membuka jalan darah hanyalah sedikit
gerakan yang gampang, tiada disangkanya bahwa
totokan Yo Tun-hou itu istimewa sekali. Beberapa kali
dicobanya, tetap tak berhasil, Lim To-kan sampai
meringis kesakitan tapi tak dapat merintih.
"Eh, bagaimana? Tidak bisa dibuka? Anak itu rupanya
menderita kesakitan sekali," seru si dara.
Merah muka Nyo Hoan, ia menghampiri Kang Haythian,
dilihatnya Kang Hay-thian tak tertotok jalan
darahnya. Penasarannya tadi kini ditumpahkan pada
Kang Hay-thian, dengan kedua tangan ia mendorong
tubuh Kang Hay-thian dan membentak, "Aku yang
menolong kau mengusir orang jahat, sebaliknya kau
enak-enak saja duduk di sini! Hm, siapa kau? Mengapa
orang-orang jahat itu tak membunuhmu? Apakah kau
teman mereka?"
Saat itu tepat tenaga Kang Hay-thian sudah selesai
menyalur, ia membelalakkan mata dan menyahut, "Ya,
aku menyesal tak dapat melindungi muridku sehingga
membikin repot padamu. Terima kasih, terima kasih!"
Sebagai jago nomor satu di dunia. Kang Hay-thian
lapang sekali dadanya, sekali-kali dia tak marah dengan
kelakuan Nyo Hoan yang kurangajar itu. Malah ia
memegang peraturan orang persilatan dengan
menganggap kedua muda-mudi itu sebagai penolongnya,
ia menjura kepada mereka.

Nyo Hoan tak tahu sebenarnya jiwanya tadi adalah


Kang Hay-thian yang menyelamatkan, rupanya dia
senang dihormati orang. Pemberian hormat Kang Haythian
itu tak dibalasnya.
"O, kiranya kau Suhu dari anak ini? Kepandaian
muridmu itu bagus juga, mengapa kau sendiri tak
berguna sama sekali? Kalau kau Suhunya, mengapa
kawanan penjahat itu tidak mengapa-apakan kau, tetapi
mengganggu muridmu?" Nyo Hoan kelewat iseng,
sebelum mendapat keterangan, tak mau ia pergi.
"Tulangku keras, penjahat itu tak mampu
membunuhku," sahut Kang Hay-thian.
"Apa maksudmu? Aneh sekali omonganmu itu, kau
mau menipu aku? Apa susahnya membunuh orang?" Nyo
Hoan merasa penasaran.
"Kawanan penjahat itu sudah mencobanya, tetapi
mereka sungguh-sungguh tak dapat membunuh aku. Aku
tak bohong."
"Baik, biar kucobanya!" teriak Nyo Hoan yang
mengangkat belati terus hendak menikamnya.
"Adik Hoan, dia seperti tak beres ingatan, mengapa
kau bersungguh-sungguh? Bukankah tujuanmu hendak
menolongnya, mengapa sekarang mau membunuhnya?"
cepat si dara menariknya.
Muka Nyo Hoan merah, ujarnya, "Ya, aku lupa kalau
dia gila."
Kang Hay-thian mendongkol dan geli, serunya, "Aku
tidak gila. Kalian berdua jangan pergi dulu, aku hendak
bicara."

Nyo Hoan menyimpan belatinya, sahutnya, "Kau gila


atau waras, aku tetap tak mau mempedulikan muridmu
lagi. Uruslah sendiri!"
Mendadak Kang Hay-thian menjulurkan jari telunjuk,
serangkum angin mendesis ke depan. Dari jarak tiga
tombak, ia membuka jalan darah To-kan, kemudian
serunya, "Kan-ji, kemarilah menghaturkan terima kasih
kepada kedua penolongmu ini."
Kejut sekali Nyo Hoan dibuatnya, pikirnya, "Eh,
ternyata dia lihai juga, mungkin dia tidak gila."
To-kan menghampiri dan menghaturkan terima kasih.
Karena darahnya masih belum normal, ia hanya dapat
mengucapkan separah terima kasih saja, padahal dalam
hati ia ingin mengajukan pertanyaan kepada Nyo Hoan
dan si dara.
Karena tadi tak mampu membuka jalan darah To-kan,
Nyo Hoan merasa kikuk, segera ia mengajak si dara
berlalu, tapi segera dicegah Kang Hay-thian pula.
"Apa? Kau masih hendak minta tolong apa lagi?" seru
Nyo Hoan.
"Tak dapat aku menerima pertolonganmu dengan
percuma, aku hendak membalas budimu. Kau minta apa?
Bukankah kalian gemar ilmu silat?" tanya Kang Haythian.
Nyo Hoan tak dapat menangkap maksudnya, ia
membelalakkan mata dan berseru, "Kalau ya, lalu
bagaimana?"
Sebaliknya si dara lebih cerdas dan cepat mengetahui
maksud Kang Hay-thian. Ia tertawa, "Tentunya kau

hendak memberi beberapa pelajaran ilmu silat pada kami


selaku balas budi, bukan?"
Orang yang lebih tinggi angkatannya memberi
pelajaran beberapa macam ilmu silat kepada anak muda
selaku hadiah atau membalas budi dengan memberi
beberapa jurus ilmu silat adalah sudah jamak di kalangan
persilatan. Dalam hal ini tak perlu orang harus saling
mengangkat guru dan murid.
Sebenarnya Nyo Hoan tak kalah pintar dengan si dara,
tetapi dia memang berwatak sombong, jadi tak sampai
memikirkan hal itu. Setelah mendengar ucapan si dara, ia
tertawa keras. Dengan menatap Kang Hay-thian ia
berkata, "Benarkah kau bermaksud begitu? Hahaha, ini
sungguh membuat orang mati tertawa. Hari ini kalau tak
kebetulan berjumpa dengan aku, mungkin jiwamu sudah
hilang, masakah kau mau memberi pelajaran silat
padaku? Jangankan kepandaianmu yang tak kuanggap
sama sekali, sekalipun orang yang jauh berpuluh kali
lebih lihai dari kau, aku pun tak sudi menerima
pelajarannya! Hahaha, jadi kau benar mempunyai
maksud begitu?"
Hay-thian membiarkan saja pemuda tanggung itu
mengoceh, setelah itu barulah ia tersenyum, "Baik,
kutarik usul itu dan anggaplah aku memang tak tahu
diri."
Saat itu darah To-kan sudah menyalur normal, ia tak
tahan mendengar kecongkakan Nyo Hoan, serunya,
"Nyo-kongcu, jangan kau memandang rendah Suhuku.
Suhuku ini ialah Kang-tayhiap, semua orang kenal pada
Kang Hay-thian, Kang-tayhiap!"

"Kan-ji, jangan sembarangan bicara. Suhumu hanya


orang biasa," tegur Hay-thian.
Masih To-kan menandaskan, "Itu bukan aku yang
mengatakan, sahabat-sahabat ayahku apabila
membicarakan tentang dirimu tentu memuji begitu."
Dengan rasa heran Nyo Hoan menatap Kang Haythian,
lalu menegas, "Kang-tayhiap siapa? Katamu,
orang-orang tentu kenal, tetapi aku belum pernah
mendengarnya. Hm, memang dengan ilmu Kek-khongtiam-
hiat yang kau pertunjukkan tadi, mungkin dapat
menakuti bangsa keroco persilatan. Julukan Tayhiap atau
Siauhiap memang lazim di dunia persilatan, kau
mempunyai kepandaian begitu dan mengangkat diri
sebagai Tayhiap juga tak ada orang yang melarang."
Sebenarnya dalam hati Nyo Hoan memuji ilmu Kekkhong-
tiam-hiat dari Kang Hay-thian tadi, tetapi dia
belum tahu sampai dimana sesungguhnya kepandaian
Kang Hay-thian itu. Memang Kek-khong-tiam-hiat
bukanlah suatu kepandaian yang luar biasa sekali, yang
membuat mendongkol Nyo Hoan ialah ketika diketahui
Kang Hay-thian hendak memberi pelajaran silat
kepadanya tadi. Anak itu congkak dan menganggap ilmu
silat keluarganya yang paling tinggi, ucapan Kang Haythian
tadi dianggapnya suatu penghinaan. Maka dalam
kata-katanya terhadap Kang Hay-thian ia selalu
meremehkan dan menusuk hati.
"Ah, anak kecil memang tak tahu urusan apa-apa,
telah kukatakan, aku bukan Tayhiap, harap Nyo-kongcu
tak usah mengambil hati sungguh-sungguh. Nyo-kongcu,
kau tentu murid seorang tokoh ternama. Sukakah kau
memberitahu nama yang m'ulia ayahmu?"

Sedapat mungkin Kang Hay-thian bersikap merendah,


memang ia heran, kalau anak itu saja sudah sedemikian
lihainya, ayahnya tentu seorang tokoh ternama, tapi
mengapa tak kenal padanya?
"Apa kau berminat hendak bersahabat dengan
ayahku? Jangan melamun. Ayahku itu buruk sekali
perangainya, dia tak mau mempedulikan orang
sembarangan. Tak perlu kau tanya namanya!" Nyo Hoan
terus hendak mengajak si dara pergi.
"Tunggu dulu, Nyo-kongcu!" cegah Hay-thian pula.
Nyo Hoan berpaling, sahutnya dengan tidak sabar,
"Mengapa kau terus menerus hendak merepotkan aku?
Hendak bicara apa lagi?"
"Maaf, aku hendak bertanya tentang seseorang
padamu. Kau mempunyai adik misan bernama Siau-hoa
dan ia mengambil seorang kacung, bukan?"
"Apa hubungannya dengan kau?" Nyo Hoan balas
bertanya.
"Bukankah kacung itu bernama Li Kong-he?" kembali
Hay-thian bertanya.
"Benar, kenalkah kau?" kini si dara yang menyeletuk.
"Dia adalah putra seorang sahabatku. Aku sedang
mencarinya. Siapakah nama pamanmu dan dimanakah
tempat tinggalnya?"
Nyo Hoan tertawa mencemooh, "Pamanku lebih ganas
dari ayah, dia membunuh orang tanpa berkedip. Orang
luar tak boleh datang ke tempatnya, jika kau ke sana, tak
usah dia turun tangan, bujangnya saja tentu akan
mencincangmu."

Kang Hay-thian hanya tersenyum, "Walaupun tak


kukenal namanya, tapi kutahu pamanmu itu ingin
bertemu dengan aku."
"Bagaimana kau tahu? Bohong!" teriak Nyo Hoan.
"Aku pernah berjumpa dengan adik misanmu Siauhoa.
Dia yang mengatakan sendiri."
"Siau-hoa memang pernah mengatakan padaku bahwa
ada seorang jahat hendak mencari anak itu," sahut Nyo
Hoan.
"Benar, tapi itu lain golongan lagi, bukan aku."
Nyo Hoan tertawa lebar, "Kutahu kau bukan orang
jahat, kau Kang-tayhiap. Sayang adik misanku tak
mengatakan tentang dirimu."
"Terus terang kuberitahukan, anak itu sebenarnya
muridku!" akhirnya Kang Hay-thian menerangkan.
"Sejak kecil aku sudah mengangkat saudara dengan
dia!" buru-buru To-kan turut menimbrung.
"Itu aku tak peduli. Tadi kau bilang pamanku hendak
berjumpa denganmu. Nah, tunggu saja sampai dia
datang mencarimu, jika tidak, silakan kau mencarinya
sendiri. Aku tak punya selera mendengarkan urusanmu,
aku hendak pergi!"
"Jangan kuatir, adik misanku akan memperlakukan
anak itu baik-baik. Begitu baik sampai engkoh Hoan ini
merasa cemburu!" seru si dara sambil mencibirkan bibir.
"Nona baik, aku hendak minta pertolongan suatu hal
padamu, namaku Lim To-kan. Kalau bertemu adik
misanmu itu, tolong kasih tahu padanya bahwa aku
masih hidup di dunia ini!"

Kembali si dara mengikik tawa. "Kau masih hidup, apa


hubungannya dengan dia? Toh belum tentu kau kenal
padanya?" sahut si dara.
"Aku hendak minta tolong padanya menyampaikan hal
itu pada Kong-he, supaya dia jangan sedih memikirkan
diriku!" jawab To-kan. "Baik, akan kuperhatikan," sahut
si dara.
"Siapa nama adik misanmu itu? Bolehkah aku tahu?
Kelak kalau ketemu padanya, biarlah aku menghaturkan
terima kasih," kata To-kan pula.
"Siau-hoa benar-benar menarik bagi setiap orang.
Baiklah, aku tak takut mengatakan namanya. Ia she Tiok,
namanya Ceng-hoa. Siapa nama pamanku, tak perlu kau
tanyakan."
"Ya, tetapi siapa namamu sendiri nona? Aku pun
hendak mengucapkan terima kasih padamu."
Agaknya dara itu senang kepada To-kan, ia tertawa,
"Jarang aku bertemu seorang anak yang berani, lincah
dan ceriwis seperti kau! Ya, akan kuberitahu agar kau
jangan terus bertanya. Aku she Siangkoan dan bernama
Wan. Yang menolong kau tadi adalah engkoh Nyo Hoan.
Jangan berterima kasih kepadaku."
Nyo Hoan menyahut dingin, "Kau memang cerewet
sekali. Karena hendak membalas rasa penasaran adik
misanku barulah kubunuh orang-orang tadi. Sekali-kali
bukan untuk kepentinganmu, maka janganlah berterima
kasih kepadaku. Aku she Nyo bernama Hoan, biar
kukasih tahu agar kau jangan cerewet tanya lagi. Enci
Wan, jangan lama-lama di sini mari kita pergi!" Rupanya
Nyo Hoan sudah tak sabar lagi.

"Tunggu!" tiba-tiba Kang Hay-thian berseru pula.


"Omonganmu sudah habis atau belum? Aku tak punya
waktu untuk mengobrol dengan kalian," Nyo Hoan
marah-marah.
"Maaf, mengganggu sebentar lagi. Aku hanya akan
mengucapkan beberapa patah kata untuk menyampaikan
isi hatiku," kata Kang Hay-thian.
"Apa yang hendak kau katakan, aku sudah tahu. Tak
perlu ribut-ribut lagi," tanpa berpaling Nyo Hoan keluar
gua. Ia menduga paling-paling Kang Hay-thian tentu
hanya berterima kasih saja.
Dengan tenang Kang Hay-thian berseru, "Nyo-kongcu,
nona Siangkoan, sekalipun kau sebenarnya bukan
menolong aku, tetapi aku merasa berhutang budi. Kelak
di kemudian hari jika kalian memerlukan bantuanku, asal
jangan pekerjaan jahat saja, aku tentu akan meluluskan.
Ingatlah!" Dia menggunakan Lwekang Thoan-im-jip-bit
(ilmu mengirim gelombang suara). Nyo Hoan dan si dara
yang sudah berjalan setengah li, masih mendengarnya
dengan jelas.
"Manusia itu sungguh tak tahu diri, masakah aku Nyo
Hoan sudi minta tolong orang luar? Segala urusan besar
di dunia ini, dapat diselesaikan oleh ayah dan pamanku,"
demikian Nyo Hoan menggerutu.
Sebaliknya Siangkoan Wan yang berjalan di belakang
cepat menyahuti pernyataan Kang Hay-thian tadi,
"Terima kasih atas kebaikanmu. Kuingat dalam hati, lebih
dulu aku berterima kasih."
Ia menyusul Nyo Hoan, katanya, "Mengapa kau begitu
tak tahu aturan? Kukira orang she Kang itu bukan orang
sembarangan."
"Persetan dia mempunyai riwayat hebat, tapi
kepandaiannya tetap tak bisa menangkan ayah dan
pamanku," sahut Nyo Hoan.
Apa yang dibicarakan kedua muda-mudi itu, Kang
Hay-thian tidak mendengar. Tapi sahutan si dara tadi ia
mendengarnya. Ia dapat menduga Nyo Hoan tentu
bersikap congkak.
"Budak she Nyo itu sungguh kelewat memandang
rendah Suhu, dia hanya menganggap sudah menolong
kita, tapi dia tak tahu kalau Suhu juga menolongnya.
Suhu, mengapa tak kau beritahukan padanya?" tanya Tokan.
Kiranya gerakan Kek-khong-tiam-hiat yang*
dilancarkan Kang Hay-thian tadi dapat diketahui jelas
oleh To-kan. Ini bukan berarti bahwa kepandaiannya
lebih tinggi dari Nyo Hoan, sebabnya ialah karena ia
berada di sudut gua dan menumpahkan seluruh
perhatian pada pertempuran di situ. Dan lagi dalam
beberapa hari itu ia sudah berhasil mempelajari ilmu
Tiam-hiat dari Kang Hay-thian.
"Mengapa aku mengimbangi sikap seorang anak? Dan
lagi memang dia telah memberi pertolongan pada kita.
Seorang ksatria harus mengingat segi kebaikan orang
lain, jangan segi keburukannya, kecuali apabila orang itu
memang benar-benar orang dorna, itu lain halnya."
"Benar, terima kasih atas petuah Suhu," sahut To-kan.

Hay-thian tertawa lebar, "Kan-ji, aku bersyukur karena


kau lekas dapat menangkap sesuatu. Baiklah, kita juga
harus pergi!"
To-kan mengikuti sang Suhu keluar gua, dirasakannya
langkah kakinya ringan sekali, lebih lincah dari beberapa
hari yang lalu. Diam-diam ia kagum atas kesaktian ilmu
Lwekang Suhunya dan sebaliknya menertawakan
kecongkakan Nyo Hoan yang sudah menyangka "emas
sebagai loyang".
Mendaki ke atas gunung, dari arah Cong-liong-poh
tampak asap masih mengepul, bangunan-bangunan di
daerah itu sudah menjadi puing. Teringat akan bujang
Tio yang melindungi dirinya, To-kan melelehkan air mata,
katanya dengan suara tersekat, "Paman Tio tentu
mengalami bahaya. Kawanan penjahat yang melepas api
itu, ingin sekali aku membunuhnya."
Kang Hay-thian mengelus-elus kepala bocah itu,
"Bagus, nak, catatlah perhitungan itu. Tetapi kau harus
ingat bahwa yang jadi korban kaki-tangan musuh masih
banyak orang lagi. Membalas dendam tidak hanya
mengandalkan keberanian dan jangan terburu nafsu.
Contohlah ayah dan pamanmu Li. Hanya setelah dapat
mengusir musuh negara, baru kita dapat berbakti kepada
negara."
"Baik. Setelah mendapat ilmu pelajaran dari Suhu, aku
tentu akan mencari ayah. Sayang paman Li sudah
dibunuh musuh, engkoh Kong-he kini sudah dijadikan
kacung orang, entah sampai kapan baru kita dapat
berjumpa lagi?" sahut To-kan.
"Untung sekarang sudah menemukan sedikit jejaknya
bahwa dia berada dalam keluarga Tiok. Orang she Tiok

itu terang seorang tokoh persilatan yang lihai, perlahanlahan


kita tentu dapat menyelidikinya."
To-kan menanyakan kemana mereka hendak menuju.
Jawab Kang Hay-thian, "Lebih dulu hendak kuajak kau
menemui Toasuhengmu, kemudian baru kita berunding
lagi. Toasuhengmu itu bernama Yap Leng-hong, kusuruh
dia menunggu di kota Jiok-oh."
Dari Bici ke kota itu, berkuda pun harus memakan
waktu 5-6 hari. Tempo datang ke Bici, Kang Hay-thian
siang malam menggunakan ilmu berlari cepat, itupun
harus empat hari. Sekarang karena membawa To-kan,
sudah tentu ia tak dapat lari cepat, walaupun lari
keduanya jauh lebih pesat dari orang biasa, tapi waktu
tiba di Jiok-oh juga membutuhkan sebelas hari. Telah
dijanjikan kepada Leng-hong bahwa paling cepat delapan
hari paling lama sepuluh hari Kang Hay-thian tentu sudah
kembali ke Jiok-oh. Tetapi karena mendapat luka, total
jenderal 18 hari kemudian baru ia tiba di Jiok-oh. Jadi 8
hari lebih lama dari waktu yang dijanjikan.
Kang Hay-thian mengira toh Leng-hong senggang,
walaupun terlambat hampir seminggu, tentu masih tetap
menunggu di kota itu. Di luar dugaan, Leng-Hong telah
berbuat lain.
Memang selama 8 sampai 10 hari, ia tetap menunggu
dengan tenang. Tiap hari ia giat berlatih pelajaranpelajaran
yang diberikan Suhunya selama dalam
perjalanan itu. Dan karena jarang keluar pintu,
pelajarannya pun maju pesat. Lewat hari yang ke-10, dia
telah mencapai tingkat tertentu, tapi berbareng itu dia
pun mulai gelisah memikirkan Suhunya.

"Meskipun kepandaian Suhu sakti sekali, tapi dia


hanya seorang diri. Kawanan Ko-chiu yang hendak
menangkap Lim Jing itu berjumlah banyak, mungkin dia
kesamplok rombongan Ko-chiu itu. Ah, gelagatnya lebih
banyak celakanya, jika tak meninggal tentu Suhu akan
terluka berat," pikirnya.
Makin memikirkan makin besar kegelisahannya, "Aku
ini murid kepala dari Kang-tayhiap, banyak sudah orang
persilatan yang tahu. Jika tahu sampai mengalami
kecelakaan, aku tentu terembet. Dahulu ketika bertemu
musuh di gunung Thay-san, untung ada Siau Ci-wan
yang membantu. Kali ini jika bersua lawan, bagaimana
aku dapat menghadapinya seorang diri? Lebih baik di
antara 36 siasat, lari adalah yang paling sempurna!"
"Tapi ah lari kemana? Pulang?" Terlintas dalam
pikirannya ketika hendak pergi, ia pernah bersumpah
takkan pulang lagi. Juga teringat akan cita-citanya yang
belum terlaksana, kalau pulang tentu akan kehilangan
muka.
Tiba-tiba terbayang dalam benaknya bayangan
seorang dara yang cantik. Dara itu ialah sumoaynya atau
Kang Hiau-hu, putri Suhunya,
"Ya, mengapa aku tak pulang saja ke rumah Suhu?
Subo adalah pemimpin partai Bin-san-pay, ia tentu dapat
melindungi diriku. Ha, ini sekali dayung dua tepian
namanya, bukankah memang aku rindu pulang menemui
Sumoay? ... Tapi kalau Subo bertanya, bagaimana
jawabku? Suhu belum jelas beritanya. Apakah aku bisa
sembarangan mengatakan beliau sudah meninggal? Ah,
apakah lebih baik kukatakan saja kalau beliau tertangkap
oleh kawanan Tay-lwe Ko-chiu?"

Demikian rencana-rencana yang berlalu lalang dalam


pikiran Leng-hong. Kedua ekor kuda Jik-liong-ma dan
Pek-liong-ma, setelah dirawat selama sepuluhan hari
sudah sembuh sama sekali, kedua kuda itu dalam sehari
dapat menempuh seribu li. Sebenarnya Leng-hong dapat
berkuda mencari berita ke Bici, toh hanya makan waktu
dua hari saja, tetapi pertama, karena ia tak berani dan
kedua, karena ia hanya mementingkan diri sendiri. Jika
pergi ke Bici dan tak dapat berjumpa dengan Suhunya,
berarti terjerat bahaya pula, kalau berhasil menemui
Suhunya tak kurang suatu apa pun, ia tentu akan diajak
mencari Li Kong-he. Ah, entah kapan ia dapat berjumpa
lagi dengan Sumoaynya itu?
Tak apalah jika Sumoaynya hanya seorang diri dan
menunggu kedatangannya, tapi yang jelas di rumah
terdapat Sutenya, Ubun Hiong, yang sedang merawat
sakit. Teringat bagaimana sewaktu di dalam lembah, ia
dapatkan Sumoaynya begitu mesra terhadap Ubun
Hiong, bergolaklah rasa cemburu dalam hati Leng-hong,
pikirnya, "Jika sekarang aku tak lekas pulang, kalau
sampai di dahului budak Ubun Hiong itu, aku tentu gigit
jari nanti. Ya, akan kukatakan kepada Subo kalau Suhu
menuju ke Bici dan tiada beritanya lagi. Di tengah jalan
aku berjumpa musuh, karena jejaknya sudaTi ketahuan
musuh, terpaksa aku pulang memberi berita kepada
Subo. Kelak apabila Suhu tak mengalami sesuatu dan
pulang, karena waktu yang dijanjikan sudah lewat, dia
tentu takkan menyalahkan tindakanku pulang sendirian
itu. Aku pulang melapor Subo, juga termasuk memikirkan
kepentingan Suhu. Siapa tahu Suhu bahkan akan memuji
padaku karena dapat mengambil keputusan dalam waktu
yang genting."

Pikiran bulat, putusan tetap. Saat itu sudah petang, ia


memutuskan besok pagi saja akan berangkat, maka ia
lantas keluar membeli rangsum dan lain-lain bekal
perjalanan, di antaranya dibeliny.i juga pelana baru
untuk kuda. Jiok-oh itu sebuah kota kabupaten yang
kecil, habis berputar-putar membeli barang, tibalah ia di
sebuah jakin yang sepi di dekat pintu kota, tiba-tiba dia
bertemu seseorang.
Seorang lelaki yang alisnya tebal, mata besar dan
jenggotnya lurus kaku, tiba-tiba ia berhenti menghadang,
"Sungguh kebetulan sekali, mana Suhumu? Hai,
mengapa matamu membelalak, tidak kenal aku?"
Leng-hong tersentak kaget. Orang lelaki itu bukan lain
ialah penjahat besar Utti Keng yang pernah membuatnya
malu ketika di tempat partai Kaypang cabang Tek-ciu
memukul pedangnya hanya dengan gulungan tanah liat.
Karena rasa kejut itu, otomatis Leng-hong menyingkir
ke samping. Tapi sekali mengulurkan tangannya yang
segede kipas, Utti Keng dapat menyambarnya, dia
tertawa gelak-gelak, "Jangan takut, aku dan Suhumu
sudah menjadi kawan, masakah aku mau memukulmu.
Hai, budak, mengapa kau pukul aku?"
Waktu disambar tadi, kontan saja Leng-hong
mendorongnya. Utti Keng terhuyung-huyung, ujung
bibirnya mengucurkan darah. Tapi secepat itu juga ia
menyambar tubuh Leng-hong dengan kelima jarinya
yang sekeras jepitan baja, kini Leng-hong tak dapat
berkutik lagi.
"Tadi aku tak sengaja memukulmu. Kau ... kau
mengapa menyeret aku?" tegurnya gugup.

Dengan napas terengah-engah Utti Keng membentak,


"Lekas bawa aku kepada Suhumu!"
Leng-hong heran ketika mengawasi dengan cermat,
barulah diketahuinya wajah orang she Utti itu pucat
seperti orang sakit. Pakaiannya terdapat noda darah,
menandakan orangnya tentu menderita luka.
"Perlu apa kau ingin bertemu Suhuku? Bilang dulu
yang jelas," sahut Leng-hong. Ia memperhitungkan Utti
Keng tentu terluka, maka rasa takutnya pun berkurang.
"Apakah kau tak melihat aku terluka? Di belakang ada
tiga orang kuku garuda yang mengejar aku! Jangan
banyak omong, lekas antarkan aku kepada Kangtayhiap."
Kuku garuda adalah istilah untuk orang-orang
persilatan yang berhamba pada penjajah.
Leng-hong membantah lagi, "Lepaskan dulu
tanganmu, nanti kukasih tahu."
Utti Keng tertawa, "Budak, bukankah belum tiga bulan
kau mengangkat Suhu? Kini kepandaianmu sudah
berlipat dari dulu. Hampir saja tadi aku kena kau dorong
jatuh." Ia lepaskan cekalannya. Leng-hong juga
terhuyung dulu sebelum dapat berdiri tegak.
"Orang ini menderita luka berat tapi masih begitu lihai.
Tubuhnya mengalirkan darah dan mulutnya muntah
darah, dia tentu terluka dalam yang parah. Ketiga kuku
garuda yang mengalahkannya itu tentu jago-jago yang
jempol. Ah, celaka, celaka. Lebih baik aku tak ikut
campur dalam urusan ini," pikir Leng-hong.

Sudah tentu Utti Keng tak tahu yang dipikirkan anak


muda itu. Karena Leng-hong itu murid Kang Hay-thian,
maka dianggapnya seperti orang sendiri. Sedikitpun ia
tak menaruh di hati akan urusan yang lampau, ia segera
mengajak Leng-hong lekas berjalan.
"O, kiranya kau hendak minta pertolongan pada
Suhuku?" tawar-tawar saja Leng-hong menyahut.
Utti Keng menyahut marah, "Kau hendak mengolok
aku? Ya, memang. Selama hidup aku tak pernah
meminta tolong orang kecuali Kang-tayhiap. Karena
menjunjung tinggi Suhumu, maka aku baru mau minta
tolong padanya. Apakah kau enggan mengantarkan
aku?"
Leng-hong pernah merasakan pil pahit dari orang itu
dan tahu pula wataknya yang berangasan. Mungkin kalau
salah bicara, bogem mentah bisa melayang ke kepala,
tak berani lagi ia bicara dengan nada dingin. Ia
memberitahukan sungguh-sungguh bahwa Suhunya
berada di kota itu.
"Celaka, mengapa tak lekas kau katakan?" Utti Keng
banting-banting kaki. Kiranya tadi dia hendak mencari
seorang sahabat Hek-to di kota itu, tapi sahabatnya itu
tak begitu erat padanya, kepandaiannya juga hanya
tergolong tokoh kelas dua saja. Satu-satunya yang
menjadi harapan Utti Keng bahwa sahabatnya itu
seorang tokoh yang menjunjung tinggi pribadi. Karena
dikejar musuh, terpaksa Utti Keng hendak lari ke tempat
sahabatnya itu, tapi waktu berjumpa dengan Leng-hong,
ia segera merubah rencananya semula.
Sampai sekian lama adu mulut, barulah diketahui
kalau Kang Hay-thian tak ada di kota situ. Coba tadi-tadi

Leng-hong mengatakan begitu, ia masih sempat lari


mencapai sahabatnya itu, kini segalanya sudah kasip.
"Maaf, Suhu tak di sini dan aku tak mampu
membantumu. Carilah dia sendiri saja, mudah-mudahan
kau selamat tak kurang suatu apa, semoga lain kali bisa
bertemu lagi," kata Leng-hong.
Utti Keng membelalakkan sepasang matanya dan
melangkah ke depan Leng-hong, "Tunggu dulu!"
"Mengapa?"
"Tungganganmu Jik-liong-ma atau Pek-liong-ma?
Pinjamkan yang seekor padaku untuk sementara!" kata
Utti Keng. Ia pernah naik Pek-liong-ma dan tahu juga
kalau Jik-liong-ma itu tak kalah dengan Pek-liong-ma.
Asal ia naik kuda itu tentu dapat meloloskan diri dari
kejaran musuh.
Leng-hong cerdik sekali, apa yang dipikirkan Utti Keng,
sebelumnya ia sudah dapat mengira. Dia mempunyai
pertimbangan sendiri, pikirnya, "Sebenarnya tak susah
aku menolongmu. Memang kedua kuda itu alat yang
paling tepat, tapi perlu apa aku harus menolong orang
yang pernah membikin malu padaku? Perlu apa aku
harus repot-repot melayani orang yang terluka? Apalagi
aku harus lekas pulang menemui Sumoay. Ini lebih tak
memungkinkan aku membawamu bersama-sama."
"Hai, mengapa kau terlongong saja? Bagaimana, mau
meminjami atau tidak?" teriak Utti Keng.
"Terus terang saja, aku hanya membawa seekor kuda.
Tapi bukan Pek-liong-ma juga bukan Jik-liong-ma. Pula
kudaku itu tengah sakit!" sahut Leng-hong.

Sebagai seorang yang sudah berpengalaman, dari


wajah si anak, Utti Keng tahu kalau dibohongi. "Budak,
mengecewakan saja kau menjadi murid Kang-tayhiap.
Sedikitpun kau tak punya nyali lelaki! Di hadapan orang
yang berpengalaman jangan suka berdusta. Kau tak mau
meminjami, bukan?" ia mengulurkan tangannya untuk
mencekal Leng-hong lagi.
"Kalau mau minta pertolongan paling tidak
kau harus mengucapkan kata-kata yang baik, tetapi kau
terus selalu main pukul dan tendang saja. Kau menghina
aku sih tak apa, tetapi kau terlalu tak memandang muka
pada Suhuku!"
Utti Keng terkesiap, ia menghela napas, "Naga yang
terdampar di air dangkal tentu dipermainkan udang.
Harimau yang berada di tanah datar akan dihina anjing.
Sudahlah, tak seharusnya aku minta tolong padamu!"
Dalam marahnya Utti Keng mendorong Leng-hong
sampai beberapa langkah. Diam-diam Leng-hong
bergirang dalam hati, ia putar tubuh terus lari.
Tiba-tiba pada lain saat terlintas sesuatu dalam pikiran
Utti Keng, "Ah salah, salah. Budak itu jangan-jangan
menipu aku!" Ia menghimpun tenaga dan menahan
sakitnya terus mengejar Leng-hong.
Kesangsian timbul dalam hati Utti Keng, masakah
Kang Hay-thian membawa muridnya berkelana di luaran
lantas meninggalkan dia begitu saja di sebuah kota kecil?
Tentu anak itu sendiri yang merintangi supaya dia jangan
sampai bertemu dengan Kang Hay-thian. "Kang Haythian
seorang pendekar budiman, aku tak boleh
menilainya seperti anak itu," pikirnya, ia menduga Kang
Hay-thian tentu berada di kota itu.

Ketika berpaling dan mendapatkan Utti Keng


mengejar, kejut Leng-hong bukan kepalang, serunya,
"Mengapa kau tak lekas mencari tempat bersembunyi,
sebaliknya mati-matian mengikuti aku?"
"Aku ingin pergi ke tempat pondokmu menjumpai
Suhumu!" sahut Utti Keng.
"Suhu tak berada di sini. Kalau tak percaya, kau tentu
menyesal!"
"Tahukah kau kalau aku ini seorang benggolan yang
membunuh orang seperti jiwa lalat? Suhumu di sini, kau
kuanggap sahabatku. Jika dia tak di sini, hehe, tak perlu
aku bersahabat denganmu lagi! Tetapi bukannya aku
hendak membunuhmu, melainkan hanya meminjam
kudamu saja. Jelasnya, bukannya aku minta pertolongan
padamu melainkan aku hendak merampas kudamu.
Terserah, kau suka atau tidak, kau rela atau tidak."
Leng-hong mengeluh dalam hati, diam-diam ia
mencari akal bagaimana menghindari momok ini. Tibatiba
terdengar derap kuda lari, tiga ekor kuda menerobos
masuk kota dengan pesat. Kejut Leng-hong bukan
kepalang, yang datang itu tiga perwira. Salah seorang
dikenalnya sebagai Lok Khik-si dari kawanan Ki-lian-samsiu.
Setelah terluka di Cong-liong-poh, orang she Lok itu
segera minta bantuan pada kedua perwira kawannya,
yakni Ho Lan-bing, wakil komandan Gi-lim-kun dan Li
Tay-cin seorang Si-wi. Pasukan Gi-lim-kun mempunyai
dua orang wakil komandan, yakni Ho Lan-bing dan Co
Bong. Kepandaian Ho Lan-bing lebih tinggi dari Co Bong,
Li Tay-cin juga termasuk jago pilihan dalam pasukan Siwi.

Sejak berpisah dengan istrinya, Utti Keng menuju ke


Soasay menjenguk sahabatnya dan sekalian mencari
putra Li Bun-sing. Meskipun dia sudah minta tolong pada
Kang Hay-thian, tapi masih merasa tak enak kalau tak
turut mencari atau sekurang-kurangnya membantu
mencari berita untuk disampaikan pada Kang Hay-thian.
Secara kebetulan ia berjumpa dengan rombongan Ho
Lan-bing, seorang Ho Lan-bing saja sudah cukup berat,
apalagi ditambah Li Tay-cin. Juga Lok Khik-si yang sudah
sembuh lukanya dapat melukai Li Tay-cin dan
membunuh kuda tunggangan lawan-lawannya. Setelah
mencari ganti kuda, barulah ketiga orang itu mengejar
lagi.
"Lekas, sekarang kita harus sama-sama melawan
bahaya!" Utti Keng menarik Leng-hong dan
membisikinya. Bagaimanapun jeleknya, Leng-hong juga
murid Kang Hay-thian. Dalam keadaan begitu, Utti Keng
tetap menganggap sebagai orang pihaknya.
Mereka saat itu berada di sebuah jalanan kecil dekat
pintu kota yang tak jauh dari jalan besar. Kala itu hari
sudah petang. Gang-gang yang terdapat di kota itu yang
paling panjang hanya 10-an tombak jauhnya. Kuda sukar
berlari cepat di situ. Justru ini membantu Utti Keng.
Leng-hong bersangsi sejenak, lalu berkata, "Lebih baik
kita lari berpencar, supaya memecah perhatian mereka."
Sebenarnya ia enggan tersangkut dalam urusan Utti
Keng. Ia memperhitungkan jika cepat-cepat menyelinap
kembali ke hotel, ia hendak naik kuda untuk lari lebih
dulu. Dan dengan lari berpencar itu, ketiga kuku garuda
itu tentu akan mengejar Utti Keng saja.

Utti Keng marah, tapi tak leluasa mendamprat. Tepat


pada saat itu mata Ho Lan-bing yang jeli segera melihat
bayangan Utti Keng. Dia tertawa gelak-gelak, "Bangsat
terkutuk, masih mimpi ingin lari? Ha, dia hanya punya
seorang teman, tak perlu ditakuti. Ringkus saja mereka!"
"Apakah tidak diharuskan menangkap hidup?" tanya
Lok Khik-si. "Benar, tapi jika tak dapat menangkap hidup,
mati pun boleh," sahut Ho Lan-bing.
Lok Khik-si memijat alat Lok-kak-jat. "Serrr, serrr,
serr", tiga batang panah meluncur.
Mendengar dirinya dianggap sebagai komplotan Utti
Keng, Leng-hong lari sipat kuping. Tapi sekencangkencangnya
ia berlari, tetap tak dapat melampaui
kecepatan panah itu. Pada saat ia hampir celaka, Utti
Keng dengan sebarnya memukul jatuh dua batang
panah, kemudian melompat ke muka dan dengan
pukulan Pik-khong-ciang menghantam panah yang
mengarah Leng-hong.
Ho Lan-bing dan kawan-kawannya melompat turun
dari kuda, terus menerjang.
"Kalau datang tak disambut itu kurang aturan
namanya, lihat pukulan besi ini!" bentak Utti Keng yang
melontarkan tiga batang Hui-jui. Karena terluka,
tenaganya menjadi berkurang. Ketiga Hui-jui itu dapat
dipukul jatuh oleh lawan, tapi sekurang-kurangnya pun
dapat merintangi mereka untuk beberapa jenak.
"Setan cilik, tenanglah sedikit! Dengarkan angin untuk
menentukan datangnya senjata, cabut pedangmu untuk
menjaga diri. Baik kau boleh di muka aku yang
melindungi di belakang," dengan bisik-bisik Utti Keng

mendamprat. Ia anggap sebagai murid Kang Hay-thian,


Leng-hong tentu sudah tahu apa yang disebut ilmu Pianhong-
thing-ki (mendengarkan angin menentukan
datangnya senjata) itu, siapa tahu Leng-hong tak banyak
mengetahui tentang ilmu silat yang tinggi. Dalam
gugupnya ia hanya memutar pedang dan lari membabi
buta, justru karena pedang bercahaya mengkilat, maka
musuh tahu arah larinya.
"Hahaha, anak ayam yang baru keluar dari
sangkarnya," Ho Lan-bing tertawa gelak-gelak. Nyali
mereka bertiga makin besar, dengan Kim-ci-piau, Huihong-
ciok dan lain-lain, mereka menghujani orang
buruannya. Utti Keng tetap menggunakan Pik-khongciang
untuk menyapu serangan itu. Sekali-kali juga balas
melontarkan Hui-jui, tapi dengan berbuat begitu,
tenaganya makin habis.
Pada malam hari, jalanan di kota Jiok-oh sepi dengan
orang, toko-toko sebagian besar sudah tutup. Bahwa
pada saat-saat seperti itu tiba-tiba muncul tiga perwira
mengejar dua orang buronan makin membuat orangorang
lari ketakutan. Toko-toko yang masih buka ribut
menutup pintu. Benar senjata-senjata rahasia itu tak
sampai mengenai orang, tapi suaranya yang mendesingdesing
di jalanan cukup membuat panik orang. Utti Keng
tiada tempat lagi untuk bersembunyi, satu-satunya
harapan adalah lekas tiba di hotel Leng-hong. Sekalipun
Kang Hay-thian benar tak ada, ia masih dapat naik kuda
meloloskan diri.
Setelah melintasi beberapa jalan kecil, senjata Hui-jui
Utti Keng sudah habis. Tak lagi ia dapat balas
menyerang, sedang lawan tetap menyerang dengan
gencar. Tiba-tiba dilihatnya Leng-hong melompat ke atas

sebuah rumah penduduk, ia menduga hotel anak itu


tentu sudah dekat. Seketika semangatnya timbul lagi, ia
turut melompat.
Ho Lan-bing menimpukkan tiga batang panah, karena
melompatnya kurang lincah, betis kanan Utti Keng
termakan sebuah panah. Utti Keng menekan payon
untuk berjumpalitan melompat ke atas genteng. Lukanya
membuat tubuhnya berguncang dan kaki terhuyunghuyung.
Sekonyong-konyong Leng-hong membalikkan badan,
bukannya menolong, sebaliknya menghantam Utti Keng.
Mimpi pun Utti Keng tidak nyana kalau ia bakal mendapat
perlakuan begitu rupa, sudah jatuh tertindih tangga pula.
Betapa lihainya, sukar juga ia menghindar, pukulan itu
tepat sekali mengenainya. Utti Keng terpelanting jungkir
balik.
Rupanya Leng-hong tahu Utti Keng terluka berat dan
segera mengatur rencana. Ia sengaja melompat ke
sebuah rumah, ketika Utti Keng mengikutinya, segera ia
turun tangan ganas.
Saking marahnya Utti Keng sampai pusing kepala, ia
mencaci-maki, "Bangsat cilik, kau ini bukan manusia!"
Belum selesai ia memaki, Ho Lan-bing dan lain-lain
sudah datang dengan tertawa lebar dan berseru,
"Sungguh seorang anak yang pandai. Bagus sekali
tindakanmu, kau berjasa. Tak perlu lari, turun dan
terimalah hadiahmu!"
Li Tay-cin yang telah menelan pil pahit dari Utti Keng,
saat itupun datang untuk membalas sakit hati dan

mencari jasa. la keprak kudanya terus hendak


menangkap Utti Keng hidup-hidup.
Utti Keng ambil keputusan untuk menghadapi musuh
dulu, baru kelak membikin perhitungan lagi pada Lenghong.
Ia menggerung keras, sambil melompat ia
melontarkan sebuah pukulan.
Li Tay-cin tak menyangka sama sekali bahwa dalam
keadaan terluka Utti Keng masih sedemikian dahsyatnya.
Pukulan itu membuatnya muntah darah dan terjungkal
jatuh.
"Bangsat, sudah mau mati masih tak mau menyerah?"
bentak Ho Lan-bing dengan gusar dan menyabetkan
pian, sedang Lok Khik-si pun lantas membantunya
melepaskan senjata rahasia.
Tepat seperti yang diduga Leng-hong, yang dikejar
adalah Utti Keng dan bukan dirinya.
Segagah-gagahnya Utti Keng, karena menderita luka
parah dan seorang diri menghadapi musuh-musuh yang
tangguh, setelah memberi perlawanan gigih sampai
berpuluh-puluh jurus, akhirnya kena ditangkap Ho Lanbing
juga.
Leng-hong lari terbirit-birit. Sayup-sayup masih
didengarnya Utti Keng bertempur dengan berteriakteriak,
makin lama makin lemah untuk kemudian
berhenti. Ia menduga Utti Keng tentu sudah tertangkap.
Ketika tiba di hotel, Leng-hong menghembuskan
napas longgar, pikirnya, "Untung kawanan alap-alap itu
tak tahu diriku. Utti Keng seorang lelaki keras, sebencibencinya
kepadaku, dengan memandang muka Suhu, tak
nanti dia akan merembet pada diriku."

Berpikir sampai di situ, merahlah mukanya,


bagaimanapun nuraninya belum hilang. Saat itu
kesadarannya timbul dan gelisahlah hatinya. Utti Keng
seorang laki-laki jantan, tapi bagaimana dengan dirinya
sendiri?
Leng-hong tertawa rawan, "Kawanan kuku garuda itu
menyuruh aku menerima hadiah, hehe, mana mereka
tahu pikiranku? Aku dikiranya seorang manusia rendah
yang suka menjual kawan!"
Ia mengejek, tertawa sendiri. Ia mencari dalih
membersihkan diri tapi kebingungan sendiri. Pikirnya
pula, "Seorang lelaki harus dapat menyesuaikan
keadaan, Utti Keng bukan sahabatku dan aku pun tak
berdaya membantunya. Masa depan seorang penjahat
yang ganas serta pernah menghina padaku, kuberi dia
sebuah pukulan, itu sudah jamak. Ah, sudahlah, tak perlu
memikirkannya lagi. Yang penting, setelah mereka
menangkap Utti Keng, jangan-jangan masih akan
mengejar aku lagi. Aku harus lekas berkuda melarikan
diri!" Dia mencari-cari dalih membela diri dan ia
menganggap dirinya tak bersalah.
Tetamu-tetamu di hotel situ telah mendengar berita
tentang tentara pemerintah melakukan penangkapan
pada buronan. Mereka bersembunyi di dalam kamar
masing-masing, pemilik dan jongos hotel berkumpul di
ruangan kasir, mereka siap menunggu apabila hotel itu
digrebeg. Kedatangan Leng-hong dengan melalui jendela
itu tiada diketahui orang sama sekali.
Bergegas ia mengemasi perbekalannya, ia tinggalkan
sekeping perak selaku pembayaran sewa kamar dan
diam-diam lantas menyelinap keluar. Istal kuda terletak

di pinggir hotel, memang perlengkapan istal kuda di kota


kecil situ amat sederhana sekali. Tiada petugas yang
mengurusnya, di dalam Istal pun hanya terdapat kedua
ekor kuda milik Leng-hong itu.
Leng-hong mempercepat langkahnya, ketika hendak
membuka tali pengikat kuda, dalam kegelapan terdengar
suara tertawa mengekeh, nadanya seperti burung hantu.
"Siapa?" Leng-hong terkejut.
"Yap-kongcu, bagus sekali perbuatanmu!" sebuah
sahutan yang bernada ejek terdengar.
Leng-hong mencabut pedang terus ditusukkan ke arah
suara itu, tapi cekatan sekali orang itu, "Cret", pedang
Leng-hong hanya menusuk tiang pengikat tali. Orang itu
tak membalas melainkan berseru, "Ho Lan-bing dan Tokkak-
lok segera akan mengejar kemari. Di saat begini kau
masih hendak berkelahi dengan aku? Apakah kau ingin
menunggu mereka datang menangkapmu?"
Nada orang itu seperti tak mengandung maksud
buruk, Leng-hong buru-buru mencabut pedangnya untuk
memapas tali pengikat kuda, kembali orang aneh itu
memperdengarkan ketawanya yang seram. Untuk
meniaga serangan gelap, Leng-hong melintangkan
pedangnya di dada.
"Perlu apa kau seorang diri menggunakan dua ekor
kuda? Yang seekor ini berikan padakulah/' terdengar
suara orang itu lagi. Rupanya di tempat yang gelap itu ia
dapat melihat jelas tindakan Leng-hong. Sebelum Lenghong
menjambret kudanya yang kedua, orang itu sudah
mendahului berseru.

Sementara itu suara teriakan Ho Lan-bing dan kawankawannya


sudah terdengar. Leng-hong tak berani ribut
mulut dengan orang aneh itu, setelah menerobos keluar
istal, segera ia melompat ke atas Pek-Iiong-ma dan
mencongklangnya. Saat itu Ho Lang-bing dan Lok Khik-si
sudah tiba di sebuah gang, begitu melihat Leng-hong,
berserulah Ho Lan-bing, "Anak baik, hebat benar kudamu
itu! Hai, mengapa kau lari? Kau sudah berjasa, apa tak
ingin menerima pangkat dan kekayaan?"
Leng-hong menyempatkan diri untuk berpaling
sejenak, tampak Utti Keng telah diborgol, tali rantainya
dipegang Ho Lang bing. Mata Utti Keng berapi-api
menatap Leng-hong, tak berani Leng-hong beradu
pandang, ia mengeprak kudanya berlari ke arah yang
berlawanan.
"Hm, budak itu tak mau ikut kita," gerutu Lok Khik-si.
Segera ia memijat Lok-kak-jat. Sebatang panah meluncur
pesat ke depan, Leng-hong cepat mengibaskan
pedangnya untuk menangkis panah itu.
"Ya, bunuh saja budak itu ada lebih baik bagi kita," Ho
Lan-bing mengayunkan tangan, sebatang Hui-piau
melayang menyusul panah Lok Khik-si, ia hendak
membunuh Leng-hong karena ingin merampas kudanya.
Kepandaian Ho Lan-bing lebih tinggi dari Lok Khik-si,
Hui-piaunya yang dilepaskan itu ternyata jauh lebih dulu
datangnya dari panah Lok Khik-si. Karena tiba di
tikungan jalan, Pek Long-ma tak dapat berlari cepat, Huipiau
pun cepat sekali sudah tiba di belakang punggung.
Tergetarlah hati Leng-hong, ia meragukan kekuatannya,
apa mampu menangkis kekuatan Hui-piau yang
sedemikian dahsyatnya itu, "Tring", tiba-tiba terdengar

suara gemerincingan seperti dua buah Piau beradu di


udara, menyusul dua benda jatuh di tanah.
"Bagus, budak itu masih punya konco," teriak Ho Lanbing.
Berbareng itu kuda Jik-liong-ma menerobos keluar dari
istal. Ho Lan-bing cepat mengayunkan tiga buah senjata
gelap. Sebatang paku Tau-kut-ting ditujukan pada Lenghong
dan dua buah Hui-piau pada penunggang Jik-liongma
itu.
Kuda Leng-hong sudah membelok di tikungan dan tiba
di gang kedua. Secepat angin, Pek-liong-ma sudah
melesat tiba di ujung gang, jarak yang tak mungkin
dicapai oleh timpukan Tau-kut-ting. Leng-hong pun
mendengar gelak tertawa orang aneh tadi, rupanya dia
pun terlepas dari serangan, tapi Leng-hong tak sempat
memperhatikan orang lagi, dia keprak kudanya
sekencang-kencangnya.
Pintu kota hanya dijaga oleh petugas yang sudah tua,
sudah tentu dia tak berani menghalangi. Sekali tabas
Leng-hong mengurungi gembok pintu, terus menerobos
keluar, hanya dalam beberapa kejap saja ia sudah jauh
dari kota itu. Di situ barulah longgar perasaan Lenghong,
dia tak kuatir dapat dikejar Ho Lan-bing lagi.
Memang Ho Lan-bing tak mampu mengejarnya, tapi si
orang aneh tadi dapat. Belum lama, kembali didengarnya
suara tertawa orang itu, memang Jik-liong-ma seimbang
kecepatannya dengan Pek-liong-ma.
"Gerak-gerik orang itu aneh, asal-usulnya tak jelas.
Walaupun dia tak bermaksud buruk tapi lebih baik
kuhindari saja," Leng-hong menimang dalam hati, tetapi

betapapun Leng-hong mengeprak kudanya, orang tak


dikenal itu tetap berada di belakangnya.
"Yap-kongcu, beristirahat dululah!" orang itu tertawa
mengejek. "Siapa kau? Mengapa membuntuti aku?" tegur
Leng-hong. "Malam ini boleh dikata aku telah
membantumu, mengapa kau hendak menyingkir dari
aku? Marilah kita omong-omong, siapa diriku, nanti tentu
kuberitahukan," sahut orang itu.
Sebenarnya Leng-hong agak jeri terhadap orang itu,
setelah berpikir sejenak, ia berseru, "Atas bantuanmu
tadi, kuberikan kuda itu kepadamu. Kita tak saling kenal,
apa yang perlu diomongkan lagi?"
"Banyak sekali, misalnya tindakanmu yang bagus tadi.
Bukankah itu cukup menjadi bahan pembicaraan kita?"
Leng-hong terjebak, ujarnya, "Apa katamu? Aku tak
mengerti, perbuatan bagus apa yang kulakukan?"
Orang itu tertawa gelak-gelak, "Di hadapan orang
yang jelas, perlu apa berbohong. Yap-kongcu, apa yang
kau lakukan tadi, kuketahui semua. Hehehe! Kau tak
ingin mendengar kata-kataku, kau merasa takut, bukan?
Namun, jika kau enggan mendengar pembicaraanku,
terpaksa aku akan mengatakan pada Suhumu. Hehehe!
Apabila Kang-tayhiap mengetahui kau yang
menyebabkan Utti Keng tertawan kawanan alap-alap itu,
coba terka, apa tindakan Suhumu nanti? Apakah kau
masih mimpi tetap jadi murid pewarisnya?"
Tergetar hati Leng-hong, seketika teringatlah ia akan
pantangan-pantangan yang keras ketika ia melakukan
upacara pengangkatan Suhu. Apabila tindakannya tadi

diketahui Suhunya, mungkin dia akan dicopot sebagai


pewaris olehnya, bahkan mungkin akan dibunuh.
"Maksudmu bagaimana?" Leng-hong menahan
kudanya, nadanya agak gemetar.
Orang itu melompat turun dari kuda, ujarnya, "Naik
kuda tak leluasa bicara, turunlah. Tempat ini tepat sekali
buat omong-omong."
Saat itu hari masih diselubungi gelap-gelap remang.
Tiada orang yang tampak berjalan di jalanan, jalanan di
situ adalah sebuah jalan kecil di tepi gunung, diapit dua
lereng gunung dan di bawahnya terbentang sebuah
sungai. Kiranya mereka tiba di sebuah tikungan gunung,
keadaannya berbahaya.
Seketika timbullah nafsu membunuh di hati Lenghong,
pikirnya. "Orang ini tahu rahasiaku, jika dibiarkan
hidup tentu membahayakan diriku." Ia turun dari
kudanya, pura-pura mengulur tangan hendak
bersalaman, tapi sekonyong-konyong ia melepaskan
sebuah hantaman dahsyat. Karena dapat memukul jatuh
senjata rahasia Ho Lan-bing, ia tahu orang itu tentu
hebat kepandaiannya. Pukulannya tadi dilancarkan
dengan sepenuh tenaga dan menggunakan pukulan maut
Si-mi-ciang-hoat, ia harap sekali pukul dapat
membuatnya mampus!.
"Wah, wah, celaka! Kau sungguh kejam. Yap-kongcu!"
teriak orang itu sembari menggeliatkan tubuhnya
menghindar dengan indah, tetapi pukulan" ajaran Kang
Hay-thian itu lain dari yang lain, "Bluk", orang itu
menjerit dan jatuh terguling.

Tak mengira semudah itu ia dapat membereskan


orang, girang Leng-hong tak kepalang, ia menghampiri
untuk memeriksa apakah orang itu sungguh sudah mati.
Waktu melangkah maju dua langkah, ia segera hendak
mengayunkan kakinya menendang supaya tubuh orang
itu terbalik agar diketahui mati tidaknya, tapi tiba-tiba
terlintas sesuatu dalam pikirannya, lebih baik ia kebut
dengan lengan bajunya saja.
"Bret", tiba-tiba orang itu melompat menarik lengan
baju Lenghong. Secabik kain pindah ke tangannya,
ternyata orang itu tadi hanya pura-pura mati. Untung
Leng-hong merubah rencananya, coba dia jadi
menendang, kakinya tentu kena dicengkeram orang.
Sekalipun tadi ia menggunakan pedang, dalam keadaan
seperti itu juga sukar untuk terhindar dari rampasan.
Pada saat Leng-hong gelagapan, orang aneh itu sudah
menyerbu dan membentak. "Ha, bocah yang licik!" Tiga
kali serangan ilmu Hun-kin-jo-kut (memelintir tulang dan
urat) segera dilancarkan, tetapi semuanya dapat
dihindari Leng-hong.
"Heh," si orang aneh menggumam heran, sedang
Leng-hong sudah mencabut pedangnnya, terus menikam.
Memang pada waktu maju menjenguk tadi ia sudah
berjaga kemungkinan yang tak diinginkan. Ilmu langkah
Thian-lo-poh-hoat yang baru saja dipelajari dari Suhunya
telah membuat orang aneh itu menubruk tempat kosong.
Nyali Leng-hong menjadi besar, pikirnya, "Hebat benar
kepandaian Suhu." Kemudian ia gunakan ilmu pedang
Tui-hong-kiam-hoat untuk merangsek orang.
"Ilmu pedang hebat!" teriak orang itu sembari
melontarkan pukulan Pik-khong-dang. Setelah dapat
mengisarkan pedang Leng-hong, ia sendiri pun lalu
mencabut golok dan tertawa, "Meskipun ilmu pedang
Suhumu itu sakti, tapi bdum sempurna latihanmu. Untuk
membunuh aku, itu masih jauh!"
Memang benar penilaian orang itu, baru dua bulan
Leng-hong ikut Kang Hay-thian. Memang banyak sudah
yang dipelajari, tetapi semua itu hanya secara lisan
ketika dalam perjalanan. Ada kalanya kalau beristirahat,
barulah Kang Hay-thian memberinya sedikit pelajaran
praktek, tapi karena Hay-thian selalu sibuk, waktu
beristirahat pun sedikit sekali. Paling-paling ia hanya
melakukan contoh gerakan satu kali saja sehingga Lenghong
pun tak mempunyai banyak kesempatan untuk
berlatih, latihan secara serius yang dilakukan Leng-hong
hanyalah selama sepuluh hari tinggal di hotel itu saja.
Betapa cerdasnya, paling-paling ia hanya mencapai
tingkat tertentu saja. Untuk menggunakan menurut
sekehendak hati di dalam menghadapi setiap perubahan
gerak lawan masih tak bisa.
Benarlah, tiga atau lima puluh jurus kemudian, orang
aneh itu sudah dapat memahami gerakan-gerakan Lenghong,
kelemahan Leng-hong makin menonjol. Saat itu
Leng-hong menduduki posisi kaki Pat-kwa-wi untuk maju
menyerang dengan pedangnya, gerak kaki Thian-lo-pohhoat
itu memang sesuai dengan ilmu pedang Tui-hongkiam.
Dan sudah dua kali ia menyerang secara begitu,
untuk yang ketiga kalinya, si orang aneh sudah
mendahului posisi yang bakal ditempati Leng-hong,
bentaknya keras, "Lepas pedang!" Sekali gigir golok
dibenturkan, jatuhlah pedang Leng-hong.

Orang itu tertawa gelak-gelak, ia putar goloknya buat


mengurung Leng-hong, serunya, "Yap-kongcu, kau
menyerah tidak?"
Leng-hong mendengus, "Apa sih kepandaianmu itu?
Kalau kau berani melepaskan aku pulang, tiga bulan lagi
kau tentu bukan tandinganku!" Ia menduga orang itu
tentu kaum persilatan seperti Utti Keng. Orang-orang
begitu paling menjunjung muka, oleh karena itu ia
hendak coba-coba menyiasatinya.
Di luar dugaan orang itu tak kena dipancing, bahkan
sebaliknya mengangguk, "Tepat sekali ucapanmu itu.
Kepandaian Kang Hay-thian tiada yang dapat melawan di
dunia ini, kau sudah diluluskan menjadi ahli warisnya,
otakmu tajam, tiga bulan kemudian aku kuatir tak
mampu mengalahkanmu. Hehehe, tetapi sekarang kau
masih tak menang melawanku. Bagaimana kalau
sekarang kita bicara secara baik-baik?"
"Apa yang hendak kau bicarakan?" tanya Leng-hong.
Tertawalah orang aneh itu, "Yap-kongcu, lebih dulu
aku hendak bertanya suatu hal. Malam ini baru kuketahui
betapa ganasnya dirimu. Kukira, Chit-poh-tui-hun-chiu Cu
Goan tentu binasa di tanganmu?"
"Benar, akulah yang membunuhnya! Tahukah kau
bahwa Cu Goan itu sudah menghamba pada kerajaan
dan menjadi orang Lok-lim yang murtad? ..." Leng-hong
tak tahu siapa orang aneh itu, tetapi ia tahu bahwa
karena menentang Ho Lan-bing dan kawan-kawan, kalau
bukan bangsa Hiap-khek (pendekar) tentulah bangsa
penjahat. Kedua golongan orang gagah itu sama-sama
membenci orang Lok-lim yang murtad.

"Cu Goan itu siapa, tak perlu kau beritahukan padaku.


Dia adalah sahabatku!" tukas orang itu.
Leng-hong tersentak kaget dan berseru tertahan, "Kau
... kau...."
"Bukan, melainkan menjadi sahabat baik Cu Goan Ittiong
saja, juga aku ini Suheng Ho Lan-bing, wakil
komandan pasukan Gi-lim-kun, namaku Hong Jong-liong.
Bukankah kau pernah mendengar Cu Goan mengatakan
tentang diriku?"
Leng-hong membusungkan dada menantang,
"Seorang lelaki boleh dibunuh tak boleh dihina, karena
aku sudah jatuh ke tanganmu, silakan bunuh aku untuk
membalaskan sakit hati Cu Goan!"
Karena mengira sudah tak dapat meloloskan diri lagi,
mengingat dirinya murid Kang Hay-thian, ia tak mau
minta belas kasihan, maka meskipun sebenarnya hatinya
kebat-kebit, ia memberanikan diri untuk bersikap sebagai
seorang gagah.
Hong Jong-liong tergelak-gelak, ia menyarungkan
golok dan berseru, "Jika kubermaksud membunuhmu,
perlu apa kupukul jatuh Am-gi Ho Lan-bing tadi? Kau
cerdik dan licik, kejam dan ganas, itulah jenis orang yang
kusukai. Untung malam ini kau ketemu padaku, jika
Suteku sampai membunuhmu, itu kan sayang sekali!"
Dengan masih diliputi rasa kejut, Leng-hong berseru,
"Kau ... kau ini pembesar kerajaan?!" Sebenarnya ia
hendak mengatakan "antek kerajaan", tapi diganti
dengan "pembesar".
"Yap-kongcu, di hadapanmu mana aku berani
menyebut diri sebagai pembesar? Kau adalah aku punya

majikan muda, orang she Hong hendak naik pangkat


mencari kekayaan. Untuk itu hanya mengandal
bantuanmu, Yap-kongcu," sahut Hong Jong-liong. Makin
lama makin aneh kata-kata Hong Jong-liong itu.
Leng-hong terperanjat, tegurnya, "Siapakah kau ini?
Mengapa mengaku diriku sebagai majikan muda?"
"Telah kukatakan sejelasnya, masakah kau belum
mengetahui siapa diriku? Hehehe, kau tak tahu aku,
sebaliknya aku tahu siapa kau. Yap-kongcu, kau sudah
sampai di Jiok-bo, mengapa tak menyambangi ayahmu?
Dengan naik kuda sakti itu, tak sampai tiga hari saja kau
tentu sudah tiba di Se-an!"
"Kau ... kau ini orang bawahan ayahku!" teriak Lenghong
dengan nada gemetar.
Hong Jong-liong terbahak-bahak, "Kau dapat menebak
dengan tepat, aku adalah komandan pengawal Yaptayjih,
gubernur Siam-say. Ayahmu telah mengutus Cu
Goan untuk mencarimu, tetapi dia pergi tanpa kembali
lagi, terpaksa aku keluar sendiri. Tentang pembunuhan
Cu Goan itu, aku berjanji menyimpan rahasia, marilah
ikut aku pulang!"
Leng-hong tersentak kaget, tapi diam-diam juga lega,
pikirnya, "Dia orang bawahan ayahku, tentu tak berani
membunuh aku." Segera ia menyahut. "Aku tak ingin
pulang, bilang saja kalau kau tak dapat menemukan
aku."
Hong Jong-liong tertawa dingin, "Yap-kongcu, kau
lepaskan kedudukan sebagai seorang Siauya (tuan
muda) putra gubernur, sebaliknya keluyuran ikut kaum
persilatan yang tak keruan, heran aku akan jalan

pikiranmu itu. Adanya Kang Hay-thian mau menerimamu


menjadi murid, tentu karena kau tak bilang sejujurnya
siapa dirimu itu. Kau tentu mengaku putra lain orang."
Muka Leng-hong sebentar pucat sebentar merah,
dampratnya, "Budak bernyali besar, kau sungguh
kurangajar!"
Hong Jong-liong tertawa mengejek, "Yap-kongcu,
sekalipun ayahmu sendiri tak berani memaki aku dengan
kata-kata 'budak'. Memang aku menjadi komandan
pengawal ayahmu, tapi aku mendapat pengangkatan dari
kepala istana. Aku hanya disebut 'budak' oleh baginda
saja. Ayahmu pun jeri terhadap aku, mengerti?"
Sebagai anak yang cerdas, sudah tentu Leng-hong
mengerti persoalan itu. Dengan membawa surat
pengangkatan dari kepala istana itu, walaupun menjadi
komandan pengawal gubernur Siamsay, tapi pada
hakikatnya Hong Jong-liong itu bertugas untuk mematamatai
gerak-gerik ayah Leng-hong. Memang soal itu tak
mengherankan, orang yang menjadi kaisar selamanya
menaruh kecurigaan, pada diri pembesar-pembesar
tinggi ia selalu menaruh mata-mata. Jadi tidak sematamata
terhadap ayah Leng-hong saja.
Jelas akan kedudukan rangkap Hong Jong-liong itu,
tahulah Leng-hong kalau ia tak dapat mengagulkan
sebutannya sebagai 'majikan muda', namun ia pun tak
mau pulang.
"Tiap orang mempunyai cita-cita sendiri, mengapa aku
tak sudi pulang menjadi putra gubernur, itu urusanku
sendiri. Kau mau menyimpan rahasia untukku, aku tentu
akan mengingat selamanya," jawabnya kemudian.

"Terima kasih. Asal jangan coba menggunakan siasat


terhadap Cu Goan itu kepadaku untuk itu aku sudah
merasa berterima kasih. Yap-kongcu aku cukup
mengetahui isi hatimu, kau tentu sayang urung menjadi
murid Kang Hay-thian, bukan? Setelah mendapat seluruh
kepandaiannya, kau akan bisa menjagoi dunia persilatan.
Hehehe, memang itu lebih gagah daripada menjadi putra
gubernur. Baik, karena kau sudah mengambil ketetapan
begitu, akan kusempurnakan maksudmu!"
Leng-hong kaget, biasanya kalau orang persilatan
mengatakan "menyempurnakan" itu artinya malah
berlawanan. Ia mengira Hong Jong-liong tentu akan
menurunkan tangan ganas, seketika pucatlah wajahnya.
Hong Jong-liong tertawa gelak-gelak, "Jangan
menaruh prasangka apa-apa Yap-kongcu, kita bicara
dengan baik-baik saja, asal saling menguntungkan
jadilah. Kau tak halangan menjadi murid kesayangan
Kang Hay-thian, aku takkan membuka rahasia dirimu,
biarlah kau belajar padanya dengan hati tenteram.
Setuju?!"
"Apakah yang kau artikan dengan saling
menguntungkan itu?" Leng-hong bersangsi.
Jawab Hong Jong-liong, "Lebih dulu kau ikut aku
pulang menemui ayahmu, kita nanti berunding lagi, toh
kudamu dapat berlari sehari seribu li, jadi hanya perlu
waktu beberapa hari saja. Setelah berjumpa dengan
ayahmu, setiap saat kau bebas pergi lagi. Hal itu
serahkan padaku, jangan kuatir ayahmu akan
menahanmu."
Leng-hong merenung sejenak, ujarnya, "Tidak, aku
tak dapat pulang."

Hong Jong-liong mengerutkan jidat, "Yap-siauya,


apakah kau benar-benar tak mau memberi sedikit muka
padaku?"
"Bukan karena aku tak mau memberi muka padamu,
tetapi aku takut..."
"Takut apa?" tukas Hong Jong-liong. "Takut di tengah
jalan bersua dengan Suhuku!" Hong Jong-liong tertegun,
katanya, "Apakah Suhumu pergi ke Siamsay?
"Ya, benar, dia menuju ke Bici. Dalam beberapa hari
ini akan kembali."
"Mengapa ke Bici?"
Karena tak dapat mengelabui, terpaksa Leng-hong
menerangkan bahwa Suhunya hendak menyelidiki berita
Lim Jing di Bici.
Hong Jong-liong tertawa meringis, "Kau mungkin
jujur, tapi apakah dia benar-benar mencari berita tentang
Lim Jing? Untuk apa?
Hayo, bilang lekas!"
Pikir Leng-hong, karena Hong Jong-liong ini sudah
bertemu dengan Ho Lan-bing dan Lok Khik-si, ia percaya
tentu sudah mendengar tentang rahasia Li Bun-sing,
maka jawabnya, "Hendak menyampaikan berita pada Lim
Jing, memberitahukan tentang peristiwa Li Bun-sing."
"Siapakah yang membantu Li Bun-sing membunuh
empat orang jago istana di gunung Thay-san tempo
hari?" tanya Hong Jong-liong pula.
Leng-hong tergagap menyahut, "Ini... ini..”

"Jangan gelagapan. Aku sudah tahu kau termasuk di


antaranya, dan siapa lagi yang seorang? Jika kau tak
mau mengatakan, aku pun akan dapat mengetahui. Pada
saat itu janganlah kau mengatakan aku kelewat ganas
terhadapmu," tukas Hong Jong-liong.
Diam-diam Leng-hong membatin, "Siau-toako sudah
pulang ke Jwan-pak. Toh dia akan bergerak juga. Karena
dia sudah berani melawan kerajaan, rasanya tiada
halangan kukatakan hal itu."
"Siau Ci-wan, cucu dari Siau Ceng-hong!" sahutnya
kemudian.
"Bagus! Aku hendak bertanya lagi, ketika menutup
mata, apa pesan Li Bun-sing kepadamu?"
Sudah tentu pesan itu ada, ialah tentang kode-kode
untuk mencari hubungan, Li Bun-sing sudah mengadakan
persetujuan dengan pemimpin-pemimpin gerakan
melawan pemerintah Cing di beberapa tempat. Di
kemudian hari jika bukan dia sendiri yang datang, orang
lain harus menggunakan kode pengenal diri itu. Lenghong
insyaf betapa pentingnya kode itu. Betapa dia takut
mati, tapi untuk saat itu dia tetap tak berani
mengatakannya.
Tetapi dia seorang licin, hatinya takut namun sikapnya
pura-pura tenang sekali, sahutnya, "Li Bun-sing seorang
persilatan kawakan, meskipun aku melepaskan budi
membantunya, tapi aku baru saja kenal dia, masakah dia
percaya begitu saja memberitahukan rahasianya."
"Masakah dia sama sekali tak mengadakan
penyerahan pada angkatan muda?" tanya Hong Jongliong.

"Ada sih ada, dia hanya memasrahkan putranya


kepada kami supaya bisa diterima menjadi murid
Suhuku," jawab Leng-hong.
Hong Jong-liong sudah kenyang pengalaman, mana
ucapan Leng-hong yang sungguh-sungguh dan mana
yang dusta, ia dapat mengetahui, pikirnya, "Anak ini
sungguh licin sekali, tetapi tak baik kalau kelewat
kudesak. Biarlah lebih dulu lunak kemudian keras, supaya
dia tahu kelihaianku."
"Yap-kongcu, apakah kau sungguh-sungguh tak mau
pulang," tanyanya pula.
"Setelah selesai pelajaranku, dengan sendirinya aku
akan pulang."
"Kau takut Kang Hay-thian mengetahui rahasiamu dan
akan mengusirmu?" tanya Hong Jong-liong pula.
"Benar, memang begitu. Karena itu aku takut pulang
sekarang, kuatir kalau bersua Suhu di tengah jalan. Jika
tahu aku berjalan bersamamu, dia tentu akan bertanya
dan itu berbahaya. Hong-thongleng, kelak di kemudian
hari aku tak nanti melupakan kebaikanmu, akan kuberi
sebuah pelajaran ilmu silat yang sakti padamu!"
Hong Jong-liong menyahut dengan dingin saja,
"Sekarang aku sudah berumur 52 tahun. Untuk belajar
ilmu silat baru, rasanya sukar berhasil, aku tak
mengharapkan kebaikanmu itu."
Leng-hong bingung, serunya, "Habis apa yang kau
minta? Asal tenagaku dapat mengerjakan____"
Hong Jong-liong tertawa gelak-gelak, "Yap-kongcu,
kalau ingin bebas itu mudah saja. Sejak saat ini setiap

waktu aku akan mengirim orang untuk menghubungimu.


Konco-konco yang dikenal Kang Hay-thian itu semua
gembong-gembong pemberontak, berita apa yang kau
ketahui, sampaikanlah padaku. Begitu kau meluluskan,
segera akan kuberitahu tentang cara-cara kita
berhubungan."
Kejut Leng-hong bukan kepalang, serunya, "Ini ... ini
berarti kau hendak memperalat diriku menjadi matamata?"
"Benar, aku memang menghendaki kau bersembunyi
di rumah keluarga Kang. Jika tidak, masa kubiarkan kau
tetap menjadi muridnya?"
Merah selebar muka Leng-hong, ia merasa
tersinggung sekali. "Kau kelewat menghina aku, lebih
baik bunuh saja aku!" teriaknya. Memang sewaktu Lenghong
minggat dari rumahnya, ia mempunyai anganangan
yang luhur. Dia dilahirkan di keluarga pembesar
negeri, sejak kecil cerdas dan tangkas sehingga disayang
oleh ayah-bundanya. Selama ini ia belum tahu
bagaimana penderitaan rakyat jelata, bagaimana tujuan
perjuangan untuk negara dan bangsa. Kemudian ia
mendapat didikan dari seorang guru, guru itu pandai
dalam ilmu sastra dan silat, seorang pejuang
kemerdekaan. Karena menghindari kejaran pemerintah
Cing, ia ganti nama dan menyelundup ke dalam keluarga
pembesar dan menjadi guru. Kala itu ayah Leng-hong
menjabat sebagai residen Siang-yang.
Adalah atas pembinaan guru itu, Leng-hong mulai
mengerti keadilan, mengerti juga tentang kenegaraan. Di
dalam kantor residen, jika orang mau memperhatikan
sedikit saja, tentu akan segera mengerti bagaimana

tindakan sewenang-wenang dari pemerintah yang


menindas rakyatnya. Pernah untuk hal-hal yang tak adil
itu Leng-hong cekcok mulut dengan ayahnya.
"Anak kecil tahu apa? Ayahmu menjadi pengawal
kerajaan, setiap rakyat yang tak tunduk pada undangundang
raja, tentu akan kutindak. Asal raja memuji
kebijaksanaanku, peduli apa rakyat tak puas padaku?"
begitulah karena kalah berdebat akhirnya ayah Lenghong
mengalah
Tahu ia bercekcok dengan ayahnya, guru she Jui itu
malah menasehatinya supaya bersabar, supaya belajar
kepandaian yang tinggi dulu baru kelak melaksanakan
angan-angannya. Ilmu silat guru Jui itu tidak seberapa
tinggi, karena itu ia menganjurkan Leng-hong supaya
minta ajaran jago-jago pengawal pribadi ayahnya.
Memang kawanan jago-jago asalnya dari guru-guru silat
ternama dari beberapa daerah atau pejabat-pejabat
besar yang dijatuhi hukuman mati tapi secara diam-diam
dibebaskan oleh ayah Leng-hong untuk dijadikan
pengawalnya. Di antaranya Leng-hong pernah belajar
silat pada Chit-roh-tui-hun-chiu Cu Goan.
Adanya guru Jui menyuruh Leng-hong bersabar juga
ada kepentingan bagi dirinya, ialah supaya ayah Lenghong
jangan sampai mencurigai dirinya (guru Jui). Tetapi
di luar dugaan, memang ayah
Leng-hong sudah curiga padanya, maka ia segera
bertindak. Diam-diam ia menyuruh orang memata-matai
gerak-gerik guru itu, di lain pihak ia menanyai putranya,
apa saja yang diajarkan guru itu kepada Leng-hong. Cara
dan waktunya mengajukan pertanyaan sedemikian rupa
hingga Leng-hong tidak curiga.

Tetapi Leng-hong memang cerdas sekali, ia tak


membuka rahasia gurunya. Kemudian setelah bertemu
gurunya ia segera menceritakan pertanyaan-pertanyaan
ayahnya. Guru Jui tahu gelagat sudah tidak mengizinkan
untuk tinggal lebih lama di situ, buru-buru ia ambil
putusan untuk pergi. Leng-hong mendapat akal bagus
untuk membantu gurunya lolos, tetapi ia minta supaya
guru itu suka membawanya bersama-sama pergi, kalau
tidak, ia pun tak mau membantu.
Guru Jui sayang kepada Leng-hong, memikirkan juga
akan keselamatan sendiri, akhirnya ia meluluskan.
Begitulah pada suatu malam Leng-hong mengundang
beberapa pengawal yang berkepandaian tinggi untuk
minum arak, ia taburkan obat tidur dalam arak itu.
Sebenarnya cara begitu sering digunakan oleh kaum
persilatan picisan, seorang persilatan yang
berkepandaian tinggi tentu tak mudah dikelabui, tetapi
karena beberapa pengawal itu tak menyangka kalau
putra residen bakal menggunakan cara begitu rendah,
akhirnya mereka termakan tipu Leng-hong juga. Dan
sejak itulah Leng-hong mengikuti guru Jui berkelana di
dunia persilatan.
Memang Leng-hong pada kala itu penuh dengan citacita
yang luhur, hendak berjuang mengusir penjajah,
membangun kerajaan baru. Tetapi dia dibesarkan di
dalam keluarga pembesar negeri, ayahnya seorang
menteri yang ternama, maka betapa besar indoktrinasi
yang diberikan gurunya, tetap belum dapat
menghilangkan dasar-dasar pendidikan rumah
tangganya. Itulah sebabnya di dalam cita-cita
perjuangannya untuk bangsa dan negara, ia tetap
mempunyai ambisi pribadi.

Tetapi bahwa pada saat itu Hong Jong-liong menyuruh


dia menjadi mata-mata gelap di dalam keluarga Kang,
sungguh dirasakan suatu penghinaan besar padanya.
Dalam gejolak amarahnya, darahnya meluap-luap dan
bersumpah biar mati tak sudi menerima. Inilah suatu hal
yang tak terduga-duga sama sekali oleh Hong Jong-liong!
Hong Jong-liong memicingkan mata memandangnya,
ia tertawa mengekek, "Yap-kongcu, tak perlu kuturun
tangan membunuhmu. Cukup kuberitahukan pada Kang
Hay-thian tentang perbuatanmu malam ini serta
kuterangkan siapa dirimu, hehe, kurasa Kang Hay-thian
tentu tak gampang mengampunimu, ha? Terhadapku,
mungkin kau akan mati secara perwira, tapi jika Suhumu
melenyapkan kepandaianmu dan mengusirmu, hehehe,
kau tentu akan menjadi orang cacad selamanya, di sanasini
akan dinista orang sebagai manusia rendah yang
menjual sahabat!"
Tersirap darah Leng-hong, memang apa yang
dikatakan Hong Jong-liong itu bukan ancaman kosong.
Jika dia melakukan hal itu, Suhunya tentu bakal
menghukumnya. Kalau tidak dibunuh, paling tidak tentu
akan dibikin cacad seumur hidup, ini lebih meneerikan
daripada kematian.
Kembali Hong Jong-liong tertawa dingin, "Yap-kongcu,
pikirlah dengan kepala dingin. Kurasa lebih baik kita
bekerja sama, aku berjanji takkan membuka rahasiamu
kepada Kang Hay-thian. Kau boleh terus belajar ilmu silat
sakti, di samping diam-diam dapat membantu pada
kerajaan. Dalam hal ini, kedua pihak akan mendapat
keuntungan yane memuaskan!"

Hati Leng-hong seperti dikili-kili, dengan susah payah


barulah ia dapat diterima menjadi murid Kang Hay-thian,
bagaimana dengan begitu saja ia merusak hari
depannya? Dan pula sang Sumoay yang jelita, mana ia
dapat melepaskannya? Beberapa kali ibu gurunya dalam
pembicaraan sudah memberi perlambang hendak
menjodohkan putrinya kepadanya, tetapi kalau ia
menolak permintaan Hong Jong-liong, tentu Hong Jongliong
akan menggagalkan perjodohan itu. Sekali ia diusir
oleh Suhunya, habislah segala-galanya.
"Untuk sementara ini baiklah kuterima, kukerjakan
atau tidak, akan kuputuskan belakangan. Setelah
menyelesaikan pelajaran silat, segera kucari kesempatan
untuk membunuhnya dan akan dapatlah aku bebas dari
ancamannya," Leng-hong menimang-nimang dalam hati.
Dalam tatapan mata dan senyum Hong Jong-liong
yang tajam, lunglailah semangat Leng-hong. Dia
bagaikan ayam sabung yang kalah, akhirnya ia
berkatalah dengan serta merta, "Hong-thongleng, kau
menang. Aku menurut padamu."
Namun agaknya Hong Jong-liong dapat membaca isi
hati Leng-hong, serunya, "Kita bekerja sama dengan
saling menguntungkan. Yap-kongcu, aku tak takut kau
akan menyiasati. Rahasiamu tak nanti kuberitahukan
pada Suhumu, tetapi kutulis sepucuk surat pada
komandan Gi-lim-kun sebagai kesaksian rahasia. Dengan
begitu percuma saja sekalipun kelak kau hendak
membunuh aku. Sejak sekarang kau harus mendengar
perintahku, mengerti?"
Wajah Leng-hong menggelap, dia yang biasanya
selalu cerdas kali ini benar-benar ketemu batunya.

Selanjutnya di hari-hari mendatang, mungkin sukar untuk


lolos dari cengkeraman mereka. Tetapi tak ada lain
pilihan lagi bagi Leng-hong, terpaksa ia tertawa pahit,
"Hong-thongleng, kau banyak curiga, bagaimana aku
dapat mempunyai pikiran mencelakaimu?" Ia memang
takut sekali dengan orang she Hong itu, lebih lekas pergi,
lebih baik.
Tapi ternyata Hong Jong-liong masih belum mau
melepaskannya, waktu Leng-hong hendak minta diri,
buru-buru ia mencegah, "He, mengapa terburu-buru?
Aku masih ada omongan lagi."
Apa boleh buat, terpaksa Leng-hong duduk kembali,
Hong Jong-liong menepuk-nepuk bahunya, katanya,
"Yap-kongcu, kita bekerja sama. Untuk itu harus ada
kesungguhan hati baru bisa berhasil, jika kau tak mau
bicara jujur, bagaimana aku dapat mempercayai
kejujuranmu?"
Yap Leng-hong menebalkan muka menyahut, "Bilakah
aku berbohong?"
"Tentang Siau Ci-wan yang kau katakan tadi, dia
bersekongkol dengan Leng Thian-lok dan Leng Thiat-kian
di Siau-kim-jwan untuk memberontak, tapi kau tak
mengatakan padaku! Kutahu kalian berdua erat sekali
hubungannya, masakah kau berani mengatakan kalau
tak tahu?"
Leng-hong tersengat kaget, pikirnya, "Mengapa dia
tahu urusan itu?" Akhirnya terpaksa ia membantah, "Kau
tadi tak menanyakan, aku pun tak ingat."
Hong Jong-liong tertawa dingin, "Baiklah, kita
lewatkan urusan itu. Sekarang hendak kuajukan

pertanyaan yang kedua. Oleh partai Thian-li-kau, Li Bunsing


telah ditugaskan untuk mengadakan hubungan
dengan partai-partai dan kaum pemberontak dari segala
tempat. Pada saat dia menutup mata, pernah dia
menyebutkan beberapa nama di hadapanmu dan Siau Ciwan.
Daftar nama-nama itu ialah orang-orang yang
sudah mempunyai kontak dengan dia, coba kau sebutkan
nama-nama dalam daftar itu!"
Sekali ini Leng-hong seperti disambar petir kagetnya,
batinnya, "Memang! Li Bun-sing pernah mengatakan
nama beberapa orang, orang yang telah setuju untuk
mengadakan kode kontak bersama. Li Bun-sing belum
sempat memberitahukan hal itu pada Cong-thocu, tapi
kalau aku tak menyebut nama barang satu atau dua
orang dalam daftar itu, tentulah Hong Jong-liong tak
percaya!"
Hong Jong-liong tertawa gelak-gelak, "Yap-kongcu,
kau tentu kaget dan heran bagaimana aku tahu hal itu,
bukan? Terus terang kukatakan, Siau Ci-wan sudah jatuh
di tangan kami, karena tak kuat menahan siksaan,
akhirnya ia mengaku semua. Sekarang aku hanya akan
mencocokkan padamu, akan kulihat apakah kau berlaku
jujur atau tidak?"
Leng-hong terombang-ambing dalam kegelisahan.
Semula ia berpendapat seorang lelaki seperti Siau Ci-wan
mana sudi mengaku, tapi pada lain saat ia beranggapan
lain, "Sedangkan semut saja rindu akan hidup, apalagi
manus.ia. Dikuatirkan dalam keadaan terjepit, Siau-toako
terpaksa mengaku juga. Tentang daftar nama itu, karena
tak kuat menahan siksaan, ia lantas menyebut saja
beberapa nama dengan sembarangan."

Mana dia tahu Hong Jong-liong hanya menggunakan


siasat menggertak saja, memang licin dan licik sekali
Hong Jong-liong itu. Sebenarnya ia hanya tahu tentang
gerakan Leng Thian-lok dan keponakannya di Jwan-pak
serta kedudukan Li Bun-sing di Thian-li-kau. Yang lainlain
hanya analisanya sendiri berdasarkan
pengalamannya. Sekalipun tak benar seluruhnya, tetapi
7-8 bagian memang mendekati kebenaran. Mengenai
tertangkapnya Siau Ci-wan, sama sekali hanya isapan
jempolnya saja. Yang menyedihkan adalah Leng-hong,
dia takut mati, maka dengan ukuran seorang rendah ia
telah mengukur seorang perwira atau mengukur baju
orang dengan baju sendiri. Dia menganggap, pribadi Siau
Ci-wan itu tentu sama dengan dirinya.
Mata Hong Jong-liong berkilat-kilat menatap Lenghong,
katanya dengan nada dingin sekali, "Siau Ci-wan
sudah mengaku tentang dirimu, sebaliknya kau masih
menutupi dirinya!"
Leng-hong menggigit gigi kencang-kencang, sahutnya,
"Baik, akan kuterangkan apa yang kuketahui padamu!"
"Bagus, begitulah baru benar!" Hong Jong-liong
tertawa gelak-gelak.
"Sewaktu hendak menutup mata Li Bun-sing memang
telah menyebutkan beberapa nama, tetapi tiada daftar
sama sekali. Aku tak berbohong."
"Sebutkan saja nama orang-orang itu," kata Hong
Jong-liong.
"Ji Thian-tik dan Leng Thian-lok dari Jwan-pak, Thio
Su-liong dan Thio Han-tiau dari Siampak, Kwe Su-oh dari

Soatang, Khu Giok dari Kisi di Soasay. Itulah nama-nama


yang dikatakan Li Bun-sing," kata Leng-hong.
Mata Hong Jong-liong melotot, "Masakah hanya enam
orang?"
"Keenam orang itulah yang sudah ada kontak dengan
Li Bun-sing, tapi belum lagi sempat diberitahukan pada
Cong-hocu (pemimpin). Yang lain-lain, karena Thian-likau
sudah banyak mengetahui maka tak perlu ia
mengatakan, kau terlalu banyak curiga, terlalu
kurangajar!" Leng-hong menutupi ketakutannya dengan
marah-marah.
"Yap-kongcu, bukannya aku tak percaya padamu.
Melainkan aku kuatir kau lupa dan kelewatan menyebut
nama yang lain," Hong Jong-liong tertawa seraya
menepuk-nepuk bahu si anak muda.
"Kau suruh aku menyebut semua orang yang tiada
hubungannya? Perbuatan yang amoral itu, aku tak sudi
melakukan!" teriak Leng-hong sekuat-kuatnya.
"Sudah tentu, sudah tentu!" buru-buru Hong Jongliong
menyabarkan, "betapapun kau ini murid utama
Kang Hay-thian, seorang pendekar budiman. Mana aku
berani memaksamu mencelakai orang yang tak berdosa?
Di belakang hari kita masih harus banyak berhubungan.
Kesalahanku hari ini harap Yap-kongcu suka memberi
maaf!"
Sebenarnya Leng-hong sudah mengucurkan keringat
dingin, tapi demi mendengar Hong Jong-liong rupanya
percaya padanya, barulah ia lega. Kiranya ia memang
menyembunyikan beberapa orang penting dan yang
mempunyai kepentingan dengan pertandaan sandi

(kode) itu. Keenam orang yang dikatakan tadi, misalnya


Thio Su-liong yang menjadi kepala dari Cong-liong-poh di
Bici, sudah diketahui rahasianya oleh pihak kerajaan
karena menyembunyikan Lim Jing. Ia rasa tiada halangan
menyebut orang she Thio itu. Thio Han-tiau adalah
saudara misan Thio Su-liong, karena Cong-liong-poh
sudah dirampas pemerintah, Thio Su-liong tentu akan
memberitahu saudara misannya itu supaya bersembunyi.
Tentang Leng Thian-lok dan Ji Thian-tik, karena memang
sudah mempersiapkan gerakan melawan pemerintah,
tentu saat itu sudah mulai bergerak. Jadi tak kuatir
diketahui pihak kerajaan. Sedang yang seorang lagi, Kwe
Su-oh, kabarnya sudah lama tiada di desanya. Mengenai
Khu Giok, karena sudah masuk dalam Thian-li-kau, tentu
akan dilindungi oleh organisasi itu.
Begitulah setelah berpikir masak-masak barulah Lenghong
menyebut nama keenam orang itu. Karena terjepit,
Leng-hong terpaksa mengatakan keenam orang itu yang
menurut pertimbangannya tentu takkan membahayakan
keselamatan mereka. Meskipun dalam hati tidak enak
karena merasa berbuat khianat, namun ia merasa
terhibur juga. Jauh dari pikirannya bahwa dengan
menyebutkan nama keenam orang itu, bukan saja
merugikan perjuangan kaum pejuang kemerdekaan, juga
berarti dia sendiri masuk makin dalam ke jurang
perangkap yang curam!
Setelah Hong-Jong-liong mengucapkan beberapa
perkataan dengan nada ramah, Leng-hong mengira kalau
sudah selesai. Siapa tahu Hong Jong-liong masih tertawa
menahannya, "Nanti dulu, Yap-kongcu. Masih ada suatu
hal yang penting."

Tergetar perasaan Leng-hong karena mengira orang


tentu mengetahui kebohongannya, segera ia berseru
sengit, "Apa yang kuketahui telah kukatakan semua. Kau
masih mau bertanya apa lagi?"
"Memang bagianmu telah kau katakan, tetapi aku
masih belum menyelesaikan kata-kataku kepadamu.
Bagaimana cara kita nanti mengadakan hubungan,
bukankah suatu hal yang penting dibicarakan juga?
Mengapa tak kau tanyakan sejelas-jelasnya? Mengapa
kau lantas buru-buru hendak pergi? Agaknya terhadap
persekutuan kita ini kau tak mempunyai kesungguhan
hati!"
Bahwa ternyata lain hal yang dikemukakan Hong
Jong-liong, membuat Leng-hong lega dan tertawa. "Kau
tahu aku ini putra seorang gubernur, mana aku mengerti
tentang ilmu klenik dari golongan orang seperti kau.
Baiklah, anggap saja aku teledor tak berpikir sampai di
situ. Hong-tayjin, silakan memberi titah!"
Buru-buru Hong Jong-liong memberi hormat dengan
kedua tangannya, "Putra gubernur, tak berani aku
menerima sanjungan tuan yang begitu tinggi. Menurut
kedudukan, kau adalah majikan muda. Kata-kata 'titah'
itu rasanya lebih tepat untuk pihakmu, baiklah tuan
muda, karena kau menitahkan supaya kuterangkan
tentang caranya, harap dengarkanlah.
"Di kota Tang-ping, kami membuka sebuah rumah
arak, setiap kali ada berita dari rumah Suhumu, harap
kau pura-pura minum ke warung itu, pelayan-pelayan di
situ tentu akan menanyaimu. Tentang kata-kata sandi
yang kita pergunakan, baiklah kita atur begini. Jika
kusuruh seseorang mencarimu, tanda yang dipergunakan
ialah 'matahari rembulan tiada bersinar'. Hehehe,
kawanan pemberontak itu hendak 'melawan Jing
membangun Beng', maka hendak kusuruh mereka
'matahari rembulan tiada bersinar7. Apakah kau
mengerti? Apakah kau dapat mengingat?"
Leng-hong mengeluh dalam hati, namun ia menghias
mulut dengan senyuman. "Ya, aku ingat," sahutnya.
Hong Jong-liong tertawa lebar, kemudian naik ke atas
kudanya, ujarnya, "Yap-kongcu, kau sungguh seorang
cerdik. Bila nanti kulaporkan pada gubernur, beliau tentu
akan memujimu. Tahukah kau bahwa kesediaanmu
menjadi 'orang dalam' di rumah keluarga Kang itu, bukan
saja membantu padaku, juga membantu ayahmu!
Pemerintah mengeluarkan titah akan memindah ayahmu
menjabat gubernur di Sujwan. Tujuan utama ialah
hendak menghadapi Leng Thian-lok dan Siau Ci-wan
serta kawanan pemberontak itu. Pinjamkanlah kudamu
ini padaku, aku perlu buru-buru menghadapi ayahmu!"
Setelah Hong Jong-liong pergi, barulah Leng-hong
tersirap kaget, "Dia mengatakan ayah hendak
menggempur Leng Thian-lok dan Siau Ci-wan? Astaga,
kiranya Siau-toako tidak jatuh ke tangan mereka, aku
kena ditipunya."
Leng-hong benar-benar gelisah, di atas kudanya ia
coba menghibur diri, "Untung aku tak memberitahu dua
patah sandi itu. Keenam orang yang kusebut itupun
belum tentu dapat mereka tangkap. Hanya saja sejak
saat ini aku mempunyai hutang moril kepada mereka, ah,
bagaimana baiknya ini?"
Dalam bayang-bayang kegelisahan itu tiba-tiba
terlintas dalam pikirannya bayangan si jelita Kang HiauTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hu, batinnya, "Ah, urusan besok pikirkan besok saja.
Hiau-hu Sumoay tak nanti curiga padaku. Aku harus
buru-buru pulang dan berusaha sekuatnya untuk
mengambil muka pada Subo. Jadikan dulu urusan
pernikahan itu, baru nanti bicara lagi. Aku murid utama,
pula menjadi menantu keluarga Kang, sekalipun aku
mempunyai kesalahan, mengingat betapa sayang Suhu
terhadap keluarganya, rasanya tak nanti ia akan
menindak aku. Ya, benar, begitu sajalah!"
Kalau Leng-hong bergegas pulang untuk menjalankan
rencananya supaya lekas menjadi menantu keluarga
Kang, adalah Suhunya (Kang Hay-thian) cemas
memikirkan keselamatannya.
Karena membawa To-kan, terpaksa Hay-thian berjalan
hanya 100 li sehari, ia kuatir anak itu akan kecapaian.
Ketika tiba di hotel Leng-hong, total dari waktu berpisah
dengan Leng-hong dan datang lagi itu beriumlah 18 hari,
padahal ia berjanji pada Leng-hong akan kembali dalam
waktu 8 hari.
Leng-hong sudah pergi dari hotel dan masih
meninggalkan sewa kamar beberapa hari yang belum
dibayar. Pemilik hotel yang masih ingat pada Kang Haythian,
begitu melihat dia datang, terus saja menariknya
dan meminta supaya melunasi hutang Leng-hong. Heran
Kang Hay-thian dibuatnya, ia meminta keterangan
mengapa sebelum membayar rekening Leng-hong sudah
pergi.
Pada malam itu karena hendak meloloskan diri dari
kejaran Ho Lan-bing dan kawan-kawan, habis
mendorong jatuh Utti Keng, Leng-hong terus kembali ke
hotel dan cepat-cepat melarikan diri. Sudah tentu pemilik

hotel tak mengerti jelas persoalannya, tetapi tentang


peristiwa tentara pemerintah hendak mengadakan
penangkapan pada buronan, pemilik hotel itu tahu juga.
Malam itu mereka menutup hotel dan bersembunyi di
dalam kamar kasir untuk menunggu kedatangan tentara
pemerintah, karena itulah mereka tak mengetahui Lenghong
sudah lolos secara diam-diam. Hanya saja ketika
Leng-hong bertempur melawan Ho Lan-bing di depan
hotel, pemilik hotel itu mendengar juga. Walaupun bukan
seorang persilatan, tapi pemilik hotel itu sedikit banyak
mengerti tentang urusan kaum persilatan, ia menaruh
curiga Leng-hong itu seorang buronan negara.
Ia tak takut kepada Kang Hay-thian dan terus terang
menceritakan peristiwa malam itu, setelah itu ia lantas
membuka rekening Leng-hong dinaikkan tiga kali lipat.
Memang dia rakus uang, tapi tak sampai membikin susah
Kang Hay-thian, Kang Hay-thian pun segera melunasi
rekening muridnya itu.
"Memilik kepandaian Leng-hong, kalau hanya kaum
keroco biasa saja tentu dapat dilawannya. Dikuatirkan dia
berhadapan dengan jago-jago istana dari tingkat
golongan seperti Co Bong. Pemilik hotel ini mengatakan
mendengar kedua ekor kudaku itu meringkik tapi tak
tahu Leng-hong dapat melarikan diri atau jatuh ke
tangan musuh," pikirnya.
Putra Li Bun-sing belum ketemu, kini Leng-hong juga
menghilang. Kang Hay-thian sungguh gelisah sekali, tapi
karena ia tak berhasil memperoleh keterangan siapasiapa
yang bertempur dengan Leng-hong, terpaksa ia
meninggalkan kota itu. Ia harap berkat pergaulannya
yang luas nantinya akan memperoleh keterangan dari
beberapa sahabatnya. Dan jika tetap tak mendapat

berita apa-apa, ia ambil keputusan akan pulang dulu


untuk mengatur tempat bagi To-kan.
Dalam perjalanan itu banyak sudah ia mengunjungi
beberapa tokoh-tokoh ternama, memang mereka
mengatakan telah mendengar berita tentang bakal
adanya gerakan jago-jago istana yang akan lewat di
daerah mereka, tapi para anak buah mereka menyatakan
tak pernah bertemu dengan Leng-hong dan kuda sakti
yang dinaikinya itu.
Beberapa hari kemudian, Hay-thian tiba-tiba bertemu
di tengah jalan dengan dua orang, kala itu dia bersama
To-kan lewat di kaki gunung Lu-liang. sekonyongkonyong
dari atas gunung terdengar orang
memanggilnya, "Kang-tayhiap, Lo-siu (aku yang tua)
sudah menanti lama di sini. Naiklah kemari, sudikah?"
Kang Hay-thian merasa cukup kenal baik dengan nada
orang itu, tetapi ia tak ingat siapa, pikirnya, "Orang itu
menggunakan ilmu
Lwekang Coan-im-jip-bit dan membahasakan dirinya
dengan sebutan 'Lo-siu'. Dia tentu seorang Lodanpwe
persilatan." Ia segera menyahut menyatakan
kesediaannya, sembari menjinjing To-kan, ia segera lari
ke atas gunung, ke tempat datangnya suara itu.
"Eh. dimana orang itu? Mengapa aku tak melihatnya?"
ujar To-kan.
"Itu, lihatlah!" Kang Hay-thian tertawa. Karena ia
menggunakan ilmu Pat-poh-kan-sian, To-kan merasa
kakinya tak menginjak tanah seperti terbang.
"He, Cianpwe apa segala? Masakah kau tak kenal lagi
pada pengemis tua ini?" orang tadi tertawa gelak-gelak.

Ketika Kang Hay-thian menghentikan larinya, orang


itupun sudah muncul di hadapannya. Ah, kiranya Tiong
Tiang-thong, ketua Kay-pang.
Tiong Tiang-thong ini adalah sahabat baik ayah angkat
Kang Hay-thian yang bernama Hoa Thian-hong. Juga
bersahabat erat dengan Suhu Kang Hay-thian. Dahulu
Kang Hay-thian ikut adik angkatnya, Hoa Hun-pik,
memanggil ketua Kay-pang itu dengan sebutan 'paman'.
Paling akhir keluarga Hay-thian berjumpa dengan
pengemis itu di tempat keluarga In di desa In-keh-ceng.
Sampai sekarang pertemuan itu sudah dua puluh tahun
berselang.
Tak kepalang girang Kang Hay-thian, serta merta ia
maju memberi hormat, "Paman Tiong, Pangcu, kiranya
kaulah!"
Setelah Kay-pang sekte selatan dan utara bergabung,
Tiong-Tiang-thong menggantikan Ek Tiong-bo menjadi
ketua Kay-pang. Hubungan Kay-pang dengan Bin-sanpay
erat sekali, dalam perjumpaan itu, untuk sesaat Kang
Hay-thian bingung mencari panggilan yang sesuai, maka
setelah menyebut 'paman', lalu ia pun memanggil
'Pangcu' (ketua) pula.
Tiong Tiang-thong tertawa, "Ah, sungguh cepat sekali
jalannya waktu. Kau yang dulu masih seorang bocah
ingusan sekarang sudah menjadi seorang Tayhiap.
Apakah bocah laki itu muridmu?"
"Paman ketua, kata sanjunganmu 'Tayhiap' itu
sungguh menyiksa hatiku. Anak ini bernama Lim To-kan,
putra Lim Jing, ketua Thian-li-kau. Kan-ji, lekas memberi
hormat kepada Siok-kong (paman kakek)."

Sambil mengusap-usap batok kepala To-kan, Tiangthong


tertawa, "Ayahnya seorang jantan dan gagah
perwira, muridmu sungguh tak mengecewakan. Muridku
yang pertama, apakah kau sudah pernah bertemu?"
Seorang pengemis muda, tepat pada saat itu lantas
muncul. Kang Hay-thian kenal dia, ialah Goan It-tiong,
murid kepala Tiong Tiang-thong. Beberapa bulan yang
lalu Kang Hay-thian pernah berjumpa dengannya di
markas cabang Kay-pang di Tek-ciu.
Pada wajah Goan It-tiong terdapat sebuah guratan
bekas luka. Ketika tempo hari bertemu dengannya. Kang
Hay-thian ingat kalau luka itu belum ada, terang adalah
luka baru. Kang Hay-thian merasa heran, batinnya, "Kaypang
adalah partai besar nomor satu. Di dalam cabang
Kay-pang, Goan It-tiong menduduki kursi ketiga.
Siapakah yang berani menggurat luka pada mukanya
itu?"
"Hiantit, apakah pulangmu ini karena mendengar
sesuatu berita?" tanya Tiong Tiang-thong.
"Berita apa?" Hay-thian balas bertanya.
"Pada waktu belakangan ini dimana-mana mulai timbul
gerakan melawan pemerintah Cing. Untuk menjaga
jangan sampai partai-partai persilatan mengadakan
hubungan dengan gerakan itu, maka kawanan perwira
Gi-lim-kun dan jago-jago istana keluar untuk menyelidiki
gerak-gerik partai-partai persilatan. Kay-pang dan Binsan-
pay terutama menjadi incaran mereka. Istrimu
adalah ahli waris Bin-san-pay. Kukira kau sudah
mendengar berita ini, maka lantas buru-buru pulang
untuk membantu istrimu."

"Memang Bin-san-pay selamanya menjadi duri di mata


pemerintah Cing, hal itulah sudah kuduga. Aku memang
hendak lekas pulang, tetapi masih bisa ditunda satu-dua
hari lagi. Apakah yang terjadi pada Kay-pang?" tanya
Hay-thian.
Tiong Tiang-thong berwatak blak-blakan, ujarnya,
"Kau dapat menebak jitu. Adanya kutunggu
kedatanganmu di sini, pertama, karena sudah lama tak
bertemu, kedua, memang ada sedikit kesulitan. Jika kau
tak ada urusan penting, akan kuminta kau menemani aku
untuk bertemu dengan seseorang."
"Apakah kawanan alap-alap kerajaan yang membikin
susah padamu?" tanya Kang Hay-thian. Dalam
pikirannya, kecuali pemerintah Cing, siapa lagi yang
berani menandingi Kay-pang yang besar pengaruhnya.
Siapa tahu kali ini dugaannya salah.
Tiong Tiang-thong tertawa dan menjawab, "Aku si
pengemis tua ini tiada tentu tempat tinggalku, antekantek
itu tak mudah mencari aku. Mereka hanya dapat
meluaskan jaringan untuk menyelidiki gerak-gerik Kaypang.
Tapi orang yang mengadu-biru, bertekad hendak
menantang aku berkelahi."
Kang Hay-thian terkejut, "Siapa orang yang bernyali
besar itu? Mengapa ia tak tahu diri berani menantang
berkelahi pada paman?"
Tiong Tiang-thong tertawa dingin, "Dia minta aku
supaya datang minta maaf padanya! Bukankah itu berarti
hendak menantang padaku!"
Kang Hay-thian makin kaget, "Sungguh tak tahu adat!
Tetapi bagaimanakah urusannya?"

Bukan saja Kay-pang itu merupakan organisasi


terbesar di dunia persilatan, juga Tiong Tiang-thong itu
juga seorang tokoh terkemuka dalam persilatan. Dua
puluh tahun berselang, ilmunya Khun-goan-it-khi-kang
telah menggegerkan dunia persilatan. Apalagi sekarang
tentu makin sempurna, entah berapa puluh kali lipat
dahsyatnya dibanding dulu.
Maka Tiong Tiang-thong mulai bercerita.
"Puncak Thian-pit-nia di gunung Lu-liang ada tumbuh
sejenis rumput obat, yakni sejenis ramuan obat luka
yang paling manjur. Tiga puluh tahun yang lalu ketika
aku berlalu di situ, kutemukan rumput itu. Kupetik sedikit
dan kuberikan pada ayah angkatmu Hoa Thian-hong
supaya ditanam di kebunnya. Tak lupa juga
kuberitahukan resep ramuannya. Sejak itu tak pernah
lagi kudatang ke Thian-pit-nia. Pertama, karena enggan
mendaki puncak yang berbahaya itu. Dan kedua, karena
luka kena senjata tajam atau api dapat kuobati dengan
obat biasa. Karena diliputi kesibukan terus menerus, aku
tak punya waktu juga dan enggan menyuruh anak murid
Kay-pang memetik rumput di Thian-pit-nia itu.
"Sekali ini adalah Kwe Su-oh dari kota Ih-sing yang
telah membentuk barisan pembebasan untuk mengusir
penjajahan. Dia minta kepadaku supaya membuatkan
obat Kim-jong-yok (obat luka) dalam jumlah besar dan
yang manjur, segera aku teringat akan rumput obat di
Thian-pit-nia itu. Setelah tiga puluh tahun, tentulah
rumput itu akan sudah tumbuh lebat, dan ini sungguh
memenuhi kebutuhan.
"Kusuruh Goan It-tiong dengan empat orang murid
menuju ke Thian-pit-nia. Keempat murid itu aku sendiri

yang memilih, kepandaiannya tak mengecewakan. Kukira


memetik rumput di gunung yang tiada pemiliknya
tentulah mudah. Siapa tahu ternyata mereka mendapat
kesulitan. It-tiong, coba kau tuturkan pengalamanmu
pada Kang-tayhiap," ketua Kay-pang itu menyudahi
keterangannya.
Maka berkatalah Goan It-tiong, "Baru saja kami
berlima naik ke Thian-pit-nia dan belum lagi menemukan
rumput yang dimaksud Suhu itu, kami bertemu dengan
sepasang muda-mudi. Mereka baru berumur 16-17
tahun, pemuda itu garang sekali, begitu melihat kami dia
terus mencaci-maki. Ia mengusir kami katanya tempat
itu terlarang bagi orang luar. Tahukah kami sekarang
bahwa Thian-pit-nia itu sekarang sudah di tempati orang.
Kami pun segera menuturkan maksud kami kepada
mereka.
"Aneh, sekalipun mereka tinggal di situ, toh tak boleh
mengangkangi hak atas gunung itu dan menganggap diri
sebagai pemiliknya. Dan pula rumput itu bukan mereka
yang menanam, mengapa melarang orang dan tak boleh
mengambilnya," kata Kang Hay-thian.
"Aku pun mengatakan begitu kepadanya, tetapi anak
muda yang belum hilang pupuknya itu, tak mau
menerima alasan kami. Kami menggunakan lidah, dia
terus hendak menggunakan tangan," kata Goan It-tiong.
"Apakah perkelahian itu lantas menyebabkan
datangnya pemilik Thian-pit-nia?" tanya Hay-thian.
Goan It-tiong adalah jago nomor tiga dalam Kay-pang,
yang berkelahi dengan dia itu hanya seorang jejaka umur
16-an tahun. Kang Hay-thian mengira Goan It-tiang tentu
menang dan akan datang bantuan dari pihak Thian-pitTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
nia sehingga menyebabkan Goan It-tiong kalah dengan
membawa luka di mukanya itu.
Tetapi dugaannya ternyata salah. Dengan wajah
kemalu-maluan, Goan It-tiong berkata, "Tidak, anak yang
belum hilang pupuknya itu ternyata ganas sekali
kepandaiannya. Semula aku masih memaafkan
mengingat usianya yang semuda itu. Tetapi ternyata
begitu bergebrak ia sudah menggunakan ilmu Hunkin-
jo-jiu-hoat. Aku hampir saja menderita luka berat,
untung aku masih punya Khun-goan-it-khi-kang untuk
melindungi tubuh sehingga tak sampai konyol."
"Apakah kau tak tahu dari golongan mana anak itu?"
tanya Hay-thian.
Goan It-tiong makin kikuk, ujarnya, "Wanpwe picik
pengalaman, jadi tak mengetahui golongannya!"
Kang Hay-thian minta dia supaya melanjutkan
penuturannya.
Kata Goan It-tiong, "Setelah aku dapat memperbaiki
posisiku, aku bertempur lagi, kesudahannya hanya seri
saja. Tapi celakanya, Sute kami berempat itu dapat
ditotok jalan darahnya oleh si dara!"
Kejut Kang Hay-thian tak terkira. Tadi Tiong Tiangthong
mengatakan kalau keempat murid itu dia sendiri
juga memilih berdasarkan kepandaiannya. Kalau Tiong
Tiang-thong mengatakan 'kepandaian mereka tak
mengecewakan' itu, paling tidak tentu seimbang dengan
jago persilatan kelas dua. Tetapi masakah seorang dara
dalam waktu yang singkat saja sudah dapat membikin
mereka tak berdaya? Sungguh suatu kejadian yang
mengejutkan!

Goan It-tiong melanjutkan pula, "Dalam keadaan


gugup, aku segera mengeluarkan seluruh kepandaianku
menyerang anak muda itu. Maksudku hendak lekas
menolong keempat Suteku itu, tetapi sudah terlambat.
Keempat Suteku sudah kena tertotok roboh, kemudian si
dara berlari datang mengeroyok aku.
"Anak muda itu kena pukulanku dan mungkin
menderita luka sedikit. Rupanya dia marah sekali, lalu
mencabut golok terus membacok punggungku. Aku
berputar tubuh hendak menangkis, tetapi kalah cepat,
mukaku kena dibacoknya. Si dara dengan gerakan cepat
segera merebut golok adik misannya itu, sedang
tangannya yang satu dipakai untuk menotok jalan
darahku."
Kang Hay-thian cepat menyeletuk, "Mengapa kau tahu
mereka adalah saudara misan?"
"Setelah tertangkap barulah kutahu mereka saling
membahasakan Taci dan adik misan," sahut Goan Ittiong.
"Bukankah yang anak laki itu bernama Nyo Hoan dan
si dara Siangkoan Wan?" tiba-tiba To-kan berseru.
"Hiantit, kiranya kau tahu riwayat keluarga yang
berdiam di Thian-pit-nia itu," Tiong Tiang-thong berseru
girang.
"Bulan yang lalu memang aku pernah berjumpa
dengan sepasang anak laki perempuan yang
berkepandaian tinggi. Mereka juga membahasakan Taci
dan adik misan. Menurut keterangan It-tiong tadi, umur,
kepandaian dan perangai kedua anak itu memang persis

seperti yang kujumpai itu. Tetapi aku belum tahu aliran


perguruan dan Suhu mereka," sahut Hay-thian.
"Menilik gelagatnya memang mereka itu seperti yang
dijumpai Kang-tayhiap. Mereka tak mau menyebut nama,
hanya saja penghuni Thian-pit-nia itu memang benar
memakai she ganda Siangkoan dan bernama Thay," kata
It-tiong.
"Baik, coba tuturkan lagi pengalamanmu selama
ditawan dan bagaimana dilepaskan lagi," kata Hay-thian.
"Setelah merebut golok adik misannya, dara itu
berkata, 'Beberapa pengemis ini berkepandaian tinggi,
mereka dapat naik ke puncak sini tentulah mereka bukan
orang sembarangan. Tak boleh menjadi hakim sendiri,
serahkan pada ayahku saja!'. Si bocah laki menyahut,
'Memang hendak kuserahkan pada paman, tapi tadi
karena dia memukul aku, saking gemasku lantas kubacok
mukanya. Apakah kau mengira aku sungguh-sungguh
hendak membunuhnya?'. Si dara lantas mengikat kami
berlima dengan rotan dan membawa pulang," demikian
kata It-tiong.
Karena Kang Hay-thian dianggap sebagai anggota
keluarga Kay-pang, maka Goan It-tiong tak malu untuk
menceritakan peristiwanya. Supaya Kang Hay-thian
mengetahui jelas, ia bercerita apa adanya. Hanya saja
ketika menceritakan dirinya diikat si dara, tak urung
mukanya tersipu-sipu merah juga.
"Orang pandai masih ada yang lebih pandai, di atas
langit masih ada langit. Orang yang berkecimpung di
dunia persilatan, siapakah yang belum pernah mengalami
cidera. Semasa muda, aku pun pernah beberapa kali
diringkus orang. Dalam hal itu janganlah Goan-sute

merasa malu, lalu bagaimana kelanjutannya?" kata Kang


Hay-thian.
"Kemudian ayah dara itu memeriksa aku. Takut
membikin malu perguruan, aku tak mau bilang siapa
Suhuku. Tetapi dia licin benar, kami ditanya satu per satu
secara terpisah. Entah siapa di antara Sute kami yang
telanjur membocorkan, setelah mengetahui siapa diriku,
dia sendiri yang melepaskan aku dengan pesan supaya
menyampaikan pada Suhu bahwa dia bernama
Siangkoan Thay. Dia ... dia ... ah itu sungguh suatu
penghinaan besar."
Tiong Tiang-thong segera menyambung, "Siangkoan
Thay menyuruhku meminta maaf kepadanya barulah dia
nanti mau melepaskan keempat murid Kay-pang itu.
Sepanjang sejarah belum pernah Kay-pang menerima
hinaan begitu rupa, nyata Siangkoan Thay itu hendak
menantang aku berkelahi, hendak menghina Kay-pang.
Namun sekalipun dia bersikap begitu, dia masih tetap
mematuhi peraturan dunia persilatan. Karenanya aku pun
sungkan untuk mengundang bantuan dari sahabatsahabat
persilatan. Dalam hal itu bukan berarti aku
mengabaikan dia dan tidak membuat persiapanpersiapan.
Hiantit, jika pergi bersamamu, hatiku sungguh
mantap sekali!"
"Urusan ini sungguh aneh. Entah orang manakah
Siangkoan Thay itu hingga sengaja mencari perkara
padamu. Hanya saja, putrinya dan anak laki she Nyo itu
pernah melepas budi padaku," sahut Kang Hay-thian.
Tiong Tiang-thong tercengang heran.
Kang Hay-thian diakui kaum persilatan sebagai jago
nomor satu, pergaulannya luas sekali. Sukar sekali orang

hendak mencelakainya, tetapi mengapa dia menerima


budi seorang dara dan seorang anak muda? Sekalipun
mulut Kang Hay-thian sendiri yang mengatakan, hampir
saja Tiong Tiang-thong tak percaya, namun ia tahu Kang
Hay-thian seorang lelaki yang tegas jujur, apa yang
dikatakan tentu tak bohong.
Pada lain saat tertawalah Tiong Tiang-thong, "Jika
Hiantit merasa tak leluasa, baiklah tak usah turut pergi."
Kang Hay-thian tertawa, "Sekalipun tak ada urusan
paman ini, aku memang hendak mencari orang itu." Ia
lantas menuturkan tentang peristiwa yang dialaminya di
Bici. Kini baru tahulah Tiong Tiang-thong aoa yang
dikatakan Kang Hay-thian tentang menerima budi dari
kedua muda-mudi itu.
"Sebenarnya meskipun kala itu Suhu tak dapat
bergerak, namun kawanan petugas itu tak dapat melukai
Suhu juga. Jika bicara tentang budi, hanya akulah yang
menerima budi mereka. Apalagi Suhu juga sudah diamdiam
menolong jiwa Nyo Hoan, sayang mereka tak tahu,"
demikian To-kan menyeletuk.
"Ah, itu bukan seperti orang jual beli, mana boleh aku
ngotot terhadap kaum muda dengan mengatakan aku
sudah membalas budinya? Betapapun kita sudah
menerima kebaikannya, tetapi budi yang kuterima
dengan hinaan yang ditujukan pada Tiong-pangcu adalah
dua hal yang berbeda. Hanya saja karena Siangkoan
Thay itu ayah dari Siangkoan Wan, kuharap Tiongpangcu
suka memberi sedikit muka padaku untuk
menjadi orang perantara. Asal Siangkoan Thay mau
melepaskan orang Kay-pang, kurasa kita pun juga harus

menganggap urusan sudah selesai sampai di situ saja,"


kata Hay-thian.
"Baiklah," jawab Tiong Tiang-thong.
"Suhu, apakah kali ini kita dapat mencari tahu
keadaan engkoh Li," tanya To-kan
"Eh siapakah engkoh Li itu?" sela Tiong Tiang-thong.
Kang Hay-thian mengatakan kalau itu adalah putra
dari Li Bun-sing.
Rupanya Tiong Tiang-thong juga sudah mengetahui
tentang Deristiwa Kone-he. tanyanya, "Apakah sampai
sekarang belum diketahui dia berada dimana?"
"Sudah ada sedikit jejaknya. Marilah kita bicara sambil
berjalan," kata Hay-thian. Setelah menceritakan
kelanjutan dari peristiwa Li Kong-he, berkatalah Kang
Hay-thian, "Kini dia jatuh ke tangan orang she Tiok,
dijadikan kacung oleh keluarga gadis Tiok. Yang dapat
diketahui sekarang ialah Siangkoan Thay, ayah dari Nyo
Hoan serta ayah gadis she Tiok itu, merupakan tiga
serangkai saudara ipar. Mereka bertiga memang aneh
sekali gerak-geriknya, tak kenal peri-kemanusiaan. Tapi
biar bagaimanapun aku tetap hendak menyelidiki sampai
jelas, hanya saja dalam urusan ini biarlah paman yang
menjadi peran utama. Setelah urusan kami selesai,
barulah aku hendak menanyakan hal itu pada Siangkoan
Thay."
Mereka menggunakan ilmu Ginkang, sambil bercakapcakap
tanpa terasa mereka sudah tiba di bawah puncak
Thian-pit-nia. Dari jauh tampak sebuah rumah batu, dari
atas gunung ada orang yang melemparkan sebuah batu

kecil sambil berseru, "Hai, siapakah yang berani datang


ke gunung ini?"
"Ai, jangan kau menakuti orang, biar aku yang bicara,"
terdengar suara lengking seorang anak perempuan,
kemudian serunya lebih lanjut, "Thian-pit-nia tak boleh
didatangi orang luar. Kalau mau mencari daun obat,
pergi ke lain tempat saja." Habis berkata ia pun
menimpukkan sebuah batu untuk mengejar batu orang
pertama tadi. Batu yang pertama kena terhantam hancur
oleh batu si dara, agaknya dara itu mempunyai maksud
baik agar orang yang di bawah puncak itu jangan sampai
kena lemparan batu, maka batu orang pertama tadi
menjadi melenceng jalannya.
Tiong Tiang-thong marah ia melontarkan Pik-khongciang
hingga batu sebesar mangkuk itu mencelat ke
udara dan meledak hancur berkeping-keping! Itu saja
Tiong Tiang-thong masih mengingat kebaikan si nona,
coba jika tidak, dia tentu akan mengirim balik batu itu
kepada pengirimnya.
"Pangcu dari Kay-pang, Tiong Tiang-thong menepati
janji menghadap Siangkoan-siancu!" Tiong Tiang-thong
berseru lantang, suaranya segera berkumandang dan
menimbulkan gema di empat penjuru. Memang Tiong
Tiang-thong menggunakan Lwekang Coan-seng-jip-bit
untuk mencoba kepandaian Siangkoan Thay. Ia ingin
mengetahui bagaimana reaksinya. Seperti diketahui,
suara yang dilancarkan dari bawah ke atas lebih sukar
daripada atas ke bawah. Ia percaya seruannya tadi tentu
mengiang di telinga Siangkoan Thay. Kalau orang she
Siangkoan itu tak mampu mengimbangi kekuatannya,
berarti kalah

"Ya, sudah tahu, suruh tetamu itu naik ke atas


gunung!" terdengar suara yang bernada congkak. Katakata
yang separuh di bagian muka itu untuk jawaban
Tiong Tiang-thong, sedang yang bagian belakang
perintah kepada putrinya. Jelas bagaimana jumawa tuan
rumah dapat dilihat dari kata-katanya yang
menggunakan ucapan 'silakan'.
Sekalipun congkak, tapi nyata kalau tuan rumah
berilmu tinggi, setiap patah katanya berat bagai batu
menindih telinga, jantung pun ikut bergetar. Kang Haythian,
Tiong Tiang-thong memang tak kena apa-apa, tapi
yang celaka adalah Goan It-tiong dan Lim To-kan. Buruburu
mereka menyumpal telinga masing-masing.
Diam-diam Kang Hay-thian membatin bahwa
kepandaian orang she Siangkoan itu ternyata tak di
bawah Tiong Tiang-thong. Seketika itu ia tersenyum,
ujarnya, "Dia menggunakan ilmu Say-cu-thong (auman
singa) dari perguruan agama. Dahulu Coan Bi Taysu dari
Secong (Tibet) juga memiliki ilmu semacam itu. Sekarang
sudah jarang yang bisa."
Tampaknya ia hanya bicara pada Tiong Tiang-thong,
tapi Siangkoan Thay yang berada di dalam rumah jelas
mendengarnya. Diam-diam dia terperanjat, "Eh, siapakah
orang itu? Hanya sepatah kata kuucapkan, dia lantas
mengetahui aliran kepandaianku? Terang kepandaiannya
di atasku!"
Ketika rombongan Kang Hay-thian tiba di puncak,
mereka disambut oleh seorang dara berumur 16-an
tahun dan seorang lelaki. Si dara itu bukan lain ialah
Siangkoan Wan, sedang si lelaki tentu pengurus rumah
tangga ayah si dara.

Rupanya Siangkoan Wan juga tak lupa pada Kang


Hay-thian dan To-kan, tegurnya, "Eh, kalian tahu aku
tinggal di sini?" Ia mengira kedua orang itu hendak
mencarinya untuk menghaturkan terima kasih.
To-kan tertawa, "Suhuku mempunyai keahlian untuk
meramal, dia meramal dan tahu kau tinggal di sini, maka
sengaja datang hendak menghaturkan terima kasih."
Siangkoan Wan tertawa mengikik, tukasnya, "Ai, kau
setan cilik ini memang pandai melucu."
Kata Kang Hay-thian, "Tiong-pangcu adalah
sahabatku. Kami tak menduga akan bertemu di jalan,
katanya Siangkoan-siancu telah mengundangnya. Karena
ingin berjumpa dengan Ko-jin (orang sakti) di zaman ini,
maka aku pun ikut menyertainya. Tak terkira kalau
Siangkoan-siancu itu ayahmu, sungguh kebetulan sekali.
Tapi takkan kulupakan untuk menghaturkan terima kasih
padamu."
Pengurus rumah tangga itu berkata dengan nada
dingin, "Kalau begitu, kalian ini bukan kaum Kay-pang?
Hehe, karena sudah tahu majikanku itu Ko-jin pada
zaman ini, seharusnya kau tahu, tak nanti dia mau
menemui orang yang bukan golongan Ko-jin. Yang
diundang majikanku ialah Tiong-pangcu, bukan kau.
Lekas kau turun gunung agar jangan mendapat
kesulitan."
Tiong Tiang-thong membeliakkan mata, "Kau punya
mata tapi tak dapat melihat gunung Thaysan. Kau tahu
siapa dia? Dia
"Aku hanya seorang keroco, tapi adalah sahabat
Tiong-pangcu. Mungkin dengan memandang muka

Tiong-pangcu, majikanmu itu suka menemui aku juga.


Jika memang majikanmu yang menyuruh aku pergi,
sudah tentu aku akan menurut," buru-buru Hay-thian
menanggapi.
Tiong Tiang-thong mendengus, "Hm, mulutmu selalu
tergila-gila menyebut Ko-jin. Tapi berapa orang Ko-jinkah
yang kau kenal? Sudahlah, aku tak mau melayani kau,
jangan banyak bicara, lekas bawa kami pada
majikanmu!"
Memang setelah mendengar betapa dahsyat ilmu
Khun-goan-it-khi-kang yang digerungkan Tiong Tiangthong
tadi, pengurus rumah itu sudah jeri terhadap ketua
Kay-pang itu. Dibentak oleh ketua pengemis, ia tersipusipu
menyahut, "Tiong-pangcu, jangan marah. Kami
orang bawahan ini hanya menurutkan aturan yang
ditetapkan majikan saja. Jika sahabatmu menyertai kau,
mari silakan." Dalam batin pengurus rumah itu
menyumpahi Kang Hay-thian yang tak tahu diri, maka
biar dia nanti tahu rasa. Memang dia tak tahu siapa Kang
Hay-thian, jago nomor satu yang lebih unggul dari
majikannya.
Siangkoan Wan mempunyai kesan baik terhadap Tokan,
ujarnya, "Jangan takut, jika ayah hendak membikin
susah padamu, nanti aku yang mintakan kebebasan,
tetapi kau harus ingat suatu hal."
"Hal apa?" tanya To-kan.
Siangkoan Wan membisiki, "Di hadapan ayahku
jangan sekali-kali kau menyanjung Suhumu sebagai
Tayhiap. Kepada aku sih tak apa kau bicara begitu, tetapi
di hadapan ayahku, sekali kau menyebut kata-kata itu,

ayah tentu akan menantang berkelahi pada Suhumu dan


aku pun tak berdaya menolong Suhumu lagi."
To-kan lantas membantah, "Tapi Suhuku itu memang
"Benar, memang aku tak sembabat disebut Tayhiap.
Kan-ji mengapa kau tak membilang terima kasih kepada
nona yang memberi peringatan baik padamu?" tukas
Kang Hay-thian.
"Ya, terima kasih nona," kata To-kan, yang segera
tertawa mengikik. Tiong Tiang-thong pun turut tertawa
geli.
Kerlinean mata Sianckoan Wan berkeliaran, teeurnya,
"Apa yang kalian tertawakan?"
"Tak apa-apa, kami hanya merasa geli saja," sahut
Tiang-thong.
"Hm, apakah kau juga geli karena adik kecil itu
menyanjung Suhunya setinggi langit?" tanya Siangkoan
Wan.
Tiong Tiang-thong mengiyakan saja, tapi ia kembali
tertawa. Sudah tentu Siangkoan Wan tak mengetahui
yang ditertawakan itu bukan To-kan, melainkan dirinya
yang tak kenal siapa Kang Hay-thian sebenarnya itu.
"Eh, mana Nyo-kongcu itu?" tanya Kang Hay-thian.
"Adik misanku itu? Ah, sayang, kemarin baru saja dia
pulang," sahut Siangkoan Wan. Setelah merenung
sejenak, ia tertawa, "Tetapi juga kebetulan sekali. Ketika
kau bilang hendak memberi pelajaran silat padanya, dia
marah-marah dan mengatakan kau tak tahu diri, dia
merasa terhina. Untung sekarang dia sudah pulang, coba

jika tidak, tentu dia akan minta ayahku memberi hajaran


padamu."
"Ya, aku salah bicara, aku menyesal sekali. Harap
nona maafkan," kata Kang Hay-thian.
Pada waktu bicara itu, mereka sudah tiba di muka
rumah. Dua buah tembok melingkari rumah itu seperti
bentuk gendewa. Bangunannya kokoh, mirip benteng.
"Ketua Kay-pang sudah tiba!" teriak si pengurus
rumah. Berada di kandang sendiri pengurus rumah itu
menjadi garang dan kurangajar, ketua Kay-pang
dianggapnya sebagai seorang pesakitan saja.
Tiong Tiang-thong menahan kemarahannya.
Tiba-tiba terdengar suara tuan rumah Siangkoan Thay
berseru nyaring, "Budak goblok, ketua Kay-pang sudah
berkunjung mengapa tak lekas mempersilakan masuk?
Mengapa perlu melapor lagi?" Setelah mendengar
Lwekang suara Tiong Tiang-thong dan Kang Hay-thian
tadi, kini orang she Siangkoan itu berubah menghormat
sikapnya.
Bisik Siangkoan Wan, "Agaknya ayah sudah
memandang lain pada kalian, sungguh suatu hal yang
jarang terjadi. Agaknya dia takkan membikin susah pada
kalian."
Dengan murung si pengurus rumah segera
mempersilakan para tetamunya masuk. Maka
tertampaklah seorang lelaki berumur 50-an tahun
bertubuh kekar duduk di tengah ruangan. Begitu
rombongan tamu masuk, dia pun lantas berbangkit
memberi hormat, ujarnya, "Apakah tuan ini Tiongpangcu?"

Tiong Tiang-thong tersipu-sipu balas memberi hormat


dan. mengiakan. Sorot mata tuan rumah menyapa pada
rombongan tetamu dan berhenti menatap Kang Haythian,
ia agak terkesiap, pikirnya, "Orang ini gagah
perkasa. Yang mengatakan asal-usulku tadi tentulah
orang ini."
Setelah mengawasi tajam beberapa jenak, bertanyalah
Siangkoan Thay, "Apakah sahabat ini
"Aku yang rendah adalah Kang Hay-thian dari Tangping
di Soatang," buru-buru Kang Hay-thian menanggapi.
Ia tak mau plintat-plintut di hadapan Siangkoan Thay. Ia
menyatakan terus terang siapa dirinya.
Tiong Tiang-thong dan Goan It-tiong mengawasi
bagaimana reaksi tuan rumah ketika mendengar nama
Kang Hay-thian yang termasyhur di dunia persilatan itu.
Mereka yakin tuan rumah tentu akan terkejut, siapa tahu
Siangkoan Thay hanya mengerutkan alis dan dengan
nada heran menggumam sendiri, "Kang Hay-thian? Nama
ini agaknya aku pernah dengar dari orang? O, benar,
benar! Wan-ji, tuan Kang ini adalah orang yang kau dan
adik misanmu jumpai ketika di Bici itu, bukan?"
Tanggapan itu sungguh di luar dugaan Tiong Tiangthong,
bahwasanya Siangkoan Thay mendengar nama
Kang Hay-thian itu karena diberitahu oleh Nyo Hoan.
Nyata dari nadanya, Siangkoan Thay sendiri belum kenal
siapa Kang Hay-thian itu. Diam-diam Tiang-thong heran,
"Eh, apakah Siangkoan Thay itu sejak dua puluh tahun
sudah tinggal di Thian-pit-nia sini dan tak pernah turun
ke masyarakat ramai? Apakah selamanya dia tak pernah
punya sahabat? Masakah tokoh seperti Kang Hay-thian
tidak dia ketahui sama sekali!"

Siangkoan Wan menjadi kuatir malah, pikirnya,


"Celaka, celaka. Tadi aku lupa memesan supaya dia pakai
nama palsu saja. Adik misanku telah menceritakan
kejadian tempo hari, ayah tentu akan mencoba
kepandaiannya."
Terpaksa ia mengiakan dan mengatakan kalau Kang
Hay-thian itu datang karena hendak menghaturkan
terima kasih kepada Nyo Hoan.
Nyata ia hendak melindungi Kang Hay-thian.
Siangkoan Thay tertawa, "Hm, dengan sedikit
kepandaian kalian begitu saja mampu menolong tuan
Kang? Janggal benar!"
"Memang benar putri dan keponakanmu itu telah
menolong aku. Jika tiada bantuan mereka, aku dengan
muridku tentu sudah jatuh ke tangan kawanan alap-alap
kerajaan!" kata Kang Hay-thian bersungguh-sungguh.
Siangkoan Thay agak tak percaya, ujarnya, "Kalau
begitu adanya, kau hendak memberi pelajaran silat pada
Nyo Hoan karena hendak membalas budi? Atau karena
kau tahu aliran perguruannya, lantas kau mempunyai
rencana akan menerimanya sebagai murid?"
Tak tahu Kang Hay-thian apa yang dimaksudkan itu,
tetapi dari nadanya dia curiga kalau orang mempunyai
rencana busuk, sahutnya, "Aku memang tak tahu diri,
maksudku itu hanya membuat orang tertawa saja, tetapi
sesekali aku tak mempunyai itikad buruk?"
"Yah, memang dia tak tahu asal-usul kita. Tadi dia pun
sudah meminta maaf padaku atas kesalahan omong
tempo hari," kata Siangkoan Thay.

"Tuan Kang, keponakanku itu masih kecil, tak


mengerti apa-apa. Dia benar-benar mengecewakan
maksudmu yang baik," kata Siangkoan Thay, "tetapi
sekalipun dia tak punya rezeki menerima pelajaranmu,
tetap akan kusuruh dia menghaturkan terima kasih
kepadamu."
Ia angsurkan tangan untuk berjabatan dengan Kang
Hay-thian. Memang hal itu sudah lazim, tapi di samping
itupun dapat juga untuk menguji tenaga orang. Terpaksa
Kang Hay-thian mengangsurkan tangannya juga.
Siangkoan Thay memiliki ilmu Toa-hoan-ciu-in-kang
dari aliran Bit-cong di Secong. Gunanya khusus untuk
melukai urat dan jalan darah orang. Sekali tenaga
dilancarkan, akan mendampar seperti gelombang yang
tak putus-putus. Kang Hay-thian terperanjat, pikirnya,
"Kepandaian orang ini lebih unggul dari ilmu Tay-sengpoan-
yak-ciang Yap Tiong-siau tempo dulu. Jika aku tak
meyakinkan Lwekang dua aliran Cing dan Sia (baik dan
jahat) tentu tak mampu menghadapinya!"
Begitulah gelombang demi gelombang Lwekang
Siangkoang Thay melancar sampai sembilan kali, yang
satu lebih dahsyat dari yang lain. tetapi setiap kali arus
Lwekang mendampar, dirasakan seperti mengalir ke
dalam lautan. Tanpa bersuara tenaga itu lenyap sirna
dan tak dapat mengembangkan kedahsyatannya.
Sekarang baru untuk pertama kali itu Siangkoan Thay
mengerti apa yang disebut 'dalamnya sukar diukur’.
Lwekangnya tak dapat mengapa-apakan lawan. Tapi
lawan pun tak mau balas mendamparkan tenaganya.
Sampai dimana kesempurnaan ilmu Kang Hay-thian, dia

sungguh tak dapat menjajakinya. Tapi jelas sudah bahwa


kepandaian orang she Kang itu lebih tinggi dari dirinya.
Adalah karena mempunyai itikad baik untuk menjadi
orang penengah, maka Kang Hay-thian tak mau
membikin malu tuan rumah. Coba dia berlaku kejam, asal
mendampar balikkan Lwekangnya, hanya dua kesudahan
bagi orang she Siangkoan itu, mati atau luka parah.
Setelah sembilan kali melancarkan Lwekang tanpa
berhasil, akhirnya Siangkoan Thay sendiri yang
tercengang. Kang Hay-thian tertawa dan melepaskan
tangannya, katanya, "Siangkoan-siancu, kau sungguh
hebat!"
Betapapun orang she Siangkoan itu jumawa, namun
setelah merasakan pengalaman itu, mau tak mau ia
mengkeret juga nyalinya. Ia pun tertawa juga, "Kangtayhiap
barulah benar-benar orang sakti yang tak mau
menunjukkan muka. Wan-ji, kau dan Nyo Hoan sungguh
punya mata tapi tak lihat gunung Thay-san." Demikianlah
secara lapang dada ia memuji Kang Hay-thian, nadanya
ia tetap tak menyatakan tunduk. Ini dapat dibuktikan dari
perkataannya "tak melihat gunung Thay-san" itu adalah
putri dan keponakannya, bukan dia.
Mendengar itu diam-diam Tiong Tiang-thong heran
dan menyangsikan kalau-kalau percobaan adu Lwekang
tadi berakhir dengan seimbang kekuatannya.
Sebaliknya Siangkoan Wan dan si pengurus rumah
tangga menjadi pucat karena mendengar ayahnya
menyebut Kang Hay-thian dengan kata-kata "Tayhiap",
katanya, "Yah, kukira kalau gelarannya Tayhiap itu hanya
pepesan kosong belaka!"

"Kalian memang punya mata tapi tak bisa melihat.


Kang-tayhiap tak mau cupet pikiran seperti kalian, maka
tempo hari membiarkan kalian membanggakan diri. Apa
kau kira Kang-tayhiap tempo hari sungguh-sungguh
menerima pertolonganmu?" Meski ia memang tak tahu
kejadian yang sesungguhnya, tapi ia dapat menerka
dengan jitu.
Sebaliknya dengan jujur Kang Hay-thian mengaku
kalau tempo hari memang menerima bantuan yang
berharga dari Siangkoan Wan dan Nyo Hoan.
"Lalu kedatangan Kang-tayhiap kemari ini dalam
kedudukan sebagai apa?" Siangkoan Thay hendak
meminta penjelasan apakah Kang Hay-thian datang
sebagai kawan Kay-pang atau sebagai tetamu Siangkoan
Thay sendiri.
"Ketua Kay-pang Tiong-pangcu adalah pamanku
"Hm, kiranya kau diundang oleh Kay-pang?" serentak
Siangkoan Thay mendengus.
Kang Hay-thian tertawa, "Aku tidak diundang oleh
siapa pun. Kay-pang adalah salah satu organisasi
persilatan terbesar di dunia, rasanya tak perlu mencari
bantuan orang luar. Siangkoan-siancu, kuminta jangan
memutus omonganku dulu."
Tegas sekali ucapan Kang Hay-thian itu dan tepat
pula. Jika Kay-pang tak mau menuruti peraturan dunia
persilatan, asal mengerahkan seluruh anak buahnya,
sekalipun Siangkoan Thay mempunyai kepandaian
menembus langit, tak nanti dia mampu lolos. Memang
maksud permintaan Tiong Tiang-thong supaya Kang Haythian
suka menyertainya itu juga untuk kepentingannya.

Dia hanya minta Kang Hay-thian menjaga jangan sampai


pihak Siangkoan Thay main curang. Jika Siangkoan Thay
tak menghiraukan lagi peraturan persilatan dan main
keroyok, barulah Kang Hay-thian ikut campur. Sayang
Kang Hay-thian sudah dikenal oleh Siangkoan Wan, jadi
tak bisa menyembunyikan dirinya lagi.
Siangkoan Thay meneguk tehnya untuk menenangkan
rangsangan syarafnya, kemudian katanya perlahan, "Lalu
apa maksud kedatangan Kang-tayhiap yang
sebenarnya?"
"Dengan kalian berdua aku mempunyai ikatan. Tiongpangcu
adalah pamanku, tetapi putrimu telah melepas
budi padaku. Maka kuminta kalian menutup urusan ini
sampai di sini saja, janganlah hanya karena urusan kecil
sampai merusak hubungan. Entah bagaimana pendapat
Siangkoan-siancu?"
Siangkoan Thay tertawa gelak-gelak, "Dengan
memandang muka kalian berdua, sudah tentu aku sedih
untuk lepas tangan. Aku hanya ingin tahu sedikit tentang
keempat murid Kay-pang itu, mereka datang sendiri atau
atas perintah Tiong-pangcu?"
"Akulah yang menyuruh mereka kemari untuk
memetik rumput obat," sahut Tiong Tiang-thong.
Siangkoan Thay mengerutkan kening, "Adanya aku
menetap di Thian-pit-nia sini adalah untuk mencari
ketenangan. Aku tak suka diganggu orang luar, itulah
sebabnya maka aku melarang setiap pengunjung yang
datang kemari. Tapi untuk keempat orang itu, karena
mereka adalah anak murid Kay-pang dan Kang-tayhiap
juga memintanya, maka aku pun takkan menahannya
lagi. Silakan Tiong-pangcu mengambilnya."

Diam-diam ketua Kay-pang geram dalam hati, ia


anggap peraturan Siangkoan Thay melarang orang
datang ke Thian-pit-nia itu sungguh keterlaluan, tapi kini
orang malah mengatakan dia yang mohon pertolongan.
Hanya saja karena tuan rumah sudah sedia melepaskan
muridnya, dengan memandang muka Kang Hay-thian, ia
tak mau menarik panjang urusan itu.
"Bahwa Siangkoan-siancu tak menghukum muridku
lagi, menandakan kemurahan hati yang besar. Tetapi
bagaimanakah soal memetik daun obat itu, harap Siancu
meluluskan," katanya kemudian.
Karena masih hendak mengambil tanaman obat di
gunung situ, ia menggunakan bahasa yang halus. Hanya
ucapan kemurahan hati yang besar kedengarannya
sangat menusuk telinga.
Siangkoan Thay ternyata masih mempunyai acara lagi,
ia mengambil selembar kertas yang sudah ditulisi,
ujarnya, "Dengan memandang muka kalian berdua,
murid-muridmu itu tak kuberi hukuman lagi, tapi hanya
untuk sekali ini, lain kali lain soal. Karena mereka itu
menjalankan tugas suruhan Tiong-pangcu, maka
haraplah Tiong-pangcu suka membubuhkan tanda
tangan selaku pernyataan bahwa urusan ini selesai
sampai di sini." Ia menyodorkan surat itu kepada Tiong
Tiang-thong.
Waktu ketua Kay-pang itu mengawasinya, seketika
meledaklah amarahnya.
Ternyata surat yang disiapkan Siangkoan Thay itu
merupakan surat pengakuan salah, menyatakan bahwa
Kay-pang mengakui tindakannya itu tidak benar dan
selanjutnya berjanji akan mengambil tindakan tegas

terhadap anak muridnya yang berani datang di daerah


seluas sepuluh li dari Thian-pit-nia. Tanpa disebut lagi,
otomatis, pengambilan rumput obat itu sudah tak
mungkin dilakukan pula jika surat itu sudah ditanda
tangani.
Dengan muka merah padam segera Tiong Tiang-thong
mengambil pena pit dan merubah kata-kata 'Kaypang'
menjadi 'Siangkoan Thay' dan kata-kata 'murid Kaypang*
menjadi 'anak-anak keluarga'. Sementara baris
kata-kata yang terakhir pun diganti dengan 'tak boleh
mencampuri urusan orang yang naik gunung'.
Surat pernyataan bersalah yang terdiri dari beberapa
puluh huruf itu, setelah diganti oleh Tiong Tiang-thong
berubah menjadi 'Surat pernyataan bersalah dari pihak
Siangkoan Thay'.
Kang Hay-thian semula tak tahu apa yang dicoratcoret
mereka itu, ia pun sungkan untuk melihatnya,
tetapi ketika melihat wajah kedua tokoh itu berubah,
barulah ia tampil ke muka melihatnya. Kejutnya bukan
kepalang, Siangkoan Thay memang sombong tak tahu
adat, tapi Tiong Tiang-thong juga kelewat berangasan.
Kang Hay-thian terlambat, kedua tokoh itu sudah samasama
kencang uratnya.
"Siangkoan-siancu, kurasa surat itu kaulah yang
selayaknya menanda tangani selaku pernyataan kalau
urusan itu selesai sampai di sini," demikian kata Tiong-
Tiang-thong.
Siangkoan Thay menyahut, begitu menerima kembali
surat itu terus dirobek-robeknya.

"Siangkoan-siancu, Tiong-pangcu, harap kalian


menimbang lagi masak-masak cepat Hay-thian
menengahi.
"Tiada yang perlu ditimbang lagi," tukas Siangkoan
Thay atas bujukan Kang Hay-thian yang hendak
mendamaikan urusan itu. "Kita selesaikan urusan ini
menurut peraturan persilatan, yang menang itu yang
benar. Jika aku kalah, akan kutanda-tangani surat ini.
Tetapi jika aku beruntung dan Tiong-pangcu suka
mengalah
"Aku yang menanda-tangani," sahut Tiong Tiangthong.
"Baik, begitulah! Ucapan seorang lelaki, laksana
kuda dicambuk. Tidak ada yang perlu disesalkan lagi!"
Kang Hay-thian masih berusaha untuk mencegah, ia
minta kedua orang itu berunding lagi dengan tenang,
tetapi keadaan sudah telanjur begitu.
Tiong Tiang-thong terpaksa menyatakan, "Hiantit,
kalau orang lain tentu perlu kujelaskan, tapi kau tentunya
sudah mengetahui jelas seluk-beluk Kay-pang. Sejak
berdiri, kapan pernah mandah menerima hinaan orang?
Jika urusan pribadi Tiong Tiang-thong, tentu aku suka
mengalah. Tetapi aku datang kemari sebagai ketua Kaypang,
kalau aku mengalah, bagaimana pertanggungjawabanku
kepada leluhur-leluhur pendiri Kay-pang
nanti?"
Siangkoan Thay lebih congkak lagi, tak banyak bicara,
ia malah menyentil Hay-thian, "Kang-tayhiap kau minggir
dan menyaksikan saja atau hendak sekalian memberi
pelajaran padaku!"

"Urusan ini harus aku dan kau yang menyelesaikan.


Kau tak mengundang bantuan orang lain, aku pun akan
melayanimu seorang diri. Jangan merembet orang
ketiga!" bentak Tiong Tiang-thong dengan marahnya.
Siangkoan Thay tergelak-gelak, "Tiong-pangcu benarbenar
gagah perwira, aku sungguh kagum sekali. Kalau
begitu, harap Kang-tayhiap menjadi saksi saja!"
Sebenarnya ia juga jeri terhadap Kang Hay-thian,
sengaja ia ucapkan kata-kata tadi supaya Tiong Tiangthong
panas dan mau mengeluarkan pernyataannya.
Kang Hay-thian tak puas dengan sikap tuan rumah
yang begitu congkak, ia anggap belum tentu Tiong
Tiang-thong kalah dengan orang itu, maka ia
memutuskan akan membiarkan mereka bertempur dulu,
melihat gelagat bagaimana nanti barulah ia turun tangan.
Siangkoan Thay mempersilakan tamunya menuju ke
sebuah tanah lapang, ternyata lapangan itu memang
biasa digunakan untuk berlatih silat. Mendengar
majikannya hendak bertanding dengan ketua Kay-pang,
semua bujang sudah berbondong-bondong keluar
mengelilingi lapangan, mereka hendak memberi bantuan
moril kepada sang majikan.
Setelah berdiri di tengah lapangan, Siangkoan Thay
memberi hormat dan mempersilakan sang tamu mulai
menyerang. Meskipun dia congkak, tapi dia tak mau
meninggalkan peraturan dunia persilatan. selamanya
tuan rumah harus mengalah lebih dulu kepada sang
tetamu.
"Apakah pertandingan ini dilakukan sampai ada yang
roboh?" tanya Tiong Tiang-thong.

Siangkoan Thay tertawa lebar, serunya, "Lama telah


kudengar Khun-goan-it-khi-kang dari Tiong-pangcu
menggetarkan seluruh dunia persilatan. Aku seorang
gunung yang beruntung hari ini dapat bertemu dengan
seorang kosen, harap Pangcu jangan sungkan-sungkan,
silakan memberi pelajaran sepuas-puasnya, agar aku
tambah pengalaman." Terang orang she Siangkoan itu
hendak mengadu kepandaian secara sungguh-sungguh
dan habis-habisan dengan ketua Kay-pang.
"Ah, mana aku berani. Karena Siancu tetap
menghendaki begitu, terpaksa pengemis tua ini
merelakan jiwanya untuk menemani Siancu," sahut Tiong
Tiang-thong.
Karena masing-masing sudah menunjukkan gengsi
sebagai tokoh persilatan, maka Tiong Tiang-thong
menganggap sudah cukup. Setelah selesai saling bicara,
ia segera merangkapkan sepasang tangan lalu dijulurkan
ke arah Siangkoan Thay seperti orang memberi hormat.
Padahal sebenarnya gerakan itu disebut Tong-cu-paykoan-
im atau anak kecil memberi hormat kepada dewi
Koan Im.
Jurus itu merupakan jurus pembukaan, biasanya
dilakukan oleh seorang tetamu apabila berhadapan
dengan tuan rumah. Namun sekalipun gerakannya
sederhana, karena Tiong Tiang-thong yang memainkan
jurus itu berubah lain daripada yang lain. Waktu dia
merangkap sepasang tangan tadi, bujang-bujang
keluarga Siangkoan yang berdiri mengelilingi lapangan
itu seperti tersambar oleh angin yang kuat, mereka kaget
dan buru-buru mundur.

"Tak usah banyak peradatan!" seru Siangkoan Thay


seraya mengebaskan sebelah tangannya ke muka selaku
orang yang menolak pemberian selamat. Tetapi gerakan
tangan itu ternyata dalam jurus permainan pedang, jika
tangan Tiong Tiang-thong kena tertabas, uratnya tentu
putus.
"Hm, ilmu orang ini dari aliran Sia (jahat)," Tiong
Tiang-thong membatin. Ia pencarkan kedua tangannya
dari Tong-cu-pay-koan-im berubah menjadi Im-yangsong-
cong-ciang (sepasang Im dan Yang saling bentur).
Gerakan itu menerbitkan suara macam kilat menyambar.
yang diarah adalah lambung Siangkoan Thay.
"Bagus!" teriak Siangkoan Thay seraya berputar
tubuh. Sebuah jari tengahnya ditotokkan ke jalan darah
Jiok-ti-hiat di lekuk lengan orang, sedang tangan yang
lain memainkan Toa-jiu-in untuk menggempur tangan
lawan, "Bluk", terdengar suara benturan yang dahsyat.
Begitu tangan mereka berbenturan, lalu sama-sama
ditarik pulang. Tiong-Tiang-thong tersurut dua langkah,
tubuhnya terhuyung-huyung, Siangkoan Thay berdiri
tegak laksana gunung. Hanya saja ubun-ubun kepalanya
mengeluarkan asap. Memang kalau tak dilihat dengan
seksama, tentu sukar mengetahui asap itu.
Bujang-bujang Siangkoan Thay bersorak, memang
sepintas Tiong Tiang-thonglah yang kalah. Malah Goan
It-tiong juga gelisah, pikirnya, "Siangkoan Thay ternyata
begitu hebat, mungkin Suhu yang sudah lanjut usia tak
dapat menghadapinya!" Tetapi ketika ia melirik ke
samping, dilihatnya Kang Hay-thian tenang-tenang saja
seperti biasa.

Tadi Tiong Tiang-thong menyalurkan Lwekang Khungoan-


it-khi-kang ke tangannya, sebaliknya Siangkoan
Thay dengan tangan sebelah melancarkan Toa-jui-inkang
dengan tujuh bagian Lwekangnya. Dan yang kena
dibentur hanya sebelah tangan Tiong Tiang-thong.
Berarti Lwekang yang diadu ialah Tiong Tiang-thong 5
bagian lawan Siangkoan Thay 7 bagian. Itulah sebabnya
maka dalam benturan itu, nampaknya seolah-olah Tiong
Tiang-thong yang menderita kekalahan.
Sementara totokan jari Siangkoan Thay yang
menggunakan tiga bagian tenaga Lwekangnya yang lain
ternyata tak mampu menotok jalan darah Tiong Tiangthong.
Sebaliknya Tiong Thian-thong malah
menggunakan Lwekangnya untuk mendampar balik
serangan Lwekang lawan. Sedemikian hebat tenaga
Lwekang Tiong Tiang-thong yang mengirim kembali
totokan itu hingga dada Siangkoan Thay terasa sesak
dibuatnya, la buru-buru menyalurkan tenaga dalam
untuk mengatur kembali pernapasannya. Uap yang
mengepul dari ubun-ubun kepalanya itu ialah akibat dari
pengerahan tenaga murni itu.
Sebagai seorang ahli, tahulah Kang Hay-thian siapa
sebenarnya yang unggul. Dalam hal Lwekang terang
Tiong Tiang-thong lebih tinggi setingkat, tapi dalam hal
ilmu kepandaian dari aliran Sia-pay, terang Siangkoan
Thay lebih atas. Yang satu putih (baik) yang satu hitam
(jahat), yang sana murni dan yang sini aneka warna.
Masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan
sendiri-sendiri dan sukar untuk menentukan siapa yang
akan menang dan kalah nanti.

"Kalau Tiong-pangcu dapat mempertahankan gaya


serangannya, akhirnya tentu dialah yang akan menang,"
Kang Hay-thian diam-diam membuat penilaian. Kalau
mau, sebenarnya ia dapat menggunakan ilmu Thian-tuncoan-
im untuk secara diam-diam membisikkan suaranya
memberi petunjuk pada Tiong Tiang-thong, tapi itu suatu
perbuatan yang kurang baik, hal itu jauh dari pikirannya.
Setelah dua kali serangan tadi berlangsung, kini
masing-masing pihak tak berani memandang enteng
lawannya. Siangkoan Thay mendapat akal, ia hendak
menggunakan siasat mengacaukan hati lawan. Caranya
ialah dengan bertempur sambil berteriak-teriak keras,
menyerang kalang-kabut dengan sedahsyat-dahsyatnya
dan setiap serangan memakai jurus-jurus yang ganas.
Sepasang kepalan tangannya merupakan dua macam
senjata dengan ilmu Toan-meh-pi-khi-kang (memutuskan
urat dan menutup hawa) yang khas dari perguruannya.
Sekali-kali tangannya digerakkan dalam ilmu permainan
pedang Ngo-heng-kiam, dan kalau sudah mencapai
detik-detik yang menentukan ia lantas merubah
permainannya dalam ilmu Toa-jiu yang khusus untuk
menghancurkan urat nadi lawan. Toa-jiu-in itu paling
banyak menggunakan tenaga dalam, maka tak dapat
terus menerus digunakan dan memerlukan istirahat.
Tokoh seperti Tiong Tiang-thong seharusnya tahu
tentang hal itu dan dapat mengambil kelemahan orang.
Tapi sayang, orang yang menonton lebih jelas dari yang
menjalankan, beberapa kali ia main mundur dalam
menghadapi serangan musuh. Untuk itu bujang-bujang
keluarga Siangkoan selalu memberi sorakan, memuji
majikannya dan mengejek sang tetamu. Sebagai seorang
ketua Kay-pang, sudah tentu Tiang-thong malu juga.

Dan ini justru yang dikehendaki Siangkoan Thay, tapi


Tiong Thiang-thong segera merubah permainannya, ia
balas melancarkan serangan Khun-goan-it-khi-kang,
cepat dan dahsyat.
Untung dia banyak pengalaman, walaupun menyerang
tak diburu nafsu. Posisi kaki Ngo-bun-pat-kwa dan gerak
pukulannya selalu menurut arah gerak lawannya, dia tak
mau terburu-buru adu kekerasan.
Di lain pihak, Siangkoan Thay juga berhati-hati, setiap
ada kesempatan ia mendesak maju, tapi selekas itu
mundur lagi. Dengan begitu keduanya seperti bertempur
dengan menggunakan Pik-khong-ciang tapi agak
berbeda. Jarak keduanya dekat sekali, setiap saat
gerakan kosong bisa berubah menjadi serangan
sungguh. Walaupun tangan tak pernah saling
berbenturan, tapi serangan-serangan yang dilancarkan
dengan Pik-khong-ciang itu jauh lebih menyeramkan.
Hanya dua orang yang bertempur, tapi lapangan itu
seolah-olah menjadi gelanggang pertempuran ribuan
tentara. Debu dan batu beterbangan, bayangan
berseliweran. Tiong Tiang-thong dan Siangkoan Thay
menjadi berpuluh-puluh bayangan yang memenuhi
empat penjuru, kecuali Kang Hay-thian, tiada seorang
pun yang dapat membedakan mana ketua Kay-pang dan
mana tuan rumah. Karena tercengang menyaksikan
pertempuran dahsyat yang belum pernah dilihatnya itu,
lupalah kawanan bujang itu untuk bersorak.
Kang Hay-thian mulai gelisah, pikirnya, "Sayang,
Tiong-pangcu tak mengerti rahasia dengan ketenangan
merebut kemenangan. Jika terus-terusan begini, mereka

berdua tentu sama-sama terluka." Tapi sebagai saksi, dia


tak berhak menghentikan pertandingan itu.
Lewat beberapa saat kemudian, uap di atas ubunubun
kepala Siangkoan Thay makin tebal, Tiong Tiangthong
juga mandi keringat, napasnya mulai memburu.
Kang Hay-thian dapat mendengarnya jelas, tapi dia
cukup kenal perangai ketua partai pengemis itu. Jika
belum ada yang kalah atau yang menang, bila ia maju
menengahi, tentu dianggap mengacau oleh kedua pihak.
Tiong Tiang-thong tidak puas, Siangkoan Thay pun akan
menuduhnya membantu Kay-pang. Karena kuatir orang
salah faham, terpaksa Kang Hay-thian tak berani turun
tangan, namun ia gelisah sekali karena keduanya tentu
akan menderita luka parah.
"Breet", tiba-tiba terdengar suara kain robek,
sekonyong-konyong Siangkoan Thay berputar tubuh,
selagi Tiong Tiang-thong tertegun, kelima jarinya lantas
mencakar robek lengan baju Tiong Tiang-thong, kukunya
dapat menggurat pergelangan tangan lawan.
Tenaga guratan itu tak seberapa besar dan Lwekang
Tiong Tiang-thong terlampau tangguh. Namun sekalipun
demikian, pergelangan tangan adalah jalan darah yital di
tubuh manusia, sedikit saja bagian itu terluka, separoh
tubuh segera dirasakan agak kesemutan.
Tiong Tiang-thong marah dalam hati, "Mengingat
kesopanan, aku tak mau menyerang dari belakang, tetapi
bangsat itu nyata-nyata tak malu berbuat curang." Ia
menyedot napas, sekali menerjang maju, ia pentang
kedua lengannya untuk melingkupi lawan. Seluruh
Lwekang dipusatkan untuk melancarkan Khun-goan-itkhi-
kang.

Sebenarnya Siangkoan Thay bukannya hendak main


curang untuk merebut kemenangan, jurus serangannya
yang aneh itu disebut Hoan-ngo-heng-poh-hoat (ilmu
anti langkah Ngo-heng). Maksudnya untuk memecah
kubu-kubu pertahanan Ngoheng-poh-hoat lawan,
kemudian mengajaknya adu kekerasan. Ia tak sabar
untuk bertempur terlalu lama, maka ia keluarkan seluruh
kemampuannya untuk menentukan siapa jantan dan
siapa betina dengan ketua Kay-pang.
Sama sekali ia tak mengira bahwa setelah terluka tadi,
Tiong Tiang-thong malah menyerang dengan dahsyat.
Dalam sibuknya ia tak dapat menghindar lagi dan
terpaksa mengadu Lwekang. Ia kerahkan sepasang
tangan dengan Toa-jiu-in, belum telapak tangan kedua
orang itu berbenturan, keduanya sudah merasakan
dadanya seperti ditindih batu ribuan kati beratnya
sehingga sesak napas. Keduanya terkejut dan menyesal.
Siangkoan Thay sebenarnya hendak mengakhiri
pertempuran dengan cara kilat, tapi dengan saling
melontarkan gempuran Lwekang itu, sifat pertempuran
menjadi berubah, bukan lagi menentukan siapa jantan
dan siapa betina lagi, melainkan pertempuran
menentukan mati dan hidup.
Siangkoan Thay terkejut, Tiong Tiang-thong pun
menyesal. Di bawah tekanan tenaga dahsyat dari lawan,
ia merasa berbuat kesalahan karena terlalu menuruti
kemarahan hati, Toa-jiu-in khusus untuk meremukkan
urat dan jalan darah. Adu kekuatan itu akan membawa
akibat, kalau tidak mati tentu akan luka berat.
Keduanya terkejut dan menyesal dalam hati, tetapi
pukulan sudah dilancarkan. Tiada yang berani menarik

pulang pukulannya karena hal itu berarti kematian,


apalagi tenaga yang dilancarkan juga sudah sepenuhnya.
Taruh kata mereka mau menarik pulang juga tak dapat
lagi.
Pada saat kedua tokoh itu akan mengalami bencana
kematian berbareng, sekonyong-konyong sesosok tubuh
memlompat ke tengah-tengah mereka. Sekali orang itu
pentang kedua tangannya ke kanan kiri "Plak-plok",
pukulan Siangkoan Thay dan Tiong Tiang-thong samasama
mengenai tubuh orang itu.
Orang yang menerjang bahaya itu adalah Kang Haythian.
Melihat kedua orang itu terancam kehancuran, ia
tak banyak pertimbangan lagi. Ia mandah menerima
caci-maki mereka yang salah paham daripada
membiarkan mereka hancur binasa.
Kang Hay-thian menggunakan tenaga kesaktiannya,
tangan kiri menerima pukulan Lwekang Khun-goan-it-khikang
dari Tiong Tiang-thong dan tangan kanan
menyambut pukulan Toa-jiu-in dari Siangkoan Thay.
Tenaga pukulan dari kedua tokoh itu sedahsyat
gelombang mendampar samudera. Jika Kang Hay-thian
menggunakan tenaga untuk menangkisnya, pukulan
mereka tentu akan membal balik dan melukai mereka
sendiri, karena itu Kang Hay-thian hanya menggunakan
tenaga untuk mengurangi tenaga pukulan mereka. Ia
membiarkan dirinya menerima pukulan yang bagai
godam kerasnya.
Khan-goan-it-khi-kang dan Toa-jiu-in adalah ilmu
pukulan yang luar biasa. Betapa sakti kepandaian Kang
Hay-thian, karena serta merta menerima pukulan
dahsyat itu, malah sekaligus dua, seketika itu dadanya

sesak, mata berkunang-kunang dan kepala puyeng.


Hanya saja penderitanya itu telah berhasil melerai dua
gembong harimau yang sedang mengadu jiwa.
Setelah terpisah, mereka rasakan tubuhnya lemah
lunglai, napasnya terengah-engah. Mereka tahu bahwa
karena pengorbanan Kang Hay-thian menerjang bahaya,
barulah mereka dapat diselamatkan. Dan jelas sudah,
Kang Hay-thian berdiri di tengah-tengah, tidak
membantu pihak mana pun juga.
Mereka ingin menyatakan sesuatu terhadap Kang Haythian,
tapi tak dapat karena napasnya sedang kembangkempis
menyesakkan dada. Lebih-lebih Siangkoan Thay,
pukulan Toa-jiu-in paling menghabiskan hawa murni
dalam tubuh. Pukulannya disambut dengan tenaga sakti
Kang Hay-thian, walaupun tak sampai terluka, tapi saat
itu dia seperti orang sakit, mukanya pucat seperti kertas,
tubuhnya lemas lunglai seperti tak bertulang.
Mengira majikannya dilukai Kang Hay-thian, maka
para bujang keluarga Siangkoan menjadi geger dan
panik, tetapi hanya mulutnya saja yang berteriak, karena
tiada seorang pun yang berani maju ke tengah-tengah
gelanggang untuk menyerang Kang Hay-thian.
Setelah menghembuskan napas longgar. Kang Haythian
hendak memberi penjelasan, tiba-tiba terdengar
sebuah suitan panjang dan sesosok tubuh melayang ke
gelanggang melampaui kepala orang-orang yang
menonton.
"Kepandaian hebat! Tindakan yang ganas! Aku hendak
minta pelajaran ilmu saudara yang hebat itu!" seorang
tua berjenggot cabang tiga, umurnya kira-kira 50-an
tahun, kakinya pincang dan mencekal sebatang tongkat

bambu, tiba-tiba muncul dengan gerakan yang secepat


kilat.
Kang Hay-thian terkesiap juga melihat ketangkasan
orang, ia merenung, "Tak nyana di puncak Thian-pit-nia
masih terdapat seorang tokoh yang begini sakti. Rupanya
dia lebih lihai dari Siangkoan Thay. Masih banyak sekali
orang-orang kosen di dunia ini, yang belum kukenal
entah masih berapa banyak!"
Kang Hay-thian mestinya hendak memberi penjelasan,
tapi datangnya orang itu cepat bagai kilat. Tahu-tahu ia
sudah berada di hadapannya dan terus menyerang
dengan tongkat, tongkat bambu segera berubah menjadi
bayangan hijau persis seperti sinar kebiru-biruan hijau
dari pedang. Dia telah menggunakan jurus ilmu pedang
untuk menusuk ketiga belas jalan darah di tubuh Kang
Hay-thian.
Menotok jalan darah dengan ujung pedang sudah
termasuk ilmu kepandaian yang luar biasa, apalagi orang
itu hanya menggunakan „tongkat bambu sebagai ganti
pedang. Dalam sejurus saja, ia sudah mengancam tiga
belas jalan darah, bagaimana kecepatannya, sungguh tak
terperikan. Bahkan Kang Hay-thian sendiri yang mengerti
ilmu silat segala cabang aliran belum pernah
menyaksikan permainan yang begitu hebat.
Tetapi kepandaian Kang Hay-thian sudah mencapai
titik yang tertinggi, sekalipun orang melancarkan
serangan kilat, tetapi tak dapat lepas dari pandangan
matanya.
"Bagus!" serunya memuji sambil menjentik dengan jari
tengah.

Selentikan itu tepat mengenai ujung bambu orang.


Sinar hijau buyar, beberapa saat kemudian baru berpadu
lagi, bersamaan dengan lenyapnya sinar itu, jadilah
sebatang tongkat bambu lagi.
Orang itu mundur selangkah, sebaliknya pergelangan
tangan Kang Hay-thian terasa sedikit panas. Orang itu
berseru memuji kepandaian Kang Hay-thian, kemudian
menekan tongkatnya ke tanah dan tubuhnya segera
melambung ke udara. Kali ini ia menggunakan jurus
Pheng-pok-kiu-siau, memutar tongkat di udara dan
melayang turun menyerang.
"Rupanya dia hendak menguji tenaga lagi. Baik, akan
kuturuti kemauannya," kata Kang Hay-thian dalam hati.
Dia tegak berdiri bagai gunung dan menghantamkan
pukulannya.
"Blak", terdengar benturan dua buah pukulan yang
dahsyat. Orang itu berjumpalitan dan melayang turun, ia
menginjak tanah dengan sebelah kaki dalam jurus Kimkhe-
tok-lip (ayam emas berdiri dengan sebelah kaki),
tongkatnya segera disodokkan ke muka lawan lagi.
Dalam benturan tangan tadi. Kang Hay-thian hanya
tergoyang tubuhnya tapi tak sampai menyurut mundur.
Memang dalam adu pukulan itu tampaknya
berimbang, tiada yang menderita kekalahan, tapi sehabis
Kang Hay-thian menyambut dua pukulan sakti Siangkoan
Thay dan Tiong Tiang-thong, walaupun tak sampai
terluka, tapi tenaga dalam Kang Hay-thian juga
berkurang banyak, jelas orang bertongkat itu mendapat
kemurahan. Sekalipun begitu, karena dapat
mengimbangi tenaga Kang Hay-thian, orang itu sudah
tergolong jago yang jarang terdapat di dunia persilatan.

Kini tongkat orang itu memapas dengan tenaga berat.


Kang Hay-thian tak mau menggunakan Tan-ci-sin-thong
(selentikan jari tunggal). Ia kuatir tak dapat
mementalkan tongkat, maka ia gunakan saja apa yang
disebut 'empat tahil menolak seribu kati'. Begitu ia
kebutkan lengan bajunya, tongkat orang menyisih ke
samping, tetapi sebelum lengan baju Kang Hay-thian
menampar, orang itupun cepat-cepat menarik pulang
tongkatnya dan terus diganti dengan permainan Hok-mopang-
hoat (ilmu tongkat menundukkan iblis), ia menyapu
kaki Kang Hay-thian.
Hok-mo-pang-hoat sumbernya berasal dari aliran Siaulim,
semacam ilmu tongkat yang dahsyat sekali. Orang
itupun tenaganya besar, sebatang tongkat yang enteng
bisa berubah menjadi sebuah tongkat besi yang berat,
anginnya menderu-deru.
"flmu kepandaian orang ini luas sekali. Dia berharga
menjadi sahabat, tapi entah bagaimana asal-usulnya?"
pikir Kang Hay-thian.
Diam-diam ia mengerahkan Lwekang, sepasang
tangannya dilingkarkan. Aneh benar, serangan tongkat
yang begitu dahsyat ternyata tak mampu menerobos
lingkaran yang dijangkau tangan Kang Hay-thian,
rupanya Kang Hay-thian telah memainkan ilmu Toa-simi-
ciang dari Thian-san-pay. Ilmu pukulan itu memang
berguna untuk mempertahankan diri dan ini justru sesuai
dengan Lwekang Kang Hay-thian yang tinggi. Betapapun
lihainya orang itu, tetap tak dapat mengunjuk
keunggulan.
Sayang tenaga dalam Kang Hay-thian masih belum
pulih, untuk menundukkan orang itu dalam waktu singkat

memang tak mungkin. Apakah ia mempunyai rencana


untuk mengikat persahabatan dengan orang itu, maka
tak mau ia mengeluarkan jurus permainan yang ganas.
Lima enam puluh gebrak, ternyata pertempuran masih
berimbang. Karena Kang Hay-thian tetap hanya bertahan
dengan Toa-si-mi-ciangnya, maka sepintas tampaknya
orang itu yang menang angin.
Semula Tiong Tiang-thong tak menaruh perhatian, ia
mengira sebagai jago nomor satu tak mungkin orang itu
bisa mengalahkan Kang Hay-thian. Tapi pada saat itu,
mau tak mau ia terkejut juga. Sebagai seorang tokoh
persilatan, jelas diketahuinya kalau pertandingan itu
berimbang. Ia tak tahu kalau sebenarnya Kang Hay-thian
masih belum mau bertempur sungguh-sungguh, jadi
pada hakikatnya Kang Hay-thian yang lebih unggul.
"Celaka, siapakah orang tua yang hebat
kepandaiannya ini? Tadi karena menolong aku, tenaga
murni Kang-hiantit masih belum pulih. Kalau bertempur
lebih lama lagi, dikuatirkan ia akan menderita, tetapi saat
ini aku tak dapat membantunya. Ah, bagaimana ini!"
Diam-diam ketua Kay-pang itu sibuk sendiri, saat itu
napasnya sudah tak terengah-engah lagi, tapi tenaganya
masih belum pulih.
Selagi gelisah, tiba-tiba tertampak Siangkoan Thay
berbangkit dan tertawa gelak-gelak sambil berkata, "Nyoheng,
kau salah faham! Kang-tayhiap ini tak memusuhi
aku, malah menolong jiwaku. Jika tadi dia tak turun
tanean, mungkin diriku dan Tiong-pangcu sudah samasama
binasa!"
Meskipun jumawa dan sombong, namun Siangkoan
Thay itu seorang gembong persilatart, terhadap Kang
Hay-thian yang telah menolong jiwanya, ia merasa
berterima kasih sekali. Tak mau ia membalas budi
dengan permusuhan, maka setelah napasnya tenang dan
dapat bicara, segera ia memberi penjelasan.
Orang itu tergelak-gelak seraya melompat keluar
gelanggang, ia tancapkan tongkatnya dan berseru, "Aku
sudah tahu, apakah kau kira aku tak mengetahui? Aku
memang sengaja mencoba kepandaian Kang-tayhiap.
Heh, ternyata memang tak bernama kosong!"
Dari ucapannya, rupanya ia sudah mendengar
kemasyhuran nama Kang Hay-thian.
"Ah, mana? Adalah atas kemurahan hati Nyolocianpwe,
aku beruntung dapat mengimbangi
pertandingan tadi," buru-buru Kang Hay-thian
mengucapkan kata-kata merendah.
Saat itu si dara Siangkoan Wan berdiri di samping si
cilik To-kan, rupanya ia tahu kalau Kang Hay-thian
merendah diri. Ia melelerkan lidah lalu berbisik kepada
To-kan, "Pamanku itu lebih lihai dari ayahku. Dengan
dapat bertanding seimbang dengan pamanku, bolehlah
Suhumu memakai gelar Tayhiap!"
Siangkoan Thay menghaturkan terima kasih kepada
Kang Hay-thian, sahut Kang Hay-thian, "Bahwa aku
lancang melerai tadi, sebenarnya sudah menyalahi
kedudukan sebagai seorang saksi. Siangkoan-siancu tak
menghukum diriku itu saja, aku sudah berterima kasih,
mengapa Siangkoan-siancu masih perlu mengucap
terima kasih padaku lagi!"
Melihat sikap orang yang sedemikian rendah hati itu,
diam-diam Siangkoan Thay menyesal dalam hati,

sebaliknya Tiong Tiang-thong masih penasaran. Ia


melompat dan berseru, "Dia menolongmu juga
menolongku. Pertempuran kita masih belum selesai.
Siangkoan-siancu, bersediakah kau menetapkan hari
tantangan lagi?"
Siangkoan Thay tertegun, kemudian tertawa lebar,
serunya, "Khun-goan-it-khi-kang milik Tiong-pangcu jauh
lebih sakti dari kepandaianku. Aku sungguh merasa
kagum sekali! Kalau bertempur lagi, terang aku bukan
tandinganmu. Tadi aku telah berjanji, karena sekarang
aku kalah, maka akan kubebaskan murid-muridmu itu. Di
samping itu aku hendak minta kepada Kang-tayhiap dan
Tiong-pangcu sudi meminum hidangan arak selaku
pernyataan kesalahan."
"Minum arak atau tidak, nanti .kita bicarakan lagi.
Bagaimana dengan urusan daun obat itu?" kata Tiong
Tiang-thong.
Kembali Siangkoan Thay tertawa, "Harap Tiongpangcu
jangan kuatir. Sekarang sudah malam, besok
pagi saja akan kusuruh orang-orangku untuk
melayanimu. Daun obat apa yang kau kehendaki, silakan
katakan saja!"
Tiong Tiang-thong hanya mengejar penasaran saja,
demi mendengar orang sudah mengaku kalah, lenyaplah
kemarahannya. Ia mengganti nadanya yang kaku dengan
ucapan ramah, "Ilmu silat Siangkoan-siancu sungguh luar
biasa. Dalam sepuluh jurus, ada delapan yang pengemis
tua ini belum pernah menyaksikan. Pengemis tua juga
merasa kagum sekali?"
Ucapan itu bersifat merendah, tapi memang begitu
kenyataannya. Mendapat sanjung puji, makin lapanglah

dada Siangkoan Thay, ujarnya, "Kalau begitu, jika tak


bertempur kita tentu tak saling kenal."
Ia menjabat tangan ketua Kay-pang selaku tanda
persahabatan, keduanya saling mengindahkan dan samasama
letih. Jabatan tangan kali ini sungguh-sungguh
dalam suasana persahabatan, sekali-kali bukan menguji
kepandaian.
Siangkoan Thay segera memerintahkan orangorangnya
untuk membebaskan murid-murid Kay-pang,
setelah itu ia memperkenalkan Kang Hay-thian dan Tiong
Tiang-thong pada si orang tua pincang tadi.
"Inilah saudara iparku Nyo Ceng dan ini adalah Tiongpangcu
dari Kay-pang, sedang Kang-tayhiap ini tak perlu
kuperkenalkan. Nyo-heng, kedatanganmu itu sungguh
kebetulan sekali!" kata tuan rumah.
"Aku datang mencari si Hoan, sudah beberapa bulan ia
pergi belum pulang, kukuatir di luaran dia menemui
bahaya. Lebih dulu aku datang pada Tiok-toako sana,
Tiok-toako mengatakan anak itu pergi bersama putrimu.
Beruntung hari ini aku tiba di sini, coba jika tidak, tentu
tak mempunyai rezeki berkenalan dengan Kang-tayhiap,"
jawab Nyo Ceng.
"Oh, kiranya kau sudah pergi ke tempat Tiok-heng
sana?" Siangkoan Thay menegas.
"Nama besar Kang-tayhiap ini Tiok-heng yang
memberitahukan padaku. Dalam hal urusan dunia
persilatan, Tiok-heng lebih banyak menaruh perhatian,
tidak seperti kita yang selalu menutup diri saja," sahut
Nyo Ceng.
"Tiok-cianpweitu adalah..."

"Ipar kami yang paling besar," lekas saja Siangkoan


Thay menerangkan.
"Bukankah dia mempunyai seorang putri yang
bernama Tiok Ceng-hoa?" tanya Kang Hay-thian.
"Eh, mengapa kau tahu?" Siangkoan Thay heran.
"Aku mempunyai seorang calon murid, ayah-ibunya
sudah meninggal, ia berkelana di dunia persilatan.
Mendiang ayahnya meninggalkan pesan, suruh aku yang
mendidiknya. Kabarnya anak itu sekarang berada di
rumah keluarga Tiok dan dijadikan kacung oleh nona
Tiok," sahut Kang Hay-thian.
"Paman, aku dan adik Tiok sudah pernah berjumpa
dengan Kang-tayhiap. Tentang diri adik Ceng-hoa, akulah
yang mengatakan," seru Siangkoan Wan.
"Oh, kiranya begitu. Kang-tayhiap, apakah calon
muridmu itu bernama Li Kong-he?" ujar Nyo Ceng.
Waktu Kang Hay-thian mengiakan, Nyo Ceng memberi
komentar, "Oh, makanya tak mengherankan."
"Tak mengherankan bagaimana?" tanya Kang Haythian.
"Tak mengherankan kalau anak itu tak mau jadi murid
Tiok-toako, kiranya dia sudah punya seorang guru
kenamaan. Tetapi jangan kuatir Kang-tayhiap, keluarga
Tiok ayah dan putri rupanya sayang pada anak itu.
Watak Tiok-toako memang aneh, tetapi dia tak marah
biarpun ditolak Li Kong-he, dia tetap memperlakukannya
dengan baik. Namanya saja sebagai kacung, tapi
kenyataannya tak ubahnya seperti keponakan," kata Nyo
Ceng.

"Sekalipun begitu, karena sudah menerima pesan


almarhum ayahnya, terpaksa akan kubawa pulang. Entah
Tiok-cianpwe itu akan sudi menerima kunjunganku atau
tidak?" ujar Hay-thian.
"Watak Tiok-toako itu aneh sekali. Jika dia ingin
menemui seseorang, dia tentu akan datang sendiri, tapi
kalau orang mencarinya, dia tentu tak mau keluar
menemui."
Siangkoan Wan tertawa, "Ayah dan pamanku yang
kedua itu agak jeri kepada paman pertama. Jika paman
pertama tak memberi pernyataan apa-apa, mereka tentu
tak berani memberitahukan alamatnya kepadamu."
Diam-diam Kang Hay-thian membatin bahwa watak
dari orang she Tiok itu tak jauh bedanya dengan
mendiang Suhunya. Dia mau menemui orang tapi tak
mau ditemui orang, tentunya dia lebih lihai dari
Siangkoan Thay dan Nyo Ceng.
Nyo Ceng mengomel, "Jangan bermulut usil, budak.
Masakah aku dan ayahmu takut pada paman Tiok?"
Mulutnya mengatakan begitu, tapi dia tetap tak mau
memberitahukan alamat keluarga Tiok, jadi betul juga
ucapan Siangkoan Wan.
Nyo Ceng tersipu-sipu, katanya pula, "Tiok-toako
pernah bilang padaku bahwa dia sudah lama mengagumi
nama Kang-tayhiap dan ingin berkenalan. Bahwa
sekarang kebetulan ada urusan ini, siapa tahu bila Kangtayhiap
tiba di sana, Tiok-toako sudah menunggunya."
Sengaja ia tambahkan keterangan itu agar Kang Haythian
lebih tenang, di samping itu untuk menutupi dirinya
yang sebenarnya tak berani mengatakan alamat orang
she Tiok itu.

Kang Hay-thian lebih mementingkan masalah yang


sedang dihadapi Bin-san-pay daripada berkunjung ke
tempat orang she Tiok. Maka katanya, "Kalau begitu
biarlah kutunggu kedatangan Tiok-cianpwe ke pondokku
saja. Hanya apabila saudara berdua bertemu padanya,
tolong sampaikan terima kasih atas perawatannya
kepada muridku itu."
Si dara Siangkoan Wan kembali mengikik tawa,
katanya, "Ayah dan paman kedua ini mengatakan bahwa
kepandaian paman Tiok itu tiada bandingan di dunia ini.
Bahwa mereka amat mengagumi kepandaianmu,
gelagatnya kau ini juga jago nomor satu di dunia. Kangtayhiap,
jika kau berjumpa dengan paman Tiok dan
mengadu kepandaian, wah, tentu menarik sekali."
Kang Hay-thian hanya berganda tertawa, "Adalah
karena aku tetamu maka ayah dan pamanmu ini sangat
sungkan sekali. Padahal kepandaianku masih jauh dari
sempurna, mana dapat menandingi pamanmu Tiok?"
"Salah, salah. .Ayahku selamanya tak pernah sungkan
terhadap orang lain. Kecuali kepada paman Tiok, tak
pernah ia memuji kepandaian orang lain. Sedang
pamanku yang kedua itu, dia lebih congkak lagi dari
ayah. Sampaipun terhadap pamanku pertama, lahirnya
dia tak begitu mengindahkan, tetapi kutahu kalau dalam
hati dia tunduk, maka kalau mereka sampai memuji
kepandaianmu, tentulah bukan karena sungkan."
Nyo Ceng tertawa, "Kau ini memang budak yang
gemar melihat ramai-ramai. Tetapi kembali pada
persoalannya, memang Tiok-toako itu mempunyai minat
untuk mengukur kepandaian dengan Kang-tayhiap.
Bukan aku hendak menyanjung, tetapi menurut

penglihatanku, kepandaian Kang-tay-hiap ini lebih tinggi


dari Tiok-toako. Adalah karena itu maka dikuatirkan ..."
"Dikuatirkan apa?" tukas Siangkoan Thay.
"Eh, apakah kau belum tahu? Paling akhir ini Tioktoako
telah berlatih ilmu Liok-yang-jiu, dapat
menggunakan tenaga Im memutuskan urat nadi orang.
Jika dia sampai kalah dengan Kang-tayhiap, dikuatirkan
dia lantas menggunakan ilmu itu. Sekalipun aku baru
kenal dengan Kang-tayhiap, tapi aku mengindahkan
sekali atas sikapnya yang suka bersahabat dengan orang.
Sekali lengah, jika sampai kena dilukai Tiok-toako, aku
sungguh tak rela. Liok-yang-jiu itu lihai sekali, aku sendiri
tak dapat menemukan jalan untuk melawannya, tetapi
jika orang berhasil meyakinkan ilmu Kim-kong-put-hoaysin-
hoat (ilmu kebal), di waktu bertempur dengan dia
harus lebih dulu menutup jalan darahnya sendiri,
tentulah dia tak mampu mengembangkan Liok-yangjiunya."
Keterangan Nyo Ceng itu membuat Kang Hay-thian
heran, pikirnya, "Nyo Ceng masih ipar orang she Tiok,
mengapa dia memberitahukan rahasia kepandaian orang
she Tiok kepadaku? Ini merupakan pantangan yang
paling besar dari kaum persilatan. Apakah dia benarbenar
tulus hati memberi petunjuk padaku karena tak
rela aku terluka? Dia bilang orang she Tiok itu hendak
mengadu kepandaian dengan aku, entah benar entah
tidak, tapi bagaimanapun aku ini orang luar. Jika
memang ia tak ingin iparnya sampai terluka, seharusnya
dia berdaya untuk melerai, tetapi mengapa dia
memberitahukan rahasia kepandaian iparnya itu? Apakah
dia tak kuatir"aku mengerti cara memecahkan Liok-yangjiu
dan kemudian akan dapat melukai iparnya?"

Diam-diam Kang Hay-thian merasa curiga, namun


lahirnya ia menghaturkan terima kasih atas keterangan
Nyo Ceng itu. Ujarnya dengan tertawa, "Dengan
kepandaianku yang serendah ini, mana aku berani
melayani Tiok-cianpwe. Harap saudara berdua jangan
kuatir, jika nanti Tiok-cianpwe minta bertanding, aku
tentu akan segera menyatakan menyerah saja."
Siangkoan Thay tertawa gelak-gelak, "Budi pekerti
Kang-tayhiap sungguh jarang terdapat, aku kagum
sekali. Memang seorang yang sudah mencapai
kesempurnaan, tentu tak mau sembarangan berkelahi,
sekalipun Tiok-toako pernah mengatakan begitu, tapi
pada hakikatnya ia hanya akan adu kepandaian secara
saling tukar pengetahuan saja, tak nanti sampai matimatian."
Rupanya Nyo Ceng tak senang, serunya dingin,
"Masakah kau tak tahu watak Tiok-toako Dia
mengagungkan dirinya sebagai jago nomor satu di dunia.
Terhadap orang biasa, tentu ia tak mau sembarangan
turun tangan, tetapi oleh kaum persilatan Kang-tayhiap
juga dipandang sebagai jago nomor satu. Menilik ambisi
Tiok-toako yang suka menang sendiri, mana dia mau
berjajar setingkat dengan Kang-tayhiap? Dia bilang
selekas dia akan menyelesaikan urusan ini, dia akan
datang mencari Kang-tayhiap. Sudah tentu maksudnya
akan mengadu kepandaian dengan Kang-tayhiap."
Tapi Kang Hay-thian tetap tertawa, "Aku hanya
bernama kosong, mana dapat menandingi seorang sakti.
Jika berhadapan dengan Tiok-cianpwe, aku akan
mengunjuk hormat selaku seorang Wanpwe. Kata
pepatah, mundur selangkah angin reda gelombang
tenang. Sikap mengalah akan dapat mengosongkan

lautan. Percayalah, tak nanti aku mau bertempur dengan


Tiok-cianpwe dan merusak persahabatan kita. Sudah
jangan membicarakan hal itu lagi Nyo-locianpwe, dengan
sejujurnya aku harus berterima kasih pada putramu.
Tempo hari ketika dikurung dari kawanan antek-antek
kerajaan, berkat pertolongannya barulah aku dan
muridku terhindar dari bahaya," Kang Hay-thian sengaja
mengalihkan pembicaraan, namun dalam hati ia tetap
memikirkan kata-kata orang she Nyo tadi. Ia menduga
jangan-jangan di antara kedua ipar itu mempunyai
ganjalan hati.
Memang benar Nyo Ceng mempunyai maksud untuk
mengadu domba Kang Hay-thian dengan iparnya yang
she Tiok itu, tapi karena Kang Hay-thian bersikap
merendah, ia pun sungkan untuk kelewat mendesak,
katanya, "Aku pun ingin menanyakan persoalan anak
Wan, dimanakah kau dan anak Hoan itu bertemu dengan
Kang-tayhiap?"
Walaupun si dara itu lebih tua usianya dari Nyo Hoan,
tapi ia juga masih kekanak-kanakan. Waktu mengetahui
bahwa ternyata Kang Hay-thian itu benar-benar seorang
Tayhiap (pendekar besar) dan berulang kali menyatakan
terima kasih kepadanya, girang sekali dara itu, maka ia
segera menuturkan peristiwa tempo hari kepada sang
paman.
"Oh, kiranya begitu," Nyo Ceng tertawa. "Memang aku
hendak menjadikan Ki-lian-sam-siu itu sebagai budak,
tetapi mereka meloloskan diri. Tak kukira dia
menghambakan diri pada kerajaan dan berani
mencelakai Kang-tayhiap. Walaupun anakku itu pernah
memberi sedikit bantuan pada Kang-tayhiap, tetapi
masih belum berarti dapat menggantikan kesalahanku.

Biarlah sekarang aku si tua ini menghaturkan maaf


kepada Kang-tayhiap." Dalam berkata-kata itu ia
menyertakan muka ramah tertawa, tetapi mimiknya jelas
sangat dipaksakan.
Sebagai seorang jujur, Kang Hay-thian tak
memperhatikan hal itu. Tetapi Tiong Tiang-thong diamdiam
mengetahui hal itu, pikirnya, "Meskipun Siangkoan
Thay berwatak mengagulkan diri, tetapi dia jujur,
sebaliknya orang she Nyo ini rupanya lebih licik dan
banyak muslihat. Hm, ketika mendengar anaknya
membunuh kaki tangan kerajaan, ia mengerutkan dahi.
Apakah diam-diam ia mempunyai hubungan dengan
kerajaan? Ah, hal ini perlu diperhatikan juga."
Kang Hay-thian buru-buru membalas hormat, ujarnya,
"Ah, Nyo-locianpwe terlalu merendah. Sedang aku belum
sempat menghaturkan terima kasih kepada putramu,
mana aku berani menyalahkan Locianpwe mengenal
ketiga Ki-lian-sam-siu, mereka itu bekas budak
Locianpwe yang melarikan diri?"
Dalam pada itu bujang keluarga Siangkoan sudah
membawa keluar keempat murid Kay-pang. Karena
kepala bujang itu tak mengatakan apa-apa, maka ketika
keempat murid Kay-pang itu melihat Pangcu mereka,
tentu saja mereka terkejut dan girang, mereka lantas
menyapa, "Pangcu, sungguh kebetulan sekali Pangcu
sendiri datang
Tetapi mereka tertegun demi melihat sang Pangcu
berdiri sejajar dengan Siangkoan Thay dan tampaknya
akrab. Kata-kata mereka yang ingin meminta sang
Pangcu menuntut balas tak jadi diucapkan.

Ketika melihat keempat muridnya, bahkan agak


gemuk, diam-diam Tiong Tiang-thong membatin,
"Ternyata Siangkoan tua ini tak menganiaya muridku,
hanya It-tiong yang menderita paling besar. Tetapi cacad
di wajahnya itu adalah si budak Nyo Hoan yang
melakukan, jadi tak dapat menyalahkan Siangkoan tua."
Setelah melalui pertempuran yang berbahaya, ia
benar-benar menyambut dengan bersungguh hati akan
uluran tangan bersahabat dari tuan rumah. Kuatir
muridnya mengatakan hal-hal yang menyinggung
perasaan, Tiong Tiang-thong segera berseru, "Aku dan
Siangkoan-siancu sudah menjadi sahabat. Daun obat di
gunung ini kamu boleh memetiknya. Haturkan terima
kasih kepada Siangkoan-siancu dan segera ikut aku
pergi."
"Eh, telah kukatakan supaya kalian sukalah tinggal
sehari lagi agar aku dapat menjamu. Tentang daun obat,
asal kalian katakan namanya, tentu orangku akan
mengambilkannya. Jika hal ini kalian tak mau memberi
muka padaku, berarti kalian masih mendendam padaku,"
demikian Siangkoan Thay berkata.
"Kami sungguh tak ingin merepotkan Siancu lagi,"
sahut ketua Kay-pang itu.
"Lucu, lucu! Ucapanmu itu berarti mendamprat aku.
Aku telah menghina muridmu, sekarang aku hendak
menghaturkan maaf, kau mau apa lagi? Apalagi sekarang
sudah malam, masakah kalian tak mau menginap? Kalian
mau berbuat begitu, tetapi aku pun tidak dapat
mengizinkan, karena kalian ternyata tak menganggap
aku sebagai sahabat?"

Kang Hay-thian tertawa, "Siangkoan-cianpwe dengan


bersungguh hati hendak meminta kami bermalam, Tiongpangcu,
baiklah kita mengganggunya semalam lagi."
Tiong Tiang-thong berwatak terus terang, sekarang ia
sudah tak mempunyai prasangka jelek terhadap tuan
rumah. Hanya ia agak tidak senang terhadap Nyo Ceng,
maka tadi ia hendak minta diri. Bahwa ternyata tuan.
rumah bersungguh-sungguh dan Kang Hay-thian juga
menganjurkan, sekalipun orang she Nyo itu mempunyai
maksud tak baik, tapi dengan adanya Kang Hay-thian,
tak perlu ditakutkan lagi. "Ah, untuk menerima
pemintaan maaf itu sungguh terlampau berat. Anggap
sajalah perjamuan itu selaku tanda persahabatan kita,"
katanya kemudian.
Siangkoan Thay bergirang dan segera menyuruh
orangnya menyiapkan perjamuan. Untuk melenyapkan
kecurigaan sang tamu, setiap hidangan Siangkoan Thay
tentu minum dan makan lebih dulu, kemudian baru
mempersilakan tetamunya.
Dalam perjamuan itu banyak dibicarakan tentang ilmu
silat, satu sama lain saling mendapat kecocokan. Hanya
tampak Nyo Ceng yang tak begitu wajar sikapnya, dia tak
mau menuturkan tentang riwayat dirinya dan keluarga
Siangkoan.
Selesai perjamuan, Siangkoan Thay telah mengatur
tempat tidur untuk tetamunya, Tiong Tiang-thong diberi
sebuah kamar besar tersendiri, sedang Kang Hay-thian
dan muridnya sekamar. Kamarnya lebih kecil tapi indah
perlengkapannya, yakni kamar baca.

"Rupanya Siangkoan Thay sengaja, supaya aku dapat


meminta keterangan pada keempat muridku itu," pikir
Tiong Tiang-thong.
Memang sejak dibebaskan, keempat murid Kay-pang
itu belum sempat bicara dengan ketuanya. Kasar
sekalipun Siangkoan Thay itu, tapi dia punya pikiran
juga, ia mengukur pikiran orang dengan pikirannya
sendiri. Andaikata dia, tentulah juga ingin bicara dengan
muridnya, menanyakan bagimana keadaan mereka
selama ditawan. Siangkoan Thay merasa memperlakukan
murid-murid Kay-pang itu dengan cukup baik, maka ia
tak takut memberi kesempatan kepada mereka untuk
melapor pada ketuanya, itulah sebabnya maka ia
memberi Tiong Tiang-thong dengan muridnya sebuah
kamar besar.
Satu kamar diisi dengan enam orang, sungguh tak
pantas tuan rumah memberi pelayanan begitu. Tapi
dipikir lebih jauh, tentulah tuan rumah mempunyai
maksud supaya sang tetamu dapat kesempatan bicara
dengan muridnya, Tiong Tiang-thong mengerti kehendak
tuan rumah dan dia pun tak merasa keberatan.
"Terhadap Siangkoan Thay, aku tak menaruh
prasangka apa-apa. Sekalipun muridku menderita sedikit
siksaan, biarlah. Tetapi terhadap Nyo Ceng, aku harus
waspada, mulut manis hatinya berbisa, agaknya dia
bukan orang baik-baik. Malam ini kamarku terpisah
dengan kamar Kang Hay-thian, Kang-hiantit berilmu
tinggi, tapi orangnya kelewat jujur. Aku harus
memperingatkannya supaya menaruh kewaspadaan,"
pikir ketua Kay-pang itu.

Kamar Tiong Tiang-thong hanya terpisah satu gang


kecil dengan kamar Kang Hay-thian. Ketua Kay-pang itu
merasa lega juga perasaannya, namun ia tetap hendak
memberi bisikan kepada Kang Hay-thian, maka waktu
menuju ke kamar, sengaja ia memperlambat jalannya
dan memberi bisikan kepada Kang Hay-thian, "Malam ini
jangan kepulasan tidur, hati-hati sedikitlah!"
Kang Hay-thian agak heran, masuk ke kamar ia
mengancing pintu dan merenung, "Tuan rumah baik
sekali terhadap tetamu, orang she Nyo itu juga bukan
tokoh sembarangan. Terhadap pihak kita, boleh dikata
mereka baik, entak mengapa paman Tiong menaruh
curiga? Tapi aku tak boleh mengabaikan peringatan
paman Tiong itu." Ia tidak lantas tidur melainkan duduk
bersemadi. Tak lama kemudian Lim To-kan sudah tidur
pulas.
Kira-kira pukul satu tengah malam, tiba-tiba ia
mendengar kesiur angin berlalu di atas wuwungan
rumah. Tergetar perasaan Kang hay-thian, "Sungguh
lihai kedua orang ini!"
Pada malam sesunyi itu jelas didengarnya yang
muncul itu dua orang tetamu malam, datangnya dari
tempat yang terpisah beberapa kamar.
"Apakah sesungguhnya ada orang yang diam-diam
hendak mencelakai aku?" batinnya demi teringat
peringatan Tiong Tiang-thong tadi. Cepat sekali orang itu
sudah melesat pergi, terang mereka menuju keluar,
sekali-kali bukan menghampiri kamar Kang Hay-thian.
Legalah hati Kang Hay-thian, ia tertawa dalam hati, "Di
tempat asing harus berlaku hati-hati, itulah sudah
seharusnya. Tapi juga tak perlu kelewatan sekali."

Tetapi pada lain kilas timbullah pertanyaan dalam


hatinya, siapakah orang itu? Menilik kepandaiannya,
tentu bukan tokoh sembarangan. Jika musuh dari
Siangkoan-siancu, sebagai tetamu aku harus membantu
tuan rumah mengusirnya, namun jika yang datang itu
kawan Siangkoan-siancu, aku keluar menemui pun tiada
halangannya."
Kang Hay-thian mengambil putusan untuk menjenguk,
setelah mendorong jendela perlahan-lahan ia melompat
ke atas genteng. Malam itu rembulan remang-remang,
bayangan kedua orang itu sudah tak kelihatan lagi.
Tiong Tiang-thong pun tak muncul, rupanya dia tak
mengetahui kedua tetamu malam itu. Kang Hay-thian
hendak memberitahukan, tapi sekilas ia ubah pikirannya,
lebih baik melihat sendiri saja dulu. Jika tak ada hal yang
lebih penting, tak baik membikin kaget tuan rumah. Dan
dengan masih adanya Tiong Tiang-thong di dalam
rumah, rasanya lebih tak menguatirkan, dia cukup tahu
sampai dimana kepandaian ketua Kay-pang itu. Suara
kesiur angin di atas genteng tadi, mungkin Tiong Tiangthong
tak dapat mendengarkan.
Walaupun tetamu malam tadi sudah lenyap, tapi
telinga Kang Hay-thian yang tajam dapat mengetahui
arah perginya. Ia segera menggunakan Ginkang istimewa
Tha-soat-bu-heng (menginjak salju tanpa bekas). Cepat
dan tanpa suara, ia meluncur mengejar orang itu.
Melintasi beberapa buah kamar dan mengitar pagar
tembok, namun ia belum melihat bayangan orang itu.
Kang Hay-thian merasa aneh, pikirnya, "Kalau bukan
musuh Siangkoan Thay, mengapa dia masuk keluar di

sini? Jika anggota rumah ini tentu tak nanti tengah


malam buta begini gentayangan keluar."
Karena rasa ingin tahunya makin besar, ia pun
meneruskan pengejarannya.
Adalah berkat Ginkang yang sakti, beberapa jurus
kemudian dapatlah ia menampak dua bayangan hitam di
sebelah depan, rupanya kedua orang itu belum
mengetahui kalau dikejar. Ketika lebih dekat dan
mengawasi dengan seksama, kejut Kang Hay-thian
bukan kepalang. Kiranya kedua orang itu bukan lain
adalah Siangkoan Thay sendiri bersama Nyo Ceng!
"Seharusnya aku dapat menduga kalau mereka, siapa
lagi orang yang keluar dari dalam rumah kalau bukan
mereka. Dan siapa lagi yang memiliki kepandaian begitu
lihai? Tetapi mengapa mereka tengah malam begini
keluar rumah? Apakah mereka mengetahui ada musuh
datang?" demikian Kang Hay-thian bertanya dalam hati.
Saat itu terdengar Siangkoan Thay berkata, "Apakah
boleh di sini? Dari sini ke rumahku sudah 10-an li
jauhnya."
Nyo Ceng tertawa, ujarnya, "Betulkah? Kalau begitu
biarpun Kang Hay-thian mempunyai telinga yang
bagaimana panjangnya tentu tak mungkin
mendengarnya. Baiklah, di sini saja." Sekonyongkonyong
ia putar tubuh dan memandang ke belakang, ia
kuatir ada orang mengikutinya.
Baru sekarang Kang Hay-thian paham, "Kiranya
mereka takut didengar orang, kalau bicara di dalam
kamar, kuatir terdengar olehku. Kurangajar, mereka
anggap aku ini manusia macam apa?"

Kepandaian Kang Hay-thian sudah mencapai tingkat


tertinggi, maka begitu bahu Nyo Ceng bergoyang,
tahulah ia kalau orang hendak berbalik tubuh. Buru-buru
ia menyelinap ke balik pohon, gerakannya cepat sekali,
jangankan pada malam gelap, sekalipun di siang hari,
sukar bagi Nyo Ceng untuk mengetahuinya.
"Jiko, sebetulnya kau mempunyai rahasia apa sampai
perlu mengajak aku bicara di luar? Dan mengapa harus
mengelabui tetamu? Si pengemis tua itu seorang ketua
Kay-pang dan orang she Kang itu, menurut katamu
sendiri, seorang tokoh menonjol di dunia persilatan,
masakah mereka mau mencuri dengar pembicaraan
kita?" kata Siangkoan Thay.
Sebenarnya Kang Hay-thian hendak berlalu, tapi demi
mendengar kata-kata itu, tergeraklah hatinya. "Ya,
mengapa mereka hendak mengelabui aku? Tentu ada hal
yang menyangkut diriku, memang tak boleh mencurigai
orang, tapi juga jangan meninggalkan kewaspadaan.
Mereka hendak membelakangi aku, aku justru ingin
mendengar pembicaraan mereka. Paman Tiong itu
bagaimanapun seorang kawakan persilatan, siang-siang
ia menaruh kecurigaan. Hm, tadi orang she Nyo itu
tampaknya begitu bersungguh-sungguh terhadap aku,
tak nyana di belakangku dia berlaku plin-plan."
Kang Hay-thian memutuskan untuk menyingkap tabir
mereka.
Dengan gerakan yang tak diketahui, ia bersembunyi di
atas pucuk sebatang pohon yang tepat di atas kepala
kedua orang itu.
Terdengar Nyo Ceng jedang berkata, "Sudah tentu
aku percaya kepada kedua tetamu itu, tapi urusan ini
menyangkut jiwa keluarga kita. Tembok mempunyai
telinga, jika hal ini sampai bocor, sungguh besar
bahayanya!"
"Jika, kita tinggal mengasingkan diri di daerah
pegunungan sepi, dengan dunia luar tiada hubungan, tak
punya dendam permusuhan kepada siapa-siapa,
darimana datangnya ancaman bahaya yang kau katakan
begitu serius itu?" tanya Siangkoan Thay bingung.
"Urusan ini bisa dianggap kecil, juga bisa dianggap
besar. Bisa mendatangkan naas bisa mendatangkan
keberuntungan, tergantung bagaimana kau hendak
menyelesaikannya. Jangan bingung dulu, dengarlah aku
bercerita perlahan-lahan," kata Nyo Ceng. "Nah,
sekarang hendak kumulai dari peristiwa anak-anak kita.
Aku hendak bertanya dulu padamu, anak Wan putrimu
itu dengan anakku tahun ini berumur 15 tahun, dari
pergaulan mereka sehari-hari yang begitu akrab, apakah
kau tak merasa bahwa dalam hati kedua bocah itu
mempunyai perasaan sesuatu?"
Siangkoan Thay menganggukkan kepala, sahurnya,
"Aku seorang polos, memang sebenarnya aku hendak
mengatakan hal itu kepadamu, tapi kukuatir putramu si
Hoan itu menampik anak perempuanku." Terhadap
Siangkoan Wan, putri tunggalnya itu, Siangkoan Thay
mencintai bagai mestika. Memang dara itu menaruh hati
terhadap Nyo Hoan, waktu ibunya menanyainya, ia
hanya diam saja dan tersipu-sipu malu. Hanya sikap Nyo
Hoan itu memang agak sukar diraba, Siangkoan Wan tak
dapat mengetahui apakah anak muda itu juga membalas
cintanya atau tidak.

Nyo Ceng tertawa, "Anak Wan itu cantik laksana dewi


rembulan, aku yang kuatir kalau-kalau anakku itu tak
sepadan dengan putrimu!"
"Kalau begitu, kau juga setuju merangkapkan
perjodohan mereka?" Siangkoan Thay berseri
kegirangan.
"Mereka sudah bergaul mesra, usia dan rupa mereka
juga sesuai, rasanya tiada yang lebih tepat lagi dari
perjodohan itu," kata Nyo Ceng. Tiba-tiba ia menghela
napas, "Ah, hanya .... sayang, sayang!"
Siangkoan Thay terkesiap, serunya, "Apanya yang
disayangkan?"
"Sayang kita tak siang-siang merencanakan, baru
sekarang membicarakan urusan perjodohan dan sudah
terlambat!"
"Mengapa?" tanya Siangkoan Thay.
Kembali Nyo Ceng menghela napas, lalu berkata
perlahan-lahan, "Waktu aku datang ke tempat Tioktoako,
Tiok-toako juga mengemukakan hal perjodohan
anaknya. Seperti dirimu, dia pun hendak berbesan
dengan aku!"
"Oh, jadi dia juga ingin menjodohkan putrinya kepada
anakmu? Bukankah si Ceng-hoa itu masih terlalu kecil?"
seru Siangkoan Thay.
"Kecil sih memang kecil, tapi tidak terlalu. Tahun ini ia
berumur 12, hanya lebih muda tiga tahun dari anak
Hoan. Kata Tiok-toako, memang sudah selayaknya suami
harus lebih tua dari istrinya. Tapi kutahu anak Hoan

hanya menganggap Ceng-hoa sebagai adik. Yang


sungguh dicintainya adalah putrimu, anak Wan."
"Eh, mengapa tiba-tiba saja Tiok-toako hendak
menjodohkan putrinya? Tidak dulu-dulu, tidak besokbesok,
tapi mengapa justru sekarang mengatakan hal itu
padamu?" tanya Siangkoan Thay.
"Tiga bulan yang lalu, putrinya untuk yang pertama
kali keluar sendirian, secara diam-diam meninggalkan
rumah. Coba kau terka, kemana perginya?" tanya Nyo
Ceng.
"Apakah pergi ke rumahmu mencari anak Hoan?"
Siangkoan Thay balas bertanya.
"Benar. Dia diam-diam meninggalkan rumah karena
hendak mengajak anak Hoan main-main beberapa hari.
Keluarganya sibuk tak keruan, kecuali budak perempuan
itu, seisi rumah diperintahkan keluar mencarinya."
Kini barulah Kang Hay-thian tahu bahwa lelaki baju
biru yang dijumpainya bersama seorang nona kecil
tempo hari dan rombongan orang yang mencarinya
adalah bujang-bujang keluarga Tiok. Keluarnya mereka
telah menimbulkan kegemparan di dunia persilatan.
Siapa tahu, kiranya hanya untuk urusan sekecil itu saja.
"Tiok-locianpwe itu kelewat menyayangi putrinya,
tetapi bujang-bujangnya itu tak mau kenal dengan kaum
Hek-to dan Pek-to. Untuk kerugian yang diderita kaum si
dara dari Ki-lian-sam-siu, karena Ki-liansiam-siu
bersekongkol dengan kaki tangan pemerintah kerajaan,
maka bujang keluarga Tiok itupun lantas membunuh kaki
tangan kerajaan itu. Dilihat dari sudut ini, agaknya TiokTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
locianpwe itu masih boleh diajak bersahabat," pikir Kang
Hay-thian.
Nyo Ceng melanjutkan kata-katanya, "Aku pun
sebenarnya menganggap nona itu seperti anak-anak.
Secara diam-diam dia datang bermain ke rumahku,
kuanggap seperti tingkah anak-anak saja, tak tahu aku
akan gerak-geriknya selama di luaran itu, tetapi Tioktoako
tidak berpikir begitu. Baru pertama kali
meninggalkan rumah, anaknya terus mencari putraku di
rumah. Ini mestinya mengingatkan padanya bahwa kini
putrinya itu sudah beranjak dewasa. Kecuali ayahbundanya,
dalam hati anak dara itu hanya ada seorang
engkoh misan, itulah sebabnya maka Tiok-toako lantas
mengemukakan perjodohan itu padaku, agar lekas dapat
ditetapkan."
"Kau sudah meluluskan belum?" tanya Siangkoan
Thay.
Nyo Ceng tertawa getir, "Apakah aku dapat menolak
Tiok-toako? Dia bukannya berunding, melainkan memberi
perintah padaku supaya mempersiapkan seperlunya."
Siangkoan Thay tertegun sejenak, kemudian katanya,
"Ah, Tiok-toako memang begitu. Pernikahan adalah soal
suka sama suka, mana boleh diperintah? Ai, karena
sudah begitu, aku pun tak mau berebut dengan dia."
Nyo Ceng berseru tak puas, "Benar? Tapi kaulah orang
ketiga yang menuntut keadilan bagiku! Bagaimana kau
boleh disuruh menelan penasaran begitu? Jangankan
anakku itu memang sudah suka pada putrimu, sekalipun
tidak, aku pun tak rela anakku menerima tekanan
mereka!"

"Ceng-hoa masih kecil. Menilik wataknya, sekalipun


juga congkak, tapi tidak membabi-buta seperti ayahnya,"
kata Siangkoan Thay.
Diam-diam Kang Hay-thian geli dalam hati, Siangkoan
Thay sendiri seorang 'pembabi-buta', kini ia mengecap
orang lain begitu. Tentulah ipar orang she Tiok itu lebih
gila lagi atau jangan-jangan Siangkoan Thay terdorong
oleh kemarahan karena calon menantunya direbut orang
she Tiok? Menilik Siangkoan Thay juga memuji kebaikan
dara she Tiok itu, terang dia itu masih punya rasa
keadilan. Demikian Kang Hay-thian membuat analisa
dalam hati.
Karena yang dibicarakan itu ternyata urusan
pernikahan anak-anak mereka, Kang Hay-thian tak ingin
mendengarkan lebih jauh. Tapi saat itu-ia bersembunyi di
atas pohon, sedang kedua orang itu berada di bawahnya,
ia tak sanggup menyelinap pergi tanpa diketahui mereka.
Sesaat terkilas dalam ingatannya, siapa tahu dalam
pembicaraan mereka nanti, ia akan memperoleh bahanbahan
keterangan lebih jauh tentang diri orang she Tiok
itu, maka ia membatalkan keinginannya pergi.
Sementara itu Nyo Ceng telah berkata pula, "Ada ayah
tentu ada anaknya. Kalau sekarang saja budak Ceng-hoa
itu sudah congkak, apalagi besok kalau sudah besar,
tentu tak beda dengan ayahnya. Taruh kata anak Hoan
sanggup menerima tekanan istrinya, tapi aku tetap tak
tahan menerima tekanan besanku."
Siangkoan Thay tertawa katanya, "Toh urusan sudah
ditetapkan, percuma saja kau mengeluh." Tertawanya itu
ditujukan pada Nyo Ceng, tapi sebenarnya merupakan
rintihan batinnya sendiri.

"Tidak, biarpun aku tak berani menolak, tapi aku pun


belum menerima lamarannya. Itulah sebabnya maka
sekarang aku mengajakmu berunding," kata Nyo Ceng.
"Lalu apa maksudmu dan bagaimana akan kau
katakan pada Tiok-toako?"
"Kukatakan nanti kalau pulang akan kubicarakan hal
ini kepada ibu anak Hoan. Toh usia mereka masih samasama
kecil, perlu apa harus terburu-buru," sahut Nyo
Ceng.
"Apa kata Tiok-toako waktu itu?" tanya Siangkoan
Thay.
"Semula dia tak senang, dia mengatakan istrinya dan
istriku toh bersaudara, masakah tak setuju? Kujawab,
memang sudah menjadi kebiasaan untuk merundingkan
sesuatu masalah dengan istriku. Kutahu kalau ia nanti
bakal tak menolak, tapi memberitahukan padanya toh
tiada buruknya agar ia gembira. Dan setelah itu baru
menyelenggarakan upacara perhelatan, toh masih belum
terlambat. Karena kalah beradu alasan, terpaksa Tioktoako
menurut pendapatku, tetapi dia masih mengajukan
suatu hal, dia suruh aku menjaga putraku. Hehe, hal ini
ada hubungannya juga dengan kau dan putrimu!"
Siangkoan Thay melonjak kaget, serunya, "Mengapa
menyangkut dirikur
"Bukankah anak Wan dan anak Hoan bulan yang lalu
bersama-sama mengunjungi rumah Tiok-toako? Karena
sudah lama tak pulang, barulah aku menjenguk anak
Hoan ke sana," kata Nyo Ceng.
"O, apakah karena itu maka Tiok-toako menjadi sirik?
Mereka adalah saudara misan, sejak kecil sudah biasa

bermain bersama, memang di waktu kecil dikawal orang


yang besar, tetapi setelah mereka besar kan tak perlu
diantar orang. Toh hal itu tiada halangan, masakah kita
masih memegang adat lama d i mari a pemuda dan
pemudi tak boleh bergaul bersama?" sahut Siangkoan
Thay.
"Benar, tapi Tiok-toako justru tak berpandangan
begitu. Adalah karena anaknya sudah besar maka ia
mempunyai pikiran untuk menjodohkan pada putraku.
Dan itulah sebabnya maka ia tak senang melihat anak
Wan menyela di tengah, ia menyuruh aku melarang anak
Hoan pergi bersama anak Wan lagi, ia pun minta aku
menyampaikan padamu supaya kau juga membujuk
putrimu!"
Manusia yang dicintai Siangkoan Thay di dunia
hanyalah putrinya, mendengar sentilan itu, diam-diam ia
marah sekali, sahutnya, "Anak perempuanku tak usah
diurus orang lain."
Nyo Ceng tertawa dan ikut mengejek, "Ya, kita berdua
ini saudara ipar, tapi rupanya dia seakan hendak
menjadikan kita sebagai orang bawahannya saja. Bila
sudah menyuruhmu berbuat sesuatu, mana boleh kau
mengatakan sepatah kata penolakan?"
"Putra-putri kita, masakah dia sampai ikut mengurus,
itu sungguh kelewat menghina," akhirnya muntahlah
kemarahan Siangkoan Thay.
"Siangkoan-heng, asal kau bertekad bulat, kita akan
tetap bisa berbesan untuk membikin panas hatinya," Nyo
Ceng mulai memasukkan jarum proyokasinya.

Siangkoan Thay terdiam, sampai lama baru ia


menjawab, "Itu berarti membuka perpecahan dengan
dia!"
"Benar, justru hal itulah yang perlu kurundingkan
padamu, kita berdua bersepakat dan selanjutnya jangan
menurut omongannya lagi!"
"Tapi biarpun kita berdua bersekutu, tetap belum
tentu dapat menangkan dia?" kata Siangkoan Thay.
"Tapi toh sekurang-kurangnya akan dapat
menghadapinya dengan seimbang?" bantah Nyo Ceng.
"Sesama saudara ipar saling berkelahi, sungguh aku
merasa sungkan!"
"Masakah kau mandah dihinanya seumur hidup?
Bahkan anak-anak kita pun akan menderita hinaan itu?
Sebenarnya mereka adalah pasangan yang tepat, tetapi
dipisahkan olehnya!" kata Nyo Ceng.
Teringat akan kebahagiaan putrinya dan
membayangkan bagaimana pedih kalau kelak melihat
wajah sang putri bercucuran air mata, hampir saja ia
menyanggupi ajakan Nyo Ceng. Tapi akhirnya ia masih
kuat menahan perasaannya dan hanya menghela napas
saja dan tak mau bicara.
"Kau masih takut padanya?" tanya Nyo Ceng.
"Bukannya takut, ah, kau tak tahu ... pada hakikatnya
aku memang tak suka berkelahi dengan dia," sahut
Siangkoan Thay.
Di atas pohon Kang Hay-thian dapat melihat jelas
bagaimana sewaktu mengucapkan kata-katanya itu nada
suara Siangkoan Thay agak gemetar dan mimik

wajahnya pun berubah. Ia menduga orang she


Siangkoan itu tentu menyembunyikan sesuatu, maka
betapapun Nyo Ceng mendesaknya, ia tetap tak mau
bentrok dengan iparnya.
Nyo Ceng tertawa, ujarnya, "Aku mempunyai akal, tak
usah kita yang turun tangan sudah dapat melenyapkan
dia, tetapi entah apakah kau mau membantu atau tidak?"
Siangkoan Thay tertegun beberapa jenak, serunya,
"Kau ... kau hendak menggunakan tipu pinjam pisau
membunuh orang?"
"Tepat, hendaklah menurut pendapatku saja. Di masa
ini hanya Kang Hay-thian satu-satunya orang yang dapat
menandingi Tiok-toako. Kita cari akal supaya kedua
harimau itu bertarung, kalau tak berhasil
melenyapkannya, sekurang-kurangnya kita dapat
membuat kedua orang itu sama-sama terluka parah!"
Mendengar itu, tersadarlah Kang Hay-thian, pikirnya,
"O, makanya orang she Nyo itu membocorkan rahasia
kepandaian iparnya. Dia memang pintar merencanakan
siasat jahat, tapi coba lihat saja bagaimana reaksi
Siangkoan Thay?"
"Bagaimana akalmu itu? Tentunya kau sudah
merencanakannya?" demikian tanya Siangkoan Thay.
"Apakah kau menghendaki supaya Tiok-toako mencari
Kang Hay-thian atau Kang Hay-thian yang mencari
Toako?" Nyo Ceng balas bertanya.
"Kalau Tiok-toako yang mencari Kang Hay-thian,
bagaimana caranya?"

"Dalam hal ini kau harus berani menerima sedikit


resiko, kau harus melukai dirimu sendiri dan mengatakan
Kang Hay-thian yang melakukan dan akulah saksinya
nanti. Dan akan kuajarkan kau bagaimana merangkai
kata untuk membikin panas Tiok-toako supaya mengadu
jiwa dengan Kang Hay-thian. Walaupun kau harus
menderita sedikit kesakitan, tapi demi kepentingan anakanak
kita, rasanya masih berharga juga."
"Rupanya kau cukup mempelajari watak Tiok-toako.
Betapapun ia benci kepadaku, tetapi jika benar-benar
aku sampai dilukai orang, dia tentu akan membela aku
mati-matian. Hehe, tapi mengapa siasat menyakiti diri itu
tak kau lakukan sendiri?"
"Karena kebetulan kaulah yang bentrok dengan Kaypang,
Kang Hay-thian datang kemari bersama Tiong
Tiang-thong dan kau pun memang bertempur dengan
ketua Kay-pang itu. Meskipun Kang Hay-thian yang
melerai, tetapi apakah kau yakin kalau Kang Hay-thian
diam-diam tak membokongmu? Dengan adanya
bentrokan itu, siasat 'menyakiti diri' rasanya kaulah yang
tepat menjalankannya," Nyo Ceng memberi sanggahan.
"Hehe, bagus siasat menyakiti diri yang bagus. Tak
sia-sia kau dapat menemukan siasat itu!" Siangkoan
Thay tertawa sinis.
Melihat wajah sang ipar tak wajar lagi, buru-buru Nyo
Ceng menyusuli, "Telah kukatakan tadi, aku mempunyai
dua macam cara. Siasat 'menyakiti diri' itu hanya
terserah pada pertimbanganmu sendiri, apakah kau mau
merundingkan siasat yang lain?"
"Yang satunya ialah supaya Kang Hay-thian datang
kepada Tiok-toako. Dia seorang pendekar utama,

bukankah kau telah menjajaki hatinya? Kau hendak


menyuruh Kang Hay-thian mengadu jiwa untukmu,
apakah itu tidak melamun?" Nyo Ceng tertawa gelakgelak,
katanya pula, "Tak dapat menggerakkan Kang
Hay-thian, masakah kita tak mempunyai akal lain agar
dia tanpa dipaksa mau mencari Tiok-toako sendiri?"
"Baik, ingin aku mengetahui betapa indah siasatmu
itu."
"Kang Hay-thian mempunyai seorang calon murid
bernama Li Kong-he, kini anak itu berada di rumah Tioktoako,
menjadi kacungnya. Untuk mencari muridnya itu,
berbulan-bulan Kang Hay-thian mondar-mandir ke
daerah utara dan selatan sungai Hong-Ho!"
Kata Siangkoan Thay, "Hal itu telah kuketahui, tapi
apakah hubungannya dengan siasatmu yang indah itu?"
Nyo Ceng tertawa sinis, "Persoalan kita dititik beratkan
pada murid Kang Hay-thian itu, misalkan, tahu-tahu anak
itu meninggal di rumah Tiok-toako, masakah Kang Haythian
tak akan mengadu jiwa dengan Tiok-toako?"
Hati Siangkoan Thay tergetar, "Kau mau mencelakai
anak itu? Jika kau lakukan hal itu, mana Tiok-toako mau
memberi ampun kepadamu lagi? Bukanlah kau tadi
mengatakan kalau Tiok-toako dan putrinya
memperlakukan anak itu seperti keluarganya sendiri?"
Nyo Ceng tertawa, "Sudah tentu aku takkan setolol itu
untuk turun tangan sendiri, maka sekarang aku hendak
berunding denganmu. Bukankah kau tahu tentang
sejenis rumput beracun yang dapat menghabisi jiwa
orang tanpa bekas? Berikanlah rumput itu padaku, nanti
akan kutumbuk menjadi puyer. Aku mempunyai akal

pinjam tangan Ceng-hoa untuk meracuni anak itu. Cenghoa


sendiri pasti takkan menyadarinya."
Berdirilah bulu tengkuk Kang Hay-thian mendengar
rencana sekeji itu, ia tak menyangka kalau Nyo Ceng
sedemikian ganasnya. Hampir saja ia tak bisa menahan
kemarahannya dan terus hendak membuka kedoknya,
tapi pada lain saat ia mendapat pikiran biarlah menunggu
dulu bagaimana jawaban Siangkoan Thay nanti.
Terdengar Siangkoan Thay tertawa dingin, ujarnya,
"Nyo-toako, kau anggap aku ini orang apa?"
Nyo Ceng tercengang, serunya, "Yang berhati kecil
bukan seorang perwira, yang berhati lemah bukan
seorang lelaki. Jika hal ini berhasil, paling tidak kita tentu
dapat membuat mereka sama-sama remuk dan ini
sangat menguntungkan kita. Pertama, terhindar dari
tekanan keluarga
Tiok. Kedua, anak-anak kita dapat melangsungkan
perjodohan tanpa kuatir diganggu lagi. Dan ketiga, hehe,
dengan hilangnya kedua tokoh besar itu, kalau kita
berdua bersatu-padu, siapakah di kolong langit ini yang
bisa melawan kita lagi?"
"Tutup mulutmu!" tiba-tiba Siangkoan Thay
membentak sekerasnya. "Seribu macam keuntungan
sekalipun, aku Siangkoan Thay tak sudi menjadi seorang
manusia yang bermartabat begitu hina!"
Muka Nyo Ceng sebentar hijau sebentar merah, ia
tertawa dingin, "Siangkoan-heng, aku seorang manusia
rendah, tapi perbuatanmu selama ini juga tak layak
disebut ksatria!"

Siangkoan Thay gusar sekali, ia sampai melompat dan


berseru, "Meskipun bukan ksatria utama, tetapi
sekurang-kurangnya masih punya hati nurani."
"Kang Hay-thian melepas budi padaku, sebaliknya kau
hendak membalas air susu dengan air tuba dan
menganjurkan aku membunuh seorang anak kecil! Hm,
kau ini benar-benar ...."
"Kau tidak mau, ya sudah. Kita berdua retak hubungan
sih tak mengapa, asal anak-anak kita jangan sampai
menderita kesulitan, apakah selanjutnya mereka tidak
akan berjumpa lagi?"
Mestinya Siangkoan Thay hendak memaki Nyo Ceng
lebih buas dari binatang, mendengar kata-kata Nyo Ceng
yang terakhir, terkilas dalam bayangannya Bagaimana
sang putri terhadap Nyo Hoan. Diam-diam ia mengeluh
dan tak mau kelewat menyakiti hati Nyo Ceng, ia
menghela napas, ujarnya, "Pulanglah, anggap saja kau
tak pernah membicarakan soal ini dan aku pun takkan
mengungkitnya. Urusan perjodohan biarlah nasib yang
menentukan, kau meluluskan atau menolak pinangan
keluarga Tiok, terserah padamu sendiri. Hanya pesanku,
kikislah pikiran hendak mencelakai orang!"
Kering sekali nada Nyo Ceng ketika menyahut, "Kau
mandah menerima hinaan Tiok-toako, aku pun tak mau
memaksamu. Baiklah, kau mengusir aku tentu aku akan
pergi, hanya kuharap jangan kau menyesal di belakang
hari."
Habis itu Nyo Ceng segera hendak angkat kaki, tetapi
tiba-tiba Siangkoan Thay mencegahnya, "Tunggu!"

Mengira orang berbalik pikiran, tertawalah Nyo Ceng,


"Apakah kau sudah berpikir jelas? Bagaimana, apakah
kita berunding lagi?"
Wajah Siangkoan Thay mengerut gelap dan mata
menatap tajam kepada Nyo Ceng, kemudian berkata
dengan perlahan-lahan, "Jika hanya urusan anak-anak
saja, janganlah kau turunkan tangan jahat . kepada Tioktoako,
kau sudah mengetahui rahasia keluarga Tiok? Jika
kau hendak mengajak berunding aku, janganlah coba
mengelabui aku!"
Kasar sekaligus tabiat Siangkoan Thay, tapi dia sekalikali
bukan orang jahat gila-gilaan, apalagi dia juga sudah
berumur 50-an tahun, pengalamannya cukup banyak.
Maka setelah agak tenang, timbullah segera suatu
kecurigaan terhadap apa yang dikemukakan oleh Nyo
Ceng tadi, apa sebabnya Nyo Ceng begitu membenci
kepada iparnya, seakan-akan kalau dapat hendak
membunuhnya?
Teguran Siangkoan Thay membuat wajah Nyo Ceng
berubah, tetapi pada lain kilas ia terdengar tertawa
gelak-gelak, "Siangkoan-heng, pertanyaanmu itu
memberi kesan kapadaku bahwa rupanya kau juga tahu
rahasia Tiok-toako?
Siangkoan Thay tahu ia hendak dikorek oleh Nyo
Ceng, pikirnya, "Biarlah kukatakan beberapa bagian,
coba bagaimana reaksinya."
"Kabarnya Tiok-toako hendak mendirikan sebuah
partai baru, apakah kau tak suka menjadi orang
bawahannya?" kata Siangkoan Thay.

"Kau hanya tahu satu tidak tahu dua, bukan terbatas


hanya mendirikan partai saja, ia pun hendak mendirikan
gerakan melawan pemerintah Cing!"
"Oh, jadi Tiok-toako benar-benar mempunyai cita-cita
yang begitu luhur? Sungguh tak kuduga sama
sekali!"sahut Siangkoan Thay.
"Memang benar. Manusia seperti kita yang
mengasingkan diri di pegunungan sunyi, alangkah
bebasnya! Perlu apa harus ikut menceburkan diri dalam
pergolakan air keruh begitu? Tiok-toako harus sadar,
sebenarnya ia pun serupa kita, beberapa generasi tinggal
di gunung terpencil tak mau ikut campur urusan dunia
luar. Kini selagi dia sudah mendekati usia tua, tiba-tiba
timbul semangatnya yang patriotik. Coba pikir, apakah
dia tidak linglung? .... Dia linglung sih tak mengapa, tapi
kita berdua juga tentu akan terembet. Tiok-toako
menganggap sekarang rakyat sudah tergugah pikirannya,
maka sudah saatnya bergerak. Dia sama sekali tak
memikirkan betapa kokoh berakarnya pemerintahan
Ceng yang sudah ratusan tahun ini. Dapatkah kaum
pemberontak melawan kekuatan tentara Ceng yang
besar dan teratur itu? Jika kitajkut padanya, apabila
sampai kalah, bukankah kita akan menerima hukuman
dibasmi seluruh keluarga kita?"
"Oh kiranya begitu, tetapi setiap orang mempunyai
cita-cita sendiri. Kau tidak mau ikut kepadanya, apakah
dia tidak boleh melaksanakan cita-citanya?" bantah
Siangkoan Thay.
"Ai, kukira kau tentu paham perangai Tiok-toako, dia
orang yang tak mau mendengar nasehat orang lain.
Sekali dia membuat gerakan, jika kita tak mau ikut,

masakah dia akan membiarkan kita begitu saja?


Dikuatirkan begitu mulut kita mengatakan 'tidak', dia
tentu seeera akan membunuh kita."
"Maka kau lantas mendahului akan melenyapkannya?"
Siangkoan Thay mengomentari dengan nada dingin.
Mendengar nada ucapan Siangkoan Thay yang tak
wajar dan belum tahu bagaimana sebenarnya
pendiriannya itu, berkatalah Nyo Ceng, "Ucapan
Siangkoan-heng terlalu berat, aku sama sekali tidak
punya rencana hendak membunuhnya, hanya saja
hendak berusaha menghindari bencana itu. Jika dia
sampai bertempur dengan Kang Hay-thian, keduanya
tentu sama-sama terluka dan cacad. Pada saat itu baru
dia yang menurut perintahmu, sebaliknya kita tak perlu
mendengar perintahnya. Hehehe, dengan begitu bukan
saja perjodohan anak kita dapat berlangsung, Tiok-toako
pun akan dapat melewatkan sisa hari tuanya dengan
tenang. Bukankah masing-masing pihak akan mendapat
kebaikan?"
"Sungguh penyelesaian yang membawa kebaikan
semua pihak! Jadi jelas kau masih memikirkan diri Tioktoako?"
seru Siangkoan Thay.
"Tentu, tentu, aku memikirkan dari sudut untung
ruginya. Peribahasa mengatakan, 'Dari dua kecelakaan
kita dapat mengambil keringanan'. Benar Tiok-toako dan
Kang Hay-thian akan mengalami penderitaan bersama,
tapi dengan begitu Tiok-toako dapat terhindar dari
bencana, itu masih patut dilaksanakan! Apalagi kita
berdua juga akan memperoleh manfaatnya."

Tiba-tiba Siangkoan Thay tertawa dingin, "Mungkin


masih ada sebuah keuntungan lagi, rupanya kau masih
belum mengatakan?"
Seketika berubahlah wajah Nyo Ceng, serunya,
"Siangkoan-heng, apa maksud ucapanmu?"
Tegas dan tenang Siangkoan Thay bertanya, "Hadiah
apakah yang akan kau peroleh dari pihak kerajaan
sehingga kau begitu bernafsu hendak melenyapkannya?"
Muka Nyo Ceng beringas dan dengan suara
menggeledek ia berseru, "bagaimana kau bisa
mengatakan begitu? Hm, hm, Siangkoan Thay, kau
anggap aku Nyo Ceng ini orang apa?"
Bagaimanapun Siangkoan Thay masih memiliki
kejujuran, melihat sikap orang begitu bersungguhsungguh,
ia bersangsi sendiri, ujarnya, "Kalau tidak,
itulah bagus. Hanya saja, Nyo-heng, janganlah kau salah
mengerti dengan aku, aku hendak mengucapkan barang
separah kata untuk memberi nasehat padamu ..."
Sekonyong-konyong selagi Siangkoan Thay lengah,
Nyo Ceng secepat kilat menjotos dadanya! Kepandaian
orang she Nyo itu memang lebih tinggi dari Siangkoan
Thay, ditambah pula pukulan itu dilancarkan secara tak
terduga-duga, mana Siangkoan Thay dapat menghindar?
Bluk, tinju Nyo Ceng tepat mendarat pada sasarannya,
tetapi anehnya, seketika itu juga Siangkoan Thay merasa
suatu aliran tenaga kuat mendorong tubuhnya sampai
melengkung ke samping, berbareng itu Nyo Ceng pun
merasakan suatu arus tenaga menyambar mukanya.
Kiranya kedua arus tenaga itu berasal dari Kang Haythian
yang secepat kilat melayang turun dari pohon,

segera melancarkan dua buah tamparan, tangan kiri


mendorong Siangkoan Thay, tangan kanan menghantam
Nyo Ceng. Dua gerakan tangan, dua macam tenaga yang
dilancarkan, yang tertuju pada Siangkoan Thay memang
cukup keras sehingga dapat mendorongnya ke samping,
tapi Siangkoan Thay tak terluka, sebaliknya yang
dilancarkan kepada Nyo Ceng merupakan hantaman
maut.
Sayang Kang Hay-thian meskipun sebelumnya sudah
menaruh kewaspadaan, tapi sedikitpun ia tak menyangka
bahwa Nyo Ceng akan tega menurunkan tangan jahat
terhadap iparnya sendiri. Dalam hal itu Kang Hay-thian
tidak bersiap-siap, baru setelah Nyo Ceng turun tangan,
ia cepat melompat turun dan menyerang, tetapi sudah
agak terlambat.
Kalau Ko-chiu berkelahi, sedetik saja sudah banyak
artinya.
Gerakan Kang Hay-thian yang walaupun dilakukan
lebih cepat dari kejapan mata, tapi sudah cukup memberi
kesempatan Nyo Ceng untuk menghindar dari kematian.
Benar dia kalah unggul daripada Kang Hay-thian, tapi dia
pun juga seorang Ko-chiu kelas satu, begitu melihat
berkelebatnya tubuh turun dari pohon, cepat ia sudah
melesat setombak jauhnya sambil mendorongkan kedua
tangannya untuk menolak pukulan Pik-khong-ciang dari
Kang Hay-thian.
Karena tubuhnya terdorong ke samping, dada
Siangkoan Thay terhindar dari tinju maut, tapi tak urung
punggungnya termakan juga, tubuhnya berputar sekali,
"huak", darah menyembur dari mulut dan jatuhlah ia ke
tanah, tetapi ia dapat lolos dari lubang jarum. Coba

dadanya yang kena, jangan harap dia masih bernyawa


lagi.
Namun Nyo Ceng pun juga harus merasakan pil pahit,
pukulan Kang Hay-thian mengandung dua macam tenaga
berlapis. Melompat setombak dan menolak dengan kedua
tangan, memang Nyo Ceng dapat menangkis tenaga
pukulan Kang Hay-thian lapis pertama. Baru saja ia
bernapas longgar, tahu-tahu gelombang tenaga lapis
kedua melanda. "Huak", ia pun muntah darah, terus lari
sipat-kuping turun gunung. Untung baginya bisa lolos
dari lubang jarum, coba Kang Hay-thian lebih cepat turun
tangan dan kemudian menolong Siangkoan Thay lebih
dulu, mungkin orang she Nyo itu sudah tak bisa melihat
matahari lagi.
Karena tak tahu bagaimana luka Siangkoan Thay,
Kang Hay-thian tak mau mengejar Nyo Ceng, ia
menghampiri Siangkoan Thay untuk memeriksa lukanya.
"Tidak kusangka bangsat itu begitu ganas, sama sekali
tidak menghiraukan ikatan saudara lagi. Kang-tayhiap,
terima kasih atas pertolonganmu menyelamatkan jiwaku.
Sayang aku tak dapat membalas budi!" Siangkoan Thay
tertawa getir.
Waktu meraba dadanya, tahulah Kang Hay-thian kalau
orang she Siangkoan Thay itu tak begitu parah lukanya.
Ia merasa lega, ujarnya, "Dia pun cukup menderita
dengan sebuah pukulanku tadi, paling sedikit dia harus
beristirahat sebulan lamanya."
Siangkoan Thay mengusap darah di ujung mulutnya,
lalu menelan sebutir pil, katanya, "Kang-tayhiap, aku
hendak memohon suatu hal padamu."

"Silakan Cianpwe mengatakan."


"Walaupun bangsat she Nyo itu menderita luka, tapi
dia sudah lari. Kejadian tadi harap Kang-tayhiap jangan
menyebarkan kepada siapa pun."
Kang Hay-thian tahu Siangkoan Thay tak menghendaki
putrinya tahu hal itu sehingga akan menderita batin. Di
samping itu mungkin dia masih mengharap Nyo Ceng
bisa sadar akan kesalahannya. Jika disebarkan keluar,
apalagi kalau sampai terdengar oleh Tiok-toako, tentu
habislah riwayat Nyo Ceng.
Sebagai orang yang lapang dada, Kang Hay-thian pun
segera mengiakan, "Tak nanti aku membuat Cianpwe
mendapat kesukaran, tetapi aku pun hendak mohon
sebuah permintaan, hendak menanyakan
"Bukanlah tentang diri iparku Tiok-toako itu?" tukas
Siangkoan Thay.
"Benar, terus terang dengan orang gagah yang
bercita-cita menentang pemerintah Cing, aku banyak
kenal. Karena Tiok-locianpwe itu juga mengandung citacita
begitu, sungguh sehaluan. Aku bermaksud hendak
mengunjunginya."
Siangkoan Thay merenung beberapa jenak, ujarnya,
"Walaupun mempunyai cita-cita begitu, tapi tak secepat
itu Tiok-toako akan bergerak, kulihat paling cepat setelah
dia nanti berhasil mendirikan sebuah partai. Watak Tioktoako
itu aneh, apa yang direncanakan tak boleh
diketahui orang, kecuali kalau dia sudah sehati dengan
kau, tentu dia akan memberitahukan sendiri, maka
kurasa lebih baik Kang-tayhiap jangan terburu-buru

mengunjunginya dulu, biarlah tunggu saja dia nanti


menemuimu."
Karena dalam ucapan orang bernada kuatir, terpaksa
Kang Hay-thian tak mau mendesak, tetapi ia tetap
memikirkan keselamatan Li Kong-he, ujarnya, "Baiklah
kalau begitu, tetapi muridku berada di rumah keluarga
Tiok, karena Nyo Ceng mengandung maksud hendak
mencelakainya, tak boleh tidak harus dijaga."
"Ini mudah dikerjakan, akan kusuruh orang
memberitahukan kepada Tiok-toako agar dia suka
menjaga anak itu baik-baik. Nyo Ceng sudah terluka,
rasanya tak mungkin mendahului tindakanku itu. Dan lagi
kuduga dia tentu tak berani datang ke rumah Tiok-toako
lagi."
Mendengar kata-kata orang beralasan, Kang Hay-thian
pun menurut, ia percaya Kong-he tentu takkan kena apaapa.
Dan kini karena partai Bin-san-pay memerlukan
tenaganya, dia pun harus lekas pulang membantu
istrinya. Untuk sementara waktu, biarlah ia tunda dulu
mengambil Kong-he.
Setelah minum pil, tenaga Siangkoan Thay pun mulai
pulih. Sambil memandang langit, ia tertawa, "Hari segera
akan terang tanah, mari kita kembali. Jika Wan-ji sampai
tahu, orang di rumah tentu akan kaget!"
Kang Hay-thian hendak memayangnya, tapi karena
dilihatnya tuan rumah sudah dapat berjalan sendiri,
bahkan sudah dapat berlari cepat, diam-diam dia merasa
kagum juga. Setiba di rumah mereka masuk kamar
masing-masing, tetapi alangkah terkejut Kang Hay-thian
ketika masuk kamar, ternyata Lim To-kan sudah tidak
ada di pembaringannya. Buru-buru ia keluar mencari,

baru tiba di belakang taman, ia melihat sesosok


bayangan mendatangi.
Setelah menenangkan keguncangan hatinya, barulah
Kang Hay-thian tahu bahwa yang datang itu Tiong Tiangthong.
Lekas ia gunakan Lwekang Thoan-tun-coan-im
untuk menyusupkan kata pengenal diri, barulah Tiong
Tiang-thong lega.
"Apa yang telah terjadi?" tanya ketua Kay-pang itu.
"Tak ada apa-apa. Hanya Siangkoan-siancu telah
menggebah pergi orang she Nyo itu. Nanti setelah
meninggalkan tempat ini baru kita bicara lagi. Mana Kanji,
apakah kau melihatnya?"
"Kang-ji dengan teman kecilnya bersembunyi di bawah
gunung-gunungan palsu, rupanya kedua bocah itu sudah
saling mencocoki." jawab Tiong Tiang-thong.
"Sahabatnya yang mana?" Kang Hay-thian heran, tapi
pada lain saat ia tersadar, serunya pula, "Apakah putri
Siangkoan Thay itu?"
Tiong Tiang-thong mengiakan
Kiranya tadi To-kan terbangun, dia kaget karena tak
nampak Suhunya, lalu dia keluar dan kebetulan bertemu
dengan Siangkoan Wan yang juga sedang mencari
ayahnya, mereka bertemu di belakang kebun.
"Mereka tentu hendak merundingkan sesuatu yang tak
boleh kita dengar. Karena sudah telanjur bangun, mari
kita tunggu mereka di kebun ini," kata Siangkoan Wan.
Ia lebih tua tiga tahun dari To-kan, ia anggap dirinya
lebih tahu urusan orang besar.

Walaupun Lim To-kan lebih kecil, tapi dia menang


pengalaman, dia menduga tentu ada sesuatu yang tidak
sewajarnya, namun ia yakin akan kepandaian Suhunya.
Ia mempunyai kesan baik terhadap si dara, maka maulah
dia menemaninya. Karena baru berumur 12 - 13 tahun,
To-kan tak punya perasaan apa-apa terhadap lain kaum.
Waktu To-kan keluar, Tiong Tiang-thong
mengetahuinya, ia segera mengikutinya. Dia tak
menguatirkan Kang Hay-thian, tapi memikirkan diri anak
itu. Diam-diam ia melindungi dari tempat yang tak
kelihatan.
"Sayang kau hanya tinggal sampai besok pagi saja, tak
dapat menemani aku bermain beberapa hari lagi. Baik,
besok pagi tentu akan kuajak kau bermain-main sampai
puas. Di gunung banyak sekali bunga-bunga yang indah,
akan kuajak kau memetik bunga, akan kurangkai bunga
untukmu."
Karena pembicaraan mereka hanya berkisar pada soal
main-main saja, diam-diam geli juga Tiong Tiang-thong,
pikirnya, "Dara itu tak mempunyai kawan sebaya, Nyo
Hoan mungkin hanya setahun sekali datang kemari,
maka dara itu menjadi kesepian."
Mendengar Tiong Tiang-thong menyebut nama Nyo
Hoan dan anaknya, resahlah hati Kang Hay-thian,
pikirnya, "Dara ini jujur dan lincah, jauh lebih
menyenangkan dari Nyo Hoan. Sayang dalam hatinya
yang tengah mekar itu hanya tergores bayangan Nyo
Hoan seorang."
To-kan dan Siangkoan Wan sibuk berbicara. Kata Tokan,
"Baik, kau buatkan aku rangkaian bunga, aku akan
tangkapkan burung untukmu. Aku gemar sekali

memanjat pohon, belakangan ini aku telah belajar ilmu


Sip-hun-poh, dibuat memanjat pohon, sungguh tepat
sekali. Hm, Sip-hun-poh itu tak perlu menggunakan
tangan memegang dahan pohon, cukup berjalan
sepanjang batangnya saja."
"Kalau begitu bukan disebut 'panjat pohon'!" sela si
dara.
"Mengapa tidak? Ilmu Ginkang ini memang hebat
sekali!"
"Tanpa memegang dahan, mana kau bisa berdiri tegak
di atas batang pohon?"
"Kau tak tercaya? Baik, besok akan kutunjukkan
untukmu."
Siangkoan Wan ingin bisa juga, ujarnya, "Ah, kau
sungguh beruntung punya Suhu yang begitu sakti
sehingga dapat mempelajari Ginkang begitu hebat."
"Sip-hun-poh masih belum apa-apa, ada lagi yang
lebih sakti ialah Thian-lo-poh. Kalau sudah menguasai
ilmu Ginkang itu, musuh yang lebih tangguh tak akan
mampu memukulmu, tetapi ilmu itu hanya digunakan di
tempat datar."
"Benarkah?" Si dara meneeas. Ia keiut-keiut girang
mendengar cerita To-kan.
Kang Hay-thian geli dalam hati, "Baru belajar
beberapa macam kepandaian saja, anak itu sudah
membanggakan pada orang. Tetapi rupanya dia juga
hati-hati, tak memberitahukan rahasia ilmu itu kepada
orang luar."

"Tempo hari sebenarnya Suhuku hendak memberi


pelajaran beberapa kepandaian padamu dan Nyo Hoan,
sayang kalian tak mau," kata To-kan.
Jawab Siangkoan Wan, "Itulah karena adik misanku
Nyo Hoan yang tinggi hati, sebenarnya aku sudah
mengetahui kalau Suhumu bukan orang sembarangan."
Habis itu, pembicaraan mereka tak terdengar. Lewat
beberapa saat lagi, barulah terdengar Siangkoan Wan
tertawa mengikik, disusul dengan tawa To-kan, tetapi
nada tawa To-kan agak dipaksakan karena untuk
menemani si dara saja.
Kang Hay-thian heran, pikirnya, "Eh ... apakah mereka
berdua membisikkan kata-kata rahasia?" Kalau tak
berbisik ke dekat telinga, ia tentu dapat menangkap
pembicaraan meraka.
Tiba-tiba terdengar teriakan Siangkoan Thay
memanggil, "Wan-ji, Wan-ji!" Rupanya ia juga mencari
dara itu.
"Yah, aku ke sini untuk adik Lim," sahut Siangkoan
Wan, yang muncul dari balik gunung-gunungan.
Siangkoan Thay tertegun, tegurnya, "Mengapa tengah
malam buta begini kalian bersembunyi di sini?"
"Kami keluar mencarimu, bukankah kau pergi keluar
bersama Kang-tayhiap?" kata Siangkoan Wan.
Siangkoan Thay tertawa gelak-gelak, "Budak cerdik,
dapat menerka jitu. Benar, memang aku bersama Kangtayhiap
mengantar pamanmu pulang."
Siangkoan Wan terkesiap, "Mengapa tengah malam
dia pulang? Ada urusan apa?"

"Tidak apa-apa. Watak pamanmu itu memang selalu


ingin buru-buru, tiba-tiba ia menguatirkan adikmu yang
di rumah seorang diri akan terjadi apa-apa, maka ia
lantas pulang."
"Masakah perlu pada tengah malam!" bantah
Siangkoan Wan. "Ya, memang telah kukatakan begitu
kepadanya, tetapi begitulah adat pamanmu. Teringat
apa, terus saja dikerjakan, dia pergi mencari putranya
yang sudah lama tidak pulang, kalau dia memaksa
hendak pulang, aku pun tak dapat menahannya lagi."
Beberapa handai taulan Siangkoan Thay memang
beradat aneh, bilang pergi terus pergi, bilang pulang
terus pulang. Siangkoan Wan sejak kecil sudah biasa
dengan kelakuan mereka, maka ia pun tak curiga akan
pulangnya sang paman di tengah malam itu, ia hanya
bertanya bilakah pamannya itu akan datang lagi?
Siangkoan Thay tertawa, "Kau juga terkenang akan
adik misanmu itu, bukan? Pamanmu mengatakan, tak
lama dia akan datang kemari." Berdusta kepada sang
putri, sebenarnya hati Siangkoan Thay tak enak, tapi
demi menjaga jangan sampai sang putri mengalami
derita batin, ia terpaksa berbuat begitu.
Dalam pada itu dengan bisik-bisik Kang Hay-thian
mengajak Tiong Tiang-thong kembali ke dalam kamar,
Siangkoan Thay pun tak mau membicarakan diri Nyo
Ceng dan putranya lagi. Ia mengalihkan pembicaraan,
"Rupanya kau gembira benar bermain dengan adik Lim,
kalian tertawa, bisik-bisik, apa saja yang dibicarakan?"
Siangkoan Wan tertawa, "Adik Lim hendak mengajar
aku panjat pohon dan aku berjanji hendak membuatkan
rangkaian bunga untuknya. Ilmu Ginkang yang baru saja

dipelajarinya dari Kang-tayhiap, tanpa berpegangan


dahan dapat berjalan di atas pohon. Aneh tidak, ayah?"
"Bagus, kalau begitu kalian harus lekas masuk tidur
lagi supaya besok pagi tidak mengantuk!" Siangkoan
Thay tertawa.
Tak lama setelah Kang Hay-thian pura-pura tak tahu,
tanyanya,
"Kemana saja kau tadi?"
"Keluar mencari Suhu dan kebetulan berjumpa dengan
nona Siangkoan. Suhu, aku
"Kenapa? Bilanglah!" tukas Kang Hay-thian.
"Bukan urusanku, hanya nona Siangkoan hendak
mohon sebuah permintaan padamu, tapi dia takut bilang
sendiri."
"Tentang urusan apa?" Kang Hay-thian tersenyum.
"Dia hendak minta kau mengajarkan semacam ilmu
kepandaian kepadanya."
"Sebenarnya aku sudah meluluskan untuk memberinya
pelajaran, mengapa tak berani bilang padaku?"
"Yang ingin ia pelajari ialah sebuah kepandaian
istimewa, bukannya menurut apa yang Suhu hendak
ajarkan padanya."
"Ilmu apa yang hendak dimintanya itu?" Kang Haythian
heran.
"Dia hendak belajar ilmu kepandaian yang dapat
mengalahkan Nyo Hoan, ia bilang Suhu sudah pernah
berkelahi dengan ayah Nyo Hoan, tentu mengerti
keunggulan kepandaian keluarga Nyo, maka ia hendak

belajar ilmu kepandaian yang dapat mematahkan


kepandaian keluarga Nyo itu!"
"Sebab apa dia ingin belajar ilmu silat yang dapat
mengalahkan Nyo Hoan?" tanya Hay-thian dengan rada
heran.
"Supaya Nyo Hoan mau tunduk padanya," sahut Tokan.
"Tampaknya dia sangat baik kepada Nyo Hoan,
sebaliknya Nyo Hoan suka menang-menangan."
"Apakah begitu katanya? Dia suka Nyo Hoan, tentu
aku menjadi tidak tenang," ujar Hay-thian dengan
tertawa.
Meski masih kecil, To-kan merasa sang guru sedang
mengolok-' olok padanya, dengan kikuk ia berkata, "Aku
sih tak pusing, cuma anak she Nyo itu terlalu tengik
tingkah-lakunya, aku memang agak muak padanya."
Diam-diam Hay-thian tahu To-kan agak cocok dengan
Siangkoan Wan, cuma sayang To-kan lebih muda tiga
tahun, kalau tidak, tentulah mereka akan merupakan dua
sejoli yang setimpal.
"Suhu, engkau suka mengajar dia atau tidak?"
demikian To-kan mendesak pula. "Apalagi engkau
memang sudah berjanji akan mengajarkan sesuatu
padanya? Cuma dia minta Suhu suka merahasiakan hal
ini agar tidak diketahui oleh ayahnya?"
"Dara cilik ini benar-benar nakal," kata Hay-thian
dengan tertawa. "Lebih baik kau tetap bermain dengan
dia dan kau nanti yang mengajarkan padanya."
"Cara bagaimana aku mengajar dia?" tanya To-kan
dengan heran.

"Setelah aku mengajarkan kau, tentu kau dapat


mengajarkan pula padanya," kata Hay-thian. "Kau sudah
mahir Liap-in-poh dan Thian-lo-poh-hoat, masih ada lagi
semacam kepandaian It-ci-sian-kang (ilmu tenaga jari),
akan kuajarkan rumus rahasianya padamu, kemudian
boleh kau ajarkan kepadanya, biar dia melatihnya sendiri
kelak. Dia punya dasar Lwekang yang kuat, sekali tahu
rumus rahasianya tentu akan cepat memahaminya.
Dengan tiga macam kepandaian ini rasanya sudah lebih
dari cukup untuk mengalahkan Nyo Hoan."
To-kan menjadi girang, katanya, "Hah, memangnya
dia sangat mengagumi kedua macam ilmu langkah itu,
sekarang Suhu mengizinkan aku mengajarkan padanya,
tentu dia akan sangat senang."
Begitulah Kang Hay-thian lantas mengajarkan It-cisian-
kang kepada To-kan. Ilmu itu memang sangat
hebat, tapi rumusnya cukup sederhana, tidak seberapa
lama To-kan sudah dapat mengingatnya dengan baik.
Besok paginya, sesudah sarapan pagi Siangkoan Thay
lantas mengumpulkan segenap kerabatnya untuk
mencarikan rumput obat bagi keperluan Tiong Tiangthong
seperti yang dijanjikan kemarin. Merasa berterima
kasih, Tiang-thong dan Hay-thian ikut keluar bersama
tuan rumah, sedangkan To-kan pagi-pagi sekali sudah
pergi bermain bersama Siangkoan Wan.
Rupanya sudah puluhan tahun Siangkoan Thay tidak
berkecimpung di dunia Kangouw, maka ia asyik sekali
berbicara dengan Tiong Tiang-thong tentang kejadiankejadian
di Kangouw yang menarik. Ia pun banyak
bertukar pikiran tentang ilmu silat dengan Kang Haythian,
cuma kalau pembicaraan menyinggung tentang

sumber ilmu silatnya serta asal-usulnya, maka segera ia


membelokkan pokok pembicaraan, lebih-lebih tentang
kakak-iparnya yang she Tiok itu, sedikitpun dia tidak mau
menyebutnya.
Sampai petang bahan obat-obatan yang dikumpulkan
sudah cukup banyak. Tiang-thong mengucapkan terima
kasih kepada Siangkoan Thay, beramai-ramai rombongan
mereka lantas pulang.
Setiba di rumah, segera Siongkwan Thay menanyakan
putrinya yang tidak nampak memapaknya itu. Selagi dia
hendak menyuruh mencarinya, tiba-tiba terdengar suara
seruan Siangkoan Wan dari luar, "Ayah, anak sudah
pulang!"
Menyusul muncullah anak dara itu bergandengan
tangan dengan Lim To-kan, tertampak leher To-kan
berkalungkan karangan bunga, kedua tangan Siangkoan
Wan membawa dua ekor burung kecil berbulu indah.
"Kemana saja anak kecil bermain sampai sehari
suntuk?" tegur Siangkoan Thay.
"Aku dan adik Lim pergi menangkap burung. Lihatlah
ayah, elok benar kedua ekor burung ini!" sahut
Siangkoan Wan.
Diam-diam Kang Hay-thian menduga pastilah kedua
bocah itu telah pergi saling belajar kepandaian yang baru
saja diajarkan, burung-burung itu tentulah hasil ujian
kepandaian mereka yang baru itu. Tampaknya dalam
waktu singkat ilmu It-ci-sian-kang itu pasti dapat
diyakinkannya dengan sempurna.
Begitulah semalaman tiada terjadi apa-apa. Besoknya
Kang Hay-thian dan tokoh-tokoh Kay-pang itu lantas

mohon diri. Dengan rasa berat Siangkoan Thay dan


putrinya mengantar sampai di bawah gunung barulah
berpisah.
Di tengah jalan Tiong Tiang-thong telah berkata, "Kali
ini kita malah menambah seorang sahabat baik bagi Tokan.
Lihatlah betapa akrabnya dia bergaul dengan anak
dara itu, sayang kalian masih terlalu kecil."
"Tapi engkau juga mendapatkan seorang kawan baik,
Tiong-kongkong," sahut To-kan. "Kemarin dulu kalian
bertempur mati-matian, tapi tadi kalian berpisah dengan
berat sekali."
"Sobatku dan sobatmu kan lain," ujar Tiang-thong
dengan tertawa. "Tapi kau pun benar. Biarpun tingkahlaku
Siangkoan Thay rada aneh, namun wataknya cocok
juga dengan aku. Kalau dibandingkan Nyo Ceng, terang
Siangkoan Thay jauh lebih baik. Eh, bicara tentang Nyo
Ceng, aku ingin tanya padamu, apa yang telah terjadi
kemarin malam sehingga dia dienyahkan oleh Siangkoan
Thay?"
"Ya, sekarang bolehkah kuceritakan," ujar Hay-thian,
lalu ia pun menguraikan apa yang dialaminya kemarin
malam.
"Ternyata tidak meleset dari dugaanku, terang Nyo
Ceng itu telah berkomplot dengan pihak kerajaan," kata
Tiang-thong. "Sayang pukulanmu itu kurang keras."
Mendengar percakapan itu, diam-diam To-kan juga
merasa penasaran bagi Siangkoan Wan jika anak dara itu
sampai terpengaruh oleh pemuda dari keluarga tak
senonoh itu.

Dalam pada itu Kang Hay-thian telah berkata,


"Sekarang telah diketahui dengan pasti anak Li Bun-sing
berada di rumah keluarga Tiok. Kabarnya iparnya she
Tiok itu juga ingin bergerak melawan kerajaan, tapi
entah mengapa dia tidak mau berhubungan dengan
orang-orang Kangouw. Kay-pang kalian biasanya sangat
tajam mata telinganya, bolehlah kalian coba
menyelidikinya."
"Baik, tentu akan kuperhatikan," kata Tiang-thong.
"Sekarang kerajaan sedang mengincar Kay-pang dan Binsan-
pay, aku harus lekas pulang untuk mengatur
penjagaan, juga perlu mengolah obat-obat luka yang
diminta pasukan pergerakan itu. Bila urusanku sudah
agak longgar, tentu aku akan datang ke Bin-san untuk
menemui kau."
Begitulah mereka lantas berpisah, yang satu menuju
ke selatan, yang lain berangkat ke utara.
Sudah ada setengah tahun Kang Hay-thian
meninggalkan rumah, tentang Li Kong-he sudah
diperoleh berita yang pasti.
Sekarang yang masih dikuatirkan olehnya adalah Yap
Leng-hong saja, ia tidak tahu bahwa saat itu dengan
selamat Yap-Leng-hong sudah pulang sampai di rumah.
Hari itu setelah melepaskan diri dari pemerasan Hong
Jong-liong, dengan cepat Leng-hong langsung kembali ke
Tong-peng-koan, walau dia sudah terlepas dari ancaman
Hong Jong-liong, tapi bayangan gelap yang ditanamkan
Hong Jong-liong dalam benaknya sukar dilenyapkan.
Pengalaman malam itu seakan impian buruk yang
mengerikan dan tak terlupakan.

Hong Jong-liong adalah jago pengawal gubernur Siamsay,


yaitu ayah Leng-hong, tapi tugas yang sebenarnya
adalah mata-mata yang dikirim kerajaan untuk
mengawasi ayahnya. Maka tidak heran Hong Jong-liong
cukup mengetahui seluk-beluknya, bahkan sekarang ada
dua kelemahannya yang dipegang oleh Hong Jong-liong,
yaitu pertama, memalsukan diri orang lain dan mengaku
sebagai keponakan Kok Tiong-lian. Kedua, di kala
kepepet dia mengkkhianati kawan sendiri sehingga Utti
Keng yang terluka itu kena ditawan antek-antek kerajaan
dan dia sendiri berhasil menyelamatkan diri.
Karena adanya kelemahan-kelemahan yang dipegang
oleh Hong Jong-liong itu, terpaksa Leng-hong tunduk dan
terima menjadi mata-mata di rumah keluarga Kang serta
setiap saat harus melaporkan gerak-gerik Kang Hay-thian
dengan pemimpin-pemimpin pasukan pergerakan.
Ia tidak ingin berbuat begitu, tapi juga tidak berani
membangkang. Kalau meninggalkan keluarga Kang saja
rasanya berat pula kehilangan sang Sumoay yang cantik
jelita itu, apalagi dia telah ditetapkan sebagai murid ahli
waris Kang Hay-thian. Ia pikir jalan satu-satunya adalah
merebut hati Kang Hiau-hu lebih dulu, jika sudah
menikah, karena beras sudah menjadi nasi, andaikan
urusan akhirnya ketahuan juga masih ada kemungkinan
akan mendapat pengampunan dari Kang Hay-thian.
Begitulah dengan rasa bimbang, akhirnya Leng-hong
sampai juga di rumah. Tiba-tiba terbayang pula olehnya
bayangan pemuda yang beralis tebal dan bermata besar,
yaitu Ubun Hiong. Selama beberapa bulan ini pemuda itu
selalu berdampingan dengan Hiau-hu, jangan-jangan di
antara mereka sudah .... Tapi lantas terpikir lagi olehnya,
"Ah, dalam hal apa anak muda itu mampu menandingi

aku? Bicara tentang kepintaran, tampang muka, ilmu silat


maupun sastra, tiada satu pun yang dia mampu melebihi
aku. Apalagi aku mendapat sokongan ibu guru yang telah
menganggap aku sebagai keponakannya, mustahil citacitaku
takkan terkabul?"
Setiba di depan perkampungan kediaman Kang Haythian,
tiba-tiba Leng-hong mendengar di balik semaksemak
pohon sana ada suara mengikik tawa, lalu
terdengar pula suara nyaring seperti benturan dua
batang pedang. Segera Leng-hong kenal suara tertawa
itu adalah suara Kang Hiau-hu. Ia menduga sang
Sumoay mungkin sedang berlatih ilmu pedang dan
mungkin kawan berlatihnya itu adalah Ubun Hiong,
seketika perasaannya menjadi kecut.
Selagi dia hendak turun dari kudanya untuk mengintip,
mendadak Jik-liong-ki, kuda tunggangannya itu telah
meringkik lebih dulu, mungkin binatang itupun
kegirangan karena sudah sampai di rumah.
Rupanya suara ringkik kuda itu telah mengejutkan
Kang Hiau-hu, anak dara itu telah berlari keluar
membelah semak-semak pohon sambil berseru, "He,
seperti suara Jik-liong-ki kita. Aha, kiranya Toasuko
sudah pulang!" Demikian ia lantas memapak maju dan
ketika dilihatnya Yap-Leng-hong cuma sendirian, segera
ia bertanya, "Eh, mengapa Toasuko sendirian saja?
Dimanakah ayah?"
"Ceritanya sangat panjang, biarlah kita bicarakan lagi
sesudah menemui bibi lebih dulu," kata Leng-hong.
"Engkau sudah pulang, Toasuko?" demikian Ubun
Hiong ikut menyapa dengan girang menyusul di belakang
Hiau-hu.

"Eh, luka Sute sudah sembuh, syukurlah," sahut Lenghong


dengan mengunjuk rasa simpatik. Padahal di dalam
hati ia ingin meremas sang Sute. "Tentu ilmu silat Sute
selama setengah tahun ini sudah banyak maju." Sambil
berkata ia terus mengulurkan tangan untuk menjabat
tangan Ubun Hiong.
Sama sekali Ubun Hiong tidak berjaga-jaga, dengan
suka hati ia pun menjabat tangan sang Suheng. Di luar
dugaan mendadak Leng-hong menggenggam sekuatnya
dengan Lwekangnya, Ubun Hiong terkejut dan dengan
sendirinya mengeluarkan tenaga dalam untuk melawan.
Mestinya dasar Lwekang Ubun Hiong lebih kuat daripada
Yap Leng-hong, tapi karena dia baru sembuh dari
lukanya, sebaliknya selama setengah tahun ini Lenghong
telah banyak bertambah kuat, karena itu Ubun
Hiong menjadi lemah malah, ia sampai meringis
menahan sakit.
"Wah, hebat benar tenaga Toasuko," kata Ubun Hiong
dengan tersenyum getir sambil memijat-mijat tangannya.
Melihat itu, Hiau-hu mengira Toasuheng sengaja
menguji kekuatan Sutenya, walaupun ia tidak
menyalahkan Leng-hong, tapi ia sangat menaruh
perhatian kepada Ubun Hiong, cepat ia bertanya, "O,
apakah kesakitan? Tidak apa-apa bukan?"
"Ah, tidak apa-apa," sahut Ubun Hiong pura-pura, lalu
tanpa curiga ia mengajak mengobrol lagi kepada Yap
Leng-hong.
Sungguh cemburu dan kuatir pula hati Leng-hong
melihat hubungan kedua Sute dan Sumoay yang rapat
itu, diam-diam ia bertekad akan mencari satu akal untuk
memisahkan mereka, namun lahirnya dia tetap tenangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tenang saja, ia minta maaf kepada Ubun Hiong, lalu
bertanya pula keadaan selama berpisah ini.
Belum sempat mereka bicara banyak, tiba-tiba Kok
Tiong-lian sudah muncul, segera ia pun berseru, "Aha,
engkau sudah pulang, Leng-hong? Selama ini aku
merasa kuatir sekali atas keadaan kalian. Dimanakah
pamanmu? Mampir kemana lagi dia?"
Tiong-lian tahu sahabat suaminya sangat banyak dan
mungkin tertahan oleh salah seorang sahabat, lalu Lenghong
disuruh pulang lebih dulu. Sama sekali tak terduga
olehnya bahwa sang suami akan mengalami suatu
halangan.
Diam-diam Leng-hong merasa senang karena sang
bibi sedemikian ramah padanya, seketika besar lagi
hatinya, segera ia menjura dan menjawab, "Titji ingin
minta maaf padamu, bibi. Mungkin paman mengalami
sesuatu kesukaran, tapi kepandaian Titji terlalu rendah
sehingga tidak dapat mencari tahu jejaknya, sebab itulah
buru-buru pulang lebih dulu untuk melapor kepada bibi."
Tiong-lian terkejut, cepat ia bertanya, "He, ada
apakah? Bukankah kau berada bersama pamanmu? Apa
yang sudah terjadi? Marilah masuk ke rumah dulu,
ceritakanlah pengalamanmu selama ini."
"Pengalaman selama setengah tahun sungguh
panjang untuk diceritakan," kata Leng-hong. "Tapi ilmu
silat Suhu teramat sakti, andaikan beliau mengalami
sesuatu juga tidak jadi halangan baginya."
Lalu ia pun menceritakan kejadian Kang Hay-fhian
bertemu Thia Pek-gak dan Ki-lian-sam-siu sehingga
mendapat berita tentang Lim Jing, ketua Thian-li-kau

yang tersohor. Akhirnya Kang Hay-thian seorang diri


berangkat ke Cong-liong-poh di Bici untuk
menyampaikan berita, semuanya ia tuturkan dengan
jelas, lalu ia menghela napas dan berkata, "Demi
mengetahui jago-jago istana hendak menggerebek Lim
Jing di Cong-liong-poh, sedangkan kedua ekor kuda kami
terluka, tanpa pikir Suhu lantas pergi ke Bici untuk
menolong Lim Jing. Suhu menganggap aku tak mampu
mengikuti kecepatan jalannya, maka aku disuruh
menunggu di suatu kota kecil Kiokyau."
"Ya, watak Suhumu memang begitulah, untuk
menolong orang dia selalu ingin cepat-cepat
dilakukannya," sahut Tiong-lian. "Kemudian bagaimana,
dia tidak kembali lagi?"
"Suhu berjanji 10 hari kemudian akan kembali, tapi
sampai hari kesebelas beliau masih belum muncul, pada
malamnya lantas terjadi sesuatu di luar dugaan," tutur
Leng-hong pula.
"Apakah kau kepergok antek-antek kerajaan?" tanya
Tiong-lian.
"Betul, dugaan bibi benar-benar sangat tepat," sahut
Leng-hong.
Padahal Tiong-lian hanya kena separoh saja
dugaannya. Antek-antek kerajaan itu hanya secara
kebetulan memergoki Leng-hong di kala mereka
menguber buronan, yaitu Utti Keng.
Diam-diam Leng-hong merasa waswas, ia pikir
ceritanya harus hati-hati supaya tidak menimbulkan
curiga ibu gurunya, segera ia melanjutkan, "Tapi mereka
bukan antek kerajaan biasa, yang mengepalai mereka

justru adalah wakil komandannya, Ho Lan-bing. Dalam


perlawananku akhirnya aku kena senjata rahasia Ho Lanbing,
berkat Jik-liong-ki aku beruntung selamat. Lihatlah
ini, lukaku masih belum sembuh."
Padahal malam itu meski Leng-hong dua kali diserang
senjata rahasia oleh Ho Lan-bing, tapi berturut-turut dia
diselamatkan oleh Utti Keng dan Hong Jong-liong
sehingga tidak sampai terluka apa-apa, lukanya ini
adalah perbuatannya sendiri yang sengaja dilakukannya.
Dengan kecerdikan Kok Tiong-lian, mestinya tidak
sukar baginya untuk mengetahui luka itu tulen atau
buatan sendiri, tapi dia percaya penuh kepada
'keponakan yang baik' itu, maka dia hanya memandang
sekilas saja, lalu tidak mengusut lebih lanjut. Ia malah
berkata, "Kau ditinggal pergi oleh Suhumu, tentu kau
telah banyak menderita. Untung kau berhasil melarikan
diri."
"Tapi Pek-liong-ki telah dirampas oleh mereka," sahut
Leng-hong.
"Ah, asal orangnya selamat, apa artinya seekor kuda
saja," ujar Tiong-lian.
"Ya, jangan kuatir Toasuko, biarlah kelak akan kurebut
kembali," Hiau-hu menyela.
"Anak Hu, enak saja kau bicara, apakah kau kira Ho
Lan-bing itu kaum keroco yang mudah dirobohkan?"
omel Tiong-lian tertawa.
"Jika begitu, harap ibu lekas mengajarkan semacam
kepandaian lihai padaku untuk mengalahkan orang she
Ho itu," kata Hiau-hu.

"Apakah kau kira ilmu silat yang lihai sedemikian cepat


kau pelajari? Untuk bisa mencapai tingkatan sempurna
juga perlu giat belajar dan makan tempo tertentu," kata
Tiong-lian. "Tapi baiklah, aku tahu maksud baikmu
terhadap Piauko. Biarlah besok juga akan kuajarkan
sejurus ilmu pedang yang dapat kalian mainkan bersama
agar kelak dapat merobohkan tokoh seperti Ho Lan-bing
atau jago silat lainnya."
Mimpi pun Tiong-lian tidak menyangka bahwa Yap
Leng-hong ini adalah keponakannya yang palsu. Dia
memang mempunyai maksud mendekatkan Leng-hong
kepada putrinya, sebab itulah dia sengaja hendak
mengajarkan ilmu pedang yang harus dimainkan mereka
berdua. Sebagai pemuda yang cerdik sudah tentu Lenghong
dapat memahami maksud ibu gurunya.
Segera Leng-hong menghaturkan terima kasih,
katanya pula, "Sebenarnya aku ingin mencari Suhu, tapi
sepanjang jalan kulihat banyak sekali anjing alap-alap
pihak kerajaan berlalu-lalang, kukuatir terjadi apa-apa
atas diriku yang berkepandaian rendah ini sehingga
pulang melapor bibi saja tak dapat, maka buru-buru aku
pulang lebih dulu agar bibi maklum."
"Memangnya waktu yang dijanjikan Suhumu juga
sudah lewat, memang seharusnya kau mesti pulang
melapor padaku," kata Tiong-lian tanpa curiga walaupun
uraian Yap Leng-hong itu banyak dustanya, terutama
mengenai Utti Keng dan Hong Jong-liong.
Sesudah merenung sejenak, kemudian Tiong-lian
berkata pula, "Suhumu pulang terlambat, kukira pasti
terjadi sesuatu yang di luar dugaan. Dari sini ke Bici
terlalu jauh, andaikan terjadi apa-apa atas dirinya juga
aku tidak keburu menolongnya lagi. Celakanya baru-baru
ini aku menerima kabar pula bahwa pihak kerajaan akan
bertindak terhadap Bin-say-pay. Sebagai ketua Bin-saypay
tidaklah mungkin aku menempuh perjalanan jauh
untuk urusan lain."
"Tapi tentang keadaan ayah perlu juga diselidiki," kata
Hiau-hu.
Namun Tiong-lian menjawab, "Sepuluh hari lagi adalah
hari Cheng-beng, para kerabat Bin-say-pay akan
berkumpul semua di atas Bin-san untuk membersihkan
makam cikal-bakal kita, yaitu Tok-pi Sin-ni dan Lu Si-nio,
maka paling tidak lima hari sebelumnya kita harus
berangkat dari rumah. Semoga dalam lima hari ini
ayahmu sudah dapat pulang, bila belum pulang, terpaksa
aku tak dapat menunggu lagi. Setiba di Bin-san tentu aku
dapat minta bantuan para kawan Bu-lim untuk mencari
berita tentang ayahmu."
"Selama lima hari ini apakah kita harus tinggal diam
saja, ibu? Tidakkah lebih baik minta kakek mengirim
berita kepada Kay-pang dan minta bantuan Kay-pang
mencari kabar keadaan ayah?" ujah Hiau-hu.
"Boleh juga usulmu ini," sahut Tiong-lian. "Cuma kita
pun kenal watak kakekmu yang kekanak-kanakan itu,
apalagi usianya memang juga sudah lanjut, sebenarnya
tidak enak kalau merisaukan beliau. Tapi apa boleh buat,
dalam keadaan terpaksa mesti membikin capai padanya.
Nah, Hiong-ji, boleh kau pergi mengundang kakek pulang
dulu."
Kiranya paling akhir ini Kang Lam mempunyai kenalan
main catur di kota, jika iseng tentu dia ke kota untuk
main catur, terkadang sampai bermalam.

Begitulah sesudah Ubun Hiong berangkat, sorenya Kok


Tiong-lian lantas mengajarkan ilmu pedang kepada Lenghong
dan Hiau-hu sebagaimana dijanjikannya.
Diam-diam Hiau-hu merasa ibunya kurang adil,
mengapa Ji-sukonya tidak disuruh belajar sekalian.
Namun lantas teringat pula olehnya bila perlu kelak toh
dirinya dapat mengajarkan sendiri kepada Ubun Hiong,
rasanya sang ibu juga takkan marah padanya.
Kiranya ilmu pedang itu meliputi 8 x 8 = 64 gerakan,
dimainkan dengan keras dan halus sehingga cocok bagi
permainan ganda campuran. Dasar ilmu silat Yap Lenghong
jauh di bawah Hiau-hu, tapi dia lebih cerdas
sehingga cuma dalam waktu satu-dua jam saja dia sudah
cukup hapal memainkan 64 gerakan ilmu pedang itu.
Tengah mereka asyik berlatih, sekonyong-konyong
ada orang bergelak tertawa dan berseru, "Bagus! Ilmu
pedang bagus. Muridnya juga bagus!"
Waktu mereka menoleh, kiranya Kang Lam sudah
pulang bersama Ubun Hiong.
"He, Jisuko, kami sedang berlatih ilmu pedang baru,
apakah engkau mau ikut belajar?" demikian mendadak
Hiau-hu sengaja berkata demikian di hadapan sang ibu.
Namun Ubun Hiong menjawab, "Tidak, Si-mi-kiamhoat
saja aku belum hapal, mana boleh aku belajar yang
baru lagi, kan tambah tidak keruan nanti."
"Ya, sudahlah, kita belajar lagi lain hari saja," cepat
Leng-hong menyela. "Kakek sudah pulang, biarlah kita
memberi laporan dulu." Habis berkata ia lantas
menyimpan kembali pedangnya dan memberi hormat
kepada Kang Lam.

"Sudahlah, tak perlu banyak adat," kata Kang Lam


dengan tertawa. "Tentang pengalamanmu sudah
kudengar dari Hiong-ji, kau tidak perlu mengulangi lagi."
Segera Tiong-lian juga berkata, "Ayah, keadaan Haythian
entah bagaimana, kami ingin mohon engkau
suka..."
"Ya, aku sudah tahu, besok juga aku lantas berangkat
ke Tekciu," sela Kang Lam. "Coba kalau bukan urusan ini,
masakah aku mau pulang? Boleh kau tebak dimanakah
Hiong-ji menemukan aku?"
"Bukankah di rumah kawanmu bermain catur itu?"
sahut Tiong-lian.
"Tidak, tapi di sebuah rumah minum yang baru saja
dibuka," kata Kang Lam.
Mendengar itu, hati Yap Leng-hong tergetar dan
wajahnya menjadi pucat. Namun orang lain tidak
memperhatikan perubahannya itu, Tiong-lian menyangka
pemuda ini tentu terlalu lelah saja, maka tidak
menanyakannya.
Dalam pada itu Hiau-hu telah berkata dengan tertawa,
"Wah, kakek telah mendapat tempat mengobrol yang
baru. Kapan-kapan harap kakek membawa serta aku ke
sana."
"Ya, tempat baru itu memang sangat menyenangkan,
araknya bagus, masakannya lezat, pelayanan rapi,
tempatnya sejuk di tepi telaga," demikian kata Kang Lam
yang dasarnya memang ceriwis. "Cuma sayang, besok
juga kakek akan berangkat, entah kapan barulah aku
dapat mengajak kau ke sana."

"Jika besok pagi juga ayah akan berangkat, silakan


mengaso saja dahulu. Aku pun harus menulis sepucuk
surat untuk disampaikan kepada Nyo-thocu," kata Tionglian.
"Apakah kau kuatir mulutku kurang jelas
menyampaikan keinginanmu?" ujar Kang Lam dengan
tertawa, "tapi boleh juga, dengan sepucuk surat akan
kelihatan lebih sopan."
Begitulah, habis makan malam mereka lantas pulang
ke kamar masing-masing. Tapi sepanjang malam Yap
Leng-hong tak bisa pulas, bayangan Hong Jong-liong
seakan-akan iblis yang siap menerkamnya selalu
terkenang olehnya. Teringat olehnya pesan Hong Jongliong
yang terakhir tempo hari tentang pos penghubung
di kemudian hari adalah sebuah rumah minum arak yang
baru dibuka di kota Tong-peng, letak rumah minum itu
adalah di tepi telaga. Setiap pelayan di rumah minum itu
adalah komplotan sendiri, kode penghubungnya adalah
istilah "matahari dan rembulan tak bersinar".
Tadinya demi untuk melepaskan diri dari pemerasan
Hong Jong-liong, maka segalanya Yap Leng-hong
mengiakan saja, ia pikir bila perlu kelak dapat
menghindari apa yang dipaksakan oleh Hong Jong-liong
itu. Siapa duga baru hari pertama pulang. Kang Lam
sudah lantas membenarkan adanya rumah minum yang
ditunjuk itu, keruan hatinya sangat terguncang dan
pikiran pun menjadi kacau.
Padahal dia hanya ada suatu persoalan saja, yaitu
'tunduk kepada perintah Hong Jong-liong atau tidak?'.
Cuma persoalan ini memang menyangkut untung dan
rugi kehidupannya di masa depan. Kelemahannya telah

dipegang oleh Hong Jong-liong, tapi ia tiada mempunyai


keberanian untuk mengaku terus terang kepada ibu
gurunya. Sebab itulah semalam suntuk ia tidak dapat
pulas dan persoalan itu tetap sukar dipecahkan.
Tanpa terasa fajar sudah menyingsing, ia coba
bersemadi untuk mengumpulkan semangat. Dalam pada
itu terdengarlah suara Kang Hiau-hu dan Ubun Hiong
sedang bicara di luar jendela, cepat Leng-hong memakai
baju dan keluar. Beramai-ramai mereka lantas pergi
mengantar keberangkatan Kang Lam.
Selesai itu, Kok Tiong-lian berkata kepada Leng-hong,
"Sebagai murid pewaris, sebaiknya kau lebih giat
mempelajari ilmu silat perguruan kita. Pertemuan Bin-san
kali ini aku pun bermaksud mengajak kau ke sana untuk
menambah pengalaman. Anak Hu, iringilah latihan
Toasuhengmu agar kau pun dapat lebih maju."
Begitulah seharian mereka bertiga saudara perguruan
lantas berlatih di taman bunga. Meski Hiau-hu merasa
ibunya agak pilih kasih namun ia pun tidak menaruh
curiga bahwa sang Piauko ternyata mempunyai maksud
tertentu terhadap dirinya.
Sebenarnya Hiau-hu tiada mempunyai kesan baik
kepada Leng-hong, tapi juga tidak merasa jemu, sebab
apapun juga pemuda itu adalah Piaukonya. Namun
demikian di kala latihan tampaknya dia lebih akrab dan
lebih rapat bergaul dengan Ubun Hiong.
Sudah tentu Leng-hong merasa iri, namun lahirnya dia
tidak memperlihatkan sesuatu tanda apa-apa. Tapi
hatinya tambah panas ketika malamnya ia melihat Hiauhu
dan Ubun Hiong keluar berjalan-jalan bersama. Ia

merasa serba salah apakah mesti ikut mereka keluar atau


tetap tinggal di dalam rumah saja.
Pada saat itulah tiba-tiba Kok Tiong Lian berkata
padanya, "Tit-ji, kau duduklah di sini, aku ingin bicara
padamu."
Leng-hong mengiakan dengan hormat. Lalu dengan
tersenyum Tiong-lian bertanya, "Tampaknya kau
menahan sesuatu dalam perasaanmu? Apakah dapat kau
ceritakan kepada bibimu ini?"
"Tidak ada!" sahut Leng-hong dengan mengelak.
"Kulihat kau agak kesal, apakah barangkali Hiau-hu
telah membikin marah padamu?" tanya Tiong-lian pula.
"Tidak, Piaumoay sangat baik padaku, yang kupikirkan
adalah Suhu saja," sahut Leng-hong.
Tengah bicara, sekonyong-konyong terdengar suara
orang menggedor pintu dengan keras, diam-diam Tionglian
heran, siapakah yang malam-malam kemari.
Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara bentakan
Ubun Hiong, "Perempuan keparat, besar sekali nyalimu,
berani kau datang ke sini!" Menyusul lantas terdengar
suara "sret", mungkin pedangnya sudah mulai
menyerang.
Cepat Kok Tiong-lian dan Yap Leng-hong berlari
keluar, maka tertampaklah di pekarangan luar berdiri
seorang wanita berbaju hitam, semula berkerudung kain
sutera, tapi sekarang sudah dibuka sehingga kelihatan
jidatnya dekat pelipis terdapat sejalur luka lecet yang
masih berdarah. Tusukan pedang Ubun Hiong tadi

rupanya menancap di atas batang pohon dan belum lagi


dicabut keluar.
Melihat wanita itu, seketika tergetarlah hati Lenghong.
Kiranya dia bukan lain adakan istri Utti Keng, yaitu
Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in.
"Jangan kurang sopan, anak Hiong," cepat Tiong-lian
bersuara. "Apakah yang datang ini..."
"Su-nio, dia adalah perempuan keparat yang melukai
aku dan Sumoay tempo hari itu," seru Ubun Hiong.
Kiranya tentang Kang Hay-thian telah berubah
menjadi kawan dengan Utti Keng suami istri di markas
Kay-pang di Tekciu tempo hari, berita itu sudah diketahui
oleh Kok Tiong-lian melalui orang Kay-pang, cuma Tionglian
belum mengatakan kepada Ubun Hiong, sebab waktu
itu Ubun Hiong masih belum sembuh lukanya.
Ayah Ubun Hiong pada masa hidupnya adalah seorang
Piau-su kenamaan, tapi karena barang kawalannya kena
dirampas oleh Utti Keng, saking dendamnya,
sepulangnya lantas jatuh sakit dan akhirnya meninggal
dunia. Sebab itulah Ubun Hiong memandang Utti Keng
sebagai musim pembunuh ayah, ditambah lagi terluka di
lembah sunyi tempo hari, maka begitu melihat Ki Seng-in
dia lantas menyerang. Akan tetapi Ki Seng-in sempat
menghindar sehingga tusukan Ubun Hiong itu mengenai
batang pohon.
Kok Tiong-lian sendiri belum kenal Ki Seng-in, tapi
demi mendengar caci-maki Ubun Hiong tadi, sudah
diduganya siapakah pendatang wanita itu.
Dalam pada itu Ki Seng-in sudah membuka suara, "Ini
tentulah Kang-hujin adanya? Ya, memang kami suamiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
istri pernah melukai putrimu, jika Kang-hujin masih
dendam boleh silakan bunuh saja diriku."
Di sebelah sana Ubun Hiong sudah mencabut
pedangnya dari batang pohon dan siap untuk melabrak
musuh lagi. Kang Hiau-hu juga sudah melolos pedang
dan siap membantu.
Tapi Tiong-lian lantas membentak, "Mundur kalian,
jangan kurangajar kepada tetamu! Utti-hujin, harap
maafkan. Entah ada keperluan apakah nyonya
berkunjung kemari?"
"Ya, memang ada sedikit keperluan," sahut Ki Seng-in.
"Tapi tampaknya kedatanganku ini kurang tepat
waktunya dan salah sasaran." Kiranya ia menjadi kurang
senang melihat Ubun Hiong dan Kang Hiau-hu masih
bersikap menantang padanya.
"Ibu, hanya kawan yang datang barulah dapat kita
anggap sebagai tamu!" tiba-tiba Kang Hiau-hu menyela.
Ki Seng-in tertawa dingin, baru saja dia hendak
membuka suara, tiba-tiba Leng-hong tampil ke muka dan
berkata, "Sute dan Sumoay, mungkin kalian belum tahu
bahwa Suhu sudah menjadi kawan Utti-thocu,
persengketaan kecil dahulu sudah dihapuskan. Apalagi
Sumoay mungkin juga belum tahu bahwa ketika di
lembah sunyi tempo hari sebenarnya Utti-hujin tidaklah
sungguh-sungguh hendak melukai kau, k esalah
pahaman tempo hari sudah dibicaranya dengan baik
antara Suhu dan Utti-thocu berdua dan sudah tak
dipikirkan lagi. Kedatangan Utti-hujin sekarang justru
adalah tamu kita, andaikan kita hendak mengundangnya
mungkin malah sukar."

Kiranya Yap Leng-hong sengaja hendak mengambil


hati mereka yang bersangkutan, berbareng juga ingin
menjajaki sikap Ki Seng-in. Satu hal sudah pasti baginya
adalah Ki Seng-in belum mengetahui dia yang membikin
celaka Utti Keng, kalau tahu, mustahil sejak tadi Ki Sengin
tidak mengumbar perasaannya.
Kang Hiau-hu tampak melengak atas ucapan Lenghong
itu, ia pandang sang ibu dengan ragu-ragu.
"Ucapan Suhengmu memang betul, anak Hu," kata
Tiong-lian. "Kau mesti minta maaf kepada Utti-hujin."
Mendengar itu, masih boleh juga bagi Kang Hiau-hu,
sebaliknya Ubun Hiong menjadi serba susah. Dia tak
dapat melawan kehendak perguruan, di lain pihak sakit
hati orang tua juga tak bisa dilupakan olehnya, karena
itu ia menjadi berduka dan bingung.
Dalam pada itu Ki Seng-in telah berkata pula, "Kanghujin,
aku hanya ingin bertemu dengan Kang-tayhiap
untuk bertanya sesuatu padanya, habis itu segera aku
akan pergi!"
"Suamiku tiada berada di rumah," sahut Tiong-lian.
"O, jika begitu aku benar-benar datang pada waktu
yang kurang tepat," ujar Ki Seng-in sambil menghela
napas. "Baiklah, biarlah aku mohon diri saja."
Habis berkata segera Ki Seng-in memutar tubuh
hendak berangkat.
Namun Kok Tiong-lian lantas berseru, "Nanti dulu,
Utti-hujin! Caramu ini bukankah terlalu memandang
enteng padaku?"

Mendadak langkah Ki Seng-in tampak sempoyongan,


ia menoleh dan menjawab, "Ada apa lagi?"
"Biarpun suamiku tidak di rumah, segala apa akulah
yang bertanggung jawab dan akan kulakukan dengan
sekuat tenaga," kata Tiong-lian tegas.
Ki Seng-in merasa kagum atas sikap Kok Tiong-lian
yang tegas itu, lekas ia minta maaf dan berkata, "Ya,
Kang-hujin adalah Ciangbunjin, seorang ksatria kaum
kita, masakah aku berani memandang enteng padamu.
Sebenarnya aku pun tiada urusan yang terlalu penting,
hanya ingin mencari suatu berita kepada Kang-tayhiap."
"Andaikan aku tidak tahu, boleh jadi muridku inipun
tahu, dia baru pulang kemarin dari bepergian bersama
gurunya," kata Tiong-lian.
"O, ketika di Tekciu tempo hari suamiku telah berlaku
kasar padamu, aku harus minta maaf juga kepada
saudara muda ini," kata Seng-in kepada Leng-hong.
Diam-diam hati Leng-hong berdebar-debar. Tapi dari
ucapan Ki Seng-in yang sungguh-sungguh itu ia merasa
nyonya itu tentu belum mengetahui kejadian atas diri
suaminya baru-baru ini.
Maka ia berkata, "Aku berpisah dengan Suhu pada
setengah bulan yang lalu. Berita apa yang hendak kau
tanya, bila tahu pasti akan kuceritakan."
"Marilah masuk saja ke dalam rumah, betapapun juga
hari ini Utti-hujin harus tinggal dulu di sini, masakah kau
tidak menganggap kami sebagai sahabat?" ujar Tionglian
dengan tertawa".

Kiranya Tiong-lian dapat melihat keadaan Ki Seng-in


yang payah itu, cuma tidak diketahui bagaimana lukanya,
maka dengan tulus hati ia hendak menahannya supaya
bermalam.
Sudah tentu Ki Seng-in dapat memahami maksud baik
nyonya rumah itu, pikirnya, "Keadaanku agak payah.
Meski muridnya yang kecil ini masih dendam padaku, tapi
sebagai tamu ibu gurunya rasanya Ubun Hiong inipun tak
berani berbuat sembrono padaku. Dahulu suamiku
secara gagah berani pergi menemui Kang Hay-thian,
masakah sekarang aku malah takut dan menolak maksud
baik nyonya Kang?"
Begitulah, maka dengan tertawa ia lantas berkata,
"Sungguh aku sangat berterima kasih atas kesediaan
Kang-hujin menganggap aku sebagai sahabat. Mau tak
mau aku mesti membikin repot padamu."
Yang dipikirkan Ki Seng-in adalah sikap permusuhan
Ubun Hiong, sebaliknya dia lengah terhadap Yap Lenghong.
Padahal meski Ubun Hiong masih dendam
padanya, tapi jiwa pemuda itu sangat jujur, betapapun
juga tidak nanti dia berbuat tidak pantas terhadap tamu
ibu gurunya. Apalagi Ki Seng-in juga bukan musuhnya
yang sejati, cuma dia adalah istri Utti Keng, maka timbul
juga rasa permusuhannya.
Sebaliknya diam-diam Yap Leng-hong mengandung
maksud tidak baik padanya, sedikitpun tidak disadari oleh
Ki Seng-in, ia malah berkesan baik padanya karena
dianggapnya sebagai ksatria muda yang luhur budi.
Sesudah masuk ke dalam rumah dan dipersilakan
duduk, lalu Ki Seng-in berkata, "Sesungguhnya
kedatanganku ini adalah ingin mencari kabar tentang diri

suamiku. Pekerjaan suamiku sudah kalian ketahui


sehingga selalu menjadi buronan pihak yang berwajib,
musuhnya juga tidak sedikit, sebab itulah aku agak kuatir
baginya. Tiga bulan yang lalu kami berpisah untuk
melaksanakan pekerjaan masing-masing dan berjanji
akan berkumpul lagi sebulan kemudian, tapi sampai saat
ini dia sama sekali tidak ada kabarnya. Dia pernah
menyatakan hendak berkunjung kepada Kang-tayhiap,
maka hari ini aku sengaja datang kemari untuk mencari
keterangan."
"Suamiku sendiri sudah keluar setengah tahun
lamanya dan sampai hari ini juga belum pulang," sahut
Tiong-lian. "Hong-ji, apakah di tengah jalan kalian
pernah bertemu dengan Utti-thocu?"
Leng-hong memang sudah menduga Ki Seng-in pasti
ingin mencari tahu tentang diri suaminya, maka ia sudah
siap sedia, segera ia menjawab dengan sewajarnya,
"Tidak pernah bertemu. Cuma sesudah Suhu berangkat
sendiri, entahlah apakah beliau pernah bertemu dengan
Utti-thocu atau tidak."
"Dengan kepandaian Utti-thocu yang tinggi, rasanya
tidak sampai terjadi apa-apa atas dirinya," ujar Tionglian.
"Ya, kalau kaum keroco biasa saja tentulah suamiku
tidak perlu takut," kata Ki Seng-in. "Tapi setahuku, kali
ini jago-jago kerajaan yang dikerahkan untuk
menangkapnya terdapat seorang yang bernama Ho Lanbing
yang terkenal lihai permainan ruyungnya. Selain itu
kabarnya Ki-lian-sam-siu juga telah menggabungkan diri
pada pihak kerajaan, sedangkan mereka bertiga adalah
musuh kami semua."

Ternyata berita yang diterima Ki Seng-in tidaklah


sempurna. Bahwasanya Ho Lan-bing memang telah
muncul di daerah Siamsay dan Kamsiok, tapi yang dituju
adalah Lim Jing yang disinyalir bersembunyi di Bici,
sedangkan Be Seng-liong itu orang ketiga dari Ki-liansam-
siu juga sudah mati. Namun demikian
perhitungannya juga tidak meleset seluruhnya, sebab
kemudian Utti Keng memang benar telah ditawan oleh
Ho Lan-bing.
Tiba-tiba Hiau-hu menukas, "Kau bilang Ho Lan-bing?
Eh Toasuko, ketika di Kiokyau bukankah kau bilang
pernah bertemu dengan Ho Lan-bing itu?"
Leng-hong tergetar, tapi cepat ia menenangkan diri,
sahutnya, "Benar, aku memang melihat Ho Lan-bing.
Untung kudaku cepat sehingga selamatlah aku. Tapi aku
tidak melihat Utti-thocu."
"Jika begitu, jelas Ho Lan-bing berada di sekitar sana,"
ujar Ki Seng-in sesudah merenung sejenak. "Boleh jadi
suamiku belum kepergok dengan mereka."
"Menurut kabar yang didengar Suhuku, katanya
rombongan Ho Lan-bing itu hendak menuju ke Bici untuk
menangkap ketua Thian-li-kau."
"Tapi bagaimanapun juga aku tetap kuatir bagi
suamiku, cuma sayang aku tidak dapat segera pergi ke
sana untuk menyelidiki," kata Seng-in.
Diam-diam Leng-hong kuatir. Menurut cerita Utti Keng
tempo hari, katanya dia mempunyai seorang kenalan di
kota Kiokyau. Jika perempuan ini menyelidiki ke sana
tentu akan mendapat tahu tentang tertangkapnya Utti
Keng dan tentu akan terbongkarlah kebohongannya.

Dalam pada itu Kok Tiong-lian telah bertanya, "Maaf,


apakah barangkali Utti-hujin menderita sedikit luka?"
"Terima kasih atas perhatian Kang-hujin," sahut
Seng-in.
"Memang sebenarnya di Leng-pik hari ini aku telah
bertemu dengan tiga orang antek kerajaan, aku telah
terluka sedikit, tapi mereka pun sudah kubereskan
semua. Luka ini kukira besok juga sudah dapat sembuh!"
Diam-diam Tiong-lian terkejut. Leng-pik itu ada 200 li
jauhnya, sesudah terluka dia masih berlarian sejauh itu,
pantas tertampak lesu dan lelah seperti terluka dalam.
"Betapapun juga harus diobati untuk menjaga
kemungkinan menjalarnya penyakitmu itu," kata Tionglian.
"Biarlah kubuka resep untuk membelikan obat
bagimu."
"Terima kasih, cuma hari sudah malam, biarlah tunggu
sampai besok saja."
"Tidak apa-apa, rumah obat di Tong-peng-tin ini
adalah kenalan baik kami, sekarang masih keburu,
biarlah kusuruh muridku pergi membeli obatnya," habis
berkata Tiong-lian lantas memeriksa nadi Ki Seng-in, lalu
membuka resep sambil berpikir siapakah yang harus
disuruh pergi membeli obat di antara kedua muridnya itu.
"Kebaikan Kang-hujin entah cara bagaimana aku harus
membalasnya," ujar Ki Seng-in kemudian. "Sebenarnya
aku pun ingin membeli seekor kuda, sudah malam begini
entah dapat membelinya di kota atau tidak?"

Tiong-lian terdiam sejenak, ia merasa sukar juga


untuk membeli kuda di kota kecil itu, lagi pula sudah
malam.
Tiba-tiba Kang Hiau-hu menyela, "Aku punya usul, ibu.
Aku tahu Ong-toasiok (paman Ong) mempunyai seekor
kuda bagus, kedua Suko juga pernah melihat kuda itu,
walaupun tak dapat dibandingkan Pek-liong-ki dan Jikliong-
ki kita, tapi seharian juga dapat lari sampai dua-tiga
ratus li."
"Siapakah paman Ong itu?" tanya Seng-in.
"Dia adalah teman main catur ayah, orangnya sangat
baik," sahut Tiong-lian.
"Baiklah, jika dia suka memberikan kudanya, beli saja
berapa pun harganya," kata Seng-in.
Tapi Hiau-hu lantas berkata, "Aku kenal watak paman
Ong, jika bicara tentang harga tentu dia akan menolak
malah. Sudahlah, kau tahu beres saja, tentu paman Ong
akan memberikan kudanya."
"Jika begitu aku sangat berterima kasih," kata Seng-in.
"Selain itu aku minta tolong pula agar di kota nanti
sukalah mencari tahu seorang kawanku. Kami telah
berjanji akan bertemu di Tong-peng-tin, sama sekali aku
tidak menduga akan terluka dan mesti bermalam di sini."
"Di kota hanya ada tiga buah rumah penginapan kecil,
rasanya tidak sukar untuk mencarinya," ujar Tiong-lian.
"Cuma tidak tahu apakah temanmu itu sudah datang
atau belum?"
"Kami telah berjanji, bila dia sudah datang, maka di
atas dinding belakang rumah penginapan itu akan diberi

tanda lukisan bunga Bwe yang kecil di tempat yang


kurang menyolok. Asal menemukan tanda gambar itu,
tidak perlu menemui orangnya, cukup aku diberitahu
saja," demikian kata Seng-in.
"Baiklah, untuk urusan demikian perlu seorang yang
sabar dan teliti," kata Tiong-lian. "Anak Hu adalah anak
perempuan, malam-malam begini tentu akan menarik
perhatian orang jika kelihatan berkeliaran di kota, pula
kebanyakan orang sudah kenal kau adalah putri Haythian."
"Jadi aku tidak boleh pergi, ibu? Habis siapa yang
akan membawa kuda paman Ong pulang kemari?" tanya
Hiau-hu.
Sejak tadi Leng-hong diam saja, sekarang mendadak
ia berbangkit dan berkata, "Bibi, biarlah aku saja yang
pergi."
"Toasuko kan belum kenal paman Ong, pula tidak
kenal rumah obat itu," ujar Hiau-hu.
"Kukira Ubun-sute dapat pergi bersama aku," sahut
Leng-hong dengan tertawa. "Bukankah Sute juga kenal
paman Ong?"
"Bagaimana Hiong-ji?" tanya Tiong-lian kepada Ubun
Hiong.
"Murid menurut saja terhadap setiap perintah Subo,"
sahut Ubun Hiong. Ia tidak ingin mencari muka kepada Ki
Seng-in, tapi ia pun tidak dapat membantah perintah ibu
gurunya.
Maka berkatalah Tiong-lian, "Baiklah, jika begitu
bolehlah kalian berangkat. Pemilik toko obat itu kenal

tulisanku, asal kuberi tanda sedikit coretan tentu dia


akan merahasiakannya bagiku." Habis berkata ia lantas
menyerahkan resep obat kepada Yap Leng-hong.
"Pemilik toko obat itupun kenal engkoh Hiong," ujar
Hiau-hu.
"Jika begitu lebih baik lagi," kata Tiong-lian. Walaupun
demikian resep obat itu tetap dia serahkan kepada Lenghong.
Ubun Hiong adalah orang jujur, tapi tidak berarti tolol,
dia dapat merasakan kurang dipercayai ibu gurunya
mengingat sakit hatinya kepada Utti Keng.
Kemudian Tiong-lian menambahkan lagi, "Kepada
paman Ong hendaklah kau katakan kita hanya pinjam
kudanya, Ceng-cong-ma, barang setengah bulan saja,
bila perlu dia dapat memakai Jik-liong-ki kita bila besok
atau lusa kakek sudah pulang."
Dengan pesannya itu secara tidak langsung ia
menyuruh Ubun Hiong yang pergi meminjam kuda dan
membiarkan Yap Leng-hong yang pergi membeli obat.
Walaupun sebenarnya merasa kurang senang cara
pembagian tugas Kok Tiong-lian itu, tapi terpaksa Lenghong
tak berani membantah. Segera ia bersama Ubun
Hiong berangkat ke Tong-peng-tin.
Dengan menggunakan Ginkang, maka dalam waktu
singkat saja perjalanan yang cuma belasan li jauhnya itu
sudah sampai di tempat tujuan. Saat itu belum lewat
tengah malam, akan tetapi Tong-peng-tin adalah satu
kota kecil, bila hari sudah gelap lantas sepi, toko-toko
sudah tutup pintu.

Tiba-tiba Leng-hong berkata kepada Ubun Hiong,


"Sute, kau kenal pemilik toko obat, boleh kau pergi beli
obat dulu, kemudian barulah pergi meminjam kuda.
Biarlah aku pergi menyelidiki kawan Ki Seng-in itu."
"Tidak, Suheng, lebih baik Suheng saja yang pergi
membeli obat seperti pesan Subo tadi," jawab Ubun
Hiong. "Bukannya aku malas, sesungguhnya aku harus
menghindari prasangka jelek karena sedikit
percekcokanku dengan suami-istri Ki Seng-in itu. Soal ini
akan kuceritakan besok jika dia sudah pergi."
Karena Ubun Hiong telah bicara terus terang, terpaksa
Leng-hong menurut, katanya, "Jika begitu, sesudah kuda
itu kau pinjam, boleh kau tunggu aku di tepi jalan saja
dan tak perlu masuk kota lagi untuk mencari aku."
Kiranya dia sudah mencari tahu bahwa rumah paman
Ong itu berada dua-tiga li di luar kota.
Ubun Hiong mengiakan, segera pula mereka berpisah
untuk melaksanakan tugasnya masing-masing.
Kiranya Yap Leng-hong sebenarnya sudah merancang
suatu tipu muslihat 'sekali tepuk dua lalat'. Kesempatan
itu mestinya akan digunakan untuk mengganti obat
dengan racun, dengan demikian Ki Seng-in dapat
dibinasakan, sebaliknya yang tersangka adalah Ubun
Hiong. Untuk ini dengan sendirinya yang harus pergi
membeli obat adalah Ubun Hiong, tapi justru Ubun Hiong
telah merasakan kesangsian ibu guru atas dirinya, maka
dia tidak sampai masuk perangkap.
Begitulah sambil memegangi resep obat itu Leng-hong
menjadi bingung malah. Pikirnya, "Subo justru
menyangsikan dia dan percaya padaku, sudah tentu ini
menguntungkan diriku, tapi tipu akalku menjadi sukar

dilaksanakan lagi. Padahal sekarang adalah kesempatan


paling bagus untuk membinasakan Ki Seng-in, bila tidak,
kalau kelak dia mengetahui tentang tertawannya Utti
Keng, tentu pengkhianatan diriku akan terbongkar, tentu
nyonya itu akan mengusutnya dan pasti celakalah aku.
Wah, akal apalagi yang dapat kugunakan dengan
sempurna?"
Tengah terbenam dalam lamunannya itu, ketika
mendadak ia mendongak, ia menjadi kaget. Kiranya
tanpa terasa ia telah berada di depan sebuah restoran.
Merek restoran itu tampak tertulis "Thay-pek-lau". Papan
merek itu kelihatan masih baru, terang restoran itu
belum lama mulai berusaha, letak restoran ini di tepi
telaga seperti apa yang diceritakan Kang Lam kemarin,
tentunya adalah restoran yang dimaksudkan Hong Jongliong
sebagai pos penghubung itu.
Di atas loteng restoran itu masih kelihatan cahaya
lampu, lapat-lapat tertampak pula bayangan-bayangan
orang. Seketika Leng-hong gelisah, bayangan Hong
Jong-liong muncul pula dalam benaknya. Sayup-sayup
seperti terdengar suara Hong Jong-liong sedang berbisik
padanya, "Kau ingin membunuh Ki Seng-in, mengapa
tidak masuk ke dalam untuk berunding dengan kawan
kita?"
Ya, sekali sudah salah langkah, apa mau dikata lagi?
Demikian pikirnya kemudian. Dan baru dia hendak
melangkah ke dalam restoran itu, tiba-tiba suatu suara
lain seperti sedang menegurnya, "Wahai, Yap Leng-hong,
salah satu kali jangan salah untuk kedua kalinya lagi.
Sekali kau memasuki restoran gelap ini, selama hidupmu
tentu akan terjeblos semakin dalam. Kau sudah
membikin celaka Utti Keng, sekarang kau hendak
meracuni istrinya pula, dimanakah letak hati nuranimu?"
Namun sayang, hati nuraninya cuma timbul sekilas
saja lalu lenyap lagi. Ia sudah mundur dua langkah, tapi
segera maju lagi tiga tindak, katanya di dalam hati,
"Manusia mana di dunia ini yang tidak memikirkan
kepentingan dirinya sendiri? Untuk hari depanku sendiri
aku tidak boleh membiarkan Hong Jong-liong
membongkar rahasiaku, tapi aku pun tak dapat
mengampuni Ki Seng-in!"
Selagi berjangkit pertentangan hatinya antara jahat
dan bajik, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang
melompat tiba, tahu-tahu Leng-hong kena dicengkeram,
sebilah belati sudah mengancam pula di tenggorokannya.
"Keparat, siapa kau? Berani kau mengintai ke sini?"
bentak orang itu.
Sebenarnya dengan kepandaian Yap Leng-hong, tidak
sampai dia dikekuk begitu saja oleh lawan, cuma dia
sedang bimbang dan melamun, hakikatnya tiada punya
pikiran buat melawan, sebaliknya demi nampak orang itu
melompat keluar dari restoran itu, tanpa pikir ia terus
berseru dengan suara tertahan, "Matahari dan rembulan
tak bercahaya!"
"Aha, kiranya adalah kawan sendiri, marilah masuk!"
kata orang itu dengan tertawa.
Sebenarnya Leng-hong juga bermaksud masuk ke
restoran itu, cuma dia tahu ambang pintu itu adalah
batas antara manusia dan binatang, maka kakinya terasa
berat untuk melangkah ke dalam. Tapi sekarang kena
ditarik oleh orang itu, mirip perahu tanpa kemudi saja

segera ia terhanyut ke tengah-tengah pusaran air dan


tanpa terasa ikut masuk ke dalam.
Kita tinggalkan dulu pertemuan rahasia antara Yap
Leng-hong dengan orang-orang di dalam restoran itu.
Sementara itu Ubun Hiong sudah berhasil meminjam
kuda dari paman Ong dan sedang menunggu di tepi jalan
sana.
Sampai sekian lamanya masih tidak nampak bayangan
Yap Leng-hong, diam-diam Ubun Hiong merasa kuatir
apakah terjadi sesuatu? Tengah bersangsi, sekonyongkonyong
terasa berkesiurnya angin seperti ada orang
melayang lewat di sebelahnya.
Ia terkejut. Waktu diperhatikan, ternyata cepat sekali
gerakan orang itu, tahu-tahu hanya setitik bayangan
hitam saja yang masih kelihatan jauh di depan sana,
dalam sekejap saja titik hitam itupun menghilang di
dalam kota.
Ubun Hiong menjadi sangsi dan kuatir, jika bayangan
itu adalah musuh, tentu sang Suhengnya bisa celaka
kalau kepergok di tengah jalan. Selagi dia bermaksud
menyusul ke sana, tiba-tiba bayangan itu telah datang
kembali, cuma tidak secepat tadi.
Tapi sesudah dekat barulah Ubun Hiong tahu bukan
orang tadi, serunya girang, "He, Suheng, kiranya kau!"
Leng-hong sampai melengak. "Memangnya kau kira
siapa?" katanya.
"Tadi kulihat seorang berlari masuk ke dalam kota,
kukira dia yang telah keluar kembali," tutur Ubun Hiong.

Diam-diam Leng-hong terkejut. "Kenapa aku tidak


melihat orang itu?" katanya.
"Jika dia tidak mencari perkara kepada kita, maka kita
pun tak perlu urus dia, marilah kita pulang saja. Apakah
obatnya sudah Suheng belikan?"
"Sudah tentu. Aku telah menggedor toko obat itu
sehingga agak terlambat sedikit."
"Silakan Suheng naik kuda ini dan pulang dulu, biarlah
aku menyusul dengan berjalan saja"
Leng-hong merasa kebetulan malah, maka ia pun
tidak menolak. Segera ia mencemplak ke atas kuda dan
pulang lebih dulu.
Walaupun naik kuda, tapi perasaan Leng-hong seperti
naik harimau, rasanya serba susah untuk turun kembali.
Ia pikir urusan dengan Hong Jong-liong sudah telanjur,
apakah akan untung atau akan buntung biarlah terserah
nasib. Cuma bayangan orang tadi entah kawan atau
lawan. Jika mereka adalah kawanan di Thay-pek-lau itu
tidaklah menjadi soal, bila dia adalah teman Ki Seng-in
yang dimaksudkan itu, boleh jadi akan menimbulkan
kesukaran. Untung juga hubunganku dengan Thay-peklau
tidak sampai dilihat olehnya.
Tidak lama, sampailah dia di rumah. Waktu
mendengar suara kuda meringkik, segera Kok Tiong-lian
dan Hiau-hu memapak keluar.
"Dimanakah Sutemu?" tanya Tiong-lian heran.
Leng-hong menyerahkan kudanya kepada Hiau-hu,
jawabnya, "Sute minta aku lekas pulang dulu mengantar
obat, maka aku pun tidak sungkan-sungkan lagi dengan
dia".
Sesudah di dalam rumah, Leng-hong menyerahkan
obatnya dan berkata, "Juragan toko obat itu sudah tidur,
terpaksa aku menggedor pintu dan membangunkan dia,
maka agak makan waktu."
"Baiklah, ambilkan anglo kecil dan bantulah
menyalakan api," kata Tiong-lian. "Kita masak obat di
dalam kamar saja supaya dapat menemani Utti-hujin
sekalian."
Nyata maksud Kok Tiong-lian adalah untuk
menghilangkan rasa curiga Ki Seng-in. Sebaliknya Lenghong
merasa bersyukur, "Untunglah aku telah mengatur
rencana lain, kalau tidak, tentu tipu muslihatku akan
ketahuan Subo."
Kok Tiong-lian memeriksa seperlunya bahan-bahan
obat yang dibeli itu, lalu dimasak dengan ceret kecil.
Pada kesempatan itu Ki Seng-in lantas bertanya, "Yapkongcu,
apakah kau menemukan tanda dari kawanku
itu?"
"O, ya, aku sudah memeriksa ketiga rumah
penginapan di sana, tapi tiada menemukan tanda apaapa,"
sahut Leng-hong.
"Aneh, mengapa dia belum datang? Biasanya kawan
ini sangat tepat janji," ujar Seng-in. "Biarlah besok juga
aku pergi mencarinya."
Padahal sama sekali Yap Leng-hong tidak pernah pergi
menyelidiki teman Ki Seng-in itu, keterangannya tadi
hanya sengaja dibuat-buat saja. Tapi segera ia
menambahkan, "Eh Utti-hujin, selain itu akan

kuberitahukan pula kejadian ini mestinya Suteku yang


mengalami sehingga aku tidak tahu dengan persis.
Namun bolehlah kuceritakan garis besarnya saja. Ketika
Sute pergi meminjam kuda dan aku membeli obat dan
menyelidiki temanmu, sekeluarnya dari kota, dari jauh
kulihat ada seorang dengan cepat sekali menghilang di
dekat Sute, entah siapa dia. Menurut Sute adalah orang
Kangouw biasa yang berlalu di situ. Apakah tidak
mungkin orang itu adalah teman yang kau maksudkan?"
"Kukira bukan, sebab kelemahan kepandaian temanku
itu justru terletak pada Ginkangnya," sahut Ki Seng-in.
"Sebentar juga Hiong-ji akan pulang, biar kita tanya
dia nanti," sela Kok Tiong-lian. "Obatnya sudah jadi,
silakan Utti-hujin minum obat dulu."
"Sungguh aku sangat berterima kasih atas perhatian
Kang-hujin," kata Ki Seng-in. Segera ia minum habis
semangkuk obat.
"Utti-hujin, engkau sudah minum obatnya? Akan
kuambilkan air kumur untukmu," demikian tiba-tiba
terdengar suara Kang Hiau-hu.
"Eh, Sute, kau baru pulang?" tanya Leng-hong.
Kiranya secara diam-diam Ubun Hiong juga ikut di
belakang Hiau-hu.
Ubun Hiong merasa kikuk, sahutnya, "Ya, Gingkangku
belum sempurna sehingga tak dapat berjalan cepat,
sampai-sampai Utti-hujin pun sudah selesai minum
obatnya."
Padahal bukanlah Ginkangnya kurang tinggi, soalnya
dia baru sembuh dari luka, maka tidak berani terlalu
banyak mengeluarkan tenaga.

Mendadak tampak Ki Seng-in mengerut kening,


keringat berbutir-butir merembes keluar juga dari
dahinya, semua orang terkejut. Tiong-lian mengira
obatnya tidak tepat. Ubun Hiong juga merasa kuatir
dirinya akan disangka jelek bila terjadi apa-apa atas diri
Ki Seng-in.
Syukurlah sejenak kemudian Ki Seng-in telah
menghela napas lega, lalu katanya dengan tersenyum,
"O, obat ini benar-benar sangat manjur, sehabis
berkeringat, badanku lantas terasa segar."
"Ai, aku sampai kuatir kalau-kalau obatku tidak betul,"
ujar Tiong-lian dengan rasa lega.
"Ah, Kang-hujin terlalu rendah hati, obatmu justru
sangat tepat, rasanya besok juga aku sudah dapat
berangkat," kata Seng-in sesudah berkumur mulut.
"Anak Hiong, katanya kau telah bertemu seorang
Kangouw di tengah jalan, macam apakah orang itu?"
tanya Tiong-lian.
"Gerakan orang itu teramat cepat, sekelebatan saja
sudah lewat di sampingku sehingga murid tidak dapat
melihat jelas," sahut Ubun Hiong.
"Kemudian apakah kau melihat orang yang
mencurigakan lagi?" tanya Tiong-lian.
Diam-diam Ubun Hiong berduka dan mendongkol
karena sang ibu guru ternyata masih tak percaya penuh
padanya. Maka tanpa terasa ia pun menjawab dengan
nada rada keras, "Tidak melihat siapa-siapa lagi, Subo.
Tecu paham akan peraturan perguruan, bila ada apa-apa
tentu Tecu akan memberi laporan sejelasnya."

Tiong-lian menjadi kurang senang, katanya dalam


hati, "Bocah ini benar-benar sembrono, maksudku biar
didengar sendiri oleh Ki Seng-in, tapi dia malah
menyesali diriku." Namun ia pun bukan orang yang tidak
bijaksana, ia kenal watak Ubun Hiong yang tulus lurus,
maka tidak enak lagi menaruh prasangka kepada murid
itu, katanya kemudian, "Beberapa hari terakhir ini
suasana agak genting, kita harus berlaku hati-hati
walaupun tiada terjadi urusan mengenai Utti-hujin ini."
Ubun Hiong juga lantas merasa sikapnya tadi agak
kasar, cepat ia menjawab dengan kepala menunduk, "Ya,
Subo."
"Sudahlah, kalian boleh kembali ke kamar masingmasing,
biar Utti-hujin dapat mengaso dengan tenang,"
kata Tiong-lian kemudian.
Memangnya Ubun Hiong tidak ingin tinggal lama-lama
di situ, segera ia memohon diri paling dulu. Hiau-hu juga
lantas mengucapkan selamat malam kepada ibunda dan
tamunya, lalu menyusul keluar untuk menghibur Ubun
Hiong.
"Kau pun boleh kembali ke kamarmu, Leng-hong,"
kata Tiong-lian.
Leng-hong tertawa, jawabnya, "Sebentar lagi, bibi.
Boleh jadi Piaumoay akan bicara apa-apa kepada Sute,
nanti aku akan menunggu mereka."
"Ah, kau pun terlalu banyak pikiran," ujar Tiong-lian
dengan mengerut kening.
Maka Leng-hong tak berani mengadu-biru lagi, ia tahu
ucapannya itu mulai bersarang di dalam hati ibu gurunya,
hal itu berarti maksud tujuannya sudah tercapai.

Sesudah Leng-hong keluar, Ki Seng-in tertawa dan


berkata, "Entah sudah berapa umur putri Kang-hujin
itu?"
"Tujuh belas tahun ini," sahut Tiong-lian.
"Ya, sudah mencapai usia remaja yang cukup
membuat pusing orang tua," kata Seng-in. "Kang-hujin,
engkau sungguh sangat baik padaku, kita boleh dikata
sekali bertemu sudah seperti sobat lama. Jika aku ingin
bicara sesuatu, entah engkau suka mendengar atau
tidak?"
"Ah, mengapa engkau berkata demikian," sahut Tionglian.
"Silakan bicara saja."
"Melihat gelagatnya, kukira kedua muridmu samasama
menaruh perhatian terhadap putrimu," kata Ki
Seng-in. "Padahal untuk memilih menantu bagi keluarga
kalian, kukira yang utama adalah kepribadian calon
menantu harus baik, asal-usulnya harus jelas. Tentang
ilmu silatnya adalah soal kedua malah."
Hati Tiong-lian tergerak, segera jawabnya, "Mengingat
simpatik Utti-hujin ini, aku pun ada sesuatu pertanyaan
entah boleh kuajukan atau tidak?"
"Perkenalan kita ini sungguh seperti pertemuan
sahabat lama saja, maka aku ingin sekali bicara secara
dari hati ke hati dengan Taci," sahut Seng-in. Dengan
sebutan "Taci", nyata menandakan persahabatan yang
cukup akrab dan tidak perlu bicara secara sungkansungkan
lagi.
"Baiklah, jika begitu aku ingin tanya tentang
persengketaan kalian suami-istri dengan muridku yang
kedua ini, tentu Taci sudah kenal juga asal-usulnya?"

Kiranya Tiong-lian yakin Yap Leng-hong adalah


keponakannya, maka tentang asal-usulnya tidak perlu
disangsikan lagi. Sebaliknya terhadap Ubun Hiong dia
masih belum percaya seluruhnya. Memang betul dahulu
Kang Hay-thian pernah kenal ayah Ubun Hiong, yaitu
Ubun Long, ketika mereka bertemu di Cui-in-ceng dan
dikenalnya Ubun Long sebagai murid tertua In Ciau.
Sesudah Ubun Hiong menyerahkan surat tinggalan
ayahnya barulah Hay-thian mengetahui Ubun Long telah
menjadi Piauthau di Hong-lui-piau-kiok dan tentang jatuh
melaratnya berhubung barang kawalannya dirampas oleh
Utti Keng sehingga akhirnya mangkat dengan menahan
dendam. Akan tetapi seluk-beluk tentang keluarga Ubun
Hiong selama belasan tahun terakhir ini kurang jelas bagi
mereka. Sebab itulah Kok Tiong-lian ingin mencari tahu
seluk-beluk tentang ayah Ubun Hiong itu.
Memangnya Ki Seng-in bermaksud menceritakan
persoalan itu, maka ia lantas menjawab, "Ya, suamiku
telah meramapas harta kawalan Hong-lui-piau-kiok,
urusan ini tentu sudah diketahui Taci, tapi apakah
engkau tahu sebab musababnya?"
"Justru ingin minta keterangan padamu," sahut Tionglian.
"Sebenarnya kami tiada permusuhan apa-apa dengan
Ubun Long, perampasan harta kawalan itupun tidak
ditujukan kepadanya. Soalnya juga bukan mengincar
harta kawalannya yang cuma beberapa ratus ribu tahil
perak, sebab harta sekian sesungguhnya tidaklah berarti
bagi kami. Yang menjadi pokok persoalan adalah karena
Hong-lui-piau-kiok telah kemasukan pesero dari kalangan
pembesar, yaitu Li Tay-tian, wakil komandan pasukan
pengawal kotaraja yang sejajar dengan Ho Lan-bing.

Kepandaian Li Tay-tian lebih rendah daripada Ho Lanbing,


tapi Li Tay-tian lebih tamak dan korup."
"O, jadi tujuan Utti-thocu adalah untuk menjatuhkan Li
Tay-tian?" kata Kok Tiong-lian. Akan tetapi diam-diam ia
pun merasa perbuatan Utti Keng itu agak kelewatan,
sebab akibatnya tentu saja membikin susah para
Piauthau dan pegawai-pegawai Piau-kiok, Li Tay-tian
paling banyak hanya kehilangan modal seronya saja.
"Ya, memang kejadian itu hanya terdorong oleh rasa
marah suamiku yang timbul seketika itu, sehabis itu dia
pun merasa menyesal," kata Ki Seng-in lebih jauh.
"Lebih-lebih sesudah diketahui putra Ubun Long telah
menjadi muridmu, kami menjadi lebih-lebih tidak
tenteram. Lantaran itulah maka kami telah meminta
maaf kepada Kang-taythiap ketika beliau berada di
Tekciu."
"Sebenarnya kematian Ubun Long tidak dapat
disamakan dengan permusuhan umumnya, apalagi
urusan sudah berlalu, Cici tak perlu memikirkan lagi,"
ujar Tiong-lian.
"Walaupun begitu kami tetap merasa menyesal," kata
Seng-in. "Sesudah bertemu dengan Kang-tayhiap di
Tekciu tempo hari, kemudian kami telah membagibagikan
sejumlah 20 laksa tahil perak kepada para
Piauthau dari Hong-lui-piau-kiok dahulu melalui seorang
teman di kota Pakkhia. Hal ini adalah nazar yang pernah
kami janjikan kepada Kang-tayhiap, sekarang sudah kami
selesaikan apa mestinya. Di sini adalah tanda terima dari
teman kami di kotaraja itu, silakan Cici menerima dan
memeriksa adanya."
Tiong-lian tercengang, "Maksudmu apakah

"Sekadar pertanggungan jawab kami kepada Kangtayhiap,


pula mohon Cici suka memberi penjelasan
kepada murid kalian," kata Ki Seng-in.
"Tabiat muridku yang kedua ini memang agak keras,
tapi orangnya sih cukup baik dan mau menerima nasehat
orang tua. Biarlah besok akan kubicarakan padanya,
kuyakin dia juga dapat mengerti."
"Aku sih tidak mencurigai muridmu, tapi ada satu hal
yang ingin kuingatkan kepada Cici. Mendiang ayahnya
sangat luas pergaulannya, termasuk golongan orangorang
seperti Li Tay-tian dan lain-lain, bilamana mereka
mengetahui dia adalah muridmu, hendaklah kalian
waspada agar pemuda itu tidak diperalat oleh mereka.
Maafkan ucapanku yang terus terang ini."
Padahal ucapan Ki Seng-in terang-terangan menaruh
prasangka terhadap Ubun Hiong. Sama sekali tak
disadari olehnya bahwa orang yang dia maksudkan itu
sebenarnya bukanlah Ubun Hiong, tapi adalah Yap Lenghong.
"Maksud baik Cici ini tentu akan kuperhatikan," sahut
Tiong-lian. "Apakah Cici menganggap tingkah-laku
muridku ini ada sesuatu yang mencurigakan?"
"O, tidak. Jika Cici dapat mempercayai murid sendiri
masakah aku tidak?" sahut Ki Seng-in. "Hanya dari berita
yang kami dengar, kabarnya pihak kerajaan ada rencana
akan bertindak terhadap Bin-san-pay kalian, boleh jadi
orang Kangouw yang dilihat muridmu semalam adalah
mata-mata kerajaan yang sengaja dikirim kemari."
"Ya, memang kami sedang diincar oleh pihak kerajaan,
tapi biasanya kami hidup prihatin, tidak hutang pajak,

tidak melanggar undang-undang, betapapun mereka


tidak berani mengutik kami secara terang-terangan.
Kalau cuma kaum keroco saja, rasanya kami lebih dari
cukup untuk membereskan mereka. Sebaliknya aku
malah kuatir bagi Cici, jangan-jangan yang sedang
mereka incar adalah jejakmu."
"Kawanan anjing yang menguntit diriku sudah
kubereskan kemarin, kukira orang yang dilihat muridmu
itu bukanlah rombongannya. Andaikan cuma seorang dua
orang musuh saja aku pun masih sanggup
membereskannya.""
Kok Tiong-lian tahu Ki Seng-in buru-buru ingin pergi
mencari suaminya, maka ia pun tidak mencegahnya lagi,
katanya, "Jika begitu silakan Cici mengaso saja agar
besok dapat berangkat dengan semangat penuh."
Begitulah mereka berdua lantas tidur sekamar.
Besoknya pagi-pagi sekali Ki Seng-in sudah bangun. Kok
Tiong-lian dapat mendengar suara Ki Seng-in, segera ia
pun terjaga bangun dan bertanya, "Apakah kurang
nyenyak tidur Cici semalam?"
"Ah, obatmu itu sungguh sangat manjur, sekarang aku
sudah sembuh seluruhnya," sahut Ki Seng-in. Ia kuatir
Kok Tiong-lian menahannya untuk tinggal beberapa hari
lagi, maka sengaja dilebih-lebihkan pujiannya. Padahal ia
merasa tenaganya baru pulih tujuh atau delapan bagian.
Namun Tiong-lian percaya saja, katanya, "Jika
demikian aku pun merasa bersyukur bagimu."
"Biarlah sekarang juga aku lantas berangkat,
mumpung pagi-pagi, hawa masih sejuk," kata Ki Seng-in.

Kok Tiong-lian mengantarnya ke kandang kuda untuk


mengambil kuda Ceng-cong-ma pinjaman semalam dari
Ong-toasiok. Tertampaklah Yap Leng-hong sudah
menanti di luar pintu, segera ia menyapa, "Utti-hujin,
apakah engkau akan berangkat sekarang? Sampaikanlah
hormatku kepada Utti-thocu bila sudah bertemu."
"Dimana Sumoaymu? Apakah belum bangun?" tanya
Tiong-lian.
"Sudahlah, jangan membuatnya repot lagi. Terima
kasih atas perhatianmu, Yap-kongcu," kata Ki Seng-in.
Lalu Leng-hong berkata pula, "Sebelum tidur semalam
Sute telah memberi makan sekenyangnya kepada kuda
ini, tampaknya semangatnya penuh dan tenaga kuat."
"Jika begitu, pagi ini tak perlu kuberi makan lagi,
terlalu kenyang nanti malah tak bisa lari cepat," ujar Ki
Seng-in. Segera ia pun mencemplak ke atas kuda dan
mengucapkan selamat tinggal. Sekali pecutnya
menyabet, Ceng-cong-ma lantas mencongklang ke depan
secepat angin.
Setelah Ki Seng-in pergi, Leng-hong lantas berkata,
"Bibi, sebenarnya Sumoay dan Sute sudah bangun
semua. Mungkin Sute tidak ingin mengantar
keberangkatan Ki Seng-in, maka mereka telah pergi ke
taman untuk berlatih."
Tiong-lian mengerut kening diam-diam ia menduga
tentu Ubun Hiong merasa mendongkol atas kejadian
semalam, maka sengaja menghindari pertemuan lagi.
Anak muda memang sok uring-uringan, sifat jelek ini
kelak harus diperbaiki. Tapi ia pun tidak mau mengomeli
murid kedua di hadapan murid tertua, ia hanya berkata

dengan acuh tak acuh, "O, mereka sedang berlatih? Coba


kau panggil Sutemu ke sini, aku ingin bicara padanya."
Begitulah untuk memenuhi permintaan Ki Seng-in,
maka Kok Tiong-lian hendak berusaha menghapus sakit
hati antara Ubun Hiong dengan Utti Keng suami-istri.
Kembali mengenai Ki Seng-in. Ia telah melarikan
kudanya dengan cepat sekali, akan tetapi aneh, tidak
lama kemudian lari kuda itu mulai lambat, biarpun
dicambuk juga tetap tak bisa lari lebih cepat. Ia menjadi
curiga, teringat olehnya kuda itu adalah Ubun Hiong
yang meminjam dari pemiliknya, yang memberi makan
semalam juga pemuda itu, jangan-jangan pemuda itu
diam-diam telah mengerjai kuda ini, demikian pikirnya.
Waktu itu dia sedang mendaki suatu tanjakan,
sesudah melintasi tanjakan itu akan sampailah di Tongpeng-
tin. Mendadak kuda itu meringkik panjang,
keempat kakinya tertekuk lemas dan jatuh terkulai.
Cepat Ki Seng-in melompat turun, dilihatnya mulut
kuda itu berbusa, napasnya terengah-engah. Sebagai
seorang Kangouw kawakan segera ia mengetahui kuda
itu telah diracun orang. Racun itu bekerja lambat,
sesudah kuda itu berlari, lambat-laun racun lantas
bekerja.
Dugaan pertama Ki Seng-in dengan sendirinya jatuh
atas diri Ubun Hiong, pikirnya dengan gusar, "Sungguh
kurangajar sekali bocah itu. Manusia kotor begitu akan
berbahaya jika dibiarkan tinggal di rumah keluarga Kang.
Aku harus kembali ke sana untuk memberitahukan Kanghujin."

Karena kuda itu adalah kuda pinjaman dan tak dapat


ditinggalkan begitu saja, mestinya Ki Seng-in hendak
pulang ke rumah Kang Hay-thian. Tapi pada saat itu juga
lantas terdengar suara orang bergelak tertawa dan
berseru, "Haha, "perempuan keparat, sekarang kau telah
masuk ke dalam jaring, apakah kau dapat merat lagi?"
Habis itu dari balik gundukan tanah sana lantas
melompat keluar tiga orang yang semuanya dikenal oleh
Ki Seng-in.
Yang berdiri di tengah jelas adalah Li Tay-tian, wakil
komandan Gi-lim-kun (pasukan pengawal kotaraja). Yang
berdiri di sisi kiri adalah perwira pasukan pengawal yang
bernama Wi Hwan yang terkenal lihai juga, pangkatnya
lebih rendah satu tingkat daripada Li Tay-tian, tapi ilmu
silatnya malah lebih tinggi. Sedangkan yang berdiri di
sebelah kanan adalah seorang Tosu, semula adalah
ketua Hian-bian-koan di Sohciu, tapi kemudian telah
menjadi anjing pemburu pihak kerajaan, namanya Pektiu
Tojin. Kedua orang ini pernah ikut menggerebek Li
Bun-sing di puncak Thay-san dahulu.
Melihat ketiga musuh ini, seketika Ki Seng-in menjadi
murka. Li Tay-tian memangnya sudah lama dicarinya,
terutama mengenai urusan Hong-Iui-piau-kiok.
Sedangkan Wi Hwan dan Pek-tiu Tojin pernah ikut
mengeroyok Li Bun-sing bersama Hek-bok Hwesio dan
Peng Hong, kedua orang yang belakangan ini terbunuh
oleh Li Bun-sing. Wi Hwan dan Pek-tiu berhasil melarikan
diri dengan membawa luka parah. Tak terduga lukanya
dapat disembuhkan dan sekarang kepergok lagi di sini.
Dengan tertawa dingin Ki Seng-in lantas membentak,
"Bagus! Memangnya aku ingin menuntut balas bagi Li

Bun-sing!" Berbareng kedua tangannya bergerak


sekaligus, dua batang panah, dua bilah pisau, dua buah
paku, serentak disambitkan.
Ki Seng-in berjuluk Jian-jiu-koan-im, Buddha
bertangan seribu, dengan sendirinya kepandaian dalam
hal senjata rahasia bukan main lihainya. Enam buah
senjata rahasia itu sekaligus dihamburkan untuk
mengarah Hiat-to mematikan di tubuh ketiga orang
musuh.
Sayangnya tenaga Ki Seng-in belum pulih seluruhnya,
sebaliknya ketiga musuh juga bukan kaum lemah. Sekali
ruyung Wi Hwan berputar, "plok-plok", kedua pisaunya
telah kena disempuk jatuh. Di sebelah sana Pek-tiu Tojin
juga sudah mengayun pedangnya sehingga kedua
batang panah kena ditabas kutung olehnya. Kepandaian
Li Tay-lian agak rendah, sebuah paku kena disampuk
jatuh, tapi paku yang lain menyerempet lewat di
lengannya sehingga terluka lecet sedikit
Dalam pada itu, dengan cepat sekali setelah
menghindarkan serangan senjata rahasia, serentak
ketiga orang itupun sudah menubruk maju sehingga Ki
Seng-in terkepung di tengah.
"Hahaaaah! Kekasihmu yang dahulu sudah mampus,
seharusnya sekarang kau mengikuti suami baru saja
dengan setulus hati. Saat ini suamimu sudah menyerah
pada kerajaan sedang menikmati kehidupan bahagia di
kotaraja, apakah kau tidak ingin bertemu dengan dia!"
demikian Wi Hwan lantas berseru sambil tertawa.
"Ngaco-belo!" damprat Ki Seng-in. Berbareng
pecutnya lantas menyabet.

Wi Hwan bersenjatakan ruyung lemas yang mirip


cambuk, cuma lebih berat dan tidak kurang lemas. Cepat
ia pun mengayun ruyung untuk menangkis. "Prak",
kedua senjata berbentur dan saling membelit, tapi
cambuk Ki Seng-in yang lebih panjang ujungnya tetap
menyabet ke bawah sehingga lengan baju Wi Hwan
terobek sepotong.
Dalam pada itu dengan jurus Pek-hong-koan-cit
(pelangi putih menembus cahaya matahari), pedang Pektiu
Tojin telah menyambar tiba.
Tak terduga selain lihai dalam menyambit senjata
rahasia, Ki Seng-in juga lihai dalam permainan pedang
bersama cambuk. Baru saja ujung pedang Pek-tiu Tojin
menyambar sampai di depan dada Ki Seng-in,
sekonyong-konyong pedang Ki Seng-in yang bergerak ke
belakang malah mendahului tiba pada sasaran,
berbareng dengan mengegosnya tubuh, tahu-tahu ujung
pedang Ki Seng-in sudah mengancam muka Pek-tiu Tojin
malah.
Keruan Pek-tiu terkejut, cepat ia mengkeret mundur
dan menangkis sebisanya. Pada saat itulah golok Li Taytian
juga telah mengancam punggung Ki Seng-in,
terpaksa Seng-in menarik pedangnya dan menyabet ke
belakang tanpa menoleh.
Menghadapi serangan mati-matian begitu, Li Tay-tian
masih sayang akan jiwa sendiri, terpaksa ia tarik kembali
serangannya dan mundur selangkah. Ki Seng-in tertawa
mengejek, berbareng ia memutar balik, ia gunakan
cambuk untuk melawan ruyung dan pedang melawan
pedang, sekaligus ia patahkan pula serangan Wi Hwan

dan Pek-tiu Tojin. Habis itu ia terus menerjang pula ke


arah Li Tay-tian.
Sebagai seorang jago silat kelas tinggi, sesudah
bergebrak dua-tiga jurus, segera Ki Seng-in tahu di
antara ketiga lawan hanya kepandaian Li Tay-tian yang
paling lemah, untuk bisa mencapai kemenangan harus
menggempur musuh yang paling lemah itu, segera
pedangnya menusuk pula.
Tapi Li Tay-tian juga dapat melihat kelemahan Ki
Seng-in, yaitu dalam hal tenaga. Maka sekuatnya ia
lantas menyampuk dengan maksud membikin senjata Ki
Seng-in tergetar jatuh.
Namun Ki Seng-in bukan anak kemarin, secepat kilat
pedangnya berputar ke bawah terus menusuk pula ke
atas dari samping. Kejut Li Tay-tian bukan buatan, lekas
ia miringkan kepala dan menggeser ke samping. Tapi
tidak urung terasalah kepalanya menjadi dingin, pedang
Ki Seng-in menyambar lewat, ternyata kucirnya yang
terikal di atas kepalanya itu terpapas putus.
Melihat kawannya terancam bahaya, cepat Pek-tiu dan
Wi Hwan menubruk maju lagi dari kanan dan kiri. Sekali
ini mereka dapat bekerja sama dengan lebih rapat.
Terpaksa Ki Seng-in mesti meninggalkan Li Tay-tian
untuk melayani kedua musuh yang lebih tangguh ini.
Menurut tata cara dinasti Boan-jing pada zaman itu,
kaum pria harus memakai kuncir, lebih-lebih pejabat
pemerintahan, kuncir merupakan tanda keangkeran yang
tak boleh kurang, walaupun dapat memakai kuncir palsu,
namun tetap memalukan. Sekarang Ki Seng-in dapat
menabas kutung kuncir Li Tay-tian, bagi Ki Seng-in masih

kurang puas, sebaliknya Li Tay-tian merasa sangat


terhina.
Namun Li Tay-tian memang licin dan cukup sabar,
daripada murka ia malah tertawa, katanya, "Jian-jiukoan-
im, hari ini kau telah masuk jaring sendiri, sekalipun
kau benar-benar punya tangan seribu juga takkan
mampu lolos dari jaring yang telah kami pasang.
Mengingat kau adalah kaum wanita, kami masih ingin
memberi jalan hidup padamu. Apakah kau tidak
memikirkan lagi suamimu? Biarlah kami katakan terus
terang, meski dia tidak menyerah kepada kami, tapi dia
benar-benar telah kami bekuk dan meringkuk di dalam
penjara, cepat atau lambat tentu dia akan menerima
ganjaran. Untuk menyelamatkan jiwanya adalah
tergantung pada dirimu, asal kau mau menurut perintah
kami dan menyuruh dia menyerahkan harta karun yang
pernah dia keduk."
Sungguh gusar dan berduka pula Ki Seng-in, ia tahu
watak sang suami yang keras, menyerah memang tidak
mungkin, tentulah telah banyak menderita siksaan
bilamana betul tertawan musuh. Sekarang dirinya mesti
melawan tiga orang, dengan nekat ia terus melompat
maju dan mencecar Li Tay-tian, akan tetapi Pek-tiu Tojin
dan Wi Hwan lantas mencegatnya sehingga Ki Seng-in
menjadi kerepotan pula menghadapi serangan dari kanan
dan kiri.
Segera Li Tay-tian tertawa mengejek, "Hahaha!
Mumpung kau belum terluka, lebih baik lekas menyerah
saja. Orang manis dan cantik seperti kau sungguh
sayang kalau sampai terbinasa!" Sembari bicara diamdiam
ia terus menggeser ke belakang Ki Seng-in,
goloknya lantas membabat bagian kaki Ki Seng-in.

Memangnya kesehatan Ki Seng-in belum pulih


seluruhnya, gerak-geriknya menjadi kurang lincah,
kelemahan ini rupanya telah dapat dilihat oleh Li Taytian.
Mendadak Ki Seng-in bersuit panjang, ia ganti siasat
bertempur, dia tidak bergerak ke sana sini lagi, tapi tetap
mempertahankan dirinya di tempat, serangan dibalas
serangan, yang dekat ditusuk pedang, yang jauh disabet
cambuk, ia menjaga diri dengan rapat sekali. Ia tahu
kelemahannya dalam hal tenaga, maka dia berharap
dapat bertahan lebih lama.
Ternyata serangan Li Tay-tian menjadi gagal,
berulang-ulang ia malah hampir-hampir tersabet oleh
cambuk Ki Seng-in sehingga terpaksa ia tidak berani
mendekat secara gegabah. Sedangkan Pek-tiu Tojin dan
Wi Hwan untuk waktu singkat juga tidak berdaya
mendekati Ki Seng-in.
Karena suitan Ki Seng-in tadi seperti tanda memanggil
kawan, Pek-tiu Tojin menjadi kuatir, katanya kepada Li
Tay-tian, "Tampaknya perempuan keparat ini sedang
menunggu bala bantuan, kita harus lekas-lekas
membereskan dia, jika orang keluarga Kang ada yang
datang, tentu kita akan kerepotan."
"Hahahaha! Untuk ini Pek-tiu Totiang hendaklah
jangan kuatir," sahut Li Tay-tian dengan tetawa. "Kita
sudah cukup mengetahui seluk-beluk keadaan keluarga
Kang. Bini Kang Hay-thian beberapa hari lagi akan pergi
ke Bin-san; selama itu tentu takkan keluar rumah. Jarak
rumah keluarga Kang dari sini juga ada belasan li,
biarpun tenggorokan perempuan keparat ini berteriak
sampai bejat juga takkan didengar oleh siapa pun juga."

"Apalagi mungkin Totiang juga belum tahu bahwa


diam-diam Li-toako yang cerdik telah mengatur matamata
di dalam keluarga Kang, andaikan bini Kang Haythian
pada saat ini hendak keluar juga tentu akan
dihalangi," demikian Wi Hwan menambahkan.
Memangnya Ki Seng-in sudah menyangka di dalam
keluarga Kang tentu terdapat mata-mata musuh, cuma
sayang dia salah sangka, orang yang dia curigai justru
Ubun Hiong sebaliknya yang benar adalah Yap Lenghong.
Kiranya restoran di Tong-peng-tin itu dibuka oleh Li
Tay-tian, Wi Hwan menyamar sebagai pelayan dan Pektiu
pura-pura sebagai tamu yang menginap di situ.
Restoran itu dibuka sudah ada sebulan lamanya, Wi
Hwan dan Pek-tiu kebetulan dapat merawat luka yang
dideritanya dalam pertempuran di puncak Thay-san
tempo hari. Sekarang luka mereka sudah sembuh
sehingga hari ini mereka dapat bertempur dengan penuh
semangat.
Kontak antara Yap Leng-hong dengan mereka justru
dilakukan semalam, maka apa yang dikatakan Wi Hwan
itu memang beralasan, andaikan saat ini Kok Tiong-lian
hendak keluar rumah, tentu juga Yap Leng-hong akan
berusaha mencegahnya. Percakapan mereka itu sengaja
diperdengarkan kepada Ki Seng-in, tujuan pertama agar
supaya dia putus harapan akan datangnya bala bantuan,
kedua, biar Ki Seng-in semakin mencurigai Ubun Hiong.
Ternyata Ki Seng-in tertipu juga, dia sangat gemas
terhadap Ubun Hiong. Tapi ada suatu hal yang keliru
diduga oleh Li Tay-tian bertiga, yaitu suara suitan Ki
Seng-in bukanlah tanda minta tolong kepada keluarga

Kang, tapi ditujukan pada teman yang sedang


dinantikannya itu.
Temannya itu adalah kawan dari kalangan Lok-lim
(kaum bandit), tempat dimana mereka bertempur
sekarang memang ada belasan li jaraknya dengan rumah
Kang Hay-thian, tapi cuma satu-dua li saja dari Tongpeng-
in. Maka ia menduga bila temannya itu sekarang
berada di dalam kota, tentu akan dapat mendengar suara
suitannya tadi.
Tong-peng-tin hanya suatu kota kecil saja, di waktu
pagi kelihatan juga ada beberapa orang berlalu-lalang,
tapi demi mereka melihat ada orang sedang bertempur di
tanah tanjakan, di antaranya ada perwira, Tosu dan ada
pula wanita, entah petugas pemerintah sedang
menangkap perampok atau pembegal sedang
mengganas, saking ketakutan orang-orang itu lekas lari
kembali ke dalam kota.
Sudah tentu Ki Seng-in sangat kecewa, orang-orang
yang lari ketakutan itu dengan sendirinya bukan teman
yang sedang ditunggu itu. Sampai sang surya sudah
cukup tinggi menghiasi cakrawala dengan sinarnya yang
cerlang-cemerlang, tetap teman itu tidak kelihatan.
Diam-diam Seng-in membatin, "Mengapa sekali ini Gaktoako
ingkar janji dan tidak datang kemari? Jika dia
sudah berada di dalam kota seharusnya dia sudah
memburu ke sini bila mendengar suara suitanku."
Karena hari ini sudah siang, Li Tay-tian bertiga
menjadi kuatir juga, segera mereka menyerang lebih
gencar.
Ki Seng-in sendiri sudah payah karena telah bertempur
sekian lamanya, sekarang hatinya merasa kecewa, maka

semangatnya menjadi patah, serangannya mulai kacau


dan penjagaannya mulai kendur.
Melihat ada kesempatan, mendadak Wi Hwan
membentak, "Kena!" Kontan ruyungnya menyabet sekali
di punggung Ki Seng-in.
Ki Seng-in sampai sempoyongan, mata terasa
berkunang-kunang. Menyusul pedang Pek-tiu Tojin
menambahi satu luka pula di lengannya sambil
membentak, "Tidak lekas menyerah?"
Memangnya kesehatan Ki Seng-in belum pulih,
sekarang terluka pula berulang-ulang, sungguh ia tidak
tahan lagi. Namun ia pantang menyerah, dengan matimatian
ia melawan terus. Saking cemasnya sampai dia
muntah darah walaupun sekaligus ia masih sempat
menghalau pergi tiga macam senjata musuh.
"Hm, perempuan keparat ini ingin mampus, kita tak
perlu main sungkan-sungkan lagi, bunuh saja dia!"
jengek Li Tay-tian.
Sekali mengiakan, kontan ruyung Wi Hwan lantas
menyambar ke depan sehingga terbelit menjadi satu
dengan cambuk Ki Seng-in dan sukar dipisahkan. Pedang
Pek-tiu Tojin tidak ketinggalan, dia yang menutup setiap
gerakan pedang Ki Seng-in, sedangkan Li Tay-tian lantas
membentak, "Perempuan keparat, pergilah bertemu
dengan suamimu!" Berbareng goloknya lantas
membacok.
Tampaknya Ki Seng-in sudah tidak mampu menangkis
atau berkelit lagi, bacokan itu pasti akan membuat
tubuhnya terbelah menjadi dua. sekonyong-konyong
terdengar suara "tring" sekali, entah darimana

datangnya, tahu-tahu golok Li Tay-tian terbentur


melenceng ke samping oleh sambitan sepotong batu
kecil sehingga bacokannya mengenai tempat kosong.
"Kau sudah datang, Gak-toako!" seru Ki Seng-in
dengan girang.
Sebaliknya Li Tay-tian memaki dengan gusar,
"Keparat, kalau berani hayolah keluar sini!"
Tapi aneh, orang itu tidak muncul, juga tidak
bersuara. Namun begitu melihat batu kecil itu, dapatlah
diduga penyambit itu tentu bersembunyi tidak jauh di
sekitar mereka. Diam-diam Ki Seng-in sangat heran,
pikirnya, "Apa barangkali Gak-toako menyembunyikan
kawannya di sini? Kalau menuruti wataknya yang
berangasan, tidak nanti ia membiarkan aku dikerubut
musuh secara demikian, bahkan cuma membantu
dengan menimpukkan senjata rahasia saja, malah
sesudah itu tetap tidak mau muncul. Siapakah penolong
ini?"
Melihat Ki Seng-in sudah terluka parah, Li Tay-tian
bertiga anggap dia bagai kura-kura di dalam guci, tinggal
dibekuk saja.
"Bangsat itu adalah pengecut, tidak berani keluar,
apakah perlu aku pergi membekuknya dahulu?" kata Wi
Hwan.
"Tak perlu, binasakan dulu perempuan ini baru nanti
kita mencari bangsat itu," bentak Li Tay-tian. "Hati-hati
saja terhadap serangan senjata rahasia lagi."
Meski Wi Hwan telah mengucapkan kata-kata
pancingan toh orang itu tetap tidak mau keluar, maka

diam-diam Ki Seng-in menghela napas, ia tahu orang itu


pasti bukanlah kawan yang sedang dinantikan itu.
Dalam pada itu ruyung Wi Hwan telah menyabet pula
sebatas pinggang, terpaksa Ki Seng-in menggunakan
pedangnya untuk menyampuk, tapi ia sudah kepayahan,
tenaga sudah habis, "trang", pedangnya tersabet jatuh
oleh ruyung Wi Hwan.
"Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Pek-tiu Tojin,
cepat ia menubruk maju dan menusuk Hun-bun-hiat di
punggung Ki Seng-in.
Pada saat jiwa Ki Seng-in terancam itulah, kembali
orang tak kelihatan itu menyambitkan pula dua butir
batu. Lebih dulu ujung pedang Pek-tiu Tojin tertimpuk
melenceng, menyusul "plok", pergelangan tangan Wi
Hwan juga tertimpuk sehingga ruyungnya terlepas dari
cekalan.
Sebenarnya Pek-tiu dan Wi Hwan sebelumnya sudah
berjaga-jaga akan serangan senjata rahasia orang tak
kelihatan itu, tapi kesudahannya toh tetap tak dapat
menghindar, maka jelas sekali kepandaian orang itu pasti
jauh di atas mereka.
Pek-tiu bertiga adalah orang Kangouw kawakan,
keruan mereka terkejut. Tapi mereka pun dapat
menduga maksud tujuan orang yang tak kelihatan itu,
agaknya cuma melarang mereka membunuh Ki Seng-in
saja dan tiada maksud bermusuhan dengan mereka.
Kalau tidak, tentu batu kecil itu diarahkan kepada Hiat-to
mereka yang berbahaya dan tidak cuma membentur
senjata saja.

Segera Li Tay-tian berseru, "Kawan dari garis


manakah itu? Ketahuilah bahwa perempuan keparat ini
adalah buronan pemerintah, jika sobat bukan sehaluan
dengan dia hendaklah jangan ikut campur."
Akan tetapi orang itu tetap tidak bersuara. Pek-tiu
Tojin lantas membisiki Li Tay-tian, "Perempuan jahat ini
sudah terluka parah, tidak mungkin dapat lolos. Marilah
kita mencari orang itu dulu, aku sudah mendengar arah
darimana datangnya batu yang dia sambitkan, tentu dia
bersembunyi di balik gundukan tanah itu. Dengan
kekuatan kita bertiga pasti dapat membereskan dia."
Namun Li Tay-tian merasa sangsi, seketika ia tidak
bisa mengambil keputusan. Pada saat itulah terdengar
suara derapan kuda yang ramai, tertampak dua
penunggang kuda sedang mendatangi dari arah Tongpeng-
tin, dalam sekejap saja sudah sampai di atas tanah
tanjakan ini. Kedua penunggang kuda itu adalah
sepasang pria dan wanita setengah umur, yang lelaki
bermuka hitam laksana pantat kuali yang hangus,
hidungnya pesek, jelek sekali tampangnya.
"Siapa itu yang datang?" bentak Li Tay-tian.
Sebaliknya Ki Seng-in sangat girang. Kiranya laki-laki
itu tak lain tak bukan adalah orang yang sedang dinantinantikan,
namanya Gak-Ting, bahkan istrinya juga telah
ikut datang.
Terdengar Gak Ting bersuit dari jauh, sesudah dekat
lantas berseru, "Ki-temoay (adik ipar), siapakah mereka
ini?"
"Antek-antek kerajaan!" sahut Ki Seng-in sekuatnya.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu,
serentak Pek-tiu Tojin dan Li Tay-tian menghamburkan
senjata rahasia berbentuk anak panah dan paku berduri,
semuanya berbisa. Mereka pikir Ki Seng-in harus
dibinasakan sebelum kedua penolongnya tiba.
Namun pada saat yang sama, dari belakang gundukan
tanah tadi mendadak keluar sesosok bayangan hitam,
dengan cara Thian-li-san-hoa (bidadari menebar bunga),
sekaligus ia menghamburkan segenggam mata uang
tembaga, maka terdengarlah suara "trang-tring" yang
ramai, seluruh senjata rahasia yang dilontarkan oleh Pektiu
Tojin dan Li Tay-tian tadi telah terbentur jatuh.
Akan tetapi begitu muncul, orang itupun tidak tinggal
lebih lama lagi di situ, secepat angin ia terus melayang
pergi. Pakaiannya berwarna hitam mulus, memakai topi
berpinggir lebar dan tertutup rendah, maka wajah aslinya
tidak kelihatan. Hanya dari perawakan belakang menurut
perkiraan Ki Seng-in besar kemungkinan orang itu masih
sangat muda. Ginkangnya juga sangat luar biasa, sama
sekali tidak mirip dengan Ginkang dari daerah Tionggoan.
Ki Seng-in sangat heran, ia merasa tiada pernah
mempunyai seorang kenalan demikian itu. Sejak tadi
orang itu tidak muncul, tapi sesudah Gak Ting berdua
datang, orang itu lantas pergi tanpa bertegur sapa
dengan Ki Seng-in. Jelas sekali orang itu tidak kenal
padanya, tapi juga tidak mau terlibat dalam
persengketaan ini.
Selagi Ki Seng-in merasa heran, di sebelah sana Wi
Hwan sudah menjemput kembali ruyungnya dan mulai
menyerang pula. Namun semangat Ki Seng-in jadi
terbangkit juga demi nampak kawan yang ditunggunya

sudah datang, sekaligus ia dapat mematahkan beberapa


kali serangan musuh.
Dalam pada itu Gak Ting dan istrinya sudah memburu
tiba. Dengan suara mengguntur Gak Ting lantas
membentak, "Bagus! Aku justru hendak menumpas habis
kaum antek penindas rakyat seperti kalian ini!"
Gak Ting adalah saudara angkat Utti Keng pada waktu
mereka masih sama-sama menjadi begal kuda di daerah
utara, wataknya keras sehingga orang memberi julukan
Pi-lik-hwe (api geledek) padanya. Sebaliknya istrinya
yang bernama Kat Sam-nio berperangai halus, ilmu
silatnya tidak di bawah sang suami. Paling akhir ini
mereka telah digrebek oleh pasukan-pasukan pemerintah
sehingga tak dapat bercokol lebih lama lagi di daerah
operasi mereka, maka mereka telah lari ke daerah
Tionggoan untuk mencari Utti Keng. Sesudah mencari
dengan susah payah, akhirnya dapat berhubungan
dengan Ki Seng-in dan berjanji akan berjumpa di Tongpeng-
tin ini. Mereka baru saja sampai di kota kecil itu
dan lantas mendengar suara suitan Ki Seng-in, cepat
mereka memburu ke situ. Demi melihat Ki Seng-in sudah
terluka, Gak Ting menjadi murka, sekali melompat turun
dari kudanya, segera ia cabut goloknya yang tebal dan
berat, dengan gerak tipu Lik-pik-hoa-san (sekuat tenaga
membelah gunung Hoa), kontan ia terus membacok
kepala Li Tay-tian.
Lekas Li Tay-tian menangkis dengan goloknya, "Trang,
trang", lelatu api berletikan, mata golok Li Tay-tian
sampai gumpil, genggaman tangannya juga lecet.
Untung golok tidak sampai terlepas.

Melihat gelagat jelek, cepat Pek-tiu Tojin ikut


menyerang, segera Koh-cing-hiat di bahu Gak Ting
ditusuknya.
"Boleh juga ilmu pedang hidung kerbau ini!" pikir Gak
Ting. Mendadak ia membentak keras, goloknya yang
tebal menabas dari samping, ia membarengi serangan
dengan lebih dahsyat.
Keruan Pek-tiu mengkeret mundur dan memutar ke
belakang, namun berturut-turut Gak Ting membacok dan
membabat sambil membalik tubuh, tapi dapat
dihindarkan Pek-tiu Tojin.
Dalam pada itu ruyung Wi Hwan juga sudah
menyambar tiba. Dalam hal Ginkang memang Gak Ting
kurang tinggi, tapi kekuatan kakinya ternyata luar biasa.
Ia incar dengan tepat dan mendadak kakinya menginjak
ke bawah sehingga ujung ruyung musuh kena ditindih,
sedangkan goloknya masih terus membacok ke arah Li
Tay-tian.
Lekas Pek-tiu Tojin menubruk maju, pedangnya cepat
menusuk lutut Gak Ting untuk melepaskan Wi Hwan dari
ancaman musuh.
Tak terduga sekonyong-konyong Gak Ting menggertak
keras, "Pergi!"'Tahu-tahu kedua kakinya melayang ke
atas, sekaligus Pek-tiu dan Li Tay-tian hendak didepak
olehnya.
Untung Pek-tiu Tojin sempat berkelit, tapi golok Li
Tay-tian kena ditendang sehingga mencelat ke udara.
Sebaliknya Wi Hwan yang sedang membetot
ruyungnya yang terinjak itu sekuatnya, karena mendadak

Gak Ting melambung ke atas, kontan ia pun terhuyunghuyung


ke belakang, hampir-hampir jatuh tersungkur.
"Kau merawat luka Ki-temoay dahulu, istriku, ketiga
jahanam ini boleh serahkan padaku saja, golokku sudah
lama haus darah, hari ini harus kubunuh sepuaspuasnya,"
seru Gak Ting.
Ucapan Gak Ting itu menyadarkan Li Tay-tian malah.
Ia mendapat akal, tiba-tiba ia meninggalkan Gak Ting
dan menerjang ke arah Ki Seng-in yang sudah terluka
itu.
Sudah tentu Kat Sam-nio tidak tinggal diam. "Huh,
tidak tahu malu, beraninya cuma menyerang wanita yang
terluka!" jengeknya sambil mengadang di depan Ki Sengin.
Ia tunggu lawan sudah dekat baru mendadak
menusuk.
Li Tay-tian mengira kaum wanita tentu mudah dijalani,
tak tersangka ilmu pedang Kat Sam-nio juga sangat lihai,
"sret", karena sedikit lena saja lengan Li Tay-tian sudah
tergores luka.
Melihat kawannya tercidera, cepat Wi Hwan memutar
ruyungnya untuk mengembut Kat Sam-nio. Sebenarnya
tidaklah sukar bagi Kat Sam-nio untuk melawan kedua
orang itu, cuma dia harus menjaga juga keselamatan Ki
Seng-in, karena itulah perhatiannya jadi terbagi sehingga
tidak berani mendesak maju untuk mencecar musuh.
Di sebelah lain Gak Ting sekarang hanya melawan
Pek-Tiu Tojin saja. Ilmu pedang Pek-tiu mestinya sangat
hebat, tapi kalau satu lawan satu, tenaganya masih kalah
kuat daripada Gak Ting. Untuk bertahan dalam beberapa
puluh jurus dia masih sanggup.

Sekonyong-konyong Gak Ting menggerung gusar,


berulang-ulang ia membacok tiga kali sehingga Pek-tiu
Tojin terdesak mundur. Namun Gak Ting tidak mencecar
lagi, sebaliknya ia terus melompat ke sebelah sana untuk
menggabungkan diri dengan sang istri.
Dengan kekuatan mereka suami-istri tentu saja Li Taytian
bertiga mati kutu. Hanya beberapa jurus saja kopiah
kebesaran Li Tay-tian sudah tertabas jatuh, untung
kepalanya sempat mengkeret ke bawah, kalau tidak,
separoh buah kepalanya tentu sudah berpisah dengan
tubuhnya. Untung Pek-tiu lantas menubruk maju untuk
menolongnya sehingga Gak Ting tidak sempat
menambahi serangan mematikan lagi.
Begitulah meski cuma dua lawan tiga, tapi Li Tay-tian
bertiga sama sekali tak mampu mendekat. Tiba-tiba Li
Tay-tian mengeluarkan terompet tanduk dan ditiupnya
sehingga mengeluarkan suara "tut-tuttut" yang keras dan
nyaring.
"Bagus! Boleh kau panggil bala bantuan, tapi kau
harus pergi menghadap raja akhirat dahulu!" ejek Gak
Ting dengan gusar. Habis itu goloknya berputar semakin
kencang sehingga Pek-tiu bertiga kerepotan menghindar
dan menangkis.
"Bertahan lagi sementara, sebentar juga akan datang
bantuan kita!" seru Li Tay-tian. Walaupun demikian
diam-diam ia pun merasa kuatir karena tidak mendengar
suara jawaban terompet tanduk kawannya.
Bahkan mendadak terdengar Pek-tiu berseru, "Wah,
celaka! Thay-pek-lau terbakar!"

Di tanah tanjakan ini cukup jelas untuk memandang


ke arah Tong-peng-tin. Saat itu kelihatan di suatu
bangunan di dalam kota itu sedang terbakar, maka Pektiu
lantas kenal bangunan itu adalah restoran yang
mereka buka itu.
Li Tay-tian memang licik dan lidn, begitu mendengar
Thay-pek-lau terbakar, mendadak ia pura-pura
menyerang, lalu putar tubuh angkat langkah seribu.
Keruan Wi Hwan terkejut, sama sekali ia tidak menduga
kawannya akan kabur begitu saja tanpa memikirkan
teman sendiri. Segera ruyungnya menyabet, dia
bermaksud lari juga, namun sudah terlambat.
Sambil mengotak Gak Ting telah berhasil memegang
ujung ruyungnya, berbareng goloknya lantas membacok.
Belum lagi Wi Hwan sempat bersuara tahu-tahu
kepalanya sudah terbelah menjadi dua.
Melihat O Tay-tian hendak kabur, dalam keadaan
payah, sekuat tenaga Ki Seng-in masih sempat
menyambitkan sebilah pisau. Cuma sayang karena
tenaganya sudah lemah, walaupun pisau terbang itu
dapat mencapai sasarannya, tapi hanya menancap di
bahu Li Tay-tian. Sambil menahan sakit Li Tay-tian masih
dapat mencemplak ke atas kudanya dan kabur. Dalam
pada itu Pek-tiu Tojin juga lantas ikut melarikan diri.
"Gak-toako, keparat itu mestinya harus ditawan hiduphidup,"
ujar Ki Seng-in kemudian.
"Ah, kawanan bangsat begitu buat apa diberi hidup?
Bunuh saja beres!" sahut Gak Ting.
Ia tidak tahu maksud Ki Seng-in akan mencari
keterangan kepada tawanan tentang persekongkolan

Ubun Hiong dengan mereka. Dengan terbunuhnya Wi


Hwan itu secara tidak langsung berarti Gak Ting telah
membantu Yap Leng-hong.
Dalam pada itu tenaga Ki Seng-in sudah habis,
lukanya bercucuran darah, lekas Kat Sam-nio membalut
lukanya.
"Banyak terima kasih atas pertolongan Toako," kata Ki
Seng-in dengan suara lemah. "Lukaku sangat parah,
rasanya jiwaku sukar tertolong lagi. Cuma aku ada dua
urusan yang masih harus minta bantuan Gak-toako."
Gak Ting menjadi kuatir juga melihat keadaan Ki
Seng-in yang parah itu, cepat ia berjongkok untuk
mendengarkan.
"Pertama, aku harap kau mencari saudaramu," kata
Seng-in dengan suara lemah.
"Tentu saja, kalau tidak, apa gunanya punya saudara
angkat seperti aku?" sahut Gak Ting.
"Kedua, hendaklah kau segera pergi memberitahu
kepada istri Kang Hay-thian, katakan muridnya yang
kedua Ubun Hiong itu adalah mata-mata musuh, dia
bersekongkol dengan antek-antek kerajaan tadi. Ingat,
namanya Ubun Hiong!" setelah mengulangi nama itu, Ki
Seng-in tidak tahan lagi, ia memuntahkan darah dan
jatuh pingsan.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda,
kiranya Ceng-cong-ma tadi waktu terjadi pertempuran
telah lari ke dalam hutan, sekarang telah keluar lagi.
Berbareng itu terdengar juga suara kaki binatang
berdetak-detak, sebuah kereta sapi tampak sedang
mendaki tanjakan itu.

"Napas Ki-temoay masih kuat, mungkin masih dapat


diselamatkan, datangnya kereta itu sangat kebetulan,"
ujar Kat Sam-nio.
"Ya, benar, kalian boleh lekas menyingkir pergi dulu,
aku akan menyampaikan pesan Ki-temoay ke rumah
Kang Hay-thian, biar kurampas kereta itu untuk kalian,
segera aku akan menyusul," kata Gak Ting cepat. Habis
itu segera ia memapak datangnya kereta itu, dasar
wataknya memang kasar, segera ia membentak, "He,
berhenti!"
Tak terduga si kakek kusir kereta itu sudah lantas
mendahului menegur, "Eh, apakah engkau adalah tamu
keluarga Kang?"
Gak Ting melengak malah. "Darimana kau tahu?"
tanyanya.
"Kuda itu adalah milikku, semalam murid keluarga
Kang yang kedi telah datang meminjam kudaku itu,
katanya akan dipakai oleh seorang tamunya yang harus
buru-buru berangkat," tutur si kakek. "Tampaknya kau
telah kepergok kaum garong di sini? Eh, kenapakah
binatang itu? Wah, terang keracunan!"
Kiranya kakek ini adalah teman main catur Kang Lam
yang dipanggil Ong-toasiok oleh Kang Hiau-hu itu. Pagipagi
dia mendengar di tanjakan sini ada suara orang
bertempur. Sebagai seorang bekas pengelana Kangouw,
dia menjadi tertarik dan ingin tahu apa yang terjadi.
Kebetulan seorang kenalan kampung dengan keretanya
hendak menuju ke Tong-peng-tin, maka ia lantas ikut
kereta itu.

Karena sayang kepada kudanya, cepat kakek Ong itu


melompat turun dari keretanya untuk memeriksa
keadaan Ceng-cong-ma. Ia menggumam sendiri,
"Untung cuma kena racun yang ringan, asal kurawat
beberapa hari tentu akan sembuh."
Mendadak Gak Ting bertanya, "Murid Kang Hay-thian
yang kau maksudkan tadi apakah bernama Ubun Hiong?"
"Betul," sahut si kakek Ong.
"Hah, tahulah aku! Kiranya memang bocah itu yang
main gila!" teriak Gak Ting.
Si kakek kaget oleh suara Gak Ting yang mengguntur
itu, tanyanya dengan bingung, "Kau tahu tentang apa?"
Namun Gak Ting tiada tempo buat bicara lagi dengan
dia, katanya, "Keretamu ini pinjamkan kepadaku."
"Kereta ini bukan punyaku tapi aku dapat bicarakan
untukmu. Thio-toasiok..."
Namun Gak Ting sudah tidak sabar lagi, ia mendekati
kereta itu dan menyeret keluar satu orang, yaitu Thiotoasiok,
pemilik kereta yang bersembunyi ketakutan di
dalam keretanya.
Si kakek Ong sampai mendelik melihat kelakuan Gak
Ting itu, serunya marah, "He, kawan, aku anggap kau
sebagai tamu terhormat keluarga Kang, mengapa
perbuatanmu mirip perampok?"
"Ya, aku memang perampok, tapi aku pun tidak ambil
percuma kereta kalian ini, sepotong emas lantakan ini
boleh kau ambil, aku tiada tempo buat bicara lagi," kata
Gak Ting sambil memberikan sepotong emas kepada
Thio-toasiok. Lalu ia melepas kedua ekor sapi itu dan

diganti dengan kedua ekor kuda milik mereka suami-istri


tadi. Kereta sapi itu diubahnya menjadi kereta kuda.
Sambil memondong Ki Seng-in ke atas kereta, Kat
Sam-nio lantas menambahkan, "Aku tahu engkau adalah
orang baik, tapi kami harus buru-buru berangkat untuk
menolong kawan yang terluka parah sehingga berbuat
kasar, harap engkau maklum." Lalu cambuk Ki Seng-in
disabetkan, "tarrr", segera kereta kuda itu membedal ke
depan dengan cepat.
Sebaliknya Gak Ting lantas berlari ke arah rumah Kang
Hay-thian.
Dalam pada itu rasa dongkol si kakek Ong agak reda
setelah mendengar ucapan Kat Sam-nio tadi, tapi dia
masih mengomel, "Dasar orang sinting! Dahulu aku juga
pernah jadi perampok, tapi aturan Kangouw juga harus
ditaati. Aneh, mengapa dia mencaci-maki Ubun Hiong,
murid Kang Hay-thian itu bukanlah anak nakal, darimana
dia mengenalnya?"
Tiba-tiba ia dengar Thio-toasiok berseru padanya, "He,
Ong-toako, kau kira ini emas tulen atau bukan?"
"Sudah tentu emas tulen," sahut kakek Ong.
Seketika Thio-toasiok berjingkrak-jingkrak seperti
orang edan, teriaknya, "Aha, " sekali ini aku benar-benar
kaya mendadak!" Maklumlah, orang desa, lantakan emas
itu tentu sangat berarti baginya.
Si kakek Ong merasa geli juga setelah ingat kereta itu
bukan miliknya, katanya dalam hati, "Ya, mereka yang
satu mau jual dan yang lain mau beli, kenapa aku mesti
ikut pusing?"

Begitulah ia lantas mengajak Thio-toasiok pulang ke


rumah.
Tadi sayup-sayup Kat Sam-nio mendengar juga
omelan kakek Ong. Ia menjadi heran dan sangsi tentang
Ubun Hiong yang dikatakan mata-mata musuh oleh Ki
Seng-in itu, namun sang suami sudah berlari pergi, Ki
Seng-in juga belum sadar, terpaksa ia melanjutkan
perjalanan.
Sudah tentu mimpi pun Ubun Hiong tidak mengira
dirinya telah difitnah orang. Pada waktu Ki Seng-in
berangkat, dia malah sedang berlatih dengan Kang Hiauhu
di kebun bunga. Belum habis dia mainkan Tui-hongkiam-
hoat, tiba-tiba Yap Leng-hong sudah datang
memanggil untuk menemui ibu gurunya.
Karena urusan semalam, maka ketika bertemu dengan
ibu gurunya sikap Ubun Hiong masih agak canggungcanggung.
Namun Kok Tiong-lian bicara padanya dengan ramah
tamah, "Hiong-ji, apakah kau masih merasa penasaran
dan dendam kepada Utti Keng suami-istri?"
"Subo," sahut Ubun Hiong, "meski Utti Keng sendiri
bukan pembunuh ayahku, tapi kematian ayah disebabkan
barang kawalannya dirampas olehnya. Mengingat
hubungan baiknya sekarang dengan Suhu, apalagi soal
pembegalan adalah kejadian umum di dunia Kangouw,
maka aku takkan menganggap dia sebagai musuh
pembunuh ayah lagi walaupun di dalam hati aku masih
rada dendam padanya."
"Kau dapat berpikir demikian, sungguh aku sangat
senang," ujar Kok Tiong-lian. "Sebenarnya Utti Keng juga

sangat menyesal atas pembegalan tempo dulu itu dan


ingin memperbaiki permusuhan ini dengan kau. Menurut
keterangan istrinya semalam, mereka memang sengaja
merampas barang kawalan ayahmu itu, sebab...”
Belum lanjut ucapan Kok Tiong-lian, sekonyongkonyong
terdengar suara pintu didobrak orang. Tionglian
terkejut dan heran, siapakah yang berani main gila di
rumahnya?
Pada saat itulah lantas terdengar suara seorang
berteriak, "Anak liar Ubun Hiong, lekas keluar!"
Kiranya pendatang itu adalah Gak Ting, dia adalah
begal kuda di daerah utara dan tidak terlalu kenal Kang
Hay-thian. Ia hanya pernah mendengar Kang Hay-thian
adalah seorang pendekar besar saja.
Keruan Kang Hiau-hu menjadi gusar melihat kekasaran
tamu tak dikenal itu, segera ia melolos pedang dan
memburu keluar, bentaknya, "Siapa kau? Di rumah ini
kau berani main gila?"
Namun Kok Tiong-lian dan Ubun Hiong sudah
menyusul datang, begitu pula Yap Leng-hong. Bentak
Tiong-lian, "Jangan kurang sopan, anak Hu!"
Sebaliknya Ubun Hiong juga sangat heran karena
merasa orang itu tak dikenalnya, tapi mengapa mencacimaki
dirinya, segera ia melangkah maju dan menegur,
"Ada apa kau mencari Ubun Hiong?"
Dalam pada itu dengan aleman Kang Hiau-hu telah
mundur ke samping ibunya dan berkata, "Lihatlah ibu,
jahanam ini telah berani mendobrak pintu rumah kita,
bahkan memaki Jisuko. Kalau dia tidak dihajar tentu tidak
kenal siapa kita."

Namun Kok Tiong-lian telah menjawab, "Diam, anak


Hu, biarlah tuan tamu bicara dahulu. Betapapun
sikapnya, namun sekali datang di rumah kita dia tetap
adalah tamu, kita harus menyambutnya dengan aturan."
Ucapan Kok Tiong-lian yang tajam itu seperti
mengomeli putrinya, tapi sebenarnya Gak Ting juga itu
kena damprat. Gak Ting melengak dan sadar atas
kekasarannya tadi, cepat ia memberi hormat dan
menyapa, "Apakah aku sedang berhadapan dengan
Kang-hujin?"
"Betul," sahut Kok Tiong-lian sambil membalas
hormat. "Entah ada kesalahan apakah sehingga tuan
menyinggung nama murid kami?"
Mendadak mata Gak Ting mendelik, serunya, "Kanghujin,
apakah kau tidak tahu bahwa muridmu Ubun
Hiong ini adalah mata-mata pihak kerajaan?"
Kata-kata itu bagaikan halilintar meletus sehingga
sekalian orang terkejut. Ubun Hiong tercengang,
kemudian berseru keras, "Kau bilang apa? Aku seorang
pengkhianat? Keparat! Kau, kau memfitnah orang!" Ia
ayunkan tinju terus menerjang.
"Budak, kau marah karena kedokmu terbuka?" Gak
Ting tertawa mengejek seraya menggunakan jurus
Liong-ting-toh-cu atau merebut mustika di kepala naga.
Kelima jarinya memainkan ilmu Hun-kin-joh-kut-jiu-hoat
terus menyambar Ubun Hiong.
Keduanya sama-sama dirangsang kemarahan, Gak
Ting mempunyai ilmu Thiat-poh-san (kebal). Pukulan
Ubun Hiong takkan mengakibatkan apa-apa, tetapi
sebaliknya kalau Ubun Hiong kena tercengkeram

bahunya, tulang Pi-peh-kutnya pasti remuk dan dia akan


menjadi seorang cacad seumur hidup.
Pada saat keduanya hampir berbenturan, sekonyongkonyong
serangkum angin mendampar mereka berdua.
Kiranya Kok Tiong-lian keburu maju dan mengebutkan
lengan bajunya untuk melerai. Gak Ting tersurut mundur
tiga langkah baru dapat berdiri tegak, sedang Ubun
Hiong hanya terseret ke samping. Dalam hal ini
sebenarnya Kok Tiong-lian tak berpihak pada muridnya,
adalah karena kepandaian kedua orang itu berbeda,
terpaksa Kok Tiong-lian menggunakan dua macam
tenaga. Tetapi sekalipun begitu, ia dapat mengendalikan
tenaga kebutannya itu dengan sesuai dan kedua belah
pihak tak sampai menderita luka.
Gak Ting terkejut, mukanya merah padam. Ia hendak
bicara tapi Kok Tiong-lian sudah mendahuluinya, "Berat
nian tuduhan sebagai pengkhianat itu. Jika betul terbukti,
tentu akan kuhukum menurut disiplin perguruan, tapi
juga harus kutanya dulu yang jelas. Dalam hal itu aku tak
menghendaki turut campurnya orang luar. Silakan tuan
duduk dulu. Muridku memang kasar perangainya, dia
tetap bersalah karena turun tangan lebih dulu, untuk itu
biarlah aku yang minta maaf padamu."
Sebagai seorang Ciangbun (pemimpin) suatu aliran
persilatan, ucapan Kok Tiong-lian itu berwibawa sekali.
Rangkaian kata-katanya tidak menghina juga tidak
sombong. Mau tak mau Gak Ting membatin, "Nyonya
Kang ini sungguh seorang wanita yang jarang terdapat.
Di samping kepandaianya yang tinggi, ucapannya juga
lihai."

Bahwa ilmu Toa-lat-eng-jiau-kang tak kuat menahan


tamparan lengan baju nyonya itu, diam-diam ia malu
hati. Ucapan nyonya itu mengandung dampratan
kepadanya juga, namun ia tak berani berbuat apa-apa.
Sekalipun begitu, tetap ia lampiaskan isi dadanya dengan
tertawa keras dan berseru, "Kang-hujin dapat
menyelesaikan dengan bijaksana, itulah yang
kuharapkan. Jika Kang-hujin ingin bertanya apa-apa,
silakan mengajukan!"
Kok Tiong-lian lantas menanyakan siapa Gak Ting dan
apa keperluannya datang ke situ.
Sahut Gak Ting, "Aku she Gak nama Ting. Utti Keng
adalah adik angkatku dan Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in
adalah adik iparku. Aku sebenarnya tak kenal muridmu,
juga tak punya dendam permusuhan apa-apa.
Kedatanganku kemari adalah memenuhi permintaan Ki
Seng-in, ia tak rela jika gengsi perguruanmu yang harum
namanya itu sampai dinodai oleh muridmu yang murtad!
Penyakit dalam tubuh seharusnya lekas dibasmi, itulah
sebabnya maka Ki Seng-in meminta aku supaya
membongkar urusan ini agar kau mendapat tahu."
"Eh, bagaimana dengan Utti-hujin? Mengapa ia tak
datang sendiri?" Kok Tiong-lian terkejut.
Dengan penuh amarah dan kesedihan, berkatalah Gak
Ting dalam nada yang dingin, "Iparku itu mungkin dalam
penjelmaannya yang akan datang baru dapat menjumpai
Kang-hujin!"
"Apa? Kau ... kau maksudkan dia sudah meninggal?"
Kok Tiong-lian berseru kaget.

Gak Ting mengatupkan giginya dan menyahut, "Ia


menderita belasan luka, mana bisa hidup lagi? Itulah
berkat perbuatan muridmu yang manis! Bagus, bocah
she Ubun, dengan membinasakan Ki Seng-in anggaplah
kau sudah setengah bagian membalaskan sakit hati
ayahmu. Kau tentu sudah puas, bukan? Tetapi cara
menuntut balas seperti itu, sungguh kelewat hina sekali!"
Bahwa Ki Seng-in menderita luka parah, memang
betul, tapi ia belum sampai mati. Adalah karena ingin
melampiaskan kemarahannya, maka sengaja Gak Ting
mengatakan begitu agar mengguncangkan perasaan Kok
Tiong-lian.
Bukan saja Kok Tiong-lian, bahkan Ubun Hiong juga
tersentak kaget. Setelah terkesima beberapa saat baru
kemudian dapat mengeluarkan kata-kata, "Kau ... kau
mempunyai bukti apa? Aku ... aku hari ini tak pergi
kemana-mana, bagaimana dapat membunuh Jian-jiukoan-
im?"
Gak Ting tertawa mengejek, "Memang dengan
kepandaianmu itu, sudah tentu kau tak mampu
mencelakai Jian-jiu-koan-im. Tetapi kau pinjam tangan
membunuh orang, ini lebih-lebih keji lagi!"
Wajah Kok Tiong-lian berubah, ia berseru tajam,
"Urusan harus dibikin terang. Siapakah yang membunuh
Utti-hujin?"
"Ketika berada di sebuah gunung yang terletak di
muka kota Tong-peng-tin, mendadak muncul sekawanan
antek kerajaan. Kepala rombongannya ternyata adalah
wakil komandan pasukan Gi-lim-kun Li Tay-tian. Dia
bekas orang dari perusahaan Piau-kiok yang didirikan

Ubun Long, ayah Ubun Hiong. Coba jawab, hai, budak


Ubun. Apakah kau tak kenal Li Tay-tian itu?"
"Jangan memfitnah orang semaumu sendiri! Benar,
memang kutahu orang itu. Tetapi hanya sekali dua
kulihatnya semasa aku masih kecil. Sekarang bagaimana
wujud orang itu, aku pun sudah lupa.
Bagaimana aku dapat bersekongkol dengan dia?"
"Habis perlu apa Li Tay-tian datang ke kota sini?
Mengapa ia bisa tahu kalau iparku itu akan lewat jalan itu
sehingga ia dapat menyiapkan gerombolannya?" Gak
Ting tertawa menghina.
"Mana aku tahu!" teriak Ubun Hiong dengan kalap,
sehingga suaranya gemetar. Hal itu sebaliknya malah
menimbulkan kesan pada Gak Ting bahwa anak itu
memang bersalah.
"Apakah Utti-hujin sudah dikubur? Tolong bawa aku
menjenguk jenazahnya!" kata Kok Tiong-lian.
"Terima kasih atas budi baikmu, tapi tak usah kau
menyibukkan diri. Bagaimanapun juga takkan kubiarkan
jenazahnya sampai jatuh ke tangan antek-antek
kerajaan. Istriku telah membawanya pergi."
"Bolehkah aku menjumpainya untuk yang penghabisan
kali?" tanya Kok Tiong-lian pula.
Gak Ting tertawa tawar, "Orangnya sudah mati, apa
gunanya melihat? Toh dia tak dapat bicara lagi padamu.
Apalagi kau adalah istri seorang pendekar besar dan
kami hanya bangsa berandal. Aku tak leluasa berjalan
bersamamu. Asal kau masih mempunyai setitik kecintaan
terhadap iparku itu, cukuplah kiranya kau berusaha

untuk mengimpaskan penasarannya saja. Sebelum


menutup mata, ia minta kepadaku supaya
menyampaikan berita ini kepadamu. Ah, karena tiada lain
hal yang kukatakan lagi, maaf, aku tak mempunyai
tempo senggang dan hendak minta diri!"
"Ibu, jangan kasih dia pergi begitu saja!" teriak Kang
Hiau-hu.
Gak Ting mendelik dan tertawa mengejek, "O,
makanya Ubun Hiong berani berbuat ugal-ugalan,
kiranya karena punya pelindung! Hehe, nona Kang,
apakah kau hendak mempersalahkan aku karena
membawa berita ini?"
Malu bercampur marahlah Kang Hiau-hu mendengar
sindiran itu, tetapi ia insyaf bahwa nasib Ubun Hiong
akan ditentukan pada saat itu. Ia tak mau meladeni
orang she Gak itu dan berkata kepada ibunya, "Kita
belum tahu apakah ocehan orang ini betul atau tidak,
tapi sekurang-kurangnya kita harus mengetahui dulu
berita tentang Ki Seng-in yang sebenarnya barulah kita
melepaskan dia pergi."
Kok Tiong-lian menilai bahwa Gak Ting itu bukan
seperti seorang pembohong, tapi ia pun tak percaya
kalau Ubun Hiong berbuat sedemikian hina, pikirnya,
"Berita tentang kematian Ki Seng-in mungkin bukan
bikinannya, tetapi pesannya ketika ia hendak menutup
mata hanya orang ini yang mendengar dan tiada lain
orang yang menjadi saksi. Hal ini agak menyangsikan
juga."
Melihat Kok Tiong-lian menghadang jalannya,
berubahlah wajah Gak Ting, "Kang-hujin, apakah kau
benar-benar hendak menahan aku?"

"Ah, mana aku berani. Hanya ingin aku mengajukan


suatu pertanyaan pada Gak-thocu," sahut Kok Tiong-lian.
"Tentang apa?"
"Apakah masih ada bukti lainnya?" tanya nyonya itu.
Gak Ting tertawa sinis, "Rupanya kau masih tak
mempercayai omonganku? Tidakkah cukup perbuatan
rombongan alap-alap kerajaan yang mengepung iparku
itu sebagai bukti lainnya? Jika kau tak percaya, ada
seorang wakil komandan Gi-lim-kun yang berada di bukit
itu, silakan pergi melihat sendiri. He, jika itu masih belum
cukup lagi, saat ini ada seorang saksi yang telah berada
di sini, dia dapat memberikan kesaksian padamu. Maaf,
aku tak punya tempo melayani pertanyaanmu. Kanghujin,
kau izinkan aku berlalu atau tidak?"
Kiranya yang datang itu adalah pak tua si Ong. Melihat
Gak Ting juga hadir di situ dan suasana dalam rumah tak
sewajarnya, diam-diam kakek itu terkejut. "Apa yang
terjadi?" ia bertanya.
"Ah, tak apa-apa. Paman Ong, silakan duduk. Aku
hendak mengantar tetamu ini," sahut Kong Tiong-lian.
"Hai, mengapa kau tidak bilang kau tetamu keluarga
Kang?" tegur Ong tua tiba-tiba kepada Gak Ting.
Gak Ting menyahut tertawa, "Aku hanya pengantar
berita saja, mana berani mengangkat diriku terlalu tinggi
sebagai tamu. Kang-hujin, terima kasih karena kau
memperlakukan aku sebagai tetamu. Selamat tinggal, tak
usah berlaku sungkan padaku!" Tertawanya mengandung
kemarahan, kepergiannya membawa perasaan dongkol.

"Paman Ong, kenalkah kau pada Gak-thocu itu?" tanya


Kok Tiong-lian kemudian.
"Secara kebetulan saja kukenal padanya ketika pagi
tadi berjumpa di atas bukit. Dia menukar gerobak Thiotoasiok
dengan Goan-po (uang) untuk dibuat
mengangkut seorang wanita terluka berat. Mengira dia
adalah tetamumu, aku hendak berkenalan padanya.
Tetapi dia tak menghiraukan, ia lemparkan lantakan
emas terus merebut gerobak," sahut Ong tua itu. Dia
seorang penduduk yang tinggal lama di Kanglam, jadi
sudah kenal dengan keadaan daerah itu. Nada bicaranya
pun bergaya seperti orang Kanglam.
"Seorang wanita yang terluka parah? Jadi kalau begitu
wanita itu belum meninggal?" buru-buru Kok Tiong-lian
menegas. "Siapakah yang melukai wanita itu? Tahukah
kau?"
"Beberapa orang desa mengatakan kalau ada
serombongan tentara pemerintah mengepung seorang
wanita. Ketika aku datang, kulihat di tanah terkapar
sesosok mayat pembesar tentara dan dua orang antek
kerajaan dihalau lari oleh si lelaki hitam itu. Hm, opsir
yang mati itu kukenalnya."
"Siapa?" tanya Kok Tiong-lian.
"Opsir Gi-lim-kun yang bernama Wi Hwan, dia dan
wakil komandan Li Tay-tian itu orang lama. Sepuluhan
tahun yang lalu, karena suatu kesalahan aku pernah
ditangkap mereka. Untung aku dapat meloloskan diri dan
sejak itu aku cuci tangan pulang ke desa."
Apa yang dikatakan Ong tua serupa dengan
keterangan Gak Ting. Jika menilik apa yang telah terjadi,

memang patut diduga kalau Ubun Hiong bersekongkol


dengan Li Tay-tian untuk mencelakai Ki Seng-in. Kang
Hiau-hu terkejut juga dan cepat bertanya, "Apakah
wanita itu benar-benar Jian-jiu-koan-im?"
"Apakah kuda si wanita itu adalah kuda Ceng-cong-ma
milikmu?" tanya Kok Tiong-lian.
"Justru aku hendak memberitahu padamu. Kuda Cengcong-
ma itu sudah kubawa pulang, tapi aneh," kata Ong
tua.
"Kenapa?" tanya Kok Tiong-lian.
"Mulut kuda itu mengeluarkan busa putih, dia
terserang sakit, makanya aku datang ke sini akan
bertanya padamu."
"Hai, semalam kuda itu masih baik-baik saja, mengapa
mendadak sakit? Paman Ong, kau seorang ahli kuda,
tentu tahu apa penyakitnya itu?"
"Ya, memang agak aneh. Dikuatirkan binatang itu
makan rumput yang terlumur racun," sahut Ong tua.
"Hai, rumputnya aku yang potong dan yang memberi
makan juga aku. Mengapa beracun?" Ubun Hiong kaget.
"Rumput beracun memang jarang terdapat. Mungkin
kau tak dapat membedakan, siapa tahu? Tetapi engkoh
cilik Ubun, aku tak mencurigaimu," Ong tua mempunyai
kesan baik terhadap anak muda itu. Dia coba berusaha
untuk membersihkan diri anak itu, tetapi Kok Tiong-lian
mau tak mau curiga juga.
"Untung racunnya tak seberapa hebat. Tiga empat
hari lagi kuda itu tentu akan sembuh. Eh, Kang-hujin,
hampir saja aku lupa, masih ada lagi suatu berita."

"Apa?" tanya Kok Tiong-lian.


"Warung arak yang baru saja dibuka di kota telah
dibakar orang, dua orang pegawainya dilukai. Kebakaran
itu sungguh aneh, tapi yang lebih mengherankan,
bukannya memadamkan api sebaliknya orang-orang dari
warung arak itu malah melarikan diri. Api baru dapat
dipadamkan setelah rumah menjadi tumpukan puing.
Sayang, sekarang tiada lagi warung arak sebaik itu!" kata
kakek Ong.
Diam-diam Leng-hong kejut-kejut girang, pikirnya,
"Dengan terbakarnya warung arak itu, kini anak buah
Hong Jong-liong tak punya tempat berkumpul lagi. Dan
aku pun tak perlu cemas akan ancaman mereka.
Sekalipun kelak Hong Jong-liong mencariku, tapi
sekurang-kurangnya sekarang aku dapat tidur pulas. Ha,
tak nyana segala urusan berakhir menyenangkan bagiku!
Dengan meninggalnya Ki Seng-in dan lolosnya Li Tay-tian
serta terbakarnya warung arak itu, tak ada lagi orang
yang mengetahui rahasiaku!"
Hanya sedikit yang masih mengganggu pikirannya
ialah siapakah orang yang membakar warung arak itu?
Tahukah dia akan hubungannya dengan warung arak itu?
Pikir punya pikir, ia hibur hatinya sendiri, "Kemarin
malam diam-diam aku pergi ke warung arak itu, tetapi
telah kuteliti secermatnya kalau di jalan tiada seorang
pun yang kelihatan, tentulah tak ada orang yang tahu
rahasiaku. Mengenai Ya-heng-jin (pengelana malam)
yang dijumpai Ubun Hiong, walau mencurigakan, tetapi
hal itu terjadi setelah aku keluar dari warung arak di
kota." Dengan pertimbangan itu, akhirnya longgarlah
perasaan Leng-hong.

Setelah melaporkan tentang keanehan yang terjadi di


warung arak, akhirnya Ong tua minta diri karena hendak
mengurus kudanya yang istimewa itu. Setelah kakek itu
berlalu. Kok Tiong-lian terdengar menghela napas, "Hu-ji,
sayang ayahmu tak di rumah."
Memang walaupun Kok Tiong-lian lebih cerdas dari
Kang Hay-thian, namun menghadapi sesuatu masalah ia
tak secepat suaminya dalam menentukan kesimpulan.
Nyonya itu terlongong seorang diri, tak tahu bagaimana
harus bertindak. Memang jika menilik pembicaraan Gak
Ting dan Ong tua, Ubun Hiong itu yang paling
mencurigakan. Tetapi Kok Tiong-lian tetap meragukan
kalau anak itu mempunyai nyali sedemikian besarnya.
Ubun Hiong juga merasa kalau dirinya paling
menderita disangsikan orang, dengan menahan
kesedihan dan menelan air mata ia berlutut di hadapan
Kok Tiong-lian, sambatnya, "Subo, murid sungguh
merasa penasaran!"
Leng-hong membantu memberi 'angin', "Walaupun
masalahnya memang sangat kebetulan, tapi kuyakin Sute
tak nanti berani melanggar peraturan perguruan. Aku
bersedia dengan Sumoay menanggungnya!" Tahu kalau
Kang Hian-hu tentu bakal membela Ubun Hiong, cepat
Leng-hong mendahului, seolah-olah ia mengunjuk setia
kawan kepada Ubun Hiong, tapi pada hakikatnya ia
bermaksud membangkitkan kecurigaan ibu gurunya.
Dan Kang Hiau-hu yang tak dapat meraba hati Lenghong,
segera membuka suara, "Ibu, mengingat budi
Jisuko yang pernah menolong aku, bebaskanlah dia dari
hukuman. Pengaduan orang she Gak itu belum tentu
dapat dipercaya sepenuhnya."

Karena tak punya alasan kuat untuk menolong Ubun


Hiong, Kang Hiau-hu hanya dapat mengemukakan
peristiwa lama itu. Tapi hal itu malah menyinggung
perasaan ibunya. 'Musuh dalam selimut7, ah, betapa
berat tuduhan itu. Masakah dosa sebesar itu dapat
dihapus hanya dengan mengingat hubungan antara
putrinya dengan anak muda itu?
Setelah berpikir beberapa jenak, berkatalah Kok
Tiong-lian. "Ubun Hiong, bangunlah! Persoalan tentu
akan dapat dibikin terang, tak perlu kau gelisah. Apakah
luka dalammu sudah sembuh?" kata Kok Tiong-lian.
Bahwa ibunya tak memanggil Hiong-ji tetapi
menggunakan sebutan Ubun Hiong, Kang Hiau-hu sudah
merasa gelagat kurang baik.
Ubun Hiong terkesiap, ujarnya, "Terima kasih atas
budi Subo. Murid sudah sembuh." Ia tak mengerti
mengapa sudah tahu Subonya masih bertanya pula.
Dengan nada penuh penyesalan, berkatalah Kok
Tiong-lian, "Kau pernah berjasa menolong anak Hu. Kini
kau sudah sembuh aku pun lega. Ketika kau mengangkat
guru. Suhumu hanya menerima kau sebagai calon murid.
Sekarang dengan adanya peristiwa ini, ikatan Suhu dan
murid nanti kita tetapkan lagi setelah persoalan ini
selesai. Apa yang kau telah pelajari kuizinkan kau
membawanya, tetapi sebelum kau diterima kembali di
sini, kau tak boleh menyebut dirimu sebagai murid
keluarga Kang."
"Apa? Ibu hendak mengusir Jisuko?" teriak Kang Hiauhu.

"Hu-ji, jangan ribut," Kok Tiong-lian menyahut tegas.


"Ubun-se-heng, bukannya aku tak percaya padamu.
Tetapi dengan timbulnya peristiwa ini, orang luar tentu
tak percaya padamu. Jika aku tak menyelesaikan
persoalan ini secara peraturan orang Bu-lim, orang luar
tentu akan menuduh aku membela murid sendiri. Untuk
sementara ini terpaksa kau harus menderita sedikit, tapi
begitu urusan sudah terang, kau boleh kembali kemari
lagi. Dapatkah kau memahami kesukaranku?"
Memang apa'yang diucapkan Kok Tiong-lian itu
sungguh tepat. Besok ia hendak berangkat ke Bin-san
memimpin upacara sembahyang Tok-pi Sin-ni, serta
mengadakan pertemuan dengan sekalian orang gagah
untuk membicarakan rencana melawan pemerintah Cing.
Jika sekalian orang gagah mengetahui urusan itu, mana
mereka mau mengampuni Ubun Hiong? Di samping itu,
walaupun ia menyatakan kepercayaan terhadap Ubun
Hiong, namun ia harus tetap menjaga kemungkinan
apabila anak muda itu sungguh-sungguh seorang matamata,
itu akan merupakan kesalahan yang tiada ampun.
Itulah sebabnya ia harus mengambil keputusan begitu
dan dengan keputusan yang jauh lebih ringan daripada
apa yang disebut 'pembersihan' (memberi hukuman pada
anak murid yang bersalah), ia anggap sudah berlaku
bijaksana dan murah hati.
Betapa pedih hati Ubun Hiong dapat dibayangkan,
tetapi pemuda itu juga keras wataknya, pikirnya, "Karena
Subo juga menaruh curiga padaku, tak ada artinya jika
aku masih tinggal di sini."
Segera ia memberi hormat tiga kali pada ibu gurunya,
ujarnya, "Sehari menjadi guru, seratus tahun sebagai
ayah, dengan belum terangnya persoalan ini, sukar bagi

murid untuk tetap berada di sini. Biarlah kutaati perintah


Subo agar jangan menodai nama perguruan kita, tetapi
murid belum dapat membalas budi Subo, tak nanti di
luaran murid berani mengaku diri sebagai anak murid
Kang-tayhiap, walaupun dalam batin murid selalu
menjunjung tinggi Suhu dan Subo. Hanya murid mohon
sudilah Subo mengingat kesungguhan hati murid dan
izinkan murid tetap menyebut engkau sebagai Subo."
Sebenarnya Kok Tiong-lian hendak menghindari
supaya jangan terjadi upacara perpisahan resmi.
Mendengar ucapan yang setulus hati dari anak itu, mau
tak mau ia berlinang-linang juga.
"Jisuko, apakah kau benar-benar hendak berlalu?
Mengapa kau begitu keras hati?" teriak Hiau-hu.
"Kau memang budak yang tak tahu urusan, Hong-tit,
seret dia pergi!" kata Kok Tiong-lian kepada Leng-hong.
"Tindakan Suko sudah kelewat baik terhadapku,
Sumoay, terima kasih atas kebaikanmu, tapi sebaliknya
janganlah kau menghalangi," kata Ubun Hiong.
Leng-hong melangkah setindak menghadang di mulut
pintu, ujarnya, "Sute, harap kau baik-baik menjaga
dirimu di luaran, aku tentu akan berusaha keras
membantu Subo untuk membikin terang urusan ini, agar
kau tercuci bersih dari segala tuduhan. Harap kau jangan
kuatir!"
Sebenarnya itu hanya sandiwara yang hendak
dipertunjukkan pada Ubun Hiong dan Kang Hiau-hu, tapi
entah bagaimana waktu mengucapkan kata terakhir,
dapat juga ia meneteskan air mata. Padahal maksud

yang sebenarnya, ia hendak merintangi agar si dara


jangan memburu Ubun Hiong.
Terharu sekali hati Ubun Hiong, jawabnya, "Terima
kasih atas budi kecintaan Suheng. Kuharap pada suatu
hari aku dapat kembali lagi kemari agar dapat menerima
petunjuk yang berharga dari Suheng. Silakan Suheng
kembali, selamat tinggal!" Segera ia membungkuk badan
memberi hormat, lalu melangkah keluar pintu besar.
Si dara tahu bahwa keputusan telah ditetapkan, sukar
ditarik kembali. Sekalipun Leng-hong tak menghadang di
ambang pintu, ia pun tak mau mengejar Jisuhengnya.
Kok Tiong-lian memeluk putrinya seraya mengusap air
matanya, "Budak tolol, bukan perpisahan mati, mengapa
begitu sedih hatimu?"
"Ibu, telah kau janjikan untuk membikin terang
persoalan ini lebih dulu baru nanti kau izinkan Jisuheng
kembali kemari, tapi bagaimana kau hendak menyelidiki
urusan yang segelap itu?" tanya Hiau-hu.
"Di dunia tiada urusan yang sukar dikerjakan, soalnya
hanya tergantung pada kemauan orang. Setelah rapat
besar di Bin-san, tentu segera kulakukan penyelidikan.
Salah atau benar, tentu ada orang yang mengetahui. Jika
ia memang kena fitnah, tentu takkan menderita sampai
berkepanjangan," demikian Tiong-lian menghibur
putrinya. Sebenarnya ia sendiri juga belum mempunyai
rencana tertentu untuk membikin terang urusan itu.
Leng-hong merasa terkena sekali oleh kata-kata "salah
atau benar tentu ada orang yang mengetahui" dari
Subonya itu, diam-diam ia menggigil dalam batin. Tetapi
pada lain kilas ia menimang, "Ah, urusan yang

sedemikian peliknya bagaimana hendak diselidiki?


Jangankan Ki Seng-in sekarang sudah mati, sekalipun
masih hidup, tentu ia juga akan menuduh kalau Ubun
Hiong yang melakukan. Segala kecurigaan tentu jatuh
pada diri Ubun Hiong, bukankah Gak Ting telah
menyampaikan pesan penghabisan dari Ki Seng-in yang
nyata-nyata menunjuk hidung Ubun Hiong?"
Liku-liku urusan yang menguntungkan dirinya
menyebabkan ia girang sekali. Namun ia memulas
wajahnya dengan kerut kesedihan. Pandainya Leng-hong
bermain sandiwara menyebabkan si dara diam-diam
menyesal, "Kukira Toasuheng iri hati pada Jisuheng,
ternyata aku salah duga."
"Sudah tiga hari ayahmu pergi, hari ini tentu pulang.
Begitu ia pulang, besok pagi kita akan berangkat ke Binsan.
Hu-ji, nanti kau harus berlatih giat dengan
Suhengmu. Ilmu pedang Toa-si-mi-kiam dengan gerak
langkah Thian-lo-poh-hoat harus diyakinkan sampai
mahir betul. Jangan sampai membikin malu ayahmu di
hadapan umum. Hilangkan pikiranmu terhadap
Jisuhengmu, lekas sana!" kata Kok Tiong-lian.
"Ya, selama dalam perjalanan aku hanya mendapat
pelajaran lisan dari Suhu. Aku perlu meminta petunjuk
Sumoay untuk mempraktekkan ilmu pedangnya itu," kata
Leng-hong dengan kegirangan sekali.
Setelah kedua anak muda itu pergi, diam-diam Kok
Tiong-lian merenung, "Hong-tit pandai benar mengambil
hati Hu-ji, mungkin ia akan dapat menawan hati Hu-ji.
Tapi menilik suasana tadi, jelas kalau Hu-ji sudah
mendalam sukanya pada Ubun Hiong. Andaikata ia dapat
ditempel Hong-tit, juga dikuatirkan hatinya terluka

dengan bekas-bekas vang tak dapat dilupakan selamalamanya.


Entah apakah keputusanku tadi sesuai atau
tidak?"
Sebenarnya tindakan yang dilakukan terhadap Ubun
Hiong tadi, memang alasannya untuk membersihkan
rumah tangga perguruan, menjaga apabila terjadi
kemungkinan bahwa Ubun Hiong benar-benar seorang
pengkhianat. Namun tak urung juga tak bebas dari
kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi berupa
bantuannya untuk menghilangkan 'saingan' Leng-hong,
agar selanjutnya Leng-hong punya kesempatan luas
bergaul dengan Hiau-hu sehingga dara itu terpikat
hatinya.
Kok Tiong-lian seorang pendekar wanita yang
menjunjung kebenaran dan kejujuran, bahwa
tindakannya kali ini dipengaruhi oleh rencana pribadi,
diam-diam ia merasa menyesal juga. Nyonya itu juga
seorang yang pernah mengalami ujian gelombang
asmara. Teringat bagaimana romannya dahulu dengan
Kang Hay-thian juga mengalami bermacam-macam ujian,
diam-diam nyonya itu bimbang hatinya memikirkan
keputusannya tadi, sekonyong-konyong ia teringat pada
ibu angkatnya. Kok Ci-hoa. Dahulu Kok Ci-hoa juga
didakwa sebagai murid murtad oleh Sucinya sendiri
sehingga diusir dari rumah perguruan.
"Jika Ubun Hiong benar-benar terfitnah dan dengan
sewenang-wenang kupisahkan mereka (Ubun Hiong dan
Kang Hiau-hu), apakah aku tak berdosa kepadanya? Ah,
tetapi persoalan itu belum terang. Tak ada lain pilihan
lagi bagiku kecuali harus bertindak begitu," ia
mengadakan perbantahan sendiri dalam batinnya.

Leng-hong tak tahu bahwa Kok Tiong-lian diam-diam


merasa menyesal dengan tindakannya tadi. Ia anggap
Subonya itu bersungguh-sungguh akan membantunya,
girangnya meluap-luap sukar diutarakan. Kesempatan
berlatih bersama dengan Sumoay itu akan dipergunakan
untuk mengambil hati si dara.
Sekarang mari ikuti perjalanan Ubun Hiong.
Di saat Leng-hong bersuka ria, bagi Ubun Hiong
merupakan saat-saat yang menyiksa. Kemanakah
langkah hendak diayunkan di dunia yang sedemikian
luasnya ini? Kakinya seolah-olah terdorong oleh gejolak
kemarahannya untuk lekas-lekas meninggalkan rumah
keluarga Kang. Ia biarkan dirinya dibawa oleh ayunan
kakinya, tapi ketika teringat bahwa entah kapan ia dapat
berjumpa pula dengan sang Sumoay, mau tak mau
hatinya seperti tersayat-sayat.
Tak terasa ia tiba di bukit yang terletak di hadapan
kota Tong-peng, sekonyong-konyong sesosok bayangan
melesat. Bahunya ditepuk perlahan-lahan oleh
seseorang. "Apakah saudara ini murid kedua dari Kangtayhiap
yang bernama Ubun Hiong? Kulihat saudara
mempunyai kesedihan dalam hati, bolehkah aku
mengetahui?" demikian orang itu berkata.
Munculnya orang itu membuat Ubun Hiong kaget
sekali, tetapi demi dilihatnya yang datang itu seorang
Pemuda baju hitam, ia tertegun, ujarnya, "Siapakah
saudara? Maaf, agaknya kita tak pernah berkenalan.
Mengapa saudara tahu namaku?" Diam-diam Ubun Hiong
membatin Pemuda baju hitam itu kelewat usil, masa mau
mengetahui rahasia hati orang.

Pemuda baju hitam itu tertawa, rupanya ia tahu


kesangsian Ubun Hiong, ujarnya, "Bukankah kau
menyangsikan diriku yang muncul secara mendadak ini?
Bagi kaum persilatan yang berkelana, asal sehaluan saja
tentu dapat menjadi sahabat, bukan?"
"Hm, benar, tetapi aku tak tahu siapa dirimu,"
demikian Ubun Hiong berkata dalam hati.
"Apalagi kita sudah pernah berjumpa muka, hanya
mungkin saudara tak ingat lagi," kata pemuda itu pula.
"Bilamana dan dimana? Maafkan ingatanku yang
terlalu lemah. Aku sungguh tak ingat lagi," kata Ubun
Hiong.
Tertawalah si Pemuda baju hitam, "Ya di sini juga, kan
baru kemarin, mengapa sudah lupa?"
Kini tersadarlah Ubun Hiong. "O, jadi kaulah Ya-hengjin
semalam itu?"
Pemuda itu mengiakan, tanyanya, "Eh, mengapa kau
tinggalkan rumah keluarga Kang? Menilik kerut wajahmu,
kau tentu mempunyai kesulitan."
"Urusanku tak berharga untuk dikemukakan pada
orang lain. Saudara pun tak nanti dapat menyelesaikan.
Hm, siapakah nama saudara yang mulia?"
Pemuda itu kembali tertawa, "Namaku? Kelak kau
tentu akan mengetahui sendiri. Bukannya aku tak mau
memberitahukan padamu, soalnya hanya belum tiba
saatnya."
Ubun Hiong agak tak senang, pikirnya, "Mengapa
pemuda ini aneh benar? Hm, namanya saja tak mau

memberitahukan, sebaliknya mengapa mau minta tahu


rahasiaku!"
"Siapa tahu aku mungkin dapat membantu. Mari kita
omong-omong di dalam hutan sana," kata pemuda itu
pula.
"Aku tak berani merepotkanmu. Aku masih harus
meneruskan perjalanan, terima kasih atas kebaikanmu,"
sahut Ubun Hiong.
Pemuda itu tertawa gelak-gelak, "Ubun Hiong, kau
berdusta. Kemana tujuanmu, mungkin kau sendiri tak
dapat menjawab. Mengapa hendak meneruskan
perjalanan?"
"Ini urusanku, tak usah saudara turut campur," sahut
Ubun Hiong dengan aseran.
"Tidak! Mungkin hanya aku yang dapat menyelesaikan
urusanmu itu. Kuatirkah kau aku akan mencelakai
dirimu? Bukan hendak menyombongkan diri, tetapi jika
mau, semalam saja tentu sudah kulukaimu. Baiklah,
rupanya kau tak begitu percaya padaku, kalau begitu aku
hanya hendak mengajukan suatu pertanyaan. Jika kau
anggap dapat menjawab, jawablah. Tetapi kalau tidak,
boleh diam saja. Dengan cara demikian, legakah
hatimu?"
Karena tak berdaya menghadapi keusilan si anak
muda, akhirnya terpaksa Ubun Hiong mengikut pemuda
itu ke dalam hutan.
"Apakah pemuda yang tadi malam bersamamu itu
adalah Suhengmu?" tanya si pemuda kemudian.
Ubun Hiong mengiakan.

"Siapakah nama Toasuhengmu itu?" tanya pemuda itu


pula. Ubun Hiong merasa aneh juga mengapa pemuda
itu hendak mencari keterangan tentang Toasuhengnya,
tetapi karena hal itu dianggapnya bukan suatu rahasia, ia
pun memberitahukan.
Tampak pemuda itu tertegun seperti mendengar
lelucon, wajahnya berubah aneh, katanya seorang diri,
"O, Yap Leng-hong, dia bernama Yap Leng-hong?" Tibatiba
ia tertawa terbahak-bahak.
Diam-diam Ubun Hiong kuatir jangan-jangan pemuda
itu tak waras pikirannya, maka bertanyalah ia, "Apanya
yang lucu? Orang toh punya nama, apakah nama
Suhengku itu kau anggap aneh?"
"Benar, benar. Nama hanyalah suatu tanda pengenal
saja, nama Yap Leng-hong itu bagus benar, sama sekali
tak ada keanehannya," sahut si pemuda.
"Tapi mengapa kau tertawa?" tanya Ubun Hiong.
"Tak apa-apa, hanya merasa geli saja. Eh, kan salah
ini. Bukankah tadi kita sudah berjanji, aku yang bertanya
dan kau yang menjawab. Mengapa kau yang berbalik
menanyai aku?"
Ubun Hiong membatin, "Orang ini mungkin pikirannya
tak waras, tapi sinar matanya begitu tenang, seorang gila
tentu tak begitu". Ia dongkol dan ingin lekas
menghindarkan diri, katanya dengan ketus, "Baik, kau
hendak bertanya apa, silakan lekas bertanya!"
"Aku masih hendak menanyakan tentang
Toasuhenginu itu. Apakah ia bersikap baik kepadamu?"
tanya Pemuda baju hitam itu.

"Kau ingin tahu urusan pribadi kami?"


"Kau tak ingin menjawab?" pemuda itu
mengembalikan pertanyaan.
"Tidak, hanya aku merasa pertanyaanmu itu agak
aneh. Kita tak kenal satu sama lain, nama Suhengku pun
baru pertama kali kau dengar."
Tiba-tiba pemuda itu tertawa, "Kau melanggar
persetujuan kita. Kalau kau suka menyahut,
menyahutlah. Tapi jangan menanyakan padaku apa
sebabnya aku mengajukan pertanyaan begitu."
Kuatir si pemuda mengolok-olok, Ubun Hiong
menyahut, "Hal itu bukan suatu rahasia yang tak boleh
diberitahukan orang. Baiklah, kuberitahu, Toasuheng
bersikap baik kepadaku."
"Kapan Toasuhengmu diterima masuk menjadi murid
Suhumu?"
"Hanya beberapa hari lebih dulu dari aku, kira-kira
setengah tahun yang lampau."
"Apakah kau masih punya saudara seperguruan
lainnya?"
"Masih ada seorang Sumoay, ia putri Suhuku," berkata
sampai di sini tampak Ubun Hiong tergetar hatinya,
timbullah kecurigaannya. "Apakah orang ini tahu kalau
Suhu telah menerima seorang calon murid putra Li Bunsing
dan dengan sengaja pura-pura gila ia hendak
mencari keterangan padaku?" pikirnya.
"Baiklah, karena agaknya kau tak sabar lagi, aku pun
takkan menanyakan tentang diri Toasuhengmu itu,

sekarang aku hendak bertanya padamu mengenai hal-hal


yang sungguh," kata Pemuda baju hitam itu.
Karena mempunyai prasangka, diam-diam Ubun Hiong
waspada terhadap orang itu. Setelah tertegun sejenak, ia
menyahut, "Kita berdua belum saling mengenal, urusan
sungguh-sungguh apa yang hendak dibicarakan?"
Pemuda itu tertawa, "Jangan begitu tegang
perasaanmu. Bukankah kita sudah setuju, apa yang kau
rasa tak perlu menjawab, janganlah menjawab."
"Baik, silakan bertanya," kata Ubun Hiong.
"Benarlah ucapanmu itu. Kita berdua belum saling
kenal, maka aku pun tak mau menanyakan sejarah
hidupmu yang lampau, melainkan tentang peristiwa yang
kau alami akhir-akhir ini saja. Kudamu kemarin itu kau
pinjamkan kepada siapa?"
Oleh karena menganggap bahwa Subonya
berhubungan dengan seorang berandal wanita Jian-jiukoan-
im Ki Seng-in, maka ia tak mau menyahut
pertanyaan itu.
Pemuda itu tertawa dan mengadakan tanya-jawab
seorang diri, "Dipinjamkan pada seorang yang bergelar
Jian-jiu-koan-im, seorang berandal wanita yang dapat
memainkan ruyung dan pedang bersama-sama, bukan?
Jian-jiu-koan-im itu telah dilukai oleh kawanan budak
kerajaan, bukan?"
"Kau sudah tahu semua, mengapa masih bertanya
padaku?" kata Ubun Hiong.
"Namun masih ada sebuah hal tak jelas yang perlu
kutanyakan pada saudara," kata pemuda itu, "terlukanya

Jian-jiu-koan-im itu disebabkan karena kudanya terkena


racun. Kalau tidak, dengan kuda sebagus itu ia tentu
dapat meloloskan diri. Kemarin malam kulihat kuda itu
masih segar bugar, mengapa mendadak bisa kena
racun?"
"Kurangajar! Kau juga mencurigai aku?" teriak Ubun
Hiong.. Ia mengira pemuda itu tentulah orang Gak Ting,
maka tak dapatlah ia menahan kemarahannya lagi, tapi
dengan berbuat begitu, kelemahannya telah diketahui si
Pemuda baju hitam.
"Oo, jadi Subo dan Suhengmu mendakwa kau yang
meracuni? Semalam kau yang memberi makan kuda itu
bukan?"
"Terserah kau hendak merangkai dugaan apa saja,
namun aku merasa tak berbuat hal-hal yang hina," kata
Ubun Hiong.
Pemuda itu tertawa, "Bukannya aku curiga padamu.
Kau menjawab hal yang tak kutanyakan, memang aku
juga menaruh kecurigaan, masakah Sumoaymu
menemani kau memberi makan kuda itu. Bukankah hal
itu baru dikatakan oleh Suhengmu kepada Subomu
setelah peristiwa itu terjadi?"
Pemuda baju hitam itu luas sekali pengalamannya di
dunia persilatan. Sekali tebak, jitu sekali, tetapi hal itu
diterima salah oleh Ubun Hiong. "Kau hendak mengadu
domba hubunganku dengan Suheng!" ia marah-marah.
"Mana aku berani merusak hubungan kalian berdua,
tapi naga-naganya kau memang mempunyai ganjalan
batin dengan Toasuhengmu itu. Oh, tahulah aku!"

Ubun Hiong makin marah, "Karena segala apa sudah


kau ketahui, tak usah kau mengolok-olok aku lagi. Maaf!"
Ia terus hendak berlalu, tapi cepat dicegah oleh
pemuda itu. Dengan wajah bersungguh-sungguh
berkatalah pemuda aneh itu, "Tidak, ada sebuah hal
yang tak kumengerti, kau harus memberitahukan
padaku. Hal itu penting sekali bagiku!"
Melihat kesungguhan orang, terpaksa Ubun Hiong
mau percaya. "Silakan mengatakan. Asal tidak melanggar
kesusilaan Hiap-gi (sifat ksatria), tentu aku suka
memberitahu."
"Tahukah kau bagaimana pribadi Jian-jiu-koan-im?
Apakah perjalanan hidupnya di dunia Lok-lim baik atau
buruk?"
Ubun Hiong terkesiap, serunya, "Apakah kau bergurau
padaku? Bagaimana tokoh Jian-jiu-koan-im itu mengapa
kau perlu tanyakan lagi padaku?"
Pemuda itu juga tertegun, serunya keheran-heranan,
"Aku bicara dengan sungguh-sungguh, mengapa kau kira
bergurau?"
"Jadi kau bukan anggota gerombolannya?" teriak
Ubun Hiong.
"Sudah tentu bukan, kalau tidak, masakah aku perlu
bertanya padamu!"
Namun Ubun Hiong masih tak percaya, pikirnya, "Aneh
orang ini! Terlukanya Ki Seng-in oleh kawanan alap-alap
itu baru saja terjadi, jika bukan anggota gerombolannya
bagaimana ia dapat mengetahui? Dalam pembicaraannya

tadi, ia sudah mengenal riwayat hidup Ki Seng-in,


mengapa ia bertanya tentang perjalanan hidupnya?"
Memang tak salah kalau Ubun Hiong merangkai
dugaan begitu, namun ia tak tahu bahwa yang
bersembunyi di balik tumpukan batu itu bukan lain
adalah si Pemuda baju hitam ini. Sudah dua kali secara
diam-diam ia turun tangan menyelamatkan jiwa Ki Sengin,
tentang riwayat Ki Seng-in ia hanya mendapat dengar
dari kabar saja.
Ia tak kenal dengan Ki Seng-in, tapi sebaliknya kenal
pada Leng-hong. Dari apa yang dilihat dan didengarnya
tadi malam dan saat itu, remang-remang dan ia
menduga kalau Leng-honglah yang mencelakai Jian-jiukoan-
im. Adalah karena tak kenal bagaimana pribadi Ki
Seng-in, maka si Pemuda baju hitam tak mau terangterangan
ikut campur dalam pertempuran. Hanya pada
saat-saat yang penting saja ia diam-diam membantu.
Paling perlu menolong jiwa Ki Seng-in dulu, baru nanti
perlahan-lahan menyelidiki keadaan yang sesungguhnya.
"Sebenarnya tak nanti tanpa sebab dan tanpa alasan
apa-apa Leng-hong mau mencelakai orang. Tindakan
begitu itu bukanlah peri-laku seorang ksatria. Ah, hal ini
membingungkan sekali, apakah aku salah mengenal
orang? Atau apakah Leng-hong sudah berubah menjadi
seorang lain?" demikian batin pemuda itu. Adalah karena
bingung mencari pemecahannya, ia hendak mencari
keterangan pada Ubun Hiong. Sayang pemuda itu salah
paham tak mempercayai orang, hal itu bahkan
menimbulkan banyak kesalah pahaman lagi.

"Tak nanti jawaban yang kau berikan itu melanggar


garis-garis kaum Hiap-gi!" kata Pemuda baju hitam
kemudian.
Sebenarnya bukan Ubun Hiong tak mau memberi
jawaban, tapi memang hal itu sukar dijawabnya.
Penderitaan yang diterima Ubun Hiong saat itu timbul
dari peristiwa Ki Seng-in. Apakah wanita gagah itu binasa
atau tidak, masih belum diketahui jelas. Meski hatinya
tak mendendam kepada Ki Seng-in, tapi sekurangkurangnya
ia tak senang mendengar diungkitnya
peristiwa itu. Apalagi kalau teringat bahwa kematian
mendiang ayahnya disebabkan gara-gara suami Ki Sengin
merampas barang antaran. Pertanyaan yang diajukan
Pemuda baju hitam itu sukar dijawab. Ki Seng-in seorang
baik atau buruk? Suatu pertanyaan yang ia tak tahu cara
bagaimana harus menjawab.
"Tak tahulah aku!" akhirnya ia hanya dapat menyahut
begitu.
"Mengapa kau tak tahu? Bukankah tadi malam kau
pinjamkan kudamu kepadanya?" tanya si pemuda
dengan nada putus asa.
"Itu perintah Suboku!" sahut Ubun Hiong.
Cepat sekali pemuda itu mengetahui reaksi wajah
Ubun Hiong, tegurnya, "Melihat nadamu, agaknya kau
tak begitu senang terhadap Jian-jiu-koan-im, benarkah?"
"Terserah bagaimana kau hendak menduganya, aku
tak mau karena orang menuduh aku mencelakai Ki Sengin,
lalu aku berusaha untuk menghilangkan tuduhan itu
dengan memuji-muji wanita itu. Maaf, hari sudah petang,
terpaksa aku tak dapat menemanimu lebih lama," kata

Ubun Hiong. Ia masih curiga kalau Pemuda baju hitam


itu anak buah rombongan Ki Seng-in dan Gak Ting.
"Eh, nanti dulu, aku masih akan bicara!" lagi-lagi
pemuda itu mencegah.
"Percuma, aku tetap mengatakan tak tahu apa yang
kau tanyakan nanti! Betapa tinggi kepandaianmu, belum
tentu dapat memaksa aku bicara. Mau lepaskan aku atau
tidak?"
Pemuda itu tertawa, "Saudara salah faham,
sebelumnya kita sudah membuat persetujuan. Masakah
aku akan memaksamu bicara? Memang pertanyaanku
serba lancang, tak heran kalau kau curiga. Aku hanya
ingin bicara sepatah padamu, harap kau jangan
meneruskan perjalanan."
"Eh, aneh benar kau ini. Ini kan urusanku, mengapa
kau turut campur?" seru Ubun Hiong.
"Bukannya aku mengurusi urusanmu, tetapi kau
adalah murid
Kang-tayhiap. Sungguh sayang kalau kau sampai
meninggalkan perguruanmu. Aku hendak
menyumbangkan sedikit tenaga padamu, tetapi kuminta
janganlah kau pergi jauh dulu barang dua hari ini. Ya,
bukankah kau kenal baik dengan Ong tua itu? Pergilah ke
rumahnya dulu, besok pagi aku tentu mencarimu di sana.
Mudah-mudahan aku. dapat membawa berita baik
bagimu."
Begitu besar perhatian pemuda itu, suatu hal yang
membikin Ubun Hiong semakin curiga. "Terima kasih,
pergi atau tidak, aku dapat memutuskan sendiri. Harap
kau jangan memikirkan," katanya.

Pemuda itu menghela napas, ujarnya, "Kau tak mau


percaya padaku, itu terserah saja. Sudahlah, kuharap kita
bisa berjumpa lagi di kemudian hari. Sekalipun kau tak
menjawab semua pertanyaanku, tapi kau sudah
memberitahukan padaku beberapa hal. Terima kasih!"
Setelah memberi hormat, Pemuda baju hitam itu lantas
melangkah pergi.
"Hm, hampir setengah hari melayani seorang gila,
kalau bukannya gila tentulah ia orang Gak Ting. Dia
hendak membantu supaya aku kembali ke tempat Suhu?
Edan barangkali dia itu!" pikir Ubun Hiong.
0^de*wi^0
Seperginya Ubun Hiong dari rumah keluarga Kang,
rencana Leng-hong berjalan lancar, suatu hal yang
membuat kegirangannya meluap-luap. Soal yang
dihadapinya sekarang hanyalah bagaimana cara
mengambil hati si dara Hiau-hu.
Pada hari itu boleh dikata sehari suntuk ia bersama si
dara berlatih ilmu pedang di taman. Dengan bersungguhsungguh
hati Hiau-hu memberi petunjuk jurus permainan
pedang, tapi sikap si dara hanya didasarkan atas dasar
mengindahkan saja, lain tidak. Mengindahkan karena
Leng-hong adalah Piauko (kakak misan) dan berbareng
juga Ciangbun Suheng (Suheng calon pengganti guru),
tapi samar-samar dara itu merasa bahwa 'selera' Lenghong
itu tak mencocoki hatinya. Rangkaian kata-kata
indah merdu yang diucapkan Leng-hong padanya malah
membuatnya jemu, rasa jemu itulah yang membuat
renggang hatinya.
Tahu bahwa si dara belum dapat melupakan Ubun
Hiong, Lenghong bersikap menunggu dengan sabar,

pikirnya, "Toh Ubun Hiong tak mungkin kembali lagi, asal


tiap hari berada bersama masakah lama kelamaan hati
Hiau-hu takkan terpikat? Biar lambat asal dapat Demikian
sikap yang ditentukan untuk memenangkan. usahanya
menawan hati dara ayu itu. Untuk menghadapi sikap
dingin dari si dara, ia pun tak mau ceriwis, melainkan
bicara dengan betul dan berlatih sungguh-sungguh.
Dasar otaknya memang cerdas, apalagi sudah
mendapat pelajaran lisan lebih banyak dari Sumoaynya,
maka waktu berlatih praktek, cepat sekali ia dapat
menguasai pelajaran. Apa yang didapatnya selama
berlatih sehari itu sungguh banyak sekali.
Suco (kakek guru) Leng-hong atau ayah Kang Haythian,
yakni Kang Lam, mengatakan bahwa hari itu akan
pulang. Tapi sampai malam hari, belum juga kelihatan
datang. Habis makan malam, berkatalah Kok Tiong-lian,
"Jika sampai besok siang ayah belum pulang, terpaksa
kita berangkat dulu ke Bin-san. Kalian sudah berlatih
sehari, tidurlah sore-sore, besok kita akan berangkat."
Gedung kediaman keluarga Kang itu sebuah rumah
besar yang tua, peninggalan engkong luar Kang Haythian
yaitu Nyo Tiong-eng, umur gedung itu sudah 100-
an tahun lebih. Nyo Tiong-eng adalah pemimpin kaum
persilatan dari lima wilayah, walaupun tidak kaya raya,
tapi rumah tinggalnya besar sekali. Kok Tiong-lian dan
putrinya menempati ruangan yang paling dalam dan
Leng-hong tinggal di kamar yang paling luar dekat taman
bunga. Biasanya ia tinggal bersama Ubun Hiong, kini
seorang diri.
Hari itu bagi Leng-hong dirasakan sebagai hari yang
paling bahagia. Seorang diri ia berada di kamar,

mulurnya tertawa-tawa, saking girangnya hingga tak


dapat tidur. Cepat sekali tahu-tahu sudah tengah malam,
malam itu tanggal muda, rembulan remang-remang,
bintang-bintang tak muncul. Bunyi serangga malam di
luar kamar menambah kelelapan malam, gedung
keluarga Kang seperti diselubungi suasana yang agak
menyeramkan. Tiba-tiba Leng-hong seperti melihat
bayangan Hong Jong-liong muncul di luar jendela.
"Ah, tak nanti dia datang, Li Tay-lian sudah lari dan
warung arak itu sudah terbakar, mengapa aku takut?
Hm, siapakah yang membakar warung arak itu?" ia
membesarkan semangatnya sendiri, tapi secepat itu
samar-samar ia mendengar kesiur angin dari lengan baju
orang yang melayang turun dari genteng.
Sejak beberapa bulan ini, kepandaian Leng-hong
memang maju pesat sekali, ia segera mengetahui kalau
pendatang itu berilmu tinggi. Orang itu dapat berjalan di
atas atap seperti capung bermain di air. Waktu melayang
turun, gerakannya hampir tak menerbitkan suara sama
sekali. Untung di tengah malam yang begitu sunyi, coba
tidak, Leng-hong pun belum tentu dapat mendengarnya.
Rupanya orang itu berkeliaran dulu di atas wuwungan
untuk kemudian melayang turun di luar kamar Lenghong,
rupanya dia tahu kalau kamar itu ada
penghuninya. Munculnya orang itu membuyarkan seluruh
impian indah Leng-hong. Lamunannya berubah menjadi
kejut yang luar biasa, serentak ia hendak berteriak untuk
membangunkan Subo dan Sumoaynya. Dengan
datangnya kedua bala bantuan itu, pendatang itu tentu
mudah diringkus.

Namun Leng-hong tak berani menjerit, terlintas dalam


pikirannya, jangan-jangan yang datang itu Hong Jongliong.
Jika ketahuan Subo dan Sumoaynya, tentu tak
menguntungkan baginya. Bayang-bayang Hong Jongliong
itu mengerikan hati Leng-hong, tapi dalam hati
kecilnya, ia lebih menyukai kalau Hong Jong-liong atau
orang-orangnya yang datang. "Mereka tentu takkan
mencelakai diriku, sebaliknya aku dapat meminta mereka
supaya mengejar jejak Ubun Hiong dan membunuhnya
pula untuk menghilangkan bahaya di kemudian hari,"
pikirnya.
Dengan mencabut pedang, lalu Leng-hong mendekam
di bawah jendela, mulutnya menggumam, "Matahari
rembulan tak bersinar, matahari rembulan tak bersinar."
Itulah kata-kata sandi untuk mengadakan kontak dengan
orang-orang Hong Jong-liong, tentulah akan menyambut
kata-kata sandi itu.
Rupanya pendatang malam itu berhenti di muka
jendela, tetapi tak memberi penyahutan apa-apa, terang
dia bukan golongan Hong Jong-liong, suatu hal yang
menggetarkan hati Leng-hong. Pikirannya
membayangkan sebuah kemungkinan lain yang
menyeramkan. "Jika yang datang itu kawan Gak Ting,
celakalah aku. Mereka tentu sudah tahu kalau aku yang
membunuh Jian-jiu-koan-im."
"Ah, tak peduli siapa saja yang masuk ke dalam
kamarku tentu kubunuh. Andaikata sahabat Suhuku,
tengah malam masuk ke kamar orang, tak salah kalau
dibunuh. Sembilan puluh persen dia tentu mengandung
maksud buruk terhadap diriku, lebih baik kubunuh
daripada kubiarkan saja, akhirnya ia mengambil putusan.

Mendengar Leng-hong menggumam seorang diri,


pendatang itu heran. Walaupun tanggal muda rembulan
sisir, tapi toh masih ada bulannya, mengapa Leng-hong
mengatakan "matahari bulan tak bersinar?"
"Entah apa maksudnya mengatakan begitu? Apakah
dia sedang mengigau dalam tidurnya? Ah, tak apa, biar
kumasuki kamarnya," demikian orang itu berpikir.
Kepandaian orang itu tinggi sekali. Setelah mendorong
jendela, ia segera melompat masuk seraya berseru,
"Yap-heng, bangun, bangunlah! Coba lihatlah siapa yang
datang?"
"Sret", dari tempat gelap tiba-tiba Leng-hong
menusuknya. Tubuh orang itu masih terapung di atas
udara, tusukan Leng-hong datangnya begitu mendadak,
mengarah dada. Kecuali dapat menarik tubuhnya keluar
lagi barulah ia dapat terhindar dari tusukan pedang, tapi
hal itu terang tak mungkin.
"Krek", pedang bukan menusuk daging manusia,
melainkan seperti menusuk kulit keras. Leng-hong
terkesiap kaget, tangannya terasa kesemutan dan tahutahu
pedangnya sudah pindah tangan, ternyata
pendatang itu seorang tokoh persilatan yang
berpengalaman. Dia pun sudah menjaga kemungkinan
Leng-hong bertindak begitu, maka sewaktu melompat
masuk ia membuka sabuk kulit untuk melindungi
rubuhnya. Tusukan pedang Leng-hong tadi hanya dapat
menabas putus sabuk kulit, namun orang itu tak
menyangka kalau Leng-hong hendak membunuhnya.
Begitu merampas pedang, ia tak mau balas menyerang,
malah tertawalah ia, "Yap-heng, akulah! Lupakah kau
akan suaraku?"

Memang Leng-hong seperti sudah pernah mendengar


suara orang itu, tapi untuk sesaat tak ingat siapa orang
itu, pikirnya, "Dia memanggil aku Yap-heng rasanya
tentu tak bermaksud buruk. Kepandaiannya jauh lebih
tinggi dari aku, tak boleh kuhadapi dengan kekerasan."
"Maaf atas kelancanganku tadi, untung tak sampai
melukai saudara. Hanya ingatanku lemah sekali, entah
bilakah aku berjumpa dengan engkau?" cepat Leng-hong
menyusuli tindakannya yang gagal tadi.
Orang itu tertawa, ia menyalakan api dan menyulut
lampu, ujarnya, "Lihatlah dengan jelas, masih kenal
padaku?"
Leng-hong pentang kedua matanya memandang
tajam-tajam. Tiba-tiba wajahnya berubah pucat seperti
kertas, semangatnya serasa terbang, beberapa saat
kemudian baru berkata, "Kau ... kau adalah...”
Orang itu bukan lain ialah Pemuda baju hitam yang
dijumpai Ubun Hiong siang tadi. Melihat Leng-hong
ketakutan seperti melihat setan, tertawalah pemuda itu,
"Tak heran kalau kau tak ingat lagi padaku, aku sendiri
pun tak menyangka akan dikirim kembali dari akhirat,
hanya saja jika kau tanyakan siapa namaku, wah, sukar
kujawab. Dahulu aku mempunyai nama Yap Leng-hong,
sekarang karena nama itu sudah kau pakai, aku pun
mengalah, terserah kau hendak memanggil apa
kepadaku. Hehehe, nama hanya suatu tanda pengenal,
tak begitu penting. Aku memakai pakaian warna hitam,
panggil saja aku si Baju Hitam."
Wajah Leng-hong berubah-ubah, sebentar pucat
sebentar merah. Orang itulah manusia yang paling

ditakutinya, ia tak nyana sama sekali kalau orang itu


hidup kembali di dunia ....
Hal itu terjadi dua tahun berselang, pada suatu hari
Leng-hong kembali dari wilayah Kamsiok dan lewat di
suatu gundukan batu di bawah gunung. Kala itu dia
belum bernama "Yap Leng-hong", dia adalah putra
gubernur Kamsiok yang bernama Yap Thing-cong.
Setelah 10-an tahun meninggalkan rumah, kini ia pulang,
tapi hatinya masih bimbang, pulang atau tidak.
Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara hiruk-pikuk di
lamping gunung, ada yang membentak, memaki dan
mengerang kesakitan. Ia ingin mengetahui apa yang
terjadi dan naiklah ia ke atas untuk melihatnya. Di atas
lamping gunung dilihatnya bergelimpangan belasan
mayat, mayat-mayat itu mengenakan seragam prajurit
Gi-lim-kun. Di antaranya terdapat seorang perwira yang
tubuhnya mandi darah, tapi belum mati. Dia tengah
merangkak di tanah. Di sebelahnya menggeletak seorang
Pemuda baju hitam yang juga belum mati. Pemuda itu
membelalakkan sepasang matanya yang besar bundar,
memandang dengan penuh kebencian dan marah kepada
perwira Gi-lim-kun yang merangkak dengan membawa
golok hendak menghampiri tempatnya itu. Luka pemuda
itu lebih berat dari si perwira, perwira itu masih dapat
merangkak, tapi pemuda itu sedikitpun tak mampu
berkutik lagi.
Dua tahun berselang, pemuda Yap Thing-cong itu
masih hijau, dengan dada penuh cita-cita tinggi dan
keberanian yang menyala-nyala, ia hendak menonjolkan
diri melebihi orang lain untuk melakukan sesuatu yang
gemilang.

Apakah yang dikatakan 'menonjol melebihi orang lain'


itu? Bagaimana cara melakukan suatu hal yang
gemilang? Setiap pemuda tentu mempunyai cita-cita
begitu, masing-masing mempunyai tujuan sendiri.
Ayah Yap Thing-cong adalah seorang pembesar tinggi
kerajaan, tetapi Suhunya seorang pejuang yang
menentang kerajaan Cing, sudah tentu pandangan hidup
keduanya berlainan. Yap Thing-cong langsung tak
langsung menerima pengaruh dari dua macam aliran
pendidikan. Dia seorang pemuda yang cerdas, sebelum
mengambil keputusan, ia sudah berpikir masak-masak.
"Ayahku menjabat gubernur Siam-kam (Siamsay -
Kamsiok). Ikut padanya memang mudah mencari
pangkat, tapi apakah hal itu dapat dianggap menonjol?
"Ayah menjabat pangkat sebagai hamba kerajaan. Di
dalam kantor mungkin dia tak merasa, tetapi aku yang di
luaran tahu jelas. Setiap orang yang masih punya setitik
darah panas patriot, tentu bercita-cita untuk mengusir
penjajah, merebut kembali tanah air. Lambat-laun antekantek
pemerintah Cing tentu dienyahkan keluar daerah.
Soalnya hanya waktu saja, entah kapan.
"Walaupun jalan yang ditempuh Suhu berbahaya,
tetapi dapat mendirikan suatu pahala yang gilang
gemilang, sekalipun kalah tetap akan mendapat gelar
terhormat sebagai ksatria. Meskipun jalan yang ditempuh
ayah itu mudah, tetapi sebenarnya tak aman. Dewasa ini
hati rakyat sudah bergolak, bibit-bibit pemberontakan
sudah mulai tumbuh. Mereka-mereka yang menghamba
pada pemerintah Cing belum tentu dapat
mempertahankan pangkat dan kekayaannya. Jika
kawanan antekantek pemerintah Cing itu sampai diusir

keluar daerah, rumah tangganya pun tentu hancur


berantakan."
Begitulah betapapun perhitungan Yap Thing-cong itu
masih tak lepas dari keuntungan pribadi, tetapi ia
memilih juga jalan menentang kerajaan Cing. Maka
begitu keluar rumah, tujuannya hendak mengikat
persahabatan dengan kaum pahlawan yang menentang
kerajaan. Sayang gurunya itu sudah pergi jauh ke
perbatasan sehingga hubungannya dengan kaum
pahlawan di daerah Tionggoan terputus. Thing-cong
sendiri sebagai seorang anak muda yang masih hijau,
betapapun ia berusaha mencari hubungan dengan kaum
pejuang kemerdekaan, namun sukar menemukan,
akhirnya ia terpaksa menunggu kesempatan saja.
Memang hal itu hanya bisa didapat secara tak terduga,
tapi tak bisa diharap dengan cepat.
Akhirnya berjumpa pula ia dengan kesempatan itu,
ialah ketika ia melihat perwira yang bertempur dengan si
Pemuda baju hitam tengah merangkak mengambil golok
untuk membunuh si pemuda. Seketika timbullah
ingatannya, pikirnya dengan girang, "Seorang diri
pemuda itu dapat membunuh belasan perwira kerajaan,
tentulah seorang tokoh penting dalam kalangan kaum
pahlawan. Dia dan perwira itu sama-sama terluka parah,
jika kutolong dia, itulah mudah sekali. Dia nanti tentu
akan berterima kasih kepadaku dan suka
memperkenalkan aku pada kawan-kawannya. Hahaha,
akhirnya tercapai juga tujuanku!"
Setelah mengambil putusan, Thing-cong menghampiri
belakang si perwira yang saat itu justru masih
merangkak. Sekali tusuk, amblaslah jiwa perwira itu.

"Terima kasih atas bantuanmu, saudara yang gagah,


tapi lebih baik kau lekas lari saja. Aku ... aku sudah tak
kuat ..." berkata begitu napas Pemuda baju hitam itu
terengah-engah, suaranya terputus-putus.
Yap Thing-cong kecewa, pikirnya, "Dia payah sekali
keadaannya. Jika tak bisa hidup, sia-sialah pertolonganku
tadi. Tapi baiklah aku berusaha menolongnya, jangan
sampai ia mati begitu saja."
Di atas gunung terdapat sebuah kuil rusak. Yap Thingcong
mengangkat tubuh pemuda itu, ujarnya, "Jangan
kuatir, beristirahatlah dengan tenang. Aku paling memuja
kaum gagah. Walaupun terancam bahaya yang
bagaimanpun juga, tetap hendak kurawat dirimu sampai
sembuh." Ia memperhitungkan, jika seorang diri mampu
membunuh sekian banyak tentara kerajaan, tentulah
pemuda itu seorang gagah perkasa, dia tentu
mempunyai kawan yang hebat.
Memang sukar untuk mengetahui isi hati orang, sikap
Yap Thing-cong itu membuat si Pemuda baju hitam
berterima kasih sekali dan menganggap tentulah Thingcong
itu juga sekaum dengan dia. Waktu dibawa masuk
ke dalam kuil, pemuda itu sudah tak kuat bicara lagi.
"Kepandaianmu begitu tinggi, tentulah kau membawa
obat. Biarlah kuambilkan," kata Thing-cong.
Pemuda itu mengangguk, tapi pada lain saat ia
menggeleng kepala.
Thing-cong terkesiap, tapi ia seorang cerdas. Cepat ia
dapat menangkap isyarat kepala pemuda itu. Dia
mengangguk, artinya memang membawa obat, tapi dia

menggeleng berarti kalau obat itu takkan dapat


menolongnya.
"Orang baik tentu diberkahi Thian, janganlah saudara
putus asa. Serahkan saja kepada Yang Kuasa, jika
saudara membawa rahasia apa-apa, aku pun takkan
berani mengambilnya. Apakah saudara dapat
mempercayai aku?" Thing-cong merangkai kata-kata
menghibur.
Rupanya Pemuda baju hitam itu tergerak hatinya, ia
mengangguk. Thing-cong mengambil keluar barangbarang
pemuda itu, memang benar ia membekal dua
botol kecil berisi pil dan salep. Sepotong emas pecah
sebesar kacang, beberapa keping pecahan perak dan
sepucuk surat. Sampul surat itu tiada tertulis alamat
penerimanya, melainkan tertutup dengan lak merah,
tentulah sepucuk surat yang penting.
"Ah, benarlah kiranya. Surat itu tentu akan
disampaikan kepada orang gagah penentang pemerintah
Cing," pikir Thing-cong. Ia berlagak tak acuh, yang
diambil hanya botol obat. Emas dan perak serta surat
diletakkan di pangkuan pemuda itu. Thing-cong
melumurkan obat dan meminumkan pil ke mulut si
pemuda. Pemuda itu ternyata parah sekali lukanya, obat
dan pil hanya dapat memperpanjang sedikit jiwanya.
Setelah minum pil, pemuda itu diam-diam menyalurkan
napas, dirasakan kaki dan tangannya sakit seperti disayat
pisau. Sebagai seorang persilatan, tahulah ia bahwa uraturat
nadinya telah putus. Di kolong langit ini kiranya
hanya ada seorang tabib yang mampu
menyembuhkannya, tabib itu ialah Hoa Thian-hong di
gunung Hoa-san. Dengan tempatnya sekarang itu, Hoasan
terpisah ribuan li jauhnya, padahal pemuda itu hanya

kuat hidup sejam lamanya, terang dia bakal tak


tertolong.
"Sebelum mati, ingin aku berkenalan dengan seorang
sahabat sejati seperti kau, agar aku dapat mati dengan
meram. Siapakah nama saudara dan siapakah guru
saudara?" setelah menghela napas. Pemuda baju hitam
itu memaksakan diri berbicara.
Thing-cong menyadari juga tentang keadaan pemuda
itu, ia coba menghiburnya, tapi pemuda itu berkata,
"Waktu hanya tinggal sedikit, aku masih ada beberapa
hal yang hendak kupasrahkan padamu."
Dengan bercucuran air mata, Yap Thing-cong
memperkenalkan dirinya dan menerangkan bahwa
Suhunya ialah Jui Hun-liang dari Jing-sia-pay.
Pemuda itu mengangguk, rupanya ia pernah
mendengar tentang nama Jui Hun-liang, ujarnya, "Aku
juga orang she Yap, bernama Leng-hong. Bila aku mati,
tolonglah kau sampaikan surat ini kepada seorang."
Dengan bersumpah Thing-cong menyatakan
kesediaannya untuk melaksanakan pesan pemuda itu.
"Dia bukan seorang pemimpin laskar perjuangan,
melainkan seorang pamanku. Surat tadi adalah surat dari
ayahku kepada pamanku itu, bawalah surat ini
kepadanya selaku bukti," kata si pemuda.
Yap Thing-cong agak kecele mengingat bahwa
pemuda itu saja sudah sedemikian lihai, pamannya tentu
bukan tokoh sembarangan, siapa tahu ia nanti bakal
memperoleh keuntungan. Akhirnya ia buru-buru
menanyakan siapa paman pemuda itu.

"Pamanku tinggal di desa Nyo-keh-ceng, kabupaten


Tong-peng di propinsi Soatang, namanya Kang Haythian.
Orang persilatan banyak yang kenal pamanku itu,
tanyalah pada orang, tentu akan diberitahu tempatnya,"
kata pemuda itu pula.
Yap Thing-cong tercengang, seperti mendapat mutiara
berharga, berserulah ia dengan girang sekali, "O, jadi
Kang Hay-thian, Kang-tayhiap itu?"
Kang Hay-thian adalah seorang tokoh persilatan yang
termasyhur, dia merupakan jago nomor satu di dunia
persilatan, sudah tentu Thingcong pernah mendengar
nama itu. Ini benar-benar 'pucuk dicinta ulam tiba', ia
hanya mengharap dapat berkenalan dengan orang
gagah, siapa tahu sekarang terbukalah kesempatan
untuknya berkenalan dengan seorang tokoh seperti Kang
Hay-thian, bintang kejora dari dunia persilatan. Girang
Thing-cong sungguh tak terperikan!
"Tolong kau ceritakan peristiwa hari ini padanya,
minta pada paman supaya mencari ayahku agar
menuntut balas untukku," kata pemuda itu pula.
"Membalas? Bukankah sudah kau hancurkan semua
jahanam itu?" tanya Thing-cong.
"Aku ini setengah keturunan orang Han, kini aku
binasa di tangan kawanan alap-alap. Aku hendak minta
ayahku membalas pada kawanan antek kerajaan Cing
demi kepentingan bangsa Han. Cukup kau bilang begitu
tentu Kang-tayhiap sudah mengerti."
Ternyata ayah-bunda pemuda itu tinggal di luar
lautan, pemuda itu mengharapkan mereka pulang
kembali.

Heranlah Thing-cong mendengar keterangan bahwa


pemuda itu bukan orang Han melainkan hanya setengah
keturunan Han, ujarnya, "Tentu akan kulakukan pesan
saudara, tetapi ada suatu hal yang ingin kutanyakan."
Pemuda itu minta Thing-cong supaya mengatakan,
maka berkatalah Thing-cong, "Walaupun surat itu dari
ayahmu kepada Kang-tayhiap, tapi karena aku yang
mengantar, mungkin Kang-tayhiap tak percaya.
Bagaimana membuktikan bahwa aku memang menerima
pesanmu dan bukan karena mencuri surat itu setelah
kubunuh kau?"
Pemuda itu anggap pernyataan Thing-cong memang
beralasan, katanya, "Sebenarnya dapat kugigit jariku dan
menulis beberapa patah kata dengan darahku, tetapi
sayang paman pun tak kenal pada bentuk tulisanku. Aku
sudah tak dapat berpikir lagi, tolong kau carikan cara
yang sebaik-baiknya."
"Dahulu apakah kau pernah bicara sesuatu pada
pamanmu yang bagi lain orang tak mengetahui?" tanya
Thing-cong.
"Aku tak pernah bertemu muka dengan paman," sahut
pemuda itu, tiba-tiba ia berseru, "Ada, ya ada! Biarlah
kuceritakan tentang diriku, hal ini memang tak ada orang
luar yang tahu."
Kuatir kalau pemuda itu tak dapat menyelesaikan
ceritanya, buru-buru Thing-cong memberinya minum
seraya membisikannya supaya bicara perlahan-lahan
saja. Dari cerita pemuda itu, tahulah Thing-cong kalau
ayah pemuda itu ternyata putra raja Masar di Se-ek.
Setelah menyerahkan tahta pada adiknya, ayah pemuda
itu lalu melarikan diri keluar negeri. Sejak kecil pemuda

itu berada di luar negeri, tak pernah pulang ke tanah


airnya. Kali itu ayahnya menyuruhnya mencari sang
paman untuk belajar silat padanya, tapi dengan pesan
supaya menunggu dulu sampai putra mahkota kerajaan
dinobatkan jadi raja, barulah pemuda itu boleh pulang ke
negerinya untuk bertemu dengan anak-anak sang
paman.
Pemuda itu sebenarnya hendak menuturkan
bagaimana ia sampai bentrok dengan kawanan alap-alap
kerajaan, tapi ternyata tenaganya sudah habis. Ia
menghela napas, "Yap-heng, budimu itu hanya dapat
kubalas pada penjelmaanku yang akan datang. Sudilah
kau kubur mayatku nanti dan memberi pertandaan pada
makamku, agar kelak ayah-bundaku dapat mengambil
tulang-tulangku. Tak usah kau belikan peti mati. Ah,
jangan kelewat lama berada di sini, baiknya kau lekas
pergi."
Thing-cong mengucurkan air mata, "Yap-heng, kau tak
boleh pergi (mati). Ah, secara kebetulan kita dapat
berkenalan dan she kita pun bersamaan. Jika kau dapat
hidup, kita boleh angkat saudara."
"Saudara yang baik, sayang aku tak dapat
menemanimu. Jika berjumpa dengan paman, beliau
tentu akan memperlakukan kau seperti diriku," berkata
sampai di sini mata pemuda itu terbalik, jiwanya
melayang.
Jelas diketahui Thing-cong, bahwa pemuda itu terang
sudah mati. Saat itu barulah ia mengganti air mata
kesedihan dengan rasa gembira. Saking tak dapat
menahan luapan hati, ia menari-nari dan berseru,

"Hahaha, ini benar-benar suatu rezeki yang luar biasa!


Cukup kuganti nama tanpa tukar she!"
Sebenarnya ia belum mengambil keputusan akan
pulang atau tidak, tapi dengan mendapat rezeki itu,
putusannya telah bulat. Ia hendak menjadi murid Kang
Hay-thian. Dengan mengandal pengaruh Kang Hay-thian,
ia akan berserikat dengan kaum gagah penentang
kerajaan Cing untuk melakukan suatu gerakan besar.
Setelah tujuannya tercapai, karena kuatir tentara
pemerintah datang mengejar, ia segera buru-buru
berangkat ke Soatang mencari tempat tinggal Kang Haythian.
Ia tak mau menghiraukan lagi pesan si pemuda itu
untuk mengurus penguburannya. Adalah justru karena
itu, si pemuda malah mendapat pertolongan yang tak
disangka-sangka datangnya. Secara kebetulan ia ditemui
oleh seorang tabib pandai dan dapat dihidupkan kembali.
Sejak itu Yap Thing-cong ganti nama dengan Yap
Leng-hong dan diangkat menjadi murid pewaris oleh
Kang Hay-thian, diakui pula sebagai keponakan oleh istri
Kang Hay-thian. (Untuk menghindari keruwetan,
selanjutnya tetap digunakan nama Yap Leng-hong untuk
menyebut diri Yap Thing-cong. Sementara si pemuda
yang sebenarnya bernama Yap Leng-hong itu sebut saja
si Pemuda baju hitam — penerbit).
Bahwa sekarang Yap Leng-hong palsu kedatangan Yap
Leng-hong tulen, benar-benar tak diduga sama sekali.
Pemuda baju hitam itu tertawa, "Biarlah namaku Yap
Leng-hong kuberikan padamu, tetapi aku hendak minta
pertanggungan jawabmu selama kau gunakan namaku
itu."

Yap Leng-hong palsu gugup. Dua tahun yang lalu, ia


ingin sekali menolong jiwa pemuda itu, tapi kini ia
berbalik ingin sekali untuk membunuhnya. Tapi tadi baru
saja ia menjajal kepandaian pemuda itu, ia insyaf bahwa
kepandaiannya jauh lebih rendah dari pemuda itu.
Akhirnya ia memutuskan untuk menghadapi dengan cara
lunak, ia percaya karena pernah berhutang budi
padanya, maka pemuda itu tentu takkan bersikap keras.
Entah bagaimana caranya, dengan tiba-tiba Yap Lenghong
palsu mengucurkan beberapa butir air mata dan
berlutut di hadapan pemuda itu, katanya, "Aku berani
memakai namamu, memang aku harus dihukum mati,
tetapi aku mempunyai kesukaran sendiri. Toako,
ampunilah aku, nanti kukatakan."
Dengan kedua tangan pemuda itu membimbing Lenghong
bangun, ujarnya, "Ini hanya urusan kecil. Dahulu
kau pernah menolong jiwaku, aku belum dapat
membalas budimu. Sebenarnya aku tak menduga akan
bisa hidup lagi, ingatkah kau? Kala itu kau hendak
mengangkat saudara padaku. Oleh karena jiwaku tipis
harapannya, terpaksa kutolak. Kukatakan padamu juga,
bahwa pamanku tentu akan memperlakukan kau sebagai
diriku. Bahwa ternyata benar sekarang kau menjadi
muridnya, itulah tepat seperti yang kuduga. Tetapi aku
tak menyangka sama sekali bahwa bukan saja paman
menganggapmu sebagai diriku, malah mengira kalau kau
ini memang aku sendiri. Hehe, ini betul-betul melampaui
harapanku, tetapi apa mau dikata lagi!"
Dari nada ucapannya, tahulah Leng-hong palsu kalau
pemuda itu tak menyalahkan dia yang telah berbuat
kelewat batas itu. Diam-diam nyali Leng-hong palsu pun
besar lagi, katanya pula, "Toako, janganlah menyalahkan

aku! Kala itu aku pun mengira kalau kau sudah


meninggal. Mengingat kepandaianku masih rendah, ingin
sekali aku belajar kepandaian yang tinggi agar dapat
melanjutkan cita-citamu dan membalaskan sakit hatimu.
Syukur kalau dapat mengenyahkan kaum penjajah pula,
dengan begitu tak sia-sialah kau beristirahat di alam
baka."
"Bagus, bagus sekali ucapanmu. Dengan tujuan itukah
maka kau berani memakai namaku?" tanya si Pemuda
baju hitam.
"Benar," Leng-hong palsu mengiakan, "karena kuatir
Kang-tayhiap tak sudi menerima aku sebagai murid,
akhirnya terpaksa kugunakan siasat itu."
"Kalau benar kau hendak membalaskan sakit hatiku,
mengapa semalam kau masuk ke dalam warung arak itu
untuk mengadakan pertemuan dengan mereka?" tegur si
Pemuda baju hitam.
Kata-kata itu membuat Leng-hong seperti disengat
kala kejutnya, semangatnya serasa terbang. Kini barulah
diketahuinya bahwa yang membakar warung arak Thaypek-
lau itu bukan lain adalah si pemuda yang berada di
hadapannya itu. Dan apa yang dilakukan di dalam
warung arak itu telah diketahui semua olehnya.
"Benarkah begitu? Mengapa kau diam saja?" kembali
pemuda itu menegas.
Untung penerangan dalam kamar itu remang-remang,
perubahan air muka Leng-hong yang berlangsung hanya
dalam beberapa kejap itu tak sampai diketahui oleh si
pemuda. Dan secepat itu juga Leng-hong palsu sudah
dapat menguasai perubahan mukanya, ia sengaja

menghela napas dalam-dalam, ujarnya, "Kau dan aku


mempunyai ikatan hidup dan mati. Jika Toako menaruh
kecurigaan, aku pun tak dapat bilang apa-apa lagi."
Melihat sikap orang begitu lunak. Pemuda baju hitam
tak sampai hati. "Bukan aku tak percaya padamu,
melainkan hal itu penting sekali. Aku hendak membikin
terang persoalan itu agar kau bebas dari tuduhantuduhan,
harap kau mengerti," katanya.
Leng-hong yang cerdas segera dapat menarik
kesimpulan bahwa sebenarnya Pemuda baju hitam itu
belum mengetahui betul rahasia itu. Ia masih punya
harapan untuk membersihkan diri, ujarnya, "Aku
memang tolol sekali dan tak mengerti kebaikan Toako.
Benar, memang semalam aku masuk ke dalam warung
arak Thay-pek-lau itu, tetapi karena aku hendak
menyelidiki suatu hal."
"Urusan apa?" tanya si pemuda.
Setelah bersangsi sejenak, berkatalah Leng-hong
palsu, "Urusan itu menyangkut diri seorang Suteku.
Sebenarnya aku tak suka mengatakan urusan dirinya di
hadapan orang luar, namun karena Toako hendak
mengusut urusan itu, terpaksa tak dapat menutupinya
lagi. Syukur Toako juga bukan orang luar."
Tanpa sebab alasan suatu apa, mencuri dengar
rahasia orang merupakan salah satu pantangan bagi
orang persilatan. Hal itu dianggap perbuatan yang hina.
Tetapi pemuda baju hitam itu sudah berjumpa dengan
Ubun Hiong, pikirnya, "Ubun Hiong selalu memuji
Toasuhengnya ini. Sekarang biarlah kudengar apa
komentarnya terhadap Sutenya itu. Hal ini menyangkut
kepentingan yang besar, aku terpaksa tak berlaku
sungkan lagi."
Melihat si pemuda tak memutus omongannya, Lenghong
palsu pun melanjutkan ceritanya, "Aku mempunyai
seorang Sute bernama Ubun Hiong, berasal dari
kalangan Piau-kiok. Bagaimana riwayat hidupnya yang
lampau. Suhu tak begitu jelas. Beberapa hari yang lalu,
aku melihat dia berada di kota dan bicara dengan
seseorang. Waktu berpisah, orang itu masuk ke dalam
warung arak Thay-pek-lau. Saat itu kuteringat seperti
pernah kenal dengan orang itu di suatu tempat, akhirnya
teringatlah aku. Dia ialah
"Siapa?" tukas si Pemuda baju hitam.
"Wakil komandan Gi-lim-kun yang bernama Li Taytian.
Beberapa waktu berselang, aku diajak Suhu untuk
mengunjungi sahabat, di tengah jalan berpapasan
dengan Li Tay-tian dan begundalnya. Mereka tak berani
mengganggu Suhu dan bergegas pergi. Suhu
memberitahukan padaku siapakah mereka setelah
semuanya lenyap," kata Leng-hong palsu.
"Kemudian apa tindakanmu setelah kau ketahui orang
itu Li Tay-tian?" tanya si pemuda.
"Pada hari itu adalah Sute yang pergi ke kota lebih
dulu, baru kemudian aku pergi juga. Aku mengetahui
kasak-kusuk mereka, sebaliknya dia tak tahu aku. Ketika
aku masuk ke dalam warung arak, ternyata Li Tay-tian
tak berada di situ. Kupikir kalau orang she Li itu tak
tampak minum arak, ia tentu bersembunyi di dalam
warung itu. Tegasnya dia tentu salah seorang konco
pemilik warung, maka timbul kecurigaanku bahwa
warung arak itu tentu sebuah warung arak hitam!"

"Kalau begitu kau masuk ke dalam warung arak itu


karena hendak membuat penyelidikan, bukan? Nah,
bagaimana hasilnya? Apa yang kau lihat dan apa yang
kau dengar?"
"Kulihat memang Li Tay-tian benar bersembunyi di
dalam warung arak itu, kudengar ia tengah bicara
dengan kawan-kawannya. Dia mengatakan bahwa ia
bersahabat baik dengan ayah Suteku itu, ia mengatakan
lagi bahwa ia hendak menggunakan tenaga Suteku untuk
melakukan rencananya!" kata Leng-hong palsu.
Pemuda baju hitam terkesiap, "Begitukah? Apakah dia
(Li Tay-tian) mengatakan kalau Sutemu menyanggupi?"
"Dia hanya mengatakan pernah berjumpa dengan
Sute, tapi tak menerangkan apakah Sute meluluskan
atau tidak, tapi dari pembicaraan lebih lanjut, orang she
Li itu hanya mengatakan bahwa hal itu baru merupakan
rencana saja. Kemungkinan besar rencana itu belum
dikatakan kepada Suteku."
Memang cerdik benar Yap Leng-hong palsu itu, semula
ia hendak memfitnah Ubun Hiong sebagai mata-mata.
Tapi demi mendengar si pemuda bertanya tentang
warung arak Thay-pek-lau dengan nada yang agak tak
percaya, buru-buru ia merubah haluan. Ia kuatir janganjangan
pemuda itu sudah berjumpa dengan Ubun Hiong
dan telah mendengar keterangannya.
Dan memang siasat yang dipasang Leng-hong itu
tepat sekali, si Pemuda baju hitam agak bimbang. Jelas
didengarnya bagaimana Ki Seng-in memaki-maki Ubun
Hiong, walaupun ia tidak mengerti bagaimana duduk
persoalan yang sesungguhnya, tapi dari dampratan Ki

Seng-in itu agaknya seperti mendakwa Ubun Hiong


bersekongkol dengan Li Tay-tian.
"Kulihat Ubun Hiong itu seorang anak jujur, aku tak
percaya ia mau menjadi mata-mata! Percakapanku
dengan dia hanya secara tergesa-gesa, jadi tak dapat
dibuat ukuran. Sayang anak itu tidak mau mempercayai
aku. Beberapa hal yang kutanyakan tak mau dia
terangkan," demikian pikir Pemuda baju hitam itu.
Memang tadi malam si Pemuda baju hitam itu melihat
Yap Leng-hong palsu memasuki warung arak Thay-peklau,
tapi waktu itu ia belum tahu kalau warung itu
warung hitam, maka ia tak ikut masuk dan tak tahu apa
yang dikerjakan Leng-hong di situ. Oleh karena itu
walaupun menaruh curiga, ia tetap bimbang mendengar
keterangan Leng-hong, pikirnya, "Walaupun Ubun Hiong
itu bukan seorang mata-mata, tapi sepulangnya dari
bicara dengan Li Tay-tian, dia tak mau memberitahukan
pada Subo dan Suhengnya, itu juga suatu kesalahan.
Untuk membikin terang urusan ini, lebih dulu harus
kuselidiki sampai dimana hubungan Ubun Hiong dengan
Li Tay-tian, setelah itu baru dapat kuambil kesimpulan."
Dengan pikiran itu ia segera bertanya pula, "Setelah
malam itu kau melakukan penyelidikan ke warung arak
Thay-pek-lau, apakah sepulangnya ke rumah kau
beritahukan kepada Subomu?"
Leng-hong palsu menghela napas, "Jika kutahu bakal
terjadi peristiwa seperti hari ini, tentu semalam sudah
kukatakan kepada Subo."
"Oh, jadi kau tak mengatakan kepadanya?" tanya si
Pemuda baju hitam.

"Aku memikirkan kepentingan Sute, dia masih muda,


kurang pengalaman. Bahwa sekali bertindak salah itu
mungkin tak dapat dihindari, jika kuadukan pada Subo,
bukankah dia akan menderita seumur hidup? Kuputuskan
saja untuk memberi nasehat sendiri padanya. Asal
selanjutnya ia jangan berhubungan dengan kawanan
alap-alap kerajaan lagi, urusan ini akan kututup
selamanya."
Pandai sekali Leng-hong merangkai kata-kata,
alasannya pun jitu dan benar. Si Pemuda baju hitam
mengangguk-angguk kepala, pikirnya, "Kalau begitu,
terang dia melindungi kepentingan Sutenya."
"Sayang usahaku untuk melindungi Sute itu sia-sia
saja, urusan toh menjadi besar juga. Setelah Ki Seng-in
terbunuh, seorang kawannya yang bernama Gak Ting
datang kemari. Ia membuka kedok Sute di hadapan Subo
hingga terpaksa Subo mengusir Sute dari sini," kata
Leng-hong pula.
Pemuda baju hitam tahu kalau Ki Seng-in belum mati,
namun hal itu tak mau ia beritahukan pada Leng-hong ia
hanya bertanya, "Eh, tetapi siapakah yang meracuni
kuda Ki Seng-in itu?"
Leng-hong palsu pura-pura terkejut sekali, serunya,
"Apa? Kudanya diracuni orang? Sama sekali aku tak tahu
hal itu! Tadi malam aku tak pergi ke kandang kuda!"
"Siapa yang memberi makan rumput?" tanya si
pemuda pula.
"Kuda itu selalu Sute yang memeliharanya!" sahut
Leng-hong. Jawabannya serupa dengan keterangan
Ubun Hiong, diam-diam si Pemuda baju hitam itu

membatin, "Dari ucapan Ubun Hiong tadi terang ia tak


begitu suka kepada Ki Seng-in. Apakah benar-benar dia
yang meracuni kuda itu? Untung Ki Seng-in tak mati, biar
kujumpainya untuk membikin terang hal ini."
"Setelah Toako tertolong, tak seharusnya kupakai
nama Toako lagi, tapi kumohon Toako suka memberi
muka padaku. Aku minta tempo dua hari lagi. Nanti
secara diam-diam akan kutinggalkan rumah ini, tiga hari
kemudian bolehlah Toako datang kemari menjumpai
bibimu dan menjelaskan duduk perkaranya," kata Lenghong
palsu.
Pemuda itu tertawa, "Telah kukatakan akan kubalas
budimu. Karena kau sudah menjadi keponakan bibiku,
tak usahlah diubah lagi. Asal kau selalu menjalankan
dharma kebaikan, aku tak keberatan bahkan merasa
bangga memberikan namaku padamu."
Kembali Leng-hong dapat mengucurkan air mata
buaya dan dengan rasa terharu menyahut, "Ini ... ini
sungguh berat sekali bagiku menerima kepercayaan
Toako yang begitu besar."
"Cukup lama rasanya kehadiranku di sini, jika sampai
ketahuan Subomu, tentu tak baik. Kelak apabila ada
kesempatan lagi, tentu aku akan datang kemari. Rasanya
penyelesaian yang telah dilakukan oleh Subomu itu tepat
juga, untuk itu tak.perlu kau bersedih. Nah, sampai
bertemu lagi!"
Pemuda itu berputar tubuh dan melompat keluar
jendela.
"Kuharap Toako datang kemari lagi!" seru Leng-hong.
Tiba-tiba ia mengantar dengan sebuah hantaman dan

berbareng itu menaburkan tiga batang jarum beracun.


Ketiga jarum beracun itu adalah pemberian Li Tay-tian
tadi malam agar digunakan Leng-hong untuk mencelakai
Ki Seng-in. Ia tak sempat menggunakan kepada Ki Sengin,
kini digunakan terhadap Pemuda baju hitam itu.
Itulah yang kedua kali dalam satu malam Leng-hong
membokong si Pemuda baju hitam. Yang pertama ialah
ketika pemuda itu menerobos masuk ke dalam kamarnya
tadi, untung pemuda itu sudah berjaga-jaga sebelumnya,
ia dapat menghalau serangan gelap itu dengan
pedangnya. Yang kedua, adalah saat si pemuda hendak
pamit pergi, mimpi pun pemuda itu tak menduga Lenghong
yang begitu taat dan mesranya, kini tiba-tiba
membokongnya dari belakang. Pukulan Si-mi-ciang tepat
mengenai tulang punggung, batang jarum beracun itu
menyusup ke dalam jalan darah yang berbahaya!
Ilmu pukulan Si-mi-ciang itu sebenarnya berasal dari
ilmu pukulan Thian-san-pay, digubah dan disempurnakan
lagi oleh Kim-Si-ih. Di dalam golongan ilmu pukulan
termasuk yang paling hebat, meskipun latihan Leng-hong
belum mencapai kesempurnaan, tapi karena dapat
mengenai dengan jitu, akibatnya juga bukan olah-olah
hebatnya. Masih ditambah pula dengan tiga batang
jarum beracun, dapat dibayangkan betapa ngerinya.
Jarum beracun itu dilumuri dengan racun menurut resep
istana. Sedikit saja kulit terlecet, racun akan merangsang
ke seluruh tubuh, apalagi jarum-jarum itu tadi menyusup
ke dalam jalan darah!
Pemuda itu terdengar menahan suara jeritan, seperti
bola tubuhnya terlempar keluar. Leng-hong tak puas, ia
melompat menyusul dan menabas dengan pedangnya.
Tetapi kepandaian pemuda itu memang hebat sekali,

begitu tubuh menyentuh tanah, dengan gerak Le-hi-tating


(ikan lele meletik), cepat ia melompat jungkir balik.
"Yap Thing-cong, kau ... kau seorang manusia
serigala” dampratnya. Dalam mendamprat itu ia
melontarkan tiga kali pukulan walaupun sudah terluka,
tetapi pukulannya masih dahsyat sekali.
"Maling, maling!" Leng-hong berteriak keras-keras.
Dengan mengandalkan Lwekangnya yang tinggi,
dapatlah pemuda itu bertahan diri tak sampai roboh,
maka dampratanya tadipun nadanya agak parau.
Teriakan Leng-hong dapat melingkupi makian pemuda
itu, kemudian dengan gerak Thian-lo-poh-hoat ia
hindarkan pukulan terakhir dari si pemuda. Setelah itu ia
tertawa mengejek: "Jiwamu aku yang menolong dan
sekarang aku pula yang mencabut, anggaplah bahwa aku
tak pernah menolongmu, tak usah marah-marah! Jangan
coba menarik perhatian orang, toh bibimu tak nanti mau
mempercayai ocehanmu. Begitu ia muncul, berarti
kematianmu dipercepat lagi!"
Memang ketiga pukulan itu merupakan pukulan
terakhir dari si pemuda, habis memukul matanya terasa
gelap dan kepala pening. Kini Leng-hong berbalik
menyerangnya, ia keluarkan ilmu pedang Tui liong kiam
yang baru saja dipelajarinya. Menghadapi serangan
pedang yang sedemikian gencarnya, si Pemuda baju
hitam tak mampu buka suara lagi.
Walaupun kepalanya puyeng, tapi pikiran pemuda itu
masih terang. Diam-diam ia mengakui memang yang
dikatakan Leng-hong palsu itu benar, bibinya tak nanti
percaya pada keterangannya. Dan keterangan itu tentu
memerlukan waktu panjang, bangsat itu tentu akan

mengambil tindakan untuk menghabisi jiwanya. Ia kuatir


sebelum bibinya datang bangsat itu tentu sudah
membunuhnya, akhirnya ia putuskan lebih baik melarikan
diri saja.
Tiga puluh kali tusukan telah dilancarkan oleh Lenghong
dengan permainan ilmu pedang Tui-hong-kiam itu,
si Pemuda baju hitam menjadi kalang-kabut dibuatnya.
"Huak", ia muntah darah. Melihat itu Leng-hong girang
sekali, dengan jurus Pek-hong-koan-jit (pelangi menutup
matahari) ia tusuk tenggorokan si pemuda. Ilmu pedang
Tui-hong-kiam terdiri dari tiga puluh enam jurus. Setelah
seluruh jurus selesai dan hendak berganti permainan
lagi, terpaksa gerakan Leng-hong agak ayal.
sekonyongkonyong pemuda itu menjentikkan jari
tengahnya. Ujung pedang Leng-hong yang sudah hampir
kena tenggorokan itu dipentalkan oleh jari si pemuda,
tangan Leng-hong pun terasa sakit kesemutan. Pada saat
Leng-hong terkejut, pemuda itu sudah melompat keluar
kalangan, terus lari.
Ternyata pemuda itu menggunakan ilmu Thian-mohou-
the-tay-hoat, ia menggigit lidah sendiri sampai
keluar darah. Ilmu itu sebenarnya ilmu dari kaum Sia-pay
(hitam) yang digunakan apabila dalam keadaan terdesak.
Dengan menggigit lidah, semangatnya pun tergugah dan
tenaganya bertambah. Ayah pemuda itu, Yap Tiong-siau,
memang dari golongan Sia-pay, baru di kemudian hari ia
belajar ilmu dari golongan Cing-pay. Pemuda itu dapat
mewarisi dua macam aliran ilmu, tetapi ilmu semacam itu
hanya sebentar daya khasiatnya. Begitu kekuatan timbul
berarti hawa murninya makin terluka dan habis, itulah
sebabnya setelah dapat mementalkan pedang, pemuda
itu cepat-cepat melarikan diri.

Leng-hong bersangsi, jangan-jangan Pemuda baju


hitam hanya pura-pura saja seperti orang terluka berat,
maka untuk beberapa jenak tak berani ia mengejar.
"Dimana penjahatnya? Suko, jangan kuatir, aku
datang membantumu!" tiba-tiba Kang Hiau-hu terdengar
berseru.
Mendengar itu seketika timbullah pikiran Leng-hong, ia
bantah pikirannya kalau pemuda itu hanya pura-pura,
kalau tak kehabisan tenaga masakah dia melarikan diri
begitu terburu-buru. Untuk menjaga segala
kemungkinan, sebelum Sumoaynya mengetahui
urusannya, lebih baik ia kejar dan menghabisi jiwa
pemuda itu saja, cepat ia melompat mengejar. Setelah
melompat melalui pagar tembok, barulah ia berseru,
"Penjahat itu berkepandaian tinggi, tak usah Sumoay
ikut-ikutan, aku sendiri mampu membereskannya!"
Rumah keluarga Kang membelakangi gunung dan
menghadap telaga. Tiba di tepi telaga, dapatlah Lenghong
mengejar pemuda itu.
"Hm, kau sungguh ganas sekali! Hendak kulihat
sampai berapa lama kau dapat menikmati hidupmu?"
pemuda itu mendengus.
"Anjing bernyali besar, berani masuk ke dalam rumah
keluarga Kang. Apa kau kira Suhu tak di rumah lantas
aku tak dapat mengambil jiwamu?" sengaja Leng-hong
berteriak keras supaya didengar Hiau-hu.
"Suko, tunggulah!" dari kejauhan Hiau-hu
meneriakinya tapi mana Leng-hong mau mendengar
kata-katanya, ia mempercepat larinya dan menyerang
sehehat-hebatnya.

"Sekalipun jadi setan, aku tetap tak mengampunimu"


geram pemuda itu.
"Blung", karena terdesak ke pojok, akhirnya pemuda
ilu terjun ke dalam telaga. Luput menusuk, Leng-hong
juga hainpu liampii tercebur ke dalam telaga, untung
cepat-cepat ia berhenti.
Telaga Tang-peng-oh itu dikelilingi oleh gunung,
airnya mengalir ke sebuah sungai besar. Kala itu musim
semi, selama beberapa hari telah turun hujan lebat, air
dari barisan gunung telah membanjiri telaga. Ditelan oleh
gelombang, tubuh pemuda itu lenyap dari permukaan
air.
"Kau mengutuk aku akan hancur lebur, sayang kau
sendiri malah tak berada di dunia. Dulu secara tak
tersangka-sangka kau dapal hidup kembali, tapi coba
saja sekarang ini," demikian Leng-hong bersorak
kegirangan di dalam hati.
Pemuda itu terluka dalam dan terkena jarum beracun,
kemudian kecemplung ke dalam telaga. Hal itu
disaksikan sendiri oleh mata kepala Leng-hong, ia yakin
pemuda itu tentu akan mati.
"Suko, mengapa kau bunuh penjahat itu?" begitu tiba
Hiau-hu lantas bersungut-sungut.
"Mengapa? Penjahat itu berani masuk ke dalam rumah
kita. Setelah kupergoki, dia berani menyerang aku,
masakah tidak harus kubunuh?" Leng-hong pura-pura tak
puas.
"Kau harus menangkapnya hidup-hidup dan
diserahkan pada ibu, dengan tindakanmu membunuhnya

itu, kita tidak tahu tentang asal-usulnya dan apa


maksudnya ia datang kemari," kata Hiau-hu.
"Ai, benar, benar, mengapa aku setolol itu," Lenghong
pura-pura menabok kepalanya sendiri. "Tapi salah
dia sendiri yang tak becus, cukup dengan gerakan yang
sederhana saja, dia sudah tak kuat bertahan lalu
kecemplung ke telaga. Mungkin saja dia belum mati,
perlukah kita suruh orang mencarinya?"
"Saat ini entah dimana mayatnya, mana bisa dicari?
Sudahlah, karena orang sudah mati, mari kita pulang
melapor kepada ibu," kata si dara.
Ketika tiba di rumah, ternyata Kok Tiong-lian sudah
menunggu.
Begitu dibangunkan oleh teriakan Leng-hong Kok
Tiong-lian segera menyuruh putrinya membantu Lenghong
ia sendiri menjaga di rumah. Setitik pun ia tak
mimpi kalau penjahat yang datang itu ternyata
keponakannya sendiri.
"Ya, memang kau tak dapat dipersalahkan. Ada
penjahat datang memang seharusnya ditempur, kalau
kau lupa menangkapnya hidup-hidup agar dapat ditanya,
itu dapat dimengerti, tapi cara bagaimana ia datang
kemari?" kata Kok Tiong-lian.
Leng-hong merangkai cerita, ia mengatakan kalau
malam itu ada penjahat membuka jendela kamarnya dan
menimpukkan senjata rahasia. Untung ia sudah bersiap
lebih dulu dengan bersembunyi di balik pintu, kemudian
ia menerobos keluar dan menyerang penjahat itu.
Penjahat melarikan diri terus dikejarnya sampai ke tepi

telaga, karena tak dapat menahan serangannya, akhirnya


penjahat itu kecemplung ke dalam telaga.
"Apakah penjahat itu hanya seorang diri saja?" tanya
Kok Tiong-lian. Dari nadanya jelas kalau nyonya itu agak
curiga, suatu pertanyaan yang membuat hati Leng-hong
kebat-kebit. Ia kuatir jangan-jangan nyonya itu sudah
mengetahui urusan itu, namun terpaksa juga ia
mengiakan.
"Ibu, memang aku juga merasa heran, sungguh besar
sekali nyali orang itu berani seorang diri masuk kemari.
Jika dia lihai, itulah tak apa, tapi ternyata dia hanya
begitu saja, kalah dengan Suheng. Hm, bukankah itu
seperti mengantar kematian saja? Mengapa dia setolol
itu?" Hiau-hu menyeletuk.
Memang keluarga Kang amat disegani. Kang Hay-thian
dianggap sebagai jago nomor satu di dunia persilatan,
penjahat picisan mana berani mengganggu rumahnya?
Kecuali kalau orang itu datang dengan maksud baik,
kenal dengan keluarga Kang. Leng-hong tahu kalau ibu
dan putrinya itu menaruh kecurigaan, diam-diam ia
bersyukur karena sudah lebih dulu dapat membunuh
pemuda itu. "Tentu karena dia tahu kalau Suhu tak
berada di rumah," katanya.
"Betul ayah tak di rumah, tapi ibu toh ada. Kalau dia
menyelidiki lebih dulu, mana hal itu tak diketahuinya. Ha,
Suko, kukuatir jangan-jangan kau keliru membunuh
orang," kata si dara.
"Tidak bisa," sahut Leng-hong dengan yakin. "Jika
orang baik mana mungkin datang-datang terus
melepaskan senjata rahasia? Tadi sewaktu aku
menempurnya, kau pun tahu sendiri. Kalau dia memang

orang baik, tentu dia akan berteriak minta tolong


padamu. Mengapa dia diam saja?"
"Tapi sungguh patut disayangkan kau telah
membunuhnya, jika kau dapat menangkap hidup-hidup,
tentu bisa ditanya keterangannya," si dara masih
menambahkan.
"Aku sudah tahu asal-usulnya!" tiba-tiba Kok Tionglian
berseru.
Sudah tentu Leng-hong kaget sekali, juga si dara
segera bertanya pada ibunya.
"Orang itu seorang jago dari istana. Lihatlah ini!" kata
nyonya itu. Tangannya dibuka dan di atas telapak
tangannya terdapat empat batang jarum beracun yang
hitam mengkilap.
Leng-hong seperti terlepas dari tindihan batu besar,
ujarnya, "Memang aku pun sedang mencari senjata
rahasia yang digunakan penjahat itu, kiranya bibi sudah
dapat menemukannya!"
"Apakah itu jarum Bwe-hoa-ciam yang dilumuri racun?
Banyak sekali orang persilatannya yang menggunakan
jarum semacam itu. Mengapa dapat dipastikan kalau
orang itu seorang jago istana?" tanya si dara.
"Ini bukan jarum beracun biasa, jarum ini telah
direndam dengan racun Khong-jiok-tan dan Ho-ting-ang,
kedua racun itu hanya terdapat di dalam istana saja.
Memang benar orang persilatan mengetahui kedua
barang itu mengandung racun, tapi tak tahu bagaimana
meramunya," sahut Kok Tiong-lian.

Leng-hong walaupun sudah lama mengetahuinya,


namun masih pura-pura terkejut. Ia melelerkan lidah,
"Sungguh berbahaya, sungguh berbahaya! Untung aku
tak terkena!"
Memang pintar sekali Leng-hong gadungan itu,
sebelumnya ia sudah memperhitungkan kalau bibinya
tentu akan menaruh curiga tentang penjahat yang
dibunuhnya itu, maka siang-siang ia sudah
mempersiapkan rencana. Jarum pemberian Li Tay-tian itu
berjumlah tujuh batang, yang digunakan kepada si
Pemuda baju hitam tadi baru tiga batang sisanya yang
empat batang ia sebarkan di tanah. Biarlah nanti
Subonya menemukan jarum-jarum itu, cukup sebatang
saja orang terkena, tentu akan matilah dia. Karena
Pemuda baju hitam itu sudah terkena tiga batang, maka
ia tambah yakin akan kematian pemuda itu.
Ternyata Kok Tiong-lian termakan siasatnya, walaupun
ia merasa aneh mengapa penjahat itu berani datang
seorang diri, namun dengan menemukan bukti-bukti
jarum itu, hilanglah sudah segala kesangsiannya dan
menetapkan kalau penjahat itu juga dari istana.
Walaupun terhadap Suhengnya itu Hiau-hu tak
mempunyai kesan baik, namun ia pun tak mempunyai
prasangka jelek. Mendengar keterangan ibunya itu, si
dara agak menyesal telah menyalahkan tindakan
Sukonya, ujarnya, "Suko, aku tak menyalahkan
tindakanmu membunuh penjahat itu. Aku salah
menyesalkan!"
"Mungkin dengan mengandalkan jarum ini dan
mengira Suhumu tak berada di rumah, penjahat itu tak
takut untuk datang kemari. Hm, Hong-tit, selama

beberapa bulan mengikuti Suhumu, kepandaianmu pun


maju pesat sekali .... Anak Hu, jangan kau kira penjahat
itu seorang keroco, sebenarnya dia itu lihai sekali. Kulihat
tadi cara ia melompat pagar tembok, Ginkangnya begitu
sempurna, hanya karena terluka maka agak lamban
gerakannya. Jika tak terluka, mungkin kau belum tentu
dapat menangkan dia!"
Diam-diam Leng-hong kagum atas ketajaman mata
Subonya di samping bersyukur karena Subonya itu hanya
melihat dari kejauhan saja, sehingga tak mendengar
pembicaraan mereka.
Kang Hiau-hu masih sangsi, katanya dengan
penasaran, "Suheng, kau bilang selama dalam perjalanan
kau telah mendapat pelajaran lisan, ternyata bohong.
Kalau kau lebih lihai dari aku, perlu apa minta
petunjukku?"
"Anak Hu, itulah karena Piaukomu mengerti aturan, ia
berlaku sungkan kepadamu, mengapa kau tidak tahu diri
dan malah menyalahkannya? Kalian berdua sebagai
kakak adik harus saling tukar pendapat, tak perlu
menganggap siapa yang memberi petunjuk. Sudahlah,
tidur sana. Besok kita segera berangkat," kata Kok Tionglian.
Tetapi mana Leng-hong dapat tidur. Setelah ibu dan
gadisnya itu pergi, ia besut keringatnya seraya
mengeluh, "Sungguh berbahaya...sungguh berbahaya!"
Setelah tenang kembali, perasaannya menjadi girang
atas nasib mujur yang dihadapinya. Ia percaya kedua
orang yang tahu rahasia pribadinya itu sekarang sudah
mati, selanjutnya ia tentu dapat mencapai cita-citanya, ia
tentu dapat menjadi murid pewaris keluarga Kang.

Menjelang fajar, baru saja ia terpulas, tiba-tiba pintu


kamarnya diketuk orang.
"Siapa?" bentaknya seraya melompat bangun.
"Suko, apa kau sudah bangun? Ibu suruh
mengundangmu supaya lekas datang. Ada seseorang
hendak menemuimu!" ternyata yang datang adalah Kang
Hiau-hu.
"Siapa ya?" Leng-hong bergegas-gegas mengenakan
pakaian.
"Tak mungkin dapat kau terka!" sahut si dara, sahutan
itu membuat Leng-hong gelagapan, rasa kantuknya
hilang seketika.
"Sumoay yang baik, tolong kasih tahulah siapa orang
itu agar aku tak menduga-duga," Leng-hong setengah
meratap.
Kang Hiau-hu tertawa, "Ah, toh sebentar lagi kau akan
dapat melihatnya, mengapa terburu-buru? Eh, kenapa
kau seperti ketakutan?"
Rupanya pagi itu Hiau-hu sedang gembira, sengaja ia
hendak mempermainkan sang Suko. Leng-hong setengah
mati dibuatnya. "Ah, jangan berolok-olok, aku hanya
ingin tahu saja, mengapa takut? Sedang semalam anjing
alap-alap itu menggunakan jarum beracun toh aku tak
jera. Yang datang ini tentulah seorang Cianpwe dan Subo
hendak memperkenalkan padaku."
"Salah! Yang datang itu juga pemuda yang sebaya
dengan kau. Ibu belum pernah kenal, tapi selanjutnya
akan memperlakukannya sebagai orang sendiri. Dia akan

disuruh tinggal di sini bersama kita. Ini, kau tentu tak


dapat menduganya," kata si dara.
Kejut Leng-hong bukan kepalang, pikirnya, "Apakah
bukan si Pemuda baju hitam itu?" Hampir saja ia hendak
putar tubuh dan melarikan diri, tapi saat itu mereka
sudah tiba di ruang tamu, malah Kok Tiong-lian sudah
berseru, "Hong-tit, ayah sudah pulang."
Leng-hong seperti terlepas dari tindihan batu besar,
sahutnya, "Oh, kiranya Yaya. Sumoay, mengapa kau
berolok-olok dan menggoda aku?"
"Leng-hong, kubawakan kau seorang Sute. Lekaslah
kalian berkenalan," kata Kang Lam.
Dari belakang Kang Lam lantas melangkah maju
seorang anak lelaki antara umur 13-14 tahun. Dia
memberi hormat seraya berkata, "Apakah ini Toasuheng?
Terimalah hormatku Tosuheng."
Bahwa ternyata bocah itu bukan si Pemuda baju hitam
atau Ubun Hiong, legalah hati Leng-hong. Buru-buru ia
mengangkat bangun bocah itu, "Apakah kau ini Li Konghe
Sute?"
"Bukan, namaku Lim To-kan. Li-koko itu sahabatku
karib. Aku tahu kalau sekarang dia juga saudara
seperguruan kita, tetapi Suhu belum dapat
menemukannya," sahut anak itu.
"Suhumu baru saja mendapatkan anak ini ketika di
Bici. Ayahnya adalah Lim Jing, ketua Thian-li-kau," kata
Kok Tiong-lian.
Mendengar asal-usul Lim To-kan begitu hebat, diamdiam
timbullah rasa iri dalam hati Leng-hong. "Ayahnya

seorang Kaucu yang amat diindahkan oleh para gagah di


seluruh dunia. Kelak apabila sudah dewasa, dengan
mengandal ketenaran nama ayahnya, mungkin gengsiku
sebagai Toasuheng akan direbutnya," pikirnya. Diamdiam
ia tak senang, namun lahirnya ia mengunjuk muka
girang. Sambil menarik tangan Lim To-kan, ia berkata,
"Bagus, aku dapat tambahan seorang Sute yang baik.
Mengapa Suhu belum pulang?"
"Suhumu pergi ke Hoa-san untuk mengunjungi ayah
angkatnya, Hoa Thian-hong," demikian Kok Tiong-lian
menerangkan.
Entah bagaimana, kembali hati Leng-hong berdebardebar
keras, tanyanya, "Apakah tabib terpendam dari
Hoa-san yang digelari sebagai tabib nomor wahid di
dunia itu?"
"Benar, putrinya menjadi permaisuri kerajaan Masar,
ialah kakak iparku kedua dan bibimu juga! Mengapa kau
tak tahu?" jawab Kok Tiong-lian.
"Ayah telah mengatakan juga tentang hal itu, tetapi
ayah telah pesan wanti-wanti padaku. Sebelum putra
makota Masar dinobatkan jadi raja, aku dilarang
mengaku-aku sanak dan mengunjungi negeri itu. Aku
juga tak boleh membocorkan asal-usulku, kecuali hanya
terhadap bibi di sini. Itulah sebabnya mengapa aku tak
mau menemui Hoa-ya agar diriku jangan sampai
terdengar oleh paman, karena dia hendak mencari aku
untuk dinobatkan jadi raja."
Oleh karena sebelumnya sudah mengetahui tentang
riwayat si Pemuda baju hitam, maka dapatlah l.eng-hong
bercerita dengan lancar, namun ia tetap kuatir tentang
suatu hal. Tabib terpendam dari Hoa-san itu

menimbulkan suatu bayangan seram dalam sanubarinya,


dahulu jelas diketahuinya kalau si Pemuda baju hitam itu
sudah tak mungkin hidup lagi, tetapi mengapa bisa hidup
kembali? Siapakah yang mempunyai kepandaian begitu
sakti untuk menghidupkan lagi? Tetapi akhirnya ia
menghibur dirinya sendiri, pemuda baju hitam itu terluka
di daerah gunung terpisah ribuan li jauhnya dari Hoasan,
mana bisa begitu kebetulan tabib sakti itu
menemukan pemuda itu.
"Baru tadi malam dia (Pemuda baju hitam) tahu
tentang diriku, jika dia memang bertemu Hoa Thianhong,
tentulah rahasiaku belum mereka ketahui. Apalagi
pemuda itu tentu taat pada perintah ayahnya supaya
jangan menemui Hoa Thian-hong. Pendek kata, tipis
sekali kemungkinannya kalau ia bertemu dengan Hoa
Thian-hong. Tak perlu aku gelisah," akhirnya ia besarkan
hatinya sendiri.
Tiba-tiba terdengar Kok Tiong-lian menghela napas,
"Aku tahu bagaimana derita hati ayahmu itu, dia terlalu
halus sekali perasaannya." Ia berhenti sejenak, lalu
tertawa, "Ah, baiklah, jangan membicarakan lagi urusan
yang telah lampau. Suhumu sungguh memikirkan dirimu.
Inilah suratnya yang diberikan padaku. Di dalamnya ia
juga menulis tentang dirimu. Nah, cobalah kau baca
sendiri."
Ternyata setelah pamitan pada Siangkoan Thay dan
turun dari puncak gunung Thian-pit-hong, Kang Haythian
dan rombongan Kay-pang yang terdiri dari Tiong
Tiang-thong dan kelima muridnya juga lantas berpisah.
Tiong Tiang-thong dan beberapa muridnya pergi ke Lokyang
untuk mengurus persoalannya sendiri. Dia hanya
menyuruh muridnya yang pertama, Goan-It-tiong, untuk

menemani Kang Hay-thian menuju ke selatan,


menghadiri rapat di Bin-san.
Sebenarnya Kang Hay-thian hendak pulang ke rumah,
tapi baru tiga hari dalam perjalanan, di tengah jalan ia
menerima surat dari ayah angkatnya, Hoa Thian-hong,
yang disampaikan oleh orang Kay-pang. Isi surat amat
sederhana, karena ada urusan penting diminta supaya
Kang Hay-thian datang kepadanya. Kang Hay-thian tak
berani menolak perintah ayah angkatnya, ia minta Goan
It-tiong membawa Lim To-kan pulang dulu, sementara ia
menuju ke Hoa-san.
Nyo Pit-tay, ketua cabang Kay-pang di Tek-ciu, adalah
Susiok dari Goan It-tiong. Ketika tiba.di kota itu, Goan Ittiong
mengajak Lim To-kan bermalam di rumah paman
gurunya itu. Kebetulan malam itu Kang Lam datang ke
situ juga, Goan-It-tiong segera menyerahkan Lim To-kan
kepada Kang Lam agar diajak pulang.
Di dalam suratnya, selain memberi kabar kepada
istrinya mengapa ia belum dapat pulang, Kang Hay-thian
menyebut-nyebut juga tentang Leng-hong. Ia
mengatakan, apabila Leng-hong sudah pulang bolehlah
Kok Tiong-lian mengajaknya ke Bin-san. Di hadapan para
orang gagah. Kok Tiong-lian boleh memaklumkan kalau
Yap Leng-hong itu adalah murid pewaris dari Kang Haythian.
Apabila hendak mendirikan sebuah cabang
persilatan baru, kedudukan seorang murid pewaris itu
amat penting sekali. Biasanya tentu akan mengundang
seluruh Cianpwe persilatan untuk hadir dalam upacara
peresmian. Walau Kang Hay-thian berhalangan datang,
tapi dengan memperkenalkan murid pewarisnya itu, juga
tak mengurangi kekhidmatannya.

Selanjutnya dalam surat Kang Hay-thian mengatakan,


sedapat mungkin akan berusaha untuk hadir dalam
upacara peringatan wafatnya Tok-pi Sin-ni. Tetapi jika
sampai terhalang, ia minta istrinya dan Leng-hong yang
mewakili, tak usah menunggunya.
Habis membaca surat itu, legalah hati Leng-hong.
Namun ia pura-pura mengunjuk kecemasan, "Suhu
adalah jago nomor satu di dunia, aku seorang murid
yang goblok, apakah takkan ditertawai oleh sekalian
orang gagah jika dipilih menjadi murid pewaris?"
"Orang persilatan mengutamakan Hiap-pi
(keperwiraan). Banyak orang persilatan yang telah
mendengar tindakanmu bersama Siau Ci-Wan ketika
menolong Li Bun-sing dan putrinya di gunung Thay-san
dahulu. Walaupun sekarang kepandaianmu masih belum
sempurna, tapi berkat kecerdasanmu, di kemudian hari
tentu dapat menambah cemerlang nama perguruan kita.
Namamu sudah dikenal orang pula menjadi murid
pewaris Suhumu, siapakah yang berani memandang
rendah padamu lagi?" sahut Kok Tiong-lian.
"Toasuko, kali ini kau boleh unjuk muka di hadapan
sekalian orang gagah! Tak usah kau pura-pura sungkan,
seharusnya kau bergirang," Hiau-hu yang lincah mulut
turut memberi dorongan semangat. Sekali-kali dara itu
tak mengandung hati untuk menyindirnya, tapi entah
bagaimana muka Leng-hong merah sendiri.
"Anak Hu, kau sungguh keterlaluan, untung Sukumu
cukup kenal perangaimu," kata Kok Tiong-lian. "Tetapi
Hong-tit, kuharap di hadapan para orang gagah seluruh
negeri, sebagai murid pewaris perguruan kita kau harus
pandai merendah diri, jangan sekali kali mengunjuk

kecongkakan. Kutahu kau cukup hati-hati, sebenarnya


tak perlu kupesankan lagi."
"Sudah tentu kuingat sungguh-sungguh pesan bibi ini.
Budi Suhu sedalam lautan, mana aku berani
memerosotkan derajatnya," Leng liong segera
menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada
Ibu gurunya sambil berjanji akan melaksanakan nasehat
bibinya Itu
"Ah, sudahlah. Yang kumaksudkan supaya kau
merendah diri terhadap orang luar. Terhadap orang
dalam sendiri tak perlu begitu sungkan. Kemasi
pakaianmu, mari kita segera berangkai. Ayah, sukalah
kau tinggal menilik rumah. Anak Kan, kau pun ikut aku
melihatt keadaan dunia luar. Apakah kau tak lelah?" kata
Kok Tiong-lian.
"Tidak, aku sudah biasa tiap hari menempuh perjalan
dengan Suhu. Selama dua hari ini Yaya menyuruh aku
naik kuda, suatu hal yang malah tak biasa bagiku," sahut
Lim To-kan.
Kang Lam tertawa, "Bocah ini mempunyai tulang,
bagus. Bisa tahan menderita dan cerdas otaknya.
Pelajaran bernapas yang dibelikan Suhunya, baru
sebulan lebih sudah dikuasainya."
Mendengar itu diam-diam Leng-hong makin iri.
Kata jago tua itu pula, "Untuk mencari Suhu ternama
susah sekali, tapi mencari murid yang baik pun tak
mudah. Dalam waktu setahun ini Hay-ji sekaligus
menerima tiga orang murid dan seorang calon murid
yang belum diketemukan, yakni putra Li Bun-sing. Empat

murid semua berbakat bagus, sungguh suatu hal yang


jarang terdapat di dunia persilatan!"
"Ayah, kau memuji orang sendiri, apakah takkan
ditertawai orang, lain?" seru Kok Tiong-lian.
"Itu bukti yang nyata, bukannya aku memuji," sahut
Kang Lam.
Tiba-tiba ia menghela napas, "Sayang Ubun Hiong
menerima dakwaan yang tak baik dan telah kau usir."
"Dalam kedudukan seperti diriku, terpaksa kulakukan
hal itu," sahut Kok Tiong-lian dengan rawan.
"Ya, kutahu. Bukannya aku menyalahkan, tapi dalam
perasaanku, Ubun Hiong, anak itu jujur dan sederhana,
tidak layak melakukan perbuatan yang jahat. Mudahmudahan
dia dapat membersihkan diri dan lekas kembali
kemari lagi," kata jago tua itu. "Kuanggap murid-murid
Hay-ji sebagai cucuku, tak kubedakan satu sama lain."
Mendengar disebut-sebutnya nama Ubun Hiong, Kang
Hiau-hu berduka, namun karena toh sudah menjadi
kenyataan, tak mau ia menyalahkan tindakan ibunya.
Kok Tiong-lian mengalihkan pembicaraan, "Ayah Kan-ji
adalah orang buronan nomor satu antek-antek kerajaan.
Dalam rapat besar di Bin-san nanti, walaupun sebagian
besar terdiri dari para orang gagah golongan Cing-pay,
namun sukar dijaga kemungkinan diselundupi oleh
golongan jahat. Tentang asal-usul diri Kan-ji, kalian harus
merahasiakan."
Pesan itu ditujukan pada Leng-hong dan Hiau-hu,
kedua anak muda itu tersipu-sipu mengiakan pesan Kok
Tiong-lian.

Leng-hong segera menuju ke kamarnya untuk


berkemas, hatinya selalu gelisah, pikirnya, "Untung
sekarang warung arak itu sudah terbakar. Coba masih,
mereka tentu mengirim orang kepadaku, suruh aku
mencari berita tentang putra Lim Jing. Ah, aku tentu
terjepit dalam kesukaran, serba susah untuk
memberitahu atau tidak!"
Begitu kembali ke ruang tamu, didengarnya Kok
Tiong-lian berkata kepada sang ayah mertua, "Sejak
datang ke Masar dahulu, sudah hampir 20-an tahun Hoaloyacu
tak pernah turun dari Hoa-san. Kini beliau
memanggil Hay-thian, entah ada urusan penting apa?"
Sahut Kang Lam, "Hoa Thian-hong lebih tua dari aku,
tahun ini mungkin sudah 70-an tahun usianya."
Sahutan pada yang bukan ditanyakan itu membuat
Kok Tiong-lian heran, ujarnya, "Lalu bagaimana?"
"Seorang tua tentu mudah dihinggapi rasa kesepian,
seorang diri dia tinggal di Hoa-san, sudah tentu ia
merasa kesepian," kata Kang Lam.
"Ah, kau jangan bergurau, ayah," kata sang menantu,
"Kalau begitu ia minta Hay-thian menemaninya?"
Kang Lam tertaw. "Aku sendiri pun kuatir kesepian
dan tak ada orang yang kuajak bicara, tentulah orang
lain juga begitu!"
Mendengar itu sekalian orang tertawa geli. Kembali
Kang Lam berkata, "Terus terang walaupun aku tak tahu
mengapa Hoa Thian-hong memanggil Hay-ji tapi kuduga
tentu ada kebaikannya untuk Hay-ji. Dulu kau takut dia
kena apa apa, sekarang setelah tahu tempat
kepergiannya, seharusnya tak usah memikirkannya lagi."

Kok Tiong lian mengangguk, kala itu Leng-hong sudah


berada di ruang tamu dan mendengarkan pembicaraan
antara mertua dan menantunya itu. la makin longgar
perasaan hatinya ketika mendapat tahu bahwa Hoa
Thian-hong sudah 20 tahun tak turun gunung. Ia yakin
dipanggilnya Kang Hay Thian ke Hoa-san itu tentu tak
ada sangkut-paut dengan dirinya.
Sebenarnya Kang Lam tak tahu kalau pada dua tahun
berselang Hoa Thian-hong pernah turun gunung,
begitupun Kok Tiong-lian juga tak tahu hal itu. Dan Lenghong
hanya menarik kesimpulan dari pembicaraan antara
mertua menantu itu saja.
Begitulah hari itu dengan membawa putrinya dan dua
orang murid, Kok Tiong-lian berangkai ke Bin san. Dalam
perjalanan mereka selalu bergembira. Yap Leng hong
menggunakan kesempatan baik itu untuk mendapat
kepercayaan bibinya dan mengambil hati sang Sumoay,
tetapi sebaliknya si dara bersikap dingin kepadanya, ia
lebih suka pada Lim To-kan. To-kan lebih muda tiga
tahun, keduanya seperti kakak dan adik. Itu tak berarti
bahwa Hiau-hu membenci Leng-hong, melainkan hanya
tak cocok dengan seleranya saja oleh karena itu, ia tak
bergaul rapat, kebanyakan hanya bersikap sekadarnya
saja.
Sebagai ahli waris partai Bin-san-pay, Kok Tiong lian
harus datang lebih dulu di Bin-san untuk mempersiapkan
upacara sembahyang memperingati wafatnya Tok pi
Sinni, pendiri Bin-san-pay. Waktu tiba di Bin-san, masih
ada waktu tiga hari dari sembahyangan itu. Semula ia
kuatir dengan membawa seorang anak (To-kan) dalam
perjalanan itu tentu akan banyak memakan waktu.
Bahwa ternyata ia dapat tiga hari di muka tiba di Bin-san,

ia sangat girang Waktu tiga hari itu dapatlah ia gunakan


untuk bertemu dengan para anak murid Bin-san-pay
guna membicarakan urusan dalam.
Pada musim semi, alam di gunung Bin indah sekali.
Sambil mendaki ke atas gunung, Kok Tiong-lian
menuturkan tentang riwayat hidup cikal-bakal pendiri
Bin-san. Tak berapa lama, tibalah mereka di puncak
gunung, di puncak gunung terdapat sebuah air terjun
yang bentuknya mirip dengan segulung sutera
dijungkirkan ke bawah. Ditimpa oleh sinar matahari, air
terjun itu memantulkan cahaya keemasan yang indah,
pada dinding karang air terjun itu terdapat sebuah bekas
lubang sebesar cawan, tetapi empat kelilingnya rata.
"Apakah kalian melihat lubang bekas di dinding karang
itu? Ayo tebaklah, bagaimana asalnya itu," Kok Tiong-lian
tertawa.
"Tampaknya seperti bukan dari alam. Ibu, mengapa di
atas karang yang halus terdapat lubang?" tanya Hiau-hu.
"Benar, memang itu bikinan manusia, tetapi dibikin
dengan tak sengaja. Ada sebuah cerita yang menarik
tentang lubang itu," jawab Kok Tiong-lian.
"Aku paling seriang mendengar cerita. Bu,
ceritakanlah," Hiau-hu segera mendesak.
"Ya, baiklah. Cerita itu mengandung nasehat baik
kepada kalian," kata Kok Tiong-lian.
"Lubang itu bekas gempuran tongkat Liau-in Hwesio.
Cikal-bakal kita, Tok-pi Sin-in, pendiri Bin-san-pay,
mempunyai 8 orang murid. Yang pertama ialah Liau-in,
mereka disebut Kang-lam-pat-hiap (8 pendekar dari
Kanglam). Selain Toasuheng, ilmu kepandaian Liau-in itu

paling tangguh, keenam Sutenya ia yang mewakili


memberi pelajaran, maka dia seolah-seolah seperti
setengah Toasuheng setengah Suhu."
"Lho, bukankah mereka disebut Kang-lam-pat-hiap?
Seharusnya dia punya tujuh Sute?" Hiau-hu menyeletuk.
"Yang nomor 8 adalah Lu Si-nio, murid asuhan Tok-pi
Sin-ni sendiri, ketika Lu Si-nio diterima menjadi murid,
Liau-in sudah meninggalkan gunung. Ilmu kepandaian Lu
Si-nio itu didapat dari Tok-pi Sin-ni sendiri. Memang Sinni
yang sudah merasa kalau sifat Liau-in itu tidak lurus,
kuatir sesudah ia mati tak ada orang yang dapat
menundukkan Liau-in, maka Tok-pi Sin-ni menurunkan
semacam ilmu pedang ciptaan terbaru kepada Lu Si-nio.
Dan memberinya sebuah Kim-pay (lencana emas).
Sewaktu meninggal, Tok-pi Sin-ni memberi pesan, jika
nantinya Liau in berubah jahat, lu Si-nio boleh
menggunakan Kim-pay itu untuk menghukum
Toasuengnya itu.
Pada saat Liau in datang menghadiri upacara
penguburan Suhunya, dia mengumpulkan para Sutenya
dan memaksa mereka mengakuinya sebagai pengganti
sang Suhu. Saat itu Lu Si-nio turun tangan,
dikeluarkannya kimpay dan mengumumkan pengusiran
Liau-in dari Bin-san pay, menghapus namanya dari Kanglam-
pat-hiap, Liau-in tak terima. Begitullah dihadapan
makam Tok-pi Sin-ni, terjadilah pertempuran sengit
antara Liau In dengan Sute-sutenya. Dahsyat sekali
pertempuran itu, mungkin merupakan pertempuran yang
terdahsyat dalam sejarah Binsanpay. akhirrnya Lu Si nio
dapat menusuk mata Liau-in sampai buta, lalu
membunuhnya pada saat menghembuskan napas
penghabisan. Liau in menimpukkan tongkatnya ke arah

Lu Si-nio. Maksudnya hendak mati bersama, tetapi


dengan Ginkangnya yang tinggi, Lu Si-nio dapat
menghindar. Tongkat itu menancap ke dalam dinding
karang, kemudian Kam Hong-ti yang mencabutnya.
Itulah sebabnya pada dinding karang itu terdapat sebuah
lubang," demikian Kok Tiong-lian mengakhiri ceritanya
Mendengar lubang itu berasal dari timpukan tongkat
Liau-in yang sudah terluka parah, diam diam Leng hong
dan Hiau-hu terperanjat. Lebih-lebih Leng-hong, ia
merasa keadaan Liau in itu persis seperti dirinya. Diamdiam
ia gelisah dan bertanya dalam hati, mengapa
Subonya menuturkan cerita itu kepadanya.
"Mengkhianati guru karena gila kemuliaan kupercaya
kalian tentu takkan melupakan. tetapi baik juga kalian
ingat cerita itu. Setelah menyelesaikan pelajaran, jangan
sekali-kali mengaggulkan diri dan berbuat kejahatan.
Dalam mengikat persahabatan harus yang cermat,
jangan sampai kena dipikat oleh orang-orang tersesat.
Atau kalau tidak, kalian tentu akan mengalami nasib
serupa Liau in. Kembali Kok Tiong-lian memberi nasehat.
Bahwa ternyata Subonya hanya bersifat memberi
nasehat saja, legalah perasaan Leng-hong,, mereka
bertiga segera mengiakan, tetapi sebenarnya Leng-hong
mempunyai kesan tersendiri dari cerita itu, dan kesan itu
justru berlawanan dengan yang tersimpul dalam nasehat
Kok Tiong-lian, pikirnya, "Kehancuran Liau-in disebabkan
oleh Tok-pi Sin-ni yang diam-diam menurunkan ilmu
pedang Hian-li-kiam-hoat kepada Lu Si-nio. Jika tidak
begitu, mana Liau-in semudah itu dapat dikalahkan?"
Dengan tamsil cerita Liau-in itu, ia meneropong
keadaan dirinya. Kang Hay-thian jago nomor satu di

dunia dan dia (Leng-hong) adalah murid pewarisnya.


Seharusnya mendapat seluruh kepandaian Suhunya, jika
Kang Hay-thian sudah tua dan mengundurkan diri, dialah
yang bakal menjagoi dunia persilatan. Yang penting
harus dijaga jangan sampai Suhunya itu diam-diam
memberi ilmu kepandaian istimewa kepada salah seorang
Sutenya.
Leng-hong membuat perhitungan lebih jauh, "Ubun
Hiong sudah diusir, dia tak perlu dikuatirkan. Yang
penting aku harus mencurahkan perhatianku untuk
mengambil hati Sumoay dan memperistrinya, dengan
begitu tak usah kuatir ia akan melawan aku lagi. Dalam
hal ini, bibi membantu usahaku, kemungkinan besar
tentu dapat berhasil. Anak Li Bun-sing itu belum dapat
diketemukan, inipun tak perlu dihiraukan, agaknya yang
membahayakan hanyalah setan cilik Lim To-kan itu.
Dengan memandang muka ayah bocah itu, Suhu tentu
akan menggemblengnya sungguh-sungguh. Bocah itupun
cerdik, pandai mengambil hati. Datang belum dua hari
saja Subo dan Sumoay sudah memperlakukan dengan
begitu sayang. Kalau terus dilanjutkan, mungkin
kedudukanku sebagai murid pewaris akan guncang,
tetapi bagaimana akal supaya dapat mengenyahkan
setan cilik itu?"
Karena pikiran melayang, kaki Leng-hong terantuk
batu. Ia terhuyung-huyung sampai dua langkah ke muka
baru dapat berdiri tegak.
"Ai, Toasuko, mengapa kau tak melihat jalan? Apa
yang kau pikirkan?" Hiau-hu menertawakan. "Aha, sudah
sampailah sekarang!"

Memandang ke atas, benarlah biara Hian-li-koan


sudah tertampak. Malah dari sebelah atas sudah ada
orang turun menyambut kedatangan mereka. Buru-buru
Leng-hong menenangkan pikirannya, ia menyahut, "Aku
tengah memikirkan tentang kabar-kabar yang santar
tersiar di luaran. Dalam perjalanan bersama Suhu, sudah
tersiar desas-desus bahwa pemerintah Cing hendak
menghancurkan Bin-san-pay. Mungkin kawanan alap-alap
kerajaan akan mengacau rapat besar di Bin-san ini."
"Sudah tentu kita harus waspada menjaga
kemungkinan itu, tetapi yang dikuatirkan mereka Itu
akan menggunakan jalan gelap. He, sudah sampai. Peksupek,
Loh supek, Cia sukoh, Ceng Yang Susiok,
terimalah hormat Sutitmu. Ah, mengapa dengan orang
sendiri begitu sungkan?" seru Kok Tiong-lian.
Kiranya rombongan murid Bin-san-pay yang berada di
biara Hian-li-koan terdiri dari Pek Ing-kiat, Loh Ing-ho,
Cia Hun-cin dan Ceng Yang Suthay sudah menunggu di
muka pintu biara untuk menyambut kedatangan Kok
Tiong-lian, Ciang-bunjin mereka.
Kok Tiong-lian memperkenalkan kedua murid
suaminya kepada mereka. Di antara para Cianpwe itu,
Leng-hong sudah pernah bertemu dengan Pek Ing-kiat
dan Loh Ing-ho ketika di markas Kay pang cabang Tekciu
tempo hari. Para Cianpwe Bin-san-pai itu menyambut
dengan hangat pula Leng hong.
"Hari ini adalah peringatan wafatnya Cosu yang ke
100, banyak kawan-kawan persilatan akan mengirimkan
orang untuk hadir, hal ini sudah disepakati lebih dulu. Di
samping itu masih akan datang juga tokoh tokoh
persilatan ternama, jika Kang tayhiap dapat datang tepat

waktunya, itulah yang kita harapkan. Namun jika ia


berhalangan datang kekuatan kitapun cukup untuk
mengatasi segala kemungkinan yang tak diinginkan,"
kata Pek Ing kiat.
"Dalam mengatur pertemuan ini, banyak sekali
merepotkan berdua Supek ” Kok Tiong lian menyatakan
rasa syukurnya.
"Mulai besok pagi tentu tetamu-tetamu sudah pada
datang, gelagatnya tahun ini akan lebih meriah dari
tahun-tahun yang lalu ” kata Pek Ing kiat pula
Atas pertanyaan Kok Tiong-lian mengenai tempat
penerimaan tetamu, Pek Ing kiat menerangkan bahwa
Hian-li koan telah ditambah dengan berpuluh kamar, kuil
Yok-ong-bio yang terletak ditengah gunung juga dapal
dibuat tempat penginapan.
"Tetapi kalau tetamu keliwat banyak, mungkin tenaga
pelayannya tak cukup, kurasa hendak minta Yap-seheng
membantu jadi Ti-khek (penyambut tetamu) bersamasama
dengan aku, menyambut tokoh-tokoh terkemuka
dari berbagai golongan," katanya pula Pek Ing-kiat
seorang yang banyak pengalaman, ia tahu bahwa
maksud dari Kang Hay-thian dengan menyuruh istrinya
membawa murid pewarisnya itu tentulah supaya dapat
mengenalkan diri pada sekalian orang dari seluruh
penjuru. Ia juga suka dengan anak muda (Leng-hong)
itu, pandai bicara, pintar menempatkan diri dan sikapnya
cukup terampil. Itulah sebabnya Pek Ing-kiat segera
mengatur begitu.
Kok Tiong-lian mengangguk, "Walaupun Leng-hong
bukan murid pewaris partai kita, tapi boleh dikata
sebagai orang sendiri. Karena tenaga penyambut tak

mencukupi, bolehlah dia bertugas jadi Ti-khek. Eh, apa


katamu Leng-hong?"
Leng-hong tak mimpi kalau bakal mendapat
kehormatan seperti itu, ia pun mengiakan.
Pada hari kedua, memang benar tetamu-tetamu
berdatangan. Di antara tetamu-tetamu penting yang
disambut oleh Kok Tiong-lian dan Pek Ing-kiat adalah
Tay-hui Siansu dari Siau-lim-pay, Lui Cin-cu, Ciangbun
Bu-tong-pay, Hoat-hoa Siangjin, Tianglo dari Go-bi-pay
dan ratusan murid-murid dari ketiga aliran itu. Dalam
penyambutan, Leng-hong banyak mendapat pujian dan
memperoleh kesan baik dari para tetamu.
Bersambung jilid 2

JILID 2
Hari ketiga adalah hari terakhir dari pertemuan besar,
tetamu-tetamu yang datang lebih banyak lagi. Di
antaranya yang paling menarik perhatian Leng-hong
ialah Ciangbun Jing-sia-pay yang bernama Sin In-long
serta kedua belas muridnya. Jing-sia-pay merupakan
salah satu dari enam besar di Tionggoan, memang dalam
kemasyhuran nama, kalah dengan Siau-lim-pay dan Butong-
pay. Perhatian Leng-hong terhadap Jing-sia-pay
bukan karena kedudukan cabang itu, melainkan
disebabkan karena saudara angkatnya, Siau Ci-wan,
orang Jing-sia-pay. Ketika tahun yang lalu ia berpisah
dengan Siau Ci-wan, adalah karena Siau Ci-wan hendak
pulang ke Sujwan untuk membantu gerakan menentang
pemerintah Cing yang dibentuk oleh Leng Thian-lok.
Leng-hong ingin sekali mencari keterangan mengapa
Siau Ci-wan tak datang.
"Kabarnya di gunung Siau-kim-san, Leng Thian-lok
telah menggerakkan pemberontakan terhadap
pemerintah Cing. Sekarang bagaimana kesudahannya?"
tanya Kok Tiong-lian.
"Semula mendapat kemajuan, Leng Thian-lok dan
keponakannya berpencar dalam dua jurusan. Mereka
dapat merebut Kong-gwan, memukul pecah Bian-tiok
dan menekan Seng-to. Wilayah Sujwan gempar. Sayang
sejak musim semi tahun ini, kedudukan mereka berubah
jelek, pemerintah Cing telah mengutus gubernur Siamkam
Yap To-hu ke Sujwan. Dia membawa seratus ribu
serdadu masuk ke Sujwan, laskar pejuang kalah banyak
jumlahnya, terpaksa mereka melepaskan tempat-tempat

yang diduduki dan kembali ke pangkalan lama di Siaukim-


jwan. Keadaannya payah sekali," sahut Sin Un-long.
Lim To-kan yang saat itu berada di samping Subonya,
tiba-tiba menyeletuk, "Mengapa gubernur she Yap itu
bernama To-hu (jagal)?
Apakah dia seorang jagal manusa yang ganas?"
"Dia sebenarnya seorang Cinsu (pegawai sipil tinggi).
Wajahnya memang seperti sastrawan, tetapi hatinya
ganas sekali. Ketika menjabat gubernur di Siam-kam, ia
banyak sekali membunuh orang, sebab itulah ia digelari
dengan sebutan To-hu. Waktu masuk ke Sujwan, segera
ia mengadakan pembersihan. Rakyat di daerah yang
pernah diduduki pemberontak dibunuh dengan tuduhan
sebagai antek pemberontak dan perampok. Benar
katamu itu, engkoh kecil. Dia Memang seorang jagal
manusia yang ganas sekali!" sahut Sin In-long.
Orang-orang yang mendengar penuturan Sin In-long
mencaci-maki Yap To-hu. Tiada seorang pun yang
mengira sama sekali bahwa satu-satunya orang yang
tertusuk hatinya karena Yap To-hu itu dicaci-maki adalah
murid pewaris dari Kang Hay-thian yang kala itu tengah
berhadapan dengan Sin In-long. Adalah karena begitu
datang Sin In-long terus sibuk menceritakan keadaan di
daerah Sujwan, maka Pek Ing-kiat belum
memperkenalkan Leng-hong pada orang itu.
Mendengar ayahnya dicaci-maki habis-habisan, sedih
dan gelisah perasaan Leng-hong. Tiba-tiba mata Sin Inlong
tertumbuk pada Leng-hong, pewaris Jing-sia-pay itu
tertegun, serunya, "Saudara ini..”

"Yap-siauhiap, murid pewaris dari Kang-tayhiap,"


buru-buru Pek Ing-kiat memperkenalkan Leng-hong.
Leng-hong pun tersipu-sipu berlutut memberi hormat
sebagai layaknya seorang angkatan muda terhadap
seorang Cianpwe.
Sin In-long mengangkatnya bangun, katanya, "Justru
aku hendak mencarimu, siapa tahu kau malah membikin
aku terkejut."
Kang Hiau-hu seorang dara lincah dan Sin In-long itu
sahabat karib ayahnya, sejak kecil dara itu sudah
mengenalnya. Ia segera melengking keheranan, "Shinyaya,
wajah Toasuko ini toh tidak jelek, mengapa kau
terkejut?"
Jika bukan di tempat dan waktu seperti itu, tentulah
Leng-hong akan girang sekali mendapat pujian si dara,
tetapi pada saat seperti itu, kebalikannya ia malah
berdebar sekali.
"Justru karena wajah Yap-siauhiap begitu, maka aku
sampai terkejut," sahut Sin In-long.
"Mengapa?" tanya si dara.
"Kukenal pada Yap To-hu, wajahnya mirip benar
dengan Yap-siauhiap ini!" jawab Sin In-long.
Pek Ing-kiat tertawa gelak-gelak, "Untung dia itu
keponakan Kang-hujin, Ciangbunjin kami. Kalau tidak,
mungkin orang tentu mengiranya sebagai keponakan Yap
To-hu, wah bisa runyam!"
Sin In-long pun tertawa, "Asal-usul Yap-seheng, aku
pun tahu jelas. Yap yang ini berbeda dengan Yap yang

itu, orang bisa mirip, benda bisa sama. Janganlah Yapseheng


kecewa karena berwajah seperti Yap To-hu."
Takut menimbulkan kesangsian orang banyak, Lenghong
sengaja ikut memaki ayahnya, "Aku tak menyesal,
melainkan benci sekali pada jagal rakyat yang ganas itu.
Kuharap supaya tentara pejuang lekas dapat
menumpasnya, agar rakyat bebas dari penderitaan!"
"Yap-seheng, maukah engkau berhadapan dengan Yap
To-hu? Mungkin kau mempunyai kesempatan
membunuhnya sendiri agar dapat meringankan
penderitaan rakyat!" kata Sin In-long.
Diam-diam Leng-hong terkejut, ia kuatir janganjangan
orang she Shin itu hendak mencoba harinya,
maka terpaksa ia memberi pernyataan, "Sudah tentu aku
ingin sekali membunuh srigala itu, tetapi apakah maksud
Locianpwe menganjurkan aku masuk dalam tentara
pejuang itu?"
"Benar, untuk itulah maka aku hendak mencarimu.
Kau punya seorang Giheng bernama Siau Ci-wan,
benarkah?"
Kini tahulah Leng-hong apa tujuan Sin In-long, ia
merasa lega sekali, jawabnya, "Ya, memang aku hendak
mencari berita Siau-toako itu."
Kuatir yang lain-lain tak mengerti, Sin In-long
memberi penjelasan, "Siau Ci-wan anak murid
golonganku, dia mengangkat saudara dengan Yapsiauhiap.
Ketika tahun yang lalu Yap-siauhiap pergi ke
rumah keluarga Kang, muridku she Siau itu yang
mengantarkan, maka kutahu asal-usul Yap-siauhiap."

Setelah menjelaskan duduk perkaranya, Sin In-long


melanjutkan pula, "Dewasa ini keadaan laskar Siau-kimjwan
berbahaya sekali, boleh dikata semua murid Jingsia-
pay turut dalam gerakan itu. Namun jumlah orangnya
tetap belum mencukupi, masih perlu meminta bantuan
luar. Siau Ci-wan mengharap kau suka membantunya."
Leng-hong memandang sejenak pada Subonya, lalu
menyahut, "Gerakan itu memang mulia tujuannya, sudah
tentu Wanpwe tak menolak, tetapi harus mendapat izin
Suhu dulu. Sekarang Suhu masih belum datang, entah
apakah beliau mempunyai pesan apa yang akan .
diberikan kepadaku."
"Watak Suhumu kuketahui dengan jelas, dia adalah
lelaki yang mengutamakan keperwiraan. Jika kau masuk
laskar pejuang, tak nanti dia mau menyuruh kau
mengerjakan lain tugas lagi. Terus terang saja,
kedatanganku kemari ini karena mendapat permintaan
dari Leng Tian-lok agar sekalian orang gagah sudi
membantunya. Bukan hanya mengharap Yap-siauhiap
saja, makin banyak orang makin baik! Kok-ciangbun, kau
adalah penyelenggara rapat Bin-san ini. Aku pun hendak
meminta kau membantu."
"Ya, sudah tentu. Dalam rapat nanti tentu akan
kukemukakan permintaanmu ini. Tentang hal Leng-hong,
aku yang mewakilkan Suhunya memberi izin, karena
Suhunya tak keburu datang, maka tak perlu
menunggunya lagi," demikian sahut Kok Tiong-lian.
Walaupun Kok Tiong-lian tak menghendaki berpisah
dengan Leng-hong, namun untuk gerakan perjuangan
dan memandang muka Sin In-long, apa boleh buat, ia
lepaskan Leng-hong pergi. Apalagi nantinya Leng-hong

tentu akan mendapat pengalaman yang lebih luas, maka


tanpa banyak ragu, ia segera mengizinkan Leng-hong.
Mulut setuju tetapi di dalam hati Leng-hong mengeluh,
mendengar sekalian orang mencaci-maki ayahnya, Lenghong
seperti duduk di kursi duri. Untung datang pula lain
rombongan tetamu yakni dari Thian-san-pay yang terdiri
dari suami-istri Ciong Tian dan kedua putra-putrinya,
Ciong Leng dan Ciong Siu.
Hubungan antara Thian-san-pay dan Bin-san-pay
sudah lama sekali, Teng Hiau-lan, Lociangbun Thian-sanpay,
adalah sahabat karib Bin-san-pay. Istrinya yang
bernama Pang Ing dan iparnya Pang Lin, dahulu bersama
Lu Si-nio digelari orang sebagai Kang-ouw-sam-li-hiap
(tiga dara pendekar). Juga istri Ciong Tian dengan ibu
angkat Kok Tiong-lian merupakan saudara angkat, jadi
hubungan antara kedua cabang itu sudah terjadi
beberapa generasi. (Baca TIGA DARA PENDEKAR)
Berhubung Lociangbun Teng Hiau-lan sudah
meninggal, maka yang menggantikan sebagai ketua
Thian-san-pay adalah putranya yang bernama Teng
Keng-thian. Karena letaknya jauh, maka Teng Keng-thian
tak dapat mengirim banyak orang, tapi Ciong Tian adalah
murid pertama Teng Hiau-lan, di dalam Thian-san-pay
kedudukannya hanya terpaut setingkat dengan Teng
Keng-thian. Dengan kedatangan Ciong Tian bersama
keluarganya itu, sudah menandakan suatu kehormatan
yang hangat.
Sudah tentu sebagai Wanpwe (angkatan muda), Kok
Tiong-lian menyambut sehormat-hormatnya kepada
keluarga Ciong itu, oleh karena itu maka pembicaraan
tentang Yap To-hu itupun berhenti. Kini telinga LengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong pun tak tertusuk lagi, tetapi hatinya tetap gelisah.
Oleh karena tetamu-tetamu penting sudah sama datang,
maka tak perlu lagi Leng-hong menjadi repot. Ia pun tak
dapat turut dalam pembicaraan para angkatan tua itu,
apalagi memang ia tak suka mendengarnya. Setelah
duduk sebentar, ia segera keluar untuk mencari hawa
segar penenang hatinya.
"Jika aku masuk ke dalam tentara pejuang itu,
bukankah akan bermusuhan dengan ayah sendiri?"
pikirannya selalu dicekam dengan pertanyaan itu.
Biarpun dahulu ia pernah menggemborkan semboyan
"Usir kaum penjajah, kembalikan tanah airku", namun
kalau disuruh bertempur dengan ayah sendiri, sungguh
sulit baginya. Apalagi setelah rahasianya digenggam oleh
Hong Jong-liong, semangat perjuangannya mulai luntur.
Pernah Leng-hong merangkai rencana, apabila ia
mendapat kedudukan penting dalam tentara pejuang itu,
ia akan menggunakannya untuk kepentingan diri
pribadinya. Tentara pejuang menang, ia akan menarik
pasukan ayahnya untuk merebut negara dan menduduki
tahta kerajaan. Jika tentara pejuang kalah atau timbul
keretakan di dalamnya, dalam keadaan yang buruk ia
akan lari balik kepada ayahnya.
"Jika sekarang aku sudah bermusuhan dengan ayah,
tentu kedua belah pihak akan remuk, rencanaku itu tentu
akan gagal. Dan yang paling menguatirkan, karena tak
sedikit anak buah ayah yang kenal padaku, jika aku
menggabungkan diri pada gerakan Sujwan itu, tentu
rahasiaku bakal ketahuan!" pikirnya lebih jauh.
Yap Leng-hong mondar-mandir dalam kegelisahan,
sekonyong-konyong seseorang datang dan memberi

salam padanya. Leng-hong kenal orang itu sebagai salah


seorang murid Sin In-long, tapi siapa namanya ia tak
tahu. Sebenarnya Leng-hong enggan bicara dengan
orang, tapi sekadar untuk memenuhi kesopanan,
terpaksa ia balas memberi hormat serta menanyakan
nama orang. Diam-diam ia menduga orang itu tentu
bermaksud membujuknya.
Tiba-tiba orang itu tertawa gelak-gelak, kemudian
berkata dengan bisik-bisik, "Matahari dan rembulan tak
bersinar. Hehehe, kita kan orang sendiri!"
Leng-hong seperti mendengar halilintar berbunyi di
tengah hari, ia terlongong seperti kehilangan semangat.
"Di sini banyak orang, mari kita cari tempat yang sepi.
Awas, jangan sampai menimbulkan kecurigaan orang
sehingga ketahuan rahasia kita," kata orang itu pula.
Diam-diam Leng-hong mengeluh dalam hati, ia
mengira sudah terlepas dari cengkeraman mereka, kini
ternyata masih belum. Apa boleh buat, terpaksa ia
tenangkan hati dan ikut orang itu. Setelah sampai di
sebuah tempat yang tak ada orangnya, berkatalah orang
itu, "Yap-kongcu, baiknya kita menjadi seorang Siaujin
(orang kecil), baru kemudian menjadi Kuncu (jantan
sejati). Terus terang kuberitahukan padamu bahwa
orang-orang kita di Bin-san sini banyak sekali, yang tahu
rahasiamu juga bukan aku seorang saja. Yap-kongcu,
janganlah merencanakan untuk melenyapkan diriku."
Memang diam-diam Leng-hong telah membayangkan
rencana itu, siapa tahu orang ini jauh lebih lihai. Sekali
bicara dapat membuka isi hatinya, diam-diam Leng-hong
terkejut dan paksakan tertawa, "Saudara juga banyak

curiga, kita orang sendiri, masakah aku akan


menggunakan tangan jahat?"
Orang itu tertawa, "Benar, memang begitu, kita saling
mempunyai kepentingan, jika rahasia kita sampai
ketahuan, aku sih tak mengapa, sebaliknya bila mereka
tahu kau ini putra Yap To-hu, dikuatirkan orang akan
mencincang tubuhmu."
Leng-hong mengucurkan keringat dingin, ujarnya, "Ya,
ya, ya. Siapakah nama saudara? Apakah kau juga murid
Jing-sia-pay?"
"Ingatanmu tajam sekali, memang aku murid Jing-siapay.
Suhuku bernama Han In-kiau, Sin In-long adalah
Supek (paman guru) dan ketua kami. Menurut uraiannya,
Siau Ci-wan itu masih Suteku. Hehehe, kita mempunyai
kedudukan kembar yang serupa sehingga akan makin
mempererat hubungan kita, aku she Bong bernama Ingping."
"Apa hubunganmu dengan Hong-tayjin?" tanya Lenghong.
"Kau terburu-buru ingin tahu, tentu kau masih belum
percaya padaku, biarlah kuterangkan sebenarnya. Hong
Jong-liong adalah atasanku, dialah yang menyuruh aku
menyelundup ke dalam Jing-sia-pay, sudah 10-an tahun
lamanya. Diriku serupa benar denganmu, apakah masih
ada yang kau sangsikan lagi?" Bong Ing-ping tertawa.
Sebenarnya Bong Ing-ping dengan Leng-hong itu tidak
sama, Bong Ing-ping adalah mata-mata yang
diselundupkan sedang Leng-hong adalah murid yang
dipikat.

Namun soal kecil itu tak dihiraukan Leng-hong, ia


tertawa getir, "Lalu apa yang hendak kau beritahukan
padaku sekarang?"
"Pertama, untuk memberi selamat padamu. Dan
kedua, sebagai orang sendiri kita harus saling kenal agar
bila ada apa-apa dapat berunding!" sahut Bong Ing-ping.
"Apa yang perlu diberi selamat?" Leng-hong terkesiap.
"Sin In-long minta kau masuk laskar pemberontak,
bukankah itu suatu keuntungan besar?"
Bong Ing-ping memandang tajam pada Leng-hong,
lalu berkata dengan tertawa mengejek, "Untuk apa kau
resahkan hal yang begitu menggirangkan? Oh, apakah
kau masih bercabang hati, belum seratus persen
mengabdi pada kerajaan Cing?"
Leng-hong kaget dan buru-buru menyahut, "Jangan
salah faham, aku masih hijau, kurang pengalaman.
Menghadapi soal begitu, bingunglah aku. Mohon Bongheng
suka memberi petunjuk."
Bong Ing-ping tertawa gelak-gelak, "Kau seorang
cerdik, masakah perlu petunjukku lagi? Hehehe, dengan
kesempatan itu kau tentu bakal mendirikan jasa besar
kepada pemerintah!"
Walaupun sudah tahu, namun Leng-hong masih purapura
berlagak pilon, ujarnya, "Aku seorang tolol, tolong
Bong-heng memberi petunjuk."
"Baiklah, memang lampu kalau tak dinyalakan tentu
tak terang, kedudukanmu berbeda dengan aku, apa yang
tak dapat kulakukan justru bisa kau kerjakan. Seperti kau
ketahui, Sin In-long datang kemari itu karena hendak
minta bantuan para orang gagah, selain kau, tentu masih

banyak lagi orang-orang dari apa yang disebut golongan


Hiap-su. Kau murid pewaris Kang-tayhiap, sembilan dari
sepuluh tentu kau yang akan diserahi pimpinan pasukan
bantuan itu. Sebagai seorang Ciangbun, tentu Sin In-long
tak leluasa unjuk diri, maka begitu masuk ke Sujwan,
mengingat hubunganmu dengan Siau Ci-wan dan Leng
Thiat-kiau, tentulah tak sukar bagimu untuk mengambil
alih kekuasaan laskar pemberontak dari Leng Thiat-kiau
dan keponakannya itu. Setelah semua kekuasaan kau
pegang, hahaha, masakah kau tak dapat menggunakan
menurut kehendak hatimu? Kau dapat memberi berita
rahasia agar pasukan pejuang itu hancur. Kau pun boleh
merencanakan suatu jebakan untuk meringkus semua
golongan Kangouw-hiap-su itu!" Dalam berkata-kata
itu Bong Ing-ping menggunakan juga gerakan tangan.
Leng-hong kaget dan bingung, ini bukan karena ia
setia kepada tentara pejuang atau sayang pada golongan
Kangouw-hiap-su itu, melainkan karena rencana Bong
Ing-ping itu berbeda dengan rencananya sendiri,
"Tindakan itu berarti aku condong pada kerajaan, di
kemudian hari mana aku dapat menegakkan kaki di
kalangan Hiap-gi lagi? Dan jika terang-terangan
mengkhianati perjuangan, tentu Suhu akan
membunuhku," pikirnya.
Rupanya Bong Ing-ping tahu isi hatinya, ia tertawa,
"Kesulitan apa yang kau kandung, silakan mengatakan.
Aku tentu dapat membantu memecahkannya!"
Kata Leng-hong, "Kini rakyat di seluruh negeri sudah
goyah hatinya, golongan yang menentang pemerintah
Cing bukan hanya Leng Thian-lok saja. Merancang
rencana untuk menyaring seluruh kaum Kangouw-hiapsu
kukira tak mudah."

"Lalu bagaimana kehendakmu?" tanya Bong Ing-ping.


"Aku bersedia membantu sekuatnya pada kerajaan.
Tapi biarpun hal itu sudah ketahuan dalam gerakan
Sujwan ini, sekalipun dapat memusnahkan laskar Leng
Thian-lok, bahaya lain-lainnya masih belum hilang."
Bong Ing-ping mengulurkan jempol tangannya dan
berseru memuji, "Bagus, bagus! Kau sungguh hebat
sekali Yap-kongcu. Pandanganmu amat luas. Tepat kalau
dikatakan 'ada ayah tentu ada putranya', kau berdua
ayah dan anak benar-benar memadai."
Leng-hong terkesiap, "Apakah ayahku tahu urusanku?
Apa katanya?"
"Beliau sudah membicarakan dirimu dengan Hongtayjin,
mereka sudah memikirkan kepentinganmu dengan
cermat. Rencana mereka pun juga akan menebarkan
jaring seluas-luasnya untuk menangkap burung yang
jauh, kakap yang besar. Jika kau sudah masuk ke
Sujwan, mereka akan memberi umpan untukmu, sekalikali
bukan mereka terus menghendaki kau supaya
membuka rahasiamu. Misalnya, mereka akan sengaja
memberi kesempatan padamu dalam beberapa
pertempuran, supaya kau menang dulu dan menduduki
beberapa tempat, akhirnya pasukan pejuang dari Leng
Thian-lok dan kawanan Kangouw-hiap-su tetap harus
musnah semua. Asal kita berdua mau bekerja sama, kita
tentu dapat mengacau rencana yang bagus, hanya saja
nanti perlu juga kau menderita sedikit kesakitan, tentara
pemerintah akan menangkap dan mungkin akan
menyiksamu. Hehe, kau seorang cerdik Yap-kongcu,
bagaimana harus bertindak dan menyesuaikan keadaan
rasanya tak perlu kuajarkan lagi. Pendek kata, kita akan

bertindak sedemikian rupa hingga kawanan Kangouwhiap-


gi itu tak mencurigai kita!"
Masih Leng-hong mengemukakan bahwa sekalipun ia
sudah lama pergi dari rumah, tetapi anak buah ayahnya
yang kenal padanya banyak sekali.
Bong Ing-ping tertawa, "Hal itu tak perlu kau
kuatirkan, mereka tak nanti membocorkan rahasiamu.
Mereka akan berlagak memusuhimu mati-matian, mereka
akan meniupkan desas-desus bahwa kau adalah musuh
mereka nomor satu. Pendeknya kau nanti akan dianggap
sebagai pahlawan tentara pejuang. Nah, puaskah kau
sekarang?"
"Kalau begitu barulah lega hatiku," Leng-hong
menyahut girang.
Tiba-tiba Bong Ing-ping berkata dengan nada bengis,
"Ucapanmu dalam pembicaraan tadi, ketika Sin In-long
menyuruh kau masuk dalam gerakan Sujwan, dapat
menimbulkan kecurigaan orang. Ingat, kau harus
menjadi kepala tentara pemberontak. Segala apa harus
rebut dulu posisi penting, kata-katamu harus yang
garang. Yap-kongcu, sebagai seorang cerdik kau tentu
mengerti hal itu!"
Leng-hong tersipu-sipu mengiakan dan menghaturkan
terima kasihnya.
"Baik, sekarang kita sudahi pembicaraan tentang
tentara pemberontak itu, aku hendak menanyakan
padamu tentang seseorang," kata Bong Ing-ping.
Atas pertanyaan Leng-hong, Bong Ing-ping
mengatakan, "Ialah tentang diri ketua Thian-li-kau Lim
Jing!"

"Lim Jing?" seru Leng-hong agak gentar, "namanya


memang kukenal, tapi dimana beradanya, aku tak tahu."
"Benarkah?" Bong Ing-ping menegas dengan bengis.
"Tapi menurut penyelidikan, Suhumu telah pergi ke Bici
untuk menemui orang itu."
"Suhu pergi seorang diri ke Bici, aku tak ikut, hal itu
Hong-tayjin tahu jelas. Sampai sekarang Suhu belum
kembali, mana aku tahu tempat tinggal Lim Jing?"
bantah Leng-hong.
"Justru Hong-tayjin yang menyuruh aku menanyakan
padamu, dia mengatakan Suhumu itu luas sekali
pergaulannya. Walaupun orangnya belum pulang,
masakah dia tak menyuruh orang pulang membawa
berita? Ketahuilah, Lim Jing merupakan pesakitan utama
dari kerajaan, kita takkan melepas setiap kesempatan
yang bagaimana kecilnya pun untuk mengetahui tempat
persembunyiannya. Hong-tayjin minta supaya kau ingat
apa yang kau janjikan padanya, kita semua sudah
merupakan semut-semut yang terikat dalam sebuah tali.
Siapa pun tak dapat meninggalkan yang lain, baik mati
atau hidup, kita harus bersama-sama. Kau harus
mengandalkan kita, mengerti?" kata Bong Ing-ping.
Leng-hong mengiakan dengan nada yang lesu.
Bong Ing-ping tertawa, ujarnya, "Baik, syukurlah kalau
sudah mengerti. Kita tentu akan bersungguh hati
membantumu, sebaliknya kau pun harus bersungguhsungguh
membantu kami. He, apakah benar berita Lim
Jing tak kau ketahui sama sekali?"
Pada saat itu tiba-tiba terdengar lengking tertawa dari
kejauhan, itulah nada suara Kang Hiau-hu dan Lim ToTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kan. Leng-hong yang pasang telinga segera mendengar
To-kan berkata, "Mana Toasuko, mengapa tak
kelihatan?"
"Tak usah mempedulikan dia, kita cari tempat
bermain-main. Jika ada dia, kita malah tak dapat mainmain
sepuasnya. Hm, lihatlah di sana banyak bunga,
nanti kubuatkan rangkaian bunga untukmu, ya," kata
Hiau-hu.
"Enci Hu, agaknya kau jemu padanya?" tanya To-kan.
"Bukannya jemu, melainkan tak cocok," sahut si dara.
la tertawa, ujarnya pula, "Siau Lim, sebaliknya kau
kelihatan kagum padanya dan ingin bergaul rapat dengan
dia? Kalau begitu silakan kau mencarinya, aku tak
menghalangi."
"Dia adalah Ciangbun Suheng, kita harus
menghormatinya, tetapi karena enci Hu tak menyukai
bermain dengan dia, maka aku pun tak mencarinya
juga," sahut To-kan.
Takut kalau ketahuan dirinya bersekongkol dengan
Bong Ing-ping, maka Leng-hong pun bersembunyi di
balik pohon sambil menahan napas. Setelah mereka
pergi jauh barulah ia berani keluar dan menghela napas
longgar.
"O, kiranya Sumoay dan Sutemu. Hm, apakah Sutemu
itu she Lim?" tanya Bong Ing-ping.
Pertanyaan itu membuat hati Leng-hong guncang,
timbul pertentangan dalam hatinya. Kala itu tengah
permulaan musim semi, di gunung hawanya masih agak
dingin, namun dahinya mengucurkan berbutir-butir
keringat.

"Yap-kongcu, kenapa kau?" mata Bong Ing-ping yang


tajam segera mengetahui keadaan Leng-hong.
Dengan suara tergagap, Leng-hong menyahut,
"Apakah ... kau tanyakan tentang Lim Jing ketua Thian-likau?
Ha, ini... ini..”
Kata Bong Ing-ping, "Bagaimana? Mengapa kau begini
plintat-plintut? Lekas katakan tentang Lim Jing itu!"
Dalam pertentangan batin itu, semula Leng-hong tak
sampai hati untuk mencelakai seorang anak kecil, namun
akhirnya ia menimbang, "Yang bernyali kecil bukan
seorang ksatria, yang tidak kejam bukan seorang lelaki.
Jika anak itu dibiarkan hidup, tentu merupakan bahaya
bagiku. Asal-usulnya lebih gemilang dari aku,
apalagi menjadi kesayangan Suhu dan Subo. Jika sudah
dewasa, mungkin kedudukanku sebagai murid pewaris
tentu goyah. Bukankah Liau-in Hwesio juga dibunuh oleh
Sute dan Sumoaynya? Siang-siang aku harus membuat
rencana, jangan sampai senasib dengan Liau-in!"
Ia mengertak gigi, keganasannya merangsang dan
akhirnya membuka rahasia, "Tentang diri Lim Jing
memang aku sungguh tak tahu, tetapi aku tahu dimana
putranya. Kalian menghendaki putranya atau tidak?"
Girang Bong Ing-ping di luar batas, buru-buru ia
berkata, "Mengapa tidak? Tak dapat menemukan yang
tua, yang muda pun boleh juga. Lekas katakan!"
Leng-hong menunjukkan tangannya. Ketika Bong Ingping
mendongak ke muka, samar-samar ia masih melihat
bayangan Kang Hiau-hu dan Lim To-kan. Dan saat itu
Leng-hong kedengaran berbisik-bisik, "Putra Lim Jing di
depan mata itu. Dia adalah Suteku sendiri Lim To-kan!"

Bong Ing-ping girang-girang kaget, dengan agak


kurang percaya ia berkata, "Ini sungguh di luar dugaan,
tetapi bukankah Suhumu belum pulang?"
Memang dia tadi mendengar juga Kang Hian-hu
memanggil Sutenya dengan sebutan 'Siau Lim' (Lim
kecil). Tapi dia mengira itu hanya secara kebetulan saja,
belum tentu putra Lim Jing. Dugaan itu didasarkan
bahwa Kang Hay-thian belum pulang, kalau Kang Haythian
berhasil menolong anak itu, tentulah akan diajak
pulang bersama-sama. Tadi ia hanya sambil lalu saja
menanyakan anak itu pada Leng-hong, siapa tahu hal itu
telah menimbulkan rangsang pembunuhan dalam hati
Leng-hong.
"Suhu menitipkan pada orang Kay-pang untuk
mengantar pulang anak itu," kata Leng-hong yang lalu
menceritakan tentang kedatangan Lim To-kan. "Tapi
apakah kalian hendak merencanakan menangkapnya di
sini? Di sini adalah daerah Bin-san-pay, Suboku Ciangbun
Bin-san-pay. Jika Suteku kalian tangkap, Subo tentu tak
terima, dapatkah kau lolos?"
"Ini urusanku, tak usah kau hiraukan!" sahut Bong
Ing-ping.
"Tetapi aku ... aku adakah Suhengnya. Subo telah
menyerahkan anak itu dalam lindunganku," bantah Lenghong.
"Yap-kongcu, jangan kuatir. Sudah tentu kita akan
mengerjakan dengan bijaksana, tak nanti merembet
padamu. Sudahlah, sekarang aku hendak mengatur
rencana."

"Setan cilik itu lincah sekali dan Sumoayku pun tidak


lemah," Leng-hong memberi peringatan.
"Aku tahu, jangan kuatir. Segera kau kembali saja
pada Subomu sana dan kau bebas dari segalanya," kata
Bong Ing-ping.
"Ya, kau harus menghitung waktu yang tepat. Begitu
aku sudah masuk ke dalam biara Hian-li-koan, barulah
kau boleh turun tangan," kata Leng-hong.
Bong Ing-ping menyeringai, "Masakah perlu diberi
petunjuk lagi? Lekas pergi!" Rupanya ia jengkel juga
terhadap Leng-hong yang banyak tingkah hanya karena
memikirkan keuntungan diri sendiri saja.
Leng-hong bergegas pergi, pikirnya, "Benar, jika aku
berada di samping Subo, mereka hendak berbuat apa
saja Subo tentu takkan mencurigai aku."
Saat itu Hiau-hu dan To-kan tengah mencari bunga di
lamping gunung, rupanya To-kan gembira sekali,
tawanya berkumandang sampai jauh.
Sementara Kok Tiong-lian masih beromong-omong
dengan suami istri Ciong Tian. Melihat Leng-hong
datang, bertanyalah Kok Tiong-lian, "Sumoay dan To-kan
tadi bermain-main keluar, apa kau melihatnya?"
"Tidak," jawab Leng-hong.
"Ai, kedua anak itu memang masih senang main-main.
Bibi Ciong mencarinya tapi anak itu sudah ngacir pergi,"
kata Kok Tiong-lian.
Li Sim-bwe atau nyonya Ciong Tian hanya tertawa,
"Memang anak-anak suka ramai, suruh mereka
menemani orang tua, tentu tak senang. Biarkan anakTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
anak itu bermain sendiri, kita orang tua tak usah
menghiraukannya. Eh, waktu dalam perjalanan, kedua
anakku itu telah bersepakat mau saling menguji ilmu
pedang dengan adik keluarga Kang, serta minta diantar
pesiar ke sekeliling Bin-san, kali ini keinginan mereka
tentu terkabul."
"Anak Hu dan Sutenya itu tentu hanya main-main di
dekat sini saja. Tentang kepandaiannya sebenarnya ia
masih cetek, rasanya ia masih dapat menerima pelajaran
dari paman dan bibinya. 'Menguji kepandaian' rasanya
kelewat berat baginya," kata Kok Tiong-lian.
"Ah, kau terlalu sungkan. Siapakah yang tak tahu
kepandaian Kang-tayhiap itu nomor satu di dunia
persilatan? Di bawah pimpinan jenderal pandai mana ada
prajurit yang lemah?" bantah Li Sim-bwe.
"Itu kan orang luar yang terlalu menyanjung padanya,
di hadapanmu ia tetap seorang Wanpwe. Ilmu silat
Thian-san-pay termasyhur tinggi. Hong-tit, dalam
kesempatan sekarang ini kau pun boleh saling mengenal
rapat dengan paman Ciong, minta ia suka memberi
petunjuk."
Buru-buru Leng-hong mengiakan.
Sebenarnya yang dimaksud dengan paman dan bibi
oleh Kok Tiong-lian itu ialah putra-putri Ciong Tian, yakni
Ciong Leng dan Ciong Siu. Memang kalau menurut umur
mereka itu hanya terpaut 3-4 tahun lebih tua dari Hiauhu,
tapi kalau menurut angkatan silsilah, mereka itu lebih
tinggi setingkat.
Apa yang diucapkan Kok Tiong-lian dan Li Sim-bwe itu
adalah biasa, namun dalam penerimaan Leng-hong amat

menggelisahkan hatinya. Ciong Tian adalah murid yang


mendapat warisan seluruh kepandaian Teng Hiau-Ian, di
dalam cabang Thian-san-pay dia termasuk tokoh nomor
dua, sepasang anaknya itu sudah tentu mendapat
gemblengan yang mendalam. Jika kedua anak itu hendak
mencari Hiau-hu dan To-kan, tentulah dengan mudah
dapat diketemukan karena si dara dan Sutenya itu hanya
pergi tak jauh dari situ.
"Ah, kalau mereka sudah ketemu Hiau-hu dan To-kan,
berarti tambah dua tenaga yang lihai. Entah siapakah
yang ditugaskan oleh Bong Ing-ping itu? Belum tentu dia
menang melawan kedua saudara Ciong, jika sampai
gagal dan kena ditanggap serta mengaku, celakalah kita
semua," diam-diam Leng-hong membayangkan
kekuatiran.
Ciong Tian tertawa, "Menurut peraturan Bulim, jika
dari aliran tak sama, harus sejajar tingkatannya dan tak
usah mengemukakan urutan angkatannya. Berapa usia
Yap-siauhiap sekarang?"
Leng-hong tengah melamun, ia mengkira Ciong Tian
tengah bercakap-cakap dengan Subonya, maka ia tak
begitu memperhatikan. Adalah Kok Tiong-lian yang
langsung menegurnya, "Hong-tit. Cionglocianpwe
menanyakan umurmu!"
Leng-hong gelagapan, sahutnya, "Tahun ini Wanpwe
berumur 23 tahun."
"Kau lebih tua tiga tahun dari anakku, Leng-ji. Jangan
menurut perintah Subomu memanggil paman dan bibi.
Anggaplah kalian itu sebagai kakak beradik saja," kata
Ciong Tian.

"Mana Wanpwe berani?" ujar Leng-hong.


Tiba-tiba Ciong Tian menepuk bahunya perlahan,
"Duduklah, tak usah terlalu sungkan."
Seketika itu Leng-hong merasakan bahunya tertindih
oleh suatu tekanan tenaga yang lunak, tapi anehnya
sekujur badannya seperti tercengkeram oleh jaring
tenaga keras. Leng-hong terkejut dan buru-buru hendak
mengerahkan tenaga penolak, tapi Ciong Tian tertawa
gelak-gelak dan melepaskan tangannya. Leng-hong
terduduk di luar kemauannya.
"Kau sudah mendapat pelajaran ilmu Lwe-kang-simhoat
dari Suhumu, sayang belum dapat kau gunakan
menurut kehendak hatimu, sudah berapa lamakah kau
menjadi murid Suhumu?" tanya Ciong Tian.
Kini Leng-hong baru tahu kalau dirinya sedang dicoba.
Kok Tiong-lian menerangkan bahwa Leng-hong baru
setengah tahun menjadi murid suaminya.
"Baru setengah tahun? Sungguh suatu bakat yang
jarang terdapat!" Ciong Tian terkejut.
"Ai, kau hanya mengiri murid orang lain saja, tetapi
memang aku sendiri juga mempunyai perasaan begitu.
Berbakat bagus, lagi pula halus pekertinya. Pertama
berjumpa aku sudah mendapat kesan kalau berhadapan
dengan seorang murid yang patuh, tidak seperti kedua
anakku yang kasar itu," kata Li Sim-bwe dengan tertawa.
Girang juga Kok Tiong-lian mendengar Leng-hong
dipuji, ia tertawa, "Ah, kalian kelewat menyanjung.
Hong-tit, tak mudah mendapat pujian dari Cionglodanpwe,
mengapa kau tak lekas meminta pelajaran?"

Lim Sim-bwe ikut tertawa, "Benar, jangan hanya


memuji saja, kau juga harus memberinya sesuatu
sebagai tanda mata."
"Murid Kang-tayhiap mana menginginkan lain ilmu
kepandaian lagi? Tapi karena kalian mengatakan untuk
tanda mata perjumpaan, aku pun sungkan juga. Ilmu
silat terang dia tak memerlukan lagi, sekarang aku
hendak membuka jalan darah Jim dan Tok, agar ia
selekasnya dapat menggunakan Lwekang tinggi,"
akhirnya jago Thian-san-pay itu mengalah.
Lwekang Kang Hay-thian diperoleh dari Kim Si-ih,
tentang kesempurnaannya, tak di bawah Lwekang kaum
Thian-san-pay, tetapi dalam hal kemurnian dan
ketepatannya memang Thian-san-pay lebih unggul
setingkat. Dengan tenaga luar membuka jalan darah Jim
dan Tok, memang menjadi keistimewaan kaum Thiansan-
pay.
Kok Tiong-lian kejut-kejut girang, ia tak nyana Ciong
Tian suka melakukan hal itu, buru-buru ia berkata,
"Sungguh tak ternilai tanda mata itu. Hong-tit, mengapa
tak lekas menghaturkan terima kasih?"
Ciong Tian bergelak tawa dan mengangkat bangun
Leng-hong, ia mengatakan bahwa hal itu sebenarnya tak
berarti apa-apa. Setelah itu mulailah ia menggerakkan
jarinya menotok 13 jalan darah di tubuh Leng-hong.
Leng-hong merasakan tubuhnya seperti tersalur oleh
semacam aliran hawa yang hangat, waktu aliran itu
menjadi makin panas, Leng-hong mengerang kesakitan
juga. Ciong Tian memberinya dua butir pil untuk
ditelannya, seketika Leng-hong merasakan Pik-Iing-tan
buatan Thian-san-pay yang istimewa. Seketika LengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong merasa tubuhnya dingin lagi dan sakitnya
berkurang, kemudian Ciong Tian suruh ia coba-coba
menggunakan Lwekangnya.
Benar juga, Leng-hong dapat menyalurkan
Lwekangnya kemana saja yang dikehendakinya. Itulah
tanda-tanda dari tercapainya latihan yang terakhir. Mimpi
pun tidak, kalau hari itu secara tak terduga ia bakal
mendapat rezeki sebesar itu. Apa yang lain orang harus
berlatih keras selama lima tahun, tanpa bersusah payah
ia sudah berhasil mendapatkannya.
Kiranya kedatangan suami istri Ciong Tian ke Bin-san
itu selain karena menunjukkan eratnya hubungan antara
kedua cabang itu, juga mereka bermaksud untuk mencari
menantu guna kedua putra-putrinya itu. Leng-hong
adalah murid pewaris Kang Hay-thian, mereka tertarik
juga dengan lagak lagu Leng-hong yang cakap dan
sopan itu. Kedua suami istri itu segera jatuh hati, itulah
sebabnya maka Ciong Tian begitu murah hati memberi
'tanda mata' yang sedemikian hebat nilainya. Sudah
tentu mereka tak tahu kalau Kok Tiong-lian juga
mengandung maksud untuk mengambil mantu Lenghong.
Dan Kok Tiong-lian pun tak menduga kalau kedua
suami istri itu mempunyai maksud lebih dalam lagi, ia
mengira hanya sebagai tanda eratnya hubungan kedua
pihak saja.
"Hong-tit, panggillah Sumoay dan Sutemu kemari, biar
mereka juga turut bergirang," kata Kok Tiong-lian.
Rupanya Li Sim-bwe juga tak betah duduk terus
menerus, ia menyatakan hendak ikut Leng-hong keluar
mencari hawa. Kok Tiong-lian suruh Leng-hong
menemani kedua suami istri itu keluar, ia sendiri terpaksa

harus berada di dalam ruang tamu itu karena kuatir


masih ada tetamu yang datang lagi.
Justru hal itulah yang dikehendaki Li Sim-bwe,
ujarnya, "Baiklah, mumpung hari belum gelap, biar anakanak
itu saling menguji kepandaian nanti."
Mendengar itu, kembali hati Yap Leng-hong gelisah,
pikirnya, "Mengapa mereka belum turun tangan? Sekali
kedua suami istri Gong keluar, urusan tentu akan
menjadi runyam!"
Namun ia tetap menguasai keguncangan hatinya dan
dengan tertawa-tawa ia mengiakan perintah Subonya itu.
"Ya, marilah kita keluar!" baru Li Sim-bwe berkata
begitu, tiba-tiba di luar terdengar hiruk-pikuk orang
berteriak-teriak, "Lekas datang, ada mata-mata, ada
mata-mata!"
"Di sana, lekas kejar, lekas kejar!"
"Celaka, dia menculik seorang anak!"
"Anak siapa?"
"Sudahlah jangan tanya, yang penting tangkap matamata
itu dulu!"
"Ya, kejar, kejar!"
Kejut Kok Tiong-lian bukan kepalang. "Celaka,
mungkin Kan-ji yang diculik!" serunya dengan gemetar,
terus ia berlari keluar.
Suami istri Ciong Tian mempercepat larinya hingga
Leng-hong tak dapat menyusul, la ketinggalan di
belakang, kepalanya mandi keringat. Dia girang-girang
kaget, hatinya bergolak keras. Meskipun To-kan diculik,

tapi dia masih belum longgar perasaannya, batinnya


seolah-olah meneriaki supaya penculik itu lekas lari,
jangan sampai tertangkap.
Memang yang diculik adalah Lim To-kan, tetapi yang
menculik bukan Bong Ing-ping. Orang she Bong itu tidak
berdusta, di atas gunung Bin-san, memang banyak sekali
terdapat orang-orangnya, di antaranya terdapat
beberapa jago-jago ternama, tetapi yang menculik Tokan
itu di luar dugaan, seorang bocah yang umurnya
hanya 3-4 tahun lebih tua; dari To-kan.
Pada saat To-kan sedang memetik bunga untuk
diberikan pada Hiau-hu, sekonyong-konyong seorang
anak muda datang menghampiri. To-kan segera
mengenalnya sebagai Nyo Hoan, anak muda yang
pernah menolong Suhunya ketika di dalam gua tempo
hari. Waktu Kang Hay-thian hampir ditangkap kawanan
anjing alap-alap adalah Nyo Hoan itu yang menolongnya.
Sebenarnya To-kan tak begitu suka kepada Nyo Hoan,
tapi karena berjumpa di situ, terpaksa ia menegurnya
dengan girang, "Nyo-toako, kau juga datang? Mana
ayahmu?"
Nyo Hoan juga agak terkejut, pikirnya, "Kiranya aku
disuruh menangkap bocah ini. Ah, jangan sampai dia
sempat banyak bicara lagi."
"Siapa dia?" tanya Hiau-hu yang tak begitu
memperhatikan Nyo Hoan yang sebaya dengannya.
"Ya, boleh dikata penolongku. Aku dan Suhu bertemu
dengannya di Bici," kata To-kan.-Dalam pada itu dengan
tertawa-tawa Nyo Hoan sudah tiba di hadapan mereka.

Nyo Hoan membawa sebuah karung, dia berpakaian


mewah sekali, tetapi membawa sebuah karung yang
biasanya dibuat minta-minta oleh kaum pengemis.
Sungguh aneh sekali, maka bertanyalah To-kan, "Nyotoako,
mengapa kau membawa karung?"
Nyo Hoan tertawa, "Kau memetik kembang, aku juga
hendak menangkap burung."
"Menangkap burung mengapa perlu pakai karung yang
begitu besar?" tegur Hiau-hu yang merasa curiga.
"Nah, di sini ada seekor burung besar!" tiba-tiba Nyo
Hoan membuka mulut karung dan secepat kilat
menyelubungkan ke kepala To-kan.
Sebenarnya To-kan seorang bocah tangkas, tetapi
karena ia tak menduga sama sekali kalau Nyo Hoan akan
bertindak begitu terhadap dirinya, kenalah dia dikarungi
kepalanya. Dengan sebarnya Nyo Hoan segera menutup
karung dan memanggulnya, terus dibawa lari. Karung itu
terbuat dari sejenis rami hutan keluaran gunung Ki-liansan
yang kuat sekali dan tahan bacokan senjata tajam.
Karena dibungkus erat sekali, To-kan tak dapat berkutik,
bahkan hampir tak dapat bernapas. "Hai, apa-apaan
kau?" bentak Hiau-hu.
"Hihihi, hanya bersenda-gurau saja!" jawab Nyo Hoan
sambil tertawa.
Hiau-hu mencabut pedangnya dan mengejar,
"Lepaskan atau kubunuh kau! Bukan caranya bergurau
semacam itu!"
Karena memanggul beban, Nyo Hoan kalah cepat
larinya dengan si dara, terpaksa ia sosongkan karung ke
pedang si dara, "Ayo, lekas bunuhlah!"

Sudah tentu Hiau-hu buru-buru menarik pedangnya.


Dalam pada itu Nyo Hoan segera mengayunkan kaki
mendepak jalan darah di lutut si dara.
"Tangkap ..." belum sampai Hiau-hu dapat
mengatakan "mata-mata", jalan darahnya terdepak dan
tegaklah ia seperti patung yang tak dapat bicara lagi.
Nyo Hoan menepuk-nepuk karung dan tertawa, "Sute
cilik, kau masih nakal tidak? Kini kau takkan dapat lari
lagi!"
Sebenarnya di sekeliling situ terdapat beberapa murid
Go-bi-pay dan Bu-tong-pay, tapi karena mereka masih
belum jelas betul kalau Hiau-hu sudah tertotok jalan
darahnya, apalagi Nyo Hoan bertingkah seperti seorang
anak-anak, mereka mengira Nyo Hoan tengah bergurau
dengan Sutenya, maka tiada seorang pun dari mereka
yang mengira telah terjadi suatu peristiwa hebat.
Untung saat itu Ciong Leng dan Ciong Siu tengah
mencari Hiau-hu. Mendengar suara si dara tadi, lekas
mereka berlari menghampiri. Demi melihat keadaan
Hiau-hu, tahulah Ciong Leng kalau Hiau-hu tertotok jalan
darahnya, tetapi ilmu totok keluarga Nyo itu lain dari
yang lain, Ciong Leng tak mampu membukanya.
Samar-samar tadi Ciong Leng mendengar Kang Hiauhu
hendak mengatakan "tangkap mata-mata", maka
buru-buru ia bertanya si dara, "Apakah budak itu seorang
mata-mata?"
Walaupun tidak dapat bicara, tetapi Hiau-hu masih
dapat menggerakkan kepalanya, ia mengangguk
perlahan.

Ciong Leng amat terkejut, cepat ia serahkan Hiau-hu


pada Ciong Siu, ujarnya, "A Siu, rawatlah adik keluarga
Kang ini, aku hendak membekuk penjahat." Ia lihat Nyo
Hoan sudah mendaki puncak gunung dan menyusup ke
dalam semak-semak rumput. Untung karena memanggul
karung besar, jejaknya menimbulkan bekas penyiakan
rumput, maka meskipun sudah berada di lereng gunung,
samar-samar masih kelihatan jejaknya.
Sambil mengejar, Ciong Leng berteriak-teriak,
"Tangkap mata-mata!"
Suara Ciong Leng bergema di seluruh pelosok dan
mendapat sambutan dari sekalian orang, Ciong-Leng
menggunakan ilmu Pat-poh-kam-san untuk mengejar ke
puncak gunung, akhirnya berhasillah ia menyandaknya.
Nyo Hoan mengangkat karung dan memutar-mutarnya
seperti senjata sambil tertawa mengejek, "Huh, jika kau
tak menginginkan jiwa budak ini, silakan menahannya!"
Tetapi Ciong Leng bukan Hiau-hu, kepandaiannya jauh
melebihi dara itu. Apa yang dapat digunakan Nyo Hoan
terhadap Hiau-hu, tak mungkin digunakan pada Ciong
Leng.
"Hahaha, pedangku bermata, hanya mau melukai
bangsa mata-mata saja. Coba, lihatlah!" Ciong Leng
tertawa gelak-gelak seraya menabas. Benar juga
pedangnya seperti bermata, tidak mengenai karung
tetapi menuju ke tulang bahu Nyo Hoan.
Nyo Hoan mendak ke bawah dan menggunakan
karung sebagai perisai, dia dapat menghindar tiga kali
serangan pedang Ciong Leng. Diam-diam Ciong Leng

memuji kepandaian lawan yang meskipun memanggul


karung berat, tapi gerakan kakinya masih tetap lincah.
"Masih begini muda sudah sedemikian ganas, kali ini
tak dapat kuampuni jiwamu!" bentak Ciong Leng. Ia
melancarkan jurus ilmu pedang Thian-san-pay untuk
menyusup setiap lubang pertahanan lawan.
Keistimewaan ilmu pedang Thian-san-pay itu meskipun
sederas hujan mencurah, tetapi sama sekali tak
menyentuh karung.
Nyo Hoan benar-benar kelabakan.
Pada saat Nyo Hoan terancam bahaya, tiba-tiba
terdengar suara suitan nyaring dari kejauhan, makin
lama makin dekat.
Ciong Leng tertawa mengejek, "Bangsat kecil,
lepaskan orang! Kalau tidak, sebelum koncomu tiba,
jiwamu tentu sudah kucabut!"
Ketika Ciong Leng hendak melancarkan serangan
maut, sekonyong-konyong Nyo Hoan berseru, "Kau
meminta orang? Inilah!" Karung tiba-tiba dilemparkan,
tetapi bukan ke arah Ciong Leng, melainkan ke bawah
jurang!
Kejut Ciong Leng bukan kepalang, tanpa ayal ia segera
memburu. Sekali melompat ia tiba di tepi karang dan
dapat menggapai karung itu.
"Sekarang kau pun harus menerima pedangku!" tibatiba
Nyo Hoan berteriak dan menyerang. Kedudukan
sekarang berubah, yang menyerang ganti diserang.
Sudah tentu Ciong Leng tak dapat menggunakan karung
untuk perisai, bahkan kebalikannya ia harus hati-hati
jangan sampai tertusuk pedang Nyo Hoan. Selang

beberapa jurus, keadaan Ciong Leng bertambah payah,


hampir saja ia kena dijatuhkan ke bawah karang.
Sekonyong-konyong seorang lelaki tinggi kurus
melayang tiba, hanya dalam sekali gebrak, ia sudah
berhasil merebut karung dari tangan Ciong Leng. Setelah
bebannya hilang, Ciong Leng segera balas menyerang
dengan sebuah hantaman. Orang kurus itu melemparkan
karung ke belakang, ia miringkan tubuh sambil
melangkah maju untuk menyongsongkan tinjunya.
Sebenarnya Ciong Leng menggunakan Si-im-ciang-lik
yang mengandung Lwekang keras dan lunak, sebuah
Lwekang yang dahsyat. Jangankan manusia, batu saja
tentu akan terpukul hancur, tetapi betapa kejutnya sukar
dilukis ketika saling berbentur, ia dapatkan pukulannya
seperti terjerumus ke dalam kehampaan hingga hilanglah
keseimbangan badannya dan terhuyung-huyung.
"Turun!" tiba-tiba orang kurus itu membentak keras
seraya melontarkan pukulan dahsyat. Karena kakinya
berdiri di tepi karang, Ciong Leng tak dapat
mempertahankan kuda-kudanya dan bagai layang-layang
putus tali, ia melayang ke bawah jurang.
Si orang kurus itu bukan lain adalah Nyo Ceng, ayah
Nyo Hoan. Memang diam-diam Nyo Ceng telah menerima
'bingkisan' pemerintah Cing untuk menghamba pada
kerajaan. Setelah mendapat berita bahwa Kang Haythian
tak dapat datang di Bin-san, barulah ia berani
datang. Bersama Bong Tng-pik dan kawan-kawan, ia
merencanakan untuk mengacau rapat di Bin-san, tetapi
penjagaan di Bin-san rapat sekali, tidak sembarang orang
boleh masuk. Terpaksa Nyo Ceng hanya dapat menyuruh
putranya ikut pada Bong Ing-ping untuk bergerak di

sekitar biara Hian-li-koan. Sedang ia sendiri bersembunyi


di puncak Hok-gu-san dan merencanakan siasat.
Putranya baru berumur 17-18 tahun, pantas menjadi
anak buah Bong Ing-ping, hal itu memang mudah karena
tak begitu menarik kecurigaan orang. Ternyata sekali
gerak, dapatlah Nyo Hoan membuat 'jasa' besar, dapat
menculik To-kan. Dan larinya Nyo Hoan menuju ke
puncak gunung itu juga atas petunjuk ayahnya.
Nyo Ceng juga seorang ketua suatu aliran persilatan.
Pada waktu bertanding dengan Kang Hay-thian di puncak
Thian-pit-nia, dapat juga ia bertahan sampai berpuluhpuluh
jurus. Kepandaiannya lebih tinggi dari Ciong Leng,
tetapi anak muda itu juga tak mudah ditelan. Jatuhnya
ke bawah jurang disebabkan karena ia berdiri di tepi
karang, berhadapan dengan tokoh semacam Nyo Ceng
sudah tentu ia harus menderita kekalahan.
Nyo Ceng mengantar melayangnya tubuh Ciong Leng
dengan tertawa gelak-gelak. Pada saat-saat tubuh
pemuda itu akan terhempas hancur, sekonyong-konyong
anak muda itu menggeliat seperti gaya seekor kera. Hal
itu untuk mengurangi daya jatuhnya ke bawah dan
secara kebetulan ia dapat meraih sebatang dahan pohon
Siong.
"Eh, tak nyana bangsat cilik itu lihai sekali. Kalau
sekarang tak melenyapkannya, kelak tentu merupakan
lawan berat," dalam kejutnya Nyo Ceng menimang dalam
hati.
Ia segera pula hendak mengangkat sebuah batu besar
untuk ditimpukkan, tapi sekonyong-konyong terdengar
suara seorang meneriakkan aba-aba keagamaan,

"Omitohud! Di atas gunung Bin-san mana boleh


melakukan pembunuhan semena-mena?"
Menyusul terdengar terdengar bentakan keras,
"Bangsat bernyali besar! Hendak lari kemana kau?"
Kiranya yang berseru itu adalah Tay-hiong Siansu,
kepala bagian Lo-han-tong dari Siau-lim-si dan tokoh
terkemuka dari Bin-san-pay yakni Kam Jing-liong. Kejut
Nyo Ceng bukan kepalang, ia tahu kedua orang itu
adalah tokoh-tokoh persilatan kelas satu. Terpaksa ia
batalkan niatnya mencelakai Ciong Leng dan cepat
berpesan pada putranya supaya lolos, "Bawalah budak
kecil itu lebih dulu. Jangan takut, aku yang menahan
musuh. Asal kau dapat melintasi gunung ini, tentulah
sudah ada orang yang menyambutmu!"
"Tentu, ayah. Aku tak nanti takut. Kali ini kita berdua
ayah dan anak telah dapat menggegerkan merekamereka
yang membanggakan diri sebagai tokoh ternama.
Besok pagi begitu paman datang, tentu akan menghajar
pula mereka!" sahut Nyo Hoan. Memang karena asuhan
ayahnya ia menjadi pemuda sombong. Gelap akan
kebenaran, tahunya hanya mengunjuk kekerasan saja.
Baru saja Nyo Hoan pergi, Tay-hiong Siansu dan Kam
Jing-liong pun sudah mengejar tiba.
"Sicu, tinggalkan orang itu!" teriak Tay-hiong Siansu
sambil menggentakkan kebut untaian mutiaranya.
Seratus delapan butir mutiara berhamburan ke arah Nyo
Ceng. Itulah yang disebut Hud-cu-hang-mo atau mutiara
Buddha menundukkan iblis, merupakan salah satu dari
tiga macam ilmu sakti Siau-lim-si. Thong-sian Siangjin,
Hongtiang (ketua) Siau-lim-si yang dulu, pernah
menundukkan Beng Sin-thong dengan ilmu itu.

Tampaknya ke-108 butir mutiara itu seperti curah hujan,


tetapi sebenarnya semua mengarah pada jalan darah
orang.
"Eh, butir beras masakah dipertunjukkan di sini?" Nyo
Ceng tertawa mengejek seraya memutar tongkatnya.
"Tring,. tring, tring", berdering-dering butir mutiara itu
jatuh terhantam tongkat. Kembali Nyo Ceng tertawa
terbahak-bahak, di luar dugaan ada beberapa butir
mutiara yang hanya terpukul pinggirnya dan masih tetap
melayang maju. "Aduh! tawa Nyo Ceng berganti dengan
jerit kesakitan. Tiga buah jalan darahnya kena termakan
mutiara, ia mundur sampai 7-8 langkah, namun kakinya
tetap tak dapat berdiri tegak.
"Huh, mulutmu saja besar tapi ternyata tak becus.
Coba apakah sekarang kau masih berani tertawa
mengejek lagi?" demikian Kam Jing-liong tertawa
menghina seraya maju mencengkeram bahu orang.
Dugaan Kam Jing-liong bahwa Nyo Ceng terluka dan
tentu mudah diringkus ternyata salah.
Tiba-tiba Nyo Ceng membentaknya, "Lihatlah
kepandaianku ini!" Sekonyong-konyong Nyo Ceng
membalikkan tangan dan menyambar lengan Kam Jingliong,
terus dipelintir hingga tulangnya patah.
Memang tadi Nyo Ceng hanya berpura-pura kesakitan,
sehebat-hebatnya hamburan mutiara Tay-hiong Siansu,
namun belum memadai kelihaian Thong-sian Siangjin
pada masa itu, dan kepandaian Nyo Ceng pun lebih
unggul dari Beng Sin-thong waktu itu. Pada hakikatnya
kepandaian Nyo Ceng masih lebih unggul setingkat dari
Tay-hiong Siansu, hanya karena dikerubut dua orang,
barulah Nyo Ceng pura-pura kesakitan tadi, padahal

diam-diam ia sudah menutup jalan darahnya. Memang


Kam Jing-liong terlalu terburu nafsu, maksudnya hendak
menangkap Nyo Ceng hidup-hidup, oleh karena itu ia tak
mau terlalu mencengkeram dengan keras, akibatnya ia
harus menderita patah tulang.
Kam Jing-liong adalah keturunan Kam Hong-ti,
pendekar Kanglam yang ternama. Ilmu warisan keluarga
Kam, yakni ilmu silat Peh-poh-sin-kun bukan olah-olah
hebatnya. Dengan menahan kesakitan, ia masih dapat
melontarkan sebuah hantaman dahsyat, tetapi Nyo Ceng
cerdik sekali, setelah berhasil mematahkan tulang orang,
ia segera menghindar ke samping. "Krek", dahan
sebatang pohon Siong yang terpisah jarak 10-an langkah
patah terkena tenaga pukulan Peh-poh-sin-kun Kam Jingliong!
Dalam pada itu sebat sekali Nyo Ceng sudah
menyelinap ke belakang Kam Jing-liong. "Kau harus
beristirahat, rebahlah!" serunya seraya menotokkan
tongkat ke punggung Kam Jing-liong.
Melihat sahabatnya terluka, marahlah Tay-hiong
Siansu, segera ia melepas jubahnya dan menyerang,
"Bangsat, setelah melukai dua orang kau mau merat dari
Bin-san?"
Di tangan Tay-hiong Siansu, jubah yang lemas itu
berubah menjadi sebuah senjata yang sakti, atas kepala
Nyo Ceng seperti terkurung oleh selimut merah. Batubatu
dan pasir di sekeliling jarak beberapa tombak
berhamburan.
"Paderi besar, hebat sekali ilmu silat Siau-lim-si, tapi
jangan harap dapat menahan aku di sini!" seru Nyo
Ceng. Sekali tongkatnya berputar mendesing-desing,
maka terbukalah sebuah lubang pada selimut merah itu.

Berulang kali Tay-hiong menyerang, tapi setiap kali dapat


dihalau oleh tongkat Nyo Ceng, namun tongkat Nyo Ceng
pun tak berhasil menyerang lawan.
Pada saat pertempuran berlangsung seru, tiba-tiba
dari pesanggrahan muncul dua sosok bayangan, Ciong
Tian dan Kok Tiong-lian memburu datang. Adalah karena
harus menolong putrinya, maka Kok Tiong-lian agak
terlambat sedikit datangnya.
"Kan-ji, Kan-ji!" teriak nyonya gagah itu. Setelah
teriakannya tak terbalas, marahlah Kok Tiong-lian,
bentaknya, "Bangsat, kau apakan anak muridku itu?
Selembar rambutnya kau ganggu, tentu kucabut
nyawamu!"
Kok Tiong-lian tak tahu bahwa To-kan sudah di bawah
merat Nyo Hoan. Untuk menggertak jangan sampai
orang berani mencelakai anak itu, maka sebelum tiba,
Kok Tiong-lian sudah melantangkan teriakannya.
Nyo Ceng terperanjat, kalau wanita gagah itu sampai
datang, tentu celakalah dia. Habis menyingkirkan jubah
Tay-hiong, cepat ia putar tubuh terus melarikan diri.
"Hai, mau lari kemana kau?" seru Tay-hiong seraya
mengejarnya.
Ternyata Nyo Ceng sudah merancang cara-cara
meloloskan diri, tiba-tiba ia ayunkan tangannya,
"Sekarang kau pun harus menerima balasan senjata
rahasia ini!" Kontan sebuah benda bundar warna merah
gelap meluncur dan sekonyong-konyong meledak,
berhamburan di atas kepala Tay-hiong.

"Senjata ganas! Tapi jangan mimpi dapat mencelakai


aku!" Tay-hiong berteriak gusar seraya mengebutkan
jubahnya. Asap ledakan itu menjadi buyar.
Tapi pada saat itu Nyo Ceng kembali menimpukkan
sebuah pelor beracun, kali ini ke arah Kam Jing-liong
yang roboh di tanah. Sudah tentu Tay-hiong Siansu
kelabakan dan cepat melompat menolongnya. Adalah
pada saat itu terdengar Nyo Ceng tertawa gelak-gelak,
"Paderi besar, baik-baiklah kau menolong kawanmu,
maaf, aku tak dapat menemanimu lebih lama!"
Bersamaan dengan selesainya perkataannya itu, ia sudah
berlari pada jarak yang jauh.
Tay-hiong Siansu segera memadamkan api, keadaan
Kam Jing-liong cukup mengenaskan. Napasnya lemah,
untung masih hidup, kening dan kepalanya terbakar
melepuh. Setelah membuka jalan darahnya, Tay-hiong
memberinya obat.
Tak lama Kok Tiong-lian dan Ciong Tian tiba, melihat
Kam Jing-liong terbakar begitu macam. Kok Tiong-lian
terkejut sekali. Kam Jing-liong masih paman gurunya,
sudah tentu ia harus memberi pertolongan, terpaksa
untuk sementara itu ia tunda pengejarannya dan
merawat Kam Jing-liong.
"Kok-ciangbun, tangkap mata-mata lebih penting. Aku
tak apa-apa," kata orang she Kam itu dengan terengahengah.
Tay-hiong pun menyatakan kalau keadaan Kam
Jing-liong tak membahayakan jiwanya.
Lega sekali hati Kok Tiong-lian mendengar keterangan
itu, ia menanyakan tentang anak muridnya (To-kan).

Tay-hiong menerangkan kalau anak itu telah diculik


mata-mata tadi, Kok Tiong-lian segera melakukan
pengejaran. Tepat pada saat itu, terdengarlah teriakan
minta tolong dari Ciong Leng yang berada di bawah
jurang. Ternyata tangan anak muda yang
menggelantung pada dahan pohon Siong sudah mulai
lemas, tubuhnya bergeliatan di udara, sembarang waktu
anak muda itu bisa jatuh.
Melihat itu Tay-hiong Siansu mendesak supaya Ciong
Tian lekas menolong putranya, terpaksa Ciong Tian
membatalkan pengejarannya dan menolong putranya
lebih dulu. Sesaat Ciong Tian dapat menarik putranya ke
atas, anak muda dari cabang-cabang persilatan yang lain
telah datang.
Di antara mereka terdapat.Leng-hong, ia melihat
bagaimana wajah Hiau-hu dan Ciong Siu tegang sekali,
dahinya basah keringat.
"Mana Suteku yang kecil itu? Bagaimana dia? Ai,
bagaimana dia?" dengan gugup sekali ia bertanya pada
Tay-hiong Siansu. Malah setelah mendengar jawaban
paderi itu, Leng-hong muntah darah, sambil mengurut
dada ia mengeluh, "Ai, bagaimana, bagaimana?"
Hiau-hu terpaksa memapah Suhengnya itu, ujarnya,
"Toasuko, jangan gelisah. Ibu sudah mengejarnya."
"Siu-ji, rawatlah engkohmu, aku hendak mengejar
mata-mata itu," kata Ciong Tian.
Leng-hong berpura-pura seperti orang bingung, sambil
menampar kepalanya ia berseru, "Ai, benar! Ayo kita
kejar mata-mata itu!"

Tetapi Hiau-hu mencegahnya karena anak muda itu


kelewat tegang perasaannya. Diam-diam Leng-hong geli
dan bahagia mendengar ucapan si dara yang
memperhatikan dirinya, pikirnya, "Lidahku kugigit sedikit
ternyata cukup berharga." Memang muntah darahnya itu
bukan karena ia sungguh-sungguh berduka dengan nasib
To-kan, melainkan dengan menggigit lidah saja. Pandai
benar anak muda itu bermain sandiwara, dan untuk
menyempurnakan permainannya, ia pura-pura
melepaskan tangan sang Sumoay yang mencekalnya dan
berkata, "Tidak, bagaimanapun aku harus ikut mengejar
bersama kalian. Bukankah aku ini Ciangbun Suhengmu?"
Tay-hiong Siansu tertarik akan 'kejantanan' Lenghong,
diberinya anak muda itu sebutir pil. Leng-hong
girang sekali karena tahu bahwa pil Siau-hoan-tan
buatan Siau-lim-si merupakan obat nomor satu untuk
segala luka luar dan dalam. Tersipu-sipu ia
menerimanya, dalam hati ia menggerutu, "Ah, tahu kalau
bakal mendapat rezeki, sebaiknya tadi kumuntahkan
darah dua kali."
Tay-hiong Siansu membawa Kam Jing-liong ke biara
Hian-li-koan, sementara Ciong Leng yang tak terluka tapi
hanya kehabisan tenaga saja, segera duduk bersemadi di
tanah. Adiknya menunggu di samping. Yang lain-lain
mengejar mata-mata, tetapi Nyo Ceng dan Nyo Hoan
sudah berhasil melintasi puncak gunung dan lenyap,
bahkan sekalipun Kok Tiong-lian yang paling cepat
larinya toh tak berhasil menemukan jejak kedua ayah
dan putra itu, ternyata Nyo Ceng dan putranya sudah
disambut oleh konco-konconya.
Pada waktu Kok Tiong-lian kembali ke biara Hian-likoan,
hari pun sudah malam. Ternyata semua orang

masih belum tidur karena menantikan kedatangannya,


melihat Kok Tiong-lian pulang seorang diri, tahulah
mereka kalau tak berhasil.
"Ibu, akulah yang bersalah, tak punya guna, tak
mampu melindungi Sute sehingga membikin malu
padamu," kata Hiau-hu dengan terisak-isak.
"Tidak, akulah yang salah. Jika aku mendengar kata
Subo dan lekas mencari kalian, tentulah takkan terjadi
hal ini."
Leng-hong tak mau kalah suara, bahkan untuk
menunjukkan menyesalnya yang besar, ia mengucurkan
beberapa butir air mata.
Kok Tiong-lian menghela napas, "Hal ini tak dapat
menyalahkan kalian, musuh sudah mengatur rencana,
akulah yang bertanggung jawab karena kurang waspada.
Sekarang sudah larut malam, baiknya kalian tidur dulu."
Malam itu semua orang tak dapat tidur pulas, kecuali
Leng-hong seorang yang tidur dibuai impian indah.
Keesokan harinya adalah hari peringatan wafatnya
Tok-pi Sin-ni atau pembukaan rapat besar para orang
gagah. Pagi-pagi sekali Leng-hong sudah bangun dan
ikut sekalian orang ke halaman kuburan Tok-pi Sin-ni.
Kali ini yang datang banyak sekali, anak murid dari
berbagai cabang persilatan datang bersembahyang.
Lereng gunung penuh dengan orang, diam-diam Lenghong
girang-girang terkejut menyaksikan suasana yang
sedemikian meriahnya. Girang karena mengetahui wajah
pendekar-pendekar gagah dari segenap penjuru tanah
air, kejut karena melihat banyaknya pejuang yang
menentang pemerintah Cing. Jika mereka sampai

mengetahui bahwa ia diam-diam sudah masuk ke dalam


komplotan anjing alap-alap, akibatnya sungguh
mengerikan untuk dibayangkan.
Kok Tiong-lian memimpin seluruh anak murid Bin-sanpay
angkatan ketiga untuk bersembahyang di makam
Tok-pi Sin-ni dan Lu Si-nio pendiri partai Bin-san-pay,
setelah itu barulah para ketua dan wakil-wakil cabang'
persilatan serta para tetamu lainnya. Selesai
bersembahyang, tampak Kok Tiong-lian berlinang air
mata.
Peristiwa semalam telah diketahui semua orang, tetapi
yang membuat mereka tak habis mengerti, mengapa
mata-mata itu berani mengambil resiko sedemikian besar
hanya karena hendak menculik seorang anak kecil saja.
Benar anak itu adalah murid Kang Hay-thian, tetapi toh
masih ada tokoh lain yang lebih penting lagi dari anak
itu. Soal itu ramai menjadi pembicaraan segenap hadirin.
Selesai upacara, menurut acara yang telah ditetapkan,
Kok Tiong-lian sebagai tuan rumah harus membuka
rapat, kemudian para tokoh segera merundingkan
tentang acara-acara penting yang menjadi bahan
pembicaraan rapat.
Semua perhatian ditujukan pada Kok Tiong-lian, kata
Ciangbunjin Bin-san-pay itu, "Sebelum rapat dimulai, aku
ingin memaklumkan dua hal kepada sekalian Cianpwe
dan kawan-kawan Bulim."
Ternyata apa yang hendak dimaklumkan Kok Tionglian,
pertama ialah memperkenalan Yap Leng-hong
sebagai murid pewaris Kang Hay-thian. Pengangkatan
ahli waris sebenarnya harus disaksikan oleh kaum
Cianpwe terkemuka. Bahwa Kok Tiong-lian telah

mengumumkan hal itu di hadapan rapat para orang


gagah, tentu saja makin memeriahkan perkenalan itu.
Berbondong-bondong para hadirin memberi selamat
pada Leng-hong.
Sebenarnya luas sekali pergaulan Kang Hay-thian,
orang yang memberi selamat pada Leng-hong
seharusnya masih banyak sekali, tetapi dikarenakan
sekalian hadirin ingin lekas mendengarkan pengumuman
Kok Tiong-lian yang kedua, maka upacara perkenalan itu
agak dipersingkat. Suatu hal yang membikin kecele Lenghong
karena sebenarnya ia sudah siap hendak unjuk
'permainan' sebagai seorang ksatria muda yang rendah
hati agar dapat menarik simpati orang. Bahwa ternyata
pemberian selamat hanya berlangsung agak dingin,
sungguh membuat kecewa hatinya, tetapi ia dapat
menghibur hatinya juga karena sejak hari itu
kedudukannya sebagai murid pewaris Kang Hay-thian
sudah resmi. Ia membalas ucapan selamat orang-orang
itu dengan cara yang begitu simpatik sekali hingga
banyak mendapat pujian para hadirin.
Setelah upacara perkenalan selesai, dengan wajah
bersungguh-sungguh Tiong-lian berkata pula, "Hal yang
kedua ialah menyangkut tentang pemilihan Ciangbunjin
baru Bin-san-pay. Begitu pula pimpinan rapat inipun
kuminta mengangkat ketua baru lagi."
Ucapan Kok Tiong-lian itu segera menimbulkan
kegemparan di antara para hadirin.
"Kok-ciangbun, mengapa kau berucap begitu?" seru
Pek Ing-kiat. Seorang ketua cabang persilatan
mengumumkan hendak mengundurkan diri memang

jarang terjadi, maka dugaan orang cenderung pada


kejadian semalam.
"Kuminta keempat Tianglo dari golongan kami keluar!"
seru Kok Tiong-lian.
Di antara keempat Tianglo partai Bin-san-pay, salah
seorang ialah Kam Jing-liong, tetapi karena ia terluka,
maka yang berada di situ hanya terdiri dari Pek Ing-kiat,
Loh Ing-ho dan Lim Seng. Perasaan keempat
Tianglo itu gundah sekali, mereka hendak mencegah
maksud Kok Tiong-lian, tapi nyonya gagah itu sudah
berlutut di hadapan makam Tok-pi Sin-ni dan berseru,
"Tecu Kok Tiong-lian tiada berbudi tiada berguna
sehingga menodai nama Bin-san-pay kita, sungguh Tecu
merasa berdosa dan mohon ampun pada Cosu."
Habis itu ia berbangkit, ujarnya, "Aku telah menodai
jabatanku sebagai Ciangbun sehingga kaum anjing
pemburu kerajaan dapat menculik orang dengan terangterangan
serta melukai Kam-supek. Harap keempat
Tianglo menjatuhkan hukuman pada diriku."
Sahut Pek Ing-kiat, "Menurut hematku, peristiwa
semalam itu memang mencurigakan, hal ini tak dapat
hanya mempersalahkan Ciangbun seorang. Coba
saudara-saudara renungkan, dengan susah payah
kawanan alap-alap itu menyelundup ke Bin-san hanya
karena perlu menculik seorang anak kecil saja, tentunya
hal itu bukanlah disebabkan karena anak itu murid Kang
Hay-thian? Mengapa mereka tahu tentang diri anak itu?
Dan mengapa mereka dapat memilih waktu yang tepat
untuk bertindak?"

Loh Ing-ho dan Pek Ing-kiat serempak mengiakan,


"Ya, benar! Rupanya di dalam rapat sini terdapat
pengkhianat yang bersekongkol dengan mereka,
sehingga peristiwa semalam itu dapat dilaksanakan
dengan berhasil, maka yang penting, kita harus segera
mengusut siapa pengkhianat itu untuk menjaga
terjadinya sesuatu yang merugikan rapat ini. Tentang
permintaan Kok-ciangbun supaya diberi hukuman, nanti
kita rundingkan lagi dengan perlahan-lahan."
Memang kedua Tianglo Bin-san-pay itu tak tahu asalusul
Lim To-kan, mereka hanya tahu bahwa anak itu
adalah murid Kang Hay-thian, tetapi mereka itu kaya
pengalaman, apa yang diucapkan memang beralasan
sekali, dan ternyata pendapat mereka itu mendapat
dukungan dari semua orang. "Ya, harus mengusut siapa
pengkhianat dalam selimut itu lebih
dulu," demikian semua orang menyatakan.
Tetapi munculnya Nyo Ceng dan Nyo Hoan secara
terang-terangan itu, diketahui oleh Hiau-hu, Ciong Leng,
Kam jing-liong, Tay-hiong Siansu dan lain-lain orang,
tiada seorang pun di antara mereka yang kenal dengan
kedua ayah dan anak itu. Bahwa ternyata setelah
diselidiki, tiada seorang pun di antara hadirin yang
menghilang, hal ini menandakan bahwa pengacauan itu
dikerjakan oleh musuh dari luar. Habis siapa pengkhianat
dari dalam itu?
Hati Leng-hong berdebur keras ketika mendengar
pembicaraan sekalian hadirin yang mau mengusut
pengkhianat, tetapi ia pandai memulas wajahnya dengan
ketenangan.

"Untung waktu terjadi peristiwa itu, aku berada di


samping Subo. Bagaimanapun tentulah ia takkan
mencurigai diriku," pikirnya.
Memang tepat sekali perhitungannya itu, sedikitpun
Kok Tiong-lian tak mencurigainya. Memang ia
mempunyai gagasan bahwa yang mengetahui asal-usul
Lim To-kan itu hanyalah ia sendiri, Hiau-hu dan Lenghong,
terang kedua anak itu bukanlah pengkhianat. Tapi
yang menjadi keresahannya adalah mungkin Hiau-hu
karena kurang hati-hati telah kelepasan omong sehingga
tentang diri Lim To-kan dicuri dengar oleh pengkhianat
itu. Diam-diam tak enak sendiri perasaan Kok Tiong-lian.
"Pengkhianat memang harus diusut, tetapi hal itu
rupanya tak mudah untuk mengetahuinya dalam waktu
yang singkat. Rapat ini masih hendak merundingkan
banyak persoalan yang lebih penting, maka lebih baik
tunda dulu tindakan untuk mengusut pengkhianat itu
sampai nanti rapat selesai, tetapi dengan terjadinya
peristiwa itu, walaupun kalian tak menyalahkan diriku,
tapi aku sendiri tetap merasa menyesal, maka aku tetap
menghendaki supaya diadakan pemilihan ketua baru
untuk memimpin rapat ini," kata Kok Tiong-lian pula. Ia
pikir malam nanti dengan diam-diam ia hendak menanyai
putrinya, itulah sebabnya maka ia mengusulkan untuk
menunda dulu pengusutan si pengkhianat.
Oleh karena usul itu beralasan, maka setengah dari
hadirin dapat menyetujui, alasan mereka karena musuh
mengatur rencana begitu rapi tentulah tak mudah diusut
dengan cepat. Tapi ada setengah dari hadirin yang
berpendapat bahwa pengusutan itu harus lebih dulu
dilakukan agar jangan mengganggu ketenangan rapat.

Kalau tidak, tentu tak berani rapat membicarakan


masalah-masalah yang penting.
Tiba-tiba tampak seorang berdiri dari tempat
duduknya, "Aku mempunyai cara untuk mencari
pengkhianat itu!"
Setenang-tenangnya Leng-hong, ketika mendengar
pernyataan itu, mau tidak mau berdebar juga
jantungnya, mulutnya mengeluarkan geraman lirih.
Untung tiada seorang pun yang memperhatikan gerakgeriknya.
Ternyata yang bicara ialah Goan It-tiong, murid
pertama ketua Kay-pang, Tiong Tiang-thong. Karena
masih ada kepentingan, Tiong Tiang-thong tak dapat
datang dan hanya mengirim muridnya untuk mewakili.
Selain merupakan organisasi persilatan yang besar, Kaypang
erat sekali hubungannya dengan Bin-san-pay
(Ketua Kay-pang yang dulu, yakni Ek Tiong-bo juga
berasal dari organisasi Bin-san-pay). (Baca KISAH
PEDANG DI SUNGAI ES/PENG HO SWE KIAM)
"Suheng, besar harapanku! Kay-pang punya cara
berhubungan yang cepat dan luas, mungkin mereka
sudah mengetahui siapa pengkhianat itu. Eh, Suheng,
mengapa wajahmu begitu pucat? Apakah kau tak enak
badan?" habis girang mendengar pernyataan Goan Ittiong,
Hiau-hu heran melihat perubahan muka Lenghong.
Leng-hong gelagapan dan buru-buru menenangkan
keguncangan hatinya. "Karena memikirkan Sute,
semalam aku tak dapat tidur pulas. Sudah tentu aku
girang sekali dengan pernyataan wakil Kay-pang itu. Ya,
memang berita itu memberi harapan besar!"

Setelah meminta supaya para hadirin tenang, Kok


Tiong-lian segera minta agar Goan It-tiong memberi
keterangan yang jelas.
Kata murid Kay-pang itu kepada Hiau-hu, "Tolong
tanya nona Kang, bukankah pemuda yang menculik
Sutemu itu orang she Nyo? Pernahkah Sutemu bicara
apa-apa sebelum peristiwa itu?"
"Ya, memang orang itu she Nyo, Suteku mengatakan
bahwa pemuda penculik itu dahulu pernah melepas budi
padanya. Sayang sebelum ia selesai memberi keterangan
sudah diculik si pemuda jahat," jawab Hiau-hu.
"Bukankah wajah bangsat itu begini Goan It-tiong lalu
memberi keterangan tentang raut wajah Nyo Hoan.
"Ya, ya, benar. Goan-hiangcu, kenalkah kau
kepadanya?" seru Hiau-hu.
Kemudian Goan It-tiong bertanya pada Tay-hiong
Siansu, "Yang bertempur denganmu itu bukankah
bersenjata tongkat bambu?"
Tay-hiong Siansu mengiakan, diam-diam paderi itu
heran karena semalam Goan It-tiong sudah diberinya
penjelasan, mengapa sekarang bertanya lagi.
"Kok-ciangbun, jangan kuatir. Untuk mencari jejak
mata-mata itu kita dapat mengusut dari kedua orang itu.
Mereka berdua adalah ayah dan anak, sang ayah
bernama Nyo Ceng dan anaknya bernama Nyo Hoan."
"Siapa mereka? Bagaimana kita dapat
menangkapnya?" tanya Kok Tiong-lian.
"Aku pun tak tahu jelas tentang Nyo Ceng itu, tetapi
dapatlah nanti kuselidiki dirinya. Nyo Ceng pernah

bertemu muka dengan Kang-tayhiap. Dia mempunyai


seorang ipar yang bernama Siangkoan Thay yang
berdiam di puncak gunung Thian-pit-nia. Pernah orang
she Siangkoan itu bentrok dengan Suhuku tapi kemudian
didamaikan oleh Kang-tayhiap. Siangkoan Thay agak
menjunjung kebenaran, rasanya ia takkan melindungi
pengkhianat."
Cing-ciok Tojin dari Bu-tong-pay yang berangasan
segera menyeletuk, "Benar, selama ada biara jangan
takut tidak dapat menemukan paderi. Selesai rapat ini,
kami beberapa tua bangka akan menemani Kok-ciangbun
dan Goan-hiangcu ke Thian-pit-hong. Peduli Siangkoan
Thay akan melindungi pengkhianat atau tidak, kita tetap
akan meringkus bangsat itu."
Seruan paderi itu mendapat sambutan yang hangat
dari para hadirin, ada beberapa tokoh yang serentak
mengajukan diri untuk ikut serta menangkap Nyo Ceng.
Mendengar itu kendurlah ketegangan hati Leng-hong,
kiranya jejak yang dimaksud Goan It-tiong ialah tentang
diri orang she Nyo ayah dan anak.
Sekonyong-konyong terdengar suara tawa ejek orang,
datangnya dari arah jauh, makin lama makin dekat.
Orang-orang terperanjat dan serempak memandang ke
arah datangnya suara tawa itu, namun hanya suaranya
yang terdengar, sedang orangnya tak tampak sama
sekali.
"Siapa?" baru Pek Ing-kiat berteriak menegur, seorang
lelaki berjubah biru sudah muncul di hadapan para
hadirin.
"Tak perlu saudara-saudara bersusah-payah naik ke
puncak Thian-pit-hong. Siapa yang berani mengganggu

selembar rambut Nyo Ceng, tentu akan berhadapan


dengan aku!" seru orang itu dengan nada mengejek.
Pesat sekali gerakan orang itu, baru kata-katanya
yang terakhir berkumandang, orangnya pun sudah
melangkah masuk ke halaman makam, bersama dia
mengikut pula seorang pemuda ... si Nyo Hoan! ,
Munculnya kedua orang itu menggemparkan suasana,
beberapa orang yang berwatak berangasan segera
berteriak hendak melabraknya, tetapi si lelaki jubah biru
itu tertawa dingin, "Apakah kalian yang membanggakan
diri sebagai ksatria-ksatria ini hendak mengandalkan
jumlah banyak? Mana Kang Hay-thian? Aku hendak
bicara padanya!"
Oleh karena permintaan mengundurkan diri dari Kok
Tiong-lian tadi belum ada keputusan, sudah tentu ia
masih sebagai Ciangbunjin Bin-san-pay dan ketua rapat,
maka berkatalah ia, "Siapakah saudara ini? Kau hendak
membela Nyo Ceng, tetapi tahukah kau bagaimana
perbuatannya? Dan perlu apa kau hendak menemui Kang
Hay-thian?"
"Tentulah kau ini Ciangbunjin Bin-san-pay, nyonya
Kang, bukan? Eh, apakah suamimu belum datang? Ah,
sia-sia saja perjalananku ini," sahut tetamu aneh itu.
Baginya hanya Kang Hay-thian yang diperlukan, lain
tokoh dianggap sepi saja.
"Sekalipun Kang-tayhiap tidak berada di sini, tetapi
asal saudara menerangkan maksud kedatanganmu, kami
di sini tentu takkan mengecewakan keinginanmu," seru
Siong-ciok Tojin dengan marahnya.

Kok Tiong-lian tak mau banyak putar lidah, serunya,


"Bagaimana sebenarnya dengan Nyo Ceng? Putuskan
dulu soal itu, baru nanti kita bicara lain-lainnya."
Tetapi tampaknya tetamu aneh itu hilang gairahnya,
dengan acuh tak acuh ia menjawab, "Apa yang dilakukan
Nyo Ceng, coba kau bilang!"
"Rupanya kau hanya pura-pura tak tahu. Bangsat kecil
itu ikut datang bersamamu, masakah kau tak mengetahui
persoalan Nyo Ceng?" teriak Loh Ing-ho.
Orang itu mengerutkan sepasang alisnya, "Fui, belum
terang hitam putihnya, mengapa kau memaki-maki
orang?"
Jarak orang itu dengan Loh Ing-ho kira-kira 10-an
tombak, suatu jarak yang sukar dicapai timpukan senjata
rahasia oleh orang persilatan, tetapi waktu mengakhiri
kata-katanya, tetamu aneh itu menudingkan jarinya ke
arah Loh Ing-ho, seketika Loh Ing-ho merasakan seperti
ada suatu ujung golok yang tak kelihatan sedang
menusuknya. Sekalipun Loh Ing-ho seorang jago tua
yang mempunyai pengalaman berpuluh tahun, namun
tak urung menggigil juga perasaannya.
"Baik, sekarang biarlah segenap ksatria dari empat
penjuru memberi pertimbangan apakah Nyo Ceng itu
pantas dikutuk atau tidak. Nyo Ceng masuk menjadi
budak pemerintah Cing, kemudian ia menyuruh anaknya
datang ke Bin-san menculik orang. Kecuali kau memang
komplotannya, kalau tidak, tak nanti kau membelanya!"
kata Kok Tiong-lian.
"Benar, karena ia hendak membela Nyo Ceng, maka
kita harus meminta pertanggung jawabannya!" teriak

para hadirin yang marah melihat kesombongan tetamu


itu, tetapi dikarenakan mengingat kedudukannya sebagai
tokoh-tokoh ternama, tak mau mereka maju
mengeroyok. Apalagi di gunung Bin-san situ mereka
harus menurut perintah Kok Tiong-lian baru berani
bertindak.
Di bawah pancaran kemarahan dari hadirin, tetamu itu
dingin saja menjawab, "Siapakah orangmu yang
ditangkap keponakanku ini?"
"Murid terkecil Kang Hay-thian yang hendak kau temui
itu, dia seorang anak kecil, baru 14 tahun umurnya,"
sahut Kok Tiong-lian.
Orang berjubah biru itu tertawa mengejek, "Ha, kukira
urusan yang hebat, kiranya hanya murid Kang Hay-thian
saja. Menangkap murid Kang Hay-thian .masakah lantas
dicap sebagai budak kerajaan? Mengapa memfitnah
orang semaumu sendiri, bahkan diriku pun turut dimakimaki?
Hm, sekalipun raja Boan-jiu tak dapat mengusir
aku. Jangan coba main gertak sambal padaku!"
Ucapan itu mengejutkan segenap hadirin, kalau
golongan antek kerajaan tak nanti orang berjubah biru
berani memaki raja. Kok Tiong-lian termenung beberapa
saat, diam-diam ia memperhatikan diri tetamu itu,
kemudian berkata, "Tetapi mengapa kalian perlu
menculik murid Kang Hay-thian itu?"
Pada saat itu terdengar derap kaki serombongan
orang yang tengah mendaki lereng gunung, rupanya
mereka menuju ke makam juga. Hadirin segera
menyongsong.

"Hai, siapa kalian?" tegur Kok Tiong-lian dengan


menggunakan ilmu Lwekang untuk melontarkan
suaranya, tampaknya perlahan saja ia bicara tetapi cukup
melengking keras di telinga rombongan orang yang
datang itu.
Rombongan pendatang itu rata-rata berilmu tinggi,
tetapi setelah mendengar Lwekang Kok Tiong-lian
sedemikian hebat, mereka pun tertegun berhenti.
Orang jubah biru itu tertawa gelak-gelak, serunya,
"Mereka adalah sahabatku dan setengahnya adalah
bujang-bujangku, mereka hendak ikut hadir dalam rapat
besar 'ksatria gagah' di Bin-san ini, maka mereka
tergolong tetamu juga, mengapa kalian begitu gugup?
Eh, apakah kalian tak senang menerima kedatangan
mereka?"
Rapat orang gagah di Bin-san itu sebenarnya adalah
rapat rahasia para pendekar gagah pejuang tanah air,
sekali-kali bukan rapat umum dimana segala orang boleh
hadir. Bagi orang yang tak menerima undangan, tentu
dibawa oleh orang yang sudah diketahui pahamnya oleh
rapat. Bahwa seorang jubah biru datang tanpa diundang,
bahkan membawa bujang-bujang rumahnya, ini
merupakan suatu penghinaan bagi Bin-san-pay dan
secara tak langsung juga meremehkan sekalian orang
gagah.
Namun Kok 'Tiong-lian cukup besar toleransinya, tak
mau ia hanya memikirkan soal pelanggaran aturan itu
saja, tetapi yang penting ia -menguatirkan tentang
keselamatan murid-murid Bin-san yang bertugas
menjaga keamanan gunung. Sebagai organisasi yang
dicap menentang pemerintah, Bin-san-pay selalu

memperkuat penjagaan gunung, apalagi pada waktu


rapat besar berlangsung, penjagaan makin diperkuat.
"Tak kupusingkan kalian ini siapa, tetapi jika kalian
sampai melukai seorang murid Bin-san-pay saja, tentu
takkan kulepaskan kalian pulang. Lim-supek, silakan kau
memeriksa mereka."
Sekalian orang gagah segera mengepung kawanan
pendatang itu, sewaktu-waktu siap untuk menghajarnya
setelah nanti Lim Seng selesai mengadakan pemeriksaan.
Tetamu jubah biru itu masih tertawa, "Jangan kuatir
Kok-ciangbun, aku tak melukai seorang muridmu pun.
Hanya karena mereka merintangi kedatanganku kemari
terpaksa kutotok jalan darah mereka, tetapi tak apa,
setengah jam kemudian mereka tentu akan dapat
bergerak lagi."
Kini baru Kok Tiong-lian mengerti, kiranya tetamu
jubah biru lebih dulu datang untuk 'meratakan jalan',
menotok para petugas keamanan gunung, setelah itu
barulah rombongan bujang-bujangnya naik ke atas. Jika
hal itu benar, nyata bahwa Ginkang dan Tiam-hiat (ilmu
totok) orang berjubah biru itu luar biasa sekali.
"Siapa yang mengundang kalian datang kemari?
Mengapa kau menyalahkan anak murid Bin-san-pay
menghadang jalanmu. Baik, karena kau begitu kurang
tata hormat, aku pun tak mau bertanya lagi siapa kalian.
Coba sebutkan keinginanmu dan sekali-kali jangan
menuduh kami mengandalkan jumlah banyak." Dengan
ucapan itu Kok Tiong-lian telah menempatkan kawanan
bujang rumah si tetamu itu sebagai musuh, tetapi ia
memberi kelonggaran untuk menyelesaikan persoalan itu
menurut tata cara orang persilatan.

Orang berjubah biru itu menengadah ke langit dan


tertawa lebar, "Bagus! Hahaha, lucu benar!"
"Apanya yang lucu?" semprot Kok Tiong-lian.
Orang itu tetap tertawa gelak-gelak, "Kalian menyebut
diri sebagai ksatria, tetapi siapakah yang memberi
gelaran itu? Apakah kalian sendiri yang pasang merk?
Mengapa hanya orang-orang yang kau undang pantas
disebut ksatria? Apakah mereka saja yang boleh hadir
dalam rapat ini? Hahaha, apakah hal ini tak
menggelikan?"
"Ksatria haruslah manusia-manusia yang menjunjung
kebenaran, seorang baru boleh menyebut dirinya ksatria
kalau sudah diakui oleh sebagian besar kaum persilatan.
Orang yang asal-usulnya gelap, tentu tak dapat kami
golongkan dalam kaum ksatria," sahut Kok Tiong-lian.
Kembali orang berjubah biru itu tergelak-gelak,
"Ucapan itu tak berlaku, berapakah jumlah kaum
persilatan itu? Dan berapa pula jumlah yang berkumpul
di sini sekarang? Apakah kau yang menentukan siapasiapa
yang dapat dianggap sebagai ksatria? Dan bagi
orang yang belum terkenal di Bu-lim apakah tiada
seorang pun yang mungkin menjadi ksatria?"
Pertanyaan si baju biru yang juga beralasan membuat
Kok Tionglian merasa serba sukar untuk menjawab dan
memberi penjelasan. Adalah Loh Ing-ho yang merasa
tidak sabar, segera ia berteriak, "Huh, kau tak perlu main
pokrol di sini. Pendek kata kau datang bersama bangsat
cilik itu, terang kalian adalah satu komplotan bersama
kaum anjing kerajaan, tapi kau masih menganggap
dirimu sebagai ksatria? Ciangbunjin, tak perlu buang
waktu lagi, silakan memberi perintah seperlunya."

"Enyahkan semua orang itu! Bekuk bangsat cilik she


Nyo itu, suruh mereka menukar dengan To-kan," kata
Tiong-lian dengan suara tegas.
"Bagus!" teriak si baju biru. "Jika demikian bolehlah
kita ukur menurut ilmu silat masing-masing untuk
menentukan siapa terhitung ksatria."
Pada saat kedua pihak sudah hampir mulai bertempur,
tiba-tiba terdengar suara orang berseru, "Nanti dulu!"
Suara orang itu cukup dikenal oleh para tokoh cabang
persilatan yang hadir di Bin-san, mereka tercengang.
Dalam pada itu dengan cepat sekali orang itupun sudah
sampai di atas gunung, kiranya adalah Kay-pang Pangcu
Tiong Tiang-thong.
Sebenarnya Tiong Tiang-thong ada urusan dan
berangkat ke utara, maka muridnya Goan It-tiong yang
disuruh ikut hadir dalam rapat Bin-san ini. Kalau menurut
angkatan dan kedudukan, terutama Kay-pang sebagai
organisasi terbesar di dunia persilatan, maka tingkatan
Tiong Tiang-thong masih di atas Kok Tiong-lian dan lainlain,
sejajar dengan tokoh tua Thian-san-pay seperti
Ciong Tian. Sebab itulah para ksatria merasa kejut-kejut
girang atas kedatangan Tiong Tiang-thong, mereka telah
bertambah jago terkuat.
Setiba di depan orang baju biru, Tiong Tiang-thong
lantas memberi salam dan menyapa, "Apakah saudara
adalah Tiok Sian-hu dari Giok-ping-san?"
Si baju biru tampak melengak, rupanya dia pun belum
penah kenal Tiong Tiang-thong, tapi dari dandanan serta
sikap para ksatria yang menghormat terhadap Tiong
Tiang-thong, segera ia dapat menduga siapakah yang

berada di hadapannya itu, maka ia pun tidak berani


kurang adat, cepat ia membalas hormat dan menjawab,
"Haha, orang bilang Kay-pang sangat luas jaringan
pemberitaannya, nyatanya memang benar. Orang she
Tiok cuma seorang gunung saja, siapa duga Tiongpangcu
juga tahu akan diriku yang rendah ini."
Di balik kata-katanya itu dia sengaja menyindir para
hadirin yang tiada seorang pun yang mengenalnya tadi,
para ksatria memangnya juga terheran-heran, mereka
tidak tahu siapakah Tiok Siang-hu itu, mengapa tidak
pernah mendengar namanya?
Hanya Kok Tiong-lian seorang saja lantas teringat
sesuatu, "Orang ini she Tiok, boleh jadi orang inilah yang
telah menawan Kong-he dan dijadikan kacung di
rumahnya."
Tentang Li Kong-he dibawa pergi oleh seorang gadis
cilik she Tiok, hal ini sudah dicek kebenarannya oleh
Kang Hay-thian kepada Siangkoan Thay, maka
sepulangnya Lim To-kan, hal itu telah dilaporkan juga
kepada Kok Tiong-lian, meski nama lengkap Tiok Sianghu
belum dikenalnya, begitu pula asal-usulnya. Siapa
duga sekarang Tiok Siang-hu sendiri telah datang pula ke
Bin-san.
Kok Tiong-lian menjadi ragu-ragu, pikirnya, "Tiongpangcu
sengaja melerai, tentu beliau tahu asal-usul
orang she Tiok ini. Biarlah dengarkan dulu apa yang akan
dikatakan olehnya." Maka ia lantas memberi tanda agar
para ksatria yang sudah siaga tadi mundur dahulu.
Sementara itu dengan lantang Tiong Tiang-thong telah
berkata pula, "Ya, nama saudara cukup kukenal, bahkan

aku pun cukup mengetahui urusanmu, sebaliknya


saudara mungkin belum tahu urusan sendiri."
Tiok Siang-hu tampak kurang senang. "Apa arti
ucapanmu ini?" tanyanya.
"Nyo Ceng adalah adik iparmu, tapi apakah kau
mengetahui bahwa dia sudah menggabungkan diri pada
kerajaan? Kau tampil ke muka membelanya, kau telah
tertipu olehnya tanpa sadar, sungguh aku ikut merasa
penasaran bagimu."
Air muka Tiok Siang-hu berubah mendadak,
semprotnya, "Kau sembarangan mengoceh apa? Desasdesus
yang tiada buktinya, masakah seorang Pangcu
seperti juga dapat mempercayainya begitu saja?"
"Nyo Ceng telah rela menjadi anjing pemburu
kerajaan, aku mempunyai bukti yang nyata, jadi bukan
sembarangan menuduh lataran dia telah menculik murid
Kang-tayhiap," sahut Tiang-thong ”Hm, agaknya yang
gampang percaya kepada ocehan orang adalah saudara
sendiri.”
"Bukti apa yang kau punyai?" jengek Tiok Siang-hu.
"Apakah kau belum tahu bahwa Nyo Ceng telah
membujuk Siangkoan Thay untuk melawan kau, lantaran
Siangkoan Thay tidak mau menurut, maka Nyo Ceng
telah menyerangnya hingga terluka, sekarang dia
mengatur perangkap pula untuk mengadu-dombakan kau
dengan Kang-tayhiap. Apakah maksud tujuannya? Tak
lain adalah karena dia sudah menjadi antek kerajaan, dia
sengaja hendak mengadu-domba agar kau saling bunuh
dengan para ksatria di seluruh dunia."

"Lalu ada bukti lain atau tidak?" tukas Tiok Siang-hu


dengan menarik muka.
"Apakah bukti-bukti itu tidak cukup?" ujar Tiong Tiangthong.
"Jika perlu boleh silakan pergi ke Thian-pit-hong,
mungkin luka Siangkoan Thay sampai sekarang belum
sembuh dan dia tentu akan bicara padamu."
"Siangkoan Thay sudah pernah mengunjungi
tempatku," sahut Tiok Siang-hu dengan tertawa dingin.
"Dia adalah adik iparku, aku cukup tahu sebab apakah
mereka bercekcok. Pendek kata urusan kami sendiri tidak
perlu kau ikut campur dan memecah-belah."
"Kau anggap aku manusia apa?" seru Tiong Tiangthong
dengan gusar. "Bukankah kau ingin memupuk
kekuatan dan berdiri sendiri, tidak mau takluk kepada
kerajaan? Justru karena mengetahui maksud tujuanmu
ini, maka Nyo Ceng telah menghasut Siangkoan Thay
untuk melawan kau bersama."
"Hm, aku tahu Siangkoan Thay telah sengaja
membiarkan kau mencari bahan obat di tempat
kediamannya, jika kau diberitahu sedikit tentang diriku
juga tidak perlu heran," kata Tiok Siang-hu.
Rupanya Tiok Siang-hu sudah dicekoki oleh macammacam
hasutan oleh Nyo Ceng sehingga percaya penuh
padanya, sebaliknya Siangkoan Thay malah dianggap
sebagai pengkhianat. Soalnya Tiok Siang-hu ingin
menjodohkan putrinya kepada putra Nyo Ceng, yaitu Nyo
Hoan, ditambah lagi Nyo Hoan dan Nyo Ceng memang
pandai bicara dan menghasut sehingga Tiok Siang-hu
kena dipengaruhi.

Keruan Tiong Tiang-thong berjingkrak gusar, sungguh


ia ingin segera melabraknya, tapi Kok Tiong-lian keburu
menyela, "Tiong-pangcu, tak perlu engkau marah
terhadap seorang yang tidak tahu diri. Baiklah Tioklosiansing,
masa bodohlah jika kau tetap memandang
Nyo Ceng sebagai orang baik. Marilah kita kembali
kepada persoalan pokok, Nyo Ceng telah menculik orang
kami, lalu cara bagaimana kau akan bicara?"
"Tindakan Nyo Ceng itu tidak lain hanya ingin
membalas dendam pukulan di Thian-pit-hong tempo hari,
mana boleh kalian lantas menuduhnya sebagai anjing
pemburu pihak kerajaan?" sahut Tiok Siang-hu. "Adalah
layak jika orang Bu-lim seperti kita ingin
mempertahankan pamor. Asal kau suruh Kang Hay-thian
minta maaf padanya, aku tanggung dia akan segera
mengembalikan muridnya."
Apa yang dikatakan Tiok Siang-hu ini sebenarnya
adalah rencana Nyo Ceng, ia tidak tahu bahwa tipu
muslihat Nyo Ceng itu justru hendak mendorong dia
bertempur mati-matian dengan Kang Hay-thian dan para
ksatria, dengan demikian dia yang akan menarik
keuntungan.
Benar juga Kok Tiong-lian lantas berkata, "Hay-thian
tidak berada di sini, biarlah aku yang mewakilkan dia.
Pendek kata aku hanya ingin minta Nyo Ceng
mengembalikan murid Kang Hay-thian. Kalau tidak,
silakan kau kemukakan cara bagaimana
penyelesaiannya?"
"Karena Kang Hay-thian tidak ada, maka aku ada dua
syarat," kata Tiok Siang-hu. "Pertama, permintaan maaf
Kang Hay-thian kepada Nyo.Ceng dapat dilakukan di

kemudian hari dengan disaksikan hadirin yang ada


sekarang ini. Cara kedua ialah jika kalian ingin
menyelesaikan urusan pada hari ini juga, maka bolehlah
silakan kalian berurusan dengan aku. Asalkan satu di
antara kalian dapat menangkan aku, aku pun
bertanggung jawab akan mengembalikan murid Kang
Hay-thian."
Diam-diam Kok Tiong-lian menjadi ragu-ragu, kalau
menurut ucapan Tiong Tiang-thong tadi, agaknya orang
she Tiok inipun bermusuhan dengan pihak kerajaan, tapi
mengapa dia mati-matian membela Nyo Ceng yang
terang rela menjadi antek kerajaan itu? Namun orang
sudah menantang, terpaksa ia menghadapinya sebagai
musuh, segera ia menjawab, "Baiklah, boleh kita
menyelesaikan urusan ini secara orang persilatan. Cuma
aku ingin tanya lebih dulu, orang-orang yang kau bawa
kemari ini hanya menonton sebagai saksi saja atau akan
membantu dalam pertempuran?"
"Mereka datang dari jauh, kesempatan baik ini sudah
tentu akan mereka gunakan untuk belajar kenal dengan
kalian berdasar kepandaian masing-masing," sahut Tiok
Siang-hu dengan tertawa.
Para ksatria menjadi gusar atas sikapnya yang
congkak dan takabur itu. Tiba-tiba Yap Leng-hong
melompat maju sambil berseru, "Biarlah aku menjajalnya
lebih dulu!"
Hampir pada saat yang sama Kang Hiau-hu juga
berlari maju, "Biarlah aku maju lebih dulu, Toasuheng!"
"Tidak, aku adalah murid utama Suhu, sudah
seharusnya aku mewakilkan Suhu untuk belajar kenal
dengan Tiok-siansing," kata Leng-hong.

"Hm, ilmu silatmu sih boleh juga di antara sesama


angkatan muda, tapi untuk belajar kenal padaku, palingpaling
jiwamu yang akan melayang percuma," jengek
Tiok Siang-hu.
"Murid Kang-tayhiap masakah kau anggap sebagai
manusia pengecut? Hayolah maju, biar mati aku tidak
menyesali kau," teriak Leng-hong.
Sudah tentu ia yakin Tiok Siang-hu tak sudi melayani
dia, maka dia sengaja berteriak.menantang untuk
menarik simpati orang banyak. Benar juga serentak
terdengarlah suara tepuk tangan riuh gemuruh yang
memuji keberaniannya.
"Kau tidak takut mati, akulah yang takut ditertawai
orang," ujar Tiok Siang-hu. "Kau tidak sesuai menjadi
lawanku. Mundur saja, jangan mengacau di sini. Pergi!"
Kata-kata terakhir itu diucapkan dengan Lwekang
yang tinggi sehingga suaranya menggelegar, Leng-hong
tergetar kaget dan tanpa terasa mundur dua-tiga tindak.
Tapi Kang Hiau-hu segera menggantikan maju.
"Anak perempuan juga mau mengacau?" jengek Tiok
Siang-hu kurang senang.
"Mengacau apa?" semprot Hiau-hu. "Kau mempunyai
urusanmu, aku pun mempunyai urusanku. Aku hanya
ingin membikin perhitungan dengan bangsat cilik itu."
Sampai di sini mendadak ia menuding Nyo
Hoan yang berdiri di samping Tiok Siang-hu dan
membentak, "Maju sini, bangsat kecil! Secara licik kau
telah menculik Suteku, hari ini biarlah kita membikin
perhitungan."

Baru sekarang Tiok Siang-hu tahu bahwa yang


ditantang Kang Hiau-hu adalah Nyo Hoan yang telah
menculik Lim To-kan kemarin. Usia Kang Hiau-hu dan
Nyo Hoan sebaya, yang satu adalah putri Kang Haythian,
yang lain putra Nyo Ceng, jika Hiau-hu
menantangnya, ini sesuai dengan peraturan Kangouw.
Karena tiada alasan buat merintangi, apalagi yakin Nyo
Hoan takkan kalah, pula dapat melihat sampai dimana
kebagusan ilmu silat keluarga Kang.
Dalam pada itu tanpa menunggu perintah sang
paman, dengan cepat Nyo Hoan sudah lantas melompat
maju. Karena dengan mudah kemarin Kang Hiau-hu kena
ditotok roboh olehnya, maka ia memandang enteng
kepada nona itu, dengan cengar-cengir ia berkata,
"Apakah kau masih belum kapok, nona? Jika demikian
bolehlah kita coba-coba lagi. Tapi kalau kau kalah,
betapapun kau harus mengaku ilmu silat keluarga Kang
kalian lebih rendah daripada keluarga Nyo kami."
"Dan kalau kau kalah, jiwamu akan kucabut! Lihat
pedang!" bentak Kang Hiau-hu sambil menusuk dengan
pedangnya.
Sama sekali Nyo Hoan tidak menduga bahwa serangan
Kang Hiau-hu begitu cepat datangnya, lekas ia
menangkis dengan tongkat bambunya. Tongkat bambu
ini adalah benda yang amat ulet dan keras, tapi pedang
Kang Hiau-hu terlebih lihai, yaitu pedang pusaka Cay-inpokiam,
maka terdengarlah suara "cring" sekali, tahutahu
ujung tongkat bambu telah terpapas sebagian.
Terdengar Tiok Siang-hu mendengus sekali, Nyo Hoan
memang anak cerdik, segera ia tahu sang paman
mencela cara pertempurannya yang keliru, segera ia

berganti cara bertempur. Tongkat bambunya bekerja


dengan cepat sehingga pedang Kang Hiau-hu tak dapat
menabasnya lagi.
Dasar watak Nyo Hoan memang bangor, melihat
kecantikan Kang Hiau-hu, diam-diam ia kesemsem dan
merasa paras calon istrinya masih kalah daripada putri
Kang Hay-thian itu. Namun bakal mertua berada di
samping sana, mau tak mau ia harus prihatin dan tak
berani main gila.
Karena sedikit lamunannya itu, "cret", tahu-tahu ujung
lengan bajunya tersabet oleh pedang Kang Hiau-hu,
untung tidak melukainya.
"Hihihi, tidak kena! Marilah coba-coba lagi!" goda Nyo
Hoan dengan tertawa.
Hiau-hu menjadi murka, segera ia mainkan Tui-hongkiam-
hoat, ilmu pedang pemburu angin. Pedangnya
berputar laksana kitiran dan menusuk secepat kilat.
Namun Nyo Hoan justru sengaja hendak membikin
nona itu naik pitam, berulang-ulang ia mengejek pula.
Keruan Hiau-hu tambah marah, tapi karena inilah dia
telah masuk perangkap Nyo Hoan, mendadak Nyo Hoan
melancarkan serangan balasan. Pada suatu kesempatan
terdengar Nyo Hoan membentak, "Kena!" Tongkatnya
menjojoh ke depan dan dengan tepat mengenai Soan-kihiat
di dada Kang Hiau-hu.
Akan tetapi hampir pada saat yang sama terdengar
seruan Tiok Siang-hu, "Awas, anak Hoan!"
Sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, pedang
Kang Hiau-hu telah menyambar balik. Sama sekali Nyo
Hoan tidak menyangka bahwa anak dara yang tertotok

Hiat-to bagian dadanya itu masih sanggup melancarkan


serangan balasan. Untung sang paman berseru
memperingatkan sehingga dia sempat menggeser ke
samping, kalau tidak, tentu jiwanya sudah melayang.
Walaupun demikian, tidak urung lengannya juga tergores
suatu luka beberapa senti panjangnya.
Kejadian itu benar-benar membingungkan orang,
sampai Tiok Siang-hu juga terkejut dan heran. Ia tidak
tahu apakah anak dara itu sudah memiliki ilmu kebal
sehingga tidak mempan ditotok oleh Nyo Hoan yang jelas
telah kena sasarannya itu. Kuatir kalau Hiau-hu
melancarkan serangan susulan pula, dengan segera ia
bermaksud menerjang maju untuk menolong Nyo Hoan.
Tapi sebelum ia bergerak, mendadak tertampak tubuh
Kang Hiau-hu terhuyung-huyung, "bluk", tahu-tahu anak
dara itu jatuh terduduk malah.
Kiranya Kang Hiau-hu memakai baju wasiat tinggalan
Kiau Pak-beng yang diketemukan Kim Si-ih dahulu, baju
wasiat itu oleh Kim Si-ih diberikan kepada Kang Haythian,
maka meskipun totokan Nyo Hoan tadi sangat
keras dan tepat mengenai sasaran, namun tenaga
totokan itu terhalang sejenak oleh baju wasiat sehingga
Kang Hiau-hu sempat melancarkan serangan kilat untuk
melukai Nyo Hoan, tapi kemudian tenaga totokan Nyo
Hoan juga sudah menembus baju wasiatnya dan masuk
ke Hiat-to di dadanya, maka Hiau-hu juga lantas jatuh
terduduk.
Cepat Kok Tiong-lian melompat maju untuk
memayang bangun putrinya, begitu pula Tiok Siang-hu
juga lantas maju untuk memapak Nyo Hoan.

Sebagai seorang ahli silat, segera Tiok Siang-hu


paham juga duduknya perkara, katanya dengan
menjengek, "Putrimu sudah kalah satu jurus, apakah kau
tidak mengakui?"
"Dan yang terluka siapa, keponakanmu atau bukan?"
sahut Kok Tiong-lian tidak mau kalah.
Menurut peraturan Kangouw, terluka harus dianggap
kalah, maka Tiok Siang-hu tak dapat lagi membantah,
terpaksa ia berkata, "Baiklah, pertandingan anak kecil tak
perlu direcokkan. Sekarang biarlah orang dewasa saja
yang coba-coba."
Sudah tentu Kok Tiong-lian tahu kemenangan putrinya
itu adalah berkat bantuan baju pusaka yang dipakainya,
maka ia pun tidak menarik panjang lagi persoalannya. Ia
cuma jengkel terhadap kesombongan Tiok Siang-hu,
maka sesudah membuka Hiat-to putrinya yang tertotok
segera ia bermaksud maju kegelanggang.
Tapi paman gurunya, yaitu Pek Ing-kiat rupanya
mengetahui perasaannya, maka orang tua itu telah
menasehati, "Kau adalah tuan rumah dari pertemuan
besar ini, kau harus menjaga kedudukan sendiri dan
jangan sembarangan turun tangan. Lebih baik lihat dulu
sampai dimana kepandaian lawan, apakah ada harganya
kau tampil ke muka sendiri?"
Selagi Kok Tiong-lian merasa ragu-ragu, tertampak
seorang Tosu tua berjenggot cabang tiga telah maju ke
tengah kalangan dan menantang Tiok Siang-hu. Kiranya
imam itu adalah seorang tokoh Bu-tong-pay, ialah Siongciok
Tojin, Sute Lui Cin-cu, ketua Bu-tong-pay.

Melihat munculnya Siong-ciok Tojin, semua orang


merasa tepat sekali mengingat kepandaian imam itu
cukup terkenal.
Tak terduga Tiok Siang-hu seakan tidak tahu siapakah
Siong-ciok Tojin itu, dengan sikap acuh tak acuh ia
bertanya, "Apakah kau ingin bertanding dengan aku?"
Walaupun sudah tua, namun Siong-ciok Tojin masih
berdarah panas, dengan gusar ia menjawab,
"Memangnya orang Bu-tong-pay tidak ada harganya
untuk melawan kau?"
"Banyak terima kasih atas penghargaanmu kepadaku,
tapi aku sendiri belum ada minat untuk turun ke tengah
gelanggang, boleh kau melawan seorang hambaku saja
dahulu," kata Tiong Siang-hu, lalu ia berseru, "A Lau,
boleh kau mengiringi beberapa jurus dengan Totiang ini,
mintalah petunjuk ilmu pedang Bu-tong-pay yang
termasyhur."
Seorang laki-laki berbaju hijau lantas tampil ke muka
dengan membawa sebuah Huncwe atau pipa cangklong
yang panjang dan besar.
Segera Yap Leng-hong kenal orang ini adalah kawanan
hamba keluarga Tiok yang pernah dilihatnya dahulu
waktu melabrak Yo Tun-hou dan kawan-kawannya.
Keruan Siong-ciok Tojin menjadi murka, masakah
dirinya dipandang cuma cocok untuk bertanding dengan
kaum budak saja, segera ia berteriak, "Orang she Tio,
kau ... kau terlalu ..." Tapi saking gusarnya ia menjadi
tidak tahu apa yang harus diucapkan.
Sebaliknya Tiok Siang-hu hanya tersenyum saja,
katanya, "Kita sudah bicara di muka bahwa pertandingan

ini mengutamakan ilmu silat masing-masing, jadi tidak


perlu memandang kedudukan atau harga diri para
peserta pertandingan ini."
Dalam pada itu laki-laki baju hijau itu lantas memberi
hormat kepada Tiok Siang-hu, katanya, "Hamba siap
melakukan perintah Cukong. Sesungguhnya hamba ingin
sekali belajar kenal dengan tokoh terkemuka di sini." Di
balik kata-katanya itu seakan-akan Siong-ciok Tojin itu
bukan tokoh terkemuka yang diharapkannya.
Maka terdengar Tiok Siang-hu telah menjawab, "A
Lau, Totiang ini adalah tokoh Bu-tong-pay yang
termasyhur, jangan kau takabur. Boleh lekas maju saja."
"Baik, cuma mohon diberi waktu sejenak, hamba ingin
mengisap tembakau sebentar," kata laki-laki baju hijau.
"Hahaha! Rupanya kau belum bertempur sudah
ketagihan tembakau," Tiok Siang-hu tertawa. "Baiklah,
lekas saja, supaya tidak buang tempo."
"Ya, tapi bila perlu hamba juga dapat mengisap
tembakau sambil bertempur," kata laki-laki baju hijau
sambil memasang tembakau pada pipanya yang masih
berapi, lalu disedotnya dalam-dalam dua-tiga kali.
Kemudian dengan acuh tak acuh ia melangkah maju ke
tengah, katanya, "Bila tidak udut tentu aku tak punya
semangat, untuk itu harap Totiang suka memaafkan.
Nah, marilah kita mulai. Kau memakai pedang, aku
memakai cangklong. Boleh kita coba-coba apakah
pedang lebih tajam atau cangklong lebih keras."
Bukan saja laki-laki baju hijau itu akan berkelahi
sambil udut, bahkan senjatanya adalah pipa
cangklongnya itu.

Mestinya Siong-ciok Tojin tidak ingin bertanding


dengan seorang budak, tapi kena diolok-olok, ia menjadi
naik pitam. Dengan gusar ia membentak, "Aku tidak sudi
adu mulut dengan orang kecil, mau mulai bolehlah
silakan, biarpun kau akan menyemburkan asap berbisa
juga aku tidak gentar!"
"Eeh, mengapa Totiang menyangsikan asap
tembakauku ini sebagai asap berbisa?" kata laki-laki baju
hijau itu dengan tertawa. "Supaya engkau tidak raguragu,
biarlah engkau coba mengendus dulu asap
tembakauku ini. Tanggung tidak berbisa, bahkan dapat
menambah semangatmu!"
Habis berkata, seenaknya saja ia terus mendekati
Siong-ciok Tojin dan menghembuskan asap tembakaunya
ke muka imam itu. Dari bau tembakaunya yang harum
itu teranglah bukan asap beracun, tapi adalah daun
tembakau pilihan.
Namun menghembuskan asap tembakau ke muka
orang adalah perbuatan yang menghina, keruan Siongciok
Tojin tidak tahan lagi, "sret", kontan pedangnya
terus menusuk sambil membentak, "Aku harus
menghajar adat padamu!"
Karena dianggapnya orang terlalu kurangajar, maka
tusukannya ini diarahkan ke matanya. Tak tersangka lakilaki
baju hijau itupun tidak kalah cepat, mendadak ia
mendak ke bawah, sambil masih mengisap pipa
tambakaunya dia sudah menyusup ke samping, lalu
berkata, "Kenapa tidak kau keluarkan kepandaian
andalanmu?"
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu pedang Siong-ciok
Tojin sudah menyambar tiba pula, secepat kilat imam itu

telah melancarkan tujuh kali serangan lihai dari Lianggoan-


toat-beng-kiam (ilmu pedang sambar nyawa).
Sampai jurus ketujuh, karena tak sempat berkelit lagi,
terpaksa laki-laki baju hijau itu menangkis dengan pipa
cangklongnya.
Pipa cangklong itu entah terbuat dari apa, bukan baja
bukan besi, tapi sedikitpun tidak rusak terkena pedang.
Sekali adu senjata saja Siong-ciok lantas tahu
kekuatan lawan ternyata tidak lebih lemah, keruan ia
terkejut. Jika seorang budak saja sudah begini hebat,
apalagi majikannya?
Sampai di sini dia tidak berani memandang enteng
pada musuh lagi, namun dia pun belum mau
mengeluarkan ilmu pedang andalannya, yaitu Kiu-kiongpat-
kwa-kiam.
Sebaliknya laki-laki baju hijau itu telah mengolok-olok,
"Ilmu pedang sambar nyawa Bu-tong-pay memang
hebat, tapi tampaknya jiwaku belum tentu dapat
disambar, lebih baik Totiang keluarkan kepandaian
andalanmu saja."
Habis berkata, mendadak cara bertempurnya juga
lantas berubah. Pipa cangklongnya telah bergerak
dengan cepat dan lincah seperti naga hidup, sekaligus ia
mengeluarkan tipu serangan dari tiga macam senjata,
sebentar menotok, lain saat menusuk, satu tempo
digunakan mengetok pula.
Namun Siong-ciok Tojin dapat menghadapinya dengan
sama kuatnya, sementara itu tembakau yang dipasang
laki-laki baju hijau itu sudah terisap habis: Anehnya sejak
mula dia hanya menghembuskan asap ke muka SiongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ciok, lalu tidak pernah menghembuskan asap lagi. Semua
orang menyangka asap tembakau itu tentu ditelan
seluruhnya ke dalam perut dan tidak perlu dibuat heran.
Tapi bagi Siong-ciok, pertandingan ini rada-rada tidak
enak. Lawannya cuma seorang budak, tapi dirinya
sedikitpun tidak lebih unggul, bahkan pihak lawan masih
sempat menyelingi dengan mengisap tembakau, hal ini
benar-benar sangat memalukan Siong-ciok. Akhirnya ia
menjadi nekat, dikeluarkan juga ilmu pedang
andalannya, Kiu-kiong-pat-kwa-tin. Hanya dalam sekejap
saja sinar pedang lantas bertebaran, mendadak
menyambar ke timur, tahu-tahu mencurah dari sebelah
barat. Bayangan Siong-ciok seakan memenuhi seluruh
kalangan dan menyilaukan pandangan penonton.
Kiranya ilmu pedang itu diciptakan menurut
perhitungan Pat-kwa, setiap tempat dijaga oleh seorang
murid sehingga delapan segi ada delapan orang. Pada
bagian tengah ditambah lagi seorang, maka jadilah Kiukiong
atau sembilan tempat, makanya dinamakan Kiukiong-
pat-kwa. Kemudian Siong-ciok telah memperdalam
ilmu pedang itu sehingga akhirnya seorang diri dapat
memainkan barisan pedang yang seharusnya dimainkan
sembilan orang itu.
Melihat kebagusan ilmu pedang itu, mau tak mau Tiok
Siang-hu harus mengakui juga ilmu silat Tionggoan yang
sukar dijajaki. Cuma sayang imam tua ini sudah terbatas
oleh usianya sehingga ilmu pedang ciptaan baru ini
belum mencapai tingkat yang sempurna. Sebagai
seorang ahli, hanya melihat sebentar saja Tiok Siang-hu
sudah dapat mengetahui dimana letak kelemahan ilmu
pedang yang ruwet itu.

Laki-laki baju hijau itu adalah pengurus rumah tangga


keluarga Tiok, kepandaiannya sudah mencapai enamtujuh
bagian seluruh kepandaian sang majikan, maka dia
cukup kuat untuk bertahan. Walaupun tidak seperti
majikannya yang telah mengetahui letak kelemahan ilmu
pedang lawan, namun dia sendiri sudah mempunyai
rencana cara mematahkan serangan Siong-ciok Tojin. la
membiarkan imam itu melancarkan serangan berantai
yang hebat laksana air bah melanda dahsyatnya.
Berulang-ulang laki-laki baju hijau itu memang
kelihatan terancam bahaya, tapi selalu dapat
menghindarkan setiap serangan itu. Pada suatu ketika
tiba-tiba terdengar dia berseru, "Ilmu pedangmu ini
memang luar biasa, tapi semangatmu tampaknya sudah
mulai kendur, agaknya kau perlu udut lagi. Ini, cobacoba
lagi!"
Habis berkata, mendadak ia menghembuskan asap
tembakau yang tebal, seketika dalam jarak beberapa
meter luasnya seakan penuh kabut asap yang gelap.
Kiranya dia mempunyai suatu kepandaian yang khas,
yaitu dapat mengisap dan menimbun asapnya di dalam
perut, kemudian dapat dihembus keluar sekaligus.
Maka di tengah berkelebatnya sinar pedang di dalam
kabut asap itu sekonyong-konyong terdengar suara
"trang" yang nyaring, dengan cepat Siong-ciok Tojin
telah menyusup keluar dari balik kabut asap, tapi
tangannya sudah kosong, ternyata pedangnya sudah
disampuk jatuh oleh pipa lawan.
"Maaf, maaf! Banyak terima kasih kepada Totiang
yang sudi mengalah padaku," demikian laki-laki baju
hijau itu berseru sambil tertawa. Habis itu ia lantas

mengisi tembakau pula pada pipanya serta disedotnya


satu kali, lalu dengan berlenggang akan meninggalkan
kalangan pertempuran.
"Nanti dulu!" tiba-tiba ada orang membentak.
Ternyata yang tampil ke muka ini adalah ketua Bu-tongpay
sendiri, yaitu Lui Cin-cu.
"Haha, kiranya ketua Bu-tong-pay yang terhormat sudi
memberi petunjuk, sungguh aku merasa sangat
beruntung," kata laki-laki baju hijau sambil tertawa.
"Orang she Tiok," Lui Cin-cu berkata kepada Tiok
Siang-hu. "Apakah kau berani bertanding secara terangterangan
dengan aku?" Nyata ia menganggap
kemenangan hambanya itu diperoleh secara licik dan
tidak menggunakan kepandaian sejati.
Tiok Siang-hu tahu ketua Bu-tong-pay itu sengaja
hendak memancingnya supaya maju ke kalangan, tapi ia
berbalik membikin Lui Cin-cu makin panas lagi,
jawabnya, "Di waktu bertempur, setiap orang
mempunyai cara perkelahian sendiri-sendiri, mana boleh
orang lain dituduh tidak menggunakan kepandaian
sejati? Jika kau ingin bertanding dengan aku, hendaklah
kau mengikuti peraturanku tadi, jadi silakan tundukkan
dulu hambaku ini."
Mendengar itu, tanpa diperintah lagi si baju hijau
lantas maju kembali, katanya dengan tertawa, "Atas
perintah majikan, tepaksa minta petunjuk lagi kepada
Lui-tayciangbun. Cuma kita harus bicara di muka, aku sih
tidak tahu cara perkelahian dengan kepandaian sejati
apa-apa."

Sungguh gusar Lui Cin-cu tak terkatakan atas


kesombongan orang she Tiok dengan budaknya itu. Ia
pikir kalau budak itu tidak diberi hajaran yang setimpal
tentu pamor Bu-tong-pay akan runtuh habis-habisan.
Segera ia menjengek, "Terhadap kaum rendah seperti
kau ini aku pun tidak perlu bicara tentang cara
perkelahian apa segala. Kalau di dalam sepuluh gebrakan
aku tidak dapat mengalahkan kau, biarlah aku
menyembah padamu!"
Ucapan Lui Cin-cu ini membikin orang-orang Bu-tongpay
sendiri tercengang. Mereka maklum meski Lui Cin-cu
adalah Suheng Siong-ciok Tojin, namun mereka pun tahu
selisih kepandaian mereka tidak seberapa. Apalagi
sekarang dia maju ke kalangan pertempuran dengan
bertangan kosong, sungguh harus diragukan apakah di
dalam sepuluh jurus dapat merobohkan lawan?
Diam-diam si baju hijau juga membatin, "Tanpa
menyemburkan asap juga dalam sepuluh jurus kau
belum tentu mampu mengalahkan aku." Dari
pertarungannya dengan Siong-ciok Tojin yang
berlangsung beberapa puluh jurus tadi ia sudah dapat
memperkirakan kepandaian lawan, maka tanpa gentar
sedikitpun ia menjawab, "Baiklah, jika dalam sepuluh
jurus aku betul-betul kalah, biarlah aku pun menyembah
padamu. Nah, silakan lolos pedang, Lui-tayciangbun!"
"Terhadapmu masakah perlu pakai pedang segala?"
jengek Lui Cin-cu. "Hayolah, mulai!"
Kalau ada majikan yang sombong, dengan sendirinya
kaum budaknya juga ketularan sombong, maka si baju
hijau juga meniru lagak cukongnya, biasanya juga tidak
pandang sebelah mata terhadap orang-orang persilatan

di luar keluarga majikannya. Sekarang ia menjadi gusar


juga atas sikap Lui Cin-cu yang menghina itu, ia pun
balas menjengek, "Hm, ingin kulihat cara bagaimana kau
menangkan aku dalam sepuluh jurus!" Habis berkata,
pipa cangklongnya terus bergerak, seperti akan menotok
dan siap untuk mengetok pula.
"Bagus!" bentak Lui Cin-cu, berbareng tangannya
bergerak seperti pedang, jarinya merapat sebagai ujung
senjata, dalam sekejap saja ia sudah menggeser kiankemari
dengan cuma menyerang satu kali. Nyata yang
dia mainkan juga ilmu pedang Kiu-kiong-pat-kwa-tin
yang dimainkan Siong-ciok Tojin tadi, bedanya dia
menggunakan telapak tangan sebagai senjata pedang.
Keruan si baju hijau terkejut dan lekas putar pipanya
untuk mempertahankan diri.
Dalam pada itu Lui Cin-cu telah menyerang sambil
menghitung, "Satu ... dua ... tiga ... empat Tertampak
sekeliling penuh bayangannya, berulang-ulang jarinya
menusuk. Lwekangnya memang lebih tinggi dari Siongciok,
maka serangannya membawa sambaran angin yang
keras.
Ketika Lui Cin-cu menyerang sampai empat jurus yang
berarti 36 gerakan, mau tak mau Tiok Siang-hu
manggut-manggut juga dan memuji, "Bagus, memang
Kiu-kiong-pat-kwa-kiam yang kau mainkan lebih mahir
daripada Sutemu, tapi toh juga belum sempurna, di
sana-sini masih ada beberapa lubang kelemahan."
Lui Cin-cu terkesiap dan kagum akan pandangan
orang she Tiok yang tajam itu, memang sebegitu jauh
dia meyakinkan ilmu pedang itu, ia sendiri pun merasa
pada tempat-tempat tertentu masih belum sempurna

betul. Namun demikian ia yakin orang she Tiok itu juga


tidak mampu memecahkan ilmu pedangnya itu, segera ia
balas menjengek, "Huh, bila perlu sebentar kau pun
boleh coba-coba maju." Sembari bicara serangannya
tidak pernah berhenti, dia masih terus menghitung pula,
"Lima ... enam ... tujuh...”
Menangkis sampai jurus ketujuh, berulang-ulang lakilaki
baju hijau itu sudah terancam bahaya, karena tiada
jalan lain lagi, terpaksa ia menggunakan cara tadi, yaitu
sambil menghembuskan tirai asap tembakaunya.
Namun Lui Cin-cu bukan Siong-ciok Tojin, asap
tembakau itu sama sekali tidak mempengaruhi ketua Butong-
pay itu, dia masih terus menyerang sambil kaki
tetap menggeser kian-kemari menurut perhitungan Patkwa.
Malahan tirai asap yang dihembuskan laki-laki baju
hijau itu tidak menyebar lagi, tapi begitu dihembuskan
segera berubah menjadi jalur asap yang membubung ke
atas dan kabur terbawa angin. Kiranya Lui Cin-cu telah
menggunakan tenaga pukulannya yang membawa
sambaran angin yang santar untuk memaksa kabut asap
itu tertiup ke atas.
Karena harus sembari menghembus asap tembakau,
mau tak mau laki-laki baju hijau itu menjadi rada lengah,
apalagi serangan asap itu tidak berhasil, ia menjadi
gugup pula sehingga menambah cepat kekalahannya.
Baru saja Lui Cin-cu menghitung sampai angka
"delapan", mendadak bentaknya, "Roboh!" Dan benar
juga si baju hijau kontan lantas jatuh.
Tapi jatuhnya tidak terguling, sebaliknya cuma kedua
kakinya yang bertekuk lutut dan berturut-turut
menyembah tiga kali kepada Lui Cin-cu.

Kejadian ini benar-benar di luar dugaan semua orang,


tak tersangka laki-laki baju hijau itu sedemikian jujur dan
pegang janji betul-betul, begitu kalah lantas
menyembah sungguh-sungguh kepada lawannya.
Padahal menyembahnya si baju hijau bukanlah karena
dia pegang janji, tapi karena terpaksa. Dia punya Goantiau-
hiat di bagian lutut kena ditotok oleh Lui Cin-cu
sehingga bertekuk lutut dan tampaknya menjadi seperti
menyembah.
"Bagus, bagus! Lui-tayciangbun, rupanya kau masih
ada harganya untuk berkenalan, marilah kita coba-coba,
pertandingan cara bagaimana yang kau inginkan dariku?"
seru Tiok Siang-hu.
"Tadi kau mengatakan ilmu pedangku ini masih ada
lubang kelemahannya, maka biarlah aku tetap minta
petunjuk padamu dengan ilmu pedang ini," sahut Lui Cincu.
"Mana, ambilkan pedang!" demikian ia minta pedang
kepada muridnya, nyata ia tidak berani memandang
enteng kepada Tiok Siang-hu, maka merasa perlu
menggunakan senjata betul-betul.
Tiok Siang-hu tersenyum, katanya, "Baiklah, aku
memang ingin tukar pikiran dengan kau tentang Kiukiong-
pat-kwa-tin kalian." Habis berkata ia terus
menjemput sebatang ranting kayu untuk digunakan
sebagai senjata.
Keruan semua orang menjadi gempar, bukan saja
orang she Tiok itu hanya menggunakan sebatang kayu
sebagai pedang bahkan akan melawan Lui Cin-cu dengan
ilmu pedang Bu-tong-pay.
"Kau berani main gila padaku?" bentak Lui Cin-cu
dengan gusar.

Belum lenyap suaranya, "sret", mendadak Siang-hu


telah menusuk lebih dulu sambil berkata, "Aku benarbenar
ingin minta petunjuk padamu, mengapa bilang aku
main gila padamu? Jurus Pat-hong-su-tat (mencapai
sasaran dari delapan penjuru) ini betul atau tidak?"
Walaupun cuma sebatang ranting kayu, tapi ternyata
membawa tenaga yang kuat, bahkan serangan pertama
itu memang betul adalah jurus pembukaan Kiu-kiongpat-
kwa-kiam. Bahkan dalam sekejap saja ia sudah
melancarkan satu serangan sembilan gerakan sembari
menggeser kian-kemari.
Melihat kelihaian musuh, Lui Cin-cu tidak berani ayal.
Terpaksa ia menangkis dengan jurus yang serupa.
Lui Cin-cu terkenal lihai akan Lwekangnya, maka
setiap gerakan pedangnya selalu membawa tenaga yang
dahsyat. Tapi aneh, tampaknya pedangnya sering beradu
dengan ranting kayu lawan, namun sama sekali tak
dapat menabas kutung kayu itu.
"Dan jurus kedua Chit-sing-poan-goat (tujuh bintang
mengelilingi bulan), begini caranya bukan?" demikian
Tiok Siang-hu berkata pula dengan tertawa.
Para penonton ikut terkesima menyaksikan
pertandingan itu, hanya beberapa tokoh terkemuka saja
yang tahu dimana letak rahasianya mengapa pedang
kayu Tiok Siang-hu itu tidak terkurung oleh pedang Lui
Cin-cu.
Kiranya Lwekang Tiok Siang-hu sudah mencapai
tingkatan sangat tinggi, bahkan lebih tinggi setingkat
daripada Lui Cin-cu. Setiap serangan Lui Cin-cu, tenaga
Lwekang yang ikut dilontarkan selalu dapat dipatahkan

oleh lawan. Dengan enteng sekali pedang kayu itu dapat


menempel dan bergoyang mengikuti daya tekanan
pedang Lui Cin-cu sehingga tidak tertabas kutung. Bagi
pandangan orang lain, kedua orang hanya seperti
saudara seperguruan yang sedang berlatih.
Akan tetapi kepandaian Tiok Siang-hu ternyata tidak
cuma sekian saja, sampai jurus keempat yang bernama
Uh-sia-kiu-jit (sinar matahari memancar dari angkasa),
tiba-tiba ia berseru sambil tertawa, "Jurus ini ada sedikit
perubahan, hendaklah Lui-tayciangbun memberi
petunjuk apakah betul atau tidak?" Habis itu, dalam
sekejap itu pedangnya seakan berubah menjadi
bayangan barisan pedang yang bertebaran mengarah ke
tubuh Lui Cin-cu.
Sungguh bukan main kejut Lui Cin-cu, jurus ini justru
adalah jurus yang telah dilatihnya bersama Siong-ciok
dan belum lagi sempurna selama ini. Menurut gerakan
ilmu pedangnya, jurus ini sekaligus mestinya dapat
melukai sembilan musuh, tapi selama ini dalam latihan
Lui Cin-cu hanya dapat menembus enam sasarannya.
Dan kekurangan itu sekarang ternyata dapat dimainkan
oleh Tiok Siang-hu dengan sempurna.
Namun sebagai seorang ketua suatu cabang
persilatan, meski menghadapi bahaya ia tidak menjadi
bingung. Berturut-turut ia pun menggunakan beberapa
gerakan yang berbeda-beda untuk menghindar. Baru
sekarang ia percaya apa yang dikatakan Tiok Siang-hu
tadi memang bukan bualan, ternyata di dalam ilmu
pedang andalannya itu memang ada lubang
kelemahannya.

Dengan kedudukan Lui Cin-cu, sampai di sini


seharusnya ia mengaku asor dan mengundurkan diri, tapi
dia masih merasa tidak rela untuk mengalah. Diam-diam
ia ingin mengetahui apakah jurus Kiam-hoatnya yang lain
masih ada kelemahannya? Maka sesudah pasang kudakuda
lebih kuat, segera ia melancarkan serangan terlebih
gencar.
"Bagaimana, apakah jurus ini tadi Lui-tayciangbun
merasa boleh juga?" tanya Tiok Siang-hu sambil tertawa.
"Bagus! Dan masih ada lima jurus lagi, silakan
memberi petunjuk sekalian," sahut Lui Cin-cu, sembari
bicara sekaligus ia pun menyerang pula jurus kelima,
keenam, ketujuh dan kedelapan, empat kali sembilan
gerakan, seluruhnya 36 gerakan lagi.
Namun Tiok Siang-hu juga menggunakan gerakan
yang sama untuk mematahkan serangan Lui Cin-cu,
katanya dengan tertawa, "Serangan keempat jurus ini
sangat rapat tanpa kelemahan sedikitpun, aku pun
sangat kagum!"
Sampai sekarang Kiu-kiong-pat-kwa-tin itu hanya
tinggal jurus terakhir saja yang disebut Kiu-kiu-kui-goan
(sembilan kali kembali asal), segenap perubahan
serangan yang duluan sekaligus terlebur di dalam jurus
terakhir ini sehingga gerakannya sangat ruwet tapi maha
dahsyat.
Karena kalah atau menang hanya tergantung pada
jurus terakhir ini, maka Lui Cin-cu telah mencurahkan
segenap kemahirannya pada jurus ini.
Di tengah berkelebatnya sinar pedang dan bayangan
orang, sekonyong-konyong terdengar suara "creng" satu

kali, seketika sinar pedang lenyap dan bayangan hilang,


pedang Lui Cin-cu sudah terlepas dari cekalan. Semua
orang tidak jelas cara bagaimana dia dikalahkan.
Untuk sejenak Lui Cin-cu tampak tertegun. Habis itu
dia menggendong tangan sambil menunduk dan berpikir
seperti sedang merenungkan sesuatu teka-teki yang
sukar dipecahkan. Selang tak lama, mendadak Lui Cin-cu
bergelak tertawa dan berseru, "Hahahaha! Benar-benar
di atas langit masih ada langit, orang pandai masih ada
yang lebih pandai. Aku dikalahkan seorang yang lebih
pandai, apa artinya bagiku? Sungguh menyenangkan
sekali persoalan yang kuselami selama ini telah dapat
dipecahkan dengan mudah. Cuma, Tiok-siansing,
agaknya kau pun ada sesuatu kelemahan yang belum
dapat ditutup dengan baik. Misalnya pada gerakan
keenam dalam jurus terakhir ini aku menggeser ke kiri
dan ujung pedang mengancam Goan-tiau-hiat, gagang
pedang mengetok Ih-gi-hiat, lalu cara bagaimana kau
akan mematahkannya?"
"Jika demikian jadinya, maka akulah yang kalah!"
sahut Tiok Siang-hu tertawa.
Kedua orang sama-sama tergolong sarjana ilmu silat,
setelah mengalami pertandingan ini, ilmu pedang
andalan Bu-tong-pay itu telah menjadi betul-betul
sempurna, dengan sendirinya Lui Cin-cu sangat senang,
sehingga soal kalah atau menang tak terpikir pula
olehnya. Bahkan Tiok Siang-hu tampaknya juga menaruh
simpati padanya, maka sesudah bertanding, dari
pembicaraan mereka itu sifatnya menjadi seperti tukar
pikiran di antara sesama kawan saja.

Melihat hasil pertandingan itu, semua orang menjadi


lega, tapi segera para ksatria merasa ragu-ragu pula,
sedangkan tokoh seperti Lui Cin-cu saja menderita kalah,
lalu siapa lagi yang mampu menandingi Tiok Siang-hu?
Tiba-tiba terlihat seorang Hwesio tua memakai kasa
putih telah tampil ke muka sambil mengucapkan
kebesaran Buddha, katanya dengan perlahan, "Ilmu silat
Tiok-sicu benar-benar luar biasa, Lolap tidak bermaksud -
mencari kemenangan, tapi ingin menghapus
pertentangan ini, maka sengaja minta petunjuk kepada
Tiok-sicu."
Kiranya Hwesio tua ini adalah tokoh Go-bi-pay, Hoathoa
Siangjin gelarnya. Dia adalah murid Kim-kong
Siangjin, tokoh angkatan tua Go-bi-pay yang terkenal
dengan Thay-jing-khi-kang, semacam Lwekang yang
dahsyat.
Di antara hadirin itu terdapat empat tokoh utama,
yaitu Kok Tiong-lian, Ciong Tian dari Thian-san-pay, Taypi
Sian-su dari Siau-lim-si dan yang keempat adalah
Hoat-hoa Siangjin ini. Di antara empat tokoh ini, Hoat
hoa Siangjin berusia paling tua pula, maka menurut
urutan dia adalah tokoh utama di dalam pertemuan besar
para ksatria ini.
Rupanya Tiok Siang-hu juga tahu akan kedudukan
Hoat-hoa Siangjin, ia pun tidak berani congkak seperti
tadi, sambil memberi salam balasan ia menjawab, "Taysu
adalah paderi agung pada zaman ini, baik ilmu silat
maupun keagamaan sudah lama sangat mengagumkan.
Bila Taysu ingin memberi petunjuk, terpaksa Cayhe harus
belajar kenal dengan Lwekang Taysu."
Mendengar itu, kembali para ksatria terkejut, mereka
tahu Thay-jing-khi-kang yang menjadi andalan Hoat-hoa
Siangjin itu sukar dijajaki dalamnya, masakah sekarang
Tiok Siang-hu justru ingin mengadu Lwekang padanya.
Memangnya orang she Tiok ini benar-benar seorang luar
biasa dan serba pandai, kalau tidak, masakah selalu
menantang lawan dengan kepandaian yang menjadi
andalan lawan pula.
Dalam pada itu Hoat-hoa Siangjin telah menjawab,
"Sudah tentu Lolap akan mengiringi kehendak Tiok-sicu.
Dan cara bagaimana harus bertanding, silakan memberi
penjelasan."
Tiba-tiba Tiok Siang-hu menggunakan sebelah kakinya
sebagai sumbu, tubuhnya berputar dan kaki sebelah lain
digunakan menggaris satu lingkaran, lalu katanya, "Kita
boleh bertanding di dalam lingkaran ini. Siapa yang
terdesak keluar dari lingkaran dianggap kalah, tapi yang
menang juga tidak perlu menyerang lebih lanjut."
"Kuterima usul Tiok-sicu ini dengan senang hati,"
sahut Hoat-hoa. Lalu mereka berdua masuk bersama ke
dalam lingkaran, duduk berhadapan dan menjulurkan
telapak tangan dan saling bertahan, demikianlah mereka
akan mengadu Lwekang.
Tiok Siang-hu yang lebih dulu melancarkan serangan
untuk menjajaki kekuatan lawan, sebaliknya Hoat-hoa
Siangjin duduk dengan mata terpejam seperti bersemadi,
sedikitpun tidak bergerak. Waktu Tiok Siang-hu
melancarkan tenaga serangannya, sama sekali tak terasa
tenaga perlawanan Hoat-hoa Siangjin. Ketika Tiok Sianghu
menambahkan tenaganya sampai enam-tujuh bagian,
baru mulai merasa tenaga dalam lawan ternyata sangat

halus, seperti air danau yang cuma sedikit bergelombang


bila tertimpuk sepotong batu kecil.
"Thay-jing-khi-kang mengutamakan halus melawan
keras, nyata memang luar biasa, tampaknya mau tak
mau aku harus mengerahkan segenap tenagaku,"
demikian diam-diam Tiok Siang-hu berpikir.
Karena ingin lekas menang, segera Tiok Siang-hu
mengerahkan tenaga dan dikeluarkan serentak laksana
gugur gunung dahsyatnya, tapi I loat-hoa Siangjin masih
tetap duduk tenang, seakan tidak merasa sesuatu. Hanya
kasa (jubah Hwesio) yang dipakainya itu melembung
lebar seperti layar, tapi tubuhnya tetap tidak bergerak.
Semakin keras
Tiok Siang-hu mengerahkan tenaga dalamnya, sampai
akhirnya dari ubun-ubunnya mengeluarkan uap putih
yang tipis.
Melihat keadaan demikian, para penonton menyangka
Hoat-hoa Siangjin sudah di pihak yang unggul, hanya
Kok Tiong-lian saja yang mengerutkan kening dan
merasakan kegawatan pertandingan itu.
Sementara itu Hoat-hoa Siangjin juga terkejut akan
Lwekang lawannya yang kuat dan aneh itu, sekali
menyerang, damparan tenaga lawan terasa seperti
gelombang ombak samudra yang satu disusul yang lain,
tanpa habis tanpa berhenti sedikitpun tidak memberi
kesempatan mengaso kepada lawan.
Adu tenaga dalam memang paling berbahaya, apalagi
usianya sudah tua, lama-lama Hoat-hoa merasakan
tenaga tak mau mengikuti lagi kemauannya, terpaksa ia
hanya menjaga diri tanpa menyerang, dengan kehalusan

tenaga murni Thay-jing-khi-kang ia menghadapi


serangan-serangan musuh.
Dalam pada itu Tay-pi Siansu dari Siau-lim-si dan
tokoh Thian-san-pay, Ciong Tian, juga melihat gelagat
yang tidak enak itu. Mereka tahu bila keadaan demikian
itu diteruskan, tentu kedua pihak akan sama-sama celaka
nantinya, tapi untuk memisahkan mereka rasanya juga
sukar, kecuali dilakukan bersama oleh kedua tokoh
terkuat.
Walaupun Tiok Siang-hu sudah di atas angin, tapi
keuletan Hoat-hoa Siangjin juga di luar dugaannya, la
merasa tidak sukar untuk mengalahkan Hwesio tua itu
pada saat terakhir, tapi dia masih harus menempur
sekian banyak jago-jago yang lain, jika tenaga sudah
kelewat banyak terbuang, tentu nanti akan membikin
susah diri sendiri.
Saat itu uap yang mengepul dari ubun-ubun Tiok
Siang-hu sudah tambah tebal. Melihat itu, Tay-pi Siansu
dan Ciong Tian tahu dia sedang mengerahkan tenaga
dalam sedahsyatnya, mereka kuatir Hoat-hoa Siangjin
tidak tahan, maka diam-diam mereka sudah siap untuk
segera memberi bantuan bila perlu.
Di tengah hening semua orang itu, sekonyongkonyong
terdengar gelak tertawa Tiok Siang-hu, tahutahu
dia dan Hoat-hoa Siangjin telah berbangkit
bersama, lalu melangkah keluar lingkaran berbareng
sambil tangan bergandeng tangan seakan-akan sudah
berjanji sebelumnya, kalau tidak, masakah langkah
mereka begitu tepat dan sama.
Semula para ksatria terperanjat, beberapa tokoh
terkemuka juga merasa bingung. Tapi sesudah

diperhatikan kemudian, barulah diketahui tempat dimana


Hoat-hoa Siangjin duduk bersila tadi telah meninggalkan
bekas dekuk yang nyata, sebaliknya tempat berduduk
Tiok Siang-hu itu tidak meninggalkan bekas apa-apa.
Dari keadaan ini teranglah dalam hal Lwekang sudah
diketahui Hoat-hoa Siangjin masih kalah setingkat, tapi
kalau menurut peraturan yang telah ditetapkan, karena
kedua orang melangkah keluar lingkaran berbareng,
maka dapatlah dianggap sama kuat alias seri.
Rupanya Tiok Siang-hu tidak ingin membuang tempo
dan tenaga lebih banyak, maka dia telah menggunakan
gaya lengket dari tenaga dalamnya untuk menyedot
telapak tangan lawan, lalu ditarik sehingga dapatlah
keluar lingkaran bersama. Ini adalah kecerdikan Tiok
Siang-hu, daripada mengalahkan Hoat-hoa dan
menimbulkan kebencian orang Bu-lim, ada lebih baik
menarik simpatik dari Hoat-hoa, sebaliknya tenaga
sendiri juga tidak terhambur percuma.
Sesudah keluar lingkaran pertandingan itu, Tiok Sianghu
melepaskan tangan Hoat-hoa Siangjin, katanya sambil
memberi hormat, "Lwekang Losiansu benar-benar maha
hebat, untung aku dapat mempertahankan diri dengan
sama kuat, maka tidak perlu lagi kita melanjutkan
pertandingan ini."
Sudah tentu Hoat-hoa tahu pihak lawan sengaja
mengalah padanya, sebagai seorang paderi saleh dia
harus bicara secara jujur, maka ia pun membalas hormat
dan menjawab, "Ilmu sakti Tiok-sicu benar-benar tiada
bandingannya, Lolap kagum sekali dan terima mengaku
asor."

Jelas sekali dia telah mengakui kemenangan pihak


lawan, keruan para ksatria saling pandang dan tidak
dapat bicara. Berturut-turut dua tokoh terkemuka mereka
sudah kalah, lalu siapa lagi yang akan maju untuk
melawan Tiok Siang-hu.
Kok Tiong-lian merasa sudah tiba saatnya dia sendiri
harus tampil ke muka. Dan baru saja ia hendak
melangkah, tiba-tiba Ciong Tian telah mendahului maju
untuk menantang Tiok Siang-hu, serunya, "Kepandaian
Tiok-siansing ternyata serba tinggi. Sekarang giliran
Thiansan-pay coba main-main dengan engkau."
Thian-san-pay jauh terpencil di wilayah barat sehingga
namanya tidak setenar Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bipay
dan lain-lain. Padahal kalau bicara tentang
kepandaian sejati, maka tokoh-tokoh Thian-san-pay
tidaklah di bawah jago-jago persilatan daerah Tionggoan
itu, malahan ketua Thian-san-pay angkatan yang lalu,
Teng Hiau-lan, adalah jago nomor satu di seluruh negeri
yang diakui secara resmi oleh setiap jago silat. Ciong
Tian adalah murid Teng Hiau-lan, maka ilmu silatnya
dapatlah dibayangkan.
"Hahaha! Ciong-tayhiap ternyata seorang yang suka
blak-blakan," sahut Tiok Siang-hu dengan tertawa.
"Sudah lama aku pun kagum kepada tiga macam ilmu
sakti dari Thian-san-pay, hari ini bila aku dapat belajar
kenal seluruhnya, itulah yang paling kuharapkan."
Ilmu pedang Thian-san-pay adalah leburan dari
berbagai ilmu pedang di dunia sehingga terkenal sebagai
ilmu pedang nomor satu. Lwekang Thian-san-pay juga
dapat membanding! Lwekang dari Siau-lim-pay, selain itu
ada pula Thian-san-sin-bong, sejenis biji berduri yang

hanya tumbuh di puncak Thian-san dan merupakan


senjata rahasia yang paling keras di dunia ini. Jadi ilmu
pedang, Lwekang dan senjata rahasia itulah yang
merupakan ketiga macam kepandaian utama Thian-sanpay.
Dahulu Teng'Hiau-lan pernah mengalahkan iblis besar
Beng Sin-thong dengan ketiga macam ilmu sakti itu dan
pernah bertempur sengit melawan murid Kiau Pak-beng,
yaitu Le Seng-lam. Sekarang sekaligus Tiok Siang-hu
dapat menyebutkan tiga macam kepandaian Thian-sanpay,
hal ini menandakan dia sangat memahami sejarah
dunia persilatan bahkan juga sangat tabah, agaknya
kedatangannya ini memang diperhitungkan dengan rapi.
Kepandaian Thian-san-pay memang sangat tersohor,
tapi jarang dilihat orang, maka para ksatria juga sangat
ingin menyaksikan bagaimana ahli waris Teng Hiau-lan
menggunakan ketiga macam kepandaiannya yang sakti.
Berbareng mereka pun ingin tahu dengan ilmu aneh apa
Tiok Siang-hu akan melawan Ciong Tian.
Tiba-tiba tertampak Tiok Siang-hu menepuk pinggang
sendiri, tahu-tahu tangannya sudah memegang sebatang
pedang yang gemerlapan menyilaukan mata. Kiranya
pedangnya itu sangat lemas dan terlibat di pinggang, di
waktu tidak terpakai dapat digunakan sebagai sabuk.
Dalam pertandingannya dengan Lui Cin-cu tadi, Tiok
Siang-hu hanya menggunakan sebatang ranting kayu
sebagai senjata, tapi sekarang dia telah mengeluarkan
pedang sejati, ini menandakan betapa ia memandang
berat kepada lawannya, yaitu Ciong Tian.
Di lain pihak Ciong Tian juga sudah melolos pedang
dan sedang menantikan serangan Tiok Siang-hu, namun

orang she Tiok itu ternyata tidak lantas menyerang,


sebaliknya sorot matanya yang tajam menatap Ciong
Tian tanpa berkedip. Ciong Tian sendiri juga sangat
prihatin dan sungguh-sungguh.
Memang pertandingan di antara jago kelas wahid yang
memiliki kepandaian setingkat tidak mau sembarangan
menyerang lebih dulu, sebaliknya kalau sudah
menyerang, maka sukar dibendung lagi. Benar juga,
mendadak terdengar suara deru angin yang keras
disertai kelebat sinar pedang, entah siapa yang mulai
menyerang lebih dulu. Yang terang pedang kedua orang
sama-sama membawa suara gemuruh yang keras,
terdengarlah suara "trang-tring" berulang-ulang, hanya
sekejap saja pedang kedua orang sudah saling bentur
sampai belasan kali. Mendadak terdengar Ciong Tian
membentak, "Pergi!" Menyusul Tiok Siang-hu juga
berseru, "Kau pun berdirilah yang kuat!"
Dengan cepat sekali kedua orang lantas berpisah, Tiok
Siang-hu tampak mundur dua-tiga tindak, sebaliknya
Ciong Tian berputar-putar seperti gangsing sehingga
sukar dibedakan siapa yang tergetar mundur lebih dulu.
Kiranya tadi Tiok Siang-hu mulai menyerang lebih
dulu, Ciong Tian yang sudah siap menantikan serangan
lawan dengan Lwekang yang tersalur ke ujung pedang,
telah menangkis dan memaksa Tiok Siang-hu mundur
dua-tiga tindak. Sebaliknya Tiok Siang-hu telah
mengerahkan tenaganya gelombang demi gelombang,
untuk mematahkan damparan tenaga dahsyat itu tak
tertahankan lagi Ciong Tian sampai ikut terdorong
berputar-putar.

Ketika Tiok Siang-hu dapat berdiri tegak, sementara


itu Ciong Tian juga sudah menenangkan diri. Hasil
gebrakan ini boleh dikata sama kuatnya, maka
gemuruhlah sorak-sorai para penonton.
"Tadi aku telah menyerang lebih dulu, sekarang
adalah giliranku menunggu petunjuk dari Ciong-tayhiap,"
kata Tiok Siang-hu dengan tersenyum.
Ciong Tian sudah mempunyai rencana serangan,
mendadak ia membentak, "Awas!" Sinar pedang
berkelebat, kontan ia menyerang dari depan.
Menurut teori ilmu silat, golok atau tombak, baik
digunakan menyerang dari depan, tapi pedang lebih
tepat digunakan menyerang dari samping, misalnya
dengan menabas atau membabat. Tapi sekarang Ciong
Tian justru menyerang dari depan dengan pedangnya, ini
telah menyimpang daripada permainan ilmu pedang yang
biasa. "Bagus!" seru Tiok Siang-hu sambil menangkis.
Tapi perubahan serangan Ciong Tian secepat kilat, baru
saja ujung pedangnya mengancam tenggorokan
lawan, tahu-tahu pedang menyambar ke samping
untuk menabas bahu terus menurun untuk menikam
lambung musuh. Ini adalah jurus serangan mematikan
dari Tui-hong-kiam-hoat yang lihai.
"Kiam-hoat bagus!" kembali Tiok Siang-hu memuji
sambil mundur setindak.
Ciong Tian tidak berhenti lagi, sekali Tui-hong-kiamhoat
sudah dilancarkan, terus-menerus ia menyerang
dengan gencar dan sukar dihentikan. Hanya kelihatan
sinar pedang bertebaran menyilaukan mata, beruntun
Ciong Tian menyerang delapan kali dan Tiok Siang-hu
juga terdesak mundur delapan tindak.

Akan tetapi delapan tindak mundur itu bukanlah


ngawur, sebaliknya selalu menginjak tempat yang kuat
menurut perhitungan Pat-kwa, langkah dan permainan
pedangnya sedikitpun tidak kacau, bahkan setiap mundur
setindak selalu daya serangan Ciong Tian juga kena
dimusnahkan.
Serangan Ciong Tian itu benar-benar sangat hebat,
tapi lawannya juga tidak kurang lihainya. Sungguh
kagum tak terhingga para penonton sehingga banyak
yang terkesima dan ada yang menghela napas gegetun.
Pada saat itulah mendadak ilmu pedang Ciong Tian
berubah lagi, sinar pedangnya memanjang naik turun
laksana naga menari di angkasa, seketika kedua orang
terbungkus oleh sinar pedang.
Bagi penonton-penonton yang kepandaiannya masih
cetek hanya kelihatan berkelebatnya sinar pedang saja
dan tidak nampak orangnya. Hanya tokoh-tokoh
terkemuka seperti Sin Un-long dari Jing-sia-pay, Lui Cincu
dan Siong-ciok Tojin dari Bu-tong-pay, Kok Tiong-lian
dan lain-lain yang masih dapat membedakan jurus-jurus
serangan di antara kedua seteru itu. Namun begitu, yang
mereka ketahui juga cuma ilmu pedang yang dimainkan
Ciong Tian saja, yaitu Si-mi-kiam-hoat dari Thian-san-pay
yang sangat lihai.
Jika Si-mi-kiam-hoat masih dapat dikenali beberapa
tokoh-tokoh itu, adalah ilmu pedang yang dimainkan oleh
Tiok Siang-hu ternyata tidak mereka kenal, apa namanya
juga mereka tidak tahu. Yang jelas hanya kelihatan orang
she Tiok itu mengacung ke timur, tapi tahu-tahu
menyerang ke barat, seperti mengincar ke selatan, tibaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tiba menyambar ke utara. Tampaknya seperti tidak
beraturan, tapi ternyata sangat ulet dan rapat.
Mau tak mau Ciong Tian merasa kagum juga terhadap
lawan tangguh itu, ia pikir ilmu silat memang tiada
batasnya, meski dia sudah mengeluarkan Si-mi-kiamhoat
yang paling diandalkan toh belum dapat
menundukkan lawan. Namun demikian lambat-laun ia
pun sudah dapat mengikuti jalannya ilmu pedang Tiok
Siang-hu.
"Lepas senjata!" mendadak Ciong Tian menggertak,
sinar pedangnya merapat terus melebar lagi seakan
sebuah jaring besar menelungkup ke bawah. Jurus ini
disebut Kay-cu-si-mi, dimana pedangnya sampai, bila
terbentur senjata lawan tentu pedang lawan akan
terpuntir jatuh, kalau tidak lepas pedang tentu lawan
akan terluka.
Namun Tiok Siang-hu menyambutnya dengan bergelak
tertawa, serunya, "Belum tentu bisa!" Berbareng sinar
pedangnya juga membuyar, hanya dalam sekejap saja ia
sudah menggeser kian-kemari sehingga serangan Ciong
Tian itu dapat dielakkan.
Sebenarnya dengan ilmu pedang Tiok Siang-hu sendiri
sangat sukar untuk mematahkan jurus serangan Ciong
Tian itu, tapi yang dia pakai secara mendadak adalah
sejurus yang ditirunya dari Kiu-kiong-pat-kwa-tin milik
Bu-tong-pay yang dilihatnya tadi dan hanya diberi
perubahan sedikit.
Walaupun Tiok Siang-hu meminjam jurus ilmu pedang
golongan lain, tapi mau tak mau Ciong Tian harus
memuji akan kepintaran lawannya.

"Sungguh hebat!" seru Ciong Tian, berbareng dia


menyerang pula dengan jurus Kay-cu-si-mi seperti tadi.
Sudah tentu para penonton menjadi heran, sudah
terang Tiok Siang-hu dapat mematahkan serangan jurus
itu, entah mengapa sekarang Ciong Tian mengulanginya
lagi?
Kiranya menurut perhitungan Gong Tian, dalam
tangkisan tadi Tiok Siang-hu telah terpaksa
memencarkan tenaga dalamnya untuk menangkis
serangan yang bertebaran dari berbagai arah itu. Jika dia
mengulangi lagi sampai dua-tiga kali tipu serangan yang
sama, maka Tiok Siang-hu pasti sukar lagi menangkis
dan pasti akan kalah.
Tak terduga sekali ini Tiok Siang-hu tidak menyambut
dengan jurus tadi, tapi dia menirukan Ciong Tian dengan
jurus Kay-cu-si-mi. Keruan Ciong Tian terperanjat,
sungguh sukar dipercaya bahwa jurus serangan yang
paling sukar dan ruwet dari Thian-san-pay itu hanya
sekali lihat saja sudah dapat ditirukan oleh Tiok Siang-hu,
bahkan terus digunakan. Sungguh seorang maha pandai.
Padahal jurus tiruan Tiok Siang-hu itu hanya
bentuknya saja sama, tapi sesungguhnya belum murni,
belum memadai. Hanya saja dia kerahkan pula tenaga
dalamnya yang dahsyat sehingga benturan kedua
pedang dari jurus serangan yang sama sukar dihindarkan
lagi. "Trang", terdengar dering nyaring mengilukan, dua
jalur sinar perak mendadak mencelat ke udara. Kedua
orang sama-sama melompat mundur.
Sejenak kemudian barulah semua orang dapat melihat
jelas bahwa pedang yang dipegang Ciong Tian dan Tiok
Siang-hu sudah terkurung semua, keadaan Tiok Siang-hu

tampak tiada sesuatu yang aneh, tapi lengan baju Ciong


Tian sudah tertusuk sobek.
Pedang yang dipakai Ciong Tian adalah pedang biasa,
sebaliknya Tiok Siang-hu memakai pedang pilihan,
walaupun sama-sama terkurung, tampaknya tenaga
dalam Ciong Tian lebih kuat. Cuma baju Ciong Tian
terobek, kalau menurut peraturan pertandingan dia
sudah kalah satu jurus.
"Aku telah kalah sejurus, selama hidup ini aku takkan
menggunakan pedang lagi, tapi kita masih belum
selesai!" ujar Cong Tian sambil membuang pedangnya
yang kutung.
Tiok Siang-hu tahu kemenangannya itu hanya secara
kebetulan saja, kalau bicara ilmu pedang sejati, dirinya
harus mengaku kalah tinggi, maka dengan tersenyum
getir ia menjawab, "Ah, buat apa Ciong-tayhiap berkata
demikian. Sekarang biarlah aku minta petunjuk tentang
Thian-san-sin-bong kalian!"
"Baik, boleh kita mengadu senjata rahasia!" sahut
Ciong Tian dan kontan sejalur sinar emas mengkilap
terus terlepas dari tangannya dan menyambar ke depan
sambil membawa suara mendesing. Itulah Thian-san-sinbong
yang termasyhur.
Bentuk Thian-san-sin-bong mirip anak panah kecil,
panjangnya cuma beberapa senti, siapa pun tidak
menyangka bahwa benda yang tampaknya sepele itu
mempunyai daya serangan begitu dahsyat.
Tampaknya Sin-bong itu sudah hampir mengenai
tubuh Tiok Siang-hu, namun dalam sekejap itu dengan
cepat sekali orang she Tiok itupun sudah berkelit. "Cret",

Sin-bong itu menyambar terus ke depan dan menancap


di tebing batu. Tiok Siang-hu sendiri telah melompat ke
atas tebing sehingga Sin-bong itu menyambar lewat di
bawah kakinya.
Waktu ia berpaling, ia lihat Thian-san-sin-bong itu
hampir amblas ke dalam dinding batu, mau tak mau ia
harus memuji, "Bagus! Memang luar biasa! Thian-sansin-
bong harus diakui sebagai senjata rahasia nomor satu
di dunia ini!"
Dalam pada itu dengan cepat sekali Sin-bong yang
kedua sudah menyambar tiba pula disertai suara
bentakan Ciong Tian, "Ini, terima lagi yang kedua!"
"Haha! Kau sudah menguji aku, terpaksa aku harus
menerima senjata rahasiamu ini," kata Tiok Siang-hu.
Terhadap Sin-bong pertama dia belum berani
menangkapnya karena belum diketahui sampai dimana
dahsyatnya senjata rahasia ini, tapi sekarang ia menduga
dirinya masih mampu menangkap Sin-bong itu.
Di atas tebing yang curam itu tiada tempat untuk
menghindar, maka tertampak Tiok Siang-hu telah
merangkap kedua tangannya, tahu-tahu sinar emas
lenyap, Thian-san-sin-bong kedua itu telah terjepit di
tengah kedua telapak tangannya. Namun begitu tidak
urung badan Tiok Siang-hu tampak bergeliat dan hampir
terpeleset jatuh ke bawah tebing.
Selama ratusan tahun ini Thian-san-sin-bong malang
melintang tiada bandingannya. Dahulu hanya Beng Sinthong
dan Le Seng-lam saja yang pernah menangkap
timpukan Thian-san-sin-bong itu dan sekarang Tiok
Siang-hu terhitung orang yang ketiga.

Tokoh-tokoh angkatan tua yang dahulu pernah


menyaksikan peristiwa Beng Sin-thong dan Le Seng-lam,
dibandingkan dengan cara Tiok Siang-hu menangkap Sinbong
sekarang, tampaknya orang she Tiok ini malah
lebih mudah. Walaupun kekuatan Ciong Tian tidak dapat
dibandingkan dengan Teng Hiau-lan di masa itu, tapi
kekuatan Tiok Siang-hu sekarang paling sedikit toh tidak
di bawah mendiang Beng Sin-thong dan Le Seng-lam.
Melihat Tiok Siang-hu sanggup menangkap Sin-bong,
mau tak mau Ciong Tian terkesiap juga. Serangan Sinbong
itu biasanya sekaligus tiga biji secara susul
menyusul, sekarang pun begitu, segera Sin-bong yang
ketiga lantas disambitkan.
Ciong Tian tidak tahu bahwa Tiok Siang-hu juga jauh
lebih terkejut daripadanya, walaupun dia sudah dapat
menangkap sebuah Sin-bong, tapi tenaga sambitan yang
dahsyat itu benar-benar di luar dugaannya. Begitu Sinbong
itu tertangkap, seketika napasnya terasa sesak dan
darah bergolak, cuma dia punya Lwekang teramat tinggi
sehingga orang lain sukar mengetahuinya.
Sekarang Tiok Siang-hu menghadapi pula Sin-bong
ketiga, ia merasa tidak sanggup menangkapnya lagi,
cepat ia mengerahkan tenaga dan juga menimpukkan
Sin-bong yang tertangkap olehnya itu, maka terbenturlah
kedua biji Sin-bong itu di tengah udara, lalu terpental
dan jatuh semua ke tanah.
"Kalau menerima tanpa membalas adalah kurang
sopan! Ciong-tayhiap, sekarang giliranmu yang harus
menerima senjata rahasiaku!" seru Tiok Siang-hu.
Melihat Tiok Siang-hu mampu menyambut serangan
tiga biji Thian-san-sin-bong dengan tidak cidera

sedikitpun, memangnya semua orang sudah kagum,


sekarang mendengar dia akan 'membayar” kembali juga
dengan senjata rahasia, keruan hal ini sangat
menimbulkan keheranan semua orang. Setiap orang
sangat ingin tahu iblis yang kepandaiannya sukar diukur
ini entah akan menggunakan senjata rahasia jenis apa
yang dapat mengungguli Thian-san-sin-bong?
Tiba-tiba Tiok Siang-hu menjemput sepotong batu
sebesar kepalan tangan, bentaknya, "Awas!" Ketika
tangannya terangkat, batu itu sudah diremas hancur
olehnya sehingga berubah menjadi batu kerikil yang
kecil-kecil terus dihamburkan. Yang dia gunakan adalah
gaya Thian-li-san-hoa (bidadari menebar bunga).
Bagi para penonton, soal meremas hancur batu dan
menaburkannya sebagai senjata rahasia, kepandaian
demikian tidaklah terlalu mengherankan, maka orangorang
yang tadinya menilai tinggi kepandaiannya menjadi
rada kecewa dan merasa kepandaian menggunakan
senjata rahasia Tiok Siang-hu kiranya juga cuma begini
saja.
Tapi segera mereka merasa pandangan mereka itu
keliru, tahu-tahu batu kerikil yang ditaburkan oleh Tiok
Siang-hu itu telah bekerja secara luar biasa. Di tengah
suara mendesing sambaran batu-batu kerikil itu, batubatu
itu ada yang berputar-putar, ada yang bisa
membelok dan ada yang menyambar lurus ke depan.
Dengan sekali timpuk ternyata dapat menggunakan
berbagai cara yang ruwet, baru sekarang semua orang
terkejut.
Ciong Tian juga tidak berani memandang enteng
kepada musuh, sambil menggunakan angin pukulannya

untuk menjatuhkan batu-batu itu, berbareng ia pun


menggeser kian-kemari untuk menghindar.
Namun sesudah batu-batu kecil itu berputar-putar,
mendadak saling bentur dan di luar dugaan siapa pun
juga batu-batu itu seperti punya mata saja terus
menguber ke arah Ciong Tian dari jurusan yang tak
tersangka-sangka.
Kiranya cara menggunakan senjata rahasia Tiok Sianghu
memang benar sudah mencapai tingkatan yang sukar
diukur, bukan saja sekaligus dapat menggunakan
berbagai cara yang berbeda-beda, bahkan setiap batu
kerikil itu membawa tenaga cadangan dengan
perhitungan tempo yang tepat. Sesudah terbentur oleh
tenaga pukulan lawan, lalu batu-batu itu saling tumbuk
sendiri, berganti arah, lalu menyambar pula ke jurusan
sasarannya.
Karena tidak menyangka dan berjaga, walaupun cukup
gesit menghindar, tidak urung tubuh Ciong Tian juga
tertimpuk dua potong batu kecil itu. Meski tidak sampai
melukainya, namun betapapun juga sudah terhitung
kalah.
Sambil berdiri di atas tebing yang curam, terdengar
Tiok Siang-hu telah berseru, "Tiga macam ilmu sakti
Thian-san-pay sudah kucoba dua macam, entah untuk
yang terakhir apakah Ciong-tayhiap sudi memberi
petunjuk tenaga Lwekang yang murni?"
Belum lenyap suaranya, terdengarlah Ciong Tian
bersuit panjang, orangnya telah melompat ke atas dan
hinggap di puncak tebing itu.

Puncak tebing dimana Tiok Siang-hu berdiri itu


menonjol di udara seperti payung dan hanya cukup
untuk berdiri dua orang, maka begitu Ciong Tian berada
di atas tebing dan berdiri muka berhadapan muka
dengan Tiok Siang-hu, jelas kelihatan tempat itu menjadi
sangat sempit sehingga untuk berputar tubuh saja sukar.
Tiok Siang-hu berbalik tercengang malah, tanyanya,
"Apakah Ciong-tayhiap bermaksud menjajal Lwekang di
atas tebing ini?"
"Betul," sahut Ciong Tian. "Kita boleh menggunakan
caramu bertanding dengan Hoat-hoa Siangjin tadi, siapa
yang jatuh ke bawah tebing ini dianggap kalah. Bahkan
kita persingkat saja syarat bertanding, kita tentukan
kalah menang dengan sekali pukul saja dan tidak perlu
buang-buang waktu."
Ucapan Ciong -Tian ini menggemparkan para
penonton, sampai-sampai Tiok Siang-hu juga terkesiap.
Bertanding Lwekang di puncak tebing, sudah tentu jauh
lebih berbahaya daripada bertanding di tempat datar.
Apalagi Ciong Tian telah menyatakan akan menentukan
kalah menang dengan sekali pukul saja, maka sekali
pukul itu pasti menggunakan segenap tenaga masingmasing,
siapa yang tergetar jatuh ke bawah tebing
mungkin jiwanya akan melayang.
Meski Tiok Siang-hu sudah menang dua babak, tapi
Thian-san-pay terkenal paling unggul dalam hal
Lwekang. Waktu bertanding pedang tadi dia sudah
menjajaki Lwekang tokoh Thian-san-pay itu memang
sangat tinggi, apakah sekarang dirinya mampu menang
atau tidak sungguh sukar diduga.
Sebenarnya Tiok Siang-hu bermaksud adu Lwekang
dengan Ciong Tian di tanah datar seperti
pertandingannya dengan Hoat-hoa Siangjin tadi, tapi
Ciong Tian sudah mendahului melompat ke atas tebing
dan mengemukakan cara pertandingan, terpaksa Tiok
Siang-hu tak dapat menolak, pikirnya, "Cara bertanding
demikian hakikatnya bukan lagi cuma menentukan
menang dan kalah, tapi menentukan hidup atau mari."
Kiranya watak Ciong Tian memang sangat keras dan
lurus, kejahatan dipandangnya sebagai musuh besar. Ia
melihat Tiok Siang-hu rela menjadi pembela Nyo Ceng
yang jelas-jelas adalah anjing pemburu pihak kerajaan,
maka Tiok Siang-hu sejak tadi juga sudah dianggapnya
sebagai musuh besar.
Apalagi sejak muncul tadi lagak-lagu Tiok Siang-hu
teramat garang, seakan-akan selain Kang Hay-thian tiada
seorang pun yang terpandang olehnya. Sebab itulah
amarah Ciong Tian menjadi meluap sesudah mengalami
kekalahan senjata rahasia tadi dan bertekad akan
melabrak lawan yang takabur itu, bila perlu biarlah gugur
bersama untuk mengurangi musuh tangguh bagi
pergerakan para ksatria.
Tiok Siang-hu sendiri sebenarnya cuma ingin pamer
kepandaian dan menundukkan para jago silat Tionggoan
saja, bukan maksudnya hendak membunuh orang. Tapi
dasar dia memang sombong, maka dia pun tidak gentar
terhadap cara bertanding yang dikemukakan Ciong Tian
itu, segera dengan muka merah padam ia menjawab,
"Baiklah, jika demikian silakan Ciong-tayhiap mulai saja."
Melihat itu, cepat Kok Tiong-lian mencegah, "Jangan
...?" Akan tetapi sudah terlambat. Tertampak tangan

Ciong Tian sudah terangkat dan menghantam ke depan,


begitu pula sebelah tangan Tiok Siang-hu juga sudah
bergerak.
Tampaknya pukulan kedua pihak segera akan beradu
dan di antara kedua tokoh itu pasti akan satu mati dan
satu luka. Namun pada saat yang genting itulah, tiba-tiba
sesosok bayangan orang telah melayang tiba secepat
kilat.
Kok Tiong-lian segera mengenali siapa pendatang itu,
dengan kejut dan girang ia lantas berteriak, "Hay-ko, le
... lekas engkau melerai mereka!"
Saking cepat datannya orang itu hingga para ksatria
belum melihat jelas, sesudah mendengar seruan Kok
Tiong-lian itu baru mereka tahu siapa pendatang itu.
Beramai-ramai mereka juga lantas berteriak
"He, Kang-tayhiap! Kang-tayhiap sudah datang!"
Memang yang baru tiba itu tak lain tak bukan adalah
Kang Hay-thian yang baru saja pulang dari Hoa-san
dengan tergesa-gesa.
Saat itu suasana di situ menjadi riuh ramai, tapi kedua
jago yang siap bergebrak di atas batu tebing itu seakanakan
tidak melihat dan mendengar apa yang terjadi di
bawah mereka. Maklum, saat itu mereka sedang
menghadapi detik menentukan antara mati dan hidup,
kedua orang sama-sama mencurahkan segenap
perhatian kepada lawan, sedikitpun tidak berani ayal.
Sebab itulah meski serangan mereka sudah mulai
bergerak, tapi tangan mereka masing-masing masih
terangkat di atas, hanya tenaga sudah terkumpul, cuma

belum dilontarkan, jadi mirip panah yang sudah dipasang


pada busurnya dan segera akan dibidikkan.
Datangnya Kang Hay-thian sangat tepat pada
waktunya, secepat kilat ia terus melompat ke atas. Pada
saat itulah kedua telapak tangan tokoh-tokoh itu sudah
mulai bergerak dan hampir beradu. Karena tiada tempat
berpinjak lagi di atas batu tebing yang sempit itu,
terpaksa Kang Hay-thian menggunakan tangan untuk
menahan puncak tebing itu terus melompat lagi ke
udara, waktu menurun menjadi tepat di tengah-tengah
kedua orang tanpa menginjak tanah, selagi tubuh masih
terapung di udara itulah tangannya lantas menolak ke
kanan kiri.
Maka terdengarlah suara "plak-plok" dua kali yang
keras, tenaga pukulan Tiok Siang-hu dan Ciong Tian
sama-sama mengenai tubuh Kang Hay-thian.
Di tengah jerit kaget orang banyak, tertampaklah
ketiga orang di atas puncak tebing itu lantas anjlok ke
bawah bagai layangan putus benang. Muka Kang Haythian
tampak pucat-pasi, begitu menginjak tanah, kontan
ia terus memuntahkan sekumur darah.
Berbareng itu Tiok Siang-hu dan Ciong Tian juga
sudah dapat menginjak tanah dengan selamat. Sungguh
terima kasih Tiok Siang-hu tak terhingga di samping
sangat kagum pula, bahkan timbul juga rasa
penyesalannya atas perbuatan dan sikapnya tadi.
Kiranya Kang Hay-thian telah menerima mentahmentah
tenaga pukulan Tiok Siang-hu dan Ciong Tian
tanpa menggunakan tenaga gempuran balasan. Sebagai
seorang ahli silat, sudah tentu Tiok Siang-hu tahu
bilamana Kang Hay-thian mengerahkan tenaga

gempuran balasan, maka yang terluka pasti bukan Kang


Hay-thian, tapi adalah Tiok Siang-hu sendiri. Bahkan
pasti lebih parah daripada Kang Hay-thian sekarang.
Jadi Kang Hay-thian telah menyelamatkan kedua
tokoh itu dengan mengorbankan dirinya, malahan
sesudah menerima tenaga pukulan kedua tokoh kelas
wahid itu, dia masih dapat melompat turun ke bawah
dengan cuma memuntahkan sekumur darah, maka
betapa hebat kekuatannya dapatlah dibayangkan. Tiok
Siang-hu dan Ciong Tian cukup tahu diri, mereka harus
mengakui kekuatan Kang Hay-thian itu masih lebih tinggi
setingkat daripada mereka.
Dengan rasa kikuk Tiok Siang-hu lantas memberi
hormat dan berkata, "Ilmu silat Kang-tayhiap memang
maha sakti, pula berbudi dan suka menolong, sungguh
tidak bernama kosong. Aku orang she Tiok merasa
sangat kagum dan takluk benar-benar."
Kang Hay-thian ternyata tidak menyambut ucapan
yang rendah hati itu, sebaliknya cepat ia menarik Ciong
Tian dan Tiok Siang-hu sambil berseru, "Lekas lari, lekas!
Kalau ayal mungkin terlambat!"
Keruan Tiok Siang-hu dan Ciong Tian tercengang
bingung, sedangkan Kang Hay-thian sambil menarik lari
kedua tokoh itu seraya berteriak pula kepada sang istri,
"Semua orang lekas menyingkir ke atas gunung, makin
jauh dari sini makin baik!"
Mendengar suara sang suami itu penuh tenaga, Kok
Tiong-lian tahu dia hanya terluka ringan saja dan tidak
menjadi halangan, maka dapatlah ia merasa lega. Tapi
sebab apakah suaminya berseru menganjurkan semua
orang lekas menyingkir dari situ dan tampaknya sangat

mendesak, seakan-akan segera akan tertimpa


malapetaka, sungguh Kok Tiong-lian sendiri juga tidak
mengerti.
Sambil ikut berlari diseret Kang Hay-thian,
pendengaran Tiok Siang-hu yang tajam itu sayup-sayup
mendengar di bawah tanah seperti ada suara mendesisdesis.
Dengan heran ia bertanya kepada Hay-thian,
"Kang-tayhiap, apakah yang kau dengar? Suara apakah
itu?"
"Tiok-locianpwe, marilah kita berlomba Ginkang!"
demikian kata Kang Hay-thian.
Keruan Tiok Siang-hu tambah heran, ditanya tapi
dijawabnya menyimpang dan bahkan mengajak berlomba
Ginkang segala. Namun ia pun bukan orang bodoh, ia
tahu di dalam hal ini tentu ada sesuatu yang tidak beres
dan mungkin Kang Hay-thian tidak sempat menerangkan,
tapi sengaja pakai alasan berlomba Ginkang untuk
mengajaknya lekas meninggalkan tempat itu.
Maka dengan kencang ia terus mengikut di belakang
Kang Hay-thian, ia telah keluarkan segenap kemahiran
Ginkangnya, namun selalu hanya cukup untuk mengintil
saja di belakang Kang Hay-thian, untuk mendahului
selalu gagal. Diam-diam Tiok Siang-hu harus mengakui
keunggulan pendekar besar yang termasyhur itu, coba
kalau dia tidak muntah darah tadi, tentu dirinya sudah
jauh ketinggalan.
Dalam sekejap saja mereka sudah sampai di puncak
gunung dan bergabung dengan tokoh-tokoh pimpinan
seperti Kok Tiong-lian dan lain-lain.

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi Hay-ko? Apakah


ada malapetaka yang akan menimpa secara tak
terduga?" tanya Tiong-lian kepada sang suami.
Belum lenyap suaranya. Kang Hay-thian sudah lantas
menarik istrinya itu untuk bertiarap, maka terdengarlah
suara letusan yang menggelegar, asap hitam lantas
mengepul tebal ke angkasa di lamping gunung, begitu
keras ledakan itu sehingga bumi bergetar. Tempat
ledakan itu tepat berada di puncak dimana Tiok Siang-hu
dan Ciong Tian bertanding tadi. Batu tebing yang
menonjol dan digunakan berdiri kedua tokoh tadi sudah
hancur lebur ikut meledak. Syukurlah semua orang
sempat mengundurkan diri ke atas gunung, walaupun
ada dua-tiga orang yang ketinggalan di belakang, mereka
hanya terluka ringan terkena pecahan batu, tapi tiada
seorang pun yang tewas.
Melihat kejadian itu, betapapun tinggi kepandaian Tiok
Siang-hu juga merasa ngeri. Coba kalau Kang Hay-thian
tidak datang tepat pada waktunya, kemudian
memisahkan dia dan Ciong Tian dari pertarungan sengit
itu, tentu saat ini dia sudah hancur lebur menjadi bubuk.
Baru sekarang dia menyadari bahwa suara mendesis
yang didengarnya tadi kiranya adalah bunyi api sumbu
bahan peledak yang tertanam di bawah tanah.
Tanpa bicara lagi Tiok Siang-hu terus berlutut dan
memberi hormat kepada Kang Hay-thian, katanya,
"Kang-tayhiap, hari ini berturut-turut dua kali kau telah
menyelamatkan jiwaku. Perbuatan siapakah yang
sedemikian keji ini? Tolong katakan, biar aku mengadu
jiwa dengan dia!"

"Apakah kau benar-benar mau mengadu jiwa dengan


orang itu?" tanya Kang Hay-thian.
Dengan mengertak gigi, Tiok Siang-hu pun menjawab,
"Ya, sedemikian keji perbuatannya, sekalipun dia adalah
bapakku sendiri juga takkan kuampuni."
"Baiklah, akan kuberitahukan siapakah dia itu," kata
Hay-thian. "Orang yang mengatur ledakan ini tak lain tak
bukan adalah iparmu sendiri si Nyo Ceng."
"Apa? Kau bilang dia?" Tiok Siang-hu melonjak kaget.
"Ya, mereka ingin menjaring kita dengan sekaligus,
jadi bukan cuma di sini saja mereka memasang bahan
peledak," tutur Hay-thian.
"Hah, masih ada tempat lain lagi?" seru Tiong-lian
kaget dan kuatir.
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar pula suara
ledakan yang gemuruh.
"Celaka! Hian-li-koan yang telah diledakkan!" seru Pek
Ing-kiat.
Waktu semua orang memandang ke arah kuil itu,
benar juga di tempat itu tampak asap hitam tebal
membubung tinggi ke angkasa.
"Masih mendingan, hendaklah kalian jangan cemas,"
ujar Hay-thian. "Orang-orang di sana sudah lebih dulu
meninggalkan Hian-li-koan."
Di tengah suasana yang panik itu, benar juga
tertampak ada serombongan besar orang sedang berlarilari
mendatangi. Orang yang paling depan adalah Loh
Ing-ho yang ditugaskan menjaga Hian-li-koan tadi.

Sesudah dekat dan melihat Kok Tiong-lian dalam


keadaan baik-baik barulah Loh Ing-ho merasa lega,
serunya, "Ciangbunjin tentu terkejut. Aku tidak dapat
memenuhi kewajiban sehingga kuil kita kena diledakkan
oleh musuh, mohon Ciangbunjin memberi hukuman
setimpal."
"Loh-susiok sendiri tentu juga terkejut. Sudahlah,
asalkan tiada orang-orang kita yang terluka dan tewas
sudah untung," kata Tiong-lian. "Syukur Kang-tayhiap
memberi kabar tepat pada waktunya kebaikannya
dengan kasar. Sebab itulah aku tidak mengganggunya."
"Apakah kau tidak memperhatikan apa-apa yang
mencurigakan di atas kudanya?" tanya Tiong-lian pula.
Kang Hay-thian coba mengingat-ingat, lalu menjawab,
"Agaknya tidak ada apa-apa. Hanya ada sebuah karung
besar yang terletak di atas kudanya, tampaknya memang
rada aneh."
"Sayang, sungguh sayang! Kau telah kehilangan
kesempatan menolong muridmu!" kata Tiong-lian
gegetun.
"Apa katamu? Muridku yang mana?" tanya Kang Haythian
dengan tercengang.
"Tahukah kau apa isi karungnya itu? Isinya tak lain tak
bukan adalah anak Kan yang kau bawa pulang dari Congliong-
poh dengan susah payah itu," tutur Tiong-lian.
"Hah, kau maksudkan To-kan telah diculik mereka?"
Kang Hay-thian terperanjat.
Segera Kok Tiong-lian menceritakan pengacauan Nyo
Ceng dan anaknya semalam serta menyergap Lim ToTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kan. Kang Hay-thian sampai melenggong mendengar
peristiwa itu.
Tiok Siang-hu merasa menyesal dan malu, segera ia
berkata, "Semuanya gara-garaku, maka aku tanggung
pasti akan mengembalikan muridmu dengan baik."
Kang Hay-thian merenung sejenak, katanya kemudian,
"Jika demikian, tampaknya komplotan Nyo Ceng yang
bersembunyi di antara kita masih tidak sedikit. Memang
dari berbagai hal-hal yang sudah terjadi aku pun merasa
curiga, apalagi sesudah terjadi diculiknya To-kan."
"Ya, tentang peledakan ini belum lagi Kang-tayhiap
menceritakan cara bagaimana engkau dapat
membongkar rahasianya?" tanya Tiok Siang-hu.
"Aku mendapat tahu dari pengakuan mata-mata
musuh yang kubekuk itu," tutur Hay-thian. "Sebenarnya
aku hendak menyerahkan dia kepada kalian untuk
diperiksa secara terbuka di tengah sidang, tapi matamata
itu tampak sangat ketakutan dan segera mengaku
tentang adanya bahan peledak yang dipendam di sekitar
sini. Cuma tempat mana persisnya dia tidak tahu.
Kemudian ia pun mengaku di Hian-likoan juga telah
ditanam obat peledak dan minta aku jangan
membawanya ke sana. Tentu saja aku sangat kuatir
mendengar berita demikian itu, kuatir kalau terlambat
dan akibatnya akan membikin celaka orang banyak,
terpaksa aku tidak sempat bertanya lebih jelas, di tengah
jalan aku lantas menyerahkan mata-mata itu kepada
Loh-supek, aku sendiri berlari ke sini dan Loh-supek
pulang ke Hian-li-koan. Tak terduga akhirnya mata-mata
itu toh dibinasakan oleh kawan sekomplotannya."

"Keparat Nyo Ceng itu meski dapat mendatangi Binsan,


tapi belum pernah menyelundup ke dalam Hian-likoan,
lagi pula seorang diri tidak mungkin dia dapat
berbuat sebanyak ini," ujar Pek Ing-kiat.
"Benar," Lim Seng, salah seorang tertua Bin-san-pay
ikut bicara. "Pertemuan kita ini dilangsungkan dengan
sangat rapi, penjagaan sangat keras. Paling-paling satudua
orang luar dapat menyelundup ke sini, tapi tidak
mungkin menanam bahan ledak dengan begitu berani
tanpa kepergok, maka aku yakin pasti di antara orang
kita sendiri ada yang menjadi mata-mata musuh, boleh
jadi tidak terbatas dalam jumlah dua-tiga orang."
Menghadapi musuh di dalam selimut, memang suatu
hal yang sukar dihadapi.
"Betul, tentu ada di antara kita ini telah rela diperkuda
oleh musuh," tukas Pek Ing-kiat dengan gemas.
"Pengkhianat demikian bila tertangkap sungguh aku ingin
membeset kulitnya dan mencincang tubuhnya."
Saat itu Yap Leng-hong berdiri di samping Kok Tionglian,
meski yang menanam obat peledak bukan dia,
bahkan komplotannya sama sekali tidak memberitahukan
hal itu kepadanya sehingga urusan ini boleh dikata tiada
sangkut-pautnya dengan dia. Akan tetapi sikap Pek Ingkiat
yang gemas penuh dendam sambil memaki matamata
musuh itu, bagi pendengaran Yap Leng-hong
benar-benar seperti jarum yang menusuk-nusuk
tubuhnya.
Sementara itu pembicaraan Kang Hay-thian sudah
selesai, ia sempat mengamat-amati para hadirin. Sorot
matanya perlahan-lahan tertuju juga ke arah Yap LengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong, cepat Leng-hong memberi hormat sambil
memanggil, "Suhu!"
"Tentang diri Leng-hong, aku sudah mengerjakan
menurut pesan di dalam suratmu," kata Kok Tiong-lian.
"Baik," sahut Hay-thian mengangguk. "Biarlah nanti
aku akan bicara lagi padamu."
Perasaan Leng-hong rada tenang mendengar
demikian, tapi ia masih kebat-kebit juga karena tidak
tahu apakah yang akan dibicarakan sang guru nanti.
Suasana yang kacau karena ledakan dahsyat segera
dapat diatasi pula oleh Kok Tiong-lian, Loh Ing-ho, Pek
Ing-kiat dan lain-lain, ada yang sibuk menolong yang
terluka, ada yang membersihkan tempat pertemuan,
sebagian murid Bin-san telah diperintahkan kembali ke
Hian-li-koan untuk mengadakan penyelesaian seperlunya.
Untuk sementara Kok Tiong-lian menunda pertemuan
itu sampai malam nanti bertempat di Yok-ong-bio,
sebuah kelenteng di lereng Bin-san, tidak jauh dari Hianli-
koan. Sebagai tempat berteduh darurat, Kok Tiong-lian
menugaskan anak murid Bin-san-pay di bawah pimpinan
Loh Ing-ho untuk membangun gubuk-gubuk secukupnya.
Bagian Hian-li-koan yang tidak rusak dipergunakan untuk
tempat tinggal para tamu undangan.
Sekarang Kok Tiong-lian tidak memandang Tiok Sianghu
sebagai musuh lagi, tapi karena belum jelas akan
asal-usulnya, maka ia pun belum dapat menganggapnya
sebagai orang sendiri. Ia merasa bingung juga cara
bagaimana harus mengatur tempat bagi orang-orang
yang ikut datang bersama Tiok Siang-hu itu. Lantaran
itulah sampai sekian lamanya ia tak menyinggung

tentang Tiok Siang-hu dan rombongannya, juga belum


menyampaikan undangan langsung kepadanya untuk ikut
dalam pertemuan malam nanti.
Kuatir Tiok Siang-hu menaruh kecurigaan, berkatalah
Kang Hay-thian, "Kuminta juga Tiok-cianpwe beristirahat
di kuil Yok-ong-bio. Sebenarnya ingin sekali kukunjungi
Locianpwe, sayang belum terlaksana. Bahwa sekarang
Locianpwe telah sudi datang kemari, sungguh suatu
kehormatan yang tak ternilai bagiku. Harap Tioklocianpwe
sudi tinggal di sini barang dua tiga hari, agar
aku mempunyai kesempatan untuk menerima pelajaranpelajaran
Locianpwe."
"Tidak, sekarang pun aku hendak pulang. Banyak
terima kasih atas kebaikan Kang-tayhiap," sahut Tiok
Siang-hu.
Kok Tiong-lian menyeletuk, "Apakah Tiok-locianpwe
mencela pelayanan kita kurang memuaskan? Sekalipun
tempat kami tak cukup besar, tetapi rasanya takkan
mengecewakan Locianpwe. Suruhlah anak buah
Locianpwe pulang dulu, Locianpwe tinggal di sini
beberapa hari menjadi tetamu kami berdua suami istri."
Pintar sekali Kok Tiong-lian menempatkan katanya, ia
meminta Tiok Siang-hu menjadi tetamunya pribadi,
bukan tetamu rapat besar, ini untuk menjaga muka Tiok
Siang-hu dan sekalian supaya jangan menyulitkan rapat.
Dengan beradanya Kang Hay-thian mendampingi orang
she Tiok itu, ia percaya tentulah takkan timbul hal-hal
yang tak diinginkan. Memang dalam hati kecilnya. Kok
Tiong-lian masih belum lepas kekuatirannya terhadap
Tiok Siang-hu.

Tapi Tiok Siang-hu tetap menolak, "Ah, janganlah Koklihiap


berlaku sungkan, lebih baik aku pulang saja.
Pertama, saudara-saudara di sini baru saja mengalami
bencana, aku tak ingin menambah kesulitan lagi. Kedua,
memang benar-benar aku perlu pulang karena ada
urusan penting, tetapi sebelum pulang, aku hendak
bicara sedikit dengan Kang-tayhiap."
Mendengar orang bicara secara terus terang, Kok
Tiong-lian pun tak mau kelewat mendesak, "Baiklah,
kalau demikian kehendak Tiok-locianpwe. Hay-ko,
antarlah Tiok-locianpwe!"
Ketika sudah pergi dan tiba di sebuah tempat yang
sepi, berkatalah Tiok Siang-hu, "Kang-tayhiap, lebih dulu
aku hendak minta maaf padamu. Calon muridmu Li
Kong-he itu berada di tempatku, sebenarnya aku harus
lekas melepaskannya."
"Dengan mendapat rezeki mendampingi Locianpwe,
sungguh tak kecil keberuntungan anak itu. Siangkoan
Thay mengatakan padaku, bahwa Locianpwe sayang
benar dengan anak itu dan menganggapnya sebagai
anggota keluarga sendiri. Sebetulnya akulah yang harus
berterima kasih kepadamu Tiok-locianpwe, hanya karena
telah menerima pesan ayahnya untuk mendidik, tak
berani aku menelantarkannya, kumohon supaya
Locianpwe sudi mengizinkan kuambil kembali anak itu.
Sekiranya Locianpwe tak memandang rendah padaku,
sudilah Locianpwe menerima penghormatan anak itu
sebagai ayah angkat. Dengan begitu, akan terlaksanalah
cita-cita ayahnya dengan sempurna."
Tiok Siang-hu mengiakan, "Baik, begitu memang jalan
yang terbaik. Perjalanan pulangku kali ini, paling lama

seratus hari secepatnya dua bulan tentu akan kubawa


anak itu kemari."
Kang Hay-thian minta agar apabila bertemu dengan
Siangkoan Thay menyampaikan salamnya.
Tiok Siang-hu menghela napas, "Siangkoan Thay telah
kutahan. Terus terang, adanya aku buru-buru pulang
adalah karena hendak melepaskannya serta meminta
maaf kepadanya."
Kiranya sejak malam Siangkoan Thay diserang tibatiba
oleh Nyo Ceng, setelah lukanya sembuh lalu
mengunjungi kediaman Tiok Siang-hu untuk melaporkan
kejadian itu, tetapi Tiok Siang-hu sudah dihasut oleh Nyo
Ceng. Sudah tentu ia tak percaya omongan Siangkoan
Thay, bahkan sebaliknya malah menahannya, Siangkoan
Thay ditahan di rumah Tiok Siang-hu.
Kang Hay-thian cemas dibuatnya, "Tiok-locianpwe,
siapakah yang berada di rumahmu? Kukuatir Nyo Ceng
akan mendahuluimu untuk mencelakai mereka."
Tiok Siang-hu tertawa, "Bangsat Nyo Ceng itu
meskipun busuk, tapi kukira ia belum mempunyai
keberanian sebesar itu untuk mengacau di rumahku!"
Adalah karena selama ini Tiok Siang-hu selalu ditakuti
oleh ipar-iparnya (Nyo Ceng dan Siangkoan Thay), maka
beranilah ia menyatakan hal itu dengan yakin. Kang Haythian
menganggap orang she Tiok itu kelewat
meremehkan Nyo Ceng, tapi karena baru saja
berkenalan, tak enaklah bagi Kang Hay-thian untuk
mengeluarkan kritik.
Habis tertawa, Tiok Siang-hu menghela napas, "Tak
kunyana sama sekali kalau Nyo Ceng berani

mengkhianati aku, sehingga orang baik kuanggap jahat,


orang jahat kuperlakukan baik. Aku tak dapat
membedakan emas dan loyang, aku punya bola mata
tapi tak dapat melihat, Kang Hay-thian harap jangan
kuatir. Muridmu yang ditangkapnya itu tentu akan
kurebut dan kuantarkan padamu. Aku menyesal sekali
telah menerbitkan bencana kali ini. Sukalah di hadapan
para orang gagah kau mintakan maaf untukku."
"Ah, setiap orang tak luput dari kesalahan, asal jalan
yang kita tempuh itu satu tujuan, itulah baru kawan
sejati Tiok-locianpwe, maafkan kelancanganku ini. Aku
hendak mohon Locianpwe memberi petunjuk tentang
sebuah hal," kata Kang Hay-thian.
Setelah Tiok Siang-hu mempersilakan orang
mengatakan, barulah Kang Hay-thian berkata, "Kudengar
desas-desus bahwa Siangkoan Thay dan Cianpwe juga
mempunyai cita-cita hendak melawan kerajaan Cing.
Kunjungan Cianpwe kemari ini hanya karena hendak
mencari aku ataukah hendak bermaksud mengikat
perkenalan dengan sekalian orang gagah untuk bersamasama
merundingkan gerakan melawan pemerintah Cing
itu?"
Karena selama ini Tiok Siang-hu belum menyatakan
pendiriannya yang tegas, maka terpaksa pada saat-saat
perpisahan itu Kang Hay-thian meminta penjelasan.
"Kutahu karena asal-usulku tak terang, maka sekalian
orang gagah tentu menaruh kecurigaan pada diriku.
Adanya kuajak Kang-tayhiap keluar bicara empat mata ini
justru hendak mengeluarkan isi hatiku kepadamu," ujar
Tiok Siang-hu.

"Atas kepercayaan Tiok-cianpwe, aku menghaturkan


terima kasih, tetapi sekiranya hal itu menyukarkan
Cianpwe, baiklah kutarik saja permintaanku tadi," kata
Kang Hay-thian.
Tiok Siang-hu tertawa lepas, "Lebar dan luas kalangan
dunia persilatan itu, namun setelah hidup berpuluh tahun
baru hari ini aku berjumpa dengan seorang ksatria besar
yang membuat aku benar-benar kagum. Ah, apanya
yang tak boleh kukatakan padamu. Kang-tayhiap, jika
kau anggap aku orang she Tiok ini berharga menjadi
sahabatmu, karena aku lebih tua beberapa tahun dari
kau, bagaimana kalau kau panggil aku dengan sebutan
'Toako' saja? Kata-kata-kata 'Cianpwe' sungguh berat
kuterima."
"Baik, silakan Toako mengatakan," Kang Hay-thian
pun menyambut kelapangan hati orang dengan
serempak.
Tiok Siang-hu tertawa, "Kalau begitu, akan kukatakan
dengan sejujurnya. Jalan yang kutempuh adalah serupa
dengan jalan kalian, tapi boleh dikatakan juga berbeda."
Jawaban itu lepas dari persangkaan Kang Hay-thian
hingga ia tertegun sejenak. "Bagaimana maksud Toako?"
tanyanya heran.
"Sebenarnya aku ini putra raja Guki, sebuah negara
kecil di daerah Secong (Tibet). Negeriku telah
dimusnahkan oleh tentara Cing pada 100-an tahun yang
lampau. Kakek Siangkoan Thay dahulu menjabat menteri
besar dari negeriku, setelah negeri diduduki musuh, kami
berdua keluarga sama-sama melarikan diri, tetapi Nyo
Ceng seorang suku Han, jadi jelas bahwa kerajaan Cing
itu adalah musuh bebuyutanku. Sudah tentu aku hendak

melawannya, tetapi tujuanku ialah hendak membangun


negeri lagi. Dengan gerakan kalian bangsa Han, jalannya
sama tapi tujuan berbeda, itulah maka kukatakan sejalan
tapi tak setujuan tadi," kata Tiok Siang-hu.
Memang Kang Hay-thian menaruh kesangsian kalaukalau
Tiok Siang-hu bukan bangsa Han, karena jarang
sekali orang Han yang she Tiok. She itu berasal dari
bangsa Oh, hanya karena sejarah pertumbuhan negeri
Tiongkok, maka telah mengalami proses peleburan
(integrasi) dari suku-suku yang berpindah-pindah, maka
banyaklah suku Oh yang pindah ke dalam negeri Han
dengan tetap menggunakan she mereka. Salah satu di
antaranya ialah she Tiok itu, tetapi tak sampai pada
pikiran Kang Hay-thian bahwa Tiok Siang-hu ternyata
seorang putra raja.
"Walaupun tujuan berbeda, tetapi kita sudah sehaluan
untuk mengenyahkan penjajah Cing. Kita boleh
menjalankan rencana masing-masing, hanya kuharap
supaya suka saling bantu membantu," kata Kang Haythian.
Tiok Siang-hu mengiakan, "Sudah barang tentu, jika
kelak laskar kalian bergerak, bila perlu bantuanku, asal
Kang-hiante mengirim surat tentu aku segera datang
membantu." Ia lalu memberitahukan tentang tempattempat
dimana Kang Hay-thian dapat menghubunginya.
Tiba-tiba Kang Hay-thian teringat sesuatu, katanya,
"Di kaki gunung Altai terdapat sebuah negeri kecil
bernama Mazar. Dengan negeri Tiok-toako hanya
terpisah oleh padang rumput seluas 1000-an li. Karena
letak Mazar itu di perbatasan yang teraling gunung,

maka beruntung tak diduduki tentara Cing. Entah apakah


Tiok-toako kenal negeri itu?"
Tiok Siang-hu tertawa, "Justru itupun hendak
kukatakan padamu. Bukan melainkan pernah tinggal di
negeri itu saja, di situlah untuk pertama kali kudengar
nama adik yang termasyhur."
"Oh, jadi Tiok-heng pernah berjumpa dengan raja
Mazar?" Kang Hay-thian berseru girang. Dengan Danu
Cu-mu sudah 10-an tahun Kang Hay-thian tak berjumpa,
hendak ia tanyakan kepada Tiok Siang-hu tentang berita
Danu Cu-mu itu.
"Nama saudaramu itu termasyhur di seluruh Secong,
dia telah memerintah Mazar dengan baik sekali.
Sekalipun kecil negerinya, tapi merupakan sebuah daerah
yang indah. Adalah karena mendengar Danu Cu-mu itu
bukan saja seorang raja bijaksana, tapi juga memiliki
ilmu kepandaian yang sakti, maka pergilah aku
mengunjunginya."
"Oh, jadi Tiok-heng membicarakan diriku dengan dia?"
tanya Kang Hay-thian.
"Benar. Waktu menerima kunjunganku, dia ramah
sekali, tidak bersikap seperti seorang raja melainkan
seperti seorang persilatan. Kita membicarakan ilmu silat
dengan gembira sekali, waktu kuminta, ia pun menerima
ajakanku untuk melakukan sebuah pertandingan. Kita
bertanding ilmu Lwekang dan ilmu pedang, dengan
kesudahan berimbang saja. Baru pertama kali itu aku
bertemu dengan seorang lawan yang dapat
mengimbangi kepandaianku. Rasa kagumku
kepadanya makin bertambah besar, sehingga waktu
minum arak aku telah memuji dia sebagai seorang gagah

yang tiada tandingan di kolong dunia. Kukatakan,


dengan kepandaian kita berdua, tiada tokoh
persilatan di Tionggoan yang mampu menandingi. Tetapi
Danu Cu-mu membantah, 'Tidak, tidak! Di dalam dunia
yang seluas ini, banyak sekali orang-orang sakti yang
luar biasa. Siapa-siapa mereka aku tak tahu, tetapi adik
iparku yang juga seorang Han, jauh lebih sakti dari aku!'.
Karena mendengar pujiannya kepadamu itulah maka aku
ingin sekali bertemu dan bertanding dengan kau, Kangheng."
Berita tentang diri Danu Cu-mu itu amat
menggirangkan Kang I lay-thian. Setelah mengucapkan
beberapa patah kata merendah diri, kembali ia bertanya,
"Apa lagi yang dikatakan kakak iparku itu?"
Tiba-tiba Tiok Siang-hu teringat sesuatu, ujarnya,
"Murid ahli warismu tadi, kudengar dia bernama Yap
Leng-hong, bukan?"
"Benar, belum lama dia menjadi muridku,
kepandaiannya masih dangkal sekali, maka jika di kelak
kemudian hari berkelana, mohon sukalah Tiok-heng
bantu mengamati-amatinya."
"Sudah tentu, tetapi murid ahli warismu itu ...”tiba-tiba
Tiok Siang-hu berhenti.
"Mengapa? Apakah ada yang tak beres padanya,"
Kang Hay-thian bertanya.
"Bukan, hanya apabila kuteringat hal itu, agak geli
juga dan aneh," sahut Tiok Siang-hu.
"Leng-hong telah berbuat apa saja?" kembali Kang
Hay-thian mengajukan pertanyaan.

"Tadi dialah yang pertama-tama menantang aku," kata


Tiok Siang-hu.
"Memang anak itu tak kenal tingginya langit, tetapi
mungkin tadi ia hendak membela perguruannya,
sehingga di luar kesadaran ia berani berbuat begitu.
Dalam hal itu sukalah Tiok-heng memaafkan."
"Sudah barang tentu aku takkan mempersalahkannya.
Dan bukannya karena hal itu maka aku merasa geli."
Kang Hay-thian tercengang, "Habis apa sebabnya?'
"Jika tadi kau tak menyebut namanya, mungkin aku
lupa. Wajahnya yang sekarang ini jauh berlainan dengan
ketika ia masih kecil, mungkin karena aku seorang tua,
maka perubahan wajahku tak seberapa banyak, tetapi ia
sampai tak mengenali aku dan menantang berkelahi,
benar-benar aku merasa heran dan geli."
"Oh, jadi Tiok-heng dahulu sudah pernah melihat
waktu ia kecil?"
"Benar, dia adalah keponakanmu, bukan?" sahut Tiok
Siang-hu.
Rasa heran Kang Hay-thian makin bertambah,
walaupun Siang-hu pernah bertemu dengan Danu Cumu,
tapi Danu Cu-mu belum pernah melihat Yap Lenghong,
bahkan tahu pun tidak kalau dia mempunyai
keponakan yang bernama Yap Leng-hong itu. Karena
setelah kakak Danu Cu-mu, yakni Yap Tiong-siau
menyerahkan takhta kerajaan dan pergi meninggalkan
negerinya, barulah melahirkan Leng-hong. Dan sejak itu
Yap Tiong-siau ayah dan putra tak pernah kembali ke
negerinya lagi. Mengapa Tiok Siang-hu mengetahui
hubungannya dengan Yap Leng-hong? Terang hal itu

bukan Danu Cu-mu yang menceritakan kepada orang she


Tiok itu.
"Tiok-heng, bagaimana kau dapat mengetahui hal
itu?" tanyanya.
"Beginilah," kata Tiok Siang-hu, "sewaktu berkunjung
pada Danu Cu-mu, aku meminta sebuah hal kepadanya
dan sebagai timbal-balik ia pun meminta sebuah hal
padaku. Hal yang kuminta padanya, dia tak meluluskan,
tetapi permintaannya tanpa kusengaja telah kulakukan.
Sayang aku tak mempunyai kesempatan untuk
memberitahukan kepadanya di Mazar."
"Bukankah dia minta supaya kau mencari berita
tentang kakaknya?" tanya Kang Hay-thian. Ia cukup tahu
isi hati Danu Cu-mu, raja Mazar itu berniat hendak
mencari kakaknya untuk diserahi takhta kerajaan lagi.
"Benar," Tiok Siang-hu mengiakan, "sedang
permintaanku kepadanya ialah supaya dia suka
membantu usahaku untuk membangun negeriku lagi, dia
rupanya enggan untuk bentrok dengan tentara Cing yang
menjaga perbatasan. Mengingat negerinya kecil dan tak
mempunyai kekuatan, maka terpaksa ia menolak
permintaanku. Aku pun tak mau memaksanya.
Permintaannya supaya mencari diri kakaknya,
sebenarnya aku tak bersungguh-sungguh mencari, tetapi
di luar dugaan, aku telah menjumpainya."
Dengan kejut-kejut girang Kang Hay-thian minta
supaya orang she Tiok itu menceritakan kejadian itu.
"Sebenarnya hal itu boleh dikata hanya kebetulan saja.
Kalian telah membuang waktu selama 20-an tahun untuk
mencarinya, sebaliknya tanpa sengaja dan tanpa

bersusah payah aku dapat menjumpainya. Itu waktu aku


dalam perjalanan pulang dari Mazar dan tengah melalui
kaki gunung Kun-lun sebelah barat. Di situlah aku
bertemu dengan mereka suami istri dan putranya. Ketika
melihat wajahnya yang walaupun kotor dengan debu
jalanan, tapi mirip Danu Cu-mu, maka segera kuhadang
mereka dan menantangnya berkelahi."
"Eh, mengapa tak mengatakan terus terang saja tetapi
mengajaknya berkelahi?" Kang Hay-thian tertawa.
"Danu Cu-mu mengatakan bahwa ia dan kakaknya itu
seperti pinang dibelah dua. Oleh karena Danu Cu-mu
mengatakan bahwa kakaknya itu selalu menghindari
adiknya dan tak mau mengaku siapa dirinya, maka
kugunakan cara untuk berkelahi," kata Tiok Siang-hu.
"Ai, benar, benar. Ilmu silat Yap Tiok-siau dari aliran
Toa-seng-pan-yak-ciang. Tentulah Danu Cu-mu
menerangkan ciri-ciri itu kepadamu," ujar Kang Haythian.
"Benar," sahut Tiok Siang-hu, "dalam pertempuran itu
sengaja kugunakan jurus yang paling ganas agar dia
mau mengeluarkan ilmu kepandaian dari keluarganya.
Pukulan Toa-seng-pan-yak-ciang itu khusus untuk
melukai urat-urat orang dan memang luar biasa
hebatnya, sayang ia belum mencapai kesempurnaan
sehingga tak dapat melukai aku. Setelah kusambut 8
jurus 8 pukulannya barulah aku tertawa gelak-gelak dan
membuka kedoknya. Karena kukatakan namanya dengan
blak-blakan, akhirnya terpaksa ia mau mengaku siapa
dirinya itu."
"Kita saling mengagumi kepandaian masing-masing
sehingga pembicaraan selanjurnya yang kita lakukan saat

itu sangat menggembirakan, tetapi ketika kusampaikan


maksud adiknya untuk memintanya pulang dan
menduduki takhta kerajaan, dia menghela napas. Entah
apa sebabnya, selama tiga hari kutemani mereka pesiar
di daerah gunung Kun-lun dan memetik beberapa macam
daun obat, waktu berpisah, barulah ia mengatakan
padaku bahwa ia akan mengembara keluar negeri.
Mungkin sejak saat itu takkan bertemu padaku lagi,
dengan sendirinya ia takkan pulang ke negerinya pula."
Ketika Leng-hong datang memperkenalkan diri ke
rumah Kang Hay-thian, ia membawa sepucuk surat yang
ditulis sendiri oleh ibunya, Auyang Wan. Surat itu
bernadakan kata-kata Yap Tiong-siau dan ditanda
tangani juga olehnya. Yang penting ialah memberitahu
kepada Kang Hay-thian bahwa ia (Yap Tiong-siau) keluar
negeri, tetapi Leng-hong mengatakan bahwa surat itu
ditulis pada 5 tahun yang lalu, ini tak sesuai dengan
keterangan Tiok Siang-hu.
"Tentulah Yap Tiong-siau tahu bahwa adiknya masih
berusaha mencarinya, maka ia lantas menyingkir keluar
negeri," pikir Kang Hay-thian. Kemudian ia bertanya,
"Apakah Toako ingat betul bahwa waktu berjumpa
dengan Yap Tiong-siau itu pada 10 tahun yang lalu?"
Tiok Siang-hu menghitung-hitung jarinya, tertawa,
"Kira-kira begitu, tapi sebenarnya yang tepat ialah 11
tahun."
Pikir Kang Hay-thian dengan agak ragu, "Apakah
setelah berjumpa dengan Tiok Siang-hu itu ia tunda
keberangkatannya keluar negeri sampai 5 tahun lagi?"

Dan Leng-hong setahun yang lalu baru datang ke


rumah Kang-Hay-thian, demikian Kang Hay-thian
menimang-nimang.
Tiba-tiba Tiok Siang-hu berkata pula, "Bukankah murid
pewarismu itu tahun ini berumur 23 tahun? Kuingat
waktu berjumpa dengan mereka adalah pada bulan 8,
karena suka dengan putranya, kutanyakan juga tentang
umur anak itu. Kata Yap Tiong-siau, putranya berumur
12 tahun, rasanya daya ingatanku masih cukup kuat."
Kembali Kang Hay-thian menimang, pikirnya, "Entah
bilamana surat itu ditulis? Tetapi kutahu Yap Tiong-siau
itu seorang yang cekat bekerja, apa yang dikatakan tentu
segera dilakukan. Tak mungkin setelah berkata kepada
Tiok Siang-hu, ia menunda keberangkatannya sampai 5
tahun, tetapi mengapa Leng-hong mengatakan waktunya
sang ayah menulis surat itu lebih lambat 5 tahun?"
Juga Tiok Siang-hu tak luput dari keheranan, pikirnya,
"Mengapa Kang Hay-thian begitu berbelit menanyakan
tentang waktunya aku bertemu dengan Yap Tiong-siau,
mengapa ia meminta keterangan yang tepat?"
"Apakah selama 3 hari pesiar di gunung Kun-lun barat
itu Toako akrab sekali dengan anak itu?" kembali Kang
Hay-thian mengajukan pertanyaan.
Tiok Siang-hu tertawa, "Meskipun kala itu muridmu
baru berumur 12 tahun, tetapi ia pintar sekali. Bukan
saja menemani aku bermain, bahkan ia minta pelajaran
padaku."
"Apa saja yang Tiok-heng ajarkan padanya?"
"Waktu tiga hari tak banyak. Aku hanya memberinya
pelajaran ilmu Siau-kim-na-jiu, tetapi pelajaran itu cukup

rumit, terdiri dari 27 jurus dan 81 perubahan. Sungguh


cerdik betul anak itu, dalam waktu tiga hari saja ia sudah
paham," sahut Tiok Siag-hu.
Setelah berhenti sejenak, Tiok Siang-hu melanjutkan
berkata, "Melihat kecerdikannya, kala itu aku bergurau
kepadanya, 'Begini cepat kau belajar silat, kelak kalau
besar tentu akan hebat sekali. Sepuluh tahun kemudian
mungkin kau dapat menantang aku.'. Eh, tak kukira 11
tahun kemudian, muridmu itu benar-benar menantang
aku berkelahi. Sayang aku tadi tak mengenalnya,
begitupun dia. Bukankah lucu, hahaha!"
Tetapi Kang Hay-thian tak tertawa. Mulailah ia
merasakan sesuatu yang tak beres, kecurigaannya mulai
menebal, tetapi ia belum berani memastikan kalau
keponakannya itu palsu. Sebaliknya karena mengira Kang
Hay-thian menyesali sikap muridnya, buru-buru Tiok
Siang-hu berseru, "Ah, mungkin memang benar-benar ia
lupa padaku atau mungkin karena sikapku itu hendak
menantang kau berkelahi, maka demi membela
perguruannya, ia memperlakukan aku sebagai seorang
musuh, tak mau mengingat peristiwa lama lagi, tetapi,
ah, hal itu hanyalah urusan kecil. Janganlah kau
memarahinya nanti."
"Aku takkan memarahinya, melainkan hendak
bertanya saja," kata Kang Hay-thian.
Akhirnya Tiok Siang-hu minta diri, setelah saling
berjabatan tangan, Tiok Siang-hu mengajak anak
buahnya turun gunung. Sedang Kang Hay-thian masih
termenung-menung memikirkan peristiwa Leng-hong,
pikirnya, "Mengapa Hong-tit tak mengatakan hal itu
kepadaku?"

Jika menyangkut orang biasa, itu sih tak mengapa,


tapi Tiok Siang-hu bukan tokoh sembarangan.
Perjumpaannya dengan suami istri Yap Tiong-siau
bukanlah suatu hal yang biasa, mengapa Leng-hong tak
pernah mengatakan hal itu? Hal inilah yang
membingungkan pikiran Kang Hay-thian.
Selama ini Kang Hay-thian hanya mempunyai
kesempatan setengah tahun berdampingan dengan
Leng-hong. Siang hari menempuh perjalanan, jika
senggang atau pada malam hari barulah Kang Hay-thian
memberi pelajaran pada murid-muridnya. Diam-diam
timbul pertanyaan pada hari jago itu, mungkin karena
giat belajar sehingga Leng-hong lupa mengatakan
peristiwa itu, tetapi ia bantah sendiri anggapan itu.
Karena Tiok Siang-hu seorang tokoh sakti, jika Lenghong
pernah menerima pelajaran ilmu Siau-kim-na-jiu
darinya, tentulah ia harus mengatakan hal itu kepada
gurunya, agar sang guru dapat mengerti keadaannya.
Makin memikirkan makin tebal kecurigaan Kang Haythian.
"Ya, peristiwa Hoa-san itu juga sebuah teka-teki.
Apakah asal-usul Leng-hong itu benar-benar
mencurigakan?" pikirnya.
Tengah ia terbenam dalam renungannya, tiba-tiba
terdengar derap kaki orang mendatangi. Ketika
mengangkat kepala, tahu-tahu istrinya, Kok Tiong-lian,
sudah berada di samping. Tertawalah nyonya itu,
"Apakah Tiok-locianpwe sudah pergi? Rupanya kau
tengah memikirkan sesuatu?"
Karena menunggu sang suami sampai sekian lama tak
kembali, Kok Tiong-lian segera mencarinya.

"Ah, tak apa-apa. Apakah para tetamu sudah menuju


ke biara Yok-ong-bio?" Kang Hay-thian balas bertanya.
"Sudah diatur beres semua. Kali ini untung kau datang
tepat pada waktunya sehingga dapat menolong
pertumpahan darah. Meskipun biara Hoan-li-koan hancur
beberapa ruangannya, tapi dengan gotong-royong, kini
sedang diperbaiki. Apakah sekarang kau sudah
senggang? Apakah kau tak ingin bercakap-cakap dengan
Leng-hong?" tanya Kok Tiong-lian.
"Nanti saja, mari kita omong-omong tentang urusan
rumah tangga dulu. Ah, tempo berjalan cepat sekali,
sudah setahun lamanya kita tak berjumpa. Apakah kau
mempunyai tempo untuk bercakap-cakap dengan aku?"
kata Kang Hay-thian.
Berjumpa dengan sang suami sudah tentu Kok Tionglian
girang sekali, tetapi sedih juga, tanyanya, "Aku telah
menjanjikan untuk rapat dengan sekalian ketua-ketua
partai persilatan. Sekarang masih ada waktu luang untuk
makan malam bersama, bagaimana dengan keadaan
Hoa-san. Mengapa ayah angkatmu memanggilmu ke
Hoa-san?"
Wajah Kang Hay-thian menampilkan kerut tebal,
seolah-olah menyimpan rahasia apa-apa, namun
terpaksa belum ditanyakan, katanya, "Lebih dulu aku
ingin mendengar tentang keadaan rumah tangga kita.
Hong-tit ada, Hu-ji pun ada, tetapi mengapa Hiong-ji tak
kelihatan? Apakah ia belum sembuh? Atau kau suruh ia
tinggal, di rumah menemani ayah?"
Kang Hay Thian memperlakukan sama terhadap
murid-muridnya, tak ada yang lebih disayangi. Dalam

kesibukan, tetap ia tidak lupa menanyakan tentang diri


Ubun Hiong.
Kok Tiong-lian menghela napas, "Setahun sejak
kepergianmu, di dalam rumah telah terjadi peristiwa
yang tak menguntungkan ..."
"Peristiwa apa? Apakah Hiong-ji, dia ... dia...”
"Bukan, dia sudah lama sembuh dari penyakitnya,
tetapi sekarang kusuruhnya pergi!" cepat Kok Tiong-lian
menyahut.
"Dia melanggar kesalahan apa hingga kau usir?" kejut
Kang Hay-Ihian tak kepalang.
Kok Tiong-lian segera menuturkan peristiwa Ubun
Hiong mencelakai Ki Seng-in.
Kang Hay-thian makin kaget, serunya, "Apa? Utti Keng
telah ditangkap kawanan anjing itu dan dibawa ke
kotaraja? Dan Ki Seng-in meninggal secara begitu
mengenaskan? Aku harus menyelidiki hal itu sampai
jelas!"
"Kabarnya Utti Keng telah dimasukkan ke penjara.
Pembesar yang memeriksa perkaranya, atas perintah
menteri Taylwe-congkoan, memaksa Utti Keng
memberitahukan tentang hasil penggarongannya selama
beberapa tahun ini, karena di antaranya terdapat barang
berharga dari istana, menilik besarnya perkara itu, dalam
waktu singkat tentu belum putus. Memang Ki Seng-in
menderita luka parah, tapi belum ada bukti jelas kalau ia
sudah meninggal. Pada waktu itu, istri Gak Tinglah yang
membawa Ki Seng-in pergi, kemudian Gak Ting datang
kepadaku menceritakan peristiwa itu. Menurut
keterangannya, keadaan Ki Seng-in sedemikian payahnya

hingga kemungkinan besar tiada harapan hidup lagi,


tetapi belum meninggal, maka apakah ia benar mati atau
masih hidup, kita harus meminta keterangan pada suami
istri Gak Ting."
Kang Hay-thian merenung sejenak, ujarnya, "Menurut
keteranganmu bahwa Ki Seng-in telah dicelakai orang,
kukira tentu benar. Tapi aku tak percaya kalau anak
Hiong yang berbuat!"
"Aku pun juga tak berani memastikan, hanya ketika
terluka parah itu, Ki Seng-in mengatakan kepada Gak
Ting kalau Hiong-ji yang mencelakainya. Banyak
prasangka yang menimpa diri anak itu. Misalnya, ia
memang mempunyai dendam permusuhan dengan Utti
Keng dan kuda itu juga dia yang memberinya makan
pada malam hari, bukti-bukti itu tak menguntungkan
dirinya. Untuk menjaga setiap kemungkinan, untuk
menjaga jangan sampai orang luar menuduh aku
melindungi murid, untuk menjaga jangan orang luar
menganggap aku membela orang bersalah, maka
terpaksa kusuruh ia pergi dari sini," Kok Tiong-lian
menerangkan.
"Ya, kutahu kau tentu tak dapat berbuat lain daripada
begitu, aku tak menyesalimu, tetapi adakah terlintas
pada pikiranmu, siapa lagi kiranya orang yang kau curigai
melakukan perbuatan itu?"
Pertanyaan sang suami itu membuat mata Kok
Tiong-lian terbelalak, jawabnya kemudian, "Siapa lagi?
Dalam rumah kecuali aku dan Hu-ji, hanya Ubun Hiong
dan Leng-hong saja. Hu-ji tak pernah berpisah dari
sampingku, tak nanti ia mencelakai Ki Seng-in. Apakah
kau menaruh kecurigaan pada Hong-tit?"

"Mengapa tidak?" sahut Kang Hay-thian.


"Ia baik sekali kepada Ki Seng-in, obat yang kuberikan
kepada Ki Seng-in juga dialah yang membelikan
untuknya. Sedikitpun ia tak mempunyai dendam kepada
Ki Seng-in, perlu apa ia mencelakainya? Dan kuda yang
terkena racun itu juga Ubun Hiong yang memberi makan,
Ubun Hiong sendiri sudah mengakui, sedikitpun tak ada
sangkut-pautnya dengan Hong-tit. Mengapa kau
menjatuhkan dugaanmu kepada Hong-tit?"
Untuk sementara itu tak mau Kang Hay-thian memberi
penjelasan, ia hanya menjawab, "Baiklah, karena masih
ada jejak yang tak dapat kututurkan, biarlah setelah
dapat kubikin terang urusan ini baru nanti kuberitahukan
padamu. Utti Keng seorang tokoh yang berharga untuk
dijadikan sahabat, aku harus menolongnya. Setelah rapat
besar para orang gagah ini selesai, aku akan segera
menuju ke kotaraja untuk menolong kedua orang itu,
tetapi kita berdua suami istri ini hanya berkumpul
sejenak lalu harus berpisah pula
"Tetapi itu suatu pekerjaan mulia yang harus kau
kerjakan, aku sebagai seorang istri takkan menyesali.
Hay-ko, urusan dalam rumah tangga telah kuberitahukan
kepadamu, sekarang giliranmu yang bercerita, mengapa
ayah angkatmu memanggil?"
Dengan nada berat Kang Hay-thian menyahut, "Ayah
hendak mengambil selamat berpisah selama-selamanya
dengan aku."
Kok Tiong-lian terkejut sekali, "Apa? Ayahmu, beliau ...
beliau telah..”

"Telah meninggalkan dunia fana ini, dia memanggil


aku untuk diberi pesan-pesan. Tahun ini dia sudah
berusia 80 tahun, suatu karunia hidup yang sudah cukup,
aku tak menyesal dia dipanggil oleh Yang Kuasa, hanya
yang kuragukan tentang kematiannya itu."
"Kalau toh sudah sampai waktunya, apa lagi yang kau
curigai?" seru Kok Tiong-lian.
"Bukan kematiannya yang kuragukan, melainkan katakatanya
terakhir di kala ia hendak menutup mata itu
yang menjadi pemikiranku. Cobalah kau dengarkan
keteranganku sejelas-jelasnya," kata Kang Hay-thian
yang kemudian mulai bercerita.
Kiranya ayah angkat Kang Hay-thian, Hoa Thian-hong
itu seorang ahli ilmu pengobatan yang luar biasa.
Beberapa bulan di muka sebelum menutup mata, ia telah
melakukan pemeriksaan pada dirinya sendiri. Hasilnya ia
tahu bahwa ia takkan lama lagi hidup di dunia. Lahir, tua,
sakit dan mati adalah tingkat keadaan yang harus dijalani
oleh setiap manusia. Setiap manusia yang sudah hilang
daya hidupnya, tentu akan meninggal, sekalipun diberi
obat yang bagaimana mujizatnya. Hoa Thian-hong
seorang yang tenang, walaupun sudah diketahui
datangnya sang ajal, dia tetap tenang dan
mempersiapkan pesan-pesannya yang terakhir.
Hoa Thian-hong hanya mempunyai seorang keluarga,
seorang anak perempuan, yaitu Hoa In-pik yang menjadi
permaisuri raja Mazar. Hoa Thian-hong seorang sakti
yang aneh, tak senang ia dengan segala kemewahan
hidup, maka tak mau ia tinggal dengan putri dan
menantunya, ia lebih suka hidup mengasingkan diri di
gunung Hoa-san, jarak Hoa-san dengan negeri Mazar

amat jauh sekali. Burung rajawali yang dipeliharanya,


dua tahun yang lalu telah mati, jadi tak dapat ia
menyampaikan berita kepada putrinya. Dan andaikata
ada orang yang bisa disuruhnya membawa surat,
putrinya itu tentu juga terlambat untuk mendampingi
detik-detik terakhir sang ayah._
Selain anak perempuannya itu, orang yang paling
dekat di hati adalah Kang Hay-thian, putra angkatnya itu,
maka ia segera minta tolong pada orang Kay-pang
supaya menyampaikan surat kepada Kang Hay-thian,
memintanya supaya lekas datang. Murid-murid Kay-pang
tersebar luas dimana-mana dan mempunyai juga dara
pos, maka mudahlah untuk melakukan permintaan Hoa
Thian-hong itu.
"Begitu menerima surat itu dari orang Kay-pang,
bergegas aku menuju ke Hoa-san. Sayang terlambat
sedikit, setiba di Hoa-san, keadaan ayah sudah
sedemikian payahnya hingga tak dapat banyak bercakap
dengan aku, tetapi rupanya beliau sudah mempersiapkan
segalanya lebih dahulu. Begitu aku datang, segera ia
menyerahkan buku-buku resep obat yang disimpan
dalam peti kecil kepadaku, menyuruh apabila aku ada
tempo supaya mengantar peti itu kepada putrinya. Idamidamannya
semasa masih hidup ialah supaya kelak ada
ahli waris yang dapat meneruskan kepandaian ilmu
pengobatan itu, maka beliau berpesan wanti-wanti
kepada adik Pik, supaya sekalipun sudah jadi permaisuri
raja tapi janganlah terbenam dalam kesenangan saja,
melainkan harus melanjutkan warisan kepandaian
ayahnya," kata Kang Hay-thian.

"Waktu mau menutup mata, ayah teringat akan


putrinya itulah sudah jamak, apa yang mencurigakan
lagi?" celetuk Kok Tiong-lian.
"Selain kepada putrinya, paling akhir ia teringat juga
akan seseorang. Inilah yang tak kuduga-duga," kata
Kang Hay-thian.
"Siapa?"
"Leng-hong, keponakanmu itu!"
Kejut juga Kok Tiong-lian mendengar hal itu, serunya,
"Mengapa ayah angkatmu tiba-tiba teringat pada anak
itu?"
"Itulah yang kuherankan," jawab Kang Hay-thian.
Kok Tiong-lian minta keterangan bagaimana ucapan
ayah angkat suaminya.
Kang Hay-thian termenung sejenak, ujarnya, "Dalam
keadaan yang sadar tak sadar itu, rupanya ayah masih
mempunyai sesuatu urusan yang mengganjal hati. Tibatiba
ia membuka mulut dan mata, 'Kasih tahu pada
menantuku bahwa ia mempunyai seorang keponakan
yang bernama Yap Leng-hong. Anak itu baik dan
kepandaiannya tak tercela, dan yang penting ia
mempunyai cita-cita tinggi. Kini ia terlibat dalam
permusuhan dengan antek-antek kerajaan. Hay-ji,
kuharap kau dapat menemukan anak itu,Karena kulihat
ayah sudah sangat payah sekali, buru-buru
kuberitahukan kepadanya bahwa anak itu telah
kutemukan bahkan sudah menjadi muridku. Seketika
wajah ayah berseri girang, hanya beberapa patah kata
yang diucapkan, yaitu 'Bagus, legalah hatiku, setelah itu
beliau pun menghembuskan napas yang penghabisan."
Kata Kok Tiong-lian, "Ya, memang aneh juga.
Ucapannya tentang diri Leng-hong itu memang benar,
tapi mengapa ia dapat mengetahui hal itu?"
"Itulah! Hari pertama Leng-hong datang kemari,
bukankah kau pernah menanyainya! Jelas ia menjawab
bahwa ia belum pernah pergi ke Hoa-san berjumpa
dengan ayah angkatku!" seru Kang Hay-thian.
"Sebelum Hong-tit datang kemari, memang ia sudah
mendapat sedikit nama di luaran. Bahwa ayah angkatmu
tak menerangkan kalau ia pernah bertemu dengan anak
itu, mungkin ia hanya mendengar dari orang saja tentang
asal-usul anak itu."
Kang Hay-thian menggeleng, "Tidak, jika ayah tidak
bertemu sendiri, tak nanti ia mengetahui hal itu dengan
jelas. Kutahu beliau tak sembarangan memuji orang,
bahkan bagaimana perangai dan cita-cita Leng-hong, ia
dapat mengetahui sejelasnya, maka kuyakin beliau tentu
sudah beberapa hari berkumpul dengan anak itu."
Kok Tiong-lian terdiam beberapa jenak baru berkata
pula, "Dalam hal ini memang mencurigakan, tetapi surat
yang dibawanya itu tentulah bukan palsu. Jika memang
ada lain Yap Leng-hong lagi, mengapa hingga kini belum
datang kemari? Hong-tit pun tak nanti mempunyai nyali
sebesar itu, berani turut dalam rapat besar para orang
gagah!"
Kata Kang Hay-thian, "Aku pun tak berani memastikan
kalau dia itu seorang palsu, oleh karena itu aku hendak
mencobanya."
"Bagaimana cara mencobanya?"

"Dari Tiok Siang-hu aku mendapat keterangan


beberapa hal tentang diri anak itu. Dengan cara ujian
begini, tentulah dapat diketahui palsu tidaknya anak itu,"
kata Kang Hay-thian yang segera membisiki beberapa
cara pada istrinya.
"Baik, bolehlah begitu. Jangan menggunakan nada
curiga kalau menanyainya, agar jangan menyinggung
perasaannya," kata Kok Tiong-lian.
Begitulah setelah kedua suami istri itu mendapat
kesepakatan, mereka segera mencari Leng-hong di biara
Yok-ong-bio, tetapi tak dapat berjumpa. Malah para
tokoh-tokoh persilatan yang menunggu hasil
pembicaraan Kang Hay-thian dengan Tiok Siang-hu.
Demi melihat sepasang suami istri itu datang, mereka
segera mengerumuninya. Di antaranya terdapat Tay-pi
Siansu, Hoat-hoa Siangjin, suami istri Ciong Tian dan
lain-lain, mereka tergolong angkatan lebih tua dari Kang
Hay-thian, terpaksa Hay-thian memberi laporan tentang
pembicaraannya dengan Tiok Siang-hu yang mengenai
urusan menentang pemerintah Cing. Mendengar bahwa
Tiok Siang-hu juga bersedia untuk ikut dalam gerakan
itu, girang mereka bukan kepalang.
Belum berapa lama bercakap-cakap, hari pun sudah
malam dan mereka lalu berkumpul untuk makan. Dalam
dunia persilatan, orang menjunjung tinggi pada
kedudukan tingkatan, Kang Hay-thian tak enak
memanggil Leng-hong untuk diajak makan bersama para
Cianpwe itu, maka walaupun dalam hati masih terlekat
rencana-rencana yang dirundingkan dengan sang istri,
namun terpaksa ia harus bersabar juga.

Barulah setelah perjamuan malam selesai dan diseling


dengan mengobrol. Kang Hay-thian mendapat
kesempatan menyuruh salah seorang memanggil Lenghong.
”Eh, apakah ada urusan penting, Kang-tayhiap?" tanya
Pek Ing-kiat
"Ah, tidak. Hanya ingin omong-omong sebentar
dengan anak itu. Kapan rapat akan dibuka?" sahut Kang
Hay-thian.
Pek Ing-kiat menerangkan bahwa rapat akan dibuka
sejam lagi. Kang Hay-thian menganggap waktu itu cukup
untuk melakukan penyelidikan, tetapi orang yang
disuruhnya tadi tak dapat menemukan dimana Lenghong
berada. Hal itu menggelisahkan Kang Hay-thian
sehingga dalam pembicaraan ia tak begitu bersemangat.
"Eh, Kang-tayhiap benar-benar sayang sekali kepada
murid pewarisnya itu hingga begitu pulang rumah, bukan
putrinya yang dicari melainkan sang murid," Ciong Tian
berolok-olok.
Kang Hay-thian hanya menyahut dengan tertawa
tawar, "Ah, kemana saja anak itu?"
Setengah jam kemudian, barulah tampak Leng-hong
bergegas mendatangi. Pesuruh Kang Hay-thian tadi
menerangkan bahwa Leng-hong dan Bong-suhengnya
asyik berlatih silat di atas gunung. Setelah memberi
hormat kepada sang Suhu, berkatalah Leng-hong, "Aku
tak tahu sama sekali kalau Suhu memanggil, aku
bersama Bong-suheng tengah berlatih di atas gunung
sampai lupa waktu."

Yang disebut Bong-suheng itu bukan lain adalah Bong


Ing-ping, murid partai Jing-sia-pay yang ditugaskan
untuk bekerja sama dengan Leng-hong merencanakan
pengacauan rapat.
Kang Hay-thian tak sempat lagi menanyakan siapa
Bong-suheng itu, ujarnya, "Leng-hong, mari kita keluar,
aku hendak bicara padamu agar jangan mengganggu
para Cianpwe yang tengah mengobrol di sini."
Hati Leng-hong kebat-kebit, namun wajahnya tetap
tenang-tenang saja, serta-merta ia mengiakan perintah
Suhunya itu. Kang Hay-thian mengajaknya ke sebuah
tempat yang sunyi. "Kau sungguh giat sekali berlatih
silat!" katanya.
"Selama perjalanan menerima pelajaran Suhu itu,
belum pernah kulatih, maka begitu pulang, asal ada
waktu luang tentu segera kulatih. Tadi kebetulan aku
berkenalan dengan seorang sahabat baru, anak murid
Jing-sia-pay, maka kita segera saling tukar pengalaman.
Dia adalah Sutit Sin-cianpwe, pewaris partai Jing-sia-pay.
Dia baik sekali terhadap sahabat."
Kang Hay-thian tak sabar mendengar keterangan
Leng-hong, katanya, "Bagus, sekarang hendak kuuji
sampai dimana kemajuanmu itu." Dengan menggunakan
ilmu Siau-kim-na-jiu, Kang Hay-thian segera
mencengkeram tulang bahu Leng-hong. Sudah tentu
Leng-hong terperanjat sekali, "Cret", tahu-tahu bahunya
tercengkeram tangan sang Suhu. Jika tulang bahu itu
sampai diremas remuk, akan hilang lenyaplah seluruh
kepandaiannya, tapi sebelum mengetahui persoalannya
yang jelas, sudah tentu Kang Hay-thian tak mau
melakukan hal itu.

"Mengapa tak kau gunakan ilmu Siau-kim-na-jiu?"


tegurnya.
Dengan tergagap-gagap Leng-hong menyahut, "Siaukim-
na-jiu? Suhu, kau belum pernah mengajarkan ilmu
itu padaku!"
Kang Hay-thian melepaskan cengkeramannya, lalu
mendorong Leng-hong ke belakang, katanya dengan
nada bengis, "Sekalipun belum kuajarkan, tetapi
masakah kau tak dapat menggunakan ilmu yang sudah
kau pelajari dahulu? Awas, terimalah seranganku lagi!
Jika tak kau gunakan Siau-kim-na-jiu, jangan harap kau
dapat menghindar!"
"Suhu, aku ... aku..”
Tetapi Kang Hay-thian tak mau menunggu kata-kata
muridnya, tangannya sudah dilayangkan untuk
mencengkeram.
"Kali ini aku tak bergurau, lekas sambutlah atau kalau
tulang bahumu sampai remuk, janganlah menyalahkan
Suhumu!"
Memang Kang Hay-thian sudah ambil putusan, jika
Leng-hong tidak mampu menggunakan Siau-kim-na-jiu,
terang adalah palsu.
Cengkeramannya itu akan dilakukan sungguhan agar
tulang pemuda itu remuk, kepandaiannya lenyap.
Pada saat jari-jari Kang Hay-thian yang bagaikan lima
buah kaitan itu hampir mengenai bahu, sekonyongkonyong
Leng-hong mengendap ke bawah, tangan
kirinya membentur siku lengan Kang Hay-thian dan
tangan kanannya menabas pinggang Kang Hay-thian.

Sudah tentu Kang Hay-thian takkan terkena oleh


serangan itu, tetapi bahwa gerakan sekaligus 4 serangan
dalam sebuah jurus itu, memang benar-benar gerakan
Siau-kim-na-jiu.
Dengan menggunakan sedikit tenaga, Kang Hay-thian
mendorong ke samping. Dalam hati ia agak ragu-ragu,
kiranya ilmu Siau-kim-na-jiu yang digunakan Leng-hong
itu serupa dengan Siau-kim-na-jiu dari partai Jing-siapay.
Gerakan dan gayanya sederhana sekali, maka
timbullah keraguan Kang Hay-thian, pikirnya, "Tiok
Siang-hu seorang tokoh yang memiliki kepandaian luar
biasa. Ia dapat disejajarkan sebagai guru besar pada
zaman ini. Kukira ia mempunyai ilmu Siau-kim-na-jiu
yang istimewa, siapa tahu hanya biasa saja!"
Dorongan Suhunya itu membuat Leng-hong
terhuyung-huyung beberapa langkah baru dapat berdiri
tegak, hatinya tak keruan rasanya. Entah apakah
permainannya tadi dapat meyakinkan sang Suhu.
"Siapa yang mengajarkan Siau-kim-na-jiu itu
padamu?" tegur Kang Hay-thian.
"Tiok-locianpwe yang tadi hendak mengacaukan rapat
ini," sahut Leng-hong.
"Kapan ia mengajarkan padamu?"
"Ketika aku masih kecil bersama ayah bundaku pesiar
ke gunung Kun-lun-san barat. Dia begitu gembira sekali
hingga memberi pelajaran ilmu itu," sahut Leng-hong
dengan tetap. Ia menghitung jarinya, "Itu terjadi kirakira
11 tahun berselang."
Bahwa keterangan Leng-hong itu sesuai dengan
ucapan Tiok Siang-hu membuat Kang Hay-thian

keheranan, pikirnya, "Apakah aku sendiri yang terlalu


banyak curiga? Apakah dia bukan Leng-hong palsu?"
Memang Kang Hay-thian tak mengetahui apa yang
terjadi selama beberapa jam ini. Rencananya untuk
menguji sang murid sudah diketahui lebih dulu oleh
Leng-hong, tetapi bagaimana Leng-hong mengetahui hal
itu?
Kiranya pembicaraan Kang Hay-thian dengan Tiok
Siang-hu tadi, telah didengar orang, orang itu bukan lain
ialah Bong Ing-ping. Dia seorang mata-mata yang
terlatih matang. Karena mengetahui dirinya tak.
sederajat dengan para cianpwe, ia hanya mengikuti
mereka dari kejauhan saja. Ketika dilihatnya Kang Haythian
berjalan keluar, telah diperhitungkan tentu akan
terjadi sesuatu, maka buru-buru ia mendahului
bersembunyi di balik sebuah hutan. Dan secara
kebetulan sekali, Kang Hay-thian berhenti di situ
bercakap-cakap dengan Tiok Siang-hu.
Rupanya karena terliput oleh rasa kegembiraan dapat
menyelesaikan persoalan Tiok Siang-hu dengan damai,
apalagi ketika menganggap tempat di situ tiada orang.
Kang Hay-thian tak mau menyelidiki ke sekitar hutan lagi,
terus saja bercakap-cakap dengan Tiok Siang-hu secara
lepas. Dengan menahan napas dalam semak, Bong Ingping
dapat mencuri dengar pembicaraan kedua jago itu.
Setelah kedua tokoh itu pergi, Bong Ing-ping pun
cepat kembali untuk mencari Leng-hong. Selagi Kang
Hay-thian terhambat dalam perjamuan malam di biara
Yok-ong-bio, Bong Ing-ping dan Leng-hong
merundingkan cara-cara untuk menghadapi tindakan
orang she Kang itu.

Sebenarnya Leng-hong tak mengerti ilmu Siau-kim-najiu,


sebaliknya Bong Ing-ping dapat, bahkan bukan hanya
satu tetapi dua macam. Yang satu baru saja ia terima
dari Hong Jong-liong dan yang satu setelah ia berhasil
menyelundup menjadi murid partai Jing-sia-pay. Lenghong
berotak cerdas, dalam waktu singkat dapatlah ia
menerima ajaran Siau-kim-na-jiu dari Bong Ing-ping.
Walaupun belum sempurna, tapi berkat otaknya yang
tajam dapatlah ia menggabungkan kedua ilmu Siau-kimna-
jiu itu, ditambah pula dengan gerak perubahan
ciptaannya sendiri untuk menghadapi ujian dari Kang
Hay-thian.
Sekalipun Kang Hay-thian agak heran, merasa bahwa
Siau-kim-na-jiu dari Tiok Siang-hu itu tak seharusnya
sedemikian sederhananya, tetapi dengan keterangan
yang diberikan oleh Leng-hong tadi, maka terpaksa
untuk sementara itu ia percaya kalau Leng-hong
memang Yap Leng-hong yang asli, bukan palsu.
"Mengapa kau tak pernah mengatakan kalau kau
pernah menerima ilmu pelajaran dari Tiok-cianpwe?"
tegurnya.
"Jika bukan karena Suhu memaksa aku menggunakan
ilmu itu, sampai saat inipun aku tak berani mengatakan
hal itu kepada Suhu," sahut Leng-hong.
"Mengapa?"
"Setelah berpisah dengan Tiok-cianpwe di gunung
Kun-lun-san, ayah berpesan wanti-wanti padaku supaya
sejak itu jangan menyebut-nyebut nama Tiok Siang-hu
lagi. Kala itu aku pun merasa heran dan menanyakan
sebabnya, ayah mengatakan bahwa setiap orang
mempunyai pendirian sendiri. Bagi ayah, ia tak suka

orang luar mengetahui asal-usul dirinya, katanya Tiokcianpwe


itu juga seperti ayah, tak mau dirinya diketahui
orang. Malah saat itu ayah mendamprat aku sebagai
anak kecil yang tak tahu urusan apa-apa, kemudian ayah
memperingatkan aku, jika aku membocorkan rahasia
Tiok-cianpwe, berarti aku mencelakai Tiok-cianpwe.
Memang kala itu ayah tak mempunyai pikiran menyuruh
aku berguru pada Suhu, maka beliau pun tak berpesan
kalau aku boleh mengatakan rahasia itu kepada paman,"
Leng-hong memberi keterangan panjang lebar.
Keterangan itu membuat Kang Hay-thian mau tak mau
menaruh kepercayaan juga, memang sebagai anak raja
suatu negeri kecil yang hendak membangun
kemerdekaan negerinya, Tiok Siang-hu tak ingin
diketahui orang. Bahkan pengurus rumah tangga
keluarga Tiok dan iparnya (Siangkoan Thay) pun tak
berani mengatakan asal-usul orang she Tiok itu. Adalah
karena kali ini Kang Hay-thian telah menyelamatkan
jiwanya, maka Tiok Siang-hu baru mau membuka rahasia
dirinya.
"Murid dan Suhu tak beda seperti ayah dan putra,
memang tak seharusnya aku merahasiakan hal itu
kepada Suhu, tetapi karena ayah telah berpesan wantiwanti,
terpaksa aku berbuat demikian. Jika Suhu tadi
tidak menanyakan, aku pun tak ingat lagi untuk
memberitahukan hal itu. Mohon Suhu suka memaafkan,
sekali-kali bukan aku bermaksud hendak menutupi
rahasia itu," kata Leng-hong pula.
Kang Hay-thian tak enak hati, ujarnya, "Adalah karena
Tiok Sianghu sendiri mengatakan hal itu, maka aku ingin
mengetahui bagaimana ilmu Siau-kim-na-jiu itu dan
mencobamu."

Mendengar nada kata-kata Suhunya sudah mulai


lunak, legalah perasaan Leng-hong, namun masih purapura
ia ketakutan, "Sayang sejak mempelajari ilmu itu,
hampir 10 tahun lamanya aku tak berlatih hingga
hampir-hampir lupa."
"Sebab apa!"
"Ayah tak senang aku belajar ilmu kepandaian dari
partai-partai lainnya, waktu itu Tiok-cianpwe sendiri yang
mau memberi pelajaran, karena sungkan atas kebaikan
orang, terpaksa ayah mengunjuk kegirangan, tetapi
sebenarnya ayah tak begitu senang dengan ilmu ajaran
Tiok-cianpwe jang dianggapnya berbau Sia-pay (aliran
jahat)."
Perangai Leng-hong itu congkak, dalam membawakan
keterangan itu, dapatlah ia melakukan dengan tepat
sekali. Pikir Kang Hay-thian, "O, kiranya begitu. Tak
heran kalau gerakan Siau-kim-na-jiunya tadi begitu
sederhana sekali, kiranya dia memang belum
mempelajari dengan sempurna."
"Ayah mengatakan Tiok-cianpwe itu tergolong aliran
Sia-pay, maka dalam anggapanku dia kupandang sebagai
tokoh Sia-pay. Tadi ketika Tiok-locianpwe datang
menantang dalam rapat, sekalian tetamu merasa kurang
puas terhadap dirinya. Itulah sebabnya tadi murid
terpaksa memperlakukan Tiok-locianpwe sebagai seorang
musuh dan tak berani menganggapnya sebagai kenalan
lama."
Kang Hay-thian merenung sejenak, lalu tiba-tiba
bertanya, "Lenghong, berapakah umurmu tahun ini?"

Tadi Bong Ing-ping telah memberitahukan semua


pembicaraan Kang Hay-thian dan Tiok Siang-hu pada
Leng-hong, untuk setiap pertanyaan yang berisi
kecurigaan, Leng-hong sudah siap dengan jawabannya,
maka dengan serentak menyahutlah ia, "Murid tahun ini
baru berumur 24 tahun, tetapi aku dilahirkan pada bulan
delapan, jadi menurut perhitungan yang sebenarnya
umurku baru 23 tahun."
Pada waktu datang ke rumah keluarga Kang, Lenghong
sudah memberitahukan umurnya, maka tak
dapatlah ia merubahnya. Satu-satunya hanyalah dengan
keterangan tentang 'makan' tahun.
Leng-hong yang dijumpai di gunung Kun-lun oleh Tiok
Siang-hu tahun ini berusia 23 tahun, memang dia lebih
muda setahun dari Leng-hong yang palsu ini, tetapi
rakyat dari wilayah barat menggunakan perhitungan
tahun yang sebenarnya dan tahun yang 'makan' tahun.
Dan jawaban itu ternyata termakan oleh Kang Hay-thian,
ia pun tak menaruh perhatian serius terhadap masalah
sekecil itu.
Sambil menengadah ke atas, Kang Hay-thian
menampak sang rembulan sudah berada di atas dahan
pohon, sebenarnya sudah waktunya ia harus kembali ke
dalam biara, tetapi rupanya benaknya masih terbungkus
oleh lapisan kesangsian. Setelah merenung beberapa
jenak, bertanyalah ia, "Apa yang menyangkut diri Tiok
Siang-hu tak perlu kita bicarakan lagi, sekarang aku
hendak bertanya padamu tentang sebuah hal lagi.
Kenalkah kau pada Hoa Thian-hong Locianpwe?"
Leng-hong terkesiap kaget, "Kuingat setahun yang lalu
Suhu pernah menanyakan hal itu kepadaku."

"Benarkah? Ah, ingatanku memang kurang baik, maka


kutanyakan lagi hal itu," sahut Kang Hay-thian.
"Putri Hoa-locianpwe adalah bibiku yang belum pernah
kujumpai, sebenarnya sebagai seorang angkatan muda
aku harus menemuinya. Tapi dikuatirkan berita tentang
diriku itu akan tersiar sampai di negeriku hingga paman
(raja Mazar) nanti mencari aku untuk dijadikan raja,
suatu hal yang bertentangan dengan pesan mendiang
ayah, maka terpaksa aku tak berani berkunjung
menghadap Hoa-locianpwe di Hoa-san," jawab Lenghong.
Untuk mengulur waktu,. Leng-hong sengaja
memperpanjang penuturannya, tetapi agar
keterangannya itu 'kepalanya' sesuai dengan 'ekornya',
terpaksa ia kukuh dengan keterangannya semula bahwa
ia belum pernah bertemu muka dengan Hoa Thian-hong.
"Sebelum engkau datang ke rumahku ini, pernahkah
kau memberitahukan riwayatmu kepada lain orang?"
tanya Kang Hay-thian.
Memang Leng-hong memancing supaya Kang Haythian
mengajukan pertanyaan begitu agar ia dapat
berkesempatan untuk 'membersihkan' diri. Pura-pura ia
berpikir beberapa jenak, kemudian baru berkata, "Hanya
kepada satu orang,"
"Siapa?" tanya Kang Hay-thian.
"Saudara angkatku Siau Ci-wan Toako. Rahasia
pribadiku, sebenarnya enggan kuberitahukan kepada
orang, tetapi Siau-toako kuanggap bukan orang luar.
Dengan mengangkat saudara sehidup semati, kukira tak
seharusnya menyembunyikan asal-usulku lagi. Kuyakin

Siau-toako seorang satria jujur, tentulah dapat


menyimpan rahasiaku itu. Entah bagaimana pendapat
Suhu tentang tindakanku itu?"
Sebagai seorang yang menjunjung tinggi keutamaan,
segeralah Kang Hay-thian memberi pernyataan, "Siau Ciwan?
Boleh, bolehlah kau memberitahu padanya."
"Suhu, apakah kepergian Suhu ke Hoa-san kali ini tak
mendengar Hoa-locianpwe mengatakan sesuatu tentang
diri Siau-toako?" tanya Leng-hong pula.
"Eh, bukankah Siau Ci-wan sudah kembali ke gunung
Siau-kim-san."
"Ketika berpisah dengan aku, atas peringatanku ia
bermaksud hendak ke Hoa-san untuk meminta obat pada
Hoa-locianpwe. Setelah itu baru kembali ke Siau-kimjwan,
entah apakah ia sudah pergi ke sana atau belum?"
Memang ayah Siau Ci-wan yakni Siau Jing-hong
adalah sahabat baik Hoa Thian-hong. Bahwa Siau Jinghong
hendak minta obat kepada Hoa Thian-hong untuk
persediaan gerakan laskarnya di kemudian hari, adalah
suatu hal yang masuk akal. Lagi-lagi kepercayaan Kang
Hay-thian makin tebal, pikirnya, "O, makanya ayah
angkatku begitu paham tentang diri Leng-hong, tentu
Siau Ci-wan yang telah memberitahukan."
Tetapi bagaimanapun tetap masih belum hilang sama
sekali kecurigaan Kang Hay-thian terhadap Leng-hong.
Tengah ia mencari jalan untuk mengajukan beberapa
pertanyaan lagi kepada muridnya itu, tiba-tiba seseorang
bergegas lari mendatangi. Masih jauh orang itu berteriakteriak,
"Kang-tayhiap, Kang-tayhiap!" Kiranya orang itu
bukan lain ialah Loh Ing-ho, tokoh Bin-san-pay yang

hendak mengundang Kang Hay-thian karena rapat


segera akan dimulai.
"Sebenarnya tak usah kalian tunggu aku, sehingga
seolah-olah akulah yang memperlambat pembukaan
rapat itu," ujar Kang Hay-thian dengan perasaan tak
enak.
Loh Ing-ho tertawa, "Rapat rahasia malam ini sekalian
orang meminta Kang-tayhiap harus hadir, maka terpaksa
aku mendesak Kangtayhiap untuk segera menghadiri
rapat itu."
Kang Hay-thian tak mau urusan pribadinya akan
menelantarkan kepentingan orang banyak, terpaksa ia
tunda penyelidikannya kepada Leng-hong sampai lain
waktu dan buru-buru ikut Loh Ing-ho.
Setelah dibuka jalan darah bagian Yang-keng, tenaga
Leng-hong bertambah besar, sekarang kekuatannya tak
kalah dengan Loh Ing-ho. Untuk menghormati orang tua
ini, terpaksa Kang Hay-thian memperlambat larinya agar
dapat berendeng dengan Loh Ing-ho. Leng-hong
mengikutinya dari belakang. Dengan menggunakan
Ginkang, ketiganya cepat sudah tiba di biara Yok-ongbio.
Kang Hay-thian tiba-tiba melarang Leng-hong ikut
masuk dan menyuruh dia kembali ke tempatnya tadi.
"Tetapi Yap-siauhiap adalah murid pewarismu, pikirku
hendak mengundangnya hadir juga," Loh Ing-ho tertawa.
"Tak usah. Telah ditetapkan bahwa rapat ini hanya
dihadiri oleh pimpinan saja, kita jangan mengacaukan
peraturan," sahut Kang Hay-thian.
Masih Loh Ing-ho membujuk, "Ah, kau terlalu keras
Kang-tayhiap. Apa halangannya tambah seorang saja?

Kau mendirikan partai baru, murid pewarismu juga


tergolong tokoh utama dari suatu cabang."
Namun Kang Hay-thian tetap pada pendiriannya,
"Sudah ada aku, tak perlu ia juga hadir. Mana boleh
karena ada hubungan dengan aku, seorang angkatan
muda boleh hadir? Ini melanggar peraturan!"
Merah wajah Leng-hong dibuatnya, sebenarnya ia
ingin sekali hadir, tapi karena ditolak mentah-mentah
oleh Suhunya, terpaksa ia mengiakan dan lantas
mengeluyur pergi.
Waktu Kang Hay-thian masuk, semua tokoh penting
dari partai-partai persilatan dan beberapa tokoh
persilatan yang mempunyai derajat untuk hadir dalam
rapat rahasia itu, sudah tampak hadir. Hanya menunggu
kedatangan Kang Hay-thian, rapat segera dapat dimulai.
Kok Tiong-lian menyambut kedatangan sang suami
dengan isyarat bertanya. Kang Hay-thian menyambut
dengan wajah berseri dan gelengan kepala, menandakan
bahwa hasil penyelidikan terhadap Leng-hong itu tiada
tanda-tanda yang mencurigakan, begitulah kebiasaan
kedua suami istri itu jika saling bertanya. Kok Tiong-lian
segera dapat menanggapi pernyataan suaminya itu,
diam-diam legalah hatinya. Padahal walaupun tak
mendapat titik-titik yang mencurigakan, namun Kang
Hay-thian masih belum seratus persen percaya pada
Leng-hong, hanya karena di hadapan umum maka tak
enaklah berbicara panjang lebar dengan sang istri.
Rapat telah berlangsung sesuai dengan acara yang
telah direncanakan. Pertama, merundingkan tentang
cara-cara untuk menghubungi satuan-satuan dan daerahdaerah
yang bertujuan menentang pemerintah Cing.

Kedua, tentang cara memberi bantuan pada laskar


pejuang dari berbagai daerah.
Dewasa itu sudah ada tiga tempat yang bergerak
memberontak, yakni gunung Siau-kim-san, Bin-lam dan
Lou-se. Di antaranya yang paling berbahaya
kedudukannya ialah Siau-kim-jwan. Sin ln-long, ketua
Jing-sia-pay telah mendapat tugas dari pemimpin laskar
Siau-kim-jwan yakni Leng Thian-lok untuk menyerukan
kepada kaum gagah supaya mengirim bantuan tenaga ke
sana. Dalam hal itu, pertama-tama Sin In-long menyebut
nama Yap Leng-hong.
"Kang-tayhiap, tentulah muridmu telah
memberitahukan hal itu kepadamu, bukan?" tanya Sin
In-long.
Kang Hay-thian mengerutkan alis, "Memberitahukan
hal apa?"
"Yap-siauhiap telah menyanggupi untuk pergi ke Siaukim-
jwan!" kata Sin In-long.
"Apa? Aku belum tahu sama sekali!" seru Kang Haythian.
Menilik bahwa Suhu dan murid tadi bicara sekian
lama, Sin In-long mengira kalau Kang Hay-thian dan
Leng-hong tentu merundingkan persoalan itu, maka
betapa kejutnya demi mendengar sahutan Kang Haythian,
kontan air mukanya berubah tak begitu senang.
"Urusan itu begini," akhirnya Tiong Tiang-thong
menyela. "Pihak Siau-kim-jwan dan Siau Ci-wan sangat
mengharap supaya muridmu dapat menyumbangkan
tenaga ke sana, mereka minta tolong pada Sin-ciangbun
untuk menyampaikan hal itu. Karena waktu itu kau

belum datang, maka muridmu tak berani mengambil


putusan sendiri. Adalah aku yang memberi jaminan
bahwa kau tentu dapat menyetujui, barulah muridmu
meluluskan. Kau jangan menyalahkan muridmu, karena
akulah yang bertanggung jawab!"
Sin In-long tertawa, "Kemudian dalam kedudukan
sebagai Subo, istrimu pun meluluskan. Tentunya kau pun
takkan menaruh keberatan apa-apa bukan?"
Diam-diam Kok Tiong-lian berdebar, ia cukup kenal
perangai suaminya itu. Biasanya Kang Hay-thian itu
seorang yang tak kenal takut dalam membantu
kebenaran. Tak usah diminta, dia tentu akan menyuruh
muridnya turut dalam pergerakan itu. Tetapi saat itu
Kang Hay-thian berbeda sikapnya, hal itu menimbulkan
keraguan Kok Tiong-lian apakah suaminya itu masih
belum mau menerima keterangan Leng-hong dan masih
mencurigai anak itu.
Karena Sin In-long sudah mengatakan, terpaksa Kok
Tiong-lian harus mengakui, ujarnya, "Walaupun Hong-tit
belum lama masuk dalam perguruan kita dan ilmu
silatnya masih dangkal, tapi mengingat kesempatan
begitu jarang terdapat, maka biarlah ia turut dalam
pergerakan itu untuk menambah pengalaman."
Kok Tiong-lian mengatur kata-katanya sedemikian
rupa agar sekalian orang jangan salah duga kepada Kang
Hay-thian, rupanya Kang Hay-thian merasa juga. Ia pikir,
walaupun Leng-hong mencurigakan, tetapi tak nanti
sampai berkhianat.
Sambil menatap Tiong Tiang-thong, tertawalah jago
nomor satu itu, "Ah, Tiong-pangcu kelewat sungkan, aku
hanya menguatirkan kepandaian muridku itu tak becus

untuk memikul tugas sepenting itu. Karena Tiong-pangcu


memberi jaminan kepadanya, aku pun sudah tentu
takkan menaruh keberatan apa-apa lagi!"
"Ai, kau terlalu sungkan Kang-tayhiap, serendahrendahnya
kepandaian muridmu tentulah masih hebat
juga. Aku hendak berunding denganmu, Kok-ciangbun
tadi mengatakan agar muridmu ikut dalam pergerakan
itu. Ini berlainan dengan maksudku, aku menghendaki
supaya jangan hanya ikut saja, tetapi memimpinnya!"
"Hai, mana bisa?" Kang Hay-thian terkejut.
"Ah, jangan buru-buru menolak dulu, dengarkan
keteranganku. Tenaga yang hendak kita kirim membantu
laskar Siau-kim-jwan itu haruslah benar-benar orang
yang dapat dipercaya sepenuhnya, benar tidak?" kata Sin
In-long.
"Benar!" Kang Hay-thian mengiakan, "terutama
setelah kita ketahui sekarang bahwa dalam tubuh kita ini
kemasukan mata-mata, kita harus lebih hati-hati."
"Nah, kalau begitu, tiada yang lebih sesuai lagi
daripada Yap-siauhiap. Pertama, dia telah dipercaya
orang banyak. Kedua, dia menjadi saudara angkat Siau
Ci-wan, juga bersahabat dengan keponakan Leng Thianlok,
yaitu Leng Tiat-jiau. Kelak apabila dipersatukan
dengan laskar Siau-kim-jwan, di bawah pimpinan Yapsiauhiap,
tentulah semua gerakan dapat berjalan lancar."
Kang Hay-thian tak dapat mendebat lagi, terpaksa ia
meluluskan.
"Menolong tentara ibarat menolong kebakaran, bala
bantuan ini besok pagi harus juga sudah berangkat.
Maksudku, kita harus mengutamakan kualitas daripada

jumlah orang, maka kuharap sekalian Ciangbunjin segera


memilih anak muridnya masing-masing yang dipercaya,
agar dapat dibentuk sebuah laskar bala bantuan," kata
Sin In-long pula.
Dalam dunia persilatan, kedudukan seorang guru
sederajat dengan seorang ayah, dia dapat menentukan
pilihan tanpa meminta persetujuan murid yang
bersangkutan. Sudah tentu para Ciangbunjin (ketua) itu
takkan memilih dengan sembarangan. Kecuali yang
benar-benar dapat dipercaya, barulah mereka mau
memilihnya. Di samping itu juga ada pertimbanganpertimbangan
lain mengenai cocok tidaknya murid itu
melakukan tugas itu.
Pada saat para Ciangbunjin menyodorkan daftar nama
murid-muridnya, hari pun sudah menunjukkan jam satu
malam. Yang hadir dalam rapat orang gagah itu tak
kurang dari 1000 orang lebih, regu bantuan yang
dibentuk itu hanya terdiri dari 100 orang. Ciong Tian juga
mengajukan kedua putra-putrinya untuk ikut.
"Seratus orang rasanya sudah cukup," kata Sin In-long
dengan gembira, "Siau-kim-jwan bukan kekurangan
tenaga laskar, tetapi tenaga-tenaga pimpinan yang
cakap. Rakyat hendak menentang pemerintah Cing,
menurut apa yang kuketahui, berpuluh daerah yang
terletak di sekitar Siau-kim-jwan diam-diam sudah
membentuk barisan sukarela. Begitu kita mengirim 100
jago-jago ini, berarti akan menyulut 100 obor yang akan
memimpin rakyat untuk membebaskan Siau-kim-jwan
dari kepungan musuh."
Mendengar tugas regu bala bantuan itu sedemikian
beratnya, Kang Hay-thiap makin cemas, pikirnya,

"Mungkin Leng-hong tak sampai menjadi pengkhianat,


tetapi pada dirinya terdapat sebuah titik jejak yang
menyebabkan aku harus menaruh kecurigaan
kepadanya. Apalagi dia masih hijau, jika sampai
bertindak salah, bagaimana pertanggung jawabannya
kepada orang banyak?"
Tetapi tugas Leng-hong sudah ditentukan. Kang Haythian
tak dapat merubahnya. Terpaksa ia mengusulkan
supaya Ciong Leng diangkat sebagai wakil, usul itu
mendapat persetujuan juga.
Setelah perundingan selesai, kemudian acara
meningkat pada lain-lain persoalan, setelah itu barulah
rapat ditutup. Saat itu sudah hampir terang tanah. Kok
Tiong-lian tidur sekamar dengan putrinya, tetapi ketika
Kang Hay-thian bersama istrinya masuk kamar, ternyata
Hiau-hu tak ada.
"Eh, kemana saja anak itu, perlu "kita mencarinya
atau tidak?" kata Kang Hay-thian.
"Tak nanti ia hilang. Memang selama dua hari ini ia
bergaul rapat sekali dengan Ciong Siu. Atau mungkin ia
sengaja memberi kesempatan ayah ibunya berduaan saja
maka dia lantas lari ke kamar Ciong Siu, ai, apakah
sekarang kau dapat memberitahukan tentang hasil
pembicaraanmu dengan Hong-tit?"
Setelah mendengar penuturan suaminya, berkatalah
Kok Tiong-lian, "Keterangannya masuk akal, tak perlu
kau mencurigainya lagi."
"Tetapi mengapa harus kutanya dulu baru ia mau
menerangkan? Urusan dengan Tiok Siang-hu mungkin
karena mematuhi pesan ayahnya maka ia tak mau
mengatakan. Ini dapat dimengerti, tetapi bahwa Siau Ciwan
hendak ke gunung Hoa-san, mengapa ia tak mau
bilang?" bantah Kang Hay-thian.
Kok Tiong-lian tertawa, "Terhadap murid kau kelewat
bengis, jarang bercakap-cakap dengan mereka. Mungkin
ia menganggap hal itu tak penting, kau tak bertanya, ia
pun tak mau banyak omong lagi."
Kang Hay-thian menghela napas, "Leng-hong masih
muda tapi pikirannya sudah masak, selama ini aku pun
percaya padanya, tetapi banyak hal-hal mencurigakan
yang menyangkut dirinya. Karenanya tak dapat tidak aku
harus menaruh kecurigaan padanya."
"Mengingat kedudukanmu, memang haruslah kau
berlaku hati-hati, tetapi tentang urusan Tiok Siang-hu
dan pesan ayah angkatmu itu, Leng-hong sudah
memberi keterangan yang jelas. Apakah kau merasa
masih ada hal-hal yang perlu kau tanyakan pula? Berlaku
hati-hati memang perlu, tetapi janganlah kelewat curiga
agar jangan sampai merenggangkan hubungan kalian
Suhu dan murid."
Sahut Kang Hay-thian, "Benar sekali ucapanmu itu.
Tentang dua hal itu aku pun takkan bertanya lagi, tetapi
masih ada sebuah hal yang tetap hendak kucari
penjelasannya."
"Maksudmu tentang dicelakainya suami istri Utti
Keng?" tanya Kok Tiong-lian.
"Benar, dalam hal itu aku merasakan sesuatu yang
berbelit-belit. Pada saat Utti Keng tertangkap kawanan
kuku garuda, kebetulan Leng-hong juga sedang tak
berada di rumah. Leng-hong mengatakan bahwa ia tak

pernah melihat Utti Keng, tetapi benarkah begitu, tak


dapat kupercaya keterangan dari sepihak saja," kata
Kang Hay-thian. "Karena sekarang Utti Keng sedang
meringkuk dalam penjara, tak dapatlah ditanya,
menanyai Leng-hong pun tiada gunanya. Mudahmudahan
kepergianku ke kotaraja nanti berhasil
membebaskan Utti Keng dari penjara."
"Benar. Asal dapat mengeluarkan Utti Keng dan
menanyainya, tentulah hal itu dapat dibikin terang, maka
segala kesimpulan baiklah ditangguhkan setelah kau
pulang dari kotaraja lagi," ujar Kok Tiong-lian.
Kembali Kang Hay-thian menyatakan kecemasan
hatinya berhubungan dipilihnya Leng-hong menjadi
pimpinan laskar orang gagah yang dikirim ke Siau-kimjwan.
"Dia toh bukan seorang pengkhianat?" seru Kok Tianglian.
"Aku percaya memang bukan, tetapi selama asal-usul
anak itu belum terang, segala kemungkinan yang tak
diharap bisa terjadi!"
Selagi kedua suami istri itu asyik bercakap-cakap, tibatiba
Kang Hiau-hu muncul. "Yah, mah, kamu berdua di
situ, bagus! Aku justru hendak minta persetujuanmu,
bolehkah aku pergi?" seru dara itu dengan girang.
"Kemana? Mengapa begitu bernapsu?" sahut Kang
Hay-thian.
Dara itu menghela napas, ujarnya, "Kalau tak ke Siaukim-
jwan, kemana lagi? Yah, aku telah bicara dengan
bibi Ciong, ia ingin sekali mengajak aku bersama-sama
pergi. Memang tepatlah kalau kita mempunyai kawan

sekaum dalam perjalanan. Yah, janganlah


mengecewakan harapan bibi Ciong, yah, izinkanlah aku
pergi!"
"Eh, jangan begitu tergopoh-gopoh kau! Jawab dulu
beberapa pertanyaanku," Kang Hay-thian tertawa melihat
tingkah putrinya itu.
"Baik, asal kau izinkan aku pergi, mau tanya silakan
tanya apa saja," sahut Hiau-hu.
"Kau suka pada Toasukomu atau tidak?"
Pertanyaan ayahnya membuat Hiau-hu merah
mukanya, dengan kurang senang ia menjawab, "Yah,
perlu apa kau tanyakan hal itu? Apa hubungannya
dengan kepergianku ke Siau-kim-jwan?"
Kang Hay-thian tak mau tertawa, melainkan menarik
muka bersungguh-sungguh, "Sudah tentu ada
hubungannya maka baru kuajukan. Di hadapan ayah
bundamu, janganlah kau aleman. Nah, katakanlah
sejujurnya, kau suka pada Toasukomu atau tidak?"
Kang Hiau-hu paling mengindahkan terhadap
ayahnya," ia tahu bahwa ayahnya itu tak bergurau.
Meskipun ia tak tahu maksud sang ayah, tetapi ia anggap
hal itu memang penting, maka dengan bersungguhsungguh
menyahutlah ia dengan tegas, "Tidak suka!"
"Mengapa?" tanya Kang Hay-thian.
"Tidak kenapa. Menurut perasaanku, aku tak cocok
dengannya. Satu waktu kalau ia kelewat merapat sekali
padaku, aku malah merasa jemu!" sahut Hiau-hu.
Kang Hay-thian menghela napas, sementara Kok
Tiong-lian mengerutkan alis. Melihat mamahnya,

berkatalah Hiau-hu, "Sudah tentu dia tetap Toasuhengku


yang harus kuhormati. Mah, kutahu kau memang berat
sebelah, kau lebih menyukai Toasuko daripada Jisuko!"
Kok Tiong-lian tak enak perasaannya, ujarnya, "Eh,
Hu-ji, jadi kau masih penasaran karena Jisukomu
kuusir?"
Hiau-hu mencibirkan bibir, "Dalam hal itu terang
Jisuko menderita fitnah."
"Hu-ji, tak boleh kau berkata begitu terhadap ibumu!"
tukas Kang Hay-thian, "Toasuko adalah keponakan
ibumu. Kalau ia lebih memperhatikan keponakannya,
itulah sudah wajar, tetapi kutahu ibumu itu selalu berlaku
adil dalam setiap persoalan. Kalau menuduh ia berat
sebelah, itulah tak benar. Tentang Jisukomu diusir dari
rumah ini, telah kuketahui. Jika aku yang kebetulan
berada di rumah, memang juga harus bertindak begitu,
tetapi jangan kuatir, yang asli tentu takkan dikata palsu,
yang palsu tentu kelihatan dari yang asli. Jika Jisukomu
memang menderita fitnah, aku tentu dapat
mengurusnya. Dengarlah, setelah rapat ini selesai, aku
segera akan berangkat ke kotaraja menolong Utti Keng,
berbareng untuk menyelidiki kejadian yang menimpa diri
Jisukomu. Jika memang ia tak bersalah, tentu akan
kubawanya pulang lagi."
"Yah, kau sungguh baik sekali," seru si dara dengan
kegirangan.
"Ya, memang ibu tidak baik!" Kok Tiong-lian uringuringan.
Hiau-hu biasa manja pada ibunya, segera ia menubruk
ke haribaan sang ibu. "Mah, aku kelepasan omong,

maafkanlah. Kutahu kau cinta padaku, kau pun seorang


ibu yang baik, tetapi aku sudah bukan seorang anak kecil
lagi, janganlah memperlakukan" aku seperti ketika aku
masih kecil. Apa yang tak suka kumakan, sekalipun kau
katakan makanan itu amat bermanfaat, aku pun tak
mau. Jangan memaksalah."
Walaupun kata-kata Hiau-hu bernada seperti kekanakkanakan,
tapi memberi kesan yang dalam kepada Kok
Tiong-lian, diam-diam ia mengakui kebenarannya.
Dibelainya rambut putri tunggalnya itu dan tertawalah ia
dengan rawan, "Hu-ji, kata-katamu itu benar. Aku tak
menyadari bahwa sekarang kau sudah dewasa. Kau suka
pada siapa, terserah pada pertimbanganmu sendiri,
selanjutnya aku tak memaksamu lagi. Puaskah kau?"
Kata-kata ibunya itu laksana angin segar yang
menyejukkan kepanasan hati Hiau-hu. "Mah, lagi-lagi kau
mengatakan hal itu. Aku toh tak mengatakan suka pada
siapa-siapa?" katanya dengan wajah kemerah-merahan
walaupun dalam hati dara itu girang.
Kang Hay-thian batuk-batuk untuk melonggarkan
kerongkongan, "Hu-ji, sekarang marilah kita
membicarakan urusanmu."
"Bagaimana, yah, apakah kau izinkan aku pergi?"
tanya si dara.
Kang Hay-thian mengangguk, "Semula aku memang
cemas, tetapi setelah mendengar keteranganmu tadi,
kutahu kau tidak sekali-kali mengandung maksud pribadi.
Baiklah, besok pagi kau boleh berangkat bersama bibi
Ciong."

Memang semula Kang Hay-thian kuatir putrinya


terpengaruh oleh dorongan asmara kepada Leng-hong
hingga mau mengikutinya ke Siau-kim-jwan, maka ia
meminta penjelasan lebih dulu.
Setelah mengetahui maksud pertanyaan ayahnya itu,
diam-diam Hiau-hu mendongkol dan geli, pikirnya, "Eh,
mengapa ayah mengira aku suka pada Toasuko?"
Memang dara itu tak mengerti bagaimana perasaan
sang ayah, karena masih mendendam kecurigaan kepada
Leng-hong, sudah tentu Kang Hay-thian memikirkan
kepentingan putrinya juga. Ia harus menjaga jangan
sampai sang putri terjerumus dalam jerat, di samping itu
sebagai seorang yang menjunjung kepentingan umum,
Kang Hay-thian tak mau putrinya turut dalam pergerakan
itu hanya karena pengaruh asmara.
"Mah, bantulah aku mengemasi perlengkapanku. Yah,
kau salah, bukan besok pagi tetapi hari ini!" Hiau-hu
berseru girang.
Saat itu langit sudah mulai terang. Menurut rencana,
setelah terang tanah, laskar bantuan itu segera akan
berangkat.
"Lihatlah itu, kau kegirangan sekali! Biarlah ibumu
yang mengemasi barang-barangmu, kau kemari, aku
hendak menyampaikan pesan. Jangan gugup, sekarang
masih ada waktu setengah jam lagi," kata Kang Haythian.
Dengan tertawa-tawa si dara menghampiri ke dekat
ayahnya. "Hu-ji tahun ini kau sudah berumur 18 tahun,
kuperlakukan kau sebagai orang dewasa yang mengerti

urusan dunia. Dengarlah baik-baik, kau harus dapat


menangkap maksudku ini."
Hiau-hu paling senang kalau dirinya dianggap sudah
dewasa, maka dengan menirukan gerak tingkah-laku
sang ayah, ia kerutkan wajahnya dengan mimik
bersungguh-sungguh, "Anak mengerti, anak siap
mendengarkan!"
"Kali ini Toasukomu memimpin bala bantuan ke Siaukim-
jwan, aku agak cemas. Pertama, karena dia masih
hijau, tak punya pengalaman untuk menjabat tugas itu.
Kedua, usianya masih muda, laskar bantuan ini tentu
akan menghadapi kesukaran-kesukaran yang tak
terduga-duga. Bilamana Toasukomu kurang bijaksana
dan salah mengurus, merugikan namaku sih tak
mengapa, tetapi dengan mengakibatkan kekalahan pihak
kita, tentu besar sekali akibatnya. Ini bukannya aku tak
percaya padanya, hanya maksudku haruslah selalu
meningkatkan kewaspadaan. Mengertikah kau akan
maksudku?"
"Ya, anak mengerti, yah. Bukankah kau suruh aku
membantunya? Tetapi aku sendiri juga tak tahu cara
bagaimana harus menjaga jangan sampai ia melakukan
kekeliruan itu?" sahut Hiau-hu. Keinginannya ke Siaukim-
jwan itu hanya didorong oleh semangatnya yang
menggelora, sama sekali ia tak memikirkan kesulitankesulitan
yang disebutkan ayahnya itu, maka setelah
mendengar ucapan sang ayah, barulah ia merasa
beratnya tugas itu, diam-diam ia merasa cemas juga.
"Kebetulan Ciong Leng menjadi wakil pimpinannya, dia
lebih tua, ilmu silatnya pun boleh juga, pengalamannya
cukup. Nanti biar kupesan pada Toasukomu supaya

dalam setiap hal harus berunding dengan Ciong Leng,"


kata Kang Hay-thian.
Hiau-hu serasa terlepas dari himpitan beban berat,
"Benar dengan dibantu oleh paman Ciong, yang juga
merangkap tugas sebagai penilik, aku boleh bebas dari
kewajiban tadi." Memang ia jemu pada Leng-hong, ia tak
senang kalau terlalu rapat dengan Toasukonya itu.
Kang Hay-thian tertawa, "Tidak, kau masih terikat
kewajiban. Ada beberapa perkataan yang tak enak
kukatakan pada Ciong Leng di hadapan orang banyak,
apalagi nanti saat mengantar keberangkatannya aku tak
dapat bicara jelas dengannya, maka sekarang aku
hendak menyampaikan pesanku yang jelas agar kau
sampaikan pada mereka berdua saudara."
"Oh, kiranya begitu, bolehlah," sahut si dara.
"Tapi ingat, walaupun hanya menyampaikan pesan
saja, kau harus menggunakan otak untuk mengaturnya.
Sekarang dengarkanlah pesanku," kata Kang Hay-thian
memperingatkan putrinya.
"Tadi telah kukatakan, bahwa dalam setiap urusan
Toasukomu harus berunding dengan Ciong Leng. Jika ia
sampai melanggar pesanku itu dan diam-diam
merahasiakan sesuatu terhadap Ciong Leng, kalian harus
berlaku hati-hati. Ajaklah beberapa saudara berunding,
minta pendapat mereka, apakah hal itu berguna untuk
kepentingan orang banyak. Jika tiada gunanya, hapuskan
saja," kata Kang Hay-thian
Hiau-hu tertegun sejenak, tanyanya, "Toasuko
menjadi pimpinan, sudah tentu setiap hari harus
menghadapi banyak urusan. Jika paman Ciong kebetulan

tak berada di sampingnya? Dan andaikata Toasuko


memang bermaksud hendak mengelabuinya, bagaimana
kita dapat mengetahui?"
Kembali Kang Hay-thian tertawa, "Hu-ji, ternyata kau
juga bisa menggunakan pikiranmu. Bagus, bagus, tetapi
yang penting kau harus dapat menyelami kata-kataku
itu. Bangunkanlah kesadaranmu dan pendirian kalian
semua, jangan karena Toasuko itu termasuk orang
sendiri kalian lantas lengah menjaganya. Asal kau ingat
hal ini, tentu bereslah! Tetapi dalam urusan sehari-hari
yang tak penting, janganlah Ciong Leng kelewat
bersitegang leher, kupercaya kau tentu dapat
menyampaikan kata-kataku itu kepada Ciong Leng, dia
tentu mengerti sendiri nanti. Tentang cara bagaimana
dapat mengetahui kalau Toasukomu merahasiakan
sesuatu hal kepada kalian, ini tergantung asal kau selalu
memperhatikan gerak-geriknya. Ingat, apakah hal itu
menguntungkan orang banyak atau merugikan, jika hal
itu merugikan, kalian harus lekas bertindak. Dan yang
terakhir, dan ini yang paling penting, jika Toasukomu
sampai bertindak salah, membuat kesalahan yang berat,
kuizinkan Ciong Leng bertindak untuk membikin cacad
padanya! Tak usah takut padaku!"
"Eh, mengapa begitu hebat, yah?" tanya Hiau-hu
terkejut. "Aku hanya menjaga segala kemungkinan yang
tak diinginkan, sekali-kali bukan memastikan bahwa
Toasukomu tentu berbuat begitu. Apa yang kukatakan
kepadamu ini hanya boleh kau katakan pada kedua
kakak beradik Ciong itu sendiri saja, jangan pada lain
orang agar jangan menimbulkan kesalahan paham yang
dapat mengganggu suasana anak-anak laskar. Dan
terhadap Toasukomu harus tetap menghormatinya,

kecuali jika dia benar-benar berbuat salah, apakah kau


dapat menangkap maksudku?" tanya Kang Hay-thian.
Hiau-hu mengusap dahinya yang berkeringat, ujarnya,
"Ya, anak mengerti yah." Sebenarnya ia sendiri belum
jelas betul kata-kata ayahnya itu.
Matahari memancarkan sinarnya ke dalam jendela.
Tanpa terasa, waktu keberangkatan laskar sudah tiba,
kata Kang hay-thian, "Baik, bolehlah sekarang kau pergi.
Nanti aku dan ibumu segera akan datang."
Kok Tiong-lian yang sudah mengemasi bekal putrinya,
bertanya dengan berat hati, "Hu-ji, semalam kau tak
tidur, mungkin kau tentu lelah. Kubawakan kau
sebungkus obat dan sebatang jinsom yang berumur
seribu tahun, obat penambah semangat yang paling
mujarab." .
Hiau-hu tertawa, "Ah, sebaliknya semangatku lebih
baik dari biasanya."
Setelah memberi pesan supaya sang putri menjaga diri
baik-baik di perjalanan, maka Hiau-hu pun segera
memberi hormat meminta diri pada kedua ayah
bundanya yang tercinta itu.
"Eh, anak itu seperti kita semasa masih muda," Kok
Tiong-lian menggelengkan kepala melihat kelakuan sang
putri yang masih seperti anak-anak itu.
"Rasanya kau tak menyesal dengan apa yang
kukatakan kepada Hu-ji tadi, bukan?" tanya Kang Haythian.
"Itu kan untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan,
sudah tentu aku tak menyesalimu. Tapi kuharap kau

dapat lekas membikin terang urusan itu, agar Leng-hong


dapat bebas dari kecurigaan. Dan kuharap pula agar kali
ini dia dapat memperoleh hasil gemilang hingga nama
perguruan kita semakin harum," sahut Kok Tiong-lian.
Terang bahwa nyonya itu masih berkesan baik terhadap
Leng-hong, sampai saat itupun ia masih tak percaya
bahwa Leng-hong itu jahat.
Kang Hay-thian dapat memaklumi perasaan istrinya, ia
pun tak mau berbantah tentang Leng-hong. Kedua suami
istri itu segera keluar mengantar keberangkatan laskar
taruna gagah.
Laskar bantuan yang terdiri dari para taruna gagah
perkasa itu sudah berkumpul siap hendak berangkat.
Para Ciangbunjin, para guru dan sahabat-sahabat
berdatangan untuk mengantar keberangkatan mereka.
Kang Hay-thian mencari Leng-hong dan Ciong Leng yang
diajaknya ke samping, di situ ia memberi pesan wantiwanti
kepada Leng-hong supaya sewaktu-waktu
menghadapi kesulitan harus berunding dengan Ciong
Leng. Dalam usia Ciong Leng tak selisih banyak dengan
Leng-hong, tapi dalam dunia persilatan ia lebih tinggi
kedudukannya daripada Leng-hong. Bahwa ia hanya
diangkat sebagai pembantu pimpinan saja membuat
Ciong Leng mempunyai perasaan bahwa apa yang
dikatakan Kang Hay-thian itu hanyalah sekedar ucapan
merendah saja.
Sebaliknya Leng-hong dapat menilai bahwa Suhunya
itu masih mempunyai rasa curiga kepadanya, pikirnya,
"Boleh, kau suruh Ciong Leng mengawasi gerak-gerikku,
sebaliknya justru nanti aku akan merapat pada anak itu
seerat-eratnya."

Setelah Kang Hay-thian cukup memberi pesan, ayah


bunda Ciong Leng pun datang mencari putra-putrinya. Li
Sim-bwe menggandeng putrinya (Ciong Siu) dan Kang
Hiau-hu, sambil tertawa berkata, "Kalian berempat harus
berlaku seperti saudara sekandung. Karena umur kalian
terpaut tak seberapa, baiklah selanjutnya jangan
memakai bahasa panggilan yang sungkan."
Ciong Tian pun memberi pesan pada putranya agar
selalu mematuhi peraturan ketentaraan dan bekerja
sama dengan Leng-hong. Ucapan suami istri Ciong itu
seolah-olah telah menghapus makna dari pesan Kang
Hay-thian, maka Kang Hay-thian buru-buru akan bicara
lagi, tapi kala itu Sin In-long, Tay-hui Siansu dan
beberapa orang lainnya, berdatangan. Sin In-long
hendak menyerahkan keterangan penting tentang
keadaan di Siau-kim-jwan kepada Leng-hong, sudah
tentu Kang Hay-thian tak mempunyai kesempatan
berbicara lagi.
"Ah, asal Hu-ji menyampaikan pesanku tadi kepada
kedua saudara Ciong, tentulah Ciong Leng mengerti
sendiri," pikirnya.
Setelah barisan berangkat, di tengah jalan Kang Haythian
berkata kepada istrinya, "Suami istri Ciong-tayhiap
itu rupanya suka benar kepada Hu-ji dan Hong-tit!"
Kok Tiong-lian menerangkan bahwa jalan darah Samyang-
keng-meh di tubuh Leng-hong adalah Ciong Tian
yang membukanya pada saat bertemu kemarin dulu.
"Oh, makanya kemarin sewaktu kucoba, kepandaian
Hong-tit jauh lebih maju dari dahulu, kiranya Ciongtayhiap
telah memberi bantuan yang sedemikian
besarnya," kata Kang Hay-thian. Dalam anggapan Kang

Hay-thian tentulah Ciong Tian itu suka pada Leng-hong


karena anak itu mempunyai bakat tulang yang bagus.
Setitik pun ia tak menduga bahwa orang she Ciong itu
sebenarnya mempunyai lain maksud tertentu.
Maksud dari Ciong Tian suami istri tak lain adalah
mereka merasa penujui kalau memungut mantu Lenghong.
Leng-hong, murid pewaris dari Kang Hay-thian,
orangnya cakap, sikapnya sopan. Sekali lihat, sukalah
kedua suami istri itu, di samping itu mereka pun ingin
juga agar Hiau-hu dapat berjodoh dengan Ciong Leng.
Hanya saja kalau Hiau-hu masih belum sampai umurnya,
adalah Ciong Siu dan Leng-hong itu sudah cukup
dewasa, maka perhatian mereka terhadap Leng-hong
lebih didahulukan agar perjodohan Ciong Siu lekas dapat
diselesaikan. Sekalipun demikian, mereka itu bukan
orang tua kolot, tetapi dapat mengikuti aliran zaman.
Mereka memberi kekebasan kepada putra-putrinya untuk
menentukan pilihannya sendiri, Ciong Siu baru saja kenal
dengan Leng-hong, pergaulan mereka masih belum
mendalam, maka Ciong Tian tak berani segera
mengatakan soal perjodohan mereka kepada Kang Haythian.
Bahwa diizinkannya Ciong Siu ikut dalam gerakan
laskar pejuang itu, memang suatu kesempatan yang
baik. Pertama untuk menyumbangkan tenaga kepada
pejuang, di samping itu agar putrinya dapat kesempatan
bergaul lebih banyak dengan Leng-hong. Rupanya
maksud kedua orang tuanya itu diketahui juga oleh Ciong
Siu, nona itu memang terpikat dengan kecakapan wajah
Leng-hong, diam-diam ia sudah menaruh hati pada
pemuda itu.
Sebaliknya tujuan Kang Hay-thian adalah supaya
putrinya itu bekerja sama dengan kedua saudara Ciong

untuk mengawasi gerak-gerik Leng-hong. Sedikitpun ia


tak memikirkan tentang urusan asmara anak-anak muda
itu, inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitankesulitan
di kelak kemudian hari.
Setelah barisan laskar tunas-tunas muda itu
berangkat, rapat para orang gagah pun segera bubar.
Kang Hay-thian hendak lekas-lekas menuju ke kotaraja
untuk menolong Utti Keng. Ia berpesan kepada sang istri
supaya menyampaikan kepada ayahnya kalau ia tak
pulang melainkan hendak terus pergi ke kotaraja.
Kok Tiong-lian tertawa, "Masakah ayah tidak tahu
akan perangaimu? Asal ia tahu kalau kau sehat walafiat
saja, tentulah sudah lega hatinya. Sekarang ayah sudah
punya teman main catur, tentu takkan kesepian. Setelah
pulang menjumpainya, aku pun juga segera akan pergi."
"Eh, hendak pergi kemana kau?" Kang Hay-thian
terkesiap.
"Untuk membantu tugasmu! Bukankah ayah angkatmu
menyuruh kau ke negeri Mazar! Dan buku obat-obatan
itupun harus lekas diserahkan pada Cici Pik," kata Kok
Tiong-lian.
"Ya, ya, sudah hampir 20-an tahun kau tak menjenguk
rumah, bolehlah kau menggunakan kesempatan ini untuk
menyambangi keluarga. Dan tentang urusan Hong-tit,
bilanglah juga pada Jikomu," kata Kang Hay-thian yang
lalu menyerahkan kotak isi buku obat-obatan itu kepada
Kok Tiong-lian.
Hanya sesingkat waktu suami istri gagah itu
berkumpul, setelah itu mereka berpisah pula.

Tempat dimana kedua suami istri Kang Hay-thian dan


Kok Tiong-lian berpisah, adalah justru tempat ketika
Kang Hay-thian berjumpa dengan Nyo Hoan. Teringat
akan peristiwa itu, diam-diam Kang Hay-thian menyesal,
"Ah, sungguh tak nyana kalau karung yang dibawa Nyo
Hoan itu berisi Kan-ji, aku membiarkannya begitu saja."
Memang terhadap muridnya. Kang Hay-thian tak pilih
kasih. Adalah karena Lim To-kan itu umurnya paling kecil
dan berkumpulnya paling lama, ditambah pula putra dari
seorang Kaucu Thian-li-kau, Kang Hay-thian mempunyai
rasa tanggung jawab yang lebih besar, ia tak punya
putra maka ia menganggap To-kan itu sebagai putranya
sendiri.
"Ah, dengan calon murid Li Kong-he, aku telah
menerima empat orang murid tahun ini, tetapi yang
kelihatan hanyalah tinggal Leng-hong seorang, tetapi ah,
anak itu tak dapat dipercaya," Kang Hay-thian menghela
napas. Orang persilatan paling mengutamakan pewaris,
bahwa keempat muridnya itu masing-masing mengalami
nasib yang berbeda-beda, mau tak mau membuatnya
rawan juga.
"Walaupun Tiok Siang-hu telah berjanji hendak
mendapatkan Kan-ji, tetapi setelah ketahuan rahasianya,
sudah tentu Nyo Ceng tak berani bertemu dengan Tiok
Siang-hu lagi. Dan orang she Nyo itu licin sekali, belum
tentu Tiok Siang-hu dapat menghadapinya. Ah, tak dapat
kuserahkan hal itu semata-mata kepada Tiok Siang-hu
seorang, aku juga harus berusaha mencari juga,"
pikirnya lebih jauh.
Tiga hari yang lalu Kang Hay-thian berjumpa di tempat
itu dengan Nyo Hoan. Untung selama tiga hari itu hawa

udara terang. Setelah berusaha mencari-cari, akhirnya


dapat juga ia menemukan jejak yang dapat menentukan
arah larinya Nyo Hoan, ialah ke jurusan utara. Ia duga
tentulah Nyo Ceng dan Nyo Hoan hendak menyerahkan
To-kan ke kotaraja untuk mencari pahala. Segeralah ia
pun berangkat memulai pengejarannya.
Sekarang marilah kita ikuti keadaan Lim To-kan, murid
Kang Hay-thian yang diculik musuh itu. Pada waktu
ditangkap Nyo Hoan, ia ditotok jalan darahnya hingga
pingsan, ketika sadarkan diri, lapat-lapat seperti
didengarnya suara gurunya (Kang Hay-thian). Ia
membuka mata tapi hanya kegelapan yang
melingkupinya, tak tahu ia berada dimana saat itu dan
suara gurunya pun tak kedengaran lagi. Dalam
kegelapan itu ia hanya mendengar desus angin menderuderu,
hendak menjerit tak dapat keluar suaranya, hendak
menggerakkan tangan juga tak mampu.
"Eh, apakah aku sedang bermimpi?" pikirnya. Dengan
susah payah barulah ia dapat mengingat peristiwa yang
dialaminya semalam. Dan tersadarlah ia saat itu bahwa
dirinya sedang dalam cengkeraman Nyo Hoan.
Memang ilmu totokan Nyo Hoan itu istimewa sekali,
sebenarnya setelah 12 jam nanti barulah To-kan dapat
tersadar, tapi karena To-kan telah memiliki latihan ilmu
Lwekang tinggi, sekalipun masih belum sempurna,
namun dapat juga ia menyalurkan pernapasannya, maka
hanya dalam waktu 4 jam saja dapatlah ia tersadar,
tetapi belum dapat berkutik.
Ketika Kang Hay-thian dapat meringkus seorang
kawannya, kejut Nyo Hoan bukan kepalang. Kuatir kalau
jago sakti itu akan mengejarnya, Nyo Hoan

mencongklang kuda sekencang-kencangnya. Kudanya itu


adalah kuda istana yang diperoleh dari persembahan
daerah Jing-hay, sehari dapat menempuh seribu li
jauhnya. Apa yang dirasakan To-kan tentang desus angin
menderu-deru itu, ialah karena dirinya seperti dibawa
terbang oleh kuda itu.
Setelah mencapai beberapa puluh li, Nyo Hoan
berpaling dan legalah hatinya ketika tak melihat barang
seorang pun pengejar, tetapi kawannya kena tertangkap,
tak tahu ia bagaimana harus bertindak saat itu.
Kawannya itu seorang perwira dari pasukan Gi-lim-kun
yang mendapat tugas untuk membantunya.
Nyo Ceng karena harus menghadapi musuh yang
hendak mengejarnya (Nyo Hoan), dan setelah penculikan
itu berhasil, Nyo Ceng masih akan pergi ke lain tempat
lagi, maka tak dapatlah ayah itu menemani putranya lagi,
maka Nyo Ceng hanya menyuruh putranya supaya
bersama opsir Gi-lim-kun itu ke kotaraja untuk
menyerahkan Lim To-kan.
Memang Nyo Hoan itu juga seorang anak yang cerdik
dan suka mengagulkan diri. Setelah ancaman dari Kang
Hay-thian itu lewat, kembali timbul nyalinya pula,
pikirnya, "Boleh dikata segenap jago-jago persilatan kelas
satu sudah berkumpul di Bin-san. Yang ada di luaran
hanyalah tinggal jago-jago kelas dua saja, masakah aku
jeri menghadapi mereka? Biarlah anak ini secara terangterangan
kubawa ke kotaraja, tak perlu aku takut-takut
dan main sembunyi. Setiba di kotaraja tentulah aku
dapat mencari komandan Gi-lim-kun!"
Tetapi sekalipun dibesar-besarkan nyalinya, tak urung
ia masih mempunyai rasa cemas juga kalau-kalau orang

Bin-san melakukan pengejaran, maka ia melakukan


perjalanan secara terus menerus, 'non-stop', palingpaling
hanya berhenti memberi makan kudanya. Di desa
maupun kota, tak berani ia berhenti.
Setelah diperkirakan mencapai jarak empat lima ratus
li jauhnya, barulah ia anggap ancaman pengejaran sudah
lewat. Kala itu hari sudah petang, ia merasa lelah sekali
dan terpaksa berhenti di sebuah kedai di tepi jalan.
Sambil meletakkan karung di sisi tempat duduknya, ia
mulai memperhitungkan. "Ah, bocah ini 4 jam lagi baru
dapat tersadar. Kurasa tentu takkan terjadi sesuatu,
tetapi aku pun harus menyediakan makanan untuknya
apabila ia nanti tersadar, agar jangan sampai kelaparan,"
pikirnya.
Melihat seorang Kongcu membawa sebuah karung
beras, pelayan kedai agak melongo, memandang tak
berkedip.
"Hai, mengapa kau memandang aku? Apakah kuatir
aku tak punya uang? Nih, perak, ambillah. Kasih aku air
teh panas dan beberapa macam makanan," bentak Nyo
Hoan.
Si pelayan terkejut, buru-buru ia mengiakan dan
menyediakan pesanan. Waktu menuangkan teh di meja
Nyo Hoan, mata pelayan itu tak lepas melirik karung
beras di samping. Nyo Hoan marah-marah dan
membentaknya supaya lekas pergi. "Tak perlu kau layani,
ayo pergi!" serunya seraya hendak mendorongnya.
Saking ketakutan, pelayan itu melonjak. Cawan yang
berisi teh panas menumpah ke arah karung kain.

Hampir setengah harian To-kan berusaha untuk


memusatkan hawa murninya, sekalipun jalan darahnya
masih belum terbuka, tapi ia sudah mulai dapat
bergerak. Tersiram air panas, ia meronta-ronta. Melihat
karung dapat bergerak-gerak, pelayan itu menjamahnya
dan astaga ... tangannya menyentuh daging yang
empuk. Tak tahu ia apakah manusia atau binatang.
Kejutnya tak terhingga.
Nyo Hoan murka sekali, bentaknya, "Kau berani
menyentuh barangku, kubunuh kau!" Waktu ia hendak
melontarkan sebuah hantaman, tiba-tiba terdengar suara
seorang dara melengking, "Eh, engkoh Hoan, mengapa
kau di sini? Ada apa kau marah-marah begitu rupa?
Nyo Hoan buru-buru menarik tangannya dan si
pelayan itupun cepat-cepat menyingkir. Tepat pada saat
itu masuklah seorang anak perempuan beserta seorang
anak lelaki, mereka berusia di antara 15 - 16 tahun.
Melihat mereka, diam-diam Nyo Hoan mengeluh,
"Celaka!"
Ternyata dara yang datang itu adalah Tiok Ceng-hoa,
putri Tiok Siang-hu, yang mengikut di belakangnya
adalah Li Kong-he, putra Li Bun-sing. Sebenarnya Nyo
Hoan dan ayahnya telah merundingkan suatu siasat yang
keji, Nyo Ceng akan datang ke rumah Tiok Siang-hu dan
memikat supaya Tiok Ceng-hoa dan Li Kong-he dapat
diajak keluar rumah. Asal sudah meninggalkan rumah,
dapatlah Nyo Ceng menyelesaikan mereka, Nyo Ceng
hendak memaksa agar pernikahan putranya dengan Tiok
Ceng-hoa lekas dapat diselesaikan, sedangkan Li Konghe
segera akan diserahkan ke kotaraja.

Siasat yang diatur Nyo Ceng itu disebut 'sekali tepuk


dua lalat', asal Nyo Hoan sudah menikah dengan Tiok
Ceng-hoa. Tiok Siang-hu tentu tak akan memusuhinya.
Di samping itu dengan berhasil menyerahkan anak-anak
dari tokoh-tokoh Thian-li-kau ke kotaraja, tentulah ia
akan mendapat pahala besar. Ia mengharapkan
menduduki jabatan komandan pasukan Gi-lim-kun atau
gubernur istana. Dengan pahala itu, kemungkinan besar
cita-citanya itu tentu akan terkabul.
Sebenarnya Nyo Hoan lebih suka pada Siangkoan
Wan, putri Siangkoan Thay yang usianya sebaya
dengannya, sekalipun belum pernah mengikrarkan janji
sehidup semati, namun kedua anak muda itu dalam hati
masing-masing sudah saling bersambut.
Tiok Ceng-hoa tahun ini baru berumur 16 tahun, tiga
tahun lebih muda dari Nyo Hoan. Nyo Hoan anggap
pergaulannya dengan dara she Tiok itu hanya sebagai
kawan saja, Ceng-hoa masih kekanak-kanakan, maka
Nyo Hoan pun tak mau mengemukakan soal asmara,
tetapi Nyo Hoan seorang anak yang mendengar kata dan
patuh kepada ayahnya. Di samping itu ia pun ingin sekali
mendapatkan kepandaian pamannya (Tiok Siang-hu)
yang sakti itu, maka terpaksa ia setuju dengan rencana
ayahnya. Adanya Nyo Ceng tak dapat menemani
putranya ke kotaraja adalah karena hendak menuju ke
rumah Tiok Siang-hu untuk membujuk Ceng-hoa.
Memang rencana ayah dan anak itu bagus sekali,
tetapi di luar dugaan ternyata Ceng-hoa tak berada di
rumah, diam-diam ia melancong keluar dengan mengajak
Li Kong-he. Dan secara kebetulan juga saat itu mereka
berjumpa dengan Nyo Hoan, bukan saja rencananya
semula berantakan, juga Nyo Hoan harus merasa

gelisah, kuatir kalau-kalau rahasia karungnya itu akan


diketahui Ceng-hoa.
Buru-buru Nyo Hoan menarik karung ke sampingnya,
kemudian memalingkan tubuhnya supaya jangan
kelihatan, ujarnya, "Ah, tak apa-apa. Pelayan itu tak hatihati
hingga menumpahi aku teh panas. Tadi aku sudah
memakinya. Eh, adik Tiok, mengapa kau diam-diam pergi
dari rumah?"
"Memang sebenarnya ayah melarang aku turun
gunung, mungkin ia takut aku membuat gara-gara di
luaran, sehingga ayah tak mau memberitahukan aku
kemana kali ini ia pergi, tetapi biarpun ia tidak
memberitahu, aku sendiri pun dapat menyelidiki. Pada
hari kedua dari kepergiannya, aku sudah tahu, ternyata
ia pergi ke Bin-san untuk menghadiri rapat besar orang
gagah. Di sana dia tentu bakal berjumpa dengan Kangtayhiap.
Coba pikir sendiri, kesempatan sebagus itu
masakah aku betah tinggal di rumah saja tak ikut
menyaksikan?"
"Oh, tentulah bibi yang memberitahukan padamu,"
Nyo Hoan tertawa.
"Benar, mamah sayang sekali padaku. Terpaksa ia
mengizinkan aku pergi juga. Eh, bukankah kau akan ikut
ayahmu pergi ke Bin-san juga? Mengapa sekarang kau
berada di sini marah-marah pada pelayan?" si dara balas
bertanya.
"Tentang urusan itu nanti kuterangkan, tetapi adik
Tiok, kau memang berani benar. Kalau seorang diri itu
sih tak apa-apa, mengapa kau ajak kacungmu bersamasama
pergi? Tak tahukah kau akan peraturan bengis dari
ayahmu yang melarang seorang bujangan turun gunung

secara diam-diam? Lebih baik suruh kacungmu itu ikut


aku saja, nanti kuakui, akulah yang membawanya," sahut
Nyo Hoan. Ia tahu bagaimana perangai si dara yang
berhati keras itu. Percuma saja ia hendak mencegah dara
itu ke Bin-san, lebih baik ia berusaha membujuk supaya
dara itu mengizinkan kacungnya ikut padanya.
Tak senang Ceng-hoa mendengar kata-kata Nyo Hoan,
sahutnya, "Tahukah kau siapa Li Kong-he ini? Dia adalah
calon murid dari Kang-tayhiap. Tak pernah ayahku
menaruh hormat pada orang kecuali terhadap Kangtayhiap,
maka setelah mengetahui siapa diri Li Kong-he
itu, ayah pun memperlakukan lain. Meskipun sekarang ini
ia menemani aku belajar, berlatih silat dan main-main,
tapi sekali-kali ia bukan kacungku. Kita sekarang menjadi
seperti kakak adik, ia adalah adikku, jangan kau
menghinanya!"
Sejak peristiwa dalam biara dimana Ceng-hoa hampir
mengalami peristiwa tak enak karena dikeroyok Ki-liansam-
siu, tapi untung Kong-he menolongnya itu, Cenghoa
merasa berterima kasih sekali kepada Kong-he. Dan
setelah Kong-he berada di rumah keluarga Tiok, makin
rapatlah pergaulannya dengan dara itu. Usia 16 tahun itu
merupakan berkembangnya perasaan hati seorang dara,
maka sekalipun hanya bergaul setahun, namun bayangan
Kong-he membekas lebih dalam di hati si dara daripada
bayangan Nyo Hoan. Pikiran seorang anak perempuan
memang lebih cepat masak, perangainya suka
melindungi yang lemah, maka Ceng-hoa senang sekali
menyebut dirinya sebagai seorang Taci kepada Kong-he.
Walau sebenarnya dalam pertumbuhan jasmaniah Konghe
jauh lebih besar dan tinggi badannya daripada Cenghoa.

Makin tak enak hati Nyo Hoan mendengar keterangan


Ceng-hoa itu, katanya dengan dingin, "O, kau senang
menjadi kakak beradik dengan orang yang lebih rendah
derajatnya? Itu terserah padamu! Tetapi kunasehati,
sebaiknya janganlah kau pergi ke Bin-san. Kalau berkeras
hendak ke sana juga, janganlah kau mengajak Li Konghe
itu."
"Mengapa?" tanya si dara.
"Kemarin ayahmu di Bin-san telah adu kepandaian
dengan Kang Hay-thian, keduanya sama-sama terluka.
Mereka berjanji, tiga hari lagi akan bertempur pula, pada
saat-saat dimana ayahmu sedang marah terhadap Kang
Hay-thian, masakah kau hendak mengajak murid Kang
Hay-thian menemuinya?"
Ceng-hoa terbeliak mendengar ucapan Nyo Hoan,
serunya, "Benarkah itu? Ayah mengatakan kalau ia hanya
ingin mengukur kepandaian saja dengan Kang-tayhiap."
Nyo Hoan menjawab dengan sikap bersungguhsungguh,
"Aku melihat dengan mata kepala sendiri, masa
aku berbohong? Memang ayahmu hanya hendak
mengukur kepandaian saja, tetapi belum tentu Kang
Hay-thian dapat menerimanya. Apalagi kalau Ko-chiu
bertempur, tentu tak lepas dari keinginan untuk menang.
Kang Hay-thianlah yang lebih dulu melancarkan serangan
ganas kepada ayahmu sehingga ayahmu marah dan
balas melukainya."
"Kau tentu paham akan perangai ayahmu, seumur
hidup ia belum pernah menerima hinaan orang. Bahwa
kali ini ia sampai kena dilukai Kang Hay-thian, sekalipun
untuk itu ia dapat juga membalas, tetapi ia merasa malu
dan marah sekali. Ia sedang marah, kalau kau membawa

Li Kong-he menjenguknya, bukanlah seperti hendak


mencelakai ayahmu sendiri?" Nyo Hoan melanjutkan
rangkaian ceritanya.
"Adik He ini hanya seorang anak, tidak nanti ayah
akan membunuhnya," bantah Ceng-hoa.
"Mungkin ayahmu tak membunuhnya, tetapi tak nanti
ia mau menyerahkan anak itu kembali pada Kang Haythian.
Ayahmu itu sukar dijajaki hatinya, bukan mustahil
ia akan membikin cacad anak itu," Nyo Hoan memainkan
lidahnya yang beracun.
Ceng-hoa bersangsi, setengah percaya akan cerita Nyo
Hoan itu. "Engkoh Hoan, lalu bagaimana baiknya
menurut pendapatmu?" tanyanya.
"Ayahmu menyuruh aku lekas pulang mengabarkan
kepada mamahmu. Lebih baik kalian ikut aku kembali
pulang sajalah," kata Nyo. Hoan.
"Tidak, ayah terluka aku harus merawatnya," bantah
Ceng-hoa. "Baiklah, tetapi biar Kong-he ikut aku saja.
Sekarang memang ada beberapa tokoh yang berusaha
untuk melerai bentrokan ayahmu dengan Kang Haythian.
Mudah-mudahan berhasil, jika kedua pihak sudah
berbaikan kembali, kau boleh minta pada pamanku
supaya diantarkan kembali kepada Suhumu," kata Nyo
Hoan kepada Kong-he.
Kong-he menolak, "Tidak, aku tak mau ikut padamu.
Untung atau celaka aku tetap hendak menemui Suhuku
di Bin-san."
Nyo Hoan merasa waktu bicara itu mata Kong-he
selalu ? memperhatikan karung saja, memang sekalipun
masih anak-anak, tetapi Kong-he sudah banyak

pengalaman dalam dunia persilatan. Begitu melihat


karung Nyo Hoan, seketika timbullah kecurigaannya,
pikirnya, "Apa yang dibekal orang persilatan itu paling
banyak hanyalah pakaian untuk ganti, masakah
membawa sebuah karung yang begitu besar? Apalagi
Nyo Hoan menyatakan kalau mau cepat-cepat
menempuh perjalanan karena ada urusan penting. Tak
seharusnya ia membawa beban yang begitu berat."
Selain itu Kong-he pun tak puas melihat lagak Nyohoan
yang seolah-olah seperti tuan besar, maka ia tak
sudi ikut pada anak muda itu.
Malu perintahnya ditolak, marahlah Nyo Hoan, "Adalah
karena memandang dirimu supaya dihormati orang, aku
mau mengajakmu. Hm, sebaliknya kau mau jual tingkah!
Jangan bertepuk dada sebagai calon murid Kang Haythian,
yang nyata kau sekarang ini masih dalam
kedudukan sebagai kacung keluarga Tiok!"
Berubahlah air muka Kong-he seketika, sahutnya
mengejek, "Tuan besar Nyo, aku tak suka ikut padamu,
kau mau apa?"
"Maukah kalian jangan ribut mulut?" buru-buru Cenghoa
melerai. Kemudian ia menegur Nyo Hoan, "Engkoh
Hoan, tadi telah kukatakan padamu bahwa Kong-he ini
bukan kacungku, ia adalah adikku, mengapa kau masih
menghinanya?"
Nyo Hoan tertawa menyengir, "Jangan marah adik
Tiok, aku kelepasan omong saja. Sebenarnya aku
memikirkan untuk kebaikannya." Ia takut kalau Ceng-hoa
sampai marah, seluruh rencananya tentu akan
berantakan.

"Engkoh Hoan, bukan aku hendak mendampratmu,


tetapi sebenarnya gayamu sebagai seorang Siauya itu
memang agak kelewatan. Ah, sudahlah, mari kita bicara
secara baik-baik saja," kata Ceng-hoa.
Waktu Nyo Hoan dan Ceng-hoa duduk, Kong-he tetap
tak mau duduk, ujarnya, "Silakan kalian berunding
urusan kalian, aku punya pendirian sendiri.
Bagaimanapun aku tetap akan pergi ke Bin-san."
"Eh, adik He, jangan terlalu keras kepala. Hai, adik He,
hendak kemana kau ini?" teriak si dara.
"Suruh pelayan menuangkan teh untuk kalian," sahut
Kong-he. Memang sejak kaget hendak dipukul Nyo Hoan
tadi, si pelayan masih terlongong-longong di samping
sambil memandang ke arah karung, sampai-sampai ia
lupa menghidangkan minuman teh.
"Eh, apa yang kau pandang begitu rupa?" tegur Konghe
sambil menghampiri si pelayan. Pelayan itu tersentak
kaget, sekonyong-konyong ia menuding Nyo Hoan dan
berseru, "Tuan, apa isi karung itu?"
Setelah melihat karung yang mencurigakan dan
mendengar anak-anak muda itu berbicara tentang adu
kepandaian, timbullah dugaan si pelayan, jangan-jangan
tetamunya itu kawanan penyamun dan karung itu berisi
anak yang diculiknya untuk meminta uang tebusan.
Pelayan itu teringat kalau di dapur masih terdapat dua
orang kawannya, kalau sampai terjadi perkelahian, ia tak
perlu takut tak punya kawan, maka dengan berani ia
menegur Nyo Hoan.
"Jangan kelewat iseng! Perlu apa kau mengurusi
karungku?" bentak Nyo Hoan dengan marah sekali.

Perhatian Ceng-hoa tertarik juga pada karung itu,


ujarnya, "Engkoh Hoan, mengapa kau membawa karung
sebesar itu? Mengapa pelayan itu terus menerus
menanyakan? Ya, aku sendiri juga merasa heran. Apakah
isinya? Kasih tahulah padaku, engkoh Hoan!"
"Ah, tak apa-apa, tak apa-apa, nanti di jalanan kukasih
tahu padamu," Nyo Hoan tersipu-sipu memberi jawaban.
"Aku seorang kacung, biarlah aku yang membawa
karung itu nanti," tiba-tiba Kong-he berseru.
"Jangan menyentuh!" Nyo Hoan membentak pula
dengan bengis. Sekonyong-koyong karung itu jatuh
sendiri ke lantai dan dari dalam terdengar lengking
teriakan seorang anak, "Engkoh He, tolonglah aku!"
Kiranya waktu mendengar suara Kong-he, darah Lim
To-kan bergolak keras dan terbukalah jalan darahnya
yang tertutup itu. Berbareng tubuhnya dapat bergerak,
berteriaklah ia memanggil Kong-he, sudah tentu Kong-he
kaget sekali. Cepat ia hendak merampas karung, tapi
Nyo Hoan melompat melalui atas meja sembari mengirim
sebuah pukulan. Pukulan itu merupakan jurus yang
ganas dari ilmu pukulan keluarga Nyo, dalam gugupnya
hendak menolong Kong-he, tanpa banyak pikir Ceng-hoa
menjulurkan dua buah jarinya menotok lambung Nyo
Hoan. Muda sekalipun usia dara itu, tapi ilmunya
menotok sudah sempurna.
Tahu bahaya tengah mengancam, Nyo Hoan dengan
terpaksa menghindarkan diri dari totokan Ceng-hoa. Saat
itu Kong-he pun maju hendak merebut karung lagi,
sudah tentu Nyo Hoan tak tinggal diam. Dengan jurus
Soh-Iiong-jiu ia mendesak mundur Ceng-hoa, kemudian
melayangkan tubuh menghadang Kong-he dengan

sebuah hantaman keras. Begitu tubuhnya melayang ke


dekat Kong-he, ia gunakan ilmu Kim-na-jiu untuk
mencengkeram tulang Pi-peh di bahu Kong-he.
"Engkoh Hoan, kau memang tidak tahu aturan, masih
mau menghinanya?" teriak si dara yang dengan sebuah
gerakan kilat sudah membayangi Nyo Hoan sambil
menggunakan Kim-na-jiu juga untuk mengancam bahu
anak muda itu. Hanya saja ia tak bermaksud untuk
meremukkan tulang bahu Nyo Hoan dengan sungguhsungguh,
melainkan hendak membebaskan Kong-he dari
ancaman Nyo Hoan.
Nyo Hoan condongkan tubuh ke samping, merubah
terkamannya menjadi gerak mendorong, kedua
tangannya dibuka untuk mendorong kedua orang itu.
Dalam hal permainan memang Ceng-hoa lebih lihai, tapi
dalam hal tenaga ia kalah dengan Nyo Hoan. Kena
didorong Nyo Hoan, dara itu terhuyung-huyung beberapa
langkah baru dapat berdiri tegak lagi.
Sementara Kong-he menangkis pukulan Nyo Hoan
dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Meskipun
tubuhnya berguncang, tapi ia masih tetap dapat berdiri
tegak, ilmu silatnya diperoleh dari gemblengan ayahnya
sejak ia masih kecil, pengalamannya bertempur pun tak
kalah dengan Nyo Hoan. Memang kepandaian Nyo Hoan
lebih tinggi, tapi untuk menjatuhkan Kong-he dalam dua
tiga gebrak, sungguh tak mudah.
Selama ini Ceng-hoa selalu mendapat perlakuan
sungkan dan mengalah dari Nyo Hoan, maka setitik pun
ia tak menyangka kalau saat itu Nyo Hoan benar-benar
memberinya pukulan sungguh-sungguh, "Tring",
serempak dicabutnyalah pedang dan menuding Nyo

Hoan, "Baik, sampai diriku kau juga berani menghina,


ya? Ayo, berhenti atau tidak!"
Nyo Hoan sudah bulat keputusannya, ia pun mencabut
tongkat bambunya, ia menyahut, "Adik Tiok, sekali-kali
aku bukan ingin menghinamu, melainkan hendak
meminta kau jangan mengurusi urusanku. Kita adalah
saudara misan, jika kau menganggap Piauko (kakak
misan) kalah berharga dengan budak itu, aku pun tak
dapat berbuat apa-apa dan terserah padamu!"
Dalam berkata-kata itu Nyo Hoan tak tinggal diam,
tongkat dimainkan untuk menotok jalan darah yang
berbahaya di tubuh Kong-he. Untung Kong-he pun sudah
mencabut goloknya dan memainkan ilmu golok Pat-kwato
warisan keluarganya. Ilmu golok Pat-kwa-to itu rapat
sekali sehingga sukar diterobos, namun kepandaiannya
terpaut jauh dengan Nyo Hoan. Dalam belasan jurus
kemudian, ia sudah kalang-kabut.
"Baik, karena kau kelewat menghina kami berdua,
terpaksa aku hendak meminta pelajaran ilmu tongkat
Thian-mo-ciang-hoat dari keluarga Nyo!" akhirnya Cenghoa
bertindak juga.
Karena dikeroyok dua orang, Nyo Hoan tak dapat lolos
lagi, tetapi Kong-he pun tetap tak dapat berkutik di
bawah tekanan tongkat Nyo Hoan. Sebenarnya Ceng-hoa
dapat keluar dari pertempuran itu, tetapi ia kuatir kalau
Kong-he terluka, maka ia tetap melancarkan
serangannya.
Karung itu terbuat daripada semacam bahan kain yang
ulet sekali, beberapa kali To-kan berusaha untuk
merobek, tapi sia-sia saja. Ia meronta-ronta sekuatnya
hingga karung itu berguling-guling ke arah si pelayan.

Pelayan hendak menolong To-kan, tapi sebelum


tangannya dapat menjamah karung, sekonyong-konyong
Nyo Hoan menyambar sebatang sumpit terus
ditimpukkan. "Cret", sumpit itu telah menusuk kena
pelipis si pelayan yang tak ampun lagi roboh binasa
seketika itu juga.
"Nyo Hoan, tak nyana kau seorang manusia yang
seganas itu! Mengapa kau bunuh seorang pelayan yang
tak berdosa?" damprat Ceng-hoa makin murka.
Nyo Hoan tertawa dingin, "Pelayan yang tak berdosa?
Jika dia tak berani menyentuh karungku, masakah
kubunuhnya? Isi karung itu tak kuperbolehkan diambil
orang lain. Adik Tiok, kunasehati jangan kau mengurusi
karung itu, atau hehe ..."
"Hehe, bagaimana? Apakah kau juga hendak
membunuhku?"
teriak si dara.
"Di dalam karung itu berisi sahabatku yang paling
kusayang. Ya isinya orang, bukan barang! Kau boleh
mempertahankan culikanmu itu, tetapi aku pun tetap
hendak menolongnya!" teriak Kong-he turut memaki.
Jadi bukan saja kaki tangan yang bertempur, mulut
mereka pun ikut perang tanding. Saat itu para bujang
kedai situ keluar membawa supit api, pisau dapur.
Rupanya Nyo Hoan tak mau kepalang tanggung,
pegawai-pegawai kedai itu dibunuhnya semua.
Melihat keganasan itu, tak tertahan pula kemarahan
Ceng-hoa, "Bagus, kalau kau memang sakti, ayo
bunuhlah aku sekaligus. Kau tak mampu membunuh aku,
tentu akan kubikin cacad tubuhmu supaya hilang

kepandaian silatmu!" Ia mainkan pedangnya lebih gencar


dan menggunakan gerak cepat untuk berputar-putar
menyerang dari semua jurusan. Setiap tusukan tentu
mengarah jalan darah yang berbahaya di tubuh Nyo
Hoan.
Telah diterangkan di atas, bahwa dalam permainan
Ceng-hoa itu lebih unggul dari Nyo Hoan. Sayang dalam
hal tenaga ia masih kalah. Tadi karena mengingat Nyo
Hoan adalah putra bibinya, ia masih sungkan, tetapi demi
menyaksikan keganasan anak muda itu sedemikian rupa,
sampai-sampai ia sendiri juga mau dibunuhnya, tak mau
lagi si dara memberi hati, pertempuran berjalan dengan
sesungguhnya. Jika bertanding satu lawan satu, memang
Nyo Hoan banyak kemungkinan dapat mengalahkan
Ceng-hoa, tetapi ditambah dengan Li Kong-he yang tak
lemah kepandaiannya itu, akhirnya Nyo Hoan terdesak
juga.
Karena sedang menumpahkan perhatian pada
pertempuran, siapa pun di antara ketiga anak muda itu
tak sempat mengurusi karung lagi. To-kan meronta
sekuat-kuatnya dan bergelundunganlah karung itu keluar
pintu, terus sampai ke jalan.
Pada saat Nyo Hoan tak kuat melawan lagi,
sekonyong-konyong munculan seorang penunggang kuda
yang segera melompat turun terus menerobos masuk ke
dalam kedai. "Nyo-kongcu, jangan takut, aku datang
membantumu. Sekarang kita menjadi orang sendiri,"
seru pendatang itu. Orang itu bukan lain adalah Lok Khisi
si Tok-kak-lok (rusa tanduk satu) itu.
Tiga serangkai Ki-lian-sam-siu telah ditundukkan Nyo
Ceng dan dijadikan bujangnya, kemudian mereka dapat

meloloskan diri dan masuk menjadi Wi-su (pengawal)


dari Congkoan atau gubernur istana. Tapi bukan Wi-su
dalam istana, melainkan bertugas luar yakni untuk
menyelidiki orang-orang persilatan yang hendak
menentang pemerintah Cing. Bahkan kemudian adanya
Nyo Ceng bisa masuk ke dalam lingkungan hamba
kerajaan adalah karena bujukan kawanan Ki-lian-sam-siu
itu.
Nyo Hoan tak tahu hal itu, maka terjadilah salah
paham dengan Ki-lian-sam-siu. Yakni ketika Kang Haythian
terkepung oleh Yo Tun-hou dan beberapa opsir
kerajaan dalam sebuah gua, Nyo Hoan dan Siangkoan
Wan yang kebetulan berlalu di situ, tahu bekas
bujangnya (Ki-lian-sam-siu) yang minggat berada di situ,
lantas memberi hajaran pada Yo Tun-hou, secara tak
sadar ia telah menolong Kang Hay-thian.
Karena sudah mendapat keterangan dari sang ayah,
kini Nyo Hoan tahu hal itu, maka demi melihat
kedatangan Lok Khik-si, girangnya bukan kepalang.
Sebaliknya Lok Khik-si pun girang sekali juga, karena
sebenarnya ia mendapat tugas untuk menyambut Nyo
Hoan.
Orang she Lok itu tak tahu apa sebabnya Nyo Hoan
bertengkar dengan Tiok Ceng-hoa, tapi ia tahu kalau
dara itu adalah si nona yang dua tahun berselang
merampas Li Kong-he dari tangan mereka. Bahwa di
samping bertemu Nyo Hoan, terdapat juga si dara dan
Kong-he, girang Lok Khik-si sukar dilukiskan.
"Sungguh suatu kesempatan yang jarang terdapat!
Biar kuringkus dara itu terlebih dulu. Di samping untuk
mengambil hati Nyo Hoan, juga untuk membalaskan sakit

hatiku dua tahun yang lalu dan yang penting pula dapat
merampas anak Li Bun-sing itu lagi," pikirnya.
Lok Khik-si boleh merangkai keinginan, tapi Nyo Hoan
tak membiarkan dia cepat-cepat memberi bantuan.
"Budak itu nanti saja kita ringkus, yang penting ambil
kembali karung itu lebih dulu!" bentak Nyo Hoan pada
saat Lok Khik-si mencabut senjata hendak menerjang
Kong-he.
Nyo Hoan tetap mempertahankan keangkuhannya,
sekalipun ia terdesak, namun ia yakin tentu dapat
merebut kemenangan. Sekurang-kurangnya ia masih
dapat bertahan sampai setengah jam lamanya. Ia kuatir
kalau-kalau To-kan dapat melarikan diri, maka
disuruhnya Lok Khik-si mencari karung itu saja.
Memang ketika turun di muka kedai tadi, sepertinya
Lok Khik-si melihat di tengah jalan terdapat sebuah
karung, tetapi hal itu tak diperhatikannya. Barulah
setelah mendengar perintah Nyo Hoan, ia agak tertegun,
ia anggap Nyo Hoan takut kalau dia yang akan mendapat
pahala, maka ia tak mau keluar, sebaliknya bertanya lagi,
"Apa perlunya dengan karung itu? Budak ini adalah putra
Li Bun-sing, salah seorang tokoh Thian-li-kau yang
penting, jauh lebih berharga dari emas berlian!" Ternyata
Lok Khik-si mengira karung itu paling banyak hanya
berisi harta benda saja.
"Budak tolol!" bentak Nyo Hoan dengan marah sekali.
"Kusuruh kau pergi, mengapa membantah! Karung itu
berisi putra Lim Jing, ketua Thian-li kau! Jauh lebih
berharga dari budak ini, tahu!"
"Astaga ..." demikian mulut Lok Khik-si menjerit kaget,
terus ia melompat lari keluar.

"Tok-kak-lok, bukankah kau pernah merasakan


kelihaian Suhuku? Kalau kau berani mencelakai aku,
awas. Suhu tentu akan mengejarmu lagi!" To-kan
memaki-maki dalam karung.
Lok Khik-si tertawa gelak-gelak, "Justru hutang Kang
Hay-thian padaku itu hendak kutagih padamu! Hehe,
pada waktu Kang Hay-thian tahu, kau tentu sudah
berada di kotaraja!"
Lok Khik-si terus berlari hendak menerkam karung itu,
tapi sekonyong-konyong seorang lelaki berjalan secepat
orang lari dan mendahului mengambil karung itu. Ia
seorang pemuda, umurnya di antara 20-an tahun dan
ternyata adalah Ubun Hiong, murid kedua Kang Haythian.
Setelah pergi dari rumah keluarga Kang, dengan
menahan malu dan sedih, Ubun Hiong sebenarnya
hendak pergi jauh. Di tengah jalan ia berjumpa dengan
beberapa sahabat kenalannya yang menanyakan
mengapa ia tak pergi ke Bin-san menghadiri rapat orang
gagah. Sahabatnya itu mengira kalau Ubun Hiong tentu
mendapat perintah dari Suhunya untuk mengundang
orang. Ubun Hiong memberi jawaban sekenanya saja,
setelah orang itu pergi, timbullah pikiran Ubun Hiong,
"Ya, mengapa aku tak pergi ke Bin-san saja? Mungkin
Suhu hadir di situ. Dapatlah aku meminta
pertimbangannya."
Demikianlah Ubun Hiong segera berganti arah menuju
ke Bin-san, tak terduga-duga ia bertemu dengan Nyo
Hoan. Sebenarnya Ubun Hiong belum kenal siapa Lim
To-kan itu, karena bocah itu baru datang pada Kang
Hay-thian setelah Ubun Hiong pergi diusir Kok Tiong-lian,

tetapi ketika ia mendengar To-kan memaki-maki Lok


Khik-si tadi, tahulah ia kalau anak yang berada dalam
karung itu juga murid Kang Hay-thian, putra ketua Thianli-
kau. Sudah tentu ia terkejut sekali dan cepat-cepat
menolongnya. Ubun Hiong kenal pada Lok Khik-si, tapi
orang she Lok itu tak kenal pada Ubun Hiong. Melihat
Ubun Hiong hanya seorang anak muda yang baru 20-an
umurnya, ia tak memandang mata sama sekali,
digentakkannya senjata Lok-kak-jat, ia segera
menyerang si anak muda.
Ubun Hiong pun menyambutnya dengan memainkan
ilmu pedang Toa-si-mi-kiam-hoat, sekalipun belum
mencapai kesempurnaan, namun gerakan Ubun Hiong itu
cukup mengagumkan. Lok Khik-si terkejut sekali, ia
heran melihat permainan pedang si anak muda yang
sukar diduga perubahannya itu. Dengan menggunakan
gerak Kek-cu-hoan-sim atau burung merpati
membalikkan tubuh, ia buang tubuhnya dan melompat
tiga tombak jauhnya ke belakang.
"Huh, siapa anak itu? Mengapa ilmu pedangnya
sedemikian hebat?" ia menggumam seorang diri.
Memang ia tak kenal apa yang disebut ilmu pedang Toasi-
mi itu, inilah yang membuatnya terkejut sekali hingga
sampai beberapa saat ia tak berani maju lagi.
Setelah sembuh dari luka, barulah Ubun Hiong mulai
mendapat pelajaran ilmu pedang itu dari Kok Tiong-lian.
Sejak itu, baru sekarang ini ia menggunakannya
terhadap musuh. Ia sendiri tak tahu sampai dimana
kemajuan yang telah diperolehnya selama ini. Apakah
ilmu pedang itu benar-benar sakti, masih diragukannya.
Ketika pedangnya tertumbuk dengan Lok-kak-jat lawan
tadi, sebenarnya tangannya terasa kesemutan, maka

meskipun Lok Khik-si terkejut, Ubun Hiong sendiri juga


tak berani menyusuli lain serangan lagi.
Ubun Hiong mempunyai beberapa pertimbangan.
Pertama, ia tak yakin dapat mengalahkan Lok Khik-si.
Kedua, ia kuatir konco Lok Khik-si yang berada dalam
kedai itu (Nyo Hoan) keburu keluar membantu, ini tentu
akan membahayakan. Karena toh sudah dapat
mengambil karung, maka lebih baik ia lekas
meninggalkan tempat itu saja. Kebetulan sekali kuda Nyo
Hoan tertambat pada pohon yang berada di sebelahnya.
Tanpa sempat membuka tutup karung lagi, Ubun Hiong
segera melompat ke atas kuda sambil menjinjing karung
itu, sekali sabet dengan pedang, putuslah tali pengikat
kuda dan larilah binatang itu sekencang-kencangnya.
To-kan yang berada di dalam karung sudah tentu tak
mengetahui siapakah yang membawanya saat itu, maka
ia pun diam saja. Sedang Ubun Hiong tak tahu sama
sekali bahwa di dalam kedai itu masih terdapat seorang
Sutenya lagi, yakni Li Kong-he. Dengan begitu, hilanglah
kesempatan untuk bertemu.
"Ser, ser, ser", Lok Khik-si melepaskan tiga batang
panah pendek, tapi semuanya dapat ditangkis jatuh oleh
Ubun Hiong. Lok Khik-si putus asa karena tahu bahwa
kuda yang dinaiki anak muda tak dikenal itu kuda istana
yang dapat lari seribu li sehari. Selagi ia menghela napas,
tiba-tiba terdengar Nyo Hoan menjerit kesakitan, sudah
tentu ia kaget dan buru-buru lari kembali ke arah kedai.
Memang pada saat Lok Khi-si keluar tadi, di dalam
kedai telah berlangsung suatu adegan pertempuran yang
seru, karena hendak menolong To-kan, Li Kong-he telah
mengadakan serangan mati-matian untuk menerobos

keluar, Nyo Hoan merintangi di ambang pintu. Kong-he


nekat menerjangnya.
"Hai, kau minta mati!" teriak Nyo Hoan seraya
menghantamkan tongkatnya ke arah pelipis Kong-he.
Sebenarnya ia hendak menangkap Kong-he hidup-hidup,
tetapi setelah pertempuran meningkat dengan senjata, ia
merasa tak ada harapan. Lebih dulu ia mengharap dapat
menjatuhkan Kong-he yang agak lemah, baru kemudian
Tiok Ceng-hoa yang lebih tangguh.
Melihat serangan Nyo Hoan makin lama makin gencar,
si dara pun makin marah, tanpa sadar ia serentak
mengeluarkan ilmu kepandaian dari keluarganya. Sesaat
Nyo Hoan mengayunkan tongkat ke arah Kong-he, ujung
pedang sudah tiba di punggung Nyo Hoan. Nyo Hoan tak
gugup, dengan membusungkan dada ia mengacungkan
tongkatnya ke atas, tangkainya untuk menangkis pedang
si dara, ujungnya masih tetap mengancam jalan darah
Kong-he.
Sebenarnya Lwekang Nyo Hoan itu lebih unggul dari si
dara dan Kong-he, tapi dikarenakan ia membagi dua
untuk melayani mereka, kekuatannya pun berkurang,
"Tring", pedang si dara kena dipentalkan. Cepat-cepat
dara itu menggunakan Lwekang untuk menempel
tongkat lawan, terus digelincirkan ke bawah menggurat
kaki Nyo Hoan. Sedang Kong-he menangkis dengan
seluruh tenaganya, setelah dapat menahan tongkat,
secepat kilat ia mengirim sebuah bacokan. Ia gunakan
jurus Lian-hoan-sam-to (golok berantai). Bacokan
pertama berhasil mendapat sasaran, bacokan kedua pun
segera menyusul datang. Ceng-hoa terkejut,
bagaimanapun ia masih ingat akan hubungan

persaudaraan dengan Nyo Hoan, buru-buru ia menangkis


golok Kong-he, "Dia sudah terluka, ampunilah jiwanya!"
Karena memandang muka si dara, terpaksa Kong-he
batalkan serangannya. "Tuan besar, maafkan!" katanya
seraya terus berlari keluar.
Pada saat ia melangkah ke pintu, justru Lok Khik-si
datang. Girang orang she Lok itu tak kepalang, pikirnya,
"Tidak mendapat anak Lim Jing, asal dapat menawan
anak Li Bun-sing inipun lumayan. Budak Nyo Hoan itu
entah mati entah terluka, untuk sementara ini tak perlu
kuhiraukan lagi."
Kong-he pernah ditipu Lok Khik-si, ia dendam sekali
kepada orang itu. Tanpa memperhitungkan bagaimana
jadinya, begitu melihat Lok Khik-si coba menghadang
jalan, terus saja diserangnya.
Lok Khik-si tertawa gelak-gelak, "Ai, keponakan yang
manis, lebih baik kau ikut pada paman. Perlu apa kau
unjuk kekerasan, kan hanya, merusak hubungan kita
saja?"
"Bedebah hina, siapa keponakanmu itu?" damprat
Kong-he.
Lok Khik-si menggunakan ilmu Toa-kim-na-jiu untuk
menangkap, tapi Kong-he menggunakan jurus Pek-holiang-
ih (burung ho pentang sayap) membacok siku
lengan orang.
"Huh, berbahaya sekali!" teriak Lok Khik-si yang
dengan cepat merubah gerakannya untuk menangkap
tangan Kong-he, tetapi Kong-he pun sudah merubah
jurusnya dengan lain gerakan membabat tangan Lok
Khik-si. Lok Khik-si terkejut melihat kemajuan si anak

muda, berpisah hanya setahun ternyata kepandaian


Kong-he maju pesat sekali. Cepat ia tarik pulang
tangannya, merubah cengkeramannya dengan sebuah
tebasan, dua buah jarinya menotok jalan darah di paha
Kong-he. Kong-he berputar ke samping, membabat
pinggang lawan. Terpaksa Lok Khik-si mencondongkan
tubuh menghindar.
Kalau semula Lok Khik-si hendak menangkap anak itu
hidup-hidup, kini setelah dua tiga gebrak, ia tersadar
Kong-he yang sekarang jauh berbeda dengan setahun
yang lalu. Kalau ia hanya menggunakan ilmu tangan
kosong, terang tak dapat menghadapinya.
"Bagus, kau berani menantang pamanmu berkelahi
dengan senjata? Ya, kalau tak diberi pengajaran, kau
tentu belum kapok!" Lok Khik-si berubah begis dan
mencabut senjata Lok-kak-jat.
Kong-he kalah tenaga, waktu berbenturan senjata,
tangannya dirasakan sakit sekali. Namun anak itu
mengertak gigi menahan sakit sehingga Lok Khik-si tak
berhasil memukul jatuh goloknya.
Nyo Hoan yang termakan golok Kong-he jatuh
terkapar di lantai, mulutnya mengerang kesakitan, darah
mengalir deras. Mendengar suara pertempuran di luar, ia
kuatkan tenaganya merangkak dan berteriak, "Bagus,
Lok-lojin, bunuh saja budak itu, jangan takut!"
Saat itu sebenarnya Ceng-hoa hendak memberi obat
pada Nyo Hoan, tapi demi mendengar mulut anak muda
itu sedemikian kejamnya. marahlah dara itu, "Nyo Hoan,
rupanya sampai mati kau tetap tak mau insyaf, tetap
hendak membunuh kami! Dengan memandang muka
bibi, aku takkan membunuhmu, tetapi jangan harap kau

pun akan mendapat pertolonganku. Sejak saat ini,


putuslah hubungan kita sebagai saudara misan. Mati atau
hidup, kita tempuh jalan sendiri-sendiri!"
Setelah itu si dara berlari keluar untuk membantu
Kong-he, dan memang kedatangannya itu tepat sekali
waktunya. Ujung Lok-kak-jat orang she Lok itu tengah
mengancam pergelangan tangan Kong-he. Ceng-hoa
cepat memainkan jurus Giok-li-tho-soh untuk menusuk
tenggorokan orang itu. Terpaksa Lok Khik-si melepaskan
golok Kong-he, untuk menangkis serangan si dara itu.
Ilmu pedang Ceng-hoa luar biasa, sayang Lwekangnya
masih lemah. Maju berdua dengan Kong-he, palingpaling
hanya dapat berimbang dengan Lok Khik-si.
Setelah mendapat kelonggaran, barulah Kong-he
sempat melihat ke sekelilingnya, ia kaget sekali demi tak
melihat karung maupun bayangan To-kan. "Tok-kak-lok,
kau apakan Lim-hengte itu?" bentaknya dengan marah.
Lok Khik-si tertawa mengejek, "Bangsat kecil she Lim
itu? Sudah tentu telah jatuh ke tangan kami. Kau
menghendaki dia hidup atau mati? Lekas buang golokmu
dan panggil aku dengan sebutan paman lagi, nanti
kuantar menjumpainya. Kalau tidak, hehehe, biar
kubunuh dirimu dulu baru nanti kuhabisi jiwa anak itu!"
Lok Khik-si memperlakukan Kong-he sebagai seorang
anak kecil, membujuk dengan omongan manis agar anak
itu luluh hatinya.
Sudah tentu Kong-he tak nanti kena terpikat bujukan
orang, tetapi ia pun mengakui bahwa Lim To-kan tentu
sudah jatuh ke tangan musuh. "Bangsat tua, aku
mengadu jiwa padamu!" teriaknya sambil menyerang
dengan kalap, kekalapan itu menyebabkan permainannya

menjadi ngawur. Dalam sebuah kesempatan, Lok Khik-si


dapat memukul jatuh goloknya dan menusukkan ujung
Lok-kak-jat ke dada Kong-he. Untung Ceng-hoa
bertindak cepat, ia dorong Kong-he ke samping sambil
menusuk lambung Lok Khik-si. Jurus ini untuk menolong
apabila terdesak dalam ancaman maut.
Lok Khik-si dengan terpaksa membatalkan
serangannya kepada Kong-he.
"Adik He, tenangkan pikiranmu, jangan percaya
bujukan bangsat ini!" seru Ceng-hoa.
Kong-he memungut goloknya yang jatuh di tanah,
diam-diam ia sesali dirinya yang kelewat tak dapat
menahan kemarahan. Setelah itu ia maju menyerang
lagi, kali ini ia bertempur dengan tenang.
Lok Khik-si masih mencoba untuk mengalihkan
perhatian Kong-he, tapi gagal. Kini ia harus bertahan
mati-matian diserang oleh kedua anak muda itu.
Makin lama permainan pedang Ceng-hoa makin
tenang dan makin indah, Lok Khik-si yang mahir menotok
jalan darah dengan senjata Lok-kak-jat, terpaksa harus
menyerah terhadap ilmu menotok jalan darah dengan
pedang dari si dara. Lok Khik-si kalah gesit dibanding
Ceng-hoa, beberapa kali hampir saja ia kena ditusuk.
Tanpa terasa pertempuran itu telah berjalan hampir
seratusan jurus, tiba-tiba Nyo Hoan terdengar berteriak,
"Lok-lojin, mengapa tak lekas memberi aku obat!"
Nadanya rawan dan parau, terang ia tak tahan lagi dan
takut mati.
Memang semula ia mengira tentu dalam waktu singkat
Lok Khik-si dapat menyelesaikan pertempurannya

melawan Ceng-hoa dan Kong-he, tetapi ternyata


ditunggu sampai sekian lama belum juga orang she Lok
itu muncul ke dalam kedai. Walaupun Nyo Hoan juga
membawa obat luka, tapi karena ia lemas, darahnya
terus mengalir, maka tak dapatlah ia mengambil obat itu.
Akhirnya ia terpaksa meneriaki Lok Khik-si supaya
memberikan obat.
Teriakan Nyo Hoan itu memberi alasan bagi Lok Khiksi
untuk ngacir dari gelanggang. "Ya, aku segera
datang!" serunya seraya melompat dari kepungan kedua
anak muda itu, terus berlari ke dalam kedai.
Kong-he lebih mengutamakan mencari To-kan. Apalagi
ia merasa, sekalipun maju berdua dengan Ceng-hoa juga
tak dapat mengalahkan Lok Khik-si, maka ketika Lok
Khik-si lari, ia pun tak mau mengejarnya.
"Hm, biar hari ini kuampuni jiwamu, tapi lain hari tetap
akan kubikin perhitungan lagi," kata Kong-he geram.
Nyo Hoan yang berada di dalam kedai, merasa lega
ketika didengarnya derap langkah mereka makin lama
makin jauh.
Waktu hendak menentukan arah pengejaran, Kong-he
agak bimbang. Terus ke utara berarti menuju ke
kotaraja, kalau balik ke selatan, akan kembali ke Bin-san.
Akhirnya Ceng-hoa yang menghiburnya, "Tadi ketika
berada di dalam kedai, lapat-Iapat aku seperti
mendengar suara pertempuran di luar sini. Jika
komplotannya terang mereka takkan berkelahi dengan
Lok Khik-si, mungkin tentulah lain orang yang membawa
karung itu."

Kong-he merasa lega, ia anggap ucapan dara itu


memang masuk akal. Hanya ketika tiba di sebuah jalan
simpang tiga, jejak kuda yang diikutinya itu hilang
lenyap, suatu hal yang membuat mereka kehilangan arah
pengejarannya.
Ternyata yang menghapus jejak kuda itu adalah Ubun
Hiong, sebenarnya ia seorang pemuda yang jujur, tapi
sebagai putra seorang Piauthau (pemimpin kantor
pengiriman), mengerti juga ia akan cara-cara orang
persilatan untuk menghadapi pengejaran musuh.
Sebenarnya ia hendak menuju ke Bin-san, tetapi untuk
mengelabui musuh atau pengejaran pasukan pemerintah,
ia terpaksa mengambil jalan arah sebaliknya. Ketika tiba
di persimpangan tiga itu, barulah ia berhenti. Kala itu
sudah petang hari. Ia merobek kain bajunya untuk
membungkus keempat kaki kudanya, kemudian ia
berkuda lagi masuk ke sebuah hutan di dekat situ. Malam
itu ia hendak bermalam di dalam hutan dan
mengeluarkan To-kan, setelah malam barulah ia akan
menempuh perjalanan balik lagi. Dengan cara itu, apabila
ada musuh mengejar tentulah mengira kalau ia menuju
ke kotaraja, padahal ia pergi ke Bin-san.
Setelah berada dalam hutan, segera ia membuka
karung itu. Lim To-kan menggelundung keluar, tetapi tak
dapat berdiri. Ubun Hiong terkejut, buru-buru
diangkatnya anak itu. Tampak wajah anak itu pucat lesi,
dadanya berombak keras. Waktu hendak ditanyai, tibatiba
anak itu berteriak, "Bisa mati sesak aku! Siapa kau?"
Mendengar suara To-kan, legalah hati Ubun Hiong.
Terang anak itu tak menderita luka apa-apa, memang
To-kan hanya mengalami penderitaan dikurung dalam

karung selama satu malam satu hari tanpa makan minum


hingga tenaganya lemas sekali.
"Aku adalah Suhengmu, siapakah namamu?" tanya
Ubun Hiong.
"Eh, sedangkan namaku saja kau tak tahu, mengapa
mengaku-aku jadi Suhengku?" balas To-kan.
"Bukankah kau ini murid Kang Hay-thian? Aku adalah
murid kedua Kang-tayhiap. Kau lebih muda dari aku,
tentulah kau baru datang belakangan, maka tentulah
Suteku," sahut Ubun Hiong.
To-kan masih bersangsi, jangan-jangan berhadapan
dengan seorang pembohong, ujarnya, "Kasih tahu dulu
siapa namamu."
Ubun Hiong memberitahukan namanya, lalu mencabut
pedang dan ia segera memainkan ilmu pedang Toa-si-mikiam.
"Sreet", sebatang ranting kutung menjadi tiga,
setelah itu baru ia menarik pulang pedangnya,
"Percayakah kau kalau aku ini murid Kang-tayhiap?"
Memang pernah Kang Hay-hian mengatakan bahwa
To-kan mempunyai seorang Toasuheng bernama Yap
Leng-hong dan Jisuheng bernama Ubun Hiong. Melihat
ilmu pedang Suhunya dimainkan oleh Ubun Hiong,
seketika lenyaplah segala kesangsiannya, buru-buru ia
memberi hormat kepada Suhengnya.
Ubun Hiong mengatakan kalau To-kan tentu kelewat
lapar, ia mengambil air di sebuah sungai, kemudian
mengeluarkan rangsum kering dan menyuruh To-kan
makan. Setelah makan dan minum, semangat To-kan
bertambah segar, maka bertanyalah ia, "Bagaimana

dengan Samsuheng? Ubun-suko, mengapa kau hanya


menolong aku seorang? Tidak sekalian menolongnya?"
Ubun Hiong tercengang, "Samsuheng yang mana?"
"Siapa lagi kalau bukan Li Kong-he? Suhu pernah
mengatakan kalau ia telah menerima Samsuheng sebagai
calon murid. Waktu aku diterima menjadi murid,
meskipun Samsuheng belum diketemukan, tetapi Suhu
telah memberi janji lebih dahulu, maka menurut urutan,
dia adalah Samsuhengku," jawab anak itu.
"Kau maksudkan putra Li Bun-sing itu? Benar,
memang kutahu Suhu pernah mencarinya. Ha,
dimanakah dia sekarang?" Ubun Hiong bertanya.
"Hai, apakah kau tak melihatnya? Yang bertempur
dengan Nyo Hoan dalam kedai itu ialah Samsuheng!"
"Aku belum masuk ke kedai itu. Dahulu aku pun belum
pernah berjumpa dengan Li-sute, sekalipun tadi aku
masuk ke dalam kedai pun juga tak mengenalnya," sahut
Ubun Hiong.
"Celaka, celaka! Nyo Hoan itu lihai sekali, apalagi
ditambah Lok Khik-si. Dikuatirkan Li-suko tentu sudah
jatuh ke tangan mereka!" To-kan mengeluh.
"Apakah Li-sute tiada berkawan?" tanya Ubun Hiong.
To-kan menerangkan bahwa selama itu ia dimasukkan
dalam karung, jadi tak tahu, tetapi jelas didengarnya
kalau masih terdapat seorang dara yang dipanggil adik
misan oleh Nyo Hoan. "Ha, aneh sekali. Entah bagaimana
anak perempuan itu akhirnya membela Li-suko dan
berkelahi dengan Nyo Hoan sendiri," kata To-kan.

Ubun Hiong tak kenal siapa Tiok Ceng-hoa, siapa Nyo


Hoan itu, tetapi ia tahu kalau Suhunya mencari matimatian
pada Li Kong-he. Ia menyesal sekali bahwa Sute
yang sebenarnya tanpa sengaja dapat diketemukan itu
telah lolos dari tangannya lagi. "Ah, sekarang sudah
lewat beberapa jam, jika terjadi sesuatu pada Li sute,
kita pun tak dapat menolong. Pada saat ini, tentulah
mereka sudah meninggalkan kedai itu," kata Ubun Liong
dengan menghela napas.
"Tetapi paling tidak kita harus mengetahui, apakah Lisuko
sudah mati atau dilarikan orang. Bagaimana kalau
kita balik ke kedai lagi?" tanya To-kan.
Ubun Hiong anggap hal itu memang baik, tetapi ia
merasa cemas juga. Rasa cemas itu bukan tentang apaapa,
melainkan tentang diri Lim To-kan. la belum tahu
sampai dimana kepandaian silat anak itu, anak itu habis
mengalami penderitaan masuk karung, bagaimana ia
dapat mengajaknya ke tempat yang berbahaya? Ia
merasa tak sanggup mengalahkan Lok Khik-si dan tak
tahu pula kalau Nyo Hoan sudah terluka. Ia kuatir kalau
sampai kebentur dengan mereka, bukan saja tak dapat
menolong Li Kong-he, malah jangan-jangan Lim To-kan
sendiri juga akan jatuh ke tangan musuh.
To-kan seorang anak cerdas, apa yang diragukan
Ubun Hiong dapat diketahuinya juga. "Jisuko, harap kau
memberi petunjuk padaku barang beberapa jurus saja!"
tiba-tiba ia berseru.
Selama merawat luka di rumah keluarga Kang, dalam
setahun itu ia hanya mendapat pelajaran ilmu pelajaran
Lwekang dan ilmu pedang Toa-si-mi-kiam. Sebaliknya
To-kan yang berbulan-bulan menempuh perjalanan

dengan Suhunya, sebenarnya telah menerima pelajaran


lebih banyak dari Ubun Hiong, tetapi semua itu hanya
jumlah jenis pelajaran, sedang latihannya masih kurang
sempurna. Sebaliknya meskipun hanya satu macam,
tetapi Ubun Hiong telah dapat meresapi intisari ilmu
pedang Toa-si-mi-kiam dengan jelas.
Toa-si-mi-kiam itu sebuah ilmu pedang yang luar biasa
hebatnya, jika bertempur sungguh-sungguh, tentulah Tokan
kalah dengan Jisukonya, tetapi karena terhadap
seorang Sute yang lebih kecil, apalagi To-kan menyerang
secara mendadak, maka tak sempatlah bagi Ubun Hiong
untuk mengeluarkan ilmu pedang Toa-si-mi-kiam. Lim
To-kan menggunakan ilmu Siau-kim-na-jiu, sebuah ilmu
tangan kosong yang diciptakan oleh Kang Hay-thian
sendiri berdasarkan beberapa jenis ilmu Kim-na-jiu dari
partai-partai persilatan, sudah tentu gayanya hebat
sekali. Karena tak bersiap, lengan Ubun Hiong kena
dipelintir oleh To-kan. Ubun Hiong kerahkan Lwekang ke
arah lengan, tangan To-kan pun segera mencelat, tetapi
anak itu hanya terhuyung saja tak sampai jatuh. Ubun
Hiong kaget dan buru-buru hendak menolonginya, siapa
tahu sekonyong-konyong To-kan menyambar telapak
tangan Jisukonya lagi, kali ini Ubun Hiong tak mau
menggunakan Lwekang dan membiarkan tangannya
dipegang sang Sute. Keduanya saling bercekalan tangan
dan tertawa gelak-gelak.
"Lim-sute, hebat benar kepandaianmu. Dua jurus Kimna-
jiumu itu aku tak mampu menandingi, hanya
"Ya, memang kutahu kalau belum dapat melawan Lok
Khik-si, tetapi kalau dia hendak menjatuhkan aku dalam
10-an jurus juga tak mudah. Kuda ini cepat sekali larinya,

jika terdesak bukankah kita dapat melarikan diri dengan


kuda ini?" buru-buru To-kan menanggapi.
Apa yang dikatakan To-kan itu memang kenyataan,
dalam usia yang begitu muda, To-kan sudah dapat
memiliki kepandaian yang boleh dibanggakan. Anak itu
boleh dijadikan pembantu tanpa Ubun Hiong harus
memikirkan untuk melindunginya.
"Baik, usiamu masih muda tapi kau sudah mengerti
setia-kawan, memang sekurang-kurangnya kita harus
mencari kabar tentang diri Li-sute. Ayo, kita berangkat!"
akhirnya Ubun Hiong tergerak semangatnya. Kala itu
sudah malam hari, karena kaki kuda dibungkus dengan
robekan kain, maka tak meninggalkan jejak apa-apa.
Derap kakinya pun tak seberapa keras. Saat itu Ceng-hoa
dan Kong-he telah melewati simpang tiga dan terus
melarikan kudanya sejauh 5 li. Dengan demikian
hilanglah kesempatan untuk berjumpa dengan Ubun
Hiong dan To-kan.
Dalam perjalanan itu, Lim To-kan menceritakan nama
dan asal-usul dirinya pada Ubun Hiong.
"Oh, kiranya kau sudah ke rumah Suhu, apakah
semua keluarga Suhu tak kurang sesuatu apa?" tanya
Ubun Hiong. Dengan pertanyaan itu ia hendak mencari
tahu tentang diri Kang Hiau-hu.
To-kan mengatakan semua keluarga Suhu baik-baik
saja, lalu ia bertanya, "Tapi Jisuko, mengapa kau seorang
diri berkelana?"
"Eh, apakah mereka tak memberitahukan padamu?"
"Memberitahu apa?" balas To-kan

"Apakah kau tak pernah menanyakan mereka tentang


diriku?"
"Ya, sudah. Suci menjawab bahwa beberapa tahun
lagi kau baru kembali ke rumahnya, la pesan itu supaya
aku jangan mengatakan hal itu di hadapan Suhu dan
Subo, karena pesan itu aku pun tak berani menanyakan
pada Suhu dan Subo. Jisuko, apakah sebenarnya yang
terjadi padamu?" tanya To-kan.
Ubun Hiong tertawa getir, "Ah, panjang benar
ceritanya. Besok saja kuceritakan padamu." Dari
keterangan Sutenya itu, terhiburlah hati Ubun Hiong.
Dari situ dapat diketahui bahwa Hiau-hu masih tetap
mengenangnya dan diam-diam dara itu kurang puas
dengan tindakan mamahnya.
Cepat sekali mereka tiba di kedai makan tadi. Waktu
hendak masuk, tiba-tiba di dalam kedai terdengar suara
orang bicara. Buru-buru Ubun Hiong menarik To-kan dan
menempelkan telinganya pada daun pintu untuk mencuri
dengar. Yang bicara itu ternyata seorang gadis.
"Kurangajar! Berani sekali Li Kong-he itu melukaimu.
Besok pagi-pagi tentu kukejar mereka," gadis itu marahmarah.
"Apakah kau tak takut pada Tiok Ceng-hoa?" sahut
seorang lelaki yang bukan lain adalah Nyo Hoan.
Gadis itu menghela napas, "Engkoh Hoan, apakah
keteranganmu tadi benar-benar sesungguhnya?"
"Mengapa aku harus membohongimu? Ketahuilah,
dalam hatiku hanya ada dirimu. Karena terpaksa baru
aku pura-pura menyetujui pernikahan dengan Tiok Cenghoa
itu, mereka telah menghina habis-habisan ayahmu,

karena marah aku sampai tak dapat mengatakan apaapa!"


sahut Nyo Hoan.
Ubun Hiong dan To-kan mengira kalau Nyo Hoan tentu
sudah pergi, tapi ternyata tidak. Dan keterangan Nyo
Hoan tadi menyatakan bahwa Kong-he ternyata sudah
pergi, bukannya jatuh ke tangan musuh. Suatu hal yang
menggirangkan Ubun Hiong dan To-kan.
Memang luka Nyo Hoan banyak mengeluarkan darah
sehingga setelah diberi obat oleh Lok Khik-si, tetap ia
belum dapat jalan, terpaksa ia beristirahat dulu di kedai
itu. Kira-kira sejam dari kepergian Ceng-hoa dan Konghe,
datanglah seorang anak perempuan dengan berkuda.
Ketika melalui kedai, gadis itu mendengar rintihan Nyo
Hoan. Ia terkejut dan cepat-cepat turun dari kuda dan
menyapa, "Hai, apakah itu engkoh Hoan?"
Gadis yang ternyata adalah Siangkoan Wan, putri
Siangkoan Thay kejut-kejut girang ketika masuk ke
dalam kedai melihat Nyo Hoan duduk dikelilingi lantai
berdarah, Lok Khik-si tengah memberinya obat. Mayat
ketiga pelayan yang dibunuh Nyo Hoan tadi masih
bergelimpangan di situ.
"Engkoh Hoan, mengapa terluka begini parah?" seru
Siangkoan Wan, nona itu memang menaruh perhatian
istimewa pada Nyo Hoan. Pertama yang ditanyakan tentu
saja diri pemuda itu, tentang bagaimana ketiga sosok
mayat itu ia tak menghiraukan.
Nyo Hoan sengaja merintih lebih mengiba, sahutnya,
"Percuma saja kuberitahukan padamu, toh kau tidak
dapat membalaskan sakit hatiku."

"Siapa musuhmu? Apakah sakti sekali? Kalau aku


kalah, toh ada ayahku! Masih ada pula pamanku.
Mengapa pula tak mau engkau memberitahukan?"
Nyo Hoan tertawa dingin, "Kau masih mimpi akan
bantuan pamanmu? Hm, hm, sekali kau sebut-sebut
namanya, aduh, duh, aku, aku ..."
Cepat-cepat Siangkoan Wan mewakili Lok Khik-si
merawat luka Nyo Hoan. "Engkoh Hoan, bagimana
lukamu?" tanyanya.
"Luka di badan sih tak mengapa, tapi luka di hatilah
yang paling parah," sahut Nyo Hoan.
Siangkoan Wan menjamah tubuh si anak muda,
diketahuinya memang luka engkoh misannya itu tak
berbahaya, hanya karena kelewat banyak mengeluarkan
darah maka tubuhnya lemas. Setelah membalut luka Nyo
Hoan, bertanyalah ia, "Apakah yang terjadi sebenarnya?
Mengapa kau mengeluh ketika mendengar kusebut nama
paman? Bagaimana urusanmu dengan adik Ceng-hoa?"
Dalam anggapannya ia mengira Nyo Hoan tentu marahmarah
karena dipaksa kawin oleh pamannya yang
pertama itu.
Nyo Hoan menghela napas, "Jangan menyebut-nyebut
ayah dan gadis itu lagi. Lebih dulu bilanglah, kau
sebenarnya hendak pergi kemana?"
"Hendak ke rumah paman pertama."
"Untuk apa?"
"Eh, apakah kau tidak tahu? Bulan yang lalu ketika
ayah mengunjungi paman, ayah mengatakan paling lama
setengah bulan tentu sudah pulang, tetapi ternyata

sudah sebulan dia belum pulang. Mamah kuatir terjadi


sesuatu dengan ayah, maka menyuruh aku mencarinya.
Bukankah bulan yang lalu kau juga berada di tempat
paman? Apakah kau pernah melihat ayahku?"
Nyo Hoan pura-pura unjuk sikap masgul dan dengan
mengertak gigi ia berseru, "Cici Wan, karena sudah
begitu, terpaksa kubicara terus terang padamu. Paman
hendak memaksa ayahmu supaya melarang kau jangan
bergaul dengan aku. Ayahmu menolak, beliau
mendamprat paman yang dikatakan hendak
memperbudak dan mengikat kebebasan orang. Mereka
bercekcok mulut, akhirnya berkelahi, paman telah
mengurung ayahmu dalam kamar tahanan."
"Benarkah begitu" Siangkoan Wan terperanjat sekali.
"Masakah kau tak tahu perangai paman? Kalau ia hanya
mengurung ayahmu dalam kamar saja masih mending.
Saat itu aku menyaksikan pertengkaran mereka, hatiku
berdebar sekali demi melihat wajah paman berubah
sedemikian bengisnya. Aku kuatir ia akan bertindak
ganas, untung tidak."
Pandainya Nyo Hoan membawakan kata-katanya,
telah membuat
Siangkoan Wan percaya sehingga seketika itu
wajahnya pucat, ujarnya, "Habis bagaimana ini? Aku
harus mencari daya untuk menolong ayah. Hm, ya, yang
paling disayang paman hanya adik Ceng-hoa. Kalau kita
mencari padanya untuk minta tolong, tentulah akan
berhasil. Bagaimana pendapatmu?" .
Nyo Hoan tertawa menghina, "Huh, kau masih
memikirkan Ceng-hoa?"

Siangkoan Wan mendidih dalam hati, pikirnya, "Benar,


sekalipun adik Ceng-hoa itu baik dengan aku, tapi kini ia
sudah menjadi bakal istri engkoh Hoan. Rasanya sukar
mempercayai kalau ia tak menganggap aku sebagai
saingan." Berpikir begitu, rawanlah hati Siangkoan Wan.
"Engkoh Hoan, kalau aku yang menemui tentu tidak
leluasa, baiknya kau sendiri yang meminta pertolongan
padanya," bisiknya.
Nyo Hoan menggelengkan kepala, "Kalau dia
mendengar kataku, tentu siang-siang sudah kukatakan
hal itu. Apa kau kira Ceng-hoa hanya benci padamu saja?
Aku pun juga dibencinya! Mungkin kau belum tahu
tentang sebuah hal!"
Siangkoan Wan gelagapan dan meminta penjelasan.
"Coba tebak, siapakah yang melukai aku ini?" tanya
Nyo Hoan.
"Apakah Ceng-hoa?" Siangkoan Wan balas bertanya.
"Sekalipun bukan tangannya sendiri, tapi serupa juga
seperti dia. Aku menerima bacokan dari kacungnya!"
jawab Nyo Hoan.
"Kacungnya? Budak yang bernama Li Kong-he itu?
Mengapa ia berani melukai kau?" Siangkoan Wan kaget.
"Masakah kau tidak tahu bahwa Ceng-hoa sudah
mengangkat saudara dengan budak itu dan tak lagi
menganggapnya sebagai kacung. Karena cemburu
melihat hubunganku dengan kau, ia mengajak aku
bertengkar, dengan adanya kejadian itu dan mengingat
tingkah-laku paman, hatiku tak tahan lagi. Aku

bersumpah tak mengambilnya menjadi istri dan


meninggalkan rumahnya."
Siangkoan Wan kejut-kejut girang mendengar hal itu,
"Benarkah begitu? Tetapi bagaimana kau dapat
melarikan diri?"
Nyo Hoan tak mau kepalang tanggung berbohong,
dengan wajah tak berubah ia melanjutkan keterangan,
"Mengapa aku membohongimu? Hatiku hanya untukmu
seorang. Sekalipun tiada kejadian itu, aku pun tak puas
dengan ini. Setelah menyekap ayahmu dalam kamar,
paman lalu menyuruh Koan-ke (pengurus rumah tangga)
untuk menjaga dan melarang siapa pun masuk ke dalam
kamar tahanan itu. Setelah menyerahkan ayahmu pada
Koan-ke, paman segera mengajak beberapa bujangnya
menuju ke Bin-san, katanya hendak menghadiri rapat
besar para orang gagah. Pada hari kedua setelah paman
pergi, barulah terjadi percekcokan dengan Ceng-Hoa, bibi
tak berani mencegah aku sehingga dapatlah aku
melarikan diri."
Siangkoan Wan menerima tanpa sangsi, ujarnya, "O,
kiranya begitu. Engkoh Hoan, sekalipun kau tak berhasil
menolong ayahku, tetapi aku tetap berterima kasih
kepadamu."
"Tetapi urusan tak berhenti sampai di situ, Ceng-Hoa
marah-marah dan mengajak budak itu mengejar aku,"
kata Nyo Hoan pula.
Mendengar itu, agak meragulah Siangkoan Wan,
batinnya, "Paman benar bengis, tapi adik Ceng-hoa lebih
halus pekertinya, mengapa ia bisa berubah? Apakah
benar-benar cemburu padanya?"

"Waktu kemarin aku tiba di sini, mereka telah


mengejarku, Ceng-Hoa dan kacungnya mengeroyok aku.
Karena harus menjaga serangan Ceng-hoa, lenganku
kena dibacok kacung itu, ketiga pelayan kedai pun
dibunuh kacung itu. Untung Lok-lotoa kebetulan jalan di
sini dan dapat mengenyahkannya, dengan begitu
dapatlah jiwaku tertolong, kalau tidak, mungkin saat ini
kau tak dapat melihat aku lagi. Coba apa katamu,
menjengkelkan tidak mereka itu?."
Tiada lain pikiran Siangkoan Wan kecuali mempercayai
kata-katanya itu, kemudian ucapnya, "Kalau memang
begitu, sudah tentu menjengkelkan, tetapi karena ayah
sekarang sedang ditahan di rumah paman, tentang
hutang dendam budak Li Kong-he itu, besok saja kita
mencarinya."
"Aku mempunyai akal, dapat menolong ayahmu juga
dapat membalas sakit hatiku," kata Nyo Hoan.
"Bagus! Apa itu?" Siangkoan Wan girang.
"Mereka tak punya kuda, kulihat mereka menuju ke
utara. Kau boleh berkuda mengejarnya, tentu akan dapat
menyandaknya. Biar kuminta Lok-lotoa membantumu
menangkap mereka," kata Nyo Hoan.
Usia Siangkoan Wan lebih besar setahun dari Nyo
Hoan, begitupun ilmu silatnya juga lebih tinggi, tetapi
biasanya mereka suka berbahasa 'engkoh' dan 'taci'. Jika
Lok Khik-si seorang belum tentu dapat menang, tetapi
jika bersama Siangkoan Wan tentulah mudah menangkap
mereka, maka Nyo Hoan hendak menggunakan tenaga si
nona.

"Menangkap adik Ceng-hoa? Mana ... mana bisa?"


Siangkoan Wan terkejut.
"Paman toh bisa menangkap ayahmu, mengapa kau
tak dapat menangkap putrinya? Jika sudah dapat
menangkapnya, jangan kuatir paman takkan melepaskan
ayahmu."
"Oh, kiranya kau hendak memakai adik Ceng-hoa
sebagai barang tebusan ayah," kata Siangkoan Wan.
"Begitulah! Rasanya kecuali dengan cara itu, mana
kita dapat menghadapi paman? Biasanya orang itu
ngotot untuk menang dalam perdebatan, kaum paderi
ngotot berebut dupa sembahyang. Jika hendak menolong
ayahmu, janganlah kau menghiraukan hal-hal yang lain."
"Lalu hendak kau apakan budak Li Kong-he itu nanti?"
tanya Siangkoan Wan.
"Itu menjadi urusanku, tetapi aku berjanji padamu,
kalau aku takkan membunuhnya agar hatimu tenteram."
"Baik, aku setuju dengan usulmu, tetapi tunggu
setelah terang tanah, setelah lukamu agak baik, barulah
aku dapat mengejarnya dengan pikiran tenang," akhirnya
karena mengingat diri sang ayah, Siangkoan Wan
menerima usul Nyo Hoan.
Nyo Hoan kuatir kalau-kalau nona itu nanti berubah
pikiran, maka ia mendesak supaya lekas berangkat saat
itu juga, namun Siangkoan Wan tetap mau menunggu
sampai terang tanah. Adalah pada saat-saat mereka
berunding itu, tibalah Ubun Hiong dan Lim To-kan.
Mereka hanya berhasil mendengar separuh bagian dari
pembicaraan Nyo Hoan dan Siangkoan Wan.

Ubun Hiong menjamah telapak tangan To-kan dan


menuliskan huruf 'pergi'. Ia anggap berita tentang Li
Kong-he sudah jelas, jadi tak perlu berada di situ terlalu
lama.
Tetapi tak terduga-duga To-kan tak mau beringsut,
ketika Ubun Hiong tahu Sute itu tidak mau mengikutinya
pergi, ia berpaling ke belakang. Tampak dalam
keremangan bulan, anak itu tengah berdiri di pinggir
pintu seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Eh, apakah Sute tak menangkap maksudku? Di dalam
kedai ada tiga orang. Sekalipun budak she Nyo itu
terluka, tapi masih ada orang she Lok yang sukar
ditundukkan, apalagi masih ada si nona itu. Kita sudah
mendapat berita, maka harus lekas menyingkir, jangan
sampai ketahuan."
Itu dugaan Ubun Hiong, tetapi To-kan ternyata
mempunyai rencana sendiri. Ia tengah memikirkan si
nona (Siangkoan Wan). Meskipun hanya berjumpa dua
kali dan tinggal di rumahnya semalam, tapi ia merasa
cocok dengan nona itu. Bahkan keduanya saling
berbahasa taci dan adik. Ia masih ingat bagaimana
Siangkoan Wan karena hendak menjaga kalau-kalau Nyo
Hoan berubah hatinya, lalu minta ajaran sebuah ilmu
yang dapat menundukkan anak muda itu pada Kang Haythian,
tetapi nona itu sungkan mengatakan sendiri, maka
To-kanlah yang menyampaikan hal itu pada Suhunya.
Memang To-kan sudah tak senang kepada Nyo Hoan,
maka ia merasa gegetun mengapa Taci Wan itu sampai
terpikat dengan pemuda jahat. Makin mendengar
semakin tak kuatlah To-kan menahan perasaannya, ia
marah kepada Nyo Hoan yang membohongi mentahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
mentah dan kasihan pada Siangkoan Wan. Bingung ia
untuk bertindak, apakah akan menerobos masuk dan
menelanjangi kebohongan Nyo Hoan? Tetapi kalau
Siangkoan Wan tidak percaya, lalu bagaimana
tindakannya nanti? Secerdas-cerdas pikirannya, namun ia
masih muda. Menghadapi peristiwa itu, ia benar-benar
kehilangan akal.
Ubun Hiong kelabakan ketika melihat Sutenya tetap
tak beringsut dari samping pintu, akhirnya terpaksa ia
kembali hendak menariknya. Dan tindakannya itu
memang menguntungkan sekali, karena tepat pada saat
itu terdengar sebatang anak panah mendesir keluar dari
celah pintu. Menyusul pintu terpentang dan Lok Khik-si
menerobos keluar seraya memaki, "Siapa yang berani
mencuri dengar di luar itu!"
"Tring", Ubun Hiong cepat menyabet anak panah itu
dengan pedangnya. Terlambat sedikit saja pastilah Tokan
akan termakan.
"Ho, kiranya kalian berdua datang hendak mengantar
kematian. Bagus, aku dapat menghemat waktu tak usah
mencari kalian. Hahaha!" teriak Lok Khik-si sambil
tertawa gelak-gelak.
Ubun Hiong menggunakan jurus Heng-hun-hong
menangkis senjata Lok-kak-jat sambil meneriaki Lim Tokan
supaya cepat lari, tetapi anak itu tak mau pergi.
Pada saat itu Siangkoan Wan dan Nyo Hoan pun keluar,
begitu melihat To-kan, berteriaklah Siangkoan Wan
dengan kaget, "Hai, mengapa kau di sini?"
Nyo Hoan pun girang sekali, serunya, "Cici Wan,
budak kecil ini sekawan dengan Li Kong-he, lekas
tangkap, jangan sampai lari!."

Siangkoan Wan bingung dibuatnya, "Bagaimana ini?"


"Nanti kuterangkan, sekarang tangkap dulu budak
itu!" Nyo Hoan mendesaknya.
To-kan tertawa mengejek, "Kau takut aku bilang? Hm,
Cici Wan, kau tak menanyakan aku pun tetap akan
mengatakan"
Nyo Hoan mendesak si nona lagi, "Mulut anjing kecil
itu tajam sekali, jangan hiraukan, lekas ringkus saja!"
"Tak nanti dia melarikan diri. Biarkan ia berkata dulu,
mengapa tak boleh?" sahut Siangkoan Wan.
Nyo Hoan marah, tapi dikarenakan saat itu ia
mengandalkan tenaga si nona, terpaksa ia diam saja.
Bertanding melawan Lok Khik-si, Ubun Hiong merasa
kewalahan, sedangkan To-kan segera mendamprat Nyo
Hoan, "Mulutmu sendiri yang layak disebut mulut anjing!"
Ia mencabut golok lalu membantu Ubun Hiong. Setelah
agak tenang, barulah ia berseru, "Cici Wan, Nyo Hoan itu
bukan manusia baik. Ia hendak menangkap aku untuk
mengemis pahala pada kerajaan, si Tok-kak-si ini adalah
kuku garuda pemerintah Cing!"
"Cici Wan, apakah kau percaya omongan setan cilik
itu? Coba kau tanya padanya, dimana aku pernah
menangkapnya?" seru Nyo Hoan.
"Percuma kau menyangkal! Kau menyelundup ke Binsan
dan sekonyong-konyong menangkap aku. Banyak
orang gagah yang menyaksikan kejadian itu!" balas Tokan.
Nyo Hoan tertawa gelak-gelak, "Nah dengar tidak!
Katanya aku menangkapnya di Bin-san, lucu, lucu! Di

Bin-san tengah diadakan rapat para orang gagah,


penjagaannya kuat sekali. Mana aku dapat malang
melintang menangkap dirinya!"
Siangkoan Wan ragu, memang ucapan Nyo Hoan itu
beralasan juga, tapi bantahan To-kan bahwa banyak
orang gagah yang menjadi saksi lebih kuat, pikirnya, "Ya,
jika omongan Kan-te itu benar, masakah tiada saksinya.
Kelak aku tentu dapat mengetahui benar tidaknya."
Rencana Nyo Hoan ialah untuk mengelabui Siangkoan
Wan, apabila Li Kong-he dan Lim To-kan sudah dapat
ditangkap, tak menjadi soal baginya untuk ditinggalkan
nona itu. Ia pun cukup tahu bahwa Siangkoan Wan tak
kenal dengan orang gagah golongan Cing-pay yang
sedang rapat Bin-san itu. Sekalipun ke sana hendak
menyelidiki tentu akan kecele, karena sebelumnya ia
(Nyo Hoan) hendak menghubungi orang-orangnya di
sana agar menjumpai Siangkoan Wan dan merangkai
keterangan palsu.
Ternyata Siangkoan Wan tak mau buru-buru turun
tangan, kesempatan itu tak disia-siakan To-kan yang
sambil bertempur sambil menelanjangi kejahatan Nyo
Hoan serta ayahnya. Ia memperingatkan Siangkoan Wan
supaya jangan mudah percaya omongan pemuda yang
menjadi antek kerajaan itu. Makian itu membuat Nyo
Hoan seperti orang kebakaran jenggot. "Bangsat kecil,
jangan memfitnah orang semaumu sendiri. Terimalah
ini!" Sambil mengangkat tongkat, Nyo Hoan hendak
menghantam To-kan, tetapi ia terlalu banyak
mengeluarkan darah, tubuhnya lemas. Hal ini cukup
disadarinya, adanya ia nekat hendak menyerang adalah
dengan rencana tertentu. Pertama adalah dapat

menghentikan ocehan To-kan. Dan kedua, untuk


mendesak agar Siangkoan Wan mau bertindak.
"Dengan tindakanku ini, dapatlah kuketahui apakah
budak perempuan itu berpihak padaku atau kepadanya,"
demikian yang menjadi pertimbangannya.
"Bagus, aku pun hendak mengadu jiwa padamu!"
teriak To-kan. Ia tetap mendendam terhadap orang yang
pernah menculiknya itu.
Sekalipun baru berumur 14 tahun, tapi sejak kecil ia
sudah belajar silat.
Kemudian mendapat pelajaran ilmu Lwekang dari
Kang Hay-thian, dengan begitu tenaganya cukup kuat.
"Tring", tongkat Nyo Hoan terpental lepas, ujung golok
To-kan meluncur terus ke dadanya. Hanya tinggal
beberapa senti saja pasti akan melayanglah jiwa pemuda
itu.
"Aku tak melukaimu, tetapi janganlah kau
melukainya!" tiba-tiba Siangkoan Wan menyodokkan
pedangnya ke golok To-kan. Pada saat golok terdorong
ke samping, Nyo Hoan menyelinap ke samping terus
menghantam To-kan. Ia mengerti juga ilmu Kiu-kiongpoh-
hoat. Setelah memperhitungkan bahwa si dara tentu
akan bertindak ternyata benar, maka ia menggunakan
kesempatan baik itu untuk melukai To-kan.
Pukulan Nyo Hoan tepat mengenai jalan darah Ih-gihiat
yang merupakan salah satu jalan darah kematian.
Untung beberapa hari yang lalu To-kan sudah berhasil
meyakinkan ilmu untuk menutup jalan darah. Dan karena
terluka, tenaga Nyo Hoan banyak berkurang. To-kan

hanya terhuyung-huyung beberapa tindak, lambungnya


terasa sakit sekali tetapi tak sampai terluka.
Perbuatan curang Nyo Hoan itu diketahui juga oleh
Siangkoan Wan. Buru-buru ia menarik Nyo Hoan,
serunya, "Tak kuizinkan ia melukai kau, kau pun tak
boleh membunuhnya!"
Dengan gusar To-kan berseru, "Cici Wan, telah aku
utarakan sepenuhnya apa yang harus kukatakan. Kau
masih dapat tertipu atau tidak, itu terserah padamu.
Jisuko, mari kita pergi!"
Siangkoan Wan tertegun, ia kecewa bahwa orang
yang paling dekat dengan hatinya ternyata tak dapat
dipercaya, ia terlongong-longong beberapa saat..
Ubun Hiong segera melompat keluar dari kalangan,
terus hendak lari menghampiri kudanya yang tertambat
pada pohon di tepi jalan. Tiba-tiba Lok Khik-si
menimpukkan sebatang Hui-to ke tali kendali kuda, ia
tahu bahwa jika menimpuk Ubun Hiong tentu percuma
saja, maka sasarannya ditujukan pada kudanya. Kuda itu
sebenarnya milik Nyo Hoan, Nyo Hoan bersuit keras
memanggilnya. Mendengar itu, kuda lari menyingkir dari
Ubun Hiong terus kembali kepada Nyo Hoan.
Kala itu hampir terang tanah. Kuatir kalau Siangkoan
Wan berganti halauan memusuhinya, dan takut pula jika
anak buah Lok Khik-si keburu datang, terpaksa Ubun
Hiong mengajak To-kan berlari. Pada waktu To-kan
sudah lenyap dari pandangan, Siangkoan Wan masih
termangu-mangu.
"Apakah engkoh Hoan itu benar menjadi antek
pemerintah Cing?" demikian renungan yang

mencengkeram batinnya. Ngeri benar ia membayangkan


hal itu, karena ia telah mempercayakan hatinya pada
engkohnya itu, tetapi To-kan seorang anak yang masih
murni, tentulah takkan bohong. Ia masih mengharapkan
setitik harapan, mudah-mudahan engkoh Hoan itu
jangan seperti yang dituduhkan To-kan tadi. Ah, cinta,
cinta. Cinta itu memang buta. Sekalipun tahu bahwa
yang dihadapinya itu memang kenyataan, tetapi ia masih
tak berani mempercayai, ia takut untuk merusak
impiannya yang indah.
Nyo Hoan menghela napas, "Cici Wan, apakah kau tak
percaya pada omonganku? Mari kita segera mengejar
Ceng-hoa, kau boleh bertanya kepadanya benar atau
tidak ayahmu ditahan di rumahnya? Tanyakan padanya,
benar tidak budak Li Kong-he itu melukai aku? Jika kedua
hal itu benar, terang membuktikan bahwa aku tak
bohong, membuktikan pula bahwa kata-kata budak she
Lim tadi hanya semata-mata hendak memfitnah diriku
saja!"
Pintar juga Nyo Hoan mengemukakan kedua hal itu,
tetapi saat itu Siangkoan Wan tengah ruwet pikirannya,
mendengar Nyo Hoan begitu berani diadu kebenarannya,
maka timbul lagi harapannya. "Baik, harus kutanyakan
kedua hal itu pada Ceng-hoa. Ayahku tak dapat
kubiarkan dirampas kemerdekaannya, engkoh Hoan pun
tak boleh dihina budak itu."
Demikian ketiganya segera naik kuda melakukan
pengejaran. Dan sekarang kita ikuti perjalanan Tiok
Ceng-hoa dan Li Kong-he.
Setelah tak dapat mencari To-kan, mereka berhenti
sejenak di simpang tiga. Kata Ceng-hoa, "Lebih baik

sekarang kita menuju ke Bin-san dulu mencari ayah. Kini


aku tak percaya lagi pada omongan Nyo Hoan itu, ia
mengatakan ayah dan Kang-tayhiap sama-sama terluka,
itu tentu bohong belaka."
Sebenarnya Kong-he pun ingin sekali mencari
Suhunya, tapi karena kuatir jangan-jangan To-kan
tersesat jalan dan mendapat celaka, ia tak dapat
mengambil keputusan dengan segera.
"Adanya Nyo Hoan hendak menangkap Sutemu itu,
tentulah hendak diserahkan ke kotaraja. Kalau tidak,
masakah ia begitu berjerih-payah memanggulnya?
Menilik pertimbangan itu, sekalipun andaikata Sutemu
jatuh ke tangan musuh lagi, tentu juga takkan
dibunuhnya. Dan dengan tenaga kita berdua, terang
tidak mungkin dapat menolong orang di kotaraja, maka
kurasa lebih baik kita mencari ayah dan Suhumu dahulu
daripada kita bergerak sembarangan," kata Ceng-hoa.
Kali ini Kong-he dapat menerima pendirian Ceng-hoa.
Semalam suntuk mereka tak tidur, setelah menempuh
perjalanan sejauh 30-an li, hari pun sudah terang tanah.
Ceng ho mengajak mencari rumah makan.
"Delapan atau sepuluh li lagi kita akan tiba di kedai
makan tadi malam. Entah apakah Nyo Hoan masih di situ
atau sudah pergi?" sahut Kong-he.
"Eh, kau masih terkenang akan kedai itu? Pelayanpelayannya
telah mati begitu mengenaskan. Aku
sungguh benci kepada Nyo Hoan, tetapi karena kita tak
dapat mengalahkan mereka, lebih baik kita berjalan
mengitar saja," kata Ceng-hoa.

Sekonyong-konyong mereka mendengar derap kaki


kuda berlari menghampiri. Melihat penunggangnya,
Ceng-hoa terkejut dan berseru girang, "Cici Siangkoan
Wan, mengapa kau berada di sini?"
Ternyata yang datang lebih dulu adalah Siangkoan
Wan, sementara Nyo Hoan yang kehabisan darah
terpaksa ketinggalan beberapa li di belakang.
Ceng-hoa hendak menghampiri, tapi kejutnya bukan
kepalang ketika turun dari kudanya, Siangkoan Wan
tampak memelototkan mata, "Tiok Ceng-hoa, apakah
ayahku berada di rumahmu? Kenapakah dia?"
Dengan sikap menyesal Ceng-hoa menjawab, "Ini ...
ini suatu kesalah pahaman..."
"Kesalah pahaman apa? Ayo lekas bilang!" bentak
Siangkoan Wan.
"Ayah telah khilaf mendengar omongan orang
sehingga paman kedua..”
"Bagaimana?" tukas Siangkoan Wan.
"Ditahan ayah, tetapi paman kedua tak kurang suatu
apa," dengan nada berat Ceng-hoa memberitahukan.
Seketika berubahlah wajah Siangkoan Wan.
"Cici Wan, aku masih mau omong lagi," Ceng-hoa
terkejut. Dalam pada itu Nyo Hoan dan Lok Khik-si pun
sudah tiba.
"Cici Wan, jika hendak membebaskan ayahmu,
mengapa kau tak lekas turun tangan!" teriak Nyo Hoan.
Siangkoan Wan terkesiap darahnya. "Tiok Ceng-hoa,
jangan sesalkan aku tak ingat persaudaraan lagi, aku

terpaksa menangkapmu!" serunya seraya menggunakan


Kim-na-jiu untuk mencekal lengan Ceng-hoa.
Ceng-hoa terkejut sekali, karena tak menduga Taci
misannya akan menyerangnya dengan begitu ganas, ia
tak siap sama sekali. Pada saat Ceng-hoa akan kena
dicekal, tiba-tiba Kong-he membacok jari Siangkoan
Wan. Anak itu karena gugup tanpa banyak pikir terus
mengayunkan goloknya, tapi maksudnya sekali-kali
bukan hendak melukai, melainkan hanya mencegah
perbuatan Siangkoan Wan saja.
Siangkoan Wan marah sekali, cengkeramannya diubah
menjadi tamparan, "Tring", gigir golok Kong-he kena
ditampar ke samping. "Bagus, kau memang pengacau,
budak!" bentaknya.
"Cici Wan, jangan percaya ocehan Nyo Hoan!" kata
Ceng-hoa dengan gugup.
"Bukankah yang membacok Nyo Hoan itu kau,
budak?" bentak Siangkoan Wan tanpa menghiraukan
kata-kata Ceng-hoa.
"Benar, memang aku yang membacok. Aku masih
belum puas tak dapat mengurungi cakar anjingnya itu,
apakah kau penasaran?" sahut Kong-he dengan jumawa.
Ia marah sekali karena dipanggil "budak".
"Adik He, jangan kurang adat pada Cici Wan, tetapi
kau tak dapat menyalahkan dia. Kurasa memang
seharusnya ia membacoknya," seru Ceng-hoa. Segera ia
hendak menjelaskan tentang kejadian itu, tetapi
Siangkoan Wan sudah tak menggubrisnya lagi. Dengan
gerak Kim-li-joan-poh ia melesat untuk menampar muka
Kong-he, sudah tentu Kong-he tak mandah dihina begitu

saja. Sambil mendakkan tubuh ke bawah, ia membacok


lengan si nona.
"Bagus, kau berani juga melukai aku, budak!" bentak
Siangkoan Wan dengan gerakan kedua tangannya.
Tangan kiri menabas, tangan kanan menggunakan jurus
Khong-jiu-jip-peh-jim untuk merebut golok. Ia
dirangsang kemarahan, ia memaki-maki Kong-he tanpa
mengingat bahwa sebenarnya dialah yang menyerang
lebih dulu. Serangannya sekaligus dua gerakan itu amat
berbahaya sekali, jika kena tebasannya, pasti Kong-he
akan terluka.
"Siangkoan Wan, kau tahu aturan atau tidak? Kau
dapat menggunakan golok, masakah aku tak mampu
pakai pedang?" tiba-tiba Tiok Ceng-hoa mendamprat
keras.
Mendengar kesiur senjata menyerang dari belakang,
Siangkoan Wan mengisar ke samping, mencabut golok
terus membacok, pikirnya, "Apa yang dikatakan engkoh
Hoan memang benar, Ceng-hoa telah jatuh hati pada
budak itu hingga tak segan memusuhi aku juga. Ah,
karena kau tak ingat persaudaraan, aku pun terpaksa
melayani!"
Sebenarnya serangan pedang Ceng-hoa itu bukan
untuk melukainya, sedang Kong-he karena goloknya
hendak direbut, telah mengeluarkan ilmu golok dari
keluarganya. Benar ilmu silatnya kalah dibanding
Siangkoan Wan, tapi dalam pertempuran ia lebih banyak
pengalamannya. Pada saat Siangkoan Wan merasa akan
dapat merampas goloknya, tiba-tiba ia membabat
tangannya. Kejut Siangkoan Wan tak terkira, saat itu ia
memakai kedua tangannya, yang satu untuk menangkis

pedang Ceng-hoa, yang satu untuk merebut golok Konghe,


justru Kong-he telah mengeluarkan jurus yang
istimewa. Dalam kegugupannya, Siangkoan Wan
memiringkan tubuh berputar ke samping sambil
menampar golok dengan lengan bajunya. Benar ia dapat
menyingkirkan golok Kong-he, tapi ia pun kehilangan
keseimbangan badan sehingga ia tak mampu menangkis
pedang Ceng-hoa. "Sret", ia rasakan ujung pedang Cenghoa
hampir menyentuh tulang rusuknya. Kejutnya bukan
kepalang dan buru-buru menghindar, kemudian ia berdiri
tegak memperbaiki keseimbangan rubuhnya.
Suatu perasaan aneh timbul dalam batinnya,
"Sebenarnya Ceng-hoa tadi dapat melukai aku, mengapa
tidak mau? Apakah ia masih mengingat hubungan
saudara?"
"Nona Siangkoan, jangan kuatir. Budak perempuan itu
serahkan padaku, kau ringkus saja bangsat kecil itu
untuk membalaskan sakit hati engkohmu itu," tiba-tiba
Lok Khik-si berseru. Ia kuatir kalau Siangkoan Wan
berbalik hati karena teringat persaudaraannya dengan
Ceng-hoa, maka ia tak mau memberi kesempatan si nona
merenung lama-lama.
"Kurangajar! Siangkoan Wan, kau ... kau ...." seru Tiok
Ceng-hoa. Sebenarnya ia hendak memaki Siangkoan
Wan bersekutu dengan kaki tangan pemerintah Cing
untuk mencelakai dirinya, tetapi baru mengucap separuh,
Lok Khik-si sudah menusuk dadanya. Terpaksa Ceng-hoa
menumpahkan seluruh perhatian untuk melayaninya.
Di sana pun Nyo Hoan sengaja menjerit-jerit, "Bangsat
kecil, perbuatanmu menabas badanku tentu akan

kubalas!" ia putar tongkatnya, lalu maju menyerang


Kong-he.
"Bagus, memang justru aku hendak menumpas
kawanan anjing!" dengan geram Kong-he menyapukan
goloknya. Nyo Hoan segera menggunakan jurus Cui-patsia
atau delapan dewa mabuk untuk bergerak lincah kian
kemari. Tiga buah serangan kilat dari Kong-he hanya
mengenai angin saja, tetapi bagi orang yang
menyaksikan, sebenarnya Nyo Hoan berada dalam
bahaya.
Akhirnya Siangkoan Wan tak dapat berpeluk tangan
lagi, "Engkoh Hoan, mundurlah, biar kubalaskan sakit
hatimu!" Sekali memainkan Liu-yap-tonya, terdengarlah
gemerincing suara senjata beradu. Kong-he melingkarlingkar
hampir jatuh, sedangkan Liu-yap-to Siangkoan
Wan gumpil sedikit.
Ternyata yang dimainkan Kong-he ialah ilmu golok
keluarganya, Kwalitas goloknya menang dari Liu-yap-to
milik Siangkoan Wan, tetapi kepandaian nona itu jauh
lebih tinggi dari Kong-he. Serangannya yang dihayati
dengan Lwekang lunak untuk meminjam tenaga lawan
membuat Kong-he kalang-kabut.
"Bagus, Cici Wan, jangan lupa bahwa ayahmu masih
ditahan mereka. Terhadap musuh jangan sungkansungkan
lagi!" Nyo Hoan berteriak mengipasi si gadis.
Rupanya ucapan Nyo Hoan itu mengacaukan pikiran
Siangkoan Wan, serunya, "Benar, kamu telah menghina
ayahku dan melukai engkoh Hoan. Kedua hal itu
memang terbukti, apakah kalian masih menyangkal? Tiok
Ceng-hoa, sudah salah kau masih berani memaki aku
kurangajar? Kau sendirilah yang kurangajar!"

Urusan ayah Siangkoan Wan ditahan oleh ayah Cenghoa,


memang Ceng-hoa hendak memberi penjelasan,
tapi hal itu memerlukan keterangan yang panjang lebar.
Apalagi saat itu ia diserang deras oleh Lok Khik-si,
sedikitpun ia tak mempunyai kesempatan bicara. Makian
Siangkoan Wan tadi terpaksa ditelannya saja karena ia
harus tumpahkan seluruh perhatian menghadapi Lok
Khik-si.
Di pihak Siangkoan Wan sendiri, meskipun mulut
mengucap begitu, tetapi dalam hati masih teringat akan
ikatan kekeluargaan, ia pun cukup mengerti bahwa tadi
sebenarnya Tiok Ceng-hoa jika mau dapat melukainya.
Karena itu tak mau ia dengan tangan sendiri mencelakai
adik misannya itu, maka sengaja ia 'berikan' Ceng-hoa
pada Lok-Khik-si sedang ia mengurus Kong-he.
Dengan ilmu pedangnya yang indah dan gerakannya
yang gesit, sebenarnya kepandaian Ceng-hoa itu tak di
bawah Khik-si, tetapi sayang tenaganya masih belum
cukup, semangatnya lesu karena semalam kurang tidur,
ditambah pula ia memang kalah pengalaman bertempur
dibanding lawannya. Menghadapi Lok Khik-si ia hanya
dapat bertahan saja, tetapi Lok Khik-si pun tak mampu
segera mengalahkan gadis itu dalam 3-5 puluh jurus.
Sedang Kong-he sebenarnya kalah tangguh dari
Siangkoan Wan, tetapi pikiran si nona saat itu sedang
kacau karena belum yakin benar salah tidaknya Tiok
Ceng hoa itu. Kong-he berlaku tenang menghadapi si
nona, maka selama Siangkoan Wan masih belum
memutuskan untuk menyerang dengan jurus serangan
maut, selama itu pula Kong-he masih dapat bertahan.
Nyo Hoan yang mengikuti pertempuran itu diam-diam
merasa gegetun sekali karena beberapa kali dilihat
sebenarnya Siangkoan Wan dapat merobohkan Kong-he,
tetapi selalu dapat dihindari, pikirnya, "Ah, mengapa
permainan Cici Wan tak sehebat biasanya? Janganjangan
ia menyangsikan diriku dan tak mau bersungguhsungguh
membantuku?"
Setelah mengerutkan jidat, Nyo Hoan mendapat akal,
serunya, "Bangsat kecil itu ganas sekali, Cici Wan, aku
membantumu!"
"Tak usah, tak usah. Engkau sedang terluka, mana
boleh membantuku?" Siangkoan Wan tersipu-sipu
mencegah.
"Kukuatir kau tak mampu menjatuhkannya, biar aku
terluka tetapi tetap hendak membalas sakit hati!" seru
Nyo Hoan.
"Jangan buru-buru, aku tentu akan menang!"
"Baik, lekas kau robohkan dia agar aku tak perlu turun
ke gelanggang," kata Nyo Hoan. Ia sengaja hendak
menguji sampai dimana kesungguhan hati si nona
terhadap dirinya.
Tiba-tiba Ceng-hoa mengeluarkan sebuah jurus yang
luar biasa untuk mendesak Lok Khik-si, kemudian
menggunakan kesempatan itu untuk berseru kepada
Kong-he, "Adik He, katakan duduk perkaranya pada Cici
Wan!"
Memang secara diam-diam Ceng-hoa membagi
perhatian pada pertempuran Kong-he dan Siangkoan
Wan. Ia cukup tahu sampai dimana kelihaian Taci
misannya itu, jelas dilihatnya kalau Siangkoan Wan tak

bersungguh hati hendak melukai Kong-he. Itulah


sebabnya maka ia mencari saat luang untuk menyuruh
Kong-he menerangkan pada Siangkoan Wan, sebab ia
sendiri tiada sempat bicara dalam menghadapi serangan
Lok Khik-si yang gencar.
Siangkoan Wan tertegun serunya, "Ya, benar,
mengapa kau melukai engkoh Hoan?"
"Aku toh sudah mengatakan padamu bahwa Ceng-hoa
cemburu pada kita, maka lantas menyuruh bangsat kecil
itu untuk mencelakai diriku!" buru-buru Nyo Hoan
berseru menyahut.
"Kentut!" bentak Kong-he, "jika kau tak menculik
adikku To-kan, mana bisa aku menyerangmu?"
"Siapa adik Kan itu?" teriak Siangkoan Wan.
"Namanya Lim To-kan, putra seorang ksatria pejuang
yang menentang pemerintah Cing!" sahut Kong-he.
"Dimana ditangkapnya?" tanya Siangkoan Wan pula.
Kong-he sebenarnya belum pernah melihat Lim Tokan,
ia pun tak tahu bagaimana terjadinya penculikan
anak itu. Hanya karena menduga Nyo Hoan datang dari
Bin-san, maka cepat-cepat ia mengatakan kalau
penculikan itu terjadi di gunung Bin-san.
Tergetar hati Siangkoan Wan mendengar sahutan itu,
karena cocok dengan keterangan Lim To-kan sendiri,
pikirnya, "Jika benar demikian, bukankah engkoh Hoan
itu
"Tiok Ceng-hoa dan bangsat itu baru keluar dari
rumah, mana mereka tahu kejadian di Bin-san?" Nyo
Hoan kalap.

Goyah pikiran Siangkoan Wan, siapa yang patut


dipercayainya? Habis membantah, Nyo Hoan lantas
menimpukkan beberapa buah Thi-lian-cu. Kong-he
memutar goloknya untuk menangkis, tapi tak urung kena
dua buah senjata rahasia. Untung tenaga Nyo Hoan
masih belum pulih, jadi Kong-he pun tak sampai terluka
berat.
Tujuan Nyo Hoan memang tak ingin melukainya,
melainkan hendak mengacau supaya Kong-he tak sempat
bicara dengan Siangkoan Wan lagi.
Saat itu sebenarnya mudah sekali Siangkoan Wan
untuk menangkap Kong-he, tetapi setelah mendengar
keterangan dari kedua pihak, ia ragu dalam hati.
Sekalipun tidak mengundurkan diri tetapi juga tak mau
melukai Kong-he.
Sementara Ceng-hoa yang tak tahu apakah Kong-he
terluka oleh timpukan Thi-lian-cu, segera mencaci-maki
Nyo Hoan, "Nyo Hoan, kau sungguh nista sekali! Kau
hendak melenyapkan mulut seorang saksi?" Ceng-hoa
terus hendak melompat membantu Kong-he, tetapi Lok
Khik-si cepat merintanginya. Karena pikiran kacau, Cenghoa
pun terdesak.
Pernyataan Tiok Ceng-hoa itu menimbulkan reaksi
dalam hati Siangkoan Wan, pikirnya, "Ya, mengapa,
engkoh Hoan begitu bernafsu hendak membunuh anak
itu? Apakah karena hendak membalas sakit hati atau
karena sebab lain? Tadi dia menyatakan padaku takkan
membunuh anak itu, mengapa sekarang berbalik haluan?
Hm, meskipun keterangan anak ini belum boleh seratus
persen dipercaya, tetapi karena cocok dengan
keterangan To-kan, sekurang-kurangnya dia (Kong-he)

tentu melihat peristiwa penculikan To-kan, tetapi engkoh


Hoan hanya mengatakan bahwa dia dibacok Kong-he,
tidak menyebut-nyebut kalau mereka sudah kenal.
Apakah sebabnya?"
Makin dipikir makin tebal kecurigaan Siangkoan Wan,
meskipun jauh dari pemikiran bahwa Nyo Hoan itu
menjadi kuku garuda, tetap sekurang-kurangnya tentang
penculikan Lim To-kan itu, ia sudah maju
kepercayaannya.
Sambil melanjutkan timpukan Thi-lian-cu, berserulah
Nyo Hoan, "Cici Wan, jika tak kau tangkap dulu, mana
dapat kau mengorek keterangannya?"
"Baik, akan kutangkapnya dulu, tetapi janganlah kau
lanjutkan timpukanmu lagi," karena menganggap
beralasan, maka Siangkoan Wan segera menyetujui.
Diam-diam Nyo Hoan mengejek dalam hati, "Hm, asal
sudah kau tangkap, akulah yang akan turun tangan. Biar
aku putus hubungan denganmu, tak apa. Di dunia ini toh
banyak wanita cantik, nanti di kotaraja masakah aku tak
bisa mencari gadis yang lebih cantik dari kau?"
Namun Siangkoan Wan tetap tak mau melukai Konghe,
ia menggunakan pedang dengan tangan kosong.
Kong-he menghindari kian kemari, kadang-kadang ia
terpaksa membacok apabila dalam posisi terdesak.
Dengan cara itu dapatlah ia menghadapi serangan si
gadis sampai dua tiga puluh jurus, tetapi saat itu
Siangkoan Wan sungguh-sungguh mengeluarkan
kepandaiannya. Sekalipun Kong-he memakai golok, tetap
saja kalah. Lewat 30-an jurus, napas Kong-he sudah
terengah-engah. Dalam beberapa detik lagi tentu ia akan
kena ditangkap.

Tiok Ceng-hoa sibuk bukan kepalang, makin sibuk


makin payah keadaannya. "Tring", sekali membolakbalikkan
senjata Lok-kak-jat, Lok Khik-si dapat
menampar jatuh pedang Ceng-hoa. Berbareng itu
Siangkoan Wan pun berseru, "Lepaskan!" Pergelangan
tangan Kong-he kena dijepit dari Siangkoan Wan dan
goloknya terampas oleh gadis itu.
Pada saat Lok Khik-si dan Siangkoan Wan hendak
mengejar untuk menangkap lawan, mendadak seorang
penunggang kuda berlari mendatangi, "Tahan!" serunya.
Mendengar nada suara orang itu, terkesiaplah darah
Siangkoan Wan. Ia tak asing lagi dengan suara itu,
pikirnya, "Eh, mengapa Lau tua yang datang?"
Cepat sekali penunggang kuda yang bertubuh kurus
itu tiba. Ya, memang dia adalah Lau tua, kepala rumah
tangga keluarga Tiok Siang-hu. Tadi Nyo Hoan
mengatakan bahwa ayah Siangkoan Wan yang ditawan
di rumah keluarga Tiok itu diserahkan kepada Lau tua
itu. Karena ada tugas itu, tentunya Lau tua tak dapat
pergi keluar rumah, tetapi mengapa saat itu dia datang
dari jurusan Bin-san?
Seketika pucatlah wajah Siangkoan Wan, bukan
karena takut kepada Lau tua itu, melainkan ngeri
membayangkan bahwa keterangan Nyo Hoan tadi dusta
seluruhnya. "Pak Lau, mengapa kau datang kemari?" ia
pun segera menegurnya.
Pak Lau melirik tajam pada Nyo Hoan, lalu menyahut,
"Aku mendapat perintah dari tuan Tiok supaya
menyampaikan berita padamu dan ibumu. Ha, tak
kuduga bisa berjumpa di sini, sungguh kebetulan sekali.

Hm, kau Siaucu (budak kecil), mengapa kau masih di


sini? Kukira kau sudah ke kotaraja mengambil hadiah!"
"Lau San jangan kurang adat! Sekalipun aku ada
sedikit salah paham dengan nona majikanmu, tetapi hal
itu urusan pribadi. Baik atau buruk aku ini setengah
resmi adalah tuanmu!" bentak Nyo Hoan.
"Cis, tak malu, siapa yang menjadi tuanmu. Pak Lau,
dia menghina padaku, tangkaplah! Dan binatang Lok
Khik-si itu juga jangan dikasih ampun!" Tiok Ceng-hoa
memaki.
Lok Khik-si licin sekali, ia cukup paham sampai dimana
kelihaian kepala rumah tangga keluarga Tiok itu. Pada
saat Lau tua datang, ia sudah bersiap-siap, jika Nyo
Hoan dengan menggunakan pengaruh sebagai calon
menantu Tiok Siang-hu dapat menundukkan pak Lau,
itulah syukur, tetapi ternyata Lau tua itu sudah menyebut
Nyo Hoan dengan kata-kata "Siau-cu". Tahu gelagat
jelek, Lok Khik-si cepat melompat ke atas kuda dan
kabur.
Lau tua tak mau mengejar, melainkan berpaling
kepada Nyo Hoan, "Memang dahulu boleh kau dianggap
sebagai tuanku setengah resmi, tetapi sekarang sama
sekali bukan. Apa yang kau ayah dan anak lakukan,
apakah kau kira tuanku tak mengetahui?"
Siangkoan Wan tersentak kaget, tanyanya, "Perbuatan
apakah yang dilakukan mereka berdua ayah dan anak?
Dan bukankah kau diserahi untuk menjaga ayahku?"
"Pak Lau, pak Lau, lekas tangkap dulu budak itu!"
Ceng-hoa mendesak lagi.

Mendengar itu, serasa terbanglah semangat Nyo


Hoan. Cepat ia melompat ke atas kudanya.
"Toasiocia, ayahmu tentu dapat mengurus mereka
ayah dan anak. Asal kau tak kena dipikatnya saja,
biarkanlah dia kabur," kata Lau tua. Kiranya memang
sudah menjadi peraturan keluarga Tiok, bahwa bujangbujangnya
tak boleh melakukan hal-hal yang tidak
diperintahkan. Lau tua hanya diperintah untuk
menyampaikan berita ke rumah keluarga Siangkoan. Ia
tak mendapat tugas menangkap Nyo Hoan, maka ia
biarkan saja pemuda itu lari.
Ketika Nyo Hoan mencemplak ke punggung kuda,
Siangkoan Wan berdiri seperti patung. Pada saat itu
sebenarnya ia sudah terang gamblang siapakah yang
jujur dan siapa yang dusta. Namun ia masih menghibur
lamunannya, akan menunggu jawaban pak Lau.
"Nona Siangkoan, jangan kuatir. Pamanmu sudah
membebaskan ayahmu. Penderitaan yang diderita
ayahmu kali ini adalah gara-gara Nyo Ceng dan anaknya
itu. Merekalah yang mengadu dombakan paman dan
ayahmu," jawab Pak Lau.
Mendengar keterangan itu, seolah-olah bumi yang
dipijak Siangkoan Wan itu amblas, dunia yang penuh
isinya itu dirasakan kosong melompong. Ia tak
menyangka sama sekali bahwa pemuda yang menjadi
pujaan hatinya itu ternyata yang mencelakai ayahnya.
Lama sekali ia kehilangan semangat seperti patung, baru
kemudian berkata dengan nada bergetar, "Jadi Nyo Ceng
ayah dan anak yang mengacau? Dia ... dia mengapa
berbuat demikian?"

"Karena Nyo Ceng ayah dan anak sudah menjadi kaki


tangan kerajaan Cing, dan ayahmulah orang satusatunya
yang mengetahui hal itu. Kepergianku ke
rumah nona adalah hendak menyampaikan beberapa hal.
Pertama, menyampaikan permintaan maaf dari tuanku.
Dan kedua, menjaga agar kalian jangan sampai terpikat
oleh kedua ayah dan anak itu," sahut pak Lau tua.
Dengan rasa iba, berkatalah Ceng-hoa kepada Taci
misannya, "Cici Wan, syukur kita berdua tak sampai
termakan jerat Nyo Hoan. Lupakanlah peristiwa yang
telah lalu dan kita tetap menjadi kakak beradik yang
mesra."
Tiba-tiba pecahlah tangis Siangkoan Wan, terus ia
melompat ke atas kudanya.
"Hai, Cici Wan, hendak kemana kau?" seru Ceng-hoa.
"Jangan mengurusi aku!" sahut Siangkoan Wan. Ia
mencambuk kudanya dan mencongklang pesat menuju
arah yang ditempuh Nyo Hoan.
"Ia dapat menangis, itulah lebih baik," kata Lau tua.
"Apakah ia hendak menyusul Nyo Hoan? Pak Lau,
lekas susullah dia!" kata Ceng-hoa.
Tetapi bujang tua itu menyahut, "Kukira belum tentu
ia menyusul Nyo Hoan. Saal ini ia sedang dirundung rasa
kecewa besar, maka tak mau berjumpa dengan orang.
Tak apa, tentu akan kulindungi dia."
Sambil berkata itu pak Lau naik ke atas kudanya, ia
bertanya mengapa Ceng-hoa diam-diam pergi dari rumah
bersama Kong-he. "Ayahmu sudah pulang, kuharap nona
lekas pulang juga," katanya.

"O, jadi ayah tak benar bertanding dengan Kangtayhiap


dan mereka berdua tak luka?" seru Ceng-hoa.
"Tidak sama sekali! Siapa yang bilang?"
Waktu mendengar kalau Nyo Hoan yang mengatakan,
berkatalah bujang tua itu, "Mengapa kau masih percaya
pada omongannya? Bukan saja ayahmu tak bertempur
dengan Kang-tayhiap, bahkan mereka telah menjadi
sahabat baik. Panjang juga ceritanya, nanti kalau pulang
boleh bertanya pada ayahmu saja."
"Lha, Suhuku bagaimana?" tanya Kong-he.
"Kang-tayhiap telah berangkat ke kotaraja, kelak
tuanku juga akan ke kotaraja menjumpainya. Apa masih
ada pertanyaan lagi?"
Ceng-hoa mengatakan tidak ada dan menyuruh
bujang tua itu segera mengejar jejak Siangkoan Wan.
Setelah itu ia mengajak Kong-he pulang.
"Pulang? Pulang kemana?" tanya Kong-he
"Masakah bertanya, tentu saja pulang ke rumah.
Rapat besar di Bin-san sudah selesai. Ayahku sudah
pulang dan Kang-tayhiap pun sudah pergi ke kotaraja.
Kalau tak pulang apakah kita akan ke Bin-san lagi?"
sahut si dara.
"Tidak, aku tak turut pulang. Aku hendak menuju ke
kotaraja mencari Suhuku," kata Kong-he.
Ceng-hoa terkejut, "Mau ke kotaraja? Apakah kau tak
takut ditangkap?"
"Sudah tiga tahun lamanya aku menunggu menjadi
murid Suhu, sekarang setelah mengetahui tempat
beradanya Suhu, masakah aku tak mencarinya?"

"Eh, apakah kau tak mendengar keterangan pak Lau


tadi bahwa nanti ayah juga akan ke kotaraja menemui
Kang-tayhiap? Kita pulang dulu, besok kita ikut ayah ke
kotaraja. Tidakkah ini lebih tepat?"
"Tidak, aku tak mau menunggu lama-lama lagi. Dan
aku kuatir akan timbul lagi hal-hal yang tak diduga,"
sahut Kong-he
"Siapa tahu setiba di rumahmu, ayahmu sudah
berangkat. Dan aku pun tak tahu sampai berapa lama
Suhu tinggal di kotaraja. Kalau ikut kau pulang seperti
rencanamu itu, paling tidak tentu akan memakan waktu
sebulan lagi baru berangkat. Jika Suhu sudah pergi dari
kotaraja lagi kemanakah hendak kucari beliau?"
Selain alasan yang dikemukakan itu memang tepat,
juga sebenarnya masih mempunyai lain alasan yang
kuat. Yakni ketika menutup mata, ayahnya telah
menyerahkan Hay-te padanya, dengan begitu Kong-he
itu sebenarnya adalah murid dari Thian-li-kau. Hay-te
adalah alat pertanda dari perkumpulan rahasia Thian-likau.
Dengan menyerahkan benda itu, ayah Kong-he
seperti menganjurkan agar putranya meneruskan citacitanya.
Thian-li-kau adalah sebuah perkumpulan yang
menentang pemerintah Cing, membangun pemerintah
Bing lagi. Sejak kecil diasuh dalam lingkungan partai,
membuat Kong-he tahu juga mematuhi peraturanperaturan
partai, hanya kepada orang Thian-li-kau atau
orang-orang yang dipercaya oleh partai itu, ia mau
memberitahukan dirinya. Sekurang-kurangnya kaum
ksatria penentang pemerintah Cing mau juga
menganggap dia sebagai 'orang sendiri', maka betapa

baik sekalipun keluarga Tiok memperlakukannya, namun


ia masih menganggap mereka sebagai orang 'luar".
Apalagi Kong-he memang masih belum jelas betul
tentang pribadi Tiok Siang-hu yang aneh itu. Rencananya
untuk meninggalkan keluarga Tiok mencari Suhunya dan
sekalian menyelidiki tentang berita 'paman Lim' memang
sudah lama dirancang. Bahwa sekarang ia sudah
mendapat kesempatan, tentu saja akan segera
melaksanakannya.
"Tetapi kotaraja itu luas sekali. Kau ... kau seorang diri
ke sana, ini ... ini ... aku tak tega," kata Ceng-hoa
dengan nada mesra.
"Jangan kuatir, Cici Hoa. Di kotaraja aku mempunyai
kenalan sahabat-sahabat ayahku. Dan kalangan kuku
garuda yang mengenal diriku hanyalah terbatas Ki-liansam-
siu dan kawan-kawannya saja, belum tentu mereka
berada di kotaraja. Asal aku hati-hati menghindari
bertemu dengan mereka, tentu tak akan apa-apa," kata
Kong-he.
"Tidak, aku tetap tak tega. Baiklah, jika kau berkeras
hendak ke kotaraja, aku pun akan menyertaimu,"
akhirnya Ceng-hoa berkata.
Usia Kong-he lebih muda dari Ceng-hoa, dalam hati
mereka masih belum ada benih-benih asmara, melainkan
hanya sebagai kakak adik saja. Meskipun Kong-he tahu
bahwa pada suatu hari ia akan berpisah dengan dara itu,
namun pada saat-saat hendak mengucapkan selamat
berpisah, ternyata berat sekali hatinya. Bahwa Ceng-hoa
menyatakan hendak ikut, sebenarnya Kong-he terkejut
girang, tetapi ia menggelengkan kepala, "Jangan Cici
Hoa, jangan ikut aku."

"Mengapa?" tanya Ceng-hoa. Ia menatap Kong-he


lekat-lekat. Kong-he bersangsi sejenak, kemudian
berkata, "Cici Hoa, kau tak tahu bahwa semasa hidupnya
mendiang ayahku itu dianggap sebagai pesakitan negara.
Dia meninggal di tangan kuku garuda, kawanan kuku
garuda itu masih hendak menangkap aku lagi.
Kepergianku ke kotaraja ini lain sifatnya dengan ke Binsan.
Aku ... aku tak ingin kau terlibat."
"Justru begitu aku makin tak tega membiarkan kau
pergi seorang diri. Aku tak takut terlibat, aku dapat
membantumu," sahut si dara.
"Kau sih tak takut terlibat, tetapi mungkin ayahmu tak
senang berurusan dengan kuku garuda. Kalau sampai
terjadi apa-apa, bukan kau saja tetapi akan merembet
pada keluargamu juga."
Ceng-hoa tertawa, "Jangan kuatir, justru ayah
memang hendak membuat perhitungan dengan kaum
kuku garuda itu. Pernah sekali kudengar beliau
berunding dengan pak Lau, apabila saatnya tiba akan
segera bergerak. Perbuatanku mencuri dengar
pembicaraan itu kepergok ayah. Beliau memberi
peringatan keras padaku supaya jangan menguarkan hal
itu kepada orang lain. Bahkan Nyo Hoan pun tak boleh
diberitahu, kala itu kau belum datang di rumahku.
Sebenarnya sewaktu kau berada di rumahku, hendak
kuberitahukan hal itu, tetapi kukuatir nanti malah
menimbulkan kecurigaanmu, maka baru sekarang
kukasih tahu."
"Bagus, kalau begitu baiklah," seru Kong-he.
Demikianlah kedua anak muda itu segera berangkat.
Pembicaraan tadi telah meningkatkan ikatan hati mereka

lebih erat, walaupun Kong-he belum memberitahukan


tentang rahasia Thian-li-kau, tapi dalam hati ia
menganggap dara itu sebagai 'orang sendiri'. Selama
dalam perjalanan itu tak terjadi suatu apa dan pada hari
itu juga tibalah mereka di kota Po-ting. Kota itu menjadi
pusat markas Thian-li-kau, ialah tempat tinggal Kong-he.
Sejak kecil ikut ayahnya membuat Li Kong-he tahu
cara menjaga diri apabila berada di daerah yang penuh
dengan mata-mata musuh. Dipilihnya waktu magrib
untuk masuk kota, pada saat itu banyak bakulbakul
(pedagang) desa yang terburu-buru pulang sebelum
pintu kota ditutup. Ceng-hoa berganti pakaian sebagai
gadis desa dan Kong-he pun memoles mukanya dengan
angus menyaru seperti anak gembel. Setelah masuk ke
dalam kota, Ceng-hoa bergurau, "Dengan dandanan
seperti ini, mungkin jongos hotel tak mau menerima
kedatangan kita. Kemana kita nanti bermalam?"
"Jangan kuatir, mari kita cari rumahku yang dahulu,"
jawab Kong-he.
Ketika lewat di muka rumahnya, Kong-he
mendapatkan pintu rumah itu disegel. Warna merah
segel sudah luntur dan kunci pintu pun sudah karatan.
Tiga tahun yang lalu ia bersama ayahnya melarikan diri
dari rumah, kini hanya dia sendiri yang pulang tanpa
dapat masuk ke dalamnya. Teringat akan hal itu,
timbullah seketika ingatan Kong-he untuk menjenguk ke
dalam, ia ajak Ceng-hoa menuju ke gang yang sepi dan
membeli wedang. Kala itu sudah tengah malam, tokotoko
dalam kota sudah tutup semua.

"Eh, adik He, apakah kita akan bermalam di tempat


ini? Bukankah kau mengatakan mempunyai kenalan?"
tanya Ceng-hoa.
"Sudah berselang tiga tahun, entah apakah mereka
masih tinggal di alamatnya yang dulu. Dan apakah
sekarang mereka sudah tak berbalik haluan? Nanti
setelah kuselidiki jelas baru kukunjungi mereka. Jangan
kuatir Cici Hoa, akan kuajak kau pulang ke rumahku."
"Ke rumahmu? Bukankah rumahmu sudah disegel!"
Ceng-hoa heran.
"Masakah kita tak dapat masuk dari samping tembok?
Sudah lewat tiga tahun, kunci pintunya sudah berkarat.
Kukira kawanan kuku garuda itu tak nanti terus menerus
menjaga di sini. Besok akan kucari seorang yang dapat
kupercaya," sahut Kong-he.
"Lompat tembok rumahmu sih tak apa, tetapi aku
tetap cemas."
"Aku tak percaya kalau kepergok mereka. Ah, ingin
benar aku menjenguk tempatku bermain-main waktu
kecil, menikmati pula barang-barang peninggalan ayah
bundaku. Mamahku meninggal pada saat aku dan ayah
melarikan diri, mungkin barang-barang peninggalannya
masih, mungkin sudah hilang. Aku harus menjenguknya,
sekalipun kepergok kawanan kuku garuda, tetap akan
kuhadapi."
Ceng-hoa menyatakan kesediaannya. Mereka kembali
ke rumah kediaman Kong-he, setelah diperhatikan tiada
orang lagi, diam-diam mereka melompat ke atas tembok.
Di antara pintu besar ada ruang tamu, terdapat halaman
yang cukup luas, di situlah semasa kecil Kong-he berlatih

silat dan bermain-main. Di bawah sinar rembulan


remang, tampak halaman itu penuh ditumbuhi rumput.
Kong-he tertusuk perasaannya, ia membungkuk
mengisar sebuah pot bunga dan dengan hati-hati
menyiak rumputnya, seperti hendak mencari sesuatu.
"Eh, kau sudah berada di rumah, mengapa tak lekas
masuk?" tanya Ceng-hoa.
"Dahulu mamah meninggal di halaman ini. Kawanan
kuku garuda menerobos masuk dengan tiba-tiba, karena
hendak melindungi diriku, mamah sampai binasa.
Kasihan, ketika roboh di tanah, beliau masih menguatkan
diri mendesak ayah suruh lekas membawa aku lari.
Hendak kulihat lagi apakah di dalam semak rumput ini
tiada terdapat barang-barang peninggalannya? Akan
kucari apakah tiada bekas darah di tanah ini?"
Dari semak rumput melompat dua ekor jangkerik,
hidung Kong-he mencium bau rumput busuk, Ceng-hoa
menarik tangan Kong-he, "Adik He, tak berguna kelewat
bersedih. Kau harus menjaga dirimu baik-baik agar dapat
menuntut balas. Asal kau selalu ingat pada sakit hati itu,
tiada perlu lagi harus mencari peninggalan mamahmu,"
Ceng-hoa menghiburnya.
Kong-he berbangkit, ujarnya, "Aku beruntung
mendapatkan sebuah. Sayang bukan benda yang
dipakainya saat itu."
Ternyata Kong-he mencekal sekeping porselen
(tembikar). Peristiwa itu terjadi sudah lama sekali, pada
suatu hari datang seorang sahabat ayahnya dari Kian-se.
Kenalan itu memberikan sebuah patung dewi Koan Im
dari porselin buatan dari kota Keng-tek yang termasyhur.
Setelah orang itu pergi, tanpa bicara apa-apa, mamah

Kong-he terus melemparkan patung itu ke halaman.


Keping porselin itu mungkin pecahan patung yang waktu
itu, karena bujang kurang bersih menyapu, masih
ketinggalan di situ. Di kemudian hari setelah berjumpa
dengan Jian-jiu-koan-im Ki Seng-im barulah Kong-he
mengetahui bahwa mamahnya karena benci terhadap
wanita itu maka patung porselin yang berbentuk gambar
Koan-im dibanting juga, tetapi apa sebab mamahnya
membenci Jian-jiu-koan-im, sampai sekarang Koan-he
tak tahu.
Setelah menyimpan keping pecahan porselin itu,
Kong-he pun berjalan masuk ke dalam ruangan. Dalam
kegelapan tiba-tiba ia seperti mendengar isak tangis
seseorang, dan datangnya dari kamar mendiang
mamahnya.
Ceng-hoa bergidik, "Eh, apakah karena mati
penasaran, arwah mama adik He menjadi setan?"
Bahkan Kong-he yang tak percaya akan segala setan,
ternyata tergetar juga hatinya, tapi dengan
memberanikan diri ia mendorong daun pintu, "Mah, aku
adalah anak He, aku sudah pulang mah!"
Pintu terbuka dan terdengarlah seorang wanita
berseru, "O, apakah anak He? Aku mencarimu kemanamana,
sungguh beruntung sekali sekarang kau pulang!"
Kong-he terkesiap, wanita itu menyulut pelita. "Oh,
kiranya kau. Mengapa kau berada di sini? Dan berada di
tempat mamaku?" tegur Kong-he setelah mengetahui
wanita itu ternyata Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in.
Ternyata Ki Seng-in tidak mati, meskipun di kota
Tang-peng ia menderita luka parah, tetapi setelah diberi

minum jinsom oleh suami istri Gak Ting, sebulan


kemudian ia sudah sehat kembali. Kali ini ia memang
datang ke kotaraja hendak menyirapi berita tentang
suaminya.
Ki Seng-in sebenarnya adik misan ayah Li Kong-he.
Sejak kecil bermain bersama, sampai berangkat dewasa
tetap bergaul, semua orang menganggap mereka kelak
tentu akan terangkap menjadi suami istri, tetapi ternyata
di kemudian hari mereka mempunyai jalan hidup sendirisendiri.
Ayah Kong-he tahu bahwa perangai Ki Seng-in
tak mencocoki seleranya, maka ia segera
meninggalkannya, kemudian menikah dengan pendekar
wanita Lo Ki-wan dari Thian-li-kau. Karena marah dan
putus asa, Ki Seng-in lolos ke Kwan-gwa, beberapa tahun
kemudian baru menikah dengan Utti Keng, berandal
besar dari daerah Liau-tang.
Utti Keng sangat menyayangi istrinya sehingga
tumbuh juga kecintaan Ki Seng-in terhadap suaminya,
tetapi romannya semasa masih muda tetap tidak dapat
dilupakan. Lebih-lebih setelah Li Bun-sing meninggal, ia
merasa sedih jika tak dapat merawat putra Li Bun-sing
yang sudah sebatang kara itu.
Hari itu Ki Seng-in berlalu di kota Po-ting,
terkenanglah ia akan peristiwa masa remaja, maka ia
pun diam-diam masuk ke dalam rumah hanya karena
sekadar menikmati kenangan indah di masa lampau. Ia
tak nyana sama sekali Kong-he akan muncul di situ,
karena anak itu sudah jatuh di tangan musuh, maka
kegirangannya sedemikian melonjak sehingga ingin sekali
ia memeluk anak itu, tetapi kong-he mempunyai
perasaan lain. Teringat peristiwa mendiang mamahnya

membanting patung Koan-Im, ia pun tak senang kepada


Ki Seng-in.
Perih hati Ki Seng-in mendengar teguran yang tajam
dari Kong-he itu, ujarnya, "Anak He, bertahun-tahun
karena iri atas kebahagiaan mamahmu, pernah aku
bertempur dengannya. Aku memberikan sebuah bacokan
golok dan sebuah tusukan pedang, sekalipun tak terluka,
tetapi akulah yang menyerangnya lebih dulu. Untuk hal
itu aku merasa menyesal dan aku pun tak menyalahkan
mamahmu benci padaku, sebenarnya ingin sekali aku
menghaturkan maaf di hadapannya. Anak He, apakah
kau masih membenci padaku?" Perasaan menyesal telah
mendorong Ki Seng-in menumpahkan isi hatinya secara
terus terang.
Pada usia itu Kong-he sudah mulai mengerti persoalan
muda-mudi, terbukalah kesadarannya setelah mendengar
keterangan Ki Seng-in, pikirnya, "O, kiranya demikian.
Kalau begitu sekalipun dia cemburu kepada mamah
tetapi ia sayang sekali kepada ayahku." Kong-he amat
mencintai ayah, terhadap wanita yang cinta pada
ayahnya, ia pun tak memandangnya sebagai musuh.
"Tempo hari kau tak mau ikut padaku hingga kena
dikelabui si Tok-kak-lok. Betapa cemasku, anak He.
Kedua ayah bundamu sudah tiada dan diam-diam aku
telah bersumpah untuk melakukan sesuatu guna kedua
orang tuamu, oleh karena itu tak dapat aku tinggal diam
melihat kau ditawan musuh. Bertahun-tahun aku
mencarimu, akhirnya Thian mengabulkan dan kita dapat
berjumpa di sini. Tentu kau sekarang sudah tahu siapa
Tok-kak-lok itu, bukan? Anak He, apakah kau masih
benci padaku?" Wanita itu mengucurkan air mata.

Sekalipun masih muda, Kong-he dapat juga


membedakan orang baik dan jahat, melihat betapa
kesungguhan hati seorang wanita yang hendak menebus
dosa asmaranya, Kong-he pun terharu dan ikut
mengucurkan air mata. "Bibi," akhirnya mulut Kong-he
meluncurkan panggilan mesra.
"Bibi, untukku kau bertahun-tahun menempuh bahaya.
Kukira di alam baka arwah mamah tentu tak benci lagi
kepadamu," sahut Kong-he.
Dalam celah-celah wajah yang basah air mata itu,
berserilah cahaya kegirangan. "Baik, puaslah hatiku
sekarang. Tempat ini bukan tempat yang cocok untuk
kita tinggali lama-lama, lebih baik kita lekas pergi dari
sini. Aku mempunyai tempat untuk kalian berteduh,
apakah nona ini Pada saat itu barulah Ki Seng-in sempat
menanyai Tiok Ceng-hoa.
"Namaku Tiok Ceng-hoa, aku mengangkat saudara
dengan Kong-he. Aku girang sekali Kong-he yang sudah
sebatang kara berjumpa dengan bibinya," kata Cenghoa.
Mendengar ucapan itu, Ki Seng-in dapat menyingkap
hati si dara. Melihat Ceng-hoa seorang dara yang cantik,
diam-diam Ki Seng-in girang sekali, ujarnya dengan
tertawa, "Tidak, sekarang dia sudah punya dua
keluarga."
Ceng-hoa tertegun, sesaat dapat menangkap siapa
yang dimaksud dengan keluarga yang satunya itu,
merahlah wajah Ceng-hoa.
Setelah itu Ki Seng-in segera mengajak kedua anak
muda itu pergi, tetapi seketika itu juga terdengar kesiur

angin melayang di atas penglari rumah. Ki Seng-in


terkejut dan cepat menarik kedua anak muda itu,
bisiknya, "Ikutlah di belakangku, lompat keluar dari
jendela. Ada tetamu malam masuk rumah ini."
Setelah memadamkan lampu, sambil mendorong daun
jendela, Ki Seng-in menyiapkan serangkum Bwe-hoaciam.
Menyusul terdengarlah jerit orang mengaduh. Setelah
melompat keluar jendela, Ki Seng-in berseru, "Jian-jiukoan-
im berada di sini. Siapa yang tak takut mati, silakan
maju!"
"Jian-jiu-koan-im sungguh tak bernama kosong, tetapi
sayang hanya mampu melukai dua orang bawahanku
saja. Hehe, aku Ho Lan-bing berada di sini, mana kau
dapat melarikan diri?" terdengar suara sahutan orang.
Menyusul itu terdengar lain suara, "Jian-jiu-koan-im,
sungguh beruntung dapat bertemu di sini! Tempo hari
kau dapat melukai Loktoakoku, sekarang aku Yo-loji juga
ingin menerima pelajaran darimu!"
Di bawah cahaya rembulan remang, tampak empat
orang berbaris tegak di halaman. Yang seorang Ho Lanbing,
yang kedua Yo Tun-hou dan dua orang lagi ialah
perwira barisan Gi-lim-kun. Yang terkena jarum dan
rebah di tanah mengenakan pakaian pegawai kantor
residen, tentulah pegawai pemerintah kota Po-ting-hu.
Rumah Li Bun-sing disegel kantor pemerintah kota Poting,
maka Ho Lan-bing dan kawan-kawan harus
diantarkan dua pegawai kota Po-ting untuk melakukan
penyergapan. Mereka berdua berkepandaian rendah dan
belum kenal siapa Ki Sing-in, akibatnya merekalah yang
harus menerima persen jarum Bwe-hoa-ciam.

Sebenarnya Ki Seng-in belum mendengar berita


tentang suaminya yang telah ditangkap, tetapi ia tahu
bahwa rombongan kuku garuda yang mengejar Utti Keng
di Siam-kam itu dikepalai oleh Ho Lan-bing. Ketemu
musuh lama, merahlah mata Ki Seng-in, ia melolos Jwanpian,
lalu berseru, "Ho Lan-bing, kau tak datang kemari,
aku pun memang hendak mencarimu. Kau apakan
suamiku itu?"
Ho Lan-bing tertawa mengejek, "Belum mati dan tak
terluka. Kupelihara dia baik-baik, maka silakan kau
nyanyikan lagu 'Perjumpaan sepasang suami istri', tetapi
kau harus kenal gelagat, kalau tidak, hehe, salah-salah
akan kujadikan kau seorang janda nanti!"
Ki Seng-in murka sekali, "Lihat serangan!" Kim-sijwan-
pian secepat kilat disabetkan.
"Ai, cepat sekali. Apa kau sungguh ingin menjadi
janda?" Ho Lan-bing mengejek sembari mengangkat
Kong-pian untuk menangkis.
Ceng-hoa dan Kong-he maju menyerbu, tetapi segera
disambut oleh Yo Tun-hou dan kedua perwira Gi-lim-kun
itupun menghunus senjatanya juga.
"Yo-loji, ringkuslah kedua anak itu agar Jian-jiu-koanim
tak mengatakan kita menghina kaum wanita. Dan
kalian berdua, masuklah ke dalam melakukan
penggeledahan. Coba lihat apakah masih ada konconya
lagi," Ho Lan-bing memberi perintah kepada kedua
perwira.
Yo Tun-hou sudah tahu kelihaian Jian-jiu-koan-im, Ho
Lan-bing tak menyuruhnya membantu, itu sungguh
kebetulan sekali. Yang diurusnya hanyalah dua anak

kemarin sore, ia anggap tentu mudah untuk


membereskan. Cepat ia gunakan ilmu tangan kosong
Toa-kim-na-jiu untuk menangkap Ceng-hoa dan Kong-he,
dan kedua perwira itu segera melakukan perintah Ho
Lan-bing.
Yo Tun-hou merangsek dengan kedua tangannya,
tangan kiri hendak mencengkeram bahu Kong-he, tangan
kanan menotok siku lengan Ceng-hoa. Terhadap Kong-he
ia gunakan jurus maut, terhadap Ceng-hoa ia berlaku
murah, ini disebabkan karena melihat Ceng-hoa seorang
dara yang cantik gilang-gemilang. Ingin ia menawannya
hidup-hidup untuk dipersembahkan pada salah seorang
pangeran kerajaan yang mempunyai pengaruh besar.
"Bagus!" seru Ceng-hoa. Sekali putar pedangnya ia
menusuk tiga jurusan, pergelangan tangan, lengan dan
iga. Sekali serang tiga sasaran, lihainya bukan kepalang.
Kejut Yo Tun-hou tak kepalang, ia tak menyangka
sama sekali bahwa dara yang begitu cantik ternyata
sedemikian lihainya. "Tring", terpaksa ia ganti gaya
serangan untuk menotok pedang Ceng-hoa dengan jari
tengahnya.
"Cakarmu kutung!" Kong-he berseru sembari
menebas. Karena sedang sibuk menghadapi serangan
Ceng-hoa itu, terpaksa Tun-hou memutar tubuh dengan
menggunakan gerak Ih-sing-hoan-wi untuk menghindari.
Li Kong-he hendak membalas sakit hati tempo hari.
Mendapat angin, ia maju mendesak.
"Budak kecil, kau sudah bosan hidup?" bentak Yo Tunhou
seraya merubah cengkeraman dengan pukulan.
Seketika Kong-he merasakan dadanya sesak, tubuhnya

terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Ceng-hoa


terperanjat dan maju menyerang untuk menghalangi Yo
Tun-hou.
Meskipun dalam kalangan Ki-lian-sam-siu, Yo Tun-hou
termasuk nomor dua, tetapi kepandaiannya nomor satu.
Memang Ceng-hoa dan Kong-he cukup hebat, tapi
mereka tetap kalah dari Yo Tun-hou. Untung Kong-he
seorang pesakitan negara yang harus ditangkap hidup,
jangan sampai dibunuh. Dengan begitu Yo Tun-hou pun
tak berani kelewat ganas.
Ho Lan-bing adalah wakil komandan Gi-lim-kun, dia
tokoh terkemuka dalam pasukan Gi-lim-kun, jauh lebih
lihai dari Tun-hou. Setelah menerima serangan beberapa
jurus dari Ki Seng-in, timbullah kemarahannya. Ia
tertawa gelak-gelak, "Sungguh beruntung sekali dapat
berjumpa dengan ahli pian, rupanya kita sepasang
tandingan yang setimpal. Baik, aku hendak melayanimu
dengan sungguh-sungguhi"
Ki Seng-in marah juga mendengar hinaan itu, ia
mainkan Jwan-pian sedemikian rupa, khusus mengarah
jalan darah lawan. Jurus-jurus yang dilancarkan
merupakan serangan maut, namun dengan Kong-pian,
Ho Lan-bing dapat menghalau serangan-serangan itu
semua. "Jian-jiu-koan-im, mengapa kau tak kenal
kasihan sama sekali? Untung aku tak sampai kena!" ia
tertawa mengejek.
Keduanya sama-sama menggunakan senjata pian,
tetapi jurus permainannya berbeda. Yang digunakan Ki
Seng-in ialah Kim-si-jwan-pian atau ruyung dari kawat
emas. Sedang Ho Lan-bing memakai Cui-mo-kong-pian
atau pian baja. Pian dari Ki Seng-in lebih lincah, tetapi

pian Ho Lan-bing lebih keras, yang satu lunak yang satu


keras. Sayang Ki Seng-in tak dapat mengembangkan
ilmu 'dengan kelemasan menundukkan kekerasan'.
"Ilmu pianmu tak menang dari aku, perlu apa
bertempur terus? Mari kuajak .kau menemui suamimu.
Heh, mengapa kau masih menyerang? Apakah kau
benar-benar ingin menjadi janda? Hai, benarlah! Memang
Utti Keng si jelek itu tak sembabat menjadi suamimu, kau
tak mau melihatnya lagi, bukan?" Ho Lan-bing tertawa
mengolok-olok.
"Bangsat anjing, rasakan kelihaianku!" bentak Ki Sengin,
tahu-tahu tangan kirinya sudah mencekal sebilah
pedang pendek. Dengan pedang di tangan kiri dan pian
di tangan kanan, ia menghajar Ho Lan-bing sederasderasnya.
Ki Seng-in bergetar Jian-jiu-koan-im atau dewi
Koan-im seribu tangan. Dan digelari juga sebagai Piankiam-
siong-ciat atau jago pedang dan pian. Biarpun Ho
Lan-bing lebih tinggi kepandaiannya, namun dengan
serangan dua macam senjata yang dimainkan secara luar
biasa, terpaksa wakil komandan Gi-lim-kun terdesak,
hanya dapat bertahan tak mampu balas menyerang.
Sekalipun begitu juga tak mudah bagi Ki Seng-in untuk
mengalahkan sang lawan. Dan celakanya, pada saat Ki
Seng-in berada di atas angin itu, di sana Ceng-hoa dan
Kong-he kelabakan ditekan Yo Tun-hou.
Pada saat Ki Seng-in mendesak Ho Lan-bing, Yo Tunhou
pun dapat menampar ke samping pedang Ceng-hoa,
kemudian hendak mencengkeram bahu Kong-he. Pada
waktu cengkeramannya akan berhasil, tiba-tiba sebuah
jurus Hwe-hong-soh-liu (angin berkisar menyapu pohon
Liu), Ki Seng-in mencambuk ke belakang. Serangan itu
datangnya dari jarak dekat dan secara tak terduga-duga,

dalam kejutnya Yo Tun-hou berusaha mengapungkan


tubuh untuk menghindar, namun tak urung kakinya kena
sabet dan jatuhlah ia terkapar di tanah.
Tetapi Ki Seng-in pun menderita, pada saat ia
membalikkan tangan mencambuk ke belakang, Ho Lanbing
pun melompat menerjang dengan piannya. Ki Sengin
bukannya tak tahu akan resiko itu, tetapi untuk
menolong kedua anak itu, terpaksa ia harus menempuh
bahaya itu. Sabetan Kong-pian Ho Lan-bing tak dapat
dihindari lagi, ia masih mencoba menangkis dengan
pedang pendeknya, tapi tenaganya kurang. "Tring",
punggung tangan Ki Seng-in tergurat berdarah. Untuk itu
sebenarnya ia harus merasa bersyukur.
"Bibi!" rasa kejut dan haru mendorong Kong-he untuk
maju menggempur Yo Tun-hou. Yo Tun-hou
menggunakan gerak Le-hi-ta-ting atau ikan lele meletik,
tapi tak urung tulang betisnya kena. Lukanya lebih parah
daripada Ki Seng-in,. jago Ki-lian-sam-siu itu mempunyai
ilmu kebal, meskipun terluka tetapi tulangnya tak sampai
patah. Adalah karena memikirkan keselamatan Ki Sengin,
maka Kong-he dan Ceng-hoa telah melepaskan
kesempatan bagus untuk melukai Yo Tun-hou.
"Lekas merapat, hati-hati menghadapi musuh!" seru Ki
Seng-in dengan suara serius. Saat itu ia sudah dapat
memperbaiki posisi tubuhnya dan mulai memainkan
kedua senjatanya, pian dan pedang pendek. Pian untuk
menyerang jarak jauh dan pedang untuk menjaga jarak
dekat, dengan begitu dapatlah ia melindungi kedua anak
itu dari serangan kedua Ko-chiu itu. Walaupun pihaknya
tetap lebih lemah, namun dapat juga Ki Seng-in memberi
perlawanan.

Pada saat itu keluarlah kedua serdadu Gi-Iim-kun yang


diperintah menggeledah ke dalam rumah tadi, mereka
melapor pada Ho Lan-bing bahwa di dalam tiada terdapat
barang seorang pun juga.
"Baik kalau begitu, kalian bantu meringkus kedua
bocah itu. Hari segera terang tanah, kita tak boleh lamalama
di sini!" Karena harus menyudahi pertempuran itu,
terpaksa Ho Lan-bing tak menghiraukan kedudukannya
sebagai wakil komandan pasukan Gi-lim-kun lagi.
Kedua perwira itu kepandaiannya lebih lemah dari Yo
Tun-hou, tetapi juga cukup berbahaya, paling tidak
mereka dapat menghadapi kedua anak muda itu. Kedua
perwira itu yang saru menggunakan rantai Lian-cu-jui
dan yang satu tongkat besi, sebuah senjata yang berat.
Mereka menyerang Kong-he dan Ceng-hoa, tapi tak
berani mendekati Ki Seng-in.
Ditekan oleh kedua jago tangguh, Ki Seng-in tak
sempat lagi membagi tenaganya untuk membantu Konghe
dan Ceng-hoa. Mereka masih muda, tenaganya belum
penuh. Sebenarnya mereka sudah tercecar, apalagi
lawan ketambahan dua tenaga pula.
Tengah terjepit dalam keadaan berbahaya, mata dan
telinga Ki Seng-in yang selalu memperhatikan empat
penjuru tiba-tiba mendengar di atas rumah ada angin
berkesiur. Bercekatlah hati Ki Seng-in, yang dihadapinya
itu saja sudah berat apalagi kalau sampai datang bala
bantuan musuh. Tetapi ia sudah membulatkan tekad,
daripada menerima hinaan lebih baik gugur saja.
"Siapakah yang datang itu? Lekas beritahukan
namamu!" tiba-tiba Ho Lan-bing berteriak. Rupanya ia

juga mendengar kesiur angin itu, tetapi tak tahu kawan


atau lawan yang datang.
Sesosok tubuh melompat turun, serentak memaki
dengan keras, "Kawanan anjing buduk, kamu berani
menghina kaum wanita di dalam rumah saudaraku!"
Mendengar suara orang itu, girang Kong-he bukan
kepalang, serunya, "Paman Lim, kau datang!"
"He-tit, kaukah?" orang itupun berseru kaget.
Karena berteriak itu, Kong-he menjadi agak lengah.
"Tring", goloknya terpental ke udara oleh sambaran
rantai si perwira.
"Berhenti! Kalau tidak, akan kucincang tubuhmu!"
tiba-tiba pendatang itu membentak. Karena bentakan itu,
rantai di tangan kiri si perwira tak mengenai sasaran,
dengan demikian Kong-he dapat menyelinap lolos.
Pendatang itu segera maju untuk merintangi kejaran si
perwira.
Kejut Ho Lan-bing lebih besar dari perwira itu, karena
ia tahu siapa pendatang itu, namun ia masih menegas,
"Apakah yang datang Lim-kaucu?"
"Benar! Bukankah kalian hendak mencari aku?
Sekarang aku datang sendiri, jika mampu tangkaplah
aku!" sahut orang itu yang memang Lim Jing adanya.
Mimpi pun tidak Ho Lan-bing bahwa Lim Jing berani
muncul di kota Po-ting, diam-diam ia menyesal mengapa
tak menyiapkan anak buahnya yang lihai untuk
menangkapnya.
Kedua perwira itu belum kenal siapa Lim Jing, melihat
orang hanya bertangan kosong, maka timbullah

keinginan mereka untuk menangkapnya. Jika dapat


menangkap ketua Thian-li-kau, tentulah akan mendapat
pahala besar, serempak kedua perwira itu maju
menyerang.
Waktu rantai bandringan melayang ke muka Lim Jing,
ketua Thian-li-kau membentaknya, "Roboh!" Ia
menghindar terus menyambar rantai. Perwira itu sertamerta
roboh bermandikan darah. Setelah merampas
rantai, Lim Jing segera mempermainkannya, perwira
yang menggunakan tongkat segera menjerit roboh dan
kepalanya pecah.
Lim Jing menjemput golok pusaka Kong-he, dengan
mendongak ke langit ia tertawa keras, "Li-hiante, kau
telah dicelakai kawanan anjing alap-alap. Sekarang -
engkoh akan membalas sakit hatimu dengan golokmu ini,
agar arwahmu mengaso dengan tentram di alam baka!"
Perwira yang memakai rantai bandringan tadi tak
begitu parah lukanya, waktu ia hendak merayap bangun,
tahu-tahu kepalanya sudah menggelinding. Ilmu golok
Lim Jing bukan olah-olah cepatnya.
"Ki-temoay, mundurlah!" teriak Lim Jing kepada Ki
Seng-in. Nyonya itu segera mundur, ia cukup tahu
sampai dimana kelihaian ketua Thian-li-kau itu, tak perlu
ia membantunya.
Melihat sekali gebrak Lim Jing dapat membunuh dua
orang perwiranya, kuncuplah nyali Yo Tun-hou. Diamdiam
ia sudah merencanakan untuk lolos. Pada saat Lim
Jing berganti tempat dengan Ki Seng-in, Yo Tun-hou
segera kabur. Dalam beberapa kejap saja ia sudah
melompat ke atas pagar tembok.

"Paman Lim, jangan biarkan bangsat itu kabur! Dia


adalah musuhku!" teriak Kong-he.
"Tak nanti dia mampu!" sahut Lim Jing yang segera
melontarkan sebuah pukulan seraya membentak,
"Turun!"
Yo tun-hou baru saja naik ke atas tembok, tiba-tiba ia
merasa didorong oleh sebuah tangan kuat yang tak
kelihatan. Tak ampun lagi ia terdorong jungkir-balik.
Berbareng itu senjata rahasia Ki Seng-in pun menembus
tubuhnya, dengan begitu tak dapat ia bernapas lagi ....
Habis mengirim pukulan, Lim Jing segera menerjang
Ho Lan-bing sebagai wakil komandan Gi-lim-kun,
kepandaian Ho Lan-bing lebih unggul dari Yo tun-hou.
Biar bagaimanapun ia tak mau menyerah, ia pun segera
mengeluarkan ilmu pian, Utti-pian-hoat dari pusaka
keluarganya. Pat-hong-ih-hwe-tiong-ciu atau hujan angin
empat penjuru bertemu di Tiong-ciu, demikian jurus yang
dimainkan Ho Lan-bing. Pian gelombang demi gelombang
mendampar dengan hebat. ?
"Apakah kau sudah mengeluarkan semua
kepandaianmu? Lihat golok!" Lim Jing tertawa mengejek.
Dan pada lain saat ia membentak, "Kena!" Dari curahan
hujan pian yang gencar, ia menerobos maju. Ho Lan-bing
berteriak keras, tubuhnya melesat keluar. Kiranya bahu
wakil komandan Gi-lim-kun itu terkena bacokan, tetapi
sekalipun begitu dia masih lihai. Larinya menjurus ke
arah Li Kong-he, saat itu Kong-he sedang tercengang
melihat permainan Lim Jing, ia tak mencekal senjata
karena goloknya dipakai Lim Jing.
"Celaka!" Ki Seng-in mengeluh dan buru-buru
melindungi anak itu. Lim Jing sebenarnya sudah bersiapTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
siap kemungkinan lawan berbuat begitu, ia bergerak
mendahului untuk melompat ke samping Kong-he. "Apa
kau masih mau unjuk keganasan? Fui, mau lari kemana
kau!"
Di luar dugaan Ho Lan-bing berganti arah, sekali
melompat ia naik ke tembok. Kiranya ia menggunakan
apa yang disebut Seng-tang-ki-se atau suara di timur
menerjang ke barat. Ia pura-pura hendak meringkus
Kong-he untuk memancing Lim Jing dan Ki Seng-in ke
situ, setelah itu barulah ia lolos.
Tahu tertipu, Lim Jing melontarkan sebuah pukulan
seperti ia berbuat terhadap Yo-Tun-hou tadi. Ho Lan-bing
menjerit dan mengapungkan tubuh setombak tingginya,
berjumpalitan di udara lalu melayang turun keluar
tembok. Ki Seng-in tak dapat melontarkan senjata
rahasia, lalu melompat ke tembok, tetapi ternyata Ho
Lan-bing sudah lari. Dengan kuda pilihannya memang
sukar untuk mengejar wakil komandan Gi-lim-kun itu.
Pukulan Lim Jing memang dahsyat, tetapi kepandaian Ho
Lan-bing pun bukan seperti Yo Tun-hou. Dengan begitu
walaupun terluka, tetap jago istana itu masih dapat
melarikan diri.
Lim Jing membesut darah pada goloknya, lalu
menyerahkan kembali kepada Kong-he, "Anak baik, tiga
tahun tak berjumpa kepandaianmu sudah maju pesat.
Baik-baiklah kau memakai golok pusaka tinggalan
mendiang ayahmu ini!"
Kong-he menerima golok pusaka itu dengan berlinang
air mata, mulurnya tak dapat mengucap apa-apa, Lim
Jing segera mengajak mereka keluar. Kala itu sudah
hampir jam 3 pagi, tetapi pintu kota masih belum dibuka.

Po-ting adalah ibukota propinsi Ciat-lim, tembok kota tak


kurang dari 4-5 tombak tingginya, Ceng-hoa dan Konghe
tak mampu melompat ke atasnya.
"Biar kubukakan jalan, mari ikut aku naik," Lim Jing
tertawa. Sebenarnya ia dapat melompat ke atas, tetapi ia
hanya menggunakan ilmu Bik-hou-ba-jiang atau cecak
merayap tembok, dengan tangan menempel tembok ia
merayap naik. Tiap 5-6 depa, ia tusukkan jarinya
membuat lubang pada tembok agar anak-anak itu dapat
berpegangan.
Tiok Ceng-hoa kagum, bisiknya, "Pamanmu Lim
sungguh hebat sekali. Dia menggunakan ilmu Toa-lateng-
jiau-kang, sedikitpun tak menggunakan tenaga.
Ayah pun demikian juga."
Demikianlah setelah keluar dari kota Po-ting, keempat
orang itu segera menggunakan ilmu lari, dalam sekejap
saja sudah mencapai 10-an li lebih.
Hari pun mulai terang.
Katalah Lim Jing, "Bagus, sekarang kita berjalan agak
lambat. He-ji, apakah kau tahu berita tentang adikmu,
To-kan?"
Kong-he pun menyahut dengan sedih, "Aku bertemu
di tengah jalan. Eh, tidak, dia berada dalam karung, aku
belum pernah melihatnya, tetapi aku dengar suaranya
memanggil aku dari dalam karung. Sayang aku tak becus
menolongnya."
"Mengapa ia berada dalam karung?" Lim Jing heran.
Kong-he menceritakan tentang peristiwa Nyo Hoan
menculik To-kan.

"O, kiranya dia diculik anjing alap-alap? Jadi kau


mengira ia dibawa ke kotaraja hingga kau hendak
menolongnya ke kotaraja juga?"
"Ya, meski kepandaianku dangkal, tetapi kuketahui
bahwa Suhuku, Kang hay-thian, juga berada di kotaraja.
Paman Lim, tahukah kau akan Suhuku?"
"Belum pernah berjumpa, tetapi Kang-tayhiap melepas
budi padaku, aku pun tahu."
Karena belum tahu peristiwa di Cong-liong poh, Konghe
hendak menanyakan, tetapi Lim Jing sudah
mendahului, "Siapa nama nona ini? Apakah datang
bersamamu?"
Setelah memberitahukan nama Tiok Ceng-hoa, Konghe
menyatakan bahwa nona itu adalah Taci angkatnya.
"Apakah ayah nona adalah Tiok-cianpwe Tiok Sianghu?"
tanya Lim Jing.
"Darimana kau tahu, Lim-kaucu?" Ceng-hoa heran.
Lim Jing tertawa, katanya, "Kulihat kepandaian nona
tadi bukan sembarangan, tentulah ajaran ayahmu.
Kemasyhuran nama ayahmu sudah lama aku
mendengarnya."
Kiranya sewaktu Ceng-hoa dan Kong-he bisik-bisik
membicarakan kepandaian Lim Jing dibandingkan
dengan ayahnya (Tiok Sing-hu), Lim Jing telah dapat
mencuri dengar.
"Setelah ayah binasa, aku menerima budi Tioklocianpwe,
tinggal setahun lebih di rumahnya," kata
Kong-he.

"Ah, peruntunganmu memang besar. Kau mendapat


seorang ayah angkat seorang tokoh luar biasa dan
menjadi murid Kang Hay-thian, tokoh nomor satu di
dunia persilatan," kata Lim Jing.
"Tetapi sampai saat ini aku belum pernah melihat
Suhuku."
"Eh, aneh. Mengapa?"
Kong-he segera menuturkan peristiwa selama ini.
"O, kiranya begitu, maka kau tak menghiraukan
bahaya datang ke kotaraja hendak mencarinya," kata Lim
Jing. Kemudian katanya kepada Ki Seng-in, "Ki-temoay,
mengapa kau juga berada di Po-ting. Hendak kemana
saja? Kabarnya kau sudah berumah tangga di Kwan-gwa,
Moayhu (adik ipar) mengapa tidak ikut?"
"Adik iparmu itu juga ditawan kuku garuda, entah
hidup entah mati? Aku pun hendak ke kotaraja untuk
mencari beritanya," jawab nyonya itu yang lalu
menuturkan peristiwa yang menimpa diri suami istri itu.
"Dan kau paman Lim, kemana saja kau selama
beberapa tahun ini? Apakah juga hendak ke kotaraja?"
tanya Kong-he.
"Tahun pertama aku bersembunyi di Cong-liong-poh,
kemudian setelah Cong-liong-poh dibakar, aku
mengembara kemana-mana tanpa tujuan."
"Hai, jadi Cong-liong-poh sudah dibakar? Bagaimana
dengan paman Tio?" Kong-he kaget.
"Untung bisa melarikan diri bersama aku, setelah itu
baru Cong-liong-poh dibakar. Kabarnya waktu
pembakaran itu Kang-tayhiap kebetulan datang ke CongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
liong-poh. Adikmu To-kan yang masih berada dalam
Cong-liong-poh kabarnya juga ditolong oleh Kangtayhiap.
Berita ini kudapat dari seorang desa yang juga
binasa karena kebakaran itu. Tapi bagaimana
sebenarnya, aku pun juga belum mengetahui," kata Lim
Jing.
Kong-he baru jelas bahwa apa yang dikatakan Lim
Jing soal hutang budi pada Kang-Hay-thian ternyata
tentang hal itu, kemudian Kong-he mengajak paman Lim
Jing bersama-sama ke kotaraja. Pertama, dapat bertanya
jelas pada Kang Hay-thian dan kedua, bisa membantu
bibi Seng-in menolong suaminya.
"Memang aku hendak ke kotaraja, tetapi aku kuatir
tak ada waktu mencari Suhumu. Mudah-mudahan bisa
ketemu saja," kata Lim Jing.
"O, jadi paman Lim masih ada urusan penting lain?"
tanya Kong-he.
"Memang ada urusan penting yang memerlukan
kedatanganku ke sana, Ki-temoy, mungkin urusan itu
secara tak langsung akan membantumu menolong
Moayhu. Ayo, kita berangkat," kata ketua Thian-li-kau
itu.
Sebagai seorang persilatan, Ki Seng-in cukup mengerti
peraturan, ia bukan orang Thian-li-kau, sudah tentu tak
mau banyak bertanya.
Sebelum berangkat, Lim Jing menyuruh Kong-he
membasuh mukanya yang tak keruan itu.
Kemudian dengan nada serius Lim Jing memberi
pesan, "Di dalam kotaraja banyak sekali telinga dan mata
kerajaan. Penjagaan di sana ketat sekali, jauh berbeda

dengan di Po-ting, tetapi jangan harap kau dapat berbuat


begitu di kotaraja."
Kong-he tertawa meringis, ia meminta paman itu suka
memberi petunjuk, Lim Jing menyanggupi akan
mengusahakan.
Po-ting hanya terpisah 300-an li dari kotaraja. Dengan
berjalan, pagi berangkat tengah malam tibalah sudah
mereka di luar kotaraja, di sebuah dusun yang terletak
50 li dari kotaraja. Di situ sudah ada beberapa orang
yang menyambut kedatangan Lim Jing.
Keesokan harinya Lim Jing memberi Kong-he ganti
satu stel pakaian bagus, menyuruh dia menjadi seorang
putra hartawan. Sedang ia (Lim Jing) sendiri menyaru
menjadi perwira dari luar daerah yang mengunjungi
kotaraja, sedangkan empat' orang lagi menyaru jadi
pengiring. Mereka naik empat buah tandu, masuk ke
kotaraja. Benar juga penyaruan itu telah dapat
mengelabui mata kawanan kuku garuda, bahkan ke-16
anggota Thian-li-kau yang menyaru jadi tukang pikul
tandu pun lolos dari pengawasan mereka.
Dalam kotaraja terdapat cabang partai Thian-li-kau,
tempatnya di sebuah gedung besar bekas milik seorang
hartawan, kamarnya beberapa puluh buah. Lim Jing
menempatkan Kong-he di sebelah kamarnya, Ki Seng-in
dan Ceng-hoa menempati kamar dalam. Lim Jing
berpesan pada mereka jika tak perlu jangan sekali-kali
keluar rumah.
Selama itu Kong-he lihat setiap hari tentu ada orang
yang datang menemui Lim Jing dan berunding, tahu
akan peraturan partai, Kong-he pun tak mau bertanya.
Setiap Lim Jing menemui tetamu, Kong-he tentu pergi ke

dalam mencari Ceng-hoa. Dia seorang anak, jadi tak


sungkan bermain dengan anak perempuan. Diam-diam
Kong-he menduga, bahwa ditilik dari kesibukan Lim Jing
dan orang-orang itu, tentulah mereka tengah
mempersiapkan rencana yang hebat.
Pada hari itu Lim Jing meminta kedatangan Ki Seng-in,
katanya, "Aku sudah menerima berita yang boleh
dipercaya, Moayhu disekap dalam penjara besar Thian-lo.
Pembesar-pembesar anjing itu hendak memaksanya
supaya memberi keterangan tentang harta benda yang
dirampasnya selama bertahun-tahun, di antaranya yang
penting ialah Cu-kwan (kopiah mutiara) dari istana.
Selama mereka belum memperoleh pengakuan dari
Moayhu tentang barang-barang itu, tentulah takkan
bertindak ganas kepada Moayhu."
Mendengar keterangan itu, legalah hati Ki Seng-in,
tetapi jika membayangkan betapa kejam para petugas
dalam mencari pengakuan seorang pesakitan, mau tak
mau bergidiklah bulu roma Ki Seng-in.
"Selama dalam penjara tentu dia mengalami siksaan
hebat, entah bagaimana dengan kesehatan badannya?"
tanyanya.
”Terus terang” Lim Jing memberi keterangan, "Untuk
mendapat pengakuan, kawanan pembesar anjing itu
sudah tentu melakukan segala macam siksaan, tetapi
janganlah kau kuatir. Moayhu hanya mendapat luka luar
saja."
"Masakah begitu enak?" tanya Ki Seng-in.
"Moayhu cerdik sekali, ia menggunakan akal untuk
mempedayai mereka. Di depan pengadilan, sepatah pun

ia tak mau mengatakan, tetapi di dalam penjara ia diamdiam


membisiki para petugas di situ tentang tempat
penyimpanan harta rampasannya. Sudah tentu tempat
yang tak begitu penting, ia suruh petugas itu mengambil
dan membagi rata pada semua kawan-kawannya.
Dengan mendapat kebaikannya itu sudah tentu para
petugas penjara tak berani membikin susah padanya.
Alat siksaan apapun yang digunakan itu, semua telah
dilatih dengan seksama. Memang pada waktu di depan
pembesar, Moayhu mendapat siksaan, tetapi yang luka
hanya kulitnya saja. Apalagi Moayhu mempunyai
kepandaian lihai, sudah barang tentu makin tak menjadi
soal. Dan karena rakus supaya diberi bagian lagi,
petugas-petugas penjara itu melayani Moayhu luar biasa
baiknya. Hidangannya terdiri dari ikan dan daging yang
lezat-lezat!"
"Ya, meskipun demikian aku tetap akan menolongnya
keluar baru pikiranku lega," kata Ki Seng-in.
"Sudah tentu, tetapi penjagaan penjara itu luar biasa
ketatnya. Sejak moayhu dimasukkan ke dalam penjara,
penjagaan di situ diperkuat dengan beberapa Ko-chiu
istana, maka kuharap kau suka bersabar sedikit, jangan
sembarangan merampas penjara, tetapi jangan kuatir
lambat-laun kita tentu akan menolong Moayhu!" Lim Jing
menghibur nyonya itu.
Setelah itu berkatalah Lim Jing kepada Kong-he, "Aku
pun telah menyuruh orang mencari berita tentang
Suhumu, tetapi sampai sekarang belum mendapat kabar
apa-apa. Kulihat dalam beberapa hari ini kau murung
saja, apakah kau hendak mencari Suhumu?"

"Kulihat paman begitu sibuk, ingin sekali kudapat


membantu sedikit. Jika aku boleh keluar
"Setelah pertempuran di Po-ting itu, memang kawanan
anjing alap-alap dalam kotaraja tampak sibuk, tetapi
setelah dalam beberapa hari ini tiada terdapat gerakan
apa-apa, dalam dua hari ini memang agak longgar. Tak
apa, kau boleh keluar mencari angin sana. Jika
seseorang tak mendapat ujian kesulitan, memang sukar
menjadi orang."
Sejak itu Kong-he sering keluar melakukan sesuatu
untuk Lim Jing, misalnya mengantar surat atau menemui
seorang. Sudah tentu Lim Jing tak mau membiarkan dia
keluar seorang diri dan menyuruh seorang Thaubak
menyertainya. Thaubak itu bernama Te Kun, orang
kelahiran kota itu.
Tak terasa sudah 10-an hari lebih, rencana besar yang
dirancang Lim Jing itu masih belum dilaksanakan, juga
gerakan menolong Utti Keng dari penjara belum juga
dilakukan. Ki Seng-in gelisah sekali, tetapi tak dapat
berbuat apa-apa. Ada kalanya ia mengeluarkan isi
hatinya pada Kong-he.
Tetapi Kong-he cukup paham akan perangai paman
Lim itu, sekali paman itu menyanggupi, tentu akan
mengerjakan sampai selesai.
Pada suatu pagi, ketika Kong-he hendak mengajukan
soal itu kepada paman Lim Jing, Lim Jing sudah
mengangsurkan sepucuk surat kepadanya dan menyuruh
dia mengantarkan. Kala itu Lim Jing sibuk sekali dan
melayani beberapa orang tetamu, Kong-he pun tak mau
mendesak.

Penerima surat itu ialah seorang yang tinggal di


bagian timur kota. Waktu Kong-he dan Te Kun
mengantar, kala itu sudah tengah hari. Pulangnya
mereka melalui Tho-yan-thing, sebuah tempat tamasya
yang indah di dalam kotaraja. Hiang-hui-tiong atau
makam permaisuri raja, terletak di dekat Tho-yan-thing
itu. Permaisuri Hiang-hui, seorang wanita cantik dari
suku Hwe, ditawan kaisar Kian Liong tetapi tak mau
menurut dan meninggal. Negara asal Tiok Siang-hu,
bertetangga dengan daerah Hwe. Karena sewaktu
berada dalam rumah keluarga Tiok, Kong-he pernah
mendengar cerita tentang permaisuri itu, maka ingin juga
ia melihat makamnya.
"Jika kau hendak menikmati pemandangan indah, kau
tentu kecele," kata Te Kun, "tetapi dalam tempat pesiar
itu ada juga warung arak, boleh juga kita masuk minumminum."
Kiranya yang disebut makam Hiang-hui-tiong itu
ternyata segunduk tanah belaka, malah kalah dengan
kuburan orang biasa, tetapi karena disohorkan sebagai
tempat pesiar, banyak juga orang yang berkunjung,
maka orang pun membuka juga warung minuman.
Karena kecele dengan apa yang disaksikan, Kong-he
dan Te Kun pun lalu minum teh di warung. Ada beberapa
tetamu di situ, antaranya seorang tetamu yang datang
sendirian, seorang pemuda berumur 20-an tahun.
Anehnya pemuda itu rupanya menaruh perhatian akan
pembicaraan Kong-he dan Te Kun, tempo-tempo
melepas lirikan mata juga kepada orang tua itu.
Te Kun seorang Kangouw yang berpengalaman, cepat
sekali gerak-gerik pemuda itu menarik perhatiannya, la

bertanya bisik-bisik pada Kong-he, "Pernahkah kau


melihat orang itu?" Kong-he menyatakan belum pernah.
Kuatir jangan-jangan pemuda itu golongan mata-mata
musuh, maka cepat Te Kun memanggil pelayan supaya
menghitung bayarannya, tetapi pemuda itu sudah
mendahului menghampiri ke tempat Te Kun dan Konghe.
"Engkoh kecil, apakah kau orang she Li?" tegurnya.
Kong-he terkejut, ia tak kenal pada pemuda itu, tetapi
agaknya ia pernah mendengar nada suaranya. Karena
melihat sikap orang bersungguh-sungguh, ia pun
menjawab, "Kalau ya bagaimana, kalau tidak
bagaimana?"
Pemuda itu setengah berbisik berkata, "Di sini banyak
orang, ayo kita cari tempat yang sepi."
Buru-buru Te Kun menarik Kong-he dan menegur
orang itu, waktu pemuda itu hendak menjawab, tiba-tiba
ada seorang lelaki datang menghampiri dan menepuk
bahunya, "Eh, apakah bukan Hiong-ji ini? Sudah berapa
tahun tak bertemu, apa masih kenal padaku?"
"Oh, paman Ting, sungguh kebetulan sekali," seru
pemuda itu.
Lelaki she Ting itu tertawa, "Bukan kebetulan, tetapi
memang aku sengaja kemari menjumpaimu."
Si pemuda tertegun, "Paman Ting, mengapa kau tahu
aku berada di sini?"
Sahut lelaki itu, "Bukankah kau menjanjikan Sat-lotoa
untuk bertemu di sini? Dia tak datang, akulah yang
mewakilinya."

Pada saat itu datang pula beberapa orang, setiap


orang membawa senjata. Dan tetamu-tetamu yang
berada di dalam warung situ berdiri semua. Pemuda itu
tersadar, sekonyong-konyong ia mencengkeram lelaki
tadi, bentaknya, "Bagus, kiranya kau menjadi antek
kerajaan!" "Bluk", bahu orang she Ting itu terkena
hantaman si pemuda, tetapi pemuda itupun tak berhasil
menangkapnya. Lelaki itu bahunya berdarah, ia
melompat menghindar, serunya, "Ubun Hiong, kau
bersahabat dengan kawanan pengacau akan menentang
kerajaan. Jangan salahkan paman Ting tak kenal kasihan
padamu!" Sekali ia memberi isyarat tangan, tetamutetamu
tadi dan beberapa opas segera menyergap
pemuda itu.
Kiranya pemuda itu bukan lain adalah Ubun Hiong,
murid Kang Hay-thian. Ketika ia dan To-kan tiba di
gunung Bi-san, ternyata rapat sudah bubar, dia
mendengar bahwa Suhunya sudah pergi ke kotaraja,
Subo (ibu guru) juga tak pulang ke Soatang. Karena
ingin lekas mendapatkan Suhunya, Ubun Hiong segera
menyusul ke kotaraja. Ia suruh To-kan menunggu saja di
rumah Suhunya (Kang Hay-thian) tetapi bocah itupun
tetap mau ikut, terpaksa Ubun Hiong membawanya juga.
Dulu ayah Ubun Hiong adalah Piauthau (pemimpin)
perusahaan Tin-wan-piau-kiok, di Pakkhia mempunyai
banyak sahabat. Karena sejak kecil hidup di kotaraja,
maka banyak juga kenalan Ubun Hiong. Karena saat itu
ia sudah mengetahui asal-usul Lim To-kan, maka setiba
di kotaraja, ia sewakan sebuah kamar untuk To-Kan dan
tak berani mengajak ke rumahnya dahulu, pikirnya ia toh
tak berbuat kesalahan atau melanggar peraturan
pemerintah, asal ia dapat menyembunyikan To-kan,

dapatlah ia bebas berkeliaran di dalam kotaraja.


Demikian setelah dua hari tiba di kotaraja, barulah ia
berani keluar.
Sebenarnya Ubun Hiong bukan seorang pemuda yang
cermat, tetapi apa yang dilakukan kala itu memang hatihati
sekali. Tak berani ia mencari sembarang orang orang
yang dijanjikan bertemu di warung itu bernama Sat
Thian-lip, bekas tenaga lama dari kantor ayahnya dahulu,
ia juga sahabat baik ayahnya. Ubun Hiong anggap orang
itu boleh dipercaya, untuk menjaga kemungkinan yang
tak diinginkan dan jangan sampai merembet keluarga
Sat, Ubun Hiong menulis sepucuk surat, lalu menyuruh
seorang anak pengemis mengantarkan kepada keluarga
Sat. Maksud Ubun Hiong hendak mencari keterangan
tentang diri Suhunya pada Sat Thian-lip. Untuk
pertemuan itu ia memilih Tho-yan-thing yang sepi.
Tiba di Tho-yan-thing dan menunggu sekian lama
belum juga Sat Thian-lip datang, dan di luar dugaan,
yang ditemukan di situ ialah Kong-he. Waktu Ubun Hiong
di tengah jalan merampas To-kan, Kong-he sedang
bertempur melawan Nyo Hoan di dalam warung arak.
Yang satu di tengah jalan, yang satu di dalam warung,
maka mereka belum berjumpa, namun nada suara
masing-masing dapat dikenalnya.
Dari To-kan, Ubun Hiong sudah mengetahui tentang
diri Kong-he, maka setelah mendengar nada suara Konghe,
buru-buru ia pun menghampirinya, tetapi sebelum
melanjutkan pembicaraan, Ubun Hiong sudah diserang
kawanan anjing alap-alap.
Anjing alap-alap yang menjadi mata-mata itu bernama
Ting Koh, dahulu juga bekas Piauthau Tin-wan-piau-kiok.

Memang sejak bekerja dalam Piau-kiok, Ting Koh sudah


banyak hubungannya dengan para pembesar negeri,
tetapi karena kala itu Piau-kiok banyak mengerjakan
pengiriman barang-barang dari pemerintah, maka
hubungan Ting-Koh dengan pembesar-pembesar itu tak
diperhatikan orang. Siapa tahu sejak saat itulah Ting Koh
mendaftarkan diri masuk menjadi antek kerajaan.
Setelah Piau-kiok tutup, ia menjadi mata-mata dari
kantor gubernur Kiu-bun-te-tok.
Kebetulan sekali pada saat si bocah pengemis
mengantar surat dari Ubun Hiong, Ting Koh pun sedang
berada di rumah keluarga Sat. Dan Sat Thian-lip merobek
surat itu di hadapan Ting Koh, itulah sebabnya maka
Ting Koh mengetahui tentang perjanjian Ubun Hiong
dengan Sat Thian-lip.
Tentang hubungan Ubun Hiong dengan Kang Haythian,
karena di dalam rumah Kang Hay-thian terdapat
Yap Leng-hong yang menjadi mata-mata pemerintah
Cing, maka sudah dilaporkan pada pemerintah pusat.
Kembali ke kantor Gi-bun, Ting Koh segera melaporkan
apa yang diketahuinya. Malam itu juga Gi-bun mengirim
pasukan menangkap Sat Thian-lip. Dan besok harinya,
Ting Koh mewakili Sat Thian-lip menjumpai Ubun Hiong.
Kawanan kaki tangan pemerintah itu belum
mengetahui bahwa Ubun Hiong membawa juga To-kan,
tetapi bahwa To-kan sudah diterima menjadi murid Kang
Hay-thian sudah diketahui oleh mereka. Penangkapan
atas diri Ubun Hiong itu maksudnya hendak mencari tahu
dimana beradanya To-kan, mereka menduga yang
merampas To-kan di tepi jalan tentulah sahabat Kang
Hay-thian. Mimpi pun tidak mereka sangka kalau yang
melakukan hal itu ternyata Ubun Hiong sendiri.

Pada saat kawanan hamba negeri mengepung Ubun


Hiong, diam-diam Te Kun mengajak Kong-he keluar,
tetapi di luar dugaan Kong-he menyiak tangan Te Kun,
serunya, "Dia adalah Jisuhengku." Dengan mencabut
golok ia segera menerjang. Dari Ki Seng-in, Kong-he
sudah mendengar tentang diri Ubun Hiong, maka setelah
mengetahui tentang Jisuhengnya itu, tak mau ia
meninggalkannya.
Sambil menangkis serangan musuh, Ubun Hiong
membentak, "Bah, budak gila, siapa Jisuhengmu? Jangan
omong sembarangan!"
Maksud Ubun Hiong hendak menghindarkan Kong-he
terlibat dalam urusan itu, di samping ia memberi kisikan
supaya Kong-he lekas pergi saja, tetapi kawanan anjing
alap-alap itu sudah banyak pengalaman. Mereka tahu
akan maksud kata-kata Ubun Hiong tadi, kepala opas
tertawa gelak-gelak, "Sungguh tak terduga, yang hendak
kita tangkap hanya ikan kecil, siapa tahu akan dapat
kakap besar juga. Budak ini adalah putra Lim Jing!"
Memang mereka keliru menyangka bahwa Kong-he itu
Lim To-kan, putra Lim Jing, tetapi toh sama artinya,
mereka akan menangkap Kong-he.
Kong-he berhadapan melawan seorang opas yang
bersenjata rantai, opas itu hendak menangkap Kong-he
hidup-hidup, maka yang disabet kaki Kong-he saja.
Kong-he menggunakan jurus Kun-te-tong-to-hoat
(bergelundungan di tanah), malah membabat kutung
telapak kaki penyerangnya.
Kawanan anjing alap-alap yang menyergap berjumlah
8 orang, di antaranya ada 3 orang yang berkepandaian
tinggi, Wi-su (pengawal) dari istana. Sedang yang 5

orang juga opas kelas satu, tetapi berhadapan dengan


murid Kang Hay-thian yang mendapat gemblengan
setahun (Ubun Hiong), ketiga jago istana itu tak dapat
mengatasi. Kelima hamba opas sibuk menyergap Konghe,
mereka tiada waktu untuk membantu kerepotan
ketiga Wi-su itu.
Berhasil membabat kaki seorang opas, semangat
Kong-he bertambah besar. Ia segera mainkan ilmu golok
Pat-kwa-to, dengan lincah menghadapi keempat
pengeroyoknya. Keempat opas itupun tak berdaya
menangkapnya.
"Biar aku yang menangkap budak itu!" seru Ting Koh,
dia adalah Piauthau tua Tin-wan-piau-kiok,
kepandaiannya jauh lebih tinggi dari kelima opas itu. Tadi
bahunya kena dicengkeram Ubun Hiong, jeri terhadap
anak muda itu kini ia hendak ganti pada Kong-he.
Kong-he menabas dengan goloknya, Ting Koh
menggunakan tangan kosong Khong-jiu-jip-peh-jim
untuk merebut golok, Kong-he miringkan tubuh
menghindar, "Bret", bajunya kena ditarik robek oleh Ting
Koh.
Saat itu terdengar suara orang menggerung keras,
sekali bergerak Te Kun dapat menjungkir-balikkan dua
orang opas, kemudian maju mengirim pukulan kepada
Ting Koh. Adanya Te Kun mengajak Kong-he pergi tadi
karena kuatir ketahuan dirinya hingga dapat
menelantarkan urusan yang ditugaskan Lim Jing, tetapi
setelah Kong-he terancam, tak mau lagi ia berpeluk
tangan. Apalagi ia sudah mengetahui kekuatan lawan, ia
tak menduga kalau ilmu pedang Ubun Hiong hebat

sekali. Ia memperhitungkan, ia bersama Ubun Hiong saja


dapat menanggulangi kawanan anjing alap-alap itu.
Ting Koh kenal pada Te Kun, ia terkejut, serunya,
"Lote, kau ... kau juga ..." Tetapi Te Kun mana mau
memberi kesempatan padanya untuk menyebut
namanya. Tinjunya tadi diarahkan kepada orang, Ting
Koh hendak menekuk tangannya, tetapi gelaran Te Kun
ialah Peh-pohsin-kun (tangan sakti seratus langkah).
"Krak", pergelangan tangan Ting Koh patah, "bluk", tinju
Te Kun itu masih mempunyai daya untuk menjotos dada
lawan. Seketika itu robohlah Ting Koh, Te Kun
menginjaknya, "krek". Amblaslah nyawa Ting Koh.
"Aku paling benci pada manusia yang menjual kawan!"
Ubun Hiong mainkan ilmu pedang Toa-si-mi-kiam,
tubuhnya seolah-olah terbungkus oleh sinar pedang.
Ketiga Wi-su yang mengeroyoknya tak mampu berbuat
apa-apa, dalam beberapa kejap Te Kun sudah
membereskan kelima orang opas tadi. Kini jumlah
mereka berimbang, tiga lawan tiga. Kelemahan dari
Kong-he ditutup dengan kelihaian ilmu pukulan Peh-pohsin-
kun dari Te Kun. Berdua saja dengan Ubun Hiong, Te
Kun sudah unggul dari ketiga Wi-su, apalagi ditambah
seorang Kong-he. Kedudukan segera berubah, dari pihak
penjerang kini ketiga Wi-su itu menjadi pihak yang
diserang.
Beberapa jurus kemudian, tinju Te Kun dapat
merobohkan seorang Wi-su, dan pedang Ubun Hiong pun
dapat melukai seorang musuh. Wi-su yang ketiga segera
melarikan diri.
"Ubun-suheng, peristiwa ini besar juga. Kau
bersembunyi saja di tempat kami," kata Te Kun, ia tahu

bahwa Ubun Hiong adalah Suheng Kong-he, maka


dipersilakannya.
"Tidak, aku hendak kembali ke tempatku saja," sahut
Ubun Hiong.
"Kau hendak ke sana lagi?" Te Kun terkejut.
Tiba-tiba Kong-he mendapat pikiran, tanyanya,
"Jisuko, apakah adik To-kan juga di sana?"
"Justru karena To-kan ikut, maka aku harus ke sana?"
sahut Ubun Hiong.
Mendengar itu kejut Te Kun bukan kepalang, karena ia
tahu bahwa To-kan adalah putra Kaucunya. "Apakah
tempatmu sudah diketahui musuh?" tanyanya kaget.
"Entah, sebenarnya aku berjanji bertemu di sini
dengan Sat-piauthau. Jika Sat-piauthau dan suratku
jatuh ke tangan mereka, tentulah mereka akan
menggeledah tempatku," jawab Ubun Hiong. Walaupun
pada surat itu Ubun Hiong tak menulis alamatnya, tetapi
dari bentuk suratnya dapatlah Ting Koh mencari tempat
tinggalnya.
Atas pertanyaan Te Kun, Ubun Hiong menerangkan
kalau ia tinggal di pondok Thiat-mo-oh-tong. "Tempat itu
memang sepi, belum tentu musuh tahu. Ayo, kita lekas
ke sana, tetapi tak boleh berlaku buru-buru agar jangan
menimbulkan kecurigaan orang. Ikutlah aku!" kata Te
Kun.
Te Kun ajak mereka mengambil jalan kecil kembali ke
dalam kota, setelah melalui beberapa gang, ternyata
masih ada tiga buah gang lagi yang menuju ke Thiat-mooh-
tong. Di situ mereka berjumpa dengan sebuah

pasukan besar, jalan yang menembus ke Thiat-mo-ohtong


sudah tertutup semua, tak boleh orang lewat.
Te Kun juga cemas kalau dirinya ketahuan, hal itu
akan membikin susah urusan besar dari Lim Jing.
Keadaannya juga tak kalah sulitnya dengan To-kan yang
sedang disergap kawanan serdadu. Untung di dekat situ
terdapat rumah seorang anak buah Thian-li-kau. Te Kun
mengajak rombongannya bersembunyi di situ, ia minta
kawan-kawannya mencari berita.
Setengah jam kemudian,' terdengar suara tambur dan
berisik teriakan orang. Dari jendela, mereka melongok ke
arah jalanan sebuah kereta pesakitan sedang lewat di
jalan itu, di dalam kereta terdapat seorang anak lelaki
berumur 15 - 16 tahun. Siapa lagi kalau bukan Lim Tokan?
Dan yang lain ialah yang punya rumah penginapan
serta keluarganya.
Dada Kong-he berombak-ombak, segera ia hendak
mendorong jendela menerobos keluar. Te kun cepat
mencegahnya, "Jangan bergerak sembarangan!"
Kong-he menggigit gigi, "Apakah kita melihat saja adik
To-kan ditangkap mereka?"
"Tentu saja tidak! Tetapi sekarang belum saatnya
bergerak! Ketahuilah, bahwa Lim-kaucu sedang
menyiapkan suatu gerakan yang akan menggemparkan
dunia. Kita kehilangan beberapa jiwa sih tak apa, tetapi
jangan sampai membikin susah tugas yang diberikan
Kaucu," kata Te Kun.
Kong-he terbeliak, tetapi setelah itu menjadi tenang
lalu bertanya, "Habis bagaimana tindakan kita sekarang?"

"Mereka tentu hendak mengorek keterangan dari


mulut Sutemu, karena itu belum mau lekas menurunkan
tangan ganas. Setelah kita mendapat berita yang positif,
barulah kita lapor pada Kaucu," sahut Te Kun.
Lewatnya kereta pesakitan selalu membawa kepanikan
pada penduduk setempat. Menjelang sore, barulah ada
seorang anggota Thian-li-kau yang datang memberi
keterangan pada Te Kun, "Telah kudapat berita yang
boleh dipercaya. Anak itu dimasukkan dalam penjara
besar, sedang pemilik rumah penginapan, karena tak
punya kesalahan, setelah diperas uangnya lalu disuruh
pulang."
"Bagaimana suasana di luar?" tanya Te Kun.
"Masih tegang, tetapi penjagaan di sebelah barat dan
utara sudah dibubarkan. Kalian boleh keluar dari Ciok-huma
sana," kata orang itu.
Te Kun sudah menyuruh Ubun Hiong dan Kong-he
berganti pakaian. Berbareng dengan hari gelap, mereka
diam-diam keluar. Te Kun cukup paham akan jalanan
dan pos-pos penjagaan, ia dapat tiba di markas tanpa
mendapat halangan suatu apa.
Saat itu sudah hampir tengah malam, Lim Jing belum
tidur. Setiba di markas, mereka dapatkan ruang yang
dibuat untuk berunding terang benderang. Lim Jing dan
beberapa tokoh penting dalam partai berada di situ.
Ceng-hoa pun berada di situ, tengah bicara dengan Lim
Jing. Hal itu mengejutkan Kong-he,. Ceng-hoa bukan
anggota Thian-li-kau, apalagi pada jam seperti itu
biasanya sudah tidur. Kong-he hendak menyapa, tetapi
dara itu sudah mendahului menegurnya, "Kong-he,
mengapa baru saat ini kau pulang? Bibi Ki sudah pergi!"

Kong-he kaget sekali, "Mengapa pergi?"


"Pada waktu kutunggu kedatanganmu, kulihat bibi Ki
berganti pakaian malam, ia mengatakan hendak
melakukan penyelidikan ke rumah penjara. Ia suruh aku
jangan ribut-ribut, tetapi akhirnya kupikir lebih baik
memberitahu pada Lim-kaucu saja," kata Ceng-hoa.
Kiranya setelah menunggu 10-an hari, Ki Seng-in tak
dapat bersabar lagi. Ia salah menduga Lim Jing tak mau
bertindak, maka malam itu ia menempuh bahaya.
"Celaka, celaka," Kong-he mengeluh, "tetapi hal itu
masih tak seberapa berat. Paman Lim, aku membawa
berita yang lebih penting bagimu
"Kabarnya di Thiat-mo-oh-tong telah terjadi peristiwa
kawanan kuku garuda mengadakan penangkapan. Aku
sudah tahu akan hal itu, siapa orang ini!"
Kong-he gugup, "Tetapi kau belum tahu siapa yang
ditangkap? Adik Kan!" Dengan terengah-engah ia
memperkenalkan Ubun Hiong pada Lim Jing, "Ini adalah
Jisukoku Ubun Hiong. Adik Kan datang bersamanya."
Kepala cabang Thian-li-kau di Pakkhia, Jui Cin,
berkata, "O, pantas musuh begitu sibuk. Berita yang
datang tadi mengatakan kalau besok pagi kotaraja akan
ditutup dan akan dilakukan penggeledahan besarbesaran.
Kaucu, dengan terjadinya hal itu, mungkin akan
mempengaruhi rencana kita besok malam, kita harus
bersiap-siap menghadapi. Harap Kaucu memberi
petunjuk."
Kata Te Kun, "Kan-koji itu ditaruh di penjara besar.
Malam ini penjagaan penjara tentu jauh lebih kuat. Kilihiap
seorang diri, mungkin berbahaya." Te Kun hendak

mengusulkan supaya melakukan perampokan penjara


saja, tetapi ia tahu bagaimana watak Lim Jing. Jika
hanya untuk kepentingan putranya saja, tentulah Kaucu
itu tak mau bergerak, maka ia sengaja menonjolkan
tentang bahaya yang mengancam diri Ki Seng-in agar
Lim Jing tergerak hatinya.
"Apakah semua saudara sudah siap?" tanya Lim Jing.
"Ya, mereka sudah siap menunggu perintah," sahut Jui
Cin. "Apakah kau sudah berunding dengan saudara Giam
dan Lau tentang gerakan besok malam itu?" tanya Lim
Jing pula.
"Aku sudah mengangkat saudara dengan mereka.
Mereka bersumpah akan menyambut dari dalam, tetapi
dengan gerakan razia besar-besaran besok pagi itu, lalu
bagaimana kita bisa
Tiba-tiba Lim Jing menggebrak meja, "Karena urusan
sudah sampai begini, kita harus menempuh bahaya!
Gerakan besok malam diajukan malam ini juga! Juithocu,
lekas beritahukan kepada saudara Giam dan Lau
untuk mengadakan kontak. Aku segera akan memimpin
rombongan besar anak buah kita!"
"Baik!" sahut Jui Cin seraya berlari keluar.
"Te-hiangcu, kau bersama Kong-he yang menyambut
Ki Seng-in. Karena orang tak mencukupi, aku hanya
dapat memberi sekelompok anak buah untuk
membantumu. Asal kau dapat mengajak Ki Seng-in lolos
dari bahaya, jika Kan-ji tak dapat ditolong, tak perlu
harus diusahakan mati-matian," kata Lim Jing kepada Te
Kun.

Ubun Hiong minta izin supaya diperbolehkan ikut pada


Kong-he, Lin Jing pun meluluskan.
"Aku juga!" teriak Ceng-hoa. "Kau juga mau ikut? Ini
berbahaya!" kata Lim Jing. "Aku Taci Kong-he, jangan
dianggap orang luar!" bantah si dara. Lim Jing
tersenyum, "Baiklah, kau boleh pergi!" Setelah memberi
tugas seperlunya, Lim Jing bergegas pergi. "Kaucu,
apakah kau bersama kita?" tanya Te Kun. Lim Jing
memutar matanya yang bundar, "Te Kun, kau tolol,
mana aku hanya mementingkan putraku saja?"
Te Kun tak berani membantah, segera ia mengajak
Ubun Hiong, Kong-he dan Ceng-hoa menuju ke penjara
besar. Kelompok anak buah Thian-li-kau yang
diperbantukan oleh Lim Jing segera mengikuti.
Karena tadi tak sempat mengajukan pertanyaan pada
Lim Jing, di tengah perjalanan Kong-he bertanya pada Te
Kun, "Mengapa paman Lim tak ikut kita? Kemanakah ia
hendak pergi? Apa yang dikatakan memajukan waktu
gerakan itu?"
"Paman Lim akan memimpin rombongan besar untuk
menyerbu istana!" kata Te Kun.
Betapa besar nyali Kong-he, waktu mendengar hal itu,
ia pun terkejut sampai melonjak, "Apa? Hendak
menyerbu istana?"
"Benar, selama setengah bulan ini boleh dikata Limkaucu
lupa makan lupa tidur karena merencanakan
penyerbuan itu, mestinya gerakan itu akan dilakukan
besok malam. Luar dan dalam akan ada kontak, tetapi
karena bantuan dari luar sudah terputus, terpaksa hanya
mengandalkan tenaga dari dalam istana saja. Ah,

semoga Thian memberkahi agar gerakan Kaucu itu


berhasil."
Kiranya untuk menggelorakan semangat laskar
pejuang di daerah-daerah, Lim Jing hendak menyerbu
istana. Jika berhasil menawan kaisar Boan, sekalipun tak
dapat mengenyahkan pemerintahannya, tetapi sekurangkurangnya
akan mengguncangkan seluruh negeri. Di lain
pihak musuh tentu kuncup nyalinya, di lain pihak akan
menambah gelora semangat laskar pejuang di daerahdaerah.
Lim Jing bukan seorang yang sembrono, ia
merencanakan hal itu secermat-cermatnya. Di dalam
istana ada dua Thaykam, Giam Cin-hi dan Lau Ca-wan,
kedua Thaykam ini menjadi anggota Thian-li-kau. Agar
dapat menyelundup ke dalam istana, kedua orang itu tak
menghiraukan lagi pengorbanan yang besar, mereka rela
menjadi orang kebiri dan masuk istana. Sebelum
melancarkan gerakan itu, memang Lim Jing sudah
mengadakan kontak dengan kedua orang kebiri itu. Jika
saatnya tiba, merekalah yang akan bergerak menyambut
dari dalam.
Dari luar, Lim Jing pun sudah meminta pada Tio Suliong
untuk menyerang kotaraja. Tio Su-liong adalah
kepala Cong-liong-poh di Bici, dia telah mengangkat
saudara dengan Lim Jing. Ketika markas besar Thian-likau
dihancurkan, Lim Jing lari bersembunyi di Bici.
Kemudian Cong-liong-poh pun dihancurkan tentara
pemerintah dan kedua orang itu melarikan diri. Tio Suliong
menuju ke Ciat-lin kabupaten Hoat-koan, sebuah
tempat yang terpisah 300 li dari Pakkhia, si situ terdapat
seribu orang anak murid Thian-li-kau. Lim Jing
menyerahkan mereka dalam pimpinan Tio Su-liong

dilengkapi pula dengan kuda dan senjata hingga


merupakan suatu laskar besar.
Setelah Lim Jing di kotaraja dan menetapkan tanggal
penyerbuan ke istana, ia segera mengutus orang
memberitahukan Tio Su-liong agar bergerak memimpin
laskar itu ke kotaraja. Perjanjian ditetapkan, besok
malam gerakan itu akan dimulai.
Tetapi di luar dugaan, sehari sebelum tanggal
pergerakan itu dimulai telah timbul peristiwa
penangkapan Lim To-kan. Kemudian besok paginya akan
dilakukan razia besar menutup kota. Hal itu bukan saja
membahayakan keselamatan kelompok Thian-li-kau yang
berada dalam kotaraja, juga akan merintangi datangnya
laskar Tio Su-liong. Untuk mengatasi hal itu, terpaksa
Lim Jing memutuskan untuk bergerak pada malam itu
juga.
Penjagaan di istana sudah tentu berlipat ganda
beberapa ratus kali kuatnya dari penjagaan di penjara.
Te Kun seorang yang amat taat kepada Kaucunya, maka
di waktu menuturkan tentang rencana penyerbuan Lim
Jing itu kepada Kong-he, wajahnya gelisah bukan main.
Diam-diam ia hendak lekas menolong Ki Seng-in agar
selekasnya dapat membantu pergerakan Kaucunya.
Kong-he pun terperanjat, "Ya, benar. Mungkin pada
saat ini bibi Ki sudah bertempur melawan musuh, adik
Kan juga berada dalam penjara. Kita harus
menyerbunya!" Kalau dapat, Kong-he ingin tumbuh
sayap agar bisa terbang ke penjara.
Malam itu rembulan gelap, angin kencang. Suatu
malam yang cocok bagi seorang Ya-heng-jin (orang yang
berbuat sesuatu pada waktu malam). Berkat Ginkangnya

yang tinggi dapatlah Ki Seng-in lepas dari pengawasan


para peronda, penjara besar itu merupakan sebuah
gedung yang berdiri sendiri, tiada berdekatan dengan
kantor pemerintah. Pagar temboknya setinggi tiga
tombak lebih, lebih tinggi dari tembok kota kabupaten, ia
mencabut sebatang Thiat-ting (paku) terus ditimpukkan
pada tembok setinggi satu tembok. Kemudian ia
mengapungkan tubuh, dengan ujung pian ia menggantol
paku itu. Sekali tubuhnya berayun, dapatlah ia melompat
melayang ke atas tembok tanpa diketahui oleh siapa pun
juga.
Ia melongok ke bawah, dilihatnya keadaan sepi-sepi
saja, tiada seorang penjaga pun yang kelihatan, hal itu
malah mengejutkan Ki Seng-in. Masakah di penjara yang
menyimpan pesakitan penting tiada penjagaan sama
sekali, tetapi sebagai seorang Kangouw yang
berpengalaman, keadaan itu justru menimbulkan
kecurigaannya, pikirnya, "Jangan-jangan musuh
memasang jerat!" Tetapi semangat untuk menolong sang
suami mendorongnya berani menempuh segala bahaya
apapun. Setelah memperhatikan keadaan setempat, ia
segera melayang turun, baru kakinya menginjak bumi,
terdengarlah suara orang tertawa gelak-gelak, "Nyonya
Ki, apakah kau hendak memeriksa penjara? Sudah lama
kita menunggu kedatanganmu kemari!" Orang itu bukan
lain adalah Ho Lan-bing, wakil komandan pasukan Gi-limkun.
"Kau beruntung dapat lolos dari tabasan golok Lim
Jing, sekarang masih mau unjuk kegarangan lagi?"
damprat Ki Seng- in seraya mencambuk.
Sambil menangkis dengan Cui-bo-kong-pian, wakil
komandan Gi-lim-kun itu tertawa gelak-gelak, "Benar,

memang aku hendak bertanya padamu, mengapa Lim


Jing tak datang bersamamu? Tanpa bantuan Lim Jing,
jangan harap kau dapat meloloskan diri dari sini, tetapi
jika kau suka memberitahukan tempat persembunyian
Lim Jing, akan kuantar kau menjumpai suamimu. Kita
takkan merintangi kau menemui suamimu sampai berapa
lama pun. Bukankah kau suka menerima perjanjian ini?"
"Anjing buduk, kau mengharap aku menjual kawan?
Hm, hm, aku menginginkan jiwamu sebagai
penukarnya!" Ki Seng-in menyerang dengan cambuk pian
dan pedang pendek, sehingga Ho Lan-bing hanya
mampu bertahan saja.
Sesosok bayangan lain sebat sekali datang dan
memaki, "Wanita busuk ini memang sukar dibaiki, lebih
baik dikubur di sungai Hongho saja, jangan diberi peti
mati. Ho-toako perlu apa banyak bicara dengannya?
Tangkap saja dan nanti suruh dia merasakan alat siksaan
36 macam itu. Masakah ia tak mau memberitahukan
tempat Lim Jing!"
Orang itu juga wakil komandan Gi-lim-kun yang
bernama Li Tay-tian, ketika di Tang-peng-koan tempo
hari ia pernah dilukai Ki Seng-in, maka ia benci sekali
kepada nyonya itu.
Li Tay-tiah dan Ho Lan-bing teman sejawat,
kepandaiannya lebih rendah sedikit dari Ho Lan-bing,
tetapi karena dapat menjabat wakil komandan pasukan
istana, sudah tentu kepandaiannya juga bukan olah-olah
hebatnya. Sebenarnya satu lawan satu dengan Ki Sengin,
Ho Lan-bing masih menang angin, apalagi dibantu Li
Tay-tian. Ki Seng-in menjadi kepayahan, di samping itu
segera muncul pula di halaman penjara situ ada belasan

Wi-su. Setelah memilih empat orang Wi-su yang lihai,


yang lainnya Ho Lan-bing suruh kembali ke posnya
masing-masing, ia suruh keempat Wi-su itu menjaga di
empat penjuru, menunggu kedatangan kawan-kawan
Seng-in.
Lama kelamaan Ki Seng-in menjadi rancu
permainannya. "Wut", golok Li Tay-tian hampir memapas
rambut nyonya itu.
"Li-tayjin, mengapa kau tak sayang pada seorang
wanita cantik? Ketahuilah bahwa nyonya Ki ini bergelar
Jian-jiu-koan-im. Kalau kau menggurat mukanya,
bukankah sayang?" Lan-bing tertawa mengolok.
"Sebenarnya aku bersedia menyanjung Koan-im ini,
tetapi ia yang tak mau," sahut Li Tay-tian.
Ho Lan-bing membuat sebuah lingkaran pian untuk
membungkus tubuh Ki Seng-in, serunya, "Nyonya Ki, kau
suka lepaskan senjatamu atau tidak? Nanti kuberi
kesempatan kalian suami istri bertemu."
Saat itu Ho Lan-bing dan Li Tay-tian sudah berada di
atas angin, tetapi mereka pun kuatir kalau nyonya gagah
itu akan kalap mengadu jiwa, memang maksud mereka
akan menawan Ki Seng-in hidup-hidup. Pertama, agar
dapat memaksa keterangan soal tempat persembunyian
Lim Jing. Kedua, untuk mengancam Utti Keng agar mau
memberitahu tempat persembunyian harta rampasannya.
Ini jauh lebih berguna daripada membunuh nyonya itu,
tetapi kepandaian Ki Seng-in itu bukan kepalang
hebatnya. Dengan mengeroyok berdua, memang mudah
untuk membunuhnya, namun kalau hendak menawan
hidup-hidup, itulah sukar. Oleh karena itu Ho Lan-bing
coba memikat dengan janji akan mempertemukan Ki
Seng-in pada suaminya.
Ki Seng-in tahu juga maksud mereka, ia membulatkan
tekadnya, lebih baik mati daripada menerima hinaan,
serunya nyaring, "Toako, tahukah kau bahwa aku datang
hendak menjumpaimu? Tetapi biarlah sekiranya kau tak
tahu, pokoknya asal aku sudah memenuhi kewajiban
seorang istri, mati pun aku tak menyesal!"
Saat itu karena kehabisan tenaga, jurus permainan Ki
Seng-in pun mulai kacau, ia mengambil keputusan
hendak bertempur lagi sampai 20-an jurus. Jika tak
dapat melukai musuh, ia sendiri yang akan bunuh diri,
supaya jangan sampai jatuh ke tangan orang.
Di dalam penjara besar itu terdapat berpuluh-puluh
ruangan, tadi Ki Seng-in berseru kepada suaminya
dengan harapan akan didengarnya. Seruan itu hanya
sekedar untuk melampiaskan suara hatinya di saat ia
telah mengambil keputusan untuk bunuh diri. Di luar
dugaan, Utti Keng telah mendengarnya. Benar ia ditaruh
di ruangan yang terpisah berpuluh kamar dari tempat
pertempuran itu, tetapi Utti Keng adalah penyamun kuda
dari daerah Kwan-tang. Ia memiliki apa yang disebut
ilmu Hok-te-thing-seng atau menempelkan telinga ke
tanah untuk mendengar suara. Kala itu ia belum tidur,
baru berbaring di tanah saja. Teriakan keras dari Ki
Seng-in tadi, sepatah demi sepatah telah didengarnya
jelas sekali, kejutnya bukan kepalang. Kejut dan girang
telah membuatnya melompat bangun, tetapi ia tak
mampu melompat ke atas, tangannya diborgol kuat. Kaki
dibanduli dengan papan besi berat dan diborgol dengan
borgol kaki. Borgol itu dirantai pada tiang, mana ia
mampu lepas!

Untuk menjaga Utti Keng, di ruang penjara telah


ditempatkan seorang penjaga, Utti Keng menduga sipir
penjara itu tentu belum mendengar teriakan Ki Seng-in.
Ia gabrukan borgol tangannya ke dinding untuk
membangunkan sipir itu, serunya, "Siau Ih, kemarilah!
Aku hendak bicara padamu. Eh, apakah kau tak ingin
kaya?"
Sipir itu pernah menerima kebaikannya, tahu pula ia
bahwa Utti Keng mempunyai tempat simpanan harta
yang dirahasiakan. Dengan girang buru-buru ia
menghampiri, "Jika Utti-thocu memanggil, hamba tentu
bersedia."
Sekonyong-konyong Utti Keng mengerahkan Lwekang.
"Krak", borgor tangannya digentak putus. Pergelangan
tangannya berdarah tetapi ia tak menghiraukan lagi, sipir
itu terus dicengkeramnya. Sudah tentu sipir itu terkejut
sekali. "Bluk", ia berlutut, "Utti-thocu, hamba tak berani
melanggar pada Thocu."
"Jika ingin hidup, lekas buka papan besi pembungkus
kakiku ini, nanti kujadikan kau orang kaya-raya!" kata
Utti Keng.
Sipir' itu cepat melakukan perintahnya, kembali Utti
Keng minta supaya borgol kakinya juga cepat dibuka.
Sipir itu mengeluh, "Kunci borgol kaki ada pada kepala
penjara, bukan padaku."
Utti Keng gugup sekali, ia kerahkan tenaganya
menarik rantai, tetapi rantai borgol terlampau kuat.
Sampai dua kali ia ulangi tarikan sampai tangan
berdarah, juga tak berhasil.

Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah sesosok tubuh,


"Siau Ih, kau berbuat apa itu? Hai, huh!" Yang masuk itu
adalah seorang Wi-su. Mendengar suara gedubrakan,
cepat ia memeriksa, waktu melihat Utti Keng sedang
mengisar papan besi, segera ia membacok kepala sipir
itu, segera pula kepala sipir itu pecah berantakan.
"Pesakitan hendak melarikan diri?" kembali Wi-su itu
membacok Utti Keng. Meskipun kaki Utti Keng masih
belum lepas dari borgol, namun Wi-su itu merasa jeri
maka ia hendak melukainya saja, setelah itu akan diikat
lagi.
"Bagus!" seru Utti Keng yang pura-pura gugup, ia
membalikkan tubuh ke belakang. Begitu golok si Wi-su
hampir tiba di dadanya, segera menjepit gigir golok
dengan kedua jarinya terus ditariknya, Wi-su itu terjorok
jatuh ke atas tubuh Utti Keng, cepat sekali Utti Keng
bergeliat menindihnya. Tanpa dapat berteriak, Wi-su itu
amblas jiwanya.
Utti Keng memungut golok si Wi-su, didapatinya golok
itu berkilau-kilau seperti air bening, kiranya sebatang
golok Bian-to yang tajam sekali. "Terima kasih atas
pemberianmu!" Utti keng tertawa.
Utti Keng menabas borgolnya, namun tidak putus,
melainkan rantainya saja, tetapi dengan masih memakai
gelang borgol, dapat juga ia berjalan. Tak kepalang
tanggung, Utti Keng melucuti dan memakai pakaian Wisu
tadi, setelah itu berlarilah ia keluar. Karena masih ada
sisa rantai yang terikat pada kakinya, sewaktu berlari Utti
Keng merasa berat dan menerbitkan suara
bergemerincing.

Mendengar suara itu, Wi-su penjaga penjara


berbondong-bondong keluar. Dua orang Wi-su yang
mencekal obor kesampuk dengan Utti Keng. Kejut
mereka bukan main, "Celaka, ada pesakitan lari!"
"Bertemu dengan aku sudah tentu takkan selamat!"
Utti Keng tertawa seraya membacok mereka. Golok dan
pedang mereka dilucuti, terus dibawa melompat ke atas
wuwungan.
"Awas, awas, ada pesakitan lari!" teriak para penjaga
dari empat penjuru.
"Ya, ada orang melompat penjara, ada orang
melompat penjara!" Utti Keng turut berteriak. Ia
lemparkan golok dan pedang kedua Wi-su tadi ke udara.
"Tring, tring", kedua senjata itu beradu di udara dan
menerbitkan suara seperti orang bertempur.
Dari bawah tanah tadi Utti Keng dapat mengetahui
arah tempat istrinya berada, ke sanalah ia berlari. Dalam
kegelapan malam, dengan memakai baju Wi-su, ada
sementara kuku garuda mengiranya sebagai kawan
sendiri. Walaupun banyak penjaga di penjara itu, tetapi
karena mereka diharuskan menjaga Lim To-kan, maka
Utti Keng tak banyak mendapat halangan. Di sepanjang
pelariannya itu, ia membunuh lagi tiga orang dan kini
tibalah ia di tempat pertempuran.
"In-moay, jangan takut, engkohmu datang!" serunya.
Saat itu sebenarnya tenaga Ki Seng-in sudah habis,
mendengar suara suaminya, serentak timbul lagi
semangatnya. "Tring", ia tangkis Kong-pian Ho Lan-bing
dan menahan golok Li Tay-tian.

Dua Wi-su yang di atas rumah segera menghadang,


mereka berdua adalah Ko-chiu dari istana,
kepandaiannya juga tinggi, namun mana mampu
merintangi Utti Keng. Cepat sekali gerakan sepasang
golok Utti Keng habis melancarkan dua buah tabasan, ia
sudah menyusuli pula dengan tabasan ketiga yang
mengarah muka. Kejut kedua Wi-su itu tak terkira, luput
menyerang mereka bergelundungan melompat turun ke
bawah. Wi-su kedua mainkan tombaknya, Utti Keng
menangkis tapi hanya dapat menahan, tak mampu
membuatnya jatuh. Memang pedangnya kalah berat
dibanding tombak lawan.
Melihat kaki Utti Keng masih memakai borgolan, Wi-su
itu memperhitungkan tentulah tak dapat melompat
lincah. Ia menusuk ke arah kaki Utti Keng tetapi
mencondongkan tubuh ke belakang. Rantai pada borgol
kakinya malah melibat tombak lawan, dengan begitu
dapatlah si Wi-su ditariknya roboh. Dengan menggerung
keras, Utti Keng melayang turun ke halaman. Kini
sepasang suami istri berkumpul bertempur bahu
membahu.
"Toako, ada kau di sampingku, apa yang kutakuti
lagi?" Ki Seng-in tersenyum girang.
Ho Lan-bing tertawa ejek, "Kalau begitu biarlah
kusempurnakan keinginanmu, agar kalian dapat menjadi
sepasang belibis!" Ia sapukan Kong-pian ke kaki Utti
Keng. Karena kaki masih diborgol, Utti Keng kurang
lincah gerakannya. Ho Lan-bing tahu kelemahan itu,
sengaja ia menyerang bagian kaki, berbareng Li Tay-tian
pun membacok kepala Utti Keng.

Kedua tokoh itu lihai dan pengalaman, serangan


mereka serasi dan indah, atas bawah berbareng
diserang. Utti Keng menggerung, ia angkat kakinya
menghindar dan secepat kilat menginjak pian Ho Lanbing
berbareng ia tabaskan Bian-tonya menangkis golok
Li Tay-tian. "Tring", golok orang she Li itu terpental ke
udara, tetapi Bian-to Utti Keng patah menjadi dua.
Golok Li Tay-tian adalah Gan-leng-to, sebuah golok
pusaka yang terbuat dari baja murni. Sebenarnya
kualitasnya lebih bagus daripada Bian-to Utti Keng tetapi
Lwekang Utti Keng jauh lebih tinggi dari lawan, maka
ketika sepasang golok itu beradu, tangan Li Tay-tian
berlumuran darah dan goloknya terpental, sedang Bianto
Utti Keng kutung.
"Terima golok!" teriak Utti Keng seraya melontarkan
kuntungan goloknya kepada Ho Lan-bing dan Li Tay-tian.
Li Tay-tian melompat menghindar, kesempatan itu
digunakan Utti Keng untuk melompat menyambar Ganleng-
to lawan. Sementara Ho Lan-bing menggunakan
jurus Thiat-pian-kio untuk menotok tubuh bagian
belakang. Kurungan golok melayang lewat di depan
wajahnya.
"Haha, dapat tukar sebuah golok, bagus!" Utti Keng
tertawa.
Ho Lan-bing mencabut pian dan meneriaki anak
buahnya supaya menyerang Utti Keng.
Dua Wi-su juga bergelundungan dari wuwungan tadi,
saat itupun sudah hampir bangun, lalu berganti dengan
tongkat Hou-wi-kun dan kembali maju membantu Li Taytian.
Tongkat merupakan senjata berat dan panjang, tak

takut kena dibabat kutung. Ia tahu Utti Keng tak leluasa


bergerak, maka dapatlah ia menyerang dari jarak jauh.
Ho Lan-bing dan Li Tay-tian belum banyak
menggunakan tenaga, keempat Wi-su termasuk jagojago
kelas satu dari istana, enam orang mengembut Utti
Keng dan istrinya. Padahal karena menghadapi dua
orang tadi (Ho Lan-bing dan Li Tay-tian) tenaga Ki Sengin
sudah hampir habis, maka walaupun suami istri maju,
tetapi pada hakikatnya Utti Kenglah yang menghadapi
lawan. Boleh dikata ia harus melawan enam musuh,
maka betapapun lihainya terpaksa ia kewalahan juga.
"Toako, aku tak berguna, silakan menerobos keluar
sendiri!" karena merasa dirinya menjadi beban sang
suami, Ki Seng-in berkata begitu.
Tetapi Utti Keng membesarkan hatinya, "Kita suami
istri tetap sehidup semati. Aku hendak membunuh
beberapa kawanan tikus lagi, jangan putus asa!"
Dengan menggerung laksana harimau kelaparan, Utti
keng bertempur mati-matian, mau tak mau keenam
pengeroyoknya itu tergetar juga nyalinya. Mendapat
anjuran sang suami, segar lagi semangat Ki Seng-in,
dengan menggigit gigi ia bertempur dengan gigih, tetapi
bagaimanapun ia hanya seorang manusia yang terdiri
dari darah dan daging. Napsu besar tapi tenaga kurang,
lama kelamaan tenaganya mulai habis lagi.
Li Tay-tian cerdik sekali, ia hanya melancarkan
serangan ke arah Ki Seng-in saja, hal itu membuat Utti
Keng sibuk sekali. Di bawah ancaman keenam
penyerang, ia tak dapat melindungi istrinya dengan
sempurna.

Pada saat Seng-in terancam bahaya, tiba-tiba


terdengar gemuruh derap kaki berlarian datang, malah
sekonyong-konyong Ki Seng-in mendengar sebuah nada
orang yang dikenalnya berseru, "Bibi Ki di sini, paman
Te, lekas kemarilah!"
Kiranya yang berseru adalah Li kong-he dan
rombongan Te Kun, pada saat segenting itu, mereka
tepat datang dan segera turun tangan. Kong-he ngotot
sekali untuk menolong Ki Seng-in, tapi yang lebih ngotot
lagi adalah Ubun Hiong. Karena anak muda itu ingin
mendapat kesaksian untuk membersihkan diri dari
tuduhan orang.
Saat itu Li Tay-tian tengah melancarkan jurus Ya-jatham-
hay, tongkatnya dihantamkan ke ubun-ubun kepala
Ki Seng-in. Karena tak dapat menghindar, terpaksa Ki
Seng-in menangkis dengan Jwan-pian melibat tongkat
Hou-wi-kun. Jika pada waktu biasa, tentulah ia dapat
menarik tongkat itu, tetapi dikarenakan ia sudah letih
sekali, tak dapat lagi ia mengerahkan Lwekangnya,
sekalipun dapat juga ia hanya bisa merintangi lawan
yang menyerang kaki, tetapi tongkat yang menyerang
kepalanya tetap mengancam jiwanya.
Mengimbangi Li Tay-tian, Ho Lan-bing pun mainkan
piannya dengan seindah-indahnya, yakni dalam jurus
Pat-hong-hong-ih (hujan angin dari delapan penjuru),
Pian-cu-mo-kang-pian digentakkan untuk menekan golok
Utti Keng. Bukan ia tak tahu bahwa Utti Keng tentu dapat
menangkis, tetapi biarlah, asal ia dapat mengganggu Utti
Keng beberapa saat, tentulah Li Tay-tian dapat
menyelesaikan Ki Seng-in.

Tetapi pada saat Ki Seng-in terancam bahaya, Ubun


Hiong menggerung keras menyerang Li Tay-tian.
Kepandaian anak muda itu dan Li Tay-tian sebenarnya
seimbang, tetapi Ubun Hiong saat itu menggunakan jurus
ilmu pedang Toa-si-mi-kiam yang melompat sambil
menabas. Tak pernah Li Tay-tian menyaksikan
permainan pedang semacam itu, dalam kagetnya ia
gugup dan buru-buru menangkis dengan Hou-wi-kun.
"Trang", benturan itu telah membuat tongkat Li Taytian
terkisar ke samping tepat pada saat Ki Seng-in
mencambuk dengan pian, muka Li Tay-tian berhias
dengan sebuah guratan darah. Sayang tenaganya
kurang, coba tidak, tentu Li Tay-tian sudah pecah
keningnya. Sekalipun begitu cukuplah membuat orang
she Li itu pecah nyalinya, buru-buru ia melompat keluar
gelanggang.
Tiga kali memainkan golok, berhasillah Utti Keng
memecahkan serangan Pat-hong-hong-ih dari Ho Lanbing,
setelah itu ia putar tubuh merangkul istrinya
dengan sebelah tangan sambil melintangkan golok
menangkis serangan dari dua orang lawan.
Berturut-turut datanglah Te Kun, Kong-he dan Cenghoa.
Te kun kenal Ho Lan-bing adalah wakil komandan
Gim-lim-kun, menangkap penyamun harus membekuk
kepalanya dulu, cepat ia menyerang Ho Lan-bing. Te kun
adalah salah seorang dari kelima jago Thian-li-kau,
walaupun tak selihai Utti Keng, tapi ia pun tak kalah
dengan Ho Lan-bing. Belum komandan Gim-lim-kun itu
memperbaiki posisinya karena desakan Utti Keng tadi,
sekonyong-konyong ia sudah diserang Te Kun dengan
pukulan Peh-po-sin-kun. Terkena sambaran pukulan, Ho
Lan-bing terhuyung mundur, namun dia juga bukan jago

sembarangan. Dalam kekalahan ia masih dapat


mengeluarkan jurus Hwe-hong-soh-liu
Saat itu Te Kun menyerang maju dan terperangkap
dalam lingkar permainan pian Ho Lan-bing, tapi orang
she Te itu lihai sekali, ia condongkan tubuhnya
menyusup dalam lingkaran pian, kemudian menyelonong
maju memukul bahu Ho Lan-bing. Memang menghindar
dan memukul mengurangi tenaga Te Kun, tetapi
pukulannya cukup membuat Ho Lan-bing berkaok-kaok.
Dua orang Wi-su yang bergaman kapak dan rantai
bandringan buru-buru datang menolong. Te Kun
menggerung, sambil menggeliat ke kanan kiri ia
mencengkram bandringan terus dilontarkan pada kapak.
Karena tarikan itu, rubuh Wi-su yang membawa
bandringan terhuyung-huyung, sekali tabas dapatlah Utti
Keng membelah kepala Wi-su itu.
Dari enam orang kini Ho Lan-bing tinggal bertiga
orang, untung kawanan Wi-su yang mengejar Te kun
sudah tiba. Dalam jumlah memang masih menang, Ho
Lan-bing berteriak-teriak menyuruh anak buahnya
menyerang pengamuk-pengamuk itu.
Utti Keng tertawa mengejek, "Ho Lan-bing, lihat saja
siapa yang akan menghadap raja akhirat lebih dulu!"
Ho Lan-bing memberi komando supaya membentuk 6
lapisan mengepung, dalam tiga lapis luar juga tiga lapis.
Sekalipun jumlahny .< sedikit, tapi dalam rombongan Utti
Keng ada empat orang Ko-chiu (Utti Keng Ki Seng-in, Te
Kun dan Ubun Hiong), juga Kong-he dan Ceng-ho.i
bukan tenaga lemah. Gencar dan rapatnya serangan
tetap tak mampu mematahkan keenam orang itu,

mereka laksana karang di tengah damparan ombak


dahsyat.
Setelah mendapat kesempatan, berkatalah Utti Keng
dengan bisik lemah lembut, "In-moay, kau tak kena apa?
Mengasolah sebentar biar aku yang menjagamu!"
"Tak apa-apa, Toako. Kita telah melukai hati Ubunsiauhiap,
seharusnya minta maaf padanya," sahut Ki
Seng-in.
Utti Keng tertawa gelak-gelak, "Ubun-siauhiap, kita
sekarang sekawan sehaluan. Aku Utti Keng lelaki kasar,
tempo hari telah merampas barang antaran yang dikawal
ayahmu. Jika kali ini aku beruntung dapat keluar dari
penjara, aku tentu akan menghaturkan maaf di depan
makam ayahmu. Jika kantor Tin-wan-piau-kiok hendak
mengibarkan panji lagi (buka lagi), aku pun bersedia
membantu tenaga."
"Tin-wan-piau-kiok sudah bubar, tak perlu dibicarakan
pula. Utti-hujin, aku hendak minta bantuanmu sedikit,"
sahut Ubun Hiong.
Ki Seng-in merah mukanya, "Ubun-siauhiap, akulah
yang membuat kau menderita, aku sungguh menyesal
sekali. Jika aku beruntung masih hidup, tentu akan
kujelaskan duduk perkaranya pada Suhu dan Subomu."
Setelah ganjalan itu ditumpahkan, hati mereka
bahagia sekali, Ubun Hiong makin bersemangat dan Ki
Seng-in pun segar kembali.
"Utti-thocu, tahukah dimana Siau-kaucu kami? Aku
adalah orang Thian-li-kau," seru Te Kun.

Utti Keng terkejut, "O, kiranya Lim-kaucu yang


mengirim kalian kemari? Sudah lama aku mengagumi
kebesaran nama Lim-kaucu. Baik, mari kita menerobos
keluar dari neraka ini!"
Tetapi kepungan berlapis-lapis, kaki Utti Keng masih
memakai borgol, gerakannya tak leluasa. Memang kalau
untuk bertahan masih lebih dari cukup, tapi jika hendak
menerobos sukar sekali.
"Eh, Utti-thocu apakah kau merasa kikuk dengan
borgol kakimu itu? Maukah kuhilangkan benda itu?" tibatiba
Ceng-hoa berseru.
Borgol kaki itu membutuhkan senjata yang luar biasa
tajamnya dan tangan yang pandai. Sedikit saja kurang
hati-hati, tentulah kaki Utti Keng turut terpapas. Waktu di
penjara Utti Keng tidak berani menggunakan Bian-to
memapas karena ia merasa kurang aman.
Pedang yang dipakai Ceng-hoa adalah pedang pusaka
keluarga Tiok. Utti Keng tahu juga, tetapi bagaimana
kepandaian dara itu menggunakan pedang, ia belum
tahu. Lebih-lebih Ki Seng-in yang sayang pada suaminya,
ia cemas sekali. Lebih baik ia pinjam saja pedang dara itu
dan ia sendiri yang mengerjakan, tetapi baru ia hendak
membuka mulut, Utti Keng sudah mendahului, "Baik, Inmoay,
lindungilah aku. Nona Tiok, merepotkan kau saja,
silakan!"
Utti Keng seorang lelaki yang lapang dada, walaupun
ia lebih mempercayai jika istrinya yang mengerjakan,
tetapi ia tak mau melukai perasaan seorang dara yang
baru dikenalnya.

Ki Seng-in terkejut tapi si dara sudah bergerak


mengayunkan pedangnya. "Tring", seketika putuslah
rantai borgol yang melingkar pada kaki Utti Keng. Rantai
putus tapi selembar bulu roma orang she Utti itupun
tiada yang rontok, walaupun dirinya bergelar Pian-kiamsong-
ciat, namun mau tak mau tercengang juga Ki Sengin
menyaksikan ilmu pedang Ceng-hoa, diam-diam ia
malu dalam hati.
"Ombak di sungai Tiangkang, yang di belakang
mendampar yang di muka, patah tumbuh hilang
berganti. Nona Tiok, hebat benar ilmu pedangmu!" Utti
Keng tertawa memuji.
Dalam tawanya itu Utti Keng tetap kerjakan goloknya,
seorang Wi-su yang menyerang dengan tombak terpapas
kutung pinggangnya. Wi-su itu meyelonong hendak
menusuk Ceng-hoa.
Hilangnya borgol di kaki telah membuat Utti Keng
bertambah gesit, dalam sekejap mata saja ia sudah
membinasakan lagi dua orang Wi-su, kemudian ia
berteriak, "Ho Lan-bing, sekarang giliranmu!"
Tubuh Utti Keng melambung ke udara, laksana seekor
burung elang menerobos awan, ia melayang turun
menerkam Ho Lan-bing. Kejut wakil komandan Gi-limkun
bukan kepalang, namun pada saat mati atau hidup
itu, ia pun keluarkan seluruh kepandaiannya. Ia putar
Cui-bo-kang-pian dalam jurus Hun-bwe-sam-wu, tiga
buah lingkaran sinar seolah melibat kepalanya. Selama
masih melayang di udara Utti Keng tak mampu
membuyarkan ketiga lingkaran sinar pian, tak dapat ia
memukul lawan.

Pertempuran itu menentukan kalah atau menang.


Tiba-tiba Ho Lan-bing menjerit ngeri dan melompat
sampai beberapa tombak keluar gelanggang. Di atas
tanah menggeletak sebuah lengan manusia, ternyata
jurus Hun-bwe-sam-wu tak mampu menahan tebasan
golok Utti Keng dalam jurus Lak-boh-san-kwan. Lengan
kirinya kena terpapas kutung, tetapi hal itu membuktikan
bahwa Ho Lan-bing lebih unggul dari kedua Wi-su yang
terbelah mati di ujung golok Utti Keng tadi. Karena
sebenarnya tabasan Utti Keng itu mengarah batok kepala
Ho Lan-bing dan ternyata hanya berhasil dapat sebuah
lengannya saja.
Luka itu memaksa Ho Lan-bing harus mengobatinya.
Barisan tanpa pimpinan, tentu menyebabkan kawanan
Wi-su kalut, sebaliknya rombongan Utti keng menyerang
laksana gerombolan harimau, mereka berusaha
membuka suatu jalan darah untuk lolos dari penjara.
Sewaktu pertempuran seru tengah berlangsung,
sekonyong-koyong terdengar teriakan orang, "Bagus,
NyoToyacu datang!"
"Cis, apa macam babi anjing golokku akan menumpas
mereka!" Utti Keng memaki.
Sekonyong-konyong pengepung di sebelah muka
tersiak ke kanan dan ke kiri, seorang lelaki berumur 50-
an tahun berpakaian biru muncul di tengah mereka, ia
mencekal sebatang tongkat bambu, sikapnya congkak.
Melihat orang itu kejut Ceng-hoa bukan kepalang
serunya dengan suara tertahan, "li ... Ji-ih-hu (paman
kedua), kau benar-benar menjadi antek kerajaan?"
Memang orang itu bukan lain adalah Nyo Ceng, ayah
Nyo Hoan. Sebenarnya ia bertugas menjaga To-kan,

maka walaupun pertempuran tadi berjalan seru, ia tetap


tak keluar, tetapi setelah Ho Lan-bing putus lengannya,
ia tak dapat diam lagi.
"Ceng Hoa, kau amat berandal! Kau adalah orang
keluarga Nyo, tak dapat kubiarkan kau campur dengan
kawanan pemberontak itu!" seru Nyo Ceng dengan
wajah bengis, bahkan dalam berseru itu ia sudah
melayang menotok jalan darah Ceng-hoa.
Untung Te Kun berada di muka nona itu. "Lepas!"
serunya sembari menyambar ujung tongkat dengan
Khong-ciu-jip-peh-jim. "Huh, kiranya orang yang amat
congkak ini hanya boneka lilin saja," dengusnya ketika
dengan mudah ia dapat menangkap ujung tongkat,
tetapi sebelum ia dapat menarik, tiba-tiba tangannya
dirasakan linu sekali. Dan sebelum tahu apa yang terjadi,
ia sudah kena digentak dengan tongkat sampai jungkir
balik.
Cepat sekali Utti Keng melompat membacok orang she
Nyo itu.
"Berandal yang tak kenal selatan coba saja rasakan
kelihaianku!" seru Nyo Ceng sambil menangkiskan
tongkat dengan jurus Koay-bong-hoan-sim (ular besar
membalikkan tubuh) untuk menindih golok Utti Keng.
Tongkat yang begitu kecil ternyata mempunyai kekuatan
seperti ribuan golok, hampir saja golok Gan-leng-to Utti
Keng kena dipentalkan jatuh!
Utti Keng seorang berangasan, tak takut mati, makin
mendapat musuh kuat makin menggelora semangatnya.
Dengan menggerung keras ia salurkan Lwekang ke
goloknya sehingga Nyo Ceng tak kuat menindihnya dan
kena diterbalikkan.

"O, kiranya boleh juga, tetapi aku di sini, jangan harap


dapat unjuk kegarangan!" Nyo Ceng mengejeknya. Ia
putar tongkat dalam jurus Jay-hong-suan-oh dan Kunliong-
tiau-siu, tiga kali menyapu kaki, tiga kali berputar
tubuh dan tiga kali pula menyerang dahsyat ke bagian
kepala, perut dan kaki.
Utti Keng sibuk sekali mempertahankan diri, tetapi
ternyata Lwekangnya masih kalah setingkat. Untuk tiga
kali serangan ia balas dengan empat kali putaran golok,
yang dituju selalu menguntungkan tongkat lawan saja,
tetapi setiap kali terjadi benturan, Nyo Ceng selalu
menyaluri tongkatnya dengan Lwekang, sehingga
tongkat itu sedikit pun tak menderita kerugian. Banyak
sekali variasi permainan tongkat Nyo Ceng, ada kalanya
menjadi tongkat, ada kalanya dipakai seperti pian dan
ada kalanya pula digunakan sebagai senjata Boan-koanpit.
Menghadapi permainan aneh lawan itu, betapapun
Utti Keng hendak bersikap tenang, namun goloknya
dapat dikuasai tongkat lawan.
Melihat itu, kaget sekali Ki Seng-in, cepat ia maju
membantu. Dalam pada itu setelah menggunakan gerak
Le-hi-ta-ting untuk berjumpalitan, Te Kun lantas maju
lagi menyerang Nyo Ceng.
Nyo Ceng kebutkan lengan bajunya untuk menangkis
pian Ki
Seng-in, kemudian melontarkan sebuah pukulan
Lwekang Pik-khong-ciang untuk menangkis serangan
Peh-poh-sin-kun dari Te Kun dan dalam pada itu masih
tetap menindih sekencang-kencangnya pada golok Utti
Keng. Gagah memang orang she Nyo itu, tetapi

menanggapi tiga orang Ko-chiu, dia pun hanya dapat


bertahan saja.
Saat itu kawanan Wi-su menggempur ketiga anak
muda dengan hebatnya, di antara ketiga anak muda itu
hanya Ubun Hiong yang kepandaiannya paling tinggi dan
memakai senjata panjang. Hanya dialah yang mampu
menandingi kawanan Ko-chiu itu. Ceng-hoa masih kecil,
menghadapi sekian banyak pengepung, ia agak gugup.
Syukur Ubun Hiong dengan ilmu pedang Toa-si-mi-kiam
dapat membuat penjagaan rapat, kalau tidak, tentulah
dara itu sudah celaka.
Melihat Ki Seng-in dan Te kun membantunya, Utti
Keng terkejut, serunya, "In-moay, lekas bantu mereka
saja!"
Ki Seng-in tersadar, tetapi baru saja ia hendak
mengundurkan diri, Nyo Ceng sudah bergerak
menghalanginya. Tongkatnya secepat kilat ditotokkan
padanya, karena tak berani adu kekuatan, Ki Seng-in
miringkan tubuh menghindar, tetapi Nyo Ceng pun sudah
berganti menggempur Te Kun. Dalam sekejap mata saja,
Nyo Ceng sudah masuk ke dalam lingkaran pedang Ubun
Hiong. "Tring, tring", terjadilah benturan antara pedang
dan tongkat. Memang ilmu pedang Toa-si-mi-kiam itu
hebat sekali jika untuk mempertahanan diri, tetapi
kepandaian mereka berdua jauh sekali terpautnya. Lekas
Nyo Ceng menyalurkan Lwekang ke ujung tongkat yang
digeliat-balikkan, pergelangan tangan Ubun Hiong terasa
seperti pecah. Anak muda itu terhuyung-huyung mundur.
Tetapi bahwa Nyo Ceng tak mampu membuat pedang
Ubun Hiong jatuh, juga mengherankan sekali.

"Jangan melukai keponakanku!" bentak Ki Seng-in


seraya mati-matian melindungi Kong-he. Utti Keng tak
memberi kesempatan lagi pada Nyo Ceng ia meloncat
membacok punggungnya.
Tanpa berpaling, Nyo Ceng membalikkan tangan
menangkis golok musuh dengan jurus Heng-hun-toanhong.
Habis itu, secara tak terduga-duga ia menyambar
tangan Ceng-hoa.
"Tar", Jwan-pian Ki Seng-in menyabet kaki jago she
Nyo itu, tetapi kaget sekali nyonya itu, piannya seperti
mencambuk sebuah tiang besi. Sedikitpun kulit Nyo Ceng
tak lecet, sebaliknya pian milik Ki Seng-in terpental.
"Ayo, bacoklah!" Nyo Ceng tertawa gelak-gelak
mengejek Utti Keng seraya mengangsurkan tubuh Cenghoa.
Sudah tentu Utti Keng tak berani, namun ia tak
gugup karenanya. Waktu ia hendak ganti mengarah kaki
orang, Nyo Ceng tertawa dan berputar "Hoan-ji,
sambutlah! Baik-baiklah kau melayani istrimu!"
Dalam rombongan Wi-su, muncul seorang pemuda
yang dengan cepat menyambut tubuh Ceng-hoa terus
dibawa lari, ujarnya, "Adik Hoa, jangan takut, tak nanti
aku mengganggumu!" Pemuda itu ternyata adalah Nyo
Hoan.
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru lantang, "Nyo
Ceng, hari ini kau atau aku yang mati!" Nyaring benar
nada suara orang itu sehingga telinga kawanan Wi-su
terasa pekak. Dan menyusul dengan kegaduhan dari
tersiaknya kawanan Wi-su, muncul Siangkoan Thay
bersama putrinya. Setelah dapat membuyarkan
kepungan para Wi-su, ayah dan anak itu menerjang ke
arah Nyo Ceng.

Siangkoan Thay telah ditahan di rumah Tiok Siang-hu,


setelah pak Lau disuruh Tiok Siang-hu memberi
penjelasan tentang kesalah pahaman itu, maka istri Tiok
Siang-hu segera membebaskan sang ipar (Siangkoan
Thay). Di tengah jalan Siangkoan Thay berpapasan
dengan putrinya, demikianlah kedua ayah dan gadisnya
itu segera menuju ke kotaraja untuk menolong Lim Tokan.
Sayang terlambat sedikit, siangnya To-kan
ditangkap, sore harinya baru ayah dan gadisnya itu tiba.
Mereka menduga To-kan tentu dimasukkan ke penjara
besar, ke sanalah segera mereka menuju.
Karena difitnah oleh Nyo Ceng, beberapa kali
Siangkoan Thay menderita kemalangan, kini hubungan
persaudaraan ipar sudah putus bahkan menjadi musuh.
Itulah sebabnya maka Siangkoan Thay merah matanya
demi melihat ipar durjana itu. Habis menendang roboh
dua orang Wi-su, segera ia menerjang dan menghantam
Nyo Ceng dengan pukulan khusus untuk melukai urat
nadi. Nyo Ceng tahu akan hal itu, ia pun mainkan
tongkat dalam jurus Tok-coa-tho-sim untuk menotok
telapak tangan Siangkoan Thay. Nyo Ceng mempunyai
ilmu totok khusus ciptaan keluarganya, sekali kena, tentu
akan hancur pusat Lwekang Siangkoan Thay. Sebenarnya
kepandaian kedua ipar itu berimbang. Siangkoan Thay
mengerahkan Lwekang ke tangan untuk menyampuk
tongkat Nyo Ceng.
Tongkat Nyo Ceng terpental ke samping tapi dengan
cepat ia bergerak mengitar dalam jurus Poan-Iiong-yupoh
(naga melingkar tubuh) untuk berputar ke samping
Siangkoan Thay, lalu menotok rusuknya. Siangkoan Thay
mundur tiga langkah ke samping, lalu menggunakan
Kim-na-jiu (ilmu tangan kosong) untuk menyambar

tongkat. Demikianlah keduanya saling merapat dan


menghindar, keduanya tiada yang mendapat hasil.
Saat itu Siangkoan Wan pun sudah berhasil melalui
dua lapis penjagaan dan sebentar pula tentulah ia dapat
mengejar Nyo Hoan, tetapi ia dicegat oleh dua orang Wisu,
kedua Wi-su itu adalah Ko-chiu kelas satu dari istana.
Dalam waktu singkat permainan pedang Lian-hoan-chitkiam
dari si nona dapat diatasi oleh kedua Wi-su itu,
bahkan Siangkoan Wan hampir saja kena pukulan
tongkat mereka.
"Yah, lekas kemarilah, tolong adik Hoa dan adik Kan
lebih penting!" Siangkoan Wan meneriaki ayahnya.
Karena peristiwa tempo hari, maka Siangkoan Wan
merasa menyesal sekali terhadap Ceng-hoa dan To-kan,
maka ia bertekad hendak menebus kekhilafan dengan
jasa menolong mereka. Siangkoan Thay mendendam
pada Nyo Ceng tetapi ia pun kuatir kalau putrinya sampai
kena apa-apa, segera ia mendesak mundur Nyo Ceng.
"Sebentar akan kubikin perhitungan padamu lagi!"
bentaknya.
Nyo Ceng hendak mengejar, tapi Utti Keng dan Ki
Seng-in sudah menghadangnya. Kekuatan suami istri itu
dapat mengimbangi Nyo Ceng sehingga tak dapat orang
she Nyo itu lolos.
Utti Keng, Ubun Hiong dan Te Kun belum kenal siapa
Siangkoan Thay, tetapi menyaksikan kepandaian orang
sedemikian hebatnya dan mendengar pula pembicaraan
mereka hendak menolong To-kan, Te Kun, dan kawankawan,
mereka lega sekali. Semangat mereka pun timbul
sehingga dapat memberi perlawanan lagi yang dahsyat,
tetapi sayang karena jumlah mereka lebih sedikit,

meskipun tak sampai terluka, namun tak dapat juga


mereka menerobos keluar dari kepungan.
Dalam pada itu dengan mudah Siangkoan Thay dapat
membuka jalan karena kawanan Wi-su sudah
menyaksikan kelihaiannya dan jeri kepadanya. Cepat
sekali orang she Siangkoan itu tiba dan menyerang
kedua Wi-su yang menghadang Siangkoan Wan,
sebenarnya kepandaian kedua Wi-su itu tak menang dari
Siangkoan Thay, namun karena mereka bertempur dua
orang, dapat juga mereka melayani sampai belasan
jurus.
Sedang Nyo Hoan yang harus mendukung Ceng-hoa
tak dapat berlari cepat, ia meloncat turun dari genteng
dan maksudnya hendak bersembunyi dalam salah sebuah
kamar tahanan, tetapi ternyata setiap kamar dikunci
dengan rantai. Belum lagi ia sempat membuka,
Siangkoan Wan pun sudah menyusul tiba. "Lekas
lepaskan adik Hoa!" bentaknya.
Nyo Hoan mendapat akal, tertawalah ia tergelakgelak.
Dengan sedih dan marah, berserulah Siangkoan
Wan, "Nyo Hoan, tak kukira kau ternyata manusia
macam begitu. Kau menghina aku, kau rela menjadi
antek kerajaan. Kau gembirakah? Lekas lepaskan atau
aku tak sudi kenal padamu lagi. Dan pedangku ini juga
takkan kenal padamu!"
Nyo Hoan berputar seraya memasang tubuh Ceng-hoa
sebagai perisai, kemudian tertawa gelak-gelak, "Cici
Wan, tidakkah kau ingat akan hubungan kita? Jika kau
memang hendak membunuh, tusuklah! Paling banyak
aku akan mati bersama Ceng-hoa."

Saking marahnya, sepasang mata si nona terbalik,


dampratnya, "Nyo Hoan, kau sungguh manusia berhati
srigala!"
"Kaulah yang memaksa aku, jika kau memperlakukan
aku seperti dahulu, perlu apa kau merancang siasat
begitu? Cici Wan, sebenarnya buat apa kau melindungi
Ceng-hoa? Tiada Ceng-hoa, bukankah akan lebih baik
bagi kita? Cici Wan, tidakkah lebih baik kita berdamai?"
Siangkoan Wan memaki diri sendiri mengapa dahulu ia
sampai begitu buta terhadap Nyo Hoan, adalah karena
luapan amarahnya, ia sampai tak dapat mengucap
sepatah kata juga, hal itu disalah artikan oleh Nyo Hoan
yang mengira tekanannya berhasil. Selagi ia kegirangan,
tiba-tiba iganya terasa kesemutan dan Ceng-hoa yang
dikempit di bawah ketiaknya itu terlepas juga. Bukan
kepalang kejut Nyo Hoan, buru-buru ia hendak
menjulurkan tangan meraihnya, tetapi saat itu Siangkoan
Wan sudah meloncat menotok jalan darah pelemasnya,
seketika lunglailah tubuh Nyo Hoan tak dapat berkutik
lagi.
Kiranya kepandaian keluarga Tiok jauh lebih unggul
dari Nyo Hoan, bahkan Nyo Ceng sendiri juga tak
mengetahui bahwa kepandaian si nona sudah mencapai
titik yang sedemikian rupa hingga dapat membuka jalan
darah yang tertotok, Nyo Ceng hanya hendak membuat
Ceng-hoa sebagai barang tanggungan saja. Tak berani ia
mencelakai nona itu dengan totokan yang berat karena
takut pembalasan dari ayah nona itu.
Sewaktu ditawan Nyo Hoan, diam-diam Ceng-hoa
sudah berusaha membuka jalan darahnya yang tertotok
itu, kemudian ia balas menotok iga Nyo Hoan. Sayang

ilmu totoknya baru saja dipelajari, jadi belum cukup kuat


tenaganya, maka paling banter ia hanya dapat membuat
Nyo Hoan kesemutan, tetapi tak dapat menundukkan.
Baru setelah Siangkoan Wan memberi totokan, pemuda
itupun roboh.
Dengan bercucuran air mata, berkatalah Siangkoan
Wan kepada Ceng-hoa, "Adik Hoa, tempo hari aku telah
membuat penasaran padamu, sehingga kau menderita.
Akulah yang bersalah karena telah tertipu oleh Nyo
Hoan. Adik Hoa, maukah kau memaafkan aku?"
Ceng-hoa tertawa, ditariknya tangan Siangkoan Wan,
"Kutahu kalau kau tertipu oleh bangsat itu, sudah tentu
aku tak menyesalimu, sudahlah jangan memikirkan hal
itu lagi. Bahwa sekarang kau sudah sadar dan dapat
membuka kedok Nyo Hoan, itulah suatu perbuatan yang
baik!" Demikian kedua saudara misan itu saling
berjabatan tangan dengan mesra, pertanda kembalinya
kerukunan mereka semula.
Sambil mencengkeram leher Nyo Hoan, berkatalah
Siangkoan Wan, "Lekas antar kita ke tempat To-kan!"
Nyo Hoan meringis, "Aku ... aku tak tahu dimana ia
berada!"
"Cici Wan, jangan percaya omongannya!" seru Cenghoa.
"Cret", perlahan saja Siangkoan Wan mengguratkan
ujung pedangnya ke pakaian Nyo Hoan.
"Cici Wan, aku ... aku..” Nyo Hoan merintih.

"Kau bagaimana? Mau mengantar atau tidak?" bentak


Siangkoan Wan seraya menambahi sedikit tenaga untuk
memasukkan ujung pedangnya ke daging Nyo Hoan.
"Ya, ya, mau, mau!" Nyo Hoan berkuik-kuik seperti
babi hendak disembelih.
Siangkoan Wan menggusur Nyo Hoan supaya
menunjukkan jalan. Nyo Hoan menunjuk sebuah kamar
tahanan, "Lim To-kan ditaruh di situ. Cici Wan, maukah
kau melepaskan aku?"
Siangkoan Wan berseru keras, "Adik Kan, adik Kan,
kau dimana? Apakah kau dengar suaraku? Akulah Cici
Wan!"
Tak berapa lama, benar terdengar suara gemerincing
rantai dan penyahutan To-kan, "Aku di sini, Cici Wan.
Mengapa kau datang ke sini, lekas pergilah!"
Mendengar suara To-kan, legalah hati Siangkoan Wan.
"Bukankah aku tak membohongimu? Lepaskanlah aku,
ya?" kata Nyo Hoan.
Tetapi Ceng-hoa curiga, pikirnya, "To-kan adalah
seorang pesakitan penting, mengapa tiada yang jaga?"
Buru-buru ia menyerukan Siangkoan Wan supaya jangan
melepaskan Nyo Hoan dulu.
Tepat pada saat Ceng-hoa selesai berseru, sekonyongkonyong
terdengar orang berseru, "Hai, budak
perempuan darimana itu? Nyo Hoan, apakah kau juga
membawanya?" Nadanya seperti baru logam
dibenturkan, mengiang di telinga. Dalam penjara tiada
lampu, di bawah sinar rembulan remang, tertampaklah
seorang Lamma berjubah merah berdiri di muka ruang

penjara itu, entah darimana munculnya. Mungkin karena


keremangan cuaca, maka Lamma itu tak melihat jelas
bahwa Nyo Hoan digusur Siangkoan Wan.
Seketika gemetarlah tubuh Nyo Hoan, serunya dengan
tergagap, "Ya, ya ... eh, tidak, tidak Hud-ya, jangan
turun tangan!"
Lamma itu mendengus, lalu membentak, "Nyo Hoan,
kau berani membawa orang luar kemari? Akan kubunuh
kau lebih dulu!" Sekali tangan menimpuk, tiga batang
Hui-piau melayang. Ceng-hoa dan Siangkoan Wan dapat
memukul jatuh masing-masing sebatang. Dan yang
sebatang melayang di pelipis Nyo Hoan, hampir saja
menyentuh kulitnya.
"Cici Wan, jika kalian bertempur, aku tentu akan
binasa. Maukah kau berbuat sedikit kebaikan dengan
melepaskan aku?"
Jika lain orang dalam kedudukan sebagai Siangkoan
Wan, tentu Nyo Hoan akan dijadikan barang tanggungan,
tetapi Siangkoan Wan masih teringat akan hubungan
asmara tempo hari. Lemaslah hatinya, pikirnya, "Lamma
itu ganas benar, tetapi aku dapat memukul jatuh Huipiaunya,
kepandaiannya tentulah tidak luar biasa.
Bersama Ceng-hoa, aku tentu dapat mengalahkannya.
Dengan menggusur Nyo Hoan sebaliknya aku malah tak
leluasa, perlu apa harus membinasakannya?"
Segera ia lepaskan anak muda itu, bentaknya, "Hari ini
kuberi ampun padamu, tetapi kuharap kau dapat
merubah kelakuanmu, enyahlah!

Nyo Hoan bergulingan di tanah, tiba-tiba ia berseru,


"Hud-ya, tangkaplah kedua budak perempuan itu, tetapi
jangan dibunuh!"
"Bagus, setelah dilepas kau hendak berbuat kejahatan
lagi! Cici Wan suka mengampunimu, tetapi aku tidak!"
Ceng-hoa murka sekali, ia hendak menerkam Nyo Hoan,
tapi kepalanya ditelingkup oleh segulung awan merah.
Kiranya Lamma jubah merah itu sudah meloncat turun
dari atas rumah.
"Cret", Ceng-hoa menusukkan pedangnya, tetapi
pedangnya kena dirangkup oleh jubah Lamma. "Hai,
sungguh budak perempuan yang galak. Kau hendak
menangkap Nyo Hoan, aku hendak menangkapmu!"
Lamma itu tertawa gelak-gelak. Tangannya digerakkan,
sebelum menyentuh tubuh Ceng-hoa, dara itu sudah
merasakan dirinya seperti diseret oleh suatu tenaga kuat.
Kejut nona itu bukan kepalang, cepat ia keluarkan ilmu
Ginkang pusaka keluarganya, ia miringkan tubuh
menggelincir ke samping. Setelah tenaga tarikan tadi
terasa berkurang, ia segera gunakan gerak Yan-cu-joanlian
untuk melompat pergi.
Si Lamma juga tercengang karena tak berhasil
menangkap Ceng-hoa, dengan penasaran ia memburu,
mengganti cengkeraman dengan dorongan tenaga kuat
ke arah Ceng-hoa, dari belakang Ceng-hoa sudah
menyingkir tiga tombak jauhnya, tetapi toh tetap
terguncang sehingga rebah ke tanah. Pedangnya pun
kena dilibat jubah si Lamma.
Siangkoan Wan terkejut sekali, tetapi si Lamma pun
sudah menyerbunya. Kepandaian Siangkoan Wan lebih
tinggi dari Ceng-hoa, ia hanya terputar-putar tubuhnya

tapi tak sampai jatuh. Hanya saja Ginkang nona itu kalah
dari Ceng-hoa, ia dapat bertahan diri tapi tak mampu
melompat menerobos keluar seperti Ceng-hoa tadi.
Hanya dalam beberapa jurus saja, si Lamma sudah
membentak, "Lepas!" Berbareng dengan gerakan
jubahnya, pedang Siangkoan Wan pun terlepas dari
tangan.
Ternyata Lamma itu adalah jago nomor satu atau dua
golongan Ang-kau di Secong (Tibet), namanya
Songpupa. Kepandaiannya lebih tinggi sedikit dari Nyo
Ceng. Bersama Nyo Ceng ia mendapat tugas menjaga
To-kan. Tadi ketika Nyo Hoan digusur Siangkoan Wan,
Lamma itu sengaja tak mau mengeluarkan
kepandaiannya yang sebenarnya. Dia hanya
menggunakan tiga bagian tenaganya untuk menimpuk
senjata rahasia, agar Siangkoan Wan mengira kalau dia
mudah dihadapi dan kemudian mau melepaskan Nyo
Hoan. Apa yang direncanakan itu ternyata berhasil.
Setelah dapat merebut pedang pusaka Siangkoan
Wan, Songpupa tertawa gelak-gelak, "Nyo Hoan,
bukankah kau menghendaki nona ini? Baik, terimalah
nonamu itu!" Waktu ia hendak maju menangkap
Siangkoan Wan, tiba-tiba Siangkoan Thay datang.
Melihat putrinya terancam bahaya, sebelum orangnya
tiba, Siangkoan Thay lebih dulu melontarkan sebuah
hantaman. Gentarlah hati Songpupa menyaksikan
kepandaian Siangkoan Thay itu, tanpa menghiraukan
Siangkoan Wan lagi, ia terus melontarkan pedang
Siangkoan Wan tadi ke arah Siangkoan Thay. Jago she
Siangkoan itu menghindar sambil menyambar tangkai
pedang dengan jarinya, kemudian pedang itu diberikan

lagi pada putrinya. Serunya, "Lekas tolong orang, biar


kubereskan si ganas ini!"
Siangkoan Wan hendak bergerak, tapi ayahnya segera
melindungi di depan. Benar juga saat itu Songpupa
melontarkan sebuah hantaman dahsyat. Siangkoan Thay
menangkisnya, ketika dua buah pukulan berhantam,
terdengarlah suara tamparan yang keras sekali.
Songpupa terhuyung-huyung, Siangkoan Thay tersurut
mundur dua langkah. Tampaknya Songpupa yang lebih
unggul tapi sebenarnya dialah yang menderita, telapak
tangannya seperti terbakar oleh besi panas. Sekalipun
dia memiliki ilmu kebal, namun sakit juga. Ternyata yang
dilancarkan Siangkoan Thay itu adalah pukulan Toa-jiuin,
sebuah pukulan Lwekang yang khusus untuk
menghancurkan urat nadi. Pukulan ini sumbernya berasal
dari daerah Secong, sebagai seorang Secong sudah tentu
Songpupa kenal akan ilmu pukulan itu. Maka serunya
dengan kaget, "Kau toh bukan bangsa Han mengapa
membantu gerombolan pemberontak itu?"
"Aku hanya kenal jahat dan baik, kau membantu
kejahatan, sudah seharusnya menerima pukulanku!"
sambil berkata ia menghantam lagi dengan kedua
tangannya. Gerakan itu semula dalam jurus Wan-kiongshia-
hou, kemudian diubah menjadi No-hay-kin-liong
(laut marah menangkap naga). Sayup-sayup sambaran
pukulannya itu mengandung gemuruh deru badai, jauh
lebih dahsyat dari yang tadi.
"Eh, kau kira aku takut padamu!" teriak Songpupa
dengan marah, ia menyongsongkan sebelah tangannya.
Tiba-tiba ia gunakan dua buah jarinya untuk menusuk,
kalau kena, urat nadi lengan Siangkoan Thay tentu putus
juga.

"Bagus!" Siangkoan Thay membalikkan lengan,


dengan punggung tangan ia menampar jari lawan,
sedang tangan kirinya masih tetap menggunakan Toajiu-
in untuk mengarah dada, jurus itu mengajak lawan
sama-sama terluka. Songpupa tak berani, terpaksa ia
menarik pulang tangannya untuk kemudian memukul
dengan jurus Ngo-ting-gui-san. Benturan kali itu
membuatlah Siangkoan Thay mundur selangkah,
Songpupa benar tetap tegak tapi ubun-ubun kepalanya
mengeluarkan segulung asap tipis.
Dalam hal Lwekang, Songpupa lebih dalam sedikit,
tetapi karena pukulan Siangkoan Thay khusus
diperuntukkan menghancurkan urat nadi, maka dapatlah
menutup kelemahannya itu. Demikianlah kedua jago itu
saling mengukur kepandaian dengan seru.
Sementara Siangkoan Wan setelah menghampiri
kamar tahanan, lalu segera menabas rantai kunci dengan
pedang pusakanya. Ia menyulut api untuk menyuluhi,
ternyata To-kan dikurung dalam sebuah sangkar
(kurungan) besi dan dirantai dengan papan besi.
"Adik Kan, akulah yang bersalah. Tempo hari karena
percaya omongan Nyo Hoan, aku tak mau menolongmu.
Kalau tidak, tentulah saat ini kau takkan menderita
seperti ini!" Siangkoan Wan menyesal sekali.
To-kan gembira sekali, ujarnya, "Cici Wan, telah
kudengar bagaimana tadi kau memaki Nyo Hoan. Kau
telah bertengkar padanya, bukan?"
Merah pipi Siangkoan Wan, sahutnya, "Bukan saja
bertengkar, tetapi karena dia ternyata yang mencelakai
ayahku, maka sejak kini kalau berjumpa dengannya

tentu tak akan kuberi ampun lagi. Kali ini aku pun telah
memaksanya supaya mengantar kemari."
"Cici Wan, begitulah selayaknya! Tahukah kau apa
yang kucemaskan tempo hari? Tiada lain ialah kalau kau
sampai terpikat oleh Nyo Hoan. Terus terang, sebelum
ketahuan belangnya, aku pun sudah tak senang
padanya. Hanya kala itu tak berani kubilang padamu,"
kata To-kan. Mungkin dia tak mengerti bagaimana
perasaan antara gadis dan jejaka, tetapi yang
dikatakannya itu adalah suara hatinya, hati yang masih
kekanak-kanakan.
Siangkoan Wan tergerak hatinya, "Adik Kan, tak nyana
kau begitu memperhatikan diriku. Ah, sayang kau bukan
adik kandungku."
To-kan memakai papan besi, setelah Siangkoan Wan
membuka sangkar besi, To-kan masih belum dapat
bergerak. Waktu Siangkoan Wan menariknya keluar,
hampir saja To-kan jatuh ke tubuh si nona. Siangkoan
Wan mengangkatnya, didapatinya anak itu sudah jauh
lebih besar dari dua tahun yang lalu. Walaupun baru
berusia 15 tahun, tapi tingginya sudah sama dengan si
nona yang sudah berumur 18 tahun. Ketika mengangkat
bahu anak itu, Siangkoan Wan menyentuh sebuah bahu
yang kokoh kekar. Suatu perasaan timbul dalam hati si
nona bahwa itulah bahu yang diandalkan, jauh berlainan
dengan Nyo Hoan. Entah bagaimana, seperti ada suatu
perasaan yang membangkitkan keinginan Siangkoan Wan
untuk menyandarkan diri pada bahu itu. Keinginan itu
hanya terlintas sekejap saja dan merahlah wajah si nona.
Papan besi yang merangkap kaki To-kan itu terdiri dari
dua bilah besi, pedang pusaka Siangkoan Wan hanya

dapat membelah borgol tangan tetapi tak dapat


memecahkan papan besi di kaki.
"Akan kuminta ayah membuka papan besi ini," kata
Siangkoan Wan. Ia yakin ayahnya tentu sudah dapat
memberesi Lamma jubah merah tadi, tetapi kejutnya
bukan kepalang ketika melongok keluar, dilihatnya sang
ayah masih bertempur mati-matian dengan Lamma itu,
bahkan ayahnya tidak tampak unggul dalam
pertempuran.
Kiranya ilmu pukulan Toa-jiu-in dari Siangkoan Thay
itu paling memeras tenaga Lwekang. Keunggulan
Songpupa terletak pada Lwekangnya yang tinggi,
memang dalam babak pertama ia hanya dapat bertahan.
Dua puluh jurus kemudian setelah tenaga Siangkoan
Thay mulai berkurang, barulah kekuatan kedua pihak
berimbang.
Selagi Siangkoan Wan cemas, tiba-tiba dari kejauhan
terdengar pula dering senjata beradu. Siangkoan Wan
menatap ke keremangan bulan, dilihatnya di atas
wuwungan terdapat empat orang lelaki tengah
mengepung seorang dara. Astaga, kiranya Tiok Cenghoa!
Ternyata pada waktu Siangkoan Wan dan kawankawan
menggusur Nyo Hoan, di sekeliling tempat itu
sudah penuh dengan kawanan Wi-su istana. Mereka pun
tahu perbuatan ketiga anak muda itu, tetapi oleh karena
anak-anak muda itu masuk ke dalam perangkap, mereka
tak mau keluar, kemudian setelah Nyo Hoan bebas,
barulah kawanan Wi-su itu keluar. Untung keempat Wisu
yang mengepung Ceng-hoa itu bukan termasuk

golongan kelas satu, dengan Ginkangnya yang lihai


dapatlah Ceng-hoa melayani mereka.
"Cici Wan, bantulah Cici Tiok, jangan hiraukan aku!"
To-kan menyuruh si nona.
"Tetapi kau belum dapat berjalan sendiri," sahut
Siangkoan Wan. To-kan tertawa, "Setelah tanganku
bebas, aku toh sudah dapat membela diri. Jangan kuatir,
jika hendak membunuh aku, tentu siang-siang mereka
sudah membunuhku."
Siangkoan Wan masih tak tega, namun karena Cenghoa
terancam, terpaksa ia pergi juga. Saat itu Siangkoan
Thay tengah bertempur seru dengan Songpupa, dalam
lingkaran setombak luasnya, angin pukulan mereka
masih menderu. Jago biasa saja, kalau masuk dalam
lingkaran itu tentu akan terpental.
"Yah, perhatikan adik Kan, jangan sampai ada orang
masuk ke dalam kamarnya," kata Siangkoan Wan.
"Ya, kau teruskan membantu Ceng-hoa dan ajak ia
kemari," sahut ayahnya. Ia mengisar ke belakang dan
berdiri membelakangi kamar tahanan To-kan dan
menjaga pintunya, dia memang tidak dapat
mengenyahkan Songpupa, tapi Lamma itupun tak
mampu menerobos. Kedua jago itu mengeluarkan
seluruh kepandaiannya, lebih-lebih kawanan Wi-su itu,
sama sekali mereka tak dapat menghampiri ke dekat
kedua orang itu.
Siangkoan Wan meloncat ke atas genteng dan
membantu Ceng-hoa, ia tidak dapat mengajak Ceng-hoa
supaya bergabung dengan Siangkoan Thay. BerturutTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
turut muncullah kawanan Wi-su untuk mengepung rapat
kedua dara itu.
Tiga puluh jurus kemudian, tenaga Siangkoan Thay
makin banyak keluar, meskipun tak sampai kalah namun
Songpupa sudah lebih menang angin. Demikianlah terjadi
dua partai pertempuran, ayahnya bertempur di bawah,
putrinya di atas rumah, sementara di luar halaman
penjara, Utti Keng dan kawan-kawan tengah bertempur
seru juga. Setelah Siangkoan Thay masuk ke dalam,
maka Nyo Ceng mendapat angin lagi, Utti Keng dan
istrinya sudah kelewat lama bertempur, mereka hanya
dapat bertahan saja. Di pihak Nyo Ceng masih ada 7-8
orang Ko-chiu kelas satu. Te Kun, Ubun Hiong dan Konghe
bahu membahu memberikan perlawanan, mereka
juga masih merasa kepayahan.
Ada salah seorang Wi-su yang mengetahui riwayat
Kong-he, serunya, "Bangsat kecil ini juga yang
diperintahkan supaya ditangkap. Ayo, kita ringkus dulu!"
Dengan beberapa orang, Wi-su itu menyusup ke arah
Kong-he, terpaksa Ubun Hiong memainkan Toa-si-mikiam
untuk menahan mereka.
Utti Keng dan istri juga ingin membagi tenaga untuk
melindungi Kong-he, tetapi mereka ditekan oleh tongkat
Nyo Ceng sehingga tak mempunyai kesempatan lagi.
Tiba-tiba Nyo Ceng mainkan tongkatnya dengan gencar,
setelah berhasil mendesak Utti Keng dan istri mundur
tiga langkah, ia memutar tubuh menyampuk pedang
Ubun Hiong. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh
seorang Wi-su yang segera menggunakan ilmu Kim-najiu
untuk menangkap Kong-he.

Utti Keng menggerung keras, menyabet tengkuk Nyo


Ceng. Nyo Ceng membalikkan tangan menangkis, sedang
Ki Seng-in meloncat mengejar si Wi-su tadi seraya
menyabetkan piannya. "Lepaskan!"
Wi-su itu sudah berhasil menangkap Kong-he, ia
angkat tubuh anak itu ke atas dan berseru, "Nah,
pukullah!" Maksudnya hendak menjadikan Kong-he
sebagai perisai, tetapi di luar dugaan, permainan pian Ki
Seng-in luar biasa sekali. Belum selesai mulut si Wi-su
mengucap, dahinya sudah kena tersabet pian, darah
bercucuran keluar.
Pian Ki Seng-in dapat mengitari tubuh Kong-he tanpa
melukainya untuk kemudian menyabet dahi si Wi-su,
sungguh suatu permainan yang luar biasa.
Wi-su itu terkejut dan marah, diangkatnya Kong-he
tinggi-tinggi terus diputar-putar seraya berseru, "Bangsat
perempuan, ayo hantam lagi sepuas-puasmu agar
bangsat cilik ini menjadi hancur-lebur!"
Sebenarnya mengingat betapa penting diri Li Kong-he
bagi pemerintah Cing, si Wi-su tentu tak berani
mencelakainya, tetapi Ki Seng-in kuatir juga, dalam
kemarahannya Wi-su itu akan kalap dan berbuat sesuatu
yang merugikan Kong-he.
Di sini Ki Seng-in terbenam dalam kesangsian, di sana
Utti Keng pun terdesak oleh Nyo Ceng. Meskipun ia
gagah, tapi karena sudah kelewat lama bertempur, maka
tak dapat lagi sisa tenaga memenuhi kehendaknya.
Nyo Ceng memainkan tongkatnya dengan gencar,
menyerang ke kanan menotok ke kiri, setiap jurus
serangannya selalu mengarah jalan darah orang yang

berbahaya. Sedikit saja Utti Keng lengah, tentu akan


termakan.
Ki Seng-in makin bingung, ia tak mau membiarkan
Kong-he celaka, tapi juga kuatir suaminya menderita.
Selagi dalam kebingungan, sekonyong-konyong
terdengar sebuah suitan panjang memecah angkasa.
Cepat sekali suitan itu sudah tiba. Ki Seng-in terperanjat
menyaksikan kepandaian pendatang baru itu, belum
habis ia meraba-raba siapa yang datang itu, kawanan
Wi-su yang berada di atas wuwungan rumah sudah
kacau-balau berjatuhan ke bawah.
"Suhu, Suhu!" serentak menjeritlah Ubun Hiong
dengan girang demi mengetahui siapa yang datang.
Kiranya pendatang itu adalah Kang Hay-thian, tokoh
yang dipandang oleh kaum persilatan sebagai jago
nomor satu di masa itu. Sebenarnya Kang Hay-thian tak
menyerang kawanan Wi-su tadi, adalah mereka sendiri
yang tak tahu siapa Kang Hay-thian, lalu coba-coba
hendak menghadangnya. Akibatnya mereka terpental
kena ilmu Can-ih-cap-pek-tiap (menyentuh pakaian jatuh
18 kali) dari Kang Hay-thian.
Melihat Kang Hay-thian, pecahlah nyali Nyo Ceng.
Tanpa berpikir lama ia segera meninggalkan
pertempuran dan lari tunggang-langgang. "Kang-tayhiap,
kawanan kuku garuda telah menangkap muridmu Li
Kong-he!" seru Ki Seng-in.
Maksud kedatangan Kang Hay-thian sebenarnya hanya
untuk menolong To-kan. Siapa tahu ternyata di situ ia
berjumpa pula dengan dua orang muridnya yang lain.
Terutama Li Kong-he, murid yang pernah dicari kemanamana
tanpa berhasil itu ternyata juga berada di situ.

Mendengar nama Kang Hay-thian, terbanglah


semangat para Wi-su, tetapi mereka berkeras kepala
karena merasa masih mempunyai barang tanggungan
(Kong-he).
"Oh” dalam menyahuti seruan Ki Seng-in tadi, Kang
Hay-thian pun sudah tiba dihadapan Wi-su itu,
bentaknya, "Lepaskan anak itu, nanti kuampuni
nyawamu!"
Si Wi-su mencengkeram tenggorokan Kong-he makin
kencang, serunya, "Selangkah saja kau berani maju,
muridmu tentu kumatikan!"
Kang Hay-thian tertawa gelak-gelak, "Memang tak
berani?" Sekali mengulurkan kedua tangannya, tahu-tahu
Kong-he sudah berada di pelukannya. Tampaknya
seolah-olah Wi-su itu rela menyerahkan sendiri tanpa
dipaksa.
Utti Keng dan istrinya heran sekali, pikir mereka,
"Mengapa kawanan kuku garuda begitu taat padanya?"
Habis 'menyerahkan' Kong-he, si Wi-su terhuyunghuyung
dan roboh ke tanah. Kedua kakinya dijulurkan
dan mulutnya muntah darah, jiwanya amblas. Ternyata
waktu 'meminta' Kong-he tadi. Kang Hay-thian telah
menggunakan Lwekang Kek-bu-joan-kang, meremukkan
tulang tangan si Wi-su supaya melepaskan Kong-he.
Kepandaian Kang Hay-thian telah mencapai
kesempurnaan, bukan saja tulang tangan remuk, juga
jeroan Wi-su itu hancur berantakan ....
Kong-he seperti bermimpi bahwa dalam keadaan dan
tempat seperti saat itu, ia dapat berjumpa dengan
Suhunya. Ki Seng-in menyuruh ia lekas memberi hormat

kepada Kang Hay-thian, tetapi Kang Hay-thian tertawa,


"Nanti kalau sudah pulang saja, sekarang kita perlu
menolong Lim-sutemu dulu."
Namun Kong-he masih tetap menganggukkan kepala
selaku memberi hormat kepada sang Suhu, ujarnya,
"Suhu, tadi kulihat Nyo Hoan lari ke sana, Lim-sute besar
kemungkinan ditahan di sana juga. Nyo Hoan juga
membawa lari putri Tiok Siang-hu!"
Tiba-tiba dari arah yang dikatakan Kong-he tadi,
terdengar suara suitan panjang. Kang Hay-thian terkejut,
katanya, "Itulah suitan Siangkoan Thay, agaknya ia
menderita sedikit luka." Tak sempat lagi ia bercerita,
dengan menggunakan ilmu Pat-poh-kam-sian, cepatcepat
ia menuju ke sana.
Ternyata setelah lari dari tempat pertempuran, Nyo
Ceng masih penasaran, ia mempunyai rencana hendak
melarikan To-kan, ia tahu bahwa di dalam penjara situ
terdapat sebuah jalan rahasia yang tembus keluar. Jika
dapat melarikan To-kan, berarti sebuah pahala juga,
tetapi Siangkoan Thay menjaga dengan gigih, harus
diganyang dulu baru ia dapat melaksanakan rencananya.
Begitu tiba, ia segera mainkan tongkat menyerang
Siangkoan Thay yang tengah sibuk menghadapi
Songpupa. Siangkoan Thay mati-matian melawan sambil
bersuit keras.
Akhirnya Siangkoan Thay kena ditotok jalan darahnya
oleh Nyo Ceng, namun orang she Siangkoan itu
mempunyai ilmu menutup jalan darah. Sekalipun totokan
itu mengakibatkan tenaga dalam merembes keluar,
namun ia masih dapat bertahan tak sampai roboh. Nyo
Ceng hendak menerjangnya lagi, tiba-tiba terdengar

hiruk-pikuk kawanan Wi-su menjerit kaget. Kang Haythian


sudah tiba di atas wuwungan rumah, melihat
Siangkoan Thay dan Ceng-hoa tengah dikeroyok para Wisu,
Kang Hay-thian gunakan ilmu Toa-soay-pay-chiu
untuk merobohkan beberapa Wi-su yang tampak paling
ganas.
Melihat Kang Hay-thian muncul di atas rumah, Nyo
Ceng insyaf bahwa ia tak punya kesempatan lagi untuk
mencelakai Siangkoan Thay, segera berserulah ia kepada
kawan-kawannya, "Angin kencang, berhenti teriak!"
Dengan peringatan itu ia anggap sudah memenuhi
kewajiban kawan terhadap Songpupa, tanpa
menghiraukan dia lagi, segera ia melarikan diri.
Songpupa tak tahu siapa Kang Hay-thian itu, ia
tertawa dingin, "Nyo Ceng, nyalimu sungguh kecil
benar!" Kembali ia melontarkan sebuah pukulan ke arah
Siangkoan Thay. Saat itu Kang Hay-thian pun sudah tiba,
dari atas rumah meloncat turun.
Setelah menderita sedikit luka dan melihat kedatangan
Kang Hay-thian, Siangkoan Thay pun tak mau bertempur
lagi. Ia menghindar ke samping dan berseru, "Kangtayhiap,
lekas, Lim To-kan ditahan dalam ruang ini!"
Di luar dugaannya, peringatan itu menggugah pikiran
Songpupa juga, pikirnya, "Begitu takut Nyo Ceng kepada
orang ini, tentulah seorang yang lihai. Lebih baik
kutawan dulu bangsat cilik itu agar jangan sampai
dirampas musuh dan sekaligus dapat digunakan bila
perlu." Ia menyiak Siangkoan Thay dengan sebuah
pukulan, kemudian terus hendak menerobos ke dalam
ruangan.

Kang Hay-thian mencengkeramkan tangannya ke


udara dan membentak dahsyat, "Kembali!" Bentakan itu
disebut ilmu Say-cu-khong-kang atau singa mengaum.
Dahulu ketika tukar-menukar kepandaian dengan Thongsian
Siangjin dari Sian-lim-si, Kim Si-ih telah mendapat
pelajaran ilmu itu, kemudian ia menurunkan pada Kang
Hay-thian. Hebat sekalipun Lwekang Songpupa, namun
menghadapi gemboran Say-cu-khong-kang itu,
jantungnya pun tergetar keras, bahkan tidak hanya
begitu saja, tubuhnya pun di luar kesadarannya telah
terseret mundur beberapa langkah.
Kang Hay-thian. telah menggunakan pukulan Pikkhong-
ciang digabung dengan Say-cu-khong-kang,
hasilnya membuat Lamma lihai dari Secong itu terpental
mundur, tetapi ia tak jatuh, suatu hal yang membuat
Kang Hay-thian kagum juga. Cepat sekali Kang Hay-thian
mencelat ke muka si Lamma dan membentaknya,
"Mengingat kau seorang agama, maka enyahlah saja!"
Kang Hay-thian seorang yang lapang dada dan murah
hati, sebaliknya Songpupa tak percaya kalau ia bakal
dilepas begitu saja. Ia kuatir begitu berputar tubuh. Kang
Hay-thian akan memukulnya dari belakang. Dilihatnya
Siangkoan Thay sudah terluka dan menyingkir ke
samping, pikirnya, "Ho Lan-bing dan beberapa Ko-chiu
masih berada di sini, asal aku dapat melayaninya barang
10-an jurus saja, tentulah bala bantuan akan datang.
Daripada mundur dan ditertawai orang, lebih baik
kutempurnya mati-matian!" Lamma itu tidak tahu bahwa
Ho Lan-bing, Li Tay-tian dan kawannya yang lain sudah
terluka semua.
Diam-diam ia mengerahkan seluruh Lwekang ke arah
lengan, ia pura-pura hendak lari sambil mendamprat

Kang Hay-thian, "Siapa kau, berani begitu sewenangwenang?"


"Kalian menangkap juga seorang anak, mengapa
menuduh aku sewenang-wenang? Seorang lelaki tak mau
menyembunyikan diri, akulah Kang Hay-thian dari
Soatang!" sahut Kang Hay-thian.
"O, kiranya Kang-tayhiap? Sudah lama sekali aku
mengagumi namamu!" sekonyong-konyong Lamma itu
bersuit keras, kemudian menghantam sekuat-kuatnya
dengan sepasang tinjunya. Suitan itu tanda meminta bala
bantuan.
"Bum", karena tak bersiaga. Kang Hay-thian terkena
hantaman itu. Marahlah ia, "Kurangajar! Telah kuampuni
kau, sebaliknya kau malah membokong aku!" Ia balas
memukul dengan jurus Wan-kong-shia-tiau, setelah
tangan kiri ditarik, secepat kilat ia menggerakkan tangan
kanan menghantam.
Songpupa mengepalkan kedua tinju yang dibuat
memukul orang itu untuk menyambut telapak tangan
lawan. Sementara kuda-kuda kakinya tetap tegak laksana
karang, pukulan tangan kiri Kang Hay-thian tadi
menggunakan lima bagian Lwekang, kemudian pukulan
dengan tangan kanan menggunakan tujuh bagian
tenaganya. Bahwa si Lamma dapat bertahan diri
sedemikian rupa, membuatnya benar-benar heran. Ia
hendak menyusuli lagi dengan pukulan ketiga, tapi tibatiba
terlintas sesuatu dalam pikirannya. Didengarnya
Songpupa berdehem perlahan, dari tujuh lubang indera
tubuhnya memancarkan darah dan disusul dengan
robohnya sang tubuh ... ternyata Lamma itu tak kuat
menerima pukulan Kang Hay-thian, tetapi memaksakan

diri dan menggunakan Jian-kin-tui untuk


mempertahankan tubuhnya. Itulah sebabnya setelah
bagian dalam tubuhnya hancur, barulah Lamma itu
terjungkal roboh.
Kemudian Kang Hay-thian menanyakan tentang
keadaan Siangkoan Thay.
Sahut Siangkoan Thay, "Hanya terluka sedikit, tak jadi
soal." Kemudian kedua jago itu masuk ke dalam ruang
sel, dengan tenaganya yang maha dahsyat dapatlah
Kang Hay-thian memutuskan papan besi pengalung kaki
To-kan.
Saat itu Utti Keng suami istri dan kawan-kawannya
tiba juga. kawanan Wi-su yang mengeroyok Ceng-hoa
dan Siangkoan Wan pun sudah lari. Dalam girangnya,
To-kan mencekal tangan Kong-he dan berkata dengan
penuh keharuan, "Apakah aku sedang bermimpi? Suhu,
kau datang. Engkoh Kong-he, kau pun juga datang!"
Kong-he tertawa, "Masih ada lagi hal yang lebih
menggirangkan hatimu, adik Kan. Ayahmu pun berada di
kotaraja sini, aku bersama paman Te memang mendapat
perintah dari beliau untuk menolongmu!"
Hampir tak dapat To-kan mempercayai telinganya.
"Benarkah? Mengapa ayah tak kemari?"
"Dia memimpin anak buah menyerang istana," kata
Kong-he.
Mendengar ucapan itu sampai Kang Hay-thian juga
terkejut sekali, ternyata ia hanya mendengar berita
tentang ditangkapnya Lim To-kan, sama sekali tak tahu
tentang Lim Jing menyerang istana.

"Kita tak boleh terlambat, segera saja kita sambut


Kaucu," kata Te Kun.
Dengan semangat bergelora, berserulah Kang Haythian,
"Inilah suatu gerakan yang benar-benar
menggemparkan dunia. Hiong-ji, He-ji, Kan-ji, sungguh
berbahagia sekali kita guru dan murid-murid bertemu di
sini, kita harus segera membantu Lim-kaucu." Ditariknya
tangan Ubun Hiong untuk menghiburnya, "Hiong-ji, kau
adalah muridku yang baik. Apa yang telah kau alami,
kuketahui semua. Soal itu tak lama tentu akan ketahuan,
janganlah kuatir!"
Ucapan itu berarti suatu pernyataan menerima Ubun
Hiong sebagai murid lagi, girang anak muda itu bukan
buatan.
Berbareng pada saat itu terdengarlah derap pasukan
besar mendatangi.
Segera kata Te Kun, "Eh, apakah musuh telah
mengetahui kita menyerang penjara sehingga mengirim
pasukan kemari?"
"Jika mereka mengirim pasukan kemari, itulah
kebetulan sekali. Dengan begitu tenaga perlawanan yang
dihadapi Lim-kaucu menjadi berkurang," seru Ki Seng-in
pula. Kini tersadarlah ia mengapa Lim Jing tempo hari tak
mau lekas menyerang penjara, ternyata Lim Jing telah
mengatur rencana yang sedemikian cermatnya,
menyerang istana serta mengirim tenaga untuk
membantunya (Ki Seng-in) ke penjara, membuat nyonya
itu terkagum-kagum.
Sudah setahun Utti Keng menganggur, malam itu ia
benar-benar gembira karena dapat menumpahkan

kekesalan hatinya. "Bagus, kita berpesta-pora malam


ini!"
Para penjaga penjara sudah melarikan diri, mereka
panik diterjang si berangasan Utti Keng. Selesai
menembus keluar, Utti Keng selalu membuka kunci tiaptiap
ruang tahanan. Para narapidana dan pesakitan
penting berbondong-bondong keluar....
Sesudah menerjang keluar penjara kerajaan,
tertampaklah di sebelah sana cahaya api merah
membara menjulang tinggi ke langit. Te Kun menyatakan
kegirangannya, disangkanya sang Kaucu sudah berhasil
menyerbu ke dalam istana.
Akan tetapi mendadak satu pasukan tentara berlari-lari
ke jalanan ini. Yang berlari-lari di depan sambil
bertempur adalah anggota-anggota Thian-li-kau dan
yang mengejar di belakang adalah pasukan kerajaan
yang berseragam dengan membawa obor, maka suasana
menjadi terang benderang seperti siang hari.
"Itu dia, yang di depan sana tentu adalah komplotan
bandit Thian-li-kau yang menyerbu penjara. Mereka
harus diringkus semuanya, satu pun tidak boleh lolos!"
demikian teriak seorang perwira.
Te Kun menjadi ragu-ragu dan merasa gelagat jelek,
pasukan kerajaan ini bukan pergi membantu
mempertahankan istana, sebaliknya malah menguber ke
sini, agaknya di sebelah istana sana telah terjadi
perubahan.
Dalam pada itu pasukan kerajaan yang berkuda itu
sudah menerjang tiba, anggota-anggota Thian-li-kau
yang bersenjata itu masih sanggup melawan sehingga

tidak banyak jatuh korban, tapi kawanan pelarian dari


penjara itulah yang telah terbunuh tidak sedikit.
Mendadak Utti Keng menggerung keras, bukannya
melarikan diri, sebaliknya ia memapak ke arah pasukan
musuh. Bentaknya murka, "Ini dia, boleh kita coba siapa
yang akan lapor dulu kehadapan raja akhirat!"
Ketika beberapa penunggang kuda dari pasukan
kerajaan yang paling depan menerjang tiba, sekonyongkonyong
Utti Keng menjatuhkan diri ke atas tanah, sinar
goloknya berkelebat, yang dia incar adalah kaki kuda
melulu.
Kepandaian Utti Keng menggelinding di atas tanah
sambil main golok memang sangat lihai, begitu rebah
terus saja dia bergulingan sebagai bola dan setiap saat
dapat pula membal ke atas bilamana ada kesempatan
untuk membunuh musuh. Pasukan musuh yang
bermaksud menginjak tubuh Utti Keng tahu-tahu berbalik
roboh semua karena kaki kuda mereka tertabas kutung.
Dalam sekejap saja lima penunggang kuda paling depan
sudah dibinasakan olehnya. Dan karena itu pula jalanan
kota menjadi terhalang oleh bangkai kuda dan mayat
manusia.
Sesuai dengan julukan 'Koan-im bertangan seribu',
saat itu Ki Seng-in juga telah memperlihatkan kemahiran
dalam menghamburkan senjata rahasia. Begitu dia
menangkap anak panah yang dibidikkan dari prajuritprajurit
kerajaan itu, kontan ia sambitkan kembali bagai
hujan, dalam sekejap saja belasan prajurit musuh juga
sudah roboh binasa.
"Terjang terus, injak kawanan bangsat ini sampai
hancur-Iebur!" demikian perwira tadi memberi komando.

Karena didesak oleh komandannya, walaupun enggan,


terpaksa kawanan prajurit itu membanjir maju lagi, selain
panah, sekarang mereka pun menghujani lembing
sehingga mau tak mau di pihak Thian-li-kau telah jatuh
korban lebih banyak.
Kang Hay-thian tidak mau tinggal diam lagi, mendadak
ia melompat maju sambil membentak "Roboh!" Dua
batang lembing yang ditangkapnya kontan- ditimpukkan
kembali. Perwira garang tadi tertembus oleh sebatang
lembing, lembing yang lain menyelonong ke arah
seorang perwira yang lain lagi, "cret", tahu-tahu kopiah
perwira itupun telah disambar lembing itu dan jatuh ke
tanah, rambut si perwira itupun terkupas secomot, hanya
selisih sedikit saja kepalanya tentu bisa pecah.
Keruan kejut perwira itu tidak kepalang, sambil
meraba kepalanya cepat ia memutar kuda terus
melarikan diri.
Melihat komandan dan wakil komandan mereka telah
binasa dan lari, tentu saja prajurit-prajuritnya ikut
ketakutan. Sambil berteriak panik mereka terus saja
putar haluan dan kabur mencari selamat sendiri-sendiri.
Diam-diam Kang Hay-thian merasa lega, untunglah
pasukan musuh itu sudah lari ketakutan, padahal kalau
mereka mau menerjang maju, biarpun kepandaian
Kang Hay-thian dan kawan-kawannya setinggi langit juga
sukar meloloskan diri dari terjangan lautan manusia
musuh itu.
Sesudah suasana tenang kembali, segera seorang
Thaubak dari Thian-li-kau maju memberi hormat kepada
Te Kun serta menyampaikan berita, "Atas perintah

Kaucu, para saudara kita diharuskan lekas menuju ke Wijun


melalui pintu gerbang utara."
Wi-jun adalah sebuah kampung kecil kira-kira ratusan
li di luar kotaraja, beberapa ribu bala bantuan anak buah
Tio Su-liong sementara itu berpangkalan di sana.
Keruan Te Kun terkejut sekali menerima berita itu.
"Apakah pertempuran di istana telah mengalami
kegagalan?" tanyanya.
"Giam Cin-hi telah berkhianat pada saat terakhir, di
dalam istana ada pasukan bedil pula, sebaliknya bala
bantuan kita terlambat datang, terpaksa kita
diperintahkan mundur dahulu," tutur Thaubak itu.
"Dan Kaucu sendiri apakah baik-baik saja?" tanya Te
Kun
"En ... entah, aku sendiri tidak tahu," sahut si Thaubak
dengan ragu-ragu dan tidak berani menerangkan, karena
saat itu Lim To-kan telah mendekati mereka.
Kiranya Lim Jing sudah bersekongkol dengan dua
Thaykam di dalam istana, yaitu Lau Kim dan Giam Cin-hi.
Di luar dugaan Giam Cin-hi telah mengetahui terputusnya
bala bantuan dari Tio Su-liong, melihat gelagatnya tentu
pergerakan mereka akan gagal, ia menjadi takut
akibatnya, diam-diam ia malah melaporkan sendiri
kepada raja. Karena itu pihak kerajaan di bawah
pimpinan putra mahkota Bun Ling sempat mengadakan
penjagaan dan Lau Kim tertangkap serta binasa.
Di antara pasukan pengawal istana itu ada satu
pasukan bedil yang lihai pada zaman itu. Betapapun
gagah beraninya anggota-anggota Thian-li-kau juga
sukar melawan senjata api itu, apalagi musuh sudah

mengetahui pergerakan mereka, bahkan bala bantuan


pasukan kerajaan segera dapat didatangkan juga. Dalam
keadaan terjepit, demi untuk menyelamatkan sebagian
kekuatannya, terpaksa Lim Jing memberi perintah
menerjang keluar dari kotaraja.
Begitulah setelah mendapat laporan dari Thaubak itu,
semua orang menjadi kuatir dan ingin lekas pergi
membantu Lim Jing, segera rombongan mereka
menyerbu ke pintu gerbang utara. Sampai di sana. pintu
gerbang sudah terpentang lebar, mayat-mayat
bergelimpangan memenuhi bumi. Ada satu regu
anggota-anggota Thian-li-kau sedang terkepung dan
bertempur dengan mati-matian, rupanya regu Thian-likau
itu keburu disusul oleh pasukan musuh sehingga
terpaksa mereka mempertahankan diri.
Walaupun jumlah pasukan kerajaan itu cukup banyak,
tapi rombongan Utti Keng terdiri dari jago-jago silat yang
tangkas, sekali terjang segera prajurit-prajurit musuh
dibikin kocar-kacir dan lewatlah mereka keluar pintu
gerbang. Karena tidak tahu apakah pihak Thian-li-kau
menyembunyikan pasukan bala bantuan atau tidak, maka
pasukan kerajaan itu tidak berani mengejar keluar kota.
Karena menguatirkan diri sang ayah, segera To-kan
menanyakan keadaan ayahnya kepada seorang Hiangcu
yang dikenalnya. Keterangan yang diperoleh ternyata
cocok dengan laporan Thaubak semula. Ayahnya sudah
mengundurkan diri lebih dulu ke Wi-jun.
To-kan menjadi sangsi, ia kenal watak sang ayah yang
lebih memikirkan orang lain daripada keselamatan diri
sendiri. Mustahil ayahnya mau kabur lebih dulu dengan

meninggalkan anak buahnya dalam keadaan terkepung,


kecuali kalau sudah terjadi sesuatu atas diri ayahnya.
Namun percaya atau tidak, terpaksa ia ikut di samping
Suhunya dan kabur ke depan bersama rombongan. Utti
Keng dan Ki Seng-in juga bersama mereka, di belakang
menyusul Ubun Hiong dengan kencang. Utti Keng tahu
dimana letak kampung Wi-jun itu, mereka melarikan
kuda sekencangnya sehingga tidak lama kemudian
rombongan telah mereka tinggalkan jauh di belakang.
Melihat di belakang tiada orang lain lagi, Utti Keng
tidak tahan lagi, segera ia berkata, "Kang-tayhiap, aku
sangat berterima kasih atas pertolonganmu padaku ini,
tapi mau tak mau aku mesti mencaci-maki muridmu yang
tertua itu, keparat benar, bocah itu benar-benar bukan
manusia."
Kang Hay-thian terkejut, tanyanya cepat, "Apakah
Leng-hong berbuat sesuatu kesalahan padamu?"
"Tidak cuma salah saja, bahkan jiwaku ini hampir
melayang karena perbuatannya," kata Utti Keng dengan
gemas. "Waktu di Kik-yau tempo hari, dalam keadaan
terluka aku telah berjumpa dengan dia. Bukannya dia
membantu aku, sebaliknya dia malah mendorong aku
sehingga terjungkal dari atas rumah, sebab itulah aku
kena ditangkap oleh Ho Lan-bing."
"Jika begitu soalnya menjadi makin jelas sekarang,"
tiba-tiba Ki Seng-in menimbrung.
"Makin jelas bagaimana?" tanya Utti Keng.
"Toako," sahut Ki Seng-in, "bukan saja jiwamu hampir
dibikin melayang, bahkan jiwaku juga hampir melayang
lantaran bocah itu. Kang-tayhiap, kami tahu Yap LengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong adalah keponakan dan juga murid ahli warismu,
tapi dalam urusan ini, terpaksa kami harus bicara terus
terang kepadamu."
"Kedatanganku ke kotaraja ini justru hendak
menyelidiki dan bertanya kepada kalian urusan tentang
Leng-hong, maka silakan bicara saja," sahut Hay-thian
tegas.
"Kang-tayhiap, tahukah kau ketika aku menumpang
bermalam di kediamanmu, besok paginya ketika aku
berangkat, segera dicegat oleh kawanan alap-alap
kerajaan dan hampir-hampir tewas?" tanya Ki Seng-in.
"Aku sudah mendapat tahu kejadian itu, kabarnya kau
mencurigai anak Hiong, sebenarnya bagaimana
persoalannya?" tanya Hay-thian.
Lebih dulu Ki Seng-in minta maaf lagi kepada Ubun
Hiong, kemudian baru berkata, "Sesudahnya barulah aku
tahu telah salah memfitnah muridmu yang kedua ini,
sebab mata-mata musuh yang sebenarnya adalah
muridmu yang pertama, yaitu Leng-hong."
"Hah, Toasuheng katamu? Dari ... darimana kau
mengetahui, Ki-lihiap?" tanya Ubun Hiong terkejut dan
girang. Dia bergirang karena dirinya sekarang sudah
bebas dari tuduhan yang tak berdasar itu. Tapi
Toasuhengnya adalah mata-mata musuh, hal ini sama
sekali tak tersangka olehnya.
"Yap Leng-hong memang pintar menjalankan
perannya, tapi tidak urung ketahuan juga tandatandanya
yang mencurigakan," kata Ki Seng-in. "Ubunsiauhiap,
waktu kau dan Toasuhengmu hendak
berangkat ke Tong-peng-koan untuk membeli obat,

bukankah aku pernah berpesan agar suka mencarikan


seorang kawanku yang berjanji akan bertemu dengan
aku di kota itu?"
"Betul," sahut Ubun Hiong.
"Kawanku itu pada besok paginya juga keburu tiba,
dia bukan lain adalah Gak-thocu yang telah menolong
jiwaku itu," kata Seng-in. "Dia bernama Gak Ting, adalah
saudara angkat suamiku. Malahan aku harus minta maaf
kepada Kang-tayhiap karena kesalah pahaman Gak Ting
pernah merecoki rumahnya."
"Hal-hal yang sudah lalu itu tak perlu dibicarakan lagi,"
ujar Hay-thian. "Harap lekas kau ceritakan duduk perkara
sebenarnya saja."
"Malam itu juga sebenarnya Gak Ting sudah sampai di
Tong-peng," demikian tutur Ki Seng-in "Kota itu hanya
ada dua buah hotel, dia bermalam pada hotel yang agak
besaran. Sebagaimana menurut perjanjian kami, dia
telah menggores tanda di dinding pagar belakang hotel
untuk memudahkan aku mencarinya. Mestinya dengan
gampang saja dia dapat diketemukan, akan tetapi Yap
Leng-hong yang kumintai tolong mencarinya mengatakan
tidak menemukan sesuatu tanda apa-apa. Bukankah dia
jelas berdusta?"
"Sebab ... sebab apakah Toasuheng sampai berbuat
begitu?" ujar Ubun Hiong dengan ragu-ragu.
"Ya, sudah tentu karena dia mempunyai urusan
penting sendiri di dalam kota," kata Ki Seng-in. "Pertama
dia harus menyelesaikan urusannya pada waktu sebelum
kau kembali meminjam kuda, makanya dia sama sekali
tidak mencari tahu keberadaan Gak Ting, selain itu dia
ingin menjebak aku pada esok paginya."
Ubun Hiong tambah terkejut, tanyanya, "Urusan
apakah yang dikerjakan Toasuheng ketika datang ke
kota? Siapakah yang dia hubungi? Darimana kau
mengetahui Toasuheng yang telah menjebak kau?"
"Hotel yang dipakai Gak Ting itu tepat berhadapan
dengan restoran Thay-pek-lau yang baru saja dibuka,"
tutur Ki Seng-in. "Antara tengah malam, dari jendela
kamar Gak Ting kebetulan melihat suatu bayangan
pemuda menyelinap ke dalam hotel secara sembunyisembunyi.
Lapat-lapat di dalam restoran itu kelihatan
pula ada beberapa orang lagi, sebelumnya pemuda itu
seperti dipapak seorang dan mengadakan pembicaraan
sejenak, kemudian barulah masuk. Bagi orang yang
berpengalaman, gerak-gerik pemuda itu dapat diduga
pasti tidak beres dan ada hubungan rahasia dengan
orang-orang di dalam restoran.
"Sudah tentu Gak Ting tidak kenal apakah dia Yap
Leng-hong atau siapa, maka dia percaya saja padaku dan
besoknya telah berkunjung ke rumah Kang-tayhiap dan
memfitnah Ubun-siauhiap. Kalau dipikir, sekarang
memang banyak tanda-tanda yang mencurigakan,
misalnya waktunya, menjelang tengah malam tatkala itu
Ubun-siauhiap sendiri berada dimana?"
"Aku berada di rumah si kakek Ong untuk meminjam
kuda," sahut Ubun Hiong. "Kemudian aku berkumpul lagi
dengan Yap-suheng di luar kota, sementara itu sudah
lewat tengah malam."

"Itulah dia, makanya bayangan pemuda itu pastilah


dia adanya," seru Ki Seng-in. "Aku yakin dugaanku ini
tidaklah meleset."
"Apa kerja restoran baru itu dan orang macam apakah
penghuninya? Apakah sesudahnya kalian menyelidiki?"
tanya Hay-thian dengan suara parau, hilanglah
ketenangannya waktu menghadapi persoalan pelik ini.
"Restoran itu dibuka oleh alap-alap kerajaan," tutur
Seng-in. "Malam itu wakil komandan pasukan pengawal
Li Tay-tian dan jago-jago istana lainnya justru
bersembunyi di rumah makan itu. Hal itu esok paginya
juga sudah kupergoki mereka."
"Hah, jika demikian, jadi Toasuheng yang telah
bersekongkol dengan kawanan anjing kerajaan itu untuk
menangkap kau dan kudamu itupun Toasuheng yang
meracuninya?" Ubun Hiong menegas dengan tidak habis
mengerti.
"Benar," sahut Ki Seng-in. "Besok paginya aku pergi
mengambil kuda, kebetulan kupergoki dia baru keluar
dari kandang kuda. Dia bilang kuda itu sudah diberi
makan olehmu, dia hanya mengontrol lagi sekadarnya.
Tatkala itu aku tidak menaruh curiga apa-apa kepadanya,
yang kucurigai adalah kau. Namun sekarang duduknya
perkara sudah jelas. Justru dia yang telah berbuat jahat
dengan memfitnah kau, maka bagi Kang-tayhiap, murid
murtad yang sesungguhnya adalah kau punya murid ahli
waris itu."
Sungguh menyesal sekali Kang Hay-thian, katanya
dengan sedih, "Utti-thocu dan Ki-lihiap, banyak terima
kasih atas bantuan kalian yang telah ikut membongkar
rahasia muridku yang murtad ini. Ehm, binatang kecil itu,

biarpun kubunuh dia juga belum terlampias rasa


benciku."
Waktu itu Kang Hay-thian berjalan dengan
menggandeng tangan Lim To-kan dan Li Kong-he,
sekarang kedua anak itu sama-sama merasakan tangan
sang guru berkeringat dingin dan agak gemetar. Keruan
mereka terkejut dan sama-sama bertanya, "Suhu, ada
apakah? Apakah engkau tidak perlu mengaso dulu?"
Sementara itu fajar sudah hampir menyingsing, sudah
remang-remang. Sebagai seorang Kangouw kawakan,
Utti Keng menjadi terkejut ketika melihat air muka Kang
Hay-thian agak pucat, napasnya rada tersengal dan
jidatnya berkeringat. Tanda-tanda ini biasanya tidak
mungkin terjadi bagi orang kuat seperti Kang Hay-thian,
maka dapatlah dibayangkan betapa hebat guncangan
perasaan Kang Hay-thian terhadap peristiwa luar biasa
mengenai diri Yap leng-hong itu, maka cepat ia pun
mengusulkan agar Kang Hay-thian berhenti mengaso
dulu.
Namun Kang Hay-thian menjawab, "Tidak perlu, aku
harus lekas menemui Lim-kaucu, habis itu segera aku
akan mencari murid murtad itu untuk membikin
perhitungan padanya."
"Kang-tayhiap," kata Ki Seng-in dengan menyesal,
"tahu begini, tentu aku takkan buru-buru
memberitahukan padamu duduknya perkara. Tentang
muridmu itu memang harus dihajar, tapi juga tidak perlu
tergesa-gesa."
"Kenapa tidak tergesa-gesa? Ai, kau tidak tahu ... ya,
pendek kata aku malu terhadap para ksatria di jagat ini,"
kata Kang Hay-thian.

"Sudahlah, mari kita maju terus. Hayo Utti-thocu,


marilah kita berlomba Ginkang, coba tenaga lari siapa
lebih cepat?"
Mendengar suara Kang Hay-thian yang sedih
memilukan itu, diam-diam Utti Keng ikut terharu. Dalam
pada itu Kang Hay-thian sudah mendahului mempercepat
langkahnya ke depan, terpaksa Utti Keng dan Ki Seng-in
menyusul sekuatnya, namun begitu mereka tetap
ketinggalan.
Menurut dugaan Utti Keng, sebabnya Kang Hay-thian
berduka dan menyesal adalah lantaran mempunyai
seorang murid pengkhianat. Tak diketahuinya bahwa
penyesalan Kang Hay-thian itu tidak melulu urusan
pribadi saja, tapi adalah mengenai soal pergerakan
melawan kerajaan Boan-jing serta jiwa para pahlawan
yang banyak, boleh jadi karena kesalahannya, jiwa para
pahlawan itu bisa melayang di tangan Yap Leng-hong.
Seperti diketahui Yap Leng-hong diangkat menjadi
suatu pemimpin pasukan bala bantuan yang berangkat
ke Sucwan. Pengangkatannya adalah karena para
pahlawan menaruh kepercayaan penuh atas nama Kang
Hay-thian, tapi jika lantaran pengkhianatan Yap Lenghong
sehingga terjadi apa-apa atas diri para pahlawan,
hal ini benar-benar suatu pukulan yang hebat bagi Kang
Hay-thian.
Begitulah, jarak ratusan li itu telah ditempuh dalam
waktu singkat dengan Ginkang Kang Hay-thian yang
tinggi. Setiba di depan markas pasukan pergerakan di
dusun Wi-jun, terasalah dada Kang Hay-thian agak
sesak, keringat dingin membasahi bajunya. Kalau bukan

Lwekangnya teramat tinggi dan bertahan sekuatnya,


mungkin dia telah jatuh pingsan seketika.
Ada di antara anak buah Thian-li-kau yang kenal Kang
Hay-thian dan Lim To-kan, maka mereka lantas
menyambut kedatangan para ksatria itu dan
mempersilakan masuk.
Dalam pada itu Thio Su-liong telah memapak keluar,
katanya, "Kaucu sedang menantikan kedatangan Kangtayhiap
dan anak Kan, silakan masuk saja."
To kan merasa lega demi mendengar ayahnya berada
di situ, tapi merasa heran mengapa ayahnya tidak
menyambut kedatangan sang guru.
Ketika Thio Su-liong membawa mereka ke suatu
kamar, tiba-tiba To-kan melihat ayahnya berbaring di
atas ranjang dengan wajah pucat, selimutnya juga
berlepotan darah, la menjerit dengan terkejut, "Ayah,
kenapakah kau?"
Mendadak Lim Jing bangkit berduduk dan menyapa,
"Kang-tayhiap, sungguh tidak nyana hari ini barulah aku
dapat berkenalan dengan engkau. Walaupun agak
terlambat, tapi kedatanganmu ini tepat pada waktunya,
engkau telah sudi menerima anakku sebagai murid,
untuk itu aku dapatlah merasa lega dan berterima kasih.
Mengenai situasi pergerakan, soal menang atau kalah
adalah jamak, tentu pula ada yang binasa dan terluka, ini
bukan apa-apa. Asalkan saja tenaga baru terus menerus
dapat dibangkitkan."
Kiranya Lim Jing telah terluka parah dalam usahanya
melindungi anak buahnya dan menerjang keluar dari
kepungan musuh, darahnya terlalu banyak mengalir

keluar, jiwanya sudah tinggal soal waktu saja.


Semangatnya itu hanya terbangkit secara serentak saja
ketika melihat kedatangan putrinya bersama Kang Haythian.
"Kaucu, silakan mengaso dan merawat lukamu dengan
tenang, janganlah banyak bicara lebih dulu," kata Kang
Hay-thian.
"Tidak, ada suatu urusan penting yang tidak boleh
tidak harus kubicarakan denganmu saat ini juga," ujar
Lim Jing.
Kang Hay-thian paham ilmu pertabiban, dari luka Lim
Jing yang parah serta denyut nadinya yang lemah itu, ia
tahu ketua Thian-li-kau itu sudah sangat payah, lebih
banyak matinya daripada hidup, maka sebisanya ia
menahan rasa sedihnya sendiri, ia pegang kencang
tangan Lim Jing dan menyalurkan tenaga sendiri untuk
membantu Lim Jing agar kuat bicara.
"Kang-tayhiap," kata Lim Jing, "soal ini tentu akan
membikin kau berduka, tapi terpaksa harus kukatakan
padamu. Bukankah engkau mempunyai seorang murid
pewaris yang bernama Yap Leng-hong?"
Hati Kang Hay-thian tergetar. "Benar, kenapakah dia?"
"Apakah engkau mengetahui orang macam apakah dia
itu?" tanya pula Lim Jing.
"Seorang murid khianat!" sahut Hay-thian tegas.
"O, jadi engkau sudah tahu, jika demikian akan
banyak menghemat pembicaraanku," ujar Lim Jing. "Tapi
mungkin engkau belum lagi mengetahui asal-usulnya
bukan?"

Ini memang soal pokok yang sangat ingin diketahui


oleh Kang Hay-thian, berbareng juga soal yang
membuatnya sangsi selama ini. Sebab ia masih mengira
Yap Leng-hong adalah keponakannya dan tidak mengerti
mengapa pemuda itu rela menjadi mata-mata musuh.
Maka dengan bingung Kang Hay-thian menjawab,
"Bagaimana asal-usulnya?"
"Dia adalah putra Yap To-hu, si tukang jagal gubernur
Sucwan sekarang," tutur Lim Jing dengan mengertak
gigi.
Keterangan ini benar-benar membuat Kang Hay-thian
terperanjat meskipun sebelumnya sudah mengetahui Yap
Leng-hong adalah muridnya yang murtad. Memangnya
sudah cukup berat pukulan batin yang dia terima,
sekarang dia benar-benar ditusuk lagi sekali. Seketika
pandangannya serasa gelap dan hampir-hampir pingsan,
sekuatnya ia bertahan dan bertanya lagi dengan suara
gemetar, "Darimana kau mengetahui Lim-kaucu?"
"Waktu kami menyerbu ke dalam istana, dari dokumen
yang kami berhasil rampas, antara lain adalah suatu
laporan rahasia dari Yap To-hu kepada Bok Ting-ca agar
disampaikan kepada kaisar, tentang putranya yang telah
berhasil menyelundup ke dalam pasukan pemberontak
sehingga untuk menumpas pergerakan di Sucwan adalah
tidak sukar. Bahkan untuk sementara ini dengan bantuan
kedudukan putranya di dalam pasukan pemberontak itu,
kelak ada harapan besar dapat menjaring sekaligus para
pemimpin pemberontak. Dokumen itu berhasil dicuri oleh
seorang Thaykam anggota Thian-li-kau di bawah
pimpinan Lau Kim, yang gagal dalam pergerakan kali ini."

Sesudah membaca dokumen itu, maka jelaslah


segalanya bagi Kang Hay-thian, namun urusan juga
sudah telanjur.
Dalam keadaan gugup dan bingung, Kang Hay-thian
mendengar Lim Jing berkata, "Dengan segala daya
upaya, musuh tentu akan memukul kita, soal
pengkhianatan juga sukar dihindarkan. Walaupun agak
terlambat, namun akhirnya soal ini dapat kita ketahui
juga. Syukurlah kita telah dapat bertemu tepat pada
waktunya. Kang-tayhiap, tentang murid murtad ini
dapatlah aku merasa lega karena akan kau bereskan
sendiri."
Sampai di sini mendadak napas Lim Jing berubah
menjadi lemah, badannya menjadi lemas. Kang Haythian
terkejut, ia merasa tenaga dalam sendiri sudah
tidak mau dikerahkan menurut keinginannya lagi untuk
membantu Lim Jing.
Thio Su-liong yang berdiri di belakang lekas maju
untuk memayang Lim Jing dan membaringkannya,
katanya dengan suara pilu, "Lim-kaucu, adakah pesan
apa-apa darimu?"
"Thio-hiante," kata Lim Jing dengan tersenyum,
"tanggung jawab Thian-liu-kau kita ini biarlah kuserahkan
padamu. Meski sekali ini kita gagal, tapi janganlah kau
patah semangat."
"Tidak, tidak! Kita tidak gagal," seru Thio Su-liong.
"Kaucu, engkau harus tetap bersama kami!"
Wajah Lim Jing menampilkan pujian terhadap
kegagahan bawahannya itu, seperti halnya orang yang

tidur nyenyak dengan penuh pengharapan, dia telah


menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Ketika mendengar sang Kaucu telah wafat, para
anggota Thian-li-kau menyatakan bela sungkawa
mereka. Lim To-kan menangis sedih sambil mendekap di
atas jenazah ayahnya.
Di tengah suasana duka cita itu, tiba-tiba Kang Haythian
berseru, "Bagus, Lim-kaucu, kematianmu benarbenar
menggegerkan dunia dan mengguncangkan langit,
kematianmu membuat musuh merasa ngeri dan
membuat semangat kawan terjaga! Engkau tidak gagal,
hidupmu adalah ksatria, mati pun tetap gagah! Tidak,
hakikatnya engkau tidak mati, jiwamu tetap hidup! Aku
Kang Hay-thian percuma saja hidup di dunia ini, sungguh
aku malu terhadapmu, malu terhadap para pahlawan
seluruh jagat!"
Belum habis dia bersambat, mendadak darah segar
menyembur dari mulutnya. Perasaannya teramat berat
mengalami pukulan, dia benar-benar sudah terlalu letih
dan baru sekarang dia mengumbarnya, maka darah pun
tersembur keluar.
Utti Keng sangat terkejut, cepat ia maju
memayangnya, katanya, "Kang-tayhiap, ini kan bukan
kesalahanmu, Lim-kaucu sudah wafat, engkau harus
lebih menjaga dirimu sendiri. Misalnya tentang muridmu
yang murtad itu, hal ini masih menunggu
penyelesaianmu."
"Betul," sahut Kang Hay-thian, "mana boleh aku
melupakan pesan Lim-kaucu? Aku harus segera
berangkat." Namun demikian dia benar-benar sudah

sangat lemas, tubuhnya sudah tak mau menurut perintah


lagi.
Ki Seng-in membisiki sang suami, "Jangan kau
menyebut soal Yap Leng-hong lagi?"
Namun ucapan yang perlahan itu tak didengar juga
oleh Kang Hay-thian, katanya, "Soal itu mana boleh
dihindari untuk tidak dibicarakan? Sehari murid murtad
itu belum lenyap, sehari pula aku tidak bisa tidur
nyenyak."
"Kang-tayhiap, bagaimana kalau aku mewakilkan kau
berangkat ke sana," ujar Utti Keng. "Cuma Yap Lenghong
adalah murid pewarismu, adalah di luar batas
bilamana aku mewakilkan kau mengadakan
pembersihan."
Kaucu baru dari Thian-li-kau, yaitu Thio Su-liong telah
mengikuti pembicaraan mereka. Dia merasa serba susah,
mestinya dia ingin bicara sesuatu, tetapi urung.
"Murid murtad dan kaum pengkhianat setiap orang
juga boleh membunuhnya, soal ini bukan soal di luar
batas segala," kata Kang Hay-thian. "Cuma saja Limkaucu
baru saja wafat, boleh jadi musuh akan
menggunakan kesempatan baik ini untuk menyerang
kita, maka gerakan pemberontakan di sini juga sangat
penting. Kukira kalian suami istri lebih baik tinggal di sini
untuk membantu Thio-kaucu."
Dalam keadaan demikian Kang Hay-thian lebih
mementingkan urusan pergerakan daripada kepentingan
pribadi, sudah tentu para ksatria merasa sangat kagum,
maka Utti Keng juga tidak membuka suara pula.

Thio Su-liong minta agar Kang Hay-thian istirahat saja


dahulu dan merawat lukanya, tentang urusan lain boleh
diselesaikan kelak.
Namun Kang Hay-thian telah berkata, "Urusan ini tidak
boleh ditunda. Biarlah kupikirkan dulu cara
penyelesaiannya yang baik." Lalu ia pejamkan mata
untuk merenung. Sejenak kemudian, mendadak ia
membuka mata dan memanggil, "Anak Hiong, coba maju
sini."
"Ada pesan apakah, Suhu?" tanya Ubun Hiong sambil
mendekati sang guru.
"Sejak hari ini kau adalah murid pewarisku yang baru,
aku memerintahkan kau supaya memegang teguh
peraturan kita, soal upacara boleh diabaikan, biarlah para
ksatria yang hadir di sini sebagai saksi," demikian kata
Kang Hay-thian.
Ubun Hiong terkejut, katanya pula dengan gugup, "Hal
ini mungkin ... mungkin Tecu tidak sanggup melakukan
kewajiban dengan baik."
"Tidak bisa melakukan kewajiban dengan baik apa?"
omel Hay-thian. "Semakin berat tanggung jawabmu,
semakin besar pula tugasmu. Seorang ksatria sejati
harus berani menghadapi kesukaran, seorang laki-laki
sejati harus memilih tugas yang berat. Jika kau tidak
menjadi ahli waris, apakah mesti Yap Leng-hong saja
yang tetap menjadi ahli warisku?"
Ucapan sang guru itu membangkitkan semangat
jantan Ubun Hiong, segera ia menjawab, "Baiklah,
segalanya murid tunduk kepada pesan Suhu, biar masuk

ke lautan api atau terjun ke dalam air mendidih juga


murid takkan menolak."
Wajah Kang Hay-thian menampilkan senyuman,
katanya, "Bagus, demikianlah baru benar-benar muridku
yang baik." Lalu ia pun menyerahkan dokumen rahasia
yang diterimanya dari Lim Jing itu kepada Ubun Hiong,
lalu menyambung, "Kau lekas berangkat ke Sucwan,
carilah Ciong Leng dan Sumoaymu, perlihatkan dokumen
rahasia ini. Tentu mereka nanti akan membantu kau
memberi ganjaran setimpal kepada murid murtad itu.
Tapi ingat, sebelum bertemu dengan Ciong Leng, jangan
sekali-kali rahasia ini sampai bocor. Bocah she Yap itu
sangat licik, jangan-jangan kau tidak berhasil menggebuk
anjing berbalik malah digigit anjing."
Ubun Hiong mengiakan dan menyatakan akan berlaku
hati-hati. Ia menerima dokumen itu dan menyimpannya
dengan baik di dalam baju, lalu ia pun mohon diri untuk
keluar agar gurunya dapat mengaso.
Tapi Kang Hay-thian tiba-tiba seperti ingat sesuatu, ia
berkata pula, "Nanti dulu anak Hiong, ada sedikit urusan
pribadi yang hendak kubicarakan denganmu."
Mendengar pembicaraan yang akan diadakan adalah
soal pribadi, Utti Keng dan lain-lain lantas mengundurkan
diri keluar kamar. Segera Kang Hay-thian menyuruh
Ubun Hiong mendekatinya, katanya dengan tersenyum,
"Anak Hiong, aku ingin tanya sesuatu urusan pribadimu.
Ketika ayah-bundamu masih hidup, apakah beliau-beliau
itu sudah mengikatkan jodoh bagimu?"
Selamanya Kang Hay-thian tidak pernah berkelakar
dengan anak muridnya, maka Ubun Hiong menjadi
melengak ketika mendadak sang guru menanyakan soal

perjodohannya, dengan muka merah kemudian ia


menjawab, "Belum."
Lalu Kang Hay-thian berkata pula, "Aku tahu kau dan
Hiau-hu sangat cocok saru sama lain. Menurut cerita ibu
gurumu, sesudah kau difitnah dan meninggalkan rumah,
selama itu Hiau-hu terus memikirkan dirimu dan pernah
menangis beberapa kali."
Hati Ubun Hiong berdebar-debar dan muka merah
jengah.
Tapi Kang Hay-thian menyambung lagi dengan
tertawa, "Asalkan kalian suka sama suka, maka aku pun
bersedia menjadikan kalian. Kesehatanku ini entah kapan
baru dapat pulih kembali, boleh jadi akan timbul pula halhal
di luar dugaan. Andaikan terjadi apa-apa atas diriku,
maka bolehlah kau katakan kepada ibu gurumu bahwa
aku sudah menyanggupi perjodohan kalian."
Sungguh girang Ubun Hiong tak terkatakan, untuk
sekian lamanya dia sampai terkesima.
"Bagaimana, aku menyerahkan anak Hu padamu,
apakah kau bersedia mendampingi dia selama hidup?"
tanya Hay-thian pula.
Baru sekarang Ubun Hiong sadar, cepat ia berlutut
dan mengucapkan terima kasih, katanya, "Atas budi
kebaikan Suhu, tentu murid takkan mengecewakan
harapanmu serta cinta kasih adik Hu. Semoga kesehatan
Suhu lekas pulih seperti sediakala."
Begitulah, dia buru-buru menyatakan terima kasihnya
sehingga lupa memanggil "ayah mertua" kepada Kang
Hay-thian, tapi soal tetek-bengek inipun tak dipikir oleh
Hay-thian, dia hanya tertawa senang.
Melihat hari masih siang, segera Ubun Hiong
menyatakan maksudnya, "Hari baru saja lewat Iohor,
murid pikir dapat berangkat sekarang juga. Apakah Suhu
masih ada pesan apa-apa?"
"Baiklah, selekasnya kau sampai di Siau-kim-jwan,
selekas itu pula aku merasa lega," .kata Hay-thian. "Aku
tiada pesan-pesan lain lagi. Asalkan kau ingat betulbetul,
segala sesuatu harus mengutamakan kepentingan
umum daripada keuntungan pribadi, bertindak sesuatu
harus tabah dan hati-hati. Untuk urusan kita, aku
percaya kau tentu dapat menyelesaikannya dengan
baik."
Ubun Hiong mengiakan dan menerima pesan itu, lalu
mohon diri. Di luar Thio Su-liong sudah menyediakan
kuda baginya, segera Ubun Hiong mohon diri juga
kepada para pahlawan. Hubungan Utti Keng dengan
Kang Hay-thian dan muridnya itu jauh lebih akrab
daripada anggota Thian-li-kau, maka Utti Keng dan
istrinya telah mengantar keberangkatan Ubun Hiong
sampai beberapa puluh li jauhnya.
Sebelum berpisah, lebih dulu Ki Seng-in telah minta
maaf kepada Ubun Hiong karena pernah membikin susah
padanya tempo hari, sedangkan Utti Keng telah berkata
dengan tertawa, "Ubun-laute, dahulu hampir saja aku
membunuh kau, tapi sekarang aku benar-benar ingin
bersahabat dengan kau. Aku tidak pandai bicara, pendek
kata kelak bilamana kau mempunyai kesulitan apa-apa,
hendaklah kau katakan padaku saja. Jika urusan di sini
sudah rada tenang, selekasnya tentu aku akan menyusul
ke Siau-kim-jwan. Jangan kuatir, bila kau tidak sanggup
membunuh keparat Yap Leng-hong itu, tentu aku akan

membantu kau membeset kulitnya dan mematahkan


tulangnya."
Ubun Hiong tertarik oleh jiwa orang yang suka
berterus terang itu, jawabnya dengan tertawa, "Uttithocu,
sesungguhnya aku malah harus berterima kasih
kepada kalian, tempo hari aku pun bersalah karena tidak
dapat membedakan mana yang betul dan mana yang
salah, namun kalian telah sudi memaafkan
kelancanganku, sungguh aku sangat berterima kasih.
Tentang sakitnya guruku itu diharap kalian sudi
merawatnya. Tampaknya hari sudah petang, silakan
kalian kembali saja, sudah waktunya kita harus
berpisah."
Begitulah Ubun Hiong lantas melanjutkan perjalanan.
Bayangan Kang Hiau-hu segera timbul di depan mata
pemuda itu menggantikan kepergian Utti Keng dan
istrinya, kejadian-kejadian di masa lalu segera terbayang
lagi. Dahulu bila dia dan Kang hiau-hu tidak sama-sama
terluka di lembah sunyi itu, tentu mereka tidak akan
saling mengenal. Dari sudut ini, kalau dahulu Utti Keng
tidak melukainya tentu dia takkan dapat tinggal di
lembah sunyi itu bersama Hiau-hu.
Demi terkenang kepada si nona, segera Ubun Hiong
melarikan kudanya secepat terbang, sungguh ia ingin
bersayap untuk bisa lekas terbang ke samping Kang
Hiau-hu. Setelah berpisah sekian lamanya, dia ingin
mengutarakan rasa rindunya kepada si nona, sementara
itu Hiau-hu belum tahu Yap Leng-hong adalah matamata
musuh, entah nona itu akan mengalami perlakuan
keji atau tidak? Teringat demikian ia menjadi kuatir bagi
keselamatan sang Sumoay, selain itu ia pun ingin lekas

bertemu dengan si nona agar dapat menyampaikan


'berita bahagia' kepadanya.
Ya, berita bahagia yang sebelumnya tak pernah dipikir
oleh Ubun Hiong bahwa sang Suhu sendiri yang telah
menjanjikan perjodohan mereka.
Dengan perasaan yang diliputi oleh rindu asmara,
Ubun Hiong melarikan kudannya dengan cepat tanpa
mengenal waktu. Tak terasa sang dewi malam sudah
menghias di tengah cakrawala nan biru permai.
Pada saat itulah tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara
nyaring beradunya senjata. Waktu ia memandang ke
depan, ternyata di situ ada segerombolan orang sedang
bertempur.
"Jangan-jangan ada kawan pergerakan sedang
dikerubut oleh anjing alap-alap kerajaan?" demikian pikir
Ubun Hiong. Segera ia keprak kudanya menuju ke
kalangan pertempuran.
Sesudah dekat, kiranya ada seorang wanita muda
bersama empat laki-laki kekar sedang mengembut
seorang laki-laki berbaju hitam. Senjata yang digunakan
keempat laki-laki kekar itu adalah sejenis, yaitu gada
bergigi, tampaknya berbobot cukup berat. Tapi yang
paling lihai adalah wanita muda itu, dia bersenjata
sepasang golok, satu panjang dan yang lain pendek.
Dengan kencang ia cecar si lelaki baju hitam dengan
serangan-serangan maut.
Namun laki-laki baju hitam itu tampaknya lebih lihai
daripada lawan-lawannya, pedangnya berputar
sedemikian kencangnya sehingga angin pun tak tembus.
Keempat laki-laki itu hanya berputar di sekelilingnya,

gada mereka ternyata tidak sanggup menembus sinar


pedang lawan. Coba kalau tiada bantuan sepasang golok
si wanita muda, mungkin sejak tadi laki-laki baju hitam
itu sudah kabur dengan leluasa. Tapi sekarang dia harus
satu lawan lima sehingga kekuatan kedua pihak boleh
dikata sama kuatnya.
Dari dandanan keempat laki-laki itu jelas kelihatan
bukanlah antek-antek kerajaan, pula jago-jago istana tak
mungkin dipimpin oleh seorang wanita. Karena tidak
kenal asal-usul orang-orang itu, seketika Ubun Hiong
menjadi sukar untuk ikut turun tangan walaupun samarsamar
ia seperti sudah kenal si lelaki baju hitam, cuma
dimana dia pernah melihatnya seketika belum teringat.
Selagi Ubun Hiong bermaksud maju lebih dekat agar
dapat mengenal lebih jelas wajah si lelaki baju hitam.
Mendadak seorang laki-laki tegap tadi membentaknya,
"Siapa itu? Besar amat nyalimu berani sembarangan
terobosan di sini? Kalau ingin selamat hendaklah lekas
menyingkir pergi."
Ubun Hiong menjadi gusar, sahutnya dengan dingin,
"Jalan umum ini boleh dilalui oleh segala orang, jalanan
ini toh bukan milikmu, berdasar apa kau melarang aku
lewat di sini?"
Pada saat itu juga mendadak orang berbaju hitam
telah bersuara kejut, kiranya lebih dulu dia sudah
mengenali Ubun Hiong.
Waktu Ubun Hiong berpaling, tepat dia beradu
pandang dengan si baju hitam sehingga muka orang
tertampak jelas. Tanpa terasa Ubun Hiong juga
menyerukan suara kaget.

Kiranya si baju hitam itu tak lain tak bukan adalah si


pemuda baju hitam yang pernah dijumpai Ubun Hiong
pada waktu dia diusir pergi dari rumah perguruannya
tempo dulu.
Tatkala itu si pemuda baju hitam itu pernah memberi
nasehat agar Ubun Hiong jangan pergi jauh-jauh,
katanya dia sanggup menyelidiki perkaranya dan
tanggung Ubun Hiong dapat pulang kembali ke
perguruannya.
Juga pemuda baju hitam itulah yang secara tidak
bosan-bosannya pernah menanyakan tentang asal-usul
Yap Leng-hong, biarpun waktu itu Ubun Hiong tak mau
menjelaskan, tapi pemuda baju hitam masih terus
bertanya tak habis-habisnya. Bahkan pemuda baju hitam
itulah yang pertama-tama memberi isyarat padanya
bahwa Toasukonya yang bernama Yap Leng-hong itu
adalah orang yang mencurigakan.
Cuma sayang waktu itu Ubun Hiong tidak mau percaya
pada omongannya dan tidak mau tinggal di Tong-pengkoan
untuk menyelidiki lebih terang persoalannya. Begitu
pemuda baju hitam itu sudah pergi, segera juga dia
lantas berangkat meninggalkan kampung halaman
perguruan. Waktu itu Ubun Hiong sangat menghormati
sang Toasuheng, sudah tentu dia tidak mau
sembarangan percaya kepada omongan seorang yang
belum pernah dikenalnya. Tetapi sesudah dipikirkan
kembali, mau tak mau ia mesti percaya kepada pemuda
baju hitam itu.
Sekarang walaupun Ubun Hiong tetap belum jelas
asal-usul pemuda baju hitam ini, namun sedikitnya sudah
mengetahui bahwa orang yang menyampaikan berita

kepada Gak ing, tentang terkurungnya Ki Seng-in di luar


kota Tong-peng tempo hari itu justru adalah si pemuda
baju hitam ini. Kemudian orang yang membakar restoran
Thay-pak-lau itu juga si pemuda baju hitam ini, berdasar
kedua hal ini saja sedikitnya sudah dapat pula
menentukan, apakah kawan atau lawan si pemuda baju
hitam itu.
Ketika melihat si pemuda baju hitam rupanya kenal
Ubun Hiong, rombongan pengerubut tadi segera
bertindak, ada seorang lantas menimpukkan sebuah Piau
ke arah Ubun Hiong.
Cepat Ubun Hiong melolos pedang untuk menyampuk
sambil melompat turun dari kuda, teriaknya dengan
gusar, "Kalian ini benar-benar manusia yang sewenangwenang!"
"Bukan urusanmu, lekas kau pergi saja, tunggulah aku
di depan sana," seru si pemuda baju hitam. Setahun
yang lalu dia pernah menjajal kepandaian Ubun Hiong,
dia kuatir bukannya membantu, sebaliknya mungkin
Ubun Hiong bisa celaka sendiri malah.
Sudah tentu Ubun Hiong tidak mau menurut, dia
masih terus melangkah maju. Akan tetapi dengan cepat
sekali seorang laki-laki pengerubut tadi dengan gadanya
yang bergigi sudah lantas menghantamnya sambil
membentak, "Bocah yang tidak takut mampus, jalan ke
surgamu tak mau kau tuju, sebaliknya ingin menerobos
ke dalam neraka. Baik, biarlah kau tahu rasa nanti."
Cepat Ubun Hiong menangkis dengan pedangnya,
terasa gada lawan sangat berat sehingga tangan sendiri
sampai kesemutan. Namun dengan Si-mi-kiam-hoat yang
hebat, mendadak Ubun Hiong terus menabas ke depan

sehingga jari tangan orang itu hampir-hampir terpapas.


Orang itu terkejut, dengan gugup dia menarik
tangannya. Untung baginya, jarinya dapat diselamatkan,
tapi tidak urung ujung bajunya juga terpapas sebagian.
Melihat ilmu pedang Ubun Hiong sedemikian hebat,
baru sekarang si baju hitam merasa lega, pikirnya, "Ilmu
silat ajaran pamanku memang luar biasa. Perpisahanku
dengan Ubun Hiong baru setahun, tapi sudah mencapai
kemajuan sepesat itu."
Orang yang menyerang Ubun Hiong dengan piau tadi
segera melompat maju untuk mengerubut. Dua senjata
Long-ge-pang (gada bertaring srigala) telah bekerja
sama dengan rapat sehingga kekuatan mereka
bertambah lebih satu kali lipat. Namun Ubun Hiong
sudah tahu tenaga lawan cukup hebat, segera ia
melawan dengan mengutamakan kelincahan dan
kegesitan.
Melihat kedua kawannya tak mampu membekuk Ubun
Hiong, si wanita muda mendadak mendamprat, "Dasar
tidak becus semua, masakah seorang bocah ingusan saja
tak mampu membereskannya!" Mendadak ia pegang
kedua goloknya ke sebelah tangan, tangan lain lantas
mencabut dua buah tusuk kundai emas, terus
disambitkan sebagai senjata rahasia.
"Ai, perhiasan nona yang berharga mahal itu mana
boleh sembarangan diberikan kepada orang!" seru si
pemuda baju hitam sambil tertawa. Berbareng tangannya
lantas meraup ke samping, tapi tusuk kundai itu hanya
kena ditangkap sebuah saja, sebuah lagi tetap
menyambar ke arah Ubun Hiong.

Saat itu Ubun Hiong sedang memutar pedangnya


dengan kencang sehingga berwujud suatu tirai cahaya
yang tak tertembus air, akan tetapi tusuk kundai sekecil
itu ternyata lebih kuat dari bidikan panah. Terdengar
"tring" sekali, pedang Ubun Hiong kena membentur
tusuk kundai itu. Namun benda kecil itu tidak tersampuk
jatuh, sebaliknya masih terus menyambar ke depan dan
"cret", bahu Ubun Hiong telah tertancap oleh tusuk
kundai itu.
Keruan kejut Ubun Hiong tak terkatakan, baru
sekarang ia percaya apa yang sering dikatakan gurunya
bahwa di atas langit masih ada langit, di atas orang
pandai masih ada yang lebih pandai. Usia wanita itu
sebaya dengan dirinya, tapi kepandaiannya terang lebih
tinggi, hanya saja caranya yang agak keji dan tercela
Di sebelah sana sesudah pemuda baju hitam berhasil
menangkap sebuah tusuk kundai si wanita muda, sambil
tertawa ia lantas memasukkan benda kecil itu ke dalam
saku, katanya, "Emas begini kalau dibuang begitu saja
kan terlalu sayang? Memangnya aku sedang miskin,
biarlah kusimpan sebagai uang saku saja."
Dengan malu dan mendongkol wanita muda itu terus
menerjang maju ke arah si pemuda dengan sepasang
goloknya. Namun sekarang keempat kawan si wanita
muda sudah terbagi dua untuk melayani Ubun Hiong,
kekuatan mereka menjadi berkurang dan agak
kewalahan menghadapi pedang si pemuda baju hitam.
Mestinya keempat lelaki tegap itu mempunyai
permainan barisan gada bergigi yang ampuh, dengan
bekerja sama yang rapat mereka bisa bertempur dengan

lihai sekali, tapi sekarang mereka harus terbagi menjadi


dua kelompok, permainan gada mereka menjadi pincang.
Di tengah pertarungan sengit itu, mendadak terdengar
"trang" satu kali, pedang si pemuda baju hitam tepat
kena menusuk pergelangan tangan salah seorang lakilaki
kekar tadi sehingga gadanya terlepas dari cekalan.
Menyusul pedang berputar dan menyambar tiba pula,
kontan secomot rambut laki-laki kekar yang lain
terpapas, berbareng golok si wanita muda yang sedang
membacok juga kena ditangkisnya. Saking kagetnya
sampai kedua laki-laki kekar itu melompat mundur.
Kejut dan dongkol sekali wanita muda itu, bentaknya
kepada kawan-kawannya, "Sudahlah, tak perlu bikin
malu lagi, pulang saja semua! Hm, bocah she Yap, hari
ini biar kau senang dulu, kelak kita berjumpa lagi di
depan sana!"
"Maaf, aku telah kedatangan sahabat, aku tiada
sempat untuk memenuhi undanganmu!" sahut si pemuda
baju hitam dengan tertawa.
Segera si wanita muda mendahului kabur disusul
kawan-kawannya, si pemuda baju hitam juga tidak
mengejarnya.
Memangnya Ubun Hiong sedang kewalahan melayani
dua musuh, mendadak sekarang kedua pengerubut itu
melarikan diri, diam-diam ia bersyukur dan segera
mendekati si pemuda baju hitam.
"Tidak nyana hari ini kita berjumpa pula di sini," kata
si baju hitam dengan tertawa. "Banyak terima kasih atas
bantuanmu tadi."

Muka Ubun Hiong berubah merah, sahutnya,


"Kepandaianku tidak becus, bilamana kau tidak mengusir
lari mereka, tentu aku bisa celaka. Entah orang-orang
macam apakah mereka itu, mengapa mereka
mengeroyok saudara?"
"Aku pun tidak tahu seluk-beluk mereka," sahut si baju
hitam. "Apakah baik-baik saja selama berpisah? Kau
masih ingat janji pertemuan kita dahulu?"
Ubun Hiong merasa rikuh, sahutnya, "Hari itu juga aku
lantas pergi dari Tong-peng, harap maafkan aku tidak
menetapi janji."
"Hahaha! Syukurlah kau tidak datang, sebab aku
sendiri pun ingkar janji," ujar si baju hitam sambil
terbahak-bahak.
Ubun Hiong melengak heran, sebagai seorang pemuda
polos, tanpa pikir ia terus bertanya, "Mengapa kau pun
tidak datang?"
"Tidak apa-apa," sahut si baju hitam. "Karena aku
menjanjikan buat menyelidiki urusanmu, maka malam itu
juga aku telah pergi menemui Toasukomu secara diamdiam.
Tak tersangka dia telah menyerang aku dengan
sebatang jarum berbisa, lantaran itu aku sendiri terpaksa
berbaring selama beberapa bulan dan hampir-hampir
jiwa melayang. Sebab itulah besoknya aku pun tidak
dapat memenuhi janji pertemuan kita."
Kiranya sesudah terkena jarum berbisa pada malam
itu, hampir saja jiwa pemuda baju hitam itu melayang
oleh serangan gelap Yap Leng-hong itu. Pada saat maut
hendak merenggutnya itu, dengan nekat ia telah terjun
ke danau Tong-peng, tapi dengan demikian jiwanya
dapat diselamatkan malah.
Waktu itu air danau lagi naik pasang, dia berbawa oleh
ombak dan terdampar keluar serta hanyut ke sungai.
Dasar belum sampai ajalnya, dia telah ditolong oleh
seorang nelayan, perutnya yang sudah kembung dengan
air itu dapat diperas keluar. Tak terduga dengan
demikian malah telah mengurangi racun yang telah
menyerangnya, perutnya seakan dicuci dan dikuras oleh
air sungai yang dipencet keluar itu. Sisa racun di dalam
badannya boleh dikata tak berhalangan lagi bagi
Lwekangnya yang kuat.
Sekarang secara acuh tak acuh diceritakan kejadian
itu, tapi Ubun Hiong yang sangat terperanjat, serunya,
"Yap Leng-hong benar-benar telah menyerang kau
sedemikian keji? Sungguh kotor dan hina!"
"Aku sih tidak heran dengan caranya yang keji dan
hina itu, sebab aku tidak cuma satu kali itu saja dicelakai
olehnya," kata si baju hitam dengan tertawa.
"Dahulu ia pun pernah mencelakai kau?" tanya Ubun
Hiong heran.
"Ya, cuma dahulu dia tidak langsung turun tangan,"
kata si baju hitam. "Tatkala itu berkat Hoa-san-ih-un Hoa
Thian-hong yang telah menolong jiwaku, sedang kali ini
adalah karena aku belum ditakdirkan untuk mati. Ah,
jangan terus bicara tentang diriku, sekarang bergilir aku
bertanya padamu. Mengapa kau merasa heran terhadap
perbuatan Toasuhengmu itu, apakah kau masih
menganggap dia orang baik?"

"Aku menyesal dahulu tidak percaya kepada


omonganmu," sahut Ubun Hiong. "Tapi aku pun tidak
mengerti sebab apakah berulang kali Yap Leng-hong
hendak mencelakai kau? Apakah kau memang
sahabatnya, makanya kau tahu asal-usulnya?"
"Dahulu aku tidak tahu, tapi sekarang sudah tahu,"
tutur si baju hitam. "Dia adalah putra gubernur Sucwan,
Yap To-hu alias si jagal. Dengan keterangan ini tentu
dapat kau pahami apa sebabnya berulang kali dia ingin
mencelakai aku. Pendek kata, siapa saja yang mungkin
tidak menguntungkan dia, tentu akan dicelakai olehnya.
Kau sendiri kan juga hampir-hampir dibikin celaka
olehnya?" Padahal dia belum menjelaskan bahwa
sesungguhnya dia sendirilah 'Yap Leng-hong yang tulen'.
Ubun Hiong manggut-manggut sesudah mendapat
penjelasan itu.
Melihat itu, dengan tertawa si baju hitam
menambahkan pula, "Sekarang tentu kau sudah
mendapatkan gambaran yang jelas, tapi aku tidak dapat
berbuat sepantasnya bagimu, sungguh aku merasa
gegetun. Entah urusanmu yang penasaran itu sudah
dibikin terang atau belum?"
"Banyak terima kasih atas perhatianmu," sahut Ubun
Hiong. "Aku sudah bertemu dengan guruku dan beliau
telah berkenan menerima aku kembali ke dalam
perguruan, beliau juga sudah mengetahui perbuatan
Toasuheng yang jahat. Saat ini Suhu sedang merawat
sakitnya di dusun Wi-jun yang terletak ratusan li dari sini.
Apakah engkau mau pergi menemui beliau?"
"Merawat sakitnya? Gurumu menderita sakit apa?" si
baju hitam menegas.

"Sakitnya juga lantaran marah terhadap perbuatan


Yap Leng-hong itu, tapi rasanya tidak berbahaya. Jika
kau ingin menemui beliau, biarlah aku menjelaskan
tempat tinggalnya."
Sebenarnya pemuda baju hitam itu ada maksud
mencari paman iparnya, yaitu Kang Hay-thian, untuk
memberitahukan asal-usul Yap Leng-hong. Tapi sekarang
demi diketahui perbuatan Yap Leng-hong sudah
diketahui Kang Hay-thian, maka dirinya tidak perlu
menemuinya lagi sesuai dengan pesan ayahnya agar
jangan buru-buru bertemu dengan para sanak famili
sebelum putra mahkota kerajaan Masar naik takhta.
Setelah merenung sejenak, akhirnya si baju hitam
bertanya, "Ubun-siauhiap, maafkan kalau lebih dulu aku
ingin bertanya padamu, apakah kau ada urusan penting
yang harus dilakukan mengingat kau menempuh
perjalanan cepat di tengah malam buta?"
Ubun Hiong menjadi ragu-ragu apakah mesti
memberitahukan tentang pesan sang guru agar
membereskan Yap Leng-hong itu. Sesudah ragu-ragu
sejenak, kemudian ia balas bertanya, "Kita telah bicara
sekian lamanya, tapi aku masih belum tahu siapakah
nama saudara yang terhormat?"
Diam-diam pemuda baju hitam itu geli karena nama
aslinya sebenarnya sudah dikenal baik sekali oleh Ubun
Hiong. Namun dijawabnya, "Sebenarnya apa artinya
sebuah nama itu? Seperti Yap Leng-hong, sebenarnya
adalah sebuah nama yang indah, tapi sekali dipakai oleh
seorang durjana, seorang mata-mata musuh, maka
busuklah nama itu, maka yang utama kukira adalah
melihat orangnya dan tak perlu peduli namanya.

Biasanya aku tidak terlalu mementingkan nama, maka


bolehlah kau memanggil aku sesukamu. Namun bila kau
berkeras ingin tahu namaku yang asli, maka boleh juga
aku memberitahukan padamu. Aku she Tiba-tiba ia
teringat si wanita muda telah menyebut shenya dan
tentu telah didengar pula oleh Ubun Hiong, maka
urunglah dia memakai nama samaran, terpaksa
mengaku, "Sungguh sial, aku pun she Yap, sama she
dengan Toasuhengmu yang menjadi mata-mata musuh
itu, namaku Boh-hoa."
Untuk membedakan dirinya dari nama aslinya yang
telah dicuri oleh Yap Leng-hong, maka pemuda baju
hitam itu sengaja menggunakan nama kecil, yaitu Yap
Boh-hoa. Habis itu, dengan tertawa ia berkata, "Dan kau
sendiri masih belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Aku ... aku ... sebenarnya aku pun tiada urusan
penting apa-apa, hanya atas perintah Suhu aku harus ke
Sucwan untuk menemui beberapa Locianpwe dari dunia
persilatan, karena para Cianpwe itu adalah buronanburonan
kerajaan, nama mereka harus dirahasiakan."
Meski Ubun Hiong tidak menerangkan maksud
tujuannya, tapi diam-diam Yap Boh-hoa sudah dapat
meraba apa yang akan dilakukan pemuda itu, pikirnya,
"Katanya paman sedang sakit, tapi dia malah berangkat
ke Sucwan, terang karena atas perintah gurunya.
Padahal panglima kerajaan yang sedang menumpas
pemberontakan di daerah Sucwan itu adalah Yap To-hu
alias si jagal, sedangkan asal-usul Yap Leng-hong palsu
itu katanya tadi sudah diketahui oleh paman. Kalau
diselami lebih mendalam, jangan-jangan bocah jahanam
itu telah berhasil menyelundup ke dalam pasukan
pergerakan dan sekarang Ubun Hiong atas perintah

paman diharuskan pergi ke sana untuk membongkar


kedoknya?" Dengan cerdasnya ternyata dia sudah dapat
menerka dengan hampir jitu duduknya perkara.
Namun ia tidak mengutarakan dugaannya itu, dia
hanya memperlihatkan rasa senang mendadak, katanya
dengan tertawa, "Wah, sungguh sangat kebetulan. Aku
pun akan menuju ke Sucwan, jika tidak merasa jemu,
marilah kita berangkat bersama. Tentang gurumu,
semoga kelak ada kesempatan lagi untuk bertemu
kepada beliau."
Maksud Yap Boh-hoa sesungguhnya ialah hendak
mengawal Ubun Hiong, mengingat pemuda itu
mempunyai tugas yang amat penting. Sebaliknya Ubun
Hiong juga merasa kebetulan, hanya saja ia masih
menyembunyikan tugas perjalanannya itu, tanyanya,
"Entah Yap-heng akan menuju ke timur atau barat
Sucwan?"
"Ke timur, dan kau?" balas tanya Yap Boh-hoa. "Aku
sebaliknya ke barat," sahut Ubun Hiong. "Sayang,
sayang, sesudah masuk wilayah Sucwan terpaksa kita
harus berpisah," kata Boh-hoa. "Cuma jarak dari sini ke
Sucwan masih ada ribuan li jauhnya, paling sedikit
setengah bulan lagi baru bisa sampai. Selama ini tentu
aku dapat banyak belajar darimu."
"Ah, Yap-heng terlalu rendah hati," sahut Ubun Hiong.
"Engkau sudi jalan bersama kau, akulah yang harus
belajar padamu."
Sementara itu hari sudah lewat tengah malam. Yap
Boh-hoa mengusulkan bermalam saja di situ sekadar
mengaso, Ubun Hiong setuju. Segera ia memanggil

kudanya dan menurunkan sebuah buntalan,


dikeluarkannya kain kemah yang ringan.
Waktu memasang kemah, di tanah itu tiba-tiba
diketemukan sebuah benda kuning. Kiranya adalah tusuk
kundai sambitan si wanita muda yang disampuk jatuh
oleh Ubun Hiong tadi. Dengan mendongkol segera Ubun
Hiong hendak membuang tusuk kundai itu, namun Yap
Boh-hoa sudah lantas mendahului mengambil benda itu,
katanya, "Tusuk kundai ini terbuat dari emas murni,
kalau dibuang agak sayang, biarlah berikan padaku saja."
"Betul juga," ujar Ubun Hiong. "Bukankah Yap-heng
tadi juga sudah menangkap sebuah tusuk kundai wanita
itu? Sekarang dapatlah menjadi satu pasang, malah
dapat disimpan untuk kenang-kenangan."
"Kenang-kenangan apa? Ah, Ubun-heng suka
berkelakar saja," kata Boh-hoa.
"Wanita itu menggunakan tusuk kundai sebagai
senjata rahasia, hal ini bukankah sangat hebat dan ada
nilainya untuk dibuat kenang-kenangan?" ujar Ubun
Hiong.
"Ah, Ubun-heng benar-benar suka bergurau," sahut
Boh-hoa sambil menyimpan tusuk kundai itu.
Diam-diam Ubun Hiong merasa di antara Yap Boh-hoa
dan wanita muda tadi tentu ada sesuatu hubungan yang
tidak diketahui orang luar. Karena baru kenal, ia merasa
tidak enak untuk banyak bertanya tentang rahasia orang
lain, segera ia berkata, "Kemah sudah selesai dipasang,
marilah kita mengaso saja."
Karena menunggang kuda setengah harian, ditambah
tadi telah ikut bertempur, maka Ubun Hiong benar-benar

sudah lelah. Begitu merebahkan rubuhnya segera ia


terpulas. Sebaliknya Yap Boh-hoa masih guling-gelantang
tak bisa pulas sambil meraba sepasang tusuk kundai di
dalam bajunya itu.
Angin malam di tanah padang meniup dengan
kerasnya, tapi dalam benak Yap Boh-hoa terbayang
kembali sesuatu adegan kejadian masa silam....
Sama halnya sekarang, pada suatu hari yang sejuk di
musim rontok, dia sedang melarikan kudanya secepat
terbang di padang rumput yang luas, yaitu padang
rumput di dataran Tarim. Waktu itu dia sedang berburu.
Rupanya hari itu dia lagi sial, seekor binatang kecil
pun tidak diperolehnya. Tengah merasa kesal, tiba-tiba
dilihatnya seekor elang terbang rendah lewat di atasnya.
Ia pikir, "Elang ini benar-benar jauh lebih besar daripada
elang biasa. Dia berburu binatang, biarlah aku berburu
dia, apa sih salahnya?"
Segera ia pentang busur, sekali bidik saja elang itu
kena dipanah jatuh.
Waktu dia mendekati hasil buruannya itu, tiba-tiba
terlihat di badan elang itu sudah ada sebatang panah
lain. Jadi elang itu telah kena panah lebih dulu, pantas
begitu gampang elang itu kena dipanah dan jatuh lantas
mati. Diam-diam ia heran siapakah pemanah yang pandai
itu, segera ia cabut panah itu, dilihatnya di atas gagang
panah terukir sebuah huruf "Kheng".
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara keleningan
kuda berbunyi, seekor kuda putih mulus secepat terbang
sedang mendatangi. Penunggangnya adalah seorang
nona cilik berusia antara 16-17 tahun, rambutnya

dikepang menjadi dua kuncir, dua tusuk kundai emas


berkepala burung Hong tampak menghias di atas
kepalanya. Nona cilik itu sebelah tangan memegang
busur dan tangan lain membawa cambuk.
Yap Boh-hoa merasa heran, apakah mungkin si nona
cilik inilah yang memanah elang tadi? Namun sebelum
ditegur, datang-datang nona cilik itu sudah lantas
mendamprat, "Kau ini benar-benar tidak tahu aturan,
mengapa kau memanah mati elangku ini?"
Karena merasa dirinya memang bersalah, walaupun
pihak lain hanya seorang nona cilik, tapi Yap Boh-hoa
lantas menyodorkan kembali bangkai elang itu sambil
minta maaf.
Tak tersangka nona cilik itu tetap marah, sekali ayun
cambuknya kontan bangkai elang itu kena disabet jatuh
dari tangan Yap Boh-hoa, dampratnya, "Apakah dengan
minta maaf saja lantas habis perkara? Apakah kau tahu
bahwa aku sengaja hendak menangkap elang ini hiduphidup
untuk dipiara. Jika kau seorang pemburu tulen
tentu kau akan tahu elang itu sudah terluka lebih dulu,
mengapa secara ngawur kau memanahnya lagi hingga
mati? Tidak, aku tidak peduli, kau harus mengganti
elangku ini!"
Tatkala itu usia Yap Boh-hoa juga baru 18 tahun,
darah mudanya dengan sendirinya juga panas dan tidak
mandah didamprat begitu saja. Segera ia menjawab,
"Elangmu sudah kupanah mati, tapi maaf, aku pun tak
dapat mengganti, jika kau tetap marah boleh terserah."
Nona cilik itu benar-benar mengamuk, mendadak ia
keprak kudanya ke depan, begitu mendekat segera pula

cambuknya menyabet sambil membentak, "Kau tidak


mau mengganti elangku, nih rasakan cambukku!"
Melihat gaya serangan nona cilik itu cukup lihai, Bohhoa
terkejut. Ia tidak berani ayal, segera ia melolos
pedang dan bertempur. Dari atas kuda mereka akhirnya
melompat turun dari kuda, sampai ratusan jurus mereka
masih belum dapat menundukkan pihak lain. Akhirnya
betapapun kepandaian Yap Boh-hoa memang lebih tinggi
sedikit, pula tenaganya lebih kuat, dia telah mengurung
si nona dengan sinar pedangnya. Cuma ia pun tidak
benar-benar hendak mengalahkannya, hanya ingin
memaksa si nona mundur teratur, maka serangannya
tidak terlalu ganas.
Di luar dugaan mendadak si nona cilik telah ganti cara
bertempur, rupanya ia tahu pikiran Yap Boh-hoa, ia
sengaja memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk
menusuk tanpa menangkis, ketika Yap Boh-hoa terkejut
dan cepat menarik kembali pedangnya, pada saat itulah
si nona lantas melancarkan serangan. "Sret, sret, sret",
cambuknya menyabet tiga kali susul menyusul.
Cambukan dua kali dapat dihindarkan Yap Boh-hoa,
namun sabetan ketiga kalinya, kopiahnya telah
tersampuk jatuh. Walaupun demikian pedang Yap Bohhoa
juga sempat mencungkit jatuh sebuah tusuk kundai
si nona.
Kedua orang sama-sama kagetnya dan serentak
melompat mundur. "Boleh juga kepandaianmu, ternyata
kau dapat melawan aku dengan sama kuatnya," kata si
nona.
"Usiamu lebih kecil dariku, kita dapat bertempur
dengan sama kuatnya, maka kau dapat dianggap yang

menang. Cuma saja elangmu ini tetap tak dapat


kuganti," sahut Bah-hoa sambil menjemput kembali
kopiahnya.
Si nona cilik juga mengambil tusuk kundainya yang
jatuh itu, di luar dugaan ia berkata dengan tertawa,
"Sungguh harus kukatakan, selama dua tahun aku
tinggal di sini, belum pernah aku melihat orang pandai
seperti kau. Apakah kau orang dari daerah lain? Sesudah
berkelahi, jelek-jelek kita sudah terhitung berkenalan.
Apa artinya seekor elang, jika kau suka boleh kau ambil
saja."
Dasar anak muda, sebentar berkelahi sebentar lagi
sudah baik kembali, maka mulailah mereka saling
berkenalan, Yap Boh-hoa tetap menggunakan nama
kecilnya ini, si nona cilik mengaku she Kheng, tapi tak
mau menerangkan asal-usulnya. Dia hanya berjanji akan
bertemu dengan Yap Boh-hoa pada tengah malam nanti
di suatu menara lonceng di tengah kota Ili, dimana akan
diperkenalkan juga kepada ayahnya yang katanya paling
suka kepada anak muda yang berkepandaian tinggi.
Karena rasa tertarik, pula senang kepada tingkah laku
si nona cilik yang lincah itu, untuk persahabatan
selanjutnya yang lebih akrab, maka Yap Boh-hoa telah
menyanggupi janji itu.
Sebenarnya Yap Boh-hoa adalah orang yang paling
pegang janji, tapi sekali ini dia telah ingkar janji.
Kejadian itu adalah enam tahun yang lalu, tatkala itu
usia Boh-hoa baru 18 tahun, dia masih berkumpul
bersama ayah-bundanya, yaitu Yap Tiong-siau dan
Auyang Wan. Yap Tiong-siau mempunyai hubungan baik
dengan para pahlawan suku bangsa di daerah Sinkiang.

Waktu itu dia sedang bertamu di rumah seorang kepala


suku Kazak.
Kazak adalah suku bangsa yang gagah berani di
padang rumput Tarim yang sering berperang melawan
penjajahan pasukan Boan-jing. Karena bangsa Kazak
hidup dari beternak dan mengembara, mereka pada
umumnya pandai naik kuda dan mahir memanah,
pasukan Boan-jing benar-benar pusing menghadapi
perlawanan mereka. Yap Tiong-siau telah membantu
suku bangsa Kazak, maka dari itu ia pun merupakan
buronan kerajaan Boan.
Hari itu sesudah Yap Boh-hoa berjanji untuk bertemu
dengan si nona, sepulangnya di kemah kepala suku
Kazak, ia telah menuturkan pengalamannya kepada sang
ayah dan kepala suku dengan memperlihatkan panah si
nona yang dibawa pulang itu.
Di luar dugaan, sesudah memeriksa panah itu, kepala
suku tampak terkejut, lalu dengan kurang senang ia
sodorkan panah itu kepada Yap Tiong-siau. Setelah
melihat sekejap huruf "Kheng" di gagang panah,
mendadak Yap Tiong-siau mematahkan panah itu dan
berkata dengan suara aseran, "Janji pertemuan malam
nanti tak perlu lagi kau penuhi."
Sudah tentu Boh-hoa terperanjat dan bingung, ia
menanyakan apa sebabnya dan adakah sesuatu yang
tidak betul?
Jawab ayahnya, "Kau tak perlu ke sana, sebab
ayahnya adalah Ili Congpeng (komandan militer kota
Ili)."

Ili adalah suatu kota besar di daerah Sinkiang selatan,


komandan militer kota itu she Kheng dan mempunyai
seorang putri bernama Hong-koh yang mahir memanah,
nona itu seringkah berburu sendirian di padang rumput.
Orang-orang Kazak tahu siapa diri nona cilik yang cantik
itu.
Karena itu mau tak mau Yap Boh-hoa menurut juga
ucapan sang ayah dan tidak jadi pergi menemui si nona,
walaupun dalam batin ia merasa nona itu belum tentu
sejahat ayahnya yang menjadi panglima kerajaan Boan
itu.
Suatu adegan lenyap, menyusul terbayang pula suatu
adegan lain
Itupun suatu hari yang sejuk di musim rontok, ia pun
sedang melarikan kudanya secepat terbang, akan tetapi
bukan di padang rumput yang luas, tapi di tengah
perjalanan yang penuh debu pasir antara Siamsay dan
Kamsiok, kejadiannya adalah tiga tahun kemudian. Di
tengah jalan itulah kembali dia bertemu pula dengan si
nona cilik yang cantik menggiurkan. Bilamana teringat
kepada kejadian itu, tanpa terasa Yap Boh-hoa menghela
napas, sungguh tak tersangka bahwa nona itu adalah
seorang gadis cantik yang licin dan berbisa.
Waktu itu ayah-ibunya sudah berangkat keluar lautan,
seorang diri Boh-hoa membawa surat ayahnya yang
ditujukan kepada Kang Hay-thian di daerah Tionggoan.
Di luar dugaan dia bertemu pula dengan si nona, untuk
sejenak mereka termangu, namun si nona lantas
menegur, "Apakah kau masih ingat kepada nona cilik di
padang rumput tiga tahun yang lalu?"

Sesaat itu Yap Boh-hoa tidak tahu apa yang harus


diucapkan, ia hanya mengangguk saja.
"Kukira kau sudah lupa," kata pula si nona. "Malam itu
mengapa kau tidak datang?"
Boh-hoa tidak biasa berdusta, tapi juga tidak enak
bicara terus terang, keruan mukanya menjadi merah dan
sukar menjawab.
"Baiklah, biarlah kita membicarakannya lebih lanjut
nanti, sekarang aku ada urusan, kukira k.m pun terburuburu
hendak melanjutkan perjalanan, besok lohor
bil.mi.iii.i k.m berlalu di kaki gunung Masjit, di sana ada
sebuah kuil rusak, bolehlah aku menunggu kau di sana.
Ingat, sekali ini kau jangan ingk.ii |.mji lagi," demikian
kata si nona. Habis itu dengan tertawa segera
mendahului mengeprak kudanya ke depan.
Selama tiga tahun itu pengalaman d.in pengetahuan
Boh-hoa sudah tambah luas. Seperginya si nona, diamdiam
ia bertanya pada dirinya sendiri, "Aku harus
memenuhi undangannya atau tidak? Padahal asalusulnya
belum kukenal, bahkan mencurigakan. Apakah
dia betul-betul putri panglima kerajaan musuh? Tapi
kalau dilihat dari tingkah lakunya, dia toh bukan seorang
jahat atau sepaham dengan ayahnya? Apa salahnya bila
aku bersahabat dengan dia?"
Karena merasa ingin tahu, pula daya tarik si nona
benar-benar telah melekat dalam sanubarinya, walaupun
ada kemungkinan menghadapi bahaya, namun ia
memutuskan besoknya akan pergi untuk menemui si
nona.

Dan hasilnya ternyata sangat di luar dugaannya, di


tempat yang telah dijanjikan itu tidak kelihatan bayangan
si nona, sebaliknya yang menunggu kedatangannya
adalah 13 orang jago-jago istana yang segera
mengepungnya.
Dalam pertarungan sengit itu, sebagian besar musuh
dapat dibinasakan olehnya, sisanya juga terluka parah,
namun ia sendiri pun roboh dengan luka berat. Ada di
antaranya musuh yang terluka parah itu masih merontaronta
dan berusaha mendekat untuk membunuhnya.
Tampaknya akhirnya dia pasti akan gugur bersama
dengan musuh, syukurlah pada saat itu telah muncul
seorang pemuda dan telah membantu membunuh
musuh-musuh lain yang terluka parah, tapi masih hidup
itu. Sudah tentu Yap Boh-hoa merasa sangat berterima
kasih walaupun ia merasa luka sendiri sangat berat dan
sukar tertolong pula.
Pemuda penolongnya itu adalah orang yang kemudian
memalsukan dia sebagai Yap Leng-hong itu, namanya
asli ialah Yap Thing-cong, putra gubernur Siamsay-
Kamsiok pada waktu itu. Namun ketika itu Boh-hoa tidak
tahu asal-usulnya, apalagi Yap Thing-cong mengaku
sebagai pahlawan pergerakan melawan kerajaan, bahkan
dengan simpatik berusaha mengobati luka Yap Boh-hoa,
mau tak mau Yap Boh-hoa mempercayai juga ucapannya
itu sehingga memberi pesan-pesan seperlunya bilamana
dirinya meninggal, bahkan menyerahkan juga surat
ayahnya yang ditujukan kepada Kang Hay-thian. Inilah
suatu kesalahan maha besar yang telah diperbuatnya.
Sama sekali ia tidak menduga bahwa dia tidak lantas
mati, tapi cuma pingsan saja yang terus ditinggal pergi
oleh Yap Thing-cong alias Yap Leng-hong palsu itu.

Syukur akhirnya secara kebetulan dia tertolong oleh tabib


sakti Hoa Thian-hong.
Kenangan Yap Boh-hoa kembali terbayang kepada diri
si nona jelita itu. Apabila dia tidak memancing aku ke
gunung Masjit, tentu aku takkan dikerubut musuh dan
takkan terjadi pemalsuan diriku oleh Yap Thing-cong.
Kalau diusut, pangkal utama dari semua kejadian yang
membikin celaka diriku adalah nona cantik itu. Namun
apakah nona itu memang sengaja hendak membikin
celaka dirinya? Pertanyaan ini dihubungkannya dengan
apa yang terjadi pagi hari tadi.
Hari ini untuk ketiga kalinya ia berjumpa pula dengan
si nona, tapi sekarang nona itu membawa kawankawannya.
Belum lagi Boh-hoa menegur si nona
mengenai kejadian-kejadian dahulu, tahu-tahu nona itu
sudah lantas mengerubutnya dengan marah-marah.
Karena macam-macam pertanyaan yang meliputi
benaknya, sedapat mungkin Boh-hoa masih coba
bertanya, "He, he! Ada apakah kau? Belum lagi kau
terangkan kejadian tempo dulu, kenapa datang-datang
sudah menyerang kenalan lama?"
"Kenalan apa segala? Aku mempunyai dendam
sedalam lautan kepadamu," seru nona itu dengan murka.
Tentu saja sikap dan ucapan si nona makin membikin
sangsi Yap Boh-hoa, hanya orang yang membunuh orang
tuanya biasanya dikatakan dendam sedalam lautan.
Padahal Yap Boh-hoa tidak merasa punya permusuhan
apa-apa dengan si nona, jago-jago istana yang pernah
dibunuhnya di pegunungan Masjit dahulu juga diketahui
tiada seorang pun she Kheng yang pernah menjadi
panglima di kota Ili, yang waktu itu diketahui telah

dipindahkan ke daerah lain dan sedang dalam perjalanan


menuju ke kotaraja bersama keluarga.
"Apakah kau benar-benar putri Ili Congpeng yang
dahulu?" saking tidak tahannya Yap Boh-hoa mengajukan
pertanyaan.
Ternyata si nona semakin gusar, dampratnya,
"Kurangajar! Memangnya kau sangka aku mempunyai
ayah yang kedua?"
Keempat laki-laki tegap yang ikut mengeroyok itupun
memaki, "Kau telah membunuh Tayjin kami, sekarang
berani lagi menyebut namanya?"
Begitulah mereka lantas mempergencarkan serangan
sehingga Boh-hoa terkurung rapat di tengah. Syukurlah
ketika pertarungan sengit itu berlangsung, tiba-tiba
datanglah Ubun Hiong dan membantunya menghalau si
nona dan kawan-kawannya sehingga Boh-hoa juga tidak
sempat memperoleh keterangan lebih lanjut tentang diri
nona she Kheng itu.
Sekarang Boh-hoa merenungkan kembali semua
kejadian itu, makin dipikir makin tidak mengerti.
Mengapa datang-datang nona itu menyatakan dendam
sedalam lautan padanya? Padahal semula ia sendiri yang
merasa tertipu dan dijebak oleh si nona ketika dia hampir
tewas dikerubut oleh 13 jago istana. Hanya satu hal yang
sudah jelas, yaitu si nona benar adalah putri Ili Congpeng
yang bernama Kheng Siu-hong dengan nama kecil Hongkoh
itu.
Selain itu ada pula yang membuatnya heran, yaitu
ilmu silat Kheng Siu-hong. Ia merasa permainan
cambuknya sudah pernah dilihatnya, begitu pula

permainan goloknya jelas mempunyai persamaan dengan


ilmu pedang keluarganya sendiri.
Karena hal-hal yang sukar dimengerti itu, dengan
muram ia menyimpan kembali tusuk kundai emas itu,
pikirnya, "Sekarang aku sudah tahu dia adalah putri
panglima kerajaan, buat apa aku mesti memikirkan dia
lagi? Paling penting sekarang aku harus mengawal Ubun
Hiong ke Sucwan dan membantunya membinasakan Yap
Leng-hong palsu itu."
Saat itu Ubun Hiong sedang mendengkur dengan
nyenyak, tiba-tiba Boh-hoa teringat sesuatu, kemudian
secara diam-diam ia bangun dan keluar kemah.
Besok paginya ketika Ubun Hiong mendusin, ia tidak
melihat Yap Boh-hoa lagi. Ia merasa heran mengapa
pemuda itu diam-diam mengeluyur pergi tanpa pamit?
Padahal katanya akan mengiringinya ke Sucwan.
Segera Ubun Hiong bebenah sendiri dan meringkasi
kain kemah, baru saja ia hendak berangkat, tiba-tiba
terdengar suara ringkik kuda yang nyaring. Kiranya Yap
Boh-hoa sudah kembali dengan menunggang seekor
kuda merah yang bagus.
"O, kiranya kau pergi mencari kuda," ujar Ubun Hiong
dengan tertawa.
"Untuk mengimbangi kudamu yang bagus dalam
perjalanan jauh ini, aku pikir harus mencari seekor kuda
bagus pula," sahut Boh-hoa dengan tertawa. "Bagaimana
pendapatmu terhadap kudaku ini?"
"Ehm, bagus sekali, sungguh kuda pilihan yang jarang
terdapat," sahut Ubun Hiong. "Secara mendadak entah
darimana kau bisa memperolehnya?"
"Binatang ini kuperoleh secara kebetulan saja," kata
Boh-hoa. "Kemarin aku lewat di suatu tempat yang
bernama Ban-keh-ceng, terletak kira-kira 50 li dari sini.
Kulihat Ban-cengcu dari perkampungan itu sedang
menunggang kuda bagus ini, dari penyelidikanku
diketahui Ban-cengcu itu adalah seorang tuan tanah yang
suka menindas rakyat jelata. Kukira tidak ada salahnya
jika aku mengambil kudanya ini."
Ban-keh-ceng itu terletak tidak terlalu jauh dari
Pakkhia, dahulu Ubun Hiong sering mendengar tentang
namanya. Dengan kejut ia bertanya, "Apakah Bancengcu
itu bernama Ban Peng-ya yang berjuluk 'Wi-tinho-
pak' (pengaruhnya merajai Hopak)? Kabarnya ilmu
silatnya sangat hebat. Engkau benar-benar maha lihai,
hanya setengah malaman saja sudah berhasil menyatroni
dia dan membawa lari kuda kesayangannya."
"Maha lihai apa?" sahut Boh-hoa tertawa. "Aku cuma
mencari kesempatan baik saja. Semalam dia sedang
mengadakan pesta perkawinan anaknya dan belum
bubar sampai jauh malam. Aku pun tidak kenal Bancengcu
yang berjuluk Wi-tin-ho-pak apa segala, hanya
ada seorang yang telah mengejar aku dan menyambitkan
tiga batang piau, tenaganya memang tidak lemah. Cuma
sayang aku tiada tempo buat menghajarnya, kalau tidak,
ada baiknya juga orang jahat yang suka menindas kaum
lemah itu dilabrak sekadarnya."
Menurut arah yang harus mereka tempuh, dari Titlik
menuju ke Siau-kim-jwan mereka memutuskan akan
mengambil jalan sebelah barat-laut. Yaitu melalui Soasay
dan Siamsay, kemudian masuk ke wilayah Sucwan
sebelah timur-laut, akhirnya akan sampai di Siau-kimjwan.
Jarak seluruhnya ada lebih tiga ribu li.

Mereka melarikan kuda dengan cepat, sampai petang


sudah lebih 300 li mereka lampaui dengan aman.
Sepanjang jalan mereka asyik bicara tentang kejadiankejadian
di dunia Kangouw dan soal ilmu silat.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di
pegunungan Ou-tho-san di perbatasan antara propinsi
Soasay dan Siamsay. Kalau dihitung sudah lebih
setengah jalan yang mereka tempuh, mereka menduga
bila tiada halangan apa-apa, dalam sepuluh hari lagi
mereka sudah mencapai wilayah Sucwan.
Hari itu mereka sedang melarikan kuda mereka
dengan cepat, tiba-tiba terlihat di tepi jalan ada sebuah
tiang kayu berbentuk salib. Ujung tiang kayu bagian atas
ada bekas dibacok senjata tajam sehingga terbelah
hampir sampai bagian salib.
Boh-hoa bersuara heran dan berkata, "Sepanjang
jalan kita lalui dengan aman, boleh jadi hari ini akan
ketemukan sesuatu di luar dugaan. Kita harus lekas lewat
di daerah ini agar tidak ikut tersangkut dalam urusan
orang."
"Tanda apakah tiang kayu itu?" tanya Ubun Hiong.
"Itulah tanda kawanan bandit hendak menyatroni
sesuatu di sekitar sini dan melarang orang lain ikut
campur. Akan tetapi dari tanda bacokan di atas tiang itu
rupanya sudah ada orang sengaja menantang mereka,"
tutur Boh-hoa.
"Diharap saja pertempuran mereka tidak terjadi pada
hari ini sehingga kita dapat lewat di tempat pertengkaran
ini," ujar Ubun Hiong.

Sementara itu sudah dekat maghrib, setiba mereka di


bawah gunung sang surya juga sudah terbenam di ufuk
barat. Mereka melarikan kuda dengan lebih cepat agar
dapat mencapai sesuatu tempat yang cocok untuk
berkemah.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba terlihat di depan sana
pagar tembok yang tinggi melintang di jalan dimana
mereka lewat. Dari bentuk temboknya, tampaknya
seperti sebangsa benteng.
Biasanya orang-orang yang berpengaruh atau
berkuasa di daerah barat-laut memang suka membangun
tembok-tembok seperti benteng dalam wilayah
kekuasaannya, sering kali luasnya sampai belasan li
persegi, yang kecilan juga beberapa li luasnya. Di dalam
benteng kurung itu mirip seperti sebuah kota dengan
pemerintahan sendiri. Hal demikian mirip sekali dengan
seorang gembong bandit yang berkuasa di satu
pegunungan.
Sesudah dekat, mereka melihat di atas pintu gerbang
benteng itu terpancang tiga huruf ukiran "Kui-tek-po".
Pintu gerbangnya tertutup rapat.
Bon-hoa terkesiap, pikirnya, "Kiranya tempat ini adalah
benteng Kui Koh-ku."
Kui Koh-ku terkenal sebagai seorang berpengaruh dan
disegani di daerah ini, dalam wilayah kekuasaannya
seluas beberapa li, tiada seorang pun yang tidak takluk
padanya sehingga mirip satu raja kecil.
Di atas benteng itu rupanya ada penjaganya, sebelum
Boh-hoa bersuara, sudah keluar beberapa orang dan
membentak mereka, "Siapa kalian dan mau apa datang
ke sini?"

"Orang lewat biasa, karena hari sudah malam, maka


ingin bermalam di dalam kota," sahut Ubun Hiong
dengan mendongkol.
"Hm, orang lewat ingin bermalam, mengapa justru
datang pada malam ini? Bahkan membawa senjata pula,
masakah begini kebetulan? Huh, ada lebih baik kau
bicara terus terang saja, orang macam apakah kalian
ini?" demikian semprot penjaga itu.
Mendengar pertanyaan orang ada udang di balik batu,
segera Yap Boh-hoa menyenggol Ubun Hiong, dia lantas
menyela, "Kami benar-benar orang lewat yang
kemalaman. Untuk menjaga gangguan orang jahat,
membawa senjata juga jamak saja. Tuan-tuan penjaga,
sungguh aku tidak paham sebab apakah malam ini kami
tidak boleh masuk di dalam kota kalian?"
"Hm, tidak paham? Kukira kalian sengaja berlagak
pilon!" semprot penjaga tadi. "Bilang menjaga gangguan
dari orang jahat segala, kulihat kalian sendiri justru
adalah penjahatnya. Boleh jadi kalian adalah mata-mata
yang dikirim bandit wanita dari Hui-hong-san itu."
Keruan Boh-hoa sangat mendongkol, lebih-lebih Ubun
Hiong, dengan murka segera ia hendak melabrak
penjaga-penjaga itu.
Pada saat itulah mendadak dari dalam benteng muncul
pula beberapa penunggang kuda, pemimpinnya adalah
seorang laki-laki berusia 30-an dan bertubuh kecil.
Melihat orang itu, penjaga yang ngotot tadi segera
memberi hormat dan melapor, "Siaupocu (tuan muda
penguasa benteng), ada orang memaksa hendak masuk
kota, tapi hamba menyangsikan mereka adalah matamata
musuh, harap Siaupocu memeriksanya sendiri."
Dengan acuh tak acuh Siaupocu itu mendengus sekali,
lalu ia melirik hina kepada Yap Boh-hoa dan Ubun Hiong.

Tiba-tiba pandangannya tertarik pada kuda tunggangan


Yap Boh-hoa, bentaknya segera, "Kalian berdua bangsat
cilik ini masih berani pura-pura sebagai orang lewat di
sini? Hm, ingin kutanya, darimanakah kalian
mendapatkan kuda ini? Sungguh besar amat nyali kalian,
sampai-sampai kuda kesayangan Ban-cengcu juga kalian
curi."
Kiranya antara Ban-keh-ceng dan Kui-tek-po memang
ada hubungan baik, maka Siaupocu itu cukup kenal kuda
kesayangan Ban-cengcu yang mempunyai warna bulu
khas itu. Agaknya Siaupocu itupun memiliki kepandaian
lumayan, ia tidak pandang sebelah mata kepada kedua
'bangsat cilik' itu. Tanpa bicara lagi segera cambuk
kudanya menyabet ke arah Yap Boh-hoa, beberapa
pengiringnya juga tidak tinggal diam, serentak mereka
lantas menyerbu Ubun Hiong.
"Bagus!" seru Boh-hoa sambil mengayun cambuknya
sehingga ujung kedua cambuk saling libat.
Siaupocu itu memang mempunyai sedikit kepandaian
lumayan, tapi mana sanggup melawan tenaga Boh-hoa
yang kuat, sekali betot saja Siaupocu itu sudah kena
diseret jatuh ke bawah kuda.
Pengiring-pengiringnya lebih celaka lagi, hanya
beberapa kali gebrakan saja mereka sudah dibikin kocarkacir
oleh Ubun Hiong. Lekas Siaupocu itu merangkak
bangun dan lari masuk ke dalam benteng diikuti
begundalnya.
"Bagus kalian bangsat-bangsat cilik ini, janganlah lari
jika kalian tidak takut mampus!" teriak Siaupocu itu
sambil menghilang di dalam benteng dan menutup rapat
kembali pintu gerbangnya. Dia suruh orang lain jangan
lari, tapi dia sendiri sudah lari lebih dulu.

Sesudah naik ke atas benteng, segera Siaupocu itu


membunyikan tanda bahaya sambil memerintahkan
penjaga menghamburkan anak panah.
Karena tidak ingin terlibat dalam persengketaan
dengan mereka, segera Boh-hoa mengajak Ubun Hiong
kabur.
Sementara itu matahari sudah terbenam lama, hari
sudah remang-remang. Mereka mendaki bukit dan
ternyata pihak benteng tidak ada yang mengejar, mereka
lantas berhenti untuk berunding.
"Rupanya mereka harus berjaga kemungkinan diserbu
apa yang disebut kawanan bandit dari Hui-hong-san,
maka mereka tidak mengejar kita," demikian kata Bohhoa.
"Jalan yang baik sekarang terpaksa harus
mengambil jalan berputar yang lebih jauh hampir seratus
li. Mungkin kau belum paham jalan mengitar ini, biarlah
aku melukiskan bagimu."
Ia jemput sebatang ranting, lalu melukiskan peta jalan
di atas tanah, katanya, "Dari sini ke barat, sesudah
memutar ke balik gunung terus menyusur ke selatan, di
sana ada suatu jalan raya, lalu ke barat lagi kira-kira
lebih 20 li akan sampailah di suatu kota kecil bernama
Oh-liong-poh, di situlah boleh kau bermalam dan
menunggu aku."
"Hah, apakah kau tidak ikut berangkat bersama?"
tanya Ubun Hiong kaget.
"Tidak, aku masih ada sedikit urusan yang harus
kuselesaikan di dalam benteng itu, kau boleh berangkat
lebih dulu, besok kita bertemu lagi di Oh-liong-poh,"
sahut Boh-hoa.
"Yap-toako, tidakkah lebih baik aku tetap tinggal
bersama kau, sedikit banyak aku pun dapat membantu
kau?"

"Tidak, apakah kau sudah lupa bahwa kau mempunyai


tugas penting yang harus segera diselesaikan di Siaukim-
jwan? Bilamana kita terhalang di sini, siapa lagi yang
akan menyelesaikan tugasmu itu?"
Ubun Hiong melengak, apa yang diucapkan Boh-hoa
memang betul. Apalagi entah urusan pribadi apa yang
akan diselesaikan Yap Boh-hoa, ia tidak enak untuk
bertanya terus terang padanya. Terpaksa ia menjawab,
"Baiklah, jika begitu aku akan berangkat lebih dulu.
Hendaklah engkau berhati-hati saja."
"Terima kasih," sahut Boh-hoa. "Malam inipun aku
tidak perlu pakai kuda, maka kudaku ini tolong dibawa
saja sekalian."
"Baiklah, sampai bertemu pula besok," seru Ubun
Hiong sambil mencemplak ke atas kuda, di belakang
mengikut kuda merah milik Yap Boh-hoa itu.
Tinggal Boh-hoa sendirian berdiri di atas bukit
memandang jauh ke arah Kui-tek-po, ia pikir, "Mengapa
timbul pikiranku yang aneh terhadap benteng itu? Jika
dugaanku salah dan 'bandit wanita' itu ternyata bukan
dia, maka ini benar-benar runyam dan menertawakan."
Kiranya dari kejadian tadi, Boh-hoa menjadi sangsi
jangan-jangan bandit wanita dari Hui-hong-san seperti
apa yang dikatakan penjaga Kui-tek-po tadi adalah
Kheng Siu-hong si nona yang telah tiga kali bertemu
dengan dia sejak beberapa tahun yang lampau itu.
Sangsinya itu didasarkan terutama kepada gada
bersalib yang tertancap di tepi jalan itu, bentuk gada itu
serupa dengan gada yang digunakan keempat laki-laki
yang mengiringi Kheng Siu-hong itu. Apalagi nona itupun
telah menyatakan akan menyatroninya lagi di depan
sana, tapi sampai saat ini masih belum muncul. Cuma ia

pun merasa geli apakah mungkin putri seorang panglima


perang sekarang bisa berubah menjadi bandit?
Sementara itu sang dewi malam sudah menongol,
bundar dan terang. Boh-hoa mengeluarkan sepasang
tusuk kundai emas itu dan memandangnya sejenak,
akhirnya ia ambil keputusan, "Tak peduli apakah dia atau
bukan, malam ini juga aku harus menyelidiki soal ini
dengan jelas."
Segera ia mengeluarkan sebutir Ih-yong-tan (obat
rias), ia mencari sedikit air dan diaduknya obat itu, lalu
dipoles mukanya sendiri sehingga wajahnya sukar
dikenal lagi.
Ia coba mengamat-amati keadaan sekitar benteng itu,
dari jalan depan terang tak bisa dimasuki. Kanan-kiri
benteng itu adalah tanah pegunungan yang terjal,
namun hal ini bukan halangan baginya, dengan Ginkang
yang tinggi segera ia turun dari tempat yang terjal itu.
Sepanjang jalan tiada rintangan apa-apa. Walaupun
terkadang juga ada penjaganya, tapi dengan enteng
sekali Boh-hoa sudah melayang lewat. Ada juga satu-dua
penjaga yang kepergok, tapi dengan mudah saja sudah
dibereskan oleh pemuda itu.
Ketika hampir mencapai tembok benteng, tiba-tiba di
angkasa bertaburan bunga api yang terang dan aneka
warna yang indah. Baru sekarang Boh-hoa ingat bahwa
malam itu adalah malam Cap-go-meh, rupanya di dalam
benteng itu rakyat sedang merayakan malam tradisionil
itu.
Suasana pesta-pora di dalam benteng itu
memudahkan Yap Boh-hoa untuk menyusup ke dalam
kota, dia terus melintasi tembok benteng dan menyusup
beberapa kampung di pinggir kota. Pusat Kui-tek-po itu
adalah sebuah kota yang ramai, jalan menuju ke pusat

kota lebih dulu harus melalui beberapa kampung


pinggiran dimana suasana juga diliputi kegembiraan,
terutama kaum anak-anak yang ribut ingin pergi melihat
kembang api yang indah itu.
Boh-hoa mencampurkan diri dengan orang-orang
kampung yang berbondong-bondong keluar melihat
keramaian, sampai di suatu jalan simpang, dari sana
muncul serombongan orang dengan suara tetabuhan
yang gemuruh. Orang-orang itu menyamar dalam
macam-macam corak, ada yang menyamar sebagai setan
jangkung hitam-putih dengan memakai kaki panjang dari
kayu (egrang), ada pula yang menyaru sebagai setan
perempuan dengan lidah menjulur panjang untuk
menakuti anak-anak yang beramai-ramai mengintil dari
belakang.
Didengarlah beberapa orang di sampingnya sedang
mengobrol, "Ha, rombongan ini bukankah keluarga Cu
bersaudara yang belum lama menetap di sini? Biasanya
mereka tidak berhubungan dengan Kui-pocu, mengapa
malam ini mereka pun ikut meramaikan pesta Cap-gomeh
ini bagi Kui-pocu?"
Sebagai seorang berpengalaman, Boh-hoa melihat
rombongan penyamar itu rata-rata kuat dan tangkas,
bagian pinggang pakaian mereka agak melambung,
terang di dalamnya tersembunyi senjata.
Lalu terdengar seorang lagi berkata, "Kabarnya ada
bandit wanita dari Hui-hong-san hendak menyatroni Kuipocu,
entah maksud tujuannya melulu hendak mengacau
kepada Kui-pocu saja atau akan menyerbu benteng ini
secara umum. Sebagai rakyat jelata, aku justru tidak
percaya ada kawanan bandit yang mau mengincar kita.
Sesungguhnya kita pun tiada harganya menjual nyawa
bagi kepentingan keluarga Kui."

"Sssst, jangan sembarangan omong!" demikian desis


kawannya sambil melirik ke arah Yap Boh-hoa yang
berjalan di sebelahnya.
Maka laki-laki pertama tadi tidak berani bicara lebih
banyak lagi ketika melihat Boh-hoa berada di samping
mereka. "Toako ini berasal dari kampung mana?
Mengapa jarang kelihatan?" demikian ia coba mengadaada
mengajak bicara kepada Boh-hoa.
"O, aku memang tinggal di atas gunung dan jarang
turun ke kota," sahut Boh-hoa samar-samar.
"Ah, kiranya adalah pemburu yang tinggal di gunung,
pantas kita tidak saling kenal," kata laki-laki tadi sambil
menyengir.
"Paling akhir ini tinggal di gunung juga tidak aman,
sering diganggu orang jahat, maka mumpung hari raya,
iseng-iseng pesiar ke kota," kata Boh-hoa pura-pura.
"Jangankan cuma orang gunung seperti kalian,
sedangkan Kui-pocu kami yang selama ini malang
melintang di dunia Kangouw, siapa tahu kali ini bandit
wanita dari Hui-hong-san ternyata berani menantang
beliau," tutur orang itu. "Sudah tentu Kui-pocu tidak
pandang sebelah mata kepada bandit-bandit yang tak
berarti itu, beliau justru sengaja merayakan pesta Capgo-
meh tahun ini secara besar-besaran untuk
memperlihatkan wibawanya."
Dalam pada itu orang-orang semakin membanjir dan
datang dari berbagai jurusan menuju ke pusat kota, Bohhoa
mencampurkan diri dengan khalayak ramai dan maju
terus ke depan. Sampai di pintu masuk sebelah barat,
dilihatnya di situ dibangun sebuah barak untuk kandang
kuda, padahal di depannya adalah gedung-gedung yang
megah. Entah berapa banyak kuda yang berada di
kandang itu, ia heran, biasanya kandang kuda dibuat di

tempat yang terpencil, mengapa sekarang berada di


tengah tempat keramaian? la coba bertanya pada orang
di sebelahnya.
"Bangunan ini hanya untuk sementara saja," tutur
orang itu. "Yaitu disediakan bagi para petugas, bila perlu
dapat segera berkuda untuk bertempur melawan
kawanan bandit. Kui-pocu kami selama ini telah malangmelintang
di dunia Kangouw."
Gedung kediaman Kui Koh-ku terletak di pusat kota
itu, di depannya adalah sebuah lapangan luas dengan
enam jalan besar yang mengarah ke berbagai penjuru
dimana ada lagi jalan-jalan simpang.
Di depan gedung kediaman keluarga Kui itu adalah
sebuah ruang pendopo yang luas dan di bawahnya
adalah undak-undakan batu puluhan tingkat. Di tengah
pendopo itu tersedia lima kursi besar dan yang duduk di
tengah-tengah adalah Kui Koh-ku, pemilik dan penguasa
kerajaan benteng itu. Di kanan-kirinya berduduk empat
orang jago pengawalnya, semuanya adalah tokoh-tokoh
Kangouw yang terkenal, makanya dipandang sebagai
tamu terhormat.
Dari jauh Yap Boh-hoa dapat mengenali dua orang di
antaranya. Seorang bernama Cin Cu-cun berjuluk
'Malaikat maut hitam' dan yang lain bernama Ciu Ting
berjuluk 'Malaikat bertenaga raksasa'.
Diam-diam Boh-hoa membatin, "Pantas begini besar
pengaruh Kui-tek-po, kiranya di antara begundalnya
terdapat pula dua benggolan Kangouw ini. Entah bandit
wanita yang akan menyatroni benteng malam ini adalah
Kheng Siu-hong atau bukan? Jika dia, tentu akan ketemu
lawan tangguh seperti Cin Cu-cun dan Ciu Ting, belum
lagi kedua jago lain yang tak dikenal itu."

Di ruang pendopo itu selain Kui-pocu dan keempat


jagonya, kedua samping masih berdiri pula orang
banyak. Putranya, Kui Siau-leng, juga berada di antara
orang-orang yang berdiri itu.
Sementara itu orang-orang yang ikut meramaikan
pesta Cap-go-meh itu sudah berkumpul, segera akan
dimulai pawai dengan macam-macam tontonan dan
lampion-lampion yang indah. Ada rombongan yang main
barong-say, ada tarian liong (naga) dan macam-macam
lagi. Kelihatan juga keluarga Cu bersaudara yang
menyamar sebagai setan jangkung serta setan wanita
itupun bercampur di barisan pawai.
Sementara itu rembulan sudah menghias di tengah
cakrawala, hari sudah tengah malam. Saat itulah puncak
keramaian Cap-go-meh. Suara tambur dan gembreng
berbunyi riuh ramai memekakkan telinga, kembang api
bertaburan di udara laksana berjuta-juta bintang.
Dengan perasaan bimbang Boh-hoa mendesak di
antara orang banyak dan mendekati undak-undakan batu
pendopo itu, dilihatnya Kui Koh-ku sedang menikmati
keramaian itu dengan riangnya dan terkadang
mengeluarkan suara tawa bersama orang-orang di
sekitarnya.
Mendadak terdengar si malaikat maut hitam Cin Cucun
bergelak tertawa, lalu berkata, "Hahaha, rupanya
bandit wanita itu cukup tahu diri, agaknya malam ini dia
tidak berani datang. Kalau berani datang, hm, tanggung
akan kubekuk dan kupersembahkan kepada Siaupocu."
Terdengar Kui Koh-ku mendengus, katanya, "Binatang
inipun keterlaluan, putri keluarga baik-baik dan
terhormat dia tidak mau, dia justru penujui seorang
bandit. Dasar bandit wanita itupun tidak kenal maksud
baik orang, bukan saja tidak menerima lamaranku,

sebaliknya malah mengancam akan mengacau ke sini.


Hm, celakalah kalau punya menantu perempuan seperti
itu. Kalau dia benar-benar berani datang, sesudah
dibekuk nanti biarlah dia dihajar adat supaya tahu rasa."
"Tapi kabarnya bandit wanita itu bukan sembarangan
bandit," ujar Cin Cu-cun.
"Oo, kau tahu asal-usulnya?" tanya Kui Koh-ku.
"Ya, kabarnya dia berasal dari keluarga pembesar
negeri," sahut Cu-cun, lalu ia menempelkan mulutnya ke
tepi telinga Kui Koh-ku dan entah apa yang dibisikkan.
Walaupun ucapan Cin Cu-cun itu kemudian dibikin
lirih, tapi sayup-sayup masih dapat ditangkap Yap Bohhoa.
Ia terkejut dan bergirang pula, hatinya menjadi
berdebar-debar, pikirnya, "Bandit wanita berasal dari
keluarga pembesar, siapa lagi kalau bukan dia?"
Tiba-tiba kelihatan seorang berlari ke atas undakundakan
secara tergesa-gesa, lalu menjura di hadapan
Kui Koh-ku dan entah apa yang dilaporkan. Habis itu
tampak Kui Koh-ku lantas berbangkit, sinar matanya
yang berjelilatan memandang kian-kemari di sekitar
lapangan, lalu dia turun ke bawah undak-undakan
dengan diikuti keempat jagonya.
Saat itu pawai kebetulan sampai pada rombongan
keluarga Cu bersaudara, kedua saudara she Cu yang
menyaru sebagai setan jangkung hitam-putih itu sedang
menguber-uber seorang yang menyamar sebagai setan
perempuan dengan lidahnya yang menjulur panjang.
Waktu melihat Kui Koh-ku mendekati lapangan, segera
setan wanita itu berlari-lari ke depannya dengan diuber
oleh kedua setan jangkung.
Setiba di depan Kui Koh-ku, dengan memencet
hidungnya setan perempuan itu mengeluarkan suaranya
yang melengking, "Kematian hamba terlalu penasaran, di

dunia sukar mendapatkan keadilan, di akhirat juga


diuber-uber. Mohon Laupocu sudi membela keadilan!"
Dari belakang kedua setan jangkung hitam-putih
samaran kedua bersaudara Cu juga sudah menyusul tiba,
mereka berteriak, "Raja akhirat sudah menentukan
kematianmu, siapa lagi yang berani menghidupkan kau!"
Penonton-penonton mengira rombongan pemain
keluarga Cu itu mendadak mengeluarkan adegan yang
lucu, maka tertawalah mereka dengan riuh.
Kui Koh-ku tampak senyum tak senyum, ia menoleh
dan berkata, "Cin-lotoa, coba kau saja yang memberi
keadilan."
"Baik," sahut Cin Cu-cun, si Malaikat maut hitam.
Mendadak ia melompat maju terus mencengkeram ke
batok kepala setan perempuan itu.
Lekas setan perempuan itu menundukkan kepala
hingga cengkeraman Cin Cu-cun itu mengenai
rambutnya. Di luar dugaan rambutnya tahu-tahu
mengelotok lepas, kiranya setan perempuan itu memakai
rambut palsu.
Keruan 'setan perempuan' itu terkejut, namun Cin Cucun
tidak berhenti sampai di situ saja, cepat ia
menjambret pula bajunya terus ditarik hingga robek,
maka tertampaklah dadanya yang lapang, terang dia
seorang laki-laki yang menyamar sebagai setan
perempuan.
"Ada apakah kalian ini, sungguh kalian terlalu
menghina orang!" demikian kedua saudara she Cu jang
menyamar sebagai setan hitam-putih itu berkaok-kaok
marah.
Terpaksa Kui-Koh-ku tampil ke muka, katanya untuk
melerai, "Hendaklah kedua saudara Cu maklum, karena
malam ini ada kemungkinan akan dikacau oleh bandit

wanita dari Hui-hong-san, maka Cin-hiante terpaksa


mesti lebih waspada, rupanya dia telah salah duga
kawanmu ini sebagai samaran bandit wanita itu."
Baru sekarang Yap Boh-hoa paham sebabnya Cin Cucun
mendadak membuka kedok 'setan perempuan' tadi,
kiranya disangka samaran bandit wanita dari Hui-hongsan.
Sudah tentu yang paling penasaran adalah orang yang
menyaru sebagai 'setan perempuan' tadi, dengan nekat
ia lantas menubruk ke arah Cin Cu-cun. Namun dengan
sedikit mengegos dan sengkelit saja, tahu-tahu orang itu
malah kena dilempar pergi.
Selagi kedua saudara Cu berkaok-kaok marah,
sebaliknya Kui Koh-ku dan kawan-kawannya bergelak
tertawa. Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar
suara lengking seorang, "Ini dia bandit wanita dari Huihong-
san berada di sini!"
Mendengar suara yang telah dikenalnya itu, kejut dan
girang pula Boh-hoa, waktu ia menoleh, dilihatnya dari
atas papan pigura yang melintang tinggi di atas ruangan
pendopo sana telah melompat keluar seorang wanita
bersenjata sepasang golok pendek dan panjang. Siapa
lagi dia kalau bukan Kheng Siu-hong yang diharapkannya
sejak tadi?
Kiranya sejak tadi Kheng Siu-hong sudah
menyelundup ke situ dan bersembunyi di tempat yang
tak terduga, saat itu Siaupocu Kui Siau-leng masih berdiri
di undak-undakan batu sebelah belakang, maka orang
yang menjadi sasaran serbuan pertama oleh Kheng Siuhong
adalah dia.
Cuma sayang, serangan Kheng Siu-hong itu tidak
dilakukan secara menyergap, lebih dulu ia sengaja
mengeluarkan suara sehingga musuh-musuhnya sempat

berpaling, maka Ciu Ting si Malaikat bertenaga raksasa


yang berdiri lebih dekat dengan Kui Siau-leng cepat
memburu maju dan melontarkan suatu pukulan.
Namun begitu, datangnya Kheng Siu-hong benarbenar
cepat luar biasa, sebelah goloknya sudah lantas
membacok hingga Kui Siau-leng kontan menggeletak.
Cuma sayang bacokan itu tidak mengenai tempat
bahaya, karena guncangan tenaga pukulan Ciu Ting,
bacokan Kheng Siu-hong itu hanya melukai bahu
sasarannya.
Dengan menjerit Kui Siau-leng terguling ke bawah
undak-undakan batu, di sebelah sana Ciu Ting dengan
diikuti dua orang kawannya lagi sudah lantas memburu
tiba. Kui Koh-ku juga lantas memerintahkan anak
buahnya membunyikan tanda bahaya.
Keruan suasana riang gembira tadi seketika berubah
menjadi kacau-balau. Penonton hiruk pikuk berlari
pulang, anak buah Kui Koh-ku jang tersebar di segenap
penjuru beramai-ramai mengurung ke arah pendopo.
"Tangkap bandit wanita itu, tangkap!" teriak Kui Kohku
dengan murka.
"Kau telah menghina kami dan lantas menganggap
habis perkara sampai di sini saja?" bentak Cu-lotoa yang
menyaru sebagai setan jangkung hitam, mendadak ia
angkat kain bajunya ke atas, dengan satu lompatan,
dengan cepat mereka mematahkan kayu-kayu itu,
kiranya di dalamnya tersimpan senjata sepasang gaetan,
serentak mereka menerjang ke arah Kui Koh-ku.
Cu-loji yang menyaru jadi setan jangkung putih juga
berbuat sama, dari dalam kaki kayunya telah dikeluarkan
senjata sepasang gaetan, serentak mereka menerjang ke
arah Kui Koh-ku.
Namun dengan cepat Cin Cu-cun telah melompat maju
mengadang di depan kedua saudara Cu.
Senjata yang dipakai Cin Cu-cun adalah toya untiran
rotan, sekali bergerak, lebih dulu ia gentak tongkat Culotoa
ke samping, menyusul ujung toyanya lantas
menyapu untuk menangkis pergi sepasang gaetan Culoji.
Kui Koh-ku sendiri tiada pikiran buat bertempur
dengan rombongan kedua saudara Cu itu, cepat ia
hendak menyingkir, tapi mendadak orang yang menyaru
sebagai setan wanita tadi muncul dari penontonpenonton
yang lari tunggang-langgang sehingga tepat
kepergok dengan Kui Koh-ku.
"Bayar kembali jiwaku!" teriak orang itu dengan nada
seram, berbareng itu lidah palsu yang menjulur panjang
itu mendadak tergigit putus terus disemburkan ke arah
Kui Koh-ku.
Serangan cara demikian benar-benar di luar dugaan
siapa pun juga, dan baru saja ia melenggong kaget,
tahu-tahu bajunya sudah berlepotan darah, bahunya
juga telah tertusuk oleh 'lidah' putus itu dan terasa agak
linu.
Kiranya 'lidah' yang gemelantung itu sebenarnya
adalah sebilah belati kecil yang berbisa, untunglah Kui
Koh-ku berlatih ilmu Tiat-poh-san, begitu menyentuh
tubuhnya, belati itu lantas jatuh ke tanah.
"Kau main gila apa?" bentak Kui Koh-ku dengan gusar
sambil menghantam. Kontan 'setan wanita' kena dipukul
terguling, tapi ia pun tidak sempat membinasakannya,
segera ia berlari pula ke depan.
Pada saat itulah tiba-tiba tertampak api menganga
membumbung ke langit. Dari dalam pendopo tadi telah
menerjang keluar pula beberapa orang, empat orang

laki-laki di antaranya memakai senjata yang sama, yaitu


gada bergigi, selain itu adalah dua wanita muda
berdandan sebagai dayang dan bersenjata golok, kiranya
mereka juga telah bersembunyi di situ bersama Kheng
Siu-hong.
Waktu itu Kheng Siu-hong sedang dikerubut oleh tiga
jagoan sewaan Kui Koh-ku, dengan datangnya bala
bantuan itu segera ia mempercepat serangannya,
goloknya yang panjang membacok, golok yang pendek
terus menusuk. "Sret-sret", tahu-tahu toya Ciu Ting
tersampuk ke samping, menyusul tulang pundaknya
sudah terbacok. Kedua kawannya tidak sempat
menolongnya lagi karena sedang dikerubut oleh anak
buah Kheng Siu-hong.
Setelah merobohkan Ciu Ting, tanpa menghiraukan
mati hidupnya lagi, segera Kheng Siu-hong melompat ke
bawah undak-undakan untuk menguber Kui Siau-leng.
Pada saat itu Kui Siau-leng baru saja merangkak bangun
dan hendak mengerahkan begundalnya, tapi tahu-tahu
Kheng Siu-hong sudah memburu sampai di belakangnya
dengan golok membacok.
Saat itu Kui Koh-ku kira-kira belasan meter jauhnya
dari situ, melihat putranya terancam bahaya, sambil
menggertak, goloknya lantas ditimpukkan sekuatnya.
Karena Kheng Siu-hong sedang melontarkan serangan
dan sedetik lagi tentu jiwa sasarannya bisa dibikin
melayang, tapi ia pun terkesiap ketika mendengar angin
keras menyambar dari samping, untuk menangkis atau
menghindar terpaksa ia harus menarik kembali pula
serangannya.
Pada saat hampir bersamaan itulah sekonyongkonyong
terdengar suara mendenging dan "tring", entah
darimana datangnya sebuah senjata rahasia kecil telah

berhasil membentur golok yang ditimpukkan Kui Koh-ku


itu sehingga golok itu terpental ke samping.
Sedikit ayal itu saja bacokan Kheng Siu-hong tadi
menjadi agak melenceng, ia tertegun sebentar sehingga
Kui Siau-leng sempat mencondong tubuhnya ke depan,
namun tidak urung punggungnya terbacok juga sehingga
terluka parah, kontan ia menjerit dan terguling.
Ketika Kheng Siu-hong menoleh, dilihatnya sesuatu
benda kecil tepat jatuh di sampingnya. Ia
menjemputnya, kiranya adalah sebuah tusuk kundai yang
dikenalnya sebagai miliknya sendiri. Tergetarlah hati si
nona, entah girang entah kejut.
"Kiranya dia juga berada di sini. Dia adalah musuhku
mengapa malah membantu aku?" demikian pikirnya.
Dalam pada itu Kui Koh-ku sudah memburu tiba,
melihat putranya roboh bermandikan darah, ia menjadi
murka.
"Bangsat wanita, biar kucincang tubuhmu!" teriaknya
sambil menerjang maju.
"Tua bangka, biar kukirim kau ke akhirat bersama
binatang kecil itu!" bentak Kheng Siu-hong sambil
memutar sepasang goloknya dengan kencang, seketika
Kui Koh-ku terkurung rapat di bawah sinar goloknya.
Ternyata Kui Koh-ku sama sekali tidak gentar, dengan
bertangan kosong segera ia hendak merebut golok
Kheng Siu-hong. Akan tetapi mendadak ia merasa lengan
kirinya agak pegal dan kurang leluasa bergerak. Rupanya
tadi dia tertimpuk belati berbisa yang disemburkan 'setan
wanita' itu, walaupun tidak sampai cacad, tapi sedikit
lecet saja racun sudah mengganggu kekuatan lengannya
itu.
Dalam pada itu serangan-serangan Kheng Siu-hong
sudah membadai datangnya, terpaksa Kui Koh-ku

melayani dengan sebelah tangan saja dan sudah tentu


hal ini sangat tidak menguntungkan dia. Untung baginya
pada saat itu Cin Cu-cun telah berhasil mendesak
mundur kedua saudara Cu dan memburu datang untuk
membantu.
"Bangsat wanita ini serahkan padaku saja, Kui-toako!"
seru Cin Cu-cun. Sekali putar toya rotannya, "plak-plak",
kontan kedua golok Kheng Siu-hong kena disampuk pergi
sehingga Kui Koh-ku terhindar dari ancaman maut.
"Malam ini kalau kita tidak menangkap hidup-hidup
bangsat wanita ini, tentu lenyaplah nama baik Kui-tek-po
selama ini," seru Kui Koh-ku. "Dalam keadaan demikian
apakah kita perlu bicara tentang peraturan Kangouw
lagi?"
Rupanya Kui Koh-ku menjadi nekat dan gemas karena
bentengnya diobrak-abrik, putranya terluka parah dan
entah hidup atau mati. Saking murkanya ia tidak
menjaga harga diri lagi dan bermaksud mengerubut
Kheng Siu-hong yang masih muda belia itu.
Permainan toya rotan Cin Cu-cun itu terhitung suatu
kepandaian terkemuka di daerah barat laut, serangannya
beraneka macam gayanya dan sangat lihai. Untuk satu
lawan satu saja Kheng Siu-hong tak bisa menang,
apalagi sekarang dikerubut.
Dalam pada itu di tanah lapang itupun sudah terjadi
pertempuran gaduh, anak buah Kui Koh-ku sebagian
sibuk memadamkan api, sebagian lagi harus menghadapi
kelompok rombongan persaudaraan Cu, keempat jago
bersenjata gada bergigi dan dua dayang pribadi Kheng
Siu-hong.
Ketika melihat tuan putri mereka dikerubut, cepat
kedua dayang itu melepaskan diri dari kalangan
pertempuran mereka dan memburu datang untuk

membantu tuan putrinya. Maka Kheng Siu-hong menjadi


longgar, ia sempat mengeluarkan sebuah tanduk kerbau
terus ditiup dan mengeluarkan suara "tut-tut" yang keras
dan berkumandang jauh.
"Hm, apa yang kau jeritkan? Biarpun kau memanggil
bala bantuan juga tak berguna, apakah kau kira
bentengku ini mudah dibobol?" jengek Kui Koh-ku.
Terkaan Kui Koh-ku memang benar, Kheng Siu-hong
memang sedang meminta bala bantuan, dengan suara
tiupan tadi kiranya penyerangan terhadap Kui-tek-po kali
ini sebelumnya sudah direncanakan dengan baik. Dengan
bersekongkol dengan kedua saudara Cu, anak buah
Kheng Siu-hong telah bersiap akan menyerbu masuk ke
dalam benteng melalui suatu jurusan yang penjagaannya
agak longgar, apabila kelihatan api sudah mulai
membakar di ruang pendopo. Akan tetapi sekarang api
sudah menyala sekian lamanya dan bala bantuan dari
luar itu masih belum kelihatan, diam-diam Kheng Siuhong
menduga mungkin telah terjadi sesuatu, ia menjadi
gelisah. Namun dia masih coba meniup tanduknya untuk
memanggil bala bantuan itu.
Ia tak bisa meniup tanduknya lebih lama lagi karena
segera Cin Cu-cun telah menyerangnya dan dia terpaksa
harus menangkis. Di tengah pertarungan sengit itu tibatiba
tertampak dua penunggang kuda berlari datang.
Seorang di antaranya telah memberi lapor kepada Kui
Koh-ku, "Pocu, ada berita baik. Kawanan bandit Huihong-
san telah berusaha melintasi selat Hek-hong-kiap,
untung kepergok oleh Lau-suhu dari Ban-keh-ceng yang
kebetulan lewat. Sekarang kawanan bandit itu sudah
terkepung di sana, tanggung mereka takkan lolos
seorang pun."

Laki-laki yang satunya segera melompat turun dari


kuda dan berseru, "Kedatanganku sebenarnya hendak
minta bantuan, tak tersangka di sini juga sedang direcoki
orang jahat, tanpa sengaja aku malah sudah berjasa bagi
Kui-pocu."
Kiranya orang yang lapor tadi adalah anak buah Kui
Koh-ku, sedang laki-laki yang belakangan ini adalah Lau
Jin-kiat, jago sewaan Ban Peng-ya, pemilik
perkampungan Ban-keh-ceng yang kuda kesayangannya
dicuri oleh Yap Boh-hoa itu. Secara kebetulan Lau Jin-kiat
memergoki laskar Kheng Siu-hong yang sedang bersiap
di tengah selat gunung dan menunggu isyarat pimpinan
mereka. Diam-diam Lau Jin-kiat menyampaikan berita
dari apa yang dilihatnya itu kepada laskar Kui Koh-ku,
yang menjaga tidak jauh dari selat gunung itu sehingga
laskar Kheng Siu-hong kena dikurung di tengah selat
gunung.
Maka dengan girang Kui Koh-ku menanggapi, "Bagus,
Lau-suhu jasamu ini tentu akan kubalas dengan pantas."
Cin Cu-Cun adalah sahabat Lau Jin-kiat, dengan
tertawa ia ikut bicara, "Kedatanganmu ini sangat
kebetulan, Lau-Iotoa. Apakah kau tidak ingin berjasa
lebih banyak lagi? Itulah hadiahnya dua dayang molek
itu, kau senang tidak?"
Dasar Lau Jin-kiat memang gemar pipi licin, ia
bergelak tertawa mendengar itu, sahutnya, "Terima
kasih, Cin-toako. Kita adalah orang sendiri, bila ada
kesukaran tentu dipikul bersama." Habis berkata segera
ia ikut menerjang ke kalangan pertempuran.
Memangnya Kheng Siu-hong sudah kewalahan,
sekarang pihak lawan bertambah lagi seorang jago,
keruan ia tambah repot.

"Nona Kheng," tiba-tiba Cin Cu-cun berseru dengan


cengar-cengir, "aku sudah tahu asal-usulmu, kau adalah
putri seorang Congpeng yang mulia, buat apa mesti
bertempur mati-matian dan rela menjadi kaum bandit.
Tidakkah lebih baik kau terima lamaran Siaupocu kami,
tanggung kau hidup senang bahagia."
"Tutup bacotmu!" bentak Kheng Siu-hong dengan
murka, segera sepasang goloknya diputar cepat, dengan
mati-matian ia menerjang.
Memangnya Cin Cu-cun memancing amukan Kheng
Siu-hong, dalam keadaan kalap nona itu tentu akan lebih
mudah dibekuk, "Trang", mendadak golok Kheng Siuhong
yang pendek tersampuk jatuh. Menyusul toya rotan
Cin Cu-cun sudah lantas mengemplang dari atas, serunya
sambil tertawa terkekeh-kekeh, "Nona Kheng, sekarang
biarpun kau mau menurut juga sudah terlambat!"
Pada saat itu juga, sekonyong-konyong terdengar
suara kuda meringkik ramai dengan suara gemuruh lari
binatang-binatang itu, seakan beratus ribu pasukan
berkuda di medan pertempuran. Sedikit Cin Cu-cun
tercengang, kesempatan itu telah digunakan oleh Kheng
Siu-hong untuk melompat ke samping.
Dalam pada itu terdengar ada orang berteriak, "Ini dia
orang-orang gagah dari Hui-hong-san! Mana itu tua
bangka she Kui dan putra anjingnya."
Keruan Kui Koh-ku terperanjat, waktu ia berpaling,
kiranya barak darurat yang digunakan sebagai kandang
kuda itu telah terbakar, beratus-ratus ekor kuda itu lari
serabutan seperti gila, menerjang ke sana sini di tanah
lapang itu. Tentu saja medan pertempuran itu menjadi
kacau, banyak anak buah Kui Koh-ku sendiri yang
diseruduk dan disepak terguling oleh kuda-kuda binal itu.

Kiranya Yap Boh-hoa yang telah melakukan sabotase


itu, ia lihat kedudukan pihak Kheng Siu-hong tidak
menguntungkan, untuk menolongnya dengan tenaga
sendiri juga sukar. Tiba-tiba ia mendapat akal, ia
menyusup ke barak darurat itu, belasan penjaga di situ
disergapnya dengan totokan-totokan kilat sehingga tak
bisa berkutik, ia membakar barak itu, lalu pantat kudakuda
itu ditusuk dengan pedang. Karena kesakitan kudakuda
itu lantas berjingkrak dan meringkik, terus berlari
menerjang kian kemari seperti kesetanan, asal ketemu
orang lantas menyepak tanpa membedakan kawan atau
lawan.
Memangnya ruang pendopo sudah kebakaran dan
belum sempat dipadamkan, sekarang api berkobar lagi di
lain tempat, keruan suasana tambah kacau balau.
Banyak anak buah Kui Koh-ku yang lari tungganglanggang
mencari selamat.
"Tangkap dulu bangsat wanita ini mati atau hidup,
hadiah disediakan kepada siapa pun yang berjasa!" seru
Kui Koh-ku untuk memberi semangat kepada
begundalnya.
"Baik!" seru Cin Cu-cun, toyanya mencambuk golok
panjang Kheng Siu-hong, menyusul ia menghantam pula
dengan sebelah telapak tangannya. Kelihatan telapak
tangannya hitam hangus, kiranya dia memiliki pukulan
telapak tangan berbisa, makanya orang memberi julukan
'Hek-sat-sin' atau si Malaikat maut hitam.
Namun sebelum Kheng Siu-hong menangkis, tiba-tiba
sejalur sinar emas menyambar tiba. Kiranya Yap Boh-hoa
sudah menyambitkan sebuah tusuk kundai sebagai
senjata rahasia untuk menolong si nona.
Tusuk kundai itu mengincar titik darah di tengah
telapak tangan Cin Cu-cun, jika kena, pasti punah

segenap ilmu telapak tangan berbisa yang dilatihnya itu.


Sebagai seorang jagoan, Cin Cu-cun terkesiap juga
mendengar sambaran tusuk kundai yang membawa
suara mendesing itu, cepat ia menarik kembali
tangannya. Pada saat lain tahu-tahu Yap Boh-hoa sudah
memburu tiba.
Di sekitar situ terdapat seorang pengiring Kui Siauleng
yang kenal Yap Boh-hoa, ia berteriak-teriak, "Itu dia
bocah yang membikin onar tadi!"
"Kurangajar! Bangsat cilik semacam kau juga berani
main gila di sini!" bentak Kui Koh-ku dengan gusar.
Berbareng ia terus menghantam dengan ilmu pukulan
Tay-Iik-kim-kong-ciang, pukulan tenaga raksasa.
"Hm, ada ubi ada talas, kalau diberi harus dibalas! Ini
kau pun terima pukulanku!" sahut Yap Boh-hoa. Dan
pada saat yang hampir bersamaan ia pun melontarkan
pukulan Pan-yak-ciang-hoat ajaran ayahnya yang
dahsyat.
Tenaga pukulan Pan-yak-ciang itu paling lihai buat
menggetar putuskan urat nadi lawan, biarpun Kui Koh-ku
juga bukan jago silat rendahan toh tak tahan juga.
Begitu kedua tangan beradu, "biang", seluruh badan Kui
Koh-ku tergetar, darah bergolak dalam rongga dadanya
dan hampir-hampir menyembur keluar. Keruan kagetnya
tidak kepalang, lekas ia melompat ke samping untuk
melancarkan napasnya.
Melihat majikannya kecundang, cepat Cin Cu-cun
meninggalkan Kheng Siu-hong, ia putar toyanya terus
menyerampang kaki Yap Boh-hoa. Sambil meloncat ke
atas Yap Boh-hoa juga sudah melolos pedangnya. Sekali
menyambar, dalam sejurus saja pedangnya telah
mengancam tujuh tempat Hiat-to di tubuh Cin Cu-cun.

Cin Cu-cun tahu telah ketemu lawan tangguh, dari


menyerang terpaksa menjaga diri, ia putar toyanya
dengan kencang sambil melangkah mundur.
Yap Boh-hoa tidak mendesak lebih jauh, tapi sebelah
kakinya lantas menyungkit sehingga golok pendek milik
Kheng Siu-hong yang jatuh tadi mencelat ke arah si
nona, katanya, "Nona Kheng, terima kembali senjatamu!"
Pikiran Kheng Siu-hong gelisah tak keruan, dia
bingung apakah masih benci atau mesti berterima kasih
kepada pemuda itu, namun tidak urung ia menangkap
juga golok pendek itu dengan muka bersemu merah, lalu
ia berputar ke sana untuk membantu kedua dayangnya.
Pada kesempatan itu pula Boh-hoa sempat menjemput
kembali tusuk kundai yang disambitkan tadi dan
disimpan kembali untuk dipulangkan kepada Kheng Siuhong
pada kesempatan lain. Habis itu segera ia
mengayun pedangnya menerjang pula ke arah Cin Cucun.
Di sebelah sana Lau Jin-kiat menjadi kelabakan
diterjang oleh Kheng Siu-hong, apalagi dikenalnya pula
bahwa Yap boh-hoa adalah pencuri kuda yang lihai itu.
Keruan ia bertambah jeri karena sudah merasakan
betapa lihatnya Yap Boh-hoa. Dan karena gugupnya,
sedikit meleng saja bahunya telah kena ditabas oleh
golok Kheng Siu-hong, lekas ia lari menyingkir ke
samping.
Sesudah bersatu dengan kedua dayangnya, Kheng
Siu-hong melihat keempat pengawalnya yang bersenjata
gada bergigi itupun sudah menerjang keluar dari
kepungan untuk bergabung dengan dia. Hanya satu saja
di antara keempat orang itu yang terluka ringan, yang
lain tidak mengalami cidera apa-apa.

Dalam pada itu suasana pertempuran sudah agak


reda, hanya tinggal sebagian kuda binal tadi yang masih
berlari-lari kian kemari tak teratur. Anak buah Kui Koh-ku
juga ada sebagian yang telah kabur mencari selamat. Kui
Koh-ku sangat gusar, ia perintahkan orang membunyikan
tanda berkumpul, ia hendak menghimpun pasukannya
untuk mengejar Kheng Siu-hong.
Kheng Siu-hong sendiri karena ingin pergi menolong
laskarnya yang terkurung di selat gunung, pula keadaan
pertempuran juga tidak menguntungkan, bilamana
sampai terkepung lagi tentu akan sukar meloloskan diri,
segera ia memberi tanda agar kawan-kawannya merebut
kuda dan menerjang keluar dari benteng Kui-tek-po.
Sambil melarikan kudanya, dia masih sempat berteriak,
"Dengarkan tua bangka she Kui, hari ini kami hanya
memberi hajar adat padamu, jika kau masih belum
kapok, lain kali tentu kami akan mencabut nyawamu!"
Sesudah kata-kata itu terucapkan, diam-diam ia
merasa malu sendiri, sebab tadi kalau tiada bantuan dari
Yap Boh-hoa, boleh jadi dirinya sukar lolos dari
cengkeraman Kui Koh-ku, jangankan bilang hendak
memberi hajar adat.
Dengan kuda rampasan, segera Kheng Siu-hong dan
rombongan meninggalkan sarang musuh. Yap Boh-hoa
juga sudah merampas seekor kuda dan ikut di belakang.
Namun sama sekali Kheng Siu-hong tak menggubrisnya,
dia melarikan kudanya paling depan diikuti kedua
dayangnya, di belakangnya menyusul keempat laki-laki
bersenjata gada, paling akhir adalah Yap Boh-hoa. Sudah
tentu Yap Boh-hoa merasa kesepian, tapi tidak leluasa
untuk memburu maju dan mengajak bicara.
Mestinya banyak pertanyaan Yap Boh-hoa akan
diajukan kepada Kheng Siu-hong, tapi nona itu tetap

tidak menggubris padanya sepanjang jalan. Dalam pada


itu fajar sudah menyingsing, tiba-tiba ia teringat kepada
perjanjiannya untuk bertemu kembali di Oh-liong-poh.
Kheng Siu-hong seperti tak sabar lagi, ia melarikan
kudanya secepat terbang. Tentu saja Yap Boh-hoa lebihlebih
tiada kesempatan buat mengajak bicara, akan
tetapi ia pun merasa berat untuk tinggal pergi begitu
saja. Secara kebetulan kali ini bertemu lagi dan dirinya
telah membantunya, kesempatan ini sebenarnya sangat
baik untuk digunakan menyelesaikan kesalah pahaman
selama ini.
Tentang kesalah pahaman ini sungguh ia merasa
bingung dan tidak tahu apa sebabnya, maka kalau
sekarang tidak ditanyakan sejelasnya mungkin kelak
tiada kesempatan sebaik ini lagi. Walaupun penting juga
janjinya kepada Ubun Hiong, tapi ia yakin kalau
terlambat beberapa jam saja masih dapat dimengerti
oleh Ubun Hiong, andaikan pemuda itu harus berangkat
lebih dulu dan tidak menunggunya, biarlah kelak bila
bertemu lagi akan diberi penjelasan.
Begitulah tanpa terasa ia telah ikut sekian jauhnya di
belakang rombongan Kheng Siu-hong, kini mereka sudah
berada di jalan lereng gunung, sayup-sayup terdengarlah
suara pertempuran di lembah gunung sana. Diam-diam
Yap Boh-hoa ingin mengetahui apa yang sesungguhnya
terjadi. Ia pikir sekali sudah membantu biarlah
membantu sampai akhirnya.
Sementara itu hari sudah terang benderang, sang
surya telah memancarkan sinarnya yang gilang gemilang,
kabut juga masih menyelimuti lereng gunung, seperti
baru saja tersingkap dan mulai buyar. Dari jauh samarsamar
sudah kelihatan bayangan orang berlari-lari di
sana sini, tak terbedakan kawan atau lawan.

Segera pula Kheng Siu-hong memutar sepasang


goloknya dan melarikan kudanya ke depan secepat
terbang, dari jauh ia sudah berteriak, "Kui-tek-po sudah
kami serbu dan bobol, ruang pendopo sarang tua bangka
she Kui juga sudah kami bakar menjadi puing. Jika kalian
ingin hidup, lekaslah letakkan senjata dan angkat
tangan!"
Dia berteriak dengan menggunakan tenaga dalamnya
sehingga suaranya berkumandang jauh, ternyata cukup
berhasil gertakannya ini. Sebagian anak buah Kui Koh-ku
menjadi ketakutan dan melarikan diri tak teratur,
sebagian lagi walaupun masih coba melawan, tapi
dengan mudah telah diberesi oleh Kheng Siu-hong dan
rombongannya.
Ternyata laskar Kheng Siu-hong sendiri juga sudah
kocar-kacir tak keruan, untunglah dia keburu tiba, kalau
tidak, tentu sukar diramalkan bagaimana nasib anak
buahnya itu. Seorang Thaubak laskarnya lantas
menghadap untuk melapor dan minta ampun.
"Bukan salahmu," kata Kheng Siu-hong, "terkurungnya
laskar kita adalah secara kebetulan saja sehingga
mangacaukan rencana. Paling penting sekarang lekas
kau urus anak buah yang terluka dan yang gugur."
Habis itu ia lantas bantu memeriksa beberapa anak
buahnya yang terluka serta memberi obat seperlunya.
Ketika dia berpaling, tahu-tahu Yap Boh-hoa kelihatan
berdiri di hadapannya, "Kau ... kau mau apa ikut ke sini?"
tanyanya tak terduga-duga.
"Nona Kheng, maafkan bila aku mengganggu. Aku ...
aku hanya ingin bicara sedikit padamu," sahut Boh-hoa.
"Yap-kongcu," kata Siu-hong, "tiada sesuatu yang
perlu kita bicarakan. Untuk selanjutnya hendaklah kau
pun jangan ikut campur urusanku lagi."

Boh-hoa tertegun, diam-diam ia merasa nona itu


terlalu tidak tahu kebaikan orang. Dengan aseran ia
lantas menjawab, "Baiklah, anggap saja akulah yang usil
dan suka campur urusan orang lain."
"Yap-kongcu," seru Kheng Siu-hong sebelum Yap Bohhoa
hendak melangkah pergi. "Kau telah membantu aku
semalam, mesti aku harus mengucapkan terima kasih
padamu, namun kaum persilatan kita paling tegas
membedakan antara budi dan dendam. Boleh kau pilih
apakah aku menjura padamu sebagai tanda terima kasih,
lalu kita mulai lagi menggunakan senjata atau kita
anggap saja pertolonganmu telah melunasi dosamu,
untuk selanjutnya kita menempuh jalan sendiri-sendiri
dan tiada sangkut-paut apa-apa."
Boh-hoa terkejut bingung, tanyanya, "Sungguh aku
tidak paham maksud ucapanmu, nona Kheng? Bantu
membantu adalah hal yang lazim di dunia persilatan. Aku
merasa tiada menanam budi apa-apa kepadamu,
sebaliknya aku pun tidak tahu bilakah berbuat dosa?
Sungguh aku tidak paham, dapatkah kau bicara lebih
jelas lagi persoalannya?"
"Bocah she Yap," kata seorang di antara empat lakilaki
bersenjata gada yang entah sejak kapan telah
mengepung di belakang Yap Boh-hoa, "apa yang telah
kau perbuat, kau sendirilah yang tahu. Apakah
perbuatanmu yang keji itu kau kira orang lain tidak tahu?
Kau adalah musuh pembunuh ayah Siocia (tuan putri)
kami, tapi semalam kau telah menolong jiwa kami pula.
Apakah kurang jelas bagimu apa yang dimaksudkan
Siocia kami?"
Boh-hoa tambah bingung. "Sungguh aneh," katanya
kemudian. "Hakikatnya aku belum pernah kenal,
siapakah ayah nona Kheng, darimana aku bisa dituduh

membunuh beliau? Bahwasanya aku memang memusuhi


kerajaan Boan-jing, itu tidak berarti mesti membunuh
ayah nona. Sungguh aku tidak paham persoalannya."
"Tak perlu kau membela diri, justru kami tahu kau
memusuhi kerajaan, makanya majikan kami telah
menjadi korbanmu. Meski majikan tidak dibunuh oleh
tanganmu sendiri, tapi tewasnya beliau adalah karena
gara-garamu. Dan apakah kau tetap tidak mau mengaku
sebagai musuh Siocia kami," kata seorang kawannya lagi.
Dari pembicaraan mereka itu, sedikit banyak Yap Bohhoa
dapat meraba, boleh jadi majikan mereka telah
menjadi korban keganasan pihak kerajaan, karena
merasa dendam, maka si nona dan anak buahnya
terpaksa masuk hutan dan naik gunung menjadi bandit
untuk melawan kerajaan, tapi sebenarnya tidak sejalan
dengan laskar pemberontakan.
Maka dengan aseran ia pun berteriak, "Benar, aku
memang buronan kerajaan dan majikanmu adalah
panglima kerajaan, terang aku bukan orang golongan
kalian, tapi apa sangkut-pautku dengan kematian
majikanmu? Mengapa kematiannya dianggap garagaraku?"
"Hm, apakah kau sudah lupa pada perjanjian
pertemuan kita di pegunungan Masjit tempo dulu?" tibatiba
tiba Siu-hong menjengek.
Mendengar itu, alis Boh-hoa menegak, serunya
dengan penasaran, "Jadi kau masih ingat kepada janji
tempo hari? Hm, aku sih tidak berani menuduh kalian
ayah dan anak sengaja membikin celaka padaku. Tapi
nyatanya ketika aku sampai di tempat itu, bukannya kau,
nona Kheng, yang menanti di situ, sebaliknya aku sudah
ditunggu oleh 13 orang jago istana."
"Hah, apa betul?" Siu-hong menegas dengan terkejut.

"Mengapa tidak betul, di atas tubuhku masih tertinggal


belasan bekas luka yang dapat menjadi bukti," seru Bohhoa.
"Untunglah aku tidak jadi mampus, sebaliknya ke-13
jagoan kalian itu malah mati semua. Memangnya kau
perlu bertanya?"
"Aku perlu bertanya karena aku memang tidak tahu,"
sahut Siu-hong.
"Tidak tahu? Janji pertemuan kita itu kalau bukan kau
yang menyiarkan, masakah begitu kebetulan ke-13
anjing alap-alap kerajaan itu bisa mengetahui?" jengek
Boh-hoa.
Siu-hong tampak bersangsi, pikirnya, "Apakah
mungkin ayahku yang membocorkan soal ini?" Dia
memang telah memberitahukan janjinya dengan Yap
Boh-hoa itu kepada sang ayah, ayahnya telah melarang
dia pergi memenuhi janji, tapi juga tidak akan mengusut
lebih jauh persoalan itu atau membikin susah
sahabatnya, untuk ini ia dapat mempercayai ayahnya.
Maka dengan aseran ia pun berteriak, "Ya, aku tidak
tahu, Justru kau sendirilah yang memfitnah ayahku
bersekongkol dengan pihakmu berdasarkan perjanjian
pertemuan kita itu. Seumpama kau ingin memaksa ayah
ikut berontak, sebenarnya tidak perlu menggunakan cara
serendah itu. Hm, kau membikin celaka ayah, aku benci,
aku benci selamanya padamu."
"Darimana kau bisa menuduh aku demikian? Tentu
kau telah dihasut atau salah mendengar desas-desus
yang sengaja disiarkan orang," ujar Boh-hoa.
"Ini bukan desas-desus, tapi adalah bukti hitam di atas
putih yang tertulis di dalam laporan rahasia gubernur
Siam-say kepada kaisar, katanya dari mata-matanya
yang menyusup di pihakmu telah diperoleh keterangan
dan bukti bahwa ayahku bersekongkol dengan kalian,

bahkan namaku juga ikut terseret, katanya akulah yang


membantu ayah mengadakan hubungan rahasia yang
akan diadakan hari apa di atas gunung Masjit dan
macam-macam tuduhan lagi. Untunglah seorang sahabat
baik yang berwenang dalam kerajaan telah
menyampaikan berita tuduhan itu kepada ayah, sehingga
ayah menyuruh aku lekas meloloskan diri, kalau tidak,
saat ini jiwaku tentu sudah melayang bersama ayah."
"Apakah gubernur Siamsay yang kau maksudkan itu
adalah si jagal she Yap yang kini menjabat gubernur
Sucwan itu?" Boh-hoa menegas.
"Aku tak peduli apakah dia jagal atau pembesar baik,
pendek kata tentulah bahan fitnah itu diperoleh dari
pihakmu," sahut Siu-hong. "Kau tidak perlu mungkir lagi,
laporan rahasia itu adalah bukti yang kuat."
"Ya, laporan itu mungkin terjadi, apa yang dilaporkan
itu hanya sengaja dibuat-buat untuk memfitnah belaka,"
kata Boh-hoa.
"Ya, isi laporan itu memang fitnah belaka, memfitnah
ayahku," kata Siu-hong.
"Bukan begitu maksudku," ujar Boh-hoa.
"Apa maksudmu?" Siu-hong menegas.
Seketika jantung Yap Boh-hoa berdebar-debar dan
sukar menjawab, ia sudah menduga, boleh jadi peristiwa
ini ada hubungannya dengan Yap Leng-hong palsu itu.
Yang terang janji pertemuannya dengan Kheng Siu-hong
dahulu itu toh tak diceritakanya kepada Yap Leng-hong
palsu, entah darimana dia dapat mengetahuinya dan
memasang perangkap? Andaikan sekarang hendak diberi
penjelasan kepada Kheng Siu-hong, rasanya juga sukar
dipercaya oleh si nona.
Dalam pada itu para korban di pihak anak buah Kheng
Siu-hong telah diselesaikan, Thaubak tadi datang

melapor pula, "Tampaknya api di Kui-tek-po sudah


dipadamkan, bila kita tertunda lebih lama di sini boleh
jadi tua bangka she Kui itu akan mengerahkan
pasukannya untuk mengejar. Dalam keadaan lelah,
saudara-saudara kita tentu sukar bertahan, lebih baik
kita lekas mengundurkan diri saja, mohon Cecu memberi
petunjuk."
"Baiklah, yang luka supaya diangkut dulu di muka, kita
mengawal di belakang, boleh segera berangkat," kata
Kheng Siu-hong.
Begitu perintah diberikan, berbondong-bondong laskar
itu lantas bergerak. Pikiran Yap Boh-hoa benar-benar
kusut dan serba susah.
Melihat Yap Boh-hoa tertegun, Kheng Siu-hong lantas
membuka suara, "Tentang bantuanmu tadi aku pun
takkan mengucapkan terima kasih. Anggaplah kita sudah
tidak saling hutang budi dan dendam, kita selesaikan
sampai di sini dan habis perkara."
Waktu itu hari sudah dekat lohor. Karena teringat
kepada Ubun Hiong yang sedang menunggu di Oh-liongpoh,
diam-diam ia pun menimang-nimang, urusan di
Sucwan itu jauh lebih penting, untuk sementara ini
terpaksa aku mendendam penasaran. Persoalaan ini
agaknya juga sangat ruwet dan sukar dibikin terang
dalam waktu singkat. Hari sudah siang, kalau tidak lekas
berangkat mungkin aku akan ditinggalkan Ubun Hiong."
Maka dengan menghela napas ia berkata, "Nona
Kheng apa yang kukatakan adalah sungguh-sungguh,
jika kau tidak percaya, apa yang dapat kukatakan lagi.
Persoalan ini kelak pasti akan menjadi terang. Sampai
berjumpa pula."

Namun dengan dingin Kheng Siu-hong menjawab,


"Aku tidak ingin melihat kau lagi, kau pun tak perlu
mencari aku pula."
Saat itu Yap Boh-hoa sudah mencemplak ke atas
kudanya dan dilarikan, sayup-sayup Kheng Siu-hong
mendengar suara helaan napas pemuda itu. Tiba-tiba
dalam hati kecilnya terasa cemas juga, ia sendiri raguragu
apa benar dirinya tidak ingin melihatnya lagi?
Perasaan Yap Boh-hoa juga cemas, ia mengira kali ini
dapat diselesaikan kesalah pahaman mereka, siapa tahu
telah berakhir dengan nihil. Yang terhibur baginya
hanyalah dua hal, pertama, sudah diketahuinya sedikit
duduknya perkara, teranglah pokok pangkal peristiwa itu,
adalah karena perbuatan Yap Lep-hong yang licik itu.
Kedua, dengan tegas Kheng Siu-hong telah
menyatakan takkan memusuhinya lagi, rasa dendamnya
telah dihapus sebagai imbalan budi pertolongannya kali
ini. Jadi sedikitnya perselisihan paham mereka boleh
dikatakan sudah berakhir sebagian.
Ketika tanpa sengaja Yap Boh-hoa merogoh saku dan
menyentuh tusuk kundai yang dijemputnya kembali itu
barulah teringat olehnya bahwa dia lupa mengembalikan
benda itu kepada si nona. Namun soal kecil ini lantas
dikesampingkan olehnya karena dia harus buru-buru
menuju ke Oh-liong-poh untuk bertemu dengan Ubun
Hiong.
Setiba di kota kecil itu, ternyata tiada menampak
bayangan Ubun Hiong dengan kedua ekor kudanya,
diam-diam Boh-hoa mengeluh. Maklumlah kuda hasil
curiannya dari Ban-keh-ceng itu adalah kuda bagus yang
sehari mampu menempuh ribuan li jauhnya, kuda itu
semalam telah dia titipkan kepada Ubun Hiong. Sekarang
dirinya cuma menunggang seekor kuda rampasan yang

sudah terluka malah, jika Ubun Hiong sudah berangkat


lebih dulu dengan kuda yang bagus itu, teranglah dirinya
tidak dapat menyusulnya lagi.
Kota kecil itu tidak banyak terdapat rumah makan,
maka dengan mudah saja Yap Boh-hoa dapat
menemukan rumah makan yang pagi itu disinggahi Ubun
Hiong. Menurut pelayan rumah makan itu, Ubun Hiong
menunggu cukup lama di situ, tapi akhirnya telah
berangkat dengan tergesa-gesa.
"Kira-kira sudah berapa lama dia berangkat, mengapa
kelihatan tergesa-gesa?" tanya Boh-hoa.
Si pelayan menjawab, "Kira-kira baru lebih satu jam
dia berangkat. Tadinya tuan tamu muda itu duduk
tenang-tenang saja sambil bersantap, tapi tiba-tiba ada
seorang laki-laki berewok berkuda lewat di sini. Entah
mengapa tuan tamu muda itu menjadi gelisah dan buruburu
meninggalkan serenceng uang perak terus berlari
keluar, beliau mencemplak kuda terus menyusul ke arah
orang berewok itu."
Boh-hoa mengucapkan terima kasih dan memberi
persen atas keterangan pelayan itu, cepat ia pun
meninggalkan rumah makan itu. Ia menjadi gelisah,
Ubun Hiong sudah berangkat lebih satu jam lamanya,
apakah mungkin dirinya dapat menyusulnya?
Ia merasa heran juga siapakah orang berewok yang
menarik perhatian Ubun Hiong itu sehingga pemuda itu
terus mengubernya tanpa menunggu kedatangannya
lagi? Karena rasa sangsinya itu, sekuatnya Boh-hoa
mengeprak kudanya ke depan walaupun ia tidak yakin
akan dapat menyusul Ubun Hiong.
Siapakah sebenarnya orang berewok yang dilihat Ubun
Hiong itu?

Kiranya pagi hari itu Ubun Hiong sudah sampai di Ohliong-


poh. Rumah makan itu baru saja membuka pintu
dan dia merupakan tamunya yang pertama pada pagi itu.
Dengan tenang Ubun Hiong menanti sampai menjelang
lohor, tapi Yap Boh-hoa yang ditunggu masih belum
menongol, sesungguhnya dia sangat gelisah mengingat
tugasnya yang harus buru-buru berangkat ke Siau-kimjwan.
Sudah tentu ia pun mengirakan kemungkinan
terjadi sesuatu di luar dugaan yang menghambat
kedatangan Yap Boh-hoa, tapi ia yakin dengan ilmu silat
Yap Boh-hoa yang tinggi itu tentu tidak sampai
mengalami cidera apa-apa.
Ia menjadi ragu-ragu dan serba salah, tugas berat
mengharuskan ia lekas berangkat, tapi rasa setia
kawannya meminta dia menunggu lagi. Tengah bingung
dan sukar mengambil keputusan, tiba-tiba didengarnya
suara derapan kuda yang cepat. Waktu Ubun Hiong
melongok keluar, dilihatnya seorang laki-laki berewok
melarikan kudanya secepat terbang dan berkelebat lewat
dengan cepat sekali.
Ubun Hiong meloncat kaget demi mengenali siapa
orang itu, tanpa pikir lagi ia merogoh saku dan
melemparkan serenceng uang perak ke atas meja
makan, lalu berlari keluar dan mencemplak ke atas
kudanya terus dikaburkan ke arah laki-laki berewok tadi.
Kiranya laki-laki berewok itu bukan lain daripada jago
pengawal gubernur Sucwan yang sekarang, yaitu Yap Ki
alias Yap To-hu, dengan jabatan rahasianya sebagai
utusan raja yang ditugaskan mengawasi Yap To-hu yaitu
Hong Jong-liong. Justru karena rahasia Yap Leng-hong
diketahui oleh Hong Jong-liong, makanya dia kena
didalangi dan terpaksa menjadi mata-mata kerajaan di
dalam pasukan pergerakan.

Kuda tunggangan Hong Jong-liong justru adalah Jikliong-


ki, kuda mestika milik Kang Hay-thian, yang hilang
dibawa lari oleh Hong Jong-liong ketika kuda itu
dipasrahkan kepada Yap Leng-hong untuk merawatnya di
kota Kik-yau tempo dulu.
Ubun Hiong tahu kuda merah itu adalah kuda
kesayangan sang Sumoay, yaitu Kang Hiau-hu. Sekarang
mendadak dilihatnya di tengah jalan, sudah tentu ia
kaget. Tanpa pikir lagi segera ia mengejarnya walaupun
dia tidak tahu siapakah Hong Jong-liong itu.
Karena kuda merah hasil curian Yap Boh-hoa dari Bankeh-
ceng jauh lebih bagus daripada kuda miliknya
sendiri. Maka yang dia cemplak adalah kuda merah itu
dan membiarkan kuda sendiri mengikut dari belakang. Ia
pikir entah siapakah orang berewok itu, yang penting Jikliong-
ki harus dirampas kembali dulu, urusan belakang.
Tak terduga kecepatan lari Jik-liong-ki jauh lebih cepat
daripada kudanya, sesudah mengejar belasan li, jaraknya
bukan makin dekat, sebaliknya malah ketinggalan
semakin jauh.
Saat itu mereka sedang menanjak ke jalan
pegunungan, Ubun Hiong pikir bila si berewok sampai
melintasi lereng gunung itu, maka sukar lagi untuk
mencari jejaknya mengingat dirinya sudah ketinggalan
agak jauh.
Di luar dugaan, setiba di ujung jalan suatu belokan,
mendadak orang berewok itu telah menahan kudanya
dan berhenti.
Ubun hiong berbalik tercengang melihat orang
mendadak berhenti, dalam sekejap saja ia pun sudah
menyusul sampai di pengkolan jalan itu. Nyata di jalanan
yang berbahaya itu hanya mereka berdua saja dan tiada
orang ketiga.

Hong Jong-liong lantas memapak maju, serunya


sambil tertawa, "Bocah, kudamu ini boleh juga ya?
Apakah kau ingin berlomba kuda-dengan aku atau
sedang mengincar kudaku ini? Lekas katakan, untuk apa
kau terus menguntit jejakku?" Nyata ia telah salah
sangka Ubun Hiong adalah anak yang masih hijau dan
ingin merampas kudanya.
Ubun Hiong ternyata tidak menjawabnya, sebaliknya ia
terus bertanya malah, "Darimana kau memperoleh kuda
ini?"
Menurut laporan palsu Yap Leng-hong dahulu, katanya
kuda Jik-liong-ki itu hilang direbut oleh Ho Lan-bing,
maka menurut perkiraan Ubun Hiong hanya ada dua
kemungkinan, kuda ini direbut oleh si berewok dari
tangan Ho Lan-bing atau Ho Lan-bing yang
meminjamkan kuda ini padanya. Dengan demikian kawan
atau lawan segera pula dapat dibedakan, sebagai
seorang pemuda yang cerdik dan bisa bekerja teliti,
sebelum bertindak Ubun Hiong perlu menyelidiki lebih
dulu.
Hong Jong-liong melengak juga atas teguran Ubun
Hiong tadi, tapi ia lantas melotot dan balas bertanya,
"Siapakah kau? Peduli apa darimana aku mendapatkan
kuda ini?"
"Sudah tentu aku harus bertanya, karena kuda ini
adalah punya Suhuku," sahut Ubun Hiong secara blakblakan.
Rupanya ia pikir di situ toh tiada orang ketiga,
apabila si berewok adalah anjing alap-alap kerajaan,
maka ia tidak segan-segan membunuhnya. Tapi kalau
orang adalah sahabat atau sealiran, untuk
memberitahukan asal-usulnya sendiri juga tidak menjadi
soal. Karena dahulu ia pernah bertempur melawan Ho
Lan-bing dengan sama kuat, ia taksir kalau si berewok ini

adalah antek kerajaan tentu kepandaiannya juga takkan


lebih tinggi dari komandannya, yaitu Ho Lan-bing. Sama
sekali tak terduga olehnya bahwa ilmu silat Hong Jongliong
justru lebih tinggi daripada Ho Lan-bing dan tidak
lebih rendah.
Setelah mengetahui siapa Ubun Hiong, kejut dan
girang pula Hong Jong-liong, dasar dia memang licin dan
sudah berpengalaman, maka dia pura-pura terkejut dan
menyambut dengan tertawa, "Aha, kiranya Kang-tayhiap
adalah gurumu? Ini benar-benar benar sangat kebetulan.
Marilah kita mengaso dulu untuk bicara."
Walaupun sangsi, namun Ubun Hiong tidak mau
kurang adat menurut orang Kangouw. Ia melompat turun
dari kudanya lebih dulu dan memberi hormat, tanyanya
kemudian, "Siapakah nama Cianpwe yang mulia? Apakah
kenalan baik Suhu?"
Hong Jong-liong memperkenalkan sesuatu nama
palsu, lalu katanya dengan tertawa, "Bukan saja kenal
gurumu, bahkan kami adalah sobat lama. Aku tahu
belum lama dia telah menerima beberapa murid, apakah
kau adalah muridnya yang pertama, Yap Leng-hong, atau
murid kedua, Ubun Hiong?"
Memang Hong Jong-liong belum pernah kenal Ubun
Hiong, tapi dari Yap Leng-hong ia sudah mendapatkan
keterangan tentang diri Ubun Hiong dan asal-usulnya.
Dia sengaja bertanya untuk membuktikan bahwa dia pun
belum kenal Yap Leng-hong. Inilah kelicinan Hong Jongliong.
Diam-diam Ubun Hiong merasa heran karena belum
pernah mendengar nama orang ini dari Suhunya, tapi ia
masih tidak berani kurang sopan, dengan hormat ia
menjawab, "Tecu Ubun Hiong adanya, apa barangkali
Cianpwe sudah lama tidak bertemu dengan guruku?"

"Benar sudah sekian tahun kami tidak berjumpa,"


sahut Hong Jong-liong. "Kali ini gurumu telah
mengundang aku untuk bertemu di kotaraja. Sayang
ketika aku sampai di sana, sudah lebih dulu terjadi
penyerbuan istana oleh laskar pemberontak Thian-li-kau.
Kang-tayhiap dan Lim-kaucu serta kawan-kawan yang
lain entah menyingkir kemana, aku tidak sempat
mengadakan kontak lagi dengan mereka. Tahukah kau,
gurumu dan rombongan Lim-kaucu sekarang berada
dimana?"
Namun Ubun Hiong cukup waspada, walaupun cerita
Hong Jong-liong rada masuk akal, tapi ia pun tidak
gampang memberitahukan rahasia pasukan
pemberontak. Dengan samar-samar ia lantas menjawab,
"Tecu juga telah terpencar dan melarikan diri pada
malam itu sehingga tidak dapat bertemu lagi dengan
Suhu sampai sekarang."
Diam-diam Hong Jong-liong merasa geli, katanya
dalam hati, "Hm, kau bocah ingusan inipun berani
mendustai aku?" Tapi untuk memancing pengakuan
Ubun Hiong, ia pura-pura bertanya pula, "Sebagai
sahabat lama gurumu, sekarang kau tidak perlu takut
lagi dikejar pasukan kerajaan, tentu aku akan melindungi
kau. Sekarang kau hendak kemana?"
"Wanpwe tidak berani mengganggu dan membikin
repot Cianpwe," sahut Ubun Hiong. "Hanya tentang kuda
ini...”
"Aku mencurinya dari kediaman Ho Lan-bing," sahut
Hong Jong-liong. "Malam itu kalian telah menyerbu
kotaraja dan membobol penjara, kejadian itu
mengakibatkan Ho Lan-bing terluka parah. Sayang
tujuanku hanya buru-buru ingin mencuri kuda saja
sehingga tiada pikiran buat membinasakan dia."

Sudah tentu Ubun Hiong bertambah sangsi, memang


bisa jadi si berewok ini adalah orang sendiri karena dia
cukup jelas tentang kejadian malam penyerbuan kotaraja
itu. Tapi meski Ho Lan-bing terluka, penjagaan di
rumahnya tentu cukup kuat, masakah Jik-liong-ki ini
dengan begitu gampang kena dicuri olehnya? Namun
begitu, karena ia ingin buru-buru melanjutkan
perjalanan, maka ia tidak mendesak lebih jauh, hanya
katanya, "Jika demikian sungguhlah sangat kebetulan,
silakan Cianpwe menyerahkan kuda ini kepadaku saja
agar kelak Cianpwe tidak perlu membuang tenaga
mencari guruku lagi untuk mengembalikan kuda ini.
Untuk itu Cianpwe bolehlah menggunakan kudaku yang
satu itu."
"Haha, jangan buru-buru," sahut Hong Jong-liong
dengan tertawa. "Kuda ini sudah tentu akan
kukembalikan kepada gurumu, tapi bukan sekarang.
Sudahlah, kita bicara urusan saat ini saja. Ingin kutanya,
kau hendak kemana? Apakah kau ditugaskan sesuatu
oleh gurumu atau Lim-kaucu? Beberapa hari ini suasana
agak genting, sesungguhnya tidaklah menguntungkan
kau jika jalan sendirian. Bila perlu, sudah tentu aku akan
membantu kau sepenuh tenagaku."
"O, tidak, tidak ada tugas apa-apa," sahut Ubun Hiong
cepat. Sesudah lari keluar dari kotaraja, sampai sekarang
aku belum bertemu dengan Suhu, sebaliknya kuda itu
dapat diserahkan kepadaku saja. Untuk itu Wanpwe
mengucapkan terima kasih lebih dulu."
Tapi mendadak air muka Hong Jong-liong berubah
hebat, katanya dengan nada dingin, "Hm apakah kau
masih tidak mempercayai diriku? Aku adalah sahabat
gurumu dan Lim-kaucu, aku pun tahu kau hendak pergi
ke Siau-kim-jwan bukan?"

Kiranya Hong Jong-liong memang benar baru


berangkat dari kotaraja. Atas perintah Yap To-hu dia
telah menyampaikan laporan ke kotaraja dan di sana
juga pernah bertemu dengan Ho Lan-bing. Karena
gagalnya pemberontakan Thian-li-kau, pihak kerajaan
ingin menumpas sekalian sisa-sisa anak buah Lim Jing,
sebab itulah jejak Lim Jing dan Kang Hay-thian harus
dicari. Tentang wafatnya Lim Jing belum diketahui oleh
pihak kerajaan.
Hal lain yang dikuatirkan pihak kerajaan adalah
hilangnya beberapa dokumen rahasia ketika istana
diserbu Than-li-kau. Di antaranya adalah dokumen yang
berisi laporan rahasia Yap To-hu tentang sudah
dipasangnya Yap Leng-hong sebagai mata-mata di dalam
pasukan pergerakan. Jika hal itu sampai diketahui, tentu
segala rencana akan berantakan. Sebab itulah pihak
kerajaan perlu mengirim orang mendahului ke Siau-kimjwan
sebelum tibanya kurir yang dikirim oleh Lim Jing,
dengan demikian Yap Leng-hong masih sempat bertindak
seperlunya menurut keadaan. Sudah tentu paling baik
kalau di tengah jalan kurir Lim Jing itu dapat dicegat dan
dibinasakan serta merebut kembali dokumen rahasia itu.
Datangnya Hong Jong-liong ke kotaraja itu menjadi
sangat kebetulan, terutama kuda Jik-liong-ki yang dia
pakai itu, maka dia yang lantas diberi tugas penting itu
dan diharuskan segera pulang kembali ke Sucwan.
Sepanjang jalan Hong Jong-liong telah memperhatikan
setiap orang yang pantas dicurigai, tapi sama sekali tak
diduganya bahwa kurir yang dikirim oleh pihak
pemberontak adalah Ubun Hiong.
Semula disangkanya Ubun Hiong adalah bocah yang
masih hijau dan gampang dikelabui, tapi meski sudah
dipancing toh pemuda itu tutup mulut rapat-rapat dan

sukar dikorek sesuatu keterangan yang penting.


Sebaliknya Ubun Hiong menjadi curiga, segera ia
mendekat hendak menuntun kuda Jik-liong-ki.
Sudah tentu Hong Jong-liong tidak tinggal diam,
terpaksa ia harus bertindak. Mendadak ia menubruk maju
sambil membentak, "Bocah yang tidak kenal kebaikan,
apa yang hendak kau lakukan?" Berbareng itu pundak
Ubun Hiong hendak dicengkeramnya.
Namun Ubun Hiong sudah bersiap-siap, sedikit
mendak ke bawah dan menggeser, dapatlah ia
mengelakkan cengkeraman itu, tapi tidak urung
pundaknya juga sudah terserempet jari lawan hingga
terasa panas pedas.
Sekali mencengkeram tidak kena, dengan cepat Hong
Jong-liong menubruk maju lagi. Namun Ubun Hiong
sempat menjatuhkan diri dan menggelundung pergi, lalu
dengan gerakan 'ikan lele meletik', cepat ia melompat
bangun sambil melolos pedang.
"Dasar bocah yang tidak tahu maksud orang baik, aku
ingin membantu kau, sebaliknya kau malah berani
bersikap kasar padaku," jengek Hong Jong-liong dengan
geram.
Sudah tentu sekarang Ubun Hiong tidak gampang
ditipu lagi, sahutnya, "Orang baik apa? Kau justru adalah
antek kerajaan."
"Biarpun kau mengetahui sekarang juga sudah
terlambat," kata Hong Jong-liong. "Lebih baik serahkan
semua barangmu dan bertekuk lutut, mungkin jiwamu
masih dapat kuampuni."
"Baiklah, boleh coba kau ambil sendiri bila ingin
kutabas cakar anjingmu," teriak Hiong dengan gusar.
Di tengah suara geraman, dengan gerakan Hek-houthau-
sim (harimau kumbang mencuri hati), cepat sekali

Hong Jong-liong mendesak maju terus menghantam


dada Ubun Hiong. Namun pemuda itu telah melangkah
mundur sambil memulai pedangnya dengan kencang, bila
Hong Jong-liong tidak menarik kembali tangannya tentu
bisa tertabas kutung.
"Tring", mendadak Hong Jong-liong menjentikkan
jarinya dengan tenaga yang kuat, seketika Ubun Hiong
merasa genggamannya kesakitan, hampir-hampir pedang
terlepas dan cekatan, Baru sekarang dia tahu ilmu silat
Hong Jong-liong bukanlah jago keroco dan masih di atas
dirinya.
Sebaliknya Hong Jong-liong juga tidak berani
memandang ringan kepada Ubun Hiong lagi. Semula ia
mengira dengan mudah saja akan dapat membekuk
pemuda itu, tapi sekarang ia sadar, untuk bisa terlaksana
maksudnya itu paling tidak harus mendalami dulu suatu
pertarungan sengit.
Begitulah mereka mulai bertempur di jalan
pegunungan itu sehingga makin lama makin menggeser
ke lereng bukit yang menanjak. Kedudukan Ubun Hiong
lebih untung karena berada di sebelah atas yang lebih
tinggi, serangannya bertubi-tubi dan sangat lihai.
Sebaliknya Hong Jong-liong lebih payah karena dari
bawah harus menahan serangan dari atas, untuk balas
menyerang juga kurang leluasa. Namun dia punya Kimna-
jiu-hoat (ilmu menangkap dan memegang) juga tidak
dapat dipandang enteng, dimana tangannya tiba selalu
membawa sambaran angin yang keras, jarinya seperti
belati, telapak tangannya bagai pedang, setiap ada
kesempatan tentu dia merangsek maju.
Sesudah lebih 30 jurus, pertarungan semakin sengit.
Ubun Hiong terdesak mundur terus, beberapa kali malah
pedangnya hampir-hampir kena dirampas lawan.

Melihat gelagat jelek, diam-diam Ubun Hiong


mengeluh. Ia pikir dapat bertahan lebih lama lagi
sehingga Yap-toako keburu menyusul tiba, tentu keadaan
akan berubah baik. Karena itu segera ia berganti siasat,
ia mainkan Si-mi-kiam-hoat yang ruwet dan bertahan
dengan rapat, Si-mi-kiam-hoat ini memang gunanya
untuk bertahan bila menghadapi lawan yang lebih kuat.
Biarpun tinggi kepandaian Hong
Jong-liong juga tidak kenal cara mematahkan ilmu
pedang ciptaan Hui-bing Siansu, yaitu cikal-bakal Thiansan-
pay.
Karena seketika sukar membobol pertahanan Ubun
Hiong itu, sambil menyerang Hong Jong-liong mengejek,
"Hm, coba kau mampu bertahan sampai beberapa lama!"
Habis itu ia menyerang semakin gencar.
Waktu itu sang surya sudah mulai menggeser ke
barat, hari sudah lewat lohor. Ubun Hiong sudah mandi
keringat, tapi Yap Boh-hoa yang diharapkan masih belum
kelihatan bayangannya.
Lambat-laun Ubun Hiong mulai putus asa, pikirnya,
"Tidak menjadi soal kematianku ini, yang penting
dokumen rahasia ini tidak boleh sampai jatuh di tangan
musuh." Akan tetapi dalam keadaan kepepet, cara
bagaimana ia dapat menyelamatkan dokumen berharga
itu.
Karena kehabisan tenaga, permainan pedang Ubun
Hiong mulai lamban, keruan Hong Jong-liong sangat
senang, ia terbahak-bahak dan berkata, "Lekas
menyerah saja dan keluarkan barang yang kau bawa jika
ingin selamat!"
Namun dengan mengertak gigi Ubun Hiong masih
terus bertempur dengan mati-matian, Hong Jong-liong
juga makin gencar menyerang. Tidak lama seluruh titik

Hiat-to berbahaya di tubuh Ubun Hiong sudah terkurung


di bawah telapak tangan lawan.
"Haha, kau bocah ini benar-benar kepala batu,", ejek
Hong Jong-liong. "Jika kau sudah nekat dan tidak
menginginkan jiwamu lagi, maka bolehlah kubereskan
kau."
Setindak demi setindak Ubun Hiong terus mundur ke
arah tepi jurang, ia pikir dalam keadaan terpaksa biarlah
terjun ke dalam jurang saja, sekaligus melenyapkan
dokumen yang dibawanya daripada kena dirampas
musuh.
Namun Hong Jong-liong memang licin, dia telah dapat
menerka pikiran Ubun Hiong, mendadak ia melompat ke
atas dan menghadang jalan mundur Ubun Hiong sambil
tertawa terkekeh-kekeh.
Sesudah tertawa, pada saat dia hendak melontarkan
serangan mematikan, tiba-tiba terdengarlah suara
derapan kuda yang berdetak-detak. Nyata ada orang
sedang mendatangi dengan cepat.
Semangat Ubun Hiong terbangkit seketika, teriaknya
dengan girang, "Yap-toako! Aku berada di sini!"
Berbareng itu ia telah menghindarkan serangan maut
Hong Jong-liong, ia benar-benar sudah kehabisan
tenaga, tampaknya kalau Hong Jong-liong menubruk
maju lagi terpaksa ia hanya memejamkan mata
menunggu ajal saja. Tapi sebisanya ia menjatuhkan diri
dan menggelundung ke bawah, pikirnya, "Jika yang
datang itu bukan Yap-toako, maka pasti tamatlah
riwayatku!"
Tapi untung baginya, yang datang itu ternyata Yap
Boh-hoa adanya.
Dengan kudanya yang terluka itu, mestinya ia mengira
tak mampu menyusul Ubun Hiong lagi. Tak tersangka

setiba di lereng bukit situ mendadak didengarnya suara


teriakan pemuda itu, waktu menoleh bahkan dilihatnya
Ubun Hiong sedang menggelundung ke bawah bukit, di
atasnya berdiri seorang laki-laki tegap berewok.
Terkejut dan girang pula Yap Boh-hoa, tanpa pikir lagi
ia terus meloncat dari kudanya, secepatnya anak panah
ia menggunakan Ginkang yang tinggi memburu ke atas.
Hanya beberapa kali lompatan saja ia sudah sampai di
dekat Ubun Hiong dan tepat pada waktunya dia dapat
menghadang pengejaran Hong Jong-liong.
Melihat pendatang baru ini juga cuma seorang
pemuda berusia sebaya dengan Ubun Hiong, maka Hong
Jong-liong tidak memandang berat padanya, bentaknya,
"Bocah yang cari mampus! Hendak apa kau ikut ke sini?
Lekas enyah jika ingin selamat!" Berbareng itu dengan
Kim-na-jiu-hoat yang ganas, kelima jarinya seperti kaitan
terus mencengkeram ke atas kepala Yap Boh-hoa.
"Kim-na-jiu-hoatmu ini masih kurang sempurna,"
jengek Yap Boh-hoa sambil menabokkan sebelah
tangannya ke depan.
Hong Jong-liong kaget melihat cara orang yang aneh
itu, sebagai seorang jagoan berpengalaman, ia tahu
betapa lihainya. Lekas ia menarik kembali tangannya dan
tangan lain terus memotong ke bawah dengan gerakan
Cam-liong-jiu (tangan memotong naga).
"Sudah kukatakan kepandaianmu ini kurang
sempurna, nyatanya betul atau tidak?" Yap Boh-hoa
menyindir pula sembari menggeser ke samping,
menyusul lantas balas menyerang dari arah yang tak
terduga.
Meski terdesak, namun Hong Jong-liong tidak menjadi
bingung, sekuatnya ia menangkis. Maka terdengarlah
suara "blang" yang keras, Yap Boh-hoa tergentak mudur

dua tindak, sebaliknya tubuh Hong Jong-liong tergeliat,


tangannya panas seperti dibakar.
Kiranya kalau bicara tentang kekuatan, memang Hong
Jong-liong masih lebih ulet, makanya Yap Boh-hoa
tergetar mundur dua tindak. Tetapi Boh-hoa punya ilmu
pukulan Tay-seng-pan-yak-ciang itu merupakan perusak
urat nadi, biarpun Hong Jong-liong punya Kim-na-jiuhoat
sangat kuat juga ketemu batunya sekarang. Urat
nadi Siau-yang-hiat di tangannya telah tergetar hebat,
jalan darahnya sudah terasa seret.
Keruan Hong Jong-liong terperangkat, cepat ia
membentak, "Siapa Kau? Kenalkah kau siapa aku? Lebih
baik kau jangan ikut campur urusan ini. Bocah ini adalah
buronan kerajaan, kau tahu tidak?"
Sementara itu Ubun Hiong sudah berbangkit kembali,
serunya, "Yap-toako, bangsat tua ini adalah anjing alapalap
kerajaan, jangan kau lepaskan dia!”
Yap Boh-hoa juga lantas menjawab, "Hong Jong-liong,
kau tidak kenal aku, tapi aku sudah kenal kau. Kau tidak
menunggui Cukongmu di Sucwan, untuk apa kau datang
ke sini? Lekas mengaku terus terang bila jiwamu ingin
diampuni. Kalau tidak, hm, ketahuilah bahwa aku ini
adalah tukang sembelih anjing."
Sebenarnya Yap Boh-hoa hanya tahu sedikit tentang
diri Hong Jong-liong dan tidak tahu keseluruhannya.
Namun kaget Hong Jong-liong sudah bukan main demi
mendengar asal-usulnya sendiri telah diketahui orang.
Dari gebrakan tadi ia tahu kepandaian Yap Boh-hoa jauh
lebih tinggi daripada Ubun Hiong, sedangkan murid Kang
Hay-thian itu saja dari tadi sukar ditangkap, apalagi
sekarang datang pula seorang pemuda yang lebih lihai.
Maka ia menjadi ragu-ragu apakah mesti lekas lari atau

tidak. Kalau bertempur terang pula tidak menguntungkan


dirinya.
Agaknya Yap Boh-hoa dapat menerka perasaan Hong
Jong-liong, dengan tertawa sesudah menjaga jalan lari
lawan, bentaknya, "Tuan besar jago pengawal, kau
kepergok padaku, apakah kau ingin kabur begini saja?"
"Kurangajar! Memangnya kau sangka aku jeri
padamu?" sahut Hong Jong-liong dengan gusar. "Aku
cuma sayang pada usiamu yang masih muda sudah
harus lapor kembali kepada raja akhirat. Siapakah kau
sebenarnya, siapa gurumu?"
Maksud Hong Jong-liong sebenarnya hendak mengulur
waktu untuk mencari selamat, sebab di lereng gunung
situ terdapat suatu keluarga terdiri dari suami-istri itu
yang berkepandaian sangat tinggi, dia mempunyai
hubungan baik dengan keluarga itu. Asal salah seorang
dari suami-istri itu mendengar suara pertempuran
mereka dan datang, maka yakinlah kemenangan pasti
akan berada di pihaknya.
Namun Yap Boh-hoa tidak mau ayal lagi, jawabnya
ketus, "Bukan waktunya kau tanya diriku, sebentar lagi
akulah yang akan minta pengakuanmu!" Habis itu segera
ia menerjang maju lagi.
Sekarang dengan hati-hati Hong Jong-liong bertahan
dengan sangat rapat, dengan Kim-na-jiu-hoat yang ulet
ia coba menghabiskan tenaga lawan, sekaligus untuk
mengulur tempo menantikan bala bantuan.
Tak terduga perhitungannya agak meleset, Kim-na-jiuhoat
hanya bermanfaat untuk menyerang, dengan
tenaganya yang lebih ulet, jika main serang mungkin
akan membikin Yap Boh-hoa harus waspada dan paling
sedikit dalam waktu cukup lama dapat sama kuatnya.

Tapi sekarang dia hanya bertahan saja tanpa menyerang,


hal ini berbalik tidak menguntungkan baginya.
Tenaga pukulan Yap Boh-hoa merupakan pukulan
maut memutus urat nadi, ilmu pukulannya juga jauh
lebih hebat. Meski Hong Jong-liong bertahan dengan
rapat, tidak urung terkadang harus mengadu tangan, dan
setiap kali tangan berbentur, selalu dia tergetar hingga
lama-lama terasa payah juga.
Dalam pada itu Ubun Hiong sedang mengumpulkan
tenaga di samping, diam-diam Hong Jong-liong merasa
kuatir. Seorang saja susah dilawan, jika murid Kang Haythian
itu sebentar ikut mengeroyok tentu celakalah
dirinya. Sedangkan bala bantuan yang diharapkan
tampaknya takkan datang, dan jalan satu-satunya adalah
mencari kesempatan untuk melarikan diri saja.
Untuk merebut kuda Jik-liong-ki, binatang itu kelihatan
berada di sebelah sana, sebelum mencapai kuda itu tentu
sudah akan disusul oleh Yap Boh-hoa. Tiba-tiba ia
mendapat akal licik, mendadak ia menyerang matimatian
tiga kali sehingga Yap Boh-hoa terdesak mundur.
Kesempatan itu segera digunakan olehnya untuk
menerjang ke arah Ubun Hiong, nyata maksud tujuannya
hendak membekuk pemuda itu sebagai sandera.
Tak terduga saat itu tenaga Ubun Hiong sudah pulih
sebagian, melihat musuh menubruk ke arahnya, cepat ia
mengacungkan pedangnya, dengan jurus Pek-hongkoan-
jit (pelangi menembus sinar matahari), kontan ia
menikam ke dada Hong Jong-liong.
Biarpun keadaannya rada payah, tapi tenaga Hong
Jong-long masih cukup kuat, "Cring", tahu-tahu pedang
Ubun Hiong kena diselentik dan jatuh terpental. Dengan
Kim-na-jiu-hoat tangan Hong Jong-liong masih terus
menyambar ke depan, kelima jarinya bagai cakar telah

dapat mencengkeram pergelangan tangan Ubun Hiong.


Sekuatnya Ubun Hiong meronta sehingga terjadilah
pergulatan dari dekat.
Selagi Hong Jong-liong hendak membikin Ubun Hiong
tak berkutik, namun sudah kasip, tahu-tahu Yap Boh-hoa
sudah memburu tiba. Sekali totok Hiat-to di tubuh Hong
Jong-liong, seketika kedua tangannya menjadi kaku dan
tak bisa berkutik pula.
Setelah Hong Jong-liong tertawan, Ubun Hiong
menjemput kembali pedangnya dan mengucapkan terima
kasih kepada Yap Boh-hoa. Ia pandang Hong Jong-liong
dengan benci, sungguh sekali tikam ingin dia binasakan.
"Kalau keparat ini dibinasakan begini saja, akan terlalu
enak baginya," kata Boh-hoa yang dapat menduga
perasaan Ubun Hiong.
"Benar, marilah kita mencari suatu tempat untuk
memeriksa dia," ujar Ubun Hiong.
Segera Yap Boh-hoa menaikkan Hong Jong-liong yang
sudah tak bisa berkutik itu ke atas kuda hasil curiannya
dari Ban-keh-ceng kemarin, Ubun Hiong juga
mencemplak ke atas Jik-liong-ki, sisa dua ekor kuda yang
lain terpaksa ditinggalkan.
Mereka terus menanjak ke atas gunung, kata Boh-hoa
dengan tertawa, "Keparat ini bukanlah antek kerajaan
biasa, buang sedikit tempo baginya masih ada harganya
juga. Kita harus dapat mengorek pengakuannya yang
penting."
Melihat dirinya dibawa ke atas gunung, dalam hati
diam-diam Hong Jong-liong merasa girang.
Setiba di suatu tempat yang rimbun dengan
pepohonan, Yap Boh-hoa lantas menurunkan Hong Jongliong.
"Tuan besar pengawal, memeriksa tawanan
bagimu adalah pekerjaan biasa, tapi hari ini biarlah kau

pun merasakan enak tidaknya diperiksa sebagai


pesakitan. Jika kau bisa melihat gelagat, hendaklah
mengaku terus terang saja, bila berdusta, hm, boleh
coba kau rasakan nanti. Sekarang coba katakan, apa
maksud tujuanmu pergi ke kotaraja?"
Karena Hiat-to tertotok, sedikitpun Hong Jong-liong
tak bertenaga lagi, tapi dia masih berlagak gagah dengan
membusungkan dada, lalu menjawab, "Seorang laki-laki
sejati sekalipun mati juga tidak takut. Bocah ingusan
macam kalian juga sesuai untuk memeriksa aku?"
Habis berkata ia bahkan bersitegang dan bergelak
tertawa keras-keras.
Sebenarnya Hong Jong-liong tidak sungguh-sungguh
tak gentar mati, cuma dia tahu sebelum memperoleh
pengakuannya tentu lawan takkan membunuhnya, maka
dia sengaja berlagak kepala batu sambil bergelak
tertawa, maksudnya sengaja hendak memancing
kedatangan kawan penolong yang diharapkan bila
mendengar suaranya.
"Hm, tertawa, boleh coba tertawa terus!" demikian
Yap Boh-hoa lantas menjengek. "Ingin kulihat berapa
lama kau bisa berlagak jantan?"
Habis berkata perlahan-lahan ia tabok sekali punggung
Hong Jong-liong, hanya sebentar dalam badan Hong
Jong-liong serasa digigit oleh beribu-ribu ekor semut dan
seperti diselusuri oleh beratus-ratus ular kecil, rasanya
sakit dan gatal tak terkatakan, penderitaan demikian
benar-benar sukar dilukiskan, biarpun otot kawat tulang
besi juga tak tahan, apalagi Hong Jong-liong, dengan
merintih ia berkata, "Kau ... kau boleh membunuh aku
saja!"
"Bunuh kau? Hm, kan enak bagimu!" dengus Boh-hoa.
"Tadi kau berlagak gagah, tapi hanya sedikit siksaan saja

sudah tak tahan. Ini saja belum apa-apa, bila perlu aku
masih ada lagi berbagai macam rasa lain yang lebih enak
untukmu."
Hong Jong-liong sampai berkelojotan saking tidak
tahan akan siksa sakit dan gatal itu, akhirnya terpaksa ia
minta ampun, "Baiklah, kakek kecil, hilangkan dulu
siksaan ini, aku akan mengaku ... akan mengaku!"
"Memangnya kau berani tidak mengaku?" ejek Yap
Boh-hoa sambil menepuk perlahan sekali di tubuh Hong
Jong-liong untuk mengurangi rasa sakitnya agar dia
dapat bicara dengan lancar, lalu mulailah dia
mengajukan pertanyaan, "Untuk apa kau ditugaskan ke
kotaraja kali ini, lekas katakan!"
Sesudah menghela napas lega, Hong Jong-liong
menjawab, "Aku ditugaskan oleh Yap-tayjin agar
memberi laporan situasi militer, pula mohon Sri Baginda
memberi tambahan pasukan."
Boh-hoa cukup cerdik, segera ia mendesak, "Situasi
militer bagaimana? Mengapa tidak pakai laporan tertulis,
tapi suruh kau menyampaikan secara lisan?" .
Untuk sejenak Hong Jong-liong tergagap dan raguragu
untuk bercerita. Segera Yap Boh-hoa
mengancamnya, "Apakah kau ingin merasakan siksaan
lebih keji lagi?" Berbareng sebelah tangannya lantas
diangkat dan siap menabok.
Dengan takut lekas Hong Jong-liong menjawab,
"Tentang ... tentang beberapa kali kekalahan pasukan
Yap-tayjin yang sebenarnya disengaja itu. Beliau suruh
aku melaporkan dan mohon Sri Baginda jangan kuatir."
"Sebab apa dia sengaja pura-pura?" desak Boh-hoa.
"Tentang ini ... tentang ini ..." kembali Hong Jongliong
merandek.

"Ini ada hubungannya dengan putranya itu bukan?"


sela Yap Boh-hoa. "Hm, biar kukatakan terus terang
padamu, tentang asal-usul Yap Thing-cong sudah
kuketahui. Andaikan kau berdusta juga tak dapat
membohongi aku, sebaliknya akan membikin susah
dirimu sendiri." Berbareng jarinya menyelentik perlahan
di bagian siku Hong Jong-liong, tempat itu adalah urat
syaraf yang paling perasa, keruan Hong Jong-liong
dibikin meringis pula, saking tak tahan ia terus
bergelindingan di tanah dan menjerit seperti babi hendak
disembelih.
"Siapakah Yap Thing-cong?" tanya Ubun Hiong heran.
"Siapa lagi? Dia adalah nama asli Toasuhengmu yang
mengaku bernama Yap Leng-hong itu, adalah majikan
muda tuan besar pengawal ini, putra gubernur Sucwan
Yap To-hu," tutur Boh-hoa dengan tertawa
Ubun Hiong terperanjat, pikirnya, "Aku sendiri tidak
berani memberitahukan tujuan perjalananku ini
kepadanya, tapi dia bahkan sudah mengetahui
Toasuheng adalah mata-mata musuh, malahan tentang
asal-usulnya juga jauh lebih mengetahui daripada kami."
Dalam pada itu air muka Hong Jong-liong tampak
pucat seperti mayat, butir keringat sebesar kedelai
memenuhi jidatnya. Rintihnya dengan suara parau,
"Baiklah, akan kukatakan segalanya, hilangkan siksaan
ini."
Dengan caranya yang khas Yap Boh-hoa mengurangi
pula derita Hong Jong-liong untuk memberi kesempatan
bicara padanya. Karena sadar tak bisa membohongi lagi
tentang diri Yap Leng-hong, benar juga ia lantas
mengaku sebenarnya, "Sebabnya Yap-tayjin sengaja
pura-pura kalah adalah untuk menegakkan kepercayaan

pihak kalian kepada putranya, supaya pasukan


pergerakan benar-benar tunduk di bawah pimpinannya."
"Hm, enak saja impian kalian," jengek Boh-hoa. "Lalu
rencana keji apa yang telah diatur Yap To-hu dan
putranya untuk menumpas pasukan pemberontak? Lekas
katakan!"
"Itu adalah rahasia militer yang maha penting, aku ...
aku hanya seorang pengawal saja, darimana bisa tahu?"
sahut Hong Jong-liong sambil merintih menahan sakit.
"Hanya seorang pengawal saja? Hm, kau kira
jabatanmu yang sebenarnya aku tak tahu?" demikian
Boh-hoa menggertak. "Kali ini kau ditugaskan memberi
laporan situasi militer dan minta raja anjing kalian jangan
kuatir, Yap To-hu berani tanggung kemenangan segera
akan diperolehnya dan pasukan pemberontak dapat
ditumpas. Dengan dasar apa dia berani menjamin pasti
akan menang? Mustahil dia tidak melaporkan pula
rencananya agar dipercaya oleh rajamu? Nah, apakah
kau merasa sulit untuk bicara? Baiklah, akan kuberi
hadiah pula padamu."
Yang diartikan "hadiah" sudah tentu adalah
kebalikannya, yaitu siksaan.
Padahal Yap Boh-hoa sebenarnya belum tahu
kedudukan Hong Jong-liong yang sesungguhnya, hanya
dari tugas berat yang diberikan
Yap To-hu kepadanya, dapatlah diduga dia pasti
bukan seorang jago pengawal biasa.
Karena menyangka asal-usul dirinya sudah diketahui
oleh Yap Boh-hoa, maka Hong Jong-liong tidak dapat
menyangkal lagi. Diam-diam ia merasa tiada jalan lain
kecuali mengaku sedikit kebenaran bila tidak ingin
tersiksa lagi. Dengan tergagap akhirnya ia bicara,
"Tentang tipu yang telah direncanakan Yap-tayjin dan

putranya ialah pada suatu ketika sesudah berulang-ulang


pasukan kerajaan pura-pura kalah, lalu Yap-kongcu akan
menghimpun laskar-laskar pemberontak untuk
melakukan serangan total kepada Siau-kim-jwan, pada
waktu itulah pasukan kerajaan akan mengadakan
perangkap untuk menjaring habis-habisan laskar
pemberontak sekaligus."
"Keji benar tipu muslihatnya," omel Ubun Hiong demi
mendengar keterangan itu.
Sebenarnya Kang Hay-thian dan lain-lain belum lagi
mengetahui hubungan gelap apa yang dilakukan Yap
Leng-hong dengan pihak kerajaan, walaupun sudah
diketahui pemuda itu adalah putra Yap To-hu. Baru
sekarang dari pengakuan Hong Jong-liong inilah segala
kejahatan Yap Leng-hong sama sekali terbongkar.
"Bilakah rencana keji itu akan dilaksanakan," tanya
Boh-hoa.
"Pelaksanaannya harus melihat keadaan, maka kapan
waktunya yang tepat aku benar-benar tidak tahu," sahut
Hong Jong-liong. Padahal dia cukup mengetahui bahwa
rencana itu telah ditetapkan akan dilaksanakan dalam
bulan ini juga, walaupun harinya yang persis tak
diketahui. Jadi dia hanya mengaku setengah saja dan
tidak seluruhnya berterus terang.
Betapapun cerdiknya Yap Boh-hoa juga karena kurang
berpengalaman, maka dia tidak mendesak lebih jauh.
Sebaliknya ia terus bertanya mengenai tugas yang
dibawa kembali Hong Jong-liong dari kotaraja.
Karena tadi sudah mengaku telah bertemu dengan Ho
Lan-bing, kini Hong Jong-liong tidak dapat membohongi
lagi, untuk mencari selamat terpaksa ia mengaku bahwa
dia buru-buru pulang untuk memberitahukan kepada Yap
Leng-hong bahwa tentang peranannya di dalam pasukan

pergerakan telah diketahui dan harus bertindak


seperlunya sebelum rahasianya terbongkar, bila perlu
penumpasan laskar pemberontak harus dipercepat
menurut rencana.
Keruan Ubun Hiong terkejut mendengar keterangan
itu, untung mereka dapat memergoki Hong Jong-liong di
tengah jalan, kalau tidak, pasti celakalah laskar-laskar
pergerakan di daerah Sucwan itu.
"Sekarang aku sudah mengatakan semua yang aku
tahu, harap meringankan penderitaanku ini," mohon
Hong Jong-liong.
"Nanti dulu, aku ingin tanya sesuatu lagi," kata Bohhoa.
"Tiga tahun yang lalu ada 13 jagoan istana telah
mengerebut seorang pemuda di atas pegunungan Masjit
di daerah Kamsiok. Pemuda itu adalah Yap Leng-hong
yang sekarang dipalsukan oleh tuan muda putra
gubernur kalian itu. Di antara ke-13 jagoan istana itu
tatkala itu ada tujuh orang yang bertugas di gubernuran
Siamsay dan Kamsiok. Sebagai pengawal gubernur tentu
peristiwa itu cukup kau ketahui bukan?"
Hong Jong-liong terperanjat, ia heran mengapa
pemuda ini mengetahui juga kejadian itu, cepat ia
menjawab, "Ya, aku tahu. Tapi waktu itu aku tidak ikut
pergi."
"Aku tahu kau tidak ikut," kata Boh-hoa. "Aku hanya
ingin tanya darimana para jagoan istana itu mengetahui
bahwa pada hari itu Yap Leng-hong akan datang ke
sebuah kuil di atas gunung Masjit itu? Siapa yang
menyampaikan berita rahasia itu?"
Karena kuatir disiksa lagi, Hong Jong-liong pikir orangorang
yang bersangkutan itu sekarang toh sudah mati
semua, rasanya tak berhalangan bila dirinya mengaku
terus terang, maka katanya kemudian, "Berita itu

diperoleh dari keenam jagoan istana yang lain. Waktu itu


mereka ditugaskan mengawal Kheng-congpeng dari Ili
yang sedang pulang ke kotaraja. Adapun darimana
mereka memperoleh berita itu, aku sendiri tidak tahu."
Namun pengakuan Hong Jong-liong ini sudah cukup
bagi Yap Boh-hoa, diam-diam ia sudah tahu duduknya
perkara. Tentu waktu Kheng Siu-hong bicara dalam
kemah dengan ayahnya, di luar dugaan mereka, isi
pembicaraan itu telah didengar oleh mata-mata kerajaan
yang dipasang di sekitar panglima Ili itu. Keenam jago
istana itu resminya adalah mengawal, tapi tugas yang
sebenarnya adalah mengawasi gerak-gerik pembesar itu.
Sesudah terbukti Kheng Siu-hong tiada tersangkut
dalam kejadian itu, entah mengapa perasaan Yap Bohhoa
menjadi lega. Segera ia bertanya pula, "Sudah
terang kalian tahu Kheng-congpeng tiada hubungan apaapa
dengan pemuda she Yap itu, mengapa majikan
kalian, yaitu si jagal she Yap, sengaja memfitnah dan
membikin celaka Kheng-congpeng?"
Melihat Yap Boh-hoa serba tahu, Hong Jong-liong
tidak berani berdusta, ia mengaku pula, "Kepindahan
Kheng-congpeng pada waktu itu tampaknya ada maksud
hendak mengincar jabatan gubernur Siamsay dan
Kamsiok. Karena kuatir kedudukannya terdesak, setelah
menerima berita rahasia itu, segera ia turun tangan lebih
dulu dengan melenyapkan Kheng-congpeng."
Keterangan ini membikin Yap Boh-hoa sangat senang,
tanpa terasa ia hantam sepotong batu sehingga hancur,
serunya, "Kiranya demikian halnya. Sayang, sayang!"
"Sayang apa?" tanya Ubun Hiong heran.
"Tidak apa-apa, cuma sayang yang hadir di sini hanya
kita berdua saja," sahut Boh-hoa. Kiranya dia menjadi

teringat kepada Kheng Siu-hong dan sayang nona itu


tidak ikut mendengar pengakuan Hong Jong-liong tadi.
Sudah tentu Ubun Hiong merasa bingung, ia tidak
tahu siapakah yang diharapkan oleh Yap Boh-hoa itu.
Didengarnya Boh-hoa bertanya pula kepada Hong Jongliong,
"Baik, akhirnya aku ingin bertanya pula, sejak
kapan Yap Thing-cong mulai menjadi mata-mata
kerajaan? Apakah kau yang menjadi penghubungnya?"
Karena Hong Jong-liong memang sengaja mengulur
tempo dan berharap datangnya penolong, maka dia
lantas mengaku panjang lebar supaya terhindar dari
siksaan.
Ubun Hiong menjadi ngeri sendiri sesudah mendengar
pegakuan Hong Jong-liong itu. Baru sekarang
diketahuinya bahwa Yap Leng-hong sudah sejak tahun
lalu sepulangnya di rumah telah didalangi Hong Jongliong
secara diam-diam. Itu restoran Thay-pek-lau yang
dibuka di kota Tong-peng adalah pos penghubung
mereka.
Akhirnya Hong Jong-liong berkata, "Segala apa sudah
kukatakan, bilamana kedua tuan muda sudi mengampuni
aku, selanjutnya aku akan hidup prihatin mengasingkan
diri dan tak berani lagi menjadi anjing pemburu
kerajaan."
"Apakah betul sudah kau katakan semua?" ujar Bohhoa.
"Coba Ubun-heng, geledahlah badannya."
Waktu Ubun Hiong membuka baju Hong Jong-liong,
dapatlah digeledah dua sampul surat. Sebuah adalah
titah raja untuk Yap To-hu yang menganugerahi gelar
pangkat 'menteri' dengan hak penuh untuk memerintah
semua pasukan kerajaan yang dikirim ke Sucwan.
Sampul yang lain berkas surat mandat bagi Yap Lenghong
untuk membuktikan dia adalah orang sendiri bila

pada suatu ketika dia berhubungan dan menggabungkan


diri dengan pasukan kerajaan yang belum saling kenal.
"Ubun-heng, kedua dokumen itu mungkin berguna
bagimu, boleh kau menyimpannya saja," kata Boh-hoa.
Diam-diam Ubun Hiong tahu bahwa tugasnya ke
Sucwan tentu sudah dapat diduga oleh Yap Boh-hoa,
maka kedua orang hanya tahu sama tahu secara diamdiam
saja. Segera Ubun Hiong menyimpan baik-baik
kedua sampul rampasan dan menjawab, "Lantas keparat
ini bagaimana membereskannya?"
"Orang ini sekali-kali tidak dapat dipercaya, bolehlah
berikan dia dengan cepat saja untuk mengurangi rasa
deritanya," kata Boh-hoa. Maksudnya sekali tusuk boleh
dibunuh saja Hong Jong-liong itu.
Keruan Hong Jong-liong ketakutan, teriaknya,
"Mengapa kalian tidak pegang janji?"
"Janji apa? Apakah aku pernah berjanji akan
mengampuni jiwamu?" sahut Boh-hoa.
"Sudah begitu banyak rahasia-rahasia yang kukatakan,
apakah belum cukup untuk menebus kesalahanku?" kata
Hong Jong-liong.
Jiwa Ubun Hiong memang luhur, ia merasa tidak tega,
tanyanya, "Bagaimana Yap-toako?"
"Janganlah karena sedikit rasa kasihan hingga
membikin runyam urusan besar," ujar Boh-hoa.
Ubun Hiong lantas teringat juga kepada jiwa-jiwa para
pahlawan yang pernah menjadi korban keganasan Hong
Jong-liong, terhadap musuh tidak boleh bicara tentang
kasihan segala. Segera ia mencabut pedang dan
menusuk untuk menghabisi nyawa Hong Jong-liong.
Sekonyong-konyong Hong Jong-liong bergelak
tertawa, serunya, "Hahaha! Sekarang biarpun kau
hendak membunuh aku juga sudah terlambat!"

Pada saat yang hampir sama itulah tiba-tiba terdengar


suara "Cring" yang nyaring, entah darimana datangnya
sebuah senjata rahasia, tahu-tahu pedang Ubun Hiong
sampai terbentur lepas dari cekalan.
Dalam pada itu terdengar Yap Boh-hoa telah
membentak, "Darimana datangnya perempuan siluman,
berani main gila di sini?" Berbareng jarinya menjentik,
sebuah cincin kehitam-hitaman telah kena diselentik
jatuh.
Dan pada saat itu juga Hong Jong-liong mendadak
menjatuhkan diri terus menggelinding ke bawah gunung.
Sesudah bergelindingan belasan meter jauhnya, cepat ia
meletik ke atas dan melompat bangun. Sebenarnya dia
tertotok oleh Yap Boh-hoa dan tak bisa berkutik, tapi
sekarang sudah dapat bergerak, keruan kejadian ini
membuat Yap Boh-hoa sangat terkejut.
Hampir pada saat yang sama tahu-tahu sudah muncul
juga seorang wanita tua berambut memutih perak
dengan dandanan yang aneh, sambil bergelak tertawa ia
berkata, "Aku berada di sini, siapakah yang mampu
membikin celaka padamu? Kau tidak perlu lari lagi Hong
Jong-liong!"
Kiranya wanita tua ini tadi sekaligus telah
menyambitkan tiga buah cincin, sebuah membentur jatuh
pedang Ubun Hiong, sebuah lagi menyerang Hiat-to
penting di tubuh Yap Boh-hoa, dan cincin yang ketiga
telah menimpuk ke arah Hong Jong-liong untuk
membuka Hiat-to yang tertotok.
Sesudah menyelentik jatuh cincin yang menyerang ke
arahnya, tangan Yap Boh-hoa sendiri sampai pegal, kuat
sekali sambitan cincin itu. Maka tahulah dia telah
berhadapan dengan seorang lawan yang sangat lihai.

Meski nenek itu telah menyuruh Hong Jong-liong tak


perlu lari, tapi Hong Jong-liong masih terus berlari ke
arah Jik-liong-ki. Nyata tujuannya hendak merebut lagi
kuda itu dan melarikan diri.
Yap Boh-hoa tidak tinggal diam, segera ia mengejar
dengan Ginkangnya yang tinggi, tapi si nenek juga lantas
mengubernya dari belakang. Saat itu Ubun Hiong sudah
menjemput kembali pedangnya, ia pun mengudak dan
menyerang ke arah nenek itu, tapi sekali si nenek
mengebaskan lengan bajunya ke belakang, kontan Ubun
Hiong tergentak mundur beberapa tindak.
Menyusul si nenek lantas bersuit panjang, sekali
lompat tahu-tahu ia sudah mendahului dan mengadang
di depan Yap Boh-hoa.
Walaupun rambut si nenek sudah beruban semua, tapi
mukanya masih merah bercahaya, sedikitpun tidak
kelihatan loyo, bahkan gerak-geriknya juga sangat gesit.
Ketika Yap-boh-hoa melontarkan pukulan, tanpa pikir
nenek itupun memapak dengan pukulannya.
"Plak", Boh-hoa sampai tergetar mundur dua tindak.
"Hahaha! Boleh juga kau punya Tay-seng-pan-yak-ciang,
tapi jangan harap dapat mencelakai aku," seru si nenek
sambil tertawa. "Eh, kau ini anak Yap Tiong-siau atau
muridnya?"
Boh-hoa naik pitam juga mendengar jawaban yang
kaku itu, pikirnya tak peduli siapa dia, karena dia
berkawan dengan antek kerajaan, hal ini sudah
merupakan musuhku.
Dalam pada itu dengan tertawa dingin si nenek telah
menubruk maju lagi, tahu pukulan Pan-yak-ciang tak bisa
melukai lawan, segera Boh-hoa melolos pedang, dengan
senjata dan telapak tangan sebelah ia sambut serangan
si nenek yang lihai.

Agaknya nenek itupun tidak berani memandang


enteng terhadap Yap boh-hoa, ia lantas melepaskan ikat
pinggangnya dan kain sutera, digunakan sebagai ruyung
lemas. Setelah bergebrak beberapa jurus pula, kembali si
nenek menjengek, "Hm, kiranya kau adalah putra Yap
Tiong-siau dan Auyang Wan. Perempuan hina dina
Auyang wan itu sampai mengajarkan ilmu pedang dari
keluarga ibunya kepadamu."
Sudah tentu Boh-hoa sangat gusar karena si nenek
memaki ibunya, tapi di tengah gusarnya ia pun merasa
heran. Ia tahu ayah-bundanya jarang bergaul dengan
orang-orang Kangouw, tapi nenek ini tidak saja tahu
tentang ayah ibunya, bahkan terhadap ilmu pedangnya
berasal dari keluarga ibunya juga kenal. Jika demikian,
seharusnya nenek ini mempunyai hubungan rapat
dengan ayah ibunya sendiri. Tapi mengapa si nenek tidak
tahu bahwa ayahnya tidak pernah menerima murid dan
mengapa memaki ibunya pula?
Begitulah segera Yap Boh-hoa main balas serang
dengan mati-matian, tapi si nenek dapat memutar ikat
pinggang suteranya dengan hidup, setiap serangan Yap
Boh-hoa selalu kena dipatahkan, seakan-akan sudah
terduga sebelumnya oleh si nenek. Yang menarik bagi
Yap Boh-hoa adalah gaya ilmu silat si nenek itu,
walaupun tak dikenal dari aliran mana, tapi lapat-lapat
seperti sama dengan gaya ilmu silat Kheng Siu-hong,
yaitu yang pernah diduga berasal dari perubahan ilmu
pedang keluarga Yap Boh-hoa sendiri. Hanya saja
kepandaian si nenek jauh lebih tinggi daripada Kheng
Siu-hong sehingga Boh-hoa tak berdaya
mengalahkannya, sebaliknya malah selalu terdesak.
"Hm, aku memaki ibumu lantas kau merasa marah?"
demikian jengek si nenek. "Huh, biarpun Auyang Wan si

perempuan hina itu bertemu dengan aku, juga mesti


menyembah padaku dan membiarkan aku memaki dia
sesuka hatiku."
Melihat keadaan Yap Boh-hoa berbahaya, segera Ubun
Hiong ikut menerjang maju. Meski kepandaiannya masih
jauh di bawah Yap Boh-hoa, tapi Si-mi-kiam-hoat yang
dia mainkan adalah ilmu pedang kelas satu, inilah yang
tidak berani dipandang ringan oleh si nenek. Ia gunakan
lengan baju yang sebelah untuk mengebas, buat
menangkis serangan pedang Ubun Hiong.
Sekalipun lebih tinggi kepandaian si nenek daripada
Yap Boh-hoa, tapi selisihnya juga tidak terlalu jauh.
Sekarang si nenek harus membagi perhatiannya untuk
menjaga serangan Ubun hiong, dengan sendirinya ia tak
bisa memusatkan tenaganya ke ikat pinggangnya.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Yap Boh-hoa
untuk balas menggempur. "Bret", tiba-tiba sebagian ikat
pinggang sutera itu terkupas sobek, ketika si nenek
menarik kembali ikat pinggangnya terus menyabet pula,
lekas Boh-hoa menggeser ke samping.
Begitulah walaupun satu dikerubut dua, tapi si nenek
masih dapat menyerang dengan lincahnya, Boh-hoa
berdua toh lebih banyak bertahan daripada balas
menyerang. Untung Si-mi-kiam-hoat yang dimainkan
Ubun Hiong itu sangat rapat pertahanannya, sebaliknya
pukulan Pan-yak-ciang Yap Boh-hoa juga membuat si
nenek setiap kali harus menjaga diri dengan hati-hati.
Dengan demikian kelihatannya saja si nenek berada di
atas angin, tapi sesungguhnya kedua pihak sama-sama
sukar memperoleh kemenangan sehingga kedua pihak
hanya saling bertahan saja.
Dalam pada itu Hong Jong-liong yang berusaha
hendak merampas lagi kuda Jik-liong-ki sudah mendekati

binatang itu. Keruan Yap Boh-hoa menjadi gelisah, bila


Hong Jong-liong sampai lari, tentu akan banyak
menimbulkan kesukaran pula bagi perkembangan
pertempuran antara pasukan pemberontak melawan
pasukan kerajaan di Sucwan.
Pada saat itu juga mendadak Ubun Hiong bersuit, Jikliong-
ki sudah kenal suara Ubun Hiong, tiba-tiba binatang
itu meringkik sambil berjingkrak dan menyepak, lalu lari
menanjak ke atas. Keruan Hong Jong-liong sangat
mendongkol, hampir saja ia kena didepak oleh kuda itu.
Padahal sudah cukup lama ia menunggangi kuda itu, tapi
akhirnya lebih setia kepada tuannya yang lama daripada
majikan baru.
Luput merampas Jik-liong-ki, tiba-tiba Jong-liong
mengincar kuda kelabu hasil curian Yap Boh-hoa dari
Ban-keh-ceng, kuda itu cukup bagus meski tidak dapat
dibandingkan Jik-liong-ki. Segera ia mendekati kuda itu
dan binatang itu ternyata diam saja.
Dan baru saja Hong Jong-liong hendak mencemplak
ke atas kuda, sekonyong-konyong terdengar si nenek
berkaok, "Awas, Hong-lotoa!"
Belum lenyap suaranya, terdengarlah suara mendesing
keras, sebilah belati telah menyambar tiba. Lekas Hong
Jong-liong mengegos, namun tidak urung bahunya juga
terserempet oleh belati itu, darah lantas mengucur
keluar. Untunglah si nenek keburu memperingatkan,
kalau tidak, tentu lehernya sudah ditembus belati itu.
Pada saat lain dari semak-semak di balik gundukan
batu karang sana telah muncul tiga orang laki-laki, dua di
antaranya berdandan bagai setan jangkung hitam-putih,
seorang lagi lebih mengerikan, rambutnya kusut-masai,
terang seorang laki-laki, tapi memakai baju wanita, baju

itupun sudah robek sehingga kelihatan bulu dadanya


yang hitam lebat.
Kiranya ketiga orang ini adalah kedua saudara Cu
serta laki-laki yang menyaru sebagai setan perempuan
yang ikut mengacau Kui-tek-po semalam itu. Dalam
pertempuran sengit itu mereka telah terluka, cuma tidak
parah, mereka masih sempat melarikan diri. Setiba di
lereng gunung sini mereka telah berhenti mengaso, di
luar dugaan mereka memergoki pertarungan Yap Bohhoa
dan Hong Jong-liong tadi, serta mendengar
percakapan mereka.
Demi mengetahui siapa Hong Jong-liong, diam-diam
mereka bertiga ikut prihatin. Ketika Hong Jong-liong
hendak lari, segera mereka bertindak, orang yang
menyaru sebagai setan wanita itu lantas menyambitkan
sebilah belati dengan sekuatnya. Walaupun berhasil
melukai Hong Jong-liong, tapi karena dia sendiri terluka,
sekarang mengerahkan tenaga pula, saking sakitnya ia
jatuh pingsan sendiri. Sedangkan kedua saudara Cu
lantas melompat maju menerjang ke arah Hong Jongliong.
Lantaran terkejut, kuda kelabu itu sampai berjingkrak
terus lari menyingkir, dalam pada itu kedua saudara Cu
sudah menerjang tiba dengan sepasang tongkat dan
sepasang gaetan sehingga Hong Jong-liong tidak sempat
kabur.
Dalam keadaan biasa, kedua saudara Cu pasti bukan
tandingan Hong Jong-liong, tapi sekarang tenaga Hong
Jong-liong sudah banyak berkurang, walaupun kedua
saudara Cu juga terluka ringan, tapi dua lawan satu
masih tetap menguntungkan mereka, hanya beberapa
kali gebrakan saja berulang-ulang Hong Jong-liong sudah
hampir dibinasakan oleh kedua lawannya.

"Hm, aku berada di sini, siapa yang berani


mengganggu seujung rambut Hong Jong-liong tentu
jiwanya yang akan kucabut!" jengek si nenek.
Pada saat itu juga sebuah tongkat Cu-loji sudah
melayang ke atas kepala Hong Jong-liong. Untuk
mengelak sudah tidak keburu lagi karena harus
menangkis gaetan Cu-lotoa yang telah mendahului
menyambar datang. Terpaksa Hong Jong-liong berteriak,
"Tolong Auyang-toanio!"
"Tring", pada detik terakhir tahu-tahu sebuah senjata
rahasia kecil menyambar tiba sehingga tongkat Cu-loji
kena dibentur melenceng ke samping, berbareng itu
sebuah cincin si nenek yang lain juga telah mengenai
Hiat-to di bawah iganya, kontan ia roboh sendiri.
Ibu Yap Boh-hoa mempunyai she Auyang dan berasal
dari Cong-lam-san, sekarang demi mendengar Hong
Jong-liong berseru memanggil "Auyang-toanio", tiba-tiba
Boh-hoa ingat bahwa pegunungan ini memang Conglam-
san adanya. Ia terkejut dan ragu-ragu, "Janganjangan
nenek ini adalah angkatan tua dari keluarga ibu?"
Kesepuluh jari nenek itu memakai sepuluh buah cincin,
bersama tiga buah yang tadi seluruhnya dia sudah
menyambitkan lima buah, kini tinggal lima buah lagi.
Baru saja Yah Boh-hoa merenung, "tring", kembali si
nenek melontarkan sebuah cincin pula ke arah Cu-lotoa.
Tanpa pikir panjang lagi Yap Boh-hoa terus menerjang
nenek itu, begitu pula Ubun Hiong lantas ikut
mengembut dengan Tui-hong-kiam-hoat yang hebat,
maka si nenek menjadi tidak sempat menarik diri untuk
membantu Hong Jong-liong lagi.
Namun serangan cincin tadi juga telah mengenai Culotoa,
cuma jaraknya agak jauh, maka Cu-lotoa hanya
terhuyung-huyung saja dan tidak sampai roboh, tapi

sebelah lengannya sudah terasa kaku dan sukar bergerak


lagi. Keruan Hong Jong-liong lantas balas menyerang
sehingga Cu-lotoa kewalahan karena harus bertahan
sendirian.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara keliningan
kuda yang riuh nyaring, seorang gadis baju merah
tampak muncul dengan cepat. Nona baju merah ini
bukan lain adalah Kheng Siu-hong, kuda yang dia
gunakan adalah kuda merah yang ditinggalkan oleh Ubun
Hiong di kaki gunung itu.
"Berhenti dulu. Suhu!" tiba-tiba Siu-hong berseru
kepada si nenek. "Semuanya kawan sendiri, jangan
bertempur lagi."
"Kheng-lihiap, jahanam ini adalah antek kerajaan,
lekas kau bantu membinasakan dia!" Cu-lotoa juga
berteriak. Tapi demi mengetahui yang dipanggil sebagai
"Suhu" oleh Kheng Siu-hong kiranya adalah si nenek,
keruan ia terperanjat.
Kheng Siu-hong juga terkejut ketika mendengar
teriakan Cu-lotoa yang mengatakan Hong Jong-liong
adalah anjing pemburu kerajaan. Baru saja dia akan
melabraknya, tiba-tiba si nenek telah membentaknya,
"Siu-hong, jangan! Orang she Hong itu yang harus
dibela, siapa pun tidak boleh mengganggunya!"
Perintah guru terpaksa harus diturut, Siu-hong
merandek. Dalam pada itu Hong Jong-liong sudah
sempat mencapai kuda kelabu dan sudah mencemplak ke
atasnya, terus dilarikan secepat terbang ke bawah
gunung.
Yap Boh-hoa berteriak, "Nona Kheng, orang she Hong
itu adalah jago pengawal Yap To-hu dan orang she Yap
itulah yang telah membikin celaka ayahmu. Kenapa kau
melepaskan dia, kelak tentu akan banyak menimbulkan

bencana pula. Lekas kau mengejarnya jangan sampai


terlepas!"
Tapi si nenek juga lantas berseru, "Siu-hong ke sini!
Bocah she Yap inilah musuhmu, boleh kau binasakan
dengan tanganmu sendiri."
Keruan Siu-hong menjadi bingung, ia tidak tahu sebab
apa gurunya bertempur dengan Yap Boh-hoa, juga tidak
tahu mengapa sang guru membela orang she Hong juga
yang dikatakan sebagai antek kerajaan oleh Cu-lotoa
tadi?
Tadi Hong Jong-liong baru saja melarikan kudanya,
jika Kheng Siu-hong mau mengejarnya dengan segera,
dalam keadaan masih payah tentu Hong Jong-liong akan
dapat disusul oleh Siu-hong, tapi sekarang Hong Jongliong
sudah pergi jauh.
Melihat si nona tertegun di tempatnya, Boh-hoa
menghela napas, sambil melawan si nenek ia berseru,
"Nona Kheng, sudah salah satu kali jangan salah pula
untuk kedua kalinya. Aku bukanlah musuhmu, kesalah
pahaman kita adalah karena tipu muslihat Yap To-hu.
Kalau tidak percaya boleh kau tanya kedua saudara Cu,
seumpama kita bukan kawan seperjuangan, paling
sedikit juga bukan musuh."
Di kala Yap Boh-hoa bicara, berulang-ulang si nenek
mendesak pula agar Siu-hong mau memihak padanya.
Sementara itu Cu-lotoa lantas berkata, "Memang
benar apa yang dikatakan Yap-siauhiap itu, Kheng-cecu.
Tadi aku mendengar dengan telingaku sendiri pengakuan
anjing she Hong itu." Lalu ia pun menceritakan apa yang
didengarnya secara tidak sengaja tadi.
Di sebelah sana Yap Boh-hoa dan Ubun Hiong telah
mengembut mati-matian sehingga si nenek tidak sampai
menyerang dengan senjata rahasianya lagi. Dengan

gusar ia hanya berkaok-kaok, "Hong-koh apakah kau


tidak mau menurut kepada perintah gurumu lagi? Soal
orang she Hong itu adalah petugas kerajaan apa sih
halangannya? Ayahmu sendiri bukankah pernah
menjabat Congpeng? Tentang pengakuan orang she
Hong itu jangan mudah percaya begitu saja, yang
penting bekuk dan bikin perhitungan dulu dengan bocah
she Yap ini."
Saat itu si nenek dapat mengimbangi keroyokan Bohhoa
dan Ubun Hiong, tapi kalau Kheng Siu-hong ikut
membantunya tentu dengan gampang Boh-hoa berdua
dapat dikalahkan.
Tapi Siu-hong anggap tidak mendengar seruan
gurunya, sebaliknya cerita Cu-lotoa sangat menarik
perhatiannya, ia yakin Cu-lotoa pasti tidak berdusta
padanya. Jadi jelas sekarang pemuda she Yap ini
sesungguhnya bukan musuh pembunuh ayahnya, bahkan
adalah tuan penolongnya. Lantaran itu tidak mungkin ia
membalas susu dengan air tuba dengan menuruti
perintah gurunya itu.
Seketika hati Siu-hong berduka dan bimbang pula,
kedatangannya ke Cong-lam-san ini sebenarnya hendak
menjenguk sang guru, tak terduga gurunya ternyata ada
hubungan baik dengan musuh yang sesungguhnya
malah, bahkan memerintahkan dia ikut membekuk Yap
Boh-hoa yang pernah menolongnya. Sebagai gadis yang
tahu budi, ia lebih suka menerima hukuman dari gurunya
daripada berbuat sesuatu yang berlawanan dengan hati
nuraninya. Dengan mengembeng air mata terpaksa ia
menjawab, "Suhu, boleh engkau anggap saja tidak
mempunyai muridmu ini!"
Segera ia putar tubuh hendak mencemplak ke atas
kuda, tiba-tiba dilihatnya laki-laki yang menyamar

sebagai setan perempuan dan Cu-loji masih menggeletak


di situ, segera ia memberi pertolongan untuk
menyadarkan mereka dan menyuruh mereka lekas
berangkat saja, lalu ia sendiri lantas meninggalkan
tempat itu dengan berlinang air mata.
Si nenek menjadi gusar, teriaknya, "Bagus, Siu-hong!
Kau sudah gemuk dan sudah bersayap sekarang, lalu
ingin terbang sendiri ya? Hm, jangan kau kira bisa lepas
dari genggamanku, sesudah kubereskan kedua bangsat
cilik ini, segera aku akan membekuk kau dan membikin
perhitungan denganmu."
Tapi Yap Boh-hoa segera melancarkan serangan lebih
gencar sehingga si nenek tidak sempat mengurus Siuhong
lagi. Di tengah pertarungan sengit itu, tiba-tiba
terdengar suara "bret-bret" dua kali, ikat pinggang sutera
si nenek telah kena terpapas putus kedua ujungnya oleh
pedang Yap Boh-hoa dan Ubun Hiong, yang tertinggal di
tangan si nenek hanya tinggal satu bagian yang pendek
saja.
Sekalian si nenek buang sisa ikat pinggangnya, kedua
tangannya digosok-gosokkan, mendadak ia bersuit
panjang. Tahu-tahu kedua telapan tangannya kelihatan
merah membara seperti terbakar.
Boh-hoa terkesiap, ia tahu ini tentu sejenis ilmu jahat
yang lihai, lekas ia memperingati kawannya, "Hati-hati
Ubun-heng!"
Benar juga, dengan dahsyat kedua tangan si nenek
sudah mulai menghantam sekaligus. Dari angin
pukulannya yang menyambar tiba lebih dulu itu terasa
panas sekali.
Cepat Boh-hoa mendahului menyambut pukulan itu
dengan sebelah tangan. Dari dua tiga kali gebrakan tadi,
agaknya si nenek agak jeri terhadap Pan-yak-ciang,

makanya Yap Boh-hoa berani menandangi pula pukulan


dahsyat yang membakar ini.
Tak terduga, sekali ini telah berbeda jauh daripada
tadi. Begitu tangan berbenturan, seketika Boh-hoa
merasa telapak tangannya seperti kena dibakar oleh besi
panas yang baru diangkat dari anglo. Seketika dadanya
sesak, isi perut serasa berjungkir balik.
Kiranya yang digunakan si nenek adalah ilmu pukulan
Lui-sin-ciang yang merupakan kepandaian andalan
suaminya, cuma dia belum sempurna mempelajari ilmu
pukulan itu dari suaminya dan belum leluasa untuk
digunakan. Sekarang karena dia ingin mencapai
kemenangan secepatnya, maka dengan nekat ia
mengeluarkan pukulan itu sehingga Yap Boh-hoa
tergentak mundur beberapa tindak.
"Sekarang kau tahu kelihaianku belum?" seru si nenek
sambil tertawa. "Mengingat ibumu, biarpun dia pernah
berdosa padaku, tapi apapun juga dia adalah orang dari
keluarga Auyang, maka bolehlah kau berlutut dan
menyembah padaku, segera aku dapat mengampuni
jiwamu."
Waktu Boh-hoa tergetar mundur tadi, segera Ubun
Hiong memutar pedangnya dan mengadang di depan
untuk melindunginya. Meski kepandaian Ubun Hiong
lebih rendah, tapi Si-mi-kiam-hoat adalah ilmu pedang
menjaga diri yang hebat sehingga dalam waktu singkat si
nenek tak mampu menembus pertahanannya.
"Baik, biar kumampuskan dulu kau bangsat cilik ini!"
bentak si nenek dengan gemas.
Boh-hoa menjadi kuatir. "Ubun-heng, kau mempunyai
urusan penting, silakan kau lekas berangkat saja!"
serunya, lalu katanya juga kepada si nenek, "Auyangtoanio,
aku tidak tahu kau terhitung apa di dalam

keluarga ibuku. Jika kau benci kepada ibuku, bolehlah


aku bertanggung jawab bagi beliau, silakan kau mau
berbuat apa? Tapi suruh aku menyembah padamu
janganlah harap. Segala urusan tentu ada yang benar
dan yang salah, yang jelas urusan sekarang ini kaulah
yang salah."
"Kurangajar, setelah kau dapat menduga siapa aku ini,
kau masih berani berlagak di hadapanku?" teriak si
nenek alias Auyang-toanio dengan murka. "Baik, kalian
berdua bangsat cilik ini jangan harap bisa lolos seorang
pun." Habis berkata ia gosok-gosok pula kedua telapak
tangannya dan segera akan melancarkan pukulan
dahsyat pula.
Ternyata Ubun Hiong tidak mau pergi meski sudah
disuruh lekas berangkat oleh Yap Boh-hoa, sebaliknya ia
malah putar pedang dan siap menghadapi Auyangtoanio.
Keruan Boh-hoa merasa kuatir dan cemas, baru saja ia
hendak menarik mundur Ubun Hiong dan dirinya akan
menyambut serangan Auyang-toanio. Pada saat itulah
tiba-tiba terdengar seruan Cu-lotoa yang kejut-kejut
girang, "Kebetulan sekali kedatanganmu, Tiong-pangcu!
Lekas engkau menolong kedua ksatria muda itu!"
Tapi panca indra Auyang-toanio cukup tajam, saat itu
ia pun merasa datangnya tokoh luar biasa yang
dimaksudkan Cu-lotoa itu. la terkejut dan membatin,
"Mengapa begini kebetulan si pengemis tua itu datang
pada saat demikian ini?" Karena itu pukulannya lantas
tertunda.
Dalam pada itu mendadak telah muncul seorang
pengemis tua yang berbaju compang-camping dengan
menggendong karung. Segera Ubun Hiong mengenali
pengemis tua itu tak lain tak bukan adalah liong TiangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
thong, ketua Kay-pang yang mempunyai hubungan akrab
dengan Kang Hay-thian.
Terdengar Tiong Tiang-thong tertawa terbahak-bahak,
serunya, "Selamanya pengemis tua paling suka ikut
campur urusan orang lain. He, Auyang-toanio, ada
urusan apa kau merecoki dua anak kecil itu?"
"Dia membantu antek kerajaan, dia hendak
membunuh kami," sela Ubun Hiong sebelum si nenek
menjawab.
Dengan nada dingin Auyang-toanio juga lantas
menjawab, "Hm, apakah kau tahu siapa bocah she Yap
ini? Dia adalah anak keturunan keluarga kami, aku
mengajar orang sendiri, berdasarkan apa sebagai orang
luar kau mau ikut campur? Kau boleh bawa pergi saja
murid Kang Hay-thian itu!"
Nyata dengan licik Auyang-toanio mengelakkan
persoalan pokok, ia kesampingkan soal membantu antek
kerajaan segala, tapi dikatakannya sebagai urusan
kekeluargaan.
Rupanya dari jauh Tiong Tiang-thong telah mendengar
juga caci-maki Auyang-toanio kepada Yap Boh-hoa dan
sudah tahu siapa dia, maka dengan tertawa dingin ia
berkata, "Bukankah kau sudah tidak mengakui lagi famili
keluargamu itu. Hehe, aku justru ingin campur urusan,
selama aku berada di sini kau tidak boleh sembarangan
bertingkah."
Auyang-toanio menjadi gusar, dampratnya, "Tiong
Tiang-thong, lebih tepat kau urus kaum pengemis saja,
mengapa urusan keluarga Auyang kami juga kau akan
ikut campur?"
"Buat apa kau marah, jika kau tidak terima boleh coba
melabrak padaku, apa gunanya memusuhi anak kecil?"
sahut Tiang-thong sambil menarik mundur Ubun Hiong,

menyusul setelah tangannya lantas menabok ke depan


untuk menyambut Lui-sin-ciang (pukulan geledek) si
nenek.
Maka terdengarlah suara gemuruh benturan kedua
tangan, di tengah guncangan angin pukulan, tertampak
air muka Auyang-toanio berubah menjadi pucat-pasi,
badannya sempoyongan dan mundur beberapa tindak,
menyusul darah segar terus menyembur keluar dari
mulutnya, masih mending baginya tidak sampai
terjungkal.
Kiranya ilmu Kun-goan-it-khi-kang yang dilatih Tiong
Tiang-thong sudah cukup sempurna, betapa hebat
tenaga dalamnya sudah jauh di atas Auyang-toanio.
Kalau Tiong Tiang-thong tidak menyerangnya dengan
sepenuh tenaga sudah terhitung bermurah hati.
"Terang kau punya Lui-sin-ciang belum cukup
sempurna, boleh kau pulang untuk belajar kepada
suamimu!" ujar Tiang-thong dengan adem-ayem.
"Pengemis busuk, permusuhan kita ini sudah pasti,
kelak aku pasti akan menyuruh lakiku mengukur
kepandaianmu lagi, boleh kau tetapkan harinya,"
damprat Auyang-toanio. Untuk mengurangi malunya
terpaksa ia tampilkan nama suaminya.
Tapi Tiang-thong lantas menjawab, "Aku tiada tempat
kediaman yang tetap, biarlah kelak bila aku lewat di sini
lagi tentu aku akan mampir untuk minta petunjuk kepada
suamimu. Aku tahu saat ini dia tidak berada di rumah."
Auyang-toanio terkesiap, diam-diam ia mengakui
tajam sekali berita kaum Kay-pang, sampai-sampai
suaminya tidak berada di rumah juga diketahui olehnya.
Terpaksa ia tidak berani menonjolkan sang suami lagi,
sesudah mengucapkan beberapa kata-kata lagi, ia lantas
kabur dengan lesu.

Segera Ubun Hiong dan Yap Boh-hoa mengucapkan


terima kasih kepada Tiong Tiang-thong.
"Untung Auyang Pek-ho tidak di rumah, kalau tidak,
tentu hari ini kalian akan banyak menelan pil pahit," ujar
Tiang-thong dengan tertawa. "Eh, kau ini tentunya putra
Yap Tiong-siau bukan? Tampaknya Lwekang ayahmu
juga telah diajarkan padamu."
Boh-hoa tidak paham mengapa datang-datang ketua
Kay-pang itu sudah lantas menilai Lwekangnya, segera ia
mengucapkan kata-kata merendah hati.
"Tidak perlu sungkan-sungkan," ujar Tiang-thong.
"Menurut Lwekangmu sekarang, agaknya jauh lebih kuat
daripada ayahmu ketika dia berusia sebaya dengan kau
dahulu."
"Jika demikian tentunya Tiong-pangcu adalah kenalan
lama ayah-ibu?" tanya Boh-hoa.
"Bukan cuma kenalan lama saja, bahkan perjodohan
ayah-ibumu dahulu si pengemis tua ini yang
menghubungkannya," kata Tiong-thong dengan bergelak
tertawa.
"Dan pernah apakah Auyang-toanio itu dengan nenek
luarku? Siapa pula Auyang Pek-ho yang disinggung
Tiong-pangcu tadi?" tanya Boh-hoa.
"O, kiranya ibumu belum pernah bercerita padamu
tentang keluarga ayahnya?" kata Tiang-thong. "Auyang
Pek-ho yang kusebut tadi adalah saudara tua kakekluarmu,
selain itu mereka masih mempunyai seorang adik
laki-laki bernama Auyang Ki-ho, kakekmu sendiri
bernama Auyang Tiong-ho. Auyang-toanio tadi adalah
istri Auyang Pek-ho, yaitu bibi besar ibumu. Mereka telah
berselisih paham dengan ayah-ibumu, maka sudah lama
putus hubungan. Tentang ini kelak bila ada tempo tentu
dapat kuceritakan padamu."

Kiranya Auyang Pek-ho bertiga saudara dahulu pernah


juga menjagoi dunia persilatan. Ibu Yap Boh-hoa, yaitu
Auyang Wan sebenarnya telah dijodohkan dengan Bun
To-ceng, keponakan Bun Ting-bik yang terkenal pada
masa itu. Tapi berkat Kang Hay-thian dan bantuan
seorang Suhengnya, pada hari perkawinannya, Bun Toceng
telah dilukai dan Auyang Wan melarikan diri, sejak
itu lantas putus hubungan dengan keluarganya.
Kemudian Auyang Wan telah menjadi istri Yap Tiongsiau,
perjodohan ini akhirnya disetujui juga oleh Auyang
Pek-ho dan saudaranya, karena Yap Tiong-siau diketahui
adalah putra mahkota sebuah kerajaan kecil. Tak terduga
kemudian Yap Tiong-siau sengaja melepas haknya
sebagai putra mahkota kepada saudaranya, yaitu Danu
Cu-mu. Sebaliknya Tiong-siau juga tidak suka terhadap
tingkah laku keluarga Auyang yang plin-plan, suka
berkomplot dengan kerajaan Boan-jing dan orang-orang
Kangouw yang tak beres. Semuanya ini sangat
mengecewakan harapan Auyang Pek-ho, maka hubungan
kekeluargaan mereka kembali putus lagi.
Begitulah setelah mengetahui sekedar duduknya
perkara, maka Boh-hoa tidak bertanya lebih lanjut.
Dalam pada itu kedua saudara Cu dan kawannya telah
maju pula untuk beramah-tamah dengan semua orang.
Mereka pun gelisah seperti Yap Boh-hoa mengenai
larinya Hong Jong-liong yang sudah sekian lamanya itu.
Bila Yap Leng-hong dapat menerima berita' lebih dulu
dari Hong Jong-liong, tentu akan menimbulkan bencana
bagi laskar pemberontak di Sucwan.
Mendengar percakapan mereka, Tiong Tiang-thong
bertanya, "Apakah orang she Hong yang dapat lolos itu
berumur 50-an dan bermuka berewok?"

"Betul, darimana Tiong-pangcu mengetahui?" tanya


Boh-hoa.
"Tadi waktu aku naik ke sini, dia sedang melarikan
kudanya ke bawah," tutur Tiang-thong. "Aku tidak kenal
dia, dari kudanya itu aku tahu binatang itu adalah milik
Ban-keh-ceng yang terkenal sebagai sarang gembong
penindas rakyat, murid Kay-pang sendiri pernah dihina
mereka. Jika orang Ban-keh-ceng berada di Cong-lamsan
sini tentu tiada melakukan sesuatu yang baik, maka
dengan sengaja aku lantas menghantamnya dari jauh
dengan maksud menjatuhkan dia dari kuda untuk ditanya
lebih jauh. Tapi karena tenaga yang kupakai hanya
sebagian kecil saja, keparat itu hanya bersuara tertahan
dan tidak sampai jatuh dari kudanya. Sayang, bilamana
mengetahui dia adalah antek kerajaan, tentu tenaga
pukulan yang kulancarkan sedikitnya akan membikin dia
terluka parah."
"Biarpun tidak keras, sedikitnya keparat itu juga sudah
terluka, maka untuk mengejarnya rasanya tidaklah sukar
dan masih keburu," ujar Cu-lotoa.
"Jika demikian, bolehlah lekas Ubun-heng
menyusulnya dengan Jik-liong-ki, meski keparat itu
sudah lari sekian lamanya, mungkin kudamu itu masih
sanggup menyusulnya," kata Boh-hoa.
"Kemudian cara bagaimana kita akan bergabung
kembali?" tanya Ubun Hiong.
"Setiap jarak tertentu boleh kau meninggalkan tanda
agar aku dapat mencari jejakmu," kata Boh-hoa.
Sesudah menentukan tanda pengenal, lalu Ubun Hiong
mencemplak ke atas Jik-liong-ki dan menyusul ke arah
Hong Jong-liong. Yap Boh-hoa juga lantas menceritakan
pengalamannya dan tentang tipu muslihat keji kepergian
Hong Jong-liong ke Sucwan itu.

"Kabarnya semalam Kui-tek-po telah terjadi geger,


apakah perbuatan kalian? Sudahkah kalian membalas
dendam?" tanya Tiang-thong kepada kedua saudara Cu.
"Kejadian semalam dilakukan oleh laskar Kheng Siuhong,
kami hanya membantunya dari dalam saja," tutur
Cu-lotoa. "Bangsat tua she Kui itu bahkan telah melukai
saudaraku, jadi dendam lama belum terbalas sudah
bertambah sakit hati baru lagi."
Begitulah sembari berjalan sambil bicara, dari situ baru
Boh-hoa mengetahui bahwa keluarga Cu sebenarnya
adalah petani di Kui-tek-po, karena musim paceklik dan
tak mampu membayar sewa, akhirnya ayah-ibu
persaudaraan Cu telah mati merana atas pemerasan Kui
Koh-ku. Waktu itu persaudaraan Cu baru 7-8 tahun
umurnya, mereka telah mengungsi ke daerah lain ikut
sanak-famili miskin yang lain, kemudian mengembara
lebih jauh lagi sambil mengemis, akhirnya masuk menjadi
anggota Kay-pang. Mereka baru pulang ke Kui-tek-po
beberapa tahun yang lalu sebagai pendatang baru.
Dari bocah ingusan telah berubah menjadi laki-laki
pertengahan umur yang tegap sudah tentu mereka tidak
dikenal lagi oleh penduduk setempat, apalagi logat
mereka sudah mirip dengan orang dari daerah lain.
Mereka pura-pura minta pekerjaan dan mau menerima
syarat mencekik dari keluarga Kui, hasil cocok tanam
mereka harus dibagi dua, hewan piaraan harus
disetorkan tiga ekor dari tiap-tiap sepuluh ekor, selain itu
setiap tahun harus kerja bakti bagi keluarga Kui selama
dua bulan tanpa upah.
Sebabnya mereka mau menerima syarat-syarat pelik
itu tujuannya asalkan dibolehkan menetap di Kui-tek-po,
agar mereka ada kesempatan menuntut balas. Akan
tetapi kemudian mereka baru tahu untuk menuntut balas

tidaklah gampang. Bukan saja keluarga Kui menyewa


beberapa jago pengawal, bahkan kepandaian Kui Koh-ku
sendiri juga lebih tinggi daripada mereka. Sudah sekian
tahun mereka menetap di Kui-tek-po dan tetap belum
berhasil menuntut balas.
Perkenalan persaudaraan Cu dengan Kheng Siu-hong
dimulai dengan seorang kawannya yang ikut menjadi
anak buah nona itu. Karena maksud Siu-hong hendak
menggempur Kui-tek-po, mereka lantas mengadakan
hubungan dengan persaudaraan Cu agar membantu dari
dalam, mereka pikir bila Kui-tek-po berhasil diruntuhkan,
untuk membunuh Kui Koh-ku dan menuntut balas
tentulah tidak sukar. Tak terduga sakit hati lama belum
terbalas, sebaliknya persaudaraan Cu malah terluka.
Boh-hoa menghibur persaudaraan Cu dan berjanji bila
kelak dirinya pulang dari Sucwan tentu akan membantu
mereka menuntut balas.
Cu-lotoa mengucapkan terima kasih, katanya, "Kami
akan pergi menggabungkan diri dengan Kheng-cecu,
kuyakin kegagalan Kheng-cecu ini tentu takkan
mematahkan semangatnya."
"Aku juga pernah mendengar bahwa Auyang Pek-ho
suami-istri telah menerima seorang putri Congpeng
sebagai murid, kiranya dia adalah Kheng-cecu kalian itu,"
kata Tiang-thong. "Di antara angkatan baru kalangan
Lok-lim akhir-akhir ini, Kheng-cecu kalian juga terhitung
satu di antaranya yang paling menonjol. Cuma aku tidak
paham, mengapa dari putri Congpeng dia terus menjadi
kepala bandit?"
Segera Boh-hoa menceritakan sebab-musababnya,
tentang diri Kheng Siu-hong hanya urusan pribadinya
dengan nona itulah yang tak diceritakan.

Karena tadi Cu-lotoa sudah mencuri dengar tanya


jawab antara Yap Boh-hoa dan Hong Jong-liong, maka ia
sudah tahu hubungan antara Boh-hoa dan Siu-hong,
katanya kemudian, "Yap-tayhiap, banyak terima kasih
atas bantuanmu semalam. Banyak di antara anak buah
Hui-hong-san yang terluka, rasanya rombongan mereka
belum terlalu jauh perginya. Apakah Yap-tayhiap tidak
ingin tinggal satu-dua hari lagi, marilah bersama kami
berkunjung kepada Kheng-cecu."
Watak Tiong Tiang-thong paling suka menjodohkan
anak muda, meski tidak tahu bagaimana hubungan
antara Boh-hoa dan Siu-hong, tapi diam-diam ia sudah
dapat menduga beberapa bagian dari percakapan
mereka tadi, maka dengan tertawa ia berkata, "Jika
kenalan baik sudah seharusnya kau pergi menjenguknya.
Mestinya aku hendak pergi menyambangi Hay-thian, tapi
sekarang aku telah berubah pikiran dan akan pergi ke
Siau-kim-jwan. Tentang keamanan Ubun Hiong boleh
serahkan padaku saja."
"Tidak, tidak," sahut Boh-hoa dengan wajah merah,
"aku sudah bertemu dengan Cecu kalian, tiada sesuatu
yang perlu dibicarakan lagi."
Tengah bicara, mereka telah sampai di kaki gunung.
Tiba-tiba dua wanita muda penunggang kuda sedang
mendatangi dengan cepat, di belakangnya mengikut pula
beberapa ekor kuda tanpa penunggang. Kiranya adalah
kedua dayang Kheng Siu-hong yang disuruh membawa
kuda untuk memapak persaudaraan Cu, di antaranya
terdapat pula kuda milik Ubun Hiong yang dilarikan
Kheng Siu-hong itu.
"Wah, kebetulan sekali, kiranya Yap-kongcu juga
berada di sini," kata dayang yang satu dengan tertawa.
"Tadi Cecu kami telah meminjam kuda ini, sekarang

hamba disuruh mengembalikannya kepada Yap-kongcu,


Siocia kami pun minta maaf tentang kejadian semalam.
Apakah Yap-kongtu sendiri ada pesan apa-apa yang
minta kami sampaikan kepada Siocia?"
Sebenarnya Siu-hong cuma menyuruh mereka
mengembalikan kuda saja, permintaan maaf itu adalah
mereka sendiri yang mengemukakan. Sebagai pelayan
pribadi mereka cukup tahu perasaan Siu-hong.
Maka Boh-hoa menjawab, "Aku mestinya hendak
mengembalikan sesuatu kepada Siocia kalian, tapi ...
sudahlah, biar kelak bila aku lewat lagi di sini, tentu akan
mampir untuk mengembalikan barangnya ini. Harap
kalian sampaikan demikian saja."
"O, jika demikian memang seharusnya kau
mengembalikannya sendiri," sahut dayang tadi dengan
tertawa.
"Ya, betul juga jika kau mengutamakan kepentingan
umum daripada pribadi," kata Tiong Tiang-thong.
"Sekarang bolehlah kau berangkat saja lebih dulu, segera
aku akan menyusul. Tambah teman tentunya tambah
baik."
Maka Yap Boh-hoa lantas mohon diri dan berangkat
lebih dulu. Meski kuda merah yang dikembalikan Kheng
Siu-hong tak dapat dibandingkan Jik-liong-ki, tapi juga
terhitung seekor kuda pilihan. Perasaannya yang tertekan
mengenai diri Siu-hong sekarang sudah buyar, satusatunya
hal yang dipikirnya sekarang adalah dapatkah
Ubun Hiong menyusul Hong Jong-liong.
Sepanjang jalan Boh-hoa melihat ada tanda-tanda
yang ditinggalkan Ubun Hiong, menurut ketentuan,
bilamana Hong Jong-liong dapat dibekuk akan diberi
tanda silang tambahan. Tapi sampai hari kedua Boh-hoa
masih belum menemukan tanda tambahan itu, ia

menjadi sangsi dan kuatir. Apa barangkali Hong Jongliong


berhasil meloloskan diri, padahal menurut
perhitungan, dengan kuda Jik-liong-ki seharusnya pada
hari kedua Ubun Hiong sudah dapat menyandak
buronannya.
Sampai hari ketiga Boh-hoa semakin kuatir, sepanjang
30 li ia tidak lagi menemukan tanda-tanda yang
ditinggalkan Ubun Hiong. Ia coba putar kembali untuk
menyelidiki hutan di sekitar tempat yang dilaluinya,
namun tetap tidak diketemukan jejak Ubun Hiong. Tanda
yang ditinggalkan pemuda itu putus mendadak, hal ini
menimbulkan dugaan pasti terjadi apa-apa sesudah
tempat yang terdapat tanda terakhir itu. Cuma di sekitar
situ hanya lereng bukit belaka, sama sekali tiada rumah
penduduk sehingga sukar bagi Yap Boh-hoa untuk
mencari keterangan.
Sebab apakah mendadak jejak Ubun Hiong bisa
menghilang. Untuk itu marilah kita mengikutinya dari
semula.
Hari itu Ubun Hiong telah menguber sampai di jalan
pegunungan yang curam itu, sekonyong-konyong sebutir
batu mengambar dari atas dan dengan tepat mengenai
kaki depan Jik-liong-ki. Padahal saat itu Jik-liong-ki
sedang mecongklang dengan cepat, tapi batu itu dengan
tepat dapat mengenai kakinya, kepandaian menyambit
senjata rahasia orang itu tentu sangat tinggi.
Karena ruas kaki depan tertimpuk batu, kontan Jikliong-
ki meringkik kaget dan terguling. Dalam keadaan
sedang lari cepat dan mendadak roboh, keruan Ubun
Hiong juga ikut terjungkal.
Dan sebelum Ubun Hiong melompat bangun, tiba-tiba
di atas bukit terdengar suara tertawa orang dan berkata,
"Ayah, perhitunganmu benar-benar sangat tepat. Kurir

yang mereka kirim benar-benar lewat di sini. Aha, aku


kenal bocah ini, dia adalah Ubun Hiong, murid Kang Haythian
yang kedua."
Waktu Ubun Hiong mendongak, dilihatnya di atas
bukit berdiri tiga orang yang dikenalnya semua. Yaitu
Nyo Ceng, Nyo Hoan dan seorang lagi adalah Bong Ingping
dari Jing-sia-pay.
Kiranya pada malam penyerbuan penjara kerajaan
tempo hari Nyo Ceng dan putranya beruntung dapat
meloloskan diri. Sebagai orang yang berpengalaman dan
licin, ketika melihat Kang Hay-thian berjumpa kembali
dengan Utti Keng dan istrinya serta Ubun Hiong, diamdiam
Nyo Ceng menduga rahasia Yap Leng-hong palsu
pasti akan terbongkar, maka malam itu juga dia lantas
berangkat ke Sucwan.
Bong Ing-ping adalah mata-mata kerajaan yang
diselundupkan ke dalam Jing-sia-pay, dia juga mendapat
tugas ikut di dalam pasukan pemberontak dan
mengadakan hubungan langsung dengan Yap Lenghong.
Waktu ditugaskan mencari berita di luar, secara
kebetulan bertemu dengan Nyo Ceng dan Nyo Hoan di
tengah jalan.
Karena tidak leluasa bertemu sendiri dengan Yap
Leng-hong, maka Nyo Ceng telah minta Bong Ing-ping
menyampaikan berita tentang kemungkinan akan
terbongkarnya rahasia Leng-hong. Ia pun menduga
bahwa dari pihak Kang Hay-thian pasti akan dikirim kurir
ke Sucwan, maka mereka sengaja bicara di atas bukit,
dimana jalan yang menuju ke Sucwan itu dapat diawasi
bilamana ada orang lewat.
Benar juga dugaan Nyo Ceng, di situlah Ubun Hiong
kena dicegat mereka dan terguling dari kudanya. Nyo
Ceng menjadi senang sesudah mendengar dari putranya

tentang siapa Ubun Hiong. Dengan tertawa ia berkata,


"Bagus, kita tangkap dulu murid Kang Hay-thian ini untuk
melampiaskan rasa dongkol kita. Kudanya itu juga bagus,
jangan-jangan adalah Jik-liong-ki milik Kang Hay-thian.
Hoan-ji, boleh kau bekuk bocah itu, biar kutangkap
kudanya."
Rupanya Jik-liong-ki hanya terluka ringan saja dan
masih bisa meronta bangun, walaupun dengan sebelah
kaki sedikit pincang, tapi kuda itu masih dapat berlari
dengan cepat kian kemari di lereng bukit itu sehingga
sukar didekati meski Nyo Ceng telah mengudaknya.
Sebaliknya Ubun Hiong terbanting jatuh agak keras,
saat itu dia baru saja merangkak bangun dan tahu-tahu
Nyo Hoan sudah memburu tiba, tongkat bambunya terus
saja menotok ke dada Ubun Hiong, sambil menyeringai
bentaknya, "Bocah keparat, sekali ini masakah kau
mampu lolos lagi!"
Tampaknya segera Ubun Hiong akan tertotok oleh
tongkat bambu musuh, tapi secara cepat sekali pemuda
itu sempat mengegos ke samping, berbareng itu pedang
juga sudah diloloskan dan menyampuk pergi serangan
Nyo Hoan yang kedua. Gerakan Ubun Hiong yang
pertama adalah langkah ajaib Thian-lo-poh-hoat dan
jurus kedua adalah ilmu pedang Si-mi-kiam-hoat,
perpaduan kedua macam kepandaian itu dapat
dimainkan dengan amat bagus, maka walaupun habis
jatuh terbanting ia masih mampu melawan Nyo Hoan
dengan sengit.
Dalam sekejap saja Nyo Hoan telah menyerang 20-30
jurus secara membadai, tapi Ubun Hiong telah putar
pedangnya sehingga berwujud suatu lingkaran cahaya
yang tak tertembus siraman air. Hanya terdengar "Cringcring"
berulang-ulang, betapapun tongkat bambu Nyo

Hoan tidak mampu menembus pertahanan lawan. Diamdiam


ia terkesiap, sungguh tidak nyana baru berpisah
beberapa bulan saja kepandaian Ubun Hiong sudah maju
begini pesat.
"Jangan kuatir Nyo-heng, biar kubekuk dia!" seru Bong
Ing-ping yang telah menyusul tiba, segera ia menubruk
maju dengan senjata gaetan.
Langkah ajaib Thian-lo-poh-hoat berasal dari Jing-siapay,
walaupun telah banyak ditambah dan diubah oleh
Kim Si-ih, lalu diajarkan kepada Hay-thian, namun
betapapun Ubun Hiong juga belum sempurna dan tidak
lebih pandai daripada Bong Ing-ping yari^, merupakan
murid Jing-sia-pay terpilih, sebab itulah dalam hal ger.ik
geriknya ia selalu kena dihalangi.
Akan tetapi Bong Ing-ping juga salah hitung, ia sangka
dengan senjata gaetnya akan dapat merampas pedang
Ubun Hiong, karena gaetan demikian memang biasanya
sangat baik buat merebut senjata lawan seperti golok
dan pedang. Tak terduga mendadak terdengar "cret"
satu kali, ujung pedang Ubun Hiong tergaet, sebaliknya
lengan kanan Bong Ing-ping malah kena tergores luka.
Nyata dia dapat mengatasi langkah Thian-lo-poh-hoat,
tapi tidak dapat menahan Si-mi-kiam-ho.it yang lihai.
Namun Nyo Hoan juga tidak tinggal diam, pada waktu
Bong Ing-ping dapat menembus pertahanan Ubun Hiong,
berbareng tongk.il bambunya juga lantas menikam pula
pada saat yang sama ketika Ubun Hiong melukai Bong
Ing-ping sehingga tepat kena sasarannya.
Setelah terkena totokan tongkat, Ubun Hiong merasa
lemas. Bung Ing-ping yang terluka menjadi murka,
menyusul sebelah tangannya lantas menghantam.
"Jangan membunuh dia, kita perlu tanya
keterangannya'" seru Nyo Hoan.

Cepat Bong Ing-ping menahan sebagian tenaganya,


tapi tidak urung pukulan yang cukup keras itupun sudah
mengenai tubuh Ubun Hiong.
Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara bentakan
orang "He, siapa itu berani mengganas di sini?"
Karena pukulan Bong Ing-ping itu, kepala Ubun Hiong
serasa sakit hendak pecah, matanya berkunang-kunang,
tapi samar-samar ia masih mendengar seruan Nyo Ceng,
"Lekas lari, anak Hoan.'" Hanya ucapan demikian itulah
yang masih terdengar, habis itu ia lantas jatuh pingsan
tanpa mengetahui siapakah yang datang itu.
Entah sudah selang berapa lama, perlahan-lahan Ubun
Hiong mulai sadar. Sebelum membuka mata sudah
terdengar suara orang sedang bicara di sampingnya,
lebih dulu suara seorang wanita berkata, "Sayang
keparat Nyo Ceng itu sempat lari!"
"Tapi dia sudah merasakan pukulanku, walaupun
selamat juga pasti terluka parah, sedikitnya kita sudah
melampiaskan dendam anak Ling yang dipukulnya di Binsan
tempo hari," demikian suara seorang laki-laki tua
menjawab.
Ia merasa suara itu seperti sudah dikenalnya, lambatlaun
teringatlah olehnya. Ya, suara inilah yang
membentak Nyo Ceng pada saat dia akan jatuh pingsan
tadi, karena kedatangan orang ini maka Nyo Ceng telah
berseru kepada Nyo Hoan agar lari.
"Tentu orang inilah yang telah menolong diriku,"
demikian Ubun Hiong membatin.
Dalam pada itu terdengar suara wanita tadi sedang
berkata pula, "Nah, dia sudah mulai dapat bergerak,
tentu akan segera siuman. Eh, Lau Han, boleh bawa
kemari bubur encer itu!"

Waktu perlahan-lahan Ubun Hiong membuka mata, ia


merasa dirinya berada di dalam sebuah rumah gubuk
dan terbaring di atas balai-balai batu. Di sebelah berdiri
seorang laki-laki dan seorang wanita berumur kira-kira
setengah abad, yang laki-laki berjenggot cabang tiga,
wajahnya kereng. Yang perempuan selalu tersenyum
simpul, sikapnya ramah dan sedang merawatnya seperti
kasih seorang ibu.
Hampir Ubun Hiong mengira dirinya berada dalam
mimpi, selagi hendak bicara, tiba-tiba orang tua itu
sudah bertanya lebih dulu, "Apakah kau murid Kang Haythian?
Siapa namamu?"
"Tecu bernama Ubun Hiong dan baru masuk
perguruan tahun yang lalu. Banyak terima kasih atas
pertolongan Locianpwe," jawab Ubun Hiong. Diam-diam
ia heran, siapakah kedua orang tua ini dan darimana
kenal nama Suhunya.
Terdengar kakek itu telah berkata pula sambil tertawa,
"Aku adalah Ciong Tian dari Thian-san. Dari permainan
ilmu pedangmu memang sudah kuduga kau adalah murid
Kang Hay-thian, nyatanya memang benar."
Tempo hari waktu Ciong Tian hadir dalam pertemuan
di Bin-san, waktu itu Ubun Hiong tidak berada di sana,
maka sekarang adalah pertemuan mereka yang pertama.
Namun sebelumnya Ubun Hiong sudah sering mendengar
cerita sang guru tentang Ciong Tian dan tokoh-tokoh
Thian-san-pay yang lain, keruan ia terkejut dan bergirang
pula, pantas orang kenal ilmu pedangnya dan tahu nama
gurunya.
Sementara itu wanita tua itupun ikut bertanya, "Jika
demikian, jadi kau adalah Sute Yap Leng-hong, putraputriku
sekarang juga ikut berjuang dalam pasukan
Toasuhengmu sana. Kabarnya pasukan pemberontak di

Sucwan telah memperoleh kemenangan yang gilang


gemilang di bawah pimpinan Toasuhengmu, sekarang
kabarnya sudah mulai akan menyerang Siau-kim-jwan.
Apakah kau sedang menuju ke sana buat membantu
Toasuhengmu?"
Wanita tua ini adalah istri Ciong Tian yakni Li Simbwe.
Putra putrinya yang dimaksud adalah Ciong Leng
dan Ciong Siu yang tempo hari juga ikut hadir di Bin-san.
Mendengar mereka memuji Leng-hong, seketika Ubun
Hiong menjadi bingung, entah apa yang harus dikatakan.
Dalam pada itu seorang laki-laki dengan dandanan
sebagai pemburu, tampak masuk dengan membawa
semangkuk bubur dan beberapa piring kecil lauk-pauk.
"Ya, tentu badanmu masih lemas sesudah berbaring
sekian lamanya, silakan dahar dulu, nanti kita bicara
lagi," kata Li Sim-bwe dengan tertawa.
Ubun Hiong memang sudah merasa lapar, ia
mengucapkan terima kasih dan tanpa sungkan-sungkan
lagi ia lantas menghabiskan semangkuk bubur itu.
Lalu Cong Tian memeriksa urat nadi Ubun Hiong,
sedang Li Sini bwe berkata pula dengan tertawa,
"Sampai sekian lamanya kau tak sadarkan diri, sungguh
kami ikut cemas sekali. Tapi dasar Lwekangmu cukup
kuat, asal mengaso lagi dua hari sudah boleh
melanjutkan perjalanan."
Ubun Hiong terperanjat, cepat ia bertanya, "Sudah
beberapa lama aku tak sadar?"
"Sehari semalam," sahut Li Sim-bwe.
"Wah, celaka, celaka! Mengapa terhalang sampai
sekian lamanya'" seru Ubun Hiong.
"Belakang kepalamu tergetar sehingga darah mati
mengumpul di situ, tapi sekarang sudah kami urut dan
darah sudah jalan lancar kembali," tutur Sim-bwe.

"Rumah ini adalah milik pemburu yang kami kenal, kau


boleh mengaso di sini dengan tenang, urusan apa
hendaklah dikesampingkan dulu. Paling-paling hanya dua
hari saja kau sudah bisa berangkat".
"Tapi aku akan pergi ke Siau-kim-jwan," seru Ubun
Hiong.
"Jangan kuatir, kami juga akan pergi ke sana untuk
menjenguk putra-putri kami," ujar Sim-bwe. "Selang dua
hari lagi bila tenagamu sudah pulih boleh kita berangkat
bersama ke tempat Toasuhengmu itu."
"Bukan, aku memang hendak pergi mencari Yap Lenghong,
tapi ... tapi dia bukan ..."
"Bukan apa? Yap Leng-hong bukan Suhengmu?" sela
Li Sim-bwe dengan heran.
"Dahulu Suhengku, tapi sekarang bukan," sahut Ubunhiong.
"Apa maksudmu?" kata Ciong Tian dengan mengerut
kening.
Segera Ubun Hiong mengeluarkan sampul yang berisi
laporan rahasia gubernur Sucwan si jagal she Yap itu,
katanya, "Silakan Ciong-locianpwe membacanya dan
tentu akan paham duduknya perkara."
Ciong Tian coba membacanya, tapi baru membaca
beberapa baris saja air mukanya sudah berubah hebat.
Waktu Sim-bwe ikut membaca, ia menjadi lebih kaget
pula, serunya kurang percaya, "Apa ... apa betul! Yap
Leng-hong adalah mata-mata musuh? Ini tidak
mungkin."
Tapi Ubun Hiong lantas menceritakan seluk-beluk diri
Yap Leng-hong serta pesan gurunya agar setiba di Siaukim-
jwan meminta bantuan pula kepada Ciong Leng dan
Ciong Siu untuk bersama-sama membereskan

pengkhianat itu, maka mau tak mau Li Sim-bwe percaya


juga.
Sesungguhnya Lim Sim-bwe rada penujui Yap Lenghong
yang memang ganteng itu, maka ada maksud
hendak menjodohkan putrinya kepada pemuda itu.
Sebabnya dia mengizinkan putra-putrinya ikut ke Sucwan
justru ingin Ciong Siu bisa lebih rapat bergaul dengan
Yap Leng-hong, siapa duga pemuda itu justru adalah
pengkhianat, tentu saja ia cemas dan kuatir.
Akhirnya Ciong Tian berkata, "Pantas kau buru-buru
ingin berangkat, kiranya ada urusan begini penting. Baik,
aku akan membantu kau agar segera dapat berangkat."
Habis itu ia lantas menghimpun Lwekangnya, diam-diam
ia mengerahkan tenaga jari, dalam sekejap saja ia telah
menotok berbagai Hiat-to penting di tubuh Ubun Hiong.
Dimana jarinya menyentuh, Ubun Hiong lantas
merasakan suatu arus hawa hangat menyusup masuk ke
titik jalan darah itu, rasanya nikmat dan segar.
Dengan cara totokan Gong Tian untuk menembus
saluran urat-urat nadi yang penting di tubuh Ubun Hiong
itu, sebenarnya Gong Tian harus mengorbankan
pemupukan tenaga dalam yang dihimpunnya paling
sedikit tiga tahun lamanya, tapi demi untuk kepentingan
pergerakan, ia tidak memikirkan untung ruginya lagi. Ia
terus menotok dengan cepat sehingga jidatnya penuh
butir-butir keringat, ketika ia berhenti menotok, Ubun
Hiong merasa sekujur badannya lantas panas seperti
terbakar. Tapi Ciong Tian lantas mengeluarkan sebutir
obat pil warna hijau muda dan menyuruh Ubun Hiong
meminumnya. Hanya sebentar saja pemuda itu merasa
badannya sudah segar kembali, balikan semangatnya
bertambah kuat.

Pil itu adalah Pik-ling-tan yang dibuat dari teratai salju


yang tumbuh di puncak Thian-san, khasiatnya
menghilangkan panas, memunahkan racun, menguatkan
tenaga dan lain-lain lagi. Maka dalam waktu singkat saja
kekuatan Ubun Hiong akibat pukulan Bong Ing ping itu
telah dapat dipulihkan kembali. Selagi Ubun Hiong ragu
ragu dengan cara bagaimana dirinya harus lekas
berangkat karena Jik liong ki telah hilang, pada saat
itulah mendadak terdengar suara ringkikan kuda, itulah
suara Jik-liong-ki.
Keruan Ubun Hiong sangat girang. "He, Jik-liong-ki
tidak dibawa lari!" serunya.
"Kuda itu sangat cerdik, sesudah Nyo Ceng kabur,
dengan jinak ia lantas mengikuti kita, sekarang sedang
makan rumput di luar sana."
"Dengan bantuan Jik-liong-ki, kurasa masih keburu
mendahului Hong Jong-liong sampai di Sucwan walaupun
aku sudah terhalang sehari semalam," kata Ubun Hiong.
"Cuma ada sesuatu yang perlu minta bantuan Cionglocianpwe
pula."
"Tentang apa, coba katakan," tanya Ciong Tian.
"Perjalanan Tecu ini sebenarnya bersama seorang
kawan," tutur Ubun Hiong. Lalu ia pun menceritakan
janjinya dengan Yap Boh-hoa untuk meninggalkan tandatanda
rahasia di sepanjang jalan yang dilaluinya. Tapi
kemarin tanda-tanda rahasia itu putus mendadak karena
terjadinya serangan Nyo Ceng, hal ini tentu akan
membikin bingung dan kuatirnya teman itu. Jika bertemu
diharap Ciong-locianpwe suka menyampaikan apa yang
sudah terjadi itu. Akhirnya ia pun melukiskan wajah dan
memberitahukan nama Yap Boh-hoa.
Ciong Tian kelihatan tertegun mendengar nama Yap
Boh-hoa, tiba-tiba ia berkata kepada istrinya, "Sim-bwe,

ingatkah kau pada kepala suku Kazak yang kita kenal


pada dua tahun yang lalu, dia menceritakan ada dua
orang ayah dan anak she Yap beberapa tahun yang lalu
pernah bantu mereka berperang di padang rumput.
Katanya mereka memakai she dari bangsa Han, tapi
menggunakan nama suku bangsa di daerah sana. Namun
dilihat dari wajah mereka memang lebih mirip dengan
bangsa Han."
"Betul, aku masih ingat," sahut Li Sim-bwe. "Tatkala
itu kau malah menyangsikan orang itu adalah Yap Tiongsiau,
cuma kita tidak sempat mencari tahu lebih lanjut.
Jika betul mereka adalah ayah dan anak, maka putranya
itu bernama Yap Leng-hong. Putra gubernur Sucwan itu
telah memalsukan nama Yap Leng-hong, makanya Kang
Hay-thian percaya penuh pemuda itu adalah
keponakannya."
Ubun Hiong termenung mendengar percakapan itu,
mendadak ia mendusin, serunya, "Ya, tentu demikian
adanya, Yap Boh-hoa itu pasti Yap Leng-hong yang
tulen. Pantas saja dia begitu jelas tentang seluk-beluk
diri Yap Leng-hong palsu, justru dia yang pertama-tama
membongkar tipu muslihat keparat yang memalsukan dia
itu."
Ciong Tian sangat senang, katanya, "Ya, pasti
demikian halnya. Aha, Kang Hay-thian salah terima famili
palsu, tapi kita yang telah menemukan keponakannya
yang tulen, boleh jadi kelak akan ada sidang konfrontasi
antara Yap Leng-hong tulen dan palsu. Haha, tentu akan
sangat menarik."
"Huh, masih bilang menarik apa?" omel Li Sim-bwe.
"Jika sampai anak Siu tertipu olehnya, kukira kau ingin
menangis saja tidak bisa."

Maka cepat Cong Tian berkata, "Baiklah, urusanmu


memang penting, bolehlah kau lekas berangkat saja. Aku
akan bantu memperhatikan Yap Boh-hoa nanti."
Lim Sim-bwe juga memberi pesan seperlunya untuk
disampaikan kepada Ciong Leng dan Ciong Siu bahwa
selekasnya mereka juga akan menyusul ke Sucwan.
Habis itu Ubun Hiong lantas berangkat dengan Jik-liongki.
Sepanjang jalan ia tidak menemukan jejak Hong Jongliong
lagi, entah sudah mendahului di depan atau masih
ketinggalan di belakang. Kalau Hong Jong-liong lebih
dulu sampai di Sucwan tentu urusan bisa runyam,
terutama keselamatan sang Sumoay, yakni Kang Hiauhu.
Terkenang kepada sang Sumoay, sambil melarikan
kudanya terbayanglah olehnya masa lampau ketika
mereka bersama-sama belajar silat di rumah, setiap hari
berkumpul di tepi danau Tong-peng yang indah.
Walaupun mereka berdua tidak pernah bersumpah setia,
tapi dalam hati sanubari masing-masing sudah lama
bersemi asmara.
Diam-diam ia berpikir, "Meski Sumoay masih kekanakkanakan,
tapi ia cukup tegas membedakan antara yang
baik dan buruk. Dia tidak tahu Yap Leng-hong itu adalah
palsu, tapi sudah lama dia tidak menyukainya, maka
Sumoay juga pasti takkan tertipu olehnya."
Walaupun demikian ia belum lega sebelum bertemu
dengan sang Sumoay, maka ia mengeprak kuda dengan
lebih cepat. Jik-liong-ki itu dapat menempuh beberapa
ratus li dalam sehari, tapi ia masih merasa kurang cepat.
-ooo0dw0oooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Jika Ubun Hiong sedang mengenangkan sang Sumoay,
maka Kang Hiau-hu sendiri juga sedang merindukan
Ubun Hiong.
Sesudah Kang Hiau-hu ikut pasukan pergerakan yang
dipimpin Yap Leng-hong masuk wilayah Sucwan, Yap
Leng-hong telah membagi tugas dengan mengirimkan
para murid berbagai golongan dan aliran itu untuk
membantu pemimpin-pemimpin laskar pemberontak di
berbagai tempat. Ciong Leng, Ciong Siu, Kang Hiau-hu
dan lain-lain tetap tinggal bersama di markas besarnya.
Pasukan pergerakan yang dipimpin Yap Leng-hong ini
tidak banyak jumlahnya, tapi kebanyakan terdiri dari
jago-jago silat yang tangkas, maka dengan mudah saja
setiap orang yang dikirim ke berbagai pos itu lantas
menjadi pimpinan pasukan setempat. Sebab itulah Yap
Leng-hong menjadi komando tertinggi dari seluruh
pasukan pemberontak dan ada hak buat menggerakkan
pasukan di berbagai tempat yang jumlahnya mendekati
seratus ribu orang.
Tapi diam-diam Kang Hiau-hu selalu mengawasi
gerak-gerik Toasuhengnya itu, sikapnya terhadap Yap
Leng-hong boleh dikatakan menghormat tapi tidak suka.
Karena Yap Leng-hong sangat licin, maka tiada sesuatu
tanda-tanda mencurigakan yang dapat diketemukan
Hiau-hu. Sudah tentu Leng-hong masih tetap mengincar
Kang Hiau-hu, tapi setiap kali ia memperlihatkan
hasratnya, selalu ia tak digubris oleh si nona sehingga dia
hanya bertepuk sebelah tangan belaka.
Kalau Yap Leng-hong tidak diladeni oleh Kang Hiauhu,
sebaliknya Ciong Siu memperhatikan dan mendekati
Yap Leng-hong. Meskipun Ciong Siu lebih tua dua-tiga
tahun daripada Hiau-hu, tapi selamanya dia tinggal di
pegunungan Thian-san dan jarang bergaul dengan

khalayak ramai, maka dalam soal kehidupan manusia dia


lebih polos daripada Hiau-hu, hakikatnya ia tidak tahu
kepalsuan hati manusia dan rintangan orang hidup. Yang
dilihat Ciong Siu hanya kebaikan-kebaikan Yap Lenghong,
gantengnya, ramahnya, tangkasnya, mahir silat
pintar tulis pula. Bicara tentang perguruan, dia adalah
murid pewaris dari tokoh nomor satu di dunia ini. Bicara
tentang kedudukan, dalam usia semuda itu dia sudah
menjadi pucuk pimpinan pasukan pergerakan. Pendek
kata dalam pandangan Ciong Siu, benar-benar Yap Lenghong
adalah mirip sepotong batu kemala yang putih
bersih tanpa cacad.
Sebaliknya alangkah cerdiknya Yap Leng-hong, tanpa
si nona mengutarakan perasaannya juga dia sudah tahu
Ciong Siu diam-diam jatuh hati padanya. Maka diamdiam
Leng-hong telah pasang perangkap, dia telah
memakai perhitungan "hilang yang satu, bolehlah dapat
yang lain". Jika tidak bisa mempersunting Hiau-hu biarlah
Ciong Siu juga boleh.
Sudah tentu Leng-hong masih mempunyai tipu
muslihat lain, sebab Ciong Leng adalah wakil pimpinan.
Menurut keputusan rapat besar para ksatria di Bin-san
dulu. Kang Hay-thian telah mengemukakan syarat bahwa
setiap perintah komandan pasukan harus mendapat
persetujuan dulu dari wakil komandan. Tatkala itu para
ksatria mengira Kang hay-thian sengaja berendah hati
karena Ciong Leng dalam perhitungan angkatan
persilatan masih sejajar dengan Kang Hay-thi.m sendiri,
jadi lebih tua satu angkatan daripada Yap Leng-hong,
maka adalah pantas kalau setiap kebijaksanaan Yap
Leng-hong ada baiknya minta persetujuan Ciong Leng.
Usul itu telah diterima sehingga Ciong Leng yang

menjabat wakil komandan seakan-akan merangkap


menjadi pengawas.
Sebagai orang berdosa, memangnya Leng-hong sudah
menerka gurunya sengaja memasang Ciong Leng untuk
mengawasi gerak-geriknya. Apalagi pada waktu akan
berangkat Kang Hay-thian telah memberi pesan pula
kepada Leng-hong agar segala sesuatu urusan harus
dirundingkan dengan Ciong Leng. Ini lebih membuktikan
pula kebenaran dugaan Leng-hong.
Sekarang Leng-hong dapat mengetahui perasaan cinta
Ciong Siu padanya, ia merasa ini adalah suatu syarat
bagus untuk memperalatnya, maka terkadang ia pun
suka melayani Ciong Siu dengan mesra untuk lebih
menjinakkan nona itu.
Adapun Ciong Leng sendiri memangnya tiada menaruh
curiga kepada Yap Leng-hong, maka terhadap setiap
tindak-tanduk dan kebijaksanaan Yap Leng-hong sama
sekali tidak membantah. Jadi di luarnya Yap Leng-hong
pura-pura menghormati Ciong Leng, tapi sebenarnya
main kuasa dan melakukan segala sesuatu dengan
sesuka hatinya.
Malam itu justru Yap Leng-hong telah memberi
perintah siap siaga sebab besok akan mulai dilakukan
penyerangan ke Siau-kim-jwan, pasukan-pasukan
pergerakan dari berbagai jurusan sudah terhimpun,
markas besar induk pasukan Yap Leng-hong berada di
bawah gunung. Prajurit-prajurit telah diperintahkan
istirahat agar besok pagi-pagi bisa bergerak.
Waktu itu adalah permulaan musim semi, di pucuk
gunung masih diliputi oleh salju, namun di lereng gunung
tetumbuhan sudah tumbuh dengan suburnya dan bunga
mekar mewangi. Suasana malam di bawah sinar bulan
yang terang itu sangat indah.

Saat itu Kang Hiau-hu sedang bersama Ciong Siu, tibatiba


Kang Hiau-hu memuji malam yang menarik itu. Tapi
Ciong Siu telah berkata, "Masakah kau masih iseng
menikmati keindahan malam bulan purnama ini, aku
sendiri sedang memikirkan pertempuran yang akan
terjadi besok pagi."
"Ya, aku pun rada kuatir," ujar Hiau-hu.
"Kuatir? Kuatir apa?" tanya Ciong Siu heran. Ia sangka
Hiau-hu menguatirkan kekalahan bagi pasukan
pergerakan. Jika demikian itu ia sendiri tidak sependapat.
"Kuatir tentang apa aku sendiri tak bisa menjelaskan,"
sahut Hiau-hu. "Hanya lapat-lapat aku merasa ada
sesuatu yang tidak beres. Aku tidak paham sebab apa
Yap-suko menghimpun semua pasukan pergerakan ke
sini."
"Sudah tentu untuk melepaskan kawan kita yang
terkurung di Siau-kim-jwan," kata Ciong Siu. "Pasukan
kerajaan dipusatkan di sini, sudah tentu kita juga harus
menghadapinya dengan kekuatan besar. Ini kan mudah
dipahami?"
"Aku bukan ahli militer, tapi aku merasa cara
pemusatan pasukan Yap-suko ini rada ganjil dan tidak
menguntungkan kita," kata Hiau-hu.
"Sejak kita berada di sini, hampir setiap pertempuran
selalu menang. Kukira Yap-suko sudah mempunyai
perhitungan yang meyakinkan, maka aku bahkan penuh
semangat dan tidak merasa kuatir."
"Tampaknya kau sangat percaya kepada kemampuan
Yap-suko," kata Hiau-hu.
Ciong Siu seperti berpikir sesuatu, sejenak kemudian
barulah berkata, "Adik Hu, aku ingin bertanya padamu,
tapi janganlah kau menyesal."

"Silakan bicara saja, mengapa mendadak enci Siu


sungkan-sungkan padaku?"
Wajah Ciong Siu tiba-tiba bersemu merah, lalu
katanya dengan suara perlahan, "Aku ingin bertanya
padamu, agaknya kau tidak begitu suka kepada Yapsukomu
bukan?"
"O, jadi kau pun sudah merasakan hal ini?"
"Ya, makanya aku merasa heran. Kalian adalah
saudara seperguruan, dia adalah saudara misanmu pula,
kalian seharusnya bergaul dengan sangat rapat. Tapi
mengapa kau tidak suka padanya dan menganggapnya
seakan-akan orang luar saja."
Hiau-hu tidak langsung menjawab pertanyaan Ciong
Siu itu, ia pun merenung sejenak, lalu balas bertanya,
"Enci Siu, jika demikian agaknya engkau sangat
menyukai Yap-suko bukan?"
"Bukan, setan," omel Gong Siu dengan paras merah
"Aku tanya kau sebaliknya malah tanya padaku." Dia
tidak menjawab pertanyaan Hiau-hu, ini sama dengan
mengiakan secara diam-diam.
"Maafkan, enci Siu, aku pun ingin bertanya sesuatu
pulamu yang mestinya tidak pantas kukemukakan,
hendaklah kaupun jangan menyesal."
"Katakan saja, kita adalah saudara sendiri, mengapa
sungkan?"
"Tampaknya Yap-suko akhir-akhir ini suka mencari
kesempatan mendekati kau, bukan?"
"Setan, kukira urusan yang benar, tak tahunya kau
hendak mengolok-olok aku saja."
"Tidak, yang kutanya ini justru urusan sesungguhnya."
Ciong Siu terkesiap, sahutnya kemudian, "Ya, akhirakhir
ini aku memang lebih sering bertemu dengan Yapsukomu,
tapi juga sekedar tukar pikiran tentang ilmu silat

saja. Bukankah aku pun sering berbuat demikian dengan


kau?"
"Rupanya kau tidak mau menyatakan isi hatimu yang
sesungguhnya. Bukankah kau menyukai Yap-suko?
Tentunya tidak melulu tukar pikiran tentang ilmu silat
saja?"
"Aku hanya kagum terhadap Yap-suko yang cerdik
pandai. Kau selalu mempunyai pandangan sepihak
terhadap dia, itulah yang membuat aku heran."
"Apakah kau pernah mengutarakan isi hatimu
kepadanya?" tanya Hiau-hu pula.
Muka Ciong Siu menjadi merah pula, sahutnya,
"Setan, memangnya kau anggap aku sebagai seorang
gadis yang tidak kenal malu?" Di balik kata-katanya itu
sebenarnya secara tidak langsung dia sudah mengakui
suka kepada Yap Leng-hong, hanya tidak menjawab
secara terus terang.
"Jika demikian, apakah Yap-suko sendiri pernah
menyatakan perasaannya padamu?"
"Dia sibuk dengan tugasnya yang berat, mana dia
mau membicarakan urusan pribadinya padaku” sahut
Ciong Siu pula dengan kepala menunduk malu-malu.
Jawaban Ciong Siu ada sebagian memang benar.
Maklumlah, terhadap Ciong Siu memang Yap Leng-hong
hanya ingin memperalat buat sementara saja, biarpun
dia selalu menghadapi sikap dingin dari Kang Hiau-hu,
tapi dia masih belum putus asa untuk menjadi menantu
Kang Hay-thian. Sebab itulah terhadap Ciong Siu dia
sengaja main 'bajing Ioncaf, kadang-kadang mendekati,
lain saat menjauhi untuk menggoda hati si nona yang
belum berpengalaman itu. Sebab itulah di antara mereka
memang belum ada yang saling menyatakan cinta
masing-masing.

Mendengar jawaban tadi, tiba-tiba Hiau-hu menghela


napas lega dan berkata, "Baik, masih mendingan jika
demikian."
Kembali Ciong Siu tercengang. "Apa artinya masih
mendingan?" tanyanya heran.
"Enci Siu," sahut Hiau-hu dengan terus terang. "Aku
ingin bicara dari hati ke hati padamu, untuk ini hendaklah
kau jangan marah. Tentang diri Yap-suko, kukira ada
lebih baik kau menjauhi saja, dia bukanlah orang yang
dapat dipercaya."
"Yap-sukomu tak dapat dipercaya?" Ciong Siu
menegas dengan bingung. "Apa ... apa maksudmu?
Dalam hal apa dia tidak dapat dipercaya?"
"Apakah kau masih belum paham? Ayahku
mengharuskan Yap-suko berunding dulu dengan
kakakmu sebelum mengambil sesuatu kebijaksanaan,
soalnya justru karena dia tak bisa dipercaya," sahut Hiauhu.
Kejut Ciong Siu tak terkatakan, hampir-hampir ia tidak
percaya kepada telinganya sendiri, sesudah tertegun
sejenak barulah ia bertanya pula, "Adik Hu, apa yang kau
katakan? Apakah kau maksudkan dia tidak dapat
dipercayai dalam hal perlawanan tehadap musuh?"
Hiau-hu mengangguk perlahan.
Keruan Ciong Siu bertambah kaget, katanya, "Apakah
benar-benar demikian halnya? Jika begitu mengapa
ayahmu mengangkatnya sebagai pewarisnya dan
membiarkan dia memimpin pasukan pergerakan ini?"
"Ayah baru mengetahui kepalsuannya pada malam
sebelum pasukan pergerakan ini terbentuk," sahut Hiauhu
”Cuma bukti nyata belum diketemukan. Sebab itulah
ayah menghendaki kakakmu diangkat sebagai pengawas,
maksudnya adalah menjaga segala kemungkinan."

"Jadi bukti nyata belum diketemukan, apakahh bukan


ayahmu yang salah mencurigainya?"
"Bukti memang belum ada, tapi sudah ada petunjukpetunjuk
yang jelas."
"Petunjuk jelas apa?" tanya Ciong Siu kembali tegang
lagi
"Kau tentu tahu di dunia Kangouw ada seorang Jianjiu
koan-im Ki Seng-in? Suaminya adalah begal terkenal
dari kwantung yang bernama Utti Keng?"
"Pernah aku mendengar cerita tentang mereka,
kabarnya jejak mereka telah menghilang. Ada yang
mengatakan mereka telah ditangkap pihak kerajaan. Apa
hubungan kedua orang itu dengan Yap-sukomu?"
Segera Hiau-hu menceritakan pengalaman Utti Keng
dan isterinya, lebih-lebih peristiwa yang terjadi di
rumahnya ketika Ki Seng in bermalam di sana, katanya
kemudian, "Besok paginya ketika Ki Seng in berangkat
dari rumah kami, di tengah jalan dia lantas mengalami
bencana sehingga tak diketahui mati-hidupnya.
Kawannya yang bernama Gak Ting telah datang ke
rumahku dan memberi kesaksian bahwa ada orang telah
melaporkan kepada anjing kaki-tangan kerajaan jejak Ki
Seng-in itu. Katanya kuda yang ditunggangi Ki Seng-in
diketahui keracunan pula, sebab itu Gak Ting telah
membikin rusuh di rumahku."
"Jadi dia anggap di rumahmu tentu ada bersembunyi
mara mata musuh," kata Ciong Siu terkesiap.
"Memang begitulah," sahut Hiau-hu. "Padahal malam
itu di rumah kami hanya ada empat orang, ibu dan aku
sudah tentu bukan, tinggal dua orang lagi adalah
Toasuko Yap Leng-hong serta Jisuko Ubun Hiong."

"Bukan mustahil Ubun Hiong itulah orangnya," ujar


Ciong Siu "Dari ceritamu tadi agaknya yang patut
dicurigai adalah Ubun Hiong."
"Tidak, aku yakin pasti bukan Jisuko," kata Hiau-hu.
"Darimana kau mengetahui dan apa dasar
keyakinanmu itu?"
"Aku dapat mempercayai sepenuhnya."
"Tapi Toasukomu adalah murid pewaris ayahmu, juga
keponakan ibumu sendiri, bukankah dia harus lebih
dipercayai?"
"Itulah sebabnya," kata Hiau-hu sambil menghela
napas. "Justru karena itulah maka ibu hanya mencurigai
Jisuko dan percaya kepada Toasuko. Akibatnya Jisuko
telah diusir pergi. Akan tetapi, aku tetap mempercayai
Jisuko."
Tiba-tiba Ciong Siu merasa paham, ia membatin, "Ah,
kiranya anak dara ini telah jatuh cinta kepada Jisukonya,
pantas dia tidak menyukai Toasukonya."
Karena merasa sudah menemukan duduk perkaranya,
dengan tersenyum Ciong Siu lantas berkata, "Adik Hu,
agaknya kau memang mempunyai pandangan sepihak
atas diri Toasukomu. Bukankah sejak dia memimpin
pasukan pergerakan kita ini sudah sekian banyak
kemenangan yang telah diperolehnya dalam
pertempuran, andaikata dahulu kau mencurigainya, tentu
sekarang harus percaya padanya. Boleh jadi kedua
Suhengmu bukanlah mata-mata musuh semua, tapi
masih ada orang lain yang belum kita ketahui."
Ciong Siu tidak mengenal pribadi Ubun Hiong, karena
dia tidak ingin berdebat dengan Hiau-hu, maka ia coba
mengelakkan tuduhan untuk keduanya. Sudah tentu
yang dia utamakan adalah Yap Leng-hong, Ubun Hiong
hanya sebagai ikutan saja.

Kemenangan di medan pertempuran adalah bukti


nyata, hal ini tak bisa dibantah Kang Hiau-hu. Tapi
terhadap kenyataan ini terkadang ia pun merasa bingung
dan meragukan dirinya sendiri yang salah mencurigai
Yap Leng-hong. Namun dia tetap berkata, "Enci Siu,
kutahu kau mengira aku membela Jisuko. Pendek kata,
segala sesuatunya ayah sependapat dengan aku, yaitu
Toasuko yang lebih mencurigakan daripada Jisuko."
"Sebab apa?" tanya Ciong Siu.
"Ayah buru-buru berangkat lagi sehingga tidak sempat
bicara lebih jelas dengan aku," kata Hiau-hu. "Namun
beliau sudah pasti akan menyelidiki persoalan ini
sehingga jelas. Ayah telah berangkat ke kotaraja dengan
maksud menolong keluar Utti Keng dari penjara. Selain
itu beliau akan mencari Ki Seng-in dan Jisuko pula.
Asalkan satu di antara ketiga orang itu dapat
diketemukan ayah, tentu segala urusan akan menjadi
jelas pula."
"Betul juga. Bila ayahmu sudah pulang, tentu
duduknya perkara akan menjadi terang. Sementara ini
kita jangan buru-buru mencurigai Yap-suko."
"Umpama kali ini Yap-suko memberi perintah akan
menyerang Siau-kim-jwan, apakah sebelumnya telah
berunding dengan kakakmu."
"Hal ini aku tidak tahu," sahut Ciong Siu, padahal dia
sudah mengetahui. Konsep perintah Yap Leng-hong itu
selesai dibuat barulah disodorkan kepada Ciong Leng,
sebelumnya Ciong Siu memang tidak tahu, tapi untuk
menghindarkan curiga Kang Hiau-hu, maka sengaja
ditutupinya.
"Enci Siu," kata Hiau-hu pula, "aku kuatir kau tertipu,
maka malam ini aku bicara padamu tentang urusan ini.
Hendaklah kau jangan menyesal."

"Tidak, aku tahu maksud baikmu. Aku sendiri dapat


menjaga diri," sahut Ciong Siu dengan tertawa.
"Kumohon pembicaraan tadi janganlah enci Siu
katakan kepada orang lain termasuk Yap baru sampai di
sini ucapan Kang Hiau-hu, tiba-tiba tertampak muncul
seseorang ke arahnya sini. Kiranya adalah Yap Lenghong.
Diam-diam Hiau-hu terkejut, pemuda itu datang dari
bawah gunung, jangan-jangan sengaja mengintip
pembicaraannya, demikian Hiau-hu ragu-ragu.
Dalam pada itu Yap Leng-hong sudah mendekati
mereka, ia menegur dengan tertawa, "Wah, sudah
malam begini kalian masih cari angin di sini? Apa yang
kalian bicarakan? Asyik benar tampaknya."
"Ah, obrolan biasa saja sampai lupa waktu, tentu
sekarang sudah jauh malam," sahut Ciong Siu.
"Malam dengan sinar purnama yang indah begini
memang membikin orang lupa kantuk, biarlah aku pun
ikut dalam obrolan kalian," kata Leng-hong menyengir.
Namun Hiau-hu pura-pura menguap, katanya, "Aku
menjadi mengantuk sekarang. Enci Siu, marilah kita
pulang tidur saja."
"Saking repotnya oleh urusan-urusan tugas sampai
kita jarang bertemu. Eh, ya, ada sesuatu dalam hal
latihan Lwekang yang ingin kuminta petunjuk nona
Ciong. Tapi bila besok sudah mulai peperangan lagi,
entah kapan baru bisa bertukar pikiran tentang ilmu silat
pula." Sambil berkata Yap Leng-hong melirik pula ke arah
Ciong Siu dengan harapan si nona tetap tinggal di situ.
Dasar sudah mabuk asmara, dengan agak malu-malu
Ciong Siu berkata, "Adik Hu, bolehlah kau tinggal
sebentar lagi di sini."

Diam-diam Hiau-hu mendongkol, katanya dengan


ketus, "Jika kau ingin bicara dengan Yap-suko, boleh kau
tinggal lagi di sini. Biarlah aku pulang saja dulu."
Watak Hiau-hu memang masih kekanak-kanakan,
sama sekali tak terpikir olehnya apa kemungkinannya bila
Ciong Siu ditinggalkan sendirian di situ. Begitu habis
berkata segera ia melangkah pergi tanpa menoleh.
Sudah tentu Ciong Siu juga mendongkol karena
tersinggung, maka ia pun tidak menghiraukan lagi
kepergian Hiau-hu.
Sesudah Hiau-hu pergi, dengan tertawa Leng-hong
berkata, "Perangai Sumoayku ini memang kurang baik,
hendaklah kau suka maklum, mengingat diriku harap kau
jangan marah padanya." Dasar licik, ucapannya ini
seakan menunjukkan rasa sayangnya kepada sang
Sumoay, berbareng juga untuk mengambil hati Ciong Siu
seakan dia lebih condong ke pihak nona ini.
"Masakah aku bisa marah pada Hiau-hu?" sahut Ciong
Siu tertawa. "Selamanya juga aku menganggap dia
sebagai adikku sendiri. Sebenarnya perangainya juga
tiada yang aneh, hanya wataknya agak kepala batu.
Kukira kau yang harus lebih mendekati dia agar di antara
sesama saudara seperguruan tidak menjadi renggang."
"Ya, cuma aku ... aku kuatir kau salah paham," Lenghong
sengaja berbisik dengan tersenyum.
Muka Ciong Siu menjadi merah, katanya dengan malumalu,
"Ah, aku salah paham apa?"
"Aku hanya bergurau saja padamu," ujar Leng-hong.
"Ilmu silatmu tinggi, perangaimu halus dan..”
"Terima kasih, janganlah kau memuji padaku saja,
mari kita bicara urusan yang benar," kata Ciong Siu.
"Bicara urusan yang benar, ya, aku tahu kau adalah
seorang yang simpatik dan berpikiran luas, kau ingin aku

dan Sumoayku akur satu sama lain. Akan tetapi, ai


sayang ..." sampai di sini Leng-hong telah menghela
napas panjang.
"Sayang apa?" Ciong Siu menegas.
"Sayang Hiau-hu sudah terlalu salah paham padaku,"
sahut Leng-hong. "Lantaran suatu hal dia telah
sedemikian benci padaku. Padahal dia yang telah salah
paham."
"Jika demikian mengapa tidak kau terangkan
persoalannya kepadanya?"
"Soal ini aku tidak leluasa menjelaskan sendiri
padanya, andaikan kukatakan juga dia takkan percaya."
"Urusan apakah?" tanya Ciong Siu pula. Padahal diamdiam
ia sudah tahu tentu urusan yang menyangkut Ubun
Hiong itu, cuma dia masih belum jelas apa maksud yang
terkandung dalam ucapan Yap Leng-hong itu.
"Apakah Hiau-hu pernah bicara tentang diusirnya
Ubun-sute oleh ibu guruku?" kata Leng-hong. "Hal ini
disebabkan tertangkapnya Ki Seng-in oleh pihak
kerajaan, karena pengaduan Gak Ting, ibu guru merasa
Ubun-sute paling pantas dicurigai, maka terpaksa
mengusirnya pergi. Tapi Sumoay masih menyangsikan
aku yang telah mengadu-biru tentang kejelekan Ubunsute,
padahal diam-diam aku malah melindungi dia, kalau
tidak, mungkin Ubun Hiong takkan melulu diusir pergi
saja. Hal ini sampai sekarang belum diketahui oleh ibu
guru dan Sumoay, aku pun tidak berani mengatakan
kepada mereka. Sekarang akan kuceritakan padamu,
hendaklah kau jangan memberitahu Hiau-hu agar dia
tidak berduka."
Dari nadanya seakan Yap Leng-hong hendak
menceritakan bahwa Ubun Hiong pasti adalah mata-mata

musuh yang pernah dipergoki olehnya, maka diam-diam


Ciong Siu merasa tidak enak bagi Kang Hiau-hu.
Dalam pada itu Leng-hong telah meneruskan, "Malam
itu aku dan Ubun-sute sama-sama pergi ke Tong-pengtin
dan mengerjakan tugas masing-masing. Aku habis
membeli obat, lalu aku menunggu di tempat yang telah
dijanjikan, sampai lama sekali Ubun-sute masih belum
muncul, akhirnya aku pergi mencarinya dan tanpa
sengaja aku menemukan sesuatu rahasianya."
"Rahasia apa?" Ciong Siu menegas dengan mata
terbelalak lebar.
"Aku melihat dia baru keluar dari sebuah restoran
yang baru dibuka di kota itu," tutur Leng-hong. "Kulihat
dia mengadakan hubungan dengan seorang laki-laki
kekar secara sembunyi-sembunyi, ketika keluar, kulihat
laki-laki itu menyodorkan suatu bungkusan apa-apa
kepada Ubun-sute. Akhirnya baru diketahui bungkusan
itu adalah racun."
"Sesudah pulang mengapa kau tidak melapor kepada
ibu gurumu?" ujar Ciong Siu.
"Waktu itu aku belum tahu jelas apa yang terjadi,
besoknya sesudah kedatangan Gak Ting baru diketahui
duduknya perkara," kata Leng-hong. la telah
menimpakan semua perbuatannya sendiri kepada Ubun
Hiong, karena ceritanya yang menarik itu sehingga Ciong
Siu percaya saja segala bualannya.
"Usia Sumoay masih sangat muda, dia tertipu dan
tetap menyukai Ubun Hiong, sebab itulah aku telah
berpikir masak-masak dan merasa lebih baik kututupi apa
yang telah kulihat itu. Jika kulaporkan kepada ibu guru
tentu Ubun Hiong akan dibunuh olehnya dan ini berarti
membikin susah Sumoay."

"Tapi kalau soal ini tak dijelaskan kepada adik Hu,


tentu dia akan merana selama hidup," ujar Ciong Siu
agak cemas.
"Semoga Ubun Hiong akhirnya insyaf dan kembali ke
jalan yang benar, maka hal ini boleh tetap kita tutupi
agar tidak mempengaruhi perasaan adik Hu," kata Yap
Leng-hong.
"Engkau benar-benar seorang yang baik hati," ujar
Ciong Siu dengan terharu. Saat ini dia benar-benar sudah
percaya penuh terhadap Yap Leng-hong, tanpa terasa
teringat olehnya apa yang diceritakan Kang Hiau-hu tadi
sehingga timbul rasa kuatir pada wajahnya.
"Apa yang sedang kau pikirkan adik Siu?" tanya Lenghong
dengan tersenyum.
Untuk pertama kalinya ini Leng-hong memanggilnya
"adik Siu", keruan Ciong Siu merasa syur sehingga tanpa
pikir tercetus dari mulutnya, "Yap-toako, aku ... aku
sedang menguatirkan dirimu."
"Kuatir tentang apa?" sahut Leng-hong sambil
memegang tangan si nona.
"Tadi adik Hu bicara padaku, katanya ... katanya
Suhumu juga rada...”
"Ya, aku tahu Suhuku juga rada menyangsikan diriku,"
sela Leng-hong. "Maklumlah, ayah tentu lebih percaya
kepada putrinya, tapi kuyakin persoalan ini cepat atau
lambat tentu akan dibikin terang."
"Bukan saja Kang-tayhiap mencurigaimu, bahkan
beliau telah pergi ke kotaraja, kabarnya justru ingin
menyelidiki sebab musabab tertangkapnya Utti Keng dan
istrinya."
Diam-diam Leng-hong terkejut, tapi lahirnya ia purapura
tenang saja, bahkan ia menjawab dengan
tersenyum, "Itulah sangat bagus, justru itulah yang

kuharapkan bila duduknya perkara dapat dibikin terang


oleh Suhu."
"Tapi kau harus tahu bahwa gurumu juga akan
mencari Ubun Hiong," kata Ciong Siu Siu. "Maka bukan
mustahil dia akan mempunyai kesempatan memfitnah
lebih dulu padamu. Mengingat gurumu sangat sayang
putrinya, boleh jadi dia pun akan percaya kepada
omongan Ubun Hiong, bila demikian tentu kaulah yang
akan penasaran."
Memangnya yang paling dikuatirkan Yap Leng-hong
adalah belum diketahui cara bagaimana gurunya akan
bertindak, sekarang diperoleh keterangan dari Ciong Siu,
keruan ia menjadi girang dan kuatir, pikirnya, "Dunia
demikian luasnya, belum pasti Suhu akan dapat
menemukan Ubun Hiong, namun selama Ubun Hiong
tetap ada, selama itu pula akan merupakan bencana
bagiku. Dalam dua hari ini Hong Jong-liong ingin
mengadakan pertemuan rahasia denganku, kepadanya
akan kuminta menumpas penyakit tersembunyi ini.
Sebagai seorang jagoan istana tentu dia akan dapat
mengerahkan kawan-kawannya untuk bantu
menangkapnya, dengan demikian tentu akan lebih
mudah mencarinya daripada Suhu."
Dalam batin ia merancang muslihat keji itu, tapi
lahirnya dia tetap tenang-tenang saja, katanya
kemudian, "Seorang laki-laki sejati harus berani
bertanggung jawab, biarpun aku mesti merasa
penasaran lantaran Ubun Hiong, daripada nanti
membikin susah kepada Sumoay."
"Yap-toako, engkau sungguh seorang yang baik hati
..." baru Ciong Siu bicara sampai di sini, mendadak dari
jauh terdengar suara derapan kaki kuda. Belum lagi
Ciong Siu mendengar jelas, lebih dulu

Yap Leng-hong sudah bersuara heran. Cepat ia


melepaskan tangan si nona terus menuju ke arah suara
kaki kuda itu dengan langkah cepat.
Perbuatan Yap Leng-hong yang mendadak ini sudah
tentu membikin kaget Gong Siu, ketika dia sadar dari
rasa bingungnya, sementara itu bayangan Yap Lenghong
sudah tidak kelihatan lagi. "Apakah dia melihat
sesuatu yang mencurigakan atau kedatangan musuh?"
pikirnya. Segera ia pun menyusul ke arah Yap Leng-hong
dengan maksud akan membantunya bilamana ada
bahaya.
Sebab apakah Yap Leng-hong pergi secara tergesagesa?
Kiranya suara derapan kuda di malam sunyi itu
bagaikan ujung belati yang menyayat hatinya. Suara
derap kaki kuda tadi sangat cepat dan kerap, hal ini
menandakan pendatang itu ada urusan penting,
sedangkan kuda tunggangannya itu pasti pula bukan
kuda biasa. Seketika timbul rasa cemas dan kuatir dalam
hati Yap Leng-hong, yang dia kuatirkan bukan datangnya
musuh, tapi kuatir pendatang itu akan membongkar
rahasianya.
Pasukan pergerakan ini berkemah di kaki gunung,
pada bagian depan di pos penjaga pertama itu adalah
lembah gunung. Ketika derap kuda tadi mendadak
berhenti, tempat berhentinya itu tepat di pos penjaga
depan sana.
Dengan cepat Yap Leng-hong berlari ke bawah dengan
memotong jalan dari lamping gunung. Sesudah dekat,
waktu dia memandang ke bawah, dilihatnya prajuritprajurit
penjaga itu sedang mengadang seorang
penunggang kuda, tampaknya sedang memeriksa
pendatang itu. Kuda yang berada di samping pendatang
itu jelas berwarna merah maron, sekali pandang saja

sudah lantas dikenal Leng-hong sebagai Jik-liong-ki milik


Suhunya. Girang dan kejut pula perasaan Leng-hong,
diam-diam ia bersyukur, "Untung bukan Suhu sendiri
yang datang."
Tak perlu diterangkan lagi siapa pendatang itu, dia
memang bukan lain daripada Ubun Hiong adanya.
Kiranya Ubun Hiong telah menempuh perjalanan siang
dan malam dengan harapan akan mendahului Hong
Jong-liong sampai di Siau-kim-jwan. Dia memegang
tanda pengenal pemberian pimpinan Thian-li-kau, maka
sepanjang jalan dia tidak menemukan kesukaran apa-apa
dan dengan gampang dia dapat mengetahui dimana
letak markas besar pimpinan pasukan pemberontak.
Akan tetapi setiba di depan pos penjaga markas besar,
Ubun Hiong telah mendapat rintangan. Sesuai dengan
rencana, Ubun Hiong tidak ingin membikin onar, segera
ia menerangkan siapa dirinya dan minta prajurit penjaga
mengundang keluar Ciong Leng untuk bertemu.
Perwira piket menjadi curiga malah demi mendapat
keterangan Ubun Hiong itu. Ia heran bilamana Ubun
Hiong mengaku sebagai murid Kang Hay-thiap, mengapa
tidak bertemu dengan komandan saja yang merupakan
Suhengnya, sebaliknya hanya minta bertemu dengan
wakil komandan.
Karena rasa curiga itu, ia tetap berpegang teguh
disiplin dan melarang masuknya Ubun Hiong, sudah
tentu Ubun Hiong sangat mendongkol, dengan sendirinya
ia tak dapat menerangkan rahasianya kepada perwira
piket itu. Dan selagi mereka saling berdebat itulah tibatiba
Yap Leng-hong telah muncul.
Perwira piket itu menjadi girang, serunya, "Itu dia
komandan telah datang sendiri, kita tak perlu repot-repot
lagi. Silakan engkau bicara langsung dengan beliau saja."

Dengan muka berseri-seri Yap Leng-hong lantas


menyapa, "Ubun-sute, dimanakah kau berada selama
setahun ini? Sungguh aku sangat merindukan kau.
Malam-malam kau datang kemari, apakah ada urusan
penting, mengapa kau hanya mencari Ciong-toako saja,
bukankah agak janggal?"
Sebenarnya hati Ubun Hiong menjadi panas demi
tampak Yap Leng-hong, tapi dasar dia memang seorang
yang bisa berpikir panjang, sedapat mungkin ia bersabar
dan menahan rasa gusarnya, segera ia menjawab,
"Siaute adalah murid buangan maka tidak berani minta
bertemu pada Suheng."
Sudah tentu Ubun Hiong tak bisa menandingi kelicikan
Yap Leng-hong, apalagi Ciong Siu telah membeberkan
hal Ubun Hiong, maka Leng-hong sudah yakin
kedatangan Ubun Hiong ini tentu tidak menguntungkan
dirinya. Dengan sendirinya diam-diam ia sudah
merencanakan akan menghabisi pemuda seterunya ilu.
Sebabnya Leng-hong pura-pura ramah itu adalah untuk
memancing kelengahan Ubun 1 liong.
Maka setelah Ubun Hiong bicara, dengan terbahakbahak
Leng-hong berkata pula, "Ubun-sute, mengapa
kau berkata demikian? Selama menjadi Suhengmu,
apakah kau masih belum tahu pikiranku terhadapmu?
Biarpun ibu guru telah mengusir kau, tapi aku masih
tetap menganggap kau sebagai Sute sendiri. Sudahlah,
ada urusan apa boleh kita bicarakan nanti, marilah kita
pulang dulu."
Sama sekali Ubun Hiong tidak berprasangka jelek
terhadap Yap Leng-hong, siapa duga baru habis berkata
mendadak tangan Leng-hong bergerak, dua buah Kim-cipiau,
senjata rahasia berbentuk mata uang, terus
menyambar ke depan. Karena jaraknya sangat dekat,

hendak mengelak juga tidak sempat lagi, "Plok-plok",


kontan Hiat-to bagian pinggang tertimpuk.
Sambil mengerang Ubun Hiong jatuh terguling sejauh
dua meter lebih, menyusul Yap Leng-hong telah
menubruk maju pula sambil membentak, "Berani benar
mata-mata musuh hendak mengelabui aku! Biarpun kau
adalah adik kandungku juga akan kucabut nyawamu!"
Berbareng pedangnya terus menikam.
Untunglah bagi Ubun Hiong sesudah mendapat
penyaluran tenaga dalam dari Ciong Tian sehingga
beberapa urat nadinya telah dapat ditembus,
Lwekangnya sekarang sudah berbeda daripada dahulu.
Meski Hiat-to tertimpuk Kim-ci-piau, namun dia tidak
sampai jatuh pingsan. Pada detik yang berbahaya itu dia
masih sempat melolos pedang untuk menangkis, akan
tetapi dia kalah tenaga, orangnya berbaring pula, maka
begitu kedua pedang beradu "trang", pedangnya tergetar
putus oleh tenaga dalam Yap Leng-hong.
"Hehe, Ubun Hiong, apakah kau masih ingin hidup?"
ejek Yap Leng-hong dengan menyeringai.
Waktu dia hendak menikam untuk kedua kalinya, tibatiba
terdengar suara jeritan Ciong Siu, "Yap-toako, ja ...
jangan!"
Sebagaimana diketahui, diam-diam Ciong Siu telah
menyusul ke arah Yap Leng-hong, maka dia masih
sempat mendengar sebagian pembicaraan Leng-hong
tadi dan diketahuinya pemuda yang baru datang itu
adalah Ubun Hiong.
Bahwasanya mendadak Yap Leng-hong turun tangan
keji hendak membinasakan Ubun Hiong, hal ini bukan
saja tak diduga oleh Ubun Hiong, bahkan juga di luar
dugaan Ciong Siu. Tadi baru saja Leng-hong
mengutarakan isi hatinya padanya, katanya tidak tega

membikin duka sang Sumoay, lebih suka menanggung


penasaran daripada membikin susah Sute dan
Sumoaynya. Kata-kata itu seakan-akan masih mengiang
di telinganya, tapi perbuatan Yap Leng-hong sekarang
sudah lain dengan ucapannya.
Begitulah, karena seruan Ciong Siu tadi, Leng-hong
agak merandek, kesempatan itu telah digunakan oleh
Ubun Hiong untuk menggelundung ke samping dengan
sekuatnya sehingga tusukan Leng-hong yang kedua
kalinya menjadi meleset juga.
Walaupun agak rikuh karena kedatangan Ciong Siu,
tapi Leng-hong tidak lantas berhenti. Sesudah ragu-ragu
sejenak segera ia memburu maju pula, serunya, "Aku
terpaksa harus membunuhnya, adik Siu, terhadap matamata
musuh tidak ada ampun lagi!"
Ciong Siu menjadi bingung dan tidak tahu apa yang
harus dilakukannya pula.
Dalam pada itu keadaan Ubun Hiong telah bertambah
payah. Hiat-to yang tertimpuk Kim-ci-piau tadi karena
tidak mendapat pengurutan, sekarang sudah mulai kaku
sehingga hilang daya rasanya. Sebentar lagi tentu dia
takkan bisa berkutik sama sekali.
Tampaknya serangan ketiga Leng-hong pasti akan
membinasakan Ubun Hiong. Pada saat menentukan
itulah sekonyong-konyong Leng-hong merasa di
belakangnya ada angin sambaran senjata tajam, ia
terkejut dan lekas menarik kembali pedangnya untuk
menangkis ke belakang. "Trang", ujung pedang Yap
Leng-hong tahu-tahu terpapas kutung oleh senjata
penyerang itu.
Kejut dan girang sekali Ubun Hiong, sekuatnya ia
berseru, "Sumoay!" Sayang dia sudah kehabisan tenaga,

terutama karena Hiat-to yang tertimpuk Kim-ci-piau itu,


maka habis bersuara ia pun tak sadarkan diri lagi.
Waktu Leng-hong menggeser ke samping dan
berpaling, dilihatnya Kang Hiau-hu sudah berdiri di situ
dengan alis menegak dan mata mendelik. "Mengapa kau
hendak membunuh Jisuko?" tegurnya dengan marahmarah.
Kiranya sepulangnya ke kamar sendiri, Hiau-hu
merasa tidak tentram meninggalkan Ciong Siu sendirian
bicara dengan Yap Leng-hong, akhirnya dia keluar lagi
untuk mencarinya, tak tersangka kebetulan memergoki
kedatangan Ubun Hiong ini. Melihat Ciong Siu tak bisa
mencegah keganasan Leng-hong, segera Hiau-hu
bertindak dengan cara yang paling tepat, yaitu
menyerang Yap Leng-hong.
Dari malu Yap Leng-hong menjadi gusar, serunya,
"Sebagai komandan aku hendak melaksanakan hukum,
mengapa kau berani merintangi aku?"
"Kalau komandan apa lantas boleh sembarangan
membunuh orang? Berdasarkan hukum apa kau boleh
bertindak secara sewenang-wenang?" sahut Hiau-hu.
"Kukira kau sengaja hendak membunuh untuk
menghilangkan saksi."
Ucapan terakhir ini benar-benar menusuk perasaan
Yap Leng-hong, keruan ia berjingkrak gusar. Lebih-lebih
ia kuatir bila nanti Ubun Hiong sudah sadar, tentu
rahasianya akan terbongkar, maka dengan murka ia
membentak, "Budak gila, kau berani sembarangan
omong dan membangkang kepada pimpinan, aku justru
ingin membinasakan Ubun Hiong. Kau mau menyingkir
atau tidak?" Habis itu segera ia menahaskan pedangnya
ke arah Kang Hiau-hu.

Selamanya Hiau-hu belum pernah melihat Toasukonya


sedemikian bengisnya, ia menjadi rada takut, namun
begitu ia tetap tidak mau menyingkir. "Trang", kembali
kedua muda-mudi bergebrak pula dan lagi-lagi ujung
pedang Yap Leng-hong terkutung sebagian, tapi pedang
Hiau-hu sendiri juga tergetar mencelat. Rupanya tenaga
si nona tetap kalah kuat daripada sang Suheng walaupun
menang senjata.
Namun lebih dulu Kang Hiau-hu masih sempat
mendahului memburu ke depan Ubun Hiong, ia pentang
kedua tangan untuk melindungi pemuda itu. Dengan
membusungkan dada ia menghadapi ujung pedang Yap
Leng-hong sambil membentak, "Jika kau ingin
membunuh dia, lebih dulu kau harus membunuh aku."
Ciong Siu menjadi takut kalau urusan menjadi runyam,
cepat ia maju melerai, katanya kepada Yap Leng-hong,
"Biarpun orang ini pantas menerima hukuman setimpal
karena dosanya, tapi tidak perlu buru-buru melaksanakan
hukuman pada waktu sekarang. Mengingat adik Hu,
bolehlah kau menunda dulu persoalan ini."
Betapapun besar nyali Yap Leng-hong, pada saat ini
dia belum berani membunuh Kang Hiau-hu, apalagi
Ciong Siu juga berada di situ, tidak nanti si nona tinggal
diam saja jika Hiau-hu akan dibunuhnya.
Pada saat itulah Ciong Leng yang mendapat laporan
juga telah memburu tiba. Ia pun terperanjat melihat
keadaan yang tegang itu. "Ai, ada apakah kalian berdua
saudara seperguruan ini?" demikian ia menegur dengan
tertawa.
"Bagus, kedatanganmu sangat kebetulan," seru Hiauhu.
"Dia hendak sembarangan membunuh orang.
Menurut pesan ayah, biarpun dia adalah komandan, tapi

segala urusan harus berunding dulu dengan kau,


sekarang coba kau ikut menimbangnya secara adil."
Sudah tentu Ciong Leng bingung karena tidak tahu
duduknya perkara, ia bertanya, "Siapakah saudara ini?"
"Orang ini membawa tanda pengenal dari Thian-li-kau,
katanya adalah Sute komandan, namun kedatangannya
hendak menemui engkau," lapor perwira piket tadi.
Keruan Ciong Leng bertambah kaget, katanya, "Yapheng,
apakah benar-benar orang ini adalah Sutemu? Apa
dosanya? Segala sesuatu sebaiknya kita pikirkan lebih
mendalam."
Kedatangan Ciong Leng membuat Yap Leng-hong
lebih-lebih tidak leluasa untuk turun tangan keji pula,
terpaksa ia pura-pura menghela napas dan menyimpan
kembali pedangnya, lalu berkata, "Adik Hu, bukanlah aku
sengaja mengomeli kau, tapi sesungguhnya kau terlalu
memikirkan kepentingan pribadi dan melupakan tugas."
Hiau-hu menjadi malu dan gusar, sahutnya dengan
sengit, "Urusan pribadi apa? Melupakan tugas? Coba
terangkan!"
"Kau suka kepada Ubun Hiong bukan?" seru Yap Lenghong.
"Suka atau tidak suka adalah urusanku, peduli apa
dengan kau!" semprot si nona.
"Sudah tentu aku tidak peduli, tapi kau mengaku suka
kepada Ubun Hiong, bukankah itu berarti mementingkan
urusan pribadi?"
"Dia adalah Jisukoku, juga Sutemu. Bicara tentang
urusan pribadi, kita berdua sama-sama berkepentingan,"
sahut Hiau-hu dengan ketus.
"Hm, barangkali kau sudah lupa bahwa Ubun Hiong
sudah dipecat dan diusir pergi oleh ibumu?" jengek Lenghong.
"Kau boleh mengaku dia sebagai Suheng, tapi aku

tidak punya Sute seperti dia. Apalagi terhadap seorang


mata-mata musuh, setiap orang dapat membunuhnya."
"Kau bilang dia mata-mata musuh, apa buktinya, apa
dasarnya?" sahut Hiau-hu.
"Jik-liong-ki ini saja sudah cukup menjadi bukti," kata
Leng-hong. "Kuda ini telah direbut oleh komandan Gi-limkun
yang bernama Ho Lan-bing, mengapa sekarang bisa
berada padanya?"
"Apakah tidak mungkin dia merebutnya kembali dari
Ho Lan-bing?" sahut Hiau-hu tetap ngotot.
"Huh, hanya dengan sedikit kepandaiannya ini mampu
merebut kuda dari tangan Ho Lan-bing?" ejek Leng-hong.
"Tanpa memeriksanya dahulu, darimana kau
mengetahui soal ini? Ayahku telah berangkat ke kotaraja,
bukan mustahil ayah juga telah merebut kembali kuda ini
dan diserahkan kepada Jisuko."
"Kau hanya menduga saja, tapi aku masih ada bukti
nyata yang lain," kata Leng-hong.
"Bukti nyata apa?" tanya Hiau-hu.
"Ya, sebenarnya aku tidak ingin bercerita, tapi
sekarang terpaksa harus kukatakan padamu," Leng-hong
pura-pura menyesal. Lalu ia menuturkan seperti apa
yang dikatakannya kepada Ciong Siu tadi dan akhirnya
menambahkan, "Bahkan dari laporan rahasia yang
kuterima, sejak dia meninggalkan perguruan, dia sudah
bersekongkol dengan musuh. Padahal besok juga kita
akan mulai penyerangan total, masakah kita boleh
membiarkan seorang mata-mata musuh menyusup ke
dalam pasukan kita. Sebab itulah aku harus segera
menumpasnya."
"Aku tidak percaya, kau memfitnah!" seru Hiau-hu.
Perdebatan mereka yang sengit itu benar-benar
membikin Ciong Leng tercengang. Tentang Ubun Hiong

diusir oleh ibu gurunya memang telah diketahui olehnya,


sebab itulah ia rada percaya kepada ucapan Yap Lenghong,
tapi segala sesuatu sepantasnya mesti melalui
pemeriksaan lebih dulu seperti apa yang dikatakan Kang
Hiau-hu tadi. Terpaksa ia menengahi, "Yap-toako, bila
Ubun Hiong benar-benar pengkhianat, rasanya kita harus
mengadakan pemeriksaan lebih dulu, siapa tahu kalau
kedatangannya ini juga membawa rencana tertentu. Eh,
mengapa dia diam saja, apakah Ia coba mendekati Ubun
Hiong dan memeriksa nadinya, kemudian berkata,
"Orangnya masih hidup, cuma tenaganya sangat lemah,
rasanya dua-tiga jam kemudian baru dapat sadar
kembali."
Ilmu silat Ciong Leng sudah tergolong kelas tinggi, dia
dapat melihat keadaan Ubun Hiong yang payah, pertama
karena tertotok, pula kehabisan tenaga sehingga tak
sadarkan din. Andaikan Hiat-to yang tertotok berat itu
dapat dibuka kembali juga masih belum dapat
menyadarkan pemuda itu.
Di waktu Ciong Leng memeriksa Ubun Hiong, baik Yap
Leng-hong maupun Kang Hiau-hu sama-sama merasa
kuatir. Leng-hong kuatir kalau rahasianya terbongkar
bilamana Ubun Hiong siuman, sebaliknya Kang Hiau-hu
kuatir kalau-kalau Ubun Hiong dalam keadaan parah
karena serangan Yap Leng-hong.
Tapi mereka menjadi lega sesudah mendengar
keterangan Ciong Leng, diam-diam Yap Leng-hong
bersyukur karena masih ada waktu untuk mengambil
tindakan terhadap Ubun Hiong, sebaliknya Hiau-hu
bersyukur karena Ubun Hiong hanya pingsan saja,
sesudah siuman nanti tentu segala persoalan akan dapat
dibikin terang.

Maka dengan berlagak menyesal Yap Leng-hong


berkata, "Baiklah, mengingat pada Ciong-toako, bolehlah
kita menahannya sementara untuk diperiksa kemudian.
Sesungguhnya aku pun tiada niat membunuhnya,
soalnya besok juga kita sudah akan melakukan serangan
total, kalau mata-mata musuh dibiarkan berada di antara
kita, mungkin akan mendatangkan bencana." Habis
berkata ia lantas memanggil pengawal untuk menggusur
pergi Ubun Hiong.
"Kemana kau hendak menahannya?" tanya Hiau-hu.
"Sudah tentu menahannya di kemahku," sahut Lenghong.
"Aku sudah menyatakan akan menyekapnya untuk
sementara, sudah pasti aku takkan buru-buru
membunuhnya. Namun demikian aku harus menjaganya
dengan rapat sebagai tawanan yang penting."
"Aku justru tidak mempercayai kau dan membiarkan
dia berada di dalam tahananmu," ujar Hiau-hu.
Leng-hong menjadi gusar, katanya, "Sungguh tidak
pantas ucapanmu ini. Jelek-jelek aku adalah Suhengmu,
kau tidak menghormati aku berarti melanggar tertib
perguruan. Bicara kedudukan, aku adalah komandan
pasukan, kau membangkang kepada pimpinan, ini berarti
melanggar disiplin. Jika kau sembarangan bicara lagi,
jangan salahkan aku bertindak semestinya padamu."
Akan tetapi Kang Hiau-hu tidak gentar, ia jemput
kembali pedang pusaka Cay-in-pokiam yang jatuh tadi,
lalu dengan mendelik ia menjaga di samping Ubun Hiong.
Leng-hong bertambah gusar, bentaknya, "Apa artinya
ini?"
"Pendek kata kemana pun kau hendak menahannya,
malam ini juga aku akan menjaga di sebelahnya, jika kau
berani mengganggu seujung rambutnya saja, segera aku
mengadu jiwa padamu," sahut Hiau-hu tegas.

"Ngaco-belo!" seru Leng-hong sambil berjingkrak


gusar. "Sungguh tidak tahu aturan! Sungguh tidak takut
ditertawai orang!"
Biarpun berjingkrak-jingkrak gusar, tapi dia benarbenar
tak berdaya terhadap Sumoay yang kepala batu
itu. Betapapun dia gentar terhadap sang guru, maka dia
tidak berani memakai kekerasan terhadap Kang Hiau-hu.
Melihat keadaan yang serba susah itu, diam-diam
Ciong Leng juga merasa sikap Hiau-hu itu adalah
keterlaluan. Segera ia melerai pula, "Yap-toako, besok,
kau harus memimpin pasukan, malam ini harus istirahat
sebaik-baiknya, biarlah tawanan ini sementara ditahan di
kemahku saja. Berada di bawah pengawasanku rasanya
adik Hu juga tak perlu kuatir pula."
"Ya, rasanya kakakku takkan membela siapa-siapa,
tentu adik Hu dapat mempercayainya," Ciong Siu ikut
menyokong.
"Baiklah," sahut Hiau-hu. "Jika demikian biarlah Ciongtoako
yang menjaganya, besok aku akan minta orangnya
kepada Ciong-toako."
Karena Ciong Leng sudah menyatakan akan
mengawasi tawanan, terpaksa Yap Leng-hong menyerah
dan setuju. Maka percekcokan itupun berakhirlah.
Setiba kembali di perkemahan sendiri, ternyata Hiauhu
masih kurang puas, katanya kepada Ciong Siu,
"Perasaanku tidak tenteram, aku kuatir akan terjadi
sesuatu."
"Masakah kau tidak percaya juga kepada kakakku?"
ujar Ciong Siu dengan kurang senang.
"Tidak, yang tak bisa kupercayai adalah Yap suko,"
kata Hiau-hu. "Kukira Yap Leng-hong pasti takkan tinggal
diam, tentu dia akan mendatangi kemah kakakmu dan
entah tipu keji apa yang akan digunakannya lagi."

"Agaknya curigamu terlalu besar," ujar Ciong Siu,


"andaikan ada apa-apa juga kakakku takkan tinggal
diam."
"Tapi aku tetap tidak tenteram, aku ingin pergi
melihatnya," kata Hiau-hu.
"Tampaknya kehendakmu sukar dirintangi," kata Ciong
Siu. "Baiklah, biar kupergi bersama kau."
Sementara itu sudah jauh lewat tengah malam,
suasana sunyi senyap. Di sekitar perkemahan hanya
prajurit-prajurit peronda saja yang masih berseliweran,
dengan Ginkang yang tinggi mereka keluar dari kemah,
secara hati-hati sekali mereka dapat melalui pos-pos
penjaga dan akhirnya sampai di kemah Ciong Leng.
Dengan suara perlahan Ciong Siu membisiki Hiau-hu,
"Kita mengintip dulu dari luar, bila tiada terjadi sesuatu
bolehkah kita pulang kembali saja?."
"Tidak, aku harus ikut mengawasi sampai subuh tiba
barulah lega hatiku," ujar Hiau-hu.
Belum habis ucapannya, tiba-tiba dari belakang kemah
sana tampak berkelebat sesosok bayangan orang, karena
datangnya dari arah berlawanan sehingga orang itu tidak
mengetahui Ciong Siu dan Hiau-hu. Orang itu tampak
masuk ke kemah Ciong Leng dari arah depan, gerakan
orang itu sangat cepat, sama sekali ia tidak menghindari
penjaga, sebaliknya prajurit penjaga juga tidak
merintangi dia.
Seketika Ciong Siu dan Hiau-hu terkejut demi
mengenali siapa orang itu, ternyata tak lain tak bukan
adalah Yap Leng-hong. Sebagai komandan pasukan,
pantas penjaga-penjaga itu tiada berani bersuara dan
merintangi kedatangannya.
Kembali Ciong Siu membisiki Hiau-hu, "Kau jangan
bersuara dulu. Biarlah kita lihat apa maksud

kedatangannya, jangan-jangan dia ada urusan penting


yang hendak dirundingkan dengan kakakku."
Hiau-hu tidak menjawabnya, sebaliknya dia lantas
merayap maju, ia berhenti tepat di belakang kemah, ia
keluarkan Cay-in-pokiam dan merobek kain kemah,
disiapkannya segenggam senjata rahasia jarum pula. Bila
Yap Leng-hong berani menyentuh Ubun Hiong, segera
kubutakan dulu matanya, demikian pikirnya.
Dalam pada itu Ciong Leng agak terkejut juga demi
melihat kedatangan Yap Leng-hong secara mendadak itu,
tegurnya, "Yap-toako, apakah ada terjadi sesuatu?"
"Tidak apa-apa, aku cuma menguatirkan tawanan ini,"
ujar Leng-hong.
Walaupun segala sesuatu Ciong Leng suka
menghormati Yap Leng-hong, tapi demi mendengar
ucapan itu ia menjadi kurang senang, katanya, "Apakah
Toako kuatir aku melepaskan dia?"
"Ah, mana aku berani berpikir demikian, kau jangan
salah paham," cepat Leng-hong menjawab dengan
tertawa. "Soalnya mendadak aku teringat sesuatu atas
diri tawanan ini."
"Tentang apa?" tanya Ciong Leng.
"Apakah kau sudah menggeledah badannya?"
"O, hal ini memang tak kupikirkan. Apa kau kira ada
barang rahasia apa-apa yang dia bawa?"
"Ya, tiada jeleknya kita berjaga-jaga, biarlah aku coba
mengeledahnya," kata Leng-hong. Segera tangannya
menjambret ke dada Ubun Hiong. Pikirnya andaikan tidak
menemukan sesuatu barang berharga sedikitnya juga
akan membuat terluka dalam supaya tak bisa bicara.
Tak tersangka, baru saja jari Yap Leng-hong hampir
menyentuh baju Ubun Hiong, sekonyong-konyong
cahaya bintik-bintik gemerlapan disertai suara mencicit

yang ramai, tahu-tahu secomot jarum halus telah


berhamburan ke mukanya. Bahkan lantas terdengar
suara bentakan Kang Hiau-hu, "Jangan menyentuhnya!
Bila kau menyentuhnya aku mengaju jiwa padamu!"
Leng-hong terkejut, cepat ia mengebaskan lengan
bajunya untuk melindungi mukanya sambil melompat ke
samping. Untung gerakannya cukup cepat sehingga
matanya terhindar dari bahaya dibutakan, walaupun
demikian lengan bajunya juga sudah tertancap belasan
buah jarum halus itu.
Sementara itu dengan cepat sekali Kang Hiau-hu juga
sudah menerjang ke dalam kemah.
Leng-hong menjadi gusar, bentaknya, "Apa apaan kau
ini? Kau hendak berontak?"
"Kau tidak adil, berontak padamu juga panlas!" sahut
Hiau-hu. "Ingin kutanya padamu, apa maksudnya diamdiam
datang ke tempat Ciong-toako ini?"
Kuatir kalau kedua orang memakai kekerasan, lekas
Ciong Leng dan Ciong Siu melerai mereka.
Dengan tertawa dingin Yap Leng-hong berkata, "Aku
tidak menegur kau sebaliknya kau malah menyalahkan
aku. Kau telah melanggar disiplin, bahkan seorang anak
perempuan malam-malam keluyuran ke sini, apa sih
maksudmu? Sebagai komandan apa salahnya jika aku
datang ke sini untuk memeriksa tawanan?"
"Periksa tawanan apa?" jengek Hiau-hu. "Caramu
mencengkeram dadanya, apakah begitu orang
menggeledah atau sengaja hendak mencelakai
tawananmu?"
Dari malu Yap Leng-hong menjadi gusar, bentaknya,
"Ngaco-belo! Aku belum memberi hukuman setimpal
padamu, sebaliknya malah kau sudah menuduh aku.
Ciong-toako, tangkap dia sekalian!"

Sudah tentu Ciong Leng merasa bingung dan serba


susah. Dalam pada itu Hiau-hu sudah melolos pedang
dan menjawab, "Yap Leng-hong, jangan kau membikin
sulit Ciong-toako, jika mau tangkap aku, silakan kau
maju sendiri saja."
Keruan Yap Leng-hong berjingkrak murka, tapi ia
benar-benar mati kutu menghadapi sang Sumoay yang
kepala batu itu. Sedang ketiga pihak dalam keadaan
canggung, sekonyong-konyong terdengar suara
mendenging-denging nyaring di angkasa, itulah suara
panah tanda bahaya yang biasa digunakan dalam
pasukan.
Sungguh kejut Leng-hong tak terkatakan, sebaliknya
Ciong Leng merasa kebetulan malah, cepat ia berseru,
"Yap-toako, silakan kau lekas pergi memeriksa urusan
yang genting. Urusan di sini biarlah serahkan di bawah
pengawasanku saja."
Sebenarnya Yap Leng-hong bukan menguatirkan
penyerangan 'musuh' di waktu malam, sebab panglima
lawan itu tak lain tak bukan adalah ayahnya sendiri,
mereka ayah dan anak sudah mengadakan kontak untuk
membasmi pasukan pemberontak pada besok lohor bila
pasukan yang dipimpin Yap Leng-hong memasuki suatu
lembah buntu.
Tapi justru karena yakin pasukan kerajaan takkan
menyerang pada malam ini, makanya Yap Leng-hong
sangat terkejut. Dari panah bersuara sebagai tanda
bahaya yang berseliweran di udara yang dilepaskan pos
penjagaan bagian depan itu, kecuali ada serangan musuh
hanya ada suatu kemungkinan lain, yaitu memergoki
mata-mata musuh yang tidak berhasil ditangkap oleh pos
penjaga.

Dari keterangan yang diterima, Leng-hong telah


mengetahui Hong Jong-liong ditugaskan ke kotaraja,
menurut perhitungan dalam waktu sehari dua hari ini
tentu sudah dapat pulang kembali dan Hong Jong-liong
sendiri atau wakilnya akan menyampaikan hasil usahanya
di kotaraja kepada Yap Leng-hong. Mestinya kedatangan
Hong Jong-liong atau wakilnya takkan mengalami
kesukaran, karena mereka tentu sudah memegang surat
jalan yang telah disiapkan Yap Leng-hong, tapi mungkin
terjadi sesuatu rintangan, hal inipun bisa terjadi.
Karena rasa kuatirnya kalau-kalau Hong Jong-liong
mengalami sesuatu yang mungkin membikin susah
padanya, terpaksa Yap Leng-hong harus meninggalkan
dulu persoalan Ubun Hiong ini, apalagi sebagai
komandan pasukan sudah seharusnya dia memeriksa apa
yang terjadi seperti dianjurkan Ciong Leng tadi, maka
berkatalah dia, "Baiklah, kuharap Ciong-toako menjaga
baik-baik mata-mata musuh ini. Kupergi memeriksa apa
yang terjadi dan segera akan kembali ke sini."
Sungguh lacur bagi Yap Leng-hong, dia tergesa-gesa
pergi karena kuatir terjadi apa-apa atas diri Hong Jongliong
yang mungkin membawa dokumen rahasia
untuknya, tak terduga dokumen penting yang dikiranya
itu justru berada pada Ubun Hiong yang hampir kena
digeledah olehnya.
Setelah Leng-hong pergi, barulah Ciong Leng merasa
lega, katanya, "Sudahlah, sekarang kalian boleh pulang
juga ke perkemahanmu, segala urusan serahkan saja
padaku."
"Baiklah, biar kucoba memeriksa keadaan Jisuko dulu,"
kata Hiau-hu sambil mendekati dan memayang bangun
Ubun Hiong yang terbaring itu, tapi mendadak ia berseru

heran, "He, Ciong-toako! Coba lihat, dalam bajunya


seperti ada sepucuk surat'
Kiranya Ubun Hiong telah menyimpan dokumen
rahasia rampasan dari Hong Jong-liong itu di lapisan
dalam bajunya. Karena jambretan Yap Leng-hong tadi
keburu dicengah oleh Kang Hiau-hu, maka hanya
bajunya saja sedikit tertarik dan ujung sampul surat
berharga menongol keluar sedikit. Namun Yap Leng liong
tidak sempat menggeledah lebih jauh sehingga tidak
mengetahui
Cepat Ciong Leng mendekat Ubun Hiong dan menarik
keluar sampul surat di dalam bajunya. Belum membaca
tulisannya lebih dulu ia sudah melihat di muka sampul
ada cap kebesaran gubernur Sucwan. Keruan ia terkejut
dan berseru, "He, benar-benar ada bukti yang terdapat di
atas badannya."
"Bukti apa?" tanya Hiau-hu bingung.
"Coba kau periksa dulu Jisukomu, biarlah kubaca isi
surat ini," kata Ciong Leng. Segera ia menyingkir ke
pinggir, lalu membuka surat itu dan membacanya sendiri.
Kiranya dari dokumen yang diketemukan di atas badan
Ubun Hiong itu, Ciong Leng menyangka benar-benar
telah diketemukan bukti pengkhianatan Ubun Hiong. Ia
kuatir Kang Hiau-hu merebut surat itu, maka sengaja
menyingkir dulu di pinggir, tapi baru saja ia membaca
sebagian isi surat itu, seketika air mukanya berubah
menjadi pucat, serunya dengan suara gemetar, "Adik Siu,
coba kemari kau!"
Dan pada waktu Ciong Siu ikut membaca surat itu, di
sebelah sini Kang Hiau-hu sedang sibuk membangunkan
Ubun Hiong, ia membuka Hiat-to yang tertotok, dasar
Lwekang Ubun Hiong juga cukup kuat, sesudah sekian

lamanya kekuatan Ubun Hiong sudah pulih, maka dalam


waktu singkat dia sudah siuman kembali.
Begitu membuka mata dan melihat wajah Hiau-hu
yang cantik itu berada di depannya, hampir-hampir saja
ia mengira sedang mimpi.
Segera Hiau-hu berkata, "Syukurlah kau sudah
siuman. Tentu kau tidak mengira akan melihat aku di sini
bukan?"
"Aku ... aku ingat dirobohkan oleh si keparat Yap
Leng-hong itu," sahut Ubun Hiong. "Dimanakah bangsat
itu sekarang?"
"Apa? Kau menyebutnya ..." baru saja Hiau-hu hendak
menegas, sekonyong-konyong terdengar suara
gedebukan. Kiranya Ciong Siu telah roboh pingsan
sesudah membaca surat rahasia yang diketemukan
dalam baju Ubun Hiong tadi.
Keruan Hiau-hu kaget, "He, enci Siu, kenapakah kau?"
serunya. Namun Gong Siu sudah tak sadarkan diri dan
sudah tentu tak bisa menjawab.
Gong Leng yang lantas berkata, "Yap Leng-hong
adalah putra Yap To-hu, dia ... dia benar-benar
pengkhianat. Ini adalah surat rahasia laporan ayahnya
tentang jasa putranya selama ini."
Walaupun ucapan Gong Leng bukan jawaban yang
jelas, namun Hiau-hu sudah dapat paham duduknya
perkara. Ia tahu sebab apa Ubun Hiong memaki
"Toasuko" mereka sebagai bangsat dan paham juga apa
sebabnya Gong Siu mendadak pingsan.
"O, kiranya kalian telah menemukan surat rahasia
yang kubawa itu, jika demikian aku tidak perlu memberi
penjelasan lagi. Dimanakah bangsat Yap Leng-hong itu,
jangan biarkan dia lolos!" seru Ubun Hiong sambil
melompat bangun.

Wajah Gong Leng sebentar pucat sebentar merah,


serunya kemudian, "Ya, kita harus lekas mengejarnya!
Dia belum tahu bahwa rahasianya telah kita ketahui,
mungkin belum sempat lari!"
"Baiklah, boleh kalian berangkat, biar aku yang
menjaga enci Siu," ujar Hiau-hu. Sesungguhnya ia pun
ingin ikut pergi mengejar Yap Leng-hong, tapi mengingat
Gong Siu tentu akan sangat cemas dan malu bila siuman
nanti, untuk ini harus ada orang yang mendampingi dan
menghiburnya. Sebab itulah Hiau-hu mengekang api
amarahnya terhadap Yap Leng-hong dan tinggal untuk
menjaga Gong Siu.
Begitulah selagi Ciong Leng dan Ubun Hiong sudah
mulai melangkah pergi, mendadak Hiau-hu berseru,
"Jisuko!"
Cepat Ubun Hiong merandek dan berpaling, "Ada apa,
adik Hu."
"Cay-in-pokiam ini boleh kau bawa saja!" kata Hiauhu.
Walaupun hanya melalui percakapan singkat itu, akan
tetapi segenap perasaan si nona sudah dicurahkan
melalui pedang itu. Sambil menerima pedang pusaka itu,
perasaan Ubun Hiong sangat berterima kasih kepada
sang Sumoay, semangatnya juga terbangkit untuk segera
menumpas pengkhianat. Sebenarnya tenaganya masih
belum pulih seluruhnya, tapi sekarang ia merasa seluruh
badannya penuh tenaga. kalau bisa ia ingin terbang
menyusul Yap Leng liong dan sekali tabas dengan Cay-inpokiam
membinasakannya.
Sekarang marilah mengikuti kepergian Yap Leng-hong.
Sekeluarnya dari kemah Ciong Leng, cepat-cepat ia
pulang ke kemahnya sendiri. Jik-liong-ki yang dibawa
kemari oleh Ubun Hiong itu kini sudah dirampas olehnya,

kuda itu sangat besar artinya baginya. Ia pikir bila terjadi


sesuatu yang luar biasa dan tidak menguntungkan
dirinya, tentu kuda mestika itu dapat digunakan untuk
melarikan diri.
Begitu mencemplak ke atas Jik-liong-ki, segera Lenghong
melarikannya ke pos penjagaan di mulut lembah.
Tiba-tiba terlihat di pengkolan sana ada panah berapi
yang dibidikkan ke angkasa, itulah tanda bahwa di sana
dipergoki jejak musuh. Cepat ia mengeprak kudanya,
sampai di tengah jalan dia telah diberi laporan bahwa
ada seorang berkedok telah menerjang masuk tanpa
menghiraukan rintangan penjaga.
Leng-hong terkejut, ia pikir kalau pendatang itu adalah
Hong Jong-liong, caranya ini benar-benar tidak pantas.
Dan baru saja ia hendak melanjutkan ke depan, tiba-tiba
tertampak seorang penunggang kuda telah muncul dari
balik pengkolan jalan sana. Cahaya bulan yang tidak
terlalu terang, pula orang itu berkedok sehingga sukar
bagi Yap Leng-hong untuk mengenali siapa pendatang
itu.
Cepat Leng-hong memapak maju sambil membentak,
"Siapa itu? Berhenti!" Sesudah dekat ia merasa
pendatang ini seperti sudah dikenalnya, tapi jelas bukan
Hong Jong-liong.
Orang itu terbahak-bahak dan mendadak menarik
kedoknya sambil membentak, 'Tentanglah mata
anjingmu, apakah kau sudah pangling padaku? Hehe,
tentunya kau tidak mengira aku masih bisa hidup
bukan?"
Sungguh kaget Leng-hong tidak kepalang, kiranya
pendatang ini tak lain tak bukan adalah "Yap Leng-hong
tulen" yang dipalsukan olehnya dan kini memakai
namanya yang lain, yaitu Yap Boh-hoa.

"Hm, tentang pemalsuan namaku aku tak peduli, kau


suka kepada nama itu boleh ambil saja, tapi dengan
memalsukan namaku kau sengaja hendak
menghancurkan pasukan pergerakan, inilah aku tak bisa
tinggal diam," jengek Yap Boh-hoa.
Walaupun kaget karena munculnya Yap Boh-hoa itu,
tapi segera Yap Leng-hong menjadi nekat, pikirnya,
"Mungkin kepandaianku sekarang tidak kalah daripada
dia, kenapa aku mesti jeri padanya?" Tanpa bicara lagi
segera ia melarikan kudanya ke depan, pedangnya terus
menusuk.
"Hm, kau masih berani bergebrak dengan aku?"
dengus Yap Boh-hoa sambil menangkis. "Trang", tusukan
Yap Leng-hong tersampuk ke pinggir, dengan cepat kuda
Jik-liong-ki sudah menyerobot lewat, ketika Yap Boh-hoa
hendak balas menyerang sudah tidak keburu lagi.
Diam-diam Boh-hoa terkesiap juga karena tak dapat
menyampuk jatuh pedang Yap Leng-hong. la kagum
sekali terhadap pamannya, yaitu Kang Hay-thian yang
hebat, hanya dalam waktu singkat saja sudah dapat
mendidik muridnya sedemikian pesat kemajuannya. Ia
tidak tahu bahwa Leng-hong telah mendapat bantuan
saluran Lwekang dari Ciong Tian, maka tenaga dalamnya
dapat maju begitu cepat. Namun begitu sesungguhnya
kekuatan Yap Leng-hong toh masih kalah setingkat dari
Yap Boh-hoa.
Tanpa berhenti, segera Yap Boh-hoa mengeprak
kudanya mengudak pula, sekejap itu sudah timbul
berbagai pikiran dalam benak Yap Leng-hong. Ia bingung
apakah mesti melarikan diri atau tidak? Jika mau
melarikan diri dia masih dapat lolos mengingat kudanya
yang bagus itu. Akan tetapi kalau melarikan diri, berarti
segala daya upayanya selama ini akan terbuang dengan

sia-sia belaka, segala impiannya juga akan kosong


melompong. Sebagai seorang yang punya ambisi gede,
sudah tentu Yap Leng-hong tidak rela berakhir dengan
demikian.
Diam-diam ia membatin, "Untuk membongkar
rahasiaku rasanya dia belum dapat memberi bukti-bukti
yang cukup dan orang sukar mempercayainya. Asal
pasukan sudah berkumpul, sebagai komandan tentu aku
masih dapat memberi perintah untuk membekuknya atau
membinasakan dia dengan hujan panah.”
Bertempur di atas kuda sudah tentu Leng-hong lebih
untung karena Jik-liong-ki jauh lebih gesit daripada kuda
biasa, apalagi Leng-hong memperhatikan di atas kuda
Yap Boh-hoa termuat sebuah karung goni besar entah
apa isinya, lantaran itu kuda Yap Boh-hoa menjadi lebih
lamban pula.
Leng-hong sengaja memutar kudanya dengan cepat
mengilat ti belakang Boh-hoa, segera pedangnya
menusuk ke arah karung goni itu tapi pedang Yap Bohhoa
sempat menangkisnya lagi. Sesudah mencoba satu
kali dan melihat lawannya membela karung goni itu,
diam-diam Leng-hong heran, apa sih isinya sehingga
karung itu dibelanya mati matian?
Segera ia mendapat akal, lawan membela mati-matian
karungnya itu, maka kelemahan ini yang akan terus
dicecar dengan serangan-serangan.
Sementara itu Boh-hoa sudah tahu pikiran Yap Lenghong,
segera ia ganti siasat, tidak mau bertahan melulu,
tapi diseling dengan serangan balasan. Begitulah dalam
sekejap saja belasan jurus sudah berlalu, di tengah
pertarungan itu sudah ada beberapa orang memburu tiba
pula.

Dua orang yang memimpin pendatang-pendatang itu


satu bernama Kam Pa dan yang lain bernama Pek Hiong.
Keduanya sama-sama murid Bin-san-pay angkatan
ketiga, Kam Pa adalah cucu Kam Hong-ti dan Pek Hiong
cucu Pek Thay-koan. Melihat kedatangan mereka, segera
Yap Leng-hong berlagak sebagai komandan dan memberi
perintah, "Lepaskan panah, binasakan mata-mata musuh
ini!"
Kam Pa mengiakan, kontan ia menyambitkan tiga
buah piau ke arah Yap Boh-hoa. Beberapa bintara yang
ikut di belakangnya juga lantas menghamburkan macammacam
senjata rahasia, hanya Pek Hiong saja yang tidak
ikut menyerang.
Kiranya Pek Hiong adalah putra Pek Eng-kiat yang
terkenal cerdik, sejak kecil Pek Hiong sudah terdidik
seperti sang ayah, segala urusan tentu dipikirkan dulu
sebelum bertindak, maka sekarang ia pun berpikir, "Jika
orang ini adalah mata-mata musuh, seharusnya
ditangkap hidup-hidup untuk dimintai keterangan,
mengapa buru-buru hendak membinasakan dia."
Dalam pada itu Yap Boh-hoa telah memutar
pedangnya dengan kencang hingga ramai terdengar
suara "Crang-cring" suara terbenturnya macam-macam
senjata rahasia oleh pedang. Senjata-senjata rahasia itu
semuanya terbentur mencelat, di bawah hujan senjata
rahasia itu, Yap Boh-hoa tidak dapat melindungi dirinya
sendiri dengan kudanya sekaligus, pada suatu ketika kaki
kudanya telah tertimpuk dua buah piau, binatang itu
meringkik kesakitan sambil berjingkrak untuk kemudian
lantas roboh.
Di sinilah tampak kelebihan Yap Boh-hoa, pada saat
berbahaya itu dia telah mengeluarkan Ginkangnya yang
lihai, ia kempit karung goninya itu dan meloncat tinggi ke

atas, selagi terapung di udara pedangnya terus berputar


untuk menyampuk senjata-senjata rahasia yang
bertebaran itu sehingga tidak terluka sedikitpun, tapi
sebelum dia berdiri tegak di atas tanah, dari sana Kam
Pa sudah menerjangnya pula.
"Berhenti dulu, para pahlawan! Apakah kalian tahu
siapakah komandanmu yang sebenarnya?" teriak Bohhoa.
"Persetan!" semprot Kam Pa. "Siapa yang tidak kenal
komandan kami adalah murid pewaris Kang-tayhiap?
Sungguh lucu sekali pertanyaanmu ini."
Sambil melompat pergi untuk menghindarkan
serangan Kam Pa, berbareng Boh-hoa berseru pula.
"Salah, salah! Komandan kalian adalah putra Yap To-hu,
dia yang menjadi mata-mata musuh di tengah-tengah
pasukan pemberontak, Kang-tayhiap sudah tidak
mengakui dia sebagai murid pewaris lagi."
"Hahahaha! Apakah kalian percaya kepada
ocehannya?" sela Yap Leng-hong dengan bergelak
tertawa.
Apa yang dikatakan Yap Boh-hoa sudah tentu terlalu
mengejutkan sehingga orang-orang itu sukar
mempercayainya begitu saja, maka beramai-ramai para
pahlawan itu mencaci-maki sebagai jawaban ucapan Yap
Boh-hoa itu.
"Baik, kalian tidak percaya, ini akan kuberi saksi
hidup!" seru Boh-hoa sembari melemparkan karung goni
yang besar itu ke arah Kam Pa, tanpa ayal lagi Kam Pa
lantas menangkapnya.
"Coba kau buka, tentu kalian akan mengenalnya!" seru
Boh-hoa pula.
Dengan tidak sabar Kam Pa lantas merobek karung
goni itu, kontan memberosot keluar sesosok tubuh

manusia. Benar juga, segera ada di antara para


pahlawan yang kenal orang di dalam karung itu dan
berteriak, "He, bukankah dia Hong Jong-liong, jagoan
pengawal gubernur Sucwan si jagal she Yap itu?"
Kiranya tempo hari sesudah dilukai oleh pukulan Tiong
Tiangthong, buru-buru Hong Jong-liong melarikan diri,
tapi makin luka-lukanya makin berat, terpaksa ia harus
mencari suatu tempat untuk merawat diri. Sebab itulah
penguntitan Ubun Hiong tidak berhasil menemukannya,
sebaliknya Yap Boh-hoa yang menyusul kemudian malah
dapat memergokinya. Tentang kejadian ini akan kita
ceritakan di bagian lain.
Sekarang sesudah asal-usul Hong Jong-liong dikenali
orang, seketika para pahlawan menjadi gempar. Segera
Boh-hoa berseru pula, "Coba kalian tanyai dia, tentu
segala sesuatunya akan menjadi jelas."
Dasar watak Kam Pa memang tidak sabaran, pula
tidak suka banyak berpikir, kontan ia gampar dulu muka
Hong Jong-liong sambil membentak, "Orang she Hong,
kau sudah dengar tidak? Mengapa tidak lekas mengaku?"
Dasar dogol sehingga pertanyaannya menjadi tidak
keruan juga.
Tapi Hong Jong-liong masih tetap membisu, hanya biji
matanya saja dapat bergerak, sedang badannya masih
kaku tak berkutik. Kiranya dia telah ditotok oleh Yap Bohhoa
dengan tenaga berat dan belum lagi dibuka.
"Kam-jiko, agaknya dia tertotok Hiat-to tertentunya,
biar kuperiksa apakah dapat membukanya atau tidak?"
seru Pek Hiong.
Kalau Hong Jong-liong sampai diperiksa oleh
pahlawan-pahlawan itu, berarti guci wasiat Yap Lenghong
akan terbongkar, maka ia tidak tinggal diam. Ia
pura-pura berjingkrak gusar dan berteriak, "Kurangajar!

Dasar mata-mata musuh durjana, kau berani


bersekongkol dengan Hong Jong-liong untuk menfitnah
aku? Akan kubunuh dulu keparat she Hong ini baru nanti
kubereskan kau!"
Sambil memaki Yap Leng-hong sudah lantas
menghalau kudanya menuju ke arah Kam Pa, mendadak
ia rampas sebatang tombak dari seorang bintara terus
ditimpukkan sekuatnya ke hulu hati Hong Jong-liong.
Namun Pek Hiong mendadak melompat maju,
goloknya terus menangkis, tombak itu disampuknya
jatuh, serunya, "Yap-thongleng, tahan dulu, kukira dia
akan berguna bila kita memeriksanya sebelum dibunuh."
Agar tidak menimbulkan rasa curiga lebih mendalam,
terpaksa Yap Leng-hong mengalah, namun dia mendapat
akal lagi. Segera ia berkata, "Benar juga usul Pek-hiante.
Baiklah, sementara ini keparat she Hong ini ditahan dulu
untuk kita periksa lagi nanti. Cin Ing-gok, gusurlah
keparat she Hong itu, hati-hati jangan sampai terlepas."
Kiranya Cin Ing-gok yang diberi tugas itu adalah Sute
Bong Ing-ping yang merupakan kawan sekomplotannya.
Sebab itulah Leng-hong sengaja menugaskan
begundalnya sendiri untuk menggiring pergi Hong Jongliong,
dengan demikian secara diam-diam Hong Jongliong
dapat dibinasakan untuk menghilangkan saksi
hidup, Leng-hong yakin Cin Ing-gok pasti akan paham
maksudnya dan mengerjakannya dengan baik.
Menyusul Leng-hong lantas memberi perintah pula,
"Dan masih ada lagi mata-mata musuh itu, lekas kalian
bekuk dia sekalian!"
Karena tadi perhatian semua orang dicurahkan kepada
Hong Jong-liong sehingga Yap Boh-hoa hampir
terlupakan. Sekarang beberapa perwira segera
menerjang ke arahnya demi mendengar perintah

komandan mereka, namun Boh-hoa telah berseru,


"Tahan dulu! Aku takkan lari dari sini. Paling penting
sekarang lekas kalian membuka Hiat-to Hong Jong-liong
yang tertotok itu untuk dimintai keterangan yang amat
penting. Aku telah menotok dia punya Ih-gi-hiat dan
Tiok-tho-hiat."
Saat itu Cin Ing-gok sudah akan menjambret Hong
Jong-liong dari tangan Kam Pa, tapi keburu dicegah oleh
Pek Hiong.
"Nanti dulu, kita perlu memeriksa dan menanyai
beberapa keterangan padanya," kata Pek Hiong sembari
membuka Hiat-to Hong Jong-liong yang tertotok seperti
apa yang dikatakan Yap Boh-hoa.
"Kau berani membantah perintah komandan baru saja
Cin Ing-gok menegur, mendadak Hong Jong-liong sudah
bisa berteriak dengan suara serak, "Ka ... kalian jangan
membunuh aku, segera aku akan mengaku terus
terang!"
"Baik, asal kau mengaku terus terang, jiwamu tentu
akan diampuni," sahut Pek Hiong.
Yap Leng-hong menjadi gusar, "Pek Hiong, kau berani
bertindak melampaui wewenangmu tanpa menghiraukan
atasanmu?" semprotnya.
"Huh, kau masih mimpi hendak menjadi komandan
mereka?" jengek Yap Boh-hoa. "Hong Jong-liong, jika
kau ingin hidup hendaklah lekas mengaku saja, lekas!"
"Sungguh keji amat kau, Yap-kongcu!" teriak Hong
Jong-liong, "sampai-sampai aku pun hendak kau bunuh,
maka terpaksa aku mengaku segala perbuatanmu
kepada mereka. Ya, apa yang dikatakan Yap-tayhiap ini
tadi memang tidak salah."
Sedapat mungkin Yap Leng-hong berlagak tenang,
jengeknya, "Huh, kedua mata-mata musuh ini sudah

terang bersekongkol dan sengaja hendak memfitnah


diriku untuk mengadu domba kita, apakah kalian mau
percaya padanya?"
Sebagian para pahlawan itu sebenarnya sudah
mencurigai Yap Leng-hong, akan tetapi sebagian pula
yang biasanya suka memuja kecakapan pemimpin
mereka yang muda itu serentak bersorak menyokong
bantahan Leng-hong tadi.
Selagi suasana rada tegang, tiba-tiba terdengar seruan
orang, "Yap Leng-hong, kau masih berani berlagak di
sini? Saudara-saudara sekalian, lekas bekuk dia, jangan
sampai dia lolos! Dia benar-benar seorang mata-mata
tulen!" Kiranya Ciong Leng dan Ubun Hiong telah tiba.
Suara Ciong Leng itu benar-benar laksana bunyi
geledek yang membikin sukma Yap Leng-hong hampirhampir
terbang ke awang-awang. Sebagian pahlawan
yang tadinya masih percaya padanya juga terkesima
bingung, sungguh mimpi pun mereka tidak menyangka
bahwa pemimpin pujaan mereka itu benar-benar adalah
mata-mata musuh.
Pek Hiong yang pertama-tama bertindak, kontan ia
menyambitkan sebatang belati ke arah Yap Leng-hong
sambil membentak, "Hayolah, beramai-ramai kita bekuk
mata-mata musuh keparat ini!" Lantaran suara
bentakannya barulah semua orang seperti tersadar dari
impian, beramai-ramai mereka lantas mengerubut maju.
Yap Leng-hong sempat menyampuk jatuh belati
timpukan Pek Hiong itu, menyusul ia terus putar kudanya
dan menerjang ke arah Kam Pa.
Saat itu Hong Jong-liong masih berada di tangan Kam
Pa, Cin Ing-gok yang diperintahkan menahan Hong Jongliong
sudah lebih dulu ngacir demi nampak gelagat tidak
enak. Dasar otak Kam Pa memang encer, belum lagi dia

sempat berpikir, tahu-tahu kuda Yap Leng-hong sudah


menerjang sampai di depannya.
"Awas, Kam-jiko, lekas turun tangan!" teriak Pek
Hiong.
Dan baru saja Kam Pa sadar bahwa musuh yang harus
segera dibekuk adalah Yap Leng-hong, namun sudah
terlambat. "Tarrrrr", ruyung lemas Yap Leng-hong sudah
menyabet sehingga tubuh Kam Pa terlilit dan terangkat
ke atas, berbareng Leng-hong menyambitkan sebatang
panah kecil pula dan tepat menembus tenggorokan Hong
Jong-liong, kontan jago pengawal itu jiwanya melayang.
Dengan mengangkat tubuh Kam Pa yang terlilit oleh
ruyungnya itu, Leng-hong terus memutarnya untuk
digunakan sebagai tameng, serunya dengan tertawa, "Ini
dia, bolehlah kalian coba serang lagi!"
Mestinya para pahlawan akan menghujani lawan
dengan senjata rahasia, tapi urung demi melihat keadaan
Kam Pa yang terancam itu. Mereka tak berani mendekat.
Ilmu silat Kam Pa mestinya tidak lemah, soalnya dia
tidak berjaga-jaga sama sekali sehingga kena dikerjai
oleh Yap Leng-hong. Saking gusarnya ia terus meronta
dalam keadaan tubuh melayang di udara terbelit oleh
ruyung orang, seketika ujung ruyung terputus dan dia
terjungkal jatuh ke bawah, tapi cepat ia dapat melompat
bangun lagi. Sambil mencaci-maki kontan ia sambitkan
tiga buah piau ke arah Yap Leng-hong.
Namun Jik-liong-ki yang teramat cepat itu sudah
sempat mencongklang jauh ke depan, betapapun
cekatan Kam Pa menyambitkan senjata rahasianya juga
sudah agak kasip. Piau pertama masih sempat mencapai
sasarannya, tapi kena disampuk jatuh oleh pedang Yap
Leng-hong, piau kedua dan ketiga jatuh di tengah jalan.

Maka dengan leluasa dapatlah Yap Leng-hong membobol


kepungan dan meloloskan diri.
Sebagai komandan, dengan sendirinya pos-pos
penjaga di bagian depan belum mengetahui apa yang
sudah terjadi lantas memberi kebebasan seluasnya bagi
kaburnya Yap Leng-hong tanpa menanyai sesuatu.
Sesudah menguber belasan li dan tak dapat
menyusulnya, terpaksa Ciong Leng, Yap Boh-hoa dan
lain-lain putar kembali. Dalam pada itu perwira-perwira
dari berbagai pasukan sudah berkumpul untuk
menanyakan duduknya perkara. Di tengah lapangan situ
Ciong Leng lantas mengadakan suatu sidang darurat
untuk menerangkan peristiwa tadi serta mengumumkan
pengkhianatan Yap Leng-hong.
Dan baru sekarang Ubun Hiong sempat bicara dengan
Yap Boh-hoa dan menanyakan cara bagaimana Hong
Jong-liong itu dapat ditangkapnya.
"Ini berkat bantuan kawan-kawan dari Kay-pang,"
tutur Boh-hoa dengan tertawa. "Kay-pang mempunyai
hubungan merpati pos, Tiong-pangcu telah menghubungi
cabang-cabang Kay-pang di sepanjang jalan dan suruh
mereka membantu diriku. Akhirnya orang Kay-pang
menyampaikan berita padaku bahwa Hong Jong-liong
diketahui sedang merawat lukanya di suatu kelenteng.
Waktu kususul ke sana dan memang benar, dalam
keadaan masih terluka, dengan gampang saja aku dapat
membekuknya."
"Kematian Hong Jong-liong setimpal dengan
perbuatannya, cuma sayang Yap Leng-hong dapat lolos,"
kata Ubun Hiong.
"Aku pun ingin segera membinasakan dia, namun
tidak apalah, yang penting kedoknya sudah tersingkap,
penyakit yang tersembunyi di dalam barisan kita sudah

dicabut sampai akar-akarnya, untuk ini kita harus


gembira," ujar Yap Boh-hoa. "Biarlah keparat Yap Thingcong
itu hidup lebih lama beberapa hari, tidak lama tentu
dapat kita bekuk."
"O, jadi jahanam itu aslinya bernama Yap Thing-cong,"
tanya Ubun Hiong. "O, jika demikian pahamlah aku”
Tapi sebelum dia menjelaskan apa yang diartikan
paham itu, tiba-tiba nampak Kang Hiau-hu dan Ciong Siu
sedang mendatangi.
"Sayang kami datang terlambat dan tak bisa
membantu sehingga keparat itu sempat melarikan diri,"
seru Hiau-hu.
"Semuanya adalah kesalahanku," kata Ciong Siu
dengan gemas dan menyesal.
Kiranya tidak terlalu lama Ciong Siu sudah siuman
kembali, hatinya yang suci bersih itu walaupun mudah
tertipu orang jahat, tapi sesudah sadar segera ia dapat
membedakan tegas antara yang baik dan buruk, segera
ia ajak Kang Hiau-hu menyusul dan ikut membekuk Yap
Leng-hong, namun agak terlambat datangnya.
Karena Ubun Hiong belum kenal Ciong Siu, segera
Hiau-hu memperkenalkan mereka.
"O, sangat kebetulan," kata Ubun Hiong. "Di tengah
jalan aku telah bertemu dengan kedua orang tuamu,
mereka telah menolong menyembuhkan lukaku dan
minta aku menyampaikan berita kepada kalian bahwa
beliau-beliau itu segera akan menyusul kemari pula."
"Jisuko," tiba-tiba Hiau-hu bertanya, "tadi kau bilang
paham apa? Asyik benar kalian bicara, siapakah saudara
ini?"
Sekarang para pahlawan sudah tahu siapakah Yap
Leng-hong yang sebenarnya sehingga mereka menjadi
benci padanya, sebaliknya mereka juga ingin tahu

siapakah kedua pemuda yang berjasa ini. Tentang Ubun


Hiong sudah diketahui sebagai murid Kang Hay-thian,
tapi Ciong Leng dan lain-lain masih belum tahu siapakah
Yap Boh-hoa itu, maka beramai-ramai mereka
berkerumun ingin berkenalan.
"Ini dia Yap Leng-hong yang tulen, yang asli," kata
Ubun Hiong dengan tertawa. "Sumoay, dialah yang
benar-benar Piaukomu sejati."
Walaupun Yap Boh-hoa belum memberitahukan asalusulnya
sendiri kepada Ubun Hiong, tapi dari berbagai
kejadian yang telah dialaminya dan disaksikan serta
caranya membongkar rahasia "Yap Leng-hong" yang
telah melarikan diri tadi, segera Ubun Hiong paham
duduknya perkara dan yakin siapa adanya Yap Boh-hoa.
Sampai di sini terpaksa Boh-hoa mengakui asalusulnya
sendiri, katanya kepada Kang Hiau-hu dengan
tertawa, "Pada suatu malam di rumahmu telah
kedatangan 'maling' seperti digemborkan Yap Thing-cong
itu, dan maling yang dikatakan itu adalah aku sendiri."
"Ya, betul, aku masih ingat," kata Hiau-hu. "Itu adalah
malam berikutnya sesudah Jisuko diusir ibu. Mengapa
waktu itu Piauko tidak mau membongkar kedoknya?"
"Tatkala itu aku baru mulai curiga, tapi ingin
menyelidiki seluk-beluknya dengan jelas, siapa duga
mendadak ia menyerang aku dengan keji, untung jiwaku
tidak sampai melayang. Ya, memang salahku, jika lekas
aku membongkar kedoknya tentu takkan terjadi seperti
sekarang ini.
Ciong Leng merasa menyesal dan malu, katanya, "Kita
semua telah tertipu, sungguh tidak nyana bisa terdapat
seorang Yap Leng-hong palsu."
"Nama yang telah dinodai olehnya sudah kubuang,
namaku yang lain adalah Yap Boh-hoa," kata Boh-hoa.

"Kami sekeluarga telah tertipu sekian tahun, bila ayahibu


mengetahui Piauko yang tulen sudah diketemukan,
tentu mereka akan sangat senang," kata Hiau-hu. "Eh,
apa selama ini engkau belum pernah bertemu dengan
ayah?"
"Belum," sahut Boh-hoa. "Tapi Jisukomu baru kembali
dari kotaraja, dia sudah bertemu dengan ayahmu."
Segera Ubun Hiong menceritakan secara ringkas
kejadian-kejadian di kotaraja dimana pergerakan Thianli-
kau telah mengalami kegagalan, Lim Jing, ketua Thianli-
kau telah gugur dan Thio Su-liong telah diangkat
sebagai gantinya. Tapi para pahlawan bersama gurunya
juga berhasil membobol penjara dan menolong keluar
Utti Keng yang kini sudah berkumpul lagi dengan
istrinya, yaitu Ki Seng-in.
Berita-berita yang disampaikan Ubun Hiong ini sudah
tentu sangat menggembirakan semua orang, walaupun
di antaranya ada kabar tentang gugurnya Lim Jing, tapi
hal ini tidak mengurangi semangat juang mereka.
"Bukankah masih ada suatu kabar baik yang belum
kau ceritakan?" tiba-tiba Boh-hoa menambahkan dengan
tertawa. "Kabar baik apa?" cepat Ciong Leng tanya.
"Yaitu Kang-tayhiap telah mengangkat dia sebagai
murid ahli waris dan menugaskan dia membersihkan
murid murtad dari perguruan," seru Boh-hoa.
Semua orang ikut bergembira dan beramai-ramai
memberi selamat kepada Ubun Hiong.
Ubun Hiong sendiri merasa kikuk, katanya,
"Sebenarnya aku tidak berani menerima tugas sebesar
itu. Cuma perintah Suhu sukar untuk ditolak. Eh,
darimanakah Yap-toako mengetahui hal ini?"

"Berita orang-orang Kay-pang memang sangat cepat


dan tajam, dari kawan-kawan Kay-pang itulah aku
mendapat kabarnya," sahut Boh-hoa dengan tertawa.
Sesudah sibuk setengah harian, segera para pahlawan
berunding mengenai pimpinan yang kini menjadi kosong
itu, Ciong Leng berkata, "Yap Leng-hong palsu sudah
kabur, dengan sendirinya menjadi tugas Yap Leng-hong
tulen untuk menggantikannya. Maka aku menyarankan
Yap-toako diangkat menjadi komandan kita."
"Aku adalah orang baru dan belum berjasa sedikitpun,
mana boleh datang-datang sudah lantas menjadi
pimpinan," ujar Boh-hoa. "Maka menurut pendapatku,
adalah selayaknya jika Gong-toako yang tadinya
menjabat sebagai wakil sekarang mengambil alih pucuk
pimpinan kita."
"Kau telah membongkar kepalsuan Yap Leng-hong,
masakah ini bukan jasa yang besar?" kata Ciong Leng.
"Sudahlah, kalian tak perlu saling mengalah," sela
Hiau-hu. "Menurut pendapatku, jabatan Thongleng
(komandan) bolehlah dipegang oleh Piauko dan Ciongtoako
tetap sebagai wakil dan pengawas dengan dibantu
pula oleh Jisuko."
Serentak semua orang menyatakan setuju atas usul
Kang Hiau-hu itu, dengan demikian tiga pimpinan baru
lantas ditetapkan!
"Meski mata-mata musuh sekarang sudah kabur, akan
tetapi bahaya masih tetap mengancam kita, kukira
musuh pasti akan mengadakan gerakan yang tidak
menguntungkan kita," kata Hiau-hu pula.
"Benar," tiba-tiba Ciong Leng menjadi sadar. "Pasukan
pergerakan kita terhimpun di sini untuk menyerang Siaukim-
jwan besok, rencana ini diatur oleh Yap Leng-hong,
kukira dia pasti mempunyai muslihat keji tertentu."

"Jangan gugup dulu," ujar Boh-hoa, "jika rencana ini


diatur oleh keparat itu, kita justru bertindak
kebalikannya. Besok pagi-pagi kita lantas memencarkan
kekuatan pasukan kita agar musuh tak bisa meraba
maksud kita. Selanjutnya dapat kita lakukan dengan
mengganti tempat dan waktu, secara mendadak kita
sergap musuh untuk membantu kawan-kawan yang
terkepung di Siau-kim-jwan."
Sementara itu sudah hampir fajar, berpuluh ribu
prajurit tersebar dalam perkemahan yang luas, untuk
meneruskan perintah perubahan rencana tentu akan
makan waktu cukup lama. Padahal dua pasukan perintis
di depan telah diperintahkan oleh Yap Leng-hong
semalam agar menjelang subuh harus berangkat
membuka jalan lebih dulu bagi pasukan induk. Pada
waktu perintah perubahan rencana itu sampai di situ
kedua pasukan perintis sudah berangkat.
Sampai pagi, semua pasukan sudah menerima
perintah agar mengundurkan diri dari pangkalan semula,
segera dikirim pula kurir cepat untuk menghentikan
gerakan lebih lanjut dari kedua pasukan perintis yang
sudah berangkat itu.
Akan tetapi sudah terlambat, belum lagi pasukanpasukan
pembuka jalan itu ditarik mundur, tiba-tiba
terdengar suara tambur bergemuruh, dipandang dari
atas bukit, terlihatlah beribu-ribu kuda berbondongbondong
membanjir tiba, panji berkibaran memenuhi
lembah, pasukan besar kerajaan sudah mulai menyerbu
ke pangkalan mereka. Menyusul diterima laporan pula
bahwa kedua pasukan depan yang telanjur berangkat itu
telah masuk perangkap musuh dan tertumpas habis, dari
belasan orang yang berhasil menyelamatkan diri diterima

keterangan bahwa dari panji pengenal yang terlihat,


pasukan kerajaan itu dipimpin oleh Yap To-hu.
Ciong Leng menjadi kuatir dan gusar menerima
laporan itu, katanya, "Kedatangan pasukan musuh
secepat ini tentu disebabkan hubungan rahasia keparat
she Yap itu dengan ayahnya, mereka telah memasang
perangkap untuk menantikan kita masuk sendiri ke jaring
mereka."
"Ya, pastilah jahanam itu yang telah memancing
kedatangan pasukan musuh," kata Hiau-hu. "Tapi
kedatangannya menjadi kebetulan malah, kita tak perlu
susah payah mencarinya lagi."
Namun dengan sangat tenang Yap Boh-hoa sedang
memikirkan siasat, katanya kemudian, "Ya, kukira musuh
memang telah memasang perangkap di depan sana, bila
pasukan kita memasuki jebakan yang telah mereka
pasang, sekaligus mereka akan menumpas kita secara
mendadak. Tapi sekarang mata-mata mereka telah kita
bongkar, tentu mereka telah ganti rencana dan sekarang
telah melancarkan serangan serentak. Kita kalah jumlah,
tapi menang semangat, harapan menang bagi kita tetap
besar. Tapi kita harus mencegah jatuhnya korban dan
tidak perlu membagi kekuatan kita untuk mencari
keparat Yap Thing-cong itu. Sudah tentu, jika dia sendiri
yang mengantarkan nyawa ke sini tentu pula akan kita
sambut dengan senang hati dan takkan membiarkan dia
kabur lagi."
Yap Boh-hoa pernah berjuang bersama suku bangsa
Kazak, maka dia rada paham dalam hal siasat perang.
Segera ia mengatur regu-regu tempur ke tempat-tempat
tertentu dan memberitahukan perwira-perwira yang
bertugas untuk melaksanakan garis tempur yang telah
diaturnya itu.

Waktu pertempuran sengit terjadi, benar juga jumlah


musuh jauh lebih banyak, perlengkapan lebih baik, tapi
pasukan pemberontak menang semangat, menang teknik
tempur. Beberapa kali pasukan kerajaan menerjang
maju, tapi selalu dapat digempur mundur dengan
meninggalkan korban yang bergelimpangan. Di beberapa
tempat pasukan pemberontak juga dapat membobolkan
garis pertahanan musuh, namun demikian korban yang
jatuh di pihak pasukan pemberontak juga cukup banyak.
Pada saat pertempuran meningkat dengan sengitnya,
sekonyong-konyong dari atas bukit muncul sepasukan
musuh yang menerjang ke bawah ke pusat komando
yang dipimpin Yap Boh-hoa itu. Jumlah musuh ada
ribuan, sebaliknya sekeliling Yap Boh-hoa hanya tinggal
ratusan prajurit saja yang mengawalnya. Di bawah hujan
panah pasukan musuh yang menerjang dari atas itu,
pasukan Yap Boh-hoa yang cuma sedikit itu menjadi
kocar-kacir.
Waktu Ciong Leng memperhatikan pimpinan pasukan
musuh yang tiba itu, dengan geram ia berkata,
"Kurangajar! Kiranya keparat Yap Leng-hong itu berani
datang menantang kita!"
Segera Ubun Hiong juga lantas mengenali dua orang
di kanan-kiri Yap Leng-hong itu adalah Nyo Ceng dan
putranya, yaitu Nyo Hoan. Kiranya ayah dan anak itu
sudah kembali ke dalam pasukannya sesudah sembuh
dari lukanya. Karena mengetahui ilmu silat Nyo Ceng
yang tinggi itu, maka Leng-hong sengaja minta bantuan
mereka ikut menggempur secara mendadak dari jalan
yang tak terduga-duga terhadap pasukan pemberontak.
Cepat Boh-hoa memerintahkan satu batalyon
tempurnya yang terdekat ditarik mundur untuk menahan
serangan musuh ini. Ia sendiri menjadi murka, seorang

diri ia lantas mengeprak kudanya ke depan untuk


menantang Yap Leng-hong.
"Biarkan aku yang membereskan bocah ini!" seru Nyo
Ceng sambil memapak maju.
Sekali bidik Yap Boh-hoa memanah mati kuda
tunggangan Nyo Ceng, tapi dengan pukulan berat dari
jauh, tenaga pukulan Nyo Ceng juga membikin roboh
kuda Yap Boh-hoa. Keduanya lantas melompat turun dari
kuda untuk bertempur di atas tanah.
Syukurlah batalyon "harimau" yang ditarik mundur Yap
Boh-hoa tadi sempat memotong serbuan pasukan
berkuda yang dipimpin Yap Leng-hong ini, setiap prajurit
dengan gagah berani melabrak musuh dengan matimatian.
Namun pasukan Yap Leng-hong telah bertahan
dengan rapat sekali sehingga batalyon "harimau" itu
sukar menembus ke lingkaran tengah untuk melindungi
Yap Boh-hoa.
Keadaan medan pertempuran sekarang berpusat pada
pasukan kecil yang dipimpin Yap Boh-hoa sendiri, di
luarnya terkepung oleh pasukan yang dipimpin Yap Lenghong,
dan di lapisan luar lagi adalah batalyon "harimau"
dari pasukan pemberontak, lapisan lebih luar lagi adalah
pasukan induk kerajaan yang berjumlah banyak melawan
pasukan pemberontak yang jauh lebih sedikit. Jadi pihak
Yap Boh-hoa sangat tipis harapan akan dapat menang.
Soalnya tergantung sepasukan kecil yang dia pimpin
sendiri itu mampu bertahan sampai berapa lamanya?
Ciong Leng sudah teramat benci kepada Yap Lenghong
karena merasa tertipu. Sekarang Yap Boh-hoa
terlibat dalam pertarungan melawan Nyo Ceng, maka ia
lantas menggantikan Yap Boh-hoa, segera Yap Lenghong
diterjangnya.

"Ciong-toako," kata Leng-hong .dengan cengar-cengir,


"hubungan kita seperti saudara sendiri, buat apa kita
mesti bertengkar sendiri. Tiada gunanya kalian melawan
mati-matian, lebih baik Ciong-toako ..."
Belum habis Leng-hong putar lidah, tiba-tiba Ciong
Leng sudah mendekat seraya meludahi lawan, Ciong
Leng memaki, "Keparat, tak perlu mengoceh tak keruan,
antara pahlawan dan pengkhianat tak mungkin hidup
bersama! Ini rasakan senjata!" Kontan pedangnya lantas
menusuk.
"Hehe, dengan baik-baik aku menasehati kau,
memangnya kau sangka aku jeri padamu?" jengek Lenghong
dengan senyum ejek. Mendadak ia miringkan tubuh
ke samping sehingga tusukan Ciong Leng mengenai
tempat kosong. Berbareng Jik-liong-ki telah dilarikan dan
mengitar ke belakang Ciong Leng, segera Leng-hong
bermaksud melukai dulu kuda tunggangan lawan agar
Ciong Leng terguling ke bawah.
Tak terduga mendadak terdengar suitan Kang Hiauhu,
menyusul nona itu telah berseru, "Jik-liong-ki, kemari
sini!"
Sejak kecil Hiau-hu sudah berkawankan Jik-liong-ki,
maka kuda itu boleh dikata melulu kenal si nona sebagai
majikan yang paling akrab. Ketika mendadak mendengar
suara Hiau-hu, benar juga Jik-liong-ki meringkik sambil
membedal ke arah si nona.
Saat itu Yap Leng-hong sedang mengangkat pedang
hendak menusuk, mendadak Jik-liong-ki tidak tunduk
pada kekangannya, terus putar haluan, keruan Lenghong
hampir-hampir terbanting jatuh ke bawah.
Keruan Leng-hong terkejut dan cepat menarik tali
kendalinya, namun begitu Jik-liong-ki masih tidak mau
menurut dan tetap membedal ke depan. Tentu saja ia

menjadi gusar, bentaknya, "Binatang, apa gunanya lagi


jika kau tidak tunduk padaku!" Berbareng ia terus
menggablok sehingga kepala Jik-liong-ki terpukul hancur,
berbareng ia lantas melompat turun dari kuda itu.
Segera Ciong Leng melompat turun juga dari kudanya,
terus menubruk ke arah Yap Leng-hong.
Melihat Jik-liong-ki dibinasakan. Kang Hiau-hu merasa
sedih, dampratnya, "Bangsat yang keji, apa dosa kuda
itu? Kau harus mengganti jiwanya."
"Ya, tidak nanti dia dapat lolos, biarlah kita bersama
mampuskan dia!" seru Ciong Leng.
Sesudah terpaksa membunuh Jik-liong-ki, sekarang
Yap Leng-hong sendiri juga rada gugup, cepat ia
bermaksud mengundurkan diri ke dalam pasukannya
untuk mencari perlindungan, tapi saat itu Ciong Leng
sudah mengamuk, terpaksa ia harus melawannya dan
prajurit-prajurit biasa sudah tentu tidak berani mendekat.
Tiba-tiba Nyo Hoan menyerbu dari samping sehingga
Kang Hiau-hu kena dicegahnya. Dengan pedang pusaka
Cay-in-pokiam yang tajam Hiau-hu dapat memapas
senjata para prajurit sebangsa tombak, golok dan lainlain
sehingga prajurit-prajurit itu ketakutan tidak berani
mendekat. Namun tidak demikian halnya dengan Nyo
Hoan, pemuda ini dapat memutar tongkat bambunya
dengan sangat gesit, beberapa kali Hiau-hu bermaksud
mengurungi tongkat lawan selalu tidak berhasil.
Di sebelah sana Yap Boh-hoa yang ketemu tandingan
seperti Nyo Ceng, mereka belum saling mengenal, tapi
begitu bergebrak sudah tidak kenal ampun lagi. Yap Bohhoa
terus menusuk, tapi mendadak Nyo Ceng
membentak, "Lepas!" Tongkatnya menangkis sambil
dipuntir, namun Boh-hoa lantas melangkah miring ke
samping, kontan sebelah tangannya menghantam.

Mendadak terdengar "biang" sekali, telapak tangan


kedua orang saling beradu.
Adu tangan ini segera kelihatan siapa yang lebih kuat
dan siapa lebih lemah. Yap Boh-hoa tergetar mundur
dua-tiga tindak, tangannya panas kesakitan, tapi
pedangnya tidak sampai tersampuk jatuh. Sebaliknya
tubuh Nyo Ceng hanya tergeliat sedikit saja tanpa
tergeser selangkah pun, namun begitu telapak tangannya
juga terasa panas seperti dibakar, bahkan terasa suatu
arus panas seakan menyusup ke Lau-kiong-hiat di tengah
telapak tangannya.
Kiranya dalam hal tenaga dalam memang Nyo Ceng
lebih tinggi, tapi ilmu pukulan Yap Boh-hoa yang hebat,
yaitu Tay-seng-pan-yak-ciang paling lihai untuk memutus
urat nadi lawan, karena sedikit lengah hampir saja Nyo
Ceng kecundang. Untung Lwekangnya sangat kuat,
begitu merasa gelagat jelek, segera ia menolak keluar
hawa panas yang menyusup masuk ke telapak
tangannya itu.
Dari gebrakan ini hasilnya Nyo Ceng masih lebih
unggul, tapi dia adalah tokoh kelas wahid dari golongan
Sia-pay, lawannya cuma seorang pemuda, bukan saja
lawan tak bisa dirobohkan, bahkan senjatanya saja tak
terlepas dari tangan, hal ini benar-benar di luar
dugaannya. Keruan ia terkesiap dan berseru, "Bagus,
kiranya kau bocah ini masih boleh juga. Ini, rasakan pula
kelihaianku!" Habis itu segera ia menubruk maju pula
dengan tongkat bambu hijau yang diputar lincah laksana
naga hidup.
"Lepas!" mendadak Nyo Ceng membentak lagi,
kembali tongkatnya beradu dengan pedang Yap Boh-hoa
dan seakan terlengket, berbareng terus dipuntir agar
senjata lawannya terlepas dari cekalan.

Beberapa kali Boh-hoa menarik dan mengangkat


pedangnya, tapi sukar melepaskan daya lengket dari
tongkat lawan. Selagi dia mengeluh bisa celaka,
sekonyong-konyong dari sana Ubun Hiong telah
menerjang tiba dengan menghalaukan prajurit-prajurit
musuh yang merintanginya. Begitu tiba pedangnya lantas
menusuk ke arah Nyo Ceng.
"Hm, kau bocah inipun hendak mengantar nyawa!"
jengek Nyo Ceng sembari mengebaskan lengan bajunya.
"Bret", pedang Ubun Hiong tersampuk melenceng ke
samping, tapi lengan baju Nyo Ceng juga terpapas
sebagian.
Alangkah cepatnya Yap Boh-hoa, kesempatan itu tak
disia-siakan olehnya, pedangnya mendorong ke depan
terus ditarik, maka dapatlah ia melepaskan pedangnya
dari lengketan tongkat musuh.
Nyo Ceng tadi telah menggunakan kebasan 'lengan
baju besi' yang kuat, tapi lengan bajunya toh terpapas
robek oleh Ubun Hiong, keruan ia rada heran, pikirnya,
"Hanya dalam beberapa hari saja mengapa kepandaian
bocah ini sudah maju sedemikian banyak?"
Ia tidak tahu bahwa Ubun Hiong telah ditolong oleh
Ciong Tian, Lwekangnya sekarang sudah jauh lebih kuat
daripada tempo hari. Cuma sayang belum terlatih dengan
baik, pula kurang pengalaman, kalau tidak, tentu Nyo
Ceng sudah dikalahkan oleh kerubutan Ubun Hiong
bersama Yap Boh-hoa.
Begitulah dengan satu lawan dua, pertarungan
sekarang bertambah sengit, dalam lingkaran seluas
beberapa meter hanya sinar pedang dan bayangan
tongkat yang berkelebatan, orang lain hendak membantu
juga tak mungkin dapat memasukinya. Berkat keuletan

Nyo Ceng dapatlah dia menandingi kedua pemuda itu


dengan sama kuatnya.
Di sebelah sana Ciong Leng juga sedang melabrak Yap
Leng-hong, tapi kekuatan mereka pun seimbang. Tibatiba
datang dua orang pembantu Yap Leng-hong
sehingga Ciong Leng sekarang terkepung.
Kedua orang itu adalah Bong Ing-ping dan Cin Ing-gok
yang sekomplotan dengan Yap Leng-hong. Mereka pun
telah menggabungkan diri dengan pasukan kerajaan dan
sekarang ikut menyerbu. Ilmu silat mereka tidak lemah,
mereka dapat ikut menerjang ke tengah pertempuran
antara Ciong Leng dan Yap Leng-hong.
Baru sekarang Ciong Leng mengetahui kedua orang
itupun mata-mata musuh, keruan ia menjadi murka dan
mencaci-maki. Tapi dengan satu lawan tiga ia menjadi
kewalahan, keadaannya menjadi berbahaya.
Di sebelah sana Hiau-hu telah ditandangi Nyo Hoan
sehingga tidak dapat datang membantu. Syukur Ciong
Siu telah merobohkan dua-tiga perwira musuh dan
menerjang tiba.
Sementara itu perang di medan yang luas sudah
terjadi, tapi karena pasukan pemberontak kalah banyak,
maka korban yang jatuh sudah amat banyak. Yap Lenghong
telah memerintahkan pasukannya mengepung
rapat Ciong Leng agar tidak dapat lolos. Sedangkan Yap
Boh-hoa dan Ubun Hiong juga cuma sama kuat melawan
Nyo Ceng dan sama-sama berada di tengah kepungan
musuh, jika bertahan lebih lama tentu tidak
menguntungkan. Sudah tentu yang paling berbahaya
keadaannya adalah Ciong Leng.
Saat itu mendadak Kang Hiau-hu meninggalkan Nyo
Hoan dan menerjang ke arah Ubun Hiong, tapi pemuda

itu telah berteriak, "Bantu dulu Ciong-toako!" Cepat Hiauhu


putar haluan dan menerjang ke arah lain.
Melihat datangnya Kang Hiau-hu, segera Yap Lenghong
memberi perintah agar si nona ditangkap hiduphidup
dengan disediakan hadiah bagi yang berjasa, maka
beramai-ramai prajurit musuh terus merubung datang.
Tak terduga senjata yang digunakan Kang Hiau-hu
adalah pedang pusaka yang tiada bandingannya,
sekarang ia pun sudah merah matanya, tanpa ampun
lagi ia menabas dan menusuk, kontan beberapa prajurit
yang paling depan dibikin terguling. Sesudah banyak
membinasakan prajurit-prajurit itu, lama-lama Kang
Hiau-hu tidak sampai hati, bentaknya segera, "Siapa
yang merintangi aku pasti mati! Jika ingin hidup lekas
menyingkir!"
Nyata si nona belum kenal hati manusia, dia tak tega
membunuh orang, tapi orang lain tidak kenal ampun
padanya. Dengan nekat beberapa perwira musuh telah
mengerubutnya lagi, lebih celaka lagi Nyo Hoan juga
telah menyusul tiba.
Syukurlah saat itu Ciong Siu sudah berhasil menerjang
ke sana, dengan menyengir Yap Leng-hong telah berseru
padanya, "Kebetulan sekali kedatanganmu adik Siu,
hendaklah kau bujuk kakakmu untuk meletakkan senjata
saja, kita adalah orang sendiri, tentu aku tidak akan
mengecewakan kalian."
"Pengkhianat, ini rasakan senjataku," bentak Ciong Siu
sambil menubruk maju seraya menusuk.
Serangan kilat itu benar-benar di luar dugaan Yap
Leng-hong, ia terkejut dan cepat mengegos ke samping.
Tak tersangka, menyusul sebelah tangan Ciong Siu lantas
memukul pula. Leng-hong dapat menghindarkan tusukan
pedang, tapi sukar mengelakkan pukulan itu, sebisanya

ia coba menarik kepalanya dan mendak ke bawah,


namun tidak urung mukanya juga keserempet oleh
tangan Ciong Siu, rasanya sakit pedas.
Keruan Leng-hong menjadi murka, teriaknya, "Budak
setan yang tidak tahu diri!" Segera pedangnya balas
menabas.
Namun kepandaian Ciong Siu tidak di bawah
kakaknya, yaitu Ciong Leng, apalagi ia sudah terlalu
benci kepada Yap Leng-hong, maka hanya dalam waktu
singkat saja Yap Leng-hong sudah kewalahan, hanya
mampu menangkis dan tak dapat balas menyerang.
Diam-diam Leng-hong memikirkan siasat lain,
mendadak ia melompat mundur terus melarikan diri. Saat
itu Ciong Leng sedang dikerubut Bong Ing-ping dan Cin
Ing-gok sehingga tidak sempat merintangi mundurnya
Yap Leng-hong.
"Hendak lari kemana!" bentak Ciong Siu sambil
mengejar, dengan cepat ujung pedangnya sudah
mengancam di belakang punggung lawan.
Tapi mendadak Yap Leng-hong mencemplak ke atas
kuda seorang prajurit, berbareng prajurit itu diseretnya
terus dilemparkan ke belakang sebagai tameng.
Bobot badan prajurit itu ada ratusan kati, jika sampai
tertindih tentu akan celaka. Cepat Ciong Siu berkelit ke
samping, sebelah tangannya berbareng menyanggah dan
ditolak ke belakang sehingga tubuh prajurit itu masih
terus melayang pergi dan akhirnya jatuh terbanting
sekarat.
Hanya sekejap itu saja Yap Leng-hong sudah sempat
melarikan kudanya jauh ke depan, mendadak ia
mengacungkan cambuk sebagai tanda memberi perintah,
teriaknya, "Pasukan berkuda ke depan, terjang saja,
injak musuh biar hancur-luluh!"

Sebagai putra panglimanya, sudah tentu perintah Yap


Leng-hong segera dituruti. Serentak pasukan berkuda
yang dibawa datang tadi menyerbu ke depan, diterjang
oleh ribuan kuda yang dilarikan secara
berbondong-bondong, bila sampai diterjang dan jatuh,
maka dalam sekejap saja pasti akan terinjak-injak hancur
luluh
Saat itu Bong Ing-ping dan Cin Ing-gok masih
mengerubut Ciong Leng, nyata Yap Leng-hong sama
sekali tak ambil pusing apakah kawan sendiri akan ikut
diterjang pasukan berkuda atau tidak. Keruan kedua
orang itu terkejut bukan main, kepandaian Bong Ing-ping
lebih tinggi dan lebih cerdik, begitu melihat gelagat jelek,
segera ia melarikan diri dan merampas seekor kuda dari
seorang prajurit dan dapatlah ia menggabungkan diri
dengan pasukan kerajaan. Cin Ing-gok lebih lamban,
baru saja ia hendak ikut lari, namun sekali hantam dia
telah dirobohkan oleh Ciong Leng, menyusul badannya
menjadi hancur terinjak-injak oleh beratus-ratus kuda
yang menerjang tanpa pandang kawan atau lawan.
Ciong Leng sempat menjatuhkan diri sambil mengayun
pedangnya, dua-tiga ekor kuda yang paling depan kena
ditebas kakinya sehingga roboh, dengan sendirinya kudakuda
di belakangnya menjadi terganggu larinya,
kesempatan ini segera digunakan oleh Ciong Leng untuk
melompat bangun. Bersama Ciong Siu masing-masing
berhasil merampas seekor kuda, terus mencari jalan
menyelamatkan diri.
Pertarungan di antara Kang Hiau-hu melawan Nyo
Hoan juga terpaksa saling memisahkan diri untuk
mencari selamat, dengan cekatan Hiau-hu juga dapat
merampas seekor kuda. Namun demikian Ciong Leng,

Ciong Siu dan Kang Hiau-hu bertiga menjadi terjeblos di


tengah-tengah pasukan berkuda kerajaan yang melanda.
Di tengah pertempuran sengit yang kacau itu,
sekonyong-konyong terdengar suara suitan orang yang
panjang nyaring, suara tambur perang dan gemuruh
kuda yang berbondong-bondong itu ternyata tidak
mengurangi suara suitan yang keras itu.
Leng-hong terkejut, pikirnya, "Siapakah dia? Agaknya
kekuatannya tidak di bawah Nyo Ceng. Rasanya di
bawah ayahku toh tiada jago selihai ini?"
Belum selesai ia berpikir, tertampaklah pasukan
berkudanya yang kuat itu telah bobol diterjang orang.
Satu rombongan pengemis yang berbaju rombeng
tampak menyerbu tiba, pemimpinnya seorang pengemis
tua telah bergelak tertawa dan berseru, "Bagus, anjing
tua dan anjing kecil berada di sini semua. Kebetulan bagi
pengemis tua, hari ini tentu dapat menghajar anjing
sepuas-puasnya!"
Pengemis tua ini bukan lain adalah Tiong Tiang-thong,
ketua Kay-pang. Sebenarnya dia berangkat bersamaan
waktunya dengan Yap Boh-hoa, tapi kuda Boh-hoa lebih
cepat dan semalam sudah sampai di tempat tujuan.
Tiong Tiang-thong sempat mengumpulkan beberapa
puluh murid Kay-pang di sepanjang jalan dan sekarang
telah memburu tiba untuk membantu. Meski jumlah
kaum pengemis itu cuma sedikit, tapi beberapa puluh
orang itu adalah murid Kay-pang dari tingkatan lima
kantong ke atas, semuanya berilmu silat tinggi,
datangnya mereka laksana sebilah belati yang menikam
di tengah jantung pasukan musuh.
Dengan dibobolnya kepungan pasukan musuh oleh
kawanan pengemis itu, kesempatan itu segera digunakan
oleh "batalyon harimau" dari pasukan pemberontak

untuk menggempur lebih nekat dari lapisan luar sehingga


pasukan berkuda yang diandalkan Yap Leng-hong itu
terpotong dan menjadi kacau.
Yap Leng-hong cukup kenal kelihaian Tiong Tiangthong,
pula melihat pasukan inti pihak pemberontak
berhasil ikut menerjang masuk, ia tidak berani tinggal
lebih lama lagi di situ, jalan paling selamat adalah angkat
kaki. Segera ia mengumpulkan satu regu pilihan untuk
melindunginya, terus menerjang ke arah yang paling
lemah dari pihak pemberontak, akhirnya dapatlah dia
bergabung dengan pasukan kerajaan yang berada di
lapisan paling luar.
"Haha, tidak jadi apa, anjing kecilnya telah lari, biar
kuhajar anjing tua saja. Awas!" teriak Tiong Tiang-thong
sambil memapak datangnya Nyo Ceng yang sedang
berlari ke arahnya, kontan ia menghantam.
Cepat Nyo Ceng angkat tongkat bambunya, bagai ular
hidup ujung tongkat menotok ke Lau-kiong-hiat di
tengah telapak tangan lawan. Namun dengan gesit Tiong
Tiang-thong telah memutar tangannya ke bawah,
menyusul terus mencengkeram sehingga ujung tongkat
Nyo Ceng terpegang. Menyusul ia lantas mendesak maju
selangkah, sebelah tangannya terus menggaplok ke atas
kepala lawan.
Nyo Ceng menangkis, "biang", kedua tangan beradu
dengan keras. Tahu-tahu Nyo Ceng membuang
tongkatnya sembari melompat ke samping.
Kiranya kekuatan kedua orang boleh dikata seimbang,
hanya ilmu pukulan Tiong Tiang-thong, yaitu Kun-goanit-
khi-kang, adalah pukulan bertenaga dahsyat, dalam
keadaan terpaksa Nyo Ceng menyambut pukulan itu,
maka ia rada tergetar dan melompat menyingkir.

Menyusul Yap Boh-hoa dan Ubun Hiong telah


memburu tiba, dua batang pedang serentak menusuk.
Dalam keadaan sudah kehilangan tongkat, mau tak mau
Nyo Ceng mengeluh, "Celaka! Jika pengemis tua itupun
menubruk maju, tentu tamatlah jiwaku!"
Di luar dugaan Tiong Tiang-thong tidak mau ikut
menggempur di kala dia terdesak. Namun begitu, dengan
tangan kosong Nyo Ceng juga kewalahan melawan
keroyokan Yap Boh-hoa dan Ubun Hiong.
"Baiklah, anjing tua ini biar kuserahkan kepada kedua
anak ini untuk menyembelihnya," seru Tiong Tiang-thong
dengan tertawa.
Sebagai ketua Kay-pang dan seorang tokoh
terkemuka, Tiong Tiang-thong merasa tidak pantas ikut
membantu kedua pemuda itu. Tak tersangka karena
pikirannya itu, kembali Nyo Ceng mendapat kesempatan
untuk menyelamatkan diri lagi.
Sementara itu situasi medan perang telah berubah
dengan cepat, "batalyon harimau" dari pihak
pemberontak berhasil membobol pasukan berkuda yang
dipimpin Yap Leng-hong tadi sehingga pemuda itu
terpaksa ngacir, tapi dari lapisan luar pasukan induk
kerajaan juga telah menyerbu tiba, pertempuran sengit
secara besar-besaran kembali terjadi pula. Pasukan
kerajaan menang dalam jumlah orang, terpaksa pihak
pemberontak bertahan mati-matian, kesempatan itu
telah digunakan oleh Nyo Ceng untuk lari dari keroyokan
Yap Boh-hoa bersama Ubun Hiong. Mengingat dirinya
harus memimpin pasukannya pula, terpaksa Boh-hoa
tidak sempat mengejarnya.
Baru sekarang Tiong Tiang-thong merasa menyesal
karena Nyo Ceng dan Yap Leng-hong berhasil lolos.
Dengan murka ia telah membinasakan beberapa puluh

orang prajurit musuh sebagai pelampias marahnya.


Kedua tangannya mencengkeram dan melempar dengan
cepat, seperti ayam saja prajurit-prajurit itu dibantingnya
hingga mati. Begitu pula Yap Boh-hoa dan Ubun Hiong
telah memutar pedangnya, yang berani mendekat pasti
binasa. Keruan prajurit-prajurit musuh menjadi ketakutan
dan tak berani mendesak maju.
Walaupun demikian, jumlah pasukan musuh teramat
banyak, pihak pemberontak masih belum mampu
menerjang keluar dari kepungan. Segera Yap Boh-hoa
mengambil tindakan cepat, "Ciong-toako, kau bertahan
sementara di sini. Tiong-pangcu, marilah kita menerjang
keluar dan menyerbu kemah komando pasukan musuh."
"Benar," teriak Tiong Tiang-thong. "Keparat Yap Lenghong
itu tak terbunuh, boleh kita binasakan bapaknya
saja. Memang si jagal she Yap itu lebih bermanfaat untuk
dibunuh!"
Begitulah kedua orang itu lantas menerjang ke depan
diikuti oleh beberapa puluh murid Kay-pang yang
berkepandaian tinggi. Prajurit-prajurit musuh tidak
mampu menahan mereka, hanya dalam sekejap saja
mereka sudah membuka suatu jalan berdarah.
Setiba di lapisan luar, dapatlah Yap Boh-hoa
mengumpulkan dua barisan pemanah yang berjumlah
ribuan orang, perintah diberikan agar menangkap dulu
panglima musuh daripada membunuh prajuritnya.
Serentak bergemuruhlah suara, "Tangkap si jagal she
Yap!" Ribuan prajurit pemanah yang bersemangat itu
lantas saja menerjang ke arah kemah komando pasukan
musuh yang jelas kelihatan dari panji pengenalnya.
Saat itu sebagian besar pasukan kerajaan sedang
dikerahkan untuk mengepung pasukan pemberontak,

sisa pasukan yang mengelilingi kemah komando dimana


Yap To-hu berada itu cuma dua ribuan orang saja.
Orang yang kejam biasanya adalah orang yang paling
pengecut pula, biasanya Yap To-hu membunuh orang
boleh dikata seperti menggencet semut tanpa kenal
kasihan, tapi sekarang demi nampak penyerbuan
pasukan yang dipimpin Yap Boh-hoa yang gagah berani
itu, suara teriakan tangkap yang dialamatkan kepadanya
itu bergemuruh laksana geledek, keruan nyali Yap To-hu
serasa pecah. Ia takut kalau-kalau dirinya benar-benar
tertangkap pasukan pemberontak, maka dengan gugup
ia memberi perintah agar pasukannya lekas mundur,
semua pasukan yang telah maju juga cepat ditarik
mundur untuk melindungi dirinya.
Pada hal sisa pasukan Yap To-hu sendiri itu tidak lebih
sedikit daripada pasukan yang datang dipimpin Yap Bohhoa
itu, tapi dasar si jagal yang kejam itu memang takut
mati, begitu perintah mundur dikeluarkan, segera ia
menyelamatkan diri lebih dulu. Keruan hal ini
mempengaruhi semangat tempur pasukannya, masingmasing
lantas mencari selamat sendiri-sendiri, suasana
menjadi kacau.
Jika pasukan kerajaan mencari selamat sendiri-sendiri
tanpa menghiraukan prajurit-prajurit mereka yang
terluka, terpaksa kewajiban ini dilakukan oleh pasukan
pemberontak. Yap Boh-hoa memberi perintah agar
jenazah dikubur setempat, yang luka baik kawan maupun
lawan semuanya diberi pertolongan. Selesai itu Yap Bohhoa
lantas menarik kembali pasukannya ke pangkalan
lain, dipindahkannya ke lereng gunung.
Maklumlah jumlah pasukan kerajaan jauh lebih
banyak, bila mereka mendapat tambahan tenaga baru
lagi, tentu akan dapat melakukan serangan pula. Untuk

perang secara terbuka tentu tidak menguntungkan


pasukan pemberontak yang berjumlah jauh lebih sedikit.
Hasil pertempuran itu telah menimbulkan korban tidak
sedikit, antara beberapa ribu korban mati dan luka itu
sebagian besar adalah pasukan kerajaan. Yang terluka
dan sekarang tertawan itu ada beberapa ribu orang
jumlahnya, karena perbekalan yang tidak cukup, maka
tawanan-tawanan perang itu menjadi soal pembicaraan
pokok. Akhirnya Yap Boh-hoa mengambil keputusan,
tawanan-tawanan yang terluka ringan dan mau pulang
kampung halaman diberi kebebasan, yang terluka parah
akan dirawat sedapat mungkin, yang sadar dan mau
menggabungkan diri dengan pasukan pergerakan akan
diterima dengan baik. Keputusan Yap Boh-hoa yang
bijaksana itu sangat mengharukan tawanan-tawanan itu,
sungguh tak terduga oleh mereka bahwa pihak pasukan
pergerakan itu akan memperlakukan mereka dengan
begitu baik, sudah barang tentu mereka merasa
berterima kasih tak terhingga.
Tengah bicara, tiba-tiba penjaga datang melapor
bahwa Ciong-tayhiap dari Thian-san telah datang.
Ciong Siu kegirangan mendengar ayahnya telah
datang, secepat terbang ia berlari keluar. Yap Boh-hoa
dan lain-lain juga lantas keluar menyambut, memang
benar Ciong Tian suami-istri telah datang semua.
Melihat putrinya baik-baik saja barulah Li Sim-bwe
merasa lega, ia merasa bersyukur anak dara itu tidak
sampai menjadi korban kelicikan Yap Leng-hong.
Setelah ambil tempat duduk di dalam kemah, Yap
Boh-hoa maju memberi hormat. Ciong Tian telah
diberitahu bahwa pemuda itu adalah keponakan Kang
Hay-thian yang tulen, maka ia sangat senang, katanya,
"Bibimu sedang pulang ke negeri leluhur untuk

menjenguk pamanmu, rasanya selekasnya dia akan


pulang dan boleh jadi akan sekalian mampir ke Thiansan.
Jika kami pulang dari sini mungkin masih sempat
bertemu dengan dia nanti dan tentu aku akan
memberitahukan tentang segala kejadian di sini agar dia
pun ikut terkejut dan bergirang."
"Bilamana ibu mendapat tahu, tentu beliau akan
datang kemari untuk menjenguk keponakannya," ujar
Hiau-hu dengan tertawa.
"Adik Hu," kata Boh-hoa dengan tertawa, "janganlah
kau tergesa-gesa ingin bertemu dengan ibumu. Dalam
waktu singkat ini aku ingin minta kau melakukan
sesuatu."
"Melakukan sesuatu apa?" tanya Hiau-hu.
"Melakukan sesuatu yang amat penting," sahut Bohhoa.
"Untuk ini aku ingin minta bantuanmu dan Ubunsute
pergi bersama. Yaitu pergi ke Siau-kim-jwan untuk
menyampaikan berita kepada keluarga Leng dan Siau Ciwan
yang sementara ini tentu sangat mengharapkan
kedatangan bala bantuan kita. Katakan kepada mereka
bahwa rencanaku dalam waktu singkat bila pasukan kita
sudah cukup beristirahat segera akan dapat dikerahkan
untuk menggempur musuh pula dan melepaskan mereka
dari kepungan musuh. Yang penting supaya mereka
mengetahui lebih dulu rencanaku agar bisa tenteram, di
samping itu hendaklah mereka berjaga-jaga kalau-kalau
ada mata-mata musuh yang menyusup di antara
mereka."
"Benar," seru Ubun Hiong, "kedok jahanam Yap Lenghong
telah terbongkar di sini, tapi kawan-kawan di Siaukim-
jwan belum lagi mengetahui, bukan mustahil keparat
itu akan datang ke sana untuk mengacau. Dia adalah
saudara angkat Siau Ci-wan, jangan-jangan dia mudah

dikelabui olehnya. Baiklah, besok juga kita lekas


berangkat."
"Ya, aku justru sedang menguatirkan hal ini," kata
Boh-hoa. "Kepungan musuh terhadap Siau-kim-jwan
memang rapat sekali, kepergian kalian harus dilakukan
dengan lebih hati-hati."
Dugaan Ubun Hiong itu ternyata tidak meleset, pada
saat yang bersamaan Yap Leng-hong seorang diri
memang sudah menyusup ke Siau-kim-jwan.
Sesudah mengalami kekalahan dan kembali ke wilayah
kekuasaannya, barulah Yap To-hu memerintahkan
pasukannya berhenti dan berkemah. Laksana ayam jago
aduan yang baru saja keok, kira-kira begitulah kelesuan
Yap To-hu pada saat itu. Maka sambil duduk berhadapan
dengan putranya di dalam kemah, dia hanya menghela
napas panjang belaka atas kekalahannya itu. Padahal
sebelumnya dia sudah melaporkan rencananya yang
muluk-muluk kepada raja bahwa kemenangan segera
akan diperolehnya dengan mudah, karena mereka ayah
dan anak sudah bersekongkol dengan baik, siapa duga
pertempuran pertama saja sudah menggagalkan seluruh
impiannya itu.
Sudah tentu Yap Leng-hong tidak kurang murungnya
daripada sang ayah. Kedoknya sekarang telah terbongkar
sehingga buyarlah segala impiannya. Terbayang olehnya
sikap gemas Ubun Hiong yang hendak membunuhnya,
terbayang pula sikap Yap Boh-hoa yang mendampratnya
dengan murka. Teringat olehnya sikap Ciong Siu yang
mendadak berubah 180 derajat dan telah
menempelengnya, ya ... bahkan dia sekarang sudah
menjadi musuh bersama orang persilatan, setiap ksatria,
setiap pahlawan tentu tidak kenal ampun padanya. Utti
Keng dan istrinya sudah pasti akan menuntut balas

padanya. Yang paling mengerikan adalah gurunya yang


paling ditakutinya yaitu Kang Hay-thian.
Begitulah makin dipikir makin kuatir dan makin ngeri
Yap Leng-hong, sampai-sampai dua pengawal
membawakan air cuci muka baginya tak diketahui.
"Anak Ting, cucilah mukamu dulu agar segar
semangatmu," kata Yap To-hu.
Tiba-tiba Leng-hong sadar, sahutnya cepat, "Tidak,
biarkan tetap begini. Aku ada suatu akal bagus, ayah!"
"Akal apa?" tanya Yap To-hu.
"Biarlah sekarang juga aku akan berangkat ke Siaukim-
jwan dan akan bertindak menurut keadaan," tutur
Leng-hong. "Boleh jadi kita akan dapat bekerja sama
pula dari dalam dan luar, mungkin pasukan pemberontak
di bawah pimpinan Leng Thian-lok itu akan dapat kita
lalap habis. Dengan demikian dapatlah menutup
kekalahan kita hari ini."
"Kau akan menyusup ke Siau-kim-jwan?" Yap To-hu
menegas. "Ya, rencana ini memang bagus, cuma agak
berbahaya."
"Jangan kuatir, ayah," kata Leng-hong. "Asalkan
kepungan terhadap Siau-kim-jwan diperketat, siapa pun
jangan diberi luang untuk menerobos ke sana, dengan
demikian resikoku tentu akan berkurang. Pihak Siau-kimjwan
hanya mengenal aku sebagai komandan pasukan
pergerakan yang datang hendak membantu mereka, Siau
Ci-wan adalah saudara angkatku pula, tentu mereka akan
percaya penuh padaku."
Sebenarnya bukanlah Yap Leng-hong tidak takut
bahaya, soalnya terpaksa. Ia tahu dosanya teramat besar
dan tak terampunkan oleh pihak pemberontak, terpaksa
ia mengharap akan dapat menumpas pasukan
pemberontak untuk menyelamatkan jiwanya sendiri.

Karena tiada jalan lain yang lebih sempurna, akhirnya


Yap To-hu setuju juga. Dia hanya mempunyai putra
tunggal Yap Leng-hong alias Yap Thing-cong saja,
sesungguhnya ia tidak tega membiarkan putranya
menghadapi bahaya, tapi keadaan sudah terpaksa, demi
jiwa dan kedudukannya sendiri ia harus mengambil
resiko itu.
Begitulah segera Yap Leng-hong minta dua orang
pengiring dan satu pasukan yang pura-pura mengejarnya
bila dia sudah memasuki daerah pertahanan Siau-kimjwan.
Pihak pemberontak di Siau-kim-jwan meski terkepung
dan putus hubungan dengan luar, tapi pertempuran
sengit yang terjadi antara musuh dengan pasukan
sekarang yang dipimpin Yap Leng-hong yang gemuruh
itu dapat diketahui juga oleh mereka. Sebab itulah
pasukan pemberontak di Siau-kim-jwan juga telah
memperkuat patrolinya dan selalu siap siaga.
Oleh sebab itu baru saja Yap Leng-hong memasuki
garis pertahanan pasukan pemberontak Siau-kim-jwan,
segera jejaknya diketahui dan satu regu patroli lantas
memapak kedatangannya. Pasukan kerajaan yang
berteriak-teriak dan pura-pura mengejar Yap Leng-hong
segera mengundurkan diri. Mendadak Yap Leng-hong
memutar pedangnya ke kanan dan ke kiri, kontan dua
pengiring yang dibawanya dari kemah ayahnya tu ditabas
mati dengan penasaran tanpa mengetahui apa dosa
mereka. Dalam pada itu pasukan patroli tadi pun sudah
tiba.
Leng-hong berseru, "Aku adalah Yap Leng-hong,
komandan pasukan pergerakan untuk membantu kalian.
Lekas bawa aku menemui Leng-cecu dan Siau-thongleng
kalian."

Perwira regu patroli itu terkejut, cepat ia mengirim


orang melaporkan pihak pimpinan, ia sendiri lantas
mengantar Yap Leng-hong ke markas besar.
Ketika mendapat laporan, Leng Thian-lok, pimpinan
besar dari pasukan pemberontak di Siau-kim-jwan
merasa sangsi, katanya, "Yap Leng-hong adalah
panglima pasukan besar, mengapa seorang diri datang
ke sini?"
"Benar atau tidak biarlah kita bertemu dulu dengan
dia," ujar Siau Ci-wan. "Yap Leng-hong adalah saudara
angkatku, tidak nanti aku pangling padanya."
Disangkanya Leng Thian-lok menguatirkan orang
memalsukan Yap Leng-hong untuk bertemu dengan
dirinya, tak tahunya kedatangan Yap Leng-hong ini
memang benar-benar sangat mencurigakan Leng Thianlok.
Ketika kemudian Yap Leng-hong dipersilakan masuk,
Siau Ci-wan terkejut, serunya, "Hiante, mengapa begini
keadaanmu? Apakah..”
Leng-hong memang pandai main sandiwara, seketika
ia menangis tersedu-sedu dan berkata, "Siaute benarbenar
malu untuk bicara dengan Siau-toako."
"Kalah menang adalah soal biasa di medan perang,
Hiante jangan berduka, marilah kita berunding sebaikbaiknya,"
kata Siau Ci-wan.
Begitulah Yap Leng-hong lantas menuturkan
pengalamannya bahwa puluhan ribu prajurit yang
dipimpinnya telah mengalami kekalahan total sehingga
tidak berhasil memberi bantuan bagi kawan-kawan yang
terkepung di Siau-kim-jwan.
Berita buruk itu sudah tentu sangat mencemaskan
Siau Ci-wan, tapi semangatnya tidak menjadi runtuh,
katanya, "Kegagalan satu kali saja takkan mematahkan

semangat kita. Perjuangan selamanya banyak


rintangannya, kita masih harus mengulanginya lagi."
"Kami pun merasa malu karena tak mampu membobol
kepungan musuh untuk memberi bantuan kepada
kalian," demikian Leng Thian-lok ikut berkata. "Urusan
sekarang kita harus meninjau sebab kekalahan kita ini
dan bersama-sama menggempur musuh. Hanya saja aku
ingin tahu sedikit keadaan cara bagaimana seluruh
pasukan Yap-thongleng sampai kena dimakan habis oleh
musuh dan hanya Yap-thongleng seorang saja yang
berhasil menerobos kemari?"
Sudah tentu sebelumnya Yap Leng-hong sudah
menduga akan datangnya pertanyaan demikian, maka
dengan tenang ia menjawab, "Menerjang keluar dari
kepungan musuh sudah tentu tidak cukup dengan
tenagaku seorang saja. Rombonganku semula ada
beberapa orang yang masih ikut di belakangku, tapi
jumlah musuh teramat banyak dan kuat, akhirnya
mereka gugur semua, seperti murid Jing-sia-pay yang
bernama Bong Ing-ping, dia juga satu rombongan
bersama aku. Syukurlah aku dapat menembus kepungan
dari arah yang paling lemah penjagaan musuh."
Walaupun masih ragu-ragu, tapi melihat pakaian Yap
Leng-hong yang berlepotan darah dan mukanya yang
kotor lelah habis bertempur sengit, mau tak mau Leng
Thian-lok setengah percaya juga. Apalagi dari laporan
tadi memang diketahui Yap Leng-hong dipergoki di
tengah kejaran pasukan musuh dan menyaksikannya
membunuh prajurit yang mengejarnya itu.
Setelah mengikuti cerita Yap Leng-hong, kini Leng
Thian-lok berbalik kuatir bagi pahlawan-pahlawan yang
lain yang tak diketahui nasibnya, ia lantas
mengemukakan perasaannya itu.

"Ya, aku justru ingin minta bantuan Leng-cecu agar


regu-regu patroli diperintahkan mengawasi garis depan,
bila ada kawan kita sendiri harus lekas disambut kemari,
kode penghubung kita adalah matahari dan bulan
bersinar kembali, hanya kawan sendirilah yang
mengetahui kode ini," demikian kata Leng-hong.
Leng Thian-lok segera memerintahkan seperti apa
yang dikatakan Yap Leng-hong itu.
Kiranya cerita Yap Leng-hong itu hanya untuk menipu
Leng Thian-lok saja, dia menguraikan hal itu secara
benar-benar bohong, tapi sesungguhnya mempunyai tipu
muslihat tertentu. Sebab besok paginya dengan alasan
ingin tahu keadaan garis depan, pada kesempatan itu dia
telah menyembunyikan surat rahasia di dalam batang
panah yang bertabung, lalu dibidikkan ke wilayah
pasukan musuh. Beberapa prajurit pengiringnya
menyangka dia hendak memanah musuh untuk
melampiaskan dendamnya, maka tiada seorang pun yang
menaruh curiga.
Sesudah menerima surat rahasia putranya itu segera
Yap To-hu menjalankan rencananya, ia memilih beberapa
puluh perwira yang berkepandaian agak tinggi untuk
menyamar sebagai prajurit pasukan pemberontak, setiap
orang dibikin sedikit luka ringan, lalu dibawa serta oleh
Bong Tng-ping dan menyusup ke daerah Siau-kim-jwan
agar dipergoki oleh patroli, dengan demikian
terlaksanalah langkah pertama rencana Yap Leng-hong.
Menurut rencana Yap Leng-hong, bila sudah mendapat
kepercayaan Leng Thian-lok, setindak demi setindak ia
dapat merebut kekuasaan dan menunggu saat yang baik
untuk bergerak bersama ayahnya dari luar dan dalam,
dengan demikian pertahanan Siau-kim-jwan akan dapat
diruntuhkan.

Tak terduga Leng Thian-lok bukanlah anak bawang


kemarin sore dan tak dapat dipersamakan Ciong Leng
yang mudah dipermainkan. Di luarnya saja Leng Thianlok
ramah-tamah dan menghormati Yap Leng-hong, tapi
sama sekali ia tidak memberi tugas penting padanya,
segala rahasia militer juga tak dibicarakan dengannya.
Dengan demikian Yap Leng-hong menjadi sukar
menempatkan Bong Ing-ping dan kawan-kawannya di
pos-pos yang penting. Terpaksa ia harus bersabar
menunggu kesempatan lagi.
Namun hasil muslihat Yap Leng-hong itu bukannya
sama sekali nihil, paling tidak ia telah membikin Siau Ciwan
mau mempercayai ocehannya tentang gurunya,
serta sesama saudara seperguruannya. Tentang
diusirnya Ubun Hiong dari perguruannya memang Siau
Ci-wan sudah mendengar beritanya, maka Yap Lenghong
lantas menambahkan macam-macam kebusukan
Ubun Hiong dan memfitnahnya sebagai mata-mata
musuh, bahkan juga ditimpahkan dosa itu atas diri Yap
Boh-hoa yang bersekongkol dengan Ubun Hiong. Karena
Leng Thian-lok dan keponakannya serta Siau Ci-wan
yang merupakan tiga tokoh pimpinan di Siau-kim-jwan
itu tidak kenal siapa Yap Boh-hoa, dengan sendirinya
Yap Leng-hong dapat mengoceh sesukanya dan
mereka pun percaya saja.
"Sungguh tidak nyana bahwa Ubun Hiong itu
sedemikian beraninya, sayang Kang-tayhiap telah salah
menerimanya sebagai murid," ujar Siau Ci-wan dengan
gegetun.
"Ya, makanya Suhuku sangat gusar," kata Leng-hong.
"Selain itu kita harus menjaga segala kemungkinan
penyusupan ke sini bersama Yap Boh-hoa. Untuk ini
hendaklah penjagaan harus diperketat."

Habis itu ia lantas melukiskan wajah Yap Boh-hoa agar


dikenali para perwira yang berdinas patroli, asalkan
menemukan kedua pemuda yang disebutnya itu, boleh
segera disambut dengan hujan panah saja. Usul Yap
Leng-hong ini dapat diterima oleh Leng Thian-lok, segera
ia memberikan perintah agar mengawasi kemungkinan
penyusupan mata-mata musuh.
Kiranya Yap Leng-hong paling kuatir kalau-kalau Yap
Boh-hoa dan Ubun Hiong berhasil menyusup datang
untuk membongkar rahasianya. Sekarang usulnya
diterima, maka senang dan legalah hatinya.
Pengepungan pasukan kerajaan yang rapat itu disertai
penjagaan yang ketat di pihak Siau-kim-jwan, betapapun
tinggi kepandaian Yap Boh-hoa dan Ubun Hiong juga
suka menembus blokade yang rapat itu.
Sama sekali Yap Leng-hong tidak menduga bahwa
pada waktu dia merasa senang-senang itulah Ubun
Hiong benar-benar sudah datang, cuma datangnya tidak
bersama Yap Boh-hoa, tapi dengan Kang Hiau-hu.
Lereng gunung di sekitar Siau-kim-jwan yang
berderet-deret bagai ular raksasa, garis penjagaan
pasukan kerajaan Boan-jing juga menyusur panjang
ratusan li, meski penjagaan diadakan setiap beberapa
meter satu pos, toh tidak urung masih ada lowongan
yang dapat diterobos.
Berkat Ginkang yang tinggi, siang bersembunyi dan
malam menggeremet, pada dua hari pertama Ubun
Hiong dan Kang Hiau-hu dapat maju dengan lancar,
mereka berhasil melalui tiga garis penjagaan musuh
tanpa dipergoki dan tibalah di daerah pegunungan.
Sampai malam hari ketiga mereka sudah melintasi
puncak selatan Giok-boan-san. Di kaki gunung sebelah

utara adalah garis penjagaan terakhir dari pasukan


kerajaan yang mengepung Siau-kim-jwan itu.
Setiba di Iamping gunung, samar-samar perkemahan
pasuk.m musuh di bagian bawah sudah kelihatan,
sesudah Ubun Hjong mengamat-amati keadaan
setempat, tanpa terasa ia mengeluh. Di teng.ili malam
yang gelap gulita itu, pelita-pelita di kaki gunung sana
terlih.it bintik-bintik serapat bintang-bintang di langit.
Ternyata pasukan musuh telah berkemah secara
sambung menyambung dengan rapat sehingga Siau-kimjwan
benar-benar terkepung tak tertembuskan. Biarpun
tumbuh sayap juga sukar melintasinya.
"Bagaimana baiknya sekarang?" kata Hiau-hu kepada
sang Suheng. "Apakah terpaksa kita harus menerjang
lewat secara terang-terangan."
"Cara demikian kurang baik," sahut Ubun Hiong.
"Biarpun pedangmu lihai, apa kau mampu menghabiskan
prajurit musuh sebanyak itu?"
"Habis apa daya kita?" kata Hiau-hu. "Bukan mustahil
keparat Yap Leng-hong itu sekarang sudah menyusup ke
Siau-kim-jwan, apakah kita mesti menyaksikan paman
Leng tertipu lagi seperti Ciong-toako?"
"Ya, justru tugas kita yang maha penting, maka kita
lebih-lebih tidak boleh sembarangan bertindak," ujar
Ubun Hiong.
"Betul, soalnya cara bagaimana kita harus menerobos
ke sana, aku bingung, tidak tahu jalan yang paling baik, "
kata Hiau-hu.
Sudah tentu Ubun Hiong jauh lebih gelisah daripada si
nona, tapi ia pun tidak mendapatkan sesuatu akal. Pada
saat itulah tiba-tiba terlihat api obor di kaki gunung,
kiranya ada patroli musuh sedang mendatangi.

"Tiada gunanya kita membunuh beberapa orang


mereka, lebih baik kita bersembunyi saja," kata Ubun
Hiong.
Dengan menahan dongkol Hiau-hu ikut Ubun Hiong
bersembunyi di tengah semak belukar. Tidak lama
kemudian pasukan patroli itu sudah mendekat, sayupsayup
Hiau-hu mendengar seorang di antaranya sedang
berkata, "Hanya seorang wanita saja, betapapun tinggi
ilmu silatnya masakah berani menyusup lewat garis
penjagaan kita yang rapat ini?"
Lalu seorang kawannya telah menanggapi,
"Darimana kau mengetahui dia hanya seorang diri saja,
bukan mustahil dia berkawan."
"Jika yang datang orang banyak tentu sudah kepergok
sejak tadi," ujar orang tadi.
"Sebaliknya kalau cuma datang dua-tiga orang saja
apa gunanya?"
Obor-obor yang dibawa prajurit-prajurit musuh itu
disorotkan ke kanan-kiri, dengan kencang Hiau-hu
memegang senjatanya dan bersiap-siap, bila jejaknya
ketahuan ia akan segera menerjang keluar. Syukur
patroli itu tidak mengetahui tempat persembunyian
mereka, mungkin karena jalanan pegunungan yang sulit
dilalui, maka setiba di lamping gunung rombongan
mereka lantas mundur kembali ke bawah.
Hiau-hu merasa lega dan keluar dari semak belukar,
katanya kepada Ubun Hiong, "Jisuko, kau dengar
pembicaraan mereka tidak?"
"Ya, aneh, apakah barangkali dia maksudkan kita?"
sahut Ubun Hiong.
"Memang bukan mustahil jejak kita telah diketahui
musuh, tapi mungkin mereka hanya mengetahui diriku
saja dan tidak tahu masih terdapat kau pula bersamaku."

Begitulah Hiau-hu menyangka "wanita" yang dikatakan


prajurit musuh tadi itu adalah dirinya.
Pasukan ronda musuh tadi sudah pergi jauh.
Sementara itu langit yang tadinya gelap gulita tertutup
awan hitam itu sekarang mendadak berubah, awan mulai
buyar dan sang dewi malam menongol di tengah celahcelah
mega sehingga semakin menambah pemandangan
pegunungan yang indah itu.
Tentu saja Kang Hiau-hu tiada punya pikiran untuk
menikmati pemandangan indah itu, katanya dengan rada
kuatir, "Bila jejak kita sudah diketahui musuh, terang
malam ini kita tidak dapat menembus garis penjagaan
mereka. Besok pagi mereka tentu akan mengadakan
pencarian secara besar-besaran. Jisuko, daripada
terhalang di sini, lebih baik kita menerjang lewat saja
dengan sedikit menyerempet bahaya."
"Sssst, dengarkan, di sana seperti ada suara orang,"
tiba-tiba Ubun Hiong mendesis perlahan.
Segera mereka memandang ke sebelah atas dan
mendengarkan dengan cermat. Di bawah sinar bulan
yang remang-remang, tertampak di lereng gunung yang
rada miring sebelah sana samar-samar seperti ada
sebuah rumah gubuk. Dan suara itu agaknya datang dari
rumah gubuk itu.
Dengan hati-hati mereka coba mendekati, sesudah
belasan langkah dapatlah mereka mendengar lebih jelas,
itulah suara seorang wanita Tapi yang diucapkan adalah
bahasa daerah pegunungan ini sehingga apa artinya
mereka tidak paham.
"Kukira adalah wanita keluarga pemburu, boleh juga
kita mendatanginya untuk mencari berita," ujar Ubun
Hiong.

"Keluarga ini terhitung pemberani, sampai wanitanya


juga tidak lari," kata Hiau-hu.
Maklumlah pegunungan yang penuh dengan pasukan
kerajaan yang mengepung rapat Siau-kim-jwan itu sudah
lama kosong dengan penduduk setempat yang
menyelamatkan diri ke daerah yang aman. Selama dua
hari ini mereka memang tidak pernah menemukan
seorang pun, maka sekarang mereka merasa heran ada
keluarga pemburu yang tetap berani tinggal di
rumahnya.
"Kau orang lelaki, tengah malam menggedor pintu
tentu akan membikin takut mereka," demikian kata Hiauhu.
"Lebih baik aku saja yang coba bicara dengan
mereka.'"
"Benar juga pikiranmu," kata Ubun Hiong dengan
tertawa. "Baiklah, aku akan menunggu kau di sini."
Segera Hiau-hu menuju ke depan rumah gubuk itu,
dan baru saja ia hendak bersuara, sekonyong-konyong
dari dalam rumah menyambar keluar sebatang piau.
Keruan Hiau-hu terkejut dan cepat berkelit, piau itu
hampir-hampir menyerempet lewat rambut di pelipisnya.
Berbareng dengan itu dari dalam rumah gubuk itu lantas
menerjang keluar seorang wanita muda.
Gerakan wanita muda itu amat cepat, begitu
melompat keluar, tanpa bicara lagi goloknya lantas
membacok ke arah Kang Hiau-hu.
Lekas Kang Hiau-hu berkelit sambil berseru, "Nanti
dulu, aku bukan orang jahat!"
Baru sekarang wanita muda itu dapat melihat jelas
lawannya juga seorang nona jelita, tampaknya dia
tercengang, tapi masih terus menyerang sambil
membentak, "Bukan orang jahat buat apa tengah malam

buta datang ke sini? Tak peduli siapa kau, biar kutangkap


kau dulu, urusan belakang!"
Habis berkata mendadak di tengah serangan
goloknya, disertai hantaman dengan telapak tangan,
goloknya mengarah muka lawan, tangannya menyusul
dari bawah golok hendak memuntir tangan Kang Hiauhu.
Sejak kecil Hiau-hu sudah digembleng oleh ayahbundanya,
hanya terbatas oleh umurnya, maka
kepandaiannya belum mencapai tingkatan yang
sempurna, tapi pengetahuannya dalam hal ilmu silat
sudah melebihi tokoh persilatan kelas tinggi. Maka dari
itu ia lantas mengetahui arah serangan wanita muda itu,
bacokan goloknya hanya pancingan saja, serangan yang
betul tangannya yang hendak memegang itu. Agaknya
wanita muda ini tidak bermaksud membikin celaka
padanya.
Namun begitu ia tidak tinggal diam, segera ia miring
ke samping untuk menghindarkan golok lawan,
berbareng dengan cepat sekali tangan kanan memapak
ke depan, sedang tangan kiri kontan balas menggampar
muka lawan.
Begitulah Hiau-hu telah menggunakan cara lawannya,
cuma dibalik, yaitu ia menyerang muka lawan dengan
sungguhan. Keruan wanita muda itu terkejut dan gusar
pula, bentaknya, "Budak keji! Biar kau rasakan
kelihaianku!"
Cepat ia melangkah ke samping untuk menghindar,
menyusul ia putar goloknya dengan cepat, sekaligus ia
mencecar belasan kali serangan pula. Namun Kang Hiauhu
telah menggunakan langkah ajaib Thian-Io-poh-hoat
untuk melayaninya sehingga serangan golok lawan selalu

mengenai tempat kosong, tapi beberapa kali ia pun


hampir kena terbacok.
Ia tahu kalau bertangan kosong sukar melawan
serangan golok kilat wanita muda itu, segera ia pun
mencabut pedang pusakanya dan membentak, "Baik,
biar kau pun kenal kelihaianku!" Pedangnya lantas
menabas, "trang", pedang beradu dengan golok dan
meletiklah lelatu api. Golok wanita muda itupun bukan
sembarang golok, tapi tergumpil juga satu bagian.
Wanita muda itu benar-benar lihai, kecundang dalam
hal senjata, untuk seterusnya goloknya yang diputar
secepat kitiran itu selalu menghindarkan benturan
dengan pedang Kang Hiau-hu. Bicara tentang ilmu silat
sebenarnya Hiau-hu tidak kalah, cuma pengalamannya
saja tidak cukup, maka dia rada kelabakan ketika
diserang secara gencar oleh lawan.
Dalam pada itu Ubun Hiong sudah memburu tiba,
mendadak ia berteriak, "Hei, bukankah kau ini nona
Kheng? Berhenti, lekas berhenti! Kawan sendiri!"
Wanita muda itu bersuara heran sambil menarik
kembali goloknya, lalu menyapa, "Eh, bukankah kau ini
pemuda yang pernah berada bersama Yap Boh-hoa itu?"
"Betul," sahut Ubun Hiong. "Aku bernama Ubun Hiong,
dia adalah Sumoayku Kang Hiau-hu, sedangkan Yap Bohhoa
justru adalah Piaukonya."
Kiranya wanita muda itu bukan lain adalah Kheng Siuhong
yang tadinya memusuhi Yap Boh-hoa dan sekarang
sudah menjadi kawannya itu.
Dengan tersenyum segera Kheng Siu-hong memberi
salam kepada Kang Hiau-hu, katanya, "Ilmu silat nona
Kang sungguh hebat. Apakah kedatanganmu hendak
mencari Piaukomu?" Sebisanya ia hendak
memperlihatkan rasa persahabatan kepada Kang HiauTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hu, tapi senyumannya itu tampak sekali rada-rada tak
wajar.
Hiau-hu cukup cerdik, ia pun sudah mendengar cerita
Ubun Hiong tentang kisah cinta Yap Boh-hoa dengan
Kheng Siu-hong, maka diam-diam ia merasa geli, janganjangan
nona Kheng Siu-hong ini rada cemburu padanya,
segera ia menjawab, "Yap Boh-hoa memang betul aku
punya Piauko, tapi baru kemarin dulu untuk pertama
kalinya aku kenal dia, malahan Suhengku inilah yang
memperkenalkan dia padaku."
Habis berkata ia sengaja memperlihatkan hubungan
yang mesra dengan Ubun Hiong untuk melenyapkan rasa
sangsi Kheng Siu-hong.
"O, jadi kemarin dulu kau baru saja bertemu dengan
Piaukomu? Kepergianmu ke Siau-kim-jwan ini bukan
untuk mencari dia? Wah, jika demikian benar-benar agak
aneh," demikian kata Kheng Siu-hong terperanjat.
"Aneh kenapa?" tanya Hiau-hu yang ikut-ikutan heran.
"Marilah kita bicara di dalam rumah saja," ajak Siuhong,
lalu ia menggandeng tangan Hiau-hu dan masuk
ke dalam rumah gubuk itu dengan tertawa, sikapnya kini
benar-benar sangat akrab.
Di dalam rumah ternyata sudah ada seorang nyonya
muda yang berkaki telanjang, kakinya memakai dua-tiga
buah gelang tembaga, tangannya memegang tombak, di
sebelahnya ada seorang anak kecil yang sedang tidur
nyenyak. Dari dandanannya dapat diketahui itu adalah
suku Coco, mungkin tadi dia belum mengetahui si
pendatang kawan atau lawan, maka dia telah memegang
tombaknya untuk menjaga keselamatan anaknya.
Sudah tentu ia merasa heran ketika melihat Kheng
Siu-hong masuk kembali sambil bergandengan tangan
dengan Kang Hiau-hu, segera Siu-hong bicara dalam

bahasa daerah kepada nyonya muda itu sambil menuding


Kang Hiau-hu serta menepuk-nepuk hulu hatinya sendiri.
Walaupun tidak paham bahasa daerah itu, tapi Hiau-hu
mengerti juga maksud Kheng Siu-hong yang sedang
mengatakan kepada si nyonya muda itu bahwa mereka
berdua adalah sahabat baik.
Nyonya muda itu lantas menepuk-nepuk sebuah
bangku kecil dan memberi tanda menyilakan Hiau-hu
berduduk, lalu ia menuding Ubun Hiong dan berkata,
"Dia, kawan?" Kiranya ia pun dapat bicara beberapa kata
bahasa Han, cuma sangat kaku.
Siu-hong manggut-manggut dan membenarkan, maka
nyonya muda itu juga lantas menyilakan Ubun Hiong
duduk.
"Enci Mafa ini adalah sahabatku," tutur Siu-hong
kemudian.
"Dan nona Kherig sendiri mengapa bisa berada di sini
dan sebab apa engkau mengira aku akan ke Siau-kimjwan
untuk mencari Yap-suheng?" tanya Ubun Hiong dan
Kang Hiau-hu berbareng.
Maka berceritalah Kheng Siu-hong tentang
pengalamannya tempo hari, sesudah mendapat
penjelasan dari kedua saudara Cu baru ia sadar bahwa
musuhnya bukanlah Yap Boh-hoa seperti disangkanya,
tapi adalah Yap To-hu, si jagal yang ganas itu.
"Sungguh aku tidak nyana bahwa sekeluarga guruku
ternyata adalah sampah persilatan dan terima mengekor
kepada antek-antek kerajaan," demikian kata Siu-hong
lebih jauh sambil menghela napas. "Tempo hari sesudah
aku meninggalkan guruku, aku ingin pulang ke Hui-hongsan
untuk mengumpulkan pasukanku lagi, tapi sampai di
sana ternyata pesanggrahanku telah dobrak-abrik oleh
tentara kerajaan."

Sampai di sini Kheng Siu-hong berhenti sejenak, lalu


menyambung pula, "Sesudah mengalami pertempuran ini
barulah aku memahami suatu kebenaran bahwa Yap Tohu,
bangsat tua she Kui dan lain-lain berani bertindak
sewenang-wenang adalah lantaran dijagoi oleh pihak
kerajaan, jadi kerajaan adalah akar dari segala kejahatan
yang terjadi, Yap To-hu dan lain-lain hanya antekanteknya
saja. Dan sekarang juga aku baru insyaf bahwa
musuhku tidak cuma Yap To-hu dan begundalnya itu,
tapi untuk membalas sakit hati ayahku, aku pun harus
berontak melawan kerajaan. Inilah kebenaran yang
kupahami sekarang."
"Betul, nona Kheng," kata Ubun Hiong. "Kebenaran
yang kau kemukakan ini cukup jelas dan sangat tegas."
"Sesudah kehilangan pangkalan Hui-hong-san, aku
pun menjadi paham bahwa melulu mengandalkan
tenagaku sendiri takkan mampu menuntut balas," kata
Siu-hong lebih jauh. "Sebab Itulah aku sengaja
membawa sisa anak buahku ke sini untuk bergabung ke
dalam pasukan pergerakan. Yap To-hu adalah musuhku
dan juga musuh pasukan pergerakan, dengan
menggabungkan diri bersama pasukan pergerakan aku
dapat membalas dendam pribadiku, juga dapat menuntut
balas bagi negara. Cuma aku tidak punya kenalan di
dalam pasukan pergerakan, hanya ada seorang Yap Bohhoa
yang pernah kukenal, maka terpaksa aku harus
mencarinya."
"Ah, masakah kau hanya kenalan biasa saja dengan
Yap-piauko?" demikian diam-diam Kang Hiau-hu merasa
geli, lalu ia pun bertanya, "Dan mengapa engkau bisa
timbul pikiran untuk mencari Piauko ke Siau-kim-jwan
sini?"

"Setiba di bukit 'Anjing hitam' sana, baru aku


mendapat kabar bahwa sepuluh hari yang lalu di situ
telah terjadi pertempuran besar. Keadaan di tempat
bekas medan pertempuran itu sudah morat-marit,
penduduk sudah mengungsi. Secara kebetulan dapat
kujumpai seorang kakek, dari kakek itulah aku mendapat
keterangan tentang pertempuran dahsyat itu. Tapi
sebelum bisa memberi keterangan lebih banyak, tiba-tiba
satu regu patroli kerajaan telah mengendus jejak kami
dan datang menggeledah. Secara mendadak kami dapat
menggempur mundur pasukan musuh itu, si kakek
malang itu telah menjadi korban keganasan musuh, tapi
kami pun berhasil menawan seorang prajurit musuh dan
memaksanya memberi keterangan. Prajurit itu memberi
pengakuan bahwa pimpinan pasukan pergerakan she Yap
telah lari ke Siau-kim-jwan dan pasukan pergerakan
sendiri telah mengalami kehancuran total."
"Berita-berita itu sebenarnya palsu," ujar Hiau-hu
tertawa. "Memang betul pimpinan pasukan pergerakan
adalah orang she Yap, tapi Yap dan Yap ada dua. Yang
lari ke Siau-kim-jwan itu adalah mata-mata musuh yang
berhasil menyusup ke pihak kita dan mengangkangi
tempat pimpinan, namanya Yap Leng-hong dan bukan
Yap Boh-hoa."
Nyata Hiau-hu juga tidak tahu bahwa prajurit yang
ditawan oleh Kheng Siu-hong itu pernah ikut dalam
pasukan yang diperintahkan Yap To-hu untuk pura-pura
mengejar Yap Leng-hong. Cuma dia adalah prajurit saja,
rahasia mengejar itu hanya diketahui perwiranya, maka
pengakuan yang dipaparkan kepada Kheng Siu-hong itu
sebenarnya menurut apa yang telah terjadi
sesungguhnya dan bukan palsu. Hanya tentang
kehancuran total pasukan pergerakan yang dia katakan

memang sengaja hendak digunakan untuk menakutnakuti


Kheng Siu-hong.
Mendengar keterangan Kang Hiau-hu tadi, Siu-hong
terkejut. Kiranya ia pun sudah jelas menyelidiki asal-usul
Yap Boh-hoa yang bernama Yap Leng-hong pula. Cuma
tidak diketahui seluk-beluk tentang pergantian namanya
itu, maka Kang Hiau-hu lantas menceritakan pula lika-liku
persoalannya itu kepada Kheng Siu-hong, keruan hal ini
membikin Siu-hong tambah tercengang.
"Kurangajar," demikian umpat Siu-hong, lalu ia
menggerutu, "kiranya Yap Leng-hong adalah putra Yap
To-hu. Sekarang dia telah menyusup ke Siau-kim-jwan,
kukira ini sangat berbahaya, untuk menumpas bahaya ini
tidak boleh tidak kita harus lekas ke Siau-kim-jwan."
"Sedemikian rapat kepungan musuh, cara bagaimana
kita dapat menembus garis kepungannya?" ujar Kang
Hiau-hu sambil mengernyit dahi.
"Aku tahu jalan menuju ke sana," kata Siu-hong
dengan tertawa.
Hiau-hu dan Ubun Hiong menjadi girang. "Bagaimana
caranya?" tanya mereka berbareng.
"Caranya terletak pada enci Mafa ini, dia dapat
membawa kita melintas ke sana," sahut Siu-hong.
Lalu ia bicara sebentar dengan Mafa dalam bahasa
daerah, Mafa tampak manggut-manggut dan tersenyum.
"Jika enci Mafa dapat membawa kita melintas kesana,
urusan jangan ditunda lagi, marilah sekarang juga kita
lantas berangkat," kali Hiau-hu.
Mafa tampak berbangkit sambil menggendong
anaknya yang masih tidur nyenyak itu, sebelah
tangannya membawa tombak dan segera mendahului
melangkah keluar. Sembari berjalan iapun bertembang

untuk menina-bobokan anaknya yang terjaga bangun itu


tapi kemudian tidur nyenyak lagi.
Sampai di suatu lekukan bukit, Mafa menggunakan
tombaknya untuk menyingkap segerombol belukar yang
lebat, maka kelihatan di balik semak-semak itu ada
sebuah lubang gua. Sampai di sini barulah Siu-hong
menjelaskan dengan tertawa. "Ujung gua di sebelah sana
adalah di daerah Siau-kim-jwan dan tepat melintasi garis
pertahanan pasukan musuh. Kita menembus ke sana
melalui gua di bawah tanah ini, rasanya mimpipun
musuh takkan menyangka."
Kiranya gua ini adalah tinggalan leluhur penduduk
setempat yang biasanya digunakan untuk bersembunyi
bila terjadi bencana. Sesudah menemukan gua itu,
leluhur penduduk setempat sengaja menanam duri
belukar yang lebat di sekitar mulut gua untuk menjaga
rahasia tempat baik ini.
Sesudah membersihkan mulut gua itu, Mafa
menyalakan sebuah obor dan membawa mereka masuk
ke dalam gua yang aneh itu. Pemandangan di dalam gua
dapat tertampak dengan jelas di bawah cahaya obor,
seketika Hiau-hu dan lain-lain melongo heran dan penuh
kekaguman.
Ternyata di dalam gua itu banyak terdapat ukir-ukiran
batu dalam macam-macam bentuk, ada binatang, ada
bidadari, ada paderi dan lain-lain, semuanya indah dan
seakan-akan hidup.
Namun tiada minat Hiau-hu dan lain-lain untuk
menikmati keindahan gua itu, mereka terus menyusur ke
depan.
Panjang gua itu kira-kira ada tiga li. Tidak terlalu lama
mereka sudah mencapai ujung gua itu.

Sesudah mengucapkan terima kasih kepada Mafa, lalu


Kheng Siuhong menggeser batu penutup gua dan
mendahului menerobos keluar. Sesudah Hiau-hu dan
Ubun Hiong menyusup keluar, mereka lantas menyumbat
kembali gua itu.
Waktu itu ternyata mereka sudah berada di suatu
tempat yang lapang dan sunyi tiada seorang pun.
Walaupun tanah lapang yang luas, tapi rumput alangalang
tumbuh panjang melebihi tinggi manusia sehingga
sangat kebetulan bagi persembunyian mereka.
Ubun Hiong menggunakan pedangnya untuk
membabat rumput dan membuka jalan di depan,
katanya, "Melihat gelagatnya, agaknya tempat ini adalah
daerah kontak antara pasukan kedua pihak. Jika kita
terus berjalan ke depan, tentu akan dapat bertemu
dengan pasukan pergerakan."
Benar juga, sejenak kemudian mendadak dari semaksemak
yang lebat itu muncul segerombolan orang,
memang betul mereka telah kepergok oleh pasukan
pemberontak. Dan baru saja Ubun Hiong hendak maju
menyapa, tak terduga pemimpin pasukan itu sudah
membentak, "Apakah pendatang itu Ubun Hiong
adanya?"
Ubun Hiong melihat pemimpin itu adalah seorang lakilaki
yang kekar dan hitam, usianya antara 30-an dan
belum pernah dikenalnya, tapi entah darimana dia tahu
nama dirinya? Dengan heran Ubun Hiong lantas
memapak maju dan menjawab, "Ya, betul, akulah Ubun
Hiong. Numpang tanya nama...”
Belum selesai ucapannya, mendadak pemimpin
pasukan itu sudah membentaknya, "Bagus, berani benar
kau Ubun Hiong, kebetulan kedatanganmu ini! Rasakan
golokku ini!"

Tanpa menunggu jawaban Ubun Hiong, kontan orang


itu lantas membacok dengan goloknya.
Karena tidak terduga-duga, hampir-hampir Ubun
Hiong kena bacokan itu, lekas ia menangkis. Kepandaian
orang itu cukup lihai, meski Ubun Hiong tidak sampai
kalah, tapi dalam keadaan tidak terduga, pihak lawan
adalah pemimpin pasukan pergerakan pula, mau tak mau
Ubun Hiong menjadi serba susah.
Kang Hiau-hu juga terkejut, lekas ia berseru, "He, he,
mengapa kalian menerjang kawan sendiri? Aku adalah
Kang Hiau-hu, ayahku bernama Kang Hay-thian.
Kedatangan kami ini hendak mencari Lengcecu, Ubun
Hiong adalah Suhengku, kami membawa berita penting
yang harus dibicarakan dengan Leng-cecu kalian."
Tak terduga, bukan saja tidak berhenti, sebaliknya
orang itu malah memberi tanda kepada anak buahnya
dan memberi perintah, "Kepung kedua nona itu dan
suruh mereka menyerahkan diri, jangan melukai mereka
kecuali mereka main kekerasan lebih dulu!"
Kejut dan gusar pula Kang Hiau-hu, teriaknya, "He,
apa-apaan kalian ini? Apakah kalian tidak kenal siapa
ayahku?"
"Justru kami tahu dan menghormati ayahmu, makanya
berlaku sungkan padamu," sahut orang itu dengan
mendelik. "Hm, kau nona cilik ini memang sembrono,
biarlah kuringkus dan menggusur kau kepada Suhengmu
agar dia memberi pengajaran padamu."
"Ngaco-belo, mengapa kau tuduh aku sembrono?"
damprat Hiau-hu. "Suheng pewaris ayahku adalah Ubun
Hiong, kau tahu tidak?"
Tiba-tiba orang itu tertawa. "Nona cilik sembarangan
mengoceh," katanya. "Hm, bila ucapanmu ini didengar
ayahmu, mustahil beliau takkan berjingkrak gusar. Siapa

yang tidak tahu bahwa Ubun Hiong sudah diusir keluar


perguruanmu, mengapa kau malah mengangkat dia
sebagai Suheng pewaris ayahmu? Kau sengaja membela
pengkhianat demi kepentingan pribadimu, apakah ini
bukan perbuatan yang sembrono? Hm, anak perempuan
seperti kau ini benar-benar mencemarkan nama baik
ayahmu saja." Sembari bicara dia masih terus memutar
goloknya dan mencecar Ubun Hiong tanpa kenal ampun.
Kiranya orang ini bukan lain adalah keponakan Leng
Thian-lok, namanya Leng Tiat-jiau. Dia telah percaya
kepada hasutan Yap Leng-hong yang mengatakan Ubun
Hiong adalah 'mata-mata musuh yang paling jahaf, maka
dia sendiri telah memimpin regu patroli ke garis depan,
tujuannya ialah ingin menjaga penyusupan Ubun Hiong.
Karena muka Ubun Hiong telah dilukiskan dengan jelas
oleh Yap Leng-hong, maka begitu melihatnya segera
kenal dan tak mau membiarkan Ubun Hiong dan
rombongannya lewat.
Leng Tiat-jiau memang seorang laki-laki yang jujur
dan berwatak keras, menurut anggapannya sebabnya
Kang Hay-thian dihormati dan disegani setiap ksatria
Kangouw justru karena budinya yang luhur, dan tidak
mungkin pendekar besar itu mau membela putrinya yang
bersalah.
Dengan pegangan inilah dia telah memberi perintah
untuk mengepung Kang Hiau-hu dan Kheng Siu-hong
serta memaksa kedua nona itu menyerah.
Akhirnya Kang Hiau-hu sadar juga duduknya perkara,
cepat ia berseru, "Ah, tentu kau telah keliru sangka,
tentu kau telah dikelabui oleh hasutan-hasutan si
bangsat Yap Leng-hong itu. Hendaklah kau percaya
padaku, Yap Leng-hong sendirilah mata-mata yang
sebenarnya, kedatangan kami justru ingin

menyampaikan urusan kepada Leng-cecu kalian agar


jangan sampai kena ditipu oleh bangsat itu."
Akan tetapi mana Leng Tiat-jiau mau percaya begitu
saja, ia mendengus dan menjawab dengan menghina,
"Anak perempuan sembarangan mengoceh, sungguh
memalukan kau sebagai putri Kang-tayhiap. Hayolah
kawan-kawan, jangan gubris ocehannya, tangkap dulu
mereka!"
Muka Kang Hiau-hu sampai merah padam saking
dongkolnya, omelnya, "Kau laki-laki hitam inilah yang
sembarangan mengoceh. Bukan soal jika kau memaki
aku, tapi urusan penting yang menyangkut orang banyak
di Siau-kim-jwan pasti akan kau bikin runyam."
Namun gerombolan Leng Tiat-jiau sudah lantas
menyerang maju, mereka tidak ingin mencelakai Kang
Hiau-hu karena tahu dia adalah putri Kang Hay-thian,
sebaliknya Kang Hiau-hu juga tidak mau membikin susah
prajurit-prajurit yang sebenarnya kawan sendiri. Karena
itu pertarungan mereka menjadi sangat hati-hati,
prajurit-prajurit pemberontak menggunakan tombak
panjang untuk menyampuk atau menindih pedang Kang
Hiau-hu, berbareng menggunakan tali panjang untuk
menjegal si nona dengan maksud akan menangkapnya
hidup-hidup.
Namun dengan lincah Kang Hiau-hu selalu dapat
menghindarkan diri, dengan langkah ajaib Thian-lo-pohhoat
ia berlari kian kemari dengan gesit. Beberapa kali ia
hampir kesandung oleh tali, tapi selalu dapat dihindarkan
dengan baik, sebaliknya dua bintara lawan malah terjegal
jatuh sehingga Hiau-hu tertawa geli.
Di tengah pertempuran itu, tiba-tiba muncul pula
sepasukan tentara negeri, pemimpin pasukan itu adalah
seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian preman, senjata

yang dibawanya juga sangat aneh. bukan senjata tajam,


tapi cuma sebatang tongkat bambu hijau, menyusul
dekat di belakangnya adalah seorang pemuda berumur
20-an. Semula mereka berada di tengah pasukan, tapi
sekarang mereka telah berlari mendahului di depan dan
semakin dekat dengan amat cepat.
"He, lihatlah ayah, bocah itu bukankah Ubun Hiong?"
demikian tiba-tiba pemuda itu berkata kepada si lelaki
tinggi kurus.
"Benar, dan orang yang bertempur dengan dia itu
adalah Leng Tiat-jiau, keponakan Leng Thian-lok," sahut
si laki-laki kurus. "Apa yang harus kita lakukan, ayah?"
tanya si pemuda. "Peduli apakah dia ayam atau itik, asal
sudah di dalam kuali, lalap saja semua," sahut ayahnya.
Kiranya kedua orang itu adalah Nyo Ceng dan Nyo
Hoan, kepada mereka Yap To-hu telah memberi satu
regu patroli berkuda untuk meronda di garis depan.
Secara kebetulan mereka pun memergoki pertempuran
yang sedang terjadi di padang ilalang ini, maka dengan
cepat mereka memburu tiba.
Sebaliknya Leng Tiat-jiau masih salah sangka, dengan
gusar ia berteriak kepada Ubun Hiong, "Bagus, sekarang
baru borokmu kelihatan, apalagi yang dapat kau
katakan? Dasar kau memang pengkhianat!" Nyata ia
mengira kedatangan Nyo Ceng dan pasukannya itu
adalah untuk membantu Ubun Hiong.
Tapi sebelum Ubun Hiong sempat bicara, sementara
itu Nyo Ceng dan putranya sudah menerjang tiba.
"Hahaha! Bagus, bagus!" seru Nyo Ceng dengan
tertawa. "Ternyata putri Kang Hay-thian dan bandit
wanita dari Hui-hong-san juga berada di sini, kebetulan
kira dapat meringkusnya sekaligus. Anak Hoan, kau
melayani kedua budak itu!"

Nyo Hoan mengiakan, dengan memimpin sebagian


pasukannya segera ia melancarkan kepungan sehingga
pasukan pemberontak di bawah pimpinan Leng Tiat-jiau
serta Kang Hiau-hu dan Kheng Siu-hong terkurung di
tengah-tengah.
Nyo Ceng memutar tongkat terus menerjang maju,
mengeluarkan permainan tongkat yang lihai, yang diincar
adalah Hiat-to lawan, hanya sekejap saja belasan prajurit
pemberontak sudah kena ditotok roboh.
Sama sekali Leng Tiat-jiau tidak mengira sedemikian
cepat datangnya Nyo Ceng, dia masih menerjang Ubun
Hiong dengan sengit dan ingin lekas membinasakan
pemuda itu agar nanti dapat melawan pasukan kerajaan
itu dengan sepenuh tenaga.
Mendadak Nyo Ceng bergelak tertawa, bentaknya,
"Robohlah semua!" Segera tongkatnya menghantam ke
atas kepala Ubun Hiong.
Lekas Ubun Hiong menggeser ke samping dengan
langkah ajaib Thian-lo-poh-hoat, tapi karena
perhatiannya diarahkan kepada serangan Nyo Ceng itu
sehingga sukar menghindarkan gerakan golok Leng Tiatjiau,
"cret", bahunya terluka sehingga mengucurkan
darah walaupun lukanya tidak berbahaya.
Dalam pada itu serangan tongkat Nyo Ceng yang
membadai itu sudah tiba pula, kali ini yang diserang
adalah Leng Tiat-jiau. Cepat Leng Tiat-jiau menangkis
sambil terus balas membacok.
Nyo Ceng adalah jago silat kelas tertinggi, ilmu
permainan tongkatnya mempunyai caranya sendiri. Leng
Tiat-jiau baru pertama kali ini bergebrak dengan dia
sehingga belum kenal kelihaiannya. Mendadak terdengar
Nyo Ceng membentak, "Lepas golok!" Berberang
tongkatnya dipuntir dan disendai, kontan Leng Tiat-jiau

merasakan tangannya kesemutan, "trang", goloknya


benar-benar terlepas dari cekalan.
Dalam pada itu dengan secepat kilat tongkat hijau Nyo
Ceng sudah menyambar pula dalam jurus Tok-coa-thosin
(ular berbisa menjulur lidah). Ujung tongkatnya yang
lancip langsung menikam tenggorokan Leng Tiat-jiau.
Dalam keadaan sukar mengelak, diam-diam Leng Tiatjiau
mengeluh celaka, syukur pada saat berbahaya itulah
mendadak Nyo Ceng menarik kembali tongkatnya dan
diputar ke belakang.
Kiranya dari sebelah sana Ubun Hiong telah menerjang
maju lagi, serangannya memaksa Nyo Ceng harus
melepaskan tikamannya kepada Leng Tiat-jiau. Rupanya
Ubun Hiong melihat Leng Tiat-jiau terancam bahaya,
tanpa memikirkan luka pada bahunya itu segera ia
melompat maju untuk menolong Leng Tiat-jiau yang
baru saja melukainya. Ilmu pedang Tui-hong-kiam-hoat
(ilmu pedang pemburu angin) yang dikeluarkan Ubun
Hiong itu sangat lihai, sehingga Nyo Ceng terpaksa
menarik kembali tongkatnya untuk menangkis.
Sesudah Leng Tiat-jiau lolos dari ancaman maut, ia
menjadi tertegun dan berpikir, "Jika Ubun Hiong matamata
musuh, mengapa dia mau menolong jiwaku?
Jangan-jangan dia memang difitnah oleh Suhengnya?
Tapi bisa jadi dia sengaja menolong aku untuk menarik
kepercayaanku padanya?"
Namun biarpun Leng Tiat-jiau merasa ragu-ragu, bukti
nyata Ubun Hiong memang telah menyelamatkan
jiwanya, di tengah pertarungan sengit itu ia pun tidak
sempat berpikir lebih jauh lagi. Segera ia jemput kembali
goloknya, dilihatnya darah Ubun Hiong masih mengucur
dari lukanya, tapi pemuda itu masih terus bertempur
dengan gagah berani, diam-diam Leng Tiat-jiau merasa

malu sendiri. Lekas ia ayun goloknya untuk mengembut


Nyo Ceng dan mengucapkan terima kasih kepada Ubun
Hiong dengan suara perlahan.
Di sebelah sana, berkat pedang pusakanya yang
ampuh, Kang Hiau-hu telah menerjang keluar dari
kepungan pasukan musuh, dengan cepat ia pun sudah
memburu sampai di kalangan pertempuran Ubun Hiong
itu. Melihat sang Suheng terluka, ia merasa gusar kepada
musuh dan kuatir pula, serunya kepada Ubun Hiong,
"Suko, kau mengaso dan mengobati lukamu lebih dulu."
Berbareng ia lantas menerjang maju.
Sudah tentu Nyo Ceng tidak pandang sebelah mata
pada ilmu silat Kang Hiau-hu, tapi terhadap pedang
pusakanya itulah mau tak mau ia harus hati-hati. Segera
ia gunakan kelincahan tongkatnya, selalu ia menghindari
benturan tongkatnya dengan pedang lawan, tetapi
menggunakan cara menyampuk dan menahan untuk
menggoncang pergi pedang pusaka itu. Karena itu
gabungan Kang Hiau-hu dan Leng Tiat-jiau untuk
sementara dapatlah bertahan dengan rapat.
Kang Hiau-hu menyuruh Ubun Hiong mengaso dan
mengobati lukanya, tapi pemuda itu ternyata tidak
tinggal diam, ia membubuhkan obat pada lukanya secara
tergesa-gesa, lalu menerjang maju pula. Dengan
kekuatan mereka bertiga sebenarnya cukup untuk
mengalahkan Nyo Ceng, cuma sayang Ubun Hiong
terluka dan agak banyak mengucurkan darah, tenaganya
telah banyak berkurang, maka mereka bertiga juga cuma
sama kuatnya melawan Nyo Ceng seorang.
Jarak medan pertempuran itu dengan perkemahan
pasukan kerajaan lebih dekat, maka waktu itu sudah ada
bala bantuan yang datang. Walaupun tidak terlalu
banyak, namun beberapa kali lebih besar dari jumlah

pasukan yang dipimpin Leng Tiat-jiau. Seketika pasukan


pergerakan terkepung di tengah, tapi mereka masih terus
bertempur dan dengan mati-matian, tiada seorang pun
yang patah semangat.
Untung tidak terlalu lama bala bantuan pihak
pemberontak juga datang, kiranya Siau Ci-wan telah
menerima berita dan segera memimpin satu pasukan
datang membantu.
Siau Ci-wan adalah cucu Siau Jing-hong, tokoh
angkatan tua Jing-sia-pay, kepandaiannya jauh lebih
tinggi di atas Leng Tiat-jiau.
Kedatangannya ini mirip banteng ketaton, dengan
serentak mereka menerjang ke medan pertempuan,
dengan menyerang dari luar-dalam, seketika situasi
berubah, pasukan kerajaan kini yang terpotong menjadi
beberapa bagian, bahkan ada sebagian yang berbalik
terkepung.
Waktu Siau Ci-wan melihat Ubun Hiong dan Kang
Hiau-hu mengembut Nyo Ceng bersama Leng Tiat-jiau, ia
menjadi heran juga. Namun dia tidak sempat mencari
penjelasan lagi, ia menyerahkan pimpinan pasukan
kepada wakilnya, lalu ikut menerjang ke tengah
kalangan.
Di tengah pertempuran sengit dan gaduh itu, tiba-tiba
terdengar suara mendengungnya anak panah susul
menyusul. Walaupun tidak tahu darimana datangnya
panah-panah bersuara itu, tapi sebagai seorang
panglima, Siau Ci-wan lantas curiga demi mendengar
bunyi anak panah yang rada menyolok itu. Panah
bersuara itu terang dilepaskan oleh pihak musuh, sebab
pasukan pergerakan di Siau-kim-jwan biasanya tidak
pernah menggunakan panah demikian. Apakah anak
panah bersuara itu dilepaskan sebagai tanda minta bala

bantuan atau ada lain maksud, sukar bagi Siau Ci-wan


untuk menyelidiki di tengah pertempuran sengit itu.
Meski ilmu silat Nyo Ceng sangat tinggi, kini ia merasa
kewalahan juga menghadapi kerubutan Siau Ci-wan,
Leng Tiat-jiau, Ubun Hiong dan Kang Hiau-hu berempat.
Satu kali Siau Ci-wan dan Leng Tiat-jiau menyerang
bersama, yang satu mengayun goloknya membacok bahu
kiri, yang lain membacok bahu kanan Nyo Ceng.
Walaupun Siau Ci-wan dan Leng Tiat-jiau bukan
seperguruan, tapi mereka adalah kawan lama di medan
perang, kedua orang sama-sama memakai senjata golok
pula, maka dalam hal tipu serangan. mereka dapat
bekerja sama dengan sangat baik.
Namun Nyo Ceng memegang bagian tengah
tongkatnya dan diputar dengan cepat, kontan kedua
golok lawan kena ditangkisnya
Akan tetapi Kang Hiau-hu tidak tinggal diam,
kesempatan itu telah digunakan dengan baik, pedangnya
lantas menusuk ke dada Nyo Ceng. Begitu pula Ubun
Hiong tidak mau ketinggalan, dengan mengertak gigi ia
kerahkan segenap tenaga, pedangnya juga menusuk ke
lutut musuh.
Yang ditakuti Nyo Ceng adalah pedang pusaka Kang
Hiau-hu, maka lekas ia menyampuk dengan tongkatnya.
Di luar dugaan, serangan Siau Ci-wan dan Leng Tiat-jiau
yang tertangkis tadi belum lenyap sama sekali, golok
mereka masih sempat memutar balik dan menabas
miring ke bawah, "crit-crit" dua kali, baju Nyo Ceng
terpapas robek dua potong. Berbareng itu ujung pedang
Ubun Hiong |iiga sudah berkenalan dengan lututnya.
Bagaimanapun Nyo Ceng memang jago silat
terkemuka, dia masih sempat menekuk kaki terus
mendepak sehingga pedang Ubun Hiong ditendang

mencelat. Walaupun lututnya telah tertusuk luka sedikit,


tapi dia sempat menutup Hiat-to yang bersangkutan
sehingga luka ringan itu baginya mirip ditusuk jarum saja
dan tidak sakit.
Pada saat Nyo Ceng terluka itu, putranya, yaitu Nyo
Hoan, juga telah dilukai Kheng Siu-hong, bahkan lukanya
lebih parah daripada sang ayah. Golok Kheng Siu-hong
telah kena menabas di atas pundak pemuda itu sehingga
darah bercucuran. Sambil berkaok-kaok kesakitan, lekat
Nyo Hoan melompat keluar dari kalangan pertempuran.
Melihat putranya terluka, Nyo Ceng tidak berani
terlibat lebih lama dalam pertempuran itu. Ia
menggerung keras-keras, pada waktu Ubun Hiong belum
sempat berdiri tegak, segera tongkatnya menyapu kedua
kaki pemuda itu.
Karena terlalu banyak mengeluarkan darah, tenaga
Ubun Hiong sudah lemah, tusukan pedangnya tadi tak
bisa meluka-parahkan Nyo Ceng. Sekarang dia sedang
sempoyongan sesudah pedangnya memelai ditendang
Nyo Ceng.
Syukurlah pada detik yang berbahaya itu, Leng Tiatjian
yang, berada di samping Ubun Hiong sempat
mendorong pergi pemuda itu.
Lekas Kang Hiau-hu memburu maju untuk memayang
sang Suheng.
Tinggal Leng Tiat-jiau dan Siau Ci-wan berdua dengan
sendirinya tidak mampu melawan serangan Nyo Ceng,
sekuat tenaga mereka hanya berusaha menjaga diri saja.
Untung Nyo Ceng sudah gentar karena putranya terluka,
setelah mendesak mundur Leng Tiat-jiau dan Siau Ciwan,
segera ia menerjang pergi dan menarik mundur
pasukannya.

Mengingat pasukan musuh jauh lebih banyak,


ditambah Ubun Hiong sudah terluka, maka Siau Ci-wan
tidak berani mengejar, segera ia pun memberi perintah
mengundurkan pasukan.
"Bagaimana keadaanmu, Suko?" demikian Hiau-hu
bertanya dengan kuatir sambil memegang Ubun Hiong.
"Tidak apa-apa," sahut Ubun Hiong dengan suara
lemah. "Ai, sayang seranganku tadi tak bisa
membinasakan bangsat tua itu ..." Belum habis
ucapannya, mendadak darah segar tumpah keluar dari
mulurnya, karena guncangan itu luka di bahunya tadi
lantas pecah pula dan mengeluarkan darah. Lekas Hiauhu
membubuhi obat luka.
Karena luka Ubun Hiong adalah karena serangan Leng
Tiat-jiau, tentu saja Leng Tiat-jiau merasa tidak enak.
Segera ia mengangkat tubuh Ubun Hiong dan
didudukkan ke atas kudanya sendiri, katanya, "Tak peduli
bagaimana tentang dirimu, yang pasti aku harus
menyembuhkan lukamu ini. Marilah kita pulang ke
markas, kau adalah tamuku dan jangan kuatir."
Siau Ci-wan merasa bingung, sebentar ia memandang
Ubun Hiong, lain saat ia memandang pula Leng Tiat-jiau,
tanyanya kemudian, "Sebenarnya bagaimana duduknya
perkara?"
"Dalam hal ini agaknya ... ada kesalah pahaman," kata
Leng Tiat-jiau dengan ragu-ragu. "Yap Leng-hong
mengatakan dia ... dia ... tapi tadi jiwaku justru telah
ditolong olehnya." Biarpun belum menaruh kepercayaan
penuh terhadap penjelasan Ubun Hiong, tapi sudah
timbul sedikit rasa simpatiknya, sebab itulah kata-kata
"mata-mata musuh" tidak sampai diucapkannya.
Seperti diketahui, Kang Hiau-hu sudah kenal Siau Ciwan
dahulu, maka di tengah jalan dia lantas memberi

penjelasan tentang perbuatan dan kepalsuan Yap Lenghong


yang keji itu dan tentang telah dipecatnya Lenghong
dari pihak pergerakan.
Sudah tentu Siau Ci-wan sangat terkejut atas
keterangannya itu.
"Siau-sioksiok” Hiau-hu menambahkan, "persoalannya
sudah demikian jelas, apakah kau masih tidak percaya
kepada kami? Keparat Yap Leng-hong itu pasti hendak
membikin susah kepada kalian, mengapa kalian tidak
lekas membinasakan dia agar tidak menimbulkan
bencana lagi, kalau terlambat bukan mustahil keparat itu
akan kabur pula."
Siau Ci-wan tidak menjawab, ia hanya memberi tanda
dan berseru, "Lekas pulang ke markas, cepat!" Segera ia
keprak kudanya dan mendahului lari ke depan.
Kita kembali ke pangkalan pasukan pemberontak,
dimana Yap Leng-hong berada.
Waktu mendapat laporan tentang terkepungnya Leng
Tiat-jiau bersama pasukan patroli yang dipimpinnya itu,
saat itu Yap Leng-hong juga berada di antara para
pemimpin. Mestinya Leng-hong ingin ikut pergi bersama
Siau Ci-wan, tapi Leng Thian-lok telah mencegahnya.
Rupanya diam-diam Leng Thian-lok juga belum percaya
penuh terhadap Yap Leng-hong.
Jarak dari pangkalan pasukan pemberontak di Siaukim-
jwan itu cukup jauh dari medan pertempuran,
namun suara anak panah yang mendengung-dengung di
angkasa itu dapat terdengar dengan jelas. Kiranya panah
bersuara itu adalah kode yang telah ditentukan antara
Yap Leng-hong dengan begundalnya yang bercampur di
antara prajurit-prajurit di bawah pimpinan Siau Ci-wan
itu. Setiba di medan pertempuran dan melihat Kang
Hiau-hu bersama Ubun Hiong telah menggabungkan diri

dengan Leng Tiat-jiau dan sedang melabrak musuh,


cepat mereka lantas melepas panah bersuara yang
merupakan tanda bahaya bagi Yap Leng-hong tentang
rahasianya yang mungkin akan segera terbuka.
Keruan Yap Leng-hong sangat terkejut ketika
mendengar suara anak panah yang mendengungdengung
ramai itu, segera ia bermaksud kabur. Tapi
lantas terpikir olehnya bahwa usahanya sedikitpun belum
berhasil, kalau kabur begitu saja sungguh tidak rela.
Tiba-tiba ia mendapat akal, ia panggil begundal
kepercayaannya dan memberi petunjuk seperlunya cara
bagaimana mereka harus bertindak, lalu ia dan Bong Ingping
lantas pergi menemui Leng Thian-lok yang menjabat
sebagai pucuk pimpinan pasukan pemberontak.
Pada waktu itu Leng Thian-lok juga telah mendengar
suara anak panah yang mendengung-dengung di
angkasa itu dan merasa curiga. Kedatangan Yap Lenghong
berdua adalah kebetulan baginya, segera ia
bertanya kepada Yap Leng-hong apakah arti suara anak
panah itu dan siapa yang melepaskannya.
Leng-hong menjawab, "Panah bersuara itu memang
biasa digunakan oleh anak buah kami. Tentang artinya,
untuk menerangkan harap Leng-cecu menyuruh keluar
saja para penjaga itu."
Leng Thian-lok rada kurang senang, sebab penjagapenjaga
itu adalah orang kepercayaannya, namun
demikian untuk menghormati kemauan Yap Leng-hong,
terpaksa ia suruh keluar juga para penjaga.
Yap Leng-hong pura-pura bersikap penuh rahasia, ia
geser kursinya lebih dekat dan berkata dengan suara
perlahan, "Soal ini memang agak luar biasa”

"Luar biasa bagaimana?" tanya Thian-lok. Belum


lenyap suaranya, mendadak ia sudah menggerung sambil
melonjak bangun.
Kiranya Yap Leng-hong telah menusukkan sebatang
jarum berbisa yang diam-diam sudah disiapkan di tengah
jarinya, jarum berbisa itu adalah pemberian Hong Jongliong
dahulu. Jika racun jarum itu sampai mengenai urat
nadi dan masuk ke dalam darah, seketika orangnya akan
binasa. Jarum berbisa ini dahulu sudah pernah digunakan
oleh Yap Leng-hong sehingga Yap Boh-hoa hampirhampir
melayang jiwanya.
Lwekang Leng Thian-lok sebenarnya tidak di bawah
Yap Boh-hoa, tapi karena jaraknya sangat dekat, pula
tidak curiga akan diserang secara keji, maka tahu-tahu
jarum musuh sudah menancap di atas perutnya.
Setengah badan Leng Thian-lok seketika menjadi kaku
dan lumpuh.
"Bangsat! Kiranya kau adalah mata-mata musuh!"
bentak Leng Thian-lok sambil melonjak bangun. "Brak",
kontan sebelah telapak tangannya menggaplok ke atas
kepala Yap Leng-hong.
"Hm, baru sekarang kau tahu, namun sudah
terlambat!" jengek Yap Leng-hong sambil menangkis.
"Biang", kedua tangan beradu, Leng Thian-lok
memuntahkan darah, tapi Leng-hong juga tergetak
mundur dua-tiga tindak.
Kejut Leng-hong tak terkatakan, sungguh tak terduga
bahwa sesudah terluka parah oleh jarum berbisa itu Leng
Thian-lok masih sedemikian tangkasnya.
Tapi karena terlalu keras mengeluarkan tenaga
pukulannya, racun yang sudah menyusup di dalam badan
Leng Thian-lok lantas bekerja lebih cepat pula. Semula
hanya terasa setengah badannya kaku, kini sekujur

badan sudah mulai terasa kejang dan kaku, bahkan


kepalanya terasa pusing, mata berkunang-kunang,
pandangannya menjadi kabur.
Serentak begundal Yap Leng-hong lantas menyerbu
masuk, beramai-ramai mereka membunuh empat orang
pengawal pribadi Leng Thian-lok yang terpercaya.
Keruan Thian-lok menjadi murka, bentaknya,
"Bangsat, biar aku mengadu jiwa padamu!" Berbareng ia
lantas menubruk maju pula laksana banteng ketaton dan
menghantam.
Sudah tentu Yap Leng-hong tidak begitu bodoh untuk
bergebrak lagi, dengan cepat ia berkelit ke samping, tapi
empat anak buahnya yang telah menjadi korban
serangan Leng Thian-lok. Hantaman Thian-lok itu
sungguh dahsyat, terdengar jeritan ngeri empat prajurit
bawahan Leng-hong yang diterjang itu, seketika mereka
roboh tak bernyawa lagi, bahkan empat prajurit di
belakangnya juga kena seruduk sehingga patah tulang
dan terluka parah.
Sekali hantaman Leng Thian-lok telah membinasakan
empat orang dan melukai empat orang, keruan begundal
Yap Leng-hong yang lain menjadi ketakutan dan lari
menyingkir.
Namun pukulan Leng Thian-lok tadi pun sudah
menghabiskan tenaganya sendiri, laksana pelita
kehabisan minyak, dia tidak tahan lagi, sambil
menyemburkan darah ia roboh terkulai.
Leng-hong bergelak tertawa, tanpa susah payah ia
lantas memotong kepala Leng Thian-lok. Bersama sisa
anak buahnya yang masih ada belasan orang segera
Leng-hong menerjang ke bawah gunung. Sudah tentu
para penjaga tak dapat merintanginya karena dia dikenal
sebagai pemimpin pasukan pemberontak yang datang

membantu, pula diketahui sebagai saudara angkat Siau


Ci-wan, maka dengan cepat sekali rombongan Yap Lenghong
dapat melalui pos-pos penjagaan.
Akan tetapi karena keberangkatan Yap Leng-hong itu
sangat tergesa-gesa dan mencurigakan, maka dengan
cepat perbuatannya yang keji lantas diketahui. Semua
orang menjadi murka dan segera membunyikan tanda
bahaya serta mengejar.
Rombongan Yap Leng-hong tidak berani berlari lurus
ke tempat pasukan kerajaan, sebab menurut
perhitungannya untuk mencapai kemah pasukan
kerajaan masih harus melalui beberapa pos penjaga
pasukan pemberontak, pula Siau Ci-wan dan pasukannya
saat itu mungkin sudah kembali dari garis depan dan di
antaranya bukan mustahil terdapat pula Yap Boh-hoa
atau Ubun Hiong yang pasti sudah membongkar
rahasianya, jika kepergok mereka di tengah jalan berarti
celaka baginya.
Segera ia membawa begundalnya menyusur ke
belakang gunung, ia tahu penjagaan di belakang gunung
tidak seketat di bagian depan. Malahan secara licin Yap
Leng-hong berteriak-teriak ketika mendekati pos
penjagaan, "Celaka! Pasukan musuh telah menyergap ke
atas gunung, lekas kalian pergi membantu!"
Mendengar itu, pasukan penjaga di belakang gunung
itu menjadi bingung, tanpa memikirkan berita itu benar
atau tidak, segera ada sebagian dikerahkan kembali ke
markas besar sehingga mereka tertipu dan Yap Lenghong
dapat lolos tanpa rintangan.
Sementara itu Siau Ci-wan, Leng Tiat-jiau, Ubun
Hiong, Kang Hiau-hu dan Kheng Siu-hong sudah lebih
dulu sampai di markas besar, terdengarlah suara

tangisan orang banyak dan ada sejumlah kawan yang


memburu ke belakang gunung.
Melihat keadaan itu, Siau Ci-wan tahu pasti terjadi
sesuatu yang tidak menguntungkan, cepat ia mendahului
menerobos ke dalam rumah, segera dilihatnya di ruangan
pendopo itu mayat bergelimpangan, satu di antaranya
adalah jenazah Leng Thian-lok yang sudah tidak
berkepala lagi.
Leng Tiat-jiau sampai terkesima menyaksikan itu,
mendadak ia menampar muka sendiri beberapa kali,
serunya dengan suara serak, "Ubun-siauhiap, Kanglihiap,
salahku semua yang tidak mau percaya kepada
omongan kalian hingga sekarang membikin celaka
pamanku ini."
Sesudah menampar muka sendiri, dengan mata
mendelik dan darah mengucur keluar dari mulutnya
barulahh ia berlutut di samping jenazah Leng Tiat-jiau, ia
sesambatan dengan suara memilukan, "O, paman,
malang benar kematianmu! Semoga arwahmu
memberkati, aku akan menuntut balas bagimu!" Ia tidak
menangis sedih, tapi hanya menjura tiga kali, lalu
berbangkit dan berteriak, "Ganti kudaku dengan yang
baru!"
"Nanti dulu, Leng-toako," tiba-tiba Ci-wan
mencegahnya.
"Kenapa? Aku harus membalas sakit hati paman!" seru
Tiat-jiau.
"Kini sudah hampir dimulai pertempuran menentukan,
di sini sangat memerlukan pimpinanmu," kala Ci-wan.
"Biarlah aku saja yang pergi mengejar bangsat
pengkhianat itu. Harap Leng-toako mengingat
kepentingan perjuangan kita, kurangilah kesedihanmu
dan jagalah dirimu dengan baik."

Karena usul Siau Ci-wan itu cukup beralasan, Tiat-jiau


menjadi agak tenang dan terpaksa membiarkan Siau Ciwan
yang pergi mengejar Yap Leng-hong.
Sementara itu dengan tipunya yang licin, rombongan
Yap Leng-hong sudah berhasil melalui beberapa pos
penjagaan. Sampai di lamping gunung, ketika pasukan
penjaga di bawah gunung mendengar suara terompet
tanda mengejar musuh, maka tipu licik Yap Leng-hong
itu tak berlaku lagi.
Kini rombongannya hanya tinggal belasan orang saja,
mau tak mau Bong Ing-ping merasa kuatir, kalau sampai
tersusul oleh pasukan yang mengejarnya tentu sukar
menyelamatkan diri. Sebaliknya Yap Leng-hong masih
bergelak tertawa.
"Mengapa kau tertawa, Yap-kongcu?" tanya Bong Ingping.
Jawab Leng-hong, "Kita memang telah mengalami
kegagalan, tapi kepala Leng Thian-lok sudah kupenggal
dan kubawa sekarang, jasa ini sudah jauh lebih besar
daripada kegagalan kita. Kepala Leng Thian-lok ini
rasanya lebih berharga daripada jiwa puluhan orang."
Nyata Yap Leng-hong hanya memikirkan
kepentingannya sendiri tanpa menghiraukan jiwa anak
buahnya, mau tak mau Bong Ing-ping merasa ngeri juga
membayangkan kekejaman pemuda itu.
Agaknya Yap Leng-hong tahu akan perasaan
kawannya, ia tertawa dan berkata pula, "Dari sini kita
dapat lari ke Sejiang, kita dapat minta bala bantuan di
sana, karena panglima kota itu adalah bekas bawahan
ayahku. Dengan serangan dari kanan-kiri tentu kita dapat
menumpas habis kawanan berandal Siau-kim-jwan ini.
Leng Thian-lok sudah kubunuh, jasa ini tentu takkan
kumakan sendiri, kelak kalian tentu pula akan

memperoleh kedudukan dan hadiah yang pantas dari Sri


Baginda."
Dipancing dengan pangkat dan harta benda, seketika
semangat kawan-kawannya terbangkit dan melupakan
kematian kawan-kawannya yang lain.
"Ya, semoga kita takkan tersusul musuh," kata Bong
Ing-ping kemudian. "Sesudah menyerbu sepanjang jalan,
kita benar-benar sudah teramat lelah."
"Kukira musuh takkan dapat menyusul kita, sedangkan
hari pun sudah hampir gelap," ujar Leng-hong.
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong
terdengar suara bentakan orang yang menggelegar, "Yap
Leng-hong, hendak lari kemana kau, tinggalkan dulu
kepalamu!"
Kiranya Siau Ci-wan bersama 30-an anak buahnya
telah mengejar tiba. Rupanya Yap Leng-hong dan
rombongannya terhalang oleh beberapa pos penjagaan
sehingga makan tempo agak lama, maka kini telah
disusul oleh Siau Ci-wan pada waktu hari menjelang
gelap.
Leng-hong terkejut, tapi ia coba membesarkan nyali
kawan-kawannya, katanya, "Jangan takut, jumlah
mereka cuma 20-30 orang saja, kita masih dapat
melabrak mereka. Kita harus membunuh Siau Ci-wan dan
jasa kita akan bertambah besar!"
Dalam pada itu dengan membentak-bentak Siau Ciwan
sudah mendahului menerjang tiba dengan kudanya.
Seru Leng-hong dengan tertawa, "Siau-taoko, kita
adalah saudara angkat, janganlah kau memaksa aku
bergebrak dengan kau. Bagaimana kalau kau pulang saja
dan kita tidak usah saling membunuh?"
"Kau manusia yang berhati binatang ini masih berani
bicara tentang angkat saudara segala padaku?" damprat

Siau Ci-wan dengan gusar. "Hm, hari ini kalau bukan kau
yang mampus biarlah aku yang mati." Dengan murka
segera ia menerjang maju, sungguh kalau dapat ingin
sekali tabas ia kutungi badan Yap Leng-hong menjadi
dua potong.
Sebenarnya semangat dan tenaga Yap Leng-hong
sudah lemas sesudah seharian menerjang ke sana
kemari, tapi dalam waktu singkat Siau Ci-wan juga sukar
mengalahkan dia. Dalam pertempuran ini akhirnya anak
buah Yap Leng-hong kena dibunuh semua oleh pasukan
Siau Ci-wan, namun Leng-hong dan Bong Ing-ping
sempat meloloskan diri.
Dengan murka Siau Ci-wan segera mengejar, ia pacu
kudanya secepat terbang dan terus mengudak, tanpa
terasa ia telah meninggalkan anak buahnya jauh di
belakang. Kini tinggal dia seorang diri yang sedang
mengejar, tapi jaraknya dengan Yap Leng-hong dan
Bong Ing-ping juga semakin dekat.
"Yap-kongcu, kita kerubut dia!" ajak Bong Ing-ping.
"Baik, marilah kita melabraknya," sahut Leng-hong.
"Boleh coba kalian labrak!" teriak Ci-wan dengan gusar
sambil menyiapkan busurnya, dua anak panah
dipasangnya terus dibidikkan susul menyusul mengarah
kuda tunggangan lawan. Bukan saja ilmu golok Siau Ciwan
cukup lihai, bahkan ia pun terkenal sebagai jago
panah di dalam pasukan pergerakan.
Mendengar suara jepretan busur, lekas Bong Ing-ping
miringkan tubuh ke samping dan memberosot ke bawah
perut kuda, goloknya siap digunakan untuk menyampuk
panah. Tak terduga yang diincar oleh Siau Ci-wan
bukanlah orangnya, tapi adalah kudanya. Goloknya
menyampuk tempat kosong, sebaliknya perut kudanya

telah terkena anak panah. Kudanya roboh dan Bong Ingping


sendiri pun terguling ke bawah.
Sedangkan Yap Leng-hong lain lagi keadaannya, ia
lebih pandai, sebelah kakinya menggantol di atas pelana,
kedua tangannya dipakai menangkap anak panah.
Namun luput dan panah itu menyambar ke arah
tenggorokan. "Mati aku!" teriaknya, menyusul ia pun
jatuh terguling.
Siau Ci-wan bergirang, ia melompat turun dari
kudanya hendak memotong kepala Yap Leng-hong. Tak
tersangka mendadak Yap Leng-hong dapat melompat
bangun sambil membentak, "Terimalah kembali panah
ini!" Berbareng ia pun menimpukkan sebatang panah.
Lekas Siau Ci-wan menyampuk dengan busurnya, tapi
panah itu ternyata tidak mengincar orangnya, tapi juga
mengarah kudanya.
Tenaga Yap Leng-hong yang digunakan menimpuk
anak panah tidak kalah kuatnya daripada busur, maka
seketika kuda Siau Ci-wan itu terpanah binasa.
Leng-hong terbahak-bahak, serunya, "Siau-toako, kau
tidak dapat menyusul aku lagi!" Berbareng ia melompat
bangun terus memburu dan mencemplak pula ke atas
kudanya. Ia tusuk pantat binatang itu, karena kesakitan,
kuda itu lari kesetanan, dalam sekejap saja sudah berlari
keluar dari jarak panah Siau Ci-wan.
Kiranya jatuhnya Yap Leng-hong itu hanya tipu daya
saja, bukan saja Siau Ci-wan kena dibohongi, bahkan
Bong Ing-ping juga tertipu. Sebenarnya dengan tenaga
mereka berdua dapatlah mengalahkan Siau Ci-wan, tapi
Leng-hong hanya mementingkan diri sendiri, ia kuatir
kalau sebentar lagi bala bantuan Siau Ci-wan akan
datang pula dan mereka berdua pasti akan tertangkap.

Karena itu ia lebih suka mengorbankan Bong Ing-ping


daripada mempertaruhkan jiwa sendiri.
Lantaran kudanya sudah terpanah mati, terpaksa Siau
Ci-wan tak bisa berbuat apa-apa dan menyaksikan Yap
Leng-hong kabur dengan leluasa.
Sebaliknya Bong Ing-ping ketakutan setengah mati,
terpaksa ia melawan Siau Ci-wan mati-matian, tapi dasar
ilmu silatnya memang lebih rendah, pula hati sudah
keder, maka tidak sampai belasan gebrakan tulang
pundaknya sudah ditembus oleh pedang Siau Ci-wan,
ilmu silatnya telah dipunahkan, dia tertawan hidup-hidup.
Tidak lama kemudian anak buah Siau Ci-wan telah
menyusul tiba. Setelah menyerahkan tawanannya,
segera Ci-wan berganti seekor kuda terus berangkat pula
menguber Yap Leng-hong.
Sementara itu hari sudah gelap, terpaksa Siau Ci-wan
menyalakan sebuah obor untuk mengikuti jejak Yap
Leng-hong. Sampai di suatu hutan yang rimbun, tiba-tiba
jejak musuh lenyap. Sebagai seorang Kangouw kawakan,
tahulah Siau Ci-wan apa sebabnya, tentu Yap Leng-hong
telah membungkus telapak kaki kudanya dengan kain
sehingga tidak meninggalkan bekas pula. Diam-diam Siau
Ci-wan menggerutu akan kelicikan musuh itu, Tapi ia pun
tidak dapat berbuat apa-apa.
Di perbatasan Sucwan dan Sekhong memang banyak
rimba lebat dengan pepohonan yang besar dan tua,
jarang didatangi manusia. Bila memasuki rimba purba
demikian, biarpun orang yang paling berpengalaman
juga sering-sering akan kesasar dan kehilangan arah,
apalagi hendak mencari seseorang di tengah rimba
seluas itu, sulitnya laksana mencari jarum di dasar laut.

Namun Siau Ci-wan tidak rela pulang begitu saja,


seorang diri ia meneruskan pencariannya, sudah tentu
hanya secara untung-untungan saja.
Yap Leng-hong memang bersembunyi di tengah rimba
raya itu. Sesudah lari ke dalam rimba, yang terdengar
hanya suara auman binatang buas, suara manusia tak
terdengar lagi. Yang ditakuti Leng-hong bukanlah
binatang buas, tapi takut disusul oleh Siau Ci-wan. Ia
merasa aman malah sesudah berada di tengah rimba
raya itu. Ia memanjat ke atas sebatang pohon besar, lalu
bersandar pada sebuah cabang dahan dan dapat tidur
dengan nyenyak.
Besok paginya Leng-hong terjaga bangun oleh suara
auman harimau, waktu ia memandang ke bawah, kiranya
kudanya telah menjadi mangsa harimau. Raja hutan itu
sedang melalap daging kudanya.
Tenaga Leng-hong sudah pulih kembali, untuk
melawan seekor harimau tidaklah sukar baginya. Segera
ia melompat turun, ia jemput sepotong batu dan
menimpukkannya ke arah raja hutan itu. Rupanya
harimau itu sudah cukup kenyang makan daging kuda,
tertimpuk oleh batu itupun lantas melarikan diri.
Ternyata lebih dari separoh badan kuda telah dimakan
oleh raja hutan itu.
Leng-hong tidak merasa sayang, ia pikir kudanya
memangnya sudah terluka dan dalam keadaan payah,
kematian kuda itu kebetulan malah, dagingnya dapat
dijadikan rangsum, ia bisa menghemat tenaga tidak perlu
berburu lagi.
Selama beberapa hari beruntun cuaca selalu lembab
dan gelap, sering hujan lebat. Keruan Leng-hong
kenyang menderita di dalam rimba. Yang paling celaka
adalah dia kehilangan arah, ia telah berputar kian kemari

di tengah rimba dan masih belum menemukan jalan


keluar yang menuju ke Sejiang.
Cuaca malam itu tiba-tiba berubah cerah, berkah
bantuan sinar bulan yang tidak terlalu terang ia
melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba dilihatnya di depan
sana ada sebuah kelenteng bobrok, itulah kelenteng
'malaikat gunung’ yang biasanya dipuja oleh penduduk
pegunungan.
Walaupun keadaan kelenteng sudah bobrok, tapi
masih ada atapnya, pintu kelenteng juga masih cukup
baik untuk ditutup dan dibuka. Diam-diam Leng-hong
bersyukur mendapatkan tempat berteduh, malam ini dia
dapat tidur lebih nyenyak dengan aman.
Ia pikir bila ada kelenteng tentu di sekitar situ ada
penduduknya, ia sudah bosan makan daging kuda melulu
selama beberapa hari, besok paginya ia berharap akan
menemukan rumah penduduk dan dapat merampas
sedikit makanan.
Segera ia masuk ke kelenteng itu dan menutup
pintunya, ia kumpulkan sedikit daun kering dan ranting
kayu untuk menyalakan api unggun. Ia masih ada sisa
segumpal daging kuda, ia pikir malam inilah malam
penghabisan makan daging kuda, besok tentu dapat
mengganti makanan baru.
Ia potong sebatang ranting kayu sebagai sunduk, sisa
daging kuda itu disunduk terus dipanggang.
Sesudah kenyang makan daging panggang, badannya
juga terasa panas kena api unggun, akhirnya Leng-hong
merasa mengantuk. Tapi demi terpikir besok atau lusa
pasti akan dapat keluar dari rimba raya itu, tanpa terasa
semangatnya terbangkit pula dan hilanglah rasa
mengantuknya.

Diam-diam timbul rekaannya bila besok sudah sampai


di Sejiang, dari panglima kota itu dapat dipinjam
beberapa ribu prajurit, lalu mengadakan penyerangan
pula bersama ayahnya dari dua jurusan, mustahil Siaukim-
jwan takkan bobol.
Tengah melamun hal yang muluk-muluk, tiba-tiba
terdengar suara tindakan orang, serentak Leng-hong
melompat bangun. Terdengarlah suara seorang berkata
dan tertawa, "Aha, alangkah sedapnya bau ini. Kawan
darimanakah yang sedang memanggang daging? Apakah
sudi membagi sedikit kepada tamu yang tak diundang
ini?"
Sungguh kejut Yap Leng-hong tidak kepalang demi
mendengar suara itu, kiranya pembicara itu bukan lain
adalah musuh yang paling ditakutinya, yaitu Utti Keng.
Waktu ia mengintip keluar melalui celah-celah pintu,
benar juga Utti Keng yang sedang mendatangi, bahkan
bersama istrinya pula, Ki Seng-in.
Untuk melawan Utti Keng seorang saja susah, apalagi
Ki Seng-in ikut datang pula. Waktu itu Leng-hong hanya
tinggal dua batang jarum berbisa, segera ia siapkan
jarum itu dan bersembunyi di belakang pintu.
Dalam pada itu Utti Keng rada sangsi karena seruan
tadi tidak mendapat jawaban, ia pun bukan orang bodoh,
ia tidak langsung mendorong pintu dan masuk begitu
saja, tapi ia menggunakan Pik-khong-ciang, pukulan
tangan kosong dari jarak jauh, dengan tenaga keras ia
hantam pintu kelenteng hingga terpentang.
Begitu pintu terbuka, kontan Yap Leng-hong
menyambitkan kedua batang jarumnya. "Crit-crit", jarum
itu menyambar secepat kilat, tapi sebelum mengenai
sasarannya sudah dipukul jatuh oleh benturan senjata
rahasia yang disambitkan oleh Ki Seng-in.

Ki Seng-in berjuluk Jian-jiu-koan-im, Koan-im


bertangan seribu, gelar ini diperoleh karena keahliannya
menggunakan berbagai jenis senjata rahasia. Dengan
kemahirannya itulah ia menyambitkan dua batang jarum
Bwe-hoa-ciam untuk membentur jatuh jarum berbisa
musuh, bahkan ditambahi pula sebatang Tau-kut-ting
(paku penembus tulang) yang terus menyambar ke
depan.
Untung Yap Leng-hong memang sudah siap di tempat
sembunyinya, sedikit mendak ke bawah dapatlah ia
hindarkan serangan paku maut itu. Namun begitu tidak
urung secomot rambutnya juga sudah terbeset oleh
senjata rahasia Ki Seng-in.
Keruan Yap Leng-hong menjadi ketakutan, sukmanya
seakan terbang ke awang-awang, ia melangkah mundur
dengan gemetar. Dalam pada itu dengan langkah lebar
Utti Keng sudah menerjang ke dalam kelenteng
Di bawah sinar api unggun yang cukup terang, segera
Utti Keng dapat mengenali Yap Leng-hong, keruan
girangnya melebihi orang mendapat lotere, katanya
kepada sang istri, "Adik In, jangan menggunakan senjata
rahasia lagi. Aku harus membunuhnya dengan tanganku
sendiri supaya dia tahu rasa."
Habis itu ia lantas tertawa terbahak-bahak, katanya
kepada Yap Leng-hong, "Anak keparat, tentunya kau
tidak nyana pada malam ini akan kepergok olehku
bukan? Hehe, untung aku tidak mati di bawah tipu
kejimu, sekarang menjadi giliranmu menerima
pembalasanku."
Tampaknya Yap Leng-hong sudah sangat ketakutan
dan tiada jalan mundur lagi, sambil menjengek Utti Keng
mengayun goloknya ke atas, bentaknya, "Lihat golokku!"

Berbareng tangannya yang lain terus mencengkeram ke


depan.
Rupanya Utti Keng bermaksud menawan hidup-hidup
Yap Leng-hong, gerakan golok tadi hanya gerakan palsu,
serangan yang benar adalah cengkeramannya itu.
Tak terduga Yap Leng-hong juga cukup cerdik, baru
saja golok Utti Keng bergerak, berbareng ia pun
melancarkan serangan dengan Tui-hong-kiam-hoat yang
cepat. Ia tahu gerakan golok lawan hanya pura-pura
saja, maka tanpa menangkis, sebaliknya pedangnya
lantas memotong pergelangan Utti Keng.
Pertarungan di antara jago silat kelas tinggi hanya
ditentukan dalam satu-dua gebrakan kilat saja. Untung
Utti Keng bukanlah jago kelas kambing, pada saat
pedang Yap Leng-hong hampir mengenai tangannya,
seketika ia pun ganti serangannya tadi menjadi serangan
sungguh-sungguh, goloknya lantas membacok ke bawah
sehingga tepat membentur pedang lawan.
Utti Keng merasa tangannya tergetar, menyusul
goloknya membabat pula, namun Yap Leng-hong sudah
keburu melompat ke samping dengan sempoyongan.
"Hendak lari kemana?" bentak Utti Keng dengan suara
menggeledek, goloknya berputar dan membacok pula.
Leng-hong sadar tiada gunanya berusaha lari, sebab
sukar melalui Ki Seng-in yang mengawasi di samping,
terpaksa ia bertahan mati-matian. Kini yang dia mainkan
adalah Si-mi-kiam-hoat yang lambat tapi kuat, dengan
demikian ia dapat mematahkan serangan-serangan Utti
Keng yang dilontarkan secara membadai itu. Diam-diam
Utti Keng juga terkesiap, tidak dinyana hanya berpisah
setahun saja tenaga Leng-hong sudah bertambah begitu
kuat. Padahal lantaran Leng-hong mendapat bantuan
Ciong Tian sehingga beberapa bagian urat nadinya dapat

dilancarkan jalannya, Lwekangnya memang sudah


banyak maju, tetapi kalau dibandingkan Utti Keng
sebenarnya masih selisih jauh. Soalnya seharian ini Utti
Keng kehujanan, perut lapar pula, dengan sendirinya
tenaganya banyak berkurang, maka dia merasakan
kepandaian Yap Leng-hong telah maju pesat.
Rupanya Ki Seng-in mengetahui keadaan sang suami,
ia sendiri juga sedang kelaparan. Tiba-tiba dilihatnya di
atas lantai masih ada sepotong daging kuda yang belum
dimakan Leng-hong tadi, tergeraklah hati Ki Seng-in,
segera ia ayun cambuknya, dengan ujung senjatanya ia
lilit gumpalan daging itu terus dilemparkan ke arah sang
suami sambil berkata dengan tertawa, "Toako, daging
kuda ini anggaplah persembahan bocah ini, silakan kau
makan saja!"
Dengan sebelah tangannya Utti Keng menangkap
daging kuda itu terus digeragoti dengan lahapnya,
serunya tertawa, "Ehm, boleh juga rasanya!" Sambil
makan sebelah tangannya tetap memutar goloknya
untuk menyerang.
Dengan segala daya upaya Yap Leng-hong bermaksud
balas menyerang pada saat orang sedang makan, tapi
selalu gagal. Jangankan hendak menyerang lawan,
mendekat saja susah.
Sesudah makan separoh gumpalan daging kuda itu,
Utti Keng melemparkan sisanya kepada sang istri. "Adik
ln, boleh juga kau mencicipinya," serunya sambil tertawa.
Kini tenaganya sudah banyak bertambah, segera ia
menyerang lebih gencar lagi, katanya pula, "Sekarang
biar kau kenal kelihaianku!"
Sebelumnya saja Leng-hong tak bisa melawan, apalagi
sekarang. Keruan dia kelabakan menangkis ke sana dan

ke sini, hanya dalam sekejap saja ia sudah terkurung di


tengah sinar golok Utti Keng yang membadai.
Sekarang Yap Leng-hong yang kepayahan, tenaganya
mulai habis, diam-diam ia mengeluh bisa celaka.
"Sret", mendadak baju pundak Yap Leng-hong
terpapas oleh golok lawan, kalau kurang cepat dia
berkelit tentu tulang pundaknya sudah putus. Tampaknya
bacokan kedua Utti Keng sudah hampir menyusul pula
dan pasti Yap Leng-hong sukar menghindarkan diri. Pada
saat itulah tiba-tiba di tanah rumput itu terdengar suara
orang berjalan, suaranya hampir tak terdengar, kalau
bukan ahli yang berpengalaman tentu akan mengira
suara keresekan rumput bergoyang atau daun jatuh
tertiup angin.
Karena tidak tahu pendatang itu kawan atau lawan,
segera Utti Keng membentak, "Kawan darimanakah yang
datang itu?"
Dan lantaran sedikit terpencarnya perhatian, bacokan
Utti Keng yang kedua telah dapat dihindarkan pula oleh
Yap Leng-hong dengan langkah Thian-lo-poh-hoat.
Pada saat lain tiba-tiba terdengar suara tawa seorang
yang menusuk telinga, "Aha, kiranya pasangan suamiistri
bangsat kalian ini sedang main gila di sini. Hah,
ketika pertempuran di penjara kotaraja tempo hari telah
dikacau oleh kedatangan Kang Hay-thian, kebetulan hari
ini kita dapat mengulangi lagi."
Kiranya pendatang itu adalah Nyo Ceng bersama Nyo
Hoan. Dari jauh Nyo Ceng mendengar suara beradunya
senjata di dalam kelenteng sudah tentu ia tertarik dan
ingin tahu apa yang terjadi.
Tentu saja Yap Leng-hong kegirangan, cepat ia
berseru, "Lekas kemari, Nyo-siansing, akulah yang
berada di sini!"

"Hm," Ki Seng-in mendengus, "Toako, biar kuwakilkan


kau menahan musuh, kau lekas mampuskan bangsat cilik
itu."
Menyusul ia lantas menggertak sekali sambil
menyambitkan tujuh macam senjata rahasia yang
berlainan. Ada panah kecil, ada piau, ada paku, ada pelor
besi dan lain-lain.
Nyo Ceng bergelak tertawa, serunya, "Jian-jiu-koanim,
kau memang tidak bernama kosong tapi ingin
mengenai aku, kau masih harus belajar lagi."
Sambil bicara ia lantas melompat ke depan untuk
mengalingi putranya, ia putar tongkatnya, terdengarlah
suara "trang-tring" yang riuh, berbagai macam senjata
rahasia yang dihamburkan Ki Seng-in telah tersampuk
jatuh semua.
"Anak Hoan, kau ikut merapat di belakangku!" kata
Nyo Ceng. Habis itu dengan cepat sekali ia telah
menubruk maju.
Segera Ki Seng-in memainkan cambuknya dengan
kencang, bagai ular cambuknya menyambar ke arah
musuh. Salah satu kepandaian Ki Seng-in yang tersohor
adalah permainan cambuknya, akan tetapi Nyo Ceng
adalah jago kelas wahid, tokoh-tokoh Bu-lim yang dapat
mengalahkan dia sangat terbatas, paling-paling hanya
beberapa orang saja seperti Kang Hay-thian, Tiok Sianghu,
Tong Kheng-thian, Ciong
Tian dan sebagainya. Sudah tentu biarpun serangan
cambuk Ki in itu sangat lihai, tapi bagi Nyo Ceng adalah
serangan sepele saja.
"Lepas!" mendadak Nyo Ceng membentak, tongkatnya
lantas mencungkit ke atas.
Tepat sekali cambuk Ki Seng-in yang menyabet tiba itu
lantas melilit di atas tongkatnya, waktu Nyo Ceng

memutar balik tongkatnya terus ditarik, maksudnya


hendak merampas cambuk lawan.
"Belum bisa!" jengek Ki Seng-in, mendadak ia
kendorkan lilitan cambuknya terus disendai dan terlepas,
sekonyong-konyong ujung cambuknya mengeras lurus
terus menikam ke depan, yang diarah adalah Thay-yanghiat
di pelipis musuh.
Terkejut juga Nyo Ceng, lekas ia menegakkan pula
tongkatnya sehingga cambuk lawan kena disampuk ke
samping.
Karena datangnya bala bantuan, Yap Leng-hong
mendapat angin, segera ia bertempur pula mati-matian.
Dalam pada itu Nyo Ceng telah berhasil melalui
rintangan Ki Seng-in dan membiarkan putranya melayani
musuh, ia lantas menerjang maju, tongkatnya lantas
menotok ke iga Utti Keng.
Dari suara sambaran angin, tahulah Utti Keng
datangnya serangan musuh, tapi sama sekali ia tidak
menangkis, sebaliknya ia gunakan delik itu dengan baik,
mendadak ia menggertak keras, secepat kilat goloknya
menabas miring ke bawah, tanpa menghiraukan
sergapan musuh, yang dia incar tetap Leng-hong.
Nyo Ceng dapat menduga Utti Keng mempunyai
kemampuan menutup jalan darahnya, andaikan iganya
tertotok paling-paling hanya terluka parah saja, tapi Yap
Leng-hong juga pasti akan binasa. Dalam keadaan
demikian terpaksa Nyo Ceng harus menolong jiwa Yap
leng-hong lebih dulu, maka totokan tongkatnya berubah
arah dan digunakan untuk menangkis tabasan golok Utti
Keng.
Gerakan kedua orang sama-sama cepat sekali, maka
terdengarlah "trang" yang keras, dengan tepat golok Utti
Keng kena ditahan oleh tongkat Nyo Ceng dari bawah

sehingga tabasannya meleset ke samping dan


menyambar lewat di atas kepala Yap Leng-hong.
Sungguh kaget Leng-hong tidak kepalang, kalau tidak
ditangkis oleh Nyo Ceng tentu jiwanya sudah melayang
di bawah golok Utti Keng.
Cepat ia melompat mundur, ia tidak berani menerjang
maju lagi dan membiarkan Nyo Ceng menandingi Utti
Keng.
Menghadapi lawan tangguh, makin lama Utti Keng
makin gigih. Dalam 30-an jurus permulaan Nyo Ceng
sampai kewalahan juga melayani serangan Utti Keng
yang dahsyat. Tapi sesudah itu ia dapat menguasai
keadaan dan mulailah melancarkan serangan balasan.
Di sebelah sana Nyo Hoan yang menghadapi Ki Sengin
sudah kewalahan, melihat putranya terancam bahaya,
Nyo Ceng sengaja melangkah mundur, tongkatnya
memutar balik untuk menotok Ki Seng-in.
Sudah tentu Utti Keng tidak memberi kesempatan
padanya, ia membentak, "Awas golok!" Berbareng
goloknya lantas menabas dari samping.
Lekas Nyo Ceng menggeser ke samping lain dan
menarik kembali tongkatnya untuk menangkis, dengan
demikian keadaan menjadi saling serang dari dua
kalangan. Karena mesti menghindari totokan tongkat Nyo
Ceng, terpaksa Ki Seng-in berkelit dan kesempatan ini
telah memberi kelonggaran kepada Nyo Hoan untuk
bernapas. Sebaliknya karena Nyo Ceng menggunakan
tongkatnya menyerang Ki Seng-in, maka Utti Keng telah
dapat melancarkan serangan dahsyat pula.
"Bagaimana keadaanmu, Yap-kongcu?" tiba-tiba Nyo
Ceng menegur Yap Leng-hong.

Saat itu Leng-hong sudah dapat menenangkan diri,


seketika ia sadar dan menjawab, "Tidak apa-apa. O ya,
jangan kuatir Nyo-seheng, biar aku membantu kau!"
Begitulah ia pilih lawan yang lebih empuk, bersama
Nyo Hoan ia lantas mengerubut Ki Seng-in.
Kini berganti Ki Seng-in yang merasa payah melawan
keroyokan Leng-hong dan Nyo Hoan. Ia melihat keadaan
sang suami juga tidak menguntungkan bila pertempuran
berjalan lebih lama. Mendadak ia mendapat akal, pada
suatu ketika ia melancarkan serangan kilat dan
mendesak mundur Yap Leng-hong, pada saat lain ia telah
menyiapkan sebatang jarum Bwe-hoa-ciam. Mendadak
cambuknya menyabet disusul dengan sambitan jarum
dengan tangan lain.
Sekonyong-konyong terdengar Nyo Hoan menjerit,
"Perempuan jahanam, berani kau ... aduh” Belum lenyap
suara, pundaknya sudah terasa kesakitan.
"Haha, kau telah terkena jarumku, rasanya kau pun
takkan hidup lebih dari satu jam lagi," seru Ki Seng-in
dengan tertawa.
Keruan ucapan Ki Seng-in membikin Nyo Hoan
ketakutan setengah mati, begitu pula kejut Nyo Ceng
bukan buatan.
Mestinya Nyo Ceng sudah di atas angin dan dapat
mengalahkan Utti Keng dalam waktu tidak lama lagi, tapi
sekarang ia harus menolong putranya lebih dulu. Cepat
ia meninggalkan Utti Keng dan melompat ke sana untuk
menyerang Ki Seng-in.
Karena merasa kuatir atas keselamatan putranya,
dengan sendirinya Nyo Ceng menyerang dengan segenap
kepandaiannya, tongkatnya menotok ditambah lagi
sebelah tangannya memukul dari jauh. Ki Seng-in dapat
menghindarkan totokan tongkat lawan, tapi terkena juga

tenaga pukulan Nyo Ceng yang dahsyat itu, ia


terhuyung-huyung mundur dan jatuh terduduk.
Syukur pada saat yang hampir sama Utti Keng juga
sudah menyusul tiba di belakang Nyo Ceng, goloknya
lantas membacok.
Lekas Nyo Ceng mendak ke bawah sambil memutar ke
samping, walaupun cara menghindarnya sangat tepat,
tapi tidak urung lengannya juga sudah tergores oleh
mata golok. Karena serangan Utti Keng yang melukai
Nyo Ceng itulah maka tenaga pukulan yang mengenai Ki
Seng-in tadi juga tidak terlalu keras.
Tanpa menghiraukan luka sendiri, segera Nyo Ceng
menyeret putranya dan lari pergi secepatnya. Yap Lenghong
tidak kalah cerdik, sejak tadi ia sudah siap-siap
untuk lari, maka begitu Nyo Ceng berdua angkat kaki,
segera ia pun angkat langkah seribu.
Utti Keng juga tidak sempat mengejar musuh lagi,
buru-buru ia membangunkan sang istri dan bertanya,
"Bagaimana keadaanmu, adik In?" Tapi legalah hatinya
sesudah memeriksa nadi istrinya yang ternyata tidak
terluka dalam.
"Adik In," kata Utti Keng pula, "syukurlah kau telah
menyerang bangsat cilik itu dengan senjata rahasia
sehingga kita terlolos dari maut. Entah sejak kapan kau
berhasil meyakinkan senjata rahasia berbisa?"
"Mana aku mempunyai jarum berbisa?" sahut Ki Sengin
dengan tertawa. "Yang kugunakan juga cuma Bwehoa-
ciam biasa saja."
"O, jadi kau cuma menggertak saja agar Nyo Ceng
menjadi keder," kata Utti Keng dengan tertawa geli.
"Kalau aku tidak menggertak mereka dengan
mengatakan jarum itu berbisa, tentu tua bangka Nyo
Ceng itu sukar ditipu," ujar Ki Seng-in.

"Sayang keparat Yap Leng-hong itu ikut lolos juga,


biarlah lain kali tentu ada orang lain yang akan
membereskan dia," ujar Utti Keng. "Sekarang marilah
kita meneruskan perjalanan ke Siau-kim-jwan."
Dalam pada itu sekaligus Nyo Ceng telah menyeret
putranya kabur sejauh beberapa li, melihat Utti Keng
berdua tidak mengejarnya barulah ia berhenti. Sejenak
kemudian Yap Leng-hong juga sudah menyusul tiba
dengan napas terengah-engah.
Begitu berhenti Nyo Ceng sudah lantas menyobek baju
putranya untuk memeriksa pundaknya yang terkena
senjata rahasia berbisa Ki Seng-in tadi. Tapi dilihatnya
kulit daging pundak Nyo Hoan itu tiada tanda-tanda
terkena racun, hanya merah sedikit pada tempat yang
terluka.
"Anak Hoan, apakah kau merasa enak atau ada tandatanda
perasaan lain?" tanya Nyo Ceng dengan kuatir.
"Aku merasa sekujur badan seperti melembung, dada
terasa panas seakan pecah," sahut Nyo Hoan.
Nyo Ceng bertambah kuatir, ia mengira racun telah
mulai bekerja di dalam tubuh putranya, lekas ia
mengeluarkan sepotong besi sembrani terus ditempelkan
ke titik luka di pundak Nyo Ceng. Waktu ia angkat besi
sembrani itu, melekatlah sebatang jarum halus di atas
besi sembrani itu. Tapi jarum itu putih bersih, tidak
berwarna sebagaimana lazimnya senjata rahasia yang
direndam di dalam racun.
Untuk sejenak Nyo Ceng melenggong, tapi segera ia
sadar telah tertipu, ia ketok tongkatnya ke atas tanah
dan berseru, "Kurangajar, perempuan jahanam itu berani
mempermainkan aku, biar kususul dia untuk membikin
perhitungan padanya."

Sesudah melihat jarum itu tidak berbisa, segera ia


tahu sebabnya Nyo Hoan merasa badan panas dan
seperti melembung, adalah karena di tengah jalan tadi
waktu ia seret tangan putranya itu telah menyalurkan
tenaga dalamnya dengan maksud menahan menjalarnya
racun, padahal keadaan Nyo Hoan tidak berbahaya.
Terpaksa Nyo Ceng harus membuang tenaganya sendiri
untuk memunahkan pula hawa murni yang telanjur
sudah bersarang di dalam tubuh putranya. Pantas saja ia
merasa gemas karena telah tertipu.
Mendengar Nyo Ceng bermaksud mengejar musuh
lagi, Yap Leng-hong lekas membujuk, "Utti Keng merasa
bukan tandingan Nyo siansing, saat ini tentu mereka
sudah kabur jauh. Engkau sendiri terluka dan belum lagi
diobati, marilah kita mengaso dulu di sini untuk
merundingkan urusan lebih penting. Kelak kita masih bisa
membikin perhitungan dengan mereka."
Baru sekarang Nyo Ceng juga merasakan keadaannya
sendiri pun sangat lemas, lengannya juga terasa pegal,
hal ini disebabkan dia harus mengeluarkan tenaga murni
untuk putranya itu. Maka bujukan Yap Leng-hong itu
kebetulan baginya untuk mengurungkan maksudnya
mengejar musuh, katanya kemudian, "Ya, memang betul
kita harus merundingkan urusan yang lebih penting. Yapkongcu,
situasi memang benar-benar sangat buruk."
Hati Leng-hong tergetar, cepat ia bertanya, "Nyosiansing,
aku justru ingin bertanya padamu, mengapa
kalian bisa sampai di sini? bagaimana keadaan ayahku
dan pertempuran di sana?"
"Ai, urusan pertempuran di Siau-kim-jwan itu tak perlu
dibicarakan lagi, sudah runtuh habis-habisan," sahut Nyo
Ceng sambil menghela napas. "Tentang ayahmu, dia...”
Leng-hong merasa cemas, dengan suara gemetar ia
menegas, "Ada apa? Masakah pasukan ayah sebanyak
ratusan ribu itu sudah...”
"Ya, pasukan ayahmu sebanyak itu sudah hancur
seluruhnya," sahut Nyo Ceng dengan suara parau.
Hampir-hampir Yap Leng-hong tidak percaya kepada
telinganya sendiri. Untuk sejenak ia terkesima, katanya
kemudian dengan suara terputus-putus, "Mana ... mana
bisa jadi demikian? Pasukan musuh sangat sedikit,
masakah mereka mampu meng ... menghancurkan
pasukan ayah yang berjumlah ratusan ribu orang itu?"
"Yap-kongcu," tutur Nyo Ceng, "kalau dibicarakan
memang sukar untuk dipercaya, sampai aku sendiri pun
merasa bingung. Pasukan musuh di bawah pimpinan Yap
Boh-hoa itu tahu-tahu muncul di tengah-tengah
kedudukan pasukan kita. Pasukan pemberontak di pihak
Siau-kim-jwan itu rupanya sudah mengetahui apa yang
bakal terjadi, serentak mereka pun menyerang dari garis
dalam. Sungguh siasat yang mereka gunakan itu benarbenar
sukar diduga, tentu saja pasukan kita menjadi
bingung dan kacau-balau, akibatnya ya, tak perlu
diceritakan lagi."
Kiranya rombongan Kheng Siu-hong telah menjadi
penunjuk jalan bagi pasukan yang dipimpin oleh Yap
Boh-hoa itu sehingga tahu-tahu muncul di tengah
pasukan musuh. Serangan yang tiba-tiba itu membikin
tentara kerajaan menjadi panik dan kalang-kabut.
Apalagi digencet dari luar dalam, seketika pasukan yang
dipimpin Yap To-hu itu tersapu bersih baik yang
melarikan diri ataupun yang takluk.
Leng-hong ternganga mendengarkan penuturan Nyo
Ceng itu, sampai agak lama baru ia dapat bertanya, "Dan

bagaimana keadaan ayahku? Apakah beliau berhasil


meloloskan diri?"
Nyo Ceng menghela napas, lalu menjawab, "Suasana
waktu itu sangat kacau, kami ayah dan anak diterjang
oleh ratusan ribu tentara yang ingin menyelamatkan diri
sehingga terpencar dengan ayahmu. Namun demikian
dengan pasukan pengawalnya yang cukup kuat itu kukira
beliau takkan mengalami sesuatu rintangan."
Sudah tentu Yap Leng-hong masih kuatir dan
mengeluh, katanya, "Jika demikian tiada gunanya lagi
aku hendak menuju ke sana."
Tiba-tiba Nyo C.eng menjawab, "Yap-kongcu, yang
kau kuatirkan adalah pencarian musuhmu yang ingin
menuntut balas padamu bukan?"
Leng-hong melengak, ia paksakan tersenyum dan
menjawab, "Ah, di bawah perlindungan Nyo-siansing
yang berkepandaian tiada tandingannya di jagat ini
masakah aku masih kuatir?"
"Ilmu silatku sih lumayan juga, tapi terlalu berlebihan
jika dibilang tiada tandingannya di jagat ini," kata Nyo
Ceng sambil tertawa, "Yang pasti ilmu silat gurumu
barulah dapat disebut nomor satu di dunia ini. Untuk ini
tak perlu Yap-kongcu bicara sungkan-sungkan dengan
aku."
Wajah Leng-hong menjadi merah jengah karena
merasa ucapannya tadi terlalu bersifat mengumpak dan
menjilat.
Lalu Nyo Ceng berkata pula, "Yap-kongcu, untuk
selanjutnya bolehlah kita kumpul bersama, pada
kesempatan menganggur ini tiada halangannya kita
saling tukar pikiran dan saling belajar. Sudah tentu Yapkongcu
tidak usah rendah hati lagi padaku, sebab
kepandaianmu sudah tentu tidak dapat dibandingkan

dengan aku, tapi siapakah yang tidak tahu bahwa ilmu


silat gurumu adalah nomor satu di dunia Ini. Dia punya
pelajaran Lwekang adalah ilmu yang paling hebat. Hehe,
kukira dengan saling belajar kita akan sama-sama
menerima manfaatnya”
Sampai di sini barulah Yap Leng-hong sadar bahwa
tujuan Nyo Ceng adalah ingin mengorek pelajaran
Lwekang perguruannya yang hebat itu. Dalam keadaan
sudah kepepet, kekuasaan ayahnya telah runtuh, dirinya
memerlukan perlindungan orang pula, terpaksa ia di
menyatakan rasa girangnya walaupun di dalam batin
sebenarnya la merasa enggan, katanya kemudian, "Jika
Nyo-siansing sudi memberi petunjuk, sudah tentu aku
merasa sangat berterima kasih, mana aku berani bicara
tentang saling belajar."
"Haha, jika demikian lebih dulu aku pun membilang
terima kasih," seru Nyo Ceng sambil bergelak tertawa.
Dan baru saja Leng-hong hendak mengucapkan kata
kala merendah pula, tiba-tiba Nyo Ceng berseru dengan
suara tertahan, "Ssssst, seperti ada orang sedang
mendatangi. Coba kalian tunggu di sini, biar aku
memapak kedatangannya."
Segera ia berlari ke sana, terdengar ia membentak,
"Siapa itu, berhenti?
Ketika orang itu berhadapan dengan Nyo Ceng, orang
itu berseru kaget terus berlutut dan menyembah, "Ai,
Cukong, kiranya engkau berada di sini."
Kiranya orang ini adalah Lok Khik-si, si menjangan
bertanduk satu. Bersama Yo Tun-hou dan Ma Seng-liong
mereka bertiga disebut "Ki-lian-sam-siu" (tiga binatang
dari gunung Ki-lian), memang sudah lama mereka
ditaklukkan Nyo Ceng dan diterima sebagai hambanya.
Waktu Ki-lian-sam-siu menggabungkan diri dengan

pemerintah kerajaan juga atas persetujuan Nyo Ceng,


supaya mereka dapat membuka jalan baginya bila kelak
ia pun mengekor kepada kerajaan. Kini Ki-lian-sam-siu
hanya tinggal Lok Khik-si seorang saja yang juga
menghadapi jalan buntu. Sudah tentu ia menjadi girang
mendadak bertemu dengan bekas majikannya.
"Bukankah kau ikut Ho Lan-bing di kotaraja, mengapa
kau datang ke sini?" tanya Nyo Ceng dengan mengerut
kening.
"Sebenarnya hamba diperintahkan datang membantu
Yap-tayjin, malahan hamba membawa juga sepucuk
surat dari Congkoan (komandan pasukan pengawal) yang
harus disampaikan kepada Yap-kongcu," demikian tutur
Lok Khik-si. "Ai, tidak nyana sampai di Sejiang telah
mengalami hal-hal yang tidak enak."
"Jika begitu kau tidak perlu ke Siau-kim-jwan lagi,
kebetulan Yap-kongcu juga berada di sini, boleh kau
haturkan padanya," sela Nyo Ceng, lalu ia berseru
memanggil Yap Leng-hong dan Nyo Hoan.
Sesudah muncul, Leng-hong merasa malu terhadap
Lok Khik-si, katanya, "Paman Lok, apakah kau membawa
sesuatu berita dari kotaraja?"
Rupanya Lok Khik-si belum tahu tentang kekalahan
Yap To-hu, dia masih menganggap Yap Leng-hong
sebagai putra gubernur yang terhormat, segera ia
memberi hormat dan menyerahkan surat yang
dibawanya.
Waktu Leng-hong membuka surat dari komandan
pasukan pengawal itu, kiranya isinya adalah ucapan
selamat dan pujiannya berhubung dengan rencana
pengkhianatannya yang sukses sehingga diangkat
menjadi pimpinan pasukan pemberontak. Surat itu
menyatakan rasa girang Sri Bagindanya dan

menganjurkan bekerja lebih baik lagi, kelak pasti akan


mendapatkan ganjaran yang layak. Keruan Yap Lenghong
menyengir sesudah membaca surat itu.
"Yap-tayjin sudah mengalami kekalahan, beliau berada
dimana sekarang pun kami tidak tahu, maka kau tidak
perlu meneruskan perjalananmu lagi," kata Nyo Ceng.
Keruan Lok Khik-si terkejut, serunya, "Wah, sungguh
celaka! Kukira dari Yap-tayjin akan diperoleh bala
bantuan untuk melepaskan bahaya yang mengancam
Sejiang, siapa duga keadaan di sini lebih buruk lagi."
"Bahaya apa yang menimpa kota Sejiang?" tanya Nyo
Ceng.
"Sebenarnya aku datang bersama Li Tay-tian dan Pek
Tiu, tak terduga setiba di Sejiang, tahu-tahu kota itu
sudah diduduki oleh pasukan pemberontak," tutur Khiksi.
"Pasukan pemberontak darimana?" tanya Leng-hong
terkejut, sebab setahunya di kota itu tiada pasukan
pergerakan apapun
"Cukong, kalau kuceritakan tentu engkau pun tidak
percaya” kata Khik-si. "Pasukan pemberontak itu ternyata
dipimpin oleh ..oleh Tiok-taysiansing."
Sungguh kejut Nyo Ceng tak terlukiskan, serunya,
"Dia” betul-betul dia?"
Kiranya "Tiok-taysiansing'," yang dimaksudkan Lok
Khik-si itu adalah kakak ipar Nyo Ceng sendiri, yaitu Tiok
Siang-hu.
"Ya, sungguh tidak nyana ia lelah bersekongkol
dengan Thian li kau dan telah ikut memberontak serta
mendadak menduduki Sejiang dengan anak buahnya,"
sahut Lok Khik-si. "Lebih celaka lagi kedatangan kami di
Sejiang itu kepergok juga oleh An-toasiok dan si Lau
pengurus rumah tangga Tiok-taysiansing. Li Tay-tian dan

Pek Tiu terbunuh oleh mereka, untung aku dapat


menyelamatkan diri, tapi kemudian kesasar pula di
tengah rimba ini. Syukurlah akhirnya bertemu dengan
Cukong."
"Ayah, jika demikian kita tak perlu lagi ke Sejiang,"
kata Nyo Hoan.
Selamanya Nyo Ceng hanya takut kepada Kang Haythian
dan jeri kepada saudara iparnya she Tiok itu.
Sebagai putranya, dengan sendirinya Nyo Hoan cukup
mengetahui perasaan sang ayah.
"Ya, memang kita tidak perlu ke Sejiang lagi, biarlah
kita mengitari rimba ini menuju ke jurusan lain saja,"
kata Nyo Ceng. "Kita pun tiada tugas apa-apa lagi, boleh
juga kita mengaso beberapa hari di tengah rimba yang
sunyi dan tenang ini."
Nyata di dalam hati Nyo Ceng telah mengambil
keputusan akan menggunakan beberapa hari 'mengaso'
di dalam rimba ini untuk memaksa Yap Leng-hong
mengajarkan inti Lwekang dari Kang Hay-thian yang
sangat berguna baginya. Karena kini Yap Leng-hong
harus bersandar di bawah perlindungan Nyo Ceng, tiada
jalan lain terpaksa ia menguraikan cara-cara melatih
Lwekang perguruannya itu kepada Nyo Ceng.
Lwekang ajaran Kang Hay-thian itu memang sangat
bagus, biarpun Nyo Ceng sudah mempelajari dengan
tekun juga cuma mendapat kemajuan sedikit demi
sedikit. Hal ini semakin menarik baginya, ia pikir kalau
Lwekang dari kedua aliran Cing dan Sia dapat dibaurkan
menjadi satu, kelak dirinya dapat menjagoi dunia
persilatan dan tidak perlu takut kepada Kang Hay-thian
lagi.
Begitulah maka ia pun tidak ingin buru-buru keluar
dari rimba raya itu. Sampai hari ketiga mereka

mendapatkan sebuah kelenteng kuno dan berteduh di


situ. Tiap hari ia memaksa Yap Leng-hong menguraikan
inti Lwekangnya, sedangkan Lok Khik-si telah menjadi
pesuruh mereka yang bertugas memburu binatang
sebagai makanan dan mencari buah-buahan.
Suatu hari, pagi-pagi Lok Khik-si sudah pergi mencari
makanan, tapi sampai malam belum nampak pulang.
Padahal makanan mereka sudah habis dan sedang
menantikan kedatangan Lok Khik-si.
"Apakah Lok-lotoa telah kabur," ujar Nyo Hoan yang
perutnya sudah lapar.
"Masakah dia berani?" kata Nyo Ceng dengan tertawa.
"Besar kemungkinan dia telah kesasar lagi. Coba kau
pergi mencarinya." Ia tahu putranya sangat cerdik, di
tengah rimba sepi itu rasanya juga takkan ketemu musuh
tangguh, maka tanpa kuatir apa-apa ia suruh Nyo Hoan
pergi mencari Lok Khik-si.
Nyo Ceng sendiri asyik menyelami intisari Lwekang
ajaran Kang Hay-thian yang telah mulai dirasakan
kemajuannya. Tanpa terasa sudah tengah malam, ketika
ia mendongak dan melihat cahaya sang dewi malam
remang-remang menembus celah-celah pepohonan yang
rimbun, ia terkejut karena teringat pada Nyo Hoan yang
telah pergi mencari Lok Khik-si dan sampai kini belum
kembali. Lekas ia berbangkit dan bersama Yap Lenghong
keluar mencari Nyo Hoan.
Kalau Nyo Hoan pergi mencari Lok Khik-si, lalu
kemanakah perginya Lok Khik-si?
Kiranya hari itu sial bagi Lok Khik-si, setengah harian
dia tidak memperoleh binatang buruan apa-apa, bahkan
seekor kelinci pun tidak diketemukan. Untung sesudah
lohor ia melihat seekor rusa, keruan Lok Khik-si
bergirang, segera ia menyambitkan sebuah pisau, tapi

hanya mengenai punggung rusa itu dan binatang itu


masih mampu lari dan menderita sakit. Segera Lok Khiksi
mengejar menurut jejak tetesan darah.
Makin lama makin jauh ia mengejar, jumpai di suatu
tempat, tiba tiba di balik sepotong batu padas besar
terdengar seruan seorang wanita muda, "Aha, kau
sendiri berjuluk menjangan bertanduk satu, tapi kau tega
membunuh sesama jenismu. Tentunya kau tidak mengira
akan kepergok olehku bukan?"
Suara itu sudah sangat dikenal Lok khik-si, keruan ia
terperanjat dan berteriak, "Kau ... kau Tiok-siocia
bukan''"
Maka muncullah seorang gadis jelita dan balik batu,
katanya dengan tertawa, "Benar, memang aku adanya
Dan masih ada pula seorang kenalanmu." Menyusul
muncul lagi seorang pemuda di belakang si nona.
Kiranya nona itu adalah putri Tiok Siang hu, yaitu Tiok
Ceng-hoa. Dan si pemuda adalah Li Kong-he.
Empat tahun yang lalu Lok Khik-si pernah menipu
Kong-he sehingga bocah itu dibawa ke kotaraja, malahan
beberapa kali Lok Khik-si bermaksud membunuhnya,
maka tidak heran Li Kong lie sangat benci padanya. Kini
Kong-he sudah berwujud pemuda berusia I7 tahun yang
bertubuh tinggi besar, gagah dan cakap.
Dengan tertawa Kong-he lantas mendamprat, "Bagus,
sudah cukup banyak kau membikin susah padaku, hari ini
biar kubinasakan kau jahaman ini."
"Li-kongcu, sudikah kau mendengarkan
penjelasanku?" pinta Lok Khik-si dengan rasa keder. "Apa
yang kulakukan dahulu adalah alas perintah majikan.
Harap nona Tiok suka mengingat hubungan keluarga Nyo
dan Tiok, sukalah engkau mengizinkan aku bertemu
dengan ayahmu untuk minta maaf?"

Mendengar orang menyinggung keluarga Nyo,


seketika Tiok Ceng-hoa merasa gusar, dampratnya, "Hm,
kau masih berani menonjolkan majikanmu sebagai
tameng? Kata ayahku, bila Nyo Ceng sampai dipergoki
beliau, kalau tidak dibeset kulitnya juga pasti akan
dimusnahkan ilmu silatnya. Sekarang kami pun
memperlakukan kau dengan cara yang sama, kau ingin
hidup dengan ilmu silat punah atau ingin kami beset
kulitmu?"
Padahal ucapan Lok Khik-si tadi hanya sebagai
pancingan belaka untuk menjajaki apakah Tiok Siang-hu
bersama dengan muda-mudi itu. dari jawaban Tiok Cenghoa
kini dapat diketahui ayahnya tidak ikut datang.
Seketika Lok Khik-si menjadi tabah, ia yakin sekiranya
tak bisa menangkan kedua muda-mudi itu, paling tidak
juga takkan kalah, apalagi dirinya masih ada bala
bantuan yaitu Nyo Ceng. Sekarang biar kubunuh dulu
bocah ini, kemudian baru kubereskan budak perempuan
itu.
Begitulah segera Lok Khik-si bersikap takut-takut
sambil mundur, tapi mendadak ia menekan pesawat
tongkatnya yang bercabang bagai tanduk menjangan itu.
Sebatang anak panah berbisa yang terpasang di dalam
tongkat tanduk menjangan itu lantas menyambar keluar.
Namun Li Kong-he sempat menyampuk dengan
goloknya, "plok", anak panah kecil itu terpukul jatuh.
"Bangsat, berani kau menyerang secara pengecut? Lihat
golokku!" bentak Kong-he sambil menubruk maju terus
membacok.
Lok Khik-si mengira dengan serangan mendadak tadi
akan dapat membinakan Li Kong-he, tak terduga
kepandaian Li Kong-he sudah lain daripada dulu lagi.
Keruan Lok Khik-si terperanjat dan lekas-lekas

menangkis. Dahulu ia pernah kecundang di bawah golok


pusaka ayah Kong-he, kini wajah Kong-he yang mirip
ayahnya itu mengingatkan Lok Khik-si pada kejadian
masa lampau, keruan ia menjadi jeri.
Untung baginya, Tiok Ceng-hoa tidak ikut mengembut,
malahan Kong-he lantas berkata, "Enci Hoa, biarkan
dengan tanganku sendiri aku menuntut balas kepada
keparat ini. Sudah waktunya aku harus menyembelih
menjangan tanduk satu ini."
Ceng-hoa tertawa, sahutnya, "Baiklah, hendaklah kau
hati-hati!"
Sudah tentu niat Kong-he itu kebetulan bagi Lok Khiksi,
dia sudah dapat menilai dari gebrakan tadi bahwa
ilmu golok Li Kong-he memang sudah lain daripada dulu,
tapi masih belum selihai mendiang ayahnya. Khik-si
merasa pasti dirinya masih dapat melawannya, malahan
kalau bicara tentang pengalaman bertempur, dirinya
terang jauh lebih luas daripada pemuda itu. Dalam
seratus jurus boleh jadi akan dapat mencari kesempatan
untuk mengalahkannya, apalagi Tiok Ceng-hoa terang
takkan membantu Kong-he, pertempuran yang akan
berjalan lama ini tentu pula akan menarik perhatian Nyo
Ceng dan putranya untuk keluar mencari, hal ini berarti
datangnya bala bantuan baginya.
Begitulah maka Lok Khik-si telah sengaja main ulur
tempo dan ternyata membawa hasil dengan memuaskan.
Kong-he adalah pemuda laksana anak banteng yang
tidak takut kepada harimau, ia menyerang dengan hebat,
tapi selalu kena ditangkis oleh Lok Khik-si. Setelah lebih
50 jurus, mulai lemaslah tenaga Kong-he dan Lok Khik-si
dapatlah melayani dengan seenaknya, walaupun ada
kesempatan melancarkan serangan balasan, tapi Lok
Khik-si sengara berlenggang saja ia kuatir kalau Kong-he

terdesak dan Tiok Ceng-hoa akan terpaksa maju


mengeroyoknya, hal ini tentu akan membikin runyam
tujuannya
Tapi kecil-kecil Tiok Ceng-hoa cukup cerdik, diam-diam
ia dapat menaksir maksud tujuan Lok Khik-si, apalagi
diketahuinya kedua saudara angkat Lok Khik-si sudah
mati semua, darimana dia punya bal bantuan? Apalagi
Kong-he tadi sudah menyatakan akan menuntut balas
dengan tangan sendiri, ia kenal watak pemuda itu dan
tidak Ingin mengecewakannya, maka terpaksa ia tetap
menonton saja.
Ketika Kong-he sudah tak berdaya mengalahkan
musuh, tiba-tiba terdengar suara bentakan orang,
"Bagus, dasar ajalmu sudah sampai, maka kemana pun
kau lari juga sukar lolos dari jaring. Sekarang hendak lari
kemana lagi kau?"
Berbareng dengan terdengarnya suara itu, di atas
bukit sana telah muncul tiga orang. Seorang laki-laki
setengah umur dengan sepasang muda-mudi, laki-laki
setengah umur itu adalah An Peng, centing keluarga
Tiok, yaitu An-toasiok, hamba yang pernah mengawal
Tiok Ceng-hoa dan berebut ayam panggang dengan Kilian-
sam-siau dahulu itu. Pemuda dan pemudi yang
datang bersama dia adalah Lim To-kan dan Siangkoan
Wan.
Kiranya sakitnya Kang Hay-thian sudah mulai sembuh,
dia tidak memerlukan pelayanan kedua muridnya lagi.
Kebetulan waktu itu Tiok Siang-hu hendak bergerak di
daerah Sejiang dan Tiok Ceng-hoa juga ingin pulang
menemui ayahnya. Maka Kang Hay-thian lantas
menyuruh To-kan dan Kong-he bersama Siangkoan Wan
ikut Tiok Ceng-hoa ke Sejiang.

Setelah laskarnya menduduki Sejiang, Kong-he dan


To-kan telah memohon kepada Tiok Siang-hu agar
mereka diperbolehkan pergi ke Siau-kim-jwan untuk
mencari Ubun Hiong dan sekalian dapat membantu
pasukan pemberontak di daerah itu. Tiok Siang-hu
meluluskan permintaan anak-anak muda itu dan
menugaskan An Peng mengawal mereka.
Untuk menyelundup ke Siau-kim-jwan mereka pun
mengambil jalan melalui rimba raya itu. Hari itu Kong-he
dan Tiok Ceng-hoa sedang keluar mencari air, To-kan
dan Siangkoan Wan sengaja membiarkan kedua mudamudi
itu berada sendirian, maka mereka tidak ikut.
Mereka baru menyusul sesudah mendengar suara
petempuran yang ramai itu.
To-kan sendiri juga pernah dibikin susah oleh Lok
Khik-si, maka ia menjadi gusar dan berlari datang hendak
membantu Li Kong-he, serunya, "He-ko, marilah kita
bersama-sama menyembelih menjangan ini."
Tapi Ceng-hoa telah mencegahnya dan berkata
dengan tersenyum, "Jangan, engkohmu Kong-he ingin
membinasakan musuhnya dengan tangannya sendiri."
"Benar," sahut To-kan sambil memasukkan pedang ke
dalam sarungnya, "memang engkoh Kong-he harus
membinasakan menjangan ini dengan tangan sendiri,
dendamnya jauh lebih mendalam daripada aku."
Akan tetapi sesudah menyaksikan jalannya
pertempuran untuk sejenak, ia merasa Kong-he tiada
kesempatan dapat mengalahkan musuh.
Tiba-tiba terdengar An Peng yang berdiri di samping
sana berseru, "Lok-lotoa, makin tua makin tak genah
kau, masakah jurus kotor bagai 'anjing lapar menubruk
tahi' juga kau keluarkan!"

Habis lenyap suaranya, mendadak tongkat tanduk


menjangan Lok Khik-si menegak terus menikam ke
depan, jurus yang digunakan adalah 'harimau buas
menerkam mangsa'.
Kong-he melengak sambil menangkis serangan Lok
Khik-si itu, segera ia pun sadar bahwa ucapan An-toasiok
tadi sengaja ditujukan kepadanya. An Peng telah
mendahului menyebut jurus serangan yang akan
dilancarkan Lok Khik-si, jurus Beng-hou-bok-sip (harimau
buas menerkam mangsa) telah sengaja disebutnya Gokau-
jiang-say (anjing lapar menubruk tahi).
Keruan Lok Khik-si terkejut dan gusar pula, masakah
jurus serangannya yang lihai dengan nama yang bagus
itu diputar-balikkan menjadi nama yang busuk, lebih
celaka lagi karena seruan An Peng itu serangannya
menjadi gagal.
Segera ia putar tongkatnya yang bercabang itu terus
menyerang pula, tapi lagi-lagi An Peng mengejek, "Ha,
makin tak genah kau ini Lok-lotoa! Kau pakai tipu 'ular
busuk menyusup liang'? Aha, apakah kau ingin kabur?"
Kiranya jurus yang dikeluarkan Lok Khik-si kali ini
bernama Sin-liong-jut-hay (naga sakti keluar dari laut).
Tapi kini Kong-he sudah paham ucapan An Peng itu,
segera ia mendahului musuh dengan tabasan goloknya
dalam jurus Tay-peng-tian-ek (garuda sakti pentang
sayap), ia mendahului menyerang tempat luang di badan
lawan. Saat itu Lok Khik-si sedang mengangkat
tongkatnya hendak menjojoh ke depan, tahu-tahu golok
Li Kong-he sudah menyambar dari samping lebih dulu.
Untuk Khik-si sempat melompat mundur, kalau tidak,
sebelah bahunya pasti sudah terkurung.
Tiok Ceng-hoa sangat senang menyaksikan itu,
serunya, "An-toasiok, hebat benar kau, kalau pulang

nanti akan kuminta ayah menghadiahkan sebotol arak


bagus padamu."
An Peng menyengir saja dan tetap memperhatikan
pertempuran di tengah kalangan, tiba-tiba ia mendengar
sesuatu dan berkata, "Eh, seperti ada orang datang!"
Belum lenyap suaranya, terdengarlah kumandang
suara suitan dari jauh, segera Lok Khik-si juga telah
mendengar suara suitan itu, ia sangat girang dan segera
balas bersuit. Tapi sesudah didengar pula suara
pendatang itu, maka tertawalah dia, sebab dari tenaga
suitan itu ia dapat menduga siapa yang datang.
An Peng berkata dengan tertawa, "Haha, kukira
macam apa bala bantuanmu yang datang itu, tak
tahunya cuma begitu saja!"
"Eh, itu adalah suara Nyo Hoan," demikian Siangkoan
Wan juga berseru. "Eh, adik Kan, kebetulan kau dapat
menuntut balas padanya."
Kiranya Siangkoan Wan cukup kenal suara Nyo Hoan,
sebab sejak kecil mereka sering bergaul bersama.
To-kan bergirang juga, serunya, "Hah, memangnya
aku ingin mencari bocah keparat itu untuk membikin
perhitungan padanya. Aku pun ingin meniru engkoh
Kong-he, akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri,
kalian jangan berebut dengan aku."
Tahun yang lalu To-kan pernah ditawan oleh Nyo
Hoan dan dimasukkan ke dalam karung, tidak sedikit Tokan
telah merasakan pahit getirnya, kejadian itu
dirasakannya sebagai suatu hinaan besar. Maka tanpa
ayal lagi ia lantas memapak ke tempat datangnya suara,
Siangkoan Wan lantas menyusul di belakangnya.
Dalam pada itu Lok Khik-si sedang kelabakan dicecar
oleh serangan Li Kong-he, ia merasa girang dan kuatir
pula demi mendengar suara Nyo Hoan. Bergirang karena

bala bantuan sudah datang, kuatirnya jangan-jangan Nyo


Ceng tidak ikut datang, kalau Nyo Hoan sendirian saja
tidak banyak berguna baginya. Karena sedikit
terpencarnya pikiran itu ia semakin keripuhan
menghadapi serangan Kong-he yang tambah gencar.
Tiba-tiba An Peng membentak, "Lok-lotoa, apa-apaan
kau? Eh, 'keledai malas bergelindingan', apakah kau
hendak kabur?"
Benar juga, mendadak nampak Lok Khik-si mendakkan
tubuh terus melesat ke depan, rupanya ia ingin
menggabungkan diri dengan Nyo Hoan. Tapi karena
gerak-geriknya telah dibongkar lebih dulu oleh An Peng,
tanpa ayal lagi golok Li Kong-he lantas menabas, dengan
tepat pundak Lok Khik-si termakan. Sambil menahan rasa
sakit Lok Khik-si berusaha kabur sebisanya.
Namun malang baginya, secepat angin Kong-he sudah
melompat tiba, "Crat", tanpa ampun lagi kepalanya
terpenggal oleh golok pemuda itu.
Alangkah senangnya Kong-he sesudah mengusap
bersih darah di atas goloknya, katanya dengan tertawa,
"Kini marilah kita pergi melihat adik Kan membunuh
musuhnya!"
Sementara itu Nyo Hoan sedang memburu datang
ketika mendengar jawaban suitan Lok Khik-si tadi, tapi
belum sampai di tempatnya, sekonyong-konyong ia
dibentak orang, "Berhenti! Apakah masih kenal padaku?"
Tiba-tiba dilihatnya dua muda-mudi telah menghadang di
depannya, siapa lagi kalau bukan Lim To-kan dan
Siangkoan Wan.
Keruan Nyo Hoan kaget, tapi ia pura-pura tenang saja,
tegurnya dengan tertawa, "Eh, enci Wan, sudah lama
kita tak berjumpa, apakah baik-baik saja kau? Rasanya
hubungan baik kita dahulu takkan menyebabkan

renggangnya kita lantaran sedikit kesalah pahaman


tempo hari. Sekarang kau akan membantu bocah she
Lim ini atau aku?"
Muka Siangkoan Wan menjadi merah padam,
dampratnya, "Bangsat cilik, siapa sudi menjadi Encimu?
Kau ayah dan anak sama-sama berhati kejam dan ingin
mencelakai ayahku, hari ini aku harus membikin
perhitungan padamu."
"Hehe, memangnya aku tahu kau lebih suka kepada
bocah she Lim ini," ejek Nyo Hoan dengan menyeringai.
"Baiklah, bila sebentar bocah she Lim ini sudah kubunuh,
ingin kulihat bagaimana sikapmu nanti."
"Huh, jangan sombong lebih dulu, jangan-jangan kau
yang akan dimampuskan oleh adik Kan," ejek Siangkoan
Wan.
"Bagus, jadi kau takkan membantu pihak mana pun
juga?" Nyo Hoan menegas.
"Ya, biar kusaksikan kematianmu nanti," sahut
Siangkoan Wan.
Dalam pada itu To-kan sudah tidak sabar lagi. "Sret",
ia melolos pedangnya dan membentak, "Bangsat, tak
peduli apa yang hendak kau lakukan, pendek kata hari ini
ajalmu sudah tiba."
"Hahaha!" Nyo Hoan bergelak tertawa. "Hayo majulah
bocah she Lim. Kau sudah pernah keok di bawah
tanganku, memangnya aku sekarang takut padamu?"
"Sret", segera To-kan mendahului menyerang,
.dengan acuh tak acuh Nyo Hoan menangkis. Tapi ia
menjadi kaget ketika kedua senjata beradu, dirasakannya
kekuatan Lim To-kan sekarang sudah lain daripada dulu
lagi, namun demikian ia percaya dirinya masih dapat
mengalahkan seterunya itu. Segera tongkatnya berputar,
ia keluarkan ilmu Tiam-hiat dengan tongkat ajaran

ayahnya yang tiada bandingannya itu. Sekali jojoh,


sekaligus mengarah tiga tempat Hiat-to yang mematikan.
Ia taksir kepandaian To-kan kira-kira sembabat dengan
dirinya, maka ia yakin totokannya ini pasti dapat
merobohkan lawan.
Tak terduga Lim telah menggeser ke samping,
tungkak kakinya berputar, berbareng terdengarlah suara
"trang-trang-trang" tiga kali, secepat kilat tongkat
membentur pedang tiga kali. Totokan Nyo Hoan itu telah
kena dipatahkan oleh To-kan.
Tongkat Nyo Hoan itu sangat keras dan tidak
terkutung oleh pedang lawan, tapi yang membuatnya
heran adalah karena ilmu totokan kena dipatahkan oleh
To-kan.
Sudah tentu ia sangat penasaran, bentaknya, "Anak
jadah! Ini terima pula seranganku!" Berbareng
tongkatnya berputar, seketika To-kan terkurung di
tengah bayangan tongkatnya yang ketat. Jurus serangan
ini disebut Sip-hong-bay-hok (jebakan dari sepuluh
penjuru), berturut-turut sekaligus dapat menotok sepuluh
tempat Hiat-to yang berbahaya di badan lawan.
"Huh, jangankan cuma satu jurus, biar kuterima
sepuluh jurus seranganmu juga tidak menjadi soal,"
jengek To-kan. Berbareng itu tubuhnya berputar secepat
terbang, pedangnya menyampuk keliling, ternyata jurus
serangan Nyo Hoan itu benar-benar telah dipunahkan
pula.
Sungguh kejut Nyo Hoan tak terkatakan, ia heran
darimanakah Lim To-kan mempelajari ilmu pedang yang
seakan khusus digunakan untuk memunahkan ilmu
totokan tongkat keluarga Nyo itu.

Dalam hal ini Nyo Hoan memang tidak tahu bahwa


ilmu pedang aneh itu memang sengaja diciptakan oleh
Kang Hay-thian untuk mengalahkan Nyo Ceng.
Tiga tahun yang lalu waktu Kang Hay-thian malammalam
menjadi tamu Siangkoan Thay, sesudah siangnya
bertempur melawan Nyo Ceng, ketika itu Siangkoan Wan
telah menagih janji karena dahulu Kang Hay-thian
pernah menyanggupi akan memberikan sesuatu tanda
mata padanya, maka tanda mata yang diminta Siangkoan
Wan itu adalah semacam ilmu silat yang dapat
mengalahkan ilmu silat keluarga Nyo itu.
Sebagai maha guru ilmu silat, asal pernah bergebrak
dengan lawan, segera Kang Hay-thian dapat menyelami
dimana letak keunggulan dan kelemahan musuh. Maka
kepada Siangkoan Wan ia lantas mengajarkan semacam
ilmu pedang yang dapat mengalahkan ilmu tongkat
keluarga Nyo. Jadi Lim To-kan tidak mendapat pelajaran
dari gurunya, melainkan dari Siangkoan Wan, malahan
ilmu pedang ini baru beberapa hari yang lalu selesai
dipelajarinya dan kebetulan hari ini sudah dapat
digunakan menghadapi Nyo Hoan.
Dengan sendirinya Nyo l-loan mati kutu, karena setiap
jurus serangannya selalu kena dipatahkan, bahkan
kemudian ia berbalik terdesak dan tidak mampu
menyerang lagi.
Dalam pada itu An Peng, liok Ceng-hoa dan Li Kong-he
bertiga juga sudah menyusul tiba dan ikut menonton di
samping. Sambil bertepuk tangan Kong-he berseni
memuji, "Bagus, adik Kan! Tambah tenaga, mampuskan
dia!"
Baru lenyap suaranya, "cret", dimana sinar pedang
berkelebat, muncratlah tetesan darah. Ternyata lengan
Nyo Hoan telah terluka, tongkatnya jatuh ke tanah.

"Terimalah kematianmu!" bentak lokan, menyusul ia


hendak menubruk maju pula untuk menamatkan jiwa
Nyo Hoan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan seorang
dengan suara menggeledek, "Siapa berani melukai
anakku?"
Kiranya Nyo Ceng dan Yap Leng hong yang telah
datang.
Keruan Siangkoan Wan, Kong he dan Tiok Ceng-hoa
bertiga terkejut, serempak mereka memapak maju. Akan
tetapi sekali tongkatnya bergerak, sekaligus Nyo Ceng
telah menyampuk pergi golok Li Kong-he dan pedang
Lim To-kan serta masih terus menerjang maju. Perlahan
ia mendorong Nyo Hoan ke samping dan berseru, "Yapkongcu,
harap kau bubuhi obat pada lukanya!"
"Ayah, bunuhlah kedua anak keparat itu untuk
membalaskan sakit hatiku," teriak Nyo Hoan.
Dalam pada itu Nyo Ceng telah mengamuk,
tongkatnya dia pakai sebagai pentung terus
mengemplang ke atas kepala Lim To-kan. Gagang
tongkatnya berbareng ditekuk ke samping dan bergetar,
sekaligus ia menotok beberapa Hiat-to mematikan di
tubuh Siangkoan Wan, Tiok Ceng-hoa dan Li Kong-he.
Sesudah benturan senjata tadi, diam-diam Nyo Ceng
merasa heran mengapa dengan kepandaian Lim To-kan
itu mampu melukai putranya. Karena ingin melampiaskan
dendam anaknya, maka ia telah menyerangnya secara
keji tanpa mempedulikan lawannya itu hanya seorang
anak muda yang masih hijau. Hanya terhadap Ceng-hoa
dan Siangkoan Wan ia rada sungkan, maka dia hanya
bermaksud menotok Hiat-to mereka saja.
Akan tetapi ketika Siangkoan Wan dan Lim To-kan
mengeluarkan ilmu pedang mereka dan dengan mudah

telah mematahkan totokan tongkatnya, barulah Nyo


Ceng sadar pasti Kang Hay-thian yang telah mengajar
anak-anak muda itu, makanya Nyo Hoan kena dilukai
oleh Lim To-kan.
Namun Nyo Ceng sudah tentu tak bisa dipersamakan
dengan Nyo Hoan, To-kan dapat melukai Nyo Hoan, tapi
dengan bergabung dengan Siangkoan Wan toh mereka
sukar melawan Nyo Ceng.
Tiok Ceng-hoa dan Li Kong-he juga tidak tinggal diam,
serentak mereka pun mengerubut maju. Dengan jurus
Giok-li-tau-so (gadis ayu melempar tali) segera Ceng-hoa
menusuk lambung orang, sedangkan Kong-he menabas
lengan musuh dengan ganas.
Kepandaian Tiok Ceng-hoa dan Li Kong-he sama-sama
mempunyai keunggulan masing-masing. Yang satu
adalah putra Tiok Siang-hu yang terhitung tokoh nomor
dua di dunia persilatan pada masa ini, yang lain adalah
murid tokoh nomor satu. Apalagi selama setahun ini
kemajuan Kong-he amat pesat, gerakan goloknya
membawa tenaga yang dahsyat dan tidak boleh
dipandang enteng.
Nyo Ceng menjadi gusar karena keroyokan empat
anak muda itu, ia pegang bagian tengah tongkatnya,
ujung tongkat menyampuk pergi kedua pedang
Siangkoan Wan dan Lim To-kan, pangkal tongkat kena
membentur pula golok Li Kong-he, berbareng ia
menggeser ke samping sehingga serangan Tiok Cenghoa
juga mengenai tempat kosong. Tapi karena satu
harus melawan empat, terpaksa ia tidak dapat
melancarkan serangan ganas.
Namun apapun juga keempat anak muda itu masih
selisih jauh dengan kekuatan Nyo Ceng. Lama kelamaan
bukan mustahil mereka akan dijatuhkan satu per satu.

Melihat ayahnya ada tanda-tanda akan menang, Nyo


Hoan sangat girang, segera ia berteriak-teriak minta
ayahnya lekas mampuskan Li Kong-he dan Lim To-kan.
Tapi mendadak An Peng melompat maju sambil
bersuit panjang, lalu berseru, "Lekas Cukong, Nyosiansing
hendak membikin susah Siocia kita!"
Yang paling ditakuti Nyo Ceng di dunia ini pertama
adalah Kang Hay-thian, kedua adalah Tiok Siang-hu. Kini
mendadak mendengar teriakan An Peng, keruan ia
terperanjat. Tatkala Ituia sedang menggunakan jurus
Pat-hong-hong-ih (hujan angin delapan penjuru)
mestinya ia sekaligus dapat mengguncang pergi senjata
empat anak muda itu serta dapat melukai pula pundak
Lim To kan, tapi sedikit kagetnya itu telah membikin Lim
To-kan sempat menghindarkan serangannya.
Kalau Nyo Ceng terperanjat, maka ada seorang lagi
yang lebih ketakutan, orang itu tak lain tak bukan adalah
Yap Leng-hong ia cukup tahu betapa lihainya Tiok Sianghu
yang diberi gelar sebagai 'gembong iblis' di dunia
persilatan. Kalau dia kena ditangkap gurunya yaitu Kang
Hay-thian, paling-paling dia akan dihukum mati, tapi
kalau sampai ditawan Tiok Siang-hu, maka sukar
dibayangkan entah siksaan apa yang akan dia rasakan.
Maka tidak heran ia sangat takut demi mendengar Tiok
Siang-hu juga sudah datang. Segera timbul pikiran akan
melarikan diri, tanpa pikir lagi ia dorong Nyo Hoan yang
sedang diberi obat itu, tanpa menghiraukan mati-hidup
kawannya lagi ia terus lari terbirit-birit.
Karena tidak tersangka-sangka, Nyo Hoan terdorong
jatuh ia menjerit kesakitan dan hampir-hampir kelengar.
Keruan Nyo Ceng sangat gusar dan memaki kalangkabut.
Tadi ia terkejut dan menyangka Tiok Siang-hu
benar-benar ikut datang, tapi segera terpikir olehnya

bahwa Tiok Siang-hu adalah pemimpin kaum


pemberontak di Sejiang dan tidak mungkin meninggalkan
pangkalannya yang telah didudukinya itu.
Benar juga, sampai sekian lamanya ternyata belum
nampak munculnya Tiong Siang-hu. Dengan gusar Nyo
Ceng lantas memaki "Budak kurangajar! Kau berani
menggertak aku dengan nama majikanmu! Biarpun
majikanmu datang juga aku tidak takut!"
Habis berkata segera ia putar tongkatnya lebih
kencang, di tengah sambaran tongkatnya ia selingi
dengan Kim-na jin hoat, ilmu menangkap yang lihai, ia
bermaksud menawan hidup-hidup Tiok Ceng hoa.
Tiba-tiba An Peng tertawa, serunya, "Nyo-siansing,
jika kau benar-benar hendak membikin susah Siocia
kami, terpaksa hamba juga akan berlaku kurang adat!"
Segera ia pun melompat maju.
"Kau mau apa? Berani kau bertempur melawanku?"
bentak Nyo Ceng gusar.
"Tidak," sahut An Peng, "Hamba cuma mau
menangkap tuan muda saja agar nanti dapat kutukarkan
bila engkau juga menawan Siocia kami."
Nyo Ceng terkesiap dan gusar, ia pikir jangan-jangan
budak ini benar-benar melakukan seperti apa yang
dikatakannya. Segera ia membentak, "Kurangajar! Kau
berani?" Berbareng ia lantas melompat mundur dengan
cepat terus memondong sang putra.
Sebenarnya An Peng tahu sukar baginya untuk
menawan Nyo Hoan, ucapannya tadi hanya gertak
sambal belaka untuk memaksa Nyo Ceng harus
melindungi putranya lebih dulu, dengan demikian bahaya
yang mengancam Tiok Ceng-hoa dan lain-lain juga dapat
dihindarkan.

Kemudian An Peng berkata pula sambil memberi


hormat, "Maaf Nyo-siansing, untuk membela majikan
sendiri, terpaksa hamba bersikap kasar padamu." Segera
ia mengeluarkan senjatanya, sepasang Hou-jiu-kau
(gaetan) dan bersama-sama Kong-he dan lain-lain
mengerubut Nyo Ceng.
Kepandaian An Peng lebih tangguh daripada keempat
anak muda itu, maka keadaan pertempuran menjadi
berubah seketika sesudah dia ikut masuk kalangan,
apalagi sekarang Nyo Ceng harus melindungi
keselamatan Nyo Hoan. Melihat gelagat tidak
menguntungkan, sekali Nyo Ceng ayun tongkatnya dan
mendesak mundur para pengeroyoknya, menyusul
dengan cepat sekali ia lantas angkat langkah seribu
sambil memondong putranya.
Meski sudah banyak mengeluarkan tenaga, tapi
Ginkangnya masih tetap jauh lebih tinggi daripada lawanlawannya,
hanya sekejap saja ia sudah menghilang di
tengah rimba yang amat rimbun itu.
Melihat Nyo Ceng sukar dikejar lagi, maka Kong-he
dan lain-lain juga tidak mengudak lebih jauh. Mereka
tertawa senang atas kemenangan besar itu.
Setelah berlari masuk ke dalam rimba, makin dipikir
makin gusarlah Nyo Ceng, katanya dengan gemas,
"Keparat Yap Leng-hong itu benar-benar kurangajar, bila
ketemu lagi tentu akan kuhajar dia."
Kemudian mereka mengejar terus ke arah barat, akan
tetapi tidaklah gampang hendak mencari seorang di
tengah rimba raya seluas itu. Sampai maghrib masih
belum ditemukan jejak Yap Leng liong sedangkan Nyo
Hoan sudah sangat kelaparan. Untunglah Nyo Ceng
berhasil memburu seekor rusa, mereka lantas
menyalakan api unggun untuk memanggang daging rusa.

Di tengah tiupan angin malam yang sayup-sayup, tiba


tiba terdengar suara kresekan orang berjalan. Nyo Ceng
terkejut dan lekas menyiapkan tongkatnya sambil
membentak, "Siapa?"
Baru selesai ucapannya, orang itu sudah muncul. Seru
orang itu sambil bergelak tertawa, "Aha, kukira siapa, tak
tahunya adalah Nyo toako, sungguh sangat kebetulan.
Aku datang ke sini karena tertarik oleh bau daging
panggangmu!"
Nyo Ceng terkejut dan girang, sahutnya, "He, Auyangtoako,
mengapa engkau juga sampai di sini? Aku malah
akan mengungsi ke tempatmu sana."
Kiranya orang itu bukan lain daripada Auyang Pek-ho.
"Kau mau mengungsi apa?" tanya Pek-ho dengan
mata terbelalak.
"Ai, cukup panjang untuk diceritakan," sahut Nyo
Ceng. "Silakan duduk dulu, Auyang-toako."
Sesudah menyodorkan sepotong paha rusa panggang
kepada Auyang Pek-ho, lalu berceritalah Nyo Ceng
tentang kekalahan pasukan Yap To-hu serta
pengalamannya tadi.
Sudah tentu Auyang Pek-ho ikut terkesiap, katanya,
"Wah, celaka! Dengan kekalahan Yap-tayjin itu, Kui-tekpo
terang juga pasti akan runtuh."
"Bagaimana Kui-tek-po akan ikut runtuh?" tanya Nyo
Ceng.
"Kui Koh-ku telah membawa laskarnya dengan
maksud akan membantu Yap-tayjin menumpas
pemberontakan di Siau-kim-jwan, tapi beberapa hari
yang lalu menurut berita kilat yang diterimanya, katanya
kaum petani di wilayah kekuasaannya itu telah berontak
dan menduduki bentengnya, Kui Koh-ku telah
menggabungkan laskarnya ke dalam tentara kerajaan

dan dia sendiri mendapat pangkat Congpeng, ia pikir


sesudah berhasil membantu Yap-tayjin menyerbu Siaukim-
jwan baru akan menarik pasukannya untuk
menggempur pemberontakan di Kui-tek-po. Siapa duga
lebih dulu pasukan Yap-tayjin sudah hancur, padahal kini
pasukan Kui Koh-ku itu sedang menuju ke arah sini, jadi
perjalanannya ini sia-sia belaka, bahkan Kui-tek-po pasti
sudah direbut kembali lagi."
"Berapa kekuatan laskar Kui Koh-ku itu?" tanya Nyo
Ceng.
"Kira-kira sepuluh ribu orang."
Nyo Ceng menggeleng kepala, katanya, "Hanya
sepuluh ribu laskar Kui Koh-ku saja tidak cukup sekali
dimakan oleh pasukan pemberontak yang pengaruhnya
kini jauh lebih besar daripada pasukan kerajaan."
"Urusan sudah sejauh ini, apa mau dikata lagi," ujar
Auyang Pek-ho. "Paling perlu sekarang makan yang
kenyang dan tidur yang nyenyak malam ini, segala
urusan kita pikirkan besok."
Baru selesai ia bicara tiba-tiba terdengar pula suara
tindakan orang mendatangi.
Kiranya rombongan Li Kong-he dan Lim To-kan telah
melihat sinar api unggun, mereka mengira Yap Lenghong
yang bersembunyi di sini, maka diam-diam mereka
telah menyusur kemari. Tak terduga yang mereka
dapatkan adalah Nyo Ceng, bahkan An Peng lantas
mengenali pula Auyang Pek-ho, keruan ia terkejut.
Bagi anak-anak muda seperti Kong-he dan To-kan
sudah tentu tidak kenal apa artinya takut, segera To-kan
melolos senjata dan membentak, "Nyo Ceng kemana pun
kau lari tentu juga akan dibekuk. Lekas serahkan jiwamu
saja!"
"Hehe, besar amat mulut bocah-bocah ingusan itu,
apakah kau perlu bantuanku, Nyo-toako?" tanya Auyang
Pek-ho dengan tertawa.
Saat itu Nyo Ceng sudah kenyang makan, segera ia
angkat tongkatnya dan berkata, "Auyang-toako, silakan
kau menjaga putraku saja. Hanya bocah-bocah ingusan
begitu saja tidak cukup sekali kumakan."
"Huh, kau sudah keok di bawah tangan kami dan
sekarang masih berani bermulut besar?" ejek Kong-he.
Nyo Ceng menjadi murka, bentaknya, "Kurangajar,
apakah kau kira aku benar-benar kalah padamu? Ini, biar
kau kenal kelihaianku!" Berbareng tongkatnya berputar
dengan jurus Pat-hong-hong-ih" (hujan badai delapan
penjuru), bayangan tongkatnya bertebaran, sekaligus ia
menyerang berbagai Hiat-to di tubuh kelima orang
lawannya
Lekas Siangkoan Wan dan Lim To-kan mengeluarkan
Boat Hong kiam-hoat (ilmu pedang penghapus angin)
ajaran Kang Hay thian untuk melawan ilmu totokan
tongkat itu, sedangkan An Peng dan Tiok Ceng hoa juga
mengerubut maju. Mereka sudah pernah mengalahkan
Nyo Ceng, maka mereka menyangka kali inipun akan
dapat mengalahkan dia.
Mereka tidak tahu bahwa sekarang Nyo Ceng sudah
kenyang makan, tenaganya bertambah kuat, pula ada
Auyang Pek ho yang menjaga keselamatan Nyo Hoan,
keadaan yang berbeda ini sudah tentu sangat
menguntungkan Nyo Ceng.
Begitulah maka makin lama Kong-he dan kawankawan
merasa makin payah menghadapi daya tekanan
tongkat Nyo Ceng yang lihai itu. Selagi pertarungan
berlangsung dengan sengit, tiba-tiba ada suara orang

membentak, "Kalian berdua bangsat tua ini berani


menganiaya anak kecil, sungguh tidak tahu malu!"
Belum nampak orang yang bicara, suaranya sudah
berkumandang datang menggetar anak telinga. Keruan
Auyang Pek-ho terkejut, ia kenal suara itu bukan lain
adalah ketua Kay-pang, Tiong Tiang-thong yang disegani
itu.
Benar juga, baru lenyap suara tadi, segera tampak
berkclebalnya bayangan orang, tahu-tahu tiga orang
sudah muncul di depan mereka Demi melihat siapa-siapa
pendatang itu, sungguh sukma Auyang Pek ho hampir
terbang ke awang-awang meninggalkan raganya.
Kiranya pendatang-pendatang itu selain Tiong Tiangthong
masih ada pula Siangkoan Thay, adik ipar Nyo
Ceng. Dan yang paling membikin takut Auyang Pek-ho
itu adalah orang ketiga, yaitu jago nomor satu di dunia
persilatan, Kang Hay-thian adanya.
Yang paling girang adalah Li Kong-he dan Lim To-kan,
berbareng mereka lantas memanggil, "Suhu, kedua
bangsat tua ini telah melabrak kami, harap Suhu
memberi hajaran setimpal kepada mereka."
"Kedua orang ini sudah pasti akan diajak membikin
perhitungan oleh Tiong-pangcu dan Siangkoan-cianpwe,
kita tidak perlu ikut turun tangan, kalian boleh mundur
saja."
Munculnya tiga tokoh besar itu juga sangat
mengejutkan Nyo Ceng, maka Kong-he dan lain-lain
dapat mengundurkan diri dengan leluasa.
"Engkau sudah sembuh Suhu? Kedatanganmu
sungguh sangat tepat waktunya," demikian Kong-he dan
To-kan bertanya kepada Kang Hay-thian sesudah
mundur dari kalangan pertempuran.

"Ya, beberapa hari sesudah kalian berangkat,


kebetulan Tiong-pangcu dan Siangkoan-cianpwe datang
menyambangi aku, mereka bermaksud ke Sejiang,
karena sakitku sudah baik maka aku lantas datang
bersama mereka," tutur Hay-thian.
Kong-he dan kawan-kawannya pernah tinggal dua hari
di Sejiang, meski Kang Hay-thian bertiga lebih lambat
berangkatnya, tapi dengan Ginkang mereka yang lebih
tinggi dapatlah mereka menyusulnya. Mereka buru-buru
menyusul karena diberitahu oleh Tiok Siang-hu.
Dalam pada itu Nyo Ceng rada lega karena Kang Haythian
menyatakan takkan ikut bertempur. Ia menaksir
kepandaiannya kira-kira sembabat dengan Siangkoan
Thay, seumpama tak bisa menang juga pasti takkan
kalah atau terbunuh. Dengan sikap lesu yang dibuat-buat
segera ia menegur Siangkoan Thay, "Siangkoan-lote
betapapun kita adalah sesama saudara ipar, andaikan
aku berbuat sesuatu kesalahan padamu hendaklah dapat
memberi kelonggaran mengingat hubungan famili kita."
Siangkoan Thay melengak, sama sekali tak terduga
olehnya bahwa seorang gembong persilatan seperti Nyo
Ceng yang terkenal tinggi hati mengucapkan kata-kata
demikian, sahutnya segera, "Apa maksudmu? Apakah
kau ingin minta ampun padaku? Jangan kau harap aku
sudi mengampuni kau."
"Tidak," kata Nyo Ceng. "Aku telah berbuat salah, jika
kau ingin membunuh aku adalah pantas. Serendahrendahnya
diriku juga tak nanti minta ampun padamu."
"Habis apa maksudmu tentang memberi kelonggaran
segala?" tanya Siangkoan Thay.
"Yang kumaksudkan adalah putraku Nyo Hoan yang
masih hijau ini, dia juga pernah berbuat salah kepada
putrimu dan Lim-kongcu, tapi dosanya biar kupikul

semua, diharap kau suka mengingat hubungan


kekeluargaan kita dan sudilah memberi jalan hidup
padanya. Padahal dia pun sudah dilukai oleh Limkongcu."
Mendengar ucapan Nyo Ceng yang memilukan itu,
Siangkoan Thay menjadi tidak sampai hati, ia coba
memandang putrinya.
Biarpun Siangkoan Wan membenci Nyo Hoan, tapi
mereka adalah teman bermain sejak kecil, sekalipun
tingkah laku pemuda itu tidak pantas, tapi dosanya tidak
tergolong tak terampunkan, maka ia lantas bertanya
kepada To-kan, "Bagaimana pendapatku adik Kan?"
"Dia memang sudah kulukai, baiklah hari ini biar
kuampuni jiwanya, bila kelak kepergok lagi, tentu tidak
ampun lagi," sahut To-kan tanpa pikir.
Maka Siangkoan Thay lantas membentak, "Baik, nah
Nyo Hoan, lekas kau pergi. Aku tidak takut kau akan
membalas dendam bagi ayahmu."
Namun Nyo Hoan masih pura-pura enggan dan
merasa berat, sudah tentu yang paling kenal watak Nyo
Hoan adalah ayahnya sendiri. Segera Nyo Ceng berkata,
"Anak bodoh, selama gunung tetap menghijau masakah
takut kehabisan kayu bakar? Boleh kau pergi saja, anak
Hoan. Pamanmu sudah menyatakan akan menempur aku
satu lawan satu, siapa tahu kalau raja akhirat masih
belum menerima kedatanganku. Nah, Siangkoan-lote
marilah maju!"
Sesudah Nyo Hoan melangkah pergi, Siangkoan Thay
lantas tampil ke muka dan mulai perang tanding dengan
Nyo Ceng.
Tiba-tiba Tiong Tiang-thong bergelak tertawa, ia
mendekati Auyang Pek-ho dan berkata, "Selamanya
pengemis tua ini tidak mau kesepian, bila melihat orang
lain berkelahi, tanganku menjadi ikut gatal. Nah, Auyangsiancu,
sudah waktunya kita harus membikin perhitungan
juga."
"Cepat," sahut Auyang Pek-ho. "Kau telah melukai
istriku memangnya aku ingin membikin perhitungan
dengan kau. Katanya kau menghina aku punya Lui-sinciang,
maka sekarang ingin kulihat betapa lihainya Kungoan-
it-khi-kangmu!"
Begitulah mereka berdua lantas menyingkir ke sana
dan mencari suatu tempat pertempuran yang lain.
Dalam pada itu Nyo Ceng sedang menempur
Siangkoan Thay dengan siasat ulur waktu sehingga sukar
menentukan menang dan kalah. Hal ini membikin anakanak
muda yang menonton di samping merasa tidak
sabar.
"Enci Wan, marilah kita coba-coba main beberapa
jurus," tiba-tiba To-kan mengajak. "Aku akan menjajal
kau dengan sejurus ilmu tongkat yang baru kupelajari."
Habis itu ia lantas menjemput sebatang ranting kayu
dan pasang kuda-kuda.
"Ah, jangan membual, aku justru akan mengalahkan
kau dengan ilmu pedang keluarga kami," sahut
Siangkoan Wan yang cukup cerdik dan paham maksud
tujuan To-kan.
"Awas serangan!" segera To-kan mulai melancarkan
serangan, yang dia gunakan adalah ilmu permainan
tongkat kemahiran Nyo Ceng. Sudah tentu permainannya
tidak sebaik Nyo Ceng atau Nyo Hoan, tapi sekali lihat
saja orang akan segera tahu bahwa yang dia gunakan
adalah ilmu menotok dengan tongkat dari keluarga Nyo
itu.
Dengan cepat Siangkoan Wan berputar sambil
pedangnya menyampuk pergi ranting kayu lawan,

menyusul ujung pedangnya sudah mengancam di depan


hidung To-kan, katanya dengan tertawa, "Coba,
bukankah ilmu tongkatmu sudah kupatahkan?"
"Belum tentu, coba terima seranganku lagi!!" sahut
To-kan.
Dia sengaja melambatkan gerakannya agar Siangkoan
Thay dapat mengikuti dengan jelas.
Semula Nyo Ceng tidak menduga apa-apa, tapi ketika
sekilas ia menyaksikan permainan kedua anak muda itu,
seketika ia terkejut. Siangkoan Wan adalah putri
Siangkoan Thay, sudah tentu ia tidak dapat menuduh
anaknya memberi petunjuk kepada ayahnya. Diam-diam
Nyo Ceng mengeluh, tapi tak bisa berbuat apa-apa, yang
dia harapkan semoga Siangkoan Thay tidak mengetahui
maksud putrinya itu.
Memang benar, semula Siangkoan Thay tidak
memperhatikan, tapi diam-diam ia heran mengapa di
saat ayahnya sedang bertempur mati-matian dengan
musuh, anaknya begitu iseng bermain dengan Lim Tokan.
Waktu ia hendak memelototi putrinya dengan
mendongkol, tapi sekali pandang segera ia paham
duduknya perkara.
Sebagai seorang ahli ilmu silat, sudah tentu Siangkoan
Thay sangat mudah menerima setiap petunjuk yang
baru. Kalau Siangkuan Wan harus memakai pedang baru
dapat memainkan Boat-hong kiam hoat yaitu ilmu
pedang ciptaan Kang Hay-thian yang khusus untuk
mengalahkan ilmu tongkat Nyo Ceng, maka sesudah
memahami dimana letak intisari ilmu pedang itu, seketika
Siangkoan Thay dapat memainkan ilmu pedang itu
dengan membaurkannya ke dalam Ilmu pukulan dan ilmu
totokan darinya dan sama-sama dapat mengalahkan
permainan tongkat Nyo Ceng yang lihai itu.

"Nyo Ceng, apakah kau masih ingin melawan?" bentak


Siangkoan Thay mendadak, serangannya lantas berubah.
Akan tetapi demi melihat keadaan Nyo Ceng yang gelisah
itu, timbul juga rasa tidak tega dalam hatinya mengingat
hubungan kekeluargaan selama ini.
Tak tersangka sedikit welas-asih Siangkoan Thay itu
malah mampu membikin celaka dirinya sendiri. Sudah
tentu Nyo Ceng tidak tahu perasaan Siangkoan Thay,
pada waktu saudara iparnya itu sedikit lambat,
sekonyong-konyong ia melancarkan serangan maut,
secepat kilat tongkatnya menotok Hiat-to mematikan di
dada Siangkoan Thay.
Syukur waktu itu Nyo Ceng sudah lemah, meski
tongkatnya mengenai dada Siangkoan Thay, tapi tidak
kena Hiat-to dengan tepat, pula Siangkoan Thay sempat
mengempiskan dada dan menarik perut sehingga
beberapa bagian tenaga totokan lawan kena dipunahkan,
sebab itulah dia tidak terluka. Tapi ia menjadi gusar,
sambil menggertak ia balas menghantam.
Pukulan ini adalah kepandaian andalan Siangkoan
Thay, yaitu Tay-jiu-in yang sangat dahsyat. "Plak", tepat
mengenai sasaran, kontan Nyo Ceng muntah darah.
"Nyo Ceng sampai mati kau masih tidak mau insyaf?"
bentak Siangkoan Thay.
Karena Nyo Ceng sudah terluka parah kena
pukulannya, maka bentakan Siangkoan Thay ikut
bermaksud menginsyafkan Nyo Ceng, asal dia mau
mengaku salah dan minta ampun, tentu lukanya akan
dapat disembuhkan.
Tapi meski sudah terluka parah Nyo Ceng masih dapat
melarikan diri, tanpa memikirkan apa yang diucapkan
Siangkoan Thay itu segera ia melompat pergi hendak
kabur. Tempat dimana mereka bertempur itu berada di

atas bukit, sekali lompat ia pikir dapat


menggelundungkan diri ke bawah dengan Ginkangnya.
Tak terduga keadaannya sudah parah, kakinya kesrimpet
pula menginjak sepotong batu, ia terpeleset jatuh ke
bawah.
Waktu Siangkoan Thay memburu maju dan
memandang ke bawah lereng bukit itu, ternyata kepala
Nyo Ceng telah pecah membentur batu padas, jiwanya
sudah melayang.
Mengingat hubungan famili mereka, Siangkoan Thay
mengubur secara sederhana mayat Nyo Ceng, lalu
katanya kepada Kong-he dan lain-lain, "Marilah, sekarang
kita coba melihat pertarungan si pengemis tua, semoga
pertempuran itu belum selesai."
Setiba mereka di sebelah sana, terdengarlah suara
pertempuran yang sengit diseling dengan suara bentakan
orang yang ramai. Ternyata Tiong Tiang-thong dan
Auyang Pek-ho sudah bertarung sampai dua-tiga ratus
jurus, tapi kedua pihak masih belum nampak lelah,
benar-benar pertandingan yang seru dan sama kuat.
Tiong Tiang-thong tampak mendelik, jenggotnya
seakan menegak, dimana tangan dan kakinya menuju
selalu membawa sambaran angin yang keras. Dalam
jarak lingkar dua-tiga meter debu pasir bertebaran,
daun-daun pepohonan beberapa meter lebih jauh juga
berguncang dan rontok.
Tanpa terasa Siangkoan Thay bersorak memuji,
"Hebat benar Kun-goan-it-khi-kang Tiong-pangcu!"
Tapi Auyang Pek-ho juga bukan lawan empuk,
tampaknya dia punya tenaga pukulan kalah kuat
daripada Tiong Tiang-thong, tapi dia mempunyai
keistimewaan sendiri. Setiap kali ia hendak menyerang

selalu didahului dengan menggertak, angin pukulan yang


menyambar rasanya panas bagai api.
Kong-he, To-kan, Siangkoan Wan dan Tiok Ceng-hoa
tidak berani terlalu mendekat karena tidak tahan hawa
panas itu. Diam-diam To-kan dan Kong-he merasa
gelisah, mereka coba tanya Kang Hay-thian, "Suhu,
pertarungan seru ini entah baru akan berakhir kapan,
apakah kita tidak perlu pergi mencari jahanam Yap Lenghong
itu?"
"Aku sendiri tidak gelisah, mengapa kalian yang
gelisah?" ujar Hay-thian dengan tertawa, "Biarpun
sampai besok, jika ada bantuan Siangkoan-cianpwe dan
Tiong-pangcu masakah kita kuatir tak bisa
membekuknya?"
Mendengar jawaban sang guru juga meyakinkan,
Kong-he dan To kan tidak berani bicara lagi.
Sesungguhnya mereka sangat ingin lekas menangkap
pengkhianat Yap Leng-hong itu.
Dalam pada itu Yap Leng-hong sendiri sama sekali
tidak tahu bahwa gurunya juga telah datang, malahan
dia sedang mimpi muluk muluk.
Sesudah kabur meninggalkan Nyo Ceng dan Nyo
Hoan, diam diam Leng-hong bersyukur dan bersedih. Dia
bersyukur karena lelah bebas dari segala tekanan, tapi
sekarang seorang diri dia harus berkelana di tengah
rimba raya yang sunyi, hal inilah yang membuatnya
cemas.
Sesudah semalam di tengah rimba itu, untung tiada
memergoki seorang pun. Besok petangnya ia menaksir
arah perjalanan itu mungkin sudah tepat dan sehari lagi
tentu akan dapat keluar dari hutan itu.
Ia tidak tahu bahwa arah yang ditempuh justru
terbalik, sesudah mengitar suatu lingkaran yang jauh,

tempatnya berada sekarang justru hanya belasan li saja


dari tempat Kang Hay-thian.
Sudah tentu timbul pula lamunannya yang mulukmuluk
bilamana dia sudah keluar dari rimba maut itu, ia
tepuk-tepuk kepala Leng Thian-lok yang masih berada di
dalam rangselnya itu, dengan bukti itu tentu tidaklah
kecil jasanya. Dengan kepandaian dan bakatnya, kelak
tidak sukar untuk memperoleh pangkat yang lebih tinggi.
Bilamana kedudukan sudah didapat, di tengah kawalan
pasukan yang ketat masakah takut lagi kepada musuhmusuhnya
yang akan menuntut balas padanya? Bahkan
bila dirinya sudah berkuasa, maka musuh pertama yang
akan dibasminya justru adalah Yap Boh-hoa.
Melamun sampai bagian-bagian yang menyenangkan,
tanpa terasa Leng-hong mengayun sebelah telapak
tangannya, "krak", sebatang dahan pohon di sebelah
telah kena ditabas kutung olehnya, seakan kepala Yap
Boh-hoa yang telah dipenggal olehnya. Tanpa terasa ia
tertawa terbahak-bahak pula.
Sungguh mimpi pun Leng-hong tidak menyangka
bahwa saat itu Yap Boh-hoa juga berada di tengah rimba
itu, bahkan telah mendengar suara tertawanya.
Sesudah Yap Boh-hoa menghancurkan tentara
kerajaan dengan siasat gerak cepat, segera bersama
Kheng Siu-hong, Ubun Hiong dan Kang Hiau-hu
meneruskan pengejaran ke arah barat. Yang hendak
mereka cari adalah Yap Leng-hong dan ayahnya.
Menurut laporan yang diterima, katanya Yap To-hu
hanya membawa sisa anak buah ratusan orang dan lari
ke dalam rimba di sebelah barat, sedangkan jejak Yap
Leng-hong menurut laporan bawahan Siau Ci-wan juga
dapat ditaksir berada di dalam rimba itu. Cuma Siau CiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
wan yang meninggalkan pasukannya dan mengejar
seorang diri masih belum diperoleh beritanya.
Yap Boh-hoa telah minta Ubun Hiong mewakilkan
pimpinan pasukannya, lalu bersama Kheng Siu-hong
mereka berdua meneruskan pengejaran ke rimba yang
lebat itu.
Sudah beberapa tahun Boh-hoa berkenalan dengan
Kheng Siu-hong dan telah banyak mengalami suka-duka,
setiap kali mereka selalu berpisah pula dalam keadaan
tergesa-gesa dan tidak sempat bicara secara mendalam.
Kali ini mereka dalam perjalanan bersama barulah dapat
berkumpul dan saling mengutarakan isi hati masingmasing.
Boh-hoa telah menceritakan asal-usul dan
pengalamannya sendiri kepada Kheng Siu-hong,
terutama tentang maksud keji Yap Leng-hong yang
memalsukan dia itu telah dituturkan dengan sangat jelas.
Tentang hal itu ada sebagian sudah didengar Siu-hong
dan sebagian lain baru diketahui dari cerita Yap Boh-hoa
sekarang. Ia menghela napas dan berkata, "Kematian
ayahku juga akibat perbuatan keparat itu bersama
ayahnya, jadi mereka ayah dan anak justru adalah
musuh kita bersama."
"Ya, dan sudah tiba saatnya kita menuntut balas,
mengapa kau menghela napas malah?"
"Aku menghela napas karena memikirkan nasibku
sendiri," sahut Siu-hong. "Seperti juga ayah Yap Lenghong,
ayahku juga pernah menjabat Congpeng di kota
Ili, bahkan juga pernah menggempur pasukan
pergerakan bangsa Kazak. Engkau sangat baik padaku,
ini kuketahui, cuma sahabat-sahabatmu mungkin tidak
mau menganggap aku sebagai kawan."

"Hahaha, kukira soal apa yang membuat kau risau,


kiranya adalah urusan ini," kata Boh-hoa sambil tertawa.
"Apakah hal ini tidak pantas dirisaukan?"
"Kukira keadaanmu ada perbedaannya dengan Yap
Leng-hong," kata Boh-hoa dengan sungguh-sungguh.
"Ayahmu dan ayah Yap Leng-hong adalah pembesar
kerajaan, sedikit banyak tangannya juga berlepotan
darah pasukan pergerakan. Tapi kekejaman Yap To-hu
dan dosanya jauh lebih besar daripada ayahmu,
sedangkan Yap Leng-hong adalah sama jahatnya dengan
ayahnya, sebaliknya kau adalah pemimpin wanita
pasukan pemberontak, jalan yang kau tempuh sudah
terang berlainan dengan ayahmu. Asal usul seseorang
tidak dapat ditentukan oleh orang itu sendiri, tapi
sesudah kehidupannya dan perjuangannya yang
ditentukan olehnya jadi jelas kau berbeda daripada Yap
Leng-hong, mana bisa orang mempersamakan kau
dengan dia? Seumpama sementara ini ada salah paham
juga akhirnya akan dapat dibikin terang. Maka dari itu
jangan kau kuatir, aku jamin kawan-kawanku pasti akan
menganggap kau sebagai kawan sendiri."
"Ya, tapi aku kuatir orang lain akan memandang aku
dengan sorot mata yang lain," ujar Siu-hong.
"Tidak, orang yang bijaksana tentu akan menganggap
sahabat padamu," kata Boh-hoa. "Coba lihat, apakah aku
memandang kau dengan sorot mata yang aneh?"
Sudah tentu sinar mata Yap Boh-hoa itu adalah sinar
mata yang "menyala", sinar mata yang membuat anak
gadis kesemsem.
Wajah Siu-hong menjadi merah, tanpa terasa dua
pasang tangan saling menggenggam dengan erat, tidak
perlu dengan kata-kata lagi, segala rasa kasih mesra
kedua muda mudi itu sudah bicara dari sinar mata

masing-masing. Sesaat itu segala apa yang berada di


sekeliling mereka boleh dikata tiada terpikirkan lagi,
seakan di seluruh jagat raya ini hanya tinggal mereka
berdua saja.
Namun dunia ini sudah tentu tidak melulu tinggal
mereka berdua saja, betapapun besar kekuatan tinta
mereka juga tak bisa memisahkan dunia ini. Entah selang
berapa lama, mendadak Siu hong sadar dan terkejut, ia
meronta keluar dari pelukan Yap Boh hoa dan berkata,
"Coba dengarkan engkoh Hoa, di sebelah barat sana
seperti ada suara orang bertempur."
Kiranya suara yang didengar Siu-hong itu adalah suara
bentakan dari pertarungan Tiong Tiang-thong dan
Auyang Pek-ho yang sedang berlangsung dengan sengit
itu.
Waktu Boh-hoa mendengarkan dengan cermat,
katanya kemudian, "Ya, benar, seperti ada orang sedang
bertempur dengan amat dahsyat. Agaknya yang
bertempur itu adalah jago-jago kelas satu."
"Marilah kita melihatnya ke sana, boleh jadi kawan kita
yang telah memergoki Yap Leng-hong," ujar Siu-hong.
"Ssst, nanti dulu, di sebelah timur sana juga seperti
ada suara orang," kata Boh-hoa.
"Apa, betul? Aku tidak mendengar," sahut Siu-hong
sambil mendengarkan dengan menahan napas.
Kiranya yang didengar Yap Boh-hoa itu adalah suara
tertawa Yap Leng-hong sesudah dia melamun mulukmuluk,
lalu lupa daratan dan tertawa senang.
Jarak Yap Leng-hong ada beberapa li jauhnya di
sebelah timur sehingga suaranya tidak sekeras suara
pertempuran kedua jago kelas wahid di sebelah barat,
maka Siu-hong tidak mendengarnya. Tapi Yap Boh-hoa
yang Lwekangnya lebih tinggi telah dapat mendengar.

Suara tertawa yang berkumandang dari jauh itu


sayup-sayup dapat ditangkap oleh telinga Yap Boh-hoa,
cuma dia belum tahu bahwa suara itu adalah suara Yap
Leng-hong, cuma dari suara tertawa itu dapat dirasakan
nada yang dengki dan memuakkan. Terkesiap hati Bohhoa,
segera ia berkata, "Adik Hong, coba kita melihatnya,
aku ke timur dan kau periksa sebelah barat."
Sebelah barat adalah suara pertempuran sengit itu,
menurut perhitungan Boh-hoa, bila salah satu pihak
adalah Yap Leng-hong tentu pihak yang lain adalah
kawan sendiri, maka Siu-hong akan dapat memberi
bantuan dan mudah memperoleh kemenangan.
Saat itu pertarungan antara Tiong Tiang-thong dan
Auyang Pek-ho sudah berlangsung hampir ribuan jurus.
Lambat laun tenaga Auyang Pek-ho sudah berkurang, dia
mulai gelisah. Mendadak ia mengeluarkan serangan
berbahaya dengan maksud memperoleh kemenangan
dalam keadaan terdesak.
Sekonyong-konyong Tiong Tiang-thong membentak
keras-keras, tubuhnya mencelat tinggi ke atas, dalam
keadaan terapung di udara mendadak ia menghantam ke
bawah dengan gerakan Yau-cu-hoan-sin (burung merpati
menukik ke bawah).
Serangan Auyang Pek-ho ini adalah suatu tipu
serangan yang nekat, bila perlu biar gugur bersama
musuh. Kalau tidak kepepet, tidak sembarangan tipu
serangan ini dikeluarkan, ini merupakan serangan
terakhir Auyang Pek-ho, ia benar-benar telah
mengerahkan segenap kekuatannya pada hantaman
yang menentukan ini.
Tampaknya hantaman Auyang Pek-ho itu sudah
hampir mengen.n kepala sasarannya, barulah terdengar
Tiong Tiang-thong membentak, "Bagus!" Berberang

kedua telapak tangannya menegak dan mendorong ke


atas dengan sepenuh tenaga.
Tenaga pukulan dahsyat kedua pihak berbenturan
serta mengeluarkan suara keras. Di tengah jeritan anakanak
muda seperti Kong-he dan lain-lain tertampak
Auyang Pek-ho mencelat jatuh bagai layang-layang yang
putus benangnya.
Tiong Tiang-thong bergelak tertawa sambil mendekati
lawannya, tapi sebelum ia membikin tamat lelakon
musuh, tiba-tiba terdengar seruan seorang gadis, "Tahan
dulu, Tiong-pangcu!"
Kiranya pada saat itu juga Kheng Siu-hong keburu
datang. "Apakah kau anak perempuan ini hendak
memintakan ampun bagi suami gurumu?" tanya Tiong
Tiang-thong.
"Antara yang benar dan yang jahat tidak boleh hidup
bersama, mana aku berani merintangi Tiong-pangcu,"
sahut Siu-hong. "Cuma dia sudah cacad untuk selamanya
dan tak bisa berbuat kejahatan pula, maka aku ingin
memohon Tiong-pangcu sudi mengingat diriku dan
mengampuni jiwanya, anggaplah aku telah membayar
hutang budi perguruan padanya."
Menurut hukum Bu-lim (dunia persilatan), guru adalah
maha terhormat. Biarpun Siu-hong telah paham tentang
perbedaan antara yang jahat dan yang baik, tapi
pengaruh tradisi kuno itu betapapun masih melekat pada
sanubarinya sehingga dia memintakan ampun bagi bapak
gurunya itu. Cuma ia pun menegaskan bahwa
permintaan ampun itu harus dianggap sebagai balas budi
kepada perguruannya dan untuk selanjutnya ia pun
bebas dari segala ikatan dengan pihak perguruan,
dengan demikian hatinya dapat pula merasa tenteram.

Maka Tiong Tiang-thong telah tertawa, katanya, "Coba


dengarkan Auyang Pek-ho, kau merasa malu atau tidak?
Sungguh tidak nyana bahwa durjana macam kau
ternyata mempunyai seorang murid sebaik ini. Kalian
suami-istri telah berdaya upaya hendak mencelakai dia,
tapi sekarang dia malah memintakan ampun bagimu."
Lalu ia berpaling kepada Siu-hong dan berkata, "Nona
Kheng, mungkin kau sendiri belum tahu apa maksud
tujuan kedatangan bapak gurumu ke sini ini? Dia justru
hendak memaksa kau menikah dengan putra kesayangan
Kui Koh-ku itu."
Siu-hong melengak dan tak bisa menjawab apa-apa.
Maka Tiang-thong telah melanjutkan, "Cuma,
mengingat kau, biarlah aku mengampuni jiwanya, ilmu
silatnya toh sudah punah."
Wajah Auyang Pek-ho tampak pucat, ia meronta
bangun, jengeknya, "Terima kasih padamu, nona Kheng.
Biarpun jiwaku ini tidak sampai melayang, selama hidup
ini terang tidak sanggup membalas budi padamu, tapi
pasti ada orang lain yang akan mewakilkan aku memberi
pembalasan padamu."
"Apa maksud ucapanmu ini Auyang Pek-ho? Kau mau
apa lagi?" bentak Tiang-thong.
"Aku bisa berbuat apa lagi?" jengek Auyang Pek-ho
sambil tersenyum getir. "Krak" mendadak ia betot putus
lengan kanan sendiri, lalu katanya pula, "Banyak terima
kasih karena Pangcu tidak jadi membunuh diriku. Aku
akan pergi sekarang!"
Tadi Auyang Pek-ho telah mengerahkan segenap
tenaganya untuk melancarkan pukulan penghabisan, tapi
Tiong Tiang-thong juga menyambut dengan pukulan
dahsyat. Dalam keadaan demikian, tenaga siapa lebih
kuat yang akan menang. Maka tenaga Lui-sin-ciang

Auyang Pek-ho yang berbisa itu telah ditolak kembali


oleh tenaga pukulan Tiong Tiang-thong yang lebih keras,
racun pukulannya itu telah terdesak masuk kembali ke
dalam tubuhnya sendiri, jadi gagal membikin celaka
orang sebaliknya senjata makan tuan. Jika dia tidak
mengurungi lengannya sendiri, bila racun naik dan
menyerang jantung, tentu jiwanya akan segera
melayang.
Setelah Auyang Pek-ho pergi, kemudian Tiong Tiangthong
berkata, "Nah, nona Kheng, biar kuperkenalkan
padamu. Yang ini adalah tokoh nomor satu yang
termashyur, Kang Hay-thian, Kang-tayhiap. Dan Kangheng,
nona Kheng ini bernama Siu-hong, adalah
pahlawan wanita angkatan muda yang jarang dicari
bandingannya."
Mendengar bahwa orang yang berada di depannya itu
adalah Kang Hay-thian, sungguh kejut dan girang Siuhong
tak terlukiskan. Cepat ia menyambung, " Tiong
pangcu, tak perlu lagi kau memuji diriku, aku justru ingin
minta bantuan kepada Kang-tayhiap."
"Membantu soal apa'' tanya kang Hay-thian dengan
tersenyum.
"Kang-tayhiap, keponakanmu juga berada di sini,"
sahut Siu-hong.
Hay-thian melenguh Keponakanku?" ia menegas. "Apa
kau maksud Yap Leng-hong juga berada disini?"
"Tidak, tidak, yang kumaksudkan adalah
keponakanmu yang tulen, bukan Yap Leng hong palsu itu
” sahut Siu-hong pula.
Kembali Hay-thian terkesiap tukasnya, "Keponakanku
yang tulen? Siapakah dia?"
"Dia adalah putra Yap Tiong sian, dahulu pernah
bernama Yap Leng-hong, tapi nama itu telah dipalsukan

oleh putra Yap To-hu yang rendah itu, maka sekarang


dia memakai nama Yap Boh-hoa. Murid Kang-tayhiap
yang bernama Ubun Hiong itu saat ini berada bersama
dia sebagai pemimpin pasukan pergerakan yang datang
membantu pasukan pemberontak di wilayah Sucwan sini.
Sebenarnya Kang Hay thian sudah tahu bahwa Yap
Leng-hong adalah keponakannya yang palsu cuma dia
pun belum mengetahui keponakan yang tulen itu berada
dlmana Sekarang Siu-hong dapat menceritakan asal-usul
sang keponakan secara jelas, tentu tidak perlu diragukan
lagi. Keruan ia sangat girang dan berseru, "Bagus sekali.
Harap nona Kheng membawa aku pergi menemuinya tapi
dalam hal ini adalah aku yang harus minta bantuanmu
dan bukan kau yang minta bantuanku."
"Tidak, tidak," sahul Siu-hong ”tetapi kaulah yang
membantu aku, tapi juga kau telah membantu
keponakanmu. Soalnya begini, tadi Boh-hoa telah
menemukan jejak seseoraqng di tengah rimba yang
diduga adalah Yap Leng-hong palsu, maka sekarang Bohhoa
telah mengejarnya ke arah timur sana."
-00dw00-
Kembali bercerita tentang Yap Leng-hong selagi
melamun masa depannya yang muluk-muluk itu, tiba-tiba
di tengah rimba yang sunyi itu ada suara orang tertawa
dingin. Mendadak satu orang melompat keluar dan
merintangi jalannya.
Waktu Leng-hong memandang ke depan, sungguh
kagetnya bukan kepalang, teriaknya tanpa terasa, "He,
kau lagi!"
"Ya, memang sangat kebetulan bukan? Dimana-mana
kita selalu bertemu!" sahut orang itu yang bukan lain
adalah Yap Boh-hoa. "Sudah dua kali kau hendak

membinasakan aku, untung aku selalu dapat lolos dari


cengkeraman maut. Kini rasanya adalah giliranku untuk
membinasakan kau."
Tetapi rasa takut Yap Leng-hong rada berkurang
sesudah mengetahui Yap Boh-hoa hanya sendirian saja.
Ia yakin dengan kepandaiannya sendiri yang sudah
banyak maju, kalau satu lawan satu saja mungkin takkan
kalah. Segera ia pun bergelak tertawa dan berkata,
"Benar, aku memang pernah dua kali hendak mencelakai
kau, tapi aku pun pernah satu kali menolong kau."
Yap Boh-hoa menjadi gusar, semprotnya, "Kau masih
berani mengungkit tentang pertolonganmu padaku? Huh,
kau menolong aku? Sesungguhnya kau justru ingin
menyusahkan aku? Bukankah kau telah memalsukan
diriku, telah menipu Kang-tayhiap dan banyak berdosa
serta berkhianat?"
"Ya sudah, jika kau tidak mau mengerti, terpaksa kita
bertempur mati-matian," sahut Leng-hong. Ia sengaja
memancing bicara Yap Boh-hoa, lalu mendadak menusuk
dengan pedangnya. Ia menggunakan Tui-hong-kiamhoat
ajaran Kang Hay-thian yang maha cepat.
Syukur sebelumnya Yap Boh-hoa sudah berjaga-jaga.
Kontan ia pun menghantam, pukulannya ini memaksa
musuh mau tak mau harus menolong diri sendiri lebih
dulu.
Leng-hong juga kenal lihainya pukulan Pan-yak-ciang,
bila kena terpukul pasti jiwanya akan melayang. Cepat ia
menarik kembali pedangnya dan menabas pergelangan
tangan lawan, akan tetapi pada saat yang hampir sama
Yap Boh-hoa telah melolos pedang juga, bentaknya,
"Bangsat, tinggal mampus saja masih berani menyerang
secara pengecut. Rasakan juga pedangku ini!"

"Aha, siapa yang akan mampus toh belum dapat


dipastikan jangan membual lebih dulu Hm, coba saksikan
ilmu pedangku yang lihai!" sahut Leng bong berbareng
pedangnya berputar dan mematahkan serangan Yap
Boh-hoa
Ilmu pedang ajaran Kang Hay thian sesungguhnya
sangat hebat kalau melulu bicara tentang ilmu pedang,
sebenarnya Yap leng hong masih kalah jauh daripada
Yap Boh hoa. Oleh karena itu ia telah mengeluarkan Tuihung
kiam hoat (ilmu pedang pemburu angin) yang
cepat itu untuk memunahkan serangan Yap Boh-hoa,
bahkan secepat kilat ia lantas balas menusuk
"Keparat, hari ini kalau bukan kau yang mampus
biarlah aku yang mati!" teriak Boh-ho.i dengan murka. Di
tengah berkelebat nya sinar pedang, ia selingi dengan
pukulan pukulan dahsyat. Dengan jurus Thay san-hapteng"
(gunung raksasa menindih kepala), segera ia
hantam kepala musuh.
Namun Leng-hong sempal menggeser ke samping
dengan Thian lo-poh-hoat, pada detik yang terakhir ia
dapat menghindarkan pukulan maut Yap Boh-hoa.
Sebenarnya lwekang Yap Leng-hong masih kalah jauh
daripada Yap Boh-hoa, tapi sejak tiong Tian melancarkan
beberapa urat nadinya yang penting, tenaganya telah
banyak lebih kuat sehingga selisih kedua orang sekarang
sudah lebih dekat, walaupun Yap Boh-hoa tetap lebih
unggul setingkat. Dengan demikian kedua orang samasama
mempunyai keunggulan masing masing,
kepandaian Yap Leng-hong adalah ajaran Kang Hay-thian
yang lihai, sebaliknya Yap Boh-hoa menang ulet,
sedangkan pukulan Tay-seng-pan-yak-ciang yang
dahsyat juga tidak berani dipandang enteng oleh Yap
Leng-hong.

Begitulah pertarungan sengit itu terus berlangsung,


seketika sukar menentukan kalah dan menang. Cuma
Yap Leng-hong cukup sadar bila pertempuran diteruskan
lebih lama, tentu dia sendiri yang akan kecundang. Bila
sampai kehabisan tenaga, tentu Thian-lo-poh-hoat akan
ikut lambat, keadaan demikian akan sukar pula
menghindarkan pukulan Pan-yak-ciang yang lihai.
Tengah kuatir dan ragu-ragu, tiba-tiba terdengar suara
deiapan kuda yang ramai. Waktu Leng-hong menoleh,
dilihatnya ada satu barisan tentara berkuda sedang naik
dari lereng bukit sana. Keadaan
Keadaan barisan itu tidak teratur, tapi dari panji
kebesaran yang berkibar itu dapat terbaca ada suatu
huruf "Yap" yang besar.
Sungguh girang Leng-hong tak terkatakan, cepat ia
berteriak, "Ayah, ayah! Tolong ayah! Aku berada di sini!"
"Hendak lari kemana?" bentak Yap Boh-hoa,
berbareng ia menghantam pula.
Tapi Leng-hong telah menggunakan langkah ajaib
Thian-lo-poh-hoat, secepat anak panah terlepas dari
busurnya ia meloncat ke atas terus melayang ke sana
beberapa meter jauhnya.
Ketika Leng-hong berlari ke arah ayahnya, saat itu
barisan Yap To-hu yang kira-kira ada tiga-empat ratus
orang itu baru saja naik ke atas bukit situ, jaraknya kirakira
masih ada beberapa ratus meter dari tempat Yap
Leng-hong. Tapi Yap To-hu juga sudah mendengar dan
melihat putranya, segera ia pun berteriak, "Anak Cong,
lekas lari kemari! Syukur kita ayah dan anak masih dapat
bertemu pula."
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba dari tengah rimba
yang rimbun sana telah muncul tiga penunggang kuda,
secepat terbang penunggang-penunggang kuda itu

sedang mendatangi. Kiranya adalah Ubun Hiong, Kang


Hiau-hu dan Ciong Siu.
"Hendak kabur kemana, bangsat!" terdengar Ubun
Hiong membentak, ia cambuk kudanya dan mendahului
tiba.
"Hm, kau tidak menghormati Suhengmu, tapi
kepandaianmu juga belum tentu melebihi aku!" jengek
Yap Leng-hong. Mendadak ia melompat ke atas terus
menubruk dengan maksud merebut kuda Ubun Hiong.
Tapi dengan tipu serangan Heng-hun-toan-hong
(memotong awan memutus gunung), segera Ubun Hiong
menabas dengan pedangnya.
Saat itu Leng-hong sedang terapung di atas,
pedangnya juga telah menusuk ke bawah. Sebenarnya
tenaganya lebih kuat daripada Ubun Hiong, ditambah lagi
dia menerjang dari atas ke bawah, maka terdengarlah
suara "trang" yang nyaring, kedua pedang berbenturan,
pedang Ubun Hiong tergetar ke samping dan kaki Lenghong
sempat hinggap di atas kuda, segera pedangnya
menusuk lagi.
Cepat Ubun Hiong angkat pedangnya menangkis,
mendadak Leng-hong membentak, "Turun!" Berbareng
kakinya mendepak.
Namun Ubun Hiong sudah murka, matanya merah
membara otot-otot hijau menonjol di keningnya. Dalam
keadaan nekat demikian sukar juga bagi Yap Leng-hong
untuk mendorongnya jatuh ke bawah kuda dalam waktu
singkat.
Tampaknya Ubun Hiong dalam keadaan bahaya,
syukur saat Itu Kang Hiau-hu sudah memburu tiba pula.
Kontan pedangnya lantas menusuk ke punggung Yap
Leng-hong.

Lekas Leng-hong miringkan tubuhnya ke samping,


hanya sebelah kakinya saja yang menggantol di atas
pelana. Tapi dalam keadaan demikian ia pun tak bisa
merampas lagi kuda Ubun Hiong, terpaksa la meloncat
pergi sekuatnya. Kini jaraknya dengan sang ayah sudah
lebih dekat pula.
Akan tetapi dari samping mendadak Ciong Siu
menerjangnya juga, diam-diam Leng-hong mengeluh.
Tiba-tiba ia berseru dengan suara pilu, "Siu-moay,
betapapun kesalahanku hendaklah kau suka mengingat
hubungan baik kita yang telah lalu."
Alis Ciong Siu tampak menegak, tanpa bicara lagi
cambuknya terus menyabet.
"Bagus, lantaran kau tidak mau tahu hubungan kita di
masa lalu, maka kau pun jangan menyalahkan aku tidak
kenal ampun lagi," bentak Leng-hong. Tangannya terus
meraup dan ujung cambuk kena dipegangnya, bentaknya
pula sambil membetot, "Menggelinding turun!"
Memang kepandaian Ciong Siu tidak lebih rendah
daripada Yap Leng-hong, tapi tenaganya yang kalah
kuat. Benar juga, kontan ia terseret jatuh ke bawah
kuda. Rupanya Yap Leng-hong bermaksud menawannya
hidup-hidup untuk dipakai sandera guna memaksa lawan
lawannya untuk tidak mengejar lagi padanya.
Tapi Ciong Siu cukup cerdik, begitu jatuh ke bawah
kuda segera ia lepaskan cambuknya, cepat ia melolos
pedang untuk melawan lagi.
Yap Leng-hong memainkan Tui-hong-kiam-hoat yang
lihai, beruntun secepat kilat ia menusuk tujuh kali. Tak
terduga bahwa Tui-hong-kiam-hoat itu ternyata tidak
dapat mengalahkan Ciong Siu. Maklum, Ciong Siu adalah
murid asli Thian-san-pay dan Tui-hong-kiam hoat berasal
dari Thian-san-pay sendiri, untuk memainkannya bahkan

Ciong Siu lebih paham daripada Yap Leng-hong. Dalam


keadaan gugup Leng-hong lupa akan hal demikian itu,
yang dia pikirkan hanya ingin lekas menang, maka ilmu
pedang itu lantas dikeluarkan. Tak tahunya dia malah
kena dicecar oleh Ciong Siu sehingga kelabakan
menangkisnya.
Sementara itu barisan Yap To-hu tadi sudah tinggal
ratusan meter saja jaraknya dengan kalangan
pertempuran Yap Leng-hong. Selagi Yap To-hu memberi
komando kepada pasukannya untuk menyerbu,
sekonyong-konyong dari dalam rimba terdengar juga
suara teriakan dan bentakan yang ramai, satu pasukan
mendadak menerjang keluar dari dalam rimba, pemimpin
pasukan itu adalah Siau Ci-wan.
Kiranya di tengah jalan Siau Ci-wan telah ketemu
dengan pasukan yang dipimpin oleh Ubun Hiong, mereka
telah bergabung untuk melanjutkan pencarian sisa
tentara musuh yang lari bersama Yap To-hu itu.
Siau Ci-wan bergelak tertawa, lalu bentaknya dengan
suara menggeledek, "Dasar ajalmu sudah sampai hari ini,
biarlah kalian ayah dan anak mampus bersama!"
Melihat pasukan Siau Ci-wan itu, keruan sukma Yap
Leng-hong hampir terbang ke awang-awang saking
takutnya. Karena tak mampu menangkap Ciong Siu,
segera ia putar haluan dan berlari ke jurusan lain, ia pikir
kalau dapat menyusup ke tengah batu-batu padas di
lereng bukit itu mungkin masih ada harapan buat
melarikan diri.
Namun secepat terbang Yap Boh-hoa sudah
mengejarnya dan berteriak, "Siau-toako, serahkan dia
padaku!"
Ci-wan tahu dendam Yap Boh-hoa kepada Yap Lenghong
sedalam lautan, dengan bergelak tertawa ia

berkata, "Baik, boleh kau makan yang muda, biar aku


makan yang tua." Dan sekali perintah diberikan, serentak
pasukannya menerjang ke arah barisan tentara musuh
yang dipimpin Yap To-hu.
Mereka sudah terkepung dan sukar meloloskan diri
lagi, Yap To-hu menjadi putus asa, ia menghela napas
dan berseru, "Sungguh tidak nyana hari ini aku bernasib
sedemikian. Anak Cong, kau menyelamatkan diri sendiri
saja!" Habis berkata ia lantas melompat turun dari
kudanya, "tarrr" ia cambuk kudanya sekali. Binatang itu
sudah terlatih dan tahu maksud sang majikan, segera
berlari-lari ke arah Yap Leng-hong.
Tiba-tiba mendapatkan kuda tunggangan, girang
Leng-hong tak terperikan. Tanpa menghiraukan ayahnya
lagi segera ia mencemplak ke atas kuda dan buru-buru
melarikan diri.
Saat itu pasukan Siau Ci-wan sudah mengepung Yap
To-hu di tengah-tengah, anak buah jagal rakyat itu
sudah tiada semangat bertempur lagi dan beramai-ramai
menyerah.
"Yap To-hu," bentak Siau Ci-wan, "selama hidupmu
sudah kenyang membunuh orang, tanganmu berlumuran
darah rakyat, kini sudah tiba saatnya kau membayar
hutang dengan kepalamu."
Yap To-hu tampak mengertak gigi dan mendadak
melolos goloknya, ia berteriak, "Aku adalah pembesar
kerajaan, biarpun mati juga takkan mati di tangan kaum
berandal macam kalian" Habis berkata ujung goloknya
terus menikam ke hulu hati sendiri.
Namun Siau Ci-wan dapat bergerak lebih cepat, ia
menubruk maju dan "trang", ia sampuk jatuh golok Yap
To-hu serta mencengkeram kuduknya. "Ringkus

pembesar anjing ini!" bentaknya sambil melemparkan


tubuh Yap To-hu kepada anak buahnya.
Keruan Yap To-hu ketakutan setengah mati, teriaknya
dengan suara gemetar, "Pembesar hanya boleh dibunuh
dan tak boleh dihina. Lekas kau membunuh aku saja!"
Nyata Yap To-hu kuatir disiksa oleh kawanan
'berandal' yang menangkapnya ini, maka tadi dia merasa
lebih baik membunuh diri saja untuk menjaga
kehormatannya, tapi sekarang mau tak mau ia harus
memohon kepada Siau Ci-wan untuk segera
membunuhnya saja.
"Hm, kau adalah anjing pemburu rajamu, dasar tidak
tahu malu, masih berlagak berani mati segala?" demikian
jengek Siau Ci-wan. "Rajamu mempunyai undangundang
kerajaan, kami rakyat jelata juga mempunyai
hukum rakyat. Sudah kenyang rakyat daerah Siau-kimjwan
sini merasakan penindasanmu, entah berapa
banyak jiwa yang melayang di ujung golok jagalmu,
apakah sekarang kau ingin mati dengan seenaknya saja?
Hm, hendaklah kau tahu bahwa kami akan menggiring
kau pulang ke Siau-kim-jwan, biar rakyat sendiri yang
akan menjatuhkan hukuman padamu."
Jika di sini Yap To-hu sedang berkuik-kuik minta
ampun, adalah di sebelah sana Yap Leng-hong sedang
berusaha kabur secepat terbang. Tapi saat itu Yap Bohhoa
juga telah meminjam seekor kuda dan telah
mengejarnya dengan kencang dengan diikuti oleh Ubun
Hiong dan Kang Hiau-hu.
Sesudah mengejar sekian jauhnya, tiba-tiba muncul
pula satu pasukan berkuda dari lereng gunung di depan,
dari panjinya yang berkibar-kibar dan barisannya yang
rajin, terang berbeda sekali dengan sisa pasukan pelarian
yang dipimpin Yap To-hu tadi. Dari tulisan di atas panji

kebesaran itu jelas terbaca tanda-tanda pasukan dari


pihak mana.
Yap Leng-hong menjadi girang, kiranya pasukan itu
adalah laskar Kui Koh-ku yang sekarang telah dilebur ke
dalam pasukan kerajaan. Pasukan Kui Koh-ku ini cukup
banyak jumlahnya, jika dapat bergabung dengan mereka
tentu dirinya akan selamat, demikian pikir Leng-hong.
Akan terapi jarak mereka waktu itu masih terpisah
oleh sebuah selat gunung, paling sedikit ada beberapa li
jauhnya. Sungguh Yap Leng-hong ingin punya sayap
agar bisa segera terbang ke sana.
Tak terduga pada saat itu juga mendadak terdengar
tambur perang ditabuh bergemuruh, bagian belakang
pasukan Kui Koh-ku itu tampak kacau-balau. Kiranya
telah diserbu oleh satu pasukan berkuda yang lain,
pasukan itu adalah anak buah Tiok Siang-hu. Maka
terjadilah pertempuran sengit di lereng gunung sana
antara kedua pasukan.
Ubun Hiong tidak tinggal diam, cepat ia pun
mengerahkan pasukannya memburu ke sana untuk
memotong jalan lari Kui Koh-ku.
Sudah tentu yang paling cemas adalah Yap Lenghong,
diam-diam ia mengeluh pasti akan celaka. Kui Kohku
adalah bintang penolong yang diharapkan satusatunya,
tapi sekarang bintang penolong itu sendiri pun
sukar menyelamatkan diri sendiri.
Sungguh sial bagi Yap Leng-hong, sudah jatuh
tertimpa tangga pula. Selagi kelabakan mencari jalan
menyelamatkan diri, tiba-tiba dari depan muncul lagi dua
orang musuh. Mereka adalah Utti Keng dan Ki Seng-in.
Keruan ia sangat terkejut, lekas ia putar kudanya dan
lari ke arah lain.

"Hahaha, keparat, masih mau lari kemana?" seru Utti


Keng sambil tertawa.
Kontan Ki Seng-in juga menyambitkan tiga buah Taukut-
ting, yang diincar bukan melulu Yap Leng-hong saja,
tapi juga kudanya.
Sebisanya Leng-hong menyampuk jatuh sebuah paku
itu yang sebuah lagi berhasil dikelit, tapi paku ketiga
tepat mengenai kepala kudanya. Binatang itu meringkik
sambil berjingkrak, lalu jatuh terguling tak bernyawa lagi.
Sudah tentu Yap Leng-hong ikut terbanting, jatuh
Utti Keng tertawa dan melolos golok, tapi sebelum ia
membikin tamat riwayat Yap Leng-hong, tiba-tiba istrinya
berseru, "Toako, kila tak perlu repot-repot lagi, ada
orang lain yang akan membereskan dia "
Kiranya Yap Boh-hoa yang sedang memburu dalang
dengan kudanya, keruan Yap Leng-hong ketakutan
setengah mati, segeia ia gunakan Ginkangnya untuk
kabur sekuatnya. Tapi Ginkangnya tak bisa mengungguli
kecepatan kuda, hanya sebentar saja ia sudah disusul
oleh Yap Boh-hoa.
"Hendak lari kemana, keparat!" bentak Boh-hoa sambil
menubruk maju hendak menawan hidup-hidup
buronannya, pada saat itulah tiba tiba suara seorang
wanita menggertaknya, "Siapa berani mencelakai
muridku?"
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu senjata rahasia
menyambar lebih dulu. Waktu itu Yap Boh-hoa sedang
mengayun pedangnya hendak menusuk ke punggung
Yap Leng-hong, mendadak "cring" sekali, sebuah batu
kecil tepat menimpuk batang pedangnya dengan tenaga
sangat kuat, seketika Boh-hoa merasa genggaman
tangan pegal kesemutan, pedang lantas terlepas dari
cekalan.

Pada saat yang sana muncullah seorang wanita cantik


setengah umur.
Kiranya wanita setengah umur ini tak lain tak bukan
ialah Kok Tiong-lian, istri Kang Hay-thian yang baru
pulang dari menjenguk famili di negeri Masar. Karena
kangen kepada sang 'keponakan', maka dia sengaja
mengambil jalan ke Siau-kim-jwan untuk menyambangi
Yap Leng-hong.
Pada waktu berangkat ke Masar, Kok Tiong-lian juga
sudah merasa tindak-tanduk Yap Leng-hong rada
mencurigakan, cuma belum tahu kalau dia adalah
keponakan palsu. Apalagi diam-diam telah timbul
maksudnya hendak menjodohkan Kang Hiau-hu padanya,
maka pada saat mengetahui Leng-hong terancam
bahaya, tanpa pikir Kok Tiong-lian lantas menolongnya.
Ia sangka orang yang mengejar Leng-hong itu adalah
antek kerajaan, maka selain sebuah batunya membentur
pedang, sepotong batu yang lain lantas disambitkan pula
ke arah bahu Yap Boh-hoa.
Dengan kekuatan Kok Tiong-lian yang lihai, bila tulang
pundak Boh-hoa sampai terkena batu yang dijentikkan
dengan tenaga jari yang dahsyat, betapapun tangkasnya
Boh-hoa pasti akan terluka parah bila tidak binasa.
Saat itu Utti Keng dan Ki Seng-in juga sudah menyusul
tiba, mereka menjadi kaget demi menyaksikan serangan
Kok Tiong-lian. Teriak Ki Seng-in, "Kok-lihiap, kau keliru,
jangan menyerang lagi!"
Akan tetapi seruan Ki Seng-in itu rada kasip. Kok
Tiong-lian sudah telanjur menjentikkan batunya.
Syukurlah pada saat yang sama dari arah yang
berlawanan juga telah menyambar tiba sebutir batu kecil,
kedua biji batu berbenturan di tengah udara dan jatuh
hancur bersama.

Ketika mendengar teriakan Ki Seng-in tadi,


memangnya Kok Tiong-lian juga tertegun, kini melihat
batunya sendiri ditimpuk jatuh pula, ia terkejut dan
membatin, "Siapakah yang memiliki kepandaian setinggi
ini? Jangan-jangan Hay-ko adanya?"
Benar juga, segera ia mendengar suara Kang Haythian,
"Lian-moay, keponakanmu berada di sini, mengapa
kau malah menyerang keponakanmu sendiri?"
Berbareng tertampaklah sesosok bayangan putih
melayang lewat di samping Yap Leng-hong, hanya
sekejap saja sudah berada di sebelah Kok Tiong-lian,
terang orang itu adalah Kang Hay-thian. Tapi Hay-thian
sendiri tidak mau turun tangan, pula buru-buru ingin
bertemu dengan sang istri, maka waktu melayang lewat
di samping Yap Leng-hong sama sekali ia tidak
menyentuhnya. Namun demikian Yap Leng-hong sendiri
sudah ketakutan setengah mati.
Kok Tiong-lian merasa bingung, ia tanya sang suami,
"Kau bilang keponakanku siapa?"
"Pantas saja kau tidak tahu, aku sendiri juga baru saja
diberitahu," ujar Hay-thian dengan tertawa. Lalu ia
menuding ke arah Yap Boh-hoa dan menambahkan,
"Keponakanmu yang tulen adalah dia ini. Yang itu adalah
pemalsuan mata-mata musuh."
Tiong-lian terkejut, "Apa katamu? Dia ... dia benarbenar
adalah mata-mata musuh yang memalsukan
keponakanku?"
"Ya, dia adalah putra Yap To-hu, kita telah kena
dikelabui semua” sahut Kang Hay-thian.
Tapi Tiong-lian masih ragu-ragu, katanya setengah
menggumam "Sebenarnya bagaimana persoalannya ini?"

"Coba kau lihat, kawan-kawan itupun sudah datang


semua sebentar kau tentu akan tahu duduknya perkara,"
kata Hay-thian
Maka tertampak Tiong Tiang-thong, Siangkoan Thay,
Siu Hong, Kong-he dan anak-anak muda lain sedang
mendatangi. Sebenarnya mereka datang bersama Kang
Hay-thian, tapi mereka telah ketinggalan
Sedangkan Utti Keng dan Ki Seng-in datang dari arah
yang lain Bahkan Kang Hiau-hu sendiri telah memburu
tiba dengan memotong jalan ketika melihat ibunya sudah
kembali. Saking girangnya sebelum mendekat ia sudah
berteriak-teriak, "Ibu, aku selalu mengatakan Jisuko
adalah orang baik, tapi kau tidak mau percaya. Sekarang
sudah jelas keparat Yap Leng-hong itu adalah mata-mata
musuh dan Piauko yang tulen sudah berada di sini, maka
ibu tidak perlu ragu-ragu lagi."
"Anak perempuan, banyak omong," omel Hay-thian
dengan tertawa. "Bangsat ini memang sangat licin,
sampai-sampai aku pun kena dibohongi, tidak heran
kalau ibumu juga kena dikelabui. Kedatangan kalian
sangat kebetulan, boleh kau tuturkan kepada ibumu
duduknya perkara, begitu pula silakan Utti-thocu
menceritakan pengalamanmu yang telah menjadi korban
kelicikan keparat itu."
Dalam pada itu Yap Leng-hong sedang kebingungan,
sudah tentu ia tidak lari mendekati Kok Tiong-lian lagi. Ia
mengertak gigi dan bermaksud membunuh diri, tapi di
kala pedangnya terangkat, mata pedang yang gemilapan
dingin itu membuatnya merasa ngeri dan tanpa terasa
senjata itu menukik ke bawah lagi.
Nyata ia lebih pengecut daripada ayahnya, sudah
terang menghadapi jalan buntu dan tiada harapan buat

lolos lagi, tapi untuk membunuh diri saja dia tidak punya
keberanian.
Melihat keadaan sudah pasti, segera Siu-hong berseru,
"Hoa-ko, semoga kau membunuh musuh dengan tangan
sendiri, aku pun hendak pergi menuntut balas!"
Cepat ia melarikan kudanya ke bawah sana untuk ikut
dalam penumpasan laskar Kui Koh-ku. Anak buah Kheng
Siu-hong sudah dilebur ke dalam pasukan pergerakan di
bawah pimpinan Ubun Hiong, maka adalah tepat jika dia
ikut pergi membantu Ubun Hiong.
Yap Leng-hong yang pengecut itu tidak jadi
membunuh diri, terpaksa ia putar balik dan bertempur
mati-matian dengan Yap Boh-hoa. Dari putus asa Yap
Leng-hong menjadi nekat dan benci kepada Yap Bohhoa.
Bagai srigala yang kepepet, secara kalap ia
menyerang Boh-hoa.
Boh-hoa tidak berani sembrono menghadapi lawan
yang kalap itu, dengan tenang dan sabar ia melayani
perlawanan Leng-hong yang terakhir itu.
Sementara itu medan pertempuran di bawah gunung
sana sedang berlangsung dengan sengit sesudah Kheng
Siu-hong ikut menyerbu. Ia mencari kedua saudara Cu
dan memerintahkan agar mengumumkan bahwa para
anak buah Kui Koh-ku diharapkan lekas menyerah, yang
akan ditangkap dan dihukum adalah biang keladinya,
orang-orang yang ikut-ikutan saja takkan diusut lebih
lanjut.
Kedua saudara Cu adalah penduduk Kui-tek-po dan
banyak mengenal anak buah Kui Koh-ku. Hasil seruan
mereka itu ternyata sangat memuaskan, tidak terlalu
lama sudah ada lebih separoh laskar Kui Koh-ku
membuang senjata dan meninggalkan barisannya,

bahkan ada sebagian yang membalikkan senjata dan ikut


menyerang pengikut-pengikut setia Kui Koh-ku.
Keruan Kui Koh-ku berjingkrak-jingkrak murka sambil
memaki kalang-kabut. Namun Kheng Siu-hong sudah
memutar sepasang goloknya dan menyerbu ke tengah
barisan musuh, teriaknya, "Kui-locat, hari ini adalah
tamatnya lelakonmu! Rasakanlah golokku ini!"
Sekali timpuk, sebilah pisau terbangnya kontan
membikin jiwa Kui Siau-leng melayang.
Melihat putranya mati, apalagi sudah kepepet,
terpaksa Kui Koh-ku bertempur mati-matian melawan
Siu-hong. Ilmu silat Kui Koh-ku dengan sendirinya tidak
lemah, cuma usianya sudah lanjut. Di waktu biasa
tidaklah mudah Siu-hong hendak mengalahkan dia, tapi
kini begundal Kui Koh-ku sudah hampir terbasmi bersih,
ia menjadi gugup, hanya beberapa gebrakan saja ia
sudah terluka kena bacokan golok Siu-hong. Pada saat
yang sama kedua saudara Cu juga telah memburu tiba
dua pasang tongkat mereka mengepruk berbareng,
kontan batok kepala Kui Koh-ku terketok hancur dan
terbalaslah sakit hati mereka
Setelah pertempuran berakhir, cepat Siu-hong
mengajak Ubun Hiong kembali ke tempat pertempuran
Yap Boh-hoa melawan Yap Leng hong. Saat itu
pertarungan sengit itupun sudah mendekati akhir. Lenghong
tampak beringas bagai binatang yang buas
berulang-ulang la menerkam lawannya seperti anjing
gila. Wajahnya yang beringas waktu itu berbeda sama
sekali daripada sikap biasanya yang ramah tamah.
Diam-diam Ciong Siu gegetun dan membatin
”Tampang aslinya ternyata begini, syukurlah aku tidak
terlanjur terpelet. Pengalaman ini mengajar padaku agar
kelak janganlah menilai seseorang dari wajahnya."

Pertarungan itu semakin seru, tapi Yap Boh hoa tetao


berlaku tenang, sebaliknya Leng-hong tambah kalap,
tampak dia sudah mandi keringat, tidak lama kemudian
air keringatnya yang menetes itu menyerupai air darah.
Hiau-hu merasa heran, ia bertanya pada ayahnya
”Keparat itu toh tidak terluka, mengapa mengalirkan
darah?"
"Dia sudah seperti pelita yang kehabisan minyak”sahut
Hay-thian.
Baru selesai ucapannya, tiba-tiba terdengar Leng-hong
menjerit tidak kelihatan kena serangan, tapi mendadak
jatuh terkulai. Meski Boh hoa telah mendepaknya dan
membentaknya supaya berbangkit tapi sedikitpun Lenghong
tidak bersuara, tubuhnya tampak melingkar,
sekonyong-konyong sekujur badannya penuh berdarah.
Kiranya dia telah kehabisan tenaga, keringat mengucur
terus, akhirnya yang keluar adalah air berdarah.
Ditambah lagi rasa takutnya sampai detik terakhir
jantungnya telah pecah dan binasalah dia
Setelah menyimpan pedangnya, lalu Boh hoa
memberikan sembah hormat kepada Kang Hay-thian dan
Kok Tiong lian, katanya ”Maafkan kesalahan Tit-ji yang
tidak segera datang, menemui paman dan bibi
sebagaimana pesan ayah-ibuku sehingga memberi
kesempatan kepada keparat ini untuk memalsukan diriku
dan menimbulkan banyak bencana."
Hay-thian membangunkan Boh-hoa, sahutnya, "Aku
sendiri pun kurang teliti. Syukur sekarang duduknya
perkara sudah jelas dan berakhir, kau pun telah
mewakilkan aku membersihkan rumah tangga
perguruan." Lalu ia berpaling kepada sang istri, katanya
dengan tertawa, "Lian-moay, kau kehilangan keponakan

yang palsu dan kini benar-benar mendapatkan


keponakan yang tulen, boleh kau merasa bergembira!"
"Sungguh aku merasa menyesal telah kena dikelabui
keparat ini," kata Tiong-lian. "Malahan tadi aku hampir
salah mencelakai kau, tapi sekarang tidak saja kau harus
memanggil bibi padaku, bahkan pamanmu menyuruh kau
mewakilkan dia membersihkan rumah tangga perguruan,
kau paham hal ini tidak?"
Sudah tentu Boh-hoa paham, katanya, "Banyak terima
kasih bahwa paman telah sudi menerima aku sebagai
muridnya." Segera ia memberi hormat pula menurut adat
dan memanggil Suhu dan Subo.
Sungguh senang Kok Tiong-lian tak terkatakan. Para
ksatria juga ikut gembira dan beramai-ramai memberi
ucapan selamat.
Menyusul Ubun Hiong juga maju memberi hormat
kepada Suhu dan Subonya.
Tiong-lian rada malu melihat pemuda itu, katanya,
"Aku telah keliru menyalahkan kau sehingga kau
menderita penasaran."
"Tadinya siapa pun tidak tahu kekejian bangsat itu,
tindakan yang diambil Subo itu adalah menurut
peraturan perguruan, mana murid berani menyesali
Subo," demikian sahut Ubun Hiong.
"Apa yang pernah kupesan padamu telah kau
beritahukan kepada Hu-ji atau belum?" tiba-tiba Kang
Hay-thian bertanya dengan tertawa.
Wajah Ubun Hiong menjadi merah, sahutnya lirih,
"Belum!"
Hiau-hu masih belum paham arti ucapan ayahnya itu,
segera ia bertanya, "Ayah suruh kau memberitahukan
apa kepadaku, Suko?"

"Suruh dia menjaga kau selama hidup, tahu?" sela


Hay-thian sambil terbahak-bahak.
Baru sekarang Hiau-hu mengerti, mukanya menjadi
merah jengah, tapi hati kecilnya merasa sangat girang,
maka semua orang kembali menghaturkan selamat
bahagia.
Kemudian dengan kereng Kang Hay-thian bicara pula,
"Tapi usia kalian masih terlalu muda, tiada halangannya
dua tahun lagi baru melangsungkan pernikahan. Kini
situasi di Siau-kim-jwan sudah kita atasi, tapi tanah air
bangsa Han kita ini masih dijajah, rakyat jelata di
berbagai daerah masih sangat menderita. Aku
bermaksud berangkat ke utara untuk membantu Thiokaucu
mengadakan pergerakan lebih besar lagi, kalian
boleh ikut berangkat bersama aku."
Begitulah beramai-ramai mereka lantas berangkat ke
utara untuk meneruskan perjuangan, dan itu sudah di
luar garis cerita "Geger Dunia Persilatan" ini....
TAMAT

Anda mungkin juga menyukai